BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 22 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kegiatan GNRHL di Desa Dlingo Kegiatan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) dilakukan pada tahun dan di Desa Dlingo sendiri dilakukan pada tahun Proyek ini merupakan proyek nasional dibawah Kementrian Kehutanan dan untuk implementasi di lapangan, proyek GNRHL yang ada di Kabupaten Bantul dibawahi oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan (Dipertahut) Kabupaten Bantul. Menurut Dipertahut Kabupaten Bantul, proyek GNRHL telah berhasil melakukan penanaman di lahan milik rakyat di Kabupaten Bantul seluas ha dan salah satunya adalah di hutan rakyat Desa Dlingo. Luas hutan rakyat hasil dari GNRHL di Desa Dlingo yaitu 325 ha. Rincian mengenai luasan GNRHL masing-masing dusun dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Luas GNRHL masing-masing dusun di Desa Dlingo No Nama Dusun Luas GNRHL (ha) 1. Pokoh I 56,75 2. Pokoh II 55,25 3. Kebosungu I 62,75 4. Kebosungu II 61,25 5. Koripan II 39,00 6. Pakis I 25,00 7. Pakis II dan Dlingo II 25,00 Total 325,00 Dipertahut menyediakan bibit, pupuk, dan alat-alat untuk pengolahan dan perawatan tanaman seperti: cangkul, linggis, dan alat semprot secara gratis per kelompok tani. Pembagian dilakukan setelah pengajuan proposal oleh kelompok tani dan hanya dibagikan pada awal tahun sebelum dilakukan penanaman. Selain itu untuk kegiatan pembangunan hutan rakyat, petani diberikan upah berdasarkan satuan hari orang kerja (HOK) sebesar Rp /orang/hari. Menurut Hidra (2007) komposisi jenis antara tanaman kayu-kayuan dengan jenis MPTS ditentukan dengan proporsi 70% tanaman kayu kayuan dan 30% jenis MPTS. Jenis tanaman hutan rakyat terdiri dari jati, mangga, dan rambutan dengan jarak tanam 5m x 10m. Namun kenyataan di lapangan tidak sesuai dengan rancangan, jarak tanam, dan jenis tanaman bervariasi sesuai dengan keinginan

2 23 pemiliknya dan tidak ditemukan kondisi hutan rakyat yang sesuai dengan rancangan. Disebabkan pola penanaman GNRHL menurut Dipertahut adalah pola penanaman pengkayaan yang sebelumnya sudah terdapat tanaman, maka tanaman baru sebagai tanaman pembatas maksimal 200 batang/ha. 5.2 Kondisi Hutan Rakyat Untuk mengetahui kegiatan dari pengelolaan hutan rakyat di Desa Dlingo, dilakukan wawancara semi terstruktur menggunakan kuesioner dengan 35 responden pemilik hutan rakyat dari 3 dusun, yaitu: Pakis II, Pokoh II, dan Dlingo II. Lokasi GNRHL berada pada tanah yang miring dan tidak subur sehingga sebelum dilakukan penanaman terlebih dahulu dibuat terasering atau piringan dari batu yang disusun. Penanaman harus dilakukan pada saat awal musim penghujan karena jika musim kemarau tanah sangat kering Kondisi Sosial Ekonomi Petani Hutan Rakyat Penduduk Desa Dlingo mayoritas bermata pencaharian sebagai petani. Dari 35 responden merupakan petani hutan rakyat, baik sebagai mata pencaharian pokok maupun hanya sampingan. Petani Desa Dlingo selain mengelola hutan rakyat juga mengelola tanaman pertanian. Namun, bertani tanaman pertanian lebih diprioritaskan pengelolaannya karena memiliki hasil dengan jangka waktu yang lebih pendek tidak seperti hasil dari hutan rakyat. Selain itu, mereka juga memiliki pekerjaan sampingan karena hasil dari pertanian saja tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Pada umumnya, pekerjaan sampingan yang dilakukan yaitu sebagai pedagang, pengrajin mebel, dan sebagai tukang bangunan Sistem Pemilik dan Penggunaan Hutan Rakyat Status kepemilikan lahan merupakan lahan milik petani dengan telah memiliki pengakuan dari masyarakat dan kelurahan, namun sebagian masih ada yang belum memiliki bukti kepemilikan berupa sertifikat tanah. Berdasarkan wawancara dengan responden, luasan hutan rakyat yang dimiliki berbeda-beda. Umumnya letak hutan rakyat GNRHL berbentuk blok dan dimiliki oleh beberapa petani dengan batas lahan berupa patok dari badan pertanahan dan berupa susunan batu terasering.

3 24 Tujuan utama responden membudidayakan hutan rakyat berbeda-beda, sebagian besar responden beralasan untuk keperluan sendiri dan digunakan sebagai bahan baku mebel dan sebagian juga digunakan untuk investasi tambahan di masa depan. Harga kayu jati yang tinggi diharapkan dapat memberikan tambahan penghasilan untuk keperluan masa depan, seperti keperluan tambahan biaya pendidikan, atau kegiatan lainnya yang membutuhkan modal besar. Sebelum dilakukan penanaman dari proyek GNRHL, lahan hutan rakyat tersebut berupa lahan kritis, tegalan, dan pekarangan. Pola penanaman GNRHL menurut Dipertahut yaitu dengan pola penanaman pengkayaan dengan sebelumnya sudah terdapat tanaman sehingga diperlukan penambahan tanaman dengan proyek GNRHL ini agar tanaman lebih produktif. Setelah penanaman GNRHL dilakukan, lahan hutan rakyat masyarakat ini ditumbuhi pohon jati dengan bentuk hutan rakyat yang berbeda-beda. Bentuk hutan rakyat jati di Desa Dlingo terdiri dari sistem monokultur jati, sistem campuran dengan tanaman kayu keras lainnya seperti mahoni, sonokeling, dan bentuk tumpangsari. Tumpangsari dilakukan dengan menggunakan jenis tanaman pertanian yaitu ketela, umbiumbian dan tanaman pisang. Pemilihan tanaman keras campuran berdasarkan pertimbangan agar tidak mudah terserang penyakit dan variasi jenis di lahan miliknya, sedangkan pemilihan jenis tanaman pertanian berdasarkan pertimbangan kebutuhan untuk mendapatkan hasil panen jangka pendek untuk kebutuhan sehari-hari Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat Prabowo (1998) kegiatan dalam pengelolaan hutan rakyat meliputi pengadaan benih, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran hasil. Kegiatan dalam pengelolaan hutan rakyat secara lebih rinci sebagai berikut: 1. Pengadaan Benih GNRHL pengadaan dalam bentuk bibit bukan benih. Bibit diperoleh secara gratis dari Dipertahut melalui kelompok tani yang ditunjuk. 2. Penanaman Penanaman GNRHL dilakukan secara gotong royong oleh kelompok tani menanam secara bergiliran di lahan milik mereka. Para petani tersebut mendapatkan upah berdasarkan HOK sebesar Rp /hari dari Dipertahut.

4 25 Daerah Desa Dlingo merupakan daerah yang memiliki tanah yang mudah kekeringan ketika musim kemarau, sedangkan tanaman jati sangat peka terhadap kekeringan pada awal masa tanam, sehingga penanaman dilakukan pada awal musim penghujan agar bibit yang ditanam mendapatkan air yang cukup. Sebelum bibit ditanam, terlebih dahulu dibuat lubang tanam dengan jarak tanam 5m x 10m sesuai anjuran Dinas setempat, namun jarak tanam berbeda-beda tergantung dari kondisi lahan yang kosong di lapangan. Selanjutnya dilakukan pemupukan dengan pupuk organik sebesar 2,5 kg/pohon yang diperoleh secara gratis dari proyek GNRHL. 3. Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan oleh petani diantaranya adalah penyulaman, pemupukan, dan penyemprotan. Semua kegiatan tersebut hanya dilakukan pada tahun pertama hingga tahun kedua, sedangkan untuk tahuntahun selanjutnya diserahkan sepenuhnya kepada petani dalam pengelolaannya. Namun sekarang ini kegiatan perawatan sudah tidak ada. Pemupukan dilakukan pada saat penanaman dengan pupuk organik sebesar 2,5 kg/pohon dan pupuk anorganik urea diberikan dua kali yaitu pada akhir musim penghujan pada tahun pertama dan kedua dengan masing masing sebesar 3 tablet/pohon. Penyulaman dilakukan pada tahun kedua setelah penanaman, sedangkan untuk kegiatan penjarangan yang seharusnya dilakukan pada tahun kelima tidak dilakukan. 4. Pemanenan Menurut petani, umumnya jati dipanen setelah berumur 25 tahun, namun jika ada kebutuhan mendesak dapat dipanen sebelum umur 25 tahun. Pemanenan yang biasa dilakukan dikenal dengan istilah sistem tebang butuh, yaitu kegiatan penebangan karena kepentingan ekonomi yang mendesak, seperti kebutuhan anak sekolah, hutang-piutang dan lain-lain. Pembelian kayu dilakukan ketika pohon masih berdiri, pihak pembeli atau tengkulak yang datang langsung ke areal hutan rakyat setelah adanya kesepakatan harga dengan petani. Penjualan seperti ini petani tidak menanggung biaya penebangan, biaya pemasaran dan risiko kerusakan kayu yang terjadi akibat proses penebangan. Namun, biasanya petani mendapatkan harga tawar yang

5 26 rendah karena kurangnya informasi tentang harga kayu dan harga dikuasai oleh tengkulak. Harga kayu jati juga bervariasi hanya berdasarkan perkiraan diameter, tidak ada patokan harga untuk per meter kayunya sehingga harga hanya berdasarkan tawar menawar antara penjual dan pembeli. 5. Pemasaran hasil Pembeli kayu biasanya menggunakan kayunya untuk dibuat dalam bentuk kerajinan mebel. Sejauh ini tidak dilakukan pemasaran kayu log keluar dari desa, namun untuk pemasaran mebel sudah dipasarkan hingga keluar kabupaten, bahkan sampai ke luar jawa seperti Bali. Pengrajin mebel di Desa Dlingo cukup banyak, dalam satu dusun saja hampir setengah dari KK memiliki usaha mebel baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk dipasarkan. Pengelolaan hutan rakyat di Desa Dlingo didukung oleh keberadaan kelompok tani dan penyuluh kehutanan dari Dipertahut. Kelompok tani dan penyuluh berfungsi sebagai wadah bagi para petani pengelola hutan rakyat untuk meningkatkan pengetahuan dan informasi anggota kelompok tani tentang cara mengelola hutan rakyat dengan benar. Selain itu, mereka juga dapat saling belajar dan berbagi pengalaman. Pembangunan hutan rakyat ini, petani tidak mengeluarkan biaya sedikitpun, bahkan petani malah mendapat upah dari proyek pembuatan hutan rakyat GNRHL yaitu sebesar Rp /orang/hari. Tabel 4 menyajikan informasi mengenai biaya pembangunan hutan rakyat Desa Dlingo dengan luasan 325 ha yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui Dipertahut.

6 27 Tabel 4 Biaya pembuatan hutan rakyat No. Jenis pekerjaan Biaya bahan/peralatan Biaya tenaga Total biaya Volume Satuan (rupiah) Biaya (rupiah) Volume Satuan (rupiah) Biaya (rupiah) (rupiah) 1. Persiapan a. pemancangan patok batas/ajir b. pembuatan papan nama c. pembuatan gubuk kerja d. pengadaan bahan, peralatan 2. Pelaksanaan a. pembuatan dan pemasangan ajir b. pembuatan piringan dan lubang tanam c. langsir bibit d. penanaman e. pemupukan 1. anorganik 2. organik 3. Pemeliharaan a. pemeliharaan tanaman b. pemupukan 4. Angkutan bibit, pengamanan dan pemeliharaan bibit 325 ha 7 unit 7 unit 7 unit kg 178,75 ton HOK 350 HOK 468 HOK 2860 HOK 351 HOK 1430 HOK HOK HOK paket Pengawasan/supervisi 7 paket Total

7 28 Tabel 4 biaya pembangunan hutan rakyat di Desa Dlingo dengan luasan 325 ha yaitu sebesar Rp atau Rp /ha. Biaya pengelolaan hutan rakyat terdiri dari dua biaya utama yaitu: biaya pembangunan hutan rakyat dan biaya pemanenan hutan rakyat, akan tetapi petani tidak mengeluarkan biaya untuk pemanenan kayu. Biaya pengelolaan hutan rakyat terdiri dari biaya persiapan, pelaksanaan, pemeliharaan, angkutan bibit, pengamanan dan pemeliharaan bibit dan pengawasan/supervisi. Biaya ini tidak mempertimbangkan biaya pembelian bibit karena tidak ada anggaran biaya dari Dipertahut untuk pembelian bibit. Walaupun tanaman dibiarkan tumbuh begitu saja tanpa ada perlakuan pemeliharaan, namun petani masih menggunakan waktunya untuk mengunjungi tegakan jati miliknya. Tabel 5 merupakan perkiraan rata-rata penggunaan waktu dan biaya yang telah dikorbankan petani untuk pemeliharaan tanaman. Tabel 5 Penggunaan waktu dan biaya petani untuk pemeliharaan tanaman Tahun Rata-rata (jam/ minggu) Rata-rata (jam/tahun) Biaya per jam (rupiah) Biaya per tahun (rupiah) total Petani melakukan pemeliharaan dengan mengunjungi tegakannya setiap seminggu sekali. Namun pada tahun pertama, waktu yang dihabiskan petani dalam seminggu sekitar 3 jam, tahun kedua sekitar 2 jam dan tahun selanjutnya

8 29 hanya 1 jam. Biaya per jam yaitu perkiraan biaya sebesar Upah minimum Regional (UMR) pada tahun tersebut. Perkiraan biaya pemeliharaan yaitu sebesar Rp /petani atau sebesar Rp /petani/tahun. Jumlah petani di Desa Dlingo ini ada 729 orang dan luasan total hutan rakyat sebesar 325 ha, maka ratarata kepemilikan lahan seluas 0,45 ha/petani sehingga biaya pemeliharaan sebesar Rp /ha atau Rp /ha/tahun. 5.3 Deskripsi Tegakan Hutan Rakyat Pendugaan potensi tegakan hutan rakyat data primer yang diperlukan yaitu data diameter dan tinggi pohon. Data diameter dan tinggi dilakukan dengan sampling 35 responden lahan hutan rakyat yang ada di Dusun Pakis II, Pokoh II dan Dlingo II. Pemilihan lokasi berdasarkan lokasi penanaman GNRHL yang dilakukan dusun tersebut. Pengukuran dilakukan secara sampling karena pertimbangan keterbatasan tenaga, kondisi tegakan dominan seumur dan luasan hutan rakyat hasil GNRHL mencapai 325 ha. Pengukuran diameter dan tinggi total (TT) dilakukan pada semua pohon yang ada di dalam plot yang berukuran 0,1 ha yang akan mewakili setiap lahan responden. Tabel 6 menjelaskan kondisi tegakan hutan rakyat berdasarkan hasil pengukuran sampling. Tabel 6 Kondisi tegakan hutan rakyat Kelas diameter (cm) Jumlah pohon Kerapatan (N/ha) Persentase (%) Rata-rata TT (m) D < ,92 5 D < ,14 10 D < ,29 15 D < ,14 20 D < ,82 D ,01 Total Jumlah pohon hasil sampling sebanyak 35 lahan responden atau 3,5 ha ada pohon. Dari hasil perhitungan, diperoleh diameter rata-rata dan tinggi ratarata hutan rakyat di Desa Dlingo hasil dari sampling berturut-turut adalah 9,45 cm dan 8,87 m. Kondisi tegakan hutan rakyat didominasi oleh tegakan yang berdiameter 5 D < 10 dengan persentase sebesar 41%.

9 30 Kondisi tegakan walaupun memiliki umur tanam yang sama, namun memiliki diameter yang berbeda-beda. Kondisi tegakan yang berada pada lokasi tepi jalan atau tepi lahan cenderung memiliki pohon-pohon yang berdiameter besar. Hal itu disebabkan pohon-pohon yang berada di tepi mendapatkan sinar matahari yang cukup dan ada sebagian dari lahan mendapatkan perlakuan perawatan dari pemiliknya. Namun, dari 35 responden hanya 2 responden saja yang melakukan perawatan pada lahan hutan rakyatnya. Perawatan itu antara lain pemberian pupuk organik dari kotoran sapi dan pembersihan gulma. Hasil dari sampling menunjukkan pertumbuhan pohon-pohon pada tegakan hutan rakyat hasil GNRHL Desa Dlingo memiliki pertumbuhan yang normal. Menurut penelitian Ginoga et al. (2005), pertumbuhan jati di KPH Saradan Jawa Timur pada umur 9 tahun berdiameter 9,73 cm sehingga tidak berbeda jauh dengan hasil dari penelitian ini sebesar 9,45 cm. 5.4 Potensi Volume Tegakan Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus volume pohon jati dengan faktor angka bentuk jati 0,759 (Novendra 2008), diperoleh hasil volume terbesar yaitu pada diameter tegakan antara 10 cm sampai 15 cm dengan nilai terbesar 91,29 m 3. Tabel 7 menunjukkan potensi volume tegakan hutan rakyat. Tabel 7 Potensi volume tegakan berdasarkan kelas diameter Kelas diameter (cm) Jumlah pohon Kerapatan (N/ha) Volume (m 3 ) Volume (m 3 /ha) D < ,14 0,61 5 D < ,28 11,22 10 D < ,29 26,08 15 D < ,12 19,18 20 D < ,33 10,67 D ,45 4,13 Total ,61 71,89 Volume tegakan kayu jati di desa Dlingo saat ini yaitu sebesar 71,89 m 3 /ha. Pendapatan yang diperoleh pada umur jati saat ini (9 tahun) dengan mengalikan volume saat ini dengan harga kayu jati apabila harga di pasaran saat ini Rp /m 3 adalah Rp /ha. Potensi volume akhir daur diperkirakan sebesar m 3 /ha. Nilai ini diperoleh dengan menghitung MAI (Mean Annual Increment) yaitu dengan cara membagi diameter saat ini terhadap umur tanam.

10 31 Selanjutnya riap tahunan diameter pohon dikalikan dengan daur yaitu 25 tahun sehingga diperoleh diameter pohon pada umur 25 tahun. Tinggi pohon pada akhir daur dihitung dengan cara yang sama dengan perhitungan riap diameter. Pendapatan yang diperoleh jika kayu dijual pada akhir daur dengan asumsi daur tebang 25 tahun sebesar Rp /ha dengan asumsi harga per m 3 pohon jati adalah tetap. Keuntungan yang diperoleh yaitu dengan mengurangi pendapatan dari penjualan tegakan jati di akhir daur dengan biaya pembangunan tegakan hutan rakyat dan biaya pemeliharaan. Biaya pembangunan hutan rakyat adalah Rp atau Rp /ha dan biaya pemeliharaan Rp /ha, sehingga keuntungan yang diperoleh dari hutan rakyat sampai akhir daur panen sebesar Rp /ha. Perkiraan potensi volume umur 25 tahun dengan perhitungan tersebut menghasilkan nilai yang sangat besar, sementara tegakan yang tidak dilakukan penjarangan seharusnya memiliki pertumbuhan riap yang kecil karena persaingan antar pohon yang sangat ketat. Sehingga perhitungan potensi volume akhir daur dilakukan dengan menggunakan tabel tegakan jati bonita II dan diperoleh potensi volume sebesar 209,32 m 3 /ha. Pendapatan jika pada umur 25 tahun dilakukan penebangan yaitu sebesar Rp /ha. Keuntungan setelah pendapatan dikurangi biaya pembangunan hutan rakyat sebesar Rp /ha dan pemeliharaan Rp /ha yaitu sebesar Rp /ha. 5.5 Potensi Karbon Metode pendugaan karbon tegakan dilakukan dengan empat persamaan. Berdasarkan hasil yang diperoleh, terdapat perbedaan hasil dari masing-masing persamaan yang digunakan. Masing-masing persamaan dapat dibandingkan dari hasil pendugaan karbon dan dapat diketahui faktor-faktor penyebab perbedaan hasil pendugaan karbon dari persamaan-persamaan tersebut sehingga dapat ditentukan persamaan terbaik untuk pendugaan karbon hutan rakyat jati di Desa Dlingo ini. Metode pertama yaitu persamaan umum dengan mensubstitusikan diameter dan tinggi total tegakan ke dalam rumus volume pohon dan memperhitungan faktor angka bentuk pohon jati sebesar 0,759 (Novendra 2008)

11 32 sehingga diperoleh nilai volume tegakan diperoleh sebesar ,25 m 3 atau 71,89 m 3 /ha. Pendugaan biomassa pohon diperoleh dengan cara mengalikan volume dengan berat jenis kayu jati yaitu sebesar 0,67 (APHI dan Cerindonesia 2011) sehingga diperoleh kandungan biomassa sebesar ,05 ton atau 48,17 ton/ha dan menurut SNI 7724:2011 sebesar 0,47 dari biomassa merupakan kandungan karbon sebesar 7.357,189 tonc atau 22,64 tonc/ha. Pada persamaan pertama pengukuran tinggi di lapangan cenderung mengakibatkan penyimpangan yang tinggi karena kesalahan dari pengukur dalam mengukur tinggi dengan hagahypsometer. Metode kedua merupakan persamaan umum yang sering digunakan adalah rumus Ketterings et al. (2001). Persamaan ini dilakukan dengan cara mensubstitusikan diameter total tegakan dan memperhitungkan berat jenis kayu jati yaitu sebesar 0,67 (APHI dan Cerindonesia 2011) sehingga diperoleh nilai biomassa sebesar ,211 ton atau 39,59 ton/ha. Menurut SNI 7724:2011, sebesar 0,47 dari biomassa merupakan kandungan karbon yaitu sebesar 6.048,53 tonc atau 18,61 tonc/ha. Persamaan pertama dan persamaan kedua merupakan persamaan umum yang mudah diaplikasikan, bisa meminimalkan kesalahan pengukuran, serta cukup sederhana. Kelemahannya adalah kurang bisa mengakomodasi jumlah karbon selain biomassa atas pohon seperti jumlah karbon pada akar, daun dan tanah (Ginoga et al. 2005). Selain itu, kedua persamaan ini menggunakan pendekatan berat jenis yang memungkinkan peluang penyimpangan pada pemilihan berat jenis yang digunakan. Berat jenis jati berkisar antara 0,62 sampai dengan 0,75 (Purnamasari 2008), sedangkan berat jenis yang digunakan yaitu berat jenis rata-rata sebesar 0,67. Penetapan persamaan alometrik yang akan dipakai dalam pendugaan biomassa merupakan tahapan penting dalam proses pendugaan biomassa. Setiap persamaan alometrik dikembangkan berdasarkan kondisi tegakan dan variasi jenis tertentu yang berbeda satu dengan yang lain. Pemakaian suatu persamaan yang dikembangkan belum tentu cocok apabila diterapkan di daerah lain (Sutaryo 2008).

12 33 Metode ketiga dan keempat merupakan metode persamaan biomassa diperoleh dari hasil penelitian destruktif pohon jati di dua tempat, yaitu: Desa Dengok, Kecamatan Playen Gunungkidul dan Perum Perhutani KPH Cepu, Jawa Tengah. Persamaan alometrik C= 0,1986 D 2,13 menggunakan sampel 15 pohon jati dengan kelas diameter 5-14 cm, cm, dan 25 cm keatas, sedangkan persamaan C= 0,2759 D 2,2227 x 0,47 merupakan persamaan hasil destruktif pohon jati di KPH Cepu, Jawa tengah menggunakan 24 pohon jati dengan tingkatan umur 2, 11, 22, 41, 45, 53, 70, dan 88 tahun. Kedua persamaan ini dipilih karena pertimbangan peluang kesalahan yang tinggi terhadap tinggi tegakan yang diambil di lapangan. Persamaan ketiga dipilih dengan alasan lokasi yang berdekatan dengan lokasi penelitian untuk Desa Dengok Kecamatan Playen Gunungkidul sehingga memungkinkan untuk kemiripan kondisi tanah, cuaca, ketinggian lokasi karena berada di lereng pegunungan seperti di hutan rakyat Desa Dlingo. Persamaan alometrik hasil destruktif di KPH Cepu, Jawa Tengah dipilih untuk perbandingan terhadap perlakuan silvikultur antara tegakan jati di hutan rakyat yang kurang mendapat perlakuan silvikultur dengan tegakan jati di KPH Cepu yang mendapat perlakuan silvikultur secara intensif. Tabel 8 menyajikan hasil dari pendugaan karbon dari keempat persamaan tersebut. Tabel 8 Persamaan pendugaan kandungan karbon No. Metode persamaan Lokasi persamaan diperoleh Potensi karbon (ton/ha) Nilai ragam Sumber penyimpangan 1 C= ρ x V x 0,47 Persamaan umum 22,64 0,864 Pengukuran tinggi dan faktor berat jenis 2 C= 0,052 ρ D 2,62 x 0,47 Ketterings et al. (2001) 3 C= 0,1986 D 2,13 (Saleh 2008) 4 C= 0,2759 D 2,2227 x 0,47 (Hendri 2001) diacu dalam Tiryana et al. (2011) Muara Bungo, Bungo Tebu, Jambi Desa Dengok, Kecamatan Playen Gunungkidul Perum Perhutani KPH Cepu, Jawa Tengah 18,61 0,810 Faktor berat jenis 29,11 0,895 Perbedaan lokasi 24, 50 0,879 Perbedaan lokasi Persamaan alometrik pendugaan karbon di Desa Dengok, Kecamatan Playen Gunungkidul sebesar 9.460,75 tonc atau 29,11 tonc/ha dianggap yang terbaik karena berdasarkan pertimbangan kemiripan kondisi geografis karena lokasi

13 34 berdekatan dan sama-sama berada pada daerah pegunungan. Lokasi Kecamatan Dlingo sebelah timur berbatasan langsung dengan kecamatan Playen. Menurut AHPI dan Cerindonesia (2011), metode alometrik digunakan tergantung pada jenis atau curah hujan, untuk itu digunakan rumus sesuai dengan jenis atau curah hujan pada lokasi. Lokasi Desa Dlingo memiliki curah hujan mm/tahun, sedangkan Desa Dengok Kecamatan Playen Gunungkidul mm/tahun. Kedua tempat ini sama-sama berlokasi di daerah pegunungan karst yang berdekatan dengan ketinggian untuk Desa Dlingo yaitu mdpl sedangkan untuk Desa Dengok yaitu mdpl. Dari hubungan diameter dan karbon, persamaan ini diperoleh nilai ragam terbesar dibandingkan persamaan lainnya sebesar 0,895. Dari pertimbangan ini persamaan alometrik ketiga dipilih sebagai yang terbaik. Hasil perhitungan dengan persamaan alometrik keempat yaitu alometrik dari pendugaan destruktif di perum perhutani, KPH Cepu, Jawa Tengah menunjukkan nilai yang lebih kecil daripada persamaan ketiga yaitu sebesar 7.962,5 ton atau 24,50 ton/ha. Seharusnya nilai dengan persamaan keempat lebih besar daripada persamaan ketiga, karena perlakuan silvikultur tanaman di Perhutani lebih intensif dibandingkan dengan perlakuan tanaman di hutan rakyat yang kurang bahkan tanaman dibiarkan tumbuh tanpa ada pemeliharaan lanjutan hingga akhir daur. Menurut Malsheimer et al. (2009) diacu dalam Butarbutar (2009) hutan yang dikelola akan menyerap karbon lebih banyak daripada hutan yang tidak dikelola Menurut Pramono et al. (2010) untuk mendapatkan tegakan jati yang menghasilkan kayu berkualitas tinggi, dipilih lahan yang memiliki kandungan kapur dan lempung-liat cukup tinggi, memiliki perbedaan musim kemarau dan musim penghujan yang nyata, berada pada ketinggian kurang dari 700 m dpl. Kondisi tanah di Desa Dlingo memiliki kandungan kapur yang tinggi yang dapat memacu pertumbuhan pada jati walaupun tidak dilakukan pemeliharaan. Tabel 9 menyajikan informasi mengenai hasil pendugaan karbon dengan persamaan terbaik yaitu persamaan alometrik pendugaan karbon di Desa Dengok, Kecamatan Playen Gunungkidul dengan satu variabel yaitu diameter.

14 35 Tabel 9 Potensi stok karbon tegakan hutan rakyat Kelas diameter (cm) Kerapatan (N/ha) Potensi karbon per ha (tonc/ha) Serapan karbondioksida per ha (tonco 2 /ha) D < ,51 1,87 5 D < ,66 20,77 10 D < ,51 38,57 15 D < ,98 25,61 20 D < ,76 13,79 D ,78 6,53 Total ,11 106,83 Berdasarkan hasil pendugaan karbon dengan persamaan alometrik hasil destruktif 15 pohon jati di hutan rakyat Desa Dengok, Kecamatan Playen, Gunungkidul diperoleh potensi karbon terbesar yaitu pada kelas diameter antara 5 cm sampai dengan 10 cm sebesar 10,51 tonc/ha. Hal itu dikarenakan kelas diameter antara 5 cm hingga 10 cm memiliki kerapatan terbesar dibandingkan dengan kelas diameter lainnya. Total potensi karbon hutan rakyat dalam satu desa yang memiliki luasan 325 ha sebesar 9.460,75 tonc atau 29,11 tonc/ha. Estimasi serapan karbondioksida (CO 2 ) dilakukan dengan persamaan yaitu: CO 2 = 3,67 C (Rochmayanto et al. 2010). Potensi serapan karbondioksida diperoleh sebesar ,95 tonco 2 atau 106,83 tonco 2 /ha. Tabel 10 merupakan perkiraan potensi karbon, serapan karbondioksida dan jumlah sertifikat hutan rakyat Desa Dlingo jika di skemakan ke perdagangan karbon. Tabel 10 Perkiraan potensi karbon, serapan karbondioksida dan jumlah sertifikat Tahun proyek TonC/tahun TonCO 2 /tahun Jumlah sertifikat , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , Hasil serapan karbon yang diperoleh hutan rakyat Desa Dlingo tergolong kecil. Hal itu disebabkan tanaman yang seumur cenderung menghasilkan serapan karbon yang lebih kecil dibandingkan dengan tanaman dengan kelas umur yang

15 36 bervariasi. Hutan dengan semua kelas umur dengan berbagai tipe mempunyai kapasitas penyerapan yang lebih besar dan penyimpanan karbon dalam jumlah besar juga, tetapi hutan campuran semua umur umumnya mempunyai kapasitas penyerapan karbon yang lebih besar dan penyimpanan juga karena leaf area (luas permukaan daun) yang lebih besar (Butarbutar 2009). 5.6 Biaya Kegiatan Perdagangan Karbon Pendanaan untuk perdagangan karbon lewat pasar terbuka terdiri dari dua pasar, yaitu pasar wajib dan pasar sukarela. Tujuan dari perdagangan karbon ini diutamakan untuk menghasilkan sertifikat penurunan emisi. Sertifikat penurunan emisi yang dihasilkan dari pasar wajib CDM yaitu CER (certified emission reduction) sedangkan melalui pasar sukarela yaitu VER (verified emission Reduction). VER tidak dapat digunakan oleh negara pihak pembeli sebagai bagian dari pencapaian target penurunan emisi yang ditetapkan Protokol Kyoto, sedangkan CER dapat digunakan (APHI dan Cerindonesia 2011) Pasar Wajib (Compliant Market) Pasar karbon wajib contohnya yaitu clean development mechanism (CDM) atau mekanisme pembangunan bersih (MPB) yang periode komitmen dari tahun 2008 dan akan berakhir di tahun 2012 ini. Selain itu juga ada mekanisme penurunan emisi baru yaitu REDD (reducing emission deforestation and degradation). REDD belum ada mekanisme compliant yang jelas mengenai perdagangan dan pendanaannya karena baru akan dibahas setelah periode komitmen CDM berakhir. Namun, sekarang ini sudah banyak proyek percontohan REDD yang ada di Indonesia dan selama ini proyek yang berlangsung lebih kepada skema voluntary yang pihak investor atau pembeli yang berminat akan mendanai pelaksanaan demonstration activities REDD (APHI dan Cerindonesia 2011). Menurut Ginoga et al. (2011), biaya transaksi dapat diartikan sebagai seluruh ongkos yang timbul karena pertukaran (bisnis) dengan pihak lain.biaya transaksi meliputi biaya-biaya yang dikeluarkan baik sebelum proyek dimulai, maupun setelah proyek berjalan. Jika penelitian ini diskemakan proyek perdagangan karbon MPB, maka dapat diestimasikan besarnya biaya transaksi

16 37 yaitu sebesar Rp 3.308, 49 juta atau Rp 10,18 juta/ha. Biaya ini belum ditambah dengan biaya pembangunan hutan rakyat sebesar Rp /ha dan pemeliharaan Rp /ha sehingga total biaya apabila hutan rakyat ini mengikuti skema CDM sebesar Rp /ha. Perkiraan biaya transaksi apabila penelitian ini diskemakan pada perdagangan karbon MPB dapat dilihat pada Tabel 11 dan Tabel 12.

17 38 Tabel 11 Komponen dan besarnya biaya persiapan (mendapatkan Sertifikat penurunan emisi) skema CDM No. Kegiatan Pelaksanaan Waktu Biaya ( juta rupiah) Keterangan Cianjur (17,5 ha) NTB (150 ha) Penelitian (325 ha) biaya 1 Surat kelayakan lahan untuk CDM Bupati/camat 1 hari-6 bulan 0 2,5 5,4 tetap 2 Penyusunan dokumen Rancangan Pemilik proyek 1 minggu-1 14,0 35,0 180,0 tetap proyek (PDD) bulan 3 Surat keterangan Menhut Menhut Maks. 3 minggu 0 3,0 6,5 tetap 4 Penyerahan PDD kepada komnas CDM Pemilik proyek melalui 0,3 0,02 0,3 tetap pos 5 Persetujuan oleh komnas CDM Komnas CDM, 0 2,0 4,33 tetap sekretariat, tim teknis 6 Baseline-additonality Pemilik proyek 0 30,0 65,0 tetap 7 Monitoring dan evaluasi Tim independen 24,4 128,0 277,33 tetap 8 Sertifikasi, termasuk verifikasi dan Lembaga akreditasi 6 bulan 400,0 400,0 400,0 tetap validasi nasional 9 Kerjasama dengan mahasiswa 0 20,4 44,2 variabel 10 Biaya pengurusan amdal Akreditor berdasarkan 6 bulan-1 tahun 7,5 200,0 433,33 tetap keputusan gubernur Total 446,2 820, ,39

18 39 Tabel 12 Komponen dan besarnya biaya pelaksanaan kegiatan CDM No. Tahap Kegiatan Institusi Biaya ( juta rupiah) Keterangan Cianjur (17,5 ha) NTB (150 ha) Penelitian (325 ha) biaya 1 Persiapan Desain pelaksanaan proyek Dirjen rehabilitasi lahan dan hutan 4,28 15,0 32,50 tetap Pelatihan teknik petani HR Dinas kehutanan 24, ,45 tetap 2 Manajemen Infrastruktur dan peralatan Pelaksana 14,14 344,1 745,55 variabel proyek 3 Administrasi dan konsultasi ke Pelaksana 20,10 200,4 434,20 tetap pusat 4 Monitoring Inventarisasi serapan karbon Pelaksana 0 174,5 378,10 variabel dan pengawasan area 5 Evaluasi Koordinasi, monitoring dan Dinas kehutanan/universitas 0 128,0 277,30 variabel evaluasi Total 62,97 862, ,10

19 40 Menurut Ginoga (2007) biaya dalam skema CDM terdiri dari biaya persiapan dan biaya pelaksanaan CDM. Biaya persiapan terdiri dari sepuluh kegiatan yaitu surat kelayakan lahan untuk CDM, penyusunan dokumen rancangan proyek (PDD), surat keterangan menhut, penyerahan PDD kepada komnas CDM, baseline-additionality, monitoring dan evaluasi, sertifikasi termasuk verifikasi dan validasi, kerjasama dengan mahasiswa dan biaya pengurusan amdal. Adapun biaya pelaksanaan kegiatan CDM terdiri dari biaya persiapan, manajemen proyek, monitoring dan evaluasi. Perkiraan biaya ini dilakukan dengan membandingkan luasan dengan biaya menurut penelitian Ginoga et al. (2008), sedangkan untuk biaya penyusunan dokumen rancangan proyek mengacu pada biaya CDM skala kecil menurut APHI dan Cerindonesia (2011) sebesar USD atau Rp 180 juta Pasar Sukarela (Voluntary Market) Biaya transaksi proyek Plan Vivo merupakan biaya yang dikeluarkan dari tahapan konsep, desain proyek, registrasi dan hingga biaya setelah proyek aktif. Pada penelitian ini, perkiraan biaya untuk biaya upah dan registrasi mengacu pada perkiraan biaya yang ada di website Plan Vivo. Biaya tersebut merupakan biaya resmi yang dikeluarkan pengembang proyek untuk dibayarkan ke Plan Vivo Foundation, sedangkan biaya lainnya berdasarkan perkiraan pengeluaran dengan acuan proyek MPB sebelumnya. Perkiraan biaya registrasi dan validasi proyek Plan Vivo disajikan pada Tabel 13. Perkiraan biaya transaksi proyek Plan Vivo hingga proyek telah aktif disajikan pada Tabel 14.

20 41 Tabel 13 Biaya registrasi dan validasi proyek Plan Vivo Proses Deskripsi Biaya (juta rupiah) Review Project Idea Note (PIN) Review kegiatan dilakukan oleh Plan Vivo 6,75 tetap Foundation Validasi: Review Project Design Document Review kegiatan dilakukan oleh Plan Vivo 4,5 tetap Foundation Kunjungan lapangan Kunjungan ke lokasi proyek oleh Expert Reviewer untuk menilai kapasitas dari koordinator proyek dan mengecek implementasi dari sistem. Review spesifikasi teknis Review hasil validasi dan registrasi proyek Review kegiatan dilakukan oleh Plan Vivo Foundation dan Technical Advisory Panel Review dan finalisasi dari registrasi proyek oleh Plan Vivo Foundation Total 91,35 Keterangan biaya 72,0 estimasi berkisar atara USD, tergantung tarif dari Expert Reviewer. Biasanya untuk luasan <100 ha menggunakan expert reviewer. 3,6 tetap 200/ spec, asumsi untuk 2 tech spec 4,5 tetap

21 42 Tabel 14 Perkiraan biaya transaksi proyek Plan Vivo Tahapan Proses Pelaksana Biaya (juta rupiah) Keterangan biaya Tahapan konsep Project Idea note Koordinator proyek 32,50 tetap Evaluasi pin dan registrasi Plan Vivo Foundation 6,75 tetap Desain proyek spesifikasi teknis baseline +additionality AMDAL monitoring project desain document (PDD) Koordinator proyek dan mitra (lembaga penelitian, dukungan teknis eksternal) Koordinator proyek 65,00 433,33 150,00 67,50 tetap tetap Registrasi Kunjungan lapangan Kunjungan ke lokasi proyek oleh Expert Reviewer 72,00 variabel Persetujuan spesifikasi teknis Persetujuan PDD PlanVivo Foundation dan Technical Advisory Panel PlanVivo Foundation 3,60 4,50 tetap tetap Persetujuan dari Host Country Koordinator proyek 4,33 tetap 44,20 variabel Kerjasama dengan konsultan eksternal dan institusi-institusi lokal/riset Survei biomass Studi baseline Workshop dan training produsen Survei keanekaragaman hayati Validasi Koordinator proyek dan mitra (lembaga penelitian, dukungan teknis eksternal) Plan Vivo Foundation dan expert viewer yang dipilih Plan Vivo Foundation Plan Vivo Foundation Laporan validasi dan registrasi 4,50 tetap Proyek aktif Laporan tahunan Koordinator proyek 4,50 tetap Pendaftaran sertifikat Koordinator proyek 663,7356 variabel Penerbitan sertifikat Plan Vivo Foundation 110,6226 variabel Verifikasi pihak ketiga Third party verifier yang disetujui 66,70 tetap Total 1.737,3682 3,60 tetap

22 43 Perkiraan biaya transaksi ini disesuaikan dengan urutan tahapan proyek Plan Vivo dari awal tahapan konsep hingga proyek telah aktif. Perkiraan biaya untuk evaluasi PIN dan registrasi, kunjungan lapangan, persetujuan spesifikasi teknis, persetujuan PDD, dan laporan validasi serta registrasi diperoleh dari biaya menurut Plan Vivo yang telah tercantum di website resmi Plan Vivo. Biaya-biaya tersebut merupakan biaya yang telah tercantum pada Tabel 12 dan dikategorikan dalam biaya registrasi dan validasi proyek Plan Vivo. Keseluruhan biaya tersebut sebesar USD atau Rp Perkiraan biaya dari website Plan Vivo hanya mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan untuk dibayarkan ke Plan Vivo Foundation saja dan tidak mempertimbangkan biaya lain yang dikeluarkan diluar biaya untuk Plan Vivo Foundation. Perkiraan biaya untuk baseline dan additionality, amdal, kerjasama dengan konsultan eksternal dan institusi-institusi lokal/riset diperoleh biaya dari acuan biaya skema CDM yang berada pada Tabel10 dan Tabel 11. Biaya project desain document (PDD) mengacu pada biaya skema perdagangan karbon sukarela Voluntary Gold Standard (APHI dan Cerindonesia 2011) sebesar USD atau Rp 67,5 juta, sedangkan biaya laporan tahunan besarnya diperkirakan sama dengan laporan validasi dan registrasi. Skema Plan Vivo menurut Antoko (2011), biaya transaksi meliputi biaya registrasi dan validasi (dikeluarkan sekali untuk satu proyek karbon), biaya monitoring (dikeluarkan setiap tahun selama jangka waktu proyek karbon dan verifikasi (dikeluarkan setiap lima tahun selama jangka waktu proyek karbon). Biaya transaksi menurut Antoko (2011) ini hanya biaya yang dikeluarkan pengembang proyek untuk dibayarkan ke Plan Vivo Foundation. Biaya tersebut tidak mempertimbangkan biaya lain diluar pembayaran resmi ke Plan Vivo Foundation seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Biaya monitoring mengacu pada penelitian Ghofir (2011) yaitu sebesar Rp sehingga dalam satu periode komitmen biaya sebesar Rp Biaya verifikasi diasumsikan sama seperti biaya verifikasi skema perdagangan karbon sukarela voluntary gold standard yaitu USD atau Rp (APHI dan Cerindonesia 2011). Verifikasi dilakukan setiap jangka waktu lima tahun sehingga pengeluaran untuk verifikasi sebesar Rp

23 44 Biaya untuk upah penerbitan dan pendaftaran sertifikat berbeda-beda setiap tahunnya bergantung dari jumlah sertifikat. Upah sertifikat diperoleh dengan mengalikan jumlah sertifikat dengan upah per sertifikat yaitu sebesar 0,3 USD per sertifikat. Upah pendaftaran diperoleh dengan mengalikan jumlah sertifikat dengan upah per sertifikat yaitu 0,05 USD per sertifikat. Jumlah sertifikat mencerminkan jumlah tonco 2 setiap tahunnya, atau satu sertifikat setara dengan satu tonco 2. Upah penerbitan dan pendaftaran sertifikat berturut-turut sebesar Rp dan Rp Terlihat perbedaan biaya yang sangat besar antara perkiraan biaya yang dikeluarkan oleh Plan Vivo Foundation sebesar Rp 91,35 juta atau Rp 0,281 juta/ha dan perkiraan biaya pada penelitian ini sebesar Rp 1.737,3682 juta atau Rp /ha. Namun perkiraan biaya transaksi ini tidak sepenuhnya sesuai dengan aplikasi di lapangan. Tidak menutup kemungkinan biaya transaksi dari setiap proyek berbeda-beda dan dipengaruhi oleh besar dan luasnya proyek. Namun, Plan Vivo memastikan bahwa biaya transaksi yang dikeluarkan dari proyek tidak akan lebih dari 40% dari total nilai proyek karbon. Komponen biaya operasional hutan rakyat juga berpengaruh terhadap besarnya pengeluaran proyek. Biaya operasional terdiri dari biaya pembangunan hutan, biaya pemeliharaan dan biaya pemanenan hutan rakyat. Dalam pemanenan kayu, petani tidak mengeluarkan biaya pemanenan sehingga pengeluaran hanya dilakukan pada kegiatan pembangunan hutan rakyat yaitu dari proyek GNRHL dan biaya pemeliharaan. Total biaya dalam skema perdagangan karbon yaitu sebesar Rp /ha yang merupakan penjumlahan biaya transaksi perdagangan karbon sebesar Rp /ha ditambah biaya pembangunan hutan rakyat sebesar Rp atau Rp /ha dan biaya pemeliharaan sebesar Rp /ha. 5.7 Pendapatan dari Kegiatan Perdagangan Karbon Sukarela Pendapatan yang diperoleh dari perdagangan karbon sukarela standar Plan Vivo yaitu pendapatan yang diperoleh dari kredit karbon dengan tipe ex-ante credit atau pembayaran di awal proyek dalam bentuk sertifikat Plan Vivo. Untuk menghindari perhitungan ganda terhadap karbon yang diperjualbelikan, maka

24 45 setiap sertifikat yang dikeluarkan oleh Plan Vivo memiliki nomor seri unik yang dapat dilacak kepada setiap proyek dan produsen. Besar kecilnya pendapatan dari kredit karbon tergantung dari besaran atau luasan proyek dan jangka waktu kredit karbon yang disepakati antara peserta proyek dengan Plan Vivo Foundation (Kollmus et al diacu dalam Antoko 2011). Kredit karbon untuk proyek Plan Vivo yang sudah ada bervariasi tergantung dari kontrak penjualan proyek yang telah disepakati. Kredit karbon yang digunakan dalam penelitian ini dengan periode komitmen 15 tahun, sedangkan periode pengkreditan yang digunakan yaitu setiap tahun. Proyek karbon yang diperjualbelikan tidak ada batasan mengenai minimum dan maksimum dari ukuran karbon sehingga tidak ada batasan minimal mengenai luasan dari proyek. Namun, ukuran karbon yang diperdagangkan antara tonco 2 /tahun (Kollmuss et al diacu dalam Antoko 2011). Keseluruhan karbon yang ada dari lahan proyek yang diperoleh dari hasil perhitungan, tidak sepenuhnya dapat dijual. Sesuai Project Idea Note (PIN) Plan Vivo, penyangga risiko (Risk Buffer) yaitu 10%. Akan tetapi, penjualan hanya 70% dari karbon stok ex ante kredit karena akan mempertahankan 20% untuk pengukuran biomassa dari Permanen Sample Plot (PSP) yang akan menunjukan jumlah sebenarnya dari stok karbon yang diperkirakan. Setelah pengukuran biomassa dilakukan dan dapat menunjukan stok karbon yang tepat, kemudian 20% dari kredit yang ditahan tersebut dapat dikeluarkan (Stilma 2012). Skenario harga karbon yang digunakan dibuat skenario dengan harga jual, yaitu:10 USD/tonCO 2, 15 USD/tonCO 2, 20 USD/tonCO 2. Pendapatan dari perdagangan karbon skema perdagangan sukarela standar Plan Vivo dapat dilihat dari Tabel 15.

25 46 Tabel 15 Pendapatan dari kredit karbon selama proyek perdagangan karbon Tahun Pendapatan (rupiah)/ha proyek 10 USD/tonCO 2 15 USD/tonCO 2 20 USD/tonCO Total Tabel 16 menyajikan pendapatan, biaya dan keuntungan dari hutan rakyat yang diskemakan mengikuti perdagangan karbon sukarela standar Plan Vivo. Tabel 16 Pendapatan, biaya dan keuntungan dari perdagangan karbon Karbon (rupiah) 10 USD/tonCO 2 15 USD/tonCO 2 20 USD/tonCO 2 Pendapatan/ha Biaya/ha Keuntungan/ha Tabel 16 menunjukkan bahwa keuntungan mengikuti skema perdagangan karbon dengan harga karbon 10 USD, 15 USD dan 20 USD mengalami keuntungan berturut-turut sebesar Rp /ha; Rp /ha dan Rp /ha dalam 15 tahun atau Rp /ha/tahun; Rp /ha/tahun dan Rp /ha/tahun. Keuntungan ini kecil disebabkan harga penjualan kredit karbon sendiri kecil dan biaya transaksi dalam perdagangan karbon yang mahal. Selain itu, keuntungan ini belum ditambah dengan keuntungan dari kayu yaitu sebesar Rp /ha. Keuntungan karbon dibagi antara pemerintah, masyarakat dan pengembang (koordinator) proyek. Masing masing distribusi tersebut, yaitu: 10% pemerintah, 70% masyarakat dan 20% pengembang (Permenhut No. P.36/Menhut-II/2009).

26 47 Tabel 17 Distribusi keuntungan perdagangan karbon Harga karbon Pendapatan (Rupiah) (tonco 2 ) Pemerintah 10% Petani 70% Pengembang 20% 10 USD USD USD Proyek GNRHL yang berasal dari pemerintah, maka skema dari perdagangan karbon ini sebagai koordinator proyek yaitu pemerintah, sehingga pendapatan pemerintah sebesar 30% berasal dari distribusi untuk pemerintah sendiri sebesar 10% dan distribusi untuk pengembang proyek sebesar 20%. Menurut Permenhut No. P.36/Menhut-II/2009 untuk bagian pemerintah itu sendiri dibagi secara proporsional, yaitu: pemerintah pusat 40%, pemerintah provinsi 20% dan pemerintah kabupaten 40%. Tabel 18 Distribusi pemerintah keuntungan perdagangan karbon Harga karbon Pendapatan pemerintah (Rupiah) (tonco 2 ) Pusat 40% Provinsi 20% Kabupaten 40% 10 USD USD USD Pendapatan ini tidak menutup kemungkinan akan bertambah karena menurut Plan Vivo (2008); Kollmuss et al. (2008) diacu dalam Antoko (2011) untuk menghindari kebocoran karbon (leakage) pada level proyek maka perlu dipastikan bahwa petani (producers) memiliki cukup lahan untuk bertani dan menanam pohon. Selain itu, koordinator proyek juga dapat menambahkan kelompok target atau produsen yaitu petani sehingga dengan penambahan jumlah produsen dan penambahan dengan penanaman akan menambah jumlah ton karbon yang dihasilkan setiap tahunnya. Metode dalam pengukuran karbon juga sangat berpengaruh untuk besar kecilnya serapan karbon, seperti tergantung dari persamaan alometrik yang dipilih. 5.8 Peluang Hutan Rakyat dalam Skema Perdagangan Karbon Sukarela Menurut Permenhut Nomor: P.20/Menhut-II/2012, penyelenggaraan karbon hutan dapat dilaksanakan pada hutan negara dan hutan rakyat. Hutan rakyat berpotensi untuk memperoleh pendapatan dari perdagangan karbon baik secara compliant market maupun voluntary market.

27 48 Compliant market yang ada di Indonesia yaitu CDM dan mekanisme penurunan emisi REDD yang pengaturannya baru akan dibahas setelah periode komitmen CDM berakhir di tahun Dari perkiraan biaya baik CDM maupun REDD, terlihat bahwa kedua skema mandatory ini mengeluarkan biaya sangat besar. Selain itu, kegiatan dan tahapan untuk proyek skema ini sangat ketat dan rumit tidak seperti perdagangan karbon sukarela yang pengaturannya bergantung oleh masing-masing standar. Perdagangan karbon sukarela dikembangkan bukan untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca negara maju yang disepakati dalam protokol kyoto, tetapi merupakan target penurunan emisi yang dibuat oleh organisasi diluar aturan pemerintah secara sukarela. Selain itu, voluntary market memiliki proses validasi dan verifikasi tersendiri dan tidak ada kewajiban untuk mendapatkan approval dari host party atau negara tempat pelaksanaan proyek (APHI dan Cerindonesia 2011). Salah satu standar skema perdagangan karbon sukarela adalah standar Plan Vivo. Plan Vivo merupakan proyek skala kecil di hutan adat, hutan rakyat maupun hutan negara yang masyarakat memiliki hak untuk mengelola dan fokus kepada promosi pengembangan berkelanjutan serta perbaikan terhadap kehidupan masyarakat sekitar dan ekosistemnya. Peserta dari proyek Plan Vivo yaitu produsen dan masyarakat skala kecil di negara berkembang (Plan Vivo 2008). Luasan hutan rakyat yang ada di Indonesia sesuai dengan standar Plan Vivo karena tidak ada ketentuan minimal dari ukuran transaksi karbon. Proyek Plan Vivo yang saat ini telah berjalan untuk lahan yang terkecil yaitu proyek Plan Vivo Emiti Nibwo Buora, Tanzania seluas 130 ha dan Limay Community carbon project, Nicaragua seluas 155 ha, sedangkan lahan hutan rakyat jati dalam penelitian ini yaitu seluas 325 ha. Persyaratan dan ketentuan yang harus diperhatikan dalam perdagangan karbon sukarela skema Plan Vivo antara lain yaitu pelaku proyek, status lahan dan persyaratan proyek. Semakin sesuai lahan dengan standar Plan Vivo maka semakin berpeluang lahan tersebut untuk diterima mengikuti proyek Plan Vivo. Selain itu dengan semakin memenuhinya persyaratan yang ada di standar, maka akan semakin mahal juga nilai jual dari harga karbon di lahan tersebut.

28 49 Pelaku proyek Plan Vivo terdiri dari dua pelaku utama yaitu koordinator proyek dan produsen. Pelaku proyek merupakan organisasi non pemerintah atau lembaga pendanaan independen atau not for profit companies (NFPCs) yang dibangun sengaja untuk proyek Plan Vivo, sedangkan produsen merupakan petani yang menjadi pemilik dan pengelola hutan rakyat (Plan Vivo 2008). Petani di Desa Dlingo telah memiliki kelompok formal berupa kelompok tani sehingga dengan adanya kelompok tani ini strukturnya lebih terorganisir. Status hutan rakyat di Desa Dlingo merupakan lahan milik masyarakat yang dapat dibuktikan dengan adanya sertifikat hak milik yang dapat menjadi jaminan tidak terjadi permasalahan lahan atau sengketa lahan dengan pihak lain. Persyaratan proyek menurut Plan Vivo yaitu dapat berupa aforestasi/reforestasi, agroforestri, restorasi hutan, atau pencegahan degradasi hutan. Hutan rakyat di Desa Dlingo ini dapat dikategorikan sebagai salah satu kegiatan pencegahan dari degradasi hutan. Perdagangan karbon dapat berpeluang untuk menambah pendapatan dari pengusahaan hutan rakyat. Namun, saat ini dengan biaya transaksi yang mahal dan harga karbon yang terlalu kecil belum dapat dijadikan sebagai alternatif untuk memperoleh tambahan pendapatan hutan rakyat. Harga karbon tidak sebanding dengan upaya yang telah dilakukan untuk memelihara hutan rakyat yang membutuhkan jangka waktu yang panjang dan biaya transaksi yang sangat mahal. Hasil skema perdagangan karbon sukarela Plan Vivo ini walaupun menurut Plan Vivo Foundation sendiri besarnya biaya transaksi tidak lebih dari 40%, namun hasil yang didapatkan biaya transaksi sangat besar. Plan Vivo Foundation hanya memperhitungkan biaya resmi yang dikeluarkan untuk dibayarkan ke Plan Vivo Foundation sendiri dan tidak mempertimbangkan biaya lainnya, walaupun dari segi ketentuan dan persyaratan telah terpenuhi, namun prosedur untuk mendapatkan sertifikat VER sangat kompleks dan menyulitkan bagi petani maupun pengembang proyek. Minimnya informasi dan keuntungan yang rendah dari hasil demontration activity yang telah ada, membuat skema tentang perdagangan karbon ini kurang diminati oleh petani maupun pengembang proyek. Minimnya pengetahuan dan informasi dari perdagangan karbon serta dari segi pendidikan yang masih rendah, kapasitas untuk perdagangan karbon di hutan

29 50 rakyat masih kurang. Selain itu, sebagian besar masyarakat bermatapencaharian sebagai petani sehingga waktu yang dibutuhkan untuk mengelola hutan rakyat masih kurang. Hal itu menyebabkan petani lebih memilih mengelola tanaman pertanian yang dapat menghasilkan pendapatan dalam jangka waktu pendek.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di hutan rakyat Desa Dlingo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan

Lebih terperinci

POTENSI SERAPAN KARBON DI HUTAN RAKYAT DESA DLINGO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA WIEKE HERNINGTYAS

POTENSI SERAPAN KARBON DI HUTAN RAKYAT DESA DLINGO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA WIEKE HERNINGTYAS POTENSI SERAPAN KARBON DI HUTAN RAKYAT DESA DLINGO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA WIEKE HERNINGTYAS DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013 POTENSI SERAPAN KARBON DI HUTAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi

BAB I. PENDAHULUAN. Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan fenomena global meningkatnya konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer akibat berbagai aktivitas manusia di permukaan bumi, seperti

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Peran dan fungsi jasa lingkungan ekosistem hutan makin menonjol dalam menopang kehidupan untuk keseluruhan aspek ekologis, ekonomi dan sosial. Meningkatnya perhatian terhadap

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.128, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tata Cara. Perizinan. Karbon. Hutan Lindung. Produksi. Pemanfaatan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.128, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tata Cara. Perizinan. Karbon. Hutan Lindung. Produksi. Pemanfaatan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.128, 2009 DEPARTEMEN KEHUTANAN. Tata Cara. Perizinan. Karbon. Hutan Lindung. Produksi. Pemanfaatan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.36/Menhut-II/2009

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan memiliki banyak fungsi ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, ekologi dan lingkungan yang sangat penting bagi kehidupan manusia baik pada masa kini maupun pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ), dinitrogen oksida (N 2 O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC)

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.50/Menhut-II/2014P.47/MENHUT-II/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.50/Menhut-II/2014P.47/MENHUT-II/2013 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.50/Menhut-II/2014P.47/MENHUT-II/2013 TENTANG PERDAGANGAN SERTIFIKAT PENURUNAN EMISI KARBON HUTAN INDONESIA ATAU INDONESIA CERTIFIED EMISSION REDUCTION

Lebih terperinci

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT 6.1 Kelembagaan Pengurusan Hutan Rakyat Usaha kayu rakyat tidak menjadi mata pencaharian utama karena berbagai alasan antara lain usia panen yang lama, tidak dapat

Lebih terperinci

West Kalimantan Community Carbon Pools

West Kalimantan Community Carbon Pools Progress Kegiatan DA REDD+ Mendukung Target Penurunan Emisi GRK Kehutanan West Kalimantan Community Carbon Pools Fauna & Flora International Indonesia Programme Tujuan: Pengembangan proyek REDD+ pada areal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

BAGIAN KELIMA PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN HUTAN RAKYAT GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BAB I PENDAHULUAN

BAGIAN KELIMA PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN HUTAN RAKYAT GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.03/MENHUT-V/2004 TANGGAL : 22 JULI 2004 BAGIAN KELIMA PEDOMAN PEMBUATAN TANAMAN HUTAN RAKYAT GERAKAN NASIONAL REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 20 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai Studi Kelayakan Hutan Rakyat Dalam Skema Perdagangan Karbon dilaksanakan di Hutan Rakyat Kampung Calobak Desa Tamansari, Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan

BAB I PENDAHULUAN. Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang. jenis tumbuh-tumbuhan berkayu lainnya. Kawasan hutan berperan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Hutan merupakan pusat keragaman berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang manfaat serta fungsinya belum banyak diketahui dan perlu banyak untuk dikaji. Hutan berisi

Lebih terperinci

Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli

Pembangunan Bambu di Kabupaten Bangli BAB V Pembangunan di Kabupaten Bangli Oleh: Dinas Pertanian, Perkebunan dan Perhutanan Kabupaten Bangli. Dewasa ini, permintaan kayu semakin meningkat, sementara kemampuan produksi kayu dari kawasan hutan

Lebih terperinci

PERDAGANGAN SERTIFIKAT PENURUNAN EMISI KARBON HUTAN INDONESIA

PERDAGANGAN SERTIFIKAT PENURUNAN EMISI KARBON HUTAN INDONESIA PERDAGANGAN SERTIFIKAT PENURUNAN EMISI KARBON HUTAN INDONESIA INDONESIA CERTIFIED EMISSION REDUCTION Dasar Hukum PP 6/2007 jo PP3/2008 Pasal 19 huruf b, pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan produksi

Lebih terperinci

Kemitraan untuk REDD+ : Lokakarya Nasional bagi Pemerintah dan Masyarakat Sipil MEMAHAMI KONSEP REDD : ADDITIONALITY, LEAKAGE & PERMANENCE

Kemitraan untuk REDD+ : Lokakarya Nasional bagi Pemerintah dan Masyarakat Sipil MEMAHAMI KONSEP REDD : ADDITIONALITY, LEAKAGE & PERMANENCE Kemitraan untuk REDD+ : Lokakarya Nasional bagi Pemerintah dan Masyarakat Sipil MEMAHAMI KONSEP REDD : ADDITIONALITY, LEAKAGE & PERMANENCE Muhammad Ridwan 17 Maret 2010 Bahan disarikan dari beberapa tulisan

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret tahun 2011, bertempat di Seksi Wilayah Konservasi II Ambulu, Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), Kecamatan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut

BAB I. PENDAHULUAN. menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan kadar CO 2 di atmosfir yang tidak terkendali jumlahnya menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemanasan tersebut disebabkan oleh adanya gas

Lebih terperinci

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia

Kepastian Pembiayaan dalam keberhasilan implementasi REDD+ di Indonesia ISSN : 2085-787X Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL, EKONOMI, KEBIJAKAN DAN PERUBAHAN IKLIM Jl. Gunung Batu No.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Fungsi hutan terkait dengan lingkungan, sosial budaya dan ekonomi. Fungsi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman PENDAHULUAN Latar Belakang Terdegradasinya keadaan hutan menyebabkan usaha kehutanan secara ekonomis kurang menguntungkan dibandingkan usaha komoditi agribisnis lainnya, sehingga memicu kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelestarian lingkungan dekade ini sudah sangat terancam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate change) yang

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Petani Hutan Rakyat 5.1.1. Karakteristik Petani Hutan Rakyat Karakteristik petani hutan rakyat merupakan suatu karakter atau ciri-ciri yang terdapat pada responden.

Lebih terperinci

BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH

BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH 67 BAB 4 EVALUASI KEEFEKTIFAN PROGRAM DALAM MENINGKATKAN PRODUKSI PADI SAWAH Bab ini akan membahas keefektifan Program Aksi Masyarakat Agribisnis Tanaman Pangan (Proksi Mantap) dalam mencapai sasaran-sasaran

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2013.

III. METODE PENELITIAN. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2013. 30 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Pekon Gunung Kemala Krui Kabupaten Lampung Barat. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Juni 2013.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 36/Menhut-II/2009 TENTANG TATA CARA PERIZINAN USAHA PEMANFAATAN PENYERAPAN DAN/ATAU PENYIMPANAN KARBON PADA HUTAN PRODUKSI DAN HUTAN LINDUNG DENGAN

Lebih terperinci

Desa Semoyo merupakan salah satu desa di Kec. Pathuk kab. Gunung Kidul.

Desa Semoyo merupakan salah satu desa di Kec. Pathuk kab. Gunung Kidul. Oleh Mugi Riyanto Kelompok Serikat Petani Pembaharu (SPP) dan Gapoktan Desa Kawasan Konservasi Semoyo. Alamat : Dusun Salak Desa Semoyo, Pathuk Kab. Gunung Kidul Desa Semoyo merupakan salah satu desa di

Lebih terperinci

PEDOMAN PENYUSUNAN DOKUMEN RANCANGAN PROYEK (DRP) DALAM KERANGKA MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH (MPB)

PEDOMAN PENYUSUNAN DOKUMEN RANCANGAN PROYEK (DRP) DALAM KERANGKA MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH (MPB) LAMPIRAN 3 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2004 TANGGAL : 5 Oktober 2004 PEDOMAN PENYUSUNAN DOKUMEN RANCANGAN PROYEK (DRP) DALAM KERANGKA MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH (MPB) Dokumen Rancangan

Lebih terperinci

untuk memenuhi kebutuhan hidup. Petani PENDAHULUAN umumnya lebih memusatkan pada Hutan rakyat merupakan hutan yang pendapatan atau faktor ekonominya

untuk memenuhi kebutuhan hidup. Petani PENDAHULUAN umumnya lebih memusatkan pada Hutan rakyat merupakan hutan yang pendapatan atau faktor ekonominya 1 PENDAHULUAN Hutan rakyat merupakan hutan yang dibangun oleh masyarakat pada lahan milik rakyat. Hutan rakyat tetap penting, karena selain secara ekologi dapat mendukung lingkungan (menahan erosi, mengurangi

Lebih terperinci

SINTESA HASIL PENELITIAN RPI AGROFORESTRI TAHUN

SINTESA HASIL PENELITIAN RPI AGROFORESTRI TAHUN SINTESA HASIL PENELITIAN RPI AGROFORESTRI TAHUN 2012-2014 TUJUAN untuk merumuskan model agroforestry yang dapat diterapkan dengan mempertimbangkan aspek budidaya, lingkungan dan sosial ekonomi SASARAN

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 32 BAB IV KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak dan Luas Wilayah Desa Sumberejo terletak di Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah. Secara astronomis, terletak pada 7 32 8 15

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BELIMBING DEWA

VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BELIMBING DEWA VI ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI BELIMBING DEWA Analisis pendapatan usahatani dilakukan untuk mengetahui gambaran umum mengenai struktur biaya, penerimaan dan pendapatan dari kegiatan usahatani yang dijalankan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

> MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

> MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA > MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.14/Menhut-II/2004 TENTANG TATA CARA AFORESTASI DAN REFORESTASI DALAM KERANGKA MEKANISME PEMBANGUNAN BERSIH MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan hutan merupakan serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon atau biomassa lain menjadi bentuk yang bisa dipindahkan ke lokasi lain sehingga

Lebih terperinci

TEKNIK PENANAMAN, PEMELIHARAAN, DAN EVALUASI TANAMAN

TEKNIK PENANAMAN, PEMELIHARAAN, DAN EVALUASI TANAMAN TEKNIK PENANAMAN, PEMELIHARAAN, DAN EVALUASI TANAMAN Isi Materi Teknik Tk ikpenanaman Teknik Pemeliharaan Tanaman Evaluasi Hasil Penanaman Faktor Keberhasilan Penanaman Kesesuaian Tempat Tumbuh/Jenis Kesesuaian

Lebih terperinci

Oleh : Pusat Sosial Ekonomi Kebijakan Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Oleh : Pusat Sosial Ekonomi Kebijakan Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan KONSERVASI HUTAN TROPIS UNTUK PENGURANGAN EMISI DARI DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN, SERTA PENINGKATAN KARBON STOK DI TAMAN NASIONAL MERU BETIRI, INDONESIA ITTO PROJECT PD 519/08 Rev.1 (F) Jl. Gunung

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 40 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di hutan alam produksi lestari dan hutan alam produksi tidak lestari di wilayah Kalimantan. Pendekatan yang digunakan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Tegakan Sebelum Pemanenan Kegiatan inventarisasi tegakan sebelum penebangan (ITSP) dilakukan untuk mengetahui potensi tegakan berdiameter 20 cm dan pohon layak tebang.

Lebih terperinci

VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI

VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI VI. ANALISIS USAHATANI DAN EFEKTIVITAS KELEMBAGAAN KELOMPOK TANI 6.1. Proses Budidaya Ganyong Ganyong ini merupakan tanaman berimpang yang biasa ditanam oleh petani dalam skala terbatas. Umbinya merupakan

Lebih terperinci

9/21/2012 PENDAHULUAN STATE OF THE ART GAMBUT DI INDONESIA EKOSISTEM HUTAN GAMBUT KEANEKARAGAMAN HAYATI TINGGI SUMBER PLASMA NUTFAH TINGGI

9/21/2012 PENDAHULUAN STATE OF THE ART GAMBUT DI INDONESIA EKOSISTEM HUTAN GAMBUT KEANEKARAGAMAN HAYATI TINGGI SUMBER PLASMA NUTFAH TINGGI 9/1/1 PEMULIHAN ALAMI HUTAN GAMBUT PASKA KEBAKARAN: OPTIMISME DALAM KONSERVASI CADANGAN KARBON PENDAHULUAN EKOSISTEM HUTAN GAMBUT OLEH: I WAYAN SUSI DHARMAWAN Disampaikan pada acara Diskusi Ilmiah lingkup

Lebih terperinci

Skema Karbon Nusantara serta Kesiapan Lembaga Verifikasi dan Validasi Pendukung

Skema Karbon Nusantara serta Kesiapan Lembaga Verifikasi dan Validasi Pendukung Skema Karbon Nusantara serta Kesiapan Lembaga Verifikasi dan Validasi Pendukung Dicky Edwin Hindarto Koordinator Divisi Mekanisme Perdagangan Karbon Sosialisasi Skema Penilaian Kesesuaian Greenhouse Gases

Lebih terperinci

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN 6.1. Analisis Budidaya Kedelai Edamame Budidaya kedelai edamame dilakukan oleh para petani mitra PT Saung Mirwan di lahan persawahan.

Lebih terperinci

POTENSI PENGEMBANGAN KEDELAI DI KAWASAN HUTAN

POTENSI PENGEMBANGAN KEDELAI DI KAWASAN HUTAN POTENSI PENGEMBANGAN KEDELAI DI KAWASAN HUTAN Suwarno Asisten Direktur Perum Perhutani Unit 2 PENDAHULUAN Perusahaan Umum (Perum) Perhutani Unit 2 berdasar Peraturan Pemerintah No. 72 tahun 2010 mendapat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Biomassa Biomassa merupakan bahan organik dalam vegetasi yang masih hidup maupun yang sudah mati, misalnya pada pohon (daun, ranting, cabang, dan batang utama) dan biomassa

Lebih terperinci

kepemilikan lahan. Status lahan tidak jelas yang ditunjukkan oleh tidak adanya dokumen

kepemilikan lahan. Status lahan tidak jelas yang ditunjukkan oleh tidak adanya dokumen Lampiran 1 Verifikasi Kelayakan Hutan Rakyat Kampung Calobak Berdasarkan Skema II PHBML-LEI Jalur C NO. INDIKATOR FAKTA LAPANGAN NILAI (Skala Intensitas) KELESTARIAN FUNGSI PRODUKSI 1. Kelestarian Sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah

I. PENDAHULUAN. menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) sejak pertengahan abad ke 19 telah menyebabkan perubahan yang signifikan dalam iklim global. GRK adalah lapisan gas yang berperan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN Noviana Khususiyah, Subekti Rahayu, dan S. Suyanto World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan merupakan unsur terpenting bagi semua makhluk hidup di bumi, karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hutan juga

Lebih terperinci

MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA

MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA PKMM-1-6-2 MODEL REKLAMASI LAHAN KRITIS PADA AREA BEKAS PENGGALIAN BATU BATA Rahmat Hidayat, M Indriastuti, F Syafrina, SD Arismawati, Babo Sembodo Jurusan Pengelolaan Hutan dan Konservasi Sumberdaya Hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hutan. Indonesia menempati urutan ketiga negara dengan hutan terluas di dunia

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hutan. Indonesia menempati urutan ketiga negara dengan hutan terluas di dunia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di Indonesia, hutan merupakan vegetasi alami utama dan salah satu sumber daya alam yang sangat penting. Menurut UU No. 5 tahun 1967 hutan didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Volume Pohon pada Jarak Tanam 3 m x 3 m. Bardasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, Pada sampel populasi untuk

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Volume Pohon pada Jarak Tanam 3 m x 3 m. Bardasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, Pada sampel populasi untuk 34 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Volume Pohon pada Jarak Tanam 3 m x 3 m Bardasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, Pada sampel populasi untuk jarak tanam 3 m x 3 m terdapat 3 plot dengan jumlah

Lebih terperinci

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan.

BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan. 43 BAB IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Fisik Daerah Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Sragi Kabupaten Lampung Selatan. Kecamatan Sragi merupakan sebuah Kecamatan yang ada

Lebih terperinci

VI. DAYA DUKUNG WILAYAH UNTUK PERKEBUNAN KARET

VI. DAYA DUKUNG WILAYAH UNTUK PERKEBUNAN KARET 47 6.1. Aspek Biofisik 6.1.1. Daya Dukung Lahan VI. DAYA DUKUNG WILAYAH UNTUK PERKEBUNAN KARET Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Cianjur tahun 2010, kondisi aktual pertanaman karet

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Karang Citra Landsat 7 liputan tahun 2014 menunjukkan bahwa kondisi tutupan lahan Gunung Karang terdiri dari hutan, hutan tanaman

Lebih terperinci

Jumat, 27 Juli Balai KPH Yogyakarta dibentuk berdasarkan Perda Nomor: 6 Tahun 2008 dan Pergub Nomor: 36 Tahun 2008.

Jumat, 27 Juli Balai KPH Yogyakarta dibentuk berdasarkan Perda Nomor: 6 Tahun 2008 dan Pergub Nomor: 36 Tahun 2008. PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DINAS KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN KPH YOGYAKARTA Alamat : Jalan Argulobang No.13 Baciro, Telp (0274) 547740 YOGYAKARTA PENDAHULUAN 1. Wilayah KPH Yogyakarta

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Stok Karbon 4.1.1 Panai Jaya Data stok karbon yang digunakan pada kebun Panai Jaya berasal dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yulianti (2009) dan Situmorang

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 33 TAHUN 2005 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2005 TENTANG PENERTIBAN DAN PENGENDALIAN HUTAN PRODUKSI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan gambut merupakan salah satu tipe hutan yang terdapat di Indonesia dan penyebarannya antara lain di Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi dan Pulau

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta

BAB I. PENDAHULUAN. Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Aktivitas manusia telah meningkatkan emisi gas rumah kaca serta meningkatkan suhu global. Kegiatan yang menyumbang emisi gas rumah kaca dapat berasal dari pembakaran

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 20/Menhut-II/2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KARBON HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 50 TAHUN 2001 T E N T A N G IZIN PEMANFAATAN HUTAN (IPH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 26 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Desa Ciaruteun Ilir Desa Ciaruteun Ilir merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor dengan luas wilayah 360 ha,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. (hardwood). Pohon jati memiliki batang yang bulat lurus dengan tinggi mencapai

II. TINJAUAN PUSTAKA. (hardwood). Pohon jati memiliki batang yang bulat lurus dengan tinggi mencapai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pohon Jati Pohon jati merupakan pohon yang memiliki kayu golongan kayu keras (hardwood). Pohon jati memiliki batang yang bulat lurus dengan tinggi mencapai 40 meter. Tinggi batang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan. Kegiatan

Lebih terperinci

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tropis merupakan sumber utama kayu dan gudang dari sejumlah besar keanekaragaman hayati dan karbon yang diakui secara global, meskupun demikian tingginya

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK PETANI

V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK PETANI V GAMBARAN UMUM LOKASI DAN KARAKTERISTIK PETANI 5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 5.1.1. Kabupaten Banyuasin Kabupaten Banyuasin merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Sumatera Selatan.

Lebih terperinci

PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI MELALUI PENGEMBANGAN AGROFORESTRY

PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI MELALUI PENGEMBANGAN AGROFORESTRY PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI MELALUI PENGEMBANGAN AGROFORESTRY BADAN PENELITIAN, PENGEMBANGAN DAN INOVASI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANADO 2016 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. . Gambar 4 Kondisi tegakan akasia : (a) umur 12 bulan, dan (b) umur 6 bulan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. . Gambar 4 Kondisi tegakan akasia : (a) umur 12 bulan, dan (b) umur 6 bulan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian ini dilakukan pada lokasi umur yang berbeda yaitu hutan tanaman akasia (A. crassicarpa) di tegakan berumur12 bulan dan di tegakan berumur 6 bulan. Jarak

Lebih terperinci

Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai

Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai Menanam Laba Dari Usaha Budidaya Kedelai Sebagai salah satu tanaman penghasil protein nabati, kebutuhan kedelai di tingkat lokal maupun nasional masih cenderung sangat tinggi. Bahkan sekarang ini kedelai

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. petani responden menyebar antara tahun. No Umur (thn) Jumlah sampel (%) , ,

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. petani responden menyebar antara tahun. No Umur (thn) Jumlah sampel (%) , , V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Responden 5.1.1 Umur petani responden Umur Petani merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada aktivitas di sektor pertanian. Berdasarkan hasil penelitian

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum, Geografis, dan Iklim Lokasi Penelitian Desa Ciaruten Ilir merupakan desa yang masih berada dalam bagian wilayah Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten

Lebih terperinci

Analisa Manfaat Biaya Proyek Pembangunan Taman Hutan Raya (Tahura) Bunder Daerah Istimewa Yogyakarta

Analisa Manfaat Biaya Proyek Pembangunan Taman Hutan Raya (Tahura) Bunder Daerah Istimewa Yogyakarta JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2013) 1-5 1 Analisa Manfaat Biaya Proyek Pembangunan Taman Hutan Raya (Tahura) Bunder Daerah Istimewa Yogyakarta Dwitanti Wahyu Utami dan Retno Indryani Jurusan Teknik

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN BAB V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5. Gambaran Umum Desa Ciaruten Ilir Desa Ciaruten Ilir merupakan bagian wilayah Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Desa ini merupakan daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Rakyat dan Pengelolaannya Hutan rakyat adalah suatu lapangan yang berada di luar kawasan hutan negara yang bertumbuhan pohon-pohonan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR : 53 TAHUN 2001 T E N T A N G IJIN USAHA HUTAN TANAMAN (IHT) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan rakyat memiliki peran yang penting sebagai penyedia kayu. Peran hutan rakyat saat ini semakin besar dengan berkurangnya sumber kayu dari hutan negara. Kebutuhan

Lebih terperinci

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK

PROSIDING Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan 2006 : POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK POTENSI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA DAN PERMASALAHANNYA Oleh : Sukadaryati 1) ABSTRAK Hutan rakyat sudah lama ada dan terus berkembang di masyarakat. Manfaat yang diperoleh dari hutan rakyat sangat dirasakan

Lebih terperinci

V HASIL DAN PEMBAHASAN

V HASIL DAN PEMBAHASAN V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keadaan Umum Responden Tingkat pendidikan di Desa Babakanreuma masih tergolong rendah karena dari 36 responden sebagian besar hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SD,

Lebih terperinci

I. TATA CARA PENELITIAN. Muhammadiyah Yogyakarta di Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten

I. TATA CARA PENELITIAN. Muhammadiyah Yogyakarta di Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten I. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Green House Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta di Desa Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul,

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar

V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi 5.2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Tani dan Status Penguasaan Lahan di Kelurahan Situmekar V. GAMBARAN UMUM 5.1. Wilayah dan Topografi Kota Sukabumi terletak pada bagian selatan tengah Jawa Barat pada koordinat 106 0 45 50 Bujur Timur dan 106 0 45 10 Bujur Timur, 6 0 49 29 Lintang Selatan dan

Lebih terperinci

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep

2013, No Mengingat Emisi Gas Rumah Kaca Dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut; : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Rep No.149, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN. Badan Pengelola. Penurunan. Emisi Gas Rumah Kaca. Kelembagaan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 2013 TENTANG BADAN PENGELOLA PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI DEFORESTASI, DEGRADASI HUTAN DAN LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB VI. PERSIAPAN LAHAN Rizka Novi Sesanti KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu sektor pertanian yang memiliki peran penting dalam pembangunan perekonomian di Indonesia. Peran tersebut diantaranya adalah mampu memenuhi

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS KEBUTUHAN LAHAN DAN ALTERNATIF PILIHAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN UNTUK PEMENUHAN KEBUTUHAN HIDUP DALAM KERANGKA REDD

VIII. ANALISIS KEBUTUHAN LAHAN DAN ALTERNATIF PILIHAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN UNTUK PEMENUHAN KEBUTUHAN HIDUP DALAM KERANGKA REDD VIII. ANALISIS KEBUTUHAN LAHAN DAN ALTERNATIF PILIHAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN UNTUK PEMENUHAN KEBUTUHAN HIDUP DALAM KERANGKA REDD 8.1. PENDAHULUAN 8.1.1. Latar Belakang Keberadaan masyarakat di dalam

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaturan hasil saat ini yang berlaku pada pengelolaan hutan alam produksi di Indonesia menggunakan sistem silvikultur yang diterapkan pada IUPHHK Hutan Produksi dalam P.11/Menhut-II/2009.

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Draft 19 April 2009 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 9 /Menhut-II/2011. /Menhut-II/2009 TENTANG PELIMPAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN (DEKONSENTRASI) BIDANG KEHUTANAN TAHUN 2011

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ancaman perubahan iklim sangat menjadi perhatian masyarakat dibelahan dunia manapun. Ancaman dan isu-isu yang terkait mengenai perubahan iklim terimplikasi dalam Protokol

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. PT. Perhutani KPH Surakarta, dimulai dari pelaksanaan pada periode tahun

BAB I PENDAHULUAN. PT. Perhutani KPH Surakarta, dimulai dari pelaksanaan pada periode tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah umum mengenai penanaman hutan pinus, yang dikelola oleh PT. Perhutani KPH Surakarta, dimulai dari pelaksanaan pada periode tahun 1967 1974. Menyadari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks global emisi gas rumah kaca (GRK) cenderung meningkat setiap tahunnya. Sumber emisi GRK dunia berasal dari emisi energi (65%) dan non energi (35%). Emisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perhutani sebanyak 52% adalah kelas perusahaan jati (Sukmananto, 2014).

BAB I PENDAHULUAN. Perhutani sebanyak 52% adalah kelas perusahaan jati (Sukmananto, 2014). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perum Perhutani merupakan sebuah badan usaha yang diberikan mandat oleh pemerintah untuk mengelola hutan tanaman yang ada di Pulau Jawa dan Madura dengan menggunakan

Lebih terperinci

BAB IX ANGGARAN PENDAPATAN PERUSAHAAN HUTAN

BAB IX ANGGARAN PENDAPATAN PERUSAHAAN HUTAN BAB IX ANGGARAN PENDAPATAN PERUSAHAAN HUTAN 9.1. Pendapatan Perusahaan Hutan Tujuan perusahaan hutan adalah kelestarian hutan. Dalam hal ini dibatasi dalam suatu model unit perusahaan hutan dengan tujuan

Lebih terperinci