2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN"

Transkripsi

1 2. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Teoritis Teori Peranan Pemerintah Sistem desentralisasi fiskal memberikan peranan yang cukup penting terhadap fungsi dan wewenang pemerintah. Dalam implementasi desentralisasi fiskal, peranan pemerintah daerah dalam melakukan upaya fiskal, yaitu dengan menggali potensi fiskal sebagai sumber penerimaan daerah dan peranan pemerintah dalam membelanjakan fasilitas publik akan sangat mempengaruhi kinerja perekonomian daerah. Berkaitan dengan pengaruhnya tersebut, maka peranan pemerintah daerah harus dioptimalkan agar dalam melakukan intervensi dengan biaya sosial tertentu akan memberi dampak yang maksimal terhadap kinerja perekonomian. Selain itu, kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah sedapat mungkin harus dapat menghindarkan terjadinya distorsi yang dapat menimbulkan kegagalan pasar. Oleh karena itu, pembahasan mengenai peranan pemerintah sangat penting dalam upaya mendapatkan gambaran yang lengkap tentang lingkup peranan pemerintah, bagaimana pemerintah harus berperanan dalam sistem perekonomian dan bagaimana mengoptimalkan peranan tersebut dalam pembangunan ekonomi daerah sehingga peranannya tidak bersifat kontraproduktif dan justru menimbulkan permasalahan dalam perekonomian. Adam Smith mengemukakan teori bahwa pemerintah hanya mempunyai tiga fungsi yang sangat terbatas, yaitu (1) memelihara keamanan dalam negeri dan pertahanan, (2) menyelenggarakan peradilan, (3) menyediakan barang-barang yang tidak disediakan oleh pihak swasta, seperti jembatan, jalan, saluran irigasi, dan lain-lain. Fungsi pemerintah tersebut sangat sedikit berkaitan dengan ideologi kapitalis yaitu perekonomian dapat berkembang secara maksimum tanpa campur tangan pemerintah. Setiap individu akan melaksanakan aktivitas yang harmonis seakan-akan diatur oleh tangan yang tidak kentara karena setiap individu paling tahu apa yang paling baik bagi dirinya, sehingga dia akan melaksanakan apa yang dianggap terbaik bagi dirinya sendiri (Mangkoesoebroto, 2000).

2 12 Namun dalam prakteknya, prinsip kebebasan ekonomi sering menghadapi perbenturan kepentingan. Hal tersebut disebabkan tidak adanya koordinasi dalam mewujudkan harmonisasi dalam kepentingan masing-masing individu. Seperti contohnya kepentingan pengusaha yang sering tidak berjalan beriringan dengan kepentingan pekerja, bahkan sering terjadi pertentangan kepentingan antara kedua belah pihak. Hal tersebut menunjukkukan bahwa sektor swasta tidak dapat mengatasi masalah perekonomian sepenuhnya. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah mempunyai peranan untuk mengatur, memperbaiki atau mengarahkan aktivitas sektor swasta. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi modern, peranan pemerintah diklasifikasikan ke dalam tiga golongan besar, yaitu (1) peran alokasi, (2) peran distribusi, dan (3) peran stabilisasi (Mangkoesoebroto, 2000). Peranan pemerintah yang pertama adalah sebagai penyedia alokasi sumberdaya yang efisien. Barang dan jasa yang beredar di masyarakat tidak seluruhnya dapat disediakan oleh sektor swasta. Barang dan jasa yang tidak dapat disediakan oleh sektor swasta atau sistem pasar melalui transaksi antara penjual dan pembeli tersebut disebut barang publik. Sementara itu, barang swasta adalah barang yang dapat disediakan melalui sistem pasar melalui transaksi antara penjual dan pembeli. Barang yang tidak dapat disediakan melalui sistem pasar tersebut menyebabkan kegagalan pasar (market failure). Kegagalan pasar terjadi karena sistem pasar tidak dapat menyediakan barang dan jasa tersebut, karena manfaatnya tidak hanya dapat dirasakan secara pribadi, namun juga dapat dinikmati oleh orang lain. Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pasar gagal menyediakan barang dan jasa yang memiliki sifat pengecualian. Pengecualian atas sebagian barang publik dapat dilakukan secara ekonomi maupun teknis, sementara untuk sebagian barang publik pengecualian secara teknis tidak dapat dilakukan karena biaya untuk mengecualikan segolongan masyarakat dari manfaat suatu barang sangat besar apabila dibandingkan manfaatnya, walaupun secara ekonomi dapat dibedakan (Mangkoesoebroto, 2000). Barang-barang swasta dapat disediakan melalui sistem pasar oleh karena barang-barang tersebut mempunyai sifat pengecualian. Seorang produsen sepatu dapat mengecualikan setiap orang untuk menikmati sepatu yang dihasilkannya apabila orang yang bersangkutan bersedia mengemukakan preferensinya atas

3 13 barang tersebut (revealing preference). Pengungkapan preferensinya tersebut dengan cara membayar sejumlah uang yang diminta produsen (Mangkoesoebroto, 2000). Nilai kesukaan seseorang terhadap suatu barang swasta ditentukan oleh harga barang tersebut. Namun hal tersebut tidak terjadi pada barang publik, karena nilai kesukaan seseorang tidak dapat diukur dengan nilai barang publik tersebut. Oleh karena tidak ada seorang pun yang bersedia mengemukakan nilai kesukaannya terhadap suatu barang publik sehingga tidak ada orang/pengusaha yang mau menyediakan barang tersebut. Dengan demikian tugas pemerintah untuk menyediakan barang publik tertentu bagi masyarakat, melalui sistem pemungutan suara berdasarkan kriteria tertentu yang akan memuaskan banyak pihak dan memperoleh hasil yang efisien seperti halnya sistem pasar. Di sinilah peranan pemerintah sebagai penyedia alokasi sumberdaya yang efisien (Mangkoesoebroto, 2000). Peranan pemerintah berikutnya adalah sebagai alat distribusi pendapatan atau kekayaan. Distribusi pendapatan tergantung pada pemilikan faktor-faktor produksi, permintaan dan penawaran faktor produksi, sistem warisan dan kemampuan memperoleh pendapatan. Kemampuan memperoleh pendapatan tergantung dari pendidikan, bakat, dan sebagainya. Sedangkan warisan tergantung dari hukum yang berlaku. Pemilikan faktor produksi sebagai sumber pendapatan tergantung dari permintaan akan faktor produksi dan jumlah yang ditawarkan oleh pemilik faktor produksi. Permintaan dan penawaran faktor produksi menentukan harga faktor produksi tersebut. Permintaan akan faktor produksi tergantung pada teknologi. Apabila teknologi dalam menghasilkan suatu barang adalah teknologi padat karya, maka permintaan akan tenaga kerja relatif lebih besar daripada permintaan akan modal, dan pengusaha bersedia membayar tenaga kerja lebih besar daripada modal dan sebaliknya untuk faktor produksi modal. Penawaran suatu faktor produksi tergantung dari pemilikan faktor produksi dan juga warisan yang ditawarkan. Semakin banyak jumlah yang ditawarkan, semakin rendah harga yang didapat pemiliknya (Mangkoesoebroto, 2000). Menurut masyarakat, distribusi pendapatan dan kekayaan yang ditimbulkan oleh sistem pasar dapat dianggap sangat tidak adil. Masalah keadilan dan efisiensi

4 14 merupakan trade off sehingga sehingga sebagian ahli ekonomi yang berpendapat bahwa masalah tersebut harus dipisahkan. Perubahan ekonomi dapat dikatakan efisien apabila perubahan yang dilakukan untuk memperbaiki keadaan suatu golongan masyarakat dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak memperburuk keadaan golongan yang lain. Namun, pada kenyataannya tidak ada satu pun tindakan yang tidak mempengaruhi pihak lain secara negatif maupun positif (Mangkoesoebroto, 2000). Pemerintah dalam peranannya sebagai alat distribusi pendapatan atau kekayaan melalui kebijakan fiskal dan moneter dapat merubah keadaan masyarakat sehingga sesuai dengan distribusi pendapatan yang diinginkan oleh masyarakat. Pemerintah dapat merubah distribusi pendapatan secara langsung dengan pajak yang progresif yaitu relatif beban pajak yang lebih besar bagi orang kaya dan relatif lebih ringan bagi orang miskin, disertai dengan subsidi bagi orang miskin. Pemerintah dapat juga secara tidak langsung memengaruhi distribusi pendapatan dengan kebijakan pengeluaran pemerintah, misalnya pendidikan dan kesehatan bagi golongan tertentu (Pogue dan Sqontz, 1978; Stiglitz, 2000). Peran pemerintah yang terakhir adalah sebagai alat stabilisasi perekonomian. Perekonomian yang sepenuhnya diserahkan kepada sektor swasta akan sangat peka terhadap goncangan keadaan yang akan menimbulkan pengangguran dan inflasi. Tanpa campur tangan pemerintah, gangguan permintaan di suatu sektor akan berpengaruh pada sektor lain sehingga akan menimbulkan pengangguran dan tenaga kerja yang akan mengganggu stabilitas ekonomi, seperti contohnya inflasi dan deflasi, sehingga masalah tersebut harus diselesaikan oleh pemerintah melalui pendekatan moneter (Mangkoesoebroto, 2000; Reksodiprodjo, 2001) Konsep Desentralisasi Fiskal Desentralisasi dapat didefinisikan sebagai penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat (nasional) kepada pemerintah lokal/daerah, serta kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingannya sesuai dengan aspirasi dan keputusannya sebagai daerah otonom. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa otonomi daerah merupakan inti dari desentralisasi (Ulla, 2003; Smoke, 2001).

5 15 Terdapat dua sisi dalam melihat konsep desentralisasi, yaitu meningkatkan efisiensi dan efektivitas administrasi pemerintah pusat (nasional) dan mengaktualisasi representasi lokal (Ebel dan Yilmaz, 2002). Pelaksanaan desentralisasi dengan pemberian peran yang lebih besar kepada pemerintah daerah dilegalkan dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah. Undang-undang tersebut terdiri dari Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun Tujuan perubahan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, pemerataan dan keadilan, demokratisasi dan penghormatan terhadap budaya lokal serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah (Vasquez dan McNab, 2001; Simanjuntak, 2002). Kebijakan desentralisasi di Indonesia dilatarbelakangi oleh adanya krisis moneter dunia yang berimbas kepada krisis di Indonesia, sehingga Indonesia menjadi terpuruk akibat tidak sanggup bertahan dari krisis yang terjadi di dunia. Kerentanan Indonesia tersebut disinyalir akibat dari sistem sentralistik yang berlaku di Indonesia selama ini. Sistem sentralistik dianggap tidak dapat membidik sasaran pembangunan dengan tepat sehingga tidak mampu menangkal krisis yang terjadi, sehingga mengakibatkan masyarakat miskin Indonesia menjadi bertambah (Sidik, 2002). Fenomena desentralisasi tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di beberapa negara berkembang lainnya. Dorongan desentralisasi yang terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya latar belakang atau pengalaman suatu negara, peranannya dalam globalisasi dunia, kemunduran dalam pembangunan ekonomi, tuntutan terhadap perubahan tingkat pelayanan masyarakat, tanda-tanda adanya disintegrasi, dan banyaknya kegagalan yang dialami oleh pemerintah sentralistik dalam memberikan pelayanan masyarakat yang efektif (Sidik, 2002). Menurut Tanzi dalam Widhiyanto (2008), faktor-faktor yang memicu diberlakukannya desentralisasi bersifat internal dan eksternal. Faktor internal di dukung oleh pengalaman dan sejarah negara itu sendiri, seperti semakin baiknya demokrasi di dalam kalangan atau daerah tertentu, semakin meningkatnya

6 16 pendidikan dan tingkat kesejahteraan dan pendidikan, meningkatnya pelayanan publik, fenomena disintegrasi negara, respon terhadap kegagalan sistem sentralisasi dan sebagainya. Sedangkan faktor eksternal antara lain berupa tekanan dari negara maupun lembaga donor yang memiliki pengaruh terhadap negara penerima donor berkaitan dengan desentralisasi. Konsep desentralisasi ditujukan untuk meningkatkan peran serta pemerintah daerah. Beberapa kebijakan yang sebelumnya dipegang oleh pemerintah pusat akan dilimpahkan kepada pemerintah daerah, dimana kabupaten/kota mendapatkan kewenangan khusus, sedangkan propinsi mendapatkan kewenangan terbatas. Sementara itu, kewenangan pemerintah pusat hanya terbatas pada kepentingan militer, agama, keuangan negara dan hukum. Secara umum, desentralisasi mencakup 1) aspek politik (political decentralization) yaitu pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada daerah yang menyangkut aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan, 2) aspek administratif (administrative decentralization) yaitu merupakan pelimpahan kewenangan, tanggungjawab, dan sumberdaya antar berbagai tingkat pemerintahan, dan 3) aspek fiskal (fiscal decentralization) yaitu merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menggali sumbersumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintah yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin dan investasi (Litvack dalam Abimanyu dan Megantara, 2009). Desentralisasi fiskal sering didefinisikan sebagai pelimpahan kewenangan fiskal dari pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi, karena wewenang pemerintah daerah dalam pengelolaan keuangan dan sumberdaya daerah menjadi lebih besar. Sebelum desentralisasi, seluruh kebutuhan pelayanan publik dikelola oleh pemerintah pusat secara seragam, padahal kebutuhan publik antar daerah berbeda-beda. Oleh karena itu pelayanan publik pada masa sentralisasi kurang efisien. Desentralisasi fiskal dapat mewujudkan efisiensi terhadap alokasi sumberdaya sektor publik, karena disesuaikan dengan kebutuhan publik masingmasing daerah. Selain itu, terjadi kompetisi antar pemerintah daerah dalam pelayanan publik sehingga terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi.

7 17 Ketertarikan terhadap desentralisasi fiskal meningkat diantara negara transisi dan berkembang karena diyakini sebagai alat yang efektif untuk meningkatkan efisiensi dalam pengeluaran publik. Selain itu, desentralisasi fiskal dianggap sebagai sistem yang bagus terhadap kegagalan sistem sentralisasi selama dekade terakhir ini yang terjadi di negara transisi dan berkembang. Prud homme (1995) mengatakan bahwa karena perbedaan kebutuhan dan mobilitas individu di tiap daerah, maka desentralisasi menjadi lebih efisien. Oates (1993) juga menyatakan bahwa desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi ekonomi karena posisi pemerintah daerah yang lebih dekat kepada masyarakat sehingga dapat lebih responsif terhadap kebutuhan dan keinginan masyarakat di daerah. Tolok ukur dalam analisis desentralisasi fiskal adalah efisiensi dan efektivitas dalam pengeluaran pemerintah dan pemerataan pendapatan sehingga bermuara pada kesejahteraan rakyat. Perbedaan kebijakan antar daerah menyebabkan adanya kemungkinan keputusan dalam penyediaan barang publik yang juga berbeda-beda antar daerah, sesuai dengan preferensi masyarakat masing-masing daerah terhadap jenis dan jumlah barang publik. Perbedaan preferensi masyarakat terhadap barang publik dipengaruhi oleh perbedaan selera dan tingkat pendapatan antar daerah. Pada kondisi ini, efisiensi alokasi lebih tinggi pada sistem pemerintahan yang terdesentralisasi. Alasan ini mendasari kesimpulan bahwa desentralisasi pemerintah akan lebih responsif terhadap aspirasi masyarakat dibandingkan dengan pemerintahan terpusat. Hipotesis serupa juga disampaikan oleh Tiebout, yang dikenal dengan Tiebout Hypotesis (Stiglitz, 2000). Tiebout Hypotesis ini merupakan analog dari konsep pareto optimum, dimana dalam kondisi pasar persaingan sempurna, harga merupakan sinyal dalam alokasi sumberdaya sehingga tercipta kondisi yang efisien. Demikian pula dengan barang publik, bahwa kompetisi dalam suatu komunitas akan menjamin efisiensi dalam penawaran barang publik, sebagaimana perusahaan menjamin efisiensi penawaran barang privat. Keterbatasan hipotesis ini terkait dengan asumsi pasar persaingan, yaitu adanya kegagalan pasar, sistem perpajakan, dan redistribusi pendapatan. Pertanyaannya kemudian adalah sejauh mana atau sampai tingkat pemerintah mana desentralisasi sebaiknya dilakukan. Pada prinsipnya, semakin

8 18 dekat dengan masyarakat, maka akan semakin baik. Besarnya peningkatan efisiensi yang terjadi karena perubahan dari keputusan yang bersifat sentralistik ke desentralistik dapat diilustrasikan pada gambar 3. Diasumsikan terdapat dua daerah, yang masing-masing memiliki fungsi permintaan terhadap barang publik DA dan DB, sehingga permintaan nasional terhadap barang publik tersebut adalah DN. Diasumsikan masyarakat dalam daerah A tidak dapat menikmati barang publik yang diproduksi pada daerah B dan sebaliknya. Barang publik tersebut adalah barang publik lokal, yaitu dapat diproduksi oleh masing-masing daerah maupun oleh pemerintah pusat. Sementara preferensi masyarakat di daerah A dan daerah B dapat berbeda sesuai dengan selera dan tingkat pendapatannya. Biaya marginal untuk produksi barang tersebut diasumsikan sama sebesar MC. Marginal Cost/Value D N D B D A MC q qa qb qn Quantity Sumber: Pogue dan Sqontz, 1978 Gambar 3 Efisiensi poduksi barang publik.

9 19 Apabila produksi barang tersebut dilakukan secara sentralistik, maka jumlah yang diproduksi secara nasional sebesar qn atau pada tingkat efisien dalam skala nasional, yaitu pada saat nilai marginal sama dengan biaya marginal. Distribusi pada masing-masing daerah sebesar q. Pada tingkat produksi q, pada daerah A, nilai marginal lebih rendah apabila dibandingkan dengan biaya marginal. Sementara pada daerah B terjadi sebaliknya, nilai marginal lebih tinggi dibandingkan dengan biaya marginal. Efisiensi secara nasional di sini tidak menjamin terjadinya efisiensi pada tingkat daerah, karena adanya perbedaan tingkat pendapatan dan selera. Jika produksi dilakukan secara desentralisasi, yaitu pada saat masing-masing daerah akan memproduksi barang pada kondisi nilai marginal sama dengan biaya marginal (kondisi efisien), maka akan diperoleh tingkat produksi masing-masing qa untuk daerah A dan qb untuk daerah B. Besarnya peningkatan efisiensi yang ditunjukkan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditunjukkan oleh daerah yang diarsir. Dengan demikian untuk barang publik yang memungkinkan perbedaan permintaan antar daerah, efisiensi alokasi sumberdaya akan lebih baik jika produksi barang tersebut dilakukan secara desentralistik. Namun, untuk barang publik yang bersifat nasional, yaitu pada saat seluruh masyarakat di negara tersebut dapat memanfaatkan barang tersebut, sistem produksi pada masingmasing daerah yaitu qa dan qb akan menghasilkan barang yang lebih kecil dari tingkat efisiensi nasional, yaitu pada saat DN berpotongan dengan MC. Dengan demikian, barang publik ini akan lebih efisien apabila diproduksi secara sentralistik. Alasan barang publik nasional sebaiknya disediakan oleh pemerintah pusat menurut Pogue dan Sgontz (1978) adalah: 1. Skala ekonomi. Efisiensi dalam pengambilan keputusan, implementasi dan monitoring kebijakan pemerintah. Proses pengambilan keputusan, implementasi dan monitoring dan evaluasi beragam antar jenis program, populasi penduduk, dan luas wilayah. Keputusan mengenai pembangunan fasilitas umum, untuk suatu wilayah dan populasi tertentu menjadi lebih mahal jika wilayah tersebut dibagi, sehingga terdapat unit pengambilan keputusan yang lebih banyak. Pada kasus ini biaya pengambilan keputusan menurun jika

10 20 skalanya meningkat, pada kasus lainnya biaya pengambilan keputusan menjadi lebih murah jika dilakukan untuk wilayah dan populasi yang terbatas. Pada kasus pertama pada saat diperlukan skala ekonomis yang besar, pengambilan keputusan cenderung efisien apabila dilakukan secara sentralistik dan sebaliknya. 2. Distribusi pendapatan. Kebijakan redistribusi pendapatan secara umum akan menurunkan kesejahteraan sebagian masyarakat. Masyarakat yang kaya akan dirugikan sementara masyarakat yang miskin lebih diuntungkan. Apabila kebijakan ini dilakukan secara parsial, berbeda antar daerah, maka akan memberikan insentif kepada kelompok masyarakat kaya untuk pindah ke daerah yang lebih menguntungkan (yang memiliki kebijakan redistribusi pendapatan lebih rendah). Sementara itu, sebaliknya untuk masyarakat yang lebih miskin akan memiliki insentif migrasi pada arah sebaliknya. Dengan demikian daerah yang memiliki kebijakan redistribusi pendapatan yang lebih besar akan kehilangan masyarakat yang kaya. Secara umum, pemerintah suatu daerah tidak ingin kehilangan kelompok masyarakat kaya, sehingga akhirnya semua daerah akan mengurangi program redistribusi pendapatan. Dengan demikian, program redistribusi pendapatan akan lebih baik jika dilakukan secara aggregat dan bersifat sentralistik, sehingga tidak ada ekses negatif berupa migrasi masyarakat kaya dan miskin. Pola penyaluran bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan inti dari kebijakan desentralisasi fiskal. Pada masa sebelum desentralisasi fiskal, program bantuan kepada pemerintah daerah sebagian besar dilakukan dalam bentuk spesific grant yaitu penentuan alokasi anggaran sudah ditentukan oleh pemerintah pusat, terkadang dalam format yang sangat rigid, sehingga seringkali implementasi di lapangan banyak terkendala pada urusan administratif. Pada sistem desentralisasi fiskal pola penyaluran bantuan pemerintah pusat berubah menjadi dalam bentuk block grant, sehingga perencanaan program implementasi serta monitoring dan evaluasi dilakukan pada pemerintah daerah. Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 25 Tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah,

11 21 sumber penerimaan daerah berasal dari pendapatan daerah dan pembiayaan daerah. Pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan dan lain-lain pendapatan. Sementara itu pembiayaan terdiri dari sisa lebih perhitungan anggaran yang lalu, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan daerah, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, laba badan usaha milik daerah dan lain-lain PAD yang sah. Sedangkan penerimaan lain-lain PAD yang sah meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. Dana perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) yang ditetapkan setiap tahun dalam APBN. Dana BHPBP berfungsi dalam memperkecil kesenjangan vertikal antara pemerintah pusat dan daerah. Sumber dana BHPBP berasal dari pajak dan bukan pajak (sumber daya alam). BHPBP berasal dari pajak, terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Penghasilan (PPh). Sedangkan BHPBP yang berasal dari sumber daya alam berasal dari kegiatan di sektor kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan panas bumi. Selain dana BHPBP tersebut, komponen dana perimbangan lainnya adalah DAU dan DAK, yang merupakan implementasi dari block grant dalam sistem desentralisasi fiskal ini. DAU memiliki fungsi dalam memperkecil kesenjangan horisontal antar daerah. DAU ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar masing-masing daerah dan berjumlah minimal 26 persen dari total APBN. Apabila celah fiskal suatu daerah negatif dan nilai tersebut lebih kecil dari alokasi dasar, maka besar DAU yang diterima sebesar alokasi dasar yang diterima. Namun, apabila celah fiskal tersebut negatif dan lebih besar dari alokasi dasar, maka daerah tersebut tidak menerima DAU. Dengan

12 22 demikian, semakin tinggi potensi suatu daerah maka akan mendapatkan DAU dalam jumlah yang semakin kecil, dan sebaliknya. Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan komponen dana perimbangan yang dialokasikan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan telah ditetapkan dalam APBN. Sementara itu komponen lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat. Sisi pembiayaan terdiri dari SILPA, Dana pinjaman, Dana Cadangan Daerah, dan hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan. Pinjaman bersumber dari pemerintah, pemerintah daerah, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank dan masyarakat. Selama berlangsungnya kebijakan desentralisasi fiskal, telah diberlakukan perbaharuan di bidang fiskal oleh pemerintah, terutama berhubungan dengan sisi pengeluaran. UU No 17 tahun 2003 merupakan sumber pedoman bagi penyusunan dan pelaksanaan panganggaran dan belanja negara yang mengacu pada tiga pila penganggaran yaitu penganggaran terpadu (uniified budgeting), penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting) dan kerangka pengeluaran jangka menengah (medium term expenditure framework). Implikasi dari pendekatan penganggaran terpadu tersebut menyebabkan penyusunan dan pelaksanaan anggaran belanja tidak lagi memisahkan anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan, namun dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja. Sehingga apabila rincian belanja sebelumnya berdasarkan pendekatan sektor, subsektor, program dan kegiatan, maka berubah menjadi pendekatan berdasarkan fungsi, subfungsi, program dan kegiatan. Pelaksanaan anggaran berbasis kinerja dalam kerangka pembaharuan sistem penganggaran mengakibatkan penyusunan anggaran belanja dari setiap satuan kerja harus dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan (input) dengan keluaran (output) dan/hasil (outcome) yang diharapkan, termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut. Selanjutnya pemberlakukann konsep kerangka pengeluaran jangka menengah menyebabkan perencanaan penganggaran belanja dari setiap satuan kerja seharusnya dilakukan dengan memperhitungkan kebutuhan anggaran dalam perspektif lebih dari satu tahun.

13 23 Bentuk pengeluaran/belanja APBD dapat dirinci menurut beberapa bentuk antara lain: menurut urusan pemerintahan (urusan wajib dan urusan pilihan), menurut program, menurut organisasi, menurut kegiatan, menurut kelompok, menurut jenis, menurut objek/rincian objek belanja. Format pengeluaran berdasarkan urusan diatur berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Format berdasarkan urusan tersebut terbagi atas urusan wajib dan pilihan. Format urusan wajib terdiri atas urusan pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, penataan ruang, perencanaan pembangunan, perhubungan, lingkungan hidup, pertanahan, kependudukan dan catatan sipil, pemberdayaan perempuan, keluarga berencana dan keluarga sejahtera, sosial dan tenaga kerja. Format pengeluaran pemerintah berdasarkan bidang diatur dalam Kepmendagri No 29 tahun 2002 yang terdiri dari bidang administrasi pemerintahan, pertanian, perikanan, pertambangan dan energi, kehutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian, penanaman modal dan ketenagakerjaan, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, sosial, penataan ruang, pemukiman, pekerjaan umum, perhubungan, lingkungan hidup, kependudukan, olahraga, kepariwisataan dan pertanahan. Menurut Mangkoesoebroto (2000), perkembangan pengeluaran pemerintah ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: 1. Perubahan permintaan terhadap barang publik. 2. Perubahan aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga perubahan kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. 3. Perubahan kualitas barang publik. 4. Perubahan harga faktor produksi. Beberapa teori yang membahas tentang perkembangan pengeluaran pemerintah yaitu: 1. Model Rostow dan Musgrave Model ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan

14 24 prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu, pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang makin komplek, misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Dengan demikian, pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak (eksternalitas) negatif dari polusi dan juga melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat. 2. Hukum Wagner Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam persentase terhadap PDB. Apabila terjadi peningkatan pendapatan per kapita dalam suatu perekonomian, maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan The Law of Expanding State Expenditure. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negara- negara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Wagner menerangkan bahwa peranan pemerintah menjadi semakin besar disebabkan pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner ini adalah tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organisasi mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas

15 25 bertindak dan terlepas dari anggota masyarakat lainnya. 3. Teori Peacock dan Wiseman Peacock dan Wiseman menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah. Peningkatan pajak tersebut berasal dari ekstensifikasi pajak. Selain itu, peningkatan penerimaan pajak tersebut menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Konsekuensi dari peningkatan pengeluaran tersebut adalah penerimaan pemerintah dari pajak juga harus meningkat. Pemerintah akan meningkatkan penerimaannya tersebut dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial yang menyebabkan pengalihan aktivitas swasta kepada aktivitas pemerintah. Perang ternyata tidak hanya dibiayai dengan pajak, akan tetapi pemerintah juga melakukan pinjaman ke negara lain. Akibat hal tersebut, tarif pajak yang seharusnya dapat diturunkan oleh pemerintah setelah perang, tidak dapat dilakukan karena pemerintah masih mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Pninngkatan pengeluaran pemerintah karena PDB yang mulai meningkat, pengembalian pinjaman dan aktivitas baru setelah perang ini disebut efek inspeksi (inspection effect). Gangguan sosial juga dapat menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan dari swasta kepada tangan pemerintah. Hal tersebut dikenal dengan istilah efek konsentrasi (concentration effect). Ketiga efek tersebut menyebabkan aktivitas pemerintah bertambah. Setelah perang selesai dan keadaan kembali normal maka tingkat pajak akan turun kembali. Pemerintah memiliki kecenderungan untuk senantiasa berusaha memperbesar pengeluaran pemerintahnya, sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Namun, masyarakat mempunyai suatu tingkat

16 26 toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini menjadi barrier bagi pemerintah untuk tidak dapat menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena (Mangkoesoebroto, 2000) Teori Kebijakan Fiskal Analisis Keynes dalam The General Theory, mengemukakan bahwa pemerintah dapat menggunakan kekuatan perpajakan dan pengeluaran mereka untuk meningkatkan pengeluaran agregat (atau merangsang pengeluaran agregat). Kekuatan tersebut dapat dilakukan berdasarkan kondisi pemerintah ataupun tujuannya, yaitu pada masa resesi maupun depresi maupun berrsifat kontraktif dan ekspansif. Keynes menjelaskan modelnya dalam General Theory sebagai berikut: C + I + G + (X-M)... (1) Dimana: C = total pengeluaran konsumsi rumahtangga terhadap barang dan jasa I = total nilai pengeluaran swasta (rumahtangga dan perusahaan) terhadap barang dan jasa G = total nilai pengeluaran pemerintah terhadap barang dan jasa (X M) = ekspor bersih barang dan jasa Kebijakan fiskal merupakan kebijakan yang secara khusus berkaitan dengan kebijakan penerimaan dan pengeluaran negara. Kebijakan fiskal melalui instrumennya umumnya dibagi atas tiga kategori, yaitu : 1) Kebijakan yang menyangkut pembelian pemerintah atau barang dan jasa 2) Kebijakan yang menyangkut perpajakan, dan 3) Kebijakan yang menyangkut pembayaran transfer (seperti kompensasi pengangguran, tunjangan keamanan sosial, pembayaran kesejahteraan, dan tunjangan veteran) kepada rumah tangga. Tujuan dari kebijakan fiskal yaitu 1) menganalisis pengaruh permintaan dan pengeluaran negara bagi perbaikan kondisi perekonomian, penurunan tingkat

17 27 pengangguran, dan kestabilan harga, 2) pengembangan aspek ekonomi seperti pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran dan stabilitasi ekonomi, 3) pengembangan aspek sosial seperti pemerataan pendidikan dan kesehatan. Berdasarkan instrumen kebijakan fiskal yang terdiri dari pengeluaran pemerintah, pajak dan transfer payment tersebut, maka pemerintah dapat mengubah-ubah variabel tersebut sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Apabila pemerintah ingin menciptakan stabilisas harga, maka kebijakan fiskal yang dilakukan adalah bersifat kontraktif, yaitu dengan menurunkan pengeluaran pemerintah dan menaikkan pajak. Dengan demikian, maka permintaan aggregat akan turun dan hal tersebut akan mengurangi kemungkinan terjadinya kenaikan harga-harga. Apabila pemerintah ingin meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan mengurangi pengangguran, maka dapat melakukan kebijakan fiskal ekspansif dengan menaikkan belanja pemerintah dan menurunkan pajak. Hal tersebut akan meningkatkan permintaan aggregat dalam perekonomian Teori Pertumbuhan Ekonomi Perkembangan berbagai model pertumbuhan ekonomi yang secara dinamis bermunculan mengikuti perubahan perekonomian dari waktu ke waktu. Adam Smith melalui Teori Klasiknya beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi sebenarnya bertumpu pada adanya pertambahan penduduk. Dengan adanya pertambahan penduduk maka akan terdapat pertambahan output produksi yang dihasilkan. Selain Adam Smith, David Ricardo juga berpendapat bahwa faktor pertumbuhan penduduk akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, apabila pertambahan penduduk menjadi semakin besar hingga mencapai dua kali lipat pada suatu saat akan menyebabkan jumlah tenaga kerja melimpah. Kelebihan tenaga kerja tersebut akan mengakibatkan upah menjadi turun. Upah yang semakin kecil tersebut kemudian hanya dapat digunakan untuk membiayai taraf hidup minimum sehingga perekonomian akan mengalami kemandegan (stationary state). Teori Klasik tersebut kemudian dikembangkan menjadi Teori Neoklasik yang dimotori oleh Harrord-Domar dan Robert Solow. Harrord-Domar

18 28 beranggapan bahwa modal harus dipakai secara efektif, karena pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh peranan pembentukan modal tersebut. Teori ini juga membahas tentang pendapatan nasional dan kesempatan kerja. Sedangkan model Solow yang merupakan pengembangan dari model Harrod-Domar sekaligus merupakan pilar yang kontributif bagi pengembangan teori Neoklasik menambahkan faktor tenaga kerja dan teknologi ke dalam model pertumbuhannya. Solow berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern. Dalam model pertumbuhan Solow, input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah. Sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan, maka memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale). Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, pertumbuhan penduduk dapat berdampak positif dan dapat berdampak negatif. Oleh karenanya, menurut Robert Solow pertambahan penduduk harus dimanfaatkan sebagai sumberdaya yang positif. (Todaro dan Smith, 2006). Pertumbuhan ekonomi dapat terjadi pada skala nasional maupun dalam skala daerah/regional. Pertumbuhan ekonomi daerah pada dasarnya mengunakan konsep-konsep pertumbuhan ekonomi secara aggregat. Perbedaan pokok antara analisis pertumbuhan ekonomi nasional dengan pertumbuhan ekonomi daerah menurut Richardson (2001) adalah titik berat dalam perpindahan faktor. Analisis untuk suatu negara dapat diasumsikan dengan perekonomian tertutup, namun untuk daerah asumsi tersebut tidak berlaku. Daerah bersifat terbuka, karena kemungkinan masuk dan keluarnya arus perpindahan tenaga kerja dan modal sangat besar. Hal ini memungkinkan terjadinya pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi nasional dan sebaliknya. Menurut BPS (2008), pertumbuhan ekonomi mengandung makna adanya peningkatan produksi barang dan jasa (output) yang dihasilkan oleh seluruh aktifitas ekonomi yang terjadi di masyarakat pada satu periode waktu tertentu. Peningkatan produksi barang dan jasa yang dimaksud tersebut diukur berdasarkan suatu periode tertentu sebagai tahun dasar sehingga nilai peningkatan benar-benar

19 29 mencerminkan adanya pertumbuhan produksi yang terbebas dari pengaruh harga. Konsep yang digunakan oleh BPS untuk menggambarkan produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu daerah tersebut melalui pendekatan (proxy) PDB/PDRB. Pada tingkat nasional, pertumbuhan ekonomi diukur dari laju nilai produk domestik bruto (PDB) dan pada tingkat daerah merupakan laju dari nilai produk domestik regional bruto (PDRB) yang merupakan ukuran dasar dari performa perekonominan dalam memproduksi barang dan jasa. PDB/PDRB dapat dihitung berdasarkan pendekatan Pengeluaran, Pendapatan dan Sektoral/Lapangan Usaha. Dalam penelitian ini, PDB/PDRB yang digunakan adalah pendekatan sektoral/lapangan usaha. Nilai PDRB suatu daerah merupakan penjumlahan dari nilai tambah beberapa sektor perekonomian yang ada di daerah tersebut. Sektor perekonomian tersebut diantaranya adalah sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor bank dan jasa keuangan lainnya, sektor jasa-jasa. PDRB suatu daerah berdasarkan sektor tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga sektor besar, yaitu sektor primer terdiri atas sektor pertanian dan pertambangan, sektor sekunder terdiri atas sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih dan sektor bangunan, dan sektor tersier terdiri atas sektor sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor bank dan jasa keuangan lainnya, sektor jasa-jasa. Pengelompokan tersebut biasanya diperlukan untuk melihat perubahan struktur ekonomi. Namun dalam penelitian ini, PDRB dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu Pertanian, Industri, Jasa (perdagangan, transportasi, keuangan dan jasa-jasa), serta Lainnya (pertambangan, listrik-gas-air, dan konstruksi) berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sumedi (2005) Konsep Kemiskinan Konsep dan definisi kemiskinan yang ada selama ini sangat beragam. Keberagaman tersebut selain disebabkan oleh data dan metodologi yang berbeda, juga oleh latar belakang ideologi yang dianut oleh para ahli maupun

20 30 lembaga, sehingga mempengaruhi cara mendefinisikan masalah secara sosial dan ekonomi. Friedman (2003) mendefinisikan bahwa kemiskinan adalah perbedaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuatan sosial yang meliputi: aset (tanah, perumahan, peralatan, kesehatan), sumber keuangan (pendapatan dan kredit yang memadai), organisasi sosial politik, dan jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang atau jasa, pengetahuan dan keterampilan yang memadai, dan informasi yang berguna. Berdasarkan definisi diatas, kemiskinan tidak hanya dipahami sebatas ketidakmampuan ekonomi, namun juga sebagai kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Menurut Sen (1985) kemiskinan adalah kegagalan untuk berfungsinya beberapa kapabilitas dasar. Seseorang dikatakan miskin jika kekurangan kesempatan untuk mencapai/mendapatkan kapabilitas dasar ini. Sen juga menyatakan bahwa kemiskinan tidak boleh hanya dianggap sebagai pendapatan rendah (low income), tetapi harus dianggap sebagai ketidakmampuan kapabilitas (capability handicap). Kemiskinan tidak hanya berkenaan dengan tingkat pendapatan, tetapi juga dari aspek sosial, lingkungan bahkan keberdayaan dan tingkat partisipasinya, sebagaimana digambarkan oleh World Bank (2000) dalam Harniati (2007) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi kekurangan pangan dan tempat berlindung, rendahnya tingkat kesehatan, tidak dapat bersekolah dan membaca, tidak memiliki pekerjaan, kekhawatiran akan masa depan, tidak berdaya dan tidak memiliki kebebasan. Konsep kemiskinan menurut Bellinger (2007) melibatkan multidimensi, multidefinisi dan alternatif pengukuran. Kemiskinan diukur dalam dua dimensi yaitu dimensi income (kekayaan) dan dimensi non-faktor keuangan. Kemiskinan dalam dimensi income (kekayaan) tidak hanya diukur dari rendahnya pendapatan yang diterima karena biasanya bersifat sementara, namun juga diukur melalui kepemilikan harta kekayaan seperti lahan bagi petani kecil dan melalui akses jasa pelayanan publik. Sedangkan dari dimensi non-faktor keuangan ditandai dengan adanya ketidakberdayaan atau keputusasaan yang menimpa rumah tangga

21 31 berpenghasilan rendah. Dalam perkembangannya, kemiskinan dimensi income lebih sering digunakan karena lebih mudah diukur. Kemiskinan dimensi income dapat dibedakan menjadi kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut mengacu pada ketidakcukupan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya seperti makanan, perumahan, pakaian, transportasi dan kesehatan dasar. Sedangkan kemiskinan relatif diukur dengan membandingkan pendapatan rumah tangga dengan rata-rata pendapatan nasional. Masyarakat miskin umumnya lemah dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, pendidikan dan kesehatan, kemampuan berusaha, dan mempunyai akses yang terbatas kepada kegiatan sosial ekonomi sehingga menumbuhkan perilaku miskin. Selain itu, perilaku miskin ditandai pula oleh perlakuan diskriminatif, perasaaan ketakutan dan kecurigaan serta sikap apatis dan fatalistis. Dalam kaitan tersebut, upaya penanggulangan kemiskinan terkait erat dengan upaya pemberdayaan masyarakat dan penyediaan berbagai kebutuhan pokok dengan biaya yang terjangkau sehingga secara bertahap mereka dapat meningkatkan kemampuannya untuk memanfaatkan peluang yang terbuka (Heinz, 1988) Menurut Bank Dunia (2005), penduduk miskin di dunia secara langsung maupun tidak langsung tergantung pada sektor pertanian. Sekitar 70 persen dari penduduk miskin tinggal di pedesaan dan sebagian besar dari mereka hidup dengan bergantung pada sektor pertanian. Penduduk miskin akan diuntungkan dengan adanya pembangunan di sektor pertanian. Pembangunan tersebut tidak hanya akan meningkatkan pertanian, namun juga akan meningkatkan ketahanan pangan nasional dan peningkatan pendapatan rumah tangga. Sehingga pembangunan pertanian akan menjadi sumber pertumbuhan seluruh negeri. Berkaitan dengan akses yang terbatas sebagai salah satu indikator kemiskinan, penduduk miskin biasanya berada pada daerah-daerah yang minim akses dan cenderung terisolasi dengan daerah sekitarnya. Hal tersebut membuat mobilitas mereka terbatas. Keterbatasan ini membuat mereka tidak dapat mengambil keuntungan dalam berbagai kesempatan tenaga kerja yang timbul dari proses pertumbuhan. Peran infratruktur seperti jalan akan menyebabkan terbukanya akses daerah tersebut, sehingga dapat menurunkan biaya produksi dan

22 32 dapat menghubungkan daerah pedesaan dengan pusat ekonomi serta menjadikan akses pendidikan dan kesehatan menjadi lebih mudah. Infrastruktur seperti jalan memiliki dampak pada pertumbuhan ekonomi, baik di sektor pertanian maupun non-pertanian, sehingga menciptakan kesempatan ekonomi baik bagi masyarakat desa maupun kseseluruhan (Kwon, 2001). Terdapat beberapa faktor penyebab kemiskinan. Menurut Alfian (1980), terdapat dua hal penyebab kemiskinan, yaitu penyebab struktural dan kultural. Kemiskinan struktural disebabkan oleh berubahnya kondisi sosial ekonomi yang bersifat periodik, seperti kehilangan pekerjaan, rendahnya tingkat upah, diskriminasi dan sebagainya. Sementara kemiskinan kultural disebabkan oleh budaya kaum miskin yang enggan untuk memanfaatkan kesempatan yang ada, karena mereka telah terjebak dalam budaya kemiskinan. Sehingga sumber kemiskinan ada pada masyarakat miskin itu sendiri. Penanggulangan kemiskinan kultural akan memerlukan waktu lebih lama karena diperlukan perubahan pandangan hidup. Sementara kemiskinan struktural dapat diatasi dengan perubahan struktur, baik lembaga ekonomi, sosial maupun lembaga lainnya. Pengukuran kemiskinan dapat dilakukan melalui berbagai cara, sesuai dengan konsep dan definisi yang diusung oleh masing-masing lembaga dalam mengukur kemiskinan. Bank Dunia menyatakan bahwa kemiskinan merupakan suatu ketidakcukupan/kekurangan (deprivation) akan aset-aset penting dan peluang-peluang dimana setiap manusia berhak memperolehnya. Kemiskinan dapat dihitung berdasarkan ukuran kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif merupakan kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu dan perhatian terfokus pada golongan penduduk termiskin, misalnya 20% atau 40% lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin. Dengan demikian, ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan/pengeluaran penduduk. Garis kemiskinan relatif tidak dapat dipakai untuk membandingkan tingkat kemiskinan antar negara dan waktu karena tidak

23 33 mencerminkan tingkat kesejahteraan yang sama. Kemiskinan secara absolut ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin. Garis kemiskinan absolut adalah tetap (tidak berubah) dalam hal standar hidup, sehingga garis kemiskinan absolut mampu membandingkan kemiskinan secara umum. Garis kemiskinan absolut sangat penting jika seseorang akan mencoba menilai efek dari kebijakan anti kemiskinan antar waktu, atau memperkirakan dampak dari suatu proyek terhadap kemiskinan (misalnya, pemberian kredit skala kecil). Angka kemiskinan akan dapat dibandingkan antara satu negara dengan negara lain hanya jika garis kemiskinan absolut yang sama digunakan di kedua negara tersebut. Bank Dunia menggunakan dua ukuran kemiskinan absolut, yaitu: a) US $ 1 perkapita per hari, dimana diperkirakan ada sekitar 1,2 miliar penduduk dunia yang hidup dibawah ukuran tersebut; b) US $ 2 perkapita per hari, dimana lebih dari 2 miliar penduduk yang hidup kurang dari batas tersebut. US dollar yang digunakan adalah US$ PPP (Purchasing Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Kedua batas ini adalah garis kemiskinan absolut. Bank Dunia memerlukan garis kemiskinan absolut agar dapat membandingkan angka kemiskinan antar negara, sehingga bermanfaat dalam menentukan fokus penyaluran sumberdaya finansial (dana) yang ada, dan untuk menganalisis kemajuan dalam memerangi kemiskinan. Penelitian ini menggunakan konsep kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS. BPS (2008) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar untuk makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya. Seseorang dikatakan miskin apabila kebutuhan makannya kurang dari 2100 kalori perkapita per hari atau setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di perdesaan dan 480 kg/kapita/tahun di perkotaan dan kebutuhan non makanan

24 34 minimum yang dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan minimum perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan lain-lain. BPS setiap tahun menetapkan besarnya garis kemiskinan berdasarkan hasil Susenas modul konsumsi dengan besaran yang berbeda-beda untuk tiap provinsi tergantung besarnya biaya hidup minimum masing-masing provinsi. Berdasarkan pendekatan kebutuhan dasar tersebut, terdapat tiga indikator yang digunakan yaitu 1) Head Count Index (HCI) yaitu persentase jumlah penduduk miskin yang berada di bawah Garis Kemiskinan (GK), 2) Poverty Gap Index atau kedalaman/jurang kemiskinan, yaitu ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks ini, maka semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan atau dengan kata lain semakin tinggi nilai indeks menunjukkan kehidupan ekonomi penduduk miskin semakin terpuruk, 3) Poverty Severity Index yaitu ukuran yang memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, maka semain tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin Kebijakan Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi Davoodi dan Zou (1998) melihat bahwa desentralisasi fiskal merupakan bagian dari suatu paket reformasi untuk meningkatkan efisiensi sektor publik, meningkatkan kompetisi diantara pemerintah daerah dalam pelayanan publik dan menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Davoodi dan Zou menyimpulkan bahwa tidak ada kaitan antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan di negara maju. Namun sebaliknya terdapat hubungan yang negatif antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi yang disebabkan karena pemerintah daerah kurang dapat mengalokasikan pengeluarannya kepada sektor-sektor yang dibutuhkan oleh masyarakat. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan ekonomi semakin melambat. Oates (1993) berpendapat bahwa desentralisasi fiskal memiliki kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi melalui pelimpahan wewenang fiskal yang lebih besar kepada pemerintah daerah sehingga dapat meningkatkan pelayan publik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan daerah adalah komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan dan melancarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat

I. PENDAHULUAN. Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat kaitannya dengan apa yang disebut pendapatan daerah. Pendapatan daerah dalam struktur APBD masih merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (revisi dari UU no

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Definisi Pendapatan Pendapatan merupakan jumlah dari seluruh uang yang diterima seorang atau rumah tangga selama jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun).

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN

3. KERANGKA PEMIKIRAN 3. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran Penelitian Pemerintah pusat memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pemerintahannya sendiri dalam wadah negara kesatuan Republik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah dan APBD Menurut Mamesah (1995), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ini mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap

BAB I PENDAHULUAN. ini mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses multidimensional. Proses ini mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Fiscal Stress Ada beberapa definisi yang digunakan dalam beberapa literature. Fiscal stress terjadi ketika pendapatan pemerintah daerah mengalami penurunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi Indonesia sangat tergantung pada pembangunan ekonomi daerah. Pembangunan daerah dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan sesuai prioritas dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 75 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Pemerintah Penerimaan pemerintah terdiri dari PAD dan dana perimbangan. PAD terdiri dari pajak, retribusi, laba BUMD, dan lain-lain

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Otonomi Daerah Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah indeks pencapaian kemampuan dasar pembangunan manusia yang dibangun melalui pendekatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Timbulnya pergerakan dan tuntutan-tuntutan praktek otonomi daerah menyebabkan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi berkelanjutan. Seluruh negara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variable Penelitian 2.1.1 Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, pendapatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. karena sebagian orang tua lebih memilih untuk mempekerjakan anaknya dari pada

BAB 1 PENDAHULUAN. karena sebagian orang tua lebih memilih untuk mempekerjakan anaknya dari pada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang yang masih memiliki masalah pengangguran dan kemiskinan. Telah banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk

Lebih terperinci

8.1. Keuangan Daerah APBD

8.1. Keuangan Daerah APBD S alah satu aspek pembangunan yang mendasar dan strategis adalah pembangunan aspek ekonomi, baik pembangunan ekonomi pada tatanan mikro maupun makro. Secara mikro, pembangunan ekonomi lebih menekankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di segala bidang, dan juga guna mencapai cita-cita bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Teori dan Konsep 2.1.1 Pengertian dan Konsep Desentralisasi Desentralisasi merupakan sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, khususnya

Lebih terperinci

Peran Pemerintah dalam Perekonomian

Peran Pemerintah dalam Perekonomian Peran Pemerintah dalam Perekonomian 1. Sistem ekonomi atau Politik Negara 2. Pasar dan peran Pemerintah 3. Jenis Sistem Ekonomi 4. Peran Pemerintah 5. Sumber Penerimaan Negara week-2 ekmakro08-ittelkom-mna

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Di dalam pembangunan ekonomi terutama pembangunan di daerah, peranan yang sangat penting dari keuangan daerah adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan daerah adalah komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Menurut Halim (2004:15-16) APBD adalah suatu anggaran daerah, dimana memiliki unsur-unsur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka. Puspitasari dkk (2016) menjelaskan bahwa 1. Proses pemungutan Pajak

BAB II. Tinjauan Pustaka. Puspitasari dkk (2016) menjelaskan bahwa 1. Proses pemungutan Pajak BAB II 1. Penelitian Terdahulu Tinjauan Pustaka Puspitasari dkk (2016) menjelaskan bahwa 1. Proses pemungutan Pajak Parkir di Kota Malang telah dilaksanakan dengan baik. Proses pemungutan telah dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Halim (2001) adalah penerimaan yang diperoleh daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur masuk dan keluarnya perusahaan dari sebuah indutri, standar mutu

BAB I PENDAHULUAN. mengatur masuk dan keluarnya perusahaan dari sebuah indutri, standar mutu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu Negara, pemerintah mempunyai berbagai kekuasaan untuk mengatur masuk dan keluarnya perusahaan dari sebuah indutri, standar mutu produk, menetapkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pusat (Isroy, 2013). Dengan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab,

BAB I PENDAHULUAN. pusat (Isroy, 2013). Dengan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dalam era otonomi daerah yang sedang berjalan dewasa ini di Indonesia, pemerintah daerah dituntut untuk mampu menjalankan pemerintahannya secara mandiri. Penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan teori 2.1.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1.1 Pengertian APBD Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang saat ini dalam masa pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dalam perkembangannya senantiasa memberikan dampak baik positif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Ekonomi, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum. Kemudian, akan menjabarkan penelitian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variabel Penelitian 2.1.1 Otonomi Daerah Timbulnya pergerakan dan tuntutan-tuntutan praktek otonomi daerah menyebabkan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan daerah adalah komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Faktor keuangan merupakan faktor yang paling dominan dalam mengukur tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonominya. Keadaan keuangan daerah yang menentukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Menurut Halim (2007:232) kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang,

I. PENDAHULUAN. dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya bersumber dari prinsip dasar yang terkandung dalam UUD 1945 Pasal 18 yang berbunyi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai alat untuk mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan disegala bidang harus terus dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk melaksanakan pembangunan, pemerintah tidak bisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 1.1 Tinjauan Teoretis 1.1.1 Otonomi Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Problema kemiskinan terus menjadi masalah besar sepanjang sejarah sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Problema kemiskinan terus menjadi masalah besar sepanjang sejarah sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Problema kemiskinan terus menjadi masalah besar sepanjang sejarah sebuah negara. Dalam sebuah Negara, tidak ada persoalan yang lebih besar, selain persoalan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan menggali sumber-sumber daya yang ada di setiap daerah untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan menggali sumber-sumber daya yang ada di setiap daerah untuk 19 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Otonomi Daerah Pembangunan daerah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang dijalankan selama ini. Keberhasilan akan ditentukan dari bagaimana kemampuan

Lebih terperinci

Daftar Tabel Data Fiskal Regional Kanwil Ditjen Perbendaharaan

Daftar Tabel Data Fiskal Regional Kanwil Ditjen Perbendaharaan Daftar Tabel Data Fiskal Regional Kanwil Ditjen Perbendaharaan LAMPIRAN BAB II. Inflasi PERKEMBANGAN TINGKAT INFLASI Prov/Kab/Kota Tingkat Inflasi (%) Keterangan Prov Maret 0 (YoY) Kabupaten Maret 0 (bulanan)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori-Teori Konsep Desentralisasi Fiskal

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori-Teori Konsep Desentralisasi Fiskal II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori-Teori 2.1.1 Konsep Desentralisasi Fiskal Desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. disertai dengan pembiayaan yang besarnya sesuai dengan beban kewenangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu aspek yang sangat krusial dalam desentralisasi (otonomi daerah) adalah permasalahan desentralisasi fiskal. Secara konseptual, desentralisasi fiskal mensyaratkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal,

BAB I PENDAHULUAN. Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Investasi dalam sektor publik, dalam hal ini adalah belanja modal, merupakan salah satu pengeluaran investasi jangka panjang dalam kegiatan perekonomian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang dimulai beberapa tahun lalu telah merambah ke seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah aspek pemerintahan yaitu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka dalam kenyataannya,

Lebih terperinci

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD 2.1. Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD Dalam penyusunan Kebijakan Umum Perubahan APBD ini, perhatian atas perkembangan kondisi perekonomian Kabupaten Lombok

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Modal Belanja Modal merupakan salah satu jenis Belanja Langsung dalam APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah pengeluaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengembangan Wilayah Pada dasarnya pengembangan adalah proses dimana individu, kelompok, organisasi, institusi dan masyarakat meningkatkan kemampuannya

Lebih terperinci

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang digunakan pada penelitian ini. Hal yang dibahas pada bab ini adalah: (1) keterkaitan penerimaan daerah

Lebih terperinci

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DASAR PEMIKIRAN HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH DAERAH HARUS MEMPUNYAI SUMBER-SUMBER KEUANGAN YANG MEMADAI DALAM MENJALANKAN DESENTRALISASI

Lebih terperinci

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana pengelolaan keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh DPRD dalam Peraturan Daerah

Lebih terperinci

Contoh Soal APBN Dan APBD Beserta Jawabannya

Contoh Soal APBN Dan APBD Beserta Jawabannya Contoh Soal APBN Dan APBD Beserta Jawabannya Contoh Soal APBN Dan APBD Beserta Jawabannya 1. APBN merupakan instrumen untuk mengendalikan perekonomian saat terjadinya infali atau deflasi. Hal ini menggambarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001, maka setiap daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam

BAB I PENDAHULUAN. 2001, maka setiap daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pada konteks ekonomi makro, tolak ukur keberhasilan perekonomian suatu daerah antara lain adalah Pendapatan daerah, tingkat kesempatan kerja dan tingkat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN. Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN. Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN 2.1 LANDASAN TEORI 2.1.1 Stewardship Theory Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship Theory, Teori Stewardship menjelaskan mengenai situasi

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN A. PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Berkaitan dengan manajemen keuangan pemerintah daerah, sesuai dengan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah merupakan landasan yuridis bagi pengembangan otonomi daerah di Indonesia, akan tetapi

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN PENGELUARAN PERKAPITA DI KABUPATEN BATANGHARI

ANALISIS PENDAPATAN DAN PENGELUARAN PERKAPITA DI KABUPATEN BATANGHARI ANALISIS PENDAPATAN DAN PENGELUARAN PERKAPITA DI KABUPATEN BATANGHARI Halaman Tulisan Jurnal (Judul dan Abstraksi) Vol.1, No.5 April 2012 ANALISIS PENDAPATAN DAN PENGELUARAN PERKAPITA DI KABUPATEN BATANGHARI

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi di Indonesia pada tahun 1999 menjadi titik tolak tumbuh kembangnya desentralisasi fiskal yang sebelumnya menganut sistem sentralisasi. Pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah pasal 1 angka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia yang dimulai dari tahun 2001 merupakan sebuah gebrakan (big bang) dari semula pemerintahan yang bersifat sentralistis menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Transfer antarpemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua negara di dunia terlepas dari sistem pemerintahannya dan bahkan sudah menjadi ciri

Lebih terperinci

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang 10 BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA Semenjak krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, Pemerintah Indonesia melakukan reformasi di bidang Pemerintahan Daerah dan Pengelolaan Keuangan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 10 BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Tinjauan Teoretis 2.1.1 Otonomi Daerah Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia tumbuh semakin pesat seiring dengan adanya otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak sekedar memenuhi kebutuhan hayati saja, namun juga menyangkut kebutuhan lainnya seperti

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kemandirian Keuangan Daerah 2.1.1.1 Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 bahwa kemandirian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Teori Indeks Pembangunan Manusia Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Pembangunan manusia menempatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan indikator

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan indikator BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan indikator yang lazim dipergunakan untuk melihat keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi sangat penting

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dana Perimbangan 2.1.1. Pengertian Dana Perimbangan Dana Perimbangan merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintah

Lebih terperinci