TELUK BAGI PENGEMBANGAN BUDIDAYA KERAMBA JARING APUNG IKAN KERAPU

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TELUK BAGI PENGEMBANGAN BUDIDAYA KERAMBA JARING APUNG IKAN KERAPU"

Transkripsi

1 MODEL PENGELOLAAN KUALITAS LINGKUNGAN BERBASIS DAYA DUKUNG (Carrying Capacity) PERAIRAN TELUK BAGI PENGEMBANGAN BUDIDAYA KERAMBA JARING APUNG IKAN KERAPU (Studi Kasus di Teluk Tamiang, Kabupaten Kotabaru, Propinsi Kalimantan Selatan) ARIADI NOOR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 29

2 MODEL PENGELOLAAN KUALITAS LINGKUNGAN BERBASIS DAYA DUKUNG (Carrying Capacity) PERAIRAN TELUK BAGI PENGEMBANGAN BUDIDAYA KERAMBA JARING APUNG IKAN KERAPU (Studi Kasus di Teluk Tamiang, Kabupaten Kotabaru, Propinsi Kalimantan Selatan) Oleh : ARIADI NOOR Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 29

3 Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Harpasis H Sanusi, MS Dr. Ir. Fredinand Yulianda, M.Sc. Penguji Luar Komisi Pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Ketut Sugama, M.Sc Dr. Ir. Luky Adrianto, M.Sc

4 @ Hak Cipta Milik IPB, Tahun 28 Hak Cipta dilindungi Undang Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

5 HALAMAN PENGESAHAN ii Judul Disertasi : Model Pengelolaan Kualitas Lingkungan Berbasis Daya Dukung (Carrying Capacity) Perairan Teluk Bagi Pengembangan Budidaya Keramba Jaring Apung Ikan Kerapu (Studi Kasus di Teluk Tamiang, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan) Nama : ARIADI NOOR N R P : C Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Program : Doktor (S3) Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Bambang Widigdo Ketua Dr. Ir. Richardus F Kaswadji, MSc Anggota Dr.Ir.Hartrisari Hardjomidjojo, DEA Anggota Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Prof. Dr.Ir. Dedi Soedharma, DEA Anggota Diketahui Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr.Ir.Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 2 Desember 28 Tanggal Lulus :

6 PRAKATA iii Puji syukur kami panjatkan kepada ALLAH SWT atas limpahan Rahkmat dan KaruniaNya sehingga disertasi ini dapat kami selesaikan. Disertasi ini berjudul Model Pengelolaan Kualitas Lingkungan Berbasis Daya Dukung (Carrying Capacity) Perairan Teluk Bagi Pengembangan Budidaya Keramba Jaring Apung Ikan Kerapu (Studi Kasus di Teluk Tamiang, Kabupaten Kotabaru, Propinsi Kalimantan Selatan), sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada program studi pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Dalam disertasi ini dikaji secara komprehensif tentang aspek-aspek yang berhubungan dengan daya dukung bagi pengembangan perikanan budidaya ikan kerapu di laut, meliputi (1) karakterisasi biofisik dan kelayakan bioteknis perairan pesisir Teluk Tamiang untuk pengembangan budidaya kerapu dalam KJA di laut, (2) pendugaan kuatitatif limbah organik, nitrogen dan phospat dari sistem budidaya kerapu dalam KJA di laut dan antropogenik dari daratan (upland), (3) pendugaan daya dukung (Carriying Capacity) lingkungan pesisir teluk, dan () pendekatan permodelan pada pengelolaan lingkungan untuk pengembangan budidaya KJA ikan kerapu di laut, dan () perumusan skenario dan strategi pengelolaan. Pada kesempatan ini kami ucapkan banyak terimakasih kepada Komisi Pembimbing yang diketuai oleh Bapak Dr. Ir. BAMBANG WIDIGDO, Dr. Ir. RICHARDUS F. KASWADJI, M.Sc, Dr. Ir. HARTRISARI HARDJOMIDJOJO, DEA, dan Prof. Dr. Ir. DEDI SOEDHARMA,DEA, sebagai anggota komisi pembimbing, atas segala bimbingan, arahan dan dukungannya sehingga disertasi ini dapat kami selesaikan. Bogor, Desember 28 Penulis.

7 DAFTAR ISI iv Halaman HALAMAN PENGESAHAN... ii PRAKATA iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN... x I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan dan Manfaat Penelitian Kerangka Pedekatan Masalah Ruang Lingkup Penelitian Kebaruan (Novelty) Penelitian... II. TINJAUAN PUSTAKA Status Budidaya Ikan Kerapu dan Prospek Pengembangannya Faktor Faktor yang mempengaruhi Kualitas Lingkungan dan Kelayakan Pengertian Daya Dukung Integrasi Kegiatan Perikanan Budidaya dalam Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu Pendekatan Sistem dan Pemodelan Analisis Sistem Pemodelan III. METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Karakterisasi Sifat Perairan dan Kelayakan Bioteknis Perairan Pesisir Teluk Karakterisasi Biologi Perairan Karakterisasi Oseanografi Karakterisasi Kimiawi Perairan Kelayakan Bioteknis dan Penentuan Kesesuaian Perairan... 2

8 v 3.3. Budidaya Ikan Kerapu dalam Keramba Jaring Apung Pendugaan Kuantitatif Limbah yang berasal dari Kegiatan Budidaya (Internal loading) Pendugaan Kuantitatif Limbah yang Bersumber dari Daratan (antropogenik) (eksternal loading) Pendugaan Daya Dukung Lingkungan Perairan Pesisir bagi Pengembangan Budidaya Kerapu dalam Karamba Jaring Apung Pendekatan Analisis Prospektif dan Model Dinamik dalam Pengelolaan Kualitas Lingkungan bagi Pengembangan Budidaya KJA Ikan kerapu. 31 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Teluk Tamiang Karakterisasi Topografi dan Ekosistem Perairan Teluk Tamiang Karakterisasi Topografi Karakterisasi Ekosistem Perairan Ekosistem Mangrove Ekosistem Terumbu Karang Karakterisasi Biologi Perairan Phytoplankton dan Zooplankton Bentos Produktivitas Primer Karakterisasi Fisika Kimia Perairan Teluk Tamiang Kelayakan Bioteknis dan Penentuan Kesesuaian Perairan Keragaan Budidaya Ikan Kerapu Bebek (Cromileptis altivelis) dalam KJA Pendugaaan Kuantitatif Limbah yang berasal dari kegiatan Budidaya (Internal Loading) Pendugaan Kuantitatif Limbah yang Bersumber dari Daratan (Eksternal Loading) Pendugaan Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Bagi Pengembangan Budidaya KJA Ikan Kerapu Pendugaan Daya Dukung Melalui Pendekatan Beban Limbah N Pendugaan Daya Dukung Melalui Ketersediaan Oksigen Terlarut dengan Limbah Organik... 76

9 vi.1. Pendekatan Analisis Prospektif dan Model Dinamik Pengembangan Budidaya KJA Ikan Kerapu Berbasis Daya Dukung di Perairan Teluk Tamiang Daya Dukung Fisik (Ekologi) Perairan Daya Dukung Produksi Biomass Ikan Daya Dukung Sosial Ekonomi Implikasi Kebijakan Operasional Strategi Pengelolaan untuk Pengembangan Budidaya KJA Ikan Kerapu di Pesisir Teluk Tamiang Secara bekelanjutan V. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 16

10 DAFTAR TABEL vii Halaman 1 Parameter kualitas lingkungan perairan dan metode peneraannya Kriteria dan sistem penilaian kelayakan/kesesuaian perairan untuk budidaya Keramba Jaring Apung Ikan Kerapu Jenis aktifitas dan koefisien limbah pemukiman Jenis aktifitas dan koefisien limbah peternakan Pendugaan beban limbah antropogenik sekitar Teluk Tamiang Karakteristik pasang surut di perairan Teluk Tamiang Kec. Pulau Laut Barat Kabupaten Kotabaru Kelas dan genera fitoplankton yang ditemukan selama pengamatan di perairan Teluk Tamiang Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton pada masing-masing stasiun Pengamatan... 9 Indeks keanekaragaman (H ), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) Fitoplankton di perairan Teluk Tamiang dari bulan Mei s/d Oktober Indeks keanekaragaman (H), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) Zooplankton di Perairan Teluk Tamiang dari bulan Mei s/d Oktober Famili dan spesies Bentos yang ditemukan selama pengamatan di perairan Teluk Tamiang Jumlah jenis dan kelimpahan bentos pad masing-masing stasiun pengamatan Indeks keanekaragaman (H), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) Bentos di perairan Teluk Tamiang dari bulan Mei s/d Oktober Rekapitulasi Indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi bentos di perairan Teluk Tamiang Nilai produktitivitas primer (gc/m 3 /hari) perairan Teluk Tamiang Kriteria kecepatan arus perairan teluk untuk budidaya ikan (Velvin, 1999)...

11 17 Kriteria pencemaran perairan berdasarkan nilai DO (Lee et al., 1978) Kriteria pencemaran berdasarkan nilai BOD (Lee et al., 1978) Rangkuman penilaian kondisi parameter biologi dan fisika-kimia perairan yang diperoleh selama penelitian di Teluk Tamiang Kriteria kelayakan/kesesuaian perairan untuk budidaya KJA Ikan Kerapu Sistem penilaian kelayakan/kesesuaian untuk lokasi budidaya KJA Ikan Kerapu Rekapitulasi rata-rata nilai parameter kualitas lingkungan untuk budidaya ikan kerapu Rekapitulasi nilai perkalian bobot dan Skor pada setiap stasiun pengamatan 6 2 Tingkat kelayakan/kesesuaian perairan setiap stasiun pengamatan Luas perairan teluk potensial untuk budidaya KJA Ikan Kerapu Hasil pemeliharaan ikan kerapu bebek dalam KJA selama 18 hari Nilai parameter penentuan beban limbah budidaya Ikan Kerapu dalam keramba jaring apung di perairan Teluk Tamiang Nilai Hasil Pendugaan Kuantifikasi Total N dan P dari pakan yang diberikan Alur pemanfaatan N dan P pakan oleh ikan kerapu bebek Pendugaan beban limbah antropogenik sekitar perairan Teluk Tamiang Kandungan Oksigen Terlarut (mg/l) perairan Teluk Tamiang selama 2 jam dengan selang waktu 3 jam pada tiga stasiun pengamatan Rekapitulasi 2 (dua) Metode Pendekatan Pendugaan Daya Dukung Perairan Teluk Tamiang untuk Budidaya KJA Ikan Kerapu Informasi dasar pemodelan bagi pengelolaan kualitas lingkungan untuk pengembangan budidaya KJA ikan kerapu Hasil simulasi produksi biomass Ikan Kerapu dan total pakan Hasil simulasi produksi limbah kegiatan budidaya KJA Ikan Kerapu selama 18 hari pemeliharaan Hasil simulasi produksi biomass dan keuntungan (Profit) Perbandingan tiga skenario (data lapangan dan data model simulasi)... 9 viii

12 DAFTAR GAMBAR ix Halaman 1 Kerangka pikir penelitian... 2 Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes Altivelis) Peta lokasi penelitian... 1 Titik sampling perairan Teluk Tamiang... 1 Diagram alir penyusunan tingkat kesesuaian perairan untuk Budidaya KJA Ikan Kerapu Karamba jaring apung dengan alat perangkap feses dan sisa pakan Sebaran kedalaman perairan Teluk Tamiang Irisan melintang kontur dasar perairan Teluk Tamiang sebelah Barat Irisan melintang kontur dasar perairan Teluk Tamiang sebelah Timur Kontur dasar perairan Teluk Tamiang Grafik kondisi pasang surut perairan Teluk Tamiang Komposisi jenis (%) berdasarkan kelimpahan fitoplankton pada setiap bulan pengamatan Peta tematik kondisi físika perairan Teluk Tamiang Peta kesesuaian perairan untuk pengambangan budidaya KJA Ikan Kerapu Diagram perbandingan tingkat kesesuaian areal Budidaya KJA Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada Sistem pengelolaan kualitas lingkungan Model global keterkaitan antar submodel Konsep submodel biomass Ikan Kerapu Konsep submodel produksi limbah budidaya dan antropogenik Konsep submodel ekonomi budidaya Ikan Kerapu Grafik perbandingan antar skenario pengelolaan kualitas lingkungan perairan Teluk Tamiang... 9

13 DAFTAR LAMPIRAN x Halaman 1 Tabel hasil analisis plankton di perairan Teluk Tamiang dari bulan Mei s/d Oktober Tabel hasil analisis bentos di perairan Teluk Tamiang dari bulan Mei s/d Oktober Hasil analisis uji beda nyata (levene s test) kelimpahan plankton di perairan Teluk Tamiang Hasil analisis uji beda nyata (levene s test) kelimpahan bentos di perairan Teluk Tamiang Data karakteristik kualitas lingkungan (fisika-kimia air) disekitar KJA Kerapu di perairan Teluk Tamiang Rekapitulasi hasil analisis rata-rata parameter fisika-kimia perairan Teluk Tamiang selama penelitian Matrik penilaian kelayakan/kesesuaian untuk lokasi budidaya KJA ikan kerapu pada setiap stasiun pengamatan Data sampling sisa pakan dan feses serta perhitungan pendugaan total bahan organik Perhitungan pendugaan limbah N dan P yang dihasilkan dari produksi 237,6 kg ikan Kerapu Simulasi submodel produksi limbah budidaya KJA Ikan Kerapu Jumlah total bahan organik dan unit KJA hasil simulasi skenario optimis Jumlah total bahan organik dan unit KJA hasil simulasi skenario moderat Jumlah total bahan organik dan Unit KJA hasil Simulasi skenario pesimis Hasil simulasi biomass dan keuntungan (Profit) Formulasi model Uji statistika (Uji t beda nyata)... 1

14 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengelolaan Kualitas Lingkungan Berbasis Daya Dukung (Carrying Capacity) Perairan Teluk Bagi Pengembangan Budidaya Keramba Jaring Apung Ikan Kerapu (Studi Kasus di Teluk Tamiang Kabupaten Kotabaru, Propinsi Kalimantan Selatan), dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini. Bogor, Desember 28 Ariadi Noor NRP. C261121

15 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kotabaru pada tanggal 26 Desember 1968 sebagai anak kedua dari pasangan Abdul Gaffar Noor, MH dan (Alm) Siti Arbajah. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Perikanan Universitas Lambung Mangkurat, lulus pada tahun Pada tahun 21, penulis diterima di Program Magister pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan menamatkannya pada tahun 23. Kesempatan melanjutkan program Doktor (S3) pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2. Penulis bekerja sebagai staf di Dinas Perikanan dan Kelautan Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Selatan sejak tahun 1993 hingga sekarang.

16 ABSTRAK ARIADI NOOR. Model Pengelolaan Kualitas Lingkungan Berbasis Daya Dukung (Carrying Capacity) Perairan Teluk Bagi Pengembangan Budidaya KJA Ikan Kerapu (Studi Kasus di Teluk Tamiang, Kabupaten Kotabaru, Propinsi Kalimantan Selatan). Dibimbing oleh BAMBANG WIDIGDO sebagai Ketua Komisi Pembimbing, RICHARDUS F. KASWADJI, HARTRISARI HARDJOMIDJOJO, dan DEDI SOEDHARMA sebagai anggota Komisi Pembimbing. Penelitian ini berlokasi di perairan Teluk Tamiang bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi karakteristik biofisik dan daya dukung lingkungan Teluk Tamiang, beban limbah yang berasal dari aktivitas budidaya maupun aktivitas masyarakat sekitarnya yang berdampak terhadap lingkungan perairan, serta kapasitas asimilasi beban limbah yang dijadikan masukan data untuk membuat model pengelolaan kualitas lingkungan yang berbasis daya dukung untuk pengembangan budidaya KJA ikan kerapu. Pendekatan pemodelan yang dibangun dengan mengacu pada hasil penelitian serta informasi ilmiah lainnya, digunakan sebagai alat bantu analisis dalam memformulasi kebijakan pengelolaan Teluk Tamiang berbasis daya dukung untuk pengembangan budidaya KJA ikan Kerapu baik untuk saat sekarang maupun prospektif dimasa yang akan datang dalam suatu model pengelolaan kualitas lingkungan berbasis daya dukung. Metodologi yang digunakan untuk meliputi serangkaian percobaan lapangan dan metode survey untuk menilai karakteristik biofisik lingkungan perairan dan kesesuaian serta tingkat kelayakan perairan teluk untuk pengembangan budidaya KJA, pendekatan analisis prospektif dan sistem serta pemodelan. Data dan informasi yang diperoleh dirangkum dan diolah menjadi satu informasi dasar bagi pengembangan model pengelolaan Teluk Tamiang yang terpadu dan berkelanjutan. Kawasan Teluk Tamiang memiliki luas perairan yang layak untuk dikembangkan untuk kawasan budidaya KJA ikan kerapu mencapai 38 Ha. Daya dukung Teluk Tamiang sebasar 18,8 62, ton ikan atau 16 2 unit rakit KJA (produksi optimal maksimal). Beban limbah beban limbah yang masuk ke perairan (loading) sebesar 17,2 kgn dan 32, kgp. Total bahan organik partikel yang dihasilkan sebesar 77, kg (,3%) dari total pakan. Hasil simulasi model yang dikembangkan terhadap beberapa parameter menghasilkan nilai prediksi yang tidak berbeda nyata dengan nilai observasi lapangan. Dapat disimpulkan bahwa model yang dibangun dapat digunakan untuk pemahaman, optimasi dan pendugaan alokasi sumberdaya perairan Teluk Tamiang untuk pengembangan budidaya pada batas minimum resiko degradasi lingkungan. Kata kunci : Model Pengelolaan, Kualitas Lingkungan,Daya Dukung, Keramba Jaring Apung ikan Kerapu Bebek

17 ABSTRACT ARIADI NOOR. Model of Environmental Quality Management Based On Carrying Capacity of Bay for Development Floating Cage Culture of Humpback Grouper. (Case Study in Tamiang Bay, Kotabaru District, South Kalimantan Province). Under the direction of BAMBANG WIDIGDO, RICHARDUS F. KASWADJI, HARTRISARI HARDJOMIDJOJO, and DEDI SOEDHARMA. This research is located in Tamiang Bay of South Kalimantan Province. The aim of this research was to get the data and information of the biophysic characteristic, waste load from both marine culture and society activity as well as environment Tamiang Bay carrying capacity. The data input were used make environment quality management model based on carrying capacity for developing of floating cage culture humpback grouper. Method used was field experiment and survey. Developing of floating cage culture of humpback grouper reach 38 hectare. Carrying capacity of Tamiang Bay is 18,8 62, ton fish or 16-2 unit the floating cage culture (optimal production - maximal). The waste burden were loading about 17, kg N and 32, kg P. The total of organic substance particle yield 77, kg (,3%) of food total. Simulation model toward some parameter showed both prediction value and field observation have not significant effect. This model can be used to give understanding, optimation and estimation Tamiang Bay resources inorder to developt marine culture with minimum risk of environment degradation. Key words : Management model, environmental quality, carrying capacity, floating cage culture humpback grouper

18 RINGKASAN Perikanan budidaya merupakan salah satu kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir yang mampu memberikan kontribusi cukup signifikan terhadap pendapatan masyarakat pesisir, penyedia lapangan kerja, dan perolehan devisa Negara yang potensial. Namun dalam penentuan lokasi untuk pengembangan perikanan budidaya sering mengabaikan aspek daya dukung lingkungan. Alokasi input teknologi pada kondisi di atas daya dukung dilakukan untuk mengejar tingkat keuntungan maksimal sehingga mengakibatkan banyak kegiatan budidaya perikanan yang mengalami kegagalan dan meninggalkan kerusakan lingkungan hidup perikanan yang sulit dipulihkan. Perairan Teluk Tamiang merupakan kawasan yang potensial untuk kegiatan pengembangan budidaya ikan, terutama kegiatan budidaya KJA ikan kerapu. Daya dukung lingkungan perairan teluk serta aktivitas masyarakat (antropogenik) didaratan akan sangat menentukan besaran dan kapasitas alokasi sumberdaya untuk pemanfaatan dan pengembangannya secara terpadu dan berkelanjutan. Budidaya KJA ikan kerapu merupakan sistem produksi ikan yang produktif, namun potensial berdampak negatif terhadap kualitas lingkungan perairan akibat beban limbah yang dihasilkan yang terjadi secara timbal balik. Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model pengelolaan kuaitas berbasis daya dukung perairan teluk untuk pengembangan budidaya KJA Ikan Kerapu. Dalam pelaksanaan penelitian ruang lingkup penelitiannya adalah mendapatkan data dan informasi karakteristik biofisik dan daya dukung lingkungan Teluk Tamiang, beban limbah yang berasal dari aktivitas budidaya maupun aktivitas masyarakat di daratan (Antropogenik) sekitarnya yang berdampak terhadap lingkungan perairan, serta kapasitas asimilasi beban limbah yang dijadikan masukan data untuk membuat model pengelolaan kualitas lingkungan yang berbasis daya dukung. Pendekatan pemodelan yang dibangun dengan mengacu pada hasil penelitian serta informasi ilmiah lainnya, digunakan sebagai alat bantu analisis dalam memformulasi kebijakan pengelolaan Teluk Tamiang berbasis daya dukung untuk pengembangan budidaya KJA ikan Kerapu baik untuk saat sekarang maupun prospektif dimasa yang akan datang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi percobaan lapangan (pemeliharaan ikan kerapu dalam keramba jaring apung) dan metode survey untuk menilai karakteristik biofisik lingkungan perairan dan kesesuaian serta tingkat kelayakan perairan teluk dengan pendekatan GIS, pendekatan analisis prospektif dan sistem pemodelan. Data dan informasi diolah menjadi satu informasi dasar bagi pengembangan model pengelolaan Teluk Tamiang yang terpadu dan berkelanjutan. Hasil penelitian menunjukan bahwa kawasan Teluk Tamiang memiliki luas perairan yang layak untuk dikembangkan untuk kawasan budidaya KJA ikan kerapu mencapai 38 Ha. Daya dukung Teluk Tamiang sebasar 18,8 62, ton ikan atau atau 16 3 unit (8 26 KJA) pada tingkat baku mutu ammonia (NH 3 N),3 dan 1 ppm (produksi optimal maksimal). Beban limbah beban limbah yang masuk ke perairan (loading) sebesar 17,2 kg N dan 32, kg P. Total bahan organik partikel yang dihasilkan sebesar 77, kg (,3%) dari total pakan. Hasil simulasi model yang dikembangkan terhadap beberapa parameter menghasilkan nilai prediksi yang tidak berbeda nyata dengan nilai observasi lapangan dan memberikan alternatif dalam pengembangan

19 budidaya KJA Ikan yang meliputi 3 (tiga) skenario yaitu skenario pesimis, moderat dan optimis. Pendekatan sistem yang dilakukan menyentuh kepada 2 (dua) komponen yaitu komponen kegiatan budidaya dalam lingkungan perairan dan komponen aktivitas di daratan (antropogenik) yang terintegrasi dalam satu sistem pengelolaan kualitas lingkungan, sehingga model yang dibuat merupakan gambaran (abstraksi) dari kondisi nyata dalam pengelolaan lingkungan yang terintegrasi. Rancang bangun model bersifat umum yang memasukan komponen padat tebar ikan, jumlah pakan, volume limbah dari kegiatan budidaya dan antropogenik, volume teluk, nilai flusing time, dan nilai baku mutu untuk biota laut (Budidaya Perikanan) (MENLH 1 Tahun 2), dapat diaplikasikan pada kawasan perairan teluk lain dengan variabel yang sudah ada atau yang masih diasumsikan. Model yang dibangun agar lebih mudah diimplementasikan dihasilkan piranti lunak dalam bentuk Visual Basic, disebut MOCATYBUKEJARAPUPU 1. (Model Carrying Capacity Budidaya KJA Ikan Kerapu). Model penduga daya dukung perairan teluk untuk pengembangan budidaya KJA Ikan Kerapu. Dapat disimpulkan bahwa model yang dibangun dapat digunakan untuk pemahaman, optimasi dan pendugaan alokasi sumberdaya perairan Teluk Tamiang untuk pengembangan budidaya pada batas minimum resiko degradasi lingkungan.

20 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perikanan budidaya merupakan salah satu kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir yang potensial dan mampu memberikan kontribusi relatif signifikan terhadap pendapatan masyarakat pesisir, penyedia lapangan kerja, dan perolehan devisa negara. Potensi sumberdaya perikanan laut yang mencakup ikan dan biota perikanan lainnya diperkirakan mencapai 3,9 juta ton/tahun, yang terdiri dari potensi tangkap lestari sumberdaya ikan laut sebesar 6,1 juta ton/tahun dan potensi budidaya laut sebesar 6,7 juta ton/tahun. Dahuri (1998) menyatakan bahwa secara keseluruhan kurang dari 1% dari potensi yang sudah termanfaatkan. Dalam dekade terakhir, perkembangan perikanan budidaya laut nasional relatif pesat. Selama periode tahun 2 sampai dengan tahun 2 terjadi kenaikan produksi budidaya laut dari ton menjadi ton atau kenaikan sebesar 28, % per tahun. Kenaikan tersebut berkontribusi terhadap total produksi budidaya sebesar 28,7 %. Produksi budidaya keramba jaring apung di laut mengalami peningkatan yakni dari angka produksi sebesar 3.62 ton menjadi ton ikan atau meningkat sebesar 2%. Kenaikan nilai produksi pada periode yang sama dari 1,3 menjadi 1,9 triliun rupiah meningkat sebesar 11, % per tahun (Statistik Ditjen Perikanan Budidaya DKP, 2). Kenaikan kontribusi yang relatif besar ini menyebabkan perikanan budidaya dapat dijadikan penggerak utama (prime mover) perekonomian masyarakat pesisir untuk menggantikan perikanan tangkap. Hal ini dimungkinkan dengan adanya dukungan teknologi perbenihan, pembesaran, tersedianya sarana produksi (akuainput), pangsa pasar yang luas, harga jual yang relatif tinggi dibandingkan komoditas perikanan lainnya, ketersediaan lahan yang potensial, dan kebijakan pemerintah dalam menjadikan perikanan budidaya menjadi prioritas utama pembangunan perikanan. Namun demikian, keberadaan dan keberlanjutan pemanfaatan tergantung pada dinamika kualitas lingkungan pesisir dan daya dukung akibat adanya interaksi antar pengguna di wilayah pesisir, di samping kegiatan perikanan budidaya itu sendiri. Penentuan lokasi untuk pengembangan perikanan budidaya seringkali mengabaikan aspek daya dukung lingkungan. Alokasi input teknologi pada kondisi di atas daya dukung dilakukan untuk mengejar tingkat keuntungan maksimal sehingga mengakibatkan banyak kegiatan budidaya perikanan yang mengalami kegagalan dan meninggalkan kerusakan lingkungan hidup perikanan yang sulit dipulihkan. Kerusakan

21 lingkungan akibat budidaya ikan dalam keramba jaring apung umumnya disebabkan oleh limbah yang berasal dari sisa pakan dan feses ikan peliharaan yang melebihi daya dukung perairan. Terlantarnya lahan dan berubahnya fungsi ekologi di wilayah pesisir merupakan salah satu indikasi pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir yang mengabaikan daya dukung dan pertimbangan lingkungan. Disamping berasal dari limbah internal tersebut, beban limbah perairan juga dapat berasal dari daratan. Untuk menjaga kelestarian suatu perairan maka kegiatan budidaya harus memperhatikan jumlah beban limbah baik dari ikan budidaya maupun dari lingkungan. Kajian mendalam yang diarahkan untuk mendapatkan informasi beban limbah dan dampaknya terhadap lingkungan pesisir dan daya dukung serta hubungan antara faktor-faktor bersifat spesifik kawasan menjadi penting dilakukan untuk menjawab persoalan pelestarian kawasan teluk dalam penggunaannya sebagai kawasan budidaya yang berkelanjutan Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menyusun model pengelolaan kualitas lingkungan berbasis daya dukung (carrying capacity) perairan teluk bagi pengembangan budidaya keramba jaring apung ikan kerapu. Secara khusus, penelitian ditujukan untuk menentukan alokasi sumberdaya perairan pesisir teluk yang proporsional terutama untuk mendapatkan luas pemanfaatan lahan perairan, jumlah unit keramba jaring apung yang diusahakan, dan level kegiatan masyarakat di daratan. Manfaat penelitian ini adalah dapat digunakan sebagai acuan didalam merumuskan kebijakan pengelolaan kualitas lingkungan dan pengembangan perikanan budidaya laut serta tata ruang wilayah pesisir (Perairan Teluk) yang berbasis kepada daya dukung lingkungan untuk kegiatan budidaya yang berkelanjutan dan bertanggungjawab Kerangka Pedekatan Masalah Suatu wilayah perairan pesisir dapat dikatakan sesuai untuk kegiatan budidaya ikan kerapu sistem keramba jaring apung apabila kondisi lingkungan perairannya layak dan memenuhi kriteria-kriteria teknis-ekologis yang baku. Kondisi lingkungan perairan yang dimaksud antara lain secara fisika (kontur kedalaman, arus, pasang surut,

22 gelombang,) dan kimia (oksigen terlarut, derajat keasaman/ph, salinitas, BOD, nutrient dll) (Beveridge, 1996). Kondisi perairan tersebut mempengaruhi kapasitas perairan dalam menangkap limbah jika jumlah keramba jaring apung yang dikembangkan di kawasan perairan tersebut tidak memperhatikan kapasitas tampung perairan maka akan berakibat pada penurunan mutu lingkungan yang akhirnya menurunkan produkivitas keramba jaring apung itu sendiri. Dalam perikanan budidaya di perairan umum (budidaya keramba jaring apung) sebanyak 3% dari total pakan yang diberikan tidak dikonsumsi oleh ikan dan sekitar 2-3% dari pakan yang dikonsumsi tersebut akan diekskresikan (McDonald et al., 1996). Sisa bahan organik tersebut akan mengendap ke dasar perairan dan jika suatu saat terjadi up welling akan menyebabkan kematian masal ikan Sumber limbah yang berkontribusi terhadap daya dukung perairan juga berasal dari daratan (limbah antropogenik) antara lain dari kegiatan peternakan dan pemukiman (rumah tangga), sehingga penentuan daya dukung suatu perairan juga memperhatikan dan memperhitungkan potensi limbah dari kegiatan di daratan tersebut. Daya dukung adalah kemampuan badan air atau perairan dalam menerima limbah organik baik internal (dari kegiatan budidaya) maupun dari luar (daratan) untuk didaur ulang atau diasimilasi sehingga tidak mencemari lingkungan yang berakibat terganggunya keseimbangan ekologis (Widigdo, 2). Untuk penentuan daya dukung suatu perairan memerlukan analisis yang mampu mengkaitkan hubungan antara sifat biofisik perairan, parameter-parameter standar yang diperlukan untuk budidaya ikan kerapu, jumlah limbah ikan kerapu, potensi limbah dari lingkungan luar, serta kapasitas asimilasi. Berdasarkan kondisi tersebut maka muncul beberapa pertanyaan : 1) Bagaimana karakteristik biofisik (hidro-oseanografi) dan kelayakan bioteknis perairan untuk pengembangan budidaya KJA ikan kerapu? 2) Berapa besar beban limbah dari budidaya dan antropogenik yang dapat mempengaruhi daya dukung? 3) Model seperti apa yang dapat menggambarkan system pengelolaan kualitas lingkungan di Teluk Tamiang? ) Bagaimana scenario dan strategi pengelolaan untuk masa yang akan datang? Beberapa pendekatan dalam estimasi daya dukung yang telah dilakukan untuk pengembangan kerapu dalam keramba jaring apung di perairan laut, di antaranya

23 untuk perairan semi tertutup (teluk) melalui pendekatan berdasarkan pada loading N dan P yang terbuang ke lingkungan perairan (Beveridge, 1987), pendekatan berdasarkan ketersediaan oksigen terlarut dalam badan air dan pendekatan berdasarkan beban limbah pakan yang masuk ke air. Secara skematis kerangka pikir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini antara lain : 1. Karakterisasi biofisik (hidro-oseanografi) dan analisis tingkat kelayakan/kesesuaian bioteknis perairan pesisir Teluk Tamiang. 2. Pendugaan beban limbah organik, N dan P baik yang bersumber dari kegiatan budidaya KJA dan limbah dari daratan (antropogenik) yang masuk ke dalam lingkungan perairan serta daya dukung lingkungan perairan bagi pengembangan budidaya keramba jaring apung Ikan Kerapu. 3. Pemodelan pengelolaan kualitas lingkungan bagi pengembangan budidaya keramba jaring apung ikan kerapu.. Perumusan skenario dan strategi pengelolaan kawasan Teluk Tamiang 1.. Kebaruan (Novelty) Capaian keilmuan yang dapat ditampilkan sebagai bentuk kebaruan (novelty) dari penelitian ini antara lain : 1) Rancang bangun model bersifat umum yang memasukan komponen padat tebar ikan, jumlah pakan, volume limbah dari kegiatan budidaya dan antropogenik, volume teluk, nilai flusing time, dan nilai baku mutu untuk biota laut (Budidaya Perikanan) (KEPMENLH 1 Tahun 2), dapat diaplikasikan pada kawasan perairan teluk lain dengan variabel yang sudah ada atau yang masih diasumsikan. 2) Model yang dibangun agar lebih mudah diimplementasikan dihasilkan piranti lunak dalam bentuk Visual Basic, disebut MOCATYBUKEJARAPUPU 1. (Model Carrying Capacity Budidaya KJA Ikan Kerapu). Model penduga daya dukung perairan teluk untuk pengembangan budidaya KJA Ikan Kerapu.

24 Mulai Analisis Karakteristik Biofisik dan Bioteknis Tidak Cocok? STOP Ya Kegiatan Budidaya KJA Ikan Kerapu Limbah Antropogenik Estimasi Limbah dan Daya Dukung Kondisi Hydro- Oseanografi Analisis Kelayakan/ Kesesuaian Perairan (GIS) Jumlah Unit KJA, Kapasitas Produksi Analisis Prospektif dan Model Dinamik Model Pengelolaan Kualitas Lingkungan Berbasis Daya Dukung (Carrying Capacity) Perairan Teluk Bagi Pengembangan Budidaya KJA Ikan Kerapu Selesai Gambar 1 Kerangka pikir penelitian

25 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Status Budidaya Ikan Kerapu dan Prospek Pengembangannya Ikan kerapu (grouper) termasuk dalam Family Serranidae merupakan jenis ikan yang paling populer dan bernilai ekonomi tinggi diantara jenis ikan karang di daerah Asia-Pasifik (SEAFDEC, 21). Ikan kerapu umumnya tumbuh cepat, kuat dan cocok untuk budidaya intensif. Ikan jenis ini merupakan ikan konsumsi yang umumnya dipasarkan dalam keadaan hidup (Sunyoto, 1993). Ikan kerapu tersebar luas di perairan pantai baik didaerah tropis maupun sub tropis, bernilai ekonomis tinggi dan merupakan komoditas utama dalam perdagangan ikan hidup. Jumlah ikan kerapu diperkirakan ada sekitar 6 spesies yang hidup diberbagai tipe habitat. Jumlah tersebut berasal dari 7 (tujuh) genus, yaitu Aethaloperca, Anyperodon, Cephalopolis, Cromileptis, Epinephelus, Plectropomus, dan Variola. Dari ketujuh genus tersebut genus Cromileptis, Epinephelus, dan Plectropomus sekarang digolongkan sebagai ikan komersial dan mulai dibudidayakan (Sunyoto, 1993). Secara sistematika jenis ikan kerapu bebek (Cromileptis altivelis) dapat dituliskan sebagai berikut : Class : Teleostomi/Teleostei Sub-Class : Actinopterygii Ordo : Perciformes Sub-Ordo : Percoide Famili : Serranidae Sub-Famili : Epinephelinae Genus : Cromileptis, Epinephelus Species : Cromileptis altivelis Ikan kerapu bebek (Cromileptis altivelis) banyak dijumpai di perairan batu karang atau daerah karang berlumpur, hidup pada kedalaman 6 meter. Dalam siklus hidupnya ikan muda dan larva hidup di dasar perairan berupa pasir karang yang banyak ditumbuhi padang lamun dengan kedalaman, 3, meter. Menginjak dewasa ikan ini akan bermigrasi menuju perairan yang lebih dalam yang biasanya dilakukan pada siang dan senja hari. Telur dan larva bersifat pelagis, sedangkan kerapu muda dan dewasa bersifat demersal. Ikan kerapu Kerapu bersifat stenohaline

26 yaitu mempunyai kemampuan beradaptasi dengan lingkungan berkadar garam rendah dan bersifat nocturnal yaitu bersembunyi di liang-liang karang pada siang hari dan aktif bergerak pada malam hari. (Gambar 2). Gambar 2 Ikan Kerapu Bebek (Cromileptis altivelis) Aktifitas budidaya laut sebagai salah satu usaha pemanfaatan potensi kawasan pesisir pada saat ini sangat berpeluang besar bagi peningkatan produksi perikanan. Tingkat keberhasilan pengembangannya sangat ditentukan oleh proses pengelolaan dan penguasaan teknologi yang berorientasi ekologis dan ekonomis serta keterpaduan pemanfaatan kawasan pesisir dan laut secara sadar mempertimbangkan keberlanjutan manfaat. Karena itu perlu diupayakan suatu konsep pengembangan budidaya laut yang berorientasi berkelanjutan. Ikan kerapu merupakan ikan air laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi khususnya untuk konsumsi restoran-restoran besar di dalam maupun di luar negeri. Ikan kerapu biasa diekspor dalam bentuk ikan segar, ikan olahan setengah jadi (fillet dan sashimi) serta ikan hidup ke beberapa negara seperti Singapura, Jepang, Hongkong, Taiwan, Malaysia dan Amerika Serikat. Tingginya permintaan yang tidak diimbangi dengan produksi memunculkan ide untuk membudidayakan ikan ini ( Juni 26). Ditinjau dari segi harga jual (khususnya untuk ekspor), ternyata ikan kerapu menunjukkan trend harga yang baik dan dapat diandalkan sebagai salah satu penunjang penambahan devisa negara. Hal ini dapat dilihat pada harga beberapa jenis ikan kerapu hidup tahun 2 dimana untuk ikan kerapu bebek/tikus dapat mencapai harga Rp. 3.,- sampai dengan Rp. 32.,- per kilogram. Walaupun usaha pengembangan budidaya ikan kerapu dengan menggunakan KJA ini ditujukan

27 untuk pasar ekspor, namun sebagian dari hasil produksi juga diharapkan dapat dipasarkan untuk konsumsi pasar dalam negeri Faktor-Faktor yang mempengaruhi Kualitas Lingkungan dan Kelayakan Kualitas lingkungan (perairan) yang mempengaruhi kehidupan organisme perairan dalam ekosistemnya adalah parameter biologi, fisika dan kimia. Menurut Boyd (199) setiap organisme perairan memerlukan kisaran nilai parameter kualitas air tertentu dan kisaran tersebut terkait dengan kondisi lokasi. Pemilihan lokasi Ketepatan lokasi merupakan salah satu penentu keberhasilan dalam usaha budidaya ikan kerapu di dalam keramba jaring apung. Beberapa kegagalan usaha budidaya terjadi karena lokasi yang dipilih kurang cocok. Untuk itu, diperlukan perencanaan yang mendalam terutama pemilihan lokasi yang harus memenuhi kaidah dan persyaratan bioteknis. Beberapa persyaratan perlu dipenuhi dalam pemilihan lokasi. Menurut Nugroho (1989), beberapa faktor yang perlu dipenuhi dalam penilihan lokasi keramba jaring apung adalah: (1) Lokasi terlindung dari gangguan angin dan gelombang yang kuat, namun masih memiliki pergerakan air yang baik, (2) Jarak dasar kurungan dengan dasar perairan pada saat surut minimal 2 meter, (3) Pergerakan/arus air berkisar antara 1-2 cm/detik), () Salinitas (kadar garam) berkisar antara 1-3 ppt, (). Suhu air o C. Lokasi budidaya harus jauh dan bebas dari limbah pencemaran baik yang berasal dari industri, pertanian dan rumah tangga, (6) Dasar Perairan sebaiknya betofografi landai, kedalaman perairan antara 7 1 meter pada saat dari surut terendah,sehingga jarak dasar karamba ke dasar lebih dari 2 meter (>2). Kedalaman tersebut untuk mencegah gangguan dari hewan-hewan bentik, serta memberikan jarak yang cukup agar pengaruh limbah kotoran (feses) dan sisa pakan tidak menimbulkan efek negatif bagi ikan. Kondisi dasar perairan akan sangat berpengaruh terhadap kualitas air diatasnya. Dasar perairan yang mengalami pelumpuran, bila terjadi gerakan air oleh arus maupun gelombang akan membawa partikel dasar ke permukaan (Upwelling) yang akan menyebabkan kekeruhan, sehingga penetrasi cahaya matahari menjadi berkurang dan partikel lumpur ini berpotensi menutupi insang ikan. Arus air sangat membantu pertukaran air dalam keramba, membersihkan timbunan sisa-sisa

28 metabolisme ikan dan membawa oksigen terlarut yang dibutuhkan ikan. Sebaliknya, apabila kecepatan arus tinggi akan sangat berpotensi merusak konstruksi KJA serta dapat menyebabkan stres pada ikan, selera makan ikan berkurang, dan energi banyak terbuang. Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, letak lintang, ketinggian dari permukaan laut, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman dari badan air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi perairan. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti gas-gas O 2, CO 2, N 2, CH dan sebagainya (Effendi, 23). Suhu optimal untuk pertumbuhan kerapu bebek sekitar antara o C (Akbar dan Sudaryanto, 22). Suhu perairan sangat penting di dalam mempengaruhi pertumbuhan ikan budidaya. Kecerahan air merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Perairan dengan tingkat kecerahan sangat tinggi (jernih) sangat baik sebagai lokasi budidaya laut. Untuk budidaya laut kecerahan yang dipersyaratkan adalah > 3 meter (Akbar dan Sudaryanto, 22). Kekeruhan atau turbiditas disebabkan oleh adanya partikel tersuspensi dan terlarut dalam air, seperi jasad renik, lumpur, bahan organik, tanah liat dan zat koloid serta benda terapung lainnya yang tidak mengendap dengan segera. Kekeruhan dapat mempengaruhi pernapasan ikan, proses fotosintesa dan produktivitas primer. Dalam budidaya ikan, nilai kekeruhan (turbidity) berkisar antara 2 3 NTU (Nephlelometric Turbidity Unit). Padatan tersuspensi yang tinggi akan mengganggu pernapasan ikan karena partikel-partikel tersebut dapat menutupi insang. Padatan tersuspensi perairan untuk usaha budidaya laut adalah berkisar antara 2 ppm (Akbar dan Sudaryanto 22). Salinitas juga dapat mempengaruhi kehidupan ikan/biota laut lainnya. Boyd (199) menyatakan sebagian besar ikan-ikan muda lebih sensitif terhadap perubahan salinitas bila dibandingkan ikan dewasa. Peningkatan salinitas dapat meningkatkan tekanan osmotik air (media) yang selanjutnya akan mempengaruhi metabolisme. Oksigen terlarut dalam air merupakan parameter utama bagi kehidupan hewan perairan. Sumber utama oksigen dalam air laut adalah dari proses fotosintesis fitoplankton pada siang hari. Faktor-faktor yang dapat menurunkan kadar oksigen dalam air laut adalah kenaikan suhu air, respirasi (khususnya pada malam hari) dan

29 masuknya limbah pencemar baik an organik maupun organik yang mudah urai ke lingkungan laut. Kandungan oksigen terlarut untuk menunjang usaha budidaya yang baik adalah berkisar antara 8 ppm (Akbar dan Sudaryanto, 22). Nitrogen di dalam air terdiri dari bermacam-macam senyawa, namun yang bersifat toksik terhadap ikan dan organisme lainnya hanya 3 (tiga) senyawa yaitu ammonia (NH 3 -N), nitrit (NO 2 -N) dan nitrat (NO 3 -N). Senyawa ini selain berasal dari atmosfir juga banyak berasal dari sisa makanan, organisme mati dan hasil ekskresi metabolisme hewan akuatik. Ammonia dan nitrit merupakan senyawa nitrogen yang paling toksik, sedangkan nitrat hanya bersifat toksik pada konsentrasi yang tinggi. Kehadiran nitrit yang berlebihan dapat mengoksidasi ion ferro dalam hemoglobin menjadi ion ferri yang merubah hemoglobin menjadi meteoglobin yang dapat merupakan parameter penting dalam budidaya ikan karena nitrat merupakan bentuk oksidasi terbanyak dari nitrogen dalam air. Konsentrasi ammonia dan nitrat untuk keperluan budidaya adalah < 1 ppm Pengertian Daya Dukung Daya dukung lingkungan perairan didifinisikan sebagai suatu yang berhubungan erat dengan produktifitas lestari perairan tersebut. Artinya daya dukung lingkungan adalah nilai suatu mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen (fisika, kimia dan biologi) dalam suatu kesatuan ekosistem (Poernomo, 1997). Pengertian ini apabila diterapkan sebagai daya dukung lingkungan pesisir menjadi kemampuan badan air atau perairan di kawasan pesisir dalam menerima limbah organik. Termasuk didalamnya adalah kemampuan mendaur ulang atau mengasimilasi limbah tersebut sehingga tidak mencemari lingkungan perairan (Widigdo, 2). Kemampuan badan air dalam menerima limbah yang masuk ditentukan oleh kemampuan pencucian (flushing) dan purifikasi (kapasitas asimilasi) dari perairan tersebut. Apabila beban limbah yang masuk melebihi kemampuan daur ulang dan kekuatan pencucian badan air maka perairan menjadi tercemar. Sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah fotosintesa dari produsen primer (Fitoplankton). Sementara konsumen utama oksigen dalam air adalah hewan, bakteri dan bahan organik melalui proses respirasi dan oksidasi. Keseimbangan proses asimilasi dan respirasi akan berpengaruh pada oksigen budget dalam air dan akan berpengaruh pula pada kehidupan organisme perairan.

30 Kenchington dan Hudson (198) mendefinisikan daya dukung sebagai kuantitas maksimum ikan yang dapat didukung oleh suatu badan air selama jangka waktu panjang. Daya dukung lingkungan dapat berkurang akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia yang mengurangi ketersediaan suplai energi atau penggunaan energi (Clark, 197). Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang kedalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi (UNEP, 1993). Sementara menurut Gowen et al., 1989 didalam Barg, 1992) menyatakan bahwa kemampuan pengenceran pesisir untuk menerima limbah sangat dipengaruhi oleh laju pengenceran (flushing time), volume air yang tersedia dan beban limbah yang masuk ke perairan. Flushing time diartikan sebagai waktu yang diperlukan dari suatu unit volume massa air berdiam (tinggal) dalam suatu area tertentu sebelum digantikan oleh unit volume massa air yang baru. Estimasi daya dukung lingkungan perairan untuk menunjang budidaya ikan laut di KJA merupakan ukuran kuantitatif yang akan memperlihatkan berapa ikan budidaya yang boleh ditanam dalam luasan area yang telah ditentukan tanpa menimbulkan degradasi lingkungan dan ekosistem sekitarnya (Piper et al., 1982 didalam Meade, 1989) atau jika telah ditentukan banyaknya ikan budidaya dalam satu keramba jaring apung, estimasi ini akan menunjukkan berapa unit keramba jaring apung yang boleh ditanam dalam luasan area yang telah ditentukan. Jadi untuk sampai pada perhitungan estimasi dibutuhkan data-data menyangkut luasan area yang cocok untuk budidaya sesuai persyaratan, masa tanam, umur panen, besarnya produksi limbah organik, kapasitas asimilasi, flushing rate dll. 2.. Integrasi Kegiatan Perikanan Budidaya dalam Pengelolaan Pesisir Secara terpadu Pengembangan budidaya KJA ikan kerapu dalam konsep pengelolaan secara terpadu (integrated coastal management/icm) merupakan suatu proses yang mengharmoniskan kepentingan antara berbagai stakeholders dalam menyusun dan mengimplementasikan suatu rencana terpadu (integrated plan) baik dari aktivitas didaratan (antropogenik) maupun aktivitas budidaya di lautan untuk melindungi ekosistem pesisir beserta sumberdaya alam yang terdapat didalamnya untuk kesejahteraan secara adil dan berkelanjutan. Suatu kerangka (sistem) kerja pengelolaan yang meliputi penilaian secara komprehensif (comprehensive

31 assessment), penentuan tujuan, perencanaan dan pengelolaan pembangunan (pemanfaatan) wilayah pesisir beserta segenap sumberdaya alamnya, dengan memperhatikan perspektif (aspirasi) tradisional, budaya dan historis serta konflik kepentingan dan penggunaan. Beberapa prinsip dasar dalam perencanaan pengembangan budidaya laut dalam konsep pengelolaan pesisir secara terpadu antara lain : (1) Agenda 21 Rio prinsip pembangunan berkelanjutan, (2) keterpaduan dan koordinasi antar sektor, (3) pelibatan masyarakat, () analisis cost and benefit spesifik lokasi, () pehitungan kapasitas lingkungan (daya dukung), (6) penerapan aturan insentif, (7) pengawasan dampak yang ditimbulkan oleh setiap aktivitas, (8) evaluasi dan penyesuaian, serta (9) efektivitas lembaga dan organisasi yang berperan (GESAMP, 21). Selanjutnya parameter yang berhubungan dengan integrasi kegiatan perikanan budidaya dalam rencana pengelolaan pesisir antara lain : (1) parameter fisika meliputi pemetaan penggunaan lahan didaratan, kegiatan pembangunan, reklamasi dan pengairan; (2) parameter biologi dan kimia, meliputi kecerahan perairan, keberadaan padang lamun, mangrove, terumbu karang dan pencemaran bahan organik; (3) parameter sosial dan ekonomi masyarakat meliputi kepadatan penduduk, lapangan pekerjaan, tingkatan pendapatan masyarakat, konflik antar sector berdasarkan perbedaan kepentingan (FAO, 1996). Sistem budidaya yang memperhitungkan ukuran daya dukung lingkungan perairan tempat berlangsungnya kegiatan budidaya dalam menentukan skala usaha/ukuran unit usaha akan dapat menjamin kontinuitas hasil panen. Sistem budidaya model ini sering diperkenalkan sebagai sistem budidaya berkelanjutan dan bertanggungjawab (sustainable and responsible aquaculture). 2.. Pendekatan Sistem dan Pemodelan Analisis Sistem Sistem adalah sekelompok komponen yang dioperasikan secara bersama-sama untuk mencapai tujuan tertentu (Forrester, 1968). Menurut Hall dan Day (1977) analisis sistem adalah suatu studi (kajian) secara formal (ilmiah) tentang suatu sistem atau sifat-sifat umum dari sistem-sistem. Analisis sistem adalah pengorganisasian data dan informasi secara teratur dan logis untuk menyusun suatu model, kemudian diikuti dengan eksploitasi dan pengujian secara seksama terhadap model tersebut guna memvalidasi dan memperbaikinya. Analisis sistem mencakup filosofi pemecahan

32 masalah secara umum maupun sekumpulan teknik kuantitatif, termasuk formula yang berkaitan dengan berfungsinya sistem-sistem kompleks, seperti ekosistem alamiah, sistem sosial, dan sistem ekonomi (Grant et al., 1997) Pemodelan Model adalah suatu ekspresi formal dari komponen-komponen esensial dari suatu masalah yang menjadi perhatian kita (Jorgensen, 1988). Model dapat dideskripsikan dalam bentuk fisik, matematik, atau verbal, meskipun beberapa pakar pemodelan menolak terminologi model verbal karena bahasa yang digunakan sangat membingungkan (Jeffer, 1978). Model merupakan formalisasi dari pengetahuan kita tentang suatu sistem dan model yang baik adalah yang memiliki atribut-atribut fungsional yang penting (elemen dan fungsi utama) dari sistem yang sebenarnya (Hall dan Day, 1977). Menurut Goodman (197 didalam Hall dan Day, 1977), model merupakan alat untuk memprediksi perilaku dari suatu entitas yang kompleks dan sedikit dipahami (poorly understood), atas dasar perilaku dari bagian-bagian (komponen) dari entitas tersebut yang telah diketahui dengan baik. Pemodelan adalah suatu teknik untuk membantu konseptualisasi dan pengukuran dari suatu sistem yang kompleks, atau untuk memprediksi konsekuensi (response) dari sistem terhadap tindakan (intervensi manusia). Jika tindakan manusia (management intervention) ini dicobakan secara langsung terhadap sistem yang sebenarnya (alam), maka konsekuensinya terlalu mahal, merusak, atau sukar dipelajari. Dengan demikian, apa yang dapat kita lakukan dengan model adalah untuk pemahaman (understanding), pendugaan (assessing), dan dukungan informasi (information support). Prinsip lain dari penggunaan model adalah untuk menguji validitas pengukuran di lapang dan asumsi yang diturunkan dari data tersebut. Dengan pemodelan kita berharap dapat mengetahui lebih banyak tentang struktur dan tingkah laku alam baik dalam kondisi sekarang maupun yang akan datang yang dapat diketahui dalam bentuk simulasi. Menurut Grant et al., (1977), simulasi adalah suatu proses yang menggunakan model untuk menirukan atau menelusuri tahap demi tahap tentang perilaku dari suatu sistem yang dipelajari. Model simulasi disusun dari suatu seri perhitungan dan operasi logis yang secara bersama-sama menyajikan struktur (keadaan) dan perilaku (perubahan keadaan) dari sistem yang dipelajari.

33 III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Teluk Tamiang, Kabupaten Kotabaru, Propinsi Kalimantan Selatan (Gambar 3). Pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan antara lain telah berkembangnya kegiatan budidaya ikan kerapu di Teluk Tamiang yang memiliki luas 2.289,8 ha. Penelitian lapangan dan laboratorium dilaksanakan mulai dari bulan April Nopember 26. Kalimantan Selatan Teluk Tamiang Gambar 3 Peta lokasi penelitian

34 3.2. Karakterisasi Sifat Perairan dan Kelayakan Bioteknis Perairan Teluk Tamiang Analisis karakteristik sifat perairan merupakan kajian tentang kondisi biofisik dan kimia perairan, mencakup aspek kualitas perairan (Biologi, fisika, dan kimia), serta oseanografi. Pengamatan kualitas air dilakukan untuk menentukan kelayakan perairan bagi kehidupan ikan kerapu. Contoh air diambil pada 1 titik lokasi sampling (Gambar ) pada kedalaman % dari kedalaman laut (, x kedalaman laut) dengan menggunakan water sampler Niskin Van Dorn (International Association of the Physical of the ocean (IAPSO, 1936 didalam Hulagalung et al., 1997). Contoh air untuk keperluan analisa laboratorium diambil setiap bulan satu kali selama 6 bulan. Jenis dan metode analisa parameter secara rinci disajikan pada Tabel 1. Penentuan lokasi dilakukan dengan alat bantu GPS (Global Positioning Systems) Gambar Titik sampling perairan Teluk Tamiang

35 Karakterisasi Biologi Perairan Kajian biologi perairan meliputi produktivitas primer, plankton dan bentos, yang ditujukan untuk mengetahui karakteristik perairan sebagai salah satu indikator tingkat pencemaran dan kesuburan perairan. - Pengukuran Produktivitas Primer. Produktivitas primer diukur dengan menggunakan botol gelap dan botol terang (Vollenweider, 1969 didalam Kaswadji et al., 1993). Pengukuran produktivitas primer bertujuan untuk mengetahui jumlah bahan organik yang dihasilkan oleh produsen primer (fitoplankton). Produktivitas primer dihitung dengan menentukan kandungan oksigen terlarut dalam botol terang dikurangi dengan kandungan oksigen dalam botol gelap setelah dilakukan masa inkubasi (pencahayaan) selama 3 jam. Nilai oksigen terlarut yang diperoleh dari hasil pengurangan tersebut, kemudian dikonversikan ke satuan mgc/m 3 /jam. Perhitungan produktivitas primer dilakukan menurut Umaly dan Cuvin (1988) sebagai berikut: GP = (O 2 dalam BT) (O 2 dalam BG) (1), x mgc/m 3 /jam Lama pencahayaan (jam) KF Keterangan : GP = Produktifitas Primer BT = Botol Terang BG = Botol Gelap Lama inkubasi = selama 3 jam (dari jam ) O 2 = Oksigen terlarut (mg/l) KF = Kuosien Fotosintesa = 1,2 1 = konversi liter menjadi m 3,37 = Koefisien konversi oksigen menjadi karbon (12/32) (Ryther, 196 didalam Kaswadji et al., 1993). Jika diasumsikan bahwa dalam satu hari terdapat 12 jam terang, maka dalam satu hari GP x jam. - Kelimpahan Plankton. Sampel diambil dengan menyaring air sebanyak 2 liter melalui plankton net no. 2 dan dimampatkan menjadi sekitar 2 ml dan diawetkan dengan menambahkan 1 tetes larutan formalin 1 ppm. Identifikasi jenis dilakukan dengan bantuan mikoskop dan buku identifikasi Davis (19). Perhitungan kepadatan plankton dilakukan dengan menggunakan Sedgwick Rafter Counting Chamber dibawah mikroskop (APHA, 1992). Kelimpahan plankton (K) ditentukan dengan metode penyapuan (sensus) dengan menggunakan Sedwick Rafter Cell (SRC) (APHA 1992) sebagai berikut :

36 Vs 1 K = x -----x N Va Vo Dimana : K Vs Va N Vo = Kelimpahan total plankton (sel/l) = Volume air yang tersaring (ml) = Volume air yang disaring (l) = Jumlah plankton yang teramati = Volume air yang diamati (ml) - Bentos. Sampel sedimen diambil dengan alat bantu Ekman grab pada 1 titik sampling. Selanjutnya contoh sedimen yang diperoleh disimpan kedalam kantong plastik, diawetkan dengan formalin 1 ppm. Kepadatan/kelimpahan bentos (K) ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : 1 x a K = b Dimana : K = Kepadatan makrozobentos (individu/m 2 ) a = jumlah makrozobentos b = Luas bukaan mulut Ekman Grab (cm 2 ) 1 = konversi dari cm 2 ke m 2 Stabilitas Komunitas Stabilitas komunitas plankton dan bentos dinyatakan dengan indeks keanekaragaman (H 1 ) oleh Shannon Wiener (Odum, 1971) dan indeks keseragaman (E) Evennes Index (Odum, 1971) serta indeks dominansi (C) Shannon Wienner (Odum, 1971), yang ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : - Indeks Keanekaragaman (H 1 ) Keanekaragaman dihitung dengan rumus Index Shannon Wiener (Odum, 1971): H 1 = (ni) ln (ni) N N Dimana : H 1 = indeks Keanekaragaman ni = jumlah individu tiap spesies N = jumlah individu seluruh spesies Kisaran nilai indeks keanekaragaman Shannon Wienner diklasifikasikan sebagai berikut : H 1 < 1 = keanekaragaman populasi kecil dan komunitas rendah H 1 < 1 < 3 = keanekaragaman populasi sedang dan komunitas sedang H 1 < 3 = keanekaragaman populasi tinggi dan komunitas tinggi

37 - Indeks Keseragaman (E) Indeks keseragaman dihitung dengan menggunakan rumus Evennes Index (Odum, 1971). E = H 1 LnS Dimana : E H 1 S = indeks keseragaman = indeks keanekaragaman = jumlah spesies Nilai keseragaman berkisar antara 1. Apabila nilai E mendekati, maka sebaran individu antar jenis tidak merata dan apabila nilai E mendekati 1, maka sebaran individu antar jenis merata. - Indeks Dominansi (C) Indeks dominansi dihitung dengan menggunakan rumus Shannon Wienner (Odum, 1971) sebagai berikut : C = (Pi) 2 Dimana : C = Indeks Dominansi ni = Jumlah individu taksa ke-i N = Jumlah total individu Pi = ni/n = Proporsi spesies ke-i Nilai indeks dominansi (C) berkisar antara 1. Bila nilai indeks dominansi mendekati 1 maka terdapat organisme tertentu yang mendominasi suatu perairan, namun bila nilai indeks dominasi mendekati, maka tidak ada jenis yang dominan. Untuk memudahkan perhitungan dalam analisis statistik uji beda nyata digunakan alat bantu piranti lunak Excel Stat Pro 7. dan SPSS 11, Karakterisasi Oseanografis. - Pasang surut. Diukur dengan alat bantu papan pembaca yang dipasang di lokasi penelitian. Pembacaan tinggi permukaan air dilakukan selama 3x2 jam pada saat pasang purnama dan surut terendah yang bertujuan untuk mengetahui volume perairan baik pada saat pasang maupun surut serta polanya yang berkaitan dengan proses pengenceran (flushing time). Hasil pengamatan pasang surut diklarifikasi dengan data pasang surut yang dikeluarkan oleh Dinas Hidrooseanografi TNI-AL untuk stasiun pengamatan Kotabaru. Sementara kecepatan arus pasang surut di

38 dalam Teluk Tamiang diukur dengan floating roop, sedangkan arah dan pola arus diamati dengan menelusuri arah pergerakan arus secara langsung (insitu). - Bathymetri. Peta kontur bathymetri merupakan kontur dari kedalaman teluk, diperoleh dengan menggunakan Lowrens Echosounder (model X16) dan diproses dengan bantuan piranti lunak Surfare 8.. Data dari pencatatan ini kemudian dikoreksi ke chart datum dengan referensi tabel pasang surut dan dikuatkan dengan pengukuran lapangan pada waktu dan rentang pasang yang berbeda. - Substrat dasar. Contoh substrat diambil pada lokasi dengan metode yang sama dengan sampel bentos. Contoh substrat diambil dengan alat Ekman grab, dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disimpan sampai dianalisa tekstur substrat. Pada setiap contoh sampel dianalisis di laboratorium secara fisik substratnya antara lain jenis pasir, karang berpasir putih, pasir berkarang, pasir berlumpur, dan berlumpur Karakterisasi Kimiawi Perairan Kajian kimia perairan meliputi parameter kimia perairan yang berpengaruh kehidupan ikan kerapu antara lain parameter ph, Salinitas, Oksigen Terlarut (DO), Nitrit, Nitrat, Orthophosphat, dan BOD. Parameter-parameter tersebut diukur satu kali setiap bulan selama 6 bulan. Secara rinci jenis parameter dan metode analisanya disajikan pada Tabel 1.

39 Tabel 1 Parameter kualitas lingkungan perairan dan metode peneraannya Parameter Alat/Cara Analisis Keterangan Biologi 1. Produktivitas primer 2. Plankton 3. Bentos Botol Gelap dan Botol Terang, DO meter Plankton net No.2, Mikroskop dan buku identifikasi Ekman Grab, Mikroskop dan buku identifikasi Insitu Laboratorium Laboratorium Fisika 1. Suhu ( o C) 2. Kecerahan/pembacaan secchi disk (m) 3. TSS (ppm). Kecepatan Arus (m/dt). Substrat Dasar 6. Kedalaman (m) 7. Pasang surut (m) 8. Keterlindungan (ketinggian gelombang (m) Kimia 1. ph 2. Salinitas (ppt) 3. Oksigen terlarut (ppm). Ammonia (ppm). Nitrit (ppm) 6. Nitrat (ppm) 7. Orthophosphat (ppm) 8. BOD (ppm) Thermometer Hg Piring Sechi Gravimaterik Floating roop Ekman Grab Lowrens Echosounder Papan berskala Tongkat berskala ph meter Refraktometer DO meter Botol sampel, Spektrofotometer Botol sampel, Spektrofotometer Botol sampel, Spektrofotometer Botol sampel, Spektrofotometer Botol BOD, DO meter Insitu Insitu Laboratorium Insitu Laboratorium Insitu Insitu Insitu Insitu Insitu Insitu Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Laboratorium Kelayakan Bioteknis dan Penentuan Kesesuaian Perairan Penentuan kelayakan/kesesuaian bioteknis untuk pengembangan budidaya KJA dilakukan dengan metode pembobotan dan penilaian (skoring) untuk setiap parameter yang berpengaruh pada kelayakannya untuk ikan kerapu yang diberikan oleh Tiensongrusmee et al., (1986) didalam Sunyoto (1993) (Tabel 2). Dalam metode ini pertama-tama ditentukan parameter-parameter utama yang berpengaruh pada kegiatan budidaya KJA ikan kerapu, kemudian sesuai dengan perannya parameterparameter tersebut diberi bobot dan skor. Bobot menunjukan kepentingan parameter pada keberhasilan budidaya. Nilai yang diberikan adalah rentang 1 s/d. Semakin tinggi nilai, semakin penting peranannya. Skor (s) dibagi dalam empat kategori yaitu skor (sangat layak) di mana nilai parameter tersebut sangat layak (optimum), skor 3

40 (sedang) di mana nilai parameter pada rentang yang masih dapat ditoleransi untuk hidup layak, skor 2 (rendah) dimana nilai parameter terletak pada rentang yang masih dapat ditolerasi (direkomendasikan) namun sudah mengganggu proses metabolisme, dan skor 1 (tidak layak) di mana nilai parameter berada diluar rentang yang direkomendasikan dan sudah mengganggu proses metabolisme. Penentuan skor didasarkan pada rentang nilai hasil pengukuran lapangan terhadap 8 (delapan) parameter utama seperti yang disajikan pada Tabel 2. Untuk memperoleh nilai kelayakan/kesesuaian setiap parameter maka nilai bobot dikalikan dengan skor untuk masing-masing parameter pada setiap stasiun yang diperoleh dari pengukuran dan pengamatan lapang. Tabel 2 Kriteria dan sistem penilaian kelayakan/kesesuaian perairan untuk budidaya KJA Ikan Kerapu Nilai skor dan Tingkat Kesesuaian dan Rentang nilai Parameter Hasil Pengukuran No Parameter Bobot (Tinggi) 3 (Sedang) 2 (Rendah) 1 (Tidak Sesuai) Nilai Kelayakan Parameter (1) (2) (3) () () (6) (7) (8) (Bobot x Skor) 1 Kedalaman > < (meter) 2 Keterlindungan terhadap gelombang/ angin besar) Sangat terlindung (<, m)* Terlindung (<, m)* Agak terbuka (>, m)* Terbuka (>, m)* Suhu ( o C) > 3/< Salinitas / < 2/> (promil) 3-3 Substrat Dasar 3 Pasir, karang berpasir Pasir berkarang Pasir berlumpur Berlumpur Kecerahan (meter) 7 Oksigen terlarut 8 Kecepatan Arus (cm/dt) Total Nilai Keterangan : *) ketinggian gelombang />8-6 < < Bobot x Skor Hasil perkalian antara bobot dan skor dari setiap parameter pada masingmasing stasiun pengamatan kemudian dijumlahkan. Dari hasil penjumlahan tersebut tentukan jumlah nilai maksimal ( nilai maksimal ) dan jumlah nilai minimal ( nilai minimal ). Untuk mendapatkan nilai kesesuaian pada setiap lokasi pengamatan,

41 selisih nilai maksimal dan minimal dibagi kedalam kategori (klas) yaitu a) sesuai tinggi (S1), b) sesuai sedang (S2), c) sesuai rendah (S3), dan d), tidak sesuai (N), yang penentuannya terlebih dulu dilakukan perhitungan nilai selang klas kesesuaian dengan persamaan sebagai berikut : Selang Kelas Kesesuaian (X) = nilai maksimal - nilai minimal Banyak Klas Selanjutnya untuk menentukan tingkatan kesesuaian/kelayakan perairan bagi pengembangan budidaya KJA Ikan Kerapu yang terbagi kategori (klas) dari kisaran total nilai (bobot x skor) pada setiap stasiun pengamatan dengan klas kesesuaian, dihitung dengan persamaan sebagai berikut : Klas kesesuaian Kesesuaian tinggi (S1) nilainya berkisar antara = ( maks - X) s/d ( maks) Kesesuaian sedang (S2)nilai berkisar antara = ( maks -1-2X) s/d ( maks -1-X) Kesesuaian rendah (S3) nilai berkisar antara = ( maks -2-3X) s/d ( maks -2-2X) Tidak sesuai (N) nilai berkisar antara = < ( maks -3-3X) Untuk menganalisis secara spasial, titik-titik stasiun pengamatan terlebih dulu dilakukan interpolasi yang merupakan suatu metode pengelolaan data titik menjadi area (polygon). Dari hasil interpolasi masing-masing parameter kualitas perairan yang diperoleh, disusun dalam bentuk peta tematik. Luasan perairan yang layak/sesuai bagi pengembangan budidaya ikan kerapu dalam keramba jaring apung yang dihasilkan setelah seluruh data parameter utama pembobotan dalam bentuk peta tematik di overlay (tumpang susun). Kemudian penentuan luas areal perairan yang layak/sesuai bagi pengembangan budidaya KJA Ikan kerapu dilakukan dengan bantuan perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG) piranti lunak ArcView versi 3.3 dan Surfer 8.. Diagram alir penyusunan tingkat kelayakan/kesesuaian perairan untuk budidaya ikan kerapu dalam keramba jaring apung disajikan pada Gambar.

42 Potensi Sumberdaya Perairan untuk Pengembangan Budidaya Ikan di Teluk Tamiang Data Primer (Biofisik Perairan) Data Sekunder (Peta rupa bumi) Geografi Information System (GIS) Penyusunan Data Base Atribut (data tabular) Data Grafis Peta Tematik Kriteria Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Laut Peta Tingkat Kesesuaian Perairan Untuk Budidaya KJA Ikan Kerapu Gambar Diagram alir penyusunan tingkat kesesuaian perairan untuk budidaya KJA Ikan Kerapu 3.3. Budidaya Ikan Kerapu dalam Keramba Jaring Apung Keramba jaring apung yang digunakan terbuat dari kayu ulin dan jaring nilon (D 2 ) dengan mesh size 3,17 cm. Ukuran keramba yang digunakan adalah 3 x 3 x 2, m 3 sebanyak 1 jaring diletakan dalam satu unit rakit (Gambar 6). Ikan kerapu bebek (Cromileptis altivelis) yang digunakan sebagai hewan uji memiliki berat awal rata-rata 36 gr/ekor. Ikan uji tersebut diambil dari bibit alam sekitar perairan Teluk Tamiang dengan tingkat kepadatan 2 ekor/m 3. Masa pemeliharaan + selama 6 bulan dan selama pemeliharaan diberi pakan berupa ikan rucah (segar). Jumlah pakan yang diberikan adalah % dari biomass ikan setiap hari yang terbagi dalam 3 kali pemberian pakan yaitu pada jam 7., 13. dan 18.. Jumlah pakan disesuaikan setiap bulan sekali selama 6 bulan (18 hari). Untuk mengetahui total biomass dilakukan sampling menggunakan jaring serok. Untuk mengetahui perubahan kualitas air akibat kegiatan budidaya ikan di sekitar lokasi budidaya dilakukan pengamatan kualitas air antara lain suhu, kecerahan, TSS, DO, salinitas, BOD. COD, Nitrit, Nitrat, dan Orthoposphat dengan frekuensi

43 pengamatan sebanyak 1 kali 1 bulan selama 6 bulan didalam kurungan karamba maupun lingkungan sekitarnya. Untuk parameter DO dan salinitas diukur secara insitu yaitu di setiap stasiun pada kedalaman % dari kedalaman laut (, x kedalaman laut) (International Association of the Physical of the ocean (IAPSO, 1936 didalam Hulagalung et al 1997). Sedangkan untuk parameter lainnya contoh air dimasukan kedalam botol sampel kemudian diawetkan dalam suhu dingin (es) pada kotak pendingin (cool box) dan dibawa ke laboratorium untuk dianalisa. Untuk mengetahui pertumbuhan ikan diukur setiap bulan sekali dengan cara menimbang sebanyak 2 ekor per keramba jaring apung dengan alat bantu timbangan OHAUS berketelitian,1 gr. Untuk mengetahui sintasan, laju pertumbuhan harian (LPH), rasio konversi pakan (RKP), dihitung berdasarkan persamaan sebagai berikut : Sintasan (%)= (jumlah ikan yang hidup pada akhir penelitian/jumlah ikan saat tebar) x 1% LPH (gr/hari)= (Wt-Wo) 1/t, dimana Wt: bobot ikan pada akhir penelitian (gr); Wo: bobot ikan pada awal penelitian (gr); t (hari) dan RKP = jumlah pakan yang diberikan/berat biomass ikan yang dihasilkan 3.. Pendugaan Kuantitatif Limbah yang berasal dari Kegiatan Budidaya (Internal Loading) Untuk menduga jumlah limbah budidaya ikan kerapu (berupa feses maupu sisa pakan) yang terbuang dari keramba ke lingkungan perairan di bagian luar jaring dipasang jaring halus mesh size 2 mikron. Jaring halus tersebut dipasang di luar jaring apung (tempat pemeliharaan ikan). Perangkap tersebut diikatkan pada sebuah bingkai yang terbuat dari kayu ulin berbentuk segi empat yang berukuran 3, x 3, meter, dan bagian bawah perangkap dipasangi pemberat (Gambar 6). Pengumpulan limbah sisa pakan dan feses dilakukan setiap bulan sekali sebanyak 6 kali sampling ulangan (selama kegiatan budidaya). Untuk pengumpulan sisa pakan dilakukan 2 jam setelah pemberian pakan, sedangkan untuk pengumpulan feses, jaring halus dipasang selama 2 jam sebelum koleksi feses. Limbah yang terkumpul kemudian dipisahkan antara feses dan sisa pakan. Baik feses maupun sisa pakan kemudian ditimbang dan selanjutnya dianalisa kadar proximat yang terdiri dari yaitu lemak kasar

44 (Ekstraksi Soxhlet), karbohidrat (Spektrofotometer), serat kasar (Fibretex), kadar abu (Muffle), kadar air (pengeringan oven), serta N dan P (Semi Micro Kjeldahl dan Olsen). Sebagai pembanding analisa proximat juga dilakukan terhadap ikan rucah (sebagai pakan segar) dan ikan kerapu pada akhir pemeliharaan. Rakit Pelampung Bingkai Jaring Perangkap (3,x3,) Jaring Keramba (3x3x2,) Perangkap feses & sisa Pakan (3,x3,x2,7) Pemberat (2-3 kg) Gambar 6 Keramba jaring apung dengan alat perangkap feses dan sisa pakan Pendugaan total bahan organik dihitung berdasarkan metode yang dikemukakan oleh Iwama (1991 didalam Barg, 1992) dengan mengacu pada total pakan yang tidak dikonsumsi dan jumlah feses, dengan persamaan sebagai berikut : O = TU + TFW O = total output partikel bahan organik TU = total pakan yang tidak dimakan, yang diperoleh dengan persamaan : TU = TF x UW TF = total pakan yang diberikan UW = presentase pakan yang tidak dimakan (rasio total pakan yang dimakan terhadap total pakan yang diberikan). TFW = total limbah feses, dihitung dengan persamaan : TFW = F x TE F = persentase feses (rasio total feses terhadap total pakan yang dimakan) TE = total pakan yang dimakan, diperoleh dengan persamaan : TE TF TU = TF TU = total pakan yang diberikan = total pakan yang tidak dimakan

45 Pendugaan kuantifikasi limbah total N dan P (TN dan TP) didasarkan atas data kandungan N dan P dalam pakan ikan rucah, dan dalam karkas ikan kerapu (Baveridge, 1987, Barg, 1992). Pendugaan total N dan P mengacu pada metode Ackefors dan Enell (199 didalam Barg, 1992), dihitung dengan persamaan sebagai berikut : Persamaan untuk Loading N dan P adalah : Kg P = (A x Cdp) (B x Cfp) Kg N = (A x Cdn) (B x Cfn) Dimana : A = bobot basah pakan rucah yang digunakan (kg) B = bobot basah kerapu yang diproduksi (kg) Cd = kandungan phosphor (Cdp) dan nitrogen (Cdn) di pakan diekspresikan sebagai % bobot basah) Cf = kandungan phosphor (Cfp) dan nitrogen (Cfn) dari karkas ikan, diekspresikan sebagai % bobot basah. 3.. Pendugaan Kuantitatif Limbah yang Bersumber dari Daratan (Antropogenik) (Eksternal Loading) Pendugaan beban limbah dari kegiatan masyarakat yang berada di daratan mengacu pada metode yang dikembangkan oleh Land Ocean Interactionin the Coastal Zone (LOICZ) Project (Malou San Diego- McGlone, Pendugaan kuantitatif limbah yang bersumber dari daratan (upland) berasal dari aktivitas (1) pemukiman, dan (2) peternakan, bertujuan untuk mengetahui besaran potensi kontribusi beban limbah organik (nitrogen dan phosphor) ke perairan teluk antara lain : (1) Aktivitas Pemukiman. Besaran limbah organik (Total N dan P) yang berasal dari pemukiman, dihitung dengan cara sensus yaitu menghitung secara langsung jumlah penduduk yang bermukim disekitar teluk. Untuk mendapatkan besar kontribusi limbah yang terdiri dari limbah padat (kg/hari) dan limbah cair (liter/hari), maka jumlah penduduk tersebut dikalikan dengan koefisien limbah dari berbagai acuan antara lain dari 1) Sogreah (197); 2) Padilla et al (1997), dan 3) World Bank didalam Diego-McGlone (26) (Tabel 3).

46 Tabel 3 Jenis aktifitas dan koefisien limbah pemukiman No. Jenis Aktivitas Koefisien Limbah Sumber Acuan Aktivitas Pemukiman Limbah padat Sampah Deterjen 1,86 kg N/org/th,37 kg P/org/th kg N/org/th 1 kg P/org/th 1 kg P/org/th Sogreah (197) Padilla et al (1997) World Bank (1993) Catatan : 1) Sogreah (197); 2) Padilla et al (1997); 3)World Bank (1993) di dalam Diego- McGlone (26). (2) Aktivitas Peternakan. Besaran volume limbah (Total N dan P) tersebut dihitung dengan menghitung secara langsung jumlah ternak yang berada atau dipelihara disekitar teluk. Untuk mendapatkan besar kontribusi limbah yang terdiri dari limbah padat (kg/hari), maka jumlah ternak tersebut dikalikan dengan koefisien limbah dari berbagai acuan antara lain 1) WHO (1993); 2) Valiela et al (1997) didalam Diego-McGlone (26) (Tabel ). Tabel Jenis aktifitas dan koefisien limbah peternakan No. Jenis Aktivitas Koefisien Limbah Sumber Acuan Komoditas Peternakan Ternak Sapi Ternak Kambing Ternak Ayam 3,8 kg N/ekr/th 11,3 kg P/ekr/th kg N/ekor/th 21, kp/ekor/th,3 kg N/ekor/th,7 kg P/ekor/th WHO (1993) WHO (1993) Valiela et al (1997) Catatan : 1) WHO (1993); 2) Valiela et al (1997) didalam Diego-McGlone (26) Beban limbah yang berasal dari pemukiman dan peternakan diperoleh dari data perhitungan langsung dilapangan yang mengacu pada data sekunder statistik Desa/Kecamatan.. Pendugaan total nitrogen (TN) dan total fosfat (TP) dari limbah antropogenik dihitung dengan mengalikan antara tingkatn aktivitas dengan koefisien limbah (N dan P) (Tabel ) dengan persamaan sebagai berikut : TN TP = tingkatan aktivitas x koefisien limbah = tingkatan aktivitas x koefisien limbah

47 Tabel Pendugaan beban limbah antropogenik sekitar Teluk Tamiang Jenis Aktivitas Koefisien Limbah Tingkatan Aktivitas Pemukiman 1. Limbah padat 2. Sampah 3. Deterjen 1,86 kg N/org/th,37 kg P/org/th kg N/org/th 1 kg P/org/th 1 kg P/org/th Jumlah Penduduk (orang) Total N (kg/th) Total P (kg/th) Jumlah - - Peternakan 1. Sapi Jumlah Ternak 2. Kambing 3. Ayam 3,8 kg N/ekr/th 11,3 kg P/ekr/th kg N/ekor/th 21, kp/ekor/th,3 kg N/ekor/th,7 kg P/ekor/th (ekor) yang dipelihara Ket Jumlah Jumlah Total - - Sumber Pustaka : 1) Sogreah (197); 2) Padilla et al (1997); 3)World Bank (1993); ) WHO (1993); ) Valiela et al (1997) didalam Diego-McGlone (26) 3.6. Pendugaan Daya Dukung Lingkungan Perairan Pesisir bagi Pengembangan Budidaya Kerapu dalam Karamba Jaring Apung Dalam melakukan pendugaan daya dukung lingkungan dilakukan dalam 2 bentuk pendekatan antara lain (1) pendekatan yang mengacu pada loading total nitrogen (TN) dari sistem budidaya dan antropogenik yang terbuang ke lingkungan perairan dan (2) pendekatan yang mengacu pada kapasitas ketersediaan oksigen terlarut dalam badan air dan bahan organik. Pendekatan (1) Mengacu kepada Loading Total Nitrogen (TN) Limbah buangan dari aktifitas budidaya mengakibatkan terjadinya pengkayaan nutrien (Hipernutrifikasi) di perairan teluk. Level hipernutrifikasi ditentukan oleh volume badan air, laju pembilasan (flushing rate) dan fluktuasi pasang surut (Gowen et al, (1989 didalam Barg, 1992), memberikan persamaan estimasi sebagai berikut : Ec = N x F/V dimana : Ec = Konsentrasi limbah/level hipernutrifikasi (mg/l) N = output harian dari limbah nitrogen terlarut (limbah internal dan eksternal) F = flushing time dari badan air (hari) V = volume badan air (L)

48 Flushing time (F) yaitu waktu (jumlah hari) yang diperlukan limbah berdiam (tinggal) dalam badan air sehingga lingkungan perairan menjadi bersih. Penentuan Flushing time ditentukan dengan menggunakan formula : F = 1 / D Laju pengeceran (dilution) D, dapat dihitung dengan metode yaitu : D = (Vh Vl) / T x Vh Dimana : (Vh VI) adalah volume pergantian pasang Vh = volume air dalam badan air saat pasang tertinggi (m 3 ) VI = volume air dalam badan air saat surut (m 3 ) T = periode pasang dalam satuan hari pergantian pasang Perhitungan Volume Badan Air Teluk diukur pada saat pasang tertinggi (MHWS (Mean High Water Spring), dan pada saat surut terendah MLWS (Mean Low Water Spring) dengan menggunakan persamaan sebagai berikut : Vh = A.h1 dan Vl = A.h Dimana : A = luas perairan teluk (m 2 ) h1 dan h = kedalaman perairan saat pasang tertinggi dan surut terendah Vh = Volume air pada saat pasang tertinggi V1 = Volume air pada saat surut terendah Vh Vl = perubahan volume karena efek pasut. Perhitungan selanjutnya adalah menghitung konsentrasi [N lp ] hasil pengkayaan nutrien ini dihubungkan dengan nilai nitrogen (Ammonia (NH 3 N) baku mutu perairan untuk budidaya (Kep-1/MENLH/2) untuk mendapatkan nilai kapasitas optimal produksi budidaya (Prod opt ) dengan pengertian bahwa nilai konsentrasi [N lp ] berasal dari limbah produksi ikan (per unit rakit KJA) dan antropogenik tidak melebihi baku mutu, maka produksi optimal dapat diduga dengan persamaan sebagai berikut : (Prod opt ) (ton) = [N bm ] dimana : [N bm ] = [N] baku mutu perairan untuk budidaya [N lp ] (,3 1 ppm) selang konsentrasi Ammonia (NH 3 N) yang dipersyaratkan [N lp ] = Konsentrasi [N] limbah produksi ikan dan antropogenik hasil pengkayaan nutrien. Produksi optimal (Prod opt ) adalah jumlah produksi ikan yang dapat dihasilkan oleh unit budidaya (unit rakit KJA) tanpa melampaui baku mutu perairan yang dipersyaratkan. Nilai pendugaan produksi optimal adalah perbandingan antara konsentrasi [N] baku

49 mutu dengan konsentrasi [N] limbah produksi. Bila diketahui output limbah N hasil produksi dalam 1unit KJA, maka akan dapat diketahui jumlah produksi ikan secara optimal. Pendekatan 2. Mengacu Kepada Ketersediaan Oksigen Terlarut dan Bahan Organik Penentuan daya dukung lingkungan berdasarkan kapasitas ketersediaan kandungan oksigen terlarut dari badan air dan bahan organik, dengan mengacu pada formula yang dikemukakan oleh Willoughby (1968 didalam Meade, 1989), dan Boyd (199). Pergantian air akibat pasang surut akan menyediakan atau memasok oksigen terlarut sehingga konsumsi oksigen oleh organisme non budidaya tidak signifikan. Hal ini berarti bahwa perairan pesisir dapat dibebani dengan sejumlah ikan yang menggunakan oksigen terlarut, di mana O 2 dipasok baik yang berasal dari aliran air pasang surut maupun difusi dari udara. Tahap 1. Menentukan ketersediaan oksigen terlarut dalam badan air adalah perbedaan antara konsentrasi O 2 terlarut didalam inflow (O in ) dan konsentrasi O 2 terlarut minimal yang dikehendaki dari sistem budidaya (O out ) yaitu ppm (Boyd, 199). Jika volume air teluk (Qo m 3 ) diketahui, maka total oksigen yang tersedia dalam perairan (O 2 ) selama 2 jam (1. menit/hari) adalah : = Qo m 3 /min x 1. min/hari x (O in O out )g O 2 / m 3 = A g m 3 /hari/1 = B kg O 2 Dimana : Qo = volume ar teluk (m 3 ) Q in = kandungan oksigen terlarut didalam badan air (mg/l) O out = kadar oksigen minimal yang dibutuhkan oleh ikan (mg/l) 1.= jumlah menit dalam satu hari Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengurai bahan organik diketahui berdasarkan Willoughby (1968 didalam Meade, 1989) bahwa setiap 1 kg limbah organik memerlukan,2 kg O 2 / limbah organik. Tahap 2. Untuk pendugaan daya dukung yang diijinkan dengan mengacu bahwa untuk setiap kilogram limbah bahan organik membutuhkan,2 kg O 2 sehingga dapat diduga kemampuan perairan untuk menampung limbah bahan organik maksimal yang diijinkan. Dengan demikian, beban limbah

50 bahan organik yang dapat ditampung tanpa melampaui daya dukung dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : B kg O 2 = Ckg limbah bahan organik,2 kg O 2 /kg limbah organik Jika diketahui dalam 1 unit rakit KJA mengahasilkan limbah bahan organik = D kg limbah bahan organik, maka kapasitas daya dukung lingkungan perairan untuk budidaya kerapu adalah : C kg limbah bahan organik = Unit rakit KJA D kg limbah bahan organik/1 unit KJA 3.7. Pendekatan Analisis Prospektif dan Model Dinamik dalam Pengelolaan Kualitas Lingkungan bagi Pengembangan Budidaya KJA Ikan Kerapu di Laut Dalam membangun sistem pengelolaan kualitas lingkungan berbasis daya dukung (carrying capacity) bagi pengembangan keramba jaring apung ikan kerapu di Teluk Tamiang, dilakukan pengembangan model guna mempresentasikan peubah komponen-komponen utama penyusun struktur pengelolaan kualitas lingkungan serta interaksi diantaranya. Berdasarkan karakteristik perairan teluk yang kompleks dan dinamis serta multidimensi, ditetapkan penggunaan model simbolik yang digunakan sebagai alat bantu dalam pemodelan sistem ini adalah Stella versi 7.2. Blok bangunan dasar (basic building block) dalam bahasa Stella versi 7.2 yang digunakan adalah meliputi stocks, flows, converter, connector, dan sink source. Permodelan dan simulasi pendugaan beban limbah N dan P dari sistem budidaya kerapu dalam keramba jaring apung dibangun dan dikembangkan berdasarkan pada data empiris sistem produksi budidaya yang ada, level aktivitas antropogenik dan karakteristik biofisik lingkungan perairan, serta hasil uji laboratorium. Pemodelan dan simulasi digunakan untuk pendekatan sistem dalam menentukan beban limbah, daya dukung, dan optimalisasi alokasi sumberdaya perikanan budidaya. Pemodelan sistem dibangun berdasarkan integrasi dari faktor-faktor dominan yang diperoleh dari analisis prospektif. Dalam hal ini faktor-faktor dominan yang diperoleh menjadi komponen utama sub-sub model dari model yang dibangun. Demikian pula skenario yang disusun berdasarkan pendekatan Analisis Prospektif akan disimulasikan secara kuantitatif berdasarkan model simbolik perangkat lunak

51 7.2. dengan demikian pemodelan sistem disini dilakukan dengan tahapan-tahapan antara lain penyusunan skenario, pembangunan model dan simulasi skenario. Penentuan faktor kunci dan tujuan strategis tersebut sepenuhnya harus merupakan pendapat pihak yang berkompeten sebagai pelaku dan ahli (expert) mengenai pengelolaan lingkungan Teluk, khususnya Teluk Tamiang. Inventarisasi kebutuhan pelaku dilakukan dengan menggunakan kuisioner. Analisis dilakukan dengan menggunakan cara matriks. Hasil analisis matriks ini ditunjukkan dan dipresentasikan dalam bentuk grafik dalam salib sumbu Kartesien (Bourgeois, 22., Hartrisari, 22). Berdasarkan hasil grafik dalam salib sumbu akan terpilih yang dikelompokan kedalam kuadran, yaitu kuadran kiri atas sebagai kuadran I merupakan kelompok faktor yang memberikan pengaruh besar pada kinerja sistem dengan ketergantungan rendah terhadap keterkaitan faktor, sehingga akan digunakan sebagai input didalam sistem. Kuadran kanan atas sebagai kuadran II merupakan kelompok faktor yang memberikan pengaruh besar pada kinerja sistem namun ketergantungan juga besar terhadap keterkaitan faktor, sehingga digunakan sebagai penghubung (stake) didalam sistem. Keadaan sebaliknya ditunjukan oleh faktor pada kuadran kanan bawah sebagai kuadran IV, yaitu kuadran yang memiliki pengaruh yang rendah pada kinerja sistem dan memiliki ketergantungan besar terhadap keterkaitan faktor, sehingga dikatakan sebagai output dari sistem. Pada kuadran kiri bawah sebagai kuadran III merupakan kelompok yang memberi pengaruh kecil terhadap kinerja sistem dan mempunyai tingkat ketergantungan kecil terhadap keterkaitan faktor, sehingga dikatakan sebagai variable authonomus unused. Evaluasi model dilakukan untuk mengetahui kelayakan model yang telah dibangun, sehingga model dapat dianggap layak untuk digunakan. Proses evaluasi yang dilakukan melibatkan dua kategori (tahap) pengujian, yaitu pengujian struktur model dan pengujian perilaku model. Evaluasi struktur model merupakan pengujian apakah model tidak bertentangan dengan mekanisme yang terjadi didalam sistem nyata. Oleh karena itu evaluasi struktur berhubungan dengan informasi dan literatur mengenai mekanisme sistem nyata. Proses evaluasi struktur, meliputi uji kesesuaian struktur dan konsistensi dimensi (Sushil, 1993). Evaluasi perilaku model merupakan pengujian apakah model mampu membangkitkan perilaku yang mendekati sistem nyata. Proses pengujian ini dilakukan dengan membandingkan data hasil pemodelan dengan dunia nyata.

52 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1. Keadaan Umum Teluk Tamiang Teluk Tamiang berada di pantai Barat Kalimantan Selatan, terletak pada posisi o ' " Lintang Selatan dan 116 o ' " Bujur Timur dengan luas sekitar 2.289,8 Ha. Secara administratif, Teluk Tamiang masuk dalam wilayah Kecamatan Pulau Laut Barat, Kabupaten Kotabaru, Propinsi Kalimantan Selatan yang meliputi desa Gosong Panjang, desa Kampung Baru, desa Tanjung Sungkai, desa Tanjung Pelayar, desa Terusan Tengah dan desa Tanjung Kunyit dengan jumlah penduduk seluruhnya 9.18 jiwa. Di sekitar Teluk Tamiang terdapat jalan Kabupaten dan jaringan listrik yang sudah menjangkau sebagian besar wilayah sampai ke pelosok desa. Fasilitas Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) yang berada di desa Teluk Tamiang merupakan salah satu sarana pembenihan (hatchery) multi spesies ikan (ikan kerapu, bandeng, udang, lobster dsb) milik pemerintah untuk melayani kebutuhan benih regional Kalimantan Selatan. Keberadaan fasilitas pembenihan tersebut diharapkan dapat menunjang pengembangan budidaya ikan laut pada masa yang akan datang Sampai dengan tahun 26 jumlah penduduk desa Teluk Tamiang sebanyak 1.2 jiwa dengan tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata % pertahun, dimana mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan, pembudidaya ikan dan rumput laut sisanya bergerak disektor jasa, dan perdagangan (BPS Kabupaten Kotabaru, 26). Berdasarkan kondisi saat ini, aktivitas penduduk setempat yang dominan disekitar desa Teluk Tamiang adalah sebagai nelayan kecil dengan menggunakan alat tangkap ikan lampara dasar, pembudidaya ikan dan rumput laut serta peternakan. Perkembangan pembudidaya ikan dalam keramba jaring apung (KJA) hingga sekarang belum begitu pesat, namun melihat kondisi perairan, ketersediaan infrastruktur dan kemudahan pasokan sarana produksi serta pemasaran, maka perairan Teluk Tamiang merupakan kawasan yang potensial bagi pengembangan budidaya ikan laut sistem KJA dimasa yang akan datang.

53 .2. Karakterisasi Topografi dan Ekosistem Perairan Teluk Tamiang.2.1. Karakterisasi Topografi Perairan Teluk Tamiang mempunyai luasan sebesar 2.289,8 Ha. Karakteristik topografi dasar teluk berbentuk datar (flat) namun memiliki dua buah cekungan beralur lebar ke arah mulut teluk. Bentuk topografi demikian diduga memiliki dinamika oseanografi yang unik dengan pola sirkulasi massa air yang lebih cepat dan dinamis. Hasil pengamatan kondisi kontur dasar perairan dengan menggunakan echosounder dan diproses dengan bantuan piranti lunak Surfer 8. untuk mendapatkan data kedalaman dan volume perairan (Gambar 7 s/d 1). A B C2 C1 B A= Wilayah daratan B= Wilayah lautan C= Wilayah perairan teluk Gambar 7 Sebaran kedalaman perairan Teluk Tamiang

54 A C2 Color Scale C1 B C1 = cekungan 1 C2 = cekungan 2 Gambar 8. Irisan melintang kontur dasar perairan Teluk Tamiang sebelah Barat Color Scale C2 A C2 C1 C1 = cekungan 1 C2 = cekungan 2 C1 B Gambar 9 Irisan melintang kontur dasar perairan Teluk Tamiang sebelah Timur A C2 C1 Color Scale B C1 = cekungan 1 C2 = cekungan 2 Keterangan : A = wilayah daratan; B = wilayah lautan Gambar 1 Kontur dasar perairan Teluk Tamiang Teluk Tamiang memiliki 2 (dua) buah cekungan yakni yang berada di mulut teluk dan tepi bagian dalam perairan teluk. Cekungan bagian dalam teluk mempunyai kedalaman antara 3 6 meter, sementara pada cekungan bagian luar dekat mulut teluk mempunyai kedalaman 7 1 meter. Cekungan bagian dalam teluk (C2) merupakan perangkap sedimen bahan organik dan anorganik yang mempunyai spesifikasi sirkulasi massa air dan kecepatan arus relatif lemah sehingga diduga berdampak pada

55 kecepatan penggelontoran sedimen dan bahan organik dan anorganik yang terperangkap. Lain halnya dengan cekungan yang berada dimuka mulut teluk (C1) mempunyai sirkulasi massa air dan kecepatan arus relatif lebih kuat sehingga resiko penumpukan sedimen relatif kecil karena proses pasang surut akan mampu menggelontorkan sedimen organik dan organik keluar dari perairan teluk menuju perairan Selat Makasar dan Laut Jawa. Hasil pengamatan di lapangan mengenai kondisi pasang surut perairan pesisir Teluk Tamiang menunjukkan pola pasang surut campuran. Dalam satu hari sering terjadi 1 dan 2 kali pasang (tipe pasut campuran dominasi semi diurnal/ Mixed, Mainly semi diurnal tide) yang mempengaruhi besaran nilai flushing time pada suatu perairan dengan kisaran 11 cm (Gambar 11 dan Tabel 6). Pasang Purnama Bulan Baru Tinggi Pasang (cm) Waktu Pengamatan (jam) Tinggi Pasang (cm) Waktu Pengamatan (jam) Rataan Bulanan Tinggi Pasang (cm) Waktu Pengamatan (jam) Gambar 11 Grafik kondisi pasang surut perairan Teluk Tamiang Tabel 6 Karakteristik pasang surut di perairan Teluk Tamiang Karakteristik Tidal Level (cm) Volume (m 3 ) Tidal range (cm) Level MHWS MSL MLWS Keterangan : MHWS (Mean High Water Spring), paras laut tertinggi rata-rata saat spring tide MSL ( Mean Sea Level), paras laut rata-rata MLWS (Mean Low Water Spring), paras laut terendah rata-rata spring tide

56 Menurut Lee et al. (2) didalam Rachmansyah (2), flusing time didefinisikan sebagai rata-rata waktu tinggal suatu partikel di dalam badan air yang dicirikan oleh efektivitas perpindahan suatu limbah sehingga perairan menjadi bersih. Flushing time merupakan karakteristik yang penting untuk menentukan sensitivitas kerusakan suatu lokasi potensial akibat buangan limbah budidaya dan antropogenik serta merupakan elemen utama dalam penentuan konsentrasi limbah bahan organik dan kontaminan lainnya yang akan tersimpan di dalam badan air. Berdasarkan data hidrooseanografi yang didapatkan, maka dengan mengembangkan rumus Gowen et al, (1989) didalam Barg, (1992) yang mengacu pada data pasang surut, volume dan luasan teluk, maka Flushing time Teluk Tamiang didapatkan adalah selama,2 hari dengan prosedur perhitungan sebagai berikut : Vh = A.h1 dan V1 = A.h Dimana : A = luas perairan teluk (m 2 ) h1 dan h = kedalaman perairan saat pasang tertinggi dan surut terendah Vh V1 = perubahan volume karena efek pasang surut Vh = m 3 (Volume air pada saat pasang tertinggi) V1 = m 3 (Volume air pada saat surut terendah) Vh V1 = = m 3 Perhitungan dilution rate (D) : D = (Vh Vi) / T x Vh Dimana : T = periode pasut, untuk perairan Teluk Tamiang adalah 12 jam /. hari Maka : D = /. x m 3 =.2 / hari Perhitungan flushing time (F) : F = 1/D = 1/.2 =.2 hari Wilayah yang dicirikan oleh tingginya flushing rate memiliki laju buangan limbah yang lebih tinggi dibandingkan wilayah dengan flushing rate yang rendah. Untuk menduga beberapa dampak budidaya pada suatu lokasi, maka nilai flushing rate merupakan referensi yang penting untuk digunakan dalam estimasi waktu tinggal dari suatu perairan yang menerima buangan limbah. Dari hasil perhitungan nilai flushing rate maka Teluk Tamiang termasuk memiliki flushing time relatif tinggi.

57 .2.2. Karakterisasi Ekosistem Perairan Ekosistem Mangrove Sebagian wilayah perairan Teluk Tamiang dikelilingi oleh hutan mangrove. Hutan mangrove tumbuh secara alami di pantai Teluk Tamiang. Hasil pengamatan lapangan dan perhitungan luas dari peta pemanfaatan lahan (landused) Kabupaten Kotabaru (desa Teluk Tamiang Kecamatan Pulau Laut Barat) tahun 2 dengan bantuan program Arc View versi 3.3 maka didapatkan luas hutan mangrove adalah + 127, ha tersebar tumbuh sepanjang 13. km di pesisir pantai teluk Tamiang dengan ketebalan mangrove yang diukur dari garis pantai ke arah darat berkisar antara 1 - meter yang didominasi oleh jenis hutan bakau dan api-api (Rhizophora sp dan Avicenia sp). Keberadaan hutan mangrove yang tumbuh di sekitar Teluk Tamiang relatif penting bagi keseimbangan ekosistem perairan teluk. Keberadaan mangrove selain berfungsi sebagai penyangga kehidupan bagi perairan teluk dalam penyedia stok ikan, juga dapat berfungsi sebagai pencuci dan perangkap sedimen dalam perairan teluk Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas yang terdapat di sebagian besar wilayah pesisir. Terumbu karang mempunyai fungsi ekologis terhadap lingkungan perairan dan mempunyai keterkaitan dengan ekosistem lainnya seperti ekosistem lamun dan hutan mangrove. Keberadaan ekosistem tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor fisik lingkungan perairan seperti suhu, salinitas, kecerahan dan kedalaman perairan. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Tim Survey Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Kalimantan Selatan tahun 2 menunjukan bahwa kondisi kawasan terumbu karang di perairan Teluk Tamiang menunjukan beberapa jenis terumbu karang dapat berkembang relatif baik dan termasuk pada kategori tutupan karang yang cukup baik. Terumbu karang yang terdapat di perairan Teluk Tamiang merupakan tipe karang tepi ( fringing reef), di mana terumbu karang hidup berkembang sepanjang pantai dan pada mulut teluk. Luas tutupan terumbu karang di perairan Teluk Tamiang +11 ha didominasi jenis Acropora branching, Acropora tabulate, Acropora digitate, Acropora submassive, Heliopora, dan Gurgonians (Tim Survey DKP Kalimantan Selatan, 2).

58 .3. Karakterisasi Biologi Perairan.3.1. Phytoplankton dan Zooplankton Komposisi jenis Fitoplankton Berdasarkan hasil identifikasi phytoplankton di perairan Teluk Tamiang yang diambil contoh airnya pada 1 stasiun, maka ditemukan 3 kelas fitoplankton yaitu Chyanophyta, Chlorophyta, dan Chrysophyta dengan 2 genera. Kelimpahan jenis dan jumlah plankton hasil pengamatan selama 6 bulan yaitu dari bulan Mei s/d Oktober dapat dilihat pada Tabel 7 dan Gambar 12. Tabel 7 Kelas dan genera fitoplankton yang ditemukan selama pengamatan di perairan Teluk Tamiang Cyanophyta Chlorophytta Chrysophyta Kelas Genera Aphanothece dan Polycytis Closteriopsis Campyloneis, Climacosphenia, Bidhulpia, Ceratium, Chaetoceros, Coscinusdiscus, Diploneis, Cyclotella, Diatoma, Distephanus, Epithemia, Eunotia, Pleurosigma, Gyrosigma, Hemiaulus, Eucampia, Nitszchia, Fragilaria, Thalassiosira, Rhizosolenia, Lauderia dan Thalassiotrix. 1% 8% 6% % 2% % 63,9 7, 86,9 8 83, 79,1 1,7 7,7 3,,7 2,3 17,8 7, 6,7 1,8 7,6 9,9 1,2 Mei-6 Jun-6 Jul-6 Agust-6 Sep-6 Okt-6 Chyanophyta Chlorophyta Chrysophyta Gambar 12 Komposisi jenis fitoplankton pada setiap bulan pengamatan Pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa penyusun genera fitoplankton yang diperoleh selama penelitian didapatkan komposisi jenis oleh kelas Chrysophyta (22 genera) berkisar antara %, menyusul kelas Chyanophyta (2 genera) berkisar antara %, dan kelas Chlorophyta (1 genera) berkisar antara %.

59 Keadaan ini sejalan dengan pernyataan Ray dan Rao (196), bahwa Chrysophyta sering mendominasi suatu perairan pesisir laut, karena fitoplankton dari kelas ini mudah beradaptasi dengan lingkungannya, tahan terhadap kondisi yang ekstrim, dan mampu memanfaatkan nutrient dengan baik dibanding kelas fitoplankton yang lain seperti Nitzchia sp (Kelas Chrysophyta), Chaetoceros sp (Kelas Chrysophyta), dan Thalasstrix (Kelas Chrysophyta) Kelimpahan Fitoplankton Dari hasil pengamatan dilapangan didapatkan nilai kelimpahan fitoplankton tertinggi diperoleh pada pengamatan bulan Oktober dengan nilai kelimpahan sebesar 1.22 sel/liter dan nilai kelimpahan terendah diperoleh pada bulan Mei sebesar 783 sel/liter. Adapun nilai kelimpahan fitoplankton yang diperoleh pada pengamatan bulan Juni dan Juli berkisar antara sel/liter dan sel/liter. Nilai kelimpahan bulan Agustus dan September berkisar antara sel/liter dan sel/liter. Stasiun 6 pada pengamatan bulan Oktober memiliki nilai kelimpahan fitoplankton yang tertinggi dari seluruh stasiun pengamatan dengan nilai kelimpahan sebesar 1.2,2 sel/liter. Stasiun 2 pada pengamatan bulan Mei memiliki nilai kelimpahan fitoplankton yang terendah dengan nilai kelimpahan sebesar 783 sel/liter. Dari hasil pengamatan dari mulai bulan Mei s/d Oktober terlihat kecenderungan nilai kelimpahan yang cenderung meningkat (Tabel 8). Tabel 8 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton pada masing-masing stasiun pengamatan Bulan Pengamatan Mei-6 Juni-6 Juli-6 Stasiun Jumlah Jenis Kelimpahan (sel/liter) Jumlah Jenis Kelimpahan (sel/liter) Jumlah Jenis Kelimpahan (sel/liter) dilanjutkan

60 lanjutan Tabel 8 Bulan Pengamatan Agustus-6 September-6 Oktober-6 Stasiun Jumlah Jenis Kelimpahan (sel/liter) Jumlah Jenis Kelimpahan (sel/liter) Jumlah Jenis Kelimpahan (sel/liter) Adanya perbedaan nilai kelimpahan tersebut diduga disebabkan oleh faktor musim. Pada bulan Oktober curah hujan relatif lebih besar (musim barat) dibanding dengan bulan Mei. Pada musim hujan ketersediaan nutien lebih banyak yang mampu dimanfaatkan fitoplankton dengan baik. Keberadaan nutrien berbeda dengan musim kemarau (musim timur) mempunyai ketersediaan nutrien relatif lebih kecil sehingga kelimpahan fitoplankton menjadi rendah juga. Komunitas fitoplankton memiliki kelimpahan yang tinggi dalam periode pengamatan musim hujan karena konsentrasi nutrien lebih banyak, sebaliknya pada musim kemarau konsentrasi nutrien lebih kecil. Hal ini sesuai dengan pernyataan Goldman and Horne (1983) yang menyatakan bahwa ada dua faktor utama penentu tingkat pertumbuhan fitoplankton dalam mencapai tingkat pertumbuhan maksimal yaitu temperatur, cahaya, dan nutrien. Nilai kelimpahan fitoplankton pada pengamatan bulan Juni menunjukan kisaran hasil yang lebih tinggi dan merata. Kelimpahan tertinggi terdapat pada stasiun 8 dengan nilai kelimpahan sebesar sel/liter dan kelimpahan terendah diperoleh pada stasiun dengan nilai kelimpahan sebesar.36 sel/liter. Adapun stasiun lainnya memiliki kisaran nilai kelimpahan fitoplankton antara sel/liter. Pengamatan bulan Juli menunjukan hasil yang cukup merata dengan nilai kelimpahan yang tidak jauh beda dengan pengamatan pada bulan Juni. Nilai kelimpahan tertinggi terdapat pada stasiun 6 dengan nilai 7.99 sel/liter dan nilai kelimpahan terendah terdapat pada stasiun 7 sebesar.692 sel/liter. Pada pengamatan bulan Agustus menunjukan kisaran hasil yang lebih rendah. Nilai kelimpahan tertinggi terdapat pada stasiun 1 dengan nilai kelimpahan sebesar 7.6 sel/liter dan kelimpahan terendah diperoleh pada stasiun 3 dengan nilai kelimpahan sebesar 3.96 sel/liter. Adapun stasiun lainnya memiliki kisaran nilai

61 kelimpahan fitoplankton antara sel/liter. Pengamatan bulan September menunjukan hasil yang cukup merata dengan nilai kelimpahan yang tidak jauh beda dengan pengamatan pada bulan Agustus. Nilai kelimpahan tertinggi terdapat pada stasiun 6 dengan nilai 8.63 sel/liter dan nilai kelimpahan terendah terdapat pada stasiun sebesar.93 sel/liter. Adapun stasiun lainnya memiliki kisaran nilai kelimpahan fitoplankton antara sel/liter. Lain halnya pada pengamatan bulan Oktober menunjukan kisaran hasil yang lebih tinggi dan merata bila dibandingkan dengan pengamatan bulan sebelumnya. Kelimpahan tertinggi terdapat pada stasiun 6 dengan nilai kelimpahan sebesar 1.22 sel/liter dan kelimpahan terendah diperoleh pada stasiun 2 dengan nilai kelimpahan sebesar 6.11 sel/liter. Adapun stasiun lainnya memiliki kisaran nilai kelimpahan fitoplankton antara sel/liter (Lampiran 1). Namun hasil analisis varians (Levene s test) nilai kelimpahan baik secara temporal dan spasial ternyata kelimpahan komunitas fitoplankton tidak berbeda nyata (α =.), hasil analisis ini menunjukan bahwa kelimpahan komunitas fitoplankton dianggap sama disetiap bulan dan stasiun pengamatan (Lampiran 3). Menurut Nontji (198) fitoplankton dengan kelimpahan tinggi umumnya terdapat di perairan sekitar muara sungai atau perairan pesisir dan lepas pantai dimana terjadi up-welling. Di kedua lokasi ini terjadi proses penyuburan karena masuknya zat hara datang dari daratan (run off) kelaut, sedangkan di daerah dimana terjadi up-welling yang mengangkat zat hara dari lapisan lebih dalam yang kaya zat hara ke arah permukaan. Pernyataan ini diperkuat oleh Arinardi (1997) yang menyatakan bahwa fitoplankton umumnya lebih padat di perairan dekat pantai dan makin berkurang pada perairan yang kearah laut lepas. Selanjutnya Davis (19), menyatakan bahwa penelitian tentang kandungan fitoplankton diberbagai perairan menunjukan adanya keragaman baik dalam jumlah maupun jenisnya baik antar wilayah perairan maupun inter perairan tertentu walaupun lokasinya relatif berdekatan dan berasal dari masa air yang sama, kondisi demikian disebabkan oleh bermacam faktor antara lain kondisi angin, arus, proses up welling, suhu perairan, salinitas, zat hara, kedalaman perairan dan proses pencampuran massa air. Terjadinya kecenderungan peningkatan tingkat kelimpahan di perairan tersebut mengindikasikan bahwa perairan Teluk Tamiang relatif subur.

62 Indeks Keanekaragaman (H ), Indeks Keseragaman (E), dan Indeks Dominansi (C) Fitoplankton Indeks keanekaragaman (H ), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) digunakan untuk menilai kestabilan komunitas biota perairan terutama dalam hubungannya dengan kondisi suatu perairan. Nilai keanekaragaman (H ), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) fitoplankton perairan Teluk Tamiang dapat dilihat pada Tabel 9 berikut. Tabel 9 Indeks keanekaragaman (H ), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) Fitoplankton di perairan Teluk Tamiang dari bulan Mei s/d Oktober 26 Bulan Pengamatan Mei-6 Juni-6 Juli-6 Stasiun H E C H E C H E C 1 1,363,2,2 1,2,8,76 2,132,662, ,6,89,93 1,989,618,27 2,12,66,19 3 2,78,86,799 2,383,7,121 2,67,831,8 1,38,22,1 2,318,72,13 2,98,87,11 2,99,87,11 2,263,73,18 2,1,621,18 6 1,81,91,16 2,379,739,118 2,7,6,26 7 2,316,719,137 2,37,736,111 2,8,83,88 8 2,7,799,11 2,2,68,12 2,3,786,18 9 2,37,788,19 2,97,87,89 2,28,78,99 1 2,2,73,12 2,7,799,9 2,9,761,11 Bulan Pengamatan Agustus-6 September-6 Oktober-6 Stasiun H E C H E C H E C 1 2,8,83,87 2,86,872,69 2,379,739, ,19,783,17 2,67,822,89 2,9,77,19 3 2,377,738,11 2,79,81,9 1,639,9,279 2,69,826,8 2,69,837,8 2,137,66,19 2,76,779,17 1,791,6,291 1,9,3,1 6 2,31,71,162 2,292,77,118 2,68,63,27 7 2,688,83,83 2,286,71,13 1,779,3,26 8 2,637,819,91 2,68,62,168 1,99,93, ,29,713,16 2,227,692,1 1,92,98, ,67,822,87 2,219,689,13 2,18,679,16 Indeks keanekaragaman (H ) yang diperoleh pada pengamatan dari bulan Mei sampai bulan Oktober memiliki kisaran antara Dari Tabel 9 terlihat bahwa stasiun 2 memiliki nilai indeks keanekaragaman tertinggi dan stasiun 1 memiliki nilai indeks yang terendah pada pengamatan bulan Mei. Untuk indeks keseragaman (E) didapatkan nilai indeks berkisar antara Stasiun 1 pada bulan September didapatkan nilai indeks keseragaman tertinggi yaitu.872 dan terendah didapatkan pada stasiun sebesar,3 di bulan Oktober. Nilai indeks dominansi

63 (C) yang didapatkan berkisar antara Indeks dominansi tertinggi terdapat pada stasiun 3 di bulan Mei sebesar.799 namun yang terendah didapatkan pada stasiun 1 di bulan September sebesar.69. Menurut Parson et al., (198), indeks keanekaragaman antara menunjukan suatu perairan cukup stabil dan bila nilai indeks lebih besar dari 3. (> 3.) maka perairan stabil. Hasil yang didapatkan menunjukan nilai indeks keanekaragaman (H ) ) (Shannon-Wiener) fitoplankton perairan Teluk Tamiang berkisar antara 1,9 3,6 menunjukan ragam individu yang besar, dapat disimpulkan bahwa perairan tersebut dalam kondisi stabil. Selanjutnya menurut Odum (1971) jika indeks keseragaman antara, 1, atau lebih kecil dari 1 (<1) maka sebaran individu antara jenis relatif merata. Bila nilai indeks dominansi mendekati 1 maka terdapat organisme tertentu yang mendominasi suatu perairan, namun bila nilai indeks dominansi mendekati, maka tidak ada jenis yang dominan. Nilai indeks keseragaman (E) berkisar antara,3,872, dan indeks dominansi berkisar antara,69,799. Indeks keseragaman berkisar antara,3,872 menunjukan bahwa struktur komunitas fitoplankton mempunyai keseragaman jenis dalam kisaran kecil sampai tinggi. Semakin besar nilai indeks keseragaman (mendekati 1) maka semakin besar pula keseragaman populasi yang berarti penyebaran jumlah individu sama atau tidak ada kecenderungan terjadinya dominansi oleh satu jenis fitoplankton. Berdasarkan indeks keanekaragaman (H ), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) plankton (phyto) maka dapat disimpulkan bahwa perairan Teluk Tamiang termasuk dalam tingkat keanekaragaman sedang dengan kategori daerah yang tidak tercemar dengan penyebaran individu pada masing-masing stasiun merata dan tidak ada jenis yang dominan sehingga termasuk perairan yang stabil Komposisi jenis dan Kelimpahan zooplankton Untuk jenis zooplankton didapatkan selama penelitian ditemukan 2 (dua) kelas yaitu Protozoa dan Aschelminthes yang meliputi 7 genera yaitu Protoperidium, Prorocentrum, Dinophysis, Acanthocystis, Eutinnus (Protozoa), Ecentrum, dan Ploesoma (Aschelminthes). Kelas zooplankton yang mendominasi adalah Protozoa. Nilai rata-rata kelimpahan zooplankton tertinggi diperoleh pada pengamatan bulan Mei dengan total nilai kelimpahan sebesar sel/liter dan nilai kelimpahan terendah diperoleh pada bulan Oktober sebesar 83.1 sel/liter. Adapun nilai kelimpahan

64 fitoplankton yang diperoleh pada pengamatan bulan Juni dan Juli sebesar sel/liter dan 2, sel/liter. Nilai kelimpahan bulan Agustus dan September sebesar 22.8 sel/liter dan 98.9 sel/liter. Stasiun 6 pada pengamatan bulan Mei memiliki nilai kelimpahan zooplankton yang tertinggi dari seluruh stasiun pengamatan dengan nilai kelimpahan sebesar sel/liter. Stasiun 2 pada pengamatan bulan Mei dan stasiun 3 pada bulan Agustus memiliki nilai kelimpahan yang terendah yakni sebesar 28 sel/liter. Nilai rata-rata kelimpahan zooplankton pada setiap bulan pengamatan (dari bulan Mei s/d Oktober) di masing-masing stasiun mempunyai nilai kelimpahan yang cenderung menurun. Keadaan ini berbanding terbalik dengan kondisi total nilai kelimpahan fitoplankton yang cenderung meningkat dari bulan Mei hingga bulan Oktober. Kondisi ini diduga sebagai akibat dari tidak terjadinya proses pemangsaan (Grazing) oleh zooplankton terhadap fitoplankton sehingga kelimpahan fitoplankton menjadi tinggi dan kelimpahan zooplankton menjadi rendah. Pernyataan ini diperkuat oleh Basmi (199) yang menyatakan bahwa pengelompokan densitas fitoplankton sering bergantian dengan gerombolan yang padat dari zooplankton. Pergiliran pergantian kelimpahan kedua organisme ini adalah akibat dari grazing dan perbedaan cepat laju reproduktif antar keduanya Indeks Keanekaragaman (H ), Indeks Keseragaman (E), dan Indeks Dominansi (C) Zooplankton Nilai indeks keanekaragaman (H ) zooplankton yang diperoleh pada masingmasing stasiun selama bulan Mei s/d Oktober 26 menunjukan nilai indeks berkisar antara Nilai indeks keanekaragaman tertinggi didapatkan pada stasiun pada bulan Juni sebesar 1,916 dan nilai indeks yang terendah didapatkan pada stasiun 3 di bulan Mei. Nilai indeks keanekaragaman pada bulan Juli sampai dengan bulan Oktober berkisar antara (Tabel 1). Untuk nilai indeks keseragaman (E) yang didapatkan selama pengamatan berkisar antara Nilai indeks keseragaman tersebut masih lebih kecil dari 1 (< 1) yang berarti sebaran individu merata dan perairan dalam kondisi stabil. Nilai indeks dominansi (C) zooplankton didapatkan nilai berkisar antara Indeks dominansi tertinggi pada stasiun 3 di bulan Mei, sedangkan yang terendah pada stasiun di bulan Juni (Tabel 1).

65 Tabel 1 Indeks keanekaragaman (H ), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) zooplankton di perairan Teluk Tamiang dari bulan Mei s/d Oktober 26 Bulan Pengamatan Mei-6 Juni-6 Juli-6 Stasiun H E C H E C H E C 1 1,83,762,32 1,3,67,9 1,79,812, ,729,888,186 1,671,89,23 1,833,93,171 3,92,8,7 1,72,87,228 1,3,786,228 1,632,83,261 1,916,98,11 1,63,8,21 1,62,839,269 1,893,973,16 1,389,71, ,366,72,36 1,789,919,186 1,826,939, ,663,8,21 1,389,71,293 1,876,96,16 8 1,671,89,21 1,36,98,167 1,686,867,26 9 1,67,7,31 1,36,789,31 1,6,8, ,19,729,39 1,83,9,177 1,81,96,173 Bulan Pengamatan Agustus-6 September-6 Oktober-6 Stasiun H E C H E C H E C 1 1,6,82,278 1,2,78,238 1,891,972,18 2 1,68,82,22 1,7,876,196 1,31,69, ,77,99,179 1,63,898,233 1,27,61,326 1,71,899,197 1,679,863,2 1,676,861,28 1,1,778,27 1,97,738,273 1,263,69,32 6 1,81,92,193 1,87,76,298 1,19,78, ,863,97,168 1,61,82,218 1,691,869, ,67,826,23 1,399,769,328 1,292,66,39 9 1,799,92,186 1,72,886,189 1,289,662, ,87,99,169 1,76,9,177 1,81,813,211 Berdasarkan indeks keanekaragaman (H ), indeks keseragaman (E), dan indeks dominasi (C) plankton (phyto dan zooplankton) maka dapat disimpulkan bahwa perairan Teluk Tamiang termasuk dalam dalam status perairan stabil pada kategori perairan yang tidak tercemar hingga tercemar ringan dengan sebaran individu yang merata Bentos Kelimpahan Bentos Analisis bentos merupakan salah satu aspek biologi perairan untuk melengkapi analisis aspek fisik dan kimia perairan sebagai petunjuk terjadinya perubahan kualitas lingkungan atau indikasi terjadinya pencemaran pada suatu perairan. Sesuai dengan sifat organisme bentos yang hidupnya menetap di dasar perairan maka keragaan jenis dan jumlah bentos sering dijadikan indikator dan bahan sampel untuk mengetahui tingkat pencemaran suatu perairan maupun untuk

66 mengetahui jenis bahan pencemar (Price, 1979; Abel, 1989 didalam Tambaru, 2). Selanjutnya Pearson et al (1983) didalam Rustam (2) mengemukakan bahwa apabila dalam suatu lingkungan perairan terjadi penurunan keragaman secara tajam sampai hanya sebagian kecil saja populasi yang dominan, maka lingkungan tersebut telah mengalami tekanan akibat pencemaran dan populasi tersebut sebagai indikator pencemaran. Dari hasil pengamatan terhadap bentos pada masing-masing stasiun selama 6 bulan yakni dari bulan Mei s/d Oktober ditemukan 1 famili dan 3 spesies (Tabel 11). Tabel 11 Famili dan spesies bentos yang ditemukan selama pengamatan di perairan Teluk Tamiang Famili Olividae Epitoniidae Tellinidae Veneridae Arcidae Niticidae Spesies Oliva sp Epitonium Trifasciatum, Epitonium lamellose, Epitonium scalase Tellina sp Pitar manillae, Donsinia insularum, Gafrarium tumidum, Placamen chlorotica, Donax (latona) cuneatus, dan Dosinia insilarum Barbatia decussota, Barbatia candida, dan Achatina Fulicia Natica vitellus, Natica canrena Dentalidae Dentalium longtrorsium, Dentalium elephantium Ovulidae Phenacovolca angasi, Pholas orieantalis, Prionovula fruticum Eulimidae Arca sp Lucinidae Codakia sp Cardiidae Trachycardium sp, Laevicardium crassum, Vepricardium fimbiatum, dan Chicoreus (triplex) Buccinidae Pisania fascicullata, Cantharus fumosus, Placuna placenta, Batllaria Zonaks, Pisania crocata, dan Brunneus Concellariidae Cancellaria longitrorsum, Corbicula Javana, dan Cancellaria oblonga Mitridae Imbricaria olivaefromis, Mitrapelliserpentis, Mitra avenacea, Mitra eremitarum, dan Imbricaria conularis Pada Tabel 12 terlihat bahwa kelimpahan bentos pada pengamatan bulan Mei didapatkan nilai kelimpahan berkisar antara indv/m 2 atau rata-rata sebesar 1.7 indv/m 2 dengan nilai kelimpahan tertinggi sebesar indv/m 2, namun nilai total kelimpahan terendah diperoleh pada bulan Juni sebesar 99. indv/m 2. Adapun nilai kelimpahan bentos yang diperoleh pada pengamatan bulan Juli dan Agustus berkisar antara indv/m 2 atau rata-rata sebesar 23,7 indv/m 2 dan indv/m 2 atau rata-rata sebesar 12.6 indv/m 2. Nilai rata-rata kelimpahan bulan

67 September dan Oktober sebesar 72. indv/m 2 dan 69 indv/m 2. Stasiun 1 pada pengamatan bulan Mei memiliki nilai kelimpahan bentos yang tertinggi dari seluruh stasiun pengamatan dengan nilai kelimpahan sebesar indv/m 2. Stasiun 1 pada pengamatan bulan Mei memiliki nilai kelimpahan bentos yang terendah dengan nilai kelimpahan sebesar 7 indv/m 2 (Lampiran 2). Dari hasil analisis varians (Levene s test) terhadap nilai kelimpahan baik secara spasial maupun temporal mempunyai nilai yang significan dalam artian nilai kelimpahan bentos yang didapatkan cukup berbeda nyata ((α =,) (Lampiran ). Tabel 12 Jumlah jenis dan kelimpahan bentos pada masing-masing stasiun pengamatan Bulan Pengamatan Mei-6 Juni-6 Juli-6 Stasiun Jumlah Jenis Kelimpahan (indv/ m 2 ) Jumlah Jenis Kelimpahan (indv/ m 2 ) Jumlah Jenis Kelimpahan (indv/ m 2 ) Bulan Pengamatan Agustus-6 September-6 Oktober-6 Stasiun Jumlah Jenis Kelimpahan (indv/m 2 ) Jumlah Jenis Kelimpahan (indv/ m 2 ) Jumlah Jenis Kelimpahan (indv/ m 2 ) Indeks Keanekaragaman (H ), Indeks Keseragaman (E), dan Indeks Dominansi (C) Bentos Indeks keanekaragaman (H ), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) digunakan untuk menilai kestabilan komunitas biota perairan terutama dalam hubungannya dengan kondisi suatu perairan. Nilai keanekaragaman (H ), indeks

68 keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) bentos di perairan Teluk Tamiang dapat dilihat pada Tabel 13 berikut. Tabel 13 Indeks keanekaragaman (H), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) bentos di perairan Teluk Tamiang dari bulan Mei s/d Oktober 26 Bulan Pengamatan Mei-6 Juni-6 Juli-6 Stasiun H E C H E C H E C 1 3,13 2,7,16,678 2,86,61,1 2,92,8 2 2,93 2,77,31 2,71 1,13,22 3,19 2,686,17 3 3,969 2,8,98 3,662 2,22,131 1,886 1,811,38 3,961 3,,78 3,833 2,37,82 3,21 3,21,82 3,111 2,883,17,282 2,622,8 2,86 2,86,11 6 3, 2,889,18,2 2,,7 2, 2,, ,1 2,66,132 3,6 2,26,13 2,867 2,867, ,71 2,236,218,22 2,63,62 2,771 2,771, ,381 3,36,11,11 2,1,66 2,823 2,823,11 1 2,78 2,388,198 3,12 1,899,18 2,7 2,7,126 Bulan Pengamatan Agustus-6 September-6 Oktober-6 Stasiun H E C H E C H E C 1 3,2 2,81,28,176 3,67,69 3,926 3,71,8 2 3,16 2,2,12 2,33 2,3,292 2,17 2,169,23 3 3,39 3,216,1 3,27 2,929,113,288 3,31,66 3,21 3,122,12 3,91 2,96,8 3,76 2,8,16 3,79 2,721,132 3,726 3,28,89 3,679 2,989,1 6 3,388 3,1,11 3,623 3,8,1 3,71 2,988,93 7 3,19 2,93,18 2,161 1,63,6 3,73 2,838, 8 3,936 2,97,236 2,86 2,98,18 2,966 2,63,23 9 2,37 1,829,69 2,981 2,291,261 3,912 3,7,78 1 2,86 2,63,176 3,88 2,772,128 3,8 2,737,137 Nilai indeks keanekaragaman (H) bentos selama pengamatan didapatkan nilai indeks berkisar antara nilai indeks keanekaragaman tertinggi didapatkan pada stasiun 1 di bulan Juni, namun yang terendah didapatkan pada stasiun 9 di bulan Agustus. Nilai indeks keseragaman (E) bentos selama pengamatan didapatkan nilai indeks berkisar antara Nilai indeks keseragaman (E) terendah ditemukan pada stasiun 2 di bulan Juni sedangkan indeks tertinggi ditemukan pada stasiun di bulan Juli. Untuk nilai indeks dominansi (C) bentos didapatkan nilai indeks berkisar..69. Indeks dominansi terendah ditemukan pada stasiun 7 di bulan Oktober dan indeks dominansi tertinggi ditemukan pada stasiun 9 di bulan Agustus (Tabel 1).

69 Hasil analisis bentos pada masing-masing stasiun menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman (H ) berkisar antara Staub et al., (1992) didalam Tambaru (2), memberikan kategori atas status perairan berdasarkan indeks keanekaragaman antara lain (1) indeks keanekaragaman berkisar antara 3.. berarti perairan tercemar sangat ringan, (2) indeks keanekaragaman antara perairan terindikasi tercemar ringan, (3) indeks keanekaragaman antara perairan terindikasi tercemar sedang, dan () indeks keanekaragaman lebih kecil dari 1, (<1,) maka perairan terindikasi tercemar berat (Tabel 2). Bila dilihat dari kisaran indeks keanekaragaman tersebut mengindikasikan bahwa perairan Teluk Tamiang berada pada kondisi tercemar sangat ringan. Dari hasil perhitungan indeks keseragaman (E) organisme bentos yang ditemukan adalah , indeks ini cukup besar menunjukan keseragaman yang besar artinya organisme bentos hidup merata dan seragam diseluruh perairan Teluk Tamiang sehingga termasuk perairan yang tidak tercemar. Menurut Odum (1971) bahwa semakin besar indeks keseragaman (E) menunjukan keseragaman jenis besar, dimana semakin tinggi nilai keseragaman berarti jumlah individu setiap spesies sama atau hampir sama, begitu juga sebaliknya semakin kecil indeks keseragaman (E) maka semakin kecil pula keseragaman jenis dalam suatu komunitas, artinya penyebaran jumlah individu setiap spesies tidak sama. Berikut pada Tabel 1 rekapitulasi indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominasi plankton dan bentos di perairan Teluk Tamiang.

70 Tabel 1 Rekapitulasi indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominasi plankton dan bentos perairan Teluk Tamiang Plankton Fitoplankton Indeks Keanekaragaman Indeks Keseragaman Kisaran Nilai Indeks Hasil Analisis Indeks Sumber Acuan Status Perairan Parson et al., (198) Perairan stabil (ragam individu cukup besar) > < 1 Odum (1971) Perairan stabil (sebaran individu merata) Indeks Dominansi Mendekati (< 1) Zooplankton Indeks Keanekaragaman Indeks Keseragaman Odum (1971) Parson et al., (198) Perairan stabil (Tidak ada individu yang mendominasi) Perairan stabil (ragam individu cukup besar) < 1 Odum (1971) Perairan stabil (sebaran individu merata) Indeks Dominansi.11.7 Mendekati (< 1) Bentos Indeks Keanekaragaman Indeks Keseragaman Odum (1971) Staub et al., (1992) didalam Tambaru (2) Perairan stabil (Tidak ada individu yang mendominasi) Perairan stabil (ragam individu cukup besar) > 1 Odum (1971) Jumlah individu setiap spesies sama Indeks Dominansi..69 Mendekati (< 1) Odum (1971) Perairan stabil (Tidak ada individu yang mendominasi) Bila dilihat dari indeks dominansi bentos di perairan Teluk Tamiang tersebut memberikan indikasi bahwa tidak ada organisme yang mendominasi, hal ini ditunjukan dengan nilai indeks dominansi yang mendekati yaitu berkisar antara..69. Menurut Odum (1971), bila indeks dominansi mendekati nilai 1 maka terdapat organisme tertentu yang mendominasi suatu perairan, namun bila indeks dominansi mendekati, maka tidak ada jenis yang dominan. Dari indeks dominansi tersebut yang mendekati nilai, maka dapat dijelaskan bahwa organisme bentos di perairan Teluk Tamiang dalam keadaan stabil dan kondisi lingkungan relatif baik.

71 Mengacu pada rekapitulasi pada Tabel 1 diatas dalam menilai kondisi perairan Teluk Tamiang berdasarkan indeks keanekaragaman,indeks keseragaman dan indeks dominansi maka dapat disimpulkan secara umum bahwa kondisi perairan dalam keadaan stabil dan tidak tercemar Produktivitas Primer Produktivitas primer didefinisikan sebagai jumlah bahan organik yang dihasilkan oleh organisme autotrof, yaitu organisme yang mampu menghasilkan bahan organik dari bahan anorganik dengan bantuan energi matahari, dapat dinyatakan dalam gc/m 3 /hari. Produktivitas primer dibatasi oleh cahaya, nutrient (unsur hara), dan faktor hidrografi yaitu paduan semua faktor yang menggerakan massa air laut (arus, upwelling, dan difusi), struktur komunitas dan kelimpahan fitoplankton (Nybakken, 1992). Nilai produktivitas primer perairan pada dasarnya bergantung pada aktivitas fotosintesa yang dilakukan oleh fitoplankton, sehingga tinggi dan rendahnya nilai produktivitas primer mencerminkan kondisi kualitas lingkungan yang merupakan faktor penentu keberadaan fitoplankton yang meliputi kondisi suhu, salinitas, cahaya matahari, ph, kekeruhan, konsentrasi nutrien, dan berbagai senyawa lainnya. Aspek dasar dari cahaya yang penting secara biologi adalah kuantitas dan kualitas. Kedua karakter ini berfluktuasi di laut, bergantung kepada waktu, ruang, kondisi cuaca, penyebaran sudut datang termasuk arah perubahan maksimum dan tingkat difusi dan polarisasi (Parson et al. 198). Makin dalam penetrasi cahaya kedalam perairan menyebabkan semakin besar daerah dimana proses fotosintesis dapat berlangsung, sehingga kandungan oksigen terlarut masih tinggi pada lapisan air yang lebih dalam (Ruttner 1973 didalam Tambaru, 27). Hasil pengukuran produktivitas primer pada masing-masing stasiun pengamatan di lokasi penelitian setiap bulan pengamatan dari bulan Mei sampai Oktober 26 berkisar antara.16 gc/m 3 /hari.18 gc/m 3 /hari. Nilai produktivitas pada masing-masing stasiun pengamatan tidak mempunyai perbedaan yang besar bahkan cenderung seragam (Tabel 1). Hasil analisis varians (Levene s test) nilai produktivitas primer baik secara temporal dan spasial ternyata tidak berbeda nyata ((α =.), hasil analisis ini menunjukan bahwa produktivitas primer dianggap sama disetiap bulan dan stasiun pengamatan.

72 Tabel 1 Nilai Produktitivitas primer (gc/m 3 /hari) perairan Teluk Tamiang Bulan Pengamatan Stasiun Mei-6 Juni-6 Juli- Agustus- September- Oktober Menurut Duxbury et al (1999), berdasarkan nilai produktivitas primer tingkat kesuburan perairan terbagi dalam klasifikasi, antara lain : (1) nilai produktivitas primer lebih kecil dari.1 gc/m 3 /hari (<.1) diklasifikasikan kesuburan rendah (Oligotrophic); (2) nilai produktivitas primer kisaran antara.1.2 gc/m 3 /hari diklasifikasikan kesuburan sedang (Mesotrophic); (3) nilai produktivitas primer kisaran antara.2.3 gc/m 3 /hari diklasifikasikan kesuburan tinggi (Eutrophic); dan () nilai produktivitas primer kisaran >.3 gc/m 3 /hari diklasifikasikan kesuburan sangat tinggi (Hypertrophic). Berdasarkan besaran nilai produktivitas primer tersebut, maka perairan Teluk Tamiang termasuk dalam klasifikasi perairan yang mempunyai produktiviitas primer perairan dengan tingkat kesuburan sedang (Mesotrophic)... Karakterisasi Fisika Kimia Perairan Teluk Tamiang Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas air di lokasi penelitian meliputi sifat fisika dan kimia perairan antara lain suhu, kedalaman, kecerahan dan padatan tersuspensi, kecepatan arus dan gelombang, salinitas, ph, oksigen terlarut (DO), BOD, COD, Nitrit, Nitrat, Ammonia, dan Orthophosphat dapat dijelaskan sebagai berikut...1. Suhu Hasil pengukuran suhu perairan selama penelitian diperoleh kisaran suhu ratarata harian antara o C. Sedangkan suhu rata-rata antar stasiun pengamatan berkisar antara o C. Hasil pengukuran menunjukan variasi yang relatif kecil meskipun terjadi perbedaan waktu pengambilan sampel yang berkaitan dengan

73 intensitas cahaya matahari dan kondisi cuaca. Kondisi suhu perairan yang relatif stabil ini cukup mendukung kehidupan dan pertumbuhan ikan pada kegiatan budidaya ikan dalam keramba jaring apung di perairan Teluk Tamiang. Nybakken (1992), menyatakan bahwa sesuai dengan sifat air, dalam jumlah yang besar memiliki kisaran fluktuasi suhu yang relatif kecil dan tidak melebihi batas toleransi organisme. Sebaran data hasil pengukuran suhu antar stasiun pengamatan, tidak menunjukan kondisi yang dapat mempengaruhi kehidupan biota perairan (suhu ekstrim). Nilai suhu pada seluruh stasiun pengamatan tidak berbeda jauh sehingga masih tergolong normal dan dapat ditolerir oleh biota perairan...2. Kedalaman Kedalaman perairan di lokasi penelitian yang terukur pada setiap stasiun pengamatan saat pasang berkisar antara,6 meter (Stasiun 1 ) sampai 1 meter (Stasiun 2). Pada saat kondisi surut maka kedalaman perairan pada setiap stasiun pengamatan berkisar antara. meter sampai 12.9 meter. Kedalaman perairan suatu teluk untuk pengembangan budidaya keramba jaring apung menjadi sangat penting untuk diperhatikan dan merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi. Sunyoto (1993), menyatakan bahwa kedalaman perairan untuk kegiatan budidaya keramba jaring apung ikan kerapu disyaratkan berkisar antara 7 1 meter. Bila mengacu pada persyaratan kedalaman tersebut maka perairan Teluk Tamiang sudah memenuhi persyaratan untuk dijadikan areal pengembangan budidaya keramba jaring apung ikan kerapu...3. Kecerahan dan Padatan Tersuspensi (TSS) Kecerahan dan padatan tersuspensi (TSS) merupakan parameter-parameter yang saling berkaitan satu sama lain. Peningkatan konsentrasi padatan tersuspensi berbanding terbalik dengan tingkat kecerahan. Kedua parameter tersebut mempunyai peranan penting dalam produktivitas perairan sehubungan dengan proses fotosintesis dan respirasi biota perairan, serta kualitas perairan. Kecerahan perairan sangat dipengaruhi oleh keberadaan padatan tersuspensi, zat-zat terlarut, partikel-partikel dan warna air. Hasil pengukuran kecerahan selama pengamatan di perairan Teluk Tamiang pada setiap stasiun pengamatan berkisar

74 antara 3, meter (Stasiun 1) 9 meter (Stasiun 2). Nilai rata-rata kecerahan untuk setiap stasiun berkisar antara.3 meter (Stasiun 1) 8.6 meter (Stasiun 2). Berdasarkan kriteria baku mutu Kep-1/MENLH/2 bagi budidaya perikanan (biota laut), nilai kecerahan terukur melebihi baku mutu yang diinginkan (> m), sehingga nilai tingkat kecerahan yang diperoleh selama penelitian masih cukup baik untuk budidaya KJA ikan kerapu. Hasil pengukuran nilai padatan tersuspensi (TSS) yang diperoleh selama penelitian berkisar antara mg/l dan rata-rata berkisar antara.9 2. mg/liter. Apabila dibandingkan dengan kriteria baku mutu Kep-1/MENLH/2, untuk keperluan perikanan, nilai terukur selama penelitian masih berada dibawah nilai yang direkomendasikan yaitu kurang dari 2 mg/l (< 2 mg/l).... Kecepatan, Arah Arus dan Gelombang Di perairan pantai terutama di teluk-teluk atau selat yang sempit, gerakan naik turunnya muka air akan menimbulkan terjadinya arus pasang surut dan pada umumnya arus yang terjadi akibat dari pasang surut sangat kecil (Nontji, 1993.). Kecepatan arus di lokasi penelitian pada setiap stasiun pengamatan berkisar antara.11. m/detik, sedangkan rata-rata berkisar antara m/detik yang diukur pada kedalaman 1 meter dari permukaan air. Menurut Velvin (1999), bahwa kecepatan arus terbagi ke dalam katagori, yaitu kecepatan arus sangat rendah ( <.3 m/detik), kecepatan arus rendah (antara. s/d.6 m/detik), kecepatan arus sedang (antara.7 s/d.1 m/detik) dan kecepatan arus tinggi (.1.2 m/detik) (Tabel 16) Tabel 16 Kriteria Kecepatan arus perairan teluk untuk budidaya ikan (Velvin, 1999) Kisaran Kecepatan Arus Kategori Kecepatan Arus <,3 m/detik Sangat rendah s/d,6 m/detik Rendah.7 s/d.1 m/detik Sedang.1.2 m/detik Tinggi Secara umum kecepatan arus di daerah penelitian tergolong tinggi karena perairannya relatif terbuka. Kecapatan arus pada saat pasang lebih cepat dari kecepatan arus pada saat surut. Kecepatan arus pada saat pasang berkisar antara.2. m/detik dengan arah masuk kedalam teluk Sedangkan kecepatan arus pada saat surut berkisar antara.1.17 m/detik dengan arah luar teluk. Ahmad et

75 al., (1991) dan Akbar et al., (22), memberikan batasan kisaran nilai kecepatan arus untuk budidaya ikan kerapu berkisar antara.23. m/detik, sehingga sudah memenuhi persyaratan untuk pengembangan budidaya ikan dalam keramba jaring apung. Arus yang terjadi di perairan Teluk Tamiang umumnya disebabkan oleh gerakan pasang surut dan angin yang bertiup dipermukaan perairan. Selanjutnya Akbar et al., (22), menyatakan bahwa kecepatan arus air lebih dari. m/detik dapat mempengaruhi posisi jaring dan sistem penjangkaran. Arus yang terlalu kuat dapat menyebabkan bergesernya posisi rakit. Sebaliknya, arus air yang terlalu kecil dapat mengurangi pertukaran air keluar masuk jaring. Hal ini akan berpengaruh pada ketersediaan oksigen terlarut dan akan memperlemah kondisi ikan yang akhirnya akan mudah terserang berbagai penyakit. Gelombang yang terjadi dilaut umumnya disebabkan oleh hembusan angin. Besar kecilnya gelombang disebabkan oleh kuat dan lemahnya hembusan angin, lamanya hembusan dan jarak tempuh angin. Ketinggian gelombang perairan selama masa penelitian rata-rata kurang dari.3 m (<.3 m), namun pada bulan Agustus dapat mencapai.6 meter terjadi pada bagian muara atau tubir Teluk Tamiang. Dari kondisi kecepatan arus dan ketinggian gelombang pada perairan Teluk Tamiang tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perairan teluk tersebut masih dalam kondisi yang cukup baik untuk dijadikan lokasi pengembangan budidaya ikan kerapu dalam keramba jaring apung.... Salinitas Hasil pengukuran salinitas selama penelitian rata-rata berkisar antara yang diukur dari bulan Mei sampai bulan Oktober yakni berada pada pertengahan musim kemarau dan awal musim hujan, namun tidak menunjukkan variasi yang besar antar stasiun. Rata-rata salinitas tertinggi (3) terjadi pada stasiun 1 dan 2 namun salinitas terendah (2.9) terjadi pada stasiun 9 dan 1. Secara umum salinitas perairan lokasi studi cukup tinggi karena perairan Teluk Tamiang merupakan perairan relatif terbuka berhubungan langsung dengan laut Jawa dan selat Makasar namun tidak terjadi fluktuasi salinitas yang cukup tinggi. Akbar dan Sudaryanto (22), menyatakan bahwa umumnya ikan kerapu sangat menyenangi air laut yang mempunyai nilai salinitas antara Salinitas pada daerah penelitian berada dalam batas kisaran yang baik untuk pengembangan budidaya ika kerapu dalam keramba jaring apung.

76 ..6. Derajat Keasaman (ph) Air Kondisi perairan dengan ph netral sampai sedikit basa ideal untuk kehidupan ikan air laut. Suatu perairan yang ber-ph rendah dapat mengakibatkan aktivitas pertumbuhan menurun atau ikan menjadi lemah serta lebih mudah terinfeksi penyakit dan biasanya diikuti dengan tingginya tingkat kematian. Ikan kerapu akan baik pertumbuhannya bila dipelihara pada perairan dengan ph berkisar antara 8, sampai 8,2 (Akbar dan Sudaryanto, 22). Nilai ph yang diperoleh pada setiap stasiun pengamatan berkisar antara sedangkan rata-ratanya berkisar antara (Gambar 18). Nilai ini menggambarkan bahwa perairan tersebut cenderung bersifat alkalis. Jika dibandingkan dengan baku mutu ph perairan laut berdasarkan Kep-1/MENLH/2, nilai ph yang terukur masih berada dalam kisaran yang diinginkan yaitu 6. 8., maka dapat dikatakan bahwa ph perairan Teluk Tamiang masih cukup baik bagi kehidupan biota perairan...7. Oksigen Terlarut (O 2 ) Kadar oksigen terlarut di perairan alami bervariasi bergantung pada keadaan suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Kelarutan oksigen didalam air berkurang dengan semakin meningkatnya suhu, ketinggian/altitude dengan berkurangnya tekanan atmosfer (Jeffries dan Mills, 1996 di dalam Effendi, 23). Menurut Connel and Miller (199), pencemaran dari limbah organik juga dapat menyebabkan menurunnya oksigen terlarut dalam perairan. Lee et al. (1978), mengatakan bahwa kandungan oksigen terlarut pada suatu perairan dapat digunakan sebagai indikator kualitas perairan dan terbagi dalam empat kategori, yaitu : Kadar oksigen terlarut antara 1) > 6. (mg/l) kotegori tidak tercemar sampai tercemar sangat ringan; 2) kadar oksigen terlarut antara. 6. termasuk kategori tercemar ringan; 3) kadar oksigen terlarut antara 2.. termasuk kategori tercemar sedang; dan ) dan kadar oksigen terlarut lebih kecil dari 2. (< 2.) termasuk dalam kategori tercemar berat (Tabel 17).

77 Tabel 17 Kriteria pencemaran perairan berdasarkan nilai DO (Lee et al., 1978) Kisaran konsentrasi DO Status Perairan > 6. (mg/l) Tidak tercemar sampai tercemar sangat ringan. 6. mg/l Tercemar ringan 2.. mg/l Tercemar sedang < 2. mg/l Tercemar berat Hasil pengukuran selama penelitian menunjukan kisaran oksigen terlarut antara. 8.2, dengan nilai rata-rata setiap stasiun pengamatan antara.8 7.7mg/liter yang diukur pada jam 7., 12., dan 17.. Berdasarkan kondisi oksigen terlarut yang terukur selama penelitian dapat disimpulkan bahwa perairan Teluk Tamiang termasuk dalam kategori perairan yang tidak tercemar sehingga masih relatif baik untuk bagi kehidupan biota akuatik dan pengembangan budidaya ikan kerapu dalam keramba jaring apung...8. Kebutuhan Oksigen Biokimia (Biochemical Oxygen Demand/BOD ) Secara tidak lagsung, BOD merupakan gambaran kadar bahan organik, yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air (Davis and Cornwell (1991) didalam Effendi (23). Selanjutnya menurut Boyd (199), BOD didefenisikan sebagai jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi bakteri aerob dalam botol yang diinkubasi pada suhu sekitar 2 o C selama lima hari, dalam keadaan tanpa cahaya. BOD merupakan salah satu indikator pencemaran organik pada suatu perairan. Perairan dengan nilai BOD tinggi mengindikasikan bahwa air tersebut tercemar oleh bahan organik. Bahan organik akan diuraikan secara biologik dengan melibatkan bakteri melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik. Oksidasi aerobik dapat menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut di perairan sampai pada tingkat terendah, sehingga kondisi perairan menjadi anaerob yang dapat mengakibatkan kematian organisme akuatik. Lee et al. (1978) menyatakan bahwa tingkat pencemaran suatu perairan dapat dinilai berdasarkan nilai BOD -nya terbagi dalam empat tingkatan kategori antara lain : nilai BOD kurang dari 2,9 mg/lt (<2.9) kategori tidak tercemar; nilai BOD antara 3.. mg/lt kategori tercemar ringan; nilai BOD antara mg/lt kategori tercemar sedang; dan nilai BOD lebih besar atau sama dengan 1 mg/lt (> 1) termasuk kategori tercemar berat (Tabel 18).

78 Tabel 18 Kriteria pencemaran berdasarkan nilai BOD (Lee et al., 1978) Kisaran Nilai BOD Status Perairan Kurang dari 2.9 mg/lt (<2.9 mg/l) Tidak tercemar 3.. mg/lt Tercemar ringan mg/lt Tercemar sedang Lebih besar atau sama dengan 1 mg/lt (> 1 mg/l) Tercemar berat Hasil pengukuran BOD selama penelitian berkisar antara mg/lt, sedangkan sebaran nilai rata-rata untuk setiap stasiun berkisar antara mg/lt. Derajat pencemaran berdasarkan nilai BOD dengan kisaran antara mg/liter diartikan bahwa perairan Teluk tamiang berada dalam kondisi tercemar sedang. Jika mengacu pada baku mutu Kep-1/MENLH/2 (<2 mg/liter) untuk keperluan perikanan, kisaran nilai BOD yang terukur pada saat penelitian masih dalam keadaan baik dan belum melewati nilai ambang batas yaitu masih lebih kecil dari 2 mg/liter...9. Kebutuhan Oksigen Kimiawi (Chemical Oxygen Demand/COD) Keberadaan bahan organik berasal dari alam ataupun dari aktivitas rumah tangga dan aktivitas peternakan. Perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar kurang dari 2 mg/liter, sedangkan pada perairan yang tercemar dapat mencapai lebih dari 2 mg/liter dan pada limbah industri dapat mencapai 6. mg/liter (UNESCO/WHO/UNEP (1992) didalam Effendi (23). Hasil pengukuran COD selama penelitian berkisar antara 2, mg/liter (stasiun 1) mg/liter (stasiun 1). Sebaran nilai rata-rata untuk setiap stasiun berkisar antara 2.21 mg/liter (stasiun 1) mg/liter (stasiun 1). Jika dibandingakn dengan baku mutu Kep-1/MENLH/2 untuk keperluan perikanan, kisaran nilai COD yang terukur pada saat penelitian masih dalam keadaan baik dan belum melewati nilai ambang batas maksimal yaitu lebih kecil dari 8 mg/liter artinya perairan Teluk Tamiang belum mengalami pencemaran...1. Nitrit Nitrit merupakan bentuk peralihan (intermediate) antara ammonia dan nitrat (pada proses nitrifikasi), dan antara nitrat dan gas nitrogen (pada proses denitrifikasi).

79 Denitrifikasi berlangsung pada kondisi anaerob. Pada proses denitrifikasi, gas N 2 yang dapat terlepas dilepaskan dari dalam air ke udara. Keberadaan nitrit menggambarkan berlangsungnya proses biologis perombakan bahan organik yang memiliki kadar oksigen terlarut rendah (Effendi, 23). Di perairan alami, nitrit (NO 2 ) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit, lebih sedikit daripada nitrat, karena bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen. Perairan alami mengandung nitrit sekitar,1 mg/liter dan sebaiknya tidak melebihi.6 mg/liter (Canadian Council of Resources and Environment Minister, 1987 didalam Effendi, 23). Kadar nitrit yang melebihi dari, mg/liter dapat bersifat toksik bagi organisme perairan yang sensitif. Hasil pengukuran nitrit selama penelitian berkisar antara.2. mg/lt. Sebaran nilai rata-rata untuk setiap stasiun berkisar antara,2,2 mg/liter, maka dapat diartikan bahwa nilai nitrit pada perairan Teluk Tamiang masih dalam batas yang cukup aman bagi biota laut Nitrat Nitrit (NO 3 ) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat nitrogen mudah larut dalam air dan bersifat stabil (Effendi, 23). Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung pada kondisi aerob. Oksidasi amonia menjadi nitrit dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas, sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri Nitrobacter. Kedua jenis bakteri tersebut merupakan bakteri kemotrofik, yaitu bakteri yang mendapatkan energi dari proses kimiawi. Hasil pengukuran nitrat selama penelitian berkisar antara.1.63 mg/lt, sedangkan sebaran nilai rata-rata untuk setiap stasiun berkisar antara.61.3 mg/liter. Bila suatu perairan menunjukan kadar nitrat lebih dari mg/liter (> mg/liter), maka perairan tersebut telah terjadi pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan tinja hewan. Kadar nitrat-nitrogen yang lebih dari.2 mg/liter dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (pengayaan) perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming). Pada perairan yang menerima limpasan air dari daerah pertanian yang banyak mengandung

80 pupuk, kadar nitrat dapat mencapai 1. mg/liter.(davis dan Cornwell, 1991 didalam Effendi, 23). Kandungan nitrat yang terdapat dalam suatu perairan, dapat dikelompokan berdasarkan tingkat kesuburan, yakni perairan oligotrofik memiliki kadar nitrat antara 1 mg/liter, perairan mesotrofik memiliki kadar nitrat antara 1 mg/liter, dan perairan eutrofik memiliki kadar nitrat berkisar antara mg/liter (Volenweider, 1969 dan Wetzel, 197 didalam Effendi, 23). Hal ini berarti bahwa nilai nitrat pada perairan Teluk Tamiang masih dalam batas yang cukup aman bagi biota laut meskipun mengarah terjadinya eutrofikasi (pengayaan) perairan tetapi tidak bersifat toksik terhadap organisme akuatik Ammonia (NH 3 N) Kadar ammonia pada perairan alami biasanya kurang dari,1 mg/liter (McNeely et al., 1979 didalam Effendi, 23). Kadar amonia yang tinggi merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, dan limpasan (run-off) pupuk pertanian dan peternakan. Hasil pengukuran ammonia selama penelitian berkisar antara mg/lt, sedangkan sebaran nilai rata-rata untuk setiap stasiun berkisar antara mg/liter. Hal ini berarti bahwa nilai ammonia pada perairan Teluk Tamiang masih dalam batas yang cukup aman bagi biota laut dan tidak bersifat toksik terhadap organisme akuatik serta mengindikasikan belum terjadinya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, dan peternakan Ortophosphat Berdasarkan kadar ortophosphat, perairan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu ; perairan oligotrofik yang memiliki kadar ortophosphat.3.1 mg/liter; perairan mesotrofik memiliki kadar ortofosfat.11.3 mg/liter ; dan perairan eutrofik memiliki kadar ortophosphat.31.1 mg/liter (Vollenweider dalam Wetzel, 197 didalam Effendi, 23. Hasil pengukuran ortophosphat selama penelitian berkisar antara mg/lt, sedangkan sebaran nilai rata-rata untuk setiap stasiun berkisar antara,3,1 mg/liter. Hal ini berarti bahwa nilai fosfor pada perairan Teluk Tamiang termasuk dalam perairan mesotrophyc dengan tingkat kesuburan sedang.

81 Rangkuman hasil analisis parameter kualitas perairan yang meliputi aspek biologi, fisika dan kimia perairan sebagai indikator kualitas perairan untuk menyatakan status dan tingkat pencemaran dan kesuburan perairan Teluk Tamiang disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Rangkuman penilaian kondisi parameter biologi dan fisika-kimia perairan yang diperoleh selama penelitian di Teluk Tamiang. Baku Mutu Perairan Untuk Biota Laut Paramater Kisaran Rata-rata Dipersyaratkan Keterangan Biologi Perairan Plankton Fitoplankton - Indeks Keanekaragman - Indeks Keseragaman - Indeks Dominasi Zooplankton - Indeks Keanekaragaman - Indeks Keseragaman - Indeks Dominasi Bentos - Indeks Keanekaragaman - Indeks Keseragaman - Indeks Dominasi *), >3, *), > *) - - Perairan Stabil (Tidak tercemar/ringan) Perairan Stabil (Tidak tercemar/ ringan) Tercemar sangat ringan Produktivitas Primer (gc/m 3 /hari) ****) Kesuburan Sedang Fisika Perairan Suhu air ( o C) ***) Memenuhi Kedalaman (m) ***) Memenuhi Kecerahan (m) 1 8, > **) Memenuhi Kekeruhan (NTU) < **) Memenuhi Padatan Tersuspensi < 2**) Memenuhi (TSS) (mg/l) Kecepatan Arus ***) Memenuhi (m/detik) Substrat dasar Pasir karang Pasir karang Pasir karang***) Memenuhi Gelombang (m).6.2. <.6***) Memenuhi Kimia Perairan Salinitas (ppt) ***) Memenuhi Derajat Keasaman (ph) **) Memenuhi Oksigen Terlarut (DO) > **) Memenuhi (mg/l) BOD (mg/l) < 2**) Memenuhi COD (mg/l) < 8**) Memenuhi Nitrit (mg/l) Nihil**) Memenuhi Nitrat (mg/l) Memenuhi Ammonia total (NH 3 -N) (mg/l) <.3 1**) Memenuhi Orthophosphat (mg/l) Memenuhi Keterangan : *) Parson et al (198); Staub et al., (1992) didalam Tambaru (2) **) Baku Mutu Air Laut untuk Budidaya Perikanan (Biota laut) menurut Kep-1/MENLH/2, ***) Juknis Budidaya Ikan Kerapu dalam KJA (Ditjenkanbud DKP, 2) ****) Duxbury et al., (1999)

82 .. Kelayakan Bioteknis dan Penentuan Kesesuaian Perairan Penentuan luas perairan yang sesuai bagi pengembangan budidaya KJA dilakukan dengan aplikasi perangkat Sistem Informasi Geografi (SIG) dengan operasi tumpang susun (overlay) dari masing-masing peta tematik yang ditentukan. Hasil overlay peta-peta tematik tersebut beserta dengan kriteria kelayakan/kesesuaian dari Tiensongrusmee et al., (1986) didalam Sunyoto (1993) atau dikenal dengan analisa kelayakan/kesesuaian dengan pembobotan (scooring method) akan menghasilkan lokasi potensial untuk budidaya kerapu sistem KJA beserta dengan tingkatan kelayakan/kesesuaiannya. Berikut kriteria kelayakan/kesesuaian perairan untuk budidaya KJA Ikan Kerapu disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Kriteria kelayakan/kesesuaian perairan untuk budidaya KJA Ikan Kerapu No. Parameter-Parameter s1 (Kesesuaian Tinggi) s2 (Kesesuaian Sedang) s3 (Kesesuaian Rendah) N (Tidak Sesuai) 1 Kedalaman (meter) > < 2 Keterlindungan terhadap gelombang/angin besar) Sangat terlindung (<, m)* Terlindung (<, m)* Agak terbuka (>, m)* Terbuka (>, m)* 3 Suhu ( o C) > 3/<2 Salinitas (promil) /33 - < 2/>3 3 Substrat Dasar Pasir, karang Pasir Pasir Berlumpur berpasir berkarang berlumpur 6 Kecerahan (meter) Oksigen terlarut />8-6 < 8 Kecepatan Arus (cm/dt) <12 Keterangan : *) ketinggian gelombang Sumber acuan : Tiensongrusmee et al (1986) didalam Sunyoto (1993) Hasil penilaian kelayakan/kesesuaian untuk lokasi budidaya KJA Ikan Kerapu disajikan pada Tabel 21, 22, 23 dan Lampiran 7) berikut :

83 Tabel 21 Sistem penilaian kelayakan/kesesuaian untuk lokasi budidaya KJA Ikan Kerapu. Nilai skor dan Tingkat Kesesuaian dan Rentang nilai Parameter Hasil Pengukuran No Parameter Bobot (Tinggi) 3 (Sedang) 2 (Rendah) 1 (Tidak Sesuai) Nilai Kelayakan Parameter (1) (2) (3) () () (6) (7) (8) (Bobot x Skor) 1 Kedalaman > < (meter) 2 Keterlindungan terhadap gelombang/ angin besar) Sangat terlindung (<, m)* Terlindung (<, m)* Agak terbuka (>, m)* Terbuka (>, m)* Suhu ( o C) > 3/< Salinitas / < 2/> (promil) 3-3 Substrat Dasar 3 Pasir, karang berpasir Pasir berkarang Pasir berlumpur Berlumpur Kecerahan (meter) 7 Oksigen terlarut 8 Kecepatan Arus (cm/dt) Total Nilai Keterangan : *) ketinggian gelombang />8-6 < < Bobot x Skor Tabel 22 Rekapitulasi rata-rata nilai parameter kualitas lingkungan hasil pengamatan untuk budidaya ikan kerapu pada setiap stasiun. Stasiun dan Nilai Parameter Pengamatan Parameter Kedalaman (meter) 1, 1, 1, 7,1 6,9 6,7,6,6,6, Ketinggian Gelombang (m) Suhu ( o C) 28 27, ,8 27,8 28, ,1 29,1 29,2 Salinitas (promil) 33, ,8 28,9 27, 2,9 Substrat Dasar PK PK PK PB PB PB PB PB PB PB Kecerahan (meter) 7,7 8,6 8,1 6,1,9,7,,,,3 Oksigen terlarut (ppm) 7, 7,7 6,1 6,9 6,8 6, 6, 6,6 6,2,8 Kecepatan Arus (cm/dt) Keterangan : PK : Pasir Karang; PB : Pasir Berlumpur

84 Tabel 23 Rekapitulasi nilai perkalian bobot dan skor pada setiap stasiun pengamatan (1 stasiun) Stasiun Pengamatan Parameter Kedalaman (meter) Keterlindungan terhadap gelombang/angin besar) Suhu ( o C) Salinitas (promil) Substrat Dasar Kecerahan (meter) Oksigen terlarut Kecepatan Arus (cm/dt) Total Nilai Hasil analisis tingkat kelayakan/kesesuaian lahan perairan tersebut menunjukkan posisi lahan-lahan perairan potensial untuk budidaya kerapu di perairan Teluk Tamiang dengan tingkat kelayakan/kesesuaian yang berbeda-beda. Tingkat kelayakan/kesesuaian yang berbeda ini disebabkan nilai parameter-parameter lingkungan yang digunakan dalam melakukan analisis overlay tidaklah sama sesuai gambaran atau nilai yang didapat saat pengambilan data, sehingga dengan batasan perhitungan evaluasi kelayakan/kesesuaian yang dipakai akan terdapat beberapa tingkat kelayakan/kesesuaian dapat menggambarkan kemampuan lahan perairan di dalam mendukung kegiatan pengembangan budidaya KJA ikan kerapu. Karakteristik masing-masing perairan berdasarkan kondisi kelayakan/kesesuaiannya antara lain : (1) Kondisi perairan dengan tingkat kelayakan/kesesuaian tinggi (S1) perairan yang tidak mempunyai pembatas yang besar untuk dikelola atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan meningkatkan masukan yang telah biasa diberikan; (2) Kondisi perairan dengan tingkat kelayakan/kesesuaian sedang (S2) adalah perairan yang mempunyai pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan; (3) Kondisi perairan dengan tingkat kelayakan/kesesuaian rendah (S3) adalah perairan yang mempunyai pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan; () Kondisi perairan tidak sesuai (N) adalah perairan yang mempunyai pembatas yang lebih besar tetapi masih memungkinkan diatasi, tetapi tidak dapat

85 dimanfaatkan untuk pengelolaan yang lestari dalam jangka panjang (FAO, 1976 didalam Hardjowigeno et al., 21). Kondisi perairan dengan tingkat kelayakan/kesesuaian tinggi (S1) merupakan kondisi perairan yang ideal dan produktif dibanding kondisi tingkat kelayakan/kesesuaian yang lain dengan asumsi bahwa sistem budidaya yang diterapkan sama. Dari hasil perhitungan didapatkan nilai selang klas 8. dengan kisaran total nilai pada masing-masing tingkat kelayakan/kesesuaian sebagai berikut : (1) tingkat kelayakan/kesesuaian tinggi (S1) mempunyai rentang total nilai dari 99. sampai dengan 18; (2) tingkat kelayakan/kesesuaian sedang (S2) mempunyai rentang total nilai dari 9,9 sampai dengan 99.; (3) Tingkat kelayakan/kesesuaian rendah (S3) mempunyai rentang total nilai 82.3 sampai dengan 9.8; dan () tidak sesuai (N) mempunyai rentang total nilai < Selanjutnya berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 23, maka posisi tingkat kelayakan/kesesuaian dari setiap stasiun disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Tingkat kelayakan/kesesuaian perairan setiap stasiun pengamatan Stasiun Tingkat Kelayakan/Kesesuaian Pengamatan S1 S2 S3 N Stasiun 1 * Stasiun 2 * Stasiun 3 * Stasiun * Stasiun * Stasiun 6 * Stasiun 7 * Stasiun 8 * Stasiun 9 * Stasiun 1 * Hasil perhitungan tingkat kelayakan/kesesuaian dari 1 stasiun pengamatan, masing-masing stasiun pengamatan berada pada lokasi dengan tingkat kelayakan/kesesuaian yang berbeda-beda. Stasiun 1 s/d berada pada tingkat kelayakan/kesesuaian tinggi (S1), stasiun s/d 6 berada pada tingkat kelayakan/kesesuaian sedang (S2), stasiun 7 dan 8 berada pada tingkat kelayakan/kesesuaian rendah (S3), stasiun 9 dan 1 berada pada kondisi tidak layak/sesuai (N).

86 Selanjutnya untuk mendapatkan luasan perairan yang sesuai dengan kriteria kelayakan/kesesuaian, maka dilakukan proses analisis dengan bantuan piranti lunak program Arc View versi 3.3 dengan dua cara, antara lain : 1. Dari polygon yang ada setelah proses interpolasi dan tumpang susun (overlay) masing-masing peta tematik (Gambar 1), selanjutnya dilakukan klasifikasi data tabular untuk menghitung luasan (m 2 ) dengan rumus yaitu : pilih [shape] dan klik return area. Kemudian untuk menghitung keliling (m) dengan rumus yaitu : pilih [shape] dan klik return length. 2. Dengan menggunakan ekstensi Arc View versi 3.3 yaitu dengan memilih (klik) ex tools, kemudian klik update area, parimeter, hectare, dan length, kemudian pilih file (data tabular) yang akan dicari luasannya. Dari hasil analisis secara spasial didapatkan luasan perairan Teluk Tamiang berdasarkan (empat) tingkatan kelayakan/kesesuaian dapat dilihat pada Tabel 2 dan Gambar 13 s/d 1 berikut : Tabel 2 Luas perairan Teluk Tamiang potensial untuk budidaya KJA Ikan Kerapu Keterangan Areal Luas (m 2 ) Prosentase (%) Kelayakan/Kesesuaian Tinggi (S1) ,8 Kelayakan/Kesesuaian Sedang (S2) ,6 Kelayakan/Kesesuaian Rendah (S3) ,3 Tidak Layak/Sesuai (N) ,3 Total ,

87 Kecerahan Kedalaman Salinitas Oksigen Terlarut (DO) Substrat Dasar Suhu Kecepatan Arus Ketinggian Gelombang Gambar 13 Peta tematik kondisi fisik perairan Teluk Tamiang

88 Gambar 1 Peta kelayakan/kesesuaian perairan untuk pengambangan budidaya KJA Ikan Kerapu Kesesuaian Sedang (997, Ha) % Kesesuaian Rendah (3,67 Ha) 13% Kesesuaian Tinggi (38,1 Ha) 17% Tidak Sesuai (62,9 Ha) 26% Gambar 1 Diagram perbandingan tingkat kelayakan/kesesuaian areal budidaya KJA Ikan Kerapu di perairan Teluk Tamiang

89 .6. Keragaan Budidaya Ikan Kerapu Bebek (Cromileptis altivelis) dalam Keramba Jaring Apung Pemeliharaan ikan kerapu bebek dalam KJA berlangsung selama 6 bulan (18 hari) dalam keramba jaring apung (KJA) yang berukuran 3 x 3 x 2, m, jumlah ikan yang ditebar sebanyak ekor dengan tingkat kepadatan 2 ekor/m 3. Selama masa pemeliharaan terjadi pertambahan bobot biomassa ikan dari 162 kg/kja menjadi 237,6 kg/kja dengan rata-rata pertambahan berat harian sebesar,96 gr/hari atau besar 28,8 gr/bulan, rasio konversi pakan (RKP) sebesar,9 dan sintasan mencapai 1% dengan jumlah pakan sebanyak 1.6,3 kg (Tabel 26). Bila dibandingkan dari hasil penelitian Tatam Sutarmat et al (23) rasio konversi pakan (food convertion ratio) pada penelitian ini relatif lebih tinggi dan pertumbuhan harian lebih besar yaitu dengan laju pertumbuhan sebesar,8 gr/hari dengan RKP sebesar,8. Tabel 26 Hasil pemeliharaan ikan kerapu bebek dalam KJA selama 18 hari Komponen Pemeliharaan hari ke Jumlah ikan (ekor/kja) Bobot (gr/ekor) Biomass (kg/kja) Sintasan (%) Pakan % BW - Jumlah pakan (kg) Pertmbuhan harian LPH (gr/hari).96 RKP.9 Dari perbandingan keragaan pertumbuhan ikan kerapu diatas, maka nampak bahwa pertumbuhan ikan kerapu pada penelitian ini cukup baik. Pertumbuhan ikan yang dipelihara dalam keramba jaring apung dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik (Chua dan Teng, 1979 didalam Tatam Sutarmat et el., 23). Diantara faktor-faktor tersebut mutu dan jenis pakan secara langsung akan mempengaruhi pertumbuhan produksi, konversi pakan, dan sintasan. Ikan kerapu adalah jenis ikan karnivora yang memerlukan pakan dengan kandungan protein yang cukup tinggi. Kebutuhan protein ikan kerapu bebek adalah.2% (Giri et al., 1999). Kandungan protein dalam pakan dapat mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan ikan. Pemanfaatan protein bagi pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ukuran/umur, kualitas protein, kandungan energi pakan, keseimbangan gizi, dan tingkat pemberian pakan (Furnichi, 1988).

90 .7. Pendugaaan Kuantitatif Limbah yang berasal dari kegiatan Budidaya (Internal Loading) Dari hasil kegiatan pemeliharaan ikan kerapu selama 18 hari dengan padat tebar ikan sebanyak 2 ekor m -3 ( ekor/keramba) dengan berat awal ikan rata-rata 36 gr/ekor yang dipelihara dalam 1 unit keramba menghasilkan produksi ikan.238 ton ikan (237.6 kg) membutuhkan jumlah pakan sebanyak 1..3 kg dengan rasio konversi pakan (RKP).9. Berdasarkan hasil sampling sisa pakan dan feses ikan kerapu, diperoleh ratarata pakan yang tidak dimakan (sisa pakan) yaitu sebesar 18% (23,1 kg) dari total pakan yang diberikan (1.6.3 kg), sedangkan jumlah feses yang dihasilkan sebesar 39.% (. kg). Sehingga total limbah yang masuk ke perairan Teluk Tamiang yang berasal dari kegiatan budidaya ikan selama 18 hari sebesar 77. (.3%) (Tabel 27, Lampiran 8). Tabel 27 Nilai parameter penentuan beban limbah budidaya Ikan Kerapu dalam keramba jaring apung di perairan Teluk Tamiang No Parameter yang dianalisa Nilai 1 Rasio Konversi Pakan (FCR).9 2 Kandungan N Pakan (%) Kandungan P Pakan (%) 2,6 Bobot awal ikan (gr/ekor) 36 Bobot akhir ikan (gr/ekor) 28 6 Jumlah pakan yang dibutuhkan (kg) Jumlah pakan yang terbuang (18%) Kebutuhan N untuk memproduksi ikan (kg/ton ikan) 1. 9 Kebutuhan P untuk memproduksi ikan (kg/ton ikan) Kecernaan N Pakan (%) Kecernaan P Pakan (%) Retensi N (%) Retensi P (%) Jumlah feses yang dihasilkan oleh 1 ton ikan (39,%). kg/ton ikan Untuk memproduksi 237,6 kg ikan dibutuhkan sebanyak kg pakan rucah (FCR.9). Hasil analisis proximat didapatkan kandungan N pakan ikan rucah sebanyak kg dan 36.6 kg P. Dari total pakan yang diberikan didapatkan sebagai pakan yang tidak termakan (uneatenfood) sebanyak 23.1 kg (18%) dengan jumlah N sebanyak 31.9 kg dan 6.6 kg P. Sedangkan jumlah pakan yang dimakan (eaten food) sebanyak kg (82%), dengan N sebanyak 1. kg dan 29.9 kg P, yang terbuang melalui feses sebanyak. kg (39.%) dengan N sebanyak 27.6 kg

91 (1.6%) dan P sebanyak 12.7 kg (3.8%), sedangkan dibuang melalui ekskresi (urine) dan panas sebanyak 11.7 kg N dan 13.1 kg P (3.9%) serta yang tersimpan dalam daging sebanyak 3.7 kg N (17.3%) dan.1 kg P (11.2%). Maka beban limbah yang masuk ke perairan (loading) adalah sebesar 17.2 kg N dan 32. kg P. Total bahan organik partikel yang dihasilkan sebesar 77. kg (.3%) dari total pakan sebanyak kg (Tabel 28 dan 29). Tabel 28 Nilai Hasil Pendugaan Kuantifikasi Total N dan P dari pakan yang diberikan Parameter Jumlah (kg) N (kg/ton ikan) P (kg/ton ikan) Pakan yang diberikan 1.6.3(1%) (1%) 36.6 (1%) Pakan yang dimakan (eaten (82%) 1. (82.1%) 29.9(81.9%) food) Pakan yang terbuang (uneaten 23.1(18%) 31.9 (18.%) 6.6 (18.1%) food) Feses. (39,%) 27.6 (1.6%) 12,7 (3.8%) Retensi - 3,7 (17.3%).1 (11.2%) Ekskresi (terlarut) (6.7%) 13.1 (3.9%) Total limbah 77. (,3%) 17.2 (98.3%) 32. (88.8%) Tabel 29 Alur pemanfaatan N dan P pakan oleh ikan kerapu bebek Pakan Segar/Rucah Per kg Ikan Produksi kg N (12.6%) 36. kgp (2.6%) Retensi Feses Ekskresi Uneaten food 3.7 kgn 27.6 kgn 11.7 kg N 31.9 kg N (17.3%) (1.6%) (6.7%) (18.%).1 kg P 12.7 kg P 13.1 kg P 6.6 kg P (11.2%) (3.8%) (3.9%) (18.1%) Beban limbah 17.2kgN (98.3%) 32. kg P (88.8) Dari hasil estimasi besaran limbah bahan organik yang dihasilkan yaitu sebesar 77. kg /ton ikan produksi atau sebesar.3% dari total pakan segar/rucah yang digunakan, lebih besar dari hasil penelitian yang dilakukan dengan pakan komersil yaitu hanya sebanyak 3% dari pakan menjadi limbah bahan organik (McDonald et al., 1996). Persentase nilai tersebut menunjukkan adanya perbedaan besarnya limbah yang masuk ke dalam perairan dari dua jenis pakan yaitu pakan rucah dan pakan komersil (pellet). Hasil penelitian Usman et al., (22), terhadap ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) mendapatkan total N dan P mencapai 138, kgn/ton produksi atau 81,89% dari total N pakan dan 29,6 kgp/ton produksi atau 87,83% dari total P pakan. Beban

92 limbah dari pakan komersil mengandung N sebesar mencapai 7.68% N dan kandungan P pakan 1.3% P dengan konversi pakan 3,2. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian ini dengan menggunakan pakan segar/rucah yang mengadung 12.6% N dan 2.6% P dan konversi pakan.8, maka terlihat perbedaan dimana penggunaan pakan segar/rucah menghasilkan beban limbah N dan P yang lebih besar. Adanya perbedaan ini diduga disebabkan oleh kandungan protein yang berbeda antara jenis pakan komersil dengan pakan rucah/segar. Hasil penelitian Tatam Sutarmat et al., (23), menyatakan bahwa dari hasil uji proximat pakan ikan segar/rucah mempunya kadar protein sebesar 8.6%, sedangkan pakan komersil hanya.7%. Namun bila dilihat dari keseimbangan unsur-unsur nutrisi (protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral) maka pakan komersil memiliki nilai nutrisi terbaik karena ditambahkan mineral dan vitamin campuran, sedangkan pada pakan ikan segar/rucah walaupun memiliki nilai protein dan energi cukup tinggi tetapi ditinjau dari keseimbangan nilai nutrisi adalah kurang seimbang, karena kecukupan vitamin dan mineral dalam ransum sangat mempengauhi metabolisme tubuh. Bila diperbandingkan antara performance pakan komersil dan pakan alami/rucah terhadap pertumbuhan ikan terlihat tidak ada perbedaan, namun dampak terhadap lingkungan dari limbah pakan yang terbuang ke perairan cukup berbeda, hal ini terlihat dari efisiensi pakan. Pakan komersil mempunyai efisiensi pakan sebesar 6.29%, sedangkan pakan alami/rucah mempunyai efisiensi 17.96% sehingga pakan rucah diduga lebih memberikan dampak negatif lebih besar terhadap lingkungan dari pada pakan komersil (Tatam Sutarmat et el, 23)..8. Pendugaan Kuantitatif Limbah yang Bersumber dari Daratan (Eksternal Loading) Pendugaan beban limbah dari kegiatan masyarakat yang berada didaratan mengacu pada metode yang dikembangkan oleh Land Ocean Interactionin the Coastal Zone (LOICZ) Project (Malou San Diego- McGlone, Hasil identifikasi jenis dan tingkatan aktivitas serta pendugaan beban limbah antropogenik disekitar Teluk Tamiang terdiri dari kegiatan rumah tangga dan peternakan diuraikan pada Tabel 3 berikut.

93 Tabel 3 Pendugaan beban limbah antropogenik sekitar Teluk Tamiang Jenis Aktivitas Rumah tangga 1. Limbah padat 2. Sampah 3. deterjen Koefisien Limbah 1.86 kg N/org/th.37 kg P/org/th kg N/org/th 1 kg P/org/th 1 kg P/org/th Tingkatan Aktivitas 2 orang Total N (kg/th) Total P (kg/th) 7,9 2 2 Jumlah Peternakan 1. Sapi Kambing 3. Ayam 3.8 kg N/ekr/th 11.3 kg P/ekr/th kg N/ekor/th 21. kp/ekor/th.3 kg N/ekor/th.7 kg P/ekor/th 12 ekor 12 ekor 18 ekor 18 ekor 6 ekor 6 ekor Jumlah Jumlah Total Ket Sumber Pustaka : 1) Sogreah (197); 2) Padilla et al (1997); 3)World Bank (1993); ) WHO (1993); ) Valiela et al (1997) didalam Diego-McGlone (26) Hasil analisis menunjukan bahwa aktivitas yang berkontribusi besar adalah kegiatan peternakan dan rumah tangga. Jumlah penduduk yang berdomisili di sekitar Teluk Tamiang meliputi 7 desa dengan jumlah penduduk sebanyak 9.18 jiwa, namun yang bermukim dan beraktivitas di sekitar teluk berjumlah + 2 jiwa. Dari hasil perhitungan pendugaan didapatkan data bahwa jumlah total N (kg/tahun) sebesar 1.818, dan total P (kg/tahun) sebesar 1.. Total N sebagian besar bersumber dari limbah rumah tangga sebesar kg N/tahun (66,1%), sedangkan limbah dari peternakan hanya sebesar kg N/tahun (33,9%). Total P sebagian besar juga bersumber dari peternakan yakni sebesar 68,1 kg P /th (3,8%), sedangkan rumah tangga hanya sebesar 8.9 kg/th (6,1%). Berdasarkan asumsi bahwa hanya 2% dari limbah antropogenik yang masuk ke perairan teluk setelah melalui asimilasi didaratan maka kontribusi limbah dari kegiatan antropogenik adalah,2 x 1.818, =.6 kg N dan 263. kg P per tahun. Maka bila dikonversi hariannya sebesar kg N/hari dan.732 kg P/hari, besaran total N dari limbah antropogenik selama 18 hari masa pemeliharaan adalah sebesar kg N dan 131 kg P.

94 .9. Pendugaan Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Bagi Pengembangan Budidaya KJA Ikan Kerapu Pendugaan daya dukung lingkungan perairan Teluk Tamiang bagi pengembangan KJA ikan kerapu dilakukan dalam 2 (dua) pendekatan analisis, yaitu (1) Pendekatan analisis pada beban limbah total N dan (2) Pendekatan analisis pada ketersediaan oksigen terlarut dalam perairan teluk dan limbah bahan organik. Beberapa parameter yang menjadi acuan penduga daya dukung antara lain : 1. Luas teluk = m 2 atau 2.289,8 ha 2. Volume air pasang tertinggi (V pasang) = m 3 3. Volume air pasang surut (V surut) = m 3. Flushing time =.2 hari. Rataan konsentrasi oksigen terlarut dalam kondisi stready state = 6 ppm 6. Konsentrasi oksigen minimal yang dibutuhkan dalam sistem budidaya (C O 2 out) : ppm, diambil dari level kritis oksigen (pembulatan dari 3,6 ppm dari hasil penelitian) dan Lee et al., (21) didalam Rachmansyah, (2). 7. Food consumption oxygen (FCO),2 kg O 2 (Willoughby, 1968 diacu didalam Meade, 1989; Boyd 199). 8. Total bahan organik = 77. kg 9. Total beban N = 17.2 kg/.238 ton ikan 1. Total beban P = 32. kg/.238 ton ikan 11. Produktivitas ikan kerapu = kg/keramba.9.1. Pendugaan Daya Dukung Melalui Pendekatan Beban Limbah N Pendugaan daya dukung perairan teluk dengan pendekatan beban limbah N didasarkan pada beban limbah N baik yang berasal dari kegiatan budidaya KJA ikan kerapu maupun yang berasal dari aktivitas antrophogenik di daratan (upland) sekitar teluk. Beban limbah yang berasal dari kegiatan budidaya sebesar 17.2 kg N dan 32. kg P beban limbah, dan dari aktivitas antropogenik di daratan (upland) sebesar.6 kg N dan 263. kg P per tahun. Dari hasil perhitungan pendugaan daya dukung perairan Teluk Tamiang yaitu mampu menunjang produksi optimal adalah sebesar ton. Bila dikonversi kepada jumlah unit yang dapat dibudidayakan adalah 1unit terdiri dari keramba berukuran 3 x 3 x 2. meter dengan tingkat produktivitas sebesar kg

95 KJA, maka jika dalam 1 unit berproduksi 1.2 ton, jumlah unit yang dapat dikelola adalah sebanyak unit (dibulatkan 16 2 unit KJA) atau (8 26 KJA) Pendugaan Daya Dukung Melalui Ketersediaan Oksigen Terlarut dengan Limbah Organik Penentuan daya dukung perairan berdasarkan ketersediaan oksigen terlarut mengacu kepada Willoughby (1968 didalam Meade; 1989) dan Boyd (199) bahwa penentuan daya dukung perairan berdasarkan ketersediaan oksigen terlarut yaitu perbedaan antara konsentrasi oksigen (O 2 ) terlarut minimal yang dikehendaki oleh organisme (O in ) dengan kadar oksigen yang tersedia didalam perairan (O out ). Kadar minimum oksigen terlarut yang dikehendaki untuk budidaya (O out ) = ppm (Tabel 31). Tabel 31 Kandungan oksigen terlarut (mg/l) perairan Teluk Tamiang selama 2 jam dengan selang waktu 3 jam pada tiga stasiun pengamatan Waktu Pengamatan Stasiun Pengamatan Kandungan Oksigen Terlarut (mg/l) (Jam) Rataan Rata-rata dari 3 stasiun 6.6 (dibulatkan 6) Kadar oksigen diperairan teluk berdasarkan pengamatan 2 jam dengan selang waktu 3 jam pengamatan didapatkan kandungan oksigen terlarut rata-rata 6 ppm (dibulatkan). Ini berarti selisih antara oksigen yang ada didalam (O in ) dan di luar (O out ) sebesar 2 ppm. Selanjutnya diketahui bahwa volume air yang tersedia sebesar m 3, maka kapasitas oksigen yang tersedia dalam perairan teluk yaitu : /2 x 2 ppm = 2.989,8 kg O 2. Kadar oksigen yang dibutuhkan untuk mengurai/merombak 1 kg limbah organik pakan diperlukan oksigen sebesar.2 kg (Willoughby, 1968 didalam Meade, 1989), maka kemampuan perairan untuk menampung limbah organik yaitu 2.989,8 kg O 2 /.2 = 1.99 kg limbah organik. Hal ini berarti kemampuan perairan menampung limbah organik yang diperkenankan dari hasil budidaya KJA ikan kerapu tanpa melampaui daya dukung perairan teluk Tamiang adalah sebesar kg (1.9 ton) limbah organik. Bila dalam 1 unit KJA rata-

96 rata menghasilkan BO sebesar 3. ton, maka jika dikonversi menjadi jumlah unit maksimal yang mampu ditampung (daya dukung) oleh Teluk Tamiang adalah sebanyak 3 unit KJA atau sebanyak 1 keramba (Tabel 32). Tabel 32 Rekapitulasi 2 (dua) metode pendekatan pendugaan daya dukung Perairan Teluk Tamiang untuk budidaya KJA Ikan Kerapu Metode Pendekatan Daya Dukung Keterangan Beban Limbah Organik dengan Ketersediaan DO 1.99 kg limbah organik (3 ton ikan) atau 3 unit rakit (1 KJA ) Dominan dipengaruhi oleh beban limbah organik Beban limbah Nitrogen (N) budidaya (Baku mutu,3 ppm dan 1 ppm) 18,8 62, ton ikan atau 16 2 unit (8 26 KJA) Dominan dipengaruhi oleh beban limbah N dan volume air. (produksi optimal maksimal) Catatan : 1 unit rakit terdapat buah KJA (uk. 3x3x2,) dengan produksi tiap unit 1,2 Ton (237,6 kg/kja). Dari dua metode pendekatan yang digunakan dalam pendugaan daya dukung lingkungan perairan teluk bagi pengembangan KJA ikan kerapu diperoleh kisaran antara ton ikan atau atau 16 3 unit (8 26 KJA) pada.3 dan 1 ppm (produksi optimal maksimal) Ammonia (NH 3 N) baku mutu perairan untuk budidaya (Kep-1/MENLH/2). Metode pendugaan daya dukung yang dilakukan dengan pendekatan kualitas lingkungan perairan meliputi ketersediaan oksigen terlarut dan limbah bahan organik (limbah nitrogen organik) baik yang berasal dari limbah kegiatan budidaya maupun antropogenik yang berinteraksi dengan kondisi hydro-oseanografi perairan meliputi volume perairan (kedalaman dan luas), pola pasang surut, dan laju pembilasan (flushing rate) cukup memberikan gambaran kondisi daya dukung yang cukup realistis bagi perairan Teluk Tamiang untuk pengembangan budidaya KJA ikan kerapu yang berkelanjutan. Dari hasil analisis karakteristik biofisik dan kimia perairan Teluk Tamiang serta keragaan budidaya KJA ikan kerapu didapatkan berbagai informasi dasar dalam rancang bangun model dinamik dalam pengelolaan kualitas lingkungan..1. Pendekatan Analisis Prospektif dan Model Dinamik Metode prospektif merupakan eksplorasi tentang kemungkinan dimasa yang akan datang, sebagai satu metode untuk mendapatkan faktor kunci dan tujuan strategis

97 yang berperan dalam penanganan suatu wilayah sesuai kebutuhan para pelaku (stakeholders) yang terlibat. Penentuan faktor kunci dan tujuan strategis tersebut sepenuhnya harus merupakan pendapat pihak yang berkompeten sebagai pelaku dan ahli (expert) mengenai pengelolaan lingkungan Teluk Tamiang. Inventarisasi kebutuhan pelaku dilakukan dengan menggunakan kuisioner.. Responden diminta pendapatnya tentang peubah atau faktor apa saja yang berpengaruh terhadap jalannya sistem. Faktor-faktor tersebut antara lain : (1) Faktor biofisik lingkungan : produksi biomassa, limbah KJA dan antropogenik, kapasitas asimilasi, daya dukung, marine protected area (MPA), dan pelestarian lingkungan. (2) Faktor ekonomi : peningkatan pendapatan, saprodi, dan produk ekonomis (3) Faktor sosial : lapangan pekerjaan, pengembangan SDM, aktivitas industri dan pertambangan, pariwisata, dan pemukiman penduduk. () Faktor legalitas : Tata ruang kawasan dan penegakan hukum. Tahapan berikutnya menyepakati faktor-faktor peubah kunci, diskusi kriteria keadaan dan pengaruh serta ketergantungan dalam sistem yang dikaji, yaitu pengelolaan kualitas lingkungan kawasan Teluk Tamiang untuk pengembangan budidaya KJA. Pada tahapan ini didapatkan sebanyak 17 faktor penting yang dianggap berkaitan erat dengan pengelolaan kualitas lingkungan. Analisis dilakukan dengan menggunakan cara matriks. Hasil analisis matriks ini ditunjukkan dan dipresentasikan dalam bentuk grafik dalam salib sumbu Kartesien (Bourgeois, 22., Hartrisari, 22) (Gambar 16). 2, Overview of the importance of the different variables (direct and indirect influences) 1,8 1,6 Influence 1, 1,2 1,,8,6, Tek. Budidaya/produksi Tek. Penanganan biomassa Limbah/prod.limbah Plstrn. Lingkungan Kapasitas Asimilasi Lapangan Kerja Daya Dukung Limbah Antrophogenik Peningkatan Pendapatan Pgmbg SDM Pgmb. Pariwisata Produk Ekonomis Aktivitas Industri & Penegakan HukumPertambanganTata Pemukiman Ruang Kawasan Penduduk MPA Saprodi, ,2,,6,8 1, 1,2 1, 1,6 1,8 2, Copyright: CIRAD/CAPSA - 2 Authors: Franck Jésus and Dependence Gambar 16 Tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem pengelolaan kualitas lingkungan (Salib Sumbu Kartesien)

98 Dari gambar diatas menunjukan bahwa faktor-faktor penentu terkelompokan dalam kuadran. Kuadran I (kanan atas) terdiri dari teknologi budidaya/produksi biomassa, limbah budidaya dan antropogenik, kapasitas asimilasi dan lingkungan, dan daya dukung lingkungan merupakan kelompok faktor yang memberikan pengaruh besar pada kinerja sistem namun ketergantungan juga besar terhadap keterkaitan faktor, sehingga digunakan sebagai input didalam sistem. Kuadran II (kiri atas) terdiri dari pelestarian lingkungan, peningkatan pendapatan, dan lapangan pekerjaan merupakan kelompok faktor yang memberikan pengaruh besar pada kinerja sistem dengan ketergantungan rendah terhadap keterkaitan faktor, sehingga akan digunakan sebagai penghubung (stake) didalam sistem. Kuadran III (Kanan bawah) terdiri dari sarana produksi, produksi ekonomis, dan penegakan hukum merupakan kuadran yang memiliki pengaruh yang rendah pada kinerja sistem dan memiliki ketergantungan besar terhadap keterkaitan faktor, sehingga dikatakan sebagai variable authonomus unused dari sistem. Kuadran IV (kiri bawah) terdiri dari pengembangan SDM, aktivitas industri dan pertambangan, marine protected area (MPA), pengembangan pariwisata, pemukiman penduduk, dan tata ruang kawasan merupakan kelompok yang memberi pengaruh kecil terhadap kinerja sistem dan mempunyai tingkat ketergantungan kecil terhadap keterkaitan faktor, sehingga dikatakan sebagai output dari sistem. Berdasarkan hasil analisis prospektif ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat 7 faktor penentu dari 17 faktor yang mewakili kebutuhan stakeholders dalam pengelolaan kualitas lingkungan untuk pengembangan budidaya KJA ikan kerapu di Teluk Tamiang yaitu : (1) Teknologi budidaya/produksi biomassa, (2) Limbah budidaya dan antropogenik, (3) Kapasitas asimilasi dan lingkungan, () Daya dukung lingkungan, () Peningkatan pendapatan, (6) Pelestarian lingkungan, dan (7) Lapangan pekerjaan Permodelan dan simulasi pendugaan beban limbah N dan P dari sistem budidaya kerapu dalam KJA dibangun dan dikembangkan berdasarkan pada data empiris sistem produksi budidaya yang ada, karakteristik biofisik lingkungan perairan, hasil uji laboratorium dilakukan (Tabel 33) dengan tahapan-tahapan : (1) penyusunan skenario; (2) pembangunan model; (3) simulasi skenario.

99 Tabel 33 Informasi dasar pemodelan bagi pengelolaan kualitas lingkungan untuk pengembangan budidaya KJA ikan kerapu. No. Parameter Nilai Sumber Data 1 Luas teluk 2.289,8 ha/ m 2 Penelitian ini 2 Volume teluk pada saat pasang m 3 Penelitian ini tertinggi (HHWL) 3 Volume teluk pada saat surut terendah m 3 Penelitian ini (LLWL) Volume teluk (HHWL-LLWL) m 3 Penelitian ini Kisaran pasang surut 11 cm Penelitian ini 6 Flushing time,2 hari Penelitian ini 7 Luas lahan pengembangan KJA 38 ha Penelitian ini 8 Konsentrasi oksigen teluk 6 ppm Penelitian ini 9 Level kritis oksigen ppm Lee et al, 21 dan Wedemeyer, Padat penebaran ikan kerapu 1,2,2 ekor m -3 Penelitian ini 11 Bobot ikan awal pemeliharaan 36 gr per ekor Penelitian ini 12 Bobot ikan akhir panen 28 gr per ekor Penelitian ini 13 Laju pertumbuhan harian,96 gr per hari Penelitian ini 1 Sintasan (SR) 1 Penelitian ini 1 Rasio konversi pakan (FCR),9 Penelitian ini 16 Tingkat produktivitas 237,6 kg/kja Penelitian ini 17 Jumlah pemberian pakan 1.6,3 kg Penelitian ini 18 N pakan 17,2 kg/ton ikan Penelitian ini 19 P pakan 32, kg//ton ikan Penelitian ini 2 N feses 27,6 kg Penelitian ini 21 P feses 12,7 kg Penelitian ini 22 Pakan tidak termakan 22,6 kg Penelitian ini 23 Retensi N 3,7 kg Penelitian ini 2 Retensi P,1 kg Penelitian ini 2 Presentase feses 9,2 kg (38,9%) Penelitian ini 26 Kecepatan arus,8,39 m/detik Penelitian ini 27 Beban limbah N KJA 17,2 kg Penelitian ini 28 Beban limbah P KJA 32, kg Penelitian ini N Baku Mutu Ammonia (NH 3 N) (ppm),3-1 KepMNLH 1/2 3 Level aktivitas Rumah tangga (limbah padat,sampah, deterjen) Peternakan (sapi, kambing, ayam) 2 orang Penelitian ini 68 ekor 31 Beban N non KJA 1.818, kg/th Penelitian ini 32 Beban P non KJA 1. kg/th Penelitian ini 33 Biaya produksi ikan kerapu 1./KG Penelitian ini 3 Harga jual ikan kerapu 3.-./KG Penelitian ini 3 Batas ukuran untuk harga jual 3 Gr Penelitian ini (1) Penyusunan skenario Skenario merupakan suatu alternatif rancangan kebijakan yang memungkinkan dapat dilakukan dalam kondisi nyata (real) berdasarkan perkiraan responden mengenai kondisi faktor-faktor dimasa mendatang. Dari perkiraan responden mengenai kondisi (state) faktor-faktor tersebut dimasa mendatang, dapat disusun skenario yang mungkin terjadi di daerah penelitian. Hasil perkiraan responden mengenai kondisi faktor-faktor

100 dimasa datang, selanjutnya dilakukan kombinasi yang mungkin antar kondisi faktor, dengan membuang kombinasi yang tidak sesuai (incompatible). Dari kombinasi antar kondisi faktor, didapatkan 3 (tiga) skenario, yang disebut : Skenario : (1) Optimis, (2) Moderat, (3) Pesimis. (2) Pembangunan Model Struktur umpan balik dalam model pengelolaan kualitas lingkungan disusun oleh sub model yang saling berkaitan dan sekaligus merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi pengelolaan untuk pengembangan budidaya KJA ikan kerapu di Teluk Tamiang. Adapun sub-model tersebut didasarkan pada integrasi faktor-faktor yang muncul pada kuadran kiri atas dari hasil analisis prospektif yang merupakan faktor dominan. Dengan demikian sub-sistem tersebut adalah sub-model produksi biomassa ikan kerapu (yang berkaitan teknologi budidaya KJA), sub-model limbah budidaya dan sub-model ekonomi yang saling berinteraksi. Model umum pengelolaan kualitas lingkungan perairan teluk berbasis daya dukung untuk pengembangan budidaya KJA ikan kerapu menggambarkan interaksi antar komponen teknologi budidaya (produksi biomassa ikan), limbah dari kegiatan budidaya KJA dan aktivitas antropogenik yang berasal dari daratan yang bersifat timbal balik. Pada model umum ini, masing-masing komponen mempunyai gugus formula sendiri-sendiri, namun saling terkait pada satu atau lebih peubah tertentu (Gambar 18 dan Lampiran 1). Model ini memiliki beberapa kelemahan karena pendugaan daya dukung lingkungan perairan terhadap limbah hasil budidaya dan antropogenik yang diaktualisasikan oleh perubahan konsentrasi nitrogen dan phophat, belum digambarkan secara lebih komprehensif dengan melibatkan peran komponen ekosistem, antara lain peran mikroorganisme sebagai pengurai (decomposer), ikan, plankton (zoo-p dan phyto-p) dan biota perairan lainnya baik langsung maupun tidak langsung. Komponen model untuk menduga daya dukung baru melibatkan peran hidrodinamika pasang surut sebagai pemasok oksigen terlarut dan pelarutan/pencucian (dilution dan flushing) dalam proses pengayaan bahan organik akibat budidaya (eutrification culture) dan baku mutu air untuk biota laut (KEP MNLH 1/2). Model ini masih dapat dikembangkan dengan memasukan komponen fotosintesa, difusi, respirasi ikan dan mikroorganisme dalam suatu model untuk mendekati sistem yang sebenarnya melalui kajian atau penelitian ilmiah lanjutan.

101 Agar model tersebut dapat diimplementasikan di tempat lain untuk pendugaan daya dukung maka beberapa variabel yang perlu dilakukan perubahan sesuai dengan spesifik lokasi antara lain padat tebar ikan, jumlah pakan, volume limbah dari kegiatan budidaya dan antropogenik, volume teluk, dan nilai flusing time. Submodel Ekonomi Budiday a Ikan Kerapu dalan KJA Submodel Biomassa Ikan Kerapu Sub-Model Beban Limbah N,P,OM Budiday a dan non-budiday a (antrop) Submodel Produk Biomass Panen 162 Total Pakan ~ Biomassa Submodel Limbah Budidaya dan Antripogenik Load Organik N Bay.1 P Bay.86 Submodel Ekonomi ~ Fish size ~ Gross revenue Prod cost per kg ~ Profit Gambar 18 Model global keterkaitan antar sub-model Deskripsi Model Model pengelolaan kualitas lingkungan yang berbasis daya dukung (carriying capacity) untuk pengembangan budidaya KJA ikan kerapu terdiri dari 3 (tiga) submodel yaitu : 1. Submodel produksi biomassa kerapu, menggambarkan perubahan produksi biomassa kerapu dalam setiap siklus produksi yang dipengaruhi oleh faktor-faktor padat penebaran per luas keramba, jumlah keramba, bobot awal individu, pertumbuhan ikan, mortalitas, dan periode pemeliharaan (Gambar 19).

102 Submodel Biomassa Ikan Kerapu No of KJA Panen Biomassa Total Pakan Biomassa ~ Wt growth day Pakan harian Stocking density SR rearing periode pct pakan Gambar 19 Konsep submodel produksi biomassa Ikan Kerapu Keterangan Gambar: No of KJA : Jumlah Keramba Jaring apung Stocking density : padat tebar SR : rata-rata kehidupan (survival rate) Rearing periode : periode pemeliharaan Growt day : pertumbuhan harian Biomass : jumlah berat produksi ikan Pct pakan : prosentase pakan Submodel produksi biomassa ikan dibangun mengacu pada respon pertumbuhan, rasio konversi pakan, sintasan, padat tebar, dan jumlah pakan harian dengan asumsi tidak dipengaruhi oleh musim. Asumsi ini didasari atas pengukuran semua parameter biofisik dan kimia selama penelitian relatif sama antara musim hujan dan kemarau yang menunjukan bahwa lingkungan perairan Teluk Tamiang memiliki kondisi biofisik dan kimia yang tidak berfluktuasi karena berada di wilayah tropis yang tidak berpotensi besar memiliki perubahan iklim yang drastis. Hasil simulasi model dengan mengoperasionalkan 1 (satu) unit KJA selama 18 hari pemeliharaan menghasilkan produksi biomassa sebanyak kg dengan total pakan sebanyak kg dan berat rata-rata sebesar 27.2 gr(tabel 3). Tabel 3 Hasil simulasi produksi biomass ikan Kerapu dan total pakan Lama pemeliharaan (hari) Total Pakan yang digunakan (Kg) Persentase kehidupan ikan (%) Produksi Biomass Ikan Kerapu (Kg) Berat ikan per ekor (gr)

103 2. Submodel produksi limbah budidaya diperairan dan antropogenik, menggambarkan perubahan loading bahan organik, kandungan total phosphate, total nitrogen, nutrifikasi, dipengaruhi oleh faktor-faktor jumlah pakan yang dikonsumsi (efisien pakan), jumlah pakan yang tidak dikonsumsi, jumlah feses, produksi biomassa kerapu, retensi phosphate dan nitrogen dalam kerapu, kandungan phosfat dan nitrogen dalam pakan, limbah pemukiman, peternakan, volume air pada saat pasang tinggi dan rendah, level hypernutrifikasi, dan baku mutu biota laut (Budidaya Perikanan) (KEPMENLH 1/tahun 2) (Gambar 2). Sub-Model Beban Limbah N,P,OM Budiday a dan non-budiday a (antrop) Pct N Uneaten f ood Pakan harian Pct P Uneaten f ood PCt N Cerna PCt P Cerna N Food N Food lost Tot waste load N P Food P Food lost Tot waste load P N Food Cerna Waste load N harian Pct P Retensi Pct N Retensi N Retensi P Retensi N Feces N Ekskresi N eaten Food Tot waste load OM P eaten Food Kum N Bud Waste load P harian P Food Cerna P FecesKum Con N non bddy a pct UF Waste load OM con n non tbk Uneaten f ood Total Pakan Feces P Eksresi Kum P Bud kum N non bud N tot Eaten f ood Kum Con P non budiday a Con P non tbk pkm RT Ternak Kum P non budiday a Vol Tlk P tot N Total Limbah Flushing Ternak1 Antrop Unit Krb P Total Limbah N bm EC per unit RT1 N bm1 KJA2 Unit KJA KJA1 Gambar 2 Konsep submodel produksi limbah budidaya dan antropogenik Keterangan Gambar: Total waste load N : jumlah total limbah N yang masuk ke perairan Total waste load P : jumlah total limbah P yang masuk ke perairan Waste load OM : limbah bahan organik yang masuk ke perairan EC : eutophication culture : pengkayaaan bahan organik dari kegiatan budidaya Flushing time : lama pengenceran N bm : kadar Nitrogen (baku mutu) (KEPMNLH 1/2) Uneaten food : jumlah pakan yang tidak termakan Feces : ekskresi ikan Kum N non bud : akumulasi limbah dari kegiatan antropogenik Kum con P non budidaya : akumulasi P non budidaya Kum non N non budidaya : akumulasi N non budidaya Pct N cerna : Prosentase Nitrogen hasil cerna Pct P cerna : Prosentase phospor hasil cerna Sub model ini dibangun berdasarkan asumsi bahwa pakan yang terbuang tidak termakan dan feses yang dihasilkan dari kegiatan budidaya tidak dikonsumsi atau

104 diabsorbsi oleh organisme non budidaya sehingga beban limbah yang ada menggambarkan total beban limbah dari kegiatan budidaya KJA ikan kerapu. Hasil simulasi produksi limbah dari kegiatan budidaya KJA selama 18 hari pemeliharaan terakumulasi sebesar 178,8 kg Nitrogen (TN) dan 33,33 kg phospor (TP), (Tabel 3). Tabel 3 Hasil simulasi produksi limbah kegiatan budidaya KJA Ikan Kerapu selama 18 hari pemeliharaan Lama pemelihar aan (hari) N Retensi (kg) N Feses (kg) N Ekskresi (kg) P Ekskresi (kg) P Feses (kg) P Retensi (kg) Akumulasi P Budidaya (kg) Akumulasi N Budidaya (kg) 1 -,3 -,2 -,1 -,1 -,1 -,2 -,12 3,27 3,83 1,91 1,82 1,77,7,1 2,21 6 9,7 8,1 33,8 3,88 3,76 1,21 9,9 1, 9 1,22 12,78 3,3 6,8,9 1,9 1,3 8, ,68 17,68 73, 8,2 8,16 2,63 2,8 111, 1 2,6 22,88 9,96 1,89 1,6 3, 26,91 1, , 28,3 117,6 13,9 13,8,21 33,33 178,77 3. Sub model Ekonomi (pendapatan) dikembangkan untuk memberikan gambaran total biaya produksi (total cost), total penerimaan dan tingkat keuntungan budidaya KJA Ikan Kerapu (Gambar 21). Submodel Ekonomi Budiday a Ikan Kerapu dalan KJA Stocking density SR No of KJA Fish size Prod cost per kg unit prise Biomassa Size limit f or selling prise Tot cost Gross revenue Prof it Gambar 21 Konsep submodel ekonomi budidaya Ikan Kerapu Keterangan Gambar : Stocking density : padat tebar ikan SR : survival rate atau rata-rata kehidupan No of KJA : jumlah unit keramba jaring apung Unit prise : satuan harga Prod cost per kg : biaya produksi per kg ikan Total cost : jumlah total biaya Gross revenue : pendapatan kotor Profit : keuntungan

105 Submodel ini dikembangkan dengan asumsi ukuran yang dapat dipasarkan mencapai 3 gr/ekor dengan tingkat harga antara Rp. 3. Rp.. per kg ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dan total biaya (total cost) antara Rp. 1. Rp. 12. per kg ikan. Hasil simulasi dengan asumsi tingkat harga jual Rp. 3. per kg dan total biaya sebesar Rp.12. per kg ikan,maka keuntungan yang akan didapatkan sebesar Rp ,- per siklus pemeliharaan (Tabel 36) Tabel 36 Hasil simulasi produksi biomass dan keuntungan (Profit) Lama pemeliharaan (hari) Produksi Biomass Ikan Kerapu (Kg) Biaya Produksi per Kg ikan (Rp.) Ukuran Ikan panen (kg) Harga/kg ikan (Rp.) Keuntungan (Rp.) , 3., , , 3., , , 3.,.62., , 3., , , 3., 1.3., , 3., ,.3 Evaluasi Model Evaluasi dilakukan dengan membandingkan performansi model dari hasil simulasi beberapa peubah dengan hasil perhitungan lapangan. Perbandingan dilakukan terhadap produksi ikan (biomass), jumlah pakan yang digunakan, dan jumlah produksi limbah organik (total nitrogen/tn dan total phosphat/tp) yang dihasilkan baik dari hasil kegiatan budidaya maupun limbah antropogenik. Hasil simulasi pemodelan dibandingkan dengan data pengukuran di lapangan yang tersedia mendapatkan hasil yang menyatakan bahwa tidak berbeda nyata (Analisis Statistik Uji t beda nyata). Perbandingan antara perhitungan model simulasi dengan perhitungan lapangan dapat dijelaskan sebagai berikut : 1) Produksi biomassa Jumlah produksi biomassa ikan kerapu selama 18 hari pemeliharaan dari hasil perhitungan lapangan dari awal pemeliharaan sebanyak 162 kg, hari ke 3 sebanyak kg, hari ke 6 sebanyak 19. kg, hari ke 9 sebanyak 22. kg, hari ke 12 sebanyak 21.3 kg, hari ke 1 sebanyak kg, dan hari ke 18 sebanyak kg. Dari hasil simulasi model didapatkan data produksi biomassa ikan yaitu pada hari awal pemeliharaan sebanyak 162. kg, hari ke 3 sebanyak kg, hari ke 6 sebanyak 19.3 kg, hari ke 9 sebanyak 22. kg, hari ke 12

106 sebanyak 21.7 kg, hari ke 1 sebanyak kg, dan hari ke 18 sebanyak kg. Hasil perhitungan lapangan didapatkan produksi biomassa pada umur 3 hari seberat 162. kg menjadi kg pada akhir pemeliharaan. Sedangkan dari hasil simulasi model didapatkan produksi biomassa seberat 162. kg pada masa pemeliharaan hari ke 3 menjadi kg pada hari ke 18. Hari hasil uji statistik (uji t beda nyata) menunjukan bahwa antara hasil perhitungan lapangan dengan simulasi model tidak ada perbedaan (df = 6, t = -.18, α >.) (Lampiran 16). 2) Total pakan yang digunakan Jumlah pakan ikan kerapu selama 18 hari pemeliharaan dari hari ke 3 sebanyak 19. kg, hari ke 6 sebanyak kg, hari ke 9 sebanyak kg, hari ke 12 sebanyak 22. kg, hari ke 1 sebanyak 27.8 kg, dan hari ke 18 sebanyak 271. kg. Dari hasil simulasi model didapatkan data produksi biomassa ikan yaitu pada hari ke 3 sebanyak 196. kg, hari ke 6 sebanyak 21.2 kg, hari ke 9 sebanyak 23.1 kg, hari ke 12 sebanyak 23. kg, hari ke 1 sebanyak kg, dan hari ke 18 sebanyak kg. Hasil perhitungan lapangan didapatkan bahwa dari awal pemeliharaan umur 3 hari dibutuhkan pakan sebanyak 19. kg menjadi 271. kg. Sedangkan dari hasil simulasi model didapatkan data jumlah pakan yang dibutuhkan dari 196. kg pada masa pemeliharaan hari ke 3 menjadi kg pada hari ke 18. Hasil uji statistik (uji t beda nyata) menunjukan bahwa antara hasil perhitungan lapangan dengan simulasi model tidak ada perbedaan (df = 6, t = -1.3, α >.) (Lampiran 16). 3) Total limbah Budidaya dan Antropogenik Total limbah nitrogen Jumlah produksi limbah (total nitrogen/tn) selama 18 hari pemeliharaan dari hasil perhitungan lapangan dan hasil simulasi model yakni sebanyak kgn limbah pakan perhitungan lapangan menjadi kg N hasil simulasi, 31.9 kg N yang terbuang data lapangan menjadi 32.8 kg N hasil simulasi model, 1. kg N yang dicerna dari perhitungan lapangan menjadi 12.8 kg N hasil simulasi, 3.7 kg N retensi hasil lapangan menjadi 31. kg N hasil simulasi, 27.6 kg N feses hasil perhitungan lapangan menjadi 28. kg hasil simulasi model, 11.7 kg N ekskresi

107 hasil perhitungan menjadi kg N hasil simulasi model dan 17.1 kg N akumulasi perhitungan lapangan menjadi kg N pada hasil simulasi. Dari hasil uji statistik (uji t beda nyata) menunjukan bahwa antara hasil perhitungan lapangan dengan simulasi model tidak ada perbedaan (df = 6, t =.3, α >.). Total limbah phosphor Jumlah produksi limbah (total phospor/tp) selama 18 hari pemeliharaan dari hasil perhitungan lapangan dan hasil simulasi model yakni sebanyak 36.6 kgp limbah pakan perhitungan lapangan menjadi 37.6 kg P hasil simulasi, 6.6 kg P yang terbuang data lapangan menjadi 6.8 kg P hasil simulasi model, 29.9 kg P yang dicerna dari perhitungan lapangan menjadi 17.7 kg P hasil simulasi,.1 kg P retensi hasil lapangan menjadi.2 kg P hasil simulasi, 12.7 kg P feses hasil perhitungan lapangan menjadi 13.1 kg P hasil simulasi model, 13.1 kg P ekskresi hasil perhitungan menjadi 13. kg P hasil simulasi model dan 32. kg P akumulasi perhitungan lapangan menjadi 33.3 kg P pada hasil simulasi model. Dari hasil uji statistik (uji t beda nyata) menunjukan bahwa antara hasil perhitungan lapangan dengan simulasi model tidak ada perbedaan (df = 6, t =.723, α >.) (Lampiran 16). Dari hasil evaluasi secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa model yang dibangun memberikan hasil yang bersesuaian dengan kondisi nyata walaupun data lapangan secara harian tidak tersedia namun dinamika temporal dari proses biologi secara eksplisit dapat tergambar dalam model yang mampu mencirikan dinamika produksi biomass, total pakan yang digunakan dan dinamika produksi limbah yang dihasilkan. Perbedaan nilai yang terjadi antara perhitungan lapangan dan model simulasi meskipun secara statistik tidak berbeda nyata, hal ini diakibatkan oleh waktu perhitungan, dimana dalam model simulasi mengacu pada perbedaan waktu harian (dt) sedangkan pengukuran dilapangan dilakukan sampling secara berkala dengan interval waktu 1 bulan (3 hari). Dengan demiikian, prediksi model lebih mencirikan proses biologi yang terjadi pada sistem budidaya ikan. Tidak adanya perbedaan nyata secara statistik antara prediksi model simulasi dengan data perhitungan lapangan (data empirik) mengindikasikan bahwa model yang

108 dibangun dapat digunakan untuk memprediksi perkembangan produk biomass ikan, kebutuhan pakan dan limbah yang akan dihasilkan selama pemeliharaan (3) Simulasi Skenario Dasar Pengambilan Kebijakan Pengelolaan Skenario untuk dasar pengambilan kebijakan dilakukan dengan melakukan simulasi sebagai suatu rancangan kebijakan yang memungkinkan dilakukan dalam keadaan nyata didasarkan pada model yang dibuat. Sebagai suatu strategi pengelolaan kualitas lingkungan berbasis daya dukung untuk pengembangan KJA ikan kerapu yang optimal dan berkelanjutan, rancangan kebijakan dilakukan melalui kajian skenario yang disusun berdasarkan hasil analisis prospektif. Dalam menghubungkan antara skenario yang disusun kedalam model, dilakukan interpretasi kondisi faktor kedalam peubah model. Dalam hal ini dilakukan beberapa perubahan pada peubah tertentu didalam model, sehingga skenario yang bersangkutan dapat disimulasikan. Beberapa skenario yang akan disimulasikan antara lain skenario optimis, moderat dan pesimis. Analisis skenario dilakukan terhadap beberapa peubah yang memungkinkan untuk dilakukan dalam kondisi nyata (real world), yaitu laju perkembangan KJA, populasi (pada sub model produksi/teknologi budidaya), N dan P pakan (pada sub model limbah budidaya), dan submodel ekonomi. Kemampuan sistem pengelolaan kualitas lingkungan berbasis daya dukung dalam menghasilkan output yang dikehendaki dapat dianalisis pada beberapa indikator sebagai ukuran kemampuan sistem dengan melakukan running model. Simulasi skenario dalam penelitian ini mengkombinasikan besaran persentase (%) kontribusi limbah dari aktivitas antropogenik yang berasal dari pemukiman (rumah tangga) dan komoditas peternakan dengan tingkat padat tebar ikan kerapu (ekor/m 3 ) yang dipelihara dalam keramba jaring apung diduga mendapatkan respon yang berbeda-beda antar skenario. Out put akhir dari kombinasi kontribusi limbah tersebut dengan padat tebar adalah untuk mendapatkan data dugaan yang meliputi total pakan yang dibutuhkan, total produksi biomass ikan, dan total limbah bahan organik yang dihasilkan, serta dugaan jumlah unit KJA yang dapat dibudidayakan tanpa melampaui daya dukung perairan Teluk Tamiang. Beberapa alasan yang mendasari kepadatan ikan menjadi salah satu komponen dalam membuat skenario pengelolaan adalah karena salah satu faktor penting dalam menunjang keberhasilan kegiatan budidaya ikan terutama dalam terutama penentuan jumlah input pakan, obat-obatan dan input

109 budidaya ikan lain yang akan diberikan. Alokasi input produksi melebihi daya dukung akan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan yang pada akhirnya akan mempengaruhi keberlanjutan budidaya itu sendiri. Karena itu aktivitas budidaya laut yang berkelanjutan membutuhkan input nutrien dan kimiawi pada level yang tidak melebihi daya dukung lingkungan. Skenario Optimis Pada simulasi skenario optimis dengan kombinasi antara besaran kontribusi dari antropogenik sebesar 1% dari total limbah aktivitas rumah tangga dan kegiatan peternakan di daratan dengan padat tebar ikan kerapu yang dipelihara dalam keramba jaring apung sebesar 1 ekor m -3 atau sebanyak 338 ekor per keramba seluas 22. m -3 (3 x 3 x 2, m), didapatkan data dugaan jumlah total bahan organik sebesar 13, kg, produksi biomass ikan sebesar 178,2 kg, total pakan sebanyak 1.8, kg dengan jumlah unit sebanyak 12 1 unit atau keramba. Selanjutnya dari hasil simulasi skenario optimis dengan kombinasi antara besaran kontribusi dari antropogenik sebesar 1% dari total limbah aktivitas rumah tangga dan kegiatan peternakan di daratan dengan padat tebar ikan kerapu yang dipelihara dalam keramba jaring apung sebanyak 2 ekor m -3 atau ekor per keramba seluas 22. m -3, didapatkan data dugaan jumlah total bahan organik sebesar 78, kg, produksi biomass ikan sebesar kg, total pakan sebanyak 1..2 kg dengan jumlah unit sebanyak 1 3 unit atau 17 keramba. Hasil yang didapatkan dugaan tingkat produktivitas lebih besar namun jumlah unit KJA lebih kecil dibandingkan dengan tingkat kepadatan 1 ekor m -3. Kemudian dari hasil simulasi skenario optimis dengan kombinasi antara besaran kontribusi dari antropogenik sebesar 1% dari total limbah aktivitas rumah tangga dan kegiatan peternakan di daratan dengan padat tebar ikan kerapu yang dipelihara dalam keramba jaring apung sebanyak 2 ekor m -3 atau 63 ekor per keramba seluas 22. m - 3, didapatkan data dugaan jumlah total bahan organik sebesar 3.7 kg, produksi biomass ikan sebesar kg, total pakan sebanyak kg dengan jumlah unit sebanyak 9 29 unit atau 1 keramba. Hasil yang didapatkan dugaan tingkat produktivitas lebih besar namun jumlah unit KJA lebih kecil dibandingkan dengan tingkat kepadatan 2 ekor m -3. Dari hasil simulasi kombinasi antara kontribusi limbah antropogenik sebesar 1 % pada skenario optimis didapat jumlah unit KJA yang dapat diterapkan (sesuai

110 daya dukung) maksimal pada tingkat baku mutu, yaitu 12 1 unit KJA dengan padat tebar 1 ekor m -3, menghaslkan tingkat produktivitas kg per keramba, namun pada jumlah 1 3 unit KJA dengan padat tebar 2 ekor m -3 menghasilkan tingkat produktivitas kg per keramba, dan jumlah unit 9 29 unit KJA dengan padat tebar 2 ekor m -3 menghasilkan tingkat produktivitas kg per keramba. Bila dilihat dari tingkat prduktivitas yang dihasilkan dari skenario diatas terlihat bahwa dengan tingkat kepadatan 2 ekor m -3 menghasilkan tingkat produktivitas kg per keramba lebih tinggi dari tingkat kepadatan 1 dan 2 ekor m -3, namun jumlah unit KJA lebih sedikit. Implikasi dari skenario optimis adalah perlu dilakukan penurunan level aktivitas antropogenik di daratan yaitu melakukan pengurangan dari level aktivitas dari 2 jiwa menjadi 2.1 orang (dibulatkan 21 orang), menurunkan level aktivitas sebesar 9% dari kondisi saat ini, dan level aktivitas ternak hanya sebanyak 9. ekor (dibulatkan 1 ekor) dari jumlah ternak saat ini yaitu sebanyak 9 ekor. Skenario Moderat Simulasi skenario optimis kombinasi antara besaran kontribusi dari antropogenik sebesar 2% dari total limbah aktivitas rumah tangga dan kegiatan peternakan di daratan dengan padat tebar ikan kerapu yang dipelihara dalam keramba jaring apung sebanyak 1 ekor m -3 atau 338 ekor per keramba seluas 22. m -3, didapatkan data dugaan jumlah total bahan organik sebesar 6.9 kg, produksi biomass ikan sebesar kg, total pakan sebanyak 1.8. kg dengan jumlah unit sebanyak 8 2 unit atau 12 keramba. Selanjutnya dari hasil simulasi skenario moderat dengan kombinasi antara besaran kontribusi dari antropogenik sebesar 2% dari total limbah aktivitas rumah tangga dan kegiatan peternakan di daratan dengan padat tebar ikan kerapu yang dipelihara dalam keramba jaring apung sebanyak 2 ekor m -3 atau ekor per keramba seluas 22. m -3, didapatkan data dugaan jumlah total bahan organik sebesar 611. kg, produksi biomass ikan sebesar kg, total pakan sebanyak 1..2 kg dengan jumlah unit sebanyak 7 23 unit atau 3 11 keramba. Hasil yang didapatkan dugaan tingkat produktivitas lebih besar namun jumlah unit KJA lebih kecil dibandingkan dengan tingkat kepadatan 1 ekor m -3 (Lampiran 13). Kemudian dari hasil simulasi skenario moderat dengan kombinasi antara besaran kontribusi dari antropogenik sebesar 2% dari total limbah aktivitas rumah

111 tangga dan kegiatan peternakan di daratan dengan padat tebar ikan kerapu yang dipelihara dalam keramba jaring apung sebanyak 2 ekor m -3 atau 63 ekor per keramba seluas 22. m -3, didapatkan data dugaan jumlah total bahan organik sebesar kg, produksi biomass ikan sebesar kg, total pakan sebanyak kg dengan jumlah unit sebanyak 6 2 unit atau 3 1 keramba. Hasil yang didapatkan dugaan tingkat produktivitas lebih besar namun jumlah unit KJA lebih kecil dibandingkan dengan tingkat kepadatan 2 ekor m -3. Dari hasil simulasi kombinasi antara kontribusi limbah antropogenik sebesar 2 % pada skenario moderat didapat jumlah unit KJA yang dapat diterapkan (sesuai daya dukung) maksimal pada tingkat baku mutu, yaitu 8 2 unit dengan padat tebar 1 ekor m -3, menghaslkan tingkat produktivitas kg per keramba, namun untuk jumlah unit sebanyak 7 23 unit dengan padat tebar 2 ekor m -3 menghasilkan tingkat produktivitas kg per keramba, dan bila jumlah unit sebanyak 6 2 unit dengan padat tebar 2 ekor m -3 menghasilkan tingkat produktivitas kg per keramba. Skenario Pesimis Simulasi skenario optimis kombinasi antara besaran kontribusi dari antropogenik sebesar % dari total limbah aktivitas rumah tangga dan kegiatan peternakan di daratan dengan padat tebar ikan kerapu yang dipelihara dalam keramba jaring apung sebesar 1 ekor m -3 atau sebanyak 338 ekor per keramba seluas 22. m -3, dari hasil simulasi tersebut didapatkan data dugaan jumlah total bahan organik sebesar 68.2 kg, produksi biomass ikan sebesar kg, total pakan sebanyak 1.8, kg dengan jumlah unit sebanyak 6 18 unit atau 3 9 keramba. Selanjutnya dari hasil simulasi skenario pesimis dengan kombinasi antara besaran kontribusi dari antropogenik sebesar % dari total limbah aktivitas rumah tangga dan kegiatan peternakan di daratan dengan padat tebar ikan kerapu yang dipelihara dalam keramba jaring apung sebanyak 2 ekor m -3 atau ekor per keramba seluas 22. m -3, didapatkan data dugaan jumlah total bahan organik sebesar 7.8 kg, produksi biomass ikan sebesar 237,2 kg, total pakan sebanyak 1..2 kg dengan jumlah unit sebanyak 17 unit atau 2 8 keramba. Hasil yang didapatkan dugaan tingkat produktivitas lebih besar namun jumlah unit KJA lebih kecil dibandingkan dengan tingkat kepadatan 1 ekor m -3 (Lampiran 12). Namun hasil simulasi skenario pesimis dengan kombinasi antara besaran kontribusi dari antropogenik sebesar % dari total limbah aktivitas rumah tangga dan

112 kegiatan peternakan di daratan dengan padat tebar ikan kerapu yang dipelihara dalam keramba jaring apung sebanyak 2 ekor m -3 atau 63 ekor per keramba seluas 22. m -3, didapatkan data dugaan jumlah total bahan organik sebesar 81. kg, produksi biomass ikan sebesar kg, total pakan sebanyak kg dengan jumlah unit sebanyak 16 unit atau 2 8 keramba. Hasil yang didapatkan dugaan tingkat produktivitas lebih besar namun jumlah unit KJA lebih kecil dibandingkan dengan tingkat kepadatan 2 ekor m -3. Dari hasil simulasi kombinasi antara kontribusi limbah antropogenik sebesar % pada skenario pesimis didapatkan jumlah unit KJA yang dapat diterapkan (sesuai daya dukung) maksimal pada tingkat baku mutu, yaitu 6 18 unit dengan padat tebar 1 ekor m -3, menghaslkan tingkat produktivitas kg per keramba, namun bila jumlah unit sebanyak 17 unit dengan padat tebar 2 ekor m -3 maka akan menghasilkan tingkat produktivitas kg ikan per keramba, dan bila jumlah unit sebanyak 16 unit dengan padat tebar 2 ekor m -3 menghasilkan tingkat produktivitas kg per keramba. Implikasi dari skenario pesimis adalah terjadinya peningkatan level aktivitas (jumlah penduduk) dengan meningkatnya level aktivitas sebanyak 8.2 orang (dibulatkan 8) menjadi 28 orang (%). Bila laju pertumbuhan penduduk Teluk Tamiang sekitar % per tahun maka kondisi ini diperkirakan akan terjadi pada 1 tahun kedepan. Untuk level aktivitas ternak sebanyak 37.2 ekor (dibulatkan 37 ekor) dari jumlah ternak saat ini meningkat dari 9 ekor menjadi 132 ekor (38,9%). Hasil simulasi skenario yang telah dilakukan dengan kombinasi antara besar kontribusi limbah dari antropogenik dengan padat tebar ikan kerapu pada aktivitas budidaya di perairan teluk menghasilkan beberapa alternatif untuk dapat dijadikan referensi bagi perencanaan pengelolaan kawasan perairan teluk sebagai kawasan pengembangan kegiatan budidaya ikan yang berkelanjutan berbasis daya dukung (Gambar 21). Perbandingan dari ketiga skenario diatas dapat dilihat pada Tabel 37 berikut :

113 Tabel 37 Perbandingan tiga skenario (data empirik dan data model simulasi) Skenaario Pesimis (kontrobusi %) Moderat (kontribusi 2%) Optimis (kontribusi 1%) Unit rakit/kja 17 unit (2 83 KJA) 8 2 unit (38 12 KJA) 12 unit (6 2 KJA) Daya Dukung 16 2 unit (8 26 KJA Data Empirik Produksi Biomass (kg) Total Pakan (Kg) , , , , , ,2 Unit rakit/kja 18 unit (2 9 KJA) 6-2 unit (3-12 KJA) 9-1 unit (-2 KJA) 16-2 unit (8-26 KJA) Data Model Simulasi Produksi Biomass (Kg) 6.16, 2.1, 8.18, , 12.2,9.67, ,2 Total Pakan (Kg) 36.8, , , 72.7,8-2.71,1 19.7, 36.79,9 Nilai Keuntungan (Rp) Satuan Jumlah Unit Rakit Perbandingan Antar Skenario 6 3 Daya Dukung (Min/BM 2.3 ppm); Optimis ; 1 16 Daya Dukung (Min/BM.3 ppm) Zona Pengelolaan Moderat; 2 Pesimis; 17 Daya Dukung (Max/BM 1 ppm); 2 Optimis Moderat Pesimis Daya Dukung (Max/BM 1 ppm) Skenario Gambar 21 Grafik perbandingan antar skenario pengelolaan kualitas lingkungan perairan Teluk Tamiang Pada Gambar 21 terlihat bahwa kisaran jumlah unit untuk 3 (tiga) skenario belum melampaui daya dukung teluk sehingga skenario pengelolaan yang akan dilaksanakan masih berada dalam rentang batas minimal dan maksimal dari baku mutu air laut untuk pengembangan budidaya KJA Ikan Kerapu.

114 .11. Pengembangan Budidaya KJA Ikan Kerapu Berbasis Daya Dukung di Perairan Teluk Tamiang Dalam mencapai keberhasilan pengembangan budidaya ikan sangat tergantung pada kondisi lingkungan perairan sekitarnya, maka bila terjadi penurunan kualitas lingkungan merupakan persoalan yang serius, karenanya kemampuan menentukan daya dukung lingkungan untuk keperluan budidaya merupakan suatu kebutuhan yang mendesak. Budidaya dalam keramba, seperti halnya system budidaya lainnya memerlukan kualitas perairan yang baik dan sangat mempengaruhi pemilihan suatu lokasi budidaya. Pemilihan lokasi yang benar dan sesuai daya dukung adalah suatu hal yang sangat penting karena hal ini mempengaruhi keberlanjutan kegiatan secara ekonomis (Lawson, 199). Meskipun demikian, ketersediaan wilayah yang sesuai untuk kegiatan budidaya pada saat ini mulai berkurang dikarenakan menurunnya kualitas lingkungan. Sehingga, persyaratan pertama untuk keberlanjutan kegiatan budidaya adalah tersedianya system alokasi sumberdaya untuk budidaya. Sistem yang demikian harus diterapkan dalam konteks pendekatan perencanaan terpadu dibandingkan hanya menciptakan serangkaian peraturan untuk menghindari kerusakan lingkungan (Perez et al., 23) Daya Dukung Fisik (Ekologi) Perairan Luas perairan Teluk Tamiang yang layak untuk pengembangan budidaya KJA Ikan Kerapu seluas 38 ha yang didasarkan berdasarkan kelayakan bioteknis yang menjadi penentu daya dukung fisik perairan yaitu kedalaman, kecepatan arus, gelombang, suhu, oksigen terlarut, salinitas, substrat dasar, dan kecerahan. Daya dukung lingkungan perairan teluk bagi pengembangan KJA ikan kerapu diperoleh kisaran antara 18,8 62, ton ikan atau sebanyak 16 2 unit (8 26 KJA) (produksi optimal maksimal) untuk 1 kali musim tanam/tahun dengan asumsi tingkat produktivitas,2 ton/keramba/musim pemeliharaan dengan volume keramba m -3 (3 x 3 x 2, m). Bila dilakukan pola tanam sebanyak 2 kali dalam 1 tahun maka total produksi ikan yang dapat dihasilkan adalah sebesar 37,6 12 ton ikan kerapu.

115 Daya Dukung Produksi Biomass Ikan Hasil percobaan pemeliharaan ikan didapatkan tingkat produktivitas sebesar 27,6 kg per keramba dengan padat tebar 2 ekor per m 3 pada ukuran ikan tebar seberat 36 gr per ekor atau sebanyak ekor per keramba dimana sintasan dapat mencapai 1% dengan periode pemeliharaan selama 6 bulan (18 hari). Jenis pakan yang digunakan dalam pemeliharaan adalah jenis ikan pakan rucah (alami) yang berasal dari hasil tangkapan ikan nelayan setempat yang cukup tersedia sepanjang musim. Beberapa faktor pembatas daya dukung produksi ikan di Teluk Tamiang adalah keberadaan limbah baik yang berasal dari aktivitas budidaya itu sendiri maupun yang berasal dari daratan yang berasal dari aktivitas antropogenik. Keberadaan limbah bahan organik tersebut secara langsung akan berdampak kepada ketersediaan oksigen yang ada di perairan dan sangat menentukan tingkat kehidupan ikan budidaya Daya Dukung Sosial Ekonomi Dalam menentukan Teluk Tamiang sebagai kawasan pengembangan budidaya keramba jaring apung ikan kerapu yang terpadu dan berkelanjutan telah mempertimbangkan pola pemanfaatan yang sudah berlangsung saat ini yaitu kegiatan budidaya rumput laut dan alur pelayaran. Tujuannnya adalah agar keberadaan budidaya ikan yang akan dikembangkan tidak mengganggu alur pelayaran dan aktivitas lainnya secara timbal balik sehingga dapat dihindari konflik kepentingan antar stakeholders sekitar perairan teluk. Secara ekonomi pengembangan budidaya keramba jaring apung ikan kerapu cukup menjanjikan keuntungan dengan asumsi ukuran yang dapat dipasarkan mencapai 3 gr/ekor dengan tingkat harga antara Rp. 3. Rp.. per kg ikan kerapu bebek (Cromileptis Altivelis) dan total biaya (total cost) antara Rp. 1. Rp. 12. per kg ikan maka keuntungan yang akan didapatkan sebesar Rp ,- per siklus pemeliharaan per keramba. Daya dukung perairan teluk sangat terkait dengan partisipasi dan kerjasama seluruh pemangku kepentingan (Stakeholders) baik masyarakat maupun pemerintah disekitar teluk Tamiang. Peningkatan koordinasi antar instansi yang berkompeten terhadap kelestarian teluk perlu terus ditingkatkan. Berdasarkan uraian secara keseluruhan, pendekatan sistem dengan model yang dibuat dalam pengelolaan kualitas lingkungan berbasis daya dukung dapat memberikan gambaran eksploratif untuk pendugaan, pemahaman dan penunjang

116 keputusan yang berguna bagi pengelolaan kualitas lingkungan dalam pengembangan budidaya KJA ikan kerapu secara berkelanjutan..12. Implikasi Kebijakan Operasional Implikasi kebijakan operasional yang dapat ditempuh antara lain : a) Penataan kawasan pemukiman di sekitar perairan Teluk Tamiang dengan melakukan pembatasan dan penataan rumah penduduk. b) Memberikan penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran kepada masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan perairan teluk dengan tidak menjadikan perairan teluk sebagai tempat pembuangan sampah. c) Penurunan jumlah beban limbah yang berasal dari aktifitas antropogenik dengan mengupayakan pada penekanan laju pertumbuhan penduduk,membatasi dan menata pemukiman penduduk di sekitar Teluk Tamiang. d) Melakukan kegiatan diseminasi paket teknologi budidaya yang ramah lingkungan dengan menekankan pada peningkatan pengetahuan managemen budidaya keramba jaring apung. e) Perlu ada Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten sebagai bentuk dari tanggungjawab pemerintah untuk mengatur pemanfaatan Teluk Tamiang secara lestari baik dalam penentuan tingkat penerapan teknologi budidaya, pembatasan jumlah keramba jaring apung dalam instrumen regulasi izin usaha, dan penataan pemukiman/ruang agar harmonis dengan aktivitas lainnya..13. Strategi Pengelolaan untuk Pengembangan Budidaya Kerapu Sistem KJA di Pesisir Teluk Tamiang Secara bekelanjutan Beberapa langkah strategi yang perlu diperhatikan antara lain : 1. Tata aturan pengelolaan bersama dibuat dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan artinya pemanfaatan sumberdaya pesisir haruslah berbasis kepada aspek daya dukung lingkungan perairan sebagai batas optimal pengelolaan disamping harus pula mempertimbangkan faktor ekonomi dan sosial. Nilai daya dukung perairan yang telah ditetapkan dan diuraikan sebelumnya hendaknya dapat menjadi salah satu masukan didalam menyusun strategi pengelolaan bersama guna menentukan batas-batas wilayah pengelolaan untuk masingmasing pengguna

117 2. Limbah hasil kegiatan budidaya ikan dalam KJA baik berupa sisa pakan, feses dan ekskresi yang terbuang kedalam perairan teluk (badan air) merupakan bahan pencemar organik yang dapat mempengaruhi tingkat kesuburan (eutrofikasi) dan kelayakan kualitas air bagi kehidupan ikan budidaya dan biota perairan lainnya. Untuk mengantisipasi penurunan kelayakan habitat dan dampaknya terhadap lingkungan perairan budidaya, maka perlu dilakukan upaya-upaya diantaranya adalah efisiensi pakan melalui teknik pemberian pakan yang baik (frekuensi dan dosis pakan yang tepat) dan pengaturan padat tebar ikan dengan perbaikan dari sisi manajemen budidaya. 3. Untuk meminimalisasi limbah dari aktivitas didaratan antara lain berasal dari kegiatan peternakan, dan pemukiman (rumah tangga), maka perlu dilakukan upaya-upaya antara lain : (1) membuat sarana tempat pembuangan sampah akhir di daratan yang mudah dijangkau, (2) memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa pesisir teluk bukan merupakan tempat pembuangan sampah akan tetapi adalah ladang untuk kehidupan dan mendapatkan mata pencaharian, dan (3) melakukan kegiatan pemeliharaan ternak yang jauh dari wilayah pesisir () Penataan kawasan pemukiman penduduk disekitar Teluk Tamiang.. Rencana pengembangan diarahkan dalam sistem perencanaan pengembangan wilayah pesisir secara terpadu yang dituangkan dalam bentuk peraturan daerah. Sistem ini akan bermanfaat untuk acuan perizinan dan akses kompromi antar stakeholders yang mencakup aspek persetujuan pemanfaatan wilayah untuk budidaya, transportasi laut dan pengelolaan pelestarian sumberdaya perairan, peternakan dan pemukiman yang dibangun dalam konteks pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan (integrated and sustainable).

118 V. SIMPULAN DAN SARAN.1. Simpulan 1. Model pengelolaan kualitas lingkungan perairan Teluk Tamiang berbasis daya dukung untuk pengembangan budidaya ikan dalam KJA ikan kerapu yang dibangun dapat menggambarkan perilaku system yang nyata dan dapat digunakan sebagai alat bantu analisis dalam memformulasi kebijakan pengelolaan perairan untuk pengembangan kawasan budidaya. Data dan informasi yang terkait dengan pengelolaan budidaya KJA diperoleh melalui pendekatan simulasi. Model ini dapat digunakan untuk pemahaman, pendugaan (prediction) dan optimasi alokasi sumberdaya perikanan budidaya pada batas level minimum resiko kerusakan lingkungan. 2. Beban limbah budidaya kerapu dalam KJA yang terbuang ke lingkungan perairan masih cukup tinggi dan berpotensi menimbulkan pengkayaan nutrient N dan P kedalam lingkungan perairan. Untuk memproduksi kg ikan dibutuhkan sebanyak kg pakan rucah (FCR.9). Total bahan organik partikel yang dihasilkan sebesar 77. kg (.3%) dari total pakan. 3. Dari kedua metode pendekatan yang digunakan dalam pendugaan daya dukung lingkungan perairan teluk bagi pengembangan KJA ikan kerapu diperoleh kisaran produksi ikan antara ton ikan atau 16 2 unit (8 26 KJA) pada tingkat baku mutu ammonia (NH 3 N).3 dan 1 ppm (produksi optimal maksimal) untuk 2 kali musim tanam/tahun.. Dari hasil simulasi skenario (optimis, moderat, dan pesimis) yang telah dilakukan dari kombinasi antara besar kontribusi limbah antropogenik dengan padat tebar ikan kerapu yang berbeda pada aktifitas budidaya di perairan teluk, menghasilkan beberapa alternatif untuk dapat dijadikan referensi bagi perencanaan pengelolaan kawasan perairan teluk karena masih dalam rentang daya dukung perairan teluk sebagai kawasan pengembangan kegiatan budidaya ikan yang berkelanjutan.. Model yang dibangun agar lebih mudah diimplementasikan dihasilkan piranti lunak dalam bentuk Visual Basic, disebut MOCATYBUKEJARAPUPU 1. (Model Carrying Capacity Budidaya KJA Ikan Kerapu). Model penduga daya dukung perairan teluk untuk pengembangan budidaya KJA Ikan Kerapu.

119 .2. Saran 1. Upaya-upaya perbaikan ekosistem dan menyeimbangkan pemanfaatan perairan teluk melalui pendekatan eko-teknologi merupakan hal yang penting dilakukan untuk mengurangi degradasi kualitas lingkungan perairan teluk dalam menjamin kelangsungan usaha budidaya ikan di KJA sehingga kualitas airnya layak bagi kehidupan ikan. 2. Model pengelolaan yang dibangun dapat digunakan sebagai alat untuk memprediksi dampak dan optimasi pemanfaatan didasarkan pada variabel-variabel yang telah diketahui atau yang masih diasumsikan, oleh karena itu perlu ada kajian untuk lebih melengkapi kebutuhan dasar (perilaku sistem) agar mendekati kondisi yang sebenar benarnya antara lain tentang peran mikroorganisme sebagai pengurai (decomposer), ikan, plankton (zoo-p dan phyto-p) dan biota perairan lainnya. 3. Untuk pengembangan budidaya ikan dalam KJA di perairan Teluk Tamiang perlu ada identifikasi beban limbah dari pakan komersil (buatan) dan berbagai jenis ikan yang lain untuk dibudidayakan.. Upaya pengembangan budidaya KJA secara lestari dan berkelanjutan perlu didukung oleh sarana dan prasarana yang terkait dengan budidaya KJA serta penegakan peraturan dan penyuluhan kepada masyarakat untuk meningkatkan kesadaran akan kelestarian lingkungan perairan teluk.

120 DAFTAR PUSTAKA Abel, P.D Water Pollution Biology. Halsted Press. A Division of John Wiley & Sons. New York. Akbar, S dan Sudaryanto, 22. Pembenihan dan Pembesaran Kerapu Bebek. Penebar Swadaya. Jakarta. ). Ahmad T, Rukyani A. Wijono A Teknik budidaya laut dengan keramba jaring apung. P: Dalam Prosiding Temu Usaha Pemasyarakatan Teknologi Keramba Jaring Apung bagi Budidaya Laut. Jakarta, April 199. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, FPKKA Agri-Business Club. Jakarta. APHA (American Public Health Association), Standart Methods for the Examination of Water and Wastewater. American Public Health Association. Washington, DC. 87p. Arinardi, O.H Status Pengetahuan Plankton di Indonesia. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 3: Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) Maros, 2. Laporan Evaluasi Tingkat Kelayakan Perairan Teluk Tamiang Bagi Pengembangan Budidaya Laut. Barg, U. C Guidelines of the promotion of environmental management of coastal aquaculture development. FAO Fisheries Technical Paper 328, FAO, Rome. 122 pages. Beveridge, M.C.M Cage and pen farming: carrying capacity models and environmental impact. FAO Fish. Tech.Pap.2. FIRI/T2, 131p. Experiment Station, Auburn University, Alabama. 82p. Beveridge, M.C.M Cage Aquaculture. Second Edition. Fishing News Books. London. 36p. Boyd C. E Water quality in ponds for aquaculture. Alabama Agricultural Experiment Station, Auburn University, Alabama. 82p. Bourgeois, R. 22. Expert Meeting Methodology for Prospective Analysis. CIRAD Amis Ecopol. Clark, J Coastal Ecosystems: Ecological considerations for management of the the coastal zone. The Conservation Foundation, Washington, D.C. 178p. Cornel G. E, Whoriskey F. G The effects of rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) cage culture on the water quality, zooplankton, benthos and sediment of Lac du Passage, Quebec, Aquaculture, 19:

121 Dahuri, R Pengaruh pencemaran limbah industri terhadap potensi sumberdaya laut. Makalah pada Seminar Teknologi Pengolahan Limbah Industri dan Pencemaran Laut. BPPT, Jakarta. Davis, C.C, 19. The Marine and Fresh Water Plankton, Michigan State Universitas Press. DITJENBUDKAN, 2. Petunjuk Teknis Budidaya Laut. Budidaya Ikan Kerapu. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Direktorat Pembudidayaan. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL Duxbury and Duxbury Primer Productivity. Michigan State Universitas Press. Effendi, H. 23. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelanautan. IPB. Bogor. Eriyatno Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. IPB Press. Bogor. FAO, Food and Agriculture Organization of the United Nation. FAO Technical Guidelines For Responsible Fisheries. Roma. Furnichi, M Dietry Requirement. In Fish Nutrition in Mariculture (T. Watanabe ed). Japan International Cooperation Agency, p Forrrester, J.W Principles of Systems. Wright-Allen. Press, Inc. Massachusetts. GESAMP REPORTS AND STUDIES FAO. 21. Planning and Management for Sustainable Costal Aquaculture Development. Roma. Grant, W.E., E.K. Pedersen, and S.L. Marin Ecology and Natural Resource Management: System Analysis and Simulation. John Wiley & Sons. New York. Giri, N.A.,K. Suwirya, dan Marzuki Kebutuhan protein, lemak, dan vitamin C pada yuwana kerapu bebek (Cromileptes altivelis). Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia (3): Goldman R and A.J. Horne, Limnology. McGraw Hill International. Book Company. Auckland, New Zealand. 6p. Hall., C.A.S. and Day, Jr.,J.W. (Eds) Ecosystem modeling in theory and practice: An introduction with case histories. John Wiley & Sons, New York. 68 p. Hardjowigeno S, Widiatmika. 21.Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Tanah. Fakultas Pertanian Insitut Pertanian Bogor. Hartrisari, H. 22. Bahan Kuliah Analisis Sistem dan Pemodelan dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (Tidak dipublikasi). Program Pascasarjana SPL-IPB. Bogor.

122 Hutagalung H. P, Setiapermana D dan Riyono S.H., Metode Analisis Air laut, Sedimen dan Biota Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. 78 hal. Jeffers, J. N. R An Introduction to System Analysis:with ecological application. Edward Arnold, London, p1-11. Jorgensen, S.E Fundamentals of Ecological Modelling. Elsevier, Amesterdam. P:9-89. Kaswadji, R. F. Widjaja, F. and Wardianto Y Produktivitas Primer dan laju pertumbuhan fitoplankton di perairan pantai Bekasi. J. Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, (12):1-1. Kenchington R. A, Hudson B. E. T. (eds.) 198. Coral reef management handbook. Jakarta, Indonesia. UNESCO Regional Officer for Science and Technology in South-East Asia;281pp. Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 1 tahun 2. Tentang Baku Mutu Air Laut. Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup. Jakarta. Lawson TB Fundamentals of Aquacultural Engineering. Chapman & Hall, New York. 3 pp.. Lee, C.D.,S.B, Wang and Kuo Benthic Macro Invertebrate and Fish as Biological Indicators of Water Quality, with Reference to Community Diversity Index. International Conference of Water Pollutan Control in Developing Countries. Bangkok Thailand. McDonald M. E. Tikkanen C. A. Axler R. P. Larsen C. P. Host G Fish simulation culture model (FIS-C): a bioenergetics based model for aquacultural wasteload application. Aquacultural Engineering, 1(): Meade, J. W Aquaculture Management. AnAvi Book, Van Nostrand Reinhold, New York. 17p. Nontji A Biomassa dan Produktivitas Fitoplankton di Perairan Teluk Jakarta serta Keterkaitannya dengan Faktor-Faktor Lingkungan. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nugroho, A Budidaya Ikan Kerapu Di Kurungan Apung. Direktorat Jendral Perikanan. Jakarta. Nybakken, J.W., Biologi Laut. Suatu pendekatan ekologi. Penerbit CV. Gramedia Jakarta. Penerjemah Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, M Hutomo dan S. Sukardjo. 8 halaman. Odum, E.P Fundamental of ecology. Third Edition. W.B. Saunders Company. Toronto.

123 Parson, T.P., M. Takahashi and B, Hargrave Biological Oceanographie Process. Third Edition. Pergamon Press. Offord-New York-Toronto-Sydney- Paris-Frankfurt. Price, D.R.H Fish as Indicators of River Water Quality in A. James and Lillian Evison. Biology Indicators of Water Quality. John Wiley and Sons, New York. Perez OM, Ross LG, Telfer TC and del Campo Barquin LM. 23. Water Quality Requirements for Marine Fish Cage Site Selection in Tenerife (Canary Islands): predictive modelling and analysis using GIS. Aquaculture 22: Rachmansyah, 2. Analisis Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk Awarange Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan Bagi Pengembangan Budidaya Bandeng Dalam Keramba Jaring Apung. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ray, P. and N. G. S. Rao, 196. Density of Freshwater Diatom and Relation to some Physico-Chemical Condition of Water. Jurnal Fish. India. Rustam, 2. Analisis Dampak Kegiatan Pertambakan Terhadap Daya Dukung Kawasan Pesisir (Studi Kasus Tambak Udang Kabupaten Barru Sulawesi Selatan). Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. San Diego-McGlone. 26. Marine Science Institute University of Philippines. (McGlone, Sunyoto, P Pembesaran Kerapu dengan Keramba Jaring Apung. PT. Penebar Swadaya, Jakarta. Sushil System Dynamics. A Practical Approach for Managerial Problems. Wiley Eastern Limited. New Delhi. SEAFDEC Aquaculture Departemen Kelompok Kerja Perikanan APEC. Pembudidayaan dan Managemen Kesehatan Ikan Kerapu. 21. Sutarmat, T, Hanafi. A, Suwarya. K, Ismi. S, Wadoyo, Kawahara. S. 23. Pengaruh Beberapa Jenis Pakan Terhadap Performasi Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) di Keramba Jaring Apung. Jurnal Penelitian Perikanan Indoenesia. Edisi Akuakultur. Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dam Perikanan Republik Indonesia. Statistik Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2. Perikanan Republik Indonesia. Departemen Kelautan dan Tambaru, R. 2. Pengaruh waktu inkubasi terhadap Produkivitas Primer di Perairan Teluk Hurun. Tesis. Program Pascasarjana. Program Studi Ilmu Perairan. IPB. Bogor. Umaly, R. C. and L. A. Cuvin Limnologi: Laboratory and Field Guide Physico- Chemical Factors, Biology Factors. National Book Store Publik., Manila

124 Usman, Rachmansyah, Pongsapan DS. 22. Beban limbah budidaya ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dalam keramba jaring apung. Laporan Hasil Penelitian. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros. (UNEP) United Nations Enviroment Programme Training Manual on Assesment of the Wuantity and Type of Land-Based Pollution Discharges Into the Marine and Coastal Enviroment. RCU/EAS Technical Reports Series No.1. Velvin, R Environment Effects from Fish Farming. In : Poppe, T (Ed.), Textbook of Fish Health and Fish Diseases. Universitetforlaget, Oslo, Norway, pp 3 37 in Norwegian. Widigdo, B. 2. Penyusunan Kriteria Eko-Biologis untuk Pemulihan dan Pelestarian Kawasan Pesisir di Pantura Jawa Barat. PKSPL, Bogor Budidaya Kerapu dan Peluang Ekspor (Grouper Culvation to Face Export Challenge).

125 Piranti Lunak Visual Basic MOCATYBUKEJARAPUPU 1. (Model Carrying Capacity Budidaya KJA Ikan Kerapu)

126

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam (Bengen 2004). Peluang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan pesisir Teluk Bone yang terajut oleh 15 kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dan membentang sepanjang kurang lebih 1.128 km garis pantai

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

DAYA DUKUNG LINGKUNGAN PERAIRAN KECAMATAN MANTANG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU UNTUK KEGIATAN BUDIDAYA IKAN DALAM KERAMBA JARING APUNG

DAYA DUKUNG LINGKUNGAN PERAIRAN KECAMATAN MANTANG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU UNTUK KEGIATAN BUDIDAYA IKAN DALAM KERAMBA JARING APUNG DAYA DUKUNG LINGKUNGAN PERAIRAN KECAMATAN MANTANG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU UNTUK KEGIATAN BUDIDAYA IKAN DALAM KERAMBA JARING APUNG Mharia Ulfa Alumni Pascasarjana Ilmu lingkungan Program

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam 10 tahun terakhir, jumlah kebutuhan ikan di pasar dunia semakin meningkat, untuk konsumsi dibutuhkan 119,6 juta ton/tahun. Jumlah tersebut hanya sekitar 40 %

Lebih terperinci

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 186 BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Secara umum suhu air perairan Teluk Youtefa berkisar antara 28.5 30.0, dengan rata-rata keseluruhan 26,18 0 C. Nilai total padatan tersuspensi air di

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Juli 2014 untuk

III. METODE PENELITIAN. Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Juli 2014 untuk III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian pendahuluan dilaksanakan pada bulan Juli 2014 untuk mengetahui kondisi awal daerah penelitian dan mempersiapkan perlengkapan untuk pengambilan

Lebih terperinci

MANAJEMEN KUALITAS AIR

MANAJEMEN KUALITAS AIR MANAJEMEN KUALITAS AIR Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan kimia. Secara biologi, carrying capacity dalam lingkungan dikaitkan dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan kimia. Secara biologi, carrying capacity dalam lingkungan dikaitkan dengan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daya Dukung Penentuan carrying capacity dalam lingkungan dapat didekati secara biologi dan kimia. Secara biologi, carrying capacity dalam lingkungan dikaitkan dengan konsep ekologi

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON

ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON ANALISA PENCEMARAN LIMBAH ORGANIK TERHADAP PENENTUAN TATA RUANG BUDIDAYA IKAN KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN TELUK AMBON OLEH : CAROLUS NIRAHUA NRP : 000 PROGRAM PASCASARJANA BIDANG KEAHLIAN TEKNIK MANAJEMEN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah di sekitarnya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki lebih dari 500 danau dengan luas keseluruhan lebih dari 5.000 km 2 atau sekitar 0,25% dari luas daratan Indonesia (Davies et al.,1995), namun status

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan kurang lebih 17.508 buah pulau dan mempunyai panjang garis pantai 81.791 km (Supriharyono, 2002).

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Pulau Biawak merupakan suatu daerah yang memiliki ciri topografi berupa daerah dataran yang luas yang sekitar perairannya di kelilingi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki peranan penting sebagai wilayah tropik perairan Iaut pesisir, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sejak tahun 2004 di perairan Semak Daun, Kepulauan Seribu, mulai digalakkan sea farming. Sea farming adalah sistem pemanfaatan ekosistem perairan laut berbasis marikultur dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki 18 306 pulau dengan garis pantai sepanjang 106 000 km (Sulistiyo 2002). Ini merupakan kawasan pesisir terpanjang kedua

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laut Indonesia sudah sejak lama didayagunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia terutama pemanfaatan sumberdaya hayati seperti ikan maupun sumberdaya non hayati

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Waduk adalah genangan air besar yang sengaja dibuat dengan membendung aliran sungai, sehingga dasar sungai tersebut yang menjadi bagian terdalam dari sebuah waduk. Waduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi sumberdaya yang sangat besar. Wilayah tersebut telah banyak dimanfaatkan dan memberikan sumbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan) ANALISIS DAYA DUKUNG PERAIRAN PUHAWANG UNTUK KEGIATAN BUDIDAYA SISTEM KARAMBA JARING APUNG

AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan) ANALISIS DAYA DUKUNG PERAIRAN PUHAWANG UNTUK KEGIATAN BUDIDAYA SISTEM KARAMBA JARING APUNG AQUASAINS (Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan) ANALISIS DAYA DUKUNG PERAIRAN PUHAWANG UNTUK KEGIATAN BUDIDAYA SISTEM KARAMBA JARING APUNG Herman Yulianto 1 Nikky Atiastari 2 Abdullah Aman Damai

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun. METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Perairan Semak Daun, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu (KAKS) Daerah Khusus bukota Jakarta

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Bagi biota air, air berfungsi sebagai media baik internal maupun

I. PENDAHULUAN. perikanan. Bagi biota air, air berfungsi sebagai media baik internal maupun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air merupakan kebutuhan pokok dalam pengembangan industri budidaya perikanan. Bagi biota air, air berfungsi sebagai media baik internal maupun eksternal. Sebagai media

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan,

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan, 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas air memegang peranan penting dalam bidang perikanan terutama untuk kegiatan budidaya serta dalam produktifitas hewan akuatik. Parameter kualitas air yang sering

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai negara kepulauan dengan luas wilayah daratan 1,9 juta km 2 dan wilayah laut 5,8 juta km 2 dan panjang garis pantai 81.290 km, Indonesia memiliki potensi sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian mencakup kegiatan usahatani perkebunan, perhutanan, peternakan, dan perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan ragam. Dari sakala

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI TELUK CIKUNYINYI UNTUK BUDIDAYA KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) ABSTRAK

ANALISIS EKOLOGI TELUK CIKUNYINYI UNTUK BUDIDAYA KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) ABSTRAK e-jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan Volume III No Oktober 204 ISSN: 202-600 ANALISIS EKOLOGI TELUK CIKUNYINYI UNTUK BUDIDAYA KERAPU MACAN (Epinephelus fuscoguttatus) Dwi Saka Randy *, Qadar

Lebih terperinci

Amonia (N-NH3) Nitrat (N-NO2) Orthophosphat (PO4) mg/l 3 Ekosistem

Amonia (N-NH3) Nitrat (N-NO2) Orthophosphat (PO4) mg/l 3 Ekosistem Tabel Parameter Klasifikasi Basis Data SIG Untuk Pemanfaatan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Kelautan No Parameter Satuan 1 Parameter Fisika Suhu ºC Kecerahan M Kedalaman M Kecepatan Arus m/det Tekstur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al., I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 0 I. PENDAHULUAN

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT

KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT KAJIAN FAKTOR LINGKUNGAN HABITAT KERANG MUTIARA (STADIA SPAT ) DI PULAU LOMBOK, NUSA TENGGARA BARAT Oleh : H. M. Eric Harramain Y C64102053 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia diramaikan oleh isu perubahan iklim bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya

I. PENDAHULUAN. menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kualitas perairan merupakan faktor utama yang harus dipenuhi sebelum menjalankan aktivitas budidaya. Air yang digunakan untuk keperluan budidaya perikanan tidak sekedar

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KUALITAS PERAIRAN DI SUNGAI KAHAYAN DARI KEBERADAAN SISTEM KERAMBA STUDI KASUS SUNGAI KAHAYAN KECAMATAN PAHANDUT KALIMANTAN TENGAH

IDENTIFIKASI KUALITAS PERAIRAN DI SUNGAI KAHAYAN DARI KEBERADAAN SISTEM KERAMBA STUDI KASUS SUNGAI KAHAYAN KECAMATAN PAHANDUT KALIMANTAN TENGAH IDENTIFIKASI KUALITAS PERAIRAN DI SUNGAI KAHAYAN DARI KEBERADAAN SISTEM KERAMBA STUDI KASUS SUNGAI KAHAYAN KECAMATAN PAHANDUT KALIMANTAN TENGAH Rezha Setyawan 1, Dr. Ir. Achmad Rusdiansyah, MT 2, dan Hafiizh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya perikanan Indonesia termasuk dalam kategori terbesar di dunia karena memiliki wilayah yang sebagian besar berupa perairan. Indonesia memiliki potensi lahan

Lebih terperinci

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT

VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT VIII. ARAHAN PENGELOLAAN KEGIATAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT Kegiatan budidaya rumput laut telah berkembang dengan pesat di Kabupaten Bantaeng. Indikasinya dapat dilihat dari hamparan budidaya rumput laut yang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus - September Tahapan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus - September Tahapan III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus - September 2014. Tahapan yang dilakukan dalam penelitian terdiri dari peninjauan lokasi penelitian pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya 1 Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya PENDAHULUAN Wilayah pesisir merupakan ruang pertemuan antara daratan dan lautan, karenanya wilayah ini merupakan suatu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut ini berada di Teluk Cikunyinyi, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan terhadap ikan didapatkan suatu parameter pertumbuhan dan kelangsungan hidup berupa laju pertumbuhan spesifik, pertumbuhan panjang mutlak dan derajat kelangsungan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Suhu Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan kebutuhan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Taksonomi Kerapu Macan (Epinephelus fuscogutattus)

II. TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Taksonomi Kerapu Macan (Epinephelus fuscogutattus) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Morfologi dan Taksonomi Kerapu Macan (Epinephelus fuscogutattus) Ikan Kerapu Macan mempunyai banyak nama lokal. Di India, Kerapu Macan dikenal dengan nama Fana, Chammam, dan di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL KAJIAN HUBUNGAN ANTARA KUALITAS AIR DAN PRODUKTIVITAS BUDIDAYA IKAN NILA DI DANAU LIMBOTO KABUPATEN GORONTALO

LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL KAJIAN HUBUNGAN ANTARA KUALITAS AIR DAN PRODUKTIVITAS BUDIDAYA IKAN NILA DI DANAU LIMBOTO KABUPATEN GORONTALO LEMBAR PENGESAHAN ARTIKEL JURNAL KAJIAN HUBUNGAN ANTARA KUALITAS AIR DAN PRODUKTIVITAS BUDIDAYA IKAN NILA DI DANAU LIMBOTO KABUPATEN GORONTALO OLEH: RIVAL S. NAKI NIM. 631409029 1 KAJIAN HUBUNGAN ANTARA

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU w h 6 5 ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU. RICKY TONNY SIBARANI SKRIPSI sebagai salah satu syarat untukmemperoleh gelar Sajana Perikanan pada Departemen Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Populasi penduduk dunia pertengahan 2012 mencapai 7,058 milyar dan diprediksi akan meningkat menjadi 8,082 milyar pada tahun 2025 (Population Reference Bureau, 2012).

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomis penting yang terdapat di perairan Indonesia. Ikan kerapu bernilai gizi

I. PENDAHULUAN. ekonomis penting yang terdapat di perairan Indonesia. Ikan kerapu bernilai gizi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan kerapu (Groupers) merupakan salah satu jenis ikan laut bernilai ekonomis penting yang terdapat di perairan Indonesia. Ikan kerapu bernilai gizi tinggi dan telah dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selat Lembeh merupakan suatu kawasan khas yang terletak di wilayah Indonesia bagian timur tepatnya di Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara dengan berbagai potensi sumberdaya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. sumberdaya kelautan yang sangat potensial untuk dikembangkan guna

PENDAHULUAN. sumberdaya kelautan yang sangat potensial untuk dikembangkan guna PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi sumberdaya kelautan yang sangat potensial untuk dikembangkan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ikan laut bernilai ekonomis penting yang terdapat di perairan Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. ikan laut bernilai ekonomis penting yang terdapat di perairan Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) merupakan salah satu jenis ikan laut bernilai ekonomis penting yang terdapat di perairan Indonesia. Permintaan pasar

Lebih terperinci

BUDIDAYA IKAN DI WADUK DENGAN SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA) YANG BERKELANJUTAN

BUDIDAYA IKAN DI WADUK DENGAN SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA) YANG BERKELANJUTAN BUDIDAYA IKAN DI WADUK DENGAN SISTEM KERAMBA JARING APUNG (KJA) YANG BERKELANJUTAN I. PENDAHULUAN Saat ini budidaya ikan di waduk dengan menggunakan KJA memiliki prospek yang bagus untuk peningkatan produksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan kawasan Pesisir dan Laut Kabupaten Maluku Tenggara sebagai satu kesatuan wilayah akan memberikan peluang dalam keterpaduan perencanaan serta pengembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam hayati, sumberdaya alam non hayati dan sumberdaya buatan, merupakan salah satu aset pembangunan

Lebih terperinci

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic)

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) PENGELOLAAN KUALITAS AIR DALAM KEGIATAN PEMBENIHAN IKAN DAN UDANG Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) DISSOLVED OXYGEN (DO) Oksigen terlarut ( DO ) adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1/PERMEN-KP/2016 TENTANG PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ

STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ STRATEGI PENGELOLAAN PARIWISATA PESISIR DI SENDANG BIRU KABUPATEN MALANG PROPINSI JAWA TIMUR MUHAMMAD ZIA UL HAQ SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE V. INDIKATOR-INDIKATOR EKOSISTEM HUTAN MANGROVE Berdasarkan tinjauan pustaka yang bersumber dari CIFOR dan LEI, maka yang termasuk dalam indikator-indikator ekosistem hutan mangrove berkelanjutan dilihat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara kita sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan di bidang ekonomi. Di dalam pembangunan ekonomi, di negara yang sudah maju sekalipun selalu tergantung pada sumberdaya

Lebih terperinci

bentos (Anwar, dkk., 1980).

bentos (Anwar, dkk., 1980). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman jenis adalah keanekaragaman yang ditemukan di antara makhluk hidup yang berbeda jenis. Di dalam suatu daerah terdapat bermacam jenis makhluk hidup baik tumbuhan,

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA DUKUNG PERAIRAN BERDASARKAN KUALITAS AIR TERHADAP PELUANG BUDIDAYA ABALON (Haliotis sp.) DI PERAIRAN KUTUH, BALI

ANALISIS DAYA DUKUNG PERAIRAN BERDASARKAN KUALITAS AIR TERHADAP PELUANG BUDIDAYA ABALON (Haliotis sp.) DI PERAIRAN KUTUH, BALI Samakia: Jurnal Ilmu Perikanan Volume 7, No. 2, Oktober 2016 ISSN : 2086-3861 E-ISSN: 2503-2283 ANALISIS DAYA DUKUNG PERAIRAN BERDASARKAN KUALITAS AIR TERHADAP PELUANG BUDIDAYA ABALON (Haliotis sp.) DI

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci