POTENSI DAN STRATEGI PENGELOLAAN MANGROVE DI KECAMATAN SAWO, KABUPATEN NIAS UTARA, PROVINSI SUMATERA UTARA SEPTINUS MENDROFA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "POTENSI DAN STRATEGI PENGELOLAAN MANGROVE DI KECAMATAN SAWO, KABUPATEN NIAS UTARA, PROVINSI SUMATERA UTARA SEPTINUS MENDROFA"

Transkripsi

1 POTENSI DAN STRATEGI PENGELOLAAN MANGROVE DI KECAMATAN SAWO, KABUPATEN NIAS UTARA, PROVINSI SUMATERA UTARA SEPTINUS MENDROFA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Potensi dan Strategi Pengelolaan Mangrove di Kecamatan Sawo, Kabupaten Nias Utara, Provinsi Sumatera Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2017 Septinus Mendrofa NIM C

4 RINGKASAN SEPTINUS MENDROFA. Potensi dan Strategi Pengelolaan Mangrove di Kecamatan Sawo, Kabupaten Nias Utara, Provinsi Sumatera Utara. Dibimbing oleh RAHMAT KURNIA dan NIKEN TUNJUNG MURTI PRATIWI Kecamatan Sawo, Kabupaten Nias Utara memiliki ekosistem mangrove yang cukup luas dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Lokasi mangrove di wilayah ini berdekatan dengan lingkungan pemukiman penduduk, sehingga dikhawatirkan terjadinya pemanfaatan berlebihan dan juga kerusakan yang besar jika tidak dikelola dengan baik. Penelitian ini merupakan penelitian awal, yakni berupa kajian tentang potensi dan strategi pengelolaan pada ekosistem mangrove yang ada di kawasan Sawo untuk dapat menjadi dasar bagi pemerintah dan instansi terkait dalam merumuskan keputusan untuk pelestarian ekosistem mangrove di kawasan pesisir Kecamatan Sawo, Kabupaten Nias Utara. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis potensi dan menetapkan strategi alternatif dalam pelestarian ekosistem mangrove di Kecamatan Sawo, Kabupaten Nias Utara, Provinsi Sumatera Utara. Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai Februari 2016 dengan metode studi kasus dan metode pengambilan contoh purposive sampling serta untuk pengumpulan data vegetasi mangrove dengan menggunakan metode Plot Count Method (Quadrat Method). Di kawasan pesisir Kecamatan Sawo, Kabupaten Nias Utara ditemukan 13 spesies mangrove sejati yaitu Acrostichum aureum, Acrostichum spesiosum, Bruguiera cylindrical, Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera sexangula, Ceriops tagal, Lumnitzera littorea, Nypa fruticans, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Soneratia alba, dan Xylocarpus granatum, serta 11 spesies lainnya merupakan mangrove ikutan yaitu Canavalia maritima, Cyperus malaccensis, Cyperus scariosus, Derris trifoliate, Hibiscus tiliaceus, Ipomea pescaprae, Morinda citrifolia, Pandanus tectorius, Pongamia pinnata, Scaevola taccada, dan Terminalia catappa. Mangrove spesies R. apiculata memiliki ratarata nilai penting (NP) yang lebih tinggi dibanding spesies lain baik untuk tingkat pohon, anakan, dan semai yakni pada Stasiun I yaitu 158,04%, 153,11%, dan 113,54%, dan pada Stasiun II yaitu 147,16%, 153,69% dan 123,99%. Menurut hasil olahan data citra landsat diketahui bahwa dalam jangka waktu 10 tahun maka penurunan luas mangrove di daerah penelitian mencapai 17,405 ha. Kerusakan ekosistem mangrove di Kecamatan Sawo disebabkan oleh kegiatan manusia dan pengaruh bencana alam, hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman masyarakat akan jenis, fungsi serta manfaat hutan mangrove tersebut. Hasil perumusan strategi pengelolaan mangrove di kawasan pesisir Kecamatan Sawo supaya tetap lestari ditetapkan berdasarkan strategi utama yaitu pemberdayaan masyarakat, serta pendidikan dan pelatihan masyarakat. Kata kunci: AHP, Kecamatan Sawo, potensi mangrove, strategi pengelolaan mangrove

5 SUMMARY SEPTINUS MENDROFA. Potency and Management Strategies of Mangrove in Sawo District, North Nias Regency, North Sumatera Province. Supervised by RAHMAT KURNIA and NIKEN TUNJUNG MURTI PRATIWI. Sawo District, North Nias has a large mangrove forest if compared with other districts. This location was located near a settlement, so it will potentially to be overexploited if it is not managed properly. This research was a pioneer for assessment of potency and strategy of mangrove ecosystem in Sawo District, so that it can be a base for make strategies of mangrove management by local government to. This study was aimed to analyse condition, potency and alternative strategy for mangrove conservation on Sawo District, North Nias Regency, North Sumatera Province. The research was conducted from January to February Data was collected by Count Method (Quadrat Method) and purposive sampling. There is 13 true mangrove spesies on Sawo including Acrostichum aureum, Acrostichum spesiosum, Bruguiera cylindrical, Bruguiera gymnorrhiza, Bruguiera sexangula, Ceriops tagal, Lumnitzera littorea, Nypa fruticans, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Soneratia alba,dan Xylocarpus granatum, and 11 associated mangroves spesies included Canavalia maritima, Cyperus malaccensis, Cyperus scariosus, Derris trifoliate, Hibiscus tiliaceus, Ipomea pescaprae, Morinda citrifolia, Pandanus tectorius, Pongamia pinnata, Scaevola taccada, and Terminalia catappa. Importance Value Index (INP) for R. apiculata was highest value, where INP of tree 158,04%; sapling 153,11%; and seedling level 113,54 in station 1 and INP of tree 147,16; sapling 153,69; and seedling level 123,99% in station 2. The result of satellite imagery by Landsat, was known for 10 years degradation of mangrove area reached ha. Mangrove degradation on Sawo caused by local community activities and natural disasters. It was caused by the lack of community knowledge in mangrove benefit and function. The result of mangrove management strategy for sustainable on Sawo are community empowerment, education and training. Keywords: AHP, mangrove management strategy, mangrove potency, Sawo District

6 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 POTENSI DAN STRATEGI PENGELOLAAN MANGROVE DI KECAMATAN SAWO, KABUPATEN NIAS UTARA, PROVINSI SUMATERA UTARA SEPTINUS MENDROFA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

8

9 Penguji Luar Komisi Pembimbing Ujian Tesis: Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc

10

11

12 PRAKATA Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang berkat kasih karunia-nya Penulis dapat menyajikan tulisan ilmiah berdasarkan kegiatan penelitian yang dilakukan pada Januari-Februari Karya ilmiah ini merupakan pengembangan bidang ilmu pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan yang berjudul Potensi dan Strategi Pengelolaan Mangrove di Kecamatan Sawo, Kabupaten Nias Utara, Provinsi Sumatera Utara. Pada kesempatan ini Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Segenap sivitas akademik IPB, Dekan Pascasarjana, dosen dan staf Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan dan Dr Ir Achmad Fahrudin, MSi selaku ketua program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. 2. Dr Ir Rahmat Kurnia, MSi dan Dr Ir Niken Tunjung Murti Pratiwi, MSi sebagai dosen pembimbing tesis serta Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc selaku penguji luar komisi dan Dr Zulhamsyah Imran, SPi MSi selaku penguji perwakilan PS SPL yang telah memberikan banyak masukan dan pengarahan sehingga tulisan ini berhasil diselesaikan. 3. Kedua orang tua dan keluarga tercinta atas doa, dukungan, dan semangat maupun materi yang tidak pernah putus. 4. Kepada yang tercinta Cipta Kasih Novilita Zebua, SPt MSi atas semua suka, duka, perhatian, dukungan, dan doa serta semangatnya. 5. Pemerintahan Kabupaten Nias Utara atas kesempatan dan kepercayaan untuk melanjutkan studi magister di IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah. 6. Pemerintah Kecamatan Sawo beserta elemen masyarakat yang telah membantu menyediakan informasi dalam proses penelitian. 7. Bapak Juni Kharisman Mendrofa, SPd dan Eli Asari Telaumbanua serta Manueli Telaumbanua yang telah membantu mengfasilitasi pengambilan data di lapangan, dan seluruh rekan-rekan yang turut membantu pelaksanaan penelitian. 8. Bapak Sabarjaya Telaumbanua, SPi MSi yang telah membantu memberikan informasi dan data-data yang dibutuhkan dalam penulisan tesis. 9. Keluarga besar Program Studi SPL IPB dan khususnya teman-teman SPL 2014 atas segala bantuan selama penulisan tesis. 10. Semua pihak yang telah ikut membantu penulisan tesis ini yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua demi kemajuan bersama. Bogor, Februari 2017 Septinus Mendrofa

13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL xiii DAFTAR GAMBAR xiv DAFTAR LAMPIRAN xiv PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Rumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 3 Manfaat Penelitian 3 METODE PENELITIAN 4 Lokasi dan Waktu Penelitian 4 Bahan dan Alat 4 Pengumpulan Data 4 Analisis Data 7 HASIL DAN PEMBAHASAN 10 Hasil 10 Gambaran umum Kabupaten Nias Utara 10 Potensi perikanan Kabupaten Nias utara 11 Keadaan umum Kecamatan Sawo Kabupaten Nias Utara 12 Sosial ekonomi masyarakat Kecamatan sawo 13 Kondisi umum ekosistem mangrove di daerah penelitian 14 Struktur vegetasi ekosistem mangrove 15 Struktur vegetasi mangrove tingkat pohon 16 Struktur vegetasi mangrove tingkat anakan 17 Struktur vegetasi mangrove tingkat semai 18 Kerusakan ekosistem mangrove Kecamatan Sawo 19 Kondisi sosial masyarakat nelayan di sekitar ekosistem mangrove 21 Kondisi ekonomi masyarakat nelayan di sekitar ekosistem mangrove 23 Manfaat ekosistem mangrove terhadap perekonomian nelayan 25 Strategi pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Sawo 26 Kriteria utama menurut responden pakar 27 Pembahasan 28 KESIMPULAN DAN SARAN 33 Kesimpulan 33 Saran 33 DAFTAR PUSTAKA 33 LAMPIRAN 37 RIWAYAT HIDUP 49 DAFTAR TABEL 1. Jenis dan sumber data penelitian 5 2. Jumlah penduduk dengan tingkat pendidikan Jumlah persentase penduduk menurut jenis jenis pekerjaan Spesies dan jumlah individu mangrove tingkat pohon yang terdapat masing-masing transek pada Stasiun I dan Stasiun II 16

14 5. Spesies dan jumlah individu mangrove tingkat anakan yang terdapat masing-masing transek pada Stasiun I dan Stasiun II Spesies dan jumlah individu mangrove tingkat semai yang terdapat masing-masing transek pada Stasiun I dan Stasiun II Jumlah penduduk setiap desa di daerah penelitian Fasilitas pendidikan setiap desa pengamatan di Kecamatan Sawo Mata pencaharian pokok masyarakat masing-masing desa 24 DAFTAR GAMBAR 1. Kerangka pikir penelitian 3 2. Desain titik transek penelitian 5 3. Garis Transek untuk mengambil data ekosistem mangrove 6 4. Hirarki penentuan strategi pengelolaan mangrove di Kecamatan Sawo 9 5. Peta administrasi Kabupaten Nias Utara Rata-rata NP tingkat pohon pada Stasiun I Rata-rata NP tingkat pohon pada Stasiun II Rata-rata NP tingkat anakan pada Stasiun I Rata-rata NP tingkat anakan pada Stasiun II Rata-rata NP tingkat semai pada Stasiun I Rata-rata NP tingkat semai pada Stasiun II Diagram hirarki strategi pengelolaan mangove Prioritas strategi pengelolaan mangrove hasil olahan data AHP 28 DAFTAR LAMPIRAN 1. Peta Kecamatan Sawo Kabupaten Nias Utara Nama desa dan luas wilayah serta jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan kepala keluarga Kecamatan Sawo Mangrove sejati di daerah penelitian Mangrove ikutan di daerah penelitian Dokumentasi penelitian Hasil perhitungan vegetasi mangrove tingkat pohon setiap Stasiun pengamatan Hasil perhitungan vegetasi mangrove tingkat anakan setiap Stasiun pengamatan Hasil perhitungan vegetasi mangrove tingkat semai setiap Stasiun pengamatan Hasil olahan luasan mangrove dengan menggunakan citra landsat 47

15 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam wilayah pesisir yang sangat penting ditinjau dari fungsi ekologi, fisik, dan ekonomi (Dahdouh-Guebes et al. 2005, Kamal 2011, Heriyanto & Subiandono 2012, Mangkay et al. 2012). Lalo (2003) menambahkan bahwa ekosistem mangrove merupakan tipe ekosistem yang unik, karena dalam ekosistem mangrove terpadu dua tipe karakteristik ekosistem, yaitu laut dan darat sehingga mengakibatkan jenis biota yang hidup di habitat mangrove terdiri dari biota laut dan biota darat. Luasan ekosistem mangrove semakin berkurang akibat tekanan dari berbagai aktivitas manusia yang semakin banyak, serta perluasan kota yang semakin pesat. Pemanfaatan yang tidak diiringi dengan pelestarian yang bijaksana dikhawatirkan akan menyebabkan penurunan sumberdaya, bahkan menyebabkan kepunahan. Menurut Pattimahu (2010), luas hutan mangrove di Indonesia telah mengalami degradasi sekitar 13 % atau sekitar ha dalam kurun waktu 11 tahun. Penurunan luas kawasan mangrove secara drastis disebabkan oleh kurang tepatnya apresiasi nilai yang diberikan terhadap ekosistem area mangrove serta adanya anggapan salah yang menyatakan bahwa ekosistem area mangrove merupakan areal yang tidak bernilai. Hal ini menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan mangrove menjadi peruntukan lain yang dianggap lebih ekonomis. Kabupaten Nias Utara adalah salah satu kabupaten yang terletak di Kepulauan Nias, Provinsi Sumatera Utara, yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Nias pada tahun 2008 (BPSKN 2011). Sebagian besar wilayahnya berada di pesisir, sehingga memiliki garis pantai yang panjang. Namun, banyak wilayah pesisir yang telah mengalami proses abrasi pantai. Abrasi ini disebabkan oleh tragedi tsunami pada tahun 2004 dan gempa pada tahun 2005 yang menyebabkan beberapa wilayah pesisir di Kabupaten Nias Utara mengalami kenaikan daratan yang salah satunya adalah Kecamatan Sawo. Kecamatan Sawo termasuk dalam wilayah Kabupaten Nias Utara dan memiliki ekosistem mangrove yang lebih luas dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Menurut hasil penelitian LIPI (2004) in Zai et al. (2014) menyatakan bahwa di Pantai Utara Pulau Nias terdapat 25 (dua puluh lima) jenis mangrove yang termasuk dalam 13 (tiga belas) suku dengan cakupan luas mangrove sebesar 4,54 Km 2. Zai et al. (2014) menambahkan bahwa di Desa Sisarahili Teluk Siabang, Kecamatan Sawo, terdapat 15 jenis mangrove; 12 diantaranya adalah mangrove sejati serta 3 (tiga) lainnya merupakan mangrove ikutan. Penelitian lain yang dilakukan di Desa Lasara Sawo, Kecamatan Sawo, menunjukkan terdapatnya 10 (sepuluh) spesies mangrove; enam di antaranya merupakan mangrove sejati dan empat yang lainnya merupakan mangrove ikutan (Mendrofa 2014). Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa kawasan pesisir Kecamatan Sawo, Kabupaten Nias Utara, memiliki potensi ekosistem mangrove yang besar untuk dapat dikembangkan dan dikelola dengan baik. Akibat gempa tektonik yang melanda Kepulauan Nias pada tahun 2005 di wilayah ini mengalami kenaikan daratan dan penurunan muka air laut. Banyak kawasan mangrove yang mengering sehingga menyebabkan ekosistem mangrove

16 2 mengalami kerusakan. Selain itu, lokasi ekosistem mangrove di wilayah ini berdekatan dengan lingkungan pemukiman penduduk, sehingga dikhawatirkan terjadi pemanfaatan berlebihan serta kerusakan tanpa diiringi dengan pengelolaan yang baik. Hal ini akan menyebabkan terjadinya degradasi ekosistem mangrove. Berkaitan dengan hal ini, belum ada kajian strategi pengelolaan yang dilakukan terkait dengan keberadaan mangrove di wilayah tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang potensi dan perumusan strategi pengelolaan pada mangrove yang ada di kawasan tersebut. Rumusan Masalah Mangrove merupakan ekosistem pesisir yang memiliki fungsi penting, baik fungsi fisik, ekonomi maupun ekologi. Untuk dapat mempertahankan kelestarian mangrove, perlu dilakukan pengelolaan yang baik dalam pemanfaatan, sehingga dapat berkelanjutan. Peningkatan jumlah penduduk dan tuntutan kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat akan mendorong masyarakat untuk melakukan eksploitasi mangrove. Disamping itu, konversi lahan mangrove menjadi lahan pertanian dan pembangunan akan menyebabkan penurunan luasan ekosistem mangrove secara besar-besaran. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan yang tidak dikelola dan dimanfaatkan dengan baik akan mengakibatkan pemanfaatan sumberdaya yang tidak lestari, sehingga memberikan dampak yang tidak diinginkan bagi kawasan pesisir (pantai dan ekosistem). Dampak yang diakibatkan oleh pemanfaatan mangrove yang tidak terkendali adalah kerusakan ekosistem mangrove karena terputusnya mata rantai kehidupan antara ekosistem mangrove dengan ekosistem lain maupun dalam ekosistem itu sendiri (Mujizat et al in Sutanto 2010). Kondisi yang sama terjadi di Kecamatan Sawo yang memiliki potensi ekosistem mangrove yang cukup luas. Keterbatasan masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove di wilayah ini menyebabkan terjadinya degradasi yang cukup tinggi. Minimnya pengetahuan masyarakat akan jenis, fungsi dan manfaat ekosistem mangrove menyebabkan kecilnya nilai yang diberikan oleh masyarakat terhadap ekosistem mangrove tersebut. Akibatnya, masyarakat melakukan penebangan pohon mangrove secara besar-besaran guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kemudian, lahan magrove yang telah ditebang tersebut dikonversi menjadi lahan pertanian dan bangunan, baik infrastruktur maupun tempat tinggal masyarakat. Peranan ekosistem mangrove sangat penting bagi ekosistem pesisir dan makhluk hidup yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu, perlu untuk mempelajari dan mengetahui kondisi ekosistem mangrove sesungguhnya di Kecamatan Sawo saat ini guna merumuskan strategi yang tepat guna pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari. Hal yang dikaji dalam penelitian ini adalah potensi ekosistem mangrove dan sosial ekonomi masyarakat nelayan yang tinggal di sekitar kawasan mangrove, serta perubahan luasan dan faktor kerusakan ekosistem mangrove. Hal ini dilakukan untuk menetapkan strategi pengelolaan mangrove yang tepat dan dapat diterapkan dalam pengelolaan ekosistem mangrove yang ada di Kecamatan Sawo secara berkelanjutan. Kerangka pikir penelitian disajikan pada Gambar 1.

17 3 Ekosistem Mangrove Kecamatan Sawo Data Sosial Data Ekonomi Data Ekologi Potensi Pemanfaatan Mangrove Pengelolaan Kerusakan Mangrove Rencana Program Pengelolaan Program Sedang Berjalan Feed Back Strategi Pengelolan Mangrove Gambar 1 Kerangka pikir penelitian Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menganalisis potensi dan menetapkan strategi pengelolaan dalam pelestarian ekosistem mangrove di Kecamatan Sawo, Kabupaten Nias Utara Provinsi Sumatera Utara. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan informasi mengenai pelestarian ekosistem mangrove dengan menggunakan metode yang lebih tepat dan dapat digunakan sebagai masukan bagi pihak-pihak terkait dalam upaya mengamankan garis pantai serta pelestarian ekosistem, baik untuk konservasi maupun untuk rehabilitasi.

18 4 2 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Sawo, Kabupaten Nias Utara, Provinsi Sumatera Utara. Pertimbangan dalam memilih Kecamatan Sawo sebagai lokasi penelitian karena Kecamatan Sawo memiliki potensi ekosistem mangrove yang masih luas. Selain itu kawasan mangrove di wilayah pesisir kecamatan ini sangat dekat dengan pemukiman penduduk dan sebagiannya pernah dimanfaatkan sebagai tambak yang dikelola oleh masyarakat. Kondisi ini diduga tingkat pemanfaatan mangrove di Kecamatan Sawo sangat tinggi, sehingga perlu dikaji potensi dan strategi pengelolaannya untuk dapat mempertahankan kelestarian demi kesejahteraan penduduk yang ada di sekitarnya. Data vegetasi mangrove dan wawancara terhadap masyarakat nelayan dilakukan di Kecamatan Sawo serta pengumpulan data sekunder dan wawancara terhadap responden pakar dilakukan pada instansi dan pakar terkait dengan pengelolaan mangrove di Kecamatan Sawo yang bisa memberikan informasi baik ditingkat kabupaten, kecamatan dan desa. Waktu pengambilan data di lapangan adalah selama dua bulan yaitu bulan Januari sampai Februari Selanjutnya analisis serta penulisan tesis dilakukan pada bulan Januari 2016 sampai bulan November Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini dikelompokkan dalam beberapa bagian. Bahan dan alat tersebut yaitu bahan dan alat dalam pengambilan data vegetasi mangrove dan kuisioner yang disampaikan kepada masyarakat serta para petinggi panggung yang terkait dengan pengelolaan ekosistem mangrove, serta analisis data. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini diperoleh dari data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dengan pengamatan/analisis langsung di lapangan terhadap vegetasi mangrove dan melakukan wawancara langsung dengan masyarakat di sekitar lokasi penelitian serta terhadap petinggi panggung atau instansi terkait. Pemilihan objek penelitian dilakukan secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan bahwa lokasi penelitian adalah desa yang memiliki potensi ekosistem mangrove dan perlu pengelolaan yang tepat. Data sekunder didapat dari Dinas Perikanan, BAPPEDA, Dinas Kehutanan, Camat, Kades, Biro Pusat Statistik (BPS), laporan studi penelitian dan publikasi ilmiah, serta instansi terkait yang dapat memberikan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Untuk lebih jelas dan terstruktur, jenis dan sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dibagi dalam tiga bagian, yaitu data struktur vegetasi mangrove, sosial ekonomi masyarakat nelayan yang tinggal di sekitar kawasan

19 5 mangrove dan data analisis strategi pengelolaan ekosistem mangrove. Rincian data yang dibutuhkan disajikan pada Tabel 1. No Tujuan penelitian Vegetasi mangrove Sosial ekonomi masyarakat nelayan daerah penelitian Strategi pengelolaan mangrove di Kecamatan Sawo Tabel 1 Jenis dan sumber data penelitian Data yang dibutuhkan Jenis data Jenis mangrove Kerapatan Relatif Frekuensi Relatif Dominasi Relatif Kerusakan dan Perubahan tutupan luasan mangrove Penghasilan nelayan Manfaat mangrove yang dirasakan Pengaruh kerusakan ekosistem mangrove Gambaran sosial ekonomi daerah penelitian Nilai perbandingan pakar berdasarkan struktur AHP Data primer Data sekunder Data primer Data sekunder Data primer Analisis data Analisis data mangrove menggunakan rumus Dombois Ellemberg (1978) ArcGis Data wawancara yang didapatkan dimasukkan dalam tabel yang kemudian dideskripsi AHP (Analitycal Hierarchy Process) Sumber Data - Observasi lapangan - Wawancara dengan masyarakat - Citra landsat - Hasil wawancara dari responden - Data dari kantor Kecamatan Sawo - Data DKP Kabupaten Nias Utara Hasil wawancara dengan pakar Daerah penelitian yang relatif luas, keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya serta pertimbangan agar tujuan penelitian ini dapat dicapai, maka ditentukan dua desa yang mempunyai ekosistem mangrove yang dapat mewakili seluruh populasi mangrove di lokasi penelitian. Penentuan stasiun dan titik transek pengamatan disajikan pada Gambar 2. Gambar 2 Desain titik transek penelitian

20 6 Pengambilan data vegetasi mangrove dilakukan pada dua stasiun, yaitu Desa Lasara Sawo sebagai Stasiun I, dan Desa Sisarahili Teluk Siabang sebagai Stasiun II. Setiap stasiun terdiri dari tiga titik Transek, sehingga di Kecamatan Sawo ditentukan enam titik transek penelitian untuk mengamati dan mengumpulkan data vegetasi mangrove. Penentuan transek dilakukan berdasarkan kepadatan dan perbedaan kondisi biofisik (substrat, lokasi mangrove, spesies mangrove). Garis transek yang digunakan dicantumkan pada Gambar 3. Gambar 3 Garis Transek untuk mengambil data ekosistem mangrove (Mendrofa 2014) Observasi dilakukan dengan cara pengamatan langsung terhadap lokasi penelitian, baik terhadap ekosistem mangrove, tambak, maupun kegiatan masyarakat yang terkait dengan objek penelitian. Pengukuran distribusi mangrove dilakukan dengan menggunakan garis transek. Pembuatan plot untuk pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode Plot Count Method (Quadrat Method) dari Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974). Pembuatan plot dilakukan dengan menggunakan meteran dan tali plastik dengan ketentuan pada plot berukuran 10 x 10 m 2 untuk tingkat pohon, ukuran 5 x 5 m 2 untuk tingkat anakan (sapling) dan 1 x 1 m 2 untuk tingkat semai (seedling). Tatanan definisi dalam pencatatan jenis tumbuhan mangrove pada setiap plot pengamatan adalah untuk pohon Ø > 10 cm pada plot 10 x 10 m 2, anakan (sapling) 2 < Ø < 10 cm pada plot 5 x 5 m 2 dan untuk semai (seedling) Ø < 2 cm pada plot 1 x 1 m 2. Untuk mengetahui keadaan luasan ekosistem mangrove dilakukan dengan menggunakan citra landsat yang kemudian dibandingkan dari tahun ke tahun. Data sosial ekonomi masyarakat nelayan didapatkan dari kuesioner yang dibagikan kepada nelayan. Pengambilan contoh dilakukan dengan cara sengaja (purposive sampling) yang berarti bahwa dalam menentukan contoh harus dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan yang diperhatikan tergantung dari keadaan responden seperti mampu berkomunikasi dengan baik, melakukan kegiatan sesuai

21 7 dengan yang dikaji, dan berada serta ikut dalam memanfaatkan mangrove yang ada di sekitar daerah penelitian serta sudah dewasa. Dewasa yang dimaksud dalam hal ini adalah yang bersangkutan sudah bisa mengambil keputusan secara matang dan berpikir positif dalam bertindak serta diharapkan bisa menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Responden yang dibutuhkan adalah masyarakat nelayan yang tinggal disekitar kawasan mangrove serta pihak yang berkepentingan dengan mangrove di lokasi penelitian. Jumlah responden yang dibutuhkan terhitung sebanyak 45 orang yang terdiri dari 25 orang nelayan anggota masyarakat Desa Lasara Sawo, dan 20 orang nelayan anggota masyarakat Desa Sisarahili Teluk Siabang. Penarikan contoh dilakukan dengan menggunakan rumus Slovin in Umar (2003) yaitu sebagai berikut: n = N/(1+Ne 2 ) dimana n : ukuran contoh N : ukuran populasi e : nilai kritis/batas ketelitian (10%) Dalam perumusan strategi pengelolaan mangrove di Kecamatan Sawo dilakukan wawancara terhadap 14 orang responden pakar yang terdiri dari aparat pemerintah, akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan instansiinstansi terkait serta tokoh masyarakat yang dianggap berpengaruh dalam melakukan pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan khususnya dalam pengelolaaan ekosistem mangrove yang ada di Kecamatan Sawo, Kabupaten Nias Utara. Analisis Data Data-data yang telah didapatkan di lapangan digunakan untuk menentukan Indeks Nilai Penting (INP) atau Importance Value Index (IVI) yang merupakan penjumlahan dari Kerapatan Relatif (KR), Dominasi Relatif (DR), dan Frekuensi Relatif (FR), baik ditingkat pohon, anakan maupun semai dengan menggunakan rumus Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) sebagai berikut: 1. Kerapatan : Kerapatan Suatu Jenis Kerapatan Semua Jenis Kerapatan Relatif (KR) % = 2. Frekuensi : Frekuensi Suatu Jenis = = = Jumlah Individu Suatu Jenis Luas Area Contoh Jumlah Individu Semua Jenis Luas Area Contoh Kerapatan Suatu Jenis Kerapatan Semua Jenis 100 % Jumlah Plot yang Ditempati Suatu Jenis Jumlah Semua Plot Pengamatan

22 8 Frekuensi Semua Jenis = Jumlah Plot yang Ditempati Semua Jenis Jumlah Semua Plot Pengamatan Frekuensi Relatif (FR) % 3. Dominasi : Dominasi Suatu Jenis Dominasi Semua Jenis Dominasi Relatif (DR) % = = = = Frekuensi Suatu Jenis Frekuensi Semua Jenis 100 % Jumlah Basal Area Suatu Jenis Luas Area Contoh Jumlah Basal Area Semua Jenis Luas Area Contoh Dominasi Suatu Jenis Dominasi Semua Jenis x 100 % 4. Nilai Penting (NP) % = KR + FR + DR 5. Rumus untuk menghitung jumlah basal area, yaitu: Basal Area (BA) = π (DBH)2 4 DBH = Keterangan: CBH = Circle Breast High (lingkarang batang setinggi dada) DBH = Diameter Breast High (diameter batang setinggi dada) π = 3,14 Indeks Nilai Penting ( INP) atau Importance Value Index (IVI) merupakan besarnya nilai index nilai penting suatu jenis mengindikasikan bahwa jenis tersebut penting untuk ekosistim mangrove. INP digunakan untuk merangking spesies berdasarkan kepentingan ekologinya. INP adalah jumlah kerapatan relatif (KR), kerapatan relatif (DR) dan frekuensi relatif (FR). Semua ekosistem mangrove dikelompokan berdasarkan tingkat pertumbuhan (growth stage), yaitu untuk anakan memiliki Ø 2-10 cm dan pohon yaitu pohon muda dan dewasa yang memiliki Ø besar 10 cm. Hasil perhitungan kerapatan, frekuensi, dominasi dan nilai penting setiap jenis mangrove tingkat pohon, anakan, dan semai yang terdapat pada plot pengamatan akan ditabulasikan. Dalam perumusan penurunan luasan ekosistem mangrove yang terjadi di daerah penelitian maka dilakukan dengan menggunakan citra landsat yang kemudian diolah dengan menggunakan software ArcGis. Selain menganalisis kondisi ekologis mangrove, kondisi sosial ekonomi, dan pengaruh ekosistem mangrove terhadap sosial ekonomi masyarakat nelayan yang ada di daerah penelitian perlu diketahui. Pengaruh ekosistem mangrove yang dimaksud adalah sejauh apa manfaat ekosistem mangrove yang dirasakan oleh masyarakat terhadap sosial ekonomi baik dari hasil penangkapan, kegunaan kayu mangrove sebagai kayu bakar dan kayu bangunan serta kegunaan mangrove sebagai bahan makanan dan obat-obatan. Pengaruh ekonomi masyarakat terhadap manfaat ekosistem mangrove didapatkan dari hasil wawancara terhadap responden. Pendekatan ini bertujuan agar dapat diketahui apakah penghasilan masyarakat

23 9 berpengaruh terhadap pemanfaatan ekosistem mangrove. Data yang didapatkan tersebut dimasukkan dalam tabel yang kemudian dideskripsi. Perumusan strategi pengelolaan mangrove di Kecamatan Sawo guna didapatkan pengelolaan berkelanjutan digunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Secara grafis, keputusan AHP dikonstruksikan sebagai diagram bertingkat (hirarki). Hirarki persoalan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 4. Goal Prioritas Strategi Pengelolaan Mangrove di Kecamatan Sawo Kriteria Ekonomi Sosial Ekologi Undang-undang Tujuan Kesejahteraan Masyarakat Pengelolaan mangrove Peningkatan Ekonomi Strategi Pengelolaan Konservasi Pemberdayaan masyarakat Wisata Pantai Pemeliharaan Pendidikan dan pelatihan Gambar 4 Hirarki penentuan strategi pengelolaan mangrove di Kecamatan Sawo Metode AHP merupakan suatu metode yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan suatu masalah-masalah kompleks, seperti permasalahan perencanaan, penentuan alternatif, penyusunan prioritas, pemilihan kebijaksanaan, alokasi sumber, penentuan kebutuhan, peramalan kebutuhan, perencanaan performa, optimasi, dan pemecahan konflik (Saaty 1993 in Mangkay et al. 2012). Osmaleli (2014) menambahkan bahwa AHP memungkinkan pengguna untuk memberikan nilai bobot relatif dari suatu kriteria majemuk atau alternatif majemuk terhadap suatu kriteria. Pemberian bobot tersebut secara intuitif, yaitu dengan melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons). Walaupun pada dasarnya AHP dapat digunakan dalam mengolah data dari satu responden ahli namun untuk aplikasinya dalam penilaian kriteria dan alternatif dilakukan oleh beberapa ahli multidisiplioner. Konsekuensi pendapat beberapa ahli tersebut perlu dicek konsistensinya satu per satu. Pendapat yang konsisten kemudian digabungkan dan diolah dengan software Expert Choice. Marimin (2005) in Rumagia (2008) menyatakan bahwa, Analitical Hierarchy Process (AHP) memiliki banyak keunggulan dalam menjelaskan proses pengambilan keputusan karena dapat digambarkan secara grafis, sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang telibat dalam pengambilan keputusan. Dengan AHP, proses keputusan kompleks dapat diuraikan menjadi keputusan-keputusan lebih kecil yang dapat ditangani dengan mudah. Selain itu, AHP juga menguji konsistensi penilaian, bila terjadi penyimpangan yang terlalu jauh dari nilai konsistensi sempurna. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian perlu diperbaiki, atau hirarki harus distruktur ulang.

24 10 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Gambaran umum Kabupaten Nias Utara Kabupaten Nias Utara berada pada posisi geografis LU dan LS dengan ibu kota kabupaten terletak di Lotu. Wilayah Kabupaten Nias Utara berbatasan dengan : Sebelah Utara Sebelah Selatan Sebelah Timur : Berbatasan dengan Samudera Hindia. : Berbatasan dengan Kec. Hiliduho dan Kec. Botomuzoi di Kabupaten Nias serta Kec. Mandrehe Utara, Kec. Mandrehe, Kec. Moro o di Kabupaten Nias barat. : Berbatasan dengan Samudera Hindia serta Kec. Gunungsitoli Utara dan Kec. Gunungsitoli Alo oa di Kota Gunungsitoli. Sebelah Barat : Berbatasan dengan Samudera Hindia. Kabupaten Nias Utara merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara berdasarkan hasil asistensi pemerintah Daerah Nias Utara dengan Departemen Dalam Negeri dan Departemen Keuangan. Peta administrasi Kabupaten Nias Utara disajikan pada Gambar 5. Gambar 5 Peta Administrasi Kabupaten Nias Utara (sumber: Dinas Pemetaan Ruang Dan Pemukiman Provinsi Sumatera Utara) Luas wilayah Kabupaten Nias Utara adalah 1 501,53 km 2 yang terdiri dari 11 kecamatan dan 113 desa/kelurahan (112 desa dan 1 kelurahan). Kecamatan dengan wilayah yang paling luas adalah Kecamatan Lahewa dengan luas 228,70 km 2, diikuti Alasa dengan luas 204,41 km 2, kemudian Lahewa Timur 204,12 km 2, disusul oleh kecamatan lainnya. Wilayah yang paling kecil adalah Kecamatan Tuhemberua sebesar 55,96 km 2.

25 11 Pulau-pulau kecil di sekitarnya seperti di Perairan Lahewa memiliki topografi yang relatif datar dengan ketinggian < 5 m di atas permukaan laut. Perairan di sekitar Kabupaten Nias Utara cendrung semakin dalam ke arah barat, tepatnya yang berbatasan dengan Samudra Hindia dapat mencapai kedalaman > 600 m sedangkan kearah timur sebaliknya perairan lebih dangkal, hanya saja pada wilayah yang berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah terdapat bentuk dasar perairan seperti lembah dengan kedalaman dapat mencapai > 500 m. Dilihat dari tekstur pulau yang berupa pasir dan pecahan karang. Kabupaten Nias Utara terdiri dari 15 buah pulau besar dan kecil. Banyaknya pulau yang dihuni sebanyak 6 pulau, sementara yang tidak dihuni sebanyak 9 pulau. Keadaan iklim Kabupaten Nias Utara dipengaruhi oleh Samudera Hindia. Suhu udara dalam satu tahun rata-rata 26,3 ºC/bulan dengan rata-rata minimum 23,2 ºC dan rata-rata maksimum 30,8 ºC. Kecepatan angin dalam satu tahun antara 6 knot/jam sampai 13 knot/jam dengan arah angin terbanyak berasal dari arah utara. Kondisi seperti ini disamping curah hujan yang tinggi mengakibatkan sering terjadinya badai besar. Musim badai laut setiap tahun biasanya terjadi antara bulan September sampai dengan November, tetapi kadang-kadang terjadi juga pada bulan Agustus dan cuaca bisa berubah secara mendadak. Potensi perikanan Kabupaten Nias Utara Sebagai daerah kepulauan maka Kabupaten Nias Utara sangat potensial terhadap perikanan laut. Sebagian besar hasil perikanan laut tersebut merupakan hasil tangkapan nelayan tradisional sehingga hasil tangkapan yang diperoleh setiap tahunnya relatif masih rendah. Nelayan yang melakukan penangkapan ikan yang bersifat harian hanya satu kali trip penangkapan, sedangkan nelayan yang melakukan penangkapan ikan ke arah Perairan Aceh (Pulau Banyak dan sekitarnya) melakukan penangkapan ikan selama 3-5 hari di laut dalam satu trip penangkapan yang disebut nelayan mingguan/perantau. Potensi pengembangan perikanan ini didukung oleh lautan yang cukup luas, jenis ikan yang beraneka ragam dengan nilai pasar yang cukup tinggi. Jenis ikan yang hidup di Perairan Pulau Nias Utara antara lain ikan kakap putih, kerapu, tuna, lobster, udang dan berbagai jenis ikan lainnya yang memenuhi kriteria ekspor. Selama tahun 2013 produksi ikan terbanyak adalah berasal dari perairan laut sebesar ton sedangkan perairan darat 129,42 ton. Pada dasarnya perikanan darat juga menyimpan potensi yang cukup menjanjikan di Kabupaten Nias Utara, namun untuk saat ini perikanan darat masih kurang dikembangkan dengan baik. Perairan darat dengan jenis budidaya yang berbeda-beda dan besaran jumlah produksi tersebut dapat dilihat bahwa masyarakat Nias Utara lebih menyukai ikan laut dibandingkan ikan air tawar dikarenakan ikan air laut terasa lebih gurih dibandingkan ikan air tawar. Penghasil ikan laut tahun 2011 tersebar disetiap kecamatan, namun yang paling banyak menghasilkan adalah kecamatan yang sebagian besar wilayahnya adalah pesisir pantai sehingga memudahkan bagi nelayan untuk menangkap ikan di laut. Kecamatan Lahewa merupakan penghasil ikan laut terbanyak yaitu ton, kemudian disusul Kecamatan Tuhemberua sebesar ton dan Kecamatan Sawo sebesar Ton. Sedangkan untuk ikan air tawar paling banyak di Kecamatan Alasa sebanyak 32 ton, disusul Kecamatan Alasa Talumuzoi sebanyak 19 ton.

26 12 Budidaya ikan air tawar tersebut terdapat di seluruh kecamatan dengan total luas areal pemeliharaan 18 ha. Jumlah nelayan yag melakukan penangkapan ikan di laut mengalami peningkatan dari tahun 2012 meningkat menjadi tahun 2013 dengan menggunakan alat penangkapan dan jenis kapal yang berbeda. Keadaan umum Kecamatan Sawo Kabupaten Nias Utara Kecamatan Sawo merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Nias Utara yang terletak di sebelah timur Ibu Kota Kabupaten Nias Utara, yaitu lintang utara LU dan bujur timur BT dengan ketinggian dari permukaan laut 0m s/d 50m dpl. Jarak antara Ibu Kota Kecamatan Sawo ke Ibu Kota Kabupaten Nias Utara +22 km dengan waktu tempuh 1/2-1 jam. Peta Kecamatan Sawo disajikan pada Lampiran 1. Kecamatan Sawo memiliki luas wilayah +90,49 km 2 dengan batas-batas Wilayah Kecamatan Sawo, yaitu: Sebelah Utara : Berbatasan dengan Laut Samudera Hindia Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kecamatan Sitolu ori dan Kecamatan Lotu Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Lotu Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Tuhemberua Wilayah Kecamatan Sawo terdiri dari 10 desa yang masing-masing dipimpin oleh satu orang kepala desa. Disamping itu, setiap desa tersebut terbagi atas beberapa dusun, pembagian desa yang ada di Kecamatan Sawo disajikan pada Lampiran 2. Dari beberapa desa yang ada di Kecamatan Sawo, Desa Lasara Sawo merupakan desa yang memiliki wilayah paling luas serta jarak ke ibu kota kecamatan sangat dekat dibandingkan dengan desa-desa yang lainnya. Hal ini sangat mempengaruhi tingkat sosial ekonomi masyarakat terutama dalam mempermudah akses ke Ibu Kota Kecamatan Sawo dibandingkan dengan masyarakat yang ada di desa-desa lainnya. Jumlah penduduk Kecamatan Sawo pada tahun 2014 adalah jiwa dan pada pendataan pada tahun 2015 melalui profil dan monografi tahun 2015 tercatat sampai pada bulan Agustus 2015 jumlah penduduk menurun menjadi jiwa yang terdiri dari Kepala Keluarga. Hal ini terjadi karena banyak penduduk Kecamatan Sawo yang pindah ke luar daerah dengan alasan mencari nafkah, atau melanjutkan sekolah. Nama desa dan luas wilayah serta jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan kepala keluarga selengkapnya disajikan pada Lampiran 2. Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahwa Desa Lasara Sawo merupakan desa yang memiliki jumlah penduduk yang sangat tinggi dibandingkan dengan desa-desa lainnya. Hal ini sangat erat hubungannya dengan luas wilayah Desa Lasara Sawo yang lebih luas dibanding desa lainnya sehingga masyarakat memiliki lahan yang cukup untuk ditempati dan juga untuk dikelola dalam mencukupi kebutuhan hidupnya, serta didukung oleh jarak ke ibu kota kecamatan yang lebih dekat sehingga membuat akses yang lebih baik bagi masyarakat dalam mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kecamatan Sawo merupakan kecamatan yang lebih berpotensi bila dikembangkan diberbagai bidang baik dari sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia yang dapat menjadi modal dalam mengembangkan Kecamatan Sawo

27 13 secara khusus dan Kabupaten Nias Utara pada umumnya. Potensi-potensi sumberdaya tersebut dapat digambarkan dengan membagi dalam berbagai sektor pengembangannya baik sektor pertanian, peternakan, perikanan, maupun pariwisata. Sebagai kecamatan yang berada di pesisir, Kecamatan Sawo mempunyai potensi besar di sektor perikanan baik perikanan air tawar dan terlebih perikanan laut. Mata pencaharian sektor perikanan adalah melaut dan hampir seluruh desa membuat kelompok usaha bersama (KUB). Di Kecamatan Sawo telah dibangun gedung unit pembenihan rakyat (UPR) yang beralokasi di Desa Ombolata Sawo dengan pendanaan bersumber dari APBD tahun Jenis ikan yang dikelola oleh penduduk antara lain ikan mas, mujair, nilam dan lele. Hasil mata pencaharian masyarakat tersebut dapat diperjual belikan kepada masyarakat melalui Pasar Tradisional yang ada wilayah Kecamatan Sawo. Sosial ekonomi masyarakat Kecamatan Sawo Pengamatan dilapangan memberikan gambaran bahwa hubungan sosial masyarakat Kecamatan Sawo sangat harmonis. Budaya yang ada di Kecamatan Sawo perlu dipelihara dan dikembangkan karena sangat mengandung norma-norma agama, hukum, dan sosial, antara lain tolong menolong, gotong-royong, hukum adat atau goi-goi, serta menghargai sesama. Untuk menjalin tali silaturahmi antar warga, di Kecamatan Sawo juga dibentuk kelompok-kelompok adat, persatuanpersatuan pemuda, dan kelompok-kelompok tani, serta kelompok nelayan. Tingkat pendidikan masyarakat khususnya yang berprofesi sebagai nelayan, mayoritas masih rendah. Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa lebih dari 60% masyarakat Kecamatan Sawo hanya berpendidikan SD, dan terus menurun seiring waktu. Kondisi jumlah penduduk dan tingkat pendidikan di Kecamatan Sawo disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Jumlah penduduk dengan tingkat pendidikan No. Jenjang Tahun 2014 Tahun 2015 Pendidikan Jumlah Jiwa Persentase (%) Jumlah Jiwa Persentase (%) 1. SD , ,88 2. SLTP , ,40 3. SLTA 201 7, ,31 4. D ,69 5. D ,10 6. S ,50 7. S ,13 8. S Jumlah Sumber: Profil Kecamatan Sawo (2015) Mata pencaharian masyarakat Kecamatan Sawo beragam, namun pada umumnya bergerak disektor pertanian, nelayan, perdagangan, PNS dan wiraswasta lainnya. Dengan demikian masing-masing dari pekerjaan tersebut saling berkaitan. Data jumlah persentase penduduk menurut jenis pekerjaan di Kecamatan Sawo disajikan pada Tabel 3.

28 14 Tabel 3 Jumlah persentase penduduk menurut jenis pekerjaan No. Jenis Pekerjaan Tahun Persentase (%) Petani 72,64 2. PNS/TNI/POLRI 4,91 3. Wiraswasta 5,63 4. Nelayan 16,80 Jumlah 100 Sumber: Profil Kecamatan Sawo (2015) Kondisi umum ekosistem mangrove di daerah penelitian Data Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Nias Utara (2014) menunjukkan bahwa luas ekosistem mangrove Kabupaten Nias Utara adalah 178,96 ha dan tersebar dibeberapa kecamatan. Kecamatan Sawo merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Nias Utara dengan kawasan pesisir dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari beberapa desa yang ada di Kecamatan Sawo yang ditumbuhi oleh ekosistem mangrove, ada dua desa yang memiliki potensi mangrove yang sangat besar yaitu di Desa Lasara Sawo dan Desa Sisarahili Teluk Siabang. Kawasan mangrove di daerah ini merupakan kawasan teluk yang terlindung serta dialiri oleh sungai-sungai kecil yang merupakan faktor utama terhadap penyebaran mangrove. Hasil pengamatan memberikan gambaran bahwa daerah penelitian ditumbuhi oleh beberapa jenis mangrove yang sangat padat, serta didapatkan pohon-pohon besar. Tegakan pohon di kawasan ini memiliki tinggi antara 3 sampai dengan 20 meter. Menurut penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (2015) jenis mangrove yang ditemukan di kawasan pesisir Sisarahili dan Desa Sawo adalah R. apiculata, R. lamarchii, R. mucronata, B. gymnorrhiza, B. sexangula, L. littorea, C. tagal, N. fruticans, A. aureum, A. spesiosum, X. granatum, dan S. alba. Pohonpohon di kawasan ini berfungsi untuk mencegah terjadinya abrasi dalam mempertahankan garis pantai serta menahan terjangan gelombang laut terhadap pemukiman penduduk. Kawasan mangrove daerah penelitian umumnya bersubstrat lumpur, lumpur berbatu, patahan karang mati berlumpur dan patahan karang yang sudah mati dan berpasir. Pengamatan di kawasan penelitian banyak ditemukan hewan yang berasosiasi pada mangrove seperti burung, ular, biawak, kerang, siput, kepiting, dan berbagai jenis ikan. Banyaknya hewan yang berasosiasi di kawasan mangrove dapat membuktikan bahwa mangrove sangat bermanfaat bagi kelangsungan hidup yang ada di sekitarnya, baik ekosistem daratan maupun perairan. Secara ekologi, mangrove dapat menjadi habitat alami bagi fauna dan flora yang berasosiasi (Pribadi et al. 2009, Qiptiyah et al. 2013) Meskipun demikian banyak fungsi dan manfaat ekosistem mangrove, masih banyak ditemukan kerusakan mangrove baik dari dampak bencana alam maupun dampak ulah masyarakat itu sendiri. Salah satu faktor terbesar kerusakan yang terjadi terhadap ekosistem mangrove adalah penebangan pohon mangrove yang dekat dengan daratan. Kemudian lahan hasil penebangan tersebut dijadikan sebagai lahan pertanian bagi masyarakat setempat. Gumilar (2012) menyatakan bahwa tindakan manusia, seperti membuka lahan untuk tambak yang melampaui batas

29 15 daya dukung, maupun memanfaatkan tanaman mangrove secara berlebihan tanpa melakukan rehabilitasi, akan menyebabkan terjadinya degradasi ekosistem hutan mangrove. Daerah penelitian termasuk dalam wilayah Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) berdasarkan SK Bupati Kabupaten Nias Nomor 050/139/K/2007, serta merupakan kawasan binaan program Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP-CTI) baik tahap II dan juga tahap III. Meskipun kawasan ini sudah ditetapkan sebagai KKLD namun pengamatan dilapangan tidak menunjukkan pengaruh nyata setelah penetapan kawasan tersebut, baik dalam segi sosial ekonomi masyarakat maupun untuk ekosistem pesisir di sekitarnya. Menurut Laporan Final Review Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) di Kabupaten Nias Utara (2014) dalam perkembangannya pembentukan KKPD tersebut tidak lanjut dan tidak berjalan seperti yang diharapkan, salah satu faktor penyebab adalah pemekaran Kabupaten Nias menjadi beberapa kabupaten/kota pada tahun 2009, sehingga membuat KKPD semakin terabaikan. Secara admininstrasi saat ini, lokasi KKPD yang telah dicadangkan tersebut sepenuhnya berada di wilayah perairan Kabupaten Nias Utara, sebagai salah satu kabupaten hasil pemekaran, serta menjadi tanggung jawab sepenuhnya kabupaten tersebut untuk tindak lanjut usulan dan pengelolaannya. Menurut informasi yang didapatkan dari wawancara terhadap masyarakat di sekitar kawasan mangrove, bahwa kawasan ini juga pernah dilakukan program rehabilitasi oleh Dinas Lingkungan Hidup yang dalam hal ini adalah penghijauan atau penanaman kembali pohon mangrove yang sudah rusak. Pengamatan dilapangan ditemukan bahwa hasil dari program ini sangat tidak memuaskan karena jumlah ekosistem mangrove yang hidup sangat kecil. Hal ini disebabkan oleh teknik dalam penanaman bibit mangrove yang tidak disesuaikan dengan zonasinya sehingga peluang bagi mangrove tersebut untuk hidup sangat kecil. Struktur vegetasi ekosistem mangrove Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di Kecamatan Sawo, Kabupaten Nias Utara ditemukan 13 spesies merupakan mangrove sejati yaitu A. aureum, A. spesiosum, B. cylindrical, B. gymnorrhiza, B. sexangula, C. tagal, L. littorea, N. fruticans, R. apiculata, R. mucronata, R. stylosa, S. alba, dan X. granatum, serta 11 spesies lainnya merupakan mangrove ikutan yakni C. maritima, C. malaccensis, C. scariosus, D. trifoliate, H. tiliaceus, I. pes caprae, M. citrifolia, P. tectorius, P. pinnata, S. taccada, dan T. catappa. Namun, jenis mangrove yang ditemukan pada plot penelitian terdiri dari 9 (sembilan) spesies mangrove yaitu B. cylindrical, B. sexangula, C. tagal, L. littorea, R. apiculata, R. mucronata, R. stylosa, S. alba, dan X. granatum. Setiap jenis mangrove memiliki nilai kerapatan, frekuensi, dan dominasi, serta nilai penting yang berbeda-beda pada setiap tingkatan. Nilai kerapatan menunjukkan kelimpahan jenis disuatu ekosistem, nilai frekuensi menunjukkan penyebaran, dan dominasi dan indeks nilai penting menunjukkan penyebaran ekosistem tersebut. Jenis-jenis mangrove yang terdapat di kawasan penelitian disajikan pada Lampiran 3 dan 4.

30 16 Struktur vegetasi mangrove tingkat pohon Jumlah individu mangrove tingkat pohon yang ditemukan di dua stasiun pengamatan, secara umum berbeda-beda berdasarkan ketebalan, kepadatan dan tingkat kerusakan yang terjadi terhadap mangrove tersebut. Spesies dan jumlah individu mangrove yang terdapat pada masing-masing transek setiap Stasiun disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Spesies dan jumlah individu mangrove tingkat pohon yang terdapat masing- masing transek pada Stasiun I dan Stasiun II No Spesies mangrove Stasiun I Stasiun II I II III I II III 1 B. sexangula B. cylindrical C. tagal L. littorea R. apiculata R. mucronata R. stylosa S. alba Jumlah Setiap transek pada Stasiun I dan stasiun II didominasi oleh spesies R. apiculata. Hasil perhitungan mangrove tingkat pohon pada Stasiun I didapatkan nilai rata-rata NP R. apiculata yaitu 158,04%, kemudian baru disusul oleh spesies R. stylosa, R. mucronata, L. littorea, B. cylindrical dan C. tagal. Hasil perhitungan mangrove tingkat pohon pada Stasiun II didapatkan nilai rata-rata NP R. apiculata yaitu 147,16%, kemudian disusul oleh spesies B. sexangula, L. littorea, R. stylosa, R. mucronata, C. tagal, dan S. alba. Adapun grafik perbandingan rata-rata NP tiap individu pada Stasiun I dan Stasiun II disajikan pada Gambar 6 dan Gambar , , ,27 3,58 33,94 40,88 50,29 BC CT LL RA RM RS Gambar 6 Rata-rata NP tingkat pohon pada Stasiun I ,24 15,68 33,39 26,76 27,85 3,92 BS CT LL RA RM RS SA Gambar 7 Rata-rata NP tingkat pohon pada Stasiun II Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa, di Kecamatan Sawo Kabupaten Nias Utara Provinsi Sumatera Utara untuk tingkat pohon mangrove pada setiap transek pengamatan baik Stasiun I dan II didominasi oleh mangrove jenis R. apiculata dengan memiliki NP yang lebih tinggi dibandingkan dengan spesiesspesies mangrove lainnya.

31 17 Struktur vegetasi mangrove tingkat anakan Untuk jumlah individu mangrove tingkat anakan yang ditemukan di daerah penelitian dari 2 stasiun di Kecamatan Sawo secara umum pada setiap transek berbeda-beda, hal ini sama seperti yang terjadi pada tingkat pohon yaitu dipengaruhi oleh ketebalan dan kepadatan serta tingkat kerusakan mangrove tersebut. Spesies dan jumlah individu mangrove tingkat anakan pada masingmasing transek setiap Stasiun disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Spesies dan jumlah individu mangrove tingkat anakan yang terdapat masing-masing transek pada Stasiun I dan Stasiun II No Spesies mangrove Stasiun I Stasiun II I II III I II III 1 B. cylindrical B. sexangula C. tagal L. littorea R. apiculata R. mucronata R. stylosa S. alba X. granatum Jumlah Pada tiap transek di Stasiun I dan Stasiun II ditemukan spesies yang mendominasi adalah R. apiculata. Hasil perhitungan mangrove tingkat anakan pada Stasiun I didapatkan nilai rata-rata NP R. apiculata yaitu 153,11%, kemudian baru disusul oleh spesies R. mucronata, R. stylosa, C. tagal, B. cylindrical, L. littorea, B. sexangula dan X. granatum. Hasil perhitungan mangrove tingkat anakan pada Stasiun II didapatkan nilai rata-rata NP R. apiculata yaitu 153,69%, kemudian baru disusul oleh spesies B. sexangula, R. stylosa, C. tagal, R. mucronata, L. littorea, dan S. alba. Adapun perbandingan rata-rata NP tiap individu pada Stasiun I dan Stasiun II disajikan pada Gambar 8 dan Gambar , , ,65 1,03 29,638,86 57,76 38,92 1,03 BC BS CT LL RA RM RS XG Gambar 8 Rata-rata NP tingkat anakan pada Stasiun I ,19 27,2314,93 26,57 33,10 1,30 BS CT LL RA RM RS SA Gambar 9 Rata-rata NP tingkat anakan pada Stasiun II Berdasarkan data di atas dapat disimpulan bahwa, di Kecamatan Sawo Kabupaten Nias Utara Provinsi Sumatera Utara untuk tingkat anakan mangrove

32 18 pada setiap transek baik Stasiun I maupun Stasiun II didominasi oleh mangrove jenis R. apiculata kemudia baru disusul oleh spesies yang lain yaitu R. stylosa, R. mucronata, L. littorea, B. cylindrical, B. sexangula, C. tagal, B. cylindrical, S. alba dan X. granatum. Struktur vegetasi mangrove tingkat semai Untuk jumlah individu tingkat semai yang ditemukan di daerah penelitian dari 2 stasiun di Kecamatan Sawo secara umum setiap transek berbeda-beda. Hal ini erat kaitannya dengan jumlah pohon mangrove yang ada disekitar kawasan tersebut. Semakin banyak mangrove tingkat pohon maka semakin banyak propagul yang dihasilkan sehingga memberikan peluang besar bagi propagul-propagul yang jatuh untuk tumbuh menjadi semai, dan begitu juga sebaliknya. Spesies dan jumlah individu mangrove tingkat semai disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Spesies dan jumlah individu mangrove tingkat semai yang terdapat masing-masing transek pada Stasiun I dan Stasiun II No Spesies Mangrove Stasiun I Tasiun II I II III I II III 1 B. cylindrical C. tagal L. littorea R. apiculate R. mucronata R. stylosa Jumlah Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan ditemukan bahwa pada setiap transek di Stasiun I dan Stasiun II didominasi oleh spesies R. apiculata. Hasil perhitungan mangrove tingkat semai menunjukkan nilai rata-rata NP R. apiculata pada Stasiun I sebesar 113,543 %, dan nilai rata-rata NP R. apiculata pada Stasiun II adalah 123,99% kemudian disusul oleh spesies lainnya. Perbandingan NP ratarata tiap individu pada Stasiun I dan Stasiun II disajikan pada Gambar 10 dan Gambar , , ,06 12,41 11,10 41,19 17,70 BC CT LL RA RM RS Gambar 10 Rata-rata NP tingkat semai pada Stasiun I ,94 41,19 26,88 CT RA RM RS Gambar 11 Rata-rata NP tingkat semai pada Stasiun II

33 19 Berdasarkan hasil perhitungan mangrove tingkat semai dapat ditarik kesimpulan bahwa, di Kecamatan Sawo Kabupaten Nias Utara Provinsi Sumatera Utara untuk mangrove tingkat semai pada setiap transek baik Stasiun I maupun Stasiun II didominasi oleh mangrove jenis R. apiculata dengan rata-rata NP yang lebih tinggi dibanding dengan spesies lainnya, kemudia baru disusul oleh spesies yang lain yaitu R. mucronata, R. stylosa, C. tagal, L. littorea, B. cylindrical. Hasil perhitungan vegetasi mangrove di Kecamatan Sawo, Kabupaten Nias Utara didapatkan bahwa mangrove yang mendominasi setiap transek pada dua Stasiun pengamatan yang memiliki NP yang lebih tinggi dibanding dengan spesies lainnya adalah jenis R. apiculata baik untuk tingkat pohon, anakan dan semai, kemudian baru disusul oleh spesies lainnya. Hasil perhitungan vegetasi mangrove selengkapnya disajikan pada Lampiran 6, 7, dan 8. Kerusakan ekosistem mangrove Kecamatan Sawo Kurangnya pengetahuan dan rendahnya tingkat pendidikan sumberdaya manusia di daerah penelitian menimbulkan kurang baiknya pengelolaan sumberdaya alam. Kondisi ini dibuktikan dengan banyaknya masyarakat yang melakukan pemanfaatan sumberdaya yang ada tanpa memperhatikan keberlanjutan sumberdaya alam tersebut. Nelayan di daerah penelitian masih tergolong nelayan tradisional. Hal ini disebabkan olah kurangnya modal nelayan untuk membeli alatalat tangkap yang lebih modern. Berdasarkan hasil wawancara didapatkan informasi bahwa penebangan mangrove yang terjadi di Desa Lasara Sawo dan Sisarahili Teluk Siabang disebabkan oleh kurangnya pegetahuan masyarakat terhadap jenis, fungsi dan manfaat ekosistem mangrove. Akibatnya, banyak ditemukan penebanganpenebangan pohon mangrove yang kemudian dijadikan bahan pembuatan perahu dan juga bahan bangunan serta ada juga yang mengkonversi kawasan mangrove yang dekat dengan daratan menjadi lahan pertanian dan pembangunan masyarakat setempat. Lasibani dan Kamal (2010) menyatakan bahwa kerusakan ekosistem mangrove di Indonesia lebih karena disebabkan keterbatasan pemahaman masyarakat tentang manfaat ekosistem mangrove di kawasan pasang surut tersebut. Salah satu faktor yang mempercepat laju degradasi mangrove yaitu rendahnya kesadaran masyarakat dan perangkat pemda oleh karena itu, sangat diharapkan partisipasi masyarakat dalam upaya pelestarian ekosistem mangrove dan pemerintah harus intensif dalam mengadakan penyuluhan atau pelatihan dan pembinaan kepada masyarakat agar masyarakat mempunyai wawasan tentang pengelolaan ekosistem mangrove (Winarno et al. 2015). Degradasi terjadi terutama akibat konversi lahan mangrove menjadi lahan perikanan, pemukiman, industri, atau pertanian, juga diakibatkan oleh pemanfaatan yang berlebihan terhadap sumberdaya mangrove itu sendiri (Indarjo et al. 2003). Penurunan luasan ekosistem mangrove di kawasan penelitian berkaitan erat dengan pengaruh gempa tektonik yang mengguncang Pulau Nias pada tanggal 28 Maret 2005 yang menyebabkan naiknya daratan pesisir dan turunnya permukaan air laut di bagian utara Pulau Nias sehingga banyaknya lahan dan kawasan mangrove yang tidak tergenangi oleh air laut yang menyebabkan banyaknya mangrove khususnya jenis Rhizophora sp yang rusak dan mengalami kematian, hal

34 ini sesuai seperti yang dinyatakan oleh Wilknson et al. (2006) in Laporan Final Review Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) di Kabupaten Nias Utara 2014, yang menyatakan bahwa Kejadian gempa susulan tanpa disertai tsunami Bulan Maret 2005 di Pulau Nias, mengakibatkan pengangkatan daratan mulai 2,5-2,9 meter, sehingga daratan semakin bertambah, namun luasan terumbu dan ekosistem lainnya semakin berkurang. Kawasan jenis Rhizophora sp yang sudah mati tersebut kemudian banyak ditumbuhi kembali oleh mangrove jenis L. littorea. Hal ini sesuai dengan pernyataan Anonim (1995) in Kordi (2012) bahwa zonasi ekosistem mangrove berdasarka jenis pohon di Indonesia jika dirunut dari arah laut ke darat maka jenis Lumnitzera sp termasuk dalam zona Tanjang (Bruguiera) terletak di belakang zona bakau agak jauh dari laut dekat dengan daratan serta berlumpur agak keras, agak jauh dari garis pantai. Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa akibat keterbatasan wawasan dan pengetahuan masyarakat setempat maka mereka memanfaatkan momen ini untuk memperluas lahan pertanian dan juga lahan pembangunan. Minimnya pengetahuan masyarakat akan fungsi dan jenis tumbuhan ekosistem mangrove membuat mereka melakukan penebangan terhadap mangrove jenis Lumnitzera sp yang difungsikan sebagai bahan bangunan yang kemudian lahannya dialihfungsikan menjadi lahan pertanian oleh masyarakat setempat yang memiliki lahan berbatasan dengan kawasan mangrove tersebut. Hal ini disebabkan karena masyarakat setempat tidak mengetahui bahwa spesies L. Littorea merupakan bagian dari ekosistem mangrove, karena sebagian besar masyarakat di daerah penelitian mengenal ekosistem mangrove hanya spesies Rhizophora sp yang lebih dikenal dengan nama daerah setempat adalah Dongo. Meskipun demikian, pengamatan lapangan juga banyak ditemukan ekosistem mangrove yang dengan sengaja ditebang oleh masyarakat yang kemudian lahannya digunakan untuk perluasan lahan pertanian. Hal ini terjadi karena kurang adanya pengawasan dari pemerintah terkait serta tidak adanya aturan pelarangan yang mengikat seperti aturan adat, peraturan desa, peraturan daerah dan peraturan provinsi yang bisa ditaati oleh masyarakat. Menurut Kamal (2006) bahwa untuk mencari solusi dalam pemanfaatan hutan mangrove tersebut diperlukan kebijakan yang menyeluruh dalam menetapkan kawasan hutan mangrove, terutama dengan melakukan pengawasan dan menjadikan kawasan hutan mangrove sebagai kawasan hutan lindung pada daerah-daerah penyangga di kawasan pesisir pantai. Menurut hasil olahan data luasan mangrove di Kecamatan Sawo dengan menggunakan citra landsat pada tahun 2006, 2014 dan 2016, diketahui bahwa luasan mangrove di daerah penelitian dari tahun ke tahun mengalami penurunan yang sangat besar. Berdasarkan hasil olahan data citra landsat tahun 2006 didapatkan bahwa mangrove di daerah penelitian memiliki luasan 109,724 ha, kemudian hasil citra pada tahun 2014 mengalami penurunan sehingga diketahui luasan mangrove 98,234 ha dan kemudian hasil citra pada tahun 2016 diketahui luasan mangrove adalah 92,319 ha. Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa mangrove di daerah penelitian semakin lama semakin menurun, hal ini dibuktikan dengan penurunan luasan mangrove dalam jangka waktu 10 tahun sekitar 17,405 ha. Hasil olahan citra landsat disajikan pada Lampiran 9. Kerusakan ekosistem mangrove sangat berdampak besar terhadap hasil tangkapan nelayan yang menurun serta daerah penangkapan semakin menjauh. Hal 20

35 21 ini disebabkan karena hasil tangkapan di laut yang dekat dengan pantai dan terlebih di kawasan mangrove sudah tidak menjanjikan lagi sehingga nelayan mencari daerah tangkapan yang lebih jauh dari pantai baru mendapatkan hasil yang cukup memuaskan. Menurut hasil wawancara dengan nelayan setempat, terjadi penurunan hasil tangkapan dan juga semakin menjauhnya daerah penangkapan ikan seiring dengan semakin rusaknya ekosistem yang ada di pesisir, terutama ekosistem mangrove dan terumbu karang. Semakin jauhnya daerah penangkapan menyebabkan semakin lamanya waktu yang dibutuhkan oleh nelayan untuk melakukan penangkapan ikan sehingga biaya yang dikeluarkan oleh nelayan semakin besar. Akibatnya hasil yang didapatkan oleh nelayan semakin sedikit sedangkan upaya yang dikeluarkan sangat besar. Hasil penelitian di daerah yang berbeda bahwa penurunan luas hutan mangrove di Muara Gembong sangat mempengaruhi perekonomian nelayan setempat. Hal tersebut menyebabkan fungsi hutan mangrove sebagai perlindungan hewan sudah tidak berdaya lagi, sehingga menyebabkan penurunan hasil penangkapan ikan bagi nelayan tangkap (Suargana 2008). Purwoko (2005) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa kerusakan ekosistem hutan bakau (mangrove) berdampak secara nyata terhadap pendapatan masyarakat pantai melalui penurunan keragaman jenis tangkapan nelayan, pendapatan keluarga, ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan serta kesempatan kerja dan berusaha masyarakat pantai secara signifikan. Berdasarkan keterangan tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kerusakan dan penurunan luasan ekosistem mangrove sangatlah besar pengaruhnya terhadap peningkatan perekonomian masyarakat yang ada di sekitarnya. Kamal (2007) menjelaskan bahwa akibat rusaknya hutan mangrove, aliran sedimen akan leluasa masuk ke laut dan menyebabkan rusaknya ekosistem lain, seperti padang lamun, rumput laut, dan karang. Akibatnya, perairan disekitar pulaupulau pun ikut tercemar oleh partikel-partikel padat yang juga mengganggu pada kehidupan biota perairan seperti ikan, avertebrata, dan jasad renik lainnya. Apabila kondisi ini terus berlanjut, hewan yang hidup di perairan tersebut semakin berkurangdan mulai menghilang, sehingga menyebabkan suatu perairan akan miskin dengan makanan dan akan memutus rantai kehidupan yang terdapat di perairan (Haryani 2013). Kondisi sosial masyarakat nelayan di sekitar ekosistem mangrove Masyarakat yang berada di sekitar mangrove Kecamatan Sawo sebagian besar memeluk agama Kristen Protestan, Islam, dan Kristen Katolik. Pengamatan di lapangan diketahui bahwa antara umat beragama sangat memiliki tingkat toleransi dan kerukunan yang tinggi sehingga dalam kehidupan sehari-hari masyarakat sangat harmonis antara satu dengan yang lainnya. Data yang didapatkan bahwa Desa Lasara Sawo merupakan desa yang memiliki jumlah penduduk yang sangat padat dibandingkan dengan penduduk Desa Sisarahili Teluk Siabang, salah satu faktor yang menyebabkan ini karena Desa Lasara Sawo lebih dekat dengan ibu kota kecamatan dibanding dengan Desa Sisarahili Teluk Siabang. Data mengenai penduduk pada masing-masing desa di daerah penelitian disajikan pada Tabel 7.

36 22 Tabel 7 Jumlah penduduk setiap desa di daerah penelitian Desa Laki-Laki Perempuan Jumlah Kepala Keluarga Lasara Sawo Sisarahili Teluk Siabang Sumber : Profil Desa Lasara Sawo dan Desa Sisarahili Teluk Siabang tahun 2015 Berdasarkan data pada Tabel 7 dapat disimpulkan bahwa daerah penelitian memiliki potensi sumberdaya manusia yang cukup banyak dalam mendukung kegiatan khususnya dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Jumlah penduduk yang banyak serta usia yang relatif masih produktif dominan mempunyai kemauan serta mudah untuk menerima masukan yang bersifat membangun untuk memperbaiki perekonomian dan juga kesejahteraan ke depan. Banyaknya jumlah sumberdaya manusia tidak akan berpengaruh terhadap pembangunan apabila tidak dibarengi dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang baik. Kepedulian masyarakat pesisir di daerah penelitian dalam menjaga dan melestarikan ekosistem mangrove sangat rendah. Menurut data yang didapatkan, umumnya masyarakat yang berada di sekitar ekosistem mangrove rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang relatif rendah dan bahkan ada yang tidak tamat SD. Kurangnya fasilitas sekolah serta rendahnya kesadaran orang tua dalam menyekolahkan anaknya menjadi faktor utama penyebab rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, sehingga banyak anak-anak yang lebih memilih untuk membantu orang tua untuk mencari nafkah sehari-hari seperti melaut, berkebun dan bersawah. Tingkat pendidikan yang relatif rendah akan menyebabkan tingkat pengangguran yang semakin meningkat sehingga dikhawatirkan masalah-masalah sosial yang timbul ditengah-tengah masyarakat relatif akan semakin tinggi. Data fasilitas pendidikan di daerah penelitian disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Fasilitas pendidikan setiap desa pengamatan di Kecamatan Sawo Desa TK SD SLTP SLTA Lasara Sawo Sisarahili Teluk Siabang Sumber : Profil Desa Lasara Sawo dan Desa Sisarahili Teluk Siabang tahun 2015 Seperti yang terlihat pada Tabel 8 bahwa ketersediaan fasilitas pendidikan di daerah penelitian sangat minim sehingga mengakibatkan minat serta daya saing masyarakat untuk bersekolah sangat rendah, hal ini menjadi faktor yang mengakibatkan wawasan dan pola berpikir masyarakat sangat kurang dalam memanfaatkan sumberdaya khususnya ekosistem mangrove. Tingkat pendidikan masyarakat merupakan faktor utama dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Pendidikan masyarakat yang rendah mempengaruhi tingkat pengetahuan masyarakat dalam memahami fungsi dan manfaat ekosistem mangrove. Dalam pengelolaan ekosistem mangrove, maka pengetahuan masyarakat merupakan salah satu faktor penting keberhasilan. Tingginya pengetahuan dan wawasan masyarakat akan jenis, fungsi dan manfaat ekosistem mangrove maka semakin tinggi juga peluang keberhasilan dalam pengelolaan, hal ini disebabkan karena masyarakat merupakan aktor penting yang langsung berada dan mengelola kawasan ekosistem mangrove.

37 23 Wawancara yang dilakukan terhadap 45 orang masyarakat nelayan yang berada di sekitar kawasan mangrove didapatkan sebanyak 29 orang (64%) responden yang memiliki pemahaman masih rendah akan jenis, fungsi dan manfaat ekosistem mangrove. Begitu juga pemahaman masyarakat terhadap konservasi dan rehabilitasi, dari total responden maka didapatkan sebanyak 34 orang (75%) masyarakat yang pemahamannya rendah akan konservasi dan rehabilitasi, hal ini membuat semakin kecil partisipasi mereka untuk melestarikan ekosistem mangrove. Akibat dari itu, masyarakat memberikan nilai yang sangat kecil terhadap ekosistem mangrove sehingga pemanfaatan yang berlebihan dilakukan tanpa memperhatikan kelestarian. Menurut data DKP Nias Utara dan LIPI (2015) tampak bahwa rendahnya sumberdaya masyarakat di Desa Sisarahili Teluk Siabang berpengaruh dalam pengelolaan Sumberdaya alam, disisi lain potensi ekonomi khususnya wilayah pesisir cukup besar namun belum dapat terkelola dengan baik. Pemahaman dalam hal ini adalah bagaimana pengetahuan masyarakat akan jenis dan kondisi ekosistem mangrove serta fungsi serta manfaat ekosistem mangrove bagi kehidupan sehari-hari dan apa dampak yang akan disebabkan apabila mangrove tersebut rusak ataupun hilang sama sekali. Jenis mangrove yang dimaksud adalah mangrove selain spesies Rhizophora sp. Hal ini terjadi karena masyarakat pada umumnya mengenal jenis spesies mangrove hanya jenis bakau sehingga mereka menganggap kalau spesies lain selain bakau bukan termasuk dalam spesies mangrove. Meskipun tingkat pengetahuan dan wawasan masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove masih tergolong rendah, namun masyarakat sangat terbuka dan menerima apabila adanya program-program penyuluhan dan pelatihan serta peraturan yang dilakukan dan diterapkan terhadap kelestarian ekosistem mangrove dengan syarat tidak membatasi mereka dalam melakukan pemanfaatan terhadap sumberdaya mangrove tersebut. Keterbukaan masyarakat untuk menerima program-program tersebut merupakan sebuah faktor yang memberikan kekuatan dalam program pengelolaan mangrove supaya tetap lestari, ini memberikan kemudahan dalam melakukan kegiatan pembangunan baik dalam bentuk pemberdayaan, pelatihan, konservasi serta sosialisasi dan penerapan peraturanperaturan yang berkaitan dengan pengelolaan mangrove. Kondisi ekonomi masyarakat nelayan di sekitar ekosistem mangrove Sebagian besar mata pencaharian masyarakat di daerah penelitian adalah sebagai petani, nelayan, peternak, buruh, PNS, dan yang paling sedikit adalah yang berprofesi sebagai montir, seperti yang terlihat pada Tabel 9. Umumnya lowongan pekerjaan di daerah penelitian sangat minim akan tetapi kalau dilihat dari potensi yang ada maka daerah ini menyediakan peluang besar dalam berusaha, terutama peluang usaha pada sektor perikanan dan juga ekosistem mangrove. Meskipun begitu besarnya peluang usaha di daerah ini namun pengamatan di lapangan tidak ditemukan adanya bentuk-bentuk usaha masyarakat dalam pengelolaan potensi ekosistem mangrove guna menunjang peningkatan perekonomian baik usaha aneka makanan, minuman maupun usaha lainnya yang berasal dari mangrove. Hal ini berkaitan erat dengan pengetahuan dan keterampilan masyarakat yang relatif rendah untuk menambah nilai ekonomi sumberdaya alam tersebut, sehingga masyarakat beranggapan bahwa ekosistem mangrove hanya

38 24 seperti hutan biasa yang tidak mempunyai nilai ekonomis untuk dimanfaatkan. Tabel 9 Mata pencaharian pokok masyarakat masing-masing Stasiun Jenis Mata Pencaharian Stasiun I Stasiun II Petani Buruh Tani Buruh/Swasta 25 - Pegawai Negeri Sipil Pengrajin 10 - Pedagang 15 4 Peternak Nelayan Montir - 2 Sumber data: Profil Desa Lasara Sawo dan Sisarahili Teluksiabang tahun 2015 Jumlah masyarakat pedagang di Stasiun I lebih banyak dibandingkan dengan Stasiun II, hal ini menggambarkan bahwa kemajuan ekonomi masyarakat di Stasiun I sudah lebih baik dan letaknya sangat dekat dengan Ibu Kota Kecamatan Sawo sehingga masyarakat lebih padat dan ramai dan ditambah lagi infrastrukturnya yang sudah lebih maju. Fasilitas perekonomian dua desa di daerah penelitian rata-rata di Pekan Sawo dimana pasar ini merupakan pasar mingguan karena masih belum adanya pasar tetap. Masyarakat umumnya dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari berasal dari pekan yang dibelanjakan guna memenuhi kebutuhan dalam seminggu dan apabila stok kebutuhan kurang dalam jangka seminggu maka masyarakat biasanya mendapatkannya dari warung-warung terdekat yang menyediakan kebutuhan pokok. Masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan di daerah penelitian rata-rata tinggal berdekatan dengan kawasan ekosistem mangrove, hal ini supaya akomodasi dan jarak yang ditempuh untuk pergi melaut lebih dekat. Masyarakat nelayan di daerah penelitian menambatkan perahunya dengan cara mengikuti aliran-aliran sungai yang terdapat di sekitar kawasan mangrove sehingga perahu nelayan terlindung dari gelombang besar air laut. Tempat pertambakan perahu di daerah penelitian rata-rata dibuat dengan menggunakan kayu pancang yang kemudian perahu diikatkan supaya tidak terbawa arus, dan ada juga nelayan yang langsung mengangkat perahu ke daratan akibat tidak adanya dermaga di wilayah ini. Dermaga di daerah penelitian hanya terdapat di Stasiun II, namun karena jarak serta kapasitas dermaga yang masih kurang maka banyak nelayan tidak menambatkan perahunya di dermaga tersebut. Kondisi ekonomi masyarakat nelayan yang ada di daerah penelitian masih dalam keadaan rendah. Hasil wawancara terhadap nelayan menunjukkan bahwa rata-rata penghasilan nelayan berkisar antara Rp sampai Rp setiap bulannya. Hal ini disebabkan karena jumlah hari nelayan untuk melaut tidak tetap tergantung dari kesehatan dan juga kondisi alam yang memungkinkan bagi nelayan untuk melaut, terkadang kalau cuaca buruk atau badai maka nelayan tidak turun melaut dalam kurung waktu yang panjang. Nelayan di daerah penelitian ratarata pergi melaut dengan cara pulang hari dalam artian berangkat pagi dan pulang pada sore harinya dan ada juga yang pergi sore dan pulang pagi, kurung waktu melaut nelayan paling lama 5 (lima) hari dalam seminggu. Cuaca sangat

39 25 berpengaruh terhadap kestabilan ekonomi masyarakat nelayan karena makin lama nelayan tidak melaut maka ekonomi mereka akan turun, hal ini sangat dipengaruhi karena tidak adanya pencaharian tambahan bagi masyarakat nelayan dalam menambah penghasilan apabila mereka tidak pergi melaut karena buruknya cuaca. Selain dari itu, maka kerusakan ekosistem yang ada di pesisir sangat mempengaruhi perekonomian masyarakat nelayan sebab alternatif bagi nelayan untuk melakukan penangkapan ikan susah. Apabila nelayan melakukan penangkapan di daerah mangrove atau daerah pantai maka mereka hanya mendapatkan hasil tangkapan yang relatif sedikit sehingga hasil tangkapan mereka hanya untuk kebutuhan rumah tangga dan tidak bisa menunjang penambahan ekonomi keluarga. Manfaat ekosistem mangrove terhadap perekonomian nelayan Mangrove di kawasan penelitian mempunyai banyak manfaat bagi masyarakat yang ada disekitarnya, fungsi mangrove yang sangat dirasakan masyarakat adalah fungsi fisik dan fungsi ekologi. Fungsi fisik mangrove yang dirasakan yaitu terlindungnya rumah penduduk dari gelombang air laut, manjaga kestabilan garis pantai, menahan erosi dan abrasi, serta memberikan berbagai jasa seperti melindungi perahu nelayan dari gelombang air laut. Kamal dan Haris (2014) menyatakan bahwa secara fisik, mangrove dapat berfungsi untuk menjaga garis pantai tetap stabil, melindungi pantai dari gempuran ombak, mencagah abrasi, mencegah ancaman tsunami, dan sebagai wilayah penyangga (filter). Fungsi perlindungan pantai oleh pohon mangrove berupa sistem perakaran mangrove yang rapat dan terpancang sebagai jangkar dapat meredam gelombang laut dan mengurangi kecepatan arus sehingga pantai terhindar dari abrasi (Khazali 2001 in Maskendari 2006). Fungsi ekologi mangrove yang dirasakan masyarakat adalah sebagai tempat asuhan dan mencari makan bagi ikan-ikan kecil, kerang-kerangan. Fungsi lainnya adalah sebagai tempat bersarangnya burung dan ekosistem lain baik ekosistem darat maupun perairan. Hal ini dibuktikan dengan banyak ditemukannya biota yang berasosiasi di sekitar ekosistem mangrove. Selain dari fungsi tersebut di atas, nelayan setempat melakukan pemanfaatan ekosistem mangrove sebagai daerah penangkapan ikan (fishing ground) alternatif apabila terkendala untuk melaut akibat adanya badai atau permasalahan alam lainnya. Hasil tangkapan yang didapat di sekitar kawasan mangrove adalah kepiting, udang, kerang-kerangan, serta beberapa jenis ikan seperti kerapu, kuwe, dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan di daerah penelitian diperoleh informasi bahwa hasil tangkapan yang didapatkan nelayan saat melakukan penangkapan di sekitar ekosistem mangrove sangat kecil yaitu ± 3kg, hasil tangkapan tersebut tidak perjualkan namun hanya untuk dikonsumsi sendiri dalam keluarga sehingga tidak memberikan nilai tambah bagi perekonomian nelayan. Hasil tangkapan nelayan di kawasan ekosistem mangrove dan di kawasan pesisir semakin lama semakin sedikit, hal ini disebabkan karena semakin rusaknya ekosistem pesisir yang merupakan tempat habitat bagi ikan dan ekosistem lain sehingga dalam melakukan penangkapan ikan maka nelayan harus mencari daerah penangkapan ikan yang lebih jauh dari pesisir guna mendapatkan hasil yang memuaskan.

40 26 Selain memanfaatkan kawasan ekosistem mangrove sebagai daerah penangkapan maka banyak juga masyarakat yang memanfaatkan kayu mangrove sebagai bahan-bahan bangunan dan juga sebagai bahan pembuatan perahu. Kebanyakan kayu mangrove yang digunakan masyarakat sebagai bahan bangunan adalah mangrove jenin L. Littorea, karena menurut masyarakat setempat mangrove jenis itu rata-rata memiliki batang yang lebih lurus dan tahan dibandingkan dengan jenis mangrove yang lain serta mudah didapatkan. Rata-rata mangrove jenis L. littorea yang ditebang oleh masyarakat yang di gunakan untuk bahan bangunan adalah yang memiliki lingkar batang antara 15 cm sampai dengan 50 cm sehinga banyak ditemukan penebangan mangrove dengan ukuran tersebut. Masyarakat nelayan yang berada di daerah penelitian rata-rata memasak dengan menggunakan kayu bakar dan sebagiannya juga menggunakan kompor minyak tanah. Kayu bakar yang digunakan oleh masyarakat berasal dari kayu hutan atau batang pohon karet yang sudah mati dan sebagian menggunakan pelepah kelapa yang sudah kering. Kamal (2006) juga menjelaskan bahwa salah satu fungsi pokok hutan mangrove adalah sebagai sumber bahan bakar (arang dan kayu bakar), bahan bangunan (balok, atap rumah dan tikar), perikanan, pertanian, tekstil (serat sintetis), makanan, obat-obatan, minuman (alkohol), bahan mentah kertas, bahan pembuat kapal (gadinggading) dan lainnya. Pengamatan di lapangan juga tidak ditemukan adanya tambak, keramba serta kegiatan lainnya yang dilakukan oleh masyarakat dalam memanfaatkan keberadaan hutan mangrove tersebut. Kordi (2012) dalam bukunya menyatakan bahwa potensi dan manfaat ekonomi ekosistem mangrove yaitu hasil hutan, ikan, krustase, moluska, ekinodermata, bahan pangan, sumber obat-obatan, kawasan wisata, pengembangan ilmu dan teknologi, akuakultur. Dari begitu banyaknya manfaat dan potensi ekonomis yang berasal dari ekosistem mangrove, namun menurut data di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang ada di daerah penelitian masih belum memanfaatkan ekosistem mangrove dengan baik untuk dapat menunjang perekonomian. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kurangnya wawasan dan pengetahuan masyarakat untuk memberikan nilai tambah terhadap ekosistem mangrove sehingga memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi. Akibatnya, nilai yang diberikan oleh masyarakat terhadap ekosistem mangrove relatif sangat kecil sehingga sangat mudah bagi masyarakat untuk merusak serta tidak peduli terhadap kelestarian dan keberlanjutan kawasan mangrove tersebut. Strategi pengelolaan ekosistem mangrove di Kecamatan Sawo Penelitian ini bertujuan untuk dapat merumuskan strategi pengelolaan mangrove supaya dapat lestari dan berkelanjutan di Kecamatan Sawo Kabupaten Nias Utara. Supaya dapat mencapai tujuan tersebut maka beberapa tahapan metode analisis sudah dilakukan dalam mendapatkan landasan analisis trategi pengelolaan mangrove. Supaya strategi pengelolaan mangrove lebih baik dan tidak tumpang tindih maka dalam perumusan strategi pengelolaan mangrove harus mempertimbangkan berbagai faktor-faktor penting seperti ekonomi, sosial, ekologi serta undang-undang yang sudah diterapkan oleh masyarakat lokal. Strategi dalam hal ini merupakan suatu metode dalam merumuskan supaya dapat mengubah alur pemikiran dari serangkaian analisis yang telah dilakukan

41 27 untuk memperoleh kesimpulan yang lengkap, dan tepat dengan mempertimbangkan kriteria-kriteria utama yang lebih berpengaruh berdasarkan persepsi masing-masing responden pakar. Tahapan perumusan ini akan mengkaji strategi pengelolaan mangrove di Kecamatan Sawo yang menunjukkan prioritas alternatif yang lebih tepat yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat, peningkatan ekonomi dan kelestarian ekosistem mangrove. Diagram hirarki strategi pengelolaan mangrove disajikan pada Gambar 12. Gambar 12 Diagram hirarki strategi pengelolaan mangove Seperti yang terlihat pada gambar diagram hirarki diatas menunjukkan bahwa kriteria yang sangat perlu diperhatikan untuk menjadi pertimbangan penting dalam menentukan strategi pengelolaan mangrove yaitu ekonomi, sosial, ekologi dan undang-undang dengan tujuan untuk kesejahteraan masyarakat, kelestarian ekosistem mangrove dan peningkatan ekonomi masyarakat. supaya dapat mencapai tujuan yang strategis dalam pengelolaan mangrove yang lebih lestari maka ada beberapa alternatif strategi mangelolaan mangrove di Kecamatan Sawo yaitu konservasi, pemeliharaan, pemberdayaan masyarakat, pelatihan dan pendidikan, serta wisata pantai. Kriteria utama menurut responden pakar Strategi pengelolaan mangrove supaya dapat berkelanjutan ditentukan oleh alternatif-alternatif penting sehingga dapat menunjang pengelolaan mangrove tersebut. Hasil pengolahan data AHP untuk menentukan strategi pengelolaan mangrove dengan menggunakan software Expert Choice 11, menunjukkan alternatif strategi pengelolaan mangrove Kecamatan Sawo berdasarkan pertimbangan permasalahan kawasan mangrove, peraturan dan juga potensi ekologi. Hasil analisis prioritas strategi pengelolaan mangrove ditunjukkan pada Gambar 13.

42 28 Gambar 13 Prioritas strategi pengelolaan mangrove hasil olahan data AHP Berdasarkan hasil pengolahan data AHP dengan menggunakan Softwere expert choice yang ditunjukkan pada Gambar 13 menunjukkan bahwa prioritas utama strategi pengelolaan mangrove di Kecamatan Sawo ada dua yaitu pemberdayaan masyarakat dengan skor 0,328 (32,8%) kemudian pendidikan dan pelatihan sumberdaya masyarakat pesisir dengan skor 0,289 (28,9%). Pemberdayaan masyarakat sangat perlu dalam pengelolaan mangrove supaya masyarakat yang ada di sekitar mangrove dapat membuat usaha dengan memanfaatkan hasil dari ekosistem mangrove tersebut, serta dapat mengelola dan mengembangkan ekosistem mangrove yang ada sebagai tempat wisata alam. Strategi alternatif pendidikan dan pelatihan sumberdaya masyarakat pesisir diperlukan dalam pengelolaan ekosistem mangrove yang ada di Kecamatan Sawo, karena mengingat tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat terhadap jenis dan fungsi serta manfaat ekosistem mangrove sangat terbatas, sehingga perlu adanya kebijakan pemerintah dalam memberikan pendidikan dan pelatihan guna meningkatkan keterampilan masyarakat pesisir yang ada di sekitar ekosistem mangrove. Dengan diterapkannya kedua strategi pengelolaan ini maka diharapkan dapat dicapai kelestarian ekosistem mangrove yang ada di Kecamatan Sawo dan juga ditingkatkannya ekonomi masyarakat yang ada di sekitarnya demi tercapainya kesejahteraan. Pembahasan Wilayah Kecamatan Sawo memiliki kawasan pesisir yang cukup luas, sehingga sangat berpotensi ditumbuhin oleh ekosistem mangrove yang cukup luas dan tersebar dibeberapa desa yang ada di Kecamatan sawo. Diantara beberapa desa yang ditumbuhin ekosistem mangrove ada dua desa yang memiliki potensi mangrove yang lebih besar yaitu Desa Lasar Sawo dan Desa Sisarahili Teluk Siabang. Mangrove yang terdapat di kawasan penelitian masih dalam keadaan baik, namun masih banyak juga mangrove yang mengalami kerusakan baik yang diakibatkan oleh manusia maupun kerusakan yang diakibatkan oleh bencana alam. Sebagian besar kawasan mangrove yang ada di daerah penelitian memiliki substrat lumpur dan lumpur berbatu. Substrat kawasan mangrove di daerah ini dipengeruhi oleh karena banyaknya aliran sungai yang mengaliri kawasan mangrove yang membawa partikel-partikel dari darat sehingga mengendap

43 kemudian menjadi lumpur yang sangat tebal. Distribusi penyebaran mangrove di kawasan penelitian juga mengikuti aliran-aliran sungai, sehingga sungai memiliki peranan yang besar dalam penyebaran luasan mangrove. Mangrove di daerah penelitian didominasi oleh jenis Rhizophora sp khususnya spesies R. Apiculata dibanding dengan spesies yang lain. Hal ini sangat erat hubungannya dengan kawasan mangrove yang didominasi oleh substrat berlumpur serta adanya aliran-aliran sungai. Noor et al. (2006) dalam bukunya menyatakan bahwa mangrove jenis R. apiculata tumbuh pada tanah berlumpur, halus, dalam, tergenang pada saat pasang normal, tidak menyukai substrat yang lebih keras yang bercampur dengan pasir dan tingkat dominasi dapat mencapai 90% dari vegetasi yang tumbuh di suatu lokasi serta menyukai perairan pasang surut yang memiliki pengaruh masukan air tawar yang kuat secara permanen. Pesatnya perkembangan Rhizophora sp di kawasan ini juga disebabkan karena propagul mangrove ini lebih panjang dan berat sehingga apabila propagulpropagul ini jatuh dari pohonnya akan langsung tertancap pada substrat yang berlumpur dan kemudian tumbuh menjadi semai. Lasibani dan Kamal (2010) menyatakan bahwa propagul atau hipokotil tercancap terjadi di sekitar pohon induk, jika propagul yang jatuh dari pohon induknya, substrat di sekitarnya terdiri dari lumpur atau lumpur berpasir, dan terjadi pada saat air surut relatif rendah atau kering. Sehingga propagul yang jatuh dengan titik berat berada pada bagian bawahnya akan mampu menembus kolom air dan atau langsung tertancap pada substrat. Penelitian lain yang dilakukan di Golo Sepang Kecamatan Boleng Kabupaten Manggarai Barat yang memiliki kondisi fisik tanahnya adalah lumpur berpasir dengan komposisi pasir lebih besar, tanah berwarna hitam serta kedalaman lumpur berkisar antara cm dan mangrove yang mendominasi kawasan tersebut adalah jenis R. Apiculata (Hidayatullah dan Pujiono 2014). Kerusakan mangrove di Kecamatan Sawo diakibatkan oleh pengaruh bencana alam dan juga oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Ritohardoyo dan Ardi (2011) menyatakan bahwa ekspoitasi hutan mangrove untuk pemenuhan kebutuhan manusia, cenderung berlebihan dan tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi. Hal ini menyebabkan ekosistem mangrove mengalami degradasi, dan secara langsung kehilangan fungsinya, sebagai tempat mencari makan bagi bermacam ikan dan udang yang bernilai komersial tinggi, dan tempat perlindungan bagi makhluk hidup lain di perairan pantai sekitarnya. Kerusakan mangrove yang disebabkan oleh manusia di daerah penelitian seperti penebangan pohon secara besar-besaran dan juga konvensi lahan mangrove menjadi lahan pertanian dan pembangunan masyarakat, hal ini di disebabkan karena kurang adanya pengertian dan pemahaman masyarakat akan jenis, fungsi dan manfaat dari mangrove itu sendiri. Elhak dan Satria (2011) juga menyatakan bahwa kerusakan mangrove lebih banyak disebabkan oleh manusia akibat kurang adanya pengertian dan pemahaman tentang jenis, fungsi, dan manfaat hutan mangrove dibandingkan oleh sebab alami. Wardhani (2011) menambahkan bahwa kegiatan lain juga dapat menyebabkan rusak dan hilangnya hutan mangrove, seperti dibendungnya aliran sungai, konversi lahan untuk fungsi lain, perubahan status peruntukan, dan pembuatan tambak dalam skala besar atau untuk lahan pertanian. Kondisi ini juga ditemukan di daerah penelitian, kawasan mangrove dari tahun ke tahun semakin mengalami penurunan luasan sehingga dikhawatirkan kawasan mangrove di daerah ini semakin lama akan 29

44 hilang. Kaunang dan Kimbal (2009), Wardhani (2011), Giri et al. (2015) menyatakan bahwa ekosistem mangrove rentan terhadap degradasi yang disebabkan oleh kondisi alami atau kegiatan manusia, seperti konversi lahan, penebangan berlebihan, pencemaran, penurunan ketersediaan air tawar, banjir, dan badai siklon. Kurangnya pengetahuan sumberdaya manusia tentang ekosistem mangrove menimbulkan kurang baiknya pengelolaannya. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih banyaknya masyarakat yang memanfaatkan sumberdaya pesisir yang ada tanpa memperhatikan kelestarian sumberdaya tersebut. ekosistem mangrove memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi, tetapi sangat rentan terhadap kerusakan apabila kurang bijaksana dalam mempertahankan, melestarikan dan pengelolaannya (Noviaty et al in Anugra et al. 2014). Kepedulian masyarakat pesisir yang tinggal di sekitar kawasan ekosistem mangrove daerah penelitian dalam menjaga dan melestarikan kawasan mangrove sangat rendah. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat serta kurangnya pengetahuan akan pentingnya ekosistem mangrove sangat berkolerasi terhadap tingkah masyarakat akan kepedulian terhadap keberadaan mangrove di sekitarnya. Kurangnya kepedulian ini disebabkan karena ketidak tahuan masyarakat akan fungsi dan manfaat ekosistem mangrove sehingga berpengaruh besar terhadap pengelolaan ekosistem mangrove supaya tetap lestari dan berkelanjutan. Basrowi dan Juariyah (2010) menyatakan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar untuk menyumbangkan kemampuan usaha manusia dalam rangka memajukan aktivitas dan pendidikan sebagai suatu aspek yang menyumbangkan sumberdaya manusia yang dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan seseorang untuk berbagai kegiatan, juga diharapkan mampu membuka cara berpikir ekonomis dalam arti mampu mengembangkan potensi yang ada untuk memperoleh hasil semaksimal mungkin. Berdasarkan dari itu, supaya program pembangunan yang dilakukan mendapatkan hasil yang maksimal maka peningkatan tingkat pendidikan masyarakat di daerah penelitian sangat perlu supaya masyarakat dapat lebih peduli dan berkreasi dalam meningkatkan nilai ekonomis ekosistem mangrove yang ada di sekitarnya. Keterampilan dan pedidikan sangat diperlukan karena peran masyarakat merupakan faktor penting dalam menyukseskan keberhasilan setiap program pengelolaan ekosistem mangrove. Masyarakat yang berdomisili di kawasan mangrove daerah penelitian mayoritas bermatapencaharian sebagai nelayan sehingga sebagian besar perekonomian masyarakat bergantung dari hasil laut. Nelayan di daerah penelitian masih tergolong nelayan kecil sesuai dengan ketentuan umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 Bab I pasal 1 yakni nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, baik yang tidak menggunakan kapal penangkap ikan maupun yang menggunakan kapal penangkap ikan berukuran paling besar 10 gros ton (GT). Alat tangkapan yang digunakan nelayan kebanyakan alat tangkap tradisional hal ini mengakibatkan penghasilan rata-rata masyarakat nelayan relatif kecil, dan ditambah lagi tidak adanya mata pencaharian alternatif bagi nelayan dalam menunjang perekonomian apabila mengalami musim yang kurang baik serta cuaca yang tidak mendukung dalam melakukan penangkapan ikan. Kerusakan mangrove di pesisir Kecamatan Sawo sangat berpengaruh erat terhadap kelimpahan sumberdaya ikan yang ada di perairan. Hasil wawancara 30

45 terhadap nelayan, membuktikan bahwa mangrove sangat berpengaruh terhadap peningkatan ekonomi masyarakat pesisir khususnya nelayan yang melakukan penangkapan ikan, selain kurangnya hasil tangkapan yang didapatkan maka dampak lainnya juga semakin jauhnya tempat penangkapan ikan yang dilakukan masyarakan sehingga mengeluarkan biaya yang besar. Hal tersebut terjadi seiring dengan semakin rusaknya ekosistem pesisir menurunnya luasan mangrove yang ada di kawasan tersebut. Pradana et al. (2013) menyatakan bahwa hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan yang penting di wilayah pesisir dan lautan karena ekosistem mangrove memiliki fungsi penting baik fungsi ekologis maupun fungsi fisik. Berdasarkan itu, maka dapat disimpulkan bahwa keberadaan mangrove sangat diperlukan utuk menunjang perekonomian nelayan. Dilihat dari potensi sumberdaya yang ada di daerah ini maka peluang dalam membuat usaha sangat besar, namun masyarakat di daerah penelitian sangat minim pengetahuan dan wawasannya dalam memanfaatkan ekosistem mangrove seperti pembuatan bahan minuman, makanan, obat-obatan dan kerajinan yang bisa menunjang perekonomian masyarakat setempat. Berdasarkan hal tersebut, maka guna meningkatkan perekonomian masyarakat di daerah penelitian perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat, dan juga pendampingan serta, pelatihan supaya masyarakat dapat mengelola sumberdaya alam yang ada di sekitarnya sehingga memiliki nilai ekonomis yang tinggi dengan begitu maka masyarakat tidak menggantungkan hidup sepenuhnya dari hasil melaut. Hasil olahan data metode AHP dengan menggunakan softwere expert choise maka didapatkan skor yang paling tinggi ada dua yaitu strategi pemberdayaan masyarakat dan strategi pendidikan dan pelatihan sumberdaya masyarakat pesisir. Hal ini membuktikan bahwa pemberdayaan masyarakat dan pendidikan dan pelatihan sangat erat kaitannya dengan keberhasilan pengelolaan mangrove di daerah penelitian. Pemberdayaan masyarakat sangat diperlukan dalam pengelolaan mangrove karena dengan adanya alternatif penghasilan lain yang bisa menunjang ekonomi masyarakat pesisir maka masyarakat tidak memberikan tekanan atau intervensi yang lebih terhadap mangrove, karena salah satu faktor penyebab kerusakan dan menyempitnya lahan ekosistem mangrove yang dilakukan oleh masyarakat adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam menunjang ekonomi keluarga. Dengan adanya program pemberdayaan masyarakat seperti pengembangan usaha makanan atau minuman yang berasal dari ekosistem mangrove dan juga pengembangan pengelolaan wisata pantai, diharapkan adanya penambahan ekonomi bagi masyarakat yang berasal dari sumberdaya yang ada disekitarnya. Dengan adanya manfaat langsung yang didapatkan oleh masyarakat dari ekosistem mangrove, mereka akan ikut menjaga dan merasa bahwa ekosistem mangrove yang ada disekitarnya wajib dijaga kelestariannya. Pengembangan pengelolaan wisata pantai dalam hal ini berbasis ekowisata, dimana dalam perancangan wisata pantai ini dituntut bagi pemerintah terkait supaya melibatkat akademisi-akademisi serta pakar yang paham akan ekowisata sehingga konsep wisata pantai yang dilakukan di wilayah ini menerapkan konsep ekowisata yang menekankan prinsip konservasi. Dengan diterapkannya strategi pengelolaan wisata pantai yang berbasis ekologi diharapkan selain memberikan manfaat dalam menunjang ekonomi masyarakat juga akan menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat akan jenis, fungsi serta manfaat dari ekosistem mangrove sehingga 31

46 masyarakat tidak sembarangan menebang kayu yang ada di sekitar pantai dan akan menjaga dan mengawasi kelestarian ekosistem mangrove tersebut. Penerapan konsep ekowisata bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara ekologi, sosial dan ekonomi supaya tidak saling terganggu dan terus berkelanjutan untuk dimanfaatkan oleh masyarakat dan juga oleh generasi berikutnya. Ekowisata merupakan konsep pariwisata alternatif yang secara konsisten mengedepankan nilai-nilai alam, sosial, dan masyarakat yang memungkinkan adanya interaksi positif antar-para pelakunya (Laapo et al. 2010). Selain itu, strategi pendidikan dan pelatihan sangat diperlukan karena tingkat pengetahuan dan keterampilan sumberdaya manusia di wilayah pesisir merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pengelolaan ekosistem mangrove supaya lestari. Untuk dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat pesisir di Kecamatan Sawo perlu diadakan kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat yang ada di sekitar kawasan mangrove supaya lebih memahami dan mengerti fungsi dan manfaat ekosistem mangrove baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam pendidikan dan pelatihan yang dilakukan kepada masyarakat, pemerintah harus membuat strategi untuk meningkatkan pengetahuan dan pendidikan dalam mengfungsikan ekosistem mangrove seperti hasil perikanan, kerajinan dan juga manfaat langsung dari ekosistem itu sendiri supaya dapat meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian masyarakat akan menjaga keberlanjutan ekosistem mangrove untuk keberlanjutan kelestariannya. Pendidikan dan pelatihan yang diberikan kepada masyarakat pesisir berupa penyuluhan, pelatihan dalam mengembangkan keterampilan dalam memanfaatkan ekosistem mangrove dengan pertimbangan penting terhadap kearifan masyarakat sekitar. Supaya dapat lebih memaksimalkan tujuan pengembangan masyarakat maka harus adanya keterlibatan dari berbagai instansi terkait baik dari pemerintah, perguruan tinggi maupun dari lembaga swadaya masyarakat. Supaya strategi pengelolaan mangrove di atas dapat lebih mudah dan tepat sasaran serta mendapatkan hasil lebih maksimal, maka dalam penyelenggaraannya perlu dikolaborasikan dengan program yang sedang berjalan di daerah penelitian. Daerah penelitian sedang berjalan program-program pembinaan yang dilakukan oleh Coremap CTI tahap III, sehingga program ini membuka peluang besar untuk memasukkan strategi pengelolaan mangrove dalam setiap program yang sudah ada dengan cara memberdayakan kelompok adat, kelompok masyarakat dan kelompok tani dan nelayan yang sedang dibina oleh Coremap CTI tersebut. Dengan diterapkannya strategi pengelolaan mangrove tersebut di atas maka diharapkan memberikan keseimbangan dalam pengelolaan mangrove di Kecamatan Sawo, Kabupaten Nias Utara baik ditinjau dari sisi sosial, ekonomi dan ekologi. Harapan lain juga dengan diterapkannya strategi tersebut maka akan memberikan manfaat yang besar terhadap kesejahteraan masyarakat khususnya yang berada di sekitar kawasan mangrove dalam memanfaatkan ekosistem mangrove tanpa harus memberikan dampak negatif terhadap ekosistem. Dengan demikian, maka keberlangsungan ekosistem mangrove akan terjaga serta fungsi dan manfaatnya akan tetap dirasakan oleh masyarakat baik dimasa sekarang maupun oleh generasi yang akan datang. 32

47 33 4. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Di Kecamatan Sawo, Kabupaten Nias Utara ditemukan 13 spesies mangrove sejati dan 11 spesies mangrove ikutan. Mangrove spesies R. apiculata memiliki peran terpenting dibandingkan spesies lain, baik untuk tingkat pohon, anakan, maupun semai. Potensi sumberdaya mangrove sangat besar, namun pengetahuan masyarakat tentang ekosistem mangrove masih minim, hal ini mengakibatkan Strategi pengelolaan mangrove di kawasan pesisir Kecamatan Sawo Kabupaten Nias Utara untuk dapat lestari adalah pemberdayaan masyarakat, dan pendidikan pelatihan. Saran 1. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi dan pengawasan, menetapkan kawasan ekosistem mangrove yang bisa di jadikan lahan pertanian masyarakat, serta menerbitkan peraturan serta sanksi dalam pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove. 2. Perlu pemberdayaan masyarakat adat, kelompok nelayan, kelompok tani serta organisasi-organisasi yang ada dalam desa dalam pengelolaan dan pelestarian ekosistem pesisir. 3. Dalam pengembangan pengelolaan mangrove perlu keterpaduan antara stakeholder mulai dari perencanaan dan perumusan, sehingga pelaksanaan program. DAFTAR PUSTAKA Anugra F, Umar H, Toknok B Tingkat kerusakan hutan mangrove pantai di Desa Malakosa Kecamatan Balinggi Kabupaten Parigi Moutong. Warta Rimba, 2(1): Basrowi, Juariyah S Analisis kondisi sosial ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat Desa Srigading, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Jurnal Ekonomi & Pendidikan, 7(1) : Dahdouh-Guebas F, Jayatissa LP, Di Nitto D, Bosire JO, Lo Seen D, Koedam N How effective were mangroves as a defense againts the recent tsunami? Current Biology. 15(12): R443-R447. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Nias Utara (DKP-NU) Review Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) di Kabupaten Nias Utara. [Laporan Final]. 171 hal. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Nias Utara (DKP_NU) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Rencana Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Desa Sisarahili Teluk Siabang, Kecamatan Sawo, Kabupaten Nias Utara. Jakarta (ID) : COREMAP CTI-LIPI.

48 Elhak IH, Satria A Persepsi pesanggem mengenai hutan mangrove dan partisipasi pesanggem dalam pengelolaan tambak mangrove ramah lingkungan model empang parit. Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia, 5(1): Giri C, Long J, Abbas S, Murali RM, Qamer FM, Pengra B, Thau D Distribution and dynamics of mangrove forest of South Asia. Journal of Environmental Management, 148: Gumilar I Partisipasi masyarakat pesisir dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Indramayu. Jurnal Akuatik, 3(2): Haryani NS Analisis perubahan hutan mangrove menggunakan citra landsat. J Ilmiah WIDYA. 1(1): Heriyanto NM, Subiandono E Komposisi dan struktur tegakan, biomassa, dan potensi kandungan karbon hutan mangrove di Taman Nasional Alas Puro. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 9(1): Hidayatullah M, Pujiono E Struktur dan komposisi jenis hutan mangrove di Golo Sepang Kecamatan Boleng Kabupaten Manggarai Barat. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea, 3(2): Indarjo I, Nirwani S, Darajat A Kesesuaian lahan rehabilitasi mangrove di Desa Mojo, Desa Pesantren dan Desa Lawangrejo, Kabupaten Pemalang. Jurnal Ilmu Kelautan, 8(2): Kamal E Potensi dan pelestarian sumberdaya pesisir: hutan mangrove dan terumbu karang di Sumatera Barat. Mangrove dan Pesisir, 6(1): Membangun Kelautan dan Perikanan Berbasis Kerakyatan. Bung Hatta, Padang Keragaman dan kelimpahan sumberdaya ikan di perairan hutan mangrove di Pulau Unggas Air Bangis Pasaman Barat. Biota, 16(2): Kamal E, Haris H Komposisi dan vegetasi hutan mangrove di pulau-pulau kecil di Pasaman Barat. Ilmu Kelautan, 19(2): Kaunang TD, Kimbal JD Komposisi dan struktur vegetasi hutan mangrove di Taman Nasional Bunaken Sulawesi Utara. Agritek, 17(6): Kordi KMGH Ekosistem Mangrove. Jakarta (ID): Penerbit Rineka Cipta. Laapo A, Fahrudin A, Bengen DG, Damar A Kajian karakteristik dan kesesuaian kawasan mangrove untuk kegiatan ekowisata mangrove di Gugus Pulau Togean, Taman Nasional Kepulauan Togean. Forum Pascasarjana, 33(4): Lalo R Kajian ekologi ekonomi dalam pengelolaan ekosistem mangrove secara lestari di Kawasan Pesisir Banawa Selatan Kabupaten Donggala. [Tesis] Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lasibani SM, Kamal E Pola penyebaran pertumbuhan propagul mangrove Rhizophoraceae di Kawasan Pesisir Sumatera Barat. Jurnal Mangrove dan Pesisir, 10(1): Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nias Utara: Monitoring Kesehatan Terumbu Karang dan Ekosistem Terkait. Jakarta (ID) : COREMAP CTI-LIPI. Mangkay S, Harahab N, Polii B, Soemarno Analisis strategi pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kecamatan Tatapaan, Minahasa Selatan, Indonesia. J. PAL, 3(1):

49 Maskendari Kajian pengelolaan ekosistem mangrove berbasis partisipasi masyarakat di Kecamatan Sukadana Kabupaten Ketapang Provinsi Kalimantan Barat. [Tesis] Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Mendrofa S Struktur vegetasi mangrove di Kawasan Pesisir Desa Lasara Sawo Kecamatan Sawo Kabupaten Nias Provinsi Sumatera Utara. [Skripsi] Padang (ID): Universitas Bung Hatta. Mueller-Dombois D, Ellenberg H The count plot method and plotless sampling method. In:Mueller-Dombois D, Ellenberg H. Aims and methods of vegetation ecology. New York (US): John Wiley & Sons pp. Noor YR, Khazali M, Suryadiputra INN Paduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Bogor (ID): PHKA/WI-IP. [BPSKN]. Badan Pusat Statistik Kabupaten Nias Nias Utara Dalam Angka Osmaleli Analisis ekonomi dan kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan di Desa Pabean Udik, Kabupaten Indramayu. [Tesis] Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Pattimahu DV Kebijakan pengelolaan hutan mangrove berkelanjutan di Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku [Disertasi] Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Pradana OY, Nirwani, Suryono Kajian bioekologi dan strategi pengelolaan ekosistem mangrove : studi kasus di Teluk Awur Jepara. Journal Of Marine Research, 2(1): Pribadi R, Hartati R, Suryono CA Komposisi jenis dan distribusi gastropoda di kawasan hutan mangrove Segara Anakan Cilacap. Ilmu Kelautan, 14(2): Purwoko A Dampak kerusakan ekosistem hutan bakau (mangrove) terhadap pendapatan masyarakat pantai di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat. Jurnal Perencanaan & Pengembangan Wilayah Wahana Hijau, 1(1):21-26 Qiptiyah M, Broto BW, Setiawan H Keragaman jenis burung pada kawasan mangrove di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Jurnal Penelitian Kehutanan Wallacea, 2(1): Ritohardoyo S, Galuh BA Arahan pengelolaan hutan mangrove: kasus Pesisir Kecamatan Teluk Pakedai, Kabupaten Kubu Raya, Propinsi Kalimantan Barat. Jurnal Geografi, 8(2): Rumagia F Analisis Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Buru, Maluku [Tesis] Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Suargana N Analisis perubahan hutan mangrove menggunakan data penginderaan jauh di Pantai Bahagia, Muara Gembong, Bekasi. Jurnal Penginderaan Jauh, 5: Sutanto HA Pengelolaan mangrove sebagai pelindung kawasan pesisir dengan pendekatan Co-Management dan Analysis Hierarchy Process (AHP) (Studi di Kabupaten Pemalang, Jawa Barat). Jurnal Prestasi 6, (1): Umar, H Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. 35

50 Wardhani MK Kawasan konservasi mangrove: suatu potensi ekowisata. Jurnal Kelautan, 4(1): Winarno I, Efendi H, Damar A Valuasi ekonomi mangrove di Teluk Bintan Kabupaten Bintan. Jurnal Lingkungan dan Pembangunan, 1(1) : Zai M, Arlius, Suparno Kajian zonasi kawasan konservasi perairan daerah Kabupaten Nias Utara. Open Journal Systems Bung Hatta, 6(1):

51 LAMPIRAN 37

52 38 Lampiran 1 Peta Kecamatan Sawo Kabupaten Nias Utara Lokasi Penelitian KECAMATAN SAWO Sumber : Profil Kecamatan Sawo Kabupaten Nias Utara 2015

53 39 Lampiran 2 Nama desa dan luas wilayah serta jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan kepala keluarga Nama desa, luas wilayah dan jarak desa ke Ibu Kota Kecamatan Sawo No. Nama Desa Luas Wilayah (km 2 ) Jumlah Dusun Jarak desa ke Ibu Kota Kec. Sawo (km) 1. Ombolata Sawo 14,64 3 8,0 2. Sanawuyu 5,79 3 6,0 3. Onozitoli Sawo 12,55 3 3,0 4. Hiliduruwa 14,41 3 1,0 5. Teluk Bengkuang 2,04 1 2,0 6. Seriwa u 4,59 2 2,0 7. Sawo 6,06 3 0,5 8. Lasara Sawo 18,61 3 1,0 9. Sisarahili Teluk Siabang 13,39 2 6,0 10. Sifahandro 7,91 2 8,0 Jumlah 100, ,5 Sumber: Profil Kecamatan Sawo (2015) Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan kepala keluarga Tahun 2015 No Nama Desa Jumlah Penduduk Kepala L + P L P Keluarga 1. Ombolata Sawo Sanawuyu Onozitoli Sawo Sawo Lasara Sawo Sisarahili Teluk Siabang Sifahandro Seriwa u Hiliduruwa Teluk Bengkuang Jumlah Sumber: Profil Kecamatan Sawo (2015)

54 40 Lampiran 3 Mangrove sejati di daerah penelitian Acrostichum aureum Acrostichum spesiosum Bruguiera cylindrical Bruguiera gimnorrhiza Bruguiera sexangula Ceriops tagal Lumnitzera littorea Nypa fruticans

55 41 Lanjutan lampiran 3 Rhizophora apiculata Rhizophora mucronata Rhizophora stylosa Soneratia alba Xilocarpus granatum Lampiran 4 Mangrove ikutan di daerah penelitian Canavalia maritima Cyperus malaccensis

56 42 Lanjutan lampiran 4 Cyperus scariosus Derris trifoliate Hibiscus tiliaceus Ipomea pescaprae Morinda citrifolia Pandanus tectorius Pongamia pinnata Scaevola taccada

57 43 Lanjutan lampiran 4 Lampiran 5 Dokumentasi Penelitian Terminalia catappa Kantor Kecamatan Sawo Tangkahan perahu Stasiun II Mangrove Stasiun I Mangrove Stasiun II Pemasangan transek pengamatan Pengukuran diameter pohon

58 44 Lanjutan lampiran 5 Penulisan data distribusi mangrove Wawancara dengan masyarakat Hasil tangkapan nelayan Penebangan pohon mangrove Kerusakan ekosistem mangrove Konversi lahan ekosistem mangrove

59 1 45 Lampiran 6 Hasil perhitungan vegetasi mangrove tingkat pohon setiap Stasiun pengamatan Nilai KR, FR, DR, NP mangrove tingkat pohon setiap transek pada Stasiun I. Transek No Jenis I II III Rata-Rata KR(%) FR(%) DR(%) NP(%) KR(%) FR(%) DR(%) NP(%) KR(%) FR(%) DR(%) NP(%) KR(%) FR(%) DR(%) NP(%) 1 BC ,15 15,15 15,52 39,82 3,05 5,05 5,17 13,27 2 CT ,27 6,06 1,42 10,75 1,09 2,02 0,47 3,58 3 LL 2,33 5,26 1,84 9,42 7,95 13,04 7,59 28,59 16,99 12,12 34,68 63,79 9,09 10,14 14,70 33,94 4 RA 58,14 47,37 61,05 166,56 56,82 43,48 50,50 150,80 63,40 51,52 41,86 156,77 59,45 47,45 51,14 158,04 5 RM 9,30 10,53 8,04 27,87 19,32 26,09 25,78 71,19 5,88 12,12 5,57 23,57 11,50 16,24 13,13 40,88 6 RS 30,23 36,84 29,07 96,15 15,91 17,39 16,12 49,42 1,31 3,03 0,96 5,29 15,82 19,09 15,38 50,29 Jumlah Keterangan: KR = Kerapatan Relatif (%), FR = Frekuensi Relatif (%) DR = Dominasi Relatif (%) NP = Nilai Penting (%). Nilai KR, FR, DR, NP Mangrove tingkat pohon setiap transek pada Stasiun II. Transek No Jenis I II III Rata-Rata KR(%) FR(%) DR(%) NP(%) KR(%) FR(%) DR(%) NP(%) KR(%) FR(%) DR(%) NP(%) KR(%) FR(%) DR(%) NP(%) 1 BS 3,85 12,90 8,88 25,62 16,05 28,21 16,12 60,37 13,83 23,53 12,37 49,73 11,24 21,55 12,46 45,24 2 CT 2,88 6,45 2,31 11,64 3,70 7,69 4,16 15,56 4,26 11,76 3,81 19,83 3,61 8,64 3,42 15,68 3 LL 12,50 6,45 11,76 30,71 16,05 10,26 18,81 45,12 8,51 5,88 9,94 24,33 12,35 7,53 13,50 33,39 4 RA 70,19 48,39 68,45 187,03 43,21 28,21 38,10 109,52 57,45 35,29 52,19 144,93 56,95 37,30 52,92 147,16 5 RM 3,85 9,68 3,16 16,69 11,11 10,26 11,67 33,04 7,45 8,82 14,27 30,54 7,47 9,59 9,70 26,76 6 RS 6,73 16,13 5,44 28,30 7,41 10,26 6,96 24,62 8,51 14,71 7,42 30,63 7,55 13,70 6,61 27,85 7 SA ,47 5,13 4,17 11, ,82 1,71 1,39 3,92 Jumlah Keterangan: KR = Kerapatan Relatif (%), FR = Frekuensi Relatif (%) DR = Dominasi Relatif (%) NP = Nilai Penting (%).

60 2 46 Lampiran 7 Hasil perhitungan vegetasi mangrove tingkat anakan setiap Stasiun pengamatan Nilai KR, FR, DR, NP mangrove tingkat anakan setiap transek pada Stasiun I. Transek No Jenis I II III Rata-Rata KR(%) FR(%) DR(%) NP(%) KR(%) FR(%) DR(%) NP(%) KR(%) FR(%) DR(%) NP(%) KR(%) FR(%) DR(%) NP(%) 1 Bc ,000 9,302 9,660 28,962 3,333 3,101 3,220 9,654 2 Bs ,417 2,326 0,354 3,096 0,139 0,775 0,118 1,032 3 Ct 14,286 15,385 5,849 35,519 4,639 9,677 3,833 18,150 9,167 18,605 7,439 35,210 9,364 14,556 5,707 29,627 4 Ll 0,840 3,846 1,566 6,252 1,546 9,677 2,267 13,490 1,250 4,651 0,929 6,830 1,212 6,058 1,587 8,857 5 Ra 47,059 34,615 53, ,069 56,186 29,032 58, ,368 67,917 44,186 68, ,905 57,054 35,945 60, ,114 6 Rm 16,807 26,923 12,489 56,219 29,381 29,032 23,907 82,321 9,167 16,279 9,293 34,739 18,452 24,078 15,230 57,760 7 Rs 21,008 19,231 26,701 66,941 8,247 22,581 11,843 42,671 1,667 2,326 3,169 7,161 10,307 14,712 13,904 38,924 8 Xg ,417 2,326 0,354 3,096 0,139 0,775 0,118 1,032 Jumlah Keterangan: KR = Kerapatan Relatif (%), FR = Frekuensi Relatif (%) DR = Dominasi Relatif (%) NP = Nilai Penting (%). Nilai KR, FR, DR, NP mangrove tingkat anakan setiap transek pada Stasiun II. Transek No Jenis I II III Rata-Rata KR(%) FR(%) DR(%) NP(%) KR(%) FR(%) DR(%) NP(%) KR(%) FR(%) DR(%) NP(%) KR(%) FR(%) DR(%) NP(%) 1 Bs 3,52 10,53 3,44 17,49 8,76 17,50 11,21 37,47 26,84 23,81 23,96 74,61 13,04 17,28 12,87 43,19 2 Ct 2,64 10,53 1,37 14,54 11,86 15,00 6,96 33,82 6,93 19,05 7,36 33,34 7,14 14,86 5,23 27,23 3 Ll 4,41 5,26 7,28 16,94 2,58 7,50 5,71 15,79 2,16 4,76 5,12 12,04 3,05 5,84 6,04 14,93 4 Ra 74,01 36,84 73,07 183,93 52,06 32,50 52,12 136,68 54,98 33,33 52,17 140,48 60,35 34,23 59,12 153,69 5 Rm 12,78 15,79 12,28 40,84 7,22 15,00 6,74 28,95 1,30 7,14 1,46 9,90 7,10 12,64 6,83 26,57 6 Rs 2,20 18,42 1,74 22,37 17,53 12,50 17,26 47,29 7,79 11,90 9,94 29,64 9,17 14,28 9,65 33,10 7 Sa 0,44 2,63 0,82 3, ,15 0,88 0,27 1,30 Jumlah Keterangan: KR = Kerapatan Relatif (%), FR = Frekuensi Relatif (%) DR = Dominasi Relatif (%) NP = Nilai Penting (%).

61 3 47 Lampiran 8 Hasil perhitungan vegetasi mangrove tingkat semai setiap Stasiun pengamatan Nilai KR, FR, NP mangrove tingkat semai setiap transek pada Stasiun I. Transek No Jenis I II III Rata-Rata KR(%) FR(%) NP(%) KR(%) FR(%) NP(%) KR(%) FR(%) NP(%) KR(%) FR(%) NP(%) 1 BC ,85 8,33 12,18 1,28 2,78 4,06 2 CT ,00 22,22 37, ,00 7,41 12,41 3 LL ,00 11,11 21,11 3,85 8,33 12,18 4,62 6,48 11,10 4 RA 52,63 57,14 109,77 55,00 44,44 99,44 73,08 58,33 131,41 60,24 53,31 113,54 5 RM 36,84 28,57 65,41 15,00 11,11 26,11 15,38 16,67 32,05 22,41 18,78 41,19 6 RS 10,53 14,29 24,81 5,00 11,11 16,11 3,85 8,33 12,18 6,46 11,24 17,70 Jumlah Keterangan: KR = Kerapatan Relatif (%), FR = Frekuensi Relatif (%) NP = Nilai Penting (%). Nilai KR, FR, NP Mangrove tingkat semai setiap transek pada Stasiun II. Transek No Jenis I II III Rata-Rata KR(%) FR(%) NP(%) KR(%) FR(%) NP(%) KR(%) FR(%) NP(%) KR(%) FR(%) NP(%) 1 CT ,14 16,67 23, ,38 5,56 7,94 2 RA 56,25 50,00 106,25 64,29 50,00 114,29 80,00 71,43 151,43 66,85 57,14 123,99 3 RM 37,50 37,50 75, ,00 28,57 48,57 19,17 22,02 41,19 4 RS 6,25 12,50 18,75 28,57 33,33 61, ,61 15,28 26,88 Jumlah Keterangan: KR = Kerapatan Relatif (%), FR = Frekuensi Relatif (%) NP = Nilai Penting (%).

62 48 Lampiran 9 Hasil olahan luasan mangrove dengan menggunakan citra landsat. 109,724 ha 98,234 ha Tutupan mangrove tahun 2006 Tutupan mangrove tahun ,319 ha Tutupan mangrove tahun 2016

63 49 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ombolata Alasa, Kecamatan Alasa, Kabupaten Nias Utara, Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 02 September 1990, sebagai anak kedua dari lima bersaudara pasangan Sitoni Mendrofa dan Sigati Mendrofa. Penulis menempuh pendidikan di SDN No Faekhuna a Kecamatan Afulu, Kabupaten Nias Utara dan selesai tahun Penulis melanjutkan ke Sekolah Lanjut Tingkat Pertama di SLTP Negeri 1 Hiliduho, Kabupaten Nias dan selesai pada tahun Kemudian penulis melanjut pendidikan di Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 3 Gunungsitoli dan tamat tahun Penulis menyelesaikan studi sarjana dengan gelar Sarjana Perikanan pada tahun 2014 di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Bung Hatta Padang. Pada tahun yang sama Penulis berkesempatan melanjutkan studi program pascasarjana S2 di Institut Pertanian Bogor pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan lautan.

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN Supriadi, Agus Romadhon, Akhmad Farid Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura e-mail: akhmadfarid@trunojoyo.ac.id ABSTRAK

Lebih terperinci

STRUKTUR VEGETASI MANGROVE DI KAWASAN PESISIR DESA LASARA SAWO KECAMATAN SAWO KABUPATEN NIAS UTARA PROVINSI SUMATERA UTARA

STRUKTUR VEGETASI MANGROVE DI KAWASAN PESISIR DESA LASARA SAWO KECAMATAN SAWO KABUPATEN NIAS UTARA PROVINSI SUMATERA UTARA STRUKTUR VEGETASI MANGROVE DI KAWASAN PESISIR DESA LASARA SAWO KECAMATAN SAWO KABUPATEN NIAS UTARA PROVINSI SUMATERA UTARA Septinus Mendrofa 1, Eni Kamal 2 dan Suardi ML 2 E-mail : septinus_mendrofa@yahoo.com

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN 135 VI. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Komposisi spesies mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi sebanyak 20 spesies mangrove sejati dan tersebar tidak merata antar pulau.

Lebih terperinci

REPORT MONITORING MANGROVE PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI

REPORT MONITORING MANGROVE PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI REPORT MONITORING MANGROVE PADA KAWASAN TAMAN NASIONAL WAKATOBI KABUPATEN WAKATOBI Kerjasama TNC-WWF Wakatobi Program dengan Balai Taman Nasional Wakatobi Wakatobi, Juni 2008 1 DAFTAR ISI LATAR BELAKANG...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia dan terletak pada iklim tropis memiliki jenis hutan yang beragam. Salah satu jenis hutan

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010 PENGARUH AKTIVITAS EKONOMI PENDUDUK TERHADAP KERUSAKAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE DI KELURAHAN BAGAN DELI KECAMATAN MEDAN BELAWAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyarataan Memperoleh Gelar Sarjana

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT Ana Dairiana, Nur illiyyina S, Syampadzi Nurroh, dan R Rodlyan Ghufrona Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Analisis vegetasi

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerusakan fisik habitat wilayah pesisir dan lautan di Indonesia mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem. Salah satunya terjadi pada ekosistem mangrove. Hutan mangrove

Lebih terperinci

STRUKTUR VEGETASI MANGROVE ALAMI DI AREAL TAMAN NASIONAL SEMBILANG BANYUASIN SUMATERA SELATAN

STRUKTUR VEGETASI MANGROVE ALAMI DI AREAL TAMAN NASIONAL SEMBILANG BANYUASIN SUMATERA SELATAN MASPARI JOURNAL Januari 2017, 9(1):1-8 STRUKTUR VEGETASI MANGROVE ALAMI DI AREAL TAMAN NASIONAL SEMBILANG BANYUASIN SUMATERA SELATAN NATURAL MANGROVE VEGETATION STRUCTURE IN SEMBILANG NATIONAL PARK, BANYUASIN

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii

ABSTRAK. Kata Kunci: ekowisata pesisir, edukasi, hutan pantai, konservasi, perencanaan. iii ABSTRAK Devvy Alvionita Fitriana. NIM 1305315133. Perencanaan Lansekap Ekowisata Pesisir di Desa Beraban, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan. Dibimbing oleh Lury Sevita Yusiana, S.P., M.Si. dan Ir. I

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus TEKNIK PENANAMAN MANGROVE PADA DELTA TERDEGRADASI DI SUMSEL Teknik Penanaman Mangrove Pada Delta Terdegradasi di Sumsel Teknik Penanaman

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim Provinsi Banten secara geografis terletak pada batas astronomis 105 o 1 11-106 o 7 12 BT dan 5 o 7 50-7 o 1 1 LS, mempunyai posisi strategis pada lintas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan mikrobia yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove (Strategi Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

1. Pengantar A. Latar Belakang

1. Pengantar A. Latar Belakang 1. Pengantar A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.500 pulau dengan panjang sekitar 81.000, sehingga Negara kita memiliki potensi sumber daya wilayah

Lebih terperinci

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SALINAN PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS, Menimbang

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI MANGROVE DAN PEMANFAATANNYA OLEH MASYARAKAT KAMPUNG ISENEBUAI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA SKRIPSI YAN FRET AGUS AURI

ANALISIS VEGETASI MANGROVE DAN PEMANFAATANNYA OLEH MASYARAKAT KAMPUNG ISENEBUAI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA SKRIPSI YAN FRET AGUS AURI ANALISIS VEGETASI MANGROVE DAN PEMANFAATANNYA OLEH MASYARAKAT KAMPUNG ISENEBUAI DISTRIK RUMBERPON KABUPATEN TELUK WONDAMA SKRIPSI YAN FRET AGUS AURI JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI DAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI TELUK BENOA-BALI. Dwi Budi Wiyanto 1 dan Elok Faiqoh 2.

ANALISIS VEGETASI DAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI TELUK BENOA-BALI. Dwi Budi Wiyanto 1 dan Elok Faiqoh 2. ANALISIS VEGETASI DAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI TELUK BENOA-BALI Dwi Budi Wiyanto 1 dan Elok Faiqoh 2 1) Dosen Prodi Ilmu Kelautan, FKP Universitas Udayana 2) Dosen Prodi Ilmu Kelautan, FKP Universitas

Lebih terperinci

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage

Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage Struktur Dan Komposisi Vegetasi Mangrove Di Pulau Mantehage Elok Swasono Putro (1), J. S. Tasirin (1), M. T. Lasut (1), M. A. Langi (1) 1 Program Studi Ilmu Kehutanan, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan

BAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan kawasan yang memiliki potensi sumber daya alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan salah satu sistem ekologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Penelitian

3. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Penelitian 3. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kawasan ekosistem mangrove Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan dengan metode purposive

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Lingkungan Penelitian Pada penelitian ini, lokasi hutan mangrove Leuweung Sancang dibagi ke dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo

Lebih terperinci

KUESIONER DI LAPANGAN

KUESIONER DI LAPANGAN LAMPIRAN KUESIONER DI LAPANGAN EKOLOGI, PEMANFAATAN, DAN DAMPAK AKTIVITAS MANUSIA TERHADAP EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN SERAPUH, KECAMATAN TANJUNG PURA KABUPATEN LANGKAT Dusun Desa Kecamatan Kabupaten

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kuisioner Pengunjung Kuisioner penelitian untuk pengunjung Pantai Putra Deli

Lampiran 1. Kuisioner Pengunjung Kuisioner penelitian untuk pengunjung Pantai Putra Deli Lampiran 1. Kuisioner Pengunjung Kuisioner penelitian untuk pengunjung Pantai Putra Deli Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara No. : Waktu : Hari/Tanggal

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

Struktur dan Komposisi Mangrove di Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara Jamili

Struktur dan Komposisi Mangrove di Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara Jamili Struktur dan Komposisi Mangrove di Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara Jamili Laboratorium Ekologi Jurusan Biologi UHO jamili66@yahoo.com 2012. BNPB, 2012 1 bencana tsunami 15 gelombang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia dan juga memiliki keragaman hayati yang terbesar serta strukturnya yang paling bervariasi. Mangrove dapat tumbuh

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR DAN STATUS EKOSISTIM MANGROVE DI PERAIRAN TIMUR KABUPATEN BIAK NUMFOR

ANALISIS STRUKTUR DAN STATUS EKOSISTIM MANGROVE DI PERAIRAN TIMUR KABUPATEN BIAK NUMFOR ANALISIS STRUKTUR DAN STATUS EKOSISTIM MANGROVE DI PERAIRAN TIMUR KABUPATEN BIAK NUMFOR Bernhard Katiandagho Staf Pengajar Akademi Perikanan Kamasan Biak-Papua, e-mail: katiandagho_bernhard@yahoo.com ABSTRAK

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Indeks Nilai Penting Mangrove di Desa Tabulo Selatan Kecamatan Mananggu Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo

Keanekaragaman Jenis dan Indeks Nilai Penting Mangrove di Desa Tabulo Selatan Kecamatan Mananggu Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo Keanekaragaman Jenis dan Indeks Nilai Penting Mangrove di Desa Tabulo Selatan Kecamatan Mananggu Kabupaten Boalemo Provinsi Gorontalo 1,2 Yulinda R.Antu, 2 Femy M. Sahami, 2 Sri Nuryatin Hamzah 1 yulindaantu@yahoo.co.id

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara Geografis Pantai Sari Ringgung (PSR) terletak di posisi LS dan

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Secara Geografis Pantai Sari Ringgung (PSR) terletak di posisi LS dan IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak dan Luas Secara Geografis Pantai Sari Ringgung (PSR) terletak di posisi 05 33 LS dan 105 15 BT. Pantai Sari Ringgung termasuk dalam wilayah administrasi Desa

Lebih terperinci

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA TAHUN 2017 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Sibolga terletak di kawasan pantai Barat Sumatera Utara, yaitu di Teluk Tapian Nauli. Secara geografis, Kota Sibolga terletak di antara 01 0 42 01 0 46 LU dan

Lebih terperinci

STUDI POTENSI EKOWISATA MANGROVE DI KUALA LANGSA PROVINSI ACEH ARIEF BAIZURI MAJID

STUDI POTENSI EKOWISATA MANGROVE DI KUALA LANGSA PROVINSI ACEH ARIEF BAIZURI MAJID STUDI POTENSI EKOWISATA MANGROVE DI KUALA LANGSA PROVINSI ACEH ARIEF BAIZURI MAJID 090302034 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014 STUDI POTENSI

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove memiliki sifat khusus yang berbeda dengan ekosistem hutan lain bila dinilai dari keberadaan dan peranannya dalam ekosistem sumberdaya alam, yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam 2 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan mangrove terjadi interaksi

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000

Lebih terperinci

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 38 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak Hutan Mangrove di Tanjung Bara termasuk dalam area kawasan konsesi perusahaan tambang batubara. Letaknya berada di bagian pesisir timur Kecamatan Sangatta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

V. KEADAAN UMUM WILAYAH DESA PABEAN UDIK KECAMATAN INDRAMAYU, KABUPATEN INDRAMAYU

V. KEADAAN UMUM WILAYAH DESA PABEAN UDIK KECAMATAN INDRAMAYU, KABUPATEN INDRAMAYU V. KEADAAN UMUM WILAYAH DESA PABEAN UDIK KECAMATAN INDRAMAYU, KABUPATEN INDRAMAYU Wilayah Kabupaten Indramayu terletak pada posisi geografis 107 o 52 sampai 108 o 36 Bujur Timur (BT) dan 6 o 15 sampai

Lebih terperinci

PERSEPSI MASYARAKAT PETANI TAMBAK TERHADAP KELESTARIAN HUTAN MANGROVE DI DESA PABEAN ILIR KECAMATAN PASEKAN KABUPATEN INDRAMAYU

PERSEPSI MASYARAKAT PETANI TAMBAK TERHADAP KELESTARIAN HUTAN MANGROVE DI DESA PABEAN ILIR KECAMATAN PASEKAN KABUPATEN INDRAMAYU 40 Sodikin, Persepsi Masyarakat Petani Tambak terhadap Kelestarian Hutan Mangrove JURNAL PENDIDIKAN GEOGRAFI PERSEPSI MASYARAKAT PETANI TAMBAK TERHADAP KELESTARIAN HUTAN MANGROVE DI DESA PABEAN ILIR KECAMATAN

Lebih terperinci

ABSTRACT

ABSTRACT Kajian Potensi Hutan Mangrove Dalam Membangun Ekowisata Di kelurahan Basilam Baru Kota Dumai Provinsi Riau By Zulpikar 1) Dessy Yoswaty 2) Afrizal Tanjung 2) Zulpikar_ik07@yahoo.com ABSTRACT Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

Kata kunci : Mangrove, Nilai Penting, Desa Tanjung Sum, Kuala Kampar

Kata kunci : Mangrove, Nilai Penting, Desa Tanjung Sum, Kuala Kampar STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA TANJUNG SUM KECAMATAN KUALA KAMPAR KABUPATEN PELALAWAN Wahyudi Ramdano 1), Sofyan H. Siregar 2) dan Zulkifli 2) Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Batasan Penelitian...

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Batasan Penelitian... DAFTAR ISI Halaman Lembar Pengesahan... ii Abstrak... iii Kata Pengantar... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xv BAB I PENDAHULUAN... 1.1 Latar Belakang... 1.2

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii BERITA ACARA... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii RINGKASAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal TINJUAN PUSTAKA Ekosistem Mangrove Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau (bahasa Indonesia), selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 34 BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 4.1. Desa Karimunjawa 4.1.1. Kondisi Geografis Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) secara geografis terletak pada koordinat 5 0 40 39-5 0 55 00 LS dan 110 0 05 57-110

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam 10 tahun terakhir, jumlah kebutuhan ikan di pasar dunia semakin meningkat, untuk konsumsi dibutuhkan 119,6 juta ton/tahun. Jumlah tersebut hanya sekitar 40 %

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis memiliki sebagian besar wilayahnya berupa pesisir dan pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya interaksi/peralihan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas di dunia sekitar 19% dari total hutan mangrove dunia, dan terluas se-asia Tenggara sekitar 49%

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Dalam pelaksanaan proses pembangunan, manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan

Lebih terperinci

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Legonkulon berada di sebelah utara kota Subang dengan jarak ± 50 km, secara geografis terletak pada 107 o 44 BT sampai 107 o 51 BT

Lebih terperinci

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing).

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia cukup besar, baik sumberdaya perikanan tangkap maupun budidaya. Sumberdaya perikanan tersebut merupakan salah satu aset nasional

Lebih terperinci

Bab III Karakteristik Desa Dabung

Bab III Karakteristik Desa Dabung Bab III Karakteristik Desa Dabung III.1. Kondisi Fisik Wilayah III.1.1. Letak Wilayah Lokasi penelitian berada di Desa Dabung yang merupakan salah satu desa dari 18 desa yang terdapat di Kecamatan Kubu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alam dan jenis endemiknya sehingga Indonesia dikenal sebagai Negara dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu sumberdaya pesisir yang penting adalah ekosistem mangrove, yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi. Hutan mangrove dengan hamparan rawanya dapat menyaring dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu ekosistem pulau-pulau kecil di Indonesia, yang terdiri atas 48 pulau, 3 gosong, dan 5 atol. Terletak antara 5 o 12 Lintang Selatan

Lebih terperinci

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ABSTRAK

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ABSTRAK KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA Kartini V.A. Sitorus 1, Ralph A.N. Tuhumury 2 dan Annita Sari 3 1 Mahasiswa S1 Program Studi Budidaya Perairan

Lebih terperinci

PENDAMPINGAN DESA ALO ALO MELALUI KEGIATAN REHABILITASI MANGROVE DAN PENYUSUNAN PERATURAN DESA

PENDAMPINGAN DESA ALO ALO MELALUI KEGIATAN REHABILITASI MANGROVE DAN PENYUSUNAN PERATURAN DESA PENDAMPINGAN DESA ALO ALO MELALUI KEGIATAN REHABILITASI MANGROVE DAN PENYUSUNAN PERATURAN DESA Eddy Hamka 1, Fajriah 2, Laode Mansyur 3 1 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Muhammadiyah Kendari,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 143,5 mm/tahun dengan kelembaban 74% - 85%. Kecepatan angin pada musim

I. PENDAHULUAN. 143,5 mm/tahun dengan kelembaban 74% - 85%. Kecepatan angin pada musim I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Aceh Singkil beriklim tropis dengan curah hujan rata rata 143,5 mm/tahun dengan kelembaban 74% - 85%. Kecepatan angin pada musim timur maksimum 15 knot, sedangkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI BARAT

GUBERNUR SULAWESI BARAT GUBERNUR SULAWESI BARAT PERATURAN GUBERNUR SULAWESI BARAT NOMOR 2TAHUN 2013 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PROVINSI SULAWESI BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia kaya dan beranekaragam sumberdaya alam. Satu diantara sumberdaya alam di wilayah pesisir adalah ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci