STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA SUKABUMI NOVIAR PAHLEVI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA SUKABUMI NOVIAR PAHLEVI"

Transkripsi

1 STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA SUKABUMI NOVIAR PAHLEVI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Pengembangan Wilayah Kota Sukabumi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2014 Noviar Pahlevi NIM A

4 RINGKASAN NOVIAR PAHLEVI. Studi Pengembangan Wilayah Kota Sukabumi. Dibimbing oleh SETIA HADI dan SOEKMANA SOMA. Pada proses pengembangan wilayah, Kota Sukabumi yang cukup berhasil meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi menghadapi masalah dalam hal pemerataan pembangunan antar kecamatan. Ketidakmerataan pembangunan antar kecamatan diduga karena adanya perubahan batas wilayah administratif dimana daerah yang baru bergabung tidak memiliki perkembangan yang sama dengan daerah lama. Disparitas pembangunan antar wilayah ini dapat menyebabkan timbulnya daerah tertinggal atau terbelakang yang apabila tidak ditangani secara tepat melalui kebijakan pemerintah, dapat menimbulkan berbagai masalah yang dapat menghambat pembangunan wilayah itu sendiri. Oleh karenanya diperlukan kajian dan identifikasi mengenai arahan kebijakan pengembangan wilayah. Hal ini penting pada perumusan kebijakan daerah untuk menciptakan pemerataan pembangunan dalam rangka pengembangan wilayah Kota Sukabumi. Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menganalisis besaran tingkat dan dekomposisi disparitas pembangunan wilayah, (2) Mengidentifikasi potensi sektor ekonomi yang dimiliki tiap kecamatan, (3) Mengetahui tingkat perkembangan ekonomi dan hirarki masingmasing kecamatan, (4) Mengetahui persepsi stakeholder terhadap prioritas pembangunan wilayah, dan (5) Mengkaji arahan kebijakan pengembangan wilayah Kota Sukabumi. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan kuisioner terhadap para responden/ stakeholder. Sedangkan data sekunder meliputi: (1) Data Potensi Desa (PODES) Tahun 2011; (2) Data PDRB; dan (3) Data Peta Administratif Wilayah. Data direncanakan diperoleh dari Bappeda Kota Sukabumi, Badan Pusat Statistik (BPS), dan dinas/badan/instansi terkait lainnya. Sementara metode analisis yang digunakan adalah Indeks Williamson dan Indeks Theil untuk mengetahu tingkat dan dekomposisi disparitas, LQ dan SSA untuk mengidentifikasi potensi sektor ekonomi, Entropi dan skalogram untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah, AHP untuk mengetahui prioritas pengembangan wilayah dan metode deskriptif untuk menentukan arahan kebijakan pengembangan wilayah Kota Sukabumi. Berdasarkan hasil analisis disparitas wilayah ternyata terdapat kesenjangan wilayah di Kota Sukabumi pada tingkat sedang/ tidak merata. Bahkan dalam kurun waktu 2007 sampai 2011 tingkat disparitas di Kota Sukabumi mengalami kenaikan. Ini berarti bahwa pembangunan yang telah dilakukan selama ini belum efektif menciptakan pemerataan antar wilayah di Kota Sukabumi. Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu arahan pengembangan wilayah berdasarkan potensi sektor ekonomi dan tingkat perkembangan masing-masing wilayah. Berdasarkan hasil analisis LQ diketahui bahwa semua kecamatan di Kota Sukabumi memiliki sektor basis. Sementara berdasarkan analisis SSA diketahui bahwa Kota Sukabumi mengalami pertumbuhan yang cepat pada Sektor Konstruksi dan Bangunan, Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, serta Sektor Pengangkutan dan Komunikasi. Dengan analisis perkembangan wilayah diketahui

5 bahwa Kecamatan Baros, Kecamatan Cibeureum dan Kecamatan Lembursitu merupakan wilayah yang perlu diprioritaskan untuk dikembangkan karena ketiga wilayah tersebut merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan yang paling rendah dan kurang berkembang. Arahan kebijakan pengembangan wilayah Kota Sukabumi yang perlu dilakukan diantaranya pengembangan menurut tingkat perkembangan wilayah yang dibagi kedalam wilayah inti dan wilayah hinterland. Dimana kedua wilayah ini harus diarahkan pada interaksi yang saling menguntungkan sehingga mampu meningkatkan perkembangan antar wilayah di Kota Sukabumi. Sementara hasil sintesis analisis LQ dan SSA dipergunakan untuk menentukan potensi sektor ekonomi unggulan yang diarahkan pada pengembangan sektor pertanian agar pembangunan yang terjadi di Kota Sukabumi tetap menjaga adanya keseimbangan ekologis/ pembangunan berkelanjutan. Kata kunci: disparitas, pembangunan berkelanjutan, pengembangan wilayah, pertumbuhan ekonomi,

6 SUMMARY NOVIAR PAHLEVI. The Regional Development Study of Sukabumi City. Supervised by SETIA HADI and SOEKMANA SOMA. In regional development process, Sukabumi city is quite successful in increasing the rate of economic growth, but get problem in the distribution of development between sub-districts. Disparity of sub-districts allegedly due to the changed of administrative boundaries that the new districts which are joined recently have not similar development with the old districts. Disparity between regions can cause lagging or underdeveloped areas which if not properly handled through government policy, can cause various problems that can obstruct the development of the area itself. Therefore need a study and identification of the policy directives of regional development. It is important in the formulation of regional policies to create equitable development in order to develop Sukabumi City. Based on the issue formulation, the study aims to: (1) analyze the level and the decomposition of regional development disparities in Sukabumi City, (2) identify potential economic sectors in each sub-district in Sukabumi, (3) determine the level of economic development and their hierarchy in each subdistrict in Sukabumi, (4) Find out the stakeholder s perception on regional development priorities of Sukabumi, and (5) reviewing regional development policy directives in Sukabumi. Data used in this study are primary data and secondary data. The primary data obtained through interviews and questionnaires to the respondents/stakeholder, while secondary data include: (1) Potency of villages (PODES) in 2011, (2) GDP, and (3) Administrative of Region Map. Data obtained from Bappeda Sukabumi, the Central Statistics Agency (BPS), and other relevant department/agency/authorities. Analyzing methods used are the Williamson index and Theil index for decomposition and determines the level of disparity, LQ and SSA to identify potential sectors of the economy, Entropy and schallogram to determine the level of development of the region, the AHP to determine priorities for regional development and descriptive method to determine the regional development policy directives of Sukabumi. Based on the disparity analysis, there are regional disparities in Sukabumi at a medium level/uneven. Even, in the period 2007 to 2011 the level of disparity in Sukabumi has increased. This means that the development has been done so far has not been effectively create equity between regions in Sukabumi. To overcome this problem, it is necessary to arrange regional development directives based on the potential of economic sector and level of development of each region. Based on the analysis of LQ is note that each districts in Sukabumi has a basic sector. Based on the SSA analysis is note that Sukabumi has rapid growth in the Construction and Building Sector, Tradings, Hotels and Restaurants Sector, and Transportations and Communications Sector. With the regional development analysis is note that Baros, Cibeureum and Lembursitu districts are the area that need to be prioritized to be developed because these three regions have the lowest level of development and underdeveloped.

7 Directions of regional development policy of Sukabumi should be done according to the level of regional development which are divided into a node and its hinterland. Both of these two regions should be directed to the mutual interaction, which enhances the development between regions in Sukabumi. The results of the analysis and synthesis of LQ and SSA are used to determine the potential of leading economic sectors aimed to the development of the agricultural sector so that the development in Sukabumi maintaining a balance of ecological / sustainable development. Keywords: disparity, economic growth, regional development, sustainable development.

8 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

9 STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA SUKABUMI NOVIAR PAHLEVI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

10 Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc

11 Judul Tesis : Studi Pengembangan Wilayah Kota Sukabumi Nama : Noviar Pahlevi NIM : A Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr. Ir. Setia Hadi, MS Ketua Dr. Ir. Soekmana Soma, MSP, MEng Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Dekan Sekolah Pascasarjana Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian: 27 Desember 2013 Tanggal Lulus:

12 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2013 ini adalah Studi Pengembangan Wilayah Kota Sukabumi. Penelitian ini tidak terlepas dari peran dan dukungan berbagai pihak. Ucapan terima kasih penulis ucapkan sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Dr Ir Setia Hadi, MS dan Bapak Dr. Ir. Soekmana Soma, MSP, M.Eng selaku komisi pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberi arahan dan saran. 2. Pimpinan/staf Pusbindiklatren Bappenas yang telah memberikan kesempatan beasiswa dan Pemerintah Kota Sukabumi yang telah memberikan ijin pelaksanaan tugas belajar kepada penulis. 3. Segenap pengajar dan manajeman Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pasca Sarjana IPB yang telah memberikan ilmu, pengetahuan dan membantu penulis dalam pelaksanaan studi. 4. Orang-orang terkasih yaitu kedua orang tua, mertua, istriku tercinta Tria Selfiyanti, anakku tersayang Maheswari Indyra Pahlevi serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. 5. Rekan-rekan PWL 2012 dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas bantuan baik moril maupun materiil selama studi dan penulisan tesis ini. Akhirnya penulis berharap semoga karya ilmiah yang masih jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Bogor, Januari 2014 Noviar Pahlevi

13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 4 Tujuan Penelitian 5 Manfaat Penelitian 5 Kerangka Pemikiran 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 7 Konsep Pengembangan Wilayah 7 Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah 9 Potensi Sektor Ekonomi 11 Penelitian Sebelumnya Mengenai Pengembangan Wilayah 12 3 METODE 14 Lokasi dan Waktu Penelitian 14 Jenis dan Metode Pengumpulan Data 14 Bagan Alir Penelitian 16 Teknik Analisis Data 17 Analisis Kesenjangan Wilayah 17 Analisis Potensi Sektor Ekonomi 19 Analisis Tingkat Perkembangan Wilayah 20 Analisis Isu Utama Kebijakan Pengembangan Wilayah 23 4 KONDISI UMUM WILAYAH 25 Kondisi Fisik 25 Geografi dan Administrasi 25 Iklim dan Curah Hujan 27 Hidrologi 27 Topografi dan Kemiringan Lereng 28 Penggunaan Lahan 28 Kondisi Sosial 29 Penduduk 29 Tenaga kerja 30 Pendidikan 31 Kondisi Ekonomi 33 Keuangan Daerah 33 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) 33 vii vii viii

14 Pendapatan Perkapita 34 Pendapatan antar Wilayah 35 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 36 Disparitas Pembangunan Wilayah di Kota Sukabumi 36 Identifikasi Potensi Ekonomi Setiap Wilayah di Kota Sukabumi 41 Potensi Sektor Komparatif 41 Potensi Sektor Kompetitif 45 Tingkat Perkembangan antar Wilayah di Kota Sukabumi 48 Perkembangan Diversitas Aktifitas Perekonomian 48 Hirarki Wilayah 51 Prioritas Pembangunan Wilayah berdasarkan Persepsi Stakeholders di Kota Sukabumi 55 Arahan Kebijakan dalam Pengembangan Wilayah Kota Sukabumi 58 Arahan Pengembangan Wilayah Kelurahan 58 Prioritas Kecamatan dalam Pengembangan Wilayah Kota Sukabumi61 Pengembangan Potensi Ekonomi Kecamatan dan Pertanian Pangan Berkelanjutan 62 Pengembangan Sumber Daya Manusia 66 6 KESIMPULAN DAN SARAN 69 Kesimpulan 69 Saran 70 DAFTAR PUSTAKA 71 LAMPIRAN 75 RIWAYAT HIDUP 85

15 DAFTAR TABEL 1 Laju Pertumbuhan PDRB Kota Sukabumi Menurut Kelompok Sektor Tahun PDRB Kecamatan Atas Dasar Harga Konstan di Kota Sukabumi Tahun Jenis, Sumber, cara Pengumpulan dan Analisis Data 15 4 Penentuan Nilai Selang Hirarki 22 5 Rincian Data Calon Responden 23 6 Kecamatan dan Kelurahan dalam Wilayah administrasi Kota Sukabumi 26 7 Luas Tanah per Kecamatan dan Penggunaannya tahun 2011 (Ha) 28 8 Luas Lahan Kering/Bukan Sawah dan Penggunaannya tahun 2011 (Ha) 29 9 Jumlah Penduduk, Luas dan Kepadatan Kota Sukabumi, tahun Jumlah Penduduk menurut mata pencaharian tahun Jumlah Pelajar menurut jenjang pendidikan TA 2010/ Ringkasan Laporan Realisasi APBD Tahun Anggaran Struktur Ekonomi Kota Sukabumi menurut Kelompok Sektor Atas Dasar Harga Berlaku tahun (persen) Kontribusi PDRB Kecamatan tahun (persen) Indeks Williamson Kota Sukabumi pada tahun Indeks Theil Kota Sukabumi pada tahun Nilai LQ berdasarkan nilai PDRB kecamatan persektor di Kota Sukabumi Tahun Identifikasi sektor basis persektor di Kota Sukabumi tahun Hasil SSA berdasarkan Data PDRB per sektor di Kota Sukabumi tahun 2007 dan Hubungan antara nilai differential shift dengan nilai proportional shift Identifikasi sektor kompetitif di Kota Sukabumi tahun Indeks Entropi Kecamatan di Kota Sukabumi tahun Indeks Entropi per Sektor di Kota Sukabumi tahun Hirarki Wilayah Kecamatan berdasarkan Nilai IPK tahun Arahan pengembangan wilayah kelurahan 59 DAFTAR GAMBAR 1 Grafik PDRB Kecamatan tahun di Kota Sukabumi 4 2 Kerangka Pemikiran Penelitian 6 3 Bagan alir Penelitian 16 4 Struktur AHP 24 5 Peta Wilayah Administrasi Kota Sukabumi 25

16 6 Jumlah pencari kerja menurut tingkat pendidikan dan jenis kelamin pada tahun Persentase penduduk 10 tahun ke atas menurut ijasah tertinggi yang dimiliki 32 8 Perkembangan Indeks Williamson tahun di Kota Sukabumi 37 9 Perkembangan Indeks Williamson tahun di kawasan Kota Sukabumi Utara (Kota Lama) Dekomposisi Disparitas Wilayah tahun di Kota Sukabumi Peta wilayah berdasarkan identifikasi sektor basis di Kota Sukabumi Nilai Entropi per Kecamatan di Kota Sukabumi tahun Peta hirarki kecamatan di Kota Sukabumi tahun 2011 Beserta Kondisi Jalan yang Melintasinya Peta hirarki kelurahan di Kota Sukabumi tahun Komposisi jumlah kelurahan di tiap kecamatan berdasarkan hirarki wilayah tahun Persepsi Stakeholders dalam penentuan prioritas pembangunan wilayah Kota Sukabumi yang merata Persepsi Stakeholders dalam penentuan alternatif prioritas untuk pemerataan pembangunan infrastruktur antar wilayah Matriks Analisis berdasarkan nilai LQ dan Differential Shift pada SSA menurut Kecamatan di Kota Sukabumi 63 DAFTAR LAMPIRAN 1 Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2000 menurut Kab/ Kota di Provinisi Jawa Barat (Persen) 75 2 Hirarki Wilayah Kelurahan berdasarkan Nilai IPD tahun Analisis Indeks Theil Kota Sukabumi tahun Jenis data yang digunakan dalam Analisis Skalogram 79 5 Data asli fasilitas yang dipergunakan dalam penentuan hirarki wilayah kecamatan di Kota Sukabumi tahun Sintesis hasil analisis ekonomi 82 7 Sintesis hasil analisis perkembangan wilayah 83 8 Analisis AHP berdasarkan persepsi stakeholder 84

17 1 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang Proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya sistematis dan berkesinambungan untuk mencapai keadaan yang dapat memberikan beberapa alternatif bagi pencapaian aspirasi dan tujuan setiap warga negara yang humanistik (Rustiadi et al. 2011). Pembangunan harus mencerminkan perubahan dalam masyarakat, baik itu ekonomi, sosial, politik dan lain-lain. Pembangunan daerah merupakan bagian dari Pembangunan Nasional, akan tetapi arah pembangunan daerah harus disesuaikan dengan kepentingan daerah itu sendiri. Dalam Undang undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Pemerintah Daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten memiliki peranan yang penting dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Pembangunan daerah perlu diarahkan untuk mendorong wilayah agar tumbuh secara mandiri berdasarkan potensi sosial ekonomi dan karakteristik spesifik wilayah yang dimilikinya. Ada tiga sasaran pengembangan wilayah dalam kerangka pembangunan daerah yang dicanangkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memperluas kesempatan berusaha, serta menjaga pembangunan agar tetap berjalan secara berkesinambungan (sustainable development). Pendekatan pembangunan ini memang telah berhasil mempercepat perkembangan pusat pertumbuhan, namun tidak dapat diikuti oleh perkembangan wilayah hinterland. Pendekatan pembangunan yang selama ini lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi ternyata menimbulkan banyak masalah, karena cenderung mengabaikan kesenjangan-kesenjangan pembangunan antar wilayah. Investasi dan sumber daya lebih banyak terserap oleh perkotaan atau pusat pertumbuhan, sementara wilayah hinterland mengalami pengurasan sumber daya yang berlebihan sehingga menimbulkan kesenjangan pembangunan yang mengakibatkan proses perkembangan suatu wilayah tidak dapat berlangsung secara merata yang pada akhirnya menimbulkan disparitas atau ketimpangan pembangunan antar wilayah. Posisi geografis Kota Sukabumi yang berjarak ± 120 Km dengan Kota Jakarta sebagai ibu kota negara dan Kota Bandung sebagai ibu kota propinsi ± 90 Km, menjadikan Kota Sukabumi berada pada posisi strategis karena berada diantara pusat pertumbuhan megaurban Jabodetabek dan Bandung Raya. Posisi strategis tersebut telah mendorong tingginya investasi sektor tersier terutama di bidang perdagangan dan jasa yang berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Perekonomian Kota Sukabumi yang ditunjukan oleh Laju Pertumbuhan Ekonomi meningkat cukup signifikan di tahun 2011 yaitu sebesar 6,31% (Tabel 1), meskipun masih berada di bawah laju pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Barat yang tumbuh sebesar 6,48% (Lampiran1). Ini menunjukan bahwa Kota Sukabumi memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dan berada di peringkat ke 6 dari 26 kabupaten/ kota yang ada di Provinsi Jawa Barat.

18 2 Tabel 1 Laju Pertumbuhan PDRB Kota Sukabumi Menurut Kelompok Sektor Tahun Kelompok Sektor Tahun Atas Dasar Harga Berlaku (%) 1. Sektor Primer 3,79 19,05 9,56 13,14 7,5 2. Sektor Sekunder 15,04 19,66 15,3 18,04 10,92 3. Sektor Tersier 10,64 17,65 18,18 17,96 15,26 PDRB Kota Sukabumi 10,81 17,95 17,42 17,76 14,41 Atas Dasar Harga Konstan (%) 1. Sektor Primer 3,34 5,88-8,5 1,87 1,8 2. Sektor Sekunder 7,92 8 3,89 7,23 5,96 3. Sektor Tersier 6,49 5,83 7,28 6,13 6,65 PDRB Kota Sukabumi 6,51 6,11 6,14 6,12 6,31 Pada Tabel 1 memperlihatkan bahwa berdasarkan harga konstan pada tahun 2011, adanya kekuatan kelompok tersier yang mendominasi pertumbuhan tertinggi sebesar 6,65%, diikuti kelompok sekunder 5,96% dan yang terendah adalah sektor primer sebesar 1,8%. Kondisi tersebut mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi Kota Sukabumi sebesar 6,31%. Tingginya kontribusi sektor tersier menunjukan bahwa perkembangan wilayah Kota Sukabumi telah didominasi oleh aktifitas perdagangan, jasa dan pelayanan. Sesuai dengan kondisi obyektif yang terus berkembang, pertumbuhan kota mengarah kepada kegiatan perekonomian yang berbasis pada jasa meliputi perdagangan, perhotelan, perbankan, kesehatan, pendidikan dan pertanian. Hal inilah yang mendasari penetapan visi kedepan keberadaan Kota Sukabumi Terwujudnya Kota Sukabumi sebagai Pusat Pelayanan Berkualitas Bidang Pendidikan, Kesehatan dan Perdagangan di Jawa Barat Berlandaskan Iman dan Takwa yang kemudian ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kota Sukabumi No.7 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kota Sukabumi Pada proses pengembangan wilayah, Kota Sukabumi yang cukup berhasil meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi menghadapi masalah dalam hal pemerataan pembangunan antar kecamatan. Dimana masih adanya wilayahwilayah dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah dan ada wilayah yang maju dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Ketidakmerataan pembangunan antar kecamatan diduga karena adanya perubahan batas wilayah administratif dimana daerah yang baru bergabung tidak memiliki perkembangan yang sama dengan daerah lama. Kawasan Kota Sukabumi yang terletak di bagian selatan didominasi oleh wilayah hasil pemekaran yang berasal dari wilayah Kabupaten Sukabumi dan masih bercirikan daerah rural, sedangkan yang terletak di daerah utara sudah bercirikan urban. Berdasarkan PP No.3 Tahun 1995 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotamadya DT. II Sukabumi dan Kabupaten DT. II Sukabumi, terjadi perubahan/ perluasan wilayah Kota Sukabumi menjadi 48 Km 2. Sebagian wilayah Kabupaten

19 Sukabumi menjadi bagian wilayah administratif Kotamadya Sukabumi, sehingga Kotamadya Sukabumi mengalami perluasan wilayah administratif dan penambahan jumlah desa/ kelurahan. Pada tahun 2000 berdasarkan Perda No.15 tahun 2000 tentang pembentukan kecamatan dan kelurahan di Kota Sukabumi, ditetapkan perubahan wilayah adminstratif menjadi 7 (tujuh) kecamatan dan 33 (tigapuluh tiga) kelurahan. Pemekaran wilayah dan perubahan wilayah administrasi Kota Sukabumi tersebut berdampak terhadap pengembangan wilayah dan permasalahannya dalam hal pemerataan pembangunan antar kecamatan. Salah satu indikator untuk mengetahui terjadinya ketimpangan dalam pemerataan pembangunan antar kecamatan dapat dilihat dari kontribusi PDRB perkecamatan. Perkembangan PDRB setiap kecamatan di Kota Sukabumi diketahui memiliki perbedaan yang cukup besar (Tabel 2), dimana nilai PDRB kecamatan yang berada di bagian selatan jauh lebih kecil dibandingkan dengan PDRB kecamatan bagian utara. PDRB diyakini dapat memberikan Gambaran keberhasilan pembangunan wilayah melaui pertumbuhan ekonomi, struktur ekonomi, dan peranan sektor ekonomi yang diukur dari perbedaan PDRB tahun tertentu dengan tahun sebelumnya. Tabel 2 PDRB Kecamatan Atas Dasar Harga Konstan di Kota Sukabumi Tahun Kecamatan Tahun PDRB Kontribusi PDRB Kontribusi PDRB Kontribusi (juta rupiah) (%) (juta rupiah) (%) (juta rupiah) (%) Cikole ,84 26, ,00 27, ,63 27,10 Citamiang ,99 18, ,21 18, ,99 18,71 Gunungpuyuh ,74 14, ,24 14, ,47 14,80 Warudoyong ,94 21, ,66 21, ,20 21,35 Baros ,36 5, ,20 5, ,62 5,86 Cibeureum ,81 5, ,32 5, ,26 5,13 Lembursitu ,55 7, ,42 7, ,57 7,05 Jumlah ,23 100, ,05 100, ,74 100,00 Tabel tersebut menggambarkan bahwa kegiatan ekonomi di Kota Sukabumi terkonsentrasi di Kecamatan Cikole yang memberikan kontribusi ekonomi sebesar 28,36%, diikuti oleh kecamatan-kecamatan disekitarnya yang berada di kawasan Kota Sukabumi Utara dengan besarnya kontribusi diatas 14%. Sementara kecamatan-kecamatan lain yang berada di kawasan Kota Sukabumi Selatan hanya memberikan kontribusi yang besarnya tidak mencapai 8%. Besarnya perbedaan kontribusi PDRB kecamatan dapat terlihat jelas dengan grafik yang terdapat pada Gambar 1. Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa dari tahun 2007 hingga 2011 kawasan Kota Sukabumi Utara yang terdiri dari 4 kecamatan memiliki kontribusi yang jauh berbeda dengan kawasan Kota Sukabumi Selatan yang terdiri dari 3 kecamatan. Kondisi ini memperlihatkan adanya ketimpangan pembangunan ekonomi antar wilayah di Kota Sukabumi.

20 Cikole Citamiang Gunungpuyuh Warudoyong Baros Cibereum Lembursitu Gambar 1 Grafik PDRB Kecamatan tahun di Kota Sukabumi Menurut Rustiadi et al. (2011), ketidakmerataan pembangunan antar wilayah dapat menimbulkan urban bias yang mendorong percepatan urbanisasi dan pada akhirnya dapat menimbulkan biaya-biaya sosial yang tinggi dan berdampak pada tidak meratanya jumlah dan kepadatan penduduk. Proses migrasi akan terjadi sebagai respon dari masyarakat karena adanya ekpektasi meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bermigrasi. Hal ini disebabkan wilayah yang lebih maju akan menarik SDM dari wilayah lain, sehingga perkembangan daerah yang ditinggalkan menjadi tidak optimal. Perkembangan kawasan Kota Sukabumi Utara yang dilengkapi sarana dan prasarana dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik telah membuat kepadatan penduduk perkecamatan di wilayah ini memiliki tingkat kepadatan penduduk diatas rata-rata, sementara kawasan Kota Sukabumi Selatan tingkat kepadatan penduduknya masih dibawah rata-rata. Jika ditinjau dari Luas wilayah Kota Sukabumi yang hanya Ha atau 48 Km 2, dan Jumlah Penduduk pada tahun 2011 sebanyak jiwa, maka kepadatan penduduk rata-rata per Km 2 adalah 7.418,08 jiwa/km 2. Perumusan Masalah Ketimpangan pembangunan akan melahirkan beberapa masalah, diantaranya terjadi urbanisasi masyarakat dari wilayah yang tertinggal ke wilayah perkotaan, yang menambah permasalahan di pusat pertumbuhan sekaligus memperlemah daerah yang tertinggal. Wilayah hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumber daya (backwash), sementara nilai tambah mengalir dan terakumulasi di pusat-pusat pertumbuhan. Disparitas pembangunan antar wilayah ini dapat menyebabkan timbulnya daerah tertinggal atau terbelakang yang apabila tidak ditangani secara tepat melalui kebijakan pemerintah, dapat menimbulkan berbagai masalah yang dapat menghambat pembangunan wilayah itu sendiri. Oleh karenanya diperlukan kajian dan identifikasi mengenai arahan kebijakan

21 pengembangan wilayah. Hal ini penting pada perumusan kebijakan daerah untuk menciptakan pemerataan pembangunan dalam rangka pengembangan wilayah Kota Sukabumi. Dari beberapa uraian di atas, maka yang menjadi pertanyaan dan perlu dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Berapa besaran tingkat dan dekomposisi disparitas pembangunan antar wilayah? 2. Apa saja potensi sektor ekonomi yang dimiliki tiap kecamatan? 3. Bagaimana tingkat perkembangan ekonomi dan hirarki masing-masing kecamatan? 4. Bagaimana persepsi stakeholders terhadap prioritas pembangunan wilayah? 5. Apa arahan kebijakan yang tepat untuk pengembangan wilayah Kota Sukabumi? 5 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis tingkat dan dekomposisi disparitas pembangunan wilayah di Kota Sukabumi. 2. Mengidentifikasi potensi sektor ekonomi yang dimiliki tiap kecamatan di Kota Sukabumi. 3. Mengetahui tingkat perkembangan ekonomi dan hirarki masing-masing kecamatan di Kota Sukabumi. 4. Mengetahui persepsi stakeholder terhadap prioritas pembangunan wilayah di Kota Sukabumi 5. Mengkaji arahan kebijakan pengembangan wilayah Kota Sukabumi. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai: 1. Bahan informasi dan pemikiran bagi pemerintah daerah tentang arahan pengembangan wilayah Kota Skabumi. 2. Bahan masukan dalam perumusan kebijakan pembangunan daerah. 3. Bahan pembelajaran dan pengembangan perencanaan wilayah dengan isu sentralnya adalah pengembangan wilayah untuk mengatasi disparitas pembangunan antar wilayah. Kerangka Pemikiran Paradigma lama yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi dengan kebijakan pembangunan yang sentralistik pada dasarnya telah membuat pertumbuhan ekonomi di Kota Sukabumi secara agregat mengalami perkembangan yang cukup baik. Namun apakah keberhasilan ini juga telah mampu menciptakan pemerataan pembangunan diseluruh wilayah Kota Sukabumi yang mengalami pemekaran wilayah pada tahun 1995.

22 6 Kondisi eksisting di Kota Sukabumi berdasarkan kontribusi PDRB dan data Podes mengenai ketersediaan sarana prasarana antar wilayah dapat diketahui apakah program pengembangan wilayah telah berhasil menciptakan pemerataan pembangunan antar wilayah atau sebaliknya. Dengan analisis disparitas akan diketahui tingkat keberhasilan pengembangan wilayah Kota Sukabumi dalam mengatasi ketimpangan antar wilayah. Hal tersebut diperlukan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan/ efektifitas program pembangunan Kota Sukabumi yang telah dilakukan. Jika ternyata masih terdapat ketimpangan antar wilayah di Kota Sukabumi maka perlu diketahui wilayah-wilayah mana saja yang memiliki perkembangan ekonomi dan hirarki yang cukup baik dan mana yang kurang berkembang. Ini penting diketahui untuk menentukan prioritas wilayah untuk dikembangkan. Selain itu untuk pengembangan wilayah Kota Sukabumi perlu juga diperhatikan potensi-potensi sektor ekonomi yang dimiliki masing-masing wilayah dan persepsi stakeholder untuk menentukan arahan kebijakan yang tepat dalam menciptakan pembangunan Kota Sukabumi yang merata. Secara umum, kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2. PEMEKARAN WILAYAH PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA SUKABUMI KONDISI EKSISTING PARADIGMA LAMA PEMBANGUNAN Pertumbuhan Ekonomi Sentralistik DISPARITAS? Tidak Ya POTENSI SEKTOR EKONOMI TINGKAT PERKEMBANGAN WILAYAH PERSEPSI STAKEHOLDER ARAHAN PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA SUKABUMI Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian

23 7 2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi et al. (2011) wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumber daya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumber daya-sumber daya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Dalam Peraturan Daerah Kota Sukabumi No. 11 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Sukabumi tahun disebutkan bahwa Wilayah Kota adalah seluruh wilayah Kota Sukabumi yang meliputi ruang darat dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi berdasarkan ketentuan peraturan perundangan-undangan. Dalam proses pengembangannya, wilayah Kota Sukabumi diarahkan pada kawasan budi daya untuk mendorong pertumbuhan wilayah. Kawasan budi daya merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan. Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget et al., 1977 dalam Rustiadi et al., 2011) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: 1) wilayah homogen (uniform/homogenous region), 2) wilayah nodal (nodal region), dan 3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Sejalan dengan konsep wilayah nodal, maka suatu wilayah dipandang secara dikotomis (tebagi menjadi dua bagian), yaitu wilayah inti (pusat wilayah/ pertumbuhan) dan wilayah hinterland (daerah belakang) yang memiliki hubungan fungsional. Wilayah inti berfungsi sebagai: (1) tempat terkonsentrasinya penduduk (pemukiman); (2) pusat pelayanan terhadap daerah hinterland; (3) pasar bagi komoditas-komoditas pertanian maupun industri dan (4) lokasi pemusatan industri manufaktur. Sementara wilayah hinterland berfungsi sebagai: (1) pemasok (produsen) bahan mentah; (2) pemasok tenaga kerja; (3) daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur dan (4) penjaga keseimbangan ekologis. Pengembangan wilayah merupakan program menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan memperhitungkan sumber daya yang ada dan memberikan kontribusi pada pembangunan suatu wilayah. Konsep pengembangan wilayah adalah suatu upaya dalam mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya dengan penyeimbangan dan penyerasian pembangunan antar daerah, antar sektor serta pelaku pembangunan dalam mewujudkan tujuan pembangunan daerah. Strategi pengembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh karakteristik dan potensi yang terdapat di wilayah tersebut. Oleh karena itu, sebelum melakukan suatu perumusan tentang kebijakan yang akan dilaksanakan perlu untuk

24 8 mengetahui tipe/jenis kebijakan yang tepat dilakukan dalam pengembangan wilayah. Menurut Anwar (2005) dalam suatu wilayah akan terdapat beberapa macam karakteristik wilayah yaitu: 1. Wilayah maju 2. Wilayah sedang berkembang 3. Wilayah belum berkembang, dan 4. Wilayah tidak berkembang Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya dicirikan sebagai pusat pertumbuhan. Di wilayah ini terdapat pemusatan penduduk, industri, pemerintahan dan sekaligus pasar yang potensial. Wilayah yang sedang berkembang biasanya dicirikan oleh pertumbuhan yang cepat dan biasanya merupakan wilayah penyangga dari wilayah maju, karena itu mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju, juga dicirikan oleh potensi sumber daya alam yang tinggi, pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi, namun belum terjadi kesesakan dan tekanan biaya sosial. Sedangkan wilayah yang belum berkembang tingkat pertumbuhannya masih rendah baik secara absolut, maupun secara relatif, namun memiliki potensi sumber daya alam yang belum dikelola atau dimanfaatkan, tingkat kepadatan penduduk yang masih rendah, pendapatan dan pendidikan yang juga relatif rendah. Wilayah yang tidak berkembang dicirikan oleh dua hal yaitu : (a) wilayah tersebut memang tidak memiliki potensi baik potensi sumber daya alam maupun potensi lokasi, sehingga secara alamiah sulit sekali berkembang dan mengalami pertumbuhan dan (b) wilayah tersebut sebenarnya memiliki potensi, baik sumber daya alam atau lokasi maupun memiliki keduanya, tetapi tidak dapat berkembang dan bertumbuh karena tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah lain. Setelah tipe/ jenis wilayah diketahui, maka dapat dirumuskan kebijakan yang tepat dalam kerangka pengembangan wilayah. Salah satu aspek dalam pengembangan wilayah yang perlu diperhatikan adalah kegiatan perencanaan wilayah. Menurut Tarigan (2008) perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah dan perencanaan kegiatan pada ruang wilayah tersebut. Perencanaan penggunaan ruang wilayah diatur dalam bentuk perencanaan tata ruang wilayah, sedangkan perencanaan kegiatan dalam wilayah diatur dalam perencanaan pembangunan wilayah. Salah satu pendekatan dalam perencanaan pembangunan menurut Tarigan (2008) adalah pendekatan sektoral. Pendekatan sektoral dilakukan dengan mengelompokkan kegiatan pembangunan kedalam sektor-sektor, selanjutnya masing-masing sektor dianalisis satu persatu untuk menetapkan apa yang dapat dikembangkan atau ditingkatkan dari sektor-sektor tersebut guna mengembangkan wilayah. Alkadri et al. (2001) mengatakan bahwa pengembangan wilayah pada umumnya mencakup berbagai dimensi pembangunan yang dilaksanakan secara bertahap. Pada tahap awal, kegiatan pengembangan wilayah biasanya ditekankan pada pembangunan fisik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, kemudian diikuti dengan pembangunan sistem sosial dan politik. Namun begitu, tahapan ini bukanlah merupakan suatu ketentuan yang baku, karena setiap wilayah mempunyai potensi pertumbuhan yang berbeda dengan wilayah lain. Potensi sumber daya alam, kondisi sosial, budaya, ekonomi masyarakat, ketersediaan infrastruktur dan lain-lain sangat berpengaruh pada penerapan konsep pengembangan wilayah yang digunakan.

25 9 Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah Pendekatan pembangunan daerah yang selama ini dilaksanakan, terlalu menekankan pada batas-batas administratif yang sering tidak mengakomodasikan keragaman potensi, permasalahan dan keterkaitan antar daerah. Wilayah-wilayah yang memerlukan penanganan atau intervensi pemerintah untuk dapat dikembangkan meliputi kawasan yang sangat luas, sementara sumber daya yang dimiliki untuk mengelolanya relatif terbatas. Pembangunan berbasis pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan antar sektor, spasial, serta pelaku pembangunan di dalam maupun antar daerah, sehingga tujuan dari pembangunan berupa pertumbuhan (growth), pemerataan (equity), dan keberlanjutan (sustainability) dapat dicapai. Namun demikian pembangunan wilayah yang dilaksanakan seringkali dihadapkan pada pilihan yang bersifat trade off sehingga salah satu dari ketiga tujuan tersebut tidak dapat dicapai. Pembangunan yang dilaksanakan seringkali tidak bisa merata baik antar sektor maupun antar wilayah sehingga menyebabkan terjadinya kesenjangan pembangunan atau disparitas pembangunan antar wilayah. Menurut Chaniago et al. (2000) kesenjangan diartikan sebagai suatu kondisi yang tidak seimbang atau ketidakberimbangan atau ketidaksimetrisan. Dihubungkan dengan pembangunan sektoral atau wilayah, kesenjangan pembangunan adalah suatu kondisi ketidakberimbangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah yang ditunjukkan oleh perbedaan pertumbuhan antar wilayah. Kesenjangan pertumbuhan antar wilayah tergantung pada perkembangan struktur sektor-sektor ekonomi dan struktur wilayah (perkembangan sarana dan prasarana sosial-ekonomi, seperti sarana pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi, sanitasi dan lain-lain). Kesenjangan pembangunan yang terjadi dapat menyebabkan munculnya berbagai permasalahan baik masalah sosial, politik, ekonomi dan lingkungan. Penyebab dari kesenjangan pembangunan antar wilayah sebagaimana diungkapkan Rustiadi et al. (2011) antara lain : 1) Faktor Geografis Suatu wilayah atau daerah yang sangat luas akan terjadi variasi pada keadaan fisik alam berupa topografi, iklim, curah hujan, sumber daya mineral dan variasi spasial lainnya. Apabila faktor-faktor lainnya sama, maka wilayah dengan kondisi geografis yang lebih baik akan berkembang dengan lebih baik. 2) Faktor Historis Perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah tergantung dari kegiatan atau budaya hidup yang telah dilakukan masa lalu. Bentuk kelembagaan atau budaya dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja. Wilayah yang memiliki sejarah kelembagaan dan kehidupan perekonomian yang maju akan berkembang lebih baik. 3) Faktor Politis Tidak stabilnya suhu politik sangat mempengaruhi perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Instabilitas politik akan menyebabkan orang ragu untuk berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi di suatu wilayah tidak akan berkembang, bahkan terjadi pelarian modal ke luar

26 10 wilayah, untuk diinvestasikan ke wilayah yang lebih stabil. Wilayah dengan stabilitas politik yang terjaga akan berkembang lebih baik. 4) Faktor Kebijakan Terjadinya kesenjangan antar wilayah bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua sektor, dan lebih menekan pertumbuhan dan membangun pusat-pusat pembangunan di wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antar daerah. Menurut Lessmann (2006) negara dengan tingkat desentralisasi fiskal yang tinggi memiliki kesenjangan wilayah yang rendah. Kewenangan dan otonomi lokal terhadap kapasitas fiskal wilayah yang besar akan dapat mengurangi kesenjangan. 5) Faktor Administratif Kesenjangan wilayah dapat terjadi karena perbedaan kemampuan pengelolaan administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju. Wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang jujur, terpelajar, terlatih, dengan sistem administrasi yang efisien. 6) Faktor Sosial Masyarakat yang tertinggal cenderung memiliki kepercayaan-kepercayaan yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung konservatif dan menghambat perkembangan ekonomi. Sebaliknya masyarakat yang relatif maju umumnya memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang. Perbedaan ini merupakan salah satu penyebab kesenjangan wilayah. 7) Faktor Ekonomi Faktor ekonomi yang menyebabkan kesenjangan antar wilayah yaitu a) Perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti: lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan; b) Terkait akumulasi dari berbagai faktor. Salah satunya lingkaran kemiskinan, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, standar hidup rendah, efisiensi yang rendah pengangguran meningkat. Sebaliknya diwilayah yang maju, masyarakat maju, standar hidup tinggi, pendapatan semakin tinggi, tabungan semakin banyak yang pada akhirnya masyarakat semakin maju; c) Kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi seperti tenaga kerja, modal, perusahaan dan aktifitas ekonomi seperti industri, perdagangan, perbankan, dan asuransi yang dalam ekonomi maju memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkosentrasi di wilayah maju. Myrdal (1957) mengatakan bahwa sistem kapitalis yang menekankan kepada tingkat keuntungan bagi suatu wilayah yang memberikan harapan tingkat keuntungan tinggi akan berkembang menjadi pusat-pusat perkembangan kesejahteraan. Di sisi lain, wilayah-wilayah dengan harapan tingkat keuntungan yang rendah tidak akan berkembang sehingga terjadi kesenjangan. Teori efek polarisasi menjelaskan kesenjangan antar wilayah yang meningkat karena berpindahnya faktor produksi dari wilayah yang terbelakang ke wilayah yang lebih maju (backwash effect).

27 11 Potensi Sektor Ekonomi Di Indonesia pembangunan ekonomi secara umum dibagi kedalam sembilan sektor dan untuk mengembangkan semua sektor tesebut secara bersamaan, diperlukan investasi yang sangat besar. Jika modal (investasi) tidak cukup, maka perlu ada penetapan prioritas pembangunan. Biasanya sektor yang mendapat prioritas tersebut adalah sektor unggulan yang diharapkan dapat mendorong (push factor) sektor-sektor lain untuk berkembang menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayah (Rustiadi et al. 2011). Secara garis besar, menurut Rustiadi et al. (2011); Widodo (2006); Tarigan (2005), sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu sektor basis (leading sector) dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya industri basis ini akan menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah/daerah. Sedangkan sektor non-basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar di daerahnya sendiri dan kapasitas ekspor daerah belum berkembang. Rustiadi et al. (2011), lebih lanjut mengatakan bahwa pembangunan terhadap sektor basis (leading sector) didasarkan pada dua kerangka konseptual pembangunan wilayah yang dipergunakan secara luas. Pertama, konsep basis ekonomi; konsep ini terutama dipengaruhi oleh kepemilikan masa depan terhadap pembangunan daerah (dalam konteks nasional adalah merkantilisme). Teori basis ekonomi beranggapan bahwa permintaan terhadap input hanya dapat meningkat melalui perluasan permintaan terhadap output yang diproduksi oleh sektor basis (ekspor) dan sektor non basis (lokal). Permintaan terhadap produksi sektor lokal hanya dapat meningkat bila pendapatan lokal meningkat. Tetapi peningkatan pendapatan ini hanya terjadi bila sektor basis (ekspor) meningkat. Oleh karena itu, menurut teori basis ekonomi, ekspor daerah merupakan faktor penentu dalam pembangunan ekonomi. Kedua, konsep beranggapan bahwa perbedaan tingkat imbalan (rate of return) adalah lebih dibawakan oleh perbedaan dalam lingkungan dari atau prasarana, dari pada ketidakseimbangan rasio modal-tenaga. Dalam kerangka pemikiran ini, daerah terbelakang bukan karena tidak beruntung atau karena kegagalan pasar, tetapi karena produktifitasnya yang rendah. Oleh karena itu investasi dalam prasarana adalah penting sebagai sarana pembangunan daerah. Namun demikian, tidak seperti pendekatan basis ekonomi, tidak banyak terdapat studi empirik dengan menggunakan konsep kedua ini. Hal ini disebabkan karena kelangkaan data (terutama mengenai stok barang modal). Metode LQ (location quontient) dan SSA (shift share analysis) merupakan dua metode yang sering dipakai sebagai indikator sektor ekonomi unggulan. Untuk mengetahui potensi aktifitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis dan bukan basis dapat digunakan metode LQ, yang merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Asumsi dalam LQ adalah terdapat sedikit variasi dalam pola pengeluaran secara geografi dan produktifitas tenaga kerja seragam serta masingmasing industri menghasilkan produk atau jasa yang seragam.

28 12 Berbagai dasar ukuran pemakaian LQ harus harus disesuaikan dengan kepentingan penelitian dan sumber data yang tersedia. Jika penelitian dimaksudkan untuk mencari sektor yang kegiatan ekonominya dapat memberikan kesempatan kerja sebanyak-banyaknya maka yang dipakai sebagai dasar ukuran adalah jumlah tenaga kerja sedangkan bila keperluannya untuk menaikan pendapatan daerah, maka pendapatan merupakan dasar ukuran yang tepat dan bila hasil produksi maka jumlah hasil produksi yang dipilih. LQ juga menunjukan efisiensi relatif wilayah, serta terfokus pada subtitusi impor yang potensial atau produk dengan potensi ekspansi ekspor. Hal ini akan memberikan Gambaran tentang industri mana yang terkonsentrasi dan industri mana yang tersebar (Rustiadi et al. 2011; Bendavil-Val, 1991). Secara operasional, LQ didefinisikan sebagai rasio persentase dari total aktifitas sub wilayah ke-i terhadap persentase aktifitas wilayah yang diamati. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah : (1) kondisi geografis relatif homogen; (2) pola-pola aktifitas bersifat seragam, dan; (3) setiap aktifitas menghasilkan produk yang sama. Shift Share Analysis (SSA) merupakan salah satu dari sekian bayak teknik analisis untuk memahami pergeseran struktur aktifitas di suatu lokasi tertentu, dibandingkan dengan suatu referensi cakupan wilayah yang lebih luas dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur aktifitas dari hasil SSA juga menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktifitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktifitas dalam cakupan wilayah yang lebih luas. SSA mampu memberikan Gambaran sebab-sebab terjadinya pertumbuhan suatu aktifitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang dimaksud dibagi kedalam tiga bagian yaitu sebab yang berasal dari dinamika lokal (sub wilayah), sebab dari dinamika aktifitas atau sektor total wilayah dan sebab dari dinamika wilayah secara umum. Hasil SSA juga mampu menjelaskan kinerja (performance) suatu aktifitas di suatu sub wilayah dan membandingkannya dengan kinerjanya di dalam wilayah total. Gambaran kinerja tersebut dapat dijelaskan dari tiga (3) komponen hasil analisis, yaitu : (a) komponen laju pertumbuhan total (regional share) yang merupakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukan dinamika total wilayah; (b) komponen pergeseran proposional (proportional shift) yang merupakan pertumbuhan total aktifitas tertentu secara relatif dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukan dinamika sektor/aktifitas total dalam wilayah; (c) komponen pergeseran diferensial (differential shift) yang menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktifitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktifitas tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika keunggulan atau ketidakunggulan suatu sektor/aktifitas tertentu di subwilayah tertentu terhadap aktifitas tersebut di subwilayah lain. Penelitian Sebelumnya Mengenai Pengembangan Wilayah Myrdal (1957) melakukan penelitian tentang sistem kapitalis yang menekankan kepada tingkat keuntungan bagi suatu wilayah yang memberikan harapan tingkat keuntungan tinggi akan berkembang menjadi pusat-pusat perkembangan kesejahteraan. Di sisi lain, wilayah-wilayah dengan harapan

29 tingkat keuntungan yang rendah tidak akan berkembang sehingga terjadi kesenjangan. Teori efek polarisasi menjelaskan kesenjangan antarwilayah yang meningkat karena berpindahnya faktor produksi dari wilayah yang terbelakang ke wilayah yang lebih maju. Sebaliknya terdapat teori yang menjelaskan proses yang berlawan arah, yaitu teori efek penetesan yang menjelaskan penyebaran faktor produksi dari suatu wilayah yang telah maju ke wilayah yang belum maju karena di wilayah yang telah maju terjadi eksternalitas negatif yang makin besar. Pembangunan wilayah pada kenyataannya menimbulkan permasalahan yang tidak dapat dihindari, terjadinya ketimpangan/ ketidakmerataan pembangunan antar wilayah merupakan salah satu masalah serius bagi pemerintah. Kesenjangan wilayah di Indonesia merupakan kasus yang hingga saat ini belum terlihat secara maksimal penyelesaiannya. Kebijakan pembangunan di beberapa daerah di Indonesia dalam perkembangannya telah terjadi polarasi pembangunan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan Kawasan Barat Indonesia (KBI). Williamson (1966) melakukan penelitian tentang disparitas antar wilayah di dalam Negara dengan menghubungkan disparitas pendapatan rata-rata antar wilayah dengan berbagai faktor termasuk tingkat urbanisasi suatu wilayah. Disamping pola dan faktor penentu disparitas, Williamson juga mengamati proses terjadinya disparitas. Situmorang (2011) dalam penelitiannya melihat perkembangan wilayah Kota Depok berdasarkan penentuan prioritas pembangunan dan tingkat perkembangan kecamatan-kecamatannya. Gumilar (2009) juga melakukan hal yang sama dengan memfokuskan penelitiannya terhadap penentuan sektor basis yang potensial di wilayah pengembangan Garut Selatan, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Sementara metode analisis lain yaitu indeks Theil dipergunakan oleh Akita dan Alisjahbana (2002) dalam penelitiannya mengukur disparitas antar wilayah di Indonesia. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa selama periode tahun , terjadi peningkatan disparitas pendapatan regional yang cukup signifikan dari 0,262 menjadi 0,287 dimana sumber disparitas yang paling besar disumbangkan di dalam provinsi (sekitar 50%). Sedangkan pada tahun 1998, indeks Theil mengalami penurunan, dimana 75% dari penurunan tersebut disebabkan karena menurunnya disparitas antar provinsi. 13

30 14 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di wilayah Kota Sukabumi yang merupakan wilayah yang berada di Provinsi Jawa Barat dengan letak titik koordinat pada Bujur Timur dan Bujur Timur, Lintang Selatan dan Lintang Selatan. Dengan batas-batas wilayah seluruhnya berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sukabumi, memiliki luas wilayah 48 Km 2 atau ha, dan jumlah penduduk pada tahun 2011 sebanyak jiwa Lokasi penelitian meliputi seluruh wilayah yang ada di Kota Sukabumi yaitu (1) Kecamatan Cikole, (2) Kecamatan Citamiang, (3) Kecamatan Gunungpuyuh, (4) Kecamatan Warudoyong, (5) Kecamatan Baros, (6) Kecamatan Cibeureum dan (7) Kecamatan Lembursitu. Waktu yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah selama 7 bulan, yaitu dari bulan Mei sampai dengan bulan November Jenis dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa data langsung dari narasumber yang ditentukan berdasarkan keterwakilannya yang memiliki pemahaman yang baik tentang perkembangan pembangunan di Kota Sukabumi. Metode yang dilakukan adalah dengan wawancara dan kuisioner sehingga diperoleh informasi prioritas pengembangan wilayah Kota Sukabumi menurut para responden/stakeholder. Data sekunder berupa data maupun informasi yang dikumpulkan melalui kutipan pustaka dari instansi terkait atau dari berbagai sumber lainnya, seperti publikasi data-data statistik oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Peraturan Daerah/ dokumendokumen perencanaan oleh Pemerintah Kota Sukabumi dan sumber lainnya yang memiliki relevansi dengan topik penelitian. Data sekunder tersebut meliputi: (1) Data Potensi Desa (PODES) Tahun 2011; (2) Data PDRB; dan (3) Data Peta Administratif Wilayah. Data direncanakan diperoleh dari Bappeda Kota Sukabumi, Badan Pusat Statistik (BPS), dan dinas/badan/instansi terkait lainnya Alat analisis yang digunakan adalah software pengolah data (Microsoft Excell) dan software pengolah peta (ArcGIS). Jenis data, sumber data, teknik analisis dan keluaran yang diharapkan untuk masing-masing tujuan penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.

31 15 Tabel 3 Jenis, Sumber, cara Pengumpulan dan Analisis Data Tujuan Jenis Data Sumber Data Teknik Analisis Output 1 Menganalisis tingkat dan dekomposisi disparitas pembangunan wilayah di Kota Sukabumi Mengetahui tingkat/besaran disparitas di Kota PDRB BPS (Sekunder) Indeks Indeks disparitas di Kota Sukabumi Sukabumi Wiliamson Mengetahui dekomposisi disparitas antar wilayah PDRB BPS (Sekunder) Indeks Theil Dekomposisi sumber disparitas wilayah 2 Mengidentifikasi potensi sektor ekonomi yang dimiliki tiap kecamatan di Kota Sukabumi Identifikasi potensi sektor komparatif/ basis PDRB BPS (Sekunder) LQ Informasi sektor komparataif/ basis Identifikasi potensi sektor kompetitif/ pertumbuhan sektoral PDRB BPS (Sekunder) SSA Informasi sektor kompetitif/ pertumbuhan sektoral 3 Menganalisis tingkat perkembangan ekonomi dan hirarki tiap kecamatan di Kota Sukabumi Mengetahui perkembangan ekonomi wilayah kecamatan PDRB BPS (Sekunder) Entropi Informasi diversitas/ tingkat perkembangan ekonomi wilayah Mengetahui tingkat perkembangan/ hirarki wilayah Podes BPS (Sekunder) Skalogram Informasi tingkat perkembangan/ hirarki wilayah 4 Mengetahui persepsi stakeholder Mengetahui prioritas pembangunan wilayah Wawancara (quisioner) Responden (primer) A H P Informasi prioritas pembangunan wilayah 5 Mengkaji arahan kebijakan pengembangan wilayah di Kota Sukabumi Melakukan kajian arahan kebijakan pengembangan wilayah Sintesis hasil analis sebelumnya Primer & Sekunder Deskriptif Arahan kebijakan pengembangan wilayah (kelurahan dan Kecamatan) di Kota Sukabumi 15

32 16 Bagan Alir Penelitian Alur proses dan dan analisis-analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini disajikan oleh Gambar 3. PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA SUKABUMI KONDISI EKSISTING INFRASTRUKTUR WILAYAH (Podes) PERTUMBUHAN EKONOMI (PDRB) Tidak DISPARITAS? (Indeks Williamson, Indeks Theil, Deskriptif) POTENSI SEKTOR KOMPARATIF LQ POTENSI SEKTOR KOMPETITIF SSA IDENTIFIKASI POTENSI SEKTOR EKONOMI PERSEPSI STAKEHOLDER A H P Ya IDENTIFIKASI PERKEMBANGAN WILAYAH HIRARKI WILAYAH Skalogram DIVERSITAS AKTIFITAS EKONOMI Entropi ARAHAN PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA SUKABUMI Gambar 3 Bagan alir Penelitian Langkah awal dalam penelitian ini adalah melihat sejauh mana tingkat keberhasilan pembangunan di Kota Sukabumi yang dilihat dari sisi disparitas antar wilayah kecamatan. Analisis indeks Williamsons dipergunakan untuk mengetahui besaran tingkat ketimpangan suatu wilayah berdasarkan data PDRB. Sementara indeks Theil digunakan untuk melihat dekomposisi disparitas. Setelah ditemukan adanya disparitas, ditetapkan langkah-langkah yang harus dilakukan sebagai arahan pengembangan wilayah, diantaranya Identifikasi potensi sektor ekonomi yang terdiri dari potensi sektor komparatif dan sektor kompetitif yang dapat dikembangkan masing-masing kecamatan. Analisis menggunakan LQ diharapkan dapat menentukan sektor-sektor yang komparatif dari masing-masing wilayah kecamatan, sementara analisis dengan SSA dimaksudkan untuk melihat sektor yang kompetitif dari tiap kecamatan di Kota Sukabumi. Analisis entropi dan skalogram dipergunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah. Dengan analisis skalogram akan

33 diketahui tingkatan hirarki perkembangan wilayah, dilihat dari data sarana dan prasarana yang ada pada data Podes Kota Sukabumi. Indeks entropi dipergunakan untuk mengetahui tingkat perkembangan ekonomi wilayah berdasarkan keragaman aktifitas ekonomi yang dimiliki oleh tiap wilayah kecamatan. Persepsi aparatur dari berbagai responden dalam menanggapi kebijakan pemerintah perlu diketahui melalui pengumpulan data primer berupa wawancara. Hal ini dilakukan untuk mengetahui isu yang mengemuka sebagai suatu prioritas kebijakan pembangunan wilayah dan kaitannya dengan mengurangi tingkat kesenjangan dalam rangka pengembangan wilayah. Analisis yang dipergunakan adalah metode Analytical Hierarchy Process (AHP) agar dapat mengethaui prioritas utama yang perlu dilakukan dalam kebijakan pengembangan wilayah Kota Sukabumi. Hasil dari analisis-analisis diatas disintesiskan untuk mendapatkan arahan kebijakan yang tepat dalam rangka pengembangan wilayah Kota Sukabumi. 17 Teknik Analisis Data Penelitian ini akan menganalisis data menggunakan beberapa metode analisis diantaranya Indeks Williamson & Theil, Regresi Berganda, Analisa Deskriptif, LQ & SSA, Entropi, Skalogram, dan AHP. Adapun bagan alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. Analisis Kesenjangan Wilayah Untuk melihat tingkat disparitas wilayah digunakan indeks Wiliamson dan untuk mendekompisisi disparitas wilayah digunakan Indeks Theill. Indeks Williamson Indeks Williamson merupakan salah satu indeks yang paling sering digunakan untuk melihat disparitas antar wilayah secara horisontal. Williamson pada tahun 1975 mengembangkan indeks kesenjangan wilayah yang diformulasikan sebagai berikut (Rustiadi et al., 2011): dimana: = Indeks kesenjangan Williamson (Iw) = PDRB per kapita wilayah kecamatan ke-i = Rata-rata PDRB per kapita Kota Sukabumi =, dimana fi jumlah penduduk kecamatan ke-i dan n adalah total penduduk Kota Sukabumi = kecamatan yang ada di Kota Sukabumi Indeks kesenjangan Williamson akan menghasilkan nilai yang lebih besar atau sama dengan nol. Jika maka akan dihasilkan indeks = 0, yang berarti tidak ada kesenjangan ekonomi antar daerah. Indeks lebih besar dari 0 menunjukkan adanya kesenjangan ekonomi antar wilayah. Semakin besar indeks yang dihasilkan semakin besar tingkat kesenjangan antar kecamatan di suatu kabupaten/ kota.

34 18 Kriteria nilai Iw adalah 0 sampai dengan 1. Apabila nilai: = 0: kesenjangan sangat rendah (merata sempurna); 0,3 : Kesenjangan rendah. = 0,3 0,5 : Kesenjangan sedang; = 0,5-1 : Kesenjangan sangat tinggi (tidak merata sempurna); Indeks Theil Selain indeks Wiliamson, untuk mendekomposisi total disparitas menjadi kontribusi disparitas oleh wilayah kecamatan atau untuk melihat kontribusi disparitas oleh sektor perekonomian (disparitas parsial), Fujita dan Hu (2001) menggunakan Indeks Theil yang dijelaskan dengan persamaan : ( ) dimana : = Total Disparitas (Indeks Theil) = PDRB kecamatan i/ PDRB Kota Sukabumi = Penduduk kecamatan i/ penduduk kabupaten/kota atau jumlah tenaga kerja sektor ke-i/ jumlah tenaga kerja sektor ke-i kabupaten/ kota. = kecamatan di Kota Sukabumi Selain itu, untuk mendekomposisi total disparitas wilayah menjadi disparitas antar kawasan atau disparitas antar kecamatan dalam kawasan di Kota Sukabumi, dengan menggunakan persamaan: ( ) ( ) dimana : = disparitas antar kawasan = Jumlah PDRB antar kecamatan dalam kawasan = disparitas antar kecamatan dalam kawasan Indeks Theil yang semakin besar menunjukkan ketimpangan yang semakin besar pula, demikian sebaliknya, bila indeks semakin kecil, maka ketimpangan akan semakin rendah/kecil atau dengan kata lain semakin merata.

35 19 Analisis Potensi Sektor Ekonomi Penetapan potensi sektor ekonomi tiap kecamatan di wilayah Kota Sukabumi didasarkan pada kemampuan sektor untuk berpotensi kompetitif dan komparatif sebagai berikut : 1. Nilai Location Quotient (LQ) : Suatu sektor dikatakan berpotensi komparatif apabila memiliki nilai LQ > 1 artinya sektor tersebut merupakan sektor basis. 2. Nilai differential shift : Suatu sektor dikatakan berpotensi kompetitif apabila memiliki nilai differential shift > 0, artinya sektor tersebut mengalami pertumbuhan yang cepat dan memiliki kemampuan untuk berkompetisi dalam wilayah yang lebih besar. Location Quotient (LQ) Location Quotient (LQ) merupakan metode analisis yang digunakan untuk menunjukkan lokasi pemusatan/basis (aktifitas). Disamping itu, LQ juga bisa digunakan untuk mengetahui kapasitas ekspor perekonomian suatu wilayah serta tingkat kecukupan barang/jasa dari produksi lokal suatu wilayah. Location Quotient merupakan suatu indeks untuk membandingkan pangsa sub wilayah dalam aktifitas tertentu dengan pangsa total aktifitas tersebut dalam total aktifitas wilayah. Secara lebih operasional, LQ didefinisikan sebagai rasio persentase dari total aktifitas pada sub wilayah ke-i terhadap persentase aktifitas total terhadap wilayah yang diamati. Persamaan dari LQ ini adalah : Dimana: : derajat aktifitas sektor ke-j di wilayah ke-i. : total aktifitas sektor di wilayah ke-i : total aktifitas sektor ke-j di semua wilayah : derajat aktifitas sektor total wilayah Hasil analisis LQ diinterpretasikan sebagai berikut : Jika nilai > 1, maka hal ini menunjukkan terjadinya konsentrasi suatu aktifitas di sub wilayah ke-i secara relatif dibandingkan dengan total wilayah atau terjadi pemusatan aktifitas di sub wilayah ke-i. Jika nilai = 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai pangsa aktifitas setara dengan pangsa total atau konsentrasai aktifitas di wilayah ke-i sama dengan rata-rata total wilayah. Jika nilai < 1, maka sub wilayah ke-i tersebut mempunyai pangsa relatif lebih kecil dibandingkan dengan aktifitas yang secara umum ditemukan diseluruh wilayah. Shift-share analysis (SSA) Shift-share analysis digunakan untuk memahami pergeseran struktur aktifitas di suatu lokasi tertentu dibandingkan dengan suatu referensi (dengan cakupan wilayah lebih luas) dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur aktifitas dari hasil analisis shift-share juga menjelaskan

36 20 kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktifitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktifitas dalam cakupan wilayah lebih luas. Hasil analisis shift-share menjelaskan kinerja (performance) suatu aktifitas di suatu sub wilayah dan membandingkannya dengan kinerjanya di dalam wilayah total. Analisis shift-share mampu memberikan Gambaran sebab-sebab terjadinya pertumbuhan suatu aktifitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang dimaksud dibagi menjadi tiga bagian yaitu : sebab yang berasal dari dinamika lokal (sub wilayah), sebab dari dinamika aktifitas/sektor (total wilayah) dan sebab dari dinamika wilayah secara umum. Dari hasil analisis shift share diperoleh Gambaran kinerja aktifitas di suatu wilayah. Gambaran kinerja ini dapat dijelaskan dari 3 komponen hasil analisis, yaitu : 1. Komponen Laju Pertumbuhan Total (Komponen share). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah. 2. Komponen Pergeseran Proporsional (Komponen proportional shift). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total aktifitas tertentu secara relatif, dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor/aktifitas total dalam wilayah. 3. Komponen Pergeseran Diferensial (Komponen differential shift). Ukuran ini menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi (competitiveness) suatu aktifitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktifitas tersebut dalam suatu wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika (keunggulan/ ketakunggulan) suatu sektor/aktifitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktifitas tersebut di sub wilayah lain. Persamaan analisis shift-share ini adalah sebagai berikut : * + * + * + dimana : a = komponen share b = komponen proportional shift c = komponen differential shift = titik tahun akhir = titik tahun awal i = aktifitas sektor j = kecamatan di Kota Sukabumi a b c = Nilai total aktifitas sektor tertentu dalam total wilayah = Nilai aktifitas sektor tertentu dalam unit wilayah tertentu = Nilai total aktifitas sektor dalam total wilayah Analisis Tingkat Perkembangan Wilayah Indeks Entropi Analisis Indeks Entropi digunakan untuk melihat hirarki wilayah dengan mengukur tingkat perkembangan suatu wilayah dan melihat

37 sektor-sektor perekonomian yang dominan dan berkembang pada wilayah tersebut. Data yang digunakan untuk menghitung Indeks Entropi adalah nilai PDRB setiap kecamatan terhadap PDRB Kota Sukabumi tahun Prinsip Indeks Entropi ini adalah semakin beragam aktifitas atau semakin luas jangkauan spasial, maka semakin tinggi entropi wilayah. Artinya wilayah tersebut semakin berkembang. Persamaan umum entropi ini adalah sebagai berikut : Dimana: tingkat perkembangan = atau proporsi sektor ke-i di kecamatan ke-j > 0 (untuk mengidentifikasi tingkat perkembangan terdapat ketentuan bahwa jika indeks S semakin tinggi maka tingkat perkembangan semakin tinggi); dengan = ln (banyaknya aktivitas x banyaknya wilayah). Indeks Entropi diperoleh dengan membagi nilai entropi (S) dengan nilai entropi maksimumnya (IE = S) dengan nilai IE berkisar antara 0 (nol) sampai dengan 1 (satu) yang mengindikasikan tingkat keragaman suatu komponen aktivitas semakin berkembang (merata) dan begitu pula sebaliknya. Analisis model entropi, menurut Saefulhakim (2006) merupakan salah satu konsep analisa yang dapat menghitung Diversitas komponen aktivitas yang berguna untuk : (1) Memahami perkembangan suatu wilayah; (2) Memahami perkembangan atau kepunahan keanekaragaman hayati; (3) Memahami perkembangan aktifitas industri; (4) Memahami perkembangan aktifitas suatu sistem produksi pertanian dan lain-lain. Untuk mengetahui klasifikasi indeks entropi tiap kabupaten/kota dilakukan berdasarkan nilai hasil standar deviasi indeks entropi dan nilai rataannya. Nilai yang diperoleh digunakan untuk menentukan jumlah kelas, yakni rendah, sedang atau tinggi. Skalogram Secara umum, untuk melihat tingkat perkembangan hirarki di suatu wilayah terhadap wilayah lain yang dibatasi oleh administrasi kabupaten/kota, terutama dalam hal sarana infrastruktur yaitu dengan menggunakan analisis skalogram. Penelitian ini menggunakan data Potensi Desa tahun 2011 dengan parameter yang diukur meliputi bidang sarana perekonomian, sarana komunikasi dan informasi, sarana kesehatan, sarana pendidikan terhadap jumlah penduduk tiap kecamatan di Provinsi Kota Sukabumi. Secara terinci prosedur kerja penyusunan hirarki relatif suatu wilayah menggunakan Skalogram berbobot adalah sebagai berikut: a. Dilakukan pemilihan terhadap data Potensi Desa di tujuh kecamatan dengan data yang bersifat kuantitatif berdasarkan parameter yang relevan untuk digunakan. 21

38 22 b. Dilakukan agregasi/penjumlahan terhadap kelurahan-kelurahan yang terdapat dalam satu kecamatan yang sama, sehingga yang didapat adalah hirarki relatif kecamatan; c. Memisahkan antara data jarak dengan data jumlah fasilitas, hal ini karena antara data jarak dengan jumlah fasilitas bersifat berbanding terbalik. d. Rasionalisasi data dilakukan terhadap data jarak dan fasilitas. Data jarak diinverskan dengan rumus: y= 1/x ij, dimana y adalah variabel baru dan x ij adalah data jarak j di wilayah i. Untuk nilai y yang tidak terdefinisikan (x ij = 0), maka nilai y dicari dengan persamaan: y = x ij (max) + simpangan baku jarak j. Selanjutnya data fasilitas diubah menjadi data kapasitas dengan cara jumlah fasilitas j di wilayah i dibagi dengan jumlah penduduk di wilayah i. e. Pembobotan dilakukan terhadap data kapasitas dengan cara data kapasitas j dibagi dengan bobot fasilitas j, dimana bobot fasilitas j = jumlah total kapasitas j dibagi dengan jumlah wilayah yang memiliki fasilitas j. f. Standardisasi data dilakukan terhadap variabel-variabel baru dari data jarak dan fasilitas (berbobot) dengan menggunakan rumus: Dimana: = variabel baru untuk wilayah ke-i dan jenis fasilitas atau jarak ke-j. = jumlah sarana untuk wilayah ke-i dan jenis sarana atau jarak ke-j. = nilai minimum untuk jenis sarana atau jarak ke-j. = simpangan baku untuk jenis sarana atau jarak ke-j. g. Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK) ditentukan dengan cara menghitung jumlah hasil standarisasi sarana dan aksesibilitas pada suatu wilayah. Pada penelitian ini, IPK dikelompokkan ke dalam tiga kelas hirarki, yang didasarkan pada nilai standar deviasi (St Dev) IPK dan nilai rataannya (Tabel 4). Tabel 4 Penentuan Nilai Selang Hirarki No Kelas Nilai Selang Tingkat Hirarki 1 Hirarki I X > [rataan + (St Dev.IPW)] Tinggi 2 Hirarki II rataan < X < (St Dev.IPW) Sedang 3 Hirarki III X < rataan Rendah Menurut Budharsono (2001), metode ini mempunyai beberapa keunggulan, antara lain : (1) Memperlihatkan dasar diantara jumlah penduduk dan tersedianya fasilitas pelayanan; (2) Secara cepat dapat mengorganisasikan data dan mengenal wilayah; (3) Membandingkan pemukiman-pemukiman dan wilayah-wilayah berdasarkan ketersediaan fasilitas pelayaanan; (4) Memperlihatkan hirarki pemukiman atau wilayah;

39 (5) Secara potensial dapat digunakan untuk merancang fasilitas baru dan memantaunya. 23 Analisis Isu Utama Kebijakan Pengembangan Wilayah Analysis Hierarchy Process (AHP) Untuk mengetahui isu yang mengemuka sebagai suatu prioritas kebijakan pembangunan wilayah dan kaitannya pemerataan, penelitian ini melakukan analisis dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) guna mendapatkan nilai skor yang diperlukan melalui proses wawancara dengan stakeholder. Responden yang dilibatkan meliputi unsur pemerintah dan non pemerintah dengan jumlah keseluruhan 15 (lima belas) orang (Tabel 5), yang memiliki pemahaman baik tentang perkembangan pembangunan di Kota Sukabumi dengan menggunakan teknik pengambilan sampel responden secara purposive sampling. Tujuan utama yang ingin dicapai dari metode AHP ini adalah untuk menjaring persepsi tentang prioritas utama yang perlu dilakukan dalam kebijakan pengembangan wilayah Kota Sukabumi. Sementara tujuan, kriteria dan alternatif yang akan digunakan dalam menjaring pendapat stakeholders digambarkan dengan Struktur AHP seperti pada Gambar 4. Tabel 5 Rincian Data Calon Responden No Asal Responden Jumlah (orang) I Unsur Pemerintah (Aparatur) 10 Bappeda 2 Unit Layanan Pengadaan 1 Administrasi Pembangunan 1 Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi 1 Dinas Perhubungan 1 Dinas Tata Ruang dan Pemukiman 1 Dinas Pendidikan 1 Kecamatan 2 II Unsur Non Pemerintah 5 Akademisi 2 Organisasi Masyarakat 1 Tokoh Masyarakat 1 Pengusaha 1 Jumlah Total Responden 15

40 24 24 PEMBANGUNAN WILAYAH KOTA SUKABUMI YANG MERATA PEMERATAAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR ANTAR WILAYAH PEMERATAAN PERTUMBUHAN EKONOMI PEMERATAAN PENDAPATAN ANTAR GOLONGAN MASYARAKAT Pemerataan Anggaran Pembangunan Pembangunan Akses Jalan Pembangunan Sarana & Moda Transportasi Pengembangan Kawasan Ekonomi Peningkatan Pembangunan Sektor Unggulan Peningkatan Investasi Swasta Pengembangan Usaha Kecil Mikro Pelatihan Keterampilan Kerja & Kewirausahaan Pemerataan Kesempatan Kerja Gambar 4 Struktur AHP

41 25 4 KONDISI UMUM WILAYAH 25 Kondisi Fisik Geografi dan Administrasi Kota Sukabumi secara Geografis terletak di bagian selatan Jawa Barat pada koordinat Bujur Timur dan Bujur Timur, Lintang Selatan, di kaki Gunung Gede dan Gunung Pangrango yang ketingiannya 584 meter di atas permukaan laut, dengan batas wilayahnya sebagai berikut: Sebelah Utara Kecamatan Sukabumi, Kabupaten Sukabumi Sebelah Selatan Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi Sebelah Barat Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi Sebelah Timur Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi Peta wilayah administrasi Kota Sukabumi ditampilkan pada Gambar 5 sedangkan kecamatan dan kelurahan yang berada dalam wilayah administrasi Kota Sukabumi tertera pada Tabel 6. Gambar 5 Peta Wilayah Administrasi Kota Sukabumi Wilayah Administratif Kota Sukabumi berbatasan langsung dengan Kabupaten Sukabumi. Kota Sukabumi terdiri dari 7 kecamatan dan 33 kelurahan dengan luas wilayahnya kurang lebih ha/48 Km 2. Kecamatan Lembursitu merupakan wilayah dengan luas terbesar yaitu 890 ha dan Kecamatan Citamiang adalah wilayah dengan luas terkecil yaitu 404 ha.

42 26 Tabel 6 Kecamatan dan Kelurahan dalam Wilayah administrasi Kota Sukabumi No Kecamatan Luas (ha) Kelurahan 1 Cikole 708 Selabatu (6 Kelurahan) Gunungparang Kebonjati Cikole Cisarua Subangjaya 2 Citamiang 404 Cikondang (5 Kelurahan) Gedongpanjang Nanggeleng Citamiang Tipar 3 Gunungpuyuh 550 Gunungpuyuh (4 Kelurahan) Karamat Sriwedari Karangtengah 4 Warudoyong 760 Warudoyong (5 Kelurahan) Nyomplong Benteng Dayeuhluhur Sukakarya 5 Baros 611 Sudajaya Hilir (4 Kelurahan) Jaya Mekar Jayaraksa Baros 6 Cibeureum 877 Sindangpalay (4 Kelurahan) Limusnunggal Babakan Cibeureum Hilir 7 Lembursitu 890 Lembursitu (5 Kelurahan) Situmekar Cipanengah Cikundul Sindangsari Luas Kota Sukabumi Kota Sukabumi yang berjarak 120 km dari Ibukota Negara (Jakarta) atau 96 km dari Ibukota Provinsi Jawa Barat (Bandung) mengakibatkan pergerakan orang dan barang dari kota-kota tersebut ke Kota Sukabumi cukup tinggi. Kedekatan jarak dengan dua kota besar tersebut juga membuka kesempatan untuk mengembangkan diri sebagai pusat pelayanan berkualitas di bidang perdagangan, pendidikan dan kesehatan yang merupakan visi Kota Sukabumi.

43 Posisi Kota Sukabumi dalam Konstelasi Regional Jawa Barat berada pada posisi strategis karena berada di antara pusat pertumbuhan megaurban Jabodetabek dan Bandung Raya sehingga menjadi salah satu kawasan andalan dari 8 kawasan andalan di Jawa Barat yang berpotensi untuk pengembangan agribisnis, pariwisata dan bisnis kelautan yang berwawasan lingkungan dengan memanfaatkan modal investasi untuk menghasilkan daya saing global, serta menjadi motivator untuk memacu perkembangan wilayahnya juga mendorong pertumbuhan wilayah-wilayah disekitarnya (hinterland) (Bappeda, 2008). Secara historis Kota Sukabumi dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai Burgerlijk Bestuur (1914) dengan status Gemeenteraad Van Sukabumi yang bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada orang-orang Belanda dan Eropa sebagai pengelola perkebunan di wilayah Kabupaten Sukabumi, Cianjur dan Lebak. Memasuki era kemerdekaan dengan dibentuknya sistem pemerintahan daerah, Kota Sukabumi termasuk kedalam kategori kota kecil yang disebut sebagai Kotapraja, kemudian berubah menjadi Kotamadya dan terakhir menjadi Kota yang memiliki areal Ha. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 3 Tahun 1995, Kota Sukabumi mengalami perluasan menjadi 4.800,23 Ha yang terbagi dalam 5 kecamatan dan 33 kelurahan. Selanjutnya berdasarkan Perda Nomor 15 tahun 2000 yang ditetapkan pada tanggal 27 September 2000, wilayah administratif Kota Sukabumi mengalami pemekaran wilayah menjadi 7 kecamatan, yaitu Kecamatan Cikole, Cibeureum, Citamiang, Lembursitu, Warudoyong, Baros dan Gunung Puyuh yang terdiri dari 33 kelurahan. Dengan jarak terjauh ke balai kota yaitu Kecamatan Lembursitu Sejauh 7 KM. Iklim dan Curah Hujan Sepanjang tahun 2011 keadaan iklim di Kota Sukabumi cenderung basah dengan suhu udara Kota Sukabumi berkisar antara 15º-30º celsius. Berdasarkan hasil pemantauan di Stasiun Cimandiri disetiap bulan pada tahun 2011 pasti terjadi hujan dengan intensitas tertentu. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan November yang mencapai 323 mm dengan jumlah hari hujan 27 hari, sementara curah hujan terendah terjadi pada bulan september dengan jumlah curah hujan 6 mm dan jumlah hari hujan sebanyak 2 hari. Hidrologi Kondisi air tanah di wilayah Kota Sukabumi dan sekitarnya untuk kebutuhan sehari-hari secara umum cukup tersedia. Sumbernya berasal dari air tanah, mata air dan air tanah tertekan. Sebaran akuifer dengan produktivitas tinggi terdapat di sekitar Kota Sukabumi dengan sebaran paling dominan mulai dari barat hingga timur. Di bagian utara merupakan zona air tanah dengan akuifer berproduktifitas sedang dan berpenyebaran luas. Bagian selatan merupakan zona akuifer yang produktivitasnya rendah hingga langka. Sungai terpanjang yang melintasi Kota Sukabumi adalah Sungai Cipelang dengan panjang aliran sungai m. Sungai yang berasal dari mata air di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango wilayah Kabupaten Sukabumi ini melintasi 3 kecamatan yang ada di Kota Sukabumi, yaitu Kecamatan Gunungpuyuh, Kecamatan Warudoyong dan Kecamatan Lembursitu. 27

44 28 Topografi dan Kemiringan Lereng Wilayah Kota Sukabumi merupakan lereng selatan dari Gunung Gede dan Gunung Pangrango, yang berada pada ketinggian 584 meter di atas permukaan laut pada bagian selatan dan 770 meter di atas permukaan laut bagian utara. Sedangkan di bagian tengah mempunyai ketinggian rata-rata 650 meter dari permukaan laut. Bentuk bentangan alam Kota Sukabumi berupa perbukitan bergelombang dengan sudut lereng beragam (Bappeda, 2011). Wilayah Kota Sukabumi didominasi oleh kemiringan lereng 0 2% dengan luas mencapai 2.237,51 ha atau sekitar 45,62% dari luas kota dan kemiringan lereng 2 15% mencapai 2.560,14 ha atau sekitar 52,2% dari luas kota. Selanjutnya, sekitar 2% dari luas Kota Sukabumi terdiri dari wilayah yang memiliki kemiringan lereng 15% hingga kemiringan lereng > 40%. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di Kota Sukabumi dibedakan menjadi dua yaitu lahan sawah dan lahan bukan sawah (lahan kering). Dengan luas wilayah sebesar Ha, berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa menurut penggunaannya, sebesar Ha (36,48%) digunakan untuk tanah sawah dan sisanya seluas Ha (63,52%) merupakan tanah kering dan lain-lain. Tabel 7 Luas Tanah per Kecamatan dan Penggunaannya tahun 2011 (Ha) Kecamatan Lahan Sawah Lahan Kering Lain-lain Jumlah Cikole Citamiang Gunungpuyuh Warudoyong Baros Cibeureum Lembursitu Jumlah Penggunaan lahan untuk pertanian/ lahan sawah terluas adalah wilayah Kecamatan Cibeureum yaitu sebesar 59,52% (522 Ha) dari luas wilayahnya. Sementara Kecamatan Lembursitu yang memiliki luas wilayah terbesar di Kota Sukabumi memiliki luas lahan sawah sebesar 35,54% (316 Ha) dari luas wilayahnya. Dan penggunaan lahan sawah terkecil adalah Kecamatan Cikole yang hanya memiliki 10,87% (77 Ha) dari luas wilayahnya. Fenomena yang terjadi didaerah perkotaan menunjukkan bahwa luas lahan sawah akan semakin berkurang sejalan dengan banyaknya pembangunan di bidang perumahan, perdagangan ataupun industri sehingga fungsi lahan pertanian berubah fungsi menjadi lahan bukan pertanian/ lahan kering. Di Kota Sukabumi penggunaan lahan kering dan luasannya masing-masing adalah seperti yang tertera pada Tabel 8.

45 Penggunaan lahan kering di Kota Sukabumi terbesar dimanfaatkan untuk pekarangan dan rumah yaitu 69,13% (2.108 ha) dari luas lahan kering. Kecamatan Cikole adalah wilayah yang paling besar memanfaatkan lahan keringnya sebagai pekarangan dan rumah yaitu sebesar 81,14% (512 ha) dari luas lahan keringnya. Tabel 8 Luas Lahan Kering/Bukan Sawah dan Penggunaannya tahun 2011 (Ha) Kecamatan Pekarangan + Rumah Tegal/ Kebun Lain-lain Kolam/ Tebat/ empang Jumlah Bukan Sawah Cikole Citamiang Gunungpuyuh Warudoyong Baros Cibeureum Lembursitu Jumlah Kondisi Sosial Penduduk Secara umum mayoritas penduduk Kota Sukabumi beragama Islam, dengan jumlah warga dari Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2012 meningkat pesat pada Tahun Mayoritas penduduk Kota Sukabumi sebesar 95,64% beragama Islam, Katolik sebesar 2,21%, Protestan sebesar 1,08%, Buddha sebesar 0,02% dan Hindu sebesar 1,03%. Jumlah Rumah Peribadatan pada tahun 2012 untuk Mesjid sebanyak 386 buah, Musholla 197 buah, Langgar sebanyak 629 buah, Gereja sebanyak 19 buah dan Vihara sebanyak 2 buah Pada Akhir Tahun 2011 berdasarkan hasil registrasi penduduk jumlah penduduk Kota Sukabumi tercatat sebanyak dengan penyebarannya seperti yang tertera pada Tabel 9. Tabel 9 Jumlah Penduduk, Luas dan Kepadatan Kota Sukabumi, tahun 2011 Kecamatan L (Jiwa) Penduduk Luas Kepadatan P (Jiwa) Jml (Jiwa) (%) (Km) (%) (Jiwa/ Km) Cikole ,14 7,08 14, ,01 17,13 Citamiang ,72 4,04 8, ,70 24,65 Gunungpuyuh ,16 5,50 11, ,75 16,33 Warudoyong ,85 7,60 15, ,24 14,88 Baros ,19 6,11 12, ,46 10,56 Cibeureum ,90 8,77 18, ,35 8,59 Lembursitu ,03 8,90 18, ,97 7,85 Jumlah , , (%)

46 30 Dari Tabel 9 dapat diketahui penyebaran tertinggi ada di Kecamatan Cikole sebanyak 19,14% ( jiwa), dan yang terendah di Kecamatan Baros sebesar 10,19% ( jiwa). Sementara itu berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayah yang ada, maka rata-rata penduduk per km² di Kota Sukabumi adalah 7.418,08 jiwa/ km², dimana kepadatan penduduk tertinggi berada di Kecamatan Citamiang dengan kepadatan penduduk ,70 jiwa/km². Hal ini memungkinkan karena luas wilayah Kecamatan Citamiang paling kecil diantara kecamatan yang lain dan merupakan wilayah yang dekat dengan pusat perbelanjaan. Sedangkan yang terendah kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Lembursitu yang mempunyai wilayah terluas dengan kepadatan penduduk 4.412,97 jiwa/ km². Tenaga kerja Menurut UU No. 13 tahun 2003 Bab I pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Ketenagakerjaan merupakan aspek yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia, karena mencakup dimensi ekonomi dan sosial. Oleh karenanya, setiap upaya pembangunan selalu diarahkan pada perluasan kesempatan kerja dan lapangan usaha, dengan harapan penduduk dapat memperoleh manfaat langsung dari pembangunan. Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Penanggulangan Bencana Kota Sukabumi, seperti yang diperlihatkan pada Gambar 6 tercatat bahwa pada tahun 2011 jumlah pencari kerja yang terdaftar mencapai orang, yang terdiri dari pencari kerja laki-laki dan perempuan SD SMP SMA Sarjana Sarjana Muda Laki-laki Perempuan Gambar 6 Jumlah pencari kerja menurut tingkat pendidikan dan jenis kelamin pada tahun 2011 Dari Gambar 6 dapat diketahui bahwa jumlah pencari kerja menurut tingkat pendidikan yang berlatar belakang pendidikan SMA memiliki jumlah terbanyak yaitu orang (56,57%), sementara jumlah paling sedikit adalah lulusan sarjana yang hanya berjumlah 294 orang (6%). Sementara komposisi jumlah Penduduk Kota Sukabumi menurut mata pencaharian (selain pelajar/mahasiswa, pengangguran, dan lainnya) dapat

47 31 diketahui melalui Tabel 10. Dijelaskan bahwa penduduk yang bekerja sebagai pedagang/wiraswasta merupakan yang paling banyak jumlahnya yaitu orang (28,1%). Mereka mayoritas bermukim di wilayah Kecamatan Citamiang, karena merupakan wilayah yang paling dekat dengan pusat keramaian dan perbelanjaan. Penduduk yang bekerja sebagai TNI adalah yang paling sedikit jumlahnya yakni hanya 612 orang (0,54%). Mata Pencaharian Tabel 10 Jumlah Penduduk menurut mata pencaharian tahun 2011 Cikole Cita miang Gunung puyuh Kecamatan Waru doyong Baros Cibeu reum Lembur situ Jumlah Petani PNS Peg. Swasta TNI Polri Pensiunan Wiraswasta Buruh Buruh Kasar Jumlah Kecamatan Cikole adalah wilayah yang penduduknya terbanyak memiliki pekerjaan yaitu sebanyak orang (19,35%) dengan mayoritas pekerjaan utamanya adalah wiraswasta dan yang bermata pencaharian sebagai petani sangat sedikit sekali karena aktifitas penduduk lebih terkonsentrasi ke perdagangan dan jasa dimana wilayah Cikole merupakan pusat pertumbuhan di Kota Sukabumi. Kecamatan Baros merupakan wilayah dengan jumlah penduduk bekerjanya paling sedikit, yaitu hanya orang (9,38%), dengan pekerjaan utama penduduknya juga sebagai wiraswasta. Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Sementara itu pembangunan pendidikan dititikberatkan pada peningkatan mutu serta perluasan kesempatan belajar, terutama pada jenjang pendidikan dasar. Pada tahun 2011 di Kota Sukabumi (yang meliputi sekolah negeri dan swasta) memiliki 100 Taman Kanak-Kanak, 151 Sekolah Dasar, 54 SMP, 50 SMU sederajat, dan 17 Akademi/ Perguruan Tinggi. Berdasarkan jenjang pendidikan pada tahun ajaran 2010/ 2011, seperti yang tertera pada Tabel 11 dapat diketahui bahwa pelajar pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) memiliki jumlah terbanyak yaitu orang. Selain itu dapat diketahui bahwa wilayah dengan jumlah pelajar terbanyak terdapat di Kecamatan Cikole yaitu orang. Hal ini disebabkan banyaknya jumlah fasilitas pendidikan tersebar di wilayah tersebut. Sementara Kecamatan

48 32 Baros merupakan wilayah dengan jumlah pelajar paling sedikit, yaitu hanya orang. Tabel 11 Jumlah Pelajar menurut jenjang pendidikan TA 2010/ 2011 Kecamatan Jenjang Pendidikan TK SD SMP SMA SMK Jumlah Cikole Citamiang Gunungpuyuh Warudoyong Baros Cibeureum Lembursitu Jumlah Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan, berdasarkan data 4 (empat) tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 7 dibawah ini Tidak/ belum sekolah Tidak tamat SD SD SMP SMA Pergurua n Tinggi Gambar 7 Persentase penduduk 10 tahun ke atas menurut ijasah tertinggi yang dimiliki Pada Gambar 7 terlihat bahwa komposisi penduduk yang bisa menamatkan sampai tingkat SLTA paling banyak ada di tahun 2010 yaitu sebesar 29%. Untuk jenjang pendidikan dasar (SD) mengalami peningkatan yang cukup signifikan selama 4 tahun terakhir dimana pada tahun 2011 mencapai 32,33%. Adapun yang menamatkan sampai dengan Perguruan Tinggi/Akademi terbanyak ada di tahun 2010 sebanyak 13,11%.

49 Tingginya penduduk Kota Sukabumi yang sukses menamatkan pendidikan sampai tingkat SLTA, merupakan keberhasilan Pemerintah Kota Sukabumi dalam bidang pendidikan serta peran serta masyarakat yang telah sadar akan pentingnya pendidikan. Tingkat kemampuan membaca dan menulis masyarakat Kota Sukabumi pada Tahun 2012 tercatat sebesar 99.68%, atau hanya ada sekitar 0.32% penduduk Kota Sukabumi yang masih buta huruf. 33 Kondisi Ekonomi Keuangan Daerah Berdasarkan penghitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Kota Sukabumi tahun anggaran 2011, seperti yang ditampilkan pada Tabel 12, menunjukkan bahwa realisasi pendapatan daerah mencapai rupiah. Dari jumlah tersebut, pendapatan paling besar bersumber dari Dana Perimbangan yang mencapai 65% (Rp ,-) dari total pendapatan. Sementara itu Pendapatan Asli Daerah memberikan sumbangan terhadap pendapatan daerah sebesar 18% (Rp ,-). Tabel 12 Ringkasan Laporan Realisasi APBD Tahun Anggaran 2011 No Uraian Realisasi (Rp) 1 Pendapatan Daerah Pendapatan Asli Daerah Dana Perimbangan Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah Belanja Daerah Belanja Tidak Langsung Belanja Langsung Surplus/ (Defisit) Dari Tabel 12 diketahui bahwa Realisasi belanja daerah Kota Sukabumi tahun anggaran 2011 mencapai rupiah yang terdiri dari Belanja tidak Langsung sebesar 60% dan Belanja Langsung sebesar 40%. Jadi pada tahun anggaran 2011 realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pemerintah Kota Sukabumi mengalami surplus dengan total nilai rupiah. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat perkembangan dan struktur perekonomian di suatu daerah, dimana PDRB disajikan atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan PDRB Kota Sukabumi atas dasar harga berlaku tahun 2011 mencapai 5.92 trilyun rupiah, sedangkan atas dasar

50 34 harga konstan 2000 mencapai 2,04 trilyun rupiah. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan bila dibandingkan dengan tahun Kondisi Perekonomian Kota Sukabumi yang ditunjukan dengan PDRB tahun seperti yang tercantum pada Tabel 13, menunjukan adanya dominasi pencapaian oleh kelompok tersier atau sektor jasa yang merupakan ciri dari perekonomian modern, yaitu tumbuh pesatnya sektor jasa. Meskipun demikian Kota Sukabumi juga tidak meninggalkan pembangunan sektor lainnya meskipun tumbuh melambat. Tabel 13 Struktur Ekonomi Kota Sukabumi menurut Kelompok Sektor Atas Dasar Harga Berlaku tahun (persen) Kelompok Sektor Tahun Sektor Primer 4,97 4,66 4,70 4,38 3,95 a Pertanian 4,96 4,65 4,69 4,38 3,95 b Pertambangan 0,01 0,01 0, Sektor Sekunder 11,64 12,09 12,26 12,04 11,70 c Industri Pengolahan 4,90 5,07 5,36 5,48 5,45 d Listrik, Gas & Air Bersih 1,22 1,48 1,32 1,28 1,27 e Bangunan 5,52 5,54 5,58 5,28 4,98 Sektor Tersier 83,39 83,25 83,04 83,57 84,34 f Perdagangan, Hotel & Restoran 42,69 43,46 43,30 45,70 46,83 g Pengangkutan & Komunikasi 15,83 15,79 16,31 15,89 15,58 h Keuangan, Jasa Perusahaan & Persewaan 10,43 9,30 8,29 7,27 8,02 i Jasa-jasa 14,44 14,70 15,14 14,71 13,91 Apabila dicermati pada Tabel 13, sampai pada tingkat sektor dapat diketahui bahwa kontributor utama di Kota sukabumi adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran yang pada tahun 2011 mencapai 46,83%. Hasil tersebut merupakan efek dari Kota Sukabumi dalam konstelasi regional yang terletak diantara Ibu Kota Negara dan Ibu Kota Provinsi Jawa Barat. Sedangkan sektor yang kontribusinya paling kecil terhadap PDRB adalah sektor pertambangan dan penggalian yang hanya 0%. Pendapatan Perkapita PDRB per kapita merupakan salah satu Gambaran makro rata-rata pendapatan yang diterima oleh penduduk selama satu tahun dalam suatu wioayah tertentu dan biasanya digunakan sebagai indikator tingkat kemakmuran. Namun perlu diingat bahwa tidak seluruh PDRB dapat dinikmati penduduknya, hal ini karena terdapat sebagian nilai PDRB yang dibawa keluar daerah. Perkembangan PDRB per kapita Kota Sukabumi atas dasar harga berlaku dalam kurun waktu menunjukan kenaikan cukup berarti dari Rp ,59,- pada tahun 2007 menjadi Rp ,65,- pada tahun 2011, atau meningkat sebesar 72,08 persen. Namun hal ini tidak seluruhnya mencerminkan adanya kenaikan daya beli masyarakat dalam periode waktu

51 tersebut, karena dalam kenaikan PDRB tersebut masih terdapat kenaikan harga (inflasi). Sementara pendapatan per kapita atas dasar harga konstan yang lebih mencerminkan kenaikan daya beli masyarakat secara umum menunjukan kenaikan yang cukup lambat, yaitu dari Rp ,- pada tahun 2007 menjadi Rp ,67,- pada tahun 2011, atau hanya mengalami kenaikan sebesar 17,16 persen. Pendapatan antar Wilayah Guna menyikapi kebutuhan data yang semakin beragam dalam unit yang lebih kecil, berbagai upaya dilakukan agar dapat memenuhi permintaan dari berbagai pihak konsumen data. Salah satu bentuknya adalah angka PDRB sampai pada tingkat Kecamatan, yang tentu saja akan bermanfaat bagi para pengambil keputusan sehingga penyusunan perencanaan program maupun evaluasi pembangunan ekonomi akan lebih terarah dan tepat sasaran. Tersedianya data PDRB sampai pada tingkat Kecamatan dapat dipergunakan untuk memperoleh informasi yang dapat memberikan Gambaran tentang peranan atau posisi masing-masing wilayah dalam perekonomian di Kota Sukabumi secara keseluruhan. Manfaat PDRB Kecamatan diantaranya dapat diketahui kemajuan/ pertumbuhan ekonomi masing-masing Kecamatan, potensi Kecamatan, tingkat kemakmuran Kecamatan, tingkat kesenjangan ekonomi antar Kecamatan / antar sektoral. Analisis terhadap distribusi PDRB menurut kecamatan dapat memberikan Gambaran kontribusi PDRB masing-masing kecamatan terhadap PDRB Kota Sukabumi. Adapun kontributor terbesar PDRB Kecamatan terhadap PDRB Kota Sukabumi pada periode Tahun adalah kecamatan Cikole dan yang terendah adalah Kecamatan Cibeureum. Pada Tabel 14 disajikan kontribusi setiap wilayah terhadap PDRB berdasarkan atas dasar harga konstan maupun atas dasar harga berlaku tahun 2007 sampai Tahun Tabel 14 Kontribusi PDRB Kecamatan tahun (persen) 35 Kecamatan Tahun K B K B K B K B K B Cikole 26,7 27,2 26,4 27,0 26,5 27,0 27,0 27,9 27,1 28,4 Citamiang 18,7 19,0 18,7 19,1 18,9 19,2 18,7 19,1 18,7 19,3 Gunungpuyuh 14,9 14,8 15,0 14,7 15,0 14,7 14,8 14,4 14,8 14,5 Warudoyong 21,0 20,0 21,0 20,1 21,3 20,1 21,3 19,9 21,4 19,5 Baros 6,0 6,1 6,0 6,3 6,0 6,2 5,9 6,2 5,9 6,1 Cibeureum 5,4 5,4 5,4 5,4 5,3 5,4 5,2 5,3 5,1 5,2 Lembursitu 7,3 7,4 7,4 7,4 7,1 7,3 7,1 7,3 7,0 7,1 K = Atas Dasar Harga Konstan; B = Atas Dasar Harga Berlaku

52 36 5 HASIL DAN PEMBAHASAN Disparitas Pembangunan Wilayah di Kota Sukabumi Disparitas pembangunan menurut Chaniago et al. (2000) dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang tidak berimbang, sehingga apabila dikaitkan dengan pembangunan suatu sektor atau wilayah maka disparitas pembangunan merupakan suatu kondisi ketidakberimbangan pembangunan antar sektor maupun antar wilayah yang ditandai dengan perbedaan pertumbuhan antar wilayah. Pada dasarnya ukuran disparitas atau ketimpangan dapat dikelompokkan mejadi dua, yaitu ukuran disperse atau ukuran simpangan dan ukuran entropinya (Portnov dan Felsentein, 2005). Berdasarkan dua konsep dasar pengukuran ketimpangan tersebut, metode yang yang umum digunakan untuk mengukur ketimpangan adalah Indeks Williamson, Indeks Theils, Indeks Atkison, Indeks Gini, Hoover Coefficient dan Coulter Coefficient. Disparitas pembangunan merupakan suatu fenomena universal yang dialami oleh suatu wilayah. Begitu pula di Kota Sukabumi yang terdiri dari 7 kecamatan memiliki perkembangan pembangunan antar wilayah yang tidak sama. Untuk mengetahui ketimpangan antar wilayah dilakukan pendekatan menggunakan Indeks Williamson dan dilanjutkan Indeks Theil untuk mendekomposisi sumber disparitas tersebut, seperti yang pernah dilakukan oleh Fujita dan Hu (2001). Dalam penelitian ini, penulis membagi wilayah pengembangan Kota Sukabumi dalam dua kawasan yaitu kawasan Kota Sukabumi Utara (Kecamatan Cikole, Citamiang, Gunungpuyuh dan warudoyong) dan Kawasan Kota sukabumi Selatan (Kecamatan Baros, Cibereum dan Lembursitu). Hal ini didasari oleh historis dan ciri kawasan yang berbeda, dimana kawasan Kota Sukabumi Utara didominasi wilayah yang telah lebih dulu ada dan bercirikan urban, sementara kawasan Kota Sukabumi Selatan didominasi wilayah yang baru bergabung pada tahun 1995 dan masih bercirikan rural. Hasil analisis Indeks Williamson dengan menggunakan PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 dengan jumlah penduduk jiwa di Kota Sukabumi pada tahun 2011 disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Indeks Williamson Kota Sukabumi pada tahun 2011 Kecamatan Jumlah PDRB PDRB/kapita Indeks Penduduk (jiwa) (Rp juta) (Rp juta) Williamson Cikole ,63 8,12 Citamiang ,99 6,82 Gunungpuyuh ,47 5,99 Warudoyong ,20 6,86 0,38 Baros ,62 3,30 Cibeureum ,26 2,47 Lembursitu ,57 3,67 Pada Tabel 15 dapat diketahui nilai Indeks Williamson di Kota Sukabumi pada tahun 2011 sebesar 0,38. Hal ini berarti telah terjadi kesenjangan dengan

53 kriteria tingkat sedang/tidak merata karena nilai Indeks Williamson yang dihasilkan ada di kisaran 0,3 0,5. Perbedaan moncolok kontribusi PDRB antara 4 kecamatan di kawasan Kota Sukabumi Utara dan 3 Kecamatan di kawasan Kota Sukabumi Selatan membuktikan terjadinya kesenjangan pembangunan yang ada di Kota Sukabumi. Hal ini dimungkinkan karena kawasan Kota Sukabumi Selatan masih di dominasi wilayah yang bercirikan rural dan kurangnya infrastruktur yang memadai untuk menunjang perkembangan wilayah melalui potensi-potensi yang dimiliki. Kawasan Kota Sukabumi Utara telah didominasi oleh aktifitas sektor tersier sebagai kontributor PDRB yang paling utama. Kelengkapan infrastruktur sangat menunjang wilayah ini untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Hal ini berakibat kawasan ini menjadi daya tarik aktifitas dari wilayah lain yang menyebabkan terjadinya pengurasan sumber daya dari kawasan rural dan menjadi nilai tambah bagi kawasan Kota Sukabumi Utara. Untuk melihat perkembangan tingkat kesenjangan yang terjadi di Kota Sukabumi dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir dapat dijelaskan melalui Gambar Indeks Williamson 0,38 0,37 0,36 0,35 0,34 0,33 0,32 0,38 0,37 0,35 0,35 0, Tahun Gambar 8 Perkembangan Indeks Williamson tahun di Kota Sukabumi Hasil analisis Indeks Williamson dari tahun 2007 sampai tahun 2011 menunjukkan bahwa telah terjadi kesenjangan pembangunan di wilayah Kota Sukabumi dengan kriteria tingkat sedang/tidak merata (Iw : 0,3 0,5). Dalam kurun waktu tersebut, sempat terjadi penurunan yang tidak begitu signifikan pada tahun 2008 karena masih dalam selang indeks 0,3-0,5. Pada tahun 2009 hingga 2011 tingkat kesenjangan kembali meningkat, bahkan kesenjangan tertinggi terjadi pada tahun 2011 dengan nilai Indeks Williamson sebesar 0,38. Dilihat dari nilai kontribusi PDRB, terjadi peningkatan jumlah yang disumbangkan oleh masing-masing kecamatan dari tahun ke tahun. Namun ternyata kesenjangan di Kota Sukabumi semakin tidak dapat dihindari bahkan semakin meningkat. Hal tersebut menunjukan bahwa PDRB yang semakin meningkat dari tahun ke tahun ternyata masih belum menunjukan keberhasilan pembangunan atau masih belum efektif menciptakan pemerataan antar kecamatan. Ini mengindikasikan bahwa kemampuan dalam mengelola potensi yang terdapat di masing-masing kecamatan masih belum merata.

54 38 Sebelum adanya pemekaran wilayah pada tahun 1995, keberhasilan pembangunan di Kota Sukabumi sudah cukup baik dalam menekan tingkat kesenjangan antar kecamatan. Ini dibuktikan dari hasil analisis Indeks Wiliamson terhadap kecamatan-kecamatan yang ada di kawasan Kota Sukabumi Utara yang merupakan Kota lama, yaitu Kecamatan Cikole, Citamiang, Gunungpuyuh dan Warudoyong (Gambar 9). Indeks Williamson 0,12 0,10 0,08 0,06 0,04 0,02 0,00 0,11 0,11 0,10 0,09 0, Tahun Gambar 9 Perkembangan Indeks Williamson tahun di kawasan Kota Sukabumi Utara (Kota Lama) Pada Gambar 9 dapat dilihat nilai indeks yang dihasilkan pada kurun waktu berada diantara selang 0-0,3, yang berarti kesenjangannya ada pada tingkat rendah. Bahkan jika kita amati nilai Indeks Williamson tersebut mendekati angka 0 (nol), ini menunjukan tingkat kesenjangan antar kecamatan di kota lama sangat rendah atau hampir merata. Namun jika seluruh kecamatan digabung dan dihitung Indeks Williamson seperti pada Gambar 8, terjadi ketimpangan yang cukup berarti. Ini membuktikan bahwa pemekaran yang terjadi di Kota Sukabumi pada tahun 1995 telah menimbulkan ketimpangan antar wilayah di Kota Sukabumi. Pembangunan yang terlebih dahulu dilakukan pada kawasan Kota Sukabumi Utara sebagai kota lama tidak mampu dikejar oleh perkembangan kawasan Kota Sukabumi Selatan sebagai wilayah yang baru bergabung. Ini menunjukan bahwa pembangunan yang telah dilakukan hampir dua dekade tidak mampu meningkatkan perkembangan kawasan Kota Sukabumi Selatan dan pembangunan masih dilakukan secara sentralistik, dimana pembangunan difokuskan terhadap kawasan Kota Sukabumi Utara untuk memacu pertumbuhan ekonomi wilayah secara keseluruhan, namun hal ini justru menyebabkan tingkat ketimpangan yang terjadi dari tahun ke tahun semakin meningkat. Selanjutnya perlu dilihat dekomposisi indeks sumber disparitas dengan menggunakan Indeks Theil untuk mengetahui sejauhmana kawasan Kota Sukabumi Utara dan Selatan mengalami kesenjangan. Ini perlu dilakukan untuk mengetahui wilayah mana saja yang menjadi penyebab dan korban disparitas. Data yang digunakan adalah data PDRB atas dasar harga konstan 2000 dan jumlah penduduk per kecamatan pada tahun Perhitungan dekomposisi disparitas wilayah di Kota Sukabumi tahun 2011 seperti pada Lampiran 1 didapatkan hasil yang diuraikan dalam Tabel 16.

55 39 Kawasan/ Kecamatan Tabel 16 Indeks Theil Kota Sukabumi pada tahun 2011 PDRB (juta) Jml. Pend (jiwa) Disparitas Total Disparitas antar Kecamatan dalam Kawasan Disparitas antar Kawasan Kawasan Kota Sukabumi Utara 0,072 Cikole , ,040 0,017 Citamiang , ,014 (0,002) Gunungpuyuh , ,003 (0,010) Warudoyong , ,020 (0,002) Kawasan Kota Sukabumi Selatan (0,048) Baros , (0,014) 0,001 Cibeureum , (0,019) (0,01) Lembursitu , (0,014) 0,004 Indeks Theil tahun ,028 0,003 0,025 Dari Tabel diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2011 terjadi disparitas di Kota Sukabumi dengan nilai indeks disparitas sebesar 0,028 yang berasal dari disparitas antar kawasan dengan kontribusi yaitu 0,025, dan disparitas antar kecamatan dalam kawasan dengan kontribusi 0,003. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketimpangan antar kawasan merupakan kontributor terbesar terjadinya ketimpangan di Kota Sukabumi, dimana tingginya perkembangan kawasan Kota Sukabumi Utara sebagai penyebab ketimpangan antar kawasan tidak mampu dikejar dengan pembangunan yang telah dilakukan pada kawasan Kota Sukabumi Selatan sebagai korban ketimpangan antar kawasan. Untuk disparitas antar kecamatan dalam satu kawasan, di kawasan Kota Sukabumi Utara diketahui bahwa Kecamatan Cikole memiliki perkembangan yang lebih baik dibandingkan dengan Kecamatan Citamiang, Gunungpuyuh dan Warudoyong. Kelengkapan fasilitas dan infrastruktur telah menyebabkan Kecamatan Cikole memiliki perkembangan wilayah yang sangat baik dan mampu memberikan kontribusi PDRB yang lebih besar dari kecamatan lainnya. Sementara di kawasan Kota Sukabumi Selatan, Kecamatan Baros dan Kecamatan Lembursitu merupakan wilayah yang lebih maju dan menjadi penyebab disparitas terhadap Kecamatan Cibeureum. Jika dilihat secara agregat, disparitas antar kecamatan yang ada di Kota Sukabumi dapat diketahuii bahwa perkembangan Kecamatan Cikole, Kecamatan Citamiang, Kecamatan Gunungpuyuh dan Kecamatan Warudoyong menjadi penyebab disparitas atas perkembangan Kecamatan Baros, Kecamatan Cibeureum dan Kecamatan Lembursitu. Walaupun perkembangan Kecamatan Baros dan Lembursitu di kawasan Kota Sukabumi Selatan cukup baik namun jika dibandingkan dengan 4 kecamatan yang ada di kawasan Kota Sukabumi Utara ternyata masih jauh tertinggal. Hal ini dimungkinkan karena pemerintah daerah lebih fokus terhadap pertumbuhan 4 kecamatan tersebut untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Kota Sukabumi secara agregat, dan pada akhirnya menyebabkan 3 kecamatan lainnya semakin tertinggal.

56 40 Sementara untuk mengetahui perkembangan dekomposisi disparitas wilayah di Kota Sukabumi selama lima titik tahun, yaitu dari tahun 2007 hingga tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar ,023 0,021 0,022 0,020 0,027 0,028 0,024 0,025 0,024 0,022 Indeks Disparitas Total Indeks Disparitas antar Kecamatan dalam Kawasan ,002 0,001 0,002 0,003 0, Tahun Indeks Disparitas antar Kawasan Gambar 10 Dekomposisi Disparitas Wilayah tahun di Kota Sukabumi Indeks Theil tahun 2007 hingga tahun 2011 menunjukkan bahwa disparitas pembangunan wilayah di Kota Sukabumi secara umum mengalami peningkatan nilai disparitas, baik disparitas antar kecamatan dalam kawasan maupun disparitas antar kawasan. Dalam kurun waktu tersebut disparitas antar kawasan memberikan kontribusi terbesar terjadinya disparitas di Kota Sukabumi. Ini membuktikan selama kurun waktu tersebut pemerintah belum memfokuskan pembangunan kawasan Kota Sukabumi Selatan dalam pengembangan wilayah Kota Sukabumi. Pembangunan fisik berupa akses jalan dan penyebaran aktifitas belum tampak jelas di kawasan Kota Sukabumi Selatan yang mengakibatkan semakin berkumpulnya aktifitas di kawasan Kota Sukabumi Utara dan terjadinya pengurasan sumber daya baik itu sumber daya alam maupun manusia. Sehingga dari tahun ke tahun perkembangan wilayah dan kontribusi PDRB kawasan Kota Sukabumi Utara semakin tinggi dan jauh meninggalkan kawasan selatan. Posisi indeks disparitas sempat mengalami penurunan pada tahun 2008 menunjukan proses pembangunan dan pengembangan wilayah pada tahun tersebut cukup berhasil mengurangi tingkat ketimpangan wilayah, walaupun sebetulnya penurunannya tidak terlalu signifikan. Namun perubahan positif tersebut ternyata tidak berlanjut di tahun-tahun berikutnya, karena pada tahun 2009 indeks ketimpangan kembali mengalami kenaikan bahkan terus meningkat setiap tahunnya. Ini menunjukan pembangunan antar wilayah yang telah dilakukan belum efektif dalam menekan tingkat ketimpangan wilayah di Kota Sukabumi. Disparitas wilayah di Kota Sukabumi yang terus meningkat dari tahun ke tahun harus menjadi perhatian pemerintah daerah agar tidak berlanjut. Dalam hal ini pemerintah perlu melakukan pengembangan wilayah masing-masing kecamatan berdasarkan potensi dan karakternya dalam rangka mengurangi tingkat

57 ketimpangan yang terjadi. Pengembangan wilayah dapat dilakukan dengan menentukan dan mengembangkan potensi sektor ekonomi yang dimiliki masingmasing kecamatan dan penentuan prioritas wilayah mana saja yang harus dikembangkan berdasarkan persepsi stakeholder dan perkembangan wilayah masing-masing kecamatan. 41 Identifikasi Potensi Ekonomi Setiap Wilayah di Kota Sukabumi Potensi ekonomi wilayah, baik secara comparative maupun competitive advantage di Kota Sukabumi dapat dilihat dari nilai Location Quotient (LQ) untuk melihat sektor basis dan Shift Share Analysis (SSA) untuk mengetahui dekomposisi pertumbuhan ekonomi. Hal ini sejalan dengan pendapat Blakely (1994), bahwa analisis Location Quotient merupakan suatu teknik analisis yang digunakan untuk melengkapi analisis lain yaitu Shift Share Analysis. Secara umum, metode analisis ini digunakan untuk menunjukkan sektor unggulan (leading sector) yang diharapkan menjadi motor perekonomian (prime mover) suatu wilayah. Dengan mengetahui dan mengoptimalkan sektor unggulan yang dimiliki daerah, maka diharapkan terdapat efek yang positif bagi kemajuan aktifitas perekonomian daerah dalam mengurangi disparitas pembangunan. Adapun sektor-sektor didasarkan pada rekomendasi dari United Nation, bahwa perekonomian secara makro diklasifikasikan menjadi 9 sektor sebagai berikut: I Sektor Primer 1 Pertanian (Tani) II 2 Pertambangan (Tamb) Sektor Sekunder 3 Industri Pengolahan (Ind) 4 Listrik, Gas & Air Bersih (Ligas) 5 Konstruksi & Bangunan (Kons) III Sektor Tersier 6 Perdagangan, Hotel & Restoran (Dag) 7 Pengangkutan & Komunikasi (Angk) 8 Keuangan, Jasa Perusahaan & Persewaan (Keu) 9 Jasa-jasa (Jasa) Berdasarkan klasifikasi sektor-sektor tersebut, maka dapat dilihat kegiatan ekonomi yang berkembang di suatu daerah apakah didominasi kelompok sektor primer (berbasis sumber daya alam), kelompok sektor sekunder (berbasis kegiatan ekonomi produktif dan industralisasi) atau kelompok sektor tersier (jasa pelayanan dan perbankan). Potensi Sektor Komparatif Location Quotient (LQ) menurut Blakely dan Bradshaw (2002) merupakan teknik analisis untuk mengidentifikasi konsentrasi ekonomi secara relatif terhadap referensi lokasi yang lebih luas atau disebut juga dengan analisis basis ekonomi. Secara umum, metode ini digunakan untuk menunjukan lokasi pemusatan/ basis aktifitas.

58 42 Menurut Rustiadi, et al. (2011), analisis LQ digunakan untuk melihat sektor basis dan non basis pada suatu wilayah perencanaan sehingga dapat diidentifikasi potensi komparatif wilayah tersebut. Menurut Tarigan (2004), sektor basis adalah sektor yang merupakan kekuatan ekonomi suatu wilayah yang dapat memenuhi kebutuhan wilayahnya sendiri, bahkan dapat diekspor ke wilayah lain, dan sektor non basis adalah sektor yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan lokal dimana sektor tersebut tidak bisa berkembang memenuhi kebutuhan ekonomi wilayah. Hasil analisis LQ dengan menggunakan data PDRB perkecamatan di Kota Sukabumi Tahun 2011 menunjukkan bahwa masing-masing kecamatan memiliki lebih dari satu sektor basis (Tabel 17). Yang artinya bahwa masing-masing kecamatan ini telah memiliki lebih dari satu sektor ekonomi dengan daya saing komparatif dan siap untuk berkembang dengan sektor yang dimilikinya tersebut. Sektor basis dimasing-masing kecamatan yang ada di Kota Sukabumi dapat dilihat dari nilai LQ > 1 dan sektor non basis ditunjukan dengan nilai LQ < 1. Tabel 17 Nilai LQ berdasarkan nilai PDRB kecamatan persektor di Kota Sukabumi Tahun 2011 Kecamatan Tani Tamb Ind Ligas Kons Dag Angk Keu Jasa Cikole 0,11 0,00 0,37 0,66 0,76 1,00 1,02 1,53 1,29 Citamiang 0,34 0,00 0,85 1,03 0,68 1,13 1,06 0,67 1,08 Gunungpuyuh 0,36 1,65 1,08 1,09 1,36 0,88 1,14 1,25 1,01 Warudoyong 0,50 0,00 1,00 0,56 0,91 1,14 1,18 0,79 0,61 Baros 1,12 12,91 2,18 2,35 1,57 0,93 0,60 0,56 1,16 Cibeureum 3,55 0,00 2,24 1,85 1,62 0,81 0,63 0,62 0,83 Lembursitu 7,06 0,00 1,78 1,63 1,35 0,68 0,56 0,61 0,80 Berdasarkan Tabel 17 maka dapat diidentifikasikan sektor basis yang dimiliki masing-masing kecamatan seperti pada tabel 18. Sementara itu secara spasial peta tematik hasil identifikasi sektor basis tersebut ditampilkan pada Gambar 11. Tabel 18 Identifikasi sektor basis persektor di Kota Sukabumi tahun 2011 Kecamatan Identifikasi Sektor Basis (Keunggulan Komparatif) Primer Sekunder Tersier Cikole Dag, Angk, Keu, Jasa Citamiang Ligas Dag, Angk, Jasa Gunungpuyuh Tamb Ind, Ligas, Kons Angk, Keu, Jasa Warudoyong Ind Dag, Angk Baros Tani, Tamb Ind, Ligas, Kons Jasa Cibeureum Tani Ind, Ligas, Kons Lembursitu Tani Ind, Ligas, Kons

59 43 Gambar 11 Peta wilayah berdasarkan identifikasi sektor basis di Kota Sukabumi Kecamatan Cikole yang merupakan pusat pertumbuhan di Kota Sukabumi seluruh sektor basisnya merupakan kelompok sektor tersier. Hal ini sesuai dengan kondisi eksisting dimana wilayah ini mata pencaharian penduduknya didominasi oleh pedagang, pegawai swasta dan buruh. Pusat aktifitas ekonomi di wilayah ini adalah sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan, hal ini dimungkinkan karena banyaknya terdapat kantor-kantor perusahaan swasta dan perbankan. Luas lahan yang mayoritas dipergunakan sebagai lahan terbangun (72,32%) dan kurangnya tenaga kerja yang mengelola SDA secara langsung mengakibatkan tidak adanya kelompok sektor primer dan sekunder yang menjadi sektor basis di wilayah ini. Kecamatan Citamiang memiliki sektor basis yang didominasi oleh kelompok sektor tersier. Sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan pusat perdagangan menyebabkan mata pencaharian utama penduduknya adalah pedagang, oleh sebab itu sektor perdagangan hotel dan restoran menjadi aktifitas utama di wilayah ini. Kecamatan ini merupakan yang terpadat diantara kecamatan lainnya karena memiliki luas wilayah terkecil dan posisinya sangat dekat dengan Kecamatan Cikole sebagai pusat pertumbuhan. Kecilnya luas lahan pertanian, tingginya jumlah penduduk dan kurangnya tenaga kerja di sektor ini megakibatkan kelompok sektor primer termasuk sektor pertanian tidak bisa menjadi sektor basis di wilayah ini. Kecamatan Gunungpuyuh merupakan wilayah yang memiliki sektor basis terbanyak di Kota Sukabumi. Keberadaan tambang galian menjadikan Sektor Pertambangan dan Galian sebagai pusat aktifitas yang ada wilayah ini. Disamping itu, wilayah ini juga memiliki potensi sektor basis yang ada di kelompok sektor

60 44 sekunder dan tersier. Namun wilayah ini tidak mampu menjadikan sektor pertanian menjadi sektor basis. Walaupun tenaga kerja petani merupakan salah satu mata pencaharian utama di wilayah ini, namun luas lahan pertanian yang hanya 16,73% tidak dapat menjadi kekuatan ekonomi wilayah ini. Kemungkinan yang terjadi adalah para petani yang ada di Kecamatan Gunungpuyuh bukan para pemilik lahan tapi mereka adalah petani penggarap sehingga tingginya jumlah petani tidak menjadikan Sektor Pertanian sebagai sektor basis. Kecamatan Warudoyong merupakan wilayah dengan pusat aktifitas di Sektor Pengangkutan dan Komunikasi. Hal ini disebabkan terdapatnya terminal bis antar kota antar provinsi di wilayah ini. Wilayah ini memiliki luas lahan pertanian yang cukup besar dan tenaga kerja petani yang memadai namun ternyata tidak bisa menjadikan Sektor Pertanian sebagai sektor basis di wilayah ini. Hal ini dimungkinkan karena lahan pertanian yang ada ternyata banyak dimiliki oleh tuan tanah dari wilayah lain, sehingga kontribusi sektor pertanian tidak menjadi nilai tambah yang berarti bagi Kecamatan Warudoyong. Kemudian dalam Perda RTRW Kota Sukabumi, kecamatan ini juga tidak diarahkan sebagai daerah lahan pertanian pangan berkelanjutan, tapi diarahkan sebagai kawasan industri. Oleh sebab itu Sektor Industri yang juga merupakan sektor basis di wilayah ini dapat diarahkan untuk mendorong aktifitas pertanian melalui industri pengelolaan hasil pertanian (agro industri). Kecamatan Baros merupakan wilayah yang memiliki lahan pertanian 49% dari luas wilayahnya. Walaupun tenaga kerja di Sektor Pertanian sangat rendah namun dengan jumlah penduduk yang relatif masih sedikit menyebabkan hasil dari Sektor Pertanian yang ada dapat mencukupi bahkan hingga diekspor keluar wilayah dan menjadi sektor basis disamping Sektor Pertambangan dan Galian yang menjadi pusat aktifitas sektor perekonomian di wilayah ini. Luasnya lahan pertanian dan perikanan di wilayah ini harus dapat dipertahankan agar dapat menjadi penyedia kebutuhan sektor primer di wilayah Kota Sukabumi. Penetapan Kecamatan Baros sebagai kawasan pertanian pangan berkelanjutan harus dijaga dengan pemberian insentif dan disintensif agar lahan pertanian yang ada tetap terjaga dan sektor ini dapat menjadi kekuatan pangan di Kota Sukabumi Kecamatan Cibeureum adalah wilayah dengan luas lahan pertanian terbesar yang ada di Kota Sukabumi. Didukung dengan banyaknya tenaga kerja petani dan masih sedkitnya jumlah penduduk di wilayah ini menyebabkan hasil Sektor Pertanian dapat memenuhi kebutuhan wilayah sendiri bahkan menjadi konsumsi wilayah lain sehingga sektor ini menjadi sektor basis. Kecamatan ini juga termasuk kawasan pertanian pangan berkelanjutan yang ditetapkan dalam RTRW Kota Sukabumi, sehingga lahan pertanian yang ada di wilayah ini harus dapat dipertahankan demi ketahanan pangan Kota Sukabumi pada umumnya. Sementara Sektor Industri di wilayah ini merupakan pusat aktifitas industri yang ada di Kota Sukabumi. Disamping sektor primer, di wilayah ini juga menghasilkan sektor sekunder sebagai sektor basis. Sektor sekunder yang ada diharapkan dapat mendukung keberlanjutannya sektor pertanian di wilayah ini. Kecamatan Lembursitu merupakan wilayah yang menjadi pusat aktifitas Sektor Pertanian di Kota Sukabumi. Wilayah ini dapat dikatakan sebagai lumbung padi Kota Sukabumi karena produktifitas pertaniannya cukup besar, oleh sebab itu wilayah ini juga ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kota Sukabumi. Selain Sektor Pertanian, seluruh sektor yang ada di sektor sekunder

61 juga menjadi aktifitas basis di wilayah ini. Oleh sebab itu potensi kelompok sektor sekunder sebaiknya juga diarahkan untuk mendukung keberlanjutan sektor Pertanian yang ada agar tetap menjadi sektor basis. Secara umum dapat dikatakan bahwa kawasan Kota Sukabumi Selatan yang terdiri dari kecamatan-kecamatan dengan luas pertanian yang besar dan jumlah penduduk relatif lebih sedikit dibandingkan dengan kawasan Kota Sukabumi Utara menyebabkan Sektor Pertanian masih menjadi basis utama. Hal ini dapat dikatakan bahwa kawasan Kota Sukabumi Selatan masih bercirikan perdesaan (rural). Sementara kawasan Kota Sukabumi Utara yang didominasi kawasan pemukiman, perkantoran, dan perdagangan memiliki luasan lahan pertanian relatif lebih sedikit. Selain itu, dengan jumlah penduduk yang sangat tinggi mengakibatkan Sektor Pertanian tidak bisa menjadi sektor basis di wilayah ini. Aktifitas di kawasan Kota Sukabumi Utara lebih terkonsentrasi pada kelompok sektor tersier sehingga dapat dikatakan bahwa kawasan ini telah bercirikan wilayah perkotaan (urban). Potensi Sektor Kompetitif Selain sektor basis, kriteria lain yang perlu dipertimbangkan untuk melihat sektor unggulan dalam suatu wilayah adalah kemampuan sektor tersebut untuk bersaing dengan sektor yang sama di dalam cakupan wilayah yang lebih besar (keunggulan kompetitif) yang dapat dianalisis dengan menggunakan teknik SSA. Teknik ini dapat melihat pergeseran kinerja suatu sektor di tiap kecamatan dibandingkan dengan aktifitas perekonomian di Kota Sukabumi dalam dua titik tahun, yaitu tahun 2007 dan 2011 dengan menggunakan data PDRB atas dasar harga konstan, dengan hasilnya dapat dilihat pada Tabel Tabel 19 Hasil SSA berdasarkan Data PDRB per sektor di Kota Sukabumi tahun 2007 dan 2011 KECAMATAN Differential Shift Tani Tamb Ind Ligas Kons Dag Angk Keu Jasa Cikole -0, ,019 0,019-0,007 0,005 0,124 0,022-0,017 Citamiang 0, ,011 0,004-0,005-0,021-0,010-0,060 0,010 Gunungpuyuh -0,156-0, ,019-0,017-0,007-0,017-0,068 0,047 0,010 Warudoyong 0, ,015-0,073-0,007 0,019-0,054-0,018 0,038 Baros -0,134 0, ,029 0,027-0,007 0,012-0,037-0,032-0,026 Cibeureum -0, ,022 0,014 0,010 0,010-0,044-0,079 0,015 Lembursitu 0, ,045 0,027 0,049-0,007-0,004-0,060-0,020 Proportional Shift -0,27-0,51-0,02-0,01 0,02 0,05 0,10-0,07-0,14 Regional Share 0,27 Perhatian utama adalah pada nilai differential shift yang menunjukan pergeseran suatu sektor tertentu di suatu wilayah tertentu. Apabila bernilai positif maka suatu wilayah dianggap memiliki keunggulan kompetitif karena secara fundamental masih memiliki potensi untuk terus tumbuh dan berkembang meskipun faktor-faktor eksternal (komponen share dan proportional shift)

62 46 mengalami kemunduran/tidak mendukung. Dengan demikian sektor-sektor inilah yang secara potensial dan aktual mampu memberikan keunggulan kompetitif pada tiap kecamatan terkait. Komponen proportional shift menunjukan pergeseran total sektor tertentu di wilayah agregat yang lebih luas. Sementara jika dilihat dari nilai proportional shift > 0, Kota Sukabumi mengalami pergerakan positif pada Sektor Bangunan/Konstruksi, Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dan Sektor Pengangkutan dan Komunikasi. Maraknya pembangunan ruko, rukan, dan perumahan di Kota Sukabumi menyebabkan kelompok sektor tersier memberikan kontribusi PDRB terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi Kota Sukabumi. Tidak hanya di kawasan Kota Sukabumi Utara, namun juga di kawasan selatan tingkat konversi lahan menjadi lahan terbangun terutama di Kecamatan Cibeureum dan Kecamatan Lembursitu cukup tinggi. Hal ini menyebabkan Sektor Bangunan/ Konstruksi juga mengalami pertumbuhan yang pesat di Kota Sukabumi. Pertumbuhan positif pada Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran telah sejalan dengan Visi Kota Sukabumi yang ingin menjadikan Kota Sukabumi sebagai pusat perdagangan. Sektor ini memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB Kota Sukabumi yaitu mencapai 46,83% pada tahun Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian, Perdagangan Koperasi dan Penanaman Modal Kota Sukabumi pada tahun 2011, diketahui bahwa pembuatan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) di Kota Sukabumi pada tahun 2011 mencapai 305 perusahaan, yang terdiri dari 230 perusahaan besar, 58 perusahaan menengah dan 17 perusahaan kecil. Sementara dari kegiatan perhotelan di Kota Sukabumi dapat dilihat dari banyaknya perusahaan akomodasi dan tamu yang menginap. Pada tahun 2011 jumlah perusahaan akomodasi di Kota Sukabumi sebanyak 34 buah yang terdiri dari 707 kamar dan 962 tempat tidur. Banyaknya tamu yang menginap sebesar orang pada tahun 2011 mengalami kenaikan sebesar 30,95% jika dibandingkan dengan tahun 2010 yang berjumlah orang. Pertumbuhan positif di Sektor Pengangkutan dan Komunikasi dimungkinkan terjadi karena wilayah Kota Sukabumi pada tahun 2011 memiliki panjang jalan negara mencapai 8,50 KM dengan kondisi baik 6,38 KM. Panjang jalan propinsi mencapai 10,48 km dengan kondisi baik, sedangkan panjang jalan kota mencapai 142,53 KM dengan 82,65 KM memiliki kondisi yang baik. Aksesibilitas jalan yang baik dan moda transportasi yang lengkap sangat menunjang aktifitas di Kota Sukabumi dan menjadikan sektor ini mengalami pertumbuhan yang paling tinggi diantara sektor lainnya. Walaupun kontribusi dari sektor komunikasi melalui pengiriman pos menurun disebabkan kemajuan teknologi komunikasi elektronik, namun hal ini bisa ditutupi oleh semakin membaiknya sektor angkutan sehingga kontribusi sektor pengangkutan dan komunikasi secara umum cukup tinggi. Nilai regional share menunjukan besarnya pertumbuhan ekonomi tingkat kota dan juga menunjukan kontribusi rata-rata pertumbuhan ekonomi kota terhadap kecamatan-kecamatan yang ada. Dari Tabel diketahui bahwa kontribusi pergeseran total seluruh sektor di Kota Sukabumi adalah 0,27. Hal ini berarti bahwa secara agregat Kota Sukabumi mengalami pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang positif. Walaupun beberapa sektor pertumbuhannya sangat lambat namun pertumbuhan sektor lain yang cukup tinggi mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi Kota sukabumi secara keseluruhan.

63 Hubungan antara nilai differential shift dengan nilai proportional shift dijelaskan pada Tabel 20. Tabel 20 Hubungan antara nilai differential shift dengan nilai proportional shift 47 Proportional Shift (+) (-) Differential Shift (+) (-) Pertumbuhan sektor ini selain karena faktor internal juga dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal Pertumbuhan sektor ini banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan tidak terpengaruh faktor eksternal Pertumbuhan sektor ini banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal Pertumbuhan sektor ini banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal Berdasarkan hasil analisis SSA, semua kecamatan memiliki pergeseran positif pertumbuhan sektor ekonomi. Adapun identifikasi sektor-sektor kompetitif tiap kecamatan ditampilkan pada Tabel 21. Tabel 21 Identifikasi sektor kompetitif di Kota Sukabumi tahun 2011 Identifikasi Keunggulan Kompetitif Kecamatan (Differential Shift Positif) Primer Sekunder Tersier Cikole Ligas Dag, Angk, Keu Citamiang Tani Ind, Ligas Jasa Gunungpuyuh Keu, Jasa Warudoyong Tani Dag, Jasa Baros Tamb Ind, Ligas Dag Cibereum Ligas, Kons Dag, Jasa Lembursitu Tani Ind, Ligas, Kons Dari hasil identifikasi dapat diketahui hampir seluruh kecamatan mengalami pergeseran pertumbuhan yang positif ke sektor Tersier, terutama kecamatankecamatan yang ada di kawasan Kota Sukabumi Utara. Pergeseran pertumbuhan tertinggi di sektor tersier ada pada sektor Keuangan, Jasa Persewaan dan Perusahaan di Kecamatan Cikole. Hal ini dimungkinkan karena wilayah ini merupakan pusat pertumbuhan dan pusat keramaian dengan aksesibilitas jalan yang baik dan moda transportasi yang lengkap. Dua kecamatan di kawasan Kota Sukabumi Selatan pun mulai mengalami pergeseran ke sektor tersier, hanya Kecamatan Lembursitu saja yang tidak mengalami pergeseran positif ke sektor tersier, tapi memiliki pertumbuhan tertinggi pada sektor pertanian yang juga merupakan sektor basisnya. Ini berarti bahwa Kecamatan Lembursitu harus diarahkan menjadi wilayah basis pertanian di Kota Sukabumi. Seluruh kecamatan yang ada di kawasan Kota Sukabumi Selatan dengan lahan pertanian yang masih cukup luas ternyata mengalami pergeseran positif ke

64 48 sektor sekunder bahkan dua kecamatan diantaranya bergeser ke sektor tersier, ini berarti telah terjadi peralihan aktifitas dari pemanfaatan SDA secara langsung ke kegiatan berbasis ekonomi produktif dan industrialisasi. Pertumbuhan tertinggi di sektor sekunder ada pada sektor Bangunan/ Konstruksi di Kecamatan Lembursitu, yang ditunjukan dengan banyaknya konversi lahan menjadi kawasan perumahan. Hal tersebut harus diperhatikan oleh pemerintah mengingat Kecamatan Lembursitu telah ditetapkan sebagai salah satu wilayah lahan pangan berkelanjutan dan merupakan basis pertanian di Kota Sukabumi yang harus dipertahankan. Pertumbuhan positif sektor primer di Kota Sukabumi masih ditemukan di 4 kecamatan. Di Kecamatan Citamiang walaupun Sektor Pertanian tidak menjadi kekuatan ekonomi wilayahnya sendiri, namun ternyata aktifitasnya mengalami pergeseran yang positif. Sektor Pertambangan dan Penggalian yang ada di Kecamatan Baros merupakan sektor basis dan mengalami pergeseran positif di wilayah ini, namun pengembangan sektor ini harus selalu ada dalam pengawasan dan pengendalian jangan sampai menimbulkan kerusakan lahan potensial yang ada. Kelompok sektor primer yang mengalami pertumbuhan positif perlu diperhatikan agar pemanfaatan SDA di Kota Sukabumi dapat dioptimalkan sebagai pendorong tumbuhnya sektor-sektor lain sehingga ekonomi di wilayah tersebut dapat berkembang. Tingkat Perkembangan antar Wilayah di Kota Sukabumi Perkembangan suatu wilayah dapat dipahami dari semakin meningkatnya jumlah komponen sistem dan penyebarannya. Suatu sistem dikatakan berkembang jika jumlah komponen/ aktifitas sistem tersebut bertambah atau aktifitas dari komponen sistem tersebar lebih luas. Perkembangan suatu wilayah dapat diketahui melalui suatu analisis mengenai pencapaian pembangunan melalui indikator-indikator kinerja bidang ekonomi sosial dan bidang lain yang mempunyai keterkaitan. Dan pengembangan wilayah sendiri bertujuan untuk memacu perkembangan ekonomi dan sosial serta berperan dalam mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Analisis perkembangan wilayah yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis entropi terhadap sektor perekonomian (aspek pendapatan wilayah) dan analisis skalogram (aspek sarana prasarana wilayah). Perkembangan Diversitas Aktifitas Perekonomian Diversitas aktivitas ekonomi yang terjadi di Kota Sukabumi dalam penelitian ini dilakukan dengan mengggunakan analisis indeks entropi. Prinsip indeks entropi adalah semakin tinggi nilai entropi yang dihasilkan berarti wilayah tersebut semakin berkembang, tingkat penyebaran aktifitas relatif merata dan ragam setiap jenis aktifitas ekonomi relatif sama. Aktivitas suatu wilayah dapat dicerminkan dari perkembangan sektor-sektor perekonomian dalam PDRB. Hasil perhitungan indeks entropi dengan data PDRB atas dasar harga konstan pada tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 22.

65 49 Tabel 22 Indeks Entropi Kecamatan di Kota Sukabumi tahun 2011 Kecamatan Tani Tamb Ind Ligas Kons Dag Angk Keu Jasa Entropi Total Cikole 0,01 0,03 0,01 0,06 0,25 0,15 0,12 0,14 0,77 Citamiang 0,01 0,04 0,01 0,04 0,22 0,12 0,05 0,09 0,59 Gunungpuyuh 0,01 0, ,04 0,01 0,06 0,16 0,11 0,06 0,08 0,53 Warudoyong 0,02 0,05 0,01 0,05 0,24 0,14 0,06 0,07 0,65 Baros 0,01 0, ,03 0,01 0,03 0,09 0,03 0,02 0,04 0,27 Cibeureum 0,03 0,03 0,01 0,03 0,07 0,03 0,02 0,03 0,25 Lembursitu 0,07 0,03 0,01 0,03 0,08 0,04 0,02 0,04 0,32 Entropi Maksimum = 4,14 Perkembangan Wilayah = 0,81 0,17 0, ,26 0,08 0,29 1,13 0,61 0,34 0,48 3,37 Berdasarkan Tabel 22, Entropi maksimum yang dihasilkan untuk data PDRB 2011 adalah 4,143 dengan entropi total 3,37 atau menghasilkan perkembangan wilayah sebesar 81,25% dari kemampuan maksimumnya. Pencapaian ini sudah mendekati nilai entropi maksimum, sehingga dapat dinyatakan bahwa tingkat penyebaran aktifitas di seluruh wilayah relatif merata, dan ragam di setiap jenis aktifitas ekonomi relatif sama. Hasil indeks entropi secara sektoral di Kota Sukabumi diperoleh nilai tertinggi ada pada Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran yaitu sebesar 1,13 atau sekitar 33,44% dari total sembilan sektor yang dianalisis. Hasil tersebut menunjukkan bahwa sektor perdagangan merupakan sektor utama yang dimiliki oleh sebagian besar wilayah yang ada di Kota Sukabumi. Sektor dengan keragaman paling rendah adalah Sektor Pertambangan dan Penggalian dengan indeks 0,0005 atau sekitar 0,01 persen. Hal ini dimungkinkan karena luasan lahan galian yang dieksplorasi sangat kecil dan untuk Kota Sukabumi hanya ada di 2 kecamatan, sehingga walaupun sektor ini menjadi sektor basis di kecamatan tersebut namun secara agregat perkembangan sektor ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan sektor lainnya. Berdasarkan hasil analisis entropi tersebut terlihat bahwa keberagaman aktivitas Kecamatan Cikole jauh lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya. Nilai entropi Kecamatan Cikole sebesar 0,77 atau 22,73% dari nilai entropi total Kota Sukabumi. Kecamatan lainnya yang ada di wilayah Kota Lama yaitu Kecamatan Citamiang (0,59), Kecamatan Gunungpuyuh (0,53) dan Kecamatan Warudoyong (0,65) memiliki nilai entropi diatas 15%, sehingga dapat dikatakan bahwa keragaman aktifitas kawasan Kota Sukabumi Utara sangat mempengaruhi perkembangan Kota Sukabumi secara keseluruhan. Nilai entropi kecamatan yang ada di kawasan Kota Sukabumi Selatan tidak ada yang mencapai 10%, dengan rincian Kecamatan Baros (0,27), Kecamatan Cibeureum (0,25) dan Kecamatan Lembursitu (0,32). Kondisi ini menunjukan bahwa tingkat keberagaman (diversitas) dan keberimbangan sektor-sektor ekonomi di kawasan Kota Sukabumi Utara lebih baik atau memiliki perkembangan wilayah yang lebih maju daripada kawasan Kota Sukabumi Selatan.

66 50 Perkembangan nilai entropi perkecamatan di Kota Sukabumi periode tahun disajikan dalam Gambar Gambar 12 Nilai Entropi per Kecamatan di Kota Sukabumi tahun Berdasarkan Gambar 12 dapat diketahui bahwa perkembangan nilai entropi perkecamatan setiap tahunnya tidak banyak berubah, bahkan di beberapa wilayah cenderung turun. Hanya Kecamatan Cikole saja yang mengalami peningkatan nilai entropi dari 0,763 di tahun 2007 menjadi 0,77 di tahun Ini berarti bahwa Kecamatan Cikole sebagai pusat pertumbuhan dari tahun ke tahun mengalami pertumbuhan ekonomi wilayah dan menunjukan bahwa wilayahnya paling berimbang dengan diversitas perkembangan sektor-sektor ekonomi yang sangat baik dan tidak didominasi oleh sektor tertentu saja. Begitu pula Kecamatan Citamiang, Kecamatan Gunungpuyuh dan Kecamatan Warudoyong walaupun nilai entropinya berada di bawah Kecamatan Cikole tapi perkembangan ekonomi di wilayah ini masih lebih baik dibandingkan dengan wilayah yang ada di Kota Baru yaitu Kecamatan Baros, Kecamatan Cibeureum dan Kecamatan Lembursitu. Kondisi sebaliknya terjadi pada 4 kecamatan yang ada di kawasan Kota Sukabumi Utara yang mengalami penurunan perkembangan ekonomi dari tahun ke tahun. Hal ini mengindikasikan telah terjadi pembangunan yang sentralistik, dimana Kecamatan Cikole sebagai pusat pertumbuhan terus mengalami perkembangan ekonomi wilayah, sementara kecamatan yang yang berada di kawasan hinterland terus mengalami penurunan aktifitas ekonomi wilayah. Kemungkinan yang terjadi adalah adanya backwash effect dimana sumber daya alam dan sumber daya manusia yang tersebar di wilayah hinterland telah beralih ke wilayah pusat pertumbuhan. Hasil analisis untuk melihat perkembangan nilai entropi tiap sektor di Kota Sukabumi periode tahun (Tabel 23) menunjukan bahwa perkembangan ekonomi wilayah/indeks entropi Kota Sukabumi tahun mengalami penurunan dari 0,822 pada tahun 2007 menjadi 0,812 pada tahun Kemunduran perkembangan wilayah ini mungkin disebabkan oleh meningkatnya aktifitas di Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dan Sektor Pengangkutan

67 dan Komunikasi yang mengakibatkan banyak aktifitas di sektor lain yang ditinggalkan. Namun dengan nilai maksimal indeks entropi adalah 1, dapat dikatakan bahwa perkembangan wilayah di Kota Sukabumi cukup bagus walaupun pada perkembangannya keragaman aktifitas sektor-sektor perekonomian di Kota Sukabumi relatif stabil sehingga cenderung kurang berkembang Tabel 23 Indeks Entropi per Sektor di Kota Sukabumi tahun Sektor Ekonomi Tahun Tani 0,206 0,205 0,183 0,176 0, Tamb 0,001 0,001 0,001 0,000 0, Ind 0,264 0,268 0,260 0,264 0, Ligas 0,081 0,078 0,080 0,080 0, Kons 0,287 0,295 0,292 0,292 0, Dag 1,100 1,101 1,125 1,127 1, Angk 0,581 0,596 0,602 0,604 0, Keu 0,359 0,343 0,334 0,332 0, Jasa 0,527 0,518 0,501 0,494 0,485 Entropi Total 3,406 3,404 3,377 3,369 3,366 Entropi Maksimum 4,143 4,143 4,143 4,143 4,143 Indeks Entropi/ Perkembangan Wilayah 0,822 0,822 0,815 0,813 0,812 Hasil penelitian pada kurun waktu tersebut Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran memberikan nilai entropi terbesar. Bahkan dari tahun ke tahun sektor ini mengalami peningkatan tidak seperti sektor lainnya yang justru mengalami penurunan nilai. Perkembangan nilai entropi juga terjadi di Sektor Pengangkutan dan Komunikasi walaupun nilainya tidak sebesar Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran. Hal ini dapat dikatakan bahwa kedua sektor ini berkembang lebih merata dibandingkan dengan sektor lainnya. Hirarki Wilayah Indikator lain yang digunakan untuk melihat tingkat perkembangan wilayah Kota Sukabumi adalah indikator sarana prasarana untuk melihat hirarki suatu wilayah terhadap wilayah lain di Kota Sukabumi, dalam hal ini digunakan analisis skalogram dengan data yang dipakai adalah Podes Kota Sukabumi tahun Analisis skalogram mengidentifikasikan wilayah yang berfungsi sebagai pusat/inti dan wilayah hinterlandnya, dengan mempertimbangkan tidak hanya keberadaan fasilitas pelayanan tapi juga aspek kapasitas layanan, serta akses berdasarkan jarak fisik dan waktu tempuh menuju fasilitas tersebut. Tingkat perkembangan suatu wilayah berdasarkan analisis skalogram dicerminkan oleh nilai indeks perkembangan wilayahnya masing-masing. Semakin tinggi nilai indeks perkembangan wilayahnya maka wilayah tersebut semakin berkembang dengan fasilitas pelayanan umum yang memadai, keberadaan sarana dan prasarana di wilayah tersebut lebih beragam dan banyak dibandingkan wilayah lain, sehingga secara umum dapat dikatakan lebih maju 51

68 52 atau berkembang dan dapat menjadi pusat pelayanan bagi wilayah yang indeks perkembangan wilayahnya lebih rendah. Sementara jenis data yang digunakan dalam penentuan indeks perkembangan wilayah dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 2. Data asli Fasilitas yang digunakan dalam analisis hirarki wilayah kecamatan di Kota Sukabumi tahun 2011 tercantum dalam Lampiran 3 dan hasil analisisnya terlihat pada Tabel 24. Tabel 24 Hirarki Wilayah Kecamatan berdasarkan Nilai IPK tahun 2011 Nama Kecamatan Indeks Perkembangan Kecamatan (IPK) Jumlah Jenis Sarana Prasarana (Unit) Hirarki Wilayah Cikole 41, Hirarki 1 Gunungpuyuh 28, Hirarki 2 Warudoyong 26, Hirarki 2 Citamiang 24, Hirarki 2 Lembursitu 17, Hirarki 3 Cibeureum 11, Hirarki 3 Baros 9,114 9 Hirarki 3 Berdasarkan hasil analisis seperti yang tertera pada Tabel 24, dapat diketahui bahwa hanya ada 1 (satu) kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah Hirarki I yaitu Kecamatan Cikole, dengan nilai IPK 41,569 dan Jumlah jenis sarana prasarana sebanyak 19 unit. Hal ini berarti Kecamatan Cikole memiliki tingkat perkembangan yang paling baik dibandingkan dengan wilayah lainnya. Berdasarkan kondisi eksisting, Kecamatan Cikole memiliki jumlah jenis fasilitas pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang sangat lengkap, aksesibilitas baik jarak tempuh maupun kemudahan mencapai fasilitas sangat baik karena beragam fasilitas dimilikinya sendiri sehingga aktivitas masyarakat di wilayah ini sangat tinggi dan beragam. Kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah Hirarki II adalah Kecamatan Gunung Puyuh, Warudoyong dan Citamiang, dengan nilai IPK antara 24,192 dan 28,897. Ketiga kecamatan ini memiliki aksesibilitas yang lebih baik karena berbatasan langsung dengan Kecamatan Cikole yang merupakan pusat kota. Kecamatan yang termasuk dalam Hirarki I dan Hirarki II merupakan kawasan Kota Sukabumi Utara, yaitu bagian dari kota lama yang sudah lebih dulu ada dan berkembang. Kecamatan lainnya yaitu Kecamatan Baros, Cibeureum dan Lembursitu termasuk ke dalam wilayah Hirarki III, dengan Nilai IPK antara 9,114 dan 17,744. Ketiga kecamatan ini merupakan wilayah yang didominasi hasil pemekaran di kawasan Kota Sukabumi Selatan dengan jumlah fasilitas yang relatif lebih sedikit dan aksesibilitas yang relatif kurang baik karena terletak jauh dari pusat kota. Untuk melihat penyebaran hirarki kecamatan di Kota Sukabumi pada tahun 2011 dapat dilihat dari peta tematik yang ditampilkan pada Gambar 13. Melengkapi informasi pada gambar tersebut diperlihatkan kondisi jalan dalam keadaan baik yang melintasi masing-masing kecamatan agar dapat dilihat kemudahan aksesibilitas aktifitas masing-masing kecamatan.

69 53 Gambar 13 Peta hirarki kecamatan di Kota Sukabumi tahun 2011 Beserta Kondisi Jalan yang Melintasinya Berdasarkan Gambar 13 dapat kita ketahui jika Kecamatan Cikole yang merupakan pusat pemerintahan Kota Sukabumi termasuk dalam kategori pertumbuhan tingkat tinggi atau Hirarki I. Hal ini berarti bahwa wilayah ini memiliki kondisi fisik, sosial dan ekonomi yang secara relatif paling baik atau terlengkap dibandingkan daerah lain di sekitarnya. Tingginya pertumbuhan wilayah dan aktifitas masyarakat di Kecamatan Cikole berimbas terhadap wilayah yang berbatasan langsung dengannya, yaitu Kecamatan Gunungpuyuh, Warudoyong dan Citamiang. Ketiga kecamatan ini masuk dalam kategori perkembangan tingkat sedang, yaitu Hirarki II. Wilayah yang termasuk dalam Hirarki I dan II ini adalah kawasan Kota Sukabumi Utara. Jika dilihat dari Gambar 13 kecamatan yang termasuk dalam hirarki I dan II memiliki akses jalan dalan kondisi baik yang lebih banyak. Hal ini menyebabkan tingginya aktifitas dan keramaian yang berdampak terhadap perkembangan wilayahnya. Sementara Kecamatan Lembursitu, Cibeureum dan Baros yang merupakan kawasan Kota Sukabumi Selatan memiliki jarak yang lebih jauh ke pusat kota sehingga wilayah ini masuk dalam kategori perkembangan wilayah tingkat rendah atau Hirarki III. Ketiga kecamatan ini memiliki akses jalan dalam kondisi baik yang masih sedikit. Hal ini mengakibatkan kurang berkembangnya aktifitas dan potensi sumber daya yang dimiliki, sehingga perkembangan wilayah ketiga kecamatan ini lebih tertinggal dibandingkan dengan empat kecamatan lainnya. Perkembangan hirarki kelurahan yang ada di Kota Sukabumi juga perlu diketahui untuk menentukan arahan pengembangan wilayah masing-masing

70 54 kelurahan. Adapun hasil analisis Hirarki wilayah kelurahan di Kota Sukabumi berdasarkan nilai IPD tahun 2011 terlihat pada Lampiran 1. Berdasarkan hasil analisis, dapat dijelaskan bahwa ada 4 wilayah (12,12% dari seluruh kelurahan di Kota Sukabumi) yang termasuk dalam Hirarki I, yaitu Kelurahan Gunungparang, Kelurahan Cikole, Kelurahan Kebonjati yang berada di Kecamatan Cikole (Kecamatan Hirarki I) dan Kelurahan Nyomplong yang berada di Kecamatan Warudoyong (Kecamatan Hirarki II) dengan nilai IPD berkisar antara 32,805 dan 58,442). Kelengkapan fasilitas dan aksesibilitas yang baik memudahkan masyarakat mendapatkan pelayanan sehingga dapat dikatakan aktivitas di wilayah ini cukup tinggi dan menunjukkan tingkat perkembangan kelurahan yang lebih tinggi sehingga dapat dijadikan pusat pelayanan bagi kelurahan-kelurahan yang ada di sekitarnya atau disebut juga sebagai wilayah nodal. Wilayah kelurahan yang termasuk dalam Hirarki I letaknya saling berkumpul dan berbatasan langsung secara administratif. Namun Kecamatan Cikole yang merupakan wilayah dengan Hirarki I ternyata tidak semua wilayah kelurahannya juga termasuk dalam Hirarki I, bahkan Kelurahan Subangjaya dan Kelurahan Cisarua termasuk dalam kelurahan dengan perkembangan tingkat rendah atau Hirarki III. Hal ini disebabkan karena kedua wilayah ini termasuk ke dalam wilayah hasil pemekaran pada tahun 1995, sehingga mempunyai nilai IPD yang cukup jauh dengan 4 kelurahan lainnya yang ada di Kecamatan Cikole. Wilayah yang termasuk ke dalam Hirarki II dengan nilai IPD antara 20,069 dan 28,797, terdiri dari 7 kelurahan (21,21% dari seluruh kelurahan di Kota Sukabumi), yaitu 1 kelurahan di Kecamatan Cikole, 3 kelurahan di kecamatan Citamiang, 2 kelurahan di Kecamatan Gunungpuyuh, dan 1 kelurahan di Kecamatan Warudoyong. Wilayah Hirarki II ini tersebar di 4 Kecamatan yang merupakan kota lama dan termasuk dalam kecamatan Hirarki I dan Hirarki II. Letak wilayah kelurahan dengan hirarki II ini berkelompok mengelilingi wilayah kelurahan Hirarki I. Oleh sebab itu, wilayah hirarki II ini dapat dikatakan sebagai wilayah hinterland. Hirarki III dengan nilai IPD antara 9,499 dan 18,980 terdiri dari 22 kelurahan (66,67% dari seluruh kelurahan di Kota Sukabumi) yang tersebar di 7 Kecamatan. Jumlah kelurahan yang termasuk dalam Hirarki III di tiap kecamatan adalah 2 di Kecamatan Cikole, 2 di Kecamatan Citamiang, 2 di Kecamatan Gunungpuyuh, 3 di Kecamatan Warudoyong, 4 di Kecamatan Baros, 4 di Kecamatan Cibeureum dan 5 di Kecamatan Lembursitu. Wilayah pada Hirarki III ini memiliki nilai IPD lebih kecil dibandingkan wilayah lainnya karena memiliki jumlah fasilitas yang lebih sedikit sehingga berimplikasi pada aksesibilitas terutama jarak tempuh terhadap fasilitas baik fasilitas pendidikan, kesehatan maupun ekonomi yang lebih jauh. Oleh karena itu, aktivitas masyarakat di wilayah ini relatif lebih rendah dari wilayah lainnya. Sebagian besar wilayah Hirarki III merupakan kawasan Kota Sukabumi Selatan atau wilayah hasil pemekaran tahun 1995 yang dulunya merupakan daerah Kabupaten Sukabumi. Wilayah Hirarki III ini merupakan daerah yang masih bercirikan rural dengan luas lahan pertaniannya relatif lebih luas dibandingkan dengan wilayah Hirarki I dan Hirarki II. Secara spasial, peta sebaran hirarki kelurahan di Kota Sukabumi pada tahun 2011 ditampilkan pada Gambar 14.

71 55 Gambar 14 Peta hirarki kelurahan di Kota Sukabumi tahun 2011 Berdasarkan jumlah kelurahan yang ada di Kota Sukabumi, maka dapat kita Gambarkan komposisi jumlah kelurahan di tiap kecamatan berdasarkan Hirarki wilayah, seperti yang terdapat pada Gambar 15. Lembursitu Cibeureum Baros Warudoyong Gunungpuyuh Citamiang Cikole Hirarki I Hirarki II Hirarki III 0% 20% 40% 60% 80% 100% Gambar 15 Komposisi jumlah kelurahan di tiap kecamatan berdasarkan hirarki wilayah tahun 2011 Prioritas Pembangunan Wilayah berdasarkan Persepsi Stakeholders di Kota Sukabumi Berdasarkan hasil kuisioner disimpulkan bahwa responden menyadari telah terjadi ketimpangan pembangunan di Kota Sukabumi. Kawasan Kota Sukabumi

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah 7 2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Wilayah Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan Istilah pembangunan atau development menurut Siagian (1983) adalah suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pembangunan

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pembangunan 8 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pembangunan Istilah pembangunan dan pengembangan banyak digunakan dalam hal yang sama, yang dalam Bahasa Inggrisnya development. Namun berbagai kalangan cenderung untuk menggunakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Wilayah

TINJAUAN PUSTAKA. Konsep Wilayah 7 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Wilayah Wilayah menurut UU No. 26 tahun 2007 adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi Daerah sebagai wujud dari sistem demokrasi dan desentralisasi merupakan landasan dalam pelaksanaan strategi pembangunan yang berkeadilan, merata, dan inklusif. Kebijakan

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI SUMATERA SELATAN BRILLIANT FAISAL SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 ANALISIS DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI PROVINSI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang desentralisasi membuka peluang bagi daerah untuk dapat secara lebih baik dan bijaksana memanfaatkan potensi yang ada bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH DALAM KAITANNYA DENGAN DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI KABUPATEN PURWAKARTA AI MAHBUBAH

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH DALAM KAITANNYA DENGAN DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI KABUPATEN PURWAKARTA AI MAHBUBAH STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH DALAM KAITANNYA DENGAN DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH DI KABUPATEN PURWAKARTA AI MAHBUBAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengembangan Wilayah

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pengembangan Wilayah penghematan ongkos produksi dan distribusi yang disebabkan oleh kegiatankegiatan produksi yang dilakukan di satu tempat atau terkonsentrasi di suatu lokasi (Sitorus 2012), didekati dengan menganalisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Jangka Panjang tahun 2005 2025 merupakan kelanjutan perencanaan dari tahap pembangunan sebelumnya untuk mempercepat capaian tujuan pembangunan sebagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN ALOKASI ANGGARAN DAN SEKTOR UNGGULAN DALAM MENGOPTIMALKAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN BOGOR FERDINAN SUKATENDEL

ANALISIS KETERKAITAN ALOKASI ANGGARAN DAN SEKTOR UNGGULAN DALAM MENGOPTIMALKAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN BOGOR FERDINAN SUKATENDEL ANALISIS KETERKAITAN ALOKASI ANGGARAN DAN SEKTOR UNGGULAN DALAM MENGOPTIMALKAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI KABUPATEN BOGOR FERDINAN SUKATENDEL SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan nasional merupakan gambaran umum yang memuat arah kebijakan pembangunan daerah (regional development policies) dalam rangka menyeimbangkan pembangunan

Lebih terperinci

ANALISIS PERGERAKAN LALU LINTAS SEBAGAI ARAHAN PUSAT-PUSAT KEGIATAN WILAYAH KOTA BOGOR DEWI ANNISA RIZKI

ANALISIS PERGERAKAN LALU LINTAS SEBAGAI ARAHAN PUSAT-PUSAT KEGIATAN WILAYAH KOTA BOGOR DEWI ANNISA RIZKI ANALISIS PERGERAKAN LALU LINTAS SEBAGAI ARAHAN PUSAT-PUSAT KEGIATAN WILAYAH KOTA BOGOR DEWI ANNISA RIZKI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ANALISIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI PROVINSI JAWA TIMUR: PENDEKATAN SEKTORAL DAN REGIONAL SUKMA DINI MIRADANI

ANALISIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI PROVINSI JAWA TIMUR: PENDEKATAN SEKTORAL DAN REGIONAL SUKMA DINI MIRADANI ANALISIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI PROVINSI JAWA TIMUR: PENDEKATAN SEKTORAL DAN REGIONAL SUKMA DINI MIRADANI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang 17 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional merupakan usaha peningkatan kualitas manusia, yang dilakukan secara berkelanjutan, berdasarkan kemampuan dengan pemanfaatan kemajuan

Lebih terperinci

ANALISIS DISPARITAS REGIONAL DAN PERTUMBUHAN EKONOMI (STUDI KASUS DI KOTA BATU TAHUN ) Alfiana Mauliddiyah. Abstract

ANALISIS DISPARITAS REGIONAL DAN PERTUMBUHAN EKONOMI (STUDI KASUS DI KOTA BATU TAHUN ) Alfiana Mauliddiyah. Abstract ANALISIS DISPARITAS REGIONAL DAN PERTUMBUHAN EKONOMI (STUDI KASUS DI KOTA BATU TAHUN 22-212) Alfiana Mauliddiyah Abstract The Purpose of economic development in Batu city basically are to realize the prosperous

Lebih terperinci

SUMIRIN TEGUH HARYONO

SUMIRIN TEGUH HARYONO EVALUASI DAMPAK PROGRAM PENGEMBANGAN AGROPOLITAN TERHADAP KESEJAHTERAAN MASYARAKAT (STUDI KASUS DI KAWASAN AGROPOLITAN WALIKSARIMADU KABUPATEN PEMALANG) SUMIRIN TEGUH HARYONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Wilayah Perkembangan wilayah merupakan salah satu aspek yang penting dalam pelaksanaan pembangunan. Tujuannya antara lain untuk memacu perkembangan sosial ekonomi dan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 71 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Ketimpangan dan Tingkat Perkembangan Wilayah Adanya ketimpangan (disparitas) pembangunan antarwilayah di Indonesia salah satunya ditandai dengan adanya wilayah-wilayah

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo. Herwin Mopangga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo. Herwin Mopangga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 i Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo Herwin Mopangga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim

KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim ABSTRAK Pembangunan Wilayah (regional) merupakan fungsi dari potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Konsep pengembangan wilayah mengandung prinsip pelaksanaan kebijakan desentralisasi dalam rangka peningkatan pelaksanaan pembangunan untuk mencapai sasaran

Lebih terperinci

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI 16 KONDISI UMUM WILAYAH STUDI Kondisi Geografis dan Administratif Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49

Lebih terperinci

ANALISIS KONTRIBUTOR UTAMA PENENTU PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH PERKOTAAN DI ACEH Muhammad Hafit 1, Cut Zakia Rizki 2* Abstract.

ANALISIS KONTRIBUTOR UTAMA PENENTU PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH PERKOTAAN DI ACEH Muhammad Hafit 1, Cut Zakia Rizki 2* Abstract. ANALISIS KONTRIBUTOR UTAMA PENENTU PERTUMBUHAN EKONOMI WILAYAH PERKOTAAN DI ACEH Muhammad Hafit 1, Cut Zakia Rizki 2* 1) Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala Banda Aceh,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 20 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada awalnya ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita, dengan asumsi pada saat pertumbuhan dan pendapatan perkapita tinggi,

Lebih terperinci

KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS

KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS Studi Kasus Kawasan Kedungsapur di Provinsi Jawa Tengah DYAH KUSUMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakteristik potensi wilayah baik yang bersifat alami maupun buatan, merupakan salah satu unsur yang perlu diperhatikan dalam proses perencanaan pembangunan. Pemahaman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Wilayah dan Hirarki Wilayah II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Wilayah dan Hirarki Wilayah Secara yuridis, dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah memiliki kaitan erat dengan demokratisasi pemerintahan di tingkat daerah. Agar demokrasi dapat terwujud, maka daerah harus memiliki kewenangan yang lebih

Lebih terperinci

Analisis Perubahan Struktur Ekonomi dan Identifikasi Sektor Unggulan di Kabupaten Badung Provinsi Bali Tahun

Analisis Perubahan Struktur Ekonomi dan Identifikasi Sektor Unggulan di Kabupaten Badung Provinsi Bali Tahun Analisis Perubahan Struktur Ekonomi dan Identifikasi Sektor Unggulan di Kabupaten Badung Provinsi Bali Tahun 2003-2012 Skripsi Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Mencapai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Agropolitan Ciwidey yang meliputi Kecamatan Pasirjambu, Kecamatan Ciwidey dan Kecamatan Rancabali Kabupaten Bandung.

Lebih terperinci

ANALISIS SEKTOR PEREKONOMIAN UNGGULAN DAERAH KABUPATEN BATU BARA TESIS. Oleh ASRUL AZIS /PWD

ANALISIS SEKTOR PEREKONOMIAN UNGGULAN DAERAH KABUPATEN BATU BARA TESIS. Oleh ASRUL AZIS /PWD ANALISIS SEKTOR PEREKONOMIAN UNGGULAN DAERAH KABUPATEN BATU BARA TESIS Oleh ASRUL AZIS 097003053/PWD S E K O L A H PA S C A S A R JA N A SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N 2012 ANALISIS

Lebih terperinci

KETIMPANGAN DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KAWASAN BARAT INDONESIA (KBI) OLEH RINDANG BANGUN PRASETYO H

KETIMPANGAN DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KAWASAN BARAT INDONESIA (KBI) OLEH RINDANG BANGUN PRASETYO H KETIMPANGAN DAN PENGARUH INFRASTRUKTUR TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI KAWASAN BARAT INDONESIA (KBI) OLEH RINDANG BANGUN PRASETYO H14084020 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pendekatan pembangunan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi selama ini, telah banyak menimbulkan masalah pembangunan yang semakin besar dan kompleks, semakin melebarnya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian dan sektor basis baik tingkat Provinsi Sulawsi Selatan maupun Kabupaten Bulukumba. Kontribusi sektor

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN ANDALAN PROBOLINGGO- PASURUAN-LUMAJANG MELALUI PENDEKATAN PENINGKATAN EFISIENSI

PENGEMBANGAN KAWASAN ANDALAN PROBOLINGGO- PASURUAN-LUMAJANG MELALUI PENDEKATAN PENINGKATAN EFISIENSI TUGAS AKHIR RP09-1333 1 PENGEMBANGAN KAWASAN ANDALAN PROBOLINGGO- PASURUAN-LUMAJANG MELALUI PENDEKATAN PENINGKATAN EFISIENSI REZA PURBA ADHI NRP 3608 100 050 Dosen Pembimbing Dr. Ir. Eko Budi Santoso,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Penerapan desentralisasi di Indonesia sejak tahun 1998 menuntut daerah untuk mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki secara arif dan bijaksana agar peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

KAJIAN DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH SEBAGAI ARAHAN PENGEMBANGAN WILAYAH BERBASIS POTENSI LOKAL DI KABUPATEN GARUT FIRMAN GUMILAR

KAJIAN DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH SEBAGAI ARAHAN PENGEMBANGAN WILAYAH BERBASIS POTENSI LOKAL DI KABUPATEN GARUT FIRMAN GUMILAR KAJIAN DISPARITAS PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH SEBAGAI ARAHAN PENGEMBANGAN WILAYAH BERBASIS POTENSI LOKAL DI KABUPATEN GARUT FIRMAN GUMILAR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kerangka kebijakan pembangunan suatu daerah sangat tergantung pada permasalahan dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA METRO LAMPUNG BERBASIS EVALUASI KEMAMPUAN DAN KESESUAIAN LAHAN ROBBY KURNIAWAN SAPUTRA

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA METRO LAMPUNG BERBASIS EVALUASI KEMAMPUAN DAN KESESUAIAN LAHAN ROBBY KURNIAWAN SAPUTRA STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA METRO LAMPUNG BERBASIS EVALUASI KEMAMPUAN DAN KESESUAIAN LAHAN ROBBY KURNIAWAN SAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang Analisis struktur perekonomian kota Depok sebelum dan sesudah otonomi daerah UNIVERSITAS SEBELAS MARET Oleh: HARRY KISWANTO NIM F0104064 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR EKONOMI DAN PENGEMBANGAN POTENSI EKONOMI LOKAL KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN

ANALISIS STRUKTUR EKONOMI DAN PENGEMBANGAN POTENSI EKONOMI LOKAL KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN ANALISIS STRUKTUR EKONOMI DAN PENGEMBANGAN POTENSI EKONOMI LOKAL KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2008-2013 SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi Syarat syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN WILAYAH DI PROVINSI SUMATERA UTARA. Mitrawan Fauzi

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN WILAYAH DI PROVINSI SUMATERA UTARA. Mitrawan Fauzi ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN WILAYAH DI PROVINSI SUMATERA UTARA Mitrawan Fauzi mitrawanfauzi94@gmail.com Luthfi Mutaali luthfimutaali@ugm.ac.id Abtract Competition

Lebih terperinci

Analisis Pengembangan Wilayah Kecamatan sebagai Pusat Pertumbuhan dan Pusat Pelayanan di Kabupaten Banyuwangi

Analisis Pengembangan Wilayah Kecamatan sebagai Pusat Pertumbuhan dan Pusat Pelayanan di Kabupaten Banyuwangi Analisis Pengembangan Wilayah Kecamatan sebagai Pusat Pertumbuhan dan Pusat Pelayanan di Kabupaten (Analysis of Regional Development SubDistricts as The Economic Growth and of Service Center in ) Vika

Lebih terperinci

EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2)

EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2) EKO-REGIONAL, Vol 1, No.1, Maret 2006 EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2) 1) Fakultas

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

JIIA, VOLUME 2 No. 3, JUNI 2014

JIIA, VOLUME 2 No. 3, JUNI 2014 SEKTOR BASIS DAN STRUKTUR EKONOMI DI KOTA BANDAR LAMPUNG (An Analysis of Economic s Structure and Bases Sector in Bandar Lampung City) Anda Laksmana, M. Irfan Affandi, Umi Kalsum Program Studi Agribisnis,

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KETIMPANGAN PERTUMBUHAN PENDAPATAN DAERAH PEMEKARAN KABUPATEN PASAMAN DAN KABUPATEN PASAMAN BARAT. Latifa Hanum 1) ABSTRACTS

KETIMPANGAN PERTUMBUHAN PENDAPATAN DAERAH PEMEKARAN KABUPATEN PASAMAN DAN KABUPATEN PASAMAN BARAT. Latifa Hanum 1) ABSTRACTS JURNAL PENELITIAN LUMBUNG, Vol. 15, No. 2, Juli 2016 KETIMPANGAN PERTUMBUHAN PENDAPATAN DAERAH PEMEKARAN KABUPATEN PASAMAN DAN KABUPATEN PASAMAN BARAT Latifa Hanum 1) ABSTRACTS Based on UU No.38/2003,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. institusi nasional tanpa mengesampingkan tujuan awal yaitu pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. institusi nasional tanpa mengesampingkan tujuan awal yaitu pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah upaya multidimensional yang meliputi perubahan pada berbagai aspek termasuk di dalamnya struktur sosial, sikap masyarakat, serta institusi

Lebih terperinci

ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kabupaten/Kota Di Provinsi Banten) DUDI HERMAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 32 METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengambil lokasi di seluruh kabupaten dan kota yang berada di Provinsi Banten, yaitu Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Pembangunan dan Pergeseran Paradigma Pembangunan Menurut Rustiadi et al. (2009) proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematis dan berkesinambungan untuk

Lebih terperinci

ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN PER KAPITA ANTAR KECAMATAN DAN POTENSI PERTUMBUHAN EKONOMI KECAMATAN DI KABUPATEN KARANGASEM

ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN PER KAPITA ANTAR KECAMATAN DAN POTENSI PERTUMBUHAN EKONOMI KECAMATAN DI KABUPATEN KARANGASEM E-Jurnal EP Unud, 2 [4] : 181-189 ISSN: 2303-0178 ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN PER KAPITA ANTAR KECAMATAN DAN POTENSI PERTUMBUHAN EKONOMI KECAMATAN DI KABUPATEN KARANGASEM Amrillah I Nyoman Mahaendra

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH

ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH Skripsi Diajukan untuk Melengkapi Syarat-Syarat Untuk Mendapat Gelar Sarjana

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan yang diperoleh Bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa pembangunan ternyata masih menyisakan berbagai ketimpangan, antara lain berupa kesenjangan pendapatan dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah

TINJAUAN PUSTAKA. Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah 16 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Ekonomi Pembangunan Pembangunan secara tradisional diartikan sebagai kapasitas dari sebuah perekonomian nasional yang kondisi-kondisi ekonomi awalnya kurang lebih bersifat

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam

I.PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam struktur perekonomian yang diperlukan bagi terciptanya pertumbuhan yang terus menerus. Pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Pembangunan Ekonomi Daerah Pembangunan ekonomi daerah merupakan fungsi dari potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Nilai (Rp) BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Penyusunan kerangka ekonomi daerah dalam RKPD ditujukan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah Kabupaten Lebak pada tahun 2006, perkiraan kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya makin kaya sedangkan

Lebih terperinci

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA IDENTIFIKASI SUB SEKTOR PERTANIAN DAN PERANNYA DALAM MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI EKS KARESIDENAN KEDU (PENDEKATAN MINIMUM REQUIREMENTS TECHNIQUE DAN INDEKS WILLIAMSON) SKRIPSI Oleh : Dinan Azifah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

SUB SEKTOR PERTANIAN UNGGULAN KABUPATEN TASIKMALAYA SELAMA TAHUN

SUB SEKTOR PERTANIAN UNGGULAN KABUPATEN TASIKMALAYA SELAMA TAHUN SUB SEKTOR PERTANIAN UNGGULAN KABUPATEN TASIKMALAYA SELAMA TAHUN 2005-2014 Sri Hidayah 1) Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Uniersitas Siliwangi SriHidayah93@yahoo.com Unang 2) Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini

I. PENDAHULUAN. dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal ini 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Fenomena Kesenjangan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia menghadapi fenomena sebaran penduduk yang tidak merata. Hal

Lebih terperinci

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar BAB II PROFIL WILAYAH KAJIAN Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Provinsi Lampung memiliki kegiatan pembangunan yang berorientasikan pada potensi sumberdaya alam

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Provinsi Lampung memiliki kegiatan pembangunan yang berorientasikan pada potensi sumberdaya alam 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Provinsi Lampung memiliki kegiatan pembangunan yang berorientasikan pada potensi sumberdaya alam pada sektor pertanian terutama subsektor tanaman pangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN BAB I 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi sangat terkait erat dengan pembangunan sosial masyarakatnya. Pada awalnya pembangunan ekonomi lebih diprioritaskan pada pertumbuhannya saja, sedangkan

Lebih terperinci

JURNAL GAUSSIAN, Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman Online di:

JURNAL GAUSSIAN, Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman Online di: JURNAL GAUSSIAN, Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman 219-228 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/gaussian ANALISIS SEKTOR UNGGULAN MENGGUNAKAN DATA PDRB (Studi Kasus BPS Kabupaten Kendal

Lebih terperinci

: AJIE HANDOKO F FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

: AJIE HANDOKO F FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA Analisis Perubahan Struktur Ekonomi dan Identifikasi Sektor Ekonomi Unggulan di Kabupaten Rembang dan Kabupaten Blora (Kawasan Banglor) Tahun 2008-2012 JUDUL Diajukan Guna Memenuhi Syarat Syarat Untuk

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS IIV.1 Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Ngawi saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi lima tahun ke depan perlu mendapat

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada Kabupaten yang berbatasan langsung dengan Serawak-Malaysia yaitu Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sanggau,

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada, dengan menjalin pola-pola kemitraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM WILAYAH

4 KONDISI UMUM WILAYAH 25 4 KONDISI UMUM WILAYAH 25 Kondisi Fisik Geografi dan Administrasi Kota Sukabumi secara Geografis terletak di bagian selatan Jawa Barat pada koordinat 106 45 50 Bujur Timur dan 106 45 10 Bujur Timur,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

DAFTAR ISI PERNYATAAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ABSTRAK...

DAFTAR ISI PERNYATAAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ABSTRAK... DAFTAR ISI Halaman PERNYATAAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ABSTRAK... i ii iv vii ix x xi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Permasalahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. serta kesejahteraan penduduk. Kesenjangan laju pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari. serta kesejahteraan penduduk. Kesenjangan laju pertumbuhan ekonomi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah tidaklah terpisahkan dari pembangunan nasional, karena pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Tujuan

Lebih terperinci

ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI ACEH DENGAN PENDEKATAN INDEKS KETIMPANGAN WILLIAMSON PERIODE TAHUN

ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI ACEH DENGAN PENDEKATAN INDEKS KETIMPANGAN WILLIAMSON PERIODE TAHUN ANALISIS DISPARITAS PENDAPATAN ANTAR DAERAH DI PROVINSI ACEH DENGAN PENDEKATAN INDEKS KETIMPANGAN WILLIAMSON PERIODE TAHUN 2008-2011 INCOME DISPARITY ANALYSIS AMONG DISTRICTS IN ACEH PROVINCE USING INDEX

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kota Depok telah resmi menjadi suatu daerah otonom yang. memiliki pemerintahan sendiri dengan kewenangan otonomi daerah

I. PENDAHULUAN. Kota Depok telah resmi menjadi suatu daerah otonom yang. memiliki pemerintahan sendiri dengan kewenangan otonomi daerah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Depok telah resmi menjadi suatu daerah otonom yang memiliki pemerintahan sendiri dengan kewenangan otonomi daerah beserta dengan perangkat kelengkapannya sejak penerbitan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pikir Penelitian

III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pikir Penelitian III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pikir Penelitian Pembangunan yang telah dilaksanakan selama ini sebagian telah menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan tingkat kesejahteraan antar wilayah yang tidak

Lebih terperinci