PENGGUNAAN METODE HIBRIDA UNTUK IDENTIFIKASI KERAPATAN KANOPI DI SEBAGIAN KABUPATEN KULONPROGO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGGUNAAN METODE HIBRIDA UNTUK IDENTIFIKASI KERAPATAN KANOPI DI SEBAGIAN KABUPATEN KULONPROGO"

Transkripsi

1 PENGGUNAAN METODE HIBRIDA UNTUK IDENTIFIKASI KERAPATAN KANOPI DI SEBAGIAN KABUPATEN KULONPROGO SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Kesarjanaan S1 pada Fakultas Geografi UGM Oleh : Endra Gunawan No. Mhs 05/186755/GE/05691 KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS GEOGRAFI YOGYAKARTA 2011

2 1

3 PENGGUNAAN METODE HIBRIDA UNTUK IDENTIFIKASI KERAPATAN KANOPI DI SEBAGIAN KABUPATEN KULONPROGO oleh: Endra Gunawan 05/186755/GE/05691 INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menyusun suatu kunci interpretasi hibrida berdasar saluran tunggal atau hasil transformasi yang memiliki korelasi terbaik untuk memudahkan identifikasi tingkat kerapatan kanopi, (2) Interpretasi hibrida untuk mengoptimalkan kelebihan-kelebihan yang ada pada metode manual (visual) dan otomatis (komputasi) untuk identifikasi kerapatan kanopi. Metode hibrida yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi dua teknik interpretasi yaitu visual dan digital, yang kemudian digunakan dalam penyusunan formula kerapatan kanopi. Interpretasi visual digunakan untuk deliniasi satuan pemetaan pada daerah bervegetasi pada citra ASTER VNIR. Interpretasi digital digunakan untuk identifikasi kerapatan kanopi. Kunci interpretasi kerapatan kanopi disusun menggunakan citra atau hasil transformasinya yang memiliki korelasi tertinggi dengan tingkat kerapatan kanopi. Korelasi tersebut diperoleh dengan cara menumpangkan setiap blok sampel terukur pada setiap saluran ASTER VNIR, hasil transformasi NDVI, SAVI dan MSAVI. Dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa citra hasil transformasi NDVI memiliki korelasi tertinggi yaitu sebesar 0,99. Formula kerapatan disusun untuk tiga kelas kerapatan yaitu kerapatan tinggi (>70%) dengan nilai NDVI >0,54399, kerapatan sedang (40-70%) dengan nilai NDVI 0,3192-0,54399 dan kerapatan rendah (<40%) atau daerah non-vegetasi dengan nilai NDVI <0,3192. Pemetaan kerapatan kanopi dengan metode hibrida menghasilkan nilai akurasi formula kepadatan yang didapat dari hasil validasi lapangan sebesar 90,32% atau melebihi batas minimum akurasi interpretasi yang diperbolehkan sebesar 85% Kata kunci : interpretasi hibrida, NDVI, kerapatan kanopi ii

4 THE USE OF HYBRID METHOD FOR IDENTIFICATION CANOPY DENSITY IN PART OF KULONPROGO REGENCY by: Endra Gunawan 05/186755/GE/05691 ABSTRACT The aim of this study are: (1) to develop an interpretation key based on the single band or the result of the transformation that has the best correlation for easy identification of canopy density, (2) hybrid interpretation to optimize a combination of visual interpretation and digital interpretation for identification of canopy density. Hybrid method used in this study is a combination of two techniques, visual and digital interpretation, which used to create the canopy density formula. Visual interpretation is used in delineation of mapping units in vegetated areas in ASTER VNIR imagery. Digital interpretation used to identify canopy density. Formula canopy density were prepared using the image or the result of transformation which has the highest correlation with canopy density. Correlations are obtained by lay each block of samples was measured at each band ASTER VNIR, the NDVI transformation, SAVI and MSAVI. From these results it can be seen that the image of the transformation of NDVI has the highest correlation of Density formula developed for three classes of density that is high density (> 70%) with NDVI values> , medium density (40-70%) with NDVI values from to and a low density (<40%) or non-vegetation areas with NDVI values < Canopy density mapping with the hybrid method produces accurate formula for the density values obtained from field validation results of 90.32% or exceeds the minimum accuracy of interpretation is allowed by 85% Keywords: hybrid interpretation, NDVI, canopy density iii

5 KATA PENGANTAR Assalamua alaikum wr.wb Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah meberikan anugerah dan rahmat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Penggunaan Metode Hibrida Untuk Identifikasi Kerapatan Kanopi sebagai syarat memperoleh gelar sarjana S-1 Program Studi Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Kelancaran penyusunan skripsi ini tentunya bukan semata-mata atas kerja keras penulis seorang diri, tetapi atas berkat bantuan dari berbagai pihak. Dengan tukus ikhlas dan rasa hormat penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih paling utama penulis sampaikan kepada Bapak Dr.Suharyadi, Msc sebagai Ketua Jurusan Sains Informasi Geografi dan Pembangunan Wilayah sekaligus pembimbing yang telah memberikan begitu banyak arahan dan inspirasi dalam penyusunan skripsi ini, terima kasih untuk waktu dan berbagai nasehat, arahan dan bantuan baik dalam penyusunan skripsi ini maupun selama penulis menjalani program pendidikan di Fakultas Geografi. Tidak lupa ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada pihak lain yang telah turut membantu penyusunan skripsi ini, yaitu : 1. Bapak Prof. Dr. Suratman, M.Sc selaku Dekan Fakultas Geografi. 2. Bapak Drs. Retnadi Heru Jatmiko, M.Sc, selaku dosen penguji pertama yang telah banyak memberikan masukan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Sigit Heru Murti BS, S.Si., M,S.i selaku dosen penguji kedua yang telah memberikan saran dalam penyusunan skripsi dan untuk pengalaman yang tidak didapat di bangku kuliah. 4. Kepada kedua orang tua dan keluarga penulis yang telah memberikan segalanya demi kelancaran studi dan keberhasilan penyusunan skripsi ini, begitu besar rasa terima kasih penulis hingga tidak ada kata yang yang dapat iv

6 mewakili apa yang telah bapak ibu berikan, semoga gelar ini dapat memberikan kebanggaan. 5. Terima kasih kasih kepada baby yang telah memberi dukungan moral sehingga penyusunan skripsi ini dapat berjalan dengan baik dan lancar. 6. Komunitas Berburu Kradenan yang telah meluangkan waktu untuk membantu penulis dalam melakukan pengukuran sampel. 7. Keluarga besar GEGAMA Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Hari S, Ryan AF, Bakhtiar AM, Zuliadhi M. Terima kasih atas motivasi dan saran yang telah diberikan kepada penulis. 8. Seluruh asisten dan mantan asisten PUSPICS, Dimar Wahyu, S.Si, Pramaditya, M.Si, M. Fauzi, S.Si, Bimo Fachrizal, S.Si, Tri Raharjo, S.Si, Wahyu Pramono Sidi, S.Si, Sanjiwana Arjasa kusuma, S.Si, Hafid M Hakim, yang telah memberikan banyak pengalaman dan pengetahuan yang bermanfaat dalam kegiatan olah data. 9. Terima Kasih Kepada M. Anshori S.Si, Widyasamratri, S.Si, Idham Hairully Umam, S.Si, Yudho Pramono, Felix Yanuar Endro, yang telah banyak membantu dalam penyelesaian masalah yang ditemui dalam penyusunan skripsi ini. 10. Seluruh mahasiswa Prodi Kartografi Penginderaan Jauh angkatan 2005 atas pengalaman dan diskusi-diskusi dalam penyusunan skripsi ini. 11. Komunitas RGB, Ardella Putra Purama, S.Si, Resanto Budi Hartono, S.Si, Nurul Pramiftah, S.Si, Aji Gurenda, S.Si, Andhy Nugroho, Niko Widyatmoko, terima kasih atas kerjasama dan dukungan moral dalam penyusunan skripsi ini dan dalam menjalani hari-hari di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. 12. Terima kasih kepada semua laboran laboratorium Prodi Kartografi dan Penginderaan Jauh atas bantuan, kerjasama dan dukungan kepada penulis. 13. Terima kasih kepada segenap civitas akademika Fakultas Geografi yang telah membantu penulis dalam ahal administrasi selama masa studi. 14. Serta semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. v

7 INTISARI ABSTRACT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISI Halaman i ii iii v viii ix x BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian Telaah Pustaka Konsep Energi dalam Pengindraan Jauh Sistem ASTER Sistem Penginderaan Jauh dan Kaitannya dengan Vegetasi Karakteristik Spektral Vegetasi Transformasi Indeks Vegetasi Prosedur Interpretasi Citra Digital Pra-Pengolahan Data Digital Klasifikasi Citra Digital Penelitian Sebelumnya Kerangka Pemikiran 23 BAB II METODE PENELITIAN 2.1 Bahan dan Alat Penelitian Bahan Penelitian Alat Penelitian Tahap Penelitian 32 vi

8 Tahap Pra Lapangan Tahap Pengumpulan Data Pemrosesan Citra Digital 32 A.Koreksi Geometrik 32 B.Koreksi Radiometrik 32 C.Transformasi Indeks Vegetasi Penentuan sampel Analisis Statistik dan penyusunan algoritma Tahap Kerja Lapangan Uji Ketelitian 40 BAB III DESKRIPSI WILAYAH 3.1. Letak dan Kondisi Wilayah Kondisi Umum 45 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemrosesan Citra ASTER Koreksi Geometrik Koreksi Radiometrik Transformasi Indeks Vegetasi Normalization Difference Vegetation Index (NDVI) Soil Adjusted Vegetation Index (SAVI) Modified Soil Adjusted Vegetation Index (MSAVI) Saluran Tunggal Citra Satelit ASTER Pemetaaan Kerapatan Kanopi Dengan Metode Hybrid Interpretasi Visual Citra Komposit ASTER VNIR Penentuan blok sampel Statistik nilai rata-rata blok sampel pada saluran tunggal, NDVI, SAVI dan MSAVI Penyusunan Formula Kepadatan Interpretasi Hibrida Validasi hasil pemetaan Kerapatan kanopi daerah penelitian 69 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN vii

9 5.1.`Kesimpulan Saran 72 DAFTAR PUSTAKA 73 viii

10 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1.1 kelebihan dan kekurangan Interpretasi Visual dan Interpretasi Digital 5 Tabel 1.2. ASTER Characteristic 11 Tabel 1.3. Beberapa Penelitian Sebelumnya 27 Tabel 2.1. ASTER Unit Conversion Coeff icients 35 Tabel 2.2. Kunci Interpretasi Kepadatan Bangunan 39 Tabel 3.1. Pembagian Daerah Administrasi Kabupaten Kulonprogo 44 Tabel 4.1. Perubahan nilai spektral pada kalibrasi dari nilai radians ke reflectan 51 Tabel 4.2 Hasil pengukuran blok sampel 59 Tabel 4.3. Nilai rata-rata blok sampel terukur 60 Tabel 4.4. Tingkat korelasi masing-masing saluran/transformasi indeks vegetasi dengan kerapatan kanopi 61 Tabel 4.5. Kelas kerapatan kanopi 61 Tabel 4.6. Rata-rata nilai piksel tiap band dan transformasi indeks vegetasi pada blok sampel terukur 62 Tabel 4.7. nilai NDVI untuk penyusunan formula kepadatan 64 Tabel 4.8. Luas masing-masing kelas kerapatan kanopi 65 Tabel 4.9. koordinat titik validasi dan hasil pengamatan 67 Tabel 4.10.Hasil pengamatan untuk validasi 70 ix

11 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1.1. Spektrum elektromagnetik 9 Gambar 1.2. Satelit TERRA dan sensor yang ada 10 Gambar 1.3. Karakteristik Respon Spektral pada Vegetasi Hijau 14 Gambar 1.4. Kerangka Pemikiran 26 Gambar 2.1. Diagram Alir mrtode 42 Gambar 3.1. Kondisi Fisiografi Kabupaten Kulonprogo 48 Gambar 4.1. Perbandingan citra sebelum dan sesudah kalibrasi 51 Gambar 4.2 Titik Sampel 58 Gambar 4.2. Hubungan Linear kerapatan kanopi dan nilai rata-rata indeks vegetasi 64 Gambar 4.3. Peta Kerapatan Kanopi 67 x

12 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Peta Komposit ASTER 321 L-1 Lampiran 2. Peta Citra NDVI L-2 Lampiran 3. Peta Titik Validasi Kerapatan Kanopi L-3 Lampiran 4. Peta Lokasi Blok Sampel Terukur L-4 Lampiran 5. Peta Lokasi Titik Validasi L-5 Lampiran 6. Nilai rata-rata dan kerapatan kanopi pada citra NDVI L-6 Lampiran 7. Header Citra ASTER L-31 Lampiran 8. Foto Lokasi Pengukuran Lapangan dan Kenampakan pada Citra NDVI L-54 Lampiran 9. Foto Lokasi Validasi Hasil L-55 xi

13 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengolahan citra penginderaan jauh mencakup berbagai bidang mulai dari koreksi hingga aplikasinya dalam analisis yang dilandasi pada pendekatan spasial, salah satu bidang yang paling sering dibahas adalah klasifikasi suatu obyek berdasarkan nilai spektral yang direkam oleh sensor, nilai spektral tiap obyek bersifat unik dan umumnya berbeda pada tiap panjang gelombang., kemampuan tiap sistem optik-elektronik dalam membedakan obyek berdasar nilai spektralnya dikenal dengan resolusi spektral (Danoedoro, 1996). Resolusi spektral untuk tiaptiap sistem bervariasi tergantung pada jumlah sensor dan lebar jendela spektral yang dibawa oleh suatu sistem, semakin banyak jumlah sensor dan semakin sempit jendela spektral yang dimiliki suatu sistem maka akan semakin baik sistem tersebut dalam membedakan suatu obyek (resolusi spektral). Klasifikasi multispektral adalah suatu klasifikasi yang bertujuan untuk mendapatkan suatu gambaran penutup lahan yang ada di lapangan berdasar nilai spektral yang ditangkap oleh sensor, klasifikasi multispektral dibedakan menjadi beberapa jenis berdasar tingkat otomasinya yaitu klasifikasi terkontrol dan tak terkontrol (supervised dan unspervised). Klasifikasi tak terkontrol pada dasarnya adalah pengelompokan piksel yang didasarkan pada statistiknya, tanpa campur tangan manusia dalam penentuan kelas, hasil dari metode ini adalah kelas-kelas yang berisi kelompok piksel. Algoritma yang sering digunakan pada klasifikasi tak terkontrol adalah algoritma jarak terdekat ke pusat kluster (minimum distance to cluster centre) dan pengelompokan statistik (statistic clustering). Pada algoritma ini pengguna hanya menentukan jumlah kelas yang akan dihasilkan, cara kerja dari algoritma ini pada dasarnya hanya mengelompokkan piksel-piksel menurut jaraknya ke titik pusat, penentuan pusat kluster dilakukan secara acak oleh komputer, titik-titik pusat ini tidak sekali saja ditentukan namun mengalami perubahan saat kluister-kluster mulai terbentuk, penyesuaian letak titik pusat terjadi karena titik pusat yang pertama digunakan sebagai dasar pengelompokkan 1

14 ditentukan secara acak sebelum terbentuk suatu kluster, setelah kluster pertama terbentuk komputer kembali menentukan titik pusat berdasar kluster yang telah ada, hal ini terjadi seterusnya sampai didapat titik puast akhir. Pada algoritma kedua atau pengelompokkan yang didasarkan pada statistik pusat kluster ditentukan berdasar perhitungan yang dilakukan dengan suatu jendela yang berupa matrik yang mengkalkulasi nilai-nilai piksel yang dilewati oleh jendela ini, pusat kluster ditentukan berdasar nilai variansi yang diperoleh saat jendela matrik bergerak. Pada algoritma ini pengguna terlebih dahulu menentukan jumlah kluster ataukelas yang akan dihasilkan, nilai variansi, jumlah gerakan jendela matrik dan jarak untuk tiap kluster. Pada metode klasifikasi tak terkontrol pennguna menentukan jenis penutup lahan pada akhir klasifikasi dengan cara mendefinisikan kluster-kluster yang terbentuk dengan kondisi yang ada di lapangan. Metode yang kedua adalah klasifikasi terkontrol, pada metode ini pengguna menentukan terlebih dahulu suatu sampel berupa kelompok piksel yang digunakan sebagai dasar klasifikasi yang akan dilakukan, penentuan sampel ini sangat berpengaruh terhadap hasil akhir yang diperoleh nantinya. Pada penentuan sampel yang ideal perlu diperhatikan homogenitasnya, homogenitas ini didasarkan pada nilai piksel tiap sampel, sampel yang baik harus memiliki simpangan baku yang rendah pada tiap saluran, homogenitas ini dapat dilihat dari bentuk histogram tiap sampel dan kluster yang terbentuk pada feature space. Setelah ditentukan sampel pengguna harus menentuka algoritma yang akan digunakan untuk klasifikasi, pada metode klasifikasi terkontrol ada beberapa algoritma yang sering digunakan, diantaranya algoritma tetangga terdekat (nearest neighbour), parallelepiped (box classificaton) dan kemiripan maksimum (maximum likelihood). Algoritma tetangga terdekat sering dikatakan sebagai variasi dari algoritma kemiripan maximum (Danoedoro 1996), pada kedua algoritma ini pengkelasan dilakukan berdasarkan asumsi bahwa objek yang sama akan membentuk suatu histogram yang berdistribusi normal atau memiliki satu puncak, penentuan bahwa suatunilai piksel masuk ke dalam suatu kelas tertentu didasarkan pada suatu elipsoida yang posisinya ditentukan nilai vektor rerata 2

15 (rata-rata, variansi dan kovariansi) (Donoedoro 1996). Perbedaan algoritma kemiripan maksimum dan tetangga terdekat terletak pada adanya faktor pembobot yang terdapat pada algoritma tetangga terdekat, faktor pembobot ini menentukan probabilitas tiap kelas yang ada, sedang pada algoritma kemiripan maksimum probanilitas untuk tiap kelas dianggap sama (walaupun sebenarnya tidak.). Algoritma paralleliped menggunakan piksel sampel sebagai dasar penentuan nilai rata-rata dan simpangan baku yang selanjutnya pada algoritma ini digunakan sebagai dasar klasifikasi. Simapangan baku yang telah ada dikalikan dengan suatu koefisien pengali yang sebelumnya ditentukan oleh pengguna, hasil dari perkalian ini akan membentuk suatu ruang atau box yang menjadi batas kelas, nilai-nilai piksel yang ada pada citra akan diproses dan diputuskan masuk ke dalam suatu kelas yang diwakili oleh box tersebut, sedang nilai-nilai piksel yang tidak masuk dalam box yang telah ada akan dinyatakan sebagai piksel yang tak terklasifikasi (unclasified), namun apabila faktor pengali yang diberikan oleh pengguna terlalu besar maka akan terjadi overlap dari box-box yang ada yang mengakibatkan ada piksel-piksel yang masuk ke dalam dua kelas atau misclassified sehingga dapat diketahui bahwa yang paling menentukan dalam algoritma ini adalah nilai faktor pengali. Selain metode terkontrol dan tak terkontrol ada juga metode hibrida yang menggabungkan kedua metode tersebut, tujuan dari penggabungan kedua metode tersebut adalah untuk penghematan waktu dan biaya, pada klasifikasi ini ditentukan suatu kelas dari sebagian citra yang ada yang mewakili seluruh liputan citra, hasil klasifikasi ini digunakan sebagai acuan pengkelasan satu liputan citra yang utuh. Selain pengklasifikasian penutup lahan secara spektral telah dikenal pula suatu metode klasifikasi citra secara manual yang dilakukan berdasar tampilan visual citra yang terkomposit, kegiatan klasifikasi ini dilakukan melalui interpretasi kenampakan yang ada pada tampilan citra, interpretasi secara visual sangat bergantung pada penguasaan konsep dan pengalaman interpreter, hal tersebut dikarenakan tampilan pemilihan saluran untuk komposit warna akan mempengaruhi kenampakan visual tiap-tiap obyek, pemilihan saluran juga sangat 3

16 berpengaruh terhadap hasil dan akurasi interpretasi yang dilakukan karena masing-masing saluran memiliki kepekaan yang berbeda terhadap suatu obyek, oleh karena itu pemilihan saluran harus disesuaikan dengan obyek yang akan diinterpetasi. Berbeda dengan klasifikasi multispektral yang sangat terpengaruh oleh resolusi spektral, kegiatan interpretasi ini sangat dipengaruhi oleh resolusi spasial suatu citra, semakin baik resolusi spasialnya maka akan lebiah detail informasi yang ditampilkan dan yang dapat diinterpretasi, walaupun pengalaman dan penguasaan konsep masih sangat berpengaruh. Lain halnya dengan klasifikasi multispektral yang hanya menghasilkan kelas penutup lahan kegiatan interpretasi secara visual dapat menghasilkan informasi yang berbeda dan beragam seperti penggunaan lahan dan bentuk lahan, sedang tingkat akurasi sangat dipengaruhi oleh kemampuan dan pengetahuan interpreter. Penelitian yang dilakukan mengambil lokasi di Kabupaten Kulonprogo, karena daerah ini masih memiliki kenampakan vegetasi yang baik sehingga dapat digunakan sebagai daerah penelitian untuk obyek vegetasi, hal tersebut dikarenakan belum padatnya pemukiman yang ada di sana yang menyebabkan masih banyaknya daerah dengan tutupan vegetasi alami (bukan hutan produksi) yang memiliki tingkat kerapatan yang bervariasi Perumusan Masalah Kecenderungan penelitian di bidang Penginderaan Jauh dewasa ini Lebih mengarah ke penelitian yang bersifat aplikatif yang menyebabkan tersendatnya perkembangan bidang ilmu ini, khususnya untik munculnya suatu gagasan baru baik untuk metode maupun perbaikan metode yang telah ada melalui penyesuaian algoritma yang ada dan umum dipakai agar lebih sesuai dengan tipe sensor yang semakin berkembang. Metode yang umum dikenal adalah metode interpretasi secara visual tau manual dan digital yang bernasis pada nilai spektral data citra penginderaan jauh, kedua metode tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, diantaranya seperti yang tersaji pada tabel

17 Tabel 1.1 kelebihan dan kekurangan Interpretasi Visual dan Interpretasi Digital INTERPRETASI VISUAL: Lebih optimal, karena selain rona/warna juga mempertimbangkan unsur interpretasi lainnya, seperti tekstur, bentuk, ukuran, asosiasi, dsb. 2. Hasil interpretasi lebih mudah digunakan untuk analisis lebih lanjut, seperti pemodelan spasial. Tidak terlalu terpengaruh gangguan/kerusakan pada citra, sepanjang tidak terlalu parah, seperti kabut, awan atau, stripping (kerusakan berupa garis2 pada citra). Konsistensi, jangankan orang yang berbeda, satu orang yang sama disuruh melakukan interpretasi dua kali pada citra yang sama hasilnya bisa berbeda. Kurang efisien jika dihadapkan pada wilayah yang luas. Kualitatif dan subyektif, sangat tergantung kemampuan dan pengalaman interpreter. INTERPRETASI DIGITAL: Kelebihan Kekurangan Kuantitatif dan lebih obyektif, karena didasarkan pada analisis data numerik (nilai pixel) menggunakan algoritma statistik. Efisien dihadapkan pada daerah yang luas. Kita hanya perlu menunjuk wilayah2 tertentu sebagai sampel, bahkan pada metode klasifikasi tak terselia, kita tidak menunjuk sampel sama sekali. Kurang optimal, karena hanya mempertimbangkan rona/warna, sehingga jika ada obyek yang berbeda tapi mempunyai rona/warna akan terklasifikasikan menjadi satu kelas. Hasil klasifikasi umumnya sulit digunakan untuk analisis lebih lanjut seperti pemodelan spasial, hal ini dikarenakan jumlah poligon yang terlalu banyak. Memerlukan kondisi citra yang benar2 bersih/bebas dari gangguan seperti kabut, awan atau stripping. Sumber (Samrumi, 2009) Metode hibrida merupakan suatu metode yang dapat menjadi pintu munculnya teknik baru dalam bidang pengideraan jauh, hal tersebut dikarenakan metode ini berusaha memadukan dua metode yang umum dipakai untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Metode hibrida yang biasa dan umum dipakai adalah penggabungan dari klasifikasi un-supervised dan supervised. Akhir-akhir 5

18 ini metode hibrida yang diharapkan menjadi jembatan munculnya ide-ide baru dalam bidang penginderaan jauh menjadi terbatas pada metode yang telah ada tanpa menunjukkan adanya perkembangan lebih lanjut, walaupun banyak metode baru yang dapat dijembatani oleh metode ini, salah satunya dalam hal klasifikasi atau identifikasi suatu objek melalui karakter spektralnya yang unik. Aplikasi penginderaan jauh di berbagai bidang memunculkan banyak algoritma yang biasa digunakan dalam suatu transformasi unyuk suatu obyek, transformasi pada dasarnya menggunakan respon spektral obyek yang dapat membedakannya dengan obyek atau kenampakan lain. Salah satu transformasi yang terkenal dan sering digunakan adalah Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) yang menggunakan respon spektral dari obyek vegetasi. Selain NDVI masih ada beberapa transformasi yang menggunakan respon spektral obyek sebagai dasar suatu algoritma, hal tersebut menunjukkan bahwa vegetasi memiliki nilai respon spektral yang baik dan mampu dibedakan dari obyek lainnya baik untuk identifikasi obyek maupun hal lain yang berhubungan dengan vegetasi, diantaranya seperti kesehatan vegetasi, kelembaban dan beberapa lainnya. Tingkat kerapatan kanopi daun merupakan salah satu obyek kajian yang sering dibahas dalam aplikasi penginderaan jauh khususnya yang berkaitan dengan aplikasi di bidang vegetasi, semakin besar nilai kerapatan kanopi tentunya akan semakin banyak kenampakan vegetasi (bukan jumlah vegetasi) yang menutupi permukaan tanah dan semakin sedikit cakupan obyek lain yang terlihat dari suatu kenampakan spasial baik peta, foto, maupun citra. Berangkat dari hal tersebut dapat diasumsikan bahwa pada citra satelit semakin rapat kanopi akan memunculkan semakin banyak nilai piksel citra yang mencerminkan obyek vegetasi, dan untuk kerapatan tinggi tentunya akan memunculkan semakin banyak pula piksel murni (untuk obyek vegetasi) yang akan mengurangi nilai piksel yang mencerminkan obyek selain vegetasi. Berdasarkan latar belakang penelitian, perumusan masalah dan asumsi yang telah diuraikan sebelumnya kemudian timbul suatu pertanyaan penelitian, sebagai berikut : 6

19 1. Dapatkah teknik yang berbasis spektral dan visual digabungan menjadi suatu metode gabungan baru (hibrida)? 2. Dapatkah disusun suatu rumusan baru berdasar nilai spektral vegetasi yang memudahkan untuk identifikasi dan klasifikasi kerapatan kanopi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dilakukan suatu percobaan dengan menggabungkan teknik manual (visual) dan berbasis nilai spektral, untuk melakukan hal tersebut tentunya dibutuhkan suatu citra yang representatif untuk kedua tehnik, visual maupun spektral, untuk itu dipilih citra yang memiliki resolusi spasial mendukung identifikasi secara visual dan memiliki resolusi spektral yang baik untuk klasifikasi multispektral dan identifikasi objek berdasar nilai reflektansinya. Untuk itu dipilih Citra ASTER VNIR karena dilihat dari segi resolusi spasial yg cukup memadai untuk melakukan interpretasi secara visual, yaitu 15 meter untuk VNIR, selain itu ASTER VNIR juga telah mencukupi untuk transformasi indeks vegetasi yang menggunakan saluran merah dan inframerah dekat. Daerah penelitian dipilih di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta hal tersebut dikarenakan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki kenampakan fisik yang cukup bervariasi baik dilihat dari morfologi bentuk lahan maupun kenampakan penutup lahan yang ada di dalamnya yang mendukung untuk dijadikan sebagai lokasi penelitian dalam berbagai tema, termasuk dalam hal penutup lahan terutama vegetasi, kondisi vegetasi yang ada di beberapa kabupaten di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki kerapatan dan variasi jenis tegakan yang mendukung untuk suatu penelitian, salah satunya adalah Kabupaten Kulonprogo, di kabupaten ini terdapat kenampakan vegetasi yang cukup bervariasi dari segi kerapatan maupun jenis tegakannya, pemilihan daerah penelitian dilakukan pada daerah dengan topografi yang datar sampai bergelombang sehingga faktor arah lereng terhadap sensor dapat diabaikan, selain itu luasan daerah dengan penutup lahan berupa vegetasi yang ada di Kabupaten Kulonprogo apabila dilihat dari segi resolusi spasialnya sangat memungkinkan Citra ASTER digunakan sebagai sumber data pada kegiatan penelitian yang akan dilakukan. 7

20 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menyusun suatu kunci interpretasi berdasar saluran atau hasil transformasi yang memiliki korelasi terbaik untuk memudahkan identifikasi tingkat kerapatan kanopi. 2. Interpretasi hibrida untuk mengoptimalkan kelebihan-kelebihan yang ada pada metode manual (visual) dan otomatis (komputasi) untuk identifikasi kerapatan kanopi Kegunaan Penelitian Bagi ilmu pengetahuan dapat menambah pilihan metode untuk identifikasi dan klasifikasi khususnya yang berhubungan dengan tingkat kerapatan vegetasi dan kanopinya, selain itu diharapkan dapat mendorong memunculkan ide-ide penelitian baru yang lebih baik dan inovatif yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang penginderaan jauh Telaah Pustaka Konsep Energi dalam Pengindraan Jauh Pengertian penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau gejala yang dikaji, seperti yang tertulis dalam Sutanto (1986), mengutip dari Lillesand dan Kiefer (1979), Remote sensing is the science and art of obtaining information about an object, area, or phenomenon through the analysis of data acquired by a device that is not in contact with the object, area, or phenomenon under investigation. Alat yang dimaksud dalam pengertian tersebut adalah alat pengindera atau sensor yang dibawa melalui wahana yang berupa pesawat, balon udara, satelit dan sebagainya. 8

21 Craknell (1981 dalam Sutanto 1986) membedakan teknik penginderaan jauh atas tiga sistem, yaitu sistem pasif yang memanfaatkan tenaga pancaran obyek, sistem pasif yang menggunakan tenaga pantulan matahari, dan sistem aktif yang berupa radar, lidar, laser, dan sebagainya, dari ketiga sistem yang ada tersebut dapat diketahui bahwa tenaga atau energi adalah komponen utama yang digunakan dalam penginderaan jauh. Tenaga yang dimaksud disini adalah tenaga elektromagnetik, yaitu paket elektrisitas dan magnetisme yang bergerak dengan kecepatan sinar pada frekuensi dan panjang gelombang tertentu, dengan sejumlah tenaga tertentu,(chanlet, 1979 dalam Sutanto 1986), dimana matahari merupakan sumber utama dari energi tersebut. Sumber energi tersebut dibagi lagi menjadi spektra kosmis, Gamma, X, ultraviolet, visible (tampak), inframerah, glombang mikro, dan gelombang radio, (Purwadhi, 2001). Dalam pengindraan jauh, tenaga elektromagnetik yang banyak digunakan adalah sebagian spektrum ultraviolet (0,3 μm-0,4 μm), spektrum tampak/visible (0,4 μm-0,7 μm), spektrum inframerah dekat (0,7 μm-1,3 μm), spektrum inframerah termal (3 μm-18 μm), dan gelombang mikro (1 mm-1 m). Dalam penginderaan jauh, semakin panjang suatu panjang gelombang, maka kandungan tenaga kuantumnya justru akan semakin rendah. Akibatnya pancaran radiasi alami pada spektrum yang mempunyai panjang gelombang panjang justru akan semakin sulit untuk diindera oleh sensor. Gambar 1.1. Spektrum elektromagnetik (Sumber: Lillesand, et al., 2004.) 9

22 Sistem ASTER Teknologi penginderaan jauh yang semakin berkembang saat ini telah memunculkan berbagai generasi satelit penginderaan jauh. Earth Observing System (EOS) merupakan salah satu produk dari misi NASA untuk mengindera bumi, misi tersebut dinamai dengan Mission to Planet Earth (MTPE) yang kemudian pada tahun 1998 berganti nama menjadi Earth Science Enterprise (ESE). Misi ini juga telah berhasil meluncurkan Landsat 7. Lalu selanjutnya misi ini juga meluncurkan dua satelit baru yaitu Terra (18 Desember 1999), dan Aqua (4 Mei 2002). Masing-masing satelit ini membawa sensor pada tubuhnya. Terra memiliki lima sensor, yaitu : ASTER = Advanced Spaceborne Thermal Emision and Reflection Radiometer CERES = Clouds and the Earth s Radiant Energy System MISR = Multi-Angle Imaging Spectro-Radiometer MODIS = Moderate Resolution Imaging Spectro-Radiometer MOPITT = Measurements of Pullution in the Troposphere Sedangkan Aqua mempunyai enam sensor, dua diantaranya adalah MODIS dan CERES), keempat sensor tersebut yaitu : AMSR/E = Advanced Microwave Scanning Radiometer-EOS AMSU = Advanced Microwave Sounding Unit AIRS = Atmospheric Infrared Sounder HSB = Humidity Sounder for Brazil Sensor ASTER terdiri dari tiga macam instrumen, yaitu : Visible and Near-Infrared Radiometer (VNIR), Short Wavelength Infrared Radiometer (SWIR), dan Thermal Infrared Radiometer (TIR). Posisi masing-masing instrumen pada satelit TERRA dapat dilihat pada Gambar 1.1. berikut : 10

23 Ketiga sensor ASTER yaitu VNIR, SWIR dan TIR memiliki karakter yang perbedaan, misalnya pada resolusi spasialnya (ground resolution) dimana sensor VNIR memiliki resolusi tertinggi yaitu 15 meter, sedang terendah pada sensor TIR yaitu 90 meter, karakteristik tiap-tiap sensor lainnya tersaji pada tabel 1.2. Tabel 1.2 ASTER Characteristic Characteristic VNIR (µm) SWIR (µm) TIR (µm) Spectral Range Band 1: Nadir looking Band 2: Nadir looking Band 3: Nadir looking Band 3: Backward looking Band 4: Band 5: Band 6: Band 7: Band 8: Band 9: Band 10: Band 11: Band 12: Band 13: Band 14: Ground Resolution 15 m 30m 90m Data Rate (Mbits/sec) Cross-track Pointing ±24 ±8.55 ±8.55 (deg.) Cross-track Pointing ±318 ±116 ±116 (km) Detector Type Si PtSi-Si HgCdTe Quantization (bits) System Gambar 1.2 : Satelit TERRA dan sensor yang ada. (Sumber: Response Function VNIR Chart VNIR Data SWIR Chart SWIR Data Sumber : 22 Agustus 2009 TIR Chart TIR Data 11

24 VNIR merupakan instrumen yang digunakan untuk mendeteksi pantulan energi dari permukaan bumi dengan julat dari spektrum tampak hingga spektrum inframerah (0,52 0,86 µm) dan terletak pada 3 band pertama, berbeda dengan citra-citra kebanyakan, ASTER tidak memiliki band biru, sehingga band pertama adalah band hijau, hal tersebut menyebabkan tidak dapatnya dibentuk komposit tru color (komposit dari band merah, hijau, biru). Saluran nomor 3 dari VNIR ini terdiri dari nadir dan backward looking, sehingga kombinasi saluran ini dapat digunakan untuk mendapatkan citra stereoskopik. Digital Elevation model (DEM) dapat diperoleh dengan mengaplikasikan data ini. SWIR merupakan instrumen dengan 6 saluran yang digunakan untuk mendeteksi pantulan energi dari permukaan bumi pada julat spektrum inframerah dekat (1,6 2,43 µm). Hal ini memungkinkan menerapkan ASTER untuk identifikasi jenis batu dan mineral, serta untuk monitoring bencana alam seperti monitoring gunung berapi yang masih aktif. TIR adalah instrumen untuk observasi radiasi infamerah termal ( µm) dari permukaan bumi dengan menggunakan 5 saluran. Saluran-saluran ini dapat digunakan untuk monitoring jenis tanah dan batuan di permukaan bumi Sistem Penginderaan Jauh dan Kaitannya dengan Vegetasi Dalam suatu analisis digital pada sistem penginderaan jauh, dikenal suatu teknik manipulasi yang bertujuan untuk menonjolkan kenampakan-kenampakan khusus. Teknik tersebut sering disebut dengan penajaman citra, yang dapat dilakukan dalam tiga cara, yaitu manipulasi contrast (contrast manipulation), manipulasi kenampakan spasial (spatial feature manipulation), dan manipulasi multi-citra (multi-image manipulation). Masing-masing cara dalam manipulasi tersebut mempunyai fungsi dan tujuan sendiri-sendiri. Tiga unsur utama dipermukaan bumi yang dapat diindera secara langsung melalui sistem penginderaan jauh adalah obyek vegetasi, tanah,dan air. Pada kurva pantulan spektral antara obyek vegetasi, tanah, dan air; vegetasi mempunyai pantulan spektral yang kuat pada panjang gelombang 0,7 μm 1,3 μm (spektrum 12

25 inframerah dekat). Pada panjang gelombang 0,45 μm 0,67 (spektrum biru dan merah) μm akan terjadi penyerapan energi secara kuat oleh klorofil daun, sehingga akibatnya mata manusia akan melihat warna vegetasi tampak hijau. Pantulan yang kuat pada spektrum inframerah dekat disebabkan karena struktur internal daun (yang dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi jenis tumbuhan). Mengacu pada kamus Merriam-Webster (1974, dalam Danoedoro,1989), definisi vegetasi dalam penelitian ini dibatasi sebagai tumbuhan dalam fungsinya sebagai penutup suatu wilayah. Vegetasi tidak dipandang sebagai individu namun berupa suatu kumpulan yang menutupi wilayah tertentu. Dalam penelitian ini keberadaan faktor internal daun tidak diperhitungkan secara khusus. Karakteristik daun secara individual akan berbeda dengan karakteristik daun dalam struktur vegetasi (Hoffer, 1978 dalam Danoedoro, 1989). Berkaitan dengan unsur vegetasi yang berupa tanaman padi, intensitas vegetasi itulah yang akan diteliti. Untuk menonjolkan obyek tersebut dalam analisis citra digital dipergunakan operasi manipulasi multi-citra (multi-image manipulation), yang termasuk didalamnya adalah proses penajaman berdasarkan indeks vegetasi yang pembuatannya dengan cara pengurangan, penambahan, dan membandingkan nilai digital setiap saluran yang spektralnya berbeda. Terdapat beberapa macam cara untuk menentukan nilai indeks vegetasi, yaitu dengan membandingkan beberapa saluran (citra rasio, normalisasi, dan hasil transformasi), dengan membuat selisihnya (different vegetation index), citra index vegetasi hasil kebakaran (Ashburn vegetation index), model Tasseled Cap, dan perpendicular vegetation index. Dalam beberapa penelitian tentang penggunaan transformasi index vegetasi, terdapat hubungan yang sangat erat antara kerapatan tajuk dengan nilai kecerahan pada hasil transformasi indeks vegetasi. Semakin tinggi kerapatan tajuk maka akan semakin tinggi pula nilai kecerahan pada saluran hasil transformasi indek vegetasinya. Transformasi indek vegetasi merupakan salah satu proses penajaman dengan membuat citra perbandingan dari beberapa saluran. Tujuan dari penggunaan teknik transformasi ini adalah menonjolkan kenampakan vegetasi agar indeks yang didapat mempunyai julat yang pasti, yaitu 13

26 antara 0 dan 1, dimana selisih antara pantulan inframerah dekat dinormalisasi dengan cara membagi dengan jumlah dari keduanya Karakteristik Spektral Vegetasi Setiap obyek di permukaan bumi mempunyai karakteristik tertentu dalam memantulkan dan atau memancarkan tenaga ke sensor. Pengenalan obyek pada dasarnya dilakukan dengan melihat karakteristik spektral pada citra. Secara umum, karakteristik spektral obyek dirinci menurut obyek utama di permukaan bumi yaitu karakteristik spektral air, tanah, dan vegetasi. Berdasarkan ketiga obyek tersebut, objek vegetasi mempunyai variasi spektral dibandingkan kedua obyek yang lain. Objek vegetasi memiliki nilai pantulan yang tinggi pada spektrum hijau, rendah pada spektrum biru dan merah, serta sangat tinggi pada inframerah. Grafik yang menunjukkan karakteristik respon spektral vegetasi hijau dapat dilihat pada Gambar 3 berikut. Gambar 1.3 : Karakteristik Respon 3. Spektral pada Vegetasi Hijau Sumber: Hoffer, 1987 dalam Danoedoro 1996 Pada gafik tersebut, ada tiga faktor dominan yang mampu mempengaruhi respon spektral vegetasi, yaitu : pigmen daun, struktrul sel daun, dan kandungan air. Pada panjang gelombang tampak, pigmen daun (klorofil) akan mempengaruhi respon spektral vegetasi. Serapan tenaga pada saluran hijau relatif rendah, 14

27 sedangkan pada saluran tampak lainnya serapan tenaga yang terjadi lebih tinggi. Hal inilah yang memungkinkan mata kita melihat warna hijau pada vegetasi yang sehat. Tanaman yang mengalami stress akan menyebabkan kandungan klorofil berkurang, sehingga serapan tenaga juga akan berkurang dan dengan sendirinya pantulan spektrum merah bertambah. Hal ini dapat menyebabkan vegetasi tampak pucat kekuningan. Pada saluran inframerah dekat, serapan tenaga semakin berkurang atau dengan kata lain pantulan tenaga yang terjadi meningkat tajam. Pada kondisi ini, respon pantulan didominasi oleh kandungan air dalam daun dan karena kelembaban daun hijau cukup tinggi, maka pantulan spektral inframerah lebih tinggi dibandingkan spektrum tampak. Struktur internal daun yang kompleks memiliki pengaruh yang besar terhadap pantulan tenaga pada spektrum inframerah dekat. Hal ini disebabkan karena spektrum inframerah dekat mampu menembus lapisan pigmen daun, sehingga serapan tenaga yang terjadi kecil. Tenaga tersebut akan dipantulkan oleh lapisan mesofil dan menyebabkan apa yang dinamakan pantulan dalam. Jenis tanaman yang berbeda memiliki struktur internal yang berbeda pula, menyebabkan perbedaan nilai pantulan spektral pada saluran tertentu. Pada spektrum inframerah tengah, pantulan lebih ditentukan oleh kandungan air bebas dalam jaringan daun; semakin banyak kandugan air bebas akan menghasilkan pantulan yang rendah. Oleh sebab itu, saluran inframerah tengah ini disebut dengan saluran serapan air Transformasi Indeks Vegetasi Dengan penginderaan jauh, vegetasi dapat dibedakan dari material lain berdasarkan pada perbedaan serapan terhadap sinar merah dan biru pada spektrum tampak, dan memiliki pantulan terhadap sinar hijau yang besar, terlebih untuk inframerah dekat nilai pantulannya sangat tinggi. Berbagai transformasi indeks vegetasi telah dikembangkan guna memperoleh hasil yang lebih sensitif terhadap respon spektral objek vegetasi, jika dibandingkan dengan menggunakan saluran tunggal. Transformasi indeks vegetasi yang dipakai dalam penelitian ini adalah : 15

28 a. NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) NDVI merupakan salah satu produk standar NOAA (National Oceanic and Atmospheric Adinistration), yaitu satelit cuaca yang berorbit polar namun memberikan perhatian khusus pada fenomena global objek vegetasi. NDVI merupakan suatu transformasi yang menggunakan kombinasi antara teknik penisbahan dan teknik pengurangan citra dan dapat menonjolkan aspek kerapatan vegetasi. NDVI dipilih karena formula ini telah dikenal luas dalam penginderaan jauh untuk studi vegetasi. Meskipun sederhana, namun terbukti memiliki kemampuan untuk menonjolkan fenomena yang terkait dengan kerapatan vegetasi dengan menekan sumber-sumber variasi spektral lain. Nilai hasil transformasi indeks vegetasi berkisar antara +1 hingga -1. Formula NDVI adalah sebagai berikut : NDVI = Inframerah dekat saluran merah...(1) Inframerah dekat saluranmerah atau band 3N band 2 NDVI =...(2) band 3N band 2 SAVI (Soil-Adjusted Vegetation Index) SAVI merupakan suatu formula indeks vegetasi yang didesain untuk meminimalisir efek dari tanah yang pada citra menjadi latar belakang objek vegetasi. Formula ini dinamakan SAVI dan memiliki formula sebagai berikut : atau (3).(4) Untuk tutupan vegetasi yang tinggi, nilai L adalah 0,0 dan untuk tutupan vegetasi yang rendah 1,0. Sedangkan untuk tutupan vegetasi yang sedang, nilai L 16

29 adalah 0,5 dan nilai inilah yang umumnya digunakan. Penggunaan nilai L sebagai faktor pengali menyebabkan SAVI memiliki julat nilai yang identik dengan NDVI (-1 hingga +1). b. MSAVI 2 (Modified Soil-Adjusted Vegetation Index 2) MSAVI merupakan suatu formula indeks vegetasi yang merupakan optimalisasi dari transformasi SAVI, formula MSAVI juga menggunakan dua band yang digunakan dalam transformasi indeks vegetasi lainnya, saluran merah dan inframerah dekat, formula dari MSAVI adalah sebagai berikut : MSAVI 2 =...(5) dimana : -NIR = band infra merah dekat -R = band merah nilai transformasi MSAVI ini juga berkisar antara -1 sampai +1. Pada citra ASTER terdapat banyak saluran yang beroperasi pada saluran yang peka terhadap respon spektral vegetasi, dengan demikian maka sangat menguntungkan dalam penelitian dan studi tentang vegetasi. Dengan memanfaatkan saluran-saluran yang peka terhadap vegtasi tadi ke dalam formula transformasi yang kemudian disebut sebagai indeks vegetasi, maka nilai spektral di luar vegetasi dapat dihilangkan atau dileminasi. Hal ini terutama pada hal yang menyangkut radiometri terhadap nilai kecerahan vegetasi atau bahkan mengurangi spektral obyek yang melatarbelakanginya. Melihat kenyataan ini maka dapat dimungkinkan untuk melakukan studi tentang kerapatan vegetasi, indeks luas daun (LAI/ Leaf Area Index), biomasa, umur tegakan, konsentrasi klorofil dan juga kandungan nitrogennya. Karakteristik indek vegetasi tanaman padi tidak hanya ditentukan oleh pertumbuhan dan kerapatan daun yang khas, melainkan juga kombinasi antara air dan tanaman padi itu sendiri. Karakteristiknya terletak pada proporsi air dan tanaman padi yang terus berubah sejalan dengan pertumbuhannya. 17

30 Prosedur Interpretasi Citra Digital Prosedur pengolahan dan interpretasi citra digital diuraikan sesuai dengan format data dari CDROM, CCT, atau Cartridge, dan peralatan yang digunakan. Analisis dan interpretasi data penginderaan jauh atau citra digital dapat dikelompokan menjadi tiga prosedur operasional, yaitu pra-pengolahan data mencakup rektifikasi (koreksi geometrik) dan restorasi (pemugaran atau pemulihan) citra, pembuatan citra komposit, penajaman citra (image enhancement) atau peningkatan mutu citra, serta klasifikasi citra mencakup klasifikasi terselia, klasifikasi tak terselia, dan klasifikasi gabungan (hibrida). Hasil pengolahan perlu dikoreksi ketelitian hasilnya baru kemudian dikeluarkan sebagai hasil klasifikasi atau interpretasi data (Danoedoro,1996) Pra-Pengolahan Data Digital Pra-pengolahan data digital mencakup rektifikasi dan restorasi citra. Rektifikasi dan restorasi merupakan prosedur operasi agar diperoleh data permukaan bumi sesuai dengan aslinya. Citra hasil sensor penginderaan jauh mengalami berbagai distorsi yang disebabkan oleh gerakan sensor, faktor media antara, dan faktor obyeknya sendiri sehingga perlu diperbaiki atau dipulihkan kembali. Prosedur operasi ini biasa disebut dengan operasi data awal (preprocessing operations) atau pra-pengolahan citra yang meliputi berbagai koreksi, yaitu koreksi radiometrik, koreksi geometrik, dan koreksi atmosferik Klasifikasi Citra Digital Klasifikasi citra adalah proses pengumpulan informasi dari citra digital berdasarkan analisis nilai spektral, bertujuan untuk mengelompokan atau membuat segmentasi mengenai kenampakan-kenampakan yang homogen dengan teknik kuantitatif. Prosedur operasi dilakukan dengan pengamatan dan evaluasi setiap piksel yang terkandung di dalam citra dan dikelompokan pada setiap kelompok informasi. 18

31 Pada proses klasifikasi citra digital tersebut, kriteria yang digunakan hanya nilai spektralnya, dengan asumsi perbedaan obyek dapat dikenali berdasarkan perbedaan karakteristik spektralnya. Karakteristik spektral merupakan gambaran sifat dasar interaksi obyek dan spektral yang bekerja padanya (Dulbahri, 1984) Klasifikasi secara digital secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua cara, yaitu : 1. Klasifikasi nilai piksel didasarkan pada contoh daerah yang diketahui jenis obyek dan nilai spekltralnya, disebut sebagai klasifikasi terbimbing atau terselia (supervised classification). 2. Klasifikasi tanpa daerah contoh yang diketahui jenis obyek dan nilai spektralnya, disebut klasifikasi tak terbimbing atau tak terselia (unsupervised classification). Metode klasifikasi yang dapat digunakan dalam pengelompokan nilai spektral ada tiga macam, salah satunya adalah klasifikasi kemiripan maksimum (maximum likelihood). Pengklasan kemiripan maksimum (maximum likelihood) merupakan kegiatan evaluasi, baik secara kuantitatif, varian, maupun korelasi pola tanggapan spektral kategori ketika mengklasifikasikan piksel tak dikenal dengan suatu asumsi bahwa distribusi titik (piksel) yang berbentuk data sampel mempunyai kategori bersifat distribusi normal (Gaussian) Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai vegetasi dengan bantuan citra penginderaan jauh telah banyak dilakukan sebelumnya dengan menggunakan berbagai metode. Hildanus dalam tulisannya yang berjudul Pendugaan Beberapa Parameter Tegakan Hutan Tropika Dataran Rendah Menggunakan Data Satelit Landsat meneliti mengenai hubungan nilai NDVI pada citra Landsat dengan jumlah pohon, rata-rata tinggi total, basal area, biomasa bagian pohon di atas permukaan tanah, LAI, dan penutupan tajuk dengan cara matematis, pendugaan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan persamaan alometrik. Penelitian ini menggunakan interpretasi visual sebagai dasar penentuan plot-plot sample pada citra, untuk klasifikasi hutan pada penelitian ini menggunakan system klasifikasi dari FAO 19

32 yang membagi menjadi tiga kelas, yaitu hutan rapat (closed forest:high density), hutan kerapatan sedang (closed forest:medium density) dan hutan jarang (opened forest), dari hasil interpretasi visual tersebut dibuat plot-plot sample berukuran 80 x 80 m. Penelitian ini menggunakan citra Landsat yang telah ditransformasi NDVI sebagai sumber data yang akan dikorelasikan dengan data-data yang dikumpulkan di lapangan). Pada analisis data digunakan model regresi antara parameter tegakan hutan hasil pengukuran di lapangan (jumlah pohon, rata-rata tinggi total, basal area, biomasa bagian pohon di atas permukaan tanah, LAI, dan penutupan tajuk) dengan NDVI, untuk menunjukkan ada atau tidaknya hubungan antara parameter tegakan hutan dengan nilai NDVI penelitian ini menggunakan uji hipotesis dengan uji F pada taraf nyata 95%, sedang untuk menentukan tingkat ketelitian model atau menunjukkan presentase kemampuan peubah bebas (nilai NDVI) dalam menjelaskan peubah tidak bebas (parameter tegakan hutan) digunakan koefisien determinasi (R²). Penelitian menghasilkan suatu kesimpulan yang menyebutkan bahwa transformasi NDVI pada citra Landsat berkorelasi dengan rata-rata tinggi total, basal area, biomasa, di atas permukaan tanah, LAI, dan penutupan tajuk dari pohon berdiameter 10cm atau lebih, tetapi tidak mempunyai korelasi dengan jumlah pohon. Penelitian lainnya yang menyebutkan mengenai hubungan transformasi indeks vegetasi terutama NDVI dan keterkaitannya dengan presentasi vegetasi dilakukan oleh A. Rahman As-syakur dan I.W. Sandi Adnyana dalam Jurnal Bumi Lestari melakukan mengenai analisis indeks vegetasi dengan menggunakan citra ALOS/AVNIR-2, pada penelitian ini digunakan tiga jenis transformasi indeks vegetasi yaitu NDVI, SAVI dan MSAVI yang akan ditentukan hubungan ketiga transformasi tersebut dengan persentasi vegetasi, disebutkan bahwa dari ketiga transformasi tersebut transformasi indeks vegetasi dengan NDVI dan SAVI memiliki akurasi yang lebih baik dibanding MSAVI. Penelitian ini menghasilkan suatu persamaan yang yang menghubungkan antara nilai NDVI dengan presentase vegetasi sebagai berikut: Presentase Vegetasi = (NDVI)² (NDVI)

33 Michael Shank (2008) pada penelitiannya yang dilakukan bagian selatan West Virginia dengan menggunakan citra multispektral quickbird juga menyebutkan keterkaitan antara NDVI dengan presentase vegetasi. Penelitian menggunakan sampel yang diperoleh melalui identifikasi citra stelit yang telah mengalami transformasi NDVI, disini NDVI digunakan untuk dasar pengukuran kerapatan vegetasi homogenitas nilai piksel suatu obyek, nilai rata-rata NDVI dari kernel berukuran 5 x 5 digunakan untuk mengkelaskan nilai-nilai piksel obyek menjadi sepuluh kelas mulai dari lahan terbuka sampai mdaerah bervegetasi penuh, dari setiap kelas dipilih sejumlah nilai piksel dengan jumlah sama dan dilakukan secara acak dari suatu set piksel dengan varian tetangga yang rendah (low neighborhood variance) yang akan digunakan sebagai sample uji lapangan. Penelitian ini menfokuskan penelitiannya pada pembandingan dua tipe area, yaitu area tanpa vegetasi dan tertutup penuh oleh vegetasi, dengan asumsi awal bahwa daerah diantara nilai NDVI kedua tipe area tersebut memiliki presentase vegetasi yang membentukm suatu model korelasi regresi, pada akhirnya penelitian ini menyimpulkan bahwa NDVI dapat digunakan untuk estimasi penutup vegetasi dengan dua ketentuan, yang pertama adalah material substrat yang cukup seragam, kedua tidak ada pengaruh dari kelembaban tanah (material batu atau kondisi daerah penelitian kering). Penelitian yang dilakukan oleh Widyasamratri (2008) menggunakan data satelit penginderaan jauh ASTER untuk mengetahui kondisi daerah perkotaan dari keberadaan vegetasi serta lahan terbangun perkotaan. Proses ekstraksi obyek vegetasi dari citra satelit menggunakan metode transformasi indek vegetasi yaitu NDVI dan ekstraksi obyek kepadatan lahan terbangun menggunakan transformasi urban indeks. Untuk melihat serta menganalisis kondisi daerah perkotaan dengan menggunakan transformasi indeks perkotaan dan NDVI di Kota Semarang dipergunakan analisis statistik deskriptif, yaitu berupa penyajian data kedalam tabel silang. Pengembangan metode untuk pemetaaan vegetasi juga dilakukan oleh Y.Hirose dkk (Tanpa Tahun) dengan menggabungkan dua pendekatan melalui metode hibrida, disini hibrida yang ada dimaksud pada penelitian ini lebih kepada 21

34 pendekatan proses yang digunakan yaitu dengan analisa klasifikasi secara segment based dan image based melalui pendekatan nilai piksel dengan metode maximum likelihood, pada pengolahan secara digital berdasar nilai piksel dengan metode maximum likelihood sering dijumpai kenampakan seperti taburan garam dan merica yang biasanya dianggap sebagai gangguan, namun dalam konteks pemetaan vegetasi dengan menggunakan data satelit dengan resolusi spasial yang tinggi kenampakan tersebut sangat berguna untuk menggabungkan hasil klasifikasi dari metode maximum likelihood dengan hasil klasifikasi berdasar objek (object based classification) karena pada klasifikasi berdasar nilai pikesl (maximum likelihood) dihasilkan informasi mengenai kerapatan dan distribusi vegetasi yang dihasilkan pada deliniasi pendekatan berdasar obyek (object based). Emil Galev (2006) meneliti mengenai pendataan ukuran sebenarnya dari vegetasi di lapangan dengan menggunakan data penginderaan jauh resolusi tinggi (IKONOS) dengan menggunakan bantuan software non spasial untuk proses penajaman, penekanan yang dilakukan disini hanya pada kemampuan data spasial resolusi tinggi merekam obyek dengan akurat sesuai dengan ukuran di lapangan. Metode analisis yang dilakukan disini juga metode tradisional, yaitu deliniasi secara visual. Penelitian dalam vegetasi dapat menggunakan berbagai jenis citra, Frida Sidik dan Denny Wijaya Kusuma (Tanpa Tahun) menggunakan citra Formosat dengan resolusi 8 meter, yang digabungkan dengan data pengamatan lapangan untuk pemetaan kerapatan hutan mangrove. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah transformasi indeks vegetasi dengan NDVI. Empat penelitian yang telah dibahas sebelumnya menganalisa hubungan antara citra hasil transformasi indeks vegetasi dengan parameter vegetasi, penelitian yang dilakukan Hildanus (2005) mengkaji hubungan antara NDVI pada citra Landsat dengan beberapa parameter vegetasi termasuk dengan tutupan tajuk vegetasi, penelitian yang dilakukan oleh A. Rahman As-syakur dan I.W. Sandi Adnyana (2009) mengkaji hubungan beberapa transformasi termasuk NDVI pada citra ALOS dengan presentase tutupan vegetasi, penelitian yang dilakukan oleh Michael Shank (2008) secara khusus mengakaji hubungan antara NDVI pada citra 22

35 multispektral Quickbird dengan tutupan vegetasi, Frida Sidik dan Denny Wijaya Kusuma (tanpa tahun) menggunakan indeks vegetasi hasil dari transformasi dengan NDVI untuk analisa kerapatan hutan mangrove pada citra Formosat, keempat penelitian tersebut menggunakan jenis citra yang berbeda baik dari resolusi spasial maupun resolusi spektralnya, dalam penelitian tersebut disebutkan adanya hubungan antara nilai indeks vegetasi pada citra hasil transformasi dengan NDVI dengan tutupan vegetasi, khususnya kerapatan tegakan dan kanopi. Penelitian lain yang dibahas sebelumnya mengkaji obyek vegetasi dengan bantuan citra penginderaan jauh yang berbeda untuk tujuan yang berbeda dan dengan metode yang berbeda, Widyasamratri (2008) menggunakan citra ASTER untuk mengkaji hubungan antara variabel fisik perkotaan dengan, penelitian yang dilakukan oleh Y.Hirose, M.Mori, Y.Akamatsu dan Y.Li (tanpa tahun) menggunakan citra ikonos dengan metode hibrida untuk klasifikasi vegetasi. Penelitian lain yang dibahas adalah penelitian dengan menggunakan citra ikonos dengan menggunakan pendekatan visual untuk pendataan vegetasi berdasar ukurannya. Suharyadi (2010) melakukan penelitian dengan judul Interpretasi Hibrida Citra Satelit Resolusi Spasial Menengah Untuk Kajian Densifikasi Bangunan Daerah Perkotaan yang mengambil lokasi di daerah Perkotaan Yogyakarta menggunakan citra satelit resolusi menengah seperti Landsat TM, Landsat ETM+, ASTER SWIR dan VNIR untuk pemetaan kerapatan bangunan dan mengkaji karateristik densifikasi Daerah Perkotaan Yogyakarta. Ide menggunakan transformasi indeks vegetasi khususnya NDVI terinsparasi dari penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya (mengacu pada tabel 1.2), demikian pula dengan penggabungan dua metode yang berbeda pendekatan dengan menggunakan metode hibrida. Hibrida yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah kombinasi identifikasi obyek secara digital pada kelompok pikselm dimana kelompok piksel tersebut telah dideliniasi secara visual. Penelitian yang dilakukan oleh Endra Gunawan (2010) menggunakan data satelit penginderaan jauh ASTER untuk menganalisa hubungan antara nilai 23

36 spektral dari citra ASTER dengan tingkat kerapatan kanopi. Proses interpretasi dimulai dengan deliniasi citra secara manual atau visual untuk membedakan variabel fotomorfik yang kemudian dilakukan analisa secara spektral berdasarkan hasil interpretasi visual, ekstraksi obyek vegetasi dari citra satelit menggunakan metode transformasi indek vegetasi Kerangka Pemikiran Keberadaan teknologi penginderaan jauh sangat membantu dalam mengamati berbagai kenampakan yang ada di permukaan bumi. Kenampkan permukaan bumi yang oleh sensor satelit penginderaan jauh direpresentasikan melalui nilai-nilai piksel memiliki karakteristik yang khas untuk tiap jenis obyek pada panjang gelombang tertentu, hal tersebutlah yang digunakan sebagai acuan interpretasi dari data penginderaan jauh dengan dibantu oleh data hasil uji lapangan. Citra satelit ASTER sebagai salah satu data penginderaan jauh merupakan salah satu citra multispektral dengan resolusi sedang yang mempunyai saluran VNIR (visible-near infra red) yaitu saluran yang memiliki kisaran panjang gelombang 0,52-0,60 µm (band 1), 0,63-0,69µm (band 2), 0,76 0,86 µm (band 3N dan 3B) sehingga sesuai untuk mengidentifikasi obyek vegetasi secara spektral karena obyek vegetasi memang peka terhadap panjang gelombang inframerah dekat, selain itu citra ASTER memiliki ground resolution sebesar 15 m yang mendukung interpretasi visual dengan cukup baik untuk obyek vegetasi. Citra ASTER yang digunakan merupakan citra yang telah terkoreksi hingga level 1B, yang berarti citra ini telah mengalami koreksi geometrik dan radiometrik. Nilai piksel yang muncul pada suatu citra mewakili gambaran obyek pada permukaan buni seluas resolusi spasial dari sensor itu sendiri, citra ASTER yang memiliki resolusi spasial 15 m menunjukkan bahwa setiap kenampakan dalam luasan 15 x 15 m di permukaan bumi direpresentasikan dalam satu nilai piksel, walaupun dalam luasan tersebut memiliki kenampakan obyek yang beragam, jika suatu piksel dengan luasan tersebut merepresentasikan satu jenis obyek saja maka nilai piksel tersebut murni berasal dari obyek tersebut (piksel murni), pada 24

37 penelitian ini keberadaan piksel murni digunakan sebagai salah satu obyek bahasan untuk interpretasi kerapatan kanopi daun, satu piksel murni yang merepresentasikan obyek vegetasi menunjukkan bahwa pada luasan 15 x 15 m hanya berisi obyek vegetasi saja, hal tersebut memunculkan suatu hipotesis bahwa semakin banyak jumlah piksel murni yang merepresentasikan obyek vegetasi maka kerapatan kanopi daun di tempat tersebut semakin tinggi. Penggunaan transformasi indeks vegetasi bertujuan untuk menonjolkan kenampakan obyek vegetasi dan mengetahui persebaran dari obyek vegetasi itu sendiri, hasil dari transformasi indeks vegetasi dapat digunakan untuk dasar interpretasi kerapatan vegetasi dan kanopi daun secara visual melalui tingkat kecerahannya dimana semakin cerah rona yang muncul pada citra hasil transformasi akan menunjukkan tingkat kerapatan kanopi daun yang semakin tinggi. Hasil dari interpretasi secara visual ini digunakan sebagai acuan dalam penentuan blok sampel untuk pengumpulan data di lapangan dan jugan untuk dasar pengambilan sampel piksel pada proses analisis data statistik kumpulan piksel, penentuan blok sampel tersebut didasarkan pada kesamaan aspek visual atau rona dari citra. Blok sampel yang telah diukur kerapatan kanopi daunnya di lapangan akan digunakan juga pada tahap analisis spektral, yaitu sebagai dasar klasifikasi spektral kerapatan kanopi daun yang selanjutnya akan digunakan untuk menguji beberapa saluran untuk mengetahui saluran manakah yang memiliki hubungan tertinggi dan terendah dengan obyek vegetasi yang dapat digunakan untuk penyusunan suatu algoritma untuk memudahkan klasifikasi kerapatan kanopi daun. 25

38 Presentase Kerapatan Kanopi Citra ASTER Luas area tertutup vegetasi Transformasi Indeks Vegetasi Tertutup Rata Tertutup Sebagian Tidak Tertutup Homogenitas Obyek Piksel Ve get Piksel Non-vegetasi Dalam Area (Kumpulan Piksel) Kombinasi antara Piksel Vegetasi dan Piksel Non-vegetasi Hanya Piksel vegetasi Variabel Statistik Stop (tidak dapat dilanjutkan) Kunci Interpretasi Peta Kerapatan Kanopi Gambar 1.4 Kerangka Pemikiran 26

39 No. Tabel 1.3 Beberapa Penelitian Sebelumnya Nama Peneliti Judul Penelitian Lokasi Sumber Data Tujuan Metode Hasil 1. Hildanus (2005) Pendugaan Beberapa Parameter Tegakan Hutan Tropika Dataran Rendah Mengguna kan Data Satelit Landsat 2. A. Rahman Assyakur dan I.W. Sandi Adnyana (2009) Analisis Indeks Vegetasi Mengguna kan Citra ALOS/AV NIR-2 dan Sistem Informasi Geografis Gunung Ber atus, Kali man tan Tin ur. Denpasar Bali 1. Landsat TM 2. Uji Lapangan 1.Citra ALOS ( September 2006). 2.Peta tata ruang kota Denpasar 2003 Meneliti mengenai hubungan nilai NDVI pada citra Landsat dengan jumlah pohon, ratarata tinggi total, basal area, biomasa bagian pohon di atas permukaan tanah, LAI, dan penutupan tajuk. Evaluasi Peta Tata Ruang kota Denpasar berdasar peta persebaran vegetasi Transformasi NDVI. 1. Transformasi NDVI 2. Transformasi SAVI 3. Transformasi MSAVI 4. Overlay/Tump ang Susun Model regeresi Linear antara NDVI dengan beberapa parameter tegakan hutan 1. Hubungan indeks Vegetasi dengan tutupan vegetasi untuk NDVI,SAVI, dan MSAVI 2. Peta sebaran vegetasi berdasarkan tutrupannya di Kota Denpasar

40 3. Michael Shank (2008) 4. Widyasamratri (2008) Using Untuk Evaluasi Tata Ruang Kota Denpasar Remote Sensing to Map Vegetation Density on a Reclaimed Surface Mine Pemanfaatan Transforma si Indeks Perkotaan dan Indeks Vegetasi pada Citra ASTER untuk Analisis Kondisi Lingkunga n Perkotaan (Kasus West Kota Virg inia, US A Sem aran g 1.Citra Multispektral Quickbird (14 Juni 2007) 1.Citra ASTER Kota Semarang tahun Peta RBI skala 1: Demonstrasi/Pembuk tian Bahwa NDVI dapat digunakan untuk estimasi presentase vegetasi dengan akurasi yang baik 1. Pemetaan obyek vegetasi dengan memanfaatka n citra satelit ASTER 2. Pemetaan kepadatan lahan terbangun Kota Semarang. 3. Analisis hubungan antara luas tutupan 1. Transformas NDVI. 2. Regresi 1. Transformasi index vegetasi. 2.Transformasi index perkotaan 3. Analisis statistik deskriptif. 1. Grafik Korelasi NDVI dengan tutupan Vegetasi 2. Peta Tutupan Vegetasi 1. Peta vegetasi 2. Peta kepadatan lahan terbangun. 3. Tabel hubungan antara variabel fisik perkotaan dengan vegetasi. 28

41 5. Y.Hirose, M.Mori, Y.Akam atsu, Y.Li 6. Emil Galev (2006) 7 Frida Sidik, Denny Kota Semarang) Vegetation Cover Mapping Using Hybrid Analisis of IKONOS Data Applicability of Remote Sensing Data and GIS Methodolo gy to Detailed Vegetation Mapping Penggunaan Citra Formosat Sebagian Dae rah Alir an Sun gai Niy odo, Jepa ng Bulgarian Park, Balc hik, Tur ki Gili Sulat- Gili Citra IKONOS IKONOS (3 Juli 2003) 1.Citra Formosat satelit vegetasi dengan kondisi kepadatan perkotaan di Kota Semarang Pengembangan metode pemetaan vegetasi untuk mengahasilka n metode survey yang lebih hemat biaya Pendataan ukuran vegetasi melalui pendekatan digital Pemetaan kerapatan hutan 1. Segment Based Clasification 2. Piksel Based Clasification 3. Hibrida (Penggabungan metode Segment Based dan Object Based) melalui pixel 1. Peta Klasifikasi Vegetasi dengan Metode Segment Based 2. Peta Klasifikasi Vegetasi dengan Metode Piksel Based 3. Peta Klasifikasi Vegetasi Dengan Metode Hibrida based 1. Deliniasi visual Peta Persebaran Vegetasi berdasar ukurannya Transformasi NDVI Peta Kerapatan hutan Mangrove 29

42 Wijaya Kusuma Unruk Identifikasi Kerapatan Hutan Mangrove di Gili Sulat-Gili Lawang, Lombok Timur 8 Suharyadi Interpretasi Hibrida Citra Satelit Resolusi Spasial Menengah Untuk Kajian Densifikasi Bangunan Daerah Perkotaan 9 Endra Gunawan Penggunaan Metode hibrida Untuk Identifikasi dan Klasifikasi Kerapatan Kanopi di Daerah Law ang, Lo mbo k Tim ur Perk otaa n Yog yak arta Sebagian Kab upat en Kul onpr ogo, Yog yak 2.Pengamatan Lapangan 1. Landsat TM, 2. Landsat ETM+ 3. ASTER SWIR 4. ASTER VNIR 1.Citra Satelit ASTER Peta Rupa Bumi 2.Data Pengamatan Lapangan mangrove 1. Pemetaan kerapatan bangunan 2. Mengkaji karateristik densifikasi Daerah Perkotaan Yogyakarta 1.Menyusun suatu kunci interpretasi berdasar saluran atau hasil transformasi yang memiliki Hibrida antara tehnik indentifika si visual dan spektral (Hibrida) 1. Transformasi Indeks Vegetasi 2. Analisis Korelasi Peta kerapatan bangunan 1. Peta Kerapatan Kanopi Sebagian Daerah Kulonprogo 2. Tabel hubungan antara nilai 30olygon30 dengan kerapatan kanopi 30

43 Sumber: berbagai sumber 2009 Kabupaten Kulonprog o arta korelasi terbaik untuk memudahkan identifikasi tingkat kerapatan kanopi. 2. Interpretasi hibrida Untuk mengoptimalkan kelebihan-kelebihan yang ada pada metode manual (visual) dan otomatis (komputasi) untuk identifikasi kerapatan kanopi 31

44 BAB II METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode hibrida yang menggabungkan antara hasil interpretasi visual dan spektral ke dalam suatu rumusan statistik yang dapat digunakan dalam kegiatan pemetaan kerapatan kanopi. Interpretasi visual dalam kegiatan ini dilakukan dalam tahap awal untuk mendapatkan gambaran tentatif dari kenampakan vegetasi yang ada berdasarkan aspek fotomorfik yang terlihat pada citra yang selanjutnya akan menjadi acuan dalam penentuan lokasi sampel dalam kegiatan penelitian ini, tahapan selanjutnya adalah interpretasi dan analisa nilai piksel dari hasil blok-blok sampel untuk mengetahui tingkat korelasi anatara nilai piksel dengan tingkat kerapatan kanopi Bahan dan Alat Penelitian Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Data digital ASTER Level 1B sebagian Kabupaten Kulonprogo 2. Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Lembar Sendang Agung ( ) skala 1 : Data hasil uji akurasi di lapangan Alat Penelitian Alat penelitian terbagi menjadi dua, yaitu : 1. Peralatan laboratorium, meliputi : a. Personal komputer untuk image processing b. Perangkat lunak pengolahan citra digital c. Perangkat lunak untuk analisa Sistem Informasi Geografis d. Perangkat lunak untuk uji statistik 2. Peralatan lapangan : a. GPS receiver b. Kamera digital 31

45 2.2. Tahap Penelitian Tahap penelitian ini meliputi tiga bagian, yaitu : tahap pra-lapangan, tahap lapangan, dan tahap pasca lapangan. Tahap pra-lapangan meliputi pengumpulan data (studi pustaka yang terkait dengan penelitian ini, serta persiapan bahan dan alat penelitian), pemrosesan citra digital, dan penentuan sampel. Tahap lapangan dilakukan untuk memperoleh informasi dari sampel yang telah ditentukan, sedang tahap pasca lapangan dilakukan untuk mengolah data yang telah dikumpulkan, analisis statistik, dan pengujian tingkat akurasi hasil klasifikasi kerapatan vegetasi dengan metode hibrida Tahap Pra Lapangan Tahap Pengumpulan Data 1. Studi Pustaka 2. Persiapan alat dan bahan yang dibutuhkan 2.3. Pemrosesan Citra Digital A. Koreksi Geometrik Koreksi geometrik bertujuan untuk menempatkan kembali posisi piksel pada citra hasil perekaman satelit sesuai dengan koordinat bumi, sehingga citra digital yang tertransformasi dapat dilihat gambaran obyek di permukaan bumi yang terekam sensor sesuai dengan keadaan sebenarnya di lapangan (Danoedoro, 1996), Sistem koordinat dan proyeksi peta tertentu dijadikan rujukan untuk koreksi geometrik ini sehingga diperlukan titik ikat lapangan atau Ground Control Point (GCP) berupa obyek statis yang mudah dikenali pada citra atau peta rujukan. B. Koreksi Radiometrik Koreksi radiometrik bertujuan untuk menghilangkan atau meminimalisir kesalahan radiometrik (radiometric error) akibat aspek eksternal berupa gangguan 33

46 atmosfer pada saat proses perekaman. Biasanya gangguan atmosfer ini dapat berupa serapan, hamburan, dan pantulan yang menyebabkan nilai piksel pada citra hasil perekaman tidak sesuai dengan nilai piksel obyek sebenarnya di lapangan. Dari citra ASTER yang telah terkoreksi hingga level 1B ini dapat diperoleh informasi fisik seperti nilai radian dan temperatur dengan menggunakan nilai digital ( Digital Number/DN ) dalam data. Dalam pemrosesan citra selanjutnya, nilai DN pada data harus dirubah dahulu kedalam nilai radian. Langkah pengubahan dari DN ke nilai radian merupakan suatu prosedur standar yang dilakukan dalam pemrosesan citra digital, berfungsi untuk memperoleh informasi yang akurat bukan hanya di permukaan obyek saja namun juga di sensor. Pada citra ASTER nilai pantulan obyek dapat diperoleh dengan melakukan koreksi atmosferik sehingga menghasilkan nilai radiance. Nilai radiance digunakan karena nilai ini mengindikasikan seberapa kuat emisi yang dipancarkan atau dipantulkan suatu permukaan yang akan diterima kembali oleh sistem optik yang mengarah pada permukaan dari berbagai sudut pandang. Nilai ini sangat baik digunakan sebagai indikator seberapa cerah suatu obyek akan tampak. Nilai radiance yang dibagi oleh index refraction square yaitu turunan dari geometrika optik, artinya untuk keadan ideal suatu sistem optik di udara nilai radiance keluaran akan sama dengan nilai radiance yang masuk. Hal ini sering disebut dengan conservation of radiance. Tujuan dari dilakukannya langkah pengubahan dari digital number ke nilai radiance adalah untuk memperoleh nilai pantulan obyek asli seperti yang terekam pada sensor. Formula yang digunakan adalah: Radiance at sensor = (DN value 1) x Unit Conversion Coefficient...(1) Dimana : DN : Digital Number Unit Conversion Coefficient (UCC) : nilai unit konfersi koefisien yang digunakan untuk mengkonversikan nilai skala DN ke sensor radian ditunjukkan pada tabel

47 Tabel 2.1.ASTER Unit Conversion Coeff icients Band N o High Gain Normal Gain Low Gain -1 Low Gain -2 VNIR 1 0,676 1,688 2,25 N/A 2 0,708 1,415 1,89 N/A 3N 0,423 0,862 1,15 N/A 3B 0,423 0,862 1,15 N/A SWIR ,0290 0, TIR 10 N/A 6.882x 10-3 N/A N/A 11 N/A 6.780x 10-3 N/A N/A 12 N/A 6.590x 10-3 N/A N/A 13 N/A 5.693x 10-3 N/A N/A 14 N/A 5.225x 10-3 N/A N/A Sumber : ASTER User Handbook 11 Agustus 2007 Setelah didapatkan nilai radiance proses berikutnya adalah pengubahan ke nilai pantulan asli atau reflectance at sensor dengan menggunakan nilai-nilai yang terdapat pada header citra dan informasi mengenai sensor dari ASTER itu sendiri. Pengubahan nilai tersebut menggunakan persamaan matematis sebagai yang ditunjukkan pada persamaan 2 berikut : Pλ = π. L λ. d. 2...(2) ESUN λ.cosθ dimana: - Pλ = nilai pantulan obyek tiap saluran - L λ = nilai spektral radian - ESUN λ = nilai spektral iradians matahari - d = jarak bumi matahari - θ = sudut elevasi matahari 35

48 tujuan dari pengubahan nilai digital ke nilai pantulan pada sensor (reflectance at sensor) adalah agar nantinya hasil dari penelitian ini dapat diaplikasikan pada berbagai citra lain sehingga tidak terbatas pada citra tertentu saja (ASTER). Kesalahan radiometrik pada citra dapat menyebabkan kesalahan interpretasi terutama jika interpretasi dilakukan secara digital yang mendasarkan pada nilai piksel. Sehingga, koreksi radiometrik ini sangat penting untuk dilakukan agar hasil yang diperoleh sesuai dengan yang diinginkan. Koreksi radiometrik dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah penyesuaian regresi, penyesuaian histogram, dan kalibrasi bayangan. C. Transformasi Indeks Vegetasi Transformasi indeks vegetasi diterapkan untuk mengubah nilai pixel melalui suatu operasi aritmatik beberapa saluran sekaligus, sehingga nilai pixel baru yang dihasilkan lebih representatif dalam menyajikan aspek-aspek yang berkaitan dengan kondisi vegetasi, misalnya kerapatan, LAI, biomassa, umur tegakan, konsentrasi klorofil, dan juga kandungan nitrogen (Danoedoro, 1996). Transformasi indeks vegetasi ini biasanya melibatkan saluran-saluran yang peka terhadap pantulan vegetasi, khususnya saluran merah dan inframerah dekat, citra hasil transformasi indeks vegetasi ini akan digunakan sebagai acuan interpretasi visual yang kemudian digunakan sebagai acuan pengambilan sampel berdasarkan hasil klasifikasi/deliniasi secara fotomorfik atau kenampakan visualnya, hal tersebut berdasar beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dan menyatakan bahwa tingkat nilai piksel yang direpresentasikan dengan tingkat kecerahan pada citra hasil transformasi indeks vegetasi memiliki hubungan dengan kerapatan vegetasi. Selain dipengaruhi oleh respon spektral dari obyek vegetasi seperti klorofil respon spektral vegetasi dipengaruhi oleh sumber sumber variasi spektral lainnya, seperti jenis tanah dan aspek lereng. Pengaruh sumber-sumber variasi spektral di luar obyek kajian dapat dikurangi melalui transformasi saluran spektral. Transformasi saluran spektral merupakan teknik manipulasi citra yang dapat menampilkan fenomena tertentu pada citra secara lebih ekspresif. Pada 36

49 transformasi ini, informasi spektral berupa nilai pixel pada beberapa saluran digabung menjadi suatu saluran baru (Samrumi, 2009). Transformasi indeks vegetasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah NDVI (Normalization Difference Vegetation Index). NDVI merupakan salah satu transformasi indeks vegetasi yang biasa digunakan dalam penginderaan jauh yang menggunakan kombinasi antara teknik penisbahan dan teknik pengurangan citra, hasil transformasi ini mampu menonjolkan kenampakan objek vegetasi. NDVI dipilih karena formula ini telah dikenal luas dalam penginderaan jauh untuk studi vegetasi. Meskipun sederhana, namun terbukti memiliki kemampuan untuk menonjolkan fenomena yang terkait dengan objek vegetasi dengan menekan sumber-sumber variasi spektral lain. Nilai hasil transformasi indeks vegetasi berkisar antara +1 hingga -1. Formula NDVI menggunakan persamaan sebagai berikut: NDVI = Inframerah dekat saluran merah Inframerah dekat saluranmerah...(3) pada ASTER NDVI = Band 3N Band 2...(4) Band 3N + Band 2 Selain transformasi NDVI digunakan pula transformasi lain sebagai pembanding, transformasi yang dipilih pada penelitian ini adalah Soil Adjusted Vegetation Indeks (SAVI) dan Modified Soil Adjusted Vegetation Indeks (MSAVI). Transformasi MSAVI merupakan optimalisasi transformasi SAVI (Soil Adjusted Vegetation Indeks) yang bertujuan untuk mengurangi efek tanah, sehingga obyek vegetasi lebih dapat terlihat, dimana algoritma untuk SAVI dan MSAVI adalah sebagai berikut :...(5) MSAVI =...(6) 37

50 dimana : -NIR = band infra merah dekat -R = band merah pada ASTER akan saluran merah ada pada saluran 2, sedang infra merah dekat ada pada saluran 3, saluran infra merah dekat yang digunakan pada transformasi indeks vegetasi adalah saluran 3N (Nadir Looking) Penentuan sampel Tahap ini dilakukan untuk menentukan lokasi sampel yang akan diugunakan sebagai acuan dalam kegiatan klasifikasi kerapatan vegetasi dengan metode hibrida. Penentuan sampel didasarkan pada interpretasi pada citra hasil transformasi indeks vegetasi dengan transformasi NDVI yang telah dideliniasi berdasar kenampakan fotomorfiknya. Metode sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan tujuan mencari hubungan kenampakan fotomorfik citra hasil transformasi dengan kerapatan kanopi vegetasi di daerah penelitian. Nilai kerapatan vegetasi yang disajikan dalam nilai NDVI dapat dikelaskan dalam beberapa kelas, menurut kenampakan fotomorfiknya, yang kemudian dari hasil interpretasi tersebut digunakan sebagai dasar penentunan blok sampel, blok-blok sampel tersebut yang selanjutnya digunakan dalam kegiatan pengukuran di lapangan. Blok sampel yang telah ditentukan berdasar tingkat kecerahan indeks vegetasi dari citra hasil transformasi NDVI yang telah melalui tahap kerja lapangan (untuk diukur tingkat kerapatan kanopinya) kemudian digunakan pada tahap analisis untuk diamati statistik untuk tiap blok sampel yang ada untuk dihubungkan dengan hasil pengukuran kerapatan kanopi pada blok sampel tersebut Analisis Statistik dan penyusunan algoritma Analisis statistik pada penelitian ini bertujuan untuk menyusun suatu rumusan dari hasil korelasi antara nilai piksel pada blok sampel yang telah dipotong dengan hasil pengukuran tingkat kerapatan kanopi vegetasi di lapangan, hasil dari tahap ini berupa suatu algoritma berdasar nilai piksel dari saluran yang 38

51 memiliki korelasi terbaik dengan tinkat kerapatan kanopi vegetasi. Dari hasil intrpretasi visual didapat suatu blok-blok sampel yang akan diuji di lapangan mengenai kerapatan vegetasinya, blok-blok sampel tersebut terdiri dari kumpulan nilai-nilai piksel, dari kumpulan nilai piksel dan hasil pengukuran disusun suatu rumusan yang menunjukkan hubungan antara kumpulan nilai piksel dengan tingkat kerapatan kanopinya. Algoritma yang disusun akan menjadi suatu kunci interpretasi dalam kegiatan klasifikasi kerapatan kanopi vegetasi berdasar nilai-nilai matematis ataupun spektral yang dihasilkan pada tahap pemrosesan citra digital sampai tahap uji lapangan, contoh penyusunan kunci interpretasi terlihat pada tabel 2.3, pada tebel tersebut kinci interpretasi disusun untuk klasifikasi kepadatan bangunan dengan tiga kelas kerapatan, nilai yang digunakan pada kunci interpretasi tersebut adalah nilai transformasi urban indeks (UI) dan saluran 4 Landsat ETM+. Tabel 2.2 kunci Interpretasi Kepadatan Bangunan NO KELAS KEPADATAN KUNCI INTERPRETASI 1 I Padat (ui > 85 or if ((ui < 85 and ui > 65),b4 > 0.18) 2 II Sedang ((ui < 85 and ui > 65),b4 < 0.18) 3 III Jarang (ui < 65) Sumber : Suharyadi Tahap Kerja Lapangan Kerja lapangan pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerapatan kanopi pada blok sampel yang akan digunakan sebagai dasar penyusunan algoritma, selain itu hasil kerja lapangan digunakan juga pada tahap uji ketelitian interpretasi. Pengukuran di lapangan dengan menggunakan alat ukur berupa meteran, sampel di lapangan yang diambil harus memiliki ukuran yang sesuai dengan resolusi spasial citra yang digunakan, yaitu 15 x 15m. Uji lapangan merupakan suatu langkah yang sebaiknya dilakukan dalam penelitian terutama penelitian yang berkaitan dengan wilayah keruangan. Selain untuk lebih mengenali medan juga untuk mencocokkan hasil interpretasi dengan 39

52 kenyataan. Sampel uji lapangan juga dapat berfungsi sebagai pengontrol hasil interpretasi. Penentuan sampel uji lapangan dilakukan berdasarkan hasil pengolahan citra yang berupa hasil transformasi indeks vegetasi. Sampel uji lapangan ditentukan setelah tahap pengolahan citra digital, hasil yang diperoleh dalam uji lapangan akan berguna dalam pencocokan hasil interpretasi dengan keadaan yang adadi daerah penelitian. Metode pengambilan sampel yang dipilih pada uji lapangan adalah metode purposive sampling, teknik ini dipilih karena yang strata yang didasarkan pada hasil interpretasi untuk kelas kerapatan kanopi vegetasi. Pengambilan sampel dilakukan menyebar dan acak pada sebaran area bervegetasi yang ada di daerah penelitian, sampel yang diambil secara menyebar bertujuan agar semua area bervegetasi yang memiliki kriteria berbeda akan tersampel. Pengukuran di lapangan dilakukan dengan mengukur diameter tajuk terpenjang dan terpendek untuk tiap tegakan yang ada di dalam blok sampel untuk mengetahui presentase tutupan kanopi yang kemudian dibagi dengan luas area sampel untuk mengetahui presentase kerapatan kanopi dalam blok sampel tersebut. Pengukuran dapat dilakukan dengan pengambilan sampel dalam sampel dengan catatan bahwa ukuran diameter tajuk dalam blok sampel homogen, bila tidak terdapat homogenitas dalam blok sampel maka perlu dilakukan pengukuran diameter tajuk untuk tiap tegakan yang ada dalam blok sampel Uji Ketelitian Uji ketelitian pada penelitian ini dilakukan setelah didapatkan peta kerepatan kanopi daun dari klasifikasi hibrida, tujuan dari uji ketelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat akurasi algoritma yang dihasilkan pada penelitian ini, selain itu tingkat akurasi yang dihasilkan akan menentukan apakah algoritma hasil penelitian ini dapat digunakan dalam penelitian lain yang bersifat aplikatif. Metode Uji ketelitian yang dipakai adalah dengan menggunakan tabel, Hasil klasifikasi dari pengolahan citra dengan Transformasi NDVI akan lebih baik apabila dilakukan uji ketelitian interpretasi. 40

53 Uji ketelitian dilakukan karena pada penginderaan jauh pengenalan medan melalui analisis citra tidak menyentuh obyek secara langsung. Oleh sebab itu, penentuan kualitas interpretasi citra ditentukan oleh ketelitian tersebut. Metode uji ketelitian hasil interpretasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode uji hasil interpretasi yang dikemukan oleh Short (1982) dalam Danoedoro (1996), Purwadhi (2001), dan Sutanto (1986).Metode uji ketelit ian hasil interpretasi juga dipergunakan pada penelitian yang dilakukan oleh Putristiyanto (2007) dan Nurcahyani (2005). Langkah uji ketelitian tersebut disusun sedemikian rupa dengan membandingkan antara data dari hasil klasifikasi dan data dari pengamatan di lapangan yang dibuat dalam bentuk matriks uji ketelitian hasil interpretasi. Selanjutnya dari nilai keluaran yang didapat digunakan untuk menghitung persentase akurasi pemetaan dan persentase ketelitian hasil interpretasi. 41

54 CITRA ASTER VNIR PETA RUPABUMI KOREKSI GEOMETRIK KOREKSI RADIOMETRIK CITRA ASTER TRKOREKSI (RADIANCE AT KOMPOSIT CITRA ASTER VNIR CITRA ASTER DIGITAL INTERPRETASI VISUAL INTERPRETASI DIGITAL DELINIASI BERDASAR ASPEK FOTOMORFIK BLOK SAMPEL SATUAN PEMETAAN TRANSFORMASI INDEKS VEGETASI NDVI SAVI MSAVI SALURAN ASTER VNIR CEK LAPANGAN BLOK SAMPEL TERUKUR (KERAPATAN KANOPI) HIBRIDA ANALISIS PADA BLOK SAMPEL TERUKUR ANALISIS KORELASI SALURAN DENGAN KORELASI TERBAIK REKLASIFIKASI PETA KERAPATAN KANOPI KUNCI INTERPRETASI Gambar 2.1 Diagram Alir metode 42

55 BAB III DESKRIPSI WILAYAH Daerah penelitian yang dipilih pada penelitian ini adalah sebagian Kabupaten Kulonprogo yang terliput pada Citra ASTER dengan luas area kurang lebih 9207,73 hektar. Pemilihan daerah ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan, diantaranya adalah tutupan awan dari citra yang dipergunakan, kemiringan lereng dan kenampakan tutupan vegetasinya. Karena penelitian ini memanfaatkan nilai dari obyek yang terekam oleh sensor maka daerah penelitian yang dipilih adalah daerah dengan tutupan awan yang paling minimal (diusahakan tidak memiliki tutupan awan) agar nilai pantulan yang didapat dapat maksimal dengan gangguan dari pantulan awan yang minimal Letak dan Kondisi Wilayah Kabupaten Kulonprogo merupakan salah satu dari lima Kabupaten/Kotamadya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terletak paling barat dengan batas sebelah barat dan utara adalah Provinsi Jawa Tengah dan sebelah selatan adalah Samudera Indonesia. Secara astronomis terletak antara Lintang Selatan dan Bujur Timur. Luas area adalah ,54 hektar yang secara administratif meliputi 12 kecamatan dan 88 desa dan 930 dusun. Dari luas tersebut 24,89 % berada di wilayah Selatan yang meliputi Kecamatan Temon, Wates, Panjatan dan Galur, 38,16 % di wilayah tengah yang meliputi Kecamatan Lendah, Pengasih, Sentolo, Kokap, dan 36,97 % di wilayah utara yang meliputi Kecamatan Girimulyo, Nanggulan, Kalibawang dan Samigaluh. Luas kecamatan antara km2 dan yang wilayahnya paling luas adalah kecamatan Kokap seluas 7.379,95 km2 sedangkan yang wilayahnya paling sempit adalah Kecamatan Wates seluas 3.291,23 km2. Secara umum kondisi Kabupaten Kulonprogo wilayahnya adalah daerah datar, meskipun dikelilingi pegunungan yang sebagian besar terletak pada wilayah utara, luas wilayahnya 17,58% berada pada ketinggian dibawah 7 m di atas 43

56 permukaan laut, 15,20% berada pada ketinggian 8 25 m di atas permukaan laut, 22,85% berada pada ketinggian m di atas permukaan laut, 33% berada pada ketinggian m di atas permukaan laut dan 11,37% berada pada ketinggian lebih dari 500 m di atas permukaan laut. Jika dilihat letak kemiringannya, luas wilayahnya 58,81% dengan kemiringan kurang dari 15, 18,73% memiliki kemiringan antara dan 22,46% memiliki kemiringan lebih dari 40. Kulonprogo terdiri dari dataran pantai di bagian selatan, di bagian tengah dan timur berupa daerah dengan topografi bergelombang sampai berbukit dan di bagian barat serta utara berupa perbukitan dan pegunungan. Rangkaian perbukitan-pegunungan di bagian barat dan utara Kulonprogo ini dikenal sebagai perbukitan Menoreh. Tabel 3.1 Pembagian Daerah Administrasi Kabupaten Kulonprogo No. Kecamatan Luas (Km2) Jumlah Desa Jumlah Dusun 1. Temon 36, Wates 32, Panjatan 44, Galur 32, Lendah 35, Sentolo 52, Pengasih 61, Kokap 73, Nanggulan 39, Girimulyo 54, Samigaluh 69, Kalibawang 52, Jumlah 586, Sumber data: Bagian Pemerintahan Desa Setda Kulonprogo Secara geografis lokasi Kulonprogo terletak pada jalur tranportasi Jawa selatan. Wilayah Kulonprogo terhubung dengan kota-kota di Pulau Jawa oleh 44

57 jaringan transportasi darat, termasuk jalur kereta api. Jalur selatan Jawa ini memiliki prospek baik untuk berkembang. Prospek ini juga didukung oleh kekayaan sumberdaya wilayah di bidang pertanian, peternakan, perikanankelautan, wisata, pertambangan. Kawasan perbukitan Kulonprogo dengan pemandangan yang elok menyimpan kekayaan di bidang pertanian, perkebunan dan pariwisata. Sementara kawasan selatan dan pesisir menyediakan potensi kelautan dan perikanan serta pariwisata. Berbagai produk industri kecil dan kerajinan tangan dapat ditemukan 45olygo di seluruh Kulonprogo. Produk kerajinan Kulonprogo seperti berbagai anyaman serat, wayang golek, makanan tradisional telah tersebar ke berbagai daerah 45olygo luar negeri. Untuk menggarap potensi dan memajukan wilayahnya Pemerintah Kabupaten Kulonprogo memiliki komitmen yang ditunjukkan antara lain: pelayanan administrasi cepat dan mudah, dukungan prasarana dasar tersebar di seluruh wilayah. Semua itu didukung oleh kondisi wilayah yang aman dengan masyarakat yang aman, guyub Kondisi Umum Batas Kabupaten Kulonprogo di sebelah timur yaitu Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman, di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah, di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah dan di sebelah Selatan berbatasan dengan Samudera Hindia. Kabupaten Kulonprogo memiliki topografi yang bervariasi dengan ketinggian antara meter di atas permukaan air laut, yang terbagi menjadi 3 wilayah meliputi : A. Bagian Utara Merupakan dataran tinggi/perbukitan Menoreh dengan ketinggian antara 500 sampai 1000 meter di atas permukaan air laut, meliputi Kecamatan Girimulyo, Kokap, Kalibawang dan Samigaluh. Wilayah ini penggunaan tanah 45

58 diperuntukkan sebagai kawasan budidaya konservasi dan merupakan kawasan rawan bencana tanah longsor. B. Bagian Tengah Merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian antara 100 sampai 500 meter di atas permukaan air laut, meliputi Kecamatan Nanggulan, Sentolo, Pengasih, dan sebagian Lendah, wilayah dengan lereng antara 2 sampai 15%, tergolong berombak dan bergelombang merupakan peralihan dataran rendah dan perbukitan. C. Bagian Selatan Merupakan dataran rendah dengan ketinggian meter di atas permukaan air laut, meliputi Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, Galur, dan sebagian Lendah. Berdasarkan kemiringan lahan, memiliki lereng 0 sampai 2%, merupakan wilayah pantai sepanjang 24,9 km, apabila musim penghujan merupakan kawasan rawan bencana banjir. Luas wilayah Kabupaten Kulonprogo adalah ,54 hektar, secara administratif terbagi menjadi 12 kecamatan yang meliputi 88 desa dan 930 dusun. Penggunaan tanah di Kabupaten Kulonprogo, meliputi sawah ,04 Ha (18,30%), tegalan 7.145,42 Ha (12,19%), kebun campur ,81 Ha (53,20%), perkampungan seluas 3.337,73 Ha (5,69%), hutan Ha (1,75%), perkebunan rakyat 486 Ha (0,80%), tanah tandus Ha (2,09%), waduk 197 Ha (0,34%), tambak 50 Ha (0,09%), dan tanah lain-lain seluas Ha (5,65%). Kabupaten Kulonprogo dilewati oleh 2 (dua) prasarana perhubungan yang merupakan perlintasan nasional di Pulau Jawa, yaitu jalan Nasional sepanjang 28,57 km dan jalur Kereta Api sepanjang kurang lebih 25 km. Hampir sebagian besar wilayah di Kabupaten Kulonprogo dapat dijangkau dengan menggunakan transportasi darat. Curah hujan di Kulonprogo rata-rata per tahunnya mencapai mm, dengan rata-rata hari hujan sebanyak 106 hari per tahun atau 9 hari per bulan dengan curah hujan tertinggi pada bulan Januari dan terendah pada bulan Agustus. Suhu terendahnya lebih kurang 24,2 C (Juli) dan tertinggi 25,4 C (April), dengan 46

59 kelembaban terendah 78,6% (Agustus), serta tertinggi 85,9% (Januari). Intensitas penyinaran matahari rata-rata bulanan mencapai lebih kurang 45,5%, terendah 37,5% (Maret) dan tertinggi 52,5% (Juli). Sumber air baku di Kabupaten Kulonprogo meliputi 7 (tujuh) buah mata air, Waduk Sermo, dan Sungai Progo. Mata air yang sudah dikelola PDAM meliputi mata air Clereng, Mudal, Grembul, Gua Upas, dan Sungai Progo. Di Kecamatan Kokap, mata air dikelola secara swakelola oleh pihak Kecamatan dan Desa, yang kemudian disalurkan secara gravitasi dengan perpipaan. Kabupaten Kulonprogo yang terletak antara Bukit Menoreh dan Samudera Hindia dilalui Sungai Progo di sebelah timur dan Sungai Bogowonto dan Sungai Glagah di Bagian barat dan tengah. Keberadaan sungai dengan air yang mengalir sepanjang tahun di wilayah Kabupaten Kulonprogo tersebut membantu dalam menjaga kondisi permukaan air tanah. Keberadaan Waduk Sermo di Kecamatan Kokap didukung dengan keberadaan jaringan irigasi yang menyebar di seluruh wilayah kecamatan, menunjukkan keseriusan Pemerintah Kabupaten Kulonprogo untuk meningkatkan produksi pertanian dan perikanan di wilayah Kabupaten Kulonprogo Kondisi Vegetasi KabupatenKulonprogo masih memiliki daerah dengan tutupan vegetasi yang cukup luas, sebagian besar daerah yang bervegetasi merupakan kebun-kebun milik masyarakat yang masih belum dipergunakan untuk pemukiman dalam jangka waktu yang lama sehingga vegetasi yang ada tumbuh dengan cukup lebat. Selain kebun-kebun yang belum dimanfaatkan juga terdapat daerah yang telah dipergunakan untuk menanam vegetasi yang memiliki nilai ekonomi seperti jati atau sengon, Masih banyaknya vegetasi di Kabupaten Kulonprogo tidak lepas dari masih rendahnya tingkat kepadatan penduduk maupun bangunannya, berbeda dengan Kotamadya Yogyakarta yang merupakan daerah perkotaan, Kabupaten Kulonprogo masih dapat dikatakan sebagai daerah pedesaan. 47

60 Gambar 3.1. Kondisi Fisiografi Kabupaten Kulonprogo 48

61 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menghasilkan kunci interpretasi untuk kerapatan kanopi dan peta kerapatan kanopi yang dibuat berdasar kunci interpretasi yang telah dihasilkan. Tahapan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini tertulis dalam poin-poin berikut Pemrosesan Citra ASTER Citra ASTER yang digunakan pada penelitian ini masih dalam format asli sehingga perlu dilakukan pemrosesan agar diperoleh nilai reflectan at sensor dengan tujuan agar hasil penelitian ini dapat digunakan untuk citra selain ASTER, untuk medapatkan nilai reflectan at sensor perlu melewati beberapa proses koreksi, mulai koreksi geometrik dan radiometrik Koreksi Geometrik Koreksi geomerik adalah koreksi yng bertujuan untuk menempatkan kembali posisi piksel sesuai dengan kondisi nyata di lapangan (sesuai dengan koordinat referensi) sehingga pada citra digital yang tertransformasi dapat dilihat gambaran obyek dipermukaan bumi yang terekam oleh sensor. Karena citra ASTER yang dipergunakan telah terkoreksi hingga level 1B yang telah mengalami koreksi radiometrik dan geometrik (koreksi geometrik sistematik maupun non sistematik) maka tahap ini sudah tidak dilakukan kembali. Setiap piksel yang terdapat pada citra ini sudah dikoreksi sesuai dengan koordinat peta permukaan bumi sehingga setiap pixel posisinya telah sesuai dengan letak sebenarnya di permukaan bumi Koreksi Radiometrik Citra ASTER yang digunakan dalam penelitian ini adalah Citra ASTER AST_L1B_ _ _9644.hdf, format *.hdf 49

62 (Hierarchical Data Format) merupakan format asli Citra ASTER yang masih memiliki nilai asli, atau memiliki nilai piksel antara 0-255, nilai asli tersebut dalam harus dikonversi menjadi nilai reflectance at sensor karena hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan untuk penelitian lain walaupun menggunakan citra yang berbeda. Untuk mendapatkan citra yang memiliki nilai reflectan at sensor perlu dilakukan kalibrasi radiometrik nilai piksel dari nilai awal pada citra yang digunakan (ASTER level 1B) yang masih berada pada nilai asli menjadi radiance at sensor yang kemudian menjadi diubah menjadi nilai reflectan at sensor. Konversi yang pertama adalah mengubah nilai asli atau DN (Digital Number) ke dalam nilai radiance at sensor, konversi tersebut dilakukan dengan menggunakan suatu persamaan (persamaan 1, halaman 32) yang melibatkan unit koefisien konversi (Unit Conversion Coefficient) yang telah ditetapkan oleh penyedia citra, seperti yang tersaji pada tabel 2.1 (halaman 33), proses konversi berikutnya adalah mengubah nilai radiance at sensor menjadi reflectance at sensor, konversi ini dilakukan dengan menggunakan suatu formula matematis (persamaan 2, halaman 33) memperhatikan beberapa nilai yang tersedia pada citra itu sendiri yang berupa nilai spektral pada level radians, ESUN λ (nilai spektral iradians matahari) nilai ini merupakan suatu konstanta yang berbeda nilainya pada setiap saluran ASTER, selain itu juga diperlukan informasi lain yang ada pada header citra berupa d (jarak bumi ke matahari) dan θ (sudut elevasi matahari), jarak bumi dan matahari dapat diketahui dari tanggal perekamannya. Untuk mengetahui jarak bumi dan matahari dipergunakan tanggal perekaman dalam Kalender Julian (Julian Day), tanggal perekaman citra pada sistem penanggalan masehi adalah 6 Juni 2006 yang dalam sistem penanggalan julian adalah dan hasil perhitungan menunjukkan bahwa jarak bumi dan matahari adalah 0,995 unit astronomi, informasi lain yang terdapat pada header yang digunakan dalam konversi nilai radians ke reflectant adalah sudut elevasi, besarnya sudut elevasi yang terdapat pada header citra sebesar 51,361, selanjutnya besar sudut tersebut dipergunakan untuk mengetahui nilai sudut zenith atau sudut puncak matahari dengan 50

63 perhitungan 90 -sudut elevasi (51,361 ) sehingga diperoleh nilai sudut enith sebesar 38,639. Perubahan nilai spektral citra pada tahap kalibrasi dari nilai radians yang memiliki rentang nilai yang cukup besar ke nilai pantulan atau reflectan dapat dilihat dari nilai statistik yang ada pada citra seperti yang tersaji pada tabel 4.1 dibawah : Tabel 4.1 Perubahan nilai spektral pada kalibrasi dari nilai radians ke reflectan Radians at sensor Reflectan at sensor Band Minimal value Maximal value Minimal value Maximal value Band 1 0, , , , Band 2 0, , , , Band 3 0, , , , Sumber: Olah data 2010 Secara visual citra hasil kalibrasi visual dari nilai spektral pada kalibrasi dari nilai radians ke reflectan tidak mengalami perbedaan yang mencolok, namun saat pembacaan barulah terlihat hasil dari kalibrasi yang dilakukan, seperti terlihat pada gambar 4.1 yang merupakan perbandingan citra sebelum (radians) dan sesudah (reflectan) dilakukan kalibrasi. Gambar 4.1. perbandingan citra sebelum dan sesudah kalibrasi 51

64 Citra hasil kalibrasi dari radians ke reflectan memang tidak dapat terlihat dengan pengamatan pada tampilan visualnya tetapi apabila dilakukan pengamatan nilai spektralnya akan terlihat perbedaan yang mencolok, nilai radians yang memiliki rentang nilai yang tinggi setelah mengalami proses kalibrasi ke reflectan akan memiliki rentang yang lebih kecil (0-1). Secara teori proses kalibrasi dilakukan sebanyak dua kali, yang pertama adalah kalibrasi dari nilai digital atau DN (Digital Number) yang merupakan nilai asli dari citra yang memiliki nilai antaraa dengan menggunakan persamaan yang ada (persamaan 1, halaman 32), proses ini tidak dilakukan karena software olah citra yang digunakan (ENVI 4.5) secara otomatis telah melakukan koreksi tersebut (dari DN ke radians), kalibrasi yang kedua adalah dari nilai radians ke reflectan, kalibrasi ini dilakukan dengan menggunakan persamaan 2 (halaman 32), proses ini dilakukan dengan memasukkan persamaan yang ada beserta nilai-nilai yang digunakan dalam persamaan yang diambil dari header citra ke dalam fitur bandmath yang ada pada software olah citra, hasil dari kalibrasi ini terlihat dalam table 3.1, saluran infra merah dekat yang merupakan saluran peka vegetasi yang sebelumnya memiliki rentang nilai antara 0 218, berubah menjadi lebih kecil dengan rentang antara 0 0,779404, demikian pula dengan kedua saluran lain yang ada pada sensor VNIR (Visible-Near Infra Red) memiliki rentang yang lebih kecil Transformasi Indeks Vegetasi Transformasi indeks vegetasi adalah transformasi matematis dari nilai spektral citra yang secara umum bertujuan untuk menonjolkan kenampakan permukaan yang berupa tutupan vegetasi. Data tentang kerapatan vegetasi sangat penting dalam melakukan inventarisasi maupun pemantauan wilayah mangrove, karena bisa digunakan dalam menduga leaf area index (LAI), biomassa, volume tegakan, produktivitas dan lain-lain. Dalam sistem penginderaan jauh, kerapatan vegetasi diperoleh dengan menggunakan suatu algoritma indeks vegetasi. Indeks vegetasi dibuat dengan membentuk kombinasi beberapa spektral kanal, dengan menggunakan operasi 52

65 penambahan, pembagian, perkalian antara kanal yang satu dengan yang lain untuk mendapatkan suatu nilai yang bisa mencerminkan kelimpahan atau kesehatan vegetasi. Indeks vegetasi merupakan persentase pemantulan radiasi matahari oleh permukaan daun yang berkorelasi dengan konsentrasi klorofil. Banyaknya konsentrasi klorofil yang dikandung oleh suatu permukaan vegetasi, khususnya daun menunjukkan tingkat kehijauan vegetasi tersebut. Indeks vegetasi adalah pengukuran secara kuantitatif dalam mengukur biomassa maupun kesehatan vegetasi, dilakukan dengan membentuk kombinasi beberapa spektral kanal, dengan menggunakan operasi penambahan, pembagian, perkalian antara kanal yang satu dengan yang lain untuk mendapatkan suatu nilai yang bisa mencerminkan kelimpahan atau kesehatan vegetasi. Pada penelitian ini digunakan beberapa tansfomasi indeks vegetasi untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal, transformasi yang digunakan pada penelitian ini adalah Normalization Difference Vegetation Index (NDVI), Soil Adjusted Vegetation Index (SAVI) dan Modified Soil Adjusted Vegetation Index2 (MSAVI 2) Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) Transformasi indeks vegetasi pertama yang digunakan pada penelitian ini adalah transformasi NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), tranformasi ini adalah transfomasi untuk menonjolkan kenampakan obyek vegetasi yang paling umum digunakan dalam kegiatan analisi dan pengolahan citra digital teutama pada bidang kajian vegetasi. Transformasi ini menggunakan 2 saluran peka vegetasi yaitu saluran merah dan infra merah dekat yang ada pada ASTER VNIR (persamaan 3 dan 4 pada halaman 34). Hasil dari transfomasi ini memiliki nilai yang berkisar antara -1 sampai 1 pada seluruh scene citra yang digunakan, dengan nilai rata-rata atau mean 0, dan standar deviasi sebesar 0, Sedang pada daerah penelitian memiliki nilai antara -1 sampai 0, dengan rata-rata 0, dan standar deviasi 0, Nilai -1 pada transformasi indeks vegetasi memiliki rona hitam 53

66 yang berarti daerah tersebut tidak memiliki tutupan vegetasi, nilai -1 pada daerah penelitian berada pada daerah tepi atau border citra yang bukan merupakan kenampakan obyek lapangan. Semakin mendekati nilai 1 pada transformasi indeks vegetasi ini akan memiliki rona yang semakin cerah dan semakin cerah kenampakan pada citra akan menunjukkan daerah dengan tutupan vegetasi yang semakin banyak, pada daerah penelitian nilai maksimal berada pada nilai 0,747, nilai 0,747 menunjukkan bahwa tidak ada daerah yang memiliki tutupan vegetasi mutlak 100%, hal tersebut dapat dikarenakan adanya pantulan dari obyek lain sepeti tanah atau obyek lain yang berada diantara vegetasi, pantulan obyek lain tersebut sangat dimungkinkan karena ground resolution dari Citra ASTER VNIR sebesar 15 meter yang berarti memiliki luasan 225 meter persegi, dimana akan sangat sulit menemukan kenampakan obyek vegetasi yang secara utuh menutupi daerah dengan luas sebesar itu Soil Adjusted Vegetation Index (SAVI) Transfomasi vegetasi berikutnya yang digunakan pada penelitian inim adalah Soil Adjusted Vegetation Index (SAVI), yang juga menggunakan 2 saluran yang sama seperti yang digunakan pada NDVI, perbedaan transformasi ini dengan transfomasi sebelumnya (NDVI) adalah adanya faktor L pada SAVI yang bertujuan untuk meminimalisir pantulan dari obyek tanah yang menjadi latar belakang pada kenampakan obyek vegetasi, sehingga nilai indeks vegetasi yang ada akan semakin optimal, persamaan SAVI terdapat pada halaman 34 (persamaan 5) Nilai L pada transfomasi SAVI adalah 0 sampai 1, dimana nilai 0 digunakan untuk daerah dengan tutupan vegetasi yang tinggi, hasil dari transformasi SAVI dengan nilai 0 akan sangat identik dengan hasil transformasi NDVI, sedang nilai 1 digunakan pada daerah dengan tutupan vegetasi yang rendah. Transfomasi SAVI yang digunakan pada penelitian ini mengambil nilai L sebesar 0,5 karena daerah penelitian yang memiliki tutupan vegetasi yang bervariasi mulai dari daerah dengan tutupan yang tinggi sampai rendah, selain itu nilai 0,5 adalah nilai L yang umum digunakan pada transfomasi ini. 54

67 Hasil transfomasi ini memiliki nilai antara -0, sampai 0,905231, denagan rata-rata nilai 0, dan standar deviasi 0, untuk seluruh liputan citra, sedang pada daerah penelitian memiliki nilai antaa -0, sampai 0, dengan rata-rata 0, dan standar deviasi sebesar 0, Modified Soil Adjusted Vegetation Index (MSAVI) Transfomasi ketiga yang digunakan pada penelitian ini adalah Modified Soil Adjusted Vegetation Index 2 (MSAVI 2) yang merupakan optimalisasi dari transformasi SAVI dan MSAVI. Transformasi ini masih menggunakan 2 saluran yang sama seperti yang digunakan pada transformasi-transfomasi sebelumnya, perbedaan MSAVI 2 dengan MSAVI dan SAVI adalah tidak lagi dijumpai nilai L (persamaan 6 halaman 34). Nilai hasil trasformasi MSAVI 2 pada seluruh cakupan citra adalah -2, , dengan rata-rata 0, dan standar deviasi 0,216722, sedang pada daerah penelitian memiliki nilai -1, sampai 0, dengan rata-rata 0, dan standa deviasi 0, Hasil dari MSAVI 2 tidak berada pada rentang nilai -1 sampai 1, tapi bisa melebihinya, hal tersebut karena tranformasi yang digunakan bukan berupa persamaan dengan normalisasi,sehingga nilai yang diperoleh tergantung pada nilai spektral saluran yang digunakan ( Saluran Tunggal Citra Satelit ASTER Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah ASTER VNIR yang memiliki 3 saluran yaitu 2 saluran tampak dan 1 saluran inframeah dekat. Saluran tampak yang ada pada ASTER adalah saluran hijau dan saluran merah, sedang infra merah dekat berada pada saluran 3 atau infra merah dekat. Nilai citra yang telah mengalami kalibrasi sehingga memiliki nilai reflectan at sensor yang terekam pada citra seluruh liputan citra pada saluran 1 (hijau) adalah 0,00 0,904269, saluran 2 (merah) adalah 0,00 0, dan saluran 3 (infra merah dekat) adalah 0,00 0,79404, sedang pada cakupan daerah 55

68 penelitian saluran 1 (hijau) memiliki nilai 0, , saluran 2 (merah) 0,00 0, dan pada saluran 3 (infra merah dekat) memiliki nilai antara 0,00 0, Pemetaaan Kerapatan Kanopi Dengan Metode Hibrida Metode hibrida adalah metode yang dihasilkan dengan mengkombinasikan dua atau lebih metode yang telah ada sebelumnya, metode hibrida yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi antara metode interpretasi visual yangmerupakan metode interpretasi konvensional dengan metode interpretasi digital yang berbasis pada nilai spectral suatu citra penginderaan jauh. Kombinasi yang dilakukan adalah dengan menggabungkan satuan pemetaan yang telah dihasilkan melalui interpretasi visual dengan blok sampel terukur untuk mendapatkan nilai statistik dari tiap blok sampel untuk menghasilkan suatu kunci interpretasi kerapatan kanopi Interpretasi Visual Citra Komposit ASTER VNIR Penyusunan komposit dari Citra ASTER VNIR memiliki kombinasi yang sangat terbatas, hal tersebut dikarenakan instrumen VNIR ASTER hanya memiliki 3 saluran, yaitu, saluran hijau, merah dan infra merah dekat. Komposit terbaik yang dapat dihasilkan untuk interpretasi obyek vegetasi dengan menggunakan 3 saluran tersebut adalah komposit 321 yang menghasilkan warna dominan merah untuk obyek vegetasi. Komposit 321 dari ASTER VNIR cukup baik dalam interpretasi visual karena didalam komposit tersebut telah terdapat saluran peka vegetasi, yaitu saluran 3 atau infra merah dekat. Interpretasi visual Citra ASTER dilakukan berdasar kenampakan fotomorfik dalam komposit yang dipilih, interpretasi visual secara fotomorfik sangat tergantung kepada unsur-unsur interpretasi, dimana terdapat 9 unsur yang digunakan untuk interpretasi visual, yaitu bentuk, ukuran, pola, bayangan, rona atau warna, tekstur, situs, asosiasi dan konvergensi bukti. Tujuan dari interpretasi visual ini adalah membedakan kenampakan obyek vegetasi dan non vegetasi, untuk obyek vegetasi sendiri yang merupakan obyek kajian dalam penelitian ini 56

69 akan dilakukan klasifikasi yang lebih detail dibanding obyek non vegetasi. Klasifikasi obyek vegetasi dilakukan berdasar kenampakan tegakan yang ada sehingga diharapkan mendapatkan hasil klasifikasi yang representatif terhadap tingkat kerapatan kanopinya. Citra ASTER yang digunakan dalam interpretasi ini memiliki resolusi spasial sebesar 15 meter yang termasuk dalam citra skala menengah sehingga hasil interpretasi obyek vegetasi yang didapat sudah cukup baik. Interpretasi visual yang dilakukan sangat bergantung pada kenampakan citra yang dipergunakan, dari kenampakan yang ada, unsur warna dan tekstur sangat dominan dalam interpretasi visual ini, walaupun tidak menutup penggunaan unsur interpretasi lain yang ada. Hasil komposit citra yang ada mengasilkan warna dominan merah untuk kenampakan obyek vegetasi, sedang obyek lain akan berwarna lebih gelap, misal pada obyek bangunan akan berwarna coklat gelap, dan obyek air akan berwarna biru gelap. Warna merah pada obyek vegetasi digunakan sebagai dasar klasifikasi secara fotomorfik dibantu dengan unsur tekstur yang nampak pada citra. Tekstur digunakan dalam interpretasi vegetasi karena kenampakan tegakan akan memiliki tekstur yang khas yang disebabkan perbedaan tinggi dari tegakan yang ada, dalam citra juga terdapat daerah dengan warna merah rata dengan tekstur yang halus, daerah tersebut menunjukkan daerah dengan tutupan vegetasi yang bukan pepohonan, namun dapat berupa padang rumput atau sawah. Selain warna dan tekstur unsur bentuk juga membantu proses interpretasi, terutama untuk daerah yang berupa areal persawahan, daerah dengan warna merah dan memiliki bentuk yang tersegmentasi dalam persegi kemungkinan besar adalah areal pertanian sawah. Penarikan batas untuk tiap satuan pemetaan dilakukan berdasar kesamaan unsur interpretasinya, terutama warna dan tekstur Penentuan blok sampel Blok sampel ditentukan dari citra komposit yang ada dengan luasan kurang lebig 6x6 piksel atau 90x90 meter, blok sampel ditentukan berdasar 57

70 kenampakan berupa warna dan tekstur yang ada. Penentuan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling dengan tujuan mengetahui kerapatan kanopi dari tiap satuan pemetaan yang diperoleh dari interpretasi secara fotomorfik. Blok sampel tersebut digunakan sebagai sampel lapangan yang akan diukur kerapatan kanopinya, kemudian blok sampel terukur itulah yang akan sangat berpengaruh dalam penelitian ini. Blok sampel terukur akan digunakan dalam penyusunan formula kepadatam dengan menggunakan citra saluran tunggal, komposit atau hasil transformasi indeks vegetasi yang memiliki korelasi tertinggi terhadap kerapatan kanopi. Pengukuran dilakukan dengan menghitung luasan kanopi tiap tegakan, hal tersebut dikarenakan perbedaan luas kanopi tiap tegakan dalam blok sampel yang beragam, metode pengukuran dilakukan dengan menghitung diameter kanopi terpanjang dan terpendek (D1 dan D2) dan mengasumsikan sebagai bentuk laying-layang dan bagian lubang atau sela-sela kanopi yang tertembus sinar matahari dianggap masif (Widoretno, 2010), sehingga Luas kanopi dapat dihitung dengan persamaan ½(D1x D2), kerapatan kanopi blok sampel diketahui dengan menumlahkan seluruh luasan kanopi tegakan dalam blok sampel dibagi dengan luas blok sampel (90 x90 m). Foto Lap ang an Citra NDVI Gambar 4.2 Titik Sampel 5, Koordinat : mt ; mu, Kerapatan 75% (Tinggi) Penelitian kali ini mengambil 18 blok sampel yang memiliki tingkat kerapatan yang berbeda seperti yang terlihat pada tabel berikut : 58

71 Tabel 4.2 Hasil pengukuran blok sampel No s a m p e l Koordinat sampel x y Kerapatan kan opi (% ) Sumber : Pengukuran Statistik nilai rata-rata blok sampel pada saluran tunggal, NDVI, SAVI dan MSAVI Nilai rata-ratadari blok sampel terukur merupakan cerminan nilakai dari kumpulan piksel yang digunakan sebagai acuan dalam menentukan formula kerapatan kanopi. Blok sampel terukur yang memiliki tingkat kerapatan yang berbeda pada untuk masing-masing sampel dipergunakan untuk analisis nilai piksel pada setiap saluran Citra ASTER VNIR dan 3 hasil transformasi indeks vegetasi yang telah dipersiapkan. Untuk mendapatkan nilai rata-rata dari setiap 59

72 blok sampel dilakukan proses penumpangan blok sampel yang berupa file evf atau ROI ke pada masing-masing saluran Citra ASTER VNIR dan hasil transformasi indeks vegetasi (NDVI, SAVI dan MSAVI2) sehingga didapat nilai rata-rata dari masing-masing blok sampel berikut standar deviasinya, seperti yang tersaji pada tabel berikut : Tabel 4.3. Nilai rata-rata blok sampel terukur dalam reflectan at sensor NDVI VNIR VNIR VNIR SAVI MSAVI2 Kerapatan Nomor band 1 band 2 band 3 (L=0,5) kanopi sampel mean mean mean mean mean mean Dalam % 1 0, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,399 0, , , , , , , Sumber : Olah data 2010 Nilai rata-rata blok sampel untuk setiap saluran Citra ASTER VNIR dan hasil transformasi indeks vegetasi akan memiliki tingkat korelasi yang berbeda dengan kerapatan kanopi terukur, nilai korelasi tertinggi akan menunjukkan salauran atau transformasi indeks vegetasi mana yang memiliki hubungan terbaik dengan kerapatan kanopi. Tingkat korelasi setiap saluran Citra ASTER VNIR dan hasil transformasi indeks vegetasi dapat diketahui melalui analisis korelasi dengan bantuan software statistik (SPSS). 60

73 Tingkat korelasi memiliki nilai antara -1 sampai 1, semakin mendekati nilai 1 atau -1 maka saluran atau transformasi indeks vegetasi akan memiliki hubungan yang semakin erat, dimana nilai negatif menunjukkan hubungan terbalik dan nilai positif menunjukkan bahwa citra atau transformasi indeks vegetasi berbanding lurus dengan kerapatan kanopi. Tabel diatas menunjukkan bahwa saluran infra merah dekat dan ketiga hasil transformasi indeks vegetasi berbanding lurus dan memiliki hubungan yang kuat, hal tersebut ditunjukkan dengan nilai korelasi yang mendekati angka 1 (melebihi 0,9), dari keempatnya hasil transformasi indeks vegetasi NDVI memiliki korelasi tertinggi, yaitu 0,999. Tabel 4.4. Tingkat korelasi masing-masing saluran/transformasi indeks vegetasi dengan kerapatan kanopi Saluran VNIR/Transformasi indeks vegetasi Tingkat korelasi Saluran 1 (hijau) 0,813 Saluran 2 (merah) -0,878 Saluran 3 (infra merah dekat) 0,947 SAVI 0,995 MSAVI2 0,945 NDVI 0, Sumber : Olah data 2010 Pembacaan blok sampel terukur pada saluran atau transformasi dilakukan pada pada masing-masing kelas, nilai kerapatan kanopi dikelompokkan dalam 3 kelas, kelas pertama antara 0-40%, kelas kedua 41-70% dan kelas terakhir % seperti tersaji pada tabel 4.5. Tabel 4.5. Kelas kerapatan kanopi Kelas Kerapatan Nilai Kerapatan Rendah (non-vegetasi) 0-40% Sedang 41-70% Tinggi % Sumber : Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. 2 No.1: 1 5 (1996) 61

74 Pembacaan nilai saluran dan hasil transformasi dilakukan pada tiap kelas dan saluran atau transformasi, saluran atau transformasi yang memiliki hubungan yang konsisten pada tiap kelas adalah yang akan digunakan dalam penyusunan formula kepadatan. Nilai rata-rata dalam tabel 4.6 menunjukkan bahwa kelas pertama atau kerapatan rendah nilai yang ada pada saluran infra merah dekat, NDVI, SAVI dan MSAVI2 memiliki korelasi yang baik dimana setiap pertambahan nilai pada saluran atau hasil transformasi menunjukkan bertambahnya kerapatan kanopi, pada kelas kedua mulai terdapat hubungan yang kurang baik pada saluran infra merah dekat,savi dan MSAVI2 dimana nilai dari infra merah dekat, SAVI atau MSAVI2 tidak mewakili nilai kerapatan kanopi yang semakin bertambah, lain halnya dengan NDVI yang masih memiliki hubungan yang baik, terlihat dari nilai NDVI yang naik seiring naiknya nilai kerapatan kanopi, dari pembacaan pada kelas terakhir diketahui bahwa ketiga hasil transformasi indeks vegetasi memiliki korelasi yang baik dengan tingkat kerapatan kanopi, sedang untuk saluran infra merah dekat memiliki tingkat korelasi yang kurang baik. Nomor Tabel 4.6 Rata-rata nilai piksel tiap band dan transformasi indeks vegetasi pada blok NDVI VNIR band 1 VNIR ba nd 2 sampel terukur VNIR b a n d 3 SAVI ( L = 0, 5) MSAVI2 Kerapatan kan opi 10 0, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,1529-0, , , , , , ,

75 1 0, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,3049 0, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,399 0, Sumber : Olah data 2010 Pembacaan tabel hubungan nilai pada tiap saluran dan transformasi indeks vegetasi citra hasil transformasi menunjukkan bahwa saluran infra merah dekat,ndvi, SAVI dan MSAVI2 memilki hubungan tingkat korelasi yang baik pada kelas pertama atau tingkat kerpatan rendah, pada tingkat kerapatan sedang atau kelas kedua hanya nilai NDVI saja yang terkorelasi dengan baik, sedang untuk kelas keriga atau kerapatan tinggi ketiga hasil transformasi indeks vegetasi memilki korelasi yang baik. Kesimpulan yang diperoleh dari pembacaan tabel hubungan tiap saluran atau hasil transformasi indeks vegetasi menghasilkan transformasi indeks vegetasi dengan NDVI memiliki nilai yang paling baik dan representatif terhadap ketiga kelas tingkat kerapatan kanopi, hubungan yang ada antara nilai NDVI dan kerapatan kanopi merupakan hubungan positif yang berarti semakin tinggi nilai NDVI semakin tinggi pula kerapatan kanopinya, dengan demikian diketahui bahwa nilai pada NDVI adalah yang paling sesuai untuk digunakan dalam penyusunan formula kerapatan konopi Penyusunan Formula Kepadatan Penyusunan formula kepadatan menggunakan citra atau hasil transformasi yang memiliki tingkat korelasi terbaik, walaupun menurut hasil olah data ada 3 data yang memiliki nilai korelasi diatas 0,9 namun nilai korelasi dari transformasi NDVI adalah yang memiliki korelasi terbaik dengan tingkat kerapatan kanopi 63

76 yaitu 0,999743, penyusunan formula kepadatan dilakukan berdasar pembacaan hubungan nilai rata-rata NDVI dengan kerapatan kanopi yang telah dibagi berdasar kelas tertentu (tabel 3.5). Nilai NDVI pada masing-masing kelas tersebut adalah nilai yang digunakan dalam penyusunan formula kepadatan. Nilai NDVI digunakan sebagai batas kelas kerapatan yang telah ditentukan yang selanjutnya digunakan dalam penyusunan formula kepadatan, selain nilai NDVI dari blok sampel terukur penyusunan formula kerapatan kanopi ini menggunakan bantuan nilai dari hubungan antara nilai NDVI dan kerapatan kanopi yang berupa suatu korelasi linear, asumsi linear ini berdasar pada penelitan yang dilakukan Zainudin Fanani, Ign. Kristanto Adiwibowo (2001), penggunaan asumsi tersebut dikarenakan tidak adanya blok sampel terukur untuk tingkat kerapatan 40% yan merupakan batas nilai kerapatan sedang dan rendah. Nilai NDVI yang telah dilengkapi dengan hasil dari nilai dan korelasi linear kerapatan kanopi dengan NDVI yang menjadi batas pada tiap kelas tersaji pada tabel berikut: Tabel 4.7 nilai NDVI untuk penyusunan formula kepadatan Kelas Kerapatan Nilai NDVI Nilai Kerapatan Rendah (non-vegetasi) 0, , % Sedang 0,3192 0, % Tinggi 0, , % Sumber : Olah data

77 Nilai Mean NDVI kerapatan % Gambar 4.3 Hubungan Linear kerapatan kanopi dan nilai rata-rata indeks vegetasi 4.6. Interpretasi Hibrida Nilai rata-rata citra transformasi NDVI untuk masing-masing poligon hasil interpretasi visual digunakan untuk identifikasi tingkat kerapatan kanopi berdasar kunci interpretasi atau formula kerapatan kanopi yang telah dihasilkan sehingga diperoleh poligon-poligon yang telah memiliki nilai rata-rata pada NDVI dan nilai kerapatan kanopi berdasar formula yang ada. Penghitungan nilai rata-rata masing-masing poligon pada citra hasil transformasi NDVI dilakukan dengan bantuan software, disini digunakan software arcgis,dengan tool berupa zonal statistik, setelah diperoleh nilai rata-rata NDVI untuk masing-masing poligon selanjutnya dilakukan pengelasan kerapatan kanopi pada masing-masing poligon berdasar formula kepadatan yang telah disusun sebelumnya sehingga diperoleh peta tingkat kerapatan kanopi. Hasil klasifikasi kerapatan kanopi pada 2023 poligon dengan menggunakan kunci interpretasi yang telah disusun (tabel 4.8) untuk tiga kelas kerapatan kanopi menghasilkan luasan yang berbeda seperti tersaji dalam tabel berikut: 65

78 Tabel 4.8. Luas masing-masing kelas kerapatan kanopi KELAS KERAPATAN LUAS (ha) non-vegetasi 3632, % 2026,09 Lebih 70% 3382,73 Sumber : Olah data 2011 Pada tabel terlihat luasan terbesar terdapat pada kelas kerapatan nonvegetasi (kerapatan kanopi rendah), hal tersebut dikarenakan daerah penelitian bukan merupakan daerah hutan melainkan daerah permukiman yang belum berkembang dengan baik Validasi hasil pemetaan Setelah diperoleh peta kerapatan kanopi formula kerapatan yang telah disusun sebelumnya langkah berikut yang dilakukan adalah uji ketelitian atau validasi peta kerapatan yang telah dihasilkan. Validasi hasil dilakukan dengan pengamatan lapangan pada beberapa titik yang memiliki kelas kerapatan kanopi sedang dan tinggi dengan metode stratified sampling, titik-titik pengamatan tersebut diambil pada setiap kelas kepadatan dan disesuaikan dengan luas keseluruhan dari setiap kelas. Sehingga kelas yang memiliki luas terbesar akan memiliki titik pengamatan terbanyak. Hasil uji validasi menghasilkan ketelitian interpretasi keseluruhan sebesar = 28/31 = 0,9032 atau 90,32%. Tingkat akurasi yang mencapai 90% dikatakan memenuhi batas minimum interpretasi, menurut Campbell (2002, dalam Suharyadi 2011) batas minimum pemetaan dengan citra satelit adalah sebesar 85%, sedang menurut Anderson (1976, dalam Martono 2007) dan Kannegeiter (1984, dalam Martono 2007) tingkat ketelitian yang disarankan untuk suatu interpretasi penginderaan jauh adalah berkisar antara 80 85%. Hasil uji validasi menemukan beberapa lokasi pada titik validasi memiliki tingkat kerapatan kanopi yang berbeda dengan peta kerapatan kanopi yang dihasilkan berdasar kunci interpretasi, hal tersebut sebagian dikarenakan perubahan penggunaan lahan dari daerah berupa kebun campuran atau hutan 66

79 rakyat menjadi daerah yang dimanfaatkan oleh penduduk sekitar, seperti pemukiman maupun tegalan. Munculya ruang-ruang kosong pada daeerah yang pada interpretasi menghasilkan daerah dengan kerapatan kanopi yang tinggi juga diakibatkan semakin banyaknya pemanfaatan lahan di daerah hutan rakyat yang rata-rata memiliki kerapatan kanopi tinggi. Potensi perubahan penggunaan lahan itulah yang digunakan sebagai dasar penentuan titik-titik uji validasi yang sebagian besar berada di sepanjang jalan dan sekitar pemukiman selain disebabkan sulitnya akses ke daerah-daerah yang masih berupa hutan rakyat atau daerah berkerapatan kanopi tinggi. Kesalahan interpretasi untuk obyek vegetasi juga dapat diakibatkan oleh perubahan volume daun akibat musim kemarau yang menyebabkan meranggasny vegetasi di daerah penelitian, namun pada penelitian ini daerah yang digunakan tidak memilki vegetasi musiman yang dominan, sebagian besar merupakan tanaman yang hijau sepanjang tahun atau evergreen sehingga respon spektral tidak berubah secara signifikan pada citra yang digunakan, seperti yang disebutkan pada penelitan yang dilakukan oleh Zainudin Fanani dan Ign. Kristanto Adibowo tahun 2001, bahwa perubahan spektal vegetasi akan berubah secara signifikan pada tanaman yang menggugurkan daun, berbeda dengan tanaman evergreen yang memiliki respon relatif konstan. Tabel 4.9. koordinat titik validasi dan hasil pengamatan Koordinat Hasil Inter preta si Pengamatan Lapa ngan X Y Kerapatan Tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi 67

80 Interpretasi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi Kerapatan Sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang rendah sedang sedang sedang sedang Kerapatan Rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah rendah Sumber : Olah data dan Pengamatan Lapangan 2011 Tabel Hasil pengamatan untuk validasi Pengamatan Lapangan Padat Sedang jarang Padat Sedang jarang Jumlah Sumber : Pengamatan Lapangan 2011 Jumlah

81 Akurasi pengguna (user s accuracy) merupakan hasil akurasi interpretasi terhadap semua kategori yang dikenali pada citra, berikut nilai akurasi pengguna dalam penelitian ini : Padat = 100% sedang = 72,72% jarang = 87,5%. Akurasi pembuat (producer s accuracy) merupakan akurasi interpretasi terhadap keadaan yang ditemui di lapangan, berikut tingkat ketelitian pembuat dalam penelitian ini : Padat = 81,25% sedang = 88,89% jarang = 100% nilai akurasi yang dihasilkan baik nilai akurasi pengguna maupun pembuat menunjukkan masih adanya kelemahan dalam penyusunan formulaa kerapatan kanopi ini, hal tersebut dapat dicermati pada hasil perhitungan akurasi pengguna menunjukkan bahwa masih ada kelemahan dalam akurasi formula kepadatan yang disusun, terutama untuk akurasi pengguna pada kelas kerapatan sedang yang memiliki nilai terendah, yaitu sebesar 72,72% dan nilai akurasi pembuat untuk kelas kerapatan tinggi yang sebesar 81,25% yang menurut rujukan masih dibawah nilai yang disarankan yaitu sebesar 85%, kelemahan-kelemahn tersebut kemungkinan dikarenakan citra yang digunakan dalam penyusunan formula kerapatan direkam pada tahun 2006 (kurang lebih 5 tahun yang lalu) sehingga memungkinkan terjadi perubahan kerapatan kanopi karena jumlah tegakan ataupun perubahan penggunaan lahan 4.8. Kerapatan kanopi daerah penelitian Penerapan formula kerapatan kanopi pada penelitian ini menghasilkan tiga kelas kerapatan kanopi yaitu kerapatan kanopi rendah atau daerah non vegetasi, kerapatan kanopi sedang dan daerah dengan kerapatan kanopi tinggi. Berdasarkan peta kerapatan kanopi yang dihasilkan diketahui bahwa daerah dengan kerapatan kanopi tinggi lebih mendominasi disbanding dengan daerah dengan kerapatan 69

82 kanopi sedang namun memiliki luas yang polygon sama dengan daerah dengan kerapatan kanopi rendah atau daerah non-vegetasi, banyaknya daerah yang masih memiliki tutupan kanopi tinggi menunjukkan bahwa daerah penelitian masih tergolong kedalam daerah pedesaan, terlihat dari luas daerah dengan penggunaan lahan berupa pemukiman yang lebih kecil disbanding dengan luas daerah dengan yang memiliki tutupan kanopi. Bagian timur daerah penelitian yang berbatasan dengan Sungai Progo merupakan daerah yang didominasi daerah dengan tutupan kanopi baik sedang maupun tinggi, sedang bagian selatan daerah penelitian (pantai) didominasi oleh daerah dengan tutupan kanopi rendah atau daerah non-vegetasi, seperti halnya yang terjadi di bagian barat daerah penelitian. 70

83 Gambar 4.3. Peta Kerapatan Kanopi 71

84 Tutupan kanopi yang ada di daerah penelitian sebagian besar merupakan daerah dengan penggunaan lahan berupa kebun campuran, penggunaan lahan berupa pemukiman di daerah ini masih kecil dibandingkan daerah dengan penggunaan lahan berupa kebun campuran sehingga menyebabkan sebagian besar daerah ini tertutup kanopi vegetasi dari kebun campuran tersebut. Dominasi daerah yang tertutup kanopi juga disebabkan oleh pemukiman masyarakat yang menyebar dan memiliki jarak yang cukup jauh antara satu bangunan dengan bangunan lain serta memang masih rendahnya kepadatan bangunan di bagian timur daerah penelitian, seperti yang terlihat pada peta diatas. 72

85 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah : 1. Formula kerapatan kanopi disusun berdasar citra hasil transformasi NDVI yang memiliki tingkat korelasi sebesar 0, Kunci interpretasi yang dihasilkan adalah sebagai berikut : NDVI < 0,3192 untuk daerah non-vegetasi atau kepadatan kanopi rendah (<40%), nilai NDVI 0,3192-0,54399 untuk kepadatan kanopi sedang (40-70%) dan nilai NDVI > 0,54399 untuk kerapatan kanopi tinggi (>70%) 2. Metode interpretasi secara hibrida memanfaatkan prinsip interpretasi secara visual dalam penentuan poligon-poligon yang mewakili suatu daerah dengan kenampakan visual yang sama dan menggunakan prinsip metode komputasi dalam penerapan dan penyusuan formula kepadatan menghasilkan nilai akurasi 90,32% menunjukkan bahwa metode ini layak digunakan dalam kegiatan interpretasi kerapatan kanopi Saran 1. Peningkatan akurasi formula interpretasi hibrida untuk kerapatan kanopi dapat dilakukan dengan melakukan uji coba di daerah dengan pola jarak tanam vegetasi yang teratur (missal, hutan produksi) dan daerah dengan variasi kerapatan yang lebih tinggi serta penambahan sampel acuan dan data rujukan (citra atau peta skala detail). 2. Hasil transformasi vegetasi lain seperti SAVI dan MSAVI serta saluran merah dan inframerah dekat dalam ASTER VNIR yang memiliki korelasi lebih dari 0,9 juga dapat dimanfaatkan dalam penyusunan formula kerapatan kanopi. 3. Interpretasi dengan metode hibrida dapat dikembangkan untuk obyek-obyek penutup lahan lainnya. 73

86 DAFTAR PUSTAKA ASTER (2002), Aster Indomicrowave Corporation (Official Website). Diakses tanggal 2 September 2010, dari applications.html ASTER (2002), Aster Indomicrowave Corporation (Official Website). Diakses tanggal 2 September 2010, dari specification.html Astuti, T. R. (2010). Pemetaan Kepadatan Bangunan dengan pendekatan hibrida menggunakan citra satelit ASTER di Kota Surakarta. Skripsi. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Danoedoro, P. (1996). Pengolahan Citra Digital Teori dan Aplikasinya dalam Bidang Penginderaan Jauh. Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. ERSDAC ASTER: EOS and Terra. USA: University of Idaho. Diakses tanggal 25 Januari 2010, dari /index_e.html ERSDAC ASTER: EOS and Terra. USA: University of Idaho. Diakses tanggal 25 Januari 2010, dari gds_www2002/index_e./aster/set_a_sensor_e html ERSDAC ASTER: EOS and Terra. USA: University of Idaho. Diakses tanggal 25 Januari 2010, dari www2002/index_e./aster/ set_e_project_e_eos.html Fanani, Z. Ign. Kristanto, A. (200i). Analisis Faktor yang mempengaruhi Nilai Spektral Tegakan Jati Pada Data Digital Landsat TM. Buletin Kehutanan=Forestry Bulletin 2001 Galev, E. (2006). Applicability of Remote Sensing Data and GIS Methodology to Detailed Vegetation Mapping. Fatih University. Istambul. Hildanus (2005). Pendugaan Beberapa Parameter Tegakan Hutan Tropika Dataran Rendah Menggunakan Data Satelit Landsat. Makalah Falsafah Sains (PPs 702) Program Pascasarjana / S3 Institut Pertanian Bogor 74

87 Hirose, Y, Mori, M. Akamatsu, Y. dan Li, Y. (Tanpa Tahun). Vegetation Cover Mapping Using Hybrid Analisis of IKONOS Data. Japan Space Imaging Corporation. Lillesand, Kiefer, dan Chipman. (2004). Remote Sensing and image Interpretation. Wiley & Sons. New York. Martono, Dwi Nowo (2007). Kajian Ketelitian Planimetrik bangunan Rumah Menggunakan Citra IKONOS Tipe Geomono. Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologo Penginderaan Jauh, LAPAN NASA ASTER: EOS and Terra. USA: California Institute of Technology. Diakses tanggal 22 Agustus 2009, dari and Terra Samrumi, Pemetaan Agihan dan Tingkat Kerapatan Jenis Mangrove di Pulau Tanakeke Kabupaten Takalar dengan Menggunakan Citra Satelit SPOT IV. Skripsi. Jurusan Geografi Fakulktas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Makassar. Shank, Michael (2008). Using Remote Sensing to Map Vegetation Density on a Reclaimed Surface Mine. Incorporating Geospatial Technologies into SMCRA Business Processes. Sidik, F. Kusuma, D. W. (Tanpa Tahun). Penggunaan Citra Formosat Unruk Identifikasi Kerapatan Hutan Mangrove di Gili Sulat-Gili Lawang, Lombok Timur. Balai Riset dan Observasi Kelautan, BRKP-DKP Suharyadi, R (2011). Interpretasi Hibrida Citra Satelit Menengah untuk Kajian Densitifikasi Bangunan Daerah Perkotaan Di Daerah Perkotaan Yogyakarta. Disertasi.Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Pemkab Kulonprogo Kondisi Geografis Kulonprogo. Diakses tanggal 5 Januari 2011, dari Purwadhi, Sr i, Hardiyanti, Interpretasi citra Digital. Grasindo, Yogyakarta. 75

88 Rahman As-syakur dan I.W. Sandi Adnyana (2009). Analisis Indeks Vegetasi Menggunakan Citra ALOS/AVNIR-2 dan Sistem Informasi Geografis Untuk Evaluasi Tata Ruang Kota Denpasar. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Udayana Sutanto (1986). Penginderaan Jauh Jilid 1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Sutanto (1987). Penginderaan Jauh Jilid 2. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Widoretno, S. (2010). Ekologi Tumbuhan. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Solo. Widyasamratri (2008). Pemanfaatan Transformasi Indeks Perkotaan dan Indeks Vegetasi pada Citra ASTER untuk Analisis Kondisi Lingkungan Perkotaan (Kasus Kota Semarang). Skripsi. Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Yusityro Galian Kulonprogo. Diakses tanggal 5 Januari 2011, dari 31

89 1 Lampiran 1. Peta Komposit ASTER 321 L-1

90 2 Lampiran 2. Peta Citra NDVI L-2

91 3 Lampiran 3. Peta Titik Validasi Kerapatan Kanopi L-3

92 4 Lampiran 4. Peta Lokasi Blok Sampel Terukur L-4

93 5 Lampiran 5. Peta Lokasi Titik Validasi L-5

94 Nomor poligon Lampiran 6. Nilai rata-rata dan kerapatan kanopi pada citra NDVI MEAN KERAPATAN KANOPI tinggi rendah (non-vegetasi) rendah (non-vegetasi) rendah (non-vegetasi) rendah (non-vegetasi) rendah (non-vegetasi) rendah (non-vegetasi) tinggi sedang sedang sedang sedang tinggi sedang rendah (non-vegetasi) sedang tinggi tinggi sedang tinggi sedang tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi rendah (non-vegetasi) tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang tinggi sedang sedang sedang tinggi sedang tinggi tinggi sedang sedang tinggi sedang tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi sedang tinggi sedang sedang tinggi L-6

95 tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi sedang tinggi sedang tinggi sedang tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi L-7

96 tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi tinggi sedang sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang sedang sedang sedang tinggi sedang tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi sedang sedang sedang tinggi sedang tinggi rendah (non-vegetasi) sedang sedang rendah (non-vegetasi) sedang tinggi sedang sedang tinggi tinggi sedang tinggi rendah (non-vegetasi) sedang tinggi rendah (non-vegetasi) rendah (non-vegetasi) rendah (non-vegetasi) rendah (non-vegetasi) tinggi rendah (non-vegetasi) sedang sedang tinggi L-8

97 sedang tinggi sedang sedang tinggi sedang sedang tinggi sedang tinggi tinggi sedang tinggi sedang rendah (non-vegetasi) sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang sedang sedang rendah (non-vegetasi) rendah (non-vegetasi) tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi sedang tinggi tinggi sedang sedang sedang tinggi sedang tinggi sedang tinggi sedang sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi sedang sedang tinggi sedang tinggi tinggi sedang tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi sedang tinggi sedang sedang sedang tinggi L-9

98 tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang tinggi sedang tinggi sedang sedang sedang sedang sedang tinggi tinggi sedang tinggi tinggi sedang sedang sedang tinggi tinggi sedang sedang sedang sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi sedang L-10

99 tinggi sedang tinggi tinggi rendah (non-vegetasi) sedang rendah (non-vegetasi) sedang sedang tinggi sedang sedang sedang tinggi sedang sedang sedang sedang tinggi tinggi sedang tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi rendah (non-vegetasi) tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi sedang tinggi tinggi rendah (non-vegetasi) tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi rendah (non-vegetasi) rendah (non-vegetasi) rendah (non-vegetasi) rendah (non-vegetasi) sedang tinggi rendah (non-vegetasi) rendah (non-vegetasi) rendah (non-vegetasi) tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi L-11

100 tinggi rendah (non-vegetasi) rendah (non-vegetasi) sedang tinggi sedang sedang sedang sedang tinggi tinggi sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi rendah (non-vegetasi) sedang sedang sedang sedang tinggi sedang tinggi tinggi sedang sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi sedang tinggi tinggi sedang tinggi sedang tinggi L-12

101 tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi sedang sedang sedang tinggi sedang tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang sedang tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang sedang rendah (non-vegetasi) tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi L-13

102 tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang sedang sedang tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi sedang tinggi sedang tinggi tinggi sedang tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi sedang sedang L-14

103 sedang tinggi sedang sedang sedang sedang tinggi sedang tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang tinggi sedang sedang sedang sedang tinggi sedang sedang sedang tinggi sedang tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang sedang sedang sedang tinggi tinggi sedang sedang sedang tinggi sedang tinggi tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi L-15

104 tinggi tinggi sedang tinggi sedang tinggi sedang sedang sedang tinggi tinggi sedang tinggi tinggi sedang sedang sedang tinggi sedang tinggi sedang sedang sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi sedang sedang sedang tinggi tinggi sedang sedang sedang tinggi sedang tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang sedang L-16

105 sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi sedang sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang tinggi sedang tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang sedang tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi sedang tinggi tinggi rendah (non-vegetasi) sedang tinggi tinggi sedang tinggi tinggi rendah (non-vegetasi) tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi L-17

106 tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang sedang sedang tinggi tinggi sedang tinggi tinggi sedang sedang sedang sedang sedang tinggi rendah (non-vegetasi) rendah (non-vegetasi) tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi tinggi sedang sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang tinggi sedang tinggi sedang tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang tinggi tinggi sedang tinggi sedang sedang L-18

107 tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang sedang sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang tinggi tinggi sedang tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang sedang tinggi sedang sedang tinggi sedang sedang sedang tinggi sedang sedang tinggi tinggi sedang sedang tinggi sedang sedang tinggi sedang tinggi tinggi sedang tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang L-19

108 sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang tinggi tinggi sedang tinggi tinggi sedang sedang tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang L-20

109 sedang sedang tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi sedang sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi rendah (non-vegetasi) sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang sedang sedang tinggi sedang tinggi sedang sedang tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang tinggi sedang tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi L-21

110 tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi sedang tinggi tinggi sedang sedang sedang sedang sedang sedang tinggi sedang sedang sedang sedang sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang sedang sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang tinggi sedang sedang tinggi tinggi sedang tinggi sedang sedang sedang sedang tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang tinggi L-22

111 sedang tinggi tinggi sedang sedang tinggi sedang sedang tinggi sedang tinggi sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang tinggi sedang tinggi sedang tinggi tinggi sedang sedang tinggi tinggi sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang tinggi sedang sedang sedang sedang tinggi sedang sedang tinggi sedang tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi sedang sedang sedang sedang tinggi sedang tinggi sedang sedang L-23

112 tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi tinggi sedang sedang sedang tinggi sedang tinggi tinggi sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang tinggi sedang sedang sedang sedang tinggi tinggi sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang tinggi sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang tinggi sedang sedang sedang sedang sedang tinggi tinggi sedang sedang sedang tinggi sedang sedang sedang tinggi sedang L-24

113 sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang sedang tinggi sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang sedang tinggi sedang sedang sedang sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang tinggi tinggi sedang sedang L-25

114 tinggi tinggi sedang sedang tinggi sedang sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang sedang sedang sedang sedang tinggi tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang tinggi L-26

115 tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang sedang sedang tinggi sedang tinggi sedang sedang sedang sedang tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang sedang sedang sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang tinggi sedang tinggi sedang tinggi sedang sedang L-27

116 sedang sedang sedang tinggi sedang sedang sedang sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi sedang tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang tinggi sedang tinggi L-28

117 tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi sedang tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang sedang sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi sedang L-29

118 sedang tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi sedang tinggi sedang tinggi tinggi tinggi sedang tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi tinggi sedang sedang tinggi sedang sedang sedang tinggi tinggi L-30

119 Lampiran 7. Header Citra AST_L1B_ _ _9644 GROUP GROUPTYPE GROUP = INVENTORYMETADATA = MASTERGROUP = ECSDATAGRANULE OBJECT = LOCALGRANULEID VALUE = AST_L1B_ _ _9644.hdf END_OBJECT = LOCALGRANULEID OBJECT = PRODUCTIONDATETIME VALUE = T15:53:53.000Z END_OBJECT = PRODUCTIONDATETIME OBJECT = DAYNIGHTFLAG VALUE = Day END_OBJECT = DAYNIGHTFLAG OBJECT = REPROCESSINGACTUAL VALUE = not reprocessed END_OBJECT = REPROCESSINGACTUAL END_GROUP GROUP = ECSDATAGRANULE = MEASUREDPARAMETER OBJECT = MEASUREDPARAMETERCONTAINER CLASS = 1 GROUP = QAFLAGS CLASS = 1 OBJECT = AUTOMATICQUALITYFLAGEXPLANATION CLASS = 1 VALUE = Passed if algorithm ran within bounds of execution constraints. Suspect if bounds of execution constraints violated. Failed if PGE failed. L-31

120 END_OBJECT = AUTOMATICQUALITYFLAGEXPLANATION OBJECT = AUTOMATICQUALITYFLAG CLASS = 1 VALUE = Passed END_OBJECT = AUTOMATICQUALITYFLAG END_GROUP = QAFLAGS GROUP = QASTATS CLASS = 1 OBJECT = QAPERCENTMISSINGDATA CLASS = 1 VALUE = 0 END_OBJECT = QAPERCENTMISSINGDATA OBJECT = QAPERCENTOUTOFBOUNDSDATA CLASS = 1 VALUE = 0 END_OBJECT = QAPERCENTOUTOFBOUNDSDATA OBJECT = QAPERCENTCLOUDCOVER CLASS = 1 VALUE = 3 END_OBJECT = QAPERCENTCLOUDCOVER OBJECT = QAPERCENTINTERPOLATEDDATA CLASS = 1 VALUE = 0 END_OBJECT = QAPERCENTINTERPOLATEDDATA END_GROUP = QASTATS OBJECT = PARAMETERNAME CLASS = 1 VALUE = Registered Radiance at Sensor END_OBJECT = PARAMETERNAME END_OBJECT = MEASUREDPARAMETERCONTAINER L-32

121 END_GROUP GROUP = MEASUREDPARAMETER = COLLECTIONDESCRIPTIONCLASS OBJECT = VERSIONID VALUE = 3 END_OBJECT = VERSIONID OBJECT = SHORTNAME VALUE = AST_L1B END_OBJECT = SHORTNAME END_GROUP GROUP = COLLECTIONDESCRIPTIONCLASS = INPUTGRANULE OBJECT = INPUTPOINTER VALUE = LGID:AST_L1A:003:ASTL1A U END_OBJECT = INPUTPOINTER END_GROUP GROUP GROUP GROUP = INPUTGRANULE = SPATIALDOMAINCONTAINER = HORIZONTALSPATIALDOMAINCONTAINER = GPOLYGON OBJECT = GPOLYGONCONTAINER CLASS = 1 GROUP = GRINGPOINT CLASS = 1 OBJECT = GRINGPOINTLONGITUDE NUM_VAL = 4 CLASS = 1 VALUE = ( , , , ) END_OBJECT = GRINGPOINTLONGITUDE L-33

122 OBJECT = GRINGPOINTLATITUDE NUM_VAL = 4 CLASS = 1 VALUE = ( , , , ) END_OBJECT = GRINGPOINTLATITUDE OBJECT = GRINGPOINTSEQUENCENO NUM_VAL = 4 CLASS = 1 VALUE = (1, 2, 3, 4) END_OBJECT = GRINGPOINTSEQUENCENO END_GROUP = GRINGPOINT GROUP = GRING CLASS = 1 OBJECT = EXCLUSIONGRINGFLAG CLASS = 1 VALUE = N END_OBJECT = EXCLUSIONGRINGFLAG END_GROUP END_OBJECT END_GROUP END_GROUP END_GROUP = GRING = GPOLYGONCONTAINER = GPOLYGON = HORIZONTALSPATIALDOMAINCONTAINER = SPATIALDOMAINCONTAINER GROUP = SINGLEDATETIME OBJECT = TIMEOFDAY VALUE = 02:59: END_OBJECT = TIMEOFDAY OBJECT = CALENDARDATE VALUE = END_OBJECT = CALENDARDATE L-34

123 END_GROUP GROUP = SINGLEDATETIME = PGEVERSIONCLASS OBJECT = PGEVERSION VALUE = 06.20R01 END_OBJECT = PGEVERSION END_GROUP GROUP = PGEVERSIONCLASS = ADDITIONALATTRIBUTES OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 1 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 1 VALUE = ASTERMapProjection END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 1 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 1 VALUE = Universal Transverse Mercator END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 2 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 2 VALUE = SceneCloudCoverage END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 2 L-35

124 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 2 VALUE = 3 END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 3 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 3 VALUE = UpperLeftQuadCloudCoverage END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 3 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 3 VALUE = 3 END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 4 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 4 VALUE = UpperRightQuadCloudCoverage END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 4 OBJECT = PARAMETERVALUE L-36

125 CLASS = 4 VALUE = 11 END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 5 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 5 VALUE = LowerLeftQuadCloudCoverage END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 5 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 5 VALUE = 0 END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 6 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 6 VALUE = LowerRightQuadCloudCoverage END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 6 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 6 L-37

126 VALUE = 0 END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 7 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 7 VALUE = VNIR1_ObservationMode END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 7 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 7 VALUE = ON END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 8 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 8 VALUE = VNIR2_ObservationMode END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 8 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 8 VALUE = ON END_OBJECT = PARAMETERVALUE L-38

127 END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 9 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 9 VALUE = SWIR_ObservationMode END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 9 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 9 VALUE = ON END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 10 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 10 VALUE = TIR_ObservationMode END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 10 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 10 VALUE = ON END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP = INFORMATIONCONTENT L-39

128 END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 11 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 11 VALUE = Band1_Available END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 11 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 11 VALUE = Yes, band is acquired END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 12 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 12 VALUE = Band2_Available END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 12 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 12 VALUE = Yes, band is acquired END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER L-40

129 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 13 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 13 VALUE = Band3N_Available END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 13 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 13 VALUE = Yes, band is acquired END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 14 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 14 VALUE = Band3B_Available END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 14 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 14 VALUE = Yes, band is acquired END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER L-41

130 CLASS = 15 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 15 VALUE = Band4_Available END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 15 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 15 VALUE = Yes, band is acquired END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 16 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 16 VALUE = Band5_Available END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 16 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 16 VALUE = Yes, band is acquired END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 17 L-42

131 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 17 VALUE = Band6_Available END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 17 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 17 VALUE = Yes, band is acquired END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 18 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 18 VALUE = Band7_Available END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 18 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 18 VALUE = Yes, band is acquired END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 19 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 19 L-43

132 VALUE = Band8_Available END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 19 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 19 VALUE = Yes, band is acquired END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 20 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 20 VALUE = Band9_Available END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 20 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 20 VALUE = Yes, band is acquired END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 21 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 21 VALUE = Band10_Available L-44

133 END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 21 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 21 VALUE = Yes, band is acquired END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 22 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 22 VALUE = Band11_Available END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 22 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 22 VALUE = Yes, band is acquired END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 23 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 23 VALUE = Band12_Available END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME L-45

134 GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 23 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 23 VALUE = Yes, band is acquired END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 24 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 24 VALUE = Band13_Available END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 24 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 24 VALUE = Yes, band is acquired END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 25 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 25 VALUE = Band14_Available END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 25 L-46

135 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 25 VALUE = Yes, band is acquired END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 26 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 26 VALUE = Solar_Azimuth_Angle END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 26 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 26 VALUE = END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 27 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 27 VALUE = Solar_Elevation_Angle END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 27 OBJECT = PARAMETERVALUE L-47

136 CLASS = 27 VALUE = END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 29 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 29 VALUE = GenerationDateandTime END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 29 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 29 VALUE = T15:53:53.000Z END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 30 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 30 VALUE = GeometricDBVersion END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 30 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 30 L-48

137 VALUE = END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 31 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 31 VALUE = RadiometricDBVersion END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 31 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 31 VALUE = END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 32 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 32 VALUE = ASTERGains END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 32 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 32 VALUE = 01 NOR, 02 NOR, 3N NOR, 3B NOR, 04 NOR, 05 NOR, 06 NOR, 07 NOR, 08 NOR, 09 NOR L-49

138 END_OBJECT END_GROUP END_OBJECT = PARAMETERVALUE = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 33 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 33 VALUE = Resampling END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 33 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 33 VALUE = CC END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 34 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 34 VALUE = DAR_ID END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 34 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 34 VALUE = ( ) END_OBJECT = PARAMETERVALUE L-50

139 END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 35 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 35 VALUE = ASTERProcessingCenter END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 35 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 35 VALUE = LPDAAC END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 36 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 36 VALUE = ASTERReceivingCenter END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 36 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 36 VALUE = EDOS END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP = INFORMATIONCONTENT L-51

140 END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 38 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 38 VALUE = ASTERVNIRPointingAngle END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 38 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 38 VALUE = END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 39 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 39 VALUE = ASTERSWIRPointingAngle END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 39 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 39 VALUE = END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER L-52

141 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 40 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 40 VALUE = ASTERTIRPointingAngle END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 40 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 40 VALUE = END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER CLASS = 37 OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME CLASS = 37 VALUE = ASTERMapOrientationAngle END_OBJECT = ADDITIONALATTRIBUTENAME GROUP = INFORMATIONCONTENT CLASS = 37 OBJECT = PARAMETERVALUE CLASS = 37 VALUE = END_OBJECT = PARAMETERVALUE END_GROUP END_OBJECT END_GROUP = INFORMATIONCONTENT = ADDITIONALATTRIBUTESCONTAINER = ADDITIONALATTRIBUTES L-53

142 END_GROUP = INVENTORYMETADATA END Lampiran 8 Foto Lokasi Pengukuran Lapangan dan Kenampakan pada Citra NDVI Foto Lap ang an Citra NDVI Titik Sampel 5, Koordinat : mt ; mu, Kerapatan 75% (Tinggi) Foto Lap ang an Citra NDVI Titik Sampel 12, Koordinat : mt ; mu, Kerapatan 68% (Sedang) Foto Lap ang an Citra NDVI Titik Sampel 1, Koordinat : mt ; mu, Kerapatan 65% (Sedang) L-54

143 Lampiran 9 Foto Lokasi Validasi Hasil Foto Kegiatan Validasi Hasil Koordinat : mt, mu Kerapatan Interpretasi : Tinggi Kerapatan Sebenarnya : Tinggi Foto Kegiatan Validasi Hasil Koordinat : mt, mu Kerapatan Interpretasi : Tinggi Kerapatan Sebenarnya : Tinggi Foto Kegiatan Validasi Hasil Koordinat : mt, mu Kerapatan Interpretasi : Tinggi Kerapatan Sebenarnya : Sedang L-55

144 Foto Kegiatan Validasi Hasil Koordinat : mt, mu Kerapatan Interpretasi : Sedang Kerapatan Sebenarnya : Rendah L-56

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

SATELIT ASTER. Oleh : Like Indrawati

SATELIT ASTER. Oleh : Like Indrawati SATELIT ASTER Oleh : Like Indrawati ADVANCED SPACEBORNE THERMAL EMISSION AND REFLECTION RADIOMETER (ASTER) ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer) adalah instrumen/sensor

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain: BAB II TEORI DASAR 2.1 Tutupan Lahan Tutupan Lahan atau juga yang biasa disebut dengan Land Cover memiliki berbagai pengertian, bahkan banyak yang memiliki anggapan bahwa tutupan lahan ini sama dengan

Lebih terperinci

09 - Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Dijital. by: Ahmad Syauqi Ahsan

09 - Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Dijital. by: Ahmad Syauqi Ahsan 09 - Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Dijital by: Ahmad Syauqi Ahsan Remote Sensing (Penginderaan Jauh) is the measurement or acquisition of information of some property of an object or phenomena

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRACT... xiii

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal.

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal. DAFTAR ISI Halaman Judul... No Hal. Intisari... i ABSTRACT... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi BAB I... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2.

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING DENSIFIKASI BANGUNAN DI DAERAH PERKOTAAN MAGELANG

PEMANFAATAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING DENSIFIKASI BANGUNAN DI DAERAH PERKOTAAN MAGELANG PEMANFAATAN TEKNOLOGI PENGINDERAAN JAUH UNTUK MONITORING DENSIFIKASI BANGUNAN DI DAERAH PERKOTAAN MAGELANG Vembri Satya Nugraha vembrisatyanugraha@gmail.com Zuharnen zuharnen@ugm.ac.id Abstract This study

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Ardiawan Jati, Hepi Hapsari H, Udiana Wahyu D Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bentang permukaan bumi yang dapat bermanfaat bagi manusia baik yang sudah dikelola maupun belum. Untuk itu peran lahan cukup penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumberdaya alam ialah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Hutan termasuk kedalam sumber daya

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup tinggi di dunia khususnya Indonesia memiliki banyak dampak. Dampak yang paling mudah dijumpai adalah kekurangan lahan. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas BAB I PENDAHULUAN Bab I menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah serta sistematika penulisan yang menjadi dasar dari Perbandingan Penggunaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk yang bermata pencaharian

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL 4.1 Pengolahan Awal Citra ASTER Citra ASTER diolah menggunakan perangkat lunak ER Mapper 6.4 dan Arc GIS 9.2. Beberapa tahapan awal yang dilakukan yaitu konversi citra.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia, dengan kondisi iklim basa yang peluang tutupan awannya sepanjang tahun cukup tinggi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman perkebunan utama di Indonesia. Kelapa sawit menjadi komoditas penting dikarenakan mampu memiliki rendemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Teh merupakan salah satu komoditi subsektor perkebunan yang memiliki berbagai peranan dan manfaat. Teh dikenal memiliki kandungan katekin (antioksidan alami) yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

KAJIAN AKURASI INTERPRETASI HIBRIDA MENGGUNAKAN EMPAT INDEKS VEGETASI UNTUK PEMETAAN KERAPATAN KANOPI DI KAWASAN HUTAN KABUPATEN GUNUNGKIDUL

KAJIAN AKURASI INTERPRETASI HIBRIDA MENGGUNAKAN EMPAT INDEKS VEGETASI UNTUK PEMETAAN KERAPATAN KANOPI DI KAWASAN HUTAN KABUPATEN GUNUNGKIDUL KAJIAN AKURASI INTERPRETASI HIBRIDA MENGGUNAKAN EMPAT INDEKS VEGETASI UNTUK PEMETAAN KERAPATAN KANOPI DI KAWASAN HUTAN KABUPATEN GUNUNGKIDUL Monica Mayda Pratiwi monica.m.pratiwi@gmail.com Hartono hartonogeografi@yahoo.co.id

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP :

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : 3513100016 Dosen Pembimbing: Nama : Prof.Dr.Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS NIP

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO Risma Fadhilla Arsy Abstrak : Penelitian di Daerah Aliran Sungai Oyo ini bertujuan mengesktrak parameter

Lebih terperinci

Latar belakang. Kerusakan hutan. Perlu usaha: Perlindungan Pemantauan 22/06/2012

Latar belakang. Kerusakan hutan. Perlu usaha: Perlindungan Pemantauan 22/06/2012 Deteksi Kesehatan Hutan Menggunakan Data Penginderaan Jauh di Hutan Lahan Kering SIGIT NUGROHO Latar belakang Kerusakan hutan Perlu usaha: Perlindungan Pemantauan Efisien waktu Efektif Hemat biaya Mudah

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat ini peta telah menjadi salah satu kebutuhan utama bagi masyarakat. Peta memuat informasi spasial yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi suatu objek di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan sumberdaya alam yang bersifat langka karena jumlahnya tidak bertambah, tetapi kebutuhan terhadap lahan selalu meningkat. Alih fungsi lahan pertanian

Lebih terperinci

Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan

Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan Sukristiyanti et al. / Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan Jilid 17 No.1 ( 2007) 1-10 1 Evaluasi Indeks Urban Pada Citra Landsat Multitemporal Dalam Ekstraksi Kepadatan Bangunan SUKRISTIYANTI a, R. SUHARYADI

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software  For evaluation only. 23 LAMPIRAN 23 LAMPIRAN 24 Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian Data Citra LANDSAT-TM/ETM Koreksi Geometrik Croping Wilayah Kajian Kanal 2,4,5 Kanal 1,2,3 Kanal 3,4 Spectral Radiance (L λ ) Albedo NDVI Class Radiasi

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Ilmu penginderaan jauh berkembang sangat pesat dari masa ke masa. Teknologi sistem sensor satelit dan berbagai algoritma pemrosesan sinyal digital memudahkan pengambilan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh ( Citra ASTER dan Ikonos ) Oleh : Bhian Rangga JR Prodi Geografi FKIP UNS

Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh ( Citra ASTER dan Ikonos ) Oleh : Bhian Rangga JR Prodi Geografi FKIP UNS Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh ( Citra ASTER dan Ikonos ) Oleh : Bhian Rangga JR Prodi Geografi FKIP UNS A. Pendahuluan Di bumi ini tersebar berbagai macam fenomena fenomena alam yang sudah diungkap

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TRANSFORMASI NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX (NDVI) CITRA LANDSAT TM UNTUK ZONASI VEGETASI DI LERENG MERAPI BAGIAN SELATAN

PEMANFAATAN TRANSFORMASI NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX (NDVI) CITRA LANDSAT TM UNTUK ZONASI VEGETASI DI LERENG MERAPI BAGIAN SELATAN Geomedia Volume 11 Nomor 2 November 2013 PEMANFAATAN TRANSFORMASI NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX (NDVI) CITRA LANDSAT TM UNTUK ZONASI VEGETASI DI LERENG MERAPI BAGIAN SELATAN Oleh: Ardi Arnanto

Lebih terperinci

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data

KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari

Lebih terperinci

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini*

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini* PENENTUAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DENGAN INDEX VEGETASI NDVI BERBASIS CITRA ALOS AVNIR -2 DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI KOTA YOGYAKARTA DAN SEKITARNYA Sudaryanto dan Melania Swetika Rini* Abstrak:

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA LANDSAT 8 UNTUK IDENTIFIKASI NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX (NDVI) DI KECAMATAN SILAT HILIR KABUPATEN KAPUAS HULU

PEMANFAATAN CITRA LANDSAT 8 UNTUK IDENTIFIKASI NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX (NDVI) DI KECAMATAN SILAT HILIR KABUPATEN KAPUAS HULU PEMANFAATAN CITRA LANDSAT 8 UNTUK IDENTIFIKASI NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX (NDVI) DI KECAMATAN SILAT HILIR KABUPATEN KAPUAS HULU Ajun Purwanto Program Sudi Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu

Lebih terperinci

LOGO PEMBAHASAN. 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah. 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya

LOGO PEMBAHASAN. 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah. 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya PEMBAHASAN 1. Pemetaan Geomorfologi, NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah 2. Proses Deliniasi Prospek Panas Bumi Tiris dan Sekitarnya Pemetaan Geomorfologi,NDVI dan Temperatur Permukaan Tanah Pemetaan Geomorfologi

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGERTIAN Penginderaan Jauh atau Remote Sensing merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh data dan informasi dari suatu objek dipermukaan bumi dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki iklim tropis, serta tidak lepas dari pengaruh angin muson barat maupun angin muson timur. Dalam kondisi normal, angin muson barat

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta DAS penelitian

Gambar 1. Peta DAS penelitian Gambar 1. Peta DAS penelitian 1 1.1. Proses Penentuan Model Kemiringan Lereng Kemiringan lereng ditentukan berdasarkan informasi ketinggian dan jarak pada data DEM yang berbasis raster (piksel). Besarnya

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Konsep Dasar Penginderaan Jauh

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Konsep Dasar Penginderaan Jauh BAB II TEORI DASAR 2.1 Konsep Dasar Penginderaan Jauh Pada dasarnya dalam penginderaan jauh mempunyai konsep yaitu memanfaatkan gelombang elektromagnetik untuk berinteraksi dengan suatu objek atau fenomena

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

SUB POKOK BAHASAN 10/16/2012. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi

SUB POKOK BAHASAN 10/16/2012. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi MATA KULIAH : SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) PERIKANAN KODE MK : M10A.125 SKS : 2 (11) DOSEN : SYAWALUDIN ALISYAHBANA HRP, S.Pi, MSc. SUB POKOK BAHASAN DEFINIS DAN PENGERTIAN TENAGA UNTUK PENGINDERAAN

Lebih terperinci

Citra Satelit IKONOS

Citra Satelit IKONOS Citra Satelit IKONOS Satelit IKONOS adalah satelit inderaja komersiil pertama yang dioperasikan dengan tingkat ketelitian 1 meter untuk model pankromatik dan 4 meter untuk model multispektral yang merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian tugas akhir ini. Proses ini sangat berpengaruh terhadap hasil akhir penellitan. Pada tahap ini dilakukan

Lebih terperinci

APLIKASI CITRA ALOS AVNIR-2 UNTUK ESTIMASI VOLUME TEGAKAN PINUS DI WILAYAH KOPENG. Hanafiah Yusuf

APLIKASI CITRA ALOS AVNIR-2 UNTUK ESTIMASI VOLUME TEGAKAN PINUS DI WILAYAH KOPENG. Hanafiah Yusuf APLIKASI CITRA ALOS AVNIR-2 UNTUK ESTIMASI VOLUME TEGAKAN PINUS DI WILAYAH KOPENG Hanafiah Yusuf yusuf@gmail.com Sigit Heru Murti BS sigit@geo.ugm.ac.id ABSTRACT Remote sensoring with spatial and spectral

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1

KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 1. Pendahuluan Penginderaan jarak jauh merupakan salah satu teknologi penunjang pengelolaan sumber daya alam yang paling banyak digunakan saat ini. Teknologi

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono

TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono TEORI DASAR INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT TM7+ METODE INTERPRETASI VISUAL ( DIGITIZE SCREEN) Oleh Dwi Nowo Martono I. PENGANTAR Penginderaan jauh adalah ilmu dan teknik untuk memperoleh informasi

Lebih terperinci

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LAPORAN PRAKTIKUM II GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA Tanggal Penyerahan : 2 November 2016 Disusun Oleh : Kelompok : 7 (Tujuh) Achmad Faisal Marasabessy / 23-2013-052 Kelas : B

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh 4 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, dan fenomena melalui analisis data yang diperoleh dari suatu

Lebih terperinci

SAMPLING DAN KUANTISASI

SAMPLING DAN KUANTISASI SAMPLING DAN KUANTISASI Budi Setiyono 1 3/14/2013 Citra Suatu citra adalah fungsi intensitas 2 dimensi f(x, y), dimana x dan y adalahkoordinat spasial dan f pada titik (x, y) merupakan tingkat kecerahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni perolehan informasi objek di permukaan Bumi melalui hasil rekamannya (Sutanto,2013). Objek di permukaan

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT Tujuan: Mahasiswa dapat mengidentifikasi objek yang ada pada citra landsat Mahasiswa dapat mendelineasi hasil interpretasi citra landsat secara teliti Mahasiswa dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan tubuh alam yang menyelimuti permukaan bumi dan merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi makhluk hidup. Tanah mempunyai kemampuan untuk mendukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada

Lebih terperinci

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI Oleh: Nama Mahasiswa : Titin Lichwatin NIM : 140722601700 Mata Kuliah : Praktikum Penginderaan Jauh Dosen Pengampu : Alfi Nur Rusydi, S.Si., M.Sc

Lebih terperinci

Bangunan Berdasarkan Citra Landsat 5 TM dan Sentinel 2A MSI (Kasus: Kota Salatiga) Anggito Venuary S

Bangunan Berdasarkan Citra Landsat 5 TM dan Sentinel 2A MSI (Kasus: Kota Salatiga) Anggito Venuary S Interpretasi Hibrida Untuk Identifikasi Perubahan Lahan Terbangun dan Kepadatan Bangunan Berdasarkan Citra Landsat 5 TM dan Sentinel 2A MSI (Kasus: Kota Salatiga) Anggito Venuary S anggitovenuary@outlook.com

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA Atriyon Julzarika Alumni Teknik Geodesi dan Geomatika, FT-Universitas Gadjah Mada, Angkatan 2003 Lembaga Penerbangan

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

JURNAL GEOGRAFI Media Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian

JURNAL GEOGRAFI Media Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian JURNAL GEOGRAFI Media Pengembangan Ilmu dan Profesi Kegeografian http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujet ESTIMASI PRODUKTIVITAS PADI MENGGUNAKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DALAM MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA

Lebih terperinci

A JW Hatulesila. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon. Abstrak

A JW Hatulesila. Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon. Abstrak A123-04-1-JW Hatulesila Analisis Spasial Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk Penanganan Perubahan Iklim di Kota Ambon Jan Willem Hatulesila 1), Gun Mardiatmoko 1), Jusuph Wattimury 2) 1) Staf Pengajar Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK ESTIMASI PRODUKSI TANAMAN KARET (Hevea Brasiliensis) DI KOTA SALATIGA, JAWA TENGAH

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK ESTIMASI PRODUKSI TANAMAN KARET (Hevea Brasiliensis) DI KOTA SALATIGA, JAWA TENGAH APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK ESTIMASI PRODUKSI TANAMAN KARET (Hevea Brasiliensis) DI KOTA SALATIGA, JAWA TENGAH Wenang Anurogo wenanganurogo@gmail.com Sigit Heru Murti BS sigit.heru.murti@ugm.ac.id

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci