KAJIAN SINKRONISASI PEMBANGUNAN PABRIK PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN MINERAL DENGAN ENERGI GEOTERMAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN SINKRONISASI PEMBANGUNAN PABRIK PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN MINERAL DENGAN ENERGI GEOTERMAL"

Transkripsi

1 Puslitbang tekmira Telp : Jl. Jend. Sudirman No. Fax : Bandung Info@tekmira.esdm.go.id LAPORAN Kelompok Litbangtek Pengolahan dan Pemanfaatan Mineral KAJIAN SINKRONISASI PEMBANGUNAN PABRIK PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN MINERAL DENGAN ENERGI GEOTERMAL Oleh : Jafril dkk. PUSLITBANG TEKNOLOGI MINERAL DAN BATUBARA 2013 I PENDAHULUAN 0

2 1.1. Latar Belakang Peraturan Menteri ESDM No 7 Tahun 2012 diterbitkan dalam rangka untuk mengamankan terlaksananya amanat Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, khususnya terkait dengan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri. Pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian dapat dilakukan oleh perusahaan penambang maupun kerjasama dengan perusahaan lain yang memiliki IUPK pengolahan/pemurnian. Kementerian ESDM secara terus menerus melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk menindaklanjuti pelaksanaan Peraturan Menteri ESDM No 7 Tahun Dalam kenyataannya pada pelaksanaan undang-undang tersebut di atas terdapat beberapa permasalahan yang muncul ke permukaan, yaitu pembangunan pabrik pengolahan/pemurnian mineral tersebut membutuhkan dukungan energi yang cukup besar. Energi yang ada pada saat ini belum siap untuk memasok pabrik pengolahan/pemurnian mineral tersebut. Selain bahan bakar minyak, gas dan batubara yang selama ini digunakan sebagai bahan pembangkit listrik, panas bumi (geothermal) di suatu daerah dapat dimanfaatkan juga intuk mendukung pabrik pengolahan dan pemurnian mineral. Hal ini dapat dimengerti, mengingat Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi panas bumi paling besar di dunia yakni mencapai 29,038 GW atau setara dengan 40% kandungan panas bumi dunia, namun hingga saat ini pemanfaatannya masih kecil yaitu sekitar 4,5% dari keseluruhan potensi yang ada. Beberapa tahun belakangan ini pemerintah gencar melakukan regulasi untuk mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan dalam mengamankan pasokan energi di masa depan melalui pembangunan pembangkit listrik yang sampai sekarang masih di dominasi oleh pembangkit berbasis energi fosil. Salah satu di antaranya adalah Keppres No. 4 tahun 2010 yang di tindaklanjuti oleh Kepmen No. 02 tahun 2010 atau lebih di kenal dengan program percepatan pembangunan pembangkit listrik MW tahap II. Pembangunan pembangkit seperti termuat dalam program ini didominasi oleh pembangkit listrik panasbumi (PLTP). Beberapa daerah yang memiliki potensi mineral dan sumberdaya panas bumi belum ada yang memanfaatkan panas bumi sebagai energi pembangkit listrik yang digunakan untuk mendukung pabrik pengolahan/pemurnian mineral. Hal ini merupakan tantangan pemerintah maupun daerah dalam upaya mengembangkan energi panas bumi sebagai bahan pembangkit listrik. Sangat beralasan apabila pemerintah lebih memprioritaskan pemanfaatan energi panas bumi daripada energi fosil lainnya karena energi ini merupakan energi terbarukan, lebih ramah lingkungan dan cadangannya besar. Kebijakan Enegi Nasional mengamanatkan bahwa bauran energi pada 2025 untuk energi baru terbarukan (EBT) termasuk panas bumi ditargetkan sebesar 17 % dari konsumsi enegi nasional. Energi panas bumi ditargetkan memberi kontribusi 5% terhadap konsumsi energi nasional (9.500 MW). Berdasarkan kondisi tersebut di atas perlu dilakukan kajian sinkronisasi pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian mineral dengan dukungan pembangunan fasilitas energi yang bersumber dari geotermal. 1

3 1.2 Ruang Lingkup Kegiatan Ruang lingkup kajian ini berupa studi kasus mangan di Nusa Tenggara Timur, nikel di Maluku Utara, dan bijih besi di Aceh. Ruang lingkupnya meliputi: a. studi literature; b. verifikasi sumberdaya mineral dan energi geothermal; c. mengkaji teknologi pengolahan dan pemurnian mineral; d. mengkaji daya dukung wilayah (perda,, infrastruktur, lingkungan, dll); e. sinkronisasi ketersediaan energi geotermal dan keberadaan sumber daya dan/atau lokasi pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian mineral; f. pembuatan laporan akhir. 1.3 Tujuan Tujuan kajian adalah Menyusun pra studi kelayakan teknis pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian dengan memanfaatkan energi geotermal di Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, dan Aceh. 1.4 Sasaran Sasaran kajian yaitu merekomendasikanpembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian mineral dengan memanfaatkan energi geotermal. 1.5 Lokasi Kegiatan Litbang tekmira dan instansi terkait di Jakarta serta survei lapangan ke Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara, Aceh, Jawa Barat dan Jawa Tengah. 1.6 Penerima Manfaat 1) Pemerintah Pusat dan Daerah 2) Calon Investor 3) Masyarakat. BAB II METODOLOGI DAN PROGRAM KERJA Dalam kajian ini, digunakan metode penelitian survei pemercontohan secara langsung ke lapangan di Provinsi : Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara dan Aceh serta kunjungan ke beberapa PLTP di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kegiatan ini ditunjang dengan melakukan koordinasi dan pendataan ke 2

4 instansi terkait seperti Kementerian ESDM, Kementerian Perindustrian, Puslitbangtek EBT, PT PLN, Pertamina, Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kota/Kabupaten), Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, dan lainnya. Di samping itu, digunakan metode penelitian non survei, yang dilakukan di studio meliputi penelusuran referensi, pengolahan dan analisis serta penyusunan laporan. Pengumpulan data menggunakan teknik observasi dan wawancara berpanduan (interview guide). Model pengolahan dan teknik analisis, menggunakan pendekatan model statistika, analisis potensi dan kewilayahan. Kegiatan ini dilaksanakan melalui studi literatur, koordinasi dengan instansi terkait dalam rangka pengumpulan data sekunder, diskusi interaktif dan kunjungan lapangan untuk memperoleh data primer. Pelaksanaan pekerjaannya dilakukan secara bertahap dengan setiap proses saling berkesinambungan sampai menghasilkan kajian sinkronisasi pembangunan pabrik pengolahan/pemurnian (smelter) mineral dengan memanfatkan energi geotermal. Semua kegiatan dari awal sampai akhir melalui proses perencanaan terstruktur dan kontrol kegiatan (Gambar 2.1). Berbagai kebijakan terkait, seperti UU, PP, Kepres dan lain-lain akan dijabarkan apakah ada peraturan yang menimbulkan kontradiksi, baik di level yang sama maupun pada tingkatan yang berbeda. Perhatian akan diberikan pada kebijakan-kebijakan yang menimbulkan kendala dan permasalahan demi tercapainya upaya peningkatan nilai tambah mineral melalui pemanfaatan energi geotermal di masing-masing wilayah. Di samping itu, berdasarkan potensi wilayah, kebijakan-kebijakan yang ada perlu diarahkan untuk membangkitkan potensi tersebut agar dapat dimanfaatkan secara optimal. Kendala dan permasalahan di lapangan yang berhasil diidentifikasi akan menjadi pertimbangan dalam pembuatan rekomendasi yang diharapkan dapat mengeliminasi hambatan tersebut demi terwujudnya industri mineral dan energi geotermal yang terpadu. Studi literatur Data dan informasi Kegiatan lapangan Inventarisasi Kebijakan Kondisi pertambangan dan energi panas bumi Tantangan dan hambatan Kondisi Infrastruktur Kajian teknis sinkronisasi 3

5 Kebijakan terkait Struktur ruang Rekomendasi kebijakan Gambar 2.1 Metodologi kegiatan BAB III TINJAUAN PUSTAKA, HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Provinsi Maluku Utara Geografis Provinsi Maluku Utara meliputi 6 (enam) wilayah administrasi kabupaten dan 2 (dua) wilayah kota, yaitu: Halmahera Utara, Halmahera Tengah, Halmahera Timur, Halmahera Selatan, Halmahera Barat, Kepulauan Sula, Ternate dan Tidore Kepulauan, luas wilayah keseluruhan ,1 Km 2 terdiri atas luas daratan: ,66 Km 2 dan luas lautan: ,44 Km 2 (Bappeda Provinsi Maluku Utara, 2006). 4

6 Batas-batas admnistrasi provinsi adalah sebagai berikut: Utara : Samudera Pasifik Timur : Laut Halmahera Selatan : Laut Seram Barat : Laut Maluku Batas administrasi Provinsi Maluku Utara dapat dilihat pada Gambar 3.1. Maluku Utara merupakan provinsi kepulauan yang terdiri atas 357 buah pulau besar dan kecil. Dari jumlah itu, sebanyak 64 pulau telah dihuni, sedangkan 333 lainnya tidak dihuni. Luas total wilayah Maluku Utara mencapai ,1 km 2. Sebagian besar wilayah berupa laut ( ,44 Km 2 atau 69,08%, sisanya seluas ,66 km 2 (30,92%) adalah daratan. Pulau yang relatif besar adalah Halmahera ( km 2 ). Sedangkan yang ukurannya relatif sedang yaitu Obi (3.900 km 2 ), Taliabu (3.195 km 2 ), Bacan (2.878 km 2 ) dan Morotai (2.325 km 2 ). Pulau-pulau yang relatif kecil antara lain Ternate, Tidore, Makian, Kayoa, Gebe dan sebagainnya. Secara geografis, Maluku Utara berada pada 3 0 Lintang Utara hingga 3 0 Lintang Selatan dan hingga Bujur Timur. Jumlah penduduk di provinsi ini pada 2009 tercatat jiwa yang tersebar di 6 (enam) Kabupaten dan 2 (dua) Kota. Laju pertumbuhan penduduk sebesar 4,03 persen per tahun dan tingkat kepadatan penduduk 20 jiwa per kilometer persegi. 5

7 Gambar 3.1. Peta administrasi Maluku Utara Sebagian besar wilayah Maluku Utara bergunung dan berbukit yang terdiri atas pulau Vulkanis dan Karang. Sebagian lainnya merupakan dataran. Halmahera mempunyai banyak pegunungan yang rapat mulai dan Teluk Kao, Buli, Weda, Payahe, dan Dodinga. Di setiap daerah terdapat punggung gunung yang merapat ke pesisir, sedangkan pada daerah sekitar Teluk Buli (di Timur) sampai Kao (di Utara), Pesisir Barat dan Jailolo ke Utara dan Weda ke Selatan dan Utara di temui daerah dataran yang luas. Wilayah Maluku Utara dipengaruhi oleh iklim laut tropis dan iklim musim. Oleh karena itu iklimnya sangat di pengaruhi oleh lautan dan bervariasi antara tiap bagian wilayah yaitu iklim Halmahera Utara, Halmahera Tengah, Halmahera Barat, Halmahera Selatan dan Kepulauan Sula Struktur Ruang Wilayah Sistem Kota-Kota/Sistem Pusat-Pusat Permukiman Sistem pusat permukiman atau sistem kota tidak dapat dilepaskan dari tata ruang yang ada, karena kota merupakan salah satu unsur penting dalam membentuk struktur ruang. Penataan ruang sendiri pada dasarnya mengarah ke sistem kota /kawasan perkotaan. Perkembangan kota tentunya harus diarahkan sedemikan rupa agar selaras dengan arahan pengembangan wilayah. Oleh karena itu, di samping pengaturan distribusi sistem kota sesuai dengan hirarki jumlah penduduk, potensi kegiatan ekonominya (strategi mikro) juga diperlukan suatu pengelolaan kota atau daerah perkotaan yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas kegiatan ekonominya dalam rangka mendukung fungsi kotanya di wilayah yang lebih luas (strategi makro). a. Rencana Sistem Kota-Desa dan Kota-Kota Pengembangan sistem kota-kota dan kota-desa dimaksud sebagai upaya untuk menetapkan kota-kota yang ada di Maluku Utara agar berkembang sesuai dengan fungsi pelayanan dan interaksi baik antar kota maupun terhadap wilayah belakangnya (desa-desa pusat pertumbuhan) agar lebih bersinergi dalam rangka pengembangan wilayah. Adapun rencana sistem kota-desa meliputi: (a) (b) (c) Pengembangan ekonomi perdesaan, perbaikan dan pembangunan prasarana dan sarana dasar di wilayah perdesaan, meningkatkan aksesibilitas ke/dari kawasan perdesaan, mengembangkan dan memperkuat keterkaitan Desa-Kota; Pengembangan dan pengelolaan kawasan perdesaan dengan memperhatikan kondisi, karakteristik dan potensi sosial-ekonomi dan sosial-budaya setempat; Pengawasan dan pemanfaatan kawasan perdesaan dilakukan oleh pemerintah kabupaten bersama-sama dengan pemerintah kecamatan dan pemerintah desa, untuk menjaga kelestarian lingkungan, keberlangsungan pembangunan dan tata nilai setempat; 6

8 (d) Mengarahkan pemanfaatan ruang kawasan pedesaan dengan mempertimbangkan kawasan rawan bencana dan kemungkinan terjadinya bencana tak terduga. Sebagai upaya pemerataan pembangunan ekonomi dibutuhkan sistem perkotaan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Kawasan perkotaan utama di wilayah Maluku Utara dalam perkembangannya diharapkan akan menjadi kawasan metropolitan terpadu dan sebagai prime mover pengembangan pembangunan di Kawasan Timur Indonesia. Sistem perkotaan utama di wilayah Maluku Utara memiliki fungsi yang berbeda-beda serta adanya interaksi dan hubungan antar kota tersebut. Kota tersebut saling terkait satu sama lain, tidak dapat berdiri sendiri karena berfungsi sebagai penyangga bagi 3 kota utama yaitu Sofifi, Ternate dan Soasio. b. Hierarki Perkotaan Hierarki kawasan perkotaan dibagi atas 4 (empat) kelompok berdasarkan fungsi dan pelayanannya dalam menunjang pertumbuhan ekonomi provinsi (Gambar 3.2), yaitu: (a) (b) (c) (d) Kota atau kawasan perkotaan yang berfungsi sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN), yang termasuk ke dalam klasifikasi ini adalah pusat pelayanan jasa, produksi dan distribusi serta simpul transportasi untuk pencapaian beberapa pusat kawasan atau provinsi. Biasanya yang termasuk golongan kota/perkotaan ini adalah kota-kota besar/metropolitan, disebabkan karena kelengkapan sarana dan prasarana yang dimilikinya. Kota atau kawasan perkotaan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan wilayah (PKW). Daerah perkotaan atau kota yang mempunyai wilayah pelayanan yang mencakup beberapa kawasan atau kabupaten. Golongan ini biasanya merupakan kota besar dan sedang setara dengan orde II di wilayah provinsi bersangkutan. Kota atau kawasan perkotaan yang berfungsi sebagai PKL yang merupakan pusat wilayah pengembangan (gugus pulau) dan diusulkan menjadi PKW. Kota tersebut merupakan embrio untuk menjadi PKW. Sedangkan kawasan perkotaan yang mempunyai wilayah pelayanan beberapa kawasan dalam lingkup kabupaten umumnya merupakan kota kecil/ibukota kecamatan. Kota atau daerah perkotaan yang berfungsi sebagai pusat kegiatan strategis nasional (PKSN) dan ditetapkan untuk mendorong pengembangan kawasan perbatasan negara. Kota atau kawasan perkotaan ini berpotensi sebagai pos pemeriksaan lintas batas negara dengan negara lain, di samping itu merupakan pintu gerbang internasional yang menghubungkan Indonesia dengan negara tetangga dan merupakan simpul utama transportasi yang menghubungkan wilayah sekitarnya, selain itu merupakan pusat pertumbuhan ekonomi yang dapat mendorong perkembangan kawasan sekitarnya. 7

9 Kota yang diusulkan menjadi PKL adalah Jailolo, Weda, Bobong yang masing-masing merupakan pusat pengembangan wilayah di gugus pulau. Sofifi diusulkan menjadi PKL untuk menggantikan fungsi pusat pemerintahan Provinsi Maluku Utara yang selama ini berada di Ternate, dengan demikian Ternate yang semula merupakan kota dengan fungsi pusat pemerintahan difokuskan hanya untuk kegiatan pusat perdagangan dan jasa karena di kota ini sudah berkembang sarana dan prasarana infrastruktur yang lebih lengkap dibandingkan kota lain di Maluku Utara. Rencana struktur ruang di Provinsi Maluku Utara dapat dilihat pada Gambar 3.3. PKSN PKN Kota Provinsi/ Kota Kabupaten PKSN PKW PKW Kota Kabupaten/ Kota Kecamatan PKSN PKL* PKL PKL Ibukota Kota Kabupaten/Kota Kecamatan Gambar 3.2. Konsep pusat permukiman di Maluku Utara Keterangan: PKN : Pusat Kegiatan Nasional PKW : Pusat Kegiatan Wilayah PKSN : Pusat Kegiatan Strategis Nasional PKL* : Pusat Kegiatan Lokal (yang diusulkan menjadi PKW) PKL : Pusat Kegiatan Lokal Sumber: Bappeda Provinsi Maluku Utara,

10 Gambar 3.3. Peta rencana struktur ruang wilayah Maluku Utara Sistem Jaringan Prasarana Wilayah A. Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Transportasi Sistem transportasi berfungsi untuk menjembatani keterkaitan fungsional antar kegiatan sosialekonomi di Maluku Utara. Sesuai dengan fungsinya tersebut, maka kebijakan pengembangan sistem transportasi diarahkan untuk menunjang pengembangan tata ruang dengan tujuan sebagai berikut: (a) Pengembangan sistem transportasi yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan wilayah Provinsi Maluku Utara agar dapat berkembang dengan serasi bersama-sama dengan wilayah yang ada di sekitamya. Sasarannya adalah: (i) (ii) Membuka keterisolasian wilayah Provinsi Maluku Utara; Menunjang kegiatan ekspor-impor Provinsi Maluku Utara dengan wilayah lainnya; (iii) Menunjang perkembangan sektor-sektor unggulan di Provinsi Maluku Utara yaitu sektor pertanian, agro industri, pariwisata, perikanan, pertambangan dan lain-lain; (b) Pengembangan sistem transportasi yang bertujuan untuk mendukung pemerataan pembangunan dengan sasaran: (i) (ii) Memperlancar koleksi dan distribusi arus barang dan jasa serta meningkatkan mobilisasi penduduk di Provinsi Maluku Utara; Meningkatkan hubungan ke wilayah-wilayah potensial yang masih terisolasi. Konsep pengembangan sistem transportasi di Maluku Utara adalah: (a) (b) Membentuk pola pengembangan sistem transportasi terpadu antar transportasi laut, darat dan udara yang terintegrasi dengan Tata Ruang Wilayah Provinsi Maluku Utara; Memperpendek jarak dan waktu tempuh antar wilayah di Maluku Utara melalui peningkatan peran jaringan transportasi yang ada dan pengembangan jaringan transportasi yang belum tersedia, baik di darat, laut maupun udara; 9

11 (c) (d) Mengembangkan jaringan transportasi darat Trans Maluku Utara yang merupakan perluasan Trans Halmahera yaitu jalur yang memadukan jaringan transportasi darat, penyeberangan, laut dan udara dalam rangka mendukung keterhubungan antar gugus pulau di Maluku Utara; Mengembangkan multy gate system untuk membuka akses di kawasan perbatasan dan pulaupulau terpencil, selain gerbang utama yang telah ada (Ternate), dikembangkan gerbang sekunder di bagian utara (Daruba) dan selatan (Sanana); A1. Rencana Transportasi Darat (a) Rencana Jaringan Jalan Konsep pengembangan Trans Maluku Utara adalah upaya menghubungkan Ternate sebagai PKN kota Tobelo, Tidore, Labuha dan Sanana sebagai PKW serta kota-kota strategis seperti Daruba (PKSN) dan Sofifi sebagai pusat pemerintahan Provinsi Maluku Utara yang merupakan bagian dari Trans Nasional. Untuk mendukung perwujudan Trans Maluku Utara, status jalan yang masuk ke dalam Trans Maluku Utara adalah jalan nasional dan provinsi. Jaringan jalan yang direncanakan sebagai bagian Trans Maluku Utara dapat dilihat pada Tabel 3.1 dan Gambar 3.4. A2. Rencana Transportasi Laut Sebagai wilayah yang sebagian besar merupakan lautan dan pulau, peran sarana dan prasarana transportasi laut di Maluku Utara menjadi sangat penting, apalagi mengingat transportasi ini merupakan sarana angkutan yang murah, mudah, dapat mengangkut orang dan barang dalam jumlah besar, serta terjangkau oleh segenap lapisan masyarakat. Pengembangan sarana dan prasarana transportasi laut sangat penting dalam peningkatan interaksi antar wilayah dan inter wilayah. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, perencanaan sistem tranporatsi laut ini harus terintegrasi dengan sistem transportasi yang lain serta dapat mendukung antar wilayah di Maluku Utara, agar dapat menghubungkan pusat pertumbuhan yang direncanakan seperti PKW dengan PKL. Mengacu pada RTRWN, sistem jaringan transportasi laut terdiri atas tatanan pelabuhan laut dan alur pelayaran. Tatanan pelabuhan laut terdiri atas: (i) Pelabuhan internasional; (ii) Pelabuhan nasional; (iii) Pelabuhan regional; (iv) Pelabuhan lokal; (v) Pelabuhan khusus untuk menunjang pengembangan kegiatan atau fungsi tertentu. (a) Rencana Alur Pelayaran Pengembangan alur pelayaran direncanakan akan dibedakan antara alur pelayaran penumpang dan alur pelayaran angkutan barang. Rencana pengembangan alur pelayaran di Maluku Utara adalah sebagai berikut: 10

12 (i) Alur pelayaran internasional yang merupakan jaringan trayek transportasi laut utama dengan pelayanan tetap dan teratur, yaitu: Australia Ternate; Jepang Ternate; Filipina Ternate; Amerika Serikat Ternate; Korea Ternate dan Jepang Daruba (Morotai); Tabel 3.1 Rencana jaringan jalan trans Maluku Utara Nomor Ruas Nama Ruas Gugus Pulau Status Panjang (Km) Kabupaten Halmahera Utara Daruba Daeo 4 N 25, Daeo Berebere 4 N 68, Podiwang Tobelo 3 N 47, Tobelo Galela 3 N 27, Kao Podiwang 3 N 32, Galela - Lapangan Terbang 3 N 10, Basso Kao 3 N 71,49 Kabupaten Halmahera Barat Sidangoli (Dermaga Ferry) - Basso 2, 5 N 23, Simpang Dodinga-Akelamo (KM60) 2, 5 N 63, Basso - Simpang Dodinga 2, 5 N 2, Jailolo Goal 2 P 21, Simpang Dodinga-Dodinga (Dermaga Ferry) 2 P 3, Simpang Dodinga- Bobaneigo 2, 5 P 3, Simpang Dodinga-Jailolo 2 P 32,40 Kota Tidore Kepulauan.029 Payahe Weda 1 N 24, Akelamo (KM60) Payahe 1 N 52, Keliling Pulau Tidore 1 P 29,19 Kabupaten Halmahera Timur Subaim Buli 5 P 60, Buli Gotowase 5 P 45, Bobaneigo - Ekor 5 P 41, Ekor - Subaim 5 P 52,47 Kabupaten Halmahera Tengah Weda - Sagae 5 P 50, Sagae - Gotowase 5 P 60,00 Kabupaten Halmahera Selatan.028 Labuha - Babang 6 P 18,32 Saketa - Mautiting 6 K Mautiting - Mafa 6 K Mafa - Weda 5, 6 K Kota Ternate.032 Keliling Pulau Ternate 1 N 8,60 Kabupaten Kepulauan Sula.026 Sanana - Manaf 7 P 31, Sanana - Pohea 7 P 12,05 Sumber: Tatrawil 2007 Ket : N : Jalan Nasional; P : Jalan Provinsi; K : Jalan Kabupaten 11

13 Gambar 3.4 Rencana jaringan jalan di Maluku Utara (ii) Alur pelayaran nasional yang merupakan jaringan trayek transportasi laut utama dengan pelayanan tetap dan teratur, melalui Maluku Utara; (iii) Alur pelayaran regional dengan kota-kota di wilayah Indonesia bagian Timur dengan jaringan trayek transportasi laut pengumpan yang mempunyai pelayanan tetap dan teratur, yaitu: 1. Ternate Tobelo Gebe Ambon Sorong; 2. Ternate Labuha Ambon Sorong; 3. Ternate Sanana Ambon Sorong; Sampai 2027 alur pelayaran regional direncanakan untuk ditingkatkan jadwalnya, perbaikan dalam sistem pelayanan, penambahan jumlah kapal serta mendorong pelayaran swasta untuk ikut beroperasi; (iv) Alur pelayaran lokal atau pelayaran kapal rakyat di Maluku Utara merupakan jaringan trayek transportasi laut pengumpan dengan pelayanan tetap dan teratur. Jaringan pelayaran rakyat ini umumnya dilaksanakan untuk mengangkut hasil bumi dari satu ke pulau lain atau menyisir pantai khususnya untuk daerah atau pulau yang akses daratnya belum berkembang. Rencana Alur pelayaran di Provinsi Maluku Utara dapat dilihat pada Gambar 3.5. b. Rencana Tatanan Pelabuhan 12

14 Tatanan pelabuhan di Maluku Utara yang tertinggi adalah Ahmad Yani di Ternate sebagai pelabuhan nasional. Pelabuhan lainnya merupakan pelabuhan pengumpan regional, pengumpan lokal dan pelabuhan khusus. (i) Pelabuhan Nasional Pelabuhan nasional dikembangkan untuk: 1. Melayani kegiatan pelayaran dan alih muat peti kemas angkutan laut nasional dan internasional dalam jumlah menengah; 2. Menjangkau wilayah pelayanan menengah; 3. Memiliki fungsi sebagai simpul jaringan transportasi laut nasional. Gambar 3.5 Rencana pengembangan alur pelayaran di Maluku Utara Pelabuhan yang ditetapkan sebagai pelabuhan nasional adalah Ternate yang berfungsi untuk melayani interaksi antara Maluku Utara dengan wilayah yang lebih luas (hubungan eksternal) serta menghubungkan Ternate (PKN) dengan kota-kota dibawah PKW atau PKL. (interaksi internal/antar wilayah). (ii) Pelabuhan Regional Pelabuhan regional dikembangkan untuk: 1. Melayani kegiatan pelayaran dan alih muat angkutan laut nasional dan regional, pelayaran rakyat, angkutan sungai, dan angkutan perintis dalam jumlah menengah; 2. Menjangkau wilayah pelayanan menengah. 13

15 Pelabuhan Tidore, Tobelo, Labuha, dan Sanana merupakan pelabuhan ke dua setelah Ternate yang termasuk ke dalam pelabuhan regional sebagai pelabuhan antar pulau yang berfungsi untuk mendistribusikan orang dan barang dari PKN (Pelabuhan Ternate) ke PKW dan PKL. Pelabuhan ini berfungsi juga sebagai pintu gerbang (gateway) yang menghubungkan Maluku Utara dengan provinsi lain seperti Sulawesi, Papua, Maluku Selatan, Jawa dan Kalimantan, sehingga selain berfungsi internal juga eksternal. Pelabuhan regional ini berada pada PKW yang merupakan ibu kota kabupaten/kota atau yang setingkat. (iii) Pelabuhan Lokal Pelabuhan lokal dikembangkan untuk: 1. Melayani kegiatan pelayaran dan alih muat angkutan laut lokal dan regional, pelayaran rakyat, angkutan sungai, dan angkutan perintis dalam jumlah kecil; 2. Menjangkau wilayah pelayanan terbatas. Daruba, Galela, Jailolo, Buli, Weda, Babang, Falabisahaya, Bobong, Garuapin dan Wasilei diklasifikasikan sebagai pelabuhan lokal yang berfungsi untuk mendistribusikan barang dan orang dari pelabuhan kolektor ke wilayah yang lebih kecil atau ke pelabuhan-pelabuhan kecil (local port). (iv) Pelabuhan Khusus Pelabuhan khusus di Maluku Utara berfungsi untuk menunjang pengembangan kegiatan atau fungsi tertentu seperti mendukung kota-kota strategis yang mempunyai sumberdaya alam potensial, antara lain Sidangoli (dekat Ternate), Falabisahaya serta Pulau Gebe (di Pulau Mangole). Tujuan pengembangan pelabuhan untuk kota-kota tersebut adalah untuk pengangkutan bahan baku dan hasil produksi kegiatan industri. Hingga saat ini, pelabuhanpelabuhan tersebut mempunyai kualitas seperti pelabuhan antar pulau. Apabila skala industrinya semakin besar, perlu adanya peningkatan kemampuan pelabuhan tersebut. Rencana pengembangan jalur penerbangan di Provinsi Maluku Utara meliputi: (a) (b) Jalur nasional antar provinsi, yaitu: Ternate Jakarta; Ternate Manado; Ternate Ambon; Ternate Makassar; Ternate - Sorong; Ternate Fak - Fak; Ternate Manokwari; Ternate Luwuk dan Sanana Ambon. Jalur reguler antar kabupaten, yaitu: Ternate Sanana dan Ternate Buli. A3. Transportasi Udara Di Maluku Utara telah tersedia 10 (sepuluh) bandar udara yang tersebar di pulau-pulau penting di wilayah ini. Sultan Babullah-Ternate merupakan bandara pusat penyebaran tersier yang merupakan bandara utama di Provinsi ini. Seluruh jalur penerbangan antar pulau di dalam wilayah 14

16 Maluku Utara maupun dari dan ke luar wilayah berpusat di Ternate. Intensitas kegiatan bandara ini sangat tinggi. Bandara lainnya merupakan bandara bukan pusat penyebaran atau disebut juga bandara perintis. Secara visual rencana pengembangan transportasi udara dapat dilihat pada Gambar 3.6. B. Pengembangan Sistem Jaringan Listrik Pengembangan sistem jaringan kelistrikan di Maluku Utara dimaksudkan untuk menunjang kegiatan sosial, ekonomi, pertahanan keamanan di kawasan budidaya dan pusat permukiman. Pengembangan jaringan kelistrikan diselaraskan dengan pengembangan pusat perkotaan, pusat produksi dan pusat distribusi sesuai dengan kebutuhan dan tingkat perkembangannya. Di Maluku Utara akan dikembangkan jaringan transmisi tenaga listrik yang dikembangkan untuk menyalurkan tenaga listrik antarsistem menggunakan kawat saluran udara berkemampuan 150 KV seperti terlihat pada Gambar 3.7. Dalam RTRWN, pembangkit tenaga listrik ditetapkan dengan kriteria: a. Mendukung ketersediaan pasokan tenaga listrik untuk kepentingan umum di kawasan perkotaan, pedesaan hingga kawasan terisolasi; Gambar 3.6 Rencana pengembangan sistem transportasi udara di Maluku Utara b. Mendukung pengembangan kawasan pedesaan, pulau-pulau kecil, dan kawasan terisolasi; 15

17 c. Mendukung pemanfaatan teknologi baru untuk menghasilkan sumber energi yang mampu mengurangi ketergantungan terhadap energi tak terbarukan; d. Berada pada kawasan dan/atau di luar kawasan yang memiliki potensi sumber daya energi; dan e. Berada pada lokasi yang aman terhadap kegiatan lain dengan memperhatikan jarak bebas dan jarak aman. Pembangkit tenaga listrik yang dapat dikembangkan oleh pemerintah provinsi adalah: pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD), dan di samping itu hendaknya sudah mulai menggunakan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) maupun pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Kapasitas tenaga listrik dan instalasi jaringan di Maluku Utara yang terbatas perlu dikembangkan dan dibuat penambahan daya untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi, yaitu terbatasnya unit pembangkit listrik yang dimiliki PLN untuk wilayah Provinsi Maluku Utara. Terdapat beberapa alternatif pengadaan listrik untuk Maluku Utara: (1) Pengembangan energi alternatif seperti PLTS; (2) Pengembangan energi listrik tenaga uap, dengan memanfaatkan air laut sebagai pendingin: (3) Pengembangan energi listrik tenaga diesel; (4) Pengembangan energi listrik tenaga air; (5) Pengembangan energi listrik tenaga panas bumi. Pemenuhan kebutuhan listrik di perkotaan maupun pusat-pusat kegiatan di wilayah Maluku Utara masih banyak diperlukan oleh masyarakat meskipun secara makro seluruh kabupaten di Maluku Utara telah teraliri listrik. Konsentrasi dan intensitas kegiatan terdapat di Ternate yang mempunyai laju pertumbuhan lebih dari 30 persen (perkembangan tinggi), sehingga diperkirakan akan membutuhkan konsumsi energi listrik sangat tinggi untuk menunjang aktivitasnya. Berdasarkan hal tersebut, wilayah ini merupakan prioritas pelayanan prasarana energi listrik. Di samping itu dengan ditetapkannya Sofifi sebagai ibu kota Maluku Utara, perlu membentuk dan menambah jaringan prasarana listrik sebagai antisipasi peningkatan jumlah penduduk dan kegiatan yang akan terjadi. Perkiraan perkembangan industri pengolahan dan ketentuan rencana struktur ruang yang ditujuberakibat pada penyediaan energi listrik di Maluku Utara diarahkan untuk dapat lebih meningkatkan pertumbuhan wilayah, terutama di Halmahera Tengah, Halmahera Timur dan Halmahera Selatan yang telah direncanakan sebagai kawasan pengolahan/pemurnian bijih nikel. Selama ini relatif masih belum tersedia jaringan listrik yang memadai dibandingkan daerah lainnya. Wilayah prospektif untuk penyediaan listrik di Maluku Utara selain Ternate, Tidore Kepulauan dan kota-kota di Halmahera Utara adalah kota yang mempunyai potensi untuk berkembang berbasis 16

18 pertambangan sehingga wilayah ini menjadi wilayah prioritas bagi peningkatan pelayanan prasarana energi. Sistem kelistrikan di Maluku Utara terdiri atas 7 sistem kelistrikan yang cukup besar yaitu sistem Ternate, Tobelo, Jailolo-Sofifi, Soa-Siu (Tidore), Bacan, Sanana dan Daruba, selain itu juga terdapat 21 unit pusat pembangkit kecil tersebar. Beban puncak gabungan sistem-sistem kelistrikan di Provinsi Maluku Utara saat ini sekitar 42,7 MW, dipasok oleh PLTD tersebar yang terhubung langsung ke sistem distribusi 20 kv seperti dapat dilihat pada gambar 3.7. Sistem terbesar di Maluku Utara adalah sistem Ternate. Sistem ini memiliki pasokan pembangkit sekitar 35 MW yang terdiri atas pembangkit sendiri 14,8 MW dan mesin sewa 20,3 MW, sedangkan sistem isolated lainnya yang relatif agak besar sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3.2. Ternate merupakan eks-ibukota Maluku Utara yang mempunyai populasi terbesar di provinsi ini. Pemakaian listrik diserap oleh pelanggan rumah tangga (92,5%), komersial (3,9%), publik (3,6%) dan industri (0,01%). Dari realisasi penjualan tenaga listrik PLN dalam lima tahun terakhir dan mempertimbangkan kecenderungan pertumbuhan ekonomi, pertambahan penduduk dan peningkatan rasio elektrifikasi di masa datang, maka proyeksi kebutuhan listrik pada seperti ditunjukan Tabel Panas Bumi Gambar 3.7 Peta lokasi pembangkit di Maluku Utara 17

19 Potensi panas bumi di Maluku Utara tersebar di 9 (sembilan) lokasi dengan total sumber daya sebesar 267 MW dan cadangan sebesar 42 MW. Dari sembilan lokasi potensi tersebut satu lokasi telah mendapat wilayah kerja pertambangan (WKP) yaitu lapangan panas bumi Jailolo di Kabupaten Halmahera Barat yang akan dikembangkan oleh PT. Star Energy Geotermal, sedangkan satu lokasi masih dalam proses lelang yaitu lapangan panas bumi Songa Wayaua di Halmahera Selatan (Tabel 3.4). Tabel 3.2 Kapasitas pembangkit terpasang di Maluku Utara Tabel 3.3 Proyeksi kebutuhan tenaga listrik 18

20 Tabel 3.4 Potensi panas bumi di Maluku Utara 19

21 20

22 21

23 3.1.4 Pengembangan Kawasan Budidaya 22

24 Pemanfaatan kawasan budidaya direncanakan sesuai dengan upaya desentralisasi ruang pengembangan wilayah dan potensi lokal, baik sektor primer, sekunder, maupun tersier. Berdasarkan kecenderungan perkembangan, sektor primer merupakan sektor ekonomi potensial di Provinsi Maluku Utara. Kawasan budidaya merupakan kawasan di luar kawasan lindung yang kondisi fisik dan potensi sumber daya alamnya dianggap dapat dan perlu dimanfaatkan baik bagi kepentingan produksi (kegiatan usaha) maupun pemenuhan kebutuhan permukiman. Oleh karena itu, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Maluku Utara, penetapan kawasan ini dititikberatkan pada usaha untuk memberikan arahan pengembangan berbagai kegiatan budidaya sesuai dengan potensi sumber daya yang ada dengan memperhatikan optimasi pemanfaatannya. Kriteria untuk mendelineasikan kawasan budidaya secara umum lebih didasarkan pada faktor kesesuaian lahan. Dilihat dari kriterianya, pada dasarnya terdapat wilayah yang dapat saja memenuhi kriteria untuk pengembangan beberapa jenis kegiatan budidaya. Dengan demikian, pengalokasian ruangannya di samping didasarkan pada kesesuain lahan juga mempertimbangkan aspek ekonomisnya serta kebijakan secara nasional atau daerah sebagai dasar bagi prioritasnya. Berdasarkan pada kepentingan pemanfaatan ruang secara optimal untuk kegiatan yang bersifat budidaya, maka dalam RTRWP ini perlu dilakukan prioritas di dalam memberikan arahan pengembangan yang dapat dibedakan menurut tingkat perkembangan wilayah. Dalam kaitan ini Maluku Utara dipandang sebagai wilayah yang relatif belum berkembang (dalam konteks antar wilayah/nasional) dengan penduduk relatif jarang. Prioritas di dalam mengarahkan jenis kegiatan budidaya yang akan dikembangkan adalah menurut intensitas pemanfaatan ruang-ruang dengan urutan sebagai berikut: (1) Permukiman (kota dan desa); (2) kawasan pertanian yang terdiri atas tanaman pangan lahan basah, perkebunan dan tanaman pangan lahan kering; (3) kawasan hutan produksi yang terdiri atas hutan produksi konversi, hutan produksi biasa/tetap dan hutan produksi terbatas; (4) kawasan pertambangan dan perindustrian; (5) kawasan pariwisata. Pengembangan kawasan budidaya di Maluku Utara pada dasarnya perlu ditunjang oleh pengembangan prasarana dan sarana pendukungnya agar sesuai dengan kawasan tersebut dan dapat berfungsi sebagaimana mestinya serta memberikan manfaat optimal. Secara umum kegiatan budidaya yang akan dikembangkan di Provinsi Maluku Utara dapat dibedakan menurut karakteristiknya dalam memanfaatkan ruang. Dalam hal ini kawasan hutan produksi merupakan peyangga kawasan lindung, 23

25 sedangkan kawasan pertanian, pertambangan, perindustrian dan permukiman merupakan kegiatan budidaya intensif dalam memanfaatkan ruang. Pemanfaatan ruang untuk kegiatan budidaya selanjutnya diarahkan berdasarkan sifat-sifat kegiatan yang akan ditampung, potensi pengembangan dan kesesuaian lahan. Kegiatan budidaya terbentuk menurut 5 (lima) bentuk satuan ruang, yakni pedesaan, perkotaan, pesisir dan pulau-pulau kecil, andalan dan strategis. Kawasan perkotaan menampung kegiatan-kegiatan permukiman perkotaan, industri, jasa dan perdagangan serta kegiatan pelayanan lainnya; pedesaan merupakan kawasan transisi antara kawasan yang berfungsi sebagai perlindungan dan perkotaan yang memiliki kegiatan primer yang berorientasi sumberdaya alam; pesisir dan pulau kecil merupakan kawasan yang memberikan perlindungan kawasan di bawahannya, perlindungan setempat, cagar alam, suaka margasatwa, dan rawan bencana, serta kawasan tertentu yang bersifat strategis dari segi ekonomi, sosial, pertahanan-keamanan, dan lingkungan. Orientasi kegiatan di kawasan pedesaan mencakup berbagai kegiatan yang menyangga keberadaan kawasan lindung, seperti hutan produksi, pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perkebunan, peternakan, perikanan dan permukiman pedesaan. Berdasarkan pedoman penyusunan RTRW, kawasan budidaya telah diklasifikasikan secara khusus. Di Maluku Utara, kawasan budidaya yang akan ditetapkan mencakup wilayah daratan dan lautan yang terdiri atas: (1) Kawasan hutan produksi tetap; (2) Hutan produksi terbatas; (3) Hutan produksi; (4) Arahan penggunaan lain : a. Budidaya non hutan dan perkebunan yang dapat dikonversikan; b. Pertanian, yaitu pertanian lahan basah dan perkebunan; c. Kawasan pertambangan; d. Kawasan perindustrian; e. Kawasan pariwisata; f. Perikanan; g. Kawasan permukiman Pertambangan 24

26 Maluku Utara memiliki potensi tambang yang beragam baik logam, non logam maupun batuan yang tersebar hampir di seluruh wilayah. Potensi tambang tersebut di antaranya nikel, kobal, emas, tembaga, bauksit, mangan, bijih besi, pasir besi, titanium, batubara, kaolin, asbes, batu permata, pasir kuarsa, granit, talk, batu gamping, batu apung dan lain lain, tabel 3.5 menunjukkan potensi mineral unggulan. Halmahera mempunyai potensi endapan bahan galian emas epitermal di daerah Gosowong dengan potensi yang terkandung dalam busur magmatik, sedangkan endapan nikel laterit tersebar di Tanjung Buli, Pulau Gebe, Pulau Gag, Pulau Pakal, Pulau Obi, dan Teluk Weda (Gambar 3.8). Gambar 3.8. Lokasi pertambangan di Maluku Utara Tabel 3.5 Potensi mineral unggulan No. Komoditi Sumberdaya (Ton) Lokasi 1. Emas Halmahera Utara dan Halmahera Barat 2. Nikel Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Halmahera Selatan (P. Obi) 3. Pasir Besi Sula, Morotai, Halmahera Utara, Halmahera Barat 4. Mangan Halmahera Utara Lokasi endapan nikel di Maluku Utara tersebar di tiga Kabupaten, yaitu di Halmahera Timur, Halmahera Tengah dan Selatan dengan jumlah cadangan total sekitar 4,6 milyar ton (Dinas ESDM 25

27 Provinsi Maluku Utara, 2011). Mineral nikel ini diklasifikasikan sebagai nikel laterit dengan luas sebaran Ha dan sebagian besar tersebar di Kabupaten Halmahera Timur (Tabel 3.6). Tabel 3.6 Luas sebaran nikel di Maluku Utara LOKASI ENDAPAN KECAMATAN / KABUPATEN KETERANGAN a. Mala-Mala. Loji, Kawasi b. Fluk, Danau Karu, Ds Baru c. Bukit Santa Monika d. Pulau Gebe e. Maba dan Buli f. Wasile Selatan g. Wasile Utara TOTAL LUAS POTENSI NIKEL Halmahera Selatan Halmahera Selatan Weda Halteng Halteng Haltim Haltim Haltim Ha; EndapanNikel Laterit Ha; Endapan Nikel Laterit Ha Endapan Nikel Laterit Ha Endapan Nikel Laterit Ha Endapan Nikel Laterit Ha Endapan Nikel Laterit Ha Endapan Nikel Laterit HA Jumlah IUP nikel di Maluku Utara sebanyak 79 IUP, yaitu di Halmahera Selatan 17 IUP, Halmahera Timur 36 IUP dan Halmahera Tengah 27 IUP. Perusahaan pemilik IUP yang sudah melakukan operasi produksi terdapat di Halmahera Selatan sebanyak 5 dari 17 IUP (29,4%), Halmahera Timur 8 dari 36 IUP (22,2%), dan Halmahera Tengah 11 dari 27 IUP (40,7%). Rasio IUP produksi terhadap jumlah IUP di Maluku Utara adalah sebesar 30,3% yang meliputi Halmahera Selatan 6,3%, Halmahera Timur 10,1% dan Halmahera Tengah 13,9% (Tabel 3.7). Halmahera Selatan NO NAMA PERUSAHAAN Tabel 3.7 Data IUP Maluku Utara LUAS WILAY AH (HA) TAHAPAN KEGIATAN KOMODITAS LOKASI IZIN PT. BELA KENCANA EKSPLORASI NIKEL DESA SOLIGI KEC. OBI SELATAN 2. PT. BELA KENCANA EKSPLORASI NIKEL DESA SOLIGI KEC. OBI SELATAN 3. PT. BELA KENCANA EKSPLORASI NIKEL DESA SOLIGI KEC. OBI SELATAN 4. PT. GANE PERMAI SENTOSA OPERASI PRODUKSI NIKEL DESA KAWASI KEC. OBI 5 PT. GANE PERMAI SENTOSA 1.775,40 OPERASI PRODUKSI NIKEL DESA BARU KEC. OBI 6 PT. GANE PERMAI SENTOSA 4.628,30 EKSPLORASI NIKEL DESA FLUK KEC. OBI SELATAN 7 PT. GANE PERMAI SENTOSA 484,78 OPERASI PRODUKSI NIKEL DESA BARU KEC. OBI 8 PT. GANE PERMAI SENTOSA 1.128,83 OPERASI PRODUKSI NIKEL D DESA KAWASI KEC. OBI 9 PT. GANE PERMAI SENTOSA 1.400,06 OPERASI PRODUKSI NIKEL DESA BARU KEC. OBI 10 PT. HALIM PRATAMA EKSPLORASI NIKEL DESA SUM KEC. OBI TIMUR 11 PT. HALIM PRATAMA EKSPLORASI NIKEL DESA JIKODOLONG KEC. OBI TIMUR 12 PT. INTIM MINING SENTOSA EKSPLORASI NIKEL DESA BOBO KEC. OBI 17 PT. SURYA KIRANA DUTA MAS EKSPLORASI NIKEL DESA SOLIGI KEC. OBI SELATAN Halmahera Tengah LUAS NO NAMA PERUSAHAAN WILAYAH (HA) TAHAPAN KEGIATAN KOMODITAS LOKASI IZIN

28 1 PT BARTHA PUTRA MULIA EKSPLORASI NIKEL KEC. PULAU GEBE 2 PT BAWO KEKAL SEJAHTERA INTERNASIONAL EKSPLORASI NIKEL KEC. PATANI 3 PT BHAKTI PERTIWI NUSANTARA 947 OPERASI PRODUKSI NIKEL KEC. WEDA UTARA 4 PT BUMI HALTENG MINING 695 OPERASI PRODUKSI NIKEL KEC. WEDA UTA 5 PT DHARMA ROSADI INTERNASIONAL 700 OPERASI PRODUKSI NIKEL KEC. WEDA UTA 6 PT DHARMA ROSADI INTERNASIONAL OPERASI PRODUKSI NIKEL KEC. WEDA UTA 7 PT DHARMA ROSADI INTERNASIONAL OPERASI PRODUKSI NIKEL KEC. WEDA UTA 8 PT ELSADAY MULIA 550 EKSPLORASI NIKEL KEC. PULAU GEBE 9 PT ELSADAY MULIA 305 EKSPLORASI NIKEL KEC.PULAU GEBE 10 PT ELSADAY MULIA 851 EKSPLORASI NIKEL KEC. PULAU GEBE 11 PT FAJR BHAKTI LINTAS NUSANTARA 500 OPERASI PRODUKSI NIKEL KEC. PULAU GEBE 12 PT FAJR BHAKTI LINTAS NUSANTARA EKSPLORASI NIKEL KEC. PATANI 13 PT FAJR BHAKTI LINTAS NUSANTARA 100 EKSPLORASI NIKEL KEC. PULAU GEBE 14 PT HALMAHERA RESOURCES PERKASA EKSPLORASI NIKEL KEC. WEDA 15 PT HARMA NUSA MINERAL EKSPLORASI NIKEL KEC. PATANI 16 PT HARMA NUSA MINERAL EKSPLORASI NIKEL KEC. PATANI 17 PT HARUM SUKSES MINING 990 OPERASI PRODUKSI NIKEL KEC. WEDA UTARA 18 PT HARUM SUKSES MINING 700 OPERASI PRODUKSI NIKEL KEC. WEDA UTARA 19 PT INTEGRA MINING NUSANTARA EKSPLORASI NIKEL KEC. WEDA UTARA 20 PT KARYA SIAGA EKSPLORASI NIKEL KEC. WEDA 21 PT KARYA WIJAYA EKSPLORASI NIKEL KEC. WEDA UTARA 22 PT KARY AWIJAYA 500 EKSPLORASI NIKEL KEC. PULAU GEBE 23 PT LOPOLY MINING 500 EKSPLORASI NIKEL KEC. PULAU GEBE 24 PT MINERAL TROBOS 300 EKSPLORASI NIKEL KEC. PULAU GEBE 25 PT TEKINDO ENERGI 965 OPERASI PRODUKSI NIKEL KEC. WEDA 26 PT ZHONG HAI METAL MINING INDONESIA 688 OPERASI PRODUKSI NIKEL KEC. WEDA UTARA 27 PT ZHONG HAI METAL MINING INDONESIA 118 OPERASI PRODUKSI NIKEL KEC. WEDA UTARA Halmahera Timur NO NAMA PERUSAHAAN LUAS WILAYAH TAHAPAN (HA) KEGIATAN KOMODITAS LOKASI IZIN PT ADHITA NIKEL INDONESIA EKSPLORASI NIKEL KEC. KOTA MABA 2 PT ALAM RAYA ABADI 924 OPERASI PRODUKSI NIKEL KEC. WASILE 3 PT AMINY BROSINDO ODHAYOS EKSPLORASI NIKEL KEC. WASILE TENGAH 4 PT ANEKA TAMBANG OPERASI PRODUKSI NIKEL KEC. MABA DAN MABA KOTA 5 PT BUDHI DHARMA INTI TAMBANG EKSPLORASI NIKEL KEC. WASILE SELATAN 6 PT BUDHI DHARMA INTI TAMBANG EKSPLORASI NIKEL KEC. WASILE SELATAN 7 PT BUKIT NIKEL EKSPLORASI NIKEL KEC. WASILE SELATAN DAN MABA 8 PT COSMOS INTI MINERAL EKSPLORASI NIKEL KEC. WASILE UTARA 9 PT COSMOS TATA PERSADA EKSPLORASI NIKEL KEC. KEC. WASILE UTARA 10 PT HALTIM MINING 344,6 EKSPLORASI NIKEL KEC. MABA KOTA 11 PT INDO BUMI NIKEL OPERASI PRODUKSI NIKEL KEC. WASILE DAN WASILE TIMUR 12 PT INVESTA PRATAMA INTIKARYA EKSPLORASI NIKEL KEC. WASILE UTARA 13 PT JAYA ABADI SEMESTA EKSPLORASI NIKEL KEC. WASILE DAN MABA 14 PT KARYA PRIMA MANDIRI PERSADA EKSPLORASI NIKEL KEC. MABA UTARA 15 PT KEMAKMURAN INTI UTAMA TAMBANG EKSPLORASI NIKEL KEC. WASILE SELATAN 27

29 16 PT KEMAKMURAN PERTIWI TAMBANG 17 PT KEMAKMURAN PERTIWI TAMBANG 18 PT KEMAKMURAN PERTIWI TAMBANG 19 PT KEMAKMURAN PERTIWI TAMBANG EKSPLORASI NIKEL KEC. WASILE SELATAN EKSPLORASI NIKEL KEC. WASILE SELATAN 961,07 OPERASI PRODUKSI NIKEL KEC. WASILE SELATAN OPERASI PRODUKSI NIKEL KEC. WASILE SELATAN 20 PT MAKMUR JAYA LESTARI 394 OPERASI PRODUKSI NIKEL KEC. MABA KOTA 21 PT MAKMUR JAYA LESTARI EKSPLORASI NIKEL KEC. WASILE DAN MABA 22 PT MAKMUR JAYA LESTARI 924 OPERASI PRODUKSI NIKEL KEC. WASILE 23 PT MAXIMA UTAMA EKSPLORASI NIKEL KEC. WASILE TENGAH 24 PT MAXIMA UTAMA 912 EKSPLORASI NIKEL KEC. WASILE UTARA 25 PT MAXIMA UTAMA EKSPLORASI NIKEL KEC. WASILE UTARA 26 PT MAXIMA UTAMA EKSPLORASI NIKEL KEC. WASILE UTARA 27 PT MAXIMA UTAMA EKSPLORASI NIKEL KEC. WASILE UTARA 28 PT MAXIMA UTAMA 562,30 EKSPLORASI NIKEL KEC. MABA 29 PT PALEM SAKTI UTAMA EKSPLORASI NIKEL KEC. MABA TENGAH 30 PT PERMATA TUJUH DUA EKSPLORASI NIKEL KEC. MABA DAN MABA TENGAH 31 PT POSITION EKSPLORASI NIKEL KEC. MABA KOTA 32 PT POSITION EKSPLORASI NIKEL KEC. WASILE TENGAH 33 PT PRIVEN LESTARI EKSPLORASI NIKEL KEC. MABA DAN MABA KOTA 34 PT RODA NUSANTARA EKSPLORASI NIKEL KEC. MABA DAN WASILE 35 PT SAMBAKI TAMBANG SENTOSA OPERASI PRODUKSI I NIKEL DESA GANTOLI KEC. MABA 36 PT TELUK BULI SENTOSA EKSPLORASI NIKEL KEC. MABA TENGAH Pada 2009, nikel hasil tambang di Maluku Utara sebesar 23 juta ton (Tabel 3.8) yang sebagian besar terdapat di titik eksplorasi Tanjung Buli, Pulau Pakal, Sangaji dan Mornopo, Kabupaten Halmahera Timur. Sementara itu nikel yang telah diolah menjadi feronikel sebesar ton (BPS Maluku Utara, 2011) Pengolahan Nikel Bijih nikel laterit dapat diolah secara pirometalurgi dan hidrometalurgi tergantung dari lapisan endapan bijih nikel laterit yang akan diolah. Lapisan endapan bijih nikel terdiri atas: Tudung besi (iron cap) dengan kandungan nikel yang rendah < 0,5% Ni dan Fe sekitar 40%. Lapisan limonit yang didominasi oleh mineral gutit (FeOOH) dengan kandungan nikel sekitar 0,5% dan Fe di atas 40%. Tabel 3.8 Produksi nikel di Maluku Utara NAMA PERUSAHAAN JENIS BAHAN GALIAN PRODUKSI PERTAHUN (ton) Negara Tujuan Eksport 28

30 PT Aneka Tambang Buli Nikel Ukraina, Jepang PT Gane Permai Sentosa (Kec. Obi, Kab Halmahera Selatan) Nikel Cina PT Trimegah Bangun Persada Nikel Cina PT Makmur Jaya Lestari (Kec. Maba dan Wasile, Kab Haltim) Nikel Cina PT Alam Raya Abadi (Kec. Wasile, Kab Haltim) Nikel Cina PT Sambaki Tambang Sentosa (Kec. Maba, Kab Haltim) Nikel Cina PT Kemakmuran Pertiwi Tambang (Kec. Wasile Selatan, Kab Haltim) Nikel Cina PT Rimba Kurnia Alam Nikel Cina Total Produksi Nikel Maluku Utara Lapisan saprolit yang sering kali disertai dengan keberadaan pengotor batuan basal. Lapisan saprolit ditandai dengan kandungan Mg yang kaya (10 20%) dan besi yang bersubstitusi dengan dengan magnesium dalam mineral serpentin (Mg3Si2O5(OH)4), dan gutit dengan total Fe 10-25% Lapisan garnerit Lapisan bed rock yang mengalami proses pelapukan. Baik proses hidro maupun pirometalurgi sudah komersial untuk mengolah bijih nikel laterit. Proses pirometalurgi umumnya menghasilkan ferronickel dan nikel mate sulfida yang dapat diproses lebih lanjut menjadi logam Ni. Proses pirometalurgi lebih cederung diterapkan untuk bijih nikel saprolit yang pengerjaannya terdiri atas tahapan pengeringan, kalsinasi/reduksi kemudian dilebur dalam tungku listrik. Pada kapasitas yang rendah, energi yang dibutuhkan MW. Kelemahan teknologi pirometalurgi adalah energi yang dibutuhkan besar dan membutuhkan kandungan nikel yang tinggi di atas 1,8% serta perolehan kobal yang rendah, walaupun demikian di Jepang, Nippon Yakin mengembangkan teknologi pirometalurgi yang dapat membuat sponge/luppen/nugget Fe-Ni dalam tungku putar yang tidak melibatkan tungku listrik. Kandungan nikel dalam nugget/luppen sekitar 15-23% Ni. Teknologi ini merupakan modifikasi dari proses Krupp Renn. Rangkaian prosesnya terdiri atas proses pengeringan, kalsinasi/reduksi, penggilingan dan pemisahan dengan separator magnetik. Energi yang dibutuhkan dalam proses ini relatif rendah. 29

31 Teknologi hidrometalurgi diterapkan untuk bijih limonitik, namun nikel saprolit dengan kandungan nikel di atas 3% dan magnesium tinggi dapat juga diolah dengan cara hidrometalurgi. Proses hidrometalurgi yang sudah komersial adalah: 1. Proses Caron, yang mengkonsumsi energy sangat tinggi. Proses ini merupakan kombinasi piro/hidrometalurgi dengan perolehan nikel dan kobal rendah. 2. HPAL atau high-pressure acid leaching yang dapat menghasilkan perolehan nikel dan kobal tinggi >90%. Berlangsung pada persen padatan 20% dengan konsumsi asam kg/t bijih, tekanan atm, suhu 270 o C dan menggunakan otoklaf titanium. 3. Pelindihan Atmosferik dilakukan untuk memperbaiki proses HPAL yang membutuhkan konsumsi asam tinggi. Teknologi pelarutan ini membutuhkan penambahan bahan pereduksi untuk meningkatkan kelarutan kobal. 4. Pelarutan onggok (heap leaching) diterapkan pada bijih limonit dengan kandungan nikel rendah. Bijih nikel di tumpuk di atas pad kemudian disemprot laturan asam untuk melarutkan nikel dan kobal. Proses pelarutan berlangsung sekitar 3-6 bulan. Biaya investasi untuk pendirian smelter nikel adalah US$ 12-15/lb Ni diluar biaya pembangunan pembangkit listrik, menghasilkan Ni kandungan 1,8-2,5%. Biaya operasi US$ 1,5-2,4/lb Ni. Nilai investasi proses hidrometalurgi sekitar US$ 12-18/lb Ni dan kandungan Ni yang dihasilkan adalah 1,4% Ni. Biaya operasinya 1,00-2,10/lb Ni. Untuk memperoleh logam Ni dari deposit tipe laterit terdapat beberapa jalur proses pengolahan seperti ditunjukkan pada Tabel 3.9. Komposisi laterit nikel akan tergantung kepada jenis batuan induk, iklim tempat endapan terbentuk dan proses pelapukan. Hal ini memberikan hubungan yang spesifik antara komponen deposit dan pilihan proses pengolahannnya disertai kendala-kendalanya. Tabel 3.9 Jenis bijih teknologi proses Teknologi Pengolahan Limonit Saprolit Spesifikasi Umpan 30

32 Pengolahan nikel laterit yang diterapkan secara komersial didasarkan kepada kandungan magnesium (Mg) dan rasio nikel-besi (Ni/Fe). Saat ini terdapat dua (2) pilihan proses ekstraksi, yaitu pirometalurgi dan hidrometalurgi (Gambar 3.9). Jalur pirometalurgi menggunakan umpan nikel laterit tipe saprolit dengan produk nikel berupa ferro-nickel (FeNi) dan nickel sulfide matte (nickel matte). Proses ekstraksi nikel laterit limonit dapat menghasilkan nickel pig iron dan crude ferro nicke, sedangkan proses hidrometalurgi paling umum diterapkan untuk laterit limonit. Walaupun laterit saprolit berkadar nikel lebih tinggi ( 3%) daripada lapisan limonit tetapi kandungan magnesiumnya tinggi menyebabkan konsumsi asam lebih banyak. Overburden to stockpile Hydrometallurgy Hydrometallurgy or Pyrometallurgy Pyrometallurgy Left in situ 3.9 Skema profil laterit, komposisi kimia dan jalur proses ekstraksi Gambar 31

33 Gambar 3.10 Bagan alir proses pengolahan nikel laterit Proses Pirometalurgi (1) Pembuatan Ferro-Nickel Pembuatan ferro-nickel dilakukan melalui dua rangkaian proses utama yaitu reduksi dalam tungku putar (rotary kiln, RK) dan peleburan dalam tungku listrik (electric furnace, EF) dan yang lazim dikenal sebagai Rotary Kiln Electric Smelting Furnace Process atau ELKEM Process. Bijih yang telah dipisahkan, baik ukuran maupun campuran untuk mendapatkan komposisi kimia yang diinginkan, diumpankan ke dalam pengering putar (rotary dryer) bersama-sama dengan reductant dan flux. Selanjutnya dilakukan pengeringan sebagian (partical drying) atau pengurangan kadar air (moisture content) dan kemudian dipanggang pada tanur putar (rotary kiln) dengan suhu sekitar C tergantung kepada sifat bijih yang diolah. Maksud utama pemanggangan (calcination) adalah untuk mengurangi kadar air, baik yang berupa air lembab (moisture content) maupun yang berupa air kristal (crystalized water), serta mengurangi zat hilang bakar (loss of ignition) dari bahan-bahan baku lain-nya. Selain itu, pemanggangan dimaksudkan juga untuk memanaskan (preheating) dan sekaligus mencampur bahan-bahan baku tersebut. Dalam tanur putar dilakukan juga reduksi pendahuluan (prereduction) secara selektif untuk mengatur kualitas produk dan meningkatkan efisiensi/produktivitas tanur listrik, sesuai kebutuhan pasar dan kadar bijih yang diolah. Sekitar 20% kandungan nikel bjiih tereduksi, sehingga energi yang dibutuhkan dalam tanur listrik menjadi lebih rendah. Bijih terpanggang dan tereduksi sebagian dari tanur putar ini dimasukkan ke dalam tanur listrik secara kontinu dalam keadaan panas (di atas 500 C), agar dapat dilakukan pereduksian dan peleburan. Dari hasil peleburan diperoleh feronikel (crude ferronickel) yang selanjutnya dimurnikan pada proses pemurnian. Crude ferronickel memiliki kandungan 15-25% Ni dan pengotor tinggi seperti karbon, silikon dan krom. Pemurnian dilakukan 32

34 dengan oxygen blowing untuk menghilangkan karbon, krom dan silikon juga ditambahkan flux berupa kapur, dolomit, flourspar, aluminium, magnesium, ferosilikon dsb. untuk menghasilkan terak yang memungkinkan sulfur dapat terserap pada saat pengadukan dengan injeksi nitrogen. Hasil pemurnian dituang menjadi balok feronikel (ferronickel ingot) atau digranulasi menjadi butir-butir feronikel (ferronickel shots), dengan kadar nikel sekitar 25%. Bagan alir pembuatan ferro nikel dapat dilihat pada Gambar Di dalam proses pirometalurgi, produk yang dihasilkan terdiri atas: produk utama: logam paduan ferronickel komposisi kimia: o high carbon Fe-Ni: 23.4%-Ni; 1.75%-C; o low carbon Fe-Ni: 24.4%-Ni; 0.01%-C produk samping: terak ; campuran logam oksida Gambar 3.11 Bagan alir proses pembuatan ferro nikel kondisi proses: mempunyai kadar nikel tinggi (>2.2%Ni) rasio Fe/Ni rendah (5-6)r kadar MgO tinggi rasio SiO 2/MgO >2.5 (2) Pembuatan Nickel Matte 33

35 Nickel matte dibuat secara komersial pertama kali di Kaledonia Baru menggunakan blast furnace sebagai tanur peleburan dan gipsum sebagai sumber belerang sekaligus sebagai bahan flux. Dewasa ini pembuatan matte dari bijih oksida dilakukan menggunakan tanur putar dan tanur listrik. Gambar 3.12 menunjukkan bahwa sebagian besar tahapan proses yang dilakukan dalam proses pembuatan ferronikel juga dilakukan dalam proses ini. Bijih yang kandungan airnya dikurangi, dimasukkan ke dalam tanur putar. Produk tanur putar diumpankan ke dalam tanur listrik, untuk menyempurnakan proses reduksi dan sulfurisasi sehingga menghasilkan matte. Furnace ini mengandung nikel 30 35%, belerang 10 15% dan sisanya besi dimasukkan ke dalam converter untuk menghilangkan/mengurangi sebagian besar kadar besi. Hasil akhir berupa mat yang mengandung nikel 77%, belerang 21% serta kobal dan besi masing-masing 1%. Produk yang dihasilkan adalah sebagai berikut: produk utama: nickel matte komposisi kimia: 70-78%-Ni; %Co; %-Cu; %-Fe;18-22%-S Gambar 3.12 Diagram alir proses pembuatan nickelmatte produk samping: terak; campuran logam oksida kondisi proses: mempunyai kadar nikel tinggi (>2.2%Ni) rasio Fe/Ni rendah (>6) kadar MgO tinggi rasio SiO 2/MgO antara (3) Pembuatan Nickel Pig Iron Nickel pig iron (NPI) adalah logam besi wantah dengan kandungan Ni sekitar 5-10% Ni yang merupakan hasil proses peleburan bijih nikel kadar rendah di bawah 1.8% Ni. Pada saat ini NPI dihasilkan dari proses peleburan bijih nikel kadar rendah menggunakan tungku tegak blast furnace. 34

36 NPI digunakan sebagai bahan baku pembuatan baja tahan karat. Bagan alir pembuatan NPI dapat di lihat pada Gambar (4) Pembuatan Fe-Ni wantah Rute lain untuk mengurangi konsumsi energi listrik adalah melalui jalur dead reduction dalam rotary kiln. Tahapan terdiri atas sizing kemudian pengeringan, direduksi dalam rotary kiln sehingga nikel oksida dan besi oksida terreduksi menjadi logam masing-masing dan membentuk nickel-ferro alloy. Untuk memisahkan pengotor kalsin rotary kiln dilakukan penggerusan dan selanjutnya pemisahan dengan pemisah magnetik sampai dihasilkan konsentrat ferronickel. Konsentrat Fe Ni wantah kemudian dibriket dan dipasarkan. Proses ini dapat mengolah bijih nikel kadar rendah 0,8-1,5% Ni. Bagan alir pembuatan Fe Ni wantah dapat dilihat pada Gambar Legend Flow = Main Ni Coal Wet One Ore Storage Fugitive Dust Coal Coal Air Rotary Driyer Dry Ore Storage Crusher coal Kiln No. 1 Kiln No. 2 Air Dust Agglomerat Slag Electric Fumance atau Blast PS Ball Nickel Pig Gambar 3.13 Bagan alir pembuatan Nickel Pig Iron Legend Coal Coal = Main Ni Flow = Dust Stream = Secondary Coal Air Wet One Ore Storage 35 Rotary Driyer Fugitive Dust Collection Dust Agglomerasi

37 Gambar 3.14 Bagan alir pembuatan FeNi wantah HASIL DAN PEMBAHASAN Pengembangan Kawasan Pertambangan dan Pengolahan Penambangan nikel di Maluku Utara saat ini dilakukan oleh PT. Aneka Tambang, Tbk. lokasinya tersebar di daerah Tanjung Buli, Gee dan Marnopo. Perusahaan ini merencanakan pengolahan bijih nikel yang saat ini masih dalam proses pembangunan. Selain perusahaan tersebut di Maluku Utara ada juga perusahaan besar lain yang akan melakukan kegiatan penambangan dan proses pengolahan, yaitu PT. Weda Bay. Kebutuhan energi listrik untuk pembangunan smelter kedua perusahaan ini dipenuhi oleh PLTU batubara yang dibangun sendiri, sehingga ke dua perusahaan ini tidak tidak diperhitungkan dalam menentukan kebutuhan energi panas bumi. Lokasi atau kawasan pertambangan nikel cukup banyak dan tersebar di Maluku Utara, namun yang terpenting adalah bahwa pengembangan lokasi pertambangan nikel tidak mengubah fungsi hutan lindung atau kawasan lindung. Pengembangan secara lebih luas mengenai pertambangan nikel dan industri pengolahannya tetap mengacu pada peraturan perundanganan mengenai kegiatan pertambangan secara nasional. Pemanfaatan lahan untuk pertambangan dan pengolahannya adalah pada tatanan kawasan budidaya yang non produktif di bagian permukaan tanah, sehingga memberikan manfaat lain pada kondisi tanah yang sebelumnya dianggap non produktif. Beberapa potensi sumberdaya mineral nikel tersebar di tiga wilayah, yaitu Halmahera selatan, Tengah dan Timur Kesesuaian Lahan Untuk Smelter Nikel 36

38 Pertimbangan utama dalam penentuan lokasi smelter nikel adalah kemudahan pencapaian (aksesibilitas), baik dalam hal penyediaan bijih nikel maupun pemasaran hasil industri. Oleh karena itu lokasi smelter harus dekat dengan jaringan jalan dan pelabuhan, selain itu lokasi smelter perlu mempertimbangkan jarak dengan lokasi permukiman untuk kemudahan memperoleh tenaga kerja dan mengurangi dampak negatif dari hasil sampingan smelter berupa polusi, baik padat, cair, maupun gas. Mengingat salah satu komponen biaya produksi adalah pengadaaan prasarana dan sarana penunjang, lokasi smelter perlu memperhatikan jarak terhadap pelayanan fasilitas dan prasarana tersebut. Mengingat kegiatan smelter nikel di samping menghasilkan produksi juga hasil sampingan berupa limbah padat, cair dan gas; untuk mencegah timbulnya dampak negatif sebaiknya dialokasikan pada kawasan budidaya non pertanian dan non permukiman, terutama bagi smelter skala menengah dan besar. Smelter yang memerlukan kedekatan dengan sungai, baik sebagai sumber air baku kegiatan smelter maupun sebagai bahan penerima buangan yang bersifat cair, dapat berlokasi di dekat sungai yang bukan merupakan sumber air minum langsung maupun bahan baku untuk air minum dengan terlebih dahulu melakukan pengolahan air buangan. Sesuai dengan Keppres Nomor 33 Tahun 1990 pasal 2, menyatakan bahwa kegiatan pembangunan kawasan industri (smelter) tidak dapat dilakukan pada kawasan pertanian, kawasan hutan produksi dan kawasan lindung. Selain memperhatikan aksesabilitas, pengembangan smelter nikel juga harus memperhatikan penetapan kawasan strategis di Maluku Utara (Gambar 3.15). Menurut penetapan kawasan strategis ini, kawasan industri (smelter nikel) dapat berada di suatu kawasan khusus industri dengan persyaratan tetap di kawasan budidaya. Persyaratan lokasi kawasan industri telah diatur menurut ketentuan yang ada baik dari Kementerian Perindustrian dan Perdagangan maupun dari Kementerian Pekerjaan Umum. Pada prinsipnya alokasi kawasan industri berada pada kelerengan yang tidak lebih dari 8 persen serta dilengkapi sarana dan prasarana yang memadai untuk pengembangannya Kawasan Halmahera Selatan Kawasan ini merupakan wilayah yang perkembangannya relatif tertinggal dengan daerah lainnya di Maluku Utara, oleh karena itu perlu diprioritaskan pula penanganan pembangunannya agar terjadi pemerataan pembangunan. Potensi yang dimiliki Halmahera Selatan selain perkebunan adalah pertambangan nikel (Pulau Obi). Permasalahan yang dimiliki kawasan ini adalah kurangnya aksesibilitas. Untuk itu arahan pengembangan yang dapat direkomendasikan untuk kawasan ini adalah sebagai berikut: Pengembangan transportasi laut sehingga dapat meningkatkan hubungan kawasan ini dengan kawasan sekitarnya yang akan memudahkan penyaluran hasil-hasil produksi pertambangan kawasan ini dengan pusat pengolahannya di Pulau Bacan; Pengembangan transportasi darat untuk meningkatkan aksesibilitas intra wilayah Kawasan Weda 37

39 Berdasarkan kawasan andalan, kawasan Weda (Halmahera Tengah) merupakan pertambangan nikel yang sekaligus sebagai kawasan industri pengolahan bahan tambang. Dengan demikian Weda dapat dirujuk sebagai lokasi pembangunan industri pengolahan/pemurnian nikel. Kawasan ini meliputi Weda dan sekitarnya yang perlu diprioritaskan karena adanya rencana pengembangan kegiatan pertambangan nikel oleh PT. Weda Bay Nikel seluas Ha. dan rencana IUP lainnya untuk membangun smelter nikel. Gambar 3.15 Peta rencana pengembangan kawasan strategis Maluku Utara Arahan pengembangan yang direkomendasikan untuk kawasan ini adalah sebagai berikut: pengembangan kawasan pertambangan yang bersinergi dengan aspek rencana tata ruang dan lingkungan di sekitarnya sehingga dapat mencegah adanya konflik tata ruang dan kerusakan lingkungan; 38

40 pengembangan kegiatan ekonomi lokal dan sosial masyarakat di sekitarnya yang berkaitan erat dengan kegiatan penambangan sehingga dapat menghindarkan adanya konflik sosial dan kegiatan ekonomi yang bersifat enclave; pengembangan rencana pembangunan infrastrutur, khususnya jalan, pelabuhan dan jaringan listrik Kawasan Halmahera Timur Jumlah IUP nikel di kawasan ini paling banyak dibandingkan dengan daerah penghasil nikel lainnya. Selain PT. Aneka Tambang, IUP nikel lainnya yang tersebar di kawasan ini merencanakan membangun smelter nikel sesuai dengan batasan dalam Lampiran 1 Peraturan Menteri No. 20 Tahun Permasalahan utama adalah energi listrik yang tersedia di daerah masih terbatas. Berdasarkan perkiraan cadangan sumber daya mineral dan energi panas bumi, pengembangan industri dapat dikelompokkan dalam dua wilayah atau zone yaitu: 1. Zona 1 meliputi Halmahera dan sekitarnya. 2. Zona 2 meliputi Bacan dan pulau-pulau di sekitarnya. Zona 1 mencakup kawasan pertambangan nikel dan kawasan sumber energi panas bumi. Kawasan Pertambangan nikel terdapat di Halmahera Tengah dan Hlamahera Timur, sedangkan kawasan sumber energi panas bumi di Halmahera Barat, yaitu di wilayah Ibu dan Jailolo. Zona 2 mencakup kawasan pertambangan nikel di Halmahera Selatan (Obi dan wilayah energi panas bumi di bacan yaitu di Kei Besi, Indari, Labuha, dan Songa Wayaua Menentukan Konektivitas Lokasi Sektor Fokus ke Sarana Pendukung Pendekatan penting yang diambil dari pembangunan dan pengembangan ekonomi di Maluku Utara adalah dengan memilih sektor fokus yang menjadi pemicu pertumbuhan dalam koridor ekonomi. Dalam hal ini, sektor yang dapat dijadikan fokus Maluku Utara untuk memicu pertumbuhan dalam koridor ekonomi selain perikanan adalah pertambangan untuk mendukung pengembangan kawasan Maluku Utara sebagai kawasan megaminapolitan dan kawasan pertambangan. Ada 3 kawasan yang akan menjadi konektivitas utama di Maluku Utara, yaitu Ternate, Sofifi dan Morotai. Ternate dijadikan sebagai pengembangan kawasan perdagangan, sumber daya manusia serta IPTEK dan Sofifi sebagai kawasan konektivitas pertambangan nikel yang dihubungkan dari kawasan Halmahera Timur, Halmahera Selatan dan halmahera Tengah Sinkronisasi Pengembangan Mineral Nikel dan Panas Bumi Data Dinas Pertambangan dan Energi Maluku Utara 2010, menunjukan potensi sumber daya mineral nikel yang tersebar di beberapa wilayah, yaitu Halmahera Selatan, Tengah dan Timur. Sumber panas bumi berada di wilayah Halmahera Barat, Selatan, Utara dan Tidore. Berdasarkan keberadaan sumber 39

41 mineral nikel dan potensi panas bumi, hanya satu wilayah yang mempunyai potensi mineral nikel maupun energi panas bumi yaitu Halmahera Selatan. Dalam hal pengembangannya, wilayah-wilayah yang mempunyai potensi panas bumi dapat memasok energi listriknya ke wilayah-wilayah lain yang mempunyai potensi mineral nikel sebagai energi dalam proses pengolahan/pemurnian. Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan agar ke dua potensi tersebut dapat dikembangkan secara terpadu adalah: a. Potensi nikel dan jumlah produksi; b. Potensi dan proses pengembangan panas bumi; c. Teknologi proses pengolahan/pemurnian nikel dan kebutuhan energi listrik; d. Kondisi infra struktur (jaringan listrik, jalan, dan pelabuhan). A. IUP Nikel dan Jumlah Produksi Jumlah IUP nikel di Provinsi Maluku Utara ada 79 buah, yaitu di Halmahera Selatan (17 IUP), Halmahera Timur (36 IUP) dan Halmahera Tengah (27 IUP), sedangkan jumlah perusahaan pemilik IUP yang sudah melakukan operasi produksi Halmahera Selatan 5 IUP dari 17 IUP (29,4%), Halmahera Timur 8 IUP dari 36 IUP (22,2%) dan Halmahera Tengah 11 IUP dari 27 IUP (40,7%). Produksi bijih nikel di Maluku Utara sebesar ton per tahun belum termasuk rencana PT. Weda Bay Nickel sekitar ton yang akan diproses menadi feronikel dengan teknologi pirometalurgi, sehingga jumlah produksi bijih nikel per tahun akan mencapai ton. Apabila dua perusahaan (PT. Aneka Tambang dan PT. Weda Bay Nikel) melakukan pengolahan/pemurnian dengan energi listrik yang akan dipenuhi dari perusahaan masing-masing, jumlah bijih nikel yang harus diolah setiap tahun sekitar ton untuk dipadukan dengan potensi panas bumi di Maluku Utara. B. Potensi dan Proses Pengembangan Panas Bumi Sebagian besar potensi panas bumi di Maluku Utara masih dalam kategori sumberdaya, sehingga potensi energi listriknya masih berupa hipotetis atau spekulatif; hanya satu lokasi yang yang sudah dalam kategori terduga, yaitu di Jailolo Kabupaten Halmahera Barat. Potensi panas bumi di Maluku Utara berdasarkan tahapan penyelidikan dapat dilihat pada Tabel Pada Tabel tersebut terlihat jumlah potensi panas bumi di Maluku Utara sebesar 369 MW yang terdiri atas penyelikan pendahuluan dan penyelidikan rinci. Potensi terbesar yang sudah sampai tahapan penyelidikan rinci adalah Songa Wayaua Kabupaten Halmahera Selatan sebesar 110 MW dan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat sebesar 114 MW Tabel 3.10 Potensi panas bumi di Maluku Utara LOKASI TAHAPAN PENYELIDIKAN POTENSI Songa Wayaua Halmahera Selatan Penyelidikan Rinci 110 MW 40

42 Labuha Halmahera Selatan Penyelidikan pendahuluan 25 MW Kie Besi Halmahera Selatan Penyelidikan Pendahuluan 25 MW Indari Halmahera Selatan Penyelidikan pendahuluan 25 MW Mamuya Halmahera Utara Penyelidikan Rinci 5 MW Akelamo Halmahera Utara Penyelidikan Pendahuluan 25 MW Ibu Halmahera Barat Penyelidikan Pendahuluan 25 MW Jailolo Halmahera Barat Penyelidikan Rinci 114 MW Ake Sahu Tidore Kepulauan Penyelidikan Rinci 15 MW Total 369 MW Untuk pengembangan panas bumi yang ekonomis di perlukan tahapan usaha dengan dukungan finansial memadai, mulai dari survei penjajagan (reconnaissance), geologi, geofisika, geokimia, pengeboran percobaan dan analisis semua hasil data. Tahapan selanjutnya dilakukan secara bersamaan, meliputi design dan pengeboran sumur produksi, kemudian baru masuk ke tahapan konstruksi pembangkit termasuk pembangunan sistem pengumpul uap dan pembangkit tenaga listrik (Tabel 3.11). C. Teknologi proses pengolahan/pemurnian nikel dan kebutuhan energi listrik Sesuai dengan lampiran 1 Permen No. 20 Tahun 2013 bahwa batasan produk nikel minimum untuk di jual ke luar negeri adalah: - hydoxide nickel carbonate (HNC) 40% Ni - NIS 40% Ni - logam Co 99% - CoS 50% Co - Logam Cr 99% - Cr2 40% - MnO2 dengan kandungan Mn 15% - FeNi spon (Sponge FeNi) 4% Ni - luppen FeNi 4% Ni - nuget FeNi 4% Ni Tabel 3.11 Proses pengembangan lapangan panas bumi menjadi PLTP Tahap Eksplorasi Deskripsi 1 Penjajagan Topographical Survey Litteratur, Peta satelit (reconnaissance) Photogeological Survey (Lansat) Pesawat Udara Aeromagnetic Survey Infrared Survey Survei Geologi Geological Survey Penelitian mata air panas, Meneliti Distribusi Formasi Geologis, Struktur dan Perubahannya sungai, patahan, small bore drilling Survei Geofisika Gravity Survey Vibroseis, Bright Spot Seismic Survey AFMAG, Magneto 41

43 Survei Geokimia Elektrical Survey Elektromagnetic survey Radioactivity Survey Geokimia Air Geokimia tanah Telluric, Turam 2 Pengeboran Percobaan Geological Logging Lithofacies Logging Geophysical Logging Analisa Kimia Analisa keseluruhan data fase 1 dan 2 menentukan tiga hasil evaluasi : 1. Kemampuan produksi 2. Cadangan panas bumi 3. Struktur geologi Alteration Logging Termperature Logging Electrical Logging Sonic logging Radioactive Logging Analisis air dan kimia dialamnya, jumlah air dan uap serta gas Sumber : PLN Perhitungan kebutuhan energi listrik untuk proses bijih nikel dengan proses RKEF dapat dilihat pada Gambar 3.16 dan Tabel 3.11). Berdasarkan tabel tersebut di atas dapat diperkirakan kebutuhan bijih nikel dan kebutuhan daya listrik untuk memproduksi FeNi ingot, shot. Untuk memproduksi ton FeNi ingot, shot dibutuhkan bijih nikel sekitar ton dan daya listrik antara MW. Bijih nikel kadar >1,8% Ni Drying Reduksi dalam tungku putar Fluks-Batubara Fe-Ni 15% Ni Peleburan dalam SAF Gambar 3.16 Proses RKEF FeNi 42

44 Apabila diasumsikan potensi daya listrik dari panas bumi di Halmahera Selatan dimanfaatkan untuk memasok pabrik pengolahan nikel daerah tersebut dan panas bumi di Halmahera Barat memasok pabrik pengolahan nikel di wilayah Weda (Halmahera Tengah) dan Halmahera Timur, jumlah pabrik pengolahan nikel dan jumlah kebutuhan listrik dapat dilihat pada Tabel Hal yang sama untuk potensi panas bumi dan bijih nikel di Halmahera Selatan, bahwa lokasi tambang nikel dan potensi panas bumi berada di lokasi (pulau) yang berbeda, arahan pengolahan/pemurnian nikel berada di Pulau Bacan sebagai sumber energi panas bumi. Arahan ini dengan pertimbangan bahwa biaya pengangkutan bijih nikel dari Obi (tambang nikel) ke Bacan (energi panas bumi) lebih mudah direalisasikan dari pada membangun jaringan listrik bawah laut yang memerlukan dana investasi sangat besar. Tabel 3.13 menunjukkan bahwa pemanfaatan energi panas bumi hanya mampu memasok pabrik pengolahan dan pemurnian sebanyak 16 pabrik dengan kebutuhan bijih nikel sekitar 2 juta ton per tahun yang artinya masih tersisa 17 juta bijih nikel yang belum dapat diolah dengan memanfaatkan energi panas bumi. Perkiraan ini masih didasarkan pada potensi panas bumi yang diperoleh dari data lapangan (sumber daya hipotetik dan cadangan terduga). Sinkronisasi pengembangan mineral nikel dan panas bumi tidak terlepas dari kesiapan dan perencanaan daerah dalam mempersiapkan infrastruktur kelistrikan yang meliputi pengembangan transmisi dan gardu induk. Tabel 3.12 Kebutuhan daya listrik proses RKEF FeNi Kapasitas produksi ( ton/tahun) Produk FeNi ingot, shot Recovery 96 Feed composition Ni, % Co, % 0.05 Fe, % 13.4 Fe/Ni 6.1 S/M 1.64 Teknologi Drying 2 rotary dryer, 3,2 x 30 m Reduction 2 rotary kiln, 4 X 90 m Smelting 2 EAF Converting Refining Laddle strirer+shaking Reductant Antrasit dan batubara 67 kg/ton dry ore Smelting 2 EAF Size 15 x 5.6 Daya maksimum 20, 25 MW Daya listrik rata-rata 17 MW 43

45 Konsumsi energi 600 kwh/ton kalsin Komposisi FeNi Ni, % Co, % 0.3 Fe, % Balance Komposisi terak SiO2, % 57.2 MgO, % 31 Fe, % 4.6 S/M 1.85 Tabel 3.13 Sinkronisasi pabrik pengolahan/pemurnian nikel dengan energi panas bumi Lokasi Panas Bumi Halmahera Barat dan Utara Halmahera Selatan Potensi Panas Bumi (MW) Jumlah Pabrik Kebutuhan Bijih Nikel (ton/tahun) Lokasi Pabrik Pengolahan Weda (Halmahera Tengah) dan Buli Halmahera Timur Pulau Bacan (Halmahera Selatan) Jumlah Selaras dengan pengembangan pembangkit PLTP yang jauh dari pusat beban dan pengembangan PLTU batubara yang tersebar di beberapa lokasi, telah direncanakan pengembangan jaringan transmisi 150 kv sepanjang 494 km sirkit untuk menyalurkan energi listrik ke pusat beban. Selain itu terdapat pula rencana untuk memasang kabel laut 150 kv yang menghubungkan Halmahera dan Tidore (Gambar 3.17). Dana investasi yang dibutuhkan untuk membangun transmisi SUTT tersebut sekitar US$ 44 juta seperti ditampilkan dalam tabel Tabel 3.14 Pembangunan SUTT 150 kv 44

46 Berkaitan dengan rencana pengembangan pembangkit dan transmisi serta untuk menyalurkan listrik, direncanakan dibangun gardu induk. Sampai dengan tahun 2021 direncanakan pengembangan GI 150 kv di 4 lokasi dengan total kapasitas 120 MVA dengan kebutuhan dana investasi sekitar US$ 10,5 juta seperti diperlihatkan pada tabel Pengembangan fasilitas kelistrikan ini tentunya akan berpengaruh positif terhadap pengembangan sumberdaya nikel dengan memanfaatkan energi panas bumi yang ada di daerah tersebut. PLTMH Goal 2x1,5 MW (2012) Tobelo A PLTMH Goal 2x1,5 MW (2012) ACSR 1x240 mm km (2017) A PLTP Jailolo (FTP 2) 2x5 MW (2016/17) PLTP Jailolo Ekspansi 5 MW (2020) P P Jailolo ACSR 1x240 mm 2 42 km (2014) Buli ACSR 1x240 mm 2 72 km (2014) D PLTU Tidore 2x7 MW (2012) PLTU Tidore Ekspansi 14 MW (2014) U U U D ACSR 1x240 mm 2 20 km (2014) PLTU Sofifi 6 MW (2013) Weda PERENCANAAN SISTEM PT PLN (Persero) PETA JARINGAN SISTEM HALMAHERA PROPINSI MALUKU UTARA GI 500 kv Existing / Rencana U U / / PLTU Existing / Rencana / GI 275 kv Existing / Rencana G / G PLTG Existing / Rencana / GI 150 kv Existing / Rencana P / P PLTP Existing / Rencana / GI 70 kv Existing / Rencana A / A PLTA Existing / Rencana / GI 500/275 kv Existing / Rencana GU GU / PLTGU Existing / Rencana / GI 500/275/150 kv Existing / Rencana GB / GB PLTGB Existing / Rencana / GI 275/150 kv Existing / Rencana M / M / PLTM Existing / Rencana GI 150/70 kv Existing / Rencana D / D PLTD Existing / Rencana / T/L 70 kv Existing / Rencana Kit Eksisting / T/L 150 kv Existing / Rencana Kit Rencana / T/L 275 kv Existing / Rencana / T/L 500 kv Existing / Rencana Edit September 2010 Gambar 3.17 Rencana pengembangan sistem 150 kv Halmahera Tabel 3.15 Pengembangan GI di Maluku Utara 45

47 Keterdapatan potensi tambang nikel yang besar dan apabila dikembangkan secara terpadu dengan pengembangan potensi panas bumi dan infrastrukturnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat dan Halmahera akan menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi untuk kawasan Maluku Provinsi Nusa Tenggara Timur Kondisi Geografis Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terdiri atas 15 (lima belas) kabupaten dan 1 (satu) kota, merupakan wilayah kepulauan yang dengan 599 pulau. Terdapat empat pulau besar, yaitu Flores, Sumba, Timor dan Alor (FLOBAMORA), selebihnya adalah pulau-pulau kecil yang letaknya tersebar. Luas wilayah Nusa Tenggara Timur, yaitu untuk daratan seluruhnya Ha (47.349,9 Km 2 ) atau 2,50% dari luas Indonesia, dan perairan Ha. Wilayah ini memiliki 29 sungai dengan panjang antara km. Topografi NTT berbukit-bukit dengan dataran tersebar secara sporadis pada gugusan yang sempit dengan dominan permukaan berbukit bergunung. Dilihat dari letak dan geografisnya, sebagian wilayah NTT berbatasan dengan Timor Leste, seperti Belu, Timor Tengah Utara, Kupang dan Alor yang hanya dipisahkan oleh laut Sawu. Selain hal tersebut, wilayah ini dikelilingi oleh lautan yang tentunya terdapat wilayah-wilayah pesisir dengan karakteristik yang berlainan. Secara fisik batas wilayah propinsi ini adalah sebagai berikut: Sebelah Utara : berbatasan dengan Laut Flores; Sebelah Selatan : berbatasan dengan Samudera Indonesia; Sebelah Timur : berbatasan dengan Negara Timor Leste dan Laut Timor; Sebelah Barat : berbatasan dengan Selat Sape (Propinsi Nusa Tenggara Barat). Kondisi geografi wilayah NTT dapat dilihat pada Gambar 3.18 dan Tabel 3.16 Iklim: Iklim di wilayah NTT dikenal dengan 2 (dua) musim, yaitu kemarau dan hujan. Propinsi ini dikenal sebagai wilayah yang tergolong kering; dimana hanya 4 (empat) bulan (Januari s/d Maret, dan Desember) yang keadaannya relatif basah dan 8 (delapan) bulan relatif kering. Suhu Udara Suhu udara rata rata maksimum pada 30 sampai 36 0 C dan suhu minimum 21 0 C sampai 24,5 0 C. 46

48 o 8 00' 9 00' 10 00' 11 00' o o o N USA TENG GARA 1958 TI M UR L A U T F L O R E S Kalabahi REVIEW RTRW PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2004 PROP. NTB Labuan Bajo KABUP ATEN MANGG ARAI B ARAT KABUP ATEN MA NG GAR AI Ruteng KABUP ATEN N GAD A Bajawa KABUP ATEN EN D E Ende KABUP ATEN SIKKA Maum ere Larantuka KA BUPAT EN FLORES TIMUR Lew oleba KABUP ATEN LEM BAT A KABUP ATEN ALOR SELAT OM BAI Ne ga ra Timor Leste Ga mb ar : 2.1 PETA ADMINISTRASI NUSA TENGGARA TIMUR Keterangan : SELAT SU M BA Atam bua Ibukota Propinsi Ibukota Kabupaten N e gara KABU PATE N SUMBA BARAT W aik abubak W aingapu KABU PAT EN SUMBA TIMUR L A U T S A W U KABUP ATEN KUP ANG Timor Leste KABUP ATEN T T U Kef am enanu Soe KABUP ATEN T T S KABUPATEN BELU Garis Pantai Jalan Batas Negara Batas Propinsi Batas Kabupaten Batas Kecamatan KUPANG KABUP ATEN RO TE NDA O Baa L A U T T I M O R N S A M U D E R A H I D I A 1: o ' o ' o ' o ' o ' o ' o ' BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH ( B A P P E D A ) PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR Index/Petunjuk Peta Gambar 3.18 Peta administrasi Nusa Tenggara Timur II - 4 Curah Hujan Curah hujan di NTT sangat bervariasi rata rata adalah mm/ tahun. Curah hujan di wilayah ini pada umumnya sulit untuk di ramalkan. Musim hujan dan kering kadang kadang terlalu cepat atau terlalu lambat. Tingkat curah hujan ini berbeda beda untuk tiap daerah, yaitu: Flores bagian barat yang meliputi Manggarai, Manggarai Barat dan Ngada merupakan daerah yang cukup basah karena curah hujan rata ratanya lebih tinggi dari rata rata total, yaitu mm/tahun. Tabel 3.16 Kabupaten, luas wilayah, jumlah kecamatan dan jumlah desa/ kelurahan di Nusa Tenggara Timur 47

49 No Kabupaten /Kota Luas Wilayah Desa/ Kecamatan (Km2) Kelurahan Sumba Barat 4.051, Sumba Timur 7.000, Kupang 5.898, Timor Tengah Selatan 3.947, Timor Tengah Utara 2.669, Belu 2.445, Alor 2.864, Lembata 1.266, Flores Timur 1.812, Sikka 1.731, Ende 2.046, Ngada 3.037, Manggarai 4.553, Manggarai Barat 2.582, Rote Ndao 1.280, Kota Kupang 160, TOTAL , Pertambangan Potensi pertambangan di NTT sangat banyak dan tersebar (Gambar 3.19). Mineral bukan logam banyak terdapat di Kupang, yakni m 3 ; batu gamping di Manggarai m 3, Sumba Barat m 3 dan Kupang sebanyak m 3. Batu warna/hias, cadangan terbesarnya ada di Kupang, yakni m 3, Alor m 3, Ende m 3, dan TTS m 3. Gipsum banyak terdapat di Kupang m 3 dan Rote Ndao m 3. 48

50 Gambar 3.19 Potensi endapan mineral NTT Berdasarkan data dari Dinas Pertambangan Provinsi NTT, terdapat 295 pemegang IUP, baik IUP Eksplorasi maupun Operasi Produksi yang beroperasi di seluruh wilayah NTT. Hampir seluruh pemegang IUP mengusahakan bahan tambang mangan, selain bahan tambang lainnya dalam jumlah yang relatif sangat sedikit. Khusus untuk pertambangan mangan, dari 243 IUP yang ada, sebanyak 207 IUP (85%) berstatus IUP Eksplorasi, dan hanya 36 buah (15%) berstatus IUP Operasi Produksi (Gambar 3.20). Usaha tambang terkonsentrasi di Timor Tengah Utara, Belu, Kupang, Ende, Manggarai, Rote Ndao, Alor dan Timor Tengah Selatan. Dalam jumlah kecil, pengusahaan juga terdapat di Kabupaten Nagekeo, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, dan Kabupaten Sebu Raijua (Gambar ). NTT yang dilabeli sebagai daerah gersang/kering, kurang pangan dan air (daerah serba kekurangan), ternyata menyimpan banyak potensi mineral yang menarik para investor dan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Sejauh ini potensi tersebut belum dikelola secara maksimal guna dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat karena terhambat SDM dan anggaran yang terbatas. Komposisi IUP Menurut Jenis Komoditi Perbandingan IUP Eksplorasi dan IUP OP Mangan 49

51 mangan sirtu operasi produksi eksplorasi batu hitam Gambar 3.20 Komposisi IUP di Provinsi NTT Mangan Mineral Lain Gambar 3.21 Komposisi perusahaan tambang Kabupaten TTU Mangan Tembaga Krom 1 4 Gambar 3.22 Komposisi perusahaan tambang Kabupaten Belu 50

52 Mangan Nikel Tembaga Sirtu Gambar 3.23 Komposisi perusahaan tambang Kabupaten Kupang Mangan Pasir Besi Galena Zeolit Batu Gambar 3.24 Komposisi perusahaan tambang Kabupaten Ende Mangan Sirtu Gambar 3.25 Komposisi perusahaan tambang Kabupaten Manggarai 51

53 Mangan Sirtu Gambar Komposisi perusahaan tambang Kabupaten Rote Ndao Mangan Sirtu Gambar 3.27 Komposisi perusahaan tambang Kabupaten Manggarai Timur ,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 Mangan Emas Timah Hitam 1 Gambar 3.28 Komposisi perusahaan tambang Kabupaten Manggarai Barat 52

54 Mangan Batu Hitam Sirtu Gambar 3.29 Komposisi perusahaan tambang Kabupaten TTS Setelah diketahui NTT memiliki banyak potensi mineral, para ahli geologi berdatangan ke Pulau Timor. Pada awal 2000-an, para ahli tersebut menjelaskan kepada masyarakat bahwa di dalam perut bumi pulau Timor banyak mengandung mineral mangan yang sangat berharga. Informasi ini disambut gembira oleh masyarakat setempat yang kebanyakan petani lahan kering yang sangat tergantung kepada cuaca, sekaligus menjadi jawaban atas krisis pangan di saat tidak ada pilihan lain dalam menghadapi keterdesakan ekonomi. Kapasitas mereka umumnya sangat terbatas akibat kemiskinan, baik miskin secara ekonomi maupun pendidikan. Tanpa mengerti apa itu mangan dan dampak negatif yang timbul akibat penambangan/penggalian yang dilakukan, mereka beralih profesi dari petani menjadi penambang. Alih profesi ini tidak saja menimpa para petani, tetapi juga mereka yang berprofesi sopir, tukang, honorer, dan buruh bangunan di kota. Kehadiran para penampung (pemodal) di tengah mereka menambah motivasi mereka, karena perdagangan mangan dilakukan secara tunai. Pilihan ruang aktivitas menambang disesuaikan dengan kapasitas yang dimiliki dan diminati masyarakat (Gambar 3.30). Ada yang harus setiap hari dan bahkan berminggu-minggu berada di lokasi penambangan untuk menggali; ada penimbun atau penampung mangan yang akan mengambil fee dari hasil penjualan kepada pengusaha; ada pelobi antarwarga dengan pengusaha (calo mangan) dan penguasa tambang dan izin resmi (Petir). Di Soe Kabupaten TTS ada kelompok yang dikenal dengan sebutan Obama (ojek bawa mangan) yaitu kelompok yang muncul di daerah Supul, Kabupaten TTS. Kelompok ini mendistribusikan mangan ke Kabupaten TTU (Kefamenanu) dengan menggunakan motor ojek. 53

55 Gambar 3.30 Penggalian mangan secara tradisional di Belu Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu provinsi yang memiliki potensi sumber daya mangan dan telah mengeluarkan ijin pengusahaan sebanyak 243 IUP. Luas wilayah ijin usaha pertambangan mangan sekitar Ha, tersebar di Timor Tengah Selatan, Kupang, Timor Tengah Utara, Belu, Ende, Rote Ndao dan Manggarai. Sebanyak 36 perusahaan sudah beroperasi dengan menambang bijih mangan dan sebagian besar lainnya masih melakukan eksplorasi. Sampai sejauh ini belum satupun pemegang IUP produksi yang telah melakukan pengolahan/ pemurnian seperti yang diamanatkan oleh Peraturan Menteri ESDM No. 20 Tahun Pemegang IUP produksi hanya terbatas melakukan pemilahan terhadap mangan kemudian diangkut ke pelabuhan menuju Surabaya untuk selanjutnya diekspor ke negeri tujuan (Cina). Mekanisme izin pengapalan (pengangkutan) mangan melalui pelabuhan umum yang melewati wilayah beberapa kabupaten. Harga mangan di lokasi tambang rakyat dihargai antara Rp400/kg sampai dengan Rp. 1200/kg dengan kadar 50-65% ke atas dijual masyarakat kepada pengusaha atau pedagang pengumpul di Kabupaten Kupang (NTT). NTT merupakan salah satu perhatian dunia internasional terkait pengelolaan tambang, terutama mineral pembawa mangan. Pasalnya, kebutuhan mangan untuk besi baja di Cina dan Korea mulai menipis. Mangan sebelumnya untuk bahan baku cat, industri gelas, batere ( ). Seiring dengan perkembangan teknologi ternyata material tersebut dapat diolah untuk kemudian dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri baja, namun dalam proses pengolahannya sangat membutuhkan energi yang cukup besar. Kendala utama dalam pelaksanaan penerapan UU no 4 tahun 2009 adalah para pemegang IUP berusaha mempercepat produksi sebelum tahun 2014 sebelum permen tentang PNT dilaksanakan dan pengolahan/pemurnian dijadikan syarat peningkatan IUP. Fakta tersebut dapat dilihat dari perkembangan ekspor mangan NTT pada tahun 2009 tercatat ton, tetapi pada tahun 2010 naik menjadi ton, berarti naik sebesar 261,10% dalam satu tahun (Gambar 3.31 dan Tabel 3.17). 54

56 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des Volume ekspor (Ton) Fakta lain adalah frekuensi pengiriman mangan melalui NTT dan Jawa Timur mengalami kenaikan yang sangat tajam dari 63 kali pengiriman pada 2009 menjadi 137 kali pada Gambar 3.31 Volume Ekspor Propinsi Nusa Tenggara Timur Tabel 3.17 Volume dan nilai ekspor mangan NTT, Produk Volume ekspor (Ton) Nilai ekspor (US$) Mangan Sumber : PT. Surveyor Indonesia, 2011, Kegiatan verifikasi ekspor via PTSI Produk pertambangan tertentu asal NTT, 2011 PT. AGB Mining salah satu perusahaan yang berencana akan mendirikan pabrik pengolahan mangan di Kupang, Kapasitas produksi diperkirakan sekitar ton/bulan dengan kebutuhan bijih mangan ton/bulan. Pembangunan pabrik ini diperkirakan memakan waktu sekitar 18 bulan, operasi pabrik direncanakan pada 2014 dengan asumsi bahwa kebutuhan energi sudah terpenuhi serta infrastruktur jalan dan pelabuhan. Rencana sebelumnya akan dibangun di sekitar Kawasan Industri Bolok, namun karena kondisi tanah yang kurang mendukung rencananya akan dialihkan di Masalemu. Namun setelah dikonfirmasi dengan pihak perusahaan, hingga saat ini belum ditentukan secara pasti karena mempertimbangkan berbagai aspek hasil studi kelayakan. Jenis produk yang akan dihasilkan adalah feromangan dan silika mangan. Produknya akan dikirim ke Korea Selatan untuk diolah lanjut oleh PT. Hunday GAGB. Energi yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan ini sekitar 20 MW tegangan minimum Kv. Salah satu perusahaan yang telah beroperasi adalah PT. Soe Makmur Resources (SMR) yang lokasinya berada di Timor Tengah Selatan. Sistem penambangan adalah semi mekanik yang banyak melibatkan masyarakat sekitar tambang, baik sebagai tenaga tetap maupun tenaga harian (Gambar 3.32). 55

57 Gambar 3.32 Kegiatan Penambangan Mangan di Kecamatan Kuatnana Permasalahan yang dihadapi perusahaan PT. SMR terkait dengan kewajiban melakukan proses pengolahan/pemurnian bijih mangan selain masalah energi adalah masalah resiko : geologi (minimnya data eksplorasi); ekomi: o harga pasar dunia tidak tetap tapi sangat berfluktuasi; o harga ferro mangan dunia dikuasai oleh Cina; o berbagai faktor yang menyebabkan harga mineral turun sebelum BEP; politik : dalam negri, regional maupun negara tujuan ekspor; sosial : dipengaruhi oleh SDM dan pemahaman mengengai tambang; teknologi : o Ditemukan pengganti mangan, maka harga mangan jatuh; o Jika terjadi krisis energi di Cina berdampak pada harga mangan. Saat ini PT. SMR telah melakukan produksi sebesar 35 ribu ton mangan dan merencanakan menaikan produksi menjadi 50 ribu ton mangan yang akan di ekspor ke Cina. Pencapaian produksi 35 ribu ton di dapat dari hasil penambangan anak perusahaan. Soe Makmur Resources di Nusa Tenggara Timur. Hasil produksi tersebut baru didapat dari 15% lahan yang dieksplorasi, sehingga peningkatan produksi mangan secara jangka panjang masih dapat dilakukan. Melalui Soe Makmur Resources, perseroan memiliki cadangan mangan hingga 3,78 juta ton. Mangan di daerah IUP PT. SMR merupakan ubahan dolomit pada kalsilutit Formasi. Ofu, akibat terobosan gunung lumpur melalui sesar anjakan. Tidak semua batuan mengandung mangan, tetapi dikontrol oleh perlapisan, fasies, struktur dan disekitar gunung lumpur, struktur geologinya sangat rumit. 56

58 3.2.3 Energi Kondisi kelistrikan di wilayah NTT hingga 2011 masih kurang baik, terbukti dari rasio elektrifikasi yaitu sekitar 24% (Tabel 3.18) yang artinya masih banyak masyarakat di provinsi ini belum menikmati listrik. Listrik sebenarnya sangat penting kehadirannya untuk mempercepat proses percepatan pembangunan, terutama untuk membantu industrialisasi modern. Provinsi NTT memiliki beberapa potensi alam dan fasilitas pembangkit listrik yang dapat dikonversi menjadi energi listrik, beberapa di antaranya adalah: i. Panas Bumi. panas bumi IPB (anak perusahaan Indonesia Power) 2x15 Mega Watt 2012; Flores memiliki pembangkit listrik panas bumi yang sudah memegang WKP di Motaloko sebesar 1,93 Mega Watt. Selain itu di Ende, Sukoria anak perusahaan Bakrie Power sebesar 0,5 Mega Watt; panas bumi total yang diperlukan di NTT diperkirakan 19,5 20 Mega Watt (tidak termasuk rencana kebutuhan listrik untuk smelter mangan). ii. PLTD. PLTD (diesel) daya maksimal siang hari 100,92 Mega Watt untuk seluruh NTT, terdiri atas wilayah Timor, Sumba, serta Flores Timur dan Barat. Untuk daya maksimal malam hari 78 Mega Watt; kemampuan daya terbangkit 125 Mega Watt; kemampuan daya terpasang 169 Mega Watt; Daya terbangkit ini terdiri atas PLTD sendiri dan menyewa dari swasta sebesar 54 Mega Watt dari total daya terbangkit 125 Mega Watt tersebut. Tabel 3.18 Geografis kelistrikan,

59 Sumber : Presentasi Electricity Plan Ring NTT, 2010 iii. iv. PLTU. PLTD sewa dari swasta akan digantikan oleh PLTU yang akan dibangun berkekuatan 4x6 KW di Belu Atambua, 2x16,5 Kupang dengan interkoneksi 70Kva yang sudah terpasang; Pembangunan PLTU jangka menengah akan mendapatkan energi batubara dari Kaltim. PLTA (Air). PLTA dibangun di Wilayah Sumba berkekuatan 15 Mega Watt; kapasitas minihidro paling besar sebesar 2 Mega Watt; target Potensi PLTA di Sumba terealisasikan pada 2015; untuk Flores Timur memanfaatkan arus laut yang sudah jalan sebesar 2 KW; di Alor atas bantuan BPPT akan dibangun juga sebesar 2 KW. v. PLTS (Surya) PLTS menghasilkan daya 50 Watt, yaitu berupa hybrid, sedangkan yang terpusat sebesar 5 KW yang merupakan bantuan dari Kementerian ESDM; PLTS terpusat ini hanya menghasilkan 100 watt/kepala keluarga dan tidak mencukupi untuk kegiatan industri; untuk pembangunan 1 PLTS memerlukan dana sebesar Rp.6-7 juta. untuk smelter memerlukan daya sebesar 15 Mega Watt; transmisi yang sudah interkoneksi dari Kupang Belu, sedangkan untuk Flores belum interkoneksi; perbandingan biaya PLTD lebih besar 3x dibandingkan PLTU dimana per KWH PLTD membutuhkan biaya Rp ,00 Rp ,00, sedangkan per KWH PLTU hanya sekitar Rp.2.500,00. 58

60 rasio elektrifikasi rumah tangga (KK) masyarakat di NTT hanya 29%, paling rendah di seluruh Indonesia. presentase pembangunan jalan lebih baik dari listrik. PLT Panas Bumi akan dibangun di Alor karena mempunyai potensinya. pembagian PLN berdasarkan wilayah, idealnya untuk seluruh NTT diperlukan daya listrik sebesar Mega Watt untuk rumah tangga dan industri Kawasan Budidaya Kebijakan pengembangan dan pengelolaan kawasan budidaya diselenggarakan untuk mewujudkan keterpaduan dan keterkaitan antarkegiatan. Strategi pengembangan dan pengelolaan kawasan budidaya diselenggarakan dengan: (a) Menetapkan kawasan budidaya untuk pemanfaatan sumber daya alam di darat maupun di laut secara sinergis untuk mewujudkan keseimbangan pemanfaatan ruang wilayah; (b) Mengembangkan kegiatan-kegiatan budidaya beserta prasarana penunjangnya baik di darat maupun di laut secara sinergis; (c) Mengembangkan dan mempertahankan kawasan budidaya pertanian pangan Nasional; (d) Mengembangkan kegiatan untuk ketahanan budidaya pengelolaan sumber daya alam laut yang bernilai ekonomi di ZEE dan landas kontinen; dan (e) Mengendalikan masalah perkotaan. Lebih spesifik lagi dalam pengalokasian kawasan perlu adanya kebijakan pengembangan kawasan tertentu. Kawasan ini diselenggarakan untuk mewujudkan prioritas dan tingkat penanganan yang diutamakan dalam pembangunan nasional. Strategi pengembangan kawasan tertentu diselenggarakan dengan: a. Menetapkan kawasan tertentu; b. Konservasi/perlindungan dan pengembangan potensi sosial budaya masyarakat dalam memperkuat keanekaragaman jati diri bangsa; c. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan atau peningkatan manfaat ruang di wilayah sekaligus mempercepat pertumbuhan kawasan tertinggal dan sangat tertinggal, meliputi upaya: - pengembangan pusat-pusat pertumbuhan berbasis potensi sumber daya alam dan sektor/komoditas unggulan sebagai penggerak utama pengembangan wilayah; - penyediaan insentif dan penyederhanaan prosedur perizinan investasi; - pengelolaan dan promosi peluang investasi kawasan; dan 59

61 - penyediaan dukungan infrastruktur; d. Pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tinggi strategis; e. Melestarikan fungsi dan meningkatkan daya dukung lingkungan melalui upaya-upaya konservasi/perlindungan dan peningkatan fungsi dan peranannya; f. Menunjang kepentingan politik dan pertahanan keamanan negara serta integrasi Nasional Infrastruktur A. Pelabuhan Laut Sebagai wilayah kepulauan peranan transportasi laut sangat penting dan cukup potensial untuk dikembangkan. Di NTT terdapat lebih dari 42 pulau yang terpencil yang memerlukan sarana dan prasarana angkutan / perhubungan laut yang memadai. Terdapat 5 Pelabuhan yang dikelola oleh PT. Pelindo III yaitu : Tenau, Kalabahi, Maumere, Ende dan Waingapu, sedangkan yang lainnya dikelola oleh kepala kantor pelabuhan yang merupakan UPT Dirjen. Perhubungan Laut. Terdapat 1 pelabuhan utama, 9 pelabuhan pengumpul dan 42 pelabuhan pengumpan yang tersebar di sejumlah Kabupaten/ Kota di Provinsi NTT. Pelabuhan Laut Yang Terbuka Bagi Perdagangan Luar Negeri : Terminal Khusus. Sampai saat ini belum terdapat terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri beroperasi di NTT. Pelabuhan Umum. Berdasarkan SK Bersama Menteri Perdagangan, Menteri Perhubungan dan Menteri Keuangan Tahun 1985 terdapat 6 (enam) pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri di NTT yaitu : 1. Atapupu di Belu. 2. Ende/ Ippi di Ende 3. Re o di Manggarai. 4. Maumere di Sikka. 5. Kalabahi di Alor. 6. Waingapu di Sumba Timur. Berdasarkan kondisi riil di NTT, terdapat 4 pelabuhan laut di NTT yang selama ini berfungsi sebagai pintu gerbang keluarnya mineral mangan, yaitu: a) Tenau di Kupang. b) Atapupu di Belu. 60

62 c) Wini di TTU. d) Re o di Manggarai. Pelabuhan Wini terletak di pantai Utara Timor berdekatan dengan perbatasan republik Timor Leste, distrik Ambeno yang berjarak sekitar 2 km. Kemampuan sandar Pelabuhan Wini saat ini sebesar ton, panjang dermaga 140 m dengan kedalaman draft 7 m dan kedalaman laut pada saat pasang 12 meter dan pada saat surut 9 meter. Saat ini sedang dibangun pelabuhan kontainer untuk bisa mengekspor dengan ukuran 20,40. Tujuan ekspor ke Cina dengan kapal motherboard ukuran ton dan dengan kapal lebih kecil ukuran ton ke Surabaya dan Thailand. Pada 2010 telah dikapalkan melalui pelabuhan Wini sebesar 36 ribu ton. Pada 2011 kegiatan ekspor melalui Wini terhenti akibat lesunya permintaan mangan dan para perusahaan ekspor mangan harus punya KIP ( kartu identitas kepabeanan ) yang harus diurus di Kementrian Keuangan Jakarta. Bijih mangan sebelum diekspor biasanya ditampung di lahan pelabuhan dengan tarif sewa Rp 500,- /ton/hari. Waktu sewa lahan maksimal antara hari dan jika melewati batas waktu diperingatkan untuk dikosongkan, kecuali dengan ijin sewa baru. Seputar Wini ada 5 6 perusahaan yang menyewa lahan sebagai stockpile yang luasnya antara 100 m2 sampai m2. Pelabuhan lainnya adalah Atapupu, yang ada di pantai utara sejajar dengan Wini dan masuk wilayah Belu. Kemampuan sandar maksimal 3000 ton. Pada 2010 telah dikapalkan sebesar 40 rb ton. Kegiatan pelayanan sistem transportasi laut dilayani oleh pelabuhan lokal, regional dan nasional yang tersebar disetiap kabupaten di NTT seperti pada Tabel 3.19 Pada tabel tersebut terlihat penyebaran pelabuhan baik lokal, regional dan nasional cukup tersebar di setiap kabupaten NTT, namun perlu peningkatan kualitas prasarana pendukung khususnya pelabuhan lokal yang merupakan jumlah terbesar dari pelabuhan yang telah ada. B. Transportasi Darat Transportasi darat yang terdiri atas jalan, jembatan dan pelabuhan penyeberangan/dermaga (ASDP) dan keselamatan lalulintas merupakan prasarana angkutan darat yang penting guna memperlancar kegiatan-kegiatan perekonomian. NTT telah memiliki jalan sepanjang ,76 km yang terdiri atas jalan nasional (7,60 %), provinsi (10,37 %), kabupaten (76,79 %) dan non status (5,24 %) yang tersebar disetiap kabupaten/kota seperti ditunjukan pada Tabel 3.20 sedangkan berdasarkan data Ditjen Prasarana Wilayah, Departemen Kimpraswil prosentase kondisi jalan di NTT berdasarkan status jalan menunjukkan prosentase ditunjukkan pada tabel 3.21, sedangkan jumlah jembatan yang dapat dilewati kendaraan di NTT sepanjang m dengan jembatan konstruksi/beton 712 m sisanya bambu, kayu dan dianggap tidak ada jembatan m. No. Tabel 3.19 Pelabuhan laut Nusa Tenggara Timur pada 2008 Kabupaten / kota Pelabuhan 61

63 Lokal Regional Nasional 1 Kupang Raijua, biu Seba 2 Kota kupang Namosain Tenau (int.) 3 TTS Boking, kolana 4 TTU Wini 5 Belu Atapupu 6 Lembata Lewoleba Balauring 7 Flores timur Waiwerang Larantuka Mananga Waiwadan 8 Sikka Wuring Maumere 9 Ende Maurole Ende / ippi 10 Ngada Aimere 11 Nagekeo Maumbawa Marapokot 12 Manggarai Mborong Reo 13 Manggarai Barat Nangalili Komodo Labuan bajo 14 Sumba barat Rua 15 Sumba barat daya Waikelo 16 Sumba tengah 17 Sumba timur Mbaing Waingapu 18 Rote ndao Batutua, papela Ba'a Ndao, oelaba 19 Alor Kabir pettoko Baranusa Kalabahi Robek Maritaing Sumber Data: Dinas Perhubungan dalam Angka tahun 2007 Berdasarkan data pada tabel tersebut, perbandingan antara panjang jalan dengan luas wilayah NTT 0,36 km/km2 dengan kondisi jalan 60 % dalam kondisi rusak (berat dan ringan). Khususnya jalan yang menjadi kewenangan provinsi di samping prosentase panjang jalan hanya 11% dari total jalan, prosentase kondisi kerusakannya menunjukkan yang tertinggi dibanding jalan nasional dan kabupaten. Hal ini perlu mendapat perhatian untuk menunjang kegiatan ekonomi dan membuka keterisolasian daerah terpencil. No Kabupaten/ Status Jalan Tabel 3.20 Panjang jalan (KM) menurut status di NTT Nasional Provinsi Kabupaten Non Status Total Panjang Sumba Barat Sumba Timur Kupang TTS , ,40 114, ,19 146, ,90 80,

64 No Kabupaten/ Status Jalan Nasional Provinsi Kabupaten Non Status Total Panjang TTU Belu Alor Lembata Flores Timur Sikka Ende Ngada ,30 74, ,43 87, , ,80 52, ,38 38, ,73 61, ,50 76, , Manggarai * ,38 115, Rote Ndao Kota Kupang , Panjang Jalan (Km) 1.273, , ,81 877, Sumber data: Provinsi NTT Dalam Angka Tahun 2007 *) Termasuk Manggarai Barat STATUS JALAN Tabel 3.21 Kondisi jalan menurut status Kondisi Jalan (km) BAIK SEDANG RUSAK RINGAN RUSAK BERAT Total KM % KM % KM % KM % (Km) Nasional 403,28 32% 555,28 43,6% 271,88 21,4% 42,58 3,3% 1.273,02 Provinsi 108,615 4,4% 413,049 16,6% 700,524 28,1% 1.271,163 51,0% 1.737,37 Kabupaten 1.485,900 12,7% 3.233,660 27,7% 4.438,720 38,0% 2.529,500 21,6% ,81 Non Status Sumber : Ditjen Prasarana Wilayah, Dept. Kimpraswil Total C. Transportasi Udara Keadaan NTT yang terdiri atas pulau-pulau tidak saja membutuhkan angkutan laut tetapi juga perlu ditunjang oleh kegiatan angkutan udara. Hampir semua kabupaten/kota di NTT telah memiliki pelabuhan udara (tabel 3.22). Tabel 3.22 Penyebaran pelabuhan udara di NTT No. Kab / kota Nama bandara Kondisi 1 kupang El tari Baik 2 Pulau Sabu Terdamu Baik 3 Rote Ndao Lekunik Baik 63

65 No. Kab / kota Nama bandara Kondisi 4 Belu Haliwen Baik 5 Alor Mali Baik 6 Lembata Wunopito Baik 7 Flores Timur Gewayantana Baik 8 Sikka Wai oti Baik 9 Ende H.h. Aroeboesman Baik 10 Ngada So'a Baik 11 Manggarai Satartacik Baik 12 Manggarai barat Komodo Baik 13 Sumba barat Tambolaka Baik 14 Sumba timur Mau hau Baik 15 Mbay Nagekeo Surabaya II Tidak oprsional Sumber Data: Dinas Perhubungan dalam Angka tahun 2007 Jumlah pelabuhan udara di NTT termasuk cukup besar dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia dan tersebar hampir di setiap kabupaten di NTT, namun prasarana dan sarana penunjang perlu ditingkatkan dengan memperhatikan jumlah penumpang dan kegiatan bongkar muat barang seperti data diatas Teknologi Pemrosesan Bijih Mangan Bijih mangan diolah menjadi konsentrat, kemudian dapat dilebur menjadi (ingot) FeMn, SiMn atau melalui proses kimia untuk dijadikan produk kimia berbasis Mn sehingga dapat dilanjutkan sebagai bahan baku industri lebih hilir seperti pada Gambar Proses pengolahan bijih mangan diuraikan sebagai berikut ; bijih berupa pirolusit, manganit atau mineral lainnya degan kandungan 35 % mangan sudah mempunyai nilai ekonomis untuk ditambang. Kadar Mn biasanya ditingkatkan dengan cara pencucian dan penggerusan, untuk selanjutnya dapat diaglomerasi dengan sintering. Mangan murni (MnO 2) dapat dihasilkan dengan cara proses hidrometalurgi dan elektrolitik, akan tetapi untuk feromangan dan silikon mangan diproduksi dengan cara peleburan dalam blast furnace atau electric furnace. 64

66 SUMBER PENAMBANGAN DAN PROSES KONSENTRASI BAHAN KONSENTRAT EKSTRAKSI REFINING PRODUK REFINING PROSES KIMIA DAN METALURGI PRODUK BIJIH UNTUK BAHAN KIMIA DAN BATERAI PROSES KIMIA DAN FISIKA MnO 2 INDUSTRI BATERAI DAN BAHAN KIMIA PEMANG GANGAN MANGAN ELEKTROLISIS PROSES METALURGI LOGAM PADUAN MANGAN INDUSTRI BESI BAJA BIJIH PENAMBANGAN PENGERUSAN PEMILAHAN BIJIH UNTUK METALURGI LEACHING SLAG INDUSTRI SUPER ALLOY STOCKPILE BIJIH MANGAN ELEKTROLISIS STANDARD FERO MANGAN PELEBURAN ELECTRIC FURNACE SILICON MANGAN INDUSTRI NON FEROUS Gambar 3.33 Bagan alir pengolahan mangan sampai pada industri hilir Pada peleburan dengan electric furnace akan terjadi reaksi reduksi mangan oksida dengan karbon yang biasanya pada proses ini terdapat oksida logam lainnya yang mengganggu. Untuk menghindari bahan tersebut terutama yang bersifat asam dapat dinetralkan oleh senyawa basa seperti kapur namun akan menghasilkan lebih banyak terak dan dapat melarutkan mangan sehingga perolehan menjadi lebih rendah. Produk yang dihasilkan berupa feromangan dengan kadar 76-80% Mn, % Fe, 7,5 % C, 1,2 % Si atau silikon mangan dengan kadar 65-68% Mn, % Si, 1,5-2 C. Pemanfaatan bijih mangan sebagian besar (90%) di digunakan sebagai bahan baku peleburan untuk menghasilkan paduan mangan seperti feromangan, silikon mangan. Nilai ekonomi proses peleburan mangan adalah metrik ton hot metal per tahun dengan kebutuhkan sekitar bijih mangan pertahun dengan kadar minimal 41% Mn. Proses peleburan bijih mangan mangan umumnya menggunakan sub-merge elelctric arc furnace (SAF); untuk menghasilkan 1 ton feromangan dibutuhkan energi listrik 2,4 MW. Satu tungku SAF dengan tiga elektroda membutuhkan power supply 30 MW, menghasilkan 294 ton Fe-Mn/hari, konsumsi karbon kokas 360 kg/ton Fe-Mn, konsumsi elektroda 12 kg/ton Fe-Mn dengan kualitas produk 78,8% Mn, 13,2% Fe, 7% C. 0,04% Si, 0,16% P. Pada industri kimia sekitar 10% bijih mangan dimanfaatkan untuk industri batubatere, pembuatan mangan dioksida. Bijih mangan sangat sulit untuk dilarutkan dalam kondisi asam sehingga harus dilakukan proses reduksi dalam tungku putar sebelum dilakukan proses pelarutan dengan asam sulfat. Kemudian dilakukan proses pemurnian dengan mengendapkan Fe menjadi jarosit dengan pengaturan 65

67 ph. Larutan yang sudah murni disulfidisasi dengan menambahkan reagen sulfida dan dilakukan elektrolisis untuk menghasilkan mangan dioksida elektrolitik (EMD). Pada pembuatan mangan dioksida, chemical grade mangan dioksida proses lebih sederhana hanya dilakukan pelarutan dengan asam dan penambahan reagen pereduksi kemudian dilakukan hidrotermal proses untuk menghasilkan mangan dioksida kualitas kimia. Penambahan reagen pereduksi menyebabkan tahapan reduksi dalam rotary kiln tidak diperlukan. Teknologi ini lebih mudah untuk diaplikasikan Hasil dan Pembahasan Pengembangan Industri Mineral Mangan dan Energi Terpadu Menurut data Dinas Pertambangan dan Energi NTT pada 2012, terdapat IUP mangan dan energi yang tersebar di berbagai pulau. Jumlah IUP mangan sebagian besar tersebar di Timor dan Flores. Adapun mengenai sumber energi, masing-masing pulau memanfaatkan energi sesuai dengan kemampuan wilayahnya, seperti Flores membangun pembangkit listrik yang sumber energinya berasal dari panas bumi, sementara di Timor yang tidak memiliki energi panas bumi, tetapi potensi mangannya cukup besar. Sumba sementara ini belum ada IUP mangan. Berdasarkan jumlah IUP mangan dan potensi energi panas bumi, pengembangan industri dapat dikelompokkan dalam beberapa wilayah atau zona (Gambar 3.34) yaitu: 1. Zona 1 meliputi Timor dan sekitarnya; 2. Zona 2 meliputi Flores dan pulau-pulau di sekitarnya; 3. Zona 3 meliputi Sumba. Gambar 3.34 Zonasi pengembangan smelter mangan NTT 66

68 Zona 1 Pada wilayah ini tersebar cadangan mineral yang bersifat logam dan nonlogam. Mineral logam lebih didominasi oleh mangan, terlihat dari jumlah IUP yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat (Gambar 3.35). Gambar 3.35 Sebaran mineral logam Zona 1 Mineral mangan di Timor merupakan salah satu komoditas andalan yang dapat menciptakan lapangan kerja dan sumber penghasil devisa bagi negara. Ekspor dalam bentuk bijih belum memberikan kontribusi secara optimal bila dilihat dari perekonomian secara makro, karena nilai tambah yang diperoleh masih sebatas pada kegiatan penambangan (Gambar 3.36). Apabila bijih mangan tersebut diproses sesuai dengan batasan pada Lampiran 1 Peraturan Menteri ESDM No. 20 Tahun 2013, maka nilai tambah yang diperoleh akan lebih besar dan dampak terhadap perekonomian akan semakin luas (multiplier effect). Gambar 3.36 Kondisi pertambangan mangan saat Ini 67

69 Dalam rangka mendorong peningkatan ekonomi di NTT, ekspor ke berbagai negara seharusnya tidak dalam bentuk bahan mentah tetapi sudah melalui pengolahan bijih mangan menjadi beberapa produk turunannya. Hal ini sesuai makna yang ada dalam UU No.4 Tahun 2009 dan PP No.23 Tahun 2010, yang mengharuskan perlunya proses pengolahan dan/atau pemurnian bijih sebelum diekspor. Pengolahan bijih mangan menjadi beberapa produk seperti ingot (FeMn, SiMn) dan Mn Chemicals tentunya membutuhkan banyak energi listrik yang akan digunakan, baik pada saat eksplorasi, eksploitasi maupun pengolahan/pemurnian. Pada Zona 1, energi listrik untuk pengolahan/pemurnian dapat dipenuhi dari PLTU batubara, karena di wilayah ini tidak tersedia potensi panas bumi. PLTU batubara yang sedang dikembangkan di wilayah ini salah satunya yang berada di kawasan industri Bolok di Kupang dan direncanakan untuk memasok kebutuhan industri pengolahan/pemurnian mangan. Di sisi lain infrastruktur seperti jaringan listrik interkoneksi (Gambar 3.37), jalan, pelabuhan sudah tersedia dan diperkirakan dapat mendukung pengembangan pabrik pengolahan/pemurnian mangan di wilayah ini. Gambar 3.37 Sistem interkoneksi pulau Timor Zona 2 Zona 2 yang mencakup Flores dan sekitarnya merupakan wilayah yang mempunyai potensi energi panas bumi dan potensi mangan. Potensi panas bumi yang sudah dan akan dikembangkan berada di empat lokasi, yaitu di Manggarai (PLTP Ulumbu), Ende (Sokoria, Mutubusa, Detusoko, Lesugolo dan Jopu), Ngada (PLTP Mataloko) dan Alor (Atadei) (Gambar 3.38). Di Manggarai, potensi panas bumi yang dapat dikembangkan ada di daerah Ulumbu sekitar 60 MW dan yang sudah dimanfaatkan untuk listrik (beroperasi) adalah 2 x 2,5 MW yang pendanaannya berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 220 milyar (Gambar 3.39), dan direncanakan akan menambah unit pembangkit listrik sebesar 2 x 2,5 MW dengan menggunakan dana 68

70 dari Asian Development Bank (ADB). Berdasarkan informasi dari Direktur Operasional PLTP Ulumbu bahwa potensi panas bumi yang dapat dikembangkan di daerah ini sekitar 90 MW. Apabila di asumsikan setiap smelter mangan membutuhkan 30 MW, potensi panas bumi ini secara riil dapat melayani tiga smelter. Waktu yang diperlukan untuk membangun PLTP sampai tahap comisioning sekitar 4-6 tahun. Pengembangan energi panas bumi di daerah ini masih sebatas untuk memasok listrik bagi masyarakat dan belum menyentuh rencana pembangunan pabrik pengolahan/pemurnian bijih mangan. Potensi energi panas bumi lainnya adalah di kabupaten Ngada dengan potensi yang dapat dikembangkan sekitar 20 MW. Di daerah ini sudah ada pengembangan energi panas bumi, yaitu PLTP Mataloko (Gambar 3.40) dengan kapasitas terbatas untuk kebutuhan masyarakat yang belum menikmati listrik. Di Ende, dari lima lokasi potensi panas bumi hanya satu lokasi yang sudah dilakukan eksplorasi sampai pada tahap uji sumur, yaitu di Sokoria dengan potensi yang dapat dikembangkan sekitar 10 MW. Gambar 3.38 Lokasi prioritas pengembangan energi panas bumi di Flores - NTT 69

71 Gambar 3.39 PLTP Ulumbu kapasitas 2 x 2,5 MW di Manggarai Gambar 3.40 PLTP Mataloko di Ngada Energi listrik yang terdistribusi secara interkoneksi merupakan salah satu persaratan dalam proses pengembangan potensi panas bumi di Flores karena energi tersebut dipasok dari berbagai tempat pembangkit listrik berbasis panas bumi maupun sumber energi lainnya (Gambar 3.41). 70

72 Gambar 3.41 Sistem interkoneksi di Flores Pengolahan bijih mangan menjadi beberapa produk seperti ingot (FeMn, SiMn) dan Mn Chemicals tentunya membutuhkan banyak energi yang akan digunakan, baik pada saat eksplorasi, eksploitasi maupun pengolahan seperti energi listrik atau batubara. Energi listrik yang terdistribusi secara interkoneksi adalah solusi tepat karena di NTT, khususnya Flores, terdapat banyak cadangan panas bumi. Energi listrik tersebut dipasok dari berbagai tempat pembangkit tenaga listrik berbasis panas bumi Sinkronisasi Pengembangan Industri Mineral Mangan dan Energi Panas Bumi Sinkronisasi pengembangan industri mineral mangan dan panas bumi memerlukan dukungan infrastruktur yang terencana, sehingga dalam proses pengembanganya dapat diperkecil berbagai hambatan yang mungkin terjadi. Pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian mangan harus ditunjang oleh tumbuhnya pabrik penyediaan energi berbasis panas bumi (khusus Zona 2), yang secara otomatis memerlukan berbagai kebijakan dari Pemerintah, khususnya pemerintah daerah setempat. Skema pengembangan industri mineral mangan dan panas bumi seperti pada Gambar 3.42 menunjukkan adanya pengolahan bijih mangan yang terpadu dengan energi yang dibutuhkan sehingga mengarah pada pertumbuhan dan pemekaran ekonomi di Provinsi NTT. 71

73 Gambar 3.42 Skema pengembangan industri mangan dan energi panas bumi Berdasarkan data dari Dinas Pertambangan Provinsi NTT terdapat 243 pemegang IUP mangan yang beroperasi di seluruh wilayah NTT, baik IUP Eksplorasi (207 IUP) maupun Operasi Produksi (36 IUP). Usaha tambang mangan yang terkonsentrasi di Timor (194 IUP), ada di Kabupaten TTU (68 IUP), Belu (88 IUP), TTS (10 IUP), dan Kupang (28 IUP), sedangkan Flores (35 IUP) terdapat di Kabupaten Manggarai Barat (4 IUP), Manggarai (21 IUP), Manggarai Timur (10 IUP). Dari potensi cadangan panas bumi yang dapat dikembangkan di Flores (sekitar 110 MW), hanya 6,5 MW atau 6% yang baru dibangkitkan menjadi energi listrik. Sisa cadangan yang belum dimanfaatkan dapat menjadi potensi yang dapat digunakan untuk pengolahan dan pemurnian mangan. Sumber daya panas bumi di Flores dan sekitarnya dapat menjadi sumber utama pembangkit listrik tenaga panas bumi yang sangat dibutuhkan untuk eksplorasi dan pengolahan mangan menjadi produk-produk turunannya. Perkiraan jumlah energi yang diperlukan untuk pemurnian mangan berdasarkan rencana perusahaan Sumber Bumi Kalbar, sebesar 115 MW yang digunakan untuk memproses bijih mangan sebanyak ton. Berdasarkan informasi lainnya ( bahwa untuk memproduksi fero mangan dengan kadar 76%-80% mangan diperlukan energi listrik sebesar 2,4-2,8 MW/ton, sedangkan untuk produk silikon mangan dengan kadar 65-68% mangan diperlukan energi listrik 3,8-4,8 MW/ton (Tabel 3.23). Dengan asumsi potensi panas bumi yang dapat dikembangkan di Flores sebesar 110 MW dan kebutuhan energi listrik untuk proses pengolahan/pemurnian yang didasarkan pada hasil perhitungan dari perusahaan Sumber Bumi Kalbar, bijih mangan yang dapat diolah kurang dari ton per tahun. Tabel 3.23 Energi yang dibutuhkan pada proses pengolahan mangan 72

74 Kadar produk Energi yang dibutuhkan proses MW/ton Bijih mangan Fero mangan Silikon mangan 76-80% mangan % besi 7,5 % karbon 1,2 % silikon 65-68% mangan % silikon 1,5-2 karbon 2,4-2,8 (basis acidity) 2,6-3,1 (basic ores atau fluxes) 3,8-4,8 Oleh karena kebutuhan energi listrik untuk pengolahan mangan cukup besar, kekurangannya dapat dipenuhi dari pengembangan energi lainnya, seperti PLTU batubara. Pengembangan energi panas bumi dan energi lainnya harus terpadu dengan rencana pengembangan jaringan transmisi daerah sehingga memungkinkan terjadinya interkoneksi dan dapat memenuhi, baik kebutuhan energi listrik untuk pengolahan dan pemurnian maupun untuk kegiatan penunjangnya. Selain itu, dukungan infrastruktur lainnya harus tersedia di lokasi pembangunan pabrik pengolahan/pemurnian (smelter) mangan. Pengamatan di lapangan dan informasi yang diperoleh di daerah, maka lokasi pembangunan smelter berada di Kecamatan Re o, Kabupaten Manggarai dan di Kecamatan Mbay, Kabupaten Nagakeo. Lokasi terpilih merupakan kawasan budidaya dengan infrastruktur penunjang cukup baik, seperti ketersediaan pelabuhan yang berfungsi sebagai pintu gerbang ekspor mineral, dan sarana jalan dari lokasi tambang ke lokasi smelter relatif baik. Untuk kelengkapan jaringan transmisi perlu dibangun tambahan jaringan transmisi seperti dapat dilihat pada Gambar

75 Gambar 3.43 Peta sinkronisasi pengembangan mangan dan energi panas bumi di Flores Zona 3 Zona 3 mencakup Sumba dan sekitarnya. Di wilayah ini potensi mangan sangat kecil serta tidak memiliki sumber daya energi panas bumi yang cukup besar seperti di Flores untuk digunakan sebagai bahan pembangkit listrik tenaga panas bumi. 3.3 PROVINSI ACEH Geografi Aceh merupakan provinsi di kawasan paling ujung utara Sumatera sekaligus juga ujung paling barat wilayah Indonesia. Secara geografis, Aceh terletak antara Lintang Utara dan Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata 125 meter di atas permukaan laut dan memiliki luas km 2 atau 12,26% dari luas Pulau Sumatera. Provinsi ini terdiri atas 119 buah pulau, 73 sungai besar dan 2 buah danau yang secara administratif terbagi atas 23 kabupaten/kota, yaitu Aceh Utara, Aceh Barat, Aceh Barat Daya, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Timur, Aceh Singkil, Aceh Selatan, Aceh Tamiang, Bener Meriah, Bireung, Nagan Jaya, Pidie, Pidi Jaya, Gayo Luwes, Simeulue, Sabang, Banda Aceh, Lhokseumawe, Subulusalam, dan Langsa. Aceh memiliki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas perdagangan nasional dan internasional yang menghubungkan belahan dunia timur dan barat, dengan batas wilayah: sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Teluk Benggala, sebelah selatan dengan Sumatera Utara dan Samudera 74

76 Hindia, sebelah barat dengan Samudera Hindia, sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka dan Sumatera Utara. (Gambar 3.44) Topografi Provinsi Aceh berupa dataran hingga bergunung. Wilayah dengan topografi daerah datar dan landai sekitar 32% dari luas wilayah, sedangkan berbukit hingga bergunung mencapai sekitar 68% dari luas wilayah. Daerah dengan topografi bergunung terdapat di bagian tengah yang merupakan gugusan pegunungan Bukit Barisan dan daerah dengan topografi berbukit dan landai terdapat di bagian utara dan timur Aceh. Berdasarkan kelas topografi wilayah, Provinsi Aceh memiliki topografi datar (0% - 2%) tersebar di sepanjang pantai barat selatan dan pantai utara timur sebesar 24.83% dari total wilayah; landai (2% 15%) tersebar di antara Pegunungan Seulawah dengan sebesar 11,29% dari total wilayah; agak curam (15% - 40%) sebesar 25,82% dan sangat curam (> 40%) yang merupakan punggung Pegunungan Seulawah, Gunung Leuser dan bahu dari sungai- sungai yang ada sebesar 38,06% dari total wilayah. Gambar 3.44 Peta administrasi Aceh Di Aceh terdapat 408 d aerah aliran sungai (DAS) besar sampai kecil, beberapa danau seperti Danau Laut Tawar di Aceh Tengah dan Danau Aneuk Laot di Sabang serta rawa seluas ha yang terdiri atas rawa lebak seluas ha dan rawa pantai seluas ha. Untuk pengelolaan sungai sebagai sumber daya air telah ditetapkan 11 wilayah sungai (WS). Berdasarkan Permen Pekerjaan Umum No.11A/PRT/M/ 2006, ada empat klasifikasi WS, yaitu WS Strategis Nasional (Meureudu-Baro, Jambo Aye, Woyla-Seunagan, dan Tripa-Bateue) yang dikelola pemerintah pusat; WS Lintas Provinsi (Lawe Alas-Singkil) yang dikelola pemerintah Aceh; dan WS Lintas Kabupaten/Kota (Krueng Aceh, Pase-Peusangan, Tamiang-Langsa, Teunom-Lambesoi, Krueng 75

77 Baru-Kluet) yang dikelola oleh pemerintah Aceh, WS dalam Kabupaten/Kota (Pulau Simeulue) yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Simeulue (Tabel 3.24). Sebagian besar lahan di Aceh didominasi oleh hutan dengan luas ha atau 61,42% dari luas provinsi, disusul oleh perkebunan besar dan kecil yang mencapai ha (12,06%). Luas lahan pertanian sawah seluas ha (5,43%), pertanian tanah kering semusim mencapai ha (2.4%), dan selebihnya merupakan lahan pertambangan, industri, perkampungan, perairan darat, tanah terbuka, dan lahan suaka alam lainnya di bawah 5,99% (Tabel 3.25). No NAMA WILAYAH SUNGAI Tabel 3.24 Wilayah sungai (WS) di Aceh DAS KETERANGAN Alas Singkil Lae Pardomuan, Lae Silabuhan, Lae Saragian, Lae Singki, L. Kuala Baru Lintas Provinsi; Aceh-Sumatera Utara 2 Meureudu-Baro Meureudu, Baro, Tiro, Pante Raja, Utue, Putu, Trienggadeng, Pangwa, Beuracan, Batee Strategis Nasional; Aceh 3 Jamboe Aye Jambo Aye, Geuruntang, Reungget, Lueng, Simpang Ulim, Malehan, Julok Rayeuk, Keumuning, Ganding Idi Rayeuk, Lancang, Jeungki, Peundawa Rayeuk, Peureulak, Peundawa Puntong, Leugo Rayeuk. Strategis Nasional; Aceh 4 Woyla-Seunagan Woyla-seunagan Strategis Nasional; Aceh 5 Tripa-Bateutue Tripa-Bateutue Strategis Nasional; Aceh 6 7 Krueng Aceh Pase-Peusangan Aceh, Raya, Teungku, Batee Pase, Peusangan, Peudada, Keureuto, Mane, Geukeuh Lintas Kabupaten/Kota Lintas Kabupaten/Kota 8 Tamiang-Langsa Tamiang, Langsa, Raya, Telaga Muku, Bayeuen Lintas Kabupaten/Kota 9 Teunom-Lambeusoi Teunom, Lambeusoi,Bubon, Sabe, Masen, Inong Lintas Kabupaten/Kota 10 Krueng Baru-Kluet Krueng Baru-Kluet Lintas Kabupaten/Kota 11 Sungai-sungai di Pulau Simeulue Pulau Simeulue Sumber: Permen PU No.11A/PRT/M/2006 dan Renstra SDA Prov Aceh Dalam Satu Kabupaten No Tabel 3.25 Jenis penggunaan lahan di Aceh pada Penggunaan 76 Luas/Area (Ha) Perkampungan Industri Pertambangan Persawahan Pertanian tanah kering semusim Kebun Perkebunan

78 - Perkebunan Besar Perkebunan Kecil Padang (Padang rumput, alang-alang, semak) Hutan (Lebat, belukar, sejenis) Perairan Darat (kolam air tawar, tambak, penggaraman, waduk, danau, rawa) Tanah terbuka (tandus, rusak, land clearing) Lainnya/others Jumlah/Total Sumber : Bappeda Aceh, 2009 (Data diolah) Potensi Pengembangan Wilayah Aceh memiliki beragam kekayaan sumber daya alam, antara lain minyak dan gas bumi, pertanian, industri, perkebunan, perikanan darat dan laut, serta pertambangan umum yang memiliki potensi untuk dikembangkan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh. Secara umum, penetapan Wilayah Pengembangan (WP) di Provinsi Aceh dikelompokkan berdasarkan posisi geografis, yaitu: (1) Banda Aceh dan sekitarnya, (2) Pesisir Timur, (3) Pegunungan Tengah dan (4) Pesisir Barat. WP yang dimaksud memiliki beberapa pusat kegiatan di wilayah tersebut yang dapat merupakan: Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Penetapan PKN dan PKW merupakan kewenangan pemerintah dan telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Sementara PKL ditetapkan dalam RTRW Provinsi sesuai dengan ketentuan pada Pasal 11 ayat (3) Peraturan Pemerintah No.26/2008 tentang RTRWN. Penetapan wilayah pengembangan berdasarkan rencana tata ruang Aceh secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.25, sementara rencana penetapan kegiatan unggulan pada kawasan budidaya lainnya dapat dilihat pada Tabel Kesempatan kerja, pengangguran, dan kondisi ketenagakerjaan menunjukkan perubahan ke arah lebih baik. Pada Februari 2009, jumlah penduduk yang bekerja 1,692 juta orang dan memasuki Agustus 2009 bertambah menjadi 1,733 juta orang. Dalam rentang waktu tersebut terjadi peningkatan sebanyak 41 ribu orang. Bila dibandingkan terhadap tahun sebelumnya (periode Agustus 2008), jumlah penduduk yang bekerja adalah 1,618 juta orang, berarti mengalami peningkatan sebesar 115 ribu orang. Sementara itu, perkembangan tingkat pengangguran selama periode cenderung menurun ( T a b e l ) Pada 2007, tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 9,84% dan selanjutnya terus menurun secara berturut-turut menjadi 9,56% (2008) dan 8,71% (2009). Walaupun TPT terus mengalami penurunan, namun kondisi tersebut masih tergolong tinggi dibandingkan dengan TPT nasional yang mencapai 9,75% (2007), 8,46% (2008) dan 8,14% (2009). Tabel 3.26 Penempatan wilayah pengembangan (WP) 77

79 No. Wilayah Pengembangan (WP) Pusat Kegiatan Kabupaten/Kota yang Tercakup Luas WP (Ha) Banda Aceh dan sekitarnya WP Basajan (Banda Aceh-Sabang_Jantho) 2 Pesisir Timur PKNp Banda Aceh PKW/PKSN Sabang PKL Jantho Kota Banda Aceh Kota Sabang Kab. Aceh Besar - WP Timur 1 (Langsa-Kuala Simpang-Idi Rayeuk) WP Timur 2 (Lhokseumawe-Bireuen-Lhok Sukon) WP Timur 3 (Sigli-Meureudu) 3 Pegunungan Tengah WP Tengah 1 (Takengon-Sp. Tiga Redelong WP Tengah 2 (Kutacane-Blangkejeren) 4 Pesisir Barat WP Barat 1 (Meulaboh-Calang_Suka Mak-mue) PKW Langsa PKL Ka. Simpang-Kr Baru PKL Idi Reyeuk PKN Lhokseumawe PKL Bireuen PKL Lhok Sukon Kab. Pidie Kab. Pidie jaya PKW Takengon PKL Sp. Tiga Redelong PKL Kutacane PKL Blangkejeren PKW Meulaboh PKL Calang PKW Jeuram-Suka Mamue Kota Langsa Kab. Aceh Utara Kab. Bireuen Kota Lhokseumawe Kab. Bireuen Kab. Aceh Utara 146, Kab. Pidie Kab. Pidie Jaya 157, Kab. Aceh Tengah Kab. Bener Meriah 140, Kab. Aceh Tengah Kab. Gayo Luwes 290, Kab. Aceh Barat Kab. Aceh Jaya Kab. Nagan Raya 351, WP Barat 2 (Tapaktuan-Blangpidie) PKL Tapaktuan PKW Blangpidie Kab. Aceh Selatan Kab. Aceh Barat Daya 291, WP Barat 3 (Subulussalam-Singkil) PKW Subulussalam PKL Singkil Kota Subulussalam Kab. Aceh Singkil 84, WP Barat 4 (Sinabang) Sinabang Kab. Simeulue Sumber : Bappeda Aceb (RTRWA,), 2010 Tabel 3.27 Penetapan kawasan unggulan pada kawasan budidaya lainnya dalam kawasan andalan Aceh WP (KAA-WP) No. Kawasan Andalan Aceh- WP (KAA-WP) Kab./Kota Yang Tercakup Luas KAA- WP (Ha) Luas Kaw. Lindung (Ha) Luas Kaw. Bud. Luas Kaw. Strat.Aceh (Ha) Bud. Lain (Ha) Kegiatan Unggulan Pada Kaw. Budidaya Lainnya 1. Kawasan Andalan Aceh - WP Basajan (Banda Aceh-Sabang- Jantho) 2. Kawasan Andalan Aceh - WP Timur 1 (Langsa-Kuala Simpang- Idi Rayeuk) Kota Banda Aceh Kota Sabang Kab. Aceh Besar Kota Langsa Kab. Aceh Tamiang Kab. Aceh Timur , , , ,60 -Permukiman Perkotaan -Permukiman Perdesaan - Pertanian - Pariwisata - Industri - Perikanan , , , ,96 -Permukiman Perkotaan -Permukiman Perdesaan - Perkebunan - Pertanian - Industri - Perikanan - Pertambangan 78

80 3. Kawasan Andalan Aceh - WP Timur 2 (Lhokseumawe-Bireuen- Lhok Sukon) Kota Lhokseumawe Kab. Aceh Utara Kab. Bireuen , , , ,87 -Permukiman Perkotaan -Permukiman Perdesaan - Pertanian - Perkebunan - Industri - Perikanan - Pertambangan 4. Kawasan Andalan Aceh - WP Timur 3 (Sigli-Meureudu) Kab. Pidie Kab. Pidie Jaya , , , ,03 -Permukiman Perkotaan -Permukiman Perdesaan - Pertanian - Perkebunan - Industri - Perikanan - Pertambangan 5. Kawasan Andalan Kab. Aceh Tengah Aceh WP Tengah 1 Kab. Bener Meriah (Takengon-SpTRedelong) 6. Kawasan Andalan Provinsi - WP Tengah 2 (Kutacane-Blangkejeren) 7. Kawasan Andalan Aceh - WP Barat 1 (Meulaboh-Calang-Suka Mak- mue) Kab. Aceh Tenggara Kab. Gayo Luwes Kab. Aceh Barat Kab. Aceh Jaya Kab. Nagan Raya , , , ,00 -Permukiman Perkotaan -Permukiman Perdesaan -Perkebunan -Pariwisata - Perikanan , , , ,46 -Permukiman Perkotaan -Permumkiman Perdesaan - Perkebunan - Pariwisata - Pertanian , , , ,64 -Permukiman Perkotaan -Permukiman Perdesaan - Perkebunan - Pertanian - Perikanan - Pariwisata - Pertambangan 8. Kawasan Andalan Aceh - WP Barat 2 (Tapaktuan-Blangpidie) 9. Kawasan Andalan Aceh - WP Barat 3 (Subulussalam-Singkil) 10. Kawasan Andalan Aceh - WP Barat 4 (Sinabang) Kab. Aceh Selatan Kab. Aceh Barat Daya Kota Subulussalam Kab. Aceh Singkil , , , ,65 -Permukiman Perkotaan -Permukiman Perdesaan - Perkebunan - Pertanian - Perikanan - Pariwisata , , , ,14 -Permukiman Perkotaan -Permukiman Perdesaan - Perkebunan - Perikanan - Pariwisata Kab. Simeulue , , , ,00 -Permukiman Perkotaan Permukiman Perdesaan - Perkebunan - Perikanan - Pariwisata Sumber: Rencana Pola Ruang Wilayah Aceh. Tabel 3.28 Tingkat pengangguran terbuka di Aceh pada Tahun No Kabupaten/Kota Simeulue 8, Aceh Singkil 9, Aceh Selatan 8, Aceh Tenggara 9, Aceh Timur 12, Aceh Tengah 3, Aceh Barat 8,

81 8 Aceh Besar 12, Pidie 9, Bireuen 7, Aceh Utara 13, Aceh Barat Daya 5, Gayo Luwes 5, Aceh Tamiang 12, Nagan Raya 6, Aceh Jaya 13, Bener Meriah 4, Pidie Jaya 4, Banda Aceh 7, Sabang 9, Langsa 12, Lhokseumawe 18, Subulussalam 12, Total 9, Sumber: BPS, Sarana dan Prasarana Umum A. Proporsi Panjang Jaringan Jalan dalam Kondisi Baik Berdasarkan data 2010, kondisi jalan di Aceh cukup memprihatinkan dan salah satu yang terburuk di Indonesia. Aceh Barat memiliki kondisi jalan cukup baik, sedangkan daerah sepanjang pantai barat dan daerah tengah Aceh sarana infrastruktur masih sangat rendah. Di Aceh Tengah dan Gayo Luwes, lebih dari 50% jalan kabupaten dalam kondisi rusak sementara sebagian besar daerah di sepanjang pantai timur Aceh kondisi jalan kabupatennya lebih baik namun sekitar 30% jalan kabupaten dalam kondisi rusak. Di Nagan Raya dan Aceh Jaya tercatat lebih dari 90% kondisi jalan dalam keadaan rusak. Secara keseluruhan, panjang jalan mencapai ,19 km terdiri atas jalan nasional (1.782,78 km), provinsi (1.701,82 km), dan kabupaten/kota (13.581,89 km) (Tabel 3.29). Tabel 3.29 Kondisi jalan nasional provinsi dan kabupaten/kota di Aceh pada Panjang Kondisi Jalan (km) Kondisi No Tahun Baik Sedang Rusak Nasional 1, Provinsi 1, Kabupaten 13, , , , Nasional 1, , Provinsi 1, Kabupaten 13, , , , Nasional 1, , Provinsi 1, Kabupaten 13, , , , Nasional 1, ,

82 Provinsi 1, Kabupaten 13, , , , Nasional 1, , Provinsi 1, Kabupaten 13, , , , Sumber : Dinas Bina Marga dan Cipta Karya 2010 Di Aceh terdapat 19 pelabuhan, 12 bandara dan 33 terminal bis yang tersebar di kabupaten/kota. Pelabuhan laut yang terbesar adalah Malahayati, Krueng Geukueh, Meulaboh dan Ulee Lheu sebagai pelabuhan penyebarangan dan angkutan. Bandara Sultan Iskandar Muda adalah bandara internasional yang berlokasi di Aceh Besar (lihat Tabel 3.30) Industri Sektor industri belum memberikan kontribusi yang berarti terhadap penyediaan lapangan dan penyerapan tenaga kerja serta pembentukan PDRB. Industri di Aceh hanya mengandalkan kepada industri pengolahan migas, namun terus mengalami penurunan seiring dengan menurunnya produksi migas. Berdasarkan kontribusi nilai tambah PDRB selama lima tahun terakhir, harapan besar tertumpu pada pengembangan industri non-migas, sedangkan industri migas dalam jangka panjang tidak dapat diandalkan. Dari jenis industri, jumlah usaha industri kecil menengah sampai 2008 adalah unit atau meningkat sekitar 5,12 % dari 2007 atau sejumlah unit, namun untuk jumlah industri besar tidak mengalami peningkatan dalam kurun waktu dua tahun terakhir, yaitu sejumlah 8 unit (Tabel 3.31). Tabel 3.30 Jumlah pelabuhan laut/udara/terminal bis di Aceh pada 2009 No Kab/Kota Transportasi Laut Pelabuhan Angkutan Pelabuhan Penyeberangan Terminal Bis Bandara Tipe A Tipe B Tipe C 1 Sabang Banda Aceh Aceh Besar Pidie Pidie Jaya Bireuen Aceh Utara Lhokseumawe Aceh Timur Langsa

83 Aceh Tamiang Aceh Tengah Bener Meriah Gayo Luwes Aceh Tenggara Aceh Jaya Aceh Barat Aceh Barat Daya Nagan Raya Aceh Selatan Subulssalam Aceh Singkil Simeulue Jumlah Sumber: Data Dishubkomintel, 2009 Tabel 3.31 Perkembangan industri di Aceh pada No Urai Satuan Unit Usaha Unit 20,231 21,267 35,660 a. IKM Unit 20,223 21,259 35,652 b. Industri Besar Unit Tenaga Kerja Orang 75,548 80, ,161 a. IKM Orang 70,985 75, ,598 b. Industri Besar Orang 4,563 4,563 4, Investasi Rupiah 146,911,000,000, ,977,000,000, ,066,107,083,017 a. IKM Rupiah 337,000,000, ,000,000, ,107,083,017 b. Industri Besar Rupiah 146,574,000,000, ,574,000,000, ,574,000,000,000 Sumber: Dinas Perindustrian Provinsi Aceh, Sumber Daya Energi Aceh memiliki sumber daya energi, khususnya panas bumi dan tenaga air (lihat Tabel 3.32 dan Tabel 3.33). Potensi panas bumi dan tenaga air ini belum dimanfaatkan secara optimal, sehingga akan memberikan nilai tambah jika dibangun pabrik pengolahan bijih besi di kemudian hari. Kebutuhan energi listrik di Aceh saat ini dipenuhi oleh beberapa sistem dengan porsi, yaitu: sistem transmisi 150 kv Sumut-Aceh sebesar 70,12 persen, PLTD Isolated sebesar 26,62 persen, sistem distribusi 20 kv dari wilayah Sumut sebesar 3,26 persen, PLTMH Isolated sebesar 0,75 persen. Tabel 3.32 Potensi energi panas bumi Aceh Potensi (Mwe) No. Lapangan Kab/Kota Sumber Daya Cadangan Spekulatif Hipotetik Terduga Mungkin Terbukti 1. Iboih Kota Sabang Lho Pria Laot Kota Sabang

84 3. Jaboi Keuneukai Kota Sabang Iseum Krueng Raya Aceh Besar Seulawah Agam Aceh Besar Alur Canamg Pidie Alue Long Bangga Pidie Tangse Pidie Rimba Raya Bener Meriah G. Geureudong Aceh Tengah Simpang Balik Bener Meriah Silih Nara Aceh Tengah Meranti Aceh Timur Brawang Buaya Aceh Taniang Kafi Gayo Luwes G. Kembar Gayo Luwes Dolok Perkirapan Gayo Luwes Total Potensi Panas Bumi = MWe Geologi dan Sumber Daya Mineral Secara geologi, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) berada di jalur patahan Sumatera yang merupakan daerah tektonik aktif yang memanjang dan dikenal sebagai Pegunungan Bukit Barisan. Di sepanjang pegunungan ini banyak terdapat zona mineralisasi logam, non logam dan jalur sumber panas bumik yang dapat digunakan sebagai pembangkit listrik. Secara litologi, NAD ini ditempati oleh batuan sedimen berumur Perm Awal hingga Holosen, batuan gunungapi dan beku terobosan. Batuan tua berumur Pra-Tersier umumnya berupa batuan metasedimen dan metamorfosa. Tabel 3.33 Potensi energi air No Nama Proyek Sungai Kapasitas (MW) Keterangan 1. Jambuaya 3 Wh Jambu Air Jambuaya 6 Kr. Jambuaya Ramasan 1 Kr. Ramasan Bidin Jambuaya Kr. Jambuaya Peureulak Kr. Peureulak Tempur W. Tempur 428 Amdal Peusangan Kr. Peusangan 80 Proses Pembangunan 2x45 MW 8. Jambo Papeun 2 Kr. Jambo Papeun

85 9. Kluet Kr. Kluet Sibubung 2 Kr. Sibubung Teripa 3 Kr. Teripa Teripa 4 Kr. Teripa Meureubo 1 Kr. Meulaboh Pameu Kr. Pameu Woyla 2 Kr. Woyla Dolok 1 Kr. Dolok Teunom Kr Teunom Total Potensi Energi Air Sedimen Tersier daerah ini merupakan batuan induk tempat terperangkapnya minyak dan gas bumi serta pembawa lapisan batubara. Adanya serpih hitam diharapkan di daerah ini berpeluang untuk memperoleh endapan serpih bitumen. Batuan terobosan terdiri atas intrusi Pra-Tersier, serpentinhardburgit dan intrusi Tersier. Batuan gunungapi dan intrusi menjadi target eksplorasi emas, tembaga, timah hitam, timah putih, molibdenum dan mineral lainnya. Adanya aktivitas vulkanik kuarter di daerah ini memungkinkan terjadinya proses hidrotermal yang membentuk suatu sistem panas bumi sebagai salah satu sumber energi (PSG 2009). Dari aspek geologi (Gambar 3.45), Aceh terbagi dalam tujuh lembar peta geologi, yaitu: 1. Lembar Aceh; 2. Lembar Lhokseumawe; 3. Lembar Calang; 4. Lembar Takengon; 5. Lembar Langsa; 6. Lembar Tapaktuan; 84

86 Gambar 3.45 Peta geologi Aceh. Potensi tambang di Aceh sangat banyak dan tersebar. Mineral bukan logam, misalnya magnesit terdapat di Aceh Besar dengan sumberdaya ton; dolomit di Aceh Tamiang ton, felspar di Aceh Tengah; kaolin di Aceh Singkil; lempung di Aceh Selatan ton; bentonit di Pidie ton; fosfat di Aceh Besar ton, Aceh Tamiang ton, Gayo Luwes 4 ton, Aceh Jaya ton; kuarsit/pasir kuarsa Aceh Jaya ton dan Acih Singkil ton. Mineral logam, misalnya besi terdapat di Aceh Besar dengan sumber daya ton, Gayo Luwes ton, Aceh Selatan ton, Subulussalam ton, Aceh Barat Daya ton, Aceh Tamiang ton dan di Pidie ton; pasir besi potensinya tersebar di Aceh Besar dengan sumber daya ton, Pidie ton, Bireun ton; emas ditemukan di Aceh Besar dengan potensi ppm, Pidie ppm, Aceh Tengah ppm, Aceh Barat ppm, Nagan Raya ppm, Aceh Barat Daya 2 4 ppm dan Aceh Selatan dengan potensi 4 8 ppm; logam tembaga ditemukan di Aceh Besar dengan potensi 8 %, di Pidie 4 12 %. Selain mineral-mineral tersebut di di atas, di Aceh juga ditemukan indikasi adanya molibdenit yaitu di Pidie, Aceh Tengah dan Gayo Luwes serta perak di Aceh Barat Daya. Aceh memiliki sumber daya bijih besi dan pasir besi (besi bertitan) cukup besar, yang tersebar di seluruh wilayah kabupaten/kota dengan komposisi kimia sangat beragam (Dinas Pertambangan Provinsi Aceh, 2012). Kabupaten yang memiliki sumber daya bijih besi adalah Pidie, Aceh Besar, Gayo Luwes, Aceh Timur, Aceh Selatan, Subulussalam, Aceh Barat Daya dan Kabupaten Aceh Tamiang. Adapun kabupaten yang memiliki sumber daya pasir besi, adalah Aceh Besar, Pidie, dan Bireun. Kekayaan bijih besi yang cukup besar ini dapat menjadi modal bagi Aceh dalam mengembangkan ekonominya apabila dikelola dengan baik melalui pengolahan dan pemurnian sehingga dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar daripada dijual atau diekspor dalam bentuk 85

87 bijih wantah (ore). Di samping adanya peningkatan dari sisi perekonomian, pentingnya pengelolaan kekayaan mineral bijih besi melalui pengolahan dan pemurnian dapat memberikan manfaat lain, antara lain: 1) optimalisasi konservasi sumber daya dan cadangan bijih besi; 2) mengurangi ketergantungan industri dalam negeri pemakai bahan baku bijih besi terhadap bahan baku impor; 3) menciptakan mata rantai hulu-hilir sektor pertambangan sehingga dapat memicu pengembangan sektor industri hilir (hilirisasi); 4) mendorong peningkatan industri pengolahan dalam negeri; 5) mendorong tumbuhnya industri penunjang; 6) meningkatkan pendapatan masyarakat; 7) menyerap tenaga kerja lebih banyak; 8) mendorong peningkatan pendapatan nasional, melalui peningkatan royalti dan pajak; 9) meningkatkan keekonomian nilai bijih besi; 10) meningkatkan kemampuan rancang bangun dan rekayasa teknologi di bidang pengolahan dan pemurnian; 11) meningkatkan kemampuan sumber daya manusia di bidang pengolahan dan pemurnian. Potensi tambang sangat banyak dan tersebar. Mineral logam, misalnya bijih besi merupakan primadona dalam bidang mineral yang terdapat di: a. Aceh Besar dengan sumber daya 36.8 juta ton; b. Gayo Luwes 22 juta ton; c. Aceh Selatan 28 juta ton; d. Subulussalam 24 juta ton; e. Aceh Barat Daya 48 juta ton; f. Aceh Tamiang 42 juta ton; g. dan di Pidie ton. Selain bijih besi, terdapat pula pasir besi yang tersebar di Aceh Besar (7,2 juta ton), Pidie (1,2 juta ton), Bireun (3,8 juta ton). Emas ditemukan di Aceh Besar (2 4.2 ppm), Pidie ( ppm), Aceh Tengah ( ppm), Aceh Barat (0.2 4 ppm), Nagan Raya (0.2 4 ppm), Aceh Barat Daya (2 4 ppm) dan Aceh Selatan (4 8 ppm) sedangkan tembaga ditemukan di Aceh Besar dengan potensi 8% dan di Pidie 4% 12%. Indikasi adanya mineral molibdenit terdapat di Pidie, Aceh Tengah dan Gayo Luwes dan perak di Aceh Barat Daya. Potensi mineral logam, seperti magnesit terdapat di Aceh Besar dengan sumber daya 210 juta ton; dolomit di Aceh Tamiang juta ton, felspar di Aceh Tengah; kaolin di Aceh Singkil; lempung di Aceh Selatan ton; bentonit di Pidie 40 juta ton; fosfat di Aceh Besar ton, Aceh Tamiang ton, Gayo Luwes 4 ton, Aceh Jaya ton; kuarsit/pasir kuarsa di Aceh Jaya 255 miliar ton, Aceh Singkil 5,25 juta ton. 86

88 Data Dinas Pertambangan Provinsi Aceh pada 2013 terdapat 137 pemegang IUP/IPR/KK mineral logam dan batubara, baik IUP Eksplorasi maupun Operasi Produksi dengan luas area ,31 ha tersebar di seluruh wilayah Aceh. Dari 137 IUP tersebut, 104 buah berupa IUP Eksplorasi, 25 IUP Operasi Produksi, 3 KK, dan 5 IPR. Sebagian besar pemegang IUP mengusahakan bahan tambang emas dan bijih besi, selain bahan tambang lainnya seperti pasir besi, galena, tembaga, batubara, serta seng dan timbal. Khusus untuk pertambangan emas, dari 40 IUP yang ada, sebanyak 35 IUP (87%) berstatus IUP Eksplorasi dan hanya 5 buah (13%) berstatus IUP Operasi Produksi. Untuk pertambangan bijih besi, dari 39 IUP yang ada, sebanyak 26 IUP (65%) berstatus IUP Eksplorasi dan hanya 13 IUP (35%) berstatus IUP Operasi Produksi. Sebaran endapan mineral dan non logam dapat dilihat pada gambar 3.46 dan gambar 3.47 BESI EMAS Kabupaten Aceh Besar Potensi (ton) 36,800,000 Kabupaten Potensi (ppm) Aceh Besar Gayo Lues 22,000,000 Aceh Barat - Aceh Selatan 28,000,000 Subulussalam 24,000,000 Aceh Barat Daya 48,000,000 Aceh Tamiang 42,0000,000 Pidie 10,000 Pidie Aceh Tengah Aceh Jaya Aceh Barat Nagan Raya Aceh Barat Daya 2-4 Aceh Selatan 4-8 BESI BERTITAN (PASIR BESI) Kabupaten Potensi (ton) Aceh Besar 7,200,000 Pidie 1,200,000 Pidie Jaya Bireuen 3,800,000 Aceh Jaya - Aceh Barat - Aceh Singkil - TEMBAGA Kabupaten Potensi ( %) Aceh Besar 8 Pidie 4-12 Aceh Timur - Aceh Tengah - Gayo Lues - Aceh Jaya - Aceh Barat Daya - Aceh Selatan - MOLIBDENIT Kabupaten Potensi (ton) Pidie - Aceh Tengah - Gayo Lues - PERAK Kabupaten Potensi (ton) Aceh Barat Daya - SENG Kabupaten Potensi (ton) Aceh Tengah - Gayo Lues - Aceh Barat - Nagan Raya - GALENA Kabupaten Potensi (ton) Subulussalam 4,000,000 Aceh Timur 400,000 Gayo Lues 1,200,000 Aceh Tamiang 2,400,000 Gambar 3.46 Sebaran potensi endapan mineral MAGNESIT Kabupaten Potensi (ton) LEMPUNG Aceh Besar 210,000,000 Kabupaten Potensi (ton) Pidie - Aceh Tengah - DOLOMIT Kabupaten Potensi (ton) Aceh Besar - Aceh Tamiang 1,190,000,000 Aceh Timur - Aceh Tamiang - Gayo Lues - Aceh Jaya - Aceh Selatan 126,680 Aceh Singkil - FELDSPAR Kabupaten Potensi (ton) Aceh Timur - Aceh Tengah 1,190,000,000 Gayo Lues - BENTONIT Kabupaten Potensi (ton) Aceh Timur - Aceh Tengah - Pidie 40,000,000 KAOLIN Kabupaten Potensi (ton) Aceh Singkil - 87

89 PHOSPAT Kabupaten Potensi (ton) Aceh Besar 140,000 Pidie - Aceh Tamiang 400,000 Gayo Lues Aceh Jaya 77,000 KUARSIT / PASIR KUARSA Kabupaten Potensi (ton) Gayo Lues - Aceh Jaya 255,000,000,000 Aceh Singkil 5,250,000 Gambar 3.47 Sebaran potensi endapan bukan logam Pertambangan Provinsi Aceh menyimpan banyak potensi mineral yang menarik para investor dan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Sejauh ini potensi tersebut belum dikelola secara maksimal guna dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat, karena terhambat oleh berbagai kendala. Berdasarkan data dari Dinas Pertambangan Provinsi Aceh, pada 2013 terdapat 137 pemegang IUP/IPR/KK mineral logam dan batubara, baik Eksplorasi maupun IUP Operasi Produksi dengan luas area ,31 ha tersebar diseluruh wilayah Aceh (Tabel 3.32). Dari 137 IUP tersebut 104 IUP eksplorasi, 25 IUP operasi produksi, 3 KK, dan 5 IPR. Sebagian besar pemegang IUP mengusahakan bahan tambang emas dan bijih besi, selain bahan tambang lainnya yaitu pasir besi, galena, tembaga, batubara, serta seng dan timbal. Khusus untuk pertambangan emas, dari 40 IUP yang ada, sebanyak 35 IUP (87%) berstatus IUP Eksplorasi, dan hanya 5 buah (13%) berstatus IUP Operasi Produksi, untuk pertambangan bijih besi, dari 39 IUP yang ada, sebanyak 26 IUP (65%) berstatus IUP Eksplorasi, dan hanya 13 buah (35%) berstatus IUP Operasi Produksi (Tabel 3.34). 88

90 Tabel 3.34 Ijin usaha pertambangan di Aceh Produksi Bijih Besi Produksi bijih besi Aceh berjumlah ton pada 2012 terutama dihasilkan oleh PT. Lhoong Setia Mining di Aceh Besar ( ,97 ton), PT. Juya Aceh Mining di Aceh Barat Daya ( ,57 ton), PT. Samana Citra Agung di Kabupaten Aceh Besar (39.171,00 ton), PT Samana Citra Agung di Pidie (9.760,00 ton), PT. Bara Energi Lestari di Nagan Raya (82.073,00 ton), dan PT. Mifa Bersaudara di Aceh Barat (4.635,05 ton). Tabel 3.35 dan Tabel 3.36 cadangan bijih besi dan pasir besi. Di Indonesia, Aceh merupakan produsen terbesar ketiga setelah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat. Di bawah Aceh terdapat Jambi, Riau, Bangka-Belitung, dan Sulawesi Utara. Sebagian besar produksi bijih besi dari Aceh diekspor dan hanya sedikit yang dipasarkan di dalam negeri karena sampai saat ini belum ada pabrik pengolahan bijih besi di dalam negeri. Tabel 3.35 Cadangan dan investasi bijih besi di Aceh No Perusahaan Komodi tas Luas (Ha) Cadangan (Mton) Investasi (Rp 000) Keterangan A Kab. Aceh Besar 1 PT. Lhoong Setia Mining Bijih Besi Aktif Produksi 2 PT. Tambang Indrapuri Jaya Bijih Besi Aktif Produksi 89

91 B Kab. Aceh Selatan 1 KSU Tiega Manggis Bijih Besi Aktif Produksi 2 PT. Pinang Sejati Wati Bijih Besi Development 3 KSU Ni mat Seupakat Bijih Besi Development 4 PT. Beri Mineral Utama Bijih Besi Development C Kab. Aceh Barat Daya 1 PT. Juya Aceh Mining Bijih Besi Aktif Produksi 2 PT. Bumi Bahbarot Bijih Besi Aktif Produksi 3 PT. Waja Niaga Bijih Besi Stop Sementara 4 PT. Lauser karya Tambang Bijih Besi Aktif Produksi D Kota Subulusalam PT. Estamo mandiri Bijih Besi Pengurusan IPPKH Jumlah Tabel 3.36 Cadangan dan investasi pasir besi di Aceh No Perusahaan Komodi tas Luas (Ha) Cadangan (Mton) Investasi (Rp 000) Keterangan A Kab. Aceh Besar 1 PT. Samana Citra Agung Pasir Besi Aktif Produksi 2 PT. Bina Meukuta Alam Pasir Besi Proses Amdal B Kab. Pidie 1 PT. Glee Rinder Pratama Pasir Besi Tidak Aktif Jumlah Peningkatan kebutuhan baja dunia untuk pembangunan, terutama di Cina, menyebabkan bijih besi kadar rendah Indonesia juga ikut diperdagangkan dalam perdagangan dunia, seperti tercatat pada 2010 mencapai lebih dari 5,5 juta ton. Perusahaan penambangan bijih besi di Indonesia sebagian terkonsentrasi di Provinsi Aceh. Berdasarkan perolehan data ekspor menunjukkan bahwa Aceh dan 90

92 Kalimantan Selatan merupakan penyumbang ekspor bijih besi terbesar di tanah air. Sebagai gambaran, ekspor bijih besi yang melalui pelabuhan di wilayah Aceh baru mencapai 556,85 ribu ton dengan nilai FOB US$ 12,13 juta (Tabel 3.37). Selama empat tahun terakhir ekspor bijih besi dari kedua wilayah tersebut 37,41% dengan tujuan sebagian besar ke Cina, dan sebagaian kecil ke Hongkong, Malaysia, Jepang dan Vietnam Teknologi Pengolahan dan Pemurnian Bijih Besi Teknologi mini blast furnace (MBF) dan tungku putar dengan kapasitas yang kecil menjadi pilihan yang ideal untuk mengolah bijih besi menjadi besi wantah (pig iron). Teknologi MBF cukup berkembang di Cina, dengan volume tungku tegak m 3. Sementara teknologi tungku putar dengan kapasitar 50 ton/hari berkembang di India untuk menghasilkan sponge iron dan digunakan sebagai bahan baku untuk menghasilkan besi wantah atau dalam industri baja. Penerapan teknologi MBF dan tungku putar diharapkan dapat mengolah bijih besi yang terdapat di Provinsi Aceh dengan spesifikasi sesuai dengan Permen ESDM No.1 Tahun Tabel 3.37 Ekspor bijih besi dari Kalimantan Selatan dan Aceh,

93 NO. PELABUHAN MUAT SATUAN (JANUARI - JULI) Tungku Tegak Pada saat ini sebagian besar logam besi wantah dihasilkan dari proses tanur tegak (blast furnace) membutuhkan bijih besi berupa lump berkadar tinggi, pellet atau sinter dengan kandungan Fe total 55%. Kokas digunakan sebagai pereduksi dan sumber panas. Dalam tanur tegak bijih besi mengalami reduksi secara bertingkat sampai dihasilkan logam besi wantah. Kapasitas minimum pengolahan bijih besi menggunakan blast furnace adalah ribu ton hot metal per tahun. Sedangkan untuk kapasitas MBF sekitar ton hot metal/tahun. Pengaplikasian teknologi blast furnace di Indonesia harus memperhitungkan kebutuhan kokas yang harus diimpor. Sintering plant bijih besi/konsentrat besi juga harus dintegrasikan untuk mengolah bijih besi halus maupun konsentrat besi hasil peningkatan kadar. Gambar 3.48 memperlihatkan skema rangkaian MBF yang dilengkapi circular sintering machine dan wet scrubber system sementara Gambar 3.48 menunjukkan contoh pabrik yang menggunakan MBF. Blast furnace beroperasi dengan kontra penukaran antara aliran udara panas dan bahan baku padat. Bahan baku padat diumpankan dari bagian puncak tanur dan gas panas pereduksi dikirim lewat bagian bawah melalui tuyeres. Bijih besi sinter, kokas dan bahan flux antara lain batu kapur dan/atau dolomit diumpankan ke bagian atas tungku. Udara yang telah dipanaskan dan dimasukkan melalui sejumlah besar nozel yang didinginkan dengan air di bagian bawah tanur disebut tuyeres dan melewati muatan material turun. Material padat umpan bergerak turun ke bagian bawah tanur selama 6 8 jam. Ton , , , ,00 US $ , , , ,00 Ton , , , ,91 US $ , , , ,29 Ton 8.853, , ,00 US $ , , ,00 Ton , ,47 US $ , ,92 Ton , , , ,38 US $ , , , , ,21 NO. PELABUHAN MUAT SATUAN (JANUARI - MARET) 4. Sabang SEBUKU (KPPBC Tipe A3 Kotabaru) TG. PEMANCINGAN (KPPBC Tipe A3 Kotabaru) SATUI (KPPBC Tipe A3 Kotabaru) BANJARMASIN (KPPBC Tipe A2 Banjarmasin) JUMLAH DARI PELABUHAN KALSEL 5. Lhoong Port Aceh 6. Bakongan Poart 7. IPPTN Tapaktuan 6. Ujung Pancu Sea Aceh 7. Ulee Lheue Sea Port 7. Blang Pidie South West JUMLAH DARI PELABUHAN NAD JUMLAH DARI PELABUHAN KALSEL DAN NAD Ton ,00 US $ ,00 Ton , , ,35 US $ , , ,81 Ton , ,36 US $ , ,00 Ton ,76 US $ ,28 Ton ,67 US $ ,75 Ton , ,52 US $ , ,90 Ton ,00 US $ ,00 Ton , , ,22 US $ , , ,71 Ton , , , , ,60 US $ , , , , ,92 Sumber : Kantor Pengawasan Dan Pelayanan Banjarmasin, Kotabaru, Kalimantan Selatan, Dinas Perdagangan NAD, 2011 (Data Diolah Kembali). 92

94 Gambar 3.48 Elevasi mini blast furnace Udara panas yang ditiupkan dari bagian bawah tanur naik ke puncak lubang bukaan tanur dalam 6 8 detik setelah melalui sejumlah reaksi kimia. Karbon monoksida diproduksi sebagai hasil reaksi kimia antara udara panas yang ditiupkan dengan muatan material panas menjadi produk akhir berupa besi cair dengan kandungan karbon tinggi, terak dan gas blast furnace. Besi cair dan terak secara periodik keluar dari lubang pengeluaran. Material ini terbentuk dari bijih besi sinter setelah melalui serangkaian reaksi reduksi kimia yang secara sederhana diartikan sebagai penghilangan oksigen dari besi oksida. Dari rangkaian reaksi reduksi besi oksida yang terjadi, karbon merupakan pereduksi utama untuk mengkonversi oksida besi menjadi besi serta sebagai sumber energi untuk menyediakan panas ketika karbon dan oksigen bereaksi secara eksotermis. Karbon dipasok ke tanur tinggi dalam bentuk kokas dari batubara kelas metalurgi tapi bisa juga dalam bentuk arang dari kayu atau karbon bentuk lain. Pembakaran kokas pada blast furnace menghasilkan gas blast furnace. Gas ini yang diperoleh biasa dimanfaatkan kembali dan digunakan sebagai bahan bakar, sebagian di dalam pabrik masih dalam proses pembangkit listrik yang dilengkapi peralatan pembakar. Gas blast furnace juga dapat dikembalikan dan dialirkan ke proses pembuatan kokas untuk energi pembakar dalam pabrik coke oven (Gambar 3.49). 93

95 Gambar 3.49 Mini blast furnace Material fluks, batu kapur dan dolomit dilebur menjadi terak peleburan untuk menghilangkan pengotor sulfur dan lainnya. Pengaturan komposisi fluks yang berbeda untuk menghasilkan kimia terak yang diinginkan dan membentuk sifat terak optimal seperti titik lebur yang rendah dan mempunyai fluiditas yang tinggi untuk mudah dialirkan Tungku Putar Teknologi lain yang sudah teruji (proven) dalam pengolahan bijih besi maupun pasir besi adalah proses SL/RN, yang pada intinya adalah proses reduksi dalam tungku putar dan peleburan terhadap reduced iron dalam tungku listrik (EAF/SAF). Reduksi dalam tungku putar membutuhkan gas alam sebagai reduktor dan sumber panas, atau dapat menggunakan batubara subbituminus. Teknologi SL/RN membutuhkan kandungan Fe dalam bijih besi relatif rendah (minimum 55% Fe). Diagram alir proses pengolahan bijih besi dengan teknologi SL/RN dapat dilihat pada Gambar 3.50 hasil reduksi berupa reduced iron/sponge iron dilebur dalam tungku listrik (EAF, electric arc furnace). 94

96 Gambar 3.50 Teknologi SL/RN dalam pengolahan bijih besi Aspek Teknis dan Ekonomis Teknologi Mini Blast Furnace Volume mini blast furnace adalah 50 m 3 yang akan menghasilkan t hot metal (besi wantah cair) per tahun, yang dilengkapi peralatan penunjang berupa: 1. Sistem pengumpanan material; 2. Penampung (silo) bijih besi/konsentrat besi, kapur dan kokas,;sistem pemuatan di atas blast furnace; 3. Stove, pembangkit udara panas; 4. Sistem injeksi udara panas bertekanan, tuyeres; 5. Platform dan bangunan penuangan besi wantah; 6. Sistem penyaringan debu; 7. Sistem granulasi terak; 8. Sistem penuangan besi wantah; 9. Fasilitas umum utilitas umum, dan lain-lain. Parameter Utama Tekno-ekonomi Tabel 3.38 memperlihatkan spesifikasi teknis blast furnace dengan volume 50 m 3. Untuk menghasilkan ton besi wantah per tahun diperlukan ton kokas per tahun. Mini blast furnace membutuhkan kokas grade 2 dengan sifat fisik compressive strength yang relatif rendah (di bawah 250 kgf/m 2 ). Untuk memperoleh karakteristik aliran gas yang menyebar merata, maka perbandingan antara sinter dan bijih besi bongkah adalah 4:1. Karakteristik umpan dengan kandungan ± 60% Fe sedangkan bijih besi bongkah 61% Fe. Terak sebagai produk dari peleburan bijih dengan blast furnace dimanfaatkan sebagai material sand blasting. Sedangkan kunsumsi bahan untuk menghasilkan per ton logam besi dapat dilihat pada tabel

97 Tabel 3.38 Spesifikasi teknis. Deskripsi Unit Parameter Keterangan 1 Volume blast furnace m Produktifitas t/m 3 d Kebutuhan kokas total t/t Kebutuhan kokas sebagai sumber Kokas metalurgi kg/t 500 energi grade 2 5 Kebutuhan kokas sebagai reduktor kg/t 120 Normal value 6 Kadar umpan bijih besi % 59.98% 7 Kebutuhan bijih besi sinter % 80 Kadar: 59.75%, 8 Kebutuhan bijih besi bongkah % 20 Fe 61% 9 Temperatur udara panas Tekanan di bagian atas BF Mpa Keluaran terak kg/t Kapasitas daya listrik terpasang Kw Hari kerja per tahun D Keluaran logam cair per hari T Keluaran logam cair per tahun T 36, Masa pakai sebelum overhaul Tahun 5 17 Kapasitas cetakan pig iron per tahun t/d 200 Tabel 3.39 Konsumsi bahan untuk menghasilkan per ton logam besi Pasokan Bahan Baku dan Sistem Pengisian Blast furnace Tandan untuk bijih besi dan bahan lainnya harus diatur dalam satu baris sehingga terdapat total tujuh tandan material, yang terdiri atas dua untuk penampung kokas, dua penampung bijih sinter, dua penampung bijih bongkah dan satu untuk penampung bahan lain-lain. Sinter dan kokas harus dilewatkan ke dalam penyaringan untuk memisahkan bentuk halus. Bijih bongkah tidak perlu diayak, Parameter unit Konsumsi Air bersih m 3 2 Listrik kw h 146 Uap Kg 30 Udara bertekanan m 3 10 BF blower m BF Gas m Konsumsi batubara Kg standard coal 453,1 BF mud gun Kg 4 Material for hot metal trough Kg 4 Pasir Kg 5 dimasukkan ke dalam hopper dengan melewati sistem penimbangan berat untuk diumpankan ke dalam blast furnace menggunakan belt conveyor. Semua hopper dilengkapi dengan sistem penimbangan agar umpan yang masuk ke dalam blast furnace terkendali sesuai dengan kapasitas 96

98 terpasang. Terdapat dua buah hopper berisi 1,3 m 3 untuk bijih sinter, dua berisi 2,3 m 3 untuk coke breeze, dua berisi 1,3 m 3 untuk bijih bongkah, dan satu berisi 1,3 m 3 untuk bahan lain-lain. Bijih dan kokas halus hasil penyaringan dengan menggunakan belt conveyor dimasukkan ke dalam sintering plant akan digunakan kembali sebagai bahan baku. Peralatan Pengisian Bagian Atas BF Di bagian atas blast furnace terdapat sistem pengisian material menggunakan bell ganda yang akan membuka dan menutup corongan. Dorongan hidrolik menyebabkan bell terbuka sedangkan bell bagian atas tertutup akibat adanya sistem equalizer yang dilengkapi dua gauge lever otomatis-sistem pengisian untuk kombinasi empat sistem bucket. Struktur Blast Furnace Blast furnace ditopang oleh struktur fondasi beton yang tertanam pada kedalaman yang sesuai. Struktur tersebut dapat menyokong bebannya sendiri, untuk hal ini terdapat enam platform untuk pemeliharaan dan operasi, enam tuyeres, satu lubang tapping logam cair dan keluaran terak. Bata alumina high grade digunakan untuk dinding blast furnace. Metode pendinginan Ada lima bagian yang harus didinginkan pada dinding furnace, yaitu tuyere, lubang terak akan didinginkan oleh air industri tekanan normal, bagian bawah blast furnace didinginkan dengan sistem pipa yang ditanamkan ketika suhu di atas blast furnace terlalu tinggi. Tuyere terbuat dari tembaga dengan struktur tabung dan diselimuti pipa air φ mm serta didinginkan oleh air bertekanan tinggi industri. Laju aliran adalah 2,0 m/detik; dinding terbuat baja strip dari baja cor. Platform tuyere dan cast house merupakan struktur beton bertulang. Platform ini diisi pasir, batu bata, dan tanah liat. Hot Stove Terdapat tiga tungku pemanas berbahan bakar yang disusun dalam satu garis pengaturan. Kubah tungku pemanas adalah struktur catenary yang terdiri atas: a. Diameter tutup tungku pemanas diameter dalam mm b. Diameter kubah baja diameter dalam mm c. Tinggi tungku pemanas mm d. Debit udara panas ke BF 300 m 3 /min e. Tekanan udara panas MPa f. Suhu di atas lengkungan 1250 g. Suhu udara panas h. Area pemanasan setiap m 3 BF 153,4 m 2 /m 3 97

99 i. Bahan bakar gas j. Burner keramik burner k. Combustion fan l. Kendali pasokan udara, satu untuk operasi, satu untuk standby m. Suhu gas buang rata-rata 250, Max 350. Total biaya engineering procurement and construction (EPC) untuk pabrik peleburan bijih besi dengan blast furnace adalah USD ,00, sudah termasuk pembangunan pembangkit listrik Hasil dan Pembahasan Pengembangan Wilayah Strategis Secara geografis, Aceh memiliki peluang untuk berkembang karena berbatasan langsung dengan Selat Malaka dan lautan Hindia. Hal ini didukung pula sebagai hubport yang berfungsi sebagai pelabuhan ekspor/impor internasional dan pelabuhan transit yang berpeluang untuk dikembangkan, namun kawasan tersebut masih belum berkembang seperti yang diharapkan karana sarana dan prasarana belum memadai. Disamping itu, pengembangan wilayah kabupaten/kota yang belum seimbang dan terintegrasi antara wilayah barat, tengah dan wilayah timur. Penetapan kawasan strategis Aceh didasarkan pada pengaruh yang sangat penting terhadap pertumbuhan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan secara bersinergi yang bertujuan untuk; a. Menata kawasan strategis di seluruh Aceh menjadi lokasi yang kondusif untuk berinvestasi bagi penanam modal dalam negeri maupun asing yang didukung oleh kemampuan pelayanan, manajemen, kearifan adat dan budaya serta sarana dan prasarana yang lengkap; b. Memanfaatkan peluang globalisasi ekonomi dan kerjasama ekonomi kawasan asia dan internasional secara optimal; c. Meningkatkan kapasitas tampung kawasan strategis terhadap kegiatan perdagangan dan jasa sesuai dengan daya dukung lingkungan; d. Mengalokasikan ruang dan kesempatan bagi pengembangan sektor informal dan golongan usaha skala kecil menengah secara terintegrasi. Rencana Tata Ruang Aceh Tahun telah menetapkan 4 kawasan sebagai bagian dari rencana pengembangan kawasan strategis Aceh yang meliputi: a. Kawasan pusat perdagangan dan distribusi Aceh atau ATDC (Aceh Trade and Distribution Center) tersebar di 6 (enam) zona, meliputi; Zona Pusat : Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie dengan lokasi pusat agro industry di Aceh Besar; 98

100 Zona Utara : Pidie Jaya, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Tengah dan Bener Meriah dengan lokasi pusat agro industry di Kabupaten Bireuen; Zona Timur : Aceh Timur, Langsa, Aceh Tamiang dengan lokasi pusat agro industry di Kabupaten Aceh Tamiang; Zona Tenggara : Gayo Luwes, Aceh Tenggara, Subulussalam, Singkil, Pulau Banyak dengan lokasi pusat agro industry di Aceh Tenggara; Zona Selatan : Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Simeulue dengan lokasi pusat agro industry di Aceh Barat Daya; Zona Barat : Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Jaya dengan lokasi pusat agro industri di Kabupaten Aceh Barat. b. Kawasan agrowisata yang tersebar di 17 (tujuh belas) kabupaten yang tidak termasuk ke dalam lokasi pusat agro industry; c. Kawasan situs sejarah terkait lahirnya MoU Helsinki antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka; d. Kawasan khusus. Pengembangan wilayah juga dilakukan dengan peninjauan kembali distribusi penduduk dari kabupaten/kota yang berpenduduk padat ke kabupaten/kota yang penduduk tidak padat untuk mendukung pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru melalui optimalisasi pemanfaatan lahan, penyediaan lapangan usaha baru dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, identifikasi lahan yang sesuai khususunya lahan terlantar perlu dilakukan dengan memperhatikan arahan pengembangan wilayah sesuai dengan Rencana Tata Ruang (RTRW) Aceh Pengembangan Sumber Daya Energi dan Mineral Kapasitas listrik di Aceh hingga kini belum memadai untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, usaha, umum dan industri. Saat ini baru 60 persen yang terpenuhi untuk kebutuhan rumah tangga dan sebagian besar dipasok dari Sumatera Utara. Sementara itu, kebutuhan energi listrik untuk mendukung dunia usaha dan industri masih belum tersedia. Diperkirakan untuk 5 tahun kedepan Aceh membutuhkan pasokan listrik sekitar 500 MW. Pada tahun 2025 diperkirakan kebutuhan energi listrik sebesar MW. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJP Aceh) Tahun dalam mengatasi kendala kebutuhan energi listrik difokuskan kepada energi terbarukan (non fosil) antara lain energi panas bumi, energi air, tenaga angin dan tenaga surya. Beberapa sumber energi terbarukan tersebut sudah mulai dikembangkan seperti energi panas bumi Seulawah Agam di Aceh Besar, energi tenaga 99

101 air Krueng Peusangan dan energi tenaga angin Kluet Selatan di Aceh Selatan. Sementara itu, sumber energi terbarukan lainnya masih pada tahap pengkajian dan perlu ditindaklanjuti sebagai prioritas pembangunan jangka panjang. Aceh memiliki sumberdaya mineral yang cukup potensial, namun belum dimanfaatkan secara optimal untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Bebarapa potensi pertambangan di wilayah Aceh mencakup semua bahan tambang, yaitu: mineral dan batubara (minerba), minyak dan gas bumi (migas), panas bumi dan air tanah. Potensi pertambangan yang telah teridentifikasi terdiri atas bahan tambang strategis (golongan A), bahan tambang vital (golongan B), dan bahan tambang golongan C (bahan galian). Potensi ini masih belum dimanfaatkan oleh investor dari dalam dan luar Aceh akibat kurangnya informasi, promosi dan regulasi yang mendukung investasi Posisi Aceh Dalam Bisnis Bijih Besi di Dunia Dengan peringkat 12 besar sebagai pemilik sumber daya bijih besi dan bahkan tidak termasuk peringkat sebagai salah satu pemilik cadangan bijih besi dunia, Indonesia sebenarnya tidak memegang posisi dan peran penting dalam perdagangan bijih besi internasional, hanya sebagai salah satu negara pemasok bijih besi bagi kebutuhan di luar negeri (terutama Cina), tetapi tidak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang bagus dalam menentukan harga di pasaran dunia. Bagi Aceh, meskipun hanya sebagai produsen komoditas bijih besi nasional, letak geografisnya yang menjadi lalu-lintas perdagangan dunia dapat dijadikan sebagai keunggulan komparatif dibandingkan dengan produsen bijih besi dari provinsi lain. Sebagai wilayah dengan potensi bijih besi yang cukup besar, seharusnya sektor pertambangan bijih besi menjadi salah satu andalan dalam pembangunan daerah. Selain itu sektor pertambangan juga berpotensi untuk dijadikan penggerak utama (prime mover) ekonomi daerah, namun selama ini hampir seluruh produk bijih besi dijual dalam bentuk mentah sehingga kontribusi dan pemanfaatnnya dalam perekonomian daerah masih kecil. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumber daya bijih besi agar menjadi penggerak pembangunan ekonomi daerah, diperlukan upaya percepatan dan terobosan dalam pembangunan industri pengolahan produk pertambangan bijih besi yang didukung dengan kebijakan politik dan ekonomi serta iklim sosial yang kondusif. Dalam kaitan ini, koordinasi dan dukungan lintas sektor serta pemangku kepentingan lainnya menjadi salah satu prasyarat yang sangat penting. Revitalisasi pertambangan bijih besi merupakan salah satu langkah untuk mewujudkan hal tersebut. Dengan revitalisasi diharapkan sektor pertambangan bijih besi mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menyumbang devisa dari ekspor non migas, mengurangi kemiskinan, dan menyerap tenaga kerja sehingga lebih dapat meningkatkan kontribusinya dalam perekonomian daerah Peningkatan Nilai Tambah Daerah 100

102 Tingkat pertambahan nilai komoditas pertambangan di Aceh masih sangat rendah karena belum tersedianya sarana dan prasarana pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan. Sebagian besar produk pertambangan di ekspor dalam bentuk bahan mentah (row material) sehingga pengolahan dan pemurnian menjadi sangat penting untuk memberi nilai tambah, membuka peluang tenaga kerja dan memperluas serapan pasar terhadap komoditas tambang tersebut. Karena itu, perubahan paradigma pembangunan sektor pertambangan mutlak diperlukan dengan prioritas peningkatan nilai tambah dari produk-produk pertambangan Aceh Arahan Pengembangan Kawasan Pertambangan dan Pengolahannya Penambangan bijih besi di Aceh saat ini dilakukan oleh PT. Lhoong Setia Mining dan PT. Tambang Inderapuri Jaya di Aceh Besar; PT. Jaya Aceh Mining, PT. Bumi Babah Rot, dan PT. Lauser Karya Tambang di Aceh Barat Daya; serta PT Tiega Manggis di Aceh Selatan. Dari beberapa perusahaan tersebut baru ada satu perusahaan yang telah merencanakan akan membangun pabrik pengolahan/pemurnian besi yaitu PT. Lhoong Setia Mining. Kebutuhan energi listrik yang dibutuhkan untuk rencana pembangunan smelter PT. Lhoong Setia Mining minimal sebesar 9,000 Kva atau setara dengan 7.2 MW, sementara itu daya yang tersedia di Aceh sebesar 240 MW dan hanya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga, belum merambah ke industri yang 60% daya listriknya dipenuhi dari interkoneksi dengan Sumatera Utara.(Data Website KAPET Bandar Aceh Darussalam, tahun 2011). Mengingat besarnya energi listrik yang dibutuhkan untuk smelter, untuk memenuhi kekurangan energi listrik tersebut diharapkan percepatan pembangunan pusat-pusat listrik baru di Aceh bisa segera terwujud termasuk Pusat Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Kawasan pertambangan besi di Aceh tersebar di sebagian wilayah pesisir barat seperti di Aceh Besar, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, dan Subulusalam. Mengingat kawasan-kawasan pertambangan besi di Aceh sebagian besar besinggungan dengan kawasan hutan dan atau kawasan taman nasional, pengembangan kawasan pertambangan dan industri pengolahannya harus tetap mengacu pada tata ruang wilayah khususnya wilayah pertambangan (WP) Kesesuaian Lahan Untuk Smelter Besi Hal penting yang menjadi pertimbangan dalam menentukan kawasan/lokasi pembangunan smelter besi di Aceh di antaranya tata ruang wilayah; infrastruktur; ketersediaan energi dan lingkungan, apabila persyaratan-persyaratan lokasi pembangunan smelter tersebut terpenuhi, kawasan/lokasi yang sesuai untuk lokasi pembangunan smelter adalah : 1. Kawasan Mulut Tambang. Salah satu perusahaan yang paling siap membangun smelter di Aceh adalah PT. Lhoong Setia Mining (LSM) di Aceh Besar. Perusahaan ini akan membangun smelter di dalam WIUP (mulut tambang). Lokasi perusahaan ini memang sangat strategis selain 101

103 sangat dekat dengan jalan Trans Barat Aceh, juga dekat dengan pelabuhan yang selama ini digunakan untuk ekspor bijih ke Cina (Gambar 3.51). Berdasarkan hasil eksplorasi permukaan dan bawah permukaan yang telah dilakukan oleh PT. LSM, WIUP Operasi Produksi PT. Lhoong Setia Mining memiliki sumber daya bijih besi sebesar ± 6,063, MT, sedangkan perkiraan jumlah cadangan bijih besi (measured reserve) adalah ± 3,638, MT. Mengacu kepada dengan rencana akan dibangunnya smelter PT LSM masih mengharapkan suplai bahan baku biji besi dari luar yang secara sumber daya maupun cadangan di Aceh potensinya sangat besar. Dengan kapasitas desain 290 Tph, kebutuhan energi untuk rencana pembangunan smelter PT LSM berupa energi listrik sebesar 9,000 Kva setara dengan 7.2 Mwatt, sementara itu daya yang tersedia di propinsi Aceh sebesar 240 Mwatt hanya untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Kebutuhan energi yang besar inilah yang sampai saat ini masih menjadi kendala PT LSM untuk segera membangun smelter. Gambar 3.51 Rencana lokasi smelter PT. Lhoong Setia Mining 2. Kawasan Industri. Berdasarkan RTRW, Aceh telah menetapan 10 kawasan unggulan pada kawasan budidaya lainnya dalam kawasan andalan Aceh. Dari 10 kawasan tersebut, hanya empat yang menetapkan kegiatan unggulan industri yaitu : Wilayah Pengembangan Basajan (Banda Aceh Sabang Jantho) Wilayah Pengembangan Timur 1 (Langsa Kuala Simpang Idi Rayeuk) Wilayah Pengembangan Timur 2 ( Lhok Seumawe Bireun Lhok Sukon) Wilayah Pengembangan Timur 3 (Sigli Meureudu). Melihat empat posisi wilayah pengembangan dengan daerah yang memiliki potensi bijih besi yang berada di pesisir pantai barat, kesesuaian lahan untuk pabrik pengolahan dan pemurnian bijih besi berada di kawasan industri wilayah pengembangan Basajan. Pemenuhan bahan baku untuk smelter di kawasan Basajan dapat dilihat pada gambar

104 IUP Besi/Pasir Besi IUP Besi/Pasir Besi IUP Besi/Pasir Besi Transportasi Laut Kawasan Industri Basajan Transportasi Darat Gambar 3.52 Model pembangunan smelter pada kawasan Basajan 3. Kawasan Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) : Sebagai pelabuhan bebas dan telah ditetapkan sebagai kawasan pusat kegiatan strategi nasional oleh pemerintah Sabang, Sabang diharapkan segera mempunyai sarana dan prasarana yang cukup memadai untuk berkembangnya pertumbuhan kawasan tersebut. Sebagai pelabuhan ekspor/impor internasional dan pelabuhan transit yang berpeluang untuk dikembangkan, tentunya akan mempermudah pengangkutan hasil pengolahan dan pemurnian mineral besi baik untuk diekspor maupun untuk kebutuhan dalam negeri. Untuk memenuhi kebutuhan energinya, Sabang memiliki cadangan terduga energi sebesar 50 Mwe dari lapangan panas bumi Jaboi yang siap untuk dikembangkan serta dua lapangan panas bumi lainnya yaitu Iboih dan Lho Pria Laot dengan total potensi sumber daya spekulatif sebesar 75 Mwe. Dengan kondisi seperti tersebut di atas kawasan PKSN Sabang tepat dapat menjadi pertimbangan sebagai lokasi pembangunan pabrik pengolahan/pemurnian bijih besi Gambar

105 Gambar 3.53 Pembangunan smelter pada kawasan PKSN Sinkronisasi Pengembangan Mineral Besi dan Panas Bumi. Data Dinas Pertambangan dan Energi Maluku Utara 2010 menunjukkan potensi sumber daya mineral bijih besi tersebar di Aceh Besar, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, dan Subulusalam. Pasir besi tersebar di Aceh Besar dan Pidie. Sedangkan sumber daya panas bumi berada di Sabang, Aceh Besar, Pidie, Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Timur, Aceh Tamiang dan Gayo Luwes. Berdasarkan keberadaan sumber mineral besi yang sebagian besar berada di pesisir barat sedangkan keberadaan sumberdaya panas bumi berada di deretan pegunungan di bagian tengah, ada dua kabupaten yang memiliki kedua potensi tersebut yaitu Aceh Besar dan Pidie. Dalam hal pengembangannya, wilayahwilayah yang mempunyai potensi panas bumi dapat memasok energi listriknya melalui jaringan transmisi ke kawasan-kawasan lain (tambang, pusat-pusat industri) untuk digunakan sebagai energi dalam proses pengolahan/pemurnian mineral. Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan agar ke dua potensi tersebut dapat dikembangkan secara terpadu adalah potensi bijih besi dan jumlah produksi, potensi dan proses pengembangan panas bumi, Teknologi proses pengolahan/pemurnian bijih besi dan kebutuhan energi listrik dan kondisi infra struktur (jaringan listrik, jalan, dan pelabuhan). A. Infrastruktur a. Listrik Kondisi kelistrikan yang tersambung dalam sistem 150 kv Sumut-Aceh masih mengalami defisit. Untuk mengatasi hal tersebut sering harus dilakukan penurunan tegangan (brown out) dan dalam kondisi tertentu terpaksa dilakukan pemadaman bergilir. Daerah terilosasi yang masih mengalami defisit adalah Aceh Tengah dan Aceh Singkil. Untuk mengatasi defisit pada kedua daerah tersebut ditempuh kebijakan dengan memanfaatkan suplai 20 kv dari gardu induk yang terdekat yang jaraknya 104

106 jauh dari pusat beban. Hal ini menyebabkan tegangan yang diterima pada kedua daerah tersebut pada saat beban puncak turun menjadi 16,5-8 kv. Kapasitas terpasang pembangkit di Aceh saat ini sebesar 146,5 MW dengan daya mampu rata-rata 98 MW. Sebagian pembangkit tersebut merupakan isolated murni dan sebagian lagi tersambung ke sistem transmisi 150 kv melalui jaringan distribusi 20 kv. Sebagian besar pembangkit tersebut (99 persen) adalah jenis PLTD yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM). Defisit energi di Aceh hingga 2009 adalah 36,11 MW. Adapun kualitas tegangan jaringan distribusi untuk beberapa lokasi masih di bawah standar akibat jaringan tegangan menengah (JTM) yang terlalu panjang sampai 165 km dari pusat pembangkit/gardu induk sehingga tegangan pada sisi SUTM mencapai 16,5 kv dan pada sisi pelanggan mencapai 170 volt. Gardu induk yang telah beroperasi sebanyak 7 (tujuh) unit berada di sepanjang pantai timur dan disuplai dari sistem Transmisi 150/20 kv Sumut-Aceh. Pada kenyataannya, suplai tersebut sebesar 130/19,5 kv s.d. 125/19 kv. Beban puncak total PLN wilayah Aceh pada 2008 adalah 255 MW dengan produksi sebesar GWh, 70 persen dari produksi tersebut diterima dari sistem intekoneksi 150 KVa Sumut-Aceh. Neraca daya dan subsistem kelistrikan Aceh ditampillkan pada gambar Penyaluran energi listrik di wilayah Aceh juga mengalami kehilangan arus (susut distribusi), yaitu kehilangan energi listrik pada saat penyaluran dari pembangkit ke pelanggan yang diakibatkan oleh berbagai faktor. Penyebab kehilangan arus adalah faktor teknis dan non teknis. Faktor teknis adalah kehilangan energi listrik yang disebabkan oleh kondisi peralatan yang digunakan, sedangkan faktor non teknis disebabkan oleh kesalahan administrasi dan pemakaian listrik secara ilegal. Pelayanan listrik di daerah terpencil yang belum 105

107 Gambar 3.54 Neraca daya dan sistem kelistrikan Aceh terjangkau oleh PT. PLN dalam jangka pendek telah dilakukan beberapa upaya antara lain pemasangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH). Jumlah PLTS yang telah disebar pada 11 kabupaten/kota sampai akhir 2004 berjumlah 880 buah ( WP). Ditinjau dari kondisinya, lebih dari 80 persen di antaranya telah mengalami kerusakan. PLTMH yang telah dibangun di beberapa kabupaten seperti Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Aceh Barat, Aceh Utara dan Aceh Timur hampir seluruhnya telah mengalami kerusakan sehingga tidak dapat berfungsi lagi. Hal ini disebabkan oleh keadaan konflik sehingga lokasi di pedalaman tidak mungkin dijangkau untuk pemantauan. Penggunaan energi untuk pembangkitan tenaga listrik saat ini masih bertumpu pada bahan bakar minyak, hanya sebagian kecil saja yang memanfaatkan energi alternatif. Usaha pemanfaatan sumber energi non BBM dalam skala besar seperti power plant Nagan Raya 2 x 100 MW sedang dalam proses pelaksanaan, PLTA Peusangan 2 x 43 MW dilanjutkan kembali pembangunannya dan beberapa tahun terhenti, PLTP Jaboi 1 x 50 MW dalam tahap pembangunan PLTP Seulawah Agam 1 x 180 MW dalam tahap eksplorasi serta PLTU Krueng Raya 1 x 100 MW sedang dalam tahap pembuatan studi kelayakan. Sampai saat ini kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan antara lain Inventarisasi lokasi pengembangan energi, survei pendahuluan geotermal Seulawah Agam, penyusunan rancangan qanun kelistrikan dan pembangunan PLTMH untuk pengembangan listrik pedesaan. Potensi energi geotermal terdapat di beberapa kabupaten/kota yaitu : Sabang, Aceh Besar, Pidie, Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Timur, Aceh Tamiang dan Gayo Luwes. Kegiatan lain 106

BAB I PENDAHULUAN. transportasi dan komunikasi yang sangat diandalkan dalam mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. transportasi dan komunikasi yang sangat diandalkan dalam mewujudkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelayaran antar pulau di Indonesia merupakan salah satu sarana transportasi dan komunikasi yang sangat diandalkan dalam mewujudkan pembangunan nasional yang berwawasan

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

STRATEGIOPERASIONALISASIPERWUJUDANKAWASANANDALAN DI KEPULAUAN MALUKU

STRATEGIOPERASIONALISASIPERWUJUDANKAWASANANDALAN DI KEPULAUAN MALUKU STRATEGIOPERASIONALISASIPERWUJUDANKAWASANANDALAN DI KEPULAUAN MALUKU 1. Kawasan Andalan Seram Pertanian Kehutanan Perkebunan Perikanan Pariwisata a. mengembangkan Kawasan Andalan Seramuntuk kegiatan pertanian,

Lebih terperinci

Tentang Pemurnian dan Pengolahan Mineral di Dalam Negeri

Tentang Pemurnian dan Pengolahan Mineral di Dalam Negeri Tentang Pemurnian dan Pengolahan Mineral di Dalam Negeri LATAR BELAKANG 1. Selama ini beberapa komoditas mineral (a.l. Nikel, bauksit, bijih besi dan pasir besi serta mangan) sebagian besar dijual ke luar

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 1/2003, PEMBENTUKAN KABUPATEN HALMAHERA UTARA, KABUPATEN HALMAHERA SELATAN, KABUPATEN KEPULAUAN SULA, KABUPATEN HALMAHERA TIMUR, DAN KOTA TIDORE KEPULAUAN DI PROVINSI MALUKU

Lebih terperinci

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP LAMPIRAN II PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2011 2031 I. UMUM Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas yang meliputi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bidang perindustrian. Salah satu konsumsi nikel yang paling besar adalah sebagai

BAB I PENDAHULUAN. bidang perindustrian. Salah satu konsumsi nikel yang paling besar adalah sebagai BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Nikel merupakan salah satu bahan penting yang banyak dibutuhkan dalam bidang perindustrian. Salah satu konsumsi nikel yang paling besar adalah sebagai bahan baku pembuatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia pun kena dampaknya. Cadangan bahan tambang yang ada di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia pun kena dampaknya. Cadangan bahan tambang yang ada di Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini dunia sedang dilanda krisis Energi terutama energi fosil seperti minyak, batubara dan lainnya yang sudah semakin habis tidak terkecuali Indonesia pun kena

Lebih terperinci

BAHAN MENTERI DALAM NEGERI PADA ACARA MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MUSRENBANG) REGIONAL KALIMANTAN TAHUN 2015

BAHAN MENTERI DALAM NEGERI PADA ACARA MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MUSRENBANG) REGIONAL KALIMANTAN TAHUN 2015 BAHAN MENTERI DALAM NEGERI PADA ACARA MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN (MUSRENBANG) REGIONAL KALIMANTAN TAHUN 2015 BALAI SIDANG JAKARTA, 24 FEBRUARI 2015 1 I. PENDAHULUAN Perekonomian Wilayah Pulau Kalimantan

Lebih terperinci

PERENCANAAN ANGKUTAN UMUM DI KOTA DAN KABUPATEN BERCIRIKAN KEPULAUAN STUDI KASUS DI PROVINSI MALUKU UTARA

PERENCANAAN ANGKUTAN UMUM DI KOTA DAN KABUPATEN BERCIRIKAN KEPULAUAN STUDI KASUS DI PROVINSI MALUKU UTARA Konferensi Nasional Teknik Sipil 3 (KoNTekS 3) Jakarta, 6 7 Mei 2009 PERENCANAAN ANGKUTAN UMUM DI KOTA DAN KABUPATEN BERCIRIKAN KEPULAUAN STUDI KASUS DI PROVINSI MALUKU UTARA R. Didin Kusdian 1 dan Triwidodo

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.35, 2014 KEMENESDM. Peningkatan. Nilai Tambah. Mineral. Pencabutan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENINGKATAN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN UMUM Pelabuhan sebagai salah satu unsur dalam penyelenggaraan pelayaran memiliki peranan yang sangat penting

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infrastruktur Infrastruktur merujuk pada system phisik yang menyediakan transportasi, pengairan, drainase, bangunan-bangunan gedung dan fasilitas publik yang lain yang dibutuhkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN PERSETUJUAN SUBSTANSI DALAM PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG

Lebih terperinci

P E N J E L A S A N A T A S PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI MALUKU

P E N J E L A S A N A T A S PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI MALUKU P E N J E L A S A N A T A S PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI MALUKU I. UMUM Sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN HILIRISASI INDUSTRI DALAM RANGKA MENCAPAI TARGET PERTUMBUHAN INDUSTRI NASIONAL

REPUBLIK INDONESIA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN HILIRISASI INDUSTRI DALAM RANGKA MENCAPAI TARGET PERTUMBUHAN INDUSTRI NASIONAL REPUBLIK INDONESIA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN HILIRISASI INDUSTRI DALAM RANGKA MENCAPAI TARGET PERTUMBUHAN INDUSTRI NASIONAL Jakarta, 12 Februari 2013 KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG MENTERI PEKERJAAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 11 /PRT/M/2009 TENTANG PEDOMAN PERSETUJUAN SUBSTANSI DALAM PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN HALMAHERA UTARA, KABUPATEN HALMAHERA SELATAN, KABUPATEN KEPULAUAN SULA, KABUPATEN HALMAHERA TIMUR, DAN KOTA TIDORE KEPULAUAN DI PROVINSI MALUKU UTARA DENGAN

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENINJAUAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YA NG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YA NG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBENTUKAN KABUPATEN HALMAHERA UTARA, KABUPATEN HALMAHERA SELATAN, KABUPATEN KEPULAUAN SULA, KABUPATEN HALMAHERA TIMUR, DAN KOTA TIDORE KEPULAUAN

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 gg Tentang Penataan Ruang 1 Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

NO. STRATEGI OPERASIONALISASI. Jalur Distribusi Ambon. Jaringan Pipa Transmisi dan Distribusi Minyak dan Gas Bumi

NO. STRATEGI OPERASIONALISASI. Jalur Distribusi Ambon. Jaringan Pipa Transmisi dan Distribusi Minyak dan Gas Bumi PERWUJUDAN NASIONAL DI KEPULAUAN MALUKU I. Pipa Minyak dan Gas Bumi I.1. II. II.1. Jalur Distribusi Ambon Pipa dan Distribusi Minyak dan Gas Bumi Tenaga Panas Bumi (PLTP) Energi a. mengembangkan jaringan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 53 IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis Selat Rupat merupakan salah satu selat kecil yang terdapat di Selat Malaka dan secara geografis terletak di antara pesisir Kota Dumai dengan

Lebih terperinci

Studi Pengembangan Kapasitas dan Fasilitas Pelabuhan Dalam Mendukung MP3EI Koridor Sulawesi KATA PENGANTAR. Final Report

Studi Pengembangan Kapasitas dan Fasilitas Pelabuhan Dalam Mendukung MP3EI Koridor Sulawesi KATA PENGANTAR. Final Report KATA PENGANTAR Dengan mengucap rasa syukur Alhamdulillah Laporan Akhir () kegiatan Pekerjaan Studi Pengembangan Kapasitas dan Fasilitas Pelabuhan Dalam Mendukung Percepatan dan Perluasan Pembangunan Koridor

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1 DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.1.1 Dasar Hukum... 1 1.1.2 Gambaran Umum Singkat... 1 1.1.3 Alasan Kegiatan Dilaksanakan... 3 1.2 Maksud dan Tujuan... 3 1.2.1 Maksud Studi...

Lebih terperinci

6 Semua negara di Oceania, kecuali Australia dan Selandia Baru (New Zealand).

6 Semua negara di Oceania, kecuali Australia dan Selandia Baru (New Zealand). GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM 2013 24 Sesi NEGARA MAJU DAN NEGARA BERKEMBANG : 2 A. PENGERTIAN NEGARA BERKEMBANG Negara berkembang adalah negara yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi rendah, standar

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KARAWANG TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KARAWANG TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KARAWANG TAHUN 2011 2031 UMUM Ruang wilayah Kabupaten Karawang dengan keanekaragaman

Lebih terperinci

KEBIJAKAN UMUM SEKTOR PERTAMBANGAN

KEBIJAKAN UMUM SEKTOR PERTAMBANGAN KEBIJAKAN UMUM SEKTOR PERTAMBANGAN Disampaikan pada Diklat Evaluasi RKAB Perusahaan Pertambangan Batam, Juli 2011 Sumber: Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran yang sangat strategis terhadap aspek ekonomi, juga memiliki

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran yang sangat strategis terhadap aspek ekonomi, juga memiliki BAB I PENDAHULUAN I.1 Umum Transportasi merupakan kebutuhan turunan (devired demand) dari kegiatan ekonomi, sehingga pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah tercermin pada peningkatan intensitas

Lebih terperinci

[ BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI ] 2012

[ BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI ] 2012 logo lembaga [ PKPP F.1 ] [ Optimalisasi Sistem Energi untuk Mendukung Ketahanan Energi dan Pembangunan Ekonomi Koridor 6 ] [ Adhi Dharma Permana, M. Sidik Boedyo, Agus Sugiyono ] [ BADAN PENGKAJIAN DAN

Lebih terperinci

2017, No Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran

2017, No Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran No.77, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAHAN. Nasional. Wilayah. Rencana Tata Ruang. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6042) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 ayat (6) Undang-Undang

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR. 119º00 Bujur Timur serta diantara 4º24 Lintang Utara dan 2º25 Lintang

GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR. 119º00 Bujur Timur serta diantara 4º24 Lintang Utara dan 2º25 Lintang IV. GAMBARAN UMUM PROPINSI KALIMANTAN TIMUR Propinsi Kalimantan Timur dengan luas wilayah daratan 198.441,17 km 2 dan luas pengelolaan laut 10.216,57 km 2 terletak antara 113º44 Bujur Timur dan 119º00

Lebih terperinci

OLEH : GUBERNUR MALUKU UTARA

OLEH : GUBERNUR MALUKU UTARA OLEH : GUBERNUR MALUKU UTARA GAMBARAN UMUM PERKEBUNAN MALUKU UTARA Mencermati kondisi geografis Maluku Utara yang merupakan daerah kepulauan dengan berbagai keragaman potensi perkebunan pada setiap daerah,

Lebih terperinci

OLEH: PEMERINTAH PROVINSI MALUKU UTARA

OLEH: PEMERINTAH PROVINSI MALUKU UTARA PROGRES IMPLEMENTASI 6 SASARAN RENCANA AKSI KOORDINASI DAN SUPERVISI (KORSUP) ATAS GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBER DAYA ALAM INDONESIA SEKTOR KEHUTANAN DI MALUKU UTARA OLEH: PEMERINTAH PROVINSI MALUKU

Lebih terperinci

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN II CONTOH PETA RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 2 LAMPIRAN III CONTOH PETA PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN L

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

KAJIAN JARINGAN TRAYEK ANGKUTAN LAUT NASIONAL UNTUK MUATAN PETIKEMAS DALAM MENUNJANG KONEKTIVITAS NASIONAL

KAJIAN JARINGAN TRAYEK ANGKUTAN LAUT NASIONAL UNTUK MUATAN PETIKEMAS DALAM MENUNJANG KONEKTIVITAS NASIONAL KAJIAN JARINGAN TRAYEK ANGKUTAN LAUT NASIONAL UNTUK MUATAN PETIKEMAS DALAM MENUNJANG KONEKTIVITAS NASIONAL Andi Sitti Chairunnisa Mappangara 1, Misliah Idrus 2, Syamsul Asri 3 Staff Pengajar Fakultas Teknik

Lebih terperinci

BAB 1 MEMORANDUM PROGRAM SANITASI (MPS) KOTA TERNATE BAB PENDAHULUAN

BAB 1 MEMORANDUM PROGRAM SANITASI (MPS) KOTA TERNATE BAB PENDAHULUAN PENDAHULUAN. Latar Belakang Aspek Sanitasi adalah sebagai salah satu aspek pembangunan yang memiliki fungsi penting dalam menunjang tingkat kesejahteraan masyarakat karena berkaitan dengan kesehatan, pola

Lebih terperinci

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. listrik yang semakin meningkat sehingga diperlukan energy alternatif untuk energi

BAB I PENDAHULUAN. listrik yang semakin meningkat sehingga diperlukan energy alternatif untuk energi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tenaga listrik merupakan sumber energy yang sangat penting bagi kehidupan manusia baik untuk kegiatan industry, kegiatan komersial, maupun dalam kehidupan sehari hari

Lebih terperinci

Trenggono Sutioso. PT. Antam (Persero) Tbk. SARI

Trenggono Sutioso. PT. Antam (Persero) Tbk. SARI Topik Utama Strategi Pertumbuhan Antam Melalui Penciptaan Nilai Tambah Mineral Trenggono Sutioso PT. Antam (Persero) Tbk. trenggono.sutiyoso@antam.com SARI Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Repub

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Repub BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2017 KEMEN-ESDM. Nilai Tambah Mineral. Peningkatan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 05 TAHUN 2017 TENTANG PENINGKATAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 26 TAHUN 2008 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Batu bara

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Batu bara BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sumber daya alam atau biasa disingkat SDA adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dan kebutuhan hidup manusia agar hidup lebih sejahtera yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar

Lebih terperinci

No. Program Sasaran Program Instansi Penanggung Jawab Pagu (Juta Rupiah)

No. Program Sasaran Program Instansi Penanggung Jawab Pagu (Juta Rupiah) E. PAGU ANGGARAN BERDASARKAN PROGRAM No. Program Sasaran Program Instansi Penanggung Jawab Pagu (Juta Rupiah) Sub Bidang Sumber Daya Air 1. Pengembangan, Pengelolaan, dan Konservasi Sungai, Danau, dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini secara nasional ketergantungan terhadap energi fosil (minyak bumi, gas bumi dan batubara) sebagai sumber energi utama masih cukup besar dari tahun ke tahun,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

EFISIENSI OPERASIONAL PEMBANGKIT LISTRIK DEMI PENINGKATAN RASIO ELEKTRIFIKASI DAERAH

EFISIENSI OPERASIONAL PEMBANGKIT LISTRIK DEMI PENINGKATAN RASIO ELEKTRIFIKASI DAERAH EFISIENSI OPERASIONAL PEMBANGKIT LISTRIK DEMI PENINGKATAN RASIO ELEKTRIFIKASI DAERAH Abstrak Dalam meningkatkan rasio elektrifikasi nasional, PLN telah melakukan banyak upaya untuk mencapai target yang

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengusahaan mineral

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyusunan Tataran Transportasi Lokal Kota Tual 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Penyusunan Tataran Transportasi Lokal Kota Tual 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Tataralok Sebagai Acuan Pengembangan Sistem Transportasi Terpadu Transportasi merupakan urat nadi kehidupan masyarakat, yang mempunyai fungsi sebagai penggerak, pendorong,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan sumberdaya yang ada dalam rangka memberikan kontribusi untuk

Lebih terperinci

FORMAT SURAT KEPUTUSAN MENTERI, KEPUTUSAN GUBERNUR, DAN KEPUTUSAN BUPATI/WALIKOTA TENTANG PENETAPAN PELAKSANAAN PENINJAUAN KEMBALI

FORMAT SURAT KEPUTUSAN MENTERI, KEPUTUSAN GUBERNUR, DAN KEPUTUSAN BUPATI/WALIKOTA TENTANG PENETAPAN PELAKSANAAN PENINJAUAN KEMBALI LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENINJAUAN KEMBALI RENCANA TATA RUANG WILAYAH FORMAT SURAT KEPUTUSAN MENTERI,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS Perencanaan pembangunan antara lain dimaksudkan agar Pemerintah Daerah senantiasa mampu menyelaraskan diri dengan lingkungan. Oleh karena itu, perhatian kepada mandat

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN ISU STRATEGIS PENGEMBANGAN KOTA TIDORE KEPULAUAN. 4.1 Visi, Misi, Maksud dan Tujuan Pembangunan Kota Tidore Kepulauan

KEBIJAKAN DAN ISU STRATEGIS PENGEMBANGAN KOTA TIDORE KEPULAUAN. 4.1 Visi, Misi, Maksud dan Tujuan Pembangunan Kota Tidore Kepulauan Bab IV KEBIJAKAN DAN ISU STRATEGIS PENGEMBANGAN KOTA TIDORE KEPULAUAN 4.1 Visi, Misi, Maksud dan Tujuan Pembangunan Kota Tidore Kepulauan 4.1.1 Visi Pembangunan Kota Tidore Kepulauan Visi pembangunan Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nikel merupakan logam berwarna perak keputihan yang mempunyai kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. Nikel merupakan logam berwarna perak keputihan yang mempunyai kemampuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mineral logam merupakan kekayaan alam tak terbarukan yang mempunyai peranan penting sebagai penopang perekonomian Indonesia. Salah satu mineral logam yang banyak dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Republik Indonesia yang berbentuk kepulauan dengan daerah yang luas, dibutuhkan adanya suatu angkutan yang efektif dalam arti aman, murah dan nyaman. Setiap

Lebih terperinci

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan Dalam memahami karakter sebuah wilayah, pemahaman akan potensi dan masalah yang ada merupakan hal yang

Lebih terperinci

INFRASTRUKTUR ENERGI DI PROVINSI BANTEN

INFRASTRUKTUR ENERGI DI PROVINSI BANTEN INFRASTRUKTUR ENERGI DI PROVINSI BANTEN Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Banten Kawasan Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B) Jl. Raya Palima Pakupatan, Curug Serang; Telp / Fax : 0254

Lebih terperinci

INDIKASI PROGRAM UTAMA LIMA TAHUNAN

INDIKASI PROGRAM UTAMA LIMA TAHUNAN PRE S IDEN REP UBL IK IN DONE SIA LAMPIRAN XI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 26 TAHUN 2008 TANGGAL : 10 MARET 2008 INDIKASI PROGRAM UTAMA LIMA TAHUNAN PERWUJUDAN STRUKTUR RUANG NASIONAL

Lebih terperinci

WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL. Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi

WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL. Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi WILAYAH PERTAMBANGAN DALAM TATA RUANG NASIONAL Oleh : Bambang Pardiarto Kelompok Program Penelitian Mineral, Pusat Sumberdaya Geologi, Badan Geologi PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 33 telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Indonesia dan terletak di pulau Jawa bagian tengah. Daerah Istimewa

BAB I PENDAHULUAN. wilayah Indonesia dan terletak di pulau Jawa bagian tengah. Daerah Istimewa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu provinsi dari 33 provinsi di wilayah Indonesia dan terletak di pulau Jawa bagian tengah. Daerah Istimewa Yogyakarta di

Lebih terperinci

Lokasi Sumber Dana Instansi Pelaksana. APBD Prov. APBD Kab.

Lokasi Sumber Dana Instansi Pelaksana. APBD Prov. APBD Kab. LAMPIRAN IV PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOALEMO NOMOR : 3 TAHUN 2012 TANGGAL : 11 SEPTEMBER 2012 TENTANG : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BOALEMO TAHUN 2011-2031 I. RENCANA STRUKTUR RUANG No Rencana

Lebih terperinci

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuasin

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuasin 2.1 Tujuan Penataan Ruang Tujuan penataan ruang wilayah kabupaten merupakan arahan perwujudan ruang wilayah kabupaten yang ingin dicapai pada masa yang akan datang (20 tahun). Dengan mempertimbangkan visi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula,

BAB I PENDAHULUAN. Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota Sanana saat ini adalah Ibu Kota Kabupaten Kepulauan Sula Provinsi Maluku Utara berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua Provinsi Papua terletak antara 2 25-9 Lintang Selatan dan 130-141 Bujur Timur. Provinsi Papua yang memiliki luas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan transportasi sangat diperlukan dalam pembangunan suatu negara ataupun daerah. Dikatakan bahwa transportasi sebagai urat nadi pembangunan kehidupan politik,

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BINTAN TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BINTAN TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 2 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2011-2031 I. UMUM Sesuai dengan amanat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SEKTOR ESDM

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SEKTOR ESDM REPUBLIK INDONESIA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SEKTOR ESDM Bahan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Pada Acara Mandiri Investment Forum (MIF) 2015- Infrastructure: Executing The Plan KEMENTERIAN ENERGI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai salah satu negara yang mempunyai sumber daya alam yang sangat besar, Indonesia mempunyai kesempatan untuk mengembangkan segala potensi yang ada yang seyogyanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Kolaka merupakan salah satu kabupaten yang ada di Propinsi Sulawesi Tenggara yang berada di wilayah pesisir dan memiliki potensi sumberdaya pesisir laut sangat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN

LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN Lampiran VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR TAHUN 2011 LAMPIRAN VII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2011 2031 MATRIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam pembangunan perekonomian nasional. Peranannya sebagai menyumbang pembentukan PDB penyediaan sumber devisa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Disampaikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan Menuju Ketahanan Energi yang Berkelanjutan

Disampaikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan Menuju Ketahanan Energi yang Berkelanjutan KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA Disampaikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan Menuju Ketahanan Energi yang Berkelanjutan Direktorat

Lebih terperinci

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan L

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151, Tambahan L No.394, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUB. Terminal Khusus. Terminal untuk Kepentingan Sendiri. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PM 20 TAHUN 2017 TENTANG

Lebih terperinci

PERUBAHAN ATAS PP NO. 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PERUBAHAN ATAS PP NO. 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA PERUBAHAN ATAS PP NO. 23 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA NO PENJELASAN 1. Judul: Judul: PERATURAN PEMERINTAH PENJELASAN REPUBLIK INDONESIA ATAS NOMOR 23

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Teluk Bungus yang luasnya ± 17 km 2 atau 1383,86 Ha berada di Kecamatan Bungus Teluk Kabung. Kecamatan ini merupakan kecamatan pesisir di wilayah selatan Kota Padang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia. Selain

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia. Selain 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Negara Indonesia memiliki wilayah laut sangat luas 5,8 juta km 2 yang merupakan tiga per empat dari keseluruhan wilayah Indonesia. Di dalam wilayah laut tersebut terdapat

Lebih terperinci

Indonesia Water Learning Week

Indonesia Water Learning Week KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU, TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI Indonesia Water Learning Week DisampaikAllan oleh: Alihuddin Sitompul- Direktur Aneka Energi

Lebih terperinci

Bedah Permen ESDM No. 7 Tahun Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral

Bedah Permen ESDM No. 7 Tahun Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral Bedah Permen ESDM No. 7 Tahun 2012 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral LATAR BELAKANG 1. Selama ini beberapa komoditas mineral (a.l. Nikel, bauksit,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Industri pertambangan merupakan salah satu industri yang diandalkan pemerintah Indonesia untuk mendatangkan devisa. Selain mendatangkan devisa, industri pertambangan juga

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2009 TENTANG KEPELABUHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 78,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2009 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERTAMBANGAN. KETENTUAN-KETENTUAN POKOK. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera 1 2 3 Pendahuluan (Sistem Perencanaan Tata Ruang - Kebijakan Nasional Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera) Penyelamatan Ekosistem Sumatera dengan

Lebih terperinci

BAB VII PENGEMBANGAN WILAYAH MALUKU TAHUN 2011

BAB VII PENGEMBANGAN WILAYAH MALUKU TAHUN 2011 BAB VII PENGEMBANGAN WILAYAH MALUKU TAHUN 2011 7.1. Kondisi Wilayah Maluku Saat Ini Perkembangan terakhir pertumbuhan ekonomi di wilayah Maluku menunjukkan tren meningkat dan berada di atas pertumbuhan

Lebih terperinci

Pulau Ikonis Energi Terbarukan sebagai Pulau Percontohan Mandiri Energi Terbarukan di Indonesia

Pulau Ikonis Energi Terbarukan sebagai Pulau Percontohan Mandiri Energi Terbarukan di Indonesia TEKNOLOI DI INDUSTRI (SENIATI) 2016 Pulau Ikonis Energi Terbarukan sebagai Pulau Percontohan Mandiri Energi Terbarukan di Indonesia Abraham Lomi Jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Nasional Malang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa mineral dan batubara yang

Lebih terperinci

HILIRISASI PEMBANGUNAN INDUSTRI BERBASIS MINERAL TAMBANG

HILIRISASI PEMBANGUNAN INDUSTRI BERBASIS MINERAL TAMBANG HILIRISASI PEMBANGUNAN INDUSTRI BERBASIS MINERAL TAMBANG Disampaikan oleh : Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Jakarta, 16 Februari 2016 1 TOPIK BAHASAN A PENDAHULUAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. optimal. Salah satu sumberdaya yang ada di Indonesia yaitu sumberdaya energi.

I. PENDAHULUAN. optimal. Salah satu sumberdaya yang ada di Indonesia yaitu sumberdaya energi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan sumberdaya alam. Akan tetapi, sumberdaya alam yang melimpah ini belum termanfaatkan secara optimal. Salah satu sumberdaya

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL DAFTAR ISI DAFTAR ISI ii DAFTAR LAMPIRAN I iv DAFTAR LAMPIRAN

Lebih terperinci