BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Begitu antibodi tersangkut pada permukaan mikroorganisme yang menyerang, serangkaian protein plasma yang disebut komplemen akan teraktivasi. Protein komplemen ini mampu menghancurkan penyerang tersebut. Proses ini dimulai oleh perubahan konformasional pada daerah Fc suatu antibodi pada saat berikatan dengan antigen. Jika antigen tersebut melayang bebas dalam sirkulasi sebagai molekul tunggal, kompleks imun yang terbentuk dapat berikatan pula dengan komplemen. Komplemen dalam kompleks tersebut kemudian dapat membantu menarik sel-sel fagosit, yang akan menelan dan membuang antigen yang diinaktivasi dari sirkulasi. Jika antigen merupakan bagian dari dinding sel bakteri, komplemen dapat melekat pada antibodi yang terikat, pada akhirnya akan melemahkan dan membunuh bakteri tersebut. Proses yang sama dapat terjadi pada sel darah yang ditransfusikan jika terdapat ketidaksesuaian dengan resipiennya, dan oleh karenanya menyebabkan hemolisis. Melalui aktivasi komplemen yang disebut jalur klasik, komplemen pertama C1q melekat pada daerah Fc pada dua molekul IgG yang berdekatan yang menjadi saling berdekatan karena berikatan pada suatu permukaan asing. Selain itu, satu molekul IgM dapat menarik C1q karena IgM mempunyai lima daerah Fc. Selanjutnya, subunit C1r dan C1s terikat pada C1q. Subunitsubunit ini mempunyai aktivitas enzimatik yang memecah dua komponen lain (C4 menjadi C4a dan C4b, dan C2 menjadi C2a dan C2b). C4 berikatan langsung dengan permukaan dekat tempat aktivasinya, dan C2a berikatan dengan C4b. Kompleks C4b-C2a kemudian memecah C3 menjadi C3a dan 1

2 C3b, yang pada akhirnya melekat dipermukaan yang berdekatan. Interaksi antara C2a dan C3b akan memecah C5 yang kemudian akan mengikat C6 dan C7 dan juga melekat pada permukaan. C8 dan C9 tertarik untuk membentuk tambahan akhir pada kompleks ini. Pada titik ini, permukaan sel bakteri akan mengalami kerusakan yang serius, yang pada akhirnya akan menyebabkan lisis. Rangkaian aktivasi komplemen ini sama tidak tergantung pada antigen spesifik yang terlibat dalam kompleks imun. Antibodi spesifik yang mengarahkan dan memulai keseluruhan proses ini. Jalur alternatif merupakan cara lain aktivasi komplemen. Jalur ini tidak tergantung pada antibodi. Ini terjadi bila C3 bergabung dengan faktor B dan mengikat suatu substansi seperti dinding sel bakteri. Kompleks ini selanjutnya mengaktivasi C3 lebih banyak lagi, yang kemudian berlanjut dengan aktivasi dan perlekatan C5 sampai C9. Aktivasi komplemen dihambat oleh suatu protein plasma yang secara selektif menghambat C1, C4b atau C3b. Defisiensi kongenital pada protein semacam itu, C1 esterase inhibitor, berakibat pada suatu sindrom klinis yang disebut angioedema herediter. Pada gangguan ini, edema terjadi pada saluran cerna dan pernafasan jika komplemen teraktivasi oleh suatu trauma atau sering kali karena alasan yang tidak diketahui.defisiensi kongenital pada komponen komplemen tertentu dapat bermanifestasi sebagai peningkatan kerentanan terhadap infeksi oleh bakteri piogen (defisiensi C1, C4, C2 atau C3) atau Neisseria (C3, C5, C6, C7, C8 atau C9). Selain itu, frekuensi untuk penyakit rematik lebih besar (terutama lupus eritematosus sistemik) pada defisiensi C1, C2 atau C4, mungkin akibat pembersihan kompleks imun yang terganggu. Telah diketahui bahwa pada suatu interaksi antigen-antibodi, komplemen yang ada dalam serum dapat diikat atau dikonsumsi oleh kompleks antigen-antibodi tersebut, dan bahwa komplemen dapat diaktivasi 2

3 oleh kompleks erithrosit-hemolisin, sehingga mengakibatkan eritrosit tersebut melisis. Complement Fixation Test (CFT) atau uji Fiksasi komplemen merupakan cara untuk menentukan antigen atau antibodi yang hanya bereaksi bila ada komplemen. Antibodi dicampur dengan antigen dan komplemen. Komplemen akan diikat kompleks antigen-antibodi. Bila tidak terjadi ikatan komplemen, maka komplemen akan ditemukan bebas dalam larutan. Adanya komplemen bebas tersebut dapat diperlihatkan dengan menambahkan sel darah merah dan hemolisin. Lisis sel darah merah akan terjadi atas pengaruh komplemen yang bebas tadi. Kenyataan ini dipakai untuk menggunakan komplemen sebagai salah satu bahan untuk penetapan antigen maupun antibodi. Pengujian ini didasarkan atas reaksi yang terdiri atas 2 tahap, yaitu tahap pertama dimana sejumlah tertentu komplemen oleh suatu kompleks antigen-antibodi, dan tahap kedua dimana komplemen yang tersisa (bila ada) menghancurkan eritrosit yang telah dilapisi hemolisin. Banyaknya komplemen yang tidak dikonsumsi pada reaksi tahap pertama, dan yang mengakibatkan hemolisis pada reaksi tahap kedua, secara tidak langsung merupakan parameter untuk antibodi atau antigen yang diperiksa. Uji fiksasi komplemen dipakai pertama kali oleh Wassermann, Neisser dan Bruck untuk menentukan diagnosis Sifilis (Test Wassermann), akan tetapi kemudian prinsip pengujian yang sama dipakai juga dalam diagnosis serologik berbagai penyakit lain, diantaranya penyakit-penyakit yang disebabkan oleh parasit, seperti Trypanosoma, Schistosoma, serta penyakitpenyakit yang disebabkan oleh virus, seperti virus Hepatitis B, Herpes, Rotavirus, Rubella dan lain-lain. 3

4 B. Rumusan masalah Adaupun rumusan masalah dari penyusunan makalah ini adalah : 1. Apakah yang dimaksud dengan komplemen? 2. Bagaimanakah proses jalur komplemen? 3. Bagaimanakah proses pemeriksaan komplemen? 4. Apakah yang mempengaruhi Penurunan aktivitas Komplemen? C. Tujuan Adapun tujuan dari pembahan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui apa yng dimaksud dengan komplemen 2. Untuk mengetahui proses jalur komplemen 3. Untuk mengetahui proses pemeriksaan komplemen 4. Untuk mengetahui faktor penurunan dari aktivitas komplemen 4

5 BAB II PEMBAHASAN A. Definisi Sistem Komplemen Komplemen merupakan sekumpulan molekul protein dan interaksinya yang terjadi secara berantai, mengakibatkan efek bilogis pada membran, pada sifat sel dan interaksi protein lain. Sedikitnya ada 11 jenis protein komplemen yang ada dalam plasma normal, masing-masing ada dalam keadaan inaktif tetapi bila komplemen diaktivasi, setiap jenis komplemen mempunyai fungsi spesifik. Aktivasi dapat dimulai dengan reaksi antigen dengan IgG atau IgM atau bila ada kontak dengan IgA yang menggumpal, selain itu aktivasi dapat pula dimulai oleh kontak dengan polisakarida atau lipopolisakarida, oleh produk yang terjadi akibat aktivasi sistem pembekuan atau kalikrein. B. Aktivitas Biologis Komplemen dinyatakan dengan nomor dan huruf. Proses aktivasi tidak berlangsung berurutan sesuai dengan urutan nomor komplemen. Disepakati bahwa urutan interaksi komplemen adalah : C1q, C1r, C1s, C4, C2, C3, kemudian C5 sampai C9. Aktivasi komplemen dapat merupakan proses pemecahan molekul-molekul secara enzimatik yang menghasilkan zat yang aktif atau proses penyesuaian tanpa pemecahan. Pada beberapa tahap dari proses ini diperlukan ion kalsium dan magnesium.aktivasi lengkap dari C1 sampai C9 mengakibatkan pecahnya membran dan kerusakan sel yang tidak dapat diperbaiki lagi. Aktivasi lengkap terjadi dengan tahapan-tahapan sebagai berikut : C2 melepaskan suatu peptida dengan berat molekul kecil dan aktivitas kinin, hasil aktivasi C3 dan C5 merangsang mastosit, otot halus dan leukosit sehingga terjadi efek anafilaktik, unsur lain dari C3 dan C5 berikatan 5

6 dengan membran sel dan menyebabkan sel lebih mudah di fagositosis, proses ini disebut opsonisasi, fragmen C3 dan C4 menyebabkan proses perlekatan yaitu partikel yang dilapisi komplemen melekat pada permukaan sel yang memiliki reseptor untuk komplemen, C3 dan C4 aktif dapat pula menetralisir virus, dan akhirnya fragmen C3 da C4 merangsang aktivitas kemotaktik neutrofil sehingga neutrofil bergerak menghampiri fragmen protein yang bersangkutan. Kompleks C5-C9 mempunyai aktivitas prokoagulan trombosit dan sebaliknya aktivitas prokoagulan faktor XII dapat mencetuskan aktivasi C1. Plasmin dan trombin bersifat proteolitikdan dapat memecah C3 hingga terbentuk C3 aktif. C. Jalur aktivasi Pada jalur klasik, aktivasi komplemen diawali dengan aktivasi C1q, C1r dan C1s oleh kompleks antigen-antibodi. Karena C1q tidak tahan panas, maka pemanasan serum dapat melumpuhkan seluruh aktivitas komplemen. Untuk penggabungan C1qrs diperlukan Ca++ sedangkan Mg++ diperlukan oleh C4 untuk mengaktivasi C2. Bila digunakan antikoagulan yang mengikat ion, naka plasma kehilangan kation sehingga komplemen yang ada didalamnya tidak dapat diaktivasi. Setelah C1qrs aktif mengaktivasi C4 dan kemudian C4 akut mengaktivasi C2, maka kontak dengan C2 aktif menyebabkan C3 pecah menjadi 2 bagian yaitu : bagian yang kecil dan tetap berada dalam cairan dan C3b yang lebih besar dan melekat pada membran sel. C3b diperlukan untuk mengaktivasi C5, tetapi setalah itu sisa kompleks C5- C9 terbentuk dengan sendirinya tanpa aktivasi oleh enzim. Jalur alternatif tidak melibatkan aktivasi C1, C4 dan C2 tetapi dimulai dengan pemecahan C3. Setelah C3b terbentuk, aktivasi C5 sampai C9 berlangsung dengan sendirinya. Kunci dari jalur alternatif adalah aktivasi properdin, yaitu suatu protein serum yang tidak mempunyai efek biologis bila ia berada dalam keadaan tidak aktif. Kontak dengan IgA yang menggumpal, endotoksin atau 6

7 kompleks melekul seperti dekstran, agar dan zymosan dapat merubah properdin kemudian mencetuskan proses yang menghasilkan C3b. D. Pemeriksaan Komplemen Komponen komplemen yang paling sering diperiksa dalam serum adalah C3 ( mg/dl) dan C4 (15-45 mg/dl). Keduanya pada keadaan normal merupakan faktor komplemen yang terbanyak dalam serum dana paling mudah diukur dengan metode imunologis (biasanya nefelometri atau imunodifusi). Penurunan kadarnya dapat saling dihubungkan secara serial dari waktu ke waktu untuk pemantauan suatu penyakit autoimun. Kadar yang rendah menunjukkan kekurangan akibat aktivasi skunder terhadap progresi penyakit. Kadar normal atau tinggi menunjukkan kebalikannya, regresi penyakit atau respons terhadap terapi. Pemeriksaan komponen lain yang lebih canggih diperoleh dari laboratorium rujukan khusus. Termasuk diantaranya penentuan C1q, C2, C4, C4d, C5, C6, Faktor B (properdin) dan inhibitor esterase C1. Pemeriksaan-pemeriksaan ini dapat dipakai untuk membedakan gangguan imunologis dari keadaan peradangan lain dan juga untuk mendiagnosis suatu defisiensi spesifik. Perubahan dalam kadar komplemen menunjukkan adanya proses penyakit. Kadarnya yang meningkat sering ditemukan pada inflamasi akut dan infeksi dan berhubungan dengan peningkatan AFP.Defisiensi komplemen dapat dibagi menjadi defisiensi primer yang ditentukan faktor genetik dan defisiensi sekunder yang diakibatkan oleh pemakaian komplemen dalam interaksi antigen-antibodi yang lebih memberikan hubungan dengan patogenesis penyakit. Komplemen dapat dibagi dalam 3 golongan sebagai berikut : 1. Komplemen dini pada jalur klasik (C1, C4 dan C2) 2. Komplemen dini pada jalur alternatif (faktor B, D dan P) 7

8 3. Komplemen lambat pada kedua jalur (C3 dan C9) Bila kadar C4 dan C3 rendah tetapi faktor B normal, maka itu berarti aktivasi komplemen hanya terjadi melalui jalur klasik. Bila kadar C4, C3 dan faktor B semuanya rendah, kemungkinan besar juga terjadi aktivasi melalui jalur alternatif. Tetapi bila kadar C4 normal dengan kadar C3 dan faktor B rendah, berarti ada aktivasi melalui jalur alternatif saja. Pengukuran C3 dan C4 akan membantu dalam pemantauan pengobatan penderita glomerulonefritis dan vaskulitis. Kadar yang rendah biasanya menjadi normal pada remisi. Teknik radioimunoassay dan imunodifusi memungkinkan untuk menentukan kadar setiap komponen komplemen termasuk komponen dalam jalur alternatif. Sebagian besar pemeriksaan ini terutama dipakai dalam penelitian. Untuk keperluan klinik, penetapan aktivitas komplemen secara umum biasanya sudah memadai. Cara yang paling mudah adalah menentukan hemolisis lengkap dari eritrosit domba dalam suatu reaksi yang memerlukan komplemen. Dalam hal ini eritrosit domba dilapisi dengan antibodi yang hanya dapat bereaksi dengan antigen bila ada komplemen, sehingga derajat hemolisis eritrosit dapat dipakai sebagai ukuran untuk aktivitas komplemen. Hasil tes dinyatakan dengan unit CH50, yang menyatakan pengenceran serum tertinggi yang dapat menghancurkan separuh dari jumlah eritrosit yang dipakai pada test. Setiap laboratorium harus menentukan nilai rujukan sendiri karena hasilnya akan berbeda pada kondisi yang berlainan misalnya perbedaan dalam kadar antibodi dan eritrosit yang dipakai, cara penyimpanan, elektrolit dan suhu. Kadar C3 dan C4 masing-masing dapat ditentukan dengan cara imunodifusi radial. Cara ini memerlukan waktu jam, disamping itu hasilnya menunjukkan variasi akibat aktivitas komplemen in vivo dan cara penanganan spesimen yang berbeda-beda. 8

9 Aktivitas komplemen meningkat pada berbagai penyakit tetapi jarang dirasakan perlu untuk mencari kelainan pada komplemen. Komplemen merupakan protein fase akut, kadarnya meningkat pada inflamasi, analog dengan peningkatan LED dan CRP pada keadaan yang sama. Penetapan komplemen lebih sering diperlukan untuk mengetahui ada tidaknya penurunan aktivitas komplemen. E. Penurunan aktivitas Komplemen Komplemen dikonsumsi pada reaksi antigen-antibodi, khususnya reaksi yang membentuk kompleks imun. Penurunan CH50 biasanya terdapat pada penyakit imunologis sistemik terutama SLE dan glomerulonefritis akibat kelainan imunologis. Pada SLE penurunan kadar komplemen dan peningkatan titer anti-dna menunjukkan adanya glomerulonefritis akut dan pada saat penyakit tenang kadar komplemen biasanya kembali normal. Pada penyakit kolagen-vaskuler yang lain seperti skleroderma dan artritis reumatoid. Kadar komplemen biasanya menurun waktu penyakit kambuh. Banyak jenis vaskulitis dan artritis diakibatkan oleh pembentukan kompleks imun, penurunan titer CH50 sering memastikan adanya kompleks imun khususnya yang menyertai beberapa jenis infeksi seperti hepatitis B, Streptokokus, Mononukleosis infeksiosa dan penyakit parasit. Pada hipotensi akut yang tidak diketahui sebabnya, kadar komplemen dalam serum biasanya rendah, hal ini menunjukkan adanya aktivitas sistem imun secara menyeluruh atau adanya aktivitas melalui jalur alternatif. Keadaan tersebut mungkin disebabkan oleh beberapa hal misalnya aktivasi granulosit dalam sirkulasi sistemik atau sirkulasi paru-paru, interaksi heparin dan protamin dan aktivasi sistem bradikinin. Penderita artritis reumatoid sering menunjukkan penurunan aktivitas komplemen dalam cairan sendi, walaupun kadar komplemen dalam serum normal. 9

10 Ada kemungkinan terjadi defisiensi komplemen secara spesifik tetapi hal ini jarang dijumpai. Penyakit autoimun sering dijumpai pada penderita dengan defisiensi salah satu komponen komplemen, sedangkan defisiensi C3 merupakan predisposisi umum untuk penyakit infeksi. Infeksi Neisseria yang menyeluruh dapat terjadi bila ada defisiensi C6, C7 atau C8. Pada defisiensi setiap komponen komplemen, penetapan CH50 menunjukkan nilai nol. F. Uji Fiksasi Komplemen Uji fiksasi (penambatan) komplemen didasarkan pada adanya antibodi penambatan komplemen di dalam serum. Adanya komplemen menyebabkan antibodi ini melisis sel-sel. Tujuan uji fiksasi komplemen adalah untuk menentukan ada atau tidaknya antibodi spesifik di dalam serum. Telah diketahui bahwa pada suatu interaksi antigen-antibodi, komplemen yang ada dalam serum dapat diikat atau dikonsumsi oleh kompleks antigen-antibodi tersebut, dan bahwa komplemen dapat diaktivasi oleh kompleks erithrosit-hemolisin, sehingga mengakibatkan eritrosit tersebut melisis. Complement Fixation Test (CFT) atau uji Fiksasi komplemen merupakan cara untuk menentukan antigen atau antibodi yang hanya bereaksi bila ada komplemen. Antibodi dicampur dengan antigen dan komplemen. Komplemen akan diikat kompleks antigen-antibodi. Bila tidak terjadi ikatan komplemen, maka komplemen akan ditemukan bebas dalam larutan. Adanya komplemen bebas tersebut dapat diperlihatkan dengan menambahkan sel darah merah dan hemolisin. Lisis sel darah merah akan terjadi atas pengaruh komplemen yang bebas tadi. Berbagai prosedur untuk menentukan adanya interaksi antigenantibodi dengan cara mengukur penurunan kadar komplemen dalam serum, 10

11 setelah dipaparkan pada bahan yang akan diperiksa. Test fiksasi komplemen hanya dapat dipakai bila reaksi antigen antibodi benar-benar mengikat komplemen. Cara dipengaruhi oleh berbagai faktor kesulitan teknik maupun imunologik dan hanya dipakai bila tidak ada cara lain yang lebih baik. Kenyataan ini dipakai untuk menggunakan komplemen sebagai salah satu bahan untuk penetapan antigen maupun antibodi. Pengujian ini didasarkan atas reaksi yang terdiri atas 2 tahap, yaitu tahap pertama dimana sejumlah tertentu komplemen oleh suatu kompleks antigen-antibodi, dan tahap kedua dimana komplemen yang tersisa (bila ada) menghancurkan eritrosit yang telah dilapisi hemolisin. Banyaknya komplemen yang tidak dikonsumsi pada reaksi tahap pertama, dan yang mengakibatkan hemolisis pada reaksi tahap kedua, secara tidak langsung merupakan parameter untuk antibodi atau antigen yang diperiksa. Untuk mendapatkan hasil yang bisa dipercaya, semua reaktan yang diperlukan untuk uji ini harus disesuaikan satu dengan yang lain dan berada dalam jumlah atau titer yang optimal. Oleh karena itu sebelum melaksanakan pemeriksaan pada sampel penderita, terlebih dahulu dilakukan uji pendahuluan untuk menstandarisasi titer hemolisin dan titer komplemen yang dipakai pada sistem uji ini. Titer hemolisin ditentukan oleh pengenceran tertinggi hemolisin yang masih dapat melisiskan eritrosit berkonsentrasi 2% secara lengkap, bila ada komplemen. Titer hemolisin ini disebut 1 unit dan untuk pemeriksaan sampel penderita dipakai 2 unit. Oleh karena uji fiksasi komplemen melibatkan suatu sistem yang terdiri atas berbagai reaktan, disamping titrasi hemolisin dan komplemen diatas, setiap reaktan harus diuji terhadap ada tidaknya faktor penghambat atau faktor yang meningkatkan aktivasi komplemen (antikomplemen atau prokomplemen). Untuk keperluan ini, pada titrasi komplemen diikutsertakan 11

12 antigen dan antigen kontrol, serta pada pemeriksaan sampel selalu harus diikutsertakan kontrol serum positif maupun negatif. Suatu hasil pemeriksaan, baru bisa dipercaya apabila semua reaktan pada sistem ini terkontrol dengan baik. Uji fiksasi komplemen dipakai pertama kali oleh Wassermann, Neisser dan Bruck untuk menentukan diagnosis Sifilis (Test Wassermann), akan tetapi kemudian prinsip pengujian yang sama dipakai juga dalam diagnosis serologik berbagai penyakit lain, diantaranya penyakit-penyakit yang disebabkan oleh parasit, seperti Trypanosoma, Schistosoma, serta penyakitpenyakit yang disebabkan oleh virus, seperti virus Hepatitis B, Herpes, Rotavirus, Rubella dan lain-lain. Uji fiksasi komplemen ini terdiri dari dua sistem:yaitu sebagai berikut. 1. Sistem penambatan komplemen Dalam sistem ini serum, suspense bakteri (antigen lain), dan komplemen dicampurkan. Bila antigen dan antibodi dari dalam serum itu bergabung, maka komplemen itu dinyatakan tertambat. Karakteristika Sistem Komplemen adalah sebagai berikut: Komplemen adalah nama yang diberikan terhadap suatu seri protein(plasma) yang terdiri dari 21 protein. Mekanisme kerja sistem ini seperti proses pembekuan darah yang membentuk suatu sistem enzim yang terstimulasi dalam plasma yang kebanyakan adalah proteinase-proteinase. Ciri spesifik sistem ini : menghasilkan suatu respon yang cepat dan bertingkatterhadap suatu stimulus yang dapat berupa kompleks imun Protein plasma yang diberi simbol C diikuti dengan angka, menunjukkan nomor penemuan komplemen tersebut, bukan suatu nomor urutan reaksi. 12

13 Protein komplemen utama yaitu : C1 (q,r,s), C2, C3, C4, dst hingga C9, faktor B, faktor D, faktor H, properdin,dll. Pada setiap tahap aktivasi selalu dihasilkan suatu aktivitas enzim baru yang juga komponen komplemen. Produk reaksi pertama berlaku sebagai katalis enzimatik yang mengaktifkan komponen-komponen selanjutnya, demikian seterusnya hingga dihasilkan suatu respon bertingkat yang menyerupai cascade. Kerja ini menyerupai air terjun yang terus berlangsung tanpa bisa dihentikan di tengah-tengah reaksi. Fragmen enzim diberi nama a dan b misalnya C2a dan C2b. Pusat katalitik sistem ini berada pada C3. Akhir dari aktivitas komplemen adalah : terbentuknya suatu pori fungsional pada membran sel di mana komplemen tersebut melekat, kemudian terjadi perubahan konformasi fosfolipid sel yang menyebabkan lisis dan berakhir dengan kematian sel. Hal ini disebut MAC (membrane attack complex). Sistem Komplemen terdiri dari tiga jalur yaitu sebagai berikut. Jalur Klasik. Jalur ini diawali dengan stimulasi dari kompleks antigenantibodi yang kemudian mengaktivasi C1q, C1r, C1s, ketiga komponen ini menghasilkan komponen enzimatik yang menstimulasi C4, C4 menghasilkan komponen enzimatik yang menstimulasic2, komponen C2 ini kemudian menghasilkan komponen enzimatik dan menstimulasi C3 Convertase (pusat katalitik sistem komplemen). Jalur MB-Lecitin. Jalur ini diawali oleh stimulasi dari kompleks manosa binding protein pada permukaan patogen yang kemudian menstimulasi MBL, MASP-1, MASP-2. Ketiga komponen ini kemudian mnghasilkan komponen enzimatik yang menstimulasi C4, (seperti halnya pada jalur klasik) C4, C4 menghasilkan komponen enzimatik yang menstimulasi C2, komponen C2 ini kemudian menghasilkan komponen enzimatik dan menstimulasi C3 convertase (pusat katalitik sistem komplemen). 13

14 Jalur Alternatif. Jalur ini diawali oleh stimulasi dari permukaan patogen yang mengandung LPS (Lipopolisakarida) yang kemudian langsung menstimulasi C3, C3 menghasilkan komponen enzimatik yang menstimulasi faktor B, faktor B menghasilkan komponen enzimatik yang menstimulasi fakator D, faktor D kemudian menghasilkan komponen enzimatik yang akhirnya mensimulasi C3 convertase. Setelah Ketiga jalur tersebut mengaktivasi C3 Convertase, C3 convertase ini kemudian menghasilkan C3a, C5a dan C3b. C3a, C5a kemudian menstimulasi peptida mediator untuk inflamasi dan menstimulasi rekrutmen sel fagositik. C3b kemudian berikatan dengan reseptor komplemen pada sel fagositik dan kemudian menstimulasi opsonisasi dan penghilangan kompleks imun. Selain itu, C3b juga menstimulasi komponen terminal komplemen yang kemudian terjadi reaksi cascade : menstimulasi C5b, C6,C7,C8,C9 dan akhirnya membentuk Membran attack complex dan menyebabkan lisis pada patogen. Persamaan atara ketiga jalur tersebut adalah sebagai berikut. Ketiganya sama-sama akan mengaktivasi pusat katalitik sistem komplemen yaitu C3; Ketiganya pada akhirnya akan menginduksi C9; dan ketiganya sama-sama membentuk membran attack complex. Perbedaan atara ketiga jalur tersebut adalah sebagai berikut. Stimulus yang menginduksi masing-masing jalur berbeda-beda. Jalur Lecitin distimulasi oleh kompleks antigen antibodi, Jalur MB-Lecitin distimulasi oleh kompleks manosa-binding Lecitin, dan Jalur Alternatif distimulasi LPS (lipopolisakarida) dari permukaan patogen. Komponen yang distimulasi oleh stimulus masing-masing jalur berbeda. Jalur Lecitin selanjutnya mengaktivasi C1q,C1r,C1s, C4 dan C2, jalur MB Lecitin selanjutnya mengaktivasi MBL, MASP-1, MASP-2, C4 dan C2, dan jalur alternatif mengaktivasi C3, B,dan D. 14

15 2. Sistem indikator hemolitik Antibody hemolitik (hemolisin) dibuat dengan cara mengimunisasi kelinci dengan sel-sel darah merah biri-biri. Serum dari kelinci yang sudah diimunisasi dengan sel biri-biri ini dicampur dengan sel-sel darah merah biribiri. Bila komplemen tertambat digunakan di dalam reaksi antibodi uji dan atigen maka tidak akan terjadi hemolisis. Oleh sebab itu, reaksi hemolitik meninjukan uji negatif. Ini menunjukan bahwa semua reaktan didalam uji fiksasi komplemen harus disesuaikan dengan tepat. Uji fiksasi komplemen terutama bermanfaat bila kombinasi antara antigen uji dan antibodi tidak menimbulkan reaksi kasat mata seperti yang terjadi pada aglutinasi dan presipitasi. Uji fiksasi komplemen ini banyak digunakan secara luas di dalam diagnosis laboratories penyakit menular, termasuk penyakit yang disebutkan oleh bakteri, virus, protozoa, dan cendawan. Salah satu penerapan yang diketahui paling baik dari uji ini adalah uji Wasserman untuk sifilis, meskipun uji ini telah diganti oleh uji-uji lain. Uji Fiksasi Komplemen untuk penetapan antibodi terhadap virus 1. Peralatan dan bahan yang diperlukan (cara mikro) a. Peralatan yang dipakai sama seperti untuk teknik mikrohemaglutinasi b. Kit reagens (Behring) terdiri atas antigen virus, komplemen, eritrosit domba, hemolisin dan larutan penyangga. 2. Cara kerja : Uji Pendahuluan a) Titrasi hemolisin Sediakan 9 tabung reaksi. Masukkan kedalam tabung pertama dan seterusnya larutan penyangga dengan volume seperti pada gambar. 15

16 Masukkan 1,0 ml hemolisin yang telah diencerkan 1:100 kedalam tabung pertama, lalu campur kemudian pindahkan 1 ml kedalam tabung berikutnya, demikian seterusnya hingga tabung terakhir. Sediakan 12 tabung, kemudian kedalam 9 tabung pertama dimasukkan masing-masing 0,2 ml larutan hemolisin dari tabungtabung permulaan. Tabung dipakai untuk kontrol erithrosit. Kedalam tabung 1-9 dimasukkan 0,1 ml komplemen yang sudah diencerkan 1:30, 0,2 ml suspensi eritrosit 2% dan 0,5 ml larutan penyangga. Kedalam tabung masukkan 0,2 ml suspensi eritrosit 2% dan 0,8 ml larutan penyangga. Campur lalu inkubasikan tabung-tabung tersebut pada suhu 37OC selama 30 menit. Perhatikan adanya hemolisis dan tentukan tabung dengan pengenceran hemolisis tertinggi yang menyebabkan hemolisis lengkap. Pengenceran ini disebut 1 unit dan untuk pemeriksaan sampel penderita dipakai 2 unit. Pembuatan sistem hemolitik.campur eritrosit 2% sama banyak dengan hemolisin yang titernya 2 unit. Biarkan dalam suhu kamar selama minimal 10 menit sebelum dipakai. b) Titrasi Komplemen Sediakan 3 baris tabung yang jumlahnya masing-masing 8 buah. Kedalam tabung-tabung baris I masukkan larutan penyangga, komplemen dan larutan antigen, lalu campur Lakukan hal yang sama pada tabung baris ke II dan ke III, hanya sebagai pengganti antigen, kedalam tabung baris II dimasukkan antigen kontrol dan kedalam tabung baris ke III dimasukkan larutan penyangga. 16

17 Inkubasikan semua tabung dalam penangas air dengan suhu 37 0 C selama 30 menit. Masukkan sistem hemolitik (1h) kedalam semua tabung sebanyak 0,2 ml. Campur dan inkubasikan lagi pada suhu 37 0 C selama 30 menit. Perhatikan hemolisis yang terjadi dan tentukan pengenceran komplemen tertinggi yang menyebabkan hemolisis lengkap. Apabila hemolisis lengkap pada ketiga baris tabung terjadi pada pengenceran komplemen yang sama, berarti semua reaktan pada sistem ini baik. Pengenceran tertinggi komplemen yang dapat menyebabkan hemolisis lengkap disebut 1 unit dan dipakai 2 unit untuk pengujian. 3. Pemeriksaan sampel Pada setiap pemeriksaan selalu harus diikutsertakan kontrol antigen, kontrol sistem hemolitik, kontrol eritrosit dan kontrol komplemen. Serum penderita terlebih dahulu diinaktifkan dalam penangas air dengan suhu 56 0 C untuk menghilangkan komplemen yang ada dalam serum, sehingga satu-satunya sumber komplemen hanya yang dibubuhkan pada pengujian dan diketahui titernya.. Sampel Untuk pemeriksaan sampel Pakai satu baris sumur. Untuk sampel pertama (sampel akut) dan satu baris lain untuk sampel kedua (konvalesen). a. Masukkan ke dalam sumur 1 dan sumur 4-12 larutan penyangga sebanyak 25 ul. b. Masukkan ke dalam sumur 1-4 sampel yang terlebih dahulu telah diencerkan 1:5 sebanyak 25 ul. c. Buat pengenceran serum mulai sumur 4 sampai 12 dengan mikrodiluter. d. Masukkan kedalam sumur 2, sebanyak 25 ul antigen kontrol dan ke dalam sumur 3-12 sebanyak 25 ul antigen virus (2 unit). 17

18 e. Campur, kemudian masukkan kedalam sumur 1-2 komplemen 2 unit sebanyak 25 ul, lalu campur lagi. Kontrol antigen Pakailah satu baris sumur. a. Masukkan ke dalam sumur 1 dan 4-12 larutan penyangga sebanyak 25 ul. b. Masukkan kedalam sumur 1-4 serum kontrol positif yang telah diencerkan 1:5 sebanyak 25 ul, dan ke dalam sumur serum kontrol negatif yang telah diencerkan 1:5 sebanyak 25 ul. c. Buat pengenceran serum mulai sumur 10 dengan mikrodiluter. d. Ke dalam sumur 2-12 dimasukkan 25 ul antigen virus (2 unit) kemudian campur. e. Masukkan ke dalam sumur 1-12 komplemen (2 unit) sebanyak 25 ul, kemudian campur (kocok dengan alat pengocok). Kontrol sistem hemolitik Pakailah baris terakhir untuk kontrol sistem hemolitik, eritrosit dan komplemen dengan prosedur seperti yang diuraikan dibawah ini :Masukkan ke dalam sumur 1 dan 2 larutan penyangga sebanyak 50 ul dan komplemen sebanyak 25 ul. Kontrol eritrosit Masukkan ke dalam sumur 3 dan 4 larutan penyangga sebanyak 75 ul dan sistem hemolitik sebanyak 50 ul. Kontrol komplemen a. Masukkan ke dalam sumur 5-12 larutan penyangga sebanyak 25 ul, ke dalam sumur 5-8 antigen virus sebanyak 25 ul dan kedalam sumur 9-12 antigen kontrol sebanyak 25 ul. b. Buat pengenceran komplemen dalam tabung terpisah sehingga memperoleh larutan komplemen 2 unit, 1,5 unit, 1,0 unit dan 0,5 unit. 18

19 c. Masukkan ke dalam sumur 5 dan 9 komplemen 2 unit sebanyak 25 ul, ke dalam sumur 6 dan 10 komplemen 1,5 unit sebanyak 25 ul, ke dalam sumur 7 dan 11 komplemen 1,0 unit sebanyak 25 ul dan ke dalam sumur 8 dan 12 komplemen 0,5 unit sebanyak 25 ul. d. Campurlah reaktan dalam setiap sumur. Plate ditutup dengan plate lain kemudian diinkubasikan pada suhu C selama 18 jam dalam kotak yang lembab (diberi kain basah). Keesokkan harinya, biarkan plate dalam suhu kamar selama 15 menit, kemudian masukkan sitem hemolitik ke dalam semua sumur. Kocok, lalu inkubasikan pada suhu 37 0 C selama menit. Reaksi dianggap selesai bila telah timbul hemolisis lengkap dalam sumur yang berisi komplemen 2 dan 1,5 unit, hemolisis tak lengkap dalam sumur berisi komplemen 1 unit dan tidak ada hemolisis dalam sumur berisi komplemen 0,5 unit. Perhatikan hemolisis yang terjadi pada sumur-sumur berisi sampel dan nyatakan pengenceran tertinggi sampel yang tidak menyebabkan hemolisis. 4. Interpretasi Hasil a. Adanya reaksi positif (tidak ada hemolisis) berarti dalam serum terdapat antibodi terhadap virus bersangkutan. b. Titer antibodi dalam serum tunggal belum memastikan apakah ada infeksi atau pernah divaksinasi. c. Untuk mengetahui adanya infeksi diperlukan pemeriksaan serum ganda, yaitu 2 sampel yang diperoleh pada masa akut dan masa konvalesen dengan jarak waktu 2 minggu. Suatu kenaikan titer sebanyak 4 kali merupakan indikasi adanya infeksi. d. Reaksi positif pada kontrol antigen berarti dalam serum antibodi terhadap zat-zat nonspesifik yang menyertai antigen. Untuk memastikan, titrasi terhadap serum diulang dengan menggunakan kedua jenis antigen secara 19

20 paralel. Adanya antibodi spesifik dapat dipastikan bila titernya terhadap antigen virus 4 kali titer terhadap antigen kontrol. e. Serum kontrol yang diperoleh dari binatang, kadang-kadang mengandung antibodi terhadap antigen kontrol hingga dapat menimbulkan hemolisis. 20

21 BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Komplemen merupakan sekumpulan molekul protein dan interaksinya yang terjadi secara berantai, mengakibatkan efek bilogis pada membran, pada sifat sel dan interaksi protein lain. Aktivasi komplemen dapat merupakan proses pemecahan molekulmolekul secara enzimatik yang menghasilkan zat yang aktif atau proses penyesuaian tanpa pemecahan. Pada jalur klasik, aktivasi komplemen diawali dengan aktivasi C1q, C1r dan C1s oleh kompleks antigen-antibodi. Karena C1q tidak tahan panas, maka pemanasan serum dapat melumpuhkan seluruh aktivitas komplemen. Untuk penggabungan C1qrs diperlukan Ca++ sedangkan Mg++ diperlukan oleh C4 untuk mengaktivasi C2. Perubahan dalam kadar komplemen menunjukkan adanya proses penyakit. Kadarnya yang meningkat sering ditemukan pada inflamasi akut dan infeksi dan berhubungan dengan peningkatan AFP. Uji fiksasi (penambatan) komplemen didasarkan pada adanya antibodi penambatan komplemen di dalam serum. Adanya komplemen menyebabkan antibodi ini melisis sel-sel. Tujuan uji fiksasi komplemen adalah untuk menentukan ada atau tidaknya antibodi spesifik di dalam serum. B. SARAN adapun saran dari penyusunan makalah ini adalah Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua khusunya Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. 21

KOMPLEMEN. Tabel 1 : Protein Sistem Komplemen Kaskade klasik Kaskade lektin Kaskade alternatif Kaskade lisis Protein fungsional: Clqrs C2 C3 C4

KOMPLEMEN. Tabel 1 : Protein Sistem Komplemen Kaskade klasik Kaskade lektin Kaskade alternatif Kaskade lisis Protein fungsional: Clqrs C2 C3 C4 BAB 6 KOMPLEMEN 6.1. PENDAHULUAN Definisi: Komplemen, adalah senyawa yang mampu melisis sel yang diselimuti Ab, labil panas (rusak, jika dipanaskan pada suhu 56 C, selama 30 menit). Protein Sistem Komplemen

Lebih terperinci

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006 SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006 1. Imunitas natural :? Jawab : non spesifik, makrofag paling berperan, tidak terbentuk sel memori 2. Antigen : a. Non spesifik maupun spesifik,

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN

RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN BAB 10 RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN 10.1. PENDAHULUAN Virus, bakteri, parasit, dan fungi, masing-masing menggunakan strategi yang berbeda untuk mengembangkan dirinya dalam hospes dan akibatnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Darah terdiri atas 2 komponen utama yaitu plasma darah dan sel-sel darah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Darah terdiri atas 2 komponen utama yaitu plasma darah dan sel-sel darah. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Darah Darah merupakan komponen esensial makhluk hidup, mulai dari binatang hingga manusia. Dalam keadaan fisiologik, darah selalu berada dalam pembuluh darah sehingga

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM IMUN Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM KEKEBALAN TUBUH Imunologi : Ilmu yang mempelajari cara tubuh melindungi diri dari gangguan fisik, kimiawi, dan biologis. . SISTEM IMUN INNATE : Respon

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Uji Serum (Rapid Test) Pada Ikan Mas Yang Diberikan Pelet Berimunoglobulin-Y Anti KHV Dengan Dosis rendah Ig-Y 5% (w/w) Ikan Mas yang diberikan pelet berimunoglobulin-y anti

Lebih terperinci

Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan

Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan Conducted by: Jusuf R. Sofjan,dr,MARS 2/17/2016 1 Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk melawan

Lebih terperinci

Sistem Imun BIO 3 A. PENDAHULUAN SISTEM IMUN. materi78.co.nr

Sistem Imun BIO 3 A. PENDAHULUAN SISTEM IMUN. materi78.co.nr Sistem Imun A. PENDAHULUAN Sistem imun adalah sistem yang membentuk kekebalan tubuh dengan menolak berbagai benda asing yang masuk ke tubuh. Fungsi sistem imun: 1) Pembentuk kekebalan tubuh. 2) Penolak

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH RHESUS

PEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH RHESUS PEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH RHESUS I. Tujuan Percobaan 1. Mempelajari dan memahami golongan darah. 2. Untuk mengetahui cara menentukan golongan darah pada manusia. II. Tinjauan Pustaka Jenis penggolongan

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan penyakit infeksi tropik sistemik, yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi), bersifat endemis, dan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

Lebih terperinci

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI. Oleh : Rini Rinelly, (B8A)

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI. Oleh : Rini Rinelly, (B8A) REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI Oleh : Rini Rinelly, 1306377940 (B8A) REAKSI ANTIGEN DAN ANTIBODI Pada sel B dan T terdapat reseptor di permukaannya yang berguna untuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak tiga jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

Lebih terperinci

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed 1 PENDAHULUAN Sistem imun melindungi tubuh dari sel asing & abnormal dan membersihkan debris sel. Bakteri dan virus patogenik adalah sasaran

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

Anemia Hemolitik. Haryson Tondy Winoto,dr,Msi.Med.,Sp.A Bag. IKA UWK

Anemia Hemolitik. Haryson Tondy Winoto,dr,Msi.Med.,Sp.A Bag. IKA UWK Anemia Hemolitik Haryson Tondy Winoto,dr,Msi.Med.,Sp.A Bag. IKA UWK Anemia hemolitik didefinisikan : kerusakan sel eritrosit yang lebih awal.bila tingkat kerusakan lebih cepat dan kapasitas sumsum tulang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA)

BAB 1 PENDAHULUAN. Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia hemolitik autoimun atau Auto Immune Hemolytic Anemia (AIHA) merupakan salah satu penyakit di bidang hematologi yang terjadi akibat reaksi autoimun. AIHA termasuk

Lebih terperinci

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR PENDAHULUAN Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah penyakit yg disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) HIV : HIV-1 : penyebab

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Sebanyak 173 dan 62 contoh serum sapi dan kambing potong sejumlah berasal dari di provinsi Jawa Timur, Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Barat, Jakarta dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kebiasaan mengadakan hubungan seksual bebas mungkin dapat dianggap sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kebiasaan mengadakan hubungan seksual bebas mungkin dapat dianggap sebagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola perilaku seksual Kebiasaan mengadakan hubungan seksual bebas mungkin dapat dianggap sebagai suatu bentuk kenakalan. Hubungan bebas diartikan sebagai hubungan seksual yang

Lebih terperinci

SISTEM PERTAHANAN TUBUH

SISTEM PERTAHANAN TUBUH SISTEM PERTAHANAN TUBUH Sistem Pertahanan Tubuh Sistem Pertahanan Tubuh Non spesifik Sistem Pertahanan Tubuh Spesifik Jenis Kekebalan Tubuh Disfungsi sitem kekebalan tubuh Eksternal Internal Struktur Sistem

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian 3.1.1. Tempat Penelitian telah dilaksanakan di laboratorium BKP Kelas II Cilegon untuk metode pengujian RBT. Metode pengujian CFT dilaksanakan di laboratorium

Lebih terperinci

HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung

HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS. Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung 16 HEMATOLOGI KLINIK ANJING PENDERITA DIROFILARIASIS Menurut Atkins (2005), anjing penderita penyakit cacing jantung memiliki kelainan hematologi pada tingkat ringan berupa anemia, neutrofilia, eosinofilia,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. yang didapatkan dari RSUP Dr. Kariadi yang telah diketahui hasil test

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. yang didapatkan dari RSUP Dr. Kariadi yang telah diketahui hasil test BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Sampel Pada penelitian kesesuaian besar flokulan test kualitatif terhadap test kuantitatif pada pemeriksaan VDRL sampel yang digunakan adalah sampel serum yang

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN RF (RHEUMATOID FACTOR)

PEMERIKSAAN RF (RHEUMATOID FACTOR) Nama : Benny Tresnanda PEMERIKSAAN RF (RHEUMATOID FACTOR) Nim : P07134013027 I. Tujuan Untuk mengetahui adanya RF (Rheumatoid Factor) secara kualitatif dan semi kuantitatif pada sampel serum. II. Dasar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. darah yang hilang akibat perdarahan, luka bakar, mengatasi shock dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. darah yang hilang akibat perdarahan, luka bakar, mengatasi shock dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Transfusi darah Transfusi darah adalah proses pemindahan atau pemberian darah dari seseorang (donor) kepada orang lain (resipien). Transfusi bertujuan mengganti darah yang hilang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu formula yang diberikan kepada bayi sebagai pengganti ASI, kerap kali memberikan efek samping yang mengganggu kesehatan bayi seperti alergi. Susu formula secara

Lebih terperinci

METODELOGI PENELITIAN

METODELOGI PENELITIAN 17 METODELOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB, kandang hewan percobaan

Lebih terperinci

BAB. IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB. IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian BAB. IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian mengenai hubungan antara jumlah trombosit dengan kejadian pada pasien DBD (DSS) anak ini dilakukan di RS PKU Muhammadiyah Bantul pada tanggal

Lebih terperinci

SISTEM PEREDARAN DARAH

SISTEM PEREDARAN DARAH SISTEM PEREDARAN DARAH Tujuan Pembelajaran Menjelaskan komponen-komponen darah manusia Menjelaskan fungsi darah pada manusia Menjelaskan prinsip dasar-dasar penggolongan darah Menjelaskan golongan darah

Lebih terperinci

SISTEM KOMPLEMEN. Dr. TETTY AMAN NASUTION, M.Med.Sc DEPARTEMEN MIKROBIOLOGI FK-USU MEDAN

SISTEM KOMPLEMEN. Dr. TETTY AMAN NASUTION, M.Med.Sc DEPARTEMEN MIKROBIOLOGI FK-USU MEDAN SISTEM KOMPLEMEN Dr. TETTY AMAN NASUTION, M.Med.Sc DEPARTEMEN MIKROBIOLOGI FK-USU MEDAN Komplemen Salah satu sistem enzim serum yang berfungsi dalam inflamasi, opsonisasi partikel antigen, dan kerusakan

Lebih terperinci

PRAKTIKUM II : DARAH, PEMBULUH DARAH, DARAH DALAM BERBAGAI LARUTAN, PENGGOLONGAN DARAH SISTEM ABO DAN RHESUS.

PRAKTIKUM II : DARAH, PEMBULUH DARAH, DARAH DALAM BERBAGAI LARUTAN, PENGGOLONGAN DARAH SISTEM ABO DAN RHESUS. PRAKTIKUM II : DARAH, PEMBULUH DARAH, DARAH DALAM BERBAGAI LARUTAN, PENGGOLONGAN DARAH SISTEM ABO DAN RHESUS. Praktikum IDK 1 dan Biologi, 2009 Tuti Nuraini, SKp., M.Biomed. 1 TUJUAN Mengetahui asal sel-sel

Lebih terperinci

PATOGENISITAS MIKROORGANISME

PATOGENISITAS MIKROORGANISME PATOGENISITAS MIKROORGANISME PENDAHULUAN Pada dasarnya dari seluruh m.o yg terdapat di alam, hanya sebagian kecil saja yg patogen maupun potensial patogen. Patogen adalah organisme yg menyebabkan penyakit

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gangguan pada hepar dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, antara lain virus, radikal bebas, maupun autoimun. Salah satu yang banyak dikenal masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lainnya, berada dalam konsistensi cair, beredar dalam suatu sistem tertutup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lainnya, berada dalam konsistensi cair, beredar dalam suatu sistem tertutup BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sifat Umum Darah Darah adalah jaringan tubuh yang berbeda dengan jaringan tubuh lainnya, berada dalam konsistensi cair, beredar dalam suatu sistem tertutup yang dinamakan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) atau Sexually Transmited Infections (STIs) adalah penyakit yang didapatkan seseorang karena melakukan hubungan seksual dengan orang yang

Lebih terperinci

MAKALAH SEROLOGI DAN IMUNOLOGI

MAKALAH SEROLOGI DAN IMUNOLOGI MAKALAH SEROLOGI DAN IMUNOLOGI ANTIGEN DAN ANTIBODI DISUSUN OLEH : Kelompok : I (Satu) 1. Abdullah Halim (12 01 01 001) 2. Andera Meka Susu (12 01 01 002) 3. Andrean Revinaldy (12 01 01 003) 4. Andri Rinaldi

Lebih terperinci

Respon imun adaptif : Respon humoral

Respon imun adaptif : Respon humoral Respon imun adaptif : Respon humoral Respon humoral dimediasi oleh antibodi yang disekresikan oleh sel plasma 3 cara antibodi untuk memproteksi tubuh : Netralisasi Opsonisasi Aktivasi komplemen 1 Dua cara

Lebih terperinci

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER BAB 8 IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER 8.1. PENDAHULUAN Ada dua cabang imunitas perolehan (acquired immunity) yang mempunyai pendukung dan maksud yang berbeda, tetapi dengan tujuan umum yang sama, yaitu mengeliminasi

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM SEROLOGI IMUNOLOGI IMUNODIFUSI GANDA

LAPORAN PRAKTIKUM SEROLOGI IMUNOLOGI IMUNODIFUSI GANDA LAPORAN PRAKTIKUM SEROLOGI IMUNOLOGI IMUNODIFUSI GANDA DI SUSUN OLEH : Maulina (0801027) Kelompok III` Tanggal praktikum: 22 Desember 2011 Dosen: Adriani Susanty, M.Farm., Apt Asisten: Gusti Wahyu Ramadhani

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan Gejala Klinis Pengamatan gejala klinis pada benih ikan mas yang diinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila meliputi kelainan fisik ikan, uji refleks, dan respon

Lebih terperinci

Golongan darah. Kuliah SP modul HOM 2009

Golongan darah. Kuliah SP modul HOM 2009 Golongan darah Kuliah SP modul HOM 2009 Sejarah : GOLONGAN DARAH Landsteiner (1900) : gol darah A, B, AB, O gol darah lain : Lewis, Duffi, rhesus, Kidd, Lutheran Yang terpenting ; ABO dan rhesus Dasar

Lebih terperinci

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl

umum digunakan untuk brucellosis yang di Indonesia umumnya menggunakan teknik Rose Bengal Plate Test (RBPT), Serum Agglutination Test (SAT), dan Compl DIAGNOSA PENYAKIT BRUCELLOSIS PADA SAP] DENGAN TEKNIK UJI PENGIKATAN KOMPLEMEN Yusuf Mukmin Balai Penelitian Veteriner, Jalan R.E. Martadinata 30, Bogor 11614 PENDAHULUAN Brucellosis adalah penyakit bakterial

Lebih terperinci

DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI. Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB

DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI. Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB DIAGNOSIS SECARA MIKROBIOLOGI : METODE SEROLOGI Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB Pendahuluan Berbagai metode telah dikembangkan untuk mendeteksi berbagai penyakit yang disebabkan oleh mikroba

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut pada saluran pencernaan yang masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian demam tifoid di

Lebih terperinci

DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI

DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI Daya Tahan tubuh Adalah Kemampuan tubuh untuk melawan bibit penyakit agar terhindar dari penyakit 2 Jenis Daya Tahan Tubuh : 1. Daya tahan tubuh spesifik atau Immunitas 2.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oksigen. Darah terdiri dari bagian cair dan padat, bagian cair yaitu berupa plasma

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oksigen. Darah terdiri dari bagian cair dan padat, bagian cair yaitu berupa plasma BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Darah 1. Pengertian darah Dalam system sirkulasi darah merupakan bagian penting yaitu dalam transport oksigen. Darah terdiri dari bagian cair dan padat, bagian cair yaitu berupa

Lebih terperinci

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Dr. Nia Kurniati, SpA (K) Manusia mempunyai sistem pertahanan tubuh yang kompleks terhadap benda asing. Berbagai barrier diciptakan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk melawan segala macam organisme pengganggu atau toksin yang cenderung merusak jaringan dan organ tubuh. Kemampuan

Lebih terperinci

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel-sel serta

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Serum dan Kuning Telur Hasil AGPT memperlihatkan pembentukan garis presipitasi yang berwarna putih pada pengujian serum dan kuning telur tiga dari sepuluh ekor ayam yang

Lebih terperinci

Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh

Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh Apabila tubuh mendapatkan serangan dari benda asing maupun infeksi mikroorganisme (kuman penyakit, bakteri, jamur, atau virus) maka sistem kekebalan tubuh akan berperan

Lebih terperinci

LISNA UNITA, DRG.M.KES DEPARTEMEN BIOLOGI ORAL

LISNA UNITA, DRG.M.KES DEPARTEMEN BIOLOGI ORAL LISNA UNITA, DRG.M.KES DEPARTEMEN BIOLOGI ORAL MEKANISME PERTAHANAN IMUN DAN NON IMUN SALIVA SALIVA Pembersihan secara mekanik Kerja otot lidah, pipi dan bibir mempertahankan kebersihan sisi-sisi mulut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antigen) yang terkandung di dalam sel darah merah (Fitri, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. antigen) yang terkandung di dalam sel darah merah (Fitri, 2007). BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Golongan darah merupakan ciri khusus darah dari suatu individu karena adanya perbedaan jenis karbohidrat dan protein pada permukaan membran sel darah merah. Golongan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gejala Klinis Benih Lele Sangkuriang yang terinfeksi Aeromonas hydrophila Pengamatan gejala klinis benih lele sangkuriang yang diinfeksikan Aeromonas hydrophila meliputi

Lebih terperinci

autologous control yang positif mengindikasikan adanya keabnormalan pada pasien itu sendiri yang disebabkan adanya alloantibody di lapisan sel darah

autologous control yang positif mengindikasikan adanya keabnormalan pada pasien itu sendiri yang disebabkan adanya alloantibody di lapisan sel darah SCREENING ANTIBODY Screening antibody test melibatkan pengujian terhadap serum pasien dengan dua atau tiga sampel reagen sel darah merah yang disebut sel skrining/sel panel. Sel panel secara komersial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kolitis Ulserativa (ulcerative colitis / KU) merupakan suatu penyakit menahun, dimana kolon mengalami peradangan dan luka, yang menyebabkan diare berdarah, kram perut

Lebih terperinci

KONSEP GOLONGAN DARAH ABO DAN RHESUS. Ns. Haryati

KONSEP GOLONGAN DARAH ABO DAN RHESUS. Ns. Haryati KONSEP GOLONGAN DARAH ABO DAN RHESUS Ns. Haryati 2015 Lingkup Pembelajaran 1. Sejarah Golongan Darah 2. Definisi Golongan Darah 3. Jenis Golongan Darah: ABO 4. Rhesus 5. Pewarisan Golongan Darah 6. Golongan

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS Sistem Imun Organ limfatik primer Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Organ

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengaruh dari formula ekstrak herbal terhadap sistem imunitas tubuh ayam dapat diperoleh dengan melihat aktivitas dan kapasitas makrofag peritoneum ayam yang telah ditantang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

Shabrina Jeihan M XI MIA 6 SISTEM TR A N SFU SI D A R A H

Shabrina Jeihan M XI MIA 6 SISTEM TR A N SFU SI D A R A H Shabrina Jeihan M XI MIA 6 G O LO N G A N D A R A H,U JI G O LO N G A N D A R A H D A N SISTEM TR A N SFU SI D A R A H G olongan darah Golongan darah -> klasifikasi darah suatu individu berdasarkan ada

Lebih terperinci

FIRST LINE DEFENCE MECHANISM

FIRST LINE DEFENCE MECHANISM Pengertian Sistem Pertahanan Tubuh Pertahanan tubuh adalah seluruh sistem/ mekanisme untuk mencegah dan melawan gangguan tubuh (fisik, kimia, mikroorg) Imunitas Daya tahan tubuh terhadap penyakit dan infeksi

Lebih terperinci

Kompetensi SISTEM SIRKULASI. Memahami mekanisme kerja sistem sirkulasi dan fungsinya

Kompetensi SISTEM SIRKULASI. Memahami mekanisme kerja sistem sirkulasi dan fungsinya SISTEM SIRKULASI Kompetensi Memahami mekanisme kerja sistem sirkulasi dan fungsinya Suatu sistem yang memungkinkan pengangkutan berbagai bahan dari satu tempat ke tempat lain di dalam tubuh organisme Sistem

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Inflamasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan radang yang merupakan respon perlindungan setempat yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Inflamasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan radang yang merupakan respon perlindungan setempat yang BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Inflamasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan radang yang merupakan respon perlindungan setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakkan jaringan untuk menghancurkan,

Lebih terperinci

DASAR-DASAR IMUNOBIOLOGI

DASAR-DASAR IMUNOBIOLOGI DASAR-DASAR IMUNOBIOLOGI OLEH: TUTI NURAINI, SKp, M.Biomed. DASAR KEPERAWATAN DAN KEPERAWATAN DASAR PENDAHULUAN Asal kata bahasa latin: immunis: bebas dari beban kerja/ pajak, logos: ilmu Tahap perkembangan

Lebih terperinci

Peran Sistem Komplemen pada Patogenesis Aterosklerosis

Peran Sistem Komplemen pada Patogenesis Aterosklerosis 31 Peran Sistem Komplemen pada Patogenesis Aterosklerosis 1 Reza Maulana, 2 Hidayaturrahmi, 3 Nur Wahyuniati * 1 Bagian anatomi histologi, Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tumbuhan Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tumbuhan Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) 2.1.1 Klasifikasi tumbuhan Dalam taksonomi tumbuhan, tanaman mahkota dewa diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Divisi Subdivisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kronik dan termasuk penyakit hati yang paling berbahaya dibandingkan dengan. menularkan kepada orang lain (Misnadiarly, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. kronik dan termasuk penyakit hati yang paling berbahaya dibandingkan dengan. menularkan kepada orang lain (Misnadiarly, 2007). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hepatits B disebabkan oleh virus hepatitis B (HBV) yang termasuk virus DNA, yang menyebakan nekrosis hepatoseluler dan peradangan (WHO, 2015). Penyakit Hepatitis B

Lebih terperinci

Urutan mekanisme hemostasis dan koagulasi dapat dijelaskan sebagai berikut:

Urutan mekanisme hemostasis dan koagulasi dapat dijelaskan sebagai berikut: MEKANISME HEMOSTASIS Urutan mekanisme hemostasis dan koagulasi dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Segera setelah pembuluh darah terpotong atau pecah, rangsangan dari pembuluh darah yang rusak itu menyebabkan

Lebih terperinci

RPKPS Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester Dan Bahan Ajar IMUNUNOLOGI FAK Oleh : Dr. EDIATI S., SE, Apt

RPKPS Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester Dan Bahan Ajar IMUNUNOLOGI FAK Oleh : Dr. EDIATI S., SE, Apt RPKPS Rencana Program Kegiatan Pembelajaran Semester Dan Bahan Ajar IMUNUNOLOGI FAK 3821 Oleh : Dr. EDIATI S., SE, Apt FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS GADJAH MADA 2003 Nama Mata Kuliah : Imunologi Kode /

Lebih terperinci

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit Plasma (40%-50%) Lekosit Eritrosit sebelum sesudah sentrifusi Eritrosit Fungsi

Lebih terperinci

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi, PENGETAHUAN DASAR IMUNOLOGI KULIT Dr. Ariyati Yosi, SpKK PENDAHULUAN Kulit: end organ banyak kelainan yang diperantarai oleh proses imun kulit berperan secara aktif sel-sel imun (limfoid dan sel langerhans)

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Temperatur Tubuh Peningkatan temperatur tubuh dapat dijadikan indikator terjadinya peradangan di dalam tubuh atau demam. Menurut Kelly (1984), temperatur normal tubuh sapi

Lebih terperinci

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI 1 BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI TUGAS I Disusun untuk memenuhi tugas praktikum brosing artikel dari internet HaloSehat.com Editor SHOBIBA TURROHMAH NIM: G0C015075 PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. DARAH Darah adalah cairan jaringan tubuh. Fungsi utamanya adalah mengangkut oksigen yang diperlukan oleh sel-sel di seluruh tubuh. Darah juga mensuplai jaringan tubuh dengan

Lebih terperinci

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN Sel yang terlibat dalam sistem imun normalnya berupa sel yang bersirkulasi dalam darah juga pada cairan lymph. Sel-sel tersebut dapat dijumpai dalam

Lebih terperinci

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit Plasma (40%-50%) Lekosit Eritrosit sebelum sesudah sentrifusi Fungsi utama eritrosit:

Lebih terperinci

Gambar: Struktur Antibodi

Gambar: Struktur Antibodi PENJELASAN TENTANG ANTIBODY? 2.1 Definisi Antibodi Secara umum antibodi dapat diartikan sebagai protein yang dapat ditemukan pada plasma darah dan digunakan oleh sistem kekebalan tubuh untuk mengidentifikasikan

Lebih terperinci

Sistem Imun. Organ limfatik primer. Organ limfatik sekunder. Limpa Nodus limfa Tonsil. Sumsum tulang belakang Kelenjar timus

Sistem Imun. Organ limfatik primer. Organ limfatik sekunder. Limpa Nodus limfa Tonsil. Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Sistem Imun Organ limfatik primer Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Organ limfatik sekunder Limpa Nodus limfa Tonsil SISTEM PERTAHANAN TUBUH MANUSIA Fungsi Sistem Imun penangkal benda asing yang masuk

Lebih terperinci

Apa itu Darah? Plasma Vs. serum

Apa itu Darah? Plasma Vs. serum Anda pasti sudah sering mendengar istilah plasma dan serum, ketika sedang melakukan tes darah. Kedua cairan mungkin tampak membingungkan, karena mereka sangat mirip dan memiliki penampilan yang sama, yaitu,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oksigen, antibodi, panas, elektrolit dan vitamin ke jaringan seluruh tubuh. Darah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oksigen, antibodi, panas, elektrolit dan vitamin ke jaringan seluruh tubuh. Darah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Darah Darah adalah jaringan hidup yang bersirkulasi mengelilingi seluruh tubuh dengan perantara jaringan arteri, vena dan kapilaris, yang membawa nutrisi, oksigen, antibodi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara

I. PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan masalah kesehatan yang penting di negara-negara berkembang, salah satunya di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Salmonella enterica

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Darah merupakan bagian dari tubuh yang jumlahnya 6-8 % dari berat badan total.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Darah merupakan bagian dari tubuh yang jumlahnya 6-8 % dari berat badan total. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Darah Darah merupakan bagian dari tubuh yang jumlahnya 6-8 % dari berat badan total. Darah adalah jaringan berbentuk cairan, terdiri dari 2 bagian besar yaitu plasma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mayarakat secara umum harus lebih memberi perhatian dalam pencegahan dan pengobatan berbagai jenis penyakit yang ditimbulkan oleh mikroorganisme patogen seperti

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui 41 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Uji LD-50 Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui kepadatan bakteri yang akan digunakan pada tahap uji in vitro dan uji in vivo. Hasil

Lebih terperinci

BAB 3 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 3 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 3 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Tumbuhan uji yang digunakan adalah pegagan dan beluntas. Tumbuhan uji diperoleh dalam bentuk bahan yang sudah dikeringkan. Simplisia pegagan dan beluntas yang diperoleh

Lebih terperinci

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Leukemia Leukemia merupakan kanker yang terjadi pada sumsum tulang dan sel-sel darah putih. Leukemia merupakan salah satu dari sepuluh kanker pembunuh teratas di Hong Kong, dengan sekitar 400 kasus baru

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada kerbau lumpur betina, diperoleh jumlah rataan dan simpangan baku dari total leukosit, masing-masing jenis leukosit, serta rasio neutrofil/limfosit

Lebih terperinci

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP) A. Identitas Nama Sekolah : SMA Negeri 1 Cirebon Mata Pelajaran : Biologi Kelas/Program/Semester : XI IPA/1 Standar Kompetensi : 3. Menjelaskan struktur dan fungsi

Lebih terperinci

ALEL GANDA. Oleh ARNI AMIR

ALEL GANDA. Oleh ARNI AMIR ALEL GANDA Oleh ARNI AMIR ALEL GANDA Yaitu apabila sebuah lokus dalam sebuah kromosom ditempati oleh beberapa alel atau seri alel maka disebut alel ganda = Multiple Alleles. Konsep Alel Ganda 1. Warna

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan pada

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan pada BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Data hasil penelitian jumlah netrofil yang menginvasi cairan intraperitoneal mencit terinfeksi E. coli setelah pemberian tiga jenis teripang ditunjukkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. cross sectional. Sampel diambil secara consecutive sampling dari data

III. METODE PENELITIAN. cross sectional. Sampel diambil secara consecutive sampling dari data 34 III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan desain penelitian cross sectional. Sampel diambil secara consecutive sampling dari data penderita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sampai saat ini penyakit Tuberkulosis Paru ( Tb Paru ) masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Sampai saat ini penyakit Tuberkulosis Paru ( Tb Paru ) masih menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Sampai saat ini penyakit Tuberkulosis Paru ( Tb Paru ) masih menjadi masalah kesehatan yang utama di dunia maupun di Indonesia. Penyakit Tuberkulosis merupakan penyebab

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Gambar 4. Borok Pada Ikan Mas yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila

BAB IV PEMBAHASAN. Gambar 4. Borok Pada Ikan Mas yang Terinfeksi Bakteri Aeromonas hydrophila BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Gejala Klinis Ikan Mas yang Terinfeksi Aeromonas hydrophila Pengamatan gejala klinis pada ikan mas yang diinfeksi Aeromonas hydrophila meliputi kerusakan jaringan tubuh dan perubahan

Lebih terperinci