DAFTAR ISI. METODE PELAKSANAAN 2.1. Konsepsi Dasar 2.2. Metode Pendekatan 2.3. Metode Pengumpulan Data dan Informasi 2.4.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAFTAR ISI. METODE PELAKSANAAN 2.1. Konsepsi Dasar 2.2. Metode Pendekatan 2.3. Metode Pengumpulan Data dan Informasi 2.4."

Transkripsi

1 DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Landasan Hukum 1.3. Maksud dan Tujuan 1.4. Sasaran 1.5. Hasil Yang Diharapkan 1.6. Ruang Lingkup Hal I-1 I-1 I-7 I-9 I BAB 2 METODE PELAKSANAAN 2.1. Konsepsi Dasar 2.2. Metode Pendekatan 2.3. Metode Pengumpulan Data dan Informasi 2.4. Metode Analisis BAB 3 GAMBARAN UMUM 3.1. Perekonomian Provinsi DKI Jakarta 3.2. Perkembangan Industri Kecil dan Menengah 3.3. Perkembangan Industri Kreatif 3.4. Kebutuhan Lahan Industri BAB 4 HARMONISASI PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN 4.1. Maksud dan Tujuan Penyelenggaraan Perindustrian 4.2. Jenis Kegiatan Industri 4.3. Tugas dan Wewenang Pemerintah Daerah 4.4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha 4.5. Kawasan Industri dan Sentra Industri Kecil dan Menengah

2 4.6. Pengembangan Sumber Daya Manusia 4.7. Pemberdayaan Industri Kecil, Menengah dan Kreatif 4.8. Insentif dan Disinsentif 4.9. Kemitraan Perizinan Sistem Informasi Industri Daerah Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau CSR Peran serta Masyarakat Pembinaan Pengawasan dan Pengendalian Sanksi Penyidikan BAB 5 MATERI MUATAN RAPERDA 5.1. Judul Rancangan Peraturan Daerah 5.2. Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis 5.3. Dasar Hukum 5.4. Batang Tubuh Raperda BAB 6 PENUTUP DAFTAR PUSTAKA RAPERDA PERINDUSTRIAN 6-1

3 Bab 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kedudukan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, memiliki peran dan fungsi sebagai tempat penyelenggaraan pemerintahan dan tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga internasional, sehingga peran dan fungsi Provinsi DKI Jakarta sangat luas dalam lingkup internasional, nasional, regional, dan lokal. Sebagai daerah otonom pada lingkup provinsi, 1 berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta mempunyai tugas dan kewajiban menyelenggarakan pembangunan di berbagai bidang termasuk bidang industri untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jakarta sekaligus mewujudkan citra bangsa Indonesia. Konsekuensi kedudukan, peran, dan fungsi Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, pembangunan di Provinsi DKI Jakarta terus mengalami perkembangan sangat dinamis dalam berbagai bidang, sehingga berpengaruh kepada sistem dan struktur ekonomi, sosial, dan politik lokal dan nasional yang berakibat pada perkembangan industri baik lingkup daerah maupun nasional. Di samping itu, masuknya globalisasi membawa dinamika perubahan sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian daerah dan nasional. Pengaruh paling dirasakan, terjadi persaingan usaha yang semakin ketat, namun di sisi lain membuka peluang kolaborasi sehingga dalam penyelenggaraan perindustrian diperlukan berbagai dukungan dalam bentuk 1 Lihat Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 1

4 perangkat kebijakan yang tepat, perencanaan yang terpadu, dan pengelolaan sumber daya yang efisien dengan memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Oleh sebab itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama-sama Pemerintah Pusat dan pelaku usaha bidang industri berupaya untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan perindustrian sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian dengan menempatkan bidang industri menjadi salah satu pilar dan penggerak perekonomian daerah. Provinsi DKI Jakarta tidak memiliki sumber daya alam seperti daerah lain di Indonesia, karena itu pembangunan industri dimasa mendatang sesuai ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dan Pasal 7 ayat (3) huruf a Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, diarahkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi berbasis ekonomi pada industri kreatif dan industri yang menggunakan teknologi tinggi, 2 dengan strategi meningkatkan kapasitas dan intensitas pusat kegiatan primer dan sekunder untuk mewadahi aktivitas industri kreatif berskala regional, nasional, dan internasional. Keterbatasan lahan dimiliki Provinsi DKI Jakarta menyebabkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperketat penyelenggaraan perindustrian di DKI Jakarta. Kegiatan industri yang ada saat ini sesuai ketentuan Pasal 78 ayat (2) Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012, sebagai berikut: (a) industri di luar kawasan tidak berada pada kawasan rawan bencana; (b) tidak berada di kawasan cekungan air; (c) tersedia rencana pengelolaan air limbah dan air limbah tidak diperkenankan untuk dialirkan langsung ke drainase publik; (d) tidak menambah beban saat debit puncak saluran drainase publik; (e) tidak mengganggu fungsi lindung; (f) tidak mengganggu upaya pelestarian kemampuan sumber daya alam; (g) sesuai dengan daya dukung lahan setempat; (h) memiliki kelengkapan prasarana, sarana, dan utilitas. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan penataan dan pengembangan industri sesuai Pasal 89 Peraturan 2 Yang dimaksud dengan industri kreatif menurut penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, adalah industri yang mentransformasi dan memanfaatkan kreativitas, keterampilan, dan kekayaan intelektual untuk menghasilkan barang dan jasa. Sedangkan yang dimaksud industri teknologi tinggi menurut penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf c Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, adalah industri yang tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 2

5 Daerah Nomor 1 Tahun 2012, melalui: (a) penataan kawasan industri sebagai bagian integral dari penataan kawasan pelabuhan melalui koordinasi dan kerjasama dengan kawasan Bodetabekpunjur; (b) mengembangkan kawasan industri dibatasi untuk industri hemat penggunaan lahan, hemat air dan energi, tidak berpolusi, memperhatikan aspek lingkungan dan menggunakan teknologi tinggi; (c) pengembangan industri perakitan di kawasan sekitar Bandara Soekarno Hatta dan Pelabuhan Tanjung Priok; (d) mengembangkan Kawasan Ekonomi Strategis di Marunda sebagai bagian integral dari pengembangan pelabuhan Tanjung Priok; (e) penataan dan relokasi industri kecil dan menengah yang berada di kawasan permukiman ke kawasan industri di bagian barat dan timur Jakarta; (f) pengembangan kawasan industri dengan memperhatikan daya dukung transportasi dan infrastruktur lainnya. Kebijakan dan strategi penyelenggaraan industri tersebut di atas, merupakan bagian dari penyelenggaraan perindustrian yang secara nasional bertujuan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 UU No. 3 Tahun 2014, yaitu: (a) mewujudkan industri nasional sebagai pilar dan penggerak perekonomian nasional; (b) mewujudkan ke dalaman dan kekuatan struktur industri; (c) mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta industri hijau; 3 (d) mewujudkan kepastian berusaha, persaingan yang sehat, serta mencegah pemusatan atau penguasaan industri satu kelompok atau perseorangan yang merugikan masyarakat; (e) membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja; (f) mewujudkan pemerataan pembangunan industri ke seluruh wilayah Indonesia guna memperkuat dan memperkukuh ketahanan nasional; (g) meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan. Untuk memberikan kepastian berusaha, persaingan usaha yang sehat, serta mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang dapat merugikan masyarakat serta membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja, maka diperlukan suatu produk hukum dalam bentuk Peraturan Daerah yang mengatur penyelenggaraan perindustrian di 3 Yang dimaksud dengan industri hijau menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, adalah Industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan Industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 3

6 Provinsi DKI Jakarta. Keberadaan Peraturan Daerah tersebut diharapkan mampu mewujudkan penyelenggaraan perindustrian dalam rangka memperkuat dan memperkukuh ketahanan industri daerah dan nasional, 4 serta meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan. 5 Selain itu, dapat menjawab berbagai kebutuhan dan perkembangan akibat perubahan lingkungan strategis dan sekaligus menjadi landasan hukum bagi tumbuh berkembang dan kemajuan industri di Provinsi DKI Jakarta baik saat ini maupun akan datang. Kewenangan Pemerintahan Daerah dalam penyelenggaraan perindustrian berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, termasuk urusan pilihan, yaitu urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan daerah sesuai potensi dimiliki daerah. 6 Pemerintah Daerah bersama-sama Pemerintah Pusat diberi tugas dan wewenang oleh negara menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian melalui UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, 7 sebagai berikut: (a) percepatan penyebaran dan pemerataan pembangunan industri melalui kawasan industri; 8 (b) pembangunan sumber daya manusia industri untuk menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten guna meningkatkan peran sumber daya manusia di bidang industri; 9 (c) memfasilitasi penyediaan pusat pendidikan dan pelatihan industri di pusat pertumbuhan industri; 10 (d) mendorong pengembangan industri pengolahan berwawasan lingkungan; (e) menjamin ketersediaan, penyaluran, dan pemanfaatan sumber daya alam untuk industri dalam negeri melalui kerja sama antar daerah; 11 (f) pengembangan, peningkatan penguasaan, dan pengoptimalan pemanfaatan 4 Yang dimaksud dengan ketahanan Industri menurut penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, adalah industri yang berdaya saing, efisien, berkelanjutan, bersih, dan berwawasan lingkungan. 5 Yang dimaksud dengan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan, sesuai penjelasan Pasal 3 huruf g Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, adalah pembangunan di bidang industri sebagai penggerak ekonomi daerah harus dinikmati oleh seluruh rakyat Jakarta terutama golongan ekonomi lemah atau kelompok yang berpenghasilan di bawah tingkat rata-rata pendapatan per kapita. Tujuan utama pembangunan di bidang industri bermuara pada segala upaya untuk mewujudkan tatanan ekonomi yang berpihak kepada kepentingan rakyat dan keadilan sosial, kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat, bukan kepentingan individu, golongan atau kelompok tertentu, dengan proses produksi yang melibatkan semua orang dan hasilnya bisa dinikmati oleh semua warga masyarakat. 6 Lihat Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 7 Lihat Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 8 Lihat Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 9 Lihat Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 10 Lihat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 11 Lihat Pasal 33 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 4

7 teknologi industri; 12 (g) memfasilitasi kerja sama penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang industri antara perusahaan industri dan perguruan tinggi atau lembaga penelitian dan pengembangan industri dalam negeri dan luar negeri; 13 (h) memfasilitasi promosi alih teknologi dari industri besar, lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, dan/atau lembaga lain ke industri kecil dan industri menengah; 14 (i) memfasilitasi lembaga penelitian dan pengembangan dalam negeri dan/atau perusahaan industri dalam negeri yang mengembangkan teknologi di bidang industri; 15 (j) memfasilitasi pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat dalam pembangunan industri; 16 (k) memfasilitasi ketersediaan pembiayaan yang kompetitif untuk pembangunan industri; 17 (l) menjamin tersedia infrastruktur industri; 18 (m) membangun sistem informasi industri dan menyampaikan data industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala melalui sistem informasi industri yang terintegrasi; 19 (n) melakukan pembangunan dan pemberdayaan industri kecil dan industri menengah; 20 (o) pemberian izin usaha industri; 21 (p) mendorong penanaman modal di bidang industri untuk memperoleh nilai tambah yang sebesar-besarnya dalam pemanfaatan sumber daya daerah dan/atau nasional dalam rangka pendalaman struktur industri dan peningkatan daya saing industri; 22 (q) memberikan fasilitas industri untuk mempercepat pembangunan industri; 23 (r) mengawasi dan mengendalikan pembangunan industri; 24 (s) memberikan sanksi kepada yang melakukan pelanggaran. 25 Sehubungan tugas dan wewenang tersebut, bahwa keberadaan Peraturan 12 Lihat Pasal 36 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 13 Lihat Pasal 42 huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 14 Lihat Pasal 42 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 15 Lihat Pasal 42 huruf c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 16 Lihat Pasal 43 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 17 Lihat Pasal 44 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 18 Lihat Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 19 Lihat Pasal 64 ayat (3), Pasal 65 ayat (3), dan Pasal 68 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 20 Lihat Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 21 Lihat Pasal 101 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 22 Lihat Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 23 Lihat Pasal 110 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 24 Lihat Pasal 117 ayat (5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. 25 Lihat Pasal 118 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 5

8 Daerah tentang Perindustrian merupakan pelaksanaan tugas dan wewenang Pemerintah Daerah yang ditetapkan dalam UU No. 3 Tahun Sejalan dengan tugas dan wewenang Pemerintah Daerah tersebut di atas, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Pemerintah Daerah memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan perindustrian. Dalam lingkup daerah tujuan penyelenggaraan perindustrian antara lain sebagai berikut: (a) mewujudkan industri sebagai pilar dan penggerak perekonomian daerah; (b) mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta industri hijau; (c) mewujudkan kepastian berusaha, persaingan yang sehat, serta mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang merugikan masyarakat; (d) membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja; (e) mewujudkan pemerataan pembangunan industri guna memperkuat dan memperkukuh ketahanan industri daerah; (f) meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, kebutuhan (urgensi) Peraturan Daerah tentang Perindustrian karena ada tugas, wewenang, dan tanggung jawab yang diberikan negara kepada Pemerintah Daerah melalui UU No. 3 Tahun Selain itu, keberadaan Peraturan Daerah tersebut memberikan kepastian hukum bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pelaku industri, dan masyarakat dalam penyelenggaraan industri di Provinsi DKI Jakarta, yang selama ini belum memiliki Peraturan Daerah. Atas dasar itu, Dinas Perindustrian dan Energi memprakarsai menyusun Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian. Untuk itu, harus dilengkapi dengan Naskah Akademik sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2010 tentang Pembentukan Peraturan Daerah, yang menyatakan SKPD/UKPD pemrakarsa dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah menyiapkan terlebih dahulu Naskah Akademik mengenai materi yang diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah. 27 Naskah akademik 26 Menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 27 Yang dimaksud dengan Naskah Akademik menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 6

9 tersebut paling sedikit memuat dasar filosofis, sosiologis, yuridis, pokok-pokok pikiran dan lingkup materi yang akan diatur Landasan Hukum Peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum dalam Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perindustrian ini, antara lain: a. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tidak hanya menjadi pedoman dalam penyusunan Raperda dan Naskah Akademik, melainkan juga sebagai dasar hukum bagi Pemerintahan Daerah, bahwa Peraturan Daerah bagian dari peraturan perundang-undangan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 dan mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi setiap orang. Oleh sebab itu, UU tersebut menjadi dasar hukum kedudukan Peraturan Daerah. b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, mengatur hak dan kewajiban serta wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Daerah (dalam hal ini Gubernur dan Perangkat Daerah) sebagai eksekutif dan DPRD sebagai legislatif dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. 28 Hal yang sama juga diatur dalam Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahwa Rancangan Peraturan Daerah Provinsi disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 7

10 c. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4744); Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 menjadi dasar hukum dalam pembentukan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta, karena pelaksanaan otonomi berada pada lingkup provinsi sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 9 ayat (1). Artinya, di Provinsi DKI Jakarta hanya ada satu jenis Peraturan Daerah, yaitu Peraturan Daerah Provinsi. d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5492); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 merupakan dasar hukum utama dalam pelaksanaan penyusunan Naskah Akademik ini. Selain undang-undang tersebut, peraturan perundang-undangan terkait dengan perindustrian yang merupakan pelaksanaan dari UU No. 3 Tahun 2014, antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2015 tentang Pembangunan Sumber Daya Industri, Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun e. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pembentukan Peraturan Daerah; Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2010 menjadi pedoman dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah. Selain itu, peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah tersebut adalah Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik, menjadi pedoman dalam penyusunan Naskah Akademik. f. Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2014 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2014 Nomor 201, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2004). Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 8

11 Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2014 menjadi dasar bagi Dinas Perindustrian dan Energi dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengembangan industri mulai perencanaan, pelaksanaan, sampai pembinaan dan pengawasan, yang secara operasional diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 231 Tahun 2014 tentang Organisasi Tata Kerja Dinas Perindustrian dan Energi Maksud dan Tujuan Maksud penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perindustrian adalah memberikan justifikasi ilmiah dan pemahaman diperlukan Peraturan Daerah mengenai perindustrian berdasarkan referensi yang ada saat ini dan kondisi yang berkembang dalam masyarakat dan/atau dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta yang menjadi dasar pertimbangan dan/atau bahan masukan materi muatan Raperda tentang Perindustrian, sehingga materi muatan Raperda tersebut serasi dan selaras atau harmonis dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Tujuannya adalah sebagai bahan pertimbangan yang dapat dijadikan pokokpokok pemikiran atau gagasan dan aspirasi aktual yang berkembang, baik dalam kehidupan masyarakat termasuk pelaku usaha maupun dalam penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dalam rangka penyusunan atau perumusan dan pembahasan Raperda tentang Perindustrian Sasaran Tersusunnya dasar-dasar pemikiran dan prinsip-prinsip dasar terhadap materi muatan Raperda tentang Perindustrian berdasarkan naskah akademik yang dilandasi kajian ilmiah. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 9

12 1.5. Hasil Yang Diharapkan Mencermati latar belakang disusunnya Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian dengan memperhatikan maksud dan tujuan dilaksanakan kegiatan ini, maka hasil yang diharapkan sebagai berikut: a. Tersedianya Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian yang memuat pokok-pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan diatur serta jangkauan dan arah pengaturan sehingga materi muatan Rancangan Peraturan Daerah memenuhi rasa keadilan dan menjamin kepastian hukum, serta disusun secara sistematis sesuai kaidah-kaidah hukum dan asas pembentukan peraturan perundang-undangan. b. Tersusunnya Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian sesuai kaidah-kaidah hukum dan/atau prinsip-prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan, yang dirumuskan dalam pasal per pasal sesuai dengan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan Ruang Lingkup Ruang lingkup kegiatan Penyusunan Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian, sebagai berikut: a. Mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pelaku usaha, dan masyarakat dalam penyelenggaraan perindustrian ditinjau dari filosofis, yuridis, sosiologis, dan teknis operasional secara umum disertai dengan beberapa hal yang melatar-belakangi atau urgensi diperlukan kebijakan daerah dalam bentuk Peraturan Daerah. b. Memberikan justifikasi ilmiah dan pemahaman pengaturan berdasarkan referensi yang ada saat ini serta hasil-hasil penelitian mengenai dinamika yang berkembang dalam kehidupan masyarakat termasuk pelaku usaha dan penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, guna membantu perumusan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 10

13 c. Melakukan analisis aspek filosofis bahwa norma-norma penyelenggaraan perindustrian yang termuat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan ditinjau dari kondisi saat ini dan masa mendatang. d. Melakukan analisis aspek yuridis bahwa norma-norma penyelenggaraan perindustrian yang termuat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan bentuk pelaksanaannya di daerah sebagai bahan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah, dengan cara menggali berbagai dinamika dan realita dari berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan aspek teori hukum antara lain: (1) prinsip-prinsip dalam pembentukan norma hukum termasuk perumusan sanksi administrasi dan pidana atau bentukbentuk pelanggaran; (2) konstruksi bentuk sanksi baik administrasi maupun pidana termasuk besarnya. Selain itu, aspek bahasa hukum, bahwa bahasa Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian disusun sesuai kaidah bahasa hukum, namun mudah dipahami setiap orang tanpa mengabaikan kaidah bahasa Indonesia. e. Melakukan analisis aspek sosiologis, yaitu norma-norma yang hidup dan berkembang di masyarakat dalam penyelenggaraan perindustrian saat ini dan akan datang. f. Melakukan analisis aspek teknis operasional, yaitu penyelenggaraan perindustrian berdasarkan UU No. 3 Tahun 2014 dan peraturan perundangundangan lain yang terkait. g. Menyusun naskah akademik berdasarkan analisis yang dilakukan, yang mencerminkan sekurang-kurangnya pokok-pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan diatur, serta jangkauan dan arah pengaturan sehingga materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian memenuhi rasa keadilan dan menjamin kepastian hukum, disusun secara sistematis sesuai kaidah-kaidah hukum dan asas pembentukan peraturan perundang-undangan. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab I - 11

14 Bab 2 METODE PELAKSANAAN 2.1. Konsepsi Dasar Untuk memberikan pemahaman yang sama dalam penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Daerah, diberikut ini disampaikan konsepsi dasar mengenai Peraturan Daerah dan Naskah Akademik. 1. Peraturan Daerah Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahwa Peraturan Daerah salah satu jenis peraturan perundang-undangan. 27 Peraturan Daerah dimaksud selain melaksanakan ketentuan lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan lebih tinggi dalam hal ini UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian khususnya dan undang-undang lain pada umumnya, juga dapat mengatur aspek khusus yang terdapat atau dibutuhkan daerah dan/atau masyarakat. Sehubungan hal tersebut, secara umum materi muatan Peraturan Daerah sebagai berikut: a. pengaturan lebih lanjut dengan cara menjabarkan asas dan/atau prinsip dan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ke dalam ketentuan lebih operasional. Konsep penjabaran mengandung makna adanya upaya untuk merinci atau menguraikan norma-norma yang terkandung dalam setiap asas, prinsip, dan ketentuan mengenai struktur untuk dinormakan lebih lanjut atau distrukturkan kembali yang perlu dan/atau yang layak untuk dikembangkan sesuai kebutuhan daerah dan masyarakat. 27 Yang dimaksud dengan peraturan peraturan perundang-undangan sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2-1

15 Materi muatan Peraturan Daerah bukan pengulangan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan lebih tinggi secara menyeluruh melainkan penjabaran atau operasionalisasinya. Tanpa dilakukan perumusan ulang menjadi materi muatan Peraturan Daerah, asas, prinsip-prinsip dan ketentuan atau norma yang termuat dalam peraturan perundang-undangan lebih tinggi secara otomatis tetap berlaku dan sifatnya mengikat bagi daerah. Walaupun demikian, kadangkala saat merumuskan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah lebih operasional seringkali mengalami kesulitan, antara lain disebabkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi telah mengatur rinci, sementara peraturan perundang-undangan tersebut memberikan mandat untuk diatur dengan Peraturan Daerah. b. peraturan bersifat teknis operasional namun masih bersifat regulatif umum. Bersifat teknis operasional dimaksud adalah materi muatan Rancangan Peraturan Daerah lebih mengkonkretkan, karena itu materi muatan Rancangan Peraturan Daerah dapat dilaksanakan baik Pemerintah Daerah atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku pelaksana pemerintahan di daerah maupun oleh masyarakat termasuk pelaku usaha. Sedangkan bersifat regulasi umum, mengandung makna materi muatan yang diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah memberikan kepastian mengenai hak dan kewajiban dari subjek hukum. Selain itu mengandung norma yang terkandung bersifat mengatur dengan konsekuensi mempunyai daya pemaksa/pengikat atau sanksi. c. sebagai media hukum bagi Gubernur dalam rangka mewujudkan komitmen atau aspirasi atau keinginan atau harapan yang disampaikan masyarakat, dalam rangka mewujudkan visi dan misi pembangunan daerah, dan melaksanakan kebijakan nasional. Hal tersebut tidak terlepas dari anggaran. Besar kecil anggaran pembangunan industri di DKI Jakarta sangat ditentukan oleh Dewan Perwakilan Rayat Daerah (DPRD) Provinsi DKI Jakarta, karena anggaran merupakan wewenang Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2-2

16 DPRD berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Sehubungan itu, keberhasilan penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta selain ditentukan komitmen Gubernur sebagai Kepala Daerah, peran aktif masyarakat, dan juga ditentukan oleh DPRD berkaitan dengan anggaran. Berdasarkan uraian tersebut di atas, materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian diharapkan memuat ketentuan lebih kongkret, sehingga mudah dipahami dan dilaksanakan. Selain itu, tidak menimbulkan penafsiran ganda (multi-tafsir) yang dapat merugikan masyarakat. Jika memungkinkan bersifat teknis untuk menghindari penafsiran yang berbeda dan dapat dioperasionalkan, serta mudah dipahami, atau sekurangkurangnya diberikan dalam penjelasan. Prinsip utama yang dipegang teguh dalam merumuskan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian ini adalah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi. 28 Artinya, materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tersebut lebih teknis dari UU, PP, dan/atau Peraturan Presiden yang mendelegasikan atau sekurangkurangnya sama dengan materi muatan Peraturan Menteri yang terkait bila ada. Mencermati ketentuan Pasal 236 ayat (3) huruf b UU No. 23 Tahun 2014, UU No. 12 Tahun 2011, dan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2010 tentang Pembentukan Peraturan Daerah, bahwa Peraturan Daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan lebih tinggi yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama dengan Kepala Daerah (dalam hal ini Gubernur). Dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah menurut Pasal 22 Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2010, 28 Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, bahwa yang dimaksud dengan hierarki adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundangundangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2-3

17 Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam hal ini Dinas Perindustrian dan Energi sebagai pemrakarsa menyiapkan terlebih dahulu Naskah Akademik mengenai materi yang diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah. 2. Naskah Akademik Naskah akademik adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang dibentuknya suatu Peraturan Daerah, tujuan, sasaran yang ingin diwujudkan, dan lingkup pengaturan, jangkauan, objek, atau arah pengaturan dari suatu Rancangan Peraturan Daerah. 29 Naskah akademik memuat hal-hal sebagai berikut: (a) latar belakang, tujuan penyusunan; (b) landasan filosofis, sosiologis, politis, dan yuridis; 30 (c) sasaran ingin diwujudkan; (d) pokok-pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan diatur; (e) jangkauan dan arah pengaturan. Berdasarkan uraian di atas, naskah akademik bagian tidak terpisahkan dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah, karena memuat gagasan pengaturan materi yang akan diatur dan telah ditinjau secara sistematik, holistik, dan futuristik dari berbagai aspek terkait, dilengkapi referensi yang memuat urgensi, konsepsi, landasan, alasan hukum, dan prinsip-prinsip yang digunakan serta pemikiran tentang norma-norma yang akan dituangkan ke dalam bentuk pasal-pasal dengan mengajukan beberapa alternatif bila ada, serta disajikan secara sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 29 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. 30 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm , landasan filosofis mencerminkan keinginan atau harapan yang hendak diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui pelaksanaan undang-undang yang bersangkutan dalam kenyataan. Landasan sosiologis mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat. Sedangkan landasan politis mengambarkan adanya sumber hukum yang melandasi pembentukan undang-undang. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2-4

18 Dalam lampiran UU No. 12 Tahun 2011 ditetapkan sistimatika Naskah Akademik, sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan memuat latar belakang, sasaran yang akan diwujudkan, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan, serta metode penelitian. a. Latar Belakang Latar belakang memuat pemikiran dan alasan perlunya penyusunan Naskah Akademik sebagai acuan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah. Latar belakang tersebut menjelaskan mengapa pembentukan Rancangan Peraturan Daerah memerlukan suatu kajian mendalam dan komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang berkaitan dengan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah yang akan dibentuk. Pemikiran ilmiah tersebut mengarah kepada penyusunan argumentasi filosofis, sosiologis serta yuridis guna mendukung perlu atau tidak perlunya penyusunan Rancangan Peraturan Daerah. b. Identifikasi Masalah Identifikasi masalah memuat rumusan mengenai masalah apa yang akan ditemukan dan diuraikan dalam Naskah Akademik tersebut. Pada dasarnya identifikasi masalah dalam suatu Naskah Akademik mencakup 4 (empat) pokok masalah, yaitu: (1) permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi; (2) mengapa perlu Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar pemecahan masalah tersebut, yang berarti membenarkan pelibatan negara dalam penyelesaian masalah tersebut; (3) apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah; (4) apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan. c. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut: (1) merumuskan permasalahan dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta cara mengatasi permasalahan; (2) merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat; (3) merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah; (4) merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah. Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah. d. Metode Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan suatu kegiatan penelitian sehingga digunakan metode penyusunan Naskah Akademik yang berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian lain. Penelitian hukum dapat dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2-5

19 Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder berupa peraturan perundangundangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi wawancara, diskusi (focus group discussion), dan rapat dengar pendapat. Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan (normatif) dilanjutkan observasi mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor nonhukum yang terkait dan berpengaruh terhadap peraturan perundang-undangan yang diteliti. BAB II KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS Bab ini memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, asas, praktik, perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial, politik, dan ekonomi, keuangan negara dari pengaturan dalam suatu Peraturan Daerah. Bab ini dapat diuraikan dalam beberapa sub bab berikut: a. Kajian teoritis. b. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma. Analisis terhadap penentuan asas-asas ini juga memperhatikan berbagai aspek bidang kehidupan terkait dengan Peraturan Daerah yang akan dibuat, yang berasal dari hasil penelitian. c. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat. d. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara. BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT Bab ini memuat hasil kajian terhadap peraturan perundang-undangan terkait yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan Peraturan Daerah baru dengan peraturan perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta status dari peraturan perundangundangan yang ada, termasuk peraturan perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta peraturan perundang-undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan Undang- Undang atau Peraturan Daerah yang baru. Kajian terhadap peraturan perundang-undangan ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau materi yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari Peraturan Daerah yang baru. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi peraturan perundang-undangan yang ada serta posisi dari Peraturan Daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan yuridis dari pembentukan Peraturan Daerah yang akan dibentuk. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2-6

20 BAB IV BAB V BAB VI LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS a. Landasan Filosofis Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun b. Landasan Sosiologis Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. c. Landasan Yuridis Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Daerah yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturan sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada. JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH Naskah Akademik pada akhirnya berfungsi mengarahkan ruang lingkup materi muatan Rancangan Peraturan Daerah yang akan dibentuk. Dalam Bab ini, sebelum menguraikan ruang lingkup materi muatan, dirumuskan sasaran yang akan diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan. Materi didasarkan pada ulasan yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya. Selanjutnya mengenai ruang lingkup materi pada dasarnya mencakup: a. ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian istilah, dan frasa; b. materi yang akan diatur; c. ketentuan sanksi; dan d. ketentuan peralihan. PENUTUP Bab penutup terdiri atas sub bab kesimpulan dan saran. a. Kesimpulan Kesimpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang berkaitan dengan praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, dan asas yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2-7

21 b. Saran Saran memuat antara lain: (1) perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu peraturan perundang-undangan atau peraturan perundang-undangan di bawahnya; (2) rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan rancangan peraturan daerah dalam program legislasi daerah; (3) kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan penyusunan Naskah Akademik lebih lanjut. DAFTAR PUSTAKA Daftar pustaka memuat buku, Peraturan Perundang-undangan, dan jurnal yang menjadi sumber bahan penyusunan Naskah Akademik. LAMPIRAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Berdasarkan uraian sistimatika Naskah Akademik tersebut di atas, secara umum memberikan pedoman dalam penyusunan Naskah Akademik ini, bahwa sekurang-kurangnya memuat hal-hal yang termuat dalam Lampiran UU No. 12 Tahun Untuk pembentukan UU, PP, dan Peraturan Presiden dapat mengikuti sistematika yang termuat dalam UU No. 12 Tahun 2011, namun untuk penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tidak tepat, karena Peraturan Daerah merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan lebih tinggi, yang materi muatannya disesuaikan kebutuhan daerah dan masyarakat. Artinya dalam penyusunan Naskah Akademik tidak melakukan evaluasi terhadap UU, PP, Perpres dan/atau Peraturan Menteri melainkan materi muatan UU, PP, Perpres dan/atau Peraturan Menteri menjadi bahan materi muatan Raperda. Oleh sebab itu, yang dilakukan kegiatan ini adalah harmonisasi peraturan perundangundangan yaitu menselaraskan dan menserasikan asas, prinsip, dan norma yang termuat dalam peraturan perundang-undangan baik secara vertikal maupun horizontal yang dilengkapi dengan berbagai teori dan referensi yang berhubungan dengan penyelenggaraan perindustrian, sehingga menghasilkan kesatuan sistem hukum yang harmonis menjadi bahan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2-8

22 Walaupun demikian tetap merujuk pada pedoman yang ditetapkan dalam UU No. 12 Tahun Oleh sebab itu, Sistematika Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah ini, sebagai berikut: Bab 1 Pendahuluan, memuat latar belakang diperlukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian, maksud dan tujuan, sasaran yang ingin dicapai, hasil yang diharapkan, dan ruang lingkup kegiatan. Bab 2 Metode Pelaksanaan, memuat metode pendekatan yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik dan penyusunan Raperda, metode pengumpulan data dan informasi, dan metode analisis. Bab 3 Gambaran Umum, memuat kondisi empiris perkembangan industri dan permasalahan yang dihadapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai pertimbangan atau alasan dibentuknya Rancangan Peraturan Daerah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Bab 4 Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan, memuat mengenai tugas, wewenang, dan tanggung jawab Pemerintah Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan serta hak dan kewajiban masyarakat terkait dengan penyelenggaraan perindustrian. Memuat materi muatan lain menjadi sasaran untuk diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah sesuai wewenang yang diberikan oleh UU berdasarkan No. 3 Tahun 2014 kepada Pemerintah Daerah dan/atau Gubernur sebagai Kepala Daerah. Bab 5 Meteri Muatan Rancangan Peraturan Daerah, muat landasan filosofis, sosialogis, dan yuridis termasuk dasar hukum disertai norma-norma yang akan diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2-9

23 Bab 6 Penutup, memuat Kesimpulan dan Saran/rekomendasi Daftar Bacaaan Lampiran Konsep Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian 2.2. Metode Pendekatan Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, salah satu proses yang dilakukan dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undang termasuk di dalamnya Peraturan Daerah adalah harmonisasi, yaitu upaya untuk menyelaraskan suatu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain baik peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun sederajat atau sama (Peraturan Daerah), sehingga Peraturan Daerah tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih (overlaping). Hal tersebut merupakan konsekuensi kedudukan Peraturan Daerah dalam hierarki peraturan perundangundangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun Pengharmonisasian terhadap materi muatan Konsep Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian agar tidak tumpang tindih dan saling bertentangan, sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan ambiguitas dalam penerapannya. Pelaksanaan harmonisasi secara horizonal, berbagai Peraturan Daerah yang berlaku di Provinsi DKI Jakarta terkait dengan perindustrian baik langsung maupun tidak langsung dipelajari secara cermat agar konsepsi materi muatan Konsep Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian satu sama lain selaras melalui koordinasi dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait yang secara substansial menguasai materi muatan peraturan perundangundangan dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lain. Di dalam pelaksanaan harmonisasi, ada 2 (dua) aspek dilakukan. Pertama, harmonisasi vertikal, yakni harmonisasi peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang lain dalam hierarki berbeda atau lebih tinggi dari Peraturan Daerah. Kedua, hormonisasi horizontal, yaitu harmonisasi dengan Peraturan Daerah yang ada sehingga Konsep Rancangan Peraturan Daerah Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2-10

24 yang disusun saling isi mengisi dan tidak tumpang tindih dengan peraturan daerah yang telah ada. Harmonisasi horizontal berangkat dari asas lex posterior delogat legi priori yang artinya peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan atau mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lama dan asas lex specialist delogat legi generalis yang berarti suatu peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengenyampingkan peraturan perundang-undangan bersifat umum. Harmonisasi horizontal dilandasi kedua asas tersebut dalam penyusunan Peraturan Daerah dikarenakan penyelenggaraan perindustrian pada hakikatnya lintas urusan pemerintahan dan tidak dapat berdiri sendiri atau dilaksanakan oleh Dinas Perindustrian dan Energi saja melainkan juga terkait dengan Perangkat Daerah lain, seperti: 1. Dinas Penataan Kota dalam merumuskan kebijakan pemanfaatan ruang untuk penyelenggaraan industri khususnya industri kecil dan menengah; 2. Bapeda dalam merumuskan dokumen perencanaan pembangunan baik RPJPD maupun RPJMD serta mengakomodir usulan kegiatan pembinaan yang disampaikan oleh Dinas Perindustrian dan Energi dan SKPD terkait; 3. Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) merumuskan kebijakan insentif berupa keringanan retribusi bagi pelaku usaha di bidang industri kecil dan menangah; 4. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) merumuskan berbagai kebijakan yang menjadi persyaratan dalam rangka mewujudkan industri yang berwawasan lingkungan. 5. Dinas Pelayanan Pajak merumuskan kebijakan insentif berupa keringanan pajak daerah bagi industri kecil dan menengah. Sehubungan itu, materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian terdapat tugas dan tanggung jawab Pemerintah Daerah yang di dalamnya sudah termasuk SKPD lain selain Dinas Perindustrian dan Energi, yang juga memiliki dasar hukum yang berbeda-beda namun saling mengkait dan/atau Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2-11

25 terhubung satu sama lain sehingga dibutuhkan suatu pengaturan yang komprehensif. Berdasarkan uraian tersebut di atas, metode pendekatan yang digunakan dalam Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian adalah harmonisasi berdasarkan peraturan perundang-undangan. Melalui pendekatan tersebut diharapkan terwujud harmonis materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian baik secara vertikal maupun horizontal dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Demikian halnya pendekatan yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik adalah peraturan perundangundangan (statue approach). 31 Hal tersebut didasarkan atas kedudukan Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, yang dibuat oleh DPRD bersama-sama Kepala Daerah dalam hal ini Gubernur, dan diakui keberadaannya serta mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Atas dasar ketentuan tersebut, Peraturan Daerah bagian sistem hukum nasional, maka ketentuan yang mengatur pembentukan peraturan perundang-undangan nasional (UU, PP, Peraturan Presiden) berlaku juga dalam pembentukan Peraturan Daerah sepanjang belum diatur secara khusus. Peraturan Daerah sebagai sub sistem dalam kerangka sistem hukum nasional, maka dalam pembentukan harus memperhatikan asas dan/atau prinsipprinsip pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 dan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2010, yaitu: 1. kejelasan tujuan, bahwa dalam setiap pembentukan peraturan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Berdasarkan asas tersebut, pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Perindustrian dimaksudkan untuk mewujudkan struktur industri yang mandiri, sehat dan kukuh dengan menempatkan pembangunan industri menjadi salah satu pilar dan penggerak utama perekonomian berdasarkan peraturan perundang-undangan. 31 Valerine, J.L.K. Modul Metode Penelitian Hukum Edisi Revisi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2009, hal Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2-12

26 2. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, bahwa dalam setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat lembaga atau pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat lembaga/pejabat yang tidak berwenang. Atas dasar asas tersebut, Rancangan Peraturan Daerah Perindustrian disiapkan oleh Dinas Perindustrian dan Energi selaku Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang diberi tugas dan fungsi oleh Gubernur berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2014 tentang Organisasi Perangkat Daerah untuk merumuskan kebijakan di bidang perindustrian. Rancangan Peraturan Daerah tersebut disampaikan kepada Gubernur untuk selanjutnya dibahas dan ditetapkan bersama-sama dengan DPRD Provinsi DKI Jakarta. 3. kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan. Asas tersebut menjadi perhatian dalam penyusunan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian sesuai kedudukan Peraturan Daerah, yaitu penjabaran lebih lanjut dari UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian sesuai wewenang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Pemerintahan Daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan perindustrian, seperti: UU No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 4. dapat dilaksanakan, setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Asas tersebut menjadi perhatian pada saat penyusunan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian. Dengan disusunnya naskah akademik Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2-13

27 memberikan landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis dibentuknya Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian. 5. kedayagunaan dan kehasilgunaan, setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berdasarkan asas tersebut keberadaan Peraturan Daerah tentang Perindustrian menjadi dasar hukum bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Masyarakat termasuk pelaku usaha serta organisasi masyarakat di bidang industri dalam memenuhi tuntutan dan kebutuhan saat ini dan mendatang. 6. kejelasan rumusan, setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Asas tersebut menjadi perhatian pada saat penyusunan konsep Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana disampaikan sebelumnya. Oleh sebab itu, Konsep Rancangan Peraturan Daerah yang disusun dilakukan uji publik melalui kegiatan workshop untuk menghindari kata-kata atau terminologi serta bahasa hukumnya yang tidak jelas dan tidak dimengerti, serta tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi. 7. keterbukaan, dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Sejalan dengan asas tersebut, dalam proses pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian dilakukan secara transparan dan terbuka, antara lain pendekatan yang digunakan konsultasi publik dan/atau temu pakar dihadiri oleh komponen pelaku industri. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2-14

28 Asas lain yang juga diperhatikan dalam penyusunan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 dan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2010 berikut penjelasannya, antara lain: 1. pengayoman, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. Berdasarkan asas tersebut, kebedaraan Peraturan Daerah tentang Perindustrian diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi pelaku usaha di bidang industri dan bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam melakukan pembinaan dan pengawasan; 2. kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional; 3. kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan; 4. kenusantaraan, setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila; 5. bhinneka tunggal ika, materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya menyangkut masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; 6. keadilan, setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali; Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2-15

29 7. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial; 8. ketertiban dan kepastian hukum, materi muatan peraturan perundangundangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum; 9. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara; 10. prinsip lainnya sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, antara lain dalam hukum pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; serta dalam hukum perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan iktikad baik. Berdasarkan uraian tersebut di atas, secara garis besar ada 2 (dua) asas yang harus diperhatikan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan (dalam hal ini Peraturan Daerah), yakni: asas material, meliputi: (a) dibentuk oleh pejabat atau lembaga pembentuk peraturan hukum yang berwenang untuk itu; (b) dibentuk melalui mekanisme, prosedur atau tata tertib yang berlaku untuk itu; (c) materi muatannya memiliki asas-asas hukum yang jelas, tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau dengan peraturan perundang-undangan lain yang sederajat/mengatur perihal yang sama; (d) isi peraturan harus jelas, mengandung kebenaran, keadilan dan kepastian hukum; (e) dapat dilaksanakan dan diterapkan dengan baik, untuk 32 Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputuan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I Pelita IV, Fakultas Pascasarjana, 1990, hlm Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2-16

30 menyelesaikan kasus pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dimaksud. 2. asas formal, meliputi: (a) memiliki tujuan yang jelas, maksud yang ingin diwujudkan dengan dibentuk suatu peraturan perundang-undangan; (b) memiliki dasar-dasar pertimbangan yang pasti pada konsideran menimbang; (c) memiliki dasar-dasar peraturan hukum yang jelas pada konsideran mengingat; (d) memiliki sistematika yang logis dan tidak saling bertentangan antara bab, bagian, pasal, ayat, dan sub ayat; (e) dapat dikenali melalui pengundangan ke dalam lembaran negara serta disosialisasikan atau penyebarluasan. Di dalam sistem hukum nasional memiliki asas filosofis yang terdapat dalam Pancasila, dan asas konstitusional yang terdapat dalam UUD Di antara asas tersebut terdapat hubungan yang harmonis. Bila hubungan diantara asas tersebut tidak harmonis dapat dikatakan tidak ada suatu tatanan yang secara teoritis tidak dalam satu sistem hukum, yaitu dalam kesatuan sistem hukum nasional. Naskah Akademik salah satu upaya mewujudkan harmonisasi peraturan perundang-undangan baik secara vertikal atau peraturan perundang-undangan diatasnya (UU, PP, dan Peraturan Presiden) maupun secara horizontal atau Peraturan Daerah yang ada, seperti Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2014 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam penyusunan Naskah Akademik agar hasilnya dapat terpenuhi nilai-nilai dasar hukum sebagai materi muatan suatu Rancangan Peraturan Daerah, yaitu kepastian hukum, menjamin keadilan, dan kemanfaatan, serta tercapainya maksud dan tujuan dibentuknya Rancangan Peraturan Daerah itu sendiri. Secara teoritis, yang diperhatikan sebagai berikut: 1. ditinjau dari teori hukum, ada 2 (dua) fungsi hukum (dalam hal ini Peraturan Daerah) yang menuntut pengembangan substansi hukum atau peraturan perundang-undangan, yaitu sebagai alat kontrol sosial dan alat rekayasa sosial. Kedua fungsi tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Sebagai fungsi kontrol sosial, Peraturan Daerah bertujuan memelihara pola hubungan Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2-17

31 sosial dan mengembalikan hubungan sosial yang terganggu karena terjadi penyimpangan. Dalam hal ini hukum berfungsi menyelesaikan penyimpangan yang terjadi atau pelanggaran, dengan mekanisme penilaian perilaku menyimpang/melanggar dan pemberian sanksi berdasarkan norma yang ada, sehingga tercipta hubungan sosial yang tertib dan harmonis. Sedangkan fungsi kedua, bertujuan menciptakan kondisi sosial ekonomi, dan politik baru dengan meninggalkan pola yang lama, dengan cara mendorong terjadinya perubahan perilaku dari yang lama ke yang baru. Mekanisme yang digunakan penekanan pada pelayanan optimal atau prima, pemberian insentif/fasilitas, dan pengenaan sanksi dalam rangka menciptakan kondisi yang diinginkan. 2. Peraturan Daerah mengatur suatu bidang tertentu harus menetapkan objek yang diatur jelas. Hal tersebut dimaksudkan agar substansinya tidak saling tumpang-tindih dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang saling berkaitan. Di samping itu, kejelasan objek akan memberikan kontribusi terhadap penetapan perilaku subjek yang diatur, sehingga lebih terarah pada efektivitas pencapaian maksud dan tujuan dibentuk Rancangan Peraturan Daerah. Berdasarkan uraian tersebut di atas, bahwa Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian memuat ketentuan yang lebih kongkret sehingga dapat memberikan dasar hukum dalam pembangunan industri di Provinsi DKI Jakarta dan mudah dipahami dan dilaksanakan baik oleh aparat Pemerintah Daerah maupun masyarakat termasuk pelaku usaha. Warga masyarakat Jakarta yang majemuk dengan kondisi sosial ekonomi yang beragam tidak mempunyai kemampuan yang sama untuk memahami atau menafsirkan norma atau aturan yang termuat dalam Peraturan Daerah, apalagi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Prindustrian tidak memberikan penafsiran berbeda yang dapat merugikan masyarakat, organisasi perindustrian, dan Pemerintah Daerah. Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian sedapat mungkin bersifat teknis operasional tapi regulatif dan tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda dan mudah dipahami. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2-18

32 Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, salah satu sasaran ingin dicapai dalam menyusunan Naskah Akademik ini adalah harmonisasi baik secara vertikal maupun horizontal dan sesuai kebutuhan. Prinsip harmonis tersebut merupakan salah satu prinsip utama yang diperhatikan dalam penyusunan materi muatan dari suatu peraturan perundang-undangan termasuk Peraturan Daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun Mencermati uraian di atas, Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian ini sebagaimana telah diuraikan sebelumnya menggunakan metode pendekatan peraturan perundang-undangan (statue approach). Pendekatan tersebut dilakukan pengkajian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan industri dengan cara penafsiran, yaitu mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan sesuai yang dikehendaki dan yang dimaksud oleh pembuat undang-undang. Di dalam teori hukum, ada beberapa penafsiran, yaitu: 1. penafsiran tata bahasa (gramatikal), yaitu cara penafsiran berdasarkan pada filosofis dan sosiologis peraturan perundang-undangan dengan berpedoman pada arti perkataan dalam hubungan satu sama lain dalam kalimat yang dipakai peraturan perundang-undangan; 2. penafsiran sahih (autentik/resmi), yaitu penafsiran terhadap arti kata-kata sebagaimana yang diberikan pembentuk peraturan perundang-undangan; 3. penafsiran historis, yaitu sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut, dan sejarah peraturan perundang-undangan, yang diselidiki atau diteliti maksud dari pembentuk peraturan perundang-undangan pada waktu membuat peraturan perundangundangan itu; 4. penafsiran sistematis (dogmatis), yaitu penafsiran susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan maupun dengan peraturan perundang-undangan lain; 5. penafsiran nasional, yaitu penafsiran memiliki sesuai tindakannya dengan sistem hukum yang berlaku; Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2-19

33 6. penafsiran teleologis (sosiologis), yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan peraturan perundang-undangan itu; 7. penafsiran ekstensif, yaitu penafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan perundang-undangan sehingga dapat dimaksudkan; 8. penafsiran restriktif, yaitu penafsiran dengan membatasi atau mem-persempit arti kata-kata yang terkadung dalam peraturan perundang-undangan; 9. penafsiran analogis, yaitu memberi tafsiran pada sesuatu peraturan perundang-undangan dengan memberi ibarat (kias) pada kata-kata tersebut sesuai azas hukumnya, sehingga sesuatu yang sebenarnya tidak dimasukkan lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut. Beberapa metode penafsiran tersebut di atas digunakan dalam penyusunan naskah akademik ini Metode Pengumpulan Data dan Informasi Kegiatan penyusunan naskah akademik termasuk penelitian hukum normatif, maka diperlukan data dan informasi dari bahan hukum primer, sekunder, dan tertier bahan hukum primer, yakni peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kedudukan, peran, dan fungsi Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagaimana diatur dalam UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia beserta peraturan pelaksanaannya seperti Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2014 tentang Organisasi Perangkat Daerah, dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan perindustrian, antara lain UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 33 Soekanto, Suryono, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, 2006, hlm 12 Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2-20

34 2. bahan hukum sekunder, yakni bahan bacaan atau literatur yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti: hasil-hasil penelitian dan literatur berkaitan dengan asas penyelenggaraan pemerintahan daerah, perindustrian, penegakan pelanggaran atas Peraturan Daerah, penyidikan, dan sebagainya. 3. bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang berupa kamus hukum dan ensiklopedi ilmu hukum bila diperlukan. Untuk mendapatkan data dan informasi sebagaimana dimaksud di atas, metode yang digunakan, sebagai berikut: 1. Studi kepustakaan Melalui studi kepustakaan diharapkan dapat menggali data dan informasi yang diperlukan berhubungan dengan substansi naskah akademik ini dengan prinsip-prinsip rasional, kritis, objektif, dan impersonal dari berbagai sumber. 2. Pengumpulan data sekunder Data sekunder diperoleh selain melalui diskusi berkaitan aspek yang harus diperhatikan dalam penyusunan substansi atau materi muatan Rancangan Peraturan Daerah dan naskah akademik. Berdasarkan metode pengumpulan data dan informasi sebagaimana diuraian di atas, diharapkan maksud dan tujuan penyusunan naskah akademik ini tercapai sehingga alasan (urgensi) dibentuknya Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah Metode Analisis Memperhatikan kompleksitas permasalahan yang dihadapi dan prinsip yang perlu diperhatikan agar penyusunan naskah akademik dapat memberikan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis untuk materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian sejalan asas dan prinsip dalam Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2-21

35 pembentukan peraturan perundang-udangan, maka analisis penyusunan naskah akademik ini menggunakan pendekatan sebagai berikut: 1. empiris, yaitu norma-norma yang harus diperhatikan dalam penyusunan suatu peraturan perundang-undangan (dalam hal ini Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian). Di dalam analisis ini disampaikan hak, kewajiban, dan tanggung jawab pelaku usaha dan masyarakat serta tugas, wewenang, dan tanggung jawab Pemerintah Daerah termasuk pembinaan secara umum terkait dengan aspek kelembagaan; 2. yuridis, yaitu aspek yang perlu diperhatikan dalam perumusan muatan materi Peraturan Daerah berdasarkan analisis yang disampaikan dalam naskah akademik. Metode digunakan context of justification dengan cara menggali peraturan perundang-undangan terkait dan penyusunan naskah akademik ini. 3. teori hukum, dimasudkan agar naskah akademik memenuhi teori hukum, antara lain: (a) aspek yang perlu diperhatikan di dalam pembentukan norma termasuk perumusan sanksi administrasi dan pidana atau bentuk-bentuk pelanggaran; (b) konstruksi bentuk sanksi baik sanksi administrasi; (c) mekanisme pengendalian. 4 bahasa hukum, pendekatan ini dimaksudkan agar bahasa Rancangan Peraturan Daerah sesuai kaidah bahasa hukum namun mudah dipahami setiap orang tanpa mengabaikan kaidah Bahasa Indonesia. Salah satu muatan materi Rancangan Peraturan Daerah termasuk penyusunan naskah akademik ini, yang diperhatikan, meliputi: (a) kalimat merupakan suatu beban kewajiban substansial; (b) pemenuhan peran, hak dan kewajiban berdasarkan tatanan prosedur, mekanisme, dan kelembagaan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan; (c) penerapan aspek yuridis mengisyaratkan diberlakukan suatu kewajiban dan/atau wewenang beserta kewajiban hukum; (d) susunan kalimat mengancu berbagai gaya bahasa hukum, yaitu: gaya bahasa denotatif yang memberikan makna konseptual, gaya bahasa referensial yang memberikan makna petunjuk denotasional, dan gaya bahasa yang menunjukan adanya suatu ironi kritik yang bersifat etis terhadap keadaan dan/atau peristiwa hukum tertentu. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2-22

36 Melalui pendekatan tersebut di atas, diharapkan naskah akademik ini dapat menjadi acuan dalam penyusunan dan/atau pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian, sehingga dapat memenuhi maksud dan tujuan yang diharapkan dari kegiatan penyusunan naskah akademik ini, dan sesuai diharapkan masyarakat, pelaku usaha di bidang industri, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 2-23

37 Bab 3 GAMBARAN UMUM 3.1. Perekonomian Provinsi DKI Jakarta Kedudukan dan fungsi Provinsi DKI Jakarta sebagai pusat kegiatan ekonomi, pemerintahan, dan sosial, sehingga Provinsi DKI Jakarta selama ini berperan sebagai indikator perekonomian nasional. Dalam RTRW 2030 dijelaskan bahwa struktur perekonomian DKI Jakarta dibentuk oleh sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan sebagai unggulan, kemudian diikuti oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran; dan industri pengolahan. Berdasarkan struktur perekonomian tersebut mempertegas peran DKI Jakarta sebagai pusat jasa, keuangan, dan perdagangan pada skala nasional. Kondisi tersebut tercermin dari laju pertumbuhan terbesar selama tahun 2013 adalah sektor angkutan dan telekomunikasi, sedangkan perdagangan pertumbuhan terbesar, sektor ekonomi lain tetap menjadi penyumbang terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta meskipun pertumbuhan sektor bersangkutan relatif kecil, demikian pula sebaliknya. Tabel-3.1 Struktur PDRB menurut Lapangan Usaha, Tahun 2013 No. Lapangan Usaha Distribusi (dalam %) PDRB PDRB Pertanian ,07 2. Pertambangan 0,44 0,20 3. Industri Pengolahan 15,23 13,65 4. Listrik, Gas, Air Minum 0,88 0,60 5. Konstruksi 11,16 10,44 6. Perdagangan, Hotel & Restoran 21,11 22,08 7. Angkutan dan Telekomunikasi 10,49 13,82 8. Keuangan 27,75 27,21 9. Jasa Lainnya 12,85 11,94 Sumber : BPS, 2013 Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3-1

38 Ditinjau dari penyerapan tenaga kerja, sektor yang menjadi penyerap tenaga kerja terbesar perdagangan (34,81 persen), industri pengolahan (14,65 persen), dan jasa-jasa (23,96 persen). Selama tahun 2010 sampai tahun 2014 sektor keuangan menyerap tenaga kerja lebih besar dibandingkan sektor lainnya. Perubahan jumlah tenaga kerja yang meningkat di sektor keuangan dikarenakan DKI Jakarta merupakan pusat kegiatan ekonomi di Indonesia. Selain itu kegiatan di sektor keuangan akan semakin meningkat seiring meningkatnya sektor ekonomi yang mendukung perdagangan dan bisnis. Tabel-3-2 Jumlah Orang yang Bekerja menurut Lapangan Usaha, Tahun 2014 No. Lapangan Usaha Perubahan 1. Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas, Air Minum Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran Angkutan dan Telekomunikasi Keuangan Jasa Lainnya Sumber : BPS, 2015 Berdasarkan jumlah perusahaan industri pengolahan di DKI Jakarta dalam beberapa tahun terakhir mengalami pengurangan. Tahun 2011 berkurang dari 8,6 persen (137 perusahaan) dibandingkan tahun Sementara tahun 2010 berkurang sebanyak 111 perusahaan. Berdasarkan jenis perusahaan, tahun 2011 industri yang bergerak di bidang pakaian jadi mendominasi sebesar 24 persen dari seluruh industri pengolahan yang ada, kemudian diikuti industri makanan sebesar 12 persen dan industri barang dari karet dan plastik sebesar 11,03 persen. Selama kurun waktu berturut-turut jenis industri tersebut menunjukan posisi yang sama. Pengurangan industri pengolahan di Provinsi DKI Jakarta konsekuensi dari kebijakan kawasan industri sebagaimana ditetapkan dalam PP No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4987, yang menyatakan dalam Pasal 7 sebagai berikut: Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3-2

39 Perusahaan industri yang akan menjalankan industri wajib berlokasi di Kawasan Industri, kecualikan bagi: (a) industri menggunakan bahan baku dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus; (b) industri mikro, kecil, dan menengah; (c) industri yang akan menjalankan industri dan berlokasi di daerah kabupaten/kota yang belum memiliki kawasan industri atau yang telah memiliki kawasan industri namun seluruh kaveling industri dalam kawasan industrinya telah habis. Keterbatasan lahan dimiliki Provinsi DKI Jakarta menyebabkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak dapat memfasilitasi penyediaan lahan untuk kawasan industri dengan luas paling rendah 50 (lima puluh) hektar dalam satu hamparan dan luas lahan kawasan industri tertentu untuk usaha mikro, kecil, dan menengah paling rendah 5 (lima) hektar dalam satu hamparan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 10 PP No. 24 Tahun Sementara Pemerintah Daerah di sekitar DKI Jakarta (Bogor, Tanggerang, dan Bekasi) masih memiliki lahan yang luas, sehingga kawasan industri lebih banyak di daerah tersebut. Kondisi tersebut menyebabkan jumlah industri pengolahan di daerah sekitar Provinsi DKI Jakarta (Bogor, Tanggerang, dan Bekasi) terus mengalami peningkatan. Tabel 3.3 Laju Pertumbuhan Tahunan Rata-rata Sektor di Provinsi DKI Jakarta Tahun (%) No. Sektor (%/Tahun) (%/Tahun) 1. Pertanian -1,08 14,45 2. Pertambangan dan Penggalian ,30 3. Industri Pengolahan 5,29 14,05 4. Listrik dan Air Bersih 6,00 13,07 5. Konstruksi 6,50 15,14 6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 7,47 15,38 7. Pengangkutan dan Komunikasi 16,16 18,22 8. Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 4,26 13,06 9. Jasa-jasa 5,61 14,54 Sumber : Penghitungan data BPS DKI Jakarta Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3-3

40 Dengan mempertimbangkan kontribusi sektor tersier secara keseluruhan signifikan dan relatif tidak mengalami fluktuasi yang besar, maka pada masa mendatang pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta tetap bertumpu pada sektor keuangan, perdagangan, dan jasa sebagai sektor basis. Oleh sebab itu, dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Tahun sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2012, Provinsi DKI Jakarta diarahkan sebagai kota jasa (service city). Sedangkan sektor lain yang memberikan kontribusi terhadap perekonomian DKI Jakarta adalah industri pengolahan, walaupun demikian tendensinya menurun secara signifikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005 kontribusinya tercatat sekitar 27,88% dan menurun sekitar 15% pada periode Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan kebijakan pengembangan industri yang hemat energi, hemat air, ramah lingkungan, dan padat inovasi dan teknologi, masa mendatang kegiatan usaha industri diarahkan pengembangannya di Kawasan Ekonomi Strategis (KES) Marunda di bagian Utara Jakarta. Jumlah industri di Provinsi DKI Jakarta akan terus mengalami penurunan sebagai konseksuensi kebijakan penataan ruang yang ditetapkan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 dan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi. Arah pengembangan industri yang ditetapkan dalam produk hukum daerah tersebut, pada peningkatan pertumbuhan ekonomi berbasis ekonomi pada industri kreatif dan industri menggunakan teknologi tinggi, 34 dengan strategi meningkatkan kapasitas dan intensitas pusat kegiatan primer dan sekunder untuk mewadahi aktivitas industri kreatif berskala regional, nasional, dan internasional. 34 Yang dimaksud dengan industri kreatif menurut penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, adalah industri yang mentransformasi dan memanfaatkan kreativitas, keterampilan, dan kekayaan intelektual untuk menghasilkan barang dan jasa. Sedangkan yang dimaksud industri teknologi tinggi menurut penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf c Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, adalah industri yang tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3-4

41 Sasaran yang hendak dicapai berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Tahun sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2012, antara lain pengembangan industri kreatif serta industri kecil dan menengah yang mandiri dan berwawasan lingkungan. Jumlah perusahaan untuk industri besar dan sedang sebanyak perusahaan, dengan tenaga kerja untuk produksi sebanyak jiwa dan tenaga kerja untuk lainnya sebesar jiwa. Jumlah perusahaan, tenaga kerja dan nilai produksi Industri Besar dan Sedang menurut Kota Administrasi di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009 dilihat pada Tabel 4.7, dimana Kota Administrasi Jakarta Utara perusahaan terbanyak yaitu 686 perusahaan dengan menyerap tenaga kerja mencapai jiwa dan nilai produksi Rp ,. Sedangkan untuk Provinsi DKI Jakarta sendiri pada tahun 2009 memiliki perusahaan dengan jumlah tenaga kerja yang terserap sebanyak jiwa dan nilai produksi sebesar Rp ,- Tabel 3.4 Jumlah Perusahaan, Tenaga Kerja, dan Nilai Produksi Industri Besar dan Sedang Menurut Kota Administrasi, Tahun 2009 Kota Adm Perusahaan Tenaga Kerja Nilai Produksi (000 Rp.) Jakarta Pusat Jakarta Selatan Jakarta Barat Jakarta Utara Jakarta Timur Total Sumber : Jakarta Dalam Angka, 2012 Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3-5

42 Perkembangan industri besar dan sedang di Provinsi DKI Jakarta menurut klasifikasi industri dapat dilihat pada Tabel 3.5. Tabel 3.5. Jumlah Perusahaan dan Tenaga Kerja Industri Besar dan Sedang menurut Klasifikasi Industri, Tahun 2009 Kode Klasifikasi Industri Perusahaan Produksi Tenaga Kerja Lainnya Jumlah 15 Makanan dan Minuman Tekstil Pakaian Jadi Kulit dan Barang Dari Kulit Kayu, Barang Dari Kayu (Tidak Termasuk Furnitur) dan Barang- Barang Anyaman Kertas dan Barang Dari Kertas Penerbitan, Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman Batubara, Pengilangan Minyak Bumi, Pengolahan Gas Bumi, Barang-Barang Dari Hasil Pengilangan Minyak Bumi dan Bahan Bakar Nuklir Kimia dan Barang-Barang Dari Bahan Kimia Barang Dari Karet dan Plastik Barang Galian Bukan Logam Logam Dasar Barang-Barang Dari Logam Kecuali Mesin dan Peralatannya Mesin dan Perlengkapannya Mesin Listrik Lainnya dan Perlengkapannya Radio, Televisi dan Peralatan Komunikasi Serta 7 Perlengkapannya 33 Peralatan Kedokteran, Alat-Alat Ukur, Peralatan Navigasi, 9 Peralatan Optik, Jam dan Lonceng 34 Kendaraan Bermotor Roda atau Lebih Alat Angkutan, Selain Kendaraan Bermotor Roda 4 atau Lebih Furnitur dan Industri Pengolahan Lainnya Daur Ulang Jumlah/Total Sumber : Jakarta Dalam Angka, 2012 Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3-6

43 Menurut jenis industri, dari unit industri besar dan sedang di DKI Jakarta pada tahun 2009 menunjukkan dominasi industri pakaian jadi dengan 382 unit dan industri makanan minuman dengan 208 unit. Sedangkan jumlah unit usaha pada jenis usaha industri lain sebagaimana disajikan tabel berikut ini. Tabel 3.6 Jumlah Industri Menurut Jenis di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009 No. Jenis Industri Jumlah Industri (Unit) Jumlah Tenaga Kerja (Orang) 1. Makanan dan Minuman Tekstil Pakaian Jadi Kulit dan Alas Kaki Kayu, Rotan, dan Bambu Kertas dan Sejenisnya Penerbitan dan Percetakan Batubara dan Pengolahan Minyak Bumi Kimia dan Barang dari Bahan Kimia Karet, Barang dari Karet, dan Plastik` Barang Galian Bukan Logam Logam Dasar Barang dari Logam, kecuali Mesin dan Peralatannya Mesin dan Peralatannya Mesin Lainnya dan Perlengkapannya Radio, TV, dan Peralatan Komunikasi Peralatan Kedokteran Kendaraan Bermotor Alat Angkutan, selain Kendaraan Roda Empat Furniture dan Pengolahan Lainnya Daur Ulang Jumlah Sumber : DKI Jakarta Dalam Angka, BPS DKI Jakarta, Perkembangan Industri Kecil dan Menengah (IKM) Tidak dapat dipungkiri sejak dicanangkan industrialisasi pada Pelita I hingga saat ini telah memberikan kontribusi dalam berbagai bidang pembangunan. Industri Kecil dan Menengah (IKM) terbukti bertahan dalam menghadapi berbagai krisis yang terjadi di Indonesia dan IKM merupakan lapangan pekerjaan yang penampung/penyerap tenaga kerja terbesar. Pada saat terjadi krisis moneter Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3-7

44 tahun , IKM bertahan dan menjadi tulang punggung perekonomian Provinsi DKI Jakarta pada saat itu, sementara industri besar mengalami rasionalisasi karyawan bahkan menutup perusahaan. Berdasarkan hal tersebut sudah sewajarnya kalau pemerintah berpihak dalam membantu para pengusaha IKM agar dapat bersaing dan menjadi salah satu penggerak roda perekonomian Provinsi DKI Jakarta. Tabel 3.7 Jumlah Industri Kecil dan Menengah di Provinsi DKI Jakarta, Tahun 2012 No Wilayah Jumlah Unit Usaha Tenaga Kerja Investasi (Milyar) 1 Jakarta Pusat ,350 2 Jakarta Selatan ,000 3 Jakarta Barat ,400 4 Jakarta Utara ,000 5 Jakarta Timur ,000 6 Kepulauan Seribu ,035 Jumlah ,785 Sumber : Diolah Dinas Perindustrian dan Energi, 2012 Jumlah Industri Kecil dan Menengah (IKM) di Provinsi DKI Jakarta sebesar unit usaha industri dengan jumlah seluruh tenaga kerja IKM sebanyak jiwa dan nilai investasi sebesar Rp ,785 Milyar. Berdasarkan Kota Administrasi, Jakarta Pusat terdapat uni usaha IKM, dengan jumlah tenaga kerja jiwa dan nilai investasi sebesar Rp. 422,350 Milyar. Jakarta Barat terdapat unit usaha IKM dengan jumlah tenaga kerja jiwa dan nilai investai Rp ,400 Milyar. Jakarta Selatan terdapat unit usaha IKM, dengan jumlah tenaga kerja jiwa dan nilai investai Rp Milyar. Jakarta Utara terdapat unit usaha IKM, dengan jumlah tenaga kerja jiwa dan nilai investai Rp Milyar. Kota Administrasi Jakarta Timur terdapat unit usaha IKM, dengan jumlah tenaga kerja jiwa dan nilai investai Rp Milyar. Kota Administratif Kepulauan Seribu terdapat 3 unit usaha IKM dengan jumlah tenaga kerja sebesar 11 orang dan nilai investasi Rp. 0,035 Milyar. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3-8

45 Mencermati peranan IKM tersebut di atas, Pemerintah membuat kebijakan yang dapat mendukung pengembangan IKM pada masa akan datang seperti peningkatan mutu produksi, membantu dalam menembus pasar domestik dan global serta memfasilitasi dalam pengembangan jaringan diantara sesama pengusaha IKM. Sehubungan itu, perhatian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menumbuhkembangkan IKM tidak berlebihan, karena IKM menyerap banyak tenaga kerja, menggunakan sumberdaya lokal, dan hemat penggunaan lahan atau ruang, dan ramah lingkungan. Walaupun demikian masih ada kendala yang dapat menghambat tumbuh berkembangnya IKM. Kendala tersebut dapat dijadikan sebagai kebijakan dan strategi dalam pembinaan dan pengembangan IKM dimasa mendatang. Kendala yang dihadapi IKM antara lain belum mampu bersaing dengan kompetitor besar dan/atau asing, keterbatasan akses pasar, permodalan, dan manajemen. Di lain pihak sejak dilaksanakan otonomi daerah berasaskan desentralisasi, daerah diberikan wewenang menetapkan kebijakan berdasarkan urusan pemerintahan yang menjadi wewenangnya, sehingga berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah cenderung bersifat sektoral dan turut mewarnai perkembangan IKM. Hal tersebut menjadi tantangan bagi Dinas Perindustrian dan Energi Provinsi DKI Jakarta dalam memberdayakan IKM dalam rangka mendukung pertumbuhan perekonomian Provinsi DKI Jakarta sekaligus penciptaan lapangan kerja. Untuk itu, produk IKM selain mampu bersaing dengan produk dari luar negeri (globalisasi) dan Asean China Free Trade Agreement (ACFTA). Tantangan lain yang dihadapi Dinas Perindustrian dan Energi Provinsi DKI Jakarta dalam memberdayakan industri, menurut Pasal 26 ayat (4) huruf d UU No. 29 Tahun 2007, bahwa urusan pemerintahan di bidang industri menjadi kewenangan Gubernur untuk melakukan koordinasi dengan Pemerintah Pusat dan Daerah lain terutama dengan daerah sekitar Provinsi DKI Jakarta. Dari beberapa hasil pengamatan dan isu yang berkembang dalam berbagai perspektif yang perlu diperhatikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta baik dalam pembinaan IKM yang sudah dilakukan maupun yang akan dilakukan, antara lain: (1) perlu dilakukan harmonisasi kebijakan yang menghambat pertumbuhan IKM. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3-9

46 Dalam arti ketidaksesuaian antara komitmen politik untuk mengembangkan IKM secara nyata ditataran operasional, seperti dukungan sumber daya, prasarana dan sarana penunjang, bantuan teknik, insentif, dan sebagainya; (2) banyak pola bantuan teknis yang kurang efektif baik dari Pemerintah Pusat langsung maupun peran serta pelaku usaha dan pelaku indusri yang penerapannya belum mempertimbangkan aspek kelayakan, tidak didasarkan kondisi spesifik obyek binaan, serta kurang konsisten dukungan sumber daya yang diberikan; (3) pendekatan pembinaan dan pengembangan belum komprehensif atau terpadu dalam pelaksanaan atau masih rendahnya koordinasi antar sektor; (4) banyaknya program pemberdayaan IKM dalam bentuk program dan kegiatan penyuluhan dan pelatihan akan tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan nyata dari obyek binaan; (5) peranserta Pemerintah Pusat termasuk sistem insentif belum menyentuh kebutuhan sektor riil dari objek binaan. Pengembangan sistem insentif mengalami hambatan karena cara pandang berbeda dan untuk kepentingan jangka pendek, serta lemahnya pengawasan; (6) masih ada keenganan sebagian pelaku IKM untuk melakukan perubahan yang bersifat modernisasi dikarenakan faktor sosial dan budaya; (7) pola pikir konseptual belum komprehensif dalam penyusunan strategi dan program dengan masalah dihadapi, sehingga pembinaan kurang berdayaguna dan berhasilguna Perkembangan Industri Kreatif Definisi industri kreatif menurut Kementerian Perdagangan, adalah industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, ketrampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeskploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. Sementara ekonomi kreatif didefinisikan sebagai sistem kegiatan manusia berkaitan dengan produksi, distribusi, pertukaran serta konsumsi barang dan jasa yang bernilai kultural, artistik dan hiburan. Ekonomi kreatif bersumber pada kegiatan ekonomi dari industri kreatif. Dari definisi tersebut, nilai ekonomi dari suatu produk atau jasa dimasa mendatang (era kreatif) tidak lagi ditentukan oleh bahan baku atau sistem Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3-10

47 produksi seperti pada era industri, tetapi pada pemanfaatan kreativitas dan inovasi. Industri tidak dapat lagi bersaing di pasar global hanya mengandalkan harga atau mutu produk saja melainkan bersaing berbasiskan inovasi, kreativitas, dan imajinasi. Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia tidak memiliki sumber daya alam seperti daerah lain, namun memiliki potensi dalam pengembangan industri kreatif, karena memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memadai, dengan mobilitas yang tinggi, suasana kota Jakarta yang torelan dan multibudaya, serta atmosfer kerja yang kondusif oleh wirausaha muda dengan inovasi baru, menjadikan industri kreatif dapat tumbuhberkembang dan memberikan kontribusi berarti bagi pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta. Daya tarik kota Jakarta bagi pendatang muda dari luar daerah DKI Jakarta, keberadaan berbagai perguruan tinggi secara tidak langsung memberikan dukungan pengadaan calon pekerja berpengetahuan dan berketerampilan tinggi, sekaligus potensi bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadikan kota Jakarta sebagai salah satu kota kreatif di Indonesia. Kemitraan dengan perguruan tinggi untuk menyiapkan SDM yang kreatif dengan fokus pada penyiapan wirausaha muda yang inovatif dan profesional. Menurut Richard Florida dalam bukunya The Creative Class Theory, bahwa keberhasilan suatu kota menjadi kota kreatif ditentukan oleh 3 (tiga) faktor, yaitu talenta, toleransi, dan teknologi (3T). Faktor talenta meliputi aspek pekerja kreatif, aspek budaya meneliti, dan aspek modal, sumber daya manusia (SDM). Kreativitas merupakan jantungnya inovasi, maka pekerja kreatif menentukan kelangsungan industri kreatif. Pekerja dibagi ke dalam dua kategori, yaitu pekerja kreatif (creative class) dan pekerja biasa (working class) yaitu pekerja di bidang pelayanan dan pekerja di bidang pertanian. Semakin tinggi proporsi pekerja "inti superkreatif", semakin tinggi kinerja ekonomi industri kreatif dari kota kreatif. Akan tetapi, Richard mengingatkan, sekalipun pekerja kreatif pengendali pertumbuhan utama, kelas-kelas pekerja lain juga dibutuhkan. Faktor toleransi meliputi aspek sikap, aspek nilai, dan aspek ekspresi diri. Aspek sikap dinilai dari sikap terhadap minoritas, keterbukaan orang-orang asalnya berbeda, kesempatan pekerjaan Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3-11

48 yang tersedia bagi warga bukan putra daerah. Aspek nilai diukur dari sejauh mana nilai-nilai tradisional asli daerah bisa hidup berdampingan secara harmonis dengan nilai-nilai modern dan sekuler. Aspek ekspresi diri diukur dari sejauh mana suatu kota menghormati hak individu dan kebebasan mengekspresikan dirinya. Aspek tersebut dimiliki Provinsi DKI Jakarta. Industri kreatif cocok bagi wirausaha inovatif muda dari perguruan tinggi mengawali kariernya di dunia usaha, namun berdasarkan data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional lebih dari 80% lulusan S-1 memilih bekerja dan hanya 4% memilih memulai usaha, bahkan cenderung dalam beberapa tahun terakhir lebih memilih menjadi pengawai negeri sipil (PNS). Kenyataan tersebut diperkuat hasil riset Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional salah satu kesimpulannya, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin rendah kemandiriannya. Hal tersebut dapat dipahami mengapa lulusan perguruan tinggi kurang tertarik berkarier menjadi wirausaha karena dituntut kemandirian yang tinggi. Di masa mendatang diperlukan pekerjaan yang memiliki keahlian atau keterampilan tertentu. Pekerja kontrak yang fleksibel dan mobile, self-employed, dan freelances, semakin meluas pada usaha mikro, kecil, dan menengah, serta usaha besar membutuhkan spesialisasi operasi/produksi untuk menghasilkan suatu jenis barang/jasa tertentu. Prospek industri kreatif menjanjikan kesempatan kerja, kesejahteraan, dan pertumbuhan ekonomi daerah. Dengan demikian, pembelajaran life skills seperti pendidikan kewirausahaan inovatif menjadi arah dan strategi dalam pengembangan sumber daya manusia di bidang industri dalam rangka menunjang terwujudnya tujuan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa setiap daerah perlu berkompetisi secara positif dengan daerah lain dalam meraih perhatian (attention), pengaruh (influence), pasar (market), tujuan bisnis dan investasi. Di beberapa negara saat ini sedang berkompetisi mengembangan industri kreatif dengan cara masing-masing sesuai kemampuan yang ada pada negara bersangkutan, seperti Singapura memasang iklan dalam surat kabar Indonesia edisi bahasa Inggris beberapa tahun lalu, mengundang generasi muda Indonesia Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3-12

49 yang memiliki bakat menjadi warga negara Singapura asal memiliki konsep bisnis yang kuat dan dituangkan dalam rencana bisnis yang komprehensif. Contoh lain, iklan salah satu televisi di Australia mengundang orang muda dari negara manapun berimigrasi ke kota Adelaide Australia Selatan sebagai wirausaha inovatif dengan menjanjikan berbagai kemudahan dan dukungan menggiurkan. Ada yang menitikberatkan pada industri usaha kreatif dan budaya (creative cultural industry), ada yang menitikberatkan pada lapangan usaha kreatif (creative industry), dan juga hak kekayaan intelektual seperti hak cipta (copyright industry). Indonesia mengembangkan industri kreatif dengan pendekatan ekonomi kreatif sebagaimana termuat dalam buku Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025: Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia , antara lain menyatakan bahwa industri kreatif merupakan bagian tak terpisahkan dari ekonomi kreatif. Dengan kata lain ekonomi kreatif adalah ekonomi yang ditopang antara lain industri kreatif. Pengembangan ekonomi kreatif tidak hanya menekankan pada pengembangan industri yang termasuk dalam kelompok industri kreatif, melainkan juga pada pengembangan berbagai faktor yang signifikan dalam ekonomi kreatif, yaitu sumber daya manusia, bahan baku, teknologi, tatanan institusi, dan lembaga pembiayaan menjadi komponen pengembangan. Begitu besarnya dampak positif dari industri kreatif terhadap perekonomian, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan perhatian khusus dan memajukan industri kreatif di DKI Jakarta. Selain alasan tersebut potensi industri kreatif sangat besar dan membutuhkan sentuhan kreatif dari generasi muda agar dapat tereksploitasi dan terkelola dengan baik. Penduduk DKI Jakarta ± 9,5 juta jiwa (BPS, 2010) memiliki potensi industri kreatif yang sangat besar, karena sebagian besar penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja berpendidikan menengah ke atas. Pada Tahun 2007, nilai PDRB Industri Kreatif DKI Jakarta sebesar Rp 89,813 trilyun rupiah dan memberikan kontribusi kepada perekonomian sebesar 15,51% dari PDRB DKI Jakarta. Dengan membandingkan nilai industri kreatif DKI Jakarta tahun 2007 dengan industri kreatif nasional pada tahun , Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3-13

50 nilainya mencapai Rp 104,637 trilyun, dan memberikan kontribusi kepada PDB sebesar 6,28%, maka nilai industri kreatif di DKI Jakarta adalah besar. Tabel 3.8 Kontribusi Industri Kreatif terhadap PDRB DKI Jakarta Tahun 2007 Menurut Sektor Primer, Sekunder dan Tersier PDRB Rata-rata No. Sektor (Jutaan Rp) Kontribusi Thd PDRB 1. Primer: Tidak ada industri kreatif yang masuk dalam golongan industri kreatif Sekunde: Industri pengolahan ,45 3. Tersier: Perdagangan produk industri ,81 Jasa Kreatif ,79 Sumber: Hasil Pengolahan JUMLAH ,51 Struktur perekonomian DKI Jakarta mengarah pada jasa, maka industri kreatif di DKI Jakarta lebih dominan pada sektor yang bersifat tersier. Kontribusi tersebut juga terlihat dari nilai PDB yang dihasilkan oleh masing-masing sektor. Selain itu dengan membandingkan nilai tambah industri kreatif terhadap PDRB atau PDB suatu wilayahnya, maka perekonomian di DKI Jakarta terdapat industri kreatif yang besar pula. Namun, bila dibandingkan seluruh sektor di dalam perekonomian, nilai kontribusi industri kreatif di DKI Jakarta menempati peringkat kedua setelah sektor jasa keuangan seperti bank, non bank dan jasa penunjang keuangan lainnya sebesar 19,52% bagi PDRB DKI Jakarta. Pada peringkat ketiga, kontribusi terhadap perekonomian diberikan oleh sektor kontruksi yang memberikan kontribusi terhadap PDRB sebesar 11,88% Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3-14

51 Tabel 3.9 Industri Kreatif Yang Penyerapan Tenaga Kerja dan Produktivitas Di Atas Rata-rata Perekonomian DKI Jakarta Tenaga Kontribusi Indeks Sektor Kerja Penyerapan Jml TK Jenis Industri Produktivitas Indeks (TK) TK Perdagangan bersar, fesyen, kerajinan dan kreatif lain Perdagangan eceran fesyen, kerajinan dan kreatif lain Sumber: BPS, Hasil Pengolahan Jasa riset dan pengembangan Jasa multimedia dan komputer ,669 Jasa kegiatan radio dan televisi , ,252 2, ,169 2,509 Jasa kegiatan drama, 376,336 2,027 musik, bioskop dan hiburan lainnya Jasa impresariat 376,336 2,027 Jasa konsultan 375,979 2,025 arsitek Jasa periklanan 302,941 1,632 Jasa riset pemasaran 271,468 1,462 Industri macammacam 264,224 1,423 wadah dari logam Industri alat-alat 244,424 1,317 musik Industri kemasan dari gelas 212,232 1,143 Dalam penyerapan tenaga kerja, jumlah seluruh tenaga kerja yang terserap dalam industri kreatif mencapai orang, sedangkan jumlah tenaga kerja seluruh DKI Jakarta sebanyak orang, penyerapan tenaga kerja pada indusri kreati di DKI Jakarta sebesar 17,40%. Penyerapan tenaga industri kreatif dan produktivitas yang dihasilkan industri kreatif terbesar atau di atas angka indeks satu. Jika diperhatikan perkembangan industri kreatif saat ini di Provinsi DKI Jakarta menjadi pilar utama dalam mengembangkan ekonomi kreatif daerah, karena memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat Jakarta dan pendapatan daerah. Oleh sebab itu, potensi industri kreatif memiliki peluang besar bagi Provinsi DKI Jakarta untuk dikembangkan baik di pasar domestik maupun internasional merupakan modal bagi eksistensi industri tersebut. Industri kreatif memberikan harapan baru akan muncul suatu usaha atau kegiatan ekonomi yang lebih banyak mengandalkan sentuhan kreatif individu yang akan membawa ke level kehidupan masyarakat Jakarta yang lebih baik. Produktivitas Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3-15

52 sektor industri kreatif lebih tinggi dari keseluruhan produktivitas tenaga kerja, karena ekonomi kreatif membawa segenap talenta, bakat, dan hasrat individu menciptakan nilai tambah melalui hadirnya produk/jasa yang kreatif. Kemajuan industri kreatif dapat didorong antara lain dengan 5 (lima) cara. Pertama, promosi industri kreatif akan mendorong membesarnya pasar bagi pelaku industri kreatif. Konsumen semakin sadar akan kemampuan industri kreatif Jakarta untuk memenuhi kebutuhannya. Potensi pasar ekspor hasil industri kreatif masyarakat Jakarta di pasar internasional terbuka lebar. Mendayagunakan staf diplomatik negara sahabat yang ada di Jakarta atau pimpinan kantor perusahaan Indonesia yang ada di luar negeri sebagai pemasar, salah satu cara untuk memperbesar pasar bisnis kreatif Jakarta. Kedua, peningkatan daya saing. Pengembangan teknologi, ide kreatif, kebijakan dan lingkungan bisnis yang kondusif termasuk perlindungan bagi personel kreatif serta peningkatan kompetensi pelaku bisnis terus dilakukan untuk meningkatkan daya saing. Ketiga, penambahan pengalaman. Pengalaman merupakan sumber daya yang tidak bisa ditukar dengan pengetahuan yang didapat secara instan. Melalui proses pembelajaran dari hasil kreasi akan memberi modal bagi penambahan pengalaman berkreasi pelaku bisnis kreatif. Keempat, peningkatan nilai tambah. Kemajuan bisnis industri kreatif akan mendorong peningkatan nilai tambah perekonomian dan bisnis pada umumnya. Kelima, pengembangan kreativitas. Pelaku usaha industri kreatif membutuhkan kreativitas dan inovasi, maka dari itu harus dapat mengeksplorasi potensi kreatif yang dimilikinya untuk menghasilkan karya terbaik. Pemerintah Pusat telah mengembangkan 14 (empat belas) jenis industri kreatif yang menjadi prioritas untuk menjadi perhatian, yaitu: 1. Periklanan Industri periklanan didefinisikan sebagai industri jasa yang mengemas bentuk komunikasi tentang suatu produk, jasa, ide, bentuk promosi, informasi: layanan masyarakat, individu maupun organisasi yang diminta pemasang iklan (individu, organisasi swasta/pemerintah) melalui media tertentu (misal: televisi, radio, cetak, digital signage, internet) bertujuan untuk mempengaruhi, Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3-16

53 membujuk target individu/masyarakat untuk membeli, mendukung atau sepakat atas hal yang ingin dikomunikasikan. Jenis pekerjaan periklanan merupakan jenis pekerjaan yang mem-butuhkan serta menuntut pengetahuan serta kreativitas yang tinggi. Secara umum klasifikasi pekerja subsektor ini dibedakan dalam 2 (dua) kelompok utama, yaitu: pekerja kreatif serta pekerja pendukung (services). Dalam sebuah biro iklan, umumnya akan memiliki departemen sebagai berikut: account services, creative & interactive, media & public relations dan traffic. Pada perusahaan besar, setiap fungsi dapat dilakukan individu berbeda, tetapi di perusahaan kecil tidak menutup karena beberapa fungsi dapat dilakukan oleh individu yang sama. Kegiatan kreatif yang berkaitan jasa periklanan (komunikasi satu arah dengan menggunakan medium tertentu), meliputi proses kreasi, produksi dan distribusi dari iklan yang dihasilkan, misalnya: riset pasar, perencanaan komunikasi iklan, iklan luar ruang, produksi material iklan, promosi, kampanye relasi publik, tampilan iklan di media cetak (surat kabar, majalah) dan elektronik (televisi dan radio), pemasangan berbagai poster dan gambar, penyebaran selebaran, pamflet, edaran, brosur dan reklame sejenis, distribusi dan delivery advertising materials atau samples, serta penyewaan kolom untuk iklan. 2. Film/Video dan Fotografi Industri kreatif film/video dan forografi merupakan kegiatan kreatif yang berkaitan dengan jasa fotografi, produksi film (termasuk penulisan skenario, sinematografi, dan lain-lain). 3. Musik Semua aktivitas yang menyangkut proses produksi album lagu, rekaman suara, komposisi musik termasuk pertunjukan musik. 4. Arsitektur Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan jasa desain bangunan, perencanaan biaya konstruksi, konservasi bangunan warisan, pengawasan konstruksi baik secara menyeluruh dari level makro (town planning, urban design, landscape Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3-17

54 architecture) sampai pada level mikro (detail konstruksi, misalnya: arsitektur taman, desain interior). 5. Pasar Seni dan Barang Antik Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan perdagangan barang-barang asli, unik dan langka serta memiliki nilai estetika seni yang tinggi melalui lelang, galeri, toko, pasar swalayan, dan internet, misalnya: alat musik, percetakan, kerajinan, automobile, film, seni rupa dan lukisan. Industri kreatif pasar seni dan barang antik berkaitan dengan pengerjaan maupun perdagangan produkproduk antik termasuk di dalamnya hiasan. 6. Kerajinan Industri kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, dan distribusi produk yang dibuat dihasilkan oleh pengrajin yang berawal dari desain awal sampai dengan proses penyelesaian produknya, antara lain meliputi barang kerajinan yang terbuat dari batu berharga, serat alam maupun buatan, kulit, rotan, bambu, kayu, logam (emas, perak, tembaga, perunggu, besi) kayu, kaca, porselin, kain, marmer, tanah liat, dan kapur. Produk kerajinan pada umumnya diproduksi dalam jumlah yang relatif kecil (bukan produksi massal). 7. Desain Industri kreatif yang terkait dengan kreasi desain grafis, desain interior, desain produk, desain industri, konsultasi identitas perusahaan dan jasa riset pemasaran serta produksi kemasan dan jasa pengepakan. 8. Desain Fashion Kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain pakaian, desain alas kaki, dan desain aksesoris mode lainnya, produksi pakaian mode dan aksesorisnya, konsultansi lini produk fesyen, serta distribusi produk fesyen. 9. Permainan Interaktif Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, dan distribusi permainan komputer dan video yang bersifat hiburan, ketangkasan, dan edukasi. Subsektor permainan interaktif bukan didominasi sebagai hiburan semata-mata tetapi juga sebagai alat bantu pembelajaran atau edukasi. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3-18

55 10. Seni Pertunjukan Kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi produksi video, film, dan jasa fotografi, serta distribusi rekaman video dan film. Termasuk di dalamnya penulisan skrip, dubbing film, sinematografi, sinetron, dan eksibisi film, pertunjukan tarian tradisional, kontemporer, drama, musik tradisional, teater, opera, dan lain-lain. 11. Penerbitan dan Percetakan Kegiatan kreatif yang terkait dengan dengan penulisan konten dan penerbitan buku, jurnal, koran, majalah, tabloid, dan konten digital serta kegiatan kantor berita dan pencari berita. Subsektor ini juga mencakup penerbitan perangko, materai, uang kertas, blanko cek, giro, surat andil, obligasi surat saham, surat berharga lainnya, passport, tiket pesawat terbang, dan terbitan khusus lainnya. Juga mencakup penerbitan foto-foto, grafir (engraving) dan kartu pos, formulir, poster, reproduksi, percetakan lukisan, dan barang cetakan lainnya, termasuk rekaman mikro film. 12. Layanan Komputer dan Piranti Lunak Kegiatan kreatif yang terkait dengan pengembangan teknologi informasi termasuk jasa layanan komputer, pengolahan data, pengembangan database, pengembangan piranti lunak, integrasi sistem, desain dan analisis sistem, desain arsitektur piranti lunak, desain prasarana piranti lunak dan piranti keras, serta desain portal termasuk perawatannya. 13. Televisi dan Radio Kegiatan kreatif berkaitan dengan usaha kreasi, produksi dan pengemasan acara televisi (seperti games, kuis, reality show, infotainment, dan lainnya), penyiaran, dan transmisi konten acara televisi dan radio, termasuk kegiatan pemancar kembali (station relay) siaran radio dan televisi. 14. Riset dan Pengembangan Kegiatan kreatif terkait dengan usaha inovatif yang menawarkan penemuan ilmu dan teknologi dan penerapan ilmu dan pengetahuan tersebut untuk perbaikan produk dan kreasi produk baru, proses baru, material baru, alat baru, metode baru, dan teknologi baru yang dapat memenuhi kebutuhan Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3-19

56 pasar; termasuk dengan humaniora seperti penelitian dan pengembangan bahasa, sastra, dan seni; serta jasa konsultansi bisnis dan manajemen Ke-14 kelompok industri kreatif tersebut di atas, ada yang membutuhkan bahan baku (resources) yang secara langsung berasal dari atau menggunakan objek sumber daya alam, yakni industri kerajinan (crafts), barang seni (arts), serta riset dan pengembangan apabila diarahkan pengembangan dengan objek sumber daya alam. Industri kreatif memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan di DKI Jakarta, namun masih banyak kendala yang dihadapi oleh industri, antara lain regulasi belum ada aturan yang rinci guna mendorong pelaku industri kreatif menjual hasil karyanya. Minimnya infrastruktur dan kelembagaan seperti hak cipta intelektual berikut perangkat hukum dan penanganan pembajakan. Perlindungan Hak Cipta 35 merupakan kunci peningkatan insentif untuk berkarya serta memberi hak kepada para pelaku industri kreatif untuk menciptakan nilai ekonomi dari karyanya. Masalah utama yang dihadapi pelaku usaha industri kreatif adalah modal, industri kreatif termasuk sektor yang kurang dilirik perbankan karena tidak ada jaminan. Hingga saat ini belum ada lembaga penjamin bagi industri tersebut untuk mendapat pembiayaan dari perbankan. Hal lain yang dihadapi pelaku usaha industri kreatif adalah harga dan kualitas. Kualitas industri kreatif seringkali tidak konsisten seperti pengemasan tidak sesuai dengan standar mutu. Ketidaktepatan dalam memenuhi order terutama dalam jumlah besar dan dalam waktu singkat juga menjadi kendala Kebutuhan Lahan Industri di DKI Jakarta Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik, lahan di DKI Jakarta pada tahun 2011 dengan luas 67,165 Ha, Kecamatan Kalideres mempunyai luas lahan untuk industri paling luas mencapai ha dengan 35 Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3-20

57 jumlah unit 182 unit industri, dan Kecamatan Menteng dengan luas lahan untuk industri terendah mencapai 0,22 ha dengan jumlah 32 unit usaha. Berikut merupakan tabel jumlah luas lahan dan jumlah unit per Kota administrasi di DKI Jakarta. Tabel 3-10 Jumlah Lahan Industri dan Pergudangan Tahun 2011 No Kecamatan Industri Pergudangan Jumlah 1 Cengkareng Grogol Petamburan Kalideres Kebon Jeruk Kembangan Palmerah Taman Sari Tambora Jakarta Barat 1, Cempaka Putih Gambir Johar Baru Kemayoran Menteng Sawah Besar Senen Tanah Abang Jakarta Pusat Cilandak Jagakarsa Kebayoran Baru Kebayoran Lama Mampang Pancoran Pasar Minggu Pesanggrahan Setiabudi Tebet Jakarta Selatan Cakung Cipayung Ciracas Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3-21

58 No Kecamatan Industri Pergudangan Jumlah 4 Duren Sawit Jatinegara Kramat Jati Makasar Matraman Pasar Rebo Pulo Gadung Jakarta Timur 1, , Cilincing Kelapa Gading Koja Pademangan Penjaringan Tanjung Priok Jakarta Utara 1, Sumber : Kecamatan Dalam Angka DKI Jakarta 2011 Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang RTRW 2030, lahan peruntukan industri diarahkan bagi pengembangan industri beserta fasiilitas penunjangnya dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) maksimal 50% dengan prosentase luas kawasan di setiap wilayah mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan kecenderungan pengembangan yang terjadi. Arah kebijakan sebagai berikut: (a) penataan kawasan industri dan pergudangan serta perniagaan sebagai bagian integral dari penataan kawasan pelabuhan; (b) pengembangan kawasan industri dibatasi untuk jenis industri hemat penggunaan lahan, air, dan energi, tidak berpolusi, memperhatikan aspek lingkungan dan industri yang menggunakan teknologi tinggi; (c) pengembangan kawasan industri memperhatikan daya dukung transportasi dan infrastruktur lain; (d) yang berada di luar kawasan bukan pada kawasan rawan bencana; (e) tidak menambah beban saat debit puncak saluran drainase publik; (f) tidak mengganggu fungsi lindung; (g) sesuai dengan daya dukung lahan setempat. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 3-22

59 Bab 4 HARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 4.1. Maksud dan Tujuan Penyelenggaraan Perindustrian Undang-Undang (UU) No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian meletakkan industri sebagai salah satu pilar ekonomi dan memberikan peran yang cukup besar kepada pemerintah untuk mendorong kemajuan industri nasional secara terencana. Peran tersebut diperlukan dalam rangka mengarahkan perekonomian nasional untuk tumbuh lebih cepat dan mengejar ketertinggalan dari negara lain yang lebih dahulu maju. Maksud diselenggarakan pembangunan nasional 35 di bidang industri termuat dalam Konsideran Menimbang huruf b dan huruf c dalam UU No. 3 Tahun 2014 berikut ini: b. bahwa pembangunan nasional di bidang ekonomi dilaksanakan dalam rangka menciptakan struktur ekonomi yang kukuh melalui pembangunan industri yang maju sebagai motor penggerak ekonomi yang didukung oleh kekuatan dan kemampuan sumber daya yang tangguh; c. bahwa pembangunan industri yang maju diwujudkan melalui penguatan struktur industri yang mandiri, sehat, dan berdaya saing, dengan mendayagunakan sumber daya secara optimal dan efisien, serta mendorong perkembangan industri ke seluruh wilayah Indonesia dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional yang berlandaskan pada kerakyatan, keadilan, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa dengan mengutamakan kepentingan nasional. Mencermati maksud pembangunan industri secara nasional tersebut di atas, memberikan pandangan kepada Pemerintah Daerah, bahwa penyelenggaraan perindustrian dalam satu kesatuan sistem yang terarah dan terpadu untuk mewujudkan struktur ekonomi yang kokoh melalui pembangunan industri yang maju sebagai motor penggerak ekonomi yang didukung dengan kekuatan dan 35 Yang dimaksud dengan pembangunan nasional menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-1

60 kemampuan sumber daya yang tangguh melalui penguatan struktur industri yang mandiri, sehat, dan berdaya saing, dengan mendayagunakan sumber daya secara optimal dan efisien dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional yang berlandaskan pada kerakyatan, keadilan, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa dengan mengutamakan kepentingan nasional. Tujuan penyelenggaraan perindustrian ditetapkan dalam Pasal 3 UU No. 3 Tahun 2014 sebagai berikut: a. mewujudkan industri nasional sebagai pilar dan penggerak perekonomian nasional; b. mewujudkan ke dalaman dan kekuatan struktur industri; c. mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta industri hijau; d. mewujudkan kepastian berusaha, persaingan yang sehat, serta mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang merugikan masyarakat; e. membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja; f. mewujudkan pemerataan pembangunan industri ke seluruh wilayah indonesia guna memperkuat dan memperkukuh ketahanan nasional; dan g. meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan. Berdasarkan tujuan penyelenggaraan perindustrian tersebut di atas, bahwa penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta bertujuan untuk: (a) mewujudkan industri sebagai pilar dan penggerak perekonomian daerah; (b) mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju; (c) mewujudkan kepastian berusaha, persaingan usaha yang sehat, 36 serta mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang merugikan masyarakat; 37 (d) membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja; (e) mewujudkan industri guna memperkuat dan memperkukuh ketahanan industri daerah dan nasional; (f) meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan. 36 Apabila pelaku usaha di bidang industri melakukan persaingan tidak sehat, maka tindakan tersebut termasuk dilarang menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. 37 Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang dimaksud dengan pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-2

61 4.2. Jenis Kegiatan Industri Undang-Undang No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian tidak menetapkan jenis industri secara tegas. Meskipun demikian, Pasal 101 ayat (2) menyatakan bahwa kegiatan usaha industri meliputi: (a) industri kecil; (b) industri menengah; (c) industri besar. Atas dasar itu, dapat ditafsirkan bahwa pembagian industri berdasarkan kegiatan yang dilakukan usaha industri. Selanjutnya dalam Pasal 102 menyatakan sebagai berikut: (1) Industri kecil ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai investasi tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. (2) Industri menengah ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau nilai investasi. (3) Industri besar ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau nilai investasi. (4) Besaran jumlah tenaga kerja dan nilai investasi untuk Industri kecil, Industri menengah, dan Industri besar ditetapkan oleh Menteri. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, UU No. 3 Tahun 2014 definisi industri kecil, industri menengah, dan industri besar didelegasikan kepada Menteri Perindustrian. Menurut Peraturan Menteri Perindustrian No 37/M-IND/PER/6/2006 tentang Pengembangan Jasa Konsultansi Industri Kecil dan Menengah (IKM), besaran jumlah tenaga kerja dan nilai investasi untuk Industri kecil, industri menengah, dan industri besar, sebagai berikut: 1. Industri kecil adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang industri dengan nilai investasi paling banyak Rp (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. 2. Industri menengah adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang industri dengan nilai investasi lebih besar dari Rp ,- (dua ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp ,- (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. 3. Industri besar adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang industri dengan nilai investasi lebih besar dari Rp (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-3

62 Berdasarkan definisi tersebut di atas, dapat ditafsirkan bahwa Industri Kecil dan Menengah (IKM) berbentuk badan hukum (perusahaan). 38 Untuk menghindari tumpang-tindih dalam pembinaan antara IKM dengan UKM, dalam Rancangan Peraturan Daerah seyogyanya menggunakan nomenklatur badan usaha industri, karena badan usaha merupakan kesatuan yuridis dan ekonomis dari faktor-faktor produksi yang dilakukan industri dengan tujuan mencari laba atau memberi layanan kepada masyarakat. Kesatuan yuridis dimaksud badan usaha industri pada umumnya berbadan hukum. Sedangkan yang dimaksud kesatuan ekonomis karena faktor produksi yang terdiri dari sumber daya alam, modal, dan tenaga kerja untuk mendapat barang dan/atau jasa yang diperlukan oleh masyarakat. Dengan demikian pengertian badan usaha industri adalah badan usaha yang kegiatannya mengolah dari bahan mentah menjadi barang jadi untuk siap digunakan. Contohnya: perusahaan tekstil, industri logam, kerajinan tangan, dan sebagainya. Ditinjau dari kepemilikan modal, badan usaha dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: (a) badan usaha milik swasta, yaitu badan usaha yang seluruh modalnya dimiliki swasta, dapat berbentuk perseorangan atau persekutuan. Contoh: firma, persekutuan komanditer, perseroan terbatas, koperasi, dan sebagainya; (b) Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D), yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya milik negara atau daerah, yang berasal dari kekayaan negara/daerah yang dipisahkan. BUMN atau BUMD bergerak di bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak; (c) badan usaha campuran, yaitu badan usaha yang modalnya sebagian milik pemerintah dan sebagian milik swasta. Contohnya Persero dimana modal yang dimiliki oleh badan usaha ini adalah 51% atau lebih dimiliki pemerintah dan paling banyak 49% dimiliki oleh swasta atau investor. 38 Dalam berbagai literatur menyatakan bahwa dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia menggunakan barang dan jasa yang merupakan hasil kegiatan produksi. Kegiatan produksi tersebut yang dilakukan secara terorganisir dengan menggunakan faktor-faktor produksi umumnya dilakukan oleh perusahaan. Dengan demikian perusahaan diartikan sebagai bagian teknis dari kesatuan organisasi modal dan tenaga kerja yang bertujuan menghasilkan barang atau jasa. Sedangkan usaha adalah kegiatan yang dilakukan manusia untuk mendapatkan penghasilan baik berupa uang, barang mapun jasa yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup guna mencapai kemakmuran. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-4

63 Jenis badan usaha berdasarkan jumlah pekerjanya, abdan usaha dapat menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu: (a) badan usaha kecil, yaitu badan usaha yang mempekerjakan kurang dari 5 orang pekerja; (b) badan usaha sedang, yaitu badan usaha yang mempekerjakan lebih dari 5 orang pekerja dan kurang dari 51 orang pekerja; (c) badan usaha besar, yaitu badan usaha yang mempekerjan lebih dari 50 orang pekerja. Pengelompokan badan usaha menurut bentuk hukum atau yuridis berkaitan dengan tanggung jawab pemilik badan usaha tersebut terhadap kewajiban atau utang-utang badan usaha, dikelompok dalam 5 (lima) jenis, yaitu: (a) badan usaha perseorangan (Po), yaitu perusahaan yang didirikan, dimiliki, dipimpin, dan dipertanggungjawabkan oleh perseorangan; (b) firma (Fa), yaitu badan usaha yang didirikan dua orang atau lebih yang menjalankan kegiatan usaha dengan satu nama. Masing-masing sekutu (firmant) ikut memimpin perusahaan dan bertanggungjawab penuh terhadap hutang perusahaan; (c) persekutuan komanditer (CV), yaitu badan usaha yang terdiri dari satu atau beberapa sekutu komanditer. Sekutu komanditer adalah sekutu yang hanya menyerahkan atau menyertakan modal, dan tidak turut campur dalam pengelolaan perusahaan. Pada CV dikenal dua macam sekutu yaitu: Sekutu aktif, yaitu sekutu yang ikut menyertakan modal sekaligus aktif mengelola jalannya usaha. Sekutu pasif atau sekutu komanditer, yaitu sekutu yang hanya menyertakan modal saja dan tidak terlibat dalam pengelolaan usaha; (d) perseroan terbatas (PT), yaitu badan usaha yang dari persekutuan antara dua orang atau lebih yang modalnya diperoleh dengan cara menjual saham. Pemilik saham disebut juga persero, yang memiliki tanggung jawab terbatas terhadap perusahaan. Tanggung jawab terbatas artinya bertanggungjawab sebatas modal yang disetor (saham yang dimiliki). Saham adalah surat berharga dengan nilai nominal tertentu sebagai bukti kepemilikan perusahaan. Saham dapat diperjualbelikan/dipindahtangankan melalui bursa/ pasar saham sesuai dengan besar kecilnya permintaan dan penawaran. Pemilik saham memperoleh pembagian keuntungan perusahaan yang disebut deviden; (e) koperasi. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-5

64 Dengan menggunakan badan usaha industri termasuk untuk kecil dan menengah membedakan dengan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dilakukan oleh orang perorang atau badan usaha dengan pendekatan koperasi. 39 Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, pengertian UKM sebagai berikut: Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar, 40 dengan kriteria sebagai berikut: 41 a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp ,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp ,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp ,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp ,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan, 42 dengan kriteria sebagai berikut: 43 a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp ,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp ,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp ,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp ,00 (lima puluh milyar rupiah). Sesuai perkembangan industri kecil dan menengah, Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian melakukan retruknisasi sarana yang dimiliki industri kecil dan menengah sehingga berpengaruh terhadap nilai investasi pada industri tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Perindustrian No. 11/M-IND/PER/3/2014 tentang Program Retrukturisasi Mesin dan/atau Peralatan Industri Kecil dan Menengah, sebagai berikut: 39 Yang dimaksud dengan koperasi menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Koperasi, adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi. 40 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah 41 Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah 42 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah 43 Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-6

65 Kriteria industri kecil dan industri menengah sebagai berikut: a. Industri kecil yaitu industri dengan nilai investasi paling banyak Rp ,- (lima ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan b. Industri menengah yaitu industri dengan nilai investasi paling besar dari Rp ,- (lima ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp ,- (sepuluh miliar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian No. 11/M-IND/PER/3/2014 tersebut di atas, nilai investasi pada kecil dan menengah mengalami perubahan. Dengan demikian definisi industri kecil dan menengah sebagai berikut: a. Industri Kecil adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang industri dengan nilai investasi paling banyak Rp ,- (lima ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. b. Industri Menengah adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang industri dengan nilai investasi paling besar dari Rp ,- (lima ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp ,- (sepuluh miliar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Sedangkan industri besar tidak mengalami perubahan, yaitu perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang industri dengan nilai investasi lebih besar dari Rp (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Tugas dan kewenangan Pemerintah Daerah dalam pembinaan industri sesuai Peraturan Menteri Perindustrian No. 64/M/IND/PER/7/2011 tentang Jenis- Jenis Industri Dalam Pembinaan Direktorat Jenderal dan Badan Di Lingkungan Kementerian Perindustrian, tidak sepenuhnya jenis industri kecil dan industri menengah menjadi tugas dan wewenang Pemerintah Daerah. Jenis industri kecil dan menengah yang menjadi tugas dan wewenang Pemerintah Pusat melalui Kementerian Perindustrian sebagai berikut: Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-7

66 Tabel-4.1 Jenis Industri Kecil dan Menengah Pembinaannya Sepenuhnya Dilakukan oleh Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah dan Badan Pengkajian Kebijakan, Iklim, dan Mutu Industri KBLI 44 Kelompok Industri Industri Penggaraman/Pengeringan Ikan Industri Pemindangan Ikan Industri Penggaraman/Pengeringan Biota Air Lainnya Industri Pemindangan Biota Air Lainnya Industri Pengasinan/Pemanisasi Buah-Buahan dan Sayuran Industri Tempe Kedelai Industri Tahu Kedelai Industri Pengupasan dan Pembersihan dan Kecang2-an Industri Pengupasan dan Pembersihan Umbi-Umbian termasuk Rizoma Industri Gula Merah Industri Kain Tenun Ikat Industri Pencetakan Kain terutama motif batik dan tradisional Industri Batik untuk batik tulis Industri Kain Rajutan Khususnya Renda Industri Kain Sulaman/Bordir Industri Pakian Jadi (Konveksi) dari Tekstil terutama mukena, selendang, kerudung, dan pakaian tradisional lainnya Industri Pengawetan Rotan, Bambu, dan Sejenisnya Industri Barang Anyaman Dari Tanaman Bukan Rotan dan Bambu, yang memiliki kekayaan khas khasana budaya daerah, nilai seni yang menggunakan bahan baku alamiah dan imitasi Industri Kerajinan Ukiran Dari Kayu Bukan Mebeller, yang memiliki kekayaan khas khasanah budaya daerah, nilai seni yang menggunakan bahan baku alamian dan imitasi Industri Alat Dapur Dari Kayu, Rotan dan Bambu, yang memiliki kekayaan khas khasanah budaya daerah, nilai seni yang menggunakan bahan baku alamian dan imitasi Industri Barang Dari Kayu, Rotan, Gabus Lainnya Yang Tidak Diklasifikasikan Di Tempat Lain, yang memiliki kekayaan khas khasanah budaya daerah, nilai seni yang menggunakan bahan baku alamian dan imitasi Industri Perlengkapan Rumah Tangga Dari Tanah Liat/Kramik Untuk Gerabah 44 KBLI Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 57 Tahun 2009 Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-8

67 KBLI 44 Kelompok Industri Industri Perkakas Tangan Untuk Pertanian, yang diperlukan untuk persiapan lahan, proses produksi, permanen, pasca panen, dan pengolahan kecuali cangkul dan sekop Industri Perkakas Tangan Pertukangan, Untuk yang diproses secara manual atau semi mekanik untuk pertukangan dan pemotongan Industri Perkakas Tangan Yang Digunakan Dalam Rmhan Tangga, yang diproses secara manual atau semi mekanik untuk pertukangan dan pemotongan Industri Peralatan Umum, Untuk industri perkakas tangan yang diproses secara manual atau semi mekanik untuk pertukangan dan pemotongan Industri Alat Musik Tradisional, yang memiliki kekayaan khas khasanah budaya daerah, nilai seni yang menggunakan bahan baku alamian dan imitasi Jasa Reparasi Produk Logam Pabrikasi Lainnya Reparasi dan Perawatan Sepeda Motor, Khusus industri jasa pemeliharaan dan perbaikan sepeda moto kecuali yang terintegrasi dengan bidang usaha penjualan sepeda motor (agen/distributor) dan industri reparasi barang-barang keperlian pribadi dan rumah tangga Jasa Reparasi Peralatan Rumah Tangga dan Peralatan Rumah dan Kebun, khususnya industri jasa pemeliharaan dan perbaikan sepeda motor kecuali yang terintegrasi dengan bidang usaha penjualan sepeda motor (agen/distributor) dan industri reparasi barang-barang keperlian pribadi dan rumah tangga Jasa Reparasi Alas Kaki dan Barang Dari Kulit, khususnya industri jasa pemeliharaan dan perbaikan sepeda motor kecuali yang terintegrasi dengan bidang usaha penjualan sepeda motor (agen/distributor) dan industri reparasi barangbarang keperlian pribadi dan rumah tangga Jasa Reparasi Furnitur dan Perlengkapan Rumah Tangga Jasa Reparasi Barang Rumah Tangga dan Pribadi Lainnya Jasa Sertifikasi Jasa Pengujian Laboratorium Jasa Inspeksi Sumber : Peraturan Menteri Perindustrian No. 64/M/IND/PER/7/2011 Jenis industri lain yang termuat dalam UU No. 3 Tahun 2014 adalah Industri Kreatif. Pengertian industri kreatif sebagaimana termuat dalam penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf b UU No. 3 Tahun 2014, adalah industri yang mentransformasi dan memanfaatkan kreativitas, keterampilan, dan kekayaan intelektual untuk Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-9

68 menghasilkan barang dan jasa. Pengembangan industri kreatif sangat dibutuhkan dalam persaingan global karena memberikan kontribusi terhadap ekonomi yang signifikan, menciptakan iklim bisnis yang positif, membangun citra dan identitas bangsa, berbasis pada sumber daya yang terbarukan, menciptakan inovasi dan kreativitas merupakan keunggulan kompetitif suatu bangsa, serta memberikan dampak sosial yang positif. Dalam rangka mendorong pengembangan industri kreatif Pemerintah Pusat melalui Kementerian Perindustrian telah mengembangan jenis industri kreatif di Provinsi Bali dengan membentuk Unit Pelaksana Teknis Industri Kreatif dibawah Kementerian Perindustrian sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 72/M-IND/PER/9/2015 tentang Peta Panduan Pengembangan Pusat Pengembangan Industri Kreatif (Bali Creative Industry Center) Tahun Jenis industri kreatif dimaksud sebagaimana disajikan dalam Tabel berikut ini. Tabel-4.2. Jenis Industri Kreatif menjadi Bali Creative Industry Center (BCIC) Yang Dikembangkan oleh Kementerian Perindustrian Berdasarkan KBLI 2009 KODE JENIS INDUSTRI KOMODITI/CABANG INDUSTRI Industri Pertenunan (Bukan Pertenunan Karung Goni Kerajinan dan Karung Lainnya) Industri Kain Tenunan Ikat Kerajinan/Fesyen Industri Bulu Tiruan Tenunan Kerajinan/Fesyen Industri Percetakan Kain Kerajinan/Fesyen Industri Batik Fesyen Industri Kain Rajutan Kerajinan/Fesyen Industri Kain Sulaman/Bordir Kerajinan/Fesyen Industri Bulu Tiruan Rajutan Fesyen Industri Barang Jadi Tekstil Sulaman Fesyen Industri Barang Jadi Rajutan dan Sulaman Fesyen Industri Karpen dan Permadani Kerajinan Industri Pakain Jadi (Konveksi) dari Tekstil Fesyen Industri Pakaian Jadi (Konveksi) dari Kulit Fesyen Penjahitan dan Pembuatan Pakaian sesuai Pesanan Fesyen Industri Perlengkapan Pakian dari Tekstil Fesyen Industri Perlengkapan Pakaian dari Kulit Fesyen Industri Pakaian Jadi dan Barang dari Kulit Fesyen Industri Pakaian Jadi Rajutan Kerajinan/Fesyen Industri Pakaian Jadi Sulaman/Bordir Kerajinan/Fesyen Industri Rajutan Kaos Kaki dan Sejenisnya Fesyen Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-10

69 KODE JENIS INDUSTRI KOMODITI/CABANG INDUSTRI Industri Barang dari Kulit dan Kulit Buatan untuk Fesyen Keperluan Pribadi Industri Barang dari Kulit dan Kulit Buatan untuk Fesyen Teknik/Industri Industri Barang dari Kulit dan Kulit Buatan untuk Fesyen Keperluan Hewan Industri Barang dari Kulit dan Kulit Buatan untuk Kerajinan Keperluan Lainnya Industri Alas Kali untuk Keperluan sehari-hari Fesyen Industri Sepatu Olahraga Fesyen Industri Sepatu Teknik Lapangan/Keperluan Industri Fesyen Industri Alas Kaki Lainnya Fesyen Industri Barang Anyaman dari Rotan dan Bambu Kerajinan Industri Barang Anyaman dari Tanaman Bukan Rotan Kerajinan dan Bambu Industri Barang Anyaman dari Kayu Bukan Mebeller Kerajinan Industri Perlengkapan Rumah Tangga dari Tanah Kerajinan Liat/Keramik Industri Permata Kerajinan Industri Barang Perhiasan dari Logam Mulia untuk Kerajinan Keperluan Pribadi Industri Perhiasan Mutiara Kerajinan Industri Barang Lainnya dari Logam Mulia untuk Kerajinan Keperluan Pribadi Industri Kerajinan YTDL Kerajinan Produk Film, Video dan Program Televisi oleh Pemerintah Animasi, Games, Perangkat Lunak Produksi Film, Video dan Program Televisi oleh Swasta Animasi, Games, Perangkat Lunak Pasca Produksi Film, Video dan Program Televisi oleh Pemerintah Animasi, Games, Perangkat Lunak Pasca Produksi Film, Video dan Program Televisi oleh Swasta Animasi, Games, Perangkat Lunak Kegiatan Pemrograman Komputer Animasi, Games, Perangkat Lunak Jasa Perancangan Khusus Kerajinan Sumber : Peraturan Menteri Perindustrian No. 72/M-IND/PER/9/2015 Industri kreatif di Indonesia terdiri dari 14 subsektor, yaitu periklanan; arsitektur; pasar barang seni; kerajinan; desain; fesyen; video, film, dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan perangkat lunak; televisi dan radio; riset dan pengembangan; serta kuliner. Dari 14 subsektor tersebut, terdapat 3 (tiga) subsektor yang memberikan kontribusi atau Nilai Tambah Bruto yang dominan, yaitu subsektor kuliner; fesyen; dan kerajinan. Oleh sebab itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-11

70 Perindustrian dan Energi Provinsi DKI Jakarta dapat mengembangkan industri kreatif sebagaimana dilakukan oleh Kementerian Perindustrian di Provinsi Bali. Berdasarkan Peraturan Gubernur No. 267 Tahun 2016 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perindustrian dan Energi, pengembangan industri kreatif menjadi tugas dan fungsi Seksi Industri Kecil, Menengah, dan Kreatif pada Bidang Industri. Pemerintah telah menetapkan berbagai program pengembangan industri kreatif dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 72/M- IND/PER/9/2015. Program tersebut, dapat dijadikan rujukan atau pedoman oleh Dinas Tugas dan Wewenang Pemerintah Daerah Berdasarkan penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut Pasal 12 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan perindustrian termasuk urusan pemerintahan pilihan yang wajib diselenggarakan oleh Daerah sesuai potensi yang dimiliki Daerah. 45 Meskipun Daerah memiliki kewenangan mengatur dan/atau mengurus urusan pemerintahan di bidang perindustrian yang menjadi wewenangnya, bukan berarti Pemerintah Pusat tidak memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan perindustrian. Pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah (provinsi dan kabupaten/kota) termuat dalam Lampiran UU No. 23 Tahun 2014 disesuaikan penyelenggaraan otonomi pada lingkup provinsi sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, 46 sebagai berikut: 1. Sub Urusan Perencanaan Pembangunan Industri a. Pemerintah Pusat dalam sub urusan perencanaan pembangunan industri kewenangannya menetapkan rencana induk pembangunan industri nasional. 45 Lihat Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 46 Pasal 9 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-12

71 b. Pemerintahan Daerah dalam sub urusan perencanaan pembangunan industri kewenangannya menetapkan rencana pembangunan industri daerah. Penetapan rencana induk pembangunan industri oleh Pemerintah Pusat menurut Pasal 8 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2014, untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan perindustrian. Rencana induk pembangunan industri nasional menurut Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 3 Tahun 2014, merupakan pedoman bagi Pemerintah dan pelaku Industri dalam perencanaan dan pembangunan industri, disusun untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. Kewenangan Pemerintahan Daerah dalam perencanaan pembangunan industri adalah menetapkan rencana pembangunan industri daerah menurut Pasal 10 dan Pasal 11 UU No. 3 Tahun 2014 menjadi tugas dan wewenang Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota). Selengkapnya Pasal 10 dan Pasal 11 sebagai berikut: Pasal 10 (1) Setiap Gubernur menyusun rencana pembangunan industri provinsi. (2) Rencana pembangunan industri provinsi mengacu kepada Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional dan Kebijakan Industri Nasional. (3) Rencana pembangunan industri provinsi disusun paling sedikit memperhatikan: a. potensi sumber daya Industri daerah; b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan/atau Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; dan c. keserasian dan keseimbangan dengan kebijakan pembangunan Industri di kabupaten/kota serta kegiatan sosial ekonomi dan daya dukung lingkungan. (4) Rencana Pembangunan Industri Provinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi setelah dievaluasi oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-13

72 Pasal 11 (1) Setiap bupati/walikota menyusun Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota. (2) Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota disusun dengan mengacu pada Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional dan Kebijakan Industri Nasional. (3) Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota disusun dengan paling sedikit memperhatikan: a. potensi sumber daya Industri daerah; b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; dan c. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan sosial ekonomi serta daya dukung lingkungan. (4) Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota setelah dievaluasi oleh gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, negara melalui UU No. 3 Tahun 2014 memberikan perintah kepada Kepala Daerah (dalam hal ini Gubernur) untuk menyusun dan merumuskan Rencana Pembangunan Industri Daerah (Provinsi DKI Jakarta) dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Pembangunan Industri Daerah untuk selanjutnya dibahas dan ditetapkan bersama-sama dengan DPRD menjadi Peraturan Daerah setelah dilakukan evaluasi oleh Pemerintah. Dalam penyusunan rencana pembangunan industri provinsi mengacu kepada rencana induk pembangunan industri nasional dan kebijakan industri nasional. Rencana induk pembangunan industri nasional sebagaimana ditetapkan dalam PP No. 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun Sedangkan kebijakan industri nasional sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 12 UU No. 3 Tahun 2014 sebagai berikut: Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-14

73 Pasal 12 (1) Kebijakan Industri Nasional merupakan arah dan tindakan untuk melaksanakan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional. (2) Kebijakan Industri Nasional paling sedikit meliputi: a. sasaran pembangunan Industri; b. fokus pengembangan Industri; c. tahapan capaian pembangunan Industri; d. pengembangan sumber daya Industri; e. pengembangan sarana dan prasarana; f. pengembangan perwilayahan Industri; dan g. fasilitas fiskal dan nonfiskal. (3) Kebijakan Industri Nasional disusun untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. (4) Kebijakan Industri Nasional disusun oleh Menteri berkoordinasi dengan instansi terkait dan mempertimbangkan masukan dari pemangku kepentingan terkait. (5) Kebijakan Industri Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Presiden. Mencermati ketentuan di atas, bahwa rencana industri pembangunan industri nasional dan kebijakan industri nasional harus dipedomani oleh Pemerintahan Daerah dalam menyusun, merumuskan, dan menetapkan Peraturan Daerah tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Daerah. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dalam rencana induk pembangunan industri daerah menjadi satu kesatuan sistem dengan rencana pembangunan industri nasional. Demikian halnya dalam penyelenggaraan perindustrian baik nasional maupun daerah untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan perindustrian sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 UU No. 3 Tahun Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-15

74 UU RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL PP RENCANA TATA RUANG NASIONAL PP RENCANA INDUK PEMBANGUNAN INDUSTRI NASIONAL PERDA RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH PERDA RENCANAN TATA RUANG WILAYAH RAPERDA RENCANA INDUK PEMBANGUNAN INDUSTRI DAERAH PERDA RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH PERDA RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI PER KADIS RENCANA STRATEGIS DINAS PERINDUSTRIAN DAN ENERGI PERDA RENCANA ANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH PER KADIS RENCANA KERJA TAHUNAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN ENERGI Gambar 4.1 Kedudukan Rencana Induk Pembangunan Industri Daerah dan Keterkaitan dengan Rencana Pembangunan Daerah serta Tata Ruang 2. Sub Urusan Perizinan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penyelenggaraan sub urusan perizinan berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014, sebagai berikut: a. Pemerintah Pusat Dalam urusan perizinan yang menjadi tugas dan wewenang Pemerintah Pusat menurut Lampiran UU No. 23 Tahun 2014 meliputi: (a) penerbitan Izin Usaha Industri (IUI) Kecil, IUI Menengah dan IUI Besar untuk industri yang berdampak besar pada lingkungan, industri minuman beralkohol, dan industri strategis; (b) penerbitan izin perluasan usaha industri (IPUI) bagi industri berdampak besar pada lingkungan, industri minuman beralkohol, Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-16

75 indutri strategis; (c) penerbitan IUKI dan IPKI yang lokasinya lintas provinsi; (d) penerbitan IUI/IUKI dan IPUI/IPKI yang merupakan penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, didasarkan perjanjian yang dibuat Pemerintah Pusat dan pemerintah negara lain. b. Pemerintahan Daerah Tugas dan wewenang Pemerintahan Daerah dalam urusan perizinan, meliputi: (a) penerbitan IUI Besar, Menengah, dan Kecil; (b) penerbitan IPUI bagi industri besar, industri kecil dan menengah; (c) penerbitan IUKI dan IPKI yang lokasinya dalam 1 (satu) Daerah. Pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah dalam perizinan tersebut di atas, berdasarkan Pasal 101 dan Pasal 102 UU No 3 Tahun 2014 menyatakan, setiap kegiatan usaha industri wajib memiliki izin usaha industri. Kegiatan usaha Industri dimaksud meliputi: (a) industri kecil, ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai investasi tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; (b) industri menengah, ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau nilai investasi; (c) industri besar, ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau nilai investasi. Izin usaha industri diberikan oleh Menteri, dan dapat melimpahkan sebagian kewenangan pemberian izin usaha industri kepada Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota). Perlimpahan wewenang pemberian izin usaha industri kepada Gubernur sebagai Kepala Daerah diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 41/M-IND/PER/6/2008 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Industri, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perindustrian No. 81/M-IND/PER/10/2014. Secara rinci mengenai perizinan dalam Bab tersendiri. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-17

76 3. Sub Urusan Sistem Informasi Industri Nasional Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penyelenggaraan sub urusan sistem informasi industri nasional berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014, Pemerintah Pusat membangun dan mengembangkan sistem informasi industri nasional. Kewenangan Pemerintahan Daerah penyampaian laporan informasi industri untuk Izin Usaha Industri (IUI) Besar dan Izin perluasannya; IUI Kecil dan Izin Perluasannya; IUI Menengah dan Izin Perluasannya; dan IUKI dan IPKI yang lokasinya Daerah. Tugas dan wewenang Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang perindustrian menjadi tanggung jawab Kepala Daerah (dalam hal ini Gubernur, dan secara operasional berdasarkan Peraturan Daerah No. 18 Tahun 2016 tentang Organisasi Perangkat Daerah menjadi tugas dan fungsi Kepala Dinas Perindustrian dan Energi dalam perencanaan, pelaksanaan (pembangunan dan pengelolaan), serta pembinaan, pengembangan, pengawasan, dan pengendalian. Sedangkan dalam pengendalian melalui perizinan menjadi tugas dan fungsi Kepala Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 267 Tahun 2016 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perindustrian dan Energi, bahwa Dinas Perindustrian dan Energi tugasnya melaksanakan perencanaan, pembangunan, pengelolaan, pembinaan, pengembangan, pengawasan, pengendalian, evaluasi perindustrian, energi dan sarana jaringan utilitas. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Dinas Perindustrian dan Energi menyelenggarakan fungsi sebagai berikut: a. penyusunan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran Dinas Perindustrian dan Energi; b. pelaksanaan rencana strategis dan dokumen pelaksanaan anggaran Dinas Perindustrian dan Energi; c. penyusunan kebijakan, pedoman dan standar teknis bidang perindustrian, energi dan energi; Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-18

77 d. perencanaan, pembangunan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi perindustrian dan energi; e. pembinaan dan pengembangan perindustrian dan energi; f. pengembangan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian mutu, standardisasi hasil industri dan energi; g. fasilitasi prasarana, sarana, produksi, promosi, dan pemasaran hasil usaha industri dan energi; h. pembinaan tenaga fungsional di bidang industri dan energi; i. fasilitasi pengembangan kerja sama antar usaha industri dan energi; j. penyuluhan, bimbingan, inovasi, dan kreativitas, teknis industri dan energi; k. pemasangan lampu penerangan pasokan bagi masyarakat dalam keadaan darurat, bencana alam dan/atau kekurangan pasokan; l. penyusunan kebijakan, pedoman dan standar teknis bidang pencahayaan kota; m. perencanaan, pembangunan/peningkatan kualitas, pemeliharaan dan pengembangan bidang pencahayaan kota; n. pengelolaan dan verifikasi penggunaan daya listrik penerangan jalan umum; o. penyusunan kebijakan, pedoman, dan standar teknis perencanaan, pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, perawatan, pengawasan, pengendalian, pemantauan, evaluasi, penelitian pengembangan di bidang geologi dan air tanah; p. perencanaan, pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, perawatan, pengendalian, pemantauan, pengawasan, evaluasi, penelitian, pengembangan bidang geologi dan air tanah; q. pelaksanaan konservasi air tanah; r. penyediaan, penatausahaan, penggunaan, pemeliharaan, dan perawatan prasarana dan sarana bidang geologi dan air tanah; s. pemberian dukungan teknis kepada masyarakat dan Perangkat Daerah untuk bidang geologi dan air tanah; Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-19

78 t. penyusunan kebijakan, pedoman, dan standar teknis perencanaan, pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, perawatan, pengawasan, pengendalian, pemantauan, evaluasi, penelitian pengembangan di bidang energi dan ketenagalistrikan; u. perencanaan, pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, dan perawatan prasarana dan sarana bidang energi dan ketenagalistrikan; v. penyediaan, penatausahaan, penggunaan, pemeliharaan, dan perawatan prasarana dan sarana bidang energi dan ketenagalistrikan; w. pemberian dukungan teknis kepada masyarakat dan perangkat daerah untuk bidang energi dan ketenagalistrikan; x. pemungutan, penatausahaan, penyetoran, pelaporan, dan pertanggungjawaban penerimaan retribusi di bidang perindustrian dan energi; y. penegakan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian dan energi; z. pemberian dukungan teknis kepada masyarakat dan perangkat daerah di bidang perindustrian dan energi; aa. pengawasan dan pengendalian izin di bidang perindustrian dan energi; bb. penyediaan, penatausahaan, penggunaan, pemeliharaan, dan perawatan prasarana dan sarana kerja di bidang perindustrian dan energi; cc. pengelolaan kepegawaian, keuangan dan barang Dinas Perindustrian dan Energi; dd. pengelolaan ketatausahaan dan kerumahtanggaan Dinas Perindustrian dan Energi; ee. pengelolaan kearsipan, data dan informasi Dinas Perindustrian dan Energi; dan ff. pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Perindustrian dan Energi. Berdasarkan organisasi dan tata kerja Dinas Perindustrian dan Energi sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah No. 18 Tahun 2016 dan Peraturan Gubernur No. 267 Tahun 2016, bahwa urusan pemerintahan di bidang industri Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-20

79 dilaksanakan satu bidang, yaitu Bidang Industri. Bidang Industri terdiri dari 3 (tiga) Seksi, yaitu Seksi Pengembangan Industri, Seksi Industri Kecil, Menengah dan Kreatif, dan Seksi Kerjasama dan Kemitraan Industri. Bidang Industri mempunyai tugas melaksanakan pembinaan dan pengembangan industri. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Bidang Industri menyelenggarakan fungsi sebagai berikut: a. penyusunan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran Bidang Industri; b. pelaksanaan rencana strategis dan dokumen pelaksanaan anggaran Bidang Industri; c. penyusunan kebijakan, pedoman dan standar teknis pembinaan industri; d. pelaksanaan bimbingan, konsultasi, fasilitasi, pendidikan dan pelatihan, pendampingan, pengembangan serta evaluasi kegiatan industri; e. pengelolaan data dan informasi industri; f. pelaksanaan koordinasi, pengawasan dan pengendalian kegiatan industri; g. pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat; h. penyusunan kebijakan teknis standar industri; i. pelaksanaan koordinasi pembinaan dan pengembangan industri; j. penataan dan pengembangan kawasan sentra industri; k. pengembangan kerja sama dan hubungan kemitraan antar industri dengan sektor ekonomi dan non-ekonomi yang saling menguntungkan; l. pemberian fasilitas bantuan informasi pasar, promosi, dan pemasaran industri; m. penelitian, pengembangan, dan pengoptimalan pemanfaatan teknologi tepat guna di bidang industri; n. penyusunan bahan rekomendasi kepada penyelenggara perizinan dan nonperizinan dalam penetapan dan pemberian perizinan dan non-perizinan industri sesuai kebutuhan; o. peningkatan penggunaan produk dalam negeri; p. pelaksanaan sosialisasi perundang-undangan di bidang industri; Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-21

80 q. pelaksanaan penindakan atas pelanggaran kegiatan industri; dan r. pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi bidang industri. Seksi, yaitu: Bidang Industri dalam melaksanakan tugas dan fungsi dibantu 3 (tiga) 1. Seksi Pengembagan Industri Seksi Pengembangan Industri merupakan Satuan Kerja Bidang Industri dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan dan pengembangan industri yang mencakup pengembangan industri di Provinsi DKI Jakarta. Seksi Pengembangan Industri mempunyai tugas sebagai berikut: a. menyusun bahan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran sesuai dengan Iingkup tugasnya; b. melaksanakan dokumen pelaksanaan anggaran sesuai dengan lingkup tugasnya; c. menyusun bahan kebijakan, pedoman dan standar teknis pelaksanaan pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana industri; d. melaksanakan penataan dan pengembangan kawasan sentra industri; e. melaksanakan koordinasi pembinaan dan pengembangan industri; f. memfasilitasi sarana produksi bagi para pelaku industri; g. melaksanakan pengelolaan data dan informasi industri; h. menyusun peraturan-peraturan yang berhubungan dengan industri; i. melaksanakan penataan kawasan industri dan/atau sentra industri serta penyediaan ruang untuk masyarakat dalam berkreativitas; j. menyiapkan sarana promosi hasil proses produksi industri; k. memberikan rekomendasi perizinan dan non-perizinan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; l. melakukan koordinasi terkait pengembangan industri; m. melakukan koordinasi penyusunan bahan rencana strategis dan rencana kerja sesuai dengan lingkup tugasnya; Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-22

81 n. melakukan koordinasi penyusunan laporan keuangan, kinerja, kegiatan, dan akuntabilitas bidang industri; o. melakukan koordinasi, pengawasan, pengendalian kegiatan industri dan penindakan atas pelanggaran terhadap kegiatan industri; p. menyiapkan bahan laporan bidang industri terkait dengan tugas Seksi Pengembangan Industri yang telah dilaksanakan sebagai bahan evaluasi pimpinan; dan q. melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas Seksi Pengembangan Industri. 2. Seksi Industri Kecil, Menengah dan Kreatif Seksi Industri Kecil, Menengah dan Kreatif merupakan Satuan Kerja Bidang Industri dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan dan pengembangan industri kecil menengah dan kreatif. Tugas Seksi Industri Kecil, Menengah dan Kreatif sebagai berikut: a. menyusun bahan rencana kerja strategis dan rencana kerja dan anggaran sesuai dengan lingkup tugasnya; b. melaksanakan rencana strategis dan dokumen pelaksanaan anggaran sesuai dengan lingkup tugasnya; c. menyusun bahan kebijakan, pedoman, dan standar teknis Industri Kecil Menengah dan Kreatif; d. mengumpulkan dan mengolah bahan penyusunan pedoman pembinaan, bimbingan teknis, dan manajemen bagi industri kecil menengah dan kreatif; e. melaksanakan pembinaan, pelatihan/bimbingan teknis, pengembangan industri dan manajemen bagi industri kecil menengah dan kreatif; f. memberikan konsultasi dan fasilitasi perlindungan hak kekayaan intelektual khususnya bagi industri kecil, menengah dan industri kreatif; g. melaksanakan bantuan sertifikasi produk-produk industri kecil, menengah, dan kreatif; h. melakukan analisis permasalahan industri kecil menengah dan kreatif guna peningkatan daya saing industri; Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-23

82 i. melakukan analisis pengembangan sentra industri dan sentra industri kreatif j. memberikan fasilitas bantuan informasi pasar, promosi dan pemasaran proses produk industri kecil, menengah dan industri kreatif di dalam dan luar negeri k. meningkatkan pertumbuhan wirausaha baru; l. memfasilitasi pemberian penghargaan kepada pelaku industri kecil, menengah, dan kreatif; m. melaksanakan penyusunan bahan rencana strategis dan rencana kerja sesuai dengan lingkup tugasnya; n. melaksanakan penyusunan laporan keuangan, kinerja, kegiatan dan akuntabilitas bidang industri; o. melaksanakan evaluasi pengawasan dan pengendalian kegiatan Seksi Industri Kecil, Menengah, dan Kreatif; dan p. melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas Seksi Industri Kecil, Menengah dan Kreatif 3. Seksi Kerjasama dan Kemitraan Industri Seksi Manufaktur dan Agro merupakan Satuan Kerja Bidang Industri dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan, kerjasama dan kemitraan industri. Tugas Seksi Kerjasama dan Kemitraan Industri sebagai berikut: a. menyusun bahan rencana kerja strategis dan rencana kerja dan anggaran sesuai dengan lingkup tugasnya; b. melaksanakan rencana strategis dan dokumen pelaksanaan anggaran sesuai dengan lingkup tugasnya; c. menyusun bahan kebijakan, pedoman, dan standar teknis Kerjasama dan Kemitraan industri; d. melaksanakan kerja sama dan kemitraan antara industri kecil menengah dan kreatif dengan industri besar; e. melaksanakan kerja sama dan kemitraan antara industri kecil menengah dan kreatif dengan lembaga keuangan di bidang permodalan; Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-24

83 f. melaksanakan kerja sama dan kemitraan antara industri kecil menengah dan kreatif dengan pasar modern di bidang pemasaran produk; g. melaksanakan kerja sama dan kemitraan antara industri kecil menengah dan kreatif dengan perguruan tinggi dalam hal penelitian dan pengembangan teknologi tepat guna di bidang industri; h. melaksanakan kerja sama dan kemitraan antara industri kecil menengah dan kreatif dengan asosiasi industri dan lembaga lain dalam rangka pengembangan daya saing industri; i. memfasilitasi kemitraan antara industri kecil menengah dan kreatif dengan BUMN/D dan swasta dalam Pemanfaatan Program Kemitraan Bina Lingkungan dan CSR; j. memfasilitasi pembentukan asosiasi industri; k. memfasilitasi peningkatan penggunaan produk dalam negeri; l. melaksanakan analisis iklim usaha dan peningkatan kerjasama industri; m. melakukan kerjasama antara pemerintah daerah dengan pemerintah dan antar pemerintah daerah serta kerja sama luar negeri di bidang industri; n. mengkoordinasikan penyusunan bahan rencana strategis dan rencana kerja sesuai dengan lingkup tugasnya; o. mengkoordinasikan penyusunan laporan keuangan, kinerja, kegiatan dan akuntabilitas bidang industri; p. melaksanakan evaluasi pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan Seksi Kerjasama dan Kemitraan Industri; q. menyiapkan bahan laporan Bidang Industri yang terkait dengan tugas Seksi Kerjasama dan Kemitraan industri yang telah dilaksanakan sebagai bahan evaluasi pimpinan; dan r. melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas Seksi Kerjasama dan Kemitraan Industri. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-25

84 Pada lingkup Kota dan Kabupaten Administrasi urusan pemerintahan bidang perindustrian dilaksanakan oleh Suku Dinas Kota dan Suku Dinas Kabupaten yang secara operasional menjadi tugas Seksi Industri dan Energi Sumber Daya Mineral. Tugas Seksi Industri dan Energi Sumber Daya Mineral Suku Dinas Kota sebagai berikut: a. menyusun bahan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran Suku Dinas Kota Administrasi sesuai dengan Iingkup tugasnya; b. melaksanakan dokumen pelaksanaan anggaran Suku Dinas Kota Administrasi sesuai dengan Iingkup tugasnya; c. melaksanaan bimbingan, konsultasi, fasilitasi, pendidikan dan pelatihan, pendampingan, serta pengembangan usaha industri kecil lingkup Kota Administrasi; d. melaksanakan pembinaan dan penumbuhan wirausaha industri baru di wilayah Kota Administrasi; e. melaksanakan pendataan industri kecil, genset, agen dan pangkalan LPG bersubsidi, sumur resapan dangkal, sumur dalam, pendistribusian BBM, BBG dan LPG di wilayah Kota Administrasi; f. melaksanakan pembangunan, pengawasan, dan pemeliharaan sumur resapan air tanah dangkal di wilayah Kota Administrasi; g. melaksanakan pencatatan, pengawasan dan pengendalian pemanfaatan air tanah; h. melaksanakan pengawasan, dan pengendalian pengambilan bahan galian pasir laut dan terumbu karang di wilayah Kota Administrasi; i. melaksanakan pembangunan, pengawasan dan pengendalian dan pemeliharaan energi baru terbarukan dan konservasi energi di wilayah Kota Administrasi; j. melaksanakan pembangunan, pengawasan, dan pemeliharaan pembangkit, jaringan transmisi dan distribusi listrik di wilayah Kota Administrasi; k. melaksanakan pembinaan dan pengembangan industri kecil di wilayah Kota Administrasi; Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-26

85 l. melaksanakan koordinasi, monitoring, evaluasi industri kecil, energi dan sumber daya mineral di wilayah Kota administrasi; m. melaksanakan koordinasi dan kemitraan dengan instansi terkait dan pelaku usaha industri kecil di tingkat wilayah Kota administrasi; n. melaksanakanpemberian rekomendasi izin usaha industri kecil, agen LPG bersubsidi; dan o. melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan fungsi Seksi Industri dan Energi Sumber Daya Mineral. Sedangkan tugas Seksi Industri lingkup Suku Dinas Kabupaten sebagai berikut: a. menyusun bahan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran Suku Dinas Kabupaten sesuai dengan Iingkup tugasnya; b. melaksanakan dokumen pelaksanaan anggaran Suku Dinas Kabupaten Administrasi sesuai dengan Iingkup tugasnya; c. melaksanaan bimbingan, konsultasi, fasilitasi, pendidikan dan pelatihan, pendampingan, serta pengembangan usaha industri kecil lingkup Kabupaten Administrasi; d. melaksanakan penumbuhan wirausaha industri baru di wilayah Kabupaten Administrasi; e. melaksanakan pendataan industri kecil, genset, agen dan pangkalan LPGbersubsidi, sumur resapan dangkal, sumur dalam, pendistribusian BBM, BBG dan LPG di wilayah kabupaten administrasi; f. melaksanakan pembangunan,pengawasan, dan pemeliharaan sumur resapan air tanah dangkal di wilayah kabupaten administrasi; g. melaksanakan pencatatan, pengawasan dan pengendalian pemanfaatan air tanah; h. melaksanakan pengawasan, dan pengendalian pengambilan bahan galian pasir laut dan terumbu karang di wilayah kabupaten administrasi; i. melaksanakan pembangunan, pengawasan dan pengendalian dan pemeliharaan energi baru terbarukan dan konservasi energi di wilayah kabupaten administrasi; Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-27

86 j. melaksanakan pembangunan, pengawasan, dan pemeliharaan pembangkit, jaringan transmisi dan distribusi listrik di wilayah kabupaten administrasi; k. melaksanakan pembinaan dan pengembangan industri kecildi wilayah kabupaten administrasi; l. melaksanakan koordinasi, monitoring, evaluasi industri kecil, energi dan sumber daya mineral di wilayah kabupaten administrasi; m. melaksanakan koordinasi dan kemitraan dengan instansi terkait dan pelaku usaha industri kecil di tingkat wilayah kabupaten administrasi; n. melaksanakanpemberian rekomendasi izin industri kecil, agen LPG bersubsidi; dan o. melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan fungsi Seksi Industri dan Energi Sumber Daya Mineral; Mencermati tugas dan fungsi Dinas Perindustrian dan Energi di bidang perindustrian, secara umum wewenang yang diberikan negara kepada Gubernur melalui UU No. 3 Tahun 2014 dilaksanakan oleh Kepala Dinas Perindustrian dan Energi yang secara operasional menjadi tugas Kepala Bidang Industri, yaitu: (a) penyiapan konsep pengaturan dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah, Rancangan Peraturan/Keputusan Gubernur; (b) menyusun konsep rencana pembangnan industri; (c) pelakukan pengembangan industri; (d) membina; (e) mengawasi; (f) pengendalian sebagian dilaksanakan oleh Kepala Badan/Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTST) dalam bentuk perizinan dan non perizinan di bidang perindustrian sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Selain Dinas sebagai pelaksana urusan pemerintahan di bidang perindustrian, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki beberapa Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD), antara lain: Unit Industri Kerajinan dan Tekstil sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Gubernur Nomor 281 Tahun Tugas Unit Industri Kerajinan dan Tekstil adalah melaksanakan pengujian, pengelolaan laboratorium pengujian dan pengembangan desain produk kerajinan. Sedangkan fungsinya sebagai berikut: (a) penyusunan rencana strategis dan Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-28

87 rencana kerja dan anggaran Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (b) pelaksanaan rencana strategis dan dokumen pelaksanaan anggaran Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (c) penyusunan pedoman, standar dan prosedur teknis pengujian hasil industri kerajinan dan tekstil; (d) penyusunan rencana kebutuhan penyediaan, pemeliharaan dan perawatan prasarana dan sarana teknis pengujian industri kerajinan dan tekstil; (e) pengujian mutu bahan baku dan produk industri kerajinan dan tekstil; (f) pelaksanaan bimbingan dan konsultasi teknis untuk peningkatan dan pengawasan mutu, bahan baku, proses, peralatan dan hasil produksi industri kerajinan dan tekstil; (g) penyelenggaraan pelatihan pengembangan industri kerajinan dan tekstil; (h) pelaksanaan peningkatan kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) melalui keikutsertaan dalam pendidikan dan pelatihan teknis dan non teknis Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (i) pelaksanaan fasilitasi pemasaran dan promosi; (j) pelaksanaan fasilitasi proses standardisasi; (k) pelaksanaan pengujian sertifikasi produk dan sertifikasi sistem mutu; (l) pelaksanaan jasa inspeksi teknis dan pengambilan contoh; (m) pelaksanaan kerja sama dengan instansi terkait dalam rangka pengembangan industri kerajinan dan tekstil dan produk kerajinan dan tekstil kreatif; (n) penyediaan, pemeliharaan dan perawatan prasarana dan sarana teknis Unit Industri dan Kerajinan Tekstil; (o) pengelolaan kepegawaian, keuangan dan barang Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (p) pelaksanaan kegiatan kerumah tanggaan dan ketatausahaan Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (q) pelaksanaan publikasi kegiatan dan pengaturan acara Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (r) pelaksanaan pengelolaan teknologi informasi Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (s) pengelolaan kearsipan Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (t) penyiapan bahan laporan Dinas Perindustrian dan Energi yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsi Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (u) pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi Unit Industri Kerajinan dan Tektil. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-29

88 Secara teori terdapat 3 (tiga) wewenang menurut cara memperoleh, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang-undang. Delegasi 47 adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lain, sedangkan mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Ada dua cara organ pemerintahan memperoleh wewenang atribusi dan delegasi. 48 Wewenang atribusi berkenaan penyerahan wewenang, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atribusi kepada organ lain), jadi delegasi secara logis selalui didahului oleh atribusi. Mandat tidak dibicarakan penyerahan wewenang, tidak ada pula pelimpahan wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan wewenang apapun (setidak-tidaknya dalam arti yuridis formal). Yang ada hanya hubungan internal, sebagai contoh Gubernur dengan Kepala Dinas, Kepala Dinas mengambil keputusan tertentu atas nama Gubernur, sementara secara yuridis wewenang dan tanggung jawab tetap berada pada Gubernur. Pegawai memutuskan secara faktual, Gubernur secara yuridis). Berdasarkan uraian tersebut di atas, wewenang Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan perindustrian diberikan oleh negara melalui UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, termasuk wewenang atribusi dan asas legalitas bagi Pemerintahan Daerah untuk mengatur penyelenggaraan perindustrian dengan Peraturan Daerah. Wewenang delegasi adalah wewenang Pemerintah Daerah yang diperoleh atas dasar pelimpahan wewenang dari badan/organ pemerintahan lain. Sifat wewenang delegasi, pelimpahan yang bersumber dari wewenang atribusi. Sebagai contoh, Menteri Perindustrian mendelegasikan kepada Gubernur dalam pemberian izin usaha industri. Akibat hukum ketika wewenang delegasi dijalankan menjadi tanggung jawab penerima delegasi (delegataris), wewenang tersebut tidak dapat digunakan lagi oleh pemberi wewenang kecuali pemberi wewenang (delegans) menilai terjadi penyimpangan atau pertentangan dalam 47 H.D. van Wijk/Willem Konijnenbel, dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm van Wijk F. A. M Stroink dan J.G. Steenbeek dalam Ridwan HR, Op. Cit., hlm Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-30

89 menjalankan wewenang tersebut, sehingga wewenang dicabut kembali oleh pemberi delegasi. Sedangkan wewenang mandat adalah pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara bawahan dengan atasan, kecuali dilarang secara tegas oleh peraturan perundang-undangan. Tanggung jawab dan tanggung gugat, wewenang mandat tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat (mandans), sementara penerima mandat (mandataris) tidak dibebani tanggung jawab dan tanggung gugat atas wewenang yang dijalankan. Setiap saat wewenang mandat dapat digunakan atau ditarik kembali oleh pemberi mandat (mandans). Matrik-4.1 Perbedaan Cara Perolehan Wewenang dan Tanggung Jawab 49 Cara perolehan Kekuatan mengikatnya Tanggung jawab dan tanggung gugat Hubungan wewenang Atribusi Delegasi Mandat Peraturan perundangundangan Pelimpahan Pelimpahan Tetap melekat sebelum ada Dapat dicabut atau Dapat ditarik atau perubahan peraturan ditarik kembali apabila digunakan sewaktuwaktu perundang-undangan ada pertentangan atau oleh pemberi penyimpangan wewenang Penerima wewenang bertanggungjawab mutlak akibat yang ditimbulkan dari wewenang Hubungan hukum pembentuk undang-undang dengan organ pemerintahan Pemberi wewenang melimpahkan tanggung jawab dan tanggung gugat kepada penerima wewenang Berdasarkan atas wewenang atribusi yang dilimpahkan Berada pada pemberi mandat Hubungan yang bersifat internal antara bahawan dengan atasan. Matrik-4.1 menampilkan perbedaan mendasar wewenang (atribusi, delegasi, dan mandat) baik prosedur atau cara perolehan, kekuatan mengikat, tanggung jawab, dan tanggung gugat, maupun hubungan antara pemberi wewenang dengan penerima wewenang. Dalam wewenang baik diperoleh berdasarkan atribusi maupun pelimpahan, sama-sama harus terlebih dahulu dipastikan yang melimpahkan memiliki wewenang dan wewenang tersebut benar-benar ada berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pemberian wewenang delegasi dapat terjadi diantara organ pemerintah sederajat atau antar lembaga yang tidak sederajat atau dari pemerintah atasan kepada pemerintah bawahan. Delegasi juga dapat dilakukan dari Gubernur 49 Sadjijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, 2008., hlm. 61 Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-31

90 kepada Kepala Daerah Kabupaten/Kota daerah otonom atau Bupati/Walikota. Artinya, pendelegasian wewenang dapat dilakukan secara bertingkat atau bertahap dalam arti yang diberikan delegator atau pemberi delegasi kepada penerima delegasi untuk kemudian mendelegasikan lagi untuk diatur pada tahap berikutnya kepada lembaga lain atau lembaga yang lebih rendah. Prosedur pemberian wewenang dalam pengaturan harus memenuhi 3 (tiga) syarat dan salah satunya harus ada. 50 Pertama, adanya perintah mengenai subjek lembaga pelaksana diberi delegasi, dan bentuk peraturan pelaksanaan untuk menuangkan ke dalam materi pengaturan didelegasikan. Kedua, ada perintah membentuk pengaturan yang dituangkan ke dalam materi pengaturan yang didelegasikan. Ketiga, ada perintah pendelegasian dari peraturan perundang-undangan membentuk peraturan perundang-undangan (dalam hal ini Peraturan Daerah) kepada lembaga penerima delegasi (Pemerintah Daerah) tanpa penyebutan bentuk peraturannya. Berdasarkan uraian tersebut di atas, ada perintah bersifat tegas dan ada perintah bersifat tidak tegas. Dalam hal perintah tidak tegas dikarenakan ada 3 (tiga) kemungkinan. 51 Pertama, perintah pengaturan memang ada tetapi tidak tegas menentukan bentuk pengaturan yang dipilih sebagai tempat penuangan materi ketentuan yang didelegasikan pengaturannya. Kedua, perintah pengaturan memang ada, tetapi tidak ditentukan secara jelas lembaga yang diberi delegasi kewenangan atau bentuk pengaturan yang harus ditetapkan untuk menuangkan materi yang didelegasikan. Ketiga, perintah pengaturan sama sekali tidak disebut atau tidak ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, tetapi dibutuhkan daerah dan/atau tidak terelakkan dalam rangka pelaksanaan undang-undang itu sendiri. Di dalam UU No. 3 Tahun 2014 ada perintah bersifat tegas dan ada perintah bersifat tidak tegas diberikan kepada Pemerintah Daerah dan/atau Kepala Daerah dalam hal ini Gubernur. Perintah tersebut, sebagai berikut: Pasal 7 50 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, hal Ibid, hal. 385 Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-32

91 (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota secara bersama-sama atau sesuai kewenangan masingmasing menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Pasal 10 (1) Setiap Gubernur menyusun Rencana Pembangunan Industri Provinsi. (2) Rencana Pembangunan Industri Provinsi mengacu kepada Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional dan Kebijakan Industri Nasional. (3) Rencana Pembangunan Industri Provinsi disusun dengan paling sedikit memperhatikan: a. potensi sumber daya Industri daerah; b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan/atau Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; dan c. keserasian dan keseimbangan dengan kebijakan pembangunan Industri di kabupaten/kota serta kegiatan sosial ekonomi dan daya dukung lingkungan. (4) Rencana Pembangunan Industri Provinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi setelah dievaluasi oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 14 (1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan percepatan penyebaran dan pemerataan pembangunan Industri ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui perwilayahan Industri. (2) Perwilayahan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan paling sedikit memperhatikan: a. rencana tata ruang wilayah; b. pendayagunaan potensi sumber daya wilayah secara nasional; c. peningkatan daya saing Industri berlandaskan keunggulan sumber daya yang dimiliki daerah; dan d. peningkatan nilai tambah sepanjang rantai nilai. (3) Perwilayahan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui: a. pengembangan wilayah pusat pertumbuhan Industri; b. pengembangan kawasan peruntukan Industri; c. pembangunan Kawasan Industri; dan d. pengembangan sentra Industri kecil dan Industri menengah. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-33

92 Pasal 16 (2) Pembangunan sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, pelaku Industri, dan masyarakat. 52 (3) Pembangunan sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan penyebaran dan pemerataan ketersediaan sumber daya manusia Industri yang kompeten untuk setiap wilayah provinsi dan kabupaten/kota. (4) Sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. wirausaha Industri; b. tenaga kerja Industri; c. pembina Industri; dan d. konsultan Industri. Pasal 20 Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memfasilitasi pembangunan pusat pendidikan dan pelatihan Industri di wilayah pusat pertumbuhan Industri Pasal 33 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam untuk Industri dalam negeri. (2) Guna menjamin ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam untuk Industri dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengatur pemanfaatan sumber daya alam bagi kepentingan Industri dalam negeri. Pasal 36 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam pengembangan, peningkatan penguasaan, dan pengoptimalan pemanfaatan Teknologi Industri. (2) Pengembangan, peningkatan penguasaan, dan pengoptimalan pemanfaatan Teknologi Industri dilakukan untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, nilai tambah, daya saing, dan kemandirian bidang Industri. Pasal 42 Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi: a. kerja sama penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Industri antara Perusahaan Industri dan perguruan tinggi atau lembaga penelitian dan pengembangan Industri dalam negeri dan luar negeri; b. promosi alih teknologi dari Industri besar, lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, dan/atau lembaga lainnya ke Industri kecil dan Industri menengah; dan/atau 52 Pasal 16 ayat (1) menyatakan Pembangunan sumber daya manusia Industri dilakukan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten guna meningkatkan peran sumber daya manusia Indonesia di bidang Industri. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-34

93 c. lembaga penelitian dan pengembangan dalam negeri dan/atau Perusahaan Industri dalam negeri yang mengembangkan teknologi di bidang Industri. Pasal 43 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat dalam pembangunan Industri. (2) Pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memberdayakan budaya Industri dan/atau kearifan lokal yang tumbuh di masyarakat. (3) Dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan: a. penyediaan ruang dan wilayah untuk masyarakat dalam berkreativitas dan berinovasi; b. pengembangan sentra Industri kreatif; c. pelatihan teknologi dan desain; d. konsultasi, bimbingan, advokasi, dan fasilitasi perlindungan Hak Kekayaan Intelektual khususnya bagi Industri kecil; dan e. fasilitasi promosi dan pemasaran produk Industri kreatif di dalam dan luar negeri Pasal 44 (2) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan usaha, dan/atau orang perseorangan. 53 (3) Pembiayaan yang berasal dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diberikan kepada Perusahaan Industri yang berbentuk badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah. (4) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan dalam bentuk: a. pemberian pinjaman; b. hibah; dan/atau c. penyertaan modal. Pasal 62 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin tersedianya infrastruktur Industri. (2) Penyediaan infrastruktur Industri dilakukan di dalam dan/atau di luar kawasan peruntukan Industri. 53 Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, Pemerintah memfasilitasi ketersediaan pembiayaan yang kompetitif untuk pembangunan Industri. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-35

94 (3) Infrastruktur Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi: a. lahan Industri berupa Kawasan Industri dan/atau kawasan peruntukan Industri; b. fasilitas jaringan energi dan kelistrikan; c. fasilitas jaringan telekomunikasi; d. fasilitas jaringan sumber daya air; e. fasilitas sanitasi; dan f. fasilitas jaringan transportasi. (4) Penyediaan infrastruktur Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui: a. pengadaan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang pembiayaannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; b. pola kerja sama antara Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan swasta, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dan swasta; atau c. pengadaan yang dibiayai sepenuhnya oleh swasta. Pasal 64 (1) Setiap Perusahaan Industri wajib menyampaikan Data Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota. (3) Gubernur dan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara berkala harus menyampaikan hasil pengolahan Data Industri sebagai Informasi Industri kepada Menteri melalui Sistem Informasi Industri Nasional. (4) Menteri, Gubernur, dan bupati/walikota memberikan kemudahan kepada Perusahaan Industri dalam menyampaikan Data Industri dan mengakses informasi. Pasal 65 (1) Setiap Perusahaan Kawasan Industri wajib menyampaikan Data Kawasan Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, Gubernur, dan bupati/walikota. (2) Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui Sistem Informasi Industri Nasional. (3) Gubernur dan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara berkala harus menyampaikan hasil pengolahan Data Kawasan Industri sebagai Informasi Industri kepada Menteri melalui Sistem Informasi Industri Nasional. (4) Menteri, Gubernur, dan bupati/walikota memberikan kemudahan kepada Perusahaan Kawasan Industri dalam menyampaikan Data Kawasan Industri dan mengakses informasi. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-36

95 Pasal 68 (3) Sistem Informasi Industri Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terkoneksi dengan sistem informasi yang dikembangkan oleh kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota, serta dapat berinteraksi dengan sistem informasi di negara lain atau organisasi internasional. 54 (4) Untuk menjamin koneksi Sistem Informasi Industri Nasional dengan sistem informasi di daerah, Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota membangun sistem Informasi Industri di provinsi dan kabupaten/kota. Pasal 69 Pejabat dari instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dilarang menyampaikan dan/atau mengumumkan Data Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dan Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) yang dapat merugikan kepentingan perusahaan dalam hal perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan persaingan usaha tidak sehat. Pasal 70 (2) Pejabat dari instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang menyampaikan dan/atau mengumumkan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembebasan dari jabatan; c. penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 (satu) tahun; d. penurunan pangkat pada pangkat setingkat lebih rendah untuk paling lama 1 (satu) tahun; e. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri; dan/atau f. pemberhentian dengan tidak hormat Pasal 72 (1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembangunan dan pemberdayaan Industri kecil dan Industri menengah untuk mewujudkan Industri kecil dan Industri menengah yang: a. berdaya saing; b. berperan signifikan dalam penguatan struktur Industri nasional; c. berperan dalam pengentasan kemiskinan melalui perluasan kesempatan kerja; dan d. menghasilkan barang dan/atau Jasa Industri untuk diekspor. (2) Untuk mewujudkan Industri kecil dan Industri menengah sebagai-mana dimaksud pada ayat (1) dilakukan: a. perumusan kebijakan; b. penguatan kapasitas kelembagaan; dan c. pemberian fasilitas. 54 Pasal 68 ayat (1) Menteri membangun dan mengembangkan Sistem Informasi Industri Nasional. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-37

96 Pasal 74 (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melaksanakan penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 55 Pasal 75 (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melaksanakan pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 56 Pasal 78 (2) Penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri berkoordinasi dengan menteri terkait, pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait, dan Pemerintah Daerah, serta mempertimbangkan masukan dari pemangku kepentingan terkait. Pasal 86 (1) Produk dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 wajib digunakan oleh: a. lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, dan satuan kerja perangkat daerah dalam pengadaan barang/jasa apabila sumber pembiayaannya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, termasuk pinjaman atau hibah dari dalam negeri atau luar negeri; dan b. badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha swasta dalam pengadaan barang/jasa yang pembiayaannya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah dan/atau pekerjaannya dilakukan melalui pola kerja sama antara Pemerintah dengan badan usaha swasta dan/atau mengusahakan sumber daya yang dikuasai negara. Pasal 101 (4) Menteri dapat melimpahkan sebagian kewenangan pemberian izin usaha Industri kepada gubernur dan bupati/walikota. Pasal 105 (3) Menteri dapat melimpahkan sebagian kewenangan pemberian izin usaha Kawasan Industri kepada gubernur dan bupati/walikota. 55 Pasal 74 ayat (1), Penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) huruf b paling sedikit dilakukan melalui: a. peningkatan kemampuan sentra, unit pelayanan teknis, tenaga penyuluh lapangan, serta konsultan Industri kecil dan Industri menengah; dan b. kerja sama dengan lembaga pendidikan, lembaga penelitian dan pengembangan, serta asosiasi Industri dan asosiasi profesi terkait. 56 Pasal 75 ayat (1) Pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) huruf c diberikan dalam bentuk: a. peningkatan kompetensi sumber daya manusia dan sertifikasi kompetensi; b. bantuan dan bimbingan teknis; c. bantuan bahan baku dan bahan penolong; d. bantuan mesin atau peralatan; e. pengembangan produk; f. bantuan pencegahan pencemaran lingkungan hidup untuk mewujudkan Industri Hijau; g. bantuan informasi pasar, promosi, dan pemasaran; h. akses pembiayaan, termasuk mengusahakan penyediaan modal awal bagi wirausaha baru; i. penyediaan Kawasan Industri untuk Industri kecil dan Industri menengah yang berpotensi mencemari lingkungan; dan/atau j. pengembangan, penguatan keterkaitan, dan hubungan kemitraan antara Industri kecil dengan Industri menengah, Industri kecil dengan Industri besar, dan Industri menengah dengan Industri besar, serta Industri kecil dan Industri menengah dengan sektor ekonomi lainnya dengan prinsip saling menguntungkan. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-38

97 Pasal 109 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong penanaman modal di bidang Industri untuk memperoleh nilai tambah sebesar-besarnya atas pemanfaatan sumber daya nasional dalam rangka pendalaman struktur Industri nasional dan peningkatan daya saing Industri. Pasal 110 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan fasilitas untuk mempercepat pembangunan Industri. (2) Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada: a. Perusahaan Industri yang melakukan penanaman modal untuk memperoleh dan meningkatkan nilai tambah sebesar-besarnya atas pemanfaatan sumber daya nasional dalam rangka pendalaman struktur Industri dan peningkatan daya saing Industri; b. Perusahaan Industri yang melakukan penelitian dan pengembangan Teknologi Industri dan produk; c. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang berada di wilayah perbatasan atau daerah tertinggal; d. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang mengoptimalkan penggunaan barang dan/atau jasa dalam negeri; e. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang mengembangkan sumber daya manusia di bidang Industri; f. Perusahaan Industri yang berorientasi ekspor; g. Perusahaan Industri kecil dan Industri menengah yang menerapkan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib; h. Perusahaan Industri kecil dan Industri menengah yang memanfaatkan sumber daya alam secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan; i. Perusahaan Industri yang melaksanakan upaya untuk mewujudkan Industri Hijau; dan j. Perusahaan Industri yang mengutamakan penggunaan produk Industri kecil sebagai komponen dalam proses produksi. Pasal 117 (5) Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota secara bersama-sama atau sesuai dengan kewenangan masing-masing melaksanakan pengawasan dan pengendalian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-39

98 Tidak ada wewenang tanpa tanggung jawab, 57 karena itu sudah menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah untuk melaksanakan perintah yang diberikan UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Wewenang tersebut diberikan kepada Pemerintah Daerah, yaitu Kepala Daerah dan Perangkat Daerah selaku unsur penyelenggara urusan pemerintahan. Di Provinsi DKI Jakarta berdasarkan UU No. 29 Tahun 2007, yang diberi wewenang dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang industri adalah Gubernur dan secara operasional menurut Peraturan Daerah No. 18 Tahun 2016 tentang Organisasi Perangkat Daerah sebagaimana diuraikan sebelumnya menjadi tugas Kepala Dinas Perindustrian dan Energi. Kepala Dinas dalam melaksanakan tugas bertanggungjawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Gubernur Nomor 267 Tahun 2016 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perindustrian dan Energi. Berdasarkan inventarisasi wewenang yang diberikan oleh negara melalui UU No. 3 Tahun 2014 kepada Pemerintah Daerah dan Gubernur penyelenggaraan perindustrian. dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah Daerah berwenang menetapkan kebijakan daerah untuk kelancaran dalam pelaksanaan tugas sesuai urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab dan wewenang yang diwujudkan dalam bentuk Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Kepala Daerah. Di Provinsi DKI Jakarta, Peraturan Kepala Daerah dalam bentuk Peraturan Gubernur karena pelaksanaan otonomi berada pada lingkup provinsi sebagaimana diatur dalam UU No. 29 Tahun Pelaksanaan otonomi tersebut berimplikasi pada pendelegasian atau pelimpahan wewenang. Gubernur tidak dapat melimpahkan wewenang kepada Walikota/Bupati melainkan pendelegasian tugas, karena kedudukan Walikota/Bupati di Provinsi DKI Jakarta sebagai Kepala Perangkat Daerah bukan Kepala Daerah, kecuali Peraturan Daerah memberikan wewenang kepada Kepala Perangkat Daerah dalam hal 57 Philipus M. Hardjon, Wewenang, Makalah pada Penataran Hukum Administrasi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1998, hlm Menurut Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahwa otonomi Provinsi DKI Jakarta diletakkan pada tingkat provinsi. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-40

99 tertentu, maka urusan tersebut menjadi tanggung jawab Kepala Perangkat Daerah bersangkutan, bukan lagi menjadi tanggung jawab Gubernur. Jika dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian ditetapkan tugas dan wewenang Kepala Perangkat Daerah, maka Rancangan Peraturan Daerah tersebut tidak harmonis dengan Peraturan Daerah tentang Organisasi Perangkat Daerah. Di samping itu, secara politis Kepala Perangkat Daerah yang mendapatkan tugas dan wewenang melalui Peraturan Daerah mempunyai kewajiban menyampaikan laporan atas tugas yang dilaksanakan tidak hanya kepada Gubernur melainkan juga kepada DPRD. Untuk melaksanakan wewenang yang didelegasikan UU No. 3 Tahun 2014, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membutuhkan dana dan peran pelaku usaha di bidang industri dan masyarakat secara aktif. Oleh sebab itu, legalitas dari DPRD yang diwujudkan dalam bentuk Peraturan Daerah sangat diperlukan Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Hak pelaku usaha di bidang industri dalam UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian tidak diatur secara tegas. Sementara salah satu tujuan dibentuknya Peraturan Daerah dalam rangka mewujudkan hak masyarakat melakukan usaha di bidang industri serta memfasilitasi kewajiban pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usaha di bidang industri. Meskipun demikian, berdasarkan definisi industri sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 3 Tahun 2014, dapat ditafsirkan bahwa kegiatan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha di bidang industri menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk jasa industri. Barang dan/atau jasa dimaksud dapat berupa benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Berdasarkan penafsiran tersebut di atas, pengertian pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-41

100 kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha bidang industri. Makna pelaku usaha berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum berupa korporasi, yaitu kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 59 Atas dasar uraian tersebut di atas, hak pelaku usaha industri dalam UU No. 3 Tahun 2013 tidak diatur secara tegas, namun dapat indentifikasi, antara lain: (a) mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum dalam melakukan usaha. Perlindungan hukum dimaksud antara lain pelaku usaha yang telah mendapat legalitas atau izin dari Pemerintah Daerah untuk melakukan usaha penyediaan kawasan industri, karena perkembangan perkotaan menyebabkan kawasan industri terkena pelebaran jalan. Kondisi tersebut, memberikan gambaran tidak ada kepastian hukum dalam melakukan usaha; (b) memperoleh data dan informasi yang benar dan akurat serta tepat waktu dalam melakukan kegiatan usaha; (c) mendapatkan lingkungan yang bersih, indah, nyaman dan sehat dari Pemerintah Daerah dan/atau pengelola kawasan; (d) mendapatkan pelayanan secara baik dan berwawasan lingkungan dari Pemerintah Daerah dan/atau pengelola kawasan industri; (e) berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan kegiatan usaha industri; (f) memperoleh pembinaan dalam penyelenggaraan kegiatan usaha industri dari Pemerintah Daerah dan/atau pengelola kawasan; (g) hak-hak lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan hak masyarakat antara lain mendapatkan perlindungan dari dampak negatif kegiatan usaha industri sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 116 ayat (1) UU No. 3 Tahun Kewajiban pelaku usaha berdasarkan UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian antara lain: Pasal 64 (1) Setiap Perusahaan Industri wajib menyampaikan Data Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota 59 Lihat Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-42

101 Pasal 65 (1) Setiap Perusahaan Kawasan Industri wajib menyampaikan Data Kawasan Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota. (2) Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui Sistem Informasi Industri Nasional. Pasal 105 (1) Setiap kegiatan usaha Kawasan Industri wajib memiliki izin usaha Kawasan Industri. (5) Setiap Perusahaan Kawasan Industri yang melakukan perluasan wajib memiliki izin perluasan Kawasan Industri Pasal 106 (1) Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri wajib berlokasi di Kawasan Industri. Berdasarkan kewajiban perusahaan industri tersebut di atas, secara umum kewajiban pelaku usaha di bidang industri sebagai berikut: (a) memberikan data dan informasi yang benar dan akurat serta tepat waktu mengenai kegiatan usaha yang dilakukan; (b) jaminan barang dan/atau jasa yang dihasilkan sesuai standar mutu barang dan/atau jasa dan memberikan penjelasan penggunaan barang dihasilkan; (c) memberikan kesempatan kepada pengguna barang dan/atau jasa untuk menguji barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang dan/atau jasa diproduksi dan/atau dihasilkan; (d) memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang produksi dan/atau dihasilkan; (e) melakukan pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan melalui pilihan jenis proses, yang akrab lingkungan, minimisasi limbah, analisis daur hidup dan teknologi; (f) tidak melanggar ketentuan peraturan perundangundangan. Dalam hal kewajiban pelaku usaha pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan melalui pilihan jenis proses, yang akrab lingkungan, minimisasi limbah, analisis daur hidup dan teknologi bersih dilakukan melalui produksi bersih. Menurut Peraturan Menteri Perindustrian No. 75/M-IND/PER/7/2010 tentang Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-43

102 Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan Yang Baik (Good Manufacturing Practices) atau disingkat dengan CPPOB, bahwa penerapan CPPOB bertujuan untuk: (a) mencegah tercemarnya pangan olahan dari cemaran biologi, kimia/fisik yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia; (b) membunuh atau mencegah berkembangbiak jasad renik patogen serta mengurangi jumlah jasad renik lain yang tidak dikehendaki; (c) mengendalikan produksi melalui pemilihan bahan baku, penggunaan bahan penolong, penggunaan bahan pangan lainnya, penggunaan bahan tambahan pangan (BTP), pengolahan, pengemasan, dan penyimpangan/pengangkutan. Selain itu, produksi bersih sebagai upaya mengurangi limbah baik limbah padat maupun limbah cair dari sumbernya, melalui eliminasi yang merupakan metode pengurangan limbah secara total, bila perlu tidak mengeluarkan limbah sama sekali (zero discharge). Di dalam konsep penerapan produksi bersih termasuk metode pencegahan pencemaran; (b) minimisasi limbah (mengurangi sumber limbah), strategi pengurangannya menjaga limbah tidak terbentuk pada tahap awal. Pencegahan limbah memerlukan beberapa perubahan penting terhadap proses; (c) daur ulang (recycle), apabila timbul limbah tidak dapat dihindarkan dalam suatu proses, maka strategi untuk meminimkan limbah sampai batas tertinggi yang mungkin dilakukan harus antara lain daur ulang dan/atau penggunaan kembali (re-use). Jika limbah tidak dapat dicegah, pengolahan limbah dapat dilakukan; (d) pengendalian pencemaran, jika terpaksa dilakukan karena dalam proses perancangan produksi belum dapat mengantisipasi adanya teknologi baru yang sudah bebas terjadinya limbah; (e) pengolahan dan pembuangan, merupakan suatu komponen penting dari keseluruhan program manajemen lingkungan; (f) remediasi, penggunaan kembali bahan yang terbuang bersama limbah dengan tujuan mengurangi kadar peracunan dan kuantitas limbah yang ada. Sesuai tujuan produksi bersih sebagaimana diuraikan di atas terkait juga dengan minimisasi limbah padat atau sampah sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Menurut Pasal 15 undang-undang tersebut, produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang diproduksinya Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-44

103 yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam. 60 Atas dasar ketentuan tersebut pelaku usaha di bidang industri yang menimbulkan sampah yang alami proses penguraian sampah sulit dilakukan menjadi tanggung jawab pelaku usaha untuk membiayai seluruh proses pengelolaan sampah. Oleh sebab itu, pelaku usaha di bidang industri harus berupaya menggunakan bahan produksi (bahan baku, bahan penolong, bahan tambahan, atau kemasan produk) menimbulkan sampah sesedikit mungkin, dapat diguna ulang, dapat didaur ulang, dan/atau mudah diurai oleh proses alam. 61 Demikian halnya dengan pengelola kawasan industri memiliki kewajiban antara lain menyediakan fasilitas pemilihan sampah, menyediakan tempat penampungan sampah sementara (TPS) terpilah atau disebut TPS-3R. 62 Kewajiban lain pelaku usaha di bidang industri tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain: larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun Praktek monopoli dimaksud adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sedangkan yang dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. 60 Yang dimaksud dengan produsen menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, adalah pelaku usaha yang memroduksi barang yang menggunakan kemasan, mendistribusikan barang yang menggunakan kemasan dan berasal dari impor, atau menjual barang dengan menggunakan wadah yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam. 61 Lihat Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. 62 Tempat pengolahan sampah dengan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) atau TPS 3R adalah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, dan pendauran ulang skala kawasan sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 188,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5347). Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-45

104 4.5. Kawasan Industri dan Sentra Industri Kecil dan Menengah (IKM) Pengertian kawasan industri menurut Pasal 1 angka 11 UU No. 3 Tahun 2014, adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan Industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri. Sedangkan pengertian sentra IKM UU No. 3 Tahun 2014 tidak mendefinisikan. Meskipun demikian, dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 78/M-IND/PER/9/2007 tentang Peningkatan Efektifitas Pengembangan Industri Kecil dan Menengah Melalui Pendekatan Satu Desa Produk (One Village One Product OVOP) di Sentra, yang dimaksud dengan sentra adalah suatu wilayah atau kawasan tertentu tempat sekelompok perusahaan IKM yang menghasilkan produk sejenis, menggunakan bahan baku sejenis, atau melakukan proses pengerjaannya sama. Dengan demikian yang dimaksud dengan Sentra IKM adalah kawasan tempat sekelompok perusahaan IKM yang menghasilkan produk sejenis, menggunakan bahan baku sejenis, atau melakukan proses pengerjaannya sama. Dalam rangka peningkatan daya saing dan daya tarik investasi yakni terciptanya iklim usaha yang kondusif, efisiensi, kepastian hukum, dan pemberian fasilitas serta kemudahan lain dalam melakukan kegiatan usaha industri, antara lain tersedianya prasarana industri yang memadai berupa Kawasan Industri yang dikelola oleh Pengertian kawasan industri yaitu perusahaan yang mengusahakan pengembangan dan pengelolaan kawasan Industri. 63 Berdasarkan PP No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4987), tujuan penyediaan kawasan industri untuk: (a) mengendalikan pemanfaatan ruang; (b) meningkatkan upaya pembangunan industri yang berwawasan lingkungan; (c) meningkatkan daya saing industri; (d) meningkatkan daya saing investasi; (e) memberikan kepastian lokasi dalam perencanaan dan pembangunan infrastruktur, yang terkoordinasi antar sektor terkait. 63 Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-46

105 Menurut Pasal 7 PP No. 24 Tahun 2009 bahwa perusahaan industri yang akan menjalankan industri wajib berlokasi di Kawasan Industri, kecualikan bagi: (a) perusahaan industri menggunakan bahan baku dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus; (b) industri mikro, kecil, dan menengah; (c) perusahaan industri yang akan menjalankan industri dan berlokasi di daerah kabupaten/kota yang belum memiliki kawasan industri atau yang telah memiliki kawasan industri namun seluruh kaveling industri dalam kawasan industrinya telah habis. Kewajiban Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyediakan kawasan industri dan sentra industri kecil dan menengah sesuai dengan kondisi wilayah Provinsi DKI Jakarta sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UU No. 3 Tahun 2014, memperhatikan sekurang-kurangnya rencana tata ruang wilayah (RTRW) sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2012 tentang RTRW 2030 serta Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2014 tentang RDTR dan Peraturan Zonasi. Kawasan industri yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tersebut, sebagai berikut: 1. Kota Administrasi Jakarta Utara Rencana pengembangan kawasan industri di Kota Administrasi Jakarta Utara dengan ketentuan: (a) pembatasan kegiatan industri di kawasan yang sudah ada di Penjaringan, Kelapa Gading, dan Cilincing; (b) pengembangan industri selektif di Marunda dan Cilincing. Pemanfaatan ruang kawasan industri dilaksanakan berdasarkan arahan sebagai berikut: (a) penataan industri kecil termasuk penyediaan pengelolaan limbah di Cilincing dan Kali Baru; (b) peningkatan teknologi guna mengurangi polusi pada kegiatan industri menengah dan besar di Ancol Barat, Marunda, dan Cilincing. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-47

106 2. Kota Administrasi Jakarta Barat Rencana pengembangan kawasan industri di Kota Administrasi Jakarta Barat dilaksanakan berdasarkan arahan sebagai berikut: (a) pembangunan kawasan industri di Cengkareng, Kalideres dan sepanjang koridor Sungai Mookervart; (b) pengembangan industri selektif dan ramah lingkungan di Cengkareng dan Kalideres; (c) pengembangan kawasan industri di Kapuk dan Kalideres untuk menampung kegiatan industri yang berkembang; (d) pengembangan pusat Pengembangan Industri Kecil dan Menengah di Semanan secara terbatas. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-48

107 3. Kota Administrasi Jakarta Selatan Rencana pengembangan kawasan industri di Kota Administrasi Jakarta Selatan dilaksanakan pada kawasan industri di sebelah selatan jalan lingkar luar (outer ring road) dengan pembatasan pengembangan industri baru, peningkatan daya resap air, dan mengembangkan pengelolaan limbah agar tidak mencemari sungai/kali/waduk/situ. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-49

108 4. Kota Administrasi Jakarta Timur Rencana pengembangan kawasan industri di Kota Administrasi Jakarta Timur dilaksanakan berdasarkan arahan sebagai berikut: (a) pengembangan industri besar di Kawasan Industri Pulo Gadung, Kecamatan Cakung, Kecamatan Ciracas dan Kecamatan Pasar Rebo; (b) pengembangan industri berteknologi tinggi yang tidak menggangu lingkungan dengan bangunan bertingkat tinggi di Kawasan Industri Pulo Gadung; (c) pengembangan kegiatan industri kecil yang tidak polutif terutama di Kelurahan Penggilingan dan Kramatjati; (d) Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-50

109 penataan kawasan industri sebagai kawasan industri selektif di Kawasan Industri Pulo Gadung, Kecamatan Cakung, Kecamatan Ciracas, dan Kecamatan Pasar Rebo; (e) penataan industri berlokasi dekat permukiman dengan penyediaan fasilitas pengolahan limbah terpadu di Kelurahan Penggilingan, Pondok Bambu, Duren Sawit, dan Kelurahan Kramatjati. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-51

110 Berdasarkan kebijakan tata ruang dalam penetapan lahan kawasan industri sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2012 dan Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2014, memberikan makna perusahaan kawasan industri berbentuk badan hukum (Badan usaha milik negara atau badan usaha milik Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian Bab 4-52

TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG- UNDANG, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI, DAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA

TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG- UNDANG, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI, DAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA LAMPIRAN I UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG- UNDANG, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI,

Lebih terperinci

LAMPIRAN I UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN

LAMPIRAN I UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN LAMPIRAN I UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG- UNDANG, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI,

Lebih terperinci

- 1 - TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK PERATURAN DAERAH

- 1 - TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK PERATURAN DAERAH - 1 - LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH TEKNIK PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK PERATURAN DAERAH 1. Naskah Akademik adalah

Lebih terperinci

LAMPIRAN I : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

LAMPIRAN I : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH LAMPIRAN I : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 53 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH BENTUK DAN TATA CARA PENGISIAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH C. BENTUK PROGRAM LEGISLASI

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang a. bahwa Peraturan

Lebih terperinci

BENTUK DAN TATA CARA PENGISIAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH

BENTUK DAN TATA CARA PENGISIAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH BENTUK DAN TATA CARA PENGISIAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH A. BENTUK PROGRAM LEGISLASI

Lebih terperinci

BENTUK DAN TATA CARA PENGISIAN PROGRAM PEMBENTUKANPERDA A. BENTUK PROGRAM PEMBENTUKAN PERDA DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH

BENTUK DAN TATA CARA PENGISIAN PROGRAM PEMBENTUKANPERDA A. BENTUK PROGRAM PEMBENTUKAN PERDA DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH LAMPIRAN I PERATURAN DAERAH NOMOR 1TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH BENTUK DAN TATA CARA PENGISIAN PROGRAM PEMBENTUKANPERDA A. BENTUK PROGRAM PEMBENTUKAN PERDA DI LINGKUNGAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR, Menimbang : a. bahwa Peraturan Daerah merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI OGAN KOMERING ULU, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TULANG BAWANG BARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BUPATI TOLITOLI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI TOLITOLI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 BUPATI TOLITOLI PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 20 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TOLITOLI, Menimbang : a. bahwa untuk keseragaman

Lebih terperinci

BUPATI SAMBAS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH

BUPATI SAMBAS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH BUPATI SAMBAS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PROVINSI KALIMANTAN BARAT PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SAMBAS, Menimbang : Mengingat : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PERWAKILAN MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PERWAKILAN MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS INDONESIA, UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN IKATAN KELUARGA MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-01.PP TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-01.PP TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK Menetapkan: PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-01.PP.01.01 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

Gubernur Jawa Barat DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

Gubernur Jawa Barat DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Gubernur Jawa Barat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 37 TAHUN 2011 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH TAHUN

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH TAHUN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH TAHUN 2013-2017 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.4, 2014 EKONOMI. Pembangunan. Perindustrian. Perencanaan. Penyelenggaraan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5492) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

DALAM RANGKA PENYUSUNAN RUU BI OLEH PROF DR MADE SUBAWA,SH.,MS. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR,10AGUSTUS 2015

DALAM RANGKA PENYUSUNAN RUU BI OLEH PROF DR MADE SUBAWA,SH.,MS. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR,10AGUSTUS 2015 DALAM RANGKA PENYUSUNAN RUU BI OLEH PROF DR MADE SUBAWA,SH.,MS. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR,10AGUSTUS 2015 I.IDENTIFIKASI PERSIAPAN PERANCANGAN UU BI 1. Hak inisiatif lembaga negara apa

Lebih terperinci

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-01.PP.05.01 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN FASILITASI PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERDANG BEDAGAI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka tertib

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA TANGERANG NOMOR : 12 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN WALIKOTA TANGERANG NOMOR : 12 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN WALIKOTA TANGERANG NOMOR : 12 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA TANGERANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIJUNJUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIJUNJUNG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIJUNJUNG, Menimbang : a. bahwa untuk keseragaman dan tertib administrasi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN BARAT, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAFTAR INVENTARISASI MASALAH (DIM) PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Formatted: Left: 3,25 cm, Top: 1,59 cm, Bottom: 1,43 cm, Width: 35,56 cm, Height:

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan Pertemuan 7 dan 14 ANDY KURNIAWAN, SAP, MPA Staff Pengajar pada Jurusan Administrasi Publik Fakultasi Ilmu Administrai Universitas

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH TAHUN 2005-2025

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH TAHUN 2005-2025 PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH TAHUN 2005-2025 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 3 TAHUN : 2017 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TAHUN 2013-2017 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang berhak hidup

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BUPATI NGAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI NGAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGAWI PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 17 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH Menimbang : a. DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGAWI, bahwa untuk menjalankan kewenangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

LD NO.2 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

LD NO.2 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH I. UMUM Pembentukan Peraturan Daerah merupakan pelaksanaan dari amanat Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUMEDANG BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PASURUAN

PEMERINTAH KOTA PASURUAN PEMERINTAH KOTA PASURUAN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN NOMOR 02 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KOTA PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PASURUAN, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang : a. bahwa Peraturan

Lebih terperinci

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF. Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda

PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF. Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda YURISKA, VOL. 2, NO. 1, AGUSTUS 2010 72 PENGUATAN FUNGSI LEGISLASI DPRD DALAM PEMBUATAN RAPERDA INISIATIF Edy Purwoyuwono Dosen Fakultas Hukum Universitas Widya Gama Mahakam Samarinda ABSTRAK Hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun I-1

BAB I PENDAHULUAN. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Banyuwangi Tahun I-1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam penyelenggaraan pembangunan perlu disusun beberapa dokumen yang dijadikan pedoman pelaksanaan sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DAN LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN PERATURAN PELAKSANAANNYA

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DAN LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN PERATURAN PELAKSANAANNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2014 TENTANG PERINDUSTRIAN DAN LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN PERATURAN PELAKSANAANNYA Disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Dalam acara Rapat Kerja Kementerian Perindustrian tahun

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN BARAT

GUBERNUR KALIMANTAN BARAT GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT NOMOR 47 TAHUN 2011 TENTANG PROSEDUR PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA NOMOR 42 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN KEPALA LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA NOMOR 42 TAHUN 2014 TENTANG LEMBAGA ADMINISTRSI NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA NOMOR 42 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERATURAN, KEPUTUSAN, DAN INSTRUKSI DI LINGKUNGAN LEMBAGA ADMINISTRASI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 87 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

- 1 - PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SALINAN - 1 - PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LD. 5 2010 R PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG MEKANISME PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang BUPATI

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG KELUARGA BESAR MAHASISWA UNIVERSITAS LAMPUNG NOMOR: 3 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG - UNDANG KELUARGA BESAR MAHASISWA UNIVERSITAS LAMPUNG NOMOR: 3 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG - UNDANG KELUARGA BESAR MAHASISWA UNIVERSITAS LAMPUNG NOMOR: 3 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN MAHASISWA BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA

Lebih terperinci

4&L Jk Am /L. GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG

4&L Jk Am /L. GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG 4&L Jk Am 0 /L. GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG TATACARA PENYUSUNAN PROGRAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

RechtsVinding Online

RechtsVinding Online EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DALAM PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK Oleh: Khopiatuziadah * Naskah diterima: 18 Mei 2016; disetujui: 15 Juni 2016 Dalam menyusun suatu Naskah Akademik yang

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PROGRAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA

Lebih terperinci

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR BUPATI KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPULAUAN SELAYAR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUM. Peraturan Perundang-undangan. Penyusunan. Pedoman

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUM. Peraturan Perundang-undangan. Penyusunan. Pedoman No.1430, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUM. Peraturan Perundang-undangan. Penyusunan. Pedoman PERATURAN MENTERI KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 08 /PER/M.KUKM/IX/2014

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH TAHUN

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH TAHUN SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH TAHUN 2013-2017 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PROVINSI

Lebih terperinci

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN SUKAMARA (REVISI)

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN SUKAMARA (REVISI) BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan

Lebih terperinci

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MATRIKS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. UU NOMOR 10 TAHUN 2004 1. Menimbang: Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan perundang undangan merupakan salah satu syarat dalam rangka pembangunan hukum nasional

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO

PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO PEMERINTAH KABUPATEN SITUBONDO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI SITUBONDO Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR : 01 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, DRAFT 9 APRIL 2015 PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DI LINGKUNGAN ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT,

Lebih terperinci

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN BUPATI JEPARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA, Menimbang a. bahwa pembangunan pembinaan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PAREPARE NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA PAREPARE NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA PAREPARE NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PAREPARE, Menimbang : a. bahwa produk hukum merupakan landasan dalam penyelenggaraan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pemanfaatan ruang wilayah nasional

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH

BUPATI BANDUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH BUPATI BANDUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

KETENTUAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan)

KETENTUAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) KETENTUAN PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH (Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) NURYANTI WIDYASTUTI Direktur Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah dan Pembinaan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN SERANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN SERANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA - 1 - LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG Nomor : 09 Tahun 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DAERAH KABUPATEN SERANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, PERATURAN BUPATI PANDEGLANG NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, Menimbang Mengingat : : a. bahwa untuk memberikan arah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG PELAKSANAAN DAN PENETAPAN CAPAIAN INDIKATOR STANDAR PELAYANAN MINIMAL DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

Lebih terperinci

2016, No Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga P

2016, No Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga P No. 253, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA ANRI. Produk Hukum. Pembentukan. Pencabutan. PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DI LINGKUNGAN

Lebih terperinci

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KENDARI Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NO M.HH-01.PP TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NO M.HH-01.PP TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NO M.HH-01.PP.01.01 TAHUN 2008 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN I NAMA / ISTILAH Naskah

Lebih terperinci

BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUMAS, Menimbang : a. bahwa penanaman modal

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH

PROVINSI JAWA TENGAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG MEKANISME PENYUSUNAN PROGRAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**)

MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) MEMBANGUN KUALITAS PRODUK LEGISLASI NASIONAL DAN DAERAH * ) Oleh : Prof. Dr. H. Dahlan Thaib, S.H, M.Si**) I Pembahasan tentang dan sekitar membangun kualitas produk legislasi perlu terlebih dahulu dipahami

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal merupakan

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH PEMERINTAH PROVINSI BALI TAHUN 2012

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH PEMERINTAH PROVINSI BALI TAHUN 2012 GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PROGRAM LEGISLASI DAERAH PEMERINTAH PROVINSI BALI TAHUN 2012 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa penyusunan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BERITA DAERAH KOTA BEKASI BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 12 2015 SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 12 TAHUN 2015 2015 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN PRODUK HUKUM DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BEKASI DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TENGAH NOMOR 01 TAHUN 2014 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TENGAH NOMOR 01 TAHUN 2014 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG TENGAH NOMOR 01 TAHUN 2014 TENTANG PENYUSUNAN DAN PENGELOLAAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. bahwa peraturan daerah merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2011 TENTANG RUMAH SUSUN Disebarluaskan Oleh: KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT DIREKTORAT JENDERAL PENYEDIAAN PERUMAHAN DIREKTORAT PERENCANAAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERINDUSTRIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan

Lebih terperinci