DISAIN KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN PASCA TAMBANG BATUBARA BERKELANJUTAN (Studi Kasus Kabupaten Kutai Kartanegara) Nurita Sinaga

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DISAIN KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN PASCA TAMBANG BATUBARA BERKELANJUTAN (Studi Kasus Kabupaten Kutai Kartanegara) Nurita Sinaga"

Transkripsi

1 DISAIN KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN PASCA TAMBANG BATUBARA BERKELANJUTAN (Studi Kasus Kabupaten Kutai Kartanegara) Nurita Sinaga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Disain Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Berkelanjutan (Studi Kasus Kabupaten Kutai Kartanegara) adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya. Bogor, Maret 2010 Nurita Sinaga P

3 ABSTRACT Nurita Sinaga Design of Policies and Management Strategy of Sustainable Post Coal Mining Areas (Case study Kutai Kartanegara Regency). Supervised by Santun R.P. Sitorus, Oteng Haridjaja, and Ananto K. Seta. The general objective of this research was to design policies and management strategies of sustainable post coal mining areas in order to improve environmental quality, economy and social aspects of the people in Kutai Kartanegara Regency. This objective can be further detailed into the following operational objectives : (1) To identify the present condition of the ecological and physical factor of the environment, (2) To identify the sustainability status of the post coal mining, (3) To analyze the policies through identification of the needs of stakeholders in developing post coal mining areas in the future by identifying the key factors of sustainability and, (4) To formulate policy direction and implementation strategy of the sustainable post coal mining area management. The general and the operational objectives can only be justified by : (1) Analyzing the ecological and physical factors of the environment: soil, water, and vegetation, (2) Measuring the index of the sustainability level of the latest condition of post coal mining using ecological, economic, and social dimensions, (3) Analyzing the policies related to coal mining in accordance with the needs of stakeholders in order to find the key factors, and (4) Formulating alternative direction of the policies and strategy of the implementation. Policy implementation strategies in the management of post coal mining areas in Kutai Kartanegara Regency should be considered as optimum and in integrated management of post coal mining areas using the following strategic steps, through : immediate improvement of soil fertility by conducting reclamation of the ex-coal mining area that suits reclamation plan and agreed requirements, development of partnership between the government and businessman in the implementation of extension of employment/job opportunities and increasing income of the community so that both regional economic growth and awareness of the people in taking care of their environment through business training programs. Keywords : area post coal mining, design, policy, strategy, sustainability

4 RINGKASAN Nurita Sinaga Disain Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Berkelanjutan (Studi Kasus Kabupaten Kutai Kartanegara). Dibimbing oleh: Santun R.P. Sitorus, Oteng Haridjaja dan Ananto K. Seta. Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan salah satu penghasil batubara terbesar di Indonesia. Deposit batubara di Kalimantan Timur mencapai sekitar 19,5 miliar ton (sekitar 54,4 % dari seluruh total produksi batubara di Indonesia), dengan temuan cadangan yang dapat dieksploitasi mencapai 2,4 miliar ton. Perkembangan produksi batubara di Kalimantan Timur sejak tahun 2003 terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2008 produksi batubara mencapai ton. Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan daerah penghasil batubara di Provinsi Kalimantan Timur. Pada tahun 2006 produksi batubara di kabupaten ini mencapai 13,21 juta metrik ton dan 15,59 juta metrik ton pada tahun Angka ini memberikan kontribusi sekitar 12% dari total produksi batubara di Provinsi Kalimantan Timur. Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki masalah dalam pengelolaan kawasan pasca tambang batubara dalam konteks kualitas lingkungan, ekonomi dan sosial. Kebijakan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara akhirnya dinilai belum terintegrasi dengan pengelolaan lingkungan pasca tambang batubara menyebabkan peningkatan kerusakan lahan setiap tahunnya. Kebijakan dan Strategi pengelolaan kawasan pasca tambang batubara semestinya tetap mempertimbangkan keseimbangan tiga dimensi utama yaitu ekologi, ekonomi dan sosial agar berkelanjutan. Untuk itu diperlukan penelitian kebijakan dan strategi pengelolaan lingkungan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan. Tujuan utama penelitian ini adalah merancang kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan sehingga terwujud peningkatan kualitas lingkungan, peningkatan ekonomi dan keamanan sosial masyarakat di Kabupaten Kutai Kartanegara. Hal ini dapat diuraikan ke dalam tujuan operasional sebagai berikut: (1) Mengetahui kondisi saat ini faktor fisik-lingkungan meliputi tanah, air, dan vegetasi, (2) Mengetahui indeks keberlanjutan pasca tambang batubara berdasarkan dimensi ekologi, ekonomi dan sosial, (3) Menganalisis kebijakan dengan mengidentifikasi kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan kawasan pasca tambang batubara di masa mendatang dengan mengetahui faktor kunci keberlanjutan, dan (4) Menyusun arahan kebijakan dan strategi implementasi dalam pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan. Tujuan utama maupun tujuan operasional hanya dapat diketahui dengan: (1) Menganalisis faktor fisik lingkungan meliputi tanah, air dan vegetasi, (2) Mengukur indeks tingkat keberlanjutan kondisi terkini pasca tambang batubara dengan dimensi ekologi, dimensi ekonomi dan dimensi sosial, (3) Mengetahui faktor kunci pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, dan (4) Merumuskan arahan alternatif kebijakan dan strategi implementasinya.

5 Penelitian dilakukan pada dua lokasi kawasan lahan pasca tambang batubara di Kabupaten Kutai Kartanegara dari bulan April 2008 hingga Desember Lokasi penelitian mencakup dua Kecamatan yaitu Kecamatan Tenggarong Seberang diwakili areal pasca tambang batubara perusahaan PT. Kitadin, dan Kecamatan Sebulu diwakili areal pasca tambang batubara perusahaan PT. Tanito Harum. Pemilihan kedua kecamatan tersebut diambil secara purposive karena terdapat usaha pertambangan pemegang ijin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara ( PKP2B) dan Kuasa Pertambangan (KP) yang paling luas wilayah pasca tambang batubaranya.. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini secara bertahap adalah: (1) Analisis faktor fisik lingkungan (tanah, air dan vegetasi) melalui analisis laboratorium (untuk air dan tanah) dan uji petak pengamatan untuk vegetasi, (2) Mengukur indeks keberlanjutan dengan menggunakan multi dimensional scaling (MDS) sehingga didapat nilai skor dan diketahui faktor pengungkit yang paling sensitif. Metode ini merupakan modifikasi dari Rapfish (multi-disciplinary rapid appraisal technique) untuk mengevaluasi sustainability of fisheries, sehingga diketahui nilai hasil Appraisal Post Coal Mining Sustainable = APCMS, (3) Analisis prospektif melihat kebutuhan stakeholder di masa depan dengan menggabungkan faktor kunci keberlanjutan kawasan pasca tambang batubara dan faktor kunci kebutuhan stakeholder. Hasilnya merupakan faktor kunci utama keberlanjutan kawasan pasca tambang batubara di Kabupaten Kutai Kartanegara. Kemudian disusun skenario pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan sehingga skor keberlanjutan meningkat, (4) Melakukan focus group discussion yang melibatkan stakeholder dalam merumuskan arahan alternatif kebijakan dan strategi implementasinya. Hasil analisis laboratorium tanah dan air menunjukkan bahwa terjadi penurunan kualitas tanah dan air. Hasil pengamatan vegetasi di lapangan juga menunjukkan penurunan pertumbuhan tanaman karena tanaman yang tumbuh secara alami tanpa perlakuan hanya sedikit menutupi tanah, kecuali untuk kawasan pasca tambang batubara yang sengaja ditanami tanaman (reklamasi). Pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara yang dilakukan saat ini kurang berkelanjutan dengan skor hasil Appraisal Post Coal Mining Sustainable (APCMS) 36,01 pada skala dari tiga dimensi berkelanjutan yang dianalisis yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi dan dimensi sosial. Faktor-faktor pengungkit yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara adalah: (1) Dimensi ekologi yaitu erosi dan banjir, (2) Dimensi ekonomi yaitu sarana perekonomian, aktivitas perekonomian pasca tambang batubara, status penguasaan lahan masyarakat, serta sarana dan prasarana transportasi, (3) Dimensi sosial yaitu migrasi penduduk, angka beban tanggungan keluarga, persepsi masyarakat terhadap pertambangan batubara dan konflik sosial. Lima faktor pengungkit yang merupakan faktor kunci keberlanjutan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara yaitu: (1) erosi, (2) banjir, (3) sarana perekonomian, (4) sarana dan prasarana kawasan pasca tambang, dan (5) aktivitas perekonomian pasca tambang batubara.

6 Faktor kunci pemenuhan kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara di masa mendatang adalah: (1) perluasan lapangan kerja, (2) peningkatan pendapatan masyarakat, (3) pemberdayaan masyarakat, (4) sarana dan prasarana kawasan pasca tambang batubara, (5) pelayanan ekonomi dan sosial, (6) keamanan yang kondusif, (7) pertumbuhan ekonomi wilayah/kawasan, (8) kemudahan administrasi, (9) iklim usaha yang sehat, (10) keamanan yang kondusif, (11) pengelolaan sumberdaya alam secara optimal, (12) pembangunan wilayah, dan (13) kesinambungan pengembangan usaha. Faktor kunci utama pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan penggabungan faktor pengungkit berkelanjutan pengelolaan kawasan dan faktor pemenuhan kebutuhan stakeholder yang kemudian dianalisis menggunakan analisis prospektif. Hasil analisis diperoleh faktor kunci utama pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara adalah: (1) erosi, (2) banjir, (3) pengelolaan sumberdaya alam secara optimal, (4) peningkatan pendapatan masyarakat, (5) pemberdayaan masyarakat, dan (6) aktivitas perekonomian pasca tambang batubara. Skenario pengelolaan kawasan pasca tambang batubara yang optimal adalah skenario moderat-optimistik dengan kondisi masa depan yaitu: erosi dan banjir yang menurun namun belum optimal sesuai kebutuhan, pengelolaan sumberdaya alam secara optimal meningkat namun belum optimal, peningkatan pendapatan meningkat namun belum memadai, pemberdayaan masyarakat meningkat, dan aktivitas perekonomian yang meningkat meskipun belum memadai. Skenario ini memberikan hasil status yang cukup berkelanjutan dengan nilai APCMS 62,51 pada skala Kebijakan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara berkelanjutan adalah mewujudkan keadaan menurut skenario moderatoptimistik. Secara operasional kebijakan ini dilakukan dengan pengelolaan perbaikan kesuburan tanah dengan metode vegetasi sehingga pertumbuhan vegetasi optimal sesuai kebutuhan sampai erosi dan banjir dapat diminimalkan. Hal ini memerlukan pengelolaan sumberdaya alam secara optimal, peningkatan pendapatan masyarakat, pemberdayaan masyarakat dan aktivitas perekonomian pasca tambang batubara. Strategi implementasi kebijakan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara adalah pengelolaan kawasan pasca tambang batubara secara optimal dan terpadu dengan langkah-langkah strategis melalui (1) Perbaikan kesuburan tanah dengan meningkatkan kualitas lahan pasca tambang batubara melalui pelaksanaan reklamasi secara tepat sesuai dengan rencana reklamasi dan persyaratan yang telah ditetapkan dengan pengendalian/pengawasan, (2) Pengembangan kemitraan antara pihak pemerintah dengan pengusaha dalam pelaksanaan program perluasan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat sehingga pertumbuhan ekonomi wilayah/kawasan juga meningkat melalui program pelatihan kegiatan usaha sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat. Kata-kata Kunci: Berkelanjutan, disain, kawasan, kebijakan, pasca tambang batubara, strategi.

7 Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor Tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

8 DISAIN KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN PASCA TAMBANG BATUBARA BERKELANJUTAN (Studi Kasus Kabupaten Kutai Kartanegara) Oleh: Nurita Sinaga Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

9 Judul : Disain Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Berkelanjutan (Studi Kasus Kabupaten Kutai Kartanegara) Nama : Nurita Sinaga NRP : P Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Disetujui: Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Santun R.P.Sitorus Ketua Dr. Ir. Oteng Haridjaja.,M.Sc Anggota Dr. Ir. Ananto K Seta, M.Sc Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Ir. Surjono Hadi Sutjahjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 21 Januari 2010 Tanggal Lulus :

10 Ujian Tertutup Dilaksanakan pada tanggal : 17 Desember 2009 Penguji Luar Komisi : 1. Prof. Dr. Ir. Bambang Pramudya N, M. Eng (Guru Besar Departemen TEP, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB) : 2. Dr. Ir. Widiatmaka (Staf Pengajar Departemen ITSL, Fakultas Pertanian, IPB) Ujian Terbuka Dilaksanakan pada tanggal : 21 Januari 2010 Penguji Luar Komisi : 1. Dr. Ir. Bambang Setiawan (Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Mineral Batubara dan Panas Bumi, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral) : 2. Dr. Henri Bastaman, MES (Deputi Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Negara Lingkungan Hidup)

11 KATA PENGANTAR Puji Tuhan, karena kasih-nya penulis berhasil merampungkan disertasi ini, yang merupakan syarat dalam menyelesaikan studi pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Judul penelitian ini ialah Disain Kebijakan dan Strategi dalam Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Berkelanjutan (Studi Kasus Kabupaten Kutai Kartanegara), dilaksanakan dari bulan April 2008 hingga Desember Hasil analisis keberlanjutan MDS dengan menggunakan tiga dimensi (ekologi, ekonomi dan sosial) pada kawasan lahan pasca tambang batu bara kurang berkelanjutan sedangkan analisis kebijakan yang ada belum mengakomodir kepentingan stakeholders. Skenario kebijakan yang digunakan adalah skenario moderat-optimistik dan setelah ditemukan faktor kunci utama, nilai indeks keberlanjutan meningkat dan arahan strategi kebijakan dapat mengakomodir kebutuhan stakeholder. Disertasi ini selesai, tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Santun R. P. Sitorus, Bapak Dr. Ir. Oteng Haridjaja, M.Sc, dan Bapak Dr. Ir. Ananto K. Seta, M.Sc, selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan motivasi. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada suami, Bapak Marudut Marpaung dan juga kedua anak saya Christian Marides Marpaung, Marlin Agustina Marpaung atas dorongan, pengertian, dan doanya. Akhirnya terimakasih kepada kedua orang tua penulis, Bapak Nekan Sinaga (Alm) dan Ibu Rensiana Girsang serta kelima adik kandung (Henny Ernawati Sinaga, Junius Edison Sinaga, Dehoutman Sinaga, Derliana Ratna Yanti Sinaga, terutama sibungsu Rosmaleni Sinaga), juga buat Tina, kasih sayang kalian sangat berarti untuk mengingatkan betapa pentingnya menyelesaikan studi ini. Semoga Disertasi ini bermanfaat. Bogor, Maret 2010 Nurita Sinaga

12 RIWAYAT HIDUP Nurita Sinaga lahir di Medan, Sumatera Utara pada tanggal 11 September 1964, dari pasangan Bapak Nekan Sinaga (Alm) dan Ibu Rensiana Girsang, sebagai anak sulung dari enam bersaudara. Pendidikan formal penulis: tahun 1975 penulis tamat dari SD Ev. MPH. Romalbest di Medan, selanjutnya pada tahun 1978 tamat dari SMP Perguruan Teladan di Medan, dilanjutkan ke SMA Negeri 2 Medan tamat pada tahun Kemudian pada pertengahan tahun 1982, penulis melanjutkan pendidikan tinggi pada Fakultas Peternakan Universitas HKBP Nommensen dan tamat pada tahun Pada tahun 1999 penulis melanjutkan sekolah di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor untuk program Magister Sains (S-2) di Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan, lulus pada tahun Sejak tahun 2003 penulis menempuh pendidikan di sekolah pascasarjana Program Doktor (S-3) Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 1985, penulis sudah menjadi asisten dosen di Fakultas Peternakan Universitas HKBP Nommensen Medan, mengasuh matakuliah Anatomi. Kemudian pada tahun 1989, sebagai tenaga laboran untuk laboratorium Biologi dan Fisiologi di Fakultas Peternakan Universitas HKBP Nommensen Medan. Pada tahun 1991, penulis menjadi tenaga edukatif harian di Fakultas Peternakan Universitas HKBP Nommensen Medan, kemudian pada tahun 1992 diangkat menjadi pegawai tetap Yayasan Universitas HKBP Nommensen sebagai staf pengajar. Pada tahun , penulis sebagai Kepala Bagian Humas, Protokol, dan Publikasi Kampus di Unit Pembantu Rektor IV Universitas HKBP Nommensen Medan. Pada tahun 1998, penulis menjabat sebagai Pembantu Dekan II di Fakultas Peternakan Universitas HKBP Nommensen Medan. Pada tahun 2004 sebagai Sekretaris Departemen Hukum dan HAM di Departemen Pencegahan, Pemberantasan Korupsi dan Kejahatan Ekonomi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat sampai sekarang. Penulis juga sebagai Motivator Nasional PT. Eratel Media Distrindo sejak tahun 2008.

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xiv xvii xix I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran Kebaruan (Novelty) Penelitian... 8 II. TINJAUAN PUSTAKA Konsep Kawasan Pasca Tambang Batubara Berkelanjutan Pasca Tambang Batubara Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Konsep Sistem, Disain Kebijakan dan Strategi Analisis Kebijakan Peraturan Perundang-undangan Terkait Pertambangan Batubara Hasil Penelitian Terdahulu dengan Analisis Indeks Keberlanjutan III. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Jenis Data dan Sumber Data Metode Pengumpulan Data dan Analisis Data Teknik Pengumpulan Data Teknik Penentuan Responden Analisis Data xii

14 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Gambaran Umum Wilayah Dimensi Ekologi Dimensi Ekonomi Dimensi Sosial V. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Indeks Keberlanjutan Kawasan Pasca Tambang Batubara Permasalahan dan Kebutuhan Stakeholder dalam Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Skenario Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Arahan Kebijakan dan Strategi Implementasi Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara Disain Kebijakan Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara VI. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiii

15 DAFTAR TABEL Halaman 1. Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, Teknik Analisis dan Keluaran Metode Pengumpulan dan Analisis Data Kriteria Kesuburan Tanah Berdasarkan Kimia Tanah Dari Sifat Tanah Responden Penelitian Dimensi Ekologi dan Atribut Keberkelanjutan Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara Dimensi Ekonomi dan Atribut Keberkelanjutan Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara Dimensi Sosial dan Atribut Keberkelanjutan Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara Kategori Status Berkelanjutan Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Berdasarkan Nilai Indeks Pengaruh Langsung Antar Faktor dalam Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Berkelanjutan, Kabupaten Kutai Kartanegara Gambaran umum Kecamatan Tenggarong Seberang dan Kecamatan Sebulu Jumlah Curah Hujan Bulanan (mm) Periode Tahun di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi Jalan di Kabupaten Kutai Kartanegara (Km) Tahun Kondisi Jalan di Kabupaten Kutai Kartanegara Berdasarkan Jenis Permukaan Jalan (Km) Tahun Jumlah Sertifikat Hak Atas Tanah Menurut Pendaftaran Tanah Pertama di Kecamatan Status Penguasaan Lahan Masyarakat Sekitar Tambang Batubara Jumlah Koperasi di Kecamatan Sebulu, Kecamatan Tenggarong Seberang dan Kabupaten Kutai Kartanegara Banyaknya Pasar, Warung/Kedai, dan Toko di Kecamatan Sebulu Komposisi Mata Pencaharian Penduduk Sebelum, Saat dan Sesudah Aktivitas Pertambangan Pendapatan Masyarakat Sebelum, Saat dan Sesudah Penambangan Sepuluh penyakit terbesar di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kecamatan Sebulu dan Kecamatan Tenggaraong Seberang, Dependency Ratio Penduduk Kabupaten Kutai Kartanegara xiv

16 22. Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin Migrasi Penduduk di Kecamatan Sebulu Tahun Migrasi Penduduk di Kecamatan Tenggarong Seberang Tahun Jumlah Kejadian Kejahatan yang Terjadi pada Tahun Rona Lingkungan Hidup Awal dan Kondisi Saat Ini Sifat Fisik Tanah (Tekstur) di PT. Kitadin Rona Lingkungan Hidup Awal dan Kondisi Saat Ini Sifat Fisik Tanah (Tekstur) di PT. Tanito Harum Rona Lingkungan Hidup Awal dan Kondisi Saat Ini Reaksi Tanah (ph tanah) di PT. Kitadin Rona Lingkungan Hidup Awal dan Kondisi Saat Ini Reaksi Tanah (ph tanah) di PT.Tanito Harum Rona Lingkungan Hidup Awal dan Kondisi Saat Ini Kapasitas Tukar Kation (KTK) di PT. Kitadin dan PT.Tanito Harum Rona Lingkungan Hidup Awal dan Kondisi Saat Ini Rasio C/N di PT. Kitadin dan PT.Tanito Harum Rona Lingkungan Hidup Awal dan Kondisi Saat Ini Kadar P 2 O 5 dan K 2 O tersedia di PT. Kitadin dan PT. Tanito Harum Rona Lingkungan Hidup Awal dan Kondisi Saat Ini Kejenuhan Basa dan Kejenuhan Al di PT. Kitadin dan PT. Tanito Harum Kelas Sifat Fisik dan Kimia Tanah Rona Lingkungan Hidup Awal dan Kondisi Saat Ini Sifat Fisik dan Kimia Air Kategori Kelas Sifat Fisik dan Kimia Anorganik Air Rona Lingkungan Hidup Awal dan Kondisi Saat Ini Keragaan Vegetasi di PT. Kitadin Rona Lingkungan Hidup Awal dan Kondisi Saat Ini Keragaan Vegetasi di PT.Tanito Harum Kondisi Kebijakan Saat Ini Hasil Analisis Keberlanjutan untuk Beberapa Parameter Statistik Hasil Analisis Monte Carlo untuk Penerapan Nilai Indeks Keberlanjutan Mutidimensi dan Masing-Masing Dimensi pada Selang Kepercayaan 95% Kebutuhan Stakeholder dalam Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Berkelanjutan Gabungan Faktor Kunci Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang xv

17 Batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara Prospektif Faktor Kunci dalam Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara Definisi Masing-masing Skenario Strategi Perubahan Skor Atribut Faktor untuk Skenario Terpilih Perbandingan Status Keberlanjutan Pengeloaan Kawasan Pasca Tambang Batubara xvi

18 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Jalinan Antar Unsur dalam Sistem Proses Transformasi Input menjadi Output Diagram Pengajuan Izin Usaha Pertambangan Alur Penentuan Dana Jaminan Reklamasi Peta Lokasi Penelitian Jarak dan Jalur Petak Pengamatan Diagram Layang-Layang (Kite Diagram) Nilai Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara Tingkat Pengaruh dan Ketergantungan Antar Faktor dalam Sistem Peta Wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara Persentase Tumbuhan pada Areal Reklamasi Berumur Sekitar 5 Tahun Persentase Tumbuhan pada Areal Non Reklamasi Berumur Sekitar 5 Tahun Tumbuhan yang Cepat Tumbuh di Lahan Reklamasi Sekitar 5 Tahun Tumbuhan yang Lambat Tumbuh di Lahan Non Reklamasi Sekitar 5 Tahun Kontribusi Sektor Terhadap PDRB Kabupaten Kutai Kartanegara, Perkembangan PDRB tahun 2000, 2006 dan Nilai Indeks Keberlanjutan Multi Dimensi Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara Sebesar Diagram Layang-Layang (Kite Diagram) Nilai Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekologi Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara Sebesar 39, Nilai Masing-masing Atribut Dimensi Ekologi Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara Sebesar 34, Nilai Masing-masing Atribut Dimensi Ekonomi xvii

19 23. Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Sosial Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara Sebesar 39, Nilai Masing-amsing Atribut Dimensi Sosial Pengaruh dan Ketergantungan Antar Faktor Pengungkit Pengaruh dan Ketergantungan Antar Faktor Kebutuhan Stakeholder dalam Pengelolan Kawasan Pasca Tambang Batubara Berkelanjutan Pengaruh dan Ketergantungan Antar Faktor Gabungan dalam Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Berkelanjutan Nilai Indeks Keberlanjutan Multi Dimensi Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Berkelanjutan, Sebesar 62, Diagram Layang-Layang (Kite Diagram) Grafik Perbandingan Status Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Saat Ini dan Hasil Skenario Disain Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara xviii

20 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Hasil Analisis Tanah Sifat Fisik Tanah (Tekstur) di PT. Kitadin PT.Tanito Harum Reaksi Tanah (ph tanah) di PT. Kitadin PT.Tanito Harum Kapasitas Tukar Kation (KTK) di PT. Kitadin PT.Tanito Harum Rasio C/N di PT. Kitadin PT.Tanito Harum Kadar P 2 O 5 dan K 2 O Tersedia di PT. Kitadin PT.Tanito Harum Kejenuhan Basa dan Kejenuhan Aluminum di PT. Kitadin PT.Tanito Harum Hasil Analisis Kualitas Air Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas Kriteria Mutu Air Berdasarkan Baku Mutu Golongan Kondisi Fisik Lingkungan Vegetasi Pasca Tambang Batubara PT. Kitadin Kondisi Fisik Lingkungan Vegetasi Pasca Tambang Batubara PT. Tanito Harum Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air xix

21 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan salah satu penghasil batubara terbesar di Indonesia. Deposit batubara di Kalimantan Timur mencapai sekitar 19,5 miliar ton (sekitar 54,4 % dari seluruh total produksi batubara di Indonesia), dengan temuan cadangan yang dapat dieksploitasi mencapai 2,4 miliar ton. Perkembangan produksi batubara di Kalimantan Timur sejak tahun 2003 terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2008 produksi batubara mencapai ton. Salah satu daerah penghasil batubara di Provinsi Kalimantan Timur adalah Kabupaten Kutai Kartanegara. Pada tahun 2006 produksi batubara di kabupaten ini mencapai 13,21 juta metrik ton dan 15,59 juta metrik ton pada tahun Angka ini memberikan kontribusi sekitar 12% dari total produksi batubara di Provinsi Kalimantan Timur. Potensi sumberdaya alam yang dimiliki tersebut tentunya membawa dampak bagi perkembangan perekonomian, baik perekonomian regional maupun perekonomian nasional. Berdasarkan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000, sektor pertambangan dan penggalian pada tahun 2006 memberikan share sebesar 80,49% bagi perekonomian di Kabupaten Kutai Kartanegara, sedangkan share pada tahun 2007 mencapai 78,35%. Kondisi perekonomian ini tidak hanya memberikan sumber devisa bagi negara tetapi juga memberikan dampak sosial bagi penyerapan tenaga kerja. Perusahaan pertambangan dan penggalian yang terdapat di Kabupaten Kutai Kartanegara pada tahun 2007 sebanyak 208 perusahaan atau mencapai 29,3% dari total perusahaan yang ada. Dari sejumlah perusahaan pertambangan dan penggalian tersebut pada tahun yang sama mampu menyerap orang tenaga kerja atau 37,68% dari total tenaga kerja (BPS, Kab. Kutai Kartanegara, 2008). Dilihat dari pertumbuhan perekonomian di Kabupaten Kutai Kartanegara maka potensi sumberdaya alam batubara memberikan peluang kepada daerah untuk percepatan pertumbuhan ekonomi, serta hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah. Hal ini didukung adanya kebijakan

22 2 desentralisasi fiskal ke daerah dengan diterbitkannya UU Nomor 22 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta UU Nomor 25 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan antara Keuangan Pusat dan Pemerintah Daerah. Pada tahun 2004 bagian dana perimbangan yang diterima Kabupaten Kutai Kartanegara sebesar 1,93 triliun rupiah atau sekitar 97,54% dari total penerimaan. Peluang ini bagi Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan momentum penting karena dengan sumberdaya alam yang berlimpah, uang yang diperoleh dari sumber perimbangan mampu untuk menyusun APBD dengan leluasa (BPS dan BAPEDA Kutai Kartanegara, 2005). Meskipun demikian, banyak kasus menunjukkan dampak negatif pasca penambangan batubara setelah potensi sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui tersebut habis. Potret nyata yang terjadi diantaranya adalah rusaknya lingkungan alam, rusaknya sarana dan prasarana, serta bertambahnya angka pengangguran sebagai dampak kehilangan pekerjaan, masyarakat menjadi pihak yang banyak mendapatkan dampak kerugian. Menurut Pemerintah daerah, kebijakan investasi nasional di daerah lebih dominan ditentukan pemerintah pusat, sementara investor asing atau investor dalam negeri dipastikan menghindar bila diminta sebagai pihak yang bertanggung jawab dengan alasan bahwa secara hukum investor telah memenuhi kewajiban dengan memberikan gaji bagi karyawan, memberi dana rehabilitasi kerusakan lingkungan dan community development. Kawasan pasca tambang batubara merupakan kawasan yang telah mengalami degradasi lingkungan dari fungsi lingkungan sebelumnya. Salah satu cara yang dilakukan dalam pemulihan menurunnya kemampuan lahan adalah melalui reklamasi. Tujuan akhir dari reklamasi adalah untuk menstabilkan permukaan tanah sambil menyediakan kondisi fisik yang menunjang agar terbentuknya kembali suatu komunitas spesies tumbuhan asli yang beragam dan sama dengan lingkungan hutan primer (Soeprapto dan Chairot, 2003). Secara legal formal, aturan untuk melakukan pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan dan memperhatikan lingkungan telah terdapat dalam beberapa peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Undang-

23 3 Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang pertambangan, pasal 30 menyebutkan bahwa apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lainnya bagi masyarakat sekitarnya. Kepmenpertamben Nomor 1211.K/008/M.PE/1995 tentang pencegahan dan penanggulangan perusakan dan pencemaran lingkungan pada kegiatan usaha pertambangan umum tersarikan pula dalam pasal 29 bahwa walaupun dengan adanya jaminan dana reklamasi, pengusaha juga harus melakukan penataan (reklamasi) lahan bekas tambang. Kegiatan konservasi perlu dilakukan sebagai upaya memacu pelaksanaan reklamasi agar sebanding dengan laju aktifitas penambangan serta untuk mengoptimalkan upaya pemulihan lingkungan bekas tambang. Kegiatan konservasi diantaranya meliputi konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, konservasi tanah, dan konservasi air. Langkah-langkah tersebut sesuai dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Model-model reklamasi pasca tambang batubara yang bisa ditawarkan kepada stakeholder, sampai saat ini diduga belum ada yang berpihak pada pembangunan kawasan pasca tambang batubara yang berkelanjutan dengan menganut prinsip memanfaatkan, melindungi dan melestarikan lingkungan. Sementara itu, pelaksanaan reklamasi yang dilakukan sampai saat ini sifatnya sekedar memenuhi tuntutan prosedur yaitu hanya menjadikan reklamasi sebagai bagian dari persyaratan pelaksanaan pertambangan batubara yang kebanyakan belum memadai. Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui dampak pasca penambangan terhadap ekologi-fisik lingkungan, ekonomi dan sosial masyarakat di sekitar kawasan pasca tambang batubara di Kabupaten Kutai Kartanegara. Perlu diukur tingkat indeks keberlanjutan faktor ekologi, ekonomi dan sosial, menganalisis berbagai kebijakan yang ada, serta kendala implementasinya di lapangan. Selain itu, perlu diteliti juga faktor-faktor lain yang mempengaruhi pengendalian kawasan pasca tambang batubara,

24 4 sehingga dapat disusun rumusan arahan alternatif kebijakan dan strategi implementasinya bagi pengelolaan kawasan pasca tambang yang berkelanjutan Perumusan Masalah Pengelolaan dan pemanfaatan lahan bekas penambangan (pasca tambang batubara) meliputi aspek yang sangat luas dan kompleks. Tidak hanya meliputi aspek lingkungan hidup, namun mencakup pula aspek ekonomi dan sosial. Proses penambangan batubara dengan membongkar bagian atas tanah (over burden) dan memindahkan batuan. Pada penambangan secara terbuka, bahan non tambang atau sisa hasil penambangan berupa batu liat, batu pasir, dan bahan tanah lapisan atas ditimbun di suatu tempat sehingga membentuk bukitbukit yang cukup besar dan tinggi menyerupai stupa, dengan lereng/tebing cukup terjal (antara 15-20%). Timbunan ini kelak digunakan untuk menimbun kembali lubang-lubang galian bekas tambang. Luas areal penimbunan ini bisa mencapai ratusan hektar (Soekardi dan Mulyani, 1997). Tanah bekas tambang berbeda dengan tanah yang terbentuk dan berkembang secara alami. Perbedaan ini ditandai dengan adanya sifat-sifat negatif yang ditimbulkan oleh kerusakan pada saat reklamasi. Karakteristik tanah bekas tambang antara lain: kualitas fisik jelek karena berupa batuan sehingga menjadi media tumbuh yang jelek; sifat kimia yang kurang baik, termasuk di antaranya adalah kesuburan yang sangat rendah, toksisitas, dan kemasaman tinggi, kualitas hidrologi yang jelek dicirikan oleh rendahnya daya pegang air (water holding capacity), percepatan aliran permukaan (run off) dan erosi serta rendahnya kualitas biologi tanah (Haigh, 2000). Kondisi tanah yang merupakan perpaduan sifat-sifat fisik, kimia dan biologi tanah, merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan revegetasi lahan pasca penambangan. Index properties tanah seperti densitas, porositas, permeabilitas, kadar air, kesuburan, dan ukuran butir merupakan parameter yang mempengaruhi perbandingan setiap kandidat material, sehingga diperoleh material baru (artificial substrate) yang mempunyai karakteristik optimal untuk media tumbuh tanaman. Diperlukan waktu yang lama jika tanah pasca tambang batubara diharapkan kembali pada keadaan semula, maka

25 5 intervensi melalui kebijakan reklamasi menjadi alternatif agar degradasi kualitas lahan dapat diminimalkan. Sudut pandang ekonomi masih memerlukan analisis manfaat-biaya untuk membandingkan antara dana yang diperoleh jika dilakukan penambangan dibandingkan keuntungan dengan melestarikan kawasan tambang. Sedangkan dari sudut pandang sosial, masyarakat setempat perlu dipertanyakan manfaat keberadaan pertambangan batubara di lokasi tempat tinggal, dan apakah lebih besar manfaatnya atau dampak negatif yang ditimbulkannya. Hasil evaluasi lingkungan yang dilakukan oleh PT. Tanito Harum pada tahun 2005 menjelaskan bahwa terdapat dampak positif dan dampak negatif dari kegiatan pertambangan. Dampak positif adalah pada aspek kesempatan kerja dan berusaha serta peningkatan pendapatan sepanjang operasi penambangan berlangsung. Dampak positif ini diikuti pula dengan dampak negatif yaitu kegiatan pelepasan tenaga kerja sementara masyarakat yang belum berdaya mengembangkan usaha lainnya. Permasalahan ini menjadi berlangsung dari waktu ke waktu, dengan kondisi yang demikian para pekerja tambang batubara lebih memilih menunggu menjadi buruh kembali pada lokasi penambangan yang lain dan pada saat yang demikian angka beban tanggungan keluarga meningkat. Berdasarkan uraian di atas, dalam penelitian ini dirumuskan empat permasalahan penelitian yaitu: 1. Terjadi kerusakan lingkungan pada kawasan pasca tambang batubara seperti: menurunnya kemampuan lahan, dan air menjadi bersifat asam. 2. Dimensi ekonomi dan sosial juga pada akhirnya berdampak negatif pasca tambang batubara. 3. Implementasi terhadap aturan dan kebijakan pengelolaan kawasan lahan pasca tambang batubara belum optimal dilaksanakan, atau aturan dan kebijakan yang ada sesungguhnya belum mengakomodir kebutuhan stakeholder. 4. Belum tersedianya disain kebijakan dan strategi untuk pengelolaan kawasan pasca tambang batubara yang berkelanjutan berbasis kebutuhan stakeholder dengan mengakomodir dimensi ekologi, ekonomi dan sosial.

26 Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian adalah tersusunnya sebuah disain kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan untuk untuk meningkatkan kualitas lingkungan, ekonomi dan sosial masyarakat di Kabupaten Kutai Kartanegara. Adapun secara terinci tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui kondisi saat ini faktor fisik lingkungan meliputi tanah, air dan vegetasi. 2. Mengetahui indeks keberlanjutan kondisi saat ini pasca tambang batubara, berdasarkan dimensi ekologi (fisik lingkungan), ekonomi dan sosial. 3. Mengetahui faktor kunci pengelolan kawasan pasca tambang batubara yang berkelanjutan. 4. Merumuskan arahan kebijakan dan strategi implementasi dalam pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1. Ilmu pengetahuan dalam bidang aplikasi pendekatan sistem pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan, agar dapat membantu menyelesaikan permasalahan pengelolaan kawasan khususnya di Kabupaten Kutai Kartanegara. 2. Semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) yang terlibat dalam pengelolaan kawasan pasca tambang batubara dapat memberikan alternatif dalam mengambil keputusan dengan memberi hasil yang lebih baik. 3. Pemerintah pusat maupun daerah, sebagai acuan dalam menyusun kebijakan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan dengan strategi baru berbasis kebutuhan semua pihak Kerangka Pemikiran Terdapat dua sektor yang sangat dominan dan memegang peranan penting dalam perekonomian di Kabupaten Kutai Kartanegara yaitu sektor pertambangan atau penggalian (dengan sub sektor pertambangan migas) dan sektor pertanian dengan sub sektor kehutanan. Kawasan pasca tambang batubara yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan evaluasi diharapkan

27 7 mampu mengembalikan fungsi penggunaan kawasan pasca tambang batubara untuk tujuan produktif seperti pertanian, perkebunan, hutan tanaman industri, dan juga untuk tujuan perbaikan lingkungan lainnya. Kondisi saat ini (existing condition), penebangan liar dan pertambangan batubara merupakan kegiatan yang paling dominan memberikan dampak bagi kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan yang bisa dilihat dari indikasi umum yaitu terjadinya pencemaran, perubahan iklim, dan rusaknya sistem tata air. Kerusakan lingkungan ini akan diperparah adanya penambang legal yang tidak melakukan reklamasi. Ada tiga hal utama yang perlu diperhatikan dari suatu kebijakan yaitu: (1) produknya/substansinya, (2) implementasinya, dan (3) pengendaliannya. Dalam tataran operasionalnya, produk peraturan dan kebijakan yang ada mulai dari Undang-Undang, Keputusan Menteri, Peraturan Daerah belum sepenuhnya dilaksanakan. Hal ini dapat disebabkan lemahnya substansi, atau substansi sudah memadai namun lemah dalam implementasi dan pengendaliaannya. Fakta kondisi saat ini dari dimensi ekologi melalui uji laboratorium dan pengamatan vegetasi, dimensi ekonomi dan dimensi sosial melalui wawancara dengan stakeholder dijadikan indikator ada kelemahan dalam kebijakan (substansi, implementasi atau pengendalian) dan merupakan gambaran kondisi saat ini kawasan pasca tambang batubara. Akhirnya ditetapkan skenario keberlanjutan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan serta rumusan alternatif kebijakan bermuatan strategi dan implementasi yang dapat direkomendasikan ke semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) sesuai disain kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan. Kerangka pemikiran tertera pada Gambar 1.

28 8 KAWASAN Kawasan KAWASAN PASCA Pasca PASCA Tambang TAMBANGBATUBARA Batubara BATUBARA Kebijakan dan dan Strategi Strategi Pengelolaan Pengelolaan Kawasan Kawasan di masa di Masa lalu Lalu - Melakukan reklamasi - Tidak melakukan reklamasi Kondisi saat ini ini (Existing Condition) (Existing Condition) Ekologi Ekologi Sosial Sosial Ekonomi Ekonomi Analisis Kebijakan : UU, PP, KEPMEN, PERDA, SK.Bupati (Memadai/Tidak Memadai) - Substansi - Implementasi - Pengendalian Status Keberlanjutan Saat ini Faktor Kunci Pengelolaan Kawasan Skenario dan Arahan Alternatif Kebijakan Disain Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Berkelanjutan Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian 1.6. Kebaruan (Novelty) Penelitian Penelitian ini adalah pengembangan dari beberapa penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara. Kebaruan (novelty) penelitian ini adalah : Membangun disain kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan berbasis kebutuhan stakeholder dan faktor kunci utama (erosi, banjir, pengelolaan sumberdaya alam secara optimal, peningkatan pendapatan masyarakat, pemberdayaan masyarakat dan aktivitas perekonomian pasca tambang batubara) dengan mempertimbangkan nilai hasil Appraisal Post Coal Mining Sustainable (APCMS).

29 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Kawasan Pasca Tambang Batubara Berkelanjutan Pembangunan dikatakan berkelanjutan jika memenuhi tiga dimensi, yaitu: (1) secara ekonomi layak, (2) secara sosial berkeadilan, dan (3) secara ekologi lestari. Pembangunan berkelanjutan dari dimensi ekologi menekankan pentingnya menjamin dan meneruskan kepada generasi mendatang sejumlah kuantitas modal alam (natural capital) yang dapat menyediakan suatu hasil berkelanjutan secara ekonomis dan jasa lingkungan (Munasinghe, 1993). Pengelolaan sumberdaya alam secara global telah disepakati harus mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yaitu ekonomi, ekologi, dan sosial. Pertimbangan ini akan mendukung upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai sebagai prasyarat peningkatan kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Realisasinya harus memperhatikan prinsip penggunaan sumberdaya alam tidak lebih cepat dibandingkan kemampuannnya untuk melakukan pemulihan kembali (rehabilitasi). Operasional pembangunan berkelanjutan global semangatnya sama dengan definisi pengelolaan lingkungan hidup dari Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 yang selaras dengan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup, juga mendefinisikan tiga konsep utama dalam pembangunan berkelanjutan yaitu: (1) kondisi sumberdaya alam, (2) kualitas lingkungan, dan (3) faktor demografi. Undang Undang ini memandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras, dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian

30 10 lingkungan hidup. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, kedalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Aktor yang berperan dalam melakukan kebijakan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara bukan hanya sebagai aktor yang bertanggung jawab atas permasalahan atau bahkan tidak mempunyai peran tanggung jawab, tetapi juga sebagai aktor pelaku kebijakan agar kebijakan tersebut berjalan efektif. Ada 3 (tiga) aspek/faktor dan program-program kebijakan yang akan dijalankan, yaitu (1) Aspek Ekonomi, (2) Aspek Sosial, dan (3) Aspek Ekologi. Manusia sebagai perancang keberlanjutan lingkungan, maka konsep arahan keberlanjutan kawasan pasca tambang batubara menjadi kebutuhan penting bagi masyarakat kabupaten Kutai Kartanegara. Frotjof Capra menyatakan bahwa masyarakat berkelanjutan adalah masyarakat yang dapat memenuhi kebutuhannya tanpa mengurangi kesempatan generasi-generasi masa depan dalam memenuhi kebutuhan mereka (Susilo, 2003). Persoalan lingkungan merupakan persoalan sistemik yang seharusnya perlu dibongkar dan kemudian dirumuskan bentuk penyelamatan lingkungan secara terintegralistik. Upaya perbaikan lingkungan harus diawali dari keinginan bersama yang masuk dalam sistem secara terintegrasi dan secara komprehensif, sebagaimana logika rasional dapat dilihat dalam Gambar 2. Individu Keluarga Kebudayaan Pelayanan Kesehatan & kesejahteraan sosial Sistem sosial Hiburan Perdagang Konstruksi Tingkat Upah Kelompok sosial Pendidikan Tenaga kerja Sistem ekonomi Penanaman Modal Udara Kehutanan Sekolah Pembayaran kesejahteraan Tabungan Industri Sumber : Hadi (1995 : 24) Gambar 2. Jalinan Antar Unsur dalam Sistem Sistem fisik Jalan Air Ruang terbuka

31 11 Mengendalikan jalinan sistem bukanlah pekerjaan yang mudah. Selain membutuhkan kerjasama yang sinergis antara masing-masing subsistem, kepercayaan juga memiliki andil sangat penting. Bisa dibayangkan jika satu sistem telah berjalan sesuai dengan fungsi, status, peran dan nilai-nilai yang mengarahkan, tetapi subsistem yang lain justru menyimpang. Keadaan yang bisa diperburuk dengan sifat sistem tersebut yang tidak pro terhadap lingkungan, dan hal ini sangat terbuka terjadi pada kawasan pasca tambang batubara. Menurut Hermansyah (1999) proses penambangan merupakan salah satu mata rantai dari kegiatan penambangan yang berfungsi untuk menyediakan bahan baku. Agar penyediaan bahan baku tersebut dapat terjamin, maka kegiatan penambangan harus ditangani secara baik dan sistematik. Penambangan batubara atau penambangan bahan galian dari perut bumi seharusnya tidak merusak lingkungan daerah yang ditambang. Pemanfaatan sumberdaya alam harus ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Pembangunan nasional pada dasarnya adalah usaha pengelolaan secara sadar terhadap sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia guna peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan. Arah kebijakan pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup di Kabupaten Kutai Kartanegara, yakni : a. Mengelola sumberdaya alam dan memelihara daya dukung agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi. b. Meningkatkan pemanfaatan potensi sumberdaya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi, dan penghematan penggunaan dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan. c. Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumberdaya alam secara selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga, yang diatur dengan undang-undang. d. Mendayagunakan sumberdaya alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi, dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang yang pengusahaannya diatur oleh undang-undang.

32 12 e. Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan keterbukaan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang dapat balik. Pada saat ini hasil penambangan batubara diarahkan untuk meningkatkan ketersedian sumber energi tinggi, karena batubara dijadikan energi alternatif untuk menggantikan penggunaan energi minyak bumi yang cadangannya mulai berkurang. Sebagai subsistem di dalam pembangunan nasional, maka pengadaan batubara menjadi prioritas utama untuk menjamin tersedianya energi yang cukup dalam memenuhi permintaan energi bagi industri dan masyarakat. Dalam rangka mengantisipasi masalah-masalah lingkungan hidup di Indonesia maka ditempuh langkah-langkah pembinaan kependudukan dan pemukiman inventarisasi dan evaluasi sumberdaya alam, rehabilitasi lahan kritis, perlindungan wilayah pembangunan alam suatu ekosistem, selain itu diharapkan pemerintah dapat membuat kebijakan-kebijakan yang mengatur kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam agar kelestarian manfaatnya dapat terjamin melalui pembuatan peraturan perundang-undangan yang dapat memberikan kekuatan dalam penegakan hukum bagi pihak pemerintah, sehingga dapat menindak para perusak lingkungan sesuai Undang Undang yang berlaku. Kegiatan konservasi alam di Indonesia pertama kali dicanangkan di Denpasar, Bali pada tahun 1982 yang diawali dengan diimplementasikannya strategi konservasi alam pada pengelolaan taman nasional (Alikodra, 1998). Strategi ini telah merubah secara total sistem pengelolaan kawasan konservasi alam Indonesia, yang sebelumnya hanya dilaksanakan atas dasar perlindungan dan pelestarian alam, kemudian disempurnakan dengan program pemanfaatannya secara lestari. IUCN, UNEP dan WWF (1991) menyatakan bahwa dasar utama strategi konservasi alam adalah perlindungan dan pelestarian SDA, dan peningkatan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat, yang semuanya ini mengarah kepada terlaksananya pembangunan terlanjutkan. MacKinnon et al.(1990) menyatakan bahwa konsep pelestarian yang modern adalah pemeliharaan dan pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana. Konsep ini pada hakekatnya adalah gabungan dua prinsip pengelolaan SDA yaitu kebutuhan untuk merencanakan pengelolaan sumberdaya yang didasarkan pada

33 13 inventarisasi yang akurat dan kebutuhan untuk melakukan tindakan perlindungan untuk menjamin agar sumberdaya tidak habis. Kawasan yang dilindungi, apabila dirancang dan dikelola secara tepat, akan memberi keuntungan yang lestari bagi masyarakat. Pesatnya pembangunan dan meningkatnya jumlah penduduk di sebagian besar kawasan tropika di dunia, yang disertai tingginya kecepatan pengurasan sumberdaya alam maka kebutuhan pelaksanaan konservasi dirasakan sangat mendesak. Kegiatan penambangan batubara berpotensi merusak lingkungan seperti penurunan produktifitas tanah dan terjadinya lahan kritis, terjadinya erosi dan sedimentasi, pencemaran air, penurunan muka air tanah, terganggunya flora dan fauna dan perubahan iklim mikro, sehingga diperlukan upaya pengendalian dan pemulihan lingkungan pada areal bekas tambang tersebut. Untuk membangun kriteria yang terukur dari keberhasilan proses rehabilitasi dapat diderivasi dari karakteristik komunitas dan ekosistem (sebagai tujuan rehabilitasi lahan bekas tambang) (Johnson dan Putwain, 1981). Rehabilitasi lahan pasca penambangan batubara merupakan kegiatan yang tidak terpisahkan dari manajemen penambangan secara keseluruhan. Sebagian besar areal penambangan batubara terdapat di dalam kawasan hutan. Keadaan ini mengandung resiko untuk mengarahkan tujuan rehabilitasi lahan untuk menciptakan ekosistem sesuai dengan peruntukan kawasan seperti semula atau mendekati kondisi ekosistem hutan sebelum dilakukan penambangan batubara tersebut. Perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi secara berkelanjutan diperlukan untuk mewujudkan tujuan rehabilitasi lahan pasca penambangan (Kustiawan, 2000) Pasca Tambang Batubara Pasca tambang adalah masa setelah berhentinya kegiatan tambang pada seluruh atau sebagian wilayah usaha pertambangan eksploitasi/operasi produksi, baik karena berakhirnya izin usaha pertambangan dan atau karena dikembalikannya seluruh atau sebagian wilayah usaha pertambangan eksploitasi/operasi produksi (Kepmentamben Nomor 1211/1995). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendefinisikan pasca tambang adalah berakhirnya seluruh rangkaian kegiatan penggalian dan seluruh kegiatan operasional juga perusahaan berhenti (fully closed). Pasca

34 14 tambang batubara yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah suatu areal yang sudah ditambang dimana kontrak perusahaan bisa sudah selesai atau belum selesai aktivitasnya di kawasan tersebut, sehingga diharapkan tanah yang sudah digali berupa kolong-kolong sudah dapat direklamasi meskipun kegiatan pertambangan masih berlangsung. Berakhirnya izin usaha pertambangan dan atau karena dikembalikannya seluruh atau sebagian wilayah usaha pertambangan eksploitasi/operasi produksi menjadi acuan pemahaman pasca tambang batubara. Batubara merupakan salah satu andalan utama sumber energi alternatif masyarakat Indonesia saat ini, selain minyak dan gas bumi yang sebagian besar terdapat di Sumatera dan Kalimantan. Batubara merupakan salah satu sumberdaya mineral yang penting di Indonesia dan termasuk dalam golongan bahan tambang mineral organik yang dieksploitasi untuk kebutuhan sumber energi dalam negeri dan ekspor (Qomariah, 2003). Batubara merupakan batuan hidrokarbon padat yang terbentuk dari berbagai tumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen, serta terkena pengaruh tekanan dan panas yang berlangsung sangat lama. Proses pembentukan (coalification) memerlukan jutaan tahun, mulai dari awal pembentukan yang menghasilkan gambut, lignit, subbituminous, bituminous, dan akhirnya terbentuk antrasit. Batubara memiliki peran yang cukup besar bagi penyediaan sumber energi nasional dan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi penghasilan devisa negara. Industri pertambangan batubara di Indonesia diperkirakan akan terus berkembang. Namun demikian, perkembangannya selalu diiringi dengan masalah lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat. Kegiatan penambangan batubara berpotensi mencemari lingkungan dan sering aspirasi/kepentingan masyarakat sekitar penambangan kurang diperhatikan oleh penambang maupun pemerintah. Sebagai akibatnya masyarakat sekitar penambangan sering merasa dirugikan atas dampaknya terhadap kehidupan mereka (Suyartono, 2001). Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kutai Timur menjadi sorotan karena cadangan potensi batubaranya yang sangat menggiurkan, juga karena maraknya tambang illegal. Produksi batubara Kalimatan Timur tahun 2004 sebesar 69,657 juta ton lebih dan tahun 2005 sebesar 72,989 juta ton lebih. Produksi ini merupakan hasil penambangan batubara dari perusahaan pemegang ijin Perjanjian

35 15 Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) sebanyak 17 perusahaan, dan Kuasa Pertambangan (KP) sebanyak 130 perusahaan. Sejumlah potensi cadangan batubara yang tersedia di Kalimantan Timur, terdapat penambangan liar (illegal mining) di 108 titik, di Samarinda ada 36 titik, di Kabupaten Kutai Kartanegara terdiri dari Kecamatan Samboja 60 titik dan Kecamatan Sanga-sanga 12 titik, juga terdapat stockpile kapasitas 200 ribu ton illegal, serta di Kecamatan Muara Jawa sebanyak ton (Dinas Pertambangan Provinsi Kalimantan Timur, 2005). Kawasan ini merupakan daerah yang sangat strategis untuk tambang illegal karena berdekatan dengan sungai besar dan laut sehingga memudahkan pengangkutan hasil curian kekayaan alam tersebut. Kegiatan usaha di sektor pertambangan merupakan kegiatan usaha padat modal dan padat teknologi yang sarat dengan berbagai resiko, mulai dari pencarian cadangan, eksplorasi, sampai pada kegiatan eksploitasi. Resiko yang dihadapi dalam dunia usaha pertambangan antara lain resiko geologi, resiko teknologi, resiko politik dan resiko kebijakan. Semua kebijakan yang berkaitan dengan kegiatan pertambangan, baik langsung maupun tidak langsung, akan sangat mempengaruhi perkembangan investasi pertambangan di Indonesia. Selain itu, pemerintah sebagai penyelenggara negara yang berhak atas kebijakan pertambangan seperti royalti dan pajak/iuran tambang harus mampu memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi baik nasional maupun daerah. Pengeksploitasian dan pemanfaatan berbagai bahan tambang secara besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan manusia tanpa mekanisme keseimbangan dalam pengeksploitasiannya akan menyebabkan perubahan ekosistem dan gangguan terhadap sumberdaya alam. Kondisi ini akhirnya menimbulkan masalah lingkungan, yaitu menurunnya kualitas lingkungan hidup, produktivitas dan keanekaragaman sumberdaya alam (Djajadiningrat, 2001). Kusnoto dan Kusumodirdjo (1995) menjelaskan bahwa kegiatan pertambangan selain meningkatkan devisa negara, juga berdampak terhadap lingkungan antara lain penurunan produktivitas tanah, terjadinya erosi dan sedimentasi, terganggunya flora dan fauna, terganggunya keamanan dan kesehatan penduduk serta terjadinya perubahan iklim mikro.

36 16 Oleh sebab itu, diperlukan perhatian yang cukup untuk mencegah dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh bahan timbunan bekas tambang. Beberapa cara yang biasa dilakukan, diantaranya adalah penggunaan teknik-teknik khusus seperti penimbunan selektif dan sistem drainase yang baik (Gautama dan Muhidin, 1992). Pengelolaan dan pemanfaatan lahan bekas penambangan, sebenarnya meliputi aspek yang sangat luas dan kompleks, meliputi tidak hanya aspek lingkungan hidup, tetapi juga aspek sosial, ekonomi lokal, tenaga kerja, dan budaya. Tidak sedikit tempat di seluruh dunia terjadi fenomena boom-and-bust, dimana ketika muncul operasi pertambangan di suatu kawasan maka kawasan tersebut mengalami percepatan pertumbuhan ekonomi yang sangat tajam sementara ketika perusahaan tambang pergi maka kawasan tersebut berubah menjadi kota-kota mati (ghost town), sedangkan upaya pengelolaan lingkungan dalam operasi pertambangan seharusnya adalah tercapainya suatu kondisi lingkungan yang aman dan stabil yang berlangsung dalam kurun waktu yang panjang. Keamanan dan kestabilan lingkungan hidup dapat meliputi terjaminnya suatu kondisi lingkungan yang bebas pencemaran yang dapat mendukung keberlanjutan kehidupan dan ekosistem setempat maupun yang tercakup dalam wilayah lain yang secara tidak langsung terkena dampak operasi pertambangan itu, oleh karenanya pengelolaan lingkungan hidup, terutama pada periode pasca operasi pertambangan tidak boleh disimplifikasi hanya sebatas penanaman pohon atau reklamasi saja. Reklamasi lahan bekas tambang batubara menjadi kurang bermanfaat jika sekadar memenuhi ketentuan yang berlaku tanpa kaidah perencanaan dan penataan yang tepat. Reklamasi merupakan bagian dari rehabilitasi yang fungsinya untuk beberapan penggunaan sesuai kondisinya. Dampak penambangan terhadap kerusakan ekologi-fisik lingkungan seperti: tanah, air dan vegetasi adalah merupakan dampak langsung yang akibatnya dapat dilihat dari perubahan-perubahan yang terjadi baik kasat mata maupun dari uji laboratorium. Pengamatan dari udara terlihat seperti danau-danau raksasa yang warna airnya ada yang hijau lumut, ada kebiru-biruan, dan ada juga yang berwarna coklat. Bentuk lubang-lubang bekas tambang batubara bentuknya

37 17 tidak beraturan dan menyebar kemana-mana, vegetasi dan spesies hewan dikawasan merupakan dua faktor lingkungan penting yang terancam keberdaannya (Holec et al. 2006). Sumberdaya alam tanah dan air, mudah mengalami kerusakan atau degradasi karena untuk mendapatkan mendapatkan batubara didalam tanah harus melalui mekanisme pengelupasan tanah. Vegetasi penutup lahan ditebang sebelum pengelupasan tanah dilakukan, dengan demikian fungsi tanaman sebagai penyerap air permukaan tidak berlangsung. Hal ini mengakibatkan tanah akan terangkut dari satu tempat ke tempat lainnya yang disebut dengan erosi. Kerusakan tanah juga terjadi karena pada saat pengelupasan tanah dalam proses penambangan. Lapisan tanah atas (top soil) yang kaya unsur hara ditumpuk pada suatu tempat, dan pada akhirnya oleh hujan atau angin mengalami pengurangan unsur-unsur yang diperlukan tanaman. Tanah yang bertekstur baik sebagai media tumbuh (liat) pada akhirnya terbawa oleh air ketempat lain yang peruntukkannya tidak spesifik lagi. Keadaan ini sesuai dengan pendapat Sitorus (2003) bahwa kerusakan tanah dapat terjadi oleh: (1) Kehilangan unsur hara dan dan bahan organik dari daerah perakaran, (2) Proses salinisasi, (3) Penjenuhan tanah oleh air (waterlogging) dan (4) Erosi. Kerusakan tanah oleh satu atau lebih proses tersebut menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan atau menghasilkan barang atau jasa (Foth, 1998 dan Arsyad, 2000). Masalah kerusakan tanah oleh erosi di Indonesia merupakan masalah yang harus ditangani secara sungguh-sungguh (Sinukaban, 1983). Menurut Situmorang (1999) degradasi lahan didefinisikan sebagai fenomena hilangnya dan berkurangnya manfaat atau potensi dari suatu lahan. Hilangnya atau berubahnya suatu komposisi flora dan fauna yang tidak digantikan terjadi pada lahan yang terdegradasikan. Terdapat dua kategori proses degradasi tanah, yakni : 1) berkaitan dengan pemindahan bahan atau materi tanah (erosi oleh air atau angin), dan 2) menurunnya kondisi tanah tersebut (proses degradasi beberapa sifat fisik dan kimia). Menurut Soemarwoto (2003) lingkungan hidup di Indonesia mengalami degradasi terus menerus. Penyebab alamiah kerusakan

38 18 lingkungan hidup juga banyak bersumber pada kelakuan manusia yang tidak ramah lingkungan. Sitorus (2003) mengartikan degradasi tanah adalah proses hilangnya atau berkurangnya kegunaan (utility) atau potensi kegunaan tanah dan kehilangan atau perubahan kenampakan (features) tanah yang tidak dapat diganti. Degradasi tanah adalah proses yang menguraikan fenomena yang menyebabkan menurunnya kapasitas tanah untuk mendukung suatu kehidupan (FAO, 1993). Degradasi tanah memerlukan rehabilitasi yang pilihannya dapat direklamasi untuk keperluan beberapa penggunaan, dan bisa juga direstorasi untuk dikembalikan ke bentuk penggunaan awal. Kerusakan lahan yang selama ini sering diangkat ke permukaan lebih banyak yang disebabkan penebangan liar dan kebakaran, dan jarang sekali karena pertambangan padahal pembukaan lahan untuk kepentingan eksplorasi bahan tambang sebenarnya lebih parah keadaannya dan akan lebih banyak memerlukan teknik dan biaya dalam rehabilitasinya (Rustam, 2003). Salah satu limbah tambang menurut Saptaningrum (2001) adalah lapisan penutup yang digali dan dipindahkan pada kegiatan pertambangan. Dampak lingkungan akibat kegiatan pertambangan antara lain berupa: penurunan produktivitas tanah, pemadatan tanah, terjadinya erosi dan sedimentasi, terjadinya longsoran tanah, terganggunya flora dan fauna, terganggunya keamanan dan kesehatan penduduk juga perubahan iklim mikro. Kekurangan hara merupakan pembatas untuk pertumbuhan tanaman pada lahan bekas tambang. Menurut Power et al. (1977) dan Djalaluddin (1989) pada tanah bekas tambang tidak tersedia fospor (P) untuk tanaman dan ini dapat diperbaiki dengan pemberian kg pupuk P per ha yang diberikan sebelum penanaman. Ketersediaan hara N pada tanah gusuran tambang batubara umumnya sangat rendah, walaupun pada beberapa tempat memiliki jumlah N total yang relatif tinggi, namun tidak cukup tersedia untuk usaha revegetasi (Hons dan Hossner, 1980).

39 Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Pengelolaan (management) berasal dari bahasa Italia (1561) yaitu maneggiare. Bahasa Perancis lalu mengadopsi kata ini dari bahasa Inggris menjadi management yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Manajemen adalah sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkordinasian, dan pengontrolan sumberdaya alam untuk mencapai sasaran secara efektif dan efisien. Terdapat empat fungsi manajemen yaitu: (1) perencanaan (planning), (2) pengorganisasian (organizing), (3) pengarahan (directing), dan (4) pengevaluasian (evaluating). George R. Terry (1977) menyatakan bahwa manajemen adalah suatu proses yang berbeda yang terdiri dari planning, organizing, actuating, dan controlling yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang ditentukan dengan menggunakan manusia dan sumberdaya lainnya. Berbagai jenis kegiatan yang berbeda itulah yang membentuk manajemen sebagai suatu proses yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan sangat erat hubungannya. Pengelolaan (management) digunakan dalam meminimalkan degradasi lahan, air dan vegetasi melalui rehabilitasi baik kepenggunaan awal (restorasi) maupun untuk peruntukkan lainnya (reklamasi) juga kepentingan ekonomi sosial melalui perencanaan, pengorganisasian, pengkordinasian dan pengontrolan sumberdaya batubara yang dilakukan secara bersama-sama dengan stakeholder. Istilah reklamasi (reclamation) dideskripsikan sebagai proses umum dimana permukaan lahan dipulihkan untuk peruntukan lain. Reklamasi didasarkan pada prinsip-prinsip dan pemulihan ekologi secara terintegrasi disebut restorasi (restoration). Pemulihan lingkungan pada dasarnya ditujukan untuk pengembalian menuju keadaan ekosistem semula dari aspek struktur dan fungsinya. Rehabilitasi (rehabilitation) adalah istilah yang digunakan untuk proses ke depan dari pengembalian ke ekosistem semula, dengan menciptakan ekosistem alternatif menuju ekosistem aslinya melalui penggantian atau replacement (Johnson dan Tunner, 2000). Tujuan akhir dari rencana reklamasi adalah untuk menstabilkan permukaan tanah sambil menyediakan kondisi fisik yang menunjang agar

40 20 terbentuknya kembali suatu komunitas spesies tumbuhan asli yang beragam dan sama dengan lingkungan hutan primer (Soeprapto dan Chairot, 2003). Areal yang terbuka dan terganggu direklamasi secara progresif. Strategi penanaman kembali dilaksanakan untuk menstabilkan lahan terganggu dan meminimalkan erosi, karena kalau tidak demikian akan memperburuk mutu air permukaan (Soeprapto dan Chairot, 2003). Menurut Brata (2001), teknik mulsa vertikal efektif meresapkan air apabila dilakukan di setiap penggunaan lahan. Dengan demikian setiap penggunaan lahan dengan mudah meresapkan air hujan, disimpan menjadi sumber air bagi tanaman dan lingkungan sekitarnya. Hasil penelitian Tobing (1994) menunjukkan bahwa perlakuan mulsa vertikal lebih efektif menekan aliran permukaan dan erosi dibandingkan mulsa konvensional. Rustam (2003) menyatakan bahwa penanaman untuk rehabilitasi areal tambang memerlukan media tanam yang menguntungkan bagi tanaman dan pemilihan jenis yang benar sesuai keadaan lahan dan keinginan perusahaan. Pada lahan yang terbuka, biasanya didahului dengan menanam tanaman penutup tanah (cover crops) yang juga berfungsi sebagai pupuk hijau, sedangkan pada lahan miring yang dibuat guludan dan teras ditanam tanaman jangkar, dan pada daerah yang berdekatan dengan penduduk ditanam tanaman buah. Pemilihan jenis tanaman dalam rehabilitasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: (1) tanaman harus bisa tumbuh cepat sehingga bila menutup tanah dalam waktu yang tidak lama, (2) mempunyai perakaran yang lebar dan atau dalam, (3) jika ditanam pada daerah yang sering turun hujan harus mempunyai sifat mudah menguapkan air, (4) sebaliknya untuk daerah yang kering, tanaman harus dipilih yang mempunyai sifat sulit menguapkan air, (5) tanaman harus bisa dimanfaatkan kemudian hari, artinya mempunyai prospek ekonomi yang baik. Evaluasi pertumbuhan tanaman di lahan bekas galian tambang batubara telah dilakukan oleh Kustiawan dan Sutisna (1993) di kawasan reklamasi PT. Multi Harapan Utama dan PT. Kitadin, Kabupaten Kutai Kartanegara. Tujuh jenis tanaman di kawasan reklamasi PT. Multi Harapan Utama telah diukur pertumbuhannya. Jenis-jenis tersebut adalah Mangium (Acacia mangium), Sengon (Paraserianthes falcataria), Sungkai (Peronema canescens), Angsana (Pterocarpus indicus), Gmelina (Gmelina arborea) Mahoni (Swietenia sp) dan

41 21 Agathis (Agathis sp). Jenis tanaman yang tertua ditanam adalah Mangium, Sengon, Sungkai dan Agathis. Pada umur 2 tahunan telah mencapai tinggi dan diameter berturut-turut : 726 cm dan 104 mm (Mangium), 425 cm dan 67 mm (Sengon), 253 cm dan 54 mm (Sungkai), 158 cm dan 26 mm (Agathis). Hasil pengukuran tinggi dan diameter pada ketiga jenis lainnya adalah : Gmelina berumur 1 tahun 3 bulan : 331 cm dan 70 mm; Angsana berumur 1 tahun 10 bulan: 312 cm dan 30 mm; Mahoni berumur 5 bulan : 71 cm dan 13 mm. Di kawasan reklamasi PT. Kitadin, persentase tumbuh tanaman Sengon yang berumur 2½ bulan, hanya mencapai 69% dengan nilai rataan tinggi ± 60 cm dan diameter ± 6 mm. Dari sejumlah tanaman yang tumbuh tersebut, terdapat lebih dari 20% semai yang tumbuh abnormal. Dengan memperhatikan hasil analisis kimia tanah dan pertumbuhan tanaman yang dicapai di lahan bekas galian tambang batubara tersebut di atas, maka pemupukan tanah, mutlak diperlukan. Hasil penelitian Padlie (1997) di PT. Multi Harapan Utama mempelajari sifat-sifat tanah pada areal bekas penambangan batubara terbuka yang berumur 1, 4 dan 6 tahun sejak kegiatan penambangan berakhir. Meski secara partial, namun hasil penelitiannya dapat dijadikan acuan bagi perkembangan profil tanah setelah kegiatan penambangan berakhir. Pada profil tanah bekas penambangan 1 tahun batas lapisan A dan lapisan B relatif mudah dikenali, batas-batas lapisan lainnya tidak jelas. Warna tanah, pada lapisan A adalah coklat sampai coklat gelap (7,5 YR 4/2), sedangkan pada lapisan B adalah kuning kemerahan (7,5 YR 7/8). Struktur tanah hancur akibat proses penimbunan kembali tanah di blok bekas penambangan. Lapisan sub soil memiliki tekstur lempung berdebu dan lempung liat berpasir sedangkan lapisan top soil mempunyai tekstur lempung liat berpasir. Tanah bekas penambangan 1 tahun belum menunjukkan terbentuknya lapisan bahan organik baru yang dihasilkan dari jenis-jenis tanaman yang ditanam di lokasi tersebut. Menurut Purnomo et al. (1997) untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas tanah bekas tambang batubara perlu dilakukan pemupukan NPK yang dapat meningkatkan tinggi dan diameter pertumbuhan tanaman Acacia auriculiformis. Tanaman reklamasi seperti Vetiveria zizanioides, Peuraria javanica, Centrosema pubescens, dan Calopogonium mucunoides dapat tumbuh

42 22 dan berkembang baik pada tanah timbunan sisa galian penambangan batubara (Tala olu et al. 1999). Menurut Sinukaban (1983) pemberian pupuk buatan atau organik, pergiliran tanaman dengan tanaman leguminosa dan menghindari pembakaran vegetasi atau sisa-sisa tanaman adalah cara-cara untuk menghindari dan memulihkan kerusakan tanah. Untuk memperbaiki sifat kimia, sifat fisik dan biologi tanah timbunan diperlukan pengelolaan dan upaya tertentu sehingga areal tanah timbunan tidak terkesan gersang dan terhindar dari bahaya ancaman erosi (Tala olu et al., 1995). Kabupaten Kutai Kartanegara menyadari bahwa peran dari eksploitasi dan eksplorasi sumberdaya alam yang tidak mudah untuk diperbaharui (non renewable resources) ini mesti diikuti dengan dicarikan alternatif dari sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources), karena diperlukan waktu yang lama mengembalikan sumberdaya alam seperti keadaan semula. Intervensi melalui disain kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan pasca tambang batubara dapat dijadikan alternatif memperpendek waktu pemulihan kawasan akibat kerusakan pada saat memanfaatkan sumberdaya alam batubara Konsep Sistem, Disain Kebijakan dan Strategi Sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks (Marimin, 2004). Sistem menurut Hartisari (2007) adalah gugusan atau kumpulan dari komponen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai tujuan atau gugus-gugus tujuan tertentu. Pengertian tersebut mencerminkan adanya beberapa bagian dan hubungan antara bagian. Hal ini menunjukkan kompleksitas dari sistem yang meliputi kerjasama antara bagian yang interdependent satu sama lain. Pencapaian tujuan ini menyebabkan timbulnya dinamika, perubahan-perubahan yang terus menerus perlu dikembangkan dan dikendalikan. Sifat-sifat dasar dari suatu sistem antara lain: 1. Pencapaian tujuan Orientasi pencapaian tujuan akan memberikan sifat dinamis pada sistem, memberi ciri perubahan yang terus menerus dalam usaha mencapai tujuan.

43 23 2. Kesatuan usaha Kesatuan usaha mencerminkan suatu sifat dasar dari sistem dimana hasil keseluruhan melebihi dari jumlah bagian-bagiannya atau sering disebut konsep sinergi. 3. Keterbukaan terhadap lingkungan Keterbukaan terhadap lingkungan membuat penilaian terhadap suatu sistem menjadi relatif atau yang dinamakan equifinality atau pencapaian tujuan suatu sistem tidak mutlak harus dilakukan dengan satu cara terbaik. Tetapi pencapaian tujuan suatu sistem dapat dilakukan melalui berbagai cara sesuai dengan tantangan lingkungan yang dihadapi. 4. Transformasi Merupakan proses perubahan input menjadi output yang dilakukan oleh sistem. Proses transformasi diilustrasikan pada Gambar Hubungan antar bagian Kaitan antara subsistem inilah yang akan memberikan analisis sistem suatu dasar pemahaman yang lebih luas. 6. Sistem ada berbagai macam antara lain sistem terbuka, sistem tertutup, dan sistem dengan umpan balik. 7. Mekanisme Pengendalian Mekanisme ini menyangkut sistem umpan balik yang merupakan suatu bagian yang memberi informasi pada sistem mengenai efek dari perilaku sistem terhadap pencapaian tujuan atau pemecahan persoalan yang dihadapi. Berikut ini (Gambar 3.) proses transformasi input menjadi output. Input Transformasi Output Gambar 3. Proses Transformasi Input menjadi Output Pendekatan sistem pada dasarnya adalah penerapan dari sistem ilmiah dalam manajemen. Pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan

44 24 memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem. Menurut Eriyatno (1998), berhubung pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka pikir baru yang dikenal sebagai pendekatan sistem (system approach). Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Pendekatan sistem untuk dapat bekerja secara sempurna, terdiri dari beberapa unsur yaitu: metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, suatu tim yang multidisipliner, pengorganisasian, disiplin untuk bidang yang nonkuantitatif, teknik model matematik, teknik simulasi, teknik optimasi dan aplikasi komputer. Konsep sistem merupakan suatu metodologi penyelesaian masalah yang dimulai dengan secara tentatif mendefinisikan atau merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem operasi yang secara efektif dapat dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan, bisa dalam bentuk perbedaan kepentingan (conflict of interest) atau keterbatasan sumberdaya. Sistem adalah suatu gugus atau kumpulan elemen-elemen yang saling terkait dan terorganisir untuk mencapai tujuan. Manetch dan Park (1977) menyatakan bahwa suatu pendekatan sistem akan dapat berjalan dengan baik jika terpenuhi kondisi-kondisi: (1) tujuan sistem didefinisikan dengan baik dan dapat dikenali jika tidak dapat dikuantifikasikan, (2) prosedur pembuatan keputusan dalam sistem riil adalah tersentralisasi atau cukup jelas batasannya, (3) dalam perencanaan jangka panjang memungkinkan untuk dilakukan. Pendekatan sistem, seperti dikemukakan oleh Checkland dalam Jackson (2000) merupakan pendekatan yang tidak secara langsung mereduksi faktor-faktor yang berpengaruh, tetapi lebih bersifat menyeluruh (holistik). Pendekatan yang bersifat holistik lebih memfokuskan pada hubungan atau keterkaitan antar faktor. Pendekatan sistem menggunakan model untuk mempelajari perilaku sistem yang dikaji, yang digunakan sebagai dasar perbaikan kinerja sistem tersebut. Desain arti pertamanya adalah kerangka bentuk; rancangan. Berdesain artinya bermodel; berbentuk; bermotif. Mendesain artinya membuat desain;

45 25 membuat rancangan pola (Balai Pustaka, 2002). Disain biasa diterjemahkan sebagai seni terapan, arsitektur, dan berbagai pencapaian kreatif lainnya. Dalam sebuah kalimat kata desain bisa digunakan baik sebagai kata benda maupun kata kerja. Kata benda digunakan untuk menyebut hasil akhir dari sebuah proses kreatif, baik itu berwujud sebuah rencana, proposal, obyek nyata. Kata kerja adalah proses untuk membuat/menciptakan sebuah obyek baru. Disain adalah merancang/rancangan dari data yang telah dianalisis kedalam bentuk yang mudah dianalisis, berati disain adalah rancangan kebijakan sebagai miniatur dari keadaan yang sebenarnya. Secara harfiah ilmu kebijakan adalah terjemahan langsung dari kata policy science. Beberapa penulis besar dalam ilmu ini, seperti William Dunn, Charles Jones, Lee Friedman, dan lain-lain menggunakan istilah public policy dan public policy analysis dalam pengertian yang tidak berbeda. Kebijakan yang diterjemahkan dari kata policy biasanya dikaitkan dengan keputusan pemerintah karena dianggap paling berwenang atau berkuasa mengarahkan masyarakat dan bertanggung jawab melayani kepentingan umum. Kata policy secara etimologis berasal dari kata polis dalam bahasa Yunani (Greek), yang berarti negara-kota. Kata ini dalam bahasa latin kata ini menjadi politia, artinya negara, dalam bahasa Inggris kata tersebut menjadi policie yang pengertiannya berkaitan dengan urusan pemerintah atau administrasi pemerintah (Dunn, 1999). Teori pilihan publik adalah merupakan keputusan kolektif sebagai hasil kombinasi preferensi individu melalui kelembagaan dan sistem politik yang demokratis. Kebijakan politik merupakan hasil dari persaingan kepentingan kelompok, dan dalam persaingan suatu kelompok membentuk koalisi, dan koalisi yang mendominasi akan diwarnai persaingan oleh anggotanya. Teori sumberdaya politik berisikan bahwa pembuatan kebijakan merupakan hasil kerjasama antara pemerintah dengan kelompok-kelompok masyarakat. Dalam teori sistem politik terdapat teori elit yaitu kebijakan dapat diarahkan sesuai sistem nilai dan kepentingan dari kelompok elit yang sedang berkuasa. Kebijakan adalah peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan yang melingkupi kehidupan masyarakat umum.

46 26 Strategi adalah pendekatan secara keseluruhan yang berkaitan dengan pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah aktivitas dalam kurun waktu tertentu. Kamus besar bahasa Indonesia edisi ketiga Departemen Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa arti dasar strategi adalah taktik; strategi merupakan ilmu dan seni menggunakan semua sumberdaya bangsa untuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu dalam perang dan damai; strategi adalah rencana yang cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran khusus (Balai Pustaka, 2002) Analisis Kebijakan Analisis kebijakan merupakan suatu disiplin ilmu terapan yang memanfaatkan berbagai metode dan teknik untuk menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan. Analisis ini diperlukan dalam praktek pengambilan keputusan dengan adanya perubahan lingkungan yang kompleks dan dinamis. Oleh karena itu, analisis kebijakan dibutuhkan oleh para politisi, konsultan dan pengambil keputusan di pemerintahan. Hal senada dikemukakan oleh Dunn (2003), bahwa analisis kebijakan adalah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan multiple methods untuk mengajukan inquiry dan argument untuk menghasilkan dan mentransformasikan informasi kebijakan yang relevan yang akan digunakan dalam kerangka politik untuk mengatasi suatu masalah kebijakan. Analisis kebijakan adalah suatu cara untuk mensintesakan informasi termasuk hasil riset ke dalam suatu keputusan kebijakan (dalam bentuk pilihanpilihan alternatif) dan menetapkan kebutuhan masa mendatang sebagai informasi kebijakan yang relevan (Williams, 1971). Analisis kebijakan adalah clientoriented advice yang berkaitan dengan keputusan publik dan isinya mengandung nilai-nilai sosial (Weimer dan Vining, 1999). Ilmu kebijakan dibangun untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perannya dalam upaya meningkatkan kualitas keputusan, yang diperoleh dari proses perumusan tujuan kebijakan, mengenali permasalahan kebijakan, dan mencari jalan pemecahan masalah kebijakan. Pengetahuan analisis kebijakan berkembang pesat, apabila: (1) terjadi keterpaduan antara praktisi dan akademisi atas dasar pengalaman, hasil-hasil renungan, dan hasil-hasil penelitian, (2)

47 27 menyatukan peranan sistem nilai ke dalam studi kebijakan, (3) peningkatan kualitas proses refleksi dan pengambilan keputusan, (4) kemampuan mengaitkan berbagai bidang kajian dengan praktik kebijakan, (5) kemampuan membuat kerangka permasalahan kebijakan, (6) kemampuan meningkatkan kredibilitas pelaksana studi kebijakan (Eriyatno, 1989). Analisis kebijakan adalah suatu proses pencarian kebenaran yang dapat menjelaskan sebab-sebab dan akibat dari sebuah kebijakan. Ada tiga jenis analisis kebijakan, yaitu: (1) analisis prospektif, (2) analisis retrospektif, dan (3) analisis terintegrasi (Dunn, 2004). Analisis prospektif merupakan analisis kebijakan yang terkait dengan produksi dan transformasi informasi sebelum tindakan kebijakan dilakukan. Analisis retrospektif, sebaliknya, berkaitan dengan produksi dan transformasi informasi setelah tindakan kebijakan dilakukan. Analisis terintegrasi adalah analisis kebijakan yang secara utuh mengkaji seluruh daur kebijakan dengan menggabungkan analisis prospektif dan retrospektif. Metodologi analisis kebijakan merupakan perpaduan elemen-elemen dari berbagai disiplin seperti ilmu politik, sosiologi, psikologi, ekonomi, ilmu terapan lain dan termasuk ilmu lingkungan. Analisis kebijakan bersifat deskriptif, valuatif dan dapat pula bersifat normatif yang bertujuan menciptakan dan melakukan kritik terhadap klaim pengetahuan tentang nilai kebijakan untuk generasi masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Metodologi analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia, yaitu: (1) perumusan masalah menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan, (2) peramalan menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan termasuk jika tidak melakukan sesuatu, (3) rekomendasi menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi di masa depan dari suatu pemecahan masalah, (4) pemantauan menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari diterapkannya alternatif kebijakan, dan (5) evaluasi menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan masalah.. Keberhasilan kebijakan sangat ditentukan oleh sumberdaya manusia, institusi, dan organisasi yang juga harus memiliki kemampuan untuk melakukan

48 28 rekayasa ulang. Bennis dan Mische (1996) menyatakan bahwa rekayasa ulang adalah pilihan yang tepat jika kita ingin meraih keberhasilan dimasa mendatang. Carswell (1996) menyatakan bahwa rekayasa ulang adalah suatu proses yang mengubah budaya organisasi dan menciptakan proses, sistem, struktur, dan cara baru untuk mengukur kinerja dan keberhasilan. Menurut Parsons (1995), dalam model proses suatu penetapan kebijakan dapat dikaji dari input dan output. Faktor-faktor input terdiri dari persepsi, organisasi, tuntutan, dukungan, dan keluhan. Unsur kebijakan antara lain adalah regulasi, distribusi, redistribusi, kapitalisasi, dan nilai-nilai etika. Outputnya antara lain adalah aplikasi, penegakan hukum, interpretasi, evaluasi, legitimasi, modifikasi, penyesuaian, dan penarikan diri atau pengingkaran. Institusi adalah seperangkat pola perilaku manusia yang sudah terpatri dalam waktu lama, dan pola perilaku ini mencakup struktur, tata aturan, prosedur dan mekanisme yang akan mempengaruhi kebijakan. Menurut teori institusi berkembang menjadi empat aliran yaitu: 1. Aliran sosiologi, semua proses formal yang berlangsung dalam organisasi membentuk suatu struktur serta mengarah pada upaya pencapaian tujuan organisasi, sehingga proses kebijakan bervariasi sesuai karakteristik keseluruhan dan dinamika perjalanan kehidupan organisasi karena lingkungan juga mempengaruhi kualitas kebijakan. 2. Aliran ekonomi, suatu institusi sebagai suatu proses transaksi atau hasil proses kontrak yang ditandai adanya rasa saling percaya secara terbatas, penuh ketidakpastian dan memiliki metode pengelolaan yang bervariasi. 3. Peranan penting governance adalah pada sistem pengelolaan yang transparan, demokratis, akuntabel dan partisipatif. 4. Aliran politik, aktor dalam institusi berperan penting dalam pembuatan dan implementasi kebijakan. Aktor menggunakan kekuasaan dalam pembuatan kebijakan serta posisinya dalam institusi mempengaruhi kepentingan, tanggungjawab dan arah komunikasi, karena efektivitas pembuatan dan implementasi kebijakan dipengaruhi posisi aktor. Menganalisis kebijakan yang ada terkait pertambangan batubara, teknik analisisnya dengan memahami substansi butir-butir kebijakan dengan studi

49 29 literatur, untuk mengetahui respon responden melalui kuesioner dan mengadakan Focus Group Discussion (FGD) bagi stakeholder, maka terlebih dahulu diperlukan analisis kebutuhan dengan tujuan mengidentifikasi kebutuhan setiap pelaku yang terlibat dalam pengelolaan pasca tambang batubara dilokasi penelitian. Analisis kebutuhan merupakan tahap awal dari pengkajian sistem. Pada tahap ini diidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dari masing-masing pelaku sistem (stakeholders). Kebijakan yang benar akan memberikan manfaat dan sebaliknya kebijakan yang keliru mendatangkan kesulitan bagi masyarakat. Menurut Hornby (1974) kebijakan merupakan rencana kegiatan, pernyataan suatu tujuan ideal yang dibuat oleh pemerintah, partai politik atau kegiatan usaha. Kebijakan pemerintah merupakan hasil rumusan pola intervensi atau pengaturan pemerintah dalam lingkup sistem politik tertentu, yang dapat diterapkan di semua wilayah pemerintahan berdasarkan ketetapan legislatif, aturan main administrasi publik, serta adanya dukungan publik yang berpengaruh bagi masyarakat luas. Kebijakan menyangkut kepentingan publik sehingga seringkali disebut kebijakan politik. Model proses suatu penetapan kebijakan dapat dikaji dari input dan output. Faktor-faktor input terdiri dari persepsi, organisasi, tuntutan, dukungan, dan keluhan, sedangkan unsur kebijakan antara lain adalah regulasi, distribusi, redistribusi, kapitalisasi, dan nilai-nilai etika. Outputnya antara lain adalah aplikasi, penegakan hukum, interpretasi, evaluasi, legitimasi, modifikasi, penyesuaian, dan penarikan diri atau pengingkaran (Parsons, 1995). Menurut Dunn (2004), analisis kebijakan adalah cara untuk menghasilkan pengetahuan dan segala proses dalam kebijakan. Sementara itu, Patton dan Savicky (1993), menjelaskan bahwa analisis kebijakan adalah tindakan yang diperlukan untuk dibuatnya sebuah kebijakan, baik kebijakan yang baru sama sekali, atau kebijakan yang baru sebagai konsekwesi dari kebijakan yang ada. Analisis kebijakan merupakan kegiatan pokok dalam perumusan kebijakan karena memberikan pijakan awal kenapa sebuah kebijakan harus dibuat. Proses analisis kebijakan adalah serangkaian kegiatan intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Kegiatan politis tersebut dijelaskan

50 30 sebagai proses pembuatan kebijakan. Tahap-tahap pembuatan kebijakan adalah: (a) penyusunan agenda; (b) formulasi kebijakan, (c) adopsi kebijakan, (d) implementasi kebijakan, dan (e) evaluasi kebijakan Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pertambangan Batubara Kegiatan pasca penambangan batubara selama ini terdapat banyak kebijakan untuk menjadi acuan bagi pelaksanaannya. Pelaksanaan kebijakan dan pengendalian kebijakan diduga menjadi penyebab berbagai kendala strategi maupun kendala operasional. Beberapa kebijakan terkait penambangan batubara yang akan dianalisis kemungkinan juga mengalami hal yang sama seperti: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan. 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) yang sudah dinyatakan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sesuai pasal 125 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sekaligus sebagai gantinya. 3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 4. Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1211.K/008/M.PE/ 1995 tentang Pencegahan dan Penangulangan Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Umum. 6. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 146/Kpts.II/1994 tentang Pedoman Reklamasi Bekas Tambang dalam Kawasan Hutan. 7. Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 1453 K/29/MEM/ Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 2 Tahun 2001 tentang izin usaha Pertambangan Umum Daerah. 9. Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang.

51 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Peraturan Perolehan Perijinan Pertambangan, Hak dan Kewajian Kuasa Pertambangan Beberapa isi peraturan dan kebijakan penambangan batubara dan pasca tambang batubara yang akan dianalisis pada dasarnya mengacu pada Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Perijinan merupakan hal yang sangat krusial di dalam penyelenggaraan usaha yang mengedepankan aspek legalitas berusaha. Terkait dengan pemberian ijin penambangan batubara terdapat pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun Bab I pasal 1 peraturan pemerintah tersebut menyatakan bahwa Setiap usaha pertambangan bahan galian yang termasuk dalam golongan bahan galian strategis dan golongan bahan galian vital baru dapat dilaksanakan apabila terlebih dahulu telah mendapatkan Kuasa Pertambangan dari Menteri Pertambangan selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Menteri. Pasal 2 mengatur hirarki surat penugasan, dimana Surat Keputusan Penugasan Pertambangan adalah Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh Menteri kepada Instansi Pemerintah untuk melaksanakan usaha pertambangan. Surat Keputusan Izin Pertambangan Rakyat adalah Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh Menteri kepada Rakyat setempat untuk melaksanakan usaha pertambangan secara kecil-kecilan dan dengan luas wilayah yang sangat terbatas. Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan adalah Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh Menteri kepada Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, badan lain atau perorangan untuk melaksanakan usaha pertambangan. Adapun pengurusan perizinan untuk pertambangan rakyat disebutkan dalam Bab III Pertambangan Rakyat pasal 5, disebutkan bahwa Permintaan Izin Pertambangan Rakyat untuk melaksanakan usaha pertambangan diajukan kepada Menteri dengan menyampaikan keterangan mengenai wilayah yang akan diusahakan dan jenis bahan galian yang akan diusahakan. Selanjutnya Menteri dapat menyerahkan pelaksanaan permintaan Izin Pertambangan Rakyat kepada

52 32 Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan dengan menyatakan syaratsyarat dan petunjuk-petunjuk yang perlu diindahkan dalam pelaksanaannya. Izin Pertambangan Rakyat ini diberikan untuk jangka waktu selama-lamanya 5 (lima) tahun dan bilamana diperlukan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. Besarnya luasan wilayah yang dapat diberikan untuk satu Izin Pertambangan Rakyat diatur dalam pasal 6 yaitu tidak boleh melebihi 5 (lima) hektar. Selanjutnya, jumlah luas wilayah Izin Pertambangan Rakyat yang diberikan kepada seseorang atau badan bukan koperasi tidak boleh melebihi 25 (duapuluh lima) hektar. Terkait dengan kuasa pertambangan, pada pasal 7 disebutkan bahwa Pemegang Kuasa Pertambangan mempunyai wewenang untuk melakukan satu atau beberapa usaha pertambangan yang ditentukan dalam Kuasa Pertambangan yang bersangkutan. Kuasa Pertambangan ini dapat berupa : 1. Kuasa pertambangan penyelidikan umum, yaitu kuasa pertambangan yang berisikan wewenang untuk melakukan usaha pertambangan penyelidikan umum. 2. Kuasa pertambangan eksplorasi, yaitu kuasa pertambangan yang berisikan wewenang untuk melakukan usaha pertambangan eksplorasi. Kuasa Pertambangan Eksplorasi diberikan oleh Menteri untuk jangka waktu selamalamanya 3 (tiga) tahun, atas permintaan yang bersangkutan. Ketika pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi, telah menyatakan bahwa usahanya akan dilanjutkan dengan usaha pertambangan eksploitasi, maka Menteri dapat memberikan perpanjangan jangka waktu Kuasa Pertambangan Eksplorasi selama-lamanya 3 (tiga) tahun lagi untuk pembangunan fasilitasfasilitas eksploitasi pertambangan, atas permintaan yang bersangkutan. 3. Kuasa pertambangan eksploitasi, yaitu kuasa pertambangan yang berisikan wewenang melakukan usaha pertambangan dengan maksud untuk menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya. Tata cara memperoleh kuasa pertambangan diatur dalam Pasal 13, dimana permintaan kuasa pertambangan diajukan sesuai dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri dengan ketentuan yaitu :

53 33 a. Untuk satu wilayah Kuasa Pertambangan harus diajukan satu permintaan tersendiri. b. Lapangan-lapangan yang terpisah tidak dapat diminta sebagai satu wilayah Kuasa Pertambangan. Permintaan Kuasa-kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum, Eksplorasi atau Eksploitasi harus dilampirkan peta wilayah Kuasa Pertambangan yang diminta dengan penunjukan batas-batasnya yang jelas dengan ketentuan bahwa khusus mengenai permintaan Kuasa Pertambangan Eksplorasi atau Eksploitasi peminta harus pula menyebutkan jenis bahan galian yang akan diusahakan. Pasal 14 mengatur tentang permintaan kuasa pertambangan, peminta dengan sendirinya menyatakan telah memilih domisili pada Pengadilan Negeri yang berkedudukan di dalam Daerah Tingkat I dari wilayah Kuasa Pertambangan yang diminta. Penjaminan terlaksananya usaha pertambangan tersebut, dalam pasal 15 disebutkan bahwa Menteri berwenang untuk meminta dan menilai pembuktian kesanggupan dan kemampuan dari peminta Kuasa Pertambangan yang bersangkutan. Pasal 16, sebelum menteri menyetujui sesuatu permintaan kuasa pertambangan eksplorasi dan atau kuasa pertambangan eksploitasi, maka terlebih dahulu Menteri akan meminta pendapat dari Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan. Mereka yang mempunyai hak atas tanah dan atau mereka yang berkepentingan yang akan mendapat kerugian karena adanya pemberian Kuasa Pertambangan dapat mengajukan keberatan kepada Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I selambat-lambatnya dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sesudah dikeluarkannya surat permintaan pendapat mengenai Kuasa Pertambangan termaksud. Batasan luas wilayah untuk masing-masing kuasa pertambangan yang dapat diberikan, yaitu untuk satu Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum tidak boleh melebihi (lima ribu) hektar, untuk satu Kuasa Pertambangan Eksplorasi tidak boleh melebihi (dua ribu) hektar, dan untuk satu Kuasa Pertambangan Eksploitasi tidak boleh melebihi (seribu) hektar. Apabila satu kuasa pertambangan luas wilayahnya melebihi ketentuan-ketentuan di atas,

54 34 maka peminta Kuasa Pertambangan harus terlebih dahulu mendapat izin khusus dari Menteri (Pasal 19). Jumlah luas wilayah beberapa Kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum, Kuasa Pertambangan Eksplorasi dan Kuasa Pertambangan Eksploitasi yang dapat diberikan kepada satu badan atau seorang pemegang Kuasa Pertambangan tidak boleh melebihi berturut-turut (dua puluh lima ribu) hektar, (sepuluh ribu) hektar dan (lima ribu) hektar dari wilayah hukum pertambangan Indonesia. Sama halnya dengan satu kuasa pertambangan, untuk mendapat jumlah luas wilayah beberapa Kuasa Pertambangan yang melebihi luasan di atas, maka Peminta Kuasa Pertambangan harus terlebih dahulu mendapat izin dari Menteri (Pasal 21). Terkait dengan pelaporan kegiatan diatur pada Pasal 35 disebutkan bahwa Pemegang Kuasa Pertambangan Eksploitasi diwajibkan menyampaikan laporan mengenai perkembangan kegiatan yang telah dilakukannya kepada Menteri secara berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali. Disamping itu setiap tahun sekali diwajibkan pula menyampaikan laporan tahunan kepada Menteri mengenai perkembangan pekerjaan yang telah dilakukannya. Pengaturan terhadap beberapa iuran, yaitu iuran tetap, iuran eksplorasi, dan iuran eksploitasi diatur dalam pasal 52. Pengertian iuran tetap ialah iuran yang dibayarkan kepada negara sebagai imbalan atas kesempatan Penyelidikan Umum, Eksplorasi atau Eksploitasi pada suatu wilayah Kuasa Pertambangan. Iuran Eksplorasi ialah Iuran Produksi yang dibayarkan kepada Negara dalam hal pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi mendapat hasil berupa bahan galian yang tergali atas kesempatan eksplorasi yang diberikan kepadanya. Sedangkan Iuran Eksploitasi ialah Iuran Produksi yang dibayarkan kepada Negara atas hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan eksploitasi sesuatu atau lebih bahan galian. Pasal 53, 54, 55, mengatur iuran terhadap masing-masing pemegang kuasa pertambangan. Pada pasal 55 disebutkan bahwa Pemegang Kuasa Pertambangan Eksploitasi diwajibkan membayar Iuran Tetap tiap tahun untuk tiap hektar wilayah Kuasa Pertambangannya. Pembayaran Iuran Tetap tersebut

55 35 dilakukan pada awal tiap tahun bersangkutan atau pada awal masa wajib bayar iuran. mengadakan eksplorasi. Pemegang Kuasa Pertambangan Eksploitasi diwajibkan membayar Iuran Eksploitasi atas hasil produksi yang diperoleh dari wilayah kuasa pertambangannya. Iuran Eksploitasi tersebut ditetapkan atas dasar tarip tertentu menurut hasil produksi usaha pertambangan yang bersangkutan (Pasal 58). Pengaturan terhadap hasil iuran-iuran tertuang dalam pasal 62 sesuai dengan pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Pokok Pertambangan maka kepada Daerah diberikan bagian dari hasil pemungutan Iuran Tetap, Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi dari usaha pertambangan yang terdapat dalam wilayah Daerah yang bersangkutan. Perimbangan pembagian hasil pemungutan iuran antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah ditetapkan sebesar 30% (tiga puluh per seratus) dan 70% (tujuh puluh per seratus). Perimbangan pembagian antara Pemerintah Daerah Tingkat I dan Pemerintah Daerah Tingkat II dari hasil pemungutan iuran-iuran tersebut yang merupakan bagian dari Pemerintah Daerah ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Dalam Negeri. Aturan yang terkait dengan perolehan ijin pertambangan pada tingkat daerah akan mengacu kepada pedoman tata ruang wilayah yang ada. Pedoman ini pada tingkat propinsi Kalimantan Timur tertuang dalam Peraturan daerah propinsi Kalimantan Timur Nomor 12 Tahun 1993 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Selain itu secara rinci, pemerintah daerah juga memiliki peraturan yang terkait dengan usaha. Peraturan dan kebijakan ini tentunya sangat spesifik terhadap kebutuhan daerah atau lokalitas wilayah. Peraturan ini pada tingkat kabupaten tertuang dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 2 Tahun 2001 tentang izin usaha pertambangan umum daerah. Sampai saat ini pola pertambangan batubara masih mengikuti aturanaturan yang telah di buat oleh pemerintah, yang idealnya pola perizinan pertambangan batubara menurut Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 2 Tahun 2001 Tentang Izin Usaha Pertambangan Umum Daerah seperti yang dapat dilihat pada diagram Pengajuan Izin Usaha Pertambangan tertera pada Gambar 4.

56 36 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara terdiri: 1. IUP Penyelidikan Umum: diberikan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. 2. IUP Ekplorasi: diberikan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 2(dua) kali untuk 1 (satu) tahun. 3. IUP Eksploitasi: diberikan untuk jangka waktu selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang tiap 5 (lima) tahun. 4. IUP Pengelolaan dan Pemurnian: diberikan untuk jangka waktu selamalamanya 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang tiap 5 (lima) tahun. 5. IUP Pengangkutan: diberikan untuk jangka waktu selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang tiap 5 (lima) tahun. 6. IUP Penjualan: diberikan untuk jangka waktu selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang tiap 5 (lima) tahun. Peta Wilayah Pertambangan Perusahan Berbadan Hukum: BUMD Koperasi Badan Hukum Swasta Badan Hukum Asing Perorangan Usaha Pertambangan Rakyat Proposal Pembinaan Masyarakat sekitar Pertambangan Pengajuan Permohonan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Status Tanah/ Wilayah Pertambangan Pemda Kab. Kutai Kartanegara AMDAL atau UKL/UPL IUP Penyelidikan Umum IUP Eksplorasi IUP Eksploitasi IUP Pengelolaan dan Pemurnian IUP Pengangkutan IUP Penjualan Gambar 4. Diagram Pengajuan Izin Usaha Pertambangan Beberapa persyaratan yang harus dilengkapi oleh perusahan untuk memperoleh ke enam IUP tersebut di atas yaitu : 1. Perusahaan memiliki Badan Hukum yang jelas.

57 37 2. Mengajukan dan melengkapi blanko permohonan ijin dengan dilampirkan: a). Peta wilayah pertambangan yang menunjukkan batas-batas titik koordinat secara jelas. b). Status tanah atau wilayah yang bersangkutan. c). Proposal pembinaan masyarakat di sekitar lokasi tambang. (tambahan untuk izin ekploitasi). d). Dokumen AMDAL dan/atau UKL/UPL sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (Tambahan untuk izin ekploitasi). Pasal 21, disebutkan bahwa pemegang Ijin Usaha Pertambangan (IUP) berkewajiban untuk: 1. Melaksanakan pemeliharaan di bidang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K- 3), teknik pertambangan yang baik dan benar, serta pengelolaan lingkungan hidup, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan petunjuk-petunjuk dari Pejabat Pelaksana Inspeksi Tambang Daerah dan/atau oleh Pejabat Instansi lainnya yang berwenang. 2. Menyampaikan laporan tertulis hasil pengelolaan dan pemantauan lingkungan secara berkala kepada Dinas dan instansi teknis terkait yang bertanggung jawab atas pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan Dokumen AMDAL dan/atau UKL/UPL yang telah mendapat persetujuan dari pejabat yang berwenang. 3. Mendaftarkan pada Dinas Pertambangan dan Energi semua peralatan tambang dan memasang tanda pendaftaran menurut bentuk dan tempat yang akan diatur dan ditetapkan dalam Keputusan Bupati. 4. Mengutamakan tenaga kerja lokal yang disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan dan kemampuan tenaga kerja yang tersedia. 5. Melaksanakan reklamasi setelah penambangan berakhir. 6. Menyetor ke Pemerintah Kabupaten Kutai sebesar US $ 0,50/ton (lima puluh sen US dolar per ton) dari hasil produksi. 7. Cara penyetoran ayat (6) Pasal ini diatur dengan Keputusan Bupati lebih lanjut. 8. Mematuhi semua ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam IUP.

58 38 9. Melaksanakan program pengembangan masyarakat setempat (community development) dan dikoordinasikan dengan Pemerintah Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Paragraf 7 Pasal 36 tentang perizinan melengkapi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan mengenai perizinan dengan mewajibkan setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL atau upaya pengelolaan lingkungan hidup (UKL) dan upaya pemantauan lingkungan hidup (UPL), wajib memiliki izin lingkungan Peraturan Reklamasi Pertambangan Kewajiban untuk melakukan reklamasi pasca pertambangan secara yuridis formal telah terdapat pada beberapa aturan dan kebijakan. Pada Undangundang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan pasal 30 juga disebutkan bahwa apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lainnya bagi masyarakat sekitarnya. Hal tersebut di atas dipertegas kembali dalam KepMentamben Nomor 1211.K/008/M.PE/1995 tentang pencegahan dan penanggulangan perusakan dan pencemaran lingkungan pada kegiatan usaha pertambangan umum, yang dalam pasal 29 ayat 1 dan 2 menyebutkan: (1) Pengusaha pertambangan dapat diwajibkan untuk menempatkan dana jaminan pelaksanaan reklamasi dan mendepositokan dana tersebut dalam rekening perusahaan yang bersangkutan di suatu bank yang ditunjuk oleh pemerintah, (2) Besarnya dana jaminan pelaksanaan reklamasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan tata cara penempatan serta pengembaliannya, ditetapkan oleh Direktur Jenderal, (3) Dana jaminan sebagaimana dimaksud ayat (1) Tidak membebaskan pengusaha pertambangan untuk melaksanakan reklamasi. Walaupun dengan adanya jaminan dana reklamasi, pengusaha juga harus melakukan penataan (reklamasi) lahan bekas tambang. Dalam Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 1453 K/29/MEM/2000, jumlah

59 39 jaminan reklamasi ditetapkan berdasarkan biaya reklamasi sesuai dengan Rencana Tahunan Pengelolaan Lingkungan untuk jangka waktu 5 tahun dan bagi perusahaan tambang yang umurnya kurang dari lima tahun, jumlah jaminan reklamasi ditetapkan sesuai dengan rencana reklamasi untuk jangka waktu umur tambangnya. Jaminan reklamasi ini harus ditempatkan sebelum melakukan kegiatan penambangan atau operasi produksi dan diajukan kepada Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk. Pencairan dana jaminan reklamasi dilakukan beberapa tahap yaitu: 60% setelah penataan disposal atau penataan top soil dan 20% setelah melakukan revegetasi serta 20% setelah kegiatan reklamasi dinyatakan selesai oleh Menteri/Gubernur/Bupati/ Walikota. Langkah-langkah konservasi seperti Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, konservasi tanah, konservasi air dan konservasi udara perlu dilakukan dalam rangka memacu pelaksanaan reklamasi agar sebanding dengan lajunya aktifitas penambangan dan untuk mengoptimalkan upaya pemulihan lingkungan bekas tambang melalui program reklamasi sesuai dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pencemaran lingkungan hidup dan aturan reklamasi menjadi penting diperhatikan sesuai KepMentamben Nomor 1211.K/008/M.PE/1995 tentang Pencegahan dan Penangulangan Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Umum, juga Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 146/Kpts.II/1994 tentang Pedoman Reklamasi Bekas Tambang dalam Kawasan Hutan dapat menjelaskan secara rinci. Pencegahan dan penanggulangan perusakan dan pencemaran lingkungan dalam Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1211.K/008/M.PE/1995, mengatur kewajiban pemilik kuasa pertambangan tentang reklamasi. KepMentamben Nomor 1211.K/008/M.PE/1995 ini membuat Peraturan Pemerintah Nomor 04/P/M/ Pertamb/77 tanggal 28 September 1977 dan peraturan pelaksanaannya dinyatakan tidak berlaku lagi. Berikut diuraikan tentang definisi untuk dapat memahami hal-hal tersebut. 1. Pencegahan dan penanggulangan perusakan dan pencemaran lingkungan adalah salah satu upaya terpadu dalam pelaksanaan pengelolaan dan

60 40 pemantauan lingkungan sehingga tercapai tujuan pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan pengendalian, pemulihan dan pengembangan lingkungan pada kegiatan usaha pertambangan umum. 2. Penambangan adalah kegiatan yang dilakukan baik secara manual maupun mekanis untuk mendapatkan bahan galian. 3. Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan umum, agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya. 4. Pasca tambang adalah masa setelah berhentinya kegiatan tambang pada seluruh atau sebagian wilayah usaha pertambangan eksploitasi/operasi produksi, baik karena berakhirnya izin usaha pertambangan dan atau karena dikembalikannya seluruh atau sebagian wilayah usaha pertambangan eksploitasi/operasi produksi. 5. Tanah pucuk (top soil) adalah lapisan tanah pada horizon teratas yang mengandung unsur hara. 6. Tanah penutup adalah tanah dan atau batuan yang menutupi bahan galian atau berada di antara bahan galian. 7. Tailing adalah material buangan dari proses pengolahan. 8. Pengusaha pertambangan adalah pimpinan perusahaan pertambangan yang ditunjuk sesuai ketentuan pada badan usaha perusahaan tersebut. 9. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bertanggung jawab di bidang pertambangan umum. Pasal 6 Kepmentamben Nomor 1211.K/008/M.PE/1995 tertulis bahwa pengusaha pertambangan wajib menyampaikan rencana tahunan pengelolaan lingkungan dan rencana tahunan pemantauan lingkungan kepada Kepala Pelaksana Inspeksi Tambang dengan tembusan kepada Kepala Pelaksana Inspeksi Tambang Wilayah. Rencana tahunan pengelolaan lingkungan yang memuat antara lain rencana peruntukan lahan, teknik dan metode pengelolaan lingkungan, jadwal/pelaksanaan pekerjaan dan penyelesaian tiap tahap reklamasi, luas lahan yang akan direklamasi, jenis tanaman yang akan ditanam, dan perkiraan biaya. Rencana tahunan pemantauan lingkungan memuat antara lain parameter

61 41 lingkungan yang dipantau, lokasi/titik pantau, kekerapan pemantauan, perkiraan biaya pemantauan. Perlakuan dan pengolahan untuk air larian diatur pada Pasal 9 dan 10, disebutkan bahwa air aliran permukaan (run off) yang mengalir di permukaan daerah yang terbuka harus dialirkan melalui saluran yang berfungsi dengan baik ke kolam pengendapan sebelum dibuang ke perairan umum. Kolam pengendapan harus dibuat di lokasi yang stabil serta terpelihara dan berfungsi dengan baik. Air yang berasal dari kegiatan usaha pertambangan sebelum dialirkan ke perairan umum harus diolah terlebih dahulu sehingga memenuhi baku mutu lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada pasal 11 disebutkan bahwa lereng yang dibentuk dan atau terbentuk pada kegiatan usaha pertambangan harus mantap sesuai dengan kondisi lingkungan setempat. Reklamasi daerah bekas penambangan harus dilakukan secepatnya sesuai dengan rencana reklamasi dan persyaratan yang telah ditetapkan. Reklamasi dinyatakan selesai apabila telah disetujui oleh Direktur Jenderal. Kepala Teknik Tambang wajib melakukan penanaman kembali daerah bekas penambangan dan daerah yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) yang bersangkutan. Pelaksanaan penambangan (Pasal 15), yaitu: (1) pembukaan lahan harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan penambangan, (2) tanah pucuk (top soil) hasil pengupasan harus segera dimanfaatkan untuk keperluan revegetasi, (3) tanah penutup hasil pengupasan dan material buangan lainnya harus ditimbun dengan cara yang benar dan pada tempat yang aman, (4) timbunan tanah penutup dan material buangan lainnya harus dipantau secara berkala, (5) gangguan keseimbangan hidrologis harus seminimal mungkin, (6) kegiatan penambangan dan penimbunan bahan galian, limbah serta penampungan air limpasan harus dilakukan sedemikian rupa sehingga air tanah terhindar dari pencemaran, (7) kegiatan transportasi terutama yang melalui daerah pemukiman tidak boleh menimbulkan polusi udara. Pelaksanaan kegiatan tambang permukaan dengan sistem jenjang perlu dilakukan studi tentang kemantapan lereng, sesuai dengan ketentuan peraturan

62 42 perundang-undangan yang berlaku. Tanah lapisan atas (top soil) yang tidak dapat segera dimanfaatkan kembali untuk keperluan revegetasi, perlu diamankan dari perusakan dan erosi. Pelaksanaan kegiatan tambang permukaan dan tambang bawah tanah sedapat mungkin dilakukan dengan metode pengisian kembali (back filling). Penambangan dengan metode pengisian kembali (back filling) harus memanfaatkan tanah penutup atau tailing sebagai bahan pengisian kembali daerah bekas penambangan (Pasal 16). Pengusaha pertambangan wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Direktur Jenderal mengenai rencana penutupan tambang, selambatlambatnya 1 (satu) tahun sebelum berakhirnya operasi penambangan. Kewajiban tersebut berlaku juga bagi rencana pengembalian seluruh atau sebagian dari wilayah usaha pertambangan tahap eksploitasi/operasi produksi. Laporan rencana penutupan tambang memuat mengenai adanya dampak lingkungan yang perlu dikelola pada pasca tambang dan pelaksanaan pengelolaan dampak lingkungan dimaksud. Adapun batas waktu tanggung jawab pengusaha pertambangan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan pada pasca tambang ditetapkan oleh Direktur Jenderal. Pentingnya reklamasi juga tertuang dalam dalam Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 146/Kpts-II/1999 tentang pedoman reklamasi bekas tambang dalam kawasan hutan tetap menimbang : (1) bahwa pada persiapan penggunaan kawasan hutan harus sesuai dengan fungsi dan peruntukannya; (2) bahwa kegiatan usaha pertambangan dan energi dalam kawasan hutan yang digunakan untuk menunjang pembangunan, telah mengakibatkan kerusakan lingkungan dan harus segera dilakukan reklamasi bekas tambang; (3) bahwa dalam pelaksanaan reklamasi bekas tambang diperlukan koordinasi dan sinkronisasi yang sebaik-baiknya di pusat maupun di daerah; (4) bahwa dalam rangka hal tersebut di atas perlu ditetapkan Pedoman Reklamasi Bekas Tambang dalam Kawasan Hutan dalam bentuk Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan. Ketentuan umum Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 146/Kpts-II/1999 mendefinisikan :

63 43 a. Reklamasi bekas tambang yang selanjutnya disebut reklamasi adalah usaha memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi dalam kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi agar dapat berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. b. Kawasan hutan adalah wilayah-wilayah tertentu yang oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan ditetapkan untuk dipertahankan sebagai hutan tetap. c. Perusahaan pertambangan dan energi adalah orang atau badan usaha yang diberi hak untuk melaksanakan usaha pertambangan dan energi dalam kawasan hutan berdasarkan Kuasa Pertambangan dan Perjanjian Kerja. d. Revegetasi adalah usaha/kegiatan penanaman kembali lahan bekas tambang. e. Rehabilitasi lahan adalah usaha memperbaiki, memulihkan kembali dan meningkatkan kondisi lahan yang rusak (kritis), agar dapat berfungsi secara optimal, baik sebagai unsur produksi, media pengatur tata air maupun sebagai unsur perlindungan alam lingkungan. Pasal 2 menyebutkan bahwa tujuan reklamasi ialah untuk memulihkan kondisi kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi sehingga kawasan hutan yang dimaksud dapat berfungsi kembali sesuai dengan peruntukannya (Pasal 2). Adapun kewajiban perusahaan pertambangan dan energi dicantumkan pada Pasal 3, yaitu : (1) Melaksanakan reklamasi lahan bekas tambang atas kawasan hutan yang dipinjam-pakai, (2) Menanggung biaya pelaksanaan reklamasi lahan bekas tambang atas kawasan hutan yang dipinjam-pakai, (3) Mempunyai organisasi pelaksana reklamasi lahan bekas tambang dalam kawasan hutan, (4) Melakukan usaha perlindungan dan pengamanan hutan atas kawasan hutan yang dipinjam-pakai, (5) Perusahaan pertambangan dan energi wajib menyerahkan uang jaminan reklamasi, yang diserahkan ke Bank yang ditunjuk pada saat perjanjian pinjam-pakai kawasan hutan untuk pertambangan dan energi, (6) Uang jaminan dapat berupa bank garansi, (7) Besarnya uang jaminan reklamasi ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan tersendiri. Menurut keputusan ini ruang lingkup reklamasi meliputi tahapan kegiatan Inventarisasi lokasi reklamasi, Penetapan lokasi reklamasi, Perencanaan reklamasi (Penyusunan reklamasi dan Penyusunan rancangan reklamasi) dan

64 44 Pelaksanaan reklamasi yang meliputi: (1) penyiapan lahan, (2) pengaturan bentuk lahan (land scaping), (3) pengendalian erosi dan sedimentasi, (4) pengelolaan lapisan olah (top soil), (5) revegetasi, dan (6) pemeliharaan. Penentuan besarnya dana jaminan reklamasi ditentukan dan berpedoman terhadap dokumen AMDAL dan/atau UKL/UPL yang telah ditetapkan sebelumnya. Dimana di dalam dokumen AMDAL dan/atau UKL/UPL terdapat besarnya dana yang dianggarkan untuk pelaksanaan reklamasi pasca tambang, dengan mengacu hal tersebut maka pemerintah dan pengusaha menetapkan berapa besar dana jaminan reklamasi yang harus di setorkan ke bank yang telah ditunjuk pemerintah. Dana jaminan reklamasi yang disetorkan ke bank dapat dikembalikan bila pengusaha telah melakukan reklamasi pasca tambang. Penerapan di tingkat Kabupaten Kutai Kartanegara disesuaikan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 2 Tahun 2001 tentang izin usaha pertambangan umum daerah, yang juga merujuk pada hirarki peraturan di atasnya. Langkah-langkah Reklamasi dan Penutupan Tambang dan alur penentuan jaminan reklamasi dapat dilihat pada Gambar 5. Dokumen AMDAL dan/atau UKL/UPL Rencana Reklamasi sesuai Dokumen AMDAL dan/atau UKL/UPL Besar Biaya yang Untuk Reklamasi Pasca Tambang Pemerintah (Menteri, Gubernur, Bupati) Penentuan Besar Jaminan Reklamasi Pengusaha Penyetoran Uang Ke Bank Bank Gambar 5. Alur Penentuan Dana Jaminan Reklamasi

65 45 Penentuan dana jaminan reklamasi seperti yang telah di atur di dalam pasal 23 Peraturan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang, menjelaskan bahwa jaminan reklamasi harus menutup seluruh biaya pelaksanaan kegiatan reklamasi dan biaya pelaksanaan kegiatan reklamasi harus memperhitungkan pelaksanaan kegiatan reklamasi oleh pihak ketiga, sedangkan mengenai mata uang jaminan reklamasi dapat ditempatkan dalam bentuk Rupiah maupun dolar Amerika Serikat. Adapun besarnya jaminan reklamasi dihitung berdasarkan biaya (1) Biaya langsung yang meliputi antara lain: (a) penatagunaan lahan, (b) revegetasi, (c) pencegahan dan penanggulangan air asam tambang, dan (d) pekerjaan sipil, (2) Biaya tidak langsung antara lain: (a) mobilisasi dan demobilisasi, (b) perencanaan kegiatan reklamasi, (c) administrasi dan keuntungan pihak ketiga sebagai kontraktor pelaksana reklamasi, dan (d) supervisi Setelah pengusaha melakukan penempatan dana jaminan reklamasi maka pengusaha tersebut berhak melakukan eksploitasi batubara. Tata cara penggalian tambang yang benar adalah dengan mengikuti tata cara yang sudah ditetapkan pemerintah melalui pasal 15, Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor: 1211.K/008/M.PE/1995 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Umum Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS); Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup;Pengembangan Masyarakat dan Kemitrausahaan Penggunaan sumberdaya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mewajibkan Pemerintah dan pemerintah daerah untuk membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Hasil KLHS harus dijadikan dasar bagi kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah.

66 46 Definisi kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) sesuai Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 15 mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah membuat KLHS untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melaksanakan KLHS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam penyusunan atau evaluasi: a. rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan b. kebijakan, rencana, dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko lingkungan hidup. KLHS dilaksanakan dengan mekanisme: a. Pengkajian pengaruh kebijakan, rencana, dan/atau program terhadap kondisi lingkungan hidup di suatu wilayah; b. perumusan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana, dan/atau program; dan c. Rekomendasi perbaikan untuk pengambilan keputusan kebijakan, rencana, dan/atau program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan. KLHS memuat kajian antara lain: a. kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup untuk pembangunan; b. perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup; c. kinerja layanan/jasa ekosistem; d. efisiensi pemanfaatan sumberdaya alam; e. tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; dan f. tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup secara rinci dapat dilihat pada paragraf 4 pasal 21 dan dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria yang dilengkapi dengan amdal sesuai pasal 22, pasal 23. Instrumen ekonomi lingkungan hidup seperti yang dimuat dalam Paragraf 8 Pasal 42 mengisyaratkan pentingnya melestarikan fungsi lingkungan hidup dan

67 47 menggerakkan perekonomian di kawasan pertambangan. Pasal 42 ayat: (1) Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengambangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup, (2) Instrumen ekonomi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi; b. pendanaan lingkungan hidup; dan c. insentif dan/atau disintensif. Insentif merupakan upaya memberikan dorongan atau daya tarik secara moneter dan/atau non moneter kepada setiap orang ataupun pemerintah dan pemerintah daerah agar melakukan kegiatan yang berdampak positif pada cadangan sumberdaya alam dan kualitas fungsi lingkungan. Disinsentif merupakan pengenaan beban atau ancaman secara meneter dan/atau nonmoneter kepada setiap orang ataupun pemerintah dan pemerintah daerah agar mengurangi kegiatan yang berdampak negatif pada cadangan sumberdaya alam dan kualitas fungsi lingkungan hidup. Pasal 43 ayat 3 menyatakan bahwa insentif dan/atau disinsentif antara lain diterapkan dalam bentuk : a. Pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan. b. Penerapan pajak, retribusi dan subsidi lingkungan hidup. c. Pengembangan sistem lembaga keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan hidup. d. Pengembangan sistem perdagangan izin pembuangan limbah dan/atau emisi. e. Pengembangan sistem pembayaran jasa lingkungan hidup. f. Pengembangan asuransi lingkungan hidup. g. Pengembangan sistem label ramah lingkungan hidup, dan h. Sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Mengenai sanksi lingkungan hidup menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 pasal 34 menyebutkan bahwa Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan penyidik pejabat negeri sipil menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dalam pasal 43 lebih spesifik lagi bunyinya Barang siapa yang dengan melanggar

68 48 ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, atau sangat beralasan perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam hukuman pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp , (tiga ratus juta rupiah) dan untuk perlindungan masyarakat undang-undang ini mengatur dalam pasal 37 bahwa jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk kepentingan masyarakat. Undang- Undang Nomor 23 Tahun 1997 selaras dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Bab XII Pasal 71 dan XV Pasal 96, 97 sampai dengan Pasal 120 dengan lebih ketat lagi mengenakan fungsi pengawasan sanksi administratif juga ketentuan pidananya yang jauh lebih besar dibanding sebelumnya. Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Peran masyarakat diatur dalam Bab XI Pasal 70 yaitu: (1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, (2) Peran masyarakat dapat berupa: a. pengawasan sosial, b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan dan pengaduan; dan/atau penyampaian informasi dan/atau laporan, (3) Peran masyarakat dilakukan untuk: a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan; c. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. Selanjutnya fungsi pengawasan ini diatur dalam Bab XII Pasal 74. Asas partisipatif adalah bahwa setiap anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun

69 49 tidak langsung. Asas kearifan lokal adalah bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. Wewenang pengelolaan lingkungan hidup oleh masayarakat juga diakomodir dalam Bab IV Pasal 8, bahwa sumberdaya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat, serta pengaturannya ditentukan oleh Pemerintah Hasil Penelitian Terdahulu dengan Analisis Indeks Keberlanjutan Hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan topik penelitian ini baik dari metode penelitian maupun dari pendekatan sistem yaitu: (1) Wonny Ahmad Ridwan (2006) dengan judul penelitian Model Agribisnis Peternakan Sapi Perah Berkelanjutan pada Kawasan Pariwisata di Kabupaten Bogor (Kasus Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Megamendung), (2) Dwi Iswari (2008) dengan judul penelitian Indeks Keberlanjutan Pengembangan Kawasan Sentra Produksi Jeruk dengan Rap-CITRUS Studi Kasus di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, dan (3) Hardy Benry Simbolon (2009) dengan judul penelitian Model Analisis Kebijakan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Berkelanjutan (Studi Kasus: Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya, Kabupaten Pontianak). Ridwan (2006) analisis berkelanjutan dilakukan dengan menggunakan multidimensional scalling (MDS), yang mengukur enam atribut dimensi berkelanjutan yaitu dimensi ekologis, dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya, dimensi hukum, dimensi kelembagaan, dan dimensi teknologi sedangkan dimensi waktu dilihat dari analisis sistem dinamik dengan memanfaatkan nilai-nilai yang telah ada. Berikut yang diuraikan hanya dimensi ekologi, dimensi ekonomi dan dimensi sosial. Dimensi keberlanjutan ekologis adalah berkaitan dengan memelihara keberlanjutan daya dukung lingkungan sehingga tidak melewati batas kemampuannya untuk mendukung seluruh aktifitas yang ada didalamnya dan meningkatkan kualitas dari ekosistem yang mendukung keberlanjutan pengembangan sapi perah dilihat dari aspek lingkungannya. Ada 14 atribut yang menjadi ciri dan faktor keberlanjutan ekologis yaitu: (1) pemanfaatan limbah ternak untuk kompos, (2) ketinggian, (3) kecocokan suhu, (4) kecocokan

70 50 kelembaban, (5) curah hujan, (6) kemiringan, (7) kesuburan tanah, (8) luas lahan terbuka, (9) kepadatan ternak, (10) sarana pengolah limbah, (11) kepadatan penduduk, (12) daya dukung wilayah, (13) luas lahan pertanian, dan (14) produktivitas rata-rata sapi perah. Dimensi keberlanjutan ekonomi adalah menggambarkan bahwa keberlanjutan pengembangan sapi perah harus memperhatikan kesejahteraan pelaku usaha sapi perah dan dapat mempertahankan dan meningkatkan tingkat kesejahteraannya. Terdapat 14 atribut yang menjadi ciri dan faktor keberlanjutan ekonomi yaitu: (1) kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (PAD), (2) tingkat upah yang diberikan, (3) tingkat keuntungan, (4) adanya pembatasan usaha, (5) besarnya subsidi, (6) proporsi pendapatan terhadap pengeluaran konsumsi ratarata, (7) kepemilikan sapi laktasi rata-rata, (8) penyerapan tenaga kerja informal dari setiap peternak, (9) sumber modal, (10) kepemilikan usaha, (11) prospek permintaan produksi, (12) potensi pertumbuhan, (13) ketersediaan sarana produksi, dan (14) pemasaran produksi. Dimensi keberlanjutan sosial budaya menggambarkan bahwa keberlanjutan pengembangan usaha sapi perah harus memperhatikan interaksi komunitas peternak dan masyarakat sekitarnya serta manfaat yang dapat diambil oleh masyarakat dari adanya pengembangan sapi perah. Terdapat sembilan atribut yang menjadi ciri dan faktor keberlanjutan sosial budaya yaitu: (1) pengalaman beternak sapi perah, (2) pekerjaan orang tua, (3) respon masyarakat terhadap peternakan sapi perah, (4) pertumbuhan rumah tangga peternakan, (5) adanya protes masyarakat terhadap keberadaan peternakan sapi perah, (6) jumlah RT peternakan dibandingkan sektor lain, (7) persentase peternakan dari total pendapatan, (8) adanya kebiasaan/adat yang mengatur pengelolaan alam, dan (9) partisipasi keluarga dalam peternakan. Hasil penelitian Ridwan (2006) adalah dimensi ekologis, ekonomi, sosial budaya, hukum, kelembagaan, dan teknologi dengan 63 atribut dapat mendukung mengukur tingkat keberlanjutan agribisnis sapi perah di Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Megamendung dengan nilai berada pada tingkat 67,13 dalam skala 0 100, atau dalam kategori cukup berkelanjutan. Dimensi ekologis berada pada posisi 74,55 dari indeks 0 100, atau dalam kategori cukup berkelanjutan.

71 51 Analisis leverage dalam RAPDAIRY memperlihatkan atribut pengungkit adalah atribut produktivitas, atribut pengelolaan limbah, atribut ketinggian, atribut luas lahan pertanian, dan atribut daya dukung wilayah. Dimensi ekonomi mempunyai nilai 57,5 atau dalam kategori cukup berkelanjutan dari indeks Atribut pengungkit yang sangat berperan terhadap keberlanjutan agribisnis sapi perah adalah atribut potensi pertumbuhan, atribut prospek permintaan susu, dan atribut ketersediaan sarana produksi. Dimensi sosial budaya berada pada tingkat 37,40 dari skala 0 100, atau dalam kategori kurang berkelanjutan dan seluruh atribut yang ada dalam dimensi sosial budaya masuk dalam kategori penting dan berkontribusi dalam peningkatan keberlanjutan agribisnis sapi perah. Iswari (2008), analisis berkelanjutan dilakukan dengan menggunakan multidimentional scalling (MDS), dengan kategori nilai indeks keberlanjutan (IKB) yang kurang dari 50% atau <50% termasuk dalam kriteria tidak berkelanjutan sedangkan IKB dengan nilai lebih besar dari 50% atau >50% termasuk kriteria berkelanjutan. Atribut enam dimensi berkelanjutan yaitu dimensi ekologi, dimensi sosial, dimensi ekonomi, dimensi teknologi, dimensi kelembagaan, dan dimensi etika dan hukum. Berikut yang diuraikan hanya dimensi ekologi, dimensi ekonomi dan dimensi sosial. Dimensi keberlanjutan ekologi menyertakan 17 atribut dalam analisis keberlanjutan. Atribut yang menunjukkan kondisi di lapangan pengembangan KSPJB untuk dimensi ekologi yaitu: (1) luas lahan usahatani jeruk yang dikelola, (2) luas lahan usahatani bukan jeruk yang dikelola, (3) jumlah tanaman jeruk yang dimiliki, (4) jumlah tanaman yang mati selama pertumbuhan, (5) rata-rata umur tanaman jeruk yang dimiliki, (6) produktivitas per tanaman, (7) tingkat serangan kutu sisik, (8) tingkat serangan Phytophthora sp, (9) tingkat serangan CVPD, (10) jarak kebun dengan rumah, (11) lama tanaman terendam air/banjir, (12) tindakan konservasi pada lahan miring yang dilakukan, (13) pengelolaan lahan dan lingkungan, (14) curah hujan, (15) lama masa kering, (16) penggunaan bibit, dan (17) kesesuaian lahan dan agroklimat jeruk. Dimensi keberlanjutan ekonomi terdapat sembilan atribut yaitu: (1) hasil selain jeruk, (2) tanaman sela (jarak<4 tahun), (3) tanaman sela (jarak>4tahun), (4) keuntungan dari usahatani jeruk yang diperoleh, (5) cara menjual buah jeruk

72 52 yang dihasilkan, (6) tempat penjualan jeruk, (7) daya saing produk, (8) akses jalan, dan (9) akses pasar. Dimensi keberlanjutan sosial terdapat delapan atribut yaitu: (1) kepemilikan lahan, (2) status lahan yang digunakan, (3) tingkat pendidikan, (4) umur petani, (5) penggunaan waktu untuk usahatani jeruk, (6) partisipasi keluarga (usia kerja tahun) dalam usahatani jeruk, (7) pandangan masyarakat terhadap usaha tani jeruk, dan (8) respon petani terhadap penggunaan tenaga kerja dengan bertambahnya umur tanaman. Hasil penelitian Iswari (2006), indeks keberlanjutan (IKB) KSPJB hasil simulasi Rap-CITRUS melalui lima dimensi keberlanjutan yaitu dimensi ekologi, sosial, ekonomi, teknologi, dan kelembagaan menunjukkan bahwa secara keseluruhan pengembangan KSPJB di Kabupaten Agam termasuk dalam kategori tidak berkelanjutan, dengan IKB sebesar 47%. IKB dimensi ekologi dan sosial sebesar 51% dan 56% termasuk dalam kriteria berkelanjutan sedangkan dimensi ekonomi, teknologi dan kelembagaan berturut-turut sebesar 48%, 41% dan 31% termasuk dalam kriteria tidak berkelanjutan. Simulasi Rap-CITRUS melalui peningkatan ke 14 atribut sensitif terhadap keberlanjutan dapat meningkatkan IKB eksisting gabungan lima dimensi dari 46,91% menjadi 54,29% (berkelanjutan), dimensi teknologi dan kelembagaan belum menunjukkan berkelanjutan berturutturut sebesar 42,63% dan 49,35%. Faktor dominan/sensitif yang berpengaruh terhadap keberlanjutan KSPJB hasil analisis leverage ada 14 atribut yang diuraikan hanya 10 diantaranya hanya yang berhubungan dengan dimensi ekologi, dimensi ekonomi dan dimensi sosial. Dimensi ekologi (4) memperlihatkan atribut pengungkit adalah atribut rata-rata umur tanaman, atribut jumlah tanaman mati, atribut lama terendam, dan atribut serangan CVPD. Dimensi ekonomi (2) memperlihatkan atribut pengungkit adalah atribut keuntungan jeruk, dan akses jalan. Dimensi sosial (4) memperlihatkan atribut pengungkit adalah tingkat pendidikan petani, status lahan, partisipasi keluarga, dan pandangan tentang usahatani jeruk. Simbolon (2009), analisis berkelanjutan dilakukan dengan menggunakan multidimentional scalling (MDS), dengan kategori nilai indeks keberlanjutan lebih dari 75% maka pengembangan tersebut berkelanjutan (sustainable) dan

73 53 sebaliknya jika kurang <75% maka termasuk dalam kriteria belum berkelanjutan (unsustainable). Pada kondisi belum berkelanjutan, terdapat beberapa strata yang menunjukkan kondisi kawasan yakni cukup berkelanjutan, kurang berkelanjutan, dan tidak berkelanjutan. Atribut dari lima dimensi berkelanjutan yaitu dimensi ekologi, dimensi sosial, dimensi ekonomi, dimensi teknologi, dan dimensi hukum dan kelembagaan. Berikut yang diuraikan hanya dimensi ekologi, dimensi ekonomi dan dimensi sosial. Keberlanjutan ekologi adalah stabilitas global untuk seluruh ekosistem, khususnya sistem fisik dan biologi. Dalam kaitan dengan pengembangan kawasan transmigrasi keberlanjutan ekologi adalah menjaga keanekaragaman hayati, konservasi lahan dan air, tidak melakukan eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya alam dan tidak terjadi pembuangan limbah yang melebihi kapasitas asimilasi lingkungan. Atribut dimensi ekologi (14) keberlanjutan pengembangan Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya adalah: (1) pemanfaatan limbah pertanian untuk pupuk organik, (2) pemanfaatan limbah pertanian untuk pakan ternak, (3) penggunaan pupuk organik, (4) penggunaan pestisida kimiawi, (5) lahan (kesuburan tanah), (6) tingkat pemanfaatan lahan, (7) tingkat kesesuaian penggunaan lahan, (8) agroklimat, (9) ketersediaan tempat pembuangan sementara (TPS) limbah pertanian, (10) pola pengembangan usahatani, (11) penggunaan bibit untuk kegiatan usahatani, (12) ketersediaan air, (13) frekuensi musim tanam, dan (14) pola tanam. Keberlanjutan ekonomi adalah arus maksimum pendapatan yang dapat diciptakan dari asset (modal) yang minimal dengan manfaat yang optimal. Dalam kaitan dengan pengembangan Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya dimensi keberlanjutan ekonomi terdapat 15 atribut yaitu: (1) keuntungan, (2) kontribusi terhadap pajak bumi dan bangunan (PBB) terhadap desa sekitar, (3) rata-rata penghasilan masyarakat transmigran relatif terhadap upah minimum regional (UMR) Provinsi Kalimantan Barat, (4) transfer keuntungan, (5) besarnya pasar, (6) tempat menjual hasil pertanian, (7) besarnya subsidi, (8) harga komoditi hasil pertanian, (9) kemampuan teknis pengelolaan keuangan, (10) akses masyakarat transmigran terhadap sumber modal, (11) tabungan keluarga, (12) kepemilikan teknologi untuk kegiatan usahatani, (13) komoditi unggulan, (14) perubahan

74 54 prasarana ekonomi 10 tahun terakhir, dan (15) perubahan jumlah sarana ekonomi 10 tahun terakhir. Keberlanjutan sosial adalah terjaganya stabilitas sistem sosial dan budaya, termasuk reduksi konflik yang merusak. Dalam kaitan dengan pengembangan kawasan transmigrasi keberlanjutan dimensi sosial adalah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia (pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan), mencegah terjadinya berbagai konflik, menciptakan keadilan dalam kehidupan masyarakat, terjadinya pemerataan pemdapatan, terbukanya kesempatan berusaha, dan partisipasi masyarakat. Atribut dimensi sosial keberlanjutan pengembangan Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya (15) yaitu: (1) sosialisasi pekerjaan (individual atau kelompok), (2) pengetahuan terhadap lingkungan, (3) tingkat pendidikan relatif terhadap pendidikan tingkat provinsi, (4) frekuensi konflik antara masyarakat lokal-transmigran, (5) partisipasi keluarga dalam kegiatan usahatani, (6) respon masyarakat lokal terhadap masyarakat transmigran, (7) frekuensi penyuluhan dan pelatihan tentang lingkungan, (8) besarnya pengaruh daerah sekitar, (9) adanya tokoh panutan yang disegani, (10) kerukunan hidup antar umat beragama, (11) budaya gotong-royong, (12) status kesehatan masyarakat, (13) status gizi masyarakat, (14) pertambahan penduduk yang masuk di kawasan transmigrasi, dan (15) frekuensi kegiatan mental/spiritual. Hasil penelitian Simbolon (2009), indeks keberlanjutan IKKTrans 45,85 pada skala Dari lima dimensi keberlanjutan yang dianalisis, dimensi sosial serta dimensi hukum dan kelembagaan tergolong pada kategori cukup berkelanjutan, sedangkan dimensi ekologi, ekonomi, dan teknologi tergolong kurang berkelanjutan. Faktor-faktor sensitif sebagai pengungkit yang mempengaruhi keberlanjutan pengembangan Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya adalah: dimensi ekologi (5): pemanfaatan limbah pertanian untuk pupuk organik, tingkat pemanfaatan lahan, ketersediaan air, penggunaan pestisida kimiawi, dan ketersediaan TPS limbah pertanian. Dimensi ekonomi (4) memperlihatkan atribut pengungkit adalah harga komoditi hasil pertanian, tempat menjual hasil pertanian, besarnya pasar, dan transfer keuntungan. Dimensi sosial (4) memperlihatkan atribut pengungkit adalah pengaruh daerah sekitar, respon masyarakat lokal,

75 55 partisipasi keluarga dalam kegiatan usahatani, dan frekuensi konflik. Skenario pengembangan kawasan yang optimal memberikan hasil yang cukup berkelanjutan dengan nilai IKKTrans 68,42 dan skenario moderat memberikan hasil yang cukup berkelanjutan dengan nilai IKKTrans 56,76 pada skala

76 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada areal lahan pasca tambang batubara di Kabupaten Kutai Kartanegara. Lokasi penelitian terdapat di dua kecamatan yaitu Kecamatan Tenggarong Seberang dan Kecamatan Sebulu. Pemilihan kedua kecamatan tersebut diambil secara purposive sampling karena mempunyai luas wilayah dan potensi terbesar batubara yaitu hampir mencapai 97% dari seluruh cadangan batubara yang terdapat di Kabupaten Kutai Kartanegara. Sampel perusahaan pertambangan batubara dipilih areal PT Kitadin yang terdapat di Kecamatan Tenggarong Seberang dan areal PT Tanito Harum yang terdapat di Kecamatan Sebulu. Kedua perusahaan tersebut merupakan perusahaan terbesar dan memiliki wilayah operasional terluas. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 6. Penelitian dilaksanakan dari bulan April 2008 hingga Desember Jenis Data dan Sumber Data Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer meliputi kondisi ekologi-fisik lingkungan (tanah, air dan vegetasi) serta persepi masyarakat terhadap keberadaan tambang batubara. Data sekunder terdiri dari data sosial, ekonomi, dan kebijakan terkait pertambangan batubara. Jenis data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data serta output yang di harapkan untuk tiap tujuan penelitian dapat dilihat pada Tabel Metode Pengumpulan Data dan Analisis Data Metode pengumpulan data dan analisis data disesuaikan dengan tiga dimensi yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi dan dimensi sosial. Komponen masing-masing dimensi yang diperlukan untuk justifikasi dan dibandingkan dengan sumber data referensi dan standar baku mutu. Metode pengumpulan dan analisis data dapat dilihat pada Tabel 2.

77 57 Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian 57

78 58 Tabel 1. Tujuan, Jenis Data, Sumber Data, Teknik Analisis dan Keluaran Tujuan Penelitian 1. Mengetahui kondisi saat ini faktor fisik lingkungan meliputi tanah, air dan vegetasi Jenis data Yang dikumpulkan Tanah Air Vegetasi Sumber Data Primer Teknik pengumpulan data Pengambilan sampel air, tanah Pengamatan vegetasi Teknik Analisis Data Analisis laboratorium Jalur petak Keluaran (output) yang diharapkan Kualitas tanah, air dan vegetasi 2. Mengetahui indeks keberlanjutan kondisi saat ini pasca tambang batubara, berdasarkan dimensi ekologi, ekonomi dan sosial Ekologi Sosial Ekonomi Primer Sekunder Hasil uji laboratorium dan jalur petak pengamatan Kuesioner Wawancara Data dari instansi terkait Studi literatur FGD MDS Nilai indeks keberlanjutan kawasan pasca tambang batubara 3. Mengetahui faktor kunci pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan Kebijakan terkait tambang batubara Leverage of Attributes hasil MDS Sekunder Studi literatur FGD Telaah kebijakan Analisis kebutuhan stakeholder Analisis prospektif Menemukan faktor kunci kebijakan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan 4. Merumuskan arahan kebijakan dan strategi implementasi pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan Linkage analisis dari tujuan 1, 2 dan 3 Sekunder Sintesa tujuan 1, 2, dan 3 FGD Analisis deskriptif Disain kebijakan dan strategi implementasi pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan 3.4. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data primer untuk tiap variabel dibagi menjadi tiga bagian besar. Pertama, komponen ekologi-fisik lingkungan (tanah, air dan vegetasi). Kedua, komponen ekonomi melalui wawancara dengan stakeholder.

79 59 Tabel 2. Metode Pengumpulan dan Analisis Data Komponen Parameter Metode Pengumpulan Data Metode Analisis Data Metode Lokasi Dimensi Ekologi Tanah Jenis tanah Kesuburan tanah Erosi Data Primer Areal pasca tambang dilokasi reklamasi dan non reklamasi Analisis Laboratorium Analisis silang baku mutu Air Sifat fisik Sifat kimia Data Primer Air dilokasi reklamasi dan non reklamasi Analisis Laboratorium Analisis silang baku mutu Vegetasi Jenis vegetasi Frekwensi vegetasi Dimensi Ekonomi Dimensi Sosial Kontribusi PDRB Sarana dan prasarana transportasi Status penguasaan lahan Sarana perekonomian Aktivitas perekonomian Mata pencaharian Tingkat pendapatan Aksesibilitas Kesehatan masyarakat Persepsi masyarakat terhadap pertambangan Tatanan adat dan kebiasaan masyarakat Angka beban tanggungan keluarga Rasio relatif Jenis kelamin Migrasi penduduk Konflik sosial Tingkat pendidikan Data primer Areal pasca tambang dilokasi reklamasi dan non reklamasi Data primer dan data sekunder Data primer dan data sekunder Desa-desa terdekat dilokasi wilayah studi Desa-desa terdekat di lokasi wilayah studi Petak pengamatan Deskriptif Penilaian ahli Deskriptif Penilaian ahli Ketiga, komponen sosial, data primer juga dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan stakeholder. Komponen ekologi-fisik lingkungan didapatkan dari hasil uji laboratorium dan pengamatan vegetasi dengan

80 60 mengambil contoh tanah, air dan melihat vegetasi di areal bekas penambangan batubara yang legal, baik yang melakukan reklamasi maupun yang tidak melakukan reklamasi. Tanah dan air di analisis di laboratorium sedangkan vegetasi diamati tanaman apa saja yang tumbuh di tiap lokasi. Tanah. Perusahaan yang dipilih untuk analisis fisik-lingkungan adalah PT. Kitadin dan PT. Tanito Harum. Tanah ditiap areal perusahaan ditentukan lebih dahulu berdasarkan lokasi umur yang paling tua berdasarkan lamanya waktu terhitung sejak terakhir kali penambangan batubara (pasca tambang batubara). Setelah ditentukan lokasi umur kawasan paling tua dibagi menjadi tiga kategori umur yaitu umur paling tua, interval dan umur paling muda dengan penggolongan untuk lokasi yang direklamasi dan untuk lokasi yang tidak direklamasi. Contoh tanah kemudian diberi label dengan kode-kode agar tidak tercampur satu dengan yang lainnya. Untuk memudahkan dalam pembahasan huruf A digunakan lebih dahulu untuk umur kawasan paling muda, huruf B digunakan untuk umur interval, dan huruf C digunakan untuk umur paling tua. Dari masing-masing umur diambil dua contoh tanah dari pembagian dua wilayah sehingga tiap golongan umur diperoleh dua sampel. Umur pasca tambang batubara yang paling tua berdasarkan lamanya waktu terhitung sejak terakhir kali penambangan batubara (pasca tambang batubara) adalah sekitar 10 tahun (C), sekitar 5 tahun (B), dan sekitar 1 tahun (A). Sampel 24 contoh tanah terdiri dari 12 contoh tanah dari PT. Kitadin (6 reklamasi; 6 non reklamasi) dan 12 contoh tanah dari PT. Tanito Harum (6 reklamasi; 6 non reklamasi). Kawasan pasca tambang batubara di PT. Kitadin yang melakukan reklamasi maupun yang tidak melakukan reklamasi (Non Reklamasi) penggolongannya dapat dilihat sebagai berikut: 1. Berdasarkan umur pasca tambang batubara dan melakukan reklamasi: a. PT. Kitadin dengan kode sampel RASK1 (Reklamasi umur A Soil Kitadin contoh 1) dan RASK2 (Reklamasi umur A Soil Kitadin contoh 2). b. PT. Kitadin dengan kode sampel RBSK1 (Reklamasi umur B Soil Kitadin contoh 1) dan RBSK2 (Reklamasi umur B Soil Kitadin contoh 2).

81 61 c. PT. Kitadin dengan kode sampel RCSK1 (Reklamasi umur C Soil Kitadin contoh 1) dan RCSK2 (Reklamasi umur C Soil Kitadin contoh 2). 2. Berdasarkan umur pasca tambang batubara dan non reklamasi: a. PT. Kitadin dengan kode sampel NASK1 (Non Reklamasi umur A Soil Kitadin contoh 1) dan NASK2 (Non Reklamasi umur A Soil Kitadin contoh 2). b. PT. Kitadin dengan kode sampel NBSK1 (Non Reklamasi umur B Soil Kitadin contoh 1) dan NBSK2 (Non Reklamasi umur B Soil Kitadin contoh 2). c. PT. Kitadin dengan kode sampel NCSK1 (Non Reklamasi umur C Soil Kitadin contoh 1) dan NCSK2 (Non Reklamasi umur C Soil Kitadin contoh 2). Kawasan pasca tambang batubara di PT. Tanito Harum yang melakukan reklamasi maupun yang tidak melakukan reklamasi (Non Reklamasi) penggolongannya dapat dilihat sebagai berikut: 1. Berdasarkan umur pasca tambang batubara dan melakukan reklamasi: a. PT. Tanito Harum dengan kode sampel RAST1 (Reklamasi umur A Soil Tanito contoh 1) dan RASK2 (Reklamasi umur A Soil Tanito contoh 2). b. PT. Tanito Harum dengan kode sampel RBST1 (Reklamasi umur B Soil Tanito contoh 1) dan RBST2 (Reklamasi umur B Soil Tanito contoh 2). c. PT. Tanito Harum dengan kode sampel RCST1 (Reklamasi umur C Soil Tanito contoh 1) dan RCST2 (Reklamasi umur C Soil Tanito contoh 2). 2. Berdasarkan umur pasca tambang batubara dan non reklamasi: a. PT. Tanito Harum dengan kode sampel NAST1 (Non Reklamasi umur A Soil Tanito contoh 1) dan NAST2 (Non Reklamasi umur A Soil Tanito contoh 2). b. PT. Tanito dengan kode sampel NBST1 (Non Reklamasi umur B Soil Tanito contoh 1) dan NBST2 (Non Reklamasi umur B Soil Tanito contoh 2). c. PT. Kitadin dengan kode sampel NCST1 (Non Reklamasi umur C Soil Tanito contoh 1) dan NCST2 (Non Reklamasi umur C Soil Tanito contoh 2). Cara pengambilan contoh tanah sebagai berikut: 1. Permukaan tanah dibersihkan dari tanaman, daun dan sisa kotoran lainnya.

82 62 2. Dari tiap lokasi tanah diambil komposit 5 titik masing-masing ½ kg, yaitu dari Timur, Barat, Utara, Selatan dan bagian Tengah, pengambilan tanah dilakukan dengan menggunakan bor dengan kedalaman 30 cm, kemudian tanah dari lima titik dicampur menjadi tanah komposit sebanyak 1kg, contoh tanah dimasukan ke dalam kantung plastik dan diberi label. Kriteria kesuburan tanah berdasarkan kimia tanah dari sifat tanah dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kriteria Kesuburan Tanah Berdasarkan Kimia Tanah Dari Sifat Tanah Kriteria Sangat Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi rendah C (%) <1,00 1,00 2,00 2,01-3,0 3,01-5,0 > 5,00 N (%) <0,10 0,10 0,20 0,21 0, 5 0,51 0,75 >0,75 C/N < > 25 P 2 O 5 Bray I (ppm) P 2 O 5 HCL < 10 < > 35 >60 (mg/100g) K 2 OHCL 25% < >60 (mg/100g) KTK ( me/100g) < > 40 Susunan kation: K ( me/100 g) Na( me/100 g) Mg( me/100 g) Ca( me/100 g) Kejenuhan Basa(%) < 0,1 < 0,1 < 0,4 < 2 0,1 0,2 0,1 0,3 0,4 1, ,3 0,5 0,4 0,7 1,1 2, ,6 1,0 0,8 1,0 2,1 8, > 1,0 > 1,0 > 8,0 > 20 < > 70 Aluminum (%) < >60 phh 2 O <4,5 Sangat masam 4,5 5,5 Masam 5,6 6,5 Agak masam 6,6 7,5 Netral Sumber : Pusat Penelitian Tanah, ,6 8,5 Agak alkalis Air. Dalam melakukan analisis air, langkah pertama adalah melakukan pengecekan terhadap keberadaan air di PT. Kitadin dan PT. Tanito Harum dilokasi reklamasi maupun yang non reklamasi sesuai lokasi tempat contoh tanah tadi diambil. Jika di lokasi terdapat air maka akan diambil sampel. Ditemukan 11 contoh air yaitu 6 contoh air di PT. Kitadin (3 reklamasi; 3 non reklamasi, masing-masing terdiri dari satu air rawa dan dua air parit) dan 5 contoh air di PT. Tanito Harum (2 reklamasi, satu air danau satu air parit; 3 non reklamasi, dua air danau satu air rawa). Contoh air diambil sebanyak satu botol (sekitar 250 cc) dan diberi label.

83 63 Erosi dan Banjir. Analisis untuk erosi dan banjir dilakukan dengan menggunakan pendugaan erosi melalui pendekatan Universal Soil Loss Equation (USLE). Rumus untuk pendugaan erosi yang dikenalkan oleh Wischmeier dan Smith 1962 dalam Hardjowigeno (2007) tersebut adalah : A = R.K.L.S.C.P dimana : A = jumlah tanah yang hilang rata-rata setiap tahun (ton/ha/tahun) R = indeks daya erosi curah hujan(erosivitas hujan) K = indeks kepekaan tanah terhadap erosi (erodibilitas tanah) LS= Faktor panjang (L) dan curamnya (S) lereng C = Faktor tanaman (vegetasi) P = Faktor-faktor pencegahan erosi. Pengembangan model pendugaan prediksi banjir yang dilakukan oleh Hakim (2008) didasarkan pada permodelan fungsi produksi (perhitungan curah hujan netto/sisa dari perubahan curah hujan bruto) dan permodelan fungsi transfer (perhitungan debit aliran permukaan dari perubahan curah hujan sisa melalui jaringan drainase). Perhitungan curah hujan sisa (curah hujan netto) didasarkan pada tiga metode, yaitu (A) perhitungan curah hujan sisa berdasarkan koefisien runoff (Kr), (B) perhitungan curah hujan sisa berdasarkan intersepsi dan infiltrasi, dan (C) perhitungan curah hujan sisa berdasarkan sifat fisik tanah (kapasitas tanah menyimpan air) pada lapisan atas (20 cm). Klasifikasi model pendugaan banjir metode A adalah model kotak kelabu dan untuk metode B dan C adalah model terdistribusi. Perhitungan model curah hujan efektif berdasarkan koefisien runoff (Kr) adalah sebagai berikut : Pn (t) = Pb(t)*Kr...(1) Pn(t) adalah curah hujan netto/sisa (mm), Pb(t) adalah curah hujan bruto (mm) dan Kr adalah koefisien runoff. Perhitungan koefisien runoff (Kr) didasarkan pada persamaan sebagai berikut : Kr = Vro.1000/Pb T.A...(2) Vr adalah volume aliran permukaan (m 3 ), Pb T adalah total curah hujan bruto (mm), dan A adalah luas DAS (m 2 ).

84 64 Perhitungan curah hujan sisa berdasarkan selisih antara curah hujan bruto yang tercatat di penangkaran hujan (Pb) dengan jumlah air yang diintersepsi oleh tanaman (INTCP) dan air diinfiltrasi ke dalam tanah f(t) adalah sebagai berikut : Pn(t) = Pb { INTCP (t) + f (t) }...(3) Perhitungan curah hujan sisa berdasarkan sifat fisik tanah (kapasitas tanah menyimpan air) pada lapisan atas disusun berdasarkan analisis regresi berganda antara curah hujan bruto dan sifat fisik tanah (kapasitas tanah menyimpan air) sebagai variabel bebas dengan curah hujan sisa sebagai variabel tak bebas dan persamaan matematisnya adalah sebagai berikut : Pn(t) = a + b 1.Pb + b 2 Ws...(4) A adalah intersep, b 1 adalah koefisien curah hujan bruto, Pb adalah curah hujan bruto (mm), b 2 adalah koefisien penyimpan air, dan Ws adalah kapasitas tanah menyimpan air (mm). Perhitungan fungsi transfer (debit simulasi) dihitung berdasarkan produk konvolusi antara curah hujan netto/sisa (Pn) dengan fungsi kerapatan peluasng (pdf) dan luas DAS. Secara matematis persamaannya adalah sebagai berikut : Q sim = {Pn Θρ (L)}*A...(5) Q sim adalah debit air permukaan simulasi (m 3/ detik), Pn adalah curah hujan netto/sisa (mm/6 menit), ρ(l) adalah fungsi kerapatan peluang (pdf), dan A adalah luas DAS (m 2 ). Klasifikasi kemampuan lahan. Klasifikasi kemampuan lahan adalah pengelompokkan lahan ke dalam satuan-satuan khusus menurut kemampuannya untuk penggunaan intensif dan perlakuan yang diperlukan untuk dapat digunakan secara terus menerus (Soil Conservation Society of America, 1982 dalam Sitorus, 2004). Klasifikasi kemampuan lahan ini akan menetapkan jenis penggunaan yang sesuai dan jenis perlakuan yang diperlukan untuk dapat digunakan bagi produksi tanaman secara lestari. Klasifikasi kemampuan lahan oleh Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) merupakan salah satu dari sejumlah pengelompokkan lahan melalui interpretasi yang dibuat terutama untuk keperluan pertanian. Sistem USDA (Klingebiel dan Montgomery, 1961 dalam Sitorus, 2004) membagi lahan ke dalam sejumlah kecil kategori yang diurut menurut jumlah dan intensitas faktor

85 65 penghambat yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dari kategori tertinggi ke kategori terendah (kelas, sub-kelas dan satuan pengelolaan). Kelas kemampuan lahan berkisar dari kelas I di mana tanah tidak mempunyai penghambat utama bagi pertumbuhan tanaman, sampai kelas VIII di mana tanah mempunyai penghambat-penghambat yang sangat berat sehingga tidak memungkinkan penggunaannya untuk produksi tanaman-tanaman komersil. Ketersediaan Air. Ketersediaan air dapat didekati dengan melihat curah hujan yang terdapat di lokasi penelitian. Menurut Oldeman, kriteria iklim dapat dikelompokkan menjadi : Bulan basah : Bila rata-rata curah hujan lebih dari 200 mm/bulan. Bulan kering: Bila rata-rata curah hujan kurang dari 100 mm/bulan. Bulan lembab: Bila rata-rata curah hujan antara 100 mm 200 mm/bulan. Atas dasar kriteria Bulan Basah (CH > 200mm/bulan) dan Bulan Kering (CH<100 mm/bulan), maka batasan iklim menurut Oldeman yaitu : 1. Tipe Utama A = panjang bulan basah > 9 bulan. 2. Tipe Utama B = panjang bulan basah 7-9 bulan. 3. Tipe Utama C = panjang bulan basah 5-6 bulan. 4. Tipe Utama D = panjang bulan basah 3-4 bulan. 5. Tipe Utama E = panjang bulan basah < 3 bulan. Adapun Sub Tipe dapat digolongkan menjadi : 1. Sub Tipe 1 = panjang bulan kering < 1 bulan. 2. Sub Tipe 1 = panjang bulan kering 2-3 bulan. 3. Sub Tipe 1 = panjang bulan kering 4 6 bulan. 4. Sub Tipe 1 = panjang bulan kering > 6 bulan. Vegetasi. Analisis vegetasi alami dilakukan untuk melihat pengaruh perubahan fisik dan kimia tanah setelah kegiatan penambangan terhadap vegetasi. Untuk mendapatkan data mengenai keragaan jenis vegetasi di kawasan pasca tambang batubara PT. Kitadin dan PT. Tanito Harum dilakukan analisis vegetasi sesuai lokasi tempat contoh tanah masing-masing satu contoh pengamatan untuk kawasan reklamasi dan non reklamasi. Ada 12 contoh petak pengamatan yaitu 6 contoh petak pengamatan di PT. Kitadin (3 reklamasi; 3 non reklamasi) dan 6 contoh petak pengamatan di PT. Tanito Harum (3 reklamasi; 3 non reklamasi).

86 66 Pengumpulan data dilakukan melalui inventarisasi jenis tegakan dengan metode jalur petak menggunakan peralatan meteran, phi band, kompas dan tally sheet. Pada setiap jalur pengamatan dibuat beberapa petak ukur dengan cara kuadrat yang berbentuk segi empat dengan ukuran 20 x 20 meter (pengamatan tingkat pohon), 10 x 10 meter (pengamatan tingkat tiang), 5 x 5 meter (pengamatan tingkat pancang) dan 2 x 2 meter (pengamatan tingkat semai). Jarak petak ukur sesuai dengan 4 lokasi yang ditentukan pada saat pengambilan sampel tanah. Cara melakukannya tertera pada Gambar M 20 M 10m 5m 5m 2m 2m Jarak antar petak sampel ± 100 meter 20 M 20 M 5m 2m 2m 5m 10m Jalur Pengamatan Gambar 7. Jarak dan Jalur Petak Pengamatan

87 67 Ekonomi dan Sosial. Data primer untuk bagian ekonomi dan sosial diperoleh dengan cara melakukan wawancara pada setiap kelompok masyarakat yang berkepentingan, mulai dari masyarakat di sekitar kawasan pasca tambang batubara di wilayah lokasi studi. Responden sampel meliputi kepala desa, sekretaris desa, lurah, kepala dusun, tokoh masyarakat dan masyarakat setempat. Penggalian informasi dilakukan pula terhadap pemegang ijin pertambangan, penambang batubara, pemerintah daerah, akademisi yang berhubungan dengan aktivitas penambangan batubara, lembaga keuangan, dan LSM. Peraturan dan Kebijakan. Pengumpulan data yang terkait dengan produk aturan dan kebijakan di tingkat pusat-propinsi-kabupaten dilakukan dengan studi literatur. Data sekunder diambil langsung dari instansi terkait ditingkat pusat (Kementerian Lingkungan Hidup, Departemen Energi Sumberdaya Mineral, Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negeri, dan Badan Pusat Statistik), ditingkat propinsi Badan Penanganan dan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda), Dinas Kehutanan, dan Dinas Energi Sumberdaya Mineral ditingkat Kabupaten Teknik Penentuan Responden Penentuan responden ditentukan secara sengaja (purposive sampling) sebanyak 77 orang. Penentuan indikator keberlanjutan dan kebutuhan stakeholder dilakukan dengan kuesioner dan focus group discussion (FGD). Dasar pertimbangan dalam penentuan peserta FGD untuk dijadikan responden menggunakan kriteria: (1) keberadaan responden dan kesediaan untuk menjadi responden, (2) memiliki reputasi, jabatan dan telah menunjukkan kredibilitasnya sebagai ahli atau pakar pada bidang yang diteliti, (3) telah memiliki pengalaman dalam bidangnya. Secara rinci, responden sampel yang diambil meliputi : 1. Masyarakat masyarakat yang terdapat di sekitar pertambangan yang menerima dampak pasca tambang batubara sebanyak 50 orang. Jumlah responden masyarakat tersebut melingkupi Kecamatan Tenggarong Seberang sebanyak 20 orang dan Kecamatan Sebulu sebanyak 30 orang.

88 68 2. Pemerintah (Pusat, Provinsi, dan Kabupaten) sebanyak sembilan orang, dimana responden sampel yang diambil merupakan pejabat yang memiliki kewenangan dalam penanganan pasca tambang. 3. Perusahaan pemegang ijin pertambangan masing-masing sebanyak lima orang. Sampel responden merupakan para pengambil keputusan di perusahaan sehingga informasi kebutuhan yang diinginkan perusahaan dapat diperoleh. 4. Akademisi, sebanyak empat orang. Pemilihan responden dari kelompok akademisi dilakukan untuk memberikan penilaian kebijakan berdasarkan perkembangan keilmuan yang ada di kampus. 5. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sebanyak empat orang. Pengambilan sampel ini dimaksudkan untuk mengetahui pendapat dan kebijakan yang diharapkan dari organisasi kemasyarakatan/ LSM yang peduli akan lingkungan dan pertambangan. Keseluruhan responden yang akan diwawancarai dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Responden Penelitian Lokasi Perusahaan dan Masyarakat Responden Kecamatan Tenggarong Seberang PT. Kitadin 5 orang Masyarakat 20 orang Kecamatan Sembulu PT. Tanito Harum 5 orang Masyarakat 30 orang Pemerintah Pusat 3 orang Pemerintah Provinsi 3 orang Pemerintah Daerah 3 orang Akademisi 4 orang LSM 4 orang Jumlah responden 77 orang 3.6. Analisis Data Dalam penelitian ini teknik analisis data yang akan dilakukan dibagi dalam beberapa pendekatan. Pendekatan tersebut saling terkait yang diharapkan dapat mendeskripsikan dan mengintegrasikan semua komponen data serta membantu memudahkan peneliti memotret secara rinci permasalahan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara.

89 Analisis Laboratorium Analisis laboratorium dilakukan untuk mengindentifikasi kondisi saat ini kawasan pasca tambang batubara dengan mengambil sampel tanah, air dan vegetasi. Analisis dilakukan dengan memperhatikan lokasi yang melakukan reklamasi maupun yang tidak melakukan reklamasi. Data hasil uji analisis laboratorium kemudian di uji silang dengan baku mutu Identifikasi Indeks Keberlanjutan Penilaian status keberlanjutan lahan pasca tambang batubara dapat menggunakan alat tools Multidimentional Scalling (MDS). Metode ini merupakan modifikasi dari Rapfish. Rapfish adalah multi-disciplinary rapid appraisal technique untuk mengevaluasi sustainability of fisheries. Keberlanjutan merupakan hal penting terkait dengan eksploitasi sumberdaya alam yang meliputi faktor ekologi, ekonomi dan sosial secara bersamaan. Perhitungan indeks keberlanjutan dari sumberdaya alam dapat dilakukan penilaiannya dengan menggunakan MDS. Penggunaan metode MDS di Indonesia telah dilakukan oleh Fauzi dan Anna (2005) dalam menilai aspek-aspek keberlanjutan ekologi (ecologycal sustainability), keberlanjutan sosio-ekonomi (sosio-economic sustainability), keberlanjutan sosial budaya (sosio-culture sustainability) dan keberlanjutan kelembagaan (institutional sustainability) di perairan Teluk Jakarta. Analisis keberlanjutan terhadap lahan pasca tambang batubara dalam penelitian ini dilengkapi dengan analisis kebutuhan stakeholder, produk kebijakan atau regulasi. Metode MDS dapat menunjukkan tingkat keberlanjutan kawasan pasca tambang batubara pada saat ini yang dilihat dari konsep pembangunan. Konsep pembangunan berkelanjutan dapat didekati dari tiga dimensi yaitu ekologi, ekonomi dan sosial (Munasinghe, 1993). Mengacu pada konsep tersebut, dalam penelitian ini ditentukan pula tiga dimensi yang digunakan untuk menunjukkan tingkat keberlanjutan kawasan pasca tambang batubara. Penilaian terhadap setiap dimensi dilakukan dengan membuat atribut penilaian yang dinilai dengan skala ordinal. Model pendekatan yang dilakukan adalah menggunakan model yang telah dikembangkan dalam prikanan yaitu

90 70 model RAPFISH (Rapid Apraisal for Fisheries) yang dikembangkan oleh University of British Colombia, Canada, pada tahun Teknik rapfish menggunakan pendekatan multi dimensional scaling (MDS), yang memetakan obyek atau titik yang diamati dalam satu ruang (Pitcher dan Preikshot, 2001) dalam Fauzi (2002). Obyek atau titik yang sama dipetakan saling berdekatan dan obyek atau titik yang berbeda dipetakan berjauhan. Teknik penentuan jarak dalam MDS didasarkan pada Euclidian Distance yang dapat digambarkan sebagai berikut: d = ([X 1 X 2 ] 2 + [Y 1 Y 2 ] 2 + [Z 1 Z 2 ] ) Konfigurasi dari objek atau titik didalam MDS kemudian diaproksimasi dengan meregresikan jarak Eucledian (d ij ) dari titik i ke titik j dengan titik asal (d ij ) seperti persamaan berikut : d ij = a + bd ij + e. Teknik yang digunakan untuk meregresikan dengan metoda least square adalah metoda ALSCAL. Metoda ALSCAL mengoptimasi jarak kuadrat (square distance = d ij ) terhadap data kuadrat (titik asal = O ijk ) yang dalam tiga dimensi ditulis dalam formula S-stress sebagai berikut: S = ( d2ijk O2ijk ) 2 m 1 i j m = k 1 O4ijk i j Dimana jarak kuadrat merupakan jarak Euclidian yang dibobot sebagai berikiut: d 2 ijk = r a= 1 w ia (X ia - X ja ) 2 Goodnes of fit dalam MDS dicerminkan dari besaran S-stress yang dihitung berdasarkan nilai S. Nilai stres yang rendah menunjukan good fit, dan S yang tinggi menunjukan sebaliknya. Didalam model Rapfish yang baik memperlihatkan nilai sterss lebih kecil dari 0,25 ( S < 0,25). (Fauzi, 2002) Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, hasil perhitungan atau data sekunder yang tersedia, setiap atribut diberikan skor atau peringkat yang mencerminkan keberlanjutan dari dimensi pembangunan ekologi, ekonomi dan sosial. Skor ini menunjukkan nilai yang buruk di satu ujung dan nilai baik di ujung yang lain (Alder et al.,2000). Nilai buruk mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan, sebaliknya nilai baik mencerminkan kondisi yang paling menguntungkan. Diantara dua ekstrim nilai ini terdapat satu atau lebih

91 71 nilai antara tergantung dari jumlah peringkat pada setiap atribut. Jumlah peringkat pada setiap atribut ditentukan oleh tersedia tidaknya literatur yang dapat digunakan untuk menentukan jumlah peringkat (Susilo, 2003). Pemilihan dimensi dilakukan dengan acuan studi literatur tentang analisis keberlanjutan beberapa sistem yang telah dikaji yaitu sistem perikanan, sistem peternakan sapi perah, sistem pertanian jeruk dan sistem pengembangan wilayah transmigrasi yang hanya meliputi dimensi ekologi, sosial dan ekonomi. Pemilihan dimensi dilakukan melalui Focussed Group Discussion (FGD) sebanyak tiga kali dengan masing-masing topik bahasan, yaitu FGD untuk membangun asumsi, FGD untuk membuat kerangka dan FGD untuk memverifikasi dimensi (Eriyatno.2005/pers.com dalam Iswari 2008). Keberlanjutan dimensi ekologi adalah stabilitas global untuk seluruh ekosistem, khususnya sistem fisik dan biologi. Keberlanjutan ekologi dalam pengembangan kawasan pasca tambang batubara melakukan reklamasi agar degradasi lahan, air dan vegetasi segera diatasi dengan rehabilitasi lahan baik dengan cara restorasi maupun reklamasi. Tabel 5. Dimensi Ekologi dan Atribut Keberkelanjutan Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara Dimensi dan Atribut Persentase tumbuhan Pergantian pertumbuhan tanaman Skor Baik Buruk Kategori Pengukuran Referensi 0; 1 ; 2 ; 3 ; (0) Tidak ada (1) 25% tertutup (2) 50% tertutup (3) 75% tertutup (4) > 75% tertutup 0; 1 ; (0) Sangat lambat (1) Lambat (2) Cepat Banjir 0; 1 ; (0) Selalu (1) Sering (2) Jarang Ketersediaan air 0; 1 ; (0) Tidak ada (1) Sedikit (2) Banyak Erosi 0 ; 1 ; (0) Tinggi, (1) Sedang, (2) Rendah Kemampuan lahan Tingkat kesuburan tanah 0; 1 ; (0) Tidak dapat digarap sama sekali (1) Digarap dengan perlakuan (2) Dapat digarap 0; 1 ; 2 ; (0) Tidak subur, (1) Kurang subur, (2) Subur (3) Sangat subur Hardjowigeno, 2007 Hardjowigeno, 2007 Hardjowigeno, 2007 PP No 82/ 2001 Morgan, 1979 Sitorus, 2004 Pusat Penelitian Tanah, 1983

92 72 Atribut dimensi ekologi berkelanjutan dalam pengembangan kawasan pasca tambang batubara di Kabupaten Kutai Kartanegara adalah tingkat kesuburan tanah, jenis tanah, erosi, keberadaan air, banjir, pergantian pertumbuhan tanaman dan persentase tumbuhan dapat dilihat pada Tabel 5. Keberlanjutan ekonomi adalah arus maksimum pendapatan yang dapat diciptakan dari aset (modal) yang minimal dengan manfaat yang optimal (Maler, 1990). Keberlanjutan dimensi ekonomi dalam pengembangan kawasan pasca tambang batubara adalah meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar kawasan pasca tambang batubara dan masyarakat lokal, peningkatan ekonomi daerah, dan penyerapan tenaga kerja. Tabel.6. Dimensi Ekonomi dan Atribut Keberkelanjutan Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara Dimensi dan Skor Baik Buruk Keterangan Atribut Kontribusi terhadap PDRB relatif untuk desa sekitar lokasi Sarana dan prasarana transportasi Status penguasaan lahan masyarakat Sarana perekonomian Aktivitas perekonomian pasca tambang batubara Mata Pencaharian masyarakat pasca tambang batubara Pendapatan masyarakat pasca tambang batubara dibandingkan dengan pra tambang 0; 1 ; 2 ; 3 ;4 4 0 (0) Lebih rendah (1) Rendah (2) Sama (3) Tinggi (4) Lebih tinggi 0; 1 ; 2 ; (0) Buruk (1) Cukup (2) Baik (3) Sangat baik 0; 1 ; (0) Berkurang, (1) Tetap (2) Bertambah 0; 1 ; (0) Berkurang (1) Tetap (2) Bertambah 0 ; 1 ; (0) Menurun (1) Tetap (2) Meningkat 0; 1 ; (0) Menganggur (1) Berpindah mata pencaharian (2) Tetap pada mata pencaharian awal 0; 1 ; (0) Berkurang, (1) Tetap (2) Bertambah Keberlanjutan dimensi sosial adalah terjaganya stabilitas sistem sosial dan budaya, termasuk reduksi konflik yang merusak (UNEP et al.,1991). Terkait

93 73 dengan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, keberlanjutan dimensi sosial adalah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia (pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan), mencegah terjadinya berbagai konflik, menciptakan keadilan dalam kehidupan masyarakat, terjadinya pemerataan pendapatan, terbukanya kesempatan berusaha, dan partisipasi masyarakat. Atribut dimensi sosial berkelanjutan pengembangan kawasan pasca tambang batubara di Kabupaten Kutai Kartanegara adalah konflik sosial, migrasi penduduk, rasio relatif jenis kelamin, angka beban tanggungan keluarga, tatanan adat dan kebiasaan masyarakat, persepsi masyarakat terhadap keberadaan tambang batubara, serta epidemi penyakit pernafasan dan diare dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Dimensi Sosial dan Atribut Keberkelanjutan Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara Dimensi dan Skor Baik Buruk Keterangan Atribut Epidemi penyakit pernafasan dan diare Persepsi masyarakat terhadap keberadaan tambang batubara Tatanan adat dan kebiasaan masyarakat Angka beban tanggungan keluarga Rasio relatif Jenis kelamin 0 ; 1 ; 2 ; (0) Tinggi (1) Sedang (2) Rendah (3) Tidak terjadi 0 ; 1 ; 2 ; (0) Tidak bermanfaat (1) Kurang bermanfaat (2) Bermanfaat (3) Sangat bermanfaat 0; 1 ; (0) Sangat berubah (1) Sedikit berubah (2) Tidak berubah 0; 1; (0) Tinggi (1) Sedang (2) Rendah 0; 1 ; (0) L/ W lebih kecil (1) L/W sama (2) L/W lebih besar Migrasi penduduk 0; 1 ; (0) Tinggi (1) Sedang (2) Rendah Konflik sosial 0; 1 ; (0) Sering (1) Jarang (2) Tidak pernah Pembuatan peringkat disusun berdasarkan urutan nilai terkecil ke nilai terbesar baik secara kuantitatif maupun kualitatif, dan bukan berdasarkan urutan nilai terburuk ke yang terbaik. Untuk selanjutnya nilai skor dari masing-masing atribut dinalisis secara multi dimensional untuk menentukan satu atau beberapa titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan pengelolaan kawasan pasca

94 74 tambang batubara yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik baik (good) dan titik buruk (bad). Untuk memudahkan visualisasi posisi ini digunakan analisis ordinansi. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan software Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries). Teknik Rapfish adalah suatu metode multi disiplin yang digunakan untuk mengevaluasi perbandingan perikanan berkelanjutan berdasarkan jumlah atribut yang banyak tetapi mudah untuk dinilai. Setiap data yang diperoleh diberi skor yang menunjukkan status sumberdaya tersebut. Ordinasi MDS dibentuk oleh aspek ekologi, ekonomi dan sosial, hasil statusnya menggambarkan keberlanjutan di setiap aspek yang dilaporkan dalam bentuk skala 0 sampai 100%. Rapfish didasarkan pada teknik ordinasi (menempatkan sesuatu pada urutan atribut yang terukur) dengan MDS. Prosedur analisis MDS dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu: 1. Analisis data kawasan pasca tambang batubara di Kabupaten Kutai Kartanegara melalui data kondisi saat ini ekologi (fisik-lingkungan), ekonomi dan sosial; data statistik; studi literatur juga pengamatan di lapangan. 2. Melakukan skoring dengan mengacu pada literatur. 3. Melakukan analisis MDS dengan software SPSS untuk menentukan ordinasi dan nilai stress melalui ALSCAL Algoritma. 4. Melakukan rotasi untuk menentukan posisi pada ordinasi bad dan good dengan Excell dan Visual Basic. Goodness of fit dalam MDS dicerminkan dari besaran nilai S-Stress yang dihitung berdasarkan nilai S. Nilai stress yang rendah menunjukkan good fit, sementara nilai S yang tinggi menunjukkan bad fit, model yang baik ditunjukkan jika nilai stress lebih kecil dari 0.25 (S < 0.25). 5. Melakukan sensitivity analysis dan Monte Carlo Analysis untuk memperhitungkan aspek ketidakpastian. Tahap proses ordinasi menggunakan perangkat lunak modifikasi Rapfish (Kavanagh, 2001). Perangkat lunak Rapfish merupakan pengembangan MDS yang ada di dalam perangkat lunak SPSS, untuk proses rotasi, kebalikan posisi (fliping), dan beberapa analisis sensitivitas telah dipadukan menjadi satu perangkat lunak. Melalui MDS, posisi titik keberlanjutan tersebut dapat divisualisasikan dalam dua dimensi (sumbu horizontal dan vertikal). Untuk

95 75 memproyeksikan titik-titik tersebut pada garis mendatar dilakukan proses rotasi, dengan titik ekstrem buruk diberi nilai skor 0% dan titik ekstrim baik diberi skor nilai 100%. Posisi keberlanjutan sistem yang dikaji akan berada di antara dua titik ekstrem tersebut. Nilai inilah yang merupakan nilai indeks keberlanjutan pengembangan kawasan pasca tambang batubara di Kabupaten Kutai Kartanegara yang dilakukan saat ini. Analisis ordinasi ini juga dapat digunakan hanya untuk satu dimensi saja dengan memasukkan semua atribut dari dimensi yang dimaksud, dalam penelitian ini digunakan tiga dimensi, hasil analisis akan mencerminkan seberapa jauh status keberlanjutan dimensi tersebut. Jika analisis setiap dimensi telah dilakukan maka analisis perbandingan keberlanjutan antar dimensi dapat divisualisasikan dalam bentuk diagram layang-layang (kite diagram) dapat dilihat pada Gambar 8. EKOLOGI ,0 60,0 40,0 20,0 SOSIAL EKONOMI Gambar 8. Diagram Layang-Layang (Kite Diagram) Nilai Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara Skala indeks keberlanjutan pengembangan kawasan pasca tambang batubara mempunyai interval 0% - 100%. Jika sistem pengelolaan yang dikaji mempunyai nilai indeks lebih dari 75% maka pengelolaan kawasan pasca tambang batubara tersebut masuk dalam kategori berkelanjutan (sustainable) dan sebaliknya jika kurang dari 75% masuk kategori cukup berkelanjutan, kurang dari

96 76 50% kategori kurang berkelanjutan, dan kurang dari 25% tidak berkelanjutan. Kategori status keberlanjutan tersebut dapat dilihat pada Tabel 8. Tahap selanjutnya dilakukan analisis sensitivitas untuk melihat atribut apa yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan kawasan pasca tambang batubara di lokasi penelitian. Pengaruh dari setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan root mean square (RMS) ordinasi, khususnya pada sumbu-x atau skala keberlanjutan (Alder et al. 2000). Semakin besar nilai perubahan RMS dimensi akibat hilangnya suatu atribut dimensi tertentu maka semakin besar pula peranan atribut tersebut dalam pembentukan nilai indeks keberlanjutan kawasan pasca tambang batubara pada skala sustainabilitas, makin sensitif atribut tersebut. Tabel 8. Kategori Status Berkelanjutan Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Berdasarkan Nilai Indeks Nilai IKKPTBB Kategori 0-25 Tidak berkelanjutan >25-50 Kurang berkelanjutan >50-75 Cukup berkelanjutan > Berkelanjutan Analisis Monte Carlo digunakan untuk mengevaluasi pengaruh galat (error) acak pada proses pendugaan nilai ordinasi pengelolaan kawasan pasca tambang batubara di Kabupaten Kutai Kartanegara. Menurut Kavanagh (2001) analisis Monte Carlo juga berguna untuk mempelajari: 1. Pengaruh kesalahan pembuatan skor atribut yang disebabkan oleh pemahaman kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna atau kesalahan pemahaman terhadap atribut atau cara pembuatan skor atribut. 2. Pengaruh variasi pemberian skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti yang berbeda. 3. Stabilitas proses analisis MDS yang berulang-ulang (iterasi). 4. Kesalahan pemasukan data atau adanya data yang hilang (missing data). 5. Tingginya nilai stress hasil analisis keberlanjutan. Kecukupan jumlah atribut dari seluruh dimensi dalam penelitian di lapangan menggunakan metode MDS. Terdapat dua parameter statistik untuk

97 77 menilai kualitas hasil analisis tersebut. Pertama disebut nilai stress dan kedua adalah koefisien determinasi, biasanya ditulis dengan lambang huruf R 2, keduanya dinilai untuk setiap dimensi dan multidimensi. Makin kecil nilai stress tidak melebihi angka < 25%, dan makin besar nilai koefisien determinasi R 2 yang mendekati nilai satu (1) dikatakan analisis dengan metode MDS adalah kualitas bagus (Fisheries.com 1999) Analisis Kebutuhan Pembangunan desain kebijakan dan strategi pengelolaan pasca tambang batubara dilakukan dengan melibatkan stakeholder terkait. Salah satu tahapan yang dilakukan adalah dengan analisis kebutuhan stakeholder. Analisis kebutuhan (need analysis) bertujuan untuk mengidentifikasi kebutuhan setiap pelaku yang terlibat dalam pengelolaan pertambangan batubara. Pelaku tersebut meliputi : pemerintah pusat dan pemerintah daerah, swasta/perusahaan/investor, masyarakat sekitar kawasan tambang, dan LSM. Mengidenfikasi kebutuhan stakeholder dimulai dari mengetahui permasalahan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara saat ini melalui wawancara Analisis Prospektif Analisisi prospektif digunakan untuk merumuskan kebijakan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara di Kabupaten Kutai Kartanegara. Analisis prospektif merupakan suatu upaya untuk mengeksplorasi kemungkinan di masa yang akan datang sesuai dengan kebutuhan dari pada stakeholder yang terlibat. Hasil analisis prospektif adalah faktor-faktor kunci yang harus diperhatikan untuk mencapai tujuan pengembangan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan di Kabupaten Kutai Kartanegara yang telah disepakati bersama stakeholder di masa mendatang. Penentuan faktor kunci dan tujuan pengembangan tersebut penting dan sepenuhnya merupakan pendapat pihak yang berkompeten sebagai pelaku dan ahli dalam bidang pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan, yang diperoleh dari kuesioner dan wawancara langsung di wilayah studi.

98 78 Tahapan dalam melakukan analisis prospektif adalah: 1. Menentukan faktor kunci untuk masa depan dari sistem yang dikaji. Pada tahap ini dilakukan identifikasi seluruh faktor penting, menganalisis pengaruh dan ketergantungan seluruh faktor dengan melihat pengaruh timbal balik dengan menggunakan matriks, dan menggambarkan pengaruh dan ketergantungan dari masing-masing faktor ke dalam 4 kuadran utama, dapat dilihat pada Gambar 9. Pengaruh Faktor Penentu INPUT Faktor Penghubung STAKES Faktor Bebas UNUSED Faktor Terikat OUTPUT Ketergantungan Gambar 9. Tingkat Pengaruh dan Ketergantungan Antar Faktor dalam Sistem Pengaruh langsung antar faktor dalam sistem yang dilakukan pada tahap pertama analisis prospektif dengan menggunakan matriks pengaruh langsung antar faktor. Skor pengisian adalah: skor 0 apabila tidak ada pengaruh, skor 1 apabila pengaruhnya kecil, skor 2 apabila pengaruhnya sedang dan skor 3 apabila pengaruhnya sangat kuat, dapat dilihat pada Tabel Menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama. 3. Mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan. Pada tahap ini dilakukan identifikasi bagaimana elemen kunci dapat berubah dengan menentukan keadaan (state) pada setiap faktor. 4. Menentukan keadaan (state) suatu faktor. Ketentuan-ketentuan yang harus diikuti pada tahap ini adalah: (a) keadaan harus memiliki peluang sangat besar untuk terjadi di masa yang akan datang, (b) keadaan bukan merupakan suatu tingkatan atau ukuran suatu faktor tetapi merupakan deskripsi tentang situasi

99 79 dari sebuah faktor, (c) setiap keadaan harus diidentifikasikan dengan jelas, (d) bila keadaan dalam suatu faktor lebih dari satu maka keadaan-keadaan tersebut harus dibuat secara kontras, dan (e) mengidentifikasi keadaan yang peluangnya sangat kecil untuk terjadi atau berjalan bersamaan (mutual compatible). Tabel 9. Pengaruh Langsung Antar Faktor dalam Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Berkelanjutan, Kabupaten Kutai Kartanegara. Dari A B C D E F G H I Terhadap A B C D E F G H I Keterangan : A I = Faktor-faktor dalam sistem yang dikaji 5. Membangun skenario yang mungkin terjadi. Langkah-langkah dalam membangun skenario terhadap tahapan faktor-faktor yang mungkin terjadi adalah: (a) skenario yang memiliki peluang besar untuk terjadi di masa datang disusun terlebih dahulu, (b) skenario merupakan kombinasi dari faktor-faktor, oleh sebab itu sebuah skenario harus memuat seluruh faktor, tetapi untuk setiap faktor hanya memuat satu tahapan dan tidak memasukkan pasangan keadaan yang mutual incompatible, (c) setiap skenario (mulai dari alternatif paling optimis sampai alternatif paling pesimis) diberi nama, dan (d) memilih skenario yang paling mungkin terjadi. 6. Implikasi skenario merupakan kegiatan terakhir dalam analisis prospektif yang meliputi: (a) skenario yang terpilih pada tahap sebelumnya dibahas kontribusinya terhadap tujuan studi, (b) skenario tersebut didiskusikan implikasinya, dan (c) menyusun rekomendasi kebijakan dari implikasi yang sudah disusun (Hardjomidjojo, 2004).

100 80 Pembahasan tentang strategi implementasi skenario pengelolaan kawasan pasca tambang batubara di Kabupaten Kutai Kartanegara dilakukan dengan melibatkan semua stakehoder utama secara partisipatif. Metode pembahasan yang digunakan adalah Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan di Tenggarong, juga dilakukan metode wawancara dan kuesioner. Wakil stakeholder dipilih secara sengaja. Dasar pertimbangan dalam menentukan atau memilih pakar untuk dijadikan responden adalah: (1) mempunyai pengalaman yang memadai sesuai bidangnya, (2) mempunyai reputasi, kedudukan/jabatan dan konsisten pada bidang keahliannya, dan (3) kesediaan untuk menjadi responden. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan pada (Tabel 8) terlihat kebutuhankebutuhan yang sejalan (sinergis) maupun yang kontradiktif. Sebagai contoh dapat dilihat pada kebutuhan semua stakeholder untuk meningkatkan pendapatan. Secara umum, kebutuhan yang saling kontradiktif dapat dikenali dalam dua hal yaitu kelangkaan sumberdaya (lack of resources) dan konflik kepentingan (conflict of interest). Rincian dari kebutuhan aktor yang saling bertentangan memerlukan solusi penyelesaian.

101 IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan salah satu dari 12 kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi Kalimantan Timur. Jarak tempuh dari Samarinda (ibukota propinsi) ke Tenggarong (ibukota kabupaten) sekitar 25 km, dengan waktu tempuh selama menit melalui jalan darat. Secara administratif, Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki luas wilayah sekitar ,10 Km2, terletak secara geografis antara 115º26'28'' - 117º36'43'' Bujur Timur dan 1º28'21'' Lintang Utara - 1º08'06'' Lintang Selatan. Wilayah administratif ini di sebelah utara berbatasan langsung dengan Kabupaten Malinau, Kutai Timur dan Kota Bontang. Di sebelah timur berbatasan dengan Selat Makasar, sebelah selatan berbatasan dengan Kota Balikpapan dan Kabupaten Penajam Paser Utara, sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kutai Barat (Gambar 10). Lokasi penelitian di Kabupaten Kutai Kartanegara ini meliputi wilayah Kecamatan Tenggarong seberang dan Kecamatan Sebulu. Gambaran umum kedua kecamatan ini dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Gambaran umum Kecamatan Tenggarong Seberang dan Kecamatan Sebulu Kondisi Kecamatan Tenggarong Seberang Kecamatan Sebulu Letak Luas wilayah Batas Wilayah Ketinggian dari permukaan laut Antara 116º47' - 117º04' BT dan 0º21' LS - 0º34' LS 437,00 Km 2 859,50 Km 2 Sebelah Utara : Kec. Sebulu Sebelah Timur : Marang Kayu Sebelah Selatan : Loa Kulu Sebelah Barat : Tenggarong 18 meter dpl 32 meter dpl Antara 116º39' - 115º45' BT dan 0º3' LS - 0º33' LS Sebelah Utara : Kec. Marang Kayu Sebelah Timur : Kec. Tenggarong Sebelah Selatan : Kec. Kota Bangun Sebelah Barat : Kec. Muara Kaman Jumlah desa Jumlah RT Kepadatan Penduduk 113,03 penduduk/ Km 2 39,48 penduduk/ Km 2 Sumber : Kecamatan Tenggarong Seberang dan Kecamatan Sebulu dalam Angka. BPS

102 Gambar 10. Peta Wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara 82

103 Dimensi Ekologi Persentase Tumbuhan Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor yaitu suhu, udara, sinar matahari, air, dan unsur-unsur hara. Secara klimatis keadaan suhu/temperatur udara seperti yang tercatat di Stasiun Badan Meteoreologi dan Geofisika Bandara Temindung Samarinda selama periode , kondisi lingkungan pada areal Kabupaten Kutai Kartanegara mempunyai suhu bulanannya adalah berkisar antara 26.6 C 27.4 C. Intensitas penyinaran matahari menggambarkan tentang lamanya tingkat penyinaran yang menerpa permukaan bumi dengan satuan persen (%) per hari (dari pukul ). Intensitas matahari ini berkaitan erat dengan peristiwa evapotranspirasi, karena dengan semakin tinggi tingkat intensitas penyinaran matahari, maka laju evapotranspirasi akan semakin meningkat pula. Berdasarkan hasil analisa data Stasiun Badan Metereologi dan Geofisika Bandara Temindung Samarinda jumlah intensitas penyinaran matahari rata-rata perbulannya 40%-55%. Banyaknya pertumbuhan tanaman dalam satu wilayah dapat dilihat dari persentase tumbuhan yang dapat berpengaruh terhadap tingkat erosi. Hutan adalah kawasan yang paling efektif dalam mencegah erosi karena memiliki dedaunan yang rapat, tetapi rumput-rumput yang tumbuh rapat pun sama efektifnya. Pencegahan erosi, paling sedikit 70% tanah harus tertutup vegetasi. Semakin tinggi persentase tumbuhan akan semakin besar kekuatannya dalam menghalangi air hujan, sehingga kekuatan untuk menghancurkan tanah akan berkurang. Persentase tumbuhan dalam kajian ini dikelompokkan menjadi lima kategori yaitu: (0) tidak ada persentase tumbuhan, (1) sebanyak 25% penutup lahan, (2) sebanyak 50% penutup lahan, (3) sebanyak 75% penutup lahan, (4) > 75% penutup lahan. Berdasarkan pada kondisi pasca tambang batubara di PT. Kitadin dan PT.Tanito Harum, persentase penutup lahan sebanyak 50% (dikategorikan sedang). Kondisi vegetasi di lokasi penelitian yang telah dilakukan reklamasi dan non reklamasi dapat dilihat pada Gambar 11 dan Gambar 12.

104 84 Gambar 11. Persentase Tumbuhan pada Areal Reklamasi Berumur Sekitar 5 Tahun Gambar 12. Persentase Tumbuhan pada Areal Non Reklamasi Berumur Sekitar 5 Tahun Pergantian Pertumbuhan Tanaman Pergantian pertumbuhan tanaman (suksesi tanaman) dapat dibagi atas dua bagian, yaitu pergantian pertumbuhan tanaman secara alami dan pergantian

105 85 pertumbuhan tanaman secara sengaja. Pergantian pertumbuhan tanaman diperlukan untuk teknik pengawetan tanah agar penggunaan tanah sesuai dengan kemampuannya. Salah satu metode pergantian pertumbuhan tanaman secara sengaja adalah dengan metode vegetatif. Metode vegetatif berguna untuk : (1) melindungi tanah dari daya perusak butir-butir hujan, (2) melindungi tanah dari daya perusak aliran permukaan (run off), dan (3) memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah. Metode vegetatif untuk konservasi tanah meliputi : (1) penanaman dengan tumbuhan yang menutupi tanah terus-menerus, seperti penanaman tumbuhan hutan (penghutanan/penghijauan kembali), penanaman rumput permanen, penanaman tanaman tahunan dengan tanaman penutup tanah yang baik, (2) pergiliran tanaman, (3) penanaman dalam strip, (4) agroforestry, dan (5) penggunaan sisa tanaman sebagai pupuk hijau. Pergantian pertumbuhan tanaman dikelompokkan pada tiga kategori yaitu: (0) sangat lambat, apabila dalam waktu 5 tahun masih berupa tingkat semai, (1) lambat, apabila dalam waktu 5 tahun masih berupa tingkat semai, tingkat pancang dan tingkat tiang masih jarang, dan (2) cepat, apabila dalam waktu 5 tahun terdapat tingkat semai, tingkat pancang, tingkat tiang dan tingkat pohon. Berdasarkan pengamatan dan data di lokasi penelitian, wilayah pasca tambang batubara termasuk memiliki pergantian tumbuhan yang lambat. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 13 dan Gambar 14. Gambar 13. Tumbuhan yang Cepat Tumbuh di Lahan Reklamasi Sekitar 5 Tahun

106 86 Gambar 14. Tumbuhan yang Lambat Tumbuh di Lahan Non Reklamasi Sekitar 5 Tahun Ketersediaan Air Karakteristik iklim dalam wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara adalah iklim hutan tropika humida dengan perbedaan yang tidak begitu tegas antara musim kemarau dan musim hujan. Curah hujan berkisar antara mm per tahun dengan temperatur rata-rata 26º C dan perbedaan temperatur antara siang dan malam antara 5-7º C. Hasil analisis data curah hujan dari Stasiun Badan Metereologi dan Geofisika bandara Temindung Samarinda seperti terlihat pada Tabel 11 menunjukkan bahwa curah hujan rata-rata setiap tahunnya (periode ) adalah sebesar mm, sedangkan curah hujan rata-rata bulanan tertinggi (periode ) terjadi pada bulan Mei yaitu mm, bulan tersebut merupakan puncak hujan, sedangkan curah hujan bulanan terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar mm. Menurut Oldeman, curah hujan bulanan > dari 200 mm/bulan termasuk dalam bulan basah. Jika dilihat dari data, wilayah tersebut memiliki potensi banjir yang sangat besar. Namun kondisi vegetasi yang kurang baik menyebabkan limpasan air hujan banyak, sedangkan ketersediaan air menjadi sedikit.

107 84 Tabel 11. Jumlah Curah Hujan Bulanan (mm) Periode di Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun Curah Hujan (mm) Jumlah (mm) Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec BB BL BK BB BB BB BB BB BB BK BK BK BL BB BB BK BK BK BB BB BB BB BL BB BB BB BB BL BB BB BB BB BB BL BB BL BB BB BB BB BB BB BB BB BB BL BK BK BB BL BB BB BL BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BL BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BL BK BK BK BK BB BB BK BK BK BK BL BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BL BK BB BB BB BB BB BB BB BB BB BB BL BK BL BB BB BB BB BB BB BB BB BL BK BL BB BB BB BB BB BB BB BB BB BK BB BK BB BK BB BB

108 85 Tabel 11 (Lanjutan) Tahun Curah Hujan (mm) Jumlah (mm) Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec BB BL BK BB BK BB BB BB BL BB BB BL BB BB BB BB BB BB BB BB BB BK BL BB BL BB BB Jumlah Rata-rata Max Sumber : Stasiun Meteologi dangeofisika Bandara Temindung Samarinda (2007) Keterangan : BB = Bulan Basah (Curah Hujan > 100 mm) BL = Bulan Kering (Curah Hujan mm) BK = Bulan Kering (Curah Hujan < 100 mm)

109 89 Ketersediaan air dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: (0) tidak tersedia air, yaitu tidak terdapatnya sumber mata air (1) sedikit tersedia air, yaitu adanya mata air yang memiliki debit air yang relatif kecil atau hanya terdapat sumber air pada musim hujan, dan (2) banyak tersedia air, yaitu terdapatnya mata air yang mengeluarkan mata air secara terus menerus walaupun pada musim kemarau. Berdasarkan data ketersediaan air, wilayah penelitian termasuk dalam kategori memiliki sedikit air Banjir dan Erosi Letak geografis dari sekitar 220 desa/kelurahan di Kabupaten Kutai Kartanegara, sebanyak 12,73% merupakan daerah pesisir yang langsung berbatasan dengan laut (Selat Makasar). Desa/kelurahan pesisir ini berada di 6 kecamatan yaitu kecamatan Samboja, Muara Jawa, Sanga-sanga, Anggana, Muara Badak serta Marang Kayu, sedangkan selebihnya yaitu 192 desa/kelurahan bukan merupakan daerah pesisir arau tepi laut. Namun pada umumnya desa/kelurahan tersebut berada di daerah aliran sungai (DAS), lereng/ punggung bukit dan daerah dataran. Banjir adalah meluapnya air dari badan-badan sungai sehingga menggenangi lahan. Daerah aliran sungai (DAS) merupakan daerah yang dibatasi oleh topografi secara alami, sehingga semua air hujan yang jatuh di atasnya akan mengalir menuju ke suatu lokasi pembuangan (outlet). Siklus air dan distribusi air hujan yang sampai di permukaan bumi menurut Robinson dan Sivapalan (1996) dalam Hakim (2008) merupakan proses perubahan air hujan menjadi aliran permukaan dan dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: (1) fungsi produksi DAS yaitu perubahan dari curah hujan bruto (total jumlah air hujan yang jatuh ke permukaan bumi sebelum terjadinya intersepsi dan infiltrasi) menjadi curah hujan netto (curah hujan sisa, yaitu jumlah air hujan yang mengalir melalui jaringan hidrologi setelah terjadinya proses intersepsi tanaman dan infiltrasi tanah jenuh), dan (2) fungsi transfer DAS yaitu perubahan dari curah hujan netto menjadi aliran permukaan langsung. Intersepsi merupakan proses ketika air hujan jatuh pada permukaan vegetasi, tertahan beberapa saat untuk kemudian diuapkan kembali ke atmosfer

110 90 atau diserap oleh vegetasi yang bersangkutan dan atau jika melebihi kapasitas simpan vegetasi, air hujan tersebut akan mengalir ke permukaan tanah. Infiltrasi merupakan proses masuknya air ke dalam tanah, umumnya melalui permukaan tanah dan terjadi secara vertikal, serta merupakan salah satu bagian yang sangat penting dari siklus air dalam menyerap, menampung, dan mendistribusikan air hujan yang jatuh diatasnya. Secara umum besarnya kapasitas infiltrasi tanah mempunyai peranan yang sangat besar dalam menurunkan besarnya debit aliran permukaan tanah dibandingkan parameter lainnya, seperti intersepsi tanaman. Menurut Arsyad (2000) laju infiltrasi merupakan banyaknya air per satuan waktu yang masuk ke dalam tanah melalui permukaan tanah, sedangkan laju maksimum air dapat masuk ke dalam tanah pada suatu saat disebut kapasitas infiltrasi. Menurut Hakim (2008), untuk menduga banjir, maka ada dua besaran (magnitude) penting yang harus dikomputasi secara akurat dalam analisis banjir, yaitu: debit puncak (peak discharge) dan waktu menuju debit puncak (time to peak discharge). Pemodelan banjir ini didasarkan pada dua bagian, yaitu: (1) pemodelan fungsi produksi (perhitungan curah hujan efektif dari curah hujan bruto), dan (2) pemodelan fungsi transfer (simulasi debit aliran permukaan). Banjir dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain (1) jenis penggunaan lahan, (2) curah hujan, (3) tingkat infiltrasi air, dan (4) tingkat intersepsi air. Menurut Hakim (2008) menyebutkan bahwa alih fungsi penggunaan lahan hutan menjadi lahan terbuka berdampak terhadap peningkatan intensitas banjir. Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki 4 (empat) jenis perairan yaitu sungai, danau, rawa dan laut. Sungai Mahakam merupakan sungai induk dan sungai yang terpanjang, dengan panjang sekitar 920 Kilometer. Sungai ini masih sangat berperan sebagai urat nadi transportasi terutama untuk menuju Kecamatan Muara Wis dan Kecamatan Muara Muntai, serta sebagian besar kecamatan di wilayah Kabupaten Kutai Barat. Cabang-cabang sungai Mahakam sangat banyak dan salah satu diantaranya adalah sungai Belayan yang bermuara di Kecamatan Kota Bangun. Anak sungai Mahakam ini merupakan sarana transportasi utama menuju Kecamatan Kenohan, Kecamatan Kembang Janggut dan Kecamatan Tabang. Jumlah sungai yang ada di Kabupaten Kutai Kartanegara sekitar 31 buah.

111 91 Hakim (2008) yang melakukan model pendugaan banjir dan kekeringan di DAS Separi, Kutai Kartanegara Kalimantan Timur menyebutkan bahwa tingkat infiltrasi pada periode Oktober 2003 sebesar 59,73 mm dan pada periode Maret 2006 sebesar 35,18 mm. Berdasarkan Tabel 11 dan hasil analisis Hakim (2008) dapat diprediksikan bahwa jumlah air yang mengalir yaitu berkisar antara mm mm. Hal ini menunjukkan bahwa diprediksikan banjir akan terjadi di lokasi. Kondisi ini didukung oleh lahan yang semula hutan telah banyak dikonversi menjadi lahan pertambangan batubara akan menyebabkan setiap musim hujan pada lokasi penelitian terjadi banjir. Dalam kajian ini atribut banjir dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: (0) selalu terjadi banjir, (1) sering terjadi banjir, dan (2) jarang terjadi banjir. Berdasarkan kondisi yang ada dan dengan merujuk literatur maka lokasi penelitian dapat dikategorikan dalam kelompok selalu terjadi banjir. Erosi adalah suatu proses dimana tanah dihancurkan (detached) dan kemudian dipindahkan ke tempat lain oleh kekuatan air, angin atau gravitasi. Di Indonesia erosi yang terpenting adalah yang disebabkan oleh air (Hardjowigeno, 2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi erosi air adalah : (1) curah hujan, (2) sifat-sifat tanah, (3) lereng, (4) vegetasi, dan (5) manusia. Sifat-sifat hujan meliputi intensitas hujan, jumlah hujan dan curah hujan. Jumlah hujan rata-rata tahunan yang tinggi tidak akan menyebabkan erosi yang berat apabila hujan tersebut terjadi merata sepanjang tahun. Sebaliknya, curah hujan rata-rata tahunan yang rendah dapat menyebabkan erosi apabila hujan tersebut jatuh sangat deras meskipun hanya sekali-sekali. Tanah yang bertekstur lempung berdebu sangat peka terhadap erosi. Menurut Wood dan Dent, 1983 dalam Hardjowigeno (2007), disebutkan bahwa indeks bahaya erosi (IBE) ditentukan berdasarkan jumlah tanah yang tererosi dibagi dengan jumlah erosi yang diperbolehkan (ton/ha/thn). Berdasarkan persamaan tersebut, IBE dapat digolongkan ke dalam empat kelas yaitu (a) < 1,00 = rendah, (b) 1,01 4,0 =sedang, (c) 4,01 10,00 = tinggi, (d) > 10,00 = sangat tinggi. Pendugaan erosi dapat menggunakan rumus USLE (Universal Soil Loss Equation). Jumlah tanah yang hilang rata-rata setiap tahun (ton/ha/tahun)

112 92 merupakan perkalian dari (1) R = erovisitas hujan (indeks daya erosi curah hujan), (2) K = erodibilitas tanah (indeks kepekaan tanah terhadap erosi), (3) LS = faktor panjang (L) dan curamnya (S) lereng, (4) C= faktor tanaman atau vegetasi, dan (5) P= faktor usaha. Rona lingkungan hidup awal PT.Kitadin menunjukkan bahwa erosivitas hujan di wilayah studi dihitung berdasarkan data hujan bulanan dari stasiun hujan Tenggarong menggunakan rumus Kenvain. Erodibilitas tanah (K) dihitung menggunakan rumus nomograf erodibilitas tanah Wischmeier dan Smith (1978). Bentuk wilayah umumnya datar sampai berbukit, dengan lereng berkisar dari 0-25%. Vegetasi penutup tanah umumnya semak belukar dengan penutupan permukaan tanah cukup baik dan kebun campuran. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa erosivitas hujan di wilayah studi sebesar 1079, sedangkan erodibilitas tanah berkisar antara 0,254-0,326 tergolong sedang sampai agak tinggi. Faktor panjang dan kemiringan lereng (LS) berkisar antara 0 5,242. Nilai faktor vegetasi/pengelolaan tanah adalah 0,100 untuk semak belukar dan 0,150 untuk kebun campuran. Di wilayah studi tidak dijumpai tindakan konsevasi tanah. Berdasarkan data faktor-faktor penyebab erosi dan perhitungan erosi menggunakan rumus USLE, ternyata jumlah erosi di wilayah studi umumnya berkisar antara 8,78 161,78 ton/ha/tahun (Dokumen AMDAL PT.Kitadin, 2000). Rona lingkungan hidup awal PT.Tanito Harum dilihat dari kelas lereng 0-25% dengan metode Wischmeier dan Smith (1978) sebesar 10, ton/tahun (Dokumen AMDAL PT.Tanito Harum, 1994). Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi studi dan penetapan nilai mengacu pada klasifikasi yang telah ditentukan dalam Hardjowigeno (2007), nilai erosivitas hujan (R) sebesar 1.076,98. Nilai erodibilitas tanah (K) sebesar 0,45 dan faktor panjang dan kemiringan lereng LS sebesar 1. Nilai faktor vegetasi/pengelolaan tanah adalah 0,5 untuk hutan produksi. Di wilayah studi terdapat penanaman tanaman perkebunan kerapatan sedang (nilai P = 0,5). Berdasarkan data faktor-faktor penyebab erosi dan perhitungan erosi menggunakan rumus USLE ternyata jumlah tanah tererosi (A) sebesar 121,16 ton/ha/tahun.

113 93 Jumlah erosi yang diperbolehkan ditetapkan berdasarkan rumus Wood dan Dent (1983) sebesar 23,3 ton/ha/tahun, sehingga indeks bahaya erosi yang terjadi di PT. Kitadin dan PT. Tanito Harum dapat dikatakan telah mencapai angka 5,2. Tingkat erosi dalam kajian ini dikelompokkan pada tiga kategori yaitu: (0) tinggi, (1) sedang, dan (2) rendah. Berdasarkan nilai IBE yang diperoleh, maka tingkat erosi telah berada pada kategori Indeks Bahaya Erosi tinggi Kemampuan Lahan Penilaian lahan dalam evaluasi lahan dapat dianalisis dalam tiga aspek yaitu (1) kesesuaian lahan, (2) kemampuan lahan, dan (3) nilai lahan. Kemampuan lahan menyangkut serangkaian/sejumlah penggunaan sebagai contoh untuk pertanian, kehutanan, atau rekreasi. Klasifikasi kemampuan lahan adalah pengelompokkan lahan ke dalam satuan-satuan khusus menurut kemampuannya untuk penggunaan intensif dan perlakuan yang diperlukan untuk dapat digunakan secara terus menerus. Klasifikasi ini akan menetapkan jenis penggunaan yang sesuai dan jenis perlakuan yang diperlukan untuk dapat digunakan bagi produksi tanaman secara lestari (Sitorus, 2004). Kelas merupakan tingkat yang tertinggi dan bersifat luas dalam struktur klasifikasi. Penggolongan ke dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor-faktor penghambat yang permanen atau sulit diubah. Faktor-faktor yang bersifat permanen dan sulit diubah dapat dilihat dari klasifikasi kemampuan lahan menurut Sitorus (2004), sebagai berikut: (1) Kelas I. Tanah pada kelas I mempunyai sedikit penghambat yang membatasi penggunaannya; sesuai untuk segala macam penggunaan pertanian. Kelas ini dicirikan oleh tanah datar, bahaya erosi sangat kecil, solum dalam, umumnya berdrainase baik, mudah diolah, dapat menahan air dengan baik dan responsif terhadap pemupukan. (2) Kelas II. Tanah pada lahan kelas II mempunyai sedikit penghambat yang dapat mengurangi pilihan penggunaannya. Tanah di lahan kelas II membutuhkan pengelolaan tanah secara hati-hati meliputi tindakan pengawetan, menghindari kerusakan dan memperbaiki hubungan air udara

114 94 dalam tanah bila tanah ditanami. Penghambat dalam kelas ini dapat merupakan sat atau kombinasi dari faktor berlereng landai, mempunyai kepekaan sedang terhadap erosi, dan struktur tanah yang sedikit kurang baik. (3) Kelas III. Tanah pada lahan kelas III mempunyai lebih banyak penghambat dari tanah di lahan kelas II, dan bila digunakan untuk tanaman pertanian memerlukan tindakan pengawetan khusus. Penghambat pada lahan kelas III dapat merupakan satu atau lebih faktor-aktor berikut: lereng agak miring (sangat peka terhadap bahaya erosi), berdrainase buruk, permeabilitas tanah sangat lambat, solum dangkal yang membatasi daerah perakaran, kesuburan yang rendah dan tidak mudah diperbaiki. (4) Kelas IV. Tanah pada lahan kelas IV mempunyai penghambat yang lebih besar dibandingkan dengan kelas III sehingga pemilihan jenis pengunaan atau jenis tanaman juga lebih terbatas. Tanah pada lahan kelas IV dapat digunakan untuk berbagai jenis penggunaan pertanian dengan ancaman dan bahaya kerusakan yang lebih besar dari tanah di lahan kelas III. Tanah pada lahan kelas IV mempunyai salah satu atau lebih faktor penghambat berikut: lereng curam, sangat peka terhadap bahaya erosi, solum dangkal, kapasitas menahan air rendah, dan drainase buruk. (5) Kelas V. Tanah pada lahan kelas V tidak sesuai untuk ditanami tanaman semusim, tetapi lebih sesuai untuk ditanami dengan vegetasi permanen seperti tanaman makanan ternak atau dihutankan. Tanah pada lahan kelas V terletak pada tempat yang hampir datar, basah atau tergenang air atau terlalu banyak batu di atas permukaan tanah. sebagai contoh tanah kelas V adalah: (a) tanah di daerah cekungan yang sering tergenang air, (b) tanah berbatu, dan (c) tanah di daerah rawa-rawa yang sulit didrainasekan. (6) Kelas VI. Tanah pada lahan kelas VI tidak sesuai untuk digarap bagi usaha tanaman semusim, tetapi sesuai untuk vegetasi permanen yang dapat digunakan sebagai tanaman makanan ternak/padang rumput atau dihutankan, dengan penghambat yang sedang. Tanah pada lahan kelas VI mempunyai lereng yang curam, sehingga mudah tereosi atau telah mengalami erosi yang sangat berat.

115 95 (7) Kelas VII. Tanah pada lahan kelas VII tidak sesuai untuk digarap bagi usaha tani tanaman semusim, dan sebaiknya digunakan untuk penanaman dengan vegetasi permanen seperti padang rumput atau hutan yang disertai dengan tindakan pengelolaan yang tepat dan lebih intensip dari yang diperlukan pada lahan kelas VI. Tanah pada lahan kelas VII terletak pada lereng yang sangat curam atau mengalami erosi berat, atau tanah sangat dangkal/berbatu. (8) Kelas VIII. Tanah pada lahan kelas VIII tidak sesuai untuk ditanami tanaman semusim dan usaha produksi pertanian lainnya dan harus dibiarkan pada keadaan alami di bawah vegetasi alami. Tanah pada lahan kelas VIII merupakan tanah yang berlereng sangat curam atau permukaan sangat berbatu yang dapat berupa batuan lepas (stone) atau batuan singkapan (rock outcrops) atau tanah pasir di pantai. Berdasarkan klasifikasi kemampuan lahan menurut Sitorus (2004) dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : a. Dapat digarap, yaitu kelas kemampuan lahan I IV b. Tidak dapat digarap, yaitu kelas kemampuan lahan V VIII. Atribut kemampuan lahan untuk kepentingan MDS dalam kajian ini kemudian dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: (0) tidak dapat digarap sama sekali, (1) dapat digarap dengan perlakuan, dan (2) dapat digarap. Berdasarkan dari pengamatan, kemampuan lahan di lokasi penelitian tergolong kategori kelas V VII atau dikategorikan dapat digarap dengan perlakuan Tingkat Kesuburan Tanah Tanah tersusun dari empat bahan utama, yaitu: bahan mineral, bahan organik, air, dan udara. Bahan-bahan penyusun tanah tersebut jumlahnya masingmasing berbeda untuk setiap jenis tanah ataupun setiap lapisan tanah. Syarat kecukupan tanah masih tergolong subur umumnya mengandung 45% bahan mineral, 3-5% bahan organik, 20 30% udara, 20 30% air (Hardjowigeno, 2007).

116 96 Pra penelitian dengan mengambil contoh tanah sembarang di Kecamatan Tenggarong Seberang dan di Kecamatan Sebulu oleh Sinaga (2008) tanah sebelum penambangan batubara masih tergolong cukup subur karena bahan organiknya 4,27% dari C-organik. Tanah Pasca tambang batubara sudah kurang subur karena kecukupan bahan organiknya sampai kurang dari 3% demikian juga dengan N-total dan unsur Fosfor (P) yang semakin kecil. Tingkat kesuburan tanah dilihat dari sifat kimia tanah dan fisik tanah pada kajian ini dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu: (0) tidak subur, (1) kurang subur, (2) subur, dan (3) sangat subur. Berdasarkan nilai rata rata hasil analisis sifat kimia tanah dan pembandingan dengan kriteria kesuburan tanah berdasarkan kimia tanah (Tabel 3), dapat diketahui bahwa lokasi penelitian termasuk memiliki tanah yang kurang subur Dimensi Ekonomi Kontribusi terhadap PDRB relatif untuk desa sekitar lokasi Berdasarkan data pada tahun 2007, sektor pertambangan dan penggalian memberikan kontribusi yang dominan dalam perekonomian Kabupaten Kutai Kartanegara yaitu sebesar 78,35%. Sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 8,26%, sedangkan sektor lainnya hanya memberikan kontribusi di bawah 5% terhadap perekonomian. Kontribusi sektor terhadap PDRB Kabupaten Kutai Kartanegara dapat dilihat pada Gambar 15. 0,08 4,02 2,41 4,12 0,700,72 1,35 8,26 78,35 Pertanian Industri Pengolahan Bangunan dan konstruksi Pengangkutan dan komunikasi jasa-jasa Pertambangan dan penggalian Listrik, gas dan air minum Perdagangan, restoran dan hotel Keuangan, persew aan dan Jasa perusahaan Gambar 15. Kontribusi Sektor Terhadap PDRB Kabupaten Kutai Kartanegara, 2007

117 97 Besaran PDRB sering digunakan sebagai indikator untuk menilai kinerja perekonomian suatu wilayah, terutama yang dikaitkan dengan kemampuan suatu daerah dalam mengelola sumberdaya yang dimilikinya. Perkembangan PDRB tahun 2000, 2006 dan 2007 dapat dilihat pada Gambar Milyar Rupiah Non Migas Migas Sumber : Kutai Kartanegara Dalam Angka BPS, (2007) Gambar 16. Perkembangan PDRB Tahun 2000, 2006 dan 2007 Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara pada Program Gerbang Dayaku telah memberikan bantuan stimulus desa sebesar 2 miliar rupiah per tahun pada masing-masing desa. Bantuan ini digunakan untuk pembangunan infrastruktur, walaupun dalam implementasinya masih belum optimal. Kontribusi terhadap PDRB relatif untuk desa sekitar lokasi dapat dikelompokkan dalam lima kategori yaitu: (0) lebih rendah, (1) rendah, (2) sama, (3) tinggi, dan (4) lebih tinggi. Berdasarkan data dan pengamatan yang ada, di Kecamatan Sebulu dan Kecamatan Tenggarong Seberang tergolong masih rendah dalam menerima hasil dari kontribusi relatif Sarana dan prasarana transportasi Secara topografi, wilayah Kutai Kartanegara terdiri atas wilayah pantai, sungai dan daratan. Beberapa wilayah di pantai dan pedalaman hingga saat ini masih ada yang harus ditempuh melalui jalur laut, sungai dan danau. Berdasarkan data kondisi jalan yang ada di Kabupaten Kutai Kartanegara, terlihat bahwa masih banyak terdapat jalan yang rusak hingga rusak berat. Kondisi di Kecamatan Sebulu terlihat sangat nyata, bahwa jalan yang rusak

118 98 berat mencapai lebih dari 70%. Sementara di Kecamatan Tenggarong Seberang, kondisi jalan yang rusak dan rusak berat bisa mencapai 65,55%. Kondisi jalan dapat dilihat pada Tabel 12. Hal ini terjadi akibat dilalui oleh alat transportasi yang berat perusahaan pertambangan. Tabel 12. Kondisi Jalan di Kabupaten Kutai Kartanegara (Km) Tahun 2008 Kondisi Jalan Lokasi Baik Sedang Rusak Rusak Berat Rencana Jalan Jumlah Kec. Sebulu 7,8 13,31 14,32 71,27-106,7 Kec. Tenggarong Seberang 30,88 19,49 52,05 43,77-146,19 Kab. Kutai Kartanegara 260,38 391,67 287,88 377,52 207, ,39 Sumber : Kabupaten Kutai Kartanegara dalam Angka, BPS, Kondisi buruknya sarana dan prasarana transportasi juga ditunjukkan dengan jenis permukaan jalan di Kabupaten Kutai Kartanegara yang masih banyak tidak beraspal. Jalan yang ada hanya berupa jalan kerikil, batu dan tanah, seperti terlihat pada Tabel 13. Dalam kajian ini atribut sarana dan prasarana transportasi dapat dikelompokkan dalam empat kategori yaitu: (0) buruk, (1) cukup, (2) baik, (3) sangat baik. Berdasarkan observasi di lapangan dan didukung oleh data yang ada, sarana dan prasarana transportasi yang terdapat di lokasi pasca tambang batubara tergolong kategori buruk. Tabel 13. Kondisi Jalan di Kabupaten Kutai Kartanegara Berdasarkan Jenis Permukaan Jalan (Km) Tahun 2008 Jenis Permukaan Jalan Rencana Lokasi Aspal Kerikil Batu Tanah Beton Jalan Jumlah Kec. Sebulu 25,81 18,51 13,92 48, ,7 Kec.Tenggarong 87,71 1 7, ,52-146,19 Seberang Kab. Kutai Kartanegara 407,4 334,07 83,86 320,72 171,4 207, ,39 Sumber : Kabupaten Kutai Kartanegara dalam Angka, BPS, Status penguasaan lahan Jumlah sertifikat hak atas tanah menurut pendaftaran tanah pertama di kecamatan memberikan gambaran bahwa masyarakat yang mendaftarkan sebagai

119 99 hak milik relatif masih sedikit dibandingkan dengan jumlah luasan lahan yang ada di Kabupaten Kutai Kartanegara. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Jumlah Sertifikat Hak Atas Tanah Menurut Pendaftaran Tanah Pertama di Kecamatan Lokasi Hak Milik Hak Guna Bangunan Hak Atas Tanah Hak Guna Usaha Hak Pakai Hak Penggunaan Lahan Jumlah Kec. Sebulu Kec. Tenggarong Seberang Kab. Kutai Kartanegara Sumber : Kabupaten Kutai Kartanegara dalam Angka, BPS, Berdasarkan informasi dari masyarakat, status penguasaan lahan sebelum dan setelah tambang batubara sekitar 30,77% berkurang, dan 7,69% bertambah, seperti terlihat pada Tabel 15. Sedangkan sebanyak 61,54% masyarakat menyatakan bahwa penguasaan lahan mereka masih tetap, yaitu masih tetap memiliki lahan. Dalam hal ini, status penguasaan lahan masyarakat dikategorikan tetap, tidak mengalami penambahan dan pengurangan secara signifikan. Tabel 15. Status Penguasaan Lahan Masyarakat Sekitar Tambang Batubara Status Penguasaan Lahan Pra - Pasca Tambang Bertambah 7,69 Tetap 61,54 Berkurang 30,77 Sumber : Data Primer (diolah), Sarana Perekonomian Sarana perekonomian dapat dilihat dari banyaknya koperasi maupun pasar yang terdapat di lokasi. Jika dilihat data jumlah koperasi di Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2007 sebanyak 509 unit, Koperasi Pertanian dan Koperasi Serba Usaha merupakan jenis koperasi yang banyak dijumpai. Dua jenis koperasi tersebut juga mendominasi di Kecamatan Sebulu, sedangkan di Kecamatan Tenggarong Seberang jumlah dan jenis koperasi lebih beragam. Keragaan koperasi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 16.

120 100 Tabel 16. Jumlah Koperasi di Kecamatan Sebulu, Kecamatan Tenggarong Seberang dan Kabupaten Kutai Kartanegara Jenis Koperasi Kec. Sebulu Kec. Tenggarong Seberang Kab. Kutai Kartanegara Jumlah % Jumlah % Jumlah % KUD 5 14, , ,38 Koperasi Serba Usaha 9 25, , ,61 Koperasi Pegawai Negeri 2 5,71 3 7, ,84 Koperasi Buruh Karyawan 0 0,00 3 7, ,72 Koperasi Wanita 0 0,00 1 2,50 6 1,18 Koperasi Pertanian 13 37, , ,81 Koperasi jasa-jasa lainnya 1 2, , ,22 Koperasi Simpan Pinjam 1 2,86 1 2, ,16 Koperasi Sekolah 1 2,86 2 5, ,16 Koperasi Pertambangan 2 5, , ,91 Koperasi Lain-lain 1 2,86 0 0, ,34 Total ,32 Sumber : Kabupaten Kutai Kartanegara dalam Angka, BPS, 2008 Pasar merupakan salah satu sarana perekonomian sebagai tempat transaksi perdagangan. Keberadaan pasar di Kecamatan Sebulu terdapat 11 yang hampir di setiap desa tedapat pasar ini, kecuali di Desa Sebulu Modern dan Desa Lekaq Kidau. Keberadaan warung/kedai serta toko juga menjadi sarana dalam rantai pemasaran untuk mendistribusikan produksi kepada konsumen. Sarana perekonomian di Kecamatan Sebulu dapat dilihat pada Tabel 17. Data serupa untuk Kecamatan Tenggarong Seberang tidak ditemukan. Dalam kajian ini, keberadaan sarana perekonomian pasca tambang batubara dapat dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu: (0) berkurang, (1) tetap, dan (2) bertambah. Berdasarkan informasi di lapangan, keberadaan sarana perkonomian relatif tetap, artinya tidak banyak sarana perekonomian yang berubah signifikan Aktivitas perekonomian pasca tambang batubara Aktivitas perekonomian pasca tambang batubara dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu: (0) mengalami penurunan dari kondisi sebelum tambang

121 101 batubara, (1) tetap, tidak mengalami perubahan, dan (2) mengalami peningkatan dari kondisi sebelum tambang batubara. Tabel 17. Banyaknya Pasar, Warung/Kedai, dan Toko di Kecamatan Sebulu Desa/kelurahan Pasar Warung/kedai Toko Selerong Tanjung Harapan Beloro Sebulu Ulu Manunggal Daya Sumber Sari Sebulu Ilir Segihan Giri Agung Senoni Sebulu Modern Lekaq Kidau Sanggulan JUMLAH Sumber : Kecamatan Sebulu dalam Angka, BPS, Aktivitas perekonomian masyarakat pasca tambang batubara di sekitar lokasi secara umum akan mengalami penurunan. Hal ini dapat dipahami karena aktivitas pertambangan yang tentunya menyerap sumberdaya lokal, termasuk tenaga kerja tidak akan melakukan aktivitas pertambangan setelah pasca tambang batubara. Lingkungan yang semula ramai akan sepi, sehingga berpengaruh pula terhadap kebutuhan sehari-hari yang diperjual-belikan. Pasar sebagai penyedia kebutuhan akan menyesuaikan dengan permintaan yang ada Mata pencaharian pasca tambang batubara Penduduk di Kabupaten Kutai Kartanegara tinggal sebagian besar bertempat tinggal di perdesaan yakni mencapai 75,7%, sedangkan 24,3% lainnya berada di daerah perkotaan. Adapun mata pencaharian penduduk umumnya berada di sektor pertanian (38,25%), industri/kerajinan (18,37%), perdagangan (10,59 %) dan lain-lain 32,79%. Mata pencaharian masyarakat sebelum terdapat kegiatan tambang batubara sebagian besar sebagai petani. Saat kegiatan pertambangan batubara beroperasi, masyarakat banyak yang menjadi pekerja pada perusahaan tambang

122 102 batubara di beberapa wilayah. Posisi pekerjaan di perusahaan tambang batubara yang didapatkan memang bukan menjadi pegawai kantor yang memiliki jabatan, namun lebih pada pekerja teknis seperti buruh, supir dan bagian keamanan. Mata pencaharian masyarakat pasca tambang batubara dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu: (0) menganggur, (1) berpindah mata pencaharian, dan (2) tetap pada mata pencaharian awal. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa pasca tambang batubara, sebagian besar masyarakat akan beralih memiliki pekerjaan lain yaitu membuka usaha perdagangan, layanan jasa atau sebagai aparat desa. Kalaupun tidak beralih pada pekerjaan lain, masyarakat akan kembali kepada pekerjaan awal yang sebagian besar bertani. Gambaran mata pencaharian penduduk sebelum, saat dan sesudah aktivitas pertambangan dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Komposisi Mata Pencaharian Penduduk Sebelum, Saat dan Sesudah Aktivitas Pertambangan Mata Pencaharian Sebelum Saat Pertambangan Sesudah Bertani 64,29 35,71 21,43 Dagang/Wiraswasta 7,14 14,29 28,57 Kerja Tambang - 42,86 - Kerja lain 28,57 7,14 50,00 Sumber : Data Primer (diolah), Pendapatan masyarakat pasca tambang batubara Pendapatan masyarakat pasca tambang batubara dibandingkan dengan pendapatan sebelum kegiatan penambangan batubara dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu: (0) mengalami penurunan, (1) tetap, dan (2) mengalami peningkatan. Pendapatan masyarakat sebelum aktivitas tambang batubara dilakukan relatif lebih rendah dibandingkan pada saat pertambangan batubara, demikian pula pendapatan masyarakat pada saat pertambangan dibandingkan sesudah tambang batubara, seperti terlihat pada Tabel 19. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas pertambangan memberikan kontribusi terhadap pendapatan masyarakat di sekitar kawasan pertambangan,

123 103 sehingga pendapatan masyarakat mengalami penurunan dibandingkan pada saat sebelum pertambangan batubara. Tabel 19. Pendapatan Masyarakat Sebelum, Saat dan Sesudah Penambangan Pendapatan Rata-rata Sebelum Saat Pertambangan Sesudah Maksimum Minimum Rata-Rata Sumber : Data Primer (diolah), Dimensi Sosial Epidemi penyakit diare dan pernapasan Epidemi dapat diartikan sebagai wabah yang terjadi secara lebih cepat daripada yang diduga. Dalam peraturan yang berlaku di Indonesia, pengertian wabah dapat dikatakan sama dengan epidemi, yaitu "berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka" (UU Nomor 4 Tahun 1984). Data pada Tabel 20 memperlihatkan sepuluh jenis penyakit terbesar yang terdapat di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kecamatan Sebulu dan Kecamatan Tenggarong Seberang pada tahun Epidemi penyakit dikelompokkan dalam empat kategori yaitu: (0) > 75,00 % kasus = tinggi, (1) 50,01 75,00% kasus = sedang (2) 10,01 50,00 % kasus = rendah, dan (3) 0,00 10,00 % kasus = tidak terjadi epidemi. Berdasarkan dari data di lapangan, Kabupaten Kutai Kartanegara, khususnya Kecamatan Sebulu dan Tenggarong Seberang memiliki epidemi penyakit diare dan pernafasan yang rendah Persepsi masyarakat terhadap pasca tambang batubara Keberadaan lingkungan baru dapat memberikan persepsi atau pandangan yang beragam dari masyarakat yang mendiami wilayah tersebut. Hal ini dapat dipahami bahwa masuknya suatu inovasi yang baru ke dalam faktor indigenous akan merubah sistem yang ada sebelumnya. Persepsi masyarakat terhadap kondisi pasca tentunya akan dibandingkan dengan kondisi pra inovasi, dikelompokkan

124 104 dalam empat kategori yaitu: (0) suatu inovasi tidak bermanfaat, (1) suatu inovasi kurang bermanfaat, (2) suatu inovasi bermanfaat, dan (3) suatu inovasi sangat bermanfaat. Tabel 20. Sepuluh penyakit terbesar di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kecamatan Sebulu dan Kecamatan Tenggaraong Seberang, 2006 Kab. Kutai Kartanegara Jenis Penyakit Diare dan Gastroenteritis tidak dapat dikelompokkan ke dalam A00- A08 Persentase Dari total kasus 13,46 Influenza 11,66 Puskesmas Sebulu 1, Kec. Sebulu Jenis Penyakit Gejala dan tanda umum lainnya Gastroduod enitis tidak spesifik Persentase dari kasus 21,76 17,76 Batuk 10,71 Batuk 16,08 Tukak lambung 10,43 Penyakit infeksi saluran pernapasan atas akut tidak spesifik Nasofaringitis akuta (Common Cold) Demam yang tidak diketahui sebabnya Penyakit infeksi saluran pernapasan atas lainnya Faringitis Akuta 10,25 Hipertensi 9,16 9,99 9,08 8,90 Gangguan lain pada kulit dan jaringan subkutan yang tidak diklasifikas ikan Tuberkulosi s paru klinis Infeksi virus dan infeksi usus tertentu lainnya Puskesmas Sebulu 2, Kec. Sebulu Jenis Penyakit Infeksi akut lain pada saluran pernapasan bagian atas Infeksi penyakit usus yang lain Penyakit pulpa pada jaringan periapikal Persentase dari kasus 43,26 11,06 8,53 10,04 Diare 6,94 6,35 5,58 5,48 Penyakit kulit infeksi Penyakit pada sistem otot dan jaringan pengikat Penyakit kulit elergi Gingivitas dan penyakit periodental 6,67 Hipertensi 7,89 Myalgia 3,97 Tonsilitis 3,43 Gangguan lain pada kulit dan jaringan subkutan yang tidak terklasifikasikan 7,63 Dermatitis lain tidak spesifik (eksema) 3,83 Sumber : Penyakit tekanan darah tinggi Puskesmas Separi 3, Kec. Tenggarong Seberang Persenta se dari Jenis Penyakit kasus Penyakit infeksi saluran pernapasan atas 25,71 akut tidak spesifik Gejala dan tanda umum lainnya 24,9 Infeksi virus dan infeksi usus 8,14 tertentu lainnya Diare dan Gastroenteritis tidak dapat 8,14 dikelompokkan ke dalam A00 A08 Gastroduodeniti s tidak spesifik 6,59 6,35 Tonsilitis Akuta 6,51 5,77 Rematisme 5,37 5,00 Hipertensi 5,29 Penyakit infeksi saluran pernapasan atas lainnya 5,29 2,98 Karies gigi 4,07

125 105 Berdasarkan hasil wawancara hampir seluruh warga masyarakat (96%) memberikan berbagai persepsi negatif yang memiliki tendensi bahwa keberadaan tambang batubara tidak memiliki manfaat bagi masyarakat. Masyarakat menyatakan bahwa dengan keberadaan tambang lingkungan menjadi rusak, kegiatan AMDAL tidak berjalan. Bahkan terdapat petani yang mengungkapkan bahwa dari hasil produksi panen padi sawah menurun drastis, dari empat ton menjadi satu ton sehingga berpengaruh terhadap pendapatan. Cekungan lahan yang terjadi akibat pertambangan tidak bisa dimanfaatkan sebagai kolam perikanan, bahkan membahayakan bagi warga. Selain itu gersangnya lingkungan dan kerawanan banjir menjadi permasalahan. Terhadap kesehatan lingkungan, masyarakat mengemukakan bahwa keberadaan tambang batubara memberikan dampak bagi kesehatan. Polusi akibat dari aktivitas pertambangan berdampak bagi meningkatnya penyakit yang terkait dengan pernafasan Tatanan adat dan kebiasaan masyarakat Setiap masyarakat adat atau kebiasaan merupakan pola-pola prilaku bagi anggota-anggota masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Suatu perubahan akan timbul apabila pola-pola prilaku tersebut tidak efektif lagi dalam memenuhi kebutuhan pokok (Sujono, 1982). Perubahan sosial dan kebudayaan merupakan suatu proses perubahan dalam masyarakat yang pada umumnya dapat terjadi melalui saluran perubahan sosial yaitu kelembagaan masyarakat dalam bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama dan lainnya. Perubahan tatanan adat dan kebiasaan masyarakat terkait dengan kondisi masyarakat pasca tambang batubara dalam kajian ini dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu: (0) adat dan kebiasaan masyarakat pasca tambang mengalami perubahan yang besar akibat adanya kegiatan penambangan batubara, (1) adat dan kebiasaan masyarakat pasca tambang hanya mengalami sedikit perubahan akibat adanya kegiatan penambangan batubara, dan (2) adat dan kebiasaan masyarakat pasca tambang tidak mengalami perubahan akibat adanya kegiatan penambangan batubara.

126 106 Berdasarkan pada informasi yang diperoleh, kebiasaan masyarakat pasca tambang batubara dibandingkan dengan sebelum tambang batubara dirasakan hanya memiliki sedikit perubahan. Hal ini dikemukakan oleh 90 % masyarakat pada saat wawancara. Masyarakat menyatakan bahwa kegiatan pertambangan memberikan dampak negatif terhadap kesibukan masyarakat sehingga gotong royong dan kegiatan sosial kemasyarakatan menjadi berkurang Angka beban tanggungan keluarga Rasio Ketergantungan (Dependency Ratio) adalah perbandingan antara penduduk usia non produktif (jumlah penduduk berumur 0-14 tahun, ditambah dengan jumlah penduduk 65 tahun ke atas) dibandingkan dengan penduduk usia produktif (jumlah penduduk usia tahun). Rasio ketergantungan (dependency ratio) merupakan salah satu indikator demografi yang penting dan dapat digunakan sebagai indikator yang secara kasar dapat menunjukkan keadaan ekonomi suatu wilayah. Semakin tingginya persentase dependency ratio menunjukkan semakin tingginya beban yang harus ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai hidup penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi. Persentase dependency ratio yang semakin rendah menunjukkan semakin rendahnya beban yang ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi. Penduduk usia non produktif di Kabupaten Kutai Kartanegara pada tahun 2004 berjumlah orang, dan penduduk produktif sejumlah orang. Dari komposisi per kelompok usia maka didapat angka beban tanggungan (dependency ratio) pada tahun 2004 sebesar 54,92%. Hal ini berarti setiap 100 orang usia produktif menanggung beban sekitar 55 orang usia tidak produktif. Berdasarkan data proyeksi BPS untuk tahun 2008 diperoleh tingkat dependency ratio yang semakin meningkat yaitu sekitar 59 orang. Rasio ketergantungan penduduk di Kabupaten Kutai Kartanegara dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Dependency Ratio Penduduk Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun Penduduk Usia Non Produktif Penduduk Usia Produktif Dependency ratio , ,59 Sumber : Kabupaten Kutai Kartanegara dalam Angka Tahun 2004 dan 2009, BPS

127 107 Angka beban tanggungan keluarga dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu: (0) > 65 = tinggi, (1) = sedang, dan (2) < 25 = rendah. Angka beban tanggungan keluarga di Kabupaten kutai Kartanegara dapat tergolong tinggi Rasio relatif jenis kelamin Jumlah penduduk di Kabupaten Kutai Kartanegara pada kurun waktu tahun mengalami peningkatan 2,14% per tahun. Pada tahun 2005, jumlah penduduk jiwa, tahun 2006 sebanyak jiwa dan tahun 2007 sebanyak jiwa. Kecamatan Tenggarong Seberang memiliki sekitar 9,11% penduduk dan Kecamatan Sebulu memiliki 6,23% penduduk dari total penduduk di Kabupaten Kutai Kartanegara. Penduduk yang bermukim di wilayah ini terdiri dari penduduk asli (Kutai, Benuaq, Tunjung, Bahau, Modang, Kenyah, Punan dan Kayan) dan penduduk pendatang seperti Jawa, Bugis, Banjar, Madura, Buton, Timor dan lain-lain. Jika dilihat rasio antara laki-laki dan perempuan, untuk tingkat Kabupaten Kutai Kartanegara dan kedua kecamatan sampel tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Pada Kabupaten Kutai Kartanegara dari total jumlah penduduk, 52% merupakan penduduk laki-laki dan 48% penduduk perempuan. Sementara itu, untuk Kecamatan Tenggarong Seberang dan Sebulu, 53% dari total jumlah penduduk adalah laki-laki dan 47% penduduk perempuan. Penduduk berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 22. Hal ini dapat dikatakan bahwa jumlah penduduk laki-laki relatif sama (tidak berbeda signifikan) dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan. Tabel 22. Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Kabupaten/Kecamatan Lakilaki Wanita Jumlah Lakilaki Wanita Jumlah Kab. Kutai Kartanegara Kec. Tenggarong Seberang Kec. Sebulu Sumber : BPS, (2008)

128 Migrasi penduduk Pola penyebaran penduduk sebagian besar mengikuti pola transportasi yang ada. Sungai Mahakam merupakan jalur arteri bagi transportasi lokal. Keadaan ini menyebabkan sebagian besar pemukiman penduduk terkonsentrasi di tepi Sungai Mahakam dan cabang-cabangnya. Daerah-daerah yang agak jauh dari tepi sungai dimana belum terdapat prasarana jalan darat relatif kurang terisi dengan pemukiman penduduk. Migrasi penduduk dilihat dari penduduk yang datang dan pergi. Migrasi penduduk pada Kecamatan Sebulu relatif lebih rendah (1,69%) dibandingkan pada Kecamatan Tenggarong Seberang (5,22%). Tahun 2007, migrasi di Kecamatan Sebulu mencapai 574 orang, dengan 194 penduduk datang dan 380 penduduk pergi meninggalkan kecamatan seperti terlihat pada Tabel 23. Tabel 23. Migrasi Penduduk di Kecamatan Sebulu Tahun 2007 Desa/kelurahan Datang Pergi Jumlah Selerong Tanjung Harapan Beloro Sebulu Ulu Manunggal Daya Sumber Sari Sebulu Ilir Segihan Giri Agung Senoni Sebulu Modern Lekaq Kidau Sanggulan Jumlah Sumber : Kecamatan Sebulu dalam Angka, BPS, Periode tahun yang sama, kondisi di Kecamatan Tenggarong Seberang terdapat migrasi sebanyak orang. Sejumlah angka tersebut sebanyak orang datang dan pergi meninggalkan Kecamatan Tenggarong Seberang. Tabel 24 menunjukkan migrasi penduduk de Kecamatan Tenggarong Seberang. Migrasi penduduk dalam kajian ini dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu: (0) > 2,5 % dari jumlah penduduk = migrasi tinggi, (1) 1-2,5% dari jumlah penduduk = migrasi sedang, dan (2) 0 1 % dari jumlah penduduk = migrasi rendah. Berdasarkan data pada Tabel 26, migrasi penduduk di Kecamatan

129 109 Sebulu dan Kecamatan Tenggarong Seberang dapat diklasifikasikan ke dalam kategori tinggi. Tabel 24.Migrasi Penduduk di Kecamatan Tenggarong Seberang Tahun 2007 Desa/Kelurahan Datang Pergi Jumlah Loa Lepu Teluk Dalam Perjiwa Loa Raya Loa Ulung Embalut Bukit Raya Manunggal Jaya Bangun Rejo Kerta Buana Separi Bukit Pariaman Bhuana Jaya Mulawarman Loa Pari Sukamaju Tanjung Batu Karang Tunggal Jumlah Sumber : Kecamatan Tenggarong Seberang dalam Angka, BPS, Konflik sosial Berdasarkan data banyaknya kejadian yang dilaporkan menurut masingmasing Polsek Kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara, secara umum terlihat adanya kecenderungan peningkatan peristiwa kejahatan. Tahun 2000, di Kabupaten Kutai Kartanegara terdapat 273 kasus, dan semakin meningkat setiap tahun hingga pada tahun 2006 mencapai 575 kasus. Kejahatan yang terjadi di Kecamatan Tenggarong Seberang dari jumlah tersebut mencapai 4 kasus dan berfluktuasi setiap tahun. Pada tahun 2005 di Kecamatan Tenggarong Seberang terdapat 70 kasus yang merupakan jumlah terbesar selama periode tahun Peristiwa kejahatan di Kecamatan Sebulu relatif lebih rendah dibandingkan dengan Kecamatan Tenggarong Seberang. Hal ini diperkirakan karena Kecamatan Tenggarong Seberang relatif lebih dekat ke perkotaan, sehingga modus-modus kejahatan lebih mudah masuk ke wilayah tersebut. Jumlah kejadian kejahatan yang terjadi pada tahun pada Kecamatan Sebulu realtif tidak berubah secara signifikan, hanya berada pada kisaran sembilan hingga

130 110 sembilan belas kasus. Secara rinci, jumlah kejadian kejahatan tahun dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Jumlah Kejadian Kejahatan yang Terjadi pada Tahun Lokasi * Kab. Kutai Kartanegara Kec.Tenggarong Seberang Kec. Sebulu Sumber : BPS, (2008). *) angka sementara Konflik sosial dalam kajian ini dikelompokkan berdasarkan banyaknya jumlah kejadian kejahatan yaitu: (0) > 24 kasus = sering, (1) 1 23 kasus = jarang, dan (2) 0 kasus = tidak pernah. Kecamatan Tenggarong Seberang masuk dalam kategori sering dan di Kecamatan Sebulu termasuk dalam kategori jarang. Namun jika kedua kecamatan tersebut dirata-ratakan maka masuk dalam kategori sering. Dasar dalam pengelompokkan ini adalah dengan melihat rata-rata kejadian pada masing-masing kecamatan pada periode , yaitu berkisar 24 kasus.

131 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi penurunan kualitas, baik dari komponen tanah, air dan vegetasi. Perbedaan ini ditandai dengan adanya sifat-sifat negatif yang ditimbulkan oleh kerusakan pada saat penambangan. Hal ini akan mempengaruhi keberhasilan reklamasi sehingga perlakuan penanaman kembali belum optimal. Indikator ini dapat dilihat dari terganggunya pertumbuhan tanaman dibandingkan kondisi tanah normal sebelum pasca tambang batubara. Sifat fisik tanah seperti tekstur tanah rona lingkungan hidup awal umumnya tergolong cukup baik, mempunyai ukuran besar butir tanah yang agak halus sampai agak kasar. Kondisi saat ini, tekstur tanah tergolong sedang sampai agak kasar. Sifat kimia tanah pasca tambang batubara juga mengalami penurunan kualitas, termasuk diantaranya adalah kesuburan yang rendah dan kemasaman yang cukup tinggi. Kualitas hidrologi tanah pasca tambang batubara menjadi buruk yang dicirikan oleh rendahnya kapasitas menahan air (water holding capacity), percepatan aliran permukaan (run off) dan erosi. Ketersediaan hara N yang rendah dipengaruhi oleh kondisi tanah dan kualitas hidrologi tanah terutama pada tanah gusuran saat penambangan batubara dilakukan. Hal ini mengakibatkan tidak cukup tersedianya tanah untuk usaha revegetasi. Kekurangan unsur hara merupakan pembatas untuk pertumbuhan tanaman pada lahan bekas tambang batubara karena tidak tersedia unsur hara untuk tanaman. Hasil pengambilan sampel tanah, air dan pengamatan vegetasi di Kecamatan Tenggarong Seberang dan Kecamatan Sebulu, Kabupaten Kutai Kartanegara dapat dilihat dari pembahasan masing-masing komponen.

132 Kondisi Tanah Pasca Tambang Batubara Tanah sebagai sumberdaya alam untuk pertanian mempunyai dua fungsi utama, yaitu (1) sebagai matriks tempat akar tumbuhan berjangkar dan air tanah tersimpan, dan (2) sebagai sumber unsur hara bagi tumbuhan. Kedua fungsi tanah tersebut dapat menurun atau hilang akibat kerusakan tanah atau degradasi tanah. Hilangnya fungsi tanah sebagai sumber unsur hara bagi tumbuhan dapat segera diperbaiki dengan pemupukan, sedangkan hilangnya fungsi tanah sebagai matriks tempat akar tumbuhan berjangkar dan air tanah tersimpan tidak mudah diperbaiki atau diperbaharui oleh karena memerlukan waktu yang lama (Arsyad, 2006). Tanah menjadi unsur penting dalam penelitian ini karena berfungsi sebagai media tumbuh dalam proses revegetasi kawasan pasca tambang batubara. Bagi pihak pertambangan, tanah sebagai sesuatu yang tidak berguna karena menutupi bahan tambang batubara yang dicarinya. Sifat fisik tanah dalam penelitian ini hanya diwakili oleh tekstur tanah. Sementara itu ph, KTK, C/N rasio, ketersediaan P 2 O 5 dan K 2 O, Kejenuhan Basa dan Kejenuhan Al, merupakan sifat kimia tanah yang diteliti. Kriteria penilaian sifat kimia tanah yang digunakan dalam penelitian ini adalah kriteria dari Staf Pusat Penelitian Tanah, 1983 dalam Hardjowigeno (2007). Tekstur Tanah Tekstur tanah yang diperlukan tanaman pada umumnya adalah tanah yang bertekstur lebih halus. Setiap satuan berat mempunyai luas permukaan yang lebih besar, sehingga kemampuan tanah menahan air dan menyediakan unsur hara tinggi. Sebaliknya, tanah-tanah yang bertekstur pasir karena butir-butirnya bertekstur besar maka kemampuan menahan air dan unsur hara lebih kecil. Tanah bertekstur halus lebih aktif dalam reaksi kimia dibandingkan dengan tanah bertekstur kasar. Rona lingkungan hidup awal untuk tekstur tanah di PT. Kitadin dari 6 lokasi menunjukkan bahwa tekstur tanah yang terdapat di lokasi 1 lempung liat berdebu, di lokasi 2 tekstur tanah lempung liat berdebu, di lokasi 3 tekstur tanah lempung berliat, di lokasi 4 tekstur tanah lempung berliat, di lokasi 5 tekstur tanah

133 113 lempung berliat, dan di lokasi 6 tekstur tanah lempung liat berdebu (Dokumen ANDAL PT. Kitadin, 2000). Kondisi saat ini, tekstur tanah kawasan pasca tambang batubara yang terdapat di PT. Kitadin yang melakukan reklamasi pada areal berumur sekitar 1 tahun bertekstur lempung berdebu dan lempung, tergolong kelas sedang. Pada areal berumur sekitar 5 tahun dan sekitar 10 tahun tekstur tanah lempung liat berdebu dan lempung, tergolong kelas agak halus. Semakin tua umur lahan (sekitar 5 tahun dan 10 tahun) sudah terdapat perbaikan tekstur tanah dari kelas sedang menjadi agak halus. Pada kondisi kawasan tanah pasca tambang batubara yang non reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun tanah bertekstur lempung berdebu, tergolong kelas sedang. Demikian juga di areal berumur sekitar 5 tahun tanah bertekstur lempung berdebu, tergolong kelas sedang (belum terdapat perbaikan tekstur tanah). Kondisi tekstur tanah non reklamasi membaik ketika memasuki umur sekitar 10 tahun dengan tekstur liat berdebu dan lempung berliat, tergolong kelas agak halus. Hal ini mengindikasikan bahwa tanah bekas tambang batubara yang tidak melakukan reklamasi membutuhkan waktu yang lebih lama untuk memperbaiki kualitas tekstur tanah dibandingkan dengan kawasan reklamasi. Kegiatan reklamasi memberi harapan terjadinya perbaikan tekstur tanah untuk waktu jangka panjang. Rona lingkungan hidup awal dan kondisi saat ini untuk sifat fisik tanah (tekstur) di PT. Kitadin dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Rona Lingkungan Hidup Awal dan Kondisi Saat Ini Sifat Fisik Tanah (Tekstur) di PT. Kitadin Rona Lingkungan Hidup Awal Lokasi 1: Lempung liat berdebu Lokasi 2: Lempung liat berdebu Lokasi 3: Lempung liat Lokasi 4: Lempung liat Lokasi 5: Lempung liat Lokasi 6: Lempung liat berdebu Reklamasi Sekitar 1 tahun Sekitar 5 tahun Sekitar 10 tahun Kondisi Saat Ini Lempung berdebu, lempung Lempung liat berdebu, Lempung Lempung berliat Non Reklamasi Sekitar 1 tahun Lempung berdebu Sekitar 5 tahun Lempung berdebu, debu Sekitar 10 tahun Liat berdebu, lempung berliat Sumber: Hasil Analisis (2009), Dokumen ANDAL PT.Kitadin (2000) Tekstur tanah sesuai rona lingkungan hidup awal di PT. Kitadin masih bertekstur halus, mengindikasikan masih sesuai dengan tekstur tanah yang

134 114 diperlukan tanaman. Kondisi saat ini di kawasan reklamasi terjadi perubahan tekstur dari kelas halus menjadi kelas sedang, terutama di awal masa penambangan. Kawasan reklamasi memberikan harapan perbaikan tekstur tanah untuk jangka waktu 5 sampai 10 tahun sejak penambangan batubara dimulai. Kawasan non reklamasi mengalami perbaikan tekstur tanah relatif lebih lama, perbaikan tekstur terjadi sekitar 10 tahun sejak penambangan. Tekstur tanah lebih baik sebelum penambangan batubara dibandingkan dengan sesudah penambangan (pasca tambang). Rona lingkungan hidup awal untuk tekstur tanah di PT. Tanito Harum pada 2 lokasi yaitu di lokasi 1 tekstur tanah liat berdebu dan lokasi 2 tekstur tanah liat (Dokumen ANDAL PT. Tanito Harum, 1994). Kondisi saat ini, kualitas tekstur tanah di PT. Tanito Harum hampir sama dengan di PT. Kitadin, seiring bertambahnya umur kawasan pasca tambang batubara, terdapat perbaikan kelas tekstur dari kelas tekstur lempung berdebu menjadi lempung berliat. Pada kawasan reklamasi, di areal berumur sekitar 1 tahun kelas teksturnya masih lempung berdebu, tergolong kategori kelas sedang. Pada umur kawasan sekitar 5 tahun dan 10 tahun kelas tekstur membaik menjadi lempung berliat, tergolong agak halus. Pada kawasan non reklamasi, di areal berumur sekitar 1 tahun dan 5 tahun tekstur tanah masih merupakan lempung berdebu, tergolong kategori kelas sedang. Pada areal berumur sekitar 10 tahun terjadi perbaikan kualitas tekstur tanah dari lempung berdebu menjadi liat berdebu dan lempung berliat, tergolong kelas agak halus. Hal ini mengindikasikan kondisi yang sama dengan kawasan di PT. Kitadin, bahwa kawasan yang dilakukan reklamasi akan mempercepat perbaikan tekstur tanah. Rona lingkungan hidup awal dan kondisi saat ini untuk sifat fisik tanah (tekstur) di PT. Tanito Harum dapat dilihat pada Tabel 27. Hampir sama dengan tekstur tanah di PT. Kitadin, rona lingkungan hidup awal di PT. Tanito Harum kelas tekstur halus bahkan lebih baik karena di lokasi 2 ada tekstur tanah liat (terbaik), sesuai dengan tekstur tanah yang diperlukan tanaman. Pada kondisi saat ini, di kawasan reklamasi tekstur dari kelas halus menjadi tekstur kelas sedang. Kawasan reklamasi memberikan harapan perbaikan tekstur tanah untuk jangka waktu 5 sampai 10 tahun pasca tambang batubara.

135 115 Kawasan non reklamasi mengalami perbaikan tekstur tanah relatif lebih lama. Perbaikan tekstur dimulai sekitar 10 tahun pasca tambang. Tekstur tanah lebih baik pada saat sebelum penambangan batubara dimulai dibandingkan dengan sesudah penambangan berakhir (pasca tambang). Kualitas tekstur tanah di PT. Tanito Harum yang lebih baik sebelum penambangan dibandingkan dengan di PT. Kitadin, dengan kelas tekstur tanah yang sama pada kawasan reklamasi dan non reklamasi 5 sampai 10 tahun kemudian, menyiratkan bahwa di PT. Tanito Harum dampak kerusakan tekstur tanah lebih besar. Tabel 27. Rona Lingkungan Hidup Awal dan Kondisi Saat Ini Sifat Fisik Tanah di PT. Tanito Harum Rona Lingkungan Hidup Awal Sebulu 1: Liat berdebu Sebulu 2: Liat Reklamasi Sekitar 1 tahun Sekitar 5 tahun Sekitar 10 tahun Kondisi Saat Ini Lempung berdebu, Debu Lempung berliat, Lempung Lempung berliat Non Reklamasi Sekitar 1 tahun Lempung berdebu Sekitar 5 tahun Lempung berdebu Sekitar 10 tahun Liat berdebu, Lempung berliat Sumber: Hasil Analisis (2009), Dokumen ANDAL PT.Tanito Harum (1994). Hasil analisis sifat fisik tanah (tekstur) kawasan pasca tambang batubara di Kecamatan Tenggarong Seberang (PT. Kitadin) dan Kecamatan Sebulu (PT. Tanito Harum) secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 2. Reaksi tanah (ph tanah) Reaksi tanah menunjukkan sifat keasaman atau alkalinitas tanah yang dinyatakan dengan nilai ph. Nilai ph menunjukkan banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H + ) di dalam tanah. Semakin tinggi kadar ion H + dalam tanah maka semakin asam tanah tersebut. Pada tanah alkalis kandungan OH - lebih banyak dari H + dan jika sama banyaknya maka tanah bereaksi netral dengan ph = 7. Di Indonesia umumnya tanah bereaksi masam dengan ph 4,0 5,5. Di daerah rawarawa sering ditemukan tanah-tanah yang sangat asam dengan ph kurang dari 3,0 yang disebut tanah sulfat asam. Di daerah yang sangat kering kadang-kadang ph tanah sangat tinggi lebih dari 9,0 karena banyak mengandung garam Na.

136 116 Pentingnya ph tanah adalah untuk menentukan mudah tidaknya unsurunsur hara diserap akar tanaman. Pada ph tanah sekitar netral unsur hara mudah larut dalam air. Pada tanah asam unsur P tidak dapat diserap tanaman karena diikat (di fiksasi) oleh Al, sedangkan pada tanah alkalis unsur P juga tidak dapat diserap tanaman karena di fiksasi Ca. Pada reaksi tanah yang asam, unsur-unsur mikro menjadi mudah larut sehingga ditemukan unsur mikro yang terlalu banyak. Unsur mikro merupakan unsur hara yang diperlukan tanaman dalam jumlah yang sangat kecil, sehingga akan menjadi racun bagi tanaman jika dalam jumlah besar. Hal yang sama juga terjadi jika tanah terlalu alkalis yang sering mengandung garam tinggi dan menjadi racun bagi tanaman. Tanah yang terlalu asam dapat dinaikkan ph-nya dengan menambahkan kapur ke dalam tanah, sedangkan tanah yang terlalu alkalis dapat diturunkan ph-nya dengan penambahan belerang. Rona lingkungan hidup awal untuk ph tanah pada PT.Kitadin di lokasi 1 7,7 (agak alkalis), di lokasi 2 ph 6,7 (netral), di lokasi 3 ph 5,5 (agak masam), di lokasi 4 ph 5,8 (agak masam), di lokasi 5 ph 4,5 (masam) dan di lokasi 6 ph 5,4 (agak masam) (Dokumen ANDAL PT. Kitadin, 2000). Kondisi saat ini, pada PT. Kitadin untuk kawasan reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun ph tanah 3,83 tergolong kategori sangat masam, di areal yang berumur sekitar 5 tahun ph 5,31 tergolong kategori agak masam, di areal yang berumur sekitar 10 tahun ph 5,22 tergolong agak masam. Pada kawasan non reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun ph 6,83 tergolong kategori netral, di areal berumur sekitar 5 tahun ph 5,07 tergolong kategori agak masam, di areal yang berumur sekitar 10 tahun ph 4,39 tergolong sangat masam. Rona lingkungan hidup awal dan kondisi saat ini untuk ph tanah di PT. Kitadin dapat dilihat pada Tabel 28. ph tanah pada rona lingkungan hidup awal di PT. Kitadin hanya satu lokasi yang bersifat masam, masih ada yang bersifat netral, dan agak alkalis. Kondisi saat ini, di kawasan reklamasi ph tanah umumnya bersifat agak masam sampai sangat masam. ph tanah menjadi sangat masam pada kawasan berumur sekitar 1 tahun dan 5 tahun. Kawasan reklamasi memberikan harapan perbaikan ph tanah untuk jangka waktu 5 sampai 10 tahun pasca tambang. Sedangkan di kawasan non reklamasi awalnya ph tanah baik, kemudian seterusnya memburuk.

137 117 ph tanah lebih baik pada saat sebelum penambangan batubara dimulai dibandingkan dengan sesudah penambangan berakhir (pasca tambang). Tabel 28. Rona Lingkungan Hidup Awal dan Kondisi Saat Ini Reaksi Tanah (ph tanah) di PT. Kitadin Rona Lingkungan Hidup Awal Kondisi Saat Ini Rataan ph Kelas Rataan ph Kelas H 2 O KCl H 2 O KCl Lokasi 1 : 7,7 Lokasi 1 : 6,9 Lokasi 1 : Reklamasi Agak alkalis Sekitar 1 tahun Sangat Lokasi 2 : 6,7 Lokasi 2 : 5,8 Lokasi 2 : masam Netral Sekitar 5 tahun Agak Lokasi 3 : 5,5 Lokasi 3 : 4,3 Lokasi 3 : masam Agak masam Sekitar 10 tahun Agak Lokasi 4 : 5,8 Lokasi 4 : 4,6 Lokasi 4 : masam Agak masam Non Reklamasi Lokasi 5 : 4,5 Lokasi 5 : 3,5 Lokasi 5 : Sekitar 1 tahun Netral Masam Sekitar 5 tahun Agak Lokasi 6 : 5,4 Lokasi 6 : 4,2 Lokasi 6 : masam Agak masam Sekitar 10 tahun Sangat masam Sumber: Hasil Analisis (2009), Dokumen ANDAL PT. Kitadin (2000). Rona lingkungan hidup awal PT.Tanito Harum untuk ph tanah pada 2 lokasi menujukkan bahwa ph di lokasi 1 dan lokasi 2 adalah netral (Dokumen ANDAL PT. Tanito Harum, 1994). Kondisi saat ini, pada PT. Tanito Harum untuk kawasan reklamasi ph tanah di areal berumur sekitar 1 tahun ph 4,29 tergolong kategori sangat masam, di areal yang berumur sekitar 5 tahun ph 3,02 tergolong kategori sangat masam, di areal yang berumur sekitar 10 tahun ph 3,66 tergolong sangat masam. Pada kawasan non reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun ph 3,31 tergolong kategori sangat masam, di areal berumur sekitar 5 tahun ph 3,37 tergolong kategori sangat masam, di areal yang berumur sekitar 10 tahun ph 4,10 tergolong sangat masam. Rona lingkungan hidup awal dan kondisi saat ini untuk ph tanah di PT. Tanito Harum dapat dilihat pada Tabel 29. Kondisi awal ph tanah di PT. Tanito Harum adalah sangat baik (netral). Kondisi saat ini, ph tanah menjadi sangat masam (sangat buruk) di kawasan reklamasi dan non reklamasi. Pada kawasan reklamasi dan non reklamasi di PT. Kitadin ph tanah umumnya masam, sedangkan di PT. Tanito Harum semua kawasan tergolong sangat masam. Reklamasi tidak merubah perbaikan ph tanah di

138 118 PT. Tanito Harum. Terjadi perubahan ph tanah dari sangat baik sebelum penambangan batubara menjadi sangat buruk sesudah penambangan. Tabel 29. Rona Lingkungan Hidup Awal dan Kondisi Saat Ini Reaksi Tanah (ph tanah) di PT. Tanito Harum Rona Lingkungan Hidup Awal Kondisi Saat Ini Rataan ph Kelas Rataan ph Kelas H 2 O KCl H 2 O KCl Reklamasi Lokasi 1: Lokasi 1: Lokasi 1: Sekitar 1 tahun Sangat 6,3 5,2 Netral masam Lokasi 2: Lokasi 2 : Lokasi 2: Sekitar 5 tahun Sangat 6,2 5,1 Netral masam Sekitar 10 tahun Sangat masam Non Reklamasi Sekitar 1 tahun Sangat masam Sekitar 5 tahun Sangat masam Sekitar 10 tahun Sangat masam Sumber: Hasil Analisis (2009), Dokumen ANDAL PT. Tanito Harum (1994). Hasil analisis tanah untuk reaksi tanah (ph tanah) di PT. Kitadin dan PT. Tanito Harum untuk kawasan reklamasi dan non reklamasi secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 3. Kapasitas Tukar Kation (KTK) Kation adalah ion bermuatan positif seperti Ca, Mg, Na, K dan Al. Kation-kation tersebut di dalam tanah terlarut dalam air tanah atau dijerap oleh koloid-koloid tanah. Banyaknya kation (dalam miliekivalen) yang dapat dijerap tanah per satuan berat tanah (biasanya per 100 g) dinamakan kapasitas tukar kation (KTK). Kation-kation yang telah dijerap oleh koloid-koloid tersebut sukar tercuci oleh air gravitasi, tetapi dapat diganti oleh kation lain yang terdapat dalam larutan tanah. Kapasitas tukar kation merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi mampu menjerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah dengan KTK rendah. Tanah dengan KTK tinggi bila didominasi oleh kation basa, Ca, Mg, K, Na (Kejenuhan Basa tinggi) dapat meningkatkan kesuburan tanah, tetapi bila

139 119 didominasi oleh kation asam, Al, H (Kejenuhan Basa rendah) dapat mengurangi kesuburan tanah. Tanah dengan kandungan bahan organik atau dengan kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah kandungan bahan organik rendah atau tanah berpasir. Kapasitas tukar kation adalah kemampuan tanah mengikat kation-kation yang dapat dipertukarkan pada koloid tanah yang bermuatan negatif. Besarnya KTK tersebut tergantung dari jumlah dan macam mineral liat, jumlah dan jenis bahan organik dalam tanah. Rona lingkungan hidup awal Kapasitas Tukar Kation (KTK) di PT. Kitadin tergolong rendah sampai sedang (berkisar 5,26 18,74 me/100g). Hal ini mengindikasikan bahwa kemampuan tanah dalam mempertahankan pencucian unsur hara rendah sehingga tanah miskin akan unsur hara (Dokumen ANDAL PT. Kitadin, 2000). Jumlah kation yang dapat dipertukarkan dalam kompleks adsorpsi tanah akan menentukan besarnya unsur hara yang dijerap tanah. Semakin besar KTK akan semakin baik. Kondisi saat ini, kemampuan tanah untuk menahan unsur-unsur hara pada areal PT. Kitadin kawasan reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun KTK 13,54 me/100g tergolong kategori rendah, di areal berumur sekitar 5 tahun 17,27 me/100g tergolong kategori sedang, dan di areal berumur sekitar 10 tahun 21,28 me/100g tergolong kategori sedang. Pada kawasan non reklamasi di areal sekitar 1 tahun KTK 11,03 me/100g tergolong kategori rendah, di areal sekitar 5 tahun 13,36 me/100g tergolong kategori rendah, dan di areal sekitar 10 tahun 20, 68 me/100g tergolong kategori sedang. KTK di kawasan non reklamasi lebih rendah dibandingkan dengan KTK pada kawasan reklamasi. Kondisi awal KTK di PT. Kitadin tergolong sedang di dua lokasi, dan tergolong rendah di empat lokasi. Kondisi saat ini, KTK pada kawasan reklamasi dan non reklamasi tergolong kategori rendah sampai sedang. KTK lebih tinggi di areal sebelum penambangan dibandingkan dengan KTK pasca tambang, data dari dokumen ANDAL PT. Kitadin. KTK kondisi saat ini lebih tinggi sedikit dibandingkan sebelum penambangan. Rona lingkungan hidup awal untuk Kapasitas Tukar Kation (KTK) di PT.Tanito Harum memperlihatkan bahwa Kapasitas tukar kation tanah di wilayah studi tergolong tinggi sebesar 32,1 me/100g, yang mengindikasikan bahwa

140 120 kemampuan tanah dalam mempertahankan pencucian unsur hara baik sehingga tanah masih tergolong kaya akan unsur hara (Dokumen ANDAL PT. Tanito Harum, 1994). Tabel 30. Rona Lingkungan Hidup Awal dan Kondisi Saat Ini Kapasitas Tukar Kation (KTK) di PT. Kitadin dan PT.Tanito Harum RonaLingkungan Hidup Awal (me/100g) PT.Kitadin Lokasi 1: KTK 11,57 Lokasi 2: KTK 18,74 Lokasi 3: KTK 12,47 Lokasi 4: KTK 15,36 Lokasi 5: KTK 6,63 Lokasi 6: KTK 5,26 PT. Tanito Harum Lokasi 1: KTK 32,1 Lokasi 2: KTK 32,1 Kriteria Penilaian Lokasi 1 : Rendah Lokasi 2 : Sedang Lokasi 3 : Rendah Lokasi 4 : Sedang Lokasi 5 : Rendah Lokasi 6 : Rendah Lokasi 1 : Tinggi Lokasi 2 : Tinggi Kondisi Kawasan Reklamasi KTK Saat Ini (me/100g) Kriteria Penilaian Sekitar 1 Tahun 13,54 Rendah Sekitar 5 Tahun 17,27 Sedang Sekitar 10 Tahun 21,28 Sedang Non Reklamasi Sekitar 1 Tahun 11,03 Rendah Sekitar 5 Tahun 13,36 Rendah Sekitar 10 Tahun 20,68 Sedang Reklamasi Sekitar 1 Tahun 17,86 Sedang Sekitar 5 Tahun 12,65 Rendah Sekitar 10 Tahun 21,83 Sedang Non Reklamasi Sekitar 1 Tahun 7,38 Rendah Sekitar 5 Tahun 7,83 Rendah Sekitar 10 Tahun 8,92 Rendah Sumber: Hasil Analisis (2009), Dokumen ANDAL PT. Kitadin (2000), dan Dokumen ANDAL PT.Tanito Harum (1994) Kondisi saat ini, kemampuan tanah untuk menahan unsur-unsur hara pada PT. Tanito Harum kawasan reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun KTK 17,86 me/100g tergolong kategori sedang, di areal berumur sekitar 5 tahun 12,65 me/100g tergolong kategori rendah dan di areal berumur sekitar 10 tahun 21,28 me/100g tergolong kategori sedang. Pada kawasan non reklamasi di areal sekitar 1 tahun KTK 7,38 me/100g tergolong kategori rendah, di areal sekitar 5 tahun 7,83 me/100g tergolong kategori rendah, dan di areal sekitar 10 tahun 8,92 me/100g tergolong kategori rendah.

141 121 Rona lingkungan hidup awal dan kondisi saat ini KTK di PT. Kitadin dan PT. Tanito Harum pasca tambang batubara dapat dilihat pada Tabel 30. Kondisi awal KTK di PT. Tanito Harum tergolong tinggi (baik) di lokasi satu, dan di lokasi dua. Kondisi saat ini KTK di kawasan reklamasi tergolong kategori sedang dan di kawasan non reklamasi rendah. KTK sebelum penambangan lebih tinggi dibandingkan dengan KTK kondisi saat ini. Dampak penambangan mengakibatkan kemampuan tanah dalam mempertahankan pencucian unsur hara rendah sehingga tanah miskin akan unsur hara. Hasil analisis KTK tanah di PT. Kitadin dan PT. Tanito Harum untuk kawasan reklamasi dan non reklamasi secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 4. Rasio C/N Unsur-unsur hara esensial merupakan unsur hara yang sangat diperlukan oleh tanaman dan fungsinya tidak dapat digantikan oleh unsur lain, sehingga bila tidak terdapat dalam jumlah yang cukup dalam tanah maka tanaman tidak dapat tumbuh dengan normal. Unsur-unsur hara esensial ini dapat berasal dari udara, air maupun tanah. Terdapat 17 unsur hara esensial yaitu: unsur makro (C, H, O, N, P, K, Ca, Mg, dan S), dan unsur hara mikro (Fe, Mn, B, Mo, Cu, Zn, Cl, dan Co). Unsur hara makro diperlukan dalam jumlah banyak, sedangkan unsur hara mikro diperlukan dalam jumlah sedikit. Nitrogen dalam tanah berasal dari: (1) bahan organik tanah, (2) bahan organik halus (N tinggi dan C/N rendah), (3) bahan organik kasar ( N rendah dan C/N tinggi). Bahan organik merupakan sumber N yang utama dalam tanah. Faktor yang mempengaruhi penghancuran (dekomposisi) bahan organik adalah suhu, kelembaban, tata udara tanah, pengolahan tanah, ph dan jenis bahan organik. Pengikatan oleh mikroorganisme dan N udara salah satunya dapat melalui simbiose dengan tanaman leguminosa, yaitu melalui bintil akar (Rhizobium). Fungsi N adalah memperbaiki pertumbuhan vegetatif dan pembentukan protein. Gejala-gejala kekurangan N yaitu tanaman menjadi kerdil, pertumbuhan akar terbatas dan daun-daun kuning/gugur. Rona lingkungan hidup awal PT. Kitadin menunjukkan rasio C/N pada enam lokasi sebesar 10,0-19,5%. Lokasi 1 rasio C/N 10,0% tergolong kategori

142 122 rendah (Terdekomposisi), di lokasi 2 rasio C/N 19,5% tergolong kategori tinggi (Belum terdekomposisi), di lokasi 3 rasio C/N 10,5% tergolong kategori sedang (Terdekomposisi sedang), di lokasi 4 rasio C/N 10,0% tergolong kategori rendah (Terdekomposisi), di lokasi 5 rasio C/N 10,0% tergolong kategori rendah (Terdekomposisi) dan di lokasi 6 rasio C/N 12,0% tergolong kategori sedang atau Dekomposisi sedang (Dokumen ANDAL PT. Kitadin, 2000). Kondisi saat ini, rasio C/N pada PT. Kitadin kawasan reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun 15,0% tergolong kategori tinggi (Belum terdekomposisi), di areal berumur sekitar 5 tahun 11,7% tergolong kategori sedang (Terdekomposisi sedang), dan di areal berumur sekitar 10 tahun 11,7% tergolong kategori sedang (Terdekomposisi sedang). Rasio C/N pada kawasan non reklamasi di areal sekitar 1 tahun 24,4% tergolong kategori tinggi (Belum terdekomposisi), di areal sekitar 5 tahun 17,1% tergolong kategori tinggi (Belum terdekomposisi), dan di areal sekitar 10 tahun 12,7% tergolong kategori sedang (Terdekomposisi sedang). Rona lingkungan hidup awal untuk C/N PT. Tanito Harum di lokasi 1 sebesar 6,8% tergolong kategori rendah (Terdekomposisi), dan di lokasi 2 sebesar 10,2% tergolong kategori sedang atau Terdekomposisi sedang (Dokumen ANDAL PT. Tanito Harum, 1994). Kondisi saat ini, rasio C/N pada PT. Tanito Harum kawasan reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun 11,0% tergolong kategori sedang (Terdekomposisi sedang), di areal berumur sekitar 5 tahun 12,2% tergolong kategori sedang (Terdekomposisi sedang), dan di areal berumur sekitar 10 tahun 14,7% tergolong kategori sedang (Terdekomposisi sedang). Rasio C/N pada kawasan non reklamasi di areal sekitar 1 tahun 13,6% tergolong kategori sedang (Terdekomposisi sedang), di areal sekitar 5 tahun 13,2% tergolong kategori sedang (Terdekomposisi sedang), dan di areal sekitar 10 tahun 14,5% tergolong kategori sedang (Terdekomposisi sedang). Rona lingkungan hidup awal dan kondisi saat ini rasio C/N di PT.Kitadin dan PT.Tanito Harum dapat dilihat pada Tabel 31.

143 123 Tabel 31. Rona Lingkungan Hidup Awal dan Kondisi Saat Ini rasio C/N di PT.Kitadin dan PT.Tanito Harum Rona Lingkungan Hidup Awal Kondisi Saat Ini (%) Kategori (%) PT.Kitadin Lokasi 1: Lokasi 1: Reklamasi C/N 10,0 Terdekomposisi Lokasi 2: Lokasi 2: Belum Sekitar 1 Tahun 15,0 Belum terdekomposisi C/N 19,5 terdekomposisi Sekitar 5 Tahun 11,7 Terdekomposisi sedang Lokasi 3: Lokasi 3: Sekitar 10 Terdekomposisi sedang C/N 10,5 Dekomposisi sedang 11,7 Tahun Lokasi 4: Lokasi 4: Non Reklamasi C/N 10,0 Terdekomposisi Lokasi 5: Lokasi 5: Sekitar 1 Tahun 24,4 Belum terdekomposisi C/N 10,0 Terdekomposisi Sekitar 5 Tahun 17,1 Belum terdekomposisi Lokasi 6 : Lokasi 6: C/N 12,0 Dekomposisi sedang Sekitar 10 Tahun 12,7 Terdekomposisi sedang PT. Tanito Harum Lokasi 1: C/N 10,2 Lokasi 2: C/N 6,8 Lokasi 1 : Dekomposisi sedang Lokasi 2 : Terdekomposisi Reklamasi Sekitar 1 Tahun 11,0 Terdekomposisi sedang Sekitar 5 Tahun 12,2 Terdekomposisi sedang Sekitar 10 Tahun 14,7 Terdekomposisi sedang Non Reklamasi Sekitar 1 Tahun 13,6 Terdekomposisi sedang Sekitar 5 Tahun 13,2 Terdekomposisi sedang Sekitar 10 Tahun 14,5 Terdekomposisi sedang Sumber: Hasil Analisis (2009), Dokumen ANDAL PT. Kitadin (2000), dan Dokumen ANDAL PT.Tanito Harum (1994) Rasio C/N sebelum penambangan di PT. Kitadin tergolong baik (terdekomposisi) di tiga lokasi, dan tergolong sedang (terdekomposisi sedang) di tiga lokasi. Kondisi saat ini, C/N pada kawasan reklamasi umumnya terdekomposisi sedang, dan di kawasan non reklamasi belum terdekomposisi. Rasio C/N lebih rendah (terdekomposisi) di areal sebelum penambangan dibandingkan dengan pasca tambang. Terjadi penurunan kualitas rasio C/N pasca tambang batubara. Hal ini terjadi karena penghancuran (dekomposisi) bahan organik oleh suhu, kelembaban, tata udara tanah, pengolahan tanah, ph dan jenis bahan organik terganggu pada saat penambangan. Hasil analisis tanah untuk N total, C-organik dan rasio C/N di PT. Kitadin dan PT. Tanito Harum pada kawasan pasca tambang batubara reklamasi dan non reklamasi secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 5.

144 124 P2O5 tersedia dan K2O tersedia Unsur Kalium (K) dalam tanah berasal dari mineral-mineral primer tanah (feldspar, mika dan lain-lain) dan dari pupuk buatan (ZK dan K Cl). Unsur K tidak merupakan unsur penyusun jaringan tanaman. Fungsi K adalah: (1) pembentukan enzim, (2) mengaktifkan enzim, (3) mengatur pernapasan dan penguapan (pembukaan stomata), (4) proses fisiologis dalam tanaman, (5) proses metabolik dalam sel, (6) mempengaruhi penyerapan unsur-unsur lain, (6) mempertinggi daya tahan terhadap kekeringan, penyakit, dan (7) perkembangan akar (Hardjowigeno, 2007). Unsur K ditemukan dalam jumlah banyak di dalam tanah, tetapi hanya sebagian kecil yang digunakan oleh tanaman yaitu yang larut dalam air atau yang dapat dipertukarkan. Unsur K dalam tanah dapat dibedakan menjadi K tidak tersedia bagi tanaman, K tersedia, dan K tersedia tetapi lambat. Banyaknya unsur hara yang dikandung oleh suatu pupuk merupakan faktor penting untuk menilai pupuk tersebut, karena jumlah unsur hara menentukan kemampuannya untuk meningkatkan kadar unsur hara dalam tanah. Kadar unsur hara dalam pupuk N, P dan K dinyatakan dalam persen N, P 2 O 5 dan K 2 O. Pupuk P biasanya terdapat sebagai monokalsiumfosfat, kalsium dan amonium fosfat, sedangkan pupuk K umumnya terdapat dalam bentuk kalium khlorida atau kalium sulfat. Unsur P diambil tanaman dalam bentuk H 2 PO - 4, sedangkan K sebagai ion K +. Hasil analisis tanah kadar P 2 O 5 dan K 2 O tersedia dapat dilihat pada Tabel 32. Rona lingkungan hidup awal untuk kadar P 2 O 5 di PT. Kitadin di lokasi 1 sebesar 36 mg/100g, di lokasi 2 sebesar 27,50 mg/100g, di lokasi 3 sebesar 30,50 mg/100g, di lokasi 4 sebesar 26,00 mg/100g, di lokasi 5 sebesar 18,00 mg/100g, dan di lokasi 6 sebesar 20,00 mg/100g. Kisaran nilai kadar P 2 O 5 (18,00 36 mg/100g) tergolong kategori rendah sampai sedang. Kadar K 2 O di lokasi 1 sebesar 29,00 mg/100g, di lokasi 2 sebesar 19,50 mg/100g, di lokasi 3 sebesar 25,50 mg/100g, di lokasi 4 sebesar 22,50 mg/100g, di lokasi 5 sebesar 7,00 mg/100g, dan di lokasi 6 sebesar 12,00 mg/100g. Kisaran kadar K 2 O (7,00-29,00 mg/100g) tergolong kategori sangat rendah sampai sedang (Dokumen ANDAL PT. Kitadin, 2000).

145 125 Kondisi saat ini, pada areal PT. Kitadin kawasan reklamasi berumur sekitar 1 tahun kadar P 2 O 5 52,60 mg/100g tergolong kategori tinggi, di areal berumur sekitar 5 tahun tidak terdeteksi, dan di areal berumur sekitar 10 tahun 3,16 mg/100g tergolong kategori sangat rendah. Kadar P 2 O 5 pada kawasan non reklamasi di areal sekitar 1 tahun 1,05 mg/100g tergolong kategori sangat rendah, di areal sekitar 5 tahun 5,26 mg/100g tergolong sangat rendah, dan di areal sekitar 10 tahun 14,73 mg/100g tergolong kategori rendah. Kadar K 2 O pada PT. Kitadin kawasan reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun sebesar 104,05 mg/100g tergolong kategori sangat tinggi, di areal berumur sekitar 5 tahun 142,50 mg/100g tergolong kategori sangat tinggi, dan di areal berumur sekitar 10 tahun 75,40 mg/100g tergolong kategori sangat tinggi. Kadar K 2 O pada kawasan non reklamasi di areal sekitar 1 tahun 76,60 mg/100g tergolong kategori sangat tinggi, di areal sekitar 5 tahun 85,40 mg/100g tergolong sangat tinggi, dan di areal sekitar 10 tahun 157,55 mg/100g tergolong kategori sangat tinggi. Kadar P 2 O 5 dan K 2 O tersedia di PT. Kitadin tinggi sampai sangat tinggi untuk kawasan reklamasi pada umur sekitar 1 tahun, sekitar 5 tahun dan sekitar 10 tahun. Pada umur sekitar 5 tahun P 2 O 5 tersedia tidak terindentifikasi. Nilai tersebut sangat ekstrim jika dibandingkan dengan kawasan non reklamasi yaitu ketersediaan P 2 O 5 termasuk ke dalam kategori rendah bahkan sangat rendah (<10). Data rona lingkungan hidup awal kadar P 2 O 5 dan K 2 O sebelum penambangan di PT. Kitadin tergolong stabil di enam lokasi. Kondisi saat ini pada kawasan reklamasi kadar P 2 O 5 sangat fluktuatif dari tidak terdeteksi, sangat rendah, dan tinggi. Sedangkan di kawasan non reklamasi kadar P 2 O 5 umumnya rendah. Kadar K 2 O pada kawasan reklamasi dan non reklamasi sangat tinggi. Kadar P 2 O 5 tidak stabil di lokasi pasca tambang, hanya tinggi kadarnya di lokasi awal pasca tambang. PT. Kitadin diduga melakukan pemupukan di awal pasca tambang, namun jumlah unsur hara yang dikandung dalam pupuk tersebut tidak memadai. Jumlah unsur hara menentukan kemampuannya untuk meningkatkan kadar unsur hara dalam tanah. Kadar unsur hara dalam pupuk N, P dan K dinyatakan dalam persen N, P 2 O 5 dan K 2 O. Unsur K ditemukan dalam jumlah banyak di dalam tanah, tetapi hanya sebagian kecil yang digunakan oleh tanaman yaitu yang larut dalam

146 126 air atau yang dapat dipertukarkan. Kadar K 2 O di semua lokasi reklamasi dan non reklamasi sangat tinggi namun Unsur K dalam tanah adalah menjadi K tidak tersedia bagi tanaman, atau K tersedia tetapi lambat. Kadar P 2 O 5 dan K 2 O lebih baik di areal sebelum penambangan dibandingkan dengan pasca tambang karena meskipun tergolong kategori sedang tetapi stabil hampir di semua lokasi, indikasinya tanaman tetap tumbuh meskipun tidak dilakukan pemupukan (Dapat dilihat dari data rona lingkungan hidup awal vegetasi). Rona lingkungan hidup awal untuk kadar P 2 O 5 di PT.Tanito Harum di lokasi 1 sebesar 2,00 mg/100g dan di lokasi 2 sebesar 2,30 mg/100g. Tergolong kategori sangat rendah. Data kadar K 2 O tidak tersedia (Dokumen ANDAL PT. Tanito Harum, 1994). Kondisi saat ini, kadar P 2 O 5 pada PT. Tanito Harum pada kawasan reklamasi di areal sekitar 1 tahun tidak terdeteksi, di areal sekitar 5 tahun 16,83 mg/100g tergolong kategori rendah, dan di areal sekitar 10 tahun 10,52 mg/100g tergolong kategori rendah. Kadar P 2 O 5 pada kawasan non reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun 4,21 mg/100g tergolong kategori sangat rendah, di areal berumur sekitar 5 tahun 6,31 mg/100g tergolong kategori sangat rendah, dan di areal berumur sekitar 10 tahun 10,52 mg/100g tergolong kategori rendah. Kadar K 2 O pada PT. Tanito Harum pada kawasan reklamasi di areal sekitar 1 tahun 62,20 mg/100g tergolong kategori sangat tinggi, di areal sekitar 5 tahun 64,75 mg/100g tergolong sangat tinggi, dan di areal sekitar 10 tahun 131,20 mg/100g tergolong kategori sangat tinggi. Kadar K 2 O pada kawasan non reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun 27,70 mg/100g tergolong kategori sedang, di areal berumur sekitar 5 tahun 44,60 mg/100g tergolong kategori tinggi, dan di areal berumur sekitar 10 tahun 45,95 mg/100g tergolong kategori tinggi Data rona lingkungan hidup awal kadar P 2 O 5 dan K 2 O sebelum penambangan di PT. Tanito Harum tergolong sangat rendah, bahkan K 2 O tidak terdeteksi. Kondisi saat ini pada kawasan reklamasi dan non reklamasi kadar P 2 O 5 tidak terdeteksi, rendah dan sangat rendah. Kadar K 2 O pada kawasan reklamasi dan non reklamasi umumnya tinggi sampai sangat tinggi. Kadar P 2 O 5 tidak stabil di lokasi pasca tambang, hanya tinggi kadarnya di awal pasca tambang. Pemupukan di awal pasca tambang kurang efektif jika

147 127 jumlah unsur hara yang dikandung dalam pupuk tersebut tidak memadai. Kadar K 2 O di semua lokasi reklamasi dan non reklamasi sangat tinggi namun Unsur K dalam tanah adalah menjadi K tidak tersedia bagi tanaman, atau K tersedia tetapi lambat. Kadar P 2 O 5 dan K 2 O sangat buruk di areal sebelum penambangan dibandingkan dengan pasca tambang, namun dengan indikasi tanaman tetap tumbuh meskipun tidak dilakukan pemupukan, kadar yang minimal namun tersedia bagi tanaman lebih diperlukan (Dapat dilihat data rona lingkungan hidup awal vegetasi). Rona lingkungan hidup awal dan kondisi saat ini kadar P 2 O 5 dan kadar K 2 O di PT.Kitadin dan PT.Tanito Harum dapat dilihat pada Tabel 33. Hasil analisis tanah untuk kadar P 2 O 5 dan kadar K 2 O di PT. Kitadin dan PT. Tanito Harum pada kawasan pasca tambang batubara reklamasi dan non reklamasi secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 6. Kejenuhan Basa dan Al Secara umum, bila tanah banyak mengandung muatan positif maka kation-kation seperti Ca, Mg, dan K tidak dijerap tanah tetapi tetap dalam larutan tanah sehingga mudah tercuci dari tanah. Kation-kation yang terdapat dalam kompleks jerapan koloid tersebut dapat dibedakan menjadi kation-kation basa dan kation-kation asam. Kejenuhan basa menunjukkan perbandingan antara jumlah kation-kation basa dengan jumlah semua kation (kation basa dan kation asam) yang terdapat dalam kompleks jerapan tanah. Jumlah maksimum kation yang dapat dijerap tanah menunjukkan besarnya nilai kapasitas tukar kation tanah. Kation-kation basa umumnya merupakan unsur hara yang diperlukan tanaman. Kation-kation basa adalah Ca ++, Mg ++, Na +, K +, kation-kation asam adalah Al +++ dan H +. Basa-basa umumnya mudah tercuci, sehingga tanah dengan kejenuhan basa tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut belum banyak mengalami pencucian dan merupakan tanah subur. Tanah dengan kejenuhan basa rendah, berarti kompleks jerapan lebih banyak diisi oleh kation-kation asam yaitu Al dan H, yang dapat merupakan racun bagi tanaman dan keadaan seperti ini terdapat pada tanah-tanah masam.

148 128 Tabel 32. Rona Lingkungan Hidup Awal dan Kondisi Saat Ini Kadar P 2 O 5 dan K 2 O tersedia di PT. Kitadin dan PT. Tanito Harum P 2 O 5 (mg/100g) PT. KITADIN (Umur) Lokasi 1: 36,00 Lokasi 2: 27,50 Lokasi 3: 30,50 Lokasi 4: 26,00 Lokasi 5: 18,00 Lokasi 6: 20,00 Rona Lingkungan Hidup Awal K 2 O Kriteria penilaian P 2 O 5 Lokasi 1: 29,00 Lokasi 2: 19,50 Lokasi 3: 25,50 Lokasi 4: 22,50 Lokasi 5: 7,00 Lok asi 6: 12,00 (ppm) Kondisi Saat ini K 2 O Kriteria penilaian P 2 O 5 K 2 O P 2 O 5 K 2 O Lokasi 1: Sedang Lokasi 2: Sedang Lokasi 3: Sedang Lokasi 4:Sedang Lokasi 5:Rendah Lokasi 6:Rendah Lokasi 1: Sedang Lokasi 2: Rendah Lokasi 3: Sedang Lokasi 4: Sedang Lokasi 5: Sangat rendah Lokasi 6: Rendah Reklamasi Sekitar 1 tahun Sekitar 5 tahun Sekitar 10 tahun Non Reklamasi Sekitar 1 tahun Sekitar 5 tahun Sekitar 10 tahun ttd Tinggi ttd Sangat rendah Sangat rendah Sangat rendah Rendah Sangat tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi PT. TANITO HARUM (Umur) Lokasi 1: 2,00 Lokasi 2: 2,30 Tidak ada data Lokasi 1: Sangat rendah Lokasi 2: Sangat rendah Tidak ada data Reklamasi Sekitar 1 tahun Sekitar 5 tahun Sekitar 10 tahun ttd ttd Rendah Rendah Sangat tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi Non Reklamasi Sekitar 1 tahun Sekitar 5 tahun Sekitar 10 tahun Sangat rendah Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Tinggi Sumber: Hasil Analisis (2009), Dokumen ANDAL PT. Kitadin (2000), dan Dokumen ANDAL PT.Tanito Harum (1994) Keterangan: ttd (tidak terdeteksi) 128

149 129 Rona lingkungan hidup awal untuk Kejenuhan Basa di PT.Kitadin pada lokasi 1 sampai lokasi 6 > 100%, kecuali di lokasi 5 sebesar 46%. Kisaran ini tergolong kategori sedang sampai sangat tinggi. Kejenuhan Al di lokasi 1 sebesar 0,02%, di lokasi 2 sebesar 0,04%, di lokasi 3 sebesar 0,37%, di lokasi 4 sebesar 0,51%, di lokasi 5 sebesar 4,50%, di lokasi sebesar 6 0,32%. Kisaran Al 0,00% - 4,50% tergolong kategori sedang sampai sangat tinggi (Dokumen ANDAL PT. Kitadin, 2000). Kondisi saat ini, Kejenuhan Basa pada PT. Kitadin kawasan reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun sebesar 75,20% tergolong kategori sangat tinggi, di areal berumur sekitar 5 tahun 80,14% tergolong kategori sangat tinggi, dan di areal berumur sekitar 10 tahun 100% tergolong kategori sangat tinggi. Kejenuhan Basa pada kawasan non reklamasi di areal sekitar 1 tahun 100% tergolong kategori sangat tinggi, di areal sekitar 5 tahun 66,79% tergolong tinggi, dan di areal sekitar 10 tahun 99,27% tergolong kategori sangat tinggi. Kejenuhan Al pada PT. Kitadin kawasan reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun 24,80% tergolong kategori sedang, di areal berumur sekitar 5 tahun 19,86% tergolong kategori rendah, dan di areal berumur sekitar 10 tahun tidak terdeteksi. Kejenuhan Al pada kawasan non reklamasi di areal sekitar 1 tahun tidak terdeteksi, di areal sekitar 5 tahun 33,20% tergolong tinggi, dan di areal sekitar 10 tahun 1,46% tergolong kategori sangat rendah. Ada indikasi kejenuhan Al cenderung membaik ketika umur kawasan bertambah sampai sekitar 10 tahun. Kejenuhan basa yang baik adalah > dari 70%. Semakin besar persentasenya akan semakin baik karena menunjukkan merupakan tanah subur. Kejenuhan Basa pada kawasan reklamasi PT. Kitadin tergolong tinggi di areal berumur sekitar 1 tahun, sekitar 5 tahun dan sekitar 10 tahun baik pada lahan reklamasi maupun non reklamasi. Kondisi ini telah sesuai dengan yang diharapkan, namun kejenuhan Al untuk umur kawasan sekitar 1 tahun masih tergolong tinggi. Pada kawasan reklamasi PT. Tanito Harum Kejenuhan Basa dan kejenuhan Al tinggi. Pada kawasan non reklamasi, kejenuhan basa rendah sementara kejenuhan Al tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa kawasan PT. Tanito Harum termasuk kelas buruk pada semua umur kawasan karena kondisi yang ideal adalah kejenuhan basa tinggi dan kejenuhan Al rendah.

150 130 Data rona lingkungan hidup awal Kejenuhan Basa sebelum penambangan di PT. Kitadin sangat baik di enam lokasi. Sedangkan Kejenuhan Aluminum sangat rendah di semua lokasi. Kondisi saat ini, Kejenuhan Basa pada kawasan reklamasi dan non reklamasi tinggi sampai sangat tinggi. Kejenuhan Aluminum pada kawasan reklamasi tergolong rendah sampai sedang, dan di kawasan non reklamasi tidak terdeteksi, tinggi, dan sangat rendah (fluktuatif). Sebelum penambangan tanah mempunyai Kejenuhan Basa yang tinggi, dimana tanah dengan kejenuhan basa tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut belum banyak mengalami pencucian dan merupakan tanah subur. Sesudah penambangan tanah masih memiliki Kejenuhan Basa tinggi, namun persentasenya berkurang. Kejenuhan Basa rendah mengindikasikan kompleks jerapan lebih banyak diisi oleh kation-kation asam yaitu Al dan H. Kejenuhan Aluminum yang sangat rendah sebelum penambangan tanah masih dalam kondisi subur. Kejenuhan Basa dan Kejenuhan Aluminum lebih baik di areal sebelum penambangan dibandingkan dengan pasca tambang. Sebelum penambangan Kejenuhan Basa yang tinggi diikuti dengan Kejenuhan Aluminum rendah adalah kondisi ideal karena kompleks jerapan menjadi lebih banyak diisi oleh kationkation basa. Kondisi saat ini terjadi penurunan kualitas. Meskipun Kejenuhan Basa tinggi, namun diikuti dengan Kejenuhan Aluminum tinggi. Rona lingkungan hidup awal PT.Tanito Harum untuk Kejenuhan Basa tergolong tinggi (100%) dan Kejenuhan Al tidak tersedia data (Dokumen ANDAL PT. Tanito Harum, 1994). Kondisi saat ini, Kejenuhan Basa pada PT. Tanito Harum kawasan reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun sebesar 62,57% tergolong kategori tinggi, di areal berumur sekitar 5 tahun 52,80% tergolong kategori tinggi, dan di areal berumur sekitar 10 tahun 84,11% tergolong kategori sangat tinggi. Kejenuhan Basa pada kawasan non reklamasi di areal sekitar 1 tahun 10,71% tergolong kategori sangat rendah, di areal sekitar 5 tahun 8,19% tergolong kategori sangat rendah, dan di areal sekitar 10 tahun 24,56% tergolong kategori rendah. Kejenuhan Aluminum pada PT. Tanito Harum kawasan reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun 37,42% tergolong kategori tinggi, di areal berumur sekitar 5 tahun 47,20% tergolong kategori tinggi, dan di areal berumur sekitar 10

151 131 tahun 31,78% tergolong kategori tinggi. Kejenuhan Al pada kawasan non reklamasi di areal sekitar 1 tahun 89,29% tergolong kategori sangat tinggi, di areal sekitar 5 tahun 91,80% tergolong sangat tinggi, dan di areal sekitar 10 tahun 75,44% tergolong kategori sangat tinggi. Ada indikasi kejenuhan Al cenderung membaik ketika umur kawasan bertambah sampai sekitar 10 tahun. Kejenuhan basa yang baik adalah > dari 70%. Pada kawasan non reklamasi kejenuhan basa rendah dan kejenuhan Al tinggi. Keadaan ini tidak diharapkan karena kondisi yang demikian menyebabkan Al akan mengikat fosfor sehingga P tidak tersedia bagi tanaman. Kemasaman tanah (ph) juga mempengaruhi keaktifan Al, dimana semakin asam maka kadar Al semakin tinggi. Data rona lingkungan hidup awal Kejenuhan Basa sebelum penambangan di PT. Tanito Harum sangat baik di lokasi satu dan di lokasi dua yaitu 100%. Kejenuhan Aluminum tidak ada data di kedua lokasi. Kondisi saat ini, Kejenuhan Basa pada kawasan reklamasi tinggi sampai sangat tinggi. Kawasan reklamasi mampu mempertahankan persentase Kejenuhan Basa meski tidak 100% seperti kondisi sebelum penambangan. Pada kawasan non reklamasi persentase Kejenuhan Basa rendah sampai sangat rendah. Kejenuhan Aluminum pada kawasan reklamasi dan non reklamasi di areal sekitar 1 tahun, sekitar 5 tahun, dan sekitar 10 tahun sangat tinggi. Sebelum penambangan, tanah mempunyai Kejenuhan Basa yang tinggi, mengindikasikan tanah tersebut belum banyak mengalami pencucian dan merupakan tanah subur. Sesudah penambangan, Kejenuhan Basa rendah pada kawasan non reklamasi sementara Kejenuhan Al tinggi. Kejenuhan Basa rendah mengindikasikan kompleks jerapan lebih banyak diisi oleh kation-kation asam yaitu Al dan H sehingga Al tinggi, hal ini terjadi di PT. Tanito Harum di kawasan non reklamasi. Kejenuhan Basa dan Kejenuhan Aluminum lebih baik di areal sebelum penambangan dibandingkan dengan pasca tambang. Sebelum penambangan Kejenuhan Basa yang tinggi dengan persentase 100%, Kejenuhan Al tidak ada data. Kondisi saat ini terjadi penurunan kualitas. Meskipun Kejenuhan Basa tinggi, namun diikuti dengan Kejenuhan Aluminum tinggi pada kawasan reklamasi dan non reklamasi di semua areal. Kejenuhan Aluminum rendah adalah kondisi ideal karena kompleks jerapan menjadi lebih banyak diisi oleh kation-kation basa.

152 132 Tabel 33. Rona Lingkungan Hidup Awal dan Kondisi Saat Ini Kejenuhan Basa dan Kejenuhan Aluminum di Areal PT. Kitadin dan PT. Tanito Harum Rona Lingkungan Hidup Awal Kondisi Saat Ini Rataan Kejenuhan Kelas Kejenuhan Rataan Kejenuhan Kelas Kejenuhan Basa (%) Al (%) Basa Al Basa (%) Al (%) Basa Al PT. KITADIN (Umur) Lokasi 1: > 100 Lokasi 2: > 100 Lokasi 3: > 100 Lokasi 4: > 100 Lokasi 5: 46 Lokasi 6: > 100 Lokasi 1: 0,00 Lokasi 2: 0,04 Lokasi 3: 0,37 Lokasi 4: 0,51 Lokasi 5: 4,50 Lokasi 6: 0,32 Lokasi 1:Sangat tinggi Lokasi 2: Sangat tinggi Lokasi 3:Sangat tinggi Lokasi 4:Sangat tinggi Lokasi 5: Sedang Lokasi 6: Sangat tinggi Lokasi 1: Sangat rendah Lokasi 2: Sangat rendah Lokasi 3: Sangat rendah Lokasi 4: Sangat rendah Lokasi 5: Sangat rendah Lokasi 6: Sangat rendah Reklamasi Sekitar 1 tahun Sangat tinggi Sedang Sekitar 5 tahun Sangat tinggi Rendah Sekitar 10 tahun 100 ttd Sangat tinggi ttd PT. TANITO HARUM (Umur) Non Reklamasi Sekitar 1 tahun 100 ttd Sangat tinggi ttd Sekitar 5 tahun tinggi Tinggi Sekitar 10 tahun Sangat tinggi Sangat rendah Lokasi 1: 100 Lokasi 2: 100 Tidak ada data Tidak ada data Lokasi 1: Sangat tinggi Lokasi 2: Sangat tinggi Reklamasi Sekitar 1 tahun Tinggi Tinggi Sekitar 5 tahun Tinggi Tinggi Sekitar 10 tahun Sangat tinggi Tinggi Non Reklamasi Sekitar 1 tahun Sangat rendah Sangat tinggi Sekitar 5 tahun Sangat rendah Sangat tinggi Sekitar 10 tahun Rendah Sangat tinggi Sumber: Hasil Analisis (2009), Dokumen ANDAL PT. Kitadin (2000), dan Dokumen ANDAL PT.Tanito Harum (1994) Keterangan: ttd (tidak terdeteksi) 132

153 133 Rona lingkungan hidup awal dan kondisi saat ini Kejenuhan Basa dan Kejenuhan Aluminum di PT.Kitadin dan PT. Tanito Harum dapat dilihat pada Tabel 33. Hasil analisis tanah untuk Kejenuhan Basa dan Kejenuhan Aluminum di areal PT. Kitadin dan PT. Tanito Harum secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 7. Kategori penilaian hasil analisis sifat fisik dan kimia tanah pasca tambang batubara di lokasi penelitian secara rinci dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34. Kelas Sifat Fisik dan Kimia Tanah PT. KITADIN Reklamasi Sekitar 1 tahun Sekitar 5 tahun Sekitar 10 tahun Non Reklamasi Kelas Tekstur Sedang Agak halus Agak halus ph Sangat masam Agak masam Agak masam KTK (me/100 g) Rendah Sedang Sedang Sekitar 1 tahun Sedang Netral Rendah Agak Sekitar 5 tahun Sedang masam Rendah Sangat Sekitar 10 tahun Agak halus masam Sedang PT. TANITO HARUM Reklamasi Sangat Sekitar 1 tahun Sedang masam Sedang Sangat Sekitar 5 tahun Agak halus masam Rendah Sangat Sekitar 10 tahun Agak halus masam Sedang Non Reklamasi Sangat Sekitar 1 tahun Sedang masam Rendah Sangat Sekitar 5 tahun Sedang masam Rendah Sangat Sekitar 10 tahun Agak halus masam Rendah Sumber: Hasil Analisis (2009) Rasio C/N Belum terdekomposisi Terdekomposisi sedang Terdekomposisi sedang Belum terdekomposisi Belum terdekomposisi Terdekomposisi sedang Terdekomposisi sedang Terdekomposisi sedang Terdekomposisi sedang Tersedia (ppm) Kejenuhan (%) P 2 O 5 K 2 O Basa Al Tinggi ttd Sangat rendah Sangat rendah Sangat rendah Rendah ttd Rendah Rendah Sangat tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi Sedang Rendah ttd Sangat tinggi Sangat tinggi ttd Sangat tinggi Tinggi Tinggi Sangat Sangat Sangat tinggi tinggi rendah Sangat tinggi Tinggi Tinggi Sangat tinggi Tinggi Tinggi Sangat Sangat tinggi tinggi Tinggi Terdekomposisi sedang Sangat rendah Sedang Sangat rendah Terdekomposisi Sangat Sangat sedang rendah Tinggi rendah Terdekomposisi sedang Rendah Tinggi Rendah Sangat tinggi Sangat tinggi Sangat tinggi Secara keseluruhan terjadi perubahan sifat fisik dan sifat kimia tanah pasca tambang batubara. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan kondisi keseluruhan sifat fisik dan sifat kimia tanah sebelum penambangan dengan sesudah berakhirnya masa tambang. Tanah pada kawasan reklamasi sifat fisik dan sifat kimianya lebih cepat kembali (recovery) mendekati keadaan semula dibandingkan dengan kawasan non reklamasi pasca tambang batubara.

154 134 Tekstur tanah sesuai rona lingkungan hidup awal di PT. Kitadin masih bertekstur halus, kondisi saat ini berubah menjadi bertekstur sedang. Tekstur tanah di PT. Tanito Harum awalnya juga masih bertekstur halus bahkan lebih baik karena di lokasi 2 ada tekstur tanah liat (terbaik), kondisi saat ini berubah menjadi bertekstur sedang. Kawasan reklamasi memberikan harapan perbaikan tekstur tanah untuk jangka waktu 5 sampai 10 tahun kemudian. Kawasan non reklamasi mengalami perbaikan tekstur tanah relatif lebih lama. ph tanah sesuai rona lingkungan hidup awal di PT. Kitadin umumnya bersifat netral, kondisi saat ini di kawasan reklamasi ph tanah umumnya bersifat agak masam sampai sangat masam. Pada kawasan reklamasi ph tanah membaik dalam 5 sampai 10 tahun. ph tanah di PT. Tanito Harum pada saat sebelum penambangan adalah sangat baik (netral), kondisi saat ini pasca tambang batubara ph tanah baik di kawasan reklamasi maupun di kawasan reklamasi menjadi sangat masam (sangat buruk). Terjadi perubahan ph tanah dari sangat baik sebelum penambangan batubara menjadi sangat buruk sesudah penambangan berakhir (pasca tambang). KTK sebelum penambangan di PT. Kitadin tergolong rendah sampai sedang, kondisi saat ini KTK umumnya rendah baik di kawasan reklamasi maupun di kawasan non reklamasi. KTK sebelum penambangan di PT. Tanito Harum tergolong tinggi (baik), kondisi saat ini KTK di kawasan reklamasi tergolong sedang, dan pada kawasan non reklamasi rendah. KTK sebelum penambangan di awal masa penambangan lebih tinggi dibandingkan dengan KTK kondisi saat ini. Rasio C/N sebelum penambangan di PT. Kitadin tergolong baik yaitu terdekomposisi dan terdekomposisi sedang, kondisi saat ini C/N pada kawasan reklamasi dan non reklamasi tergolong belum terdekomposisi, dan terdekomposisi sedang (membutuhkan waktu yang lama). Rasio C/N sebelum penambangan di PT. Tanito Harum tergolong baik yaitu terdekomposisi dan terdekomposisi sedang, kondisi saat ini C/N pada kawasan reklamasi maupun non reklamasi terdekomposisi sedang. Rasio C/N lebih baik di areal sebelum penambangan dibandingkan dengan pasca tambang.

155 135 Kadar P 2 O 5 dan K 2 O sebelum penambangan di PT. Kitadin tergolong sedang tetapi stabil di enam lokasi, kondisi saat ini pada kawasan reklamasi fluktuatif dari tinggi sampai sangat rendah. Sedangkan di kawasan non reklamasi sangat rendah. Kadar K 2 O pada kawasan reklamasi dan non reklamasi sangat tinggi. Kadar P 2 O 5 dan K 2 O sebelum penambangan di PT. Tanito Harum tergolong sangat rendah, dan K 2 O tidak terdeteksi. Kondisi saat ini juga fluktuatif pada kawasan reklamasi kadar P 2 O 5 rendah sedangkan K 2 O sangat tinggi. Pada kawasan non reklamasi kadar P 2 O 5 sangat rendah, sedangkan kadar K 2 O sedang sampai tinggi. Kejenuhan Basa dan Kejenuhan Aluminum sebelum penambangan di PT. Kitadin sangat baik (sangat tinggi) dan Kejenuhan Aluminum sangat rendah di semua lokasi. Kondisi saat ini Kejenuhan Basa pada kawasan reklamasi dan non reklamasi tinggi sampai sangat tinggi, yang membedakan (terjadi penurunan kualitas) adalah dari Kejenuhan Aluminum pada kawasan reklamasi dan non reklamasi ada yang tergolong sedang bahkan tinggi (agak buruk). Kejenuhan Basa sebelum penambangan di PT. Tanito Harum juga sangat baik (sangat tinggi). Kejenuhan Aluminum tidak ada data. Kondisi saat ini, Kejenuhan Basa pada kawasan reklamasi tinggi sampai sangat tinggi. Kawasan reklamasi mampu mempertahankan persentase Kejenuhan Basa namun tidak 100% seperti kondisi sebelum penambangan. Pada kawasan non reklamasi persentase Kejenuhan Basa rendah sampai sangat rendah. Kejenuhan Aluminum pada kawasan reklamasi dan non reklamasi sangat tinggi (buruk). Sebelum penambangan, tanah mempunyai Kejenuhan Basa yang tinggi, dimana tanah dengan kejenuhan basa tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut belum banyak mengalami pencucian dan merupakan tanah subur, dan Kejenuhan Al sangat rendah. Sesudah penambangan, Kejenuhan Basa tinggi namun diikuti dengan Kejenuhan Al juga tinggi. Pada kawasan non reklamasi Kejenuhan Basa rendah sementara Kejenuhan Al tinggi Kondisi air pasca tambang batubara Pertumbuhan tanaman tidak hanya dipengaruhi oleh tersedianya unsur hara, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yaitu sinar matahari, suhu, udara dan air. Kondisi kelebihan air ataupun kekurangan air dapat mengganggu

156 136 pertumbuhan tanaman. Air terdapat di dalam tanah karena ditahan/diserap oleh masa tanah, tertahan oleh lapisan kedap air atau karena keadaan drainase yang kurang baik. Kegunaan air bagi pertumbuhan tanaman adalah: (1) sebagai unsur yang diperlukan tanaman (tanaman memerlukan air dan tanah dan CO 2 dari udara untuk membentuk gula dan karbohidrat dalam proses photosynthesis), (2) sebagai pelarut unsur hara, dan (3) sebagai bagian dari sel-sel tanaman. Kemampuan tanah menahan air dipengaruhi antara lain oleh tekstur tanah. Tanah-tanah bertekstur kasar mempunyai daya menahan air lebih kecil daripada tanah bertekstur halus. Tanaman yang ditanam pada tanah pasir umumnya lebih mudah kekeringan daripada tanah-tanah bertekstur lempung atau liat. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2001 Tentang kriteria umum baku kerusakan lingkungan hidup nasional yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan menjelaskan bahwa ada beberapa parameter yang bisa mengindikasikan kerusakan yang terjadi, termasuk didalamnya kadar air tersedia yaitu: (1) terjadi penurunan kadar air, (2) kapasitas tanah menahan air berkurang, dan (3) tanaman kekurangan air. Pengukuran air dalam penelitian ini hanya mengukur parameter fisik dan kimia organik air, dengan membandingkan kualitas air di kawasan reklamasi dengan kualitas air di kawasan non reklamasi pada areal berumur sekitar 1 tahun, 5 tahun, dan 10 tahun untuk tiap kawasan yang ada air. Rona lingkungan hidup awal untuk sifat fisik dan kimia anorganik air dalam studi Analisis Dampak Lingkungan Kegiatan Pertambangan Batubara di Wilayah Perluasan KP Eksploitasi KW.96P00174/KALTIM, Kabupaten Kutai Kartanegara, oleh PT. Kitadin, dianalisis 14 contoh air dari Sungai Mahakam (Separi, Loa Manik, Embalut, dan Angkuang), tiga sumur gali, dan satu saluran air limbah dari outlet unit pengolahan/pencucian batubara di daerah pelabuhan Desa Embalut. Keterangan hasil analisis contoh air yang diuraikan berikut adalah dari Sungai Mahakam karena terdapat beberapa sifat kimia yang sama dengan kondisi kualitas air saat ini sehingga bisa dibandingkan. Temperatur air yang mengalir seperti air sungai, akan cepat berubah tetapi kisaran perubahannya relatif kecil dibandingkan dengan air yang menggenang. Temperatur air di Sungai Mahakam masih dalam batas normal untuk temperatur alami air, yaitu berkisar 26,0 27,5 0 C. Hal ini menunjukkan

157 137 bahwa kisaran temperatur air di Sungai Mahakam masih layak untuk keperluan rumah tangga, golongan B (Keputusan Gubernur Provinsi Kalimantan Timur Nomor 339 Tahun 1988). Muatan padatan tersuspensi merupakan bahan pencemar yang umum didapatkan di perairan-perairan alami. Bahkan pada perairan yang relatif bersih belum tercemar, juga didapatkan muatan padatan tersuspensi. Rona lingkungan hidup awal nilai muatan padatan tersuspensi di Sungai Mahakam berkisar antara 2 10 mg/l, namun masih layak untuk keperluan rumah tangga (Golongan B). Nilai residu terlarut, muatan padatan tersuspensi dan tingkat kekeruhan air merupakan sifat fisik air yang saling berkaitan. Nilai residu terlarut di Sungai Mahakam berkisar antara mg/l. Derajat keasaman (ph) air, penting untuk menilai guna perairan untuk kehidupan biota perairan. Nilai ph air di Sungai Mahakam masih bersifat netral berkisar antara 6,6 7,3 masih layak untuk keperluan rumah tangga yaitu antara 5 9 (Golongan B). Kandungan karbon dioksida bebas akan mempengaruhi nilai daya guna perairan bagi kehidupan biota perairan. Kandungan karbon dioksida bebas di Sungai Mahakam berkisar antara 6,78 10,28 mg/l, masih mendukung kehidupan biota perairan secara nyata. Alkalinitas total dapat merupakan suatu pengukur kesuburan perairan. Nilai alkalinitas total di perairan Sungai Mahakam berkisar antara 35,28 56,72 mg/l setara CaCO 3 artinya diduga produktivitas perairannya sedang. Kandungan oksigen terlarut dalam air dipengaruhi oleh sifat fisik, kimia, dan biologi perairan tersebut. Kandungan oksigen terlarut air di Sungai Mahakam berkisar antara 6,36 7,28 mg/l, masih layak untuk keperluan rumah tangga karena lebih dari 6 mg/l. Nitrat merupakan senyawa penting sebagai penyedia nitrogen dalam pembentukan protein. Kandungan Nitrat di Sungai Mahakam berkisar antara 0,284 3,207 mg/l, masih layak untuk keperluan rumah tangga karena kurang dari 10 mg/l. Nitrit merupakan senyawa yang kurang stabil yang tergantung pada kandungan oksigen terlarut dalam air. Kandungan Nitrit di Sungai Mahakam berkisar antara 0,010 0,195 mg/l, masih layak untuk keperluan rumah tangga karena kurang dari 1 mg/l. Kandungan amonia bebas di Sungai Mahakam berkisar antara 0,024 0,208 mg/l, masih layak untuk keperluan rumah tangga karena kurang dari 0,5 mg/l. Kandungan ortofosfat dalam perairan dapat menggambarkan potensi kesuburan perairan. Kandungan ortofosfat di Sungai Mahakam berkisar

158 138 antara 0,042 0,187 mg/l, tingkat kesuburan perairannya cukup. Nilai sulfat di Sungai Mahakam berkisar antara 5,121 9,702 mg/l, masih layak untuk keperluan rumah tangga. Nilai sulfida di perairan Sungai Mahakam berkisar antara 0,012 0,038 mg/l, telah melampaui nilai ambang batas untuk keperluan rumah tangga karena harus nihil. Nilai BOD 5 di perairan Sungai Mahakam berkisar antara 11,93 24,07 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa bahan organik yang mudah terurai di perairan tersebut, konsentrasinya termasuk tinggi. Nilai COD di perairan Sungai Mahakam berkisar antara 21,80 54,98 mg/l, mencerminkan senyawa anorganik yang dapat dioksidasi secara kimiawi juga tinggi. Berdasarkan nilai BOD dan COD, perairan Sungai Mahakam telah melampaui nilai ambang batas standar baku mutu air karena lebih dari 6 mg/l (BOD 5 ) dan COD lebih dari 10 mg/l COD (Dokumen ANDAL PT. Kitadin, 2000). Kondisi saat ini, padatan tersuspensi atau residu tersuspensi pada PT. Kitadin kawasan reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun 46 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk) ), di areal berumur sekitar 5 tahun 239 mg/l tergolong kategori C (Buruk), dan di areal berumur sekitar 10 tahun 57 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk). Kualitas seperti ini masih layak untuk keperluan rumah tangga, kecuali kategori C perlu diwaspadai. Padatan tersuspensi pada kawasan non reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun 32 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk) di areal berumur sekitar 5 tahun 114 mg/l tergolong kategori B (Agak Buruk), dan di areal berumur sekitar 10 tahun 1752 mg/l tergolong kategori D (Sangat buruk), kualitas limbah. ph air pada PT. Kitadin kawasan reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun 7,28 tergolong kategori B, di areal berumur sekitar 5 tahun ph 7,53 tergolong kategori B, di areal berumur sekitar 10 tahun ph 7,01 tergolong kategori B. Pada kawasan non reklamasi ph di areal berumur sekitar 1 tahun 3,24 tergolong kategori D, di areal sekitar 5 tahun ph 5,69 tergolong kategori B, dan di areal sekitar 10 tahun ph 6,49 tergolong kategori B. BOD pada PT. Kitadin kawasan reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun 2,10 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk), di areal berumur sekitar 5 tahun 1,81 mg/l tergolong kategori A (Baik), dan di areal berumur sekitar 10

159 139 tahun 1,81 mg/l tergolong kategori A (Baik). BOD pada kawasan non reklamasi di areal sekitar 1 tahun 3,54 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk), di areal sekitar 5 tahun 4,55 mg/l tergolong kategori B ( Agak buruk), dan di areal sekitar 10 tahun 3,54 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk). Kualitas BOD masih dalam batas kisaran untuk digunakan air keperluan rumah tangga. COD pada PT. Kitadin kawasan reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun 17,47 mg/l tergolong kategori C (Buruk), di areal berumur sekitar 5 tahun 15,06 mg/l tergolong kategori C (Buruk), dan di areal berumur sekitar 10 tahun juga 15,06 mg/l tergolong kategori C (Buruk). Kualitas COD kawasan reklamasi sudah melebihi >10, tergolong melebihi nilai ambang batas kisaran untuk digunakan sebagai air keperluan rumah tangga. COD pada kawasan non reklamasi di areal sekitar 1 tahun 29,51 mg/l tergolong kategori D (Sangat buruk), di areal sekitar 5 tahun 37,94 mg/l tergolong kategori D (Sangat buruk), dan di areal sekitar 10 tahun 29,51 mg/l tergolong kategori D (Sangat buruk). Kualitas COD di kawasan reklamasi masih lebih baik dibandingkan dengan di kawasan non reklamasi. DO pada PT. Kitadin kawasan reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun 2,70 mg/l tergolong kategori C (Buruk), di areal berumur sekitar 5 tahun 2,70 mg/l tergolong kategori C (Buruk), dan di areal berumur sekitar 10 tahun 1,65 mg/l tergolong kategori D (Sangat buruk). DO pada kawasan non reklamasi di areal sekitar 1 tahun 3,00 mg/l tergolong kategori C (Buruk), di areal sekitar 5 tahun 1,92 mg/l tergolong kategori D (Sangat buruk), dan di areal sekitar 10 tahun 3,84 mg/l tergolong kategori C (Buruk). Fosfat pada PT. Kitadin kawasan reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun 0,17 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk), di areal berumur sekitar 5 tahun 0,21 mg/l tergolong kategori B (Agak Buruk), dan di areal berumur sekitar 10 tahun 0,32 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk). Fosfat pada kawasan non reklamasi di areal sekitar 1 tahun 0,14 mg/l tergolong kategori A (Baik), di areal sekitar 5 tahun 0,28 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk), dan di areal sekitar 10 tahun 0,20 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk). Nitrit pada PT. Kitadin kawasan reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun 0,04 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk), di areal berumur sekitar 5 tahun 0,01 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk), dan di areal berumur sekitar

160 tahun 0,01 mg/l tergolong kategori B (Agak Buruk). Nitrit pada kawasan non reklamasi di areal sekitar 1 tahun 0,01 mg/l tergolong kategori B (Agak Buruk), di areal sekitar 5 tahun 0,06 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk), dan di areal sekitar 10 tahun 0,02 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk). Nitrat pada PT. Kitadin kawasan reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun 2,96 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk), di areal berumur sekitar 5 tahun 6,06 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk), dan di areal berumur sekitar 10 tahun 10,86 mg/l tergolong kategori C (Buruk). Nitrat pada kawasan non reklamasi di areal sekitar 1 tahun 1,90 mg/l tergolong kategori B (Agak Buruk), di areal sekitar 5 tahun 19,19 mg/l tergolong kategori C (Buruk), dan di areal sekitar 10 tahun 10,82 mg/l tergolong kategori C (Buruk). Rona lingkungan hidup awal untuk sifat fisik dan kimia anorganik air pada PT. Tanito Harum pelabuhan Sebulu dengan pengambilan sampel di dua lokasi di aliran sungai Mahakam dan anak sungai Mahakam diuji silang dengan yang digunakan PT. Kitadin karena di dokumen ANDAL tidak disebutkan. Berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi Kalimantan Timur No. 339 Tahun 1988, untuk zat padat tersuspensi berada dalam kisaran 80,8 139,2 mg/l tergolong masih baik untuk keperluan rumah tangga. Derajat kemasaman (ph) 6 masih tergolong kategori B layak untuk keperluan rumah tangga. Fosfat (PO 4 ) tidak terdeteksi. Nitrat (NO 3 -N) dalam mg/l berada dalam kisaran 1,6 1,7 mg/l tergolong masih layak untuk keperluan rumah tangga karena nilainya kurang dari 10 mg/l. Nitrit (NO 2 -N) tidak terdeteksi. Oksigen terlarut (DO) dalam mg/l berada dalam kisaran 1,86 tergolong buruk karena nilainya kurang dari 6 mg/l. BOD dalam mg/l berada dalam kisaran 2,0 mengindikasikan bahan organik yang mudah terurai diperairan tersebut konsentrasinya termasuk rendah belum melebihi 6 mg/l. COD dalam mg/l berada dalam kisaran 15,6 17,6 tergolong tinggi melebihi 10 mg/l. Hal ini mencerminkan senyawa anorganik yang dapat dioksidasi secara kimiawi juga tinggi melebihi nilai ambang batas baku mutu air golongan B. Nitrat (NO 3 -N) dalam mg/l berada dalam kisaran 1,6 2,2 tergolong masih layak untuk keperluan rumah tangga karena nilainya kurang dari 10 mg/l. Nitrit (NO 2 -N) dalam mg/l 0,024. Oksigen terlarut (DO) dalam mg/l berada dalam kisaran 1,86 tergolong kurang baik karena nilainya kurang dari 6 mg/l. BOD

161 141 dalam mg/l berada dalam kisaran 1,5-2,0 mengindikasikan bahan organik yang mudah terurai diperairan tersebut konsentrasinya termasuk rendah belum melebihi 6 mg/l. COD dalam mg/l berada dalam kisaran 8,8 17,6 tergolong tinggi melebihi 10 mg/l. Hal ini mencerminkan senyawa anorganik yang dapat dioksidasi secara kimiawi juga tinggi melebihi nilai ambang batas baku mutu air golongan B (Dokumen ANDAL PT. Tanito Harum, 1994). Kondisi saat ini, padatan tersuspensi atau residu tersuspensi pada areal PT. Tanito Harum kawasan reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun 27 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk), dan di areal berumur sekitar 10 tahun 51 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk). Padatan tersuspensi pada kawasan non reklamasi areal berumur sekitar 1 tahun 33 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk), di areal berumur sekitar 5 tahun 325 mg/l tergolong kategori C (Buruk) di areal berumur sekitar 10 tahun 45 mg/l tergolong kategori B (Agak Buruk). ph air pada kawasan reklamasi PT. Tanito Harum di areal berumur sekitar 1 tahun 4,57 tergolong kategori C, di areal berumur sekitar 10 tahun ph 3,38 tergolong kategori C. Pada kawasan non reklamasi ph di areal berumur sekitar 1 tahun 3,66 tergolong kategori D, di areal sekitar 5 tahun ph 3,17 tergolong kategori D, dan di areal sekitar 10 tahun ph 3,31 tergolong kategori D. BOD pada kawasan reklamasi PT. Tanito Harum di areal berumur sekitar 1 tahun 2,96 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk), dan di areal berumur sekitar 10 tahun 3,69 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk). BOD pada kawasan non reklamasi di areal sekitar 1 tahun 2,39 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk), di areal sekitar 5 tahun 1,81 mg/l tergolong kategori A (Baik), dan di areal sekitar 10 tahun 1,59 mg/l tergolong kategori A (Baik). COD pada kawasan reklamasi PT. Tanito Harum di areal berumur sekitar 1 tahun 24,69 mg/l tergolong kategori D (Sangat buruk), dan di areal berumur sekitar 10 tahun 30,71 mg/l tergolong kategori D (Sangat buruk). COD pada kawasan non reklamasi di areal sekitar 1 tahun 19,88 mg/l tergolong kategori C (Buruk), di areal sekitar 5 tahun 15,06 mg/l tergolong kategori C (Buruk), dan di areal sekitar 10 tahun 13,25 mg/l tergolong kategori C (Buruk). DO pada kawasan reklamasi PT. Tanito Harum di areal berumur sekitar 1 tahun 2,61 mg/l tergolong kategori C (Buruk), dan di areal berumur sekitar 10

162 142 tahun 2,77 mg/l tergolong kategori C (Buruk). DO pada kawasan non reklamasi di areal sekitar 1 tahun 2,92 mg/l tergolong kategori C (Buruk), di areal sekitar 5 tahun 2,21 mg/l tergolong kategori C (Buruk), dan di areal sekitar 10 tahun 2,95 mg/l tergolong kategori C (Buruk). Fosfat pada kawasan reklamasi PT. Tanito Harum di areal berumur sekitar 1 tahun 0,15 mg/l tergolong kategori A (Baik), dan di areal berumur sekitar 10 tahun 0,17 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk). Fosfat pada kawasan non reklamasi di areal sekitar 1 tahun 0,18 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk), di areal sekitar 5 tahun 0,12 mg/l tergolong kategori A (Baik), dan di areal sekitar 10 tahun 0,15 mg/l tergolong kategori A (Baik). Nitrit pada kawasan reklamasi PT. Tanito Harum di areal berumur sekitar 1 tahun 0,02 tergolong kategori B (Agak buruk), dan di areal berumur sekitar 10 tahun 0,01 tergolong kategori B (Agak buruk). Nitrit pada kawasan non reklamasi di areal sekitar 1 tahun 0,01 tergolong kategori B (Agak buruk), di areal sekitar 5 tahun 0,01 tergolong kategori B (Agak buruk), dan di areal sekitar 10 tahun 0,01 tergolong kategori B (Agak Buruk). Nitrat pada kawasan reklamasi PT. Tanito Harum di areal berumur sekitar 1 tahun 1,95 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk), dan di areal berumur sekitar 10 tahun 1,81 mg/l tergolong kategori B (Agak Buruk). Nitrat pada kawasan non reklamasi di areal sekitar 1 tahun 2,41 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk), di areal sekitar 5 tahun 2,01 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk), dan di areal sekitar 10 tahun 2,34 mg/l tergolong kategori B (Agak buruk). Secara umum terjadi perubahan sifat fisik dan sifat kimia anorganik air sebelum penambangan batubara dengan pasca tambang batubara. Hal ini dapat dilihat dari membandingkan sifat fisik dan sifat kimia air sebelum penambangan dengan sesudah penambangan. Data rona lingkungan hidup awal menunjukkan bahwa sebelum penambangan sifat fisik dan sifat kimia air kualitasnya lebih baik Kondisi awal padatan tersuspensi pada PT. Kitadin, nilai muatan padatan di Sungai Mahakam masih layak untuk keperluan rumah tangga (golongan B). Nilai residu terlarut di Sungai Mahakam berkisar antara mg/l (golongan B). Kondisi saat ini, padatan tersuspensi atau residu tersuspensi pada PT. Kitadin kawasan reklamasi sudah ada yang golongan C (buruk), bahkan di kawasan non

163 143 reklamasi sudah ada yang termasuk golongan D (sangat buruk). Rona lingkungan hidup awal untuk fisik dan kimia anorganik air pada PT. Tanito Harum Pelabuhan Sebulu untuk zat padat tersuspensi termasuk golongan B masih baik untuk keperluan rumah tangga. Kondisi saat ini, padatan tersuspensi atau residu tersuspensi pada areal PT. Tanito Harum kawasan reklamasi dan non reklamasi sudah ada yang termasuk golongan C. ph air di PT. Kitadin (Sungai Mahakam) masih bersifat netral berkisar antara 6,6 7,3 masih layak untuk keperluan rumah tangga yaitu antara 5 9 (golongan B). Kondisi saat ini, ph air pada PT. Kitadin kawasan reklamasi golongan B, dan pada kawasan non reklamasi sudah ada yang termasuk golongan D. ph air di PT. Tanito Harum (Pelabuhan Sebulu) sebelum penambangan termasuk golongan B, kondisi saat ini ph air pada kawasan reklamasi termasuk golongan C sedangkan kawasan non reklamasi termasuk golongan D. Nilai BOD 5 di perairan Sungai Mahakam termasuk golongan C, kualitas. Kondisi saat ini, BOD PT. Kitadin kawasan reklamasi dan non reklamasi di semua areal termasuk golongan B. Kondisi awal kandungan BOD di PT. Tanito Harum (Pelabuhan Sebulu) termasuk golonngan C. Kondisi saat ini, BOD pada kawasan reklamasi dan non reklamasi umumnya termasuk golongan B Nilai COD di PT. Kitadin (Sungai Mahakam) termasuk golongan C, mencerminkan senyawa anorganik yang dapat dioksidasi secara kimiawi juga tinggi. Kondisi saat ini, COD pada PT. Kitadin kawasan reklamasi termasuk golongan C, dan di kawasan non reklamasi termasuk golongan D (Sangat buruk). Kualitas COD di kawasan reklamasi masih lebih baik dibandingkan dengan di kawasan non reklamasi. Kondisi awal COD di PT. Tanito Harum (Pelabuhan Sebulu) termasuk golongan B, kondisi saat ini pada kawasan reklamasi dan non reklamasi termasuk golongan C bahkan D. DO di PT. Kitadin (Sungai Mahakam) termasuk golongan B namun masih layak untuk keperluan rumah tangga karena lebih dari 6 mg/l. Kondisi saat ini, DO pada PT. Kitadin kawasan reklamasi dan non reklamasi termasuk golongan C, dan D. Sebelum penambangan, DO di PT. Tanito Harum (Pelabuhan Sebulu) tergolong kurang baik karena nilainya kurang dari 6 mg/, termasuk

164 144 golongan C. Kondisi saat ini DO pada kawasan reklamasi dan non reklamasi di PT. Tanito Harum termasuk golongan C. Kandungan Fosfat di PT. Kitadin (Sungai Mahakam) termasuk golongan B tingkat kesuburan perairannya cukup. Kondisi saat ini, Fosfat pada PT. Kitadin kawasan reklamasi dan non reklamasi di semua areal umumnya termasuk golongan B. Fosfat (PO 4 ) tidak terdeteksi sebelum penambangan di PT. Tanito Harum (Pelabuhan Sebulu). Kondisi saat ini, Fosfat pada kawasan reklamasi dan non reklamasi umumnya termasuk golongan A, meskipun masih ada yang termasuk golongan B. Kandungan Nitrit di PT. Kitadin (Sungai Mahakam) masih layak untuk keperluan rumah tangga (golongan B). Kondisi saat ini, kandungan Nitrit pada PT. Kitadin kawasan reklamasi dan non reklamasi di semua areal termasuk golongan B. Kondisi awal di PT. Tanito Harum (Pelabuhan Sebulu) kandungan Nitrit (NO 2 -N) tidak terdeteksi. Kondisi saat ini, kandungan Nitrit pada kawasan reklamasi dan non reklamasi umumnya termasuk golongan B. Kandungan Nitrat sebelum penambangan di PT. Kitadin (Sungai Mahakam) termasuk Golongan B. Kondisi saat ini, di PT. Kitadin kawasan reklamasi dan non reklamasi beberapa areal termasuk golongan C. Kondisi awal kandungan Nitrat (NO 3 -N) di PT. Tanito Harum (Pelabuhan Sebulu) termasuk golongan B, masih layak untuk keperluan rumah tangga karena nilainya kurang dari 10 mg/l. Kondisi saat ini di PT. Tanito Harum (Pelabuhan Sebulu) Nitrat pada kawasan reklamasi dan non reklamasi termasuk golongan B. Hasil analisis air pada kawasan pasca tambang batubara di areal berumur sekitar 1 tahun, sekitar 5 tahun dan sekitar 10 tahun untuk parameter fisika dan kimia anorganik diuji silang dengan standar baku mutu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tanggal 14 Desember 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dan SK Gubernur KDH Tingkat I Kalimantan Timur Nomor 339 Tahun 1988, seperti terlihat pada Lampiran 8. Penggolongan kualitas air kemudian dibagi atas empat kategori penilaian yaitu: A (Baik), B (Agak buruk), C (Buruk), dan D (Sangat buruk).

165 145 Tabel 35. Rona Lingkungan Hidup Awal dan Kondisi Saat Ini Sifat Fisik dan Kimia Air di PT. Kitadin dan PT. Tanito Harum PT. KITADIN Rona LH Awal Reklamasi Parameter Fisik Kimia Padatan Tersuspensi (mg/l) DHL ph BOD (mg/l) COD (mg/l) DO (mg/l) µmhos/cm 6,6 7,3 11,93 24,07 21,80 54,98 6,52-7,28 Fosfat (PO 4 ) (mg/l) Nitrit (NO 2 - N) (mg/l) 0,026-0,187 0,010 0,195 Nitrat (NO 3 -N) (mg/l) Sekitar 1 th Sekitar 5 th Sekitar 10 th Non Reklamasi Sekitar 1 th Sekitar 5 th Sekitar 10 th PT. TANITO HARUM Rona LH Awal 68,8-80,8 tidak ada data 6 1,5-2,0 8,8-17,6 1,86 ttd 0,024 1,6 1,7 Reklamasi Sekitar 1 th Sekitar 10 th Non Reklamasi Sekitar 1 th Sekitar 5 th Sekitar 10 th ,284 3,

166 146 Tabel 36. Kategori Kelas Sifat Fisik dan Kimia Anorganik Air Kimia Fisik ph BOD (mg/l) COD (mg/l) DO (mg/l) Fosfat (mg/l) Nitrit Nitrat PT.KITADIN Reklamasi Sekitar 1 tahun B (Agak buruk) B (Agak buruk) B (Agak Buruk) C (Buruk) C (Buruk) B (Agak buruk) B (Agak buruk) B (Agak B (Agak Sekitar 5 tahun C (Buruk) B (Agak buruk) A (Baik) C (Buruk) C (Buruk) Buruk) buruk) Sekitar 10 D (Sangat B (Agak B (Agak tahun B (Agak buruk) B (Agak buruk) A (Baik C (Buruk) buruk) Buruk) buruk) Non Reklamasi D (Sangat B (Agak Sekitar 1 tahun B (Agak buruk ) buruk) buruk) D (Sangat buruk) C (Buruk) A (Baik) A (Baik) B (Agak D (Sangat B (Agak B (Agak Sekitar 5 tahun C (Buruk) B (Agak buruk) buruk) D (Sangat buruk) buruk) buruk) buruk) Sekitar 10 D (Sangat B (Agak D (Sangat tahun buruk) B (Agak buruk) buruk) buruk) C (Buruk) B (Agak buruk) B (Agak buruk) C (Buruk) B (Agak buruk) C (Buruk) B (Agak buruk) A (Baik) C (Buruk) PT. TANITO HARUM Reklamasi Sekitar 1 tahun B (Agak buruk) C (Buruk) Sekitar 10 tahun B (Agak buruk) C (Buruk) Non Reklamasi Sekitar 1 tahun B (Agak buruk) C (Buruk) B (Agak buruk) D (Sangat buruk) C (Buruk) B (Agak buruk) D (Sangat buruk) C (Buruk) B (Agak buruk) C (Buruk) C (Buruk) Sekitar 5 tahun C (Buruk) C (Buruk) A (Baik) C (Buruk) C (Buruk) Sekitar 10 tahun B (Agak buruk) C (Buruk) A (Baik) C (Buruk) C (Buruk) B (Agak buruk) B (Agak buruk) B (Agak buruk) B (Agak buruk) B (Agak buruk) B (Agak buruk) B (Agak buruk) B (Agak buruk) B (Agak buruk) B (Agak buruk) B (Agak buruk) B (Agak buruk) B (Agak buruk) B (Agak buruk) B (Agak buruk) 146

167 Kondisi Vegetasi Pasca Tambang Batubara Analisis vegetasi adalah cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Untuk mengetahui suatu kelompok hutan yang luas dan belum diketahui keadaan sebelumnya, metode yang paling baik untuk digunakan adalah cara jalur petak. Cara ini adalah modifikasi dari petak ganda dan cara jalur. Perubahan vegetasi yang disebabkan karena perbedaan keadaan tanah dapat dilihat di sepanjang rintis dimana terdapat petak-petak pada jarak tertentu yang sama. Rona lingkungan hidup awal untuk kondisi vegetasi secara makro didaerah studi dipilih lokasi 5 dan lokasi 6 karena berada di wilayah penambangan. Lokasi 5 yang direncanakan untuk kegiatan penambangan batubara merupakan kebun campuran dan semak-belukar yang terletak lahan perbukitan serta pesawahan yang berada pada lahan datar di kaki bukit. Posisi ekologis pada kebun campuran untuk tingkat pohon terdiri dari 10 jenis tanaman. Berdasarkan kepadatan dan frekuensinya didominasi oleh jenis tanaman pisang (Musa sp.) dengan Indeks Nilai Penting (INP)= 129,41% dan tanaman kopi (Cofee sp.), karet (Hevea sp.) dan rambutan (Nephelium sp.). Jenis tanaman lainnya yang terdapat di kebun pisang campuran adalah singkong (Manihot esculenta). Vegetasi semak belukar di daerah pebukitan sebagian terbesar berupa padang alang-alang (Imperata cylindrica). Jenis tumbuhan tingkat pohon pada vegetasi semak belukar sebagian besar (40%) didominasi oleh jenis tutup (Homalanthus sp.) dan jomok (Artocarpus elasticus). Pepohonan lainnya yang mengisi semak belukar dengan INP berkisar 10 20% adalah teureup/bedo (Artocarpus sp.), terap (Nauclea orientalis), leban (Vitex sp.) dan benuang (Neonuclea gigantea Merr.) Lokasi pengamatan 6 terletak di bagian Selatan wilayah perluasan pertambangan batubara PT. Kitadin. Lingkungan vegetasi daerah ini terdiri dari kebun campuran, semak alang-alang (Imperata cylindrica), dan pesawahan. Vegetasi kebun campuran yang berada di lahan berbukit terdiri dari 6 jenis tanaman buah-buahan produktif seperti pisang (Musa sp.), duren (Durio zibetinus), kopi (cofee sp.), kelapa (Cocos esculenta), petai (Parkia sp.), nangkaan (Artocarpus dadah Miq.), sukun (Artocarpus sp.) dan 2 jenis tanaman yang bukan penghasil buah, penghasil kayu sengon (Paraserianthes falcataria), jomok/benda

168 148 (Artocarpus elasticus Reinw.), dan randu (Ceiba sp.), dan rinding/saga (Adenanthera sp.). Tumbuhan perdu vegetasi semak belukar di lahan terbuka dan yang hidup bercampur dengan tanaman gamal (Glerisidie sp.) pada tepi teras lahan kebun sebanyak 6 jenis, yaitu bolok (Ficus lepicarpa BI.), leban (Vitex pinnnata Linn.), kokang (Milletia sp.), tutup (Homalanthus sp.), kopi hutan (Fragraea racemosa Jack.) dan mahang (Clerodendron squamatum Vahl.). Tumbuhan bawah kebun terutama adalah alang-alang (Imperata cylindrica), wedusan (Lantana camara Linn.), senduru (Melastoma malabactrium), nusaenda liar (Mussaenda frondosa Linn.) dan kirinyu (Eupatorium sp.) (Dokumen ANDAL PT. Kitadin, 2000). Rona lingkungan hidup awal dominansi relatif dari keragaan vegetasi di PT. Kitadin dan PT. Tanito Harum, dan kondisi saat ini pada kawasan reklamasi dan non reklamasi pasca tambang batubara di areal berumur sekitar 1 tahun, sekitar 5 tahun, dan sekitar 10 tahun dapat dilihat pada Tabel 37 dan Tabel 38. Kondisi saat ini, di areal PT. Kitadin pasca tambang batubara yang melakukan reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun ditanam pohon waru (Cassia seamea), dan johar (Hibiscus similis). Pada areal berumur sekitar 5 tahun ada pohon sengon (Paraserienthes falcataria) dan pada areal berumur sekitar 10 tahun ada pohon jati putih (Gmelina arborea). Pada kawasan non reklamasi tidak ada pohon yang mendominasi, dan semua hanya ditumbuhi rumput semak belukar tipis yang didominasi alang-alang (Imperata cylindrica). Kondisi awal vegetasi di PT. Kitadin terdiri dari kebun campuran, semak alang-alang (Imperata cylindrica), dan pesawahan. Vegetasi kebun campuran terdiri dari enam jenis tanaman buah-buahan produktif dan dua jenis tanaman yang bukan penghasil buah yaitu penghasil kayu. Tumbuhan perdu vegetasi semak belukar di lahan terbuka dan yang hidup bercampur dengan tanaman gamal pada tepi teras lahan kebun sebanyak enam jenis. Tumbuhan bawah kebun terutama adalah alang-alang (Imperata cylindrica), wedusan (Lantana camara Linn.), senduru (Melastoma malabactrium), nusaenda liar (Mussaenda frondosa Linn.) dan kirinyu (Eupatorium sp.)

169 129 Tabel 37. Rona Lingkungan Hidup Awal dan Kondisi Saat Ini Keragaan Vegetasi di Areal PT. Kitadin Rona Lingkungan Hidup Awal PT.KITADIN Nama tumbuhan Keterangan Penutup an lahan (%) Kelas Kebun campuran, semak alang-alang (Imperata cylindrica), dan pesawahan. Kebun campuran : pisang (Musa sp.), duren (Durio zibetinus), kopi (cofee sp.), kelapa (Cocos esculenta), petai (Parkia sp.), nangkaan (Artocarpus dadah Miq.), sukun (Artocarpus sp.), kayu sengon (Paraserianthes falcataria), jomok/benda (Artocarpus elasticus Reinw.), dan randu (Ceiba sp.), dan rinding/saga (Adenanthera sp.). Vegetasi semak belukar bercampur tanaman gamal (Glerisidie sp.) : bolok (Ficus lepicarpa BI.), leban (Vitex pinnnata Linn.), kokang (Milletia sp.), tutup (Homalanthus sp.), kopi hutan (Fragraea racemosa Jack.) dan mahang (Clerodendron squamatum Vahl.). Tumbuhan bawah kebun terutama adalah alang-alang (Imperata cylindrica), wedusan (Lantana camara Linn.), senduru (Melastoma malabactrium), nusaenda liar (Mussaenda frondosa Linn.) dan kirinyu (Eupatorium sp.) Reklamasi Sekitar 1 tahun Sekitar 5 tahun Sekitar 10 tahun Non Reklamasi Sekitar 1 tahun Sekitar 5 tahun Sekitar 10 tahun Sumber: Hasil Analisis (2009), Dokumen ANDAL PT. Kitadin (2000). Cassia seamea, Hibiscus similis Paraserianthes falcataria Gmelina arborea Rumput, semak lahan kering Rumput, semak lahan kering Rumput, semak lahan kering Tingkat semai ada, pancang, dan tiang jarang. Pohon sengaja ditanam Tingkat semai ada, pancang ada, dan tiang jarang. Pohon sengaja ditanam Tingkat semai, pancang, dan tiang ada. Pohon sengaja ditanam Tingkat semai ada, pancang dan tiang jarang, pohon tidak ada Tingkat semai ada, pancang ada, tiang dan pohon tidak ada Tingkat semai ada, pancang dan tiang ada, pohon tidak ada 0 25 Rendah >25 50 Sedang >50 Tinggi 0 25 Rendah 0 25 Rendah 0 25 Rendah 149

170 130 Tabel 38. Rona Lingkungan Hidup Awal dan Kondisi Saat Ini Keragaan Vegetasi di Areal PT. Tanito Harum Rona Lingkungan Hidup Awal PT. TANITO HARUM Didominasi oleh asosiasi alang-alang (Imperata cylindrica), harendong, sirihsirihan dan semak belukar. Terdapat kayu ulin (Eusideraxylon zuageri), tanaman padi kering dan kebun karet. Vegetasi tingkat tiang, pancang (belta), dan pohon jarang sekali Reklamasi Sekitar 1 tahun Sekitar 5 tahun Sekitar 10 tahun Non Reklamasi Sekitar 1 tahun Nama Tumbuhan Acasia mangium Acasia mangium Paraserienthes falcataria Rumput, semak lahan kering Sekitar 5 tahun Rumput, semak lahan kering Sekitar 10 tahun Rumput, semak lahan kering Sumber: Hasil Analisis (2009), Dokumen ANDAL PT.Tanito Harum (1994). Keterangan Tingkat semai ada, pancang, dan tiang jarang. Pohon sengaja ditanam Tingkat semai ada, pancang ada, dan tiang jarang. Pohon sengaja ditanam Tingkat semai, pancang, dan tiang ada. Pohon sengaja ditanam Tingkat semai ada, pancang dan tiang jarang, pohon tidak ada Tingkat semai ada, pancang ada, tiang dan pohon tidak ada Tingkat semai ada, pancang dan tiang ada, pohon tidak ada Penutupan Lahan (%) Kelas 0 25 Rendah >25 50 >25 50 Sedang Sedang 0 25 Rendah 0 25 Rendah 0 25 Rendah 150

171 151 Kondisi saat ini, di areal PT. Kitadin pasca tambang batubara yang melakukan reklamasi hanya ada empat jenis pohon yang tumbuh, ditanam sebagai bagian dari perlakuan reklamasi. Pada kawasan non reklamasi tidak ada pohon yang mendominasi, dan semua hanya ditumbuhi rumput semak belukar tipis yang didominasi alang-alang (Imperata cylindrica). Keragaan vegetasi jauh lebih heterogen dan masih lebih banyak jumlah jenis tanamannya sebelum penambangan dibandingkan dengan setelah penambangan. Penambangan banyak menghilangkan keragaan vegetasi. Rona lingkungan hidup awal untuk kondisi vegetasi di penambangan Sebulu merupakan daerah bekas ladang yang sudah tidak diurus sehingga didominasi oleh asosiasi alang-alang (Imperata cylindrica), harendong, sirihsirihan dan semak belukar. Diantara semak belukar terdapat kayu ulin (Eusideraxylon zuageri) yang batangnya terlihat bekas terbakar dimana kebakaran tersebut terjadi pada tahun 1984 (berdasarkan informasi penduduk). Berdasarkan ciri-ciri tersebut maka faktor pengganggu yang telah mempengaruhi keadaan hutan adalah kegiatan penebangan hutan dan kebakaran hutan. Didaerah penambangan Sebulu juga dijumpai tanaman padi lahan kering dan kebun karet yang diusahakan masyarakat. Vegetasi tingkat tiang, pancang (belta), dan pohon jarang sekali (Dokumen AMDAL PT. Tanito Harum, 1994). Kondisi saat ini, di areal PT. Tanito Harum yang melakukan reklamasi yang berumur sekitar 1 tahun dan di areal berumur sekitar 5 tahun ada pohon Akasia( Acasia mangium), dan umur sekitar 10 tahun ada pohon sengon (Paraserienthes falcataria). Di kawasan yang tidak melakukan reklamasi kemampuan tumbuh tanaman menurun di areal berumur sekitar 1 tahun, sekitar 5 tahun, dan sekitar 10 tahun. Tumbuhan hanya berupa rumput dengan dominasi alang-alang (Imperata cylindrica) hanya tipis, selebihnya lahan terbuka. Kondisi awal vegetasi di penambangan Sebulu didominasi oleh asosiasi alang-alang (Imperata cylindrica), harendong, sirih-sirihan dan semak belukar. Hanya ada kayu ulin (Eusideraxylon zuageri). Masih dijumpai tanaman padi lahan kering dan kebun karet yang diusahakan masyarakat. Vegetasi tingkat tiang, pancang (belta), dan pohon jarang sekali. Kondisi saat ini, di areal PT. Tanito Harum pada kawasan yang melakukan reklamasi hanya ada dua jenis pohon yang

172 152 ditanam sebagai bagian dari reklamasi. Pada kawasan non reklamasi kemampuan tumbuh tanaman menurun, hanya berupa rumput dengan dominasi alang-alang (Imperata cylindrica). Pada kawasan sebelum penambangan di PT. Tanito Harum keragaan vegetasi/jumlah jenis sebelum dan sesudah penambangan hampir sama, namun sebelumnya masih ada tanaman padi lahan kering dan kebun karet yang diusahakan masyarakat sebagai sumber mata pencaharian (mengandalkan pertanian). Sesudah penambangan, masyarakat setempat akan kehilangan penghasilan dari usaha pertanian yang masih produktif. Kondisi awal vegetasi dan kondisi saat ini di PT. Kitadin lebih baik dibandingkan dengan kondisi awal vegetasi dan kondisi saat ini di PT. Tanito Harum. Kondisi awal vegetasi sebelum penambangan di PT. Kitadin terdiri dari 14 jenis pohon, dan tumbuhan bawah kebun terdiri dari lima jenis. Kondisi saat ini, hanya ada empat jenis pohon, dan dua jenis tumbuhan bawah kebun. Kondisi awal vegetasi sebelum penambangan di PT. Tanito Harum terdiri dari satu jenis pohon, dan empat jenis tumbuhan bawah kebun. Kondisi saat ini, ada dua jenis pohon dan dua jenis tumbuhan bawah kebun. Kerapatan vegetasi kawasan reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun di PT. Kitadin hanya berkisar 25 50% menutup lahan sedangkan tingginya vegetasi rumput kategori tingkat semai dan tanaman waru (Cassia seamea) dan johar (Hibiscus similis) lebih tinggi dari dada, kategori tingkat tiang. Kerapatan vegetasi umur kawasan pasca tambang batubara di areal berumur sekitar 5 tahun penutupan lahan mendekati 50% dan vegetasi tergolong kategori tingkat pohon dengan tanaman sengon (Paraserianthes falcataria). Kerapatan vegetasi umur kawasan pasca tambang batubara di areal sekitar 10 tahun penutupan mencapai 50% dan tinggi vegetasi setingkat pohon. Pengaruh vegetasi terhadap erosi adalah vegetasi menghalangi air hujan agar tidak jatuh langsung di permukaan tanah sehingga kekuatan untuk menghancurkan tanah sangat dikurangi. Makin rapat vegetasi makin efektif mencegah erosi. Kerapatan vegetasi pada kawasan non reklamasi pasca tambang batubara di areal sekitar 1 tahun penutupan lahan di PT. Kitadin, hanya berkisar 25% dan tinggi vegetasi setingkat semai juga ada pancang (jaraknya jarang). Kerapatan

173 153 vegetasi di areal berumur sekitar 5 tahun penutupan lahan masih 25% dan tinggi vegetasi tergolong kategori semai dan pancang. Kerapatan vegetasi di areal sekitar 10 tahun penutupan lahan 25 50% dan tinggi vegetasi masih setingkat pancang. Hasil pengamatan vegetasi dan intepretasi data melalui gambar di PT. Kitadin dapat dilihat pada Lampiran 4. Kerapatan vegetasi kawasan reklamasi pasca tambang batubara di areal berumur sekitar 1 tahun di PT. Tanito Harum, hanya berkisar 25% menutup lahan dan tingginya vegetasi rumput kategori tingkat semai dan tanaman akasia (Acasia mangium) lebih tinggi dari dada, tergolong kategori tingkat tiang. Kerapatan vegetasi di areal berumur sekitar 5 tahun penutupan lahan mendekati 25% dan tinggi vegetasi kategori tingkat pohon dengan tanaman sengon (Paraserianthes falcataria) dan akasia (Acasia mangium). Kerapatan vegetasi di areal berumur sekitar 10 tahun penutupan lahan mencapai 25-50% dan tinggi vegetasi untuk tingkat semai lebih tinggi dari vegetasi di areal berumur sekitar 5 tahun, dan tingkat pohon ditanami sengon (Paraserienthes falcataria). Pohon yang ditanami kebanyakan tergolong tinggi. Kerapatan vegetasi pada kawasan non reklamasi di areal berumur sekitar 1 tahun penutupan lahan di PT. Tanito Harum tidak mencapai 25% dan tinggi vegetasi setingkat semai, ada pancang namun masih sangat jarang. Kerapatan vegetasi di areal berumur sekitar 5 tahun penutupan lahan masih 25% dan tinggi vegetasi kategori semai dan pancang yang berjauhan jaraknya. Kerapatan vegetasi di areal berumur sekitar 10 tahun penutupan lahan masih dikisaran 25% dan tinggi vegetasi masih setingkat semai dan sangat jarang tingkat pancang. Hasil pengamatan vegetasi dan intepretasi data melalui gambar di PT. Tanito Harum dapat dilihat pada Lampiran Kondisi Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan meliputi Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Konservasi tanah adalah usaha-usaha untuk menjaga agar tanah tetap produktif, atau memperbaiki tanah yang rusak karena erosi agar tanah menjadi lebih produktif. Konservasi air adalah usaha-usaha agar air dapat lebih banyak

174 154 disimpan di dalam tanah sehingga dapat digunakan tanaman dan mengurangi banjir dan erosi serta cadangan air tanah pada musim kemarau (Arsyad, 2006). Erosi dapat mengakibatkan struktur tanah hancur dan kemudian dipindahkan ke tempat lain oleh kekuatan air, angin atau gravitasi. Di PT. Kitadin dan PT. Tanito Harum, Kabupaten Kutai Kartanegara erosi disebabkan oleh air dan masuk dalam kategori erosi yang dipercepat oleh intervensi manusia melalui kegiatan pasca tambang batubara yang mengakibatkan keseimbangan alam (equilibrium) terganggu. Erosi yang dipercepat berjalan dengan sangat cepat sehingga jumlah tanah yang tererosi lebih banyak daripada tanah yang terbentuk, dan tanah di permukaan menjadi hilang. Erosi kawasan pasca tambang batubara di PT. Kitadin dan PT. Tanito Harum masuk dalam kategori erosi lembar (sheet erosion) akibat pemindahan tanah yang terjadi lapis demi lapis mulai dari lapisan paling atas dan juga erosi alur (rill erosion) akibat pembukaan kawasan tambang batubara terdapat genangan-genangan kecil, bila genangan tersebut mengalir akan terbentuk aluralur aliran air tersebut. Erosi di lokasi ini sepintas seperti tidak terlihat, karena kehilangan lapisan-lapisan tanah seragam, tetapi menjadi berbahaya karena pada suatu saat seluruh top soil akan habis. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya erosi air yang terpenting adalah: (1) curah hujan, (2) sifat-sifat tanah, (3) lereng, (4) vegetasi dan (5) manusia. Intensitas hujan, jumlah hujan, dan distribusi hujan masing-masing menunjukkan banyaknya curah hujan, menunjukkan banyaknya air hujan selama terjadi hujan dan penyebaran waktu terjadi hujan. Kepekaan tanah terhadap erosi berhubungan dengan: (1) tekstur tanah, (2) bentuk dan kemantapan struktur tanah, (3) permeabilitas tanah, dan (4) kandungan bahan organik. Tanah-tanah dengan tekstur halus seperti liat tidak tahan terhadap erosi karena mudah terdispersi oleh air sehingga mudah terangkut oleh air. Lereng yang semakin panjang menyebabkan volume air yang mengalir semakin besar, erosi akan meningkat apabila lereng semakin curam atau semakin panjang karena kecepatan aliran permukaan meningkat sehingga kekuatan mengangkut meningkat. Hubungan antara lereng dan erosi dapat dinyatakan dengan rumus Qs = tan, m α L n, dimana Qs merupakan erosi per satuan luas, α

175 155 merupakan sudut lereng, L merupakan panjang lereng, m=1,4 dan n=0,6 (Morgan, 1979; Zingg, 1940 dalam Hardjowigeno, 2007). Vegetasi berpengaruh terhadap erosi dalam menghalangi air hujan agar tidak jatuh langsung di permukaan tanah, sehingga kekuatan untuk menghancurkan tanah sangat dikurangi tergantung kerapatan vegetasi dan tingginya vegetasi. Hutan adalah paling efektif dalam mencegah erosi karena daun-daunnya rapat. Rumput-rumput yang tumbuh rapat sama efektifnya. Untuk pencegahan erosi paling sedikit 70% tanah harus tertutup vegetasi. Faktor manusia terhadap erosi dapat mengubah keadaan erosi menjadi lebih baik atau menjadi lebih buruk. Pembuatan teras-teras pada tanah yang berlereng curam merupakan pengaruh baik, sebaliknya penggundulan hutan serta penambangan merupakan pengaruh manusia yang buruk karena dapat menyebabkan erosi dan banjir. Salah satu prinsip dasar dalam konservasi tanah dan air adalah menggunakan tanah sesuai dengan kemampuannya. Metode-metode konservasi tanah pada umumnya dilakukan dengan maksud melindungi tanah dari curahan langsung air hujan, meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah, mengurangi aliran permukaan, dan meningkatkan stabilitas agregat tanah. Usaha konservasi tanah yang perlu dilakukan adalah penggunaan tanah sesuai dengan kemampuannya, tiap kelas penggunaan tanah memerlukan teknik konservasi tanah tertentu. Evaluasi kesesuaian lahan (land suitability) dan kemampuan lahan (land capability) dilakukan dengan cara membandingkan persyaratan penggunaan lahan dengan kualitas kondisi lahan saat ini. Bila semua persyaratan penggunaan lahan dapat dipenuhi oleh kondisi saat ini pasca tambang batubara di PT. Kitadin dan PT. Tanito Harum maka lahan tersebut masuk kelas sesuai untuk penggunaan lahan dimaksud. Sebaliknya, jika ada salah satu kualitas lahan kondisi saat ini tidak sesuai, maka lahan tersebut termasuk dalam kelas tidak sesuai. Klasifikasi kemampuan lahan dalam tingkat kelas menunjukkan keragaman besarnya faktor-faktor penghambat. Tanah dikelompokkan ke dalam kelas I sampai kelas VIII. Tanah kelas I IV merupakan lahan yang sesuai untuk usaha pertanian (dapat digarap) sedangkan kelas V VIII tidak sesuai untuk usaha pertanian (tidak dapat digarap), jika digunakan untuk usaha pertanian diperlukan

176 156 biaya yang sangat tinggi untuk pengelolaannya. Berdasarkan klasifikasi kemampuan lahan areal pasca tambang di PT. Kitadin dan PT. Tanito Harum, Kabupaten Kutai Kartanegara termasuk dalam kemampuan lahan kelas V-VI. Kawasan pasca tambang batubara di PT. Kitadin dan PT. Tanito Harum dapat diketahui kemampuan lahan dan kesesuaian lahannya dari hasil analisis terhadap tanah, air dan pengamatan vegetasi sebagai berikut: (a) Tanah. Sifat fisik tanah, yang diwakili kelas tekstur tanah adalah kelas lempung berdebu. Tekstur tanah kawasan pasca tambang batubara di PT. Kitadin dan PT. Tanito Harum termasuk dalam kelas yang paling peka terhadap erosi dengan tekstur di areal berumur sekitar 1 tahun, sekitar 5 tahun, dan sekitar 10 tahun pada umumnya lempung berdebu. Semakin tinggi kandungan debu dalam tanah, maka tanah makin peka terhadap erosi. Sifatsifat kimia tanah, yang diwakili ph, KTK, Rasio C/N, P 2 O 5 dan K 2 O tersedia, serta kejenuhan basa dan kejenuhan Al dominan mengindikasikan faktor negatif. Menurut Arsyad (2006) erosi menyebabkan hilangnya lapisan tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air. Pada akhirnya kerusakan terjadi pada tanah tempat erosi, berupa kemunduran sifat-sifat kimia dan fisika tanah seperti kehilangan unsur hara dan bahan organik, meningkatnya kepadatan dan ketahanan penetrasi tanah, menurunnya kapasitas infiltrasi tanah serta kemampuan tanah menahan air. (b) Air. Kualitas air umumnya tergolong kategori kelas B, C dan D, mengindikasikan kerusakan faktor fisik dan kimia air. Di daerah beriklim basah, erosi air lebih banyak terjadi dibandingkan dengan erosi angin. Erosi yang terjadi di kawasan pasca tambang batubara tergolong erosi yang dipercepat yaitu pengangkutan tanah dengan laju yang lebih cepat dari pembentukan tanah. Erosi terjadi karena lereng-lereng akibat penambangan batubara yang semakin panjang hampir diseluruh kawasan pasca tambang batubara, menyebabkan volume air yang mengalir semakin besar dan erosi semakin besar, sehingga kecepatan aliran permukaan meningkat. Pada akhirnya terjadi kemunduran sifat-sifat kimia dan fisika air di kawasan pasca tambang batubara.

177 157 (c) Vegetasi. Kekuatan untuk menghancurkan tanah akibat erosi tergantung kerapatan vegetasi dan tingginya vegetasi. Kerapatan vegetasi untuk kawasan raklamasi persentase penutupan lahan untuk melindungi tanah dari perusak butir-butir hujan dan aliran permukaan (run off) hanya berada dikisaran 25% - 50% (sementara untuk pencegahan erosi paling sedikit 70% tanah harus tertutup vegetasi) dan tingginya vegetasi kategori tiang sampai pohon. Untuk kawasan non-reklamasi masih ada tumbuh rumput-rumputan jenis semak belukar dengan kerapatan persentase penutupan lahan lebih kecil dari 25% dan tingginya vegetasi kategori semai. Uraian kondisi saat ini faktor fisik lingkungan meliputi tanah, air dan vegetasi, mengindikasikan bahwa tidak semua persyaratan penggunaan lahan dapat dipenuhi, bahkan ketiganya masuk kualitas atau karakteristik lahan yang tidak sesuai, sehingga lahan kawasan pasca tambang batubara di PT. Kitadin (Kecamatan Tenggarong Seberang) dan di PT. Tanito Harum (Kecamatan Sebulu), Kabupaten Kutai Kartanegara termasuk dalam kelas tidak sesuai untuk lahan pertanian. Kemampuan lahan dalam tingkat kelas di kawasan ini adalah berada diantara kelas V dan kelas VI dengan rincian bahwa tanah-tanah di lokasi pasca tambang batubara tidak sesuai untuk digarap bagi tanaman semusim. Jika digarap untuk usahatani tanaman semusim diperlukan biaya yang sangat tinggi. Kawasan pasca tambang batubara lebih sesuai untuk ditanami tanaman makanan ternak secara permanen (misalnya rumput Brachiaria) atau dihutankan (hutan tanaman industri seperti Agathis (Kustiawan dan Sutisna,1993). Perlakuan reklamasi lahan bekas tambang dilakukan sesuai dengan jenis tanaman yang akan ditanam. Pengembangan dengan jenis tanaman yang sesuai dengan agroklimat lokasi setempat dan diterima masyarakat. Pelaksanaan reklamasi yang dilakukan oleh perusahaan belum tepat dalam penerapannya. Kondisi ideal dengan melakukan reklamasi terjadi perbaikan sifat fisik, sifat kimia tanah, dan perbaikan vegetasi (revegetasi). Reklamasi diharapkan dapat mengurangi banjir dan erosi. Kondisi yang terjadi di lapangan tidak mendekati pada kondisi ideal dan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini diduga karena pelaksanaan reklamasi yang telah dilakukan tidak sesuai dengan aturan atau kaidah reklamasi. Ketidaksesuaian tersebut diantaranya diduga karena

178 158 tidak dilakukan pemupukan, tidak ada penambahan bahan organik, tidak diberikan kapur dan tidak dilakukan pendataran lahan. Pada umumnya perusahaan tambang batubara melakukan reklamasi hanya sebatas memperoleh pengembalian dana jaminan reklamasi, sesuai dengan SK Menteri ESDM Nomor 1453 K/29/MEM/2000 yang mewajibkan perusahaan pertambangan batubara harus melakukan penataan (reklamasi) pada lahan bekas tambang dan memberikan adanya jaminan dana reklamasi. Jaminan reklamasi ini harus ditempatkan sebelum melakukan kegiatan penambangan atau operasi produksi dan diajukan kepada Menteri /Gubernur /Bupati /Walikota atau pejabat yang ditunjuk. Pencairan dana jaminan reklamasi dilakukan beberapa tahap yaitu: 60% setelah penataan disposal atau penataan top soil dan 20% setelah melakukan revegetasi serta 20% setelah kegiatan reklamasi dinyatakan selesai oleh Menteri/Gubernur/Bupati/ Walikota. Kebijakan ini memberikan peluang bagi perusahaan tambang batubara untuk melakukan reklamasi tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku Kondisi Penerapan Kebijakan Saat Ini Penerapan kebijakan di Kabupaten Kutai Kartanegara pada saat pembukaan tambang harus mengikuti ketentuan peraturan dan perundangundangan antara lain (1) perusahaan harus mempunyai badan hukum, (2) membuat dokumen AMDAL, (3) memiliki ijin usaha pertambangan, (4) menempatkan dana jaminan reklamasi, dan (5) melakukan program pemberdayaan masyarakat. Kondisi saat ini banyak dokumen perusahaan pemegang kuasa pertambangan dinyatakan telah memenuhi persyaratan sesuai dengan aturan Pemerintah Pusat/Daerah Provinsi/ Kabupaten, dan dinyatakan berimplikasi sesuai. Pada saat operasional pertambangan batubara diwajibkan harus mengikuti dokumen AMDAL. Namun kondisi saat ini dalam menjalankan aktivitasnya umumnya perusahaan tidak mengikuti dokumen AMDAL tersebut. Implikasinya, terjadi kerusakan lingkungan, degradasi kesuburan tanah, pencemaran air, banjir, erosi, dan kerusakan jalan. Ketidaksesuaian tersebut antara

179 159 lain disebabkan oleh masih rendahnya pemahaman aparat daerah di instansi pengendali lingkungan terhadap implementasi dokumen AMDAL. Pengelolaan pemegang kuasa pertambangan pada saat pasca tambang batubara harus melakukan reklamasi sesuai kebijakan, yaitu: (1) pengusaha harus melakukan reklamasi sesuai dengan dokumen dan, (2) dana sesuai dengan jaminan reklamasi yang sudah ditetapkan. Kondisi saat ini banyak perusahaan yang tidak melakukan reklamasi atau melakukan reklamasi secara asalan demi memenuhi aturan pengambilan kembalinya dana jaminan reklamasi yang disimpan di bank tertentu oleh Pemerintah Kabupaten, yaitu sebesar 60% jika sudah melakukan penutupan tanah atas (disposal). Pada umumnya perusahaan yang termasuk kategori pertambangan rakyat hampir dipastikan tidak melakukan reklamasi. Hal ini mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan. Kondisi penerapan kebijakan saat ini dapat dilihat Tabel 39. Pelaksanaan reklamasi yang dilakukan saat ini tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku terutama pada: (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, (4) Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 1967, (5) Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1211.K/008/M.PE/ 1995 tentang Pencegahan dan Penangulangan Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan Usaha Pertambangan Umum, (6) Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 146/Kpts.II/1994 tentang Pedoman Reklamasi Bekas Tambang dalam Kawasan Hutan, (7) SK Menteri ESDM Nomor 1453 K/29/MEM/2000, (8) Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 2 Tahun 2001 tentang izin usaha Pertambangan Umum Daerah, (9) Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2008 Tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang, dan (10) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

180 Tabel 39. Kondisi Penerapan Kebijakan Saat Ini 139 Pengelolaan Kebijakan Saat ini Implikasi 1) Perusahaan Berbadan Hukum: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Bab III, Kondisi persyaratan pembukaan Sesuai Pasal 5 tentang Bentuk dan Organisasi Perusahaan Pertambangan. pertambangan telah sesuai 2) Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: a. AMDAL, UKL, UPL dan dengan aturan pemerintah. KLHS,b. KepMentamben Nomor 1211.K/008/M.PE/1995 Pasal 13 ayat 1 tentang Kewajiban Penanaman Kembali Daerah Bekas Penambangan, c. Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang, d. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 3) Izin Usaha Pertambangan/: a. Peraturan Pemerintah RI Nomor 32 Tahun 1969 Bab I Pasal 1 tentang Pertambangan Bahan Galian hanya dapat dilakukan apabila terlebih dahulu telah mendapatkan Kuasa Pertambangan, b. UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 4) Adanya jaminan dana reklamasi dan Penempatan dana jaminan reklamasi di Bank: a. KepMentamben Nomor 1211.K/008/M.PE/1995 Pasal 29 ayat 1 dan ayat 2 tentang adanya jaminan reklamasi dan penempatan jaminan rekalamsi, juga besarnya jaminan reklamasi, b. SK Menteri ESDM Nomor 1453 K/29/MEM/2000 tentang Pasal 29, c. KepMen Kehutanan Perkebunan Nomor 146/Kpts-II/1999 tentang pedoman reklamasi bekas tambang dalam kawasan hutan. 5) Program Pemberdayaan masyarakat: a. KepMen ESDM Nomor 1453 K/29/MEM/2000 BAB III Pasal 6 dan Pasal 7 tentang Pengembangan wilayah dan pengembangan masyarakat serta kemitrausahaan, b. UU Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 42 ayat 1, 2, dan 3. Pembukaan Pertambangan Operasional Pertambangan Pasca Tambang Batubara (Reklamasi) 1) Sesuai dokumen AMDAL, UKL dan UPL Banyaknya perusahaan dalam operasional pertambangan yang tidak sesuai dokumen AMDAL, UKL dan UPL 1) Sesuai dokumen AMDAL, UKL dan UPL 2) Dana sesuai dengan jaminan reklamasi yang sudah ditetapkan Banyak perusahaan yang tidak melakukan reklamasi, atau melakukan reklamasi namun belum sesuai ketentuan. Tidak melakukan reklamasi adalah pertambangan rakyat. Terjadi kerusakan lingkungan, degradasi kemampuan dan kesesuaian lahan, pencemaran air, banjir, erosi, dan kerusakan jalan. Terjadi Kerusakan Lingkungan terutama di wilayah pedalaman. 160

181 Indeks Keberlanjutan Kawasan Pasca Tambang Batubara Analisis keberlanjutan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara menghasilkan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara (Appraisal Post Coal Mining Sustainable = APCMS). Secara multidimensi diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 36,01 pada skala berkelanjutan seperti terlihat pada Gambar APCMS Ordination UP 40 Other Distingishing Features BAD GOOD DOWN -80 Post Coal Mining Sustainability Real Post Coal Mining References Anchors Gambar 17. Nilai Indeks Keberlanjutan Multi Dimensi Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara Sebesar Nilai APCMS yang diperoleh berdasarkan penilaian terhadap 21 atribut yang tercakup dalam tiga dimensi (ekologi, ekonomi dan sosial) termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan. Hal ini membuktikan kebenaran issu tentang kerusakan lingkungan dan dampak negatif aktifitas kegiatan eksploitasi batubara yang meninggalkan berbagai kerusakan. Kerusakan yang paling nampak secara fisik adalah degradasi lahan dan adanya kolong (kolam).

182 162 Berikut uraian 21 atribut dari dimensi ekologi, dimensi ekonomi dan, dimensi sosial yaitu: 1. Dimensi ekologi : persentase tumbuhan, pergantian (suksesi) pertumbuhan tanaman, banjir, ketersediaan air, erosi, kemampuan lahan, dan tingkat kesuburan tanah. 2. Dimensi ekonomi: sarana perekonomian, status penguasaan lahan, aktivitas perekonomian pasca tambang batubara, sarana dan prasarana transportasi, pendapatan masyarakat pasca tambang batubara, mata pencaharian pasca tambang batubara, dan kontribusi terhadap PDRB relatif terhadap desa di sekitar lokasi. 3. Dimensi sosial : migrasi penduduk, angka beban tanggungan keluarga, persepsi masyarakat terhadap pertambangan, rasio relatif jenis kelamin, epidemi penyakit kulit dan diare, tatanan adat dan kebiasaan masyarakat, serta konflik sosial. Hasil analisis menunjukkan bahwa kegiatan pertambangan batubara yang dilaksanakan di Kabupaten Kutai Kartanegara selama ini kurang memperhatikan aspek-aspek ekologi, ekonomi dan sosial secara terpadu. Untuk mengetahui dimensi pengelolaan yang masih lemah dilakukan analisis MDS pada setiap dimensi. Analisis dilakukan untuk penentuan indeks keberlanjutan dan penentuan atribut yang paling sensitif dalam pengelolaan kawasan pasca tambang batubara. Nilai indeks keberlanjutan untuk setiap dimensi berbeda-beda dan masing-masing memiliki prioritas dimensi apa yang lebih dominan. Perbedaan ini dalam konsep pembangunan berkelanjutan memiliki satu kesamaan prinsip yaitu bagaimana setiap dimensi berada pada kategori baik status keberlanjutannya. Gambar diagram layang-layang (kite diagram) nilai APCSM, Kabupaten Kutai Kartanegara menunjukkan bahwa tiga dimensi yang diteliti termasuk kategori kurang berkelanjutan. Diagram layang-layang nilai indeks keberlanjutan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara dapat dilihat pada Gambar 18.

183 163 Nilai Dimensi Ekologi, Ekonomi dan Sosial Ekologi Sosial Ekonomi Gambar 18. Diagram Layang-Layang (Kite Diagram) Nilai Indeks Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Hasil analisis parameter statistik nilai stress dan koefisien determinasi (R 2 ) menunjukkan bahwa metode MDS telah memiliki kualitas yang baik. Hal ini dapat dilihat dari nilai stress pada hasil multi dimensi dan masing-masing dimensi (ekologi, ekonomi dan sosial) yang memiliki nilai di bawah 25%. Demikian pula nilai koefisien determinasi (R 2 ) yang sudah mendekati 1. Hasil analisis keberlanjutan untuk beberapa parameter statistik dapat dilihat pada Tabel 40. Tabel 40. Hasil Analisis Keberlanjutan untuk Beberapa Parameter Statistik Nilai Statistik Multi Dimensi Ekologi Ekonomi Sosial Stress ,15 0,14 0,14 R ,95 0,94 0,94 Jumlah Iterasi Sumber: Hasil analisis (2009) Hasil analisis Monte Carlo pada penelitian ini tidak terdapat banyak kesalahan dalam mengubah nilai indeks total masing-masing dimensi. Hal ini juga mendukung baiknya kualitas hasil analisis yang telah dilakukan. Hasil analisis Monte Carlo untuk nilai indeks keberlanjutan multidimensi dan masing-masing dimensi secara rinci dapat dilihat pada Tabel 41.

184 164 Tabel 41. Hasil Analisis Monte Carlo untuk Nilai Indeks Keberlanjutan Mutidimensi dan Masing-Masing Dimensi pada Selang Kepercayaan 95% Status Indeks Keberlanjutan Hasil MDS Hasil Monte Carlo Perbedaan Mutidimensi 36,01 36, Dimensi Ekologi 39,40 39,79 0,39 Dimensi Ekonomi 34,96 34, Dimensi Sosial 39,09 39, Sumber: Hasil Analisis (2009) Analisis Monte Carlo sangat membantu dalam analisis APCMS untuk melihat pengaruh kesalahan pembuatan skor pada setiap atribut pada masingmasing dimensi yang disebabkan oleh: (1) kesalahan prosedur atau pemahaman atribut, (2) variasi pemberian skor karena perbedaan opini atau penilaian peneliti berbeda, (3) stabilitas proses analisis MDS, (4) kesalahan memasukkan data atau ada data yang hilang, dan (5) nilai stress yang terlalu tinggi. Analisis Monte Carlo dilakukan beberapa kali pengulangan dan hasilnya mengandung kesalahan yang tidak banyak mengubah nilai indeks total (multi dimensi) maupun nilai indeks masing-masing dimensi. Berdasarkan Tabel 41, dapat dilihat bahwa nilai status indeks keberlanjutan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara pada selang kepercayaan 95% memberikan hasil yang tidak banyak mengalami perbedaan dengan hasil analisis MDS. Kecilnya perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis metode MDS dengan analisis Monte Carlo mengindikasikan hal-hal sebagai berikut: (1) kesalahan dalam pembuatan skor setiap atribut relatif kecil; (2) variasi pemberian skor akibat perbedaan opini relatif kecil; (3) proses analisis yang dilakukan secara berulang-ulang stabil; dan (4) kesalahan memasukkan data dan data yang hilang dapat dihindari. Perbedaan hasil analisis yang relatif kecil sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 41 menunjukkan bahwa analisis menggunakan metode MDS untuk menentukan keberlanjutan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi, dan metode yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu alat evaluasi untuk menilai

185 165 secara sistemik, cepat, obyektif, dan terukur pengelolaan kawasan pasca tambang batubara di suatu wilayah. Nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi adalah sebesar 39,40 pada skala Jika dibandingkan dengan nilai APCMS yang bersifat multidimensi maka nilai indeks dimensi ekologi berada di bawah nilai APCMS multidimensi, termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan. Kondisi ini sesuai dengan kenyataan di lapangan yang menunjukkan bahwa pengambilan batubara di bawah permukaan tanah dilakukan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan, yang berakibat serius terhadap sumberdaya lahan, sehingga lahan tidak mempunyai nilai ekonomi lagi. Hasil analisis MDS yang dilakukan dapat digunakan untuk simulasi arahan kebijakan yang akan mendorong nilai ekonomi kawasan pasca tambang batubara tetap bernilai ekonomi tinggi selain menghasilkan batubara. Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan, Kabupaten Kutai Kartanegara dapat dilihat pada Gambar 19. APCMS Ordination UP Other Distingishing Features 20 0 BAD GOOD DOWN -60 Post Coal Mining Sustainability Real Post Coalmining References Anchors Gambar 19. Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekologi Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara Sebesar 39,40

186 166 Terdapat dua atribut yang paling sensitif yang mempengaruhi nilai keberlanjutan dimensi ekologi, yaitu erosi dan banjir. Atribut yang paling sensitif sebagai faktor pengungkit dimensi ekologi dapat dilihat pada Gambar 20. Leverage of Attributes Persentase tumbuhan Pergantian pertumbuhan tanaman Banjir Attribute Ketersediaan Air Erosi Kemampuan lahan Tingkat kesuburan tanah Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) Gambar 20. Nilai Masing-masing Atribut Dimensi Ekologi Erosi dan banjir menjadi atribut yang paling sensitif karena pergantian pertumbuhan tanaman relatif rendah (kerapatan vegetasi pada kisaran 25 50%) dari standar baku mutu yaitu >70% yang membuat tidak ada penghambat aliran permukaan air ketika curah hujan tinggi. Kerapatan vegetasi dan tinggi tanaman, mengakibatkan butiran hujan cepat menghancurkan tanah dan terjadi pemindahan tanah (terangkutnya tanah) mengikuti aliran permukaan sampai mengakibatkan banjir. Curah hujan rata-rata di lokasi penelitian adalah >100 mm/bulan, Oldeman mengelompokkan curah hujan seperti ini kedalam bulan basah dan berpeluang untuk menanam padi sawah. Kondisi basah berpeluang menjadi banjir karena terjadi aliran permukaan dan dalam kondisi yang demikian vegetasi yang

187 167 tidak memadai juga akan berpeluang mengakibatkan erosi karena aliran permukaan berbanding lurus dengan erosi. Penelitian ini tidak menganalisis banjir secara mendetail, namun menggunakan literatur penelitian yang dilakukan di Kecamatan Separi masih di Kabupaten Kutai Kartanegara sehingga rujukan ini dianggap masih relevan. Berdasarkan penelitian Hakim (2008) salah satu penduga banjir adalah berdasarkan distribusi curah hujan yang mana besarannya sebesar di atas 100 mm/bulan. Nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi ekonomi adalah sebesar 34,96 pada skala Jika dibandingkan dengan nilai dimensi ekologi nilai dimensi ekonomi berada di bawah nilai dimensi ekologi dan masih termasuk ke dalam kategori kurang berkelanjutan. Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan, Kabupaten Kutai Kartanegara dapat dilihat pada Gambar 21. APCMS Ordination Other Distingishing Features Post Coal Mining Sustainability Real Post Coal Mining References Anchors Gambar 21. Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara Sebesar 34,96 Atribut yang paling sensitif mempengaruhi nilai keberlanjutan dimensi ekonomi ada empat, yaitu: sarana perekonomian, aktivitas perekonomian pasca

188 168 tambang batubara, status penguasaan lahan masyarakat serta sarana dan prasarana transportasi. Nilai masing-masing atribut dimensi ekonomi dapat dilihat pada Gambar 22. Leverage of Attributes Kontribusi terhadap PDRB relatif terhadap desa sekitar lokasi Sarana dan prasarana transportasi Status Penguasaan Lahan Masyarakat Attribute Sarana Perekonomian Aktivitas perekonomian pasca tambang batubara Mata pencaharian pasca tambang batubara Pendapatan masyarakat pasca tambang Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) Gambar 22. Nilai Masing-masing Atribut Dimensi Ekonomi Sarana perekonomian berdasarkan gambaran umum pada Tabel 17 dan 18, tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan, namun pada hasil MDS memperlihatkan bahwa atribut ini memberikan nilai paling sensitif diantara atribut lainnya. Hal ini memberikan indikasi bahwa dalam dimensi ekonomi atribut sarana perekonomian harus menjadi prioritas dalam pengembangannya. Aktivitas perekonomian pasca tambang masyarakat mengalami penurunan dibandingkan dengan kondisi sebelum terdapatnya kegiatan tambang batubara. Hal ini dapat dijelaskan karena keberadaan tambang batubara diharapkan akan memberikan multiplier effect bagi aktivitas perekonomian wilayah setempat. Kebutuhan tenaga kerja di perusahaan pertambangan batubara memberikan implikasi bagi kebutuhan tenaga kerja, tempat tinggal dan kebutuhan sehari-hari. Berkurang atau berhentinya produksi perusahaan tambang batubara secara signifikan berdampak bagi aktivitas perekonomian.

189 169 Berdasarkan Tabel 15 terdahulu dapat digambarkan bahwa status penguasaan lahan sebagian besar masyarakat pasca tambang batubara masih tetap. Kondisi ini disebabkan karena belum dilakukan penataan kembali (land reform) dari lahan pasca tambang, sehingga masyarakat masih dapat memanfaatkan lahan tersebut. Sarana dan prasarana transportasi pasca tambang batubara semakin memburuk dengan keberadan tambang batubara. Ruas jalan dari dan menuju kawasan tambang batubara kondisinya rusak akibat kendaraan yang berkapasitas muatan besar. Nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi sosial adalah sebesar 39,09 pada skala Jika dibandingkan dengan nilai dimensi ekologi maupun nilai dimensi ekonomi, nilai indeks dimensi sosial berada nomor dua setelah dimensi ekologi namun masih termasuk kategori kurang berkelanjutan. Nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan, Kabupaten Kutai Kartanegara dapat dilihat pada Gambar 23. APCMS Ordination UP Other Distingishing Features 20 0 BAD GOOD DOWN -60 Post Coalmining Sustainability Real Post Coalmining References Anchors Gambar 23. Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Sosial Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara Sebesar 39, 09 Terdapat empat atribut yang paling sensitif mempengaruhi nilai keberlanjutan dimensi sosial, yaitu: migrasi penduduk, angka beban tanggungan

190 170 keluarga, persepsi masyarakat terhadap keberadaan pertambangan batubara, dan konflik sosial yang terjadi di kawasan pasca tambang batubara baik antar sesama warga atau dengan warga sekitar. Nilai masing-masing atribut dimensi sosial dapat dilihat pada Gambar 24. Leverage of Attributes Epidemi Penyakit Diare dan ISPA Persepsi Masyarakat Terhadap Pertambangan Tatanan Adat dan Kebiasaan Masyarakat Attribute Angka Beban Tanggungan Keluarga Rasio Relatif Jenis Kelamin Migrasi Penduduk Konflik sosial Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100) Gambar 24. Nilai Masing-masing Atribut Dimensi Sosial Migrasi penduduk yang tinggi seperti dapat dilihat pada Tabel 23 dan Tabel 24, terjadi di wilayah pasca tambang batubara memberikan dampak bagi kehidupan sosial di masyarakat. Migrasi ini terjadi akibat terhentinya kegiatan tambang batubara yang semula beroperasi di wilayah tersebut. Penduduk memilih untuk pindah untuk mencari pekerjaan ke luar lokasi, baik pada perusahaan tambang maupun memilih pada mata pencaharian lain. Kondisi lingkungan yang sudah rusak maupun sumberdaya yang tidak lagi menjanjikan untuk menopang perekonomian masyarakat menjadi faktor pendorong masyarakat untuk ke luar wilayah, sedangkan kondisi daerah lain yang lebih menarik aktivitas perekonomiannya akan menjadi faktor penarik masyakarat untuk melakukan migrasi. Angka beban tanggungan keluarga di wilayah pasca tambang batubara yang tergolong tinggi memberikan indikasi bahwa jumlah usia produktif yang

191 171 terdapat pada wilayah tersebut masih rendah, seperti dapat dilihat pada Tabel 21. Angka beban tanggungan keluarga yang tinggi dapat disebabkan dari tingginya tingkat migrasi penduduk yang termasuk di dalamnya usia produktif. Pada saat berakhirnya penambangan batubara, masyarakat setempat terutama buruh tambang akan mengalami tekanan ekonomi karena akan menjadi pengangguran sehingga angka beban tanggungan keluarga juga meningkat. Berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 96% masyarakat memberikan persepsi negatif terhadap keberadaan pasca tambang batubara dalam menyikapi beberapa kebijakan yang diberikan oleh pihak perusahaan sehingga berpengaruh terhadap keberlanjutan kegiatan tambang batubara. Masyarakat yang menganggap bahwa perusahaan tidak pro lingkungan pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya konflik sosial yang mengganggu ketentraman masyarakat. Analisis pada setiap dimensi (ekologi, ekonomi dan sosial) memperlihatkan bahwa dari ketiga dimensi yang dianalisis ternyata aspek sosial memiliki indeks keberlanjutan nomor dua paling tinggi, sedangkan yang memiliki indeks keberlanjutan terendah adalah dimensi ekonomi. Dari nilai indeks keberlanjutan setiap aspek hasil analisis MDS tidak satupun dimensi pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara yang termasuk kategori baik atau berkelanjutan. Berdasarkan hasil analisis keberlanjutan tiga dimensi pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, terdapat 10 atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara. Atribut-atribut tersebut merupakan faktor-faktor pengungkit dalam pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara pada saat ini. Atribut-atribut yang menjadi faktor pengungkit dalam pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara adalah: 1. Erosi 2. Banjir 3. Sarana perekonomian 4. Aktivitas perekonomian pasca tambang batubara 5. Status penguasaan lahan masyarakat 6. Sarana dan prasarana transportasi

192 Migrasi penduduk 8. Angka beban tanggungan keluarga 9. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan pertambangan batubara 10. Konflik sosial. Seluruh faktor pengungkit tersebut dianalisis untuk menentukan faktor kunci pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan. Penentuan faktor kunci dilakukan dengan melibatkan stakeholder dan pakar. Hasil FGD menunjukkan bahwa terdapat lima faktor pengungkit yang merupakan faktor kunci pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan, Kabupaten Kutai Kartanegara yaitu: (1) erosi, (2) banjir, (3) aktivitas perekonomian pasca tambang batubara, (4) sarana perekonomian, dan (5) sarana dan prasarana transportasi. Pengaruh dan Ketergantungan antar faktor pengungkit dalam pengelolaan kawasan pasca tambang batubara Sarana dan prasarana t ransportasi Banjir Erosi Aktivitas perekonomian pasca tambang batubara Sarana perekonomian Pengaruh Konflik Sosial St atus pengusahaan lahan masyarakat Persepsi M asyarakat M igrasi Penduduk 2.00 Angka beban tanggungan keluarga Ketergantungan Gambar 25. Pengaruh dan Ketergantungan Antar Faktor Pengungkit Faktor kunci pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan ini diambil dari kuadran kiri atas dan kanan atas pada diagram kartesius tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor dalam sistem. Alasan pengambilan kuadran kiri atas karena variabel yang terdapat di kuadran kiri atas merupakan variabel yang mempunyai pengaruh tinggi terhadap variabel lain, namun tidak tergantung terhadap variabel lainnya. Sementara itu, variabel yang terdapat pada

193 173 kuadran kanan atas mempunyai pengaruh yang tinggi terhadap variabel lain namun mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap variabel lainnya. Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit pengelolaan kawasan pasca tambang batubara dapat dilihat pada Gambar Permasalahan dan Kebutuhan Stakeholder dalam Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Permasalahan kebijakan pengelolaan kawasan tambang batubara adalah: (1) kebijakan yang ditetapkan bersifat nasional sehingga kurang sesuai dengan karakteristik spesifik wilayah pasca tambang batubara, karena kebijakan yang diterapkan topdown kurang memperhatikan aspirasi di wilayah yang menjadi sasaran pembangunan (tercermin dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 1967 tentang ketentuan pokok pertambangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1969 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 11 tahun 1967), dimana kewenangan menteri lebih dominan mengatur perizinan juga dalam pelaksanaan pertambangan); (2) tidak terjadi keterpaduan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara sejak tahap perencanaan (pengajuan ijin pertambangan batubara), pelaksanaan aturan yang ada (terutama pelaksanaan reklamasi) dan evaluasi dari setiap berakhirnya penambangan, terutama lemah di fungsi pengawasan pelaksanaan kebijakan (dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kepmentamben Nomor 1211.K/008/M.PE/1995 tentang pencegahan dan penanggulangan kerusakan dan pencemaran lingkungan pada kegiatan usaha pertambangan umum juga dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 146/Kpts. II/1994 tentang pedoman reklamasi bekas tambang dalam kawasan hutan); (3) tidak melibatkan masyarakat dan pengusaha dalam penyusunan aturan secara substansi akan beberapa faktor penting yang semestinya diketahui bersama (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Bab XI Pasal 70 tentang Peran Masyarakat) sehingga rentan terhadap kesimpangsiuran intepretasi dari kebijakan yang dikeluarkan. Mereka hanya dilibatkan secara prosedur sehingga

194 174 menimbulkan masalah pada saat implementasi (dalam setiap undang-undang yang terlibat memutuskan tertulis hanya dari unsur birokrasi yaitu propinsi, dan kabupaten). Hasil wawancara dengan stakeholder diketahui bahwa dalam pengelolaan kawasan pasca tambang batubara di masa mendatang faktor-faktor penting yang perlu diperhatikan pada perumusan kebijakan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara adalah: (1) isi dari kebijakan pasca tambang batubara yang dikeluarkan pemerintah tetap ditetapkan secara nasional namun melalui pemahaman kebutuhan spesifik wilayah yang diwakili suara wilayah masing-masing sehingga benar merupakan aspirasi stakeholder (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Bab IV Pasal 6, 7 dan b mengenai kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara) mengarah pastisipatif tetapi petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis masih ditunggu); (2) ada keterpaduan program pengelolaan kawasan pasca tambang batubara; (3) melibatkan stakeholder secara substansi tidak hanya sebatas prosedur yang mau tidak mau mesti dilaksanakan. Interpretasi yang sama akan menghasilkan persepsi yang sama tentang kebijakan, sehingga lebih memudahkan dalam implementasi. Penentuan faktor kunci pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara juga memperhatikan dan mengidentifikasi kebutuhan stakeholder terhadap kondisi masa depan yang diinginkan dengan mengetahui permasalahannya saat ini. Dari hasil wawancara, diketahui permasalahan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara adalah: 1. Ketersediaan air yang tidak stabil. 2. Kondisi lingkungan yang rawan banjir pada musim hujan dan kekeringan saat kemarau. 3. Status penguasaan lahan sering menimbulkan konflik. 4. PAD relatif sedikit sampai ke masyarakat di lokasi pasca tambang batubara. 5. Regulasi kontrak kerja dengan masyarakat sepihak ditentukan pengusaha (kontrak kerja pendek-pendek).

195 Penyerapan tenaga kerja rendah sehingga pasca tambang batubara pengangguran bertambah. 7. Upah buruh belum memadai dan mereka menjadi miskin pasca tambang batubara. 8. Hampir semua instalasi jaringan jalan menjadi rusak. 9. Laju pertambahan penduduk tidak stabil (migrasi penduduk), sering berujung konflik. 10. Akses masyarakat terhadap lembaga keuangan rendah. 11. Tata ruang kawasan reklamasi/ penataan ruang wilayah pengaturannya belum optimal. Selanjutnya dilakukan identifikasi kebutuhan masing-masing stakeholder di masa mendatang. Stakeholder dikelompokkan kedalam empat golongan yaitu: pemerintah pusat dan daerah, pengusaha/investor, masyarakat disekitar kawasan, dan LSM. Hasil identifikasi kebutuhan stakeholder dapat dilihat pada Tabel 42. Berdasarkan permasalahan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara dan kebutuhan stakeholder di masa mendatang maka melalui FGD dapat diformulasikan faktor-faktor pemenuhan kebutuhan stakeholder yang harus diperhatikan dalam pengelolaan kawasan pasca tambang batubara secara berkelanjutan. Terdapat 25 faktor yang diidentifikasi yaitu: (1) pertumbuhan ekonomi wilayah/kawasan, (2) peningkatan pendapatan masyarakat, (3) peningkatan pendapatan asli daerah, (4) pembangunan wilayah, (5) kemitraan, (6) keamanan yang kondusif, (7) peningkatan devisa negara, (8) pengelolaan sumberdaya alam secara optimal, (9) perluasan lapangan kerja, (10) pengembalian modal yang cepat, (11) kemudahan administratif, (12) jaminan kelancaran usaha, (13) keamanan investasi, (14) regulasi yang jelas, (15) keuntungan yang layak, (16) ketersediaan bahan baku, (17) iklim usaha, (18) pelayanan ekonomi dan sosial, (19) sarana dan prasarana kawasan, (20) lingkungan pemukiman yang nyaman, (21) tidak terjadi konflik, (22) akses terhadap lembaga keuangan, (23) transparansi informasi, (24) pemberdayaan masyarakat, dan (25) kesinambungan pengembangan usaha. Faktor-faktor tersebut kemudian dianalisis untuk menentukan faktor kunci pengelolaan kawasan pasca

196 176 tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara berdasarkan formulasi permasalahan dan kebutuhan stakeholder. Tabel 42. Kebutuhan Stakeholder dalam Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Berkelanjutan No. Pelaku Kebutuhan 1. Pemerintah Pusat dan Daerah 1. Pertumbuhan ekonomi wilayah/kawasan 2. Peningkatan pendapatan masyarakat 3. Peningkatan pendapatan asli daerah 4. Pembangunan wilayah 5. Kemitraan 6. Keamanan yang kondusif 7. Peningkatan devisa negara 8. Pengelolaan sumberdaya alam secara optimal 9. Perluasan lapangan kerja 2. Pengusaha/ Investor 1. Pengembalian modal yang cepat 2. Kemudahan administratif (birokrasi) 3. Kesinambungan pengembangan usaha 4. Keamanan investasi 5. Regulasi yang jelas 6. Keuntungan yang layak 7. Kemitraan 8. Ketersediaan bahan baku 9. Iklim usaha yang sehat 3. Masyarakatsekitar kawasan 1. Perluasan lapangan kerja 2. Peningkatan pendapatan 3. Pelayanan ekonomi dan sosial 4. Sarana dan prasarana kawasan pasca tambang batubara serta kemudahan aksesibilitas 5. Lingkungan pemukiman yang aman dan nyaman 6. Tidak terjadi konflik 7. Akses terhadap lembaga keuangan 4. LSM 1. Kelestarian lingkungan 2. Transparansi informasi 3. Pemberdayaan masyarakat Sumber : Hasil Analisis (2009) Hasil analisis prospektif menunjukkan bahwa terdapat 13 faktor kunci yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan, Kabupaten Kutai Kartanegara di masa mendatang yaitu: (1) perluasan lapangan kerja, (2) peningkatan pendapatan masyarakat, (3) pemberdayaan masyarakat, (4) pelayanan ekonomi dan sosial, (5) keamanan yang kondusif, (6) pertumbuhan ekonomi wilayah/kawasan, (7) pembangunan wilayah (8) iklim usaha yang sehat, (9) pengelolaan sumberdaya alam (SDA) secara optimal, (10) sarana dan prasarana kawasan pasca tambang batubara, (11)

197 177 kesinambungan pengembangan usaha, (12) peningkatan PAD, dan (13) kemudahan administrasi. Hasil analisis Pengaruh dan ketergantungan antar faktor pengungkit pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berdasarkan kebutuhan stakeholder dapat dilihat pada Gambar 26. Pengaruh dan Ketergantungan antar faktor kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan kawasan pasca tambang batubara Iklim usaha yg kondusif Sarana Prasarana, aksesibilitas Perluasan lap. kerja Pemberdayaan masyarakat Peningkatan pend. masy Pemb. Wilayah Pelayanan Ekonomi Soaial Keamanan yang kondusif Pert umbh. Ek.Wil/Kawasan Pengelolaan SDA yg optimal Kesinambungan pengembangan usaha 3.00 Pengaruh Peningkatan PAD Kemudahan administrasi Peningkatan devisa negara Transparansi Informasi Ketersediaan bahan baku Pengembalian modal yg cepat Keuntungan yg layak Pengembalian kredit lancar Jaminan kelancaran usaha Akses terhadap lembaga keuangan Tidak terjadi konflik Keamanan investasi Kemit raan Keamanan kegiatan usaha Regulasi yg jelas Kelestarian Liingkungan Liingkungan Pemukiman yg aman nyaman Peningkatan Kesejahteraan Masy Ketergantungan Gambar 26. Pengaruh dan Ketergantungan Antar Faktor Kebutuhan Stakeholder dalam Pengelolan Kawasan Pasca Tambang Batubara Berkelanjutan Penentuan skenario pengelolaan kawasan pasca tambang batubara didasarkan pada faktor kunci keberlanjutan pengelolaannya. Faktor kunci ini diperoleh dari hasil analisis MDS yang menggambarkan kondisi saat ini dan hasil analisis kebutuhan stakeholder yang merupakan gambaran kondisi yang diinginkan stakeholder pada kawasan pasca tambang batubara di masa mendatang. Faktor kunci pengembangan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara berdasarkan hasil analisis keberlanjutan kawasan

198 178 dan faktor kunci berdasarkan kebutuhan stakeholder digabungkan sebagai faktor kunci keberhasilan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara di masa depan, menghasilkan 18 faktor kunci. Faktor kunci keberlanjutan kawasan pasca tambang batubara ada lima dan faktor kunci berdasarkan kebutuhan stakeholder ada 13. Gabungan faktor kunci pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara dapat dilihat pada Tabel 43. Tabel 43. Gabungan Faktor Kunci Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara Faktor kunci Keberlanjutan Kawasan Kebutuhan Stakeholder Gabungan 1. Aktivitas perekonomian pasca tambang batubara 2. Erosi 3. Banjir 4. Sarana perekonomian 5. Sarana dan prasarana transportasi 1. Perluasan lapangan kerja 2. Peningkatan pendapatan masyarakat 3. Pemberdayaan masyarakat 4. Pelayanan ekonomi dan sosial 5. Keamanan yang kondusif 6. Pertumbuhan ekonomi wilayah/kawasan 7. Pembangunan wilayah 8. Iklim usaha yang sehat 9. Pengelolaan SDA secara optimal 10. Sarana dan prasarana kawasan pasca tambang 11. Kesinambungan pengembangan usaha 12. Peningkatan PAD 13. Kemudahan administrasi 1. Erosi 2. Banjir 3. Aktivitas perekonomian pasca tambang batubara 4. Sarana perekonomian 5. Sarana dan prasarana transportasi 6. Perluasan lapangan kerja 7. Peningkatan pendapatan 8. Pemberdayaan masyarakat 9. Pelayanan ekonomi dan sosial 10. Keamanan yang kondusif 11. Pertumbuhan ekonomi wilayah/kawasan 12. Pembangunan wilayah 13. Iklim usaha yang sehat 14. Pengelolaan SDA secara optimal 15. Sarana dan prasarana kawasan 16. Kesinambungan pengembangan usaha 17. Peningkatan PAD 18. Kemudahan administrasi Gabungan faktor kunci tersebut dianalisis untuk menentukan faktor yang paling penting/utama dalam pengelolaan kawasan pasca tambang batubara dimasa depan dengan menggunakan analisis prospektif melibatkan stakeholder dan pakar.

199 179 Faktor penting utama ini digunakan sebagai faktor kunci utama dalam menyusun skenario pengelolaan kawasan pasca tambang batubara. Hasil analisis diperoleh enam faktor kunci utama yaitu: (1) erosi, (2) banjir, (3) pengelolaan sumberdaya alam secara optimal, (4) peningkatan pendapatan masyarakat, (5) pemberdayaan masyarakat, dan (6) Aktivitas perekonomian pasca tambang batubara. Hasil analisis pengaruh dan ketergantungan antar faktor gabungan dalam pengelolaan kawasan pasca tambang batubara dapat dilihat pada Gambar 27. Pengaruh dan Ketergantungan antar faktor gabungan dalam pengelolaan kawasan pasca tambang batubara 4.00 Aktivitas perekonomian pasca tambang batubara 3.50 Pemberdayaan masyarakat 3.00 Banjir Erosi 2.50 Pengelolaan SDA secara optimal Pengaruh Peningkatan pendapatan masyarakat Sarana Perekonomian Pelayanan 2.00 Ekonomi Sosial Kemudahan Administrasi Pelrluasan lap.kerja Sarana dan prasarana Transportasi Iklim Usaha yg sehat Pembangunan wilayah Kesinambungan pengemb.usaha Keamanan yang kondusif Pertumbuhan Ekonomi Wilayah Pertumbuh Ekonomi Wilayah Sarana dan Prasarana pasca tambang Peningkatan PAD Ketergantungan Gambar 27. Pengaruh dan Ketergantungan Antar Faktor Gabungan dalam Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Berkelanjutan 5.4. Skenario Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Deskripsi kemungkinan perubahan kondisi (state) masing-masing faktor kunci utama dalam pengelolaan kawasan pasca tambang batubara di masa yang akan datang memiliki jumlah kemungkinan yang berbeda. Faktor erosi memiliki empat kemungkinan kondisi yang mungkin terjadi, yaitu: (1) meningkat karena kerusakan lingkungan terus menerus, (2) tetap seperti keadaan saat ini, dan (3) menurun karena ada pengendalian tetapi belum optimal, dan (4) menurun dan

200 180 optimal jika ada perbaikan kesuburan tanah. Prospektif faktor kunci pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara dapat dilihat pada Tabel 44. Tabel 44. Analisis Prospektif Faktor Kunci dalam Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara No Faktor Kunci Utama Keadaan (state) masa depan faktor 1 Erosi 1A Meningkat A B C D 1B Tetap 1C Menurun namun belum optimal 1D Menurun optimal sesuai kebutuhan 2 Banjir 2A Meningkat 2B Tetap 2C Menurun 3 Pengelolaan sumberdaya alam secara optimal 3A Menurun 3B Tetap 3C Meningkat tetapi belum optimal 3D Meningkat dan optimal 4 Peningkatan pendapatan masyarakat 4A Menurun 4B Tetap 4C Meningkat tetapi belum memadai 4D Meningkat dan memadai 5 Pemberdayaan masyarakat 5A Menurun 5B Tetap 5C Berkembang 6 Aktivitas perekonomian pasca tambang batubara 6A Menurun 6B Tetap 6C Meningkat tetapi belum memadai 6D Meningkat dan memadai Berdasarkan Tabel 44 disepakati tiga skenario strategi pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara yaitu: (1) konservatif-pesimistik, 2) moderat-optimistik dan 3) progresif-optimistik. Skenario-skenario tersebut dibuat berdasarkan hasil analisis sebelumnya (MDS, analisis kebutuhan dan analisis stakeholder) dengan rentang waktu simulasi dalam pengembangan disain adalah 25 tahun. Faktor-faktor kunci utama ada enam yaitu: (1) erosi, (2) banjir, (3) pengelolaan sumberdaya secara optimal, (4) peningkatan pendapatan masyarakat, (5) pemberdayaan masyarakat, dan (6) aktivitas perekonomian pasca tambang

201 181 batubara. Faktor-faktor inilah yang menjadi dasar dalam menyusun disain kebijakan pada akhirnya. Faktor erosi dan banjir, tingkat keberadaannya akan mempengaruhi keadaan atribut suksesi (pergantian) pertumbuhan tanaman, persentase tumbuhan, kemampuan lahan, keberadaan air dan tingkat kesuburan tanah. Faktor pengelolaan sumberdaya alam secara optimal, tingkat keberadaannya akan mempengaruhi keadaan atribut: erosi, banjir, suksesi (pergantian) pertumbuhan tanaman, persentase tumbuhan, kemampuan lahan, ketersediaan air dan tingkat kesuburan tanah. Faktor peningkatan pendapatan masyarakat akan mempengaruhi keadaan atribut: migrasi penduduk, dan angka beban tanggungan keluarga. Faktor pemberdayaan masyarakat akan mempengaruhi keadaan atribut: aktivitas pasca tambang batubara, status penguasaan lahan masyarakat, dan mata pencaharian pasca tambang batubara. Faktor aktivitas perekonomian pasca tambang batubara akan mempengaruhi keadaan atribut: perluasan lapangan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, pertumbuhan ekonomi wilayah/kawasan, migrasi penduduk, konflik sosial dan angka beban tanggungan keluarga. Tabel 45. Definisi Masing-masing Skenario Strategi No Skenario Definisi 1 Konservatif-pesimistik (1B), (2B), (3A), (4A), (5B), (6B) a. Erosi meningkat karena kerusakan lingkungan b. Banjir meningkat, reklamasi tidak optimal c. Pengelolaan SDA menurun d. Peningkatan pendapatan menurun e. Pemberdayaan masyarakat tetap 2 Moderat-optimistik (1C), (2C), (3C), (4C), (5C), (6C) 3 Progresif-optimistik (1D), (2D), (3D), (4D), (5D), (6D) f. Aktivitas perekonomian pasca tambang batubara a. Erosi menurun tetapi belum optimal b. Banjir menurun mencukupi belum optimal c. Pengelolaan SDA mencukupi tetapi belum optimal d. Peningkatan pendapatan meningkat tetapi belum optimal e. Pemberdayaan masyarakat meningkat tetapi belum memadai f. Aktivitas perekonomian pasca tambang batubara meningkat tetapi belum optimal a. Erosi menurun sesuai kebutuhan b. Banjir menurun sesuai kebutuhan c. Pengelolaan SDA meningkat sudah optimal d. Peningkatan pendapatan meningkat sudah optimal e. Pemberdayaan masyarakat meningkat dan memadai f. Aktivitas perekonomian pasca tambang batubara meningkat dan optimal

202 182 Hasil diskusi dan pengisian skor oleh stakeholder diperoleh skor bobot dan prioritas skenario. Ada tiga alternatif skenario pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara yang terpilih dengan perubahan pada setiap faktor. Definisi masing-masing skenario strategi dapat dilihat pada Tabel 45. Skor atribut-atribut tersebut secara umum meningkat 1 poin yakni dari skor 0 menjadi 1 dan dari skor 1 menjadi 2. Peningkatan skor terhadap atributatribut tersebut mendorong peningkatan status keberlanjutan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara secara keseluruhan. Peningkatan skor juga melalui FGD dengan berdasar pada skenario-skenario yang sudah ditetapkan terlebih dahulu, dan sudah dijelaskan terdahulu. Tabel 46. Perubahan Skor Atribut Faktor untuk Skenario Terpilih No Dimensi dan Atribut Skor Atribut Saat Ini Skenario Moderat optimistik EKOLOGI 1 Tingkat kesuburan tanah Kemampuan lahan Erosi Keberadaan air Banjir Pergantian pertumbuhan tanaman Persentase tumbuhan 2 2 EKONOMI 1 Pendapatan Masyarakat pasca 0 1 tambang batubara dibandingkan dengan pra tambang 2 Mata Pencaharian masyarakat pasca 1 2 tambang batubara 3 Aktivitas perekonomian pasca 0 1 tambang batubara 4 Sarana perekonomian Status penguasaan lahan masyarakat Sarana dan prasarana transportasi Kontribusi terhadap PDRB relatif untuk desa sekitar lokasi 1 2 SOSIAL 1 Konflik sosial Migrasi penduduk Rasio relatif jenis kelamin Angka beban tanggungan keluarga Tatanan adat dan kebiasaan 1 2 masyarakat 6 Persepsi masyarakat terhadap 0 1 keberadaan tambang batubara 7 Epidemi penyakit diare dan ISPA 2 3

203 183 Faktor-faktor kunci utama tersebut memerlukan rumusan lebih lanjut sehingga sampai pada strategi implementasi yang dapat dilaksanakan di kawasan pasca tambang batubara, terutama di Kabupaten Kutai Kartanegara. Secara rinci atribut yang diasumsikan mengalami perubahan kondisi untuk skenario terpilih dapat dilihat pada Tabel 46. Hasil simulasi menunjukkan bahwa nilai Indeks Keberlanjutan Kawasan Pasca Tambang Batubara sama dengan Appraisal Post Coal Mining Sustainable (APCMS) pada skenario moderat optimistik mencapai 62,51. Nilai indeks ini berada pada kategori cukup berkelanjutan. Berdasarkan hasil tersebut dirumuskan kebijakan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara berkelanjutan menurut skenario moderat-optimistik. Secara operasional, kebijakan ini dilakukan dengan memperbaiki penutupan lahan dengan vegetasi/tanaman agar erosi dan banjir menurun, pengelolaan sumberdaya alam optimal, peningkatan pendapatan masyarakat, pemberdayaan masyarakat, dan terdapat aktivitas perekonomian pasca tambang batubara. Hasil ordinasi tingkat keberlanjutan multidimensi dapat dilihat pada Gambar APCMS Ordination UP 40 Other Distingishing Features BAD - GOOD DOWN -60 Post Coal Mining Sustainability Real Post Coal Mining References Anchors Gambar 28. Nilai Indeks Keberlanjutan Multi Dimensi Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Berkelanjutan, Sebesar 62,51

204 184 Indeks keberlanjutan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara menunjukkan bahwa semua dimensi mencapai nilai cukup berkelanjutan. Dimensi ekologi, ekonomi dan sosial mengalami peningkatan yang signifikan dari kondisi saat ini. Dimensi yang paling tinggi mengalami peningkatan adalah dimensi sosial. Perbandingan status keberlanjutan antara kondisi saat ini dengan hasil skenario berkelanjutan dapat dilihat pada Tabel 47 dan Gambar 29. Tabel 47. Perbandingan Status Keberlanjutan Pengeloaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Dimensi Saat Ini Skenario Moderat optimistik Ekologi 39,40 56,82 Ekonomi 34,96 65,67 Sosial 39,09 73,33 Multidimensi 36,01 62,51 Perbandingan status keberlanjutan Saat ini dan Hasil Skenario Ekologi Sosial Ekonomi saat ini Skenario moderat optimistik Gambar 29. Diagram Layang-layang (Kite Diagram) Grafik Perbandingan Status Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Saat Ini dan Hasil Skenario Operasionalisasi skenario ini dirumuskan dengan melibatkan semua stakeholder terkait melalui FGD, dengan pembahasan mengenai faktor-faktor

205 185 yang harus diperhatikan, tantangan dan peluangnya serta strategi implementasi untuk keberhasilan upaya pengelolaan kawasan pasca tambang batubara Arahan Kebijakan dan Strategi Implementasi Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara Kebijakan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara dirumuskan dengan memperhatikan kondisi dan potensi kawasan saat ini, hasil analisis berkelanjutan, kebutuhan stakeholder dalam pengelolaan kawasan di masa mendatang, faktor kunci utama keberlanjutan, dan pendapat pakar. Sistem perumusan kebijakan dan strategi dilakukan secara partisipatif. Kondisi saat ini kawasan pasca tambang batubara, terutama kawasan yang tidak melakukan reklamasi menghasilkan lahan yang kemampuannya masuk kedalam kategori tidak sesuai. Hal ini beralasan karena dalam proses pembukaan tambang dengan sistem terbuka top soil yang kaya akan unsur hara hilang meski diupayakan ditimbun untuk digunakan kembali namun dalam prakteknya komposisi tanah sudah tidak beraturan akibat air hujan atau angin membawa lapisan tanah tersebut ketempat yang tidak semestinya, sehingga mempengaruhi kesuburan tanah (menurun). Kompensasi yang memadai dari pihak penambangan batubara menjadi solusi, terutama pemberian insentif lingkungan sesuai semangat Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 yang memuat instrumen ekonomi lingkungan hidup. Hal yang sangat mendasar juga peningkatan kembali produktifitas lahan pertanian masyarakat atau memberikan alternatif usaha untuk pemenuhan kebutuhan dan peningkatan kesejahteraannya. Pemerintah Daerah sebagai pelaku utama regulasi pengelolaan kawasan pasca tambang batubara sudah saatnya memberikan pilihan yang tepat bagi peningkatan kesejahteraan atau peningkatan pendapatan masyarakat sekitar kawasan pasca tambang. Kebijakan yang pro-terhadap rehabilitasi dan reklamasi lahan pasca tambang semuanya diperuntukkan untuk pelestarian lingkungan sekaligus peningkatan kesejahteraan masyarakat. Reklamasi ternyata mengurangi erosi dan banjir, mengurangi indikator negatif sifat fisik dan sifat kimia tanah.

206 186 Ada harapan perbaikan tekstur tanah dan beberapa sifat kimia tanah di kawasan reklamasi dalam jangka waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan kawasan yang non reklamasi. Rekayasa sosial yang dirancang dalam reklamasi lahan pasca tambang, perlu memperhatikan beberapa permasalahan ekonomi dan sosial lokal masyarakat. Kegiatan yang dilaksanakan diupayakan bersifat padat karya dengan keterlibatan masyarakat setempat seoptimal mungkin, sesuai kemampuan dan keterampilan masing-masing. Pada kasus tertentu, pola yang perlu dilaksanakan dalam melibatkan masyarakat setempat dalam penanaman tanaman reklamasi. Masyarakat yang menanam pada lahan pasca tambang batubara akan mendapatkan hasil tanam melalui pola bagi hasil. Pengaturan bagi hasil dibuat dalam perjanjian tertulis sehingga masyarakat memiliki rasa tanggung jawab terhadap lahan yang dikelolanya. Reklamasi dengan pemberdayaan masyarakat dengan sistem bagi hasil dapat diimplementasikan apabila ada keinginan semua stakeholder dalam melibatkan masyarakat pada setiap tahap kegiatan yang dilakukan secara transparan, partisipatif dan accountable. Sistem ini dapat terlaksana jika didukung oleh kebijakan pemerintah daerah yang dituangkan ke dalam Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati. Hasil analisis keberlanjutan multi dimensi menunjukkan bahwa pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara saat ini kurang berkelanjutan. Faktor-faktor pengungkit utama yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara saat ini adalah aktivitas perekonomian pasca tambang batubara, erosi, banjir, sarana perekonomian, serta sarana dan prasarana transportasi. Kebutuhan utama stakeholder di masa mendatang yang menjadi faktor kunci pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara adalah perluasan lapangan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, pemberdayaan masyarakat, keamanan yang kondusif, iklim usaha yang sehat, pengelolaan sumberaya alam secara optimal, pelayanan ekonomi dan sosial, sarana dan prasarana kawasan pasca tambang batubara, kemudahan

207 187 administrasi, pertumbuhan ekonomi wilayah/kawasan, peningkatan pendapatan asli daerah, pembangunan wilayah dan kesinambungan pengembangan usaha. Faktor pengungkit utama keberlanjutan kawasan pasca tambang batubara dan faktor kunci kebutuhan utama stakeholder merupakan faktor penting yang menentukan kebijakan. Pemilihan faktor kunci utama diantara faktor kunci akan memberikan efisiensi dan efektivitas implementasi kebijakan pengelolaan kawasan. Hasil analisis selanjutnya menunjukkan bahwa faktor kunci utama pengelolaan kawasan pasca tambang batubara adalah erosi, banjir, pengelolaan sumberdaya alam secara optimal, peningkatan pendapatan masyarakat, pemberdayaan masyarakat, dan aktivitas perekonomian pasca tambang batubara. Skenario pengembangan kawasan yang terpilih adalah skenario moderatoptimistik dengan ACMS 62,51. Berdasarkan hasil tersebut dirumuskan kebijakan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara berkelanjutan menurut skenario moderat-optimistik. Secara operasional, kebijakan ini dilakukan dengan memperbaiki kemampuan lahan agar erosi dan banjir menurun, pengelolaan sumberdaya alam secara optimal, pendapatan masyarakat meningkat, pemberdayaan masyarakat sesuai kebutuhan dan terdapat aktivitas perekonomian pasca tambang batubara. Dalam mewujudkan kondisi tersebut maka kebijakan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara dilakukan melalui tahapan pencapaian kondisi setiap faktor utama. Strategi implementasi dan langkah strategis pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan dirumuskan melalui FGD melibatkan stakeholder untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Berdasarkan hasil FGD dirumuskan strategi implementasi pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai berikut: 1. Erosi, Banjir dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Secara Optimal Aspek ekologi dinilai sebagai aspek yang memiliki prioritas pertama dalam pemanfaatan dan pengelolaan lahan pasca penambangan berbasis lingkungan dan berkelanjutan (Haryanti, 2009). Hasil ini menunjukkan bahwa perlunya penanganan dan pengelolaan sumberdaya alam secara optimal dan berkelanjutan. Langkah yang perlu dilakukan dalam pencegahan erosi, banjir dan pengelolaan sumberdaya alam secara optimal adalah dengan melakukan metode vegetatif,

208 188 pengawasan pelaksanaan reklamasi yang lebih konsisten dan pemberlakuan sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. a. Metode vegetatif Langkah-langkah strategis untuk menurunkan erosi dan banjir adalah dengan metode vegetatif. Salah satu prinsip dasar dari konservasi tanah dan air adalah menggunakan tanah sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahannya. Pergantian pertumbuhan tanaman secara alami adalah proses pertumbuhan vegetasi yang membutuhkan waktu yang lama. Intervensi melalui program revegetasi melalui pelaksanaan reklamasi secara tepat akan bisa meningkat persentase tumbuhnya/tingkat pertumbuhannya jika memperhatikan pentingnya faktor kemampuan lahan, keberadaan air, tingkat kesuburan tanah sehingga faktor erosi dan banjir secara perlahan bisa diatasi. Vegetasi penutup tanah yang dapat menghalangi air hujan agar tidak jatuh langsung di permukaan tanah dipilih tanaman penutup tanah rendah sampai sedang yaitu leguminosa atau rumput makanan ternak Brachiaria. Ketinggian pohon-pohon yang ditanami di kawasan pasca tambang batubara juga jangan terlalu tinggi. Pohon yang sesuai ditanam adalah Gmelina arborea pada umur 1 tahun 3 bulan masih 331 cm dengan diameter 70 mm dan Agathis karena sampai umur 2 tahun tingginya masih 158 cm dengan diameter 26 mm. Penelitian Kustiawan dan Sutisna (1993) di kawasan reklamasi PT. Multi Harapan Utama dan PT. Kitadin, di Kabupaten Kutai Kartanegara dalam mengevaluasi pertumbuhan tanaman, mengukur pertumbuhan tanaman di lahan bekas galian tambang batubara. Tujuh jenis tanaman di kawasan reklamasi PT. Multi Harapan Utama telah diukur pertumbuhannya. Jenis-jenis tersebut adalah Mangium (Acacia mangium), Sengon (Paraserianthes falcataria), Sungkai (Peronema canescens), Angsana (Pterocarpus indicus), Gmelina (Gmelina arborea) Mahoni (Swietenia sp) dan Agathis (Agathis sp). Jenis tanaman yang tertua ditanam adalah Mangium, Sengon, Sungkai dan Agathis. Pada umur 2 tahunan telah mencapai tinggi dan diameter berturut-turut : 726 cm dan 104 mm (Mangium), 425 cm dan 67 mm (Sengon), 253 cm dan 54 mm (Sungkai), 158 cm dan 26 mm (Agathis). Hasil pengukuran tinggi dan diameter pada ketiga jenis

209 189 lainnya adalah : Gmelina berumur 1 tahun 3 bulan : 331 cm dan 70 mm; Angsana berumur 1 tahun 10 bulan: 312 cm dan 30 mm; Mahoni berumur 5 bulan : 71 cm dan 13 mm. Di kawasan reklamasi PT. Kitadin, persentase tumbuh tanaman Sengon yang berumur 2½ bulan, hanya mencapai 69% dengan nilai rataan tinggi ± 60 cm dan diameter ± 6 mm. Dari sejumlah tanaman yang tumbuh tersebut, terdapat lebih dari 20% semai yang tumbuh abnormal. Makin rapat vegetasi yang ada makin efektif terjadinya pencegahan erosi dan banjir. Vegetasi juga bisa menghambat aliran permukaan dan memperbanyak air infiltrasi dan penyerapan air kedalam tanah diperkuat oleh penguapan air melalui vegetasi. Sudah saatnya kawasan pasca tambang batubara di Kabupaten Kutai Kartanegara dilakukan penanaman percobaan melalui pembuatan demplot tanaman yang bernilai ekonomis, bukan hanya sekedar pohon. Namun tentu saja dengan memetakan lahan sesuai dengan kelas kesesuaian lahan dengan mempertimbangkan jenis tanaman dalam takaran yang tidak sama agar biayanya lebih efisien. Rumput makanan ternak jenis Brachiaria merupakan pilihan yang berdampak multi guna mulai dari ternaknya sendiri sebagai penghasil daging, juga kotoran ternak sebagai pupuk kandang yang membantu meningkatkan kesuburan tanah (integrated farming). Di China tanaman nilam ternyata ditanaman di kawasan pasca tambang batubara, dan dari tanaman tersebut dihasilkan minyak atsiri, termasuk dihasilkan buah lengkeng yang masuk pasar Indonesia. b. Pengawasan pelaksanaan reklamasi yang lebih konsisten dan pemberlakuan sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku Dalam rangka memacu pelaksanaan reklamasi agar sebanding dengan lajunya aktifitas penambangan dan untuk mengoptimalkan upaya pemulihan lingkungan bekas tambang melalui program reklamasi sesuai dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, perlu dilakukan langkah-langkah konservasi seperti Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, konservasi tanah, konservasi air dan konservasi udara.

210 190 Pencegahan dan penanggulangan perusakan dan pencemaran lingkungan pada kegiatan usaha pertambangan umum yang dimuat dalam ke Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1211.K/008/M.PE/1995, sudah lebih rinci mengatur kewajiban pemilik kuasa pertambangan tentang reklamasi sebagai pelaksanaan dari Pasal 17 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu mengatur ketentuan mengenai pencegahan dan penanggulangan perusakan, dan pencemaran lingkungan pada kegiatan usaha pertambangan umum. Penambangan adalah kegiatan yang dilakukan baik secara manual maupun mekanis untuk mendapatkan bahan galian. Berhentinya kegiatan tambang pada seluruh atau sebagian wilayah usaha pertambangan eksploitasi/operasi produksi, baik karena berakhirnya izin usaha pertambangan dan atau karena dikembalikannya seluruh atau sebagian wilayah usaha pertambangan eksploitasi/operasi produksi tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan tidak sesuai dengan tata cara yang semestinya. Tanah pucuk (top soil) adalah lapisan tanah pada horizon teratas yang mengandung unsur hara perlu dijaga/diperbaiki cara perlindungannya. Implementasi rencana tahunan pengelolaan lingkungan yang telah dibuat oleh perusahaan tambang batubara, antara lain berisi : a. rencana peruntukan lahan; b. teknik dan metode pengelolaan lingkungan; c jadwal/pelaksanaan pekerjaan dan penyelesaian tiap tahap reklamasi; d. luas lahan yang akan direklamasi; e. jenis tanaman yang akan ditanam; f. perkiraan biaya perlu pengendalian yang ketat termasuk kewajiban menyampaikan rencana pemantauan lingkungan. Rencana pemantauan tersebut memuat antara lain a. Parameter lingkungan yang dipantau b. Lokasi/titik pantau c. Kekerapan pemantauan d. Perkiraan biaya pemantauan. Air aliran permukaan (run off) yang mengalir di permukaan daerah yang terbuka harus dialirkan melalui saluran yang berfungsi dengan baik ke kolam pengendapan sebelum dibuang ke perairan umum. Kolam pengendapan harus dibuat di lokasi yang stabil serta terpelihara dan berfungsi dengan baik. Air yang berasal dari kegiatan usaha pertambangan sebelum dialirkan ke perairan umum harus diolah terlebih dahulu sehingga memenuhi baku mutu lingkungan sesuai

211 191 peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lereng yang dibentuk dan atau terbentuk pada kegiatan usaha pertambangan harus mantap sesuai dengan kondisi lingkungan setempat dan reklamasi daerah bekas penambangan harus dilakukan secepatnya sesuai dengan rencana reklamasi dan persyaratan yang telah ditetapkan. Penanaman kembali daerah bekas penambangan dan daerah yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan perlu dilakukan sesuai dengan studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) yang bersangkutan. Hal yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan penambangan adalah a). pembukaan lahan harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan penambangan, b). tanah pucuk (top soil) hasil pengupasan harus segera dimanfaatkan untuk keperluan revegetasi, c). tanah penutup hasil pengupasan dan material buangan lainnya harus ditimbun dengan cara yang benar dan pada tempat yang aman, d). timbunan tanah penutup dan material buangan lainnya harus dipantau secara berkala, e). gangguan keseimbangan hidrologis harus seminimal mungkin, f). kegiatan penambangan dan penimbunan bahan galian, limbah serta penampungan air limpasan harus dilakukan sedemikian rupa sehingga air tanah terhindar dari pencemaran, g). kegiatan transportasi terutama yang melalui daerah pemukiman tidak boleh menimbulkan polusi udara. Tanah pucuk yang tidak dapat segera dimanfaatkan kembali untuk keperluan revegetasi, perlu diamankan dari perusakan dan erosi. Pelaksanaan kegiatan tambang permukaan dan tambang bawah tanah sedapat mungkin dilakukan dengan metode pengisian kembali (back filling). Penambangan dengan metode pengisian kembali harus memanfaatkan tanah penutup atau tailing sebagai bahan pengisian kembali. Pelaksanaan strategi tersebut berujung pada dana jaminan reklamasi. Pengusaha pertambangan dapat diwajibkan untuk menempatkan dana jaminan pelaksanaan reklamasi dan mendepositokan dana tersebut dalam rekening perusahaan yang bersangkutan di suatu bank yang ditunjuk oleh pemerintah yang besarnya, tata cara penempatan serta pengembaliannya, sudah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pertambangan. Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No.18

212 192 Tahun 2008 pada bab VI pasal 19, perusahaan wajib menyediakan Jaminan Reklamasi dan Jaminan Penutupan Tambang sesuai dengan perhitungan Rencana Biaya Reklamasi dan perhitungan Rencana Biaya Penutupan Tambang yang telah mendapat persetujuan Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing. Persetujuan atas rencana reklamasi dan rencana penutupan tambang oleh Gubernur dan Bupati/Walikota menunjukkan bahwa peran PEMDA menjadi penting dalam mengendalikan kualitas lingkungan didaerahnya. Rencana reklamasi dan rencana penutupan tambang tersebut merupakan bagian dari penyusunan dokumen AMDAL/UKL-UPL. Pentingnya reklamasi juga tertuang dalam dalam keputusan menteri kehutanan dan perkebunan Nomor: 146/Kpts-II/1999 tentang pedoman reklamasi bekas tambang dalam kawasan hutan tetap menimbang : (1) bahwa pada persiapan penggunaan kawasan hutan harus sesuai dengan fungsi dan peruntukannya; (2) bahwa kegiatan usaha pertambangan dan energi dalam kawasan hutan yang digunakan untuk menunjang pembangunan, telah mengakibatkan kerusakan lingkungan dan harus segera dilakukan reklamasi bekas tambang; (3) bahwa dalam pelaksanaan reklamasi bekas tambang diperlukan koordinasi dan sinkronisasi yang sebaik-baiknya di pusat maupun di daerah. Kewajiban perusahaan pertambangan dan energi tetang melaksanakan reklamasi lahan bekas tambang seharusnya menyentuh ruang lingkup reklamasi meliputi tahapan kegiatan inventarisasi lokasi reklamasi; penetapan lokasi reklamasi; perencanaan reklamasi dan dalam pelaksanaannya. Reklamasi meliputi: (1) penyiapan lahan, (2) pengaturan bentuk lahan (land scaping), (3) pengendalian erosi dan sedimentasi, (4) pengelolaan lapisan atas tanah (top soil), (5) revegetasi, dan (6) pemeliharaan. Pemerintah daerah memberi dukungan terhadap perbaikan pola reklamasi kawasan pasca tambang batubara. Kerjasama lintas sektoral untuk mentaati kerangka kerja model reklamasi yang telah disepakati dalam peraturan daerah mengenai kewajiban mendukung upaya reklamasi dan rehabilitasi lahan pasca tambang batubara. Regulasi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan terutama keberadaan pergantian pertumbuhan tanaman dan peningkatan kualitas hidup masyarakat sekitar tambang batubara

213 193 dengan memberikan pilihan atau diversifikasi tanaman pertanian bagi masyarakat yang masih memiliki lahan pertanian dan memberikan ruang lain bagi masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan lain selain menjadi buruh tambang batubara. Keadaan ini sesuai dengan pendapat Mercuri et al. (2004), bahwa kegiatan penambangan batubara berpotensi merusak lingkungan seperti penurunan produktivitas tanah dan terjadinya lahan kritis, terjadinya erosi dan sedimentasi, pencemaran air, penurunan muka air tanah, terganggunya flora dan fauna dan perubahan iklim mikro, sehingga diperlukan upaya pengendalian dan pemulihan lingkungan pada areal bekas tambang tersebut. Hal paling mendasar yang dapat diidentifikasi dalam kerusakan akibat eksplorasi batubara adalah sumber mata air yang berkurang dan pencemaran sumber air bersih hingga pergantian pertumbuhan tanaman sampai pada kategori tidak berkelanjutan. Kebijakan sudah memadai secara substansi, namun masih lemah pada tataran implementasi. Oleh karena itu diperlukan, adanya kebijakan lain yang mendorong terlaksananya penerapan penghargaan dan sanksi berupa memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang telah menerapkan reklamasi dengan baik dan memberikan disinsentif pajak untuk perusahaan yang tidak melaksanakan reklamasi dengan baik, termasuk insentif bagi masyarakat di sekitar kawasan pasca tambang batubara. Selain itu, diperlukan pelibatan masyarakat sebagai pengawas lingkungan sesuai dengan semangat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Bab XI Pasal 70 mengenai peran masyarakat, dan Pasal 42, 43 ayat 3 menyatakan bahwa insentif dan/atau disinsentif antara lain diterapkan dalam bentuk sistem penghargaan kinerja di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 2. Peningkatan Pendapatan Masyarakat, Pemberdayaan Masyarakat dan Aktivitas Perekonomian Pasca Tambang Batubara Sejak awal diatur dalam dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan dasar pertimbangannya adalah guna mempercepat terlaksananya pembangunan ekonomi Nasional dalam menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila maka perlulah dikerahkan semua dana dan daya untuk mengolah dan

214 194 membina segenap kekuatan ekonomi potensial dibidang pertambangan menjadi kekuatan ekonomi riil. Instrumen ekonomi lingkungan hidup dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup. Instrumen ini mencakup (1) perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi, (2) pendanaan lingkungan hidup, dan (3) insentif dan/atau disinsentif. Peningkatan pendapatan masyarakat diharapkan sudah menjadi bagian menyeluruh dari seluruh aturan yang ada dalam setiap kebijakan. Menambang bukan hanya semata menguntungkan satu pihak dari keseluruhan stakeholder, namun bisa menguntungkan semua pihak. Efek dari keberadaan pertambangan batubara sampai pada penutupan tambang batubara (pasca tambang batubara), semestinya tetap masih bisa dirasakan masyarakat dalam berbagai level kemampuan perekonomian, sehingga ketika ada pembukaan kawasan pasca tambang batubara masyarakat sekitar lokasi mempunyai motivasi yang baru dengan perubahan paradigma dari yang tidak menguntungkan menjadi mempunyai harapan akan menguntungkan. Dengan demikian keberadaan pengusaha pertambangan batubara dan pihak lain tidak berujung konflik. Langkah strategis untuk mewujudkan peningkatan pendapatan masyarakat, pemberdayaan masyarakat dan aktivitas perekonomian pasca tambang batubara adalah: a. Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara sesuai amanah undangundang wajib mengupayakan terciptanya kemitrausahaan antara pemegang KP (Kuasa Pertambangan), KK (Kontrak Karya) dan PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) dengan masyarakat setempat berdasarkan prinsip saling membutuhkan dan saling menguntungkan. Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara bekerjasama dengan pengusaha membangun perekonomian yang berbasis potensi yang ada di kawasan pasca tambang batubara, dengan pemberian modal kerja sejenis usaha mikro. Pemerintah daerah tidak hanya sebatas lingkup kewenangannya

215 195 menugaskan pemegang Kuasa Pertambangan, Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara sesuai dengan tahapan dan skala usahanya untuk membantu program pengembangan masyarakat dan pengembangan wilayah pada masyarakat setempat termasuk pertumbuhan ekonomi, diharapkan bekerjasama, sinergi dengan program Kabupaten di wilayah tersebut. Hasil penelitian Yusuf (2008) menyatakan bahwa aktor PEMDA sebagai prioritas utama yang berpengaruh dalam keberlanjutan kehidupan masyarakat akibat pertambangan yang merupakan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable), diikuti aktor perusahaan sebagai prioritas kedua. b. Kebijakan program pelatihan usaha dan pengembangan usaha masyarakat sehingga dapat dicegah timbulnya masalah sosial pasca tambang batubara seperti: defisit lahan pertanian, hilangnya kesempatan kerja dan berusaha, juga kesenjangan tingkat pendapatan. Membangun sarana dan prasarana perekonomian melalui pembangunan jalan yang hampir di setiap lokasi pasca tambang menjadi rusak sampai rusak berat. Sebelum pertambangan batubara jalanan baik di sekitar tambang batubara yang juga dekat dengan pemukiman penduduk. Pada saat pertambangan dimulai ada banyak ruas jalan yang rusak, pasca tambang batubara jalan menjadi rusak parah. Ruas jalan yang rusak akan mempengaruhi efek terhadap perekonomian masyarakat dan wilayah karena tidak berjalan sebagaimana mestinya. c. Pemberdayaan masyarakat dengan membina/mendidik masyarakat di sekitar kawasan pasca tambang batubara hingga mampu berperan sebagai pengawas lingkungan sehingga implementasi pelaksanaan reklamasi taat kaidah dapat dilaksanakan. Pemberdayaan masyarakat dilakukan bukan hanya dalam bentuk pengelolaan lingkungan dalam bentuk reklamasi semata, tetapi dengan pemberian insentif kepada masyarakat di sekitar kawasan pasca tambang jika mereka bersedia melakukan penanaman kembali tanah kawasan di sekitar lokasi serta ikut ambil bagian. Pemberdayaan masyarakat juga efektif dengan melakukan pembinaan usaha mikro dan kecil dengan memberikan modal usaha. Pemberdayaan masyarakat sebaiknya dilakukan pada awal sejak saat penambangan batubara dimulai. Selama ini pemberdayaan masyarakat selalu

216 196 dianggap sebagai sisa hasil keuntungan perusahaan yang dibagikan kepada masyarakat dalam bentuk-bentuk tertentu sebagai wujud coorporate social responsibility Disain Kebijakan Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Analisis kebijakan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara dilakukan dengan pendekatan integrasi analisis restropektif dengan analisis prospektif. Analisis kebijakan restropektif dilakukan terhadap hasil pelaksanaan reklamasi dan pemenuhan aspek ekonomi dan sosial di masa lalu yakni dilakukan sepihak tanpa melalui pelibatan publik, dan dalam pelaksanaannya kurang pengawasan dari Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Analisis prospektif dilakukan untuk memberikan masukan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan saat ini tentang kebijakan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara. Penilaian keberlanjutan dari sistem pengelolaan kawasan saat ini yang merupakan hasil pelaksanaan kebijakan di masa lalu, dilakukan dengan cara menghitung Indeks Keberlanjutan Kawasan Pasca Tambang Batubara melalui Appraisal Post Coal Mining Sustainable (APCMS) dengan menggunakan metode multidimensional scalling (MDS). Indikator yang digunakan mencakup tiga dimensi yaitu ekologi, ekonomi dan sosial. Ketiga dimensi tersebut secara simultan akan mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara. Masing-masing dimensi tersebut memiliki atribut dan kriteria tersendiri yang mencerminkan pengaruh terhadap keberlanjutan masing-masing dimensi. Atribut serta kriteria yang digunakan ditentukan berdasarkan hasil kajian pustaka dan pendapat pakar dan pengisian kondisi kawasan pada setiap atribut dilakukan oleh stakeholder. Hasil analisis MDS adalah status keberlanjutan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara untuk setiap dimensi dan faktor-faktor pengungkit keberlanjutan pengelolaan kawasan. Faktor-faktor pengungkit ini kemudian dianalisis untuk menentukan faktor kunci keberlanjutan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara menggunakan metode analisis prospektif. Faktor kunci

217 197 hasil analisis prospektif ini akan memberikan pengaruh yang tinggi terhadap pencapaian tujuan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara. Dalam kerangka pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, kebutuhan yang didasarkan atas preferensi stakeholder dalam pengelolaan kawasan di masa mendatang perlu diperhatikan dalam penyusunan kebijakan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara. Analisis prospektif menggunakan metode yang merumuskan faktor-faktor pemenuhan kebutuhan stakeholder serta faktor dominan atau faktor kunci yang akan memberikan pengaruh besar terhadap pencapaian tujuan sistem pengelolaan kawasan pasca tambang batubara. Penggabungan antara faktor kunci keberlanjutan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara dengan faktor kunci pemenuhan kebutuhan stakeholder merupakan gambaran faktor kunci pengelolaan kawasan berdasarkan kondisi masa lalu dan kebutuhan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara di masa depan. Untuk menemukan faktor kunci utama pengelolaan kawasan pasca tambang batubara dalam rangka menentukan skenario pengelolaan kawasan dilakukan dengan analisis prospektif. Skenario ini merupakan gambaran alternatif kondisi masa depan dari setiap faktor kunci utama. Penyusunan skenario pengelolaan kawasan pasca tambang batubara melibatkan semua pihak terutama stakeholder utama dan pakar. Selanjutnya melakukan pembobotan terhadap setiap skenario sehingga diperoleh urutan prioritas skenario. Skenario optimal yang dihasilkan merupakan gambaran masa depan yang akan diwujudkan oleh sistem pengelolaan kawasan pasca tambang batubara. skenario terpilih kemudian disimulasikan untuk menilai prospek keberlanjutan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara di masa mendatang dengan kembali menggunakan analisis MDS. Hasil simulasi ini memberikan informasi bahwa faktor kunci yang diperoleh dapat memberikan kondisi keberlanjutan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara yang lebih baik. Intervensi yang dapat memberikan kinerja paling optimal dalam mencapai tujuan sistem merupakan rekomendasi arahan kebijakan yang dapat disarankan untuk diadopsi oleh semua pihak yang berkepentingan dalam sistem untuk diimplementasikan dengan memperhatikan kemampuan sumberdaya yang

218 198 dimiliki oleh sistem tersebut. Hasil ini merupakan masukan untuk pelaksanaan kebijakan yang saat ini telah ditetapkan yakni Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara. Secara skematis, disain kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan pasca tambang batubara dapat dilihat pada Gambar 30. Kebijakan Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Status Kebelanjutan Ekologi Ekonomi Sosial Prospektif Faktor Pengungkit Keberlanjutan Prospektif Faktor Pemenuhan Kebutuhan Stakeholder Faktor Kunci Utama 1. Erosi 2. Banjir 3. Pengelolaan SDA secara optimal 4. Peningkatan pendapatan masyarakat 5. Pemberdayaan masyarakat 6. Aktifitas perekonomian pasca tambang batubara Skenario Pengelolaan Saat Ini Moderat- optimistik Arahan Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Gambar 30. Disain Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara

219 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa disain kebijakan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara dapat dilakukan melalui: identifikasi faktor sensitif yang mendukung pengelolaan kawasan, menentukan status keberlanjutan kawasan, menentukan kebutuhan stakeholder, menetapkan faktor kunci utama pengelolaan kawasan, merumuskan arahan kebijakan dan menyusun strategi implementasinya dengan melibatkan stakeholder. Kesimpulan penelitian secara rinci adalah sebagai berikut: 1) Di kawasan pasca tambang batubara, kualitas faktor fisik lingkungan meliputi tanah, air, dan vegetasi mengalami penurunan, baik di kawasan reklamasi maupun non reklamasi. Tanah mengalami degradasi baik dari segi sifat fisik maupun sifat kimia. Air bersifat asam, dan mengalami penurunan kualitas sampai menuju kualitas kelas empat. Vegetasi untuk kawasan reklamasi mempunyai persentase penutupan lahan kategori sedang (25% - 50%) berupa tingkat semai, tingkat pancang, tingkat tiang, dan pohon yang sengaja ditanam sedangkan untuk kawasan non reklamasi persentase penutupan lahan tergolong kategori rendah (0% - 25%) berupa semak belukar. 2) Pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara yang dilakukan saat ini kurang berkelanjutan. Dari tiga dimensi berkelanjutan yang dianalisis, dimensi ekologi, dimensi ekonomi dan dimensi sosial semuanya kurang berkelanjutan. Faktor-faktor sensitif sebagai pengungkit yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara di Kabupaten Kutai Kartanegara adalah: a. Dimensi ekologi yaitu erosi, dan banjir b. Dimensi ekonomi yaitu sarana perekonomian, aktivitas perekonomian pasca tambang batubara, status penguasaan lahan masyarakat, serta sarana dan prasarana transportasi c. Dimensi sosial yaitu migrasi penduduk, angka beban tanggungan keluarga, persepsi masyarakat terhadap pertambangan batubara dan konflik sosial.

220 200 3) Faktor kunci utama pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara di masa mendatang adalah erosi, banjir, pengelolaan sumberdaya alam secara optimal, peningkatan pendapatan masyarakat, pemberdayaan masyarakat dan aktivitas perekonomian pasca tambang batubara. Skenario pengelolaan kawasan pasca tambang batubara yang optimal adalah skenario moderat-optimistik dengan kondisi masa depan meningkatkan kualitas lahan pasca tambang batubara, perluasan lapangan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, dan pemberdayaan masyarakat. Skenario ini dapat meningkatkan indeks keberlanjutan hingga tergolong kategori cukup berkelanjutan. 4) Kebijakan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara berkelanjutan adalah mewujudkan keadaan menurut skenario moderat-optimistik. Secara operasional kebijakan ini dilakukan dengan perbaikan kesuburan tanah dengan metode vegetatif, pengelolaan sumberdaya alam secara optimal, peningkatan pendapatan masyarakat, pemberdayaan masyarakat dan aktivitas perekonomian pasca tambang batubara. Strategi implementasi kebijakan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara adalah pengelolaan kawasan pasca tambang batubara secara optimal dan terpadu dengan langkah-langkah strategis melalui: a. Perbaikan kesuburan tanah dengan meningkatkan kualitas lahan pasca tambang batubara melalui pelaksanaan reklamasi secara tepat sesuai dengan rencana reklamasi dan persyaratan yang telah ditetapkan dengan pengendalian/pengawasan. b. Pengembangan kemitraan antara pihak pemerintah dengan pengusaha dalam pelaksanaan program perluasan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat sehingga pertumbuhan ekonomi wilayah/kawasan juga meningkat melalui program pelatihan kegiatan usaha sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat.

221 Saran Berdasarkan hasil analisis, pembahasan, dan kesimpulan penelitian ada dua saran yang dapat disampaikan yaitu: 1. Dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara, Kabupaten Kutai Kartanegara di masa mendatang, disarankan hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan untuk restrukturisasi program dan penyusunan skala prioritas pembangunan di Kabupaten Kutai Kartanegara. 2. Disain kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan pasca tambang batubara berkelanjutan ini disarankan dapat digunakan di kawasan lainnya dengan modifikasi atribut-atribut dan faktor-faktor yang sesuai dengan karakteristik kawasan berbasis kebutuhan stakeholder.

222 DAFTAR PUSTAKA Alder, J., Pitcher, T.J., Preikshot, D., Kaschener, K., and Feriss, B How Good is Good? A Rapid Appraisal Technique for Evaluation of the Sustainability Status of Fisheries of the North Atlantic. In Pauly and Pither (Eds). Methods for Evaluation the Impact of Fisheries on the Allantic Ecosystem. Fisheries Center Research Reports. 8 (2): Alikodra, H.S Konservasi Keanekaragaman Hayati dalam Pembangunan Nasional Berkelanjutan. Makalah disampaikan pada Sosialisasi Inmendagri No. 35 tahun 1997 tentang Pembinaan, Pengelolaan Taman Flora Fauna di Daerah, Taman Safari, Cisarua-Bogor, Juli [ANDAL PT. Kitadin Kecamatan Tenggarong Seberang] Analisis Dampak Lingkungan PT. Kitadin Kecamatan Tenggarong Seberang Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Kegiatan Pertambangan di Wilayah PT. Kitadin Kecamatan Tenggarong Seberang Kabupaten Kutai Kartanegara. Jakarta. [ANDAL PT. Tanito Harum Kecamatan Sebulu] Analisis Dampak Lingkungan PT. Tanito Harum Kecamatan Sebulu Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Penambangan Batubara Areal Sebulu I PT. Tanito Harum Kecamatan Sebulu Kabupaten Kutai Kartanegara. Jakarta. Anonim Research Program for An Environmentally-Friendly Coal Utilization System in Indonesia. New Energy and Industrial Technology Development Organization. Center for Coal Utilization, Japan Laporan hasil pengelolaan dan pemantauan lingkungan tambang batubara Paringin, Tutupan dan pelabuhan khusus batubara di Kelanis (April-Juni 2002). PT. Adaro Indonesia, Dahai. Arsyad, S Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. [BPS Kabupaten Kutai Kartanegara] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Kartanegara Kabupaten Kutai Kartanegara dalam Angka. Kutai Kartanegara. [BPS Kabupaten Kutai Kartanegara] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Kartanegara Kabupaten Kutai Kartanegara dalam Angka. Kutai Kartanegara. [BPS Kabupaten Kutai Kartanegara] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Kartanegara Kabupaten Kutai Kartanegara dalam Angka. Kutai Kartanegara.

223 203 [BPS Kabupaten Kutai Kartanegara] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Kartanegara Kecamatan Sebulu dalam Angka. Kutai Kartanegara. [BPS Kabupaten Kutai Kartanegara] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Kartanegara Kecamatan Tenggarong Seberang dalam Angka. Kutai Kartanegara. [BPS Kabupaten Kutai Kartanegara] Badan Pusat Statistik Kabupaten Kutai Kartanegara Kabupaten Kutai Kartanegara dalam Angka. Kutai Kartanegara. [BPS dan BAPPEDA Kabupaten Kutai Kartanegara] Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara Kabupaten Kutai Kartanegara dalam Angka. Kutai Kartanegara. Balai Pustaka Kamus Umum Bahasa Indonesia. PT. Balai Pustaka. Jakarta. Bennis, W. dan M Mische Organisasi Abad 21. Terjemahan. PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. Brata, K.R Teknik mulsa vertical pada lubang resapan di pemukiman. Leaflet 6. Laboratorium Fisika, Konservasi Tanah dan Air. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Cairns Jr., J Ecological restoration: replening our national dan global ecological capital. In Nature Conservation 3. Reconstruction and Fragmented Ecosystem, Global and Regional Perspective. New South Wales. pp , Setting ecological goal for technical feasibility and scientific Validity. Ecol.Eng. 15: Carswell, B Apakah Rekayasa Ulang Itu? Mitos dan Kenyataan (Dalam Organisasi Abad 21). Dalam Bennis, W. dan M.Mische (Eds). PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. Chaulya Assessment and management of air quality for an opencast coal mining area. Elsevier. Central Mining Research Institute, Barwa Road, Dhanbad, Jharkhand India. Journal of Environmental Management 70: Cothern, C.R Handbook For Environmental Risk Decision Making. Lewis Publishers, London. Dinas Pertambangan Provinsi Kalimantan Timur, Hasil inventarisir cadangan batubara di Indonesia. Dinas Pertambangan Provinsi Kalimantan Timur.

224 204 Djajadiningrat, S.T., Untuk Generasi Masa Depan: Pemikiran, Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Aksara Buana, Jakarta. Dunn, W.N Public Policy An Introduction. Second Edition. University of Pittsburgh, Prentice Hall Inc, New Jersey. Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Kartanegara-Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor-LSM Kilang, Penyusunan Design Engineering Hutan Wisata Bukit Suharto. Tenggarong. Djalaluddin S., Pengaruh pemupukan N, P dan K terhadap produksi beberapa rumput pakan terrnak pada tanah gusuran tambang batubara ombilin. Tesis. Pendidikan Pascasarjana KPK IPB-Unand. Universitas Andalas. Padang. Eriyatno Analisa sistem industri pangan. PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press, Bogor. Fauzi, A., dan Anna, S Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan. Aplikasi Pendekatan Rapfish (studi kasus: Perairan Pesisir DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan. Fakultas Perikanan IPB, Bogor. Foth, H. D Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Penerjemah Purbayanti, UGM Press. Terjemahan dari Fundamentals of Soil Science. Gautama, R.S., and K. Muhidin Problem faced by dumping of overburden in air laya coal mine. In Wibowo,A.P.,S. Notosunarto,R.S. Gautama, and A. Sudarsono (Eds.). Proceedings of International Conference on Mining and Environment. Bandung, Indonesia, July 2-4, Department of Mining Engineering, ITB.Key Centre For Mines, Australia. Godet, M Scenarios and Strategy. A Toolbox for Scenario Planning Librairie des Arts et Matiers, Paris, France. Haigh, M.J Soil stewardship on reclaimed coal lands. Land Calcium- Saturated Soil. Soil.Sci.Soc.Am.J.56: Hardjomidjojo, H Bahan kuliah Analisis Prospektif. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Hardjowigeno, S Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Hakim, M. L Model Pendugaan Banjir dan Kekeringan (Studi Kasus di DAS Separi, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur). Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

225 205 Hartisari Sistem Dinamik; Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan Lingkungan. Seameo Biotrop. IPB. Bogor Haryanti, W. D Perencanaan Pengelolaan Potensi Sumberdaya Alam dan Manusia yang Terkena Dampak Penggunaan Lahan untuk Penambangan Kapur PT.Indocement Tunggal Perkasa Tbk Unit Citeureup Kabupaten Bogor. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hobbs, R.J., Restoration of Disturbed Ecosystem. In L.Walker (Eds.) Ecosystems of Disturbed Ground. Ecosystem of the World. Elsevier. Amsterdam. pp Holec, M, Frouz J, and Pokorny R The influence of different vegetation patches on the spatial distribution of nests and the epigeic activity of ants (Lasius niger) on a spoil dump after brown coal mining (Czech Republic). Elsevier. Institute of Soil Biology, Academy of Sciences of the. Czech Republic. European Journal of Soil Biology 42: Hons F.M., and L.R. Hossner, Soil nitrogen relationships in spoil material generated by the surface mining of lignite coal. Texas A & M University College Station Texas. Hornby, A.S Oxford Advanced Dictionary of Current English.Oxford University Press, London. Iswari, D Indeks Keberlanjutan Pengembangan Kawasan Sentra Produksi Jeruk dengan Rap-CITRUS Studi Kasus di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Johnson, M.S. and P.D. Putwain, Restoration of native biotic communities on land disturbed by metalliferous mining. Min.Env. 3: Johnson, M. and P. Tunner, Mine Site Rehabilitation and Ecosystem Reconstruction for Biodiversity Gain. University Botanic Gardens. Ness- Wirral, England. Jones, G.E., B. Davies., and S. Hussain Ecological economics. Blackwell Science Ltd., London. Keputusan Menteri Kehutanan No Tentang pedoman reklamasi bekas tambang. Kavanagh, P Rapid Appraisal of Fisheries (Rapfish) Project. Rapfish Software Description (for Microsoft Exel). University of British Columbia, Fisheries Centre, Vancouver.

226 206 Kusnoto dan Kusumodirdjo, Dampak Penambangan dan Reklamasi. Ditjen Pertambangan Umum. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral, Bandung. Kustiawan, W. dan M. Sutisna, Rehabilitasi lahan bekas penambangan batubara di Kalimantan Timur : Pengkajian Tanah dan Ujicoba Jenis Vegetasi Untuk Rehabilitasi. Laporan Penelitian. PPLH Lemlit Unmul, Samarinda. MacKinnon, J., K. MacKinnon, G. Child, and J. Thorsell Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Marimin,2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta Mercuri, A.M., Dugging, J.A., and Grant, C.D The use of saline mine water and municipal wastes to establish plantations on rehabilitated opencut coal mines, Upper Hunter Valley NSW, Australia. Elsevier. Forest Ecology and Management 204: Munasinghe, M Environmental Economic and Sustainable Development. The International Bank for Reconstruction and Development/THE WORLD BANK. Washington, D.C , U.S.A. North, D.C Institutions, Institutional Change And Economic Performance. Cambridge University Press. New York. Padlie, Pengkajian sifat-sifat tanah pada areal bekas penambangan batubara terbuka 1, 4 dan 6 tahun, di PT. Multi Harapan Utama, Bukit Harapan, Kabupaten Kutai. Skripsi. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman, Samarinda. Parson, W Public Policy: An Introduction To The Theory And Practice of Policy Analysis. Edward Elgar Publishing Co., London. Purnomo, J., Sukristyonubowo dan R. Muchtar, Pengaruh pupuk NPK terhadap sifat kimia tanah timbunan bekas tambang batubara. Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bidang Kimia dan Biologi Tanah. Pusat Penelitian Tanah dan, Cisarua 4-6 Maret Bogor. Pusat Pelayanan dan Pengelolaan Informasi Sumberdaya Alam, Peta Eksploitasi di Wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara. P3ISDA-UPIPWP, Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Kutai Kartanegara, Tenggarong.

227 207 Qomariah, R Dampak kegiatan pertambangan tanpa ijin (peti) batubara terhadap kualitas sumberdaya lahan dan sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rasmusen, L.N., and R.M. Dick Local organizations for natural resource management: Lesson from theoritical and empirical literature. Sambas Basuni, (Penerjemah) Organisasi-organisasi lokal untuk pengelolaan sumberdaya alam: Pelajaran dari literatur teoritik dan empirik. EPTD- IFPRI. Washington, D.C. Ridwan, W. A Model Agribisnis Peternakan Sapi Perah Berkelanjutan pada Kawasan Pariwisata di Kabupaten Bogor (Kasus Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Megamendung). Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ripley, E.A., E.R. Rober, and A.C. Adele, Enviromental Effects of Mining. St Lucie Press. Delray Beach, Florida. Rustam, F Menilik rehabilitasi lahan tambang kesempatan usaha yang menggiurkan. http/fahutan.unmul.ac.id/main/artikel/rustam01.htm. (12 Juni 2003). Saaty, T.L Pengambilan keputusan bagi para pemimpin. Proses hirarki analitik untuk pengambilan keputusan dalam situasi kompleks. (Terjemahan) Seri Manajemen No PT Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Saptaningrum, H Karakterisasi dan perubahan sifat fisik dan kimia tanah bekas galian tambang (tailing) dan dampaknya terhadap pertumbuhan vegetasi. Skripsi S1. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Simbolon, H. B Model Analisis Kebijakan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Berkelanjutan (Studi Kasus: Kawasan Transmigrasi Rasau Jaya, Kabupaten Pontianak). Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sinaga, N Disain Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Kawasan Pasca Tambang Batubara Berkelanjutan (Studi Kasus Kabupaten Kutai Kartanegara). Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sinukaban, N Perencanaan pertanian konservasi. Disampaikan pada coaching pelaksana konservasi lahan di daerah transmigrasi tahun anggaran 1983/1984. Direktorat Perluasan Areal Pertanian. Tanggal Juli Lampung.

228 208 Sarief, S Ilmu Tanah Pertanian. CV Pustaka Buana. Bandung. Sitorus, S.R.P Kualitas Degradasi dan Rehabilitasi Tanah. Program Pascasarjana IPB Bogor Evaluasi Sumberdaya Lahan. Tarsito. Bandung. Situmorang, R Pemanfaatan bahan organik setempat, mucuna sp dan fosfat alam untuk memperbaiki sifat-sifat tanah Palehumults di Miramontana Sukabumi. Disertasi S3 Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Soekardi, M., dan A. Mulyani Karakteristik tanah asli dan bahan galian pasca penambangan. Laporan akhir pengujian teknologi reklamasi, Penelitian dan pengembangan sumberdaya lahan serta penelitian dan pengembangan bekas tambang batubara tahap III. Kerjasama PTBA dengan Pusat penelitian tanah dan agroklimat. Bogor. Soemarwoto, O Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Edisi revisi. Penerbit Djambatan. Jakarta Atur diri sendiri paradigma baru pengelolaan lingkungan hidup. Makalah disampaikan pada seminar nasional manajemen lingkungan, Institut Pertanian Bogor, 14 Januari 2003, Bogor. Soeprapto, P dan M. Chairot, Kegiatan penambangan dan pengelolaan lingkungan di tambang batu hijau PT.Newmont Nusa Tenggara. Sumbawa, Indonesia. Makalah disampaikan pada seminar nasional manajemen lingkungan. Institut Pertanian Bogor, 14 Januari Bogor. Sudianto, E., 2001, Ujicoba penanaman 10 jenis pohon dalam kegiatan rehabilitasi lahan bekas tambang batubara di PT. Berau Coal, Kabupaten Berau. Skripsi Fakultas Kehutanan Unmul, Samarinda. Suhala, Teknologi Pertambangan di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara, Bandung. Soerjono, S Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Pers. Jakarta. Susilo, S.B Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pori. Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Disertasi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Suyartono, S Hidup dengan Batubara: Dari Kebijakan Hingga Pemanfaatan. Yayasan Media Bakti Tambang, Jakarta. Tadjudin, D Manajemen Kolaboratif. Pustaka Latin. Bogor.

229 209 Tala olu, S.H., S. Moersidi, Sukristiyonubowo dan S. Gunawan, Sifat fisikkimia tanah timbunan tambang batubata (PTBA) di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bidang Konservasi Tanah dan Air, Serta Agroklimat Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Cisarua September Bogor. Hal Tala olu, S.H., D.,Erfandy, dan G., Syamsidi Adaptasi beberapa jenis tanaman kayu-kayuandan buah-buahan dalam upaya penghijauan areal timbunan pasca penambangan batubara. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Cisarua, 9-11 Februari Bogor. Hal Terry, G.R Principles of Management, Richard O Irwin. Inc. Home Wood. Illinois. Tobing, M.L Pengaruh mulsa vertikal terhadap aliran permukaan, erosi serta pertumbuhan dan produksi selama satu musim tanam kacang tanah (Arachis hypogea) varietas gajah pada tanah latosol (Oxic dystropept) Darmaga. Skripsi S1 Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Yusuf, B Arahan Strategi Kebijakan Reklamasi Lahan Pasca Penambangan Nikel pada Lahan Konsesi PT. Aneka Tambang Tbk Unit Bisnis Pertambangan Nikel Daerah Operasi Maluku Utara Kabupaten Halmahera Timur Provinsi Maluku Utara. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Zulfahmi, Model reklamasi lahan pasca penambangan pasir dan batu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknik Mineral. Badan penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumberdaya Mineral, Bandung. Zulkarnain Pemanfaatan cacing tanah (Pheretina sp) dan tanaman penutup tanah dalam usaha rehabilitasi tanah bekas batubara, di Senakin Barat Kalimantan Selatan. Skripsi S1. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

230 LAMPIRAN 210

231 211

232 189 No Lab. Lampiran 1. Hasil Analisis Tanah LABORATORIUM ILMU TANAH FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS MULAWARMAN KAMPUS GUNUNG KELUA JL KI HAJAR DEWANTARA PO BOX 1013 SAMARINDA HASIL ANALISA TANAH Pemohon : Ir. NURITA SINAGA, M.Si. Jenis sampel : Tanah terganggu Jumlah sampel : 24 (dua puluh empat) sampel Kode Lap. ph Kation dapat ditukar(ec) KTK N C Rasio Tersedia Kejenuhan Sebaran Partikel H2O KCl Ca ++ Mg ++ Na + K + Al +++ EFFEKTIF Total Org C/N P 2O 5 K 2O Basa Al Liat Debu Pasir (%) meq/100g % Ppm % % % Kasar Halus Total RASK ttd ttd Lempung berdebu RASK ttd Lempung RBSK ttd Lempung liat berdebu RBSK ttd Lempung RCSK ttd Lempung berliat RCSK ttd Lempung berliat NASK ttd Lempung berdebu NASK ttd ttd Lempung berdebu NBSK Lempung berdebu NBSK ttd Debu NCSK ttd Liat berdebu NCSK ttd ttd Lempung berliat RAST ttd Lempung berdebu RAST ttd Debu RBST ttd Lempung berliat RBST Lempung Tekstur 211

233 190 Lampiran 1 (Lanjutan) No Lab. Kode Lap. ph Kation dapat ditukar(ec) KTK N C Rasio Tersedia Kejenuhan Sebaran Partikel H2O KCl Ca ++ Mg ++ Na + K + Al +++ EFFEKTIF Total Org C/N P 2O 5 K 2O Basa Al Liat Debu Pasir (%) meq/100g % Ppm % % % Kasar Halus Total RCST RCST ttd ttd NAST NAST ttd NBST ttd NBST NCST NCST ttd Keterangan: * sangat kecil (tidak terdeteksi) Tekstur Lempung berliat Lempung berliat Lempung berdebu Lempung berdebu Lempung berdebu Lempung berdebu Liat Berdebu Lempung berliat 212

234 191 Lampiran 2. Sifat Fisik Tanah (Tekstur) di PT. Kitadin PT.Tanito Harum Reklamasi PT.KITADIN (Umur) Sebaran Partikel Liat Debu Pasir (%) % % Kasar Halus Total Tekstur Sekitar 1 tahun ttd Lempung berdebu Lempung Sekitar 5 tahun Lempung liat berdebu Lempung Sekitar 10 tahun Lempung berliat Non Reklamasi Lempung berliat Sekitar 1 tahun Lempung berdebu Lempung berdebu Sekitar 5 tahun Lempung berdebu ttd Debu Sekitar 10 tahun Liat berdebu Lempung berliat Sumber: Hasil Analisis (2009) 213

235 192 Lampiran 2 (Lanjutan) PT.Tanito Harum (Umur) Reklamasi Sekitar 1 tahun Sekitar 5 tahun Sekitar 10 tahun Sumber: Hasil Analisis (2009) Sebaran Partikel Liat Debu Pasir (%) % % Kasar Halus Total Tekstur Lempung berdebu Debu Lempung berliat Lempung Lempung berliat Lempung berliat Non Reklamasi Sekitar 1 tahun Lempung berdebu Lempung berdebu Sekitar 5 tahun Lempung berdebu Lempung berdebu Sekitar 10 tahun Liat Berdebu Lempung Berliat 214

236 193 Lampiran 3. Reaksi Tanah (ph tanah) di PT. Kitadin dan PT.Tanito Harum ph Rataan ph Kelas H 2 O KCl H 2 O KCl Reklamasi PT.Kitadin Sekitar 1 tahun Sangat masam Sekitar 5 tahun Agak masam Sekitar 10 tahun Agak masam Non Reklamasi Sumber: Hasil Analisis (2009) Sekitar 1 tahun Agak masam Sekitar 5 tahun Agak masam Sekitar 10 tahun Sangat masam

237 194 Lampiran 3 (Lanjutan) Reklamasi Non Reklamasi PT.Tanito Harum ph Rataan ph Kelas H 2 O KCl H 2 O KCl Sekitar 1 tahun Sangat masam Sekitar 5 tahun Sangat masam Sekitar 10 tahun Sangat masam Sekitar 1 tahun Sangat masam Sekitar 5 tahun Sangat masam Sekitar 10 tahun Sangat masam Sumber: Hasil Analisis (2009) 216

238 195 Lampiran 4. Kapasitas Tukar Kation (KTK) di PT. Kitadin dan PT.Tanito Harum PT.Kitadin Reklamasi Sekitar 1 tahun Sekitar 5 tahun Kation dapat ditukar(ec) Rataan Kation dapat ditukar(ec) Rataan KTK KTK Ca ++ Mg ++ Na + K + Al +++ Ca ++ Mg ++ Na + K + Al +++ Kelas (me/100g) (me/100g) ttd ttd Rendah ttd Sedang Sekitar 10 tahun Sedang Non Reklamasi Sekitar 1 tahun Sekitar 5 tahun Sekitar 1 tahun Sumber: Hasil Analisis (2009) ttd Rendah ttd Rendah ttd ttd Sedang ttd

239 196 Lampiran 4 (Lanjutan) PT.Tanito Harum Reklamasi Sekitar 1 tahun Sekitar 5 tahun Sekitar 10 tahun Non Reklamasi Sekitar 1 tahun Sekitar 5 tahun Sekitar 10 tahun Keterangan: * sangat kecil (tidak terdeteksi) Sumber: Hasil Analisis (2009) Kation dapat ditukar(ec) Rataan Kation dapat ditukar(ec) Rataan KTK KTK Ca ++ Mg ++ Na + K + Al +++ Ca ++ Mg ++ Na + K + Al +++ Kelas (me/100g) (me/100g) Sedang Rendah ttd Sedang ttd Rendah Rendah Rendah

240 197 Lampiran 5. Rasio C/N di PT. Kitadin dan PT.Tanito Harum N Total C Org Rasio Rataan N Total Kelas Rataan C Org Kelas Rataan Rasio Kelas Kategori C/N C/N % % % PT. KITADIN (Umur) Reklamasi Sekitar 1 tahun Rendah 1.46 Rendah Tinggi Belum terdekomposisi Sekitar 5 tahun Rendah 0.66 Rendah Sedang Terdekomposisi sedang Sekitar 10 tahun Rendah 0.79 Rendah Sedang Terdekomposisi sedang Non Reklamasi Sekitar 1 tahun Rendah 2.08 Sedang Tinggi Belum terdekomposisi Sekitar 5 tahun Rendah 1.32 Rendah Tinggi Belum terdekomposisi Sekitar 10 tahun Rendah 0.65 Rendah Sedang Dekomposisi sedang Sumber: Hasil Analisis (2009) 219

241 198 Lampiran 5 (Lanjutan) PT. TANITO HARUM (Umur) Reklamasi N Total C Org Rasio Rataan Kelas Rataan Kelas Rataan N Total C Org Rasio C/N C/N % % Kelas Kategori Sekitar 1 tahun Rendah 0.28 Rendah Sedang Terdekomposisi sedang Sekitar 5 tahun Rendah 0.95 Rendah Sedang Terdekomposisi sedang Sekitar 10 tahun Rendah 1.19 Rendah Sedang Terdekomposisi sedang Non Reklamasi Sekitar 1 tahun Rendah 0.94 Rendah Sedang Terdekomposisi sedang Sekitar 5 tahun Rendah 1.11 Rendah Sedang Terdekomposisi sedang Sekitar 10 tahun Rendah 1.45 Rendah Sedang Terdekomposisi sedang Sumber: Hasil Analisis (2009)

242 199 Lampiran 6. Kadar P 2 O 5 dan K 2 O Tersedia di PT. Kitadin dan PT. Tanito Harum Tersedia Rataan Kelas P 2 O 5 K 2 O P 2 O 5 K 2 O P 2 O 5 K 2 O Ppm ppm PT. KITADIN (Umur) Reklamasi Sekitar 1 tahun Tinggi Sangat tinggi Sekitar 5 tahun ttd ttd ttd Sangat tinggi ttd Sekitar 10 tahun Sangat rendah Sangat tinggi Non Reklamasi Sekitar 1 tahun Sangat rendah Sangat tinggi Sekitar 5 tahun Sangat rendah Sangat tinggi Sekitar 10 tahun Rendah Sangat tinggi

243 200 Lampiran 6. (Lanjutan) Tersedia Rataan Kelas P 2 O 5 K 2 O P 2 O 5 K 2 O P 2 O 5 K 2 O Ppm ppm PT. TANITO HARUM (Umur) Reklamasi Sekitar 1 tahun ttd ttd ttd Sangat tinggi ttd Sekitar 5 tahun ttd Rendah Sangat tinggi Sekitar 10 tahun Rendah Sangat tinggi Non Reklamasi Sekitar 1 tahun Sangat rendah Sedang ttd Sekitar 5 tahun ttd Sangat rendah Tinggi Sekitar 10 tahun Rendah Tinggi ttd Keterangan: * sangat kecil (tidak terdeteksi) Sumber: Hasil Analisis (2009) 222

244 201 Lampiran 7. Kejenuhan Basa dan Kejenuhan Aluminum di PT. Kitadin dan PT. Tanito Harum PT. KITADIN (Umur) Kejenuhan Rataan Kejenuhan Kelas Kejenuhan Basa Al Basa Al Basa Al % % Reklamasi Sekitar 1 tahun Sangat tinggi Sedang Sekitar 5 tahun Sangat tinggi Rendah Sekitar 10 tahun ttd 100,00 ttd Sangat tinggi ttd ttd Non Reklamasi Sekitar 1 tahun ttd 100,00 ttd Sangat tinggi ttd ttd Sekitar 5 tahun Tinggi Tinggi Sekitar 10 tahun Sangat tinggi Sangat rendah ttd Keterangan: * sangat kecil (tidak terdeteksi) Sumber: Hasil Analisis (2009) 223

245 202 Lampiran 7 (Lanjutan) PT. TANITO HARUM (Umur) Reklamasi Kejenuhan Rataan Kejenuhan Kelas Kejenuhan Basa Al Basa Al Basa Al % % Sekitar 1 tahun Tinggi Tinggi Sekitar 5 tahun Tinggi Tinggi Sekitar 10 tahun Sangat Tinggi Tinggi Non Reklamasi ttd Sekitar 1 tahun Sangat rendah Sangat tinggi Sekitar 5 tahun Sangat rendah Sangat tinggi Sekitar 10 tahun Rendah Sangat tinggi Keterangan: * sangat kecil (tidak terdeteksi) Sumber: Hasil Analisis (2009)

246 151 Lampiran 8. Hasil Analisis Kualitas Air HASIL ANALISA KUALITAS AIR Tanggal Masuk : 13 November 2009 Pemilik : Ir./Nurita Sinaga MSi Jenis Sampel : Air NO PARAMETER SATUAN FISIKA KODE SAMPEL NAWT 1 NBWT 1 NCWT 1 RAWK 1 RBWK 1 RCWK 1 NAWK 1 NBWK 1 NCWK 1 RAWT 1 RCWT 1 1. Padatan Tersuspensi mg/l (TSS) 2. Conduktiviti (DHL) KIMIA ANORGANIK 1. ph BOD mg/l COD mg/l DO mg/l Fosfhat (PO4) mg/l Nitrite (NO2 N) mg/l Nitrat (NO3 N) mg/l

247 152 Lampiran 9. Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas 226

248 Lampiran 10. Kriteria Mutu Air Berdasarkan Baku Mutu Golongan 227

249 228 Lampiran 11. Kondisi Fisik Lingkungan Vegetasi Pasca Tambang Batubara PT. Kitadin Kondisi Reklamasi PT. Kitadin Umur Sekitar 1 Tahun

250 229 Lampiran 11 (Lanjutan) Kondisi Reklamasi PT. Kitadin Umur Sekitar 5 Tahun

251 230 Lampiran 11 (Lanjutan) Kondisi Reklamasi PT. Kitadin Umur Sekitar 10 Tahun

252 231 Lampiran 11 (Lanjutan) Kondisi Non Reklamasi PT. Kitadin Umur Sekitar 1 Tahun

253 232 Lampiran 11 (Lanjutan) Kondisi Non Reklamasi PT. Kitadin Umur Sekitar 5 Tahun

254 233 Lampiran 11 (Lanjutan) Kondisi Non Reklamasi PT. Kitadin Umur Sekitar 10 Tahun

255 234 Lampiran 12. Kondisi Fisik Lingkungan Vegetasi Pasca Tambang Batubara PT. Tanito Harum Kondisi Reklamasi PT Tanito Harum Umur Sekitar 1 Tahun

256 235 Lampiran 12 (Lanjutan) Kondisi Reklamasi PT Tanito Harum Umur Sekitar 5 Tahun

257 236 Lampiran 12 (Lanjutan) Kondisi Reklamasi PT Tanito Harum Umur Sekitar 10 Tahun

258 237 Lampiran 12 (Lanjutan) Kondisi Non Reklamasi PT Tanito Harum Umur Sekitar 1 Tahun

259 238 Lampiran 12 (Lanjutan) Kondisi Non Reklamasi PT. Tanito Harum Umur Sekitar 5 Tahun

260 239 Lampiran 12 (Lanjutan) Kondisi Non Reklamasi PT. Tanito Harum Umur Sekitar 10 Tahun

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) merupakan salah satu penghasil batubara terbesar di Indonesia. Deposit batubara di Kalimantan Timur mencapai sekitar 19,5 miliar ton

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Umum Saat Ini Faktor Fisik Lingkungan Tanah, Air, dan Vegetasi di Kabupaten Kutai Kartanegara Kondisi umum saat ini pada kawasan pasca tambang batubara adalah terjadi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Tambang batubara merupakan salah satu penggerak roda perekonomian dan pembangunan nasional Indonesia baik sebagai sumber energi maupun sumber devisa negara. Deposit batubara

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA

INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA INDIKATOR RAMAH LINGKUNGAN UNTUK USAHA DAN/ATAU KEGIATAN PENAMBANGAN TERBUKA BATUBARA Antung Deddy Asdep Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Kerusakan Lahan Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di tahun 2006 menjadi lebih dari 268,407 juta ton di tahun 2015 (Anonim, 2015).

BAB I PENDAHULUAN. di tahun 2006 menjadi lebih dari 268,407 juta ton di tahun 2015 (Anonim, 2015). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hasil tambang merupakan salah satu kekayaan alam yang sangat potensial. Penambangan telah menjadi kontributor terbesar dalam pembangunan ekonomi Indonesia selama lebih

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA NOMOR TENTANG REKLAMASI DAN PASCA TAMBANG DISUSUN OLEH : BAGIAN HUKUM SETDA KOLAKA UTARA PEMERINTAH KABUPATEN KOLAKA UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOLAKA UTARA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI,

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG JASA LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI, Menimbang : a. bahwa Provinsi Jambi merupakan daerah yang

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Waterman Sulistyana Bargawa * dan Sylvianora ** * Magister Teknik Pertambangan UPN Veteran Yogyakarta **

Waterman Sulistyana Bargawa * dan Sylvianora ** * Magister Teknik Pertambangan UPN Veteran Yogyakarta ** EVALUASI RENCANA PASCATAMBANG BATUBARA MEMAKAI ANALISIS MULTIDIMENSIONAL SCALING (Evaluation of Coal Post-Mining Plan Using Multidimensional Scaling Analysis) Waterman Sulistyana Bargawa * dan Sylvianora

Lebih terperinci

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN Oleh: Dini Ayudia, M.Si. Subbidang Transportasi Manufaktur Industri dan Jasa pada Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA & LH Lahan merupakan suatu sistem yang kompleks

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

n.a n.a

n.a n.a 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan suatu bangsa memerlukan aspek pokok yang disebut dengan sumberdaya (resources) baik sumberdaya alam atau natural resources maupun sumberdaya manusia atau

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT

FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FORMULASI STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA BARAT FARMA YUNIANDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR NO. : 20, 2005 PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 14 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA

SURAT PERNYATAAN STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DI INDONESIA SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: STRUKTUR EKONOMI DAN KESEMPATAN KERJA SEKTOR PERTANIAN DAN NON PERTANIAN SERTA KUALITAS

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP DALAM PEMBUKAAN TAMBANG

PERENCANAAN LANSKAP DALAM PEMBUKAAN TAMBANG PERENCANAAN LANSKAP DALAM PEMBUKAAN TAMBANG Oleh : Handoko Setiadji, S.T. Abstrak Berakhirnya sebuah tambang bukan merupakan berakhirnya suatu alur kegiatan pertambangan. Justru pada saat penutupan tambang

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam baik hayati maupun non-hayati sangat besar peranannya bagi kelangsungan hidup manusia. Alam memang disediakan untuk memenuhi kebutuhan manusia di bumi,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG ENERGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG ENERGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG ENERGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya energi merupakan kekayaan alam sebagaimana

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA G U B E R N U R NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : PRESIDEN RUPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG E N E R G I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya energi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Ketiadaan hak kepemilikan (property right) pada sumberdaya alam mendorong terjadinya

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN

Lebih terperinci

ANALISIS PENILAIAN RESIKO TERHAHAP EVALUASI RENCANA PASCATAMBANG BATUBARA MENGGUNAKAN SKALA LIKERT

ANALISIS PENILAIAN RESIKO TERHAHAP EVALUASI RENCANA PASCATAMBANG BATUBARA MENGGUNAKAN SKALA LIKERT ANALISIS PENILAIAN RESIKO TERHAHAP EVALUASI RENCANA PASCATAMBANG BATUBARA MENGGUNAKAN SKALA LIKERT Shilvyanora Aprilia Rande 1, R. Andy Erwin Wijaya 2 1 Jurusan Teknik Pertambangan, Sekolah Teknologi Nasional

Lebih terperinci

BENCANA LINGKUNGAN PASCA TAMBANG

BENCANA LINGKUNGAN PASCA TAMBANG BENCANA LINGKUNGAN PASCA TAMBANG (ANALISIS KASUS EKS LUBANG TAMBANG BATUBARA KALIMANTAN TIMUR) Luluk Nurul Jannah, SH., MH (Staf Sub Bidang Tindak Lanjut P3E Kalimantan) Era desentralisasi membuka peluang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

L PEI\{DAITULUAIT. 1.1 Latar Belakang. di Sumatra Selatan 51,73 oh), di Kalimantan (di Kalimantan Selatan 9,99 %o;

L PEI\{DAITULUAIT. 1.1 Latar Belakang. di Sumatra Selatan 51,73 oh), di Kalimantan (di Kalimantan Selatan 9,99 %o; L PEI\{DAITULUAIT 1.1 Latar Belakang Bahan tambang merupakan salah satu sumber daya alam yang dikuasai oleh negara dan harus dapat dimanfaatkan secara optimal untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (amanat

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa air tanah mempunyai

Lebih terperinci

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOGIRI, Menimbang : a. bahwa dengan ditetapkannya Undang

Lebih terperinci

file://\\ \web\prokum\uu\2003\uu panas bumi.htm

file://\\ \web\prokum\uu\2003\uu panas bumi.htm Page 1 of 16 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2003 TENTANG PANAS BUMI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa panas bumi adalah sumber daya alam

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Salah satu tantangan pembangunan jangka panjang yang harus dihadapi Indonesia terutama di kota-kota besar adalah terjadinya krisis air, selain krisis pangan

Lebih terperinci

WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL. Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi

WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL. Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 33 telah

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2010 NOMOR 4

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2010 NOMOR 4 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2010 NOMOR 4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PANAS BUMI Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KERINCI, bahwa

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI 3.1 IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI PELAYANAN BADAN LINGKUNGAN HIDUP PROVINSI JAWA TENGAH Dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BUPATI NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN NATUNA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

BUPATI NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN NATUNA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH BUPATI NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN NATUNA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NATUNA, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING Oleh: BEDY SUDJARMOKO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK BEDY SUDJARMOKO. Analisis Efisiensi

Lebih terperinci

Studi Kelayakan Pengembangan Wisata Kolong Eks Tambang Kabupaten Belitung TA LATAR BELAKANG

Studi Kelayakan Pengembangan Wisata Kolong Eks Tambang Kabupaten Belitung TA LATAR BELAKANG 1.1 LATAR BELAKANG Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu daerah penghasil sumber daya alam khususnya tambang. Kegiatan penambangan hampir seluruhnya meninggalkan lahan-lahan terbuka

Lebih terperinci

(Studi Kasus Kabupaten Pohuwato) SHERLY GLADYS JOCOM

(Studi Kasus Kabupaten Pohuwato) SHERLY GLADYS JOCOM ANALISIS DAMPAK DAN STRATEGI PENGEMBANGAN AGROPOLITAN BASIS JAGUNG TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH SERTA ANALISIS PENDAPATAN MASYARAKAT PETANI DI PROVINSI GORONTALO (Studi Kasus Kabupaten Pohuwato) SHERLY

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10, Pasal

Lebih terperinci

ANALISIS MULTIDIMENSIONAL SCALING TERHADAP EVALUASI RENCANA PASCATAMBANG BATUBARA DENGAN MENGGUNAKAN SKALA LIKERT

ANALISIS MULTIDIMENSIONAL SCALING TERHADAP EVALUASI RENCANA PASCATAMBANG BATUBARA DENGAN MENGGUNAKAN SKALA LIKERT ANALISIS MULTIDIMENSIONAL SCALING TERHADAP EVALUASI RENCANA PASCATAMBANG BATUBARA DENGAN MENGGUNAKAN SKALA LIKERT Shilvyanora Aprilia Rande 1 Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta Lia_rande89@yahoo.com

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI GARUT, : a. bahwa penanaman modal merupakan salah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10, Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penambangan batubara dapat dilakukan dengan dua cara: yaitu penambangan dalam dan penambangan terbuka. Pemilihan metode penambangan, tergantung kepada: (1) keadaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang mendayagunakan sumberdaya alam dan diharapkan dapat. menjamin kehidupan di masa yang akan datang. Sumberdaya alam yang tidak

I. PENDAHULUAN. yang mendayagunakan sumberdaya alam dan diharapkan dapat. menjamin kehidupan di masa yang akan datang. Sumberdaya alam yang tidak I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kegiatan pertambangan adalah bagian dari kegiatan pembangunan ekonomi yang mendayagunakan sumberdaya alam dan diharapkan dapat menjamin kehidupan di masa yang akan datang.

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 87 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 87 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI KEBUMEN PERATURAN BUPATI KEBUMEN NOMOR 87 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA KANTOR LINGKUNGAN HIDUP KABUPATEN KEBUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DAFTAR ISI BAB I KETENTUAN UMUM... 2 BAB II LANDASAN PENGELOLAAN AIR TANAH... 3 Bagian Kesatu Umum... 3 Bagian Kedua Kebijakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu proses hubungan timbal balik antar faktor-faktor yang ada di

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu proses hubungan timbal balik antar faktor-faktor yang ada di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses hubungan timbal balik antar faktor-faktor yang ada di dalam suatu negara dengan tujuan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dilihat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT LD. 14 2012 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tim Batubara Nasional

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tim Batubara Nasional BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tim Batubara Nasional Kelompok Kajian Kebijakan Mineral dan Batubara, Pusat Litbang Teknologi Mineral dan Batubara,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 10 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 10 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 10 TAHUN 2002 TENTANG RETRIBUSI IZIN EKSPLORASI AIR BAWAH TANAH, PENGEBORAN, PENURAPAN MATA AIR, PENGAMBILAN AIR BAWAH TANAH DAN MATA AIR DI KOTA BONTANG DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG SALINAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL KATARINA RAMBU BABANG

PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL KATARINA RAMBU BABANG PENGUATAN KELOMPOK PENGRAJIN TENUN IKAT TRADISIONAL (Studi Kasus Di Desa Hambapraing, Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur) KATARINA RAMBU BABANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu proses hubungan timbal balik antar faktor-faktor yang ada di

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu proses hubungan timbal balik antar faktor-faktor yang ada di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses hubungan timbal balik antar faktor-faktor yang ada di dalam suatu negara dengan tujuan mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dilihat

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN ANALISIS TINGKAT KEPUASAN PELAKU USAHA TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PERIZINAN PADA PUSAT PERIZINAN DAN INVESTASI KEMENTERIAN PERTANIAN Oleh : Dewi Maditya Wiyanti PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNIS SEKOLAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Total permintaan umat manusia sejagat raya terhadap sumberdaya alam dan jasajasa

BAB I PENDAHULUAN. Total permintaan umat manusia sejagat raya terhadap sumberdaya alam dan jasajasa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Total permintaan umat manusia sejagat raya terhadap sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan di dunia khususnya di Indonesia telah melampaui daya dukung bumi dalam

Lebih terperinci

BAB III TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PERTAMBANGAN TERHADAP LAHAN BEKAS TAMBANG

BAB III TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PERTAMBANGAN TERHADAP LAHAN BEKAS TAMBANG BAB III TANGGUNG JAWAB PERUSAHAAN PERTAMBANGAN TERHADAP LAHAN BEKAS TAMBANG A. Kondisi Lahan Bekas Tambang Batu bara merupakan salah satu sumber energi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Batu

Lebih terperinci

WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 49 TAHUN 2013 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI KANTOR LINGKUNGAN HIDUP KOTA BATU

WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 49 TAHUN 2013 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI KANTOR LINGKUNGAN HIDUP KOTA BATU SALINAN WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 49 TAHUN 2013 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI KANTOR LINGKUNGAN HIDUP KOTA BATU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BATU, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ii ABSTRACT MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN. Analysis of Northern

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi lahan kering untuk menunjang pembangunan pertanian di Indonesia sangat besar yaitu 148 juta ha (78%) dari total luas daratan Indonesia sebesar 188,20 juta ha

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10, Pasal

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang memiliki prospek pengembangan cukup cerah, Indonesia memiliki luas areal

Lebih terperinci

RANCANGAN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH

RANCANGAN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH DI PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Pengelolaan Lingkungan Berdasarkan ketentuan umum dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang dimaksud dengan pengelolaan hidup adalah upaya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak terhingga nilainya bagi seluruh umat manusia. Sebagai anugerah, hutan mempunyai nilai filosofi yang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.138, 2010 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. Reklamasi. Pasca Tambang. Prosedur. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5172) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DAMPAK KETERGANTUNGAN PEREKONOMIAN PROVINSI JAMBI TERHADAP SUMBERDAYA ALAM TAK TERBARUKAN (PEMBERLAKUAN KUOTA EKSPOR BATUBARA)

DAMPAK KETERGANTUNGAN PEREKONOMIAN PROVINSI JAMBI TERHADAP SUMBERDAYA ALAM TAK TERBARUKAN (PEMBERLAKUAN KUOTA EKSPOR BATUBARA) DAMPAK KETERGANTUNGAN PEREKONOMIAN PROVINSI JAMBI TERHADAP SUMBERDAYA ALAM TAK TERBARUKAN (PEMBERLAKUAN KUOTA EKSPOR BATUBARA) OLEH BUDI KURNIAWAN H14094019 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

Pembangunan Kehutanan

Pembangunan Kehutanan KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Pembangunan Kehutanan Sokoguru Pembangunan Nasional Berkelanjutan Dr. Ir. Hadi Daryanto, DEA (Sekretaris Jenderal) Disampaikan dalam Seminar

Lebih terperinci

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR HERNY KARTIKA WATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS, Menimbang : a. bahwa pertambangan rakyat di Kabupaten

Lebih terperinci

ANALISIS INDEKS KEBERLANJUTAN INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH DI KABUPATEN BOGOR

ANALISIS INDEKS KEBERLANJUTAN INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH DI KABUPATEN BOGOR ANALISIS INDEKS KEBERLANJUTAN INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH DI KABUPATEN BOGOR Oleh : Sigit Pranoto F34104048 2008 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan daerah merupakan bagian yang terintegrasi. Pembangunan daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci