BAB II TEORI DASAR. 2.1 Konsep Dasar Penginderaan Jauh

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TEORI DASAR. 2.1 Konsep Dasar Penginderaan Jauh"

Transkripsi

1 BAB II TEORI DASAR 2.1 Konsep Dasar Penginderaan Jauh Pada dasarnya dalam penginderaan jauh mempunyai konsep yaitu memanfaatkan gelombang elektromagnetik untuk berinteraksi dengan suatu objek atau fenomena yang akan dikaji. Terdapat tujuh buah elemen yang berhubungan dengan penginderaan jauh, yaitu : 1. Sumber energi. 2. Radiasi dan Atmosfer. 3. Interaksi gelombang elektromagnetik dengan target. 4. Perekaman oleh sensor. 5. Transmisi. 6. Penerimaan. 7. Proses gelombang elektr magnetik,interpretasi dan analisis serta aplikasinya. Berdasarkan panjang gelombang elektromagnetik yang digunakan, sistem dalam penginderaan jauh dapat dibedakan menjadi (Soenarmo, 1994): Penginderaan jauh visibel dan inframerah, sumber energi yang digunakan adalah matahari dengan puncak radiasinya 0,5 µm. Data yang diperoleh tergantung pada kemampuan target merefleksikan radiasi elektromagnetik matahari. Selanjutnya informasi mengenai target dapat diperoleh melalui spektrum refleksinya. Penginderaan jauh inframerah termal, sumber energi yang digunakan adalah energi radiasi dari target yang bersangkutan. Dasarnya adalah, seperti telah dibahas sebelumnya mengenai sifat radiasi elektromagnetik, bahwa semua benda pada temperatur di atas 0 K atau -273 C memancarkan radiasi elektromagnetik terus-menerus dengan puncak radiasi ± 10 µm. Penginderaan jauh gelombang pendek, sistem penginderaan jauh ini memiliki dua tipe yaitu pasif dan aktif. II-1

2 Sistem pasif (gambar 2.1) adalah sistem yang menggunakan energi yang telah tersedia, dalam hal ini adalah energi dari matahari. Untuk seluruh energi yang direfleksikan, sensor pasif hanya dapat digunakan saat ada penyinaran matahari. Pada malam hari, tidak ada refleksi energi dari matahari yang dapat digunakan. Pada sistem pasif radiasi gelombang pendek dipancarkan dari target yang dideteksi. Sistem aktif (gambar 2.2) adalah sistem penginderaan jauh yang menggunakan energi yang diemisikan sendiri (tidak menggunakan matahari sebagai sumber energi). Gambar 2.1 Cara kerja sistim sensor pasif dari wahana satelit (Sumber: Fundamental of Remote Sensing tutorial, 1998) Gambar 2.2 Cara kerja sistim sensor aktif dari wahana satelit (Sumber: Fundamental of Remote Sensing tutorial, 1998) 2.2 Satelit ASTER ASTER (Advanced Spaceborne Thermal Emission And Reflection Radiometric) merupakan instrumen yang dibawa oleh satelit TERRA. ASTER bertugas untuk melakukan observasi permukaan bumi dalam rangka monitoring lingkungan hidup secara global dan penginderaan sumber daya alam. Ground resolution ASTER lebih tinggi dibandingkan dengan LANDSAT- TM, demikian juga untuk resolusi II-2

3 spektral dengan 5 band termal dan 6 band short wave-infrared, serta kualitas fungsi stereoskopik yang lebih tinggi dibandingkan satelit sebelumnya, JERS- 1. Satelit ini memiliki orbit sun-synchronous dan ketinggian 705 km, melewati orbit yang sama setiap 16 hari. Sensor ASTER merupakan peningkatan dari sensor yang dipasang pada satelit generasi sebelumnya, JERS-1. Sensor ini terdiri dari Visible and Near-Infrared Radiometer (VNIR), Short Wavelength Infrared Radiometer (SWIR), Thermal Infrared Radiometer (TIR), Intersected Signal Processing Unit dan Master Power Unit. VNIR merupakan instrumen optikal dengan resolusi tinggi yang digunakan untuk mendeteksi pantulan cahaya dari permukaan bumi dengan range dari level gelombang visible hingga infrared ( mikrometer) dengan 3 band. Dimana band 3b dari VNIR ini merupakan nadir dan backward looking data, sehingga kombinasi data ini dapat digunakan untuk mendapatkan citra stereoskopik. Digital Elevation model (DEM) dapat diperoleh dengan mengaplikasikan data ini. SWIR merupakan instrumen optikal dengan resolusi tinggi mempunyai dengan 6 band yang digunakan untuk mendeteksi pantulan cahaya dari permukaan bumi dengan short wavelength infrared range ( mikrometer). TIR adalah instrumen dengan akurasi tinggi untuk observasi radiasi termal infrared ( mikrometer) dari permukaan bumi dengan menggunakan 5 bands. Band ini dapat digunakan untuk monitoring jenis tanah dan batuan di permukaan bumi. Sensor dengan multi-band termal infrared dalam satelit ini adalah pertama kali di dunia. Ukuran citra adalah 60 km dengan ground resolution 90 m. II-3

4 Gambar 2.3 Satelit Aster (Sumber : Aster,NASA) Tabel 2.1 Karakteristik dari 3 sensor sistem ASTER Subsistem Band No Spektral Range Resolusi spasial (µm) m VNIR N B SWIR TIR II-4

5 2.3 Dasar Pengolahan Citra Citra adalah gambar 2 atau 3 dimensi sebagai fungsi dari intensitas cahaya matahari yang dihasilkan dari observasi satelit bumi yang dikirim ke bumi melalui sinyal gelombang dan disimpan atau diterima oleh stasiun penerima dalam bentuk magnet tape. Citra sebagai keluaran suatu sistem perekaman data dapat bersifat optik berupa foto, bersifat analog berupa sinyal-sinyal video seperti gambar pada monitor televisi, atau bersifat digital yang dapat langsung disimpan dalam pita magnetik. Pengolahan Citra Digital (PCD) merupakan hal yang paling penting dalam penginderaan jauh saat ini. Citra satelit digital tersusun dari rangkaian grid-grid kecil yang disebut piksel dan setiap piksel secara spasial melambangkan suatu area tertentu pada permukaan. Rangkaian grid-grid ini sering disebut raster sehingga suatu data citra digital seringkali digolongkan sebagai informasi/data raster. Setiap piksel dalam citra raster direpresentasikan oleh nomor digital. PCD berkaitan dengan proses pengolahan informasi dengan komputer. Kegunaan PCD adalah untuk mengkoreksi, meningkatkan atau menajamkan kualitas citra sehingga dapat dimengerti dan mudah diambil informasi yang dibutuhkan. Tahapan pengolahan yang dilakukan adalah sebagai berikut: Pemulihan citra, terdiri dari: a. koreksi radiometrik dan atmosfer b. koreksi geometrik dan registrasi Peningkatan kualitas citra, meliputi: a. ketajaman, noise, kontras b. penyaringan data (filtering) Klasifikasi citra, yaitu memilah jenis data II-5

6 2.3.1 Pemulihan Citra Pemulihan citra merupakan suatu cara untuk memanipulasi citra hasil penginderaan jauh untuk menghilangkan distorsi atau kesalahan. Terdapat 2 koreksi penting dalam pemulihan citra, yaitu: 1. Koreksi atmosferik Karena ketidaksempurnaan dari sensor di satelit dan juga pengaruh gangguan atmosfer serta pesawat penerima, data yang dipancarkan dan ditangkap oleh stasiun penerima di bumi akan mengandung kesalahan yang perlu dihilangkan supaya data terekam mempunyai makna yang benar. Prosesnya disebut sebagai koreksi atmosferik dan bertujuan untuk memulihkan data citra yang mengalami distorsi pada keadaan yang seharusnya. 2. Koreksi geometrik Citra Satelit selalu mengandung kesalahan yang bersifat sistematik dan acak. Kesalahan tersebut dapat dikoreksi bila tersedia informasi mengenai karakteristik, orientasi serta keutuhan sensornya seperti misalnya kecepatan pergerakan satelit dan rotasi, kelengkungan bumi serta distorsi panoramik dan perspektif. Tersedianya sejumlah titik kontrol tanah akan membantu dalam mengkoreksi kesalahan karena orientasi satelit dan ketinggian. Citra satelit yang diterima biasanya sudah bersih dari kesalahan grup pertama di atas. Sehingga hanya koreksi geometrik yang dilakukan untuk membuat data citra bermanfaat, yaitu proses rektifikasi dan registrasi. Proses rektifikasi bertujuan untuk membetulkan orientasi dari citra sehingga akan mempunyai posisi yang absolut sesuai dengan sistem proyeksi tertentu. Cara yang ditempuh adalah dengan proses transformasi matematik dari sistem koordinat citra ke sistem koordinat tanah. Proses ini membutuhkan titik kontrol tanah sehingga setiap piksel akan mempunyai koordinat yang absolut. Sebaliknya proses registrasi biasanya digunakan bila posisi relatif yang lebih diperlukan. Misalnya bila akan membandingkan 2 buah citra dari daerah yang sama dan diperoleh pada saat yang berbeda, maka yang akan II-6

7 dilakukan adalah transformasi dari citra satu ke citra lainnya. Hal ini untuk membuat kedua buah citra tersebut mempunyai orientasi dan skala yang sama. Langkah yang dilakukan pada proses rektifikasi geometrik terdiri dari 2 tahap, yaitu: 1. Memformulasikan hubungan geometrik antara baris, kolom (b,k) dari piksel citra dengan posisinya di tanah (x,y). Proses ini dikenal dengan interpolasi spasial. Persamaan polinomial merupakan model matematik yang sering digunakan untuk mentransformasi sistem citra ke sistem tanah. 2. Menentukan nilai numerik dari kecerahan setiap piksel. Hal ini terjadi karena nilai (b,k) yang selalu bilangan bulat (1,2,3, ) setelah ditransformasi akan berubah menjadi bilangan real (1,1;2,4;5,6; ). Sehingga setelah transformasi piksel tidak akan berada tepat pada baris dan kolom. Oleh karena itu nilai piksel harus ditentukan dengan cara tertentu. Proses ini disebut interpolasi intensitas. Proses ini menentukan nilai numerik setiap piksel pada citra hasil transformasi. Tiga cara yang lazim dilakukan adalah: a.nearest-neighbour: pada cara ini nilai piksel ditentukan dengan mengambil nilai piksel dari piksel terdekat. b.bilinier: cara ini menentukan nilai piksel dengan meratakan nilai piksel dari 4 buah piksel disekitarnya. c.bikubik: perhitungannya mirip dengan cara kedua, tapi disini melibatkan 16 piksel disekitarnya. Sehingga memerlukan waktu perhitungan yang lebih lama Penajaman Citra Proses ini bertujuan untuk untuk mempertajam kualitas penampilan citra sehingga meningkatkan kemudahan dalam proses interpolasi citra karena penampilan image data akan lebih ekspresif. Algoritma penghalusan citra diterapkan pada citra remote untuk memudahkan analisis visual oleh manusia, meskipun terkadang analisisnya bersifat subyektif. Algoritma tersebut dapat meliputi: II-7

8 a. Perbesaran dan pengecilan citra Pengecilan citra diperlukan karena banyak sistem pengolahan citra yang tidak dapat menampilkan citra secara menyeluruh. Agar dapat ditampilkan maka dapat dilakukan reduksi citra. b. Penajaman kontras Sensor akan merekam pantulan dan menyerap fluks radiasi dari material di permukaan bumi. Idealnya, suatu bahan akan memantulkan dengan baik sejumlah energi pada panjang gelombang yang sama. Sensor yang terpasang harus mampu mendeteksi kecerahan sinar dari yang sangat tinggi (pantulan oleh salju) sampai dengan yang sangat rendah (pantulan air laut) yang lazimnya dikenal dengan istilah derajat atau tingkat keabuan. Sebuah citra yang baik idealnya akan mempunyai sebaran nilai numerik yang memenuhi rentang dengan distribusi yang merata. Tetapi umumnya nilai piksel pada sebuah citra akan diisi oleh nilai yang menempati bagian relatif kecil dari rentang Tampilan yang lebih ekspresif akan diperoleh bila luas rentang diperluas (stretch) sehingga memenuhi seluruh daerah spektrum. Ada 3 teknik men- stretch rentangan, yaitu: i. Rentangan linier (linier stretch) Citra akan diskalakan secara linear pada batas nilai piksel minimum dan nilai piksel maksimum. Nilai-nilai piksel yang lebih besar atau sama dengan nilai maksimum dikelompokkan menjadi nilai tertinggi sedangkan nilai-nilai yang kurang dari atau sama dengan nilai minimum dikelompokkan menjadi nilai terendah. ii. Rentangan histogram (histogram equalization) Citra diproses berdasarkan jumlah kelas yang sama dengan melihat bentuk histogram citra tersebut. Pengolahan ini menghasilkan informasi maksimum yang diberikan oleh setiap kelas. Tetapi bukan berarti citra yang dihasilkan II-8

9 sangat berkualitas, sebab ada satu informasi yang hilang dari karakteristik citra tersebut. iii. Linier dengan pengencangan (Linear with saturation) Citra di scretch secara linear dengan saturasi (pengencangan) yang dinyatakan dalam persen. c. Filter Bila kenampakan suatu citra agak sukar untuk dianalisis karena kekontrasannya rendah atau karena banyaknya noise pada citra, maka untuk kepentingan interpretasi perlu dilakukan perbaikan citra yang dapat dilakukan dengan jalan filtering. Beberapa jenis filter ke ruangan yang ada antara lain: low pass filtering, high pass filtering, dan band pass filtering Klasifikasi Citra Ini merupakan tahap terakhir dalam pengolahan citra. Proses ini bertujuan untuk membagi daerah cakupan berdasarkan jenis objeknya dengan cara menginterpretasi kenampakannya di atas citra dan menyatakannya dengan simbol tertentu. Dari proses ini dapat dihasilkan suatu peta tematik yang sangat berarti bagi keperluan perencanaan selanjutnya. Proses pengklasifikasian citra satelit biasa dilakukan secara terawasi (supervised classification) dan tak terawasi (unsupervised classification). Pada metode yang pertama, identitas dan lokasi dari suatu liputan lahan seperti lahan pertanian, hutan dan perkotaan telah diketahui melalui pemeriksaan lapangan atau interpretasi dari foto udara. Analisa diarahkan untuk melokalisir lokasi spesifiknya di citra dengan mencari sampel areanya (training site). Pemilihan metode yang cocok untuk penentuan kelas dari piksel tergantung kepada sifat dari masukan data dan keluaran yang diharapkan. Metode yang umum digunakan adalah: a. Paralel Epipedum Metode ini merupakan metode yang sering digunakan. Harga rata-rata nilai numerik piksel dari suatu training-site dan harga titik tengahnya merupakan II-9

10 informasi yang sangat penting. Harga ini didapatkan dari setiap training site pada setiap band yang disertakan. b. Jarak terdekat Keputusan mengenai kelas setiap piksel didasarkan pada selisih nilai pikselnya (jarak) terhadap nilai piksel rata-rata kelas yang diketahui. Jarak cukup dihitung dengan rumus phytagoras. c. Kemiripan maksimum Cara ini membandingkan nilai piksel dengan nilai training site dengan asumsi bahwa sebaran pikselnya terdistribusi secara normal. Bila kemiripan nilai maksimum, maka piksel tersebut akan dikelompokkan pada kelas tersebut. Sedangkan pada metode tak terawasi, sebagai cara alternatif piksel dengan nilai sejenis atau saling mempunyai kedekatan tertentu akan bergabung menjadi satu kelas. Sehingga akan terjadi beberapa kelas dengan nilai spektral tertentu. Setiap kelas kemudian ditentukan jenis liputan lahannya oleh operator. Pada cara ini, training site ditentukan secara otomatis. Proses klasifikasi tak terawasi dilakukan dengan mengelompokkan piksel berdasarkan kedekatannya (jarak spektral) antar piksel. Bila jarak spektral kurang dari harga yang ditentukan, maka piksel tersebut akan digabungkan menjadi suatu kelompok Sistem Informasi Geografis (SIG) Sistem Informasi Geografis (bahasa Inggris: Geographic Information System disingkat GIS) adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Dalam arti yang lebih sempit, adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola, menganalisa dan menampilkan informasi bereferensi geografis. Secara umum SIG bekerja berdasarkan integrasi 5komponen, yaitu: hardware, perangkat lunak, data, manusia dan metode yang dapat diuraikan sebagai berikut: II-10

11 1. Hardware Untuk menjalankan aplikasi SIG, diperlukan hardware yang memiliki spesifikasi cukup tinggi meliputi kapasitas memori, harddisk, dan prosesor. Hal ini disebabkan karena aplikasi SIG banyak memproses data grafis berukuran besar, sehingga data-data tersebut memerlukan tempat penyimpanan yang besar dalam harddisk cukup besar, prosesor yang lebih cepat, dan memori yang cukup besar ketika hendak menjalankan aplikasinya. 2. Perangkat Lunak. Aplikasi SIG harus memenuhi standar alat untuk melakukan input dan transformasi data geografis, memiliki sistem manajemen basis data, alat yang mendukung query geografis, analisis dan visualisasi, serta Graphical User Interface (GUI) untuk memudahkan akses pada masalah geografi. 3. Data Salah satu komponen penting dalam SIG adalah data. Secara fundamental, SIG bekerja dengan dua tipe model data geografis, yaitu model data vektor dan model data raster. Gambar 2.4 Contoh Data Vektor Daerah Bali Model Data Vektor berisi informasi posisi point, garis dan polygon yang disimpan dalam bentuk koordinat x,y. Suatu lokasi point dideskripsikan melalui sepasang koordinat x,y. Bentuk garis, seperti jalan dan sungai dideskripsikan sebagai kumpulan dari koordinat-koordinat point. Bentuk II-11

12 poligon, seperti zona project disimpan sebagai pengulangan koordinat yang tertutup. Gambar 2.5 Contoh Data Raster Citra Aster Bandung Model Data Raster terdiri dari sekumpulan grid/sel seperti peta hasil scanning maupun gambar/image. Masing-masing grid/sel atau pixel memiliki nilai tertentu yang bergantung pada bagaimana image tersebut digambarkan. Sebagai contoh, pada sebuah image hasil penginderaan jarak jauh dari sebuah satelit, masing masing pixel direpresentasikan sebagai panjang gelombang cahaya yang dipantulkan dari posisi permukaan bumi dan diterima oleh satelit dalam satuan luas tertentu yang disebut pixel. Gambar 2.6 Contoh Data Raster Peta Atlas Jawa Barat Pada gambar hasil scanning, tiap pixel merepresentasikan keterangan nilai yang berasosiasi dengan poin -poin tertentu pada gambar hasil scanning tersebut. II-12

13 Dalam SIG, setiap data Geografis memiliki data tabular yang berisi informasi spasial. Data tabular tersebut dapat direlasikan oleh SIG dengan sumber data lain seperti basis data yang berada diluar alat SIG. 4. Manusia Teknologi SIG tidaklah menjadi bermanfaat tanpa manusia yang mengelola sistem dan membangun perencanaan yang dapat diaplikasikan sesuai kondisi dunia nyata. Sama seperti pada Sistem Informasi lain pemakai SIG pun memiliki tingkatan tertentu, dari tingkat spesialis teknis yang mendesain dan memelihara sistem sampai pada pengguna yang menggunakan SIG untuk menolong pekerjaan mereka sehari-hari. 5. Metode SIG yang baik memiliki keserasian antara rencana desain yang baik dan aturan dunia nyata, dimana metode, model dan implementasi akan berbeda-beda untuk setiap permasalahan. 2.5 Konsep Kelembaban Tanah Kelembaban tanah adalah suatu besaran yang merepresentasikan jumlah kandungan air di suatu tanah, Kelembaban tanah dapat di representasikan dalam 2 satuan, yaitu : 1. Gravimetric Soil Mositure (GSM) Gravimetric Soil Moisture (GSM) adalah suatu satuan kelembaban tanah yang merupakan perbandingan antara berat suatu air yang terkandung dalam tanah dengan berat tanah itu sendiri, satuannya adalah gram/gram. 2. Volumetric Soil Moisture (VSM) Volumetric Soil Moisture (VSM) adalah suatu satuan kelembaban tanah yang merupakan perbandingan antara volume suatu air yang terkandung dalam tanah dengan volume tanah itu sendiri, satuannya adalah cm 3 /cm 3. Di lapangan kelembaban tanah diukur oleh bermacam-macam alat seperti Time Domain Reflectometry (TDR), neutron probe, frequency domain sensor, tensiometer capacitance probe dan lain-lain. Pada laboratorium, kelembaban tanah dapat dihitung secara gravimetric, yaitu dengan cara menghitung berat dari II-13

14 suatu tanah, kemudian kita keringkan tanah itu dan kita ukur berat dari tanah yang sudah dikeringkan. Perbedaan berat dari kedua berat tanah tersebut bisa katakan sebagai jumlah air yang terkandung dalam tanah. Kelembaban tanah biasanya sangat diperhitungkan dalam konteks hidrologi. Pada konteks hidrologi, kelembaban tanah berpengaruh kepada penyerapan air hujan, sebelum air itu ber evoporasi ataupun dalam konteks persedian air tanah. Volume kelembaban tanah dibandingkan dengan keseluruhan penyebaran air di dunia hanyalah merupakan persentase yang kecil saja (sekitar persen). Namun peranannya dalam siklus hidrologi tidaklah kecil, bahkan merupakan unsur yang sangat fundamental. Kelembaban tanah merupakan salah satu variabel penting dalam proses hidrologi dan biologi. Variabel ini merupakan variabel kunci dalam mengontrol perpindahan air dan energi panas anatara permukaan tanah dan atmosfer melalui evaporasi dan tanspirasi tanaman, dan juga merupakan variabel dominan untuk proses hidrologi seperti infiltrasi dan runoff. Kelembaban tanah biasa bervariasi antara nol dan maksimum berdasarkan ketersediaan unsur air dalam tanah. Ketika mencapai nilai maksimum, tanah tersebut menjadi jenuh dan semua presipitasi selanjutnya akan meninggalkan sistem sebagai runoff Siklus Hidrologi Siklus hidrlogi adalah proses yang berlangsung terus menerus dalam perjalanan air dari permukaan laut ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kembali lagi ke laut. Dalam siklus hidrologi, energi panas matahari dan faktor-faktor iklim lainnya menyebabkan terjadinya proses evaporasi dan transporasi pada permukaan tanah, vegetasi, laut dan yang lainnya. Uap air sebagai hasil proses evaporasi akan terbawa oleh angin melintasi daratan yang bergunung maupun datar, dan apabila keadaan atmosfer memungkinkan, sebagian dari uap air tersebut akan terkondensasi dan turun sebagai air hujan. Air hujan in sebagian tertahan di permukaan daun dan sebagian lainnya akan jatuh ke permukaan tanah. II-14

15 Air hujan yang dapat mencapai permukaan tanah, sebagian akan masuk (teresap) ke dalam tanah (infiltrasi), sedangkan sebagian lainnya akan tertampung sementara dalam cekungan-cekungan permukaan tanah untuk kemudian mengalir di atas permukaan tanah ke tempat yang lebih rendah (runoff), untuk selanjutnya masuk ke sungai. Air infiltrasi akan tertahan dalam tanah oleh gaya kapiler yang selanjutnya akan membentuk kelembaban tanah. Apabila kelembaban air tanah telah cukup jenuh, air tersebut akan bergerak secara horizontal kemudian mengalir ke sungai Infiltrasi Infiltrasi merupakan aliran air masuk ke dalam tanah sebagai akibat gaya kapiler dan gravitasi. Setelah lapisan tanah bagian atas jenuh, kelebihan air tersebut mengalir ke tanah melalui profil tanah yang lebih dalam akibat gaya gravitasi bumi dan dikenal sebgai proses perkolasi. Mekanisme infiltrasi melibatkan tiga proses yang tidak saling mempengaruhi berupa proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah, tertampungnya air hujan tersebut di dalam tanah, serta mengalirnya air tersebut ke tempat lain. Meskipun tidak saling mempengaruhi secara langsung, ketiga proses tersebut di atas terkait. Proses infiltrasi dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah, persediaan air awal (kelembaban tanah awal), jenis dan kedalaman tanah dan tutupan tahan. Tanah gembur akan memberikan kapasitas infiltrasi yang lebih kecil dibandingkan dengan tanah dalam keadaan kering. Keadaan tutupan lahan yang rapat dapat mengurangi air infiltrasi. Laju infiltrasi ditentukan oleh jumlah air yang tersedia di permukaan tanah (kelembaban tanah), sifat permukaan tanah dan kemampuan tanah untuk mengosongkan air di atas permukaan tanah. Dari ketiga unsur tersebut, ketersediaan air (kelembaban tanah) adalaha faktor utama. Bertambahnya II-15

16 kelembaban tanah mengakibatkan butiran tanah berkembang dan menutup ruangan pori-pori tanah sehingga laju infiltrasi berkurang. 2.6 Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) Respon spectral citra satelit umunya memiliki sensitivitas terhadap kerapatan vegetasi (indeks luas dan daun), tajuk pohon dan kandungan air di daun tumbuhan. Kerapatan vegetasi akan bertambah dari lahan terbuka hingga beberapa tahap suksesi, namun pantulan dalam spektrum sinar tampak berkuarang karena adanya penambahan luasan daun dan penyerapan, begitu juga pada bayangan yang diakibatkan oleh tajuk pohon. Indeks luas daun maksimal lebih cepat tercapai pada saat awal suksesi, berbeda dengan basal area maksimum pohon dan biomas pohon. Pada saat yang sama terjadi peningkatan pantulan spectrum inframerah yang diakibatkan adanya pantulan dari tajuk, transmisi gelombang yang melewati tajuk dan pantulan tanah. Hubungan antara respon spektral pada spektrum sinar tampak dan inframerah dengan kerapatan vegetasi dapat dijelaskan dengan suatu indeks uang disebut indeks vegetasi (Huete,1998). Indeks vegetasi merupakan kombinasi matematis antara band merah dan band Near Infra Red (NIR) yang telah lama digunakan sebagai indikator keberadaan dan kondisi vegetasi (Lillesand dan Kiefer, 1994) yang sering dikenal sebagai Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). NDVI pada dasarnya mengukur kemiringan (slope) antara nilai asli band merah dan band infra merah di angkasa dengan nilai band merah dan infra merah yang ada dalam tiap piksel citra. Berikut ini adalah rumus penghitungan NDVI : NDVI = NIR RED / NIR + RED.. (2.2) Dimana : NIR = Nilai band infra merah RED = Nilai band merah ( Sumber : Chesapeake Bay & Mid-Atlanti From Space, NDVI ) II-16

17 Nilai NDVI berkisar antara -1 sampai 1. Nilai -1 sampai 0 menunjukan daerah yang tidak memiliki penutupan vegetasi. 2.7 Metode Kuadrat Terkecil Data hasil pengukuran berfluktuasi yang mungkin disebabkan oleh galat acak dari sistem pengukuran atau kelakuan stokastik dari sistem yang diukur. Apapun alasannya, keperluan mencocokkan suatu fungsi pada data hasil pengukuran kerap kali terjadi. Dalam mencocokkan suatu fungsi pada data hasil pengukuran, semakin banyak titik datanya maka kecermatan kurva yang dicocokkan semakin tinggi. Pendekatan terbaik adalah meninjau fungsi dengan sedikit parameter bebas dan menentukan nilai parameter tersebut sedemikian sehingga simpangan fungsi dari titik-titik data sekecil mungkin. Peminimuman simpangan dicapai dengan menggunakan metode kuadrat terkecil. Untuk memperoleh nilai kelembaban tanah spasial, maka data kelembaban tanah yang digunakan harus data spasial. Nilai piksel dari citra yang telah diolah akan dikorelasikan dengan beberapa data kelembaban tanah hasil pengukuran lapangan, sehingga diperoleh suatu regresi linier. Korelasi ini selanjutnya akan digunakan unuk memperoleh data pada daerah-daerah yang tidak memiliki data lapangan, sehingga diperoleh suatu data spasial. Regresi linier data kelembaban tanah dengan nilai piksel, menggunakan metode kuadrat terkecil: y = ax + b..(2.3) a = [M x i y i - ( x i ) ( y i )] / M x 2 i - ( x i ) 2 b = ( yi - a xi) / M dengan, x = data lapangan y = nilai piksel citra termal a, b = koefisien regresi (Sumber : I. Nyoman Susila, Dasar-dasar Metode Numerik, 1994) II-17

18 2.8 Uji Hipotesis Korelasi Non Parametrik Setelah melakukan regresi linier, perlu adanya suatu uji kelayakan mengenai korelasi yang kita dapatkan. Uji kelayakan ini banyak macamnya. Pemakaiannya disesuaikan dengan karakteristik data dan kebutuhan. Data-data yang kita peroleh dari alam sebagian besar merupakan data yang tidak diketahui distribusinya. Oleh karena itu, uji hipotesis yang akan digunakan adalah Uji Hipotesis Non Parametrik. Dalam uji ini diperlukan suatu taraf keberartian dan hipotesa awal mengenai koefisien yang di uji. Terdapat banyak cara dan persamaan yang dapat digunakan untuk membuktikan hipotesa tersebut. Apabila sesuai, maka dinyatakan diterima atau hal yang diuji, dalam hal ini adalah koefisien dari regresi linier, layak untuk digunakan. Korelasi yang dilakukan oleh Spearman (1904) biasanya disimbolkan dengan tanda ρ (rho) dan bila independen, didefinisikan dengan persamaan 6 ρ = n i = 1 2 [ R( X ) R( Y )] n i 2 ( n 1) i.(2.4) dimana, R(X i ) = urutan X i dari yang terkecil ke yang terbesar R(Y i ) = urutan Y i dari yang terkecil ke yang terbesar n = jumlah data (Sumber : Prof. Dr Sugiyono, Statistik Non Parametris Untuk Penelitian 2008) Korelasi rangking Spearman di atas biasanya digunakan untuk tes statistik untuk melihat keindependenan antara dua variable acak. Berikut adalah uji hipotesis yang diambil: Ho : Xi dan Yi satu sama lain saling independen, dimana nilai Xi dan Yi tidak berpasangan. II-18

19 Ha : Xi dan Yi satu sama lain saling berhubungan, dimana ada kecenderungan nilai besar dari X berpasangan dengan nilai bear Y, atau nilai yang kecil berpasangan dengan nilai besar Y. II-19

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL 4.1 Pengolahan Awal Citra ASTER Citra ASTER diolah menggunakan perangkat lunak ER Mapper 6.4 dan Arc GIS 9.2. Beberapa tahapan awal yang dilakukan yaitu konversi citra.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN

BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Data Ada 3 data utama yang digunakan dalam penelitian ini. Data yang pertama adalah data citra satelit Landsat 7 ETM+ untuk daerah cekungan Bandung. Data yang

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software  For evaluation only. 23 LAMPIRAN 23 LAMPIRAN 24 Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian Data Citra LANDSAT-TM/ETM Koreksi Geometrik Croping Wilayah Kajian Kanal 2,4,5 Kanal 1,2,3 Kanal 3,4 Spectral Radiance (L λ ) Albedo NDVI Class Radiasi

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain: BAB II TEORI DASAR 2.1 Tutupan Lahan Tutupan Lahan atau juga yang biasa disebut dengan Land Cover memiliki berbagai pengertian, bahkan banyak yang memiliki anggapan bahwa tutupan lahan ini sama dengan

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Siklus Hidrologi

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Siklus Hidrologi BAB II TEORI DASAR 2.1 Siklus Hidrologi Siklus hidrologi adalah sirkulasi air dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi. Pemanasan air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN LITERATUR

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisi tentang latar belakang, tujuan, dan sistematika penulisan. BAB II KAJIAN LITERATUR BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Citra yang direkam oleh satelit, memanfaatkan variasi daya, gelombang bunyi atau energi elektromagnetik. Selain itu juga dipengaruhi oleh cuaca dan keadaan atmosfer

Lebih terperinci

09 - Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Dijital. by: Ahmad Syauqi Ahsan

09 - Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Dijital. by: Ahmad Syauqi Ahsan 09 - Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Dijital by: Ahmad Syauqi Ahsan Remote Sensing (Penginderaan Jauh) is the measurement or acquisition of information of some property of an object or phenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

KULIAH ICD KE 4 PEMROSESAN DATA

KULIAH ICD KE 4 PEMROSESAN DATA KULIAH ICD KE 4 PEMROSESAN DATA PERANGKAT KERAS Perangkat keras : komputer mikro hingga super Single task dan single user hingga multi task & multi user Perangkat Keras Utama Ada dua macam perangkat keras

Lebih terperinci

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Coding SIG

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Coding SIG SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Coding SIG Disusun Oleh : ADI MAHENDRA (201031118) AGUSTINUS SUAGO (200931057) HENDRA TANGDILINTIN (200831113) MUHAMMAD ISHAK (201231014) ZUHRUF F.H (200631021) SUTRISNO (200931046)

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup tinggi di dunia khususnya Indonesia memiliki banyak dampak. Dampak yang paling mudah dijumpai adalah kekurangan lahan. Hal

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan organik merupakan komponen tanah yang terbentuk dari jasad hidup (flora dan fauna) di tanah, perakaran tanaman hidup maupun mati yang sebagian terdekomposisi

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan 2.2 Perubahan Penggunaan Lahan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Lahan dan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Meter Air. Gambar 2.1 Meter Air. Meter air merupakan alat untuk mengukur banyaknya aliran air secara terus

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Meter Air. Gambar 2.1 Meter Air. Meter air merupakan alat untuk mengukur banyaknya aliran air secara terus BAB II DASAR TEORI 2.1 Meter Air Gambar 2.1 Meter Air Meter air merupakan alat untuk mengukur banyaknya aliran air secara terus menerus melalui sistem kerja peralatan yang dilengkapi dengan unit sensor,

Lebih terperinci

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL ( DIGITAL IMAGE PROCESSING )

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL ( DIGITAL IMAGE PROCESSING ) FAKULTAS TEKNIK INFORMATIKA PENGOLAHAN CITRA DIGITAL ( DIGITAL IMAGE PROCESSING ) Pertemuan 1 Konsep Dasar Pengolahan Citra Pengertian Citra Citra atau Image merupakan istilah lain dari gambar, yang merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN METODOLOGI

BAB III DATA DAN METODOLOGI BAB III DATA DAN METODOLOGI 3.1 Data Dalam tugas akhir ini data yang di gunakan yaitu data meteorologi dan data citra satelit ASTER. Wilayah penelitian tugas akhir ini adalah daerah Bandung dan sekitarnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta DAS penelitian

Gambar 1. Peta DAS penelitian Gambar 1. Peta DAS penelitian 1 1.1. Proses Penentuan Model Kemiringan Lereng Kemiringan lereng ditentukan berdasarkan informasi ketinggian dan jarak pada data DEM yang berbasis raster (piksel). Besarnya

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh ( Citra ASTER dan Ikonos ) Oleh : Bhian Rangga JR Prodi Geografi FKIP UNS

Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh ( Citra ASTER dan Ikonos ) Oleh : Bhian Rangga JR Prodi Geografi FKIP UNS Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh ( Citra ASTER dan Ikonos ) Oleh : Bhian Rangga JR Prodi Geografi FKIP UNS A. Pendahuluan Di bumi ini tersebar berbagai macam fenomena fenomena alam yang sudah diungkap

Lebih terperinci

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL PENGOLAHAN CITRA DIGITAL Aditya Wikan Mahastama mahas@ukdw.ac.id Sistem Optik dan Proses Akuisisi Citra Digital 2 UNIV KRISTEN DUTA WACANA GENAP 1213 v2 Bisa dilihat pada slide berikut. SISTEM OPTIK MANUSIA

Lebih terperinci

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan :

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan : Tujuan : KOREKSI GEOMETRIK 1. rektifikasi (pembetulan) atau restorasi (pemulihan) citra agar kordinat citra sesuai dengan kordinat geografi 2. registrasi (mencocokkan) posisi citra dengan citra lain atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat ini peta telah menjadi salah satu kebutuhan utama bagi masyarakat. Peta memuat informasi spasial yang dapat digunakan untuk mengetahui kondisi suatu objek di

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 09 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK Menggunakan sensor nonkamera atau sensor elektronik. Terdiri dari inderaja sistem termal,

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR Hasil pengolahan dari nilai piksel band VNIR dan SWIR yang dibahas pada bab ini yaitu citra albedo, NDVI dan emisivitas. Ketiganya

Lebih terperinci

BAB 4. METODE PENELITIAN

BAB 4. METODE PENELITIAN BAB 4. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian dan Scene Data Satelit Lokasi penelitian ini difokuskan di pantai yang berada di pulau-pulau terluar NKRI yang berada di wilayah Provinsi Riau. Pulau-pulau

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model 15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM (Digital Elevation Model) Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk 3 dimensi dari permukaan bumi yang memberikan data berbagai morfologi permukaan bumi, seperti kemiringan

Lebih terperinci

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA

GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LAPORAN PRAKTIKUM II GD 319 PENGOLAHAN CITRA DIGITAL KOREKSI RADIOMETRIK CITRA Tanggal Penyerahan : 2 November 2016 Disusun Oleh : Kelompok : 7 (Tujuh) Achmad Faisal Marasabessy / 23-2013-052 Kelas : B

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan Mei sampai dengan Juni 2013 dengan lokasi penelitian meliputi wilayah Pesisir Utara dan Selatan Provinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) Remote Sensing didefinisikan sebagai ilmu untuk mendapatkan informasi mengenai obyek-obyek pada permukaan bumi dengan analisis data yang

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO Risma Fadhilla Arsy Abstrak : Penelitian di Daerah Aliran Sungai Oyo ini bertujuan mengesktrak parameter

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal.

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal. DAFTAR ISI Halaman Judul... No Hal. Intisari... i ABSTRACT... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi BAB I... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian tugas akhir ini. Proses ini sangat berpengaruh terhadap hasil akhir penellitan. Pada tahap ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh 4 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, dan fenomena melalui analisis data yang diperoleh dari suatu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di kawasan perkotaan Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Pada bulan Juni sampai dengan bulan Desember 2008. Gambar 3. Citra IKONOS Wilayah

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T

PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGINDERAAN JAUH D. SUGANDI NANIN T PENGERTIAN Penginderaan Jauh atau Remote Sensing merupakan suatu ilmu dan seni untuk memperoleh data dan informasi dari suatu objek dipermukaan bumi dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS

BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) 2. Sejarah GIS BAB II PEMBAHASAN 1. Pengertian Geogrhafic Information System (GIS) Sistem Informasi Geografis atau disingkat SIG dalam bahasa Inggris Geographic Information System (disingkat GIS) merupakan sistem informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peta merupakan representasi dari permukaan bumi baik sebagian atau keseluruhannya yang divisualisasikan pada bidang proyeksi tertentu dengan menggunakan skala tertentu.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Infiltrasi Menurut Munaljid dkk. (2015) infiltrasi adalah proses masuknya air dari atas (surface) kedalam tanah. Gerak air di dalam tanah melalui pori pori tanah dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan materi yang terdiri dari agregat (butiran) padat yang tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain serta dari bahan bahan organik yang telah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008). 3 TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran hutan didefenisikan sebagai suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi didalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali di

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI Koreksi Geometrik

BAB II DASAR TEORI Koreksi Geometrik BAB II DASAR TEORI 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh didefinisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas BAB I PENDAHULUAN Bab I menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah serta sistematika penulisan yang menjadi dasar dari Perbandingan Penggunaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan Menurut Santosa (1986), kepadatan penduduk kota yang cukup tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktifitas dan panas metabolisme

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Citra Citra merupakan salah satu komponen multimedia yang memegang peranan sangat penting sebagai bentuk informasi visual. Meskipun sebuah citra kaya akan informasi, namun sering

Lebih terperinci

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Ardiawan Jati, Hepi Hapsari H, Udiana Wahyu D Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis adalah sistem berbasis komputer yang terdiri atas perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.. Variasi NDVI Citra AVNIR- Citra AVNIR- yang digunakan pada penelitian ini diakuisisi pada tanggal Desember 008 dan 0 Juni 009. Pada citra AVNIR- yang diakuisisi tanggal Desember

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci

RIZKY ANDIANTO NRP

RIZKY ANDIANTO NRP ANALISA INDEKS VEGETASI UNTUK IDENTIFIKASI TINGKAT KERAPATAN VEGETASI HUTAN GAMBUT MENGGUNAKAN CITRA AIRBORNE HYPERSPECTRAL HYMAP ( Studi kasus : Daerah Hutan Gambut Kabupaten Katingan dan Kabupaten Pulang

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRACT... xiii

Lebih terperinci

KAJIAN KORELASI ANTARA KELEMBABAN TANAH DENGAN TATA GUNA LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT. (Studi Kasus Daerah Bandung dan Sekitarnya) IRLAND FARDANI

KAJIAN KORELASI ANTARA KELEMBABAN TANAH DENGAN TATA GUNA LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT. (Studi Kasus Daerah Bandung dan Sekitarnya) IRLAND FARDANI KAJIAN KORELASI ANTARA KELEMBABAN TANAH DENGAN TATA GUNA LAHAN BERBASIS CITRA SATELIT (Studi Kasus Daerah Bandung dan Sekitarnya) TUGAS AKHIR Disusun untuk Memenuhi Syarat Kurikuler Program Sarjana di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

Image Fusion: Trik Mengatasi Keterbatasan Citra

Image Fusion: Trik Mengatasi Keterbatasan Citra Image Fusion: Trik Mengatasi Keterbatasan itra Hartanto Sanjaya Pemanfaatan cita satelit sebagai bahan kajian sumberdaya alam terus berkembang, sejalan dengan semakin majunya teknologi pemrosesan dan adanya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pendugaan Parameter Input 4.1.1. Pendugaan Albedo Albedo merupakan rasio antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Namun

Lebih terperinci

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis

3/17/2011. Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis Pendahuluan Data yang mengendalikan SIG adalah data spasial. Setiap fungsionalitasyang g membuat SIG dibedakan dari lingkungan analisis lainnya adalah karena berakar pada keaslian

Lebih terperinci

Gambar 1. Satelit Landsat

Gambar 1. Satelit Landsat 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

Lebih terperinci

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI

MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI Arif Supendi, M.Si MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI STANDAR KOMPETENSI Memahami pemanfaatan citra penginderaan jauh ( PJ ) dan Sistem Informasi Geografi KOMPETENSI DASAR Menjelaskan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA

BAB IV PENGOLAHAN DATA BAB IV PENGOLAHAN DATA 4.1 Koreksi Geometrik Langkah awal yang harus dilakukan pada penelitian ini adalah melakukan koreksi geometrik pada citra Radarsat. Hal ini perlu dilakukan karena citra tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini perkembangan fisik penggunaan lahan terutama di daerah perkotaan relatif cepat dibandingkan dengan daerah perdesaan. Maksud perkembangan fisik adalah penggunaan

Lebih terperinci

Pembentukan Citra. Bab Model Citra

Pembentukan Citra. Bab Model Citra Bab 2 Pembentukan Citra C itra ada dua macam: citra kontinu dan citra diskrit. Citra kontinu dihasilkan dari sistem optik yang menerima sinyal analog, misalnya mata manusia dan kamera analog. Citra diskrit

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami II. TINJAUAN PUSTAKA A. Perubahan Penutupan Lahan Perubahan penutupan lahan merupakan keadaan suatu lahan yang mengalami perubahan kondisi pada waktu yang berbeda disebabkan oleh manusia (Lillesand dkk,

Lebih terperinci