ANALISIS LAHAN KRITIS DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIPUNAGARA LUHUR DWI ANDIKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS LAHAN KRITIS DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIPUNAGARA LUHUR DWI ANDIKA"

Transkripsi

1 ANALISIS LAHAN KRITIS DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIPUNAGARA LUHUR DWI ANDIKA DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBER DAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Lahan Kritis di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian bogor. Bogor, Desember 2016 Luhur Dwi Andika NIM A

4 ABSTRAK LUHUR DWI ANDIKA. Analisis Lahan Kritis di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara. Dibimbing oleh KUKUH MURTILAKSONO dan SURIA DARMA TARIGAN. Lahan kritis adalah lahan yang saat ini tidak produktif karena pengelolaannya tidak memperhatikan syarat syarat konservasi tanah dan air, sehingga telah mengalami kerusakan, kehilangan atau berkurang fungsinya sampai batas yang telah ditentukan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memetakan tingkat kekritisan lahan menurut Perdirjen BPDASPS No. P. 4/V-Set/2013 dan pendekatan modifikasi dari Perdirjen BPDASPS No. P. 4/V-Set/2013. Metode yang digunakan untuk memetakan tingkat kekritisan lahan adalah dengan melakukan tumpang tindih/susun (overlay) peta parameter penentu lahan kritis yang telah diberi skor. Parameter yang digunakan pada Perdirjen BPDASPS No. P.4/V-Set/2013 meliputi penutupan/penggunaan lahan, kemiringan lereng, tingkat bahaya erosi, manajemen, dan produktivitas. Parameter yang digunakan pada pendekatan modifikasi terdiri dari penutupan/penggunaan lahan, kemiringan lereng, erodibilitas tanah, erosivitas hujan, erosi yang diperbolehkan, manajemen, dan produktivitas. Selanjutnya peta hasil tumpang tindih/susun (overlay) tersebut digunakan untuk acuan mengetahui perbedaan luasan lahan kritis antara pendekatan Perdirjen BPDASPS No. P.4/V-Set/2013 dengan pendekatan modifikasinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luasan lahan kritis (kelas sangat kritis, kritis, agak kritis) berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS No. P.4/V- Set/2013 adalah ,03 Ha (23,62% dari total luas DAS Cipunagara), sedangkan pada pendekatan modifikasi adalah ,09 Ha (43,38 % dari total luas DAS Cipunagara). Luasan lahan kritis berdasarkan pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS No. P.4/V-Set/2013 lebih besar daripada berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS No. P.4/V-Set/2013. Perbedaan penggunaan parameter pada kedua pendekatan tersebut tanpa pengecekan lapang dapat mengindikasikan pendekatan modifikasi memiliki hasil yang lebih representatif. Hal tersebut dikarenakan pada pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS No. P.4/V-Set/2013 tidak terdapat parameter yang berulang (penutupan/penggunaan lahan dengan pengelolaan tanaman, manajemen dengan teknik konservasi tanah, dan kemiringan lereng). Cara pembobotan dan skoring pada pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS No. P.4/V-Set/2013 juga mempengaruhi nilai yang dihasilkan dalam menentukan tingkat kekritisan lahan. Kata kunci : lahan kritis, parameter penentu, tumpang tindih, skoring, representatif

5 ABSTRACT LUHUR DWI ANDIKA. Analysis of Degraded Land in the Cipunagara Watershed. Supervised by KUKUH MURTILAKSONO and SURIA DARMA TARIGAN. Degraded land is land that is currently unproductive due to its management without considering conservation of soil and water, thus destructed or loss of its function until certain periods. The aim of the research was to analyze and map the level of degraded land according Perdirjen BPDAS PS No. P.4/V-Set/2013 and its modification. The applied method to map the level of degraded land is was carried out by overlaying scored maps of determining factor degraded land. The parameters applied in Perdirjen BPDASPS No. P.4/V-Set/2013 included the land cover, slope, level of erosion hazard, management, and productivity. The parameters applied in the modification approach included the land cover, slope, soil erodibility, rainfall erosivity, tolerable soil loss, management, and productivity. The result of overlay maps was used as reference of the difference of degraded land between the two approaches. The result showed that the degraded land (class of strongly degraded, degraded, slightly degraded) based on Perdirjen BPDASPS No. P.4/V-Set /2013 was 32, Ha (23.62% of the Cipunagara watershed), whereas the approach of its modification was 58, Ha (43.38% of the Cipunagara watershed). Degraded land based on modification of Perdirjen BPDASPS No. P.4/V-Set/2013 larger than based on Perdirjen BPDASPS No. P.4/V-Set/2013. The difference of parameters applied of the two approaches without ground checking indicated approach of the modification was more representative. This was due to there was no replicated parameters (land cover, management, and slope), that applied on the modification approach. Weighted technique and scoring of the Perdirjen BPDASPS No. P.4/V-Set/2013 modification approach affected the extend of degraded land is well. Keywords : degraded land, determining factor, overlaying, scoring, representative

6

7 ANALISIS LAHAN KRITIS DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIPUNAGARA LUHUR DWI ANDIKA Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian Pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

8

9

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Analisis Lahan Kritis di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara Jawa Barat. Pada kesempatan kali ini penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Kukuh Murtilaksono, MS selaku dosen pembimbing pertama dan Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, MSc selaku dosen pembimbing kedua atas bimbingan dan arahannya selama penulis menyelesaikan karya ilmiah ini. 2. Ibu Dr. Ir. Enni Dwi Wahjunie, MSi selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan bagi penulis dalam penulisan skripsi ini. 3. Bapak Suripto, Ibu Wahyuni, Wahyu Eko BL, Iqbal Nur Fauzi serta saudara saudara penulis yang telah memberikan semangat, dukungan dan doa kepada penulis. 4. Keluarga ILMU TANAH IPB dan Keluarga FORKOMA Kebumen yang tidak bisa disebutkan satu persatu serta semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya. Bogor, Desember 2016 Luhur Dwi Andika

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL iv DAFTAR GAMBAR v DAFTAR LAMPIRAN v PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 METODE 3 Lokasi dan Waktu Penelitian 3 Bahan dan Alat 3 Metode Penelitian 4 Analisis Tingkat Kekritisan Lahan 8 HASIL DAN PEMBAHASAN 19 Kondisi Umum Wilayah Penelitian 19 Analisis Parameter Penentu Lahan Kritis Menurut Tingkat Kekritisan 20 Analisis dan Pemetaan Lahan Kritis Pendekatan Perdirjen BPDAS 29 Nomor P.4/V-Set Analisis dan Pemetaan Lahan Kritis dengan Pendekatan Modifikasi 34 KESIMPULAN DAN SARAN 41 Kesimpulan 41 Saran 41 DAFTAR PUSTAKA 42 LAMPIRAN 44 RIWAYAT HIDUP 58

12 DAFTAR TABEL 1. Jenis data, sumber data, teknik analisis dan hasil penelitian 5 2. Klasifikasi dan skoring penutupan lahan untuk penentuan lahan kritis 8 3. Spesifikasi data atribut pada data spasial penutupan lahan 8 4. Klasifikasi lereng dan skoringnya untuk penentuan lahan kritis 9 5. Spesifikasi data atribut pada data spasial kemiringan lereng 9 6. Kelas tingkat bahaya erosi (TBE) Klasifikasi dan skoring tingkat bahaya erosi (TBE) DAS Cipunagara Klasifikasi produktivitas dan skoringnya Spesifikasi data atribut pada data spasial produktivitasnya Klasifikasi manajemen dan skoringnya untuk penentuan lahan kritis Spesifikasi data atribut pada data spasial manajemen Klasifikasi tingkat lahan kritis Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V- Set/ Skoring kelas penutupan lahan Kelas dan skoring kemiringan lereng DAS Cipunagara Skoring erosivitas hujan (R) Skoring Erosi yang diperbolehkan (Edp) Kelas dan skoring erodibilitas tanah Klasifikasi dan skoring manajemen Klasifikasi dan skoring produktivitas Parameter penentu tingkat kekritisan lahan berdasarkan modifikasi Urutan parameter penentu dan bobot Kelas lahan kritis parameter modifikasi Matriks perbandingan parameter penentu tingkat kekritisan lahan Luas penutupan/penggunaan lahan DAS Cipunagara Tahun Kelas penutupan/penggunaan lahan DAS Cipunagara Tahun Luas kemiringan lereng DAS Cipunagara Nilai curah hujan rata - rata dan R tahun DAS Cipunagara serta skoringnya Kelas erodibilitas tanah DAS Cipunagara Kelas kemiringan lereng dan nilai LS DAS Cipunagara serta luasannya Kelas tingkat bahaya erosi (TBE) DAS Cipunagara Tahun Kelas Edp DAS Cipunagara Tahun Tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/ Tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/

13 34. Tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung dan kawasan lindung di luar kawasan hutan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/ Tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya pertanian DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/ Tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan produksi DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/ Tingkat kekritisan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/ Tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan lindung DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi Tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi Tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan lindung dan kawasan lindung di luar hutan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi Tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya pertanian DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi Tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan produksi DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi Tingkat kekritisan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi dari Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/ Tingkat kekritisan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 pada pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 dan pendekatan modifikasinya 38 DAFTAR GAMBAR 1. Lokasi penelitian 3 2. Bagan alir pemetaan lahan kritis dengan parameter P.4/V Set/ Bagan alir petaan lahan kritis dengan parameter modifikasi 7 4. Peta jenis tanah DAS Cipunagara Peta isohyet curah hujan harian DAS Cipunagara ( ) Peta kawasan DAS Cipunagara Peta tutupan lahan DAS Cipunagara Tahun Peta kelas penutupan/penggunaan lahan DAS Cipunagara Tahun Peta kelas kemiringan lereng DAS Cipunagara Peta erosivitas hujan DAS Cipunagara Peta kelas erodibilitas tanah DAS Cipunagara Tahun Peta kelas tingkat bahaya erosi DAS Cipunagara Tahun

14 13. Peta Erosi yang diperbolehkan DAS Cipunagara Tahun Peta lahan kritis pada kawasan lindung dan kawasan lindung di luar kawasan hutan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/ Peta lahan kritis pada kawasan budidaya pertanian DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/ Peta lahan kritis pada kawasan hutan produksi DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/ Peta lahan kritis pada kawasan hutan lindung dan kawasan lindung di luar hutan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/ Peta lahan kritis pada kawasan budidaya pertanian DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/ Peta lahan kritis pada kawasan hutan produksi DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/ Peta tingkat kekritisan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/ Peta tingkat kekritisan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/ DAFTAR LAMPIRAN 1. Parameter, bobot, kriteria, skor dan nilai penentu kekritisan lahan pada parameter modifikasi Lokasi pengambilan sampel tanah Daftar nama kecamatan, jumlah dan nama desa di DAS Cipunagara Hasil analisis laboratorium sifat fisik dan kimia tanah Hasil analisis nilai erodibilitas tanah (K) Nilai prediksi erosi Nilai faktor kedalaman tanah Kriteria penilaian tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan lindung Perdirjen BPDAS PS Nomor P.4/V-Set/ Kriteria penilaian tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya Perdirjen BPDAS PS Nomor P.4/V-Set/ Kriteria penilaian tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar hutan dan kawasan hutan produksi Perdirjen BPDAS PS Nomor P.4/V-Set/

15 PENDAHULUAN Latar Belakang Daerah Aliran Sungai memiliki peranan yang penting dalam menjaga suatu ekosistem dan ketersediaan air. Berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2014 Tentang Konservasi Tanah dan Air, Daerah Aliran Sungai adalah satuan wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak anak sungai yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alamiah, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Degradasi lahan adalah proses penurunan produktivitas lahan yang bersifat sementara maupun tetap yang dicirikan dengan penurunan kualitas fisik, kimia dan biologi tanah. Lahan kritis merupakan salah satu bentuk dari lahan yang telah terdegradasi (Dariah et al dalam Sitorus et al. 2011). Lahan kritis merupakan lahan yang saat ini tidak produktif karena pengelolaannya tidak memperhatikan syarat syarat konservasi tanah dan air, sehingga lahan mengalami kerusakan, kehilangan atau berkurang fungsinya sampai batas yang telah ditentukan atau diharapkan (Rumenah et al. 2010). Secara umum lahan kritis adalah hasil akhir dari proses degradasi lahan yang terjadi akibat adanya pemanfaatan lahan yang dilakukan secara berlebihan tanpa memperhatikan aspek kemampuan dan pengelolaan lahan. Hal ini yang membuat tingginya laju erosi dan terbentuknya lahan kritis (Arsyad 2010). Selain faktor penggunaan lahan dan curah hujan, terbentuknya lahan kritis juga dipengaruhi oleh faktor topografi, seperti kondisi lereng yang curam dan kondisi lahan yang peka terhadap erosi (Barus et al. 2011). Perubahan dalam pengelolaan lahan banyak menyebabkan hutan hutan menjadi gundul karena mengalami alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian, permukiman dan lainnya, dengan perubahan alih fungsi hutan menyebabkan mulai turunnya jumlah hutan sehingga sumber mata air berkurang, timbulnya longsor, pendangkalan sungai dan pada akhirnya membawa dampak perubahan ke arah lahan kritis (Harini et al. 2012). Kawasan Daerah Aliran Sungai Cipunagara dari tahun ke tahun mengalami peningkatan luasan lahan kritis, wilayah bagian selatan telah mengalami pengalihfungsian lahan hutan menjadi kawasan pertanian dan pemukiman. Sebagian besar hutan yang dikonversi digunakan sebagai areal perkebunan baik milik swasta maupun negara. Konversi lahan pertanian menjadi non pertanian didasari kebutuhan akan lahan yang semakin meningkat diikuti oleh pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat pula. Kawasan DAS bagian utara didominasi oleh kawasan pemukiman, industri, dan pertokoan karena wilayahnya yang relatif datar. Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan Nomor : SK.4/V-DAS/2015 tentang Penetapan Peta dan Data Hutan dan Lahan Kritis Nasional Tahun 2013, menyebutkan bahwa luas hutan dan lahan kritis DAS Cipunagara tahun 2013 sebagai berikut : a. Sangat Kritis seluas 1.346,79 ha

16 2 b. Kritis seluas ,60 ha c. Agak Kritis seluas ,72 ha d. Potensial Kritis seluas ,64 ha e. Tidak Kritis seluas ,75 ha Data dan informasi yang diperlukan dalam analisis lahan kritis dapat dilaksanakan dengan survei wilayah secara langsung di lapangan dan dari data penginderaan jauh. Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau gejala yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1987 ). Saat ini penyusunan data dan peta lahan kritis telah banyak dilakukan oleh berbagai instansi Pemerintah dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Aplikasi SIG mempunyai banyak keunggulan dalam hal pemrosesan data spasial digital, sehingga output data yang diperoleh dari hasil analisa dapat lebih cepat dan akurat (Kementerian Kehutanan 2013). Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memetakan tingkat kekritisan lahan menurut Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 dan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 di DAS Cipunagara. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan menjadi bahan dan informasi serta masukan dalam pengambil dan pembuat kebijakan, terkait pengendalian penggunaan lahan sehingga terbentuknya lahan kritis di DAS Cipunagara dapat ditekan sekecil mungkin.

17 3 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai Februari sampai dengan Juni 2016 yang berlokasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara, Jawa Barat. DAS Cipunagara terdiri dari 29 kecamatan dan 207 desa/kelurahan (Gambar 1). Batas wilayah DAS Cipunagara yang sebagian besar berada di Kabupaten Subang meliputi : Sebelah Utara : Laut Jawa Sebelah Timur : Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Sumedang Sebelah Selatan : Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Bandung Barat Sebelah Barat : Kabupaten Subang Gambar 1 Lokasi penelitian Bahan dan Alat Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer berupa hasil analisis laboratorium sampel tanah yang terdiri dari tekstur tanah, struktur tanah, bobot isi, permeabilitas tanah, dan bahan organik. Sedangkan data sekunder terdiri dari data curah hujan dan stasiun hujan yang diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), peta administrasi DAS Cipunagara, peta penggunaan lahan, peta jenis tanah, peta kawasan hutan, dan peta kemiringan lereng. Alat yang digunakan adalah Global Positioning System (GPS), kamera digital dan seperangkat komputer yang dilengkapi dengan Software : ArcGIS, Google Earth, Micrososft Excel.

18 4 Metode Penelitian Penetapan dan Pengambilan Sampel Tanah Lokasi pengambilan sampel tanah ditentukan berdasarkan peta jenis tanah, peta penggunaan lahan, peta lereng, dan peta administrasi DAS Cipunagara. Jenis sampel tanah yang diambil adalah tanah utuh dan tanah terganggu. Pengambilan sampel tanah utuh digunakan untuk penetapan bobot isi dan distribusi ukuran pori. Sedangkan pengambilan sampel tanah terganggu digunakan untuk analisis tekstur tanah dan kandungan C-organik tanah. Lokasi pengambilan sampel dapat dilihat pada Lampiran 2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer digunakan untuk memperoleh informasi tentang sifat fisik dan kimia tanah. Data sekunder diperoleh dari instansi instansi yang berkaitan dengan informasi lahan kritis. Data yang digunakan berupa peraturan Perundangundangan, BPDAS Citarum Ciliwung, dan instansi instansi lain yang berkaitan dengan data yang diperlukan. Analisis Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada tujuan penelitian yaitu : 1. Menentukaan parameter lahan kritis. Parameter yang digunakan adalah berdasarkan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-set/2013 dan parameter modifikasi. Parameter berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 meliputi penutupan lahan, kemiringan lereng, tingkat bahaya erosi, produktivitas dan manajemen. Sedangkan parameter modifikasi meliputi penutupan lahan, kemiringan lereng, erosivitas hujan, erosi yang dapat diperbolehkan, erodibilitas tanah, produktivitas, dan manajemen. 2. Melakukan tumpang tindih (overlay) terhadap parameter yang telah ditentukan berdasarkan kedua parameter tersebut untuk memperoleh peta tingkat kekritisan lahan menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG). Peta tersebut nantinya akan digunakan sebagai acuan untuk mengetahui perbedaan luasan lahan kritis antara pendekatan Perdirjen BPDAS PS Nomor P.4/V-Set/2013 dengan parameter modifikasi. Jenis data, sumber data, metode analisis data dan hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 1, sedangkan tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3.

19 5 Tabel 1 Jenis data, sumber data, teknik analisis dan hasil penelitian No Tujuan Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data Metode Analisis Output 1 Menganalisis dan memetakan tingkat kekritisan lahan 2 Membandingkan penetapan lahan kritis berdasarkan parameter P.4/V- Set/2013 dan modifikasi Citra Landsat Parameter penentu tingkat kekritisan lahan (P. 4/V- Set/2013) : Peta penutupan lahan, Peta kemiringan lereng, Peta tingkat bahaya erosi, Peta pengelolaan lahan (peta manajemen & peta produktivitas) Parameter penentu tingkat kekritisan lahan (Modifikasi) : Peta penutupan lahan, Peta kemiringan lereng, Peta Erodibilitas Tanah, Peta Erosi yang diperbolehkan (Edp) Peta Erosivitas Hujan Peta pengelolaan lahan(peta manajemen & peta produktivitas) Analisis SIG Skoring Overlay Analisis SIG Skoring Overlay Uji Laboratorium untuk Data Erodibilitas Tanah Berdasar Parameter Penentu tingkat kekritisan diperoleh Peta Lahan Kritis yang sudah teridentifikasi Peta Lahan Kritis yang sudah teridentifikasi Analisis SIG Perbedaan lahan kritis berdasarkan parameter P.4/V- Set/2013 dan modifikasi

20 6 Pengambilan sampel tanah % Pasir halus % debu % liat Permeabilitas tanah Bahan organik Data Curah Hujan Data Panjang Lereng dan Kemiringan Lereng Data Pengelolaan Tanaman Data Tindakan Konservasi Citra Landsat Nilai Erosivitas hujan (R) Nilai LS Erodibilitas tanah (K) Nilai C Nilai P Peta Penutupan Lahan Peta Kemiringan Lereng Peta Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Peta Manajemen Peta Produktivitas Skoring Overlay Peta Lahan Kritis teridentifikasi (P.4/V-Set/2013) Gambar 2 Bagan alir pemetaan lahan kritis dengan parameter P.4/V Set/2013

21 7 Peta penutupan Peta produktivitas Peta kemiringan lereng Peta manajemen Peta EDP Peta erodibilitas tanah Peta erosivitas hujan Skoring Overlay Peta Lahan Kritis teridentifikasi (Parameter Modifikasi) Gambar 3 Bagan alir petaan lahan kritis dengan parameter modifikasi

22 8 Analisis Tingkat Kekritisan Lahan Parameter penentu tingkat kekritisan lahan berdasarkan Perdirjen BPDAS PS Nomor P.4/V-Set/2013. Hasil analisis terhadap beberapa parameter penentu lahan kritis menghasilkan data spasial lahan kritis. Parameter penentu lahan kritis berdasarkan Permenhut Nomor P.4/V-Set/2013, meliputi : a. Penutupan lahan Untuk parameter penutupan lahan dinilai berdasarkan persentase penutupan tajuk pohon terhadap luas setiap land system dan diklasifikasikan menjadi lima kelas. Masing-masing kelas penutupan lahan selanjutnya diberi skor untuk keperluan penentuan lahan kritis. Dalam penentuan lahan kritis, parameter penutupan lahan mempunyai bobot 50%, sehingga nilai skor untuk parameter ini merupakan perkalian antara skor dengan bobotnya (skor x 50). Klasifikasi penutupan lahan dan skor untuk masing-masing kelas ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 Klasifikasi dan skoring penutupan lahan untuk penentuan lahan kritis Kelas Persentase Penutupan Tajuk (%) Skor Sangat Baik > 80 5 Baik Sedang Buruk Sangat Buruk < 20 1 Data spasial penutupan lahan yang disusun harus mempunyai data atribut yang menjelaskan tentang kondisi penutupan lahan pada setiap unit pemetaannya (poligon penutupan lahan). Untuk keperluan tersebut, pada data atribut perlu dibuat minimal tiga kolom baru dengan spesifikasi pada Tabel 3. Tabel 3 Spesifikasi data atribut pada data spasial penutupan lahan Nama Spesifikasi Kolom Keterangan Kolom Tipe Lebar Desimal Kelas_Veg String / 20 - Diisi penutupan lahan Character Penutupan String / Character 10 - Diisi persentase penutupan tajuk Skor_Veg Number / numerik 5 - Diisi Skor penutupan tajuk b. Kemiringan lereng Kemiringan lereng adalah perbandingan antara beda tinggi (jarak vertikal) suatu lahan dengan jarak mendatarnya. Besar kemiringan lereng dapat dinyatakan dengan beberapa satuan, diantaranya adalah dengan % (persen) dan o (derajat). Data spasial kemiringan lereng dapat disusun dari hasil pengolahan

23 9 data ketinggian (garis kontur) dengan bersumber pada peta topografi atau peta rupabumi. Pengolahan data kontur untuk menghasilkan informasi kemiringan lereng dapat dilakukan secara manual maupun dengan bantuan komputer ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 Klasifikasi lereng dan skoringnya untuk penentuan lahan kritis Kelas Kemiringan Lereng (%) Skor Datar < 8 5 Landai Agak Curam Curam Sangat Curam > 40 1 Data spasial kemiringan lereng yang disusun harus mempunyai data atribut yang berisikan informasi kemiringan lereng dan klasifikasinya pada setiap unit pemetaannya (poligon kemiringan lereng), sehingga atribut data spasial kemiringan lereng perlu dibuat dengan spesifikasi pada Tabel 5. Tabel 5 Spesifikasi data atribut pada data spasial kemiringan lereng Nama Kolom Kelas_Le reng Kelereng an Skor_Ler eng Spesifikasi Kolom Tipe Lebar Desimal String / Character 20 - String / Character 10 - Number / Numerik 5 - Keterangan Diisi kelas kemiringan lereng Diisi kelas kemiringan lereng Diisi Skor kemiringan lereng c. Tingkat bahaya erosi Tingkat Bahaya Erosi (TBE) dapat dihitung dengan cara membandingkan tingkat erosi di suatu satuan lahan (land unit) dan kedalaman tanah efektif pada satuan lahan tersebut, dengan klasifikasi seperti pada Tabel 6. Dalam hal ini tingkat erosi dihitung dengan menghitung perkiraan rata-rata tanah hilang tahunan akibat erosi lapis dan alur yang dihitung dengan rumus Universal Soil Loss Equation (USLE). Kalsifikasi dan skoring tingkat bahaya erosi dapat dilihat pada Tabel 7. Rumus USLE dapat dinyatakan sebagai berikut : A = R x K x LS x C x P Dimana : A = jumlah tanah hilang (ton/ha/tahun) R = erosivitas curah hujan tahunan rata-rata K = indeks erodibilitas tanah (ton x ha x jam) dibagi oleh (ha x mega joule x mm) LS = indeks panjang dan kemiringan lereng C = indeks pengelolaan tanaman P = indeks upaya konservasi tanah

24 10 Tabel 6 Kelas tingkat bahaya erosi (TBE) Kelas Erosi Solum Tanah (cm) I II III IV V Erosi (ton/ha/tahun) < > 480 Dalam > 90 SR R S B SB 0 I II III IV Sedang R S B SB SB I II III IV IV Dangkal S B SB SB SB II III IV IV IV Sangat Dangkal <30 B SB SB SB SB III IV IV IV IV Keterangan : 0 SR = Sangat Ringan I R = Ringan II S = Sedang III - B = Berat IV - SB = Sangat Berat Tabel 7 Klasifikasi dan skoring tingkat bahaya erosi (TBE) DAS Cipunagara Kelas Besaran/deskripsi Skor Ringan 0 dan I 5 Sedang II 4 Berat III 3 Sangat berat IV 2 d. Produktivitas Data produktivitas merupakan salah satu kriteria yang dipergunakan untuk menilai kekritisan lahan di kawasan budidaya pertanian, yang dinilai berdasarkan rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional. Sesuai dengan karakternya, data tersebut merupakan data atribut. Di dalam analisa spasial, data atribut tersebut harus dispasialkan dengan satuan pemetaan land system. Alasan utama digunakannya land system sebagai satuan pemetaan produktivitas adalah setiap land system mempunyai karakter geomorfologi yang spesifik, sehingga mempunyai pola usaha tani dan kondisi lahan yang spesifik pula. Produktivitas lahan dalam penentuan lahan kritis dibagi menjadi 5 kelas seperti terlihat pada Tabel 8. Spasialisasi kriteria produktivitas dengan menggunakan unit pemetaan land system pada dasarnya dilakukan dengan melakukan pengolahan terhadap atribut data spasial land system. Pada atribut data spasial land system, perlu ditambahkan field baru yang berisi informasi tentang produktivitas lahan pada setiap unit land system. Berdasarkan atribut tersebut dilakukan pengelompokan land system yang mempunyai kesamaan dalam hal produktivitas lahannya.

25 11 Tabel 8 Klasifikasi produktivitas dan skoringnya Kelas Besaran/Deskripsi Skor Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional : > 80% rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional : 61 80% rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional : 41 60% rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional : 21 40% rasio terhadap produksi komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional : < 20% Tabel 9 Spesifikasi data atribut pada data spasial produktivitasnya Nama Kolom Spesifikasi Kolom Keterangan Tipe Lebar Desimal Kelas_Prd String / Diisi kelas 20 - Character produktivitas Produktivitas String / Diisi nilai 20 - Character produktivitas Skor_Prd Number / Diisi Skor 5 - Numerik produktivitas e. Manajemen Manajemen merupakan salah satu kriteria yang dipergunakan untuk menilai lahan kritis di kawasan hutan lindung, yang dinilai berdasarkan kelengkapan aspek pengelolaan yang meliputi keberadaan tata batas kawasan, pengamanan dan pengawasan serta dilaksanakan atau tidaknya penyuluhan. Sesuai dengan karakternya, data tersebut merupakan data atribut. Seperti halnya dengan kriteria produktivitas, manajemen pada prinsipnya merupakan data atribut yang berisi informasi mengenai aspek manajemen. Berkaitan dengan penyusunan data spasial lahan kritis, kriteria tersebut perlu dispasialisasikan dengan menggunakan atau berdasar pada unit pemetaan tertentu. Unit pemetaan yang digunakan, mengacu pada unit pemetaan untuk kriteria produktivitas, adalah unit pemetaan landsystem. Kriteria manajemen dalam penentuan lahan kritis dibagi menjadi 3 kelas seperti tercantum pada Tabel 10.

26 12 Tabel 10 Klasifikasi manajemen dan skoringnya untuk penentuan lahan kritis Kelas Besaran/Deskripsi Skor Baik Lengkap *) 5 Sedang Tidak Lengkap 3 Buruk Tidak Ada 1 Keterangan : - Tata batas kawasan ada - Pengamanan kawasan ada - Penyuluhan dilaksanakan Seperti halnya dengan data spasial kriteria penyusunan lahan kritis, data spasial kriteria manajemen yang disusun harus mempunyai data atribut yang berisikan informasi mengenai aspek manajemen dan klasifikasinya pada setiap unit pemetaannya, sehingga atribut data spasial kriteria manajemen perlu dibuat dengan spesifikasi seperti ditunjukkan pada Tabel 11. Tabel 11 Spesifikasi data atribut pada data spasial manajemen Nama Spesifikasi Kolom Keterangan Kolom Tipe Lebar Desimal Kelas_Mnj String / Character 20 - Diisi kelas manajemen Deskripsi String / Character 20 - Diisi deskripsi aspek manajemen Skor_Mnj Number / Numerik 5 - Diisi Skor Aspek Manajemen Analisis Spasial Lahan Kritis Berdasarkan Pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013. Analisis spasial dilakukan dengan menumpangsusunkan (overlay) parameter penentu lahan kritis untuk menghasilkan unit pemetaan baru yang akan digunakan sebagi unit analisis lahan kritis. Pada setiap unit analisis tersebut dilakukan analisis terhadap data atributnya yang tak lain adalah data tabular, sehingga analisisnya disebut juga analisis tabular. Hasil analisis tabular selanjutnya dikaitkan dengan data spasialnya untuk menghasilkan data spasial dari lahan kritis. Klasifikasi tingkat lahan kritis berdasarkan jumlah skor parameter penentu lahan kritis seperti pada Tabel 12. Tabel 12 Klasifikasi tingkat lahan kritis Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V- Set/2013 Total Skor pada : Kawasan Kawasan Lindung Tingkat Lahan Kawasan Hutan Budidaya diluar Kawasan Kritis Lindung Pertanian Hutan Sangat Kritis Kritis Agak Kritis Potensial Kritis Tidak Kritis

27 13 Parameter Penentu Tingkat Kekritisan Lahan Pendekatan Modifikasi. Parameter Penentu Tingkat Kekritisan Lahan Pendekatan Modifikasi dari Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 meliputi : a. Penutupan Lahan Untuk penilaian dan skoring penutupan lahan parameter modifikasi dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Skoring kelas penutupan lahan Penutupan/penggunaan lahan Nilai (%) Skor Hutan Alam Hutan Produksi Perkebunan dan sawah Tegalan Semak belukar dan pemukiman < 20 1 b. Kemiringan Lereng Untuk klasifikasi dan skoring kemiringan lereng mengacu pada P. 4/V- Set/2013 yang dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Kelas dan skoring kemiringan lereng DAS Cipunagara Kelas Kemiringan Lereng Skor Datar < 8 % 5 Landai 8 15 % 4 Agak Curam % 3 Curam % 2 Sangat Curam > 40 % 1 c. Erosivitas Hujan Indeks erosivitas hujan dihitung berdasarkan persamaan Bols (1978) dalam Arsyad (2010) sebagai berikut : EI30 = 6,119 (RAIN) 1,21 (DAYS) -0,47 (MAXP) 0,53 Dimana : EI30 = indeks erosi hujan bulanan RAIN = curah hujan rata rata bulanan (cm) DAYS = jumlah hari hujan rata rata per bulan MAXP = curah hujan maksimum selama 24 jam (cm) Data spasial erosivitas hujan disusun dari hasil pengolahan data curah hujan selama 5 tahun terakhir yaitu tahun pada 5 stasiun pengamatan di DAS Cipunagara. Skoring untuk erosivitas hujan dapat dilihat pada Tabel 15. Menurut Hudson (1965) dalam Hardjowigeno et al. (2007) erosi hampir seluruhnya disebabkan oleh hujan sehingga hujan mempunyai korelasi yang tinggi dengan erosi. Hujan dapat menyebabkan erosi dengan intensitas lebih dari 25 mm/jam (KE 25 mm).

28 14 Tabel 15 Skoring erosivitas hujan (R) Curah Hujan Erosivitas (R) (cm) Skor (mm/tahun) <1000 < >2500 > d. Erosi yang Diperbolehkan (Edp) Erosi yang diperbolehkan (Edp) adalah jumlah tanah hilang yang diperbolehkan per tahun supaya produktivitas suatu lahan tidak berkurang sehingga tanah tetap produktif secara lestari (Hardjowigeno 2007). Edp dihitung dengan persamaan dari Wood dan Dent (1983) dalam Hardjowigeno (2010) sebagai berikut : Edp (mm/thn) = [ DE Dmin Kelestarian Tanah ] + Kecepatan Pembentukan Tanah DE = Kedalaman Efektif x Faktor Kedalaman Edp (ton/ha/thn) = EDP mm/thn x 10 ton/ha x BD Dimana : DE = Kedalaman Ekuivalen BD = Bobot Isi (gram/cm 3 ) Dmin = Kedalaman tanah minimum untuk perakaran tanaman Menurut Arsyad (2010) menyatakan bahwa nilai Edp maksimum untuk tanah di Indonesia terutama tanah yang dalam adalah 25 ton/ha/tahun, sedangkan untuk tanah yang kedalamannya kurang maka Edp harus kurang dari 25 ton/ha/tahun. Klasifikasi dan skoring Edp dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Skoring Erosi yang diperbolehkan (Edp) Erosi yang diperbolehkan Kelas Skor ( ton/ha/tahun) > 25 Tinggi 5 25 Rendah 1 e. Erodibilitas Tanah Data-data yang diperlukan dalam penilaian parameter erodibilitas tanah dan bobot isi tanah diantaranya adalah tekstur tanah (fraksi debu, pasir sangat halus dan pasir), persentase bahan organik, struktur tanah, dan permeabilitas tanah. Faktor yang mempengaruhi erodibilitas tanah adalah : 1. Tekstur tanah Tekstur tanah dan kandungan bahan organik sangat berpengaruh terhadap nilai Indeks Erodibilitas (IE), semakin besar persentasi tekstur debu maka

29 15 semakin besar pula nilai IE dan semakin kecil tekstur tanah klei maka semakin besar nilai IE. Sedangkan untuk persentase tekstur tanah pasir tergantung dari komposisi tekstur tanah debu dan tekstur tanah klei. Selain itu semakin besar kandungan bahan organik tanah maka semakin kecil nilai IE (Sulistyaningrum et al. 2014) 2. Struktur tanah Menurut Syarief (1986) dalam Widyasunu et al. (2011) menyatakan bahwa struktur tanah dapat dikatakan baik apabila di dalam terdapat penyebaran ruang pori pori yang baik, yaitu terdapat ruang pori di antara agregat yang dapat diisi air, udara, sekaligus mantap keadaannya. Agregat tanah yang mantap tidak mudah hancur oleh adanya gaya dari luar seperti pukulan butir air hujan, sehingga pori tanah tidak mudah tertutup oleh partikel partikel tanah halus. 3. Bahan organik Bahan organik tanah adalah semua bahan di dalam tanh baik yang hidup maupun yang sudah mati. Pada terminologi tertentu biomassa tidak dimasukkan sebagai bahan organik tanah dan menggunakan istilah humus. Jumlah dan sifat bahan organik tanah sangat menentukan sifat biokimia, fisika, kesuburan tanah dan membantu menetapkan arah proses pembentukan tanah. Bahan organik menentukan komposisi dan mobilitas kation yang terjerap, warna tanah, konsistensi tanah, partikel density, bulk density, sumber unsur hara, kemantapan agregat dan aktivitas organisme tanah (Muklis 2007). 4. Permeabilitas tanah Cepat lambatnya permeabilitas tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, tekstur tanah dan struktur tanah. Tanah tanah yang bertekstur pasir akan lebih cepat permeabilitasnya dibandingkan tanah tanah yang bertekstur debu dan klei. Semakin cepatnya permeabilitas akan berdampak pada berkurangnya aliran permukaan tanah karena air banyak yang terinfiltrasi. Sebaliknya tanah tanah yang bertekstur halus mempunyai permeabilitas yang lambat (Widyasunu et al. 2011). Klasifikasi dan skoring erodibilitas tanah dapat dilihat pada Tabel 17. Perhitungan nilai K dihitung dengan persamaan (Weischmeier et al dalam Hardjowigeno 2010) : K = 1, 292{ 2, 1 M1,14 (10 4 )(12 a) + 3, 25 (b 2) + 2, 5 (c 3)} 100 Dimana : M = ukuran partikel (% pasir sangat halus+ % debu x (100-% liat) a = kandungan bahan organik (BO = % C x 1,724) b = harkat struktur tanah c = harkat permeabilitas tanah

30 16 Tabel 17 Kelas dan skoring erodibilitas tanah No Nilai Erodibilitas Tanah (K) Harkat Skor 1 < 0,20 Rendah 5 2 0,21 0,32 Sedang 4 3 0,33 0,40 Agak Tinggi 3 4 0,41 0,55 Tinggi 2 5 0,56 0,64 Sangat Tinggi 1 (Modifikasi dari Sitanala Arsyad 2010) f. Manajemen Penilaian manajemen pada penentuan lahan kritis dilakukan pada kawasan hutan lindung, kawasan budidaya pertanian, kawasan lindung di luar kawasan hutan, dan kawasan hutan produksi. Data terkait manajemen diperoleh dari BPDAS PS Kementerian Kehutanan Tahun Klasifikasi dan skoring manajemen untuk masing masing kawasan berdasarkan Perdirjen BPDAS PS P.4/V-Set/2013 dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Klasifikasi dan skoring manajemen Kawasan Kelas Skor Kawasan hutan lindung Baik (lengkap : kawasan ada, 5 pengamanan kawasan ada, dan penyuluhan dilaksanakan) Sedang (tidak lengkap) 3 Buruk (tidak ada) 1 Kawasan budidaya Baik (Penerapan teknologi 5 pertanian, kawasan lindung di luar kawasan hutan, dan kawasan konservasi tanah lengkap dan sesuai petunjuk) Sedang (tidak lengkap atau tidak 3 hutan produksi terpelihara) Buruk (tidak ada) 1 g. Produktivitas Penilaian produktivitas pada penentuan lahan kritis di DAS Cipunagara dilakukan berdasarkan rasio terhadap komoditi umum optimal pada pengelolaan tradisional. Data yang digunakan merupakan data sekunder dari Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Subang dan BPDAS PS Citarum Ciliwung. Klasifikasi dan skoring produktivitas untuk penentuan lahan kritis dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Klasifikasi dan skoring produktivitas Deskripsi Kelas Kriteria Skor Rasio terhadap produksi Sangat Tinggi > 80 % 5 komoditi umum optimal pada Tinggi % 4 pengelolaan tradisional Sedang % 3 Rendah % 2 Sangat Rendah < 20 % 1

31 17 Analisis Spasial Lahan Kritis Berdasarkan Modifikasi dari Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013. Untuk menganalisis sebaran lahan kritis berdasarkan modifikasi dari Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 digunakan parameter yang dapat dilihat pada Tabel 20. Pemetaan lahan kritis dibuat dengan proses overlay masing masing parameter yang sudah ditetapkan. Kemudian dilakukan skoring dan pembobotan pada tiap atribut dari parameter tersebut. Pembobotan dibuat dengan melihat besarnya kontribusi tiap parameter terhadap pembentukan lahan kritis. Hasil pembobotan dapat dilihat pada Tabel 21. Pembobotan dilakukan dengan persamaan yang digunakan oleh Wahyunto et al. (2007), sebagai berikut : Wij = n rj + 1 (n rj + 1) Dimana, Wij : Bobot yang dinormalkan n : Jumlah parameter ke-i (j=1,2,3,4) rj : Urutan parameter Tabel 20 Parameter penentu tingkat kekritisan lahan berdasarkan modifikasi No Parameter Kawasan Hutan Lindung Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan lindung di Luar Kawasan hutan dan Hutan Produksi 1 Penutupan Lahan - 2 Kemiringan Lereng 3 Erosivitas Hujan 4 Erosi yang diperbolehkan 5 Erodibilitas Tanah 6 Manajemen 7 Produktivitas - - Tabel 21 Urutan parameter penentu dan bobot No Parameter penentu Kepentingan (rj) (n-rj+1) Bobot (Wij) % Wij 1 Penutupan Lahan (dan 1 6 0,29 29 produktivitas*) 2 Kemiringan Lereng 2 5 0, Erosivitas Hujan 3 4 0, Erosi yang diperbolehkan 4 3 0, Erodibilitas Tanah 5 2 0, Manajemen 6 1 0,05 5 N = *parameter produktivitas digunakan pada kawasan budidaya pertanian

32 18 Mengacu pada pemberian skoring untuk parameter lahan kritis pada Perdirjen BPDASPS P.4/V-Set/2013 yang dibuat dalam 5 kelas, maka pada parameter modifikasi juga dibuat dalam 5 kelas yaitu : tidak kritis, potensial kritis, agak kritis, kritis, dan sangat kritis dengan interval kelas yang digunakan oleh Dibyosaputro dalam Kubangun (2015) dengan rumus : Interval kelas = nilai tertinggi nilai terendah jumlah kelas Hasil dari interval kelas tersebut selanjutnya digunakan untuk pengelompokan kelas pada data atribut dan data spasial. Klasifikasi bahaya lahan kritis dan interval kelas dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Kelas lahan kritis parameter modifikasi Kelas Lahan Kritis Nilai Sangat Kritis Kritis Agak Kritis Potensial Kritis Tidak Kritis

33 19 Wilayah Administrasi HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Wilayah Penelitian Daerah Aliran Sungai Cipunagara merupakan salah satu DAS yang terletak di Provinsi Jawa Barat. Secara admministratif wilayah DAS Cipunagara terbagi dalam 4 kabupaten, yaitu Kabupaten Subang dengan wilayah terluas, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Bandung Barat. Sebagian besar wilayah DAS Cipunagara berada di 29 kecamatan dan 207 desa yang sebagian besar terdapat di Kabupaten Subang (Lampiran 3). Jenis Tanah Secara umum DAS Cipunagara didominasi oleh jenis tanah Latosol sebesar 21,32 %. Selain Latosol, tanah lain yang terdapat di DAS Cipunagara adalah Aluvial, Gleisol, Grumusol, Litosol, Andosol, Podsolik, dan Regosol. Sebaran jenis tanah DAS Cipunagara dapat dilihat pada Gambar 4. Curah Hujan Curah hujan di DAS Cipunagara pada tahun 2013 rata rata sebesar 3.453,25 mm dengan curah hujan yang tinggi terjadi pada Bulan Januari, Maret, April, dan Desember, sedangkan curah hujan yang rendah terjadi pada bulan Agustus dan September. Sebaran curah hujan di DAS Cipunagara dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 4 Peta jenis tanah DAS Cipunagara

34 20 Gambar 5 Peta isohyet curah hujan harian DAS Cipunagara ( ) DAS Cipunagara memiliki penutupan/penggunaan lahan dan kemiringan lereng yang beragam. Untuk sebaran kelas penutupan/penggunaan lahan di DAS Cipunagara dapat dilihat pada Tabel 24 dan Gambar 7. Sedangkan kelas kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 26 dan Gambar 9. Analisis Parameter Penentu Lahan Kritis Menurut Tingkat Kekritisan Identifikasi dan pemetaan lahan kritis di DAS Cipunagara ditentukan berdasarkan parameter Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 dan parameter modifikasi dari Perdirjen BPDASPS Nomor p.4/v-set/2013 tersebut. Berdasarkan matriks perbandingan parameter yang disajikan pada Tabel 23, dapat diketahui bahwa wilayah DAS Cipunagara dibagi menjadi 3 kawasan utama yaitu kawasan hutan lindung, kawasan budidaya pertanian, dan kawasan lindung di luar hutan serta hutan produksi (Gambar 6). Pada pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 untuk kawasan hutan lindung meliputi penutupan lahan, lereng, tingkat bahaya erosi, dan manajemen; kawasan budidaya pertanian meliputi produktivitas, lereng, tingkat bahaya erosi, dan manajemen; sedangkan pada kawasan lindung diluar hutan dan hutan produksi meliputi penutupan lahan, lereng, tingkat bahaya erosi, dan manajemen. Pendekatan modifikasi dari Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 untuk kawasan hutan lindung meliputi penutupan lahan, lereng, manajemen, erosivitas hujan, erosi yang diperbolehkan, dan erodibilitas tanah; kawasan budidaya pertanian meliputi produktivitas, lereng, manajemen, erosivitas hujan, erosi yang diperbolehkan, dan erodibilitas tanah; sedangkan pada kawasan lindung diluar hutan dan kawasan hutan produksi meliputi penutupan lahan, lereng, manajemen, erosivitas hujan, erosi yang diperbolehkan, dan erodibilitas tanah.

35 21 Tabel 23 Matriks perbandingan parameter penentu tingkat kekritisan lahan No Parameter penentu lahan kritis P. 4/V-Set/2013 Modifikasi HL BP KLLH dan HP HL BP KLLH dan HP 1 Penutupan Lahan Produktivitas Lereng 4 Tingkat Bahaya Erosi (TBE) Manajemen 6 Erosivitas hujan (R) Erosi yang diperbolehkan (Edp) 8 Erodibilitas tanah Keterangan : HL = hutan lindung, BP = Budidaya pertanian, KLLH = Kawasan lindung di luar kawasan hutan, HP = Hutan produksi Penutupan/penggunaan lahan Gambar 6 Peta kawasan DAS Cipunagara Sebaran penutupan/penggunaan lahan di DAS Cipunagara dapat dikelompokan menjadi 11 kelas yaitu hutan produksi, hutan tanaman, pemukiman, perkebunan, pertanian lahan kering, pertanian lahan kering campuran, sawah, semak/belukar, tambak, tanah terbuka, dan tubuh air. Sebaran penggunaan/ penutupan lahan dapat dilihat pada Tabel 24 dan Gambar 7. Sawah merupakan penggunaan lahan yang dominan dengan luas 41,03% dari total luas DAS Cipunagara, terutama terkonsentrasi di bagian utara (pantai utara) yang sebagian besar bertopografi datar. Sedangkan di bagian selatan didominasi

36 22 oleh penggunaan lahan perkebunan dan pertanian lahan kering karena berada di daerah dengan kemiringan lereng yang tinggi. Tabel 24 Luas penutupan/penggunaan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 No Penutupan/penggunaan lahan Luas Ha % 1 Sawah ,97 41,03 2 Hutan tanaman ,11 18,77 3 Pertanian lahan kering ,89 18,44 4 Pemukiman 8.129,59 5,98 5 Perkebunan 6.283,00 4,62 6 Pertanian lahan kering campur 6.256,12 4,60 7 Tambak 4.546,17 3,35 8 Hutan produksi 3.062,88 2,26 9 Tubuh air 497,25 0,37 10 Tanah terbuka 417,10 0,31 11 Semak/belukar 368,42 0,27 Jumlah ,50 100,00 Gambar 7 Peta tutupan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 Berdasarkan pengamatan lapangan, persentase penutupan/penggunaan lahan dikelompokkan menjadi lima kelas. Hutan alam diberi nilai penutupan % karena kondisi hutan masih alami dan belum mengalami kerusakan, hutan produksi diberi nilai % karena hutan produksi mengalami proses pemanenan secara bergilir sehingga akan ada tajuk tanaman yang terbuka, perkebunan dan sawah diberi nilai %, tegalan dan semak belukar diberi nilai % karena

37 23 pada tegalan umumnya dilakukan penanaman hanya pada saat musim hujan. Sedangkan kelas lahan pemukiman diberi nilai 0 20 %. Persentase dan skor penutupan/penggunaan lahan DAS Cipunagara tahun 2014 dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25 Kelas penutupan/penggunaan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 No Penutupan/pengggunaan Luas Kelas Skor lahan Ha % 1 Hutan alam/hutan lindung Sangat ,98 18,72 baik 2 Hutan produksi Baik ,75 2,21 3 Perkebunan dan sawah Sedang ,84 68,66 4 Tegalan Buruk ,05 4,20 5 Semak belukar dan pemukiman Sangat buruk ,88 6,21 Jumlah ,50 100,00 Kelas penutupan/penggunaan lahan di lokasi penelitian didominasi oleh kelas lahan sedang (perkebunan dan sawah) yang memiliki luas terbesar yaitu ,84 ha (68,66%). Kelas penutupan/penggunaan lahan sangat baik (hutan alam/hutan lindung) memiliki luas lahan sebesar ,98 ha (18,72%). Pada kelas penutupan/penggunaan lahan baik (hutan produksi) memiliki luas lahan sebesar 3.002,75 ha (2,21%). Sedangkan pada kelas buruk (tegalan) dan sangat buruk (semak belukar dan pemukiman) masing masing memiliki luas sebesar 5.701,05 ha (4,20%) dan 8.437,88 ha (6,21%) merupakan wilayah yang cukup beresiko terbentuknya lahan kritis apabila dilakukan pengelolaan lahan yang kurang baik. Sebaran kelas penutupan/penggunaan lahan dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8 Peta kelas penutupan/penggunaan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014

38 24 Kemiringan Lereng Parameter kemiringan lereng digunakan baik pada kawasan hutan lindung, hutan produksi, budidaya pertanian maupun kawasan lindung di luar hutan. Lokasi penelitian didominasi oleh kelas kemiringan lereng datar dengan luas sebesar ,99 ha (44,82%). Kelas kemiringan dan luasannya dapat dilihat pada Tabel 26 dan Gambar 9. Wilayah dengan kemiringan lereng yang sangat curam (> 40%) merupakan wilayah yang sangat beresiko terbentuknya lahan kritis. Semakin besar persentase kemiringan lereng maka semakin besar peluang terjadinya erosi. Tanah yang mudah tererosi merupakan tanah yang peka terhadap terbentuknya lahan kritis. Wilayah dengan kemiringan lereng yang sangat curam didominasi oleh penutupan/penggunaan lahan hutan sehingga hutan dengan kemiringan lereng curam tersebut memiliki resiko terbentuknya lahan kritis yang cukup besar. Tabel 26 Luas kemiringan lereng DAS Cipunagara No Kelas kemiringan lereng Luas Ha % 1 Datar (0 8 %) ,99 44,82 2 Landai (9 15 %) 7.577,12 5,58 3 Agak curam (16 25 %) ,36 15,39 4 Curam (26 40 %) ,84 10,00 5 Sangat curam (> 40 %) ,20 24,21 Total luas ,50 100,00 Gambar 9 Peta kelas kemiringan lereng DAS Cipunagara

39 25 Tingkat Bahaya Erosi Dalam penelitian ini, penilaian tingkat bahaya erosi dihitung berdasarkan persamaan USLE. Faktor yang mempengaruhi besarnya nilai tingkat bahaya erosi adalah erosivitas hujan (R), erodibilitas tanah (K), faktor panjang dan kemiringan lereng (LS), pengelolaan tanaman (C), dan teknik konservasi tanah (P) serta kedalaman tanah (Tabel 6). Hasil analisa laboratorium dan nilai erodibilitas tanah dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5. Pengukuran curah hujan pada lokasi penelitian DAS Cipunagara dilakukan di empat stasiun hujan yang meliputi Buah Dua, Pagaden, Subang, dan Kalijati. Curah hujan bulanan rata rata lima tahun ( ) pada empat stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 27 dan Gambar 10. Erosivitas hujan dihitung dengan menggunakan persamaan Bols (1978) dalam Arsyad (2010) : EI30 = 6,119 (RAIN) 1,21 (DAYS) -0,47 (MAXP) 0,53 Dimana : EI30 = indeks erosi hujan bulanan RAIN = curah hujan rata rata bulanan (cm) DAYS = jumlah hari hujan rata rata per bulan MAXP = curah hujan maksimum selama 24 jam (cm) Erosivitas hujan di DAS Cipunagara terbagi kedalam 3 kelas yaitu sedang, agak tinggi, dan tinggi. Kelas sedang memiliki luas sebesar 7.270,88 Ha, kelas agak tinggi memiliki luas ,97 Ha, dan kelas tinggi memiliki luas sebesar ,65 Ha. Sebaran erosivitas hujan di DAS Cipunagara dapat dilihat pada Gambar 10. Tabel 27 Nilai curah hujan rata - rata dan R tahun DAS Cipunagara serta skoringnya Bulan Buah Dua Subang Bulak Pagaden Kalijati CH R CH R CH R CH R CH R Januari 32,20 317,57 26,18 223,95 28,80 286,81 27,90 261,22 49,94 750,08 Februari 42,20 439,94 25,34 230,58 18,52 160,85 21,18 180,07 32,22 344,76 Maret 42,50 430,34 33,94 301,32 12,24 90,43 28,86 229,06 49,68 607,42 April 36,50 397,14 35,28 400,35 9,94 98,05 25,16 255,75 37,48 452,78 Mei 32,30 332,95 20,40 184,99 14,24 132,62 10,46 71,13 16,23 154,15 Juni 12,00 131,71 12,16 135,38 5,20 45,59 5,16 43,87 8,86 74,49 Juli 4,40 31,00 5,94 41,64 6,20 54,06 7,66 100,71 1,64 12,19 Agustus 5,80 75,33 2,42 15,24 1,02 8,60 0,00 0,00 3,54 31,06 September 12,60 173,87 1,96 8,01 2,34 16,16 1,06 10,18 9,00 121,47 Oktober 12,00 132,39 15,20 160,15 4,94 38,39 7,30 62,05 8,32 67,87 November 38,30 711,48 31,53 307,79 12,90 150,22 27,78 251,09 27,72 327,59 Desember 43,90 427,50 34,64 308,05 24,22 243,19 24,14 206,16 40,00 454,74 CH dan R tahunan 314, ,22 244, ,46 140, ,98 186, ,28 284, ,60 Skoring Nilai erodibilitas tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu struktur tanah, tekstur tanah, permeabilitas, dan persentase bahan organik tanah yang dapat dilihat pada Lampiran 4. Kemudian dapat diketahui nilai erodibilitasnya yang dapat dilihat pada Lampiran 5. Faktor erodibilitas juga digunakan dalam penentuan lahan kritis pada parameter modifikasi. Kelas erodibilitas dan luasannya dapat dilihat pada Tabel 28.

40 26 Tanah tanah dengan nilai erodibilitas tanah yang tinggi akan peka terhadap erosi sehingga mudah terbentuk lahan kritis. Menurut Dewi et al. (2012) menyatakan bahwa tanah dengan dominan pasir kemungkinan untuk terjadinya erosi pada jenis tanah ini adalah rendah karena laju infiltrasi tinggi yang dapat menurunkan laju aliran permukaan, begitu juga dengan tanah yang bertekstur liat dengan ikatan antar partikel partikel tanah yang kuat dan agregat tanah yang mantap sehingga tidak mudah tererosi. Wilayah DAS Cipunagara memiliki empat kelas erodibilitas yaitu rendah, sedang, agak tinggi, dan tinggi. Kelas Agak tinggi memiliki wilayah terbesar dengan luas ,16 ha (63,71%) diikuti oleh kelas tinggi, sedang, dan rendah dengan masing masing luas sebesar ,93 (31,45%), 4.017,01 ha (2,96%), dan 2.555,39 ha (1,88%). Hal ini menunjukan bahwa resiko terjadinya lahan kritis di DAS Cipunagara perlu diwaspadai karena tingginya angka erodibilitas tanahnya. Sebaran kelas erodibilitas tanah di DAS Cipunagara dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 10 Peta erosivitas hujan DAS Cipunagara Tabel 28 Kelas erodibilitas tanah DAS Cipunagara No Erodibilitas Kelas Luas Ha % 1 0,00 0,20 Rendah 2.555,39 1,88 2 0,21 0,32 Sedang 4.017,01 2,96 3 0,33 0,40 Agak tinggi ,16 63,71 4 0,41 0,55 Tinggi ,93 31,45 5 0,56 0,64 Sangat Tinggi - - Total Luas ,50 100,00 Faktor panjang dan kemiringan lereng (LS) ditentukan berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari BPDAS Citarum Ciliwung. Nilai LS dan luasannya dapat dilihat pada Tabel 29.

41 27 Gambar 11 Peta kelas erodibilitas tanah DAS Cipunagara Tahun 2014 Tabel 29 Kelas kemiringan lereng dan nilai LS DAS Cipunagara serta luasannya No Kelas Nilai LS Luas Ha % 1 Datar 0, ,99 44,82 2 Landai 1, ,12 5,58 3 Agak curam 3, ,36 15,39 4 Curam 6, ,84 10,00 5 Sangat curam 9, ,20 24,21 Total Luas ,50 100,00 Berdasarkan parameter parameter pada persamaan USLE (Tabel 27, 28, 29, dan Gambar 7) diketahui nilai prediksi erosi yang disajikan pada Lampiran 6 dan faktor kedalaman tanah (Lampiran 7) dapat dihasilkan sebaran nilai TBE pada Tabel 30. Sebagian besar wilayah DAS Cipunagara memiliki tingkat bahaya erosi yang rendah. Hal tersebut terbukti dengan luas wilayah yang memiliki kelas erosi mulai dari ringan hingga sangat ringan sebesar 73,95% dari total luas DAS Cipunagara. Sebaran kelas tingkat bahaya erosi dapat dilihat pada Gambar 12. Tabel 30 Kelas tingkat bahaya erosi (TBE) DAS Cipunagara Tahun 2014 No Kelas TBE Luas Ha % 1 Sangat Ringan ,14 57,69 2 Ringan ,37 16,26 3 Sedang ,63 8,53 4 Berat ,47 8,69 5 Sangat Berat ,89 8,84 Total Luas ,50 100,00

42 28 Gambar 12 Peta kelas tingkat bahaya erosi DAS Cipunagara Tahun 2014 Erosi yang diperbolehkan (Edp) Erosi yang diperbolehkan (Edp) digunakan untuk analisis lahan kritis pada parameter modifikasi. Nilai Edp dihitung dengan menggunakan persamaan Wood dan Dent (1983) dalam Hardjowigeno (2007) berdasarkan data kedalaman efektif tanah dan kedalaman minimum tanah. Hasil analisi Edp DAS Cipunagara dapat dilihat pada Tabel 31 dan Gambar 13. Berdasarkan hasil analisis diperoleh hasil bahwa sebagian besar wilayah DAS Cipunagara didominasi oleh kelas Edp tinggi (> 25 ton/ha/tahun) sebesar 97,94 % dari total luas DAS Cipunagara. Tabel 31 Kelas Edp DAS Cipunagara Tahun 2014 Kelas Erosi yang Luas diperbolehkan (Edp) Ha % Tinggi ,07 97,94 Rendah 2.800,42 2,06 Total Luas ,50 100

43 29 Gambar 13 Peta Erosi yang diperbolehkan DAS Cipunagara Tahun 2014 Analisis dan Pemetaan Lahan Kritis Pendekatan Perdirjen BPDAS Nomor P.4/V-Set2013 Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan Kriteria penilaian lahan kritis pada kawasan hutan lindung dapat dilihat pada Lampiran 8. Hasil analisis lahan kritis beserta luasannya kawasan lindung DAS Cipunagara dapat dilihat pada Tabel 32. Pada kawasan lindung DAS Cipunagara diketahui bahwa luasan lahan kritis pada kelas tidak kritis sebesar 13,53 Ha (0,19%). Hal tersebut menunjukan bahwa kawasan lindung telah mengalami penurunan fungsi lindung. Apabila permasalahan tersebut terus terjadi maka dapat mengakibatkan adanya peningkatan luas lahan kritis. Sedangkan luasan lahan kritis pada kawasan lindung sebesar 167,41 Ha (2,34%) dari total luas kawasan lindung di DAS Cipunagara. Tabel 32 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V- Set/2013 No Tingkat kekritisan Luas Ha % 1 Sangat kritis 21,71 0,30 2 Kritis 145,70 2,04 3 Agak kritis 1.844,36 25,78 4 Potensial kritis 5.127,94 71,69 5 Tidak kritis 13,53 0,19 Jumlah 7.153,24 100

44 30 Pemetaan tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan digunakan parameter yang sama dengan kawasan lindung, tetapi perbedaannya terletak pada pembobotan yang digunakan untuk penilaian lahan kritis. Kriteria penilaian lahan kritis pada kawasan lindung di luar kawasan hutan dapat dilihat pada Lampiran 10. Hasil analisis lahan kritis kawasan lindung di luar kawasan hutan DAS Cipunagara dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 No Tingkat kekritisan Luas Ha % 1 Sangat Kritis Kritis 6,96 0,31 3 Agak kritis 1.069,31 48,03 4 Potensial kritis 581,99 26,14 5 Tidak kritis 568,18 25,52 Jumlah 2.226, Hasil analisis tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung diluar kawasan hutan memiliki luas lahan kritis sebesar 6,96 Ha (0,31%). Pada kawasan ini tidak terdapat kelas kekritisan lahan sangat kritis. kelas kekritisan lahan agak kritis memiliki luas yang paling besar yaitu sebesar 1.069,31 Ha (48,03%) dari total luas lahan kawasan lindung di luar kawasan hutan. Sedangkan luas kelas potensial kritis dan tidak kritis masing masing sebesar 581,99 Ha (26,14%) dan 568,18 Ha (25,52%). Hasil analisis lahan kritis kawasan hutan lindung dan kawasan lindung di luar kawasan hutan DAS Cipunagara dapat dilihat pada Tabel 34. Sebaran tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung dan kawasan lindung di luar kawasan hutan dapat dilihat pada Gambar 14. Tabel 34 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung dan kawasan lindung di luar kawasan hutan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 No Tingkat kekritisan Luas Ha % 1 Sangat Kritis 21,71 0,23 2 Kritis 152,66 1,63 3 Agak kritis 2.912,67 31,06 4 Potensial kritis 5.709,93 60,88 5 Tidak kritis 581,71 6,20 Jumlah 9.379,68 100

45 31 Gambar 14 Peta lahan kritis pada kawasan lindung dan kawasan lindung di luar kawasan hutan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 Kawasan Budidaya Pertanian Pemetaan tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya pertanian ditentukan berdasarkan parameter produktivitas, kemiringan lereng, tingkat bahaya erosi, dan manajemen. Kriteria penilaian lahan kritis pada kawasan budidaya pertanian dapat dilihat pada Lampiran 9. Hasil analisis lahan kritis kawasan budidaya pertanian DAS Cipunagara dapat dilihat pada Tabel 35. Kawasan budidaya pertanian didominasi oleh kelas tidak kritis yaitu sebesar ,15 Ha (59,20%). Hal tersebut karena adanya pengelolaan dan manajemen yang baik serta wilayahnya yang didominasi oleh topografi datar. Sedangkan pada kelas kritis dan sangat kritis memiliki luas sebesar ,70 Ha (9,38%). Sebagian besar kelas kritis dan sangat kritis berada pada kelerengan > 25% sehingga sangat berpotensi terbentuknya lahan kritis. sebaran tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian dapat dilihat pada Gambar 15. Tabel 35 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya pertanian DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 No Tingkat kekritisan Luas Ha % 1 Sangat kritis 1.344,27 1,26 2 Kritis 8.668,43 8,12 3 Agak kritis ,16 12,58 4 Potensial kritis ,47 18,85 5 Tidak kritis ,15 59,20 Jumlah ,47 100

46 32 Gambar 15 Peta lahan kritis pada kawasan budidaya pertanian DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 Kawasan Hutan Produksi Pemetaan tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan produksi digunakan parameter yang sama dengan kawasan lindung, tetapi perbedaannya terletak pada pembobotan yang digunakan untuk penilaian lahan kritis. Kriteria penilaian lahan kritis pada kawasan hutan produksi dapat dilihat pada Lampiran 10. Hasil analisis lahan kritis kawasan hutan produksi DAS Cipunagara dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan produksi DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V- Set/2013 No Tingkat kekritisan Luas Ha % 1 Sangat kritis 199,43 1,01 2 Kritis 171,99 0,87 3 Agak kritis 5.187,71 26,35 4 Potensial kritis 3.186,67 16,19 5 Tidak kritis ,55 55,58 Jumlah , Kelas lahan kritis dan sangat kritis pada kawasan hutan produksi memiliki luas sebesar 371,42 Ha (1,88%) dari total luas kawasan hutan produksi. Total luas lahan kritis pada kawasan ini termasuk rendah karena adanya pengelolaan lahan yang baik terkait pengolahan lahan yang dilakukan oleh dinas kehutanan setempat.

47 33 Hal tersebut juga berpengaruh terhadap luasnya lahan yang memiliki kelas kekritisan lahan tidak kritis yaitu sebesar ,55 Ha (55,58%). Sebaran tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan produksi DAS Cipunagara dapat dilihat pada Gambar 16. Gambar 16 Peta lahan kritis pada kawasan hutan produksi DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V- Set/2013 Hasil analisis tingkat kekritisan lahan DAS Cipunagara dengan menggunakan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 dapat dilihat pada Tabel 37. Kelas kekritisan lahan tidak kritis memiliki luas terbesar yaitu sebesar ,40 Ha (55,01%) dari total luas DAS Cipunagara. Sedangkan lahan dengan tingkat kekritisan sangat kritis, kritis, dan agak kritis memiliki luas sebesar ,02 Ha (23,62%). Hal tersebut berarti bahwa sebagian besar wilayah DAS Cipunagara memiliki wilayah dengan tingkat kekritisan lahan tidak kritis. Sebaran tingkat kekritisan lahan DAS Cipunagara berdasarkan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 dapat dilihat pada Gambar 20. Tabel 37 Tingkat kekritisan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 No Tingkat kekritisan Luas Ha % 1 Sangat kritis 1.565,42 1,15 2 Kritis 8.993,07 6,62 3 Agak kritis ,53 15,85 4 Potensial kritis ,08 21,36 5 Tidak kritis ,40 55,01 Jumlah ,50 100

48 34 Analisis dan Pemetaan Lahan Kritis dengan Pendekatan Modifikasi Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Linung di Luar Kawasan Hutan Parameter yang digunakan untuk menentukan lahan kritis pada kawasan lindung adalah penggunaan lahan, kemiringan lereng, erosivitas hujan (R), erosi yang diperbolehkan (Edp), erodibilitas tanah (K), dan manajemen. Hasil analisis tingkat kekritisan lahan dapat dilihat pada Tabel 38. Kawasan lindung DAS Cipunagara pada parameter modifikasi tingkat kekritisan lahan terbagi dalam kelas kritis, agak kritis, dan potensial kritis. Kelas agak kritis memiliki luas yang cukup besar jika dibandingkan dengan kelas kritis dan potensial kritis, yaitu sebesar 6.827,29 Ha (95,44%). Hal tersebut menunjukan bahwa wilayah kawasan lindung DAS Cipunagara memiliki potensi yang cukup besar untuk terbentuknya lahan kritis dan sangat kritis. Tabel 38 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan lindung DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi No Tingkat kekritisan Luas Ha % 1 Sangat kritis Kritis 180,14 2,52 3 Agak kritis 6.827,29 95,44 4 Potensial kritis 145,81 2,04 5 Tidak kritis - - Jumlah 7.153, Pemetaan tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan digunakan parameter yang sama dengan kawasan lindung. Hasil analisis lahan kritis kawasan lindung di luar kawasan hutan DAS Cipunagara dapat dilihat pada Tabel 39. Tabel 39 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar kawasan hutan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi No Tingkat kekritisan Luas Ha % 1 Sangat Kritis Kritis 70,98 3,19 3 Agak kritis 2.120,37 95,24 4 Potensial kritis 35,08 1,58 5 Tidak kritis - - Jumlah 2.226, Berdasarkan analisis tingkat kekritisan lahan dengan pendekatan modifikasi dapat diketahui bahwa pada kawasan lindung di luar kawasan hutan didominasi oleh kelas agak kritis yaitu sebesar 2.120,37 Ha (95,24%). Sedangkan kelas kritis dan potensial kritis masing masing sebesar 70,98 Ha (3,19%) dan 35,08 Ha

49 35 (1,58%). Pada kawasan lindung di luar kawasan hutan memiliki potensi yang besar terbentuknya lahan kritis dan sangat kritis karena kelas agak kritis cukup tinggi. Hasil analisis lahan kritis kawasan hutan lindung dan kawasan lindung di luar kawasan hutan DAS Cipunagara dapat dilihat pada Tabel 40. Sebaran tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung dan kawasan lindung di luar kawasan hutan pendekatan modifikasi dapat dilihat pada Gambar 17. Tabel 40 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan lindung dan kawasan lindung di luar hutan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi No Tingkat kekritisan Luas Ha % 1 Sangat Kritis Kritis 251,12 2,68 3 Agak kritis 8.947,67 95,39 4 Potensial kritis 180,89 1,93 5 Tidak kritis - - Jumlah 9.379, Gambar 17 Peta lahan kritis pada kawasan hutan lindung dan kawasan lindung di luar hutan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013

50 36 Kawasan Budidaya Pertanian Pemetaan tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya pertanian ditentukan berdasarkan parameter produktivitas, kemiringan lereng, erosivitas hujan, erosi yang diperbolehkan dan manajemen. Hasil analisis lahan kritis kawasan lindung DAS Cipunagara pendekatan modifikasi dapat dilihat pada Tabel 41. Pada kawasan budidaya pertanian DAS Cipunagara pendekatan modifikasi dapat diketahui bahwa kelas kritis memiliki luas sebesar ,91 Ha (13,50%). Sedangkan kelas agak kritis dan potensial kritis masing masing memiliki luas sebesar ,47 Ha (26,37%) dan ,31 Ha (9,58%). Kawasan budidaya pertanian didominasi oleh kelas tidak kritis yaitu sebesar ,78 Ha (50,55%). Sebaran tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya pertanian DAS Cipunagara pendekatan modifikasi dapat dilihat pada Gambar 18. Tabel 41 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya pertanian DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi No Tingkat kekritisan Luas Ha % 1 Sangat kritis Kritis ,91 13,50 3 Agak kritis ,47 26,37 4 Potensial kritis ,31 9,58 5 Tidak kritis ,78 50,55 Jumlah , Gambar 18 Peta lahan kritis pada kawasan budidaya pertanian DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013

51 37 Kawasan Hutan Produksi Pemetaan tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan produksi digunakan parameter yang sama dengan kawasan lindung. Hasil analisis lahan kritis kawasan hutan produksi DAS Cipunagara dapat dilihat pada Tabel 42. Tabel 42 Tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan produksi DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi No Tingkat kekritisan Luas Ha % 1 Sangat kritis Kritis 528,44 2,68 3 Agak kritis 6.636,81 33,71 4 Potensial kritis ,01 53,80 5 Tidak kritis 1.930,10 9,80 Jumlah , Kawasan hutan produksi di DAS Cipunagara dengan pendekatan modifikasi didominasi oleh kelas potensial kritis yaitu sebesar ,01 Ha (53,80%). Kelas agak kritis dan kritis memiliki luas masing masing sebesar 6.636,81 Ha (33,71%) dan 528,44 (2,68%). Sedangkan kelas tidak kritis memiliki luas 1.930,10 Ha (9,80%). Kawasan hutan produksi memiliki potensi yang cukup besar terbentuknya kelas agak kritis, kritis, dan sangat kritis apabila pengelolaan lahan yang kurang bijak. Sebaran tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan produksi pendekatan modifikasi dapat dilihat pada Gambar 19. Gambar 19 Peta lahan kritis pada kawasan hutan produksi DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013

52 38 Hasil analisis tingkat kekritisan lahan DAS Cipunagara pendekatan modifikasi dari Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 dapat dilihat pada Tabel 43. Sebaran tingkat kekritisan lahan pada pendekatan modifikasi dari Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 dapat dilihat pada Gambar 21. Tabel 43 Tingkat kekritisan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi dari Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 No Tingkat kekritisan Luas Ha % 1 Sangat kritis Kritis ,47 11,18 3 Agak kritis ,94 32,20 4 Potensial kritis ,21 15,46 5 Tidak kritis ,88 41,16 Jumlah , Perbandingan Tingkat Kekritisan Lahan pada Pendekatan BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 dan Pendekatan Modifikasi Tingkat kekritisan lahan di DAS Cipunagara dengan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 dan modifikasinya menghasilkan luas lahan kritis (total luas agak kritis, kritis, dan sangat kritis) berbeda. Tingkat kekritisan lahan pada pendekatan Perdirjen P.4/V-Set/2013 dan pendekatan modifikasinya dapat dilihat pada Tabel 44. Tabel 44 Tingkat kekritisan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 pada pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 dan pendekatan modifikasinya Luas No Tingkat kekritisan P.4/V-Set/2013 Modifikasi Ha % Ha % 1 Sangat Kritis Hutan lindung 21,71 0, Kawasan budidaya pertanian 1.344,27 0, Kawasan lindung di luar hutan Hutan produksi 199,43 0, Sub Total 1.565,41 1, Kritis Hutan lindung 145,70 0,10 180,14 0,13 Kawasan budidaya pertanian 8.668,43 6, ,91 10,61 Kawasan lindung di luar hutan 6,96 0,00 70,98 0,05 Hutan produksi 171,99 0,13 528,44 0,39 Sub Total 8.993,08 6, ,47 11,18 3 Agak Kritis Hutan lindung 1.844,36 1, ,29 5,03 Kawasan budidaya pertanian ,16 9, ,47 20,73 Kawasan lindung di luar hutan 1.069,31 0, ,37 1,56 Hutan produksi 5.187,71 3, ,81 4,88 Sub Total ,54 15, ,94 32,20 Total ,03 23, ,41 43,38

53 Berdasarkan tingkat kekritisan lahan (Tabel 44), dapat diketahui bahwa luas lahan kritis DAS Cipunagara pada pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V- Set/2013 adalah ,03 Ha (23,62% dari total luas DAS Cipunagara), sedangkan pada pendekatan modifikasi seluas ,41 Ha (43,38 % dari total luas DAS Cipunagara). Kelas sangat kritis pada pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 tidak muncul pada kawasan lindung di luar kawasan hutan, tetapi pada pendekatan modifikasi tidak satupun kawasan yang terdapat kelas sangat kritis. Kelas kritis dan agak kritis terdapat pada semua kawasan dengan menggunakan pendekatan Perdijen BPDAS Nomor P.4/V-Set/2013 dan pendekatan modifikasi. Perbedaan hasil analisis kedua pendekatan tersebut karena adanya faktor perbedaan parameter yang digunakan. Pada pendekatan modifikasi digunakan parameter yang terdiri dari tutupan lahan, kemiringan lereng, erosivitas hujan (R), erosi yang diperbolehkan (Edp), erodibilitas tanah (K), produktivitas, dan manajemen. Sedangkan parameter yang digunakan pada Perdirjen BPDASPS P.4/V-Set/2013 meliputi penggunaan/penutupan lahan, kemiringan lereng, tingkat bahaya erosi, produktivitas, dan manajemen. Parameter erosivitas hujan (R) dan erodibilitas tanah (K) pada pendekatan modifikasi diperoleh dari persamaan tingkat bahaya erosi (TBE) pada pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 karena adanya perhitungan yang berulang pada pendekatan tersebut (penutupan/penggunaan lahan dengan pengelolaan tanaman, manajemen dengan teknik konservasi tanah, dan kemiringan lereng). Tingkat bahaya erosi pada pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V- Set/2013 memiliki kelas tingkat bahaya erosi sangat berat sebesar ,89 Ha (8,84 %) yang menyebabkan terbentuknya kelas lahan sangat kritis. Berdasarkan pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 nilai Edp yang lebih besar dari 25 ton/ha/tahun (nilai skoring tinggi) seluas ,07 Ha lebih toleran terhadap erosi karena tergantikan oleh proses pembentukan tanah sehingga tidak menimbulkan lahan kritis kelas sangat kritis, tetapi menyebar ke kelas agak kritis dan kritis. Dengan demikian sebaran lahan kritis (kelas sangat kritis, kritis, dan agak kritis) lebih luas berdasarkan pendekatan modifikasi BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013. Selain hasil luasan lahan kritis (kelas sangat kritis, kritis, dan agak kritis) pada pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 lebih besar, adanya perbedaan penggunaan parameter pada kedua pendekatan tersebut tanpa pengecekan lapang dapat disimpulkan bahwa pendekatan modifikasi memiliki hasil yang lebih representatif. Hal tersebut dikarenakan pada pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 tidak terdapat parameter yang berulang (penutupan/penggunaan lahan dengan pengelolaan tanaman, manajemen dengan teknik konservasi tanah, dan kemiringan lereng). Penentuan bobot dengan persamaan Wij dan skoring pada pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 juga mempengaruhi nilai yang dihasilkan dalam menentukan tingkat kekritisan lahan. 39

54 40 Gambar 20 Peta tingkat kekritisan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 Gambar 21 Peta tingkat kekritisan lahan DAS Cipunagara Tahun 2014 berdasarkan pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013

55 41 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa : 1. Analisis dan pemetaan lahan kritis di DAS Cipunagara berdasarkan pendekatan P.4/V-Set/2013 dan modifikasi memiliki perbedaan yang nyata. 2. Berdasarkan pendekatan modifikasi tidak terdapat kelas lahan sangat kritis, sedangkan pada Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 terdapat kelas lahan sangat kritis. 3. Analisis lahan kritis berdasarkan tanpa pengecekan lapang (ground check) pada pendekatan modifikasi Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 dinilai lebih representatif daripada pendekatan BPDASPS Nomor P.4/V- Set/2013. Saran Perlu adanya pengecekan lapang (ground check) untuk mengetahui apakah lahan kritis (kelas sangat kritis, kritis, dan agak kritis) pada peta tingkat kekritisan lahan berdasarkan pendekatan Perdirjen BPDASPS Nomor P.4/V-Set/2013 dan modifikasinya sesuai dengan kondisi lapangan.

56 42 DAFTAR PUSTAKA Arsyad S Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID) : IPB Press. Barus B, Gandasasmita K, Tarigan S, Rusdiana O Penyusunan kriteria lahan kritis. Kerjasama Kementrian Lingkungan Hidup dengan Pusat Pengkajian Pengembangan Wilayah (P4W) Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. [BPDAS] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Tondano (ID) Data Spasial Lahan Kritis Kabupaten Kepulauan Sangihe. Manado. Dariah A, Rachman A, Kurnia U Erosi dan Degradasi Lahan Kering di Indonesia. Bogor (ID). Puslittanak Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Dewi GA, Trigunasih NM, Kusmawati T Prediksi Erosi dan Perencanaan Konservasi Tanah dan Air Pada Daerah Aliran Sungai Saba. 1(1) : Hardjowigeno S Ilmu Tanah. Edisi ke-7. Jakarta (ID) : Akadernika Pressindo. Hardjowigeno S, Widiatmaka Evaluasi Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Lahan. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press. Harini S, Suyono, Mutiara E Manajemen Pengelolaan Lahan Kritis pada DAS Brantas Hulu Berbasis Masyarakat ( Pilot Project Desa Bulukerto, Kota Batu), Jurnal Manajemen Pengelolaan Lahan Kritis. 1(1) : Kementerian Kehutanan Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengeloaan Daerah lauran Sungai dan Perhutanan Sosial Nomor : P 4/V-Set/2013 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Jakarta (ID) : Kemenhut. Kementerian Kehutanan Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengeloaan Daerah lauran Sungai dan Perhutanan Sosial Nomor : P 4/V-Set/2013 tentang Penetapan Peta dan Data Hutan dan Lahan Kritis Nasional Tahun Jakarta (ID) : Kemenhut. Kementerian Kehutanan Keputusan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial Nomor : SK.4/V-DAS/2015 tentang Penetapan Peta dan Data Hutan dan Lahan Kritis Nasional Tahun Jakarta (ID) : Kemenhut Kubangun SH Model spasial bahaya lahan kritis di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi. [ tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Lillesand TM, Kiefer RW Remote Sensing and Image Interpretation. New York (US) : John Wiley&Son Inc. Mukhlis Analisis Tanah Tanaman. Medan (ID) : Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Rumenah, Rahardjo ET, Priati A Lahan Potensial dan Lahan Kritis. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (ID) : Universitas Gadjah Mada. Sitorus SRP, Susanto B, Haridjaja O Kriteria dan Klasifikasi Tingkat Degradasi Lahan di Lahan Kering (Studi Kasus: Lahan Kering Di Kabupaten Bogor). Jurnal Tanah dan Iklim. 34(1) : Syarief S Ilmu Tanah Pertanian. Bandung (ID) : CV Pustaka Buana. Sulistyaningrum D, Susanawati LD, Suharto B Pengaruh Karakteristik Fisika Kimia Tanah Terhadap Nilai Indeks Erodibilitas Tanah dan Upaya

57 Konservasi Lahan. Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 1(1) : Malang (ID) : Universitas Brawijaya. Wahyunto, Kuntjoro D, Muryati SR Inveristasi lahan terdegradasi dengan aplikasi teknologi inderaja dan sistem informasi geografi. [Prosiding]. Di dalam : Seminar nasional sumberdaya lahan dan lingkungan pertanian. Bogor (ID) : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. hlm Widyasunu P, Bondansari Kajian Nilai Erodibilitas Tanah pada Lahan Kebun Campur dan Tegalan di Sub Sub DAS Logawa Kabupaten Banyumas. Jurnal Agronomika. 11(1) :

58 44 LAMPIRAN

59 45 Lampiran 1 Parameter, bobot, kriteria, skor dan nilai penentu kekritisan lahan pada parameter modifikasi No Parameter Penentu Bobot Kriteria Skor Nilai (Bobot x Skor) 1 a. Penutupan Lahan 29 Sangat baik (Hutan (untuk kawasan hutan lindung, alam) Baik (Hutan produksi) kawasan lindung Sedang (Perkebunan 3 86 di luar kawasan hutan dan dan sawah) Buruk (Tegalan) 2 57 kawasan hutan Sangat buruk (Semak 1 29 produksi) belukar dan pemukiman) b. Produktivitas 29 Sangat tinggi (>80%) (untuk kawasan Tinggi (61 80 %) budidaya Sedang (41 60 %) 3 86 pertanian) Rendah (21 40 %) 2 57 Sangat Rendah (< 20%) Kemiringan Lereng 24 Datar (0 8 %) Landai (8 15 %) 4 96 Agak Curam ( %) Curam (25 40 %) 2 48 Sangat Curam (> 40%) Erosivitas Hujan (R) 19 Rendah (< 1160) 5 95 Sedang ( ) 4 76 Agak Tinggi ( ) Tinggi ( ) Erosi yang diperbolehkan (Edp) 5 Erodibilitas Tanah (K) Sangat Tinggi (> 4033) Rendah ( ton/ha/tahun) Tinggi (> ton/ha/tahun) 10 Rendah ( < 0,20) 5 50 Sedang ( 0,21 0,32) 4 40 Agak Tinggi (0, ,40) Tinggi ( 0,41 0,55) 2 20 Sangat Tinggi (0, ,64)

60 46 Lampiran 1 (Lanjutan) No Parameter penentu Bobot Kriteria Skor 6 Manajemen 5 Baik : Kawasan lindung dan hutan produksi : lengkap, tata batas kawasan ada, pengawasan kawasan ada dan penyuluhan dilaksanakan Kawasan budidaya pertanian : penerapan teknologi konservasi tanah lengkap dan sesuai petunjuk Nilai (Bobot x Skor) 5 25 Sedang (tidak lengkap) 3 15 Buruk (tidak ada) 1 5

61 47 Lampiran 2 Lokasi pengambilan sampel tanah Titik Koordinat Jenis Lokasi x y Tanah 1 107,7742-6,7219 Latosol Desa Gardusayang Kec. Cisalak 2 107,7331-6,7463 Latosol Desa Cipunagara Kec. Cisalak 3 107,7030-6,7834 Andosol Desa Cipunagara Kec. Cisalak 4 107,8068-6,7115 Litosol Desa Gandasoli Kec. Tanjungsiang 5 107,8054-6,7399 Latosol Desa Tanjungsiang Kec. Tanjungsiang 6 107,7881-6,7335 Latosol Desa Pakuhaji Kec. Cisalak 7 107,7712-6,6883 Litosol Desa Sukamalang Kec. Kasomalang 8 107,8893-6,7644 Litosol Desa Sukamantri Kec. Tanjungkerta 9 107,9476-6,7206 Latosol Desa Bojong Lor Kec. Buahdua ,9542-6,7237 Latosol Desa Kertamukti Kec. Tanjungmedar ,7163-6,7163 Latosol Desa Jingkang Kec. Tanjungmedar ,8972-6,7725 Litosol Desa Tanjungmekar Kec. Tanjungkerta ,8831-6,7228 Grumusol Desa Pamekarsari Kec. Surian ,8644-6,7347 Litosol Desa Kertamukti Kec. Tanjungmedar ,7172-6,7029 Latosol Desa Kasomalang Kulon Kec. Kasomalang ,8713-6,6313 Grumusol Desa Surian Kec. Surian ,7690-6,6385 Litosol Desa Bantarsari Kec. Cijambe Lereng Land Use (%) Sawah > 40 Hutan tanaman > 40 Hutan Lahan Kering Sekunder 9-15 Pertanian Lahan Kering Sawah Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering > 40 Pertanian Lahan Kering > 40 Pertanian Lahan Kering > 40 Hutan Lahan Kering Primer Hutan Lahan Kering Sekunder 9 15 Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Kering Sawah 9-15 Pertanian Lahan Kering Campur Sawah > 40 Hutan Tanaman

62 48 Lampiran 2 (Lanjutan) Titik Koordinat Jenis Lokasi x y Tanah ,7483-6,6523 Litosol Desa Cirangkong Kec. Cijambe ,7649-6,5969 Latosol Desa Sukahurip Kec. Cijambe ,7060-6,6480 Litosol Desa Bunihayu Kec. Jalancagak ,7229-6,6192 Litosol Desa Gunung Tua Kec. Cijambe ,8224-6,6458 Latosol Desa Cibalandong Jaya Kec. Cibogo ,9153-6,5972 Latosol Desa Bantarwaru Kec. Gantar ,9128-6,5735 Latosol Desa Bantarwaru Kec. Gantar ,8827-6,5286 Podsolik Desa Sidamulya Kec. Cipunagara ,8965-6,5029 Aluvial Desa Sidajaya Kec. Cipunagara ,8847-6,4821 Aluvial Desa Tanjung Kec. Cipunagara ,8421-6,5268 Podsolik Desa Wanasari Kec. Cipunagara ,8081-6,579 Grumusol Desa Wanareja Kec. Subang ,7660-6,5558 Aluvial Desa Karanganyar Kec. Subang Lereng Land Use (%) > 40 Pertanian Lahan Kering Hutan Tanaman 9-15 Hutan Tanaman 9-15 Sawah > 40 Pertanian Lahan Kering Sekunder 0-8 Hutan Tanaman 0-8 Pertanian Lahan Kering Campur 0-8 Sawah 0-8 Pertanian Lahan Kering 0 8 Sawah 0-8 Pertanian Lahan Kering Hutan Tanaman 0-8 Pemukiman

63 49 Lampiran 3 Daftar nama kecamatan, jumlah dan nama desa di DAS Cipunagara No Kecamatan Jumlah Desa Nama Desa 1 Lembang 6 Cikahuripan, Jayagiri, Cikole, Cikidang, Wangunharja, Suntenjaya 2 Parongpong 2 Cigugur Girang, Karyawangi 3 Tanjungsari 1 Cijambu 4 Rancakalong 5 Rancakalong, Sukahayu, Cibunar, Pangadegan, Cibungur 5 Sumedang 2 Mekarjaya, Jatimulya Utara 6 Conggean 1 Cibubuan 7 Cimalaka 8 Cibeureum Kulon, Cikole, Trunamanggala, Nyalindung, Naluk, Citimun, Licin, Padasari 8 Tanjungkerta 10 Tanjungmekar, Cigentur, Gunturmekar, Banyuasih, Mulyamekar, Sukamantri, Kertaharja, Kertamekar, Tanjungmulya, Boros 9 Tanjungmedar 8 Wargaluyu, Tanjungwangi, Sukamukti, Cikaramas, Kertamukti, Sukatani, Kamal, Jingkang 10 Buahdua 12 Cilangkap, Cibitung, Cikurubuk, Bojongloa, Nagrak, Panyindangan, Buahdua, Gendereh, Citaleus, Mekarmukti, Hariang, Karangbungur 11 Surian 5 Wanajaya, Wanasari, Pamekarsari, Surian, Tanjung 12 Haurgeulis 8 Haurgeulis, Sukajati, Wanakaya, Karangtumaritis, Kertanegara, Cipancuh, Mekarjati, Sumbermulya 13 Gantar 4 Bantarwaru, Sanca, Situraja, Baleraja 14 Anjatan 5 Mangunjaya, Bugis Tua, Bugis, Salamdarma, Kedungwungu 15 Sagalaherang 2 Sukamandi, Cicadas 16 Jalancagak 17 Ciater, Nagrak, Cibeusi, Cibitung, Palasari, Cisaat, Curugrendeng, Sarireja, Sanca, Cimanglid, Kasomalang Kulon, Kasomalang Wetan, Kumpay, Tambakan, Jalancagak, Bumihayu, Tambakmekar 17 Cisalak 13 Cipunagara, Cimanggu, Gardusayang, Mayang, Sukakerti, Pasanggrahan, Sindangsari, Darmaga, Cisalak, Cigadog, Tenjolaya, Bojongloa, Sukamelang 18 Tanjungsiang 10 Buniara, Tanjungsiang, Cikawung, Cimeuhmal, Sirap, Kawungluwuk, Cibuluh, Sindanglaya, Rancamanggung, Gandasoli 19 Terisi 1 Cikawung 20 Cijambe 8 Gunungtua, Cijambe, Cirangkong, Cimenteng, Cikadu, Sukahurip, Bantarsari, Tanjungwangi 21 Cibogo 7 Wanareja, Sadawarna, Sumurbarang, Padaasih, Cibogo, Cinangsi, Majasari

64 50 Lampiran 3 (lanjutan) No Kecamatan Jumlah Desa Nama Desa 22 Subang 11 Parung, Pasirkareumbi, Soklat, Karanganyar, Cigadung, Dangdeur, Sukamelang, Belendung, Cisaga, Jabong, Cidahu 23 Pagaden 13 Balingbing, Cidadap, Sumurgintung, Gunungsembung, Gembor, Sukamulya, Pangsor, Munjul, Margahayu, Gambarsari, Neglasari, Pagaden, Kamarung 24 Cipunagara 9 Wanasari, Sidajaya, Tanjung, Parigimulya, Jati, Manyingsal, Padamulya, Kosambi, Simpar 25 Compreng 7 Sukadana, Sukatani, Kiarasari, Jatireja, Mekarjaya, Compreng, Jatimulya 26 Binong 12 Nangerang, Kihiyang, Karangsari, Citrajaya, Binong, Mulyasari, Tambakdahan, Bojongkeding, Bojonegara, Rancaudik, Kertajaya, Mariuk 27 Pamanukan 8 Pamanukan, Rancasari, Pamanukan Hilir, Lengkongjaya, Pamanukan Sebrang, Mundusari, Rancahilir, Bongas 28 Pusakanagara 6 Bojong Tengah, Bojongjaya, Pusakajaya, Pusakaratu, Gempol, Patimban 29 Legonkulon 6 Tegalurung, Mayangan, Legonwetan, Legonkulon, Pangarengan, Karangmulya

65 51 Lampiran 4 Hasil analisis laboratorium sifat fisik dan kimia tanah Titik Bulk Denisty (g/cm 3 ) Permeabilitas (mm/jam) C-Organik (Walkley & Black) Pasir Sangat Halus Tekstur Debu Klei 1 1,22 16,82 1,11 4,67 54,00 31,67 2 1,14 30,57 0,66 3,50 57,00 31,50 3 1,18 24,35 1,12 3,50 56,00 33,50 4 1,25 25,55 1,11 2,50 57,00 34,50 5 1,14 17,14 0,94 4,00 59,67 29,00 6 1,13 26,93 1,71 5,50 59,50 26,00 7 1,20 14,54 1,35 3,33 58,00 31,00 8 1,06 15,08 1,20 4,33 58,67 27,67 9 1,07 42,65 1,17 12,00 49,50 27, ,22 17,40 1,96 11,00 50,67 26, ,14 8,37 1,44 5,67 52,00 31, ,26 22,70 0,89 3,00 54,67 33, ,11 27,39 0,61 1,50 55,50 35, ,32 10,00 1,00 3,50 55,00 33, ,27 33,72 0,31 3,00 52,33 33, ,14 5,60 2,32 3,00 53,00 37, ,28 16,03 1,30 4,33 56,33 28, ,13 12,30 1,09 9,33 48,00 29, ,13 12,21 0,99 9,00 56,00 25, ,20 9,25 1,35 3,67 58,33 28, ,13 3,73 2,60 2,50 53,00 38, ,19 18,42 0,89 4,00 59,67 29, ,17 8,43 1,19 5,00 53,00 32, ,02 12,94 0,97 2,00 53,50 38, ,12 10,56 0,69 4,00 54,00 33, ,03 8,60 0,49 4,00 49,33 35, ,19 17,83 0,25 5,67 49,67 32, ,14 8,90 0,21 6,00 50,33 26, ,19 12,95 0,55 5,33 51,33 27, ,23 6,68 0,97 4,00 50,00 36,33

66 52 Lampiran 5 Hasil analisis nilai erodibilitas tanah (K) Titik a (%C x 1,724) b c Pasir Sangat Halus Tekstur Debu Klei M K Tingkat Erodibilitas 1 1, ,67 54,00 31, ,67 0,38 Agak Tinggi 2 1, ,50 57,00 31, ,00 0,41 Tinggi 3 1, ,50 56,00 33, ,50 0,36 Agak Tinggi 4 1, ,50 57,00 34, ,00 0,37 Agak Tinggi 5 1, ,00 59,67 29, ,00 0,44 Tinggi 6 2, ,50 59,50 26, ,00 0,42 Tinggi 7 2, ,33 58,00 31, ,33 0,41 Tinggi 8 2, ,33 58,67 27, ,33 0,43 Tinggi 9 2, ,00 49,50 27, ,00 0,33 Agak Tinggi 10 3, ,00 50,67 26, ,00 0,26 Sedang 11 2, ,67 52,00 31, ,33 0,39 Agak Tinggi 12 1, ,00 54,67 33, ,00 0,38 Agak Tinggi 13 1, ,50 55,50 35, ,00 0,37 Agak Tinggi 14 1, ,50 55,00 33, ,00 0,32 Sedang 15 0, ,00 52,33 33, ,00 0,29 Sedang 16 4, ,00 53,00 37, ,00 0,20 Rendah 17 2, ,33 56,33 28, ,67 0,41 Tinggi 18 1, ,33 48,00 29, ,33 0,41 Tinggi 19 1, ,00 56,00 25, ,33 0,50 Tinggi 20 2, ,67 58,33 28, ,33 0,42 Tinggi 21 4, ,50 53,00 38, ,00 0,30 Sedang 22 1, ,00 59,67 29, ,67 0,44 Tinggi 23 2, ,00 53,00 32, ,00 0,39 Agak Tinggi 24 1, ,00 53,50 38, ,50 0,34 Agak Tinggi 25 1, ,00 54,00 33, ,67 0,38 Agak Tinggi 26 0, ,00 49,33 35, ,00 0,35 Agak Tinggi 27 0, ,67 49,67 32, ,33 0,35 Agak Tinggi 28 0, ,00 50,33 26, ,00 0,46 Tinggi 29 0, ,33 51,33 27, ,67 0,40 Agak Tinggi 30 1, ,00 50,00 36, ,67 0,34 Agak Tinggi

67 53 Lampiran 6 Nilai prediksi erosi Titik R K LS Nilai Erosi ,38 3,10 215, ,41 9,50 60, ,36 9,50 48, ,37 1,40 124, ,44 3,10 4, ,42 3,10 109, ,41 3,10 439, ,43 9,50 38, ,33 9,50 4, ,26 9,50 4, ,39 3,10 4, ,38 1,40 3, ,37 6,80 7, ,32 6,80 30, ,29 1,40 1, ,20 6,80 3, ,41 9,50 121, ,41 9, , ,50 3,10 10, ,42 1,40 12, ,30 1,40 26, ,44 9,50 195, ,39 0,40 4, ,34 0,40 13, ,38 0,40 13, ,35 0,40 7, ,35 0,40 6, ,46 0,40 15, ,40 6,80 3, ,34 0,40 20,20

68 54 Lampiran 7 Nilai faktor kedalaman tanah Titik Jenis Tanah Dmin Faktor kedalaman (mm) tanah 1 Latosol 0, Latosol 0, Andosol 0, Litosol 0,37 0,8 5 Latosol 0, Latosol 0, Litosol 0, Litosol 0, Latosol 0, Latosol 0, Latosol 0, Litosol 0, Grumusol 0,37 0,9 14 Litosol 0,32 0,9 15 Latosol 0,29 0,9 16 Grumusol 0, Litosol 0,41 0,9 18 Litosol 0,41 0,9 19 Latosol 0, Litosol 0,42 0,9 21 Litosol 0,30 0,9 22 Latosol 0, Latosol 0, Latosol 0, Podsolik 0, Aluvial 0,35 0,95 27 Aluvial 0,35 0,95 28 Podsolik 0, Grumusol 0, Aluvial 0,34 1

69 55 Lampiran 8 Kriteria penilaian tingkat kekritisan lahan pada kawasan hutan lindung Perdirjen BPDAS PS Nomor P.4/V-Set/2013 Kriteria No (% bobot) 1 Penutupan Lahan (50) 2 Kemiringan Lereng (20) 3 Tingkat Bahaya Erosi (20) 4 Manajemen (10) Besaran/ Kelas Skor Keterangan deskripsi 1. Sangat Baik > 80 % 5 Dinilai 2. Baik % berdasarkan 4 persentase 3. Sedang % 3 penutupan tajuk 4. Buruk % 2 pohon 5. Sangat Buruk < 20 % 1 1. Datar < 8 % 5 2. Landai 8 15 % 4 3. Agak Curam % 3 4. Curam % 2 5. Sangat Curam > Ringan 0 dan I 5 Dihitung 2. Sedang II 4 3. Berat III 3 4. Sangat Berat IV 2 1. Baik 2. Sedang 3. Buruk Lengkap*) Tidak lengkap Tidak ada berdasarkan persamaan USLE dan berdasarkan pada uji laboratorium pada sampel tanah, dengan parameter : 1. Tekstur Tanah 2. Persentase Bahan Organik 3. Struktur Tanah 4. Permeabilita s *)=tata batas kawasan ada Pengawasan ada Penyuluhan dilaksanakan

70 56 Lampiran 9 Kriteria penilaian tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya Perdirjen BPDAS PS Nomor P.4/V-Set/2013 Kriteria (% No bobot) 1 Produktivit as (30) 2 Kemiringan Lereng (20) 3 Tingkat Bahaya Erosi (20) 4 Manajemen (30) Kelas Besaran/ deskripsi (%) Skor Keterangan 1. Sangat Baik > 80 % 5 Dinilai 2. Baik % 4 berdasarkan rasio terhadap produksi 3. Sedang % 3 komoditi umum 4. Buruk % 2 optimal pada pengelolaan 5. Sangat Buruk < 20 % 1 tradisional 1. Datar < 8 % 5 2. Landai 8 15 % 4 3. Agak Curam % 3 4. Curam % 2 5. Sangat Curam > Ringan 0 dan I 5 Dihitung 2. Sedang II 4 berdasarkan 3. Berat III 3 persamaan USLE 4. Sangat Berat IV 2 dan berdasarkan pada uji laboratorium pada sampel tanah, dengan parameter : 5. Tekstur Tanah 6. Persentase Bahan Organik 7. Struktur Tanah 8. Permeabilitas 1. Baik 2. Sedang 3. Buruk Lengkap*) Tidak lengkap Tidak ada *)=tata batas kawasan ada Pengawasan ada Penyuluhan dilaksanakan

71 57 Lampiran 10 Kriteria penilaian tingkat kekritisan lahan pada kawasan lindung di luar hutan dan kawasan hutan produksi Perdirjen BPDAS PS Nomor P.4/V-Set/2013 Kriteria No (% bobot) 1 Penutupan Lahan (50) 2 Kemiringan Lereng (10) 3 Tingkat Bahaya Erosi (10) 4 Manajemen (30) Besaran/ Kelas Skor Keterangan deskripsi 6. Sangat Baik > 80 % 5 Dinilai 7. Baik % berdasarkan 4 persentase 8. Sedang % 3 penutupan tajuk 9. Buruk % 2 pohon 10. Sangat Buruk < 20 % 1 6. Datar < 8 % 5 7. Landai 8 15 % 4 8. Agak Curam % 3 9. Curam % Sangat Curam > Ringan 0 dan I 5 Dihitung 6. Sedang II 4 7. Berat III 3 8. Sangat Berat IV 2 4. Baik 5. Sedang 6. Buruk Lengkap*) Tidak lengkap Tidak ada berdasarkan persamaan USLE dan berdasarkan pada uji laboratorium pada sampel tanah, dengan parameter : 9. Tekstur Tanah 10. Persentase Bahan Organik 11. Struktur Tanah 12. Permeabilita s *)=tata batas kawasan ada Pengawasan ada Penyuluhan dilaksanakan

72 58 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kebumen Jawa Tengah pada tanggal 24 April Penulis adalah putra kedua dari tiga bersaudara dari Bapak Suripto dan Ibu Wahyuni. Pendidikan SD sampai dengan SMA diselesaikan penulis di Kebumen. Tahun 2012 penulis lulus dari SMAN 2 Kebumen dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan sarjana (S1) pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian melalui jalur SNMPTN Undangan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum Fisika Tanah pada tahun ajaran 2015/2016. Penulis juga aktif sebagai staf Departemen Olahraga dan Seni BEM Faperta IPB tahun 2014/2015 dan sebagai Ketua Departemen Olahraga BEM Faperta IPB Tahun 2015/2016.

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN PERHUTANAN SOSIAL NOMOR : P.

Lebih terperinci

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO Rini Fitri Dosen pada Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Almuslim ABSTRAK Lahan kering di

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat untuk Hutan Aceh Berkelanjutan Banda Aceh, 19 Maret 2013

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat untuk Hutan Aceh Berkelanjutan Banda Aceh, 19 Maret 2013 ANALISIS SPASIAL ARAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN KEKRITISAN LAHAN SUB DAS KRUENG JREUE Siti Mechram dan Dewi Sri Jayanti Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

KAJIAN EROSI TANAH DENGAN PENDEKATAN WISCHMEIER PADA DAS KALIMEJA SUBAIM KECAMATAN WASILE TIMUR KABUPATEN HALMAHERA TIMUR

KAJIAN EROSI TANAH DENGAN PENDEKATAN WISCHMEIER PADA DAS KALIMEJA SUBAIM KECAMATAN WASILE TIMUR KABUPATEN HALMAHERA TIMUR KAJIAN EROSI TANAH DENGAN PENDEKATAN WISCHMEIER PADA DAS KALIMEJA SUBAIM KECAMATAN WASILE TIMUR KABUPATEN HALMAHERA TIMUR Adnan Sofyan dan Gunawan Hartono*) Abstrak : Erosi yang terjadi di Sub Das Kalimeja

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN A. Konsep Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu untuk mengetahui potensi terjadinya banjir di suatu wilayah dengan memanfaatkan sistem informasi geografi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN

BAB II METODE PENELITIAN BAB II METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam analisis tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian yaitu dengan menggunakan metode analisis data sekunder yang dilengkapi dengan

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU SKRIPSI OLEH: BASA ERIKA LIMBONG 061201013/ MANAJEMEN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 13 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-September 2011, dengan lokasi penelitian untuk pengamatan dan pengambilan data di Kabupaten Bogor, Jawa

Lebih terperinci

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE 1 Cindy Tsasil Lasulika, Nawir Sune, Nurfaika Jurusan Pendidikan Fisika F.MIPA Universitas Negeri Gorontalo e-mail:

Lebih terperinci

Ummi Kalsum 1, Yuswar Yunus 1, T. Ferijal 1* 1 Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala PENDAHULUAN

Ummi Kalsum 1, Yuswar Yunus 1, T. Ferijal 1* 1 Program Studi Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala PENDAHULUAN Arahan Konservasi DAS Meureudu Menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) (Conservation Directives of Drainage Basin Meureudu Using GIS Geographic Information Systems) Ummi Kalsum 1, Yuswar Yunus 1,

Lebih terperinci

KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA PENGGUNAAN LAHAN TANAMAN AGROFORESTRY DI SUB DAS LAU BIANG (KAWASAN HULU DAS WAMPU)

KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA PENGGUNAAN LAHAN TANAMAN AGROFORESTRY DI SUB DAS LAU BIANG (KAWASAN HULU DAS WAMPU) KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA PENGGUNAAN LAHAN TANAMAN AGROFORESTRY DI SUB DAS LAU BIANG (KAWASAN HULU DAS WAMPU) SKRIPSI Oleh HARRY PRANATA BARUS DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 9 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Persiapan : Oktober November 2010 (Bogor). Pelaksanaan lapang (pra survei dan survei) : Desember 2010. Analisis Laboratorium : Januari Februari 2011.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan di DAS Hulu Mikro Sumber Brantas, terletak di Desa

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan di DAS Hulu Mikro Sumber Brantas, terletak di Desa BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di DAS Hulu Mikro Sumber Brantas, terletak di Desa Sumber Brantas Kota Batu Jawa Timur. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember

Lebih terperinci

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK

POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK 1 POTENSI DAS DELI DALAM MENDUKUNG PERTANIAN BERKELANJUTAN BERDASARKAN EVALUASI KEMAMPUAN PENGGUNAAN LAHAN ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi DAS Deli berdasarkan evaluasi kemampuan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Letak dan Ciri-ciri Lintasan Sepeda Gunung Letak lintasan sepeda gunung di HPGW disajikan dalam Gambar 5. Ciricirinya disajikan dalam Tabel 9. Tabel 9 Keadaan plot penelitian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat 18 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2006 - Agustus 2006 di wilayah daerah aliran sungai (DAS) Dodokan (34.814 ha) dengan plot pengambilan sampel difokuskan

Lebih terperinci

STUDI IDENTIFIKASI PENGELOLAAN LAHAN BERDASAR TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) (Studi Kasus Di Sub Das Sani, Das Juwana, Jawa Tengah)

STUDI IDENTIFIKASI PENGELOLAAN LAHAN BERDASAR TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) (Studi Kasus Di Sub Das Sani, Das Juwana, Jawa Tengah) JURNAL ILMU LINGKUNGAN Volume 9, Issue 2: 57-61 (2011) ISSN 1829-8907 STUDI IDENTIFIKASI PENGELOLAAN LAHAN BERDASAR TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) (Studi Kasus Di Sub Das Sani, Das Juwana, Jawa Tengah) Rathna

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis karakteristik DTA(Daerah Tangkapan Air ) Opak 1. Luas DTA (Daerah Tangkapan Air) Opak Dari hasil pengukuran menggunakan aplikasi ArcGis 10.1 menunjukan bahwa luas

Lebih terperinci

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI DENGAN METODE USLE (UNIVERSAL SOIL LOSS EQUATION) BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI PULAU SAMOSIR

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI DENGAN METODE USLE (UNIVERSAL SOIL LOSS EQUATION) BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI PULAU SAMOSIR PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI DENGAN METODE USLE (UNIVERSAL SOIL LOSS EQUATION) BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI PULAU SAMOSIR SKRIPSI OLEH: FRISCA ELIANA SIDABUTAR 031201021/MANAJEMEN HUTAN

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Uraian Umum Embung merupakan bangunan air yang selama pelaksanaan perencanaan diperlukan berbagai bidang ilmu guna saling mendukung demi kesempurnaan hasil perencanaan. Bidang

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode USLE

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode USLE BAB III LANDASAN TEORI A. Metode USLE Metode Universal Soil Loss Equation (USLE) merupakan model empiris yang dikembangkan di Pusat Data Aliran Permukaan dan Erosi Nasional, Dinas Penelitian Pertanian,

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis Karakter Daerah Tangkapan Air Merden 1. Luas DTA (Daerah Tangkapan Air) Merden Dari hasil pengukuran menggunakan aplikasi ArcGis 10.3 menunjukan bahwa luas DTA

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Panumbangan yang merupakan salah satu wilayah kecamatan di bagian Utara Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sampel tanah untuk analisis laboratorium yaitu meliputi sampel tanah terusik dan sampel tanah tidak terusik. 2.

METODE PENELITIAN. Sampel tanah untuk analisis laboratorium yaitu meliputi sampel tanah terusik dan sampel tanah tidak terusik. 2. III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di bagian timur Kabupaten Natuna, yaitu Kecamatan Bunguran Timur, Bunguran Tengah, Bunguran Selatan dan Bunguran Timur

Lebih terperinci

PREDIKSI TINGKAT BAHAYA EROSI MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI DAERAH TANGKAPAN AIR DANAU WISATA BANDAR KAYANGAN

PREDIKSI TINGKAT BAHAYA EROSI MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI DAERAH TANGKAPAN AIR DANAU WISATA BANDAR KAYANGAN PREDIKSI TINGKAT BAHAYA EROSI MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI DAERAH TANGKAPAN AIR DANAU WISATA BANDAR KAYANGAN Eva Suyanti 1, Hadinoto 2 dan Muhammad Ikhwan 2 1 Mahasiswa Fakultas Kehutanan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta

TINJAUAN PUSTAKA. unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya manusia

Lebih terperinci

EI 30 = 6,119 R 1,21 D -0,47 M 0,53 Tabel IV.1 Nilai Indeks Erosivitas Hujan (R)

EI 30 = 6,119 R 1,21 D -0,47 M 0,53 Tabel IV.1 Nilai Indeks Erosivitas Hujan (R) BAB IV ANALISIS No. 4.1 Faktor Berpengaruh DalamTingkat Kehilangan Tanah Dalam menganalisis Fisik Kemampuan tanah terhadap erosi di gunakan pedoman Permen PU No.41/PRT/M/2007 yang didalamnya menjelaskan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Erosi Metode yang digunakan pada pendugaan erosi adalah Persamaan 2.1 yaitu metode USLE (Universal Soil Loss Equation) yang dikembangkan oleh Wishchmeier dan Smith (1978)

Lebih terperinci

PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK SEBAGAI PENGENDALI EROSI DI SUB DAS CIBOJONG KABUPATEN SERANG, BANTEN. Oleh: FANNY IRFANI WULANDARI F

PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK SEBAGAI PENGENDALI EROSI DI SUB DAS CIBOJONG KABUPATEN SERANG, BANTEN. Oleh: FANNY IRFANI WULANDARI F PENGGUNAAN BAHAN ORGANIK SEBAGAI PENGENDALI EROSI DI SUB DAS CIBOJONG KABUPATEN SERANG, BANTEN Oleh: FANNY IRFANI WULANDARI F14101089 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR FANNY

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Jurnal Reka Buana Volume 1 No 2, Maret 2016 - Agustus 2016 73 ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Galih Damar Pandulu PS. Teknik Sipil, Fak. Teknik,

Lebih terperinci

Rd. Indah Nirtha NNPS. Program Studi Teknik Lingkungn Fakultas Teknis Universitas Lambung Mangkurat

Rd. Indah Nirtha NNPS. Program Studi Teknik Lingkungn Fakultas Teknis Universitas Lambung Mangkurat EnviroScienteae 10 (2014) 27-32 ISSN 1978-8096 STUDI TINGKAT BAHAYA EROSI DAN PENGARUHNYA TERHADAP KUALITAS AIR (TSS DAN TDS) DAS SEJORONG, KECAMATAN SEKONGKANG KABUPATEN SUMBAWA BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Jurnal Reka Buana Volume 1 No 2, Maret-Agustus 2015 9 ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG Galih Damar Pandulu PS. Teknik Sipil, Fak. Teknik, Universitas

Lebih terperinci

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN

3/30/2012 PENDAHULUAN PENDAHULUAN METODE PENELITIAN APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DALAM EVALUASI DAERAH RAWAN LONGSOR DI KABUPATEN BANJARNEGARA (Studi Kasus di Gunung Pawinihan dan Sekitarnya Sijeruk Kecamatan Banjarmangu Kabupaten

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. adanya dan mengungkapkan fakta-fakta yang ada, walaupun kadang-kadang

BAB III METODE PENELITIAN. adanya dan mengungkapkan fakta-fakta yang ada, walaupun kadang-kadang BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif lebih mengarah pada pengungkapan suatu masalah atau keadaan sebagaimana adanya dan mengungkapkan

Lebih terperinci

PRAKTIKUM RSDAL VI PREDIKSI EROSI DENGAN METODE USLE DAN UPAYA PENGENDALIANNYA

PRAKTIKUM RSDAL VI PREDIKSI EROSI DENGAN METODE USLE DAN UPAYA PENGENDALIANNYA PRAKTIKUM RSDAL VI PREDIKSI EROSI DENGAN METODE USLE DAN UPAYA PENGENDALIANNYA Metode prediksi erosi yang secara luas telah dipakai serta untuk mengevaluasi teknik konservasi pada suatu area diantaranya

Lebih terperinci

Erosi. Rekayasa Hidrologi

Erosi. Rekayasa Hidrologi Erosi Rekayasa Hidrologi Erosi adalah suatu proses atau peristiwa hilangnya lapisan permukaan tanah atas, baik disebabkan oleh pergerakan air maupun angin. Erosi merupakan tiga proses yang berurutan, yaitu

Lebih terperinci

EVALUASI ARAHAN PEMANFAATAN LAHAN TAMBAK DI KABUPATEN SAMPANG MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

EVALUASI ARAHAN PEMANFAATAN LAHAN TAMBAK DI KABUPATEN SAMPANG MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS EVALUASI ARAHAN PEMANFAATAN LAHAN TAMBAK DI KABUPATEN SAMPANG MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Firman Farid Muhsoni Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo JL. Raya Telang

Lebih terperinci

ABSTRACT PREDICTION EROSION, LAND CAPABILITY CLASSIFICATION AND PROPOSED LAND USE IN BATURITI DISTRICT, TABANAN REGENCY, BALI PROVINCE.

ABSTRACT PREDICTION EROSION, LAND CAPABILITY CLASSIFICATION AND PROPOSED LAND USE IN BATURITI DISTRICT, TABANAN REGENCY, BALI PROVINCE. ABSTRACT PREDICTION EROSION, LAND CAPABILITY CLASSIFICATION AND PROPOSED LAND USE IN BATURITI DISTRICT, TABANAN REGENCY, BALI PROVINCE. Land resource damage caused by the land conversion and land use without

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei adalah

III. METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei adalah 25 III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei adalah suatu metode penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan sejumlah besar data

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dibutuhkan umat manusia. Pengertian lahan dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998), yaitu : Lahan merupakan

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. Jika dirumuskan dalam suatu persamaan adalah sebagai berikut : R=.(3.1) : curah hujan rata-rata (mm)

BAB III LANDASAN TEORI. Jika dirumuskan dalam suatu persamaan adalah sebagai berikut : R=.(3.1) : curah hujan rata-rata (mm) BAB III LANDASAN TEORI 3.1. Curah hujan wilayah Menurut Triatmodjo (2010) stasiun penakar hujan hanya memberikan kedalaman hujan di titik di mana stasiun tersebut berada, sehingga hujan pada suatu luasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya lahan merupakan komponen sumberdaya alam yang ketersediaannya sangat terbatas dan secara relatif memiliki luas yang tetap serta sangat bermanfaat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Wilayah Letak dan Batas Letak suatu wilayah adalah lokasi atau posisi suatu tempat yang terdapat di permukaan bumi. Letak suatu wilayah merupakan faktor yang sangat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Berikut adalah metode penelitian yang diusulkan : Pengumpulan Data Peta Curah Hujan tahun Peta Hidrologi Peta Kemiringan Lereng Peta Penggunaan Lahan

Lebih terperinci

KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA PENGGUNAAN LAHAN TANAMAN PANGAN (UBI KAYU) DI KEBUN PERCOBAAN USU KWALA BEKALA

KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA PENGGUNAAN LAHAN TANAMAN PANGAN (UBI KAYU) DI KEBUN PERCOBAAN USU KWALA BEKALA KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA PENGGUNAAN LAHAN TANAMAN PANGAN (UBI KAYU) DI KEBUN PERCOBAAN USU KWALA BEKALA SKRIPSI Oleh: HOLONG MUNTE 060308042 DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) TANAH ANDEPTS PADA PENGGUNAAN LAHAN TANAMAN KACANG TANAH DI KEBUN PERCOBAAN KWALA BEKALA USU

KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) TANAH ANDEPTS PADA PENGGUNAAN LAHAN TANAMAN KACANG TANAH DI KEBUN PERCOBAAN KWALA BEKALA USU KAJIAN TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) TANAH ANDEPTS PADA PENGGUNAAN LAHAN TANAMAN KACANG TANAH DI KEBUN PERCOBAAN KWALA BEKALA USU DELIMA LAILAN SARI NASUTION 060308013 DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Erosi Erosi adalah hilangnya atau terkikisnya tanah dari suatu tempat ke tempat lain melalui media air atau angin. Erosi melalui media angin disebabkan oleh kekuatan angin sedangkan

Lebih terperinci

Pendugaan Erosi Aktual Berdasarkan Metode USLE Melalui Pendekatan Vegetasi, Kemiringan Lereng dan Erodibilitas di Hulu Sub DAS Padang

Pendugaan Erosi Aktual Berdasarkan Metode USLE Melalui Pendekatan Vegetasi, Kemiringan Lereng dan Erodibilitas di Hulu Sub DAS Padang Pendugaan Erosi Aktual Berdasarkan Metode USLE Melalui Pendekatan Vegetasi, Kemiringan Lereng dan Erodibilitas di Hulu Sub DAS Padang Estimation of Actual Erosion by USLE Method Approach Vegetation, Slope

Lebih terperinci

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK ANALISA TINGKAT BAHAYA EROSI DAN KEKRITISAN LAHAN PADA DAS BADUNG PROVINSI BALI Saikhul Islam 1, Moh. Sholichin 2, Runi Asmaranto 2 1 Mahasiswa Sarjana Teknik

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pelaksanaan Penelitian 1. Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2014 sampai September 2014 di Dukuh Kaliwuluh, Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang,

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang 1 Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Erosi adalah proses terkikis dan terangkutnya tanah atau bagian bagian tanah oleh media alami yang berupa air. Tanah dan bagian bagian tanah yang terangkut dari suatu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Erodibilitas. jumlah tanah yang hilang setiap tahunnya per satuan indeks daya erosi curah

TINJAUAN PUSTAKA. Erodibilitas. jumlah tanah yang hilang setiap tahunnya per satuan indeks daya erosi curah TINJAUAN PUSTAKA Erodibilitas Indeks kepekaan tanah terhadap erosi atau erodibilitas tanah merupakan jumlah tanah yang hilang setiap tahunnya per satuan indeks daya erosi curah hujan pada sebidang tanah

Lebih terperinci

MENENTUKAN LAJU EROSI

MENENTUKAN LAJU EROSI MENENTUKAN LAJU EROSI Pendahuluan Erosi adalah proses berpindahnya massa batuan dari satu tempat ke tempat lain yang dibawa oleh tenaga pengangkut yang bergerak di muka bumi. Tenaga pengangkut tersebut

Lebih terperinci

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT MELALUI PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH LOKAL SPESIFIK (Studi Kasus pada DAS Cisadane)

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT MELALUI PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH LOKAL SPESIFIK (Studi Kasus pada DAS Cisadane) PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT MELALUI PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH LOKAL SPESIFIK (Studi Kasus pada DAS Cisadane) Oleh : Edy Junaidi Balai Penelitian Kehutanan Ciamis ABSTRAK Luasan penggunaan

Lebih terperinci

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Kondisi Geografis Wilayah Provinsi Jawa Barat Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak antara 5 54' - 7 45' LS dan 106 22' - 108 50 BT dengan areal seluas 37.034,95

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DALAM PENGKLASIFIKASIAN BAHAYA EROSI PADA DAS TALAWAAN

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DALAM PENGKLASIFIKASIAN BAHAYA EROSI PADA DAS TALAWAAN PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DALAM PENGKLASIFIKASIAN BAHAYA EROSI PADA DAS TALAWAAN Prayitno (1), J. S. Tasirin (1), M. Y. M. A. Sumakud (1) & J.A. Rombang, MSc (1), 1 Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bagian bentang alam (landscape) yang mencakup komponen fisik yang terdiri dari iklim, topografi (relief), hidrologi dan keadaan vegetasi alami (natural

Lebih terperinci

PENDUGAAN EROSI TANAH DIEMPAT KECAMATAN KABUPATEN SIMALUNGUN BERDASARKAN METODE ULSE

PENDUGAAN EROSI TANAH DIEMPAT KECAMATAN KABUPATEN SIMALUNGUN BERDASARKAN METODE ULSE PENDUGAAN EROSI TANAH DIEMPAT KECAMATAN KABUPATEN SIMALUNGUN BERDASARKAN METODE ULSE SKRIPSI Oleh: MARDINA JUWITA OKTAFIA BUTAR BUTAR 080303038 DEPARTEMEN AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan lahan yang sangat intensif serta tidak sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahan menimbulkan adanya degradasi lahan. Degradasi lahan yang umum terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

PREDIKSI EROSI DAERAH ALIRAN SUNGAI POBOYA

PREDIKSI EROSI DAERAH ALIRAN SUNGAI POBOYA PREDIKSI EROSI DAERAH ALIRAN SUNGAI POBOYA Leonidas Paarrang 1, Uswah Hasanah dan Anthon Monde 2 leonidaspaarrang@gmail.com 1 (Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu-Ilmu Pertanian Pascasarjana Universitas

Lebih terperinci

PENDUGAAN EROSI DENGAN METODE USLE (Universal Soil Loss Equation) DI SITU BOJONGSARI, DEPOK

PENDUGAAN EROSI DENGAN METODE USLE (Universal Soil Loss Equation) DI SITU BOJONGSARI, DEPOK PENDUGAAN EROSI DENGAN METODE USLE (Universal Soil Loss Equation) DI SITU BOJONGSARI, DEPOK Oleh: NURINA ENDRA PURNAMA F14104028 2008 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

METODOLOGI. dilakukan di DAS Asahan Kabupaen Asahan, propinsi Sumatera Utara. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari :

METODOLOGI. dilakukan di DAS Asahan Kabupaen Asahan, propinsi Sumatera Utara. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Inventarisasi Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian dan penelitian lapangan dilakukan di DAS Asahan Kabupaen Asahan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih baik. Menurut Bocco et all. (2005) pengelolaan sumber daya alam

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih baik. Menurut Bocco et all. (2005) pengelolaan sumber daya alam BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumber daya alam merupakan suatu bentuk kekayaan alam yang pemanfaatannya bersifat terbatas dan berfungsi sebagai penunjang kesejahteraan makhluk hidup khususnya manusia

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Lokasi dan waktu Bahan dan Alat

METODE PENELITIAN Lokasi dan waktu Bahan dan Alat 22 METODE PENELITIAN Lokasi dan waktu Lokasi penelitian berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciambulawung yang secara administratif terletak di Desa Hegarmanah, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I 1.1. Latar Belakang Pembukaan lahan untuk perumahan dan pemukiman pada daerah aliran sungai (DAS) akhir-akhir ini sangat banyak terjadi khususnya pada kota-kota besar, dengan jumlah dan pertumbuhan

Lebih terperinci

Prosiding SEMINAR NASIONAL. Banda Aceh, 19 Maret 2013

Prosiding SEMINAR NASIONAL. Banda Aceh, 19 Maret 2013 SEMINAR Prosiding NASIONAL ISBN: 978-979-8278-89-1 Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat Menuju Hutan Aceh Berkelanjutan Keynote Speaker Zulkifli Hasan (Menteri Kehutanan RI) Pengantar Zaini

Lebih terperinci

MENENTUKAN PUNCAK EROSI POTENSIAL YANG TERJADI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) LOLI TASIBURI DENGAN MENGGUNAKAN METODE USLEa

MENENTUKAN PUNCAK EROSI POTENSIAL YANG TERJADI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) LOLI TASIBURI DENGAN MENGGUNAKAN METODE USLEa JIMT Vol. 0 No. Juni 203 (Hal. ) Jurnal Ilmiah Matematika dan Terapan ISSN : 2450 766X MENENTUKAN PUNCAK EROSI POTENSIAL YANG TERJADI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) LOLI TASIBURI DENGAN MENGGUNAKAN METODE

Lebih terperinci

Teknik Konservasi Waduk

Teknik Konservasi Waduk Teknik Konservasi Waduk Pendugaan Erosi Untuk memperkirakan besarnya laju erosi dalam studi ini menggunakan metode USLE (Universal Soil Loss Equation) atau PUKT (Persamaan umum Kehilangan Tanah). USLE

Lebih terperinci

TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA HUTAN DAN LAHAN KAKAO DI DESA SEJAHTERA, KECAMATAN PALOLO, KABUPATEN SIGI

TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA HUTAN DAN LAHAN KAKAO DI DESA SEJAHTERA, KECAMATAN PALOLO, KABUPATEN SIGI e-j. Agrotekbis (3) : 236-243, Agustus 203 ISSN : 2338-30 TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) PADA HUTAN DAN LAHAN KAKAO DI DESA SEJAHTERA, KECAMATAN PALOLO, KABUPATEN SIGI Rate of erosion hazard (reh) on forest

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Citra Digital Interpretasi dilakukan dengan pembuatan area contoh (training set) berdasarkan pengamatan visual terhadap karakteristik objek dari citra Landsat. Untuk

Lebih terperinci

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN

4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4. PERUBAHAN PENUTUP LAHAN 4.1. Latar Belakang Sebagaimana diuraikan terdahulu (Bab 1), DAS merupakan suatu ekosistem yang salah satu komponen penyusunannya adalah vegetasi terutama berupa hutan dan perkebunan

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL BESARAN TINGKAT EROSI PADA TIAP SATUAN LAHAN DI SUB DAS BATANG KANDIS

ANALISIS SPASIAL BESARAN TINGKAT EROSI PADA TIAP SATUAN LAHAN DI SUB DAS BATANG KANDIS ANALISIS SPASIAL BESARAN TINGKAT EROSI PADA TIAP SATUAN LAHAN DI SUB DAS BATANG KANDIS Rusnam 1, Eri Gas Ekaputra 1,Erich Mansyur Sitanggang 2, 1 Dosen Fakultas Teknologi Pertanian, Kampus Limau Manis-Padang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Aliran Sungai merupakan suatu sistem alam yang menjadi faktor pendukung dalam penyediaan kebutuhan air. Lahan-lahan yang ada pada suatu DAS merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan menegaskan bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya

Lebih terperinci

LUAS (Hektare) Fungsi Hutan

LUAS (Hektare) Fungsi Hutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan sumberdaya yang sangat penting untuk memenuhi segala kebutuhan hidup. Lahan yang sesuai dengan kemampuannya merupakan lahan yang potensial. Namun

Lebih terperinci

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STUDI KASUS KABUPATEN BONDOWOSO

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STUDI KASUS KABUPATEN BONDOWOSO Pemetaan Daerah Rawan PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STUDI KASUS KABUPATEN BONDOWOSO Moch. Fauzan Dwi Harto, Adhitama Rachman, Putri Rida L, Maulidah Aisyah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR ISI ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Rumusan Masalah... 10 C. Tujuan Penelitian... 10

Lebih terperinci

Yeza Febriani ABSTRACT. Keywords : Erosion prediction, USLE method, Prone Land Movement.

Yeza Febriani ABSTRACT. Keywords : Erosion prediction, USLE method, Prone Land Movement. PREDIKSI EROSI MENGGUNAKAN METODA USLE PADA DAERAH RAWAN GERAKAN TANAH DI DAERAH JALUR LINTAS BENGKULU-KEPAHIANG Yeza Febriani Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN LAHAN KRITIS DI DAERAH KOKAP DAN PENGASIH KABUPATEN KULONPROGO

PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN LAHAN KRITIS DI DAERAH KOKAP DAN PENGASIH KABUPATEN KULONPROGO PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN LAHAN KRITIS DI DAERAH KOKAP DAN PENGASIH KABUPATEN KULONPROGO Rahmadi Nur Prasetya geo.rahmadi@gmail.com Totok Gunawan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERSETUJUAN... ii KATA PENGANTAR... iii PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR PETA... xii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

Pemetaan Tingkat Bahaya Erosi Sub DAS Petani Sumatera Utara. Mapping Erosion Level in Petani SubWatershed North Sumatera

Pemetaan Tingkat Bahaya Erosi Sub DAS Petani Sumatera Utara. Mapping Erosion Level in Petani SubWatershed North Sumatera Pemetaan Tingkat Bahaya Erosi Sub DAS Petani Sumatera Utara Mapping Erosion Level in Petani SubWatershed North Sumatera Roria Renta Silalahi, Supriadi*, Razali Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini berada di. Letak geografis Kecamatan Maja adalah sebagai berikut: 1. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Sukahaji, Kecamatan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN 31 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lokasi penelitian tersebar di tiga kecamatan yaitu : 1) Kecamatan Sukamakmur, 2) Kecamatan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 24 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Kabupaten Bogor Penggunaan lahan di Kabupaten Bogor pada tahun 1990, 2001, 2004, dan 2008 masih didominasi oleh lahan pertanian yaitu

Lebih terperinci

PENGGUNAAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN PENGINDERAAN JAUH DALAM MENGUKUR TINGKAT BAHAYA EROSI DI KAWASAN DATARAN TINGGI DIENG

PENGGUNAAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN PENGINDERAAN JAUH DALAM MENGUKUR TINGKAT BAHAYA EROSI DI KAWASAN DATARAN TINGGI DIENG PENGGUNAAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN PENGINDERAAN JAUH DALAM MENGUKUR TINGKAT BAHAYA EROSI DI KAWASAN DATARAN TINGGI DIENG Sukristiyanti 1, Asep Mulyono 2, dan Andarta F. Khoir 1 ABSTRAK 1 Pusat Penelitian

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

ARAHAN PENANGANAN LAHAN KRITIS DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI LESTI KABUPATEN MALANG

ARAHAN PENANGANAN LAHAN KRITIS DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI LESTI KABUPATEN MALANG Sidang Ujian PW 09-1333 ARAHAN PENANGANAN LAHAN KRITIS DI SUB DAERAH ALIRAN SUNGAI LESTI KABUPATEN MALANG IKA RACHMAWATI SURATNO 3606100051 DOSEN PEMBIMBING Ir. SARDJITO, MT 1 Latar belakang Luasnya lahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai Asahan. harafiah diartikan sebagai setiap permukaan miring yang mengalirkan air

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai Asahan. harafiah diartikan sebagai setiap permukaan miring yang mengalirkan air TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai Asahan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai terjemahan dari watershed secara harafiah diartikan sebagai setiap permukaan miring yang mengalirkan air (Putro et al, 2003).

Lebih terperinci