BAB I PENGANTAR. Yogyakarta merupakan kota kerajaan terakhir yang menjadi. salah satu pusat budaya di pulau Jawa. Saat ini, Yogyakarta

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENGANTAR. Yogyakarta merupakan kota kerajaan terakhir yang menjadi. salah satu pusat budaya di pulau Jawa. Saat ini, Yogyakarta"

Transkripsi

1 1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Yogyakarta merupakan kota kerajaan terakhir yang menjadi salah satu pusat budaya di pulau Jawa. Saat ini, Yogyakarta menjadi ibukota dari salah satu provinsi di Indonesia yang berstatus daerah istimewa dan memiliki Keraton Yogyakarta sebagai peninggalan bersejarah. Keraton Yogyakarta berdiri setelah perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari pada tanggal 29 Rabiulakir 1680 (Jw) atau 13 Februari 1755 antara Sri Sunan Paku Buwana III dengan Pangeran Mangkubumi. Keraton Yogyakarta merupakan perwujudan cipta karya estetik Pangeran Mangkubumi, yang setelah menjadi raja bergelar Sultan Hamengku Buwana I Sénapati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah. Pangeran Mangkubumi dikenal sebagai ahli bangunan yang unggul sejak masih muda. Ia memimpin pembangunan Keraton Yogyakarta, menentukan bentuk dan ukurannya, serta menyelesaikannya kurang lebih satu tahun. 1 1Kota Jogjakarta, 200 tahun, 7 Oktober Oktober 1956 (Yogyakarta: Panitia Peringatan Kota Jogjakarta 200 th, 1956), 13, Pangeran Mangkubumi pada waktu di Kartasura, ditunjuk Sunan Paku Buwana II untuk memimpin pembangunan Keraton Surakarta ( ). R.M. Soemardjo Nitinegoro, Sejarah Berdirinya Kota Kebudayaaan Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta: Foundation of Higher Education PUTRAJAYA, 1980), 30, 68.

2 2 Keraton sering disebut kêdhaton, terbentuk dari kata karatu-an atau ka-dhatu-an yang berarti tempat tinggal raja. 2 Pengertian ini menjelaskan bahwa Keraton Yogyakarta berfungsi sebagai tempat hunian Sultan Hamengku Buwana I dan penerusnya. Selain itu, Keraton Yogyakarta juga berfungsi sebagai pusat politik, pusat budaya, dan pusat kekuasaan kerajaan. Secara fisik, Keraton Yogyakarta merupakan bangunan monumental yang memiliki nilai estetika tinggi, mengandung makna dan simbol sebagai perwujudan sifat-sifat agung kehidupan sebuah kerajaan. Bentuknya didasari oleh pandangan hidup yang berakar pada kepercayaan masyarakat penghuninya, yang ketika itu memiliki keyakinan agama Islam-Jawa, yang berkaitan dengan agama Hindu. Alam pikir Hindu-Jawa memandang kehidupan manusia selalu terpaut erat dengan kosmos alam raya. Terdapat kepercayaan bahwa kerajaan (Keraton Yogyakarta) merupakan replika dari susunan jagat raya. Secara umum, Keraton Yogyakarta adalah bagian dari mata rantai kesinambungan tipologi keraton-keraton di Jawa. Kesamaan tipologi ini terjadi karena latar belakang persepsi kosmologi yang sama, yakni kosmologi Hindu tentang Jagad Purana yang berpusat pada suatu benua bundar Jambudwipa 2K.P.H. Brongtodiningrat, Arti Kraton Yogyakarta, Terj. R. Murdani Hadiatmaja (Yogyakarta: Museum Keraton, 1978), 7.

3 3 dikelilingi tujuh lapisan daratan dan samudera. Pada benua tersebut terdapat gunung (mèru) tempat para dewa bersemayam. Keraton Yogyakarta sebagai lingkungan binaan, disusun secara konsentrik berdasarkan replika jagat raya untuk menjaga keselarasan hidup. Titik pusat dalam susunan replika itu sangatlah penting untuk menjaga keseimbangan kosmos. Pada skala negara, susunan konsentris Keraton Yogyakarta terwujud dalam kota yang berpusat pada kuthagara (keraton sebagai pusat dan paréntah njêro), dikelilingi nagara (paréntah njaba, para pangeran, patih, dan pejabat keraton yang lain), dan nagaragung (pusat kota yang besar), serta mancanagara (negara asing yang diperintah bupati). 3 Sistem pemerintahan tersebut menunjuk Keraton Yogyakarta sebagai pusat sentris, termasuk dalam pengembangan dan pembangunan. Keraton Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan merupakan karya monumental, yang menjadi sumber ide dan pengembangan arsitektur di luar keraton. Kestabilan seluruh tatanan dunia manusia (mikro) terjaga karena kedudukan kuthagara yang menjadi titik pusat mampu menjaga keseimbangan makroskosmos. Sultan tinggal di pusat keraton dan menjadi sumber kekuatan yang mengalirkan kesejahteraan ke daerah serta membawa kestabilan tatanan 3Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Terj. Mochtar Pabotinggi (Yogyakarta: Komunitas Bambu, 2009),

4 4 kosmos. Kosmos jagat raya (makro) dipercaya menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan, tetapi dapat pula membawa bencana. Keselarasan kerajaan (mikro) dengan jagat raya (makro) dicapai melalui tersusunnya tipologi kerajaan yang hierarkis mengikuti pola dasar alam semesta. Keraton Yogyakarta disusun secara hierarkis, yakni arah utara-selatan merupakan ruang umum, resmi, dan tempat upacara, sedangkan arah timur-barat merupakan ruang pribadi, yang akrab dan keramat. 4 Dalêm Prabayêksa berfungsi sebagai titik pusat pertemuan arah utara-selatan dan timur-barat. Dalêm terbesar di Keraton Yogyakarta ini berada di pusat inti kêdhaton, dan untuk mencapai pusat harus melewati pelataran dan pintu gerbang yang berlapis. Pelataran arah utara-selatan, meliputi: (1) Alun-alun Lor, (2) Sitihinggil Lor, (3) Kêmandhungan Lor, (4) Sri Manganti, (5) Kêdhaton, (6) Kêmagangan, (7) Kêmandhungan Kidul, (8) Sitihinggil Kidul, dan (9) Alun-alun Kidul. Pelataran kêdhaton merupakan puncak konstelasi dari sembilan pelataran tersebut. Kêdhaton diapit oleh dua pelataran domestik tempat keluarga keraton tinggal. 5 Peralihan dari pelataran ke pelataran berikutnya dapat ditempuh melalui sembilan pintu gerbang, yakni: (1) 4Denys Lombart, Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan-warisan Kerajaan Konsentris (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, jilid 3, 2000), Revianto Budi Santosa, Omah: Membaca Makna Rumah Jawa (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), 94.

5 5 Pangurakan, (2) Tarub Agung, (3) Brajanala, (4) Sri Manganti, (5) Danapêrtapa, (6) Kêmagangan, (7) Gadhung Mlati, (8) Kêmandhungan, dan (9) Gadhing. Sejumlah bangunan untuk urusan dalam keraton berada di sepanjang pinggiran pelataran kêdhaton, termasuk ruang hunian bagi para penghuni keraton. Ruang hunian di pelataran ini terbagi menjadi dua sisi, yakni Kêputrèn berada di bagian barat, sedangkan Kêsatriyan berada di bagian timur. Di ruang hunian Kêputrèn digunakan untuk upacara keluarga, terutama yang terkait dengan aktivitas domestik kaum perempuan, upacara kesuburan dan upacara ritus kehidupan. Konsentrasi ruang di pusat keraton itu menunjuk pada supremasi yang diraih dengan konsentrasi dua sisi dari karakteristik ganda, yakni urusan luar dan dalam, ranah negara dan keluarga, lingkup lelaki dan perempuan. Sultan Hamengku Buwana I sebagai penguasa, merupakan penghubung dari kedua poros utara-selatan dan timur-barat yang berada tepat di pusat kêdhaton. 6 Sultan Hamengku Buwana I adalah seorang raja yang berbudi luhur, adil bijaksana, berjiwa kesatria, jujur, dan tidak meninggalkan sifat têpo sêliro. Pada masa pemerintahannya, yang bersifat feodal, kebudayaan dan kesenian mencapai kemajuan pesat. Sultan Hamengku Buwana I adalah pencipta tata letak dan 6Santosa, 2000: 109, 111.

6 6 tata bangunan Keraton Yogyakarta. Ia juga dikenal sebagai seorang ahli gamelan, pencipta gending Gajah Hendro, dan pencipta seni tari Běksan Lawung. Sultan Hamengku Buwana I berhasil memupuk dan mempertinggi nilai budaya, seni, dan filsafat, yang dapat dianalisis melalui bentuk bangunan Keraton Yogyakarta dan kelengkapannya, termasuk seni hias ukir pada gamelan, serta perhiasan dari emas atau perak. 7 Seperti diketahui, kondisi Keraton Yogyakarta saat ini telah mengalami berbagai perubahan, khususnya dalam konteks fungsinya. Keraton Yogyakarta yang di masa lampau berfungsi sebagai pusat kendali pemerintahan, yakni tempat raja-dewa yang secara fisik dipandang sakral, kini beberapa di antaranya telah mengalami perubahan menjadi profan yang terbuka bagi publik pada saat-saat tertentu. Perubahan fungsi fisik Keraton Yogyakarta itu tentu dilandasi perubahan pola pikir yang signifikan, dan itu sangat berpengaruh pada tata ruang interior keraton. Perubahan fungsi fisik keraton itu mengantarkan adanya perubahan tata ruang interior, dari yang semula bersifat tertutup menjadi terbuka bagi publik. Sebab itu timbul masalah estetika tata ruang interior Keraton Yogyakarta yang sangat menarik untuk diangkat sebagai fokus pengkajian ini. 7Nitinegoro, 1980: 68, 69.

7 7 Perubahan fungsi Keraton Yogyakarta makin menonjol pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana IX (terlahir dengan nama G.R.M. Dorojatun), sosok raja yang mengalami dua era pemerintahan, yaitu masa sebelum kemerdekaan RI dan masa sesudah kemerdekaan RI. Sebelum kemerdekaan RI, Sultan Hamengku Buwana IX masih menjalankan pemerintahan tradisional yang feodalistik, namun sesudah kemerdekaan, roda pemerintahan keraton mengacu pada pemerintahan RI yang modern, demokratis. Perubahan kondisi-kondisi itu tentu mempengaruhi alam pikir Sultan Hamengku Buwana IX, baik ketika Sultan masih memegang dasar-dasar pemikiran tradisional (feodalistik) mau pun ketika Sultan berada dalam birokrasi modern (demokratis). Kenyataannya, Sultan menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam memadukan kedua kondisi perubahan ke dalam pola pikir. Perpaduan pola pikir itu kemudian diwujudkan dalam realitas kehidupan di lingkungan keraton, yang harus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Pemikiran dan kehendak Sultan Hamengku Buwana IX sebagai seorang raja berpadu dengan pemikiran dan kehendak rakyat (ngudi jumbuhing kawula gusti), 8 yang mengukuhkan dirinya dengan sebutan tahta untuk rakyat yang kemudian oleh 8P.J. Suwarno, Sultan Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 87.

8 8 Sultan Hamengku Buwana X diteguhkan dalam tekad tahta bagi kesejahteraan kehidupan sosial-budaya rakyat. Inti dari misi keraton yang terpateri dalam amanah Sultan Hamengku Buwana IX itu dipersingkat oleh Sultan Hamengku Buwana X menjadi Lima Tekad Dasar, yakni: (1) lebih banyak memberi daripada menerima, mengabdi tanpa pamrih; (2) tidak mempunyai prasangka, rasa iri, dan dengki, hangrêngkuh atau ngêmong, melindungi dan mengayomi (pêngayom dan pêngayêm) secara adil tanpa membeda-bedakan golongan, keyakinan dan agama; (3) tidak melanggar paugeran negara; (4) untuk lebih berani mengatakan yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah, memiliki watak gung binathara, (5) untuk tidak memiliki ambisi apa pun, senantiasa berusaha hanya bagi kesejahteraan rakyat, mewarisi api semangat dari makna nama Hamêngku Buwana lebih dari sekedar pewaris tahta dan kedudukan sultan. Amanah Sultan Hamengku Buwana X itu menjadi Garis-Garis Besar Strategi Sosial kultural Keraton, yang sebenarnya sudah tersandang dalam tiga substansi makna yakni hamangku, hamêngku, hamêngkoni, di dalamnya tersimpan pemaknaan varian-varian pengertian tradisional Keraton Yogyakarta berkaitan dengan pengabdian dan pelayanan penguasa kepada rakyat. Hamangku berkaitan dengan watak bèrbudi bawa lêksana,

9 9 hamêngku berkaitan dengan watak ambêg adil paramarta, dan hamêngkoni berkaitan dengan watak ing ngarsa sung tuladha. 9 Kebijakan keraton pada masa kekuasaan Sultan Hamengku Buwana IX telah membawa banyak perubahan yang menyentuh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan sendi kehidupan di lingkungan Keraton Yogyakarta dari yang semula berdasarkan sistem pemerintahan feodal, di bawah pengawasan penguasa kolonial dan atau fasisme Jepang, telah menjadi bagian dari kekuasaan Republik Indonesia (bahkan pernah menjadi ibukota RI). Apabila semula keraton berfungsi sebagai pusat kekuasaan yang menduduki posisi penting pada generasi Mataram dan penerusnya, maka pada masa kekuasaan Sultan Hamengku Buwana IX telah berubah menjadi daerah istimewa sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 10 Perubahan itu tentu dilandasi oleh perubahan sikap dan konsep pemikiran yang mendasar, sehingga layak diteliti secara mendalam, agar diketahui ideologi apa yang mendasarinya. 9Sultan Hamengku Buwono X, Sosialisasi Jiwa Keraton Di Tengah Perubahan Zaman: Sebuah Tatapan Introspektif, dalam Seminar Kebudayaan: Posisi Keraton Di Tengah Perubahan Zaman (Yogyakarta: unpublished, 5 Februari 1992), 9. Periksa pula Sindhunata, Kata Pengantar, dalam Sri Sultan Hamengku Buwono X: Bercermin di Kalbu Rakyat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 8. 10Kustiniyati Mochtar, Pak Sultan Dari Masa ke Masa, dalam Atmakusumah (ed.), Tahta Untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX (Jakarta: PT. Gramedia, 1982),

10 10 Sesungguhnya, sejak Keraton Yogyakarta berada di bawah kekuasaan Sultan Hamengku Buwana VII ( ), telah mengalami berbagai perkembangan dan perubahan, baik secara fisik mau pun nonfisik. Keraton Yogyakarta dihias makin indah dengan kaca berpigura, lampu kristal, benda perunggu, lantai batu pualam Italia, dan bermunculan kursi-kursi Eropa yang disepuh emas. Selain itu, Yogyakarta mulai mengenal aliran listrik, terutama di keraton dan pemukiman elite. 11 Pada masa Pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII, pendidikan model Barat bagi para putera bangsawan ditemukan di dalam tembok keraton. Bangsawan pria memiliki kesempatan luas untuk mencapai pendidikan tinggi. Tempat belajar para putera dan sêntana dalêm, yang semula diadakan di Tamanan keraton dipindah ke luar keraton, yaitu di sebelah timur Pagelaran, Alun- Alun Lor. Para pangeran yang dipandang cerdas dikirim ke negeri Belanda untuk melanjutkan sekolah. 12 Selain itu, Sultan Hamengku Buwana VII mengijinkan dua orang puteranya, yaitu Pangeran Suryadiningrat dan Pangeran Tejakusuma, mendirikan Kridha Beksa Wirama di luar keraton tahun Pada masa itu, 11M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terj. Dharmono Hardjowidjono (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998), 194; Sutrisno Kutoyo, Sri Sultan Hamengku Buwono IX: Riwayat Hidup dan Perjuangan (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1996), 49, Mari S. Condronegoro, Busana Adat Karton Yogyakarta: Makna dan Fungsi dalam Berbagai Upacara (Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 1995), 10, 11.

11 11 teknik fotografi mulai dipergunakan untuk mendokumentasikan berbagai pertunjukan, khususnya pertunjukan wayang wong. 13 Ketika putera mahkota, yakni Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegara II (G.R.M. Sujadi) naik tahta sebagai Sultan Hamengku Buwana VIII ( ), para pangeran mulai disekolahkan di luar keraton. Mereka tinggal bersama keluarga Belanda, meskipun secara terpisah. Sultan tidak menghendaki sekedar mendapat sanjungan atau pemanjaan terhadap puteranya, tetapi diinstruksikan kepada para guru agar mendidik putera-puteranya seperti anak-anak yang lain. Para putera bangsawan harus diperlakukan dengan disiplin tinggi dan tidak perlu diistimewakan. G.R.M. Dorojatun adalah anak laki-laki pertama dari garwa padmi, Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegara (masa gadisnya bernama R.A. Kustilah), yang sejak usia empat tahun dititipkan kepada keluarga Belanda untuk belajar. Pendidikannya di Belanda membawa dirinya ke pemikiran demokrasi nasionalis. 14 Setelah G.R.M. Dorojatun naik tahta menjadi Sultan Hamengku Buwana IX pada tanggal 18 Maret 1940, pemikiran demokrasi nasionalis itu membawa perubahan pada fungsi keraton yang semula bersifat tertutup menjadi terbuka bagi dunia 13R.M. Soedarsono, Wayang Wong: Drama Ritual Kenegaraan di Keraton Yogyakarta (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997), 39, Mochtar, 1982: 22, 24.

12 12 pendidikan dan pariwisata. Hal itu merupakan fenomena yang menunjukkan bahwa keraton telah mengalami transformasi dan perubahan paradigma yang bersentuhan dengan sendi-sendi kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya sejalan dengan kehidupan modern. Pada masa Sultan Hamengku Buwana IX, terjadi perubahan fungsi keraton yang signifikan, yang oleh penerusnya, Sultan Hamengku Buwana X, gagasan tersebut tetap dilestarikan. Pemikiran raja-raja Kasultanan Ngayogyakarta sejak masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII hingga masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana X itu diyakini berpengaruh kuat pada eksistensi Keraton Yogyakarta. Sudah barang tentu, hal ini sangat menarik untuk dikaji secara mendalam, baik yang terkait dengan perubahan bentuk fisik tata ruang mau pun konsep estetika yang melandasi penciptaannya. Perkembangan dan perubahan tata ruang interior Keraton Yogyakarta itu menyiratkan tumbuhnya kesadaran estetika sultan, sejalan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. B. Rumusan Masalah Dari berbagai penelusuran awal yang dilakukan, timbul tiga masalah pokok, sebagai berikut.

13 13 1. Bagaimana bentuk dan perkembangan tata ruang interior Keraton Yogyakarta sejak masa Sultan Hamengku Buwana VII hingga Sultan Hamengku Buwana X. 2. Mengapa terjadi perubahan eksistensi dan fungsi sosial kultural, serta bagaimana pengaruhnya terhadap tata ruang interior Keraton Yogyakarta. 3. Bagaimana hakikat estetika tata ruang interior Keraton Yogyakarta dalam konteks religi, filosofis, dan kultural. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut. 1. Tujuan Penelitian a. Mengidentifikasi dan menjelaskan berbagai artifak di Keraton Yogyakarta, khususnya arsitektur-interior bangunan. Hal ini tentunya merupakan bukti fisik yang mendukung fungsi keraton sebagai pusat seni dan budaya, dengan bukti-bukti artifak yang terpateri dalam visualisasi tata ruang interior Keraton Yogyakarta sehingga menjadi bangunan yang bersejarah dan monumental. b. Mengetahui dan memahami pemikiran Sultan Hamengku Buwana VII hingga Sultan Hamengku Buwana X sebagai

14 14 pendorong perubahan eksistensi dan fungsi sosial kultural, yang tercermin dalam tata ruang interior Keraton Yogyakarta. c. Merumuskan konsep estetika tata ruang interior Keraton Yogyakarta dalam konteks religi, filosofis, dan kultural yang dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang seni dan desain, baik aplikatif maupun teoritis. 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini, antara lain: a. Melalui pengkajian ini diharapkan dapat ditemukan kearifan nilai budaya pada tata ruang interior bangunan tradisional yang dapat diimplementasikan dalam melaksanakan tugas dalam mengampu mata kuliah desain interior. b. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan bermakna bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang seni dan desain yang bermanfaat bagi masyarakat luas, khususnya mengenai kearifan budaya bangsa dalam bentuk estetika tata ruang, sekaligus menjadi referensi penting bagi analisis ilmiah tentang karya seni tradisi. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber ide pengembangan daya kreativitas penciptaan seni dan desain, baik yang berkaitan dengan tata ruang interior maupun elemen estetik yang dibangun berlandaskan nilai luhur budaya bangsa.

15 15 D. Tinjauan Pustaka Keraton Yogyakarta mengundang banyak minat sarjana untuk mengkajinya, sehingga hasil penelitian dan penulisan mengenai Keraton Yogyakarta sangat banyak, baik dari segi historis, politik, ekonomi, sosial, dan budaya maupun dari segi arsitektur, yang di antaranya dapat dijelaskan sebagai berikut. Penelitian Noeratri Andanwerti (Tesis) berjudul Hubungan Perubahan Sosial Budaya Dengan Perubahan Arsitektural Istana (2003), menjelaskan berbagai dampak perubahan politik, sosial, ekonomi, dan budaya pada arsitektural Keraton Yogyakarta, terutama bangunan Pagelaran dan Sitihinggil Utara, dari masa kekuasaan Sultan Hamengku Buwana VII hingga Sultan Hamengku Buwana IX. Pembangunan fisik tratag Pagelaran dan Bangsal Sitihinggil Utara mengalami puncaknya pada masa Sultan Hamengku Buwana VIII. Selain karena bangunan ini roboh akibat gempa bumi, faktor ekonomi keraton mengalami kemakmuran, sehingga Sultan Hamengku Buwana VIII mempunyai dana yang cukup untuk membangun kembali dan mengadakan perbaikan bagi pelestarian bangunan keraton. Penelitian ini memberikan informasi penting mengenai perubahan yang terjadi pada

16 16 bangunan keraton, namun fokus analisisnya berkisar pada perubahan bentuk bangunan Pagelaran dan Sitihinggil Utara. 15 Penelitian Hananto (Tesis) berjudul Kajian Estetika Ruang Dalam Bangunan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Studi Kasus Bangunan Bangsal Kencana (1999), menjelaskan tentang bentuk dan makna bangunan Bangsal Kêncana. Elemen yang dianalisis yakni lantai, dinding, dan plafon. Dibahas pula mengenai pengaruh pencahayaan dalam ruang. Tulisan ini merupakan studi kasus satu bangunan di pelataran Kêdhaton. Meskipun penelitian ini memberikan beberapa informasi penting tentang interior Bangsal Kêncana, namun pendekatan yang digunakan untuk menganalisis berbeda dengan yang digunakan oleh peneliti. Data mengenai bentuk disajikan berdasarkan fakta yang ada pada saat penelitian dilaksanakan, tidak menyajikan perubahan dan perkembangan. Pembahasan makna estetika dikaji kurang mendalam, tidak ada interpretasi penulis mengenai makna simbolik yang terkait dengan religi, filosofis, dan kultural. Analisis lebih menekankan pada aspek bentuk saja Noeratri Andanwerti, Hubungan Perubahan Sosial Budaya Dengan Perubahan Arsitektural Istana, Tesis Program Magister Desain (Bandung: ITB, 2003). 16Hananto, Kajian Estetika Ruang Dalam Bangunan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Studi Kasus Bangsal Kencana, Tesis Program Pasca Sarjana Magister Teknik Arsitektur (Semarang: Universitas Diponegoro, 1999).

17 17 Tulisan Daliman berjudul Makna Simbolik Nilai-nilai Kultural Edukatif Bangunan Keraton Yogyakarta: Suatu Analisis Numerologis & Etimologis (2001), menjelaskan simbolisme dan simbolisasi keraton, serta fungsi keraton sebagai mandala berikut ajaran sangkan-paraning dumadi. Makna kehadiran bangunan keraton tidak hanya terletak pada sofistikasi arsitektur Jawa, tetapi lebih pada kandungan nilai kultural-edukatif yang visualisasinya nampak dalam simbol. 17 Meskipun analisis dalam tulisan jurnal ini membahas simbol dan makna bangunan keraton, namun tidak membahas perubahan dan perkembangan, tidak pula menganalisis aspek estetika visual ruang interior. Perihal fungsi dan makna bangunan Keraton Yogyakarta, dijelaskan oleh (1) Brongtodiningrat dalam Arti Kraton Yogyakarta, (2) Darto Harnoko dalam Fungsi, Arti Serta Makna Bangunan Kraton Yogyakarta dan Sekitarnya, dan (3) Pantja Sunjata dalam Makna Simbolik Tumbuh-tumbuhan dan Bangunan Keraton, Suatu Kajian Terhadap Serat Salokapatra A. Daliman, Makna Simbolik Nilai-nilai Kultural Edukatif Bangunan Kraton Yogyakarta: Suatu Analisis Numerologis & Etimologis, dalam jurnal Humaniora (Yogyakarta: UGM Press, vol. XIII no. 1, 2001). 18Brongtodiningrat, Arti Kraton Yogyakarta, Terj. R. Murdani Hadiatmaja (Yogyakarta: Museum Kraton, 1978); Darto Harnoko, Fungsi, Arti Serta Makna Bangunan Kraton Yogyakarta dan Sekitarnya, dalam Jurnal Kebudayaan KABANARAN (Yogyakarta: Retno Aji Mataram Press-Yayasan Pustaka Nusatama, Vol.1, 2001); I.W. Pantja Sunjata, et al., Makna Simbolik Tumbuh-tumbuhan dan Bangunan Keraton, Suatu Kajian Terhadap Serat Salokapatra (Jakarta: Depdikbud, 1995).

18 18 Keraton Yogyakarta baik selaku lembaga maupun sebagai bangunan fisik, padat mengandung lambang dan falsafah, mengambarkan perjalanan hidup manusia, mulai dari Krapyak hingga Tugu Pal Putih, bahwa kesemuanya itu tidak luput dari makna simbolik. Tulisan Revianto Budi Santosa berupa tesis yang telah dibuat buku berjudul Omah: Membaca Makna Rumah Jawa (2000) menjelaskan kedomestikan dalam tradisi Jawa, pembentukan dan penghunian setting domestik, perhelatan ritual, susunan ruang dalam pertunjukan wayang dan bědhaya, serta jalinan makna dalam pembentukan pada rumah rakyat, rumah bangsawan, dan rumah raja atau keraton. 19 Sugiarto Dakung menyajikan berbagai tipe bentuk arsitektur Jawa, persyaratan mendirikan dan upacaranya, serta berbagai bentuk ragam hias dan makna simboliknya. 20 Hamzuri juga menjelaskan tentang aneka bentuk rumah Jawa, lingkungan dan konstruksi rumah serta aspek psikologis lingkungan tempat tinggal. 21 Menurut Arya Ronald dalam disertasinya berjudul Aspecten van de Bouwcultuur van de Traditionele Javaanse 19Revianto Budi Santosa, Omah: Membaca Makna Rumah Jawa (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000). 20Sugiarto Dakung, Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1981/1982). 21Hamzuri, Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta (Jakarta: Proyek Pengembangan Permuseuman, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, tanpa tahun).

19 19 Woning en zijn Architectonische Expressie (1992), bentuk pola tempat tinggal Jawa dipengaruhi oleh pola pikir, tuntutan kenikmatan, gejala perkembangan alam, perubahan pandangan masyarakat dan idealisme tiap individu, persyaratan keserasian lingkungan, penampilan visual, bentuk ruang dan penekanan fungsional, syarat-syarat ideologi dan norma adat, dan syarat topografi yang datar. Buku ini sesungguhnya merupakan disertasi untuk memperoleh derajat doktor, yang di dalamnya mengandung informasi luas dan penting. 22 Sebagian dari tulisan disertasi Arya Ronald itu, dibuat buku dengan judul Nilai-nilai Arsitektur Rumah Tradisional Jawa (2005), yang menjelaskan tentang arsitektur Jawa kuno, transformasi nilai mistik dan simbolik dalam ekspresi arsitektur rumah tradisional Jawa, arsitektur vernakular Jawa, simbolisme dan pelestarian lingkungan rumah tradisional Jawa. 23 Dradjat Suhardjo dalam buku Mangaji Ilmu Lingkungan Kraton (2004), menelaah konsep-konsep lingkungan hidup Keraton Yogyakarta sejak Dijelaskan pula mengenai paradigma keraton (arti penting makna sejarah, teori pertumbuhan kota, dan 22Arya Ronald, Aspecten van de Bouwcultuur van de Traditionele Javaanse Woning en zijn Architectonische Expressie, Disertasi (Delft Nederland: Delft University of Technology, Oktober 1992). 23Arya Ronald, Nilai-nilai Arsitektur Rumah Tradisonal Jawa (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005).

20 20 paradigma), masjid pathok nêgari dalam konteks spasial kerajaan Mataram dan arsitekturalnya. 24 Khairuddin, dalam buku Filsafat Kota Yogyakarta (1995) menjelaskan aspek-aspek planologi kota Yogyakarta, meliputi kondisi wilayah, sejarah Keraton Yogyakarta, keraton sebagai pusat pengembangan, makna filsafati struktur kota Yogyakarta yakni kosmologi keraton dan konsepsi sumbu filosofis, serta manusia dalam konteks filsafat planologi kota Yogyakarta. 25 Tulisan L. Adam berjudul De Pleinen, Poorten en Gebouwen van de Kraton van Jogjakarta, dalam Djawa (1940), membahas keraton Mataram di Kota Gede ( ), sesudah itu pindah tempat di hutan Kerta ( ), Plered ( ), dan Kartasura ( ). Di dalamnya juga dibahas mengenai Keraton Yogyakarta 1755 di bawah Pangeran Mangkubumi, anak Amangkurat IV, yang bergelar Sultan Hamengku Buwana I ( ). Sultan membangun pesanggrahan di Gamping, desa Tlaga, Kalurahan Bodeh. Menurut Brandes dalam Bataviaasch Genootschap, deel 37, tahun 1894, Keraton Yogyakarta itu disebut Ajogija. Dalam Sêrat Rèrènggan Kêraton yang ditulis Panembahan Senopati, tahun Dje 1510, letak Keraton Yogyakarta ada di Pacetokan, yang disebut hutan Bringin. Dijelaskan bahwa 24Dradjat Suhardjo, Mangaji Ilmu Lingkungan Kraton (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004). 25Khairuddin, Filsafat Kota Yogyakarta (Yogyakarta: Liberty, 1995)

21 21 perencanaan Keraton Yogyakarta mengambil tipe keraton Majapahit, seperti tertera di dalam kitab Nêgarakêrtagama. Dijelaskan pula nama-nama bangunan, bagian-bagian dalam keraton, dan tata letaknya. 26 M.C. Ricklefs, dalam bukunya Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi (1974), memberikan informasi mengenai pemberontakan dan pembagian kerajaan Mataram menjadi dua seperti tertera dalam perjanjian Giyanti. 27 C.C. Berg, dalam buku Penulisan Sejarah Jawa, terjemahan S. Gunawan (1974), memberikan informasi perihal magi, jabatan raja, dan penulisan sejarah Jawa. 28 H. J. de Graaf menulis Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati, terjemahan Grafiti Pers dan KITLV (1985), merupakan buku pertama dari serangkaian karya de Graaf tentang sejarah raja-raja Mataram. Dalam buku ini, de Graaf menyingkap tabir yang menyelubungi riwayat kebangkitan Mataram pada masa pemerintahan Senapati. 29 H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, dalam buku Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa, terjemahan Grafiti Pers & KITLV (1985), 26L. Adam, De Pleinen, Poorten En Gebouwen Van De Kraton Van Jogjakarta, dalam Djawa (Batavia: Uitgegeven door het Java-Instituut te Weltevreden, IV, 1940). 27M.C. Ricklefs, Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi (London: Oxford University Press, 1974). 28C.C. Berg, Penulisan Sejarah Jawa, Terj. S. Gunawan (Jakarta: Bhratara, 1974). 29H.J. de Graaf, Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati, Terj. Grafiti Pers dan KITLV (Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1985).

22 22 secara khusus menyoroti permulaan periode Islam di Jawa pada abad ke-15 dan ke-16. Penulisan buku ini menggunakan sumbersumber pribumi dengan menonjolkan aspek sosial dan ekonomi, di samping membahas silsilah raja dan keagamaan. 30 Sultan Hamengku Buwana X (patron), dalam buku Kraton Jogja: The History and Cultural Heritage (2002), menjelaskan Keraton Yogyakarta dari berbagai sisi pada periode Hindu dan Islam Jawa, asal-usul, dan pandangan dunia; pendirian keraton oleh Pangeran Mangkubumi; sultan sebagai Raja Gung Binathara dan citra sultan sesuai dengan Hasta Brata dalam Sêrat Rama, arsitektur dan ruang-ruang di lingkungan keraton; pengetahuan dan pendidikan; tradisi-tradisi yang hidup dan pusaka-pusaka keramat, kesusastraan, dan seni. 31 G. Moedjanto, dalam buku Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram (1987), menjelaskan tentang dinasti Mataram, pergeseran dan legitimasi kekuasaan dalam sejarah Mataram, konsolidasi kedudukan dinasti Mataram lewat pengembangan bahasa Jawa, doktrin ke-agungbinathara-an: 30H.J. de Graff, dan Th.G.Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam Pertama di Jawa, Terj. Grafiti Pers & KITLV (Jakarta: PT. Grafiti Pers, 1986). 31Sultan Hamengku Buwono X (patron), Kraton Jogja: The History and Cultural Heritage (Jakarta: Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat and Indonesia Marketing Association, 2002).

23 23 konsep kekuasaan Jawa dan penerapannya oleh raja-raja Mataram, dan sistem politik patrimonial kerajaan Mataram. 32 Soemarsaid Moertono menulis buku berjudul Negara dan Usaha Bina-Negara Di Jawa Masa Lampau: Studi Tentang Masa Mataram II Abad XVI sampai XIX (1985). Buku yang merupakan tesis Soemarsaid ini, menyajikan tinjauan yang memungkinkan faktor-faktor paling relevan dalam kehidupan negara. Setiap faktor ditelaah dari segi arti pentingnya bagi kelancaran hidup negara, tempatnya dalam pengaturan negara dan saling pengaruhnya dengan faktor lainnya. Karena raja menjadi pusat kekuasaan atas segalanya, maka analisisnya dimulai dari masalah pokok dalam kehidupan negara pada masa Mataram II, yaitu bagaimana raja dapat membenarkan kedudukannya yang berkuasa. Ini merupakan masalah kewibawaan. Konsep magis-religius menjadi sarana utama untuk melaksanakan dan mempertahankan kekuasaan raja, serta melindungi keutuhan negara. 33 P.A. Soerjadiningrat, Toelichting bij den Plattegrond van de Kraton te Jogjakarta, dalam majalah Djawa, 5e Jaargang, No. 1, Jan-Febr. 1925, menjelaskan tata letak Keraton Yogyakarta berikut nama-nama jalan, termasuk juga nama-nama tumbuh- 32G. Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram (Yogyakarta: Kanisius, 1987). 33Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina-Negara Di Jawa Masa Lampau: Studi Tentang Masa Mataram II Abad XVI sampai XIX (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985).

24 24 tumbuhan. Bangunan itu, antara lain: Alun-alun Lor, Sitihinggil Lor, Kêmandungan Lor, Sri Manganti, Kêdhaton, Kêmagangan, Kêmandungan Kidul, Sitihinggil Kidul, dan Alun-alun Kidul. 34 Abdurrachman Surjomihardjo dalam disertasinya berjudul Sejarah Perkembangan Sosial Kota Yogyakarta (2000), menjelaskan pertumbuhan tiga lembaga sosial di Yogyakarta yang dipengaruhi oleh bentuk lembaga pendidikan, pers, dan pergerakan nasional. Dengan pendekatan sosiologis, Surjomihardjo melihat proses modernisasi masyarakat Yogyakarta merupakan percampuran kota tradisional dan kolonial menjadi kota modern. Beberapa segi perkembangan sosial kota dijelaskannya mulai dari kota kerajaan kuno dengan Keraton Yogyakarta sebagai asal kota hingga munculnya kelompok sosial dan golongan bumiputera, golongan Eropa, golongan Tionghoa dan para santri. Perkembangan sosial ini memperlihatkan proses pluralisasi sosial sebagai bagian dari perbenturan sistem kemajemukan kolonial, yang ditentukan oleh kategori ras dengan kedudukan hukum. Dalam struktur keraton, menunjuk suatu piramida sosial dengan sultan menduduki tempat puncak P.A. Soerjadiningrat, Toelichting bij den Plattegrond van de Kraton te Jogjakarta, dalam Djawa 5e Jaargang No. 1, Jan-Febr.1925 (Batavia: Uitgegeven Door Het Java-Instituut Te Weltevreden, IV, 1925). 35Abdurrachman Surjomihardjo, Sejarah Perkembangan Sosial Kota Yogyakarta (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000); Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempo Doeloe: Sejarah Sosial (Yogyakarta: Komunitas Bambu, 2008).

25 25 Ryadi Goenawan dan Darto Harnoko dalam bukunya berjudul Sejarah Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta: Mobilitas Sosial DIY Periode Awal Abad 20 (1993), mengupas perkembangan kota Yogyakarta dari masa Sultan Hamengku Buwana I hingga zaman Jepang dan kemerdekaan Republik Indonesia, yang mendorong proses mobilitas sosial masyarakat kota Yogyakarta, baik dari sisi kehidupan kultural maupun keagamaan, termasuk modernisasi masyarakat Jawa sebagai wujud gagasan kaum liberal. 36 Penelitian Selo Soemardjan secara detail menjelaskan perubahan yang terjadi dalam pemerintahan Yogyakarta mulai dari rezim Belanda, Jepang, masa kemerdekaan, dan berbagai partai politik, perusahaan asing, organisasi ekonomi, pembangunan, pendidikan dan perubahan sosialnya di Yogyakarta. 37 Untuk memperoleh informasi lebih lengkap, Poerwokoesoemo membuat tulisan berupa tanggapan terhadap disertasi Soemardjan, yakni memberikan informasi penting terhadap kebenaran beberapa peristiwa yang dialami oleh 36Ryadi Goenawan & Darto Harnoko, Sejarah Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta: Mobilitas Sosial DIY Periode Awal Abad 20 (Jakarta: Depdikbud, 1993). 37Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta (Yogyakarta: Gadjah Mada university Press, 1991). Untuk edisi revisi lihat Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Terj. Mochtar Pabotinggi (Yogyakarta: Komunitas Bambu, cetakan kedua, 2009).

26 26 Poerwokoesoemo selama menjadi orang terdekat yang bekerjasama dengan Sultan Hamengku Buwana IX. 38 Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa Silang Budaya, jilid tiga (2000), menjelaskan tentang warisan kerajaan-kerajaan konsentris. Dalam tatanan masyarakat yang hierarkis, raja merupakan poros dunia yang bertugas mempertahankan keserasian mikrokosmos dan makrokosmos. Setelah masuknya Islam, raja tidak lagi dianggap sebagai perwujudan dewa, melainkan wakil Tuhan di dunia, sebagai Kalifatullah, yaitu figur penerima wahyu illahi. 39 P.J. Suwarno dalam Sultan Hamengku Buwana IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta (1994), dengan detail menjelaskan berbagai pemikiran Sultan Hamengku Buwana IX dalam birokrasi pemerintahan, tekad sultan melepaskan diri dari penjajahan dan kemampuan sultan memadukan birokrasi modern dengan pemerintahan berdasarkan tradisi. Di bagian awal, dibahas mengenai proses perubahan birokrasi pemerintahan Keraton Yogyakarta mulai zaman Jepang hingga pangrèh praja tahun Soedarisman Poerwokoesoemo, Tanggapan Atas Disertasi Berjudul Perubahan Sosial Di Yogyakarta (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1986). 39Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan-warisan Kerajaan Konsentris (Jakarta:PT. Gramedia Pustaka Utama, jilid 3, 2000) 40P.J. Suwarno, Sultan Hamengku Buwana IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta (Yogyakarta: Kanisius, 1994).

27 27 Buku berjudul Tahta Untuk Rakyat (1982), yang disunting oleh Atmakusumah, menjelaskan berbagai peristiwa dalam kehidupan Sultan Hamengku Buwana IX dari masa ke masa. Tulisan Kustiniyati Mochtar dalam buku itu menjelaskan perjalanan hidup Sultan Hamengku Buwana IX dari kecil hingga bertahta menjadi raja, peran Sultan dalam melawan Jepang, proklamasi kemerdekaan RI, perang kemerdekaan, serangan umum 11 Maret 1949, hingga berbagai cuplikan pengalaman irasional maupun rasional yang bermanfat bagi pengembangan kota Yogyakarta. Buku ini sangat penting karena berisi berbagai pemikiran sultan yang dirangkai dalam tulisan teman-teman terdekatnya. Adam Malik dalam kata sambutan menjelaskan bahwa Sultan Hamengku Buwana IX memiliki tiga sifat sekaligus, yaitu sebagai patriot, seorang raja dan sahabat. Sifat sultan yang sederhana, tenang, tegas serta keagungan yang dimilikinya menumbuhkan rasa kagum dan hormat. Jiwa nasionalisme dan patriotisme dalam pribadi sultan menunjukkan sosok sultan yang demokratis dan setia dalam perjuangan. Sultan Hamengku Buwana IX dilukiskan sebagai tokoh yang sangat terbuka terhadap gagasan-gagasan baru yang bernaluri politik Atmakusumah (ed.), Tahta Untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX (Jakarta: PT. Gramedia, 1982).

28 28 Buku Vincent Houben berjudul Kraton and Kumpeni: Surakarta and Yogyakarta (1994), lebih banyak menjelaskan aspek sejarah, antara lain tentang hubungan baru antara pemerintah Belanda dan para pangeran Jawa pada tahun 1830, dibangunnya aparat pemerintah Belanda di kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, aktivitas ekspansionis yang dilakukan Belanda, kehidupan politik, sosio-ekonomi kerajaan Surakarta dan Yogyakarta, dan evaluasi dampak perubahan ekonomi terhadap struktur sosial kedua kerajaan tersebut. 42 James R. Brandon dalam buku Jejak-jejak Seni Pertunjukan di Asia Tenggara terjemahan R.M. Soedarsono (2003), membahas tentang kepercayaan animisme tentang raja yang dipercaya mewakili esensi dari negara. Istananya adalah sebuah model mikrokosmos dari makrokosmos kerajaan. Raja sebagai penguasa negara menghimpun kekuatan spiritual. Ketika Hindu masuk ke Asia Tenggara, raja dianggap sebagai dewa yang hidup, seorang manusia yang di dalamnya adalah seorang dewa Hindu, pelindung masyarakat. Ia menguasai kekuatan secara total, politik, sosial, dan keagamaan, serta kepadanya ditujukan semua aspirasi masyarakat. Pada rangkaian waktu tertentu, raja membangun 42Vincent J.H. Houben, Kraton and Kumpeni: Surakarta and Yogyakarta, (Leiden: KITLV Press, 1994).

29 29 hubungan ritual dengan nenek moyangnya. Untuk memperkuat kedudukannya, raja menerima kekuatan magi baru dari mereka. 43 Clifford Geertz dalam buku berjudul Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (1983), menjelaskan tentang ritual, upacara-upacara, kepercayaan orang Jawa, pengobatan, sihir dan magi sebagai varian abangan. Dibahas pula perkembangan Islam, pendidikan, dan pelaksanaan hukum Islam. Dalam konteks penelitian ini, bahasan mengenai priyayi yang dijelaskan Clifford Geertz perlu diperhatikan, terkait dengan budaya wong agung dengan subjek penelitian ini yakni seorang raja, sehingga latar belakang, dimensi umum kepercayaan dan etika priyayi perlu ditelaah lebih lanjut. Demikian pula yang terkait dengan mistik dan peranan kesenian klasik dan kesenian rakyat. 44 Niels Mulder dalam buku Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional (1978), menelaah pandangan hidup orang Jawa, dasar moril dan cara berpikir orang Jawa. Menurut Mulder, orang Jawa memandang dan mengalami kehidupan mereka sebagai suatu keseluruhan yang bersifat sosial dan simbolis. Kehidupan orang Jawa selalu bersifat seremonial. Tiga proporsi dalam cara berfikir orang Jawa disebutkan antara lain: (1) bentuk lebih penting daripada isi, bentuk menentukan isi, dan bentuk 43James R. Brandon, Jejak-jejak Seni Pertunjukan Di Asia Tenggara, Terj. R.M. Soedarsono (Bandung: P4ST UPI, 2003). 44Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983).

30 30 menguasai kenyataan. Isi termasuk bentuk, keduanya tidak bisa terpisah; (2) bentuk yang sempurna sudah ada, bentuk ini hanya harus ditaati dan diisi. Untuk mengisi bentuk yang sempurna itu, orang harus menunggu waktu baik. Kesempurnaan adalah suatu konsep yang statis; (3) waktu tidak memainkan peranan yang penting. Sebagai variabel yang berdiri sendiri, waktu tidak dipahami, sedangkan bentuk adalah buah pikiran yang paling penting dan sudah meliputi waktu. Waktu dan isi tidak didiferensiasikan dari bentuk. 45 Tulisan Franz Magnis-Suseno berjudul Etika Jawa (2001), sebuah kajian filsafat tentang kebijaksanaan hidup orang Jawa menjadi sangat penting untuk pegangan dalam analisis data. Buku ini membahas kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa yang bertumpu pada prinsip kerukunan, hormat dan keselarasan sosial. Di bagian lain dijelaskan tentang pandangan dunia Jawa tentang alam numinus dan dunia, alam numinus dan kekuasaan, serta dasar numinus keakuan dan takdir. Buku ini juga membahas mengenai sikap batin dan tindakan yang tepat dalam dunia, serta etika sebagai kebijaksanaan hidup khususnya mengenai relativasi baik-buruk, moral dan estetika. Dalam pandangan hidup Jawa, yang menentukan dalam agama bukan 45Niels Mulder, Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1978).

31 31 masalah kebenaran, melainkan apakah pandangan dunia itu cocok dengan pengalaman, artinya dapat dirasakan sebagai sesuatu yang bermakna. 46 Pandangan dunia bagi orang Jawa oleh Franz Magnis- Suseno dan S. Reksosusilo CM dalam bukunya Etika Jawa Dalam Tantangan (1983) dibedakan menjadi empat lingkaran bermakna. Lingkaran pertama lebih bersifat ekstrovert yakni intinya adalah sikap terhadap dunia luar yang dialami sebagai kesatuan numinus antara alam, masyarakat dan alam adikodrati yang keramat, yang dilaksanakan dalam ritus, tanpa refleksi eksplisit terhadap dimensi batin sendiri. Lingkaran kedua memuat penghayatan kekuasaan politik sebagai ungkapan alam numinus. Lingkaran ketiga berpusat pada pengalaman tentang keakuan sebagai jalan ke persatuan dengan yang numinus. Di sini unsur-unsur dari lingkungan pertama diterjemahkan ke dalam dimensi pengalaman kebatinan sendiri dan sebaliknya alam lahir distrukturasikan dengan bertolak dari dimensi batin. Lingkaran keempat adalah penentuan semua lingkaran pengalaman oleh Yang Illahi. 47 Berdasarkan beberapa pustaka yang telah diuraikan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa belum ada yang membahas secara khusus mengenai tata ruang interior Keraton 46Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001). 47Franz Magnis-Suseno dan S. Reksosusilo CM., Etika Jawa Dalam Tantangan (Yogyakarta: Kanisius, 1983).

32 32 Yogyakarta, terutama dikaji dari elemen estetikanya. Penelitian disertasi yang diusulkan ini belum pernah diteliti orang lain sehingga dapat dijamin orisinalitasnya. E. Landasan Teori Sebuah objek desain timbul disebabkan oleh sifat multidisipliner yang membangunnya, yang dapat diurai dan dijelaskan dengan menggunakan berbagai teori. Pendekatan ialah sudut pandang atau dari segi mana peneliti memandang, dimensi mana yang diperhatikan, dan unsur-unsur mana yang diungkapkan. Pendekatan dapat dioperasionalisasikan dengan bantuan seperangkat konsep dan teori. Teori merupakan alat untuk mempermudah analisis dan sintesis. 48 Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan yakni pendekatan historis, hermeneutika, dan estetik, dengan landasan teori kebudayaan, perkembangan dan perubahan, dan estetika arsitektur-interior. 1. Pendekatan Historis Pendekatan historis digunakan untuk pengamatan rangkaian peristiwa dalam sistem sosial kultural yang menghasilkan artifak budaya sebagai wujud dari kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat 48Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993), 3-6.

33 33 atau sistem sosial. Ketika peristiwa yang satu mengakibatkan peristiwa yang lain, tentu berkaitan dengan aspek sinkronis dan diakronis. Walker dalam bukunya Design History and the History of Design (1989) menjelaskan bahwa kajian sinkronis memusatkan perhatian pada kesatuan yang mencakup unsur-unsur serta hubungan pengaruh-mempengaruhi dalam situasi tertentu. Kajian sinkronik membahas mengenai sistem atau struktur, sedangkan kajian diakronik memusatkan perhatian pada perubahan (dipahami sebagai studi tentang proses). 49 Proses adalah aspek dinamis dari struktur, dan sebaliknya, struktur adalah aspek statis dari proses. 50 (Transversal) Objek Penelitian Analisis Diakronis WAKTU Analisis Sinkronis RUANG Longitudinal Bagan 1. Telaah objek studi secara sinkronis dan diakronis (Walker, 1989:80). 49John A. Walker, Design History and the History of Design (London: Pluto Press, 1989), 80; seri terjemahannya berjudul Desain, Sejarah, Budaya: Sebuah Pengantar Komprehensif, Terj. Laily Rahmawati (Yogyakarta: Jalasutra, 2010); lihat pula Kartodirdjo, 1993: Kartodirdjo, 1993: 52.

34 34 Semua gejala, hubungan-hubungannya, interaksi antara objek-objek, pendeknya, seluruh proses terjadi dalam situasi atau moment (saat) tertentu, proses ini dapat dikatakan terjadi secara sinkronis. Segala sesuatu, ada dalam keadaan perkembangan dalam waktu, atau dengan perkataan lain semua yang ada pada masa kini adalah hasil dari perkembangan masa lampau. Apabila segala sesuatu dilacak bagaimana perkembangannya, maka pendekatannya adalah diakronis. Perubahan serta keadaan masa kini adalah nuansa dari arus yang telah dilalui dari awal pertumbuhannya. Perspektif historis melihat masa kini tidak terlepas dari masa lampau dan identitasnya. Sebaliknya, gambaran masa lampau ditentukan oleh pandangan masa kini. Pandangan masa kini mengarahkan seleksi dan penyorotan gejala berdasarkan jiwa zaman, sedangkan masa lampau tidak dapat melihat masa kini sebagai sesuatu dalam isolasi atau dalam vakansi. Perspektif historis mempunyai dua dimensi, yakni aspek masa kini dan aspek masa lampau. 51 Pendekatan diakronis digunakan untuk merekonstruksi secara eksplanatonis latar belakang tampilnya artifak Keraton Yogyakarta dan perkembangannya, serta berbagai pemikiran Sultan Hamengku Buwana VII hingga Sultan Hamengku Buwana X yang mendorong perubahan eksistensi dan fungsi keraton. 51Kartodirdjo, 1993:

35 35 Adapun pendekatan sinkronis dalam tata ruang interior dipandang sebagai kesatuan elemen desain yang saling berhubungan untuk mencapai keselarasan (harmony), keseimbangan (balance), dan kesatuan (unity) dalam pengertian seni rupa. Analisis sistem ini akan diterapkan dalam mengkaji unsur rupa tata ruang interior Keraton Yogyakarta berdasarkan pada fakta fisik yang diterapkan, pada pilihan penelitian yang bersifat kolektif tetapi saling terkait dalam keterikatan jaringan fungsional. 2. Pendekatan Hermeneutika Pendekatan hermeneutika digunakan untuk memahami makna keberadaan (ontologi) tata ruang interior Keraton Yogyakarta melalui penafsiran. Pendekatan ini digunakan untuk menemukan kompleksitas dari ide, gagasan, serta nilai religi, filosofi, dan budaya dibalik wujud estetika tata ruang interior Keraton Yogyakarta. Hermeneutika adalah metode penafsiran atau interpretasi makna yang kontekstual, yang di dalamnya makna setiap entitas ditentukan oleh konteks keseluruhan. 52 Hermeneutika diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau 52Yasraf Amir Piliang, Esai Pembuka: Pendekatan dalam Penelitian Desain, Pelbagai Perkembangan Paradigma, dalam John A. Walker, Desain, Sejarah, Budaya: Sebuah Pengantar Komprehensif, Terj. Laily Rahmawati (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), xviii, xix.

36 36 situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Semua interpretasi mencakup pemahaman. 53 Ricoeur menguraikan bahwa hermeneutik bertujuan menghilangkan misteri simbol-simbol dalam teks dengan cara membuka tabir yang belum diketahui dan tersembunyi dalam simbol itu sendiri. Hermeneutik adalah teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi atau penafsiran teks. Apa yang diucapkan atau ditulis mempunyai makna lebih dari satu (multiple meaning), bila dihubungkan dengan konteks yang berbeda. Menurut Ricoeur, metode hermeneutik sangat terbuka lebar dalam upaya memberikan makna teks atau tanda-tanda, yang di dalamnya memuat hubungan/relasi bersama antara tafsir dan tanda-tanda. Dalam tafsir simbolik, terkandung pengertian dari ekspresi extralinguistic reality. 54 Seorang penafsir dalam membaca teks harus memperhatikan keseluruhan dari events, persons, institutions, dan natural atau historical realities are articulated. 55 Ricoeur menguraikan ada tiga tahapan dalam hermeneutik, yakni (1) level semantik, yaitu bahwa bahasa merupakan wahana utama bagi 53E. Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 24, Paul Ricoeur, The Problem of Double Meaning as Hermeneutic Problem and as Semantic Problem, dalam Stephen David Ross (ed.), Art and Its Significance: an Anthology of Aesthetic Theory (State University of New York, 1987), 397, Ricoeur, 1987: 398.

37 37 ekspresi ontologi, (2) level refleksi, yaitu mengangkat lebih tinggi lagi posisi hermeneutik pada level filosofi, dan (3) level eksistensial, yaitu membeberkan hakikat dari pemahaman, tersingkap pemahaman dan makna. 56 Semua objek budaya pada dasarnya netral. Hanya subjek yang memberi arti pada objek. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan cara pandang subjek. Sebuah benda menjadi objek karena kearifan subjek yang menaruh perhatian atas benda itu. Objek dan makna tidak pernah terjadi secara serentak atau bersama-sama, sebab pada mulanya objek itu netral, sehingga makna dalam sebuah teks tidaklah ada di balik atau di belakangnya, melainkan ada di depannya. 57 Dalam hal ini, Keraton Yogyakarta nantinya akan dijadikan objek yang dianalisis dalam konteks situasinya, dikaji secara hermeneutik untuk menangkap makna yang terefleksi sebagai jiwa zamannya. 3. Pendekatan Estetik Keraton Yogyakarta sebagai wujud kebudayaan berupa objek tangible, akan dibedah dengan menggunakan pendekatan estetik yang menekankan aspek seni dan desain dalam kaitannya dengan kekuatan estetika tata ruang interior Keraton Yogyakarta. 56Ahmad Norma Permata Hermeneutika Fenomenologis, dalam Nafisul Atho & Arif Fahrudin (ed.), Hermeneutika Transendental (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), Sumaryono, 1999:

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Gambaran Umum Lokasi 1. Kondisi Fisik Keraton Yogyakarta a. Peta Lokasi Gambar 4.1 Peta Wilayah Kecamatan Kraton Yogyakarta Sumber: Badan Pusat Statistik b. Kondisi Geografis Wilayah

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan 533 BAB VI KESIMPULAN A. Kesimpulan Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan sebagai landasan relasi manusia-tuhan-alam semesta.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ada di Indonesia. Sebagai salah satu unsur keistimewaan DIY, maka pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. ada di Indonesia. Sebagai salah satu unsur keistimewaan DIY, maka pada dasarnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Kraton Yogyakarta merupakan salah satu kawasan cagar budaya yang ada di Kota Yogyakarta. Keberadaan Kraton Yogyakarta itu sendiri menjadi salah satu unsur

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN A. Kesimpulan Dari Hasil Penelitian yang telah diuraikan dimuka, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Keraton Kasunanan Surakarta mulai dibangun pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari /

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari / BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG PENGADAAN PROYEK Proyek yang diusulkan dalam penulisan Tugas Akhir ini berjudul Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta. Era globalisasi yang begitu cepat berkembang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat yang mendiami daerah tertentu mempunyai suku dan adat istiadat

I. PENDAHULUAN. masyarakat yang mendiami daerah tertentu mempunyai suku dan adat istiadat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki keanekaragaman suku bangsa dan keanekaragaman kebudayaan yang akan menjadi modal dasar sebagai landasan pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cerita yang khas dan tidak lepas dari cerita magis yang sampai saat ini bisa. dirasakan oleh siapapun ketika berada didalamnya.

BAB I PENDAHULUAN. cerita yang khas dan tidak lepas dari cerita magis yang sampai saat ini bisa. dirasakan oleh siapapun ketika berada didalamnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki warisan budaya yang beragam salah satunya keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Warisan budaya ini bukan sekedar peninggalan semata, dari bentangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Istimewa Yogyakarta, atau yang disingkat DIY, memiliki keistimewaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan manfaat bagi masyarakat pada sebuah destinasi. Keberhasilan

BAB I PENDAHULUAN. memberikan manfaat bagi masyarakat pada sebuah destinasi. Keberhasilan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pariwisata adalah salah satu mesin penggerak perekonomian dunia yang terbukti mampu memberikan kontribusi terhadap kemakmuran sebuah negara. Pembangunan pariwisata mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kini kota-kota di Indonesia telah banyak mengalami. perkembangan dan perubahan yang sangat pesat. Pembangunan massa dan

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kini kota-kota di Indonesia telah banyak mengalami. perkembangan dan perubahan yang sangat pesat. Pembangunan massa dan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pada masa kini kota-kota di Indonesia telah banyak mengalami perkembangan dan perubahan yang sangat pesat. Pembangunan massa dan fungsi baru untuk menunjang ragam aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Surakarta selain dikenal sebagai kota batik, juga populer dengan keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki kekhasan

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Historiografi komunitas seniman-priyayi Kemlayan adalah. kekuasaan Jawa, baik Keraton Kasunanan maupun pemerintah Republik

BAB VI KESIMPULAN. Historiografi komunitas seniman-priyayi Kemlayan adalah. kekuasaan Jawa, baik Keraton Kasunanan maupun pemerintah Republik BAB VI KESIMPULAN Historiografi komunitas seniman-priyayi Kemlayan adalah historiografi komunitas yang terhempas dalam panggung sejarah kekuasaan Jawa, baik Keraton Kasunanan maupun pemerintah Republik

Lebih terperinci

BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1. PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Yogyakarta merupakan kota dengan lintasan sejarah yang cukup panjang, dimulai pada tanggal 13 Februari 1755 dengan dilatari oleh Perjanjian Giyanti yang membagi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. dinobatkan sebagai sultan kemudian menjadi Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun

BAB V KESIMPULAN. dinobatkan sebagai sultan kemudian menjadi Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun BAB V KESIMPULAN Sri Sultan Hamengkubuwono IX naik tahta menggantikan ayahnya pada tanggal 18 Maret 1940. Sebelum diangkat menjadi penguasa di Kasultanan Yogyakarta, beliau bernama Gusti Raden Mas (GRM)

Lebih terperinci

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA 1. BPUPKI dalam sidangnya pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 membicarakan. a. rancangan UUD b. persiapan kemerdekaan c. konstitusi Republik Indonesia Serikat

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Pada bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dan saran dari. Pelaksanaan Surat Edaran Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta

BAB V PENUTUP. Pada bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dan saran dari. Pelaksanaan Surat Edaran Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta 184 BAB V PENUTUP Pada bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dan saran dari Pelaksanaan Surat Edaran Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta PA.VIII/No.K.898/I/A 1975 tentang larangan kepemilikan tanah

Lebih terperinci

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN

BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN BAB 8 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEILMUAN 8.1. Kesimpulan 1. Selama abad ke-15 hingga ke-19 terdapat dua konsep pusat yang melandasi politik teritorial di Pulau Jawa. Kedua konsep tersebut terkait dengan

Lebih terperinci

No Sentralitas posisi masyarakat DIY dalam sejarah DIY sebagai satu kesatuan masyarakat yang memiliki kehendak yang luhur dalam berbangsa dan b

No Sentralitas posisi masyarakat DIY dalam sejarah DIY sebagai satu kesatuan masyarakat yang memiliki kehendak yang luhur dalam berbangsa dan b TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5339 DAERAH ISTIMEWA. PEMERINTAHAN. Pemerintah Daerah. Yogyakarta. Keistimewaan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 170) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budaya, baik berupa seni tradisional ataupun seni budaya yang timbul karena

BAB I PENDAHULUAN. budaya, baik berupa seni tradisional ataupun seni budaya yang timbul karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman seni dan budaya, baik berupa seni tradisional ataupun seni budaya yang timbul karena proses akulturasi.

Lebih terperinci

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman adat istiadat, budaya, suku, ras, bahasa dan agama. Kemajemukan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Museum Budaya Dayak Di Kota Palangka Raya Page 1

BAB I PENDAHULUAN. Museum Budaya Dayak Di Kota Palangka Raya Page 1 BAB I PENDAHULUAN 1. 1. LATAR BELAKANG EKSISTENSI PROYEK Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada abad ini gerak perubahan zaman terasa semakin cepat sekaligus semakin padat. Perubahan demi perubahan terus-menerus terjadi seiring gejolak globalisasi yang kian

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Hukum Waris di Lingkungan Keraton

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Hukum Waris di Lingkungan Keraton C. Alat dan Cara Pengumpulan Data... 86 D. Jalannya Penelitian... 86 E. Analisis Data... 88 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 89 A. Pelaksanaan Hukum Waris di Lingkungan Keraton Yogyakarta pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. manusia senantiasa mengalami suatu perubahan-perubahan pada kehidupan. tak terbatas (Muhammad Basrowi dan Soenyono, 2004: 193).

TINJAUAN PUSTAKA. manusia senantiasa mengalami suatu perubahan-perubahan pada kehidupan. tak terbatas (Muhammad Basrowi dan Soenyono, 2004: 193). 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Perubahan Perubahan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti, hal (keadaan) berubah, peralihan, pertukaran. Dalam hal ini perubahan didefinisikan

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2017

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2017 SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG ARSITEKTUR BANGUNAN BERCIRI KHAS DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah salah satu tonggak utama pembangun bangsa. Bangsa yang maju adalah bangsa yang mengedepankan pendidikan bagi warga negaranya, karena dengan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI. Bab ini menyajikan sejumlah kesimpulan yang meliputi kesimpulan

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI. Bab ini menyajikan sejumlah kesimpulan yang meliputi kesimpulan BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI Bab ini menyajikan sejumlah kesimpulan yang meliputi kesimpulan umum dan khusus, implikasi, dan rekomendasi penelitian. Kesimpulan, implikasi, dan rekomendasi

Lebih terperinci

KESIMPULAN. Berdasarkan keseluruhan uraian dapat disimpulkan. penemuan penelitian sebagai berikut. Pertama, penulisan atau

KESIMPULAN. Berdasarkan keseluruhan uraian dapat disimpulkan. penemuan penelitian sebagai berikut. Pertama, penulisan atau 1 KESIMPULAN A. Kesimpulan Berdasarkan keseluruhan uraian dapat disimpulkan penemuan penelitian sebagai berikut. Pertama, penulisan atau penyalinan naskah-naskah Jawa mengalami perkembangan pesat pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang sangat kompleks. Didalamnya berisi struktur-struktur yang

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang sangat kompleks. Didalamnya berisi struktur-struktur yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya yang berada di daerah-daerah di dalamnya. Kebudayaan itu sendiri mencakup pengertian yang sangat luas. Kebudayaan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia yang terdiri atas beberapa pulau dan kepulauan serta di pulau-pulau itu terdapat berbagai suku bangsa masing-masing mempunyai kehidupan sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keraton Yogyakarta dibangun pada tahun 1756 M. Sebelum keraton

BAB I PENDAHULUAN. Keraton Yogyakarta dibangun pada tahun 1756 M. Sebelum keraton 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keraton Yogyakarta dibangun pada tahun 1756 M. Sebelum keraton Yogyakarta selesai dibangun, Sri Sultan Hamengku Buwono I bersama keluarganya untuk sementara

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN RELEVAN

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN RELEVAN BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN RELEVAN A. Landasan Teori 1. Kebudayaan Banyak orang mengartikan kebudayaan dalam arti yang terbatas yaitu pikiran, karya, dan semua hasil karya manusia yang memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Istimewa Yogyakarta, Indonesia, dikenal sebagai bangunan bersejarah yang

BAB I PENDAHULUAN. Istimewa Yogyakarta, Indonesia, dikenal sebagai bangunan bersejarah yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia, dikenal sebagai bangunan bersejarah yang merupakan istana

Lebih terperinci

Tugas Antropologi Politik Review buku : Negara Teater : Clifford Geertz : Isnan Amaludin : 08/275209/PSA/1973

Tugas Antropologi Politik Review buku : Negara Teater : Clifford Geertz : Isnan Amaludin : 08/275209/PSA/1973 Tugas Antropologi Politik Review buku : Negara Teater Penulis : Clifford Geertz Oleh : Isnan Amaludin NIM : 08/275209/PSA/1973 Prodi : S2 Sejarah Geertz sepertinya tertarik pada Bali karena menjadi suaka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesenian produk asli bangsa Indonesia. Kesenian wayang, merupakan

BAB I PENDAHULUAN. kesenian produk asli bangsa Indonesia. Kesenian wayang, merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dengan aneka ragam kebudayaan dan tradisi. Potensi merupakan model sebagai sebuah bangsa yang besar. Kesenian wayang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebudayaan suatu bangsa tidak hanya merupakan suatu aset, namun juga jati diri. Itu semua muncul dari khasanah kehidupan yang sangat panjang, yang merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suku bangsa, ras, bahasa, agama, adat-istiadat, maupun lapisan sosial yang ada

I. PENDAHULUAN. suku bangsa, ras, bahasa, agama, adat-istiadat, maupun lapisan sosial yang ada 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Hal ini terlihat dari keberagaman suku bangsa, ras, bahasa, agama, adat-istiadat, maupun lapisan sosial yang ada

Lebih terperinci

WAWASAN KEBANGSAAN a) Pengertian Wawasan Kebangsaan

WAWASAN KEBANGSAAN a) Pengertian Wawasan Kebangsaan WAWASAN KEBANGSAAN Wawasan kebangsaan lahir ketika bangsa Indonesia berjuang membebaskan diri dari segala bentuk penjajahan, seperti penjajahan oleh Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang. Perjuangan bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung memiliki sejarah yang sangat panjang. Kota Bandung berdiri

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung memiliki sejarah yang sangat panjang. Kota Bandung berdiri BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota Bandung memiliki sejarah yang sangat panjang. Kota Bandung berdiri pada akhir dekade pertama abad ke-19, diresmikan tanggal 25 September 1810. Bangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kerajaan Mataram merupakan salah satu kerajaan berbasis agraris/pertanian

I. PENDAHULUAN. Kerajaan Mataram merupakan salah satu kerajaan berbasis agraris/pertanian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Kerajaan Mataram merupakan salah satu kerajaan berbasis agraris/pertanian yang ada di Jawa. Sebelum daerah ini menjadi salah satu kerajaan yang berbasis Islam, di daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Perumusan Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Perumusan Masalah 1. Latar belakang dan pertanyaan penelitian Berkembangnya arsitektur jaman kolonial Belanda seiring dengan dibangunnya pemukiman bagi orang-orang eropa yang tinggal

Lebih terperinci

JURNAL SKRIPSI. MAKNA RITUAL DALAM PEMENTASAN SENI TRADISI REOG PONOROGO (Studi Kasus di Desa Wagir Lor, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo)

JURNAL SKRIPSI. MAKNA RITUAL DALAM PEMENTASAN SENI TRADISI REOG PONOROGO (Studi Kasus di Desa Wagir Lor, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo) JURNAL SKRIPSI MAKNA RITUAL DALAM PEMENTASAN SENI TRADISI REOG PONOROGO (Studi Kasus di Desa Wagir Lor, Kecamatan Ngebel, Kabupaten Ponorogo) SKRIPSI Oleh: DESI WIDYASTUTI K8409015 FAKULTAS KEGURUAN DAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu

BAB 1 PENDAHULUAN. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembicaraan karya sastra tidak lepas dari penilaian-penilaian. Pradopo (1988:45-58) memberi batasan, bahwa karya sastra yang bermutu seni adalah yang imajinatif,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Progresif

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum Progresif 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan terpaan kapitalisme global dalam sistem dunia, hukum liberal juga semakin mendominasi kehidupan hukum dalam percaturan global. Negara-negara developmentalis,

Lebih terperinci

V. PENUTUP SIMPULAN, FORMULASI, DAN REKOMENDASI

V. PENUTUP SIMPULAN, FORMULASI, DAN REKOMENDASI 79 V. PENUTUP SIMPULAN, FORMULASI, DAN REKOMENDASI A. Simpulan 1. Etika kepemimpinan Jawa, merupakan ajaran-ajaran yang berupa nilainilai dan norma-norma yang bersumber dari kebudayaan Jawa tentang kepemimpinan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian tradisional pada Masyarakat Banten memiliki berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kesenian tradisional pada Masyarakat Banten memiliki berbagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Kesenian tradisional pada Masyarakat Banten memiliki berbagai keanekaragaman seperti yang terdapat di daerah lain di Indonesia. Kesenian tersebut di antaranya

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pesisir Timur pantai Sumatera Utara sejak abad ke-13, merupakan tempat persinggahan bangsa-bangsa asing dan lintas perdagangan. Bangsa India dan Arab datang dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Kraton Surakarta merupakan bekas istana kerajaan Kasunanan Surakarta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Kraton Surakarta merupakan bekas istana kerajaan Kasunanan Surakarta BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kraton Surakarta merupakan bekas istana kerajaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Kraton ini didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono II pada tahun 1744 sebagai

Lebih terperinci

Mengenal Beberapa Museum di Yogyakarta Ernawati Purwaningsih Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta

Mengenal Beberapa Museum di Yogyakarta Ernawati Purwaningsih Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta Mengenal Beberapa Museum di Yogyakarta Ernawati Purwaningsih Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta Diantara banyak peninggalan bangunan bersejarah di Kota Yogyakarta adalah museum. Sebenarnya di Yogyakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial yang berlaku dan berlangsung

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Dari uraian hasil penelitian mengenai aspek pewarisan Tari. Klasik Gaya Yogyakarta (TKGY) yang dilakukan oleh Kraton

BAB V KESIMPULAN. Dari uraian hasil penelitian mengenai aspek pewarisan Tari. Klasik Gaya Yogyakarta (TKGY) yang dilakukan oleh Kraton 387 BAB V KESIMPULAN 1. Kesimpulan Dari uraian hasil penelitian mengenai aspek pewarisan Tari Klasik Gaya Yogyakarta (TKGY) yang dilakukan oleh Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, lembaga formal, dan lembaga

Lebih terperinci

2. Kesimpulan Khusus Adapun kesimpulan secara khusus akan dijabarkan sebagai berikut:

2. Kesimpulan Khusus Adapun kesimpulan secara khusus akan dijabarkan sebagai berikut: BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN 1. Kesimpulan Umum Upacara adat nyangku merupakan upacara adat warisan dari raja-raja Panjalu yang masih menjadi tradisi turun temurun masyarakat desa Panjalu. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN A. Objek Bahasan 1. Objek materi Filsafat Indonesia ialah kebudayaan bangsa. Menurut penjelasan UUD 1945 pasal 32, kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. terhadap api dan segala bentuk benda tajam. Seni dan budaya debus kini menjadi

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. terhadap api dan segala bentuk benda tajam. Seni dan budaya debus kini menjadi BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Debus, berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, merupakan suatu bentuk seni dan budaya yang menampilkan peragaan kekebalan tubuh seseorang terhadap api dan segala bentuk

Lebih terperinci

DIY DALAM KONTEKS NKRI, OTDA DAN DEMOKRASI

DIY DALAM KONTEKS NKRI, OTDA DAN DEMOKRASI DIY DALAM KONTEKS NKRI, OTDA DAN DEMOKRASI R. Siti Zuhro, PhD (Peneliti Utama LIPI) Materi disampaikan dalam acara Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi 2 DPR RI, Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, 3

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Pengertian sebuah komunitas atau dalam arti yang lebih luas lagi sebuah masyarakat tidak bisa dibatasi sebagai sekumpulan individu yang menempati wilayah geografis

Lebih terperinci

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan 5.1. Kesimpulan B A B V P E N U T U P Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan umum bahwa integrasi sosial dalam masyarakat Sumba di Kampung Waiwunga, merupakan konstruksi makna

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta

BAB V. Kesimpulan. A. Pengantar. B. Karakter Patronase di Alun-Alun Kidul Yogyakarta BAB V Kesimpulan A. Pengantar Bab V merupakan bab terakhir dari seluruh narasi tulisan ini. Sebagai sebuah kesatuan tulisan yang utuh, ide pokok yang disajikan pada bab ini tidak dapat dipisahkan dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sastra adalah penafsiran kebudayaan yang jitu. Sastra bukan sekadar seni yang merekam kembali alam kehidupan, akan tetapi yang memperbincangkan kembali lewat suatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Budaya Lanskap adalah suatu bentang alam dengan karakteristik tertentu yang dapat dinikmati oleh seluruh indera manusia, dimana karakter tersebut menyatu secara harmoni

Lebih terperinci

yang meliputi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman telah

yang meliputi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman telah UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA UNDANG- UNDANG NOMOR...TAHUN... TENTANG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI VII. 1. Kesimpulan Penelitian proses terjadinya transformasi arsitektural dari kampung kota menjadi kampung wisata ini bertujuan untuk membangun teori atau

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang Masalah. kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan

BAB I PENGANTAR Latar Belakang Masalah. kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia pada hakikatnya merupakan bangsa dengan warisan kekayaan budaya yang amat sangat melimpah. Budaya warisan leluhur merupakan aset tidak ternilai

Lebih terperinci

2015 TARI TUPPING DI DESA KURIPAN KECAMATAN PENENGAHAN KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

2015 TARI TUPPING DI DESA KURIPAN KECAMATAN PENENGAHAN KABUPATEN LAMPUNG SELATAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Budaya lahir dan dibentuk oleh lingkungannya yang akan melahirkan berbagai bentuk pola tersendiri bagi masyarakat pendukungnya. Berbicara tentang kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi Astana Mangadeg terletak di lereng barat Gunung Lawu, tepatnya di Desa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi Astana Mangadeg terletak di lereng barat Gunung Lawu, tepatnya di Desa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Astana Mangadeg merupakan makam keturunan Kerajaan Mangkunegaran. Posisi Astana Mangadeg terletak di lereng barat Gunung Lawu, tepatnya di Desa Girilayu Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk menyampaikan gagasan filsafat. Dengan demikian sastra dapat

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk menyampaikan gagasan filsafat. Dengan demikian sastra dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sastra dan filsafat (pemikiran) memiliki hubungan yang erat. Sastra dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan gagasan filsafat. Dengan demikian sastra dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelompok atau lapisan sosial di dalam masyarakat. Kebudayaan ini merupakan suatu cara

BAB I PENDAHULUAN. kelompok atau lapisan sosial di dalam masyarakat. Kebudayaan ini merupakan suatu cara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia pada dasarnya dilatarbelakangi oleh adanya suatu sejarah kebudayaan yang beragam. Keberagaman yang tercipta merupakan hasil dari adanya berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tujuan, manfaat, dan keaslian penelitian yang dilakukan.

BAB I PENDAHULUAN. tujuan, manfaat, dan keaslian penelitian yang dilakukan. BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini dipaparkan mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan, manfaat, dan keaslian penelitian yang dilakukan. 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman perwujudan bangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap negara memiliki beragam norma, 1 moral, 2 dan etika 3 yang menjadi pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang berbeda-beda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagi kemajuan suatu bangsa. Masa anak-anak disebut-sebut sebagai masa. yang panjang dalam rentang kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. bagi kemajuan suatu bangsa. Masa anak-anak disebut-sebut sebagai masa. yang panjang dalam rentang kehidupan. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak merupakan karunia terbesar bagi keluarga, agama, bangsa, dan negara. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah penerus citacita bagi kemajuan

Lebih terperinci

Abito Bamban Yuuwono. Abstrak

Abito Bamban Yuuwono. Abstrak PERAN PENDAMPINGAN MASYARAKAT DALAM PENATAAN BANGUNAN DAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN PADA KAWASAN KRATON YOGYAKARTA SEBAGAI BAGIAN DARI UPAYA MEMINIMALISIR DEGRADASI KUALITAS KAWASAN CAGAR BUDAYA Abito Bamban

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. Secara astronomi letak Kota Sawahlunto adalah Lintang Selatan dan

BAB IV KESIMPULAN. Secara astronomi letak Kota Sawahlunto adalah Lintang Selatan dan BAB IV KESIMPULAN Kota Sawahlunto terletak sekitar 100 km sebelah timur Kota Padang dan dalam lingkup Propinsi Sumatera Barat berlokasi pada bagian tengah propinsi ini. Secara astronomi letak Kota Sawahlunto

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI PEMANFAATAN ALUN-ALUN MALANG

IDENTIFIKASI PEMANFAATAN ALUN-ALUN MALANG 124 Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan Vol.7 No.2 IDENTIFIKASI PEMANFAATAN ALUN-ALUN MALANG Wiwik Dwi Susanti Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Pembangunan Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari beragamnya kebudayaan yang ada di Indonesia. Menurut ilmu. antropologi, (dalam Koentjaraningrat, 2000: 180) kebudayaan adalah

BAB I PENDAHULUAN. dari beragamnya kebudayaan yang ada di Indonesia. Menurut ilmu. antropologi, (dalam Koentjaraningrat, 2000: 180) kebudayaan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang memiliki keanekaragaman di segala aspek kehidupan. Keanekaragaman tersebut terlihat dari beragamnya kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tumpuan serta puncak keagungan bangsa adalah berupa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tumpuan serta puncak keagungan bangsa adalah berupa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tumpuan serta puncak keagungan bangsa adalah berupa karya sastra lama. Nilai-nilai budaya suatu bangsa yang dalam kurun waktu tertentu sangat dapat

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH ISTIMEWA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PERTANAHAN

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH ISTIMEWA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PERTANAHAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH ISTIMEWA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PERTANAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA, Menimbang

Lebih terperinci

RESUME BUKU. : Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional Dari. Kolonialisme sampai Nasionalisme (Jilid 2)

RESUME BUKU. : Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional Dari. Kolonialisme sampai Nasionalisme (Jilid 2) RESUME BUKU Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme (Jilid 2) Penulis : Sartono Kartodirdjo Judul : Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Mangkubumi, yang terdiri dari Pangeran Mangkubumi, Pangeran Wijil, Pangeran

BAB V KESIMPULAN. Mangkubumi, yang terdiri dari Pangeran Mangkubumi, Pangeran Wijil, Pangeran BAB V KESIMPULAN Pakualaman terbentuk dari adanya perjanjian Giyanti antara pihak Mataram yang diwakili oleh Sunan Pakubuwana III dengan kelompok Pangeran Mangkubumi, yang terdiri dari Pangeran Mangkubumi,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Masjid Agung Demak mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan

BAB V PENUTUP. Masjid Agung Demak mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan BAB V PENUTUP Masjid Agung Demak mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan orang-orang Islam di Jawa. Kedudukan dan kelebihan Masjid Agung Demak tidak terlepas dari peran para ulama yang bertindak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki keanekaragaman seni, budaya dan suku bangsa. Keberagaman ini menjadi aset yang sangat penting

Lebih terperinci

YAYASAN PAMULANGAN BEKSA SASMINTA MARDAWA. Theresiana Ani Larasati

YAYASAN PAMULANGAN BEKSA SASMINTA MARDAWA. Theresiana Ani Larasati YAYASAN PAMULANGAN BEKSA SASMINTA MARDAWA Theresiana Ani Larasati Menilik sejarah keberadaan organisasi seni tari di Yogyakarta dapat dikatakan bahwa pada mulanya di Yogyakarta tidak ada organisasi tari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bima itu. Namun saat adat istiadat tersebut perlahan-lahan mulai memudar, dan

BAB I PENDAHULUAN. Bima itu. Namun saat adat istiadat tersebut perlahan-lahan mulai memudar, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat Bima merupakan perpaduan dari berbagai suku, etnis dan budaya yang hampir menyebar di seluruh pelosok tanah air.akan tetapi pembentukan masyarakat Bima yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman tradisional Kelurahan Melai, merupakan permukiman yang eksistensinya telah ada sejak zaman Kesultanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunita, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunita, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kesenian merupakan hasil dari kebudayaan manusia yang dapat didokumentasikan atau dilestarikan, dipublikasikan dan dikembangkan sebagai salah salah satu upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Novi Pamelasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Novi Pamelasari, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilson menyatakan bahwa kebudayaan adalah pengetahuan tentang ditransmisi dan disebarkan secara sosial, baik bersifat eksistensial, normatif maupun simbolis yang tercemin

Lebih terperinci

KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTABARU YOGYAKARTA. Theresiana Ani Larasati

KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTABARU YOGYAKARTA. Theresiana Ani Larasati KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTABARU YOGYAKARTA Theresiana Ani Larasati Yogyakarta memiliki peninggalan-peninggalan karya arsitektur yang bernilai tinggi dari segi kesejarahan maupun arsitekturalnya, terutama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi mengakibatkan terjadinya

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi mengakibatkan terjadinya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Arsitektur sebagai produk dari kebudayaan, tidak terlepas dari pengaruh perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi mengakibatkan terjadinya proses perubahan

Lebih terperinci

Prakata: Prof. Ir. ANTARIKSA, M.Eng., Ph.D

Prakata: Prof. Ir. ANTARIKSA, M.Eng., Ph.D Cara pandang dan metode penelitian berbasis fenomenologi ini dapat dimanfaatkan untuk meneliti dan memahami fenomena kampung-kampung vernakular di Timor yang sangat kaya dengan nuansa budaya lokal. Studi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat yang tinggal disepanjang pinggiran pantai, lazimnya disebut masyarakat pesisir. Masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai barat disebut masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Busana tidak hanya terbatas pada pakaian yang dipakai sehari-hari seperti

BAB I PENDAHULUAN. Busana tidak hanya terbatas pada pakaian yang dipakai sehari-hari seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Busana tidak hanya terbatas pada pakaian yang dipakai sehari-hari seperti rok, dress, atau pun celana saja, tetapi sebagai suatu kesatuan dari keseluruhan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan kemerdekaan sampai hingga era pengisian kemerdekaan

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan kemerdekaan sampai hingga era pengisian kemerdekaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia yang dimulai sejak era sebelum dan selama penjajahan, kemudian dilanjutkan dengan era perebutan dan mempertahankan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dilestarikan dan dikembangkan terus menerus guna meningkatkan ketahanan

I. PENDAHULUAN. dilestarikan dan dikembangkan terus menerus guna meningkatkan ketahanan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara kesatuan yang memiliki beranekaragam kebudayaan. Budaya Indonesia yang beraneka ragam merupakan kekayaan yang perlu dilestarikan dan dikembangkan

Lebih terperinci

KEPUSTAKAAN. Adrisijanti, Inajati. Arkeologi Perkotaan Mataram Islam. Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2000.

KEPUSTAKAAN. Adrisijanti, Inajati. Arkeologi Perkotaan Mataram Islam. Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2000. 540 KEPUSTAKAAN Acharya, Prasanna Kumar. Indian Architecture, According to Manasara Silpasastra, Manasara Series: Vol II. New Delhi: Munshiram Manoharial Publisher Pvt, Ltd., 1981. Adam, L. De Pleinen,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 ( balai pustaka Kamus Bahasa Indonesia 1988 ) 2 Ibid 3 Ibid

BAB I PENDAHULUAN. 1 ( balai pustaka Kamus Bahasa Indonesia 1988 ) 2 Ibid 3 Ibid BAB I PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN JUDUL Pengertian judul : MUSEUM MUSIK TRADISONAL JAWA TENGAH DI BENTENG VASTENBURG SURAKARTA adalah sebagai berikut : Museum : Gedung yang digunakan sebagai tempat untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah itu dapat. Mitchell (dalam Nurgiyantoro, 2005 : 163) yakni,

BAB I PENDAHULUAN. berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah itu dapat. Mitchell (dalam Nurgiyantoro, 2005 : 163) yakni, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra daerah merupakan bagian dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan sastra daerah itu dapat dikatakan masih

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - SEJARAH IPS BAB 1. MANUSIA DAN SEJARAHLatihan Soal 1.4. Bentuk publikasi secara tertulis tentang peristiwa pada masa lampau

SMA/MA IPS kelas 10 - SEJARAH IPS BAB 1. MANUSIA DAN SEJARAHLatihan Soal 1.4. Bentuk publikasi secara tertulis tentang peristiwa pada masa lampau 1. Berikut ini merupakan pengertian historiografi adalah... SMA/MA IPS kelas 10 - SEJARAH IPS BAB 1. MANUSIA DAN SEJARAHLatihan Soal 1.4 Hasil tulisan ilmiah pada masa lalu Peninggalan sejarah dalam bentuk

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN LITERATUR

BAB II KAJIAN LITERATUR BAB II KAJIAN LITERATUR 2.1 Pengertian Pelestarian Filosofi pelestarian didasarkan pada kecenderungan manusia untuk melestarikan nilai-nilai budaya pada masa yang telah lewat namun memiliki arti penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dinamakan mampu berbuat hamemayu hayuning bawana (Suwardi Endraswara,

BAB I PENDAHULUAN. dinamakan mampu berbuat hamemayu hayuning bawana (Suwardi Endraswara, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah bagian dari suatu ekosistem yang harus diperhatikan eksistensinya. Manusia harus menciptakan lingkungan budayanya menjadi enak dan nyaman. Orang yang

Lebih terperinci

BAB III DESAIN/PENDEKATAN PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian sejarah yang berusaha menelaah kembali

BAB III DESAIN/PENDEKATAN PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian sejarah yang berusaha menelaah kembali BAB III DESAIN/PENDEKATAN PENELITIAN 3.1 Desain/Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian sejarah yang berusaha menelaah kembali peristiwa yang terjadi di masa lalu, dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB II SENI TARI DAN UNSUR VISUAL

BAB II SENI TARI DAN UNSUR VISUAL BAB II SENI TARI DAN UNSUR VISUAL 2.1. Seni dan Tari 2.1.1. Pengertian Seni Seni dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991: 915) didefinisikan sebagai keahlian membuat karya yang bermutu dilihat dari segi

Lebih terperinci