memindahkan penumpang yang ingin dan dapat melakukan fungsi evakuasi yang mungkin diperlukan, pa.da tempat duduk dekat pintu keluar.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "memindahkan penumpang yang ingin dan dapat melakukan fungsi evakuasi yang mungkin diperlukan, pa.da tempat duduk dekat pintu keluar."

Transkripsi

1 memindahkan penumpang yang ingin dan dapat melakukan fungsi evakuasi yang mungkin diperlukan, pa.da tempat duduk dekat pintu keluar. (m)pemegang sertifkar dapat menolak pengangkutan penumpang dalam seksi ini hanya karena: (1) Penumpang tersebut menolah untuk memenuhi instruksi yang diberikan oleh awak pesawat atau pegawai pemegang sertifikat lain yang mengimplementasikan batasan tempat duduk dekat pintu keluar yang dibentuk sesuai deng~l:1 ::;eksiini, atau (2) Satu-satunya tempat duduk yang akan mengakomodasi orang yang memiliki ke1emahan fisik adalah tempat duduk dekat pintu keluar. (n) Untuk memenuhi seksi ini pemegang sertifikat harus- (1) Membentuk prosedur y~ng menyangkut: (i) Kriteria yang ten J : 1 ]J; 1t dalam paragraf (b)seksi ini; (ii) Fungsi yang terdaljat dalam paragraf (d) seksi ini; (iii) Persyaratan untul informasi bandara, kartu informasi penumpang, verifikasi awak pesawat terhadap tempat duduk dekat pintu keluar, pengarahan penumpang, penentuan temp at duduk, dan penolakan pengangkutan yang ditentukan dalam seksi ini; (iv) Bagaimana men!' t~si masalah yang muncul dari implementasi seksi ini, term8' '~identifikasi pegawai pemegang sertifikat pada bandara dimana cllplainharus disampaikan untuk resolusi; dan (2) Menyampaikan prost(,ur review awal mereka dan persetujuan pada inspektor operasi utama yang ditunjuk pada mereka di Ditjen Hubud. (0) Pemegang sertifikat harus: penumpang konsisten de;' fungsi yang terdapat d:' maksimum yang memung: enentukan temp at duduk sebelum memasukkan 11 kriteria yang terdapat dalam paragraf (b) dan paragraf (d) seksi ini, sempai pada batas,:~an. (p) Prosedur yang dipersyar8' :eul oleh paragraf (n) seksi ini tidak akan efektif sampai persetujuan akhir (ijberikan oleh Dirjen Hubud. Persetujuan akan didasarkan pada aspek kc~' ~~:natan dari prosedur pemegang sertifikat. (a) Selain yang ditentukan (~..,::1 paragraf (b) seksi ini, pilot yang berwenang pada pesawat yang mem. 1 pintu ruang awak kokpit yang dapat dikunci sesuai dengan seksi 1. :3 dan yang membawa penumpang harus menjamin bahwa pintu ~.:, memisahkan ruang awak kokpit dari ruang penumpang ditutup dan c1' unci selama penerbangan.

2 (1) Selama lepas landas dan mendarat jika pintu ruang kru merupakan akses menuju pintu keluar darurat penumpang yang dipersyaratkan atau pintu keluar pada lantai; atau (2) Pada waktu yang penting untuk memberikan akses kepada awak kokpit atau ruang penumpang, bagi awak pesawat untuk melakukan tugasnya atau bagi orang yang diberi wewenang untuk masuk ke dalam ruang awak kokpit sesuai seksi (3) Jika jumpseat digunakan oleh orang yang diberi wewenang sesuai seksi dalam pesawat dimanaa penutupan dan penguncian pintu ruang awak kokpit tidak memungkinkan bilamana jumpseat tersebut digunakan. Selain yang diijinkan oleh Dirjen Hubud, penyedia angkutan udara dan pilot yang digunakan oleh penyedia angkutan udara tidak boleh, dalam melakukan operasi yang diatur oleh bagian ini, mengoperasikan pesawat dan mendarat pada bandara di Indonesia kecuali bandara tersebut disertifikasi untuk operasi oleh Ditjen Hubud.

3 Subbagian ini menjelaskan tentang peraturan dispatching untuk dan pesawat resmi Negara dan peraturan ijin terbang untuk penyedia angkutan udara tambahan Wewenang dispatching: Penyedia Angkutan Udara Domestik dan Pesawat resmi Negara (a) Tidak ada seorangpun yang dapat memulai penerbangan tanpa IJm dari petugas operasi penerbangan. (b) Tidak seorangpun dapat melajutkan penerbangan dari bandara pertengahan tanpa re-dispatchjika pesawat tersebut telah didarat lebih dari enam jam. (a) Tidak seorangpun boleh memulai penerbangan dalam sistem flight following tanpa wewenang khusus dari orang yang diberi wewenang oleh operator untuk melakukan kendali operasional terhadap penerbangan. (b) Tidak seorangpun dapat memulai penerbangan kecuali pilot yang berwenang atau orang yang diberi wewenang oleh operator untuk melakukan kendali operasional terhadap penerbangan telah memutuskan ijin terbang yang terkait kondisi dimana penerbangan akan dilakukan. Pilot yang berwenang dapat menandatangani ijin terbang hanya jika dia dan orang yang diberi wewenang oleh operator untuk mengendalikan operasional yakin bahwa penerbangan tersebut dalam dilakukan dengan selamat. (c) Tidak seorangpun dapat melanjutkan penerbangan dari bandara pertengahan tanpa ijin terbang baru jika pesawat tersebut telah di darat lebih dari enamjam. (a) Penyedia anngkutan udara domestik dan pesawat resmi Negara. Tidak ada petugas operasi penerbangan yang dapat mengijinkan penerbangan kecuali dia familiar dengan detil terhadap kondisi cuaca yang dilaporkan dan diramalkan pada rute yang akan diterbangi. (b) Penyedia angkutan udara tambahan dan operator niaga. Tidak ada pilot yang berwenang yang dapat memulai penerbangan kecuali dia telah familiar dengan detil terhadap kondisi cuaca yang dilaporkan dan diramalkan pada rute yang akan diterbangi.

4 Informasi Petugas Operasi Penerbangan Pesawat kepada Pilot yang berwenang: Penyedia Angkutan Udara domestik dan Pesawat resmi Negara (a) Petugas operasi penerbangan harus memberikan semua informasi dan laporan terbaru tentang kondisi bandara dan fasilitas navigasi kepada pilot yang berwenang yang dapat mempengaruhi keselamatan penerbangan. (b) Sebelum memulai penerbangan, petugas operasi penerbangan harus memberikan semua laporan dan ramalan fenomena cuaca yang ada kepada pilot yang berwenang yang dapat mempengaruhi keselamatan penerbangan, termasuk fenomena cuaca yang mengganggu, seperti turbulensi udara, badai petir, dan winds hear rendah, untuk tiap rute yang akan diterbangi dan tiap bandara yang akan digunakan. (c) Selama penerbangan, petugas operasi penerbangan harus memberikan informasi tambahan kepada pilot yang berwenang terkait kondisi meteorology termasuk fenomena cuaca yang mengganggu, seperti turbulensi udara, badai petir, dan windshear rendah, dan ketidak biasaan fasilitas dan pelayakan yang dapat mempengaruhi keselamatan penerbangan. (a) Sebelum mulai penerbangan, tiap pilot yang berwenang harus mendapatkan semua informasi atau laporan yang ada terkait kondisi bandara dan ketidakbiasaan fasilitas navigasi yang dapat mempengaruhi keselamatan penerbangan. (b) Selama penerbangan, pilot yang berwenang harus mendapatkan tambahan informasi yang tersedia terkait kondisi meteorology dan ketidakbiasaan fasilitas dan pelayanan yang dapat mempengaruhi keselamatan penerbangan. Tidak seorangpun dapat dispatch atau mengijinkan pesawat kecuali laik terbag dan dilengkapi dengan yang disebutkan dalam seksi Fasilitas Komunikasi dan Navigasi: Penyedia Angkutan Udara Domestik dan Pesawat resmi Negara (a) Kecuali jika diberikan dalam paragraf (b) seksi ini untuk penyedia angkutan udara pesawat resmi negara, tidak seorangpun dapat memberangkatkan pesawat dalam rute atau bagian rute yang disetujui kecuali falisitas komunikasi dan navigasi yang dipersyaratkan oleh seksi dan terkait persetujuan rute atau bagian rute tersebut dalam kondisi laik beroperasi. (b) Jika, karena alasan teknis atau alasan lain diluar kendali penyedia angkutan udara pesawat resmi negara, fasilitas yang dipersyaratkan oleh seksi dan tidak tersedia dalam rute atau bagian rute diluar Indonesia, penyedia angkutan udara tersebut dapat memberangkatkan peesawat melewati rute atau segmen rute tersebut jika pilot yang berwenang dan 180

5 petugas oeprasi penerbangan menyatakan bahwa fasilitas komunikasi dan navigasi serupa dengan yang dipersyaratkan tersedia dan dalam kondisi dapat beroperasi Fasilitas Komunikasi dan Navigasi: Penyedia Angkutan Udara Tambahan Tidak seorangpun dapat memberi ijin pesawat melalui rute atau bagian rute kecuali fasilitas komunikasi dan navigasi yang serupa dengan yang dipersyaratkan oleh seksi dalam kondisi dapat beroperasi dengan baik. Tidak ada seorangpun dapat menerbangkan atau mengijinkan pesawat untuk operasi VFR kecuali ceiling dan jarak pandang jelajah, sebagaimana diindikasikan oleh laporan atau ramalan cuaca yang tersedia, atau kombinasi dari laporan dan ramalan, adalah pada atau di atas syarat minimum VFR sampai pesawat tersebut sampai pada bandara atau bandara-bandara yang ditentukan dalam ijin berangkat atau terbang. Kecuali jika diberikan dalam seksi , tidak seorangpun dapat menerbangkan atau mengijinkan pesawat untuk beroperasi dalam IFR, kecuali laporan atau ramalan cuaca, atau kombinasinya, menunjukkan bahwa kondisi cuaca akan berada pada atau diatas syarat minimum yang diijinkan pada waktu perkiraan kedatangan di bandara atau bandara-bandara dimana pesawat terse but diberangkatkan atau diijinkan. (a) Tidak seorangpun dapat memberangkatkan atau mengijinkan pesawat untuk sebuah penerbangan yang melibatkan operasi di atas perairan kecuali laporan atau ramalan cuaca atau kombinasinya, menunjukkan bahwa kondisi cuaca akan berada pada atau di atas syarat minimum yang diijinkan pada waktu perkiraan kedatangan pada bandara dimana pesawat tersebut diberangkatkan atau diijinkan atau bandara alternatif yang diperlukan. (b) Tiap penyedia angkutan udara tambahan dan operator niaga harus melaksanakan penerbangan di atas perairan dalam IFR kecuali ditunjukkan bahwa operasi dalam IFR tidak perlu untuk keselamatan. (c) Tiap penyedia angkutan udara pesawat resmi negara dan tambahan dan operator niaga harus melaksanakan operasi di atas perairan lain dalam IFR jika Dirjen Hubud menentukan bahwa operasi dalam IFR perlu untuk keselamatan. (d) Tiap wewenang untuk melaksanakan operasi di atas perairan dalam VFRdan tiap persyaratan untuk melaksanakan operasi di atas perairan dalam IFR akan ditentukan dalam spesifikasi operasi operator niaga at au penyedia angkutan udara.

6 (a) Jika kondisi cuaca pada bandara keberangkatan dibawah syarat mmlmum pendaratan dalam spesifikasi operasi pemegang sertifikat untuk bandara tersebut, tidak seorangpun dapat memberangkatkan atau mengijinkan pesawat dari bandara tersebut kecuali pemberangkatan atau ijin terbang menentukan bandara alternatif yang terletak dalam jarak berikut dan bandara keberangkatan: (1) Pesawat yang memiliki dua mesin. Tidak lebih dari satu jam dari bandara keberangkatan pada kecepatan jelajah normal pada udara tenang dengan satu mesin tidak beroperasi. (2) Pesawat dengan tiga mesin atau lebih. Tida lebih dari dua jam dan bandara keberangkatan pada kecepatan jelajah normal dalam udara tenang dengan satu mesin tidak beroperasi. (b) Untuk tujuan dalam paragraf (a) seksi ini, cuaca bandara alternatif harus memenuhi persyaratan spesifikasi operasi pemegang sertifikat. (c) Tidak seorangpun dapat memberangkatkan atau mengijinkan pesawat dan bandara kecuali dia mendata tiap bandara alternatif yang diperlukan dalam ijin berangkat atau terbang Bandara Alternatif untuk Tujuan: Penyedia Angkutan Udara Domestik (a) Tidak seorangpun dapat memberangkatkan pesawat dalam IFR kecuali dia mendata setidaknya satu bandara alternatif untuk tiap bandara tujuan dalam ijin berangkat. Ketika ramalan kondisi cuaca untuk bandara tujuan dan alternatif pertama bersifat marjinal setidaknya satu bandara alternatif harus ditambahkan. Namun, bandara alternatif tidak diperlukan untuk setidaknya 1 jam sebelum dan 1 jam sesudah waktu perkiraan kedatangan pada bandara tujuan ramalan atau laporan cuaca, atau kombinasinya, menunjukkan: (1) Ceiling setidaknya 2000 kaki di atas elevasi bandara; dan (2) Jarak pan dang setidaknya 5 kilometer (b) Sesuai dengan tujuan paragraf (a) seksi ini, kondisi cuaca pada bandara alternatifharus memenuhi persyaratan seksi (c) Tidak seorangpun boleh menerbangkan pesawat kecuali dia mendata tiap bandara alternatif yang dipersyaratkan dalam ijin keberangkatan Bandara Alternatif untuk Bandara Tujuan: Penyedia Angkutan Udara Pesawat resmi Negara (a) Tidak seorangpun dapat memberangkatkan pesawat dalam IFR kecuali dia mendata setidaknya satu bandara alternatif untuk tiap bandara tujuan dalam ijin keberangkatan, kecuali:

7 (1) Penerbangan terse but teijadual tidak lebih dari 6 jam dan, untuk setidaknya 1 jam sebelum dan 1 jam sesudah waktu perkiraan kedatangan pada bandara tujuan, laporan atau ramalan cuaca yang sesuai, atau kombinasinya, menunjukkan bahwa kondisi ceiling: (i) Setidaknya 1500 kaki di atas MDA memutar terendah, jika pendekatan memutar diperlukan dan diijinkan untuk bandara tersebut; atau (ii) Setidaknya 1500 kaki di atas syarat minimum pendekatan instrumen yang diterbitkan atau 2000 kaki di atas elevasi bandara, mana yang lebih besar; dan (iii) Jarak pandang pada bandara tersebut akan setidaknya 5 kilometer, atau 3 kolimeter lebih dari syarat minimum jarak pandang ang ada terendah, mana yang lebih besar, untuk posedur pendekatan instrumen yang akan digunakan pada bandara tujuan; atau (2) Penerbangan tersebut melewati rute yang disetujui tanpa bandara alternatif untuk bandara tujuan tersebut dan pesawat tersebut memiliki bahan bakar yang cukup untuk memenuhi persyaratan seksi (b) atau seksi (c). (b) Untuk tujuan paragraf (a) seksi ini, kondisi cuaca pada bandara alternatif harus memenuhi persyaratan spesifikasi operasi penyedia angkutan udara. (c) Tidak seorangpun dapat memberangkatkan pesawat kecuali dia mendata tiap bandara alternatif yang dipersyaratkan dalam ijin keberangkatan Bandara Alternatif untuk Bandara Tujuan: Penyedia Angkutan Udara Tambahan (a) Kecuali jika diberikan dalam paragraf (b) seksi ini, tiap orang yang mengijinkan pesawat untuk operasi IFR harus mendata setidaknya satu bandata alternatif untuk tiap bandara tujuan dalam ijin terbang. (b) Bandara alternatif tidak perlu ditentukan untuk operasi IFR dimana pesawat tersebut membawa bahan bakar yang cukup untuk memenuhi persyaratan seksi dan untuk penerbangan diluar Indonesia melalui rute tanpa tersedia bandara alternatif untuk bandara tujuan tersebut. (c) Sesuai dengan tujuan paragraf (a) seksi ini, persyartan cuaca pada bandara alternatif harus memenuhi persyartan spesifikasi operasi operator niaga atau penyedia angkutan udara. (d) Tidak seorangpun dapat mengijinkan penerbangan kecuali dia mendata tiap bandara alternatif yang dipersyaratkan dalam ijin terbang. Tidak seorangpun dapat mendata bandara sebagai bandara alternatif dalam ijin berangkat atau terbang kecuali laporan atau ramalan cuaca yang sesuai, atau kombinasinya, menunjukkan bahwa kondisi cuaca akan berada pada atau di

8 atas syarat minimum cuaca alternatif yang ditentukan dalam spesifikasi operasi pemegang sertifikat untuk bandara tersebut ketika penerbangan tiba. (a) Tidak seorang pilot yang berwenangpun dapat melanjutkan penerbangan menuju bandara yang diijinkan jika, pendapat pilot yang berwenang atau petugas operasi penerbangan (hanya penyedia angkutan udara pesawat resmi negara dan domestik), penerbangan tersebut tidak dapat dilakukan dengan selamat, dalam pendapat pilot yang berwenang, tidak ada prosedur yang lebih aman, penerusan menuju bandara tersebut adalan situasi darurat yang ditentukan dalam seksi (b) Jika instrumen atau perlengkapan yang diperlukan dalam PKPS untuk operasi tersebut tidak beroperasi, pilot yang berwenang harus memenuhi prosedur yang disetujui untuk kejadian terse but dalam panduan pemegang sertifikat. (a) Semua pemegang sertifikat yang beroperasi dalam bagian ini harus memiliki Daftar Perlengkapan Minimum yang disetujui untuk tiap jenis pesawat yang dioperasikan; dan: (1) Daftar Perlengkapan Minimum yang disetujui harus ada dalam pesawat (2) Ditjen Hubud harus mengeluarkan spesifikasi operasi pemegang sertifikat yang mengijinkan operasi sesuai dengan Daftar Perlengkapan Minimum yang disetujui. Awak kokpit harus memiliki akses langsung setiap waktu sebelum penerbangan terhadap semua informasi yang terkandung dalam Daftar Perlengkapan Minimum yang disetujui dengan dicetak atau cara lain yang disetujui oleh Dirjen Hubud dalam spesifikasi operasi pemegang sertifikat. Daftar Perlengkapan Minimum yang disetujui, yang diijinkan oleh spesifikasi operasi, mengandung perubahan yang disetujui terhadap rancang jenis tanpa memerlukan sertifikasi ulang. (3) Daftar Perlengkapan Minimum yang disetujui harus: (i) Disiapkan sesuai dengan batasan yang disebutkan dalam paragraf (b) seksi ini. (ii) Ditentukan untuk operasi pesawat dnegan instrumen tertentu dan perlengkapan dalam kondisi tidak dapat beroperasi. (4) Catatan yang menunjukkan instrumen dan perlengkapan yang tidak dapat beroperasi dan informasi yang dipersyaratkan oleh paragraf (a)(3)(ii)seksi ini harus tersedia bagi pilot. (5) Pesawat tersebut dioperasikan dalam semua kondisi dan batasan yang terkandung dalam Daftar Perlengkapan Minimum dan spesifikasi operasi yangmengijinkan penggunaan Daftar Perlengkapan Minimum. (b) Instrumen dan perlengkapan berikut tidak perlu dimasukkan dalam Daftar Perlengkapan Minimum:

9 (1) Instrumen dan perlengkapan yang baik secara khusus atau dengan kata lain dipersyaratkan oleh persyaratan kelaikan udara dimana pesawat tersebut disertifikasi jenis dan yang penting bagi keselamatan operasi dalam semua kondisi operasi. (2) Instrumen dan perlengkapan yang dipersyaratkan oleh instruksi kelaikan udara untuk kondisi yang dapat dioperasikan kecuali instruksi kelaikan udara tersebut menentukan lainnya. (3) Instrumen dan perlengkapan yang dipersyaratkan untuk operasi khusus oleh bagian ini. (c) Selain paragraf (b)(1) dan (b)(3) seksi ini, pesawat dengan instrumen dan perlengkapan yang tidak dapat dioperasika dapat dioperasikan dengan ijin penerbangan khusus dalam PKPSseksi dan Sesuai dengan tujuan melengkapi pemegang sertifikat dalam mengembangkan Daftar Perlengkapan Minimum pabrik pesawat harus mengajukan usulan Perlengkapan Minimum Utama kepada Dirjen Hubud untuk disetujui. Daftar Perlengkapan Minimum tersebut akan mengandung susunan Daftar Perlengkapan Minimum Utama dan dikhususkan pada operasi jenis pemegang sertifikat. Daftar Perlengkapan Minimum Utama yang diusulkan tersebut harus disempurnakan (melalui tes dan analysis) untuk menjamin terjaganya tingkat keselamatan. (a) Tidak seorangpun dapat menerbangkan atau mengijinkan pesawat, melanjutkan operasi jelajah pesawat, atau mendaratkan pesawat ketika pendapat pilot yang berwenang atau petugas operasi penerbangan (hanya penyedia angkutan udara pesawat resmi negara dan domestik), kondisi pembentukan es akan terjadi atau didapati yang dapat mempengaruhi keselamatan penerbangan tersebut. (b) Tidak seorangpun dapat menerbangkan pesawt ketika embun, es, atau salju menempel pada sayap, permukaan kendali, baling-baling, saluran masuk mesin, atau permukaan kritis lainnya pada pesawat atau ketika lepas landas tidak akan sesuai dengan paragraf (c) seksi ini. Lepas landas dengan embun pada sayap pada area tangki bahan bakar mungkin diijinkan oleh Dirjen Hubud. (c) Kecuali jika diberikan dalam paragraf (d) seksi ini, tidak seorangpun dapat memberangkatkan, mengijinkan, atau menerbangkan pesawat dalam kondisi apapun seperti embun, es, atau salju dapat menempel pada pesawat, kecuali pemegang sertifikat memiliki program pencairan esj anti es dalam spesifikasi operasinya dan kecuali jika pemberangkatan, ijin, dan penerbangan tersebut memenuhi program tersebut. Program pencairan esj anti es darat yang disetujui harus mencakup setidaknya hal-hal berikut: (1) Deskripsi detik tentang:

10 (i) Bagaimana pemegang sertifikat menentukan bahwa kondisi seperti embun, es, atau salju dapat menempel pada pesawat dan prosedur operasi pencairan esj anti es darat tersebut harus bekerja; (ii) Siapa yang bertanggung jawab untuk menentukan bahwa prosedur operasi pencairan esj anti es harus bekerja; (iii) Prosedur untuk mengimplementasikan prosedur operasi pencairan esj anti es darat; (iv) Tugas dan tanggung jawab khusus tiap posisi atau kelompol operasi yang bertanggung jawab untuk keselamatan penerbangan pesawat ketika prosedur operasi pencairan esj anti es darat bekerja. (2) Pelatihan ground dan pengujian awal dan tahunan untuk awak kokpit dan kualifikasi semua personil yang terlibat (mis. Petugas operasi penerbangan, awak darat, dan personil kontrak) terkait persyaratan khusus dari program yang disetujui dan tiap tangung jawab dan tugas masing-masing orang dalam program yang disetujui, khususnya mancakup area barikut: (i) Penggunaan waktu holdover. (ii) Prosedur pencairan esj anti es pesawat, termasuk inspeksi dan prosedur dan tanggung jawab pemeriksaan. (iii) Prosedur komunikasi. (iv) Kontaminasi permukaan pesawat (mis. Keberadaan embun, es, atau salju) dan identifikasi area kritis, dan kontaminasi rendah yang mempengaruhi kinerj a pesawat dan karakteristik terbang. (v) Jenis dan karakteristik cairan pencair esj anti es. (vi) Prosedur pemeriksaan cuaca dingin sebelum terbang. (vii) Teknik untuk mengenali kontaminasi pada pesawat. (3) Jadual holdover pemegang sertifikat dan prosedur untuk penggunaan jadual-jadual ini oleh personil pemegang sertifikat. Waktu holdover adalah waktu dimana cairan pencair esj anti es diperkirakan akan mencegah pembentukan embun atau es dan akumulasi salju pada permukaan yang dilindungi pada pesawat. Waktu holdover dimulai ketika aplikasi final cairan pencair esj anti es memulai dan berakhir ketika cairan pencair esj anti es yang diterapkan pada pesawat kehilangan efektifitasnya. Waktu holdover harus didukung dengan data yang diterima oleh Dirjen Hubud. Program pemegang sertifikat harus mencakup prosedur bagi awak kokpit untuk meningkatkan at au menurunkan waktu holdover yang ditentukan dalam kondisi yang berubah. Program tersebut harus menyatakan bahwa lepas landas setelah melebihi waktu holdover maksimum dalam jadual holdover pemegang sertifikat diijinkan janya ketika setidaknya satu kondisi beriku t terjadi: (i) Pemeriksaan kontaminasi sebelum lepas landas, sebagaimana ditentukan dalam paragraph (c)(4) dalam seksi ini, menentukan bahwa sayap, permukaan kendali, dan permukaan kritis lain, yang ditentukan dalam program pemegang sertifikat, bebas dari embun, es, atau salju; (ii) Kecuali ditentukan dengan prosedur alternatif yang disetujui oleh Dirjen Hubud sesuai dengan program pemegang sertifikat yang disetujui bahwa sayap, permukaan kendali, dan permukaan kritis

11 lain, yang ditentukan dalam program pemegang sertifikat, bebas dari embun, es, atau salju; (iii) Sayap, permukaan kendali, dan permukaan kritis lain di bebaskan dari es dan waktu holdoverbaru ditentukan. (4) Prosedur dan tanggung jawab pencairan esj anti es pesawat, prosedur dan tanggung jawab pemeriksaan sebelum lepas landas, dan prosedur pemeriksaan kontaminasi sebelum lepas landas. Pemeriksaan sebelum terbang adalah pemeriksaan untuk menjamin bahwa sayap, kendali permukaan, dan permukaan kritis lain, yang ditentukan dalam program pemegang sertifikat, bebas dari embun, es, dan salju. Harus dilakukan dalam waktu lima menit sebelum permulaan lepas landas. Pemeriksaan ini harus dialkukan dari luar pesawat kecuali program tersebut ditentukan dengan cara lain. (d) Pemegang sertifikat dapat melanjutkan untuk beroperasi dalam seksi ini tanpa program yang dipersyaratkan dalam paragraph (c) seksi ini, jika dalam spesifikasi operasinya mencakup persyaratan bahwa, ketika kondisi seperti embun, es, atau salju dapat menempel pada pesawat, pesawat tidak boleh lepas landas kecuali telah diperiksa untuk menjamin bahwa sayap, permukaan kendali, dan permukaan kritis lain bebas dari embun, es, atau salju. Pemeriksaan tersebut harus dilakukan dalam waktu lima menit sebelum permulaan lepas landas. Pemeriksaan ini harus dilakukan dari luar pesawat tersebut Ijin Terbang atau Keberangkatan AsH, Keberangkatan ulang atau Amendemen Keberangkatan atau Ijin Terbang (a) Pemegang sertifikat dapat menentukan bandara manapun, yang diijinkan untuk jenis pesawat, sebagai tujuan keberangkatan atau ijin asli. (b) Tidak seorangpun dapat mengijinkan penerbangan berlanjut menuju bandara yang diijinkan kecuali kondisi cuaca pada bandara alternative yang ditentukan dalam ijin terbang atau keberangkatan diperkirakan berada pada atau di atas syarat minimum yang ditentukan dalam spesifikasi operasi untuk bandara tersebut pada waktu pesawat akan mendarat pada bandara alternative tersebut. Namun, ijin terbang atau keberangkatan dapat diamendemen jelajah untuk mencakup bandara alternative yang dalam batasan bahan bakar pesawat sesuai yang ditentukan dalam seksi sampai (c) Tidak seorangpun dapat merubah tujuan awal atau bandara alternatif yang telah ditentukan dalam ijin terbang atau keberangkatan asli menuju bandara lain ketika pesawat dalam terbang jelajah kecuali bandara lain tersebut diijinkan untuk jenis pesawat dan memenuhi persyaratan yang sesuai dalam seksi sampai pada saat ijin keberangkatan ulang atau amende men ijin terbang. (d) Tiap orang yang mengamendemen IJln keberangkatan terbangjelajah harus mencatat amendemen tersebut. atau terbang dalam

12 (a) Tidak seorang pilotpun dapat menerbangkan pesawat dari bandara yang tidak terdaftar dalarn spesifikasi operasi keeuali: (1) Bandara dan fasilitas terkait tersebut sesuai untuk operasi pesawat tersebut; (2) Dia dapat memenuhi batasan operasi pesawat yang berlaku; (3) Pesawat tersebut telah diberangkatkan sesuai peraturan pemberangkatan yang berlaku pada operasi dari bandara yang disetujui; dan (4) Kondisi euaea pada bandara tersebut sarna dengan atau lebih baik dan beriku t ini: Syarat euaea minimum untuk lepas landas yang ditentukan oleh Dirjen Udara atau PKPS; atau dimana syarat minimum tidak ditentukan untuk bandara tersebut, langit-iangit 1000 kaki dan jarak pandang 2 kilometer. (b) Pilot tidak dapat terbang dari bandara alternative keeuali kondisi euaea setidaknya sarna dengan syarat minimum yang ditentukan dalarn spesifikasi operasi penyedia angkutan udara untuk bandara alternatif Persediaan Dahan Dakar: Pesawat bertenaga Mesin Turbin, Selain dari Turbo-propeller: Operasi Domestik Tidak seoangpun dapat mengijinkanj memberangkatkan atau menerbangkan pesawat untuk operasi dalarn Indonesia keeuali memiliki bahan bakar yang eukup: (b) Kemudian, untuk menerbangkan dan mendaratkan pada bandara alternatif terjauh (jika diperlukan) untuk bandara yang pesawat tersebut diijinkanj diberangkatkan; dan (e) Kemudian, untuk menerbangkan selama 45 menit pada keeepatan menunggu pada ketinggian 1500 kaki di atas bandara alternatif (atau bandara tujuan jika tidak diperlukan bandara alernatif) dalam suhu udara standar. (d) Tidak seorangpun dapat mengijinkan pesawat menuju bandara dimana bandara alternatif tidak ditentukan dalarn seksi (a)(2) atau seksi (b) keeuali memiliki bahan bakar yang eukup, tekait angin dan kondisi euaea lain yang mungkin terjadi, untuk menerbangkan menuju

13 bandata tersebut dan kemudian untuk terbang selama setidaknya dua jam pada konsumsi bahan bakar jelajah normal Persediaan Bahan Bakar: Pesawat bertenaga Bukan Turbin dan Turbo-propeller: Operasi Internasional (a) Tidak seorangpun dapat memberangkatkan atau menerbangkan pesawat bertenaga bukan turbin atau turbo-propeller kecuali, terkait angin dan kondisi cuaca lain yang mungkin terjadi, memiliki bahan bakar yang cukupd (1) Untuk terbang menuju dan mendarat pada bandara dimana dia diberangkatkan; (2) Kemudian, untuk terbang dan mendarat pada bandara alternatif terjauh yang ditentukan dalam ijin keberangkatan; dan (3) Kemudian, terbang selama 30 menit ditambah 15 persen dari tota waktu yang diperlukan untuk terbang pada konsumsi bahan bakar jelajah normal menuju bandara yang ditentukan dalam paragraph (a) (1) dan (2) seksi ini atau terbang selama 90 menit pada konsumsi bahan bakar jelajah normal, mana yang lebih kecil. (b) Tidak seorangpun dapat menerbangkan pesawat bertenaga bukan turbin atau turbo-propeller menuju bandara dimana bandara alternatif tidak ditentukan dalam seksi (a)(2), kecuali memiliki bahan bakar yang cukup, terkait angin dan perkiraan kondisi cuaca, untuk terbang menuju bandara tersebut dan kemudian terbang selama dua jam pada konsumsi bahan bakar jelajah normal Persediaan Bahan Bakar: Pesawat bertenaga Bukan Turbin dan Turbo-propeller: Operasi Domestik (a) Tidak seorangpun dapat mengijinkan penerbangan atau lepas landas pesawat bukan turbin atau turbo-propeller kecuali, terkait angin dan kondisi cuaca yang mungkin terjadi, memiliki bahan bakar yang cukup: (1) Untuk terbang dan mendarat pada bandara dimana dia diijinkan; (2) Kemudian, terbang menuju dan mendarat pada bandara alternatif yang terjauh yang ditentukan dalam ijin terbang (dimana diperlukan); dan (3) Kemudian, terbang selama 45 menit pada kecepatan menunggu pada ketinggian 1500 kaki di atas bandara alternatif (atau bandara tujuan jika tidak diperlukan bandara alterbnatif) dalam suhu udara standar. (b) Tidak seorangpun dapat mengijinkan pesawat bukan turbin atau turbopropeller menuju bandara dimana bandara alternatif tidak ditentukan dalam seksi (b), kecuali memiliki bahan bakar yang cukup, terkait angin dan kondisi cuaca lain yang mungkin terjadi, untuk terbang menuju bandara tersebut dan kemudian terbang selama dua jam pada konsumsi bahan bakar jelajah normal.

14 Persediaan Bahan Bakar: Pesawat bertenaga Mesin Turbin, selain dari Turbo-propeller: Operasi Internasional (a) Untuk setiap operasi penyesia angkutan udara di luar Indonesia, kecuali diijinkan oleh Dirjen Hubud dalam spesifikasi operasi, tidak seorangpun dapat mengijinkan penerbangan atau menerbangkan pesawat bertenaga mesin turbin (selain dari pesawat bertenaga turbo-propeller] kecuali, terkait angin dan kondisi cuaca lain yang mungkin terjadi, memiliki bahan bakar yang cukup: (1) Untuk terbang menuju dan mendarat pada bandara dimana dia diijinkan; (2) Setelah itu, terbang selama 10 persen dari total waktu yang diperlukan untuk terbang dari bandara keberangkatan menuju dan mendarat pada, bandara dimana dia diijinkan, tapi dengan ketentuan tidak kurang dari konsumsi menunggu 15 menit pada ketinggian 1500 kaki di atas bandara alternatif; (3) Setelah itu, terbang menuju dan mendarat pada bandara alternatif yang terjauh yang ditentukan dalam ijin terbang, jika bandara alternatif diperlukan; dan (4) Setelah itu, terbang selama 30 menit pada kecepatan menunggu pada ketinggian 1500 kaki di atas bandara alternatif (atau bandara tujuan jika bandara alternatif tidak diperlukan) dalam kondisi suhu udara standar. (b) Tidak seorangpun dapat mengijinkan pesawat bertenaga mesin turbin (selain dari pesawat turbo-propeller) menuju bandara dimana bandara alternatif tidak ditentukan dalam seksi (a)(2) atau seksi (b) kecuali memiliki bahan bakar yang cukup, terkait angin dan kondisi cuaca lain yang mungkin teijadi, untuk terbang menuju bandara tersebut dan kemudian terbang selama setidaknya dua jam pada konsumsi bahan bakar jelajah normal. (c) Dirjen Hubud dapat mengamendemen spesifikasi operasl untuk mensyaratkan bahan bakar lebih dari syarat minimum yang dinyatakan dalam paragraph (a) atau (b) seksi ini jika beliau menyatakan bahwa bahan bakar tambahan diperlukan pada rute tersebut terkait dengan keselamatan Faktor-faktor untuk menghitung Bahan Bakar yang diperlukan Tiap orang yang menghitung bahan bakar yang diperlukan untuk tujuan dalam subbagian ini harus mempertimbangkan hal berikut: (a) Angin dan perkiraan kondisi cuaca lain; (b) Keterlambatan lalulintas yang diantisipasi; (c) Satu pendekatan instruman dan kemungkinan gagal pada tujuan; (d) Kondisi lain yang mungkin menghambat pendaratan pesawat tersebut. Sesuai dengan tujuan seksi ini, bahan bakar yang diperlukan adalah sebagai tambahan pada bahan bakar yang tidak dapat digunakan.

15 Persyaratan Cuaca Minimum untuk Lepas landas dan Mendarat: VFR: Penyedia Angkutan Udara Domestik (a) Selain yang ditentukan dalam paragraph (b) seksi ini, terlepas dari ijin dari ATC, tidak seorang pilotpun dapat menerbangkan atau mendaratkan pesawat dalam VFR untuk operasi siang ketika ketinggian awan atau jarak pandang kurang dari 1000 kaki dan satu mil. (b) Jika terdapat batasan permukaan lokal terhadap jarak pandang (mis. asap, debu, hembusan salju atau pasir) jarak pandang untuk operasi siang hari dapat dikurangi menjadi setengah (1/2) mil, jika semua berubah setelah lepas landas dan sebelum mendarat, dan semua penerbangan diluar satu mil dari batasan bandara dapat dicapai di atas atau di luar area batasan jarak pandang permukaan lokal. (c) Syarat minimum cuaca dalam seksi ini tidak berlaku pada operasi VFR pada pesawat sayap tetap pada lokasi dimana syarat cuaca minimum dalam PKPS seksi tidak berlaku (lihat PKPS Bagian 91, Tambahan D, Seksi 3). Syarat minimum cuaca VFR dasar dalam PKPS seksi berlaku pada lokasi-iokasi tersebut Syarat Minimum Cuaca untuk Lepas landas dan Mendarat: IFR: Semua Pemegang Sertifikat (a) Terlepas dari ijin dari ATC, tidak ada pilot yang dapat memulai lepas landas pesawat dalam IFR ketika kondisi cuaca dilaporkan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), sumber yang disetujui oleh BMG, atau sumber yang disetujui oleh Dirjen Hubud, kurang dari yang ditentukan dalam: (1) Spesifikasi operasi pemegang sertifikat; atau (2) PKPS Bagian 91, jik spesifikasi operasi pemegang sertifikat tidak menentukan persyaratan minimum lepas landas untuk bandara tersebut. (b) Kecuali jika ditentukan dalam paragraph (d) seksi ini, pilot tidak dapat melanjutkan pendakatan setelah marka pendekatan final, atau ketika marka pendekatan final tidak digunakan, memulai bagian pendekatan final dari prosedur pendekatan instrument: (1) Pada bandara manapun, kecuali Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) sumber yang disetujui oleh BMG, atau sumbe yang disetujui oleh Dirjen Hubud, mengeluarkan laporan cuaca untuk bandara tersebut; dan (2) Pada bandara dalam Indonesia kecuali laporan cuaca terbaru untuk bandara tersebut dikeluarkan oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), sumber yang disetujui oleh BMG, atau sumber yang disetujui oleh Dirjen Hubud, melaporkan jarak pandang sama atau lebih dari jarak pan dang minimum yang ditentukan untuk prosedur tersebut. (c) Jika pilot telah memulai segmen pendekatan final dari prosedur pendekatan instrument sesuai dengan paragraph (b) seksi ini dan setelah menerima laporan cuaca terbaru yang menunjukkan kondisi dibawah syarat minimum, pilot tersebut dapat melanjutkan pendekatan menuju DH atau MDA. Saat 191

16 mencapai DH atau pada MDA, dan pada waktu sebelum titik pendekatan gagal, pilot dapat melanjutkan pendekatan dibawah DH atau MDA dan menyentuh landasan jika: (1) Pesawat terse but terus pada POSlSl dimana penurunan untuk pendaratan pada landasan yang akan digunakan dapat dilakukan pada kecepatan menurun normal menggunakan pergerakan normal, dan dimana kecepatan penurunan tersebut akan membuat sentuhan dengan landasan terjadi dalam wilayah sentuhan landasan yang akan digunakan untuk pendaratan; (2) Jarak pandang penerbangan tidak kurang dari jarak pandang yang ditentukan dalam prosedur pendekatan instrument baku yang sedang digunakan; (3) Selain untuk pendekatan Kategori II dan Kategori III dimana persyaratan referensi visual yang penting ditentukan oleh ijin Dirjen Hubud, setidaknya satu dari referensi visual berikut untuk landasan yang akan digunakan jelas terlihat dan dapat diidentifikasi oleh pilot: (i) System lampu pendekatan, kecuali dimana pilot tidak akan turun dibawah 100 kaki di atas elevasi area sentuh landasan menggunakan lampu pendekatan sebagai referensi kecuali garis pembatas merah atau garis sisi merah juga jelas terlihat dan dapat diidentifikasi. (ii) Threshold. (iii) Penanda threshold. (iv) Lampu threshold. (v) Lampu identifikasi ujung landasan. (vi) Indicator kemiringan pendekatan visual. (vii) Wilayah sentuh landasan atau penanda wilayah sentuh landasan. (viii)lampu wilayah sentuh landasan. (ix) Penanda landasan atau landasan. (x) Lampu landasan; dan (4) Ketika pesawat pada prosedur pendekatan non-presisi lurus yang mencakup titik penurunan visual, pesawat tersebut telah mancapai titik penurunan visual, kecuali jika pesawat tersebut tidak dilengkapi at au dapat mencapai titik tersebut, atau penurunan menuju landasan tidak dapat dilakukan menggunakan prosedur atau kecepatan penurunan normal jika penurunan ditunda sampai mencapai titik tersebut. (d) Sesuai dengan tujuan seksi ini, segmen pendekatan akhir dimulai pada alat bantu atau fasilitas pendekatan akhir yang ditentukan dalam prosedur pendekatan instrument. Ketika alat bantu pendekatan akhir tidak ditentukan untuk prosedur yang mencakup penggantian prosedur, segmen pendekatan akhir dimulai pada titik dimana pergantian prosedur dilengkapi dan pesawat telah menghadap bandara pada garis pendekatan akhir dalam jarak yang ditentukan dalam prosedur tersebut. (e) Kecuali jika diijinkan dalam spesifikasi operasi pemegang sertifikat, tiap pilot yang melakukan lepas landas IFR, pendekatan, atau pendaratan pada bandara asing harus memenuhi prosedur pendekatan instrument yang

17 berlaku dan persyartan cuaca mmlmum yang ditentukan oleh pihak berwenang terhadap bandara tersebut [Dicadangkan] [Dicadangkan] Dalam melaksanakan operasi sesuai seksi sampai , nilai tinggi awan dan jarak pandang dalam badan utama kendali laporan cuaca terbaru untuk lepas landas dan pendaratan VFR dan IFR dan untuk prosedur pendekatan instrument pada semua landasan sebuah bandara. Namun, jika laporan cuaca terbaru, termasuk laporan lisan dari menara pengawas, mengandung nilai jarak pandang yang ditentukan sebagai jarak pandang landasan atau batas visual landasan untuk landasan tertentu pada sebuah bandara, kendali nilai khusus untuk pendaratan dan lepas landas VFR dan IFR tersebut dan pendekatan instrument lurus untuk landasan tersebut Peraturan Ketinggian Terbang (a) Umum. Terlepas dari seksi atau peraturan yang berlaku diluar Indonesia, tidak seorangpun dapat mengoperasikan pesawat di bawah syarat minimum yang ditentukan dalam paragraph (b) dan (c) seksi ini, kecuali jika penting untuk lepas landas atau pendaratan, atau kecuali jika, setelah mempertimbangkan karakter terrain, kualitas dan kuantitas pelayanan meteorology, fasilitas navigasi yang tersedua, dan kondisi penerbangan lain, Dirjen Hubud menentukan syarat minimum lain untuk rute atau bagian rute dimana beliau menyatakan pelaksanaan penerbangan yang aman memerlukan ketinggian lain. Di luar Indonesia syarat minimum yang ditentukan dalam seksi ini berlaku kecuali syarat minimum yang lebih tinggi ditentukan dalam spesifikasi operasi operator atau penyedia angkutan udara at au oleh Negara asing dimana pesawat tersebut beroperasi. (b) Operasi VFR siang hari. Bukan Domestik, penyedia angkutan udara pesawat Negara atau tambahan dapat mengoperasikan pesawat dalam VFR selama siang hari pada ketinggian kurang dari 1000 kaki di atas permukaan atau kurang dari 1000 kaki dari gunung, bukit, atau hambatan penerbangan lainnya. (c) Operasi IFR. Tidak seorangpun dapat mengoperasikan pesawat dalam IFR pada ketinggian kurang dari 1000 kaki di atas halangan tertinggi dalam j arak horizontal lima mil dari pusat jalur yang akan diterbangi, atau, dalam area pegunungan yang ditentukan, kurang dari 2000 kaki di atas halangan tertinggi dalam jarak horizontal lima mil dari pusat jalur yang akan diterbangi. (d) Operasi siang hari di bawah syarat ketinggian jelajah minimum. Seseorang dapat me1akukan operasi siang hari dalam pesawat pada ketinggian terbang lebih rendah dari syarat minimum ketinggianjelajah IFRjika: (1) Operasi terse but dilakukan setidaknya 1000 kaki di atas puncak broken yang lebih rendah atau tutup awan overcast;

18 (2) Puncak tutup awan yang lebih rendah umumnya seragam dan datar; (3) Jarak pandang penerbangan setidaknya lima mil; dan (4) Dasar broken yang lebih tinggi atau tutup awan overcast umumnya seragam dan datar dan setidaknya 1000 kaki di atas ketinggian jelajah IFR untuk segmen rute tersebut. Ketika me1akukan pendekatan awal menuju fasilitas navigasi dalam IFR, tidak seorangpun dapan turun di bawah ketinggian minimum untuk pendekatan awal (sesuai dengan prosedur pendekatan instrument untuk fasilitas tersebut) sampai dia benar-benar telah melewati fasilitas tersebut Tanggung Jawab untuk Ijin Pemberangkatan: Penyedia Angkutan Udara Pesawat Negara dan Domestik Tiap penyedia angkutan udara domestic dan pesawat Negara harus menyiapkan ijin pemberangkatan untuk tiap penerbangan antara titik tertentu, berdasarkan pada informasi yang berikan oleh petugas operasi penerbangan yang berwenang. Pilot yang berwenang dan petugas operasi penerbangan yang berwenang harus menandatangani ijin tersebut hanya jika mereka berdua percaya bahwa penerbangan dapat dilakukan dengan selamat. Petugas operasi penerbangan dapat mendelegasikan wewenang untuk menandatangani ijin untuk penerbangan tertentu, tapi dia tidak boleh mendelegasikan wewenang untuk memberangkatkan. Tiap pemegang sertifikat bertanggung jawab untuk menyiapkan dan menjaga keakuratan catatan muatan sebelum tiap lepas landas. Formulir tersebut harus disiapkan dan ditandatangani untuk tiap penerbangan oleh pegawai pemegang sertifikat yang memiliki tugas mengawasi bongkar muat pesawat dan menyiapkan formulir catatan muatan atau oleh orang lain yang di beri wewenang oleh pemegang sertifikat Rencana Terbang: VFR dan IFR: Penyedia Angkutan Udara Tambahan Tidak seorangpun dapat menerbangkan pesawat kecuali pilot yang berwenang telah mengisi rencana terbang, yang mengandung informasi yang tepat yang dipersyaratkan oleh bagian 91, dengan stasiun komunikasi Ditjen Hubud terdekat atau stasiun militer yang sesuai at au, ketika beroperasi di luar Indonesia, dengan otoritas lain yang sesuai. Namun, jika fasilitas komunikasi tidak tersedia, pilot yang berwenang harus mengisi rencana terbang segera mungkin setelah pesawat terbang. Rencana terbang harus terus berlaku untuk semua bagian penerbangan.

19 Subbagian ini menerangkan persyaratan untuk persiapan dan perawatan catatan dan laporan untuk semua pemegang sertifikat. (a) Tiap pemegang sertifikat harus: (1) Menjaga catatan terbaru ten tang awak pesawat dan tiap petugas operasi penerbangan (hanya untuk domestik pesawat resmi negara) yang menunjukkan apakah awak pesawat atau petugas operasi penerbangan tersebut memenuhi seksi PKPS yang berlaku termasuk, tapi tidak terbatas pada, pemeriksaan rute dan kecakapan, kualifikasi ruta dan pesawat, pelatihan, pemeriksaan fisik yang diperlukan, penerbangan, tugas, dan catatan waktu istirahat; dan (2) Catatan tiap tindakan yang diambil terkait dengan pemutusan kerja atau diskualifikasi fisik atau profesi dari awak kokpit atau petugas operasi penerbangan (hanya untuk domestik dan pesawat resmi negara) dan menjaga catatan tersebut setidaknya enam bulan setelahnya. (b) Penyedia angkutan udara tambahan. Tiap penyedia angkutan udara tambahan dan operator angkutan udara niaga harus menjaga catatan yang dipersyaratkan dalam Paragraf (a) seksi ini dan landasan operasi pokoknya, atau pada lokasi lain yang digunakan dan disetujui oleh Dirjen Hubud. (c) Sistem pencatatan komputer yang disetujui oleh Dirjen Hubud dapat digunakan dalam memenuhi persyaratan dalam Paragraf (a) seksi ini. Tiap penyedia angkutan udara harus menjaga daftar tiap pesawat yang dioperasikan dan harus mengirimkan salin an catatan tersebut dan tiap perubahannya kepada Dirjen Hubud. Pesawat angkutan udara lain yang dioperasikan dalam perjanjian interchange dapat dimasukkan melalui referensi Dispatch Release: Penyedia angkutan udara Domestik dan pesawat Resmi Negara (a) Dispatch release bisa dalam berbagai bentuk namun harus mengandung setidaknya informasi terkait tiap penerbangan berikut: (1) Nomor identifikasi pesawat. (2) Jumlah perjalanan atau jumlah penerbangan. (3) Bandara keberangkatan, pemberhentian sementara, bandara tujuan, dan bandara alternatif.

20 (4) Pernyataan jenis operasi (mis. IFR, VFR).. (5) Persediaan bahan bakar minimum. (b) Dispatch release terse but harus mengandung, dilengkapi dengan, laporan euaea, ramalan euaea yang tersedia, atau kombinasi keduanya, pada bandara tujuan, pemberhentian sementara, dan bandara alternatif, yang terbaru yang tersedia pada waktu ijin ditandatangani oleh pilot yang berwenang dan petugas operasi penerbangan. Dapat meneakup laporan atau ramalan euaea tambahan yang dianggap perlu atau diinginkan oleh pilot yang berwenang atau petugas operasi penerbangan. (e) Dispatch release harus mengandung, atau dilengkapi dengan, eatatan pilot yang berwenang ketika ada bahan-bahan berbahaya dalam pesawat Bentuk ijin terbang: Penyedia angkutan udara Tambahan (a) Selain yang diberikan dalam paragraf (e) seksi ini, ijin terbang dapat dalam bentuk apapun tapi harus mengandung setidaknya informasi tentang tiap penerbangan berikut: (1) Nama perusahaan atau organisasi. (2) Buatan, model, dan tanda registrasi pesawat yang sedang digunakan. (3) Nomor penerbangan atau perjalanan, dan tanggal penerbangan. (4) Nama tiap awak kokpit, pramugarij a, dan pilot yang ditunjuk sebagai pilot yang berwenang. (5) Bandara keberangkatan, bandara tujuan, bandara alternatif, dan rute. (6) Persediaan bahan bakar minimum. (7) Pernyataan jenis operasi (mis. IFR, VFR). (b) Ijin terbang pesawat tersebut harus mengandung, atau dilengkapi, laporan cuaca, ramalan cuaca yang tersedia, atau kombinasi keduanya, pada bandara tujuan, dan bandata alternatif, yang terbaru yang tersedia pada waktu ijin ditandatangani. Dapat mencakup laporan atau ramalan cuaea tambahan yang dianggap perlu atau diinginkan oleh pilot yang berwenang. (e) Dispatch release tersebut harus mengandung, atau dilengkapi dengan, eatatan pilot yang berwenang ketika terdapat bahan-bahan berbahaya dalam pesawat. (d) Tiap penyedia angkutan udara domestik atau pesawat resmi kenegaraan sesuai peraturan dalam bagian ini yang berlaku pada penyedia angku tan udara tambahan harus memenuhi ijin terbang atau dispatch release yang dipersyaratkan untuk operasi terjadual dalam subbagian ini.

BatasaD Operasi Pilot dad Persyaratan Berpasangan

BatasaD Operasi Pilot dad Persyaratan Berpasangan (b) 1tiap pilot yang bertindak sebagai pilot dalam kapasitas selain yang disebutkan dalam paragraf (a) seksi ini harus memegang setidaknya sertifikat commercial pilot dan rating instrument. 121.438 BatasaD

Lebih terperinci

Catatan muatan harus mengandung informasi tentang muatan pesawat pada waktu lepas landas sebagai berikut:

Catatan muatan harus mengandung informasi tentang muatan pesawat pada waktu lepas landas sebagai berikut: Catatan muatan harus mengandung informasi tentang muatan pesawat pada waktu lepas landas sebagai berikut: (a) Bobot pesawat, bahan bakar dan oli, kargo dan bagasi, penumpang dan awak pesawat. (b) Bobot

Lebih terperinci

Pela~ihan awal dan transisi dan persyaratan pemeriksaan: instruktur terb~g (pesawat), instruktur terbang (simulator).

Pela~ihan awal dan transisi dan persyaratan pemeriksaan: instruktur terb~g (pesawat), instruktur terbang (simulator). pesawat, dalam simulator terbang, atau peralatan pelatihan terbang untuk jenis pesawat tertentu. ~2)Seorang instruktur terbang (simulator) adalah orang yang memiliki kualifikasi untuk memberikan instruksi

Lebih terperinci

63.42 Lisensl Juru mesin yang dlberlkan berdasarkan Lisensl Juru mesln Asing

63.42 Lisensl Juru mesin yang dlberlkan berdasarkan Lisensl Juru mesln Asing (b) Setelah yang bersangkutan menerima latihan atau instruksi tambahan (terbang, pelatihan sintetik, atau pelatihan darat/dalam kelas, atau kombinasinya) yang dianggap per/u, dalam opini/pendapat Direktur

Lebih terperinci

2 pengenaan sanksi administratif; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri

2 pengenaan sanksi administratif; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.289,2015 KEMENHUB. Sertifikasi. Operasi. Perusahaan Angkutan Udara. Komuter. Charter. Persyarata. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PM 36 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PM 36 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR **ft'«mbp MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PM 36 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR PM 28 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

-9- keliru. Personel AOC melakukan landing yang menyimpang dari prosedur

-9- keliru. Personel AOC melakukan landing yang menyimpang dari prosedur -9-4.35. 4.36. 4.37. 4.38. 4.39. 4.40. 4.41 4.42. 4.43. 4.44. 4.45. 4.46. 4.47. 4.48. 4.49. 4.50. 4.51. 4.52. 4.53. 4.54. 4.55. 4.56. 4.57. 4.58. 4.59. Personel AOC melakukan approach to landing yang bertentangan

Lebih terperinci

Keselamatan Pekerjaan Bandar Udara

Keselamatan Pekerjaan Bandar Udara f. jika memungkinkan, kompeten dalam menggunakan alat komunikasi radio dan mengerti instruksi-instruksi yang disampaikan melalui radio. 10.11. Keselamatan Pekerjaan Bandar Udara 10.11.1. Pendahuluan 10.11.1.1.

Lebih terperinci

KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 200 Tanggal 15 Februari 2001 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 200 Tanggal 15 Februari 2001 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 200 Tanggal 15 Februari 2001 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun

Lebih terperinci

C. Klasifikasi Ruang Udara dan Struktur Rute. D. Perencanaan Terbang/Flight Plans.

C. Klasifikasi Ruang Udara dan Struktur Rute. D. Perencanaan Terbang/Flight Plans. C. Klasifikasi Ruang Udara dan Struktur Rute. D. Perencanaan Terbang/Flight Plans. (1) Domestik. (2) International. E. Pemisahan minimum/separation Minimums. F. Prioritas Penanganan/Priority Handling.

Lebih terperinci

(b) lisensi juru mesin (dengan suatu tambahan amandemen) yang dikeluarkan. dibawah PKPS bagian berakhir pada setelah 24 bulan kalender di mana

(b) lisensi juru mesin (dengan suatu tambahan amandemen) yang dikeluarkan. dibawah PKPS bagian berakhir pada setelah 24 bulan kalender di mana Kecuali sebagaimana ditentukan dalam Bagian 63,23 dan ayat (b) dari Bagian, Iisensi atau rating yang dikeluarkan d i bawah bagian ini berlaku sampai dengan Iisensi tersebut diserahkan kembali, ditangguhkan,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang

Lebih terperinci

tanpa persetujuan khusus Ditjen Hubud.

tanpa persetujuan khusus Ditjen Hubud. bandar udara Hubud. tanpa persetujuan khusus Ditjen 7.1.3.2. Peralatan dan instalasi yang dibutuhkan untuk tujuan navigasi penerbangan harus mempunyai massa dan ketinggian minimum yang dapat dipraktekkan,

Lebih terperinci

Tanggung Jawab Pengangkut di Beberapa Moda Transportasi

Tanggung Jawab Pengangkut di Beberapa Moda Transportasi Perkeretaapian UU No.23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian Pasal 157 (1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian bertanggung jawab terhadap pengguna jasa yang mengalami kerugian, lukaluka, atau meninggal dunia

Lebih terperinci

MANAJEMEN TRANSPORTASI UDARA DAN LAUT

MANAJEMEN TRANSPORTASI UDARA DAN LAUT MANAJEMEN TRANSPORTASI UDARA DAN LAUT Dr.Eng. Muhammad Zudhy Irawan, S.T., M.T. MSTT - UGM MANAJEMEN TRANSPORTASI UDARA Dr.Eng. Muhammad Zudhy Irawan, S.T., M.T. MSTT - UGM 1 MATERI PEMBELAJARAN Perkembangan

Lebih terperinci

Mengenal Lebih Dekat Informasi Cuaca Penerbangan

Mengenal Lebih Dekat Informasi Cuaca Penerbangan Mengenal Lebih Dekat Informasi Cuaca Penerbangan Oleh: Tuwamin Mulyono Kecelakaan pesawat Air Asia dengan nomor penerbangan QZ 8501 telah menyedot sebagian besar perhatian kita oleh pemberitaan tentang

Lebih terperinci

No Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 369 Undang- Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, dan Undang- Undang Nomor 22

No Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 369 Undang- Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan, dan Undang- Undang Nomor 22 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5448 TRANSPORTASI. Darat. Laut. Udara. Kecelakaan. Investigasi. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 156) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2001 TENTANG KEAMANAN DAN KESELAMATAN PENERBANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerbangan dengan pesawat terdiri dari 3 (tiga) fasa, yaitu lepas landas (take-off), menempuh perjalanan ke tujuan (cruise to destination), dan melakukan pendaratan

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA DEPARTMEN PERHUBUNGAN PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (PKPS)

REPUBLIK INDONESIA DEPARTMEN PERHUBUNGAN PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (PKPS) REPUBLIK INDONESIA DEPARTMEN PERHUBUNGAN PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (PKPS) BAGIAN 101 BALON UDARA YANG DITAMBATKAN, LAYANG- LAYANG, ROKET TANPA AWAK DAN BALON UDARA BEBAS TANPA AWAK LAMPIRAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA Nomor 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan

Lebih terperinci

kegiatan angkutan udara bukan niaga dan lampirannya beserta bukti

kegiatan angkutan udara bukan niaga dan lampirannya beserta bukti -3-1.26. 1.27. 1.28. 1.29. 1.30. 1.31. 1.32. 1.33. 1.34. 1.35. 1.36. 1.37. 1.38. Perusahaan angkutan udara asing dan badan usaha angkutan udara yang melaksanakan kerjasama penerbangan pada rute luar negeri

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA MENTERI PERHUBUNGAN

REPUBLIK INDONESIA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA MENTERI PERHUBUNGAN PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (P.K.P.S.) BAGIAN 143 SERTIFIKASI DAN PERSYARATAN PENGOPERASIAN BAGI PENYELENGGARA PELATIHAN PELAYANAN LALU LINTAS PENERBANGAN

Lebih terperinci

MARKING LANDASAN DAN PERLAMPUAN

MARKING LANDASAN DAN PERLAMPUAN MARKING LANDASAN DAN PERLAMPUAN Sejak awal mula penerbangan, pilot selalu memakai tanda-tanda di darat sebagai alat bantu navigasi ketika mengadakan approach ke sebuah lapangan terbang. Fasilitas bantu

Lebih terperinci

2.4. Pertentangan dengan Standar Lainnya 2.5. Penggunaan Kode Referensi Bandar Udara ICAO untuk Menetapkan Standar

2.4. Pertentangan dengan Standar Lainnya 2.5. Penggunaan Kode Referensi Bandar Udara ICAO untuk Menetapkan Standar kesesuaian dengan standar yang berlaku saat ini dapat dicapai. 2.3.3. Standar yang mengandung frasa seperti jika dapat diterapkan, jika secara fisik dapat diterapkan, dll., tetap membutuhkan pengecualian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] Pasal 402 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN [LN 2009/1, TLN 4956] BAB XXII KETENTUAN PIDANA Pasal 401 Setiap orang yang mengoperasikan pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki

Lebih terperinci

Tabel : Karakteristik lampu obstacle

Tabel : Karakteristik lampu obstacle kawat atau kabel tersebut dapat membahayakan pesawat udara. 9.35.3. Benda-benda yang perlu diberi lampu di luar Permukaan Batas halangan/ols (di luar batas lateral OLS) 9.35.3.1. Kawat, kabel, dan lain-lain

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : SKEP / 195 / IX / 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERSETUJUAN TERBANG (FLIGHT APPROVAL)

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : SKEP / 195 / IX / 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERSETUJUAN TERBANG (FLIGHT APPROVAL) DEPARTEMEN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA Nomor : SKEP / 195 / IX / 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERSETUJUAN TERBANG (FLIGHT APPROVAL)

Lebih terperinci

2016, No Penerbangan (Aeronautical Meteorological Information Services); Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

2016, No Penerbangan (Aeronautical Meteorological Information Services); Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1509, 2016 KEMENHUB. Pelayanan Informasi Meteorologi Penerbangan. Bagian 174. Peraturan Keselamatan Penerbangan. Perubahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481]

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481] UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN [LN 1992/53, TLN 3481] BAB XIII KETENTUAN PIDANA Pasal 54 Barangsiapa mengoperasikan pesawat udara melalui kawasan udara terlarang sebagaimana dimaksud

Lebih terperinci

Gambar 7.2-5: Zona Bebas Obstacle (Obstacle Free Zone)

Gambar 7.2-5: Zona Bebas Obstacle (Obstacle Free Zone) 7.2.2.7. Zona Bebas Obstacle Permukaan inner approach, inner tranisitional dan balked landing, ketiganya mendefinsikan volume ruang udara di sekitar precision approach runway, yang dikenal sebagai zona

Lebih terperinci

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA

KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 111/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UKRAINA *47919 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2012 tentang

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2012 tentang KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA INSTRUKSI DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : INST 001 TAHUN 2017 TENTANG PENINGKATAN KEWASPADAAN DALAM MENGHADAPI MUSIM HUJAN DAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.716, 2015 KEMENHUB. Angkutan Udara Niaga. Keterlambatan Penerbangan. Penanganan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 89 TAHUN 2015 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. efisien, sehingga pesawat udara adalah pilihan yang tepat dalam transportasi.

BAB I PENDAHULUAN. efisien, sehingga pesawat udara adalah pilihan yang tepat dalam transportasi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesawat udara 1 merupakan sarana perhubungan yang cepat dan efisien, sehingga pesawat udara adalah pilihan yang tepat dalam transportasi. Pesawat udara memiliki karakteristik

Lebih terperinci

63.83 Kursus Lisensi Personel penunjang operasi pesawat udara darat: Permohonan, Masa berlaku, dan Persyaratan Umum Lainnya

63.83 Kursus Lisensi Personel penunjang operasi pesawat udara darat: Permohonan, Masa berlaku, dan Persyaratan Umum Lainnya (b) Pemohon persetujuan atas kursus personel penunjang operasi pesawat udara darat (FOO) harus menyerahkan suatu uraian singkat yang menggambarkan dan topic utama dan sub topik yang akan dibahas dan masing-masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penerbangan merupakan sarana transportasi yang sudah dalam kondisi

BAB I PENDAHULUAN. Penerbangan merupakan sarana transportasi yang sudah dalam kondisi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penerbangan merupakan sarana transportasi yang sudah dalam kondisi tidak aman (unsafe condition). Keselamatan merupakan hal yang harus diutamakan dalam dunia penerbangan.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG K E P E L A U T A N PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG K E P E L A U T A N PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2000 TENTANG K E P E L A U T A N PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran diatur

Lebih terperinci

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2 3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.561, 2014 KEMENHUB. Penetapan. Biaya. Navigasi Penerbangan. Formulasi. Mekanisme. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 17 TAHUN 2014 TENTANG FORMULASI

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. terbang sampai dengan tujuan. Sebelum melakukan penerbangan pilot harus

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. terbang sampai dengan tujuan. Sebelum melakukan penerbangan pilot harus 46 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ATC merupakan pengatur lalu lintas udara sejak pesawat itu akan terbang sampai dengan tujuan. Sebelum melakukan penerbangan pilot harus membuat flat planning

Lebih terperinci

PMG Pelaksana Lanjutan Stasiun Meteorologi Nabire

PMG Pelaksana Lanjutan Stasiun Meteorologi Nabire GUNCANGAN PADA PERISTIWA TURBULENSI PESAWAT BATIK AIR ID 6890 JAKARTA - MEDAN BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA STUDI KASUS 24 OKTOBER 2017 STASIUN Eusebio METEOROLOGI Andronikos Sampe, NABIRE S.Tr PMG Pelaksana

Lebih terperinci

NOMOR: PM 17 TAHUN 2014

NOMOR: PM 17 TAHUN 2014 MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: PM 17 TAHUN 2014 TENTANG FORMULASI DAN MEKANISME PENETAPAN BIAYA PELAYANAN JASA NAVIGASI PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH DAN PEMERINTAH UKRAINA Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Ukraina di dalam Persetujuan ini disebut sebagai Para Pihak pada Persetujuan; Sebagai peserta

Lebih terperinci

HAK PENUMPANG JIKA PESAWAT DELAY

HAK PENUMPANG JIKA PESAWAT DELAY HAK PENUMPANG JIKA PESAWAT DELAY www.m.tempo.com Maskapai penerbangan Lion Air kembali dilanda masalah keterlambatan alias delay. Setelah mengalami keterlambatan hingga 25 jam di Bandara Soekarno-Hatta,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bandar Udara dan Sistem Lapangan Terbang... Bandar udara Menurut PP RI NO 70 Tahun 00 Tentang Kebandarudaraan Pasal Ayat, bandar udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERl PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PM 44 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN MENTERl PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PM 44 TAHUN 2015 TENTANG MENTERl PERHUBUNGAN «REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERl PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PM 44 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL BAGIAN 173 (CIVIL AVIATION SAFETYREGULATION

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 33 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 33 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 33 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENETAPAN JALUR DAN SYARAT KETINGGIAN PENERBANGAN UNTUK KEGIATAN WISATA UDARA ATAU OLAH RAGA DIRGANTARA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

9.4. Aerodrome Beacon

9.4. Aerodrome Beacon divariasi intensitasnya, misal untuk menghindari kilauan. Jika lampu ini akan dibedakan dari lampu kuning, lampu tersebut harus didisain dan dioperasikan sedemikian rupa sehingga: a. koordinat x warna

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (CPOB). Hal ini didasarkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (CPOB). Hal ini didasarkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Industri farmasi diwajibkan menerapkan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Hal ini didasarkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan RI. No.43/MENKES/SK/II/1988 tentang CPOB dan Keputusan

Lebih terperinci

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011

Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011 Standar dan Regulasi terkait Perencanaan, Perancangan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Juli 28, 2011 Posted by jjwidiasta in Airport Planning and Engineering. Standar dan regulasi terkait dengan

Lebih terperinci

MANAJEMEN KAPASITAS RUNWAY

MANAJEMEN KAPASITAS RUNWAY MANAJEMEN KAPASITAS RUNWAY Dr.Eng. Muhammad Zudhy Irawan, S.T., M.T. MSTT - UGM FAKTOR PENGARUH KAPASITAS RUNWAY Beberapa faktor pengaruh antara lain: 1. Jumlah runway 2. Pemisahan pesawat yang landing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bandara atau bandar udara yang juga populer disebut dengan istilah airport

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bandara atau bandar udara yang juga populer disebut dengan istilah airport BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bandar Udara Bandara atau bandar udara yang juga populer disebut dengan istilah airport merupakan sebuah fasilitas di mana pesawat terbang seperti pesawat udara dan helikopter

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN OBJEK

BAB II TINJAUAN OBJEK 18 BAB II TINJAUAN OBJEK 2.1. Tinjauan Umum Stasiun Kereta Api Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 9 dan 43 Tahun 2011, perkeretaapian terdiri dari sarana dan prasarana, sumber daya manusia, norma,

Lebih terperinci

Tentang TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ANGKUTAN UDARA. Oktober 2011

Tentang TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ANGKUTAN UDARA. Oktober 2011 Tentang TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT ANGKUTAN UDARA Oktober 2011 1 LATAR BELAKANG Memberikan pemahaman kepada penyedia dan pengguna jasa angkutan udara tentang arti sebuah tiket, surat muatan udara dan claim

Lebih terperinci

AIRBLEED INDICATOR FAULTILLUMINATE AKIBAT GANGGUAN PADA PRESSURE REGULATOR PADA SISTEM DE-ICING PESAWAT ATR

AIRBLEED INDICATOR FAULTILLUMINATE AKIBAT GANGGUAN PADA PRESSURE REGULATOR PADA SISTEM DE-ICING PESAWAT ATR AIRBLEED INDICATOR FAULTILLUMINATE AKIBAT GANGGUAN PADA PRESSURE REGULATOR PADA SISTEM DE-ICING PESAWAT ATR 42-500 Reza 1, Bona P. Fitrikananda 2 Program Studi Motor Pesawat Terbang Fakultas Teknik Universitas

Lebih terperinci

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a No.12, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAHANAN. RI. Wilayah Udara. Pengamanan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6181) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Kawasan keselamatan operasi penerbangan

Kawasan keselamatan operasi penerbangan Standar Nasional Indonesia Kawasan keselamatan operasi penerbangan ICS 93.120 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... iii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah

Lebih terperinci

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN

KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 112/1998, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK UZBEKISTAN *47933 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES)

Lebih terperinci

2013, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negar

2013, No Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negar LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.156, 2013 TRANSPORTASI. Darat. Laut. Udara. Kecelakaan. Investigasi. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5448) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PENGERTIAN KAPAL SEBAGAI BARANG DALAM PENEGAKAN HUKUM OLEH PEJABAT DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

PENGERTIAN KAPAL SEBAGAI BARANG DALAM PENEGAKAN HUKUM OLEH PEJABAT DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PENGERTIAN KAPAL SEBAGAI BARANG DALAM PENEGAKAN HUKUM OLEH PEJABAT DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI Oleh : Bambang Semedi (Widyaiswara Pusdiklat Bea dan Cukai) Pendahuluan Dengan semakin majunya dunia

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1306, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Pesawat Udara. Rusak. Bandar Udara. Pemindahan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM.128 TAHUN 2015 TENTANG PEMINDAHAN PESAWAT

Lebih terperinci

PENINGKATAN FUNGSI PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN

PENINGKATAN FUNGSI PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: PM 22 TAHUN 2015 TENTANG PENINGKATAN FUNGSI PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN OLEH KANTOR OTORITAS BANDAR UDARA

Lebih terperinci

Standar Risiko Penerbangan Dasar Sektor Sumber Daya

Standar Risiko Penerbangan Dasar Sektor Sumber Daya Flight safety foundation Standar Risiko Penerbangan Dasar Sektor Sumber Daya Versi 3 Isi Semua 1.0: Umum 6 2.0: Menyimpang dari Landas Pacu 8 3.0: Kehabisan Bahan Bakar 9 4.0: Kontaminasi Bahan Bakar 10

Lebih terperinci

PROSEDUR PENERBITAN SERTIFIKAT PENDAFTARAN DAN SERTIFIKAT KELAIKAN UDARA PERTAMA DI INDONESIA

PROSEDUR PENERBITAN SERTIFIKAT PENDAFTARAN DAN SERTIFIKAT KELAIKAN UDARA PERTAMA DI INDONESIA PROSEDUR PENERBITAN SERTIFIKAT PENDAFTARAN DAN SERTIFIKAT KELAIKAN UDARA PERTAMA DI INDONESIA A. Dasar hukum : 1. UU No. 15 Tahun 1992, tentang Penerbangan. 2. PP No. 3 Tahun 2001, tentang Keselamatan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) memiliki lebih kurang 17.500 pulau, dengan total panjang garis pantai mencapai 95.181 km

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (P.K.P.S)

REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (P.K.P.S) REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN PERHUBUNGAN PERATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN SIPIL (P.K.P.S) SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 20 TAHUN 2009 TANGGAL : 17 FEBRUARI

Lebih terperinci

1998 Amandments to the International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979 (Resolution MCS.70(69)) (Diadopsi pada tanggal 18 Mei 1998)

1998 Amandments to the International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979 (Resolution MCS.70(69)) (Diadopsi pada tanggal 18 Mei 1998) 1998 Amandments to the International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979 (Resolution MCS.70(69)) (Diadopsi pada tanggal 18 Mei 1998) Adopsi Amandemen untuk Konvensi Internasional tentang Pencarian

Lebih terperinci

NOTAM Kalimat lengkap untuk semua NOTAM yang direncanakan, terkait dengan pekerjaan aerodrome harus dicantumkan dalam MOWP.

NOTAM Kalimat lengkap untuk semua NOTAM yang direncanakan, terkait dengan pekerjaan aerodrome harus dicantumkan dalam MOWP. 10.13.4. NOTAMs Pembatasan Operasi Pesawat Udara dan Penerbitan NOTAM 10.13.4.1. Pada bagian MOWP ini harus berupa format yang memungkinkan adanya penerbitan terpisah untuk operator pesawat udara dan memudahkan

Lebih terperinci

Pemberian tanda dan pemasangan lampu halangan (obstacle lights) di sekitar bandar udara

Pemberian tanda dan pemasangan lampu halangan (obstacle lights) di sekitar bandar udara Standar Nasional Indonesia Pemberian tanda dan pemasangan halangan (obstacle lights) di sekitar bandar udara ICS 93.120 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup

Lebih terperinci

dan 30 m jika code number runway 1 atau 2. Lihat Gambar Gambar : Runway exit sign

dan 30 m jika code number runway 1 atau 2. Lihat Gambar Gambar : Runway exit sign dan 30 m jika code number runway 1 atau 2. Lihat Gambar 8.14-21. Gambar8.14-20: Runway exit sign 8.14.8.10 Gambar 8.14-21: Dimensi tanda(sign dimensions) 8.14.8.11 Runway vacated sign 8.14.8.11.1 Runway

Lebih terperinci

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN *46909 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Transportasi udara adalah salah satu jenis transportasi yang sangat efektif bagi

I. PENDAHULUAN. Transportasi udara adalah salah satu jenis transportasi yang sangat efektif bagi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Transportasi udara adalah salah satu jenis transportasi yang sangat efektif bagi konsumen, karena dapat melakukan perjalanan yang jauh hanya dalam waktu yang relatif

Lebih terperinci

Light beams dan sudut pengaturan elevasi PAPI dan APAPI (Light beams and angle of elevation setting of PAPI and APAPI) Gambar 9.

Light beams dan sudut pengaturan elevasi PAPI dan APAPI (Light beams and angle of elevation setting of PAPI and APAPI) Gambar 9. c. Jika sumbu sistem tidak paralel dengan garis tengah runway maka sudut displacement dan arah displacement, yaitu kiri atau kanan, harus diindikasikan; d. Nominal Sudut kemiringan approach. Untuk PAPI

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP / 136 / VII / 2010 TENTANG TANDA PENGENAL INSPEKTUR PENERBANGAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP / 136 / VII / 2010 TENTANG TANDA PENGENAL INSPEKTUR PENERBANGAN KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP / 136 / VII / 2010 TENTANG TANDA PENGENAL INSPEKTUR PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 313 ayat 3

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 313 ayat 3 MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA ^ PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PM 30 TAHUN 2015 TENTANG PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF TERHADAP PELANGGARAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Lebih terperinci

Advisory Circular 92-01

Advisory Circular 92-01 LAMPIRAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP/27/ II / 2009 TANGGAL : 13 FEBRUARY 2009 Advisory Circular 92-01 THE HANDLING AND CARRIAGE OF DANGEROUS GOODS ON THE OPERATOR S AIRCRAFT.

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN NOMOR: PK.14/BPSDMP-2017 TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN NOMOR: PK.14/BPSDMP-2017 TENTANG PERATURAN KEPALA BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERHUBUNGAN NOMOR: PK.14/BPSDMP-2017 TENTANG KURIKULUM PROGRAM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEMBENTUKAN DI BIDANG MANAJEMEN PENERBANGAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

Namun, batasan tambahan dapat diterapkan ketika kondisi operasional yang tidak dimasukkan dalam panduan penerbangan ditemukan.

Namun, batasan tambahan dapat diterapkan ketika kondisi operasional yang tidak dimasukkan dalam panduan penerbangan ditemukan. Namun, batasan tambahan dapat diterapkan ketika kondisi operasional yang tidak dimasukkan dalam panduan penerbangan ditemukan. (c) Prosedur yang dijadualkan dalam panduan penerbangan harus diikuti kecuali

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP / 81 / VI / 2005 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP / 81 / VI / 2005 TENTANG DEPARTEMAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : SKEP / 81 / VI / 2005 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENGOPERASIAN PERALATAN FASILITAS ELEKTRONIKA

Lebih terperinci

PENGELOLAAN OPERASI K3 PERTEMUAN #6 TKT TAUFIQUR RACHMAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA INDUSTRI

PENGELOLAAN OPERASI K3 PERTEMUAN #6 TKT TAUFIQUR RACHMAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA INDUSTRI PENGELOLAAN OPERASI K3 PERTEMUAN #6 TKT302 KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA INDUSTRI 6623 TAUFIQUR RACHMAN PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS ESA UNGGUL KEMAMPUAN AKHIR YANG DIHARAPKAN

Lebih terperinci

BUPATI TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH

BUPATI TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH SALINAN BUPATI TOLITOLI PROVINSI SULAWESI TENGAH PERATURAN BUPATI TOLITOLI NOMOR 63 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS PERHUBUNGAN KABUPATEN TOLITOLI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR : PER. 05/MEN/1996 TENTANG SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR : PER. 05/MEN/1996 TENTANG SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR : PER. 05/MEN/1996 TENTANG SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA MENTERI TENAGA KERJA Menimbang : a. bahwa terjadinya kecelakaan di tempat kerja sebagian

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Spesifikasi Bandara Radin Inten II

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Spesifikasi Bandara Radin Inten II 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Spesifikasi Bandara Radin Inten II Bandar Udara Radin Inten II adalah bandara berkelas umum yang penerbangannya hanya domestik. Bandara ini terletak di kecamatan Natar,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1992 TENTANG PENERBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dan strategis

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72 TAHUN 2009 TENTANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN KERETA API DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 1986 TENTANG PENYEDIAAN DAN PENGGUNAAN TANAH SERTA RUANG UDARA DI SEKITAR BANDAR UDARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 1986 TENTANG PENYEDIAAN DAN PENGGUNAAN TANAH SERTA RUANG UDARA DI SEKITAR BANDAR UDARA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 1986 TENTANG PENYEDIAAN DAN PENGGUNAAN TANAH SERTA RUANG UDARA DI SEKITAR BANDAR UDARA Menimbang : Presiden Republik Indonesia, a. bahwa bandar udara

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 48 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 48 TAHUN 2008 TENTANG . BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 48 TAHUN 2008 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK, FUNGSI, DAN URAIAN TUGAS JABATAN STRUKTURAL PADA DINAS PERHUBUNGAN, INFORMATIKA, DAN KOMUNIKASI KABUPATEN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.723, 2015 KEMENHUB. Pesawat Udara. Tanpa Awak. Ruang Udara. Indonesia. Pengoperasian. Pengendalian. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 90 TAHUN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1995 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK BULGARIA BERKENAAN DENGAN ANGKUTAN UDARA

Lebih terperinci

PEDOMAN PENGOPERASIAN, PERAWATAN, DAN PEMELIHARAAN PESAWAT TERBANG MICROLIGHT TRIKE

PEDOMAN PENGOPERASIAN, PERAWATAN, DAN PEMELIHARAAN PESAWAT TERBANG MICROLIGHT TRIKE PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.5/Menhut-II/2014 TENTANG PEDOMAN PENGOPERASIAN, PERAWATAN, DAN PEMELIHARAAN PESAWAT TERBANG MICROLIGHT TRIKE DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

FINAL KNKT Laporan Investigasi Kecelakaan Laut

FINAL KNKT Laporan Investigasi Kecelakaan Laut FINAL KNKT-08-11-05-03 KOMITE NASIONAL KESELAMATAN TRANSPORTASI Laporan Investigasi Kecelakaan Laut Terbaliknya Perahu Motor Koli-Koli Perairan Teluk Kupang NTT 09 Nopember 2008 KOMITE NASIONAL KESELAMATAN

Lebih terperinci

STATUS REKOMENDASI KESELAMATAN SUB KOMITE INVESTIGASI KECELAKAAN PELAYARAN KOMITE NASIONAL KESELAMATAN TRANSPORTASI. Penerima Receiver.

STATUS REKOMENDASI KESELAMATAN SUB KOMITE INVESTIGASI KECELAKAAN PELAYARAN KOMITE NASIONAL KESELAMATAN TRANSPORTASI. Penerima Receiver. STATUS REKOMENDASI KESELAMATAN SUB KOMITE INVESTIGASI KECELAKAAN PELAYARAN KOMITE NASIONAL KESELAMATAN TRANSPORTASI Investigasi Investigation Tanggal Kejadian Date of Occurrence Sumber Source Tanggal Dikeluarkan

Lebih terperinci

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 LAMPIRAN BAB 1 ISTILAH DAN DEFINISI

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 LAMPIRAN BAB 1 ISTILAH DAN DEFINISI KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 LAMPIRAN BAB 1 ISTILAH DAN DEFINISI 1.1 "Wajib" digunakan dalam Lampiran untuk menunjukkan suatu ketentuan, penerapan yang seragam

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN M E M U T U S K A N : NOMOR : KM 81 TAHUN 2004

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN M E M U T U S K A N : NOMOR : KM 81 TAHUN 2004 KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 81 TAHUN 2004 TENTANG PENYELENGGARAAN ANGKUTAN UDARA MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 11 Tahun 2001 telah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG INVESTIGASI KECELAKAAN TRANSPORTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG INVESTIGASI KECELAKAAN TRANSPORTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG INVESTIGASI KECELAKAAN TRANSPORTASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 04-P/Ka-BAPETEN/I-03 TENTANG PEDOMAN PELATIHAN OPERATOR DAN SUPERVISOR REAKTOR NUKLIR

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 04-P/Ka-BAPETEN/I-03 TENTANG PEDOMAN PELATIHAN OPERATOR DAN SUPERVISOR REAKTOR NUKLIR KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 04-P/Ka-BAPETEN/I-03 TENTANG PEDOMAN PELATIHAN OPERATOR DAN SUPERVISOR REAKTOR NUKLIR KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang : bahwa sesuai dengan

Lebih terperinci

#7 PENGELOLAAN OPERASI K3

#7 PENGELOLAAN OPERASI K3 #7 PENGELOLAAN OPERASI K3 Dalam pengelolaan operasi manajemen K3, terdapat beberapa persyaratan yang dapat dijadikan suatu rujukan, yaitu: 1. OHSAS 18001 2. Permenaker 05/MEN/1996 Persyaratan OHSAS 18001

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : KP. 572 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA. Nomor : KP. 572 TAHUN 2011 TENTANG KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA Nomor : KP. 572 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PENERIMAAN, PENYETORAN, PENGGUNAAN

Lebih terperinci

PERATURAN KESYAHBANDARAN DI PELABUHAN PERIKANAN

PERATURAN KESYAHBANDARAN DI PELABUHAN PERIKANAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP DIREKTORAT PELABUHAN PERIKANAN PERATURAN KESYAHBANDARAN DI PELABUHAN PERIKANAN SYAHBANDAR DI PELABUHAN PERIKANAN Memiliki kompetensi

Lebih terperinci

Pedoman dan penetapan tata cara penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan.

Pedoman dan penetapan tata cara penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi jalan. G. PEMBAGIAN URUSAN BIDANG PERHUBUNGAN - 135-1. Perhubungan Darat 1. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) 1. Pedoman dan penetapan tata cara penyusunan dan penetapan rencana umum jaringan transportasi

Lebih terperinci