PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-8 Academia-Industry Linkage OKTOBER 2015; GRHA SABHA PRAMANA"

Transkripsi

1 ANALISIS DINAMIKA SEDIMENTASI DENGAN METODE LITOFASIES PADA FORMASI SONDE DI JALUR SUNGAI KEDAWUNG, KECAMATAN MONDOKAN, KABUPATEN SRAGEN, PROVINSI JAWA TENGAH Rizky Wahyu Utama *, Wartono Rahardjo, Moch. Indra Novian Jurusan Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada *corresponding author : rizky_wuu@yahoo.co.id ABSTRAK Formasi Sonde pada jalur Sungai Kedawung, Kecamatan Mondokan, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, tersusun atas batugamping klastik, napal, dan batulempung. Pengukuran stratigrafi dimulai dari Formasi Kalibeng sebagai batas bawah Formasi Sonde, dan diakhiri oleh Formasi Pucangan pada bagian atasnya. Pembagian fasies didasarkan pada pengamatan batuan secara megaskopis, yang meliputi jenis litologi dan tumpukannya dengan batuan lain. Pengamatan petrografis batuan pada 15 sampel dilakukan untuk membantu menentukan jenis komposisi tiap fasies, serta pengamatan foraminifera kecil bentonik dilakukan untuk mengetahui paleobathimetri tiap lingkungan pengendapannya. Daerah penelitian dapat dibagi menjadi 8 fasies, yaitu fasies grainstone dengan struktur sedimen sejajar (fasies 1), napal (fasies 2), packstone (fasies 3), grainstone dengan struktur sedimen silangsur (fasies 4), rudstone dengan struktur sedimen perlapisan sejajar (fasies 5), batulempung (fasies 6), rudstone dengan struktur sedimen silangsur (fasies 7), dan wackstone (fasies 8). Daerah penelitian dapat dibagi menjadi 6 asosiasi fasies. Pengendapan Formasi Sonde dimulai pada Pliosen Bawah (N19), berupa asosiasi fasies A, tersusun atas perselingan fasies 1 dan fasies 3, dengan sisipan fasies 3 yang terendapkan pada deep shelf margin. Di atasnya terdapat asosiasi fasies B, tersusun atas fasies 4, fasies 5, fasies 3, dengan sisipan fasies 6 yang terendapkan pada foreslopewinnowed platform. Di atasnya terdapat asosiasi fasies C, tersusun atas perselingan fasies 1 dan fasies 3, dengan sisipan fasies 6 yang terendapkan pada open platform. Asosiasi fasies C kembali muncul di atas asosiasi fasies B yang tersusun oleh fasies 4, fasies 7, fasies 1, dan fasies 2. Di atasnya terdapat asosiasi fasies D, tersusun atas fasies 6 yang terendapkan pada lacustrine. Pengendapan Formasi Sonde diakhiri oleh asosiasi fasies C, tersusun oleh fasies 2, fasies 1, fasies 8, dan fasies 7 yang berumur Pliosen Tengah (N20). I. PENDAHULUAN Formasi Sonde merupakan suatu formasi yang berada di Zona Kendeng. Formasi ini tersebar pada jalur yang sempit dari desa Sumberlawang dan Gundih di bagian barat hingga daerah Mojokerto di bagian timur (Harsono, 1982). Penelitian ini dilakukan pada Formasi Sonde, di Sungai Kedawung, Kecamatan Mondokan, Kabupaten Sragen, i bagian bawah dan atasnya, sehingga mudah untuk dilakukan pengukuran stratigrafi. Dalam 1 section yang lengkap Formasi Sonde di daerah penelitian sangat bervariasi, seperti adanya batugamping klastik (wackstone, packstone, grainstone, dan rudstone), napal, dan batulempung. II. Provinsi Jawa Tengah (Gambar 1). Fokus penelitian ini adalah pada penafsiran dinamika sedimentasi batuan berdasar litofasiesnya. Lokasi ini dipilih karena litologi pada Formasi Sonde yang tersingkap dalam kondisi yang baik, menerus, dan tidak terganggu oleh struktur geologi regional. Selain itu, litologi pada Formasi Sonde ini secara langsung dibatasi oleh formasi-formasi lain d KONDISI GEOLOGI REGIONAL Merujuk pada stratigrafi regional menurut Harsono (1982), Formasi Sonde di lokasi tipenya (Desa Sonde, barat Ngawi) tersusun atas batugamping Klitik yang terdiri dari batugamping klastik (grainstone dan packstone), boundstone, dan batugamping yang bersifat breksian. Di atas batugamping 659

2 tersebut, terdapat napal pasiran yang semakin ke atas bersifat lempungan. Bagian teratas ditempati oleh lempung berwarna hijau kebiruan. Pada beberapa tempat, Forma-si Sonde tersusun atas batugamping Klitik yang berkembang menjadi perselingan napal pasiran. Kemudian pada bagian paling atas tersusun atas lempung hitam dengan sisipan batupasir tufan. III. SAMPEL DAN METODE PENELITIAN IV. Penelitian ini dilakukan dengan cara membuat kolom stratigrafi terukur dengan skala 1:100. Batas awal pengukuran stratigrafi dimulai pada Formasi Sonde yang berbatasan langsung dengan Formasi Kalibeng di bawahnya. Batas teratas pengukuran stratigrafi dilakukan hingga ditemukan-nya rudstone dengan kandungan balanus, yang merupakan batas tidak langsung dengan Formasi Pucangan di atasnya. Formasi Pucangan ini dicirikan dengan floatstone dengan fragmen tuf karbonatan yang bergradasi menjadi mudstone. Berdasarkan data paleontologi, formasi tersebut berumur N21. Pengam-bilan sampel dilakukan dengan metode semikuantitatif, yang meliputi sampel petrografis (15 sampel), sampel XRD batuan terpilih (2 sampel), dan sampel ayak foram kecil bentonik (12 sampel). DATA DAN ANALISIS FASIES Berdasarkan aspek jenis litologi dan struktur sedimennya, daerah pene-litian dapat dibagi menjadi 9 fasies, yaitu: Fasies grainstone berlapis sejajar (Gm) Fasies ini berwarna coklat, ukuran butir pasir kasar, kemas grain supported, tersusun atas foraminifera, fragmen cangkang moluska, litoklas, dan alga, dengan struktur sedimen berlapis sejajar (Gambar 2). Pada bagian kontak dengan Formasi Kalibeng, fasies ini memiliki komposisi berupa litoklas yang cukup melimpah. Litoklas tersebut merupakan fragmen napal dengan derajat kebun-daran 660 menyudut tanggung. Banyaknya litoklas napal ini kemungkinan berasal dari hasil erosi batuan Formasi Kalibeng di bawahnya. Semakin ke atas komposisi litoklas di dalam fasies grainstone ini semakin sedikit dan berubah menjadi material bioclastic yang dominan, Fasies napal (Mm) Fasies ini berwarna coklat kehijauan dalam keadaan segar, ukuran butir matriks <0,02 mm, butiran karbonat 0,02-2,0 mm, kemas terbuka, komposisi matriks material kabonat berukuran lanau, butiran karbonat berupa foraminifera, cangkang moluska, dan litoklas, dengan struktur sedimen berlapis sejajar (Gambar 3). Fasies ini mengalami perkembangan ke atas di dalam kolom stratigrafi. Pada bagian bawah, fasies ini hanya berupa sisipan di antara batugamping, kemudian berkem-bang menjadi semakin tebal dan ditemukan berlapis dengan batuan lain pada bagian atas. Fasies packstone (Pm) Fasies ini berwarna putih kecoklatan, ukuran butir pasir sedang, kemas grain supported, mengandung micrite, ter-susun atas foraminifera, cangkang moluska, dan litoklas, dengan struktur sedimen berlapis sejajar (Gambar 2). Pada ketebalan 16 meter, pada bagian atas dari fasies ini terdapat fosil jejak berupa Planolites (kumpulan fosil jejak Cruziana), yang memiliki kenampakan lurus, tanpa lobus, dan horisontal. Fasies grainstone silangsiur palung (Gt) Fasies ini berwarna coklat, ukuran butir pasir kasar, kemas grain supported, tersusun atas foraminifera, oolite, fragmen cangkang moluska, alga, dan litoklas, dengan struktur sedimen silangsiur palung (Gambar 4). Struktur sedimen tersebut dapat terbentuk akibat adanya rip current (Tucker and Maurice, 1990). Pada interval ketebalan 13,1 meter dan 37,1 meter, pada bagian atas lapisan grainstone ini terdapat fosil jejak dari golongan Skolitos, yang memiliki kenampakan

3 berupa galian vertikal dengan bentuk lurus, tidak bercabang, dan berukuran sekitar 10 cm. Fasies rudstone berlapis sejajar (Rm). Fasies ini berwarna putih kecoklatan, ukuran butir matriks pasir kasar dan fragmen <7 cm, kemas grain supported, dan tersusun atas foraminifera, fragmen cangkang moluska, balanus, litoklas, dan alga, dengan struktur sedimen berlapis sejajar (Gambar 5). Fasies batulempung berlapis sejajar (Cm) Fasies ini berwarna coklat, dan tersusun atas material silisiklastik berukuran lempung, dengan struktur sedimen berlapis sejajar (Gambar 5). Dilihat dari dari warna dan kilapnya, kemungkinan mineral yang menyusun fasies ini adalah limonit dan hematit. Di lapangan, fasies ini hanya berupa sisipan yang berada di antara batugamping klastik. Fasies rudstone silangsiur sejajar (Rp) Fasies ini berwarna putih kecoklatan, ukuran butir fragmen 2-10 cm dan matriks pasir kasar, kemas grain supported, dan tersusun atas alga, fragmen cangkang moluska, koral, balanus, foraminifera, dan litoklas, dengan struktur sedimen silangsiur sejajar (Gambar 6). Struktur sedimen tersebut dapat terbentuk karena adanya migrasi dari sand-waves (bars) yang berbentuk linier (Tucker, 2003). Fasies ini mengalami perkembangan komposisi penyusun di dalam batuan semakin ke atas. Pada interval ketebalan 101,6-102,5 meter fasies ini memiliki kandungan fragmen balanus yang melimpah. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin ke atas, koloni-koloni balanus semakin berkembang di lingkungan tempatnya hidup (rocky coast) Fasies batulempung masif (Cms) Fasies ini berwarna abu-abu cerah dan abuabu gelap, beberapa bagian pada fasies ini terlihat nodul-nodul berwarna biru, ukuran butir lempung, bedding fissility sedang-rendah, dan tersusun atas material silisiklastik 661 berukuran lempung dan foraminifera kecil, dengan struktur sedimen masif (Gambar 7). Ciri lain dari fasies ini adalah adanya nodulnodul berwarna kebiruan yang disebabkan oleh kehadiran mineral anhidrit di dalam batuan (Tabel 1). Fasies wackstone (Wm) Fasies ini berwarna coklat, ukuran butir lanau, kemas mud supported, tersusun atas foraminifera, fragmen cangkang moluska, dan litoklas, dengan struktur sedimen berlapis sejajar. LINGKUNGAN PENGENDAPAN Di lihat dari jenis litologi, struktur sedimen, komposisi batuan, paleo-bathimetri, dan pola tumpukan sedimen-nya, fasies-fasies tersebut terendapkan pada lingkungan pengendapan pantai (high energy). Pratt et al, in Walker and James (ed) (1992) membagi lingkungan pengendapan ini menjadi 3 zona berdasarkan paleobathimetrinya, yaitu Zona Subtidal, Intertidal, dan Supratidal. Lingkungan pengendapan pantai zona subtidal merupakan lingkungan yang selalu di bawah permukaan air laut. Zona ini dibagi menjadi 2 subzona, yaitu subtidal bawah dan subtidal atas. Zona subtidal bawah merupakan lingkungan yang tenang dan tidak terganggu oleh gelombang harian. Fasies yang terendapkan pada lingkungan ini antara lain fasies grainstone berlapis sejajar (Gm), fasies napal (Mm), fasies packstone (Pm), fasies rudstone berlapis sejajar (Rm), fasies batulempung berlapis sejajar (Cm), dan fasies wackstone (Wm). Sedangkan zona subtidal atas merupakan lingkungan yang masih dipengaruhi oleh gelombang harian. Fasies yang terendapkan pada lingkungan ini adalah fasies grainstone silangsiur palung (Gt). Lingkungan ini pada umumnya berada pada laut dangkal dengan kedalaman meter. Lingkungan pengendapan pantai zona intertidal merupakan lingkungan yang dapat berada di bawah maupun atas gelombang

4 harian. Lingkungan ini memiliki beberapa sublingkungan, seperti tidal creek, channel, pond, dan lingkungan pantai itu sendiri. Pada daerah pantai, lingkungan sangat dipengaruhi oleh wave swash, tidal current, maupun longshore current. Faktor tersebut yang menyebabkan fasies pada lingkungan ini adalah fasies rudstone silangsiur sejajar (Rp). Oleh karena lingkungan ini yang sangat dangkal (20-0 meter), beberapa lapisan dari fasies ini menunjukkan adanya proses karstitikasi (Gambar 8). Fasies batulempung masif (Cms) juga terendapkan pada lingkungan intertidal, namun pada bagian pond yang cenderung tertutup dan tenang (Gambar 9). Lingkungan ini merupakan hasil limpahan banjir dari suatu channel yang menuju ke arah laut. Minimnya karbonat pada fasies batulempung ini menunjukkan bahwa lingkungan laut menjadi keruh dan dingin akibat sedimen silisiklastik yang masuk ke laut cenderung banyak. Hal tersebut menye-babkan pasokan material karbonat menjadi sedikit akibat terumbu sebagai pengahasil karbonat tidak dapat tumbuh. Berdasarkan interpretasi lingkung-an pengendapannya, dinamika sedimen-tasi daerah penelitian sangat dinamis. Pengendapan Formasi Sonde diawali dengan pengendapan perselingan fasies grainstone (Gm), fasies packstone (Pm), dengan sisipan napal (Mm), yang menumpang secara tidak selaras di atas napal Formasi Kalibeng. Urutan ini terendapkan pada lingkungan pantai zona subtidal bawah, di open marine. Urutan menunjukkan pola mendangkal ke atas yang ditunjukkan oleh data paleobathimetrinya. Di atas urutan ini, terendapkan fasies packstone (Pm), rudstone (Rm), dengan sisipan batulempung yang berkembang menjadi graintone silangsiur palung (Gt). Pada satuan ini terjadi perulangan urutan yang menunjukkan pola mendangkal ke atas (zona subtidal bawah hingga subtidal atas). 662 Akibat muka air laut relatif yang turun, terendapkan perselingan fasies grainstone (Gm) dan fasies packstone (Pm) dengan sisipan fasies batulempung (Cm) yang terendapkan pada lingkungan pantai zona subtidal bawah, di open platform (Gambar 10). Lingkungan open platform ini ditunjukkan dengan adanya penipisan batuan ke arah tepi (pinch out), jumlah genus globigerinoides yang lebih melimpah dibanding globorotalia, dan bervariasinya kandungan butiran karbonatnya (Flugel, 1982). Muka air laut relatif kembali naik sehingga lingkungan pengendapan kembali ke open marine. Pada lingkung-an ini terendapkan fasies grainstone (Gm) dan fasies rudstone (Rm) yang berkembang menjadi fasies grainstone silngsiur palung (Gt). Urutan tersebut menunjukkan pola mendangkal ke atas (subtidal bawah-subtidal atas). Di atas urutan tersebut terendap-kan fasies napal (Mm), fasies grainstone (Gm), dan rudstone (Rm) yang berkem-bang menjadi fasies rudstone dengan struktur sedimen silangsiur sejajar (Rp). Pada satuan ini terjadi perulangan urutan yang menunjukkan pola mendangkal ke atas (zona subtidal bawah hingga intertidal). Pendangkalan ke atas dipicu oleh semakin banyaknya sedimen yang masuk ke dalam cekungan dan kondisi muka air laut global yang terus turun. Akibat muka air laut relatif yang terus turun, suatu ketika sebagian batuan akan terekspos ke permukaan. Oleh sebab itu, beberapa batuan menunjukkan lubang-lubang hasil pelarutan (karstifikasi). Pengendapan sedimen kembali terjadi ketika cekungan mengalami penurunan, sehingga urutan mendangkal ke atas ini kembali terbentuk di atas bidang ketidakselarasan. Di atas satuan ini terendapkan batulempung masif (Cms) yang ter-endapkan pada lingkungan pond. Tebalnya fasies batulempung masif (Cms) ini disebabkan oleh cekungan yang mendapat pasokan sedimen silisiklastik yang melimpah dari darat (Kusumastuti et al, 1999).

5 Kemudian, di atas urutan batulempung masif ini, secara tidak langsung terendapkan urutan yang tidak lengkap dari lingkungan pantai zona subtidal bawah hingga intertidal. Hal tersebut disebabkan oleh sebagian batuan yang tertutup oleh endapan sungai recent. Urutan ini berada pada interval ketebalan 83,2-102,5 meter. V. KESIMPULAN Litologi yang berada di daerah penelitian terendapkan pada lingkungan pengendapan. VI. pantai dengan kedalaman meter. Pola sedimentasi yang ditunjukkan oleh tumpukan fasies-fasiesnya menunjukkan pola yang bervariasi, yaitu terlihat dari adanya perulangan urutan yang mendangkal ke atas. ACKNOWLEDGEMENT Penulis sangat berterimakasih kepada Jurusan Teknik Geologi FT Universitas Gadjah Mada dan jajaran komite beasiswa 2000 yang telah membantu dalam pendanaan ketika pengolahan data dilakukan DAFTAR PUSTAKA Flugel, E., 1982, Microfacies Analysis of Limestone, Springer-Verlag, Berlin, 633 p. Harsono, P., 1982, Biostratigrafi and Paleogeografi Cekungan Jawa Timur Utara, Suatu Pendekatan Baru, Disertasi Doktor, Institut Teknologi Bandung, 183 p. Gibert, J. M. and Martinell, J., 1996, Trace Fossil Assemblages and Their Paleoenvironmental Significance in the Pliocene Marine Deposites of Baix Ebre (Catalonia, NE Spain), Journal of Geologie Mediterraneenne, p Jones, B., 1992, Shallow Platform Carbonates, in Walker and James (ed), Facies Models Response to Sea Level Change, Geological Association of Canada, Ontario, p Koesoemo, Y. P., Yuwono, N. T., and Musliki, S., 2006, Sequence Stratigraphy Concept Applied to the Middle Miocene to Pliocene Outcrops in the Northeast Java Basin, Indonesia, Proceeding of the International Symposium on Sequence Stratigraphy in S.E. Asia, 1996, p Kusumastuti, A., Darmoyo, A. B., Suwarlan, W., and, Sosromihardjo, S. P. C., 1999, The Wunut Field: Pleistocen Volcaniclastic Gas Sands in East Java, Proceedings of Indonesian Petroleum Association, Seventieth Annual Convention & Exhibition, p Musliki, S., 1997, Hydrocarbon Prospects of the Pliocene Carbonate Deposites in the Northeast Java Basin, Proceeding of National Seminar of Human Resources of Indonesian Geologist, p Pratama, G. A. P., 2015, Skripsi: Biostratigrafi Foraminifera Plangtonik Formasi Kalibeng Atas dan Sonde, Jalur Sungai Kedawung, Kecamatan Mondokan, Kabupaten Sragen, Provinsi Jawa Tengah, Universitas Gadjah Mada, 135 p. Pratt, B. R., James, N. P., Cowan, C. A., 1992, Peritidal Carbonate, in James and Walker (ed), Facies Models Response to Sea Level Change, Geological Association of Canada, Ontario, p Tucker, M. E. and Wright, V.P., 1990, Carbonate Sedimentology, Blackwell Science, Oxford, 482 p. Scholle, P. A. and Scholle, D. S. U., 2003, A Color Guide to the Petrography of Carbonate Rocks: Grains, textures, porosity, diagenesis, Tulsa, The American Association of Petroleum Geologist, 459 p. Smyth, H., Hall, R., Hamilton, J., and Kinny, P., 2005, East Java: Cenozoic Basins, Volcanoes, and Ancient Basement, Proceedings of Indonesian Petroleum Association, Thirty-Fifth Annual Convention & Exhibition, p

6 Walker, R.G., 1992, Facies, Facies Models, and Modern Stratigraphic Concepts, in Walker and James (ed), Facies Models Response to Sea Level Change, Geological Association of Canada, Ontario, p TABEL Tabel 1. Komposisi mineral pada fasies batulempung (Cms) dari data XRD Sampel 13A Sampel 13B No Jenis Mineral No Jenis Mineral 1 Kuarsa 1 Kuarsa 2 Kaolinit 2 Kaolinit 3 Montmorilonit 3 Montmorilonit 4 Illit 4 Illit 5 Anhidrit 5 Anhidrit 6 Gipsum 6 Gipsum 7 Pirit 8 Hornblenda 664

7 DESKRIPSI Tabel 2. Ringkasan analisa petrografi batuan-batuan yang berada di daerah penelitian Nomor Sampel PENJELASAN Kemas O o c c - c c c c c o o - o o Kemas 0,6-0,8-0,7-1,1-1,1-2,0-3,0-2,0-4,0-1,6-1,1-1,3- Ukuran butir (mm) 0,004 0,004 <0,6 0,02 0,1 0,02 0,1 0,02 0,1 0,1 0,2 0,1 0,2 0,02 0,1 o = terbuka Persentase c = tertutup Micrite 58 30, , Mud ,2 37, Nama Batuan Semen , ,5 - M = Mudstone Butiran karbonat W = Wackstone Alga hijau ,5 1 16,7 2,3 34, P = Packstone Alga merah ,5-0, , G = Grainstone Briozoa 0, , R = Rudstone Echinodermata ,5-0, MM = Muddy micrite Foram besar ,2 7, ,3 10, ,5 - BL = Batulempung Foram kecil ,2 31,5 18,3 7,3 4,3 13, Moluska ,4 7,6 6 4,7 10 0, = Bioklas Sponge dominan Litoklas ,6 4 3,8 3,3 1, ,5 - Oolite , Oncolite , Tidak teridentifikasi Butiran non-karbonat ,1-2,5 - Nama Batuan W P P G BL G P R G R MM MM BL W M 665

8 GAMBAR Gambar 1. Posisi relatif daerah penelitian terhadap kota-kota di sekitarnya. Gambar 2. Kenampakan fasies grainstone berlapis sejajar (Gm) dengan fasies packstone (Pm) pada interval ketebalan 7,9-8,3 meter. Gambar 3. Kenampakan fasies napal (Mm) pada interval ketebalan 61,6-63,4 meter. Gambar 4. Kenampakan fasies grainstone silangsiur palung (Gt) pada interval ketebalan Gambar 5. Kenampakan fasies rudstone (Rm) dengan fasies betulempung (Cm) pada interval 666

9 13,5-14,75 meter. ketebalan 16-16,9 meter. Gambar 6. Kenampakan fasies rudstone silangsiur sejajar (Rp) pada interval ketebalan 48,5-52,4 meter. Gambar 7. Kenampakan fasies batulempung masif (Cms) pada interval ketebalan 48,5-52,4 meter. Gambar 8. Kenampakan karstifikasi pada fasies rudstone (Rp) interval ketebalan 99,5-100,7 meter. Gambar 9. Lingkungan pengendapan pantai zona intertidal, bagian pond pada daerah penelitian (model menurut Pratt et al, 1992, dengan modifikasi). Gambar 10. Lingkungan pengendapan pantai zona subtidal bawah, bagian open platform pada daerah penelitian (model menurut Pratt et al, 1992, dengan modifikasi). Gambar 11. Kenampakan sayatan tipis fasies grainstone berlapis sejajar (Gm) sampel nomor 06 pada sayatan tipis. 667

10 Gambar 12. Kenampakan sayatan tipis fasies packstone berlapis sejajar (Pm) sampel nomor 02 pada sayatan tipis Gambar 13. Kenampakan sayatan tipis fasies grainstone silangsiur palung (Gt) sampel nomor 04 pada sayatan tipis Gambar 14. Kenampakan sayatan tipis fasies rudstone berlapis sejajar (Rm) sampel nomor 08 pada sayatan tipis Gambar 15. Kenampakan sayatan tipis fasies rudstone silangsiur sejajar (Rp) sampel nomor 10 pada sayatan tipis Gambar 16. Kenampakan sayatan tipis fasies batulempung masif (Cms) sampel nomor 13 pada sayatan tipis Gambar 17. Kenampakan sayatan tipis fasies wackstone (Wm) sampel nomor 14 pada sayatan tipis 668

11 Gambar 18. Kolom stratigrafi Formasi Sonde Jalur Sungai Kedawung (Utama, 2015) 669

Dinamika Sedimentasi Formasi Prupuh dan Paciran daerah Solokuro dan Paciran, Lamongan, Jawa Timur

Dinamika Sedimentasi Formasi Prupuh dan Paciran daerah Solokuro dan Paciran, Lamongan, Jawa Timur Dinamika Sedimentasi Formasi Prupuh dan Paciran daerah Solokuro dan Paciran, Lamongan, Jawa Timur Farida Alkatiri 1, Harmansyah 1 Mahasiswa, 1 Abstrak Daerah Solokuro dan Paciran, Lamongan merupakan lokasi

Lebih terperinci

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS 4.1 Pendahuluan Untuk studi sedimentasi pada Formasi Tapak Bagian Atas dilakukan melalui observasi urutan vertikal terhadap singkapan batuan yang

Lebih terperinci

PENENTUAN PALEOGEOGRAFI BERDASARKAN STRUKTUR SLUMP STUDI KASUS FORMASI HALANG DAERAH WONOSARI, KEBUMEN, JAWA TENGAH

PENENTUAN PALEOGEOGRAFI BERDASARKAN STRUKTUR SLUMP STUDI KASUS FORMASI HALANG DAERAH WONOSARI, KEBUMEN, JAWA TENGAH PENENTUAN PALEOGEOGRAFI BERDASARKAN STRUKTUR SLUMP STUDI KASUS FORMASI HALANG DAERAH WONOSARI, KEBUMEN, JAWA TENGAH Rikzan Norma Saputra *, Moch. Indra Novian, Salahuddin Husein Jurusan Teknik Geologi,

Lebih terperinci

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN 4.1 Litofasies Menurut Walker dan James pada 1992, litofasies adalah suatu rekaman stratigrafi pada batuan sedimen yang menunjukkan karakteristik fisika, kimia, dan

Lebih terperinci

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai.

Adanya cangkang-cangkang mikro moluska laut yang ditemukan pada sampel dari lokasi SD9 dan NG11, menunjukkan lingkungan dangkal dekat pantai. BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.2.2.3 Umur Berdasarkan data analisis mikrofosil pada sampel yang diambil dari lokasi BG4 (Lampiran B), spesies-spesies yang ditemukan antara lain adalah Globigerinoides

Lebih terperinci

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL BAB 2 GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografis, menurut van Bemmelen (1949) Jawa Timur dapat dibagi menjadi 7 satuan fisiografi (Gambar 2), satuan tersebut dari selatan ke utara adalah: Pegunungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada Sungai Kedawung. Secara geologi, menurut Pringgoprawiro (1982) formasi

BAB I PENDAHULUAN. pada Sungai Kedawung. Secara geologi, menurut Pringgoprawiro (1982) formasi BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Daerah penelitian ini terletak di Kecamatan Mondokan, Sragen tepatnya pada Sungai Kedawung. Secara geologi, menurut Pringgoprawiro (1982) formasi pada lokasi

Lebih terperinci

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Nodul siderite Laminasi sejajar A B Foto 11. (A) Nodul siderite dan (B) struktur sedimen laminasi sejajar pada Satuan Batulempung Bernodul. 3.3.1.3. Umur, Lingkungan dan Mekanisme Pengendapan Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB III Perolehan dan Analisis Data

BAB III Perolehan dan Analisis Data BAB III Perolehan dan Analisis Data BAB III PEROLEHAN DAN ANALISIS DATA Lokasi penelitian, pada Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1 : 100.000, terletak di Formasi Rajamandala. Penelitian lapangan berupa

Lebih terperinci

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

III.1 Morfologi Daerah Penelitian TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi suatu daerah merupakan bentukan bentang alam daerah tersebut. Morfologi daerah penelitian berdasakan pengamatan awal tekstur

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 GEOMORFOLOGI III.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Perolehan Data dan Lokasi Penelitian Lokasi penelitian pada Peta Geologi Lembar Cianjur skala 1 : 100.000 terletak di Formasi Rajamandala (kotak kuning pada Gambar

Lebih terperinci

BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG

BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG BAB IV STUDI BATUPASIR NGRAYONG 4. 1 Latar Belakang Studi Ngrayong merupakan Formasi pada Cekungan Jawa Timur yang masih mengundang perdebatan di kalangan ahli geologi. Perdebatan tersebut menyangkut lingkungan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL II.1 Fisiografi Menurut van Bemmelen (1949), Jawa Timur dibagi menjadi enam zona fisiografi dengan urutan dari utara ke selatan sebagai berikut (Gambar 2.1) : Dataran Aluvial Jawa

Lebih terperinci

BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR

BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR 4.1 Pendahuluan Kajian terhadap siklus sedimentasi pada Satuan Batupasir dilakukan dengan analisis urutan secara vertikal terhadap singkapan yang mewakili

Lebih terperinci

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan BAB IV KAJIAN SEDIMENTASI DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis

Lebih terperinci

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan Gambar 3.8 Korelasi Stratigrafi Satuan Batupasir terhadap Lingkungan Delta 3.2.3 Satuan Batulempung-Batupasir Persebaran (dominasi sungai) Satuan ini menempati 20% dari luas daerah penelitian dan berada

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI

BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis urutan vertikal terhadap singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili. Analisis urutan vertikal ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN

BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH PENELITIAN Fasies adalah suatu tubuh batuan yang dicirikan oleh kombinasi ciri litologi, ciri fisik dan biologi yang membedakannya dengan tubuh batuan yang berdekatan (Walker,

Lebih terperinci

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan

BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan BAB III STRATIGRAFI 3. 1 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan Stratigrafi regional Pegunungan Selatan dibentuk oleh endapan yang berumur Eosen-Pliosen (Gambar 3.1). Menurut Toha, et al. (2000) endapan

Lebih terperinci

STRATIGRAFI KARBONAT FORMASI SELOREDJO ANGGOTA DANDER DI SUNGAI BANYUREJO KECAMATAN BUBULAN KABUPATEN BOJONEGORO, JAWA TIMUR, INDONESIA

STRATIGRAFI KARBONAT FORMASI SELOREDJO ANGGOTA DANDER DI SUNGAI BANYUREJO KECAMATAN BUBULAN KABUPATEN BOJONEGORO, JAWA TIMUR, INDONESIA STRATIGRAFI KARBONAT FORMASI SELOREDJO ANGGOTA DANDER DI SUNGAI BANYUREJO KECAMATAN BUBULAN KABUPATEN BOJONEGORO, JAWA TIMUR, INDONESIA Didit Hadi Barianto *, Aldrin Fauzan Faza, Moch Indra Novian, Salahuddin

Lebih terperinci

Gambar 1.1. Lokasi Penelitian di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah

Gambar 1.1. Lokasi Penelitian di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Penelitian ini dilakukan di daerah Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Lokasi ini dipilih karena secara geologi lokasi ini sangat menarik. Pada lokasi ini banyak dijumpainya

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EVOLUSI POROSITAS DENGAN KARAKTERISTIK DIAGENESIS FORMASI WONOSARI DI KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROVINSI DIY

HUBUNGAN ANTARA EVOLUSI POROSITAS DENGAN KARAKTERISTIK DIAGENESIS FORMASI WONOSARI DI KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROVINSI DIY Abstrak HUBUNGAN ANTARA EVOLUSI POROSITAS DENGAN KARAKTERISTIK DIAGENESIS FORMASI WONOSARI DI KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNG KIDUL, PROVINSI DIY Muhamad Rizki Asy ari 1*, Sarju Winardi 1 1 Jurusan

Lebih terperinci

BAB IV FASIES BATUGAMPING GUNUNG SEKERAT

BAB IV FASIES BATUGAMPING GUNUNG SEKERAT BAB IV FASIES BATUGAMPING GUNUNG SEKERAT Satuan batugamping Gunung Sekerat tersingkap dengan baik, dengan penyebaran kurang lebih 10% dari luas daerah penelitian, dalam Peta Geologi (Lampiran G-3) satuan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH LEPAS PANTAI UTARA MADURA

BAB III GEOLOGI DAERAH LEPAS PANTAI UTARA MADURA BAB III GEOLOGI DAERAH LEPAS PANTAI UTARA MADURA Lapangan ini berada beberapa kilometer ke arah pantai utara Madura dan merupakan bagian dari North Madura Platform yang membentuk paparan karbonat selama

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah penelitian secara umum tersusun atas bentang alam yang cukup kompleks yaitu, perbukitan, lembah dan dataran rendah. Interval ketinggian

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Pengamatan geomorfologi di daerah penelitian dilakukan dengan dua tahap, yaitu dengan pengamatan menggunakan SRTM dan juga peta kontur yang dibuat dari

Lebih terperinci

BAB IV DISTRIBUSI FASIES BATUGAMPING

BAB IV DISTRIBUSI FASIES BATUGAMPING BAB IV DISTRIBUSI FASIES BATUGAMPING IV.1 Pendahuluan Batuan Karbonat Klastik Terrigenous Sedimen yang global dan tak terbatas dengan iklim. Suplai sedimen berasal dari kontinen dan laut. Ukuran dari butiran

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Pengamatan geomorfologi terutama ditujukan sebagai alat interpretasi awal, dengan menganalisis bentang alam dan bentukan-bentukan alam yang memberikan

Lebih terperinci

// - Nikol X - Nikol 1mm

// - Nikol X - Nikol 1mm Sampel lain yang mewakili mikrofasies ini adalah D 34 D, merupakan batugamping packstone, klastik, terpilah buruk, kemas terbuka, disusun oleh butiran (50%), terdiri dari fragmen fosil berupa alga, foraminifera

Lebih terperinci

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975)

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975) STRATIGRAFI CEKUNGAN JAWA BARAT BAGIAN UTARA Sedimentasi Cekungan Jawa Barat Utara mempunyai kisaran umur dari kala Eosen Tengah sampai Kuarter. Deposit tertua adalah pada Eosen Tengah, yaitu pada Formasi

Lebih terperinci

Ciri Litologi

Ciri Litologi Kedudukan perlapisan umum satuan ini berarah barat laut-tenggara dengan kemiringan berkisar antara 60 o hingga 84 o (Lampiran F. Peta Lintasan). Satuan batuan ini diperkirakan mengalami proses deformasi

Lebih terperinci

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur Umur Analisis mikropaleontologi dilakukan pada contoh batuan pada lokasi NA805 dan NA 803. Hasil analisis mikroplaeontologi tersebut menunjukkan bahwa pada contoh batuan tersebut tidak ditemukan adanya

Lebih terperinci

4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas

4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI 4.1 Pendahuluan Kajian sedimentasi dilakukan melalui analisis perkembangan urutan vertikal lapisan batuan berdasarkan data singkapan batuan pada lokasi yang dianggap mewakili.

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi daerah penelitian berdasarkan pengamatan awal dari peta topografi dan citra satelit,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Batuan sedimen merupakan salah satu aspek penting dalam melihat sejarah

BAB I PENDAHULUAN. Batuan sedimen merupakan salah satu aspek penting dalam melihat sejarah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Batuan sedimen merupakan batuan yang keberadaannya di permukaan bumi memiliki jumlah paling banyak jika dibandingkan dengan jenis batuan yang lain. Batuan sedimen merupakan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

ANALISIS TAFONOMI MOLUSKA PADA FORMASI DAMAR DI KALI SIWUNGU TEMBALANG SEMARANG

ANALISIS TAFONOMI MOLUSKA PADA FORMASI DAMAR DI KALI SIWUNGU TEMBALANG SEMARANG ANALISIS TAFONOMI MOLUSKA PADA FORMASI DAMAR DI KALI SIWUNGU TEMBALANG SEMARANG ABSTRAK Anis Kurniasih, ST., MT. 1, Ikhwannur Adha, ST. 2 1 Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang,

Lebih terperinci

Subsatuan Punggungan Homoklin

Subsatuan Punggungan Homoklin Foto 3.6. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Pejaten). Foto 3.7. Subsatuan Lembah Sinklin (foto ke arah utara dari daerah Bulu). Subsatuan Punggungan Homoklin Subsatuan Punggungan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN III.1 Singkapan Stadion baru PON Samarinda Singkapan batuan pada torehan bukit yang dikerjakan untuk jalan baru menuju stadion baru PON XVI Samarinda. Singkapan tersebut

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Geomorfologi Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa terbagi menjadi beberapa fisiografi, dan Jawa Bagian Tengah memiliki 2 fisiografi yaitu lajur Pegunungan Serayu, dan Pegunungan Kendeng (van Bemmelen, 1948).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukannya fosil hominid berupa tengkorak dan rahang bawah oleh von

BAB I PENDAHULUAN. ditemukannya fosil hominid berupa tengkorak dan rahang bawah oleh von BAB I PENDAHULUAN I.I. Latar Belakang Daerah Sangiran merupakan daerah yang cukup terkenal penting karena ditemukannya fosil hominid berupa tengkorak rahang bawah oleh von Koeningswald (1940). Salah satu

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Berdasarkan pengamatan awal, daerah penelitian secara umum dicirikan oleh perbedaan tinggi dan ralief yang tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur pada

Lebih terperinci

BAB IV STUDI PASIR NGRAYONG

BAB IV STUDI PASIR NGRAYONG BAB IV STUDI PASIR NGRAYONG 4.2 Latar belakang Studi Ngrayong telah lama mengundang perdebatan bagi para geolog yang pernah bekerja di Cekungan Jawa Timur. Perbedaan tersebut adalah mengenai lingkungan

Lebih terperinci

BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH GUNUNG KROMONG

BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH GUNUNG KROMONG BAB V FASIES BATUGAMPING DAERAH GUNUNG KROMONG 5.1 Dasar Teori Secara umum batu gamping merupakan batuan sedimen yang tersusun oleh satu mineral yaitu Kalsium Karbonat (CaCO 3 ), namun terdapat pula sedikit

Lebih terperinci

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Geomorfologi Daerah Penelitian Secara umum, daerah penelitian memiliki morfologi berupa dataran dan perbukitan bergelombang dengan ketinggian

Lebih terperinci

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Kerangka Tektonik Sub-cekungan Jatibarang merupakan bagian dari Cekungan Jawa Barat Utara. Konfigurasi batuan dasar saat ini di daerah penelitian, yang menunjukkan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian adalah interaksi dari proses eksogen dan proses endogen (Thornburry, 1989). Proses eksogen adalah proses-proses

Lebih terperinci

MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO

MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO MENGENAL JENIS BATUAN DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO Oleh : Akhmad Hariyono POLHUT Penyelia Balai Taman Nasional Alas Purwo Kawasan Taman Nasional Alas Purwo sebagian besar bertopogarafi kars dari Semenanjung

Lebih terperinci

// - Nikol X - Nikol 1mm

// - Nikol X - Nikol 1mm S S A B B C Foto 3.14 Satuan breksi vulkanik dengan sisipan batupasir-batulempung. Breksi polimik ( B), Monomik (A) dan litologi batupasir-batulempung (bawah,c) Pengambilan sampel untuk sisipan batupasir

Lebih terperinci

Bab III Geologi Daerah Penelitian

Bab III Geologi Daerah Penelitian Bab III Geologi Daerah Penelitian Foto 3.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Blok Patahan dilihat dari Desa Mappu ke arah utara. Foto 3.5 Lembah Salu Malekko yang memperlihatkan bentuk V; foto menghadap ke

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT

BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT BAB IV ANALISIS FASIES ENDAPAN TURBIDIT 4.1 Fasies Turbidit adalah suatu sedimen yang diendapkan oleh mekanisme arus turbid (turbidity current), sedangkan arus turbid itu sendiri adalah suatu arus yang

Lebih terperinci

Raden Ario Wicaksono/

Raden Ario Wicaksono/ Foto 3.15 Fragmen Koral Pada Satuan Breksi-Batupasir. Lokasi selanjutnya perselingan breksi-batupasir adalah lokasi Bp-20 terdapat pada Sungai Ci Manuk dibagian utara dari muara antara Sungai Ci Cacaban

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentang alam dan morfologi suatu daerah terbentuk melalui proses pembentukan secara geologi. Proses geologi itu disebut dengan proses geomorfologi. Bentang

Lebih terperinci

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi 3.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur pada satuan ini mengacu pada referensi. Satuan ini diendapkan pada lingkungan kipas aluvial. Analisa lingkungan pengendapan ini diinterpretasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Karangsambung merupakan lokasi tempat tersingkapnya batuan-batuan campuran hasil dari proses subduksi yang terjadi pada umur Kapur Akhir sampai Paleosen. Batuan tertua

Lebih terperinci

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA

LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA LABORATORIUM GEOLOGI OPTIK DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA PRAKTIKUM PETROGRAFI BORANG MATERI ACARA VII: PETROGRAFI BATUAN SEDIMEN KARBONAT Asisten Acara: 1 2 3 4 Nama

Lebih terperinci

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS HALU OLEO FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN JURUSAN TEKNIK GEOLOGI

KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS HALU OLEO FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN JURUSAN TEKNIK GEOLOGI KEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS HALU OLEO FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN JURUSAN TEKNIK GEOLOGI TUGAS BATUAN KARBONAT Makalah Batuan Karbonat Di Susun Oleh : WA ODE SUWARDI

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS FASIES PENGENDAPAN

BAB IV ANALISIS FASIES PENGENDAPAN BAB IV ANALISIS FASIES PENGENDAPAN IV.1 Litofasies Suatu rekaman stratigrafi pada batuan sedimen terlihat padanya karateristik fisik, kimia, biologi tertentu. Analisis rekaman tersebut digunakan untuk

Lebih terperinci

FASIES BATUBARA FORMASI WARUKIN ATAS DAERAH TAPIAN TIMUR, KP PT. ADARO INDONESIA KALIMANTAN SELATAN

FASIES BATUBARA FORMASI WARUKIN ATAS DAERAH TAPIAN TIMUR, KP PT. ADARO INDONESIA KALIMANTAN SELATAN FASIES BATUBARA FORMASI WARUKIN ATAS DAERAH TAPIAN TIMUR, KP PT. ADARO INDONESIA KALIMANTAN SELATAN Nabila Amanda 1*, Yuyun Yuniardi 1, Undang Mardiana 1, Febriwan Mohammad 1, Freddy Jul Pribadi 2 1 Fakultas

Lebih terperinci

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan

Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan 3.2.3.3. Metamorfisme dan Lingkungan Pengendapan Secara umum, satuan ini telah mengalami metamorfisme derajat sangat rendah. Hal ini dapat ditunjukkan dengan kondisi batuan yang relatif jauh lebih keras

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Daerah Penelitian Morfologi yang ada pada daerah penelitian dipengaruhi oleh proses endogen dan proses eksogen. Proses endogen merupakan

Lebih terperinci

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8).

dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). dan Satuan Batulempung diendapkan dalam lingkungan kipas bawah laut model Walker (1978) (Gambar 3.8). Gambar 3.7 Struktur sedimen pada sekuen Bouma (1962). Gambar 3.8 Model progradasi kipas bawah laut

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi Daerah Penelitian 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Morfologi secara umum daerah penelitian tercermin dalam kerapatan dan bentuk penyebaran kontur

Lebih terperinci

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit. (a) (c) (b) (d) Foto 3.10 Kenampakan makroskopis berbagai macam litologi pada Satuan

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Fisiografi Secara fisiografi, Pulau Jawa berada dalam busur kepulauan yang berkaitan dengan kegiatan subduksi Lempeng Indo-Australia dibawah Lempeng Eurasia dan terjadinya jalur

Lebih terperinci

BAB IV FASIES BATUGAMPING FORMASI TENDEH HANTU

BAB IV FASIES BATUGAMPING FORMASI TENDEH HANTU BAB IV FASIES BATUGAMPING FORMASI TENDEH HANTU 4.1 Pendahuluan Batuan Karbonat adalah batuan sedimen yang terdiri dari garam karbonat. Dalam prakteknya adalah gamping (limestone) dan dolomit (Koesoemadinata,

Lebih terperinci

Geologi Daerah Penelitian. III Hubungan Stratigrafi

Geologi Daerah Penelitian. III Hubungan Stratigrafi 30 Geologi Daerah Penelitian III.2.2.3. Hubungan Stratigrafi Dilihat dari arah kemiringan lapisan yang sama yaitu berarah ke timur dan pengendapan yang menerus, maka diperkirakan hubungan stratigrafi dengan

Lebih terperinci

Hubungan Formasi Jatiluhur dan Formasi Cibulakan di Jawa Barat

Hubungan Formasi Jatiluhur dan Formasi Cibulakan di Jawa Barat Hubungan Formasi Jatiluhur dan Formasi Cibulakan di Jawa Barat Abdurrokhim Email: abdur@unpad.ac.id Abstrak Batuan sedimen berumur Miosen Tengah yang tersingkap dengan baik di bagian utara Cekungan Bogor

Lebih terperinci

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Oktober 2014

PROSIDING SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-7 Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Oktober 2014 M4P-03 HUBUNGAN STRATIGRAFI ANTARA SATUAN BATUAN VULKANIK DENGAN SATUAN BATUAN KARBONAT DI DAERAH BANGUNJIWO DAN SEKITARNYA, KECAMATAN KASIHAN, KABUPATEN BANTUL, PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Sri

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Geomorfologi 3.1.1 Morfologi Umum Daerah Penelitian Geomorfologi pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan pengamatan awal pada peta topografi dan pengamatan langsung

Lebih terperinci

I.1 Latar Belakang I.2 Maksud dan Tujuan

I.1 Latar Belakang I.2 Maksud dan Tujuan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Formasi Latih tersusun dari perselang-selingan antara batupasir kuarsa, batulempung, batulanau dan batubara dibagian atas, dan bersisipan dengan serpih pasiran dan

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS FASIES PENGENDAPAN FORMASI TALANG AKAR

BAB III ANALISIS FASIES PENGENDAPAN FORMASI TALANG AKAR BAB III ANALISIS FASIES PENGENDAPAN FORMASI TALANG AKAR 3.1. Litofasies Menurut Walker (1992), fasies merupakan kenampakan suatu tubuh batuan yang dikarekteristikan oleh kombinasi dari litologi, struktur

Lebih terperinci

STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN

STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN STRATIGRAFI REGIONAL CEKUNGAN SUMATERA SELATAN Oleh : Edlin Shia Tjandra (07211033) Fanny Kartika (07211038) Theodora Epyphania (07211115) TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI UNIVERSITAS

Lebih terperinci

II. GEOLOGI REGIONAL

II. GEOLOGI REGIONAL 5 II. GEOLOGI REGIONAL A. Struktur Regional dan Tektonik Cekungan Jawa Timur Lapangan KHARIZMA berada di lepas pantai bagian selatan pulau Madura. Lapangan ini termasuk ke dalam Cekungan Jawa Timur. Gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Disebutkan oleh Surono, dkk (1992), penyusun Formasi Wonosari-Punung berupa

BAB I PENDAHULUAN. Disebutkan oleh Surono, dkk (1992), penyusun Formasi Wonosari-Punung berupa BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Formasi Wonosari-Punung secara umum tersusun oleh batugamping. Disebutkan oleh Surono, dkk (1992), penyusun Formasi Wonosari-Punung berupa batugamping, batugamping

Lebih terperinci

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN Foto 3.7. Singkapan Batupasir Batulempung A. SD 15 B. SD 11 C. STG 7 Struktur sedimen laminasi sejajar D. STG 3 Struktur sedimen Graded Bedding 3.2.2.3 Umur Satuan ini memiliki umur N6 N7 zonasi Blow (1969)

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 Geografis Regional Jawa Tengah berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Barat di sebelah barat, dan

Lebih terperinci

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono Batulempung, hadir sebagai sisipan dalam batupasir, berwarna abu-abu, bersifat non karbonatan dan secara gradasi batulempung ini berubah menjadi batuserpih karbonan-coally shale. Batubara, berwarna hitam,

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN 2.1 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Selatan Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional

Bab II Geologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Geologi Regional Kalimantan Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi konvergen antara 3 lempeng utama, yakni

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1 FISIOGRAFI REGIONAL Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Timur dan Madura menjadi tujuh zona fisiografi (Gambar 2.1), dari selatan ke utara berturut-turut adalah sebagai berikut:

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS GEOMETRI DAN KUALITAS RESERVOIR

BAB III ANALISIS GEOMETRI DAN KUALITAS RESERVOIR BAB III ANALISIS GEOMETRI DAN KUALITAS RESERVOIR 3.1 Metodologi Penelitian Analisis geometri dan kualitas reservoir dilakukan untuk memberikan informasi geologi yang realistis dari suatu reservoir. Informasi

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH BANTARGADUNG

BAB III GEOLOGI DAERAH BANTARGADUNG BAB III GEOLOGI DAERAH BANTARGADUNG 3.1 GEOMORFOLOGI Metode yang dilakukan dalam analisis geomorfologi ini adalah dengan analisa peta topografi dan citra satelit, sehingga didapatkan kelurusan lereng,

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. GEOMORFOLOGI Kondisi geomorfologi pada suatu daerah merupakan cerminan proses alam yang dipengaruhi serta dibentuk oleh proses eksogen dan endogen yang membentuk

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 Stratigrafi Daerah Nanga Kantu Stratigrafi Formasi Kantu terdiri dari 4 satuan tidak resmi. Urutan satuan tersebut dari tua ke muda (Gambar 3.1) adalah Satuan Bancuh

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Bentukan topografi dan morfologi daerah penelitian dipengaruhi oleh proses eksogen dan proses endogen. Proses eksogen adalah proses-proses yang bersifat

Lebih terperinci

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan

3.2.3 Satuan Batulempung. A. Penyebaran dan Ketebalan 3.2.3 Satuan Batulempung A. Penyebaran dan Ketebalan Satuan batulempung ditandai dengan warna hijau pada Peta Geologi (Lampiran C-3). Satuan ini tersingkap di bagian tengah dan selatan daerah penelitian,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL

DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERSEMBAHAN... iii KATA PENGANTAR...... iv SARI...... v DAFTAR ISI...... vi DAFTAR GAMBAR...... x DAFTAR TABEL... xvi DAFTAR LAMPIRAN... xvii

Lebih terperinci

BAB II GEOLOGI REGIONAL

BAB II GEOLOGI REGIONAL BAB II GEOLOGI REGIONAL Cekungan Sunda dan Asri adalah salah satu cekungan sedimen yang terletak dibagian barat laut Jawa, timur laut Selat Sunda, dan barat laut Cekungan Jawa Barat Utara (Todd dan Pulunggono,

Lebih terperinci

Bab IV. Analisa Fasies Pengendapan. 4.1 Data Sampel Intibor

Bab IV. Analisa Fasies Pengendapan. 4.1 Data Sampel Intibor BAB IV ANALISA FASIES PENGENDAPAN 4.1 Data Sampel Intibor Data utama yang digunakan dalam penfasiran lingkungan pengendapan dan analisa fasies ialah data intibor (Foto 4.1), data intibor merupakan data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (sarjana) sebagai syarat yang harus ditempuh supaya mahasiswa dinyatakan lulus

BAB I PENDAHULUAN. (sarjana) sebagai syarat yang harus ditempuh supaya mahasiswa dinyatakan lulus BAB I PENDAHULUAN Skripsi merupakan tugas akhir mahasiswa program pendidikan strata-1 (sarjana) sebagai syarat yang harus ditempuh supaya mahasiswa dinyatakan lulus dari Jurusan Teknik Geologi Fakultas

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / BAB III GEOLOGI DAERAH PERBUKITAN RUMU 3.1 Geomorfologi Perbukitan Rumu Bentang alam yang terbentuk pada saat ini merupakan hasil dari pengaruh struktur, proses dan tahapan yang terjadi pada suatu daerah

Lebih terperinci

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 34 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P / Pada sayatan tipis (Lampiran C) memiliki ciri-ciri kristalin, terdiri dari dolomit 75% berukuran 0,2-1,4 mm, menyudut-menyudut tanggung. Matriks lumpur karbonat 10%, semen kalsit 14% Porositas 1% interkristalin.

Lebih terperinci

dalam Zonasi Bolli & Saunders (1985), berdasarkan kandungan plangton tersebut maka kisaran umur satuan batuan ini adalah N21 atau Pliosen Atas.

dalam Zonasi Bolli & Saunders (1985), berdasarkan kandungan plangton tersebut maka kisaran umur satuan batuan ini adalah N21 atau Pliosen Atas. dalam Zonasi Bolli & Saunders (1985), berdasarkan kandungan plangton tersebut maka kisaran umur satuan batuan ini adalah N21 atau Pliosen Atas. III.2.1.5 Hubungan dan Kesebandingan Stratigrafi Hubungan

Lebih terperinci

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1 GEOMORFOLOGI Analisa geomorfologi merupakan sebuah tahapan penting dalam penyusunan peta geologi. Hasil dari analisa geomorfologi dapat memudahkan dalam pengerjaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 Geografis Daerah Penelitian Wilayah konsesi tahap eksplorasi bahan galian batubara dengan Kode wilayah KW 64 PP 2007 yang akan ditingkatkan ke tahap ekploitasi secara administratif

Lebih terperinci

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH

KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH KONTROL STRUKTUR GEOLOGI TERHADAP SEBARAN ENDAPAN KIPAS BAWAH LAUT DI DAERAH GOMBONG, KEBUMEN, JAWA TENGAH Asmoro Widagdo*, Sachrul Iswahyudi, Rachmad Setijadi, Gentur Waluyo Teknik Geologi, Universitas

Lebih terperinci

LITOSTRATIGRAFI CEKUNGAN OMBILIN BERDASARKAN INTERPRETASI CITRA SATELIT

LITOSTRATIGRAFI CEKUNGAN OMBILIN BERDASARKAN INTERPRETASI CITRA SATELIT LITOSTRATIGRAFI CEKUNGAN OMBILIN BERDASARKAN INTERPRETASI CITRA SATELIT Yuyun Yuniardi Laboratorium Geofisika, Fakultas Teknik Geologi, UNPAD ABSTRACT Stratigraphy of Ombilin Basin area was interesting

Lebih terperinci