BAB III HARMONISASI PENGATURAN TENTANG PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III HARMONISASI PENGATURAN TENTANG PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY"

Transkripsi

1 BAB III HARMONISASI PENGATURAN TENTANG PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 3.1 Pentingnya Harmonisasi Pengaturan tentang Penyalahgunaan Posisi Dominan dalam ASEAN Economic Community Salah satu tujuan dibentuknya ASEAN seperti yang tercantum dalam Deklarasi Bangkok adalah mewujudkan percepatan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan sosial di kawasan. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut berbagai kebijakan kerjasama ekonomi telah dilakukan salah satunya adalah pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN atau AEC pada tahun Dengan adanya kebijakan AEC pada tahun 2015 ini negara-negara di kawasan ASEAN menghendaki adanya liberalisasi perdagangan barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil secara bebas dan arus modal yang lebih bebas diantara negara kawasan ASEAN, hal ini nantinya akan mengintegrasikan negaranegara di kawasan ASEAN menjadi suatu pasar tunggal yang bebas. Perwujudan integrasi ekonomi merupakan langkah penting bagi pencapaian AEC yang memiliki daya saing yang tinggi serta dapat turut serta berperan aktif dalam kegiatan ekonomi global. Kebijakan dalam AEC 2015 yang mengintegrasikan negara-negara di kawasan ASEAN ke dalam suatu pasar tunggal tentu tidak akan luput dari permasalahan. Dengan terintegrasinya kawasan ASEAN kedalam satu pasar 56

2 57 tunggal, maka pelaku usaha di negara-negara ASEAN dapat dengan bebas melakukan transaksi-transaksi bisnis di kawasan ASEAN, keadaan ini membuat kawasan ASEAN tumbuh menjadi kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi yang tinggi. 86 Tingkat kompetisi yang tinggi diantara pelaku-pelaku usaha di ASEAN ini berpotensi menimbulkan permasalahan terutama yang berkaitan dengan praktek persaingan usaha tidak sehat salah satunya adalah penyalahgunaan posisi dominan (abuse of dominant position). Dengan terbentuknya kawasan ASEAN sebagai pasar tunggal, pelaku usaha di kawasan ASEAN dapat dengan mudah melakukan transaksi-transaksi bisnis yang bersifat lintas batas negara. Dengan adanya kebijakan AEC ini tentu akan memungkinkan pelaku usaha yang berasal dari suatu negara di ASEAN untuk melakukan penetrasi pasar ke negara ASEAN lainnya dan memegang posisi dominan di pasar tempat ia melakukan penetrasi tersebut. Dengan posisi dominan yang dimilikinya, pelaku usaha tersebut berpotensi untuk melakukan penyalahgunaan yang nantinya akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat di pasar yang ia kuasai tersebut. Sifat transaksi yang melibatkan lintas batas negara serta belum adanya kebijakan terpadu tentang persaingan usaha di antara negara-negara ASEAN terutama yang mengatur mengenai posisi dominan dan penyalahgunaannya tentu berpotensi menimbulkan berbagai persoalan terlebih pada saat kebijakan AEC nanti resmi diberlakukan. 86 Rhido Jusmadi, Konsep Hukum Persaingan Usaha ; Sejarah, Kaidah Perdagangan Bebas dan Pengaturan Merger-Akuisisi, Setara Press, Malang, 2014, h.71.

3 58 Belum adanya keseragaman pengaturan mengenai posisi dominan yang berlaku secara global bagi pelaku usaha di kawasan ASEAN dapat menimbulkan permasalahan terlebih ketika AEC akan resmi diberlakukan pada Permasalahan yang mungkin timbul dari disharmonisasi ini terkait dengan: 1. Definisi pelaku usaha Definisi dari pelaku usaha merupakan salah satu unsur paling penting untuk menentukan keberlakuan kebijakan persaingan usaha khususnya mengenai pengaturan posisi dominan bagi pelaku usaha. Dengan adanya kebijakan AEC yang menghendaki adanya integrasi ekonomi ke dalam satu pasar tentu akan meningkatkan lalu lintas transaksi bisnis di kawasan ASEAN. Pelaku usaha dari negara ASEAN dapat dengan bebas melaksanakan kegiatan bisnisnya di negara ASEAN lainnya tanpa ada lagi batasan antar negara di kawasan ASEAN. Namun seiring dengan akan diberlakukannya kebijakan AEC pada 2015 masih terdapat permasalahan diantara negara-negara ASEAN yaitu masih terdapat ketidakseragaman mengenai definisi pelaku usaha diantara negara-negara ASEAN. Masih banyak negara ASEAN yang mendefinisikan pelaku usahanya secara sempit yaitu hanya mencakup pelaku usaha dalam negeri ataupun pelaku usaha yang beroperasi di negara tersebut, padahal dengan adanya kebijakan AEC ini kegiatan bisnis yang terjadi akan semakin luas dan melibatkan banyak pelaku usaha asing yang berasal dari negara lain di ASEAN. Berikut tabel yang menunjukkan adanya perbedaan definisi pelaku usaha yang terjadi di ASEAN

4 59 Tabel III.1 Definisi pelaku usaha di ASEAN No Negara Definisi Pelaku Usaha 1 Indonesia subjek/badan hukum yang berdiri dan berkedudukan atau melakukan kegiatan di wilayah Indonesia 2 Filipina subjek/badan hukum Filipina 3 Laos perorangan/badan hukum yang bergerak di bidang barang dan jasa 4 Malaysia semua badan yang melakukan kegiatan komersial di bidang barang dan jasa di dalam/luar malaysia yang berpengaruh di pasar Malaysia 5 Singapura semua pelaku usaha domestik maupun asing yang kegiatannya berdampak terhadap pasar Singapura 6 Thailand distributor, produsen, importir ke dalam wilayah Thailand 7 Vietnam pelaku usaha domestik maupun asing yang beroperasi di Vietnam Sumber : diolah dari berbagai sumber. Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa diantara negara-negara ASEAN masih belum terdapat keseragaman mengenai definisi dari pelaku usaha. Masih terdapat beberapa negara yang mendefinisikan pelaku usahanya secara sempit sehingga hanya mencakup pelaku usaha domestik saja hal ini ditemui di Filipina dan Laos. Indonesia mendefinisikan pelaku usaha sebagai subjek atau badan hukum yang berdiri dan berkedudukan atau melakukan kegiatan di wilayah Indonesia. Dilihat dari sisi normatif, pelaku usaha asing yang melakukan kegiatan di wilayah Indonesia termasuk pelaku usaha yang diatur dalam undang-undang yang berlaku. Kondisi yang sama juga ditemui di Thailand dan Vietnam yang juga memberlakukan undang-undangnya bagi pelaku usaha asing yang melakukan kegiatan usahanya di wilayah negaranya. Namun terdapat kelemahan dalam

5 60 definisi pelaku usaha yang terdapat dalam ketiga negara ini yaitu tidak adanya kekuatan keberlakuan yang bersifat ekstra teritorial dalam definisi tersebut. Dengan diberlakukannya kebijakan AEC yang menghendaki ASEAN terintegrasi ke dalam suatu pasar tunggal yang bebas tentu akan membuat pelaku usaha-pelaku usaha di kawasan ASEAN semakin bebas melakukan transaksi bisnis nya dimana saja. Dengan terbentuknya pasar bebas ini tidak selalu penyalahgunaan posisi dominan yang akhirnya berdampak negatif bagi pasar domestik suatu negara, dilakukan oleh pelaku usaha yang menjalankan kegiatan usahanya di wilayah yang terkena dampak penyalahgunaan tersebut. Pelaku usaha asing yang berasal dari negara ASEAN lain bisa saja melakukan bentuk penyalahgunaannya di luar wilayah suatu negara ASEAN lainnya namun tindakan itu memberikan dampak negatif bagi persaingan di negara tersebut. Sebagai contoh adalah ilustrasi kasus sebagai berikut: Dalam pasar penyedian jasa layanan telekomunikasi di ASEAN terdapat lima pelaku usaha yang berasal dari negara-negara di ASEAN yaitu perusahaan A (Singapura), perusahaan B (Singapura), perusahaan C (Indonesia), perusahaan D (Malaysia), perusahaan E (Vietnam) dan perusahaan F (Filipina). Perusahaan A (Singapura) menguasai pangsa pasar sebesar 25%, perusahaan B (Singapura) menguasai pangsa pasar 30%, perusahaan C (Indonesia) 25%, perusahaan D (Malaysia) 10% dan perusahaan E (Vietnam) serta perusahaan F (Filipina) masing-masing menguasai 5% pangsa pasar. Kemudian kedua pelaku usaha yaitu A dan B yang sama-sama berasal dari Singapura melakukan merger di Singapura yang kemudian mengakibatkan kedua perusahaan tersebut menguasai 55% pangsa

6 61 pasar dan memegang posisi dominan di pasar penyedia jasa layanan telekomunikasi di ASEAN, hal ini tentu dapat menimbulkan dampak bagi pasar domestik jasa layanan telekomunikasi di Indonesia. Dengan tidak adanya kekuatan keberlakuan ekstra teritorial dari undang-undang yang berlaku di Indonesia maka akan menyulitkan komisi pengawas persaingan usaha di Indonesia untuk melakukan penindakan dari tindakan merger yang dilakukan oleh pelaku usaha Singapura tersebut. Pendefinisian pelaku usaha yang lebih luas terdapat di Malaysia dan Singapura. Definisi pelaku usaha di negara ini mencakup pelaku usaha dalam negeri maupun asing baik yang berada di dalam maupun luar wilayah negara tersebut dan tindakannya berdampak pada pasar masing-masing negara tersebut. Dengan masih tidak seragamnya pendefinisian mengenai pelaku usaha diantara negara-negara ASEAN tentu akan berpotensi menimbulkan permasalahan terkait dengan penindakan terhadap pelaku usaha yang melakukan penyalahgunaan posisi dominan. Bentuk harmonisasi yang harus dilakukan terkait dengan masalah ini adalah harus segera dilakukan penyeragaman terkait definisi pelaku usaha dan menetapkan definisi yang lebih luas serta mempunyai daya berlaku ekstra teritorial sehingga dapat mencakup seluruh pelaku usaha di kawasan ASEAN khususnya dalam menghadapi kebijakan AEC nanti. 2. Penetapan posisi dominan Unsur yang paling utama dari penyalahgunaan posisi dominan adalah tindakan-tindakan anti persaingan yang dilakukan sebagai bentuk penyalahgunaan

7 62 posisi dominan tersebut dilakukan oleh pelaku usaha yang memegang posisi dominan di suatu pasar bersangkutan. Masih adanya perbedaan kriteria dalam penetapan posisi dominan diantara negara-negara di ASEAN tentu akan menimbulkan permasalahan dalam AEC nanti. Perbedaan kriteria dalam penetapan posisi dominan di kawasan ASEAN dapat dilihat dari: a.) Definisi pasar bersangkutan Seperti yang diuraikan sebelumnya, pasar bersangkutan merupakan salah satu indikator utama untuk mengukur apakah suatu pelaku usaha memegang posisi dominan dalam suatu pasar bersangkutan. Ketepatan dalam mengukur pasar bersangkutan diperlukan untuk mengukur struktur pasar dan batasan dari perilaku anti persaingan yang dilakukan. 87 Dalam UU No.5/1999 pasal 1 angka 10 mendefinisikan pasar bersangkutan sebagai pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau subtitusi dari barang dan/atau jasa tersebut. 88 Berdasarkan definisi pasal diatas terdapat 2 (dua) aspek yang terdapat dalam pasar bersangkutan yaitu pasar produk (product market) dan pasar geografis (relevant geographic market). 87 Andi Fahmi Lubis et al., Op.Cit., h Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Loc.Cit.

8 63 Cakupan pasar produk ini terkait dengan dengan kesamaan, kesejenisan dan/atau tingkat subtitusi suatu produk. Sedangkan cakupan pasar geografis ini terkait dengan jangkauan daerah pemasaran suatu produk. 89 Dalam pasar produk untuk menentukan apakah suatu barang dengan barang lain dapat dinyatakan sama atau menjadi subtitusi terhadap barang tertentu perlu dilihat dari empat aspek yaitu: a. bentuk dan sifat barang tersebut; b. fungsi barang; c. harga barang; dan d. fleksibilitas barang tersebut bagi konsumen (interchangeable). 90 Apabila suatu produk sudah ditetapkan mempunyai barang sejenis atau subtitusi maka pangsa pasar produk tersebut termasuk dalam satu pasar bersangkutan secara objektif. 91 Di Uni Eropa pernah terjadi suatu kasus mengenai penentuan pasar bersangkutan terkait dengan pengukuran definisi pasar produk yaitu United Brands Case. 92 Kasus ini terjadi antara United Brands Company and United Brands Continentaal BV versus Commission of the European Communities.Dalam kasus ini United Brands Company dianggap melanggar ketentuan pasal 106 Treaty on the Functioning of the European Union (untuk selanjutnya disebut TFEU) yang melarang negara anggota menerapkan kebijakan khusus atau ekslusif yang bertentangan dengan yang diatur dalam pasal TFEU. 89 Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2009, Op.Cit., h Andi Fahmi Lubis, et al., Loc.Cit. 91 Ibid. 92 Judgment of the Court of 14 February United Brands Company and United Brands Continentaal BV v Commission of the European Communities. - Chiquita Bananas. - Case 27/76.

9 64 Dalam kasus ini United Brands perusahaan yang memproduksi Chiquita Bananas dianggap telah melakukan tindakan penyalahgunaan posisi dominan dalam bentuk unfair condition yang diwujudkan dengan melarang distributor di Belgo-Luxembourg Economic Union, Denmark, Jerman, Irlandia dan Belanda untuk menjual kembali pisang dari United Brands apabila masih dalam keadaan mentah. Selain itu United Brands juga dianggap menetapkan unfair condition dan discriminatory prices terhadap distributor yang tidak termasuk kedalam the spicio group. United Brands juga telah melakukan refusal to supply kepada TH.Olesen A/S, Valby, Copenhagen, Denmark. Dalam rangka membuktikan adanya penyalahgunaan tersebut maka diperlukan analisis terlebih dahulu mengenai penguasaan United Brands atas suatu produk tertentu dalam hal ini pisang.analisa ini dimulai dengan pengukuran terhadap pasar bersangkutan yang terdiri dari dua aspek yaitu pasar produk dan pasar geografis. Terdapat hal yang menarik dalam kasus ini yaitu terkait dengan penilaian terhadap pasar bersangkutan dilihat dari aspek pasar produk. Dalam kasus ini United Brands menolak bahwa ia memegang posisi dominan di pasar dan mendalilkan bahwa pisang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari buah lainnya seperti apel, orange, anggur dan lain lain. Pisang termasuk produk sejenis dengan buah lainnya dikarenakan pisang dan buah segar lain mempunyai sifat interchangeable. Namun Comission of the European Communities memberikan penilaian berbeda dan membedakan produk pisang dengan produk buah lainnya.

10 65 Pembedaan ini didasarkan pada elatisitas silang pada permintaan. Statistik menunjukkan bahwa pembelian pisang oleh konsumen berada di tingkat paling rendah diantara bulan Juni dan Desember dimana saat itu terdapat banyak pasokan dari buah segar domestik di dalam pasar. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh the Food and Agriculture Organization (FAO) menunjukkan harga produk pisang cenderung lemah selama musim panas dan harga dari produk buah lain seperti apel memiliki dampak statistik yang cukup besar terhadap tingkat konsumsi pisang di negara Jerman. Pada musim puncak dimana terdapat pasokan yang melimpah dari produk buah segar lain memberikan pengaruh tidak hanya terhadap harga namun juga terhadap volume penjualan pisang hal ini juga berdampak terhadap tingkat impor produk ini. Komisi berpendapat bahwa terdapat perbedaan tingkat permintaan antara pisang dengan produk buah segar lainnya, selain itu terdapat kualitas khusus dalam pisang yang mempengaruhi tingkat preferensi dari konsumen yang menyebabkan mereka tidak serta merta dapat mengganti pisang dengan buah lain. Berdasarkan analisa tersebut komisi memutuskan bahwa pisang dan buah segar lain bukanlah produk yang sejenis. Sempitnya pembatasan terhadap pasar produk yang dilakukan komisi ini membawa dampak terhadap United Brands, dominasi United Brands atas produk pisang ini terlihat jelas sehingga United Brands dianggap memiliki posisi dominan terhadap produk pisang. Dalam pasar geografis pengukuran terhadap pasar bersangkutan ditentukan berdasarkan luas wilayah pemasaran produk oleh pelaku usaha. Penetapan pasar bersangkutan berdasarkan aspek geografis ditentukan oleh ketersediaan produk.

11 66 Dalam pasar geografis faktor-faktor yang digunakan menentukan luas dan cakupan wilayah dari suatu produk adalah kebijakan perusahaan, biaya transportasi, lamanya perjalanan, tarif dan peraturan yang membatasi lalu lintas perdagangan antar kota/wilayah. 93 Dalam pasar geografis penetapan pasar bersangkutan ini mengacu pada lokasi pelaku usaha melakukan kegiatan usahanya dan/atau lokasi peredaran produk dan jasa dan/atau dimana beberapa daerah memiliki kondisi persaingan yang relatif seragam dan berbeda dengan kondisi persaingan di daerah lainnya. 94 Berdasarkan analisa terhadap pengaturan persaingan usaha di negara-negara ASEAN masih terdapat ketidakseragaman terkait dengan pendefinisian pasar bersangkutan. Dalam kawasan ASEAN masih terdapat beberapa negara yang tidak mendefinisikan secara spesifik mengenai pasar bersangkutan dalam instrumen hukum persaingan usahanya. Tabel III.2 Definisi pasar bersangkutan di ASEAN No Negara Definisi Pasar Bersangkutan 1 Indonesia terdiri dari pasar produk dan pasar geografis 2 Filipina tidak ditemui definisi pasar bersangkutan 3 Laos tidak ditemui definisi pasar bersangkutan 4 Malaysia tidak didefinisikan secara spesifik 5 Singapura terdiri dari pasar produk dan pasar geografis 6 Thailand tidak ditemui definisi pasar bersangkutan 7 Vietnam terdiri dari pasar produk dan pasar geografis 93 Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2009, Op.Cit., h Ibid, h.6.

12 67 Sumber: diolah dari berbagai sumber. Berdasarkan tabel diatas terlihat masih terdapat perbedaan terkait dengan pengaturan mengenai definisi pasar bersangkutan. Tidak semua negara ASEAN mencantumkan definisi yang spesifik di dalam aturan persaingan usaha negaranya mengenai apa yang dimaksud dengan pasar bersangkutan serta aspek-aspek didalamnya. Berdasarkan analisis terhadap pengaturan persaingan usaha yang dimiliki negara-negara ASEAN hanya Indonesia, Singapura dan Vietnam yang mendefinisikan secara spesifik mengenai pasar bersangkutan. Di ketiga negara ini terdapat dua aspek dalam pasar bersangkutan yaitu pasar produk (product market) dan pasar geografis (geographic relevant market). Sedangkan di Malaysia definisi pasar bersangkutan tidak disebutkan secara spesiifik dalam undang-undang yang berlaku namun terdapat ketentuan yang menyebutkan penilaian yang dilakukan oleh komisi pengawas persaingan di negara ini terhadap pasar mencakup analisa terhadap: struktur pasar, perilaku pelaku usaha di pasar, perilaku distributor dan konsumen terhadap pelaku usaha di pasar dan hal lain yang dianggap relevan. 95 Di ketiga negara lainnya di ASEAN yaitu Filipina, Laos dan Thailand tidak ditemui adanya pengaturan mengenai definisi pasar bersangkutan dalam undang-undang yang berlaku di negara-negara tersebut. Ketidakseragaman mengenai pengaturan definisi pasar bersangkutan yang terjadi di negara-negara ASEAN ini tentu berpotensi menimbulkan permasalahan pada saat AEC resmi diberlakukan. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya pasar 95 The Competition Act 2010, Op.Cit., part 11(2).

13 68 bersangkutan merupakan salah satu indikator utama dalam mengukur apakah suatu pelaku usaha memegang posisi dominan atau tidak. Definisi pasar bersangkutan ini penting untuk mengidentifikasi seberapa besar penguasaan produk tertentu dalam suatu pasar oleh pelaku usaha. Definisi pasar bersangkutan dapat digunakan untuk mengukur luasnya dampak dari tindakan anti persaingan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Melalui pendefinisian pasar bersangkutan ini kondisi faktual di pasar bisa dianalisis melalui perspektif persaingan. 96 Ketepatan dalam mendefinisikan pasar bersangkutan sangat diperlukan untuk menghasilkan pengukuran terhadap dominasi pelaku usaha atas produk tertentu di suatu pasar yang akurat, semakin sempit pembatasan terhadap pasar bersangkutan maka dominasi pelaku usaha atas produk tertentu akan sangat terlihat sedangkan apabila pengukuran terhadap pasar bersangkutan terlalu luas akan menyebabkan dominasi pelaku usaha dalam pasar tersebut tidak akan terlihat. Mengingat hal tersebut maka diperlukan ketepatan dalam mendefinisikan pasar bersangkutan. Masih adanya ketidakseragaman terkait dengan definisi pasar bersangkutan ini tentu akan menimbulkan kesulitan bagi suatu komisi pengawas persaingan usaha di suatu negara untuk melakukan penilaian yang akurat terkait dengan apakah suatu pelaku usaha tersebut memegang posisi dominan atau tidak. Bentuk harmonisasi yang diperlukan terkait dengan perbedaan definisi pasar bersangkutan ini adalah perlu adanya suatu kesepahaman diantara negara-negara anggota ASEAN tentang apa yang dimaksud dengan pasar bersangkutan serta 96 Ibid, h.9

14 69 aspek-aspek yang terkait dengan penilaian pasar bersangkutan agar terdapat suatu definisi yang seragam diantara negara-negara anggota ASEAN mengenai apa yang dimaksud dengan pasar bersangkutan dan aspek-aspek penilaian apa saja yang ada di dalamnya sehingga terdapat suatu batas penilaian yang jelas untuk mengukur kepemilikan posisi dominan suatu pelaku usaha di kawasan ASEAN, yang kemudian akan menghasilkan penilaian yang akurat terkait dengan kepemilikan posisi dominan pelaku usaha di kawasan ASEAN. b.) Jumlah penguasaan pangsa pasar Dalam menentukan dominasi suatu pelaku usaha di suatu pasar, selain menetapkan batas pengukuran yang tepat terhadap pasar bersangkutan suatu produk tertentu, hal lain yang juga harus dilihat adalah presentase penguasaan pangsa pasar oleh pelaku usaha. Penentuan jumlah presentase penguasaan pangsa pasar ini sangat dipengaruhi oleh struktur pasar yang berada di suatu pasar di negara tersebut. Dalam UU No. 5/1999 pasal 1 angka 11 yang dimaksud struktur pasar adalah keadaan pasar yang memberikan petunjuk tentang aspek-aspek yang memiliki pengaruh penting terhadap perilaku pelaku usaha dan kinerja pasar antara lain jumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk dan keluar pasar, keragaman produk, sistem distribusi, dan penguasaan pangsa pasar. Struktur pasar merupakan kondisi lingkungan dimana pelaku usaha melakukan aktivitasnya sebagai produsen.struktur pasar dalam ilmu ekonomi dibagi ke dalam empat bentuk yaitu: 97 a. Pasar persaingan sempurna (perfect competition) 97 Andi Fahmi Lubis, et al., Loc.Cit.

15 70 Pasar persaingan sempurna merupakan suatu pasar dimana jumlah antara penjual dan pembeli relatif seimbang. b. Pasar persaingan monopolistik (monopolistic competition) Hampir sama dengan pasar persaingan sempurna, pasar monopolistik jumlah penjual relatif banyak dan produk yang terdapat dalam pasar ini terdiferensiasi yang berarti produk dalam pasar ini memiliki perbedaan karakteristik dengan produk sejenis lain sehingga menimbulkan preferensi konsumen terhadap produk tertentu. 98 c. Pasar oligopoli (oligopoly) Dalam suatu pasar oligopoli hanya terdapat beberapa penjual yang ada di pasar. Para pelaku usaha dalam pasar oligopoli ini cenderung memilliki ketergantungan satu dengan yang lain, dalam artian dalam struktur pasar ini keputusan strategis pelaku usaha sangat dipengaruhi oleh keputusan strategis pelaku usaha lain. 99 d. Pasar monopoli (monopoly) Pasar monopoli merupakan industri satu perusahaan dimana dalam suatu pasar hanya terdapat satu penjual. Produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha ini juga tidak dapat dibeli di tempat lainnya serta produk tersebut tidak mempunyai subtitusi yang ada hanyalah barang pengganti yang sangat berbeda sifatnya Ibid, h Ibid, h Ibid, h.33.

16 71 Menurut ilmu hukum struktur pasar terbagi kedalam dua bentuk yaitu pasar persaingan sempurna dan pasar persaingan tidak sempurna. Perbedaan struktur pasar tersebut disebabkan adanya perbedaan degree of market power atau kemampuan pelaku usaha dalam mempengaruhi keseimbangan harga pasar. 101 Suatu pasar dapat dikategorikan memiliki struktur persaingan sempurna apabila memiliki karakteristik sebagai berikut 102 : a. Banyaknya penjual dan pembeli Jumlah penjual dan pembeli dalam pasar yang memiliki struktur persaingan sempurna cenderung seimbang atau sama banyaknya antara penjual dan pembeli. Kondisi ini merupakan kondisi yang ideal karena harga yang didapatkan konsumen ditentukan dari kinerja mekanisme pasar. b. Produk yang homogen Produk yang homogen yaitu produk yang mampu memeberikan kepuasan kepada konsumen tanpa mengetahui siapa produsennya, sehingga disini konsumen membeli kegunaan barang dan konsumen menganggap semua pelaku usaha mampu memproduksi barang dan jasa dengan kualitas dan karakter yang sama. c. Bebas masuk dan keluar pasar Dalam struktur pasar persaingan sempurna, faktor mobilitas produksi menjadi tidak terbatas dan tidak memerlukan biaya. Tidak terbatasnya mobilitas suatu produksi ini menyebabkan pelaku usaha mudah untuk masuk keluar pasar. d. Informasi sempurna 101 Ibid. 102 Ibid, h. 30.

17 72 Dalam struktur pasar persaingan sempurna pelaku usaha maupun konsumen memiliki pengetahuan yang sempurna terhadap harga suatu produk dan input yang dijual. Keadaan ini akan mencegah adanya pemberlakuan harga jual yang berbeda antara pelaku usaha satu dengan pelaku usaha lainnya. Berbeda halnya dengan struktur pasar persaingan sempurna, karakteristik yang dimiliki oleh struktur pasar persaingan tidak sempurna adalah: a. Tidak seimbangnya jumlah penjual dan pembeli Berbeda dengan struktur pasar persaingan sempurna dalam struktur pasar ini jumlah antara penjual dan pembeli cenderung tidak seimbang. Contohnya dalam pasar monopoli yang hanya terdapat satu penjual dengan banyak pembeli serta pasar oligopoli dimana hanya terdapat beberapa penjual dengan banyak pembeli. Dengan kondisi ini konsumen cenderung dirugikan karena pelaku usaha cenderung memiliki bargaining position yang lebih tinggi dari konsumen. b. Terdapat hambatan teknis Dalam pasar dengan struktur persaingan tidak sempurna cenderung terdapat hambatan teknis bagi pelaku usaha yang menyebabkan pelaku usaha tersebut sulit bersaing dengan pelaku usaha yang telah ada di pasar. 103 Keadaan ini sering ditemui dalam pasar dengan struktur monopoli. c. Produknya terdiferensiasi Tidak seperti dalam pasar persaingan sempurna yang produknya bersifat homogen. Dalam pasar ini produk yang ada di pasar cenderung terdiferensiasi, antara satu produk dengan produk lain memiliki karakteristik yang berbeda 103 Ibid, h.32.

18 73 sehingga menyebabkan konsumen mempunyai kecenderungan terhadap produk tertentu dibanding produk lainnya. Hal ini biasa ditemui dalam pasar persaingan monopolistik. d. Dapat menguasai penentuan harga Dalam pasar persaingan tidak sempurna jumlah penjual dan pembeli relatif tidak seimbang. Dalam struktur pasar ini biasanya jumlah penjual cenderung lebih sedikit daripada jumlah pembeli contohnya dalam pasar monopoli dan oligopoli. Dengan keadaan tersebut pelaku usaha tentu mempunyai bargaining position yang lebih tinggi dari konsumen sehingga pelaku usaha mempunyai kemampuan untuk menentukan harga suatu produk tersebut bagi konsumen. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, struktur pasar ini merupakan faktor yang mempengaruhi penetapan jumlah presentase penguasaan pangsa pasar yang diperlukan bagi pelaku usaha untuk dapat dikatakan memiliki posisi dominan terutama terkait dengan banyaknya jumlah pelaku usaha yang ada di dalam suatu pasar tersebut. Dalam struktur pasar yang terdapat banyak pelaku usaha di dalamnya seperti pasar persaingan sempurna maupun pasar persaingan monopolistik tentu penguasaan pangsa pasar yang dibutuhkan untuk menduduki posisi dominan tidaklah terlalu besar, sedangkan dalam struktur pasar yang jumlah pelaku usahanya terbatas seperti pasar oligopoli dan monopoli penguasaan pangsa pasar yang dibutuhkan untuk menduduki posisi dominan tentu akan lebih besar. Perbedaan struktur pasar terutama terkait dengan jumlah pelaku usaha yang terdapat dalam suatu pasar inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan terkait

19 74 dengan presentase penguasaan pasar oleh pelaku usaha untuk dapat dikatakan memiliki posisi dominan. Dalam negara-negara di kawasan ASEAN masih terdapat adanya perbedaan terkait dengan jumlah presentase pangsa pasar yang diperlukan bagi pelaku usaha untuk dapat dikatakan memiliki posisi dominan. Perbedaan presentase pangsa pasar diantara negara di kawasan ASEAN ini dapat disebabkan oleh adanya perbedaan struktur pasar yang terdapat di negaranegara ASEAN. Tabel III.3 Presentase penguasaan pangsa pasar di ASEAN No Negara presentase penguasaan pasar satu pelaku usaha dua/lebih pelaku usaha 1 Indonesia 50% 75% 2 Filipina Laos Malaysia Singapura 60% 60% 6 Thailand > 50% > 75% 7 Vietnam 30% 50%, 65%, 75% Sumber: diolah dari berbagai sumber. Dalam tabel diatas terdapat perbedaan mengenai presentase penguasaan pasar sehingga pelaku usaha dapat dikatakan memiliki posisi dominan di suatu pasar. Di Indonesia berdasarkan UU No.5/1999 pelaku usaha dapat dikatakan memiliki posisi dominan apabila menguasai 50% atau lebih untuk pelaku usaha perseorangan dan 75% atau lebih untuk dua pelaku usaha atau lebih. Di dalam

20 75 pengaturan persaingan usaha di negara Filipina tidak ditemui pengaturan terkait besaran penguasaan pangsa pasar bagi pelaku usaha dominan sedangkan untuk Malaysia dan Laos dalam undang-undang yang berlaku di negaranya pelaku usaha dikatakan memiliki posisi dominan apabila menguasai pangsa pasar melebihi nilai yang ditetapkan komisi pengawas persaingan masing-masing negara. Tidak ditemui besaran pasti terkait presentase pangsa pasar yang diperlukan bagi pelaku usaha untuk memegang posisi dominan di negara-negara tersebut.singapura menetapkan pelaku usaha dapat dikatakan memiliki posisi dominan apabila menguasai 60% pangsa pasar hal ini berlaku bagi pelaku usaha perseorangan atau lebih. Di Thailand seorang pelaku usaha dapat dikatakan memegang posisi dominan apabila menguasai lebih dari 50% pangsa pasar dan lebih dari 75% pangsa pasar bagi dua/lebih pelaku usaha. Berbeda dengan negara lainnya Vietnam menetapkan penguasaan pangsa pasar sebesar 30% atau lebih untuk seorang pelaku usaha dan membagi kelompok usaha menjadi tiga bagian yaitu untuk dua pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar, tiga dan empat pelaku usaha berturut turut 65% atau lebih dan 75% atau lebih pangsa pasar. Perbedaan terkait presentase pangsa pasar ini tentu akan berpotensi menimbulkan permasalahan terutama dalam pelaksanaan AEC pada Hal ini disebabkan karena penguasaan pangsa pasar merupakan salah satu indikator penting dalam mengukur kepemilikan posisi dominan suatu pelaku usaha. Bentuk harmonisasi yang perlu dilakukan terkait dengan perbedaan presentase penguasaan pangsa pasar ini adalah perlu adanya kesepahaman diantara negara-negara anggota ASEAN mengenai kriteria yang digunakan dalam

21 76 menetapkan nilai presentase penguasaan pangsa pasar bagi pelaku usaha untuk dapat dikatakan memiliki posisi dominan di suatu pasar. 3. Bentuk penyalahgunaan Dalam penyalahgunaan posisi dominan terdapat dua bentuk penyalahgunaan yang ada yaitu: penyalahgunaan yang bersifat eksploitatif (exploitative abuse) dan penyalahgunaan yang bersifat penyingkiran (exclutionary abuse). Penyalahgunaan yang bersifat eksploitatif disini merupakan bentuk upaya maksimalisasi keuntungan dengan cara mereduksi iuaran dan menaikkan harga diatas level kompetitif sehingga terjadi suatu eksploitasi dari pelaku usaha terhadap konsumen. 104 Penyalahgunaan jenis ini dapat berupa excessive price yang merupakan penerapan harga yang bersifat monopolistik, unfair condition yaitu penerapan syarat-syarat yang tidak adil bagi konsumen atau pelaku usaha pesaing dan the quite life yakni penolakan penggunaan teknologi tertentu dengan alasan-alasan yang tidak dapat diterima. 105 Penyalahgunaan lainnya adalah penyalahgunaan yang bersifat penyingkiran. Dalam penyalahgunaan ini pelaku usaha pemegang posisi dominan berusaha membatasi akses terhadap pasar baik dari pelaku usaha pesaing maupun pelaku usaha potensial. Tujuan dari penyalahgunaan ini adalah menyingkirkan pelaku usaha pesaing yang telah ada di pasar dan mencegah masuknya pelaku usaha potensial ke dalam suatu pasar yang dikuasainya. Penyalahgunaan ini dapat berupa: 106 a. Hambatan masuk ke pasar (barrier to entry) bagi pelaku usaha potensial, 104 Vegitya Ramadhani Putri, Loc.Cit. 105 Ibid. 106 Ibid, Loc.Cit.

22 77 b. Export bans yang merupakan pelarangan ekspor, c. Pricing strategies yang meliputi discount and rabates dan predatory pricing, d. Tying and leverage, e. Merger f. Refusal to supply yang meliputi refusal to deal dan refusal to allow consumers access to essential facility Diantara negara-negara anggota ASEAN masih terdapat perbedaan mengenai bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang di dalam legislasi mereka masing-masing. Hal ini dapat dilihat berdasarkan tabel di bawah ini Tabel III.4 Bentuk penyalahgunaan posisi dominan di ASEAN No Bentuk Penyalahgunaan Negara Indonesia Filipina Laos Malaysia Singapura Thailand Vietnam 1 excessive price 2 unfair condition 3 the quite life 4 barrier to entry 5 export bans pricing 6 strategies tying and 7 leverage 8 merger 9 refusal to supply Sumber: diolah dari berbagai sumber. Keterangan: untuk Filipina dan Laos tidak terdapat pengaturan penyalahgunaan posisi dominan. Keterangan : = tidak diatur = diatur Berdasarkan tabel diatas terlihat masih terdapat ketidakseragaman pengaturan mengenai bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang. Di

23 78 kawasan ASEAN hampir semua menetapkan penerapan unfair condition terhadap konsumen atau pelaku usaha pesaing merupakan bentuk dari penyalahgunaan posisi dominan. Negara-negara anggota ASEAN kecuali Thailand menetapkan pembatasan penggunaan teknologi (the quite life) sebagai salah satu bentuk penyalahgunaan posisi dominan. Terdapat keseragaman terkait dengan bentuk penyalahgunaan berupa barrier to entry, semua negara ASEAN yang mengatur mengenai penyalahgunaan posisi dominan mengatur bahwa hambatan masuk ke pasar merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang. Di negara ASEAN tidak ada yang mengatur pelarangan ekspor (export bans) sebagai bentuk penyalahgunaan posisi dominan, selain itu untuk bentuk penyalahgunaan berupa pricing strategies hanya Indonesia yang tidak memasukkannya ke dalam bentuk penyalahgunaan posisi dominan. Malaysia menjadi satu-satunya negara di ASEAN yang mengatur secara spesifik mengenai kebijakan tying and leverage sebagai bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang. Merger yang dapat mengakibatkan posisi dominan dilarang hampir di seluruh negara ASEAN hanya Malaysia yang tidak mengatur secara spesifik mengenai merger. Selain di Singapura, tindakan refusal to supply oleh pelaku usaha pemegang posisi dominan dikategorikan oleh negara-negara di ASEAN sebagai bentuk penyalahgunaan yang dilarang. Kesimpulan berdasarkan analisis diatas adalah masih terdapat perbedaan diantara negara-negara di ASEAN mengenai bentuk-bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang. Perbedaan pengaturan ini tentu dapat menjadi celah

24 79 bagi pelaku usaha untuk melakukan penyalahgunaan posisi dominan terutama pada saat AEC diberlakukan karena tidak semua negara ASEAN mengatur bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang sama. Bentuk harmonisasi yang perlu dilakukan oleh negara-negara anggota ASEAN adalah menyeragamkan pengaturan mengenai bentuk-bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilarang bagi pelaku usaha, hal ini untuk menutup celah timbulnya praktek penyalahgunaan posisi dominan oleh pelaku usaha di kawasan ASEAN. 4. Jenis pendekatan yang digunakan dalam penyalahgunaan posisi dominan Dalam hukum persaingan usaha terdapat dua jenis pendekatan yang digunakan dalam menerapkan pasal-pasal yang mengatur tindakan anti persaingan yaitu per se illegal dan rule of reason. Pendekatan per se illegal adalah menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu illegal tanpa memerlukan pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari perjanjian atau kegiatan usaha tersebut, sedangkan pendekatan rule of reason adalah pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat evaluasi terhadap akibat yang ditimbulkan oleh perjanjian atau kegiatan usaha tertentu untuk menentukan apakah perjanjian atau kegiatan usaha tersebut bersifat menghambat atau mendukung persaingan. 107 Terdapat kelebihan dan kelemahan dalam masing-masing pendekatan tersebut. Kelebihan dalam menggunakan metode pendekatan per se illegal adalah 107 Andi Fahmi Lubis, et al., Loc.Cit.

25 80 pada proses penyelidikan yang relatif mudah dan sederhana. Dalam pendekatan ini tidak diperlukan lagi suatu evaluasi terhadap situasi dan karakteristik pasar. 108 Pada pendekatan per se illegal keputusan melawan hukum diberikan tanpa adanya analisa lebih lanjut terkait dengan dampak dari perbuatan tersebut, sehingga terdapat dua hal yang harus diperhatikan dalam penerapan pendekatan ini yaitu adanya dampak kerugian yang signifikan dari perilaku tersebut dan kerugian tersebut harus tergantung pada kegiatan yang dilarang. 109 Kelebihan lain yang terdapat dalam pendekatan ini adalah penerapan per se illegal dianggap lebih memberikan kepastian hukum terutama bagi pelaku usaha. Kelemahan yang terdapat dalam pendekatan ini adalah berkaitan dengan pembuktian adanya suatu perjanjian atau kegiatan usaha tertentu yang dilarang tersebut, hal ini dikarenakan pada umumnya pelaku usaha tidak melakukan perjanjian maupun kegiatan usaha yang dilarang tersebut secara terang-terangan sehingga dalam hal ini perlu kejelian dari otoritas pengawas persaingan usaha untuk membuktikan adanya perjanjian maupun kegiatan usaha tersebut. Berbeda dengan pendekatan per se illegal, dalam pendekatan rule of reason memungkinkan adanya interpretasi terhadap undang-undang sehingga tidak serta merta suatu perjanjian atau kegiatan usaha tertentu yang dilarang dianggap melanggar undang-undang, melainkan dianalisis terlebih dahulu apakah perjanjian atau kegiatan usaha yang dilakukan itu menghambat proses persaingan atau tidak. 108 Andi Fahmi Lubis, et al., Op.Cit., h. 60 dikutip dari Carl Kaysen and Donald F.Turner, Antitrust Policy an Economic and Legal Analysis, (Cambridge: Harvard University Press, 1971) p Ibid, h.61 dikutip dari Carl Kaysen and Donald F. Turner Op.Cit.

26 81 Kelebihan dalam pendekatan rule of reason adalah adanya analisis ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui secara pasti apakah tindakan pelaku usaha tersebut berdampak terhadap persaingan. 110 Pendekatan rule of reason ini juga mengandung kelemahan yaitu dipersyaratkannya pengetahuan tentang teori ekonomi dan data-data ekonomi yang kompleks untuk menganalisa tindakan pelaku usaha tersebut apakah bersifat menghambat persaingan. Kelemahan lainnya adalah proses penyelidikan yang lebih rumit dan waktu yang lebih panjang hal ini dikarenakan perlu suatu analisis ekonomi terlebih dahulu untuk menilai apakah tindakan pelaku usaha tersebut menimbulkan dampak terhadap persaingan. Di kawasan ASEAN masih terdapat perbedaan terkait dengan jenis pendekatan yang digunakan oleh komisi pengawas persaingan usaha di masingmasing negara dalam menerapkan pasal mengenai penyalahgunaan posisi dominan. Tabel III.5 Jenis pendekatan yang digunakan di ASEAN No Negara Jenis Pendekatan yang digunakan 1 Indonesia Per Se Illegal 2 Filipina - 3 Laos - 4 Malaysia Rule of reason 5 Singapura Rule of reason 6 Thailand Rule of reason 7 Vietnam Per Se Illegal Sumber: diolah dari berbagai sumber. 110 Ibid, h.66.

27 82 Keterangan: untuk Filipina dan Laos tidak terdapat pengaturan penyalahgunaan posisi dominan. Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa terdapat ketidakseragaman diantara negara-negara anggota ASEAN terkait dengan jenis pendekatan yang digunakan untuk menerapkan pasal mengenai penyalahgunaan posisi dominan. Di Indonesia secara normatif terlihat dalam pasal yang mengatur mengenai penyalahgunaan posisi dominan menggunakan pendekatan per se illegal namun dalam prakteknya otoritas pengawas persaingan di Indonesia cenderung menggunakan pendekatan rule of reason dalam menerapkan pasal terkait penyalahgunaan posisi dominan. Vietnam yang dengan tegas melarang adanya penyalahgunaan posisi dominan oleh pelaku usaha pemegang posisi dominan sehingga dapat disimpulkan pendekatan yang digunakan oleh negara ini adalah per se illegal, sedangkan di Malaysia, Singapura dan Thailand pendekatan yang digunakan untuk menerapkan pasal penyalahgunaan posisi dominan adalah rule of reason. Ketidakseragaman terkait dengan jenis pendekatan yang digunakan oleh negara-negara anggota ASEAN dalam menerapkan pasal penyalahgunaan posisi dominan tentu berpotensi menimbulkan permasalahan terkait ketidakpastian hukum dalam menerapkan ketentuan mengenai penyalahgunaan posisi dominan terhadap pelaku usaha pemegang posisi dominan di kawasan ASEAN. Bentuk harmonisasi yang dapat dilakukan adalah menciptakan kesepahaman terkait jenis pendekatan apa yang paling sesuai untuk digunakan dalam menerapkan pasal penyalahgunaan posisi dominan di dalam kawasan ASEAN khususnya saat AEC nanti mulai diberlakukan.

28 83 Tidak adanya harmonisasi terkait pengaturan posisi dominan di negaranegara ASEAN tentu akan menyebabkan lemahnya penindakan oleh suatu komisi pengawas persaingan terhadap tindakan penyalahgunaan posisi dominan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Keadaan tersebut disebabkan belum adanya aturan yang berlaku secara global di kawasan ASEAN terkait dengan posisi dominan dan penyalahgunaannya. Perbedaan aturan diantara negara-negara ASEAN ini tentu akan berpengaruh terhadap kekuatan hukum dari putusan yang dikeluarkan oleh komisi pengawas persaingan di suatu negara, contohnya ketika komisi pengawas persaingan usaha Indonesia dalam hal ini KPPU menjatuhkan putusan bersalah bagi pelaku usaha asal Singapura yang terbukti berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia melakukan penyalahgunaan posisi dominan di pasar domestik Indonesia bisa saja karena terdapat perbedaan pengaturan mengenai posisi dominan dan penyalahgunaannya yang berlaku diantara kedua negara ini maka pelaku usaha tersebut dinyatakan bebas oleh komisi pengawas persaingan usaha di Singapura, sehingga dalam hal ini perlu adanya suatu harmonisasi agar putusan yang dijatuhkan dapat oleh komisi pengawas persaingan usaha suatu negara memiliki kekuatan hukum yang mengikat juga di negara lain. 111 Pentingnya harmonisasi pengaturan khususnya terkait dengan kepemilikan posisi dominan diantara negara-negara ASEAN ini dapat dilihat dalam AEC Blueprint. Dalam AEC Blueprint ini memuat empat kerangka utama untuk mencapai AEC 2015 salah satunya adalah mewujudkan ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing ekonomi yang tinggi dengan elemen peraturan kompetisi, 111 KPPU: Perlu Harmonisasi Hukum Persaingan Usaha di ASEAN, diakses pada tanggal 9 Desember 2014.

29 84 perlindungan konsumen, hak atas kekayaan intelektual, pengembangan infrastruktur, perpajakan dan e-commerse. 3.2 Bentuk Pendekatan dalam Upaya Harmonisasi Pengaturan Posisi Dominan Dalam upaya membentuk suatu harmonisasi pengaturan diantara negaranegara anggota ASEAN dalam rangka menyambut berlakunya kebijakan AEC pada 2015, terdapat beberapa dasar pendekatan yang mengemuka yaitu: Harmonisasi dilakukan dengan membentuk sebuah peraturan internasional yang komperhensif dan dilengkapi dengan adanya lembaga penegakan hukum persaingan usaha yang bersifat supranasional. Supranasional disini mempunyai arti suatu lembaga tersebut mempunyai kewenangan yang melampaui satu negara. Pendekatan ini digunakan oleh Munich Group yang mengusulkan International Antitrust Code yang diterbitkan pada tahun 1993 sebagai draft dari GATT plurilateral agreement; 2. Dalam pendekatan ini harmonisasi tidak dilakukan dengan membentuk suatu ketentuan hukum yang bersifat supranasional melainkan melalui harmonisasi terhadap hukum persaingan usaha nasional. Upaya harmonisasi ini dapat berbentuk uniform laws project yang disusun oleh orang-orang ahli dan berpengalaman yang didalamnya berisi banyak aturan dan opsi. 3. Dalam pendekatan ini langkah awal dari harmonisasi dimulai dengan membentuk dan menyempurnakan perjanjian-perjanjian bilateral yang bertujuan 112 Rhido Jusmadi, Op.Cit., h.108, dikutip dari Eleanor M.Fox, The US Merger that Europe Stopped-A Story of the Politics of Convergence, dalam Eleanor M.Fox & Daniel N.Crane (eds), Antitrust Story, New York: Foundation Press, 2007, p

30 85 untuk memperkuat kerjasama antar otoritas persaingan usaha. Tahap selanjutnya negara-negara akan membentuk suatu plurilateral framework yang berisikan tentang perangkat minimum aturan-aturan persaingan usaha dan instrumen penyelesaian sengketa. Dalam plurilateral framework ini mengatur mengenai hal-hal yang bersifat konstitusional dalam persaingan usaha yang pada umumnya berupa pelarangan terhadap praktek-praktek anti persaingan usaha yang menutup market access seperti penyalahgunaan posisi dominan maupun pelarangan terhadap kartel-kartel transnasional. Langkah harmonisasi berdasarkan pendekatan ini dimulai dari penerapan plurilateral framework oleh kelompok inti dari negara-negara yang kemudian akan diperluas penerapannya oleh kelompok partisipasi hingga menghasilkan suatu peraturan persaingan usaha yang sesuai bagi negara-negara tersebut Salah satu hambatan dari upaya harmonisasi adalah adanya keengganan dari negara-negara untuk membawa permasalahan kebijakan persaingan ke tingkat multinasional. Negara-negara cenderung berasumsi bahwa permasalahan kebijakan persaingan ini dapat diselesaikan di level nasional dengan menggunakan perangkat hukum nasional. Melalui pendekatan ini harmonisasi dilakukan dengan meningkatkan kesadaran negara-negara tersebut mengenai pentingnya pembahasan mengenai permasalahan kebijakan persaingan di tingkat 113 Ibid.

31 86 multinasional sebagai suatu langkah awal untuk mewujudkan harmonisasi pengaturan diantara negara kawasan Langkah-Langkah Untuk Mewujudkan Harmonisasi Pengaturan Posisi Dominan dalam ASEAN Economic Community Pembentukan suatu komunitas masyarakat ekonomi dalam suatu wilayah regional tidak hanya terjadi dalam ASEAN Economic Community, pembentukan komunitas masyarakat ekonomi regional ini pernah dilakukan oleh Uni Eropa (European Union) (untuk selanjutnya disebut sebagai EU). EU merupakan organisasi yang bersifat supra-nasional yang beranggotakan negara-negara di Eropa. Salah satu langkah awal pembentukan EU ini bermula dari kerjasama ekonomi diantara negara-negara di kawasan Eropa yang ditandai dengan pembentukan European Economic Community (EEC). Komunitas Ekonomi Eropa ini dibentuk pada 1 Januari 1958 berdasarkan perjanjian roma (rome treaty). 115 Saat ini EU telah bertransformasi dari sebuah kesatuan ekonomi menjadi suatu kesatuan politik Harmonisasi dalam Uni Eropa Dalam perkembangannya EU telah melakukan berbagai langkah harmonisasi pengaturan diantara negara-negara anggotanya. Terdapat dua konsep harmonisasi yang digunakan oleh EU dalam mengharmonisasikan aturanaturannya yaitu harmonisasi minimum dan harmonisasi maksimum. 114 Ibid. 115 Fany Dastanta, Implikasi Penerimaan Siprus Dalam Keanggotaan Uni Eropa Terhadap Penerimaan Turki Dalam Keanggotaan Uni Eropa, Tesis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta, 2009, h. 34.

32 87 Harmonisasi minimum disini umumnya berupa kesepakatan politik antara negara anggota EU dengan European Commission (untuk selanjutnya disebut EC). Harmonisasi ini diwujudkan dengan pembentukan platform umum dalam EU yang berlaku bagi seluruh negara anggota namun dimungkinkan bagi negara anggota EU untuk mengatur standar yang lebih ketat dalam hukum nasionalnya. 116 Berbeda dengan harmonisasi minimum, dalam harmonisasi maksimum ini negara-negara anggota diharuskan memberlakukan seluruh ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan EU ke dalam hukum nasionalnya. Negara-negara anggota tidak dimungkinkan untuk mengatur standar yang lain lebih ketat kecuali dengan alasan-alasan yang telah diatur dalam peraturan EU tersebut. Salah satu contoh penerapan harmonisasi maksimum ini dapat ditemui dalam The Unfair Commercial Practices Directive 2005/29/EC. Terkait dengan kebijakan persaingan usaha khususnya mengenai pengaturan posisi dominan, upaya harmonisasi pengaturan ini dapat dilihat dalam TFEU. Di dalam TFEU ketentuan mengenai penyalahgunaan posisi dominan diatur dalam article 102. Ketentuan penyalahgunaan posisi dominan tersebut berlaku bagi seluruh negara anggota dalam EU. Hal ini untuk menjamin bahwa persaingan dalam pasar bersama di EU tidak terdistorsi. 117 Bentuk harmonisasi yang digunakan EU dalam penerapan kebijakan persaingan usaha khususnya terkait dengan penyalahgunaan posisi dominan adalah harmonisasi maksimum, hal ini 116 Geraint Howells, Hans-W. Micklitz, and Thomas Wilhelmsson, European Fair Trading Law The Unfair Commercial Practices Directive, Ashgate, 2006, h Lihat Council Regulation (EC) No.1/2003 of 16 December 2002 on the implementation of the rules on competition laid down in Articles 101 and 102 of the Treaty.

33 88 dapat dilihat dari ketentuan pelaksana competition policy yang ada dalam EU yaitu Council Regulation (EC) No.1/2003 of 16 December 2002 on the implementation of the rules on competition laid down in Articles 101 and 102 of the Treaty on the Functioning of the European Union yang tidak melarang negaranegara anggota EU untuk menerapkan legislasi nasional yang berlaku di wilayahnya selama produk legislasi tersebut sesuai dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum dan ketentuan hukum lainnya yang telah diatur dalam TFEU Konsep harmonisasi dalam pelaksanaan ASEAN Economic Community Tidak sepenuhnya konsep harmonisasi yang diterapkan dalam EU dapat diaplikasikan ke dalam AEC. Keadaan ini disebabkan karena terdapat perbedaan antara EU dengan AEC. Perbedaan yang mendasar antar EU dengan AEC adalah adanya penyerahan kedaulatan oleh negara-negara anggota EU kepada EC sehingga EC berwenang untuk mengambil keputusan yang otonom yang mengikat negara-negara anggota EU, sedangkan dalam AEC kedaulatan tertinggi tetap berada di negara-negara anggota ASEAN. Mengingat kondisi tersebut maka bentuk harmonisasi pengaturan posisi dominan yang sesuai untuk dapat diterapkan dalam pelaksanaan AEC adalah harmonisasi minimum. Harmonisasi ini dilakukan dengan pembentukan suatu platform umum yang memuat pengaturan mengenai posisi dominan dan bentuk penyalahgunaannya yang berlaku di seluruh negara kawasan ASEAN.

34 89 Demi mewujudkan adanya suatu harmonisasi terkait dengan pengaturan posisi dominan dalam AEC perlu adanya kesepahaman terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan posisi dominan serta kriteria penyalahgunaannya diantara negara-negara anggota ASEAN. Setelah tercapai suatu kesepahaman mengenai definisi dari posisi dominan dan kriteria penyalahgunaannya maka upaya harmonisasi dilakukan dengan menyeragamkan pengaturan mengenai halhal yang mendasar dalam pegaturan posisi dominan yaitu: 1. Definisi pelaku usaha Pelaku usaha merupakan unsur penting dalam menentukan keberlakuan dari pengaturan posisi dominan. Dengan adanya integrasi ekonomi dalam AEC tentu akan meningkatkan arus transaksi bisnis yang bersifat lintas batas negara serta melibatkan pelaku usaha yang berasal dari berbagai negara di ASEAN. Masih belum seragamnya definisi pelaku usaha di negara-negara ASEAN tentu rawan menjadi celah bagi pelaku usaha asing yang berasal dari negara anggota ASEAN untuk melakukan penyalahgunaan posisi dominan yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi pasar domestik di negara ASEAN lain. Dalam rangka menghindari hal tersebut penyeragaman pengaturan mengenai definisi dari pelaku usaha diantaranegara anggota ASEAN perlu dilakukan. Negara di kawasan ASEAN perlu menetapkan definisi yang seragam terkait dengan apa yang dimaksud dengan pelaku usaha. Selain itu perlu negara di kawasan ASEAN perlu melakukan perluasan terhadap definisi pelaku usaha sehingga nantinya definisi tersebut mempunyai kekuatan berlaku secara ekstra teritorial. Hal tersebut penting mengingat dengan adanya AEC pelaku usaha

BAB II KRITERIA PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY

BAB II KRITERIA PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY BAB II KRITERIA PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN (ABUSE OF DOMINANT POSITION) DALAM ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2.1 Pengertian Posisi Dominan Dalam menjalankan kegiatan usahanya setiap pelaku usaha tentu memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DAN PENGATURAN KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA DI ASEAN Sejarah Masyarakat Ekonomi ASEAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DAN PENGATURAN KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA DI ASEAN Sejarah Masyarakat Ekonomi ASEAN 22 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG MASYARAKAT EKONOMI ASEAN DAN PENGATURAN KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA DI ASEAN 2.1. Masyarakat Ekonomi ASEAN 2.1.1. Sejarah Masyarakat Ekonomi ASEAN Masyarakat Ekonomi ASEAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini

BAB 1 PENDAHULUAN. (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) / ASEAN Economic Community (AEC) merupakan salah satu bentuk realisasi integrasi ekonomi dimana ini merupakan agenda utama negara

Lebih terperinci

POSISI DOMINAN. Ditha Wiradiputra. Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008

POSISI DOMINAN. Ditha Wiradiputra. Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 POSISI DOMINAN Ditha Wiradiputra Bahan Mengajar Mata Kuliah Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas indonesia 2008 Dominant Firm Dominant Firm (DF) adalah suatu perusahaan yg berprilaku seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena

BAB I PENDAHULUAN. Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aspek-aspek dunia usaha selalu menarik untuk diamati dan diteliti karena selalu terdapat kepentingan yang berbeda bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan usaha

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era globalisasi menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik keterbukaan dalam perdagangan luar negeri (trade openness) maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan

I. PENDAHULUAN. kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu indikator utama keberhasilan pembangunan nasional adalah adanya kemajuan pembangunan ekonomi. Kemajuan pembangunan ekonomi dibuktikan dengan adanya pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. lebih maju. Organisasi-organisasi internasional dan perjanjian-perjanjian

BAB I P E N D A H U L U A N. lebih maju. Organisasi-organisasi internasional dan perjanjian-perjanjian 1 BAB I P E N D A H U L U A N A. Latar Belakang Dalam era globalisasi sekarang ini, perekonomian internasional merupakan salah satu pilar utama dalam proses pembangunan dunia yang lebih maju. Organisasi-organisasi

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. seperti ASEAN Industrial Project (AIP) tahun 1976, the ASEAN Industrial

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. seperti ASEAN Industrial Project (AIP) tahun 1976, the ASEAN Industrial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ASEAN telah menghasilkan banyak kesepakatan-kesepakatan baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya. Pada awal berdirinya, kerjasama ASEAN lebih bersifat politik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Tinbergen (1954), integrasi ekonomi merupakan penciptaan struktur perekonomian internasional yang lebih bebas dengan jalan menghapuskan semua hambatanhambatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. semakin penting sejak tahun 1990-an. Hal tersebut ditandai dengan. meningkatnya jumlah kesepakatan integrasi ekonomi, bersamaan dengan

I. PENDAHULUAN. semakin penting sejak tahun 1990-an. Hal tersebut ditandai dengan. meningkatnya jumlah kesepakatan integrasi ekonomi, bersamaan dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Integrasi suatu negara ke dalam kawasan integrasi ekonomi telah menarik perhatian banyak negara, terutama setelah Perang Dunia II dan menjadi semakin penting sejak tahun

Lebih terperinci

MERGER PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA

MERGER PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA MERGER PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA Oleh Ayu Cindy TS. Dwijayanti I Ketut Tjukup Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstrak Tulisan yang berjudul Merger Perseroan

Lebih terperinci

MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI

MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI PENGANTAR MERGER PT A PT B DAPAT A/B PENGANTAR KONSOLIDASI PT A PT B MUNCUL C PENGANTAR AKUISISI PT A PT B ASAL: 1. 20% 2. 50% 3. 30% MENJADI: 1. 20% PT. A 50% 3. 30% Merger

Lebih terperinci

Materi Minggu 12. Kerjasama Ekonomi Internasional

Materi Minggu 12. Kerjasama Ekonomi Internasional E k o n o m i I n t e r n a s i o n a l 101 Materi Minggu 12 Kerjasama Ekonomi Internasional Semua negara di dunia ini tidak dapat berdiri sendiri. Perlu kerjasama dengan negara lain karena adanya saling

Lebih terperinci

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI

PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI PERSAINGAN USAHA dan JASA KONSTRUKSI 2011 1 Cakupan Presentasi 1. Persaingan Usaha yang Sehat Dan KPPU 2. Persaingan Pasar Jasa Konstruksi 3. Masalah Umum Persaingan Usaha Dalam Sektor Jasa Konstruksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mencari keuntungan, Namun untuk mencegah terjadinya persaingan. tidak sehat dalam dunia penerbangan.

BAB I PENDAHULUAN. untuk mencari keuntungan, Namun untuk mencegah terjadinya persaingan. tidak sehat dalam dunia penerbangan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penerbangan merupakan salah satu sektor transportasi yang banyak diminati. Selain dapat menghemat waktu, penerbangan juga memberikan tarif yang cukup murah untuk setiap

Lebih terperinci

Kata kunci: Masyarakat Ekonomi ASEAN, Persaingan Usaha, Kebijakan, Harmonisasi.

Kata kunci: Masyarakat Ekonomi ASEAN, Persaingan Usaha, Kebijakan, Harmonisasi. 1 HARMONISASI KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN Oleh I Gusti Ayu Agung Ratih Maha Iswari Dwija Putri Ida Bagus Wyasa Putra Ida Bagus Erwin Ranawijaya Program Kekhususan Hukum Internasional,

Lebih terperinci

Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007

Pengantar Hukum Persaingan Usaha. Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007 Pengantar Hukum Persaingan Usaha Oleh: Ditha Wiradiputra Pelatihan Hukum Kontrak Konstruksi 11 Juni 2007 Topics to be Discussed Manfaat Persaingan Asas & Tujuan Undang-undang Persaingan Usaha Prinsip-prinsip

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi menjadi sebuah wacana yang menarik untuk didiskusikan dalam berbagai bidang, tak terkecuali dalam bidang ekonomi. Menurut Todaro dan Smith (2006), globalisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada Era Globalisasi saat ini pelaku usaha dituntut untuk lebih kreatif dan

BAB I PENDAHULUAN. Pada Era Globalisasi saat ini pelaku usaha dituntut untuk lebih kreatif dan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar belakang Pada Era Globalisasi saat ini pelaku usaha dituntut untuk lebih kreatif dan pintar dalam membaca peluang pasar dari segi produk dan pemasaran sehingga dapat memenangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan Indonesia terkait dengan prinsip Wawasan Nusantara telah membuahkan hasil dengan diakuinya konsep negara kepulauan atau archipelagic state secara

Lebih terperinci

DR. SUKARMI, KOMISIONER KPPU

DR. SUKARMI, KOMISIONER KPPU DR. SUKARMI, KOMISIONER KPPU sukarmi@kppu.go.id 1 KEBERADAAN HUKUM DAN KEBIJAKAN PERSAINGAN USAHA KPPU dan Performanya dalam menjalankan UU No. 5/1999 2 - LATAR BELAKANG - 1 Masyarakat belum mampu berpartisipasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan

BAB I PENDAHULUAN. yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi ekonomi bagi seluruh bangsa di dunia adalah fakta sejarah yang harus dihadapi dan terlibat didalamnya termasuk negara-negara di kawasan ASEAN. Globalisasi

Lebih terperinci

PENERAPAN PENDEKATAN RULES OF REASON DALAM MENENTUKAN KEGIATAN PREDATORY PRICING YANG DAPAT MENGAKIBATKAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

PENERAPAN PENDEKATAN RULES OF REASON DALAM MENENTUKAN KEGIATAN PREDATORY PRICING YANG DAPAT MENGAKIBATKAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT PENERAPAN PENDEKATAN RULES OF REASON DALAM MENENTUKAN KEGIATAN PREDATORY PRICING YANG DAPAT MENGAKIBATKAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT Oleh Ni Luh Putu Diah Rumika Dewi I Dewa Made Suartha Bagian Hukum

Lebih terperinci

MAKALAH. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum. Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII

MAKALAH. Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum. Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII Anti Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat MAKALAH Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum Dalam Bisnis Dosen Pengampu : Ahmad Munir, SH., MH. Disusun oleh : Kelompok VII Helda Nur Afikasari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang wajib dimiliki dalam mewujudkan persaingan pasar bebas baik dalam kegiatan maupun

Lebih terperinci

KONSEP RULE OF REASON UNTUK MENGETAHUI PRAKTEK MONOPOLI

KONSEP RULE OF REASON UNTUK MENGETAHUI PRAKTEK MONOPOLI KONSEP RULE OF REASON UNTUK MENGETAHUI PRAKTEK MONOPOLI Oleh : Ida Bagus Kade Benol Permadi A.A Ketut Sukranatha Bagian Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract Monopoly is the concentration

Lebih terperinci

PASAR MONOPOLI, OLIGOPOLI, PERSAINGAN SEMPURNA

PASAR MONOPOLI, OLIGOPOLI, PERSAINGAN SEMPURNA PASAR MONOPOLI, OLIGOPOLI, PERSAINGAN SEMPURNA P E R T E M U A N 6 N I N A N U R H A S A N A H, S E, M M MONOPOLI Bahasa Yunani monos polein artinya menjual sendiri Penguasaan atas produksi dan atau pemasaran

Lebih terperinci

DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DRAFT PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DAFTAR ISI DAFTAR ISI 1 BAB I LATAR BELAKANG. 2 BAB II TUJUAN

Lebih terperinci

DUMPING DAN ANTI-DUMPING SEBAGAI BENTUK UNFAIR TRADE PRACTICE DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

DUMPING DAN ANTI-DUMPING SEBAGAI BENTUK UNFAIR TRADE PRACTICE DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL DUMPING DAN ANTI-DUMPING SEBAGAI BENTUK UNFAIR TRADE PRACTICE DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL Oleh: Ni Wayan Ella Apryani Ayu Putu Laksmi Danyathi Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM RENCANA KEGIATAN PROGRAM PEMBELAJARAN (RKPP) Mata Kuliah Kode SKS Semester Nama Dosen Hukum Perlindungan Konsumen & Perlindungan Usaha Deskripsi Mata Kuliah Standar Kompetensi SH HK 1201 2 V (lima) Muhammad

Lebih terperinci

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA PEDOMAN PELAKSANAAN KETENTUAN PASAL 19 HURUF D UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Daftar Isi Daftar Isi..

Lebih terperinci

KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL. Bab 3

KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL. Bab 3 KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL Bab 3 1. Pengertian Kerjasama Ekonomi Internasional Hubungan antara suatu negara dengan negara lainnya dalam bidang ekonomi melalui kesepakatan-kesepakatan tertentu, dengan

Lebih terperinci

HUKUM PERSAINGAN USAHA

HUKUM PERSAINGAN USAHA HUKUM PERSAINGAN USAHA Dosen Pengampu: Prof Dr Jamal Wiwoho, SH, MHum www.jamalwiwoho.com 081 2260 1681 -- Bahan Bacaan Abdulrahman: Ensiklopesi Ekonomi keuangan dan perdagangan, Jakarta, Pradnya Paramita,

Lebih terperinci

Kerja sama ekonomi internasional

Kerja sama ekonomi internasional Meet -12 1 hubungan antara suatu negara dengan negara lainnya dalam bidang ekonomi melalui kesepakatankesepakatan tertentu, dengan memegang prinsip keadilan dan saling menguntungkan. Tujuan umum kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Liberalisasi perdagangan telah menjadi fenomena dunia yang tidak bisa

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Liberalisasi perdagangan telah menjadi fenomena dunia yang tidak bisa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Liberalisasi perdagangan telah menjadi fenomena dunia yang tidak bisa dihindari oleh suatu negara sebagai anggota masyarakat internasional. Salah satu bentuk liberalisasi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut:

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut: 104 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Sesuai Bab 4 Hasil Penelitian dan Pembahasan maka jawaban atas permasalahan yang ada dapat disimpulkan sebagai berikut: 5.1.1 Bahwa perilaku concerted action

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Prinsip perluasan Uni Eropa adalah semua anggota harus memenuhi ketentuan yang dimiliki oleh Uni Eropa saat ini, antara lain menyangkut isu politik (kecuali bagi

Lebih terperinci

BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY

BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY 62 BAB IV KETENTUAN PENGECUALIAN PASAL 50 HURUF a UU NOMOR 5 TAHUN 1999 DALAM KAITANNYA DENGAN MONOPOLI ATAS ESSENTIAL FACILITY A. Ketentuan Pengecualian Pasal 50 huruf a UU Nomor 5 Tahun 1999 1. Latar

Lebih terperinci

Efektivitas ASEAN Economic Community Terhadap Optimalisasi Kualitas Industri Kerajinan Keramik Dinoyo Malang

Efektivitas ASEAN Economic Community Terhadap Optimalisasi Kualitas Industri Kerajinan Keramik Dinoyo Malang PASAR BEBAS Efektivitas ASEAN Economic Community Terhadap Optimalisasi Kualitas Industri Kerajinan Keramik Dinoyo Malang Latar Belakang Integrasi ekonomi merupakan salah satu sarana dalam meningkatkan

Lebih terperinci

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013

LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013 LAPORAN SOSIALISASI HASIL DAN PROSES DIPLOMASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL MEDAN, SEPTEMBER 2013 I. PENDAHULUAN Kegiatan Sosialisasi Hasil dan Proses Diplomasi Perdagangan Internasional telah diselenggarakan

Lebih terperinci

Struktur Pasar Pemasaran (TIN 4206)

Struktur Pasar Pemasaran (TIN 4206) Struktur Pasar Pemasaran (TIN 4206) Efisiensi dalam Persaingan Sempurna Tiga pertanyaan dasar dalam perekonomian kompetitif adalah : 1. Apa yang akan diproduksi? 2. Bagaimana cara memproduksinya? 3. Siapa

Lebih terperinci

Restrukturisasi Perusahaan Akibat Krisis Perekonomian Global

Restrukturisasi Perusahaan Akibat Krisis Perekonomian Global Restrukturisasi Perusahaan Akibat Krisis Perekonomian Global DISUSUN OLEH : Wiji Pramadjati, S.H., M.Hum FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TUJUH BELAS AGUSTUS SEMARANG TAHUN 2011 A. Latar Belakang Proses globalisasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

Pengantar Ekonomi Mikro

Pengantar Ekonomi Mikro Pengantar Ekonomi Mikro Modul ke: 14Fakultas Ekonomi & Bisnis Menjelaskan Struktur Pasar Oligopoli Abdul Gani, SE MM Program Studi Manajemen Pengertian Pasar Oligopoli Pasar Oligopoli adalah : struktur

Lebih terperinci

RESUME SKRIPSI. Dalam pergaulan internasional setiap negara tidak. bisa melepaskan diri dari hubungan atau kerjasama antar

RESUME SKRIPSI. Dalam pergaulan internasional setiap negara tidak. bisa melepaskan diri dari hubungan atau kerjasama antar RESUME SKRIPSI Dalam pergaulan internasional setiap negara tidak bisa melepaskan diri dari hubungan atau kerjasama antar negara yang melintasi batas negara. Sebagian besar negara-negara di dunia saling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka dibutuhkannya peranan negara dalam menyusun laju perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. maka dibutuhkannya peranan negara dalam menyusun laju perekonomian BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Perekonomian Indonesia disusun serta berorientasi pada ekonomi kerakyatan. Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 yang merupakan dasar acuan normatif menyusun kebijakan perekonomian

Lebih terperinci

CAKRAWALA HUKUM Oleh: Redaksi

CAKRAWALA HUKUM Oleh: Redaksi CAKRAWALA HUKUM Oleh: Redaksi THE 2 nd EAST ASIA CONFERENCE ON COMPETITION LAW AND POLICY TANGGAL 3 DAN 4 MEI 2005 DI BOGOR Pada tanggal 3 4 Mei 2005 di Hotel Novotel, Bogor diadakan The 2 nd East Asia

Lebih terperinci

Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor Tahun 2009 Tanggal Juni 2009 BAB I LATAR BELAKANG

Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor Tahun 2009 Tanggal Juni 2009 BAB I LATAR BELAKANG BAB I LATAR BELAKANG Lampiran Nomor 3 Tahun 2009 Tanggl 1 Juli 2009 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah lembaga independen yang memiliki tugas utama melakukan penegakan hukum persaingan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri ritel Indonesia, merupakan industri yang strategis bagi

BAB I PENDAHULUAN. Industri ritel Indonesia, merupakan industri yang strategis bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Industri ritel Indonesia, merupakan industri yang strategis bagi perkembangan ekonomi Indonesia. Dalam sebuah klaimnya, asosiasi perusahaan ritel Indonesia

Lebih terperinci

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha

Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha Terobosan Peningkatan Kapasitas Nasional dalam Industri Hulu Migas ditinjau dari Perspektif Persaingan Usaha Oleh: M. Hakim Nasution HAKIMDANREKAN Konsultan Hukum Asas Persaingan Usaha UU No. 5/1999 Larangan

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PEMBERDAYAAN KONSUMEN MELALUI PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Oleh : Arrista Trimaya *

OPTIMALISASI PEMBERDAYAAN KONSUMEN MELALUI PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Oleh : Arrista Trimaya * OPTIMALISASI PEMBERDAYAAN KONSUMEN MELALUI PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Oleh : Arrista Trimaya * Perlindungan Konsumen yang diatur dalam Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL. Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL. Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan BAB I PENDAHULUAN A. ALASAN PEMILIHAN JUDUL Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan usaha yang mengandung unsur-unsur yang kurang adil terhadap

Lebih terperinci

POLICY BRIEF KAJIAN KESIAPAN SEKTOR PERTANIAN MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN 2015

POLICY BRIEF KAJIAN KESIAPAN SEKTOR PERTANIAN MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN 2015 POLICY BRIEF KAJIAN KESIAPAN SEKTOR PERTANIAN MENGHADAPI PASAR TUNGGAL ASEAN 2015 Dr. Sahat M. Pasaribu Pendahuluan 1. Semua Negara anggota ASEAN semakin menginginkan terwujudnya kelompok masyarakat politik-keamanan,

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Diplomasi energi..., Muhammad Ali Busthomi, FISIP UI, 2010.

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Diplomasi energi..., Muhammad Ali Busthomi, FISIP UI, 2010. 100 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Rusia adalah salah satu negara produksi energi paling utama di dunia, dan negara paling penting bagi tujuan-tujuan pengamanan suplai energi Eropa. Eropa juga merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Membahas isu persaingan usaha rasanya tak lengkap tanpa merger,

BAB I PENDAHULUAN. Membahas isu persaingan usaha rasanya tak lengkap tanpa merger, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membahas isu persaingan usaha rasanya tak lengkap tanpa merger, konsolidasi dan akuisisi. Merger, konsolidasi dan akuisisi kerap berpengaruh terhadap persaingan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Pertumbuhan Ekonomi Negara di Dunia Periode (%) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia pada periode 24 28 mulai menunjukkan perkembangan yang pesat. Kondisi ini sangat memengaruhi perekonomian dunia. Tabel 1 menunjukkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. 2.1 Pengertian Persaingan Usaha dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. 2.1 Pengertian Persaingan Usaha dan Persaingan Usaha Tidak Sehat BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT 2.1 Pengertian Persaingan Usaha dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Setiap Individu harus diberi ruang gerak tertentu dalam pengambilan keputusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Association of South East Asian Nation (selanjutnya disebut ASEAN)

BAB I PENDAHULUAN. Association of South East Asian Nation (selanjutnya disebut ASEAN) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Association of South East Asian Nation (selanjutnya disebut ASEAN) merupakan kekuatan ekonomi ketiga terbesar setelah Jepang dan Tiongkok, di mana terdiri dari 10 Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendorong perkembangan dan kemakmuran dunia industri modern Perdagangan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong perkembangan dan kemakmuran dunia industri modern Perdagangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini, perdagangan internasional merupakan inti dari ekonomi global dan mendorong perkembangan dan kemakmuran dunia industri modern Perdagangan Internasional dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu kriterianya dilihat dari daya saing produk-produk ekspornya. Yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. satu kriterianya dilihat dari daya saing produk-produk ekspornya. Yang menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perdagangan internasional penting dalam ekonomi terutama sebagai sumber devisa negara. Keberhasilan suatu negara dalam perdagangan internasional salah satu

Lebih terperinci

Adapun...

Adapun... PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK

Lebih terperinci

MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL

MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL MULTILATERAL TRADE (WTO), FREE TRADE AREA DI TINGKAT REGIONAL (AFTA) ATAU FREE TRADE AGREEMENT BILATERAL INDONESIA DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL (SERI 1) 24 JULI 2003 PROF. DAVID K. LINNAN UNIVERSITY OF

Lebih terperinci

PENGATURAN PRICE FIXING DALAM KEGIATAN USAHA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

PENGATURAN PRICE FIXING DALAM KEGIATAN USAHA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 PENGATURAN PRICE FIXING DALAM KEGIATAN USAHA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 Oleh: Andiny Manik Sharaswaty I Gusti Agung Ayu Dike Widhiaastuti Bagian Hukum Bisnis, Fakultas Hukum, Universitas

Lebih terperinci

BAB 3 KONDISI PERDAGANGAN LUAR-NEGERI INDONESIA DENGAN KAWASAN ASEAN

BAB 3 KONDISI PERDAGANGAN LUAR-NEGERI INDONESIA DENGAN KAWASAN ASEAN BAB 3 KONDISI PERDAGANGAN LUAR-NEGERI INDONESIA DENGAN KAWASAN ASEAN Disepakatinya suatu kesepakatan liberalisasi perdagangan, sesungguhnya bukan hanya bertujuan untuk mempermudah kegiatan perdagangan

Lebih terperinci

BAB 4 PENUTUP. 4.1 Kesimpulan

BAB 4 PENUTUP. 4.1 Kesimpulan BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Perdagangan internasional diatur dalam sebuah rejim yang bernama WTO. Di dalam institusi ini terdapat berbagai unsur dari suatu rejim, yaitu prinsip, norma, peraturan, maupun

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. ekonomi internasional (ekspor dan impor) yang meliputi perdagangan dan

III. KERANGKA PEMIKIRAN. ekonomi internasional (ekspor dan impor) yang meliputi perdagangan dan III. KERANGKA PEMIKIRAN Ekonomi Internasional pada umumnya diartikan sebagai bagian dari ilmu ekonomi yang mempelajari dan menganalisis transaksi dan permasalahan ekonomi internasional (ekspor dan impor)

Lebih terperinci

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA

SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA RINGKASAN EKSEKUTIF SATU DEKADE KERJASAMA EKONOMI UNI EROPA-INDONESIA EKSPOR-IMPOR PENDORONG INVESTASI UNI EROPA DI INDONESIA DAFTAR ISI KATA PENGANTAR 4 INVESTASI UNI EROPA PENDORONG PERDAGANGAN INDONESIA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi

I. PENDAHULUAN. Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun Globalisasi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu globalisasi sering diperbincangkan sejak awal tahun 1980. Globalisasi selain memberikan dampak positif, juga memberikan dampak yang mengkhawatirkan bagi negara yang

Lebih terperinci

KEWIRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS

KEWIRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS KEWIRAUSAHAAN, ETIKA PROFESI dan HUKUM BISNIS Modul ke: Fakultas Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi Magisster Akuntasi www.mercubuana.ac.id Undang-undang Terkait Dengan Industri Tertentu, Undangundang

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. A. Analisis Kewenangan Pemberian Hukuman Denda Administratif

BAB IV PEMBAHASAN. A. Analisis Kewenangan Pemberian Hukuman Denda Administratif BAB IV PEMBAHASAN A. Analisis Kewenangan Pemberian Hukuman Denda Administratif Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha Kepada Toray Advanced Materials Korea Inc. Dalam suatu tindakan pengambilalihan saham

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1 Undang-Undang No. 3

TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (Pasal 1 Undang-Undang No. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Perusahaan 1. Definisi Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat terusmenerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyusun kebijakan perekonomian nasional, di mana tujuan pembangunan. kesejahteraan dan mekanisme pasar, yaitu: 1

BAB I PENDAHULUAN. menyusun kebijakan perekonomian nasional, di mana tujuan pembangunan. kesejahteraan dan mekanisme pasar, yaitu: 1 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 menjadi dasar normatif dalam menyusun kebijakan perekonomian nasional, di mana tujuan pembangunan ekonomi harus berdasarkan demokrasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dimana manusia cenderung untuk saling mengungguli dalam banyak hal. Dari banyaknya

I. PENDAHULUAN. dimana manusia cenderung untuk saling mengungguli dalam banyak hal. Dari banyaknya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi persaingan merupakan satu karakteristik yang melekat dengan kehidupan manusia, dimana manusia cenderung untuk saling mengungguli dalam banyak hal. Dari banyaknya

Lebih terperinci

BENTUK KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL.

BENTUK KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL. BENTUK KERJASAMA EKONOMI INTERNASIONAL BADAN-BADAN KERJASAMA EKONOMI KERJA SAMA EKONOMI BILATERAL: antara 2 negara KERJA SAMA EKONOMI REGIONAL: antara negara-negara dalam 1 wilayah/kawasan KERJA SAMA EKONOMI

Lebih terperinci

PRAKTEK DUMPING DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA O le h : DR. SUKARMI, S.H.,M.H.

PRAKTEK DUMPING DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA O le h : DR. SUKARMI, S.H.,M.H. A. Latar Belakang PRAKTEK DUMPING DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA O le h : DR. SUKARMI, S.H.,M.H. Proses globalisasi dalam berbagai bidang serta perkembangan teknologi dan informasi menimbulkan

Lebih terperinci

Perbuatan atau Kegiatan yang Dilarang Pasal 17 24

Perbuatan atau Kegiatan yang Dilarang Pasal 17 24 Perbuatan atau Kegiatan yang Dilarang Pasal 17 24 Defenisi Praktek Monopoli: pemusatan kekuatan ekonomi (penguasaan yang nyata atas suatu pasar yang relevan) sehingga dapat menentukan harga barang dan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Tahun Manggis Pepaya Salak Nanas Mangga Jeruk Pisang

1 PENDAHULUAN. Tahun Manggis Pepaya Salak Nanas Mangga Jeruk Pisang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya buah tropis yang melimpah yang bisa diandalkan sebagai kekuatan daya saing nasional secara global dan sangat menjanjikan. Buah tropis adalah

Lebih terperinci

HARMONISASI PENGATURAN PERSYARATAN TENAGA KERJA ASING DALAM SKEMA REGULASI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY

HARMONISASI PENGATURAN PERSYARATAN TENAGA KERJA ASING DALAM SKEMA REGULASI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 1 HARMONISASI PENGATURAN PERSYARATAN TENAGA KERJA ASING DALAM SKEMA REGULASI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY Oleh: Ida Bagus Gede Satya Wibawa Antara Ida Bagus Wyasa Putra Ida Bagus Erwin Ranawijaya Abstrak Harmonisasi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2010 TENTANG PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN BADAN USAHA DAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN YANG DAPAT MENGAKIBATKAN TERJADINYA PRAKTIK MONOPOLI DAN

Lebih terperinci

Persaingan Usaha dan Konsolidasi Industri. Oleh : Agus Priyanto, M.Kom

Persaingan Usaha dan Konsolidasi Industri. Oleh : Agus Priyanto, M.Kom Persaingan Usaha dan Konsolidasi Industri Oleh : Agus Priyanto, M.Kom Perangkat Regulasi Pendukung Konsep dasar persaingan telekomunikasi Perilaku Pasar Indikator perilaku pasar adalah penetapan harga,

Lebih terperinci

EUROPEAN UNION PERHIMPUNAN MASYARAKAT EROPA

EUROPEAN UNION PERHIMPUNAN MASYARAKAT EROPA EUROPEAN UNION PERHIMPUNAN MASYARAKAT EROPA SEJARAH DAN TRAKTAT PENDIRIAN Disepakati & ditandatangani di Maastricht, 7 Februari 1992. Perjanjian mulai berlaku 1 November 1993 Terbentuk atas 3 Traktat:

Lebih terperinci

Perjanjian yang Dilarang

Perjanjian yang Dilarang Perjanjian yang Dilarang Pasal 4 16 Defenisi Praktek Monopoli: pemusatan kekuatan ekonomi (penguasaan yang nyata atas suatu pasar yang relevan) sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa oleh

Lebih terperinci

Isu Prioritas - Standar (SNI)

Isu Prioritas - Standar (SNI) 1 Isu Prioritas - Standar (SNI) Melindungi hak konsumen dan memaksimalkan kepuasan pelanggan adalah bagian dari tujuan utama perusahaanperusahaan di seluruh dunia. Untuk mencapai tujuan tersebut, Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tersebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Teh ditemukan sekitar tahun 2700 SM di Cina. Seiring berjalannya waktu, teh saat ini telah ditanam di berbagai negara, dengan variasi rasa dan aroma yang beragam. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN.. Di dalam kondisi perekonomian saat ini yang bertambah maju, maka akan

BAB I PENDAHULUAN.. Di dalam kondisi perekonomian saat ini yang bertambah maju, maka akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap orang berhak untuk melakukan suatu usaha, hal ini dilakukan untuk memenuhi suatu kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka seharihari. Di dalam kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu cara bagi pelaku usaha untuk dapat mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu cara bagi pelaku usaha untuk dapat mengembangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi saat ini, persaingan usaha dalam pasar perdagangan semakin ketat. Perusahaan dituntut untuk selalu mengembangkan strategi dan menciptakan inovasi-inovasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdagangan internasional memiliki peranan penting sebagai motor penggerak perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu negara terhadap arus

Lebih terperinci

Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5

Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5 Bab 5 Bisnis Global P E R T E M U A N 5 1 PENGERTIAN GLOBALISASI Globalisasi: Perekonomian dunia yang menjadi sistem tunggal yang saling bergantung satu dengan yang lainnya Beberapa kekuatan yang digabungkan

Lebih terperinci

BAB VI. KESIMPULAN. integrasi ekonomi ASEAN menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: perdagangan di kawasan ASEAN dan negara anggotanya.

BAB VI. KESIMPULAN. integrasi ekonomi ASEAN menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: perdagangan di kawasan ASEAN dan negara anggotanya. BAB VI. KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan Hasil penelitian mengenai aliran perdagangan dan investasi pada kawasan integrasi ekonomi ASEAN menghasilkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Integrasi ekonomi memberi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya perang dunia kedua menjadi titik tolak bagi beberapa negara di Eropa

BAB I PENDAHULUAN. Berakhirnya perang dunia kedua menjadi titik tolak bagi beberapa negara di Eropa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Berakhirnya perang dunia kedua menjadi titik tolak bagi beberapa negara di Eropa untuk mendorong terbentuknya integrasi Eropa. Pada saat itu, Eropa mengalami

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. akan mengembangkan pasar dan perdagangan, menyebabkan penurunan harga

BAB. I PENDAHULUAN. akan mengembangkan pasar dan perdagangan, menyebabkan penurunan harga BAB. I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Integrasi ekonomi, Sesuai dengan tujuan pembentukannya, yaitu untuk menurunkan hambatan perdagangan dan berbagai macam hambatan lainnya diantara satu negara dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Kesejahteraan rakyat merupakan salah satu tujuan utama dalam Negara

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Kesejahteraan rakyat merupakan salah satu tujuan utama dalam Negara BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kesejahteraan rakyat merupakan salah satu tujuan utama dalam Negara Indonesia. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengamanatkan

Lebih terperinci

BAB IV PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB IV PENUTUP. A. Kesimpulan BAB IV PENUTUP Pada bagian Bab IV ini, penulis menguraikan dua hal yakni, pertama mengenai kesimpulan dari analisis mengenai bagaimana konsep penyalahgunaan posisi dominan dalam hukum persaingan usaha

Lebih terperinci

ARAH PEMBANGUNAN HUKUM DALAM MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 Oleh: Akhmad Aulawi, S.H., M.H. *

ARAH PEMBANGUNAN HUKUM DALAM MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 Oleh: Akhmad Aulawi, S.H., M.H. * ARAH PEMBANGUNAN HUKUM DALAM MENGHADAPI ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015 Oleh: Akhmad Aulawi, S.H., M.H. * Era perdagangan bebas di negaranegara ASEAN tinggal menghitung waktu. Tidak kurang dari 2 tahun pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 110 BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab terakhir ini bertujuan untuk menyimpulkan pembahasan dan analisa pada bab II, III, dan IV guna menjawab pertanyaan penelitian yaitu keuntungan apa yang ingin diraih

Lebih terperinci

Struktur, Pengukuran dan Perilaku Oligopoli

Struktur, Pengukuran dan Perilaku Oligopoli Struktur, Pengukuran dan Perilaku Oligopoli Sayifullah Istilah Oligopoli Istilah oligopoli telah digunakan oleh Chamberlin (1927) dan Cournot (1938). Adam Smith dan Machlup few-sellers (jumlah penjual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan usaha yang diselenggarakan terus menerus oleh masing-masing orang,

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan usaha yang diselenggarakan terus menerus oleh masing-masing orang, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi dan dinamika dunia usaha di tanah air dalam 12 tahun terakhir mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Kondisi tersebut banyak dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS PERJANJIAN YANG DILAKUKAN OLEH PT. BANK AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG

BAB III ANALISIS PERJANJIAN YANG DILAKUKAN OLEH PT. BANK AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG BAB III ANALISIS PERJANJIAN YANG DILAKUKAN OLEH PT. BANK NEGARA INDONESIA (PERSERO) TBK BERDASARKAN PASAL 15 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA

Lebih terperinci