BAB I PENDAHULUAN. menjadi masalah kesehatan global. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan secara global

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. menjadi masalah kesehatan global. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan secara global"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Epidemi HIV/AIDS sejak pertama kali ditemukan hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan global. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan secara global 34 juta, jumlah kasus baru HIV 2,5 juta, jumlah kematian 1,7 juta, memenuhi syarat pengobatan 14,8 juta orang dan mendapatkan pengobatan ARV 8 juta orang pada tahun Secara global dengan adanya terapi antiretroviral (ARV), infeksi baru dan kematian sampai tahun 2011 dilaporkan menurun masing-masing sebesar 86% dan 18% namun hanya 50% yang baru mendapatkan terapi serta sebagian besar orang dewasa mengalami putus obat atau loss to follow up (LTFU), hal ini menunjukkan masih adanya kesenjangan dalam akses terapi ARV (UNAIDS 2012; UNAIDS, 2013b, 2013a). Data dari 18 negara menunjukkan bahwa rata-rata retensi untuk orang yang memakai ART menurun dari waktu ke waktu, dari sekitar 86% pada 12 bulan sampai 72% pada 60 bulan (UNAIDS, 2013a). Indonesia termasuk 12 negara di Asia Pasifik dengan peningkatan kasus HIV lebih dari 90% dari tahun 2001 sampai 2012 sebesar 2,6 kali dari sebelumnya (UNAIDS, 2013). Trend kejadian LTFU secara kumulatif di Indonesia mengalami peningkatan yaitu per Juni 2013 sebesar 15,74% menjadi 17,95% per Juni Provinsi Bali menduduki urutan kelima di Indonesia dari segi jumlah kasus HIV/AIDS (Kemenkes RI, 2014). Laporan perkembangan HIV/AIDS triwulan II tahun 2014 mencatat 5802 odha yang pernah menerima terapi ARV di Provinsi Bali 1

2 2 dengan 3598 kasus masih terapi ARV, 1063 LTFU, 664 meninggal, 459 rujuk keluar dan 18 diketahui menghentikan terapi ARV dengan persentase kejadian LTFU di Bali per Juni 2014 yaitu 18,32% (1063/5802). Jumlah kumulatif AIDS di Bali sebesar 4261 kasus dengan Kota Denpasar jumlah tertinggi (49,59%), kedua Kabupaten Buleleng 593 (13,92%), dan ketiga Kabupaten Badung 550 (12,91%) (Kemenkes RI, 2014). Tingkat konsistensi dan kepatuhan odha masih menjadi masalah di Indonesia termasuk Bali dengan program penanggulangan HIV yang baik tetapi hanya sedikit yang diketahui tentang determinan LTFU pengobatan HIV/AIDS. World Health Organization (WHO) mempunyai ketentuan target LTFU dalam satu tahun pertama pengobatan yaitu < 20% ( Bennett et al, 2006; Bekolo et al, 2013;). Layanan terapi ARV di Bali terdapat di beberapa rumah sakit umum daerah salah satunya RSUD Badung. RSUD Badung memiliki cakupan layanan yang luas untuk wilayah Bali Selatan khususnya Kabupaten Badung dengan Klinik Bali Medika sebagai satelitnya. Klinik Bali Medika merupakan klinik swasta dibawah Yayasan Bali Peduli yang fokus pada layanan untuk kelompok LSL (lelaki seks lelaki) di wilayah Kuta dan menyediakan layanan test HIV, terapi ARV gratis, buddy atau pendampingan untuk odha dan alat pendukung kepatuhan (reminder tool). Jumlah kumulatif pasien yang menerima ARV di RSUD Badung dan satelitnya dalam laporan sampai Juli 2014 sebanyak 671 yang telah menerima terapi ARV, dengan 76 (11,3%) meninggal, 79 (11,8%) LTFU, 42 (6,3%) rujuk keluar yang tercatat dalam rekam medis dan tersimpan di layanan VCT Sekar Jepun.

3 3 Terapi ARV memerlukan kepatuhan berkelanjutan tingkat tinggi dan monitoring untuk menekan replikasi virus, meningkatkan imunologi dan hasil klinis, menurunkan risiko resistansi terhadap obat ARV, serta mengurangi risiko penularan HIV (WHO, 2013). Persentase LTFU pada satu tahun pertama terapi ARV merupakan indikator pendeteksian dini terjadinya resistensi obat dan keberhasilan terapi ARV (Bennett et al, 2006; Kemenkes RI, 2011a). Pencatatan LTFU dilakukan untuk kepentingan analisa kohort sebagai indikator bagi tim klinik, kabupaten dan kota melihat seberapa baik program terapi ARV yang telah berjalan (Kemenkes RI, 2011c). Banyak orang tidak mengakses perawatan setelah diagnosis dan mengalami LTFU selama pengobatan karena tidak adanya intervensi proaktif dan layanan dukungan (UNAIDS, 2012a). Tingginya tingkat LTFU meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan HIV dalam program perawatan dan pengobatan HIV (Mugisha et al, 2014). Kematian adalah alasan paling umum dicatat untuk 233 (47,94%) dari yang mengalami LTFU (Wubshet et al, 2013). LTFU meningkatkan risiko kematian pada odha (Alvarez-Uria et al, 2013; Bekolo et al, 2013; Edwards et al, 2014; Odafe et al, 2012; Onoka et al, 2012; Somi et al, 2012). Insiden terjadinya LTFU pada pasien yang menerima ARV bervariasi, dari beberapa penelitian di negara lain menunjukkan bahwa semakin lama terapi ARV yang diterima maka insiden dan persentase LTFU juga semakin besar (Odafe et al, 2012; Tran et al,2013; Kate et al, 2014; Mugisha et al, 2014).

4 4 Penelitian tentang LTFU pada odha yang menerima terapi ARV di Indonesia masih sangat terbatas terutama pada fasilitas layanan pemerintah seperti rumah sakit. Penelitian LTFU di Provinsi Bali pernah dilakukan di Yayasan Kerti Praja Bali tahun 2013 pada mayoritas perempuan pekerja seks dan berasal dari penduduk luar Bali yang cenderung mobile, dengan kejadian LTFU sebesar 14,1% dan insiden LTFU sebesar 5,15 per 100 person years. Penelitian yang sama juga pernah dilakukan tahun 2012 menggunakan data TAHOD (Treat Asia HIV Observasional Database) dari 18 site di Asia-Pacific termasuk Bali namun hasil yang ditunjukkan bersifat agregat. Penelitian di berbagai negara menunjukkan beberapa faktor determinan yang berkaitan dengan kejadian LTFU seperti pendidikan ( Krishnan et al, 2011; Hassan et al, 2012), pekerjaan (Alvarez-Uria et al, 2013; Kate et al, 2014), status pernikahan (Alvarez-Uria et al, 2013; Bekolo et al, 2013; Mugisha et al, 2014), risiko penularan HIV (Gerver et al, 2010), jarak dari tempat pelayanan kesehatan (Bekolo et al, 2013; Hassan et al, 2012), kadar CD4 ( Gerver et al, 2010; Schöni-Affolter et al, 2011; Onoka et al, 2012; Alvarez-Uria et al, 2013; Bekolo et al, 2013; Evans et al, 2014; Mugisha et al, 2014;) dan stadium WHO (Odafe et al, 2012; Saka et al, 2013). Namun masih ditemukan hasil yang tidak konsisten, dimana laki-laki (Evans et al, 2013; Mugisha et al, 2014; Odafe et al, 2012; Onoka et al, 2012; Tran et al, 2013; Weigel et al, 2013) dan umur muda (Bekolo et al, 2013; Saka et al, 2013; Tran et al, 2013; Kate et al, 2014) lebih beresiko mengalami LTFU tetapi penelitian lain menyebutkan perempuan (Saka et al., 2013) dan umur lebih tua (Sabapathy et al, 2012) yang lebih beresiko untuk LTFU. Hasil yang tidak konsisten juga ditemukan

5 5 pada stadium klinis WHO karena sangat dipengaruhi oleh prilaku odha dalam mencari layanan kesehatan (Hsiao et al, 2003; Berheto et al, 2014). Penelitian secara longitudinal penting dilakukan untuk mengetahui keberhasilan program terapi ARV yang telah berlangsung dengan indikator LTFU pada setting fasilitas kesehatan yaitu rumah sakit pemerintah yang umumnya kurang optimal untuk program penjangkauan (outreach) dibandingkan klinik swasta serta sebagian besar populasi merupakan penduduk lokal. Penjangkauan yang baik sangat menentukan kejadian LTFU pada pasien odha (Lamb et al, 2012). Melalui penelitian ini diharapkan dapat teridentifikasi determinan LTFU pasien yang menerima ART pada populasi umum di Bali yang selama ini belum pernah dilakukan. Penelitian ini nantinya dapat memberikan kontribusi kepada praktisi dan pemegang program terhadap monitoring dan evaluasi keberhasilan pengobatan ARV pasien odha khususnya di rumah sakit pemerintah.

6 6 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas maka pertanyaan dalam penelitian ini terkait determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi ARV di layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung tahun yang meliputi: Berapa median time kejadian loss to follow up pasien odha? Berapa insiden rate kejadian loss to follow up pasien odha? Berapa median time kejadian loss to follow up pasien odha pada kebijakan terapi ARV? Berapa insiden rate kejadian loss to follow up pasien odha pada kebijakan terapi ARV? Bagaimana kondisi klinis odha yang menerima terapi ARV saat akhir pengamatan? Apakah ada hubungan antara karakteristik sosiodemografi (umur, jenis kelamin, status bekerja, pendidikan, status menikah, pengawas minum obat (PMO), dan risiko penularan HIV) dengan loss to follow up? Apakah ada hubungan antara karakteristik klinis (berat badan, kadar CD4, kadar haemoglobin, infeksi oportunistik, stadium klinis, status fungsional, status TB, dan jenis ARV (golongan NRTI dan NNRTI) dengan loss to follow up? Apakah ada hubungan antara karakteristik layanan (jenis tempat layanan dan kebijakan terapi) dengan loss to follow up?

7 7 1.3 Tujuan Tujuan umum Mengetahui kejadian dan determinan loss to follow up pasien odha yang menerima terapi ARV di layanan VCT Sekar Jepun, RSUD Badung tahun Tujuan khusus Penelitian loss to follow up pasien odha yang menerima terapi ARV di layanan VCT Sekar Jepun, RSUD Badung ini bertujuan untuk mengetahui sebagai berikut: 1. Median time kejadian loss to follow up pasien odha. 2. Insiden rate kejadian loss to follow up pasien odha. 3. Median time kejadian loss to follow up pasien odha berdasarkan kebijakan terapi ARV. 4. Insiden rate kejadian loss to follow up pasien odha berdasarkan kebijakan terapi ARV. 5. Kondisi klinis odha yang menerima terapi ARV saat akhir pengamatan 6. Karakteristik sosiodemografi, layanan dan klinis pasien odha yang menerima terapi ARV di layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung tahun yang meliputi a) umur, b) jenis kelamin, c) pendidikan, d) status bekerja, e) status menikah, f) pengawas minum obat (PMO), g) risiko penularan HIV, h) berat badan, i) kadar CD4, j) kadar haemoglobin, k) infeksi oportunistik, l)

8 8 stadium klinis WHO, m) status fungsional, n) status TB, o) jenis ARV NRTI, p) jenis ARV NNRTI, q) jenis tempat layanan, r) kebijakan terapi ARV. 7. Hubungan variabel karakteristik sosiodemografi (umur, jenis kelamin, status bekerja, pendidikan, status menikah, pengawas minum obat (PMO), dan risiko penularan HIV), karakteristik klinis (berat badan, kadar CD4, kadar haemoglobin, infeksi oportunistik, stadium WHO, status TB, golongan NRTI, golongan NNRTI dan status fungsional) dan karakteristik layanan (jenis tempat layanan dan kebijakan terapi ARV) dengan loss to follow up pada pasien odha yang menerima terapi ARV di layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung tahun Manfaat Penelitian Praktis 1. Bahan masukan dan monitoring keberhasilan layanan CST (care support treatment) melalui indikator loss to follow up di layanan publik milik pemerintah sehingga berguna untuk meningkatkan pemantauan dan mengoptimalkan retensi dalam perawatan dan perbaikan program selanjutnya. 2. Penelitian ini juga memberikan manfaat pada odha sebagai subyek dalam terapi ARV untuk memiliki kesadaran dan pemahaman untuk meningkatkan kepatuhan mereka dalam terapi sehingga kualitas hidup odha dapat meningkat.

9 Teoritis Referensi dan acuan bagi penelitian selanjutnya terkait terapi ARV terutama yang berhubungan dengan loss to follow up pada pasien odha.

10 10 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana Terapi ARV Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia telah diupayakan melalui berbagai macam kebijakan dan program komprehensif. Empat pilar penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia semuanya menuju pada paradigma zero new infection, zero AIDS-related death dan zero discrimination meliputi pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan, mitigasi dampak, dan persiapan lingkungan yang kondusif (Kemenkes RI, 2011b; KPAN, 2010). Salah satu pilar yang menjadi kunci keberhasilan penanggulangan HIV/AIDS adalah perawatan, dukungan dan pengobatan dengan pemberian terapi antiretroviral (ARV). Kepedulian pemerintah Indonesia terhadap kondisi epidemi HIV/AIDS ditunjukkan melalui peningkatan jumlah layanan PDP (perawatan, dukungan dan pengobatan) sampai tahun 2014 yaitu 454 terdiri dari 324 rumah sakit rujukan PDP dan 130 satelit (Kemenkes RI, 2014). Tentunya kondisi ini akan sangat menunjang program pengobatan ARV sehingga insiden HIV/AIDS dapat diturunkan. Kebijakan pemberian terapi ARV terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan bukti ilmiah dan ketersediaan layanan secara internasional. Semakin dini odha terjangkau di layanan kesehatan untuk mengakses ARV, maka semakin menurunkan risiko untuk mendapatkan penyakit infeksi oportunistik maupun menularkan infeksi HIV (Kemenkes RI, 2011b). Pedoman nasional pengobatan antiretroviral di Indonesia terus diperbaharui secara periodik mengacu pada pedoman 9

11 11 dan rekomendasi WHO sesuai dengan perkembangan bukti ilmiah berupa kajian klinik dan penelitian observasional atas efikasi, efek samping obat serta pengalaman pemakaian ARV oleh program di negara dengan keterbatasan sumber daya, seperti obat dan biaya (Depkes, 2007). Pemberian terapi antiretroviral (ARV) pada odha bertujuan untuk menurunkan angka kematian akibat AIDS, angka kesakitan, rawat inap dan meningkatkan kualitas hidup odha berbagai stadium. Terapi ARV diberikan setelah melalui penilaian stadium klinis, imunologi, dan virologi. Penentuan stadium klinis dan jumlah CD4 merupakan kondisi terpenting yang harus diketahui di awal sebelum memulai terapi. Penanganan penderita HIV/AIDS meliputi perawatan (care), dukungan (support), dan pengobatan (treatment). Sepuluh prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi ARV yaitu indikasi pengobatan, kombinasi obat, first chance (pemilihan obat lini pertama yang diprioritaskan), kompleksitas, resisten, informasi, motivasi dan compliance, monitoring, target pengobatan, dan studi (34). Pasien yang sudah ditetapkan positif HIV/AIDS langkah selanjutnya adalah pemeriksaan fisik lengkap dan laboratorium untuk mengidentifikasi infeksi oportunistik, menentukan stadium klinis HIV/AIDS menurut WHO, skrining TB, skrining IMS, sifilis, dan malaria untuk ibu hamil, pemeriksaan CD4 untuk menentukan PPK (pengobatan pencegahan kotrimoksasol) dan ART, pemberian PPK jika tidak tersedia pemeriksaan CD4, identifikasi kepatuhan (adherence), konseling positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan lebih lanjut maka pasien dibagi menjadi

12 12 tiga kelompok berdasarkan kesesuaian pemberian terapi ARV yaitu memenuhi syarat ARV, belum memenuhi syarat ARV dan ada kendala kepatuhan. Rekomendasi selanjutnya, untuk pasien yang memenuhi syarat pemberian ARV bila tersedia pemeriksaan CD4 berdasarkan kebijakan pedoman ARV tahun 2011 adalah 1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 > 350 sell/mm 3 tanpa memandang stadium klinisnya 2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil, dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4 Lini pertama obat ARV yang ditetapkan oleh pemerintah adalah 2 NRTI (nucleoside reverse transcriptase inhibitors) disertai 1 NNRTI (non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors, misalnya zidovudin diberikan bersama lamivudin dan nevirapin. Lini ke dua terdiri dari 2 NRTI dan boosted PIs (protease inhibitor) yang diperkuat LPV/r (ritonavir). Penambahan (boosted) dengan ritonavir ini untuk mengurangi dosis yang sangat tinggi dari PI. Pedoman pemberian terapi ARV di Indonesia disusun sejak tahun 2007, terdapat perbedaan dengan pedoman terapi tahun 2011 yang saat ini dijadikan sebagai acuan. Berikut merupakan perbedaan pedoman terapi antara keduanya:

13 13 Tabel 2.1 Pedoman Terapi ARV di Indonesia Populasi Target Pedoman Terapi ARV 2007 Pedoman Terapi ARV 2011 Indikasi memulai terapi ARV Odha tanpa gejala klinis (stadium 1) dan belum pernah mendapatkan CD4 200 sel/mm 3 CD4 350 sel/mm 3 terapi ARV Odha dengan gejala klinis dan belum pernah memperoleh terapi ARV Perempuan hamil dengan HIV Odha dengan koinfeksi TB yang belum pernah menerima terapi ARV Odha dengan koinfeksi Hepatitis B (HBV) yang belum mendapatkan terapi ARV Sumber : (Kemenkes RI, 2011b) Semua pasien dengan CD4 200 sel/mm 3, stadium 3 dan 4, berapapun jumlah CD4 Stadium 1 atau 2 dengan CD4 < 200 sel/mm 3, stadium 3 dan CD4 < 350 sel/mm 3 dan stadium 4, berapapun jumlah CD4 Adanya gejala TB aktif dan CD4 < 350 sel/mm 3 Tidak ada rekomendasi khusus Stadium klinis 2 bila CD4 350 sel/mm 3, stadium klinis 3 dan 4 tanpa melihat jumlah CD4 Semua ibu hamil berapapun jumlah CD4 dan kondisi stadium klinis Mulai terapi berapapun jumlah CD4 Odha dengan koinfeksi Hepatitis B (kronis aktif) dan berapapun junlah CD4 Data diri lengkap pasien akan dimasukkan ke dalam rekam medis dan register terapi ARV ketika pasien HIV/AIDS memulai terapi. Setiap pasien akan teregistrasi dalam nomor register nasional sesuai dengan kode registrasi rumah sakit. Pasien datang ke klinik VCT tiap bulan sekali, dengan waktu yang sudah ditetapkan yang tertera pada rekam medis dan diberikan persediaan obat ARV untuk persediaan bulan selanjutnya. Hasil tatalaksana pada pasien HIV/AIDS dapat diklasifikasikan menjadi

14 14 terapi ARV yang terkontrol, berhenti terapi, rujuk keluar, meninggal dunia dan loss follow-up ( Kemenkes RI, 2011a ; Kemenkes RI, 2011b). Hasil pemberian terapi ARV secara signifikan memberikan hasil yang baik bagi pasien HIV/AIDS. Pemberian terapi ARV selama infeksi HIV akut memberikan efek yang baik pada pasien seperti memperpendek durasi simptomatik infeksi, mengurangi sel yang terinfeksi, menyediakan cadangan respon imun yang spesifik dan menurunkan jumlah virus dalam jangka waktu yang lama (UNAIDS, 2013a). Terapi ARV diberikan seumur hidup karena HIV/AIDS sampai sekarang belum dapat disembuhkan. Tujuan pemberian ARV adalah menjaga viral load dibawah 50 kopi/ml, dikatakan gagal terapi jika viral load mencapai 1000 kopi/ml (Kemenkes RI, 2011b). Keberhasilan terapi ARV memerlukan kepatuhan terapi bagi pasien HIV/AIDS sehingga kepatuhan pasien harus selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur pada setiap kunjungan. Kegagalan terapi ARV sering diakibatkan oleh ketidakpatuhan pasien mengkonsumsi ARV (Kemenkes RI, 2011b; Lamb et al., 2012; UNAIDS, 2013a). 2.2 Loss To Follow Up pada Odha Prevalensi Loss To Follow Up Jumlah insiden atau kasus baru HIV dan kematian secara global sudah mengalami penurunan dengan adanya terapi ARV (UNAIDS, 2012). Kasus baru HIV di Asia Pasifik selama tahun 2011 mencapai dengan penurunan 26% sejak tahun 2001 dan cakupan pengobatan mencapai 51% telah mengalami peningkatan dari 46% sejak tahun 2009 (UNAIDS, 2013). Layanan pengobatan HIV sudah

15 15 diperluas baik dari segi perencana dan pelaksana program, dan untuk selanjutnya yang menjadi fokus perhatian adalah menutup kesenjangan dalam continum perawatan HIV. Data yang tepat waktu dan akurat untuk setiap tahap cascade pengobatan perlu dikumpulkan dan dianalisis agar dapat digunakan untuk mengkaji manajemen program dan pengembangan intervensi yang ditargetkan untuk mencegah LTFU pada seluruh cascade pengobatan (UNAIDS, 2012a). Loss to follow up pada pasien yang menerima ART dapat mengakibatkan konsekuensi serius seperti penghentian pengobatan, toksisitas obat, kegagalan pengobatan karena ketidakpatuhan, dan resistensi obat (UNAIDS, 2013a). Cakupan terapi ARV pada negara berpenghasilan rendah dan menengah terus meningkat hingga mencapai 9,7 juta pada tahun 2012 namun continuum dari perawatannya masih menjadi masalah yang menimbulkan persoalan baru seperti LTFU (UNAIDS, 2013a). Negara berpenghasilan tinggi dan rendah memiliki resiko LTFU yang berbeda jika dilihat dari jumlah CD4 saat memulai ART dan kondisi ini menentukan estimasi LTFU. Jumlah CD4 awal yang rendah merupakan resiko LTFU pada negara penghasilan rendah seperti Zambia, sedangkan kondisi berbeda untuk negara penghasilan tinggi seperti Switzerland bahwa jumlah CD4 yang tinggi lebih beresiko untuk LTFU (Schöni-Affolter et al., 2011). Penelitian dengan metode systematic review pada low and middle income countries menunjukkan estimasi LTFU yaitu 7,6% -15,1% dan studi di Sub-Saharan Afrika dengan metode yang sama bahwa pasien yang memenuhi syarat ART mengalami LTFU 25%-54%, sedangkan penelitian yang dilakukan pada 93 site di

16 16 Eropa memiliki insiden rate LTFU yang lebih kecil yaitu 3,72 per 100 person years. Walaupun negara maju menunjukkan insiden rate yang lebih kecil namun kemungkinan LTFU teridentifikasi meninggal sama untuk semua kategori negara tersebut dan teridentifikasi telah meninggal sebesar 12%-87%, sehingga melacak kembali status pasien yang LTFU perlu dilakukan. Sebagian besar pasien jika tidak teridentifikasi meninggal akan kembali berkunjung setelah satu tahun LTFU untuk melakukan pengukuran jumlah CD4 atau pengukuran viral load (Brinkhof et al., 2009; Mcmahon et al., 2013; Mugglin et al.,2014; Mocroft et al., 2008). Penelitian yang dilakukan pada 18 sites di Kawasan Asia Pasifik melalui data TAHOD (Treat Asia HIV Observational Database) pada tahun 2012 ditemukan 21,4 % per tahun kasus LTFU dari 3626 pasien (Zhou et al., 2012). Kondisi yang paling sering terjadi bahwa LTFU dikaitkan dengan alasan transfer ke program lain, masalah keuangan, meningkatkan atau memburuknya kesehatan, sulit dilakukan pelacakan diantara pasien LTFU karena adanya pencatatan nomor telepon dan alamat yang sering salah atau hilang (Brinkhof et al., 2009; Deribe et al., 2008). Prevalensi LTFU di Indonesia sesuai laporan dari Kemenkes per Agustus 2014 sebesar 17,95% ( dari yang pernah menerima ART) meningkat dibandingkan tahun 2013 yaitu 15,75% ( dari yang pernah menerima ART). Pasien yang LTFU masih kurang mendapatkan perhatian padahal hampir 50% dari pasien LTFU teridentifikasi meninggal (Brinkhof et al., 2009; Wubshet et al., 2013). Penelitian cross sectional analitik yang dilakukan di RSUP dr Kariadi Semarang menunjukkan prevalensi loss to follow-up pada pasien HIV/AIDS

17 17 sebesar 4,5% (Rosiana, 2014). Studi dan penelitian tentang kondisi LTFU di Indonesia masih sangat terbatas terutama penelitian longitudinal Definisi Loss To Follow Up Kriteria waktu penentuan loss to follow up merupakan indikator penting untuk memonitor kelangsungan pengobatan ARV selain sebagai deteksi awal kemungkinan terjadinya resistensi (Bennett et al., 2006). Istilah loss to follow up dalam beberapa literature disingkat dengan LTFU (Chi et al., 2010; Chi et al., 2011; Krishnan et al., 2011; Zhou et al., 2012). Program pengobatan ARV di Indonesia menetapkan LTFU, jika pasien tidak berkunjung kembali 3 bulan atau lebih dari kunjungan terakhir. Penentuan tanggal kunjungan terakhir di pelayanan tersebut sebagai waktu penetapan LTFU (Kemenkes RI, 2011b). Penelitian di beberapa negara lain juga menentukan jika pasien tidak datang kembali berkunjung lebih dari tiga bulan sebagai LTFU ( Chi et al., 2010; Ochieng-Ooko et al., 2010; Onoka et al., 2012; Lamb et al., 2012; Odafe et al., 2012; Onoka et al., 2012; Bekolo et al., 2013; Tran et al., 2013). Penentuan cut off point ini berbeda dengan penentuan LTFU menggunakan TAHOD (Treat ASIA HIV Observational Database) yaitu 180 hari (Zhou et al., 2012). Perbedaan definisi LTFU dan pada periode pengamatan dapat berkontribusi perbedaan taksiran tingkat LTFU (Fleishman et al., 2013) Penelitian oleh Chi et al., tahun 2010 di Lusaka Zambia, menunjukkan kriteria penentuan LTFU yang tepat (reasonable definition) adalah 56 hari atau 60 hari dengan kesalahan klasifikasi sebesar 5,1% (95% CI; 4,8 5,3) dan memiliki sensitivitas 84,1% (95% (CI):83,2-85,0), spesifisitas 97,5% (95% CI; 97,3-97,7) (Chi

18 18 et al., 2010). Sedangkan penelitian serupa juga dilakukan oleh Chi et al., tahun 2011 pada 111 fasilitas kesehatan di Afrika, Asia, dan America Latin tidak termasuk Indonesia merekomendasikan cut off point LTFU yaitu 180 hari dengan kesalahan klasifikasinya sebesar 1,2 % (95% CI 1,0%-1,5%). Kondisi ini menunjukkan masih adanya ketidakkonsistenan penentuan LTFU yang akan berdampak pada sistem monitoring dan evaluasi program ART secara global (Chi et al., 2011). Upaya memonitor hal tersebut maka perlu standar untuk mengklasifikasi pasien sebagai LTFU (Chi et al., 2011). Studi dengan metode systematic review menyebutkan bahwa definisi LTFU berbeda pada setiap studi tetapi 52% dari penelitian kohort (28/54) yang ditemukan pasien LTFU diklasifikasikan dalam waktu 3-4 bulan setelah kontak terakhir mereka dengan klinik ART (McMahon et al., 2013). Klasifikasi pasien sebagai LTFU bergantung pada definisi dengan basis interval artinya pasien absen untuk berkunjung dalam interval tertentu setelah kunjungan sebelumnya diklasifikasikan sebagai LTFU. Jika interval ini terlalu pendek, meskipun banyak pasien akan akurat diidentifikasi sebagai LTFU akan ada beberapa tingkat positif palsu yang tinggi dari pasien yang diklasifikasikan sebagai LTFU. Sebaliknya, jika interval terlalu lama maka beberapa pasien yang benar-benar LTFU akan diklasifikasi sebagai absen sehingga perlu menentukan standar definisi LTFU untuk meminimalkan kesalahan klasifikasi pasien. Makadari itu diperlukan penentuan definisi universal LTFU atau algoritma umum untuk menentukan cut off LTFU dalam mengevaluasi program pengobatan ARV.

19 Dampak Loss To Follow Up Terhadap Pemberian Terapi ARV Pemberian terapi ARV pada odha memerlukan pencatatan dan monitoring yang baik untuk menghindari terjadinya kegagalan terapi atau resistensi yang dapat berdampak pada kematian. Persentase kejadian LTFU merupakan indikator awal untuk mendeteksi potensi resistensi. WHO merekomendasikan target < 20 % untuk kejadian LTFU pada satu tahun pertama odha yang menerima terapi ARV (Benetta et al., 2008). Mengetahui kejadian LTFU pada odha yang menerima terapi ARV penting karena ART tidak menyembuhkan infeksi HIV sehingga pasien harus mengambil obat antiretroviral teratur selama sisa hidup mereka. Beberapa program ART menunjukkan lebih dari sepertiga pasien mengalami LTFU dan mereka berhenti datang untuk pengobatan dalam waktu tiga tahun memulai terapi, tentunya hal ini mengancam keberhasilan program ART (Chi et al., 2011). Tingkat supresi virus yang optimal terjadi bila 95% dari semua dosis obat ARV diminum, dan resiko kegagalan terapi paling sering terjadi karena lupa minum obat (Kemenkes RI, 2011b). Tingkat kepatuhan pengobatan yang rendah sangat menentukan terjadinya LTFU (Tran et al., 2013). Kondisi LTFU dan kematian merupakan dua kondisi yang saling berkaitan, dimana odha dengan jumlah CD4 < 100 sel / mm 3 dan 350 sel / mm 3 yang tercatat dalam status LTFU terdeteksi meninggal sebesar 22,9% dan 13,6%. (Schöni-Affolter et al., 2011). Peningkatan resiko kematian terjadi pada odha dengan kondisi LTFU karena resiko penghentian pengobatan sehingga LTFU ini menjadi salah satu

20 20 masalah dalam pengobatan (Bekolo et al., 2013; Wubshet et al., 2013). Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa LTFU meningkatkan risiko kematian pada odha (Somi et al., 2012; Odafe et al., 2012; Onoka et al., 2012; Bekolo et al., 2013; Alvarez-Uria et al., 2013; Edwards et al., 2014). 2.3 Determinan yang berhubungan dengan loss to follow up pada odha yang menerima terapi ARV Retensi pemakaian ARV dan kepatuhan terhadap pengobatan merupakan penentu penting dari hasil jangka panjang pemberian terapi pada odha. LTFU pasien saat pengobatan membahayakan kesehatan mereka sendiri dan keberhasilan jangka panjang dari program ART (Tezera et al., 2014). Probabilitas LTFU berhubungan dengan jangka waktu perawatan ART dimana proporsi yang lebih tinggi dari LTFU tercatat dalam 6 bulan pertama setelah memulai ART dan umumnya kemungkinan LTFU secara bertahap meningkat seiring dengan masa retensi lebih lama (Berheto et al., 2014). Penelitian yang pernah dilakukan di negara lain menunjukkan beberapa determinan yang berhubungan dengan LTFU pada pasien odha diantaranya yaitu: Karakteristik Sosiodemografi Umur Beberapa penelitian menunjukkan bahwa umur yang semakin muda lebih berisiko untuk mengalami LTFU (Ochieng-Ooko et al., 2010; Krishnan et al., 2011; Onoka et al., 2012; Somi et al., 2012; Alvarez-Uria et al., 2013; Saka et al., 2013; Tran et al., 2013; Weigel et al., 2013; Kate et al. 2014;). Penelitian di Ethiopia menunjukkan bahwa remaja dua kali (HR=2,1; 95% CI: 1,3-3,4) dan orang dewasa

21 21 1,4 kali (HR = 1,4; 95% CI:1,0-2,0) lebih mungkin menjadi LTFU daripada anakanak (Tezera et al., 2014). Odha dalam kategori remaja cenderung menunjukkan ketidakdewasaan dalam berpikir analitis dan kemungkinan ada tantangan tertentu yang terkait dengan pubertas, stigma dan diskriminasi yang lebih besar serta tidak memiliki pengasuh (berbeda dengan anak-anak) (Murphy et al., 2003). Selain itu usia muda cenderung memiliki tingkat mobilitas yang lebih tinggi (Krishnan et al., 2011). LTFU pada pasien muda mungkin terkait dengan penolakan psikologis dari infeksi HIV dan kecenderungan mencari perawatan lain (Roura et al., 2009). Penelitian di Myanmar menyebutkan bahwa umur tahun lebih berisiko mengalami LTFU (ahr=1.5; 95% CI 1,25-1,94) (Sabapathy et al., 2012). Umur memiliki hubungan yang lemah untuk dikaitkan dengan kejadian LTFU namun tetap masuk akal untuk diamati karena kelompok usia termuda yang paling mungkin untuk mengalami LTFU terutama kondisi tanpa gejala yang memicu ketidakpedulian mereka dalam perawatan (Bekolo et al., 2013) Jenis Kelamin Studi menunjukkan bahwa jenis kelamin berhubungan terhadap kejadian LTFU. Laki-laki memiliki risiko LTFU lebih tinggi dari pada perempuan (Odafe et al., 2012; Onoka et al., 2012; Evans et al., 2013; Tran et al., 2013; Weigel et al., 2013; Mugisha et al., 2014). Periode selama dua tahun terapi ARV kejadian loss to follow up pada laki-laki (AHR 1,4; 95% CI 1,2-1,7) lebih tinggi daripada perempuan (AHR 1,3, 95%CI 1,1 1,5) (Mugisha et al., 2014). Namun dalam 6 bulan terapi ARV

22 22 justru perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami LTFU dibandingkan laki-laki (OR=1,8; 95%CI: 1,3-2,5) (Saka et al., 2013). Laki-laki lebih berisiko mengalami LTFU karena mereka cenderung datang ke pelayanan ketika sakit dan kurang bersedia untuk memberikan informasi secara detail (Onoka et al., 2012). Informasi yang detail misalnya pencatatan nomor telepon akan memudahkan dalam pelacakan dan pendeteksian keberlangsungan pengobatan ARV (McMahon et al., 2013) Laki-laki memiliki variasi dalam mobilitas dan risiko tinggi penyalahgunaan narkoba yang dapat mengganggu kepatuhan dalam terapi ARV sehingga lebih memiliki kemungkinan untuk LTFU (Alvarez-Uria et al., 2013). Kebanyakan pria dengan kecanduan narkoba mengalami toksisitas yang lebih tinggi karena interaksi dengan obat ARV yang mengarah ke penghentian terapi (Gordillo et al., 1999). Berbeda kondisinya pada perempuan yang lebih mungkin untuk datang ke fasilitas layanan kesehatan dibandingkan pria untuk mendapat layanan reproduksi dan pelayanan kesehatan anak (Odafe et al., 2012). Perempuan mungkin mencari perawatan segera karena mereka adalah pengasuh utama dalam keluarga dan merasa memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk tetap sehat (Ochieng-Ooko et al., 2010). Laki-laki lebih cenderung mengalami LTFU jika memiliki penyakit stadium lanjut, sedangkan perempuan lebih mungkin untuk LTFU jika jumlah CD4 mereka tinggi, hal ini menunjukkan bahwa LTFU pada laki-laki kemungkinan terjadi karena penyakit yang bertambah parah atau kematian (Ochieng-Ooko et al., 2010).

23 Pendidikan Odha yang berpendidikan lebih termotivasi untuk patuh dalam pengobatan karena kemampuan mereka untuk memahami hasil laboratorium dan informasi ilmiah baru tentang HIV dan pengobatan (Krishnan et al., 2011). Kondisi sebaliknya bahwa mereka dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah sulit untuk memahami pra konseling yang meliputi informasi terhadap jalannya HIV infeksi, tujuan pengobatan, risiko dan manfaat terapi, efek samping, resistensi dan kepatuhan yang kompleks. Tingkat pendidikan yang rendah (aor 3,80 95% CI 1,14-12,7; p=0,03) terkait dengan penolakan pengobatan sehingga berkontribusi pada insiden LTFU (Karcher et al., 2007). Kondisi ini didukung dengan penelitian di India menunjukkan bahwa buta huruf meningkatkan kejadian LTFU (ahr 1,3; 95% CI 1,1-1,6) (Alvarez et al., 2013). Kejadian LTFU sebelum terapi ART meningkat pada pendidikan menengah pertama (ahr 2,0; 95% CI 1,1 3,6; p< 0,05) (Hassan et al., 2012). Penelitian dengan hasil serupa juga dilakukan oleh Honge et al., menunjukkan pasien odha yang tidak sekolah beresiko mengalami LTFU namun memiliki hubungan yang tidak signifikan (ahr 1,22; 95% CI 0,98-1,52) (Hønge et al., 2013). Krishnan et al., dengan menggunakan pendekatan lama pendidikan (ukuran tahun) bahwa pendidikan <16 tahun berhubungan secara signifikan mengalami LTFU. Semakin pendek lama pendidikan yang ditempuh maka resiko LTFU juga semakin besar (Krishnan et al., 2011). Orang dengan pendidikan rendah mungkin memiliki masalah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan seperti tidak memiliki waktu untuk istirahat dari pekerjaan dan melakukan kunjungan klinik (Ross dan Adler dalam Krishnan et al., 2011).

24 Pekerjaan Pekerjaan seringkali dikaitkan dengan penghasilan seseorang. Pasien pengangguran memiliki kecenderungan 51% (HR 1.51, 95% CI: 1,34-2,00) menjadi LTFU ( Kate et al., 2014). Beberapa studi menunjukkan pasien yang tidak memiliki tempat tinggal atau homeless beresiko mengalami LTFU namun tidak memiliki hubungan yang signifikan antara keduanya (Alvarez-Uria et al., 2013; Lebouche et al., 2006). Sebagian besar odha memiliki retensi perawatan yang rendah dalam terapi ARV akibat masalah keuangan yang dihadapi. Tingkat keberlangsungan hidup odha ditentukan dari kepatuhan dan keberlanjutan pengobatan (Giordano et al., 2007) Status Menikah Pasien yang tidak memiliki pasangan dan bercerai (ahr 1,6, 95% CI 1,2-2,3) (Alvarez et al., 2013), rata-rata mengalami LTFU dibandingkan dengan pasien yang telah menikah (Alvarez-Uria et al., 2013; Bekolo et al., 2013; Mugisha et al., 2014). Mereka yang tanpa pasangan cenderung tidak memiliki dukungan sehingga lebih mungkin terpengaruh secara negatif oleh stigma terkait HIV dan ini terbukti menjadi penghalang untuk kepatuhan dan retensi dalam perawatan dan pengobatan (Merten et al., 2010) Pengawas Minum Obat (PMO) PMO adalah orang yang membantu pengawasan minum obat odha untuk menurunkan kejadian resistensi (Kemenkes RI, 2011a). Adanya pengawas minum obat dan layanan penjangkauan di fasilitas kesehatan sangat berpengaruh terhadap kejadian LTFU. Peran utama PMO adalah untuk membantu kepatuhan pasien dengan

25 25 mungkin ikut terlibat menemani pasien ke klinik untuk kunjungan, mengambil obat, dan memberikan bantuan untuk memastikan pasien mengambil obat yang tepat pada waktu yang tepat, dengan cara yang benar (WHO, 2006). PMO tidak hanya memberikan pengawasan tetapi juga mampu meningkatkan penerimaan diri (acceptance) odha melalui dukungan psikologis dan psikososial yang diberikan (Nasronudin, 2007). Penelitian di Sub Saharan tahun 2012 menunjukkan klinik dengan layanan PMO dan penjangkauan yang tersedia memiliki tingkat LTFU lebih rendah (arr = 0,48, 95% CI: 0,25-0,92) (Lamb et al., 2012) Risiko Penularan Penelitian di Vietnam menunjukkan odha dengan IDU (injection drug user) memiliki kecenderungan mengalami LTFU yang lebih besar (ahr=1,40 95% CI ), hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Jepang (ahr= 1,544 95% CI 1,028-2,318; p = 0,036) bahkan resiko LTFU lebih tinggi pada kelompok MSM ( man sex man) pengguna IDU dengan ahr=1,641 ( 95% CI 1,061-2,538 p= 0,026) (Nishijima et al., 2013;Tran et al., 2013). Odha dengan riwayat IDU lebih mungkin untuk mengalami LTFU karena merasa memiliki stigma ganda dari internal dan eksternal. Selain itu, kehadiran penyakit tambahan yang terkait dengan obat suntik akan mengurangi waktu kunjungan untuk layanan ART karena ada kemungkinan mereka perlu mendapatkan pelayanan kesehatan preventif dan kuratif lainnya seperti terapi metadon, pertukaran jarum, atau pengobatan co-infeksi lain (yaitu, hepatitis C, TB) (Nishijima et al., 2013). Ketergantungan dengan obat-obatan tersebut dapat menghambat kemampuan mereka untuk mematuhi jadwal pengobatan

26 26 ART. Kelompok pengguna obat-obatan terlarang ini berhubungan dengan penyerapan ART dan kepatuhan terhadap pengobatan yang lebih rendah (Wood et al., 2003). Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian yang dilakukan pada kelompok Afrika bahwa perempuan heteroseksual lebih berisiko terjadi LTFU dengan OR = 2,22 (95% CI 1,11-4,56), hal ini disebabkan oleh kondisi kehamilan mendapatkan terapi ARV jangka pendek dan kondisi ini menyumbangkan 10% untuk kejadian LTFU pada kelompok perempuan (Gerver et al., 2010). Penelitian di Jepang pada kelompok MSM (man sex man) menunjukkan resiko LTFU lebih besar pada orientasi biseksual (aor 1,34 95% CI 0,85-2,12) dibandingkan dengan homoseksual (Tang et al., 2015). Kelompok LSL orientasi homoseksual cenderung memiliki resiko LTFU yang lebih rendah (OR 0,6 95% CI:0,5-0,7) dibandingkan dengan heteroseksual (OR 2.22, 95% CI:1,11-4,56) (Lebouche et al., 2006; Gerver et al., 2010; Lanoy et al., 2006). Stigma yang masih tinggi di kalangan MSM (Graham et al., 2013) dapat menurunkan retensi terhadap terapi ARV, namun dengan adanya jaringan sosial yang kuat diantara populasi kunci ini, mampu menurunkan kejadian LTFU (Tang et al., 2015) Karakteristik Klinis Berat Badan Berat badan merupakan acuan yang biasa digunakan untuk menilai status gizi. Odha yang memulai terapi ARV dengan berat badan yang lebih tinggi akan memiliki kondisi kesehatan yang lebih baik sehingga odha dengan kondisi ini cenderung akan mempertahankan terapi ARV karena telah merasakan manfaat dari terapi ARV. Odha

27 27 yang memulai terapi dengan berat badan kurang dari 45 kg lebih beresiko mengalami kematian dan attrition. Kehilangan berat badan > 10% merupakan gejala umum yang dialami saat terinfeksi HIV (Dalal et al., 2008). Kondisi kesehatan lainnya yang dapat dijadikan ukuran selain berat badan adalah ukuran BMI (body mass index). BMI (body mass index) 18,5 kg/m 2 menunjukkan kondisi kesehatan yang kurang baik sehingga dapat menurunkan kepercayaan pasien terhadap terapi sehingga kemungkinan LTFU lebih besar (ahr 1.51; 95% CI 1,23-1,87), didukung juga adanya oropharyngeal candidiasis dengan BMI yang rendah (HR 1,36 95% CI 1,02-1,82) (Hønge et al., 2013; Evans et al., 2013). Sebaliknya kenaikan BMI setiap unitnya menurunkan kejadian LTFU (ahr, 0.97; 95% CI 0,88 1,03) tetapi tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Sejalan dengan penelitian di Ethiopia yang menyatakan odha yang memiliki berat badan 60 kg memiliki risiko 76% lebih rendah untuk mengalami LTFU dibandingkan odha dengan berat badan < 40 kg (AHR % CI ), mereka yang memiliki berat badan normal memiliki kepercayaan terhadap pengobatan dan berusaha mempertahankan (Haile & Mekelle, 2014) Jumlah CD4 Jumlah CD4 menjadi tolak ukur status kesehatan odha dan indikator kegagalan imunologis dalam terapi ARV (Kemenkes RI, 2011a). Pemeriksaan CD4 melengkapi pemeriksaan klinis yang dapat memandu dalam menentukan waktu untuk memulai pengobatan profilaksis terhadap IO dan terapi ARV sebelum penyakitnya berlanjut menjadi lebih parah. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon terapi

28 28 ARV (Depkes, 2007). Keputusan untuk memulai terapi ARV pada odha dewasa dan remaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis. Pemberian terapi ARV akan meningkatkan jumlah CD4 dengan rata-rata peningkatan sell/mm 3 /tahun dengan monitoring setiap enam bulan. Odha yang mengalami penurunan CD4 secara progresif tanpa ada penyakit atau kondisi medis lain selama terapi ARV merupakan deteksi awal terjadinya kegagalan terapi secara imunologis (Kemenkes RI, 2011). Penelitian di Zambia dan Switzerland pada pengamatan tiga setengah tahun terapi menunjukkan persentase LTFU sebesar 29,3% pada pasien yang memulai ART dengan jumlah CD4 < 100 sel / ml dan 15,4% untuk pasien yang mulai dengan 350 sel/ml (Schöni-Affolter et al., 2011). Beberapa penelitian menunjukkan jumlah CD4 yang rendah (< cell/ml) meningkatkan risiko LTFU (Gerver et al., 2010; Schöni-Affolter et al., 2011; Alvarez-Uria et al., 2013; Bekolo et al., 2013; Evans et al., 2014). Tingkat kejadian LTFU cenderung menurun ketika sel CD4 meningkat (Delphine et al., 2014). Setiap kenaikan 10% pada jumlah CD4 dikaitkan dengan penurunan 2,8% angka kematian dalam satu tahun, termasuk LTFU sehingga dukungan untuk memulai terapi dengan CD4 yang lebih tinggi akan mengurangi resiko kematian diantara mereka yang LTFU (Fox et al., 2013). Penelitian lain menyebutkan jumlah CD4 yang tinggi 200 cell/ml lebih beresiko mengalami LTFU (Mugisha et al., 2014; Onoka et al., 2012; Somi et al., 2012; Tran et al., 2013; Fleishman et al., 2013). Hal ini menunjukkan hasil yang tidak konsisten antara hubungan kadar CD4 dengan kejadian LTFU. Orang yang memiliki jumlah CD4 yang tinggi mungkin tidak merasa gejala infeksi HIV sehingga

29 29 sangat mungkin untuk tidak kembali ke pelayanan kesehatan (Ochieng-Ooko et al., 2010) Kadar Haemoglobin Pemantauan laboratoris pasien dalam terapi ARV salah satunya yaitu kadar haemoglobin. Kadar haemoglobin adalah ukuran untuk menilai kondisi anemia. Anemia merupakan efek samping yang dapat ditimbulkan akibat terapi seperti pemberian zidovudin (AZT). Insiden rate kejadian anemia pada pengguna AZT yaitu 23,4 per 100 person years (Curkendall et al., 2007). Kadar haemoglobin yang normal pada laki-laki yaitu >13 g/dl dan perempuan >12 g/dl (Zhou J, 2007). Kadar hemoglobin rendah (p <0,001) (Zhou et al., 2012) dan hemoglobin < 8.0 g/dl (HR 1,64 95% CI 1,28 2,10) sebagai prediktor dari LTFU (Saka et al., 2013). Penelitian Honge et al, pada klien yang belum memenuhi syarat pengobatan ARV justru menunjukkan bahwa kadar haemoglobin rendah cenderung menyebabkan pasien termotivasi untuk mematuhi terapi ARV karena merasa sakit meskipun jumlah CD4 lebih tinggi (Hønge et al., 2013) Infeksi Oportunistik Keadaan LTFU seringkali dikaitkan dengan tingkat keparahan penyakit yang diderita. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien yang mengalami infeksi oportunistik (IO) diawal pengobatan memiliki resiko untuk mengalami LTFU yaitu HR (hazard ratio) 1,72 (0,47-1,82) dan OR (odds ratio) 2,3 (95% CI 1,5-3,1) (Saka et al., 2013; Tran et al., 2013). Pasien dengan atau tanpa OC (oropharyngeal candidiasis) meningkatkan risiko LTFU (HR 1,36 95% CI 1,02-1,82; HR 1,55 95%

30 30 CI 1,30-1,85) (Evans et al., 2013). Infeksi oportunistik menunjukkan tingkat keparahan penyakit sehingga cenderung untuk tidak kembali ke pelayanan kesehatan tetapi kemungkinan mencari pengobatan alternatif (Wubshet et al., 2013). Adanya infeksi oportunistik juga menunjukkan ADIs (AIDS-defining clinical illness) yang juga memperberat kondisi klinis odha. Adanya riwayat ADIs meningkatkan resiko LTFU 1,2 kali (95% CI 0,9-1,48) namun tidak bermakna secara statistik. (Krishnan et al., 2011). Kriteria ADIs yang umumnya terjadi adalah tubercolosis (22.7%), PCP (19.1%) and oesophageal candidiasis (16.2%) (Grabar et al., 2008). Data TAHOD juga menyebutkan bahwa ADIs lebih banyak muncul pada 90 hari setelah pengobatan ARV dengan insiden rate yaitu 26,1 per 100 person years (Zhou J, 2007) Stadium Klinis WHO Risiko loss to follow up lebih besar pada pasien yang mengalami penyakit yang lebih berat (Cohen et al., 2013). Stadium klinis merupakan manifestasi klinis penderita HIV/AIDS yang dibagi menjadi stadium I, II, III, dan IV. Pasien dengan stadium II WHO (adjusted shr 1,31 95% CI: 1,08 to 1,59) memiliki risiko lebih tinggi LTFU dibandingkan dengan stadium I, III, dan IV (Odafe et al., 2012). Penelitian oleh Saka et al, juga menunjukkan hasil yang sama bahwa pasien dengan stadium II dan III berhubungan dengan LTFU (OR=1,7; 95%CI: 1,3-2,2) (Saka et al., 2013). Kondisi ini terjadi karena odha yang telah menganggap diri mereka dalam kondisi baik tidak perlu kembali melanjutkan ART (Odafe et al., 2012). Odha yang telah memasuki stadium lanjut yang lebih tinggi cenderung tidak percaya penyedia layanan kesehatan sehingga mereka lebih cenderung untuk

31 31 menggunakan pengobatan komplementer dan alternatif atau complementer alternative medicine (CAM) sebagai pengganti terapi HIV konvensional (Hsiao et al., 2003). Petugas kesehatan hampir 90% tidak menyadari bahwa pasien mereka menggunakan pengobatan alternatif dalam enam bulan terakhir, mereka menggunakan pengobatan tersebut bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit (87,1%) dan praktek-praktek spiritual atau doa untuk menghilangkan stres (77,6%). Kondisi ini berdampak pada kunjungan ke klinik yang menurun (Peltzer et al., 2008). Hal ini kemungkinan yang membuat mereka dalam kondisi LTFU. Hasil yang tidak konsisten ditemukan pada variabel ini, dimana penelitian yang dilakukan oleh Berheto et al, bahwa stadium klinis III sebagai faktor protektif dari LTFU (ahr= 0,6; CI 0,4-0,8, p=0,007) karena pada stadium klinis III dan IV, odha cenderung mengalami peningkatan perilaku dalam mencari layanan kesehatan akibat keparahan penyakit yang diderita (Berheto et al., 2014) Status Fungsional Status fungsional pada odha dibedakan menjadi tiga yaitu status kerja, ambulatory dan baring. Status kerja dikategorikan bila odha masih mampu bekerja normal, pasien yang tidak mampu bekerja normal dan < 50% berbaring dikategorikan memiliki status ambulatory, sedangkan pasien yang terus menerus (atau > 50%) berbaring di tempat tidur di kategorikan status baring (Kemenkes RI, 2011a). Tujuan utama dari ART salah satunya adalah untuk memberikan kesempatan bagi orang untuk menjadi produktif dalam pekerjaan mereka dan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, ukuran produktivitas yaitu status fungsional dapat digunakan sebagai salah

32 32 satu indikator keberhasilan program ART (WHO, 2006). Status fungsional yaitu ambulatory juga meningkatkan risiko LTFU dengan adjusted shr 1,25 (95% CI: 1,01 to 1,54)(Odafe et al., 2012). Penelitian lain menunjukkan bahwa status fungsional ambulatory merupakan faktor protektif terhadap kejadian LTFU (ahr 0,4 95% CI 0,3-0,6 p=0,001) Status TB Karakteristik penyakit penyerta merupakan salah satu faktor yangmempengaruhi kepatuhan pada odha. Adanya infeksi oportunistik atau penyakit lain menyebabkan penambahan jumlah obat yang harus diminum (Kemenkes RI, 2011a). TB merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada orang yang hidup dengan HIV, termasuk ART (Berheto et al., 2014). Beberapa penelitian menguraikan hubungan antara status TB yang diderita dengan risiko LTFU pada odha. Penelitian di Vietnam menyatakan bahwa odha dengan status TB positif memiliki risiko lebih tinggi mengalami LTFU (ahr=1,28 CI 1,05-1,72) (Tran et al. 2013). Sejalan dengan penelitian di Ethiopia yang menyatakan bahwa odha dengan TB positif risiko tiga kali lebih besar mengalami LTFU akibat dari reaksi ganda toksisitas yang ditimbulkan sehingga menurunkan kepercayaan mereka untuk berobat (62). Penelitian dengan menggunakan data TAHOD bahwa odha dengan TB negatif memiliki risiko yang lebih rendah untuk mengalami LTFU namun menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (IRR=0,98 CI 0,87-1,12 p=0,801) (39). Studi berbeda menyebutkan odha dengan TB positif yang mendapatkan terapi memiliki kondisi

33 33 klinis yang lebih buruk sehingga meningkatkan kepatuhan mereka untuk berobat (Berheto et al., 2014) Regimen ARV Regimen ARV terdiri dari nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI) dan non-nucleoside reverse transcriptase (NNRTI). Golongan yang termasuk regimen NRTI yaitu zidovudine (AZT), stavudine (d4t), lamivudine (3TC), didanosine (ddl), abacavir (ABC), tenofovir (TDF), dan emtricitabine (FTC). Regimen NNRTI yaitu nevirapine dan efavirens selain itu juga terdapat regimen yang termasuk lini kedua yaitu protease inhibitor (PI) seperti lopinavir atau ritonavir. Regimen ARV terkait karakteristik obat dan efek samping dan mudah tidaknya akses untuk mendapatkan ARV berdampak pada kepatuhan odha (Kemenkes RI, 2011a). Penelitian di Cameroon menyebutkan penggunaan regimen NNRTI nevirapine (NVP) menurunkan risiko LTFU secara siginifikan (ahr 0.75 CI0,57-0,99 p=0,04), begitu juga pada penggunaan regimen NRTI stavudin (ahr 0,55 CI 0,42-0,71) dan zidovudine (AZT) (ahr 0,59 CI 0,45-9,77) (Bekolo et a,l. 2013). Berbeda dengan studi di Ethiopia menyatakan penggunaan AZT meningkatkan risiko LTFU menjadi sebesar tiga kali dibandingkan regimen d4t (62). Odha yang menerima substitusi rejimen ARV selama masa perawatan lebih berisiko LTFU (HR 5,2; 95% CI 3,6-7,3) sama dengan studi di India yang melaporkan bahwa substitusi bisa menjadi faktor risiko untuk gagal ART (Alvarez- Uria et al., 2013; Berheto et al., 2014). Mayoritas kasus substitusi rejimen disebabkan oleh reaksi obat, pasien mungkin menjadi khawatir tentang efek samping dan

34 34 efektivitas obat baru yang diberikan sehingga mereka memilih untuk mencari pilihan pengobatan lainnya. Takut efek samping sebagai penyebab utama kegagalan atau LTFU (Deribe et al., 2008). LTFU yang lebih besar dapat dikaitkan dengan peningkatan toksisitas obat dimana pasien yang menerima rejimen PI (protease inhibitor) yang substansial cenderung lebih mahal dari lini satu sehingga LTFU mungkin terkait dengan ketersediaan obat atau keterjangkauan (Zhou et al., 2012) Karakteristik Layanan Entry Point Mengidentifikasi entry point dalam perawatan HIV dan pemberian terapi ARV merupakan salah satu informasi yang berguna untuk keberlangsungan program. Entry point adalah jalur masuknya pasien pertama kali mendapatkan layanan HIV yang meliputi layanan datang sendiri, LSM, jangkauan, praktik swasta, KIA (kesehatan ibu dan anak), rawat jalan, rawat inap, lainnya (Kemenkes RI, 2011c). Entry point mengacu pada bagaimana pasien tiba atau masuk ke layanan voluntary and counseling test (VCT) dan mendapat layanan terapi termasuk yang dirujuk dari (PMTCT,TB, IMS, dll), riwayat perawatan dan kesehatan lain saat mereka menerima perawatan HIV. Informasi ini sangat membantu manager program sebagai indikator dalam peningkatan pengawasan, keberlangsungan terapi, membantu rujukan pasien yang tepat dan melibatkan jaringan berbasis masyarakat (WHO, 2006). Pasien yang mendapatkan layanan HIV dan terapi ARV sebagian besar melalui layanan TB, rawat jalan dan layanan VCT ( WHO, 2006; Hassan et al., 2012; Mugisha et al., 2014). Pasien yang mengalami LTFU, 47,4% teridentifikasi pada

35 35 entry point layanan TB (Alvarez-Uria et al., 2013). Pasien dengan entry point melalui layanan VCT memiliki risiko LTFU lebih kecil dibandingkan entry point yang lain (Crude OR 0.5 CI p= 0.02) (Hassan et al., 2012) Jenis Tempat Layanan Penelitian di Nigeria Tenggara menunjukkan persentase LTFU di rumah sakit pemerintah lebih tinggi daripada rumah sakit swasta yaitu 32,8% sedangkan di rumah sakit swasta 11,0% (Onoka et al., 2012) Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tempat layanan berhubungan dengan LTFU, layanan di rumah sakit umum pusat memiliki risiko LTFU yang lebih besar dibandingkan rumah sakit daerah dan klinik swasta (Odafe et al., 2012; Saka et al., 2013; Weigel et al., 2013). Resiko LTFU pada klinik NGO (Non Governmental Organization) (OR 1,1 95% CI 0,6-1,9) lebih rendah dibandingkan klinik umum atau rumah sakit umum. Penggunaan klinik umum mencerminkan status sosial ekonomi yang kurang sehingga cenderung mengalami LTFU (Saka et al., 2013). Kondisi ini berkaitan dengan monitoring yang diberikan pada pasien, dimana rumah sakit pusat memiliki jumlah pasien yang besar sehingga lebih sulit untuk memonitoring pasien, selain petugas lapangan (outreach) yang kurang memadai (Odafe et al., 2012). Program pengobatan antiretroviral perlu meningkatkan proses dokumentasi dan mengembangkan dan menerapkan strategi pelacakan (Onoka et al., 2012) Status Rawat Status rawat menunjukkan kondisi kesehatan odha. Status rawat dikategorikan menjadi rawat jalan dan rawat inap, kondisi klinis yang memburuk membuat odha

36 36 memerlukan perawatan yang lebih intensif dengan rawat inap di rumah sakit. Studi oleh Fleishman et al., bahwa keberlangsungan pengobatan ARV dengan rawat jalan menunjukkan retensi pengobatan hanya 20,4%, dan resiko LTFU mencapai 34,9% (Fleishman et al., 2013) Kebijakan Terapi ARV Kebijakan terapi ARV merupakan pedoman yang digunakan untuk menentukan kapan waktu memulai pengobatan dan cara memilih obat yang tepat. Kebijakan terapi ARV terus mengalami perubahan secara periodik (Depkes, 2007; Kemenkes RI, 2011a). Acuan yang digunakan untuk memulai terapi ARV adalah jumlah CD4. Jika awal pengobatan tidak dianggap penting, maka monitoring keberlanjutan dan perawatan serta retensi menjadi lebih sulit. Jika dilihat dari efektivitas biaya dan jumlah CD4 saat memulai pengobatan di rangkaian sumber daya terbatas seperti studi di Sub-Saharan menunjukkan bahwa memulai ART pada tiga ambang jumlah CD4 (<200 sel/mm 3, sel/mm 3 dan >350 sel/mm 3 ), sebagian besar efektif jika dimulai ketika jumlah CD4 <200 sel/mm 3 dengan biaya tambahan hidup yang lebih kecil yaitu US$54. Menunda pengobatan sampai <200 sel/mm 3 akan mengurangi biaya keseluruhan pengobatan, tetapi ini harus disesuaikan dengan manfaat klinis terkait dengan terapi awal (Badri et al., 2006). Kondisi lain bahwa inisiasi ARV pada CD4 350 sel/mm 3 memberikan keuntungan jangka panjang pada kelangsungan hidup dan sangat efektif biaya (Walensky et al., 2010). Namun studi terkait harapan hidup telah menemukan bahwa justru risiko kematian lebih besar dan

37 37 harapan hidup rendah di antara orang-orang yang memulai ART pada akhir perkembangan penyakit dengan CD4 200 sel /mm 3 (UNAIDS, 2013a). Situasi dengan cakupan ART rendah, penerapan pedoman ART yang baru perlu dirancang agar memulai ART lebih cepat untuk infeksi HIV (karena berbagai alasan) sehingga mengurangi kesempatan untuk pengobatan pada odha dengan jumlah CD4 yang sangat rendah atau penyakit lebih lanjut, terutama dalam sumber daya yang terbatas. Kapan waktu sebaiknya mulai ART dan informasi penting bahwa pengobatan infeksi HIV tidak mendesak, seringkali menimbulkan kebingungan antara pasien dan penyedia layanan sehingga dapat membuat cascade buruk pada pengobatan. Kepatuhan yang buruk terhadap ART dimulai pada jumlah CD4 > 250 sel/mm 3, dengan alasan gejala klinis yang belum dirasakan (karena banyak odha yang tidak bergejala di awal pengobatan) dan kurangnya dukungan sosial berkontribusi ketidakpatuhan antara orang tersebut (Cohen et al., 2013). Akibatnya, tampak bahwa pasien yang tidak mematuhi ART berada pada risiko yang lebih tinggi mengalami LTFU. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa pasien yang sehat pada awal pengobatan mengalami LTFU lebih sering daripada pasien yang sakit dimana durasi rata-rata retensi 10 bulan untuk pasien dengan CD4 350 cell/mm 3 di awal terapi sedangkan pada pasien dengan jumlah CD4 <200 sel / mm 3 yaitu 24 bulan (Ndiaye et al., 2009) Jarak Tempat Tinggal dengan Layanan Beberapa penelitian menyebutkan bahwa jarak menjadi prediktor kejadian LTFU yaitu jarak (> 5 km vs <1 km: ahr=2,6 95% CI 1,9-3,7 dengan p <0,01)

38 38 (Hassan et al., 2012) dan jarak ke klinik lebih dari 5 km (ahr = 1,25, 95% CI 1,00-1,55) (Bekolo et al., 2013). Waktu tempuh lebih dari 1 jam ke tempat layanan ARV juga berhubungan dengan LTFU (HR 1,11 (95% CI 1,04-1,19) (Ochieng-Ooko et al., 2010). Hal ini kemungkinan bahwa orang yang hidup jauh dari fasilitas kesehatan kurang memiliki akses terhadap perawatan kesehatan. Pasien lebih dekat dengan berjalan kaki dari fasilitas kesehatan memiliki resiko LTFU yang lebih kecil (Bekolo et al., 2013). 2.4 Kepatuhan Terapi ARV WHO mendefinisikan kepatuhan pengobatan sebagai sejauh mana perilaku seseorang mengambil obat, mengikuti diet dan atau melaksanakan perubahan gaya hidup sesuai dengan yang telah disepakati rekomendasi dari penyedia layanan kesehatan atas dasar kesadaran sendiri. Monitoring dan evaluasi kepatuhan pada setiap kali kunjungan perlu dilakukan karena kegagalan terapi sering diakibatkan ketidakpatuhan konsumsi ARV. Beberapa faktor yang berhubungan dengan sistem penyediaan layanan kesehatan, obat dan orang yang mengambil obat ARV dapat mempengaruhi kepatuhan terhadap terapi ARV (WHO, 2013; Kemenkes RI, 2011a). Faktor yang diprediksi berkaitan dengan kepatuhan diantaranya faktor individu mencakup lupa dosis, berada jauh dari rumah, perubahan dalam rutinitas sehari-hari, depresi atau penyakit lainnya, kurangnya kepentingan atau keinginan untuk mengambil obat-obatan, dan bahan atau penggunaan alkohol. Obat atau rejimen terkait efek samping, kompleksitas rejimen dosis, beban pil, dan pembatasan diet. Faktor sistem kesehatan termasuk membutuhkan orang dengan HIV untuk

39 39 mengunjungi pelayanan kesehatan, perjalanan jarak jauh untuk mencapai pelayanan kesehatan, menanggung biaya langsung dan tidak langsung dari perawatan, kurangnya informasi yang jelas atau instruksi pengobatan, pengetahuan yang terbatas pada perjalanan infeksi dan pengobatan HIV merupakan prediktor terhadap ketidakpatuhan (WHO, 2013). Penelitian cross-sectional pada 366 odha di Spanyol bahwa faktor sosiodemografi dan psikologis mempengaruhi tingkat kepatuhan terhadap ART. Secara keseluruhan, IDU dan individu yang lebih muda, depresi dan kurangnya dukungan sosial cenderung memiliki kepatuhanyang kurang (Gordillo et al., 1999). Intervensi tingkat program untuk meningkatkan kepatuhan terhadap ART meliputi menghindari memaksakan pembayaran pada perawatan, menggunakan kombinasi dosis rejimen yang telah ditetap untuk ART, dan memperkuat sistem manajemen persediaan obat untuk mendukung pengadaan dan memberikan obat ARV dan mencegah kehabisan stok persediaan obat. Upaya untuk mendukung dan memaksimalkan kepatuhan harus dimulai sebelum terapi ART. Mengembangkan rencana kepatuhan dan pendidikan sebagai langkah pertama yang penting. Pendidikan pasien diawal harus mencakup informasi dasar tentang HIV, obat ARV, efek samping, mempersiapkan untuk pengobatan dan kepatuhan terhadap ART. Pesan teks ponsel dapat dianggap sebagai alat pengingat (tools reminder) untuk mempromosikan kepatuhan terhadap ART sebagai bagian dari paket intervensi kepatuhan (WHO, 2013).

40 40 Studi tentang kepatuhan di Sub Sahara-African tahun 2012 menunjukkan bahwa klinik yang memiliki layanan dukungan kepatuhan, layanan konseling, dan alat pemantau kepatuhan memiliki tingkat LTFU lebih rendah (Lamb et al., 2012). Tingkat dukungan sosial secara independen terkait dengan kepatuhan dengan alat ukur The Perceived Sosial Stigma diperoleh beberapa dukungan sosial (p = 0,018) dan dukungan sosial yang baik (score >71) (p = 0,039) meningkatkan kepatuhan dibandingkan dengan dukungan sosial yang buruk (score < 60). Alasan untuk tidak minum obat ART diantaranya yaitu lupa minum obat (67%), sibuk dengan sesuatu yang lain (63%) dan tertidur di waktu pengobatan (60%) (Weaver et al., 2014).

41 41 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Retensi odha dalam terapi ARV masih menjadi tantangan terbesar dalam program HIV secara global maupun nasional sehingga berdampak pada kegagalan terapi dan resistensi terhadap ARV. Menurunnya tingkat retensi ditunjukkan dengan meningkatnya LTFU pada odha yang menerima terapi ARV pada tahun pertama pengobatan. Resiko LTFU meningkat sejalan dengan lamanya terapi ARV, dan berbagai determinan yang kemungkinan berhubungan dengan LTFU yang berkaitan dengan kejenuhan dalam mengkonsumsi obat ARV mengingat terapi ini bersifat seumur hidup. Karakteristik sosiodemografi yaitu usia, jenis kelamin, status bekerja, pendidikan, status pernikahan, pengawas minum obat, risiko penularan HIV dan karakteristik klinis meliputi berat badan, jumlah CD4, kadar haemoglobin, infeksi oportunistik, stadium WHO, dan status fungsional. Karakteristik layanan seperti jarak tempat tinggal ke fasilitas layanan ARV, sarana dan prasarana yang tersedia di layanan ARV, entry point dan jenis tempat pelayanan untuk memperoleh terapi ARV. Karakteristik tersebut merupakan determinan yang memiliki hubungan dengan kejadian LTFU pada odha yang menerima terapi ARV. Karakteristik sosiodemografi berhubungan dengan LTFU karena terkait dukungan sosial dan psikologis odha selama pengobatan. Odha yang tidak memiliki pasangan cenderung tidak memiliki dukungan orang sehingga lebih mungkin terpengaruh secara negatif oleh stigma 41

42 42 terkait HIV dan ini terbukti menjadi penghalang untuk kepatuhan dan retensi dalam perawatan dan pengobatan. Seluruh aspek karakteristik tersebut merupakan faktor penentu dari kejadian LTFU pada odha yang menerima ARV. Umur muda seringkali juga dikaitkan dengan kondisi psikologis yang belum stabil sehingga cenderung belum siap untuk menerima terapi, dan kondisi gejala yang belum dirasakan memicu penundaan dan tidak datang kembali ke layanan. Selain umur, jenis kelamin yaitu laki-laki juga berkontribusi terhadap kejadian LTFU dimana mereka cenderung kurang peduli dengan kondisi kesehatan mereka sebelum mengalami keluhan. Keadaan klinis pada odha berhubungan dengan kejadian LTFU, pasien odha umumnya datang dalam kondisi stadium klinis yang tinggi sehingga akan berpengaruh pada terapi ARV yang diberikan. Kadar CD4 merupakan clinical diagnosis yang sering dijumpai berpengaruh terhadap LTFU. Demikian juga untuk kadar haemoglobin yang normal akan menurunkan kejadian LTFU. Kondisi klinis odha yang baik cenderung mengalami LTFU karena asumsi yang menganggap dirinya sudah sembuh sehingga mengabaikan pengobatan ARV, sebaliknya kondisi klinis yang buruk juga dapat memicu LTFU akibat kepercayaan mereka yang menurun terhadap terapi dan berusaha untuk mencari alternatif pengobatan lain. Namun tidak menutup kemungkinan odha dengan kondisi yang lebih buruk memiliki kesadaran dan pengobatan yang lebih tinggi karena perasaan membutuhkan pengobatan yang lebih intensif.

43 Konsep Penelitian Berdasarkan kerangka berpikir yang telah disusun maka konsep penelitian dalam penelitian ini yaitu: Karakteristik Sosiodemografi a. Umur b. Jenis kelamin c. Pendidikan d. Status bekerja e. Status menikah f. Pengawas minum obat (PMO) g. Risiko penularan HIV Karakteristik klinis a. Jumlah CD4 b. Kadar haemoglobin c. Infeksi oportunistik d. Stadium klinis WHO e. Status fungsional f. Berat badan g. Status TB Karakteristik h. Regimen ARV layanan i. Status rawat a. Entry point b. Jenis tempat layanan c. Kebijakan terapi Menerima terapi ARV Loss to follow up Kondisi klinis di akhir pengamatan Jarak tempat tinggal dengan layanan penyedia ARV Keterangan : Diteliti Tidak diteliti Gambar 3.1 Konsep Determinan Loss To Follow Up Pasien Odha yang Menerima Terapi ARV

44 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka konsep di atas dapat dirumuskan hipotesis penelitian pada odha yang menerima terapi ARV di Layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung tahun sebagai berikut: Ada hubungan antar umur dengan loss to follow up Ada hubungan antara jenis kelamin dengan loss to follow up Ada hubungan antara pendidikan dengan loss to follow up Ada hubungan antara status bekerja dengan loss to follow up Ada hubungan antara status menikah dengan loss to follow up Ada hubungan antara pengawas minum obat (PMO) dengan loss to follow up Ada hubungan antara risiko penularan HIV dengan loss to follow up Ada hubungan antara berat badan dengan loss to follow up Ada hubungan antara jumlah CD4 dengan loss to follow up Ada hubungan antara kadar haemoglobin dengan loss to follow up Ada hubungan antara infeksi oportunistik dengan loss to follow up Ada hubungan antara stadium WHO dengan loss to follow up Ada hubungan antara status fungsional dengan loss to follow up Ada hubungan antara status TB dengan loss to follow up Ada hubungan antara golongan NRTI dengan loss to follow up Ada hubungan antara golongan NNRTI dengan loss to follow up Ada hubungan antara jenis tempat layanan dengan loss to follow up Ada hubungan antara kebijakan terapi dengan loss to follow up

45 45 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian longitudinal analitik dengan melakukan analisis data sekunder secara retrospektif pada kohort pasien odha yang menerima terapi ARV di layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung periode tahun Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di layanan VCT Sekar Jepun, RSUD Badung pada periode waktu Januari 2015-Maret Klinik VCT Sekar Jepun merupakan klinik yang memberikan pelayanan terkait HIV/AIDS termasuk pemberian terapi ARV dan pemeriksaan laboratorium yang berdiri sejak 22 Maret Sasaran layanan diberikan kepada masyarakat umum, kelompok risiko dan menerima rujukan pasien dari puskesmas, klinik, dan praktek swasta di wilayah Badung. Pemilihan RSUD Badung sebagai tempat penelitian terkait dengan jumlah pasien HIV tertinggi ketiga di Provinsi Bali dengan mayoritas pasien adalah masyarakat umum dan kelompok LSL pada satelitnya yaitu Klinik Bali Medika (BMC). Pelaporan pasien ARV di Klinik VCT Sekar Jepun mencakup dua satelit yaitu klinik Bali Medika dan RSUD Negara terkait pelaporan dan distribusi obat ARV namun sejak April 2014 RSUD Negara bukan menjadi satelit dari RSUD Badung. Pasien yang tercatat dari RSUD Negara tidak dimasukkan dalam penelitian ini karena data follow up yang tidak memenuhi end point dari penelitian ini. 45

46 46 RSUD Badung juga didukung oleh pencatatan rekam medis yang lengkap dan tersimpan rapi dalam lemari khusus di ruangan VCT sehingga lebih mudah untuk diesktrak. Tenaga kesehatan yang mendukung layanan VCT Sekar Jepun meliputi satu orang dokter sebagai ketua, satu orang dokter konsulen, empat orang konselor, satu orang petugas laboratorium, satu orang petugas administrasi, dua orang manajer case CST, dan satu orang pelaksana ART. Kualifikasi petugas perawatan HIV yaitu petugas rutin di perawatan HIV, petugas untuk pelayanan ART, dan staf yang dilatih untuk pencatatan dan pelaporan pasien ART. Klinik Bali Medika berlokasi di Kuta, Badung merupakan klinik swasta dibawah Yayasan Bali Peduli (YBP) yang berdiri sejak tahun 2011 dengan fokus layanannya pada kelompok LSL. Klinik ini didukung oleh satu orang dokter (direktur klinik), satu orang konselor, dua orang perawat sekaligus konselor dan dua orang teknisi laboratorium. Layanan yang diberikan meliputi test HIV, test CD4, test IMS, pemberian terapi ARV, terapi obat untuk IMS, penjangkauan, bantuan pendampingan untuk pasien HIV positif yang menerima terapi, konseling dan kelompok dukungan sebaya. Pelayanan di Klinik Bali Medika didukung juga dengan pemeriksaan CD4 yang praktis dan cepat melalui mesin CD4, bantuan dari para donatur. Prosedur layanan yang berlangsung di klinik yaitu jika pasien terdeteksi HIV positif kemudian akan dirujuk pada seorang pendamping atau buddy sehingga pasien siap untuk menerima terapi. Pendamping ini memberikan dukungan kepada klien yang sifatnya non medis terutama efek samping oleh karena obat. Layanan dilakukan sejak pukul wita sehingga memungkinkan bagi pasien untuk berkunjung ke klinik

47 47 sepulang kerja atau malam hari tanpa diketahui orang lain mengingat adanya stigma yang masih tinggi di masyarakat. Standar layanan yang diterapkan di klinik ini sesuai dengan rekomendasi WHO terkait layanan HIV dalam konteks epidemi terkonsentrasi sehingga pada tahun 2012 klinik ini mendapatkan pengakuan dari TREAT ASIA, WHO dan Depkes RI atas pelayanan swasta dengan pendekatan masyarakat dan kolaborasi dengan dinas kesehatan provinsi setempat. 4.3 Penentuan Sumber Data Populasi dan Sampel Penelitian Populasi merupakan sejumlah subyek yang mempunyai karakteristik tertentu. Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh odha yang menerima terapi ARV di Provinsi Bali. Populasi studi atau terjangkau yaitu seluruh odha yang menerima terapi ARV di Layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung tahun Populasi penelitian dalam hal ini adalah seluruh pasien odha yang menerima ART di Layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung periode waktu 2006-Juli Jumlah populasi dalam penelitian hingga 31 Juli 2014 adalah 671 pasien Kriteria inklusi Populasi ini dibatasi dalam kriteria inklusi yaitu pasien HIV/AIDS yang menerima terapi ARV dengan melakukan kunjungan minimal dua kali dilihat dari pertama kali minum ARV Kriteria eksklusi Kriteria eksklusi yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah ibu hamil, umur <15 tahun, dan pasien satelit RSUD Negara. Pertimbangan ini dilakukan karena

48 48 jumlah pasien usia <15 tahun dan ibu hamil yang terdaftar dalam register ARV dan rekam medis di layanan VCT RSUD Badung sedikit sehingga mempengaruhi sebaran data dalam analisis. Pasien RSUD Negara juga tidak diikutkan sebagai sampel karena end point pengamatan yang tidak terpenuhi sampai Agustus Teknik Sampling Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa kohort dari pasien odha yang menerima ARV dalam periode tahun yang tercatat dalam rekam medis. Seluruh sampel yang memenuhi kriteria inklusi dimasukkan sebagai sampel penelitian. Pemilihan ini dilakukan untuk tidak mengurangi kekuatan penelitian akibat adanya data missing yang bisa ditemukan di rekam medis pasien namun data missing tersebut tidak pada variabel yang sama pada setiap pasien. Pasien yang telah memulai terapi ARV dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dimasukkan sebagai sampel.

49 49 Prosedur seleksi sampel penelitian digambarkan pada gambar 4.1 dibawah ini Pasien HIV/AIDS RSUD Badung (2006-Juli 2014) 871 orang Pasien Terapi ARV 671 (77%) Kriteria inklusi 575 (85,7%) Pasien Pra-ART 200 (23%) Kriteria eksklusi : - Kunjungan satu kali 74 (11,1%) - Hamil 11 (1,6%) - Umur < 15 tahun 2 (0,3%) - Satelit RSUD Negara 9 (1,3%) Pasien Satelit 234 (40,7%) - Masih terapi ARV 182 (31,7%) - Meninggal 5 (0,9%) - LTFU 29 (5%) - Rujuk keluar 18 (3,1%) Pasien RSU Badung 341(59,3%) - Masih terapi ARV 202 (35,1%) - Meninggal 71 (12,3%) - LTFU 59 (10,3%) - Rujuk keluar 9 (1,6%) Total LTFU 15.3% Gambar 4.1 Prosedur Seleksi Sampel Penelitian Jumlah dan Besar Sampel Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi studi. Besar sampel minimal pada penelitian ini menggunakan perhitungan sampel untuk dua kelompok insiden rate. Perhitungan besar sampel yang digunakan adalah sebagai berikut: (Lwanga, S. K.; Lemeshow, 1991) n ( Z (1 k) 2 Z k( 1 2 2) 2 1 k 2 2

50 Keterangan : 50 Zα = derivate baku alfa Zβ= derivate baku beta k = rasio kelompok tidak terpapar dengan kelompok terpapar di populasi λ 2 = proporsi LTFU pada kelompok yang sudah diketahui (kelompok kontrol) λ 1 = proporsi LTFU kelompok yang akan diuji Berdasarkan perhitungan rumus tersebut dengan menggunakan α=5%, β=90%, dan =0,18 yang didapat berdasarkan proporsi LTFU pasien HIV/AIDS yang menjalani terapi di Indonesia maka jumlah sampel minimal yang diperoleh dari HR hasil penelitian terdahulu yaitu : Tabel 4.1 Perhitungan Besar Sampel Penelitian Nama peneliti dan variabel Outcome HR λ 1 λ 2 n1=n2 2n Berheto et al., 2014 Umur LTFU 2,1 0,38 0, CD4 < 200 sel/mm 3 LTFU 1,7 0,31 0, Ndiaye et al., 2009 CD4 < 200 sel/mm 3 LTFU 2,06 0,37 0, IDU (injecting drug use) LTFU 5,26 0,95 0, Lebouche et al., 2006 Umur LTFU 1,8 0,32 0, IDU (injecting drug use) LTFU 5,3 0,95 0, Pertimbangan pemilihan rumus besar sampel diatas adalah berdasarkan kriteria pengamatan dan rekrutmen subyek penelitian pada penelitian kesintasan. Penelitian ini akan dibatasi pada waktu tertentu yaitu , dan rekrutmen subyek penelitian dilakukan saat awal menerima terapi ARV sebagai baseline (awal pengamatan). Berdasarkan perhitungan besar sampel dengan beberapa variabel yang

51 51 paling banyak ditemukan memiliki hubungan dengan LTFU menunjukkan sampel minimal yaitu 70 orang dengan asumsi pada kelompok LTFU (kelompok terpapar) 70 orang dan kelompok yang tidak LTFU (kelompok kontrol) 70 orang. Namun sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh sampel yang memenuhi kriteria inklusi yaitu sebanyak 575 pasien dengan 88 pasien yang termasuk dalam LTFU sehingga jumlah sampel minimal sudah terpenuhi. Seluruh sampel digunakan dengan pertimbangan penggunaan data sekunder untuk menghindari ketidaklengkapan data yang tersedia sehingga perlu dipertimbangkan penggunaan sampel yang lebih besar. 4.4 Variabel Penelitian Variabel penelitian ini dibagi menjadi variabel independen dan dependen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah loss to follow up pada pasien HIV yang menjalani terapi ARV dengan event date-nya adalah tanggal kunjungan terakhir pasien yang dinyatakan sebagai LTFU saat menjalani terapi ARV. Variabel independent yaitu determinan yang terdiri dari karakteristik sosiodemografi, klinis, dan layanan. Karakteristik sosiodemografi terdiri dari umur, jenis kelamin, pendidikan, status bekerja, status menikah, pengawas minum obat (PMO), dan risiko penularan HIV. Karakteristik klinis meliputi berat badan, jumlah CD4, kadar haemoglobin, infeksi oportunistik, stadium WHO, status fungsional, status fungsional, jenis ARV NRTI, dan jenis ARV NNRTI. Karakteristik layanan meliputi jenis tempat layanan dan kebijakan terapi.

52 Definisi Operasional Tabel 4.2 Definisi Operasional Penelitian dan Cara Pengukuran Variabel Definisi Operasional Instrumen Skala Pengukuran Rencana Analisis Variabel Independen Umur Jenis kelamin Pendidikan Status bekerja Status menikah Pengawas minum obat (PMO) Umur (dalam tahun) yang tercatat di dalam rekam medis dan register ARV Jenis kelamin yang tercatat dalam rekam medis Jenis pendidikan yang tercantum dalam rekam medis Status bekerja yang tercatat dalam rekam medis saat mulai terapi ARV Status pernikahan terakhir yang tercatat dalam rekam medis Orang yang tercatat sebagai pengawas minum obat yang tercatat dalam rekam medis Formulir pengumpulan data Formulir pengumpulan data Formulir pengumpulan data Formulir pengumpulan data Formulir pengumpulan data Formulir pengumpulan data Interval (tahun) Nominal 1.Perempuan 2. Laki-laki Ordinal 1. Tidak sekolah/ tidak lulus SD 2. SD 3. SMP 4. SMA 5. Perguruan Tinggi Nominal 1. Tidak bekerja 2. Bekerja Nominal 1. Belum menikah 2. Menikah 3. Janda/ Duda Nominal 1. Tidak ada 2. Ada Umur dikelompokkan sesuai sebaran data Kategorikal: 0 = perempuan 1= laki-laki 9=missing (Ochieng-Ooko et al., 2010) Kategorikal: 0= pendidikan tinggi (SMP, SMA, dan PT) 1= pendidikan rendah (SD dan Tidak Sekolah) 9=missing (Karcher et al., 2007; Wubshet et al., 2013) Kategorikal: 0=tidak bekerja 1= bekerja 9= missing (Kate et al., 2014) Kategorikal: 0= menikah 1= belum menikah/bercerai 9= missing (Dalal et al., 2008) Kategorikal: 0= ada 1= tidak ada 9=missing (Lamb et al., 2012)

53 Risiko penularan HIV Berat badan Infeksi oportunistik Stadium klinis WHO Status fungsional Jumlah CD4 Risiko pertama kali saat terpapar HIV/AIDS yang tercatat dalam rekam medis Berat badan saat pertama kali menerima ARV yang tercatat di dalam rekam medis Infeksi oportunistik yang di alami saat pertama kali menggunakan ARV tercatat dalam rekam medis Stadium klinis sesuai standar WHO saat pertama kali menggunakan ARV yang tercantum dalam rekam medis Kondisi fungsional pasien saat pertama kali menggunakan ARV yang tercantum dalam rekam medis Jumlah CD4 pertama kali memulai ARV yang tercatat dalam rekam medis Formulir pengumpulan data Formulir pengumpulan data Formulir pengumpulan data Formulir pengumpulan data Formulir pengumpulan data Formulir pengumpulan data Nominal 1. Homoseksual 2. Heteroseksual 3. Biseksual 4. Perinatal 5. Transfusi darah 6. Napza suntik 7. Pasangan odha Interval (kilogram) Nominal 1. Kandidiasis 2. Diare 3. Meningitis Cryptoco-cal 4. Pneumonia Pneumo-cyctis 5. Cytomega-lovirus 6. Penicilli-osis 7. Herpes zoster 8. Herpes simpleks 9. Toxoplas-mosis 10. Hepatitis 11. Lainnya Ordinal 1. Stadium I (Asimptomatik) 2. Stadium II (Gejala ringan) 3. Stadium III (Gejala sedang) 4. Stadium IV (AIDS) Ordinal 1. Kerja 2. Ambulatori 3. Baring Interval (cell/mm3) Kategorikal 0=homoseksual 1=heteroseksual (suami istri) 2=IDU 9= missing (Nishijima et al., 2013; Zhou et al., 2012) Berat badan dikelompokkan sesuai sebaran data Kategorikal: 0 = tidak ada 1 = ada 9 = missing (Saka et al., 2013; Tran et al., 2013) Stadium klinis sesuai klasifikasi WHO 0= stadium 1&2 1= stadium 3&4 9=missing (WHO, 2007) Status fungsional 0=baring 1=ambulatory 2= kerja, 9=missing (Odafe et al., 2012) Jumlah CD4 dikelompokkan sesuai sebaran data

54 Kadar haemoglobin pertama Formulir Interval (gr/dl) kali menggunakan ARV pengumpulan yang tercatat dalam rekam data medis Kadar haemoglobin Status TB Golongan NRTI Golongan NNRTI Jenis tempat layanan Kebijakan terapi Kondisi klinis akhir Status rawat Diagnosa terkait penyakit tuberculosis pertama kali menggunakan ARV yang tercatat dalam rekam medis Jenis obat ARV NRTI diperoleh saat pertama pengobatan yang tercatat dalam rekam medis Jenis obat ARV NNRTI diperoleh saat pertama pengobatan yang tercatat dalam rekam medis Tempat pasien menerima terapi ARV yang dilihat berdasarkan rumah sakit utama (VCT Sekar Jepun) dan satelit (Klinik Bali Medika/BMC) Pedoman terapi ARV yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan waktu memulai terapi dengan acuan kebijakan tahun 2007 dan kebijakan tahun 2011 Kondisi klinis yang meliputi CD4, Hb, berat badan dan stadium klinis WHO saat terakhir kunjungan yang tercatat di rekam medis Kondisi perawatan yang selama menggunakan ARV yang tercatat dalam rekam medis Formulir pengumpulan data Formulir pengumpulan data Formulir pengumpulan data Formulir pengumpulan data Formulir pengumpulan data Formulir pengumpulan data Formulir pengumpulan data Ordinal Nominal Nominal Nominal 1. Rumah sakit utama 2. Satelit Nominal: 1. Kebijakan tahun 2007 (Pedoman CD4 200 saat mulai ARV) 2. Kebijakan tahun 2011(Pedoman CD4 350 saat mulai ARV) Interval Nominal 1. Rawat jalan 2. Rawat inap Kadar haemoglobin dikelompokkan sesuai sebaran data Kategorikal: 0=TB positif 1=suspect&tidak TB (62) Kategorikal: 0=tenofovir 1=stavudin 2=zidovudine Kategorikal: 0=efavirens 1=nevirapine Kategorikal: 0=BMC 1= RSUD Badung 9=missing (Saka et al., 2013) Kategorikal: 0=kebijakan sebelum tahun = kebijakan setelah tahun =missing (Kemenkes RI, 2011b) Kondisi klinis akhir akan dideskrispsikan dan dikelompokkan sesuai sebaran data yang diperoleh Analisa secara deskriptif dikelompokkan menjadi 0= tidak rawat inap 1= rawat inap awal terapi 2=rawat inap selama terapi 9= Missing

55 55 Kepatuhan Variabel Dependen Loss to follow up Kriteria kepatuhan yang dipantau setiap bulan berdasarkan jumlah obat yang lupa diminum dan tercatat dalam rekam medis Odha tidak melanjutkan terapi ARV di Layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung lebih dari 3 bulan, atau putus obat atau tidak diketahui status penggunaan ARVnya (Kemenkes RI, 2011b) - Start point nya yaitu tanggal saat pertama kali memulai terapi ARV dan end pointnya adalah tanggal odha kunjungan terakhir (loss to follow up, meninggal dan rujuk keluar) -Sensor adalah odha yang telah meninggal dan rujuk keluar *Missing=data yang tercatat tidak lengkap 4.5 Instrumen Penelitian Formulir pengumpulan data Formulir pengumpulan data Nominal 1. >95% ( 3 dosis) % (3-12 dosis) 3. <80% ( 12 dosis) Nominal berdasarkan tanggal LTFU pasien Penelitian ini menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien odha yang menerima ART dan register ARV yang terdapat di layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung. Instrumen yang digunakan yaitu formulir pengumpulan data yang telah dirancang dan diuji sebelumnya untuk mengumpulkan data rekam medik. Rekam medis yang diekstrak, digunakan sebagai sampel penelitian adalah pasien yang menerima ART periode tahun 2006 Juli Analisa secara deskriptif dikelompokkan menjadi 0=>95% 1=80-95% 2=<80% 9=missing (Kemenkes RI, 2011b) Tanggal loss to follow up pasien 0=tidak LTFU 1=LTFU

56 Prosedur Penelitian Jenis Data yang Dikumpulkan Data yang dikumpulkan adalah data sekunder, yaitu data dari kohort odha yang menerima terapi ARV di layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung tahun Adapun data yang dikumpulkan adalah karakteristik sosiodemografi (umur, jenis kelamin, pendidikan, statsu bekerja, status menikah, pengawas minum obat (PMO), dan risiko penularan) dan karakteristik klinis (berat badan, jumlah CD4, kadar haemoglobin, infeksi oportunistik, stadium WHO, status fungsional,status TB, golongan NRTI, dan golongan NNRTI), karaktersitik layanan (kebijakan terapi dan tempat layanan), kondisi klinis di akhir pengamatan, kepatuhan, status rawat (pernah atau tidak rawat inap) dan data loss to follow up, termasuk pula tanggal pertama kali memulai terapi ARV dan tanggal kunjungan terakhir Cara Pengumpulan Data Langkah awal yang dilakukan sebelum ekstraksi data adalah permohonan ijin kepada pihak RSUD Badung. Pertama yaitu membuat permohonan ijin untuk pengambilan data dan melakukan penelitian di RSUD Badung. Kemudian mengurus ijin penelitian di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik dan mengurus Ethical Clearance di komisi etik Litbang FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar. Data dikumpulkan dengan ekstraksi rekam medis masing-masing odha pengguna ARV periode 2006 sampai dengan Juli 2014 di layanan VCT Sekar Jepun RSUD Badung yang memenuhi kriteria inklusi. Selanjutnya data pada formulir pengumpulan data

57 57 yang masih dalam bentuk hard copy dibuat ke dalam bentuk soft copy (dalam bentuk microsoft excel) untuk memudahkan analisis. Jaminan untuk menjaga kerahasiaan data odha sebagai sampel maka dalam proses ekstraksi data dilaksanakan oleh peneliti dengan mencantumkan nomor identitas atau nomor registrasi nasional tanpa mencantumkan nama odha serta disimpan dalam file khusus yang bersifat rahasia Pengolahan Data Data yang diperoleh dari hasil penelitian diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Editing Data Editing dilakukan untuk memastikan data yang diambil telah sesuai dengan variabel dan tujuan penelitian. Formulir pengumpulan data telah terisi semua secara konsisten dan relevan dan apabila ada data yang kurang lengkap dapat dilakukan konfirmasi ke lapangan. Editing juga dilakukan pada data softcopy untuk menghindari terjadinya kesalahan saat analisis data. 2. Coding Data Pemberian kode dilakukan pada setiap data yang terkumpul guna keperluan analisis statistik, untuk menghindari kemungkinan kesalahan. Pemberian kode diberikan pada setiap indikator variabel.

58 58 3. Entry data Kegiatan memasukan data dan kode jawaban yang sudah terisi ke dalam program computer. Data dari formulir dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam bentuk microsoft excel yang selanjutnya dibuatkan data frame untuk format STATA SE Cleaning data Data yang telah masuk diperiksa kembali, digunakan untuk membersihkan data dari kesalahan-kesalahan 4.7 Teknik Analisis Data Analisis dalam penelitian ini menggunakan survival analysis yang bertujuan untuk melihat lama waktu terjadinya LTFU pada setiap subyek yang tidak sama menggunakan software STATA SE 12. Makadari itu penelitian ini didapatkan nilai insiden rate LTFU per 100 person years dan hazard ratio. Selain itu diperoleh median time terjadinya LTFU dari awal tahun pasien menggunakan ARV sampai akhir tahun pengamatan. Penelitian ini menggunakan analisa univariat, bivariat dan mulitivariat Analisis univariat Analisa univariat dilakukan untuk mendeskripsikan karakteristik setiap variabel yang diteliti yaitu umur, jenis kelamin, status bekerja, pendidikan, status menikah, pengawas minum obat, risiko penularan HIV, infeksi oportunistik, jumlah CD4, kadar haemoglobin, stadium klinis WHO, berat badan, status fungsional, status TB, golongan NRTI, dan golongan NNRTI, jenis tempat layanan ARV, dan

59 59 kebijakan pedoman ARV. Ringkasan statistik disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi yaitu proporsi atau mean untuk variabel dengan skala nominal dan ordinal, mean (standar deviasi) atau median (IQR) untuk variabel kontinyu dengan skala interval. Uji normalitas diperlukan pada variabel kontinyu untuk menentukan penyajian distribusi frekuensi, jika ditribusi normal disajikan dalam bentuk mean dan standar deviasi sedangkan distribusi tidak normal disajikan dalam bentuk median dan IQR. Median time LTFU ditampilkan dalam nilai median dan inter IQR yang menampilkan persentil ke 25% sampai 75% waktu LTFU. Kondisi klinis saat akhir pengamatan, status rawat, entry point, dan kepatuhan juga dianalisa secara deskriptif yang menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase. Analisis univariat juga dilakukan dengan analisis survival untuk mengetahui median time dan insiden rate terjadinya LTFU pada pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV. Namun nilai median hanya dapat dihitung apabila sekurangnya 50% pasien yang menerima terapi ARV mengalami LTFU. Apabila kondisi ini tidak terpenuhi maka nilai median ini dapat digantikan dengan quartile 1 survival yang artinya 25% subyek mengalami event (loss to follow up). Hasil analisis juga digambarkan dalam grafik Kaplan-Meier untuk menggambarkan lama waktu terjadinya LTFU (time to event). Data missing menjadi sensor dalam analisis survival ini Analisis bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk melihat signifikan hubungan antara variabel independen yaitu umur, jenis kelamin, status bekerja, pendidikan, status menikah,

60 60 pengawas minum obat, risiko penularan, infeksi oportunistik, jumlah CD4, kadar haemoglobin, berat badan, stadium klinis WHO, status fungsional, status TB, golongan NRTI dan golongan NNRTI, jenis tempat layanan ARV, dan kebijakan terapi dengan variabel dependent yaitu LTFU. Hasilnya disajikan dalam bentuk tabulasi silang. Survival analysis digunakan untuk menganalisis waktu terjadinya LTFU. Variabel independen yang dibandingkan sesuai dengan pengkategorian untuk melihat perbedaan antara dua kelompok. Dalam uji ini dihasilkan nilai p dan survival rate yang digunakan untuk melihat kemaknaan perbedaan antar kelompok. Nilai crude Hazard Ratio (HR), p spesifik, dan p dari crude HR dari setiap variabel independen terhadap LTFU dilakukan dengan Cox Proportional Hazard Model dengan tingkat kepercayaan 95%. Nilai p untuk crude HR diperoleh dengan melakukan tes parm bila variabel independen berskala nominal dengan tiga atau lebih kategori dan menggunakan test for trend bila data berskala ordinal atau interval yang dikategorikan menjadi dua atau lebih kategori. Nilai p untuk crude HR ini digunakan untuk melihat kemaknaan variabel independen terhadap kejadian LTFU. Pada saat analisis untuk memperoleh p crude untuk HR, data pasien yang missing dikeluarkan dari model analisis sehingga data missing tidak mempengaruhi hasil analisis. Analisis memberikan makna signifikan bila p untuk crude HR < Nilai HR digunakan untuk melihat besarnya pengaruh variabel independen terhadap LTFU. Bila HR >1 menunjukkan bahwa variabel yang diteliti meningkatkan risiko LTFU, bila HR <1 menunjukkan bahwa

61 61 variabel yang diteliti menurunkan risiko LTFU, bila HR=1 menunjukkan bahwa variabel yang diteliti tidak berhubungan terhadap LTFU Analisis multivariat Analisis mulitivariat dilakukan untuk melihat hubungan yang paling kuat dan paling berpengaruh terhadap LTFU dari beberapa variabel yang memiliki hubungan di analisa bivariat. Analisis Cox Regression digunakan untuk mengetahui besarnya hubungan antara LTFU dengan variabel independen yang mempengaruhi secara bersama-sama. Variabel dependen dimasukkan bersama-sama dengan variabel independent. Uji kolinearitas dilakukan pada semua variabel yang masuk ke model. Syarat variabel independen yang dimasukkan ke dalam model adalah variabel pada analisis bivariat memiliki nilai p < 0,25. Sebelum masuk ke model multivariat, dilakukan uji kolinearitas pada masing-masing variabel independen yang memenuhi syarat untuk masuk ke model multivariat. Metode seleksi yang digunakan adalah metode backward dimana satu persatu variabel yang tidak signifikan dikeluarkan dari model sampai diperoleh model akhir. Pada analisis ini diperoleh pengaruh antara variabel dependen dengan variabel independen dilihat dari nilai Adjusted Hazard Ratio (AHR), nilai p spesifik, tingkat kepercayaan 95% dikatakan signifikan jika nilai p < 0,05. Variabel dengan lebih dari dua kategori, nilai p dari adjusted HR dihitung dengan testparm untuk skala nominal dan test trend untuk skala ordinal. Ho ditolak bila p < 0,05 dan nilai HR 1 dengan 95% CI dari HR, dimana 1 berada di luar CI. HR <1 berarti variabel tersebut dapat

62 62 menurunkan risiko untuk LTFU, HR >1 menunjukkan bahwa variabel tersebut dapat meningkatkan risiko LTFU, sedangkan HR=1 berarti variabel tersebut tidak berhubungan dengan LTFU. Model akhir pada uji ini diperoleh AHR yang digunakan untuk melihat besarnya pengaruh variabel independen terhadap kejadian LTFU pasien HIV/AIDS dengan terapi ARV setelah dilakukan pengontrolan pada variabel lainnya. Uji propotional hazard dilakukan pada model multivariat yang terakhir yang bertujuan untuk mengecek proportional model yang dihasilkan dimana model dikatakan proportional bila memiliki nilai p > 0,05.

63 63 BAB V HASIL PENELITIAN Jumlah pasien dengan terapi ARV di Layanan VCT Sekar Jepun sejak tahun 2006 sampai Juli 2014 yaitu 671 orang. Jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 575 orang (85,7%) yang mendapatkan terapi dan minimal dua kali kunjungan, sedangkan tidak memenuhi kriteria terdiri dari 74 orang dengan satu kali kunjungan, 11 orang hamil, 2 orang umur < 15 tahun, dan 9 orang dari satelit RSUD negara. Sampel juga merupakan pasien dari Klinik Bali Medika sebanyak 234 orang (40,7% dari 575 pasien ARV yang memenuhi kriteria inklusi). Odha dalam pengamatan yang mendapatkan terapi ARV rata-rata meningkat setiap tahunnya dengan jumlah terbanyak di tahun 2013 sebanyak 188 (32,7%). Jumlah pasien yang mendapatkan terapi ARV dari tahun 2006 sampai Juli 2014 digambarkan pada grafik 5.1. (Juli) Gambar 5.1 Jumlah Pasien dalam Pengamatan per tahun 63

BAB I PENDAHULUAN. menjadi masalah kesehatan global. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan secara global

BAB I PENDAHULUAN. menjadi masalah kesehatan global. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan secara global 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Epidemi HIV/AIDS sejak pertama kali ditemukan hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan global. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan secara global 34 juta, jumlah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. macam kebijakan dan program komprehensif. Empat pilar penanggulangan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. macam kebijakan dan program komprehensif. Empat pilar penanggulangan 10 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana Terapi ARV Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia telah diupayakan melalui berbagai macam kebijakan dan program komprehensif. Empat pilar penanggulangan

Lebih terperinci

BAB II PENDAHULUANN. Syndromem (AIDS) merupakan masalah global yang terjadi di setiap negara di

BAB II PENDAHULUANN. Syndromem (AIDS) merupakan masalah global yang terjadi di setiap negara di 1 BAB II PENDAHULUANN 1.1 Latar Belakangg Humann Immunodeficiencyy Viruss (HIV) / Acquired Immuno Deficiency Syndromem (AIDS) merupakan masalah global yang terjadi di setiap negara di dunia, dimana jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Berdasarkan data yang diterbitkan oleh Joint United National Program on

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Berdasarkan data yang diterbitkan oleh Joint United National Program on BAB I PENDAHULUAN A.Latar belakang Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) saat ini merupakan masalah kesehatan terbesar di dunia. Berdasarkan data yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) secara global masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah kesehatan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hangat dibahas dalam masa sekarang ini adalah penyakit HIV/AIDS (Human

BAB I PENDAHULUAN. hangat dibahas dalam masa sekarang ini adalah penyakit HIV/AIDS (Human 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan masalah kesehatan global yang menjadi perbincangan masyarakat di seluruh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKAA. tertinggi dia Asia sejumlah kasus. Laporan UNAIDS, memperkirakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKAA. tertinggi dia Asia sejumlah kasus. Laporan UNAIDS, memperkirakan 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKAA 2.1 Epidemiologi HIV/AIDS Secara global Indonesia menduduki peringkat ketiga dengan kasusa HIV tertinggi dia Asia sejumlah 380.000 kasus. Laporan UNAIDS, memperkirakan pada tahun

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. infeksi Human Immunodificiency Virus (HIV). HIV adalah suatu retrovirus yang

BAB I. PENDAHULUAN. infeksi Human Immunodificiency Virus (HIV). HIV adalah suatu retrovirus yang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang AIDS (Accquired Immunodeficiency Syndrom) adalah stadium akhir pada serangkaian abnormalitas imunologis dan klinis yang dikenal sebagai spektrum infeksi Human Immunodificiency

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang secara progresif merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya menjaga sistem kekebalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah HIV/AIDS. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang

BAB I PENDAHULUAN. masalah HIV/AIDS. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari masalah HIV/AIDS.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome) merupakan salah satu penyakit infeksi yang

BAB I PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome) merupakan salah satu penyakit infeksi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan salah satu penyakit infeksi yang mengancam jiwa sehingga sampai saat ini menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. (2) Meskipun ilmu. namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. (2) Meskipun ilmu. namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Tidak ada negara yang terbebas dari HIV/AIDS. (1) Saat ini

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodeficiency Syndrome atau yang kita kenal dengan HIV/AIDS saat ini merupakan global health issue. HIV/AIDS telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di Asia dengan epidemi HIV (human immunodeficiancy virus) yang berkembang paling cepat menurut data UNAIDS (United Nations

Lebih terperinci

57 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

57 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT ANTIRETROVIRAL PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) Edy Bachrun (Program Studi Kesehatan Masyarakat, STIKes Bhakti Husada Mulia Madiun) ABSTRAK Kepatuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga berpengaruh terhadap keadaan sosioekonomi meskipun berbagai upaya. penyakit ini (Price & Wilson, 2006; Depkes RI 2006).

BAB I PENDAHULUAN. juga berpengaruh terhadap keadaan sosioekonomi meskipun berbagai upaya. penyakit ini (Price & Wilson, 2006; Depkes RI 2006). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV/AIDS telah menjadi pandemi yang mengkhawatirkan dan salah satu tantangan kesehatan masyarakat yang paling signifikan di dunia (WHO, 2015), karena disamping belum

Lebih terperinci

Pemberian ARV pada PMTCT. Dr. Janto G. Lingga,SpP

Pemberian ARV pada PMTCT. Dr. Janto G. Lingga,SpP Pemberian ARV pada PMTCT Dr. Janto G. Lingga,SpP Terapi & Profilaksis ARV Terapi ARV Penggunaan obat antiretroviral jangka panjang untuk mengobati perempuan hamil HIV positif dan mencegah MTCT Profilaksis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan data estimasi United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS), hingga akhir tahun 2013 jumlah orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) di seluruh

Lebih terperinci

Terapi antiretroviral untuk infeksi HIV pada bayi dan anak:

Terapi antiretroviral untuk infeksi HIV pada bayi dan anak: Terapi antiretroviral untuk infeksi HIV pada bayi dan anak: Menuju akses universal Oleh: WHO, 10 Juni 2010 Ringkasan eksekutif usulan. Versi awal untuk perencanaan program, 2010 Ringkasan eksekutif Ada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV)/ Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV)/ Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Menular Seksual merupakan penyakit infeksi yang ditularkan melalui aktivitas seksual dengan pasangan penderita infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber: Kemenkes, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Sumber: Kemenkes, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang merupakan penyebab dari timbulnya Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), masih menjadi masalah kesehatan utama secara

Lebih terperinci

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) Kementerian Kesehatan RI (4),

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) Kementerian Kesehatan RI (4), BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi dari virus HIV (Human Immunodeficiency

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV/AIDS, mempromosikan perubahan perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit menular saat ini masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia dan merupakan penyebab kematian bagi penderitanya. Penyakit menular adalah penyakit

Lebih terperinci

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sekumpulan gejala. oleh adanya infeksi oleh virus yang disebut Human Immuno-deficiency Virus

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sekumpulan gejala. oleh adanya infeksi oleh virus yang disebut Human Immuno-deficiency Virus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya sistem kekebalan tubuh. AIDS disebabkan oleh adanya infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV AIDS merupakan masalah kesehatan masyarakat global yang sampai saat ini belum ditemukan obat untuk menyembuhkannya (CDC, 2016). WHO (2016) menunjukkan bahwa terdapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah gejala atau

I. PENDAHULUAN. Penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah gejala atau I. PENDAHULUAN Penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah gejala atau infeksi yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusiaakibat infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan permasalahan penyakit menular seksual termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan kualitatif. HIV merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) semakin nyata menjadi masalah kesehatan utama diseluruh dunia (Yasin

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB 1 : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu masalah kesehatan global yang jumlah penderitanya meningkat setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV) yang merusak sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

Pemutakhiran Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Ba

Pemutakhiran Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Ba Pemutakhiran Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Ba Dr. Muh. Ilhamy, SpOG Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Ditjen Bina Kesmas, Depkes RI Pertemuan Update Pedoman Nasional PMTCT Bogor, 4

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit epidemik di

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit epidemik di BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit epidemik di dunia, dimana penderita HIV terbanyak berada di benua Afrika dan Asia. Menurut World Health Organization

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) didefinisikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) didefinisikan sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) didefinisikan sebagai suatu kondisi klinis yang disebabkan oleh infeksi virus Human Immuodeficiency Virus (HIV)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga pengidap akan rentan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan kelanjutan dari apa yang sudah dibangun pada Millenium Development Goals (MDGs), memiliki 5 pondasi yaitu manusia,

Lebih terperinci

CURRENT DIAGNOSIS & THERAPY HIV. Dhani Redhono Tim CST VCT RS dr. Moewardi

CURRENT DIAGNOSIS & THERAPY HIV. Dhani Redhono Tim CST VCT RS dr. Moewardi CURRENT DIAGNOSIS & THERAPY HIV Dhani Redhono Tim CST VCT RS dr. Moewardi Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah ODHA pada kelompok orang berperilaku risiko tinggi tertular HIV

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena dari tahun ke tahun terus meningkat. Dalam sepuluh tahun terakhir, peningkatan AIDS sungguh mengejutkan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. imuno kompromis infeksius yang berbahaya, dikenal sejak tahun Pada

I. PENDAHULUAN. imuno kompromis infeksius yang berbahaya, dikenal sejak tahun Pada 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu penyakit imuno kompromis infeksius yang berbahaya, dikenal sejak tahun 1981. Pada tahun 1983, agen penyebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) telah menjadi masalah yang serius bagi dunia kesehatan. Menurut data World Health

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama infeksi berlangsung,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahkan negara lain. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari masalah

BAB I PENDAHULUAN. bahkan negara lain. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah HIV merupakan masalah kesehatan yang mengancam Indonesia bahkan negara lain. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari masalah HIV/AIDS dan menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Infeksi Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang menimbulkan masalah besar di dunia.tb menjadi penyebab utama kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (AIDS) pada tahun 1981 telah berkembang menjadi masalah kesehatan. (UNAIDS) dalam laporannya pada hari AIDS sedunia tahun 2014,

BAB I PENDAHULUAN. (AIDS) pada tahun 1981 telah berkembang menjadi masalah kesehatan. (UNAIDS) dalam laporannya pada hari AIDS sedunia tahun 2014, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak ditemukannya penyakit Aqcuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) pada tahun 1981 telah berkembang menjadi masalah kesehatan gobal. Menurut data dari United Nations

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, menyebabkan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN HIV (Human Immunodeficiency Virus) virus ini adalah virus yang diketahui sebagai penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). HIV merusak sistem ketahanan tubuh,

Lebih terperinci

BAB II PENDAHULUANN. Syndromem (AIDS) merupakan masalah global yang terjadi di setiap negara di

BAB II PENDAHULUANN. Syndromem (AIDS) merupakan masalah global yang terjadi di setiap negara di 1 BAB II PENDAHULUANN 1.1 Latar Belakangg Humann Immunodeficiencyy Viruss (HIV) / Acquired Immuno Deficiency Syndromem (AIDS) merupakan masalah global yang terjadi di setiap negara di dunia, dimana jumlah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit menular yang belum dapat diselesaikan dan termasuk iceberg phenomenon atau fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menginfeksi sel-sel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak

BAB I PENDAHULUAN. menginfeksi sel-sel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan retrovirus yang menginfeksi sel-sel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsi. Selama infeksi berlangsung,

Lebih terperinci

Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA Disampaikan pada Lecture Series Pusat Penelitian HIV/AIDS UNIKA ATMAJAYA: Peranan Bidan dalam Mendukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV/AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian sangat serius. Hal ini karena jumlah kasus AIDS yang dilaporkan setiap tahunnya

Lebih terperinci

DETERMINAN LOSS TO FOLLOW UP

DETERMINAN LOSS TO FOLLOW UP TESIS DETERMINAN LOSS TO FOLLOW UP PASIEN ODHA YANG MENERIMA TERAPI ANTIRETROVIRAL DI LAYANAN VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING SEKAR JEPUN RSUD BADUNG TAHUN 2006-2014 PUTU DIAN PRIMA KUSUMA DEWI PROGRAM

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Sydrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemi.

Lebih terperinci

XII. Pertimbangan untuk bayi dan anak koinfeksi TB dan HIV

XII. Pertimbangan untuk bayi dan anak koinfeksi TB dan HIV ART untuk infeksi HIV pada bayi dan anak dalam rangkaian terbatas sumber daya (WHO) XII. Pertimbangan untuk bayi dan anak koinfeksi TB dan HIV Tuberkulosis (TB) mewakili ancaman yang bermakna pada kesehatan

Lebih terperinci

RETROSPEKTIF LONGITUDINAL ANALISIS: ODHA LOSS TO FOLLOW UP (LTFU) SAAT MENJALANI TERAPI DI YAYASAN KERTI PRAJA BALI TAHUN

RETROSPEKTIF LONGITUDINAL ANALISIS: ODHA LOSS TO FOLLOW UP (LTFU) SAAT MENJALANI TERAPI DI YAYASAN KERTI PRAJA BALI TAHUN RETROSPEKTIF LONGITUDINAL ANALISIS: ODHA LOSS TO FOLLOW UP (LTFU) SAAT MENJALANI TERAPI DI YAYASAN KERTI PRAJA BALI TAHUN 2002-202 D.N.Widyanthini, A.A.S.Sawitri,2, D.N.Wirawan,2,3. Program Studi Magister

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Pasien ART Rendahnya imunitas dan beratnya keadaan klinis pasien saat memulai ART mempengaruhi lamanya proses perbaikan imunologis maupun klinis pasien. Tabel 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya jumlah kasus infeksi HIV khususnya pada kelompok Wanita Penjaja Seks (WPS) di Indonesia pada saat ini, akan menyebabkan tingginya risiko penyebaran infeksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 HIV/AIDS 2.1.1 Pengertian dan penularan Human Immnunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga sistem kekebalan tubuh manusia melemah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang setinggitingginya.

Lebih terperinci

SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan mencapai gelar Sarjana Farmasi ( S1 )

SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan mencapai gelar Sarjana Farmasi ( S1 ) STUDI PENGGUNAAN ANTIRETROVIRAL PADA PENDERITA HIV(Human Immunodeficiency Virus) POSITIF DI KLINIK VOLUNTARY CONSELING AND TESTING RSUD dr. SOEBANDI JEMBER Periode 1 Agustus 2007-30 September 2008 SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan berbagai masalah di masyarakat. Angka kematian HIV/AIDS di

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan berbagai masalah di masyarakat. Angka kematian HIV/AIDS di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV di Indonesia masih menjadi masalah yang serius dan komplek serta menimbulkan berbagai masalah di masyarakat. Angka kematian HIV/AIDS di Indonesia juga masih tinggi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang secara progresif merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya menjaga sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah internasional dalam bidang kesehatan adalah upaya menghadapi masalah Infeksi Menular Seksual (IMS) yang tertuang pada target keenam Millennium Development

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan salah satu penyakit

BAB I PENDAHULUAN. AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan salah satu penyakit 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan salah satu penyakit yang menduduki urutan ke-4 didunia yang mematikan, menjadi wabah internasional dan cenderung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah dunia karena melanda di seluruh negara di dunia (Widoyono, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. masalah dunia karena melanda di seluruh negara di dunia (Widoyono, 2005). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit yang mengkhawatirkan masyarakat karena disamping belum ditemukan obat dan vaksin untuk pencegahan, penyakit ini juga memiliki

Lebih terperinci

ABSTRAK PREDIKTOR PENINGKATAN STATUS GIZI PASIEN YANG MENDAPATKAN TERAPI ANTIRETROVIRAL DI RSUP SANGLAH DENPASAR BALI

ABSTRAK PREDIKTOR PENINGKATAN STATUS GIZI PASIEN YANG MENDAPATKAN TERAPI ANTIRETROVIRAL DI RSUP SANGLAH DENPASAR BALI ABSTRAK PREDIKTOR PENINGKATAN STATUS GIZI PASIEN YANG MENDAPATKAN TERAPI ANTIRETROVIRAL DI RSUP SANGLAH DENPASAR BALI Setelah ditemukannya obat antiretroviral (ARV) telah terjadi peningk atan status gizi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat 16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Human Immuno-deficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang menyerang system kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit yang

Lebih terperinci

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN PENGARUH STIGMA DAN DISKRIMINASI ODHA TERHADAP PEMANFAATAN VCT DI DISTRIK SORONG TIMUR KOTA SORONG Sariana Pangaribuan (STIKes Papua, Sorong) E-mail: sarianapangaribuan@yahoo.co.id ABSTRAK Voluntary Counselling

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV dapat menyebabkan penderita

Lebih terperinci

sebuah tinjauan strategi dr. Abednego Dani N Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul PROGRAM PENGENDALIAN HIV&AIDS KABUPATEN BANTUL

sebuah tinjauan strategi dr. Abednego Dani N Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul PROGRAM PENGENDALIAN HIV&AIDS KABUPATEN BANTUL PROGRAM PENGENDALIAN HIV&AIDS KABUPATEN BANTUL sebuah tinjauan strategi dr. Abednego Dani N Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul Disampaikan di hadapan: Workshop P2 HIV&AIDS di Kabupaten Bantul 30 Mei 2011

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit, diantaranya Acquired Immuno Defeciency Syndrome. (AIDS) adalah kumpulan penyakit yang disebabkan oleh Virus

BAB I PENDAHULUAN. penyakit, diantaranya Acquired Immuno Defeciency Syndrome. (AIDS) adalah kumpulan penyakit yang disebabkan oleh Virus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akhir dekade ini telah di jumpai berbagai macam penyakit, diantaranya Acquired Immuno Defeciency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan penyakit yang disebabkan oleh Virus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human immunodeficiency virus (HIV) adalah suatu jenis retrovirus yang memiliki envelope, yang mengandung RNA dan mengakibatkan gangguan sistem imun karena menginfeksi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia. Acquired Immunodeficiency Syndrome atau AIDS. tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV (Kemenkes RI, 2014).

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia. Acquired Immunodeficiency Syndrome atau AIDS. tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV (Kemenkes RI, 2014). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah sejenis virus yang menyerang/menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh manusia. Acquired

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV) & Acquired Immunodeficieny Syndrome (AIDS) merupakan suatu penyakit yang terus berkembang dan menjadi masalah global yang

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN. yang meliputi analisis bivariat dan multivariat. berlokasi di lingkungan Rumah Sakit Umum Daerah Sanjiwani Gianyar, yang

BAB V HASIL PENELITIAN. yang meliputi analisis bivariat dan multivariat. berlokasi di lingkungan Rumah Sakit Umum Daerah Sanjiwani Gianyar, yang BAB V HASIL PENELITIAN Dalam bab ini akan diuraikan hasil penelitian yang memaparkan gambaran umum lokasi penelitian, data deskriptif, serta menyajikan hasil pengolahan data yang meliputi analisis bivariat

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) semakin meningkat dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs)

BAB 1 PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sasaran pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs) yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pemerintah Indonesia, berbeda dengan Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan zat psiko aktif merupakan masalah yang sering terjadi di

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan zat psiko aktif merupakan masalah yang sering terjadi di BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan zat psiko aktif merupakan masalah yang sering terjadi di seluruh dunia, dan berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan morbidilitas. WHO telah

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN LOSS TO FOLLOW UP PADA ODHA YANG MENERIMA TERAPI ARV DI KLINIK AMERTHA YAYASAN KERTI PRAJA BALI TAHUN

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN LOSS TO FOLLOW UP PADA ODHA YANG MENERIMA TERAPI ARV DI KLINIK AMERTHA YAYASAN KERTI PRAJA BALI TAHUN TESIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN LOSS TO FOLLOW UP PADA ODHA YANG MENERIMA TERAPI ARV DI KLINIK AMERTHA YAYASAN KERTI PRAJA BALI TAHUN 2002 2012 DESAK NYOMAN WIDYANTHINI PROGRAM PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit menular masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian penderitanya. Departemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tubuh manusia tersebut menjadi melemah. Pertahanan tubuh yang menurun

BAB I PENDAHULUAN. tubuh manusia tersebut menjadi melemah. Pertahanan tubuh yang menurun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sehingga menyebabkan sistem pertahanan tubuh manusia tersebut menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epidemi HIV/AIDS di Indonesia Epidemi HIV di Indonesia telah berlangsung selama 25 tahun dan sejak tahun 2000 sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi

Lebih terperinci

HIV dan Anak. Prakata. Bagaimana bayi menjadi terinfeksi? Tes HIV untuk bayi. Tes antibodi

HIV dan Anak. Prakata. Bagaimana bayi menjadi terinfeksi? Tes HIV untuk bayi. Tes antibodi Prakata Dengan semakin banyak perempuan di Indonesia yang terinfeksi HIV, semakin banyak anak juga terlahir dengan HIV. Walaupun ada cara untuk mencegah penularan HIV dari ibu-ke-bayi (PMTCT), intervensi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh dunia. Jumlah kasus TB pada tahun 2014 sebagian besar terjadi di Asia

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh dunia. Jumlah kasus TB pada tahun 2014 sebagian besar terjadi di Asia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan di dunia. 1,5 juta orang meninggal akibat tuberkulosis pada tahun 2014. Insiden TB diperkirakan ada 9,6 juta (kisaran 9,1-10

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KLINIK MS DAN VCT PENDAHULUAN

KERANGKA ACUAN KLINIK MS DAN VCT PENDAHULUAN KERANGKA ACUAN KLINIK MS DAN VCT PENDAHULUAN A.Latar Belakang Berdasarkan laporan UNAIDS 2006 menunjukkan bahwa orang dengan HIV/AIDS yang hidup 39,4 juta orang, dewasa 37,2 juta penderita,anak-anak dibawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL) Departemen Kesehatan

Lebih terperinci

Silabus Mata Kuliah Kesehatan Seksual dan HIV/AIDS Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana

Silabus Mata Kuliah Kesehatan Seksual dan HIV/AIDS Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana Silabus Mata Kuliah Kesehatan Seksual dan HIV/AIDS Program Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana Kompetensi (Competency Statement) Mampu merencanakan, mengambil keputusan, mengevaluasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit menular menjadi masalah dalam kesehatan masyarakat di Indonesia dan hal ini sering timbul sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) yang menyebabkan kematian penderitanya.

Lebih terperinci

Untuk komunitas dari komunitas: Jangan hanya di puskesmas dan rumah sakit!

Untuk komunitas dari komunitas: Jangan hanya di puskesmas dan rumah sakit! Policy Brief Untuk komunitas dari komunitas: Jangan hanya di puskesmas dan rumah sakit! Pesan Pokok Perluasan cakupan perawatan HIV hingga saat ini masih terbatas karena adanya berbagai hambatan baik dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah virus yang menyerang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah virus yang menyerang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah virus yang menyerang sel darah putih dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada pembinaan kesehatan (Shaping the health of the nation), yaitu upaya kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. pada pembinaan kesehatan (Shaping the health of the nation), yaitu upaya kesehatan 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 pasal 46 dan 47 menyatakan bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan

Lebih terperinci

Nama : Ella Khairatunnisa NIM : SR Kelas : SI Reguler IV B Asuhan Keperawatan Klien Dengan HIV/AIDS

Nama : Ella Khairatunnisa NIM : SR Kelas : SI Reguler IV B Asuhan Keperawatan Klien Dengan HIV/AIDS Nama : Ella Khairatunnisa NIM : SR072010031 Kelas : SI Reguler IV B Asuhan Keperawatan Klien Dengan HIV/AIDS Asuhan Keperawatan Wanita Dan Anak Dengan HIV/AIDS 1. Pencegahan Penularan HIV pada Wanita dan

Lebih terperinci

Apa itu HIV/AIDS? Apa itu HIV dan jenis jenis apa saja yang. Bagaimana HIV menular?

Apa itu HIV/AIDS? Apa itu HIV dan jenis jenis apa saja yang. Bagaimana HIV menular? Apa itu HIV/AIDS? Apa itu HIV dan jenis jenis apa saja yang HIV berarti virus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Ini adalah retrovirus, yang berarti virus yang mengunakan sel tubuhnya sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem pertahanan manusia sehingga menyebababkan sistem pertahanan tubuh manusia tersebut menjadi melemah.

Lebih terperinci

Situasi HIV & AIDS di Indonesia

Situasi HIV & AIDS di Indonesia Situasi HIV & AIDS di Indonesia 2.1. Perkembangan Kasus AIDS Tahun 2000-2009 Masalah HIV dan AIDS adalah masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian yang sangat serius. Ini terlihat dari apabila

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit HIV & AIDS merupakan suatu penyakit yang terus berkembang dan menjadi masalah global yang melanda dunia. Indonesia merupakan negara di ASEAN yang paling tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA penjamu. imun, hal ini terjadi karena virus HIV menggunakan DNA dari CD4 + dan

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA penjamu. imun, hal ini terjadi karena virus HIV menggunakan DNA dari CD4 + dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Virus HIV (Human Immunodefeciency Virus) adalah retrovirus yang mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA penjamu untuk membentuk virus DNA dan menginfeksi tubuh

Lebih terperinci

Program Peningkatan Cakupan Tes HIV, Inisiasi Dini ART dan Kelangsungan ODHA Minum ARV pada Populasi Berisiko Tinggi di Kota Denpasar,

Program Peningkatan Cakupan Tes HIV, Inisiasi Dini ART dan Kelangsungan ODHA Minum ARV pada Populasi Berisiko Tinggi di Kota Denpasar, Program Peningkatan Cakupan Tes HIV, Inisiasi Dini ART dan Kelangsungan ODHA Minum ARV pada Populasi Berisiko Tinggi di Kota Denpasar, 2014-2015 Sang Gede Purnama, Partha Muliawan, Dewa Wirawan A. Abstrak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Imunnodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Imunne Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Imunnodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Imunne Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Imunnodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Imunne Deficiency Syndrome (AIDS) adalah masalah besar yang mengancam banyak negara di seluruh dunia. Tidak ada negara

Lebih terperinci