STUDI TENTANG PERIKANAN IKAN TERBANG DI SELAT MAKASSAR MELALUI PENDEKATAN DINAMIKA BIOFISIK, MUSIM DAN DAERAH PENANGKAPAN MUHAMAD ALI YAHYA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI TENTANG PERIKANAN IKAN TERBANG DI SELAT MAKASSAR MELALUI PENDEKATAN DINAMIKA BIOFISIK, MUSIM DAN DAERAH PENANGKAPAN MUHAMAD ALI YAHYA"

Transkripsi

1 STUDI TENTANG PERIKANAN IKAN TERBANG DI SELAT MAKASSAR MELALUI PENDEKATAN DINAMIKA BIOFISIK, MUSIM DAN DAERAH PENANGKAPAN MUHAMAD ALI YAHYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

2 PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul : STUDI TENTANG PERIKANAN IKAN TERBANG DI SELAT MAKASSAR MELALUI PENDEKATAN DINAMIKA BIOFISIK, MUSIM DAN DAERAH PENANGKAPAN Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan para Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Juni 2006 Muhamad Ali Yahya

3 STUDI TENTANG PERIKANAN IKAN TERBANG DI SELAT MAKASSAR MELALUI PENDEKATAN DINAMIKA BIOFISIK, MUSIM DAN DAERAH PENANGKAPAN Oleh : Muhamad Ali Yahya 1) Indra Jaya 2) Daniel R. Monintja 3) dan Djisman Manurung 3) ABSTRAK Perikanan ikan terbang di Sulawasi Selatan memegang peranan penting, namun beberapa tahun terakhir mengalami penurunan produksi rata-rata sebesar 155 ton per tahun. Untuk itu perlu dilakukan penelitian terhadap sumberdaya ikan terbang di daerah tersebut melalui pendekatan dinamika biofisik, musim, dan daerah penangkapan ikan. Penelitian dilaksanakan di perairan pantai barat Sul-Sel (Selat Makassar) selama tiga periode musim, yaitu: pada peralihan musim barat timur (PMBT), musim timur (MT), dan peralihan musim timur barat (PMTB). Kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang menggunakan jaring insang hanyut permukaan (JIHP) dan bubu hanyut permukaan (BHP)/bale-bale. Data penelitian meliputi data lokasi penangkapan dan hasil tangkapan, data parameter oseanografi serta data statistik perikanan sebagai penunjang. Data dinamika biologi ikan (panjang -berat, jenis kelamin, dan TKG) menurut musim dan DPI serta kaitannya dengan parameter oseanografi, dianalisis menggunakan uji statistik seperti analisis keragaman (ANOVA), analisis korelasi, dan regresi. Hasil analisis antara parameter oseanografi perairan terhadap jumlah hasil tangkapan ikan terbang memperlihatkan adanya perbedaan antara satu parameter dengan parameter perairan lainnya. Tiga parameter oseanografi yakni salinitas perairan, kandungan fosfat, dan kandungan silikat memberikan hubungan yang bersifat positif, dan empat parameter oseanografi lainnya yakni suhu perairan, kecepatan arus, kandungan nitrat, dan oksigen terlarut memperlihatkan hubungan yang negatifi. Hasil analisis dinamika biologi ikan secara keseluruhan selama tiga periode musim diperoleh rata -rata panjang ikan terbesar pada PMTB, dan rata -rata berat ikan terbesar pada MT. Rasio persentase relatif ikan berjenis kelamin betina lebih besar dibandingkan dengan ikan berjenis kelamin jantan pada semua musim penangkapan. Secara spasial ikan yang tertangkap di bagian selatan SM memiliki ukuran panjang dan berat yang lebih besar dibandingkan dengan ikan yang tertangkap di bagian utara. Begitu pula rasio persentase ikan berjenis kelamin betina serta persentase ikan matang gonad (TKG IV) lebih tinggi di bagian selatan dibandingkan dengan di bagian utara terutama pada MT dan PMTB. Hal ini menunjukkan bahwa di bagian selatan Selat Makassar merupakan daerah pemijahan/peneluran bagi ikan terbang dewasa. Selanjutnya hasil tangkapan ikan terbang di SM berbeda baik secara spasial maupun temporal. Diduga terjadi pergerakan kawanan ikan terbang secara musiman dari bagian utara ke bagian selatan pada MT untuk melakukan prorses pemijahan. Daerah pemijahan/peneluran ikan terbang berada di bagian selatan Selat Makassar dimana sekaligus juga merupakan daerah penangkapan telur ikan terbang. Eksploitasi telur ikan terbang yang tinggi di wilayah perairan itu pada periode musim pemijahan, mengakibatkan penurunan ketersediaan stok sumberdaya ikan tersebut yang selanjutnya mengakibatkan terjadinya penurunan produksi hasil tangkapan ikan terbang di daerah itu. Kata Kunci : Ikan terbang, dinamikabiofisik, musim, dan daerah penangkapan ikan ) Mahasiswa IPB 2) Ketua Komisi Pembimbing 3) Anggota Komisi Pembimbing.

4 STUDI TENTANG PERIKANAN IKAN TERBANG DI SELAT MAKASSAR MELALUI PENDEKATAN DINAMIKA BIOFISIK, MUSIM DAN DAERAH PENANGKAPAN Study on Flying Fish Fishery in Makassar Strait: A Biophysic Dynamics, Season, and Fishing Ground Approach By : Muhamad Ali Yahya 1) Indra Jaya 2) Daniel R. Monintja 3) and Djisman Manurung 3) ABSTRACT Flying fish fishery plays an important role in South Sulawesi. However, in the last several years the production showed significant decreased at about 150 ton per year. This problem will be addressed in this dissertation through an integrated approach. The study was carried out in coastal waters of South Sulawesi (Makassar Strait) during three season (west-east transition season, northeast season, and east-west transition season). Fishing operation for flying fish use surface drift gillnet and surface drift traps to collect flying fish eggs. Data for fish biodynamic (length-weight, sex, and maturity index), fishing location and number of catch, oceanographic parameters, and fishery statistical data are collected and analyzed. A spatial and temporal analysis was carried out along with other statistical method such as analysis of variance, regression, and correlation. The results showed that the number of flying fish eggs catch was increased in the end of west-east transition season, and decreased in the onset of east-west transition season. In the mean time, the number of flying fish catch was the highest during the southeast monsoon season compare to both transition seasons. The analysis of fish lengthweight, sex, and maturity index, showed variation in zonal (north south) and seasonal. The effect of oceanographic parameters to the number of flying fish caught was varying. Three oceanographic parameters i.e. waters salinity, phosphate and cilicate was positively correlated, and four oceanographic parameters: water temperature, nitrate, surface current and oxygen absorbed were found to be negative. The over all of fish caught biological analysis showed temporal dependence. Mean of fish length was highest in the end of fishing season period (east west transition season) and mean of fish weight are largest in east season, and ratio of percentage fish matured were highest in east season. A spatial analysis also showed that mean of fish length and weight was attributed larger in the southern part of Makassar Strait. Ratio of fish matured percentage was also found highest in the southern part. The fl ying fish school movement follows zonal and seasonal from northern part to southern part of Makassar Strait during spawning season. In addition flying fish spawning area is located in the southern part of Makassar Strait. It is concluded that high exploitation rate in the spawning area and during the spawning season is responsible for the declining of flying fish stock, and hence, it s declining production. Key Words: Flying fish, biophysic dynamic, season, and fishing ground ) Graduate Student of IPB 2) Chief of Advisory 3) Member of Advisory.

5 Hak cipta milik Muhamad Ali Yahya, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruh dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, microfilm, dan sebagainya

6 STUDI TENTANG PERIKANAN IKAN TERBANG DI SELAT MAKASSAR MELALUI PENDEKATAN DINAMIKA BIOFISIK, MUSIM DAN DAERAH PENANGKAPAN OLEH : MUHAMAD ALI YAHYA Disertasi sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

7 LEMBAR PENGESAHAN Judul Disertasi Nama : Studi tentang Perikanan Ikan Terbang di Selat Makassar melalui Pendekatan Dinamika Biofisik, Musim dan Daerah Penangkapan : Muhamad Ali Yahya Nomor Pokok : P Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. Ketua Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja Anggota Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc. Anggota Diketahui, Program Studi Teknologi Kelautan Ketua Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS. Tanggal Ujian : 02 Juni 2006 Tanggal Lulus : vi

8 PRAKATA Puji dan syukur kekhadirat Allah SWT, dengan segala Rakhmat dan Taufik yang terus dicurahkan kepada penulis, disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini berjudul Studi Tentang Perikanan Ikan Terbang di Selat Makassar Melalui Pendekatan Dinamika Biofisik, Musim dan Daerah Penangkapan. Kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi dan bantuan yang sangat berharga mulai dari proses selama perkuliahan, penyusunan proposal, persiapan penelitian lapang, pelaksanaan penelitian, pengolahan data, penyusunan draft disertasi sampai rampungnya disertasi ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga, semoga apa yang diberikan itu mendapat penilaian yang berlipat ganda dari Tuhan Yang maha Kuasa, Amien. Secara khusus, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus, kepada : 1. Kedua orang tua kami yang tercinta, walau dalam perjalanan hidup saya banyak menyusahkan mereka, namun dengan segala curahan kasih sayang dan doa yang terus diberikan kepada penulis, akhirnya penulis dapat menuai pendidikan yang begitu berarti di dalam diri saya. 2. Isteri dan ketiga putra-putri kami yang begitu tulus, ikhlas dan penuh dengan pengertian, pengorbanan, sehingga mampu menghantarkan suami, ayah mendapatkan dan menyelesaikan studi ini. Tersayang anak kami (Alm. Ridho Fadlyl Peratama), ananda begitu tulus dan penuh pengertian bahkan mengorbankan segala-galanya demi keegoisan ayah, ananda begitu tulus mendampingi ibu dan adik-adikmu selama ayah berpisah tempat demi pendidikan ayah. Bahkan ditengah ananda berjuang menghadapi sakratul maut, ayah tidak berada di sisimu, maafkan ayah, dan selamat jalan anakku menghadap ke sang Khalik. 3. Bapak Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc.; Bapak Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja; dan Bapak Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc. masing-masing sebagai ketua dan anggota komisi pembimbing saya. Beliau sungguh banyak memberikan dorongan, perhatian bahkan ilmunya dengan tulus dalam merampungkan vii

9 proposal penelitian, pelaksanaan penelitian sampai pada penyelesaian disertasi ini. 4. Kepada Bapak Dr. Ir. Mulyono Baskoro, M.Sc., kami menyampaikan terima kasih yang tak terhingga baik secara pribadi maupun selaku Ketua Departemen PSP, FPIK IPB atas segala bantuan, dorongan dan perhatian yang diberikan kepada kami selama menempuh pendidikan ini. 5. Pimpinan Politeknik Pertanian Neg. Pangkep yang telah memberikan izin tugas belajar, dan segenap staf pengajar. 6. Pengelola bantuan dana pendidikan program pascasarjana (BPPS), Dikti Depdiknas. 7. Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana, Ketua Program Studi Teknologi Kelautan dan segenap staf Institut Pertanian Bogor. 8. Gubernur Sul-Sel, Bupati Pangkep, dan Bupati Sinjai yang telah memberikan bantuan dana penelitian. 9. Semua pihak yang telah berjasa dan memberikan bantuan, perhatian dan dorongan yang ikhlas selama penulis menempuh pendidikan ini. Walau disertasi ini telah melalui proses yang panjang dalam penyusunan, perbaikan dan penyempurnaan, namun penulis meyakini masih saja terdapat beberapa kesalahan, kekeliruan dan kekurangan. Untuk itu dengan hati yang tulus penulis menerima kritik, saran, dan masukan demi perbaikan di masa yang akan datang. Bogor, Juni 2006 Muhamad Ali Yahya viii

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 30 April 1960 di Baringeng Sinjai Sulawesi Selatan, merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari ibu Hj. I. T. Mappangngara (Alm.), dan ayah H. A. Muh. Yahya Mapparessa. Penulis menikah dengan Dra. Asti Sugiarti, M.Si. di Jakarta pada tahun 1987 dan dikaruniai tiga orang anak, satu putra dan dua putri. Anak pertama (Ridho Fadlyl Pratama, Alm) berhasil mengenyam pendidikan di Sekolah Menegah Pertama, SMP Neg. 4 Bogor, kemudian pindah ke SMP Neg. 12 Makassar, namun tidak sampai tamat karena usia yang hanya begitu pendek diberikan oleh Allah SWT. Putri kami yang kedua dan ketiga yakni Dwi Akbarina Yahya dan Khaerunnisa Adiyati Yahya sekarang duduk sebagai siswa kelas I masing-masing di SMA Neg. 17 dan siswa kelas I di SMP Neg. 12 Makassar. Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SD Neg. 31 Baringeng Sinjai dan tamat tahun 1973, pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Neg. 1 Sinjai tamat tahun 1976, Sekolah Menengah Atas di SMA Neg. 277 Sinjai dan tamat tahun Penulis melanjutkan pendidikan sarjana (S-1) di Universitas Hasanuddin melalui jalur Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru (SIPENMARU) pada tahun itu juga dan berhasil diterima pada jurusan Perikanan Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian dan lulus tahun 1986 sebagai Sarjana Perikanan, Fakultas Peternakan dengan judul skripsi Pengaruh Perbedaan Waktu Penangkapan Terhadap Hasil Tangkapan Benur di Pesisir Pantai Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan. Pada tahun 1986 penulis diterima sebagai calon staf pengajar Politeknik Pertanian Universitas Hasanuddin, kemudian mengikuti pendidikan khusus bagi calon staf pengajar pada program Polytechnic Education Developmen Center for Agriculture (PEDCA) di Institut Pertanian Bogor selama dua tahun yakni tahun Kembali mengabdi sebagai staf pengajar pada Politeknik Pertanian Unhas sejak tahun Pada tahun 1991 penulis mendapat kesempatan mengikuti pendidikan selama satu tahun di Tromso University, Norway dengan bidang keakhlian Fishing Gear Materials and Design. Pada tahun 1998 penulis diterima sebagai mahasiswa program Magister Sains (S-2) pada Program Studi Teknologi Kelautan, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan lulus pada bulan Nopember tahun 2000 dengan judul Tesis Hubungan Karakteristik Fisika- Kimia Laut dengan Produksi Hasil Tangkapan Ikan Terbang (Cypselurus spp) di Selat Makassar. ix

11 Selama mengikuti pendidikan S-3 di IPB, penulis telah menerbitkan tulisan di beberapa jurnal ilmiah, diantaranya : The Relationship Between Oceanographic Characterstics and Catch Production of Flying Fish (Cypselurus spp) in Makassar Strait; Jurnal Maritek IPB, Jurnal Vol.1 No.1 Tahun 2001, ISSN ; Study on flying fish fisheries in Makassar Strait: its catch, fishing ground and fishing season, Jurnal PSP, FPIK IPB, Vol.XV, No.1 April Analisis Distribusi dan Pola Pemetaan Sumberdaya Ikan Terbang Dengan Teknologi GIS di Selat Makassar; Jurnal Lutjanus Politani Pangkep, Vol. 7, No.3, Juli 2003; Analisis Selektivitas Jaring Insang Hanyut pada Perikanan Ikan Terbang di Kab. Pinrang, Sul-Sel, Jurnal Lutjanus Politani Pangkep, Vol. 9, No.2, Juli Selain itu juga aktif mengikuti beberapa seminar/lokarya, diantaranya : Seminar "Fish Behaviour and Fishing Gears Selectivity", Bogor. Kerjasama Tokyo University of Fisheries Japan Perog. Studi Teknologi Kelautan, Perog. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, 13 Mei 2001; Seminar "Fishing Boats", IPB Bogor. Kerjasama Tokyo University of Fisheries Japan Perog. Studi Teknologi Kelautan, Perog. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor; 29 Agustus 2001; Seminar "Indonesian Throughflow", IPB Bogor. Kerjasama Lamonde-Horty University, USA Perog. Studi Teknologi Kelautan, Perog. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor; 19 Oktober 2001; Member of International Nusantara Statification and Transport Criuise Project in Makassar and Limafattola Straits, Leg 3 Leg 4, Januari Kerjasama BRKP-DKP, LIPI, BPPT dan Overseas. Dengan niat yang tulus dan dukungan yang besar dari pihak keluarga, penulis kemudian kembali melanjutkan pendidikan program doktor (S-3) pada program studi yang sama, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada semester genap tahun ajaran Di tengah perjalanan menempuh pendidikan ini, pada bulan Februari tahun 2002, penulis mendapat cobaan yang begitu berat dengan dipanggilnya menghadap kekhadirat Allah SWT anak kami putra pertama dan satu-satunya. Selama enam bulan penulis tidak dapat melakukan aktivitas, bahkan nyaris putus begitu saja di tengah jalan. Namun berkat dorongan, pengertian dan perhatian yang begitu besar dari Bapak Prof. Daniel R. Moninja selaku Ketua Program Studi dan sekaligus sebagai inspirator di dalam diri saya, Bapak Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc., dan Bapak Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc. dengan segala dorongan dan pengertian yang diberikan, akhirnya penulis dapat kembali melanjutkan pendidikan ini walau dengan tertatih-tatih. Penulis dinyatakan lulus pada Ujian Tertutup tanggal 24 Februari x

12 DAFTAR ISI Halaman PRAKATA... vii DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GAMBAR... xvi DAFTAR LAMPIRAN... xix DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN... xxi 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Keadaan umum lokasi penelitian Sarana dan prasarana penangkapan ikan Sumberdaya ikan terbang Masalah Penelitian Tujuan dan Kegunaan Hipotesis Penelitian Kerangka Pemikiran TELAAH PUSTAKA Deskripsi Biologi Ikan Terbang Karakteristik Biofisik Ikan Terbang Umur dan pertumbuhan Panjang berat Jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad (TKG) Karakteristik Fisika Kimia Perairan Suhu perairan Salinitas perairan Unsur nutrien Pergerakan arus Penaikan massa air (Upwelling) Penginderaan Jauh Kelautan Deskripsi dan perkembangan sistem inderaja Aplikasi inderaja pada bidang kelautan Suhu permukaan laut (SPL) xi

13 Halaman Kandungan klorofil Musim dan Daerah Penangkapan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Terbang METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Penelitian Kapal dan Alat Penangkap Ikan dan Telur Ikan Terbang Metode Penangkapan Ikan Teknik Pengumpulan Data Data oseanografi dan data citra penginderaan jauh Data biologi dan hasil tangkapan ikan terbang Data lokasi penangkapan ikan dan telur ikan terbang Data sekunder dan data penunjang lainnya Teknik Pengolahan dan Metode Analisis Data Pengolahan dan analisis data oseanografi Pengolahan dan analisis data hasil tangkapan Pengolahan dan analisis data biologi ikan Analisis parameter oseanografi dan hasil tangkapan ikan Analisis dinamika biologi dan hasil tangkapan ikan Analisis dinamika biologi dan parameter oseanografi Analisis dinamika biologi, musim dan daerah penangkapan ikan HASIL PENELITIAN Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan dan telur ikan terbang menurut kabupaten Produksi ikan dan telur ikan terbang menurut musim Produksi ikan dan telur ikan terbang menurut API CPUE Ikan dan Telur Ikan Terbang CPUE tahunan ikan dan telur ikan terbang CPUE ikan dan telur ikan terbang menurut musim Penangkapan Ikan dan Telur Ikan Terbang xii

14 Halaman Daerah penangkapan ikan (DPI) Hasil tangkapan Parameter biologi Ikan Panjang berat ikan Jenis kelamin ikan Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan Parameter Oseanografi Suhu permukaan laut (SPL) Salinitas permukaan laut Arus permukaan laut Kandungan nutrien Kandungan klorofil Pola Angin Selat Makassar PEMBAHASAN Hasil Tangkapan Ikan dan Telur Ikan Terbang Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut musim Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut musim dan DPI Panjang berat ikan hasil tangkapan Jenis kelamin dan TKG ikan hasil tangkapan Analisis Parameter Oseanografi dan Hasil Tangkapan Ikan Analisis Dinamika Biologi Ikan Hasil Tangkapan Dinamika biologi ikan dan musim Dinamika biologi ikan dan daerah penangkapan Dinamika biologi ikan, musim dan daerah penangkapan Dinamika biologi ikan dan parameter oseanografi KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiii

15 DAFTAR TABEL Halaman 1 Produksi (ton) ikan terbang menurut propinsi di Indonesia tahun Penentuan TKG ikan Kanal dan panjang gelombang spektrum NOAA-AVHRR Beberapa algoritma SPL dengan NOAA-AVHRR Alat dan bahan penelitian Spesifikasi kapal penangkapan ikan dan telur ikan terbang Spesifikasi alat penangkapan ikan dan telur ikan terbang Data penelitian menurut periode musim dan DPI Nilai rata-rata parameter oseanografi, yang diuji perbedaannya dengan analisis keragaman (Anova) Produksi telur ikan terbang menurut Kabupaten di Sul-Sel Daerah penangkapan ikan dan telur ikan terbang di Selat Makassar Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut DPI Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut musim Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut musim dan DPI Panjang berat ikan menurut DPI Panjang berat ikan menurut musim Panjang berat ikan menurut musim dan DPI Panjang berat ikan menurut wilayah perairan Persentase jenis kelamin ikan menurut DPI Persentase jenis kelamin ikan menurut musim Persentase jenis kelamin ikan menurut musim dan DPI Persentase jenis kelamin ikan menurut wilayah perairan Persentase TKG ikan menurut DPI Persentase TKG ikan menurut musim Persentase TKG ikan menurut musim dan DPI TKG ikan menurut wilayah perairan SPL pada daerah pengamatan Salinitas permukaan laut pada daerah pengamatan Kecepatan arus permukaan laut pada daerah pengamatan xiv

16 Halaman 31 Parameter oseanografi dan jumlah hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang Hasil analisis regresi parameter oseanografi dan hasil tangkapan ikan terbang Jumlah hasil tangkapan dan dinamika biologi ikan terbang Jenis kelamin dan TKG serta panjang berat ikan menurut wilayah perairan Dinamika biologi ikan menurut periode musim dan daerah penangkapan Dinamika biologi ikan dan parameter oseanografi xv

17 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kondisi MSY sumberdaya ikan terbang di perairan Sul-Sel antara tahun Tahap pengolahan telur ikan terbang Persentase ukuran kapal penangkapan ikan di Sulawesi Selatan Jumlah alat tangkap JIHP dan BHP di Sulawesi Selatan Diagram kerja dan pendekatan pemecahan masalah penelitian Morfologi ikan terbang (Cypselurus spp) Model keseimbangan stok suatu populasi ikan dalam perairan Lokasi Penelitian (Selat Makassar) Skema proses penangkapan telur ikan terbang dengan BHP / bale-bale Skema proses penangkapan ikan terbang dengan JIHP trip panjang Skema proses penangkapan ikan terbang dengan JIHP trip harian Posisi stasiun pengambilan data oseanografi di Selat Makassar Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang di Sulawesi Selatan Nilai produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang di Sulawesi Selatan Produksi ikan terbang dari empat kabupaten di Sulawesi Selatan Produksi ikan terbang menurut musim di Sulawesi Selatan Produksi telur ikan terbang menurut musim di Sulawesi Selatan Produksi ikan terbang dari beberapa jenis API CPUE tahunan ikan terbang di Sulawesi Selatan CPUE tahunan telur ikan terbang di Sulawesi Selatan CPUE ikan terbang menurut musim di Sulawesi Selatan CPUE telur ikan terbang menurut musim di Sulawesi Selatan Sebaran mendatar SPL Selat Makassar Sebaran melintang suhu di perairan Selat Makassar Sebaran SPL dari data citra NOAA-AVHRR di Selat Makassar pada PMBT Sebaran SPL dari data citra NOAA-AVHRR di Selat Makassar pada MT xvi

18 Halaman 27 Sebaran SPL dari data citra NOAA-AVHRR di Selat Makassar pada PMTB Sebaran mendatar salinitas perairan Selat Makassar Sebaran melintang salinitas perairan Selat Makassar Sebaran mendatar kandungan fosfat perairan Selat Makassar Sebaran melintang kandungan fosfat perairan Selat Makassar Sebaran mendatar kandungan nitrat perairan Selat Makassar Sebaran melintang kandungan nitrat perairan Selat Makassar Sebaran mendatar kandungan silikat perairan Selat Makassar Sebaran melintang kandungan silikat perairan Selat Makassar Sebaran mendatar oksigen terlarut perairan Selat Makassar Sebaran melintang oksigen terlarut perairan Selat Makassar Sebaran mendatar kandungan klorofil di Selat Makassar pada PMBT Sebaran mendatar kandungan klorofil di Selat Makassar pada MT Sebaran mendatar kandungan klorofil di Selat Makassar pada PMTB Arah angin sesaat dan kecepatannya di atas permukaan laut Selat Makassar Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut menurut periode musim Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut periode musim dan DPI Panjang berat ikan menurut periode musim dan DPI Panjang ikan menurut TKG, periode musim, dan DPI Berat ikan menurut TKG, periode musim, dan DPI Jenis kelamin dan TKG ikan menurut periode musim dan DPI Panjang berat ikan menurut periode musim Proporsi panjang berat ikan menurut periode musim Persentase jenis kelamin ikan menurut periode musim Persentase TKG ikan menurut musim Panjang berat ikan menurut wilayah perairan Persentase jenis kelamin ikan menurut DPI Persentase TKG ikan menurut wilayah perairan Panjang berat ikan menurut periode musim dan DPI Proporsi panjang berat ikan menurut periode musim dan DPI xvii

19 Halaman 57 Komposisi jenis kelamin ikan menurut musim dan DPI Komposisi TKG ikan menurut periode musim dan DPI xviii

20 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Kapal patorani untuk penangkapan ikan dan telur ikan terbang di Sulawesi Selatan Alat Penangkapan ikan dan telur ikan terbang di Sulawesi Selatan Daftar pertanyaan (kwesioner) Produksi ikan terbang dari beberapa jenis API di Sulawesi Selatan Jumlah unit JIHP dan produksi ikan terbang di Sulawesi Selatan Jumlah unit BHP dan produksi telur ikan terbang di Sulawesi Selatan CPUE tahunan ikan terbang di Sulawesi Selatan selama periode 10 tahun ( ) CPUE tahunan telur ikan terbang di Sulawesi Selatan selama periode 10 tahun ( ) CPUE ikan terbang menurut musim di Sulawesi Selatan selama periode 10 tahun ( ) CPUE telur ikan terbang menurut musim di Sulawesi Selatan selama periode 10 tahun ( ) Lokasi penangkapan, parameter oseanografi, dan hasil tangkapan di DPI I Hasil tangkapan, jenis kelamin dan TKG di DPI I Panjang ikan hasil tangkapan di DPI I Berat ikan hasil tangkapan di DPI I Lokasi penangkapan, parameter oseanografi, dan hasil tangkapan di DPI II Hasil tangkapan, jenis kelamin dan TKG di DPI II Panjang ikan hasil tangkapan di DPI II Berat ikan hasil tangkapan di DPI II Lokasi penangkapan, parameter oseanografi, dan hasil tangkapan di DPI III Hasil tangkapan, jenis kelamin dan TKG di DPI III Panjang ikan hasil tangkapan di DPI III Berat ikan hasil tangkapan di DPI III Lokasi penangkapan, parameter oseanografi, dan hasil tangkapan di DPI IV Hasil tangkapan, jenis kelamin dan TKG di DPI IV Panjang ikan hasil tangkapan di DPI IV Berat ikan hasil tangkapan di DPI IV xix

21 Halaman 27 Hasil uji perbedaan rata-rata SPL Selat Makassar menurut musim Hasil uji perbedaan rata-rata salinitas permukaan laut Selat Makassar menurut musim Hasil uji perbedaan rata-rata kandungan fosfat perairan laut Selat Makassar menurut musim Hasil uji perbedaan rata-rata kandungan nitrat perairan laut Selat Makassar menurut musim Hasil uji perbedaan rata-rata kandungan silikat perairan laut Selat Makassar menurut musim Hasil uji perbedaan rata-rata oksigen terlarut perairan laut Selat Makassar menurut musim Hasil analisis uji-t parameter biologi ikan di bagian utara dan selatan Selat Makassar Hasil analisis varians (Anova) parameter biologi ikan pada tiga periode musim Hasil analisis uji lanjut (Multiple Comparisons) parameter biologi ikan pada tiga periode musim Hasil analisis uji lanjut (uji Duncan) parameter biologi ikan pada tiga periode musim xx

22 DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN ABK API Bale-bale BHP Cm DKP DPI Dtk G Hauling IT JIHP JIT Jurumidi Kg M MT Patorani PMBT PMTB Ponggawa PPI PS Puka PY Setting TIT : Anak buah kapal : Alat penangkapan ikan : Sejenis rumpon berbentuk empat persegi untuk menangkap telur ikan terbang di Sulawesi Selatan. : Bubu hanyut permukaan : Centimeter : Dinas Kelautan dan Perikanan : Daerah penangkapan ikan dan telur ikan terbang : Detik : Gram : Pengangkatan alat tangkap ke kapal sebagai akhir penangkapan ikan : Ikan terbang : Jaring Insang hanyut permukaan : Jaring insang tetap : Nelayan yang mengepalai kegiatan penangkapan : Kilogram : Meter : Musim timur : Nelayan penangkap ikan dan telur ikan terbang : Peralihan musim barat timur : Peralihan musim timur barat : Pedagang besar dan pemilik modal untuk nelayan : Pangkalan pendaratan ikan : Purse seine : Jaring : Payang : Penurunan alat tangkap ke dalam perairan sebagai awal penangkapan ikan : Telur ikan terbang Torani, Tourani, Tuing-tuing : Ikan terbang xxi

23 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keadaan Umum Lokasi Penelitian Selat Makassar sebagai wilayah perairan laut yang berada di pesisir pantai barat Sulawesi Selatan, merupakan salah satu wilayah perairan yang memiliki potensi sumberdaya ikan terbang dengan produksi yang cukup besar diantara beberapa wilayah perairan laut dari beberapa propinsi lainnya di Indonesia (Tabel 1). Dilaporkan bahwa potensi lestari (MSY) sumberdaya ikan terbang di Selat Makassar berkisar antara sampai dengan ton yang dapat dikelola setiap tahunnya (Tambunan, 2005). Hasil penelitian sebelumnya melaporkan bahwa potensi lestari sumberdaya ikan terbang di Selat Makassar adalah sebesar ton per tahun dengan upaya penangkapan sebesar unit per tahun (Dwiponggo, et al.,1983), ton per tahun dengan upaya penangkapan sebesar unit (Nessa, et al., 1992), dan ton per tahun dengan unit upaya penangkapan (Ali, et al., 2005). Dari potensi lestari sumberdaya ikan terbang di daerah ini, mampu menghasilkan produksi tertinggi yang dicapai selama 5 tahun terakhir adalah sebesar ton pada tahun 2000 (Gambar 1). Sumberdaya ikan terbang di perairan Indonesia menyebar dengan potensi yang berbeda-beda. Perbedaan potensi tersebut, terlihat dengan produksi ikan terbang yang dihasilkan dari setiap wilayah yang berbeda. Produksi hasil tangkapan ikan terbang secara nasional sampai dengan tahun 2003 terbesar dihasilkan dari Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku. Dalam perkembangannya, produksi ikan terbang yang dihasilkan dari setiap wilayah propinsi terjadi fluktuasi, bahkan di beberapa wilayah yang sebelumnya menghasilkan ikan terbang yang cukup besar misalnya dari Riau pada tahun 1998 dan 1999, kemudian pada tahun berikutnya tidak lagi menghasilkan ikan terbang. Sebaliknya di beberapa wilayah lainnya yang sebelumnya tidak menghasilkan ikan terbang, kemudian beberapa tahun berikutnya juga menghasilkan produksi ikan terbang, misalnya dari Propinsi Bengkulu, Gorontalo, dan Maluku Utara. Hal tersebut menggambarkan bahwa di beberapa wilayah terjadi penurunan produksi ikan terbang, tetapi beberapa wilayah lainnya terjadi peningkatan produksi. Besarnya peningkatan dan penurunan produksi ikan terbang yang dihasilkan dari masing-masing wilayah, dapat disebabkan diantaranya adalah besar kecilnya upaya

24 penangkapan yang dilakukan dalam mengeksploitasi potensi sumberdaya ikan terbang di masing-masing wilayah tersebut, dan dapat pula disebabkan karena lintas perdagangan. Tabel 1 Produksi (ton) ikan terbang menurut propinsi di Indonesia tahun PROPINSI Tahun NAD Sumatera Utara R i a u Bengkulu Lampung Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur B a l i NTB NTT Sulawesi Utara Gorontalo Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Maluku Maluku Utara Papua Total Produksi (Ton) , Sumber : Tambunan, MSY Eopt MSY (Ton/Tahun); Eopt (Unit Gillnet/Tahun (Dwiponggo, et al., (Nessa, et al., (Ali, 2005) Hasil Penelitian 1983) 1992) Gambar 1 Kondisi MSY sumberdaya ikan terbang di Sulawesi Selatan antara tahun

25 Propinsi Sulawesi Selatan sebagai penghasil ikan terbang terbesar secara nasional, dari tahun ke tahun juga mengalami fluktuasi produkasi ikan terbang yang dihasilkan. Produksi ikan terbang di Sulawesi Selatan dari tahun 1998 sampai dengan tahun 2004 diperoleh terbesar pada tahun 2000 dengan jumlah produksi sebesar ton, kemudian pada tahun berikutnya mengalami penurunan produksi yang cukup besar yakni rata-rata sebesar 155 ton per tahun. Di pesisir pantai barat Sulawesi Selatan dengan panjang garis pantai sekitar km, terdapat beberapa kabupaten dengan kontribusi produksi ikan terbang yang dominan di daerah tersebut, diantaranya adalah Kabupaten Takalar, Kabupaten Barru, Kabupaten Pinrang, Kabupaten Majene, dan Kabupaten Mamuju. Kabupaten Takalar dan Kabupaten Barru berada di bagian selatan wilayah pesisir pantai barat perairan Selat Makassar, sedangkan Kabupaten Pinrang, Mamuju dan Majene berada di bagian sebelah utara. Dua kabupaten terakhir, yakni Kabupaten Majene dan Kabupaten Mamuju, saat ini tidak lagi berada di dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan tetapi berada dalam wilayah Propinsi Sulawesi Barat, sebagai hasil pemekaran wilayah propinsi sejak tahun Umumya nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang di daerah ini, merupakan penduduk asli yang mendiami wilayah tersebut dan berada di sepanjang pesisir pantai. Di Kabupaten Takalar, mayoritas penduduk yang mendiami wilayah itu, adalah suku Makassar. Di Kabupaten Barru yang berada di bagian sebelah utara Kota Makassar mayoritas penduduknya merupakan suku bugis. Di daerah Ujung Lero Kabupaten Pinrang, penduduk yang mendiami wilayah pesisir di daerah itu sebagian merupakan suku mandar dan sebagian lainnya adalah suku bugis. Kabupaten Majene yang merupakan lokasi penelitian yang berada di bagian paling utara, mayoritas penduduknya adalah suku mandar. Hampir sepanjang tahun kegiatan penangkapan ikan terbang di daerah itu hanya dilakukan oleh masyarakat nelayan setempat tanpa adanya komunitas nelayan dari daerah lain di sekitarnya. Pemasaran hasil tangkapan ikan terbang yang diperoleh nelayan, sebagian besar hanya diperuntukkan kepada konsumen lokal sebagai kebutuhan pangan sehari-hari. Apabila jumlah hasil tangkapan ikan melimpah, misalnya pada puncak musim penangkapan ikan terbang, sebagian hasil tangkapan ikan itu juga dipasarkan ke daerah lain di sekitarnya, terutama ke daerah-daerah dataran tinggi yang tidak memiliki laut seperti, Kabupaten Tanah 3

26 Toraja, Kabupaten Enrekang, dan sebagian daerah di Kabupaten Luwu. Walaupun jenis ikan ini bukan tergolong sebagai jenis ikan ekonomis penting, namun karena telah berlangsung lama usaha penangkapannya dan tetap diminati oleh masyarakat sehingga juga memberikan kontribusi terhadap pendapatan nelayan di daerah itu. Produksi hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang di pesisir pantai barat Sulawesi Selatan, rata-rata mulai meningkat setiap tahunnya memasuki awal musim timur, kemudian menurun kembali memasuki awal musim pancaroba kedua, dan produksi ikan terbang terendah selama musim barat (Yahya, et al., 2001). Jumlah hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang setiap nelayan dalam setiap trip penangkapan tidak menentu, bergantung pada beberapa hal, diantaranya keberhasilan menemukan kawanan ikan terbang, ketepatan memasang alat penangkapan, serta kondisi cuaca dan laut pada saat itu. Hasil tangkapan ikan terbang oleh nelayan di Kabupaten Barru, dipasarkan dalam bentuk olahan sebagai ikan yang telah melalui proses penggaraman, akibat jumlah hari operasi penangkapan di laut dalam satu trip penangkapan cukup lama, yakni berkisar antara 20 sampai 30 hari (long trip). Sementara di Kabupaten Pinrang, Polmas, dan Majene, hasil tangkapan ikan terbang yang diperoleh nelayan dipasarkan dalam bentuk segar, kecuali bila pada saat itu tidak seluruh ikan hasil tangkapan nelayan terjual habis, maka dilakukan penyiangan dalam bentuk asin kering atau dalam bentuk ikan peda setelah melalui proses pemasakan. Hal itu terkait dengan kegiatan penangkapan yang dilakukan nelayan yang hanya menggunakan satu hari penangkapan (short trip). Berbeda halnya dengan di Kabupaten Takalar, hasil tangkapan telur ikan terbang yang diperoleh nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan dengan tujuan utama hanya untuk menangkap telurnya saja, pemasarannya adalah untuk tujuan ekspor. Telur ikan terbang yang diperoleh selanjutnya mendapatkan proses pengolahan lebih lanjut setelah sampai di darat. Ikan terbang yang diperoleh selama kegiatan penangkapan di laut, biasanya hanya dikonsumsi sendiri oleh awak kapal selama berada di laut sebagai menu alternatif. Hal ini juga terkait dengan lamanya waktu yang digunakan nelayan dalam satu trip penangkapan. Hasil tangkapan telur ikan terbang selama masih berada di laut, disimpan dalam keadaan sudah kering dan bersih dari kotoran dengan cara menyianginya sepanjang hari di atas kapal sampai terasa kering. Proses pengolahan telur ikan 4

27 terbang dari kondisi mulai dari nelayan hingga siap ekspor, ditunjukkan pada Gambar 2. (A) (B) (C) (D) Sumber : Hasil pemotretan lapang, 2004 Keterangan : Gambar 2 Tahap pengolahan telur ikan terbang. (A) Tumpukan telur ikan terbang yang telah kering dari nelayan; (B) Pengayakan telur ikan terbang dari serabut; (C) Pembersihan telur ikan terbang setelah pengayakan; dan (D) Telur ikan terbang dalam karung siap ekspor. Sebagai produk perikanan yang dihasilkan untuk tujuan utama ekspor ke beberapa negara, proses pengolahan yang dilakukan harus memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh negara konsumen. Untuk itu kualitas telur ikan terbang yang dihasilkan harus diperhatikan untuk menjamin produk tersebut mendapat respon pasar mancanegara yang baik. Dalam prakteknya, proses pengolahan ikan terbang, dilakukan mulai dari proses penjemuran hingga mencapai kadar air maksimum 5 %, mengeluarkan biji-biji telur ikan terbang dari benangnya, membersihkan dari kotoran yang masih melekat dengan sebelumnya direndam di dalam air tawar untuk menghilangkan kadar garam yang tersisa pada semua butiran telur. Pengujian sampel telur ikan terbang dilakukan di laboratorium perikanan 5

28 untuk menentukan standar mutu yang diterima oleh negara pengimpor, kemudian dikemas dalam bungkusan plastik dengan berat masing-masing 2 kg dan dimasukkan ke dalam kotak untuk dipaking sebanyak 12 bungkus Sarana dan Prasarana Penangkapan Ikan Sarana penangkapan berupa kapal penangkapan ikan yang digunakan masyarakat nelayan di dalam kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang di daerah ini, masih tergolong sederhana dengan perlengkapan di atas kapal yang sangat minim. Persentase ukuran kapal penangkapan ikan di daerah ini sampai dengan tahun 2003, masih didominasi dengan kapal-kapal perikanan tradisional berukuran kecil atau motor tempel (Gambar 3). Kapal perikanan yang digunakan memiliki ukuran dan bentuk yang bervariasi, namun semuanya hanya merupakan kapal kayu. Jenis kapal penangkap yang digunakan terdapat beberapa macam menurut daerah/kabupaten. Di Kabupaten Takalar dan Kabupaten Barru, nelayan menggunakan kapal penangkap dengan ukuran yang lebih besar yakni berkisar antara 8 10 GT (Lampiran 1). Hal ini dikarenakan daerah dimana kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang, umumnya berada jauh dari daerah asalnya (fishing base) dan dengan jumlah hari operasi penangkapan setiap tripnya cukup panjang (long trip) MOTOR TEMPEL 0-5 GT 5-10 GT GT Sumber : Statistik DKP Propinsi Sulawesi Selatan, Gambar 3 Persentase ukuran kapal penangkapan ikan di Sulawesi Selatan. 6

29 Peralatan di atas kapal yang digunakan nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang, juga masih sangat sederhana tanpa dilengkapi dengan peralatan navigasi seperti Global Positioning System (GPS) dan peralatan elektronik penangkapan lainnya. Dengan demikian dalam penentuan lokasi penangkapan dan posisi dimana kapal berada selama di laut, semata-mata didasarkan pada pengalaman yang diperoleh secara turun temurun. Pengalaman dalam melakukan kegiatan penangkapan selama ini, yang ditunjang dengan pengetahuan dalam melihat beberapa tanda alam yang ada di sekitar perairan, sangat menentukan keberhasilan upaya penangkapan yang dilakukan. Di Kabupaten Pinrang dan Majene, nelayan hanya menggunakan kapal penangkapan ikan yang jauh lebih kecil yakni berupa perahu sande dengan ukuran berkisar antara 2 3 GT (Lampiran 1). Kapal penangkap yang digunakan dengan ukuran kecil ini, hanya memungkinkan melakukan kegiatan penangkapan ikan terbang di sekitar perairan pantai antara 2 3 mil laut dari daerah asalnya (fishing base), dan hanya melakukan penangkapan dengan trip harian. Perbedaan ukuran kapal nelayan yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang, di dasarkan pada kemampuan menjelajahi wilayah perairan untuk penangkapan yang lebih jauh yang disebabkan faktor lokasi penangkapan (fishing ground) dengan ketersediaan stok kawanan ikan yang bervariasi menurut tujuan utama penangkapan yang dilakukan. Di Kabupaten Takalar dimana nelayan menetapkan telur ikan terbang sebagai tujuan utama kegiatan penangkapan, harus mampu menjelajahi daerah penangkapan yang lebih jauh, karena pada daerah itu diperkirakan merupakan daerah peneluran bagi ikan terbang yang telah memasuki masa pemijahan. Hal itu juga dasarkan pada hasil pengalaman penangkapan telur ikan terbang yang selama ini dilakukan oleh masyarakat nelayan setempat. Wilayah perairan yang umumnya digunakan nelayan dari Kabupaten Takalar untuk menangkap telur ikan terbang, berada jauh dari daerah asalnya (fishing base) bahkan harus ditempuh selama 10 sampai 12 jam berlayar. Alat penangkapan ikan dan telur ikan terbang yang digunakan oleh nelayan di daerah ini, adalah berupa jaring insang hanyut permukaan/jihp (surface drift gillnet) untuk penangkapan ikan terbang dan berupa bubu hanyut permukaan/bhp (surface drift traps) atau bale-bale sebagai tempat peneluran untuk penangkapan telur ikan terbang (Lampiran 2). Jumlah alat penangkapan ikan baik JIHP maupun 7

30 BHP dari tahun ke tahun mengalami flukt uasi. Jumlah kedua jenis alat penangkapan ini sampai pada tahun 2003, tercatat sebanyak unit JIHP dan 755 unit BHP (Gambar 4). 755 JIHP BHP Sumber : Statistik DKP Propinsi Sulawesi Selatan, Gambar 4 Jumlah alat tangkap JIHP dan BHP di Sulawesi Selatan Sumberdaya Ikan Terbang Sumberdaya perikanan pelagis kecil, merupakan salah satu potensi sumberdaya perikanan yang paling melimpah di perairan Indonesia. Sumberdaya ini merupakan sumberdaya neritik, karena penyebarannya berada di sekitar perairan pantai dan dapat membentuk biomassa yang sangat besar. Ikan terbang (Exocoitidae) merupakan salah satu potensi perikanan pelagis kecil di Indonesia yang pemanfaatannya cukup besar terutama pada peraiaran kawasan Indonesia bagian timur, sehingga merupakan salah satu bagian kegiatan penangkapan ikan yang cukup penting di daerah ini. Jumlah spesies ikan terbang yang tersebar baik di perairan tropis maupun subtropis sebagai salah satu sumberdaya perikanan pelagis kecil, diketahui berkisar antara spesies (Nelson, 1994), di perairan Pasifik terdapat sebanyak 31 spesies (Parin, 1999), dan di perairan Indonesia terdapat sebanyak 18 spesies (Hutomo, et al., 1985), serta di perairan Selat Makassar dan Laut Flores ditemukan sebanyak 11 spesies (Nessa, et al., 1977). Penyebaran populasi ikan terbang tersebar di beberapa wilayah perairan Indonesia, selain di Selat makassar dan Laut 8

31 Flores, juga banyak ditemukan di wilayah perairan lainnya. Hutomo et al. (1985) mengemukakan bahwa penyebaran populasi ikan terbang di perairan Indonesia dapat dijumpai di wilayah perairan bagian barat maupun di bagian timur. Beberapa wilayah perairan yang merupakan wilayah distribusi ikan terbang di Indonesia antara lain : Selat Makassar, Laut Flores, Laut Banda, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Sawu, Teluk Tomini, dan Laut Jawa. Lokasi penangkapan ikan terbang yang cukup potensil dan banyak dimanfaatkan oleh masyarakat nelayan tradisional adalah perairan pesisir pantai barat Sulawesi Selatan (Selat Makassar). Produksi hasil tangkapan ikan terbang di daerah ini tertinggi dicapai pada tahun 2000 yakni sebesar 9.580,7 ton (DKP Propinsi Sulawesi Selatan, 2000). Produksi jenis ikan ini yang lebih penting, adalah telur yang dihasilkan merupakan salah satu komoditi ekspor perikanan Sulawesi Selatan yang cukup nyata. Komoditi perikanan ini selain memiliki nilai jual yang cukup tinggi, juga mendapat respon pasar mancanegara yang cukup baik, terutama Jepang, Eropa dan Amerika Serikat. Setiap tahunnya dapat menghasilkan devisa yang cukup besar, bahkan menempati urutan ke dua setelah tuna dan udang. Pada tahun 2000 dimana produksi telur ikan terbang di Sulawesi Selatan dicapai tertinggi sebesar 946,9 ton. Dari jumlah produksi ini jika diasumsikan harganya stabil pada kisaran Rp per kg, maka dapat menghasilkan devisa sebesar Rp (Seratus tiga belas milyar enam ratus dua puluh delapan juta rupiah) atau sekitar US$ 11 juta. Produksi hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang pada tahun berikutnya sampai dengan tahun 2003, rata-rata terus mengalami penurunan setiap tahunnya masing-masing sebesar 40,7% untuk produksi ikan terbang dan sebesar 72.7% untuk produksi telur ikan terbang. Penurunan jumlah produksi yang dihasilkan terutama telur ikan terbang yang sangat drastis, diduga dipengaruhi oleh rendahnya kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan yang selama ini fokus melakukan kegiatan penangkapan telur ikan terbang, sebagai akibat menurunnya harga penjualan secara drastis pada tingkat nelayan dari sekitar Rp per kg berat kering pada tahun 2000 menjadi sekitar Rp memasuki tahun 2001 sampai sekarang. Pada tingkat harga yang seperti itu, nelayan masih belum bisa mendapatkan keuntungan dari besarnya nilai pengeluaran setiap tripnya, yakni ratarata berkisar antara 3 5 juta rupiah. Selain hal itu, juga diduga telah terjadi tingkat 9

32 eksploitasi yang tinggi, menyebabkan tekanan eksploitasi ini cenderung melebihi kemampuan rekruitmen stok ikan tersebut. Penyebaran dan pergerakan kawanan ikan terbang di perairan Selat Makassar, diduga dipengaruhi oleh pergerakan dan dinamika massa air di perairan itu. Pergerakan dan dinamika massa air di perairan ini, diketahui dipengaruhi oleh pola siklus musim (monsoon) yang terjadi setiap tahunnya dan besarnya limpahan massa air yang mengalir dari Samudera Pasifik. Hal itu menyebabkan massa air di perairan ini menjadi sangat dinamis dengan potensi perikanan yang beragam menjadi penting. Secara geografis dipengaruhi oleh pergerakan arus massa air dari Samudera Pasifik dari utara ke selatan dan sedikit luapan massa air dari Laut Jawa dan Laut Flores di bagian selatan Selat Makassar. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan terhadap pola arus yang ada terlihat bahwa, perairan Selat Makassar lebih banyak menerima masukan massa air yang berasal dari Samudera Pasifik dibandingkan dengan dari Samudera Indonesia (Susanto, et al., 2000). Kondisi geografis perairan seperti itu dengan sirkulasi massa air dan pola angin yang bertiup di bagian selatan Selat Makassar, sangat memungkinkan untuk terjadinya penaikan massa air (Upwelling) antara bulan Juni, Juli, dan Agustus setiap tahunnya (Illahude, 1978). Hasil pengamatan yang dilakukan oleh Gordon dan Susanto (1999), diketahui bahwa proses upwelling di perairan tersebut sering dijumpai terjadi pada musim timur. Hal itu ditandai dengan terjadinya penurunan suhu dan konsentrasi oksigen terlarut, namun sebaliknya terjadi peningkatan nilai salinitas dan kadar zat hara di daerah itu, dibandingkan dengan wilayah perairan sekitarnya. Kondisi seperti itu adalah sangat mungkin diakibatkan oleh adanya proses penaikan massa air dari lapisan bawah ke lapisan permukaan yang membawa sejumlah massa air yang relatif dingin tapi dengan kadar zat hara yang tinggi. Kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang di daerah ini, dilakukan oleh nelayan tradisional dengan skala usaha yang masih sangat sederhana. Apabila kegiatan penangkapan ikan seperti ini tidak dibarengi dengan upaya pembinaan yang memadai di dalam kerangka pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan, dikhawatirkan sumberdaya ikan tersebut akan mengalami tekanan eksploitasi yang berlebihan, sehingga dapat mengancam kelestarian sumberdaya ikan ini di masa yang akan datang. Selain dengan tujuan agar kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan tersebut, dapat dilakukan dengan 10

33 optimal sesuai dengan potensi yang ada. Dengan demikian menjadi sangat penting untuk dilakukan studi yang berkaitan dengan perikanan ikan terbang di Selat Makassar, dengan tujuan untuk memperoleh gambaran yang lengkap dan menyeluruh tentang usaha perikanan ikan terbang yang ada, sifat-sifat dinamika biofisik, pola penyebaran dan tingkah laku ikan, serta musim dan daerah penangkapan ikan yang potensil, dalam hubungannya dengan dinamika massa air Selat Makassar dan karakteristik oseanografi yang ada di dalamnya. 1.2 Masalah Penelitian Perikanan ikan terbang di Selat Makassar merupakan salah satu kegiatan perikanan tangkap yang dilakukan oleh nelayan di sepanjang pesisir pantai barat Sulawesi Selatan dengan skala usaha penangkapan tradisional yang ditandai dengan kapal penangkapan yang berukuran kecil dan peralatan penangkapan yang sederhana. Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan, berlangsung di sekitar perairan pantai dengan jangkauan daerah penangkapan yang masih terbatas. Pemanfaatan sumberdaya ikan terbang di daerah ini, masih dilakukan dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh secara turun temurun yang belum dibarengi dengan upaya pengelolaan yang memadai. Apabila kondisi ini dibiarkan berlangsung dalam jangka panjang, dan jika setiap tahunnya juga terjadi penambahan upaya pemanfaatan (effort), maka dikhawatirkan akan menimbulkan ancaman terhadap kelestarian sumberdaya ikan tersebut. Agar di satu pihak sumberdaya ikan ini dapat dimanfaatkan dengan optimal, dan di lain pihak kegiatan penangkapan yang dilakukan tidak memberikan tekanan eksploitasi yang berlebihan terhadap sumberdaya dan lingkungannya, maka diperlukan suatu kajian yang mendalam untuk mendapatkan suatu model prediksi pengelolaan yang baik. Model pengelolaan ini, diharapkan diperoleh melalui studi yang mendalam antara beberapa aspek yang diduga saling berkaitan antara satu dengan lainnya. Kajian studi ini meliputi aspek dinamika biofisik sumberdaya ikan yang diamati dan keterkaitannya dengan aspek lingkungan perairan sebagai habitatnya. Berdasarkan hasil studi pustaka dari beberapa literatur serta hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, diantaranya ditemukan : (1) Terdapat kecenderungan penangkapan ikan oleh nelayan pemanfaat yang tidak memberikan kesempatan ikan tersebut melakukan regenerasi sebelum 11

34 ditangkap, terutama bagi ikan yang telah siap memijah (Nessa, et al., 1977; Hutomo, et al., 1985, dan Ali, et al., 2004a). (2) Terdapat sejumlah ikan hasil tangkapan yang berada dalam kondisi siap memijah terutama selama periode musim timur pada daerah penangkapan bagian selatan Selat Makassar (Dwiponggo, et al., 1983; Hutomo, et al., 1985; Ali, et al., 2004b; dan Ali, et al., 2005); (3) Terjadi pergerakan kawanan ikan terbang (flying fish schooling movement) menurut musim, yaitu pada peralihan musim barat timur, musim timur dan peralihan musim timur barat (Yahya, et al., 2001); Dengan demikian dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang perlu dikaji secara mendalam, di dalam kerangka pemanfaatan sumberdaya perikanan ikan terbang yang optimal, lestari dan bertanggung jawab (responsible and sustainable fisheries), yakni : (1) Pengaruh beberapa faktor dinamika biofisik jenis ikan tersebut, musim dan daerah penangkapan yang berkaitan dengan kondisi fisika-kimia perairan dalam hubungannya dengan upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan ikan terbang di wilayah studi; (2) Hubungan antara kondisi fisika-kimia perairan terhadap pergerakan kawanan ikan tersebut, termasuk kaitannya dengan periode musim dan daerah penangkapan yang selanjutnya dapat direkomendasikan sebagai daerah pemanfaatan dan atau daerah konservasi bagi ikan tersebut; (3) Faktor-faktor yang berkaitan dengan usaha pengelolaan perikanan ikan terbang dengan kemungkinan pengaturan kebijakan pengelolaan di masa yang akan datang untuk menjadikan usaha perikanan ikan terbang sustainable. 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mengetahui distribusi spasial dan temporal ikan terbang berdasarkan hasil tangkapan di wilayah penelitian menurut musim dan daerah penangkapan; (2) Mengetahui distribusi biodinamika ikan yang tertangkap berupa : ukuran panjang, berat dan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) menurut musim dan daerah penangkapan; (3) Mengetahui hubungan antara kondisi fisik-kimia perairan dengan pergerakan kawanan ikan menurut periode musim dan daerah penangkapan. 12

35 (4) Memprediksi lokasi penangkapan ikan terbang potensil di Selat Makassar menurut periode musim dan daerah penangkapan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai : (1) Salah satu sumber informasi dalam menentukan musim dan daerah penangkapan ikan terbang yang tepat untuk perikanan ikan terbang di perairan pantai barat Sulawesi Selatan; (2) Salah satu rujukan untuk perumusan kebijakan pengelolaan perikanan ikan terbang di perairan pesisir pantai barat Sulawesi Selatan di masa yang akan datang; (3) Salah satu sumber bahan pertimbangan untuk melakukan tindakan konservasi jika diperlukan untuk pengelolaan ikan terbang menurut musim dan daerah penangkapan. 1.4 Hipotesis Penelitian Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka diajukan beberapa hipotesis, yakni : (1) Sebaran, migrasi dan pola penyebaran ikan terbang di Selat Makassar dipengaruhi oleh kondisi dinamika biofisik ikan, massa air dan karakteristik oseanografi perairan; (2) Sebaran hasil tangkapan ikan terbang di Selat Makassar, dipengaruhi oleh musim dan daerah penangkapan; (3) Sebaran musim dan daerah penangkapan ikan terbang di Selat Makassar mengikuti sebaran dan dinamika massa air serta karakteristik oseanografi perairan tersebut. 1.5 Kerangka Pemikiran Untuk memecahkan masalah penelitian seperti yang telah diuraikan di atas, maka di dalam penelitian ini dilakukan pendekatan melalui studi dan kajian terhadap sejumlah faktor internal (internal factors), yakni faktor dinamika biofisik ikan terbang dan sejumlah faktor eksternal (external factors) yakni kondisi fisika-kimia perairan, sebaran musim dan daerah penangkapan yang berkaitan dengan upaya pengelolaan ikan terbang di pesisir pantai barat Sulawesi Selatan (Selat Makassar), dengan skema pendekatan pemecahan masalah seperti pada Gambar 5. 13

36 Gambar 5 Diagram kerja dan pendekatan pemecahan masalah penelitian. 14

37 2 TELAAH PUSTAKA 2.1 Deskripsi Biologi Ikan Terbang Ikan terbang yang telah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh sebagian masyarakat Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan dikenal dengan beberapa penamaan lokal diantaranya : ikan tuing-tuing (Makassar), torani (Bugis) dan tourani (Mandar). Ikan tersebut dimanfaatkaan oleh masyarakat selain sebagai bahan konsumsi lokal, juga telur dari ikan tersebut merupakan salah satu komoditi ekspor perikanan yang bernilai ekonomi tinggi. Ikan terbang memiliki banyak spesies yang tersebar pada hampir semua perairan, baik pada perairan tropis maupun pada perairan sub tropis. Walaupun banyak menyebar pada perairan-perairan tersebut, hanya beberapa jenis saja yang mampu mentolerir suhu perairan yang dingin seperti jenis Cypselurus heterurus, C. pinnati-barbarus dan Pronichy rondellatii. Jumlah spesies ikan terbang yang terbanyak, terdistribusi di sekitar daerah khatulistiwa (perairan tropis) (Hutomo, et al., 1985). Ikan terbang termasuk dalam kategori ikan pelagis kecil (small pelagic species) yang juga disebut flying fish, memiliki tubuh yang kecil dengan diameter sekitar 2 cm dan panjangnya dapat mencapai sekitar 24 cm. Jenis ikan terbang yang umumnya tertangkap di perairan Selat Makassar menurut hasil penelitian (Nessa, et al., 1977), hanya ditemukan tiga jenis, yakni : H. oxycephalus, C. altipennis dan Evalontia micropterus. Namun pada penelitian yang lain pada lokasi yang sama ditemukan ada enam jenis, yaitu C. altipennis, H. oxycephalus, C. nigricans, C. poecilopterus, C. spilopterus dan C. oligolepis (Dwiponggo, et al., 1983). Secara morfologi, ikan terbang memiliki tubuh yang bulat memanjang dan agak mampat ke bagian samping. Memiliki rahang bawah dan atas yang hampir sama panjang, kecuali pada ikan terbang yang masih muda memperlihatkan bentuk rahang bawah yang sedikit lebih panjang. Selain itu, ikan terbang juga memiliki sirip pectoral yang panjang sebagai manipulasi yang digunakan untuk terbang, sirip ekor bercagak dengan bagian bawah lebih panjang serta memiliki gigi-gigi kecil yang tumbuh pada kedua rahangnya (Gambar 6). Sistematika ikan terbang pertama kali ditulis oleh Linneaus pada tahun 1758 khususnya spesies Exocoetus volitans (Linneaus). Sampai pada pertengahan

38 abad XIX, penelitian lebih banyak pada aspek taksonomi dan anatomi, dan setelah itu mulai dipelajari aspek biologi ikan terbang (Davenport, 1994). Hutomo et al. (1985) pernah merangkum sekitar 53 spesies ikan terbang di dunia, masing-masing 17 spesies di Samudera Atlantik, 11 spesies di Samudera Hindia dan 40 spesies di Samudera Pasifik. Di Samudera Pasifik, Nelson (l994) mencatat sekitar spesies. Publikasi terakhir yang dilaporkan oleh Parin (1999) di bagian tengah Pasifik terdapat enam genera dan 31 spesies yaitu Cheilopogon 14 spesies, Cypselurus 7 spesies, Exocoetus 3 spesies, Hirundichthys 3 spesies, dan Prognichthys 2 spesies. Pada daerah khatulistiwa terdapat jumlah spesies lebih banyak dan semakin ke selatan atau ke utara jumlah spesiesnya semakin sedikit (Hutomo, et al., 1985). Di Filipina sebelah Barat Luzon, ikan terbang didominasi oleh Hirundichthys oxycephalus (Dalzell, 1993) dan beberapa spesies lain yaitu Cypselurus poecilopteurs, Cheilopogon nigricans, Cheilopogon cyanopterus, Paraexocoetus brachypterus, dan Hirundichthys rondeletti cm Sumber : Dwiponggo, et al., 1983 Gambar 6 Morfologi ikan terbang (Cypselurus spp). Oelsman dan Hardenberg (1934) yang diacu dalam Dwiponggo, et al. (1983), mengemukakan klasifikasi ikan terbang sebagai berikut : Phylum : Chordata; Sub phylum : Vertebrata; Kelas : Pisces; Sub kelas : Teleostei; Ordo : Sygnenthonatha; Famili : Exocoetidae; Genus : Cypselurus; Species : Cypselurus spp. Berdasarkan cara kemampuan terbang dan jumlah sayap yang dimilikinya, ikan terbang juga dapat dibedakan antara satu jenis dengan jenis lainnya. Dengan 16

39 demikian ikan terbang dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni : kelompok ikan terbang yang bersayap dua dan bersayap empat. Dari kelompok ikan terbang bersayap dua (monoplanes), diwakili oleh spesies dari genus Exocoetus. Cara melompatnya untuk terbang di atas permukaan laut ditandai dengan cara naik ke udara tanpa meluncur terlebih dahulu di atas permukaan, jarak yang dapat ditempuh pada saat terbang juga tidak melebihi 20 meter. Cara terbang yang paling sempurna, terlihat pada jenis ikan terbang yang bersayap empat (biplanes), yang diwakili oleh spesies dari genus Cypselurus dan Prognichtys. Proses terbang dari spesies ini dapat dibagi dalam 4 tahap, yaitu : tahap pertama dimana ikan yang masih berenang di dalam air dengan sirip-sirip yang dilipat pada tubuhnya, tahap kedua sebagian tubuhnya telah berada di atas permukaan air sekaligus sirip pectoralnya telah dikembangkan. Tahap ketiga saat akan melepaskan diri ke udara dengan menggerakkan sirip ekornya lebih cepat berikut sirip ventralnya dikembangkan sebagai alat peluncur, kemudian ikan tersebut melejit terbang di udara dengan kecepatan dapat mencapai 18 m per detik. Arah terbang ikan ini, umumnya melawan arah angin atau sedikit membentuk sudut dengan arah datangnya angin, kemudian membelok secara perlahan. Proses terbang di atas permukaan laut yang dilakukan oleh jenis kawanan ikan ini, merupakan salah satu reaksi dan kemampuan untuk menghindar dari serangan beberapa jenis ikan predator yang ada di dalam air. Hal ini juga merupakan tanda yang mudah dikenali dan dimanfaatkan oleh nelayan dalam memperkirakan keberadaan kawanan ikan terbang di sekitar perairan tersebut untuk menentukan daerah penangkapan yang potensil dimana alat penangkapan dapat dioperasikan. 2.2 Karakteristik Biofisik Ikan Terbang Umur dan pertumbuhan Umur ikan merupakan salah satu parameter biologi yang dapat dikaitkan dalam hubungannya dengan data panjang berat dan selanjutnya dapat digunakan untuk mendapatkan data umur pada waktu pertama kali matang kelamin, lama hidup, mortalitas, pertumbuhan dan reproduksi. Penentuan umur ikan dapat dilakukan dengan menggunakan metode sisik yang didasarkan pada tiga asumsi, yakni jumlah sisik ikan tidak mengalami perubahan dan tetap pada identitasnya selama hidup; pertumbuhan tahunan pada sisik ikan sebanding dengan 17

40 pertambahan panjang ikan selama hidupnya; dan hanya satu annulus yang dibentuk setiap tahunnya. Sisik yang dapat digunakan dalam penentuan umur ikan, hanyalah sisik cycloid dan ctenoid. Seiring dengan pertumbuhan ikan, akan tumbuh lingkaran-lingkaran sisik yang dinamakan circulus. Dengan menghitung jumlah circuli yang rapat pada bagian depan sisik atau ketiadaan circuli pada bagian atas atau bawah yang terjadi sekali dalam setahun, maka dapat dihitung umur ikan tersebut. Bagian-bagian tubuh ikan lainnya yang dapat digunakan untuk menghitung umur ikan, adalah tulang operculum, otolith, dan jari-jari keras sirip punggung. Namun penentuan umur dengan cara itu, umumnya hanya dilakukan pada jenis ikan yang tidak memiliki sisik. Populasi ikan terbang diketahui memiliki umur 1 2 tahun dan secara alami akan mengalami kematian setelah melewati fase pemijahan 1 2 kali dalam siklus hidupnya (post spawning mortality). Kematian pasca pemijahan ikan terbang, mungkin karena faktor stress setelah melakukan pemijahan dan atau bersamaan dengan fase ketuaan (senescens). Hal ini dikemukakan oleh Mahon, et al. (1986); Lao (1989); Campana, et al. (1993) yang diacu dalam Hunte, et al. (1995) bahwa masa hidup ikan terbang, H. affinis berumur pendek atau tidak lebih dari dua tahun, dan setelah itu ikan terbang yang telah melakukan pemijahan pada musim pemijahan tahun pertama tidak akan ditemukan lagi pada musim pemijahan tahun berikutnya, sehingga asumsi kematian pasca pemijahan mungkin lebih mendekati kebenaran dibanding asumsi ikan terbang melakukan emigrasi ke luar atau turun ke lapisan yang dalam. Populasi ikan terbang dapat berkurang secara individu dalam populasi tersebut, akibat tekanan penangkapan yang melebihi kemampuan regenerasi populasi ikan tersebut. Hal serupa dikemukakan oleh Ali (2005) bahwa, jumlah individu pada sub populasi ikan terbang di perairan Laut Flores lebih rendah dibandingkan dengan sub populasi ikan terbang di perairan Selat Makassar yang diduga sebagai akibat terjadinya kelebihan tangkap (overfishing) pada sub populasi ikan terbang di daerah tersebut. Sub Populasi ikan terbang yang telah mengalami kelebihan tangkap akan sulit untuk diisi oleh sub populasi ikan terbang dari daerah lain sehingga dikhawatirkan akan menjadi ancaman terjadinya kepunahan pada beberapa tahun berikutnya apabila tidak segera dilakukan pengelolaan yang baik. Faktor yang sangat menentukan besarnya jumlah individu dalam suatu populasi mengikuti model keseimbangan stok dalam populasi tersebut dengan 18

41 parameter kelahiran (natalitas) dan pertumbuhan sebagai faktor penambah, serta kematian alami (natural mortality) dan kematian karena penangkapan (fishing mortality) sebagai faktor pengurang di dalam suatu populasi, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7. Imigrasi Natalitas Mortalitas Alami Stok Ikan Pertumbuhan Emigrasi Mortalitas Penangkapan Sumber : Effendie (1997) Gambar 7 Model keseimbangan stok suatu populasi ikan dalam perairan. Pertumbuhan ikan dapat diartikan sebagai pertambahan ukuran panjang ataupun berat dalam satu satuan waktu tertentu. Pertumbuhan suatu organisme termasuk ikan, sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi proses pertumbuhan ikan, diantaranya adalah faktor keturunan, jenis kelamin, umur, parasit, dan penyakit. Faktor eksternal yang dianggap paling dominan mempengaruhi proses pertumbuhan ikan dalam suatu lingkungan perairan adalah makanan dan suhu perairan. Walaupun pada suatu perairan dimana suhu optimum terjadi untuk suatu jenis ikan, tetapi tidak tersedia jumlah makanan yang sesuai, ataupun sebaliknya, maka akan mempengaruhi proses pertumbuhan dari aktivitas makan ikan tersebut (Effendie, 1997). Ada dua model yang dapat digunakan untuk menghitung pertumbuhan, yakni model yang memanfaatkan data ukuran berat ikan dan model yang menggunakan data ukuran panjang. Untuk model dengan menggunakan data berat ikan, adalah dengan asumsi bahwa pertambahan berat bersifat eksponensial, sehingga dapat diformulasikan menjadi : 19

42 W t = W o e gt... (1) dimana W t = berat ikan pada waktu t, W o = berat awal, e = logaritma natural, dan g = koefisien pertumbuhan. Selanjutnya koefisien pertumbuhan dapat diperoleh melalui rumus: Wt gt = ln... (2) Wo Sedangkan model pertumbuhan yang menggunakan data panjang ikan, seperti yang diberikan oleh von Bertalanffy, adalah: atau K ) Lt = [1 ( t L e t0 ] L t = L dimana L t = panjang ikan pada waktu t, Kt Kt ( 1 e ) + L e... (3) pada waktu t = 0, K = koefisien pertumbuhan. L =panjang maksimum, L o = panjang ikan Untuk mengetahui nilai pertumbuhan nisbih ikan antara dua selang waktu tertentu, dapat dilakukan dengan rumus : h I n I0 =... (4) I 0 dimana h = nilai pertumbuhan dalam panjang, I n = panjang pada waktu n, dan I o = panjang awal. Perbedaan ukuran panjang ikan dalam dua saat yang berbeda, misalnya pada I 1, I 2, I 3 dan dst, dapat disebut sebagai pertumbuhan mutlak Panjang berat Hubungan antara panjang dan berat ikan pada umumnya bersifat kubik dalam arti berat ikan merupakan pangkat tiga dari panjangnya, namun hubungan yang seperti itu pada kasus ikan tertentu tidak mutlak. Hal itu disebabkan karena bentuk dan panjang setiap jenis ikan adalah berbeda-beda. Secara matematis, hubungan antara panjang dan berat ikan dapat diformulasikan dengan rumus umum yaitu: W = cl n,... (5) dimana: W = berat; L = panjang; dan c, n = konstanta Jika rumus di atas ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma, maka akan didapatkan persamaan: 20

43 log W = Log c + n Log L yang merupakan bentuk persamaan linear atau persamaan garis lurus. Nilai n harus cocok dengan panjang ikan agar sesuai dengan berat ikan dengan nilai kisaran antara 1,2 4,0, namun kebanyakan nilai n tersebut berkisar antara 2,4 3,5. Bilamana ditemukan nilai n = 3, hal itu menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan tidak mengalami perubahan bentuk, atau pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan beratnya (pertumbuhan isometrik), dan apabila nilai n lebih besar atau lebih kecil dari 3, maka dinyatakan bahwa pertambahan ukuran panjang ikan tidak seimbang dengan pertambahan beratnya (pertumbuhan alometrik). Jika nilai n didapatkan kurang dari 3, berarti menunjukkan bahwa pertambahan ukuran panjang lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan beratnya. Sebaliknya jika didapat nilai n lebih besar dari 3, menunjukan bahwa pertambahan berat ikan lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan ukuran panjang ikan tersebut Jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad (TKG) Penelitian struktur jenis kelamin populasi sumberdaya ikan terbang di perairan Indonesia masih sangat kurang. Penelitian tentang beberapa parameter biologi ikan terbang, dilakukan di perairan Selat Makassar dan Laut Flores oleh Nessa, et al. (1977), Ali, et al. (2004a), dan Ali (2005). Dari hasil penelitian tersebut, dikemukakan bahwa proporsi nisbah antara ikan berjenis kelamin jantan dan betina tidak berbeda nyata atau sama dengan 1:1 (χ 2 = 1,089, p>0,05), begitu pula perbandingan antara ikan berjenis kelamin jantan dan betina tiap bulan tidak berbeda nyata (χ 2 = 5,633; df = 4; p>0,05) (Ali, 2005). Proporsi yang seimbang juga ditemukan pada penelitian ikan terbang yang tertangkap dengan jaring insang hanyut di Selat Makassar (Nessa, et al., 1977), maupun yang tertangkap dengan bubu hanyut di Laut Flores (Ali, 2005). Kejadian ini menunjukkan kedua alat tangkap tersebut tidak memiliki selektivitas terhadap ikan berjenis kelamin jantan dan betina. Rasio kelamin yang seimbang juga dilaporkan pada ikan terbang H. affinis di Barbados yaitu 49 % jantan dan 51 % betina (Khokiattiwong, et al., 2000). Penelitian terakhir tentang perkembangan kematangan gonad, indeks kematangan gonad, dan pemijahan ikan terbang H. oxycephalus di Laut Flores di laporkan oleh Ali (2005). Proporsi tingkat kematangan gonad (TKG) ikan terbang yang tertangkap dengan jaring insang hanyut antara bulan Maret hingga Juli, secara umum terdiri dari 85,00 % ikan fase reproduktif yang belum beregenerasi yaitu 21

44 fase muda atau TKG I (2,78 %), fase mulai matang atau TKG II (10,66 %), fase matang atau TKG III (13,60 %), dan fase mijah atau TKG IV (58,87 %), dan hanya sekitar 15,00 % ikan fase salin atau TKG V. Perkembangan gonad ikan terbang, dapat diketahui dari hasil pengamatan morfologi dan histologi. Pengamatan morfologi dilakukan dengan cara membandingkan warna, ukuran, volume gonad yang mengisi rongga tubuh, dan butiran telur. Secara morfologis, testis dan ovarium ikan terbang (H. Oxycephalus) jantan maupun betina dari TKG I sampai TKG V tampak perbandingannya. Berdasarkan foto histologi gonad dan metode klasifikasi pada ikan (Effendie, 1997), maka TKG untuk ikan terbang diintisarikan pada Tabel 2. Tabel 2 Penentuan TKG ikan (TKG) Jantan Betina I Ukuran testis kecil dan pendek, warna putih krem, gonad terbungkus selaput hitam Ukuran gonad pendek dan terbungkus selaput warna hitam, warna coklat muda, mengisi sepertiga rongga tubuh, butiran telur masih sangat kecil dan berwarna putih di bagian anterior II III IV V Ukuran lebih besar dari TKG I, warna putih susu dan masih terbungkus selaput hitam, bentuk lebih jelas dari TKG I Ukuran mulai membesar dan selaput pembungkus gonad mulai memudar, warna makin putih Ukuran lebih besar dari TKG III, permukaan testis tampak bergerigi, warna makin putih dan mengisi seluruh rongga tubuh Kantong gonad mulai mengempis dan keriput bila diawetkan Ukuran lebih besar dari TKG I dan selaput pembungkus warna hitam masih ada, warna gonad kuning putih dan mulai tampak butiran telur warna kuning di bagian anterior Ukuran mulai membesar mengisi ¾ bagian rongga tubuhnya, selaput hitam mulai memudar, warna gonad kuning, butiran telur lebih banyak Butiran telur tampak lebih jelas dan makin banyak, gonad mengisi seluruh bagian rongga tubuh dan berwarna kuning tua Gonad mengempis dan keriput, di bagian pelepasan terlihat sisa-sisa telur Sumber : Effendie (1997) Data jenis kelamin dan TKG ikan hasil pengukuran dan pengamatan terhadap hasil tangkapan ikan terbang di dalam penelitian ini, dikelompokkan ke 22

45 dalam tiga selang waktu pengamatan; yakni peralihan musim barat timur (PMBT), musim timur (MT), dan peralihan musim timur barat (PMTB). Data tersebut digunakan untuk mendapatkan gambaran perbedaan proporsi rasio jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad ikan terbang yang tertangkap pada musim dan daerah penangkapan yang berbeda, kemudian selanjutnya digunakan untuk prakiraan waktu/musim pemijahan ikan tersebut. 2.3 Karakteristik Fisika Kimia Perairan Suhu perairan Sebaran suhu permukaan laut (SPL), dapat dijadikan sebagai indikator daerah-daerah upwelling yang menggambarkan situasi dimana massa air dari lapisan bawah naik menuju ke lapisan atas atau mungkin mencapai permukaan. Selat Makassar jika dilihat dari kondisi geografisnya, dipengaruhi oleh Samudera Pasifik. Berdasarkan pola arus yang berhasil dipetakan, terlihat bahwa perairan Selat Makassa lebih banyak menerima masukan massa air yang berasal dari Samudera Pasifik (Gordon, et al., 1999). Sirkulasi massa air dan pola angin yang bertiup di daerah ini, memungkinkan untuk terjadinya penaikan massa air (Upwe lling) di bagian paling selatan perairan ini (Illahude, 1978). Sebaran suhu permukaan laut Selat Makassar rata-rata berkisar antara 28,34 30,34 o C, dengan kisaran suhu tertinggi ditemukan pada peralihan musim barat timur, dan suhu perairan mengalami penurunan selama musim timur, kemudian meningkat kembali memasuki peralihan musim timur barat (Yahya, et al., 2001) Salinitas perairan Sebaran salinitas pemukaan laut perairan Selat Makassar, dipengaruhi oleh peredaran angin muson. Berdasarkan pola pergerakan arus yang telah diketahui sebelumnya, ditemukan bahwa massa air dari Samudera Pasifik dengan kadar salinitas tinggi memasuki Laut Sulu ke Laut Sulawesi dan melewati Selat Makassar dan terus bergerak menuju ke arah selatan khatulistiwa (Gordon, et al., 1999). Sebaliknya pengaruh massa air dari Samudera Hindia tidak banyak mempengaruhi perairan Selat Makassar, karena sejumlah massa air di selatan Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa diangkut oleh arus khatulistiwa selatan (AKS) ke arah barat. Nontji 23

46 (1987) mengemukakan bahwa, sebaran salinitas rata-rata Laut Jawa adalah berkisar 32,50, Laut Flores 33,50, sedangkan Selat Makassar, Laut Banda dan Laut Sulawesi sekitar 34,00. Hasil pengamatan Yahya, et al. (2001) mengemukakan bahwa, sebaran mendatar salinitas permukaan laut Selat Makassar diperoleh kisaran terendah pada peralihan musim barat timur yakni antara 31,03 33,27, kemudian nilai salinitasnya meningkat memasuki musim timur yakni antara 33,69 33,86, dan kemudian memasuki awal peralihan musim timur barat salinitas cenderung menurun kembali, bahkan nilai salinitas terendah pada salah satu stasiun pengukuran di bagian selatan Selat Makassar pada musim tersebut, yakni sebesar 30,01. Pada musim yang bersamaan tetapi pada stasiun pengukuran yang berbeda, juga ditemukan adanya massa air dengan nilai salinitas tertinggi yakni sebesar 34,20. Hal ini diduga kemungkinan disebabkan terdapatnya sejumlah massa air yang terangkat ke permukaan akibat proses upwelling yang berlangsung selama periode musim timur di perairan bagian selatan Selat Makassar Unsur nutrien Kandungan nutrien di laut yang terdiri atas beberapa unsur, diantaranya fosat, nitrat, dan silikat umumnya bervarasi menurut letak dan kedalaman perairan. Unsur-unsur tersebut merupakan zat hara yang sangat diperlukan untuk proses pertumbuhan dan perkembangan organisme di laut seperti fito dan zooplankton. Konsentrasi fosfat di perairan Indonesia bagian timur, termasuk di perairan Selat Makassar menunjukkan nilai yang lebih tinggi pada periode musim timur dari pada musim barat. Pada musim barat, umumnya konsentrasi fosfat hanya berkisar antara 0,20 0,30 µg-at PO4/l, sedangkan pada periode musim timur nilai konsentrasinya meningkat menjadi 0,30 0,40 µg-at PO 4 /l. Hal tersebut, kemungkinan disebabkan adanya suplai unsur hara dari lapisan yang lebih dalam ke bagian permukaan perairan dari proses pengangkatan massa air (upwelling) yang terjadi selama periode musim timur. Konsentrasi nitrat di bagian permukaan pada perairan yang sama pada periode musim barat berkisar antara 0,50 1,00 µg-at NO 3 /l, sebaliknya pada periode musim timur terjadi peningkatan nilai konsentrasi nitrat yakni sebesar 2,00 µg-at NO3/l. Namun secara keseluruhan konsentrasi nitrat pada perairan Indonesia bagian timur berkisar antara 0,10 3,00 µg-at NO 3 /l (Soegiarto dan Birowo, 1975). 24

47 Di perairan Selat Makassar, konsentrasi nitrat sebaliknya ditemukan meningkat pada periode peralihan musim timur barat dibandingan pada saat musim timur dan peralihan musim barat timur, yakni berkisar antara 0,20 1,19 µg-at NO 3 /l. Konsentrasi silikat di perairan Selat Makassar, juga ditemukan sangat bervariasi. Konsentrasi tertinggi ditemukan baik di sekitar perairan pantai maupun dengan bertambahnya kedalaman. Hal itu disebabkan beberapa hal diantaranya adalah karena proses biologi yang berlangsung dan terus memanfaatkan unsur hara tersebut di dalam perairan. Sebaran mendatar kandungan silikat di perairan Selat Makassar bagian selatan, menunjukkan bahwa rata-rata kandungan silikat secara spasial tertinggi ditemukan di sekitar perairan pantai kemudian menurun ke arah bagian tengah laut. Berdasarkan periode musim, juga ditemukan bahwa konsentrasi silikat tertinggi diperoleh pada musim timur yakni sebesar 2,25 3,26 µg-at SiO 4 /l Pergerakan arus Dengan letak geografis Selat Makassar yang memanjang dari arah utara ke selatan, menjadikan sepanjang tahun hampir dapat dikatakan arus permukaan perairan tidak mengalami perubahan arah, yaitu dari utara ke selatan, kecuali pada bagian selatan Selat Makassar dimana terjadi pertemuan antara arus massa air dari Laut Jawa, Laut Flores dan massa air Selat Makassar sendiri (Gordon, et al., 1999). Pada bagian perairan ini tampak arus permukaan mengalami perubahan sesuai dengan perubahan angin muson. Pada saat angin musim timur, massa air yang mengalir dari Laut Flores bertemu dengan massa air yang keluar dari Selat Makassar kemudian bersama-sama mengalir memasuki Laut Jawa. Dalam kondisi seperti itu, menjadikan banyaknya massa air pada lapisan permukaan Selat Makassar bagian selatan ikut terangkut dan bergerak ke barat, mengakibatkan terjadinya sejumlah ruang-ruang kosong di bagian permukaan yang selanjutnya memungkinkan lapisan air di bawahnya terangkat naik ke atas sehingga pada periode musim ini dapat menimbulkan fenomena upwelling. Massa air yang masuk dari Laut Flores, merupakan massa air yang relatif lebih dingin dan memiliki kandungan nutrien cukup tinggi, mengakibatkan perairan yang menerima masukan massa air tersebut, suhunya menjadi lebih rendah dengan kandungan nutrien yang cukup tinggi. 25

48 Sebaliknya pada periode musim barat, massa air dari Laut Jawa yang mengalir dari arah barat ke timur bertemu dengan massa air yang keluar dari Selat Makassar dan bersama-sama masuk ke Laut Flores. Massa air dari Laut Jawa merupakan massa air yang lebih hangat namun tidak memiliki kandungan nutrien, sehingga hanya berdampak pada peningkatan suhu perairan di wilayah perairan itu, walaupun pada saat yang bersamaan juga terjadi curah hujan yang relatif tinggi. Gordon dan Susanto (1999) melakukan pengamatan terhadap karakteristik pergerakan arus di Selat Makassar pada saat terjadinya El-Nino tahun 1997/1998 dan La Nina tahun 1998 pada dua stasiun pengamatan arus, yakni pada Maks-1 dengan posisi (2 o 52 LS dan 118 o 27 BT) dan pada Maks-2 dengan posisi (2 o 51 LS dan 118 o 38 BT). Dari hasil pengamatan itu ditemukan bahwa, pergerakan arus yang mengalir terjadi ke arah selatan kecuali pada bulan Mei - Juni 1997, dimana sebagian arus ditemukan mengalir ke utara. Hasil pengamatan yang sama juga ditemukan oleh BPPT dari pengukuran buoy yang ditempatkan pada dua stasiun pengamatan di perairan Selat Makassar, menunjukkan bahwa pada bulan Juni ditemukan adanya pergerakan arus yang cukup besar mengalir ke utara yakni sebesar 46,60 cm/det, dan bulan Agustus sebesar 64,50 cm/det pada stasiun pengamatan 1, kemudian pada bulan lainnya pergerakan arus ke utara menjadi lebih kecil lagi. Begitu pula pada stasiun pengamatan 2, ditemukan adanya arus yang mengalir ke utara pada bulan Juni dengan kecepatan 26,94 cm/det. Walaupun demikian, hampir sepanjang tahun ditemukan pergerakan arus yang lebih besar bergerak ke arah selatan, baik pada stasiun pengamatan 1 maupun pada stasiun pengamatan Penaikan massa air (Upwelling) Penaikan massa air (upwelling), adalah istilah yang lazim digunakan untuk menyatakan proses penaikan massa air dari lapisan yang lebih dalam ke lapisan yang lebih atas atau menuju permukaan. Penaikan massa air dapat mencapai permukaan perairan dan meliputi daerah yang cukup luas. Sirkulasi massa air dan pola angin yang bertiup memungkinkan untuk terjadinya penaikan massa air (Upwelling) di bagian paling selatan perairan ini (Illahude, 1978). Upwelling di perairan Selat Makassar dapat terjadi pada musim timur, yang ditandai oleh penurunan suhu dan konsentrasi oksigen terlarut serta meningkatnya nilai salinitas dan kadar zat hara di daerah upwelling, dibandingkan dengan daerah sekitarnya. 26

49 Massa air yang mencapai permukaan laut karena proses penaikan massa air yang lebih dalam membawa zat hara (nutrien), mengakibatkan daerah tersebut umumnya ditandai dengan meningkatnya kandungan zat hara dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Tingginya kadar zat hara akan merangsang perkembangan fitoplankton di lapisan permukaan. Dengan terjadinya perkembangan fitoplankton, menjadi sangat erat kaitannya dengan tingkat kesuburan perairan, menyebabkan proses penaikan massa air selalu dihubungkan dengan meningkatnya produktivitas primer suatu perairan yaitu dengan meningkatnya populasi ikan di perairan tersebut. Kenyataan ini terjadi karena adanya rantai makanan, yaitu produktivitas primer (fitoplankton) dimakan oleh produktivitas sekunder (zooplankton dan ikan herbivora) yang kemudian menjadi makanan bagi konsumen tertier (karnivora). Fenomena upwelling yang terjadi, telah dipelajari pada beberapa perairan. Soegiarto dan Birowo (1975) mengemukakan bahwa upwelling dapat berpengaruh pada beberapa hal, diantaranya : (1) Naiknya air dingin dari lapisan bawah ke permukaan dapat mempengaruhi keadaan iklim terutama di daerah pantai dimana penaikan massa air itu terjadi, (2) Naiknya air dari lapisan bawah yang kaya akan zat-zat hara (fosfat, nitrat dan silikat) menyebabkan kesuburan perairan di lapisan atas yang ditandai dengan produksi plankton yang tinggi dan biasanya diikuti oleh adanya produksi perikanan yang tinggi pula. Hasil penelitian mengenai fenomena upwelling di berbagai tempat baik di perairan Indonesia maupun di perairan lainnya, menunjukkan bahwa perairan tempat terjadinya upwelling merupakan daerah yang amat subur dengan hasil perikanan yang tinggi. Sekitar 90 % dari produksi perikanan dunia, diperoleh dari perairan dimana terdapat proses upwelling (Pond dan Pickard, 1983). Di perairan pantai yang jauh dari khatulistiwa, penaikan massa air terjadi akibat angin yang berhembus terus menerus dengan kecepatan yang cukup tinggi dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Penaikan massa air ini tidak hanya terjadi di sekitar perairan pantai, tetapi juga dapat terjadi di laut terbuka atau laut lepas. Penaikan massa air di laut terbuka, terjadi terutama karena proses divergen dua massa air dan sebagai akibatnya akan terjadi kekosongan massa air di permukaan yang selanjutnya diisi oleh massa air dari bawah (Sverdrup, et al., 1946; dan Wyrtki, 1961). Selanjutnya penaikan massa air menurut Wyrtki (1961), dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yakni : (1) Jenis tetap (stationery type), yaitu penaikan massa air 27

50 yang terjadi sepanjang tahun meskipun intensitasnya bisa berubah-ubah. Pada waktu penaikan massa air terjadi, massa air dari lapisan bawah bergerak secara vertikal ke atas dan setelah mencapai permukaan, massa air tadi terus bergerak horizontal menjauh dari pantai dengan arah tegak lurus dengan pantai. Sebagai contoh adalah penaikan massa air yang terjadi di lepas pantai Peru. (2) Jenis berkala (periodic type), yaitu penaikan massa air yang terjadi hanya dalam satu musim. Sebagai contohnya adalah penaikan massa air yang terjadi di Selat Makassar dan Selatan Jawa. (3) Jenis silih berganti (alternating type), yaitu penaikan massa air yang terjadi secara bergantian dengan penenggelaman massa air (sinking). Dalam satu musim, massa air yang ringan di lapisan permukaan bergerak ke luar dari lokasi terjadinya upwelling dan massa air yang lebih berat dari lapisan bawah bergerak ke atas, sedangkan pada musim yang lain massa air pada bagian permukaan bertumpuk di lapisan atas yang kemudian tenggelam. Sebagai contohnya adalah penaikan dan penenggelaman massa air yang terjadi di Laut Banda dan Laut Arafura. Peristiwa penaikan massa air yang terjadi di perairan Selat Makassar bagian selatan telah dipelajari oleh Wyrtki (1961) dan Illahude (1970). Penaikan massa air di perairan ini menurut Illahude (1970) berdasarkan analisis sebaran suhu, salinitas dan kadar fosfat, berlangsung selama 4 bulan dari bulan Juni sampai dengan September. Selama proses upwelling ini terjadi, termoklin bergerak ke atas sejauh 50 meter dengan kecepatan rata-rata 5 x 10-4 cm/detik. Luas daerah upwelling sekitar 4 o persegi (2 o x 2 o ) atau kira-kira km 2. Dengan luas dan kecepatan naik tersebut, upwelling yang terjadi disini dapat memberikan kontribusi air sebesar kira-kira 0,2 juta m 3 /detik terhadap arus permukaan. Penelitian yang lain (Jamilah, 1993) menyebutkan bahwa proses upwelling di bagian selatan Selat Makassar, terjadi pada bulan Juli - Agustus (musim timur) yang ditandai dengan suhu permukaan perairan berkisar 26 o C (bulan Juli) dan 25 o C (bulan Agustus), sementara suhu perairan sekitarnya adalah 31 o C. Dengan menggunakan data citra satelit, lokasi terjadinya upwelling ditemukan di perairan pantai bagian selatan Selat Makassar dengan luas upwelling pada tanggal 1 Juli 1990 berkisar 461, ,36 km 2. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dalam penelitian upwelling dengan estimasi suhu permukaan laut di perairan Indonesia, juga telah dilakukan di Teluk Pelabuhan Ratu (Mangoting, 1995), di 28

51 perairan selatan Jawa-Bali, dan di perairan Selat Makassar (Hendiarti, et al., 1995) serta di selatan Jawa (Herlisman, 1996). 2.4 Penginderaan Jauh Kelautan Penginderaan jauh (inderaja) kelautan saat ini telah berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi inderaja itu sendiri. Inderaja kelautan/perikanan seperti yang telah dilakukan pada beberapa negara maju misalnya Jepang, Australia, dan beberapa negara Eropa, telah terbukti banyak membantu dalam berbagai penelitian untuk memahami dinamika lingkungan laut, termasuk memahami dinamika sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Dalam perkembangan penggunaan teknologi satelit, khususnya yang banyak digunakan dalam sistem penginderaan jauh kelautan, telah dikembangkan berbagai jenis sensor untuk mendeteksi berbagai parameter lingkungan laut yang penting di dalam proses-proses kelautan itu, baik proses fisika, kimia, maupun biologi. Beberapa jenis sensor yang telah dikembangkan untuk kepentingan penginderaan jauh kelautan, diantaranya adalah jenis sensor CZCS (Coastal Zone Color Scanner) yang diluncurkan pertama kali ke angkasa pada tahun 1978, yang merupakan contoh sensor yang khusus dibuat untuk tujuan penelitian kelautan. Sensor yang lain seperti jenis TM (Thematic Mapper) yang dibawa oleh satelit Landsat adalah khusus dirancang untuk penelitian di daratan, tetapi dapat pula digunakan untuk tujuan penelitian kelautan, termasuk sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer) yang banyak dimanfaatkan, karena dapat diperoleh dengan mudah dan murah Deskripsi dan perkembangan sistem inderaja Pemanfaatan wahana antariksa untuk tujuan pengamatan tertentu, telah lama dan banyak digunakan termasuk untuk mengamati kondisi lingkungan samudera di dunia. Wahana antariksa yang digunakan untuk penelitian kelautan adalah berupa satelit walaupun pada awalnya digunakan pesawat terbang selama dalam uji coba sensor. Satelit yang diluncurkan umumya tidak hanya membawa satu jenis sensor, tetapi sekaligus juga membawa beberapa jenis sensor lainnya. Satelit dengan sensor yang bekerja pada daerah spektral sinar tampak (ocean color sensor), merupakan kategori sensor yang bersifat umum, sedangkan nama sensornya 29

52 sendiri dapat bermacam-macam. Salah satu jenis coastal zone color sensor, adalah AVHRR (Advenced Very High Resolution Radiometer) yang dibawa oleh satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) dan sampai saat ini, sensor tersebut banyak digunakan untuk tujuan pengamatan kelautan (Hanggono, et al., 2000). Jenis satelit lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan pengamatan kelautan adalah TOPEX-POSEIDON dan SEASTAR dengan sensor SeaWiFS. Amerika Serikat pada bulan Desember 1999 telah meluncurkan lagi satu satelit, yakni satelit TERRIA yang membawa sensor MODIS. Sensor SeaWiFS pada satelit SEASTAR dan sensor MODIS pada satelit TERRIA, merupakan sensor pasif yang dapat mengukur temperatur dan warna permukaan laut yang berkaitan dengan distribusi klorofil-a. Satelit TOPEX-POSEIDON yang membawa sensor radar altimetri, merupakan sensor aktif sehingga dapat terbebas dari kendala tutupan awan. Satelit ini mampu memantau tinggi muka laut rata-rata, sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengukuran arus dan tinggi gelombang Aplikasi inderaja pada bidang kelautan Aplikasi teknologi inderaja pada bidang kelautan ditujukan pada berbagai bidang kajian, misalnya penginderaan jauh untuk vegetasi mangrove, konsentrasi klorofil dan produktivitas primer air laut, suhu dan arus permukaan laut, kedalaman air, terumbu karang, termasuk angin yang bertiup pada permukaan laut. Bahkan akhir-akhir ini termasuk di Indonesia, telah sampai pada tahap bagaimana menentukan lokasi penangkapan ikan potensil, serta pengaruh musim terhadap migrasi ikan telah banyak digeluti walaupun masih terus dalam tahap uji coba (trial and error). Di dalam penelitian ini, hanya digunakan teknologi inderaja kelautan untuk mengetahui sebaran suhu permukaan laut (SPL) dari citra satelit NOAA- AVHRR dan klorofil-a dari citra satelit SeaWiFS Suhu permukaan laut (SPL) Suhu permukaan laut (SPL), adalah merupakan salah satu parameter kelautan yang sangat penting. Berbagai proses kelautan dimana kejadiannya banyak dipengaruhi oleh SPL, atau sebaliknya proses-proses kelautan tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan SPL. Oleh karena itu, mempelajari fenomena SPL adalah sangat penting untuk memahami dinamika dan kejadian-kejadian 30

53 kelautan. Bahkan SPL juga sangat berperan di dalam sistem iklim dan cuaca di daratan, sehingga SPL tidak hanya penting untuk penelitian kelautan, tetapi juga beberapa fenomena yang terjadi di daratan. Proses-proses kelautan yang lain seperti terjadinya upwelling dan front yang sangat penting bagi perikanan, juga dapat dipelajari melalui fenomena SPL tersebut. Metode inderaja untuk pengamatan SPL, dapat menggunakan energi infra merah maupun gelombang mikro. Di dalam tulisan ini, hanya dibatasi pada penggunaan gelombang infra merah secara khusus yang digunakan pada AVHRR yang ada pada satelit NOAA-AVHRR dengan 5 kanal (band), yakni kanal 1, 2, 3, 4, dan 5 yang mencakup daerah spektral sinar tampak dan infra merah. Beberapa jenis sensor yang dibawa oleh satelit NOAA-AVHRR tersebut, dapat dilihat pada Tabel 3. Setiap piksel data AVHRR di daerah sekitar nadir, dapat mewakili daerah seluas 1,1 x 1,1 km, dengan demikian data AVHRR ini disebut mempunyai daerah resolusi spasial sekitar 1 km. Satu lintasan satelit, mampu mencakup daerah sekitar km sepanjang lintasannya dari utara ke selatan atau sebaliknya. Tabel 3 Kanal dan panjang gelombang spektrum NOAA-AVHRR Kanal Panjang Gelombang (µm) Spektrum 1 0,58-0,68 Sinar Tampak 2 0,72 1,10 Infra Merah Dekat 3 3,55 3,93 Infra Merah Menengah 4 10,30 11,30 Infra Merah jauh 5 11,50 12,50 Infra Merah Jauh Sumber : GC Net Home Page (1997) Penginderaan jauh SPL dengan AVHRR, telah berkembang dengan baik dan berbagai algoritma pendugaan SPL telah dibuat. Secara umum algoritma SPL dengan AVHRR, merupakan kombinasi dua atau tiga kanal terakhir (kanal 3, 4 dan 5). Kombinasi dua kanal, dikenal sebagai metode split windows, sedangkan kombinasi 3 kanal disebut sebagai triple windows. Metode split windows (kanal 4 dan 5) nampaknya merupakan metode yang paling banyak digunakan, sementara 31

54 metode single window sendiri hanya digunakan sebatas untuk mendeteksi sebaran SPL dan bukan untuk penentuan nilai-nilai SPL-nya. Beberapa algoritma yang dapat digunakan untuk pendugaan SPL dengan AVHRR, disajikan pada Tabel 4. Penggunaan algoritma tersebut, pada prinsipnya adalah membuat persamaan hubungan antara SPL dengan suhu air yang dideteksi dari masing-masing kanal (misalnya pada kanal 4 dan 5). Tabel 4 Beberapa algoritma SPL dengan NOAA-AVHRR No. Fungsi Estimasi SPL Algoritma 1. SPL = T W4 +2,1 (T W4 T W5 ) 1,28 273,0 Deschamps & Phulpin (1980) 2. SPL = T W4 + 2,93 (T W4 T W5 ) 0,76 273,0 McClain (1981) 3. SPL = T W4 + 3,35 (T W4 T W5 ) + 0,32 273,0 Maul (1983) 4. SPL = 1,035 T W4 + 3,046 (T W4 T W5 ) 274,305 McClain, et al. (1983) 5. SPL = T W4 + 2,702 (TW4 TW5) 0, ,0 McMillin & Crosby (1984) 6. SPL = 1,699 T W4 0,699 T W5 0,24 273,0 Singh (1984) 7. SPL = 1,0346 T W4 + 2,55 (T W4 T W5 ) + 0,21 273,0 Strong & McClain (1984) 8. SPL = 1,0351 TW4 + 3, 046 (TW4 TW5) 283,93 Callison, et al. (1989) Sumber : Hasyim, et al. (1996) Kandungan klorofil Sebaran kandungan klorofil suatu perairan, dapat diprediksi berdasarkan nilai yang didapatkan baik melalui pengukuran langsung di lapangan (in-situ) pada objek yang diamati, maupun melalui pengamatan dengan memanfaatkan data penginderaan jauh. Data klorofil pada suatu perairan dapat diamati melalui data penginderaan jauh, misalnya dengan menggunakan data satelit SeaW ifs. Hasil pengukuran nilai kandungan klorofil yang diperoleh, merupakan nilai reflektans (pantulan) dari partikel yang mengandung zat hijau pada lapisan permukaan perairan, kemudian ditangkap oleh sensor yang dibawa oleh satelit penginderaan jauh tersebut. Jumlah kandungan klorofil hasil pendeteksian, dinyatakan sebagai jumlah kandungan zat hijau yang terdapat di dalam perairan tersebut dan 32

55 dinyatakan dengan ml/l. Semakin tinggi nilai yang didapatkan, menunjukkan semakin tinggi kandungan klorofil yang terkandung di dalamnya. Kandungan klorofil suatu perairan yang banyak dimanfaatkan pada bidang perikanan adalah kandungan klorofil-a. Kandungan klorofil-a pada suatu perairan, dapat dijadikan sebagai salah satu indikator tingkat kesuburan perairan tersebut. Dalam rantai makanan (food chain), kandungan klorofil ini dihasilkan oleh fitoplankton sebagai produsen primer yang banyak dimanfaatkan sebagai bahan makanan oleh konsumen tingkat pertama (zooplankton) maupun oleh konsumen tingkat kedua (ikan-ikan) pemakan plankton. Tingginya kandungan klorofil pada suatu perairan, dapat dinyatakan bahwa perairan tersebut memiliki tingkat kesuburan yang tinggi. Tingkat kesuburan perairan yang tinggi, merupakan daerah yang banyak dijumpai beberapa jenis ikan pemakan plankton dengan kelimpahan yang besar. Jenis ikan yang secara langsung memanfaatkan plankton yang tersedia dalam suatu perairan, adalah jenis ikan pelagis (pelagic fish species), diantaranya adalah termasuk ikan terbang. 2.5 Musim dan Daerah Penangkapan Ikan terbang di perairan Selat Makassar bagian selatan, umumnya ditemukan muncul di bagian permukaan laut dalam jumlah kawanan yang besar sekitar bulan April sampai dengan September, terutama pada periode musim timur, kemudian menghilang dalam satu siklus hidupnya. Selain itu, ikan terbang juga diketahui hanya melakukan migrasi tahunan dan melepaskan telur-telurnya pada perairan tertentu. Diperkirakan ikan terbang dalam melakukan migrasi, bergerak sepanjang perairan pantai Selat Makassar bagian selatan, kemudian ke perairan pantai Sulawesi Tengah dan Sulawesi Utara, kemudian kembali lagi ke sepanjang perairan pantai Selat Makassar bagian selatan dan sekaligus melepaskan telurtelurnya. Hal tersebut sangat sesuai dengan hasil yang diperoleh dari penelitian sebelumnya, bahwa di perairan pantai Selat Makassar bagian selatan, selain nelayan menangkap ikan terbang juga sekaligus mendapatkan telur-telur ikan terbang tersebut (Andomari dan Zubaidi, 1994). Ikan terbang sebagai salah satu jenis ikan pelagis, memiliki daerah penyebaran yang cukup luas terutama pada perairan dekat pantai. Daerah-daerah yang banyak menghasilkan ikan terbang di Indonesia, yakni : Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan Maluku Tenggara. Daerah penangkapan ikan terbang meliputi : 33

56 Selat Makassar, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Laut Banda, Laut Flores dan Laut Sawu. Di Sulawesi Selatan sendiri, kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang dapat dijumpai di sepanjang pantai barat Sulawesi Selatan (bagian utara dan selatan Selat Makassar), seperti di Kabupaten Mamuju, Kabupaten Majene, Kabupaten Polmas, Kabupaten Pinrang, Kabupaten Barru dan Kabupaten Takalar. Kegiatan penangkapan ikan terbang di perairan Selat Makassar, umumnya dimulai saat memasuki awal peralihan musim barat timur sampai pada peralihan musim timur barat, dan puncaknya terjadi pada musim timur. Hasil penelitian Yahya, et al. (2001) mendapatkan bahwa, produksi hasil penangkapan ikan dan telur ikan terbang di daerah ini tertinggi dicapai pada musim timur, kemudian me nurun memasuki peralihan musim timur barat dan terendah dicapai pada peralihan musim barat timur. Sebaliknya selama periode musim barat, kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang di daerah ini tidak banyak dilakukan oleh nelayan akibat besarnya angin dan ombak yang dapat membahayakan keselamatan nelayan di laut. Selain itu, diperkirakan bahwa ikan terbang pada saat itu, bukan merupakan waktu pemunculanya di perairan tersebut. 2.6 Pengelolaan Sumberdaya Ikan Terbang Pengelolaan sumberdaya perikanan termasuk dengan sumberdaya ikan terbang, dilakukan dengan tujuan agar sumberdaya tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Pemanfaatan perikanan secara berkelanjutan (sustainable), dapat dicapai apabila terdapat keseimbangan antara upaya eksploitasi (exploitation) yang dilakukan terhadap sumberdaya tersebut dengan kemampuan sumberdaya itu untuk pulih kembali. Sumberdaya perikanan walaupun termasuk sumberdaya yang dapat pulih atau dapat diperbaharui kembali (renewble resources), tetapi apabila tidak dikelola dengan baik, maka sumberdaya itu juga akan mengalami tekanan eksploitasi yang berlebihan sehingga dapat terjadi kerusakan dalam jangka waktu tertentu. Sumberdaya ikan terbang secara ekonomi bukan merupakan sumberdaya yang bernilai ekonomi penting, namun karena telurnya merupakan komoditi ekspor perikanan bernilai tinggi yang banyak diminati oleh beberapa negara maju, menyebabkan eksploitasi telur ikan tersebut intensif dilakukan oleh masyarakat nelayan, khususnya di Sulawesi Selatan. Penangkapan telur ikan terbang di daerah tersebut telah berlangsung dalam waktu yang lama, menyebabkan kegiatan 34

57 penangkapan ini dipandang perlu dibarengi dengan upaya pengelolaan yang baik dengan memperhatikan prinsip pengelolaan dan kelestarian sumberdaya itu. Pengelolaan sumberdaya ikan ini dilakukan dengan tujuan untuk menjaga agar usaha penangkapan itu dapat berlangsung secara aman di masa yang akan datang melalui keterlibatan semua pihak terkait (stakeholder). Apabila diperlukan suatu tindakan untuk tujuan perlindungan (konservasi) terhadap sumberdaya itu, dapat dilakukan selain melalui penutupan sebagian area penangkapan (closed area) ataupun dengan penutupan musim penangkapan (closed season) yang merupakan tindakan atau upaya yang dikategorikan sebagai internal control. Selain itu juga dapat dilakukan melalui penetapan quota atau volume perdagangan (trading), ataupun dengan penetapan quota jumlah tangkapan yang dibolehkan (JTB) pada setiap upaya penangkapan, yang dikategorikan sebagai external control. 35

58 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Selat Makassar merupakan perairan laut yang berada di antara Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan serta Samudera Pasifik di sebelah utara dan Laut Jawa serta Laut Flores di bagian sebelah selatan. Penelitian dilaksanakan di perairan pantai barat Sulawesi Selatan (Selat Makassar) dengan lokasi di empat kabupaten, yakni Kabupaten Takalar, Kabupaten Barru, dan Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan, serta Kabupaten Majene Sulawesi Barat sebagai daerah pengumpulan data dan investigasi lapang (Gambar 8). Pengambilan data kegiatan penangkapan ikan terbang berupa : lokasi penangkapan, jumlah hasil tangkapan, dan parameter biologi ikan, dilakukan selama 3 (tiga) periode musim, yakni : peralihan musim barat timur (PMBT) dari bulan Maret - Mei, Musim timur (MT) dari bulan Juni - Agustus, dan peralihan musim timur barat (PMTB) dari bulan September - Nopember 2004 pada empat daerah penangkapan ikan (DPI). LINTANG SELATAN KAL SELAT MAKASSAR SULAWESI Kec.Malunda Kab.Majene DPI I PPI I Kec.U. Lero Kab.Pinrang PPI II DPI II PPI = Pangkalan Pendaratan Ikan Kec.T.Rilau Kab.Barru DPI = Daerah Penangkapan Ikan PPI III DPI III Makassar Kec.G.Utara Kab.Takalar DPI IV PPI IV BUJUR TIMUR Gambar 8 Lokasi penelitian (Selat Makassar).

59 3.2 Alat dan Bahan Penelitian Untuk keperluan pengumpulan data lapang selama penelitian berlangsung, yang terdiri atas data lokasi penangkapan ikan, jumlah hasil tangkapan, dan data parameter biologi ikan menurut periode musim dan daerah penangkapan, menggunakan alat dan bahan penelitian seperti disajikan pada Tabel 5. Table 5 Alat dan bahan penelitian No Alat dan Spesifikasi Satuan Jumlah Kegunaan 1 Kapal dan alat penangkapan ikan 2 Global Positioning System (GPS), Garmin 45 XL 3 Jangka sorong digital dengan ketelitian 0,01 mm 4 Timbangan analitik dengan ketelitian 0,1 mg berkapasitas 5 kg Unit 12 Sebagai sarana pengumpul data penangkapan ikan Unit 4 Sebagai alat pencatat lokasi (koordinat) penangkapan Unit 4 Untuk mengukur panjang ikan sampel hasil tangkapan Unit 4 Untuk mengukur berat ikan hasil tangkapan sampel 5 Pisau potong Unit 8 Untuk mengiris perut sampel ikan 6 Pinset Unit 12 Untuk mengangkat isi lambung dan gonad ikan 7 Baskom plastik 20 ltr Buah 12 Untuk menampung hasil tangkapan sampel 8 Alat tulis menulis Unit 12 Untuk mencatat data-data lapang 9 Kamera digital Unit 4 Untuk merekam gambar/obyek penelitian lapang 10 Larutan formalin 40% Liter 20 Untuk mengawetkan ikan sampel hasil tangkapan 37

60 3.3 Kapal dan Alat Penangkapan Ikan dan Telur Ikan Terbang Kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang untuk pengumpulan data lapang, menggunakan kapal terbuat dari bahan kayu dengan bobot masing-masing di Kabupaten Takalar dan Kabupaten Barru berukuran antara 8-10 GT yang dilengkapi dengan mesin penggerak dalam (inboard engine) berkekuatan antara HP. Di Kabupaten Pinrang dan Kabupaten Majene menggunakan kapal penangkap ikan berukuran antara 2-3 GT, dilengkapi dengan mesin penggerak motor tempel (outboard engine) berkekuatan antara 3-5 HP (Tabel 6 dan Lampiran 1). Kapal penangkap ikan di Kabupaten Takalar dan Kabupaten Barru, diawaki antara 4-6 orang anak buah kapal (ABK) yang dipimpin oleh seorang juru mudi yang sekaligus bertindak sebagai kepala operasi penangkapan ikan yang dilakukan. Masing-masing ABK memiliki tugas yang harus dilaksanakan dengan baik, terutama pada saat operasi penangkapan berlangsung (setting dan hauling). Di Kabupaten Pinrang dan Kabupaten Majene dengan ukuran kapal penangkap ikan terbang yang lebih kecil, hanya diawaki antara 2-3 orang ABK dan dikepalai oleh seorang juru mudi. Pembagian tugas selama kegiatan penangkapan berlangsung, dilakukan secara bersama-sama mengingat jumlah dan ukuran alat penangkapan ikan yang digunakan juga relatif kecil. Tabel 6 Spesifikasi kapal penangkapan ikan dan telur ikan terbang Kabupaten Majene Pinrang Barru Takalar No. Ukuran (m) Merk dan Jumlah (P x L x D) Kekuatan Mesin ABK Jenis API 1 11 x 0,7 x 1 Honda 3 HP 2 JIHP 2 11 x 0,7 x 1 Honda 3 HP 2 JIHP 3 11 x 0,7 x 1 Honda 3 HP 2 JIHP 1 12 x 0,9 x 1 Honda 5 HP 3 JIHP 2 12 x 0,9 x 1 Honda 5 HP 3 JIHP 3 12 x 0,9 x 1 Honda 5 HP 3 JIHP 1 14 x 2,2 x 2 Yanmar 23 HP 4 JIHP 2 14 x 2,2 x 2 Yanmar 23 HP 4 JIHP 3 14 x 2,2 x 2 Yanmar 23 HP 4 JIHP 1 15 x 2,5 x 2 Yanmar 33 HP 5 BHP 2 15 x 2,5 x 2 Yanmar 33 HP 5 BHP 3 15 x 2,5 x 2 Yanmar 33 HP 5 BHP Sumber : Data Lapang,

61 Alat penangkapan ikan terbang yang digunakan oleh masyarakat nelayan di daerah ini, berupa jaring insang hanyut permukaan (JIHP). Jenis alat penangkapan ini dikenal dengan beberapa nama menurut daerah dan suku masyarakat. Di Kabupaten Takalar dengan masyarakat suku Makassar, dikenal dengan nama puka torani, di Kabupaten Barru dengan masyarakat bugis, dikenal dengan nama puka tourani, sementara di Kabupaten Pinrang dan Kabupaten Majene dengan masyarakat Mandar dikenal dengan nama puka tuing-tuing. Pemberian nama ini menggunakan dua suku kata, yakni kata puka yang berarti jaring dan kata torani, tourani, serta tuing-tuing yang berarti ikan terbang. Alat tangkap ini secara khusus dioperasikan untuk kegiatan penangkapan ikan terbang, dengan konstruksi dan desain menyerupai jaring insang pada umumnya. Terdiri atas lembaran jaring berbentuk empat persegi dengan ukuran panjang jauh lebih besar dibandingkan ukuran lebarnya. Dilengkapi dengan tali ris atas dan tali ris bawah, tali pelampung dan tali pemberat, serta pelampung pada bibir jaring bagian atas dan pemberat pada bibir jaring bagian bawah. Lembaran jaring yang digantung pada tali ris atas dan tali ris bawah dibuat sedemikian rupa, sehingga mata jaring pada saat dioperasikan untuk menangkap ikan dapat terbuka dengan baik. Bukaan mata jaring setelah digantung pada tali ris, berkaitan dengan besar kecilnya hanging ratio (HR) yang diberikan terhadap jaring itu. Hanging ratio berbanding terbalik dengan shortening (pemendekan), semakin besar hanging ratio yang diberikan berarti semakin kecil shortening pada jaring itu, dan sebaliknya semakin kecil hanging ratio berarti semakin besar shortening pada jaring itu. Pemberian hanging ratio atau shortening bergantung pada besarnya nilai bukaan mata jaring yang diinginkan. Berdasarkan pengalaman dan kebiasaan nelayan di daerah penelitian tentang penggunaan jaring insang hanyut permukaan, diperoleh HR atau S berkisar antara 20 30%. Konstruksi dan desain JIHP yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan terbang, diperlihatkan pada Lampiran 2. Jaring yang digunakan merupakan jenis alat tangkap yang bersifat pasif sekaligus bersifat selektif terhadap ukuran ikan hasil tangkapan. Besarnya ukuran mata jaring (mesh size) disesuaikan dengan ukuran ikan yang menjadi tujuan utama penangkapan. JIHP merupakan suatu jenis alat penangkapan ikan yang terbuat dari jaring satu lapis dengan ukuran mata jaring yang sama pada seluruh bagian jaring. Cara tertangkapnya ikan dengan alat tangkap ini, dapat berupa terjerat (gilled) pada bagian keliling badan ikan, terjerat pada bagian tutup insang 39

62 (preopercullum), keliling badan ikan di belakang tutup insang (opercullum) dan pada keliling maksimum badan ikan (max body girth) dan ataupun dengan cara terpuntal pada badan jaring (entangled). JIHP yang digunakan memiliki ukuran setiap potongnya (piece), yakni panjang jaring sekitar 30 m dan dalam (lebar) 2 m (Tabel 7). Umumnya nelayan pada saat melakukan pengoperasian, jaring insang tersebut dirangkai dari beberapa piece ke dalam satu rangkaian jaring yang sekaligus ditebar di dalam air. Jumlah rangkaian jaring (piece) yang dioperasikan dalam kegiatan penangkapan ikan terbang (setting) berkisar antara piece. Jaring dirangkai menjadi satu rangkaian yang tidak terpisah antara satu bagian (piece) dengan bagian (piece) lainnya, dilakukan dengan cara mengikat (menyambung) setiap ujung tali ris atas. Tabel 7 Spesifikasi alat penangkapan ikan dan telur ikan terbang Kabupaten Majene Pinrang Barru Takalar No. Jenis Ukuran Ukuran Mata Jaring Jumlah API (P x L) (m) (cm) Pis/Unit API 1 JIHP 30 x 2 3, JIHP 30 x 2 3, JIHP 30 x 2 3, JIHP 30 x 2 3, JIHP 30 x 2 3, JIHP 30 x 2 3, JIHP 30 x 2 3, JIHP 30 x 2 3, JIHP 30 x 2 3, BHP 1,5 x BHP 1,5 x BHP 1,5 x 1-50 Sumber : Data Lapang, 2004 Bahan jaring (badan jaring) terbuat dari jaring serat tunggal (monofilament) dengan bahasa lokal jaring tasi dengan nomor benang 30 yang dilengkapi dengan tali ris atas, tali ris bawah, tali pelampung, tali pemberat, serta pelampung, dan pemberat. Lebar mata jaring (mesh size) yang digunakan adalah 1,5 inchi (3,75 cm) yang merata pada semua badan jaring. Penggunaan lebar mata jaring seperti ini, disesuaikan dengan ukuran ikan yang menjadi tujuan penangkapan (ikan terbang) dengan rata-rata memiliki ukuran lingkar badan berkisar antara 6,0 8,0 cm. Dengan demikian ikan terbang dapat dengan mudah terjerat (gilled) pada 40

63 badan jaring, namun sebagian ikan juga seringkali tertangkap dengan cara terpuntal (entangled) pada badan jaring terutama apabila jaring berhasil menemukan kawanan ikan dalam jumlah besar. Alat penangkapan yang digunakan untuk kegiatan penangkapan telur ikan terbang di Kabupaten Takalar terdiri atas dua macam, yakni berupa bubu hanyut permukaan (BHP) dan berupa rakit (bale-bale). Alat tangkap (BHP) untuk menangkap telur ikan terbang di daerah ini, telah digunakan sejak lama oleh masyarakat nelayan patorani secara turun temurun. BHP dikenal dengan beberapa nama sesuai dengan suku masyarakat di Sulawesi Selatan. Di Kabupaten Takalar dengan masyarakat suku Makassar dikenal dengan nama bubu patorani, sementara di Kabupaten lainnya dengan masyarakat suku bugis dan mandar memberinya nama dengan bubu tourani dan bubu torani (Lampiran 2). Alat penangkapan berupa rakit (bale-bale) untuk menangkap telur ikan terbang, hanya digunakan oleh masyarakat nelayan patorani dari Kabupaten Takalar. Alat penangkapan telur ikan terbang tersebut mulai digunakan oleh nelayan di daerah ini, sejak awal tahun sembilan puluhan. Hal ini merupakan kesadaran dan kreativitas masyarakat nelayan yang selama ini melakukan kegiatan penangkapan telur ikan terbang. Bale-bale, dibuat menyerupai rumpon yang ditebar di permukaan laut, sehingga ikan terbang yang akan mengeluarkan telurnya mendekati dan bermain di sekitar alat itu kemudian menempelkan telurnya pada dedaunan yang diikatkan pada semua sisi alat. Metode penangkapan telur ikan terbang dilakukan dengan memanfaatkan sifat biologi ikan tersebut yang senang meletakkan atau menempelkan telur-telurnya pada benda-benda terapung (pelagophils) dan atau pada rumput-rumput laut yang mengapung di permukaan (phytophils). Bale-bale terdiri atas rangka berbentuk empat persegi menggunakan bahan kayu atau bambu. Pada semua sisi rangka alat ini, diikatkan helaian daun kelapa secara teratur sehingga menyerupai sebuah rumpon pada saat ditebar di dalam laut. Penggunaan alat penangkapan ikan terbang dengan bale-bale, ternyata memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan menggunakan bubu hanyut, yakni : (1) dapat diangkut ke laut dalam jumlah yang lebih banyak karena dapat disusun secara teratur di atas dek kapal; (2) sangat menarik perhatian kawanan ikan terbang yang akan bertelur karena alat ini menyerupai rumpon dengan jumlah dedaunan yang lebih banyak; dan (3) hanya menangkap telur ikan terbang dan 41

64 ikannya sendiri lolos tidak tertangkap. Penggunaan bale-bale dalam kegiatan penangkapan telur ikan terbang telah mengalami perkembangan yang pesat, menyebabkan penggunaan jumlah BHP dalam kegiatan penangkapan tersebut menurun. Bahkan dalam setiap trip penangkapan telur ikan terbang di daerah ini, BHP hanya digunakan antara 5 sampai 8 buah yang dirangkai bersama dengan bale-bale dan dianggap sebagai suatu pembuka rejeki keberhasilan penangkapan menurut tradisi dan kepercayaan masyarakat nelayan setempat. 3.4 Metode Penangkapan Ikan Penangkapan Ikan terbang menggunakan JIHP, sedangkan penangkapan telur ikan terbang selain menggunakan BHP juga menggunakan alat tangkap berbentuk rumpon (bale-bale). Kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang, diawali dengan proses persiapan di darat dengan terlebih dahulu mengecek kesiapan kapal, mesin kapal dan alat tangkap yang akan digunakan. Kapal dan mesin kapal bila dinyatakan layak operasi, selanjutnya dilakukan pemuatan bahan bakar, oli, bahan makanan, dan obat-obatan sesuai dengan rencana jumlah hari operasi penangkapan. Kapal mulai bergerak dari pangkalan (fishing base) sekitar pukul waktu setempat menuju lokasi penangkapan (fishing ground) yang direncanakan dengan waktu tempuh sekitar 12 jam. Penentuan lokasi dimana kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang akan dilakukan, diawali dengan melakukan pengamatan di sekitar perairan tersebut. Pengamatan di sekitar perairan itu misalnya dengan melihat kawanan burung laut, buih dan percikan air di permukaan, adanya beberapa rumput laut atau potongan kayu yang mengapung, serta adanya beberapa ikan terbang yang loncat atau terbang di atas permukaan laut. Jika jumlah ikan terbang yang loncat atau terbang di atas permukaan laut banyak dan cenderung mengikuti arah vertikal, menunjukkan adanya kawanan ikan terbang di dalam perairan itu dalam jumlah banyak. Tandatanda seperti ini banyak dimanfaatkan oleh nelayan setempat dalam memperkirakan lokasi ikan terbang yang dapat dimanfaatkan sebagai lokasi penangkapan. Kegiatan penangkapan dilakukan pada esok harinya menjelang sore hari sekitar pukul waktu setempat. Penangkapan telur ikan terbang dimulai dengan mengikat satu persatu alat tangkap bubu/rakit pada tali utama, kemudian melepas alat tangkap tersebut (setting) secara teratur ke dalam perairan. Jumlah alat tangkap yang dioperasikan dibagi dalam dua rangkaian, satu rangkaian di 42

65 bagian buritan kapal dan satu rangkaian lagi di bagian haluan kapal. Setelah semua alat tangkap telah berada di dalam air, tali utama dibiarkan hanyut bersama dengan alat tangkap sampai sekitar 50 meter dari kapal. Rangkaian alat tangkap ini dibiarkan di dalam air dan hanyut selama satu malam, dan besok paginya alat tangkap tersebut mulai diangkat kembali (hauling) sekitar pukul pagi. Pengangkatan alat tangkap dilakukan secara teratur dan hati-hati, sehingga telur ikan terbang yang melekat pada dedaunan yang dipasang pada rangka alat tangkap itu tidak terlepas. Jika jumlah hasil tangkapan telur ikan terbang yang diperoleh cukup banyak, rangkaian alat tangkap tersebut dihanyutkan kembali (setting) setelah semua hasil tangkapannya diambil untuk kegiatan penangkapan hari berikutnya. Sebaliknya bila jumlah hasil tangkapan dianggap kurang memuaskan, selanjutnya kapal bergerak berpindah untuk mencari lokasi penangkapan yang lain. Kegiatan persiapan sampai dengan operasi penangkapan telur ikan terbang, diperlihatkan secara skematis pada Gambar 9. Kegiatan penangkapan telur ikan terbang dilakukan setiap harinya dimana kapal dibiarkan hanyut bersama dengan alat tangkap yang telah ditebar ke dalam perairan. Di dalam satu trip penangkapan, umumnya berkisar antara 20 sampai dengan 30 hari di laut termasuk waktu yang digunakan menuju dan kembali dari lokasi penangkapan ke tempat asal. Jumlah hari operasi penangkapan ini tidak bersifat mutlak, namun juga bergantung pada keberhasilan dalam menangkap telur ikan terbang. Jika dalam kegiatan penangkapan yang dilakukan selama beberapa hari berturut-turut, berhasil menangkap telur ikan terbang dalam jumlah yang cukup sesuai dengan perhitungan jumlah hasil tangkapan yang minimal diperoleh, kapal dapat bergerak kembali menuju tempat asal (fishing base). Namun bila kegiatan penangkapan yang telah dilakukan belum berhasil menangkap telur ikan terbang dalam jumlah yang cukup, maka kegiatan penangkapan tetap dilanjutkan pada hari berikutnya kecuali bila persediaan bahan bakar dan makanan telah menipis. Untuk kegiatan penangkapan ikan terbang, dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : kegiatan penangkapan yang bersifat harian (short trip) dan kegiatan penangkapan yang dilakukan dengan trip panjang (long trip). Kegiatan penangkapan ikan terbang yang bersifat harian, dilakukan oleh nelayan di Kabupaten Pinrang dan Majene. Namun kegiatan penangkapan ikan terbang dengan trip panjang, dilakukan oleh nelayan di Kabupaten Barru. Proses kegiatan 43

66 penangkapan ikan terbang menggunakan JIHP dengan trip panjang diperlihatkan pada Gambar 10 dan dengan trip harian diperlihatkan pada Gambar 11. Perbedaan antara kegiatan penangkapan ikan terbang yang dilakukan dengan trip harian dan trip panjang, yakni selain pada jumlah hari operasi penangkapannya, juga pada ukuran armada penangkapan yang digunakan. Di Kabupaten Barru dengan menggunakan kapal penangkapan ikan yang lebih besar, dapat menjelajahi wilayah perairan yang lebih jauh dan dengan waktu di laut yang lebih lama. Di Kabupaten Pinrang dan Majene, hanya menggunakan kapal penangkapan ikan yang kecil, menyebabkan kemampuan untuk menjelajahi perairan yang lebih jauh sangat terbatas dan hanya dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini juga dipengaruhi oleh lokasi penangkapan yang hanya berada dekat dengan pantai, sehingga tidak memerlukan armada penangkapan yang lebih besar. 44

67 Gambar 9 Skema proses penangkapan telur ikan terbang dengan BHP/bale-bale. 45

68 Gambar 10 Skema proses penangkapan ikan terbang dengan JIHP trip panjang. 46

69 Gambar 11 Skema proses penangkapan ikan terbang dengan JIHP trip harian. 47

70 3.5 Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian dilakukan pada setiap musim dan daerah penangkapan. Data penelitian terdiri atas data parameter oseanografi yang diperoleh baik melalui pengukuran langsung (in-situ) maupun dengan menggunakan data citra penginderaan jauh (data SPL dari NOAA-AVHRR dan data kandungan klorofil dari SeaWiFS), serta data lokasi penangkapan dan hasil tangkapan ikan. Data jumlah hasil tangkapan dan parameter biologi ikan, diperoleh dari hasil pengamatan dan pengukuran lapang melalui kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan pada setiap periode musim dan daerah penangkapan ikan (Tabel 8). Tabel 8 Data penelitian menurut periode musim dan DPI Daerah Penangkapan Ikan (DPI) Majene PPI I (DPI I) Pinrang/PPI II (DPI II) Barru/PPI III (DPI III) Takalar/PPI IV (DPI IV) Data Periode Musim Penelitian PMBT MT PMTB Jumlah Trip Lokasi Penangkapan API Hasil Tangkapan Jumlah Sampel Ikan Lintang, Bujur Lintang, Bujur Lintang, Bujur JIHP BHP/Bale- Bale JIHP BHP/Bale- Bale JIHP BHP/Bale- Bale Kg/Ekor Kg/Ekor Kg/Ekor 480 Ekor 480 Ekor 480 Ekor Parameter Biologi Panjang-berat, JK, dan TKG ikan Panjang-berat, JK, dan TKG ikan Panjang-berat, JK, dan TKG ikan Parameter Oseanografi Suhu, salinitas, arus, unsur nutrien, oksigen terlarut dan kandungan klorofil Suhu, salinitas, arus, unsur nutrien, oksigen terlarut dan kandungan klorofil Suhu, salinitas, arus, unsur nutrien, oksigen terlarut dan kandungan klorofil 48

71 3.5.1 Data oseanografi dan data citra penginderaan jauh Data parameter oseanografi berupa suhu, salinitas, kecepatan arus, unsur nutrien, dan oksigen terlarut perairan Selat Makassar, dikelompokkan menjadi data rataan setiap parameter yang diamati pada setiap periode musim pengamatan. Data suhu, salinitas, dan kecepatan arus diperoleh dari hasil pengukuran lapang (insitu) pada setiap trip penangkapan ikan. Pengukuran suhu dan salinitas perairan masing-masing menggunakan thermometer air raksa dan refractometer. Arah dan kecepatan arus sesaat diukur menggunakan tali berbandul dan stop watch serta kompas. Selain itu juga menggunakan data parameter oseanografi yang diperoleh dari hasil pengukuran sebelumnya oleh lembaga riset (BPPT). Satuan data masingmasing : suhu perairan dinyatakan dalam derajat celcius ( o C), salinitas perairan dinyatakan dalam permil ( ), arah dan kecepatan arus dinyatakan dalam o U-S dan cm/dtk, serta kandungan nutrien dinyatakan dalam µg/unsur nutrien, dan oksigen terlarut dinyatakan dalam satuan ml/l. Jumlah stasiun pengamatan oseanografi tidak sama pada setiap periode musim yang diakibatkan masalah teknis di lapangan, namun masih dalam wilayah perairan yang diamati mewakili setiap periode musim. Jumlah stasiun pengamatan oseanografi yang diperoleh dari hasil pengukuran sebelumnya, masing-masing pada peralihan musim barat timur sebanyak 26 stasiun, pada musim timur sebanyak 5 stasiun, dan pada peralihan musim timur barat 27 stasiun. Posisi stasiun pengambilan data oseanografi perairan Selat Makassar dari ketiga periode musim tersebut, ditunjukkan pada Gambar 12. Data citra NOAA-AVHRR digunakan untuk mendapatkan sebaran mendatar suhu permukaan laut (SPL) dan data citra SeaWiFS untuk sebaran mendatar kandungan klorofil perairan. Data citra pengideraan jauh NOAA-AVHRR diperoleh dari LAPAN Jakarta dan data citra SeaWiFS merupakan hasil download. Jumlah data citra yang digunakan masing-masing sebanyak 9 lembar mewakili setiap bulan selama 3 periode musim sesuai koordinat daerah pengamatan. 49

72 Lintang Selatan KALIMANTAN SULAWESI Bujur Timur (A) KALIMANTAN 5 SULAWESI Lintang Selatan KALIMANTAN Bujur Timur (B) SULAWESI Lintang Selatan Bujur Timur (C) Gambar 12 Posisi stasiun pengambilan data oseanografi (suhu, salinitas, arah dan kecepatan arus, fosfat, nitrat, silikat,, serta oksigen terlarut) di Selat Makassar : (A) PMBT, (B) MT, dan (C) PMTB. 50

73 3.5.2 Data biologi dan hasil tangkapan ikan terbang Data dinamika biofisik ikan terbang yang diamati, terdiri atas data panjang berat, jenis kelamin serta tingkat kematangan gonad ikan. Data panjang berat ikan dinyatakan dalam satuan cm dan g, data jenis kelamin ikan yakni jantan dan betina serta tingkat kematangan gonad (TKG) dinyatakan dalam satuan angka berurut dari I sampai IV. Pengukuran dan pengumpulan data dinamika biofisik ikan terbang, dilakukan di lapangan dan di laboratorium terhadap sampel ikan hasil tangkapan. Hasil tangkapan ikan yang diperoleh diambil secara acak sebanyak 40 ekor per trip penangkapan selama tiga periode musim menurut daerah penangkapan ikan. Sampel ikan tersebut selanjutnya dilakukan pengukuran panjang berat, jenis kelamin dan TKG masing-masing ikan. Pengukuran panjang ikan dilakukan dengan mengukur panjang total ikan (total length), menggunakan jangka sorong digital dengan ketelitian 0,01 mm yang dinyatakan dengan satuan cm. Pengukuran berat ikan dilakukan menggunakan timbangan analitik dengan ketelitian 0,1 mg berkapasitas 5 kg dan dinyatakan dalam satuan g. Untuk data jenis kelamin dan TKG ikan, dilakukan di laboratorium dengan terlebih dahulu memberi bahan pengawet berupa larutan formalin berkadar 40 % terhadap sampel ikan yang akan dianalisis Data lokasi penangkapan ikan dan telur terbang Penangkapan ikan dan telur ikan terbang secara langsung dilakukan, dimana setiap kapal penangkap ikan disertai enumerator lapang yang telah diberi pembekalan sebelumnya untuk memudahkan dan memahami dengan baik sejumlah teknik pencatatan dan pengumpulan data. Data lokasi penangkapan pada setiap trip untuk setiap kapal penangkapan yang digunakan, diperoleh dari hasil pencatatan Global Positioning System (GPS) yang dioperasikan selama operasi penangkapan berlangsung dan dinyatakan dengan koordinat lintang bujur. Selain mendapatkan data kordinat lokasi penangkapan ikan yang diperoleh melalui GPS, juga dicatat sejumlah data kondisi alam pada lokasi penangkapan ikan, seperti ada tidaknya burung laut yang beterbangan, buih-buih air di permukaan, hanyutan potongan kayu atau rumput laut, kondisi cuaca (berawan atau cerah, angin kencang atau teduh), serta kondisi perairan (tenang atau berombak). 51

74 Selain data yang diperoleh melalui hasil pengamatan dan pengukuran langsung di laut selama kegiatan penangkapan ikan dilakukan, juga dikumpulkan sejumlah data dari nelayan yang menjadi responden menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) (Lampiran 3), untuk menggali sebanyak mungkin informasi penting berkaitan dengan kegiatan perikanan ikan dan telur ikan terbang yang dilakukan selama ini oleh nelayan setempat Data sekunder dan data penunjang lainnya Data sekunder dan data penunjang lainnya untuk melengkapi sejumlah data penelitian yang diperlukan, yaitu : data jumlah dan nilai produksi ikan dan telur ikan terbang, data jumlah kapal dan alat penangkapan, serta data jumlah nelayan dan rumahtangga perikanan ikan terbang selama 10 (sepuluh) tahun ( ), diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) setempat. Data klimatologi berupa kecepatan dan arah angin serta curah hujan diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG). Sementara data pembanding lainnya, diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya yang telah dilakukan di pusat-pusat riset dan lembaga penelitian. 3.6 Teknik Pengolahan dan Metode Analisis Data Pengolahan dan analisis data oseanografi Pengolahan dan analisis data oseanografi yaitu suhu, salinitas, kecepatan dan arah arus serta kandungan nutrien dan oksigen terlarut, dipisahkan menurut periode musim. Data ditabulasi dalam satu file data ke dalam bentuk tabel data menggunakan software Microsoft Excel. Data tersebut selanjutnya dipetakan menggunakan program surfer v. 7,0 untuk melihat sebaran mendatar dan sebaran melintangnya, dan ditampilkan dalam bentuk peta 3 (tiga) dimensi yang ditumpangtindihkan dengan peta dasar, menurut koordinat daerah dan lokasi penangkapan pada masing-masing musim. Selain itu juga ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar untuk setiap kelompok data. Untuk mengetahui adanya pengaruh variasi musim terhadap parameter oseanografi di perairan Selat Makassar, dilakukan analisis parameter oseanografi berdasarkan musim. Variasi musiman parameter oseanografi secara umum, ditunjukkan oleh nilai rata-rata parameter oseanografi dari semua stasiun 52

75 pengamatan pada musim yang sama. Untuk mengetahui perbedaan rata-rata setiap parameter oseanografi berdasarkan musim, dilakukan uji statistik dengan analisis keragaman (Anova) yang digunakan untuk mengetahui adanya perbedaan pada setiap musim (Zar, 1984). Data disajikan dalam bentuk tabulasi nilai rata-rata setiap parameter menurut musim, seperti disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Nilai rata-rata parameter oseanografi yang diuji perbedaannya dengan analisis keragaman (Anova) Parameter Variasi Musim Oseanografi PMBT MT PMTB Stasiun Y11 Y12 Y21 Y22 Y31 Y32 Y1n Y2n Y3n Jumlah J1 J2 J3 Rata-Rata Y 1 = J 1 /n 1 Y 2 = J 2 /n 2 Y 3 = J 3 /n 3 F hit = k 2 ( ni( Yi kyp) /( i 1 ni k 2 ( Yij Yi ) / i= 1 j= 1 i= 1 k 1)) ( n i 1)... (6) Y p = rata-rata nilai parameter oseanografi (suhu, salinitas, kecepatan arus kandungan fosfat, nitrat, silikat, dan oksigen terlarut); Yi = j/ni = rata-rata nilai parameter oseanografi pada musim ke-i; Y ij = nilai parameter oseanografi pada musim ke-i dan stasiun j; k = banyaknya perlakuan yang diuji (musim); dan n i = ukuran sampel dari populasi ke-i. Jika nilai Fhit > Ftabel 0,95 (k-1, Ó (ni-1) maka nilai rata-rata parameter oseanografi antar musim berbeda nyata (p<0,05) atau jika F hit > F tabel 0,99 (k-1, Ó (ni-1), maka rata-rata nilai parameter oseanografi antar musim berbeda sangat nyata (p<0,01). Uji statistik ini, menggunakan aplikasi software SPSS v. 11, Pengolahan dan analisis data hasil tangkapan Pengolahan dan analisis data hasil tangkapan ikan, dilakukan menurut periode musim dan daerah penangkapan ikan. Data hasil tangkapan ikan setiap 53

76 lokasi dan trip penangkapan, dinyatakan dengan jumlah hasil tangkapan ikan terbang dengan satuan ekor dan jumlah hasil tangkapan telur ikan terbang dengan satuan kg. Penghitungan jumlah hasil tangkapan baik ikan maupun telur ikan terbang, dilakukan pada setiap lokasi penangkapan setelah selesai pengangkatan alat tangkap (hauling). Analisis data jumlah hasil tangkapan menggunakan perangkat lunak SPSS v. 11,5 untuk melihat sebaran jumlah hasil tangkapan pada setiap lokasi penangkapan menurut musim. Hasil pengolahan dan analisis ditampilkan dalam bentuk tabel dan diagram Pengolahan dan analisis data biologi ikan Pengolahan dan analisis data biologi ikan terbang (panjang berat, jenis kelamin, dan TKG) dilakukan menggunakan program SPSS v. 11,5 untuk melihat distribusi, rataan, dan nilai simpangan data, serta program Surfer untuk analisis spasial. Distribusi parameter biologi ikan dilakukan untuk melihat sebaran data biologi ikan menurut musim dan daerah penangkapan. Data hasil olahan itu selanjutnya dianalisis untuk melihat keterkaitan data biologi ikan dengan sebaran musim dan daerah penangkapan, menggunakan analisis korelasi. Hasil olahan data tersebut kemudian ditampilkan secara bersamaan (overlay) antara data parameter oseanografi dengan peta dasar yang telah disiapkan sebelumnya. Data hasil analisis itu juga ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar secara bersamasama menurut kelompok musim dan daerah penangkapan Analisis parameter oseanografi dan hasil tangkapan ikan Untuk mengetahui hubungan antara parameter oseanografi dengan hasil tangkapan ikan terbang, dilakukan analisis regresi dengan menentukan hubungan tersebut ke dalam persamaan berikut, yaitu : Y = f(x 1, X 2, X 3, X 4, X 5, X 6, X 7 )...(7) Dimana Y = Kelimpahan Ikan (Ekor) X1 = Suhu ( o C); X 2 = Salinitas ( ); X3 = Kecepatan Arus (cm/dtk); X 4 = Kandungan Fosfat (ìg/l); X5 = Kandungan Nitrat (ìg/l); X 6 = Kandungan Silikat (ìg/l); dan 54

77 X 7 = Oksigen terlarut ( ml/l), Masing-masing parameter oseanografi, yakni : suhu, salinitas, kecepatan arus, kandungan fosfat, nitrat, silikat, dan oksigen terlarut diregresikan terhadap jumlah hasil tangkapan ikan dan diprediksikan persamaan regresinya yang sesuai dengan mempertimbangkan nilai r (korelasi). Nilai r ini menunjukkan keeratan hubungan antara kedua variabel yang dianalisis. Di dalam analisis regresi, nilai kelimpahan ikan merupakan jumlah hasil tangkapan ikan terbang yang diperoleh dari kegiatan penangkapan. Nilai parameter oseanografi yang digunakan di dalam analisis ini, merupakan rata-rata nilai setiap parameter yang diperoleh pada musim yang sama. Selain dengan analisis regresi untuk mengetahui hubungan parameter oseanografi dengan kelimpahan ikan, juga disajikan dalam bentuk peta tematik tumpangtindih antara setiap parameter dengan kelimpahan ikan yang didapatkan Analisis dinamika biologi dan hasil tangkapan ikan Analisis data dinamika biologi dan hasil tangkapan ikan terbang dilakukan menurut periode musim dan daerah penangkapan. Data dinamika biologi ikan meliputi data panjang berat, jenis kelamin, dan TKG ikan diperoleh dari sampel ikan hasil tangkapan. Untuk mengetahui hubungan antara dinamika biologi ikan dan hasil tangkapan menurut musim dan daerah penangkapan, dilakukan dengan menggunakan analisis korelasi. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui sebaran dinamika biologi ikan dari hasil tangkapan ikan yang diperoleh menurut musim dan daerah penangkapan, menggunakan perangkat lunak SPSS v. 11, Analisis dinamika biologi ikan dan parameter oseanografi Analisis dinamika biologi ikan (panjang berat, jenis kelamin, dan TKG) dengan parameter oseanografi (suhu, salinitas, kecepatan arus, kandungan nutrien dan oksigen terlarut) dimaksudkan untuk mendapatkan sebaran kedua parameter tersebut menurut musim dan daerah penangkapan. Bertujuan untuk melihat keterkaitan antara sebaran parameter biologi ikan dengan sebaran parameter oseanografi, menggunakan analisis korelasi. Hasil analisis ini selanjutnya ditumpangtindih dengan peta dasar daerah penangkapan. Hal itu dimaksudkan untuk melihat sebaran spasial dan temporal kedua parameter tersebut. 55

78 3.6.7 Analisis dinamika biologi, musim dan daerah penangkapan ikan Analisis dinamika biologi ikan terbang, musim dan daerah penangkapan, dilakukan untuk melihat karakteristik perubahan dinamika biologi ikan berdasarkan musim dan daerah penangkapan. Data dianalisis selain menggunakan teknik tabulasi dalam bentuk persentase dan frekuensi kejadian dalam satu kelas tertentu, juga digunakan analisis varians (Anova) untuk melihat perbedaan parameter biologi ikan menurut musim dan daerah penangkapan. Parameter biologi ikan berupa panjang berat, jenis kelamin, dan tingkat kematangan gonad (TKG) selama tiga periode musim (PMBT, MT, dan PMTB) dan empat daerah penangkapan ikan (DPI I - IV). Uji lanjut dilakukan untuk mengetahui perubahan yang paling besar dari parameter biologi ikan tersebut pada setiap musim dan daerah penangkapan, menggunakan teknik analisis multiple comparison dari program multivariate analysis. Perubahan dinamika biologi ikan berdasarkan wilayah perairan sebagai daerah penangkapan (utara-selatan), digunakan uji-t untuk mengetahui adanya perbedaan parameter biologi ikan pada kedua wilayah penangkapan tersebut. 56

79 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang berada di sepanjang pesisir pantai barat Sulawesi Selatan, seperti di Kabupaten Takalar, Barru, Pinrang, Polmas, Majene dan Mamuju. Jumlah produksi yang dihasilkan dari daerah penghasil ikan terbang di daerah ini, secara keseluruhan mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Begitu pula dengan produksi telur ikan terbang (TIT) yang dominan dihasilkan oleh nelayan dari Kabupaten Takalar, juga mengalami fluktuasi yang sama. Produksi ikan terbang selama sepuluh tahun terakhir ( ), diperoleh tertinggi pada tahun 2000 yakni sebesar 9.580,7 ton dan produksi kembali mengalami penurunan hingga terendah pada tahun 2003 yakni sebesar 3.905,0 ton. Demikian pula halnya dengan jumlah produksi telur ikan terbang yang dihasilkan di daerah ini, diperoleh tertinggi pada tahun yang sama yakni tahun 2000 dengan total produksi sebesar 2.448,5 ton dan terendah terjadi pada tahun 1995 dengan sama sekali tanpa ada produksi yang dihasilkan (Gambar 13). Walaupun tidak tetap perubahan jumlah produksi telur ikan terbang yang dihasilkan setiap tahunnya, namun nampak terdapat suatu kecenderungan siklus tiga tahunan dimana produksi menurun, kemudian meningkat kembali pada tahun berikutnya. Produksi ikan dan telur ikan terbang yang meningkat hingga tahun 2000, walaupun dengan jumlah unit upaya penangkapan yang hampir sama dengan tahun sebelumnya, diduga disebabkan oleh tingginya permintaan pasar telur ikan terbang dari mancanegara dengan harga yang tinggi, yakni berkisar antara Rp sampai dengan Rp per kg. Permintaan pasar dan harga yang tinggi terhadap komoditi ini, diperkirakan menyebabkan tingginya produksi yang dihasilkan baik ikan maupun telur ikan terbang oleh nelayan di daerah ini. Produksi ikan terbang walaupun bukan merupakan jenis ikan yang tergolong ekonomis penting, namun dengan jumlah produksi yang dihasilkan cukup besar setiap tahunnya, menyebabkan secara ekonomi tetap memberikan nilai produksi yang cukup tinggi, sehingga sampai saat ini kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan terbang masih terus berlangsung. Nilai jual produksi ikan terbang pada tingkat nelayan, hampir stabil sepanjang tahun, karena hanya merupakan komoditi perikanan dengan tujuan pemasaran lokal, terutama bagi daerah-daerah dimana

80 tidak memiliki produksi hasil laut. Pemanfaatan sumberdaya ikan terbang dilakukan oleh masyarakat nelayan setempat dengan skala tradisional, sehingga masih memerlukan bantuan teknologi tepat guna dalam kaitan dengan peningkatan efisiensi dan efektivitas penangkapan yang dilakukan. Produksi (Ton) IT TIT Tahun Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, Gambar 13 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang di Sulawesi Selatan. Sebaliknya produksi telur ikan terbang memegang peranan yang cukup penting bagi nelayan setempat, karena jenis komoditi perikanan ini merupakan komoditi ekspor yang banyak diminati oleh beberapa negara terutama bagi negara maju, seperti Jepang, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa. Nilai jual telur ikan terbang yang siap untuk diolah lebih lanjut oleh pengusaha pengumpul sebelum ditawarkan kepada pengusaha ekspor hasil perikanan sangat berfluktuasi, bergantung pada tingkat permintaan dari negara-negara tujuan disamping ditentukan oleh nilai tukar mata uang asing terhadap mata uang rupiah. Selain itu produk ini tergolong sebagai produk yang rentan dengan isu-isu lingkungan, menyebabkan seringkali mendapat ancaman penolakan dari beberapa negara tujuan dengan alasan pertimbangan konservasi sumberdaya. Permainan harga jual pada tingkat nelayan, juga banyak ditentukan oleh pengusaha pengumpul dan ponggawa yang memberikan modal awal sebelum kegiatan penangkapan dilakukan oleh nelayan. Namun hal ini sangat sulit untuk diatasi dalam kaitan penstabilan harga, mengingat peran pengusaha pengumpul dan ponggawa sangat besar terhadap keberlanjutan usaha dan kebutuhan ekonomi masyarakat nelayan yang setiap saat dapat 58

81 menjalankan fungsinya sebagai pemberi modal tepat waktu tanpa disertai persyaratan yang rumit. Nilai produksi telur ikan terbang cukup besar, walau masih berada di bawah beberapa jenis komoditi perikanan ekonomis penting lainnya, seperti : tuna, cakalang, dan udang. Produksi telur ikan terbang dengan nilai yang tinggi ini, memberikan peranan yang cukup penting bagi ekonomi masyarakat nelayan setempat, khususnya masyarakat nelayan patorani di Kabupaten Takalar. Perkembangan nilai produksi ikan dan telur ikan terbang selama sepuluh tahun terakhir, ditunjukkan pada Gambar 14. Nilai Produksi (Milyar RP) IT TIT Tahun Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, Gambar 14 Nilai produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang di Sulawesi Selatan Produksi ikan dan telur ikan terbang menurut kabupaten Produksi ikan dan telur ikan terbang di Sulawesi Selatan, secara keseluruhan diperoleh dari beberapa kabupaten yang berada di sepanjang pesisir pantai barat Sulawesi Selatan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di perairan Selat Makassar, serta kabupaten yang berada di sepanjang pesisir pantai timur Sulawesi Selatan yang melakukan kegiatan penangkapan di perairan Teluk Bone dan Laut Flores. Kabupaten Takalar, Barru, Pinrang, dan Majene, merupakan kabupaten penghasil ikan terbang terbesar di daerah ini, yang berada di sepanjang pesisir pantai barat Sulawesi Selatan (Selat Makassar). Selama periode 10 tahun antara tahun 1994 sampai dengan tahun 2003, Kabupaten Takalar merupakan penghasil 59

82 terbesar baik ikan maupun telur ikan terbang diantara semua kabupaten lainnya, kemudian disusul oleh Kabupaten Majene, Pinrang dan Barru. Di Kabupaten Takalar produksi ikan terbang tertinggi dicapai pada tahun 2000, Kabupaten Barru tahun 2002, Kabupaten Pinrang tahun 1998, dan Kabupaten Majene dicapai pada tahun Dari empat kabupaten yang digunakan sebagai tempat pengambilan data lapang, yakni Kabupaten Takalar, Barru, Pinrang, dan Majene, kontribusi produksi ikan terbang yang disumbangkan terhadap total produksi ikan terbang di Sulawesi Selatan pada tahun 2003, adalah sebesar 77,18 %, yakni masing-masing Kabupaten Takalar sebesar 43,64 %, Kabupaten Barru sebesar 0,19 %, Kabupaten Pinrang sebesar 7,41 %, dan Kabupaten Majene sebesar 25,94 % (Gambar 15).. TKLR BARRU PNRG MAJENE Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, Gambar 15 Produksi ikan terbang dari empat kabupaten di Sulawesi Selatan. Produksi telur ikan terbang selama kurun waktu sepuluh tahun ( ), dihasilkan di Kabupaten Takalar yang merupakan penghasil utama telur ikan terbang di daerah ini. Sampai sekarang kegiatan penangkapan telur ikan terbang di daerah itu masih terus berlangsung, dengan memanfaatkan daerah penangkapan yang semakin jauh. Produksi telur ikan terbang terbesar diperoleh pada tahun 2000 yakni sebesar 946,9 ton, kemudian mengalami penurunan pada tahun berikutnya hingga tahun 2003 (Tabel 10). 60

83 Tabel 10 Produksi telur ikan terbang di Sulawesi Selatan Tahun Produksi (Ton) , , , , , , , , ,8 Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, Produksi ikan dan telur ikan terbang menurut musim Produksi ikan terbang menurut periode musim selama sepuluh tahun ( ), diperoleh tertinggi pada periode MT menyusul PMTB dan terendah pada PMBT, kecuali pada tahun 2003 dimana produksi ikan terbang terbesar diperoleh pada periode PMBT dan terendah pada PMTB. Pada tahun 2001, produksi ikan terbang di daerah ini mengalami perubahan periode produksi, dimana terbesar kedua diperoleh pada periode PMBT dan terendah pada PMTB, bahkan pada tahun 2003 produksi tertinggi diperoleh pada periode PMBT (Gambar 16). 61

84 Produksi (Ton) PMBT MT PMTB Tahun Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, Gambar 16 Produksi ikan terbang menurut periode musim. Produksi telur ikan terbang secara keseluruhan di daerah ini selama kurun waktu sepuluh tahun ( ), hanya diperoleh dari dua periode musim saja yaitu pada periode MT dan PMTB. Setiap tahunnya produksi tertinggi diperoleh pada periode MT, kecuali pada tahun 1998 dimana produksi tertinggi dicapai pada periode PMTB (Gambar 17). Produksi (Ton) MT PMTB Tahun Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, Gambar 17 Produksi telur ikan terbang menurut periode musim. 62

85 4.1.4 Produksi ikan dan telur ikan terbang menurut API Kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang di Sulawesi Selatan, diperoleh dengan menggunakan beberapa jenis alat penangkapan ikan (API). Selama periode sepuluh tahun ( ), diperoleh produksi hasil tangkapan ikan terbang tertinggi dari alat penangkapan bubu hanyut permukaan (BHP) dan jaring insang hanyut permukaan (JIHP). Kedua jenis alat penangkapan tersebut, secara khusus dirancang untuk digunakan menangkap ikan dan telur ikan terbang. Produksi hasil tangkapan ikan terbang yang diperoleh dari jenis alat tangkap yang lain, seperti jaring insang tetap (JIT), purse seine (PS), dan payang (PY) hanya merupakan hasil tangkapan sampingan. Kontribusi beberapa jenis alat penangkapan ikan terhadap jumlah total produksi ikan terbang di Sulawesi Selatan dari tahun 1994 sampai dengan 2003, ditunjukkan pada Gambar % 0.6% 5.0% 38.7% 54.7% JIHP BHP JIT PS PY Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, Keterangan : Gambar 18 Produksi ikan terbang dari beberapa jenis API. JIHP = Jaring insang hanyut permukaan; JIT = Jaring insang tetap; BHP = Bubu hanyut permukaan; PS = Purse seine; PY = Payang; Jumlah hasil tangkapan ikan terbang yang didapatkan dari JIHP dan BHP tertinggi dibandingkan dengan produksi hasil tangkapan dari beberapa jenis alat penangkapan lainnya, masing-masing sebesar 54,7 % produksi dari JIHP dan 38,7 % produksi dari BHP. Produksi ikan terbang yang dihasilkan dari JIHP yang lebih tinggi dibandingkan dengan produksi yang dihasilkan dari BHP, disebabkan 63

86 terjadinya perubahan alat penangkapan yang sebelumnya lebih banyak digunakan BHP dalam kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang, kemudian berubah dengan menggunakan semacam rumpon berbentuk persegi empat (bale-bale) dalam kegiatan penangkapan telur ikan terbang. Dengan menggunakan alat tangkap seperti itu, ikan terbang saat melepaskan telurnya pada dedaunan yang dipasang di rakit tersebut tidak tertangkap lagi. Pada saat operasi penangkapan telur ikan terbang dengan menggunakan bale-bale, bubu hanyut masih tetap disertakan beberapa unit antara 5-8 buah dengan merangkaikan pada bale-bale secara bersamaan sebagai kebiasaan dan kepercayaan bagi masyarakat nelayan setempat. Penangkapan telur ikan terbang (patorani) dengan BHP telah lama digunakan oleh masyarakat nelayan setempat. Namun dengan perkembangan pengetahuan nelayan, bubu hanyut diketahui memiliki beberapa kelemahan dibandingkan dengan alat tangkap bale-bale, yakni sulit membawa ke laut dalam jumlah banyak pada waktu kegiatan penangkapan dilakukan karena memerlukan tempat yang sangat banyak di atas kapal, Selain itu dari aspek konservasi sumberdaya, juga memiliki kelemahan karena kawanan ikan yang datang bertelur pada dedaunan yang dipasang pada mulut bubu ikut terperangkap masuk ke dalam bubu dan akhirnya tertangkap, walaupun bukan menjadi tujuan utama penangkapan. Perkembangan jumlah alat penangkapan jaring insang hanyut permukaan (JIHP) yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan terbang di Sulawesi Selatan, mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Terbanyak pada tahun 2000 yakni sebanyak unit kemudian mengalami penurunan sampai pada tahun 2003 yakni hanya unit. Produksi ikan terbang yang dihasilkan juga mengalami fluktuasi. Produksi tertinggi diperoleh pada tahun yang sama yaitu pada tahun 2000 dan terendah pada tahun 2003 ( Lampiran 5). Jumlah unit alat tangkap BHP/bale-bale yang digunakan oleh nelayan di daerah ini di dalam kegiatan penangkapan telur ikan terbang selama periode tahun 1994 sampai dengan tahun 2003 mengalami fluktuasi. Terbanyak pada tahun 1996 yakni sebanyak unit, walaupun hanya menghasilkan jumlah produksi telur ikan terbang sebanyak 89,0 ton. Sebaliknya pada tahun 2000 hanya terdapat sebanyak 603 unit alat tangkap BHP/bale-bale, tetapi mampu menghasilkan produksi telur ikan terbang tertinggi yakni sebesar 946,9 ton (Lampiran 6). 64

87 4.2 CPUE Ikan dan Telur Ikan Terbang CPUE tahunan ikan dan telur ikan terbang Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan termasuk sumberdaya ikan terbang di perairan Selat Makassar dari waktu ke waktu mengalami perubahan. Perubahan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut, dipengaruhi oleh intensitas pemanfaatan berupa penambahan atau pengurangan jumlah unit alat penangkapan ikan atau jumlah satuan upaya penangkapan ikan yang dilakukan, serta ketersediaan besarnya stok sumberdaya ikan yang dimanfaatkan. Salah satu ukuran untuk mengetahui tingkat pemanfaatan ataupun laju pemanfaatan suatu jenis sumberdaya perikanan selama kurun waktu tertentu, adalah dengan melihat besar kecilnya hasil tangkapan ikan yang diperoleh dari seluruh upaya penangkapan ikan yang dilakukan. Gambaran status atau tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan ini didasarkan pada nilai catch per unit effort (CPUE) yang dihasilkan. Penghitungan nilai CPUE untuk mengetahui status pemanfaatan suatu sumberdaya ikan, banyak digunakan oleh beberapa kalangan karena tidak memerlukan penghitungan yang rumit dan dengan biaya yang rendah (Uktolseja et al., 1998). Beberapa ahli di bidang pengelolaan sumberdaya perikanan masih meragukan, karena data yang digunakan bergantung pada ketersediaan dan kebenaran data sebelumnya dan tidak melakukan sampling secara langsung pada sumberdaya ikan yang diestimasi (indirect estimation). CPUE dapat diperoleh dari data statistik perikanan yang tersedia atau dari hasil pencatatan kegiatan penangkapan ikan di tempat pendaratan ikan. Data yang dihasilkan sangat ditentukan pada kemampuan petugas yang ada di tempat pendaratan ikan atau pada kemampuan dalam memberikan laporan sesuai dengan yang sebenarnya. CPUE hanya memerlukan data jumlah hasil tangkapan suatu jenis ikan yang diamati dan jumlah upaya penangkapan yang dilakukan. Jumlah hasil tangkapan ikan (catch) merupakan jumlah hasil tangkapan ikan yang diperoleh, dan upaya penangkapan (effort) merupakan jumlah satuan upaya penangkapan ikan yang dilakukan untuk mendapatkan hasil tangkapan tersebut. Hasil tangkapan ikan (catch) dapat dinyatakan dalam satuan berat (kg atau ton) ataupun dengan satuan ekor ikan yang diperoleh. Upaya penangkapan (catch) dinyatakan dalam satuan upaya penangkapan (jumlah unit alat tangkap, jumlah trip penangkapan, ataupun jumlah mata pancing yang digunakan). 65

88 Jumlah hasil tangkapan (produksi) Ikan terbang di Sulawesi Selatan, mengalami fluktuasi. Hal ini ditentukan oleh besarnya upaya penangkapan yang dilakukan dan besarnya ketersediaan stok kawanan ikan terbang di perairan tersebut. Begitu pula halnya dengan jumlah hasil tangkapan (produksi) telur ikan terbang yang dihasilkan, juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Fluktuasi produksi telur ikan terbang, secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh tingkat perkembangan harga pada pasar ekspor. Hal ini terkait dengan besarnya permintaan komoditi ini dari negara-negera tujuan. Pada tingkat harga telur ikan terbang yang tinggi dan permintaan pasar ekspor yang naik, menyebabkan jumlah upaya penangkapan telur ikan terbang menjadi tinggi, dan sebaliknya jika harga dan permintaan pasar rendah menyebabkan upaya yang dilakukan juga menurun. Dengan peningkatan upaya penangkapan telur ikan terbang, menyebabkan pula produksi ikan terbang meningkat. CPUE tahunan ikan terbang di Sulawesi Selatan selama kurun waktu tahun menunjukkan terjadinya fluktuasi. Nilai CPUE ikan terbang diperoleh tertinggi yakni 1.613,79 kg pada tahun 2001 dan terendah yakni 793,10 kg per unit upaya penangkapan pada tahun 2002 (Gambar 19). Hal itu menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan terbang di perairan pantai barat Sulawesi Selatan tidak banyak mengalami perubahan dari tahun 1994 sampai 2001, kemudian menurun pada tahun 2002 dan mulai meningkat kembali pada tahun CPUE IT (Kg/Unit) Tahun Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, Gambar 19 CPUE tahunan ikan terbang. 66

89 Produksi telur ikan terbang yang dihasilkan, terbesar yakni kg pada tahun 2000 dan terendah yakni kg pada tahun Pada tahun 1995 tidak ada sama sekali produksi telur ikan terbang yang dihasilkan di daerah ini. Hal itu dikarenakan harga yang ada pada tingkat nelayan sangat rendah dan dengan permintaan negara tujuan yang rendah pula. Kondisi harga seperti itu menjadi tidak menguntungkan pada tingkat nelayan dalam kegiatan penangkapan telur ikan terbang karena memerlukan biaya operasional yang besar yaitu berkisar antara Rp. 3-5 juta per trip akibat lamanya nelayan di laut (long trip) di dalam kegiatan penangkapan. CPUE telur ikan terbang yang dihasilkan selama kurun waktu sepuluh tahun ( ), tertinggi yakni sebesar 1.570,32 kg pada tahun 2000 dan terendah yakni 63,71 kg per unit upaya penangkapan pada tahun 1996 (Gambar 20). CPUE TIT (Kg/Unit) Tahun Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, Gambar 20 CPUE tahunan telur ikan terbang. Jumlah upaya penangkapan telur ikan terbang yang dilakukan oleh nelayan mengalami penurunan sejak tahun 1999 yakni dari unit pada tahun 1998 menjadi hanya 803 unit pada tahun Penurunan jumlah unit upaya penangkapan ini, ternyata tidak mempengaruhi baik terhadap jumlah produksi telur ikan terbang yang dihasilkan maupun besarnya CPUE yang diperoleh. Bahkan pada tahun 2000 dengan upaya penangkapan hanya sebesar 603 unit, mampu menghasilkan produksi telur ikan terbang sebesar kg dengan CPUE tertinggi 67

90 yakni sebesar 1.570,32 kg per unit upaya penangkapan. Tingginya produksi dan nilai CPUE telur ikan terbang yang dihasilkan pada tahuan 2000, selain disebabkan terjadinya penurunan jumlah upaya penangkapan, juga diduga disebabkan oleh besarnya permintaan pasar dari mancanegara dengan harga yang tinggi yakni berkisar antara Rp sampai dengan Rp per kg kering. Penurunan jumlah unit upaya penangkapan ini terjadi, akibat besarnya biaya operasi penangkapan dan biaya-biaya lainnya yang diperlukan di dalam kegiatan penangkapan telur ikan terbang, terutama setelah krisis ekonomi melanda Indonesia. Keadaan itu menyebabkan sebagian nelayan patorani mengalihkan usahanya pada kegiatan penangkapan ikan lainnya di sekitar perairan pantai dengan biaya operasional yang lebih rendah CPUE ikan dan telur ikan terbang menurut musim Penangkapan ikan dan telur ikan terbang dilakukan hampir sepanjang waktu dalam setahun, kecuali pada periode musim barat. Kegiatan penangkapan dilakukan memasuki awal periode musim pancaroba pertama atau awal peralihan musim barat timur (PMBT) sampai akhir periode musim pancaroba kedua (PMTB). Nilai CPUE yang dicapai dari produksi hasil tangkapan ikan terbang dari ketiga periode musim selama sepuluh tahun ( ), diperoleh tertinggi pada MT, kecuali pada tahun 2003 CPUE tertinggi didapatkan pada PMBT. Jumlah produksi dan nilai CPUE tertinggi yang diperoleh pada MT, menunjukkan bahwa puncak penangkapan ikan dan telur ikan terbang di daerah ini terjadi selama MT. Selain itu berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (Yahya, et al., 2001) dikemukakan bahwa, kawanan ikan terbang di perairan pantai barat Sulawesi Selatan (Selat Makassar bagian selatan) tertinggi ditemukan selama periode MT. Faktor siklus musim di daerah ini juga sangat mempengaruhi tingkat intensitas penangkapan yang dilakukan oleh nelayan, dimana pada periode MT di wilayah ini merupakan waktu yang sangat kondusif untuk kegiatan penangkapan ikan. Kawanan ikan terbang di Selat Makassar diketahui melakukan pergerakan dari perairan bagian utara ke perairan bagian selatan memasuki awal periode MT dan sebaliknya pada PMBT dan PMTB. Pergerakan kawanan (schooling movement) ikan terbang ini, selain dipengaruhi oleh aktivitas mencari makan (feeding activity/feeding migration) dimana diketahui di Selat Makassar bagian selatan selama periode MT terjadi upwelling yang menyebabkan terjadinya pengangkatan unsur 68

91 hara ke bagian permukaan perairan sehingga ketersediaan makanan di sekitar wilayah perairan itu meningkat. Pergerakan kawanan ikan ini, juga dipengaruhi oleh aktivitas pemijahan (spawning activity/spawning migration) ke bagian perairan yang sesuai dan optimum untuk aktivitas pemijahan. Hal itu nampak dengan tingginya produksi telur ikan terbang yang dihasilkan selama periode MT di bagian wilayah perairan tersebut. Bagian perairan dimana tersedia sejumlah cadangan makanan bagi larva ikan, merupakan daerah yang sesuai untuk aktivitas pemijahan. Larva ikan yang menetas dapat dengan mudah mendapatkan makanan yang diperlukan untuk perkembangannya, selain faktor suhu dan salinitas perairan, serta faktor-faktor oseanografi lainnya yang mempengaruhi aktivitas biologi ikan tersebut. CPUE ikan terbang di Sulawesi Selatan menurut periode musim selama kurun waktu 10 tahun ( ), diperlihatkan pada Gambar 21. CPUE IT (Kg/Unit) PMBT MT PMTB Tahun Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, Gambar 21 CPUE ikan terbang menurut periode musim. CPUE yang diperoleh dari produksi telur ikan terbang yang dihasilkan di daerah ini, tertinggi dicapai pada periode MT, kecuali pada tahun 1998 dimana tertinggi didapatkan pada periode PMTB. Perkembangan jumlah produksi dan nilai CPUE telur ikan terbang yang didapatkan selama sepuluh tahun ( ), menunjukkan adanya dua puncak produksi selama kurun waktu tersebut, yakni pada tahun 1997 dan tahun Setelah produksi dan nilai CPUE tertinggi dicapai pada tahun 2000, selanjutnya mengalami penurunan yang cukup signifikan hingga tahun 69

92 2003. Pada tahun terakhir (2003), produksi dan CPUE telur ikan pada periode MT, mengalami peningkatan, tetapi sebaliknya produksi dan CPUE pada periode PMTB mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh perkembangan harga telur ikan terbang pada tingkat nelayan yang tidak menggembirakan, bahkan hanya berkisar Rp per kg. Pada tingkat harga seperti itu, adalah tidak menguntungkan bagi nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan dengan biaya yang cukup besar. CPUE telur ikan terbang yang dihasilkan di Sulawesi Selatan menurut periode musim selama kurun waktu sepuluh tahun ( ), diperlihatkan pada Gambar 22. CPUE TIT (Kg/Unit) MT PMTB Tahun Sumber : DKP Propinsi Sulawesi Selatan, Gambar 22 CPUE telur ikan terbang menurut periode musim. 4.3 Penangkapan Ikan dan Telur Ikan Terbang Daerah penangkapan Ikan (DPI) Daerah penangkapan ikan dan telur ikan terbang di perairan Selat Makassar yang dimanfaatkan oleh nelayan dari beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan, masih tergolong berada di sekitar perairan pantai. Hal ini disebabkan armada penangkapan ikan yang digunakan masih tergolong relatif kecil dan dengan kelengkapan peralatan navigasi yang sangat minim. Di DPI I dan DPI II yang berada di bagian utara Selat Makassar, menggunakan armada penangkapan ikan dengan ukuran yang relatif kecil berkisar antara 2 3 GT, sehingga daerah penangkapan 70

93 yang dapat dicapai juga relatif dekat dari pantai dengan trip penangkapan bersifat harian. Di DPI III dan DPI IV, menggunakan armada penangkapan dengan ukuran yang lebih besar yakni berkisar antara 8-10 GT. Ukuran armada penangkapan ini memungkinkan untuk lebih jauh melakukan pencarian daerah penangkapan dengan waktu trip penangkapan yang relatif panjang, yakni berkisar antara hari di laut. Sebaran daerah penangkapan yang digunakan dalam kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang oleh nelayan dari kedua kelompok itu juga sangat berbeda. Di DPI IV dengan tujuan utama kegiatan penangkapan yang dilakukan adalah untuk menangkap telur ikan terbang, mengharuskan mereka mencari daerah penangkapan yang relatif lebih jauh dari pantai. Hal itu sesuai dengan perkiraan daerah peneluran/pemijahan (spawning ground) bagi ikan terbang dewasa dan matang gonad untuk melepaskan/menempelkan telurnya pada dedaunan di sekitar permukaan perairan (Ali dan Nessa, 2005). Begitu pula nelayan di DPI III dengan menggunakan armada penangkapan yang relatif lebih besar, walaupun hanya dengan tujuan penangkapan ikan terbang, tetapi dapat menjangkau wilayah perairan yang lebih jauh sesuai dengan kondisi dimana kawanan ikan terbang diperkirakan berada. Beberapa wilayah perairan yang digunakan sebagai daerah penangkapan ikan dan telur ikan terbang di perairan Selat Makassar, disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Daerah penangkapan ikan dan telur ikan terbang di Selat Makassar Daerah Penangkapan Ikan (DPI) Tujuan Penangkapan Lokasi Penangkapan (Sekitar Perairan) Kisaran Kedalaman Perairan Posisi Lokasi Penangkapan DPI I Ikan terbang -Teluk Lebana m 02 o o 30 LS 118 o o 75 BT DPI II Ikan terbang -Tanjung Lero -Pulau Batukalasi DPI III Ikan terbang -Pulau Karangang -Pulau Jangang - jangang DPI IV Telur ikan terbang -Pulau Papandangan -Pulau Kapoposang -Pulau Pamangngang -Pulau Tambakulu -Pulau Kondong Bali -Taka Gasseiya -Pulau Dayangdayang -Pulau Buluwang -Pulau Satanga Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, m 03 o o 20 LS 119 o o 40 BT m 04 o o 90 LS 118 o o 25 BT m m 05 o o 80 LS 118 o o 00 BT 71

94 Nelayan yang melakukan penangkapan ikan terbang di DPI I dan DPI II merupakan daerah penangkapan yang relatif sangat dekat dari pantai, menggunakan armada penangkapan dengan ukuran yang sangat kecil. Wilayah perairan ini meskipun sangat dekat dari pantai berkisar antara 1 2 mil laut, berada di sekitar perairan Teluk Lebana dan memiliki kedalaman perairan yang sangat dalam berkisar antara m dengan topografi yang terjal. Di sekitar perairan ini diketahui merupakan daerah perlintasan ataupun habitat kawanan ikan terbang. Lokasi penangkapan berada pada koordinat antara 02 o o 30 LS dan 118 o o 75 BT dengan menggunakan alat penangkapan JIHP. Kegiatan penangkapan ikan terbang di DPI II, berada di sekitar perairan Tanjung Lero dan Pulau Batukalasi pada koordinat antara 03 o o 20 LS dan 119 o o 40 BT dengan kedalaman perairan berkisar antara m. Daerah penangkapan ikan terbang yang dimanfaatkan oleh nelayan baik di DPI I maupun di DPI II sepanjang musim penangkapan yang berlangsung dari bulan Maret hingga bulan Oktober setiap tahunnya, tidak menunjukkan adanya pergeseran daerah penangkapan yang jauh. Hal tersebut diakibatkan karena penggunaan kapal penangkapan yang relatif kecil, sehingga sulit menjangkau daerah penangkapan yang berada pada wilayah perairan yang lebih jauh. Nelayan yang melakukan penangkapan ikan terbang pada DPI III merupakan wilayah perairan yang cukup jauh dari pantai, yaitu di sekitar perairan Taka Malaka dan Pulau Karangan serta Pulau Jangang-jangang pada koordinat antara 04 o o 90 LS dan 118 o o 25 BT dengan kedalaman perairan berkisar antara m. Wilayah perairan ini diperkirakan merupakan daerah perlintasan kawanan ikan terbang dalam proses migrasi, sehingga diketahui merupakan wilayah perairan yang cukup potensil dalam kegiatan penangkapan ikan terbang setiap tahunnya dengan menggunakan alat penangkapan JIHP. Daerah penangkapan telur ikan terbang yang menempati DPI IV dan berada di bagian selatan Selat Makassar, yakni di sekitar perairan Pulau Kalu-Kalukuang, Pulau Kapoposang, Pulau Papandangang, Pulau Kondangbali, Pulau Jangangjangang, dan perairan sekitar Massalembo Kabupaten Pangkep pada koordinat antara 05 o o 80 LS dan 118 o o 00 BT, memiliki kedalaman perairan berkisar antara m. Wilayah perairan ini setiap tahunnya dimanfaatkan sebagai daerah penangkapan telur ikan terbang oleh nelayan patorani di Sulawesi Selatan dengan menggunakan alat penangkapan berupa BHP dan atau Bale-Bale. 72

95 4.3.2 Hasil Tangkapan Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang di daerah pengamatan selama penelitian berlangsung, disajikan pada Tabel 12. Hasil tangkapan ikan dan telur ikan tersebut secara keseluruhan diperoleh dari 36 trip penangkapan selama 3 periode musim pada 4 daerah penangkapan ikan (DPI). Tabel 12 Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang Daerah Penangkapan Ikan (DPI) I II III IV Hasil Tangkapan (ekor/kg) Ikan Terbang Ikan Terbang Ikan Terbang Ikan Terbang Telur Ikan Terbang Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Trip Periode Musim Penangkapan PMBT MT PMTB ,5 194,5 60,5 2 37,0 213,0 47,0 3 40,0 191,0 32,5 Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut periode musim dan DPI untuk setiap trip penangkapan seperti yang ditunjukkan pada Tabel 12, menunjukkan bahwa perbedaan jumlah hasil tangkapan ikan tidak hanya terjadi antar setiap periode musim dan DPI, tetapi juga pada setiap trip penangkapan. Di DPI I pada awal periode penangkapan (PMBT), terjadi peningkatan jumlah hasil tangkapan dari trip 1 sampai dengan trip 3. Sebaliknya pada periode MT dan PMTB terjadi penurunan jumlah hasil tangkapan ikan dari trip 1 sampai dengan trip 3. Di DPI II pada periode PMBT terjadi penurunan jumlah hasil tangkapan ikan pada trip 3, namun kemudian meningkat selama periode MT sampai pada trip 2 periode penangkapan berikutnya (PMTB) dan menurun pada trip 3. Di DPI III dan IV, terlihat memiliki kecenderungan yang sama yakni peningkatan jumlah hasil tangkapan ikan terjadi sampai pada awal periode akhir penangkapan (PMTB) dan kemudian terjadi 73

96 penurunan pada trip terakhir. Hasil tangkapan telur ikan terbang yang diperoleh pada DPI IV, memperlihatkan kecenderungan yang juga mengalami peningkatan dari awal periode penangkapan (PMBT) sampai pada akhir periode MT dan terjadi penurunan memasuki akhir periode penangkapan (PMTB). (1) Hasil tangkapan menurut DPI Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang selama pengamatan menurut daerah penangkapan ikan (DPI), disajikan pada Tabel 13. Tabel 13 Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut DPI Daerah Penangkapan Ikan (DPI) Ikan Terbang (Ekor) Hasil Tangkapan Telur Ikan Terbang (Kg) I II III IV ,0 Jumlah ,0 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Di daerah penangkapan ikan (DPI) I diperoleh hasil tangkapan ikan terbang adalah sebesar ekor, DPI II sebesar ekor, DPI III sebesar ekor, dan di DPI IV sebesar ekor ikan terbang dan 836,0 kg telur ikan terbang. Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang secara keseluruhan dari semua DPI diperoleh sebesar ekor ikan terbang dan 836,0 kg telur ikan terbang. Terlihat bahwa hasil tangkapan ikan terbang menurut DPI dari bagian utara ke bagian selatan perairan Selat Makassar diperoleh adanya peningkatan, kecuali pada DPI IV. Hal itu disebabkan karena tujuan utama penangkapan yang dilakukan adalah untuk telur ikan terbang, menyebabkan hasil tangkapan ikan terbang hanya dianggap sebagai hasil tangkapan sampingan (by catch). (2) Hasil tangkapan menurut periode musim Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut periode musim, disajikan pada Tabel 14. Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut periode musim selama pengamatan berlangsung, diperoleh masing-masing pada 74

97 PMBT sebesar ekor dan 97,5 kg, pada MT sebesar ekor dan 598,5 kg, serta pada PMTB sebesar ekor dan 140,0 kg. Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang masing-masing diperoleh tertinggi pada periode MT dan terendah pada PMBT. Tabel 14 Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut periode musim Hasil Tangkapan Periode Musim Ikan Terbang (Ekor) Telur Ikan Terbang (Kg) PMBT ,5 MT ,5 PMTB ,0 Jumlah ,0 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 (3) Hasil tangkapan menurut periode musim dan DPI Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut periode musim dan DPI selama pengamatan berlangsung, disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut musim dan DPI Daerah Periode Musim Penangkapan Ikan Hasil Tangkapan (DPI) PMBT MT PMTB I Ikan terbang (ekor) II Ikan terbang (ekor) III Ikan terbang (ekor) IV Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 ikan terbang (ekor) Telur ikan terbang (kg) 97,5 598,5 140,0 Di daerah penangkapan ikan (DPI I), produksi hasil tangkapan tertinggi diperoleh pada periode MT dan sebaliknya terendah pada PMBT. Produksi hasil tangkapan ikan terbang di DPI II, diperoleh tertinggi juga pada periode MT dan sebaliknya terendah pada PMTB, namun tidak berbeda banyak dengan produksi hasil tangkapan yang diperoleh pada PMBT. Di DPI III produksi hasil tangkapan ikan terbang diperoleh tertinggi pada periode MT, dan terendah pada PMBT. Kondisi ini 75

98 adalah sama dengan di DPI lainnya dimana produksi hasil tangkapan setiap tahunnya diperoleh tertinggi pada musim yang sama. Perbedaan jumlah hasil tangkapan ikan terbang yang sangat besar dari ketiga periode musim tersebut, diduga disebabkan karena pengaruh periode munculnya ikan terbang dalam kawanan yang besar pada awal memasuki periode MT. Pada daerah penangkapan ikan (DPI IV), produksi hasil tangkapan ikan terbang dari ketiga periode musim, diperoleh tertinggi pada MT yang merupakan puncak penangkapan, dan sebaliknya terendah diperoleh pada PMTB. Produksi hasil tangkapan telur ikan terbang sebagai tujuan utama kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan, diperoleh hasil tangkapan juga tertinggi pada periode MT, namun sebaliknya terendah diperoleh pada PMBT. Rendahnya produksi hasil tangkapan telur ikan terbang pada PMBT, dikarenakan merupakan awal memasuki periode penangkapan telur ikan terbang bahkan pada beberapa waktu nelayan masih menunggu perkembangan kepastian harga telur ikan terbang pada periode musim tersebut. Selama periode MT, dimana setiap tahunnya merupakan puncak kegiatan penangkapan telur ikan terbang yang bersamaan dengan waktu dimana aktivitas pemijahan ikan terbang berlangsung pada daerah penangkapan ini, menyebabkan kawanan ikan terbang telah berada dalam kawanan yang lebih besar. Walaupun pada periode PMBT diperoleh hasil tangkapan ikan terbang yang lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah hasil tangkapan ikan terbang pada PMTB, namun sebagian besar ikan terbang masih berada pada kondisi belum matang gonad, menyebabkan jumlah hasil tangkapan telur ikan terbang yang diperoleh lebih rendah. 4.4 Parameter Biologi Ikan Panjang berat ikan Panjang dan berat ikan terbang yang diperoleh secara keseluruhan selama pengamatan berlangsung, disajikan pada Lampiran 13, 14, 17, 18, 21, 22, 25, dan 26. (1) Panjang berat ikan menurut DPI Panjang berat ikan dari hasil tangkapan yang diperoleh selama pengamatan berlangsung menurut daerah penangkapan ikan (DPI), disajikan pada Tabel

99 Tabel 16 Panjang berat ikan terbang menurut DPI Daerah Panjang Berat Ikan Penangkapan Ikan (DPI) Panjang (cm) Berat (g) I 19,29 53,71 II 16,85 42,52 III 17,55 52,61 IV 20,42 59,80 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Pada Tabel 16 terlihat bahwa rata-rata ukuran panjang berat ikan terbang yang tertangkap dari keempat daerah penangkapan ikan (DPI), diperoleh masingmasing dengan panjang ikan terbesar (20,42 cm) diperoleh pada DPI IV dan terkecil (16,85 cm) pada DPI II. Rata-rata berat ikan yang tertangkap dari keempat DPI, juga diperoleh terbesar (59,80 g) pada DPI IV dan terkecil (42,52 g) pada DPI II. Hal itu menunjukkan bahwa ukuran panjang berat ikan terkecil diperoleh di DPI II dan terbesar di DPI IV kemudian terbesar kedua dan ketiga diperoleh di DPI I dan DPI III. Perubahan panjang berat ikan nampak terlihat dari DPI II di bagian utara ke DPI III sampai ke DPI IV di bagian selatan wilayah perairan ini. Kecenderungan perubahan panjang berat ikan tersebut, menunjukkan bahwa secara spasial ukuran ikan mengalami perubahan. (2) Panjang berat ikan menurut periode musim Panjang berat ikan dari hasil tangkapan yang diperoleh selama pengamatan berlangsung menurut musim penangkapan ikan (MPI), disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Panjang berat ikan menurut periode musim Panjang Berat Ikan Periode Musim Panjang (cm) Berat (g) PMBT 17,67 50,42 MT 18,09 59,06 PMTB 18,49 53,18 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Panjang berat ikan yang diperoleh selama pengamatan berlangsung seperti yang disajikan pada Tabel 17, menunjukkan bahwa rata-rata ukuran panjang ikan 77

100 terbesar (18,49 cm) diperoleh pada per iode akhir musim penangkapan (PMTB) dan terkecil (17,67 cm) diperoleh pada awal musim penangkapan (PMBT). Berat ikan yang diperoleh selama pengamatan berlangsung diperoleh rata-rata terbesar (59,06 g) pada periode musim timur (MT) dan terkecil (50,42 g) diperoleh pada awal musim penangkapan (PMBT). Dengan demikian terlihat bahwa terjadi perubahan ukuran panjang berat ikan dari awal sampai akhir periode musim penangkapan. Kecenderungan perbedaan panjang berat ikan tersebut, menunjukkan bahwa secara temporal ukuran ikan juga mengalami perubahan. (3) Panjang berat ikan menurut periode musim dan DPI Panjang berat ikan yang diperoleh selama pengamatan berlangsung menurut periode musim dan daerah penangkapan ikan (DPI), disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Panjang berat ikan menurut musim dan DPI Daerah Penangkapan Ikan (DPI) I II III IV Panjang Berat Ikan Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Periode Musim PMBT MT PMTB Panjang (cm) 18,65 19,43 19,78 Berat (g) 49,10 59,15 52,88 Panjang (cm) 16,74 16,86 16,95 Berat (g) 42,22 42,72 42,63 Panjang (cm) 16,97 17,61 18,08 Berat (g) 48,56 58,04 51,23 Panjang (cm) 19,67 20,37 21,23 Berat (g) 57,43 62,33 59,63 Panjang berat ikan yang diperoleh selama tiga periode musim dari keempat daerah penangkapan ikan (DPI) seperti disajikan pada Tabel 18, masing-masing pada DPI I diperoleh rata-rata ukuran panjang ikan terbesar (19,78 cm) pada periode PMTB dan rata-rata berat ikan terbesar (59,15 g) pada MT. Pada DPI II diperoleh rata-rata ukuran panjang ikan terbesar (16,95 cm) pada periode PMTB dan rata-rata berat ikan terbesar (42,72 g) pada MT. Pada DPI III diperoleh rata-rata ukuran panjang ikan terbesar (18,08 cm) pada periode PMTB dan rata-rata berat ikan terbesar (58,04 g) pada MT. Pada daerah penangkapan ikan (DPI IV), diperoleh 78

101 rata-rata ukuran panjang ikan terbesar (21,23 cm) pada periode PMTB dan rata-rata berat ikan terbesar (62,33 g) pada MT. Secara keseluruhan rata-rata ukuran panjang berat ikan yang diperoleh selama pengamatan berlangsung selama tiga periode musim dari keempat daerah penangkapan ikan (DPI), diperoleh rata-rata panjang ikan terbesar (19,67 cm) yaitu pada periode PMTB sebagai akhir periode penangkapan ikan dan rata-rata berat ikan terbesar (62,33 g) diperoleh pada MT yang diketahui sebagai periode pemijahan dan peneluran ikan terbang. (4) Panjang berat ikan menurut wilayah perairan Panjang berat ikan yang diperoleh selama pengamatan berlangsung menurut wilayah perairan, disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Panjang berat ikan menurut wilayah perairan Wilayah Perairan Panjang Berat Ikan Bagian Panjang (cm) Berat (g) Utara 17,89 54,69 Selatan 18,33 54,84 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Ukuran panjang berat ikan yang diperoleh selama pengamatan berlangsung dari wilayah penangkapan ikan di bagian utara dan bagian selatan, menunjukkan bahwa rata-rata ukuran panjang maupun berat ikan adalah lebih besar di bagian selatan dibandingkan dengan di bagian utara Selat Makassar. Hal itu menunjukkan bahwa secara spasial terjadi perbedaan ukuran ikan yang diamati, yakni makin ke selatan ukuran ikan makin panjang Jenis kelamin ikan Komposisi jenis kelamin ikan selama tiga periode musim dari empat daerah penangkapan ikan (DPI) secara keseluruhan selama pengamatan berlangsung, disajikan pada Lampiran 12, 16, 20, dan

102 (1) Jenis kelamin ikan menurut DPI Komposisi jenis kelamin ikan menurut daerah penangkapan ikan (DPI) selama pengamatan berlangsung, disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Persentase jenis kelamin ikan menurut DPI Daerah Jenis Kelamin Penangkapan Ikan (DPI) Jantan (%) Betina (%) I 50,83 49,17 II 53,33 46,67 III 35,97 64,03 IV 27,55 72,45 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Persentase jenis kelamin ikan yang diperoleh dari keempat daerah penangkapan ikan (DPI) selama pengamatan berlangsung, menunjukkan bahwa persentase terbesar (53,33 %) ikan berjenis kelamin jantan diperoleh dari DPI II dan persentase terkecil (27,55 %) diperoleh dari DPI IV. Sebaliknya persentase terbesar (72,45 %) ikan berjenis kelamin betina diperoleh dari DPI IV dan persentase terkecil (46,67 %) diperoleh dari DPI II. (3) Jenis kelamin ikan menurut periode musim Komposisi jenis kelamin ikan menurut periode musim selama pengamatan berlangsung, disajikan pada Tabel 21. Persentase jenis kelamin ikan yang diperoleh selama tiga periode musim dari keempat daerah penangkapan ikan, didapatkan persentase terbesar (40,75 %) ikan berjenis kelamin jantan pada periode PMTB dan persentase terkecil (31,62 %) didapatkan pada periode MT. Sebaliknya persentase terbesar (68,38 %) ikan berjenis kelamin betina didapatkan pada periode MT dan persentase terkecil (59,25 %) didapatkan pada periode PMTB. 80

103 Tabel 21 Persentase jenis kelamin ikan menurut periode musim Periode Musim Jenis Kelamin Jumlah (%) PMBT Jantan 37,19 Betina 62,81 MT Jantan 31,62 Betina 68,38 PMTB Jantan 40,75 Betina 59,25 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 (3) Jenis kelamin ikan menurut periode musim dan DPI Komposisi jenis kelamin ikan menurut periode musim dan daerah penangkapan ikan selama pengamatan berlangsung, disajikan pada Tabel 22. Persentase jenis kelamin ikan yang diperoleh dari keempat daerah penangkapan ikan (DPI) selama pengamatan berlangsung menunjukkan bahwa di DPI I persentase terbesar (55,40 %) ikan berjenis kelamin jantan diperoleh pada periode PMTB dan persentase terkecil (47,92 %) diperoleh pada MT. Persentase terbesar (52,08 %) ikan berjenis kelamin betina diperoleh pada periode MT dan persentase terkecil (44,60 %) diperoleh pada PMTB. Dari DPI II persentase terbesar (57,19 %) ikan berjenis kelamin jantan diperoleh pada periode PMBT dan persentase terkecil (49,06 %) diperoleh pada PMTB. Persentase terbesar (50,94 %) ikan berjenis kelamin betina diperoleh pada periode PMTB dan persentase terkecil (42,81 %) diperoleh pada PMBT. Dari DPI III persentase terbesar (38,00 %) ikan berjenis kelamin jantan diperoleh pada periode MT dan persentase terkecil (32,98 %) diperoleh pada PMBT. Persentase terbesar (67,02 %) ikan berjenis kelamin betina diperoleh pada periode PMBT dan persentase terkecil (62,00 %) diperoleh pada MT. Dari DPI IV persentase terbesar (32,47 %) ikan berjenis kelamin jantan diperoleh pada periode PMTB dan persentase terkecil (21,43 %) diperoleh pada MT. Persentase terbesar (78,57 %) ikan berjenis kelamin betina diperoleh pada periode MT dan persentase terkecil (67,53 %) diperoleh pada PMTB. 81

104 Tabel 22 Persentase jenis kelamin ikan menurut musim dan DPI Daerah Penangkapan Ikan (DPI) I II III IV Jenis Kelamin Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Periode Musim PMBT MT PMTB Jantan (%) 49,17 47,92 55,40 Betina (%) 50,83 52,08 44,60 Jantan (%) 57,19 53,75 49,06 Betina (%) 42,81 46,25 50,94 Jantan (%) 32,98 38,00 36,94 Betina (%) 67,02 62,00 63,06 Jantan (%) 28,75 21,43 32,47 Betina (%) 71,25 78,57 67,53 Rasio persentase jenis kelamin ikan pada stiap periode musim dari keempat daerah penangkapan ikan (DPI), yakni pada periode PMBT persentase terbesar (57,19 %) ikan berjenis kelamin jantan adalah dari DPI IV dan persentase terkecil (28,75 %) diperoleh pada DPI II. Persentase terbesar (71,25 %) ikan berjenis kelamin betina adalah dari DPI IV dan persentase terkecil (42,81 %) diperoleh dari DPI II. Pada periode MT, persentase terbesar (53,75 %) ikan berjenis kelamin jantan adalah dari DPI II dan persentase terkecil (21,43 %) diperoleh pada DPI II. Persentase terbesar (78,57 %) ikan berjenis kelamin betina adalah dari DPI IV dan persentase terkecil (46,25 %) diperoleh dari DPI II. Pada periode PMTB, persentase terbesar (55,40 %) ikan berjenis kelamin jantan adalah dari DPI I dan persentase terkecil (32,47 %) diperoleh pada DPI IV. Persentase terbesar (67,53 %) ikan berjenis kelamin betina adalah dari DPI IV dan persentase terkecil (44,60 %) diperoleh dari DPI I. (4) Jenis kelamin ikan menurut wilayah perairan Komposisi jenis kelamin ikan yang tertangkap menurut wilayah perairan selama pengamatan berlangsung, disajikan pada Tabel 23. Persentase jenis kelamin ikan yang diperoleh selama pengamatan berlangsung menurut wilayah perairan yang menjadi daerah penangkapan ikan, menunjukkan bahwa persentase terbesar (52,26 %) ikan berjenis kelamin jantan diperoleh di bagian utara dan persentase terbesar (71,19 %) ikan berjenis kelamin betina diperoleh di bagian 82

105 selatan Selat Makassar. Ikan terbang berjenis kelamin jantan dan betina yang diperoleh dengan rasio yang seimbang antara ikan berjenis kelamin jantan dan ikan berjenis kelamin betina terjadi di bagian utara. Sebaliknya rasio ikan berjenis kelamin jantan dan ikan berjenis kelamin betina di bagian selatan menunjukkan perbedaan yang sangat mencolok. Tabel 23 Persentase jenis kelamin ikan terbang menurut wilayah perairan Wilayah Perairan Bagian Jenis Kelamin Persentase (%) Utara Selatan Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, Jantan 52,26 Betina 47,74 Jantan 28,81 Betina 71, Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Ikan Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan selama pengamatan berlangsung secara keseluruhan, disajikan pada Lampiran 12, 16, 20, dan 24. (1) TKG ikan menurut DPI Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan selama pengamatan berlangsung menurut daerah penangkapan ikan (DPI), disajikan pada Tabel 24. Persentase TKG ikan dari keempat DPI selama pengamatan berlangsung memperlihatkan bahwa di DPI I persentase TKG ikan terbesar (31,39 %) berada pada TKG II dan persentase terkecil (20,02 %) ikan berada pada TKG I. Dari DPI II persentase TKG ikan terbesar (31,36 %) berada pada TKG II dan persentase terkecil (16,25 %) ikan berada pada TKG IV. Dari DPI III persentase TKG ikan terbesar (31,18 %) berada pada TKG II dan persentase terkecil (16,89 %) ikan berada pada TKG IV. Dari DPI IV persentase TKG ikan terbesar (52,33 %) berada pada TKG IV dan persentase terkecil (6,80 %) ikan berada pada TKG I. 83

106 Tabel 24 Persentase TKG ikan menurut DPI Daerah Tingkat Kematangan Gonad (TKG) (%) Penangkapan Ikan (DPI) I II III IV I 20,02 31,39 28,33 20,27 II 22,71 31,36 29,69 16,25 III 26,16 31,18 25,78 16,89 IV 6,80 15,11 25,75 52,33 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Tingkat kematangan gonad ikan dari keempat daerah penangkapan ikan (DPI) tersebut, masing-masing diperoleh persentase TKG I terbesar (26,16 %) diperoleh pada DPI III dan persentase terkecil (6,80 %) diperoleh dari DPI IV. Persentase TKG II terbesar (31,39 %) diperoleh pada DPI I dan persentase terkecil (15,11 %) diperoleh dari DPI IV. Persentase TKG III terbesar (29,69 %) diperoleh pada DPI II dan persentase terkecil (25,75 %) diperoleh dari DPI IV. Persentase TKG IV terbesar (52,33 %) diperoleh pada DPI IV dan persentase terkecil (16,25 %) diperoleh dari DPI II. (2) TKG ikan menurut periode musim Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan selama pengamatan berlangsung menurut periode musim, disajikan pada Tabel 25. Persentase tingkat kematangan gonad (TKG) ikan secara keseluruhan dari tiga periode musim selama pengamatan berlangsung menunjukkan bahwa, pada periode PMBT diperoleh TKG ikan terbesar (32,96 %) ikan berada pada TKG IV dan persentase terkecil (19,32 %) ikan berada pada TKG I. Pada periode MT, persentase TKG ikan terbesar (55,94 %) ikan berada pada TKG IV dan persentase terkecil (7,03 %) ikan berada pada TKG I. Pada periode PMTB, persentase TKG ikan terbesar (31,29 %) adalah pada TKG III dan persentase terkecil (19,51 %) adalah pada TKG I. 84

107 Tabel 25 Persentase TKG ikan menurut periode musim Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Periode Musim (%) I II III IV PMBT 19,32 24,94 22,77 32,96 MT 7,03 12,62 24,41 55,94 PMTB 19,51 24,49 31,29 19,71 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Persentase ikan yang berada pada TKG I selama tiga periode musim, diperoleh terbesar (19,51 %) pada periode PMTB dan persentase terkecil (7,03 %) diperoleh pada MT. Persentase ikan yang berada pada TKG II, diperoleh terbesar (24,94 %) pada periode PMBT dan persentase terkecil (12,62 %) diperoleh pada MT. Persentase ikan yang berada pada TKG III, diperoleh terbesar (31,29 %) pada periode PMTB dan persentase terkecil (22,77 %) diperoleh pada PMBT. Persentase ikan yang berada pada TKG IV, diperoleh terbesar (55,94 %) pada periode MT dan persentase terkecil (19,71 %) diperoleh pada PMTB. (3) TKG ikan menurut periode musim dan DPI Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan terbang selama pengamatan berlangsung menurut periode musim dan daerah penangkapan ikan (DPI), disajikan pada Tabel 26. Persentase tingkat kematangan gonad (TKG) ikan yang diperoleh selama tiga periode musim dari keempat DPI, menunjukkan bahwa di DPI I pada periode PMBT persentase TKG terbesar (38,33 %) adalah ikan pada TKG II dan terkecil (10,00 %) adalah ikan pada TKG IV. Persentase TKG ikan pada periode MT diperoleh terbesar (37,50 %) ikan pada TKG IV dan terkecil (10,00 %) ikan pada TKG I. Persentase TKG ikan pada periode PMTB diperoleh terbesar (35,40 %) ikan pada TKG III dan terkecil (13,30 %) ikan pada TKG IV. Pada daerah penangkapan ikan (DPI II), diperoleh persentase TKG ikan pada periode PMBT adalah terbesar (33,13 %) ikan pada TKG II dan terkecil (16,88 %) ikan pada TKG IV. Persentase TKG ikan pada periode MT diperoleh terbesar (40,31 %) ikan pada TKG III dan terkecil (12,81 %) ikan pada TKG I. Persentase TKG ikan pada periode PMTB diperoleh terbesar (30,00 %) ikan pada TKG II dan terkecil (15,94 %) ikan pada TKG IV. 85

108 Tabel 26 Persentase TKG ikan menurut periode musim dan DPI Daerah Penangkapan Ikan (DPI) I II III IV Periode Musim Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Tingkat Kematangan Gonad (TKG) (%) I II III IV PMBT 33,75 38,33 17,92 10,00 MT 10,00 20,83 31,67 37,50 PMTB 16,30 35,00 35,40 13,30 PMBT 27,50 33,13 22,50 16,88 MT 12,81 30,94 40,31 15,94 PMTB 27,81 30,00 26,25 15,94 PMBT 33,33 39,85 23,19 3,63 MT 16,25 19,25 27,75 36,75 PMTB 28,89 34,44 26,39 10,28 PMBT 7,60 15,00 25,31 52,08 MT 2,33 4,74 18,27 74,66 PMTB 10,48 25,60 33,68 30,24 Pada daerah penangkapan ikan (DPI III), diperoleh persentase TKG ikan pada periode PMBT adalah terbesar (39,85 %) ikan pada TKG II dan terkecil (3,63 %) ikan pada TKG IV. Persentase TKG ikan pada periode MT diperoleh terbesar (36,75 %) ikan pada TKG IV dan terkecil (16,25 %) ikan pada TKG I. Persentase TKG ikan pada periode PMTB diperoleh terbesar (34,44 %) ikan pada TKG II dan terkecil (10,28 %) ikan pada TKG IV. Pada daerah penangkapan ikan (DPI IV), diperoleh persentase TKG ikan pada periode PMBT adalah terbesar (52,08 %) pada TKG IV dan terkecil (7,60 %) pada TKG I. Persentase TKG ikan pada periode MT diperoleh terbesar (74,66 %) ikan pada TKG III dan terkecil (2,33 %) ikan pada TKG I. Persentase TKG ikan pada periode PMTB diperoleh terbesar (33,68 %) ikan pada TKG III dan terkecil (10,48 %) ikan pada TKG I. Persentase TKG ikan secara keseluruhan selama tiga periode musim dari empat daerah penangkapan ikan (DPI), diperoleh ikan yang berada pada TKG I tertinggi (33,33 %) pada periode PMBT di DPI III dan persentase terkecil (2,33 %) diperoleh pada MT di DPI IV. Persentase kematangan gonad ikan yang berada pada TKG II diperoleh tertinggi (38,33 %) pada periode PMBT di DPI I dan 86

109 persentase terendah (4,74 %) pada MT di DPI IV. Persentase kematangan gonad ikan yang berada pada TKG III diperoleh tertinggi (40,31 %) pada periode MT di DPI II dan persentase terendah (17,92 %) pada PMBT di DPI I. Persentase kematangan gonad ikan yang berada pada TKG IV diperoleh tertinggi (74,66 %) pada periode MT di DPI IV dan persentase terendah (3,63 %) pada PMBT di DPI III. (4) TKG ikan menurut wilayah perairan Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan selama pengamatan berlangsung menurut wilayah perairan, disajikan pada Tabel 27. Tabel 27 TKG ikan menurut wilayah perairan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Wilayah Perairan (%) Bagian I II III IV Utara 21,55 31,37 29,11 17,98 Selatan 11,23 16,71 24,28 47,77 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan yang diperoleh selama pengamatan berlangsung di bagian utara dan bagian selatan Selat Makassar, menunjukkan persentase TKG ikan selama tiga periode di bagian utara terbesar (31,37 %) berada pada TKG II dan persentase TKG ikan terkecil (17,98 %) adalah pada TKG IV. Di bagian selatan diperoleh persentase kematangan gonad ikan terbesar (47,77 %) berada pada TKG IV dan persentase kematangan gonad ikan terkecil (11,23 %) berada pada TKG I. 4.5 Parameter Oseanografi Parameter oseanografi yang digunakan di dalam penelitian ini, terdiri atas data suhu perairan, salinitas, kecepatan arus, kandungan nutrien, dan kandungan klorofil Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu permukaan laut (SPL) yang diperoleh terdiri atas hasil pengukuran lapang secara langsung (in-situ) bersamaan dengan setiap kegiatan penangkapan ikan dan hasil pengukuran lapang yang diperoleh dari proyek ARLINDO (BPPT), 87

110 serta hasil pengamatan melalui data citra satelit dari NOAA-AVHRR berupa sebaran SPL. (1) SPL hasil pengukuran in-situ Suhu permukaan laut (SPL) dari hasil pengukuran langsung (in-situ) yang diperoleh selama pengamatan lapang berlangsung dari keempat daerah penangkapan ikan (DPI) selama tiga periode musim, disajikan pada Tabel 28. Pada daerah penangkapan ikan I (DPI I) yang berada di bagian paling utara, SPL tertinggi (30,65 o C) diperoleh pada trip penangkapan ikan 2 pada periode PMTB dan suhu terendah (29,00 o C) didapatkan pada trip penangkapan 3 pada periode MT. SPL di DPI II, diperoleh tertinggi (30,05 o C) pada trip penangkapan 3 pada periode MT dan terendah (29,10 o C) terjadi pada trip penangkapan ikan 2 pada periode MT. Di daerah penangkapan ikan III (DPI III), SPL diperoleh tertinggi (30,10 o C) pada trip penangkapan ikan 1 pada periode PMBT dan terendah (29,20 o C) terjadi pada trip penangkapan ikan 1 pada periode MT. Di daerah penangkapan ikan IV (DPI IV) yang berada di bagian paling selatan dari keempat DPI, diperoleh SPL tertinggi (30,85 o C) pada trip penangkapan ikan 3 pada periode PMBT dan sebaliknya terendah (29,15 o C) terjadi pada trip penangkapan ikan 3 pada periode MT. Selama kegiatan penangkapan ikan dilakukan dari keempat DPI, diperoleh SPL tertinggi (30,85 o C) terjadi pada trip penangkapan ikan 3 di DPI IV pada periode PMBT, dan SPL terendah (29,00 o C) diperoleh pada trip penangkapan ikan 3 di DPI I pada periode MT. Rata-rata nilai SPL yang diperoleh secara keseluruhan selama pengamatan berlangsung, didapatkan tertinggi (30,03 o C) pada periode PMBT dan sebaliknya terendah (29,34 o C) pada periode MT. Di wilayah perairan bagian utara didapatkan rata-rata nilai SPL tertinggi (29,42 o C) pada periode MT, sebaliknya ratarata SPL didapatkan lebih tinggi (30,25 o C dan 29,65 o C) di wilayah perairan bagian selatan pada dua periode peralihan musim (PMBT dan PMTB). Rata-rata SPL di wilayah perairan bagian utara juga didapatkan lebih tinggi dibandingkan dengan ratarata SPL di wilayah perairan bagian selatan. 88

111 Tabel 28 SPL pada daerah pengamatan Daerah Penangkapan Ikan (DPI) I II III IV Trip Penangkapan Sumber : Hasil Pengukuranan Lapang, 2004 Suhu ( o C) PMBT MT PMTB 1 30,50 29,15 29, ,95 29,45 30, ,55 29,00 29, ,70 29,75 29, ,65 29,10 29, ,50 30,05 29, ,10 29,20 29, ,90 29,30 29, ,55 29,40 29, ,70 29,35 29, ,40 29,20 29, ,85 29,15 29,70 Hasil pengukuran lapang didapatkan bahwa sebaran SPL di perairan Selat Makassar, berkisar antara 28,34 30,34 o C dengan rentang nilai sekitar 2 o C pada periode PMBT, 28,03 28,76 o C dengan rentang nilai sekitar 0,73 o C pada periode MT dan 27,63 29,36 o C dengan rentang nilai sekitar 1,73 o C pada periode PMTB. Profil suhu yang diperoleh menurut periode musim, menunjukkan bahwa kisaran suhu tertinggi terjadi pada periode PMBT, kemudian mengalami penurunan pada MT, dan suhu perairan meningkat kembali memasuki periode PMTB. Hasil uji perbedaan rata-rata SPL menurut periode musim disajikan pada Lampiran 27. Berdasarkan hasil uji rata-rata SPL, didapatkan rata-rata suhu terendah yakni 28,37 o C didapatkan pada periode MT dan rata-rata suhu tertinggi yakni 29,16 o C didapatkan pada periode PMBT. Dari seluruh stasiun pengamatan, didapatkan SPL terendah yakni 27,63 o C terjadi pada periode PMTB dan SPL tertinggi yakni 30,60 o C terjadi pada periode PMBT. Secara keseluruhan diperoleh nilai SPL berfluktuasi menurut musim. Hasil plot data SPL secara spasial antar stasiun pengamatan, juga menunjukkan adanya perbedaan pada semua periode musim pengamatan. Sebaran mendatar SPL di Selat Makassar (Gambar 23), memperlihatkan bahwa pada periode PMBT dengan kisaran nilai suhu perairan yang relatif tinggi kemungkinan diakibatkan selain oleh akibat efek intensitas penyinaran matahari 89

112 yang tinggi karena posisinya masih berada pada belahan bumi selatan, juga disebabkan oleh adanya massa air yang lebih hangat masuk dari perairan Laut Jawa, sedangkan pada periode MT dengan suhu perairan yang relatif lebih rendah, diakibatkan oleh adanya massa air dari Laut Banda dan Laut Flores dengan suhu yang relatif lebih dingin akibat adanya perubahan pergerakan arah angin yang bertiup dari timur ke barat. Selain itu dari penelitian sebelumnya (Gordon, et al., 1999), diperoleh keterangan bahwa pada periode musim tersebut di perairan bagian selatan Selat Makassar terjadi upwelling, menyebabkan massa air dari lapisan yang lebih dalam dengan suhu yang lebih rendah terangkat naik ke atas dan bahkan sampai ke bagian permukaan perairan. Sebaran vertikal suhu perairan di Selat Makassar terlihat bahwa, pada periode PMBT terdapat lapisan homogen dengan ketebalan lebih dalam sekitar m dan kisaran suhu berada antara o C, sedangkan pada periode MT didapatkan lapisan homogen yang lebih tipis sekitar 50 m dengan kisaran suhu antara o C. Hal yang sama juga terjadi pada periode PMTB dengan kisaran suhu antara o C (Gambar 24). Pada kedalaman sekitar 100 m, terlihat adanya lapisan massa air dengan tingkat penurunan suhu yang sangat signifikan dengan bertambahnya kedalaman (lapisan ini biasanya disebut lapisan termoklin). Ketebalan kolom air pada lapisan termoklin bergantung pada beberapa faktor, diantaranya kondisi musim yang terjadi termasuk kecepatan dan lamanya angin yang bertiup di atas permukaan laut yang dapat menyebabkan ada tidaknya proses pencampuran massa air lapisan permukaan dengan lapisan air di bawahnya serta pergerakan massa air baik secara horizontal maupun vertikal. 90

113 Lintang Selatan KAL SULAWESI Bujur Timur (A) KAL SULAWESI Lintang Selatan Bujur Timur (B) KAL SULAWESI Lintang Selatan Bujur Timur (C) Gambar 23 Sebaran mendatar SPL Selat Makassar : (A) PMBT, (B) MT, dan (C) PMTB. 91

114 Stasiun Kedalaman (m) (A) Stasiun Kedalaman (m) (B) Stasiun Kedalaman (m) (C) Gambar 24 Sebaran melintang suhu perairan Selat Makassar : (A) PMBT, (B) MT, dan (C) PMTB. 92

115 Illahude (1970) mengemukakan bahwa di wilayah perairan ini selama periode musim barat, lapisan homogen dapat mencapai kedalaman 100 meter dari permukaan perairan dengan suhu antara o C. Di bawah lapisan homogen, terdapat lapisan termoklin dengan kedalaman meter dengan suhu berkisar antara o C. Pada periode MT, lapisan homogen hanya merupakan lapisan yang tipis, yakni sekitar 50 meter dari permukaan perairan dengan suhu berkisar antara o C. Lapisan termoklin yang terbentuk selama periode MT, terjadi pada kedalaman meter dengan suhu antara o C. Perubahan suhu musiman pada suatu perairan, selain disebabkan oleh pengaruh pemanasan dari penyinaran matahari, juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti arus permukaan, keadaan liputan awan, pertukaran massa air secara horizontal, vertikal maupun karena peristiwa upwelling (Hela dan Laevastu, 1970 serta Soegiarto dan Birowo, 1975). Lebih lanjut dikatakan bahwa suhu perairan berperan dalam menentukan sebaran ikan, pertumbuhan, mortalitas, pemijahan, daya tahan hidup, proses pematangan gonad, perkembangan larva dan telur, serta populasi dan migrasi ikan. Selain itu, suhu perairan juga merupakan faktor yang penting dalam beberapa hal yang mempengaruhi lingkungan baik secara langsung seperti peristiwa fotosintesis tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologi hewan khususnya derajat metaboliselat Makassare dan siklus reproduksi, maupun secara tidak langsung seperti daya larut oksigen yang dipakai untuk kebutuhan respirasi biota laut. (2) SPL hasil pengamatan citra satelit Hasil pengukuran suhu permukaan laut (SPL) menggunakan data citra satelit NOAA-AVHRR, terdiri atas data setiap bulan mewakili 9 bulan selama tiga periode musim pengamatan. Pola distribusi SPL dari data citra NOAA-AVHRR yang mewakili setiap bulan pengamatan selama periode PMBT ditunjukkan pada Gambar 25. Pola sebaran SPL dari data citra tersebut terlihat bahwa, selama bulan Maret yang merupakan peralihan musim barat ke musim timur dimana sebagian besar daerah tersebut diliputi awan yang sangat tebal dan menutupi hampir seluruh daerah Selat Makassar, menyebabkan pola distribusi SPL pada saat itu sulit dilihat dengan jelas. Pada bulan berikutnya, yakni bulan April dan Mei, liputan awan di atas Selat Makassar terlihat mulai berkurang, yang ditandai dengan sebaran SPL yang lebih jelas. SPL selama bulan April berada pada kisaran antara 29,00 30,00 o C, 93

116 terutama pada bagian sebelah utara perairan tersebut. Profil SPL pada bulan Mei nampak lebih jelas, menyebabkan SPL yang terdeteksi mengalami peningkatan hingga berkisar antara 30,00 31,00 o C pada hampir semua wilayah pengamatan. Sebaran SPL dengan suhu perairan yang lebih hangat yakni sekitar 30,00 31,50 o C, lebih banyak terjadi pada perairan bagian utara Selat Makassar pada posisi 01 o,05 LS. Selama bulan Mei, nampak sebaran SPL yang lebih hangat bergeser ke bagian selatan Selat Makassar, dengan peningkatan SPL berkisar antara 0,50 1,00 o C. Memasuki periode awal MT, walau sebagian wilayah perairan di Selat Makassar masih ditutupi dengan awan tipis, namun terlihat ada pergerakan massa air hangat ke bagian perairan pesisir pantai barat Sulawesi Selatan dengan suhu berkisar antara 30,50 31,00 o C (Gambar 26). Hal ini disebabkan oleh proses intensitas penyinaran yang mulai meningkat dengan curah hujan yang semakin rendah. Kondisi tersebut terlihat dengan jelas pada citra bulan Juni. Memasuki bulan Juli dan Agustus sebagai periode akhir MT, nampak sebagian besar wilayah perairan Selat Makassar mulai ditutupi kembali dengan awan tipis. Kisaran SPL terlihat sebagian besar berada pada kisaran antara 28,00 29,00 o C. Sebaran massa air dengan SPL yang relatif dingin dan hampir terjadi pada semua perairan di bagian selatan Selat Makassar, terlihat pada citra bulan Juli sampai dengan Agustus. Hal tersebut diduga disebabkan karena sejumlah massa air yang mengalir dari Laut Banda dan Laut Flores yang membawa sejumlah massa air dengan suhu yang relatif lebih dingin terutama di bagian sebelah selatan perairan itu. Selain itu diduga juga disebabkan adanya sejumlah massa air yang terangkat dari lapisan yang lebih dalam ke lapisan permukaan perairan sebagai akibat terjadinya fenomena upwelling yang terjadi selama periode MT di bagian selatan Selat Makassar. Hal yang sama dikemukakan oleh Jamilah (1993), yang mendeteksi terjadinya fenomena upwelling di daerah itu selama periode MT antara bulan Juni hingga Agustus. Bahkan diperkirakan besarnya massa air yang terangkat dari bagian lapisan yang lebih dalam terdeteksi hingga radius 50 km di sekitar perairan itu dengan sebaran SPL yang lebih dingin dibandingkan dengan sebaran SPL wilayah perairan sekitarnya. Pada periode PMTB terlihat pola penyebaran SPL dengan dominasi suhu perairan yang agak hangat, berkisar antara o C pada citra bulan September di bagian selatan Selat Makassar dan hampir seluruh perairan pantai barat Sulawesi Selatan (Gambar 27). Begitu pula pada citra bulan Nopember, terlihat SPL mulai 94

117 Gambar 25 Sebaran SPL di Selat Makassar dari data citra NOAA-AVHRR pada PMBT. 95

118 Gambar 26 Sebaran SPL di Selat Makassar dari data citra NOAA-AVHRR pada MT. 96

119 Gambar 27 Sebaran SPL di Selat Makassar dari data citra NOAA-AVHRR pada PMTB 97

120 mengalami peningkatan yang cukup signifikan berkisar antara 31,00 31,50 o C. SPL yang lebih hangat ini terlihat pada sisi bagian selatan Kalimantan kemudian bergerak ke timur memasuki perairan bagian selatan, sebagai akibat adanya tekanan massa air dari Laut Jawa yang membawa massa air hangat mengalir masuk ke Selat Makassar bagian selatan. Pola distribusi SPL dari data citra NOAA-AVHRR yang didapatkan, memperlihatkan adanya pola yang menyerupai dengan data sebaran SPL di perairan Selat Makassar bagian selatan dari hasil pengukuran lapang pada periode musim yang sama walaupun dengan kisaran nilai sebaran yang masih berbeda. Hal tersebut dapat disebabkan karena (1) adanya perbedaan waktu pengambilan data lapang SPL dengan pengambilan data distribusi SPL dari data citra, (2) adanya keterbatasan pembacaan SPL dari satelit yang hanya mampu mendeteksi pada lapisan yang sangat tipis dari permukaan laut, dan (3) adanya keterbatasan sensor satelit mendeteksi distribusi SPL yang sebenarnya dari pengaruh lapisan awan yang sekalipun sangat tipis pada daerah pengamatan. Pola distribusi SPL ini, secara langsung mempengaruhi pola pergerakan beberapa jenis kawanan ikan pelagis termasuk kawanan ikan terbang. Kawanan ikan terbang diketahui mulai bergerak ke wilayah perairan bagian selatan Selat Makassar memasuki awal periode MT. Awal musim penangkapan ikan terbang di perairan Selat Makassar setiap tahunnya dilakukan mulai dari bulan Maret. Pada periode tersebut, kegiatan penangkapan ikan terbang lebih banyak dilakukan di wilayah perairan bagian utara dan kemudian bergeser ke wilayah perairan bagian selatan selama periode MT. Selama periode musim itu, diduga kawanan ikan terbang melakukan migrasi ke wilayah perairan bagian selatan sebagai upaya mencari perairan yang sesuai untuk melakukan proses peneluran. Wilayah perairan bagian selatan Selat Makassar diketahui merupakan wilayah perairan untuk tujuan peneluran (spawning ground) bagi ikan terbang selama periode musim tersebut. Hal itu ditandai dengan meningkatnya intensitas penangkapan telur ikan terbang yang dilakukan oleh nelayan setiap tahunnya. Hasil penelitian Yahya, et al. (2001), mengemukakan bahwa kawanan ikan terbang melakukan pergerakan dari wilayah perairan bagian utara ke wilayah perairan bagian selatan Selat Makassar selama periode MT, yang ditandai dengan meningkatnya CPUE hasil tangkapan ikan terbang di daerah itu. 98

121 4.5.2 Salinitas Permukaan Laut Salinitas permukaan laut yang diperoleh selama tiga periode musim pengamatan berlangsung dari keempat daerah penangkapan ikan (DPI), disajikan pada Tabel 29. Tabel 29 Salinitas permukaan laut pada daerah pengamatan Daerah Penangkapan Ikan (DPI) I II III IV Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Trip Salinitas ( ) Penangkapan PMBT MT PMTB 1 32,85 33,30 33, ,45 33,50 33, ,55 33,75 33, ,20 33,55 33, ,35 33,65 33, ,50 33,40 33, ,70 33,65 33, ,55 33,25 33, ,55 33,45 33, ,55 33,80 33, ,60 34,05 33, ,65 34,10 33,40 Data pada Tabel 29 menunjukkan bahwa salinitas permukaan laut selama pengamatan berlangsung pada empat DPI, didapatkan salinitas perairan pada DPI I tertinggi (33,75 ) pada trip penangkapan ikan 3 periode MT, dan salinitas perairan terendah (32,45 ) pada trip penangkapan ikan 2 periode PMBT. Salinitas perairan di DPI 2 didapatkan tertinggi (33,65 ) pada trip penangkapan ikan 2 periode MT, dan salinitas perairan terendah (32,20 ) diperoleh pada trip penangkapan ikan 1 periode PMBT. Di DPI III salinitas perairan tertinggi (33,65 ) terjadi pada trip penangkapan ikan 1 periode MT dan sebaliknya salinitas perairan terendah (33,00 ) diperoleh pada trip penangkapan ikan 3 periode PMTB. Salinitas perairan yang diperoleh di DPI IV tertinggi (34,10 ) pada trip penangkapan ikan 3 periode MT dan sebaliknya terendah (32,55 ) diperoleh pada trip penangkapan ikan 1 periode PMBT. 99

122 Secara keseluruhan dari keempat DPI, diperoleh salinitas permukaan laut tertinggi (34,10 ) terjadi pada trip penangkapan ikan 3 di DPI IV pada periode MT, dan salinitas permukaan laut terendah (32,20 ) diperoleh pada trip penangkapan ikan 1 di DPI II pada periode PMBT. Selama tiga periode musim pengamatan, rata-rata salinitas permukaan laut diperoleh tertinggi (33,62 ) selama periode MT dan sebaliknya terendah (32,54 ) pada periode PMBT. Secara spasial rata-rata salinitas permukaan laut diperoleh lebih tinggi di wilayah perairan bagian selatan dibandingkan dengan salinitas permukaan laut di wilayah perairan bagian utara. Pada setiap periode musim, diperoleh rata-rata salinitas permukaan laut di bagian selatan lebih tinggi dibandingkan dengan salinitas permukaan laut di bagian utara, kecuali pada periode PMTB diperoleh salinitas permukaan laut lebih tinggi di bagian utara dibandingkan dengan di bagian selatan. Sebaran mendatar salinitas permukaan laut dari hasil pengukuran lapang diperoleh bahwa, kisaran salinitas terendah didapatkan pada periode PMBT yakni berkisar antara 31,03 33,27, kemudian nilai salinitas meningkat memasuki periode MT dengan kisaran antara 33,69 33,86. Memasuki awal periode PMTB, salinitas menurun kembali bahkan nilai salinitas terendah didapatkan pada musim tersebut yakni 30,01 (Gambar 28). Nilai salinitas tertinggi berdasarkan stasiun pengamatan didapatkan pada stasiun 7 yakni sebesar 34,20, tetapi nilai salinitas tersebut tidak merata pada semua bagian perairan yang diamati. Berdasarkan hasil uji rata-rata nilai salinitas perairan menunjukkan adanya perbedaan secara nyata menurut periode musim (Lampiran 28). Perbedaan salinitas perairan secara mencolok terjadi pada periode PMTB. Nilai rata-rata salinitas perairan tertinggi ditemukan pada periode MT dan nilai rata-rata terendah terjadi pada periode PMBT. Nilai salinitas perairan terendah yakni 30,01 ditemukan terjadi pada PMTB serta nilai salinitas perairan tertinggi yakni 34,20 juga pada periode musim yang sama. Nilai salinitas permukaan laut di Selat Makassar yang tinggi pada periode MT sampai pada periode PMTB, diduga karena adanya massa air yang bersalinitas tinggi masuk dari Laut Flores dan laut Banda ke perairan Selat Makassar bagian selatan sampai pada awal periode musim tersebut. Selain karena hal itu kemungkinan juga disebabkan karena pada saat tersebut, terdapat sejumlah massa air yang terangkat dari bawah akibat proses upwelling yang berlangsung selama MT. Sebaran mendatar salinitas permukaan laut, menunjukkan bahwa fenomena 100

123 KAL SULAWESI Lintang Selatan Bujur Timur (A) KAL SULAWESI Lintang Selatan Bujur Timur (B) Lintang Selatan KAL SULAWESI Bujur Timur (C) Gambar 28 Sebaran mendatar salinitas permukaan laut Selat Makassar : (A) PMBT, (B) MT, dan (C) PMTB. 101

124 Stasiun Kedalaman (m) (A) Stasiun Kedalaman (m) (B) Stasiun Kedalaman (m) (C) Gambar 29 Sebaran melintang salinitas permukaan laut Selat Makassar : (A) PMBT, (B) MT, dan (C) PMTB. 102

125 upwelling yang diduga terjadi pada periode MT, menyebabkan banyaknya massa air yang bersalinitas tinggi dari kolom air bagian bawah naik ke atas bahkan sampai pada lapisan permukaan. Selain karena adanya fenomena upwelling tersebut, juga diduga disebabkan karena tingginya intensitas penyinaran matahari dan sebaliknya dengan curah hujan yang rendah. Sebaran melintang salinitas di perairan Selat Makassar menunjukkan bahwa pada periode MT, kolom air lapisan permukaan memiliki homogen layer yang relatif lebih tipis dibandingkan dengan pada periode PMBT dan PMTB (Gambar 29). Hal tersebut diduga disebabkan karena adanya proses pencampuran massa air yang relatif lebih baik akibat adanya pengangkatan massa air yang bersalinitas lebih tinggi dari kolom air yang lebih dalam. Lapisan air pada kedalaman m selama periode MT terlihat terjadi penurunan dari 34,19 pada lapisan permukaan menjadi 32,31 pada lapisan air di bawahnya, kemudian meningkat kembali menjadi 34,40 pada lapisan air berikutnya. Dengan demikian nampak terjadi dengan jelas adanya stratifikasi nilai salinitas perairan pada setiap kolom air selama periode MT Arus Permukaan Laut Arus permukaan laut (APL) yang diperoleh selama tiga periode musim pengamatan lapang berlangsung dari keempat daerah penangkapan ikan (DPI), disajikan pada Tabel 30. Kecepatan APL selama pengamatan berlangsung, menunjukkan bahwa di DPI I, APL diperoleh tertinggi (0,90 m/mnt) pada trip penangkapan ikan 3 PMBT, dan APL terendah (0,05 m/mnt) didapatkan pada trip penangkapan ikan 1 MT. Di DPI II APL tertinggi (0,14 m/mnt) diperoleh pada trip penangkapan ikan 3 PMTB, dan APL terendah (0,07 m/mnt) didapatkan pada trip penangkapan ikan 1 MT. APL di DPI III diperoleh tertinggi (0,18 m/mnt) pada trip penangkapan ikan 3 PMTB, dan terendah (0,05 m/mnt) didapatkan pada trip penangkapan ikan 1 dan 3 MT serta pada trip penangkapan ikan 1 PMTB. DI DPI IV, APL didapatkan tertinggi (0,18 m/mnt) pada trip penangkapan ikan III PMTB dan sebaliknya terendah (0,05 m/mnt) pada trip penangkapan ikan 2 MT. Kecepatan APL yang diperoleh selama pengamatan, menunjukkan bahwa rata-rata APL secara temporal didapatkan tertinggi selama periode PMBT dan sebaliknya terendah didapatkan pada periode MT. Secara spasial rata-rata kecepatan APL di bagian utara diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan 103

126 kecepatan APL di bagian selatan. Begitu pula dengan rata-rata kecepatan APL secara spasial dan temporal pada setiap periode musim penangkapan (MPI), mulai dari awal periode musim penangkapan (PMBT) sampai pada akhir periode musim penangkapan (PMTB) juga didapatkan rata-rata tertinggi di bagian utara dibandingkan dengan di bagian selatan, terutama pada PMBT. Tabel 30 Kecepatan arus permukaan laut pada daerah pengamatan Daerah Penangkapan Ikan (DPI) I II III IV Sumber : Hasil Pengukuran Lapang, 2004 Trip Kecepatan Arus (cm/dtk) Penangkapan PMBT MT PMTB 1 0,13 0,05 0,11 2 0,15 0,07 0,14 3 0,20 0,10 0,16 1 0,11 0,07 0,09 2 0,11 0,13 0,10 3 0,12 0,12 0,14 1 0,13 0,05 0,05 2 0,12 0,14 0,09 3 0,08 0,05 0,18 1 0,17 0,07 0,08 2 0,15 0,05 0,10 3 0,10 0,09 0, Kandungan Nutrien (1) Kandungan fosfat Kandungan fosfat di dalam suatu perairan merupakan salah satu unsur nutrien yang diperlukan sebagai bahan makanan untuk pertumbuhan fitoplankton. Kandungan fosfat dalam suatu perairan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kedalaman. Konsentrasi fosfat yang tinggi pada lapisan permukaan perairan, biasanya dijumpai pada daerah dimana terjadi proses upwelling. Ketersediaan kandungan fosfat yang cukup pada lapisan permukaan, akan mendorong proses pertumbuhan fitoplankton di daerah itu. 104

127 Hasil pengukuran kecepatan arus permukaan laut dari proyek ARLINDO, ditunjukkan pada Tabel 27 dan 28. Letak geografis suatu wilayah perairan, sangat berperan dalam menentukan proses pergerakan arus permukaan di suatu perairan, termasuk di Selat Makassar. Dengan letak geografis Selat Makassar yang memanjang dari arah utara ke selatan, maka sepanjang tahun dapat dikatakan arus permukaan tidak mengalami perubahan arah, yaitu dari utara ke selatan kecuali pada bagian selatan yakni pada daerah pertemuan antara massa air Laut Jawa, Laut Flores dan perairan Selat Makassar bagian selatan. Pada bagian perairan ini, tampak nyata perubahan arus permukaan yang sesuai dengan arah angin muson (Gordon dan Susanto, 1999). Selama MT, massa air dari Laut Flores bertemu dengan massa air yang keluar dari Selat Makassar dan mengalir bersama-sama masuk ke Laut Jawa. Dalam kondisi seperti ini menimbulkan banyaknya massa air pada lapisan permukaan perairan Selat Makassar bagian selatan yang ikut terangkut dan bergerak ke barat, sehingga mengakibatkan terjadinya ruang kosong di permukaan yang memungkinkan massa air lapisan bawah naik untuk mengisinya. Pada kondisi seperti ini apabila terjadi dalam waktu yang relatif lama pada perairan yang sama, selanjutnya dapat menimbulkan fenomena terjadinya upwelling. Massa air tadi yang berasal dari Laut Flores bahkan juga dari Laut Banda yang mengalir masuk ke perairan Selat Makassar bagian selatan, merupakan suatu massa air yang memiliki kandungan nutrien yang tinggi, sehingga proses upwelling yang terjadi di selat Makassar pada MT ikut memberikan andil terhadap proses pengayaan hara di perairan tersebut. Pada Musim Barat, massa air dari Laut Jawa bertemu dengan massa air yang keluar dari Selat Makassar dan mengalir bersama-sama ke arah Laut Flores. Massa air yang berasal dari Laut Jawa merupakan massa air yang hangat namun tidak memiliki kandungan nutrien yang tinggi, sehingga massa air tadi yang ikut masuk ke perairan Selat Makassar bagian selatan hanya berdampak pada peningkatan suhu perairan walaupun pada saat yang bersamaan secara umum terjadi curah hujan yang relatif tinggi di daerah tersebut (Gordon dan Susanto, 1999). Selanjutnya (Gordon dan Susanto, 1999) melakukan pengamatan terhadap karakteristik arus di Selat Makassar pada saat terjadinya ElNino 1997/1998 dan Lanina tahun 1998 pada dua stasiun pengamatan arus yakni pada mooring Maks-1 (02 o 52' LS dan 118 o 27' BT) dan pada mooring Maks-2 (02 o 51' LS dan 118 o 38' 106

128 BT). Pada saat ElNino tahun 1997/1998 sebagian besar arus ditemukan mengalir ke selatan, kecuali pada bulan Mei-Juni 1997 dimana sebagian ditemukan arus mengalir ke utara dengan kecepatan antara 46.6 cm/det sampai 64.5 cm/det. Data yang diperoleh dari BPPT Jakarta dari hasil pengukuran buoy yang ditempatkan pada dua stasiun pengamatan di perairan Selat Makassar, menunjukkan bahwa pada bulan Juni ditemukan adanya pergerakan arus yang cukup besar mengalir ke utara yakni sebesar 46.6 cm/det, pada bulan Agustus sebesar 64.5 cm/det pada stasiun pengamatan 1 dan pada bulan lainnya pergerakan air ke utara lebih kecil lagi. Begitu pula pada stasiun pengamatan 2 ditemukan arus yang mengarah ke utara pada bulan Juni, dengan kecepatan cm/det, walaupun hampir sepanjang tahun ditemukan pergerakan arus dengan kecepatan yang lebih besar selalu bergerak dari utara ke selatan baik pada stasiun pengamatan 1 maupun pada stasiun pengamatan 2. Tabel 27. Kecepatan (cm/det) dan arah (U-S) arus di Selat Makassar pada stasiun 1 tahun Musim Bulan PMBT MT PMTB Maks. Min. Maks. Min. Maks. Min. Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Catatan : tanda (-) berarti arah selatan, dan (+) sebaliknya. Tabel 28. Kecepatan (cm/det) dan arah (U-S) arus di Selat Makassar pada stasiun 2 tahun Musim Bulan PMBT MT PMTB Maks. Min. Maks. Min. Maks. Min. Februari Maret April Mei Juni

129 Juli Agustus September Oktober Catatan : tanda (-) berarti arah selatan, dan (+) sebaliknya. 108

130 Konsentrasi fosfat di perairan Selat Makassar dari hasil pengukuran lapang didapatkan pada PMBT berkisar antara 0,08 0,84 ug-at PO4/l, pada MT berkisar antara 0,47 1,00 ug-at PO 4 /l dan pada PMTB adalah berkisar antara 0,08 0,56 ug-at PO4/l. Dari data tersebut menunjukkan bahwa kandungan fosfat di perairan Selat Makassar tertinggi terjadi pada MT. Hal itu diduga disebabkan terutama karena selain pada musim tersebut terjadi fenomena upwelling yang menyebabkan beberapa kandungan nutrien termasuk fosfat dari kolom air yang lebih dalam terangkut naik ke atas bahkan sampai pada lapisan permukaan bersamaaan dengan proses pengangkutan massa air yang relatif besar. Selain itu diduga juga diakibatkan adanya massa air yang masuk dari Laut Banda dan Laut Flores pada MT yang sekaligus membawa sejumlah bahan nutrien. Seperti di ketahui bahwa selama MT, antara Juni - Agustus di Selat Makassar bagian selatan terjadi fenomena upwelling akibat besarnya dorongan massa air yang mengalir dari Laut Banda dan Laut Floes yang selanjutnya menyebabkan sebagian massa air di lokasi tersebut juga ikut terangkut yang kemudian meninggalkan kantong-kantong air yang kosong. Kantong-kantong air yang kosong tersebut kemudian terisi dari lapisan air yang lebih dalam yang juga ikut mengangkut zat hara. Berdasarkan hasil uji rata-rata nilai kandungan fosfat perairan menunjukkan adanya perbedaan secara nyata menurut musim. Perbedaan kandungan fosfat perairan terjadi selama tiga periode musim pengamatan. Nilai rata-rata kandungan fosfat perairan tertinggi yakni 0,52 ug-at PO4/l terjadi pada MT dan nilai rata-rata terendah yakni 0,29 ug-at PO 4 /l terjadi pada PMBT. Nilai kandungan fosfat perairan dari stasiun pengukuran, tertinggi yakni 1,00 ug-at PO 4 /l ditemukan pada MT tetapi sebaliknya nilai kandungan fosfat perairan terendah yakni 0,00 ug-at PO4/l juga ditemukan pada musim yang sama. Sebaran mendatar kandungan fosfat di permukaan perairan Selat Makassar pada PMBT, terlihat bahwa konsentrasi fosfat tertinggi ditemukan pada stasiun 43 dan 46 yang berada pada sisi paling selatan dari semua stasiun pengamatan. Pada MT kandungan fosfat tertinggi yakni 1,00 ug-at PO 4 /l dijumpai pada stasiun 3 yang merupakan stasiun terdekat dengan pantai. Pada periode PMTB, kandungan fosfat tertinggi adalah sebesar 0,66 ug-at PO4/l dijumpai pada stasiun 4 yang juga berada pada pesisir pantai Selat Makassar (Gambar 30). 105

131 Lintang Selatan KAL SULAWESI Bujur Timur KAL (A) SULAWESI 0.75 Lintang Selatan Bujur Timur (B) KAL SULAWESI Lintang Selatan Bujur Timur (C) Gambar 30 Sebaran mendatar kandungan fosfat (ug-at PO 4 /l) perairan Selat Makassar : (A) PMBT, (B) MT, dan (C) PMTB. 106

132 Konsentrasi fosfat yang tinggi dalam suatu perairan pada waktu tertentu, selain dapat ditemukan pada perairan dimana terjadi fenomena upwelling, juga dapat dijumpai pada daerah pesisir pantai dimana muara-muara sungai banyak membawa sampah dan kompos lainnya sebagai sumber bahan-bahan organik yang akan menjadi nutrien di laut setelah mengalami proses dekomposasi (penguraian). Sebaran melintang kandungan fosfat di perairan Selat Makassar dapat dilihat pada Gambar 31. Sebaran melintang kandungan fosfat pada periode PMBT di semua stasiun pengamatan menunjukkan bahwa, pada lapisan 50 m terdapat kecenderungan konsentrasi fosfat meningkat pada stasiun 32, 33 dan 34 yakni berkisar antara 0,80 1,20 µg-at PO 4 /l. Konsentrasi fosfat yang tinggi pada lapisan yang lebih dangkal atau kurang dari 25 m, terjadi pada stasiun 48 yaitu sebesar 0,60 µg-at PO4/l. Peningkatan konsentrasi fosfat yang drastis, terlihat terjadi pada kedalaman sekitar 50 m di stasiun 33 yakni sebesar 1,20 µg-at PO 4 /l. Konsentrasi fosfat pada periode MT di kedalaman m hanya terjadi peningkatan yang relatif kecil, yakni berkisar antara 0,55 0,65 µg-at PO4/l. Pada kedalaman sekitar m terjadi peningkatan yang lebih besar dengan ratarata berkisar antara 1,05 1,25 µg-at PO4/l. Sebaliknya pada lapisan kedalaman di bawahnya, terlihat mengalami penurunan dan hanya sekitar 1,15 µg-at PO4/l sampai pada kedalaman 200 m. Konsentrasi fosfat yang rendah pada kedalaman yang lebih dalam, kemungkinan diakibatkan adanya proses pengangkatan ke lapisan atas melalui fenomena upwelling yang terjadi pada musim tersebut. Struktur vertikal konsentrasi fosfat pada PMTB, ditandai dengan adanya kandungan fosfat yang cukup tinggi pada lapisan kedalaman sekitar 25 m yakni sebesar 0,50 µg-at PO 4 /l yang terjadi pada stasiun 4, kemudian mengalami penurunan pada kedalaman di bawahnya sampai pada lapisan 100 m yang hanya berkisar antara 0,20 0,50 µg-at PO 4 /l. Pada lapisan yang lebih dalam antara m, konsentrasi fosfat kembali meningkat berkisar antara 0,65 0,95 µg-at PO4/l. Kecenderungan konsentrasi fosfat yang terjadi pada PMTB, yakni pada lapisan air yang lebih dalam memiliki kandungan yang lebih tinggi, diduga diakibatkan karena fenomena penaikan massa air telah berakhir sehingga hanya pada lapisan tengah yang memiliki konsentrasi yang paling rendah. 107

133 Stasiun Kedalaman (m) (A) Kedalaman (m) Stasiun (B) Stasiun Kedalaman (m) (C) Gambar 31 Sebaran melintang kandungan fosfat (ug-at PO 4 /l) perairan Selat Makassar : (A) PMBT, (B) MT, dan (C) PMTB. 108

134 (2) Kandungan nitrat Unsur nitrat yang terdapat dalam suatu perairan merupakan hasil dari proses penguraian dari beberapa hewan-hewan air yang mengalami kematian ditambah dengan limpahan dari darat. Unsur nitrat di dalam perairan banyak diserap dan dimanfaatkan oleh beberapa hewan kecil seperti fito dan zooplankton. Ketersediaan unsur nitrat di dalam suatu perairan akan mendorong proses pertumbuhan fito dan zooplankton, tetapi dalam jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan kebutuhan akan unsur fosfat. Di perairan Selat Makassar bagian selatan pada lapisan permukaan diperoleh kandungan nitrat berkisar antara 0,17 0,55 µg-at NO 3 /l pada PMBT, antara 0,16 0,66 µg-at NO3/l pada MT dan antara 0,20 1,19 µg-at NO3/l pada PMTB. Hasil uji perbedaan rata-rata kandungan nitrat perairan Selat Makassar menurut musim pengamatan, disajikan pada Lampiran 30. Rata-rata kandungan nitrat perairan terendah yakni 0,16 µg-at NO 3 /l didapatkan pada periode PMTB dan rata-rata kandungan nitrat perairan tertinggi yakni 0,47 µg-at NO 3/l pada PMBT. Kandungan nitrat perairan dari semua stasiun pengukuran, ditemukan terendah yakni 0,00 µg-at NO 3 /l pada MT dan kandungan nitrat perairan tertinggi yakni 1,19 µg-at NO 3/l diperoleh pada PMBT. Sebaran mendatar kandungan nitrat pada PMTB diperoleh tertinggi yakni sebesar 1,19 µg-at NO 3/l, disusul pada MT sebesar 0,66 µg-at NO 3/l dan terendah ditemukan pada PMBT yakni sebesar 0,55 µg-at NO 3 /l (Gambar 32). Kandungan nitrat yang tinggi pada PMTB, diduga karena aktivitas fitoplankton dalam memanfaatkan unsur nitrat sebagai nutrien mulai menurun seiring dengan menurunnya intensitas cahaya matahari memasuki pergeseran musim dari timur ke barat. Pada periode MT walaupun sebetulnya memiliki kandungan nitrat yang cukup tinggi akibat adanya pengangkatan massa air karena proses upwelling, namun karena aktivitas fitoplankton yang tinggi dalam memanfaatkan unsur nitrat untuk proses fotosintesis, mengakibatkan kandungan nitrat tersebut menjadi menurun. Kandungan nitrat tertinggi selama periode PMBT yakni sebesar 0,55 µg-at NO 3 /l ditemukan pada perairan sekitar pantai, yakni pada stasiun 57 dan 58. Pada periode MT, kandungan nitrat tertinggi yakni sebesar 0,66 µg-at NO 3/l didapatkan pada perairan bagian selatan. Sedangkan pada periode PMTB didapatkan tertinggi yakni sebesar 1,19 µg-at NO 3/l pada stasiun 14 yang berada di sekitar pesisir 109

135 KAL SULAWESI Lintang Selatan KAL Bujur Timur (A) SULAWESI 0.95 Lintang Selatan KAL Bujur Timur (B) SULAWESI Lintang Selatan Bujur Timur (C) Gambar 32 Sebaran mendatar kandungan nitrat (µg-at NO 3 /l) perairan Selat Makassar : (A) PMBT, (B) MT, dan (C) PMTB. 110

136 pantai Selat Makassar. Tingginya kandungan nitrat pada perairan pesisir pantai Selat Makassar, diduga karena banyaknya unsur-unsur nitrat yang dibawa oleh luapan massa air dari aliran sungai yang bermuara ke laut. Tingginya nilai kandungan nitrat pada perairan bagian selatan Selat Makassar selama periode MT, me nunjukkan bahwa terjadi proses penaikan unsur hara dari lapisan air yang lebih dalam bersamaan dengan terjadinya pengangkatan massa air selama proses upwelling berlangsung. Sebaran melintang kandungan nitrat di perairan Selat Makassar selama tiga periode musim pengamatan, ditunjukkan pada Gambar 33. Pada periode PMBT, sebaran melintang kandungan nitrat dari kedalaman 25 m sampai pada kedalaman 50 m diperoleh sebesar 2,50 µg-at NO 3 /l. Peningkatan kandungan nitrat yang tinggi berdasarkan profil kedalaman, terjadi pada lapisan kedalaman antara m yakni berkisar antara 7,50-15,00 µg-at NO 3 /l. Sebaran melintang kandungan nitrat pada periode MT terlihat bahwa pada lapisan atas, konsentrasi nitrat hanya sebesar 0,50 µg-at NO 3 /l. Konsentrasi nitrat pada lapisan air di bawah kedalaman 50 m, nampak terjadi peningkatan mencapai 3,00 µg-at NO 3 /l. Peningkatan kandungan nitrat yang tinggi terlihat pada lapisan kedalaman perairan antara m, yakni sebesar 8,00 13,00 µg-at NO 3 /l. Sebaran melintang kandungan nitrat pada periode PMTB menunjukkan bahwa, kolom air pada lapisan atas berkisar antara 1,00 2,00 µg-at NO 3 /l. Kolom air pada kedalaman antara m selama periode musim tersebut berkisar antara 3,00 5,00 µg-at NO 3 /l, dan pada kolom air lapisan dibawahnya memiliki kandungan nitrat antara 7,00 13,00 µg-at NO 3 /l. Hal itu menunjukkan terjadinya peningkatan nilai rata-rata kandungan nitrat yang tinggi selama periode musim tersebut dibandingkan pada kedua periode musim lainnya, yakni sebesar 2,50 µg-at NO 3/l. Hal itu menunjukkan bahwa peranan musim yang terjadi pada suatu perairan sangat menentukan terhadap besarnya kandungan nitrat pada perairan tersebut. 111

137 Stasiun Kedalaman (m) (A) Stasiun K eda lam an (m ) (B) Stasiun Kedalaman (m) (C) Gambar 33 Sebaran melintang kandungan nitrat (µg-at NO 3 /l) perairan Selat Makassar : (A) PMBT, (B) MT, dan (C) PMTB. 112

138 (3) Kandungan silikat Kandungan silikat di dalam suatu perairan akan diserap dan dimanfaatkan oleh hewan-hewan kecil seperti plankton terutama jenis zooplankton untuk proses pembentukan jaringan dan cangkang. Kandungan silikat di dalam perairan semakin meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Kandungan silikat yang masuk ke dalam perairan akan mengendap di lapisan bawah, kecuali bila terjadi proses pengangkatan massa air sampai ke lapisan permukaan seperti dengan terjadinya upwelling. Konsentrasi silikat pada lapisan permukaan di perairan Selat Makassar pada periode PMBT berkisar antara 0,05 3,86 µg-at SiO 3 /l, pada MT berkisar antara 2,25 3,26 µg-at SiO3/l dan pada PMTB berkisar antara 0,07 8,69 µg-at SiO3/l. Konsentrasi kandungan silikat tertinggi ditemukan di stasiun 4 yakni 8,69 µg-at SiO3/l pada periode PMTB. Sebaliknya konsentrasi silikat terendah, yakni sebesar 0,07 µg-at SiO 3 /l ditemukan di stasiun 34 juga pada musim yang sama. Hasil uji rata-rata kandungan silikat perairan Selat Makassar didapatkan rata-rata kandungan silikat perairan tertinggi, yakni 0,47 µg-at SiO 3 /l diperoleh pada PMBT dan rata-rata kandungan silikat perairan terendah yakni 0,16 µg-at SiO 3 /l terjadi pada periode MT. Kandungan silikat perairan tertinggi pada semua stasiun pengamatan yakni 1,19 µg-at SiO 3 /l ditemukan pada PMBT dan kandungan silikat perairan terendah yakni 0,00 µg-at SiO3/l terjadi pada MT. Dari keseluruhan stasiun pengukuran, didapatkan kandungan silikat perairan berfluktuasi menurut musim. Hasil analisis perbedaan rata-rata kandungan silikat perairan, menunjukkan adanya perbedaan pada semua musim pengamatan. Sebaran mendatar kandungan silikat di perairan Selat Makassar selama tiga periode musim pengamatan, menunjukkan bahwa rata-rata kandungan silikat secara spasial tertinggi berada di sekitar perairan pantai dan kemudian menurun ke arah bagian tengah laut (Gambar 34). Fenomena tersebut dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang menunjukkan bahwa konsentrasi kandungan silikat di laut kemungkinan banyak ditentukan oleh limpasan air sungai yang membawa banyak bahan organik dan mengalir ke laut. Pada periode PMBT didapatkan konsentrasi silikat meningkat ke arah pantai, yakni berkisar antara 2,00 2,50 µg-at SiO3/l dan perairan di bagian selatan berkisar antara 1,00 1,50 µg-at SiO 3 /l. Konsentrasi silikat pada periode MT secara spasial hanya ditemukan adanya variasi yang sangat kecil, namun 113

139 lintang Selatan KAL SULAWESI Bujur Timur (A) KAL SULAWESI 3.00 Lintang Selatan Bujur Timur (B) KAL SULAWESI 3.00 Lintang Selatan Bujur Timur (C) Gambar 34 Sebaran mendatar kandungan silikat (µg-at SiO 3 /l) perairan Selat Makassar : (A) PMBT, (B) MT, dan (C) PMTB. 114

140 tertinggi ditemukan pada stasiun 3 yakni sebesar 3,26 µg-at SiO 3 /l. Pada musim berikutnya yaitu PMTB, struktur kandungan silikat pada lapisan permukaan terjadi variasi yang sangat mencolok dimana tertinggi yakni 8,69 µg-at SiO 3 /l ditemukan pada stasiun 4 dan terendah yakni 0,07 µg-at SiO3/l ditemukan di stasiun 11. Kisaran kandungan silikat yang tinggi selama periode musim ini, diperoleh pada stasiun 2, 4 dan 27 dan sebaliknya kisaran terendah ditemukan pada stasiun 11 dan 15. Di tengah laut konsentrasi silikat meningkat dengan bertambahnya kedalaman sebagai akibat adanya sisa-sisa organiselat Makassare laut yang mati, kemudian tenggelam ke kolom air yang lebih dalam dan akhirnya mengendap di dasar perairan dan mengalami proses penguraian yang kemudian salah satunya menghasilkan unsur silikat. Selain itu terjadinya peningkatan konsentrasi silikat pada kolom air di bawah lapisan permukaan, diduga sebagai akibat rendahnya aktivitas fitoplankton yang memanfaatkan unsur hara tersebut karena cahaya matahari sebagai sumber energi yang semakin menurun dengan bertambahnya kedalaman. Sebaliknya pada lapisan permukaan konsentrasi silikat dapat menurun, karena akibat pemanfaatan yang intensif oleh aktivitas fotosintesa dari fitoplankton. Sebaran melintang kandungan silikat di perairan Selat Makassar ditunjukkan pada Gambar 35. Pada periode PMBT terlihat bahwa kolom air di lapisan atas perairan memiliki kandungan silikat berkisar antara 4,50 5,50 µg-at SiO3/l, pada lapisan perairan antara m kandungan silikat adalah 6,50-7,50 µgat SiO3/l, dan pada kolom air pada kedalaman antara m berkisar antara 7,50 8,50 µg-at SiO 3 /l. Struktur kandungan silikat berdasarkan kedalaman selama periode MT terlihat bahwa pada kolom air lapisan atas sampai kedalaman sekitar 50 m, memiliki kandungan silikat sekitar 2,00 µg-at SiO 3 /l. Lapisan perairan pada kedalaman antara m memiliki kandungan silikat berkisar antara 4,00 10,00 µg-at SiO 3 /l. Pada lapisan air yang lebih dalam antara m, kandungan silikat berkisar antara 10,00 14,00 µg-at SiO3/l. Kandungan silikat yang relatif rendah pada kolom air lapisan atas, memperlihatkan bahwa kemungkinan terjadi aktivitas pemanfaatan silikat yang tinggi oleh plankton. Sementara pada kolom air lapisan di bawahnya, terjadi peningkatan yang cukup tinggi dengan kisaran mencapai 10,00 µg-at SiO 3 /l. Sebaran melintang kandungan silikat pada PMTB memperlihatkan adanya peningkatan konsentrasi yang rendah berdasarkan kedalaman dan bahkan sampai 115

141 Stasiun Ke d ala m a n (m ) (A) Stasiun K e d a l a m a n (m ) K e d a la m a n (m ) -200 (B) Stasiun (C) Gambar 35 Sebaran melintang kandungan silikat (µg-at SiO 3 /l) perairan Selat Makassar : (A) PMBT, (B) MT, dan (C) PMTB. 116

142 lapisan air pada kedalaman 100 m, kandungan silikat hanya berkisar antara 2,00 4,00 µg-at SiO3/l. Peningkatan kandungan silikat yang relatif besar, terjadi pada kedalaman antara m, yakni berkisar antara 6,00 12,00 µg-at SiO 3 /l. Konsentrasi kandungan silikat secara keseluruhan dari ketiga musim berdasarkan struktur kedalaman memperlihatkan bahwa pada periode MT, konsentrasi kandungan silikat tertinggi ditemukan terjadi dari lapisan permukaan perairan sampai pada lapisan kedalaman antara m. Kondisi ini diduga disebabkan oleh adanya proses pengangkatan unsur hara dari lapisan air yang lebih dalam bersamaan dengan terjadinya proses upwelling selama periode MT di perairan tersebut. (4) Oksigen terlarut Oksigen terlarut sebagai salah satu parameter oseanografi di dalam suatu perairan, dimanfaatkan oleh organiselat Makassare laut dalam proses pernafasan. Semakin tinggi aktivitas suatu jenis organiselat Makassare, semakin besar pula kebutuhan akan oksigen di dalam proses aktivitasnya. Pada perairan terbuka seperti halnya di perairan laut Indonesia sebagai perairan tropis, konsentarsi oksigen terlarut hampir stabil. Konsentrasi oksigen terlarut cenderung relatif lebih tinggi pada lapisan permukaan, disamping karena terjadi penambahan oksigen melalui proses diffusi dari atmosfir yaitu melalui proses pemasukan gelembung udara yang dihasilkan oleh puncak gelombang dan selanjutnya terjadi pengadukan dalam molekul air sehingga gas tersebut menjadi larut. Selain itu penambahan oksigen terlarut di dalam suatu perairan, juga dihasilkan dari proses fotosintesis oleh beberapa tumbuhan pada waktu siang hari. Kandungan oksigen terlarut pada lapisan permukaan laut di perairan Selat Makassar selama periode PMBT berkisar antara 4,10 4,32 ml/l, pada MT berkisar antara 4,37 4,55 ml/l, dan pada PMTB berkisar antara 4,24 4,53 ml/l. Konsentrasi oksigen terlarut tertinggi yakni 4,55 ml/l didapatkan di stasiun 1 pada periode MT dan terendah yakni 4,10 diperoleh di beberapa stasiun pada PMBT. Hasil analisis nilai rata-rata oksigen terlarut di dalam perairan, menunjukkan adanya perbedaan pada semua musim pengamatan. Hasil uji rata-rata kandungan oksigen terlarut di perairan Selat Makassar (Lampiran 32), didapatkan rata-rata kandungan oksigen terlarut tertinggi yakni 0,47 ml/l pada PMBT dan rata-rata kandungan oksigen terlarut terendah yakni 0,16 ml/l 117

143 pada MT. Kandungan oksigen terlarut tertinggi pada salah satu stasiun pengamatan didapatkan yakni 1,19 ml/l terjadi pada PMBT dan kandungan oksigen terlarut terendah yakni 0,00 ml/l terjadi pada MT. Dari keseluruhan stasiun pengamatan oseanografi di perairan Selat Makassar didapatkan kandungan oksigen terlarut berfluktuasi menurut musim. Sebaran mendatar oksigen terlarut pada permukaan laut perairan Selat Makassar, ditunjukkan pada Gambar 36. Pada gambar tersebut terlihat bahwa konsentrasi oksigen terlarut selama pengamatan, ditemukan terjadi peningkatan secara spasial ke wilayah perairan pantai. Kecenderungan ini kemungkinan besar disebabkan oleh adanya gerakan permukaan air laut di dekat pantai yang sangat dinamis oleh pengaruh angin dan riak-riak ombak yang berlangsung secara terusmenerus yang mengakibatkan terjadinya proses difusi oksigen dari udara masuk ke dalam air. Sebaliknya lapisan permukaan laut yang statis memberikan dampak terhadap rendahnya proses difusi oksigen dari udara yang masuk ke dalam air. Selain itu proses respirasi yang terjadi di sekitar perairan pantai yang tinggi akibat konsentrasi zat hara yang cukup untuk kebutuhan organiselat Makassare laut, menyebabkan jumlah oksigen yang dihasilkan di dalam air juga meningkat. Sebaran melintang oksigen terlarut pada PMBT, menunjukkan adanya distribusi spasial yang hampir merata dengan nilai kisaran yang tidak mencolok pada semua stasiun pengamatan, kecuali pada stasiun 36 dan 37 serta 49 dan 50 dengan nilai sebesar 4,10 ml/l. Sebaliknya pada beberapa stasiun pengamatan, ditemukan nilai oksigen terlarut sebesar 4,22 4,26 ml/l di bagian selatan perairan. Pada periode MT, sebaran mendatar oksigen terlarut terlihat pada stasiun yang berada paling selatan dari semua stasiun pengamatan, ditemukan nilai oksigen terlarut paling tinggi yakni sebesar 3,75 4,50 ml/l. Sebaliknya pada stasiun lainnya, konsentrasi oksigen terlarut hanya berkisar antara 2,25 3,00 ml/l. Sebaran mendatar kandungan oksigen terlarut pada periode PMTB memperlihatkan bahwa, konsentrasi oksigen terlarut pada bagian perairan selatan dan dekat pantai memiliki nilai yang cukup tinggi berkisar antara 4,44 4,54 ml/l dan sebaliknya pada bagian perairan lainnya hanya berkisar antara 4,24 4,34 ml/l. Sebaran melintang kandungan oksigen terlarut di perairan Selat Makassar, ditunjukkan pada Gambar 37. Pada periode PMBT, kandungan oksigen terlarut memiliki pola yang hampir merata pada kolom air lapisan atas sampai kedalaman 75 m dengan nilai berkisar antara 3,60-4,00 ml/l. Lapisan air di bawahnya memiliki 118

144 -3.00 KAL SULAWESI 4.45 Lintang Selatan Bujur Timur (A) KAL SULAWESI 4.45 Lintang Selatan Bujur Timur (B) KAL SULAWESI 4.45 Lintang Selatan Bujur Timur (C) Gambar 36 Sebaran mendatar oksigen terlarut (ml/l) perairan Selat Makassar : (A) PMBT, (B) MT, dan (C) PMTB. 119

145 Stasiun Kedalaman (m) (A) Stasiun Kedalaman (m) (B) Stasiun Kedalaman (m) (C) Gambar 37 Sebaran melintang oksigen terlarut (ml/l) di perairan Selat Makassar : (A) PMBT, (B) MT, dan (C) PMTB. 120

146 kandungan oksigen dengan kemiringan sebesar 3,20 ml/l dari kedalaman sekitar m, kecuali pada stasiun 53, 54, dan 55. Sebaran menegak konsentrasi oksigen terlarut pada MT, terlihat bahwa pada kolom air bagian atas sampai kedalaman sekitar 50 m, nilai kandungan oksigen terlarut berkisar antara 4,00-4,40 ml/l. Pada lapisan air berikutnya sampai kedalaman 200 m, konsentrasi oksigen terlarut berkisar antara 3,00-3,60 ml/l. Dari kedalaman 50 sampai dengan 100 m, terjadi kemiringan yang tajam dengan nilai 3,60 ml/l mengarah pada stasiun 4 dan 5. Sebaran melintang kandungan oksigen terlarut pada periode PMTB, terlihat bahwa pada stasiun 2 9, konsentrasi oksigen terlarut mengalami penurunan dan berkisar antara 4,00-4,40 ml/l dari kolom air bagian atas sampai dengan kedalaman sekitar 75 m. Pada lapisan air di bawahnya sampai kedalaman 200 m, konsentrasi kandungan oksigen terlarut berkisar antara 3,20-3,80 ml/l Kandungan klorofil Distribusi dan pergerakan kawanan ikan pada suatu perairan, selain dipengaruhi oleh kondisi oseanografi perairan, juga ditentukan oleh ketersediaan ma kanan pada perairan tersebut. Ketersediaan unsur hara seperti telah diurakan sebelumnya didalam suatu perairan, menentukan tingkat kesuburan perairan tersebut. Kesuburan suatu perairan, biasanya ditandai dengan terdapatnya sejumlah kawanan ikan yang menjadi parameter utama tingkat kesuburan perairan itu pada waktu tertentu. Ikan terbang diketahui sebagai ikan pelagis kecil (Selat Makassarall pelagic fish species), merupakan jenis ikan pemakan plankton, baik zooplankton maupun fitoplankton. Jenis ikan yang demikian itu di dalam penentuan kebiasaan makan di dalam rantai makanan, dinamakan sebagai jenis ikan pemakan plankton (plankton feeder). Kuantifikasi jumlah satuan unit fitoplankton yang terdapat di dalam suatu perairan, dapat diprediksi melalui perhitungan jumlah kandungan pigmen hijau yang dihasilkan oleh fitoplankton sebagai organiselat Makassare produsen tingkat pertama didalam rantai makanan. Besarnya kandungan pigmen hijau yang terdeteksi melalui metode tertentu, diantaranya dengan satelit penginderaan jauh dinyatakan sebagai besarnya nilai jumlah kandungan plankton didalam perairan itu. Fitoplankton yang menghasilkan sejumlah energi dari proses pertumbuhannya dengan memanfaatkan sejumlah unsur hara yang terdapat di dalam perairan, merupakan persediaan makanan bagi zooplankton dan jenis-jenis 121

147 ikan pemakan fitopankton lainnya. Dengan demikian besarnya nilai ketersediaan pigmen hijau yang terdeteksi, akan menentukan besarnya kawanan ikan yang diperkirakan akan datang ke perairan itu dalam kegiatan mencari makanan, atau biasa disebut dengan migrasi karena mencari makan (feeding migration). Kawanan ikan terbang sebagai salah satu jenis ikan yang menyukai plankton, akan berhubungan erat dengan proses pergerakan kawanan ikan tersebut pada waktu tertentu, selain karena pengaruh faktor oseanografi lingkungan perairan dan faktor biologi ikan itu sendiri. Keterkaitan ini akan sangat membantu dalam memprediksi pergerakan kawanan ikan didalam suatu lingkungan perairan pada waktu tertentu. Profil sebaran kandungan klorofil di perairan Selat Makassar berdasarkan data citra yang mewakili bulan Maret untuk periode PMBT, terlihat memiliki nilai kandungan klorofil lebih tinggi di sekitar perairan pantai bagian selatan Kalimantan dibandingkan dengan di sekitar perairan pantai barat Sulawesi Selatan. Kandungan klorofil yang diperkirakan sebagai daerah penangkapan ikan terbang di perairan Selat Makassar bagian selatan, berkisar antara 1,00 1,50 mg/m3 (Gambar 38). Memasuki awal periode MT, terlihat sebaran kandungan klorofil di perairan pantai barat bagian selatan Selat Makassar mengalami peningkatan, terutama pada citra yang mewakili bulan Agustus, yakni berikisar antara 3,00 5,00 mg/m3 (Gambar 39). Hal ini kemungkinan sebagai akibat terjadinya peningkatan kandungan nutrien bersamaan dengan terjadinya fenomena upwelling pada awal musim timur, sehingga proses pertumbuhan fitiplankton di sekitar perairan tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Fenomena ini juga terjadi dimana kegiatan penangkapan ikan terbang mengalami peningkatan jumlah hasil tangkapan selama periode waktu tersebut. Sebaliknya memasuki awal periode PMTB, sebaran kandungan klorofil di perairan Selat Makassar bagian selatan mulai menurun seperti halnya dengan kondisi sebaran kandungan klorofil pada periode musim tersebut. Kandungan klorofil di dalam perairan pada periode musim ini tertinggi yakni sekitar 1,00 2,50 mg/m3 terlihat pada citra satelit yang mewakili bulan September (Gambar 40). Kandungan klorofil pada bulan berikutnya, terlihat dengan jelas mulai menurun dengan drastis yang diperkirakan seiring dengan meredanya proses fenomena upwelling yang terjadi di sekitar perairan tersebut, yakni dibagian selatan pantai barat Sulawesi Selatan. 122

148 Gambar 38 Sebaran mendatar kandungan klorofil perairan Selat Makassar pada PMBT. 123

149 Gambar 39 Sebaran mendatar kandungan klorofil perairan Selat Makassar pada MT. 124

150 Gambar 40 Sebaran mendatar kandungan klorofil perairan Selat Makassar pada PMTB. 125

151 4.6 Pola angin Selat Makassar Selat Makasar merupakan perairan yang terletak di antara Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi. Selat ini berbatasan dengan Laut Sulawesi di sebelah utara dan dengan Laut Jawa serta Laut Flores di sebelah selatan. Kondisi oseanografis Selat Makassar, selain dipengaruhi oleh massa air yang ada di dalam selat, juga dipengaruhi oleh dinamika oseanografi di luar selat dan keadaan iklim yang terjadi. Perairan pantai Kalimantan dan perairan pantai Sulawesi yang mengapit Selat Makassar, juga berperan terhadap dinamika massa air dalam selat tersebut (Illahude, 1978). Angin utama yang berhembus di perairan Selat Makassar adalah angin muson. Angin ini dalam setahun mengalami pembalikan arah dua kali. Perubahan arah dan pergerakan angin muson, berhubungan erat dengan terjadinya perbedaan tekanan udara di atas Benua Asia dan Australia. Pada bulan Desember-Februari, umumnya angin bertiup dari Benua Asia ke Benua Australia sehingga di atas perairan Selat Makassar angin bertiup dari arah utara ke arah selatan yang disebut dengan angin muson barat, sedangkan pada bulan Juni-Agustus angin bertiup dari Benua Australia ke Benua Asia yang mengakibatkan arah angin di atas perairan Selat Makassar bertiup dari arah tenggara ke arah utara yang dikenal dengan angin muson timur. Pergantian angin muson dari angin muson barat ke angin muson timur, menimbulkan berbagai macam pengaruh terhadap sifat perairan Selat Makasar. Selama angin muson barat bertiup, curah hujan akan meningkat yang berakibat menurunnya nilai salinitas di sekitar wilayah perairan tersebut. Sebaliknya pada angin muson timur, terjadi peningkatan salinitas akibat terjadinya penguapan yang besar, ditambah dengan masuknya massa air yang bersalinitas tinggi dari Samudera Pasifik melalui Laut Sulawesi dan masuk ke perairan Selat Makassar (Wyrtki, 1961). Kecepatan dan arah angin yang didapatkan selama dalam pengambilan data oseanografi di perairan Selat Makassar, ditunjukkan pada Gambar 41. Kecepatan angin sesaat pada PMBT di perairan Selat Makassar berkisar antara 0-14 knot, pada MT berkisar antara 4-12 knot dan pada PMTB berkisar antara 0-10 knot. Plot vektor angin sesaat yang menunjukkan arah dan kecepatan angin pada PMBT, menunjukkan bahwa arah angin yang dominan pada saat pengamatan adalah dari arah barat kecuali pada beberapa stasiun angin bergerak dari arah barat daya dan 126

152 barat laut. Arah angin yang bergerak terus melintasi Selat Makassar dari barat, setelah sampai pada daratan Sulawesi terlihat mengalami pembelokan arah menuju tenggara dan timur laut. Pada periode MT terlihat bahwa arah angin sesaat yang terjadi adalah angin yang bertiup dari arah timur laut, kecuali pada stasiun 4 dimana angin nampaknya berasal dari arah tenggara dengan kecepatan yang cukup tinggi yakni sebesar 12 knot. Plot vektor angin sesaat pada PMTB di perairan Selat Makassar, menunjukkan angin sebagian berasal dari arah tenggara dan sebagian lagi berasal dari arah timur laut. Angin yang berasal dari laut di perairan Selat Makassar, setelah sampai pada daratan Sulawesi kemudian terjadi pembelokan arah menuju baratdaya. Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa pergerakan angin (kecepatan dan arah angin) sesaat yang terjadi pada suatu perairan, akan turut menentukan proses dinamika laut setempat. Adanya angin yang bertiup dalam waktu yang relatif lama dan dengan kecepatan tinggi yang menerpa permukaan laut suatu perairan, dapat mengakibatkan terjadinya proses pengadukan massa air dan bahkan dapat juga menimbulkan adanya pengosongan massa air pada lapisan permukaan, sehingga massa air dari lapisan bawah akan bergerak naik mengisi kekosongan massa air pada permukaan laut tersebut yang sering disebut sebagai suatu fenomena upwelling sesaat. 127

153 -3.00 KALIMANTAN SULAWESI Lintang Selatan Bujur Timur (A) KALIMANTAN 21 SULAWESI Lintang Selatan Bujur Timur (B) KALIMANTAN SULAWESI Lintang Selatan Bujur Timur Gambar 41 Arah angin sesaat (tanda panah) dan kecepatannya (angka dalam knot) di atas permukaan laut Selat Makassar : (A) PMBT, (B) MT, dan (C) PMTB. (C) 128

154 5 PEMBAHASAN 5.1 Hasil Tangkapan Ikan dan Telur Ikan Terbang Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut musim Kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang di daerah ini, berlangsung setiap tahunnya mulai dari bulan Maret hingga Nopember. Periode penangkapan ikan terbang oleh nelayan dikelompokkan ke dalam awal musim, puncak musim, dan akhir musim. Pembagian periode penangkapan tersebut kemudian dikelompokkan ke dalam tiga musim, yakni peralihan musim barat timur, musim timur, dan peralihan musim timur barat. Pada bulan Nopember sampai dengan Februari yang lebih dikenal dengan musim barat di pantai barat Sulawesi Selatan (Selat Makassar), kegiatan penangkapan relatif rendah akibat kondisi cuaca yang buruk, bahkan beberapa kegiatan penangkapan termasuk penangkapan ikan dan telur ikan terbang terbang tidak berlangsung, kecuali di perairan Teluk Bone dengan kondisi cuaca sangat tenang, sehingga kegiatan penangkapan justeru sangat intensif dilakukan. Selain karena faktor kondisi cuaca yang buruk di perairan pantai barat Sulawesi Selatan pada musim itu, hasil tangkapan ikan yang diperoleh nelayan juga relatif rendah, sehingga tidak cukup menutupi biaya operasi penangkapan. Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang berdasarkan periode penangkapan di daerah ini, memberikan perbedaan jumlah hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang (Gambar 42). Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang diperoleh tertinggi pada periode MT dibandingkan pada kedua peralihan musim. Hal ini diperkirakan diakibatkan oleh perbedaan kondisi oseanogafi perairan dan periode munculnya kawanan ikan terbang di perairan tersebut. Hasil penelitian sebelumnya (Dwiponggo, et al., 1983) mengungkapkan bahwa, kawanan ikan terbang di perairan Selat Makassar mulai muncul pada awal PMBT, sampai puncaknya selama periode MT, dan kemudian perlahan mulai menghilang lagi memasuki akhir PMTB. Penangkapan ikan dan telur ikan terbang di perairan itu puncaknya terjadi selama periode MT. Hal itu disebabkan pada periode waktu tersebut, merupakan saat yang paling sesuai dengan kondisi perairan dan kebutuhan biologi ikan terbang untuk melakukan peneluran. Ikan terbang menyukai perairan dengan salinitas tinggi, tidak keruh dan tidak terjadi arus yang kencang, terdapat ketersediaan makanan yang cukup dan aman dari predator.

155 Ikan Terbang (Ekor) IT TIT Telur Ikan Terbang (Kg) 0 PMBT MT PMTB Musim Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, Gambar 42 Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut periode musim. Jumlah hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang yang diperoleh selama penelitian dilakukan, menunjukkan adanya perbedaan menurut periode musim. Jumlah hasil tangkapan baik ikan maupun telur ikan terbang diperoleh tertinggi pada MT, kemudian pada PMTB dan terendah didapatkan pada PMBT. Hal itu menunjukkan bahwa, produksi hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut periode musim diperoleh tertinggi pada MT. Kondisi itu menunjukkan bahwa awal periode penangkapan ikan dan telur ikan terbang di daerah ini dimulai pada PMBT dan mencapai puncaknya pada MT dan kemudian menurun kembali memasuki PMTB. Perbedaan jumlah hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang berdasarkan periode musim, dipengaruhi oleh proses pemunculan dan proses biologi ikan terbang itu sendiri di perairan Selat Makassar. Ikan terbang mulai muncul dalam kawanan di perairan tersebut memasuki awan PMBT kemudian ditemukan dalam jumlah kawanan besar selama MT dan kemudian mulai menghilang kembali pada akhir PMTB. Kawanan ikan terbang seperti halnya dengan kawanan beberapa jenis ikan pelagis lainnya, dimana pada periode waktu tertentu melakukan mi gasi dan proses biologi lainnya misalnya dalam melakukan aktivitas pemijahan pada waktu dan tempat yang sesuai dengan kondisi lingkungan perairan yang disenanginya. 130

156 5.1.2 Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut musim dan DPI Distribusi hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang di perairan Selat Makassar menurut periode musim dan DPI, diperlihatkan pada Gambar 43. Di DPI I, produksi hasil tangkapan tertinggi didapatkan pada MT, dan sebaliknya terendah diperoleh pada PMBT. Di DPI II, produksi hasil tangkapan ikan terbang diperoleh tertinggi juga pada MT dan sebaliknya terendah pada PMTB, namun tidak berbeda banyak dengan produksi hasil tangkapan yang diperoleh pada PMBT. Di DPI III produksi hasil tangkapan ikan terbang diperoleh tertinggi pada MT, dan terendah pada PMBT. Di DPI IV, produksi hasil tangkapan ikan terbang dari ketiga periode musim penangkapan, diperoleh tertinggi pada MT yang merupakan puncak penangkapan, dan sebaliknya terendah diperoleh selama PMTB. Kondisi ini hampir sama dengan di DPI lainnya dimana produksi hasil tangkapan setiap tahunnya diperoleh tertinggi pada musim yang sama. Perbedaan jumlah hasil tangkapan ikan terbang yang sangat besar dari ketiga periode musim tersebut, disebabkan selain karena pengaruh periode munculnya ikan terbang dalam kawanan yang besar pada selama periode MT. Produksi hasil tangkapan telur ikan terbang sebagai prioritas utama kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan di DPI IV, diperoleh hasil tangkapan juga tertinggi pada periode MT, namun sebaliknya terendah diperoleh pada PMBT. Rendahnya produksi hasil tangkapan telur ikan terbang pada PMBT, dikarenakan merupakan awal memasuki periode penangkapan telur ikan terbang. Bahkan pada beberapa waktu nelayan masih menunggu perkembangan kepastian harga telur ikan terbang pada awal periode penangkapan. Memasuki periode MT dimana setiap tahunnya merupakan puncak kegiatan penangkapan telur ikan terbang yang bersamaan dengan waktu dimana aktivitas pemijahan ikan terbang berlangsung di bagian selatan wilayah perairan ini, menyebabkan kawanan ikan terbang yang akan melakukan proses pemijahan berada dalam kawanan yang sangat besar. Walaupun pada PMBT diperoleh hasil tangkapan ikan terbang yang lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah hasil tangkapan ikan terbang pada PMTB, namun karena sebagian besar ikan terbang masih berada pada kondisi belum matang gonad, menyebabkan jumlah hasil tangkapan telur ikan terbang yang diperoleh lebih rendah. Dalam perkembangan penggunaan jenis alat penangkapan telur ikan terbang di daerah ini, sejak tahun 1996 nelayan tidak banyak lagi menggunakan bubu hanyut 131

157 Hasil Tangkapan (Ekor) Hasil Tangkapan (Ekor) DPI I PMBT MT PMTB Musim DPI II 0 PMBT MT PMTB Musim Hasil Tangkapan (Ekor) DPI III PMBT MT PMTB Musim Ikan Terbang (Ekor) DPI IV IT TIT PMBT MT PMTB Musim Telur Ikan Terbang (Kg) Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Gambar 43 Hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang menurut periode musim dan DPI. 132

158 Panjang Ikan (Cm) Panjang Berat PMBT MT PMTB Berat Ikan (Gr) Panjang Ikan (Cm) Panjang Berat PMBT MT PMTB Berat Ikan (Gr) DPI I Musim DPI II Musim Panjang Ikan (Cm) DPI III Panjang Berat PMBT MT PMTB Musim Berat Ikan (Gr) Panjang Ikan (Cm) DPI IV Panjang Berat PMBT MT PMTB Musim Berat Ikan (Gr) Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Gambar 44 Panjang berat ikan menurut periode musim dan DPI. 135

159 Panjang Ikan TKG I Panjang Ikan TKG II PMBT MT DPI I DPI II PMBT PMTB DPI III MT DPI I DPI IV DPI II DPI III PMTB DPI IV Panjang Ikan TKG IV Panjang Ikan TKG III PMBT MT DPI I DPI II DPI III PMTB DPI IV PMBT MT DPI I DPI II DPI III PMTB DPI IV Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Gambar 45 Panjang ikan menurut TKG, periode musim dan DPI. 136

160 Panjang Ikan TKG I Panjang Ikan TKG II PMBT MT DPI I DPI II DPI III PMBT PMTB DPI IV MT DPI I DPI II PMTB DPI III DPI IV Panjang Ikan TKG IV Panjang Ikan TKG III PMBT MT DPI I DPI II DPI III PMTB DPI IV PMBT MT DPI I DPI II DPI III PMTB DPI IV

161 Berat Ikan TKG I Berat Ikan TKG II PMBT MT DPI I DPI II DPI III PMTB PMBT MT DPI I DPI IV Berat Ikan TKG III DPI II DPI III PMTB DPI IV Berat Ikan TKG IV PMBT MT DPI I DPI II DPI III PMTB 0.00 PMBT MT PMTB DPI IV DPI I DPI II DPI III DPI IV

162 Berat Ikan TKG I Berat Ikan TKG II PMBT MT DPI I DPI II PMTB DPI III PMBT DPI IV MT DPI I Berat Ikan TKG III DPI II DPI III PMTB DPI IV Berat Ikan TKG IV PMBT MT DPI I DPI II PMTB DPI III DPI IV PMBT MT DPI I DPI II DPI III PMTB DPI IV Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Gambar 46 Berat ikan menurut TKG, periode musim dan DPI. 137

163 PMBT MT PMTB 80 PMBT MT PMTB Jumlah (%) Jumlah (%) J B I II III IV Jenis Kelamin dan TKG DPI I 0 J B I II III IV Jenis Kelamin dan TKG DPI II PMBT MT PMTB 80 PMBT MT PMTB Jumlah (%) Jumlah (%) J B I II III IV Jenis Kelamin dan TKG DPI III 0 J B I II III IV Jenis Kelamin dan TKG DPI IV Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, Gambar 47 Jenis kelamin dan TKG ikan menurut periode musim dan DPI. 141

164 sebagai alat penangkapan telur ikan terbang, tetapi diganti dengan jenis alat tangkap berbentuk rumpon (bale-bale). Dengan menggunakan bubu hanyut sebagai alat penangkapan telur ikan terbang, kawanan ikan terbang yang melakukan peneluran pada dedaunan yang dilekatkan pada mulut bubu, masuk ke dalam dan selanjutnya terperangkap menjadi hasil tangkapan adalah merupakan hasil tangkapan sampingan (by catch). Penggunaan jenis alat penangkapan yang menyerupai rumpon yang dilengkapi dengan daun kelapa atau daun pisang ataupun dengan sejenis rumput laut, dimaksudkan agar kawanan ikan terbang yang melakukan peneluran pada alat tangkap tersebut, tidak lagi ikut tertangkap. Hal ini mengurangi resiko besarnya hasil tangkapan ikan terbang yang bukan menjadi tujuan penangkapan. Dengan demikian secara ekologis kegiatan penangkapan telur ikan terbang dengan jenis alat penangkapan tersebut, dapat memberi peluang pada induk-induk ikan terbang untuk dapat memijah kembali pada periode pemijahan berikutnya. Produksi hasil tangkapan ikan terbang dari daerah yang menjadi lokasi kegiatan penangkapan ikan dan telur ikan terbang, didapatkan tertinggi pada MT dan sebaliknya lebih rendah pada kedua peralihan musim Panjang berat ikan Ukuran panjang berat ikan terbang yang tertangkap pada masing-masing periode musim dan daerah penangkapan ikan (DPI) diperlihatkan pada Gambar 44. Sebaran ukuran panjang berat ikan terbang yang tertangkap di daerah penangkapan ikan (DPI I) menunjukkan adanya variasi menurut musim. Rata-rata panjang ikan yang tertangkap mulai dari awal sampai dengan akhir musim penangkapan mengalami pertambahan. Rata-rata panjang ikan terbesar (20,90 cm) didapatkan pada PMTB dan dan rata-rata panjang ikan terkecil (18,20 cm) didapatkan pada PMBT. Begitu pula dengan rata-rata ukuran berat ikan terbang yang tertangkap didapatkan berbeda menurut musim. Rata-rata berat ikan terbang yang tertangkap memiliki berat terbesar (62,90 g) pada MT dibandingkan dengan kedua peralihan musim. Rata-rata berat ikan secara keseluruhan dari ketiga periode musim penangkapan, diperoleh terkecil (45,30 g) pada awal musim penangkapan (PMBT). Rata-rata ukuran berat ikan yang tertangkap pada MT didapatkan paling besar, disebabkan karena ikan terbang pada musim tersebut umumnya telah mengalami fase matang gonad sehingga berat gonad juga mempengaruhi berat ikan secara keseluruhan. 133

165 Ikan terbang yang tertangkap di DPI II selama periode musim penangkapan, baik dari segi ukuran panjang maupun berat ikan, diperoleh hampir tidak berbeda antar musim. Ukuran panjang ikan terbesar yang didapatkan yakni 19,70 cm dengan nilai rata-rata panjang ikan terbesar yakni 16,90 cm didapatkan pada PMTB, dan nilai panjang ikan terkecil yakni 14,50 cm dengan nilai rata-rata panjang ikan yang tertangkap adalah 16,70 cm didapatkan pada awal musim penangkapan atau pada PMBT. Begitu pula halnya dengan pertumbuhan ikan dari segi berat ikan yang tertangkap, hampir secara keseluruhan tidak mengalami perbedaan yang berarti. Ukuran berat ikan terbesar yang tertangkap yakni 44,60 g dengan nilai rata-rata berat ikan adalah 42,70 g didapatkan pada MT, dan ukuran berat ikan terkecil yakni 41,10 g dengan nilai rata-rata berat ikan sebesar 42,20 g didapatkan pada awal musim penangkapan atau pada PMBT. Ikan terbang yang tertangkap di DPI II baik dari segi ukuran panjang maupun berat, diperoleh terkecil (14,50 cm) dengan rata-rata ukuran ikan 16,50 cm pada awal musim penangkapan atau pada PMBT. Ukuran panjang ikan terbesar (19,70 cm) diperoleh pada PMTB dengan nilai rata-rata ukuran panjang ikan adalah sebesar 17,00 cm. Pertambahan panjang ikan yang tertangkap mengalami perubahan dari waktu ke waktu yang ditandai dengan didapatkannya rata-rata panjang ikan tertangkap terbesar pada akhir periode musim penangkapan. Perbedaan rata-rata berat ikan yang tertangkap di daerah ini didapatkan terbesar pada periode MT dengan nilai rata-rata berat ikan adalah sebesar 44,63 g dan nilai rata-rata berat ikan terkecil adalah sebesar 41,13 g pada PMBT. Walaupun demikian secara keseluruhan tidak menampakkan adanya perbedaan yang berarti, terutama antara ikan terbang yang tertangkap selama MT dengan yang tertangkap pada PMTB. Di DPI III, ukuran panjang berat ikan yang tertangkap juga mengalami pertambahan menurut musim. Pertambahan panjang ikan secara simultan terjadi mulai dari awal musim penangkapan yakni dari PMBT sampai pada akhir musim penangkapan yaitu PMTB. Ukuran panjang ikan terbesar didapatkan pada PMTB yakni 19,40 cm dengan rata-rata panjang ikan pada periode musim itu adalah sebesar 18,00 cm. Ukuran panjang ikan terkecil didapatkan pada PMBT yakni 15,50 cm dengan nilai rata-rata ukuran panjang ikan yang didapatkan pada periode musim tersebut adalah 16,90 cm. Sebaliknya ukuran berat ikan yang tertangkap di daerah ini, juga didapatkan terbesar pada periode MT yakni sebesar 92,60 g dengan nilai rata-rata berat ikan yang tertangkap adalah 58,00 g. Ukuran berat ikan yang paling 134

166 kecil, diperoleh pada PMBT yakni 33,70 g dengan nilai rata-rata berat ikan yang tertangkap adalah sebesar 48,50 g. Di DPI IV, ukuran panjang ikan mengalami pertambahan dari PMBT, MT, sampai pada PMTB. Ukuran panjang ikan didapatkan yang terbesar adalah 22,90 cm dengan panjang rata-rata ikan terbesar yakni 21,20 cm didapatkan pada PMTB, dan sebaliknya ukuran panjang ikan yang terkecil ditemukan yakni 17,90 cm dengan panjang rata-rata ikan yakni 19,67 cm pada PMBT. Berat ikan juga mengalami perubahan berdasarkan musim, ukuran berat ikan terbesar yakni 87,60 g didapatkan pada MT dengan rata-rata berat ikan sebesar 62,30 g. Sementara berat ikan terkecil didapatkan pada PMBT yakni 41,20 g dengan nilai rata-rata berat ikan sebesar 57,40 g. Ukuran panjang rata-rata ikan didapatkan mengalami pertambahan dari musim ke musim, sehingga dapat disimpulkan bahwa ikan terbang yang tertangkap mengalami pertumbuhan dalam bentuk panjang menurut waktu. Sementara berat ikan yang tertangkap dengan berat terkecil pada awal musim penangkapan yakni pada PMBT, diduga adalah ikan muda yang baru tumbuh. Ikan dengan ukuran terbesar yang tertangkap pada MT merupakan ikan yang telah memasuki fase dewasa dan telah mulai mengalami perkembangan gonad dan bahkan sebagian besar telah berada pada fase matang gonad yang ditandai dengan besarnya butiran telur ikan di dalam gonad yang siap dikelurkan. Pada PMTB, berat ikan rata-rata mengalami penurunan yang diduga sebagai akibat telur-telur ikan yang matang telah dikeluarkan sehingga berat ikan mengalami penurunan dan menjadi ikan yang telah kehilangan berat sebagian setelah melalui fase peneluran. Ikan yang tertangkap dari keempat daerah penangkapan ikan di atas, didapatkan mengalami pertumbuhan yang ditandai dengan pertambahan panjang dari waktu ke waktu. Nilai ukuran panjang ikan rata-rata terkecil didapatkan pada PMBT, kemudian terus mengalami pertambahan panjang sampai pada periode akhir musim penangkapan. Ikan yang tertangkap pada awal musim merupakan ikan-ikan muda yang akan mengalami pertumbuhan. Begitu pula halnya dengan pertambahan berat ikan pada awal musim penangkapan didapatkan dengan nilai rata-rata berat ikan terkecil. Memasuki periode MT, sebagian besar ikan yang tertangkap telah memasuki masa dewasa dengan perkembangan gonad yang sebagian besar telah berada pada proses kematangan yang siap melakukan pemijahan dengan melakukan migasi pada wilayah yang sesuai. Diduga ikan-ikan yang telah memasuki fase dewasa dan akan melakukan proses pemijahan, melakukan migasi ke bagian 138

167 selatan perairan ini sebagai upaya untuk mencari daerah yang optimum dalam proses pemijahannya. Ikan yang tertangkap dari DPI I sampai dengan DPI III, baik dari segi ukuran panjang maupun berat, rata-rata lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata ukuran panjang dan berat ikan yang tertangkap di DPI IV Jenis kelamin dan TKG ikan Komposisi hasil tangkapan ikan terbang menurut jenis kelamin dan TKG dari sampel hasil tangkapan yang diamati, menunjukkan adanya perbedaan menurut musim penangkapan (Gambar 45). Di DPI I, sebaran jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad (TKG) hasil tangkapan ikan terbang, diperoleh ikan berjenis kelamin betina lebih banyak (50,83 %) dibandingkan ikan berjenis kelamin jantan (49,17 %) pada PMBT. Begitu pula pada MT jumlah ikan berjenis kelamin betina lebih banyak (52,08 %) dibandingkan dengan ikan berjenis kelamin jantan (47,92 %). Sebaliknya ikan berjenis kelamin jantan diperoleh lebih banyak (55,4 %) dibandingkan dengan ikan berjenis kelamin betina (44,6 %) pada PMTB. Perkembangan tingkat kematangan gonad hasil tangkapan ikan terbang di daerah ini, memperlihatkan adanya perbedaan pada setiap periode musim. Pada PMBT, komposisi ikan yang tertangkap masih lebih banyak (38,33 %) berada pada TKG II. Pada periode MT, komposisi ikan yang tertangkap lebih banyak (37,50 %) telah berada pada TKG IV, sedangkan pada PMTB, komposisi kematangan gonad ikan yang tertangkap lebih banyak (35,40 %) berada pada TKG III. Dengan komposisi tingkat kematangan gonad tersebut, terlihat pada MT di DPI I sebagian kawanan ikan terbang telah mengalami fase matang gonad namun dengan ikan berjenis kelamin jantan yang lebih banyak ditemukan. Kondisi ini diperkuat dengan tidak dilakukannya kegiatan penangkapan telur ikan terbang oleh nelayan di daerah itu. Hal lain diduga ikan yang berada di sekitar perairan itu hanya melakukan perlintasan menuju ke bagian selatan Selat Makassar dan tertangkap sebelum melakukan pemijahan. Di DPI II, persentase komposisi jenis kelamin hasil tangkapan ikan terbang berjenis kelamin jantan lebih besar dibandingkan dengan ikan berjenis kelamin betina. Pada PMBT persentase jumlah ikan berjenis kelamin betina sebesar 42,81 % dan ikan berjenis kelamin jantan adalah 57,19 %. Pada MT diperoleh komposisi hasil tangkapan ikan berjenis kelamin betina sebesar 46,25 % dan ikan berjenis kelamin jantan adalah 53,75 %. Sebaliknya pada PMTB, diperoleh komposisi jenis 139

168 kelamin ikan hasil tangkapan sedikit lebih banyak adalah ikan berjenis kelamin betina yakni sebesar 50,94 % dan ikan berjenis kelamin jantan adalah 49,06 %. Persentase komposisi ikan berjenis kelamin betina diperoleh tertinggi (50,94 %) pada PMTB, kemudian (46,25 %) pada MT, dan terendah (42,81 %) pada PMBT. Persentase komposisi tingkat kematangan gonad (TKG) hasil tangkapan ikan terbang di DPI ini didapatkan tertinggi pada TKG II, kecuali pada MT diperoleh terbanyak pada fase TKG III. Di DPI III, persentase jenis kelamin ikan hasil tangkapan pada PMBT didapatkan sebesar 67,02 % adalah ikan berjenis kelamin betina dan ikan berjenis kelamin jantan sebesar 32,98 %. Pada MT diperoleh ikan berjenis kelamin betina sebesar 62,00 %.dan ikan berjenis kelamin jantan adalah sebesar 38,00 %. Sementara pada PMTB diperoleh ikan berjenis kelamin betina sebesar 63,06 % dan ikan berjenis kelamin jantan adalah sebesar 36,94 %. Selama tiga periode musim penangkapan, diperoleh ikan hasil tangkapan berjenis kelamin betina terbanyak (67,02 %) pada PMBT, kemudian (63,06 %) pada PMTB, dan terendah (62,00 %) pada MT. Terdapatnya persentase jumlah hasil tangkapan ikan terbang berjenis kelamin betina terendah pada MT dibandingkan dengan pada kedua peralihan musim, disebabkan daerah penangkapan tidak berada pada daerah peneluran bagi ikan terbang. Selain itu juga karena tujuan utama penangkapan yang dilakukan hanya untuk menangkap ikan terbang saja. Persentase komposisi tingkat kematangan gonad (TKG) hasil tangkapan ikan terbang di DPI III pada PMBT, persentase TKG terbesar (39,85 %) berada pada TKG II dan terkecil (3,63 %) pada TKG IV. Sebaliknya pada MT diperoleh terbanyak (36,75 %) berada pada TKG IV dan terkecil (16,25 %) pada TKG I. Pada periode akhir musim penangkapan (PMTB), diperoleh persentase TKG ikan terbesar (34,44 %) berada pada fase TKG II dan terkecil (10,28 %) pada TKG IV. Hal ini dapat diduga bahwa memasuki awal MT sebagian ikan yang berada dalam kawanan bergerak ke bagian selatan Selat Makassar telah mencapai TKG IV untuk mencari daerah yang sesuai untuk melakukan aktivitas pemijahan. Variasi musim penangkapan dengan jelas memperlihatkan perbedaan komposisi tingkat kematangan gonad dari awal sampai pada akhir periode penangkapan sebelum masuk periode musim barat, dimana diperkirakan sebagian besar kawanan ikan terbang telah bergerak kembali ke wilayah perairan lain dengan tujuan untuk aktivitas yang lain pula. 140

169 141

170 Di DPI IV pada periode awal musim penangkapan (PMBT) diperoleh persentase ikan berjenis kelamin betina sebesar 71,25 % dan ikan berjenis kelamin jantan sebesar 28,75 %. Pada periode MT diperoleh ikan berjenis kelamin betina sebesar 78,57 % dan ikan berjenis kelamin jantan sebesar 21,43 %, sementara pada periode akhir musim penangkapan (PMTB) diperoleh ikan berjenis kelamin betina sebesar 67,53 % dan ikan berjenis kelamin jantan adalah sebesar 32,47 %. Komposisi jenis kelamin ikan hasil tangkapan secara keseluruhan dari ketiga periode musim penangkapan, diperoleh ikan berjenis kelamin betina lebih banyak (78,57 %) pada MT, kemudian (71,25 %) pada PMBT dan terendah (67,53 %) pada PMTB. Dengan demikian diperkirakan jumlah ikan terbang berjenis kelamin betina lebih banyak muncul dan berada dalam kawanan ikan terbang di perairan Selat Makassar selama MT untuk melakukan proses aktivitas pemijahan. Dugaan ini diperkuat dengan besarnya potensi penangkapan telur ikan terbang yang setiap tahunnya dimanfaatkan oleh nelayan di daerah ini selama musim penangkapan tersebut. Seperti diketahui bahwa telur ikan terbang yang dihasilkan melalui kegiatan penangkapan, merupakan hasil peneluran dari ikan betina yang telah matang gonad setelah melalui proses pembuahan dari ikan jantan yang juga telah memasuki fase matang kelamin. Komposisi tingkat kematangan gonad (TKG) ikan hasil tangkapan yang berada pada TKG IV, terbanyak (74,66 %) didapatkan pada periode MT kemudian PMBT (52,08 %) dan terendah pada PMTB (30,24 %), sedangkan komposisi ikan yang berada pada TKG I, II, dan III hampir sama pada semua periode musim penangkapan. 5.2 Analisis Parameter Oseanogafi dan Hasil Tangkapan Ikan Hasil pengukuran paramater oseanogafi pada setiap musim penangkapan dan jumlah hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang di perairan Selat Makassar, diperlihatkan pada Tabel 31. Perubahan nilai parameter oseanogafi didapatkan terjadi pada setiap periode musim. Rata-rata suhu perairan tertinggi (30,03 o C) didapatkan pada PMBT dan terendah (29,34 o C) pada MT, rata-rata salinitas perairan tertinggi (33,80 ) terjadi pada MT dan terendah (32,10 ) pada PMBT, rata-rata kecepatan arus tertinggi (0,13 cm/dtk) didapatkan pada PMBT dan terendah (0,08 cm/dtk) pada MT, rata-rata nilai kandungan fosfat perairan tertinggi (0,52 ug-at PO 4 /l) pada MT dan terendah (0,29 ug-at PO4/l) pada PMTB, rata-rata nilai kandungan nitrat tertinggi (0,47 ug-at 142

171 NO 3 /l) pada PMTB dan terendah (0,16 ug-at NO 3 /l) pada MT, rata-rata nilai kandungan silikat tertinggi (2,07 ug-at SiO 3 /l) terjadi pada MT dan terendah (1,54 ugat SiO3/l) pada PMBT, serta rata-rata nilai kandungan oksigen terlarut tertinggi (4,40 ml/l) pada PMTB dan terendah (3,56 ml/l) pada MT. Jumlah hasil tangkapan telur ikan terbang yang diperoleh di DPI IV tertinggi pada MT dan terendah pada PMTB. Begitu pula dengan jumlah hasil tangkapan ikan terbang (ekor) diperoleh tertinggi pada MT pada semua daerah penangkapan ikan (DPI). Tabel 31 Parameter oseanogafi dan hasil tangkapan ikan dan telur ikan terbang Oseanogafi Periode Musim Parameter PMBT MT PMTB Suhu ( o C) 30,03 29,34 29,64 Salinitas ( ) 32,10 33,80 33,38 Arus (cm/dtk) 0,13 0,08 0,12 Fosfat (µg/l) 0,48 0,52 0,29 Nitrat (µg/l) 0,36 0,16 0,47 Silikat (µg/l) 1,54 2,07 1,83 Oksigen Terlarut (µg/l) 4,18 3,56 4,40 DPI Hasil Tangkapan I Ikan terbang (ekor) II Ikan terbang (ekor) III Ikan terbang (ekor) IV ikan terbang (ekor) Telur ikan terbang (kg) 97,5 598,5 140,0 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Jumlah hasil tangkapan ikan terbang diperoleh mengalami perbedaan antar musim. Begitu pula dengan parameter oseanogafi pada setiap musim mengalami perubahan. Untuk mengetahui keterkaitan antara parameter oseanogafi dengan jumlah hasil tangkapan ikan pada musim yang sama, dilakukan analisis korelasi antara parameter oseanogafi dengan hasil tangkapan ikan terbang selama tiga periode musim penangkapan. Hasil analisis regesi hubungan antara setiap parameter oseanogafi dan jumlah hasil tangkapan ikan, ditunjukkan pada Tabel 32. Hasil analisis regesi hubungan antara suhu perairan dengan jumlah hasil tangkapan ikan terbang menghasilkan hubungan regesi negatif, dengan persamaan 143

172 regesi, yaitu : Y = 6.014,83 0,30X 1, dengan nilai r = 0,86. Dengan nilai koefisien regesi yang bersifat negatif, menggambarkan bahwa nilai hasil tangkapan ikan terbang, berbanding terbalik dengan peningkatan suhu perairan. Dengan suhu perairan yang lebih dingin, cenderung memberikan dampak peningkatan jumlah hasil tangkapan, dan sebaliknya apabila terjadi peningkatan suhu perairan maka akan berimplikasi pada penurunan jumlah hasil tangkapan. Kondisi seperti ini, juga ditemukan pada perikanan ikan lemuru di perairan Selat Bali (Wudianto, 2000). Kelompok ikan terbang dengan analisis hubungan antara jumlah hasil tangkapan dengan suhu perairan, dapat disimpulkan bahwa ikan terbang tidak memiliki sifat thermal oriented. Tabel 32 Hasil analisis regesi parameter oseanogafi dan hasil tangkapan ikan Hasil Tangkapan Parameter Osenogafi Nilai Korelasi (r), Persamaan Regesi p = 0,95 Suhu (X 1 ) Y = 6.014,83 0,30X 1 0,86 Salinitas (X2) Y = 6.014,83 + 0,33X2 0,84 Kec. Arus (X 3 ) Y = 6.014,83-0,13X 3 0,83 Fosfat (X 4 ) Y = 6.014,83 + 0,11X 4 0,88 Nitrat (X5) Y = 6.014,83-0,18X5 0,78 Silikat (X 6 ) Y = 6.014,83 + 0,34X 6 0,63 Oksigen Terlarut (X 7 ) Y = 6.014,83-0,23X 7 0,48 Hubungan antara salinitas perairan dengan jumlah hasil tangkapan ikan terbang dari hasil analisis regesi yang didapatkan, ternyata menghasilkan nilai koefisien regesi positif dengan persamaan regesi Y = 6.014,83 + 0,33X 2 dengan nilai r = 0,84. Nilai hubungan regesi ini memberikan implikasi dengan peningkatan salinitas perairan, maka akan memberikan dampak terhadap peningkatan jumlah hasil tangkapan. Keadaan arus dalam suatu perairan akan memberikan pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap jumlah hasil tangkapan ikan. Jumlah hasil tangkapan ikan terbang dengan kondisi arus perairan yang berbeda juga akan memberikan implikasi terhadap perbedaan jumlah hasil tangkapan. Hasil analisis antara jumlah hasil tangkapan ikan dengan arus perairan seperti dengan persamaan regesi yang dihasilkan yakni Y = 6.014,83-0,13X3 dengan kekuatan hubungan yaitu 144

173 r = 0,83, menunjukkan hubungan negatif. Hubungan yang negatif tersebut, menggambarkan bahwa dengan semakin meningkatnya kecepatan arus perairan, maka akan berdampak pada penurunan jumlah hasil tangkapan ikan, dan begitu pula sebaliknya jika terjadi penurunan kecepatan arus di dalam perairan, maka akan berdampak pada peningkatan hasil tangkapan ikan. Hal itu sesuai dengan kebiasaan hidup kawanan ikan terbang yang lebih menyukai perairan dengan kondisi yang relatif lebih tenang. Ketersediaan makanan bagi pertumbuhan fitoplankton, secara tidak langsung juga mempengaruhi besarnya jumlah hasil tangkapan ikan pada suatu perairan. Kandungan fosfat perairan memberikan implikasi dengan peningkatan jumlah kandungan fosfat di dalam perairan, akan memberikan jumlah hasil tangkapan ikan terbang. Hasil analisis regesi hubungan antara kandungan fosfat dengan jumlah hasil tangkapan ikan, menghasilkan persamaan regesi, yaitu Y = 6.014,83 + 0,11X 3 dengan nilai r = 0,88. Walaupun dengan peningkatan jumlah hasil tangkapan tidak signifikan ni lainya dengan peningkatan kandungan fosfat di dalam perairan, namun hubungannya cukup kuat dengan nilai hubungan yang lebih besar. Sebaliknya hubungan antara kandungan nitrat perairan dengan jumlah hasil tangkapan ikan, bersifat negatif. Apabila terjadi peningkatan kandungan nitrat di dalam perairan, maka akan memberikan implikasi terjadinya penurunan jumlah hasil tangkapan dan sebaliknya bila terjadi penurunan jumlah kandungan nitrat, akan memberikan peningkatan jumlah hasil tangkapan. Hasil analisis regesi hubungan antara keduanya, menghasilkan persamaan Y = 6.014,83 0,18X4 dengan nilai r = 0,78, namun hasil analisis ini menghasilkan hubungan dengan nilai koefisien yang cukup kecil. Peningkatan kandungan silikat perairan, ternyata memberikan implikasi terjadinya peningkatan jumlah hasil tangkapan. Hasil analisis regesi hubungan antara kandungan silikat perairan dengan jumlah hasil tangkapan ikan terbang, menghasilkan persamaan regesi Y = 6.014,83 + 0,34X 5 dengan nilai r = 0,63. Hubungan regesi yang bersifat positif ini menggambarkan bahwa dengan terjadinya peningkatan kandungan silikat di dalam perairan, maka secara tidak langsung akan memberikan dampak peningkatan terhadap jumlah hasil tangkapan ikan terbang. Kandungan oksigen terlarut di dalam suatu perairan secara tidak langsung juga mempengaruhi jumlah hasil tangkapan ikan. Hasil analisis regesi hubungan antara kandungen oksigen perairan dengan jumlah hasil tangkapan ikan bersifat negatif. Hal itu menggambarkan bahwa jika terjadi peningkatan jumlah kandungan 145

174 oksigen di dalam perairan, maka akan berimplikasi pada penurunan jumlah hasil tangkapan ikan, dengan persamaan regesi Y = 6.014,83 0,23X 6 dan nilai r = 0,48. Hal tersebut kemungkinan disebabkan terdapatnya sejumlah kawanan ikan lainnya yang berada di sekitar perairan tersebut, yang menjadi predator bagi ikan terbang, sehingga kawanan ikan terbang melakukan mi gasi ke perairan lainnya untuk mencari perairan yang lebih aman dari serangan ikan-ikan predator tersebut. 5.3 Analisis Dinamika Biologi Ikan Hasil Tangkapan Dinamika biologi ikan dan periode musim Dinamika biologi ikan berupa panjang berat, komposisi jenis kelamin, dan tingkat kematangan gonad hasil tangkapan ikan terbang di perairan Selat Makassar dianalisis berdasarkan periode musim penangkapan. Komposisi ukuran panjang berat hasil tangkapan ikan terbang di perairan Selat Makassar dari masing-masing periode musim penangkapan, ditunjukkan pada (Gambar 48 dan Tabel 33). Panjang (cm) dan Berat (gr) Rata-Rata Panjang PMBT MT PMTB Berat Periode Musim Gambar 48 Panjang berat ikan menurut periode musim. Rata-rata panjang total hasil tangkapan ikan terbesar (18,17 cm) didapatkan pada periode PMTB dibandingkan dengan rata-rata ukuran panjang total ikan pada periode PMBT (17,55 cm) dan MT(17,95 cm). Berbeda halnya dengan rata-rata berat ikan hasil tangkapan, diperoleh terbesar yakni 59,06 g pada periode MT dibandingkan dengan kedua peralihan musim penangkapan lainnya, yakni masingmasing sebesar 50,42 g, dan 53,18 g. Dari analisis tersebut menunjukkan bahwa, 146

175 pertumbuhan dalam bentuk pertambahan panjang atau berat tubuh ikan terbang, mengalami perubahan menurut musim penangkapan. Pertambahan rata-rata panjang total ikan terbesar didapatkan pada akhir periode musim penangkapan (PMTB), dan sebaliknya rata-rata pertambahan berat ikan tertinggi diperoleh pada periode MT akibat bertambahnya ukuran dan berat gonad ikan yang sebagian besar telah berada pada fase TKG IV pada periode musim tersebut. Tabel 33 Jumlah hasil tangkapan dan dinamika biologi ikan terbang Parameter Biologi Ikan Periode Musim PMBT MT PMTB Jumlah Tangkapan Ikan (Ekor) Jenis Kelamin (%) TKG (%) Panjang (cm) Berat (g) Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Jantan 37,19 31,62 40,75 Betina 62,81 68,38 59,25 I 19,32 7,03 19,51 II 24,94 12,62 29,49 III 22,77 24,41 31,29 IV 32,96 55,94 19,71 Minimum 14,50 14,80 14,70 Maksimum 23,50 23,20 23,70 Rata-rata 17,67 18,09 18,49 Minimum 33,60 39,20 33,00 Maksimum 81,90 92,60 132,00 Rata-rata 50,42 59,06 53,18 147

176 Panjang ikan 600 PJGPMBT 600 PNJGMT 600 PNJGPMTB Berat ikan BRTPMBT BRTMT BRTPMTB Gambar 49 Proporsi panjang berat ikan menurut periode musim. Secara keseluruhan hasil tangkapan diperoleh persentase jumlah ikan terbang berjenis kelamin betina lebih banyak dibandingkan dengan persentase jumlah ikan terbang berjenis kelamin jantan selama tiga musim penangkapan, yakni 35,86 % ikan berjenis kelamin jantan dan 64,14 % ikan berjenis kelamin betina (Gambar 50). Komposisi jenis kelamin hasil tangkapan ikan terbang pada ketiga musim penangkapan juga didapatkan persentase jumlah ikan berjenis kelamin betina lebih banyak dibandingkan dengan ikan berjenis kelamin jantan. Dari ketiga musim penangkapan tersebut, didapatkan hasil tangkapan ikan berjenis kelamin betina lebih banyak yakni 68,38 % pada MT dibandingkan kedua musim penangkapan lainnya, yakni masing-masing 62,81 % dan 59,25 %. Dengan komposisi jenis kelamin hasil tangkapan ikan terbang di perairan ini, dimana jumlah hasil tangkapan ikan berjenis kelamin betina lebih banyak, maka potensi penangkapan telur ikan terbang yang dihasilkan oleh ikan-ikan berjenis kelamin betina juga akan lebih besar terutama selama MT sebagai puncak periode waktu dimana kawanan ikan terbang melakukan 148

177 kegiatan peneluran. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang ditemukan sebelumnya di perairan Laut Flores dan Selat Makassar (Nessa et al., 1977, dan Ali, 2005) dengan nisbah kelamin antara jantan dan betina secara keseluruhan tidak berbeda nyata, dan begitu pula perbandingan jantan dan betina tiap bulan. Rasio kelamin yang seimbang juga dilaporkan pada ikan terbang H. affinis di Barbados yaitu 49 % jantan dan 51 % betina (Khokiattiwong et al., 2000). Perbedaan rasio kelamin jantan dan betina ikan terbang yang dilaporkan sebelumnya, diduga akibat dari jenis alat penangkapan yang digunakan, dimana pada penelitian sebelumnya alat penangkapan yang digunakan dalam pengamatan adalah satu yaitu JIHP, sedangkan pada penelitian ini selain digunakan jenis alat tangkap yang sama juga digunakan BHP/bale-bale. Hal itu terlihat dengan jelas terutama pada komposisi jenis kelamin ikan terbang yang tertangkap di bagian selatan Selat Makassar (DPI IV) dimana jenis alat tangkap yang digunakan adalah BHP/bale-bale, menghasilkan rasio jenis kelamin hasil tangkapan ikan berjenis betina diperoleh jauh lebih banyak dibandingkan ikan berjenis kelamin jantan. Seperti diketahui bahwa kegiatan penangkapan yang dilakukan di bagian selatan Selat Makassar adalah untuk tujuan penangkapan telur ikan terbang, menyebabkan ikan terbang yang banyak ikut tertangkap, adalah jenis kelamin betina yang sedang melakukan peneluran pada rumpon atau bubu yang digunakan. 100 Jenis Kelamin Ikan (%) Jantan PMBT MT PMTB Betina Periode Musim Gambar 50 Persentase jenis kelamin ikan menurut periode musim. Komposisi tingkat kematangan gonad hasil tangkapan ikan terbang di perairan Selat Ma kassar selama tiga periode musim penangkapan, secara keseluruhan didapatkan ikan terbang yang berada pada TKG IV lebih banyak (38,82 149

178 %) dibandingkan ikan terbang dalam kondisi TKG I (14,33 %), TKG II (21,12 %), dan TKG III (25,73 %). Berdasarkan hasil pengamatan dan analisis hasil tangkapan pada setiap musim, diperoleh hasil tangkapan ikan terbang pada PMBT, didapatkan hasil tangkapan ikan yang berada pada kondisi TKG IV sebesar 32,96 % dan TKG I, TKG II, dan TKG III, masing-masing 19,32 %, 24,94 %, dan 22,77 %. Pada periode MT, diperoleh komposisi tingkat kematangan gonad hasil tangkapan ikan terbang yang berada pada kondisi TKG IV adalah 55,94 % dan komposisi hasil tangkapan ikan terbang pada kondisi TKGI, TKG II, dan TKG III, masing-masing 7,03 %, 12,82 %, dan 24,41 %. Pada periode penangkapan selama PMTB, diperoleh komposisi tingkat kematangan gonad hasil tangkapan ikan terbang pada kondisi TKG III lebih banyak yakni 31,29 % dibandingkan hasil tangkapan ikan terbang yang berada pada kondisi TKG I, TKG II, dan TKG IV, yakni masing-masing 19,51 %, 29,49 %, dan 19,71 % (Gambar 51). Persentase ikan yang berada pada fase TKG IV lebih besar terutama pada periode MT, menunjukkan bahwa pada periode tersebut merupakan puncak periode musim pemijahan ikan terbang di perairan Selat Makassar. Rasio TKG ikan terbang yang diperoleh di dalam penelitian ini, menyerupai rasio TKG yang diperoleh pada penelitian sebelumnya di perairan Laut Flores (Ali, 2005), yakni masing-masing mendapatkan persentase TKG ikan terbang dalam kondisi reproduktif terutama pada fase TKG IV lebih besar dibandingkan dengan fase TKG lainnya. TKG Ikan (%) PMBT MT PMTB I II III IV Periode Musim Gambar 51 Persentase TKG ikan menurut periode musim.. Komposisi tingkat kematangan gonad hasil tangkapan ikan terbang yang berada pada kondisi TKG IV atau kawanan ikan terbang yang siap memijah atau 150

179 dalam kondisi proses pemijahan, diperoleh tertinggi selama periode penangkapan MT yakni sebesar 55,94 % dibandingkan dengan hasil tangkapan ikan terbang yang diperoleh selama periode penangkapan pada kedua peralihan musim. Komposisi hasil tangkapan ikan terbang dimana kondisi TKG IV yang diperoleh terbanyak selama periode penangkapan MT, menunjukkan bahwa pada periode tersebut sebagian besar kawanan ikan terbang yang berada pada perairan tersebut sudah dalam kondisi siap bertelur. Kondisi ini banyak dimanfaatkan oleh nelayan yang secara khusus melakukan kegiatan penangkapan telur ikan terbang di perairan Selat Makassar, dimana pada periode penangkapan MT merupakan puncak aktivitas penangkapan telur ikan terbang di daerah itu Dinamika biologi ikan dan daerah penangkapan Rata-rata panjang total hasil tangkapan ikan terbang di wilayah perairan bagian selatan Selat Makassar adalah lebih besar dibandingkan dengan rata-rata ukuran panjang total hasil tangkapan ikan terbang di wilayah perairan bagian utara, yakni masing-masing 18,33 cm dan 17,89 cm. Begitu pula rata-rata ukuran berat hasil tangkapan ikan terbang diperoleh lebih besar di wilayah perairan bagian selatan dibandingkan dengan di wilayah perairan bagian utara, yakni masing-masing 54,84 g dan 54,69 g (Gambar 52 dan Tabel 34). Panjang (cm) dan Berat (gr) Rata-Rata Utara 0 Selatan Panjang Berat Selat Makassar Bagian Gambar 52 Panjang berat ikan menurut wilayah perairan. 151

180 Tabel 34 Panjang berat, jenis kelamin, dan TKG ikan menurut wilayah perairan. Parameter Biologi Ikan Utara Wilayah Perairan Selatan Panjang (cm) Min 14,50 15,50 Max 23,70 22,90 Rata-rata 17,89 18,33 Berat (g) Min 33,00 33,70 Max 132,00 95,50 Rata-rata 54,69 54,84 Jenis Kelamin (%) Jantan 52,26 28,81 Betina 47,74 71,19 TKG (%) I 21,55 11,23 II 31,37 16,71 III 29,11 24,28 IV 17,98 47,77 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Persentase relatif jenis kelamin dan TKG hasil tangkapan ikan terbang di wilayah perairan bagian utara dan bagian selatan Selat Makassar, ditunjukkan pada Gambar 53. Persentase jumlah hasil tangkapan ikan terbang berjenis kelamin jantan di wilayah perairan bagian utara Selat Makassar lebih banyak dibandingkan dengan persentase jumlah ikan terbang berjenis kelamin betina, yakni sebesar 52,26 % dan 47,74 %. Sebaliknya di wilayah perairan bagian selatan Selat Makassar, diperoleh persentase jumlah hasil tangkapan ikan terbang berjenis kelamin betina lebih banyak dibandingkan ikan terbang berjenis kelamin jantan, yakni 71,19 % dan 28,81 %. 100 Jenis Kelamin Ikan (%) Jantan Betina Utara Selatan Selat Makassar Bagian Gambar 53 Persentase jenis kelamin ikan menurut DPI. 152

181 Komposisi tingkat kematangan gonad hasil tangkapan ikan terbang di wilayah perairan bagian utara Selat Makassar, diperoleh lebih banyak berada pada TKG II yakni sebesar 31,37 % dibandingkan dengan persentase jumlah ikan terbang yang berada pada fase TKG I, TKG III, dan TKG IV, yakni masing-masing 21,55 %, 29,11 %, dan 17,98 %. Di wilayah perairan bagian selatan Selat Makassar, didapatkan persentase tingkat kematangan gonad hasil tangkapan ikan terbang lebih banyak berada pada fase TKG IV yakni 47,77 %, dibandingkan dengan persentase jumlah hasil tangkapan ikan terbang yang berada pada TKG I, TKG II,dan TKG III, yakni masing-masing 11,23 %, 16,71 %, dan 24,28 % (Gambar 54). TKG Ikan (%) I II III IV Utara Selatan Selat Makassar Bagian Gambar 54 Persentase TKG ikan menurut wilayah perairan Dinamika biologi ikan, musim, dan daerah penangkapan Selain pertambahan ukuran panjang ikan, juga terjadi pertumbuhan dalam bentuk pertambahan berat kawanan ikan terbang di perairan Selat Makassar, seperti ditunjukkan pada Gambar 55, Gambar 56, dan Tabel 35). Di wilayah perairan bagian utara Selat Makassar, diperoleh rata-rata berat hasil tangkapan ikan terbang terbesar pada periode MT dibandingkan dengan rata-rata berat ikan hasil tangkapan pada kedua periode peralihan musim penangkapan lainnya, yakni masing-masing pada MT sebesar 59,61 g, pada PMTB sebesar 52,88 g, dan terkecil pada PMBT yakni sebesar 49,11 g. Di wilayah perairan bagian selatan Selat Makassar, diperoleh rata-rata ukuran berat hasil tangkapan ikan terbang terbesar yakni 59,02 g pada MT dibandingkan dengan pada kedua peralihan musim penangkapan lainnya, yakni pada PMTB sebesar 53,33 g, dan terkecil pada periode PMBT yakni sebesar 51,21 153

182 g. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa selama periode musim penangkapan ikan terbang di perairan Selat Makassar, diperoleh rata-rata ukuran berat ikan terbesar selama periode MT. Hal itu menggambarkan bahwa pada periode musim tersebut, sebagian besar ikan terbang di perairan ini telah mengalami pertambahan berat yang maksimum akibat kondisi perkembangan gonad ikan menghadapi proses pemijahan selama periode peneluran. Rata-rata ukuran panjang ikan yang tertangkap pada wilayah perairan bagian utara diperoleh terbesar (18,17 cm) pada periode akhir musim penangkapan yakni pada PMTB, dan sebaliknya rata-rata ukuran panjang ikan terkecil (17,55 cm) didapatkan pada awal musim penangkapan yakni pada periode PMBT. Pada wilayah perairan bagian selatan Se lat Makassar, rata-rata ukuran panjang ikan terbesar (18,86 cm) juga diperoleh pada akhir periode musim penangkapan yakni MT dan rata-rata ukuran ikan terkecil (17,82 cm) juga diperoleh pada awal periode musim penangkapan yakni PMBT. Dengan demikian pertumbuhan rata-rata ukuran panjang ikan mengalami pertambahan menurut perubahan waktu dari awal sampai akhir musim penangkapan. Ikan terbang yang tertangkap pada awal periode musim penangkapan, diduga merupakan ikan-ikan muda yang akan mengalami pertumbuhan seiring dengan bertambahnya masa pertumbuhan dalam satu siklus musim dalam satu tahun. 100 Panjang (cm) dan Berat (gr) Rata-Rata Panjang PMBT MT PMTB PMBT MT PMTB Berat Utara Periode Musim Selatan Gambar 55 Panjang berat ikan menurut periode musim dan DPI. 154

183 Tabel 35 Dinamika biologi ikan menurut periode musim dan daerah penangkapan Parameter Biologi Ikan Panjang (cm) Berat (g) Jenis Kelamin (%) TKG (%) Bagian Utara Bagian Selatan PMBT MT PMTB PMBT MT PMTB Min 14,50 14,80 14,70 15,50 15,50 16,70 Max 23,50 23,20 23,70 21,90 22,50 22,90 Rata-rata 17,55 17,95 18,17 17,82 18,24 18,86 Min 33,60 39,60 33,00 33,70 39,20 33,70 Max 75,30 88,40 132,00 81,90 92,60 95,50 Rata-rata 49,11 59,02 52,88 51,21 59,61 53,33 Jantan 53,75 51,25 51,79 29,69 25,26 34,18 Betina 46,25 48,75 48,21 70,31 74,74 65,82 I 30,18 11,61 22,86 14,40 5,55 17,52 II 35,36 26,61 32,14 20,23 8,09 27,92 III 20,54 36,61 30,18 23,79 20,46 31,95 IV 13,93 25,18 14,82 41,59 65,90 22,61 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang,

184 utara PJGPMBT PNJGMT PNJGPMTB BRTPMBT BRTMT BRTPMTB Selatan PJGPMBT PNJGMT 300 PNJGPMTB BRTPMBT BRTMT BRTPMTB

185 Gambar 56 Proporsi panjang berat ikan menurut periode musim dan DPI. Persentase rasio relatif antara ikan berjenis kelamin jantan dan betina selama tiga periode musim penangkapan dari kedua wilayah penangkapan (utara-selatan), ditunjukkan pada Gambar 57. Persentase relatif ikan terbang berjenis kelamin jantan di wilayah perairan bagian utara pada ketiga periode musim penangkapan, diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan persentase relatih ikan berjenis kelamin betina. Sebaliknya persentase relatif jumlah ikan berjenis kelamin betina selama tiga periode musim penangkapan, diperoleh lebih tinggi di wilayah perairan bagian selatan Selat Makassar. Pada periode PMBT sebagai awal musim penangkapan ikan terbang, baik di wilayah perairan bagian utara maupun selatan diperoleh persentase relatif jumlah ikan berjenis kelamin betina lebih rendah dibandingkan pada kedua musim penangkapan lainnya, sedangkan pada MT sebagai puncak penangkapan ikan dan telur ikan terbang, diperoleh persentase relatif jumlah ikan berjenis kelamin betina lebih tinggi dibandingkan pada awal dan akhir musim penangkapan. 100 Jenis Kelamin (%) Jantan PMBT MT PMTB PMBT MT PMTB Utara Betina Periode Musim Selatan Gambar 57 Komposisi jenis kelamin ikan menurut periode musim dan DPI. Perubahan komposisi tingkat kematangan gonad ikan terbang yang tertangkap baik di wilayah perairan bagian utara maupun selatan Selat Makassar juga terjadi (Gambar 58). Pada awal periode musim penangkapan (PMBT) di wilayah perairan bagian utara, rasio relatif TKG ikan tertinggi didapatkan pada fase TKG II (35,36 %), sedangkan pada wilayah perairan bagian selatan rasio relatif TKG ikan diperoleh tertinggi pada fase TKG IV (41,50 %). Persentase tingkat kematangan gonad ikan pada wilayah perairan bagian utara didapatkan terbesar 157

186 (TKG IV) pada periode MT (25,18 %) dan terendah pada periode PMBT (13,93 %). Pada wiilayah perairan bagian selatan didapatkan persentase relatif tertinggi ikan yang berada pada TKG IV yakni pada periode MT (65,90 %).dan terendah (22,61 %) pada periode akhir penangkapan (PMTB). TKG Ikan (%) PMBT MT PMTB PMBT MT PMTB Utara I II III IV Periode Musim Selatan Gambar 58 Komposisi TKG ikan menurut periode musim dan DPI Dinamika Biologi Ikan dan Parameter Oseanogafi Dinamika biologi ikan terbang yang tertangkap di Selat Makassar selama tiga periode penangkapan menunjukkan adanya perbedaan baik dari komposisi jenis kelamin, panjang berat, maupun TKG ikan. Perubahan nilai parameter biologi ikan yang diperoleh, memperlihatkan adanya pola mi gasi ikan berdasarkan perubahan kondisi biologi ikan itu sendiri dan kemampuan ikan merespon kondisi lingkungan perairan yang sesuai dengan perkembangan biologi ikan tersebut. Persentase relatif jumlah ikan berjenis kelamin betina dan berada pada fase matang gonad (TKG IV) diperoleh tertinggi (55,94 %) pada periode MT dibandingkan pada kedua periode peralihan musim (Tabel 36). Begitu pula dengan ukuran berat ikan yang tertangkap memiliki rata-rata berat yang lebih besar pada periode penangkapan yang sama, kecuali rata-rata panjang ikan terbesar diperoleh pada periode PMTB. Kondisi itu menunjukkan bahwa pada periode MT terjadi perubahan dinamika biologi ikan, dimana persentase ikan yang tertangkap dengan ukuran berat lebih besar dari kelompok ikan betina dengan kondisi matang gonad lebih banyak diperoleh pada periode MT dibandingkan pada periode musim lainnya. Perubahan 158

187 komposisi dinamika biologi ikan yang diperoleh, menunjukkan adanya keterkaitan dengan perubahan kondisi oseanogafi di wilayah perairan tersebut. Perubahan kondisi oseanogafi itu terlihat dimana suhu perairan rata-rata didapatkan lebih rendah tetapi dengan salinitas dan kandungan fosfat perairan yang lebih tinggi pada periode musim yang sama. Seperti diketahui bahwa kawanan ikan terbang dewasa dengan kondisi kematangan gonad yang lebih tinggi akan banyak ditemukan di wilayah perairan itu bersamaan dengan periode musim pemijahan dengan kondisi parameter perairan yang lebih sesuai. Kawanan ikan terbang lebih menyukai suhu perairan yang relatif lebih rendah dengan salinitas yang lebih tinggi dan sekaligus terdapat kandungan hara di dalam perairan yang menjadi sumber makanan untuk pertumbuhan plankton sebagai makanan utama ikan terbang. Hasil penelitian sebelumnya (Ali, 1981), yang melakukan penelitian kebiasaan makan dan komposisi makanan ikan terbang di Laut Flores, mengemukakan bahwa 70,93 % makanan ikan terbang berupa plankton crustacea, 8,38 % plankton kelompok chaetognatha, dan sisanya sebesar 20,69 % berupa algae. Selain itu juga dikemukakan sebelumnya oleh Munro (1967); Longhurtz dan Pauly (1987) bahwa makanan utama Ikan terbang adalah berupa zooplankton. Selain makan zooplankton, ikan terbang yang berukuran lebih besar dapat pula memakan ikan-ikan kecil (Parin, 1999). Massa air yang lebih dingin di perairan Selat Makassar selama periode MT (Mei Juli), merupakan massa air yang berasal dari aliran massa air Samudera Pasifik dari utara ke selatan, dan sebagian dorongan massa air yang mengalir dari Laut Banda melewati Laut Flores yang mengalir dari timur ke barat, kemudian massa air tersebut bercampur di perairan Selat Makassar bagian selatan. Selain itu juga adanya massa air dari lapisan yang lebih dalam menaik ke bagian atas lapisan permukaan sebagai akibat terjadinya proses penaikan massa air (upwelling) menyebabkan massa air di sekitarnya mengalami penurunan suhu tetapi sebaliknya terjadi peningkatan salinitas perairan. Akibat terjadinya pengangkatan massa air dari lapisan yang lebih dalam, sekaligus menyebabkan terjadinya pengangkatan beberapa unsur hara sehingga terjadi peningkatan kandungan beberapa unsur hara seperti fosfat yang menjadi sumber utama makanan untuk pertumbuhan plankton di wilayah perairan tersebut. Fenomena ini dapat mengindikasikan terjadinya peningkatan kesuburan perairan yang menjadi daerah yang disenangi bagi kawanan ikan terbang dewasa yang akan melakukan proses pemijahan. Sebagai wilayah perairan dengan kondisi oseanogafi yang sesuai dengan kondisi biologi yang diinginkan, menyebabkan kawanan ikan terbang di perairan 159

188 Selat Makassar melakukan migasi ke wilayah perairan tersebut, sebagai upaya selain untuk menemukan daerah untuk mencari makan (feeding gound) juga sekaligus untuk mendapatkan wilayah perairan yang sesuai untuk melakukan proses regenerasi selama periode waktu pemijahan (spawning gound). Perubahan kondisi lingkungan perairan akan memberikan pengaruh terhadap perubahan dinamika biologi ikan yang tertangkap di wilayah perairan tersebut, sebagai bentuk respon kawanan ikan tersebut terhadap lingkungannya. Tabel 36 Dinamika biologi ikan dan parameter oseanogafi Biologi ikan Oseanogafi Parameter Panjang (cm) Berat (g) Jenis kelamin (%) TKG (%) Periode Musim PMBT MT PMTB Minimum 14,50 14,80 14,70 Maksimum 23,50 23,20 23,70 Rata-rata 17,67 18,09 18,49 Minimum 33,60 39,20 33,00 Maksimum 81,90 92,60 132,00 Rata-rata 50,42 59,06 53,18 Jantan 37,19 31,62 40,75 Betina 62,81 68,38 59,25 I 19,32 7,03 19,51 II 24,94 12,62 29,49 III 22,77 24,41 31,29 IV 32,96 55,94 19,71 Suhu ( o C) 29,11 28,40 28,38 Salinitas ( ) 32,10 33,80 33,38 Fosfat (µg/l) 0,48 0,52 0,29 Nitrat (µg/l) 0,36 0,16 0,47 Silikat (µg/l) 1,54 2,07 1,83 Oksigen terlarut (ml/l) 4,18 3,56 4,40 Sumber : Hasil Pengamatan Lapang, 2004 Hasil analisis (uji-t) terhadap parameter biologi ikan (panjang berat) yang tertangkap di wilayah perairan bagian utara dan selatan Selat Makassar menunjukkan bahwa, untuk parameter panjang total ikan yang tertangkap pada MT dan pada PMTB adalah berbeda nyata (p<0,05) antara ikan yang tertangkap di bagian utara dan selatan, sedangkan ikan yang tertangkap pada awal periode musim penangkapan atau pada PMBT, tidak berbeda nyata (Lampiran 17). Untuk kelompok berat ikan yang tertangkap pada wilayah perairan bagian utara dan selatan 160

189 Selat Makassar berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa, hanya kelompok ikan yang tertangkap pada awal musim penangkapan atau pada PMBT berbeda nyata (p<0,05), sedangkan kelompok ikan yang tertangkap pada kedua periode musim penangkapan berikutnya (MT dan PMTB) tidak berbeda nyata. Analisis parameter biologi ikan yang tertangkap secara keseluruhan selama tiga periode musim penangkapan dilakukan menggunakan analisis varians (Anova) untuk mengetahui perbedaan ukuran panjang dan berat ikan yang tertangkap pada ketiga periode musim penangkapan tersebut (Lampiran 18). Hasil analisis menunjukkan bahwa ketiga periode musim penangkapan tersebut, memberikan hasil tangkapan dengan ukuran panjang berat yang berbeda nyata (p<0,05) dari setiap musim penangkapan. Hal itu menunjukkan bahwa perubahan dinamika biologi ikan (panjang berat) secara nyata mengalami perbedaan mulai dari awal periode musim penangkapan sampai pada akhir periode musim penangkapan. Dengan hasil analisis tersebut menggambarkan bahwa, ikan terbang yang tertangkap pada awal periode musim penangkapan, merupakan ikan-ikan muda kemudian tumbuh dan berkembang mengikuti pergeseran musim sampai pada akhir periode musim penangkapan ikan. Fenomena ini juga dilaporkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan di perairan Selat Makassar dan Laut Flores oleh Ali (2005), bahwa rata-rata ikan terbang yang tertangkap di wilayah perairan tersebut, merupakan ikan-ikan muda yang akan mengalami pertumbuhan panjang maupun berat serta kondisi kelamin berdasarkan periode awal munculnya ikan terbang tersebut yang ditandai sebagai awal periode musim penangkapan dan puncaknya pada periode MT dan kemudian menurun kembali memasuki akhir periode musim penangkapan. Perbedaan ukuran panjang berat ikan terbang yang tertangkap selama tiga periode musim penangkapan baik di wilayah perairan utara maupun selatan, yang paling menonjol perbedaannya, adalah antara ikan yang tertangkap pada periode PMBT dan periode PMTB untuk ukuran panjang ikan. Hal itu menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan dalam bentuk pertambahan panjang mulai dari awal periode musim penangkapan ikan terbang di Selat Makassar terjadi hingga akhir periode musim penangkapan sebagai masa akhir pertumbuhan sebelum kawanan ikan itu mengalami kematian setelah melalui proses pemijahan atau karena kembali ke perairan lain untuk memulai siklus hidup berikutnya. Seperti dikemukakan pada penelitian sebelumnya bahwa ikan terbang akan mengalami kematian alami setelah melewati fase mijah dengan umur antara 1 2 tahun. 161

190 Hasil analisis uji lanjut menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan dalam bentuk pertambahan berat yang berbeda sangat menonjol antara kelompok ikan yang tertangkap pada ketiga periode musim penangkapan, adalah kelompok ikan yang tertangkap pada periode MT (Lampiran 36). Ikan yang tertangkap pada periode MT merupakan kelompok ikan terberat dibandingkan dengan kelompok ikan yang tertangkap pada kedua periode penangkapan lainnya. Antara kelompok ikan yang tertangkap pada periode MT dengan kelompok ikan yang tertangkap pada periode PMBT memiliki perbedaan yang sangat menonjol dibandingkan dengan kelompok ikan yang tertangkap pada periode PMTB sebagai akhir periode musim penangkapan ikan terbang di wilayah perairan tersebut. Kelompok ikan yang tertangkap pada awal periode musim penangkapan (PMBT), merupakan kelompok ikan muda yang memiliki pertumbuhan awal baik pertambahan panjang berat badan maupun pertumbuhan gonad kelamin ikan, sedangkan kelompok ikan yang tertangkap pada periode akhir musim penangkapan (PMTB), merupakan kelompok ikan terbang yang sebagian besar telah melewati proses peneluran sehingga menyebabkan telah mengalami kehilangan sebagian berat badan dan atau berat gonad di dalam tubuhnya. 162

191 Panjang Ikan TKG I Panjang Ikan TKG II PMBT MT DPI I DPI II DPI III PMBT PMTB DPI IV MT DPI I DPI II PMTB DPI III DPI IV Panjang Ikan TKG IV Panjang Ikan TKG III PMBT MT DPI I DPI II DPI III PMTB DPI IV PMBT MT DPI I DPI II DPI III PMTB DPI IV

192 Berat Ikan TKG I Berat Ikan TKG II PMBT MT DPI I DPI II DPI III PMTB PMBT MT DPI I DPI IV Berat Ikan TKG III DPI II DPI III PMTB DPI IV Berat Ikan TKG IV PMBT MT DPI I DPI II DPI III PMTB 0.00 PMBT MT PMTB DPI IV DPI I DPI II DPI III DPI IV

193 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1) Secara spasial dan temporal dapat ditentukan daerah pemijahan (spawning ground) ikan terbang berada di bagian selatan Selat Makassar selama periode musim timur antara bulan Juni hingga Agustus. 2) Perubahan spasial dan temporal kegiatan penangkapan ikan terbang di Selat Makassar berpengaruh terhadap jumlah dan dinamika komposisi hasil tangkapan. 3) Tingkat eksploitasi telur ikan terbang di daerah peneluran (spawning ground) pada musim pemijahan (spawning season) yang tinggi mempengaruhi ketersediaan stok di perairan tersebut yang selanjutnya mempengaruhi terjadinya penurunan produksi hasil tangkapan. 4) Konservasi perikanan ikan terbang dapat dilakukan selama musim pemijahan (spawning season) di bagian selatan Selat Makassar. 6.2 Saran Untuk tujuan pengelolaan sumberdaya ikan terbang di masa yang akan datang, disarankan menjaga kondisi jumlah effort penangkapan ikan dan telur ikan terbang pada tingkat pemanfaatan seperti saat ini, namun jika effort ditingkatkan maka ada 2 alternatif yang dapat dipertimbangkan : (1) memasang sejumlah rumpon (bale-bale) seperti yang digunakan oleh nelayan dalam kegiatan penangkapan telur ikan terbang, tetapi hanya dimaksudkan sebagai sarana (tempat) untuk berlangsungnya proses pemijahan dengan aman. (2) Selain itu, juga dapat dilakukan melalui penutupan sebagian daerah penangkapan telur ikan terbang di bagian selatan Selat Makassar selama periode musim pemijahan (spawning season).

194 DAFTAR PUSTAKA Ali, S. A., M. N. Nessa, M. I. Djawad, dan S. B. A. Omar, 2004a. Analisis Fluktuasi Hasil Tangkapan dan Hasil Maksimum Lestari Ikan Terbang (Exocoeitidae) di Sulawesi Selatan. Torani. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan. 2 (14): Ali, S. A., M. N. Nessa, M. I. Djawad, dan S. B. A. Omar. 2004b. Musim dan Kelimpahan Ikan Terbang (Exocoetidae) di Sekitar Kabupaten Takalar (Laut Flores Sulawesi Selatan). Torani. Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan, 3 (14): Ali, S. A., Kondisi Sediaan dan Keragaman Populasi Ikan Terbang, Hirubdichthys oxycephalus (Bleeker, 1852) di Laut Flores dan Selat Makassar. Disertasi. Pascasarjana Universitas Hasanudin Makassar. Ali, S. A., dan M. N. Nessa, Status Ilmu Pengetahuan Ikan Terbang di Indonesia. Lokakarya Nasional Perikanan Ikan Terbang. Universitas Hasanuddin, Makassar September Andomari, R. dan T. Zubaidi, Aspek Reproduksi Ikan Terbang di Desa Rangas Kabupaten Majene Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Balai Penelitian Perikanan Laut No. 94. Balai Penelitian Perikanan Laut, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta. Hal Butler, M. J. A., M. C. Maochot, V. Brale, and C. Le Blanc, The Application of Remote Sensing. Technology to Marine Fisheries: An Introduction Ma nual. FAO Fisheries paper, Rome. 295 p. Dalzell, P., The Fisheries Biology of Flying Fishes (Families: Exocoetidae and Hemiramphidae) From the Camotes Sea, Central Philipines. Journal of Fish Biology, 43: Davenport, J., How and Why Flyingfish Fly (Review). Journal Fish Biology and Fiheries. 4: Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Propinsi Sulawesi Selatan, Statistik Perikanan. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Propinsi Sulawesi Selatan, Statistik Perikanan. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Propinsi Sulawesi Selatan, Statistik Perikanan. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar. 164

195 Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Propinsi Sulawesi Selatan, Statistik Perikanan. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Propinsi Sulawesi Selatan, Statistik Perikanan. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Propinsi Sulawesi Selatan, Statistik Perikanan. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Propinsi Sulawesi Selatan, Statistik Perikanan. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Propinsi Sulawesi Selatan, Statistik Perikanan. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Propinsi Sulawesi Selatan, Statistik Perikanan. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar. Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Propinsi Sulawesi Selatan, Statistik Perikanan. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar. Dwiponggo, A., T. Sujastani, dan S. Nurkarim, Perikanan Ikan Terbang di Sulawesi Selatan. Prosiding Temu Karya Ilmiah. Dinas Perikanan Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan. Ujung Pandang. Dwiponggo, A., T. Sujastami, dan S. Nurhakim Pengkajian Potensi dan Tingkat Pengusahaan Perikanan Torani di Perairan Sulawesi Selatan. Laporan Penelitian Perikanan Laut. 25:1-12. Effendie, I., Biologi Perikanan. Penerbit Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta. Gandadikusumah, D. G., Mengenal Foto Satelit Cuaca TIROS-N dan NOAA- AVHRR LAPAN. Proyek Penelitian Pemanfaatan SATCA dan Observasi Lingkungan, LAPAN. Jakarta. 25 hal. Gastellu-Ettchegorry and T. Boely, Methodology For An Operational Monitoring of Remotely-Sensed Sea Surface Temperatures in Indonesia. Int. J. Remote Sensing, Vol. 9 No. 3. P GC. Net Home Page, AVHRR Sensor Characteristics. Data Guide/Sensor. ( 165

196 Gordon, A. L., dan R. D. Susanto, Makassar Strait Transport: Preliminary Arlindo Result and From Maks-1 dan Maks-2. Oregon State University. pp 1-7. Gordon, A. L., R. D. Susanto, and Ffield, A., Throughflow Within Makassar Strait. Geophysical Research Letter, Vol. 26. No. 21. American Geophysical Union. Pages Gunarso, W., Tingkah Laku Ikan Dalam Hubungannya Dengan Alat, Metode dan Taktik Penangkapan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 149 hal. Hanggono, A., L. Hilda, R. Astuti, dan K. Amri, Identifikasi Lokasi Fishing Ground di Indonesia melalui Satelit NOAA-AVHRR. Remote Sensing and Geographic Information Systems, Year Book. BPP Teknologi. Jakarta. Hasyim, B., K. Amri, dan M. Hastuti, Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh NOAA-AVHRR Untuk Pengamatan Pola Arus Laut dan Daerah Potensi Penangkapan Ikan. Konvensi Nasional Pembangunan Benua Maritim Indinesia Dalam Rangka Mengaktualisasikan Wawasan Nusantara. Makassar, Desember Hendiarti, N., B. Winarno, S. I. Sachoemar, dan I. Farahidy, Penentuan Daerah Upwelling di Perairan Selatan Jawa-Bali dan Selat Makassar. Remote Sensing and Geographic Information Systems. Year Book , BPP Teknologi. Jakarta. Hendiarti, N., B. Winarno, K. Amri, dan L. Hilda, Pemberdayaan Sumberdaya Lingkungan Laut Dengan Teknologi Inderaja. Remote Sensing and Geographic Information Systems. Year Book , BPP Teknologi. Jakarta. Herlisman, Studi Penaikan Massa Air di Perairan Selatan Jawa Tengah pada Bulan Agustus Skripsi. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Hunte, W., H. A. Oxenford, and R. Mahon, Distribution and Relative Abundance of Flyingfish (Exocoetidae), in The Eastern Caribbean (Spawning Substrat, Eggs, and Larvae). Mar. Ecol. Prog. Ser. 117: Hutomo, M. dan Burhanuddin, Sebaran dan Potensi Ikan Terbang di Indonesia. Buletin Perikanan Vol. II No. I. Pustaka Institut Pertanian Bogor. Fakultas Perikanan. Bogor. Hutomo, M., Burhanuddin, dan S. Martosewojo, Sumberdaya Ikan Terbang. Lembaga Oseanologi Nasional LIPI. Jakarta. Illahude, A. G., On The Occurance of Upwelling in The Southern Makassar Strait. Mar. Res. Indonesia. 10 Hal. Illahude, A. G., On The Factors Affecting The Productivity of The Southern Makassar Strait. Mar. Res. Indonesia. 21 Hal. 166

197 Jamilah, N., Deteksi Upwelling di Perairan Selat Makassar Menggunakan Data Suhu Permukaan Laut Dari Satelit NOAA-11/AVHRR-2. Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Jansen, J. R., Introduction Digital Image Processing : A Remote Sensing Perspective. Prentice-Hall Englewood Clif. New Jersey. Khokiattiwong, S., R. Mahon, and W. Hunte, Seasonal Abundance and Reproduction of The Fourwing Flyingfish Hirundichthys affinis of Barbados. Enviromental Biology of Fishes. 59: King, A. H., An Introduction to Oceanography. Hill Books Company Inc. San Fransisco. Laevastu, T. and Hela, Fisheries Oceaonography. Fishing News (Book) Ltd. London. Mangoting, J. C., Karakteristik Fisika-Kimia di Lepas Pantai Teluk Pelabuhan Ratu dan Kaitannya Dengan Pendeteksian Upwelling pada MT Tahun Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan. McConnaughey, B. H., Introduction to Marine Biology. The C. V. Mosby Company. Saint Lousis. McMillin, L. M., Estimation of Sea Surface Temperature from Two Infrared Windows Measurement with Different Absorption. Journal of Geophysical Research 80 : McMillin, L. M. and D. S. Crosby, Theory and Validation of the Multiple Windows Sea Surface Temperatur Technique. Journal of Geophysical Research 89(03) : Myers D. G., and P. T. Hick, An Application of Satellite-Derived Sea Surface Temperature Data to The Australian Fishing Industry in Near Real Time. Int. J. Remote Sensing, Vol. 11 No. 11. P Nelson, J. S., The Fishes of The World. John Wiley and Sons, New York. Nessa, M. N., H. Sugondo, dan A. Rantetondok, Studi Pendahuluan Terhadap Perikanan Ikan Terbang di Selat Makassar. Sub Proyek PIP, Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang. Nessa, M. N., S. A. Ali, dan A. Rachman, Studi Pendahuluan Penetasan Telur Ikan Terbang Dalam Rangka Usaha Pelestarian Melalui Restoking. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Unhas. Ujung Pandang, p. 70. Nessa, N., S. A. Ali, dan A. Salam, Pengaruh Suhu Terhadap Penetasan, Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Larva Ikan Terbang (Cypselurus spp). Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang. 167

198 Nontji, Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta. Parin, N. V., Exocoetidae (Flyingfish). In K. E. Carpenter, and V. H. Nien. The living marine resources of the western central Pasific. FAO. 4: Pond, S., and G. L. Pickard, Introductory Dynamical Oceanography. 2 nd edition. Pergamon Press. New York. Rajaan M. S., Remote Sensing and Gegraphic Information System For Natural Resource Management. Asian Development Outlook, ADB, Manila. 197 p. Rizal, K., Perikanan Ikan Terbang (Cypselurus spp.) di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Skripsi. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan, IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Ross, D. A., Introduction to Oceanography. Meredith Corporation. New York. Schowengerdt, R. A., Techniques for Image Processing and Classification in Remote Sensing. Academic Press, Inc., Orlando, Florida. 249 p. Sihotang, S., Pengembangan Perikanan Ikan Terbang (Cypselurus spp) di Sulawesi Selatan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. 286 hal. Soegiarto, A. dan S. Birowo, Atlas Oseanografi Perairan Indonesia dan Sekitarnya. No. 1. Lembaga Oseanologi Nasional (LON) - LIPI. Jakarta. Strickland J. D. H., and T. R. Parsons, A Practical Handbook of Sea Water Analysis. Fish. Res. Board. Canada, Bull. 167 : Susanto, R. D., A. L. Gordon, J. Sprintall, and B. Herunadi, Intra seasonal Variability and Tides in Makassar Strait. Geophysical Research Letter, Vol. 27. No. 10. American Geophysical Union. Pages Susilo, S. B., Penginderaan Jarak Jauh Untuk Kelautan/Perikanan. Makalah. Disajikan pada Pelatihan Dosen Muda pada Bidang Penginderaan Jarak Jauh. Proyek Peningkatan Kerjasama Institut Pertanian Bogor Dengan The Papua New Guinea University of Technology. Bogor Februari Sverdrup, H. U., M. W. Jhonson, and R. H. Flemming, The Ocean: Their Physics, Chemistry and General Biology. The Prentice-Hall Inc. New York. Tambunan, P., Beberapa Informasi Tentang Perikanan Ikan Terbang di Indonesia. Lokakarya Nasional Perikanan Ikan Terbang. Universitas Hasanuddin, Makassar September Uktolseja, C. B. J., R. Purwasasmita, K. Susanto, dan A. B. Sulistiadji, Sumberdaya Ikan Pelagis Besar vile Potensi dan Penyebaran Sumber Daya Ikan Laut Di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber 168

199 Daya Ikan Laut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta. Hal US Navy Hydrographic Office, Instruction Manual for Oceanographic Observation. US Navy Hydrographic Office Pub. No. 607 : Watson, W., Early Life History Stages Of The Whitetip Flyingfish, Cheilopoogon xenopterus Gilbert, 1980 (Pisces : Exocoetidae). Fish. Bull. 97: Widyaprasetya, S., A. Atmadipoera, dan P. Siregar, Penentuan Daerah Penangkapan Ikan Pelagis Dengan Teknologi Inderaja di Perairan Natuna, Laut Cina Selatan. Remote Sensing and Geographic Information Systems, Year Book. BPP Teknologi. Jakarta. Wijanarko, B., Studi Tentang Pengaruh Suhu Permukaan dan Arah Arus pada Penangkapan Ikan Terbang (Cypselurus spp.) Dengan Jaring Insang Hanyut di Perairan Taliabu Barat, Maluku Utara. Skripsi. Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan, IPB. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Wudianto, Analisis Sebaran dan Kelimpahan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru) di Perairan Selat Bali Kaitannya Dengan Optimasi Penangkapan. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. 215 hal. Wyrtki, K., Physical Oceanography of the South-East Asian Waters. Naga Report Vol. 2. The University of California, La Jolla. Yahya, M. A., I. Jaya, R. F. Kaswadji, dan A. Hanggono, Hubungan Antara Karakteristik Oseanografi dan Peroduksi Hasil Tangkapan Ikan Terbang (Cypselurus spp) di Selat Makassar; Jurnal Maritek IPB, Vol. 1 No. 1 Tahun 2001, ISSN Yokoyama, R., and S. Tanba, Estimation of Sea Surface Temperature via AVHRR of NOAA-9 Comparison With Fixed Buoy Data. Int. J. Remote Sensing, Vol. 12, No. 12. P Zar, J. H., Biostatistical Analysis. Printice-Hall, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey. 718 p. 169

200 Lampiran

201 Lampiran 1 Kapal penangkapan ikan dan telur ikan terbang di Sulawesi Selatan Kapal patorani untuk penangkapan telur ikan terbang di Kabupaten Takalar dan penangkapan ikan terbang di Kabupaten Barru Kapal (sande) untuk penangkapan ikan terbang di Kabupaten Majene dan Kabupaten Pinrang Sumber : Hasil pemotretan lapang,

202 Lampiran 2 Alat penangkapan ikan dan telur ikan terbang di Sulawesi Selatan 30 m 50 cm Permukaan Laut JIHP Mesh Size 1,5 inchi 2 m Pjg 4 cm Jarak Ikatan 50 cm Pjg 5 cm Diameter 2 cm Pemberat dari bahan Timah (Pb) Diameter 3 cm Pelampung dari bahan Karet Sandal Dasar Perairan BHP Bale-bale Sumber : Hasil pemotretan lapang,

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Keadaan Umum Lokasi Penelitian

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Keadaan Umum Lokasi Penelitian 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Selat Makassar sebagai wilayah perairan laut yang berada di pesisir pantai barat Sulawesi Selatan, merupakan salah satu wilayah perairan

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Selat Makassar merupakan perairan laut yang berada di antara Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan serta Samudera Pasifik di sebelah utara dan Laut

Lebih terperinci

ZONASI PENANGKAPAN IKAN TERBANG DI SELAT MAKASSAR SEBAGAI SOLUSI MENGATASI ANCAMAN KEPUNAHAN

ZONASI PENANGKAPAN IKAN TERBANG DI SELAT MAKASSAR SEBAGAI SOLUSI MENGATASI ANCAMAN KEPUNAHAN ZONASI PENANGKAPAN IKAN TERBANG DI SELAT MAKASSAR SEBAGAI SOLUSI MENGATASI ANCAMAN KEPUNAHAN (Fishing Capture Zoning of Flying Fish in Makassar Strait as an Overcome Destruction Threat Solution) Muhamad

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENDEKATAN AKUSTIK DALAM STUDI TINGKAH LAKU IKAN PADA PROSES PENANGKAPAN DENGAN ALAT BANTU CAHAYA (THE ACOUSTIC APPROACH TO FISH BEHAVIOUR STUDY IN CAPTURE PROCESS WITH LIGHT ATTRACTION) MUHAMMAD SULAIMAN

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

Sp.) DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA

Sp.) DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA PENENTUAN MUSIM PENANGKAPAN IKAN LAYANG (Decapterus Sp.) DI PERAIRAN TIMUR SULAWESI TENGGARA DETERMINATION OF FISHING CATCHING SEASON (Decapterus Sp.) IN EAST WATERS OF SOUTHEAST SULAWESI Eddy Hamka 1),

Lebih terperinci

ANTARA PERAIRAN SELAT MAKASAR DAN LAUT JAWA (110O-120O BT

ANTARA PERAIRAN SELAT MAKASAR DAN LAUT JAWA (110O-120O BT MODEL SPASIAL INFORMASI DAERAH PENANGKAPAN IKAN LAYANG (Decapterus spp) DI ANTARA PERAIRAN SELAT MAKASAR DAN LAUT JAWA (110 O -120 O BT 2 O 50-7 O 50 LS) ANDRIUS Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

DINAMIKA PERIKANAN PURSE SEINE YANG BERBASIS DI PPN PEKALONGAN, JAWA TENGAH UMI CHODRIYAH

DINAMIKA PERIKANAN PURSE SEINE YANG BERBASIS DI PPN PEKALONGAN, JAWA TENGAH UMI CHODRIYAH DINAMIKA PERIKANAN PURSE SEINE YANG BERBASIS DI PPN PEKALONGAN, JAWA TENGAH UMI CHODRIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

IKHWANUL CHAIR NAWAR PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013

IKHWANUL CHAIR NAWAR PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2013 ANALISIS HASIL TANGKAPAN ALAT PENANGKAPAN JARING INSANG SATU LEMBAR (GILLNET) DAN TIGA LEMBAR (TRAMMEL NET) DI PERAIRAN PANTAI CERMIN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI IKHWANUL CHAIR NAWAR 090302056 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH

KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH KAJIAN EKOPNOMI DAN EKOLOGI PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE PESISIR TONGKE-TONGKE KABUPATEN SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN RUSDIANAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.1.1 Armada Kapal Perikanan Kapal penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR

KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR KARAKTERISTIK MASSA AIR ARLINDO DI PINTASAN TIMOR PADA MUSIM BARAT DAN MUSIM TIMUR Oleh : Agus Dwi Jayanti Diah Cahyaningrum C64104051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL BERDASARKAN PENDEKATAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN HASIL TANGKAPAN DI PERAIRAN BINUANGEUN, BANTEN TOPAN BASUMA

PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL BERDASARKAN PENDEKATAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN HASIL TANGKAPAN DI PERAIRAN BINUANGEUN, BANTEN TOPAN BASUMA PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL BERDASARKAN PENDEKATAN SUHU PERMUKAAN LAUT DAN HASIL TANGKAPAN DI PERAIRAN BINUANGEUN, BANTEN TOPAN BASUMA DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas, terdiri dari wilayah perairan teritorial dengan luas sekitar 3,1 juta km 2 dan zona ekonomi ekslusif (ZEE)

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Letak Geografis Kabupaten Sukabumi yang beribukota Palabuhanratu termasuk kedalam wilayah administrasi propinsi Jawa Barat. Wilayah yang seluas 4.128 Km 2, berbatasan dengan

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU Zulkhasyni Fakultas Pertanian Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH Bengkulu ABSTRAK Perairan Laut Bengkulu merupakan

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL DAN KOMPOSISI TANGKAPAN JARING INSANG PERMUKAAN DAN JARING INSANG DASAR DI PERAIRAN DESA SEI NAGALAWAN SERDANG BEDAGAI

PERBANDINGAN HASIL DAN KOMPOSISI TANGKAPAN JARING INSANG PERMUKAAN DAN JARING INSANG DASAR DI PERAIRAN DESA SEI NAGALAWAN SERDANG BEDAGAI PERBANDINGAN HASIL DAN KOMPOSISI TANGKAPAN JARING INSANG PERMUKAAN DAN JARING INSANG DASAR DI PERAIRAN DESA SEI NAGALAWAN SERDANG BEDAGAI RURI PERWITA SARI 090302004 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

Nadhilah Nur Shabrina, Sunarto, dan Herman Hamdani Universitas Padjadjaran

Nadhilah Nur Shabrina, Sunarto, dan Herman Hamdani Universitas Padjadjaran PENENTUAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN TONGKOL BERDASARKAN PENDEKATAN DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN LAUT DAN HASIL TANGKAPAN IKAN DI PERAIRAN UTARA INDRAMAYU JAWA BARAT Nadhilah Nur Shabrina, Sunarto, dan Herman

Lebih terperinci

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU

ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU ANALISIS PANGSA PASAR DAN TATANIAGA KOPI ARABIKA DI KABUPATEN TANA TORAJA DAN ENREKANG, SULAWESI SELATAN IMA AISYAH SALLATU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA

PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA PENGARUH PERUBAHAN DAN VARIABILITAS IKLIM TERHADAP DINAMIKA FISHING GROUND DI PESISIR SELATAN PULAU JAWA OLEH : Dr. Kunarso FOKUSED GROUP DISCUSSION CILACAP JUNI 2016 PERUBAHAN IKLIM GLOBAL Dalam Purwanto

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas 26 4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) luas wilayah Kabupaten Banyuwangi

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P.

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA)

PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 3, No. 2, November 2012 Hal: 135-140 PRODUKTIVITAS PERIKANAN TUNA LONGLINE DI BENOA (STUDI KASUS: PT. PERIKANAN NUSANTARA) Tuna Lingline Fisheries Productivity in Benoa

Lebih terperinci

PELUANG EKSPOR TUNA SEGAR DARI PPI PUGER (TINJAUAN ASPEK KUALITAS DAN AKSESIBILITAS PASAR) AGUSTIN ROSS SKRIPSI

PELUANG EKSPOR TUNA SEGAR DARI PPI PUGER (TINJAUAN ASPEK KUALITAS DAN AKSESIBILITAS PASAR) AGUSTIN ROSS SKRIPSI PELUANG EKSPOR TUNA SEGAR DARI PPI PUGER (TINJAUAN ASPEK KUALITAS DAN AKSESIBILITAS PASAR) AGUSTIN ROSS SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK BENI PRAMONO. Strategi Pengelolaan Perikanan Jaring

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA Oleh; Galih Kurniawan C64104033 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI

KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI KEBERADAAN FASILITAS KEPELABUHANAN DALAM MENUNJANG AKTIVITAS PANGKALAN PENDARATAN IKAN TANJUNGSARI, KABUPATEN PEMALANG, JAWA TENGAH NOVIANTI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arus Lintas Indonesia atau ITF (Indonesian Throughflow) yaitu suatu sistem arus di perairan Indonesia yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia yang

Lebih terperinci

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar

Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8 Keragaan dan alokasi optimum alat penangkapan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selat Makassar Andi Adam Malik, Henny Setiawati, Sahabuddin Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

ANALISIS KECENDERUNGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA TAHUN Adrian A. Boleu & Darius Arkwright

ANALISIS KECENDERUNGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA TAHUN Adrian A. Boleu & Darius Arkwright ANALISIS KECENDERUNGAN PRODUKSI IKAN PELAGIS KECIL DI PERAIRAN LAUT HALMAHERA TAHUN 2007 2008 Adrian A. Boleu & Darius Arkwright Abstract Small pelagic fishing effort made bythe fishermen in North Halmahera

Lebih terperinci

MANGROVE DAN KETERKAITANNYA DENGAN POPULASI GASTROPODA

MANGROVE DAN KETERKAITANNYA DENGAN POPULASI GASTROPODA ABSTRAK Musayyadah Tis in. TIPOLOGI MANGROVE DAN KETERKAITANNYA DENGAN POPULASI GASTROPODA Littorina neritoides (LINNE, 1758) DI KEPULAUAN TANAKEKE, KABUPATEN TAKALAR, SULAWESI SELATAN. Di bawah bimbingan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Mentawai adalah kabupaten termuda di Propinsi Sumatera Barat yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No.49 Tahun 1999. Kepulauan ini terdiri dari empat pulau

Lebih terperinci

PEMODELAN STOK GABAH/BERAS DI KABUPATEN SUBANG MOHAMAD CHAFID

PEMODELAN STOK GABAH/BERAS DI KABUPATEN SUBANG MOHAMAD CHAFID PEMODELAN STOK GABAH/BERAS DI KABUPATEN SUBANG MOHAMAD CHAFID SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : PEMODELAN STOK GABAH/BERAS

Lebih terperinci

FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU

FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU Akmaluddin 1, Najamuddin 2 dan Musbir 3 1 Universitas Muhammdiyah Makassar 2,3 Universitas Hasanuddin e-mail : akmalsaleh01@gmail.com

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah Indonesia dalam amanat Undang-Undang No 31/2004 diberikan tanggungjawab menetapkan pengelolaan sumberdaya alam Indonesia untuk kepentingan seluruh masyarakat

Lebih terperinci

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR

KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR KINERJA PENGAWAS KAPAL PERIKANAN (STUDI KASUS DI PELABUHAN PERIKANAN SAMUDERA NIZAM ZACHMAN JAKARTA) AHMAD MANSUR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS Dengan

Lebih terperinci

PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK

PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK PENGARUH KECEPATAN ARUS TERHADAP DINAMIKA JARING KEJER PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK SINGGIH PRIHADI AJI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2

HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2 HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2 1) Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan Balik Diwa 2) Politeknik

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI

STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI STABILITAS STATIS KAPAL PAYANG DI PALABUHANRATU PADA SAAT MEMBAWA HASIL TANGKAPAN MAKSIMUM NENI MARTIYANI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL PELUANG KERJA SUAMI DAN ISTRI, PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN ENDANG SARI SIMANULLANG

ANALISIS MODEL PELUANG KERJA SUAMI DAN ISTRI, PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN ENDANG SARI SIMANULLANG ANALISIS MODEL PELUANG KERJA SUAMI DAN ISTRI, PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA DAN PELUANG KEMISKINAN (Studi Kasus : Rumahtangga Nelayan Tradisional di Kecamatan Pandan Kabupaten Tapanuli Tengah Propinsi Sumatera

Lebih terperinci

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP Jurnal Galung Tropika, 5 (3) Desember 2016, hlmn. 203-209 ISSN Online 2407-6279 ISSN Cetak 2302-4178 MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP Crab

Lebih terperinci

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.)

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.) Penangkapan Tuna dan... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.) PENANGKAPAN TUNA DAN CAKALANG DENGAN MENGGUNAKAN ALAT TANGKAP PANCING ULUR (HAND LINE) YANG BERBASIS DI PANGKALAN PENDARATAN

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA.

ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN ARMADA PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KETENTUAN PERIKANAN YANG BERTANGGUNG JAWAB DI TERNATE, MALUKU UTARA Oleh : YULISTYO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT

Lebih terperinci

7 KONSEP PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN TELUK BONE

7 KONSEP PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN TELUK BONE 7 KONSEP PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN TELUK BONE 7.1 Pendahuluan Menurut Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang perikanan bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha, ABSTRAK

Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha,   ABSTRAK ANALISIS PARAMETER OSEANOGRAFI MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN BERBASIS WEB (Sebaran Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a dan Tinggi Permukaan Laut) Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha, e-mail

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Geografis dan Administratif Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru terbentuk di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 tahun

Lebih terperinci

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT)

KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) KERAGAMAN SUHU DAN KECEPATAN ARUS DI SELAT MAKASSAR PERIODE JULI 2005 JUNI 2006 (Mooring INSTANT) Oleh: Ince Mochammad Arief Akbar C64102063 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna

6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna 38 6 PEMBAHASAN 6.1 Produksi Hasil Tangkapan Yellowfin Tuna Berdasarkan data statistik Palabuhanratu tahun 1997-2011, hasil tangkapan Yellowfin Tuna mengalami fluktuasi. Jika dilihat berdasarkan data hasil

Lebih terperinci

VARIABILITAS SPASIAL DAN TEMPORAL SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KONSENTRASI KLOROFIL-a MENGGUNAKAN CITRA SATELIT AQUA MODIS DI PERAIRAN SUMATERA BARAT

VARIABILITAS SPASIAL DAN TEMPORAL SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KONSENTRASI KLOROFIL-a MENGGUNAKAN CITRA SATELIT AQUA MODIS DI PERAIRAN SUMATERA BARAT VARIABILITAS SPASIAL DAN TEMPORAL SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KONSENTRASI KLOROFIL-a MENGGUNAKAN CITRA SATELIT AQUA MODIS DI PERAIRAN SUMATERA BARAT Muslim 1), Usman 2), Alit Hindri Yani 2) E-mail: muslimfcb@gmail.com

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR ANALISIS PERAN GENDER DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN LAUT (STUDI KASUS DI KECAMATAN PANAI HILIR KABUPATEN LABUHANBATU PROPINSI SUMATERA UTARA) MAILINA HARAHAP SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENDEKATAN AKUSTIK DALAM STUDI TINGKAH LAKU IKAN PADA PROSES PENANGKAPAN DENGAN ALAT BANTU CAHAYA (THE ACOUSTIC APPROACH TO FISH BEHAVIOUR STUDY IN CAPTURE PROCESS WITH LIGHT ATTRACTION) MUHAMMAD SULAIMAN

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING Oleh: BEDY SUDJARMOKO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK BEDY SUDJARMOKO. Analisis Efisiensi

Lebih terperinci

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS

PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS PENENTUAN POLA SEBARAN KONSENTRASI KLOROFIL-A DI SELAT SUNDA DAN PERAIRAN SEKITARNYA DENGAN MENGGUNAKAN DATA INDERAAN AQUA MODIS Firman Ramansyah C64104010 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Indramayu Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52'-108 36' BT dan 6 15'-6 40' LS. Berdasarkan topografinya sebagian besar merupakan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR Oleh : MIRA YUSNIATI C06498067 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PERBANDINGAN MAKROZOOBENTHOS DI LOKASI KERAMBA JARING APUNG DENGAN LOKASI YANG TIDAK MEMILIKI KERAMBA JARING APUNG SKRIPSI MUHAMMAD FADLY AGUSTIAN

PERBANDINGAN MAKROZOOBENTHOS DI LOKASI KERAMBA JARING APUNG DENGAN LOKASI YANG TIDAK MEMILIKI KERAMBA JARING APUNG SKRIPSI MUHAMMAD FADLY AGUSTIAN PERBANDINGAN MAKROZOOBENTHOS DI LOKASI KERAMBA JARING APUNG DENGAN LOKASI YANG TIDAK MEMILIKI KERAMBA JARING APUNG SKRIPSI MUHAMMAD FADLY AGUSTIAN PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK Indri Ika Widyastuti 1, Supriyatno Widagdo 2, Viv Djanat Prasita 2 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG Oleh: DONNA NP BUTARBUTAR C05400027 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ABSTRAK. JULIANI. Optimasi Upaya Penangkapan Udang di Perairan Delta Mahakam dan Sekitarnya. Dibimbing oleh M. FEDI A. SONDITA dan ZULKARNAIN.

ABSTRAK. JULIANI. Optimasi Upaya Penangkapan Udang di Perairan Delta Mahakam dan Sekitarnya. Dibimbing oleh M. FEDI A. SONDITA dan ZULKARNAIN. ABSTRAK JULIANI. Optimasi Upaya Penangkapan Udang di Perairan Delta Mahakam dan Sekitarnya. Dibimbing oleh M. FEDI A. SONDITA dan ZULKARNAIN. Penelitian ini mengkaji optimasi upaya penangkapan udang di

Lebih terperinci

HUBUNGAN PANJANG BOBOT DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI

HUBUNGAN PANJANG BOBOT DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI 1 HUBUNGAN PANJANG BOBOT DAN REPRODUKSI IKAN KEMBUNG LELAKI (Rastrelliger kanagurta) DI PERAIRAN SELAT MALAKA TANJUNG BERINGIN SERDANG BEDAGAI SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH : JULIA SYAHRIANI HASIBUAN 110302065

Lebih terperinci

HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN

HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN HUBUNGAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DENGAN PEMASARAN KERUPUK IKAN HASIL HOME INDUSTRY PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN TUBAN NONO SAMPONO SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

PENGARUH KECEPATAN ARUS DAN MESH SIZE TERHADAP DRAG FORCE DAN TINGGI JARING GOYANG PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK MUHAMMAD RIFKI SKRIPSI

PENGARUH KECEPATAN ARUS DAN MESH SIZE TERHADAP DRAG FORCE DAN TINGGI JARING GOYANG PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK MUHAMMAD RIFKI SKRIPSI PENGARUH KECEPATAN ARUS DAN MESH SIZE TERHADAP DRAG FORCE DAN TINGGI JARING GOYANG PADA PERCOBAAN DI FLUME TANK MUHAMMAD RIFKI SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR 1 PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR (Trichiurus sp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT Adnan Sharif, Silfia Syakila, Widya Dharma Lubayasari Departemen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH Hidup ikan Dipengaruhi lingkungan suhu, salinitas, oksigen terlarut, klorofil, zat hara (nutrien)

Lebih terperinci

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ii ABSTRACT MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN. Analysis of Northern

Lebih terperinci

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT Oleh: Nurlaila Fitriah C64103051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Distribusi tertangkapnya ikan selar pada lembaran jaring soma darape di rumpon

Distribusi tertangkapnya ikan selar pada lembaran jaring soma darape di rumpon Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 2(Edisi Khusus): 1-5, Januari 2015 ISSN 2337-4306 Distribusi tertangkapnya ikan selar pada lembaran jaring soma darape di rumpon Distribution of caught trevally

Lebih terperinci