ADLN_Perpustakaan Universitas Airlangga SKRIPSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ADLN_Perpustakaan Universitas Airlangga SKRIPSI"

Transkripsi

1 SKRIPSI PENGARUH JUMLAH HPMC 3 CPS TERHADAP KELARUTAN DAN LAJU DISOLUSI SISTEM DISPERSI PADAT QUERCETIN HPMC 3 CPS ACHMAD FADHIL AL MASYHUR FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA DEPARTEMEN FARMASETIKA SURABAYA 2015

2 SKRIPSI PENGARUH JUMLAH HPMC 3 CPS TERHADAP KELARUTAN DAN LAJU DISOLUSI SISTEM DISPERSI PADAT QUERCETIN HPMC 3 CPS ACHMAD FADHIL AL MASYHUR FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA DEPARTEMEN FARMASETIKA SURABAYA 2015

3 LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyutujui skripsi/karya ilmiah saya, dengan judul : PENGARUH JUMLAH HPMC 3 CPS TERHADAP KELARUTAN DAN LAJU DISOLUSI SISTEM DISPERSI PADAT QUERCETIN HPMC 3 CPS untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet, digital library Perpustakaan Universitas Airlangga atau media lain untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Demikian pernyataan persetujuan publikasi skripsi/karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya. Surabaya, 25 September 2015 Achmad Fadhil Al Masyhur NIM :

4 SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Nama : Achmad Fadhil Al Masyhur NIM : Fakultas : Farmasi menyatakan bahwa sesungguhnya hasil skripsi/tugas akhir yang saya tulis dengan judul : PENGARUH JUMLAH HPMC 3 CPS TERHADAP KELARUTAN DAN LAJU DISOLUSI SISTEM DISPERSI PADAT QUERCETIN HPMC 3 CPS adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri. Apabila di kemudian hari diketahui bahwa skripsi ini menggunakan data fiktif atau merupakan hasil plagiarisme, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan kelulusan atau pencabutan gelar yang saya peroleh. Surabaya, 25 September 2015 Achmad Fadhil Al Masyhur NIM :

5 Lembar Pengesahan PENGARUH JUMLAH HPMC 3 CPS TERHADAP KELARUTAN DAN LAJU DISOLUSI SISTEM DISPERSI PADAT QUERCETIN HPMC 3 CPS SKRIPSI Dibuat Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Farmasi Pada Fakultas Farmasi Universitas Airlangga 2015 Oleh : Achmad Fadhil Al Masyhur NIM : Skripsi ini telah disetujui tanggal 25 September 2015 oleh : Pembimbing Utama, Pembimbing Serta, Dr. Dwi Setyawan, S.Si., M.Si., Apt. Dr. Retno Sari, Apt., M.Sc. NIP NIP

6 KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT atas segala ilmu, rahmat, karunia, dan kemudahan serta kelancaran yang telah diberikan sehingga saya dapat melalui dan menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul "PENGARUH JUMLAH HPMC 3 CPS TERHADAP KELARUTAN DAN LAJU DISOLUSI SISTEM DISPERSI PADAT QUERCETIN HPMC 3 CPS" dengan sebaik-baiknya untuk memenuhi syarat mencapai gelar sarjana pada Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya saya persembahkan kepada : 1. Bapak Dr. Dwi Setyawan, S.Si.,M.Si.,Apt. selaku pembimbing utama yang telah memberikan ilmu, nasehat, pelajaran hidup, saran, motivasi, serta dukungannya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. 2. Ibu Dr. Retno Sari, M.Sc.,Apt. selaku pembimbing serta yang telah membimbing dan memberikan ilmu, nasehat, saran, motivasi, fasilitas, serta dukungannya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. 3. Bapak Helmy Yusuf, M.Sc., Ph.D dan Ibu Dr. Noorma Rosita, Apt, M.Si selaku dosen penguji yang telah berkenan memberikan saran dan masukan demi perbaikan skripsi ini. 4. Bapak Prof. Dr. M. Nasih, MT., Ak selaku Rektor Universitas Airlangga yang telah memberikan kesempatan untuk menyelesaikan program pendidikan sarjana di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. 5. Ibu Dr. Hj. Umi Athijah, M.Si.,Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga yang telah memberikan kesempatan dan banyak fasilitas selama menyelesaikan program pendidikan sarjana di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. v

7 6. Ibu Dra. Esti Hendradi, Apt.,M.Si.,Ph.D. selaku Ketua Departemen Farmasetika atas segala kesempatan dan fasilistas yang telah diberikan di Laboratorium Teknologi Farmasi sehingga memudahkan saya untuk menyelesaikan skripsi ini. 7. Bapak Prof. Dr. Djoko Agus Purwanto, Apt.,M.Si. selaku dosen wali yang telah membimbing dan memberikan nasehat, masukan, saran, dan motivasi selama menyelesaikan program pendidikan sarjana di Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. 8. Ibu dan Ayah (Almarhum) juga adik adikku Fadhilah dan Farhan tersayang, terima kasih atas semua doa serta segala dukungan, dorongan, nasehat, dan motivasi yang telah diberikan sehingga tugas akhir ini dapat terselesaikan. 9. Tim skripsi Dispersi Padat Quercetin, Zainul, Febrianti, dan Dayanara. Serta semua teman-teman skripsi di Departemen Farmasetika, terima kasih atas semua dukungan dan kerja samanya. 10. Teman - teman angkatan 2011 yang telah menempuh pendidikan sarjana bersama-sama, yang memberikan dukungan, nasehat, saran, motivasi, dan mau berbagi ilmu sehingga tugas akhir ini bisa terselesaikan. 11. Sahabat sahabat terbaik : Mila Maulidia (Almarhumah), Yoga Irwan, Hanif Rifqi, Safarini Marwah, Dimas Husada, Frenby Perdana, M Hidayatullah Choir, Winda Putri, Tiara Jeni, Putri Intan Pratiwi, Shofia Karima, Wisnu P Utomo dan Adhadi. Terima kasih banyak atas dukungan, doa dan warna yang kalian lukiskan dalam lembar perjalananku. 12. Seluruh staf dosen pengajar Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Surabaya yang telah membagikan ilmunya dengan penuh sabar dan vi

8 ikhlas kepada saya selama menyelesaikan program pendidikan sarjana. 13. Seluruh tenaga non kependidikan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga terutama tenaga non kependidikan Laboratorium Teknologi Farmasi (Bapak Harmono, Bapak Suprijono, Mbak Nawang, dan Ibu Ari) yang telah membantu dengan ikhlas dan penuh kesabaran saat mengerjakan skripsi ini. 14. Serta semua pihak yang telah membantu kelancaran skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT membalas kebaikan yang telah diberikan kepada saya. Semoga penulisan skripsi ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu di bidang kefarmasian dan bagi almamater Universitas Airlangga. Surabaya, 25 September 2015 Penulis, Achmad Fadhil Al Masyhur vii

9 RINGKASAN PENGARUH JUMLAH HPMC 3 CPS TERHADAP KELARUTAN DAN LAJU DISOLUSI SISTEM DISPERSI PADAT QUERCETIN HPMC 3 CPS Achmad Fadhil Al Masyhur Quercetin memiliki nama kimia 2-(3,4-dihydroxyphenyl)-3,5,7- trihydroxy-4h-chromen-4-one merupakan senyawa yang potensial sebagai antioksidan, antikanker, antiinflamasi dan hepatoprotektor. Quercetin termasuk senyawa polifenol yang merupakan senyawa hidrofob dan digolongkan dalam Biopharmaceutical Classification System (BCS) II yang artinya quercetin memiliki permeabilitas tinggi namun kelarutannya rendah sehingga bioavailabilitasnya dalam tubuh buruk. Permasalahan tersebut dapat diatasi dengan pembuatan sistem dispersi padat quercetin HPMC 3 cps. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh terhadap kelarutan dan laju disolusi sistem dispersi padat quercetin HPMC 3 cps dan pengaruh penambahan HPMC 3 cps terhadap kelarutan dan laju disolusi sistem dispersi padat quercetin HPMC 3 cps. Sistem dispersi dibuat dengan perbedaan jumlah quercetin HPMC 3 cps 1:1, 1:2 dan 1:3 (b/b) dengan metode pelarutan. Selanjutnya, dilakukan uji kelarutan dalam media asam sitrat NaOH (ph 5,0 ± 0,05) dan laju disolusi dengan media SLS 1% dalam air. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sistem dispersi padat quercetin HPMC 3 cps memiliki pengaruh terhadap kelarutan dan laju disolusi quercetin, diketahui bahwa dispersi padat quercetin HPMC 3 cps (1:3) memiliki kelarutan dan laju disolusi tertinggi bila dibandingkan sistem lainnya. Hal ini disebabkan adanya pengecilan ukuran partikel pada quercetin sehingga kelarutan dan laju disolusinya meningkat, selain itu agregasi dari quercetin juga dapat dicegah. Dari hasil analisis statistik dengan metode ANOVA satu arah yang dilanjutkan dengan uji HSD, didapatkan hasil bahwa kelarutan dan laju disolusi quercetin memberikan perbedaan yang bermakna pada setiap sistem yang dibuat. Selain itu, kelarutan quercetin paling tinggi dicapai oleh sistem dispersi padat quercetin HPMC 3 cps (1:3) dengan peningkatan kelarutan sebesar 1,07 kali lebih besar dari dispersi padat (1:2), untuk dispersi padat (1:1) persen kelarutannya 1,35 kali lebih besar, untuk campuran fisik (1:3) persen kelarutannya 1,87 kali lebih besar, untuk campuran fisik (1:2) persen kelarutannya 1,58 kali lebih besar, untuk campuran fisik (1:1) persen viii

10 kelarutannya 1,94 kali lebih besar dan 3,50 kali lebih besar dari quercetin murni. Untuk hasil penentuan laju disolusi yang menggambarkan persen quercetin terlarut pada menit ke-30 dari masing masing sistem, dispersi padat (1:3) memiliki kenaikan efisiensi disolusi 1,02 kali lebih besar dari dispersi padat (1:2), untuk dispersi padat (1:1) efisiensi disolusinya 1,03 kali lebih besar, untuk campuran fisik (1:3) efisiensi disolusinya 1,41 kali lebih besar, untuk campuran fisik (1:2) efisiensi disolusinya 1,59 kali lebih besar, untuk campuran fisik (1:1) efisiensi disolusinya 1,77 kali lebih besar dan 1,72 kali lebih besar dari quercetin murni. Penelitian ini memberikan hasil bahwa sistem dispersi padat quercetin HPMC 3cps berpengaruh terhadap kelarutan dan laju disolusi dari quercetin dan peningkatan jumlah HPMC 3cps pada sistem dispersi padat quercetin HPMC 3 cps semakin meningkatkan kelarutan dan laju disolusi dari quercetin. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka perlu dilakukan karakterisasi dan pengembangan sistem dispersi padat quercetin HPMC 3cps sebagai tinjauan lebih lanjut mengenai peningkatan laju disolusi quercetin. ix

11 ABSTRACT Enhancement of Solubility and Dissolution Rate of Quercetin HPMC 3 cps by Solid Dispersion Achmad Fadhil Al Masyhur Quercetin or 2-(3,4-dihydroxyphenyl)-3,5,7-trihydroxy-4Hchromen-4-one is a compound that has been commonly utilized in medical field due its various functions. Quercetin is classified as class II BCS which has low solubility but good permeability. Solid dispersion is successfully applied to improve the solubility and consequently the bioavailability of poorly water soluble drugs. The purpose of this research was to increase the solubility and dissolution rate of quercetin by solid dispersion system of quercetin HPMC 3 cps with different ratios of quercetin HPMC 3 cps : 1:1, 1:2 and 1:3 (w/w). The solid dispersion system was prepared by solvent evaporation method then solubility and dissolution test were performed. The solubility medium was 40 ml of citric acid NaOH (ph 5,0 ± 0,05), maintained at 30 ± 0,5 o C for 240 minutes. The dissolution medium was 900 ml of 1 % SLS in water, maintained at 37 ± 0,5 o C for 30 minutes and the stirring speed was 100 rpm. For comparison purpose the solubility and dissolution test was also performed on : solid dispersion of quercetin HPMC 3 cps, physical mixture and pure quercetin. The results showed that the solubility of solid dispersion quercetin HPMC 3 cps (1:3) increased 3,50 times higher than pure quercetin. For dissolution rate, solid dispersion quercetin HPMC 3 cps (1:3) increased 1,42 times higher than pure quercetin.. Keyword : quercetin, HPMC 3 cps, solid dispersion, solubility, dissolution. x

12 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR...v RINGKASAN... viii ABSTRACT...x DAFTAR ISI...xi DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GAMBAR... xv DAFTAR LAMPIRAN... xvi BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...3 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA Quercetin Dispersi Padat Metode Pembuatan Klasifikasi Dispersi Padat Karakterisasi Dispersi Padat Hypromellose (HPMC) Kelarutan Disolusi BAB III. KERANGKA KONSEPTUAL Uraian Kerangka Konseptual Kerangka Penelitian Hipotesis Penelitian xi

13 BAB IV. METODE PENELITIAN Bahan Penelitian Alat Penelitian Metode Penelitian Rancangan Penelitian Kerangka Penelitian Pemeriksaan Bahan Baku Penelitian Pemeriksaan Quercetin Pemeriksaan HPMC 3 cps Pembuatan Kurva Baku Quercetin Pembuatan Larutan Baku Induk Quercetin Pembuatan Larutan Baku Kerja Quercetin Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Quercetin Pembuatan Kurva Regresi Quercetin Pemeriksaan Pengaruh HPMC 3 cps Terhadap Kadar Quercetin Pembuatan Campuran Fisik Quercetin HPMC 3 cps Pembuatan Dispersi Padat Quercetin HPMC 3 cps Pemeriksaan Homogenitas Quercetin Pengujian Kelarutan Quercetin Pengamatan Waktu Larutan Jenuh Quercetin Pengamatan Uji Kelarutan Quercetin Uji Disolusi Quercetin Evaluasi Data Evaluasi Kelarutan Evaluasi Profil Disolusi Perhitungan Harga Efisiensi Disolusi (ED) Analisis Statistika xii

14 BAB V. HASIL PENELITIAN Pemeriksaan Kualitatif Bahan Penelitian Quercetin HPMC 3 cps Pembuatan Kurva Baku Quercetin Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Quercetin Hasil Pembuatan Kurva Baku Quercetin Pemeriksaan Pengaruh HPMC 3 cps Terhadap Spektrum Quercetin Pemeriksaan Homogenitas Quercetin Pengujian Kelarutan Quercetin Pengamatan Waktu Larutan Jenuh Quercetin Pengamatan Uji Kelarutan Quercetin Penentuan Laju Disolusi Quercetin BAB VI. PEMBAHASAN BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiii

15 DAFTAR TABEL Tabel II.1 Istilah kelarutan IV.1 Pembagian kelompok perlakuan quercetin V.1 Pemeriksaan kualitatif quercetin V.2 Pemeriksaan kualitatif HPMC 3 cps V.3 Hasil absorban larutan baku kerja quercetin dalam media asam sitrat NaOH (ph 5,0 ± 0,05) pada panjang gelombang maksimum 366,95 nm V.4 Hasil absorban quercetin kadar 8,08 µg/ml dengan quercetin HPMC 3cps (1:1) untuk penentuan match factor 43 V.5 Hasil penetapan persen homogenitas kadar quercetin V.6 Hasil kelarutan jenuh quercetin dalam media asam sitrat NaOH (ph 5,0 ± 0,05) pada panjang gelombang maksimum 366,95 nm V.7 Rerata persen terlarut quercetin murni, CF dan DP dalam media asam sitrat NaOH (ph 5,0 ± 0,05) pada suhu 37 o C ± 0,5 o C V.8 Hasil uji HSD kelarutan quercetin dari tiap kelompok perlakuan pada menit ke-30 dengan α = 0, V.9 Rerata persen terlarut QC, CF dan DP dalam media asam sitrat NaOH (ph 5,0 ± 0,05) dalam air pada suhu 37 o C ± 0,5 o C V.10 Efisiensi disolusi menit ke 30 quercetin dari tiap kelompok dalam media asam sitrat NaOH (ph 5,0 ± 0,05) V.11 Hasil uji HSD efisiensi disolusi quercetin dari tiap kelompok perlakuan pada menit ke-30 dengan α = 0, V.12 Hasil penentuan harga slope laju disolusi quercetin dari masing masing sistem xiv

16 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Struktur Quercetin Struktur Hypromellose (HPMC) Bagan Kerangka Konseptual Bagan Rancangan Penelitian Spektra quercetin murni kadar 8,08 dan 16,16 µg/ml dalam media asam sitrat NaOH (ph 5,0 ± 0,05) pada panjang gelombang antara nm Kurva baku quercetin pada panjang gelombang 366,95 nm Spektra quercetin kadar 8,08 µg/ml dan campuran quercetin HPMC 3cps (1:1) Kurva perbandingan absorban antara quercetin kadar 8,08 µg/ml dengan quercetin HPMC 3cps (1:1) Profil kelarutan jenuh quercetin dalam media asam sitrat NaOH (ph 5,0 ± 0,05) pada panjang gelombang maksimum 366,95 nm Profil kelarutan quercetin murni (QC), Campuran Fisik (CF) dan Dispersi Padat (DP) dalam media asam sitrat NaOH (ph 5,0 ± 0,05) pada suhu 30 o C ± 0,5 o C Profil disolusi quercetin murni (QC), Campuran Fisik (CF) dan Dispersi Padat (DP) dalam media asam sitrat NaOH (ph 5,0 ± 0,05) pada suhu 37 o C ± 0,5 o C xv

17 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Lampiran 1 Sertifikat Analisis Quercetin Lampiran 2 Spektrum FT-IR Quercetin (Bahan & Pustaka) Lampiran 3 Termogram Bahan Penelitian Lampiran 4 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Quercetin Lampiran 5 Penentuan Kurva Baku Quercetin Lampiran 6 Pengamatan Pengaruh Bahan Tambahan Terhadap Panjang Gelombang Maksimum Quercetin Lampiran 7 Hasil Pengamatan (%) Homogenitas Quercetin Lampiran 8 Hasil Pengamatan Kelarutan dari Quercetin Murni, Campuran Fisik dan Dispersi Padat (Asam Sitrat NaOH ph 5 dalam air) Lampiran 9 Hasil Uji Kelarutan dari Quercetin Murni, Campuran Fisik dan Dispersi Padat (Asam Sitrat NaOH ph 5 dalam air) Lampiran 10 Hasil Pengamatan Disolusi dari Quercetin Murni, Campuran Fisik dan Dispersi Padat (Asam Sitrat NaOH ph 5 dalam air) Lampiran 11 Hasil Uji Disolusi dari Quercetin Murni, Campuran Fisik dan Dispersi Padat (Asam Sitrat NaOH ph 5 dalam air) Lampiran 12 Hasil Statistika Lampiran 13 Tabel Harga Koefisien Kolerasi (r) Lampiran 14 Tabel Distribusi Harga F pada α = 0, xvi

18 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Quercetin atau dalam IUPAC disebut 2-(3,4-dihydroxyphenyl)- 3,5,7-trihydroxy-4H-chromen-4-one merupakan salah satu dari senyawa golongan polifenol yang potensial sebagai antioksidan, antikanker, antiinflamasi dan hepatoprotektor. Quercetin merupakan senyawa hidrofob dan digolongkan dalam Biopharmaceutical Classification System (BCS) II yang artinya quercetin memiliki permeabilitas tinggi namun kelarutannya rendah. Bioavailabilitas quercetin dalam tubuh buruk, sehingga perlu dilakukan usaha peningkatan kelarutan dan laju disolusi dari quercetin (Kakran, 2011; Madaan, 2014; Painter, 1998 dan Van Dijk, et. al, 2000). Berbagai macam teknik dilakukan untuk meningkatkan kelarutan dan laju disolusi dari quercetin, yakni dengan cara dispersi padat, mikronisasi, dan pembentukan kompleks. Dispersi padat merupakan suatu dispersi dari satu atau lebih bahan aktif dalam pembawa atau matriks yang inert pada keadaan padat, yang dibuat dengan metode peleburan, pelarutan atau kombinasi peleburan & pelarutan. Kelebihan dari metode dispersi padat ini adalah dapat memperbaiki kelarutan obat sukar larut air, memperbaiki kestabilan bahan obat, meningkatkan kelarutan obat polimer dalam fraksi amorphous, meningkatkan kemampuan terbasahi dan porositas dari bahan obat (Vasconcelos et al, 2007). Selain itu metode ini juga dapat meningkatkan laju disolusi dengan mekanisme meminimalkan pertumbuhan partikel kristal dari bahan obat sehingga ukuran partikel yang dihasilkan dapat diperkecil, dan kemampuan pembawanya yang digunakan untuk mendispersikan bahan obat dalam bentuk amorf sehingga dapat meningkatkan kelarutannya (Costa, et al., 2011). Pada penelitian 1

19 2 sebelumnya, dispersi padat dari quercetin menggunakan pembawa CMCAB (Carboxymethylcellulose Acetate Butyrate), HPMCAS (Hypromellose Acetate Succinate) dan CAAdP (Cellulose Acetate Adipate Propionate) dengan perbandingan rasio yang berbeda, yakni 1:9, 1:3, 1:1, 3:1 dan 9:1 (b/b) menggunakan pelarut Aseton : Etanol (1:4) menunjukkan adanya peningkatan laju disolusi dari quercetin (Kaur, 2014). HPMC (Hypromellose) dapat meningkatkan kelarutan dan laju disolusi dari bahan obat diazepam, cisapride dan ibuprofen (Howlader, 2012; Zhenping, Wei et al, 2004; Saffoon et al, 2011). Kelebihan HPMC sebagai pembawa sistem dispersi padat adalah : tidak higroskopis, sistem penghambatan relatif stabil dan dapat menghambat terjadinya kristalisasi sehingga membantu terbentuknya larutan padat. Hal ini akan meningkatkan kelarutan dan disolusi dari bahan obat melalui ikatan hidrogen antara obat pembawa (Howlader, 2012). Berdasarkan latar belakang di atas, maka pada penelitian ini dilakukan uji terhadap sistem dispersi padat quercetin HPMC 3 cps terhadap kelarutan dan laju disolusi quercetin dengan perbandingan berat 1:1, 1:2, 1:3 (b/b) dan dibuat dengan metode pelarutan. 1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengaruh pembentukan sistem dispersi padat quercetin HPMC 3 cps terhadap kelarutan dan laju disolusi quercetin? 2. Bagaimana pengaruh perbedaan jumlah HPMC 3 cps terhadap kelarutan dan laju disolusi sistem dispersi padat quercetin HPMC 3 cps dengan perbandingan berat 1:1, 1:2 dan 1:3 (b/b)?

20 3 1.3 Tujuan Penelitian 1. Menentukan pengaruh kelarutan dan laju disolusi sistem dispersi padat quercetin HPMC 3 cps yang dibuat menggunakan metode pelarutan. 2. Menentukan pengaruh penambahan HPMC 3 cps terhadap kelarutan dan laju disolusi sistem dispersi padat quercetin HPMC 3 cps yang dibuat menggunakan metode pelarutan dengan perbedaan jumlah HPMC 3 cps 1:1, 1:2 dan 1:3 (b/b). 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pengembangan formulasi sediaan oral quercetin dengan menerapkan sistem dispersi padat quercetin menggunakan HPMC 3 cps guna meningkatkan kelarutan dan laju disolusi quercetin sehingga berpengaruh terhadap peningkatan bioavailabilitas quercetin di dalam tubuh.

21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Quercetin Quercetin adalah senyawa kelompok flavonol terbesar, quercetin dan glikosidanya berada dalam jumlah sekitar 60-75% dari flavonoid. Quercetin memiliki banyak kegunaan bagi kesehatan tubuh manusia. Beberapa contohnya adalah antioksidan, antikanker, antiinflamasi, hepatoprotektor dan menurunkan tekanan darah (Kelly, 2011). Quercetin juga merupakan salah satu sumber makanan yang mengandung antioksidan tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai pencegahan kanker yang poten dan menjadi penghambat kuat pada pertumbuhan sel kanker payudara, usus, paru-paru, dan ovarium (Kakran, 2011). Gambar 2.1 Struktur Quercetin (The Merck Index, 1983). Quercetin atau 3,4-dihidroksiflavonol atau dalam IUPAC disebut 2-(3,4-dihydroxyphenyl)-3,5,7-trihydroxy-4H-chromen-4-one. Dilihat dari strukturnya, quercetin termasuk senyawa polifenol yang bersifat polar, namun dari data kelarutannya quercetin bersifat praktis tidak larut dalam air 4

22 5 (The Merck Index, 1983; dan Hertog, 1996), larut dalam etanol absolut (The Merck Index, 1983) dengan titik lebur diatas 300 o C (The Merck Index, 1983), merupakan senyawa hidrofob (Painter, 1998; van Dijk, et. al, 2000), dengan panjang gelombang serapan maksimum 258 & 375 nm (The Merck Index, 1983) dan termasuk Biopharmaceutical Classification System (BCS) kelas 2 (Kakran, 2011). Pada penelitian sebelumnya, dispersi padat dari quercetin menggunakan polimer CMCAB, HPMCAS dan CAAdP dengan perbandingan jumlah yang berbeda, yakni 1:9, 1:3, 1:1, 3:1 dan 9:1 (b/b) menggunakan pelarut Aseton : Etanol (1:4) menunjukkan adanya peningkatan disolusi dari quercetin (Li et al, 2012). 2.2 Dispersi Padat Dispersi padat merupakan suatu dispersi dari satu atau lebih bahan aktif dalam pembawa atau matriks yang inert pada keadaan padat, yang dibuat dengan metode peleburan, pelarutan atau kombinasi peleburan & pelarutan. Dispersi padat pertama kali didemonstrasikan oleh Sekiguci & Obi pada tahun 1961 dengan metode campuran eutektik. Mereka meneliti adanya perubahan ukuran partikel menjadi lebih kecil, peningkatan laju disolusi dan absorpsi dari sulfathiazole yang merupakan bahan obat sukar larut dalam air, dengan menggunakan urea sebagai matriks dan pembawa yang mudah larut dan inert (Chiou & Riegelman, 1971). Generasi ketiga dari dispersi padat dapat memperbaiki kestabilannya dan meningkatkan kelarutan obat polimer, fraksi amorphous, kemampuan terbasahinya partikel dan porositas dari partikel (Vasconcelos et al, 2007). Metode ini sudah banyak digunakan untuk memperbaiki kelarutan dan laju disolusi dari beberapa bahan obat diantaranya : parasetamol, irbesartan, nifedipin, atorvastatin, domperidon

23 6 dan quercetin (Mogal et al, 2012; Chowdary et al, 2012; Lalitha & Lakshmi, 2011; Lakshmi et al, 2010; Aparna, 2011; dan Antonini et al, 2011) Metode Pembuatan Ada 3 macam metode pembuatan berdasarkan sistem pembuatan dispersi padat, yakni metode peleburan, pelarutan atau kombinasi peleburan & pelarutan (Chiou & Riegelman, 1971) : a. Metode Peleburan (Melting Method) Campuran fisik dari obat dan pembawa larut air dipanaskan secara langsung hingga meleleh. Campuran yang telah meleleh kemudian didinginkan & dipadatkan secara cepat pada penangas es sambil diaduk. Massa yang terbentuk kemudian dihancurkan, dihaluskan dan diayak. Untuk mempercepat pemadatan, lelehan yang homogen dituangkan diatas plat stainless steel & didinginkan dengan udara atau air yang mengalir pada sisi yang berlawanan. Selama proses pemadatan, molekul yang terlarut akan ditangkap oleh matriks dari pelarut. Keuntungan metode pelelehan langsung ini adalah sederhana & ekonomis, karena tidak memerlukan pelarut dan dapat dilakukan secara cepat. Sedangkan kerugian dari metode ini adalah beberapa bahan seperti obat atau pembawa, dapat mengalami dekomposisi atau menguap selama proses pelelehan pada suhu tinggi. b. Metode Pelarutan (Solvent Method) Campuran fisik dari obat dan pembawa larut air dilarutkan dalam pelarut yang sesuai, dilanjutkan dengan penguapan pelarut. Pelarut yang digunakan ini haruslah yang dapat melarutkan kedua bahan. Keuntungan metode ini adalah terjadinya

24 7 dekomposisi dari bahan obat atau pembawa yang diakibatkan pemanasan dapat dicegah karena suhu yang digunakan untuk menguapkan pelarut yang digunakan lebih rendah dari suhu terdekomposisinya bahan obat atau pembawa. Kelemahan metode ini adalah biaya yang besar untuk pelarut yang digunakan, kesulitan dalam menghilangkan pelarutan secara sempurna, kemungkinan adanya efek samping dari pelarut yang dapat berpengaruh pada kestabilan kimia dari bahan obat dan pemilihan pelarut yang sesuai. c. Metode Peleburan Pelarutan (Melting Solvent Method) Bahan obat dilarutkan dalam pelarut yang sesuai kemudian dicampurkan secara langsung kedalam pembawa yang sudah dilelehkan. Metode ini terbatas untuk bahan obat yang memiliki dosis terapetik rendah, yakni dibawah 50 mg. Keuntungan dari metode ini adalah gabungan dari kedua metode sebelumnya, yaitu dekomposisi dari bahan obat atau pembawa yang diakibatkan pemanasan dapat dicegah, selain itu pelarut yang digunakan lebih sedikit sehingga lebih mudah dihilangkan dan biaya yang dibutuhkan pun lebih rendah. Sedangkan kerugiannya adalah kemungkinan adanya kesulitan dalam pencampuran larutan bahan obat dengan lelehan pembawa Klasifikasi Dispersi Padat Sistem dispersi padat diklasifikasikan berdasarkan interaksi bahan obat dan pembawa sebagai berikut (Chiou & Riegelman, 1971) : a. Campuran Eutektik Sederhana Dibuat dengan cara pembekuan secara cepat dari komponen yang menunjukkan campuran sempurna dalam keadaan cair dan mengabaikan kelarutan padat padat.

25 8 b. Larutan Padat (Solid Solution) : Dibuat dengan cara melarutkan solut padat dalam pelarut padat yang bisa juga disebut dengan campuran kristal, hal ini disebabkan larutan tersebut terdiri atas dua komponen yang mengkristal bersama dalam suatu sistem homogen. i. Larutan Padat Kontinyu Matriks dalam bentuk kristalin, obat terdispersi molekular dalam matriks dan dapat larut dalam berbagai komponen ii. Larutan Padat Terputus Matriks dalam bentuk kristalin, obat terdispersi molekular dalam matriks namun terbentuk dua fase walaupun molekul obat terdispersi secara molekular. iii. Larutan Padat Subtitusi Matriks dalam bentuk kristalin, obat terdispersi molekular dalam matriks. Diameter molekul obat (terlarut) < 15% diameter matriks (pelarut). Dalam hal ini, obat dan matriks merupakan subtitusi, dapat berlanjut atau terputus. Walaupun demikian, bila dua fase terputus, obat tetap terdispersi dalam bentuk molekular. iv. Larutan Padat Interstitial Matriks dalam bentuk kristalin, obat terdispersi molekular dalam matriks. Diameter molekul (terlarut) < 59% diameter matriks (pelarut). Biasanya kelarutan terbatas dan terputus. c. Larutan Gelas & Suspensi Gelas (Glass Solution & Glass Suspension) Larutan Glassy (bersifat gelas) adalah suatu sistem homogen yang menyerupai gelas, transparan dan bahan obat terlarut dalam pembawa yang bersifat gelas. Suspensi Glassy

26 9 adalah campuran yang diperoleh dari partikel yang mengendap, kemudian disuspensikan ke dalam pelarut yang bersifat gelas. d. Endapan Amorf dalam Pembawa Kristalin Suatu campuran eutektik sederhana yang diperoleh dari bahan obat dan pembawa yang mengkristal secara simultan. Dibuat dengan metode peleburan dan pelarutan. Bahan obat dalam bentuk amorf berada dalam pembawa kristalin. e. Kombinasi dari Metode Diatas Pengelolaan profil obat menggunakan dispersi padat dilakukan dengan memanipulasi pembawa dan sifat dari partikel dispersi padat. Parameter seperti berat molekul dan komposisi pembawa, kristal bahan obat, porositas dan kemampuan terbasahinya suatu partikel akan menghasilkan bioavailabilitas yang baik apabila berhasil dikontrol (Vasconcelos et al, 2007). Pemilihan pembawa memberikan pengaruh yang sangat besar pada karakteristik disolusi. Pembawa yang larut air menghasilkan pelepasan obat yang cepat dari matriks dan pembawa yang sukar larut atau tidak larut pelepasan obat dari matriknya lambat (Chiou & Riegelman, 1971) Karakterisasi Dispersi Padat Menurut Chiou dan Riegelman (1971), ada beberapa metode karakterisasi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi pembentukan dispersi padat, antara lain : a. Spektrum inframerah Digunakan untuk menganalisis gugus fungsi yang terbentuk akibat terjadinya kompleks. Pada umumnya gaya yang

27 10 terbentuk disebabkan oleh terjadinya ikatan hidrogen antara gugus yang mengandung oksigen. b. Difraksi Sinar X Metode ini merupakan metode yang sangat penting dan paling efisien dalam mempelajari pembentukan campuran fisik dan dispersi padat. Zat dalam keadaan murni biasanya memberikan puncak puncak yang tajam pada pola difraksi sinar X. c. Analisis Termal Analisis ini menggunakan Differential Scanning Calorimetry (DSC). Analisis termal merupakan cara analisis yang digunakan untuk mengetahui interaksi fisikokimia dari dua atau lebih sistem komponen. d. Analisis Termodinamika Analisis ini dilakukan dengan metode pelarutan. Kompleks yang terjadi dapat diukur dengan tetapan stabilitas kompleks (k). selanjutnya setelah stabilitas kompleks diperoleh, ditentukan parameter termodinamikanya yang meliputi beda energi bebas ( F), beda entalpi ( H), dan beda entropi ( S). e. Metode Laju Disolusi Metode ini dapat digunakan untuk mengamati kecepatan disolusi yang proporsional pada daerah permukaan, membedakan kecepatan disolusi antara campuran fisik dan larutan fisik dan larutan padat serta membedakan bentuk polimorfi yang sama dari suatu obat pada campuran fisik dengan kopresipitat hasil pembentukan dispersi padat.

28 Hypromellose (HPMC) Hydroxypropyl Methylcellulose merupakan suatu polimer glukosa yang tersubstitusi dengan hidroksipropil dan metil pada gugus hidroksinya. HPMC memiliki nama lain diantaranya : Benecel MHPC, E464, hydroxypropyl methylcellulose, Hypromellose, Hypromellosum, Methocel, methylcellulose propylene glycol ether, methyl hydroxypropylcellulose, Metolose, MHPC, Pharmacoat, Tylopur, Tylose MO. Gambar 2.2 Struktur HPMC (Howlader, 2012). Dalam Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th Edition, HPMC dinyatakan memiliki bentuk serbuk granul atau serat berwarna putih tak berbau dan tak berasa. Serbuk Hypromellose adalah bahan yang stabil, meskipun bersifat higroskopis setelah pengeringan. Dalam larutan, HPMC stabil pada ph HPMC mengalami transformasi sol-gel yang reversibel pada baik saat dilakukan pemanasan maupun pendinginan. Suhu terjadinya fenomena gelasi adalah o C, tergantung pada kualitas dan konsentrasi bahan. Apabila digunakan dibawah dari suhu gelasi, maka viskositas dari larutan HPMC akan menurun apabila terjadi kenaikan suhu.

29 12 Sedangkan apabila di atas suhu gelasi, viskositas dari larutan HPMC akan meningkat seiring kenaikan suhu. Larutan HPMC dalam pelarut air juga dapat disterilkan dengan menggunakan autoklaf, apabila terjadi penggumpalan, sediaan dikocok terlebih dahulu hingga terdispersi kembali. Serbuk HPMC harus disimpan di tempat yang terturup rapat, sejuk dan kering. Keuntungan dari HPMC sebagai pembawa adalah : menghambat terjadinya kristalisasi, sehingga membantu terbentuknya larutan padat. Hal ini akan meningkatkan kelarutan dan disolusi dari bahan obat melalui ikatan hidrogen antara obat pembawa (Howlader, 2012). 2.4 Kelarutan Kelarutan adalah kemampuan suatu zat kimia tertentu, zat terlarut (solute), untuk larut dalam suatu pelarut (solvent) dalam keadaan jenuh. Kelarutan dinyatakan dalam jumlah maksimum zat terlarut yang larut dalam suatu pelarut pada kesetimbangan. Larutan hasil disebut larutan jenuh. Zat - zat tertentu dapat larut dengan perbandingan apapun terhadap suatu pelarut. Pelarut umumnya merupakan suatu cairan yang dapat berupa zat murni ataupun campuran (Darmaji, 2005). Proses kelarutan terdiri dari beberapa tahap, yakni menyangkut pemindahan satu molekul dari fase terlarut pada temperatur tertentu. Kerja yang dilakukan dalam memindahkan satu molekul dari zat terlarut sehingga dapat lewat ke wujud uap memerlukan pemecahan ikatan antara molekulmolekul yang berdekatan. Tetapi apabila molekul melepaskan diri dari fase terlarut, lubang yang ditinggalkannya tertutup, dan setengah dari energi yang diterima kembali. Penerimaan energi potensial atau kerja ini dapat disebut proses netto. Tahap kedua menyangkut pembentukan lubang dalam pelarut yang cukup besar untuk menerima molekul zat terlarut. Kerja yang

30 13 dibutuhkan pada tahap ini, menunjukkan energi interaksi antara molekul molekul pelarut. Molekul zat terlarut akhirnya ditempatkan dalam lubang dalam pelarut, dan perambahan kerja atau penurunan energi potensial. Hal ini menunjukkan adanya energi interaksi zat terlarut dengan pelarut. Lubang dalam pelarut yang terbentuk sekarang tertutup, dan penurunan tambahan dalam energi, terjadi menyangkut kerja proses netto. (Martin, 2008). Kelarutan dapat dipengaruhi oleh ukuran partikel dan luas area yang dapat ditunjukan dalam rumus dibawah ini :...(1) Dimana S adalah kelarutan dari partikel kecil; S 0 adalah kelarutan dari partikel besar; γ adalah tegangan permukaan; V adalah volume dalam molar; R adalah konstanta gas; T adalah suhu absolut; dan r adalah diameter ukuran partikel kecil (Ansel, 2005). Berdasar persamaan tersebut dapat diketahui bahwa kelarutan berbanding terbalik dengan ukuran partikel. Sehingga ukuran partikel semakin kecil akan memperbesar kelarutan (Ansel, 2005). Selain persamaan diatas, Ostwald Freundlich mengemukakan persamaan lain yang menunjukkan hubungan antara ukuran partikel dengan kelarutan, yakni : * + ( ) ( ) ( )...(2) Dimana σ adalah energi interfasial antara padatan dan larutan, M adalah berat molekul, R adalah konstanta gas, T adalah temperatur absolut, r 1 adalah ukuran partikel besar, r 2 adalah ukuran partikel kecil dan adalah densitas (Shchekin & Rusanov, 2008). Titik didih dari larutan dan titik lebur dari padatan juga mencerminkan kekuatan interaksi antar molekul. Semakin tinggi titik didih

31 14 dan titik lebur dari suatu senyawa, maka kelarutan dalam air akan semakin rendah (Attwood & Florence, 1998). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat adalah (Martin, 2008) : ph, temperatur, jenis pelarut bentuk dan ukuran partikel, konstanta dielektrik pelarut, adanya zat-zat lain, misalnya surfaktan pembentuk kompleks ion sejenis dan lain lain Kelarutan obat biasanya ditentukan melalui metode kesetimbangan kelarutan, yaitu dengan cara sejumlah obat dimasukan kedalam pelarut dan dikocok pada suhu yang konstan sampai memperoleh kesetimbangan. Analisis dilakukan pada larutan untuk menentukan kelarutannya (Ansel, 2005). Pada sistem dispersi padat diazepam HPMC menunjukkan bahwa kelarutan diazepam meningkat dalam sistem dispersi padat karena terdispersi dengan baik dan menunjukan perubahan bentuk kristal menjadi amorf dalam matriks (Howlader, 2012). Tabel II.1 Istilah Kelarutan (Farmakope V, 2014) Jumlah Bagian Pelarut yang Istilah Kelarutan Diperlukan untuk Melarutkan 1 Bagian Zat Sangat mudah larut Kurang dari 1 Mudah larut 1 10 Larut Agak sukar larut Sukar larut Sangat sukar larut Praktis tidak larut Lebih dari 10000

32 Disolusi Disolusi didefinisikan sebagai proses suatu zat padat masuk kedalam pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses zat padat melarut. Proses ini dikendalikan oleh afinitas antara zat padat dan pelarut (Syukri, 2002). Disolusi merupakan salah satu kontrol kualitas yang dapat digunakan untuk memprediksi bioavailabilitas, dan dalam beberapa kasus dapat sebagai pengganti uji klinik untuk menilai bioekivalen (bioequivalence). Hubungan kecepatan disolusi in vitro dan bioavailabilitasnya dirumuskan dalam bentuk IVIVC (in vitro in vivo corelation). Kinetika uji disolusi in vitro memberi informasi yang sangat penting untuk memprediksi bioavailabilitas obat dan efek terapeutiknya secara in vivo (Sulaiman, 2007). Kadar obat dalam darah pada sediaan peroral dipengaruhi oleh proses absorpsi dan kadar obat dalam darah ini menentukan efek sistemiknya. Obat dalam bentuk sediaan padat mengalami berbagai tahap pelepasan dari bentuk sediaan sebelum diabsorpsi. Tahapan tersebut meliputi disintegrasi, deagregasi dan disolusi. Kecepatan obat mencapai sistem sirkulasi dalam proses disintegrasi, disolusi dan absorpsi, ditentukan oleh tahap yang paling lambat dari rangkaian di atas yang disebut dengan rate limiting step. Efektivitas dari suatu tablet dalam melepas obatnya untuk absorpsi sistemik bergantung pada laju disintegrasi dari bentuk sediaan dan deagregasi dari granul-granul tersebut. Tetapi yang biasanya lebih penting adalah laju disolusi dari obat padat tersebut. Seringkali disolusi merupakan tahapan yang membatasi atau tahap yang mengontrol laju bioabsorpsi obat-obat yang mempunyai kelarutan rendah, karena tahapan ini seringkali merupakan tahapan yang paling lambat dari berbagai

33 16 tahapan yang ada dalam pelepasan obat dari bentuk sediaannya dan perjalanannya ke dalam sirkulasi sistemik (Martin, 2008). Untuk mengamati kemaknaan laju disolusi dari obat-obat yang sangat tidak larut dalam air mungkin perlu menggunakan suatu wadah yang berkapasitas sangat besar. Pertimbangan yang kedua adalah jumlah pengadukan dan sifat pengaduk. Kecepatan pengadukan harus dikendalikan dan spesifikasi yang membedakan antar produk obat. Suhu media disolusi juga harus dikedalikan dan variasi suhu harus dihindarkan. Sebagaian besar uji disolusi dilakukan pada suhu 37 o C (Shargel et al., 2005). Dalam penentuan kecepatan disolusi dari bentuk sediaan padat terlibat berbagai macam proses disolusi yang melibatkan zat murni. Karakteristik fisik sediaan, proses pembasahan sediaan, kemampuan penetrasi media disolusi kedalam sediaan, proses pengembangan, proses disintegrasi dan deagragasi sediaan merupakan faktor yang mempengaruhi karakteristik disolusi obat sediaan (Syukri, 2002). Persyaratan uji disolusi pertama kali dicantumkan dalam NF XIII (1970) dan USP XVIII (1970). Persyaratan yang dimaksud disini bukan hanya persyaratan untuk jumlah obat yang terlarut dalam waktu yang ditentukan saja, tetapi juga termasuk prosedur pengujian, medium disolusi dan peralatan serta persyaratan pengujiannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses disolusi, diantaranya kecepatan pengadukan, temperatur pengujian, viskositas, ph, komposisi medium disolusi, dan ada atau tidaknya bahan pembasah (wetting agent) (Sulaiman, 2007). Obat-obat yang mempunyai kelarutan kecil dalam air, laju disolusinya seringkali merupakan tahap yang paling lambat, oleh karena itu merupakan terjadinya efek penentu kecepatan terhadap bioavailabilitas obat, sedangkan obat yang mempunyai kelarutan besar dalam air, laju disolusinya cepat (Shargel et al., 2005).

34 17 Proses disolusi merupakan langkah penentu dari proses absorbsi, maka faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi akan mempengaruhi kecepatan absorbsi bahan obatnya. adalah : Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi tersebut a. Sifat Sifat Fisika Kimia Sifat-sifat fisika kimia yang mempengaruhi laju disolusi meliputi : kelarutan, bentuk kristal, solvasi, hidrasi, kompleksasi serta ukuran partikel (Shargel et al., 2005) b. Formulasi sediaan Berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan pembantu dan pengolahan (processing). Pengaruh bentuk sediaan pada laju disolusi tergantung pada kecepatan pelepasan zat aktif yang terkandung di dalamnya (Shargel et al., 2005). c. Alat Uji Disolusi & Parameter Disolusi Dapat meliputi : wadah, suhu, media pelarutan dan alat disolusi yang digunakan, dan faktor-faktor lain seperti bentuk sediaan, lama penyimpanan dan kondisi penyimpanan produk (Shargel et al., 2005).

35 18 Laju disolusi memberikan informasi tentang profil proses melarut per satuan waktu. Hukum yang mendasarinya telah ditemukan oleh Noyes dan Whitney sejak tahun 1897 dan diformulasikan secara matematik sebagai berikut : dc = k 1 A (Cs-Ct)... (3) dt Keterangan : dc = laju disolusi (perubahan konsentrasi per satuan waktu) dt Cs = kelarutan (konsentrasi jenuh bahan dalam pelarut) Ct = konsentrasi bahan dalam larutan pada waktu t k = konstanta yang mempertimbangkan koefisien difusi, volume larutan jenuh dan tebal lapisan difusi (tetapan disolusi) A = luas permukaan Dari persamaan tersebut dapat diketahui faktor faktor yang mempengaruhi laju disolusi, yaitu : a. Luas Permukaan (A) dipengaruhi oleh ukuran partikel, dispersi serbuk padat dalam medium disolusi, penyerapan dari partikel padat. b. Kelarutan dalam medium disolusi (Cs) dari zat padat dipengaruhi oleh suhu, sifat dari medium disolusi, struktur kimia dari zat terlarut, bentuk kristal dari zat padat, kandungan bahan lain. c. Konsentrasi solut dalam larutan pada waktu t (C) dipengaruhi oleh volume medium disolusi, proses perpindahan solut dari medium disolusi. d. Konstanta laju disolusi (K) dipengaruhi oleh ketebalan membran yang mengelilingi zat padat pada saat disolusi,

36 19 koefisien difusi dari solut dalam medium disolusi (Aulton, 2002) Laju disolusi maksimum dapat diperkirakan apabila C = 0 (nol). Jika C < 15% dari kelarutan jenuh Cs, maka pengaruh C dapat diabaikan, kondisi ini dapat disebut kondisi sink. Hal ini biasanya dilakukan dengan menggunakan volume media disolusi yang besar atau dengan penambahan larutan setelah setiap pengambilan secara kuantitatif pada waktu waktu yang telah ditetapkan. Dengan mempertahankan volume pelarut yang besar (paling sedikit 3 kali konsentrasi jenuh), kondisi sink kurang lebih tercapai. Dikarenakan uji disolusi untuk quercetin tidak terdapat dalam farmakope, maka prosedur uji disolusi pada penelitian ini menggunakan prosedur penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kakran et al (2012) yaitu menggunakan media disolusi air sebanyak 900 ml pada suhu 37 ± 0,5 o C, menggunakan pengaduk tipe I (keranjang) dengan kecepatan 100 rpm. Penggunaan volume media sebanyak 900mL tersebut dikarenakan pada jumlah tersebut sudah memenuhi kondisi sink. Efisiensi disolusi (ED) didefinisikan sebagai luas daerah di bawah kurva disolusi sampai batas waktu tertentu. ED dinyatakan sebagai persentase terhadap luas segiempat yang digambarkan oleh disolusi 100% pada batas waktu yang sama (Khan & Rhodes, 1975). Setelah diperoleh profil disolusi, maka efisiensi disolusi dapat dihitung dengan rumus: ED (%) = luas daerah dibawah kurva X 100%... (4) luas segiempat Pada penggunaan metode dispersi padat, hal-hal yang harus diperhatikan yakni metode preparasi, reproduksibilitas sifat fisikokimia obat dan matriks, scale up pada proses pembuatan, dan stabilitas fisika kimia obat dan matriks. Hal ini dikarenakan bisa terjadi pemisahan fase dengan

37 20 cara pertumbuhan kristal atau perubahan produk pada saat penyimpanan sehingga dapat menurunkan kelarutan dan laju disolusinya (Vibha et al., 2012). Pada sistem dispersi padat pada bahan obat diazepam, cisapride dan ibuprofen menunjukan bahwa laju disolusinya meningkat, hal ini dikarenakan efek kelarutan HPMC menghasilkan sistem penghambatan yang relatif stabil dan dapat menghambat terjadinya kristalisasi, sehingga membantu terbentuknya larutan padat (Howlader, 2012; Zhenping, Wei et al, 2004 dan Saffoon et al, 2011).

38 BAB III KERANGKA KONSEPTUAL 3.1 Uraian Kerangka Konseptual Quercetin merupakan senyawa polifenol yang memiliki sifat hidrofob dan dikategorikan dalam BCS kelas 2. Untuk itu, perlu dilakukan usaha peningkatan kelarutan dan disolusi dari quercetin (Painter, 1998; Van Dijk et al, 2000 dan Kakran, 2011). Peningkatan kelarutan dan laju disolusi dapat dilakukan dengan pembentukan sistem dispersi padat. Dengan terbentuknya sistem ini, diharapkan dapat meningkatkan kelarutan dan laju disolusi dari quercetin dengan mekanisme meminimalkan pertumbuhan partikel kristal dari bahan obat sehingga ukuran partikel yang dihasilkan dapat diperkecil, selain itu kemampuan pembawa yang digunakan untuk mendispersikan bahan obat dalam bentuk amorf dapat meningkatkan kelarutannya (Vasconcelos et al, 2007). Pemilihan pembawa memberikan pengaruh yang sangat besar pada karakteristik disolusi. Pembawa yang larut air menghasilkan pelepasan obat yang cepat dari matriks (Chiou & Riegelman, 1971). Pada penelitian ini digunakan HPMC 3 cps yang merupakan polimer mudah larut air sebagai pembawa, selain itu polimer ini juga dapat meningkatkan efek solubilisasi dan menurunkan tegangan permukaan. Dengan menggunakan HPMC 3 cps, bahan obat akan terperangkap di dalamnya sehingga meningkatkan pembasahan dari bahan obat, selain itu pembawa ini juga dapat menurunkan tegangan permukaan antara bahan obat dan media disolusi (Howlader, 2012). 21

39 Kerangka Konseptual Gambar 3.1 Bagan kerangka konseptual.

40 Hipotesis Penelitian 1. Sistem dispersi padat quercetin HPMC 3 cps berpengaruh terhadap kelarutan dan laju disolusi quercetin. 2. Penambahan HPMC 3 cps sebagai pembawa dalam sistem dispersi padat quercetin HPMC 3 cps dengan perbandingan jumlah 1:1, 1:2 dan 1:3 (b/b) dapat meningkatkan kelarutan dan laju disolusi quercetin dibandingkan dengan quercetin murni.

41 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Bahan Penelitian Quercetin hidrat (Tokyo Chemical Industry Co., Ltd., Japan, Lot : 83N2O), HPMC 3cps (Shin Etsu, Japan), etanol p.a (E Merck, Germany) dan air demineralisata. 4.2 Alat-alat Penelitian Alat Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah magnetik stirrer (Thermolyne Cimarec 3), spektrofotometer UV Vis (Cary 50 Conc), spektrofotometer IR (Jasco FT/IR 5300), Differential Thermal Analysis (Erweka), bejana kelarutan, alat uji disolusi (Erweka DT 700), timbangan analitik (Mettler Toledo AL 204), pengayak Mesh no.50 & 80 (Restch Type ASTM) dan alat gelas yang umum digunakan dalam penelitian. 4.3 Metode Penelitian Rancangan Penelitian Pada penelitian ini dilakukan penelitian eksperimen laboratorium tentang uji kelarutan dan laju disolusi quercetin pada kelompok perlakuan dalam media dapar sitrat - NaOH (ph 5,0 ± 0,05). Pembagian kelompok perlakuan ditunjukkan pada tabel IV.1. Terdapat dua variabel dalam penelitian ini, yaitu variabel terkontrol dan variabel tergantung. Untuk variabel terkontrolnya adalah adalah penambahan HPMC 3 cps dalam perbandingan jumlah yang berbeda pada dispersi padat quercetin HPMC 3 cps, sedangkan untuk variabel 24

42 25 tergantungnya adalah kelarutan dan laju disolusi quercetin dalam masing masing kelompok perlakuan. Keterangan : Tabel IV.1 Pembagian Kelompok Perlakuan Quercetin Bahan Tanpa Perlakuan Quercetin Murni (QC) Dengan Perlakuan Campuran Fisik (CF) Dispersi Padat (DP) I II III I II III Quercetin HPMC 3cps QC : Quercetin Murni (1) CF I : Campuran Fisik Quercetin HPMC 3cps (1 : 1) CF II : Campuran Fisik Quercetin HPMC 3cps (1 : 2) CF III : Campuran Fisik Quercetin HPMC 3cps (1 : 3) DP I : Dispersi Padat Quercetin HPMC 3cps (1 : 1) DP II : Dispersi Padat Quercetin HPMC 3cps (1 : 2) DP III : Dispersi Padat Quercetin HPMC 3cps (1 : 3) Dari masing masing kelompok perlakuan yaitu dispersi padat, campuran fisik dan quercetin murni ditambahkan dalam 40 ml dapar sitrat - NaOH (ph 5,0 ± 0,05) pada bejana kelarutan. Kemudian diaduk menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan tertentu pada suhu 30 ± 0,5 o C. Diambil cuplikan larutan pada waktu yang telah ditentukan, kemudian didiamkan selama 5 menit, disaring dan diukur absorbannya dengan spektrometer UV Vis pada panjang gelombang maksimum quercetin. Untuk uji disolusi, campuran fisik dan quercetin murni dimasukkan ke dalam bejana disolusi. Kemudian masing masing perlakuan dilakukan uji disolusi sebanyak tiga kali dalam media disolusi dapar sitrat - NaOH (ph 5,0 ± 0,05) pada suhu 37 ± 0,5 o C sebanyak 900 ml, menggunakan pengaduk tipe I (basket) dengan kecepatan 100 rpm.

43 26 Untuk membandingkan laju disolusi quercetin antar kelompok perlakuan, maka dibuat profil disolusi quercetin kemudian ditentukan harga efisiensi disolusi (ED 30 ). Bagan mengenai rancangan penelitian dapat dilihat pada gambar 4.1.

44 Kerangka Penelitian Gambar 4.1 Bagan perencanaan penelitian

45 Pemeriksaan Bahan Baku Penelitian Pemeriksaan Quercetin a. Analisis Spektrofotometri Inframerah Spektrum inframerah quercetin dibuat dengan metode cakram KBr. Sebanyak 2 mg quercetin dalam KBr digerus sampai homogen dalam mortir, kemudian dimasukkan ke dalam pengering hampa udara, selanjutnya dicetak dengan penekan hidrolik sampai diperoleh cakram yang transparan. Cakram yang terbentuk dimasukkan dalam kuvet dan dialiri sinar inframerah, kemudian diamati spektrumnya. Hasil pemeriksaan dibandingkan dengan spektrum inframerah quercetin standar. b. Analisis Termal dengan DTA (Differential Thermal Analysis) Pemeriksaan titik lebur quercetin dengan menggunakan DTA, yaitu dengan menimbang quercetin 3 5 mg dalam krus aluminium. Selanjutnya krus aluminium dimasukkan ke dalam alat DTA yang diatur dengan kecepatan pemanasan 10 o C/menit dan pengamatan dilakukan pada rentang suhu o C. Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk membandingkan titik lebur quercetin sesuai dengan pustaka yaitu sebesar 314 o C Pemeriksaan HPMC 3 cps a. Analisis Spektrofotometri Inframerah Spektrum Inframerah HPMC 3cps dibuat dengan metode pellet KBr seperti pada prosedur

46 29 b. Analisis Termal dengan DTA (Differential Thermal Analysis) Pemeriksaan titik lebur HPMC 3cps menggunakan DTA seperti pada prosedur dilakukan pada rentang suhu o C untuk membandingkan titik lebur HPMC 3 cps dengan pustaka yaitu 160 o C Pembuatan Kurva Baku Quercetin Pembuatan Larutan Baku Induk Quercetin Larutan baku induk quercetin dibuat dengan kadar 400 µg/ml. Larutan baku tersebut dibuat dengan menimbang teliti sebanyak 20,0 mg quercetin dan dilarutkan etanol p.a. Kemudian larutan tersebut ditambahkan etanol p.a dalam labu ukur 50,0 ml sampai tepat tanda Pembuatan Larutan Baku Kerja Quercetin Larutan baku kerja quercetin dibuat dengan konsentrasi 0,4; 4; 8; 16; 20 dan 24 µg/ml dengan cara berikut : a. Dipipet sebanyak 0,5 ml larutan baku induk, dimasukkan ke dalam labu ukur 500,0 ml kemudian ditambahkan dapar sitrat - NaOH (ph 5,0 ± 0,05) sampai tepat tanda sehingga diperoleh konsentrasi 0,4 µg/ml. b. Dipipet sebanyak 0,5 ml larutan baku induk, dimasukkan ke dalam labu ukur 50,0 ml kemudian ditambahkan dapar sitrat - NaOH (ph 5,0 ± 0,05) sampai tepat tanda sehingga diperoleh konsentrasi 4 µg/ml.

47 30 c. Dipipet sebanyak 0,5 ml larutan baku induk, dimasukkan ke dalam labu ukur 25,0 ml kemudian ditambahkan dapar sitrat - NaOH (ph 5,0 ± 0,05) sampai tepat tanda sehingga diperoleh konsentrasi 8 µg/ml. d. Dipipet sebanyak 1,0 ml larutan baku induk, dimasukkan ke dalam labu ukur 25,0 ml kemudian ditambahkan dapar sitrat - NaOH (ph 5,0 ± 0,05) sampai tepat tanda sehingga diperoleh konsentrasi 16 µg/ml. e. Dipipet sebanyak 0,5 ml larutan baku induk, dimasukkan ke dalam labu ukur 10,0 ml kemudian ditambahkan dapar sitrat - NaOH (ph 5,0 ± 0,05) sampai tepat tanda sehingga diperoleh konsentrasi 20 µg/ml. f. Dipipet sebanyak 3,0 ml larutan baku induk, dimasukkan ke dalam labu ukur 50,0 ml kemudian ditambahkan dapar sitrat - NaOH (ph 5,0 ± 0,05) sampai tepat tanda sehingga diperoleh konsentrasi 24 µg/ml Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Quercetin Panjang gelombang maksimum quercetin ditentukan dengan menggunakan larutan baku kerja quercetin kadar 8 dan 16 µg/ml. Larutan baku tersebut diamati absorbannya dengan spektrofotometer UV Vis pada panjang gelombang nm. Panjang gelombang maksimum yang ditentukan merupakan panjang gelombang yang memberikan absorban terbesar.

48 31 Panjang gelombang maksimum teoritis dari quercetin : 258 dan 375 nm Pembuatan Kurva Regresi Quercetin Larutan baku quercetin yang telah dibuat diamati absorbannya pada panjang gelombang maksimum quercetin, kemudian dibuat kurva absorban terhadap kadar larutan baku quercetin. Selanjutnya akan diperoleh suatu persamaan kurva baku dari hasil regresi linier kurva tersebut Pemeriksaan Pengaruh HPMC 3 cps Terhadap Pemeriksaan Kadar Quercetin Dibuat larutan HPMC 3cps dalam air suling dengan kadar 200 µg/ml. Larutan HPMC dipipet 1,0 ml kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 25,0 ml. Kemudian ditambahkan 1,0 ml larutan baku induk quercetin 200 µg/ml, kemudian campur larutan tersebut dan diencerkan dengan dapar sitrat - NaOH (ph 5,0 ± 0,05) sampai 25,0 ml sehingga didapatkan larutan campuran quercetin dan HPMC 3 cps dengan perbandingan 1:1. Kemudian larutan tersebut diamati absorbannya menggunakan spektrofotometer UV Vis pada panjang gelombang maksimal. Spektrum yang dihasilkan dibandingkan dengan spektrum larutan baku kerja quercetin kadar 8 µg/ml Pembuatan Campuran Fisik Quercetin HPMC 3cps Campuran fisik quercetin HPMC 3cps dibuat dengan terlebih dahulu mengayak masing masing bahan (quercetin maupun HPMC 3cps) dengan pengayak mesh no. 50. Timbang teliti quercetin dan HPMC 3cps sesuai

49 32 dengan perbandingan 1:1, 1:2 dan 1:3 (b/b) seperti yang direncanakan pada tabel IV.1. Setelah itu, tambahkan quercetin pada HMPC 3cps dan campur hingga homogen Pembuatan Dispersi Padat Quercetin HPMC 3 cps Pembuatan dispersi padat dilakukan dengan metode pelarutan, yaitu dengan menimbang teliti sejumlah bahan setara dengan perbandingan 1:1, 1:2 dan 1:3 (b/b) yang direncanakan pada tabel IV.1. HPMC 3 cps dilarutkan dengan menggunakan air suling sedangkan quercetin dilarutkan dengan etanol p.a. Kemudian ke dalam larutan HPMC 3cps tersebut ditambahkan larutan quercetin sedikit demi sedikit. Campuran quercetin HPMC 3 cps tersebut kemudian diaduk dengan menggunakan magnetik stirrer hingga terbentuk sistem dispersi padat. Setelah itu dispersi padat quercetin HPMC 3cps diuapkan pelarutnya hingga kering. Massa digerus dalam mortir agat, kemudian diayak dengan ayakan mesh no Pemeriksaan Homogenitas Quercetin Pada masing masing kelompok campuran fisik dan dispersi padat, diambil sejumlah sampel setara 20 mg quercetin dan dilarutkan dengan etanol p.a sampai 10,0 ml. Larutan tersebut dipipet 1,0 ml dan diencerkan dengan dapar sitrat - NaOH (ph 5,0 ± 0,05) sampai 25,0 ml. Absorban sampel diamati dengan spektrofotometer UV Vis pada panjang gelombang maksimum quercetin dan dihitung % perolehan kembali kadar quercetin.

50 Pengujian Kelarutan Quercetin Pengamatan Waktu Kelarutan Jenuh Quercetin Untuk menentukan waktu tercapainya larutan jenuh quercetin dalam media dapar sitrat - NaOH (ph 5,0 ± 0,05) dilakukan prosedur sebagai berikut : Ditimbang sejumlah 20 mg quercetin dan ditambahkan dalam 40 ml dapar sitrat - NaOH (ph 5,0 ± 0,05) pada bejana kelarutan. Kemudian diaduk menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan tertentu pada suhu 30 ± 0,5 o C. Diambil cuplikan larutan pada 30, 60, 120, 180, 240, 300, 360 dan 420 menit, kemudian didiamkan selama 5 menit, disaring dengan kertas saring millipore 0,45µm dan diukur absorban dengan spektrometer UV Vis pada panjang gelombang maksimum quercetin Pengamatan Uji Kelarutan Quercetin Untuk menentukan tercapainya kelarutan dispersi padat quercetin HPMC 3 cps dalam air, dilakukan prosedur sebagai berikut : Ditimbang sampel setara 20 mg quercetin kemudian ditambahkan dalam 40 ml dapar sitrat - NaOH (ph 5,0 ± 0,05) pada bejana kelarutan. Kemudian diaduk menggunakan magnetik stirrer dengan kecepatan tertentu pada suhu 30 ± 0,5 o C. Diambil cuplikan larutan pada waktu yang sudah ditentukan sesuai dengan waktu kelarutan jenuh quercetin, didiamkan selama 5 menit, disaring dengan kertas saring millipore 0,45µm dan

51 34 diukur absorban dengan spektrometer UV Vis pada panjang gelombang maksimum quercetin Uji Disolusi Quercetin Preparasi uji disolusi dilakukan dengan cara menimbang sampel 20 mg serbuk quercetin, serta campuran fisik dan dispersi padat quercetin HPMC 3cps yang setara dengan 20 mg quercetin. Masing masing sampel tersebut kemudian dimasukkan ke dalam bejana disolusi. Uji disolusi dilakukan terhadap 20 mg serbuk quercetin murni, campuran fisik dan dispersi padat quercetin HPMC 3 cps yang setara dengan 20 mg quercetin. Alat uji disolusi yang digunakan adalah pengaduk bentuk basket (tipe I, keranjang) dengan kecepatan 100 rpm serta dilakukan replikasi sebanyak tiga kali. Media disolusi yang digunakan adalah dapar sitrat - NaOH (ph 5,0 ± 0,05) sebanyak 900 ml. Prosedur uji disolusinya adalah sebagai berikut : Bejana disolusi diisi dengan sebanyak 900 ml dapar sitrat - NaOH (ph 5,0 ± 0,05; diuji dengan phmeter) dan termostat diatur pada suhu 37 ± 0,5 o C. Setelah suhu media disolusi mencapai 37 ± 0,5 o C, sampel yang telah disiapkan, dimasukkan ke dalam bejana disolusi dan pengaduk diputar dengan kecepatan 100 rpm. Cuplikan sampel diambil sebanyak 5,0 ml setiap interval waktu 5, 10, 15, 30, 45, 60 menit, kemudian disaring menggunakan kertas saring milipore 0,45 µm. Pada setiap pengambilan cuplikan sampel dilakukan penggantian

52 35 media disolusi air suling sejumlah 5,0 ml. Setelah itu, masing masing cuplikan sampel diamati absorbannya pada spektrofotometer UV Vis pada panjang gelombang maksimum quercetin. Kadar quercetin yang terlarut tiap interval waktu dapat diperoleh dengan memasukkan harga absorban sampel ke persamaan kurva baku quercetin (Kakran, 2011). Untuk mendapatkan kadar yang sebenarnya dengan memperhitungkan pengenceran 5,0 ml media disolusi dalam setiap pengambilan cuplikan sampel, maka digunakan faktor koreksi dalam persamaan Wurster sebagai berikut (Wurster & Taylor, 1965) :...(4) Keterangan : Cn : Kadar sebenarnya setelah koreksi (mg/l) C n : Kadar yang terukur oleh spektrofotometer (mg/l) Cs : Kadar yang terukur spektrofotometer dari sampel yang sebelumnya (mg/l) a : Volume sampel yang diambil (ml) b : Volume media disolusi (ml)

53 Evaluasi Data Evaluasi Kelarutan Perhitungan kelarutan dihitung berdasarkan persentase kelarutannya (% b/v). Sehingga dapat diketahui bahwa kelarutan pada masing masing perlakuan memiliki perubahan yang bermakna atau tidak dengan uji statistik Evaluasi Profil Disolusi Penentuan kurva profil disolusi merupakan kurva yang menggambarkan jumlah senyawa yang terlarut terhadap waktu Perhitungan Harga Efisiensi Disolusi (ED) Perhitungan menggunakan rumus II.4 untuk membandingkan laju disolusi quercetin antar kelompok perlakuan pada menit tertentu. Harga efisiensi disolusi yang akan dibandingkan antar perlakuan adalah ED Analisis Statistika Untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang bermakna pada kelarutan jenuh quercetin pada waktu sampling, maka dilakukan uji statistik unpaired t-test, dan untuk mengetahui apakah ada perbedaan yang bermakna pada kelarutan quercetin pada masing masing perlakuan maka dilakukan uji statistik dengan one way ANOVA (Analysis of Variance). Sedangkan untuk membandingkan laju disolusi quercetin antar kelompok perlakuan dapat dilakukan perhitungan ED 30. Data kemudian dianalisis secara statistik dengan ANOVA (Analysis of Variance). Untuk menunjukkan adanya kebermaknaan perbedaan antar kelompok perlakuan dengan derajat kepercayaan

54 37 0,95 (α = 0,05) dengan membandingkan harga F hitung dengan F tabel. Jika nilai F hitung lebih besar dari F tabel maka terdapat perbedaan efisiensi disolusi yang bermakna, minimal satu pasang data. Bila ada perbedaan efisiensi disolusi quercetin yang bermakna, maka untuk mengetahui letak perbedaannya dilanjutkan uji HSD (Honestly Significant Difference) menurut Tukey dengan α = 0,05....(5) Keterangan : q α k N n MSE : diperoleh dari tabel F : derajat kepercayaan : jumlah perlakuan : jumlah pengamatan total : jumlah pengulangan : kuadrat rata rata kesalahan Jika selisih rata rata efisiensi disolusi antara dua perlakuan lebih besar dari hasil perhitungan nilai HSD, maka terdapat perbedaan efisiensi disolusi yang bermakna antara dua perlakuan tersebut.

55 BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Pemeriksaan Kualitatif Bahan Penelitian Quercetin Bahan baku quercetin yang digunakan dalam penelitian ini produksi Tokyo Chemical Industry Co., Ltd., Japan, Lot : 83N2O. Hasil pemeriksaan kualitatif dapat dilihat pada tabel V.1. Sedangkan Certificate of Analysis (CoA), spektra inframerah, dan termogram DTA dari quercetin dapat dilihat pada lampiran 1, 2, dan 3. Hasil identifikasi pada spektrum inframerah dan termogram DTA menunjukkan bahwa quercetin yang digunakan sesuai dengan pustaka. Tabel V. 1 Pemeriksaan kualitatif quercetin Identifikasi Hasil Identifikasi Pustaka 1. Organoleptis Serbuk kuning, halus, Serbuk kuning, halus, berbau khas, tidak berasa. berbau khas, tidak berasa. (1) 2.Titik lebur DTA 325,4 C 326 C (2) 3. Spektrum FTIR Gugus Fungsi : - C-H aromatik - C-O-C - Gugus aromatik - C=O - O-H Bilangan gelombang (cm -1 ) : , , Bilangan gelombang (cm -1 ) : (2) , 1160 (2) (2) , 1610 (2) (2) (1) (The Merck Index, 1983) (2) (Kakran et al., 2011) 38

56 HPMC 3cps Bahan baku HPMC yang digunakan dalam penelitian ini produksi PT. Shin-Etsu, Japan. Hasil pemeriksaan kualitatif dapat dilihat pada tabel V.2. Sedangkan Certificate of Analysis (CoA), spektra inframerah, dan termogram DTA dari HPMC dapat dilihat pada lampiran 4, 5, dan 6. Hasil identifikasi pada spektrum inframerah dan termogram DTA menunjukkan bahwa HPMC yang digunakan sesuai dengan pustaka. Tabel V. 2 Pemeriksaan kualitatif HPMC 3 cps Identifikasi Hasil Identifikasi Pustaka 1. Organoleptis Serbuk putih, halus, tidak berbau, tidak berasa. Serbuk putih, halus, tidak berbau, tidak berasa. (1) 2.Transition glass 126,7 C 125,5 (3) 3. Spektrum FTIR Gugus Fungsi : - Gugus CH 2 - Cincin piran - C-O-C - Epoksida - Cincin anhidrida - C-H - Gugus aromatis - O-H - CH 3 dan CH 3OH - O-H (ikatan hidrogen intermolekular) Bilangan gelombang (cm -1 ) : , , Bilangan gelombang (cm -1 ) : (4) (4) (4) (4) (4) (4) (4) (4) (4) (4) (3) (Perfetti et al., 2011) (4) (Sahoo et al., 2012)

57 Pembuatan Kurva Baku Quercetin Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Quercetin Penentuan panjang gelombang maksimum larutan quercetin dalam media (asam sitrat NaOH ph 5 dalam air) dilakukan dengan mengamati serapan larutan quercetin menggunakan kadar 8,08 dan 16,16 µg/ml dengan spektrofotometri UV Vis pada panjang gelombang nm. Dari hasil pengamatan yang dilakukan diperoleh panjang gelombang maksimum quercetin yaitu pada 366,95 nm. Hasil penentuan panjang gelombang dapat dilihat pada lampiran Serapan Panjang Gelombang (nm) Gambar 5.1 Spektra quercetin murni kadar 8,08 dan 16,16 µg/ml dalam media asam sitrat NaOH (ph 5,0 ± 0,05) pada panjang gelombang antara nm. Keterangan : : Spektra quercetin kadar 8,08 µg/ml : Spektra quercetin kadar 16,16 µg/ml Hasil Pembuatan Kurva Baku Quercetin Berdasarkan hasil penentuan pengaruh bahan tambahan (HPMC 3cps) terhadap serapan quercetin yang menghasilkan spektrum berhimpit antara spektrum larutan quercetin HPMC 3cps (1:1) dan spektrum larutan

58 41 quercetin 10 µg/ml. Maka dapat dilakukan pengamatan serapan larutan baku quercetin dengan kadar 0,42; 4,04; 8,08; 16.16; 20,20 dan 24,24 µg/ml pada panjang gelombang maksimum quercetin 366,95 nm dan hasilnya dapat dilihat pada tabel. Dari hasil pengamatan diperoleh persamaan regresi kurva larutan baku quercetin terhadap serapan : Y = 0,05257 X + 0,00221 dengan nilai koefisien kolerasi (r) = 0,99979 sedangkan nilai r tabel (n-2 = 4; α = 0,05) = 0,8114. Karena nilai r hitung lebih besar dari r tabel maka terdapat kolerasi linier antara serapan dengan kadar larutan baku quercetin. Tabel V.3 Hasil serapan larutan baku kerja quercetin dalam media asam sitrat NaOH (ph 5,0 ± 0,05) pada panjang gelombang maksimum 366,95 nm Kadar Quercetin (µg/ml) Serapan 0,40 0,0282 4,04 0,2042 8,08 0, ,16 0, ,20 1, ,24 1, Serapan Konsentrasi (µg/ml) Gambar 5.2 Kurva baku quercetin pada panjang gelombang maksimum 366,95 nm.

59 Pemeriksaan Pengaruh HPMC 3cps terhadap Spektrum Quercetin Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh bahan tambahan (HPMC 3cps) terhadap serapan quercetin, dengan cara larutan quercetin dan larutan quercetin HPMC 3cps dengan perbandingan 1:1 diamati spektrumnya pada panjang gelombang antara nm dan hasilnya dapat dilihat pada lampiran 6. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa spektra larutan quercetin HPMC 3cps dengan perbandingan 1:1 berhimpitan dengan spektra larutan quercetin 8,08 ug / ml. Serapan Panjang Gelombang (nm) Gambar 5.3 Spektra quercetin kadar 8,08 µg/ml dan campuran quercetin HPMC 3cps (1:1). Keterangan : : Spektra quercetin kadar 8,08 µg/ml : Spektra quercetin HPMC 3cps (1:1) Selanjutnya dilakukan perhitungan match factor (MF) antara spektra quercetin murni dengan spektra quercetin HPMC 3cps (1:1) yang bertujuan sebagai data pendukung analisis kualitatif. Dari hasil pengamatan diperoleh persamaan regresi perbandingan serapan antara quercetin kadar 8,08 µg/ml dengan quercetin HPMC 3cps (1:1) : Y = 1,0014 X + 0,0026 dengan nilai koefisien kolerasi (r) = 0,9996. Berdasarkan nilai koefisien kolerasi, dilakukan perhitungan match factor (lampiran 6) sehingga didapatkan hasil MF = 999,6 yang bermakna : spektra campuran quercetin HPMC 3cps (1:1) identik dengan spektra quercetin kadar 8,08 µg/ml

60 43 sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa HPMC 3cps tidak memiliki pengaruh terhadap quercetin. Tabel V.4 Hasil serapan quercetin kadar 8,08 µg/ml dengan quercetin HPMC 3cps (1:1) untuk penentuan match factor Serapan quercetin kadar 8,08 µg/ml (x) Serapan quercetin HPMC 3cps (1:1) (y) 0,0034 0,0034 0,0036 0,0035 0,0041 0,0038 0,0045 0,0041 0,0052 0,0046 0,0088 0,0051 0,5502 0,5566 0,5578 0,5573 0,5737 0,5575 0,8270 0,8256 0,8389 0,8466 0,8635 0,8915 0,8641 0,8867 0,8908 0,8969 0,9681 0,9951 1,7177 1,6946

61 44 Serapan QC - HPMC 3cps (nm) Serapan QC (nm) Gambar 5.4 Kurva perbandingan serapan antara quercetin kadar 8,08 µg/ml dengan quercetin HPMC 3cps (1:1). 5.3 Pemeriksaan Homogenitas Quercetin Hasil penetapan persen homogenitas kadar quercetin dalam campuran fisik quercetin HPMC 3cps dan dispersi padat quercetin HPMC 3cps dapat dilihat pada tabel V.5. Data tersebut dapat digunakan untuk menghitung jumlah campuran fisik maupun dispersi padat yang setara dengan quercetin 20,0 mg yang selanjutnya digunakan untuk penentuan uji kelarutan dan laju disolusi. Hasil selengkapnya bisa dilihat pada lampiran 7. Tabel V.5 Hasil penetapan persen homogenitas kadar quercetin* Formula Kadar Quercetin ± SD (mg) % Recovery KV (%) Campuran Fisik 1:1 23,67 ± 0,48 108,47 1,56 Campuran Fisik 1:2 23,30 ± 0,35 107,91 1,45 Campuran Fisik 1:3 23,65 ± 0,30 110,87 1,41 Dispersi Padat 1:1 24,31 ± 0,25 114,23 0,61 Dispersi Padat 1:2 24,22 ± 0,28 113,46 0,90 Dispersi Padat 1:3 22,84 ± 0,04 107,46 0,09 * : Data merupakan rerata dari tiga kali replikasi ± SD

62 Pengujian Kelarutan Quercetin Pengamatan Waktu Kelarutan Jenuh Quercetin Uji kelarutan jenuh quercetin dilakukan pada suhu 30 o C ± 0,5 o C dengan cara melarutkan sejumlah ± 20 mg quercetin ke dalam 40 ml media dapar asam sitrat NaOH (ph 5,0 ± 0,05) dalam air. Kemudian diaduk menggunakan magnetic stirrer dengan water bath sirkulasi. Sampel diambil sebanyak 3 ml pada menit ke 30, 60, 120, 180, 240, 300, 360 dan 420 kemudian disaring dengan membran filter 0,45 µm, selanjutnya diukur serapannya dengan menggunakan spektrofotometer UV Vis pada panjang gelombang 366,95 nm. Profil kelarutan jenuh quercetin dapat dilihat pada tabel V.6 dan gambar 5.5, sedangkan kadar quercetin pada saat kelarutan dapat dilihat pada tabel lampiran 9. Pada profil kelarutan tersebut, dapat dilihat bahwa pada menit ke 240 kadar quercetin mulai konstan. Tabel V.6 Hasil kelarutan jenuh quercetin dalam media asam sitrat NaOH (ph 5,0 ± 0,05) pada panjang gelombang maksimum 366,95 nm* Waktu (menit) Persen quercetin terlarut ± SD (% b/v, 10-4 ) 30 1,93 ± 0, ,38 ± 0, ,56 ± 0, ,44 ± 0, ,64 ± 0, ,57 ± 0, ,57 ± 0, ,64 ± 0,55 * : Data merupakan rerata dari tiga kali replikasi ± SD

63 46 % Quercetin Terlarut (%b/v, 10-4 ) Waktu (menit) Gambar 5.5 Profil kelarutan jenuh quercetin dalam media asam sitrat NaOH (ph 5,0 ± 0,05) pada panjang gelombang maksimum 366,95 nm. Selanjutnya dilakukan uji statistik analisis unpaired t-test yang bertujuan untuk menyimpulkan mean perlakuan dengan membandingkan hasil antar perlakuan pada menit ke 240 dan 300 (lampiran 12). Dapat disimpulkan tidak ada perbedaan bermakna diantara kedua titik tersebut, sehingga untuk uji kelarutan dilakukan pada menit ke Pengamatan Uji Kelarutan Quercetin Uji kelarutan quercetin dilakukan pada suhu 30 o C ± 0,5 o C dengan cara menimbang sejumlah sampel setara ± 20 mg quercetin ke dalam 40 ml media (Asam Sitrat NaOH ph 5 dalam air). Kemudian diaduk menggunakan magnetic stirrer dengan water bath sirkulasi. Sampel diambil sebanyak 3 ml pada menit ke 240 kemudian disaring dengan membran filter 0,45 µm, selanjutnya diukur serapannya dengan menggunakan spektrofotometer UV Vis pada panjang gelombang 366,95 nm. Profil kelarutan sampel dapat dilihat pada tabel V.7 dan gambar 5.6, sedangkan kadar sampel pada saat kelarutan dapat dilihat pada tabel lampiran 9. Pada

64 47 profil kelarutan tersebut, dapat dilihat bahwa pada menit ke 240 terjadi peningkatan kelarutan quercetin dalam media. Tabel V.7 Rerata persen terlarut quercetin murni, CF dan DP dalam media asam sitrat NaOH (ph 5,0 ± 0,05) pada suhu 30 o C ± 0,5 o C* Formula Persen quercetin terlarut ± SD (% b/v, 10-4 ) QC 1,64 ± 0,14 CF 1:1 2,96 ± 1,24 CF 1:2 3,64 ± 0,66 CF 1:3 3,69 ± 0,85 DP 1:1 4,24 ± 0,20 DP 1:2 5,36 ± 0,34 DP 1:3 5,75 ± 0,01 * : Data merupakan rerata dari tiga kali replikasi ± SD % Quercetin Terlarut (%b/v, 10-4 ) QC CF (1:1) CF (1:2) CF (1:3) DP (1:1) DP (1:2) DP (1:3) Gambar 5.6 Profil kelarutan quercetin murni (QC), Campuran Fisik (CF) dan Dispersi Padat (DP) dalam media asam sitrat NaOH (ph 5,0 ± 0,05) pada suhu 30 o C ± 0,5 o C.

65 48 Selanjutnya dilakukan uji HSD kelarutan quercetin yang dilakukan pada menit ke-240. Hasil uji HSD yang dilakukan pada menit ke-240 dari masing masing perlakuan dapat dilihat pada tabel V.8. Tabel V.8 Hasil uji HSD kelarutan quercetin dari tiap kelompok perlakuan pada menit ke-30 dengan α = 0,05 QC CF 1:1 CF 1:2 CF 1:3 DP 1:1 DP 1:2 DP 1:3 QC CF 1: CF 1: CF 1: DP 1: DP 1: DP 1: Keterangan : + : Ada perbedaan yang bermakna - : Tidak ada perbedaan yang bermakna

66 Penentuan Laju Disolusi Quercetin Hasil penentuan disolusi quercetin murni, campuran fisik quercetin HPMC 3cps dan dispersi padat quercetin HPMC 3cps dapat dilihat pada tabel V.9 dan pada gambar 5.7. Tabel V.9 Rerata persen terlarut quercetin murni, CF dan DP dalam media SLS 1% pada suhu 37 o C ± 0,5 o C* t (menit) 5 54,19 ± 9, ,41 ± 8, ,94 ± 8, ,36 ± 8, ,72 ± 12, ,02 ± 6,43 Persen quercetin terlarut (% b/b) ± SD QC CF 1:1 CF 1:2 CF 1:3 DP 1:1 DP 1:2 DP 1:3 40,93 ± 0,39 53,15 ± 2,14 58,79 ± 5,24 65,80 ± 0,74 67,79 ± 3,48 72,96 ± 5,84 39,45 ± 0,48 49,54 ± 2,21 58,89 ± 4,91 62,18 ± 0,14 68,57 ± 0,06 76,12 ± 0,03 43,79 ± 0,08 58,49 ± 0,48 59,92 ± 0,04 71,21 ± 0,04 70,79 ± 0,13 74,75 ± 0,12 34,62 ± 0,03 50,76 ± 0,10 64,42 ± 2,51 74,16 ± 0,39 78,33 ± 0,25 86,63 ± 0,26 * : Data merupakan rerata dari tiga kali replikasi ± SD 39,85 ± 2,47 51,82 ± 0,99 68,38 ± 0,69 77,89 ± 0,43 85,25 ± 1,06 95,60 ± 3,34 49,33 ± 0,67 69,26 ± 0,56 87,19 ± 1,01 92,44 ± 0,87 94,06 ± 1,06 99,81 ± 1,11

67 % Terlarut QC CF 1:1 CF 1:2 CF 1:3 DP 1:1 DP 1:2 DP 1: Waktu (menit) Gambar 5.7 Profil disolusi quercetin murni (QC), Campuran Fisik (CF) dan Dispersi Padat (DP) dalam media SLS 1% 37 o C ± 0,5 o C. Pada profil disolusi di atas dapat dilihat bahwa sistem dispersi padat quercetin HPMC 3cps 1:3 memiliki laju disolusi yang terbesar bila dibandingkan dengan sistem lainnya. Berdasarkan data persen quercetin terlarut dari masing masing kelompok perlakuan dihitung nilai efisiensi disolusi pada menit ke 30. Hasil perhitungan ED 30 dari masing masing perlakuan dapat dilihat pada tabel V.10.

68 51 Tabel V.10 Efisiensi disolusi menit ke 30 quercetin dari tiap kelompok dalam media SLS 1% Replikasi Efisiensi disolusi menit ke 30 (%) QC CF 1:1 CF 1:2 CF 1:3 DP 1:1 DP 1:2 DP 1:3 1 58,24 52,87 53,11 56,84 57,48 61,80 73, ,14 53,01 53,10 56,99 57,34 62,32 74, ,68 55,59 52,15 56,96 57,98 61,37 73,32 ED 30 rerata (%) 51,69 52,94 53,10 56,91 57,41 62,06 73,89 SD 8,36 1,53 0,55 0,08 0,34 0,47 0,71 Berdasarkan hasil ED 30 di atas, pada menit ke 30 dapat dilihat bahwa sistem dispersi padat quercetin HPMC 3cps 1:3 memiliki profil disolusi yang lebih besar bila dibandingkan dengan quercetin murni. Untuk mengetahui adanya perbedaan profil disolusi quercetin antar kelompok perlakuan dilakukan analisis statistik terhadap harga efisiensi disolusi pada menit ke-30 dengan menggunakan uji ANOVA satu arah pada α = 0,05. Dari hasil uji ANOVA satu arah (lampiran 12) dengan menggunakan SPSS menunjukkan bahwa terdapat perbedaan disolusi yang bermakna antar kelompok perlakuan pada derajat kepercayaan 0,95 (α = 0,05). Selanjutnya dilakukan uji HSD Efisiensi Disolusi (ED) quercetin yang dilakukan pada menit ke-30. Hasil uji HSD yang dilakukan pada menit ke-30 dari masing masing perlakuan dapat dilihat pada tabel V.11.

69 52 Tabel V.11 Hasil uji HSD efisiensi disolusi quercetin dari tiap kelompok perlakuan pada menit ke-30 dengan α = 0,05 QC CF 1:1 CF 1:2 CF 1:3 DP 1:1 DP 1:2 DP 1:3 QC CF 1: CF 1: CF 1: DP 1: DP 1: DP 1: Keterangan : + : Ada perbedaan yang bermakna - : Tidak ada perbedaan yang bermakna Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antar perlakuan quercetin murni dengan sistem dispersi padat, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem dispersi padat yang dibuat memiliki perbedaan yang bermakna. Kecepatan disolusi quercetin dapat dilihat dari harga slope. Semakin tinggi harga slope suatu formula maka semakin cepat laju disolusi tiap waktunya. Harga slope untuk disolusi dapat dicari melalui persamaan Hixson & Crowell tentang hukum akar kubus dengan cara M o 1/3 M 1/3 versus waktu (Abdou, 1990). Nilai M o menyatakan 100% obat yang terdisolusi secara keseluruhan dqalam media tertentu, sedangkan M menyatakan bahan obat yang belum terdisolusi secara keseluruhan. Hasil perhitungan slope (lampiran 11) dari masing masing perlakuan dapat dilihat pada tabel V.12.

70 53 Tabel V.12 Hasil penentuan harga slope laju disolusi quercetin dari masing masing sistem Waktu (menit) M 1/3 o M 1/3 QC CF 1:1 CF 1:2 CF 1:3 DP 1:1 DP 1:2 DP 1:3 5 0,0460 0,0445 0,0467 0,0532 0,0694 0,0743 0, ,0492 0,0487 0,0532 0,0594 0,0852 0,0814 0, ,0502 0,0547 0,0595 0,0676 0,0909 0,0910 0,0979 Slope 0,0004 0,0010 0,0013 0,0014 0,0022 0,0024 0,0027 R 0,9972 0,9951 0,9999 0,9967 0,9654 0,9963 0,9935 Persamaan Regresi : - QC : y = 0,0004x + 0, CF 1:1 : y = 0,0009x + 0, CF 1:2 : y = 0,0013x + 0, CF 1:3 : y = 0,0014x + 0, DP 1:1 : y = 0,0022x + 0, DP 1:2 : y = 0,0024x + 0, DP 1:3 : y = 0,0027x + 0,0503

71 BAB VI PEMBAHASAN Langkah awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melakukan analisis kualitatif terhadap bahan bahan yang akan digunakan, yaitu quercetin hidrat dan HPMC 3cps dengan analisis termal menggunakan DTA dan analisis spektra infra merah dengan FTIR. Berdasarkan hasil analisis, kedua bahan tersebut sesuai dengan pustaka sehingga dapat digunakan dalam penelitian (Kakran et al., 2011; Perfetti et al., 2011; Sahoo et al., 2012) hal ini bisa ditunjukkan pada tabel V.1 dan V.2. Selanjutnya untuk membuat kurva baku quercetin, dilakukan penentuan panjang gelombang maksimum quercetin terlebih dahulu. Penentuan panjang gelombang ini dilakukan dengan menggunakan larutan baku kerja 8,08 dan 16,16 µg/ml dan akan diamati pada rentang panjang gelombang nm. Pada hasil pengamatan (gambar 5.1) menunjukkan bahwa panjang gelombang maksimum quercetin adalah 366,95 nm. Berdasarkan panjang gelombang maksimum yang diperoleh, maka dapat dilakukan pengamatan absorban larutan baku quercetin dengan kadar 0,42; 4,04; 8,08; 16.16; 20,20 dan 24,24 ug / ml pada panjang gelombang maksimum quercetin 366,95 nm dan hasilnya dapat dilihat pada tabel V.3 dan gambar 5.2. Dari hasil pengamatan diperoleh persamaan regresi kurva larutan baku quercetin terhadap absorban : Y = 0,05257 X + 0,00221 dengan nilai koefisien kolerasi (r) = 0,99979 sedangkan nilai r tabel (n-2 = 4; α = 0,05) = 0,8114. Karena nilai r hitung lebih besar dari r tabel maka terdapat kolerasi linier antara absorban dengan kadar larutan baku quercetin. Untuk mengetahui pengaruh HPMC 3cps yang digunakan pada pembuatan dispersi padat quercetin HPMC 3cps terhadap absorban 54

72 55 quercetin perlu dilakukan penentuan pengaruh HPMC 3cps dengan cara membandingkan spektrum larutan quercetin dan larutan quercetin HPMC 3cps dengan perbandingan 1:1. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa spektrum larutan quercetin HPMC 3cps dengan perbandingan 1:1 berhimpitan dengan spektrum larutan quercetin 8,08 µg/ml, hal ini bisa ditunjukkan pada gambar 5.3. Kemudian dilakukan perhitungan match factor (MF) antara spektra quercetin murni dengan spektra quercetin HPMC 3cps (1:1) yang bertujuan sebagai data pendukung analisis kualitatif. Dari hasil pengamatan (gambar 5.4) diperoleh persamaan regresi perbandingan absorban antara quercetin kadar 10,0 µg/ml dengan quercetin HPMC 3cps (1:1) : Y = 1,0014 X + 0,0026 dengan nilai koefisien kolerasi (r) = 0,9996. Berdasarkan nilai koefisien kolerasi, dilakukan perhitungan match factor (tabel V.4) sehingga didapatkan hasil MF = 999,6 yang bermakna : spektra campuran quercetin HPMC 3cps (1:1) identik dengan spektra quercetin kadar 8,08 µg/ml sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa HPMC 3cps tidak memiliki pengaruh terhadap quercetin. Langkah selanjutnya adalah pengujian kelarutan jenuh quercetin yang bertujuan untuk menentukan kondisi sink media dan menghilangkan pengaruh pembasahan pada polimer terhadap uji kelarutan, sehingga kenaikan kelarutan disebabkan oleh pengecilan ukuran partikel (Dupas, 2013). Uji kelarutan dilakukan pada waktu tertentu hingga diperoleh absorban quercetin yang konstan. Berdasarkan hasil pengujian statistik analisis unpaired t-test yang bertujuan untuk menyimpulkan mean perlakuan dengan membandingkan hasil antar perlakuan pada menit ke-240 dan 300 (tabel V.6), tidak ada perbedaan bermakna diantara kedua titik tersebut sehingga waktu yang diambil untuk uji kelarutan dilakukan pada menit ke-240. Kelarutan jenuh quercetin dalam air menurut literatur adalah 7 µg/ml (The Merck Index, 1983; dan Hertog, 1996), namun pada hasil

73 56 penelitian, ditambahkan dapar asam sitrat NaOh dengan tujuan untuk membantu stabilitas quercetin sehingga didapatkan kelarutan jenuhnya sebesar 1,64 µg/ml. Terjadi perbedaan antara literatur dan hasil pada penelitian tersebut dikarenakan kondisi penelitian yang berbeda, terutama media yang digunakan. Terjadinya peningkatan kadar pada menit ke-30 kelarutan yang disusul oleh penurunan kadar pada menit ke-60 disebabkan oleh adanya kristal hidrat yang lepas sehingga hal ini menyebabkan peningkatan kelarutan quercetin pada menit ke-30. Setelah kristal hidrat lepas, kelarutan quercetin mengikuti bentuk quercetin murni. Dikarenakan hasil uji kelarutan yang rendah, oleh karena itu ditambahkan SLS 1% pada uji disolusi agar terjadi peningkatan kelarutan dari quercetin. Selanjutnya dilakukan pembuatan campuran fisik quercetin HPMC 3cps dan dispersi padat quercetin HPMC 3cps. Setelah sistem terbentuk, dilakukan penetapan perolehan kembali quercetin pada sistem tersebut. Penetapan persen perolehan kembali bertujuan untuk memastikan bahwa sistem tersebut telah homogen sehingga variasi kadar quercetin tidak berpengaruh terhadap uji kelarutan dan penentuan laju disolusi. Dari pemeriksaan persen perolehan kembali diperoleh hasil untuk campuran fisik (1:1) sebesar (108,47 ± 1,56)%, untuk campuran fisik 1:2 sebesar (107,91 ± 1,45)%, untuk campuran fisik 1:3 sebesar (110,87 ± 1,41)%, untuk dispersi padat (1:1) sebesar (114,23 ± 0,61)%, untuk dispersi padat (1:2) sebesar (113,46 ± 0,90)%, dan untuk dispersi padat (1:3) sebesar (107,23 ± 0,09)%. Tahap akhir dari penelitian ini adalah melakukan uji kelarutan dan penentuan laju disolusi quercetin dalam campuran fisik dan dispersi padat serta quercetin murni sebagai pembanding. Hasil uji kelarutan yang menggambarkan persen quercetin terlarut pada menit ke-240 dari masing masing sistem bisa dilihat pada gambar 5.6. Dispersi padat (1:3) memiliki kenaikan persen kelarutan yang paling besar bila dibandingkan dengan

74 57 sistem lainnya, untuk sistem dispersi padat (1:3) memiliki persen kelarutan 1,07 kali lebih besar dari dispersi padat (1:2), untuk dispersi padat (1:1) persen kelarutannya 1,35 kali lebih besar, untuk campuran fisik (1:3) persen kelarutannya 1,56 kali lebih besar, untuk campuran fisik (1:2) persen kelarutannya 1,58 kali lebih besar, untuk campuran fisik (1:1) persen kelarutannya 1,94 kali lebih besar dan bila dibandingkan dengan quercetin murni kelarutannya 3,50 kali lebih besar. Untuk hasil penentuan laju disolusi yang menggambarkan persen quercetin terlarut pada menit ke-30 dari masing masing sistem bisa dilihat pada gambar 5.7. Pada profil disolusi nampak bahwa profil disolusi quercetin merupakan yang paling rendah apabila dibandingkan dengan sistem lainnya, hal ini dikarenakan sifat quercetin yang hidrofob sehingga dapat mempersulit kontak dengan media. Sedangkan sistem dispersi padat quercetin HPMC 3cps (1:3) memiliki profil disolusi yang terbesar dikarenakan penggunaan HPMC 3cps sebagai pembawa pada dispersi padat tersebut mampu melingkupi quercetin sehingga meningkatkan pembasahan dan mencegah terjadinya agregasi dari quercetin sehingga dapat menyebabkan pengecilan ukuran partikel. Pengecilan ukuran partikel akan meningkatkan luas permukaan pada media, faktor faktor tersebut menyebabkan peningkatan laju disolusi dari quercetin pada sistem dispersi padat (Vibha et al., 2012). Dari persen kelarutan quercetin terlarut pada uji disolusi, dapat diketahui nilai efisiensi disolusi quercetin dengan menghitung area dibawah kurva disolusi dibandingkan dengan luas kurva total. Efisiensi disolusi menggambarkan keseluruhan jumlah obat yang terlarut hingga waktu tertentu sehingga dapat menggambarkan secara keseluruhan proses disolusi (Vibha et al., 2012). Pada masing masing sistem dilakukan perbandingan efisiensi disolusi pada menit ke-30. Rata rata efisiensi disolusi pada menit

75 58 ke-30 ditunjukkan pada tabel V.10, pada tabel ini tampak bahwa semua sistem memiliki efisiensi disolusi yang lebih besar dibanding quercetin murni. Dispersi padat (1:3) memiliki kenaikan efisiensi disolusi yang paling besar bila dibandingkan dengan sistem lainnya, untuk sistem dispersi padat (1:3) memiliki efisiensi disolusi 1,19 kali lebih besar dari dispersi padat (1:2), untuk dispersi padat (1:1) efisiensi disolusinya 1,28 kali lebih besar, untuk campuran fisik (1:3) efisiensi disolusinya 1,30 kali lebih besar, untuk campuran fisik (1:2) efisiensi disolusinya 1,39 kali lebih besar, untuk campuran fisik (1:1) efisiensi disolusinya 1,40 kali lebih besar dan 1,43 kali lebih besar dari quercetin murni. Apabila peningkatan tersebut diurutkan : QC < CF (1:1) < CF (1:2) < CF (1:3) < DP (1:1) < DP (1:2) < DP (1:3). Terjadinya peningkatan efisiensi disolusi tersebut disebabkan oleh penambahan jumlah HPMC 3 cps yang berpengaruh terhadap pengecilan ukuran partikel quercetin (Kakran et al., 2011). Adanya perbedaan profil disolusi quercetin antar kelompok perlakuan dilakukan analisis statistik terhadap harga efisiensi disolusi pada menit ke-30 dengan menggunakan uji ANOVA satu arah pada α = 0,05. Dari hasil uji ANOVA satu arah (lampiran) dengan menggunakan SPSS diperoleh F hitung sebesar 23,935 dan F tabel sebesar 3,48. Nilai F hitung yang lebih besar dibanding F tabel menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna efisiensi disolusi pada menit ke-30 minimal satu pasang perlakuan. Selanjutnya uji HSD dillakukan untuk mengetahui perlakuan pasangan mana saja yang memiliki perbedaan bermakna pada ED 30. Hasil uji HSD menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang ED 30 bermakna antara quercetin murni dengan dispersi padat. Kecepatan disolusi quercetin dapat dilihat dari harga slope. Semakin tinggi harga slope suatu formula maka semakin cepat laju disolusinya tiap waktu. Hasil penentuan harga slope yang diambil pada

76 59 menit ke 5, 10 dan 15 (tabel V.12) menunjukkan bahwa dispersi padat (1:3) memiliki slope tertinggi yakni sebesar 0,0027; sehingga dapat dikatakan bahwa sistem dispersi padat (1:3) memiliki laju disolusi yang mendekati pustaka (Abdou, 1990)..

77 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Hasil penelitian disimpulkan bahwa : 1. Sistem dispersi padat quercetin HPMC 3cps berpengaruh terhadap kelarutan dan laju disolusi dari quercetin. 2. Peningkatan jumlah HPMC 3cps pada sistem dispersi padat quercetin HPMC 3cps semakin meningkatkan kelarutan dan laju disolusi dari quercetin. 3. Sistem dispersi padat quercetin HPMC 3cps dengan perbandingan 1:3 (b/b) memiliki persentase terlarut tertinggi pada uji kelarutan, yakni 3,50 kali lebih besar dibandingkan dengan quercetin murni. 4. Sistem dispersi padat quercetin HPMC 3cps dengan perbandingan 1:3 (b/b) memiliki efisiensi disolusi tertinggi pada uji laju disolusi, yakni 1,43 kali lebih besar dibandingkan dengan quercetin murni. 7.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka perlu dilakukan karakterisasi dan pengembangan sistem dispersi padat quercetin HPMC 3cps sebagai tinjauan lebih lanjut mengenai peningkatan laju disolusi quercetin. 60

78 61 DAFTAR PUSTAKA Ansel, H.C, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Jakarta : UI Press. Halaman : Aparna, 2011, Studies on Enhancement of Dissolution Rate of Domperidone by Surface Solid Dispersion Technology, International Journal of Research in Pharmacy and Chemistry, 1(2) : Arbain, D Dua Dekade Penelitian Kimia Tumbuhan Sumatera, Bul. Soc. Nat. Prod. Chem. (Indonesia). 4 : 1-12 Astuti, Widyani Ketut, dkk Farmasi Fisika. Denpasar : FMIPA Universitas Udayana, Bukit Jimbaran. Aulton, M.E Pharmaceutics : The Science of Dosage Forms Design. London : Churchill Living Stone Chiou, W.L., dan Riegelman, S., 1971, Pharmaceutical Applications of Solid Dispersion System., J. Pharm. Sci., 60(9): Chowdary, K.P.R., Sankar, P.R., Ali, S.M., Babu, C.R., 2012, A Factorial Study on The Enhancement of Disolution Rate of Irbesartan by Solid Dispersion in Starch Phosphate and Gelucire, International Journal of Comprehensive Pharmacy, 3(8) : 1 4. Costa, et al Quercetin-PVP K25 solid dispersions : Preparation, thermal characterization and antioxidant activity. Hungary : Journal of Thermal Analysis and Calorimetry. Dirjen POM Farmakope Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal 461,1022,1084 Howlader, et al Enhancing dissolution profile of diazepam using hydrophilic polymers by solid dispersion technique. International Current Pharmaceutical Journal, 1(12):

79 62 Kakran, Mitali., Li, Lin., Muller, H., 2012, Overcoming the Challenge of Poor Drug Solubility, Tampa : Pharmaceutical Engineering. Kakran, Mitali., Sahoo, Nanda., Muller, H., 2011, Comparison of Homogenization and Precipitation Techniques for Production of Quercetin Nanocrystals, Perth : Chemeca Journal. Kaur, Harkiran,. Kaur, Gurpreet, A Critical Appraisal of Solubility Enhancement Techniques of Polyphenols. New Delhi : Hindawi Publishing Corporation. Khan & Rodes Water-sorption properties of tablet disintegrants. USA : National Center for Biotechnology Information. Lachman, L., Lieberman H.A. dan Kanig J.L Teori dan Praktek Farmasi Industri. Edisi Ketiga. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Hal Lakshmi, et al., 2010, Enhanced Dissolution Rate of Atorvastatin Calcium using Solid Dispersion with PEG 6000 by Dropping Method, J. Pharm. Sci. & Res. Vol.2 (8), Lalitha, Y & Lakshmi, P.K., 2011, Enhancement of Dissolution Rate of Nifedipin by Surface Solid Dispersion Technology, International Journal of Research in Pharmacy and Chemistry, Martin, Alfred dkk Dasar - dasar Farmasi Fisik Dalam Ilmu Farmasetik. Jakarta : UI Press Merck Index, The The Merck Index, An Encyclopedia of Chemicals and Drug, Ninth Edition, Merck and Co., Inc, Rahway, New Tersey, USA. p: Mogal S. Gurjar P., Yamgar D. S2 and Kamod A.C., 2012, Solid Dispersion Technique for Improving Solubility of Some Poorly Soluble Drugs, Der Pharmacia Lettre, 4 (5) : Painter, F. M Monograph Quercetin. Alternative Medicine Review. Volume 3, Number 2.

80 63 Saffoon, et al Dissolution Profile of Ibuprofen Solid Dispersion Prepared with Cellulosic Polymers and Sugar by Fusion Method. S. J. Pharm. Sci. 4(1): Shargel, L. dan Yu. (2005). Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Edisi Kedua. Surabaya: Airlangga University Press. Hal Shchekin, A.K. dan Rusanov I, Generalization of the Gibbs Kelvin Köhler and Ostwald Freundlich Equations for A Liquid Film on A Soluble Nanoparticle. Russia : The Journal Of Chemical Physics. 129, Siregar, C.J.P. dan Wikarsa, S. 2010, Teknologi Farmasi Sediaan Tablet Dasar - Dasar Praktis, Jakarta : Buku Kedokteran EGC, hal : Smith, Adam et al Cocrystals of Quercetin with Improved Solubility and Oral Bioavailability. USA : Mol. Pharmaceutics 8 (5), hal : Sulaiman, T.N.S, Teknologi dan Formulasi Sediaan Tablet, Cetakan Pertama. Yogyakarta: Mitra Communications Indonesia. Hal : Syamsuhidayat, S. D., 1991, Inventaris Tanaman Obat Indonesia (I). Jakarta : Depkes RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Syukri, Y Biofarmasetika, UII Press: Jogjakarta, Hal : Vasconcelos, T., Sarmento, B., Costa, P., 2007, Solid Dispersion as Strategy to Improve Oral Bioavailability of Poor Water Soluble Drugs, Drug Discovery Today. 12(23/24) : Vibha, et al Solid Dispersion as a Strategy to Enhance Solubility: A Review Article. India : International Journal for Pharmaceutical Research Scholars (IJPRS).

81 64 Voigt, R.,1984, Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, diterjemahkan oleh Soewandhi, S.N., Yogyakarta : UGM Press. Zhenping, Wei, et al Dissolution Improvement of Cisapride by Solid Dispersion with HPMC. Journal of Chinese Pharmaceutical Sciences, 13 (4)

82 65 LAMPIRAN Lampiran 1 Sertifikat Analisis Quercetin

83 Lampiran 2 Spektrum FT IR Quercetin & HPMC 3 cps (Bahan & Pustaka) 1. Quercetin %T , , , , , , , , , , ,39 884,62 933,59 457,61 472,60 864,56 552, ,55842,55 576,55 657,53497,57 785, ,50 806,50679, ,46 795,48 638, ,46 721,50 703, ,41 824,41691,51 603, , , , , ,321213, , , , , ,241168,24 QUERCETIN HYD.pk cm-1 QUERCE~2.SP %T 1 0 REF END 48 PEAK(S) FOUND Spektra FT IR Quercetin Bahan Penelitian.

84 67 Spektra FT IR Quercetin Bahan Pembanding. (L. Y. Foo, et al., 2000)

85 HPMC 3 cps , , ,59 672,60 % , , , , ,48 945,51 HPMC 3 CPS.pk 574, , , , , HPMC3C~2.SP cm %T REF END 15 PEAK(S) FOUND Spektra FT IR HPMC 3 cps Bahan Penelitian.

86 69 Spektra FT IR HPMC 3 cps Bahan Pembanding. (Bugay, David E., 1999)

87 70 Lampiran 3 Termogram Bahan Penelitian 1. Quercetin 2. HPMC 3 cps

88 71 Lampiran 4 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Quercetin Absorbance Wavelength (nm) Keterangan : : Spektra quercetin kadar 8,08 µg/ml : Spektra quercetin kadar 16,16 µg/ml Sample Name: QCT-8ppm Collection Time 15/12/14 23:54:14 Peak Table Peak Type Maximum Peak Peak Threshold Range nm to nm Wavelength (nm) Abs Peak Table Peak Type Peaks Peak Threshold Range nm to nm Wavelength (nm) Abs

89 Sample Name: QCT-16ppm Collection Time 15/12/14 23:56:07 Peak Table Peak Type Maximum Peak Peak Threshold Range nm to nm Wavelength (nm) Abs Peak Table Peak Type Peaks Peak Threshold Range nm to nm Wavelength (nm) Abs

90

91 74 Lampiran 5 Penentuan Kurva Baku Quercetin 1.50 Absorban Konsentrasi (µg/ml) Standard Concentration F Mean SD %RSD Readings mg/l Std Std Std Std

92 Std Std

93 ADLN_Perpustakaan Universitas Airlangga 76 Lampiran 6 Pengamatan Pengaruh Bahan Tambahan Terhadap Panjang Absorbance Gelombang Maksimum Quercetin Wavelength (nm) Keterangan : : Spektra quercetin kadar 8,08 µg/ml : Spektra quercetin HPMC 3cps (1:1) Sample Name: qc 8ppm Collection Time 16/12/14 21:44:58 Peak Table Peak Type Peak Threshold Range Maximum Peak nm to nm Wavelength (nm) Abs Peak Table Peak Type Peak Threshold Range Peaks nm to nm Wavelength (nm) Abs Skripsi pengaruh jumlah... Achmad fadhil Al Masyhur 410

94 Sample Name: qc hpmc 8ppm Collection Time 16/12/14 21:48:22 Peak Table Peak Type Maximum Peak Peak Threshold Range nm to nm Wavelength (nm) Abs Peak Table Peak Type Peaks Peak Threshold Range nm to nm Wavelength (nm) Abs

95 78 Perhitungan Match Factor (MF) : Absorban QC - HPMC 3cps (nm) Absorban QC (nm) Absorban quercetin kadar 8,08 µg/ml (x) Absorban quercetin HPMC 3cps (1:1) (y) 0,0034 0,0034 0,0036 0,0035 0,0041 0,0038 0,0045 0,0041 0,0052 0,0046 0,0088 0,0051 0,5502 0,5566 0,5578 0,5573 0,5737 0,5575 0,8270 0,8256 0,8389 0,8466 0,8635 0,8915 0,8641 0,8867 0,8908 0,8969 0,9681 0,9951 1,7177 1,6946 Y = x R = 0,9996 Match Factor = R X 1000 = 0,9996 X 1000 = 999,6

96 79 Lampiran 7 Hasil Pengamatan (%) Homogenitas Quercetin Campuran Fisik 1:1 Jumlah yang Kadar Replikasi Absorban ditimbang (ppm) (mg) Kadar Quercetin (mg) % Recovery 1 41,0 0,4873 9,26 23,15 106, ,2 0,5073 9,64 24,1 110, ,4 0,5007 9,51 23,78 108,44 Rata Rata 23,67 108,47 SD 0,48 1,91 KV 1,56 Perhitungan Jumlah Quercetin setara Untuk Uji Kelarutan 100/108,44 X 41,2 mg = 37,98 mg Campuran Fisik 1:2 Replikasi Jumlah Kadar yang Kadar % Absorban Quercetin ditimbang (ppm) Recovery (mg) (mg) 1 60,8 0,4943 9,39 23,48 109, ,9 0,4821 9,16 22,90 106, ,1 0,4949 9,41 23,53 109,04 Rata Rata 9,32 23,3 107,91 SD 0,35 2,05 KV 1,45 Perhitungan Jumlah Quercetin Untuk Uji Kelarutan 100/107,91 X 60,9 mg = 56,44 mg

97 80 Campuran Fisik 1:3 Replikasi Jumlah Kadar yang Kadar % Absorban Quercetin ditimbang (ppm) Recovery (mg) (mg) 1 80,5 0,5020 9,54 23,85 111, ,8 0,4830 9,32 23,30 108, ,3 0,5001 9,50 23,80 111,89 Rata Rata 9,40 23,65 110,87 SD 0,30 1,73 KV 1,41 Perhitungan Jumlah Quercetin Untuk Uji Kelarutan 100/110,87 X 80,53 mg = 72,63 mg Dispersi Padat 1:1 Replikasi Jumlah yang ditimbang (mg) Absorban Kadar (ppm) Kadar Quercetin (mg) % Recovery 1 40,3 0,5168 9,82 24,55 114, ,2 0,5118 9,73 24,33 114, ,0 0,5062 9,62 24,05 113,49 Rata Rata 24,31 114,23 SD 0,25 0,75 KV 0,61 Perhitungan Jumlah Quercetin Untuk Uji Kelarutan 100/114,23 X 40,17mg = 35,16mg Dispersi Padat 1:2 Replikasi Jumlah yang ditimbang (mg) Absorban Kadar (ppm) Kadar Quercetin (mg) % Recovery 1 60,7 0,5116 9,72 24,30 113, ,4 0,5146 9,78 24,45 114, ,2 0,5029 9,56 23,90 112,42 Rata Rata 24,22 113,46 SD 0,28 1,11 KV 0,90 Perhitungan Jumlah Quercetin Untuk Uji Kelarutan 100/113,46 X 60,43mg = 53,26mg

98 81 Dispersi Padat 1:3 Replikasi Jumlah Kadar yang Kadar % Absorban Quercetin ditimbang (ppm) Recovery (mg) (mg) 1 80,2 0,4804 9,13 22,83 107, ,3 0,4816 9,15 22,88 107, ,2 0,4799 9,12 22,80 107,34 Rata Rata 22,84 107,46 SD 0,04 0,11 KV 0,09 Perhitungan Jumlah Quercetin Untuk Uji Kelarutan 107,46% X 80,23mg = 74,66mg

99 82 Lampiran 8 Hasil Pengamatan Kelarutan dari Quercetin Murni, Campuran Fisik dan Dispersi Padat (Asam Sitrat NaOH ph 5 dalam air) Quercetin Murni

100 qc 30 rep qc 60 rep qc 120 rep qc 180 rep qc 240 rep qc 300 rep

101 84 qc 360 rep qc 420 rep

102 Campuran Fisik (1:1) cf 1:1 4 jam rep cf 1:1 4 jam rep cf 1:1 4 jam rep Campuran Fisik (1:2) 1:2 rep 1 (4)

103 86 1:2 rep 2 (4) :2 rep 3 (4) Campuran Fisik (1:3) cf 1:3 4 jam rep cf 1:3 4 jam rep cf 1:3 4 jam rep Dispersi Padat (1:1) kel dp 1:1 rep kel dp 1:1 rep

104 87 kel dp 1:1 rep Dispersi Padat (1:2) kel dp 1:2 rep kel dp 1:2 rep kel dp 1:2 rep Dispersi Padat (1:3) kel dp 1:3 rep kel dp 1:3 rep kel dp 1:3 rep

105 88 Lampiran 9 Hasil Uji Kelarutan dari Quercetin Murni, Campuran Fisik dan Dispersi Padat (Asam Sitrat NaOH ph 5 dalam air) 1. Quercetin Murni Penimbangan Sampel : Replikasi 1 : 20,0 mg Replikasi 2 : 20,0 mg Replikasi 3 : 20,0 mg - Replikasi 1 Waktu Absorba Kadar % Quercetin Terlarut (%b/v, 10 - (menit) n (ppm) 4 ) 0 0,0000 0, ,1421 2,71 2, ,0722 1,39 1, ,0813 1,57 1, ,0759 1,46 1, ,0856 1,65 1, ,0873 1,68 1, ,0928 1,78 1, ,1083 2,07 2,07 - Replikasi 2 Waktu Absorba Kadar % Quercetin Terlarut (%b/v, 10 - (menit) n (ppm) 4 ) 0 0,0000 0,00 0, ,0885 1,70 1, ,0702 1,36 1, ,0812 1,56 1,56

106 ,0779 1,50 1, ,0909 1,75 1, ,0834 1,60 1, ,0899 1,73 1, ,0931 1,79 1,79 - Replikasi 3 Waktu Absorba Kadar % Quercetin Terlarut (%b/v, 10 - (menit) n (ppm) 4 ) 0 0,0000 0,00 0, ,0668 1,29 1, ,0685 1,33 1, ,0773 1,49 1, ,0666 1,29 1, ,0759 1,46 1, ,0712 1,38 1, ,0591 1,15 1, ,0516 1,01 1,01

107 90 2. Campuran Fisik (1:1) Penimbangan Sampel : Replikasi 1 : 38,0 mg Replikasi 2 : 38,0 mg Replikasi 3 : 38,0 mg - Replikasi 1 Waktu Absorba Kadar % Quercetin Terlarut (%b/v, 10 - (menit) n (ppm) 4 ) 240 0,1173 2,24 2,24 - Replikasi 2 Waktu Absorba Kadar % Quercetin Terlarut (%b/v, 10 - (menit) n (ppm) 4 ) 240 0,1130 2,16 2,16 - Replikasi 3 Waktu Absorba Kadar % Quercetin Terlarut (%b/v, 10 - (menit) n (ppm) 4 ) 240 0,2300 4,36 4,36

108 91 3. Campuran Fisik (1:2) Penimbangan Sampel : Replikasi 1 : 56,4 mg Replikasi 2 : 56,4 mg Replikasi 3 : 56,3 mg - Replikasi 1 Waktu Absorba Kadar % Quercetin Terlarut (%b/v, 10 - (menit) n (ppm) 4 ) 240 0,23 4,36 4,36 - Replikasi 2 Waktu Absorba Kadar % Quercetin Terlarut (%b/v, 10 - (menit) n (ppm) 4 ) 240 0,165 3,14 3,14 - Replikasi 3 Waktu Absorba Kadar % Quercetin Terlarut (%b/v, 10 - (menit) n (ppm) 4 ) 240 0,1731 3,29 3,29

109 92 4. Campuran Fisik (1:3) Penimbangan Sampel : Replikasi 1 : 72,6 mg Replikasi 2 : 72,6 mg Replikasi 3 : 72,6 mg - Replikasi 1 Waktu Absorba Kadar % Quercetin Terlarut (%b/v, 10 - (menit) n (ppm) 4 ) 240 0,1900 3,61 3,61 - Replikasi 2 Waktu Absorba Kadar % Quercetin Terlarut (%b/v, 10 - (menit) n (ppm) 4 ) 240 0,1323 2,52 2,52 - Replikasi 3 Waktu Absorba Kadar % Quercetin Terlarut (%b/v, 10 - (menit) n (ppm) 4 ) 240 0,1562 2,97 2,97

110 93 5. Dispersi Padat (1:1) Penimbangan Sampel : Replikasi 1 : 35,2 mg Replikasi 2 : 35,2 mg Replikasi 3 : 35,3 mg - Replikasi 1 Waktu Absorba Kadar % Quercetin Terlarut (%b/v, 10 - (menit) n (ppm) 4 ) 240 0,2096 3,97 3,97 - Replikasi 2 Waktu Absorba Kadar % Quercetin Terlarut (%b/v, 10 - (menit) n (ppm) 4 ) 240 0,2311 4,37 4,37 - Replikasi 3 Waktu Absorba Kadar % Quercetin Terlarut (%b/v, 10 - (menit) n (ppm) 4 ) 240 0,2224 4,21 4,21

111 94 6. Dispersi Padat (1:2) Penimbangan Sampel : Replikasi 1 : 53,3 mg Replikasi 2 : 53,3 mg Replikasi 3 : 53,3 mg - Replikasi 1 Waktu Absorba Kadar % Quercetin Terlarut (%b/v, 10 - (menit) n (ppm) 4 ) 240 0,2692 5,09 5,09 - Replikasi 2 Waktu Absorba Kadar % Quercetin Terlarut (%b/v, 10 - (menit) n (ppm) 4 ) 240 0,2692 5,09 5,09 - Replikasi 3 Waktu Absorba Kadar % Quercetin Terlarut (%b/v, 10 - (menit) n (ppm) 4 ) 240 0,3008 5,68 5,68

112 95 7. Dispersi Padat (1:3) Penimbangan Sampel : Replikasi 1 : 74,7 mg Replikasi 2 : 74,6 mg Replikasi 3 : 74,6 mg - Replikasi 1 Waktu Absorba Kadar % Quercetin Terlarut (%b/v, 10 - (menit) n (ppm) 4 ) 240 0,3008 5,68 5,68 - Replikasi 2 Waktu Absorba Kadar % Quercetin Terlarut (%b/v, 10 - (menit) n (ppm) 4 ) 240 0,3000 5,67 5,67 - Replikasi 3 Waktu Absorba Kadar % Quercetin Terlarut (%b/v, 10 - (menit) n (ppm) 4 ) 240 0,3000 5,67 5,67

113 96 Lampiran 10 Hasil Pengamatan Disolusi dari Quercetin Murni, Campuran Fisik dan Dispersi Padat (1% SLS dalam air) Quercetin Sample Concentration F Mean SD %RSD Readings mg/l 5 rep rep rep rep rep rep rep rep rep rep rep rep

114 97 5 rep rep rep rep rep rep Campuran Fisik (1:1) Sample Concentration F Mean SD %RSD Readings mg/l 5 rep rep rep rep rep rep rep rep

115 rep rep rep rep rep rep rep rep rep rep Campuran Fisik (1:2) Sample Concentration F Mean SD %RSD Readings mg/l 5 rep rep rep

116 99 10 rep rep rep rep rep rep rep rep rep rep rep rep rep rep rep

117 100 Campuran Fisik (1:3) Sample Concentration F Mean SD %RSD Readings mg/l 5 rep rep rep rep rep rep rep rep rep rep rep rep rep rep

118 rep rep rep rep Dispersi Padat (1:1) Sample Concentration F Mean SD %RSD Readings mg/l 5 rep rep rep rep rep rep rep rep rep rep

119 rep rep rep rep rep rep rep rep Dispersi Padat (1:2) Sample Concentration F Mean SD %RSD Readings mg/l 5 rep rep rep rep rep

120 rep rep rep rep rep rep rep rep rep rep rep rep rep Dispersi Padat (1:3) Sample Concentration F Mean SD %RSD Readings mg/l 5 rep

121 104 5 rep rep rep rep rep rep rep rep rep rep rep rep rep rep rep

122 rep rep

123 106 Lampiran 11 Hasil Uji Disolusi Kelarutan dari Quercetin Murni, Campuran Fisik dan Dispersi Padat (1% SLS dalam air) Quercetin Murni Penimbangan Sampel : Replikasi 1 : 5,4 mg Replikasi 2 : 5,4 mg Replikasi 3 : 5,5 mg - Replikasi 1 Waktu Sampling Kadar (mg/l) Berat dalam 900mL media Kadar Terkoreksi % Quercetin Terlarut AUCt 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 3,40 3,06 3,40 58,92 147, ,57 3,21 3,59 61,82 301, ,75 3,38 3,79 64,97 316, ,72 3,35 3,78 64,40 323, ,88 3,49 3,96 67,10 328, ,73 3,35 3,83 64,49 328,98 AUC ,30 ED 30(%) 58,24

124 107 - Replikasi 2 Waktu Sampling Kadar (mg/l) Berat dalam 900mL media Kadar Terkoreksi % Quercetin Terlarut AUCt 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 2,59 2,33 2,59 43,18 107, ,93 2,64 2,95 48,90 230, ,00 2,70 3,03 49,98 247, ,02 2,72 3,07 50,35 250, ,10 2,79 3,16 51,62 254, ,22 2,89 3,30 53,60 263,04 AUC ,17 ED 30(%) 45,14 - Replikasi 3 Waktu Sampling Kadar (mg/l) Berat dalam 900mL media Kadar Terkoreksi % Quercetin Terlarut AUCt 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 3,70 3,33 3,70 60,48 151, ,94 3,55 3,96 64,52 312, ,96 3,57 4,01 64,85 323, ,05 3,65 4,12 66,32 327, ,61 4,15 4,70 75,44 354, ,97 3,57 4,08 64,96 351,00 AUC ,45 ED 30(%) 60,68

125 108 Campuran Fisik (1:1) Penimbangan Sampel : Replikasi 1 : 10,8 mg Replikasi 2 : 10,6 mg Replikasi 3 : 10,8 mg - Replikasi 1 Waktu Sampling Kadar (mg/l) Berat dalam 900mL media Kadar Terkoreksi % Quercetin Terlarut AUCt 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 1,94 1,75 1,94 40,65 101, ,58 2,32 2,59 53,92 236, ,66 2,40 2,69 55,74 274, ,17 2,85 3,21 66,27 305, ,15 2,83 3,20 65,83 330, ,33 3,00 3,40 69,66 338,70 AUC ,09 ED 30(%) 52,87

126 109 - Replikasi 2 Waktu Sampling Kadar (mg/l) Berat dalam 900mL media Kadar Terkoreksi % Quercetin Terlarut AUCt 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 1,95 1,75 1,95 40,77 101, ,62 2,36 2,63 54,80 238, ,67 2,40 2,69 55,78 276, ,16 2,85 3,20 66,20 304, ,14 2,83 3,20 65,74 329, ,32 2,99 3,40 69,53 338,18 AUC ,28 ED 30(%) 53,01 - Replikasi 3 Waktu Sampling Kadar (mg/l) Berat dalam 900mL media Kadar Terkoreksi % Quercetin Terlarut AUCt 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 1,98 1,78 1,98 41,38 103, ,42 2,18 2,43 50,73 230, ,10 2,79 3,12 64,84 288, ,10 2,79 3,14 64,95 324, ,43 3,09 3,49 71,81 341, ,81 3,43 3,89 79,70 378,78 AUC ,83 ED 30(%) 55,59

127 110 Campuran Fisik (1:2) Penimbangan Sampel : Replikasi 1 : 16,4 mg Replikasi 2 : 16,4 mg Replikasi 3 : 16,3 mg - Replikasi 1 Waktu Sampling Kadar (mg/l) Berat dalam 900mL media Kadar Terkoreksi % Quercetin Terlarut AUCt 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 1,97 1,78 1,97 39,48 98, ,42 2,18 2,43 48,46 219, ,09 2,78 3,11 61,76 275, ,11 2,80 3,15 62,26 310, ,43 3,09 3,49 68,64 327, ,81 3,42 3,88 76,10 361,85 AUC ,25 ED 30(%) 53,11

128 111 - Replikasi 2 Waktu Sampling Kadar (mg/l) Berat dalam 900mL media Kadar Terkoreksi % Quercetin Terlarut AUCt 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 2,00 1,80 2,00 39,92 99, ,40 2,16 2,42 48,08 220, ,09 2,78 3,11 61,70 274, ,11 2,80 3,15 62,26 309, ,43 3,08 3,49 68,54 327, ,81 3,43 3,89 76,16 361,75 AUC ,90 ED 30(%) 53,10 - Replikasi 3 Waktu Sampling Kadar (mg/l) Berat dalam 900mL media Kadar Terkoreksi % Quercetin Terlarut AUCt 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 1,95 1,75 1,95 38,96 97, ,60 2,34 2,61 52,08 227, ,66 2,39 2,69 53,22 263, ,10 2,79 3,14 62,02 288, ,43 3,08 3,48 68,54 326, ,81 3,42 3,88 76,10 361,60 AUC ,35 ED 30(%) 52,15

129 112 Campuran Fisik (1:3) Penimbangan Sampel : Replikasi 1 : 21,6 mg Replikasi 2 : 21,6 mg Replikasi 3 : 21,8 mg - Replikasi 1 Waktu Sampling Kadar (mg/l) Berat dalam 900mL media Kadar Terkoreksi % Quercetin Terlarut AUCt 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 1,94 1,75 1,94 43,70 109, ,58 2,32 2,59 57,96 254, ,66 2,40 2,69 59,92 294, ,17 2,85 3,21 71,24 327, ,15 2,83 3,20 70,76 354, ,33 3,00 3,40 74,88 364,11 AUC ,05 ED 30(%) 56,84

130 113 - Replikasi 2 Waktu Sampling Kadar (mg/l) Berat dalam 900mL media Kadar Terkoreksi % Quercetin Terlarut AUCt 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 1,95 1,75 1,95 43,83 109, ,62 2,36 2,63 58,91 256, ,67 2,40 2,69 59,96 297, ,16 2,85 3,20 71,17 327, ,14 2,83 3,20 70,67 354, ,32 2,99 3,40 74,75 363,54 AUC ,55 ED 30(%) 56,99 - Replikasi 3 Waktu Sampling Kadar (mg/l) Berat dalam 900mL media Kadar Terkoreksi % Quercetin Terlarut AUCt 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 1,95 1,75 1,95 43,83 109, ,60 2,34 2,61 58,59 256, ,66 2,39 2,69 59,87 296, ,17 2,85 3,21 71,24 327, ,15 2,84 3,21 70,92 355, ,32 2,99 3,39 74,63 363,88 AUC ,82 ED 30(%) 56,96

131 114 Dispersi Padat (1:1) Penimbangan Sampel : Replikasi 1 : 10,2 mg Replikasi 2 : 10,2 mg Replikasi 3 : 10,3 mg - Replikasi 1 Waktu Sampling Kadar (mg/l) Berat dalam 900mL media Kadar Terkoreksi % Quercetin Terlarut AUCt 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 2,04 1,83 2,04 34,61 86, ,99 2,69 3,01 50,84 213, ,71 3,34 3,73 62,93 284, ,39 3,95 4,44 74,62 343, ,63 4,17 4,70 78,62 383, ,10 4,59 5,20 86,57 412,98 AUC ,52 ED 30(%) 57,48

132 115 - Replikasi 2 Waktu Sampling Kadar (mg/l) Berat dalam 900mL media Kadar Terkoreksi % Quercetin Terlarut AUCt 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 2,04 1,83 2,04 34,61 86, ,99 2,69 3,00 50,79 213, ,71 3,34 3,74 63,00 284, ,36 3,92 4,40 73,95 342, ,61 4,15 4,68 78,22 380, ,12 4,61 5,22 86,91 412,81 AUC ,10 ED 30(%) 57,34 - Replikasi 3 Waktu Sampling Kadar (mg/l) Berat dalam 900mL media Kadar Terkoreksi % Quercetin Terlarut AUCt 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 2,04 1,84 2,04 34,66 86, ,98 2,68 2,99 50,65 213, ,96 3,57 3,99 67,31 294, ,35 3,92 4,40 73,92 353, ,60 4,14 4,68 78,16 380, ,09 4,58 5,19 86,40 411,41 AUC ,55 ED 30(%) 57,98

133 116 Dispersi Padat (1:2) Penimbangan Sampel : Replikasi 1 : 16,3 mg Replikasi 2 : 16,3 mg Replikasi 3 : 16,3 mg - Replikasi 1 Waktu Sampling Kadar (mg/l) Berat dalam 900mL media Kadar Terkoreksi % Quercetin Terlarut AUCt 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 2,30 2,07 2,30 39,06 97, ,05 2,75 3,06 51,79 227, ,02 3,62 4,05 68,26 300, ,56 4,10 4,61 77,43 364, ,00 4,50 5,08 84,91 405, ,81 5,23 5,92 98,66 458,92 AUC ,92 ED 30(%) 61,80

134 117 - Replikasi 2 Waktu Sampling Kadar (mg/l) Berat dalam 900mL media Kadar Terkoreksi % Quercetin Terlarut AUCt 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 2,51 2,26 2,51 42,62 106, ,11 2,80 3,12 52,81 238, ,99 3,59 4,02 67,75 301, ,61 4,15 4,66 78,28 365, ,09 4,58 5,17 86,43 411, ,42 4,88 5,53 92,04 446,18 AUC ,62 ED 30(%) 62,32 - Replikasi 3 Waktu Sampling Kadar (mg/l) Berat dalam 900mL media Kadar Terkoreksi % Quercetin Terlarut AUCt 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 2,23 2,01 2,23 37,87 94, ,99 2,69 3,01 50,84 221, ,07 3,66 4,10 69,11 299, ,59 4,13 4,64 77,94 367, ,97 4,47 5,05 84,40 405, ,66 5,09 5,77 96,11 451,27 AUC ,09 ED 30(%) 61,37

135 118 Dispersi Padat (1:3) Penimbangan Sampel : Replikasi 1 : 21,7 mg Replikasi 2 : 21,6 mg Replikasi 3 : 21,6 mg - Replikasi 1 Waktu Sampling Kadar (mg/l) Berat dalam 900mL media Kadar Terkoreksi % Quercetin Terlarut AUCt 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 2,88 2,59 2,88 48,92 122, ,04 3,64 4,06 68,64 293, ,10 4,59 5,14 86,60 388, ,43 4,88 5,49 92,12 446, ,51 4,96 5,61 93,55 464, ,85 5,26 5,98 99,32 482,18 AUC ,49 ED 30(%) 73,25

136 119 - Replikasi 2 Waktu Sampling Kadar (mg/l) Berat dalam 900mL media Kadar Terkoreksi % Quercetin Terlarut AUCt 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 2,90 2,61 2,90 50,11 125, ,01 3,61 4,03 69,44 298, ,11 4,59 5,14 88,36 394, ,40 4,86 5,47 93,43 454, ,51 4,95 5,60 95,28 471, ,84 5,26 5,97 101,08 490,89 AUC ,72 ED 30(%) 74,52 - Replikasi 3 Waktu Sampling Kadar (mg/l) Berat dalam 900mL media Kadar Terkoreksi % Quercetin Terlarut AUCt 0 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 5 2,88 2,59 2,88 48,96 122, ,11 3,69 4,12 69,71 296, ,10 4,59 5,14 86,60 390, ,41 4,86 5,47 91,78 445, ,50 4,95 5,59 93,35 462, ,83 5,25 5,96 99,02 480,91 AUC ,52 ED 30(%) 73,32

137 120 Contoh perhitungan quercetin pada menit ke 5 : Dari data absorban didapatkan kadar melalui persamaan Y = 0,05257 X + 0,00221 dengan nilai koefisien kolerasi (r) = 0,99979 dengan y sebagai absorban dan x sebagai kadar : Y = 0,05281 X - 0,0660 0,1732 = 0, X - 0,0660 X = 0, ,0660 0, X = 3,40 Berat yang terlarut (mg) dalam media 900,0 ml media disolusi : 900 x kadar dalam 900 ml = 900 x 3, = 3,06 Dengan menggunakan persamaan Wurster : % quercetin terlarut = kadar dalam media sampel x 100 % berat penimbangan = 3,40 x100 % 5,4 = 58,92%

138 121 Area dibawah kurva tiap waktu (AUC t ) = (t n -t n-1 ) x (C n + C n-1 ) 2 (AUC 5 ) = (5 0) x (58,92 0) 2 (AUC 5 ) = 147,29 Perhitungan Nilai Slope Profil Disolusi Nilai slope dihitung antara (M o 1/3 M 1/3 ) sebagai variabel tergantung dan waktu sebagai variabel bebas, dengan : M o = Jumlah quercetin mula mula (100%) M = Jumlah quercetin pada waktu t yang belum terlarut (M o quercetin terlarut) Waktu M 1/3 o M 1/3 (menit) QC CF 1:1 CF 1:2 CF 1:3 DP 1:1 DP 1:2 DP 1:3 5 0,0460 0,0445 0,0467 0,0532 0,0694 0,0743 0, ,0492 0,0487 0,0532 0,0594 0,0852 0,0814 0, ,0502 0,0547 0,0595 0,0676 0,0909 0,0910 0,0979 Slope 0,0004 0,0010 0,0013 0,0014 0,0022 0,0024 0,0027 R 0,9972 0,9951 0,9999 0,9967 0,9654 0,9963 0,9935 Persamaan Regresi : - QC : y = 0,0004x + 0, CF 1:1 : y = 0,0009x + 0, CF 1:2 : y = 0,0013x + 0, CF 1:3 : y = 0,0014x + 0, DP 1:1 : y = 0,0022x + 0, DP 1:2 : y = 0,0024x + 0, DP 1:3 : y = 0,0027x + 0,0503

139 122 Lampiran 12 Hasil Statistika 1. Perhitungan unpaired t test kelarutan jenuh 2. Perhitungan ANOVA uji kelarutan

140 123 ANOVA Data Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups Within Groups Total Post Hoc Tests Multiple Comparisons Dependent Variable: Data Tukey HSD (I) (J) Kelompok Kelompok Mean Difference (I-J) Std. Sig. 95% Confidence Error Interval Lower Upper Bound Bound * * *

141 * * * * * * * * * * * *

142 * *. The mean difference is significant at the 0.05 level. Homogeneous Subsets Data Tukey HSD a Kelompok N Subset for alpha = Sig Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size =

143 Perhitungan ANOVA ED 30 quercetin Oneway ED 30 N Mean QM CF 1:1 CF 1:2 CF 1:3 DP 1:1 DP 1:2 DP 1:3 Tota l Descriptives Std. Std. 95% Deviatio Error Confidence n Interval for Mean Lower Upper Bound Bound Minimu m Maximu m

144 127 ANOVA ED 30 Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups Within Groups Total Post Hoc Tests Multiple Comparisons Dependent Variable: ED 30 Tukey HSD (I) Sistem QM CF 1:1 (J) Mean Sistem Difference (I-J) Std. Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound CF 1: CF 1: CF 1: DP 1: * DP 1: * DP 1: * QM CF 1: CF 1: DP 1: *

145 128 CF 1:2 CF 1:3 DP 1:1 DP 1:2 DP 1:3 DP 1: * DP 1: * QM CF 1: CF 1: DP 1: * DP 1: * DP 1: * QM CF 1: CF 1: DP 1: * DP 1: * DP 1: * QM * CF 1: * CF 1: * CF 1: * DP 1: DP 1: QM * CF 1: * CF 1: * CF 1: * DP 1: DP 1: QM * CF 1: * CF 1: *

146 129 CF 1: * DP 1: DP 1: *. The mean difference is significant at the 0.05 level. Homogeneous Subsets ED 30 Tukey HSD a Sistem N Subset for alpha = CF 1: QM CF 1: CF 1: DP 1: DP 1: DP 1: Sig Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size =

147 130 Lampiran 13 Tabel Harga Koefisien Kolerasi (r) df = (N 2)

148 131 Lampiran 14 Tabel Distribusi Harga F pada α = 0,05

PERBANDINGAN DISOLUSI ASAM MEFENAMAT DALAM SISTEM DISPERSI PADAT DENGAN PEG 6000 DAN PVP

PERBANDINGAN DISOLUSI ASAM MEFENAMAT DALAM SISTEM DISPERSI PADAT DENGAN PEG 6000 DAN PVP PERBANDINGAN DISOLUSI ASAM MEFENAMAT DALAM SISTEM DISPERSI PADAT DENGAN PEG 6000 DAN PVP Yulias Ninik Windriyati (1), Sugiyono (1), Widhi Astuti (1), Maria Faizatul Habibah (1) 1) Fakultas Farmasi Universitas

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Ibuprofen

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Ibuprofen BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan bahan baku dilakukan untuk menjamin kualitas bahan yang digunakan dalam penelitian ini. Tabel 4.1 dan 4.2 menunjukkan hasil pemeriksaan bahan baku. Pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Disolusi Kadar obat dalam darah pada sediaan peroral dipengaruhi oleh proses absorpsi dan kadar obat dalam darah ini menentukan efek sistemiknya. Obat dalam bentuk sediaan padat

Lebih terperinci

Tahapan-tahapan disintegrasi, disolusi, dan difusi obat.

Tahapan-tahapan disintegrasi, disolusi, dan difusi obat. I. Pembahasan Disolusi Suatu obat yang di minum secara oral akan melalui tiga fase: fase farmasetik (disolusi), farmakokinetik, dan farmakodinamik, agar kerja obat dapat terjadi. Dalam fase farmasetik,

Lebih terperinci

ADLN_Perpustakaan Universitas Airlangga SKRIPSI

ADLN_Perpustakaan Universitas Airlangga SKRIPSI SKRIPSI PENINGKATAN KELARUTAN DAN LAJU DISOLUSI QUERCETIN DENGAN PEMBENTUKAN SISTEM DISPERSI PADAT QUERCETIN-PEG 8000 FEBRIANTI SETIAWARDANI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA DEPARTEMEN FARMASETIKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu sediaan obat yang layak untuk diproduksi harus memenuhi beberapa persyaratan kualitas obat yang ditentukan oleh keamanan, keefektifan dan kestabilan obat untuk

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pemeriksaan Bahan Baku GMP Pada tahap awal penelitian dilakukan pemeriksaan bahan baku GMP. Hasil pemeriksaan sesuai dengan persyaratan pada monografi yang tertera pada

Lebih terperinci

DISOLUSI ASAM MEFENAMAT DALAM SISTEM DISPERSI PADAT DENGAN PEG 4000

DISOLUSI ASAM MEFENAMAT DALAM SISTEM DISPERSI PADAT DENGAN PEG 4000 DISOLUSI ASAM MEFENAMAT DALAM SISTEM DISPERSI PADAT DENGAN PEG 4000 Yulias Ninik Windriyati (1), Sugiyono (1), Lies Sunarliawati (1) 1) Fakultas Farmasi Universitas Wahid Hasyim INTISARI Asam mefenamat

Lebih terperinci

Karakterisasi dan studi disolusi dispersi padat furosemida menggunakan polietilen glikol (PEG), talk dan PEG talk sebagai pembawa dispersi

Karakterisasi dan studi disolusi dispersi padat furosemida menggunakan polietilen glikol (PEG), talk dan PEG talk sebagai pembawa dispersi Majalah Yandi Syukri Farmasi Indonesia, 15 (1), 37 43, 2004 Karakterisasi dan studi disolusi dispersi padat furosemida menggunakan polietilen glikol (PEG), talk dan PEG talk sebagai pembawa dispersi Characterization

Lebih terperinci

BAB III BAHAN, ALAT DAN CARA KERJA

BAB III BAHAN, ALAT DAN CARA KERJA BAB III BAHAN, ALAT DAN CARA KERJA Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmasi Fisik, Kimia, dan Formulasi Tablet Departemen Farmasi FMIPA UI, Depok. Waktu pelaksanaannya adalah dari bulan Februari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada pembuatan dispersi padat dengan berbagai perbandingan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada pembuatan dispersi padat dengan berbagai perbandingan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan Serbuk Dispersi Padat Pada pembuatan dispersi padat dengan berbagai perbandingan dihasilkan serbuk putih dengan tingkat kekerasan yang berbeda-beda. Semakin

Lebih terperinci

STUDI SISTEM DISPERSI PADAT GLIKLAZID MENGGUNAKAN UREA DAN TWEEN-80 WILLI PRATAMA

STUDI SISTEM DISPERSI PADAT GLIKLAZID MENGGUNAKAN UREA DAN TWEEN-80 WILLI PRATAMA STUDI SISTEM DISPERSI PADAT GLIKLAZID MENGGUNAKAN UREA DAN TWEEN-80 SKRIPSI SARJANA FARMASI Oleh WILLI PRATAMA 0811012054 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS ANDALAS PADANG 2012 Skripsi Ini Diajukan sebagai Salah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketoprofen secara luas telah digunakan sebagai obat analgetika antiinflamasi

I. PENDAHULUAN. Ketoprofen secara luas telah digunakan sebagai obat analgetika antiinflamasi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketoprofen secara luas telah digunakan sebagai obat analgetika antiinflamasi nonsteroidal turunan asam propionat yang mempunyai aktivitas kerja menghambat enzim siklooksigenase

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Ke-1

Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Ke-1 Prosiding Seminar Nasional Kefarmasian Ke-1 Samarinda, 5 6 Juni 2015 Potensi Produk Farmasi dari Bahan Alam Hayati untuk Pelayanan Kesehatan di Indonesia serta Strategi Penemuannya PENGARUH ph MEDIUM TERHADAP

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan, ditentukan lima formula

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan, ditentukan lima formula BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Formulasi Granul Mengapung Teofilin Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan, ditentukan lima formula untuk dibandingkan karakteristiknya, seperti terlihat pada Tabel

Lebih terperinci

Difusi adalah Proses Perpindahan Zat dari konsentrasi yang tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah.

Difusi adalah Proses Perpindahan Zat dari konsentrasi yang tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Difusi adalah Proses Perpindahan Zat dari konsentrasi yang tinggi ke konsentrasi yang lebih rendah. Contoh difusi : a. Difusi gas b. Difusi air Hukum I Ficks : Q = - D dc/dx Ket : D Q dc/dx = Koofisien

Lebih terperinci

FORMULASI TABLET LIKUISOLID IBUPROFEN MENGGUNAKAN PROPILEN GLIKOL SEBAGAI PELARUT NON VOLATILE DAN PVP K-30 SEBAGAI POLIMER

FORMULASI TABLET LIKUISOLID IBUPROFEN MENGGUNAKAN PROPILEN GLIKOL SEBAGAI PELARUT NON VOLATILE DAN PVP K-30 SEBAGAI POLIMER FORMULASI TABLET LIKUISOLID IBUPROFEN MENGGUNAKAN PROPILEN GLIKOL SEBAGAI PELARUT NON VOLATILE DAN PVP K-30 SEBAGAI POLIMER NEHRU WIBOWO 2443007022 FAKULTAS FARMASI UNIKA WIDYA MANDALA SURABAYA 2011 ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB IV PROSEDUR KERJA

BAB IV PROSEDUR KERJA BAB IV PROSEDUR KERJA 4.1. Pemeriksaan Bahan Baku GMP GMP diperiksa pemerian, titik lebur dan identifikasinya sesuai dengan yang tertera pada monografi bahan di Farmakope Amerika Edisi 30. Hasil pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

BAB I TINJAUAN PUSTAKA BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Glimepirid (GMP) GMP mempunyai nama kimia 1H pyrrole 1-carboxamide, 3 ethyl 2,5 dihydro 4 methyl N [2[4[[[[(4methylcyclohexyl) amino] carbonyl] amino] sulfonyl] phenyl] ethyl]

Lebih terperinci

TEKNIK DISPERSI SOLIDA UNTUK MENINGKATKAN KELARUTAN IBUPROFEN DALAM BENTUK TABLET DENGAN MENGGUNAKAN AVICEL PH102 SEBAGAI PENGISI

TEKNIK DISPERSI SOLIDA UNTUK MENINGKATKAN KELARUTAN IBUPROFEN DALAM BENTUK TABLET DENGAN MENGGUNAKAN AVICEL PH102 SEBAGAI PENGISI TEKNIK DISPERSI SOLIDA UNTUK MENINGKATKAN KELARUTAN IBUPROFEN DALAM BENTUK TABLET DENGAN MENGGUNAKAN AVICEL PH102 SEBAGAI PENGISI EFFERLIN MULYANTI 2443006038 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA

Lebih terperinci

PREFORMULASI SEDIAAN FUROSEMIDA MUDAH LARUT

PREFORMULASI SEDIAAN FUROSEMIDA MUDAH LARUT Majalah Farmasi Indonesia, 13(1), 50-54, 2002 PREFORMULASI SEDIAAN FUROSEMIDA MUDAH LARUT A Preformulation of a Water Soluble Furosemide Dosage Form Yandi Syukri *), Tedjo Yuwono **) dan Lukman Hakim **)

Lebih terperinci

FAHMI AZMI FORMULASI DISPERSI PADAT IBUPROFEN MENGGUNAKAN HPMC 6 cps PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI FARMASI

FAHMI AZMI FORMULASI DISPERSI PADAT IBUPROFEN MENGGUNAKAN HPMC 6 cps PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI FARMASI FAHMI AZMI 10703066 FORMULASI DISPERSI PADAT IBUPROFEN MENGGUNAKAN HPMC 6 cps PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI FARMASI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2007 Pada kutipan atau saduran skripsi ini harus tercantum

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ibuprofen Ibuprofen atau asam 2-(-4-isobutilfenil) propionat dengan rumus molekul C 13 H 18 O 2 dan bobot molekul 206,28, Rumus bangun dari Ibuprofen adalah sebagai berikut (4)

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Bahan-bahan yang digunakan adalah verapamil HCl (Recordati, Italia),

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Bahan-bahan yang digunakan adalah verapamil HCl (Recordati, Italia), BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. BAHAN Bahan-bahan yang digunakan adalah verapamil HCl (Recordati, Italia), pragelatinisasi pati singkong suksinat (Laboratorium Farmasetika, Departemen Farmasi FMIPA UI),

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... SURAT PERNYATAAN... MOTTO DAN PERSEMBAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... SURAT PERNYATAAN... MOTTO DAN PERSEMBAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... SURAT PERNYATAAN... MOTTO DAN PERSEMBAHAN... KATA PENGANTAR... i ii iii iv v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... x xi DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

SKRIPSI SANASHTRIA PRATIWI K Oleh :

SKRIPSI SANASHTRIA PRATIWI K Oleh : OPTIMASI FORMULASI SEDIAAN LEPAS LAMBAT TABLET TEOFILIN DENGAN MATRIKS ETIL SELULOSA (EC) DAN HIDROKSIPROPIL METIL SELULOSA (HPMC) DENGAN METODE SIMPLEX LATTICE DESIGN SKRIPSI Oleh : SANASHTRIA PRATIWI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenofibrat adalah obat dari kelompok fibrat dan digunakan dalam terapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenofibrat adalah obat dari kelompok fibrat dan digunakan dalam terapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenofibrat adalah obat dari kelompok fibrat dan digunakan dalam terapi hiperlipidemia (Lacy dkk., 2008). Fenofibrat di dalam tubuh mengalami hidrolisis oleh enzim sitokrom

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Timbangan analitik EB-330 (Shimadzu, Jepang), spektrofotometer UV

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Timbangan analitik EB-330 (Shimadzu, Jepang), spektrofotometer UV BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. ALAT Timbangan analitik EB-330 (Shimadzu, Jepang), spektrofotometer UV Vis V-530 (Jasco, Jepang), fourrier transformation infra red 8400S (Shimadzu, Jepang), moisture analyzer

Lebih terperinci

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam klorida 0,1 N. Prosedur uji disolusi dalam asam dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Hasil Evaluasi Sediaan a. Hasil pengamatan organoleptis Hasil pengamatan organoleptis menunjukkan krim berwarna putih dan berbau khas, gel tidak berwarna atau transparan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN SEDIAAN LEPAS LAMBAT SISTEM MATRIKS BERBASIS ETILSELULOSA HIDROKSIPROPIL METILSELULOSA DENGAN TEKNIK DISPERSI SOLIDA

PENGEMBANGAN SEDIAAN LEPAS LAMBAT SISTEM MATRIKS BERBASIS ETILSELULOSA HIDROKSIPROPIL METILSELULOSA DENGAN TEKNIK DISPERSI SOLIDA PENGEMBANGAN SEDIAAN LEPAS LAMBAT SISTEM MATRIKS BERBASIS ETILSELULOSA HIDROKSIPROPIL METILSELULOSA DENGAN TEKNIK DISPERSI SOLIDA SKRIPSI diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi salah satu syarat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kapsul Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut dalam saluran cerna. Tergantung formulasinya kapsul terbagi atas kapsul

Lebih terperinci

BAB 3 PERCOBAAN. 3.3 Pemeriksaan Bahan Baku Pemeriksaan bahan baku ibuprofen, HPMC, dilakukan menurut Farmakope Indonesia IV dan USP XXIV.

BAB 3 PERCOBAAN. 3.3 Pemeriksaan Bahan Baku Pemeriksaan bahan baku ibuprofen, HPMC, dilakukan menurut Farmakope Indonesia IV dan USP XXIV. BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan Percobaan Ibuprofen, HPMC 6 cps (Shin-Etsu), PVP K-30, laktosa, acdisol, amprotab, talk, magnesium stearat, kalium dihidrogen fosfat, natrium hidroksida, natrium dihidrogen fosfat,

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN BERBAGAI KONSENTRASI PEG 6000 TERHADAP LAJU PELARUTAN DISPERSI SOLIDA KETOPROFEN-PEG 6000 YANG DIPREPARASI DENGAN METODE PELARUTAN

PENGARUH PENAMBAHAN BERBAGAI KONSENTRASI PEG 6000 TERHADAP LAJU PELARUTAN DISPERSI SOLIDA KETOPROFEN-PEG 6000 YANG DIPREPARASI DENGAN METODE PELARUTAN PENGARUH PENAMBAHAN BERBAGAI KONSENTRASI PEG 6000 TERHADAP LAJU PELARUTAN DISPERSI SOLIDA KETOPROFEN-PEG 6000 YANG DIPREPARASI DENGAN METODE PELARUTAN OLEH: GIVRINA WINDASARI 2443001138 FAKULTAS FARMASI

Lebih terperinci

BAB III BAHAN, ALAT DAN METODE

BAB III BAHAN, ALAT DAN METODE 27 BAB III BAHAN, ALAT DAN METODE 3.1 Bahan Indometasin ( Kunze Indopharm ) Indometasin pembanding ( PPOM ) /3-siklodekstrin ( Roquette ) Natrium nitrit P.g. ( E. Merk ) Kalium dihidrogen fosfat P.a. 1(

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. al., 2005). Hampir 80% obat-obatan diberikan melalui oral diantaranya adalah

BAB I PENDAHULUAN. al., 2005). Hampir 80% obat-obatan diberikan melalui oral diantaranya adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemberian oral adalah rute terapi yang paling umum dan nyaman (Griffin, et al., 2005). Hampir 80% obat-obatan diberikan melalui oral diantaranya adalah sediaan tablet.

Lebih terperinci

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam JURNAL KELARUTAN D. Tinjauan Pustaka 1. Kelarutan Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam bagian tertentu pelarut, kecuali dinyatakan lain menunjukkan bahwa 1 bagian

Lebih terperinci

Peningkatan Disolusi Ibuprofen dengan Sistem Dispersi Padat Ibuprofen - PVP K90

Peningkatan Disolusi Ibuprofen dengan Sistem Dispersi Padat Ibuprofen - PVP K90 24 Majalah Farmasi Airlangga, Vol.8 No.1, April 2010 Dini Retnowati, et al Peningkatan Disolusi Ibuprofen dengan Sistem Dispersi Padat Ibuprofen - PVP K90 Dini Retnowati*, Dwi Setyawan Departemen Farmasetika

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian mengenai penggunaan aluminium sebagai sacrificial electrode

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian mengenai penggunaan aluminium sebagai sacrificial electrode BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Deskripsi Penelitian Penelitian mengenai penggunaan aluminium sebagai sacrificial electrode dalam proses elektrokoagulasi larutan yang mengandung pewarna tekstil hitam ini

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-nya penulis dapat

KATA PENGANTAR. kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-nya penulis dapat KATA PENGANTAR Bismillaahirrahmaanirrahim Alhamdulillahirabbil alamin segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-nya penulis dapat menyelesaikan penelitian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut: IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut: 4.1.1 Pemeriksaan bahan baku Hasil pemeriksan bahan baku ibuprofen, Xanthan Gum,Na CMC, sesuai dengan

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga SKRIPSI

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga SKRIPSI SKRIPSI VALIDASI METODE ANALISIS CAMPURAN VITAMIN B 1, B 2, DAN B 6 DALAM SEDIAAN TABLET DENGAN KCKT MENGGUNAKAN KOLOM RP-18 ULTRA HIGH BASE DEACTIVATED PURITY SILICA FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. BAB 1 PENDAHULUAN Pada bab ini akan dibahas mengenai latar belakang dan tujuan penelitian. 1.1. Latar Belakang Penyakit hipertensi adalah penyakit tekanan darah tinggi di mana dalam pengobatannya membutuhkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil preparasi bahan baku larutan MgO, larutan NH 4 H 2 PO 4, dan larutan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil preparasi bahan baku larutan MgO, larutan NH 4 H 2 PO 4, dan larutan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Preparasi 4.1.1 Sol Hasil preparasi bahan baku larutan MgO, larutan NH 4 H 2 PO 4, dan larutan ZrOCl 2. 8H 2 O dengan perbandingan mol 1:4:6 (Ikeda, et al. 1986) dicampurkan

Lebih terperinci

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI NAILUL GHAYAH

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI NAILUL GHAYAH SKRIPSI NAILUL GHAYAH KARAKTERISASI SEDIAAN DAN PELEPASAN NATRIUM DIKLOFENAK DENGAN SISTEM MIKROEMULSI TIPE W/O (Perbandingan Konsentrasi Surfaktan (Span 80-Tween 80): Kosurfaktan (Etanol 96%) = 6:1 dalam

Lebih terperinci

Pengaruh konsentrasi PEG 4000 terhadap laju disolusi ketoprofen dalam sistem dispersi padat ketoprofen-peg 4000

Pengaruh konsentrasi PEG 4000 terhadap laju disolusi ketoprofen dalam sistem dispersi padat ketoprofen-peg 4000 Majalah Fikri Alatas Farmasi Indonesia, 17(2), 57 62, 2006 Pengaruh konsentrasi PEG 4000 terhadap laju disolusi ketoprofen dalam sistem dispersi padat ketoprofen-peg 4000 Influence of PEG 4000 concentration

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Aspirin mencegah sintesis tromboksan A 2 (TXA 2 ) di dalam trombosit dan

BAB I PENDAHULUAN. Aspirin mencegah sintesis tromboksan A 2 (TXA 2 ) di dalam trombosit dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Antiplatelet adalah obat yang dapat menghambat agregasi trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang terutama sering ditemukan pada sistem arteri

Lebih terperinci

oleh tubuh. Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui rangkaian proses yaitu disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat;

oleh tubuh. Pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui rangkaian proses yaitu disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat; BAB 1 PENDAHULUAN Seiring dengan kemajuan teknologi dan pengetahuan dalam bidang farmasi, perkembangan terhadap metode pembuatan sediaan obat untuk meningkatkan mutu obat juga semakin maju. Dengan meningkatnya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Evaluasi Krim Hasil evaluasi krim diperoleh sifat krim yang lembut, mudah menyebar, membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat dioleskan pada

Lebih terperinci

Bab III Metodologi III.1 Waktu dan Tempat Penelitian III.2. Alat dan Bahan III.2.1. Alat III.2.2 Bahan

Bab III Metodologi III.1 Waktu dan Tempat Penelitian III.2. Alat dan Bahan III.2.1. Alat III.2.2 Bahan Bab III Metodologi III.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan dari bulan Januari hingga April 2008 di Laboratorium Penelitian Kimia Analitik, Institut Teknologi Bandung. Sedangkan pengukuran

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Padatan TiO 2 Amorf Proses sintesis padatan TiO 2 amorf ini dimulai dengan melarutkan titanium isopropoksida (TTIP) ke dalam pelarut etanol. Pelarut etanol yang digunakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan sediaan losio minyak buah merah a. Perhitungan HLB butuh minyak buah merah HLB butuh minyak buah merah yang digunakan adalah 17,34. Cara perhitungan HLB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketersediaan hayati obat. Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia

BAB I PENDAHULUAN. ketersediaan hayati obat. Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelarutan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi ketersediaan hayati obat. Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia yang penting untuk diperhatikan pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji formula pendahuluan (Lampiran 9), maka dipilih

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Berdasarkan hasil uji formula pendahuluan (Lampiran 9), maka dipilih BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan Tablet Mengapung Verapamil HCl Berdasarkan hasil uji formula pendahuluan (Lampiran 9), maka dipilih lima formula untuk dibandingkan kualitasnya, seperti

Lebih terperinci

KELARUTAN DAN GEJALA DISTRIBUSI. Oleh : Nur Aji, S.Farm., Apt

KELARUTAN DAN GEJALA DISTRIBUSI. Oleh : Nur Aji, S.Farm., Apt KELARUTAN DAN GEJALA DISTRIBUSI Oleh : Nur Aji, S.Farm., Apt LARUTAN Larutan sejati didefinisikan sebagai suatu campuran dari dua atau lebih komponen yang membentuk suatu dispersi molekul yang homogen,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Laju disolusi obat merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Laju disolusi obat merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Laju disolusi obat merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam proses formulasi obat. Umumnya untuk obat-obat peroral, sebelum diabsorbsi melalui dinding

Lebih terperinci

terbatas, modifikasi yang sesuai hendaknya dilakukan pada desain formula untuk meningkatkan kelarutannya (Karmarkar et al., 2009).

terbatas, modifikasi yang sesuai hendaknya dilakukan pada desain formula untuk meningkatkan kelarutannya (Karmarkar et al., 2009). BAB 1 PENDAHULUAN Tablet merupakan bentuk sediaan yang paling popular di masyarakat karena bentuk sediaan tablet memiliki banyak keuntungan, misalnya: massa tablet dapat dibuat dengan menggunakan mesin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan kelarutan yang buruk, karena mempunyai struktur hidrofobik

BAB I PENDAHULUAN. menunjukkan kelarutan yang buruk, karena mempunyai struktur hidrofobik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ibuprofen merupakan salah satu obat yang sukar larut dalam air dan menunjukkan kelarutan yang buruk, karena mempunyai struktur hidrofobik (Bushra dan Aslam, 2010; Mansouri,

Lebih terperinci

obat tersebut cenderung mempunyai tingkat absorbsi yang tidak sempurna atau tidak menentu dan seringkali menghasilkan respon terapeutik yang minimum

obat tersebut cenderung mempunyai tingkat absorbsi yang tidak sempurna atau tidak menentu dan seringkali menghasilkan respon terapeutik yang minimum BAB 1 PENDAHULUAN Seiring berjalannya waktu, teknologi farmasi telah berkembang pesat. Hal ini dibuktikan dengan munculnya berbagai metode baru dalam industri farmasi yang memiliki tujuan akhir untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Preparasi selulosa bakterial dari limbah cair tahu dan sintesis kopolimer

BAB III METODE PENELITIAN. Preparasi selulosa bakterial dari limbah cair tahu dan sintesis kopolimer BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Preparasi selulosa bakterial dari limbah cair tahu dan sintesis kopolimer superabsorbent di bawah radiasi microwave dilakukan di Laboratorium Riset Jurusan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... ii. HALAMAN PENGESAHAN... iii. PERSEMBAHAN... v. DEKLARASI... vi. KATA PENGANTAR... vii. DAFTAR ISI...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... ii. HALAMAN PENGESAHAN... iii. PERSEMBAHAN... v. DEKLARASI... vi. KATA PENGANTAR... vii. DAFTAR ISI... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii MOTTO... iv PERSEMBAHAN... v DEKLARASI... vi KATA PENGANTAR... vii DAFTAR ISI... ix DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

SKRIPSI UMI SALAMAH K Oleh :

SKRIPSI UMI SALAMAH K Oleh : OPTIMASI FORMULASI SEDIAAN LEPAS LAMBAT TABLET TEOFILIN DENGAN MATRIKS ETIL SELULOSA (EC) DAN HIDROKSIETIL SELULOSA (HEC) DENGAN METODE SIMPLEX LATTICE DESIGN SKRIPSI Oleh : UMI SALAMAH K 100 030 007 FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Alat-alat gelas, Neraca Analitik (Adam AFA-210 LC), Viskometer

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Alat-alat gelas, Neraca Analitik (Adam AFA-210 LC), Viskometer BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. ALAT Alat-alat gelas, Neraca Analitik (Adam AFA-210 LC), Viskometer Brookfield (Model RVF), Oven (Memmert), Mikroskop optik, Kamera digital (Sony), ph meter (Eutech), Sentrifugator

Lebih terperinci

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA PENGARUH BERBAGAI KONSENTRASI TWEEN 80 YANG DIKOMBINASI DENGAN PROPILENGLIKOL SEBAGAI ENHANCER TERHADAP PENETRASI HIDROKORTISON ASETAT DALAM BASIS GEL CARBOPOL 934 SECARA IN VITRO OLEH: ARI SISWAKRISTANTINI

Lebih terperinci

PENETAPAN KADAR CAMPURAN PARASETAMOL DAN IBUPROFEN PADA SEDIAAN TABLET SECARA SPEKTROFOTOMETRI DERIVATIF DENGAN ZERO CROSSING SKRIPSI

PENETAPAN KADAR CAMPURAN PARASETAMOL DAN IBUPROFEN PADA SEDIAAN TABLET SECARA SPEKTROFOTOMETRI DERIVATIF DENGAN ZERO CROSSING SKRIPSI PENETAPAN KADAR CAMPURAN PARASETAMOL DAN IBUPROFEN PADA SEDIAAN TABLET SECARA SPEKTROFOTOMETRI DERIVATIF DENGAN ZERO CROSSING SKRIPSI OLEH: RISTINA HASIBUAN NIM 121524085 PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan nanoteknologi terus dilakukan oleh para peneliti dari dunia akademik maupun dari dunia industri. Para peneliti seolah berlomba untuk mewujudkan karya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelarutan suatu zat dinyatakan sebagai konsentrasi zat terlarut didalam larutan jenuhnya pada suhu dan tekanan tertentu. Larutan memainkan peranan penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. ketoprofen (Kalbe Farma), gelatin (Brataco chemical), laktosa (Brataco

BAB III METODE PENELITIAN. ketoprofen (Kalbe Farma), gelatin (Brataco chemical), laktosa (Brataco 17 BAB III METODE PENELITIAN A. Alat dan Bahan 1. Bahan yang digunakan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ketoprofen (Kalbe Farma), gelatin (Brataco chemical), laktosa (Brataco chemical),

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. bulan agustus tahun 2011 sampai bulan Januari tahun Tempat penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. bulan agustus tahun 2011 sampai bulan Januari tahun Tempat penelitian BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Rancangan kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan dimulai pada bulan agustus tahun 2011 sampai bulan Januari tahun 2012. Tempat penelitian

Lebih terperinci

sediaan tablet cukup kecil dan wujudnya padat sehingga memudahkan pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutannya (Siregar, 1992). Telah diketahui bahwa

sediaan tablet cukup kecil dan wujudnya padat sehingga memudahkan pengemasan, penyimpanan, dan pengangkutannya (Siregar, 1992). Telah diketahui bahwa BAB I PENDAHULUAN Seiring berjalannya waktu, sintesis obat dengan tingkat kelarutan rendah terus meningkat. Beberapa obat yang kelarutannya rendah seperti ibuprofen, piroxicam, carbamazepine, furosemid

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. HALAMAN MOTTO...iii. HALAMAN PERSEMBAHAN... iv. HALAMAN DEKLARASI...

DAFTAR ISI. Halaman. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. HALAMAN MOTTO...iii. HALAMAN PERSEMBAHAN... iv. HALAMAN DEKLARASI... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN MOTTO...iii HALAMAN PERSEMBAHAN... iv HALAMAN DEKLARASI... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI...viii DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR TABEL... xii

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. melakukan uji morfologi, Laboratorium Teknik Kimia Ubaya Surabaya. mulai dari bulan Februari 2011 sampai Juli 2011.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. melakukan uji morfologi, Laboratorium Teknik Kimia Ubaya Surabaya. mulai dari bulan Februari 2011 sampai Juli 2011. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorim Fisika Material Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, Laboratorium Metalurgi ITS Surabaya

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. berjudul PENGGUNAAN BIOPOLIMER POLI(3-HIDROKSIBUTIRAT) SEBAGAI PENYALUT DALAM FORMULASI MIKROKAPSUL

KATA PENGANTAR. berjudul PENGGUNAAN BIOPOLIMER POLI(3-HIDROKSIBUTIRAT) SEBAGAI PENYALUT DALAM FORMULASI MIKROKAPSUL KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini yang berjudul PENGGUNAAN BIOPOLIMER POLI(3-HIDROKSIBUTIRAT)

Lebih terperinci

3 Metodologi Penelitian

3 Metodologi Penelitian 3 Metodologi Penelitian Prosedur penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, tahap pertama sintesis kitosan yang terdiri dari isolasi kitin dari kulit udang, konversi kitin menjadi kitosan. Tahap ke dua

Lebih terperinci

Bab III Metodologi. III.1 Alat dan Bahan. III.1.1 Alat-alat

Bab III Metodologi. III.1 Alat dan Bahan. III.1.1 Alat-alat Bab III Metodologi Penelitian ini dibagi menjadi 2 bagian yaitu isolasi selulosa dari serbuk gergaji kayu dan asetilasi selulosa hasil isolasi dengan variasi waktu. Kemudian selulosa hasil isolasi dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Proses polimerisasi stirena dilakukan dengan sistem seeding. Bejana

BAB III METODE PENELITIAN. Proses polimerisasi stirena dilakukan dengan sistem seeding. Bejana 34 BAB III METODE PENELITIAN Proses polimerisasi stirena dilakukan dengan sistem seeding. Bejana reaktor diisi dengan seed stirena berupa campuran air, stirena, dan surfaktan dengan jumlah stirena yang

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Karakterisasi Fisik Vitamin C

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Karakterisasi Fisik Vitamin C 29 BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Pada tahap awal penelitian dilakukan pemeriksaan terhadap bahan baku vitamin C meliputi pemerian, kelarutan, identifikasi dan penetapan kadar. Uji kelarutan dilakukan

Lebih terperinci

STUDI SISTEM DISPERSI PADAT KARBAMAZEPIN MENGGUNAKAN CAMPURAN POLIMER PEG 6000 DAN HPMC DENGAN METODA PELARUTAN

STUDI SISTEM DISPERSI PADAT KARBAMAZEPIN MENGGUNAKAN CAMPURAN POLIMER PEG 6000 DAN HPMC DENGAN METODA PELARUTAN STUDI SISTEM DISPERSI PADAT KARBAMAZEPIN MENGGUNAKAN CAMPURAN POLIMER PEG 6000 DAN HPMC DENGAN METODA PELARUTAN Rina Wahyuni 1, Auzal Halim 2, dan Siska Febronica 1 1 Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi (STIFARM)

Lebih terperinci

Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi

Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi NURUL ROSYIDAH Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember Pendahuluan Kesimpulan Tinjauan Pustaka

Lebih terperinci

Disolusi merupakan salah satu parameter penting dalam formulasi obat. Uji disolusi in vitro adalah salah satu persyaratan untuk menjamin kontrol

Disolusi merupakan salah satu parameter penting dalam formulasi obat. Uji disolusi in vitro adalah salah satu persyaratan untuk menjamin kontrol BAB I PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan jaman dan kemajuan di bidang teknologi dan pengetahuan dalam bidang farmasi, memberikan dampak pengembangan terhadap metode untuk meningkatkan mutu suatu obat.

Lebih terperinci

3 Metodologi penelitian

3 Metodologi penelitian 3 Metodologi penelitian 3.1 Peralatan dan Bahan Peralatan yang digunakan pada penelitian ini mencakup peralatan gelas standar laboratorium kimia, peralatan isolasi pati, peralatan polimerisasi, dan peralatan

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April Januari 2013, bertempat di

III. METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan April Januari 2013, bertempat di 30 III. METODELOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2012 - Januari 2013, bertempat di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji pendahuluan Mikrokapsul memberikan hasil yang optimum pada kondisi percobaan dengan

Lebih terperinci

PROFIL PELEPASAN IN VITRO IBUPROFEN DALAM BENTUK TABLET LEPAS LAMBAT DENGAN MENGGUNAKAN MATRIKS GUAR GUM PADA BERBAGAI KONSENTRASI

PROFIL PELEPASAN IN VITRO IBUPROFEN DALAM BENTUK TABLET LEPAS LAMBAT DENGAN MENGGUNAKAN MATRIKS GUAR GUM PADA BERBAGAI KONSENTRASI PROFIL PELEPASAN IN VITRO IBUPROFEN DALAM BENTUK TABLET LEPAS LAMBAT DENGAN MENGGUNAKAN MATRIKS GUAR GUM PADA BERBAGAI KONSENTRASI OLEH: MORRIS DINATA 2443005096 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu sifat fisika kimia yang penting dari suatu zat obat adalah kelarutan, terutama kelarutan sistem dalam air. Suatu obat harus mempunyai kelarutan dalam air

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN MOTTO... HALAMAN PERSEMBAHAN... HALAMAN DEKLARASI.. KATA PENGANTAR.. DAFTAR ISI...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... HALAMAN MOTTO... HALAMAN PERSEMBAHAN... HALAMAN DEKLARASI.. KATA PENGANTAR.. DAFTAR ISI... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL..... HALAMAN PENGESAHAN.... HALAMAN MOTTO... HALAMAN PERSEMBAHAN... HALAMAN DEKLARASI.. KATA PENGANTAR.. DAFTAR ISI.... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN. INTISARI.

Lebih terperinci

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SKRIPSI SKRIPSI KARAKTERISASI SEDIAAN DAN UJI PENETRASI NATRIUM DIKLOFENAK DENGAN SISTEM MIKROEMULSI DALAM GEL HPMC 4000 (Mikroemulsi W/O dengan Surfaktan Span80-Tween 80 : Kosurfaktan Isopropanol = 4:1) AUDITYA

Lebih terperinci

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian Secara Keseluruhan

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian Secara Keseluruhan 25 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Diagram Alir Penelitian Secara umum penelitian akan dilakukan dengan pemanfaatan limbah media Bambu yang akan digunakan sebagai adsorben dengan diagram alir keseluruhan

Lebih terperinci

UPAYA PENINGKATAN KELARUTAN HIDROKLORTIAZIDA DENGAN PENAMBAHAN SURFAKTAN TWEEN 60

UPAYA PENINGKATAN KELARUTAN HIDROKLORTIAZIDA DENGAN PENAMBAHAN SURFAKTAN TWEEN 60 UPAYA PENINGKATAN KELARUTAN HIDROKLORTIAZIDA DENGAN PENAMBAHAN SURFAKTAN TWEEN 60 SKRIPSI OLEH : ELIN HERLINA K 100 040 264 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2008 DAFTAR ISI

Lebih terperinci

KELARUTAN ZAT PADAT DALAM CAIRAN

KELARUTAN ZAT PADAT DALAM CAIRAN 1. Pada Larutan Ideal KELARUTAN ZAT PADAT DALAM CAIRAN Oleh : Lusia Oktora Ruma Kumala Sari, S.F., M.Sc., Apt Faktor-faktor yang berpengaruh : - suhu percobaan (T) - ΔHf - titik lebur solut (T 0 ) Hildebrand

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pusat Teknologi Farmasi dan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pusat Teknologi Farmasi dan BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pusat Teknologi Farmasi dan Medika Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi di kawasan Puspitek Serpong, Tangerang. Waktu pelaksanaannya

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU KIMIA FISIK. Subtitle

PENGANTAR ILMU KIMIA FISIK. Subtitle PENGANTAR ILMU KIMIA FISIK Subtitle PENGERTIAN ZAT DAN SIFAT-SIFAT FISIK ZAT Add your first bullet point here Add your second bullet point here Add your third bullet point here PENGERTIAN ZAT Zat adalah

Lebih terperinci

PREPARASI KOMPOSIT TiO 2 -SiO 2 DENGAN METODE SOL-GEL DAN APLIKASINYA UNTUK FOTODEGRADASI METHYL ORANGE

PREPARASI KOMPOSIT TiO 2 -SiO 2 DENGAN METODE SOL-GEL DAN APLIKASINYA UNTUK FOTODEGRADASI METHYL ORANGE PREPARASI KOMPOSIT TiO 2 -SiO 2 DENGAN METODE SOL-GEL DAN APLIKASINYA UNTUK FOTODEGRADASI METHYL ORANGE Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat sarjana S-1 Program Studi Kimia Oleh

Lebih terperinci

DISOLUSI ASAM FENOFIBRAT DALAM SISTEM DISPERSI PADAT PERMUKAAN DENGAN SODIUM STARCH GLYCOLATE SKRIPSI

DISOLUSI ASAM FENOFIBRAT DALAM SISTEM DISPERSI PADAT PERMUKAAN DENGAN SODIUM STARCH GLYCOLATE SKRIPSI DISOLUSI ASAM FENOFIBRAT DALAM SISTEM DISPERSI PADAT PERMUKAAN DENGAN SODIUM STARCH GLYCOLATE SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam mencapai derajat Sarjana Farmasi Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hasil identifikasi sampel

Lampiran 1. Hasil identifikasi sampel Lampiran 1. Hasil identifikasi sampel 56 Lampiran 2. Gambar tanaman singkong (Manihot utilissima P.) Tanaman Singkong Umbi Singkong Pati singkong 57 Lampiran 3. Flowsheet isolasi pati singkong Umbi singkong

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Pembuatan Membran 4.1.1 Membran PMMA-Ditizon Membran PMMA-ditizon dibuat dengan teknik inversi fasa. PMMA dilarutkan dalam kloroform sampai membentuk gel. Ditizon dilarutkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bentuk sediaan obat merupakan sediaan farmasi dalam bentuk tertentu sesuai dengan kebutuhan, mengandung satu zat aktif atau lebih dalam pembawa yang digunakan sebagai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Kimia Jurusan Pendidikan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Kimia Jurusan Pendidikan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Deskripsi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Riset Kimia Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA UPI yang beralamat di Jl. Dr. Setiabudi No.229 Bandung. Untuk keperluan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN y = x R 2 = Absorban

HASIL DAN PEMBAHASAN y = x R 2 = Absorban 5 Kulit kacang tanah yang telah dihaluskan ditambahkan asam sulfat pekat 97%, lalu dipanaskan pada suhu 16 C selama 36 jam. Setelah itu, dibilas dengan air destilata untuk menghilangkan kelebihan asam.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hasil Penelitian Terdahulu Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Rosmawati, 2016), Penentuan formula tablet floating propranolol HCl menggunakan metode simple lattice design

Lebih terperinci