PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI"

Transkripsi

1 PENDUGAAN M O PERTUMBUHAN ~ ~ ~ POPULASI DAN DAYA DUKUNG HABITAT WALLABY LINCAH (Macropus agilispapuanus, Peters and Doria, 1875) Di TAMAN NASIONAL WASUR AMIN SUPRAJITNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pendugaan Model Pekumbuhan Populasi dan Daya Dukung Habitat Wallaby Lincah (Macropus agilis papuanus, Peters and Doria, 1875) di Taman Nasional Wasur adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada pergunian tinggi manapun. Sumber inforrnasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Dafiar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Desember 2007 A~nin Sziproji~no NIM E

3 RINGKASAN AMIN SUPRAJITNO. Pendugaan Model Pertumbuhan Populasi dan Daya Dukung Habitat Wallaby Lincah (Macropus agilis papuanus, Peters and Doria, 1875) di Taman Nasional Wasur. Dibimbing oleh YANTO SANTOSA dan ABDUL HARIS MUSTARI. Wallaby lincah (Macropzrs agilis papuanus) terdapat di Kepulauan New Guinea, merupakan spesies endemik, flagship, unik, serta simbol marga masyarakat adat. Populasinya menurun akibat perburuan oleh masyarakat untuk memenuhi permintaan pasar, adanya suksesi jenis vegetasi galam (Melalezica spp) dan invasi jenis tumbuhan eksotik pada ekosistem padang rumput. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui karakteristik dan daya dukung habitat wallaby lincah, pendugaan parameter demografi dan penyusunan model pertumbuhan populasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah (I) analisis vegetasi untuk rnengetahui struktur jenis tumbuhan bawah dan produktifitas hijauan pakan menggunakan 28 petak contoh berukuran lm x lm, (2) Metode line transek untuk mengetahui ukuran populasi dan parameter demografi menggunakan 20 buab transek dengan panjang transek I000 meter dan jarak antara transek 200 meter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur habitat dilokasi penelitian terdiri dari 25 spesies jenis rumput yang tergolong dalam 8 famili dimana 32% didominasi oleb family Cyperaceae, 30% oleh family Graminae dan 19% oleh famili Verbenaceae. Semak ekor tikus (Stachytaipheta trrticaefolia) mendominasi pert~rmbuhan pada lokasi savana Ukra Kecil dan Ukra Besar mencapai 403 Ha atau 0,51 % dari luasan ekosistem savana. Keanekaragaman tumbuhan bawah pada ekosisteln savana sedang yaitu nilai indeks H' = 2,434 dan kemerataannya rendah yaitu nilai E = 0,756. Berdasarkan tingkat kesukaan terhadap jenis hijauan pakan diketahui terdapat 8 jenis rumput yang paling disukai wallaby lincah dirnana bagian tanaman yang dimakan adalah bagian tanaman yang masih muda seperti daun dan tangkai bunga muda. Produktivitas rumput pakan berdasarkan derajat palatabilitas sebesar 5,755 kg/ha/hari atau menghasilkan kgltahun bahan makanaii dalam keadaan berat basah atau bahan segar. Tingkzt konsumsi pakan harian wallaby lincah rata - rata 0,95 kgharilekor atau sebesar 12% dari bobot tubuh sedangkan daya dukung pakan di Taman Nasional Wasur sebanyak ekorltahun. Ukuran populasi wallaby lincah di TN. Wasur sebanyak ekor atau 0,07 % dari daya dukung pakan sehingga pakan bukan menjadi faktor pembatas pertumbuhan populasi wallaby lincah di Taman Nasional Wasur. Struktur populasi wallaby lincah berdasarkan kelas umur anak, ~nuda dan dewasa adalah 1 : 3 : 7. dengan seks rasio jantan dan betina pada semua kelas umur adalah 1 : 1, kecuali pada kelas umur anak yaitu 1 : 2 atau ~nembentuk struktur populasi yang mengalami kemunduran atau regressive population. Sebaran spasial wallaby

4 lincah adalah mengelompok berdasarkan perhitungan metode sebaran frekwensi dengan X2 hitung 1,09 < X2 tabel dan metode rasio ragam dan nilai tengah adalah 3,04. Pemanfaatan wallaby lincah dala~n sistem perdagangan pasar di Kabupaten Merauke adalah pemenuhan kebutuhan daging sebagai sumber protein senilai Rp ,- /kg daging segar dan pemenuhan kebutuhan kulit sebagai bahan baku kerajinan kulit senilai Rp ,- /lembar kulit kering. Berdasarkan parameter demografi diketahui bahwa laju perh~mbuhan populasi alami wallaby lincah tanpa kegiatan perburuan adalah sebesar r = 0,1650. Pemanenan maksimum lestari (MSY) tidak dapat dilakukan sebab nilai kuota panen lebih besar dari keadaan populasi aktual yaitu ekor/tahun. Pemberian kuota panen hanya dapat dilakukan berdasarkan pemanenan optimum lestari (OSY) yaitu sebesar 50 % dari peka~nbahan populasi tahunan dengan perbandingan kelamin jantan dan betina satwa buru pada kelas umur dewasa adalah 27 : 1 yang memberikan keuntungan ekonomi dan keuntungan ekologis Kata kunci : Potensi, Pemanfaatan, Kelestarian

5 ABSTRACT AMIN SUPRAJITNO. Model Estimation of Population Growth and Agile Wallaby Habitat of Carrying Capacity (Macropus agilis papuanus, Peters and Doria, 1875) in Wasur National Park. Under direction of YANTO SANTOSA and ABDUL HARIS MUSTARI. Agile wallaby (Macropus agilis papuanus), was found in New Guinea, is known as an endemic species, flagship species, and a unic as well as symbol of the community. The population had declined due to illegal hunting, succession of galam species (Melaleuca spp) and invasion of exsotic species within the grassland ecosystem. The aim of this research is to find out the characteristic and carrying capacity of agile wallaby habitat, to estimate its demografic parameter and to establish models of agile wallaby population growth. The methodology of this research was used: (1) to find out the species and productivity of feed trees trough the Vegetation Analysis (2) to find out demographic parameter with line transect method. This research resulted as many as 25 seedling species from 8 family, where the bush mouse-tailed (Slachytarpheta urticaefolia) dominated seddling vegetation structure with important value index (INP) as There are 8 grasses food species which is the most prefer with productivity as 5,755 kdhafday. The number of wallaby population is individuals or 1 wallaby per hectare or individuals within the whole areas of national park. Ages proporsional is 1:3:7, while spatial pattern distribution of this species is clumped and an average of daily diet is 0.95 kg/individu/day fresh weight or 12% of total body weight. Productivity of fresh leaves as feed sources kg per year and carrying capacity of habitat for feed trees per year individuals per year. Economic value of this species consisting of meat and skin. Base on the simulation of optimum sustained yield (OSY) describes that harvesting quota of 25%, 50%, 75%, 80% and 90% due to the increasing population every year will give an ecology as well as an econonlic benefits. Key word: Potency, Utilization, Sustainability

6 0 Hak cipta milik IPB tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-undang I. Dilarang n~engutip sebagian atau selz~nih karya tulis ini tanpa mencantztmkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan haqa untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penylrszrnan laporan, penzrlisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan ridak menrgikan kepentingan ymg wajar pihak IPB. 2. Dilarang nzengumumkan dun memperbanyak sebagian atau selurzrh kava tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

7 PENDUGAAN MODEL PERTUMBUHAN POPULASI DAN DAYA DUKUNG HABITAT WALLABY LINCAH (Macropus agilispapuanus, Peters and Doria, 1875) Di TAMAN NASIONAL WASUR AMIN SUPRAJITNO Tesis sebagai salah satu syarat unti~k memperoleh gelar Magister Profesi pada Sub Program Studi Konsewasi Keanekaragaman Hayati Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

8 Judul Tesis : Pendugaan Mojel Pel?ulnbuhan Populasi dan aya Dul.ung I labitat Wallaby Lincah (Mucroptrs ugilis p<il~~rarrrr.s, Peters and Doria. I 875) di Taman Nasional Wasur Nama : Aniin Suprajitno NIM : EO5lO54155 Disetujui Komisi Pernbimbing Dr. Ir. H. Yanto Santosa. DEA. Ketua Dr. Ir. Abdul Haris Mustari. M.Sc.F. Anggota Diketahui Ketua Program Stlidi llmu Pengetehuan Kehutanan Dekan Sekolah Pascasarjana.. 4 Dr. Ir. Rinekso Soekmadi. M.S Tanggal Ujian: 18 Desembrr 2007 Tanggal 7 JAN 2009

9 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala kamnia-nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini diharapkan dapat menyumbangkan pengetahuan kepada dunia konservasi, dunia pendidikan serta memberikan masukan positif kepada pengelola Taman Nasional Wasur dalam pengelolaan populasi dan habitat wallaby lincah sehingga dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat di Kabupaten Merauke. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Sekolah Pascasarjana lnstitut Pei-tanian Bogor. Tesis bejudul "Pendugaan Model Pertumbuhan Populasi dan Daya Dukung Wallaby Lincah (Macropus agilis papuanzrs Peters and Doria, 1875) di Taman Nasional Wasur " merupakan sebuah karya besar yang sangat saya banggakan. Banyak pihak yang telah telibat dan membantu kelancaran penyelesaian tesis ini baik secara langsung maupun tidak langsung pada semua tahapan. Atas seluruh bantuan serta perhatiannya penulis menyampaikan penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Ir. H. Yanto Santosa, DEA. selaku ketua Program S2 Profesi sekaligus merangkap Ketua Komisi Pembimbing yang telah sabar memberikan arahan dan bimbingan terutama dalam penajaman analisis kuantitatif. 2. Bapak Dr. Ir. Abdul Haris Mustari, M.Sc.F. sebagai Anggota Komisi Pelnbimbing yang telah sabar nlemberikan arahan dan bimbingan terutarna dalam penajaman analisis ekologis. 3. Bapak Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F. selaku Ketua Departemen Konse~asi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan, IPB, seluruh dosen pengajar serta seluruh staf yang telah membantu kelancaran proses perkuliahan dan pengurusan adminitrasi kemahasiswaan. 4. Bapah Dr. Ir. Agus Priono Kartono, M.Si. selaku Sekretaris Program S2 Profesi, beserta seluruh staf. Kang Sofyan atas pelayanan adminitrasinya scrta bibi Sum atas pe!zya~az znakag da~ zninuzn~~~a J.

10 5. Departemen Kehutanan melalui Pusat Pendidikan dan Latihan (PUSDIKLAT) Kehutanan atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan program studi S2. 6. Pimpinan dan staf Balai Taman Nasional Wasur. Kepada Bernard Bivak dan Zaenal Arifin (Polhut BTN. Wasur) atas bantuan dan persahabatan yang luar biasa tanpa pamrih mulai saat penulis sebagai staf maupun sebagai mahasiswa. Terima kasih atas apresiasinya (kedua Polhut) terhadap konservasi di TN. Wasur serta perhatiannya yang besar terhadap kondisi sosial masyarakat. 7. Seluruh mahasiswa Magister Profesi KKH angkatan 11 atas bantuan, kejasama dan persahabatannya selama kuliah baik dalam susah maupun senang. 8. Semua pihak yang telah banyak membantu dan tidak dapat disebutkan satu - persatu. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih atas doa restu dan dorongan kedua orang tua (Keluarga Moch Djoepri) serta adik-adik di Jayapura dan keluarga besar Ali Korebima di Manokwari. Kepada Nur Syahria (istri), Risky Fajarullah dan Raditya Avul Prasetya (anak) yang telah mendarnpingi dan hidup bersama daiam susah dan senang selama menjalani perkuliahan. Semoga pengorbanan ini akan memberikan kebahagian di masa yang akan datang. Bogor, Desember 2007

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jayapura Provinsi Papua tanggal 8 Juli 1973 dari ayah bemama Mochamad Djoepri dan ibu bernama Soemami. Penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara. Pendidikan dasar penulis diselesaikan pada SD Inpres Vim I Kotaraja Jayapura tahun , dan pendidikan menengah pertama pada SMP Negeri I Jayapura tahun Penulis melanjutkan pendidikan menengah atas pada SMA Negeri I Jayapura tahun Tahun 1991 penulis diterima sebagai salah satu mahasiswa pada Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan Universitas Negeri Cenderawasih dan dinyatakan lulus pada tahun Tahun 2006 penulis diterima dan terdaftar sebagai mahasiswa S2 Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) Sub Program Studi Konservasi Biodiversitas atas beasiswa dari Departemen Kehutanan. Penulis merupakan staf Kantor Balai Taman Nasional Wasur Merauke - Papua pada Departemen Kehutanan sejak tahun 1999 sampai sekarang.

12 DAFTAR IS1 DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... A. Latar Belakang B. Tujuan Penelitian C. Manfaat Penelltian D. Perumusan Masalah.. E. Kerangka Pemlkiran I1. TINJAUAN PUSTAKA... A. Bioekologi Wallaby Lincah (Macropzrs agilispapuanus) Taxonornil Morfologi dan Anatomi... 3 Reproduksi... 4 Perilaku... 5 Makanan Wilayah Jelajah Penyebaran... B. Biologi Populasi Populasi Karakteristlk Populasi Pertumbuhan Populasi Pola Sebaran Populasi... C. Daya Dukung Habitat Habitat Daya Dukung... III. KEADAAN URlZlM LOKASI PENELITIAN... A. Sejarah Penetapan Taman Nasional Wasur..... B. Lingkungan Fts~k Kawasan Letak dan Luas Kawasan Topografi Geologi Tanah Iklim Hidrologi... C. Ekologi Ekologi Bentang Darat... 2 Forinasi Veoetasi Fauna...

13 D. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat... IV. METODE PENELITIAN..... A. Lokasi dan Waktu Penelltian... B. Bahan... C. Jenis Data Yang Dikumpulkan... D. Tehnik Pengurnpulan Data Pengumpulan Data Karakteristik Habitat 2. Pengumpulan Data Populasi... E. Analisa Data Lapangan Anallsls Karakter~st~k Habitat Analisls Populasi V. HASIL DAN PEMBAHASAN... A. Kerakteristik Habitat Wallaby Lincah Tipe Habitat Struktur Jenis Rumout Keanekaragaman Spesies Tumbuhan Bawah Tingkat Kesukaan Jenis Tumbuhan Bawah Produktifitas Jenis Tumbuhan Pakan Tingkat Konsumsi Pakan Harian... B. Nilai Dugaan Parameter Demografi Ukuran Populasi Struktur Populasi Angka Kelahiran dan Kernatian Bentuk Sebaran Populasi... C. Pemanfaatan Wallaby Lincah Nilai Ekonomi Wallaby Lincah Kebijakan Pemanfaatan Bentuk Perburuan Masyarakat... D. Analisis Pertumbuhan Populasi Wallaby Lincah Simulasi Pertumbuhan Populasi Alami... 2 Simulasi Pemanenan Maksimu~n Lestari (MSY) Simulasi Pemanenan Optimum Lestari (OSY) Kriteria Pernanenan Lestari di TN. Wasur... VI. SIMPULAN DAN SARAN... A. Sirnpulan... B. Saran... DAFTAR PUSTAKA...

14 DAFTAR TABEL Ukuran wilayah jelajah berdasarkan jenis kelarnin dan musiln di East Point Reserve Key Centre for Tropical Wildlife Management, Stirrat (2003) Indeks nilai penting jenis tumbuhan bawah pada ekosistem savana... Indeks keanekaragaman jenis rumput pada habitat padang rumput... Tingkat kesukaanl derajat palatabilitas rumput pakan wallaby lincah di Tatnan Nasional Wasur... Bagian tanaman yang dimakan wallaby lincah di TN. Wasor... Prduktifitas seluruh jenis rumput dengan pemanenan awal... Produktifitas rumput yang dirnakan wallaby lincah selama setahun... Konsumsi pakan empat ekor wallaby lincah domestikasi selama enam hari pengamatan... Daya dukung produktifitas hijauan pakan wallaby lincah pertahun... Kepadatan populasi wallaby lincah berdasarkan Metode King's... Perbandingan kelas umur dan jenis kelamin wallaby lincab... Perhitungan uji sebaran acak populasi walaby lincah di TN. Wasur... Perhitungan uji sebaran kelompok walaby lincah di TN. Wasur... Simulasi pertumbuhan populasi alami wallaby lincah berdasarkan parameter demografi selarna 30 tahun... Jumlah wallaby lincah introduksi pada panenan maksimum lestari... iii

15 DAFTAR GAMBAR Diagram kerangka pemikiran penelitian Pendugaan Model Pertumbuhan Populasi Wallaby Lincah ( Macropus agilis papuanus. Peters and Doria ) Dan daya Dukung Taman Nasional Wasur... Wallaby lincah betina dengan anak berada didalam kantung pemeliharaan... Perbedaan bentuk. ukuran dan jumlah jari pada Wallabi lincah... Peta lokasi kawasan konsewasi Taman Nasional Wasur... Aiat dan bahan kegiatan pengumpulan serta pengolahan data... Metode petak berganda dalatn peletakan plot pengamatan rumput... Kurva spesies area untuk menentukan banyaknya petak contoh... Penggunaan metode jalur transek pada kegiatan inventarisasi... Persentase jenis tumbuhan bawah berdasarkan famili... Perbedaan hekas rumput yang dimakan wallaby lincah dan rusa timor... Bentuk tengkorak wallaby lincah yang terdiri dari susunan tenggorak gigi.. bagian atas dan g ~g~ bagian bawah... Diagram batang sebaran populasi berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin... Anak wallabi lincah berumur 4 minggu di dalam kantung pemeliharaan serta menempel pada salah satu puting induknya... Faktor penyebab kematian wallabi lincah... Persentase penggunaan alat buru oleh masyarakat... Persentase penggunaan sarana berburu oleh masyarakat... Persentase hasil buruan yang diperoleh oleh masyarakat... Persentase hasil buruan berdasarkan kelas umur satwa... Persentase hasil buruan berdasarkan jenis kelamin... Persentase lamanya waktu berburu dalam satuan hari...

16 21. Persentase kegiatan berburu herdasarkan musim perburnan Persentase kegiatan berburu berdasarkan jumlah anggota kelompok Grafik simulasi pertumbuhan populasi sebelum dan sesudah kegiatan 74 pemanenan 25%, 50%, 75%, SO%, dan 90% dari jumlah pertambahan populasi tahunan Pengarnh persentase pemanenan tahunan terhadap jumlah kuota panan Pengaruh pengaturan perbandingan kelamin sahva buru pada skenario 76 50% terhadap jumlah kuota panen tahunan Pengaruh pengaturan perbandingan kelamin satwa buru pada skenario 77 50% terhadap laju pertambahan populasi setiap tahnn Grafik selisih kuota panen tahunan dan permintaan kehutuhan oleh 78 masyarakat 12 kampung di dalam TN. Wasur...

17 DAFTAR LAMPIRAN Analisa vegetasi tumbuhan bawah pada ekosistem savana di TN. Wasur... Analisa vegetasi tumbuhan bawah pada masing - masing lokasi penelitian... Analisis indeks keanekaragaman jenis vegetasi bawah pada habitat savana berdasarkan indeks Shannon - Wiener... Analisis indeks keanekaragarnan vegetasi bawah berdasarkan indeks Shannon - Wiener pada savana Ukra Besar dan Ukra Kecil yang didominasi oleh vegetasi semak ekor tikus... Analisis indeks keanekaragaman vegetasi bawah berdasarkan indeks Shannon - Wiener pada savana Prem dan Kankania yang didominasi oleh vegetasi rumput... Rekapitulasi jumlah populasi wallaby lincah per lokasi pengamatan dalam... satuan ind~vrdu per hektar... Rekapitulasi perhitungan luas lokasi pengamatan menggunakan tehnik Line Transek berdasarkan rumus metode King dalam satuan hektar... Analisa perhitungan pendugaan kepadatan populasi wallaby lincah di Taman Nasional Wasur... Analisa bentuk sebaran spasiai wallaby lincah di Taman Nasional Wasur... Simulasi pemanenan dua puluh lima persen (25%) dari riap pertambahan populasi pertahun... Simulasi pemanenan dua puluh lima persen (50%) dari riap pertambahan populasi pertahun... Simulasi pemanenan dua puluh lima persen (75%) dari riap pertambahan populasi pertahun... Perbandingan jumlah jenis kelamin satwa buru jantan betina 27 : 1 pada skenario panenan 50%... Jumlah penduduk yang terdapat di kampung dalam Taman Nasional Wasur... Simulasi permintaan kebutuhan minimum masyarakat di 12 kampung dalam TN.Wasur dengan pertambahan jumlah permintaan tahunan sebesar 5% dari kebutuhan tahun sebelumnya...

18 I. PENDAWLUAN A. Latar Belakang Wallaby lincah (Macropus agilis papuanus. Peters and Doria, 1875) merupakan satu dari empat sub spesies Macropus agilis yang penyebarannya terdapat di wilayah selatan kepulauan New Guinea. Penyebaran spesies ini di Provinsi Papua terdapat di wilayah Kabupaten Merauke, termaksud di dalam kawasan Konservasi Taman Nasional Wasur. Wallaby lincah men~pakan mamalia berkantung dari genus macropus, merupakan satwa endemik dan spesies flagship yang hanya dij~unpai di Taman Nasional Wasur (BTNW, 1999). Sebagai bagian dari komponen ekosistem di Taman Nasional Wasur, wallaby lincah merupakan herbivora pengendali keseimbangan alami komposisi vegetasi padang rumput dan menlpakan spesies indikator dalam penetapan zona perlindungan intensif. Perkembangbiakan satwa ini sangat unik karena dalam satu tahun dapat menghasilkan dua individu dengan stadium yang berbeda yaitu anak dan embrio. Satwa ini memiliki kemampuan untuk menunda kelahiran embrio selama anak di dalam kant~lng pembesaran belum lepas sapih, walaupun embrio telah terbentuk sebagai hasil dari proses pembuahan (Griffiths et al. 2005). Kematian terhadap seekor betina reproduktif sama artinya dengan kematian terhadap tiga individu potensial sekaligus. Dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat adat, satwa ini merupakan simbol marga dimana perlakuan terhadap satwa ini hams mengikuti aturan adat (BTNW, 1999). Populasi wallaby lincah di Tan= Nasiona! Wasw mengalami pentrunan. Penyebab utama penurunan populasi bukan akibat pemangsaan oleh satwa predator, melainkan oleh berbagai aktifitas perburuan yang dilakukan penduduk untuk pemenuhan kebutuhan protein. Kegiatan perburuan tradisional yang direkomendasikan bagi masyarakat adat dalam kesepakatan lokakarya pengelolaan Taman Nasional Wasur tahun 1999, bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan protein, melainkan untuk meningkatkan kebutuhan ekononli melalui sistem perdagangan pasar lokal. Pemanenan yang dilakukan bukan atas pertimbangan kelestarian hasil, melainkan keuntungan ekonomi sehingga dilakukan tanpa membedakan kelas umur, jenis kelamin serta musim perburuan termaksud masa berkembangbiak. Nilai ekonomi

19 2 satwa ini selain daging, juga kulit yang digunakan sebagai pelapis bagian dalam produk kerajinan kulit buaya di Kota Merauke. Primack et al, (1998) mengatakan bahwa penggunaan sumber daya alam yang berlebihan seringkali terjadi dengan cepat sewaktu pasar komersil berkembang untuk spesies yang mulanya tidak digunakan atau digunakan secara lokal. Poten (1991),(Hemley 1994, diacu dalam Primack et a1 1998) mengatakan bahwa perdagangan spesies satwa liar dalam sistem pasar baik legal maupun ilegal bertanggung jawab terhadap penurunan jumlah individu atau populasi dari banyak spesies. Selain perbuman, penurunan populasi wallaby lincah juga dipengabi oleh kualitas dan kuantitas daya dukung habitat. Terjadi pengurangan luasan ekosistem savana akibat invasi dan suksesi jenis vegetasi galam (Melaleuca spp) terutama di savana Kankania, serta invasi jenis eksotik semak ekor tikus (Stachytarpheta urticaefolia) seluas 403 ha di savana Ukra (BTNW, 1999). Pengelolaan wallaby lincah di Taman Nasional Wasur terhadap berbagai pennasalahan tersebut diatas, akan menimbulkan pertanyaan tentang prioritas tahapan kegiatan yang h as dikerjakan. Menjawab pertanyaan tersebut, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memenuhi kebutuhan data dan infom~asi menyangkut satwa maupun habitatnya. Inventarisasi merupakan tahap awal dari serangkaian kegiatan dalam pengelolaan satwa yang dapat menjawab kebutuhan data dan informasi. King (1941) diacu dalam Bailey (1984) mengembangkan suatu proses bertahap dalam pengelolaan satwa yaitu (1) invenarisasi dan sensus, (2) analisis produktifitas, (3) diagnosis, serta (4) tindakan atau kontrol. Mengingat data dan informasi sangat penting untuk mengetahui keadaan dan perkembangan populasi serta kondisi habitat dalaii inel&&ati prioritas pengelolaan, ~iiaka penelitian hi miitlak untak ciilakukan.

20 B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui : 1. Karakteristik dan daya dukung habitat wallaby lincah. 2. Pendugaan parameter demografi dan penyusunan model pertumbuhan populasi wallaby lincah. C. Manfaat Penelitian Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan data dan informasi tentang daya dukung habitat dan parameter demografi wallaby lincah sehingga bermanfaat bagi perkembangan dunia konservasi, terutama kepada pihak Taman Nasional Wasur dalam menentukan kebijakan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. D. Perurnusan Masalah Perkembangan populasi wallaby lincah pada tingkat pertumbuhan optimum di Taman Nasional Wasur sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu struktur parameter demograti dan daya dukung habitat. Parameter demografi meliputi angka kelahiran, angka kematian, kepadatan populasi, struktur umur serta struktur kelamin. Sedangkan daya dukung habitat meliputi kualitas dan kuantitas pakan, air maupun tempat perlindungan. Pertanyaan dasar dalam pengelolaan populasi wallaby lincah di Taman Nasional Wasur adalah gambaran tentang struktur parameter demografi apakah berkembang, tetap atau menwun; kualitas dan kuantitas daya dukung habitatnya baik atau buruk. Untuk mengetahui jawaban diatas, maka serangkaian metode perhitungan kuantitatif perlu dilakukan terhadap parameter demografi dan daya dukung habitat. Beberapa informasi berkaitan dengan habitat clan populasi wallaby liicah di Taman Nasional Wasur yang memb~~tuhkan metode perhitungan kuantitatif antara lain:

21 1. Karakteristik dan daya dukung habitat, meliputi : a) Struktur vegetasi t~unbuhan bawah pada ekosistem padang rumput. b) Produktifitas jenis pakan kesukaan. c) Tingkat konsumsi pakan harian. d) Daya dukung habitat. 2. Parameter demografi dan model pertumbuhan populasi wallaby lincah meliputi a) Jumlah populasi wallaby lincah. b) Struktur parameter demografi wallaby lincah. c) Bentuk sebaran spasial wallaby lincah. d) Model pertumbuhan populasi wallaby lincah. e) Jumlah panenan tahunan yang memberikan kelestarian ekologis dan ekonomis. f) Bentuk pemanfaatan wallaby lincah oleh masyarakat. E. Kerangka Pemikiran Pengelolaan satwa liar pada kawasan konse~asi ditentukan oleh status kawasan konservasi tersebut. Tujuan pengelolaan pada kawasan suaka alam seperti suaka margasatwa merupakan fungsi perlindungan dan pengawetan keanekaragaman hayati, sehingga pendekatan yang dilakukan adalah daya dukung ekologis. Pada konsep ini populasi berkembang secara alami dimana faktor pembatas pertumbuhan adalah daya dukung habitat seperti kualitas dan kuantitas makanan, minum serta cover perlindwgan. Sedangkan tujum pengelolaan pada kawzsa? pelestarian alm seperti taman nasional dimana terdapat fungsi pemanfaatan, maka pendekatan yang dilakukan adalah daya dukung ekologis dan daya dukung ekonomi. Pada konsep ini faktor pembatas pertumbuhan populasi adalah fungsi pemanenan secara lestari. Pemanenan yang dilakukan oleh masyarakat untuk meningkatkan pendapatan ekonomi berdampak pada jumlah maksimum hasil buruan yang diperoleh sehingga berpenga-ci;i pzda populasi satwa. Apabila peamenw, lebih besar dari laju pertumbuhan, maka akan terjadi penurunan jumlah populasi satwa. Untuk

22 5 mengembalikan populasi satwa pada ukuran ideal yaitu ukuran populasi berada pada pertumbuhan optimum maka perlu dilakukan pengelolaan terhadap populasi maupun daya dukung habitat. Pada kasus dimana suatu kawasan terdapat fungsi pemanfaatan termaksud satwa, maka penetapan jumlah panenan lestari merupakan pembatas dari laju kematian. Sinlcair (1994), mengatakan bahwa pertumbuhan populasi tertinggi akan terjadi pada saat populasi berukuran setengah dari daya dukung habitat. Pertanyaannya adalah berapa jumlah maksimum satwa yang dapat dipanen dalam konteks kelestarian hasil. Untuk mengetahui jawaban tersebut diperlukan data dan informasi mengenai parameter demografi satwa, daya dukung habitat serta bentuk pemanfataan oleh masyarakat. Apabila parameter demografl satwa menunjukkan gambaran pertumbuhan yang berkembang diatas batas tingkat kepadatan dampak minimum dan kualitas serta kuantitas daya dukung habitat menunjang maka penetapan pemanenan lestari melalui penetapan kuota dapat di laksanakan. Sebaliknya bila ukuran dan parameter populasi tidak menunjukkan perkembangan atau tetap bahkan kecendrungan menurun mendekati batas tingkat kepadatan dampak minimum, maka penetapan jurnlah panenan lestari belum dapat dilakukan. Pada kondisi ini maka langkah pengelolaan perlu dilakukan baik terhadap populasi satwa maupun habitat. Usaha yang dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan populasi pada tingkat kepadatan dampak minimum antara lain : pengaturan perbandingan kelas umur dan jenis kelamin, pengaturan persaingan, konbol terhadap pemangsaan, pengkayaan jenis pakan kesukaan, penyediaan sumber air, pengelolaan tempat perlindungan dan berkembangbiak serta pengendaiian jenis eksotik.

23 Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian

24 11. TINJAUAN PUSTAKA A. Bioekologi Wallaby Lincah 1. Takxonomi Wallaby lincah (Macropus agilis papuanus. Peters and Doria, 1875) merupakan mamalia berkantung yang memiliki ukuran tub& sedang dan merupakan jenis yang makanan utamanya addah rumput (grazer). Ciri khusus spesies ini adalah memiliki wana tub& abu - abu seperti wama pasir, terdapat warna gelap keabuan antara mata dan teliga, wama terang berbentuk garis yang terdapat pada pipi dan bagian paha luar, serta wama hitam yang terletak pada ujung telinga dan ekor (Merchant, 1998). Taxonomi wallaby lincah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Sub Phylum : Vertebrata Class : Mamalia. Linnaeus, 1758 Sub Class : Theria. Parker and Haswel, 1897 Infraclass : Metatheria. Huxley, 1880 Order : Diprotodontia Owen, 1866 Sub Order : Macropodiformes Ameghino, 1889 Family : Macropodidae Gray,1821 (Kangaroos, Wallabies ) Sub Family : Macropodinae Gray, 1821 Genus : Macropus Shaw, 1790 Sub Genus : Notamacropus Dawson and Flannery, 1985 Species : Macropus agilis Gould, 1841 ( Agile Wallaby ) Sub Species 1. Macropus agilispapuanus (Peters and Doria, 1875) - Papua 2. Macropzrs agili agilis -Northem Territory. 3. Macropus agilis nigrescens - Western Australian 4. Macropus agilis jardinii - Queensland

25 2. Morfologi dan Anatomi 8 Wallaby lincah memiliki berat tubuh rata-rata antara jantan dan betina adalah 16 kg. Rata - rata berat tubuh jantan 20 kg, sedangkan rata - rata berat tubuh betina 12 kg. Panjang tubuh diukur dari kepala sampai pangkal ekor antara 600 sampai mm (Nowak, 1991). Merchant (199S), mengatakan bahwa rata -rata berat badan jantan adalah 19 kg dan rata - rata berat badan betina 11 kg ; panjang tubuh yang diukur dari kepala sampai pangkal ekor untuk jantan SO0 mm sedangkan betina 650 mm; panjang ekor yang diukur dari pangkal sampai ujung ekor untuk jantan 770 mm dan betina 640 mm. Gambar 2. Wallaby lincah betina dengan anak didalam kantung pemeliharaan Wallaby lincah memiliki kaki belakang yang panjang dan kuat, kaki depan yang pendek dan kecil, serta ekor yang panjang dan kuat. Kaki belakang berperan pada saat berlari, sedangkan saat berjalan dibaiitu oleh kaki depan dm ekor yang diseret ke tanah. Kaki depan juga berfungsi sebagai tangan untuk memasukkan makanan kedalanl mulut. Ekornya yang panjang dan kuat digunakan sebagai alat keseiinbangan dan pendarong saat melompat seperti fungsi pegas. Ekor digunakan sebagai penopang saat duduk atau saat melakukan perkelahian. Kaki depan terdiri dari 5 buah jari sedangkan kaki belakang 3 bua11 jari dengan 4 buab kuku. Dua jari kaki belakang yaitu bagian luar dan tengah berukuran besar serta kuat dan masing - masing memiliki 1 buah kuku sedangkan satu jari bagian dalam memiliki bentuk yang kecil dan kurang kokoh serta memiliki dua buah kuku,>.%.%,..,,..-,.,.:.? *.,..,-- e ~cmmcz vang gecil aan hang kokoh ciiduga jari ketiga Lon;-- a-!-;q- ;-; %:i!rnz?r; memnunvai fungsi dalam melakukan pergerakan, hal ini

26 dapat dilihat pada bekas pijakan kaki bagian belakang dimana hanya terlihat dengan tegas cetakan jari bagian luar dan tengah sedangkan jari bagian dalam kurang terbentuk. 9 Gambar 3. Perbedaan bentuk, ukuran dan jumlah jari pada Wallabi lincah a) Lima jari pada kaki depan, bentuk dan ukuran lebih kecil. b) Tiga jari dan empat buah kuku pada kaki belakang, bentuk dan ukuran iebih besar dari kaki depan c) Cetakan kaki belakang, jari ketiga bagian dalam kurang tegas. Gigi wallaby lincah memiliki sifat yang M~as diiana setiap ral~ang atas inemiliki tiga gigi seri yang terpisah oleh suatu celah panjang tanpa gigi (diastema) dari beberapa geraham palsu tetap serta gerallam sejati. Geraham bawah terdapat pada setiap sisi, sedangkan gigi taring hanya satu yang letaknya berbaring di bagian depan. Ada suatu diasterma antara gigi taring dan geraham palsu yang rontok sesuai dengan yang ada di geraham atas. Terdapat empat pasang lophodont disetiap geraham atas dan bawah yang berfungsi mtuk menggiling makanan berupa rumput dan dedaunan. Gigi geraham keluar lambat, secara kontinyu dan perlahan berpindah tempat dari depan ke belakang. Usia wallaby lincah dapat ditaksir dengan memperl~atikan stadium munculnya geraham. Berdasarkan perkembangan gigi maka umur wallaby lincah dapat di klasifikasikan dalam kelas umur sebagai berikut : - Setelah umur 1 Tcahun : Memiliki satu geraham yang lengkap - Beixunur 2 Tahun : Memiliki dua buah geral~am - Berumur 4 Tahun : Memiliki tiga buah geraham - Bemur 7-8 Tahun : Memiliki empat buah geraham Perpindahan gigi ke arah depan, dapat disimpulkan dengan membandingkan tempat tonjolan tul'mg pipi. Pada wallaby lincah berumur tujuh atau delapan tahun, tonjolan berada diseberang rongga antara geral~am ketiga dan keempat. Tetapi pada

27 10 satwa berumur sepuluh tahun geraham keempat sudah pindah kedepan, sehingga sisi depan ada diseberang tonjolan tersebut. Siklus hidup wallaby lincah diperkirakan mencapai umur hingga 20 tahun. Nowak (1991), menyebutkan bahwa siklus hidup wallaby lincah di habitat alam mencapai umur 11 sampai 14 tahun. Sisitem pencemaan makanan pada wallaby lincah menunjukkan persamaan dengan hewan pemamah biak lainnya. Memiliki lambung besar berbentuk kantong yang terbagi dalam empat bilik. Bagian terdepan mengandung protozoa dan organisme bersel satu lainnya yang mencernakan serta merubah sellulosa menjadi suatu zat yang dapat digunakan sebagai makanan untuk wallaby lincah sehingga satwa ini dapat bertahan hidup pada musim kemarau yang panjang. Wallaby lincah tidak memamah biak tetapi makanan itu terkadang oleh esofagus dikembalikan ke mulut kemudian menelannya kembali. Proses ini disebut meryeisme, tujuannya tidak diketahui. 3. Reproduksi Wallaby &ncah betina mulai berkembang biak hanya beberapa bulan setelah berumur satu tahun. Bolton et al. (1985), menyebutkan bahwa wallaby lincah betina di East Point Reserve Key Centre for Tropical Wildlife Management Australia mulai melakukan perkembangbiakan setelah mencapai umur antara 1,7 sampai 2,2 tahun, sedangkan di habitat aslinya tergantung pada kualitas pakan. Selanjutnya disebutkan bahwa reproduksi wallaby lincah di habitat dam akan meningkat tergantung pada kualitas dan kuantitas sumber pakan. Meskipun keadaan kurang menguntungkan, spesies ini dapat menghasilkan 3 (tiga) an&! dalam dua tahun. Betina yang tidak menyusui mengeluarkan satu telur yaitu satu kali dalam empat atau enam minggu. Siklus birahi terputus dalam kurun waktu anak menyusui didalam kantung dan ha1 ini terjadi sesudah hamil. Kelahiran dapat terjadi setiap tahun tetapi mencapai puncaknya pada bulan Mei sampai bulan Agustus, sedangkan kehamilan atau masa antara pembuahan dan melahirkan terjadi selama 29 sampai 30 hari. Dressen (1993) dan Stirrat (2000), mengataka1 baffwa seks rasio betina dan jantan dewasa adalah 2 : 1. Embrio dalan kandungan memperoleh oksigen dan makanan

28 melalui plasenta seperti pada mamalia umumnya. Kelahiran pada wallaby lincah didahului dengan munculnya semacam cairan yang mengandung sisa buangan yang terkumpul selama mengandung. Anak yang dilahirkan berada dalam selaput yang berisi cairan, kemudian pecah sehingga anaknya memegang bulu-bulu induknya untuk memanjat masuk kedalam kantung pembesaran yang terdapat pada bagian depan perut. Anak yang baru lahir dalam keadaan buta dan tanpa bulu ini akan menempel pada salah satu dari empat puting induknya yang terdapat didalam kantung pemeliharaan. 11 Anak wallaby lincah mulai memiliki bulu lengkap setelah berusia 165 hari, mulai mengeluarkan kepalanya dari dalam kantung pemeliharaan pada usia 150 hari dan telah berani keluar meninggalkan induknya sebentar setelah berusia 190 hari. Anak wallaby lincah akan meninggalkan induknya setelah berusia antara 7 sampai 8 bulan. Merchant (1998), menyebutkan bahwa an& wallaby lincah akan meninggalkan kantong pembesaran induknya dan memulai hidup secara mandiri setelah berumur antara 10 sampai 12 bulan. Pada wallaby lincah, fecundity tahunan atau jumlah anak betina yang dilahirkan per induk dari kelas umur tertentu dalam satu tahun adalah 1,53 sedangkan peluang hidup individu berumur 0 sampai 1 tahun adalah 0.43 ; peluang hidup individu berumur diatas 1 tahun rata -rats adalah 0,87 (Kirkpatrick & Johnson 1969). Pada wallaby lincah dikenal istilah "diapause embrional" yaitu suatu peristiwa diiana embrio tidur tetapi hidup dan tinggal lama didalam alat reproduksi betina selama anak sebelumnya masih berada di dalam kantung induknya. Embrio yang sedang tidur terjadi sebagai hasil pembuahan pada waktu anak masih berada dalam kantong induknya. 4. Perilaku Wallaby lincah pada dasarnya adalah soliter, meskipun ukuran kelompok berkaitan dengan jumlah kepadatan populasi (Dressen,1993). Frekwensi hubungan sosial dalam kelompok kecil adalah karena adanya hubungan perkawinan betina clan jantan (Johnson 1980). Nowak (1991), mengatakan bahwa wallaby lincah merupakan

29 12 spesies yang hidup secara berkelompok yang terdiri dari banyak betina dan membagi wilayah untuk beristirahat serta makan. Jumlah anggota kelompok populasi diatas 10 individu dan kumpulan kelompok yang lebih besar te jadi pada saat aktifitas makan (Lone Pine Koala Sanctuary, 2001). Kelompok besar kemungkman bersifat sementara dan terkonsentrasi pada sumber makanan, air minum dan tempat berlindung (Dressen 1993). Lokasi makan dan perlindungan dari predator dapat berubah setiap tahun sebagai fimgsi dari ukuran kelompok (Blumstein et al. 2003). Wallaby lincah merupakan satwa nokturnal yang melakukan aktifitas makan di tempat terbuka dimulai pada sore hingga pagi hari saat matahari mulai terbit, kemudian beristirahat pada pagi hingga sore hari ditempat yang terlindungi oleh tegakan pohon. Dua aktifitas utama yang mum dilakukan oleh satwa ini adalah makan dan kewaspadaan yang dilakukan hampu 90 % dari total waktu beraktifitas. 5. Makanan Makanan utama wallaby lincah pada mush hujan adalah nunput (grazer) tetapi pada mush kemarau diiana kualitas rumput menurun akibat kekeringan, satwa ini dapat mengkonsumsi makanan alternatif termaksud pucuk daun, kulit kayu, buah, bunga, serta akar (Stirrat 2002). Berdasarkan pengalaman lapangan penulis selama bertugas di Taman Nasional Wasur Merauke, diketahui bahwa pada mush kemarau sering dijumpai wallaby liicah berada di pinggir danau atau rawa pada pagi dan sore hari sedang menggali tanah untuk mendapatkan akar rerumputan. 6. Wilayah Jelajah Wilayah jelajah adalah daerah yang secara rutin dikunjungi satwa liar karena dapat mensuplai kebutuhan makan, minum, perlindungan, tempat tidur dan tempat kawin (Boughey 1973, Pyke 1983, Van Noordwijk 1985 diacu dalam Alikodra 1990). Wallaby lincah menyukai habitat yang belum terganggu terutarna disepanjang sungai dan kaii pada areal ierbdca dekat padang rm~p'rlt. Merchant (1998), nienyebutkan bahwa di wilayah Northern Territory kepadatan wallaby lincah terlihat

30 pada daerah lahan basah dan sumber air. Sedangkan di East Point Reserve Key Centre for Tropical Wildlife Management ditemukan ukuran wilayah jelajah yang lebih luas pada saat musim kemarau ketika kualitas makanan menurun, dimana jantan memiliki wilayah jelajah yang lebih luas dari betina. Stirrat (2003), menyatakan bahwa di East Point Reserve Key Centre for Tropical Wildlife Management tersebut terdapat perbedaan ukuran wilayah jelajah berdasarkan jenis kelamin dan musim sebagaimana tercantum pada Tabel I. 13 Table 1. Ukuran wilayah jelajah berdasarkan jenis kelamin dan musim di East Point Reserve Key Centre for Tropical Wildlife Management, Stirrat (2003) Periode Musim Jenis Kelamin Preferensi Habitat Jantan Betina Penghujan (ha ) 16,6 ha 11,3 ha Wilayah terbuka ( padang rumput) Wilayah berhutan khususnya pada malam Kernma' (ha) 24' ha 15, ha hari ketika mencari sumber pakan alternotif 7. Penyebaran Penyebaran populasi wallaby lincah dijumpai di Western Australia, Northern Territory Australia serta wilayah utara dan timur Queensland (Nowak,l991). Satwa ini juga dijumpai dengan jumlah terbatas di wilayah selatan kepulauan New Guinea (Colombus Zoo website, 2001). Penyebaran wallaby lincah di wilayah selatan kepulauan New Guinea terdapat pada ekoregion trans fly yang me~pakan landsecape ekosistem lahan basah pada wilayah adminitratif Kabupaten Merauke - Papua (Indonesia) sampai ke wilayah selatan Negara Papua New Guinea (PNG), Penyebaran wallaby lincah di Taman Nasional Wasur Merauke terdapat pada ekosistem savana yang luas dan berhubungan dengan sumber air minum bempa rawa permanen. Rawa - rawa permanen ini me~pl&an sumber air minum bagi satwa pada musim kemarau. Beberapa tempat konsertrasi populasi wallaby lincah antara lain savana Kankania, ma, Prem, Mblatar dan Maar (sepanjang wilayah RI - PNG).

31 B. Biologi Populasi 1. Populasi Populasi dapat didefinisikan sesuai dengan bidang keilmuan ataupun keahlian peneliti. Odum (1971), menekankan pengertian populasi dalam bidang ekologi sebagai kumpulan makhluk hidup dari spesies yang sama atau memiliki kesarnaan genetik dan secara bersama-sama mendiami suatu tempat tertentu dan dalam waktu tertentu pula. Populasi memiliki sifat-sifat dari kelompok dan bukan dari sifat yang dimiliki oleh individu dalam kelompok tersebut. Anderson (1985) diacu dalam Alikodra (1989) mendefinisikan populasi sebagai kelompok organisme yang terdiri dari individu satu spesies yang saling berinteraksi dan melakukan perkembangbiakan pada suatu tempat dan waktu tertentu. Alikodra (1990) menyempumakan kedua definisi di atas sebagai suatu kelompok organisme yang terdiri dari individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya. Anggota kelompok ini tidak ataupun jarang melakukan hubungan dengan spesies yang sama dari kelompok lainnya. Suatu populasi dapat menempati wilayah yang sempit sampai luas, tergantung pada spesies dan kondisi daya dukung habitatnya. Organisme yang melakukan kegiatan migrasi akan menempati wilayah yang luas, dan sebaliknya organisme yang aktivitas hariannya sempit akan menempati wilayah yang sempit pula. Tarumingkeng (1994) menekankan pengertian populasi dalam hal genetik, yaitu himpunan individu atau kelompok individu suatu jenis yang tergolong dalarn satu spesies atau kelompok lain yang dapat melangsungkan interaksi genetik dengan jenis yang bersangkutan, dan pada suatu waktu tertentu menghuni suatu wilayah tertentu. 2. Karakteristik Populasi Menurut Krebs (1972) diacu dalam Priyono (1998), menyebutkan bahwa populasi dapat diielompokkan ke dalam deme-deme atau populasi lokal, yang dapat meidkukan perkawinan antam organisma. Secara urnum, karakteristik kelompok ini dapat dibedakan ke dalam tiga tipe urnum. Karakteristik populasi yang paling

32 mendasar adalah ukuran atau kepadatan. Empat parameter yang mempengaruhi kepadatan adalah natalitas (kelahiran), mortalitas (kematian), emigrasi dan irnigrasi. Karakteristik sekunder dari populasi adalah sebaran umur, komposisi genetik, dan pola sebaran (penyebaran secara individu di dalam suatu ruang). Karakteristik terakhir adalah karakteristik yang dimiliki secara individual. 1s Tarumingkeng (1994) menyatakan sifat khas yang dimiliki populasi adalah kerapatan (densitas), laju kelahiran (natalitas), laju kematian (mortalitas), sebaran umur (distribusi) dan jenis kelamin, potensi biotik, sifat genetik, perilaku dan pemencaran (dispersi). Parameter populasi yang utama adalah struktur populasi, yang terdiri dari sex ratio, distribusi kelas umur, tingkat kepadatan dan kondisi fisik (van Lavieren, 1982). a ) Kerapatan Populasi ( Densitas ) Kepadatan populasi adalah besaran populasi dalam suatu unit ruang. Pada urnumnya dinyatakan sebagai jumlah individu di dalam satu unit luas atau volume (Alikodra, 1990). Nilai kepadatan diperlukan untuk menunjukkan kondisi daya dukung habitatnya. Parameter populasi yang berpengaruh terhadap nilai kepadatan populasi adalah natalitas, mortalitas, imigrasi dan emigrasi (Krebs, 1972). b ) Angka Kelahiran ( Natalitas ) Natalitas merupakan jumlah individu baru (anak) yang lahir dalam suatu populasi dan dinyatakan dalam beberapa cara yaitu produksi individu baru (anak) dalam suatu populasi, laju kelahim per satuan waktu atau laju kelahiran per satuan waktu per individu (Odurn, 1971). Ditegaskan oleh Lavairen (1983), bahwa laju kelahiian dinyatakan dalam laju kelahiran kasar (crude birth rate), yaitu perbandingan junllah individu yang dilahirkan dengan jumlah seluruh anggota populasi pada satu periode waktu; dan laju kelahiran umw spesifik yang merupakan perbandingan jurniah individu yang lahir dengan jwulah induk yang melahirkan yang ternlasuk dalam kelas urnur tertentu.

33 Wiersum (1973), menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi angka kelahiran adalah : 1) Perbandingan komposisi jantan dan betina (sex ratio) dan kebiasaan kawin, 2) Umur tertua dimana individu masih mampu berkembangbiak (maximum breeding age), 3) Umur tem~uda dimana individu mulai mampu untuk berkembangbiak (minimum breeding age), 4) Jumlah anak yang dapat diturunkan oleh setiap individu betina dalam setiap kelahiran ifecundify), 5) Jumlah melahirkan anak per tahun ifertilify). 16 c ) Angka Kematian ( Mortalitas ) Mortalitas merupakan jumlah individu yang mati dalam suatu populasi. Mortalitas diiyatakan dalam laju kematian kasar (crude mortality rate), yaitu perbandingan jumlah kematian dengan jurnlah total populasi hidup selama satu periode waktu, ataupun laju kematian umur spesifik yang merupakan perbandingan jumlah individu yang mati dari kelas umur tertentu dengan jumlah individu yang termasuk dalam kelas umur tertentu tersebut selama periode waktu (Alikodra, 1990). Faktor-faktor yang mempengamhi kematian satwa antara lain: 1) Kematian oleh keadaan dam, misalnya: bencana alam, penyakit, pemangsaan, kebakaran dan kelaparan. 2) Kematian oleh kecelakaan, misalnya : tenggelam, tertimbun tanah longsor, tertimpa batu dan kecelakaan yang menyebabkan terjadinya infeksi sehingga mengalami kematian. 3) Kematian oleh adanya pertarungan dengan jenis yang sama untuk mendapatkan ruang, makanan dan air serta untuk menguasai wilayah. 4) Kematian oleh aktifitas manusia, misalnya : perusakan habitat, perbuman, pencemaran dan kecelakaan lalulintas.

34 17 d ) Perbandingan Jenis Kelamin Perbandingan jenis kelamin adalah proporsi antara individu jantan dengan betina atau dapat dinyatakan sebagai jumlah individu jantan per 100 individu betina (Lavieren, 1983). Perbandingan jenis kelamin dapat dibedakan atas : 1) Primary sex ratio, yaitu perbandingan individu jantan terhadap individu betina secara konsepsional. 2) Secondary sex ratio, yaitu perbandingan individu jantan terhadap individu betina pada saat kelahiran. 3) Tertiary sex ratio, yaitu perbandingan individu jantan terhadap individu betina pada akhir hidup. e ) Sebaran Kelas Umur ( Distribusi ) Sebaran kelas umur adalah pengelompokkan anggota populasi ke dalam kelas umur yang sama dan biasanya dibedakan antara kelompok jantan dan betina. Menurut van Lavieren (1982), pengelompokkan yang paling sederhana adalah pengelompokkan ke dalam kelas umur bayi (new born), anak (juvenile), remaja (sub adult) dan dewasa (adult). Alikodra (1990), struktur umur adalah perbandingan antara jumlah individu dalam setiap kelas umur dengan jumlah keseluruhm individu dalani suatu populasi. Struktur umur dipergunakan untuk menilai keberhasilan perkembangbiakan serta prospek kelestarian satwa liar. Ditinjau dari kondisi natalitas dan mortalitasnya, populasi dapat dibedakan menjadi empat keadaan struktur umur yaitu : 1) Struktur umur dalam keadaan populasi yang seimbang (stationaty population), yakni natalitas dan mortalitas relatif seimbang. 2) Struktur umur dalam keadaan populasi yang mundur (regressive population), yakni natalitas mengalami penman. 3) Struktur umur dalam keadaan populasi yang berkembang (progressive population), yakni natalitas mengalami peningkatan. 4) Stnh umur dalam keadaan popuiasi yang mengalami gangguan sehingga terjadi kematian yang tinggi pada kelas umur tertentu.

35 3. Pertumbuhan Populasi 18 Naik dan turunnya kepadatan populasi satwa ditentukan oleh kemampuan genetik dan adanya interaksi dengan daya dukung lingkungannya. Komponen lingkungan yang menahan pertumbuhan populasi sangat kompleks dan saling berkaitan satu dengan lainnya. Ada tiga kemungkinan perubahan populasi yaitu berkembang, stabil, dan menurun (Alikodra, 1990; van Lavieren, 1982). Pertumbuhan populasi pada awalnya rendah kemudian mencapai maksimal dan selanjutnya menurun sampai akhirnya lnencapai no1 pada kondisi jumlah individu sama dengan daya dukung lingkungannya (Krebs,1972 diacu dalam Priyono, 1998). Menurut Alikodra (1990), pertumbuhan populasi dari waktu ke waktu terjadi dengan kecepatan (laju kelahiran) yang ditentukan oleh kemampuan berkembangbiak dan keadaan lingkungannya. Tarumingkeng (1994) menyatakan bahwa terdapat dua model pertumbuhan populasi, yaitu model eksponensial (er) dan model logistik. Model pertumbuhan populasi eksponensial dapat disebut sebagai penggandaan pertumbuhan populasi. Model pertumbuhan ini terjadi pada populasi yang tidak dibatasi oleh keadaan lingkungan. Nilai er dari suatu populasi merupakan perbandiigan antara populasi dari dua waktu. Pada keadaan lingkungan yang tidak terbatas, maka model pertumbuhan populasi sebagai berikut (van Lavieren, 1982): Nt =No.e r.t Ket : Nt = Ukunn populasi pada waktu ke-t NO = Ukuran populasi awal r = Laju pertumbuhan e = Bilangan Euler ( 2, ) t = Waktuke-t Tarumingkeng (1994) diacu dalam Priyono (1998), menyatakan bahwa model persamaan di atas bersifat deterrninistik yaitu disusun dengan asumsi bahwa kejadiankejadian yang berlangsung daliun populasi dapat diramalkan secara pasti dan mutlak. Sesungguhnya apa yang dideskripsikan dalam model deterministik adalah rataan nilainilai teoritis parameter populasi, sebagai aproksimasi yang dapat diterapkan untuk populasi yang besar dimana fluktuasi acak atau ragam sampling dapat diabaikan. Daiam keadaan sebenarnya popuiasi aiami berkembang dengan nilai er yang tergantung pada kerapatan. Pada kerapatan tertentu, makin padat populasi makin

36 19 berkurang persediaan makanan dan ruangan sehingga terjadi persaingan yang akan menyebabkan pertumbuhan populasi lambat laun akan menurun dan akhimya berhenti tumbuh jika daya dukung lingkungannya telah tercapai. Model pertumbuhan populasi eksponensial seperti di atas apabila diterapkan untuk waktu yang tidak terbatas tetapi dengan sumber yang terbatas menjadi tidak realistis karena tidak memperhitungkan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan seperti kerapatan, makanan, dan sebagainya. Pendekatan yang dilakukan untuk merumuskan model populasi yang lebih realistik yaitu dengan memasukan salah satu faktor penting yaitu kerapatan populasi sehingga terbentuk model yang terpaut kerapatan (density dependent model). Model pertumbul~an populasi terpaut kerapatan disebut model pertumbuhan logistik, dengan bentuk persamaan sebagai berikut: N - K Ket: Nt = Ukwan populasi pada waktu ke-t NO = Ukwan populasi awal K = Kapasitas daya dukung liigkungan r = Laju pembuhan e = Bilangan Euler (2, ) t = Waktu ke-t Menurut Tarumingkeng (1994), model pertumbuhan populasi logistik disusun berdasarkan asumsi-asumsi sebagai berikut: 1) Populasi akan mencapai keseimbangan dengan lingkungan sehingga memili sebaran umur stabil (stable age distribution). 2) Populasi memiliki laju pertumbuhan yang secara berangsur-angsur menurun secara tetap dengan konstanta r. 3) Pengaruh r terhadap peningkatan kerapatan karena bertumbuhnya populasi men~pakan respon yang instantaneous atau seketika itu juga dan tidak terpaut penundaan atau senjang waktu (time lag). 4) Sepanjang waktu pertumbuhan keadaan lingkungan tidak berubah. 5) Pengaruh kerapatan adaiah sama untuk semua tingknt umur populasi. 6) Peluang untuk berkembangbiak tidak dipengaruhi oleh kerapatan.

37 20 Dari perhitungan nilai er, diperoleh tiga kemungkinan pertunlbuhan populasi : 1) Jika nilai r lebih besar dari 0, maka populasi akan bertumbuh meningkat. 2) Jika nilai r sama dengan 0, maka populasi akan bertumbnh mendatar. 3) Jika nilai r lebih kecil dari 0, maka populasi akan bertumbuh menurun. 4. Pola Sebaran Populasi Menurut Ludwig dan Reynolds (1988), secara umum individu populasi menyebar dalam 3 pola spasial yaitu pola sebaran acak (random), pbla sebaran mengelompok (clumped) dan pola sebaran merata (uniform). Disebutkan pula bahwa pola sebaran acak dari individu populasi suatu spesies menunjukkan adanya keragaman (homogenity) dalarn lingkungan dan adanya perilaku non selektif dari spesies yang bersangkutan. Pola sebaran merata terjadi karena adanya pengaruh negatif dari persaingan makanan antara individu sebagaimana dapat diamati pada hewan yang merumput. Sedangkan pola sebaran mengelompok dapat disebabkan oleh sifat spesies yang atau adanya keragaman (heterogenity) habitat sehingga te rjadi pengelompokan ditempat yang terdapat makanan dan lainnya. Faktor yang menyebabkan adanya perbedaan pola sebaran spasial (Hutchinson diacu dalam Ludwig dan Reynolds, 1988) diantaranya adalah : 1) Faktor vektorial yang timbul dari gaya eksternal seperti arah mata angin, arah aliran air dan internsitas cahaya. 2) Faktor reproduktif yaitu berkaitan dengan cara berkembangbiak. 3) Faktor sosial yang dirniliki spesies tertentu misainya perilaku teritoriai. 4) Faktor koaktif yang timbul sebagai akibat adanya persaingan intra spesifik. 5) Faktor stokastik karena adanya keragaman dalam salah satu faktor diatas

38 C. Daya Dukung Habitat 1. Habitat Habitat adalah suatu komunitas biotik atau serangkaian komunitas biotik yang ditempati oleh binatang atau populasi kehidupan. Habitat yang sesuai menyediakan semua kelengkapan bagi suatu spesies selama musim tertentu atau sepanjang tahun. Kelengkapan habitat terdiri makanan, minum, perlindungan, dan faktor lain yang diperlukan oleh spesies hidupan liar untuk hidup dan melangsungkan reproduksinya secara berhasil (Bailey, 1984). 2. Daya Dukung Daya dukung adalah jumlah individu satwaliar dengan kualitas tertentu yang dapat didukung oleh habitat tanpa menimbulkan kerusakan terhadap sumberdaya habitat (Bailey, 1984). Menurut Dasman (1964), habitat hanya dapat menampung jumlah satwa pada batas tertentu, sehingga daya dukung menyatakan fungsi dari habitat. Penambahan dan penurunan populasi sangat ditentukan oleh faktor habitat seperti makanan, air dan tempat berlindung. Menurut Syarief (1974), besarnya daya dukung suatu areal dapat dihitung melalui pengukuran salah satu faktor habitat. Untuk menghitung produktivitas hijauan berupa padang rumput dapat menggunakan cara yang diperkenalkan McIlroy (1964) yaitu dengan pemotongan hijauan pada suatu luasan sampel savanal, menimbang dan dihitung produksi per unit luas per unit waktu. Menurut Brown (1954) diacu dalam Susetyo (1980), hijauan yang ada di lapangan tidak seluruhnya tersedia bagi satwa, tetapi ada sebagian yang ditinggalkan untuk menjamin pertumbuhan dan pemeliharaan tempat tumbuh. Bagian tanaman yang dimakan satwa tersebut disebut proper use. Susetyo (1980), bahwa faktor yang paling berpengaruh terhadap proper use adalah topografi, karena sangat membatasi pergerakan satwa. Proper use pada lapangan data dan bergelombang (kemiringan 0-50) adalah 60-70%, lapangan bergelombang dan berbukit (kemiringan 5-230) adalah 40-45% dan Iapangan berbukit sampai curarn (kemiringan lebih dari 23%)proper use nya adalah %.

39 111. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Sejarah Penetapan Taman Nasional Wasur Kawasan Taman Nasional Wasur sebelurn ditetapkan statusnya sebagai taman nasional, men~pakan sebuah kawasan suaka alarn yang ditetapkan berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 252/Kpts/Um/5/1978 tanggal 2 Mei I978 yang terdiri dari dua kawasan konservasi yaitu: Suaka Marga Satwa Wasur dan Cagar Alam Rawa Biru. Kawasan Suaka Marga Satwa Wasur dengan luas ha diperunbean bagi perlindungan satwa sedangkan kawasan Cagar Alam Rawa Biru seluas ha diperuntukkan bagi perlindungan sumber air minum penduduk Kota Merauke. Gubemur Provinsi Irian Jaya melalui surat No. 1125IDJN1981 tanggal 10 Maret 1981 mengusulkan perluasan kawasan sebesar ha menjadi ha. Tanggal 4 Januari 1982, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 15/Kpts/Ud5/19S2, luas kawasan ini bertambah dari ha menjadi ha ( ). Pada tanggal 6 maret 1990 melalui surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 448Nenhut-VI/1990 kawasan tersebut dideklarasikan menjadi Taman Nasional Wasur seluas ha. Pada tahun1997 dilakukan penunjukan kawasan Taman Nasional Wasur di Kabupaten Merauke Propinsi Irian Jaya seluas ha. B. Lingkungan Fisik Kawasan 1. Letak dan Luas Kawasan Taman Nasional Wasur terletak dibagian selatan Provinsi Papua dalam wilayah administrasi Pemerintahan Daerah Kabupaten Merauke, yang secara geografis berada pada koordinat 140" 27' - 141" 2' Bujur Timur dan 8' 5' - 9" 7' Lintang Selatan. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282Kpts-VU1997 tanggal 23 Mei 1997, luas kawasan TN. Wasw adalah ha dengan batas wilayah sebagai berikut :

40 Sebelah Barat Sebelah Utara Sebelah Timur Sebelah Selatan : Kota Merauke yang berjarak kurang lebih 12 km : Sungai Maro sepanjang km : Batas Negara RI - PNG sepanjang 114 km : Laut Arafixa 23 Gambar 4. Peta lokasi kawasan konservasi Taman Nasional Wasur Secara umum kawasan Taman Nasional Wasur terbagi dalam 2 daerah geografi yaitu: dataran pantai dan dataran berbukit bergelombang (plato) yang terbentang mulai dari Laut Arafura ke arah utara melalui dataran pantai yang rata dan perlahan - lahan bergelombang (kemiringan lereng hang dari 12") serta dataran rata yang terpotongpotong oleh plato yang bergelombang di bagian utara kawasan dengan titik tertinggi 90 m diatas permukaan laut. 3. Geologi Kawasan Taman Nasional Wasur berada pada dataran datar hingga bergelombang yang berasal dari aluvial pleistosen tua (plato oroimo). Kawasan ini memiliki sedimen berlapis dengan batuan dasar kristalin dari zaman prekambrian dan paleozoikum yang secara keseluruhan memilii sediien berlapis (Pieters, 1982 diacu dalam Petocz 1984). Sedimen alwial ini diperoleh dari erosi daerah dataran tinggi pada periode kuarter.

41 4. Tanah 24 Secara mum tanah pada kawasan Taman Nasional Was~u adalah aluvial dan jenis tanah lain yang merupakan hasil proses hidromorfik. Jenis tanah ini berstruktw halus, berlempung kuat dan sering kali tergenang oleh air pada musim hujan. Daerah dekat pasang surut pantai dan sungai memiliki keadaan tanah yang alkalin namun semakin kearah darat cenderung memiliki peningkatan kadar asam. Hasil penelitian Tim Pusat Penelitian Tanah Bogor (PPT Bogor) pada tahun 1988 mengklasifikasikan tanah di Taman Nasional Wasur kedalam lima ketegori tanah yaitu: kambisol, gleisol, regosol, dan planosol. Jenis tanah kambisol dan podsolit sangat berlimpah secara ekstensif didaerah savana yang berasosiasi dengan jenis tanaman Nuucleu spp - Buringtonia spp- Livistoniu spp serta dicirikan oleh terdapatnya sejumlah besar sarang rayap. Tanah rawa payau sering berada diantara lempung marind yang benvarna abu- abu hingga coklat gelap dengan plastisitas tinggi dengan ketebalan lapisan pasir halus (Is20 cm) clan material lunak lainnya. Keseluruan kawasan pada umumnya memiliki kedalaman 2,5-4,5 m material lempung marind bernoda merah dan abu - abu yang secara lokal diietahui sebagai lapisan " corn beef" 5. Iklim Taman Nasional Wasw memiliki iklim musim (Moonson) yang dicirikan oleh dua musim utama yaitu musim kering yang terjadi pada bulan Juni sampai November1 Desember dan musim basah yang terjadi pada bulan Desember sampai Mei. Berdasarkan hasil pencatatan stasiun Meteorologi Merauke, temperatur bulanan maksimum antara 29,3"C sampai 33 C dengan rerata 31,6"C. Temperatur bulanan maksimum terendah terjadi pada bulan Juni dan tertinggi te jadi pada bulan Desember. Temperatur bulanan minimum berkisar antara 22,2"C sampai 24,2"C dengan rerata 23,3OC. Temperatur bulanan minimum terendah terjadi pada bulan Agustus dan tertinggi pada bulan Januari I Febmari.

42 25 Hari hujan rerata antara 3,5 hari pada bulan Oktober lungga 17,6 hari pada bulan Januari. Namun rerata hujan maksimum yang diperoleh adalah antara 6,5 mm pada bulan Agustus hingga 67,7 mm pada bulan Januari. Kelembaban rerata adalah antara 76,s rnb pada bulan November hingga 84,2 mb pada bulan Maret. Curah hujan bervariasi antara 17,l mm pada bulan Agustus hingga 275,7 mrn pada bulan Januari. Kondisi iklim diatas dapat memberikan gambaran bagaimana variasi yang cukup besar antara musim kemarau dan musim hujan. 6. Hidrologi Kawasan Taman Nasional Wasur memiliki daerah potensi air permukaan yang cukup besar yaitu Danau Rawa Biru dengan luas potensial ha, namun daerah permukaan bebas atau luas aktualnya hanya 100,2 ha. Potensi air permukaan lainya adalah Sungai Maro yang membatasi kawasan bagian utara dan mengalir kearah barat menuju Laut Arafura. Menun~t Ridarso (1996), kapasitas air tawar di Danau Rawa Biru mencapai m3 yang dipergunakan oleh Perusahaan Daerah Air Minurn (PDAM) untuk memenuhi kebutuhan penduduk Kota Merauke rata-rata sebesar 40 liter per detik selama mush hujan dan 200 liter per detik selama mush kemarau. C. Ekologi 1. Ekologi Bentang Darat. Taman Nasional Wasur memiliki 6 tipe ekosistem yaitu: ekosistem tawar berair payau musiman, ekosistem rawa berair tawar permanen, ekosistem pesisir berair tawar, ekosistem dataran berair tawar, ekosistem pesisir berair payau - asin, dan ekosistem dataran berair payau.

43 26 2. Formasi vegetasi Formasi vegetasi yang khas di Taman Nasional Wasur dikelompokkan menjadi: hutan dominan Melaleuca spp, hutan Co-Dominan Melaleuca spp Eucalyptus spp, hutan jarang (woodland forest) dimana pada bagian bawah tegakan ditutupi oleh berbagai tumbuhan semak, hutan Pantai (coastal forest), hutan mush (monsoon forest), hutan pinggir pantai (riparian forest), hutan bakau (manggrove forest), hutan sabana (savannah), padang rumput (gressland), dan padang rumput rawa (grass swamp). Tipe habitat tersebut secara tunurn dapat disederhanakan menjadi : hutan codominan Eucaliptus spp dan Melaleuca spp seluas ha, vegetasi kali seluas ha, hutan Melaleuca spp seluas ha, hutan mangrove seluas ha dan padang rumput seluas ha. 3. Fauna Kawasan Taman Nasional Wasur memiliki keanekaragaman hayati jenis satwa antara lain mamalia berkantung dari genus Macropidae. Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan telah tercatat berbagai macam satwa antara lain : a) Mamalia teridentifikasi 34 spesies dari 80 spesies yang diperkiuakan ada dan 32 diantaranya adalah satwa endemik. Mamalia besar asli yang terdapat di dalam kawasan TNW adalah tiga marsupial yaitu wallaby lincah (Macropus agilis), kangguru hutan (Darcopsis veterum), dan kangguru bush (Thylogale brunii). Marsupial karnivora yang terdapat dikawasan ini adalah musang hutan (Dasyurus spartacus ) yang merupaka? satwa endemik mtuk kawasan transfly. b ) Aves teridentifikasi 403 spesies dimana 74 spesies diantaranya endemik dan diperkirakan terdapat 114 spesies yang dilindungi. Selain itu kawasan TNW yang merupakan ekosistem lahan basah merupakan tujuan migrasi berbagai jenis burung migran yang berasal dari Australia dan New zealand diantaranya jenis pelican (Pelicanus conspilafus), burung kapal selam (Phalacrocorac spp), paruh sendok j Royal spoonbills ), Crus mbicundu.

44 c ) Pisces, teridentifikasi 39 jenis ikan dari 72 jenis yang diperkirakan ada dan 32 diantaranya terdapat di Danau Rawa Biru dan 7 jenis terdapat di Kali Maro. 27 d) Reptile dan ampibi, teridentifikasi sebanyak 21 jenis reptile yaitu 2 jenis buaya (Crocodylus porosus dm CrocodyIus novaguineae), 3 jenis biawak (Varanus Spp), 4 jenis kura-kura, 5 jenis kadal, dm 8 jenis ular. e ) Serangga, belum banyak informasi mengenai kelompok ini, namun telah tercatat sebanyak 48 jenis. D. Kondisi Sosial Ekonomi Masyrrrkat Masyamkat lokal yang bermukim di dalam kawasan Taman Nasional Wasur terdiri dari empat suku besar yaitu Suku Marory - MenGey, Suku Kanume, Suku Marind dan Suku Yeinan. Keempat suku tersebut terbagi dalam marga dan sub marga, dimana anggota dalam sub marga tersebut memiliki dusun atau tanah adat sendiri yang merupakan tempat untuk mencari makan sehari - hari. Sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, masyarakat lokal telah menggunakan tanah adatnya untuk meramu hasil hutan guna keperluan hidup sehari - hari seperti bertanam ubi-ubian, kelapa, pisang dan berburu serta menangkap ikan. Walaupun mencari makan pada masing-masing dusun, seluruh masyarakat lokal tersebut dimukimkan dalam 12 pemukiman yang secara administrasi merupakan pemerintahan kampung. Kebiasaan mencari makan di dusun dilakukan selama berhari- hari bahkan berminggu-minggu. Kegiatan berburu di1wan unmk memenuhi kebutuhan protein keluarga maupun di jual, menggunakan alat buru tradisional berupa parang, panah maupun tombak disertai dengan anjing berburu yang berjumlah dapat mencapai 10 ekor yang biasa dikenal dengan sebutan "Ohan". Jenis hewan yang diburu yaitu semua jenis satwa yang dijumpai seperti rusa, wallaby serta ikus tanah.

45 IV. mtode PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian berlangsung di Taman Nasional Wasur Merauke - Papua, selama 2 bulan terhitung mulai tanggal 21 Mei 2007 sampai dengan tanggal 21 Juli B. Bahan Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari peralatan pengambilan data lapangan dan peralatan pengolahan data berupa : 1) Peta tematik penutupan lahan kawasan Taman Nasional Wasur. 2) Peralatan inventarisasi populasi wallaby lincah dan jenis vegetasi rumput terdiri dari; kompas, teropong binokuler, pita meter, hand counter, jam tangan, lampu senter, tali rafialtambang, Global Position System (GPS), camera digital, pisau pemotong rumput, timbangan, tally sheet, peralatan tulis menulis. 3) Peralatan pembuatan spesiemen herbarium seperti alkohol, kantong plastik, kertas koran, sasak dan lebel spesiemen. 4) Perlengkapan pengumpulan data wawancara berupa lembaran daftar pertanyaan. 5) Peralatan pengolahan dan analisis data terdiri atas komputer, kalkulator, serta perlengkapan alat tulis menulis. Gambar 5. Alat dm bahan kegiatan pengumpulan serta pengolahan data

46 29 C. Jenis Data Yang Dikumpulkan Data yang dikumpulkan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yang diambil antara lain : 1) Data habitat meliputi karakteristik jenis vegetasi padang rumput, jenis rumput pakan wallaby lincah, produktifitas rumput pakan, jumlah konsumsi pakan harian wallaby lincah. 2) Data populasi wallaby lincah meliputi, jumlah individu, jenis kelamin, kelas illnur, angka kelahiran, angka kematian, bentuk sebaran spasial, dan jenis aktifitas saat pejumpaan. 3) Data pemanfaatan wallaby lincah meliputi jenis alat bum, waktu Imusim berburu, jumlah satwa bum, jenis kelamin dan kelas umur satwa bum. D. Tehnik Pengumpulan Data 1. Pengumpulan Data Karakte~istik Habitat 1 ) Jenis Tumbuhan Padang Rumput Analisa vegetasi adalah suatu cara untuk mempelajari komposisi jenis dan struktur vegetasi dalam ekologi tumbuhan. Luas padang rumput adalah ha yang terdiri dari beberapa blok habitat padang rumput, sehingga analisa vegetasi dilakukan dengan pengambilan cuplikan atau sampel. Metode sampling yang digunakan adalah metodepefak berganda bemkuran lm x lm (Soerianegara dan Indrawan, 1988). Peletakan petak pertama dilakukan secara acak sedangkan petak kedua dan seterusnya dilakukan secara sistematis dengan jarak antara petak yaitu 50 meter pada setiap blok habitat padang nunput. Banyaknya jumlah petak contoh yang digunakan didasarkan pada kurva lengkung spesies area, dimana yang menjadi absis pada sumbu X adalah jillnlah petak sedangkan ordinat pada sumbu Y adalah banyaknya jenis rumput. Penambahan petak sampel akan dihentikan apabila tidak terdapat penambahan jumlah jenis spesies rumput lebii dari 5 - ig% (Oosting et al, i958 diacu dalaiii Soerianegara, 1988). Banyaknya petak contoh pengamatan jenis rumput yang dibuat

47 pada penelitian ini sebanyak 28 buah yang berada pada lokasi savana Ukra Kecil, Ukra Besar, Prem dan Kankania. Gambar 6. Metode petak berganda dan peletakan plot pengamatan rumput Keterangan : 0 a / b : Petak pertama yang mempakan titik awal : Petak kedua dan seterusnya yang diletakan secara sistematis : Jarak antara petak contoh 50 meter Seluruh spesies rumput yang terdapat pada setiap petak contoh di data jenis dan jumldxiya, kemudian diteiitukan Indeks Nilai Penting (INP). Identifkasi jenis rumput dilahkan di Herbarium Bogoriense Bogor berdasarkan koleksi spesimen herbarium. oj.. I Jumlah Petak Gambar 7. Kurva spesies area untuk menentukan banyaknya petak contoh

48 3 1 2 ) Produktifitas Padang Rurnput Produktifitas padang nunput diukur dengan melakukan pemotongan setiap jenis rurnput yang merupakan pakan wallaby lincah pada petak contoh benhran I m x im. Pemotongan dilakukan sampai batas 1 cm diatas permukaan tanah. Setelah dilakukan pemotongan, rumput ditimbang untuk mengetahui berat basahnya (Prasetyohadi, 1986). Sisa bagian rumput yang tertinggal akan dibiarkan tumbuh selama 20 hari, kemudian dilakukan pemotongan dan penimbangan kembali dengan cara yang sama sebanyak 3 kali ulangan. 3 ) Tingkat Konsumsi Pakan Tingkat konsumsi pakan harian diketahui dengan memberikan sejumlah ransum makanan kepada 4 ekor wallaby lincah yang diperlihara oleh masyarakat dalam kandang pemeliharaan yang terpisah. Setiap wallaby lincah di timbang terlebih dahulu untuk mengetahui berat badannya. Sebelum di berikan kepada wallaby lincah sebagai bahan makanannya, rumput ditinlbang terlebih dahulu untuk mengetahui berat awalnya. Berat ransurn sisa diketahui dengan menimbang ransum yang tidak di makan pada hari berikumya. Selisih antara berat ransum awal dan berat ransum sisa merupakan gambaran berat ransum yang diiakan oleh wallaby lincah dalam satuan kilogram per hari. Pemberian pakan ransurn dilakukan selama 7 ilari yang dianggap sebagai ulangan. 4 ) Daya Dukung Makanan Daya dukung habitat berupa ketersediaan pakan merupakan fungsi dari faktor ekologis berupa kerapatan relatif jenis rumput pakan, produktifitas seluruh hijauan rumput, luas pennukaan padang rumput, proper use yang besarnya ditentukan oleh faktor topografi serta tingkat konsumsi pakan wallaby lincah. Besarnya proper use di Taman Nasional Wasur adalah 70 %, dimana kawasan ini merupakan wilayah dengan topografi datar dan bergelombang ringan dengan kemiringan antara 0-5O.

49 2. Pengumpulan Data Populasi 1 ) Parameter Demografi a ) Kepadatan Populasi Kepadatan populasi diketahui dengan menggunakan metode Line Transect yang dikembangkan oleh Hyne (1949). Pada metode ini lebar jalur tidak di perhitungkan, sedangkan penghitungan luas sampel dilakukan setelah pengambilan data lapangan dengan asumsi dasar sebagai berikut : 9 Satwa diketahui oleh pengamat melalui transek yang dilewati dengan melihat kiri dan kanan walaupun tidak semua sahva akan terlihat, beberapa tidak kelihatan karena jauh. 9 Jumlah satwa yang tidak terhihtng akan semakin tinggi bila semakin jauh dari jalur transek. Jalur transek dibuat sejajar satu sama lain dengan jarak antara jalw 200 m dan panjang setiap jalur adalah 1 km. Jalur pengamatan yang dibuat sebanyak 45 buah. Pengamatan dilakukan pada pagi hari pukul WIT dan sore hari pada pukul WIT. Pemilihan waktu pengamatan tersebut didasarkan pada saat dimana wallaby lincah paling aktif beraktifitas. Ulangan pengamatan pada setiap jalur transek dilakukan sebanyak 4 kali. Penganlatan menggunakan metode jalur transek dapat diliiat pada Gambar 8 dibawah ini. Gambar 8. Penggunaan metode jalur transek pada kegiatan inventarisasi Keterangan :- = Jalur transek P = Pengamat S = Satwa i = Jarak pengamat dan satwa d = Jarak tegak lunts a = Sudut yang terbentuk

50 Perbedaan kelas umur wallaby lincah didasarkan pada ukuran tubuh dan kematangan fisiologi yang dibagi dalam tiga tingkatan yaitu keias umur anak, muda dan dewasa. Kriteria kelas umur anak yaitu satwa berumur 1 sampai 7 bulan dimana an& masih dalam bentuk embrio hingga dapat makan sendiri tetapi masih tergantung pada suplai susu dan kantung pemeliharaan induknya. Kelas umur muda yaitu satwa berumur 8 bulan sampai 2,2 tal~un dimana anak s~~dah mampu makan sendiri dan tidak lagi membutuhkan suplai susu serta hidup diluar kantung pemeliharaan induknya sampai satwa mencapai dewasa kelamin atau masuk periode reproduksi. Kelas umur dewasa yaitu satwa berumur diatas 2.2 tahun dimana satwa berada pada masa potensial reproduktif. 33 Perbedaan jenis kelamin didasarkan pada ciri-ciri fisik yaitu alat reproduksi, ada tidaknya kantung pemeliharaan anak, ~kuran serta warna tubuh. Terdapat perbedaan warna tubuh yang mencolok antara jantan dan betina dimana pada satwa jantan memiliki bulu bagian depan benvarna merah kekuningan sedangkan pada betina benvama putih keabu - abuan. Pada satwa betina, kantung pemeliharaan terbentuk ketika masih kecil yaitu pada kelas umw an&. b ) Angka Kelahiran Data angka kelahiran diperoleh dari hasil perhitungan inventarisasi satwa wallby lincah yang berumur kurang dari 8 bulan. Penetapan ini didasarkan pada studi literam bahwa an& wallaby lincah akan meninggalkm kantung pemeliaraan induknya dan tidak tergantung lagi pada air susu dari induknya setelah benunur 7 sampai S bulan. c ) Angka Kematian Data angka kematian wallaby lincah diperoleh dari hasil pengolahan data wawancara dengan masyarakat iokal yang sepanjang tahun melakukan kegiatan perburuan. Diasumsikan bahwa jumlah kematian wallaby lincah akibat perb~m setiap tall~n adalah sama.

51 2 ) Pola Sebaran Spasial 34 Pola sebaran spasial wallaby lincah diketahui dengan melakukan pengamatan terhadap banyaknya jumlah individu yang dijumpai pada jalur pengamatan. Untuk memudahkan dalam perhitungan maka pada setiap jarak 100 m dilakukan pemberian tanda misalnya Hml, Hm2 dengan lebar 50 m kekanan dan kekiri jalur pengamatan dan seterusnya sehingga akan terbentuk plot pengamatan benhan loom x 100m. Banyaknya plot pengamatan pola sebaran spasial berjumlal~ 200 buah. E. Anaiisis Data Lapangan 1. Analisis Karakteristik Habitat 1 ) Analisis Vegetasi Padang Rumput Data hasil inventarisasi jenis rumput dianalisis untuk inenentukan besarnya nilai kerapatan (K), kerapatm relatif O(R), frekwensi (F), fiekwensi relatif (FR), dominansi (D), doninansi relatif (DR) serta indeks nilai penting (INP). Dominansi suatu jenis pada ekosistem padang rumput ditunjukkan oleh besaran nilai INF'. Besaran nilai INP pada jenis tumbuhan bawah merupakan pei~jumlahan antara kerapatan relatif dan frekwensi relatif. Persamaan yang digunakan untuk menganalisis sebagai berikut (Soerianegara dan Indrawan 1988): K = F = Jumlah individu suatu jenis Luas plot pengamatan ( ha) Jumlah plot ditemukannya suatu jenis Jumlah total plot pengamatan Kerapatan suatu jenis KR = x 100% Kerapatan seluruh ienis Frekuensi suatu jenis FR = x 100% Frekuensi seluruh ienis

52 Untuk mengetahui tingkat keragaman jenis tumbuhan bawah, digunakan indeks Shannon-Wiener (Mueler and Dombois, 1974). Keragaman jenis merupakan gambaran banyaknya spesies yang tumbuh dan menyusun struktur vegetasi pada suatu ekosistem. Rurnus yang digunakan yaitu : H'=-z - ni L n i. Ket: H' = Indeks Keragaman N N n i = Jumlah individu suatu jenis N = Jumlah total semua individu jenis Menurut Barbour et al. (1987), krietria nilai indeks keragaman sebagai berikut : - Jika nilai H' < 1, Keragaman sangat rendah. - Jika nilai 1 < H' 5 2, Keragaman rendah. - Jika nilai 2 < H' i 3, Keragaman sedang. - Jika nilai 3 < H' 5 4, Keragaman tinggi. - Jika nilai H' > 4, Keragaman sangat tinggi Kemerataan jenis tumbuhan diketahui berdasarkan indeks kemerataan dengan rurnus : E = H'IInS Ket : E = Indeks Kemerataan H' = Indeks Keragaman S = Jumlah jenis Besamya nilai indeks antara 0-1, dimana 1 0 kemerataan jenisnya semakin tinggi 5 1 kemerataan jenisnya semakin rendah Untuk mengetahui perbedaan jenis tumbuhan pada masing-masing lokasi, dilakukan analisis kesarnaan jenis komunitas menggunakan indeks Sorensen untuk perhitung8n data kualitaiif maup~ui ku8niitatif (Magurrm A.E. 1988). Kualitatif data Cs = 2 j Kuantitatif data Cs = 2 j N a+ b an + bn 35 2 ) Analisis Produktifitas Padang Rumput Produktifitas suatu padang nunput diketahui dengan mengukur biomasanya. Untuk mengetahui produktifitas padang rumput digunakan rumus (Alikodra, 1990): P P Ket : P = Produksi rumput seluruh areal rumput - L = Luas padangrumput P = Produksi rumput seluruh petak contoh = Luas seluruh petak contoh

53 3 ) Analisis Tingkat Konsumsi Pakan Wallaby Lincah 36 mus : Besarnya tingkat konsumsi pakan wallaby lincah dihitung dengan menggunakan Konsumsi pakan = Berat ransum pakan - Berat ransum pakan (kg semula (kg) sisa (kg) 4 ) Analisa Daya Dukung Makanan Daya dukung habitat merupakan gambaran kemampuan suatu habitat untuk menampung jumlah populasi secara optimal. Besarnya nilai daya dukung habitat dapat ditentukan apabila telah diketahui besarnya nilai produktifitas padang rumput serta jumlah konsumsi pakan harian wallaby lincah. Nilai daya dukung diketahui dengan menggunakan formula (Susetyo, 1980) : P Ket : K = Jumlah satwa yang dapat ditampung K =- P = Produktivitas rumput pakan persatuan waktu C = Jumlah konsnmsi makan persatuan wakhl dimana C C = ax1 + bx2 + cx nxn dan xl-n adalah jenis rumput yang dimakan. Pada mamalia herbivora tidak semua bagian tanaman dimakan. Bagian yang tidak dimakan merupakan penjamin pertumbuhan selanjutnya dan pemeliharaan tempat tumbuh. Jumlah bagian tanaman yang dimakan disebut Proper Use yang di tentukan oleh faktor topografi, jenis tanah, jenis tanaman, jenis satwa dan tingkat kesubtuan suatu jenis serta keadaan musim (Brown,1954 diacu dalam Susetyo, 1980). Diantara faktor yang mempengaruhi proper use, topografi merupakan faktor yang paling berpengaruh. Menurut Susetyo (1980), besarnya proper use pada lapangan datar dan bergelombang (kemiringan 0'-So) adalah 60-70%, lapangan bergelombang dan berbukit (kemiringan 5'- 23') adalah 4045% dan lapangan berbukit sampai curam (kemiringan lebih dari 23") adalah 25-30%. Rumus yang diynakan untuk mengetahui daya dukung suatu kawasan sebagai berikut : Daya Dukung Pakan = Produksi hijauan x Proper Use x Luas permukaan lapang Kebutuhan pakan satwa

54 2. Analisis Populasi 1 ) Parameter Demografi a ) Kepadatan Populasi Wallaby Lincah Pendugaan populasi wallaby lincah dilakukan menggunakan metode garis transek dan dianalisis menggunakan rumus metode King. Persamaan metode King yang digunakan adalah sebagai berikut : n Ket : D k = Kepadatan populasi menurut King Dk = n = Jumlah total individu satwa terlihat L = Panjang jalur transek 2.L.(1ri/n) r i = Jarak bidikan satwa ke - i b ) Angka Kelahiran (Natalitas) Angka kelahiran menyatakan suatu perbandingan antara jumlah individu kelompok umur bayi terhadap jumlah total individu betina produktif pada suatu periode tertentu. Persamaan yang digunakan untuk menetukan angka kelahiran adalah sebagai berikut : Ket b = Angka kelahiran kasar B = Jumlah individu kelompok bayi N = Jumlah seluruh betina produktif c ) Angka Kematian (Mortalitas) Angka kematian menyatakan suatu perbandingan antara jumlah total individu yang mati terhadap jumlah total individu pada suatu periode tertentu. Persamaan yang digunakan untuk menetukan angka kelahiran adalah sebagai Ket d = Angka kematian kasar D = Jumlah individu mati dalam waktu 1 tahun N = Jumlah seluruh anggota produktif

55 38 2 ) Bentuk Sebaran Spasial Bentuk sebaran spasial wallaby lincah pada ekosistem savana di Taman Nasional Wasur dapat diketahui menggunakan Metode Distribusi (Ludwig J.A and Reynolds J.F, 1988). Terdapat tiga metode pendugaan pola sebaran satwa yaitu metode sebaran frekwensi, metode rasio nilai tengah I ragam dan metode indeks dengan penggunaan masing - masing formula sebagai berikut : A. Metode Sebaran Frekwensi Ada tiga bentuk sebaran frekwensi yaitu 1. Sebaran acak I poisson probability distribution Rumus peluang harapan poisson ~ ( 0 ) - * = e Rumus peluang frekwensi harapan Uji statistik Chi - Square Ketentuan jika X hitring < X tabel = pola sebaran acak ( terima HO ) Ketentuan jika X hitung > X tabel = pola sebaran kelompok ( tolak H0 ) Lanjutkan uji sebaran kelompok I negatif binominal distribution 2. Sebaran kelompok I negatif binominal distribution - Rurnus derajat pengelompokan k = x 2 s2- x Rumus peluang harapan poisson - - k P(0) = [l+(xlk)] - - P(1) = [ x l(x +k)].(kll).p(o) - - P(r) = [ x l(x +k)].[(k +r-1)/1].p(r-1) Rumus peluang frekwensi harapa E ( o ) = (N ). P ( 0 ) E(1) = (N).P(l) Ef r) = (N).P(r\

56 Uji statistik Chi - Square Ketentuan jika X hitung < X tabel = pola sebaran kelompok ( terima HO ) Ketentuan jika X hittrng > X2 tabel = pola sebaran merata ( tolak HO ) B. Metode Rasio Nilai Tengah dan Ragam Ket = 1 Acak > 1 Kelompok < 1 Homogen C. Metode Indeks - S1 -- Indeks Dipersion ( ID ) - X Indeks of Clumping ( IC ) = 1 D - 1 I C Indeks Grenn ( I G ) - Ket = 1 Acak (n- 1 ) > I Kelompok < 1 Homogen 3 ) Pertun~buhan Populasi Pendekatan yang digunakan untuk merumuskan model pertumbuhan populasi yang lebii realistik adalah dengan memasukkan faktor kerapatan sehingga terbentuk model yang terpaut kerapatan (density dependent modei). Model pertumbuhan populasi terpaut kerapatan disebut model pertumbuhan logistik, dengan bentuk persamaan sebagai berikut : N - - I + JK --?).cn K Ket : Nt = Ukuran populasi pada waktu ke-t NO = Ukuran populasi awal K = Kapasitas daya dukung lingkungan r = Laju pertumbuhan e = Bilangan Euler ( 2, ) t = Waktu ke-t

57 Berdasarkan analisis data, kepadatan populasi hasil penelitian ini dianggap sebagai populasi awal (NO), sedangkan data tahun berikutnya (Nt) dihitung berdasarkan sebaran parameter demografi dengan mempertimbangkan sex rasio, peluang hidup dan fekundity. Data peluang hidup dan fekundity diasumsikan sama dengan data yang diperoleh dari data hasil penelitian wallaby lincah di East Point Reserve Key Centre for Tropical Wildlife Management (Stirrat 2003). Berdasarkan model pertumbuhan populasi maka dapat ditentukan kuota panenan lestari yang dapat diberikan kepada masyarakat ) Penentuan Target Pemanenan Lestari Penentukan kuota pemanenan lestari satwa wallaby lincah yang dapat dimanfaatankan oleh masyarakat lokal di Taman Nasional Wasur dilakukan dengan menggunakan model pertumbuhan populasi pada lingkungan terbatas. Besarnya panenax optimum yang lestari dihitung dengan menggunakan formula (Lavieren, 1982 ): MSY = % r x K Keterangan : MSY = Panenan lestari maksimum r = Laju pertumbuhan pada lingkungan terbatas K = Daya dukung lingkungan Untuk mengetahui bentuk perburuan yang dilakukan oleh masyarakat, maka dil&-&an gefig~bil& dati fesob,ide,i sibanyak 50 orang y~~ t6id.i diri s&li ifi serta suku pendatang yang tinggal di dalam kawasan Tailan Nasional Wasur.

58 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kerakteristik Habitat Wallabi lincah 1. Tipe Habitat Kawasan Taman Nasional Wasur merupakan satu kesatuan ekosistem bentang alam yang terdiri dari beberapa tipe habitat dengan karakteristik vegetasi utama adalah jenis galam tkayu putih (Melaleuca spp) yang mendominasi tutupan lahan baik pada tingkat semai, tiang maupun pohon. Habitat memberikan fungsi perlindungan, ruang interaksi sosial, sumber pakan serta sumber air minum terutama pada musim kemarau kepada berbagai jenis sahva. Tipe habitat di Taman Nasional Wasur antara lain : 1. Habitat padang rumput yang terdiri dari savana dan grassland seluas ha atau 26% dari luas TN Wasur, merupakan areal ruang terbuka yang menyediakan pakan berupa rumput bagi berbagai jenis mamalia herbivora. Satwa yang umum dijunlpai di habitat ini antara lain: rusa timor, wallaby lincah, tikus tanah (bandikot), babi hutan, ular serta berbagai jenis bwung savana dan burung air. Wallaby lincah menunjukkan perannya dalam ekosistem padang rumput terutama menjelang sore dan pagi hari. Wallabi lincah merupakan salah satu jenis mamalia herbivora endemik Taman Nasional Wasur yang berperan dalam menjaga keseimbangan hijauan rumput. 2 Habitat hutan jarang yang terdiri dari hutan yang didominasi oleh vegetasi Melaleuca spp dun co-dominant Melaleuca spp - Eucaliptus spp luasnya mencapai ha. Tmgkat perhmbuhan yang didominasi vegetasi tingkat pohon berfungsi memberikan perlidungan kepada wallabi lincah terhadap meningkatnya temperatur udara pada siang hari, menurunnya temperatur udara pada malam hari, aktifitas perburuan serta berbagai bentuk gangguan lainnya. Luas areal yang ditunlbuhi jenis Melaleuca spp terus bertambah akibat terjadinya suksesi alami yang menyebabkan semakin berkurangnya luasan habitat savana. 3 Habitat genangan air tawar yang terdii dari habitat sungai, rawa permanen maupun rawa musiman merupakan wilayah distribusi kebutuhan air minum bagi

59 42 satwa. Habitat sungai dan rawa permanen memberikan cadangan minum pada musim kemarau yang umurnnya berlangsung selama 6 bulan. Habitat genangan air tawar didominasi oleh jenis tumuhan air antara lain rumput galah (Pragmitas karka), rumput pisau (cyperaceae), Hanguana sp dan Luwigya spp. 4 Habitat berupa genangan air payau dan asin yang terdiri dari vegetasi pantai, vegetasi mangrove dan ekosistem estuari merupakan habitat yang menyediakan makanan dan sumber mineral garam yang sangat dibutuhkan satwa herbivora seperti wallaby lincah agar keseimbangan metabolisme didalam tubuh te rjaga. 2. Struktur Jenis Rumput Ekosistem savana merupakan wilayah terbuka yang didominasi oleh berbagai jenis tumbuhan bawah berupa nunput dan semak yang berfungsi sebagai sumber pakan utarna bagi mamalia herbivora. Daftar jenis rumput yang teridentifikasi pada petak contoh pengamatan disajikan pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Indeks nilai penting jellis tumbuhan bawah pada ekosistem savana. No Jenis Tumbuhan Bawah Family 1NP 1 Cyperrs kyningia End1 Cyperaceae 7,967 2 Cyperus rolonttrs L~M Cyperaceae 3,003 3 Cenlipeda minima (L) A.Br. Asch Cyperaceae 1,202 4 Fimbristylis globulasa (Retz) Kunth Cypepemceae 3,762 5 Cyperuspypmaeas Rottb. Cyperaceae 9,568 6 Cyperur brwifolit~s (Rottb.) Hassk Cyperaceae 3,083 7 Fimbrislylis acuntinafa Vahl Cyperaceae 17,771 8 Eleocltaris cangesta D.Don Cyperaceae 1,521 9 Eleocharis retrajesa Cyperaceae 2, Ele~leocharispltilippinertsis Svens Cyperaccae 5, B~rlboslylispuber~rla (Poir) C.B. Clarke Cyperaceae 6, Paspalum conjt~gatum Berg Gnuninae 4, Cynodan dactylon (Linn) Pers Graminae 8, Chrysapogon aciculahu Graminae 13, Sporobalus diander ( Retz) P. Beauv Graminae 2, Chloris barbata Sw Graminae 4, Paspalum comniersa~tii Sensu Rid1 Graminae 5, Rhynchelyrnrm repens (Willd) C.E.Hubb Graminae 6, Iscltaentum timorense Kunth Graminae 13, Stachyturpheta urlicaefalia Verbenaceae 39, Sida acuta Burm. F Malvaceae 10, Hydrocoryle asiafica Linn Umbelliferae 4, Hypris brevipes Poit Labiatae 3, Ph-vsalis mi~~ima Linn Solnnaceae 2, Elrpkorbia ltirta Linn Euphorbiaceae 19,934 Jumlah

60 43 Tabel 2 menunjukkan bahwa terdapat sebanyak 8 famili jenis rumput dari 25 spesies yang ditemukan, &rnana 32% didominasi oleh family Cyperaceae, 30% oleh family Graminae dan 19% oleh famili Verbenaceae. Persentase sebaran jenis rumput berdasarkan famili dapat dilihat pada Gambar 9 dibawah ini Faihili Gambar 9. Persentase jenis tumbuhan bawah berdasarkan famili Gambar 9 menunjukkan bahwa walaupun persentase famili Cyperaceae lebih banyak, tetapi berdasarkan indek nilai penting maka jenis semak ekor iikus (Stackytarpketa urticaefolia) dari famili Verbenaceae mendominasi perturnbuhan pada struktur tumbuhan bawah terutama pada lokasi Ukra Kecil dan Ukra Besar. Apabila komposisi jenis tumbuhan bawah di savana Taman Nasional Wasur didominasi oleh famili Cyperaceae, maka pada savana pulau Ndana didominasi oleh famili Poaceae. Sedangkan tunlbuhan bawah di Taman B L Gunumg ~ Marsigit - Kereumbi Jawa Barat dan di Suaka Marga Satwa Pulau Moyo didominasi oleh famili Poaceae Semak ekor tikur yang mendominasi jenis tumbuhan bawah di savana Ukra Kecil dan Ukra Besar merupakan jenis pendatang (eksotik) yang keberadaannya telah diketahui jauh sebelum penetapan kawasan ini menjadi taman nasional. Berdasarkan keterangan diketahui bahwa penyebaran jenis tanaman ini di duga melalui kendaraan bermotor ole11 para pemburu maupun oleh ternak sapi yang digembalakan sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai Taman Nasional Was~u. Berdasarkan perhitungan jumlah individu jenis semak ekor tikus pada petak contoh diietahui bahwa setiap 1 m2 terdapat 1319 individu tingkrat sernai. Sedmgkan jumlrlh semak ekor tikus pnda tiagkat dewasa setiap 1 m2 berjumlah 51 individu. Dari data tersebut diketahui bahwa keberhasilan tumbuh semak ekor tikus dari tingkat semai sampai dewasa setiap 1 m2

61 44 adalah 3,9%. Jumlah perkecambahan yang banyak pada tingkat semai dan pembentukan tajuk yang rapat dan membuka kearah luar pada tingkat dewasa menyebabkan jenis tanaman lain kalah bersaing baik dalam perebutan kebutuhan makanan, ruang maupun cahaya. Peran babi hutan dalam fungsi ekologis di Tarnan Nasional Wasur yang selalu membongkar tanah unh& memperoleh cacing sangat penting dalam proses regenerasi spesies ini terutama investasi biji doman. Penyebaran dan pertumbuhan tanaman ini sangat cepat melalui pemencaran biji dan akan segera berkecambah terutama pada wilayah yang mernperoleh cahaya matahari penuh. Pada lingkungan yang kurang menguntungkan, biji tanaman ini memiliki kemampuan untuk melakukan dormansi biji sehingga deposit bibit tanaman bertambah banyak di lapangan. Luas penyebaran tumbuhan ini di savana Ukra Kecil dan Ukra Besar mencapai 403 ha atau 0,51% dari luasan ekosistem savana. Ketika Taman Nasional Wasur masih di kelola oleh WWF Bioregional Sahul Merauke, tumbuhan ini dianggap sebagai jenis pengganggu. Gangguan yang diakibatkan oleh jenis ini antara lain mengurangi luas savana, menghambat pertumbuhan jenis rumput asli serta tidak dimakan ole11 mamalia herbivora termaksud wallaby lincah. Berdasarkan ha1 tersebut maka sejak pengelolaan oleh WWF sampai penyerahan kepada Balai Taman Nasional Wasur tahun 1997, kegiatan pengendalian jenis semak ekor tikus dijadikan agenda tahunan pembinaan habitat padang rumput. Apabila dibandingkan dengan lokasi savana Prem dan Kankania, maka pada kedua lokasi tersebut tidak dijumpai jenis semak ekor tikus. Sbuktur tumbuhan bawah pada kedua lokasi tersebut didominasi oleh jenis rumput yang tumbuh dan berkembang dengan baik serta menyebar secara parsial hampu merata di areal pertumbuhan padang runlput. 3. Keanekaragaman Spesies Tumbuhan Bawah Hasil perhitungan keanekaragaman menggunakan indeks Shanon-Wiener, diketahui bahwa keanekaragarnan jenis tumbuhan bawah di seluruh savana Tman Nasional Wasur dikategorikan dalam keanekaraganlan sedang yaitu dengan nilai indeks H'= 2,434. Sedangkan berdasarkan hasil perhitungan indeks kemerataan

62 diketahui bahwa jenis hunbuhan bawah pada habitat padang nunput dilokasi penelitian adalah rendah dengan niali E = 0,756. Angka tersebut menggambarkan bahwa pada komunitas tersebut terdapat jenis tumbuhan bawah yang tumbuh secara dominan dalarn struktur vegetasi nunput. Indeks keragaman jenis tumbuhan bawah di Taman Nasional Wasur dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini. Tabel 3. Indeks keanekaragaman jenis rumput pada habitat padang nunput. No Nama Jenis Jumlah pi In pi -pi In pi 1 Cypertu kyningio End ,602 0,098 Cypertrs rotlmflo Linn Centipeda minima (L) ABr. Asch Fimbriswlis glob~rlosa (Retz) Kunth Cypenrspypnaeus Rottb. Cypens brevijolius (Rottb.) Hassk Fimbrisylis acsminota Vahl Eleocharis congesta D.Don Eleocharis retrojesa Eleocl~risphilippinensis Svens Bt~lbostylisptrbert~la (Poir) C.B. Clarke Paspohtm conjugaturn Berg. onodon dactylon (Linn) Pers Cllrysopogon aciclrlahrs Sporobolus dionder ( Rctz) P. Beauv Chloris barbota Sw Paspaltml comrnersonii Sensu Ridl Rhyncttelytr~rm repens (Willd) C.E.Hubb lschaen~untimorense Kunth Stachyfarphefa urticaefolia Sida acuta Bum. F Hydrocofyle asiafica Lim Hyptis brevipes ~ oit Physalis miltima Linn 25 Euphorbia hirta Linn ,516 0,203 Jumlah ,387 2,434 Apabila keanekaragaman jenis tumbuhan bawah dibedakan berdasarkan lokasi penelitian, maka pada lokasi Ukra Besar dan Ukra Kecil yang di dominasi oleh semak ekor tikus memiliki nilai H' sebesar 1,669 dan nilai E sebesar 0,632. Artinya bahwa di kedua lokasi tersebut merniliki keanekaragaman yang rendah karena didominasi oleh jenis tertentu. Sedangkan pada lokasi savana Prem dan Kankania yang tidak terdapat semak eekor tikus memiliki nili keanekarag~mn jenis pada kategori sedang dengan nilai H' sebesar 2,191 sedangkan kemerataannya rendah dengan nilai E = 0,758. Hal ini menunjukan bahwa pada lokasi Prem dan kankania merniliki keanekaragaman 45

63 yang lebih banyak dibandingkan Ukra Besar dan Ukra Kecil, narnun penyebarannya tidak merata. Perbandingan nilai keanekaragaman dan nilai kemerataan tersebut diatas disajikan pada Tabel Lampiran 4 dan Tingkat Kesukaan Jenis Tumbuhan Pakan Tingkat kesukaan jenis tumbuhan pakan wallaby lincah di ketahui dengan cara melakukan identifikasi bekas rumput yang dimakan pada setiap petak contoh pengamatan. Untuk mengurangi kesalahan indentifikasi, maka digambarkan perbedaan bekas rumput yang dimakan wallaby lincah dengan herbivora lain seperti pada Gambar 10 dibawah ini. Gambar 10. Perbedaan bekas rumput yang dimakan a) wallaby lincah b) rusa timor Gambar 10 inenunjukkan bahwa terdapat perbedaan bekas rumput yang dimakan wallaby lincah dan rusa timor. Gambar 10.a merupakan bekas rumput yang dimakan wallaby lincah diiana terdapat serat jaringan tumbuhan yang terbentuk akibat gigitan, sedangkan pada bekas rumput yang dimakan rusa timor (Gambar 10.b) tidak nampak serat jaringan tumbuhan akibat gigitan dan cenderung rata. Bentuk bekas rumput yang dimakan wallaby lincah tersebut berhubungan dengan susunan gigi seri bagian depan yang tidaic rata dimana gigi seri bagian bawah berada dibagian dalam gigi seri bagian atas dan menyerupai nlulut bunrng paruh bengkok. Bentuk tengkorak clan susunan gigi wallaby lincah dapat dilihat pada Gambar 11 dibawah ini. Gambar 11. Beiituk tengkorak wallaby lincah yang terdiri dari susunan tenggorak gigi bagian atas dan gigi bagian bawah.

64 Penggunaan herbivora rusa timor sebagai pembanding perbedaan bekas m put yang dimakan adalah karena kedua mamalia ini merupakan jenis mamalia yang menggunakan habitat savana untuk beraktifitas di Taman Nasional Wasur. Rusa timor merupakan satwa eksotik yang didatangkan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1926 untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan protein dan aktifitas berburu para pembesar pemerintah Hindia Belanda di Papua. Populasi rusa timor saat ini sudah berkurang akibat perburuan yang tidak terkontrol di kawasan Taman Nasional Wasur. Jika frekwensi ditemukannya bekas m put yang dimakan wallaby lincah pada petak contoh pengamatan dipandang sebagai nilai yang menunjukkan tingkat kesukaan atau palatabilitas, maka terdapat 8 jenis rurnput yang paling disukai. Penentuan derajat palatabilitas yang didasarkan pada nilai frekwensi dapat dilihat pada Tabel 4 berikut. Tabel 4. Tingkat kesukaanl derajat palatabilitas rumput pakan wallaby lincah di Taman Nasional Wasur. No Nama Jenis Family Y X 1 Cyperus kyllirtgia Endl Cyperaceae Cyperus rolunfus Linn Cyperaceae 2 I 3 Cenlipeda minima (L) A.Br. Asch Cyperaceae Fi~nbristylis globulosa (Retz) Kunth Cyperaceae Cyperus pyprnae~cs Rottb. Cyperaceae Cyperus brevifoliris (Rottb.) Hassk Cyperaceae 2 0, 7 Fmbristylis acuminafa Vahl Cyperaceae Eleocharis congesta D.Don Cyperaceae Eleoclraris relroflesa Cyperaceae Eleocharispi~ilippinensis Svens Cyperaceae 3 0 I I Bulbostylispuben~la (F'oir) C.B. Clarke Cyperaceae Paspalunr conjugalum Berg. Graminae Cynodon dactylon (Linn) Pen' Graminae Ch~ysopogon acictrlahrs Graminae Sparobol~rs diander ( Retz) P. Beauv Graminae Citloris barbata Sw Graminae Paspalurn eommersonii Sensu Rid1 Graminae Rly,~chelylrum repem (Willd) C.E.Hubb Graminae Ischaemum rimorense Kunth Grnminae Slachytarpheta urlicaefolia Verbenaceae Sida acula Bum. F Malvaceae Hydrocotyle asiatica Linn Umbelliferae Hyplis brevipes Poit Labiatae Pi~ysalis minima Lim Solanaceae E~iphorbia 11irta Linn Euphorbiaceae 11 0 Ketemgan : P = Derajat palatabilitas jenis ( x I y ) X = Jumlah plot ditemukan jenis yang di ma@ wallaby linc* Y = Jumlah plot ditemukan suatu jenis

65 48 Tabel 4 diatas menunjukkan bahwa wallaby lincah di Taman Nasional Wasur tidak dapat digolongkan dalam grazer murni karena diietahui juga memakan bagian batang dan tangkai bunga muda tumbuhan semak ekor tikus Stachytarpheta urticaefolia. Menurut Stirrat 1991, bahwa makanan utama wallaby liicah pada mush hujan adalah rumput (grazer) tetapi pada musim kemarau dimana kualitas rumput menurun akibat kekeringan, satwa ini dapat mengkonsumsi makanan altematif termaksud pucuk daun, kulit kayu, buah, bunga, serta akar. Selanjutnya Stirrat 1991, menyebutkan bahwa makanan wallaby lincah tergantung pada perubahan kondisi lingkungan. Pada saat penelitian ini dilakukan di Taman Nasional Wasur masih dalam kurun waktu musim penghujan dimana produktifitas hijauan mnput sangat melimpah. Strahan (1997), mengatakan bahwa wallaby lincah adalah grazers yang makanan utarnanya rumput asli, tetapi juga tercatat sebagai browser terhadap jenis tumbuhan lain dan juga buah asli yang berasal dari tanaman seperti pohon 'Leichardt, Nauclea orientalis dan Ficus spp. East Point Reserve di Darwin Australia, telah melakukan pengamatan terhadap pola komposisi dan kesukaan makanan wallaby lincah setiap musim. Diketahui bahwa makanan kesukaan wallaby lincah adalah rumput pada mush hujan dimana kandungan nitrogen dalam tanaman tinggi. Disebutkan bahwa walaupun tumbuhan leguminose memiliki kepadatan yang tingggi, tetapi wallaby lincah menunjukan tingkat kesukaan yang besar terhadap rumput. Bagian rumput yang diakan wallaby lincah di TN.Wasur dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Bagian tanaman yang dimakan wallaby lincah di TN. Wasur No Nama Jenis Family Bagian yang Dimakan 1. Cypertrs kyllingia Endl 2. Cypenis rotunhrs Linn 3. Cypenrs pypmaercs Rottb. 4. Firnb~.istylis acuminata Vahl 5. Paspalrrnr conj~gattrm Berg. 6. Cynodon dactylon (Linn) Pers' 7. Iscltaemam fimorense Kunth 8. Stachytarpheta urlicaefolia Cyperaceae Cyperaceae Cyperaceae Cyperaceae Graminae Graminae Graminae Verbenaceac Daun muda, tanghi bunga muda Daun muda, tangkai bunga muda Daun mud% tangkai bunga muda Daun mud% tangkai bunga muda Daun muda, tangkai bunga muda Daun mud% tangkai bunga muda Daun muda, tangkai bunga muda Daun, batang, tangkai bunga muda Tabel 5 diatas menunjukan bahwa bagian tanaman yang dimakan adalah bagian yang inuda seperti daun dan tangkai bunga muda. Sedangkan untuk jenis semak ekor tikus bagian yang dimakan adalah daun, batang dan tangai bunga muda. Penzilihan

66 bagian muda ini diduga berkaitan dengan daya cerna bahan makanan sehingga zat-zat makanan organik yang terkandung seperti protein, lemak, serat kasar, kalsiurn serta fospor lebih mudah diserap untuk memenuhi kebutuhan gizi Produktifitas Jenis Tumbuhan Pakan Produktifitas tumbuhan pakan diketahui dengan melakukan pengukuran produktifitas seluruh jenis nunput yang terdapat pada petak pengarnatan kemudian dikalikan dengan kerapatan jenis tumbuhan pakan yang disukai berdasarkan derajat palatabilitas. Produktifitas hijauan seluruh jenis dapat dilihat pada Tabel 6 berikut. Tabel 6. Prduktifitas seluruh jenis rumput dengan pemanenan awal. No Plot Berat Segar (gr/m2 I20 hari) Rerata Berat Segar Panen I Panen 2 Panen 3 (5 im' man) 1 82,000 62,500 68,000 70,833 3, ,500 55,000 50,500 51,333 2, ,000 76,000 73,000 70,667 3, ,500 57,000 47,500 52,667 2, ,000 14,000 36,500 27,833 1, ,000 53,000 48,500 47,167 2, ,500 69,000 74,500 68,000 3, ,000 47,500 58,500 53,667 2, ,000 44,500 40,000 41,833 2, ,000 32,000 27,000 29,000 1, ,500 45,500 51,500 46,833 2, ,000 39,000 33,000 34,333 1, ,500 36,500 35,000 35,000 1, ,500 18,500 18,000 19,000 0, ,500 18,500 18,500 18,833 0, ,000 19,000 19,000 17,667 0, ,500 8,000 8,000 8,167 0, ,000 19,000 18,500 18,500 0, ,500 14,000 13,500 13,667 0, ,500 10,500 11,000 11,000 0, ,500 9,000 9,000 8,833 0, ,000 9,000 7,WO 8,000 0, ,800 8,600 8,400 8,600 0, ,700 11,300 10,600 10,867 0, ,600 9,300 8,900 8,933 0, ,600 10,500 9,400 9,500 0, ,000 9,400 10,100 9,500 0, ,000 9,500 8,500 8, Jumlah 788, , , ,567 40,428 Rerata 28,150 29,129 29,354 28,877 1,444

67 50 Tabel 6 menunjukan bahwa produktifitas seluruh jenis tumbuhan bawah sebesar 1,444 g/m2/hari atau sebesar 14,44 kg/ha/hari dalam kondisi berat basah atau bahan segar. Pada saat penelitian ini dilakukan, di Taman Nasional Wasur masih pada periode musim penghujan sehingga produktifitas hijauan sangat tinggi. Menurut Susetyo (1980), produktifitas hijauan padang rumput pada musim hujan besarnya dua kali produktifitas hijauan pada musim kemarau. Berdasarkan asumsi tersebut, maka produktifitas hijauan seluruh jenis tumbuhan bawah di savana Taman Nasional Wasur pada musim kemarau adalah sebesar 7,22 kg/ha/hari dalam berat basah atau bahan segar. Berdasarkan data t'ersebut diatas, maka produktifitas nnnput yang dimakan wallaby lincah dapat diketahui dengan melihat kerapatan relative jenis mmput pakan dan faktor "proper use". Produktifitas rumput pakan wallaby lincah dalam satuan kglpertahun dapat dilihat pada Tabel 7 dibawah ini. Tabel 7. Produktifitas rumput yang dimakan wallaby lincah selama setahun Produktifitas Hijaunn Pakan Total No Jenis Rumput Pakan Family (gr,,p, bnhan se ar Produktifitas KR(%) PU (%) PH (kglhalhari) 1 Cyperus kyningia Endl Cyperaceae 3, ,444 0,319 2 Cypencs rotu~zlus Linn Cyperaceae 1, ,444 0,109 3 Cyperlrs pypmaeus Rottb. Cyperaccae 3, ,444 0,384 4 Firnbrisfylis acuminala Vahl Cyperaceae 9, ,444 0,921 5 Paspalurn coniuzatum Ber~. Graminae cy;odon dacb10n (Linn) ~ers Graminae 4; ;444 0;428 7 lschaemum tirnorense Kunth Graminae 6, ,444 0,635 8 Stachytarpheta unicaefoiia Verbenaceae 27, ,444 2,764 Produktifitas pakan pada musim penghujan adalah (6112)buIan x 360hari x 5,755 kglha = 1035,9 kg 1 ha Produktifitas pakan pada musim kemarau adalah 1035,9 kg I ha : 2 = 517,95 kg1 ha 5,755 Produktifitas pakan dalam 1 tahun selumh savana adalah ( 1035,9 +517,95 ) kg/ haltahun x ha = kgltahun Tabel 7 menunjukan bahwa produktifitas rumput pakan yang disukai wallaby lincah dalam 1 tahun dapat menghasilkan kg bahan makanan dalam keadaan berat basah atau bahan segar. Menurut Lubis (1953) diacu dalam Bukhari (1984) menyebt~tkan bahwa kandungan air dalam hijauan segar sebanyak 75-90%. Apabila produktifitas rumput pakan wallaby lincah tersebut diatas dihitung dalam satuan berat kering, maka akan menghasilkan bobot seberat

68 kg/tahun dalam berat kering. Selanjutnya dalam perhitungan daya dukung pakan akan digunakan pendekatan berat basah Tingkat Konsumsi Pakan Harian Tingkat konsumsi pakan harian merupakan banyaknya kebutuhan pakan selama satti hari dalam satuan kilogram yang dibutuhkan satwa untuk lnenghasilkan energi dalam melakukan berbagai aktifitas harian. Penghitungan kebutuhan pakan wallaby lincah di habitat alam sangat sulit dilakukan, kecuali bila dilakukan pengukuran berat rumput pakan yang terdapat didalam saluran pencemaan dengan melakukan pembunuhan terhadap satwa. Sampai saat ini belum ada yang melakukan pengamatan terhadap kebutuhan pakan wallaby lincah di Kabupaten Merauke. Pendekatan yang dilakukan untuk mengetahui tingkat konsurnsi pakan adalah dengan menhtung jumlah makanan yang dikonsumsi wallaby lincah peliharaan masyarakat. Besarnya kebutuhan pakan wallaby lincah dapat dilihat pada Tabel 8 dibawah ini. Tabel 8. Konsumsi pakan empat ekor wallaby lincah domestikasi selama enam hmi pengamatan. Berat Hari Ulangan basah ransum (kg) I Rata - Rata Pertama 0,73 0,92 1,11 0,99 0,94 Kedua 0,65 0,96 1,18 1,05 0,96 Ketiga 0,77 0,88 1,16 1,02 0,96 Keempat 0,70 0,91 1,16 1,Ol 0,95 Kelima 0,71 0, ,03 0,95 Keenam ,12 1,OO 0,92 Jumlah 4,24 5, ,lO 5,67 Rata - rat ,92 1,14 1, Kererangan : I. Walaby Lillcoh I = Berat badnn 5,4 kg 2. Walaby Lincah I1 = Berat bdan 7,2 kg 3. Walaby Lincah 111 = Berat badan 10,l kg 4. Walaby Lincah 1V = Berat badan 8,2 kg Tabel 8 tersebut diatas menunjukkan bahwa wallabi lincah yang mempunyai berat badan lebih besar melnpunyai tingkat konsunlsi yang lebih banyak dibandingkan dengan wallabi lincah yang berat badannya lebih kecil. Menurut Moen (1973 ) bahwa kebutuhan makanan satwa tidak dipengmuhi oleh faktor jenis kelamin tetapi ukuran tubuh satwa. Selanjutnya disebutkan bahwa kebutuhan pakan satwa berubah - ubah tergantung dari aktifitasnya, jenis spesies serta &wan tubuhnya. Berdasarkan berat

69 rata - rata empat ekor satwa contoh yaitu 7,73 kg dan kebutuhan rata - rata pakan harian yaitu 0,95 kg maka kebutuhan pakan perekor satwa contoh pada sistem pemeliharaan tertutup adalah sebesar 12% dari total bobot tubuh. Menurut WWF (2005), Altenogt dan Kurt (1975), Lekagul dan Mc Necly (1977), menyebutkan bahwa kebutuhan pakan gajah asia adalah sebesar 5-10 % bobot tubuhnya. Berdasarkan penelitian Hasilongan (1995) bahwa persentase antara bobot tubuh rusa timor dan kebutuhan pakan harian adalah 14 %. 52 Besarnya kebutuhan pakan harian satwa wallabi lincah pada sistem pemeliharaan tertutup berbeda dengan kebutuhan pakan harian satwa di habitat aslinya. Wallabi lincah yang hidup liar di habitat alam membutuhan lebih banyak jumlah dan variasi jenis pakan yang disukainya. Perbedaan jumlah kebutuhan pakan antara satwa peliharaan dan satwa liar antara lain disebabkan : 1. Satwa domestikasi dengan sistem pemeliharaan tertutup kurang membutuhkan energi yang besar karena ruang pergerakannya dibatasi oleh pembatas fisik sedangkan satwa liar di alam sangat membutuhkan energi yang besar untuk melakukan agresifitasnya karena ruang pergerakan hanya dibatasi oleh kemampuan individual untuk melakukan pergerakan antara lain dipengaruhi oleh jenis kelamin, kelas umur, wilayah jelajah, pembatas ekologis, faktor cuaca. 2. Satwa domestikasi tidak memiliki altematif pilihan jenis pakan yang disukai sehingga memiliki titik jenuh terhadap jenis pakan tertentu, sedangkan satwa di habitat alan~nya memiliki banyak variasi pilihan terhadap preferensi jenis pakan tertentu. Satwa di habitat alam juga memiliki lebih banyak pemenuhan kebutuhan nilai gizi potensial yang diperoleh dari berbagai jenis pakan yang tersedia di dam. Kebutuhan pakan harian wallaby lincah di habitat savana Taman Nasional Wasur menggunakan pendekatan kebuhhan pakan satwa domestikasi dengan sistem pemeliharaan tertutup yang merupakan gambaran kebutuhan minimal yaitu 0,95 kgfhari dalam berat basah atau bahan segar. Dengan mempertimbangkan kebutuhan pakan harian (Tabel 8) dan produktifitas jenis pakan sukaan berdasarkan

70 tingkat palatabilitas (Tabel 7), maka besarnya daya dukung Taman Nasional Wasur terhadap keb~~tuhan pakan wallaby lincah dapat dilihat pada Tabel 9 dibawah ini. Tabel 9. Daya dukung produktifitas hijauan pakan wallaby lincah pertahun. Total No Periode Musim Hari Produktifitas Produktifitas (kg/ha) (kg/ he/ tahun) 1 Penghujan 180 5, ,9 2 Kemarau 180 2, , ,85 Total produktifitas pakan seluruh savana 1553,85 kg/ ha/ tahun x ha = kg/ tahun Daya dukung produktifitas pakan wallaby lincah kg/ tahun : 0,95 kg/ ekor = ekorl tahun Daya dukung Taman Nasional Wasur tersebut diatas merupakan daya dukung dari ketersediaan makanan yang disukai wallaby lincah dalam satu tahun. Besarnya nilai daya dukung tersebut akan inenjadi lebih kecil apabila dimasukkan daya dukung dari segi kebutuhan air, ruang aktifitas harian, cover perlindungan serta faktor fisiologis satwa. Selanjutnya untuk melakukan simulasi pertumbuhan populasi wallaby lincah di Taman Nasional Wasur, maka digunakan pendekatan daya dukung makanan. 53 B. Nilai Dugaan Parameter Demografi 1. Ukuran Populasi Pengamatan yang dilakukan terhadap perilaku dan bioekologi wallaby lincah pada ta5apai pra suivay, diieta!!ui Sahwa satwa tersebut adalali sama crespucul~r yaitu satwa yang sangat aktif melakukan kegiatan hariannya pada pagi dan sore hari. Berdasarkan pengambilan data dan perhitungan pendugaan kepadatan populasi menggunakan metode King's (Lavieren, 1982), maka jurnlah populasi wallaby liicah di Taman Nasional Wasur dapat dilihat pada Tabel 10 dibawah ini.

71 Tebel 10. Kepadatan populasi wallaby lincah berdasarkan Metode King's Lokasi Jalw Pengamatan Jumlah Rerata (Ekor 1%) Ukra Kecil 1,569 2,197 1,416 1,869 0,994 8,045 1,609 Ukra Besar 1,833 1,952 1,553 1,529 0,796 7,663 1,533 Prem 0,780 0,777 0,939 0,962 0,475 3,932 0,786 Kankania 0,637 0,656 0,742 0,677 0,691 3,404 0,681 Rataan / dugaan titik 1,152 Tabel 10 menunjukan bahwa populasi wallaby lincah di TN. Wasur adalah 1 ekor per hektar. Bila luasan habitat savana di Taman Nasional Wasur adalah hektar (BTNW,1999) inaka populasi total wallaby lincah adalah ekor. Apabila ju~nlah populasi wallaby lincah tersebut dibandingkan dengan ketersediaan daya dukung pakan, maka populasi saat ini hanya 0,07% dari daya dukung pakan. Secara ekologis dapat dijelaskan bahwa pakan bukan rnenjadi faktor pembatas pertumbuhan populasi wallaby lincah di Taman Nasional Wasur. Walaupun ketersediam pakan melimpah, kegiatan pengelolaan habitat rumput pakan hams tetap dilaksanakan dalanl rangka mempertahankan jenis - jenis mrnput pakan kesukaan dan rnencegah menyebamya jenis turnbuhan eksotik. Kegiatan pembakaran terkendali dalam rangka merangsang pertumbuhan bagian rnuda tanaman perlu dilakukan pada musim kernarau. 2. Struktur Populasi Untuk rnenilai serta rnemprediksi prospek kelestarian pertumbuhan populasi satwa wallabi lincah di Taman Nasional Wasur rnaka selain dapat diketahui dengan melihat angka fluktuasi tahunan berdasarkan data series, juga dapat dinilai dengan inelihat kecenderungan sebaran kelas umur dan jenis kelamin pada kondisi aktual saat ini. Selain sebaran kelas umur, perbandingan jenis kelamin potensial reproduktif sangat rnenentukan laju pertambahan populasi tahunan melalui keberhasilan proses perkawinan dan kelahiran. Jumlah wallaby lincah di Taman Nasional Wasur berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 11 dibawah ini.

72 Tabel 11. Perbandigan kelas umur dan jenis kelamin wallaby lincah Kelas Umur Jenis Kelarnin Jantan Betina Seks Rasio Jumlah Anak : 2 14 Muda : l 48 Dewasa : l 93 Jurnlah : l Tabel 11 menunjukan bahwa perbandingan populasi wallaby lincah berdasarkan kelas umur anak, muda dan dewasa adalah 1 : 3 : 7. Sedangkan perbandingan seks rasio jantan dan betina pada semua kelas umur adalah 1 : 1, kecuali pada kelas umur anak yaitu 1 : 2. Apabila dihubungkan antara perbandingan kelas umur dan jenis kelamin tersebut diatas, maka struktur populasi wallabi lincah di Taman Nasional Wasur termaksud dalam klasifikasikan struktur populasi yang sedang mengalami kemunduran atau regressive population. Sbxktur populasi yang mengalami kemunduran tergambar pada diagram batang pada Gambar 12 dibawah ini z 1 '3 40 j I 2 3oI Jantan m Betina Annk Muda Dewnrs Dcaasa Muda Anak Seks Rasio Per Kelas Umur Gambar 12. Diagram batang sebaran populasi berdasarkan kelas urnur dan jenis kelamin., Grunbar 12 menunjukan bahwa kelas umur anak lebii sedikit dari kelas umur dewasa. Keadaan ini menunjukkan terjadinya penurunan jumlah pertambahan individu baru. Keadaan perttunbuhan populasi seperti ini sangat beresiko terhadap kelestarian populasi karena perbandigan jenis kelamin pada kelas umur dewasa reproduldif kurang ideal untuk inelakukan proses perkawinan. Dressen (1993) dan Stirrat (2000), menyebutkan bahwa seks rasio wallaby lincah reproduktif antara jantan dan betina adalah 1 : 2. Apabila jumlah jantan lebih banyak dari jurnlah betina maka

73 akan terjadi perkelahian antara jantan potensial reproduktif sehingga dapat mengakibatkan terjadinya luka serta kematian, proses perkawinan pun akan gagal. Sebaliknya apabila jumlah betina lebih banyak dari jumlah jantan maka akan mempengaruhi kwalitas benih yang dihasilkan oleh pejantan reproduktif. 56 Populasi wallaby lincah di Taman Nasional Wasur dapat ditingkatkan pembuhannya apabila dilakukan pengaturau perbandingan jantan dan betina reproduktif pada rasio yang ideal melalui kegiatan pemanfaatan berupa perburuan satwa. Pengaturan rasio jantan dan betina reproduktif dapat merangsang sistem perkawinan yang sehat sehingga dapat peningkatan jumlah individu baru melalui proses kelahiran. Faktor - faktor yang mempengaruhi stmkttu populasi mengalami kemunduran atau regressive populafion : 1. Penghitungan kelas umw anak hanya dapat dilakukan pada kisaran unur 5-7 bulan, sedangkan umur 1-4 bulan tidak dapat hitung karena anak masih dalam bentuk embrio dan tersembunyi didalam kantung pemeliharaan. Sedangkan pada Gambar 13. Anak wallabi lincah berumur 4 minggu di dalam kantung pemeliharaan serta menempel pada salah satu puting induknya. 2. Seks rasio reproduktif yang tidak ideal, kecilnya peluang kawin akibat aktifitas perbman yang dilakukan pada musim kawin menjadi faktor penyebab kecilnya peluang bereproduksi. Perb~uuan menggunakan kendaraan bermotor atau anjing berburu dapat mengakibatkan satwa n~enjadi stress. J.J. Cristian dengan teori strees menyatakan bahwa menuunnya kepadatan populasi dapat disebabkan karena terjadinya perubahan produksi hormon dalam tubuh yang berftmgsi mengendalikan proses fisiologi dan aktifitas perilaku satwa liar.

74 3. Kualitas embrio dan proses pemeliharaan anak adalah faktor penting keberhasilan pertumbuhan anak menuju kelas umur berikutnya. Produksi kelenjar susu pada betina menyusui akan terganggu jika tingkat stress betina meningkat. Griffiths et a1 2005, menyebutkan bahwa peluang hidup wallaby lincah umur 0-1 tahun adalah 0.43 artinya bahwa kelas umur anak memiliki peluang hidup hanya 43%. 4. Tidak semua betina dewasa dapat melahirkan anak serta adanya akumulasi junllah wallabi lincah yang sudah tua atau tidak produktif. Griffiths et a1 2005, menyebutkan bahwa persentase betina dewasa reproduktif adalah 0,94 %. 5. Perburuan menggunakan kendaraan roda dua atau anjing berburu menyebabkan anak dan induk menjadi terpisah terutama saat anak berada diluar kantung pemeliharaan sehingga anak mudah mati akibat tidak dapat bertahan hidup atau akibat pemangsaan satwa predator. Satwa pemangsa yang potensial menjadi predator adalah ular, buaya, burung pemangsa (falconidae) serta anjing berburu yang terpisah dan menjadi liar (feral). Dijumpai beberapa kasus penemuan ular piton karpet (Chondropython sp) sedang memangsa satwa mamalia kecil serta ditemukannya sisa bangkai mamalia akibat koyakan anjing liar. 6. Kematian akibat tenggelan karena naiknya ketingggian genangan saat musim hujan sangat dimunglunkan terutama pada kelas umur anak, walaupun satwa ini diietahui memiliki kemampuan berenang dalam jarak yang pendek. Keadaan ini pemah dilaporkan oleh Edi futunanembun yaitu seorang mantan staf lapangan WWF Merauke Angka Kelahiran dan Kematian Pertumbuhan populasi selain di dukung oleh kapasitas habitat dalam memenuhi kebutuhan makanan, minum dan perlindungan, juga di pengaruhi oleh laju reproduksi serta laju kematian. Laju reproduksi tahunan diiilai dari jurnlah bayi yang lahir, sedangkan laju kematian diilai dari junlah satwa yang mati oleh berbagai sebab. Sampai saat ini tidak tersedia data tentang jumlah angka kelahiran maupun angka kematian wallaby lincah di Taman Nasional Wasur. Sangat sulit menentukan besanlya

75 58 angka kematian setiap tahun terutama yang disebabkan oleh faktor alamiah. Sedangkan kematian akibat bentuk pemanfaatan masyarakat dapat diketahui melalui besarnya permintaan kebutuhan daging. Informasi yang diperoleh dari petugas Taman Nasional Wasur, diketahui bahwa faktor perburuan oleh masyarakat baik lokal maupun masyarakat kota menjadi faktor dominan penyebab kematian wallaby lincah. Pengurangan jurnlah populasi juga dapat terjadi karena adanya pergerakan satwa untuk mencari lokasi baru yang menguntungkan bagi perkembangan populasillya. Wilayah yang mungkin menjadi tujuan pergerakan satwa wallaby lincah dari Taman Nasional Wasw adalah Tonda Wildlife Management Area di Papua New Guinea (TWMA-PNG) yang berbatasan langsung dengan TN.Wasur. Suaka Margasatwa Tonda (PNG) memiliki kesamaan tipe ekosistem serta program perlindungan yang sangat ketat. Akibat berkurangnya populasi rusa titnor (Cervus firnorensis) di Taman Nasional Wasur, para pembwu dari Kota Merauke melakukan perbuman liar di Suaka Margasatwa Tonda (PNG). Beberapa kasus penangkapan warga Kabupaten Merauke yang berburu di kawasan Suaka Margasatwa Tonda (PNG) diangkat sebagai issu dalam setiap pertemuan bilateral antara RI - PNG menyangkut permasalahan yang terjadi di wilayah perbatasan. Berbagai faktor penyebab kematian wallaby lincah di Taman Nasional Wasur dapat dilihat pada Gambar 14 dibawah ini. Gambar 14. Faktor penyebab kematian wallabi lincah, a) Penggunaan jerat b) Penyakitl parasit c) Alat btuu n~oderen d) Pemangsaan e) Permintam pasar. ) l-lobi dan kesenangan

76 4. Bentuk Sebaran Populasi Bentuk sebaran spasial wallaby lincah dalam penggunaan ruang di Taman Nasional Wasur merupakan stategi untuk mempertahankan peran ekologisnya. Terdapat tiga macam bentuk sebaran satwa yaitu menyebar acak, seragam dan mengelompok. Untuk mengetahui bentuk sebaran spasial wallaby lincah, maka digunakan perhitungan metode sebaran dan metode rasio. A. Metode Sebaran Frekwensi 1. Sebaran acak 1 poisson probability distribution Untuk mengetahui apakah wallabi lincah menyebar acak maka dilakukan uji sebaran acak dengan hipotesis yaitu : Ho = Wallaby lincah menyebar secara acak. H1 = Wallaby lincah tidak menyebar secara acak, Perhitungan chi-square sebaran acak dapat dilihat pada Tabel 12 dibawah ini. Tabel 12. Perhitungan uji sebaran acak populasi walaby lincah di TN. Wasur - xi fi ni xi* fi olx) Comulatif E (x) Comulatif Chi-Sauare Tabel 12 menunjukan bahwa X hitung > X tabel pada a Karena chi-square hitung lebih besar dari chi-square tabel maka tola!! Ho, a-tinya bahwa wallabi lincah tidak menyebar secara acak. Karena tidak menyebar acak maka dilanjutkan uji sebaran kelompok. 2. Sebaran kelompok 1 negatif binominal distribution Untuk mengetahui apakah wallabi lincah menyebar berkelompok maka dil&tkan uji sebaran kelompok dengan hipotesis yaitu : Ho = Wallaby lincah menyebar secara berkelompok. H1 = Wallaby lincah tidak menyebar secara berkelornpok.

77 Perhitungan chi-square sebaran kelompok dengan derajat pengelompokan K = dapat dilihat pada Tabel 13 berikut. Tabel 13. Perhitungan uji sebaran kelompok walaby lincah di TN. Wasur xi fi ni xiz fi p(x) Comulatif E (x) Comulatif Chi-square ,62 0,62 124,OO 124,OO 0,OO 60 Tabel 13 menunjukan bahwa X" hitung 1,09 < X tabel pada Karena chi-square hitung lebih kecil dari chi-square tabel maka terima Ho, artinya bahwa wallabi lincah menyebar secara berkelompok. B. Metode Rasio Hasil perhitungan metode rasio diketahui bahwa rasio ragam dan nilai tengah adalah 3,04. Karena nilai rasio lebih besar dari angka 1 maka wallaby lincah menyebar secara berkelompok. C. Metode Indeks Hasil perhitungan nilai indeks diietahui bahwa wallaby lincah menyebar secara berkelompok, dengan nilai Indeks Dipersion (ID) = 3,04, nilai Indeks of Clumping (IC) = 2,04 dan nilai Indeks Green (IG) = 0,01. Nilai Indeks Green (IG) menunjukkan bahwa wallaby lincah menyebar secara berkelompok dengan derajat pengelompokan yang rendah. Perhitungan metode fiekwensi, metode rasio dan metode indeks disajikan pada Lampiran 9. Jumlah anggota kelompok wallaby lincah yang di jumpai saat penelitian kwang dari 10 ekor yaitu antara 2-6 ekor. Wallaby lincah membentuk kelompok dengan jumlah individu diatas 10 ekor dan kurnpulan kelompok yang lebih besar terjadi ketika melakukan alltifitas makan (Lone Pine Koala Sanctuary, 2001). Kelompok yang besar kemungkinan bersifat sementara dan di tunjukkan dalam sebaran kelompok yang terkonsentrasi pada sumber makanan, rninum dan tempat berlindung (Dressen 1993).

78 C. Pemanfaatan Wallaby Lincah 1. Nilai Ekonomi Wallaby Lincah Populasi wallaby lincah di Taman Nasional Wasur sampai saat ini belum memberikan dampak negatif baik pada lingkungan ekologi maupun lingkungan sosial masyarakat. Belum ada laporan kerusakan tanaman pertanian akibat serangan hama wallaby lincah serta tejadinya wabah penyakit yang disebabkan oleh satwa ini. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kebutuhan pakan di habitat aslinya masih tersedia baik kualitas maupun kuantitas. Dampak positif keberadaan populasi wallaby lincah di Taman Nasional Wasur adalah memberikan keuntungan ekonomi. Di beberapa tempat Negara Australia, keberadaan populasi kangguru famili macropidae dalam jumlah yang besar telah memberikan pengamh negatif terhadap lingkungan alamiah maupun pertanian. Keberadaannya dihabitat dam telah membuat tejadinya erosi tanah sedangkan terhadap lahan pertanian dianggap sebagai hama karena menyerang tanaman pertanian (Environment Australia, 2001). Manfaat positifnya yaitu memberikan penyediaan kebutuhan daging dan sebagai satwa koleksi. Pemanfaatan wallaby lincah di Kabupaten Merauke setiap tahunnya meningkat. Wallaby lincah merupakan subsitusi pengganti kebutuhan protein yang harganya relatif m d, setelah semakin mahalnya harga daging sapi dan rusa. Nilai ekonomi wallaby licah dalam sistem perdagangan pasar di Kabupaten Merauke berdasarkan hasil sway di ketahui bahwa 1 kg daging segar harganya Rp ,- sedangkan harga 1 lembar kulit kering wallaby lincah senilai Rp Permintaan kebutuhan daging wallaby lincah yaitu untuk memenuhi kebutuhan protein masyarakat kota Merauke, sedangkan permintaan kulit adalah untuk memenuhi kebutuhan bahan kulit pelapis bagian dalam pada industri kerajinan kulit buaya di Kota Merauke. Selain kebutuhan daging dan kulit, satwa ini juga dimanfaatkan dalam pembuatan industri off set satwa yang digunakan sebagai sovenir. Wallaby lincah juga memiliki nilai olahraga daiam penyaluran hobi berburu. Satwa ini merupakan target perburuan oleh sekelompok masyarakat kota yang menyalurkan hoby berburu menggunakan peralatan moderen seperti senjata api,

79 kendaran bennotor roda dua dan roda empat yang dilakukan secara ilegal di dalam Taman Nasional Wasur. Berbagai kasus perburuan ilegal dan pelanggaran kehutanan lainnya telah ditangani satuan Polisi Kehutanan (Polhut) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) setiap tahunnya. Selain penyaluran hobi dan kesenangan berburu, wallaby lincah juga nlerupakan satwa peliharaan sebagian kecil masyarakat Merauke. 62 Wallaby lincah sebagai nilai sosial - budaya, merupakan salah satu totem marga pada suku -suku asli yang ada di Kabupaten Merauke. Totem merupakan simbol dari marga yang dilambangkq dengan tumbuhan maupun hewan dialam. Daging satwa ini juga digunakan sebagai salah satu bahan pelengkap makanan adat dalam setiap peosesi ritual adat yang dilakukan. 2. Kebijakan Pemanfaatan Sebelum kawasan hutan wasur menjadi taman nasional tahun 1997, pada kawasan ini telah berkembang tatanan sosial masyarakat adat yang berlangsung secara turun - temunm. Masyarakat adat tersebut terdiri dari 4 suku besar yaitu suku Marind, suku Kanume, suku Yeinan dan suku Maroit-Mengey yang memiliki ikatan adat, budaya yang kuat dengan tanah dan keanekaragaman hayati di kawasan tersebut. Tanah dianggap sebagai " ibu " karena telah menjaga dan memberikan penghidupan bagi anggota suku tersebut berupa kelimpahan sumberdaya hayati. Setelah kawasan tersebut ditetapkan menjadi Taman Nasional Wasur, sistem pemanfaatan oleh masyarakat menjadi terganggu dengan aturan perundang- undangan dibidang kehutanan. Pada bulan Januari 1999 dilakukan Lokakarya Pengelolaan Taman Nasional Wasur yang menghasilkan sebuah deklarasi kesepahaman yang diberi nama Deklarasi Perlindungan, Pengawetan dan Peinanfaatan Taman Nasional Wasur yang ditandatangani ole11 Bupati Kabupaten Merauke, unsur Muspida, TNI 1 POLRI, unsur tokoh masyarakat adat, tokoh agama. Salah satu isi dari deklarasi tersebut adalah melegalisasi pemanfaatan surnber daya alam oleh masyarakat adat yang ada di dalam Taman Nasional Wasur melalui sistem pemanfaatan tradisional.

80 Peraturan pemerintah yang mendasari kebijakan pemanfaatan oleh masyarakat adat pemilik hak ulayat di Taman Nasional Wasur antara lain : UU RI No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) : - Psl 1 angka 14, Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. - Pasal 3, Konservasi sunlber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan tenvujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia - Pasal 5, Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: a. perlindungan sistem penyangga kehidupan; b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 2. UU RI No. 41 TAHUN 1999 tentang Kehutanan - Pasal 2, Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dm ke?erpaduan. - Pasal 3, Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan : b. mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fw~gsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari, d. menjamin diskibusi manfaat yang berkeadilan d m berkelanjutan.

81 - Pasal 67 ayat (I), Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak : a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemen~rhan kebutuhan hidup sehari-hari nlasyarakat adat yang bersangkutan; b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. - Pasal 68 ayat (I), Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan. Ayat (2), Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (I), masyarakat dapat : a. memanfaatkan hutan dan hasil h~rtan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku; b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan; c. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung. Ayat (3), Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. -4yat (4), Setiap orang berhak me~pero!eh kompensasi karena!ilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku Bentuk Perbun~an Masyarakat Perburuan yang dilakukan oleh masyarakat dilakukan dengan berbagai macam cara baik berupa variasi alat buru, sarana berburu, jumlah kelompok berbum, lammya waktu berburu, musim berburu serta jenis satwa bunt.

82 1. Alat dan Sarana Berburu 65 Alat buru yang sering digunakan oleh masyarakat untuk berburu satwa wallaby lincah terdiri dari dua jenis alat buru yaitu alat bum tradisional dan alat buru konvensional. Alat buru tradisional yang sering digunakan adalah panah, tombak, parang, jerat dan anjing berburu. Sedangkan alat buru konvensional yang sering digunakan adalah senjata angin dan senjata api rakitan maupun standar TNI I Polri. Persentase penggunaan berbagai macam alat buru dapat ditihat pada Gambar 15 berikut. Panah 32 % Tombak 0% Parang 32% Jerat 5% rn Senapa~~ Angin 55% Senpi 2% El Anjing 24% Gambar 15. Persentase penggunaan alat buru oleh masyarakat, Ganlbar 15 menunjukan bahwa penggunaan panah dan parang untuk kegiatan berburu lebih sering digunakan yaitu masing - masing 32%. Penggunaan jerat dan senjata angin 5% dan penggunaan senjata api 2%. Sedangkan penggunaan anjing berburu untuk membantu pengejaran satwa buru adalah sebesar 24%. Panah dan parang merupakan alat yang digunakan sehari-hari untuk mencari makan, sehingga sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Penggunaan parang dalam berburu yaitu untuk membacok satwa buru pada perburuan malam hari mengg~makan lampu senter. Penggunaan jerat biasanya hanya sebagai alat bantu sampingan. Permasalahan yang sering terjadi dalam penggunaan jerat yaitu kematian satwa tanpa diketahui sehingga tidak dapat diinaxfaatkan karena sudah menjadi bangkai. Sedangkan penggunaan senjata api standar TNI 1 Polri biasanya hanya masyarakat tertentu saja yang telah dipercaya oleh oknum yang bersangkutan. Biasanya kesepakatan yang di-rmnakan adalah sistem bagi hasil atau sewa pakai.

83 66 Sarana berburu merupakan alat bantu yang digunakan untuk mencapai lokasi bum atau untuk mengangkut hasil buruan. Sarana berburu yang sering digunakan oleh masyarakat adalah kuda, sepeda, motor. Persentase penggunaan berbagai sarana berburu dapat dilihat pada Gambar 16 berikut. Kudu34% Cl Scpeds 23% O Molor 3% M obi1 0% Jdw Knki 40% Gambar 16. Persentase penggunaan sarana berburu oleh masyarakat Gambar 16 menunjukal bahwa penggunaan kuda sebagai sarana berburu lebih sering digunakan yaitu 34% sedangkan sepeda 23%. Pemilihan kuda sebagai sarana berbtuu karena kuda hampir dimiliki oleh sebagian besar masyarakat kampung dan menlpakan alat transportasi yang mural1 dan efisien pada medan ymg berat. Penggunaan kendaraan bermotor roda dua hanya digunakan oleh sebagian kecil masyarakat untuk kegiatan berburu. Biasanya yang inenggunakan alat transportasi ini adalah masyarakat pendatang yang telah melakukan perkawinan dengan masyarakat lokal dan telah lama tinggal di kampung - kampung di dalam Taman Nasional Wasur. 2. Jtunlah, Kelas Umur, Jenis Kelamin Satwa Bum Satwa buru yang seriilg menjadi target buru oleh masyarakat adalah jenis satwa besar segerti msa tiinor, wallaby kcah, 5abi. Terhadap keseluruhan satwa bum tersebut umumnya masyarakat inenginginkan jumlah maksimal yang dapat diburu. Berdasarkan hasil rekapitulasi kuisioner yang diperoleh, diketahui bahwa rata - rata hasil buruan yang diperoleh yaitu 1-5 ekor setiap kali perburuan = 100% 06-10= 0% BIi - 15 = 0% m> 15 = 0% Gambar 17. Persentase hasil bun~an yang diperoleh oleh masyarakat

84 Pada kegiatan perbuman yang dilakukan, semua kelas umur dan jenis kelamin wallaby lincah yang dijumpai dan mudah di buru akan menjadi target buru. Persentase pemanfaatan wallaby lincah berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Gambar 18 dan 19 berikut. 67 Anak 33% OMuda 33% Dewasa 33% Gambar 18. Persentase hasil buntan berdasarkan kelas umur satwa Gambar 19. Persentase hasil buruan berdasarkan jenis kelamin Gambar 18 dan 19 menunjukan bahwa persentase satwa bum berdasarkan kelas unlur, masing - masing menlberi kontribusi angka 33%. Sedangkan berdasarkan jenis kelamin satwa yang diburu, masing-masing memberi koiltribusi angka 50%. Dari kedua gambar tersebut dapat disunpulkan bahwa perburuan yang dilakukan tidak didasarkan pada kelas umur dan jenis kelamin satwa buru melainkan pada keinudahan wtuk mendapatkan satwa buru. 3. Lama Berburu, Musim Berburu serta Kelompok Berburu Lamanya aktifitas perbuman yang dilakukan masyarakat dibedakan kedalam 3 kelas yaitu 1-3 hari, 4-6 hari serta lebii dari 1 minggu. Berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa perburuan yang dilakukan selama 1-3 hari sebesar 71% sedangkan perburuai yang dilak~kan selama 4-6 hari sebanyak 29%. Lamanya perbun~an yang dilakukan tidak lebih dari 1 ininggu disebabkan karena disetiap kamp1.mg dalam TN. Wasur terdapat pos pengamanan perbatasan TNI-AD yalg mewajibkan masyarakat bekerja bakti setiap akhir pekan. Perseiltase lamanya waktu berbunt dapat dilihat pada Gambar 20 dibawah ini.

85 01-3 =71% % 0>6 = 0% Gambar 20. Persentase lamanya waktu berburu dalam satuan hari Kegiatan perbwuan oleh masyarakat dilakukan setiap saat tanpa mengenal musim sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Selain tanpa mengenal musim, perburuan dilakukan secara berkelompok. Persentase kegiatan berburu berdasarkan musim berburu dan jumlah anggota kelompok buru dapat dilihat pada Gambar 21 dan 22 dibawah ini. Seliap s at 100% rn M usini ketnarau 0% Gambar 21. Persentase kegiatan berburu berdasarkan musim perburuan. Perorangan 0% Gambar 22. Persentase kegiatan berburu berdasarkan jumlah kelompok D. Analisis Pertumbuhan Populasi Wallaby Lincab 1. Simulasi Penhrrnbuhan Populasi Alarni Wallabi lincah merupakan mamalia endemik kepulauan Nuw Guinea yang penyebarannya berada di bagian selatan baik di negara RI 111aupun PNG. Disamping wallaby lincah, di kawasan ini juga terdapat mamalia besar lain yaitu rusa timor, kuda timor dan sapi. Keberadaan rusa timor merupaltan sat~va eksotik yang populasinya saat ini sangat jarang terutama di wilayah RI karena intensitas pemanenan yang tinggi melalui kegiatan perburuan, sedangkan kuda dan sapi penyebarannya terbatas karena

86 merupakan satwa domestikasi melalui kegiatan petemakan yang ditujukan bagi pemenuhan kebutuhan daging penduduk Merauke. 69 Sampai saat ini tidak terdapat laporan tentang perkembangan parameter populasi wallaby lincah di Taman Nasional Wasur. Parameter populasi yang menentukan laju pertumbuhan wallaby lincah sepanjang tahun seperti peluang hidup setiap kelas umur, seks rasio kelas umur reproduktif, fekunditas serta persentase betina dewasa produktif belurn diketahui. Sedangkan di Darwin Australia, pada program pengelolaan wallaby lincah di East Point Reserve, terhadap spesies wallaby lincah yang sama namum berbeda sub spesiesnya telah mencatat parameter demografi secara lengkap. Diketahui bahwa laju pertumbuhan populasi wallaby lincah di Darwin Australia merupakan fungsi dari parameter antara lain: - Seks ratio jantan betina reproduktif 1 : 2, - Peluang hidup kelas umur anak Peluang hidup kelas umur muda 0,87 - Peluang hidup kelas wnur dewasa 0,87 - Fekundity (Kirkpatrick & Johnson 1969). 1,53 - Persentase betina dewasa reproduktif 0,94 - Laju pertumbuhan maksimum R nlax 1,108 Karena di Taman Nasional Wasur tidak terdapat data tentang parameter perkembangan populasi wallaby lincah, maka simulasi pertumbuhan populasi menggunakru? pendekatan pxm.eter ymg telah dilkeqhui di Ausealia. Pendekatan ini dilakukan dengan asumsi bahwa : - Wallabi lincah yang terdapat di Australia dan Indonesia adalah satu spesies walaupun beda sub spesiesnya. - Tipe ekosistem di Taman Nasional Wasur - RI dan East Point Reserve Danvin Australia relatih sama. - Pennmnan populasi alami dari berbagai sebab di Taman Nasional Wasur dan di East Point Reserve Darwin Australia relatif sama

87 Berdasarkan pendekatan parameter demografi tersebut di atas, maka peneliti mencoba melakukan pendugaan perkembangan populasi wallaby lincah di Tamax Nasional Wasur menggunakan data populasi hasil penelitian berdasarkan kelas umur dan jenis kelamin setiap kelas umur. Apabila di asumsikan bahwa tidak ada kematian akibat perbuman oleh manusia, serta laju kematian secara alami dan kelahiran terjadi secara normal dan tetap sepanjang tahun maka perkembangan populasi wallaby lincah di Taman Nasional Wasur selama 30 tahun dapat dilihat pada Tabel 14 berikut. 70 Tabel 14. Simulasi peitumbuhan populasi alami wallaby lincah berdasarkan parameter demografi selama 30 tahun. Tahun Jumlah Individu Jumlah Pertambahan Ke Masehi Anak Muda Dewasa Populasi Populasi

88 71 Tabel 14 menunjukan bahwa rata-rata laju pertumbuhan populasi alami tahunan terpaut kepadatan adalah sebesar r = 0,1650. Apabila akan di bentuk sebuah model pertumbuhan populasi terpaut kepadatan maka terbentuk model sebagai berikut : 2. Simulasi Pemanenan Maksimum Lestari ( MSY ) Simulasi laju pertumbuhan populasi pada Tabel 15 diatas, dibangun berdasarkan asumsi bahwa kematian yang mempengaruhi populasi terjadi oleh faktor alami dari berbagai sebab. Apabila kematian secara alami yang mempengaruhi pertumbuhan populasi digantikan oleh faktor pemanfaatan melalui kegiatan perbuman, maka dapat dibangun simulasi model pert~~mbuhan populasi yang dipengartihi ole11 pemanenan hasil maksimum lestari (MSY) yang memberikan keuntungan ekonomis yang lebih besar. Besarnya pemanfaatan MSY merupakan fungsi dari daya dukung pakan dan laju pertumbuhan populasi dikalikan dengan seperempat dari populasi total. Apabila angka-angka tersebut dimasukkan ke dalam rurnus '/a.r.k maka kuota pemanenan maksimum lestari yang dapat diberikan kepada inasyarakat sebesar ekor. Untuk dapat dilakukan pemanenan sebesar nilai pemanenan MSY tersebut, maka diperlukan ketersedian populasi wallaby lincah di Taman Nasional Wasur pada saat siap panen dengan (Nt) sebesar 35,348,544 ekor. Rumus yang digunakan untuk menentukan nilai Nt = SY 1 (I-eA-r). Simulasi pertumbuhan populasi yang dipengaruhi oleh faktor pemanfaatan maksimum dapat dilihat pada Tabel 15.

89 Tabel 15. Jumlah wallaby lincah introduksi pada panenan maksimum lestari. 72 Parameter Tahun panen sejak introduksi ( Thn) Populasi K (ekor) I 0,165 0,165 0,165 0,165 0,165 Nt (ekor) Seks Ratio 1 = = 2 I =2 1 =2 NO (ekor) ,833,018 Jantan Betina Populasi Aktual Satwa Introduksi Tabel 15 menunjukan bahwa apabila pemanenan maksimum lestari akan dilakukan pada tahun kedua, maka populasi wallaby lincah yang hams tersedia pada tahun pertama (No) sebanyak ekor. Populasi aktual yang ada pada saat ini berdasarkan hasil inventarisasi sebanyak ekor sehingga diperlukan tambahan jumlah wallaby lincah yang diintroduksi sebanyak ekor. Demikian pula bila pemanenan maksimum lestari akan dilakukan pada tahun ketiga, kempat dan seterusnya. Perhitungan jumlah panenan maksimum lestari tersebut pada Tabel 16 dibangun berdasarkan asumsi - asumsi sebagai berikut : a. Daya dukung habitat pakan dalam bahan segar selalu konstan sepanjang tahun. b. Laju pertumbuhan populasi selalu te rjadi secara konstan sepanjang tahun. c. Seks rasio umur dewasa selalu konstan sepanjang tahun. d. Individu yang menjadi target buru terdiri atas jantan dan betina dengan perbandigan tetap sepanjang tahun. e. Wallaby lincah yang diintroduksi berasal dari kelas umur dewasa awal reproduksi sehingga inenghasilkan keturunan dalam jumlah yang relatif lama. Simulasi pemanenan maksimum lestari kurang realistik dan tidak dapat diterapkan pada kasus pemanfaatan oleh masyarakat di Taman Nasional Wasur karena membutuhkan sejumlah besar satwa introduktif.

90 3. Simulasi Pemanenan Optimum Lestari ( OSY ) Karakteristik kawasan Taman Nasional Wasur dimana terdapat masyarakat yang secara legal diberikan akses untuk memanfaatkan sumberdaya alam (pelmintaan) dan terdapatnya sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (ketersediaan), maka pertimbangan aspek daya dukung ekologis dan aspek daya dukung ekomomis menjadi dasar prinsip dalam penentuan jumlah panenan sumber daya alam. Pinsip dasar pemanenan tersebut bertujuan untuk mendapatkan suatu hasil panenan yang lestari. Menurut teorinya bahwa pemanenan yang lestari adalah pemanenam yang dapat dilakukan sepanjang tahun tanpa menyebabkan te rjadinya penurunan populasi. Yang menjadi permasalahan adalah besarnya jumlah panenan yang lestari sangat ditentukan oleh tehnik dan tujuan pengelolaan. Ada dua tujuan pengelolaan dalam rangka memperoleh jumlah panenan lestari yaitu untuk mendapatkan panenan lestari yang maksimal (MSY) serta untuk mendapatkan jumlah panenan lestari pada tingkat optimum ( OSY). Pemberian kouta penanenan OSY lebih realistis bila diterapkan di Taman Nasional Wasur karena didasarkan pada ketersediaan populasi aktual dengan melakukan pengaturan perbandingan jenis kelamin satwa buru. Besarnya kuota panen OSY yang diberikan bukan didasarkan pada besarnnya permintaan kebutuhan oleh masyarakat melainkan didasarkan pada jumlah angka pertambahan populasi setiap tahunnya. Beberapa dasar pemikiran dan asumsi pemberian kuota panen OSY adalah: a. Ekositem kawasan Taman Nasional Wasur selalu mengalami perubahan dengan adanya suksesi baik oleh tanaman asli yang invasip maupun jenis eksotik sehingga daya dukung pakan selalu berubah. b. Pertambahan jumlah penduduk terus meningkat akibat adanya perkawinan dan perpindahan, peningkatan status kampung Sota dan Onggaya menjadi distrik atau kecamatan membawa konsekwensi terhadap kebutuhan areal pembangunan fasilitas publik pada zona pemukiman. c. Permintaan pasar terus meningkat terhadap kebutuhan daging dan kulit pada industri kerajinan kulit sehingga terjadi ketidakseimbangan antara ketersediaan dan pennintaan. d. Laju pertumbuhan populasi tidak konstan sepanjang tahun.

91 e. Seks rasio umur dewasa produktif konstan sepanjang tahun. f. Individu yang menjadi target b m terdiri atas jantan dan betina dengan perbandingan tidak tetap sepanjang tahun. g. Pengaturan perbuman akan meningkatkan pertumbuhan populasi sepanjang tahun dan memberikan keuntungan ekonomi optimum. Hasil perhitungan populasi aktual, simulasi perhmbuhan populasi alami dan asumsi tersebut diatas, maka dapat dilakukan skenario pemanenen 25%, 50%, 75%, 80% dan 90% dari pertambahan populasi tahunan. Perhitungan skenario pemanenan terdapat pada Lampiran 11, 12 dan 13, sedangkan grafik pertumbuhan populasi sebelum dm sesudah pemanenan dapat dilihat pada Gambar 23 dibawah ini. +BIlm pnn 25% +Stlh pnn 25% -.>- - Sblm pnn 50% +%lh pnn 50% +i+sblm pnn 75% +91h pnn 75% -Sblm pnn 80% - Stlh pnn 80% - Sblm pnn 90% 0 i,, ,,....,. +Stlh pnn 90% Tahun Ke - Gambar 23. Simulasi perhmbuhan populasi sebelum dan sesudah kegiatan pemanenan 25%, 50%, 75%, 80%, dan 90% dari jumlah pertambahan populasi tahunan Gaiibar 23 menunjukar~ bahwa grafii tersebut terbentuk dengcln asumsi bahwa pertambahan individu bm pada kelas umur anak adalah sama antara jantan dan betina. Pemanenan dilakukan pada wallaby lincah kelas urnur dewasa dengan perbandingan antara jantan dan betina 2 : 1 dengan maksud untuk mempeiaankan perbandingan populasi kelas umur dewasa produktif pada kondisi sek rasio yang ideal. Berdasarkan grafik diatas diketahui bahwa walaupun terdapat perbedaan jumlah kuota panen, namun kelima skenario menunjukkan kecendrungan peningkatan jumlah populasi setiap tahunnya. Pada skenario kuota pemanenan 25% dari pertambahan populasi tahunan menghasilkan pertumbul~an yang cepat sehingga lebih memberikan keunhmgan ekologis dibandingkan dengan skenario pemanenan yang lainnya.

92 75 Perbedaan kelima skenario pemanenan tersebut, menghasilkan variasi perbedaan jtunlah kuota panen tahunan yang dapat dimanfaatakan oleh masyarakat seperti dapat dilihat pada Gambar 24 dibawah ini. c Fi c m * g I Pmen 25% L4 - % roooo + Pasen 50% 5 - Pancn 75% Panen 80% 0 + Panen 90% Tahun ke - Gambar 24. Pengaruh persentase pemanenan tahunan terhadap jumlah kuota panen. Gambar 24 menunjukan bahwa pada tahun pertama sampai dengan tahun ketiga pada semua skenario terjadi penurunan jumlah kuota panen. Penumnan ini disebabkan karena jumlah individu pada KU anak tahun pertama lebih sedikit dari KU muda dan KU dewasa, sehingga ketika KU anak tumbuh mencapai KU dewasa pada tahun ketiga kuota penennya menjadi berkurang. Pada skenario pemanenan 25% dan 50% dari perturnbuhan populasi walaupun memberikan jumlah kuota panen yang lebih sedikit, narnun memberikan peningkatan jumlah kuota panen yang tems meningkat setiap tahun. Sedangkan pada skenario pemanenan 75%, 80% dan 90% dari pertumbuhan populasi walaupun memberikan jumlah kuota panen yang lebih besar, tetapi terjadi fluktuasi jumlah angka yang berbeda yaitu naik dan turun setiap 2 t ab. Khusus pada skenario 90%, terlihat bahwa pada tahun ke-15, ke-17, ke-19 dan ke-21 tidak dapat di lakukan kegiatan pemanenan. Pada berbagai skenario pemanenan tersebut diatas, pemberian kuota panen pada skenario pemanenan 50% dari pertambahan populasi tahunan &an lebih diterima secara psikologis oleh masyarakat karena memberikan harapan peningkatan penghasilan setiap tahun. Pada simulasi selanjuhya, &an digunakan skenario pemanenan 50% dari pertambahan populasi.

93 Pemanfaatan wallaby liicah oleh masyarakat berdasarkan jumlah kuota buru bukan men~pakan jaminan mutlak bagi kelestarian satwa buru. Ketelitian dalam pengaturan perbandingan kuota jumlah jenis kelamin satwa buru menjadi penentu utama kelestarian populasi satwa yang tersisa dihabitat aslinya berdasarkan seks rasio kelas umur reproduktif. Berdasarkan simulasi yang dilakukan terhadap berbagai perbandingan jenis kelamin kuota satwa bui-~~, maka perbandingan jantan 27 dan betina 1 meiupakan perbandingan yang meningkatkan laju pertumbuhan optimum. Perhitungan pertumbuhan populasi berdasarkan perbandingan jenis kelamin satwa buru terdapat pada Lampuan 14. Pertambahan kuota panen tahunan berdasarkan perbandingan jenis kelamin satwa buru dapat dilihat pada Gambar 25 dibawah ini i I m,p +2 ; I : 2 Y I %- 1 d 1 : I I --3 : 1 +I : 3 I : 1 Gambar25. Pengaruh pengaturan perbandigan kelamin satwa buru pada skenario 50% terhadap jumlah kuota panen tahunan. Gambar 25 menunjukan bahwa pemanenan yang dilakukan berdasarkan kuota dengan perbandingan jantan 27 dan betina 1 memberi pengaruh terhadap grafik peningkatan jumlah kuota panen setiap tahun yang paling tinggi. Artinya bahwa pengaturan perbandingan jenis kelamin satwa bun1 akan meniugkatkan penghasilan masyarakat dari banyaknya kuota satwa buru yang diberikan setiap tahun. Selain keuntungan ekonomis, pengaturan kelamin satwa buru tersebut memberikan pengaruh terhadap jumlah perbandingan satwa kelas wnur dewasa jantan dan betina yang tertinggal di dam pada perbandingan yang ideal yaitu jantan 1 : betina 2 untuk inelahkan reproduksi. Menurut Dressen (1993) dan Sfinat (2000), seks rasio betina dan jantan dewasa pada wallaby lincah adalah 2 : 1.

94 77 Pengaturan jumlah jantan dan betina yang dipanan secara tepat, memberikan keuntungan ekologis terl~adap laju perh~mbuhan populasi wallaby lincah di alam setiap tahunnya. Besarnya laju pertumbuhan populasi akibat pengaruh pengaturan berbagai perbandingan kelamin satwa buru dapat dilihat pada Gambar 26 dibawah ini. 0 i--.,., : 1 Q % b b P, \Q,,01 b \0,$Q Tahun Ke - Gambar 26. Pengaruh pengaturan perbandingan kelamin satwa buru pada skenario 50% terhadap laju pertambahan populasi tahunan. Gambar 26 menunjukan bahwa pengaturan kuata panen berdasarkan jenis kelamin jantan 27 dan betina 1 berpengaruh terhadap laju pertambahan populasi tahunan optimum di habitat alam. Apabila simulasi kuota panen optimum lestari dihubungkan dengan permintaan kebutuhan tahunan satwa wallaby lincah sebagai surnber protein oleh masyarakat di 12 kampung yang terdapat di Taman Nasional Wasur, maka akan terliliat selisih antara permintaan dan kuota. Pada ssimulasi ini diasumsikan 3 model pennintaar. keb~?e~ban minimuin oleh masyarakat dengan peningkatan permintaan setiap tahun 5% dari kebutuhan tahun sebelumnya. Besarnya nilai selisih antara permintaan dan kuota panen tahtman dapat dilihat pada Gambar 27 dibawah ini.

95 &Kuota 27 : 1 -a- 1 I kampu~ig +2 1 kampung oid.,,,...,, 8., 7, I,--.,, c- 3lkampung Gambar 27. Grafik selisih kuota panen tahunan dan permintaan kebutuhan oleh masyarakat 12 kampung di dalam Taman Nasional Wasur. Gambar 27 menunjukan bahwa apabila diasumsikan 1 kampung membutuhkan 1 ekorhari, maka dalam 1 tahun dibutuhkan ekor wallaby lincah untuk memenuhi permintaan masyarakat di 12 kampung pada tahun pertama. Pada simulasi tersebut terlihat bahwa grafik kebutul~an minimum wallaby liiah 1 ekorharilkampung masih berada dibawah grafii simulasi kuota panen tahunan. Apabila diasumsikan bahwa 1 kampung membutuhkan 2 ekorhari, maka dalam 1 tahull dibutuhkan ekor wallaby lincah untuk memenuhi permintaan masyarakat di 12 kampung pada tahun pertama. Sedangkan bila diasumsikan bahwa 1 kampung membutuhkan 3 ekornlari, maka dalam 1 tahun dibutuhkan ekor wallaby lincah untuk memenuhi permintaan masyarakat di 12 kampuilg pada tahun pertanla. Pada kedua simulasi tersebut terlibat bahwa grafik kebutuhan minimum wallaby lincal~ 2 ekorhadkampung dan 3 ekorlhadkampung berada diatas grafik simulasi kuota panen tahunan. Jumlah penduduk di 12 kampung dalam Taman Nasional Wasur dan simulasi permintaan kebutuhan minumum masyarakat 12 kampung di dalam Taman Nasional Wasur disajikan pada Lampiran 14 dm Lampiran 15.

96 3. Kriteria Pemanenan Lestari di TN. Wasur 79 Jumlah kuota pemanenan optimum lestari yang dapat diberikan kepada masyarakat untuk meningkatkan pendapatan ekonomi bukan merupakan jaminan bahwa jumlah tersebut tidak akan berdampak negatif terhadap kelestarian populasi. Jumlah panenan lestari tersebut akan berdampak negatif berupa penman jumlah populasi jika pemanenan yang dilakukan tidak berdasarkan pada kaidah konservasi dan prinsip kelestarian hasil. Upaya yang hams dijalankan untuk mengendalikan dampak negatif akibat kegiatan pemanenan adalah dengan melakukan penetapan serta pengawasan yang ketat dan tegas terhadap ketentuan perburuan seperti jumlah satwa buru, rn~~sim berburu, alat buru yang digunakan, perbandingan jumlah jenis kelamin satwa buru, serta kelas umur satwa bum. Pengaruh pemanfaatan berdasarkan kuota panen terhadap kelestarian populasi wallaby lincah di Taman Nasional Wasur merupakan fungsi pengawasan yang ketat dan tegas terhadap kriteria pemburu, satwa bunt, lokasi bum, musim bum dan alat bum yang digunakan. Penjabaran dari fungsi tersebut pada pemanenan lestari di Taman Nasional Wasur antara lain : 1. Pemburu Yang dimaksud dengan pemburu disini adalah pemburu tradisional, yaitu masyarakat adat asli dan campuran yang diakui oleh Lembaga Masyarakat Adat (LMA) serta memiliki hak ulayat tanah adat di dalam kawasan Taman Nasional Wasur yang terdiri dari 4 suku yaitu suku Kanume, suku Yeinan, sku Marind dan suku Marory Men-Gey. Penetapan pemburu tradisional pada kegiatan perburuan adalah untuk memberikan peranan dan tanggung jawab yang besar kepada masyarakat adat dalam ikut mengelola dan menjaga kelestarian sumber daya alam di Taman Nasional Wasur. Apabila perburuan ini akan di gunakan sebagai objek wisata buru tradisional, maka wisatawan dapat melakukan perburuan bersama masyarakat atas ijin ketua adat berdasarkan kuota panen yang diberikan.

97 Yang dimaksud satwa bum adalah satwa yang diperkenankan untuk diburu berdasarkan kuota buru dengan mempertimbangkan jumlah populasi, parameter demografi dan kelestarian populasi. Penetapan jumlah satwa buru didasarkan pada perhitungan yang matang dengan mempertimbangkan perbandingan jumlah jenis kelamin satwa yang di panen serta kelas umur satwa buru. Perburuan hendaknya tidak dilakukan terhadap betina dewasa produktif yang mengandung dan yang sedang dalam proses pengasuhan anak. Perlakuan terhadap satwa bum dengan menerapkan aturan adat perlu dilaksanakan untuk memberikan penghargaan terhadap simbol marga yang menggunakan simbol satwa tersebut. Peran tokoh adat dalam rangka pemantauan dan pengawasan langsung terhadap jumlah dan kriteria satwa yang diburu oleh anggota masyarakat adat secara tradisioml perlu diberikan porsi yang sangat besar. 3. Lokasi Buru Lokasi buru adalah tempat dimana terdapat satwa bum dan dapat dilakukan kegiatan perburuan. Penetapan lokasi berburu sebaiknya bukan merupakan tempat konsentrasi satwa pada saat mush perkawinan. Sangat baik untuk melakukan inventarisasi lokasi - lokasi yang dikeramatkan oleh masyarakat adat seperti daerah pemali, daerah sakral tetapi juga merupakan habitat bagi satwa wallaby lincah. Tempat - tempat tersebut merupakan prioritas bagi pengelolaan satwa karena dilarang untuk diijungi oleh masyarakat, sehingga pertumbuhan populasi dapat optimal dan men~pakan wilayah pencadangan populasi secara alamiah. 4. Musim Berbruu Musim berburu adalah waktu yang ditetapkan untuk melakukan kegiatan perburuan. Musim berburu yang ditetapkan adalali musim diiana bukan men~pakan musim kawin satwa bum tersebut, sehingga proses perkawinan dapat berhasil. Untuk satwa wallaby lincah, musim perkawinan mencapai puncaknya pada bulan Mei sampai bulan Agustus setiap tahunnya. Untuk menjaga keberhasilan proses perkawinan dan mengurangi gangguan terhadap akititas perkawinan, perlu dilakukan penghentian kegiatan perburuan. Agar larangan

98 perburuan pada periode tersebut dapat diterima oleh masyarakat adat maka periu menerapkan sistem konservasi tradisional yaitu sistem sasi. Sistem ' Sasi' merupakan penghentian pemanfaatan sumberdaya tertentu dalam kurun waktu yang disepakati secara adat dan laksanakan oleh masyarakat adat dengan maksud agar sumber daya tersebut dapat berkembang dan memberikan manfaat maksimal kepada masyarakat adat. Sasi yang dapat diterapkan adalah sasi wilayah yang meliputi cakupan luasan tertentu termaksud semua yang ada didalam wilayah tersebut Alat Bun1 Alat bum adalah sarana yang digunakan untuk membantu dalam memperoleh satwa buru. Alat bum yang diperkenankan adalah alat buru tradisional yang dimiliki oleh masyarakat adat seperti panah, tombak, parang, kuda, perahu. Penggunaan alat bum tradisional tersebut it- sebenarnya secara langsung telah membatasi kemampuan pemburu untuk hasil maksimal karena membutuhkan keterampilan penggunaan alat dan penguasaan metode berburu. Penggunaan alat buru moderen seperti senjata api, kendaraan bermotor tidak diperkenankan karena akan menimbulkan suara bising yang akan mengganggu ketentraman satwa. Penggunaan berbagai macam alat tangkap seperti jerat, jaring bentang dan anjing berburu selain mengakibatkan satwa mati tanpa seinpat dietahui, juga alat tangkap tersehut tidak dapat memhedakan krieria satwa yang diperkenankan untuk diburu. Bagi masyarakat pengumpul hasil buruan tradisional dari Kota Merauke hanya diperkenankan melakukan transaksi dan pengumpulan hasil buruan di kampung - kampung dan tidak langsung mengamhil hasil buruan di lokasi buru.

99 V1. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Kesimpulan dari kegiatan penelitian ini adalah : 1. Pertumbuhan populasi wallaby lincah di Taman Nasional Wasur bukan dibatasi oleh ketersedian pakan. Dari luas habitat savaua ha terdapat 8 jenis rumput yang disukai wallaby,lincah sebagai sumber pakan dengan produktifitas kgltahun dalam keadaan berat basah atau balian segar. Daya dukung habitat pakan di Taman Nasional Wasur adalah ekorltahun, dimana tingkat konsumsi pakan harian wallaby lincah adalah 0,95 kglekorhari. 2. Bentuk sebaran populasi wallaby lincah di Taman Nasional Wasur adalah berkelompok dengan kepadatan 1 ekorlha atau sebanyak ekor, dimana populasi membentuk struktur regressive population atau populasi yang sedang mengalami kemunduran. Perbandingan kelas umur anak,muda dan dewasa adalah 1 : 3 : 7 dan perbandingan jenis kelamin kelas umur muda dan dewasa adalah 1 : 1. Penyebab utama penurunan populasi adalah perburuan yang dilakukan oleh masyarakat tanpa memperhatikan kaidah konservasi. 3. Laju pertumbuhan populasi alami tahunan wallaby lincah terpaut kepadatan di Taman Nasional Wasur adalah sebesar r = 0,1650. Pemanfaatan wallaby lincah secara lestari dapat diberikan dengan sistem kuota panen tahunan sebanyak 50% dari pertambahan popuiasi tahunan dengan perbandingan jenis kelamin satwa buru jantan dan betina yaitu 27 : 1 dan hanya dapat di panen pada kelas umur dewasa. Pemanfaatan secara lestari dengan sistem kuota tahunan dilakukan dengan menerapkan kaidah konservasi pada aspek perburuan meliputi penggunaan alat berb~m, jumlah dan jenis kelamin satwa bum, musim berburu serta lokasi berburu.

100 B. Saran Saran yang dapat diberikan sebagai pertimbangan dalam rangka menejemen populasi maupun habitat adalah : 1. Perlindungan populasi dan habitat menjadi prioritas utama dalanl rangka meningkatkan kelestarian wallaby lincah antara lain melalui kegiatan pengamanan represif maupun prefentif untuk mengurangi pemanfaatan yang tidak terkendali. Pendekatan budaya dan tradisi masyarakat yang posistif dalam rangka perlindungan perlu dikembalikan pada aturan main yang benar dalam sistem tatanan adat seperti sistem sasi, penghargaan terhadap totem dan daerah pemali terutama yang merupakan habitat Wallabi lincah. Pengamanan partisipatif dengan masyarakat adat dalam sistem kebersamaan dan penghargaan perlu ditingkatkan terutama bagi masyarakat yang dusunnya merupakan habitat Wallabi lincah. 2. Pembatasan pemanfaatan dalam bentuk pemberian kuota panen perlu disosialisasikan dalam bahasa yang masuk akal dan mudah diteijma. Apabila memungkinkan perlu ditetapkan musim dan jatah perburuan dengan pengawasan atau sistem buka tutup lokasi dan waktu berburu yang telah dikembangkan dalam pengelolaan konservasi tradisional melalui sistem sasi 3. Pengembangan satwa wallabi lincah domestikasi melalui sistem pemeliharaan tertutup di masyarakat menjadi altenlatif stlmber pemenuhan kebutuhan protein. Pengembangan wisata berburu tradisional berdasarkan kouta dan musim buru menjadi altematif pengembangan ekonomi masyarakat. 4. Keterlibatan tokoh masyarakat dalam sistem pengawasan pemanfaatan perlu digalakkan. Pemberian insentif bagi masyarakat adat yang dusun / wilayahnya merupakan habitat wallaby lincah dan ditetapkan sebagai daerah perlindungan perlu dipertimbangkan sebagai konpensasi ekonomi.

101 84 5. Kegiatan pengendalian semak ekor tikus perlu dipertimbangkan secara matang karena jenis ini merupakan bagian dari jenis pakan favorit selain lebih memberikan fungsi perlindungan. Pengendalian rumput ekor tikus dengan alasan pemberantasan jenis eksotik dapat dilakukan apabila peran pengganti fungsi perlindungan atau kebutuhan perlindungan oleh wallabi lincah telah terpenuhi. 6. Pencatatan identitas satwa buru termaksud wallabi lincah yang melewati porter pemeriksaan perlu dilakukan sebagai data yang dapat digunakan dalam pemantaau perkembangan populasi dihabitat alamnya mengingat keterbatasan tenaga dan biaya yang tidak dapat dilakukan sepanjang tahun. Data identitas yang perlu dicatat antara lain jumlah, kelas umur, jenis kelamin, lokasi perburuan, waktu perburuan.

102 DAFTAR PUSTAKA Alikodra, H.S Pengelolaan Satwa Liar. Jilid I. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor. Alikodra, H.S Tehnik Pengelolaan Satwa Liar Dalam Rangka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Institut Pertanian Bogor, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bogor. Tidak Dipublikasikan [Fahutan IPB] Fakultas Keutanan Institut Pertanian Bogor, Pelatihan Tehnik Pengukuran dan Monitoring Biodiversity di Hutan Tropika Indonesia, Diktat Bahan Kuliah Fahutan IPB. Tidak Dipublikasikan [BTNW] Balai Taman Nasional Wasur, Rencana Pengelolaan Taman Nasional Wasur Buku I1 ( Data, Analisis dan Proyeksi ) Amonimous, Ensiklopedia Indonesia Seri Mamalia 2 Cetakan ke 5 Griffiths, A.D. Dingle, J. and Bradshaw, C.J.A A Management Program for the Agile Wallaby (Macropus agilis), East Point Reserve, Darwin. January Bailey, J.A Principles of Wildlife Management. John Wiley&Sons. New York. Barbaur GM. JK Burk and Pitt WD Teresterial Plant Ecology. The Benjamin / Cumming Publising Inc New York Dasman., R. F Wjldlife Biology. John Wiley andsons, Iw., New York. Dressen, W On the behaviour and social organisation of agile wallabies, Macropus agilis (Gould, 1842) in two habitats of northern Australia. Publisher Fischer, ~ena, Allemagne Univ. Bielefeld, Fak. Biologie, Lehrstuhl Verhaltensphysiologie Grzimek, B Animal Life Encyclopedia. Van Nostrand Reinhold Company, New York. Hasiholan, W, Daya D~tkung Habit Dan Penenturn Target P~manenan Sama Bum Cervus timorensis de Brainville Di Taman Bum Pulau Moyo. Thesis Pasca Sarjana IPB Kartono, A. P Inventarisasi Satwa Liar di Taman Nasional Baluran. Diktat Penuntun Studi Lapangan Fahutan IPB. Ludwig J,A and Reynolds J.F, 1988, Statistical Ecology. A Primer On Methods And Computing. Mcllroy, R. J An Introduction to Tropical Grass Land Husbandry. Oxfort University Press.

103 Magurran A.E Ecological Diversity and Its Measurement. Printed in Great Britain at the University Press Cambridge. Odum, E.P Fundamental of Ecology. Third Edition. W.H. Freeman and Co. San Francisco. Prasetyohadi, D Telaahan tentang daya dukung padang rumput di suaka margasatwa Pulau Moyo sebagai habitat rusa (Cervzrs timorensis). Skripsi Sarjana. Jurusan Konse~asi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Tidak Diterbitkan. Primack, R.B. Supriatna, J. Indrawan, M. dan Kramadibrata, P Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Priyono, A Penentuan ukuran populasi optimal monyet ekor panjang (Macaca fascicularis Raffless) dalam penangkaran dengan sistem pemeliharaan di alam bebas. Tesis Magister Sains Pasca Sarjana IPB. Bogor. Ratag, E,S,A Kajian Ekologi Populasi Rusa samba ( Cervus timorensis ) Dalam Pengusahaan Taman Bum Gunung Marsigit Kareumbi. Thesis Pasca sarjana IPB. Stonehause, B and Gilmore, D The Biology Of Marsupials. Publisher by The Macmillan Press Ltd Susetyo, S Padang Penggembalaan. Fakultas Petemakan IPB, Bogor. Soerianegara, I. dan A. Indrawan, Ekologi Hutan Indonesia. Jumsan Manajenen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.. Sutrisno, E Analisis potensi dan peranan savana sebagai komponen habitat satwa di Pulau Moyo. Buletin Penelitian Santalum Stirrat, S. C Foraging ecology of the agile wallaby (Macropus agilis) in the wet-dry tropics. Publisher Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization, Collingwood, Autralia 1991 Tarumingkeng, R.C Dinamika Populasi: Kajian ekologi kuantitatif. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Van Lavieren, L. P Wildlife Management in The Tropics With Special Emphasis on South East Asia. School of Environmental Conservation Management. Bogor.

104

105 Lampiran 1. Analisa vegetasi tumbuhan bawah pada ekosistem savana di TN. Wasur Kenpatan Erekwensi Nilai NO Ngma Jenis Family.... Jumlhh Kernpalm Erekwensi Relatif Relatif Penting i%) (%) (%) lo 12 l3 IS l7 l8 l9 ~yperus b11ingia ~ n d ~ Cyperur rotunda Linn Cenripda nrinima (L) A.Br. Asch Fimbristylis globulosa (Retz) Kunth Cyperuspygmaeus Rottb. Cyperzrr brevifolius (Rottb.) Massk Fimbristylis acuminata Vahl Eleocharis congesta D.Don lleochaais setroflesa Eleochorbphilippinenris Svens Bulbosrylispuberula (Poir) C.B. Clarke Paspalun~ conjugaturn Berg. Cynodo,~ dactylon (Linn) Pers Chiysopogon acinrlarus Sporobolus dia,rder ( Retz) P. Beauv Chlaris barbala Sw Paspalum cornnrersonii Sensu Rid1 Rhynche(ymrm repenr (Willd) C.E.Hubb?schpet?rc!,r, timprense Kwth 20 Stochy~~plteta urticoejblia Sida acufa Burm. F 22 Hydrocotyle asialica Li 23 Hyptis breves Poit 24 Physalis minima Linn 25 Euphorbia hirfa Linn Jumlah C yperaceae Cyperaceae Cyperaceae Cyperaceae Cyperaceae Cyperaceae Cypencene Cyperaceae Cyperaceae C yperaceae Cypenceae Graminae Graminae Grminae Graminae Graminae Graminae Gmminae Graminae Verbenaceae Malvaceae Umbelliferae Labia& Solanaceae Euphorbinceae

106 ..~. ~~ ~ ~ ~ ~ ~ ~. Lampiran 2. Analisa vegetasi tumbuhan bawah pada masing - masing lokasi penelitian 1. Analisa vegetasi di savana Ukra Besar Kenpaw Frekwensi Nilai No Nama Jenis Family Jumlah Keraptvl Frek%vensi Relatif Relatif Penting (%) (%) (%) I Sfachylarpfzeto urlicaefolia Verbenaceae ,609 28,571 88,181 2 Paspaliim corljugatrrm Ber~. Grami~e 19 3,167 0,167 3,094 4,762 7,856 3 Cynodori dactylon (Linn) Pen Gramineae 52 8,667 0,333 8,469 9,524 17,993 4 Cyperus kyningia End1 Cypenceae 48 8,000 0,500 7,818 14,286 22,103 5 Chysopogon aciculahrr Graminae 63 10,500 0,667 10,261 19,048 29,308 6 Sida acufa Burm. F Malvaceae 38 6,333 0,333 6,189 9,524 15,713 7 Cyperus rotundus Linn Cyperaceae 13 2,167 0,167 2,117 4,762 6,879 8 Cenripeda minima (L) A.Br. Asch Cyperaceae 6 1,000 0,167 0,977 4,762 5,739 9 Hydrocolyle asiatica Linn Umbellifeme 9 1,500 0,167 1,466 4,762 6,228 Jumlah 102,333 3, Analisa vegetasi di savana Ukra Kecil No Nama Jenis Family lumlah Kernpatan Frekwcnsi Kenpatan Frekwensi Nilai Relatif Relatif Penling. (%) (%) ("A) ~~ ~ ~ ~~~ ~ ~ ~~- ~ ~~~~~~~~ ~ Stacl~yiarphera urticaefolia ~erbena&ae , ,184 29,163 85,347 2 Paspalurn coco,,jugarur~i Berg. Gmminae 12 1,714 0,143 2,120 4,166 6,286 3 Cytrodon dacfylon (Lim) Pen 6mmineae 54 7,714 0,286 9,541 8,332 17,873 4 Cyperzu kyllingia Endl Cyperaeeae 12 1,714 0,143 2,120 4,166 6,286 5 Hydrocotyle asialica Lim Umbellifene 19 2,714 0,286 3,357 8,332 11,689 6 Sida anrra Burm. F Mnlvaceae 20 2,857 0,286 3,534 8,332 11,866 7 Cyperus rotundus L'il Cyperaceae 14 2,000 0,143 2,474 4,166 6,640 8 Paspalurri comniersonii Sensu Rid1 Graminae 21 3,000 0,143 3,710 4,166 7,876 9 Physalis nrini~na Linn S~larracese 14 2,000 0,286 2,474 8,332 10, &!lchelyhum repens (Willd) C.E.IIubb Gmminae 18 2,571 0,143 3,180 4,166 7, Hypris brevipes Poit Labiatae 38 5,429 0,286 6,714 8,332 15, Euphorbia hirta Linn Euphorbiaceae 26 3,714 0,286 4,594 8,332 12,926 Jumlah 80,857 3,429 I00 99, ,988

107 3. Analisa vegetasi di savana Pre~n No Nama Jenis Family Jumlah Kernpatan Frekwemi Kerapatan Frekrvensi Nilai RRdalif Relatif Penring (%I (%) (%) 1 Sporobolus dionder ( Retz) P. Beauv Graminae , Pospalum conjlrgotirm Berg. Graminae 17 1,889 0,111 2,157 2,778 4,935 3 Cypmpygmoew Rottb. Cyperaceae 9 1,000 0,111 1,142 2,778 3,920 4 Cyprus kyllingio Endl Cyperaceae 19 2,111 0,111 2,411 2,778 5,189 5 Chrysopogon ociculal~u Graminae 41 4,556 0,111 5,203 2,778 7,981 6 Sido acuto Bm. F Malvacene 59 6,556 0,222 7,487 5,556 13,043 7 Eup/~orbia hirla Linn Euphorbiaceae ,333 0,556 16,370 13,889 30,259 8 Eleochoris congesfo D.Don Cyperaceae 14 1,556 0,111 1,777 2,778 4,554 9 Eleochoris rerrofesa Cyperaceae 31 3,444 0,111 3,934 2,778 6, Rhynchelytrum repens (Willd) C.E.Hubb Graminae 53 5,889 0,333 6,726 8,333 15, Cyperus brevifolius (Rottb.) Hassk Cypenceae 16 1,778 0,111 2,030 2,778 4, Eleocharisphilippinemsis Svens Cyperaceae 66 7,333 0,333 8,376 8,333 16, Buibosly(ispuberu10 (Poir) C.B. Clarke Cyperaceae 56 6,222 0,444 7,107 11,111 38, Isct~~emunz ri,norense Kunth Graminae 99 11,000 0,556 12,563 13,889 26, Fimbrisrylis acuminofo Vahl Cyperaceae ,444 0,556 17,640 13,889 31, Pospolum commersonii Sensu Ridl Graminae 12 1,333 0,111 1,523 2,778 4,301 Jumlah 87,556 4,000 99, , , Analisa vegetasi di savana Kankania No Nama Jenis Kerapatan Frekwensl Nilai Family Juml* Kenrpatan Relatiff%) Relatif(%) Pentingf%) 1 Chloris borlnrro Sw Graminae 66 11,000 0,333 12,383 8,696 21,079 2 Fimbristylis globulosa (Retz) Kunth Cyperaceae 3 Eylhorbia birta Lim Euphorbiaceae 4 Cyperw brevifolius (Rottb.) H& Cyperaceae 5 Chrysopogon acicu/ahu G d a e 6 Cyperurpygmaeus Rottb. Cyperaceae 7 Paspalum commersonii Sensu Ridl Graminae 8 Ischoemum timorense Kunth Graminae 9 Fimbrisrylis ocuminofo Vahl Jumlah Cyperaceae

108 Lampiran 3. Analisis indeks keanekaragaman jenis tumbuhan bawah pada habitat savana berdasarkan indeks Shannon - Wiener No Nama Jenis Family Jumlah pi In pi -pi In pi 1 Cyperus kyningia End1 Cyperaceae 79 0,027-3,602 0,098 2 Cyperus rotundla Linn Cyperaceae 27 0,009-4,675 0,044 3 Centipeda minima (L) A.Br. Asch Cyperaceae 6 0,002-6,!79 0,013 4 Fimbristylis globulosa (Retz) Kunth Cyperaceae 46 0,016-4,142 0,066 5 Cypenrspygmaeus Rottb. Cyperaceae 95 0,033-3,417 0,112 6 Cyperus brevifoli~a (Rottb.) Hassk C yperaceae 29 0,010-4,604 0,046 7 Fimbrisrylis acunrinata Vahl Cyperaceae 228 0,079-2,542 0,200 8 Eleochmls congesta D.Don Cyperaceae 14 0,005-5,332 0,026 9 Eleocharis retrojlesa Cyperaceae 31 0,011-4,537 0, Eleocharis philippinensis Svens ~i~eraceae 66 0,023-3,781 0, Btrlbostylisptrbenrla (Poir) C.B. Clarke Cyperaceae 56 0,019-3,946 0, Purpalum conjtrgatum Berg. Graminae 48 0,017-4,100 0, Cynodon daerylon (Linn) Pen'] Graminae I06 0,037-3,308 0, Chrysopogon aciculatus Graminae 174 0,060-2,812 0, Sporobolus diander ( Retz) P. Beauv Graminae 28 0,010-4,639 0, Chloris barbola Sw Sraminae , Paspal~rm commersonii Sensu Rid1 Graminae 59 0,020-3,894 0, Rhynchelyfrz~m repens (Willd) C.E.Hubb Graminae 71 0,025-3,708 0$91 19 Ischaenr~rm timorense Kunth Graminae 157 0,054-2,915 0, Stachytarphela urticaefolia Verbenaceae 684 0,236-1,443 0, Sidaacuta9urm.F Malvaceae 117 0,040-3,209 0, Hydrocofyle asiafica Linn Umbelliferae 28 0,010-4,639 0, Hyptis brevipes Poit Labiatae 38 0,013-4,333 0, Physalis minima Linn Solanaceae 14 0,005-5,332 0, Euphorbia hirta Linn Euphorbiaceae 234 0,081-2,516 0,203 Jumlah , ,434

109 ~,.. ~. ~~ ~....~. ~. ~. Lampiran 4. Analisis indeks keanekaragaman tumbuhan bawah berdasarkan indeks Shannon - Wiener pada savana Ukra Besar dan IJkra Kecil yang didominasi oleh vegetasi se~nak ekor tikus. No Nama Jenis Family Jumlah pi In pi -pi In pi 1 Cyprus hyllingia End1 Cyperaceae 60 0,051-2,979 0,151 2 Cyperus rottmndus Linn Cyperaceae 27 0,023-3,777 0,086 3 Centipeda minima (L) A.Br. Asch Cyperaceae 6 0,005-5,282 0,027 4 Paspaltrm conjtmgaltrm Berg. Graminae 31 0,026-3,639 0,096 5 Cynodan daclylon (Linn) Pers'] Graminae 106 0,090-2,410 0,216 6 Chrysopogaft aciculatus Graminae 63 0,053.2,930 0,156 7 Paspa/zmm cornmersonii Sensu Rid1 Gmminae 21 0,018-4,029 0,072 8 Rhynchelylrum repens (Willd) C.E.Hubb Graminae 18 0,015-4,183 0,064 9 Staclytorpheta urticaefolia Verbenaceae 684 0,580-0,545 0, Sida acuta Burm. F Malvaceae 58 0,049-3,013 0, Hydrocofyle asiatica Linn Umbelliferae 28 0,024-3,741 0, Hyptis brevipes Poit Labiatae 38 0,032-3,436 0, Physolis mininza Linn Solanaceae 14 0,012 4,434 0, Euphorbia hirta Linn Euphorbiaceae 26 0,022-3,815 0,084 Jumlah ,000-48,213 1,669 Lampiran 5. Analisis indeks keanekaragaman tiimbuhan bawah berdasarkan indeks Shannon - Wiener pada savana Prem dan Kankania yang didominasi oleh vegetasi mmput.. ~ No Nama Jenis Family Jumlah pi In pi -pi In pi ~-. ~..~.~... ~.. ~ ~. -..~ ~~... 1 Cyperus kyningia Endl Cyperaceae 19 0,011-4,503 ' Fimbrisrylis globulosa (Retz) Kunth Cyperaceae 46 0,027-3, Eleocharis congesra D.Don Cyperaceae 14 0,008-4, Eleocharis retroflesa Cyperaceae 3 1 0,018-4, Cyperus pygnraeus Rottb. Cyperaceae 95 0,055-2, Cypenis brevifolius (Rottb.) Hassk Cyperaceae 29 0,017-4, EleochorisphilippCtensis Svens Cyperaceae 66 0,038-3, Bulbosfylispabe~ula (F'oir) C.B. Clarke Cyperaceae 56 0,033-3, Fimbrisfylis actrminata Vahl Cyperaceae 228 0,133-2, Paspalum conjrrgattmm Berg. G~am-inae 17 0;OlO -4; Chrysopogon aciculalus Graminae 111 0,065-2, Sparobolus diander ( Retz) P. Beauv Graminae 28 0,016-4, Cldoris barbata Sw Graminae 66 0,038-3, Paspoltrfn commersonii Sensu Ridl Graminae 38 0,022-3, Rhynchelyfr~~m repens (Willd) C.E.Hubb Graminae 53 0,031-3, Ischaemam timorense Kunth Graminae I57 0,091-2, Sida acula Bum. F Maivaceae 59 0,034-3, Eupharbia hina Linn Euphorbiaceae 208 0,121-2, Jumlah ,770-62,

110 Lampiran 6. Rekapitulasi jumlah populasi wallaby lincah per lokasi pengamatan dalam satuan individu per hektar 1. Lokasi Ukra Kecil No Jalur Ulangan Rerata Jum'ah Individul ha IV V Jumlah Rerata Lokasi Ukra Besar No Jalur Ulangan Rerata Jumlah Individul ha IV V Jumlah Reratn Lokasi Prem No Jalur Ulangan Rerata lndividul ha IIl V V Jumlah Rerata Lokasi Kankania No Jalur.~.. 1. Ulangan,, -...?. ;5~-. Jumlah Rerata Individul ha I I I IV V Jumlal~ Rerata

111 ~. Lampiran 7. Rekapitulasi perhitungan luas lokasi pengamatan menggunakan tehnik Line Transek berdasarkan rumus metode King daiam satuan hektar Lokasi Ukra Besar Luasan Wilnyah Areal Penelitian NoJalw Ulnngan Ulangan Ulangan ulangan Jumlah Rema Panjaw Lbr Jalur Jalur ~. ~......~... ~... ~. ~. ~ ~ ~ I Lokasi Ukra Kecil Luvsan Wilayah Areal Penelitian NoJalur uangan ~~angan ulangan ulangan lumlah Rerat8 Panjang Lbr Jalur Jalur I IOM) II IODO V V Jumlah 4,914 Lokasi Prem Luasan Wilnynl~ Areal Penelitian NoJalw Ulangan I Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 Jumlah Rerata Lbr Jalw Panjq Jalur m Heklar I II I m N V Jumlah 4,914 Lokasi Kankania No Jdw Ulangaii -UI..- Ulangaii - Luasan Wilayah Areal Penelitinn.Ulang8* Rerata. Panjang Jumlah Lbr Jalur Jalw m' Heklar I n IV ' V Jumlah 5,289

112 Lampiran 8. Analisa perhitungan pendugaan kepadatan populasi wallaby lincah di Taman Nasional Wasur No Jalur Jalur Pengamatan Rerata I I1 111 IV V Individu I ha Ukra Kecil Ukra Besar Prem Kankania Jumlah Rerata I., Rataan 1 dugaan titik ( X ) Simpangan 1 SD ( S ) Variasi I Keragaman ( S Intensitas sampling ( f) = n IN = I Keragaman Rerata Contoh S y2 = S' I n x ( 1 - f) Nilai dugaan selang a( 0.05 ) = X i t a 12, n-1. 4 Sy2 = i (2.093 x 0.118) = f = ekor per hektar Kepadatan Populasi Total ( P ) = (N x D ) f ( N x t U2, n-1.\/ Sy' ) = ( x 1,152) i ( x 0,247) = f = ekor

113 Lampiran 9. Analisa bentuk sebaran spasial wallaby lincah di Ta~nan Nasional Wasur A. Metode Sebaran Frekwensi Tabel sebaran frekwensi xi fi ni xi2 fi N = 200 n = Rata - rata - x = = 0,99 N Ragam = ( ) - Xn = (0,99x197) / (200-1) = 2,99 N-1 1. Uji Sebaran Acak HO = Walaby lincah menyebar secara acak ( X hitung 5 X tabel ) HI # HO xi ti ni xi' fi p(x) Comulatif E (x) Comulatif Chi-square * Xz tabel 95 %, 6 = 0,05 db ( 5-2 ) = X hitung = Karena X hitung > X tabef, tolah Ho artinya wallaby tidak menyebar secara acak 2. Uji Sebaran Kelompok HO = Walaby lincah menyebar secara berkelompok ( X hitu~tg 5 X tabel ) HI # HO Derajat pengelompokan ( K ) K = X2 1 ( SZ - X ) = 0,9g21 ( ) = Uji nilai K sesungguhnya log (N I No ) = K log ( l + ( xk) ) log ( 200 / 124 ) = log ( 1 + ( )) =

114 Nilai K sesungguhnya adalah xi fi ni xi2 fi p(x) Comulatif E (x) Comulatif Chi-square * OO X2 tabel 95 %, a = 0,05, db ( 5-3 ) = 5,991 X2 hitung = l,09 Karena X hitung < X2 tabel maka terima Ho artinya wallaby menyebar mengelompok B. Metode Rasio Rasio = SZlx = 2,99 / 0,99 = 3,04 Ketentuan = 1. Acak > 1. Kelompok < 1. Homogen Karena nilai rasio ragam dan nilai tengah lebih dari 1 maka wallaby menyebar berkelompok C. Metode Indeks 1. Indeks Dipersion (ID) = S2/x = = 3,04 Karena ID Iebih besar dari I maka wallaby lincah menyebar mengelompok 2. Indeks of Clumping (IC) = ID-I = 3,04-1 = 2,04 Karena Nt30, maka d = d2x2 - d2(~-1)-1 = d2.545,86 -d2(200-i)-1 = 13,12 Karena d > 1,96 maka wallaby lincah menyebar mengelompok 3. Indeks Green ( 1G ) = IC/(n-I) = 2, = 0,Ol Karena nilai IG = 1 menunjukkan derajat pengelompokan maksimum, Nilai 0,O 1 menunjukan wallaby lincah berkelompok dengan derajat pengelompokan yang rendah.

115 Lampiran 10. Simulasi pemanenan 25% dari jumlah pertambahan populasi setiap tahun Tahun Perkembangan Populasi ( Nt ) Jantan - Betma Total halt I Muda / Dewasa / Jumlah An& Muda Dervasa Jumlah Tambah Pop - 0 Total Populasi Sisa

116 Lampiran P 1. Simulasi pemanenan 50% dari jurnlah pertambahan populasi setiap tahun Tahun Annk Perkembangan Populasi ( Nt ) Janian Muda Dewasa I Jumlah Total Tan~bah Pop Panen Individu Buru Dewasa Total Jantan I Betina Populasi Sisa

117 Lampiran 12. Simulasi pemanenan 75 % dari jumlah pertambahan populasi setiap tahun Perkembangan Populasi ( Nt ) Individu Buru Tahun An& Jnnlan Muda Dewasa Jumlall Anak Bclina Muda Dewasa Jumlah Total Tanlbah Pop Panen Dewasn Jantan Betina Total Populasi Sisa I

118 KU Dewasa : 1 pada Total skenario panenan 50%. Lampiran 13. Perbandingan jumlah jenis kelamin satwa buru jantan betina 27 Tcnisa Janlan ,22 40,44 38,76 37,59 37, , ,05 34, ,23 34,M 33,88 33, ,54 33,47 33,40 33, ,26 33, ,18 33,16 33, (%) Betina 50,OO 59,61 60,78 59,56 61, ,95 63, , ,77 65,96 66,12 66,25 66,36 66, ,65 66,70 66,74 66,77 66,80 66,82 66, Thn Dewasa Jantan I~tdividu Bum Total Ill Bclina Populasi ( Nt ) Populari Sisa Perkembangan An& 5528 I Anak Betina Dewasa Muda Jurnlah Z/35 LO ,OO 40,39 39, ,59 37,OS 36,46 35,87 35,42 35, , ,04 33,88 33,75 33, ,47 33, , , , Jvntvn 50,OO 59,61 60,78 59,56 61,24 62,41 62, ,13 64,58 64,95 65,27 65, , ,80 66, , Jumlah

I. PENDAWLUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAWLUAN. A. Latar Belakang I. PENDAWLUAN A. Latar Belakang Wallaby lincah (Macropus agilis papuanus. Peters and Doria, 1875) merupakan satu dari empat sub spesies Macropus agilis yang penyebarannya terdapat di wilayah selatan kepulauan

Lebih terperinci

11. TINJAUAN PUSTAKA

11. TINJAUAN PUSTAKA 11. TINJAUAN PUSTAKA A. Bioekologi Wallaby Lincah 1. Takxonomi Wallaby lincah (Macropus agilis papuanus. Peters and Doria, 1875) merupakan mamalia berkantung yang memiliki ukuran tub& sedang dan merupakan

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bio-Ekologi Rusa Timor 1. Taksonomi Menurut Schroder (1976), rusa timor (Cervus timorensis) diklasifikasikan ke dalam : Phylum Chordata, Sub phylum Vertebrata, Class Mammalia, Ordo

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang Penentuan Kuota Panenan dan Ukuran Populasi Awal Rusa Timor di Penangkaran Hutan Penelitian Dramaga ini dilakukan di Hutan Penelitian

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 31 IV. METODE PENELITIAN 4.1.Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Taman Wisata Alam (TWA) dan Cagar Alam (CA) Pananjung Pangandaran, dan menggunakan data populasi rusa timor di Taman

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 41 5.1. Ukuran Populasi Rusa Timor V. HASIL DAN PEMBAHASAN Ukuran populasi rusa timor di TWA dan CA Pananjung Pangandaran tahun 2011 adalah 68 ekor. Angka tersebut merupakan ukuran populasi tertinggi dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1.Latar belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Kerusakan dan hilangnya habitat, perburuan liar, dan bencana alam mengakibatkan berkurangnya populasi satwa liar di alam. Tujuan utama dari konservasi adalah untuk mengurangi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang

Lebih terperinci

KOHABITASI ANTARA WALABI LINCAH

KOHABITASI ANTARA WALABI LINCAH EKOLOGI KUANTITATIF KOHABITASI ANTARA WALABI LINCAH (Macropus agilis papuanus Peters and Doria, 1875) DAN RUSA TIMOR (Cervus timorensis de Blainville, 1822) DI SAVANA CAMPURAN UDIUDI SPTN III TAMAN NASIONAL

Lebih terperinci

PENDUGAAN DAYA DUKUNG DAN MODEL PERTUMBUHAN POPULASI RUSA TIMOR DI CAGAR ALAM/TAMAN WISATA ALAM PANANJUNG PANGANDARAN, CIAMIS JAWA BARAT

PENDUGAAN DAYA DUKUNG DAN MODEL PERTUMBUHAN POPULASI RUSA TIMOR DI CAGAR ALAM/TAMAN WISATA ALAM PANANJUNG PANGANDARAN, CIAMIS JAWA BARAT PENDUGAAN DAYA DUKUNG DAN MODEL PERTUMBUHAN POPULASI RUSA TIMOR DI CAGAR ALAM/TAMAN WISATA ALAM PANANJUNG PANGANDARAN, CIAMIS JAWA BARAT GLEN ERIC KANGIRAS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. M11, dan M12 wilayah Resort Bandealit, SPTN wilayah II Balai Besar Taman

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. M11, dan M12 wilayah Resort Bandealit, SPTN wilayah II Balai Besar Taman BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilakukan selama kurun waktu satu bulan di grid vector O11, M11, dan M12 wilayah Resort Bandealit, SPTN wilayah II Balai

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

TERMINOLOGI POPULASI. Populasi (bahasa Latin populus =rakyat, atau penduduk). Terminologi :

TERMINOLOGI POPULASI. Populasi (bahasa Latin populus =rakyat, atau penduduk). Terminologi : MATERI AJAR Sifat-sifat populasi Kepadatan populasi dan indeks jumlah relatif Konsep dasar tentang laju (rate) Natalitas dan mortalitas Penyebaran umur populasi TERMINOLOGI POPULASI Populasi (bahasa Latin

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

IV. BAHAN DAN METODE

IV. BAHAN DAN METODE IV. BAHAN DAN METODE 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di TN Alas Purwo, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Penelitian dan pengolahan data dilaksanakan selama 6 bulan yaitu pada bulan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM PENDUGAAN POTENSI TEGAKAN HUTAN PINUS (Pinus merkusii) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM START MENGGUNAKAN UNIT CONTOH LINGKARAN KONVENSIONAL

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. (perairan) lainnya, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. (perairan) lainnya, serta komplek-komplek ekologi yang merupakan bagian dari 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Keanekaragaman Hayati Keanekaragaman hayati merupakan keanekaragaman di antara makhluk hidup dari semua sumber, termasuk di antaranya daratan, lautan, dan ekosistem akuatik (perairan)

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996) PENDAHULUAN Latar Belakang Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulaupulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia, dan memiliki

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total 15 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total luas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT. SARMIENTO PARAKANTJA TIMBER KALIMANTAN TENGAH Oleh : SUTJIE DWI UTAMI E 14102057 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35 juta ha. Tujuh belas persen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dunia. Frekuensi erupsi Gunungaapi Merapi yang terjadi dalam rentang waktu 2-

I. PENDAHULUAN. dunia. Frekuensi erupsi Gunungaapi Merapi yang terjadi dalam rentang waktu 2- 1 I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Gunungapi Merapi merupakan salah satu gunung aktif paling aktif di dunia. Frekuensi erupsi Gunungaapi Merapi yang terjadi dalam rentang waktu 2-7 tahun sekali merupakan

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan

Lebih terperinci

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI Oleh : MUHAMMAD MARLIANSYAH 061202036 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI

PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI 1 PERILAKU MAKAN GORILA (Gorilla gorilla gorilla ) DI PUSAT PRIMATA SCHMUTZER TAMAN MARGASATWA RAGUNAN JAKARTA SAHRONI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Kuliah ke-2. R. Soedradjad Lektor Kepala bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam

Kuliah ke-2. R. Soedradjad Lektor Kepala bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam Kuliah ke-2 R. Soedradjad Lektor Kepala bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam Spektrum Biologi: KOMPONEN BIOTIK GEN SEL ORGAN ORGANISME POPULASI KOMUNITAS berinteraksi dengan KOMPONEN ABIOTIK menghasilkan

Lebih terperinci

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU Number of Individual and Groups Proboscis (Nasalis Larvatus, Wurmb) In Sentarum Lake

Lebih terperinci

KONSERVASI TINGKAT SPESIES DAN POPULASI

KONSERVASI TINGKAT SPESIES DAN POPULASI KONSERVASI TINGKAT SPESIES DAN POPULASI priyambodo@fmipa.unila..ac.id #RIPYongki Spesies dan Populasi Species : Individu yang mempunyai persamaan secara morfologis, anatomis, fisiologis dan mampu saling

Lebih terperinci

PENDUGAAN MODEL PERTUMBUHAN DAN BENTUK SEBARAN SPASIAL POPULASI BANTENG (Bos sondaicus d Alton) DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO JAWA TIMUR

PENDUGAAN MODEL PERTUMBUHAN DAN BENTUK SEBARAN SPASIAL POPULASI BANTENG (Bos sondaicus d Alton) DI TAMAN NASIONAL ALAS PURWO JAWA TIMUR Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, Desember 29, hlm. 19421 ISSN 853 4217 Vol. 14 No.3 PENDUGAAN MODEL PERTUMBUHAN DAN BENTUK SEBARAN SPASIAL POPULASI BANTENG (Bos sondaicus d Alton) DI TAMAN NASIONAL ALAS

Lebih terperinci

PENYUSUNAN TABEL TEGAKAN HUTAN TANAMAN AKASIA (Acacia crassicarpa A. CUNN. EX BENTH) STUDI KASUS AREAL RAWA GAMBUT HUTAN TANAMAN PT.

PENYUSUNAN TABEL TEGAKAN HUTAN TANAMAN AKASIA (Acacia crassicarpa A. CUNN. EX BENTH) STUDI KASUS AREAL RAWA GAMBUT HUTAN TANAMAN PT. i PENYUSUNAN TABEL TEGAKAN HUTAN TANAMAN AKASIA (Acacia crassicarpa A. CUNN. EX BENTH) STUDI KASUS AREAL RAWA GAMBUT HUTAN TANAMAN PT. WIRAKARYA SAKTI GIANDI NAROFALAH SIREGAR E 14104050 DEPARTEMEN MANAJEMEN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan

I. PENDAHULUAN. rawa, hutan rawa, danau, dan sungai, serta berbagai ekosistem pesisir seperti hutan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai lahan basah paling luas dan mungkin paling beragam di Asia Tenggara, meliputi lahan basah alami seperti rawa,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Gajah Sumatera (Elephas maxius sumateranus) Menurut Lekagung dan McNeely (1977) klasifikasi gajah sumatera sebagai berikut: Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia (Sujatnika, Jepson, Soeharto, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). terluas di Asia (Howe, Claridge, Hughes, dan Zuwendra, 1991).

1. PENDAHULUAN. Indonesia (Sujatnika, Jepson, Soeharto, Crosby, dan Mardiastuti, 1995). terluas di Asia (Howe, Claridge, Hughes, dan Zuwendra, 1991). 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan jenis burung yang tinggi, menduduki peringkat keempat negara-negara kaya akan jenis burung setelah Kolombia, Zaire dan Brazil. Terdapat 1.539

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA

BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA Enggar Lestari 12/340126/PBI/1084 ABSTRACT Interaction between birds and habitat is the first step to determine their conservation status.

Lebih terperinci

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KOMUNITAS ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KONSEP KOMUNITAS BIOTIK Komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang menempati suatu habitat dan terorganisasi sedemikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bogor merupakan kota yang terus berkembang serta mengalami peningkatan jumlah penduduk dan luas lahan terbangun sehingga menyebabkan terjadinya penurunan luas

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KONSEPSI HUTAN, PENGELOLAAN HUTAN DAN PENERAPANNYA DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI INDONESIA

KONSEPSI HUTAN, PENGELOLAAN HUTAN DAN PENERAPANNYA DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI INDONESIA Hadirin sekalian, penulis berpendapat, beberapa permasalahan besar di muka sangatlah penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan hutan, akan tetapi pembahasan terhadap konsep-konsep dasar ilmu kehutanan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di Malaysia (Semenanjung Malaya) H. syndactylus continensis (Gittin dan Raemaerkers, 1980; Muhammad,

Lebih terperinci

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi I. Keanekaragaman hayati UU No. 5, 1990 Pasal 21 PP No. 68, 1998 UU No. 41, 1999 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pengawetan keanekaragaman hayati serta ekosistemnya melalui Cagar Alam

Lebih terperinci

KAJIAN HABITAT DAN POPULASI UNGKO (Hylobates agilis unko) MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SUMATERA UTARA

KAJIAN HABITAT DAN POPULASI UNGKO (Hylobates agilis unko) MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SUMATERA UTARA KAJIAN HABITAT DAN POPULASI UNGKO (Hylobates agilis unko) MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SUMATERA UTARA KENI SULTAN PROGRAM STUDI MAYOR PRIMATOLOGI INSTITUT

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rusa merupakan salah satu sumber daya genetik yang ada di Negara Indonesia. Rusa di Indonesia terdiri dari empat spesies rusa endemik yaitu: rusa sambar (Cervus unicolor),

Lebih terperinci

KONSERVASI Habitat dan Kalawet

KONSERVASI Habitat dan Kalawet 113 KONSERVASI Habitat dan Kalawet Kawasan hutan Kalimantan merupakan habitat bagi dua spesies Hylobates, yaitu kalawet (Hylobates agilis albibarbis), dan Hylobates muelleri. Kedua spesies tersebut adalah

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini, banteng (Bos javanicus d Alton 1823) ditetapkan sebagai jenis satwa yang dilindungi undang-undang (SK Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1972) dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Gajah Sumatera Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu dari sub species gajah asia (Elephas maximus). Dua sub species yang lainnya yaitu Elephas

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENlS TUMBUHAN, STRUKTUR TEGAKAN, DAN POLA SEBARAN SPASIAL BEBERAPA SPESIES POHON TERTENTU Dl HUTAN KERANGAS

KEANEKARAGAMAN JENlS TUMBUHAN, STRUKTUR TEGAKAN, DAN POLA SEBARAN SPASIAL BEBERAPA SPESIES POHON TERTENTU Dl HUTAN KERANGAS KEANEKARAGAMAN JENlS TUMBUHAN, STRUKTUR TEGAKAN, DAN POLA SEBARAN SPASIAL BEBERAPA SPESIES POHON TERTENTU Dl HUTAN KERANGAS OLEH : KlSSlNGER PROGRAM PASCASARJAVA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2002 ABSTRAK KISSINGER.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan

Lebih terperinci

MODEL SKEDUL MIGRASI DAN APLIKASINYA DALAM PROYEKSI PENDUDUK MULTIREGIONAL MUSLIMAH

MODEL SKEDUL MIGRASI DAN APLIKASINYA DALAM PROYEKSI PENDUDUK MULTIREGIONAL MUSLIMAH MODEL SKEDUL MIGRASI DAN APLIKASINYA DALAM PROYEKSI PENDUDUK MULTIREGIONAL MUSLIMAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Burung adalah salah satu pengguna ruang yang cukup baik, dilihat dari keberadaan dan penyebarannya dapat secara horizontal dan vertikal. Secara horizontal dapat diamati dari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan untuk kegiatan pengamatan dan pengambilan

Lebih terperinci

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU EDY HENDRAS WAHYONO Penerbitan ini didukung oleh : 2 BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU Ceritera oleh Edy Hendras Wahyono Illustrasi Indra Foto-foto Dokumen

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

Prinsip-Prinsip Ekologi. Faktor Biotik

Prinsip-Prinsip Ekologi. Faktor Biotik Prinsip-Prinsip Ekologi Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktora biotik antara lain suhu, air, kelembapan,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Orangutan Orangutan merupakan hewan vertebrata dari kelompok kera besar yang termasuk ke dalam Kelas Mamalia, Ordo Primata, Famili Homonidae dan Genus Pongo, dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

PENENTUAN KUOTA PANENAN DAN UKURAN POPULASI AWAL RUSA TIMOR DI PENANGKARAN HUTAN PENELITIAN DRAMAGA ROZZA TRI KWATRINA

PENENTUAN KUOTA PANENAN DAN UKURAN POPULASI AWAL RUSA TIMOR DI PENANGKARAN HUTAN PENELITIAN DRAMAGA ROZZA TRI KWATRINA PENENTUAN KUOTA PANENAN DAN UKURAN POPULASI AWAL RUSA TIMOR DI PENANGKARAN HUTAN PENELITIAN DRAMAGA ROZZA TRI KWATRINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

METODE PENELTIAN. Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan

METODE PENELTIAN. Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan III. METODE PENELTIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian tentang keberadaan populasi kokah (Presbytis siamensis) dilaksanakan di Cagar Alam Lembah Harau Sumatera Barat (Gambar 6) pada bulan Mei

Lebih terperinci

INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN

INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN INVENTARISASI JENIS BURUNG PADA KOMPOSISI TINGKAT SEMAI, PANCANG DAN POHON DI HUTAN MANGROVE PULAU SEMBILAN SKRIPSI Oleh : PARRON ABET HUTAGALUNG 101201081 / Konservasi Sumber Daya Hutan PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

STUDI POPULASI DAN POLA PENGGUNAAN RUANG MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT ANDOKO HIDAYAT

STUDI POPULASI DAN POLA PENGGUNAAN RUANG MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT ANDOKO HIDAYAT STUDI POPULASI DAN POLA PENGGUNAAN RUANG MONYET EKOR PANJANG (Macaca fascicularis) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT ANDOKO HIDAYAT SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 i ii iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

PLASMA NUTFAH. OLEH SUHARDI, S.Pt.,MP

PLASMA NUTFAH. OLEH SUHARDI, S.Pt.,MP PLASMA NUTFAH OLEH SUHARDI, S.Pt.,MP Sejak berakhirnya konvensi biodiversitas di Rio de Jenairo, Brasil, 1992, plasma nutfah atau sumber daya genetik tidak lagi merupakan kekayaan dunia di mana setiap

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN Oleh: Dini Ayudia, M.Si. Subbidang Transportasi Manufaktur Industri dan Jasa pada Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA & LH Lahan merupakan suatu sistem yang kompleks

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Klasifikasi ilmiah dari Katak Pohon Bergaris (P. Leucomystax Gravenhorst 1829 ) menurut Irawan (2008) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia, Phyllum: Chordata,

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci