BAB II KAJIAN PUSTAKA. macam kebijakan dan program komprehensif. Empat pilar penanggulangan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. macam kebijakan dan program komprehensif. Empat pilar penanggulangan"

Transkripsi

1 10 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kebijakan dan Tatalaksana Terapi ARV Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia telah diupayakan melalui berbagai macam kebijakan dan program komprehensif. Empat pilar penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia semuanya menuju pada paradigma zero new infection, zero AIDS-related death dan zero discrimination meliputi pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan, mitigasi dampak, dan persiapan lingkungan yang kondusif (Kemenkes RI, 2011b; KPAN, 2010). Salah satu pilar yang menjadi kunci keberhasilan penanggulangan HIV/AIDS adalah perawatan, dukungan dan pengobatan dengan pemberian terapi antiretroviral (ARV). Kepedulian pemerintah Indonesia terhadap kondisi epidemi HIV/AIDS ditunjukkan melalui peningkatan jumlah layanan PDP (perawatan, dukungan dan pengobatan) sampai tahun 2014 yaitu 454 terdiri dari 324 rumah sakit rujukan PDP dan 130 satelit (Kemenkes RI, 2014). Tentunya kondisi ini akan sangat menunjang program pengobatan ARV sehingga insiden HIV/AIDS dapat diturunkan. Kebijakan pemberian terapi ARV terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan bukti ilmiah dan ketersediaan layanan secara internasional. Semakin dini odha terjangkau di layanan kesehatan untuk mengakses ARV, maka semakin menurunkan risiko untuk mendapatkan penyakit infeksi oportunistik maupun menularkan infeksi HIV (Kemenkes RI, 2011b). Pedoman nasional pengobatan 10

2 11 antiretroviral di Indonesia terus diperbaharui secara periodik mengacu pada pedoman dan rekomendasi WHO sesuai dengan perkembangan bukti ilmiah berupa kajian klinik dan penelitian observasional atas efikasi, efek samping obat serta pengalaman pemakaian ARV oleh program di negara dengan keterbatasan sumber daya, seperti obat dan biaya (Depkes, 2007). Pemberian terapi antiretroviral (ARV) pada odha bertujuan untuk menurunkan angka kematian akibat AIDS, angka kesakitan, rawat inap dan meningkatkan kualitas hidup odha berbagai stadium. Terapi ARV diberikan setelah melalui penilaian stadium klinis, imunologi, dan virologi. Penentuan stadium klinis dan jumlah CD4 merupakan kondisi terpenting yang harus diketahui di awal sebelum memulai terapi. Penanganan penderita HIV/AIDS meliputi perawatan (care), dukungan (support), dan pengobatan (treatment). Sepuluh prinsip yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi ARV yaitu indikasi pengobatan, kombinasi obat, first chance (pemilihan obat lini pertama yang diprioritaskan), kompleksitas, resisten, informasi, motivasi dan compliance, monitoring, target pengobatan, dan studi (34). Pasien yang sudah ditetapkan positif HIV/AIDS langkah selanjutnya adalah pemeriksaan fisik lengkap dan laboratorium untuk mengidentifikasi infeksi oportunistik, menentukan stadium klinis HIV/AIDS menurut WHO, skrining TB, skrining IMS, sifilis, dan malaria untuk ibu hamil, pemeriksaan CD4 untuk menentukan PPK (pengobatan pencegahan kotrimoksasol) dan ART, pemberian PPK jika tidak tersedia pemeriksaan CD4, identifikasi kepatuhan (adherence), konseling

3 12 positive prevention dan konseling KB (jika ada rencana memiliki anak). Berdasarkan alur pelayanan HIV melalui penatalaksanaan lebih lanjut maka pasien dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan kesesuaian pemberian terapi ARV yaitu memenuhi syarat ARV, belum memenuhi syarat ARV dan ada kendala kepatuhan. Rekomendasi selanjutnya, untuk pasien yang memenuhi syarat pemberian ARV bila tersedia pemeriksaan CD4 berdasarkan kebijakan pedoman ARV tahun 2011 adalah 1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 > 350 sell/mm 3 tanpa memandang stadium klinisnya 2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil, dan koinfeksi Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4 Lini pertama obat ARV yang ditetapkan oleh pemerintah adalah 2 NRTI (nucleoside reverse transcriptase inhibitors) disertai 1 NNRTI (non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors, misalnya zidovudin diberikan bersama lamivudin dan nevirapin. Lini ke dua terdiri dari 2 NRTI dan boosted PIs (protease inhibitor) yang diperkuat LPV/r (ritonavir). Penambahan (boosted) dengan ritonavir ini untuk mengurangi dosis yang sangat tinggi dari PI. Pedoman pemberian terapi ARV di Indonesia disusun sejak tahun 2007, terdapat perbedaan dengan pedoman terapi tahun 2011 yang saat ini dijadikan sebagai acuan. Berikut merupakan perbedaan pedoman terapi antara keduanya:

4 13 Tabel 2.1 Pedoman Terapi ARV di Indonesia Populasi Target Pedoman Terapi ARV 2007 Pedoman Terapi ARV 2011 Indikasi memulai terapi ARV Odha tanpa gejala klinis (stadium 1) dan belum pernah mendapatkan CD4 200 sel/mm 3 CD4 350 sel/mm 3 terapi ARV Odha dengan gejala klinis dan belum pernah memperoleh terapi ARV Perempuan hamil dengan HIV Odha dengan koinfeksi TB yang belum pernah menerima terapi ARV Odha dengan koinfeksi Hepatitis B (HBV) yang belum mendapatkan terapi ARV Sumber : (Kemenkes RI, 2011b) Semua pasien dengan CD4 200 sel/mm 3, stadium 3 dan 4, berapapun jumlah CD4 Stadium 1 atau 2 dengan CD4 < 200 sel/mm 3, stadium 3 dan CD4 < 350 sel/mm 3 dan stadium 4, berapapun jumlah CD4 Adanya gejala TB aktif dan CD4 < 350 sel/mm 3 Tidak ada rekomendasi khusus Stadium klinis 2 bila CD4 350 sel/mm 3, stadium klinis 3 dan 4 tanpa melihat jumlah CD4 Semua ibu hamil berapapun jumlah CD4 dan kondisi stadium klinis Mulai terapi berapapun jumlah CD4 Odha dengan koinfeksi Hepatitis B (kronis aktif) dan berapapun junlah CD4 Data diri lengkap pasien akan dimasukkan ke dalam rekam medis dan register terapi ARV ketika pasien HIV/AIDS memulai terapi. Setiap pasien akan teregistrasi dalam nomor register nasional sesuai dengan kode registrasi rumah sakit. Pasien datang ke klinik VCT tiap bulan sekali, dengan waktu yang sudah ditetapkan yang tertera pada rekam medis dan diberikan persediaan obat ARV untuk persediaan bulan selanjutnya. Hasil tatalaksana pada pasien HIV/AIDS dapat diklasifikasikan menjadi

5 14 terapi ARV yang terkontrol, berhenti terapi, rujuk keluar, meninggal dunia dan loss follow-up ( Kemenkes RI, 2011a ; Kemenkes RI, 2011b). Hasil pemberian terapi ARV secara signifikan memberikan hasil yang baik bagi pasien HIV/AIDS. Pemberian terapi ARV selama infeksi HIV akut memberikan efek yang baik pada pasien seperti memperpendek durasi simptomatik infeksi, mengurangi sel yang terinfeksi, menyediakan cadangan respon imun yang spesifik dan menurunkan jumlah virus dalam jangka waktu yang lama (UNAIDS, 2013a). Terapi ARV diberikan seumur hidup karena HIV/AIDS sampai sekarang belum dapat disembuhkan. Tujuan pemberian ARV adalah menjaga viral load dibawah 50 kopi/ml, dikatakan gagal terapi jika viral load mencapai 1000 kopi/ml (Kemenkes RI, 2011b). Keberhasilan terapi ARV memerlukan kepatuhan terapi bagi pasien HIV/AIDS sehingga kepatuhan pasien harus selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur pada setiap kunjungan. Kegagalan terapi ARV sering diakibatkan oleh ketidakpatuhan pasien mengkonsumsi ARV (Kemenkes RI, 2011b; Lamb et al., 2012; UNAIDS, 2013a). 2.2 Loss To Follow Up pada Odha Prevalensi Loss To Follow Up Jumlah insiden atau kasus baru HIV dan kematian secara global sudah mengalami penurunan dengan adanya terapi ARV (UNAIDS, 2012). Kasus baru HIV di Asia Pasifik selama tahun 2011 mencapai dengan penurunan 26% sejak tahun 2001 dan cakupan pengobatan mencapai 51% telah mengalami peningkatan

6 15 dari 46% sejak tahun 2009 (UNAIDS, 2013). Layanan pengobatan HIV sudah diperluas baik dari segi perencana dan pelaksana program, dan untuk selanjutnya yang menjadi fokus perhatian adalah menutup kesenjangan dalam continum perawatan HIV. Data yang tepat waktu dan akurat untuk setiap tahap cascade pengobatan perlu dikumpulkan dan dianalisis agar dapat digunakan untuk mengkaji manajemen program dan pengembangan intervensi yang ditargetkan untuk mencegah LTFU pada seluruh cascade pengobatan (UNAIDS, 2012a). Loss to follow up pada pasien yang menerima ART dapat mengakibatkan konsekuensi serius seperti penghentian pengobatan, toksisitas obat, kegagalan pengobatan karena ketidakpatuhan, dan resistensi obat (UNAIDS, 2013a). Cakupan terapi ARV pada negara berpenghasilan rendah dan menengah terus meningkat hingga mencapai 9,7 juta pada tahun 2012 namun continuum dari perawatannya masih menjadi masalah yang menimbulkan persoalan baru seperti LTFU (UNAIDS, 2013a). Negara berpenghasilan tinggi dan rendah memiliki resiko LTFU yang berbeda jika dilihat dari jumlah CD4 saat memulai ART dan kondisi ini menentukan estimasi LTFU. Jumlah CD4 awal yang rendah merupakan resiko LTFU pada negara penghasilan rendah seperti Zambia, sedangkan kondisi berbeda untuk negara penghasilan tinggi seperti Switzerland bahwa jumlah CD4 yang tinggi lebih beresiko untuk LTFU (Schöni-Affolter et al., 2011). Penelitian dengan metode systematic review pada low and middle income countries menunjukkan estimasi LTFU yaitu 7,6% -15,1% dan studi di Sub-Saharan

7 16 Afrika dengan metode yang sama bahwa pasien yang memenuhi syarat ART mengalami LTFU 25%-54%, sedangkan penelitian yang dilakukan pada 93 site di Eropa memiliki insiden rate LTFU yang lebih kecil yaitu 3,72 per 100 person years. Walaupun negara maju menunjukkan insiden rate yang lebih kecil namun kemungkinan LTFU teridentifikasi meninggal sama untuk semua kategori negara tersebut dan teridentifikasi telah meninggal sebesar 12%-87%, sehingga melacak kembali status pasien yang LTFU perlu dilakukan. Sebagian besar pasien jika tidak teridentifikasi meninggal akan kembali berkunjung setelah satu tahun LTFU untuk melakukan pengukuran jumlah CD4 atau pengukuran viral load (Brinkhof et al., 2009; Mcmahon et al., 2013; Mugglin et al.,2014; Mocroft et al., 2008). Penelitian yang dilakukan pada 18 sites di Kawasan Asia Pasifik melalui data TAHOD (Treat Asia HIV Observational Database) pada tahun 2012 ditemukan 21,4 % per tahun kasus LTFU dari 3626 pasien (Zhou et al., 2012). Kondisi yang paling sering terjadi bahwa LTFU dikaitkan dengan alasan transfer ke program lain, masalah keuangan, meningkatkan atau memburuknya kesehatan, sulit dilakukan pelacakan diantara pasien LTFU karena adanya pencatatan nomor telepon dan alamat yang sering salah atau hilang (Brinkhof et al., 2009; Deribe et al., 2008). Prevalensi LTFU di Indonesia sesuai laporan dari Kemenkes per Agustus 2014 sebesar 17,95% ( dari yang pernah menerima ART) meningkat dibandingkan tahun 2013 yaitu 15,75% ( dari yang pernah menerima ART). Pasien yang LTFU masih kurang mendapatkan perhatian padahal

8 17 hampir 50% dari pasien LTFU teridentifikasi meninggal (Brinkhof et al., 2009; Wubshet et al., 2013). Penelitian cross sectional analitik yang dilakukan di RSUP dr Kariadi Semarang menunjukkan prevalensi loss to follow-up pada pasien HIV/AIDS sebesar 4,5% (Rosiana, 2014). Studi dan penelitian tentang kondisi LTFU di Indonesia masih sangat terbatas terutama penelitian longitudinal Definisi Loss To Follow Up Kriteria waktu penentuan loss to follow up merupakan indikator penting untuk memonitor kelangsungan pengobatan ARV selain sebagai deteksi awal kemungkinan terjadinya resistensi (Bennett et al., 2006). Istilah loss to follow up dalam beberapa literature disingkat dengan LTFU (Chi et al., 2010; Chi et al., 2011; Krishnan et al., 2011; Zhou et al., 2012). Program pengobatan ARV di Indonesia menetapkan LTFU, jika pasien tidak berkunjung kembali 3 bulan atau lebih dari kunjungan terakhir. Penentuan tanggal kunjungan terakhir di pelayanan tersebut sebagai waktu penetapan LTFU (Kemenkes RI, 2011b). Penelitian di beberapa negara lain juga menentukan jika pasien tidak datang kembali berkunjung lebih dari tiga bulan sebagai LTFU ( Chi et al., 2010; Ochieng-Ooko et al., 2010; Onoka et al., 2012; Lamb et al., 2012; Odafe et al., 2012; Onoka et al., 2012; Bekolo et al., 2013; Tran et al., 2013). Penentuan cut off point ini berbeda dengan penentuan LTFU menggunakan TAHOD (Treat ASIA HIV Observational Database) yaitu 180 hari (Zhou et al., 2012). Perbedaan definisi LTFU dan pada periode pengamatan dapat berkontribusi perbedaan taksiran tingkat LTFU (Fleishman et al., 2013)

9 18 Penelitian oleh Chi et al., tahun 2010 di Lusaka Zambia, menunjukkan kriteria penentuan LTFU yang tepat (reasonable definition) adalah 56 hari atau 60 hari dengan kesalahan klasifikasi sebesar 5,1% (95% CI; 4,8 5,3) dan memiliki sensitivitas 84,1% (95% (CI):83,2-85,0), spesifisitas 97,5% (95% CI; 97,3-97,7) (Chi et al., 2010). Sedangkan penelitian serupa juga dilakukan oleh Chi et al., tahun 2011 pada 111 fasilitas kesehatan di Afrika, Asia, dan America Latin tidak termasuk Indonesia merekomendasikan cut off point LTFU yaitu 180 hari dengan kesalahan klasifikasinya sebesar 1,2 % (95% CI 1,0%-1,5%). Kondisi ini menunjukkan masih adanya ketidakkonsistenan penentuan LTFU yang akan berdampak pada sistem monitoring dan evaluasi program ART secara global (Chi et al., 2011). Upaya memonitor hal tersebut maka perlu standar untuk mengklasifikasi pasien sebagai LTFU (Chi et al., 2011). Studi dengan metode systematic review menyebutkan bahwa definisi LTFU berbeda pada setiap studi tetapi 52% dari penelitian kohort (28/54) yang ditemukan pasien LTFU diklasifikasikan dalam waktu 3-4 bulan setelah kontak terakhir mereka dengan klinik ART (McMahon et al., 2013). Klasifikasi pasien sebagai LTFU bergantung pada definisi dengan basis interval artinya pasien absen untuk berkunjung dalam interval tertentu setelah kunjungan sebelumnya diklasifikasikan sebagai LTFU. Jika interval ini terlalu pendek, meskipun banyak pasien akan akurat diidentifikasi sebagai LTFU akan ada beberapa tingkat positif palsu yang tinggi dari pasien yang diklasifikasikan sebagai LTFU. Sebaliknya, jika interval terlalu lama maka beberapa pasien yang benar-benar

10 19 LTFU akan diklasifikasi sebagai absen sehingga perlu menentukan standar definisi LTFU untuk meminimalkan kesalahan klasifikasi pasien. Makadari itu diperlukan penentuan definisi universal LTFU atau algoritma umum untuk menentukan cut off LTFU dalam mengevaluasi program pengobatan ARV Dampak Loss To Follow Up Terhadap Pemberian Terapi ARV Pemberian terapi ARV pada odha memerlukan pencatatan dan monitoring yang baik untuk menghindari terjadinya kegagalan terapi atau resistensi yang dapat berdampak pada kematian. Persentase kejadian LTFU merupakan indikator awal untuk mendeteksi potensi resistensi. WHO merekomendasikan target < 20 % untuk kejadian LTFU pada satu tahun pertama odha yang menerima terapi ARV (Benetta et al., 2008). Mengetahui kejadian LTFU pada odha yang menerima terapi ARV penting karena ART tidak menyembuhkan infeksi HIV sehingga pasien harus mengambil obat antiretroviral teratur selama sisa hidup mereka. Beberapa program ART menunjukkan lebih dari sepertiga pasien mengalami LTFU dan mereka berhenti datang untuk pengobatan dalam waktu tiga tahun memulai terapi, tentunya hal ini mengancam keberhasilan program ART (Chi et al., 2011). Tingkat supresi virus yang optimal terjadi bila 95% dari semua dosis obat ARV diminum, dan resiko kegagalan terapi paling sering terjadi karena lupa minum obat (Kemenkes RI, 2011b). Tingkat kepatuhan pengobatan yang rendah sangat menentukan terjadinya LTFU (Tran et al., 2013).

11 20 Kondisi LTFU dan kematian merupakan dua kondisi yang saling berkaitan, dimana odha dengan jumlah CD4 < 100 sel / mm 3 dan 350 sel / mm 3 yang tercatat dalam status LTFU terdeteksi meninggal sebesar 22,9% dan 13,6%. (Schöni-Affolter et al., 2011). Peningkatan resiko kematian terjadi pada odha dengan kondisi LTFU karena resiko penghentian pengobatan sehingga LTFU ini menjadi salah satu masalah dalam pengobatan (Bekolo et al., 2013; Wubshet et al., 2013). Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa LTFU meningkatkan risiko kematian pada odha (Somi et al., 2012; Odafe et al., 2012; Onoka et al., 2012; Bekolo et al., 2013; Alvarez-Uria et al., 2013; Edwards et al., 2014). 2.3 Determinan yang berhubungan dengan loss to follow up pada odha yang menerima terapi ARV Retensi pemakaian ARV dan kepatuhan terhadap pengobatan merupakan penentu penting dari hasil jangka panjang pemberian terapi pada odha. LTFU pasien saat pengobatan membahayakan kesehatan mereka sendiri dan keberhasilan jangka panjang dari program ART (Tezera et al., 2014). Probabilitas LTFU berhubungan dengan jangka waktu perawatan ART dimana proporsi yang lebih tinggi dari LTFU tercatat dalam 6 bulan pertama setelah memulai ART dan umumnya kemungkinan LTFU secara bertahap meningkat seiring dengan masa retensi lebih lama (Berheto et al., 2014). Penelitian yang pernah dilakukan di negara lain menunjukkan beberapa determinan yang berhubungan dengan LTFU pada pasien odha diantaranya yaitu: Karakteristik Sosiodemografi Umur

12 21 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa umur yang semakin muda lebih berisiko untuk mengalami LTFU (Ochieng-Ooko et al., 2010; Krishnan et al., 2011; Onoka et al., 2012; Somi et al., 2012; Alvarez-Uria et al., 2013; Saka et al., 2013; Tran et al., 2013; Weigel et al., 2013; Kate et al. 2014;). Penelitian di Ethiopia menunjukkan bahwa remaja dua kali (HR=2,1; 95% CI: 1,3-3,4) dan orang dewasa 1,4 kali (HR = 1,4; 95% CI:1,0-2,0) lebih mungkin menjadi LTFU daripada anakanak (Tezera et al., 2014). Odha dalam kategori remaja cenderung menunjukkan ketidakdewasaan dalam berpikir analitis dan kemungkinan ada tantangan tertentu yang terkait dengan pubertas, stigma dan diskriminasi yang lebih besar serta tidak memiliki pengasuh (berbeda dengan anak-anak) (Murphy et al., 2003). Selain itu usia muda cenderung memiliki tingkat mobilitas yang lebih tinggi (Krishnan et al., 2011). LTFU pada pasien muda mungkin terkait dengan penolakan psikologis dari infeksi HIV dan kecenderungan mencari perawatan lain (Roura et al., 2009). Penelitian di Myanmar menyebutkan bahwa umur tahun lebih berisiko mengalami LTFU (ahr=1.5; 95% CI 1,25-1,94) (Sabapathy et al., 2012). Umur memiliki hubungan yang lemah untuk dikaitkan dengan kejadian LTFU namun tetap masuk akal untuk diamati karena kelompok usia termuda yang paling mungkin untuk mengalami LTFU terutama kondisi tanpa gejala yang memicu ketidakpedulian mereka dalam perawatan (Bekolo et al., 2013).

13 Jenis Kelamin Studi menunjukkan bahwa jenis kelamin berhubungan terhadap kejadian LTFU. Laki-laki memiliki risiko LTFU lebih tinggi dari pada perempuan (Odafe et al., 2012; Onoka et al., 2012; Evans et al., 2013; Tran et al., 2013; Weigel et al., 2013; Mugisha et al., 2014). Periode selama dua tahun terapi ARV kejadian loss to follow up pada laki-laki (AHR 1,4; 95% CI 1,2-1,7) lebih tinggi daripada perempuan (AHR 1,3, 95%CI 1,1 1,5) (Mugisha et al., 2014). Namun dalam 6 bulan terapi ARV justru perempuan memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami LTFU dibandingkan laki-laki (OR=1,8; 95%CI: 1,3-2,5) (Saka et al., 2013). Laki-laki lebih berisiko mengalami LTFU karena mereka cenderung datang ke pelayanan ketika sakit dan kurang bersedia untuk memberikan informasi secara detail (Onoka et al., 2012). Informasi yang detail misalnya pencatatan nomor telepon akan memudahkan dalam pelacakan dan pendeteksian keberlangsungan pengobatan ARV (McMahon et al., 2013) Laki-laki memiliki variasi dalam mobilitas dan risiko tinggi penyalahgunaan narkoba yang dapat mengganggu kepatuhan dalam terapi ARV sehingga lebih memiliki kemungkinan untuk LTFU (Alvarez-Uria et al., 2013). Kebanyakan pria dengan kecanduan narkoba mengalami toksisitas yang lebih tinggi karena interaksi dengan obat ARV yang mengarah ke penghentian terapi (Gordillo et al., 1999). Berbeda kondisinya pada perempuan yang lebih mungkin untuk datang ke fasilitas layanan kesehatan dibandingkan pria untuk mendapat layanan reproduksi dan pelayanan kesehatan anak (Odafe et al., 2012). Perempuan mungkin mencari

14 23 perawatan segera karena mereka adalah pengasuh utama dalam keluarga dan merasa memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk tetap sehat (Ochieng-Ooko et al., 2010). Laki-laki lebih cenderung mengalami LTFU jika memiliki penyakit stadium lanjut, sedangkan perempuan lebih mungkin untuk LTFU jika jumlah CD4 mereka tinggi, hal ini menunjukkan bahwa LTFU pada laki-laki kemungkinan terjadi karena penyakit yang bertambah parah atau kematian (Ochieng-Ooko et al., 2010) Pendidikan Odha yang berpendidikan lebih termotivasi untuk patuh dalam pengobatan karena kemampuan mereka untuk memahami hasil laboratorium dan informasi ilmiah baru tentang HIV dan pengobatan (Krishnan et al., 2011). Kondisi sebaliknya bahwa mereka dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah sulit untuk memahami pra konseling yang meliputi informasi terhadap jalannya HIV infeksi, tujuan pengobatan, risiko dan manfaat terapi, efek samping, resistensi dan kepatuhan yang kompleks. Tingkat pendidikan yang rendah (aor 3,80 95% CI 1,14-12,7; p=0,03) terkait dengan penolakan pengobatan sehingga berkontribusi pada insiden LTFU (Karcher et al., 2007). Kondisi ini didukung dengan penelitian di India menunjukkan bahwa buta huruf meningkatkan kejadian LTFU (ahr 1,3; 95% CI 1,1-1,6) (Alvarez et al., 2013). Kejadian LTFU sebelum terapi ART meningkat pada pendidikan menengah pertama (ahr 2,0; 95% CI 1,1 3,6; p< 0,05) (Hassan et al., 2012). Penelitian dengan hasil serupa juga dilakukan oleh Honge et al., menunjukkan pasien odha yang tidak sekolah beresiko mengalami LTFU namun memiliki hubungan yang tidak signifikan

15 24 (ahr 1,22; 95% CI 0,98-1,52) (Hønge et al., 2013). Krishnan et al., dengan menggunakan pendekatan lama pendidikan (ukuran tahun) bahwa pendidikan <16 tahun berhubungan secara signifikan mengalami LTFU. Semakin pendek lama pendidikan yang ditempuh maka resiko LTFU juga semakin besar (Krishnan et al., 2011). Orang dengan pendidikan rendah mungkin memiliki masalah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan seperti tidak memiliki waktu untuk istirahat dari pekerjaan dan melakukan kunjungan klinik (Ross dan Adler dalam Krishnan et al., 2011) Pekerjaan Pekerjaan seringkali dikaitkan dengan penghasilan seseorang. Pasien pengangguran memiliki kecenderungan 51% (HR 1.51, 95% CI: 1,34-2,00) menjadi LTFU ( Kate et al., 2014). Beberapa studi menunjukkan pasien yang tidak memiliki tempat tinggal atau homeless beresiko mengalami LTFU namun tidak memiliki hubungan yang signifikan antara keduanya (Alvarez-Uria et al., 2013; Lebouche et al., 2006). Sebagian besar odha memiliki retensi perawatan yang rendah dalam terapi ARV akibat masalah keuangan yang dihadapi. Tingkat keberlangsungan hidup odha ditentukan dari kepatuhan dan keberlanjutan pengobatan (Giordano et al., 2007) Status Menikah Pasien yang tidak memiliki pasangan dan bercerai (ahr 1,6, 95% CI 1,2-2,3) (Alvarez et al., 2013), rata-rata mengalami LTFU dibandingkan dengan pasien yang telah menikah (Alvarez-Uria et al., 2013; Bekolo et al., 2013; Mugisha et al., 2014). Mereka yang tanpa pasangan cenderung tidak memiliki dukungan sehingga lebih

16 25 mungkin terpengaruh secara negatif oleh stigma terkait HIV dan ini terbukti menjadi penghalang untuk kepatuhan dan retensi dalam perawatan dan pengobatan (Merten et al., 2010) Pengawas Minum Obat (PMO) PMO adalah orang yang membantu pengawasan minum obat odha untuk menurunkan kejadian resistensi (Kemenkes RI, 2011a). Adanya pengawas minum obat dan layanan penjangkauan di fasilitas kesehatan sangat berpengaruh terhadap kejadian LTFU. Peran utama PMO adalah untuk membantu kepatuhan pasien dengan mungkin ikut terlibat menemani pasien ke klinik untuk kunjungan, mengambil obat, dan memberikan bantuan untuk memastikan pasien mengambil obat yang tepat pada waktu yang tepat, dengan cara yang benar (WHO, 2006). PMO tidak hanya memberikan pengawasan tetapi juga mampu meningkatkan penerimaan diri (acceptance) odha melalui dukungan psikologis dan psikososial yang diberikan (Nasronudin, 2007). Penelitian di Sub Saharan tahun 2012 menunjukkan klinik dengan layanan PMO dan penjangkauan yang tersedia memiliki tingkat LTFU lebih rendah (arr = 0,48, 95% CI: 0,25-0,92) (Lamb et al., 2012) Risiko Penularan Penelitian di Vietnam menunjukkan odha dengan IDU (injection drug user) memiliki kecenderungan mengalami LTFU yang lebih besar (ahr=1,40 95% CI ), hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Jepang (ahr= 1,544 95% CI 1,028-2,318; p = 0,036) bahkan resiko LTFU lebih tinggi pada kelompok

17 26 MSM ( man sex man) pengguna IDU dengan ahr=1,641 ( 95% CI 1,061-2,538 p= 0,026) (Nishijima et al., 2013;Tran et al., 2013). Odha dengan riwayat IDU lebih mungkin untuk mengalami LTFU karena merasa memiliki stigma ganda dari internal dan eksternal. Selain itu, kehadiran penyakit tambahan yang terkait dengan obat suntik akan mengurangi waktu kunjungan untuk layanan ART karena ada kemungkinan mereka perlu mendapatkan pelayanan kesehatan preventif dan kuratif lainnya seperti terapi metadon, pertukaran jarum, atau pengobatan co-infeksi lain (yaitu, hepatitis C, TB) (Nishijima et al., 2013). Ketergantungan dengan obat-obatan tersebut dapat menghambat kemampuan mereka untuk mematuhi jadwal pengobatan ART. Kelompok pengguna obat-obatan terlarang ini berhubungan dengan penyerapan ART dan kepatuhan terhadap pengobatan yang lebih rendah (Wood et al., 2003). Hasil yang berbeda ditemukan pada penelitian yang dilakukan pada kelompok Afrika bahwa perempuan heteroseksual lebih berisiko terjadi LTFU dengan OR = 2,22 (95% CI 1,11-4,56), hal ini disebabkan oleh kondisi kehamilan mendapatkan terapi ARV jangka pendek dan kondisi ini menyumbangkan 10% untuk kejadian LTFU pada kelompok perempuan (Gerver et al., 2010). Penelitian di Jepang pada kelompok MSM (man sex man) menunjukkan resiko LTFU lebih besar pada orientasi biseksual (aor 1,34 95% CI 0,85-2,12) dibandingkan dengan homoseksual (Tang et al., 2015). Kelompok LSL orientasi homoseksual cenderung memiliki resiko LTFU yang lebih rendah (OR 0,6 95% CI:0,5-0,7) dibandingkan dengan heteroseksual (OR 2.22, 95% CI:1,11-4,56) (Lebouche et al., 2006; Gerver et al., 2010; Lanoy et al.,

18 ). Stigma yang masih tinggi di kalangan MSM (Graham et al., 2013) dapat menurunkan retensi terhadap terapi ARV, namun dengan adanya jaringan sosial yang kuat diantara populasi kunci ini, mampu menurunkan kejadian LTFU (Tang et al., 2015) Karakteristik Klinis Berat Badan Berat badan merupakan acuan yang biasa digunakan untuk menilai status gizi. Odha yang memulai terapi ARV dengan berat badan yang lebih tinggi akan memiliki kondisi kesehatan yang lebih baik sehingga odha dengan kondisi ini cenderung akan mempertahankan terapi ARV karena telah merasakan manfaat dari terapi ARV. Odha yang memulai terapi dengan berat badan kurang dari 45 kg lebih beresiko mengalami kematian dan attrition. Kehilangan berat badan > 10% merupakan gejala umum yang dialami saat terinfeksi HIV (Dalal et al., 2008). Kondisi kesehatan lainnya yang dapat dijadikan ukuran selain berat badan adalah ukuran BMI (body mass index). BMI (body mass index) 18,5 kg/m 2 menunjukkan kondisi kesehatan yang kurang baik sehingga dapat menurunkan kepercayaan pasien terhadap terapi sehingga kemungkinan LTFU lebih besar (ahr 1.51; 95% CI 1,23-1,87), didukung juga adanya oropharyngeal candidiasis dengan BMI yang rendah (HR 1,36 95% CI 1,02-1,82) (Hønge et al., 2013; Evans et al., 2013). Sebaliknya kenaikan BMI setiap unitnya menurunkan kejadian LTFU (ahr, 0.97; 95% CI 0,88 1,03) tetapi tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Sejalan dengan penelitian di Ethiopia yang

19 28 menyatakan odha yang memiliki berat badan 60 kg memiliki risiko 76% lebih rendah untuk mengalami LTFU dibandingkan odha dengan berat badan < 40 kg (AHR % CI ), mereka yang memiliki berat badan normal memiliki kepercayaan terhadap pengobatan dan berusaha mempertahankan (Haile & Mekelle, 2014) Jumlah CD4 Jumlah CD4 menjadi tolak ukur status kesehatan odha dan indikator kegagalan imunologis dalam terapi ARV (Kemenkes RI, 2011a). Pemeriksaan CD4 melengkapi pemeriksaan klinis yang dapat memandu dalam menentukan waktu untuk memulai pengobatan profilaksis terhadap IO dan terapi ARV sebelum penyakitnya berlanjut menjadi lebih parah. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV (Depkes, 2007). Keputusan untuk memulai terapi ARV pada odha dewasa dan remaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan imunologis. Pemberian terapi ARV akan meningkatkan jumlah CD4 dengan rata-rata peningkatan sell/mm 3 /tahun dengan monitoring setiap enam bulan. Odha yang mengalami penurunan CD4 secara progresif tanpa ada penyakit atau kondisi medis lain selama terapi ARV merupakan deteksi awal terjadinya kegagalan terapi secara imunologis (Kemenkes RI, 2011). Penelitian di Zambia dan Switzerland pada pengamatan tiga setengah tahun terapi menunjukkan persentase LTFU sebesar 29,3% pada pasien yang memulai ART dengan jumlah CD4 < 100 sel / ml dan 15,4% untuk pasien yang mulai dengan 350 sel/ml (Schöni-Affolter et al., 2011). Beberapa penelitian menunjukkan jumlah CD4

20 29 yang rendah (< cell/ml) meningkatkan risiko LTFU (Gerver et al., 2010; Schöni-Affolter et al., 2011; Alvarez-Uria et al., 2013; Bekolo et al., 2013; Evans et al., 2014). Tingkat kejadian LTFU cenderung menurun ketika sel CD4 meningkat (Delphine et al., 2014). Setiap kenaikan 10% pada jumlah CD4 dikaitkan dengan penurunan 2,8% angka kematian dalam satu tahun, termasuk LTFU sehingga dukungan untuk memulai terapi dengan CD4 yang lebih tinggi akan mengurangi resiko kematian diantara mereka yang LTFU (Fox et al., 2013). Penelitian lain menyebutkan jumlah CD4 yang tinggi 200 cell/ml lebih beresiko mengalami LTFU (Mugisha et al., 2014; Onoka et al., 2012; Somi et al., 2012; Tran et al., 2013; Fleishman et al., 2013). Hal ini menunjukkan hasil yang tidak konsisten antara hubungan kadar CD4 dengan kejadian LTFU. Orang yang memiliki jumlah CD4 yang tinggi mungkin tidak merasa gejala infeksi HIV sehingga sangat mungkin untuk tidak kembali ke pelayanan kesehatan (Ochieng-Ooko et al., 2010) Kadar Haemoglobin Pemantauan laboratoris pasien dalam terapi ARV salah satunya yaitu kadar haemoglobin. Kadar haemoglobin adalah ukuran untuk menilai kondisi anemia. Anemia merupakan efek samping yang dapat ditimbulkan akibat terapi seperti pemberian zidovudin (AZT). Insiden rate kejadian anemia pada pengguna AZT yaitu 23,4 per 100 person years (Curkendall et al., 2007). Kadar haemoglobin yang normal pada laki-laki yaitu >13 g/dl dan perempuan >12 g/dl (Zhou J, 2007). Kadar

21 30 hemoglobin rendah (p <0,001) (Zhou et al., 2012) dan hemoglobin < 8.0 g/dl (HR 1,64 95% CI 1,28 2,10) sebagai prediktor dari LTFU (Saka et al., 2013). Penelitian Honge et al, pada klien yang belum memenuhi syarat pengobatan ARV justru menunjukkan bahwa kadar haemoglobin rendah cenderung menyebabkan pasien termotivasi untuk mematuhi terapi ARV karena merasa sakit meskipun jumlah CD4 lebih tinggi (Hønge et al., 2013) Infeksi Oportunistik Keadaan LTFU seringkali dikaitkan dengan tingkat keparahan penyakit yang diderita. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien yang mengalami infeksi oportunistik (IO) diawal pengobatan memiliki resiko untuk mengalami LTFU yaitu HR (hazard ratio) 1,72 (0,47-1,82) dan OR (odds ratio) 2,3 (95% CI 1,5-3,1) (Saka et al., 2013; Tran et al., 2013). Pasien dengan atau tanpa OC (oropharyngeal candidiasis) meningkatkan risiko LTFU (HR 1,36 95% CI 1,02-1,82; HR 1,55 95% CI 1,30-1,85) (Evans et al., 2013). Infeksi oportunistik menunjukkan tingkat keparahan penyakit sehingga cenderung untuk tidak kembali ke pelayanan kesehatan tetapi kemungkinan mencari pengobatan alternatif (Wubshet et al., 2013). Adanya infeksi oportunistik juga menunjukkan ADIs (AIDS-defining clinical illness) yang juga memperberat kondisi klinis odha. Adanya riwayat ADIs meningkatkan resiko LTFU 1,2 kali (95% CI 0,9-1,48) namun tidak bermakna secara statistik. (Krishnan et al., 2011). Kriteria ADIs yang umumnya terjadi adalah tubercolosis (22.7%), PCP (19.1%) and oesophageal candidiasis (16.2%) (Grabar et al., 2008). Data TAHOD

22 31 juga menyebutkan bahwa ADIs lebih banyak muncul pada 90 hari setelah pengobatan ARV dengan insiden rate yaitu 26,1 per 100 person years (Zhou J, 2007) Stadium Klinis WHO Risiko loss to follow up lebih besar pada pasien yang mengalami penyakit yang lebih berat (Cohen et al., 2013). Stadium klinis merupakan manifestasi klinis penderita HIV/AIDS yang dibagi menjadi stadium I, II, III, dan IV. Pasien dengan stadium II WHO (adjusted shr 1,31 95% CI: 1,08 to 1,59) memiliki risiko lebih tinggi LTFU dibandingkan dengan stadium I, III, dan IV (Odafe et al., 2012). Penelitian oleh Saka et al, juga menunjukkan hasil yang sama bahwa pasien dengan stadium II dan III berhubungan dengan LTFU (OR=1,7; 95%CI: 1,3-2,2) (Saka et al., 2013). Kondisi ini terjadi karena odha yang telah menganggap diri mereka dalam kondisi baik tidak perlu kembali melanjutkan ART (Odafe et al., 2012). Odha yang telah memasuki stadium lanjut yang lebih tinggi cenderung tidak percaya penyedia layanan kesehatan sehingga mereka lebih cenderung untuk menggunakan pengobatan komplementer dan alternatif atau complementer alternative medicine (CAM) sebagai pengganti terapi HIV konvensional (Hsiao et al., 2003). Petugas kesehatan hampir 90% tidak menyadari bahwa pasien mereka menggunakan pengobatan alternatif dalam enam bulan terakhir, mereka menggunakan pengobatan tersebut bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit (87,1%) dan praktek-praktek spiritual atau doa untuk menghilangkan stres (77,6%). Kondisi ini berdampak pada kunjungan ke klinik yang menurun (Peltzer et al., 2008). Hal ini

23 32 kemungkinan yang membuat mereka dalam kondisi LTFU. Hasil yang tidak konsisten ditemukan pada variabel ini, dimana penelitian yang dilakukan oleh Berheto et al, bahwa stadium klinis III sebagai faktor protektif dari LTFU (ahr= 0,6; CI 0,4-0,8, p=0,007) karena pada stadium klinis III dan IV, odha cenderung mengalami peningkatan perilaku dalam mencari layanan kesehatan akibat keparahan penyakit yang diderita (Berheto et al., 2014) Status Fungsional Status fungsional pada odha dibedakan menjadi tiga yaitu status kerja, ambulatory dan baring. Status kerja dikategorikan bila odha masih mampu bekerja normal, pasien yang tidak mampu bekerja normal dan < 50% berbaring dikategorikan memiliki status ambulatory, sedangkan pasien yang terus menerus (atau > 50%) berbaring di tempat tidur di kategorikan status baring (Kemenkes RI, 2011a). Tujuan utama dari ART salah satunya adalah untuk memberikan kesempatan bagi orang untuk menjadi produktif dalam pekerjaan mereka dan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, ukuran produktivitas yaitu status fungsional dapat digunakan sebagai salah satu indikator keberhasilan program ART (WHO, 2006). Status fungsional yaitu ambulatory juga meningkatkan risiko LTFU dengan adjusted shr 1,25 (95% CI: 1,01 to 1,54)(Odafe et al., 2012). Penelitian lain menunjukkan bahwa status fungsional ambulatory merupakan faktor protektif terhadap kejadian LTFU (ahr 0,4 95% CI 0,3-0,6 p=0,001).

24 Status TB Karakteristik penyakit penyerta merupakan salah satu faktor yangmempengaruhi kepatuhan pada odha. Adanya infeksi oportunistik atau penyakit lain menyebabkan penambahan jumlah obat yang harus diminum (Kemenkes RI, 2011a). TB merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada orang yang hidup dengan HIV, termasuk ART (Berheto et al., 2014). Beberapa penelitian menguraikan hubungan antara status TB yang diderita dengan risiko LTFU pada odha. Penelitian di Vietnam menyatakan bahwa odha dengan status TB positif memiliki risiko lebih tinggi mengalami LTFU (ahr=1,28 CI 1,05-1,72) (Tran et al. 2013). Sejalan dengan penelitian di Ethiopia yang menyatakan bahwa odha dengan TB positif risiko tiga kali lebih besar mengalami LTFU akibat dari reaksi ganda toksisitas yang ditimbulkan sehingga menurunkan kepercayaan mereka untuk berobat (62). Penelitian dengan menggunakan data TAHOD bahwa odha dengan TB negatif memiliki risiko yang lebih rendah untuk mengalami LTFU namun menunjukkan hubungan yang tidak signifikan (IRR=0,98 CI 0,87-1,12 p=0,801) (39). Studi berbeda menyebutkan odha dengan TB positif yang mendapatkan terapi memiliki kondisi klinis yang lebih buruk sehingga meningkatkan kepatuhan mereka untuk berobat (Berheto et al., 2014) Regimen ARV Regimen ARV terdiri dari nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI) dan non-nucleoside reverse transcriptase (NNRTI). Golongan yang termasuk

25 34 regimen NRTI yaitu zidovudine (AZT), stavudine (d4t), lamivudine (3TC), didanosine (ddl), abacavir (ABC), tenofovir (TDF), dan emtricitabine (FTC). Regimen NNRTI yaitu nevirapine dan efavirens selain itu juga terdapat regimen yang termasuk lini kedua yaitu protease inhibitor (PI) seperti lopinavir atau ritonavir. Regimen ARV terkait karakteristik obat dan efek samping dan mudah tidaknya akses untuk mendapatkan ARV berdampak pada kepatuhan odha (Kemenkes RI, 2011a). Penelitian di Cameroon menyebutkan penggunaan regimen NNRTI nevirapine (NVP) menurunkan risiko LTFU secara siginifikan (ahr 0.75 CI0,57-0,99 p=0,04), begitu juga pada penggunaan regimen NRTI stavudin (ahr 0,55 CI 0,42-0,71) dan zidovudine (AZT) (ahr 0,59 CI 0,45-9,77) (Bekolo et a,l. 2013). Berbeda dengan studi di Ethiopia menyatakan penggunaan AZT meningkatkan risiko LTFU menjadi sebesar tiga kali dibandingkan regimen d4t (62). Odha yang menerima substitusi rejimen ARV selama masa perawatan lebih berisiko LTFU (HR 5,2; 95% CI 3,6-7,3) sama dengan studi di India yang melaporkan bahwa substitusi bisa menjadi faktor risiko untuk gagal ART (Alvarez- Uria et al., 2013; Berheto et al., 2014). Mayoritas kasus substitusi rejimen disebabkan oleh reaksi obat, pasien mungkin menjadi khawatir tentang efek samping dan efektivitas obat baru yang diberikan sehingga mereka memilih untuk mencari pilihan pengobatan lainnya. Takut efek samping sebagai penyebab utama kegagalan atau LTFU (Deribe et al., 2008). LTFU yang lebih besar dapat dikaitkan dengan peningkatan toksisitas obat dimana pasien yang menerima rejimen PI (protease

26 35 inhibitor) yang substansial cenderung lebih mahal dari lini satu sehingga LTFU mungkin terkait dengan ketersediaan obat atau keterjangkauan (Zhou et al., 2012) Karakteristik Layanan Entry Point Mengidentifikasi entry point dalam perawatan HIV dan pemberian terapi ARV merupakan salah satu informasi yang berguna untuk keberlangsungan program. Entry point adalah jalur masuknya pasien pertama kali mendapatkan layanan HIV yang meliputi layanan datang sendiri, LSM, jangkauan, praktik swasta, KIA (kesehatan ibu dan anak), rawat jalan, rawat inap, lainnya (Kemenkes RI, 2011c). Entry point mengacu pada bagaimana pasien tiba atau masuk ke layanan voluntary and counseling test (VCT) dan mendapat layanan terapi termasuk yang dirujuk dari (PMTCT,TB, IMS, dll), riwayat perawatan dan kesehatan lain saat mereka menerima perawatan HIV. Informasi ini sangat membantu manager program sebagai indikator dalam peningkatan pengawasan, keberlangsungan terapi, membantu rujukan pasien yang tepat dan melibatkan jaringan berbasis masyarakat (WHO, 2006). Pasien yang mendapatkan layanan HIV dan terapi ARV sebagian besar melalui layanan TB, rawat jalan dan layanan VCT ( WHO, 2006; Hassan et al., 2012; Mugisha et al., 2014). Pasien yang mengalami LTFU, 47,4% teridentifikasi pada entry point layanan TB (Alvarez-Uria et al., 2013). Pasien dengan entry point melalui layanan VCT memiliki risiko LTFU lebih kecil dibandingkan entry point yang lain (Crude OR 0.5 CI p= 0.02) (Hassan et al., 2012).

27 Jenis Tempat Layanan Penelitian di Nigeria Tenggara menunjukkan persentase LTFU di rumah sakit pemerintah lebih tinggi daripada rumah sakit swasta yaitu 32,8% sedangkan di rumah sakit swasta 11,0% (Onoka et al., 2012) Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tempat layanan berhubungan dengan LTFU, layanan di rumah sakit umum pusat memiliki risiko LTFU yang lebih besar dibandingkan rumah sakit daerah dan klinik swasta (Odafe et al., 2012; Saka et al., 2013; Weigel et al., 2013). Resiko LTFU pada klinik NGO (Non Governmental Organization) (OR 1,1 95% CI 0,6-1,9) lebih rendah dibandingkan klinik umum atau rumah sakit umum. Penggunaan klinik umum mencerminkan status sosial ekonomi yang kurang sehingga cenderung mengalami LTFU (Saka et al., 2013). Kondisi ini berkaitan dengan monitoring yang diberikan pada pasien, dimana rumah sakit pusat memiliki jumlah pasien yang besar sehingga lebih sulit untuk memonitoring pasien, selain petugas lapangan (outreach) yang kurang memadai (Odafe et al., 2012). Program pengobatan antiretroviral perlu meningkatkan proses dokumentasi dan mengembangkan dan menerapkan strategi pelacakan (Onoka et al., 2012) Status Rawat Status rawat menunjukkan kondisi kesehatan odha. Status rawat dikategorikan menjadi rawat jalan dan rawat inap, kondisi klinis yang memburuk membuat odha memerlukan perawatan yang lebih intensif dengan rawat inap di rumah sakit. Studi oleh Fleishman et al., bahwa keberlangsungan pengobatan ARV dengan rawat jalan

28 37 menunjukkan retensi pengobatan hanya 20,4%, dan resiko LTFU mencapai 34,9% (Fleishman et al., 2013) Kebijakan Terapi ARV Kebijakan terapi ARV merupakan pedoman yang digunakan untuk menentukan kapan waktu memulai pengobatan dan cara memilih obat yang tepat. Kebijakan terapi ARV terus mengalami perubahan secara periodik (Depkes, 2007; Kemenkes RI, 2011a). Acuan yang digunakan untuk memulai terapi ARV adalah jumlah CD4. Jika awal pengobatan tidak dianggap penting, maka monitoring keberlanjutan dan perawatan serta retensi menjadi lebih sulit. Jika dilihat dari efektivitas biaya dan jumlah CD4 saat memulai pengobatan di rangkaian sumber daya terbatas seperti studi di Sub-Saharan menunjukkan bahwa memulai ART pada tiga ambang jumlah CD4 (<200 sel/mm 3, sel/mm 3 dan >350 sel/mm 3 ), sebagian besar efektif jika dimulai ketika jumlah CD4 <200 sel/mm 3 dengan biaya tambahan hidup yang lebih kecil yaitu US$54. Menunda pengobatan sampai <200 sel/mm 3 akan mengurangi biaya keseluruhan pengobatan, tetapi ini harus disesuaikan dengan manfaat klinis terkait dengan terapi awal (Badri et al., 2006). Kondisi lain bahwa inisiasi ARV pada CD4 350 sel/mm 3 memberikan keuntungan jangka panjang pada kelangsungan hidup dan sangat efektif biaya (Walensky et al., 2010). Namun studi terkait harapan hidup telah menemukan bahwa justru risiko kematian lebih besar dan harapan hidup rendah di antara orang-orang yang memulai ART pada akhir perkembangan penyakit dengan CD4 200 sel /mm 3 (UNAIDS, 2013a).

29 38 Situasi dengan cakupan ART rendah, penerapan pedoman ART yang baru perlu dirancang agar memulai ART lebih cepat untuk infeksi HIV (karena berbagai alasan) sehingga mengurangi kesempatan untuk pengobatan pada odha dengan jumlah CD4 yang sangat rendah atau penyakit lebih lanjut, terutama dalam sumber daya yang terbatas. Kapan waktu sebaiknya mulai ART dan informasi penting bahwa pengobatan infeksi HIV tidak mendesak, seringkali menimbulkan kebingungan antara pasien dan penyedia layanan sehingga dapat membuat cascade buruk pada pengobatan. Kepatuhan yang buruk terhadap ART dimulai pada jumlah CD4 > 250 sel/mm 3, dengan alasan gejala klinis yang belum dirasakan (karena banyak odha yang tidak bergejala di awal pengobatan) dan kurangnya dukungan sosial berkontribusi ketidakpatuhan antara orang tersebut (Cohen et al., 2013). Akibatnya, tampak bahwa pasien yang tidak mematuhi ART berada pada risiko yang lebih tinggi mengalami LTFU. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa pasien yang sehat pada awal pengobatan mengalami LTFU lebih sering daripada pasien yang sakit dimana durasi rata-rata retensi 10 bulan untuk pasien dengan CD4 350 cell/mm 3 di awal terapi sedangkan pada pasien dengan jumlah CD4 <200 sel / mm 3 yaitu 24 bulan (Ndiaye et al., 2009) Jarak Tempat Tinggal dengan Layanan Beberapa penelitian menyebutkan bahwa jarak menjadi prediktor kejadian LTFU yaitu jarak (> 5 km vs <1 km: ahr=2,6 95% CI 1,9-3,7 dengan p <0,01) (Hassan et al., 2012) dan jarak ke klinik lebih dari 5 km (ahr = 1,25, 95% CI 1,00-

30 39 1,55) (Bekolo et al., 2013). Waktu tempuh lebih dari 1 jam ke tempat layanan ARV juga berhubungan dengan LTFU (HR 1,11 (95% CI 1,04-1,19) (Ochieng-Ooko et al., 2010). Hal ini kemungkinan bahwa orang yang hidup jauh dari fasilitas kesehatan kurang memiliki akses terhadap perawatan kesehatan. Pasien lebih dekat dengan berjalan kaki dari fasilitas kesehatan memiliki resiko LTFU yang lebih kecil (Bekolo et al., 2013). 2.4 Kepatuhan Terapi ARV WHO mendefinisikan kepatuhan pengobatan sebagai sejauh mana perilaku seseorang mengambil obat, mengikuti diet dan atau melaksanakan perubahan gaya hidup sesuai dengan yang telah disepakati rekomendasi dari penyedia layanan kesehatan atas dasar kesadaran sendiri. Monitoring dan evaluasi kepatuhan pada setiap kali kunjungan perlu dilakukan karena kegagalan terapi sering diakibatkan ketidakpatuhan konsumsi ARV. Beberapa faktor yang berhubungan dengan sistem penyediaan layanan kesehatan, obat dan orang yang mengambil obat ARV dapat mempengaruhi kepatuhan terhadap terapi ARV (WHO, 2013; Kemenkes RI, 2011a). Faktor yang diprediksi berkaitan dengan kepatuhan diantaranya faktor individu mencakup lupa dosis, berada jauh dari rumah, perubahan dalam rutinitas sehari-hari, depresi atau penyakit lainnya, kurangnya kepentingan atau keinginan untuk mengambil obat-obatan, dan bahan atau penggunaan alkohol. Obat atau rejimen terkait efek samping, kompleksitas rejimen dosis, beban pil, dan pembatasan diet. Faktor sistem kesehatan termasuk membutuhkan orang dengan HIV untuk

31 40 mengunjungi pelayanan kesehatan, perjalanan jarak jauh untuk mencapai pelayanan kesehatan, menanggung biaya langsung dan tidak langsung dari perawatan, kurangnya informasi yang jelas atau instruksi pengobatan, pengetahuan yang terbatas pada perjalanan infeksi dan pengobatan HIV merupakan prediktor terhadap ketidakpatuhan (WHO, 2013). Penelitian cross-sectional pada 366 odha di Spanyol bahwa faktor sosiodemografi dan psikologis mempengaruhi tingkat kepatuhan terhadap ART. Secara keseluruhan, IDU dan individu yang lebih muda, depresi dan kurangnya dukungan sosial cenderung memiliki kepatuhanyang kurang (Gordillo et al., 1999). Intervensi tingkat program untuk meningkatkan kepatuhan terhadap ART meliputi menghindari memaksakan pembayaran pada perawatan, menggunakan kombinasi dosis rejimen yang telah ditetap untuk ART, dan memperkuat sistem manajemen persediaan obat untuk mendukung pengadaan dan memberikan obat ARV dan mencegah kehabisan stok persediaan obat. Upaya untuk mendukung dan memaksimalkan kepatuhan harus dimulai sebelum terapi ART. Mengembangkan rencana kepatuhan dan pendidikan sebagai langkah pertama yang penting. Pendidikan pasien diawal harus mencakup informasi dasar tentang HIV, obat ARV, efek samping, mempersiapkan untuk pengobatan dan kepatuhan terhadap ART. Pesan teks ponsel dapat dianggap sebagai alat pengingat (tools reminder) untuk mempromosikan kepatuhan terhadap ART sebagai bagian dari paket intervensi kepatuhan (WHO, 2013).

32 41 Studi tentang kepatuhan di Sub Sahara-African tahun 2012 menunjukkan bahwa klinik yang memiliki layanan dukungan kepatuhan, layanan konseling, dan alat pemantau kepatuhan memiliki tingkat LTFU lebih rendah (Lamb et al., 2012). Tingkat dukungan sosial secara independen terkait dengan kepatuhan dengan alat ukur The Perceived Sosial Stigma diperoleh beberapa dukungan sosial (p = 0,018) dan dukungan sosial yang baik (score >71) (p = 0,039) meningkatkan kepatuhan dibandingkan dengan dukungan sosial yang buruk (score < 60). Alasan untuk tidak minum obat ART diantaranya yaitu lupa minum obat (67%), sibuk dengan sesuatu yang lain (63%) dan tertidur di waktu pengobatan (60%) (Weaver et al., 2014).

BAB I PENDAHULUAN. menjadi masalah kesehatan global. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan secara global

BAB I PENDAHULUAN. menjadi masalah kesehatan global. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan secara global 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Epidemi HIV/AIDS sejak pertama kali ditemukan hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan global. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan secara global 34 juta, jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi masalah kesehatan global. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan secara global

BAB I PENDAHULUAN. menjadi masalah kesehatan global. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan secara global 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Epidemi HIV/AIDS sejak pertama kali ditemukan hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan global. Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan secara global 34 juta, jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Berdasarkan data yang diterbitkan oleh Joint United National Program on

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Berdasarkan data yang diterbitkan oleh Joint United National Program on BAB I PENDAHULUAN A.Latar belakang Infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) saat ini merupakan masalah kesehatan terbesar di dunia. Berdasarkan data yang

Lebih terperinci

BAB II PENDAHULUANN. Syndromem (AIDS) merupakan masalah global yang terjadi di setiap negara di

BAB II PENDAHULUANN. Syndromem (AIDS) merupakan masalah global yang terjadi di setiap negara di 1 BAB II PENDAHULUANN 1.1 Latar Belakangg Humann Immunodeficiencyy Viruss (HIV) / Acquired Immuno Deficiency Syndromem (AIDS) merupakan masalah global yang terjadi di setiap negara di dunia, dimana jumlah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKAA. tertinggi dia Asia sejumlah kasus. Laporan UNAIDS, memperkirakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKAA. tertinggi dia Asia sejumlah kasus. Laporan UNAIDS, memperkirakan 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKAA 2.1 Epidemiologi HIV/AIDS Secara global Indonesia menduduki peringkat ketiga dengan kasusa HIV tertinggi dia Asia sejumlah 380.000 kasus. Laporan UNAIDS, memperkirakan pada tahun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang secara progresif merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya menjaga sistem kekebalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hangat dibahas dalam masa sekarang ini adalah penyakit HIV/AIDS (Human

BAB I PENDAHULUAN. hangat dibahas dalam masa sekarang ini adalah penyakit HIV/AIDS (Human 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan masalah kesehatan global yang menjadi perbincangan masyarakat di seluruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome) merupakan salah satu penyakit infeksi yang

BAB I PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome) merupakan salah satu penyakit infeksi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan salah satu penyakit infeksi yang mengancam jiwa sehingga sampai saat ini menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. (2) Meskipun ilmu. namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan.

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. (2) Meskipun ilmu. namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Tidak ada negara yang terbebas dari HIV/AIDS. (1) Saat ini

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. infeksi Human Immunodificiency Virus (HIV). HIV adalah suatu retrovirus yang

BAB I. PENDAHULUAN. infeksi Human Immunodificiency Virus (HIV). HIV adalah suatu retrovirus yang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang AIDS (Accquired Immunodeficiency Syndrom) adalah stadium akhir pada serangkaian abnormalitas imunologis dan klinis yang dikenal sebagai spektrum infeksi Human Immunodificiency

Lebih terperinci

57 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan

57 2-TRIK: Tunas-Tunas Riset Kesehatan HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT ANTIRETROVIRAL PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) Edy Bachrun (Program Studi Kesehatan Masyarakat, STIKes Bhakti Husada Mulia Madiun) ABSTRAK Kepatuhan

Lebih terperinci

Pemberian ARV pada PMTCT. Dr. Janto G. Lingga,SpP

Pemberian ARV pada PMTCT. Dr. Janto G. Lingga,SpP Pemberian ARV pada PMTCT Dr. Janto G. Lingga,SpP Terapi & Profilaksis ARV Terapi ARV Penggunaan obat antiretroviral jangka panjang untuk mengobati perempuan hamil HIV positif dan mencegah MTCT Profilaksis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga berpengaruh terhadap keadaan sosioekonomi meskipun berbagai upaya. penyakit ini (Price & Wilson, 2006; Depkes RI 2006).

BAB I PENDAHULUAN. juga berpengaruh terhadap keadaan sosioekonomi meskipun berbagai upaya. penyakit ini (Price & Wilson, 2006; Depkes RI 2006). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV/AIDS telah menjadi pandemi yang mengkhawatirkan dan salah satu tantangan kesehatan masyarakat yang paling signifikan di dunia (WHO, 2015), karena disamping belum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah HIV/AIDS. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang

BAB I PENDAHULUAN. masalah HIV/AIDS. HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari masalah HIV/AIDS.

Lebih terperinci

Terapi antiretroviral untuk infeksi HIV pada bayi dan anak:

Terapi antiretroviral untuk infeksi HIV pada bayi dan anak: Terapi antiretroviral untuk infeksi HIV pada bayi dan anak: Menuju akses universal Oleh: WHO, 10 Juni 2010 Ringkasan eksekutif usulan. Versi awal untuk perencanaan program, 2010 Ringkasan eksekutif Ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) secara global masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah kesehatan yang

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodeficiency Syndrome atau yang kita kenal dengan HIV/AIDS saat ini merupakan global health issue. HIV/AIDS telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber: Kemenkes, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Sumber: Kemenkes, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang merupakan penyebab dari timbulnya Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), masih menjadi masalah kesehatan utama secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di Asia dengan epidemi HIV (human immunodeficiancy virus) yang berkembang paling cepat menurut data UNAIDS (United Nations

Lebih terperinci

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) Kementerian Kesehatan RI (4),

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL) Kementerian Kesehatan RI (4), BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi dari virus HIV (Human Immunodeficiency

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan permasalahan penyakit menular seksual termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan kualitatif. HIV merupakan

Lebih terperinci

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sekumpulan gejala. oleh adanya infeksi oleh virus yang disebut Human Immuno-deficiency Virus

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sekumpulan gejala. oleh adanya infeksi oleh virus yang disebut Human Immuno-deficiency Virus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS), yaitu sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya sistem kekebalan tubuh. AIDS disebabkan oleh adanya infeksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. imuno kompromis infeksius yang berbahaya, dikenal sejak tahun Pada

I. PENDAHULUAN. imuno kompromis infeksius yang berbahaya, dikenal sejak tahun Pada 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu penyakit imuno kompromis infeksius yang berbahaya, dikenal sejak tahun 1981. Pada tahun 1983, agen penyebab

Lebih terperinci

Pemutakhiran Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Ba

Pemutakhiran Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Ba Pemutakhiran Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Ba Dr. Muh. Ilhamy, SpOG Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Ditjen Bina Kesmas, Depkes RI Pertemuan Update Pedoman Nasional PMTCT Bogor, 4

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV/AIDS, mempromosikan perubahan perilaku

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV)/ Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV)/ Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Menular Seksual merupakan penyakit infeksi yang ditularkan melalui aktivitas seksual dengan pasangan penderita infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri,

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit epidemik di

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit epidemik di BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan penyakit epidemik di dunia, dimana penderita HIV terbanyak berada di benua Afrika dan Asia. Menurut World Health Organization

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah gejala atau

I. PENDAHULUAN. Penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah gejala atau I. PENDAHULUAN Penyakit AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah gejala atau infeksi yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusiaakibat infeksi virus HIV (Human Immunodeficiency

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodefficiency Virus (HIV) adalah virus penyebab Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) yang menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga pengidap akan rentan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan salah satu penyakit

BAB I PENDAHULUAN. AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan salah satu penyakit 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan salah satu penyakit yang menduduki urutan ke-4 didunia yang mematikan, menjadi wabah internasional dan cenderung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan data estimasi United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS), hingga akhir tahun 2013 jumlah orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) di seluruh

Lebih terperinci

XII. Pertimbangan untuk bayi dan anak koinfeksi TB dan HIV

XII. Pertimbangan untuk bayi dan anak koinfeksi TB dan HIV ART untuk infeksi HIV pada bayi dan anak dalam rangkaian terbatas sumber daya (WHO) XII. Pertimbangan untuk bayi dan anak koinfeksi TB dan HIV Tuberkulosis (TB) mewakili ancaman yang bermakna pada kesehatan

Lebih terperinci

CURRENT DIAGNOSIS & THERAPY HIV. Dhani Redhono Tim CST VCT RS dr. Moewardi

CURRENT DIAGNOSIS & THERAPY HIV. Dhani Redhono Tim CST VCT RS dr. Moewardi CURRENT DIAGNOSIS & THERAPY HIV Dhani Redhono Tim CST VCT RS dr. Moewardi Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah ODHA pada kelompok orang berperilaku risiko tinggi tertular HIV

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh dunia. Jumlah kasus TB pada tahun 2014 sebagian besar terjadi di Asia

BAB 1 PENDAHULUAN. seluruh dunia. Jumlah kasus TB pada tahun 2014 sebagian besar terjadi di Asia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan di dunia. 1,5 juta orang meninggal akibat tuberkulosis pada tahun 2014. Insiden TB diperkirakan ada 9,6 juta (kisaran 9,1-10

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (AIDS) pada tahun 1981 telah berkembang menjadi masalah kesehatan. (UNAIDS) dalam laporannya pada hari AIDS sedunia tahun 2014,

BAB I PENDAHULUAN. (AIDS) pada tahun 1981 telah berkembang menjadi masalah kesehatan. (UNAIDS) dalam laporannya pada hari AIDS sedunia tahun 2014, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak ditemukannya penyakit Aqcuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) pada tahun 1981 telah berkembang menjadi masalah kesehatan gobal. Menurut data dari United Nations

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena dari tahun ke tahun terus meningkat. Dalam sepuluh tahun terakhir, peningkatan AIDS sungguh mengejutkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Imunodeficiency Virus (HIV) yang merusak sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV/AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian sangat serius. Hal ini karena jumlah kasus AIDS yang dilaporkan setiap tahunnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang awalnya menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, menyebabkan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV AIDS merupakan masalah kesehatan masyarakat global yang sampai saat ini belum ditemukan obat untuk menyembuhkannya (CDC, 2016). WHO (2016) menunjukkan bahwa terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menginfeksi sel-sel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak

BAB I PENDAHULUAN. menginfeksi sel-sel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan retrovirus yang menginfeksi sel-sel sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsi. Selama infeksi berlangsung,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) telah menjadi masalah yang serius bagi dunia kesehatan. Menurut data World Health

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahkan negara lain. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari masalah

BAB I PENDAHULUAN. bahkan negara lain. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah HIV merupakan masalah kesehatan yang mengancam Indonesia bahkan negara lain. Saat ini tidak ada negara yang terbebas dari masalah HIV/AIDS dan menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Infeksi Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang menimbulkan masalah besar di dunia.tb menjadi penyebab utama kematian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit menular yang belum dapat diselesaikan dan termasuk iceberg phenomenon atau fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) semakin nyata menjadi masalah kesehatan utama diseluruh dunia (Yasin

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Pasien ART Rendahnya imunitas dan beratnya keadaan klinis pasien saat memulai ART mempengaruhi lamanya proses perbaikan imunologis maupun klinis pasien. Tabel 2

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) didefinisikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) didefinisikan sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) didefinisikan sebagai suatu kondisi klinis yang disebabkan oleh infeksi virus Human Immuodeficiency Virus (HIV)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan agenda serius untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Millenium Development Goals (MDGs) merupakan agenda serius untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Millenium Development Goals (MDGs) merupakan agenda serius untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan taraf kehidupan yang disetujui oleh para pemimpin dunia pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang setinggitingginya.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Sydrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemi.

Lebih terperinci

Apa itu HIV/AIDS? Apa itu HIV dan jenis jenis apa saja yang. Bagaimana HIV menular?

Apa itu HIV/AIDS? Apa itu HIV dan jenis jenis apa saja yang. Bagaimana HIV menular? Apa itu HIV/AIDS? Apa itu HIV dan jenis jenis apa saja yang HIV berarti virus yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia. Ini adalah retrovirus, yang berarti virus yang mengunakan sel tubuhnya sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan kelanjutan dari apa yang sudah dibangun pada Millenium Development Goals (MDGs), memiliki 5 pondasi yaitu manusia,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama infeksi berlangsung,

Lebih terperinci

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN PENGARUH STIGMA DAN DISKRIMINASI ODHA TERHADAP PEMANFAATAN VCT DI DISTRIK SORONG TIMUR KOTA SORONG Sariana Pangaribuan (STIKes Papua, Sorong) E-mail: sarianapangaribuan@yahoo.co.id ABSTRAK Voluntary Counselling

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang secara progresif merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya menjaga sistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 HIV/AIDS 2.1.1 Pengertian dan penularan Human Immnunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh sehingga sistem kekebalan tubuh manusia melemah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit menular saat ini masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia dan merupakan penyebab kematian bagi penderitanya. Penyakit menular adalah penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit, diantaranya Acquired Immuno Defeciency Syndrome. (AIDS) adalah kumpulan penyakit yang disebabkan oleh Virus

BAB I PENDAHULUAN. penyakit, diantaranya Acquired Immuno Defeciency Syndrome. (AIDS) adalah kumpulan penyakit yang disebabkan oleh Virus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akhir dekade ini telah di jumpai berbagai macam penyakit, diantaranya Acquired Immuno Defeciency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan penyakit yang disebabkan oleh Virus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epidemi HIV/AIDS di Indonesia Epidemi HIV di Indonesia telah berlangsung selama 25 tahun dan sejak tahun 2000 sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi

Lebih terperinci

Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA Disampaikan pada Lecture Series Pusat Penelitian HIV/AIDS UNIKA ATMAJAYA: Peranan Bidan dalam Mendukung

Lebih terperinci

Jurnal Farmasi Andalas Vol 1 (1) April 2013 ISSN :

Jurnal Farmasi Andalas Vol 1 (1) April 2013 ISSN : Jurnal Farmasi Andalas Vol 1 (1) April 2013 ISSN : 2302-8254 Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Pasien HIV/AIDS di Poliklinik Khusus Rawat Jalan Bagian Penyakit Dalam RSUP dr. M. Djamil Padang

Lebih terperinci

SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan mencapai gelar Sarjana Farmasi ( S1 )

SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi dan mencapai gelar Sarjana Farmasi ( S1 ) STUDI PENGGUNAAN ANTIRETROVIRAL PADA PENDERITA HIV(Human Immunodeficiency Virus) POSITIF DI KLINIK VOLUNTARY CONSELING AND TESTING RSUD dr. SOEBANDI JEMBER Periode 1 Agustus 2007-30 September 2008 SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah

BAB I PENDAHULUAN. Millennium Development Goals (MDGs), sebuah deklarasi global yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu masalah internasional dalam bidang kesehatan adalah upaya menghadapi masalah Infeksi Menular Seksual (IMS) yang tertuang pada target keenam Millennium Development

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV dapat menyebabkan penderita

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENELITIAN. yang meliputi analisis bivariat dan multivariat. berlokasi di lingkungan Rumah Sakit Umum Daerah Sanjiwani Gianyar, yang

BAB V HASIL PENELITIAN. yang meliputi analisis bivariat dan multivariat. berlokasi di lingkungan Rumah Sakit Umum Daerah Sanjiwani Gianyar, yang BAB V HASIL PENELITIAN Dalam bab ini akan diuraikan hasil penelitian yang memaparkan gambaran umum lokasi penelitian, data deskriptif, serta menyajikan hasil pengolahan data yang meliputi analisis bivariat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan zat psiko aktif merupakan masalah yang sering terjadi di

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan zat psiko aktif merupakan masalah yang sering terjadi di BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyalahgunaan zat psiko aktif merupakan masalah yang sering terjadi di seluruh dunia, dan berhubungan dengan peningkatan mortalitas dan morbidilitas. WHO telah

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 27 BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Desain Penelitian yang dipilih adalah rancangan studi potong lintang (Cross Sectional). Pengambilan data dilakukan secara retrospektif terhadap data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Hepatitis B adalah infeksi virus yang menyerang hati dan dapat menyebabkan penyakit akut, kronis dan juga kematian. Virus ini ditularkan melalui kontak dengan

Lebih terperinci

HIV dan Anak. Prakata. Bagaimana bayi menjadi terinfeksi? Tes HIV untuk bayi. Tes antibodi

HIV dan Anak. Prakata. Bagaimana bayi menjadi terinfeksi? Tes HIV untuk bayi. Tes antibodi Prakata Dengan semakin banyak perempuan di Indonesia yang terinfeksi HIV, semakin banyak anak juga terlahir dengan HIV. Walaupun ada cara untuk mencegah penularan HIV dari ibu-ke-bayi (PMTCT), intervensi

Lebih terperinci

ABSTRAK PREDIKTOR PENINGKATAN STATUS GIZI PASIEN YANG MENDAPATKAN TERAPI ANTIRETROVIRAL DI RSUP SANGLAH DENPASAR BALI

ABSTRAK PREDIKTOR PENINGKATAN STATUS GIZI PASIEN YANG MENDAPATKAN TERAPI ANTIRETROVIRAL DI RSUP SANGLAH DENPASAR BALI ABSTRAK PREDIKTOR PENINGKATAN STATUS GIZI PASIEN YANG MENDAPATKAN TERAPI ANTIRETROVIRAL DI RSUP SANGLAH DENPASAR BALI Setelah ditemukannya obat antiretroviral (ARV) telah terjadi peningk atan status gizi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah dunia karena melanda di seluruh negara di dunia (Widoyono, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. masalah dunia karena melanda di seluruh negara di dunia (Widoyono, 2005). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit yang mengkhawatirkan masyarakat karena disamping belum ditemukan obat dan vaksin untuk pencegahan, penyakit ini juga memiliki

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia. Acquired Immunodeficiency Syndrome atau AIDS. tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV (Kemenkes RI, 2014).

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia. Acquired Immunodeficiency Syndrome atau AIDS. tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV (Kemenkes RI, 2014). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah sejenis virus yang menyerang/menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh manusia. Acquired

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan berbagai masalah di masyarakat. Angka kematian HIV/AIDS di

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan berbagai masalah di masyarakat. Angka kematian HIV/AIDS di BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV di Indonesia masih menjadi masalah yang serius dan komplek serta menimbulkan berbagai masalah di masyarakat. Angka kematian HIV/AIDS di Indonesia juga masih tinggi,

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB 1 : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) merupakan salah satu masalah kesehatan global yang jumlah penderitanya meningkat setiap

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka morbiditas dan angka mortalitas yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) semakin meningkat dan

Lebih terperinci

BAB II PENDAHULUANN. Syndromem (AIDS) merupakan masalah global yang terjadi di setiap negara di

BAB II PENDAHULUANN. Syndromem (AIDS) merupakan masalah global yang terjadi di setiap negara di 1 BAB II PENDAHULUANN 1.1 Latar Belakangg Humann Immunodeficiencyy Viruss (HIV) / Acquired Immuno Deficiency Syndromem (AIDS) merupakan masalah global yang terjadi di setiap negara di dunia, dimana jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada pembinaan kesehatan (Shaping the health of the nation), yaitu upaya kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. pada pembinaan kesehatan (Shaping the health of the nation), yaitu upaya kesehatan 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Undang-Undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 pasal 46 dan 47 menyatakan bahwa untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human immunodeficiency virus (HIV) adalah suatu jenis retrovirus yang memiliki envelope, yang mengandung RNA dan mengakibatkan gangguan sistem imun karena menginfeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah virus yang menyerang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah virus yang menyerang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah virus yang menyerang sel darah putih dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia.

Lebih terperinci

RETROSPEKTIF LONGITUDINAL ANALISIS: ODHA LOSS TO FOLLOW UP (LTFU) SAAT MENJALANI TERAPI DI YAYASAN KERTI PRAJA BALI TAHUN

RETROSPEKTIF LONGITUDINAL ANALISIS: ODHA LOSS TO FOLLOW UP (LTFU) SAAT MENJALANI TERAPI DI YAYASAN KERTI PRAJA BALI TAHUN RETROSPEKTIF LONGITUDINAL ANALISIS: ODHA LOSS TO FOLLOW UP (LTFU) SAAT MENJALANI TERAPI DI YAYASAN KERTI PRAJA BALI TAHUN 2002-202 D.N.Widyanthini, A.A.S.Sawitri,2, D.N.Wirawan,2,3. Program Studi Magister

Lebih terperinci

LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014

LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014 LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014 1. Hari AIDS Sedunia diperingati setiap tahun, dengan puncak peringatan pada tanggal 1 Desember. 2. Panitia peringatan Hari AIDS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA penjamu. imun, hal ini terjadi karena virus HIV menggunakan DNA dari CD4 + dan

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA penjamu. imun, hal ini terjadi karena virus HIV menggunakan DNA dari CD4 + dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Virus HIV (Human Immunodefeciency Virus) adalah retrovirus yang mempunyai kemampuan menggunakan RNA-nya dan DNA penjamu untuk membentuk virus DNA dan menginfeksi tubuh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit menular masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia dan masih sering timbul sebagai KLB yang menyebabkan kematian penderitanya. Departemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target

BAB I PENDAHULUAN. dalam kurun waktu adalah memerangi HIV/AIDS, dengan target 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap

Lebih terperinci

Nama : Ella Khairatunnisa NIM : SR Kelas : SI Reguler IV B Asuhan Keperawatan Klien Dengan HIV/AIDS

Nama : Ella Khairatunnisa NIM : SR Kelas : SI Reguler IV B Asuhan Keperawatan Klien Dengan HIV/AIDS Nama : Ella Khairatunnisa NIM : SR072010031 Kelas : SI Reguler IV B Asuhan Keperawatan Klien Dengan HIV/AIDS Asuhan Keperawatan Wanita Dan Anak Dengan HIV/AIDS 1. Pencegahan Penularan HIV pada Wanita dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN HIV (Human Immunodeficiency Virus) virus ini adalah virus yang diketahui sebagai penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). HIV merusak sistem ketahanan tubuh,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Veneral Disease ini adalah Sifilis, Gonore, Ulkus Mole, Limfogranuloma Venerum

BAB 1 PENDAHULUAN. Veneral Disease ini adalah Sifilis, Gonore, Ulkus Mole, Limfogranuloma Venerum BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit kelamin sudah lama dikenal dan sering disebut sebagai Veneral Disease (VD) yang berasal dari kata Venus (dewi cinta) dan yang termasuk ke dalam Veneral Disease

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS PENGISIAN FORMAT PENCATATAN DAN PELAPORAN PASIEN HIV/AIDS

PETUNJUK TEKNIS PENGISIAN FORMAT PENCATATAN DAN PELAPORAN PASIEN HIV/AIDS PETUNJUK TEKNIS PENGISIAN FORMAT PENCATATAN DAN PELAPORAN PASIEN HIV/AIDS Revisi dari tahun 2006 2015 Kementerian Kesehatan RI ii PETUNJUK TEKNIS PENGISIAN FORMAT PENCATATAN DAN PELAPORAN PASIEN HIV/AIDS

Lebih terperinci

sebuah tinjauan strategi dr. Abednego Dani N Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul PROGRAM PENGENDALIAN HIV&AIDS KABUPATEN BANTUL

sebuah tinjauan strategi dr. Abednego Dani N Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul PROGRAM PENGENDALIAN HIV&AIDS KABUPATEN BANTUL PROGRAM PENGENDALIAN HIV&AIDS KABUPATEN BANTUL sebuah tinjauan strategi dr. Abednego Dani N Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul Disampaikan di hadapan: Workshop P2 HIV&AIDS di Kabupaten Bantul 30 Mei 2011

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tubuh manusia tersebut menjadi melemah. Pertahanan tubuh yang menurun

BAB I PENDAHULUAN. tubuh manusia tersebut menjadi melemah. Pertahanan tubuh yang menurun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sehingga menyebabkan sistem pertahanan tubuh manusia tersebut menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit HIV & AIDS merupakan suatu penyakit yang terus berkembang dan menjadi masalah global yang melanda dunia. Indonesia merupakan negara di ASEAN yang paling tinggi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV) & Acquired Immunodeficieny Syndrome (AIDS) merupakan suatu penyakit yang terus berkembang dan menjadi masalah global yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala yang timbul akibat 16 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Human Immuno-deficiency Virus (HIV), merupakan suatu virus yang menyerang system kekebalan tubuh manusia dan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan penyakit yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs)

BAB 1 PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sasaran pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs) yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan pemerintah Indonesia, berbeda dengan Indonesia

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) semakin menjadi masalah kesehatan utama di seluruh dunia.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tahunnya. Jumlah penderita HIV/AIDS menurut WHO 2014 di seluruh dunia

BAB 1 PENDAHULUAN. tahunnya. Jumlah penderita HIV/AIDS menurut WHO 2014 di seluruh dunia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Imunodeficiency Virus/Acquired Imunodeficiency Syndome (HIV/AIDS) adalah salah satu infeksi menular seksual yang menjadi masalah besar. Dimana prevalensi di beberapa

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Infeksi dan Penyakit Tropis dan Mikrobiologi Klinik. RSUP Dr. Kariadi Semarang telah dilaksanakan mulai bulan Mei 2014

BAB IV METODE PENELITIAN. Infeksi dan Penyakit Tropis dan Mikrobiologi Klinik. RSUP Dr. Kariadi Semarang telah dilaksanakan mulai bulan Mei 2014 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang lingkup penelitian Penelitian ini mencakup bidang Ilmu Kesehatan Anak Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis dan Mikrobiologi Klinik. 4.2 Tempat dan waktu penelitian Pengambilan

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KLINIK MS DAN VCT PENDAHULUAN

KERANGKA ACUAN KLINIK MS DAN VCT PENDAHULUAN KERANGKA ACUAN KLINIK MS DAN VCT PENDAHULUAN A.Latar Belakang Berdasarkan laporan UNAIDS 2006 menunjukkan bahwa orang dengan HIV/AIDS yang hidup 39,4 juta orang, dewasa 37,2 juta penderita,anak-anak dibawah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. menular (dengan Bakteri Asam positif) (WHO), 2010). Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan global utama dengan tingkat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan yang penting saat ini. WHO menyatakan bahwa sekitar sepertiga penduduk dunia tlah terinfeksi kuman Tuberkulosis.

Lebih terperinci