BAB II STRATEGI GURU REGULER DALAM PENGELOLAN KELAS DENGAN MELIBATKAN SISWA LOW VISION

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II STRATEGI GURU REGULER DALAM PENGELOLAN KELAS DENGAN MELIBATKAN SISWA LOW VISION"

Transkripsi

1 BAB II STRATEGI GURU REGULER DALAM PENGELOLAN KELAS DENGAN MELIBATKAN SISWA LOW VISION A. Konsep Dasar Strategi Kata strategi berasal dari kata strategos (Yunani) atau strategus. Strategos berarti jenderal atau berarti pula perwira negara (state officer). Jenderal inilah yang bertanggung jawab merencanakan suatu strategi dan mengarahkan pasukannya untuk mencapi kemenangan. Secara spesifik Sherly (1978) merumuskan pengertian strategi sebagai keputusan bertindak yang diarahkan dan keseluruhannya diperlukan untuk mencapai tujuan. Sedangkan J. Salusu (1960 :101) merumuskan strategi sebagai suatu seni menggunakan kecakapan dan sumber daya untuk mencapai sasarannya melalui hubungan yang efektif dengan lingkungan dan kondisi yang paling menguntungkan. Secara bahasa, strategi bisa diartikan sebagai siasat, kiat, atau cara. Sedang secara umum strategi ialh suatu garis besar haluan dalam bertindak untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dalam perkembangannya, konsep strategi telah digunakan dalam berbagai situasi, termasuk untuk situasi pendidikan. Implementasi konsep strategi dalam kondisi belajar mengajar ini, sekurang kurangnya melahirkan pengertian berikut: 1) Strategi merupakan keputusan bertindak dari guru dengan menggunakan kecakapan dan sumber daya pendidikan yang tersedia untuk mencapai 12

2 tujuan melalui hubungan yang efektif antara lingkungan dan kondisi yang paling menguntungkan. Lingkungan disini adalah lingkungan yang paling memungkinkan peserta didik belajar dan guru mengajar. Sedangkan kondisi dimaksudkan sebagai suatu iklim kondusif dalam belajar dan mengajar seperti disiplin, kreativitas, inisiatif dan sebagainya. 2) Strategi merupakan garis besar haluan bertindak dalam mengelola proses belajar untuk mencapai tujuan pengajaran secara efektif dan efisien. 3) Strategi dalam proses belajar mengajar merupakan suatu rencana (mengandung serangkaian aktifitas) yang dipersiapkan secara seksama untuk mencapai tujuan tujuan belajar. 4) Strategi merupakan pola umum perbuatan guru peserta didik di dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar. Pola ini menunjukan macam dan urutan perbuatan yang di tampilkan guru-peserta didik di dalam bermacam macam peristiwa belajar. Dari uraian di atas, jika diterapkan dalam konteks kegiatan belajar mengajar, maka strategi belajar mengajar pada dasarnya memiliki implikasi sebagai berikut: 1) Proses mengenal karakteristik dasar anak didk yang harus dicapai melalui pembelajaran. 2) Memilih pendekatan belajar mengajar berdasarkan kultur, aspirasi, dan pandangan filosofis masyarakat. 3) Memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan teknik mengajar. 4) Menetapkan norma-norma atau kriteria keberhasilan belajar. 13

3 Jadi suatu strategi yang dipilih dan digunakan secara tepat oleh guru untuk keberlangsungan belajar mengajar secara terbuka dan penuh perhatian yang dapat diterima oleh anak low vision dan anak awas sebagai upaya pemenuhan kebutuhan layanan belajar anak didiknya. B. Konsep Guru Guru adalah tenaga pendidik yang memberikan sejumlah ilmu pengetahuan kepada anak didik di sekolah (Saiful Bahri Djamarah dalam Sutikno Sobry 2007: 43). Selain memberikan sejumlah ilmu pengetahuan, guru juga bertugas menanamkan nilai-nilai dan sikap kepada anak didik agar anak didik memiliki kepribadian yang sempurna. Dengan keilmuan yang dimilikinya, guru membimbing anak didik dalam mengembangkan potensinya. Setiap guru memiliki kepribadian yang sesuai dengan latar belakang mereka sebelum menjadi guru. Kepribadian dan pandangan guru serta latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajar sangat mempengaruhi kualitas pembelajaran. Guru adalah manusia unik yang memiliki karakter sendirisendiri. Perbedaan karakter ini akan menyebabkan situasi belajar yang diciptakan oleh setiap guru bervariasi. Seorang guru dituntut untuk menguasai berbagai kompetensi (kecakapan) dalam melaksanakan profesi keguruannya agar dapat menciptakan lingkungan belajar yang baik bagi peserta didik, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan optimal. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran seorang guru dalam menentukan keberhasilan pembelajaran. 14

4 C. Pengelolaan Kelas 1. Pengertian Pengelolaan Kelas Hal yang tak dapat dipungkiri adalah bahwa kelas merupakan suatu lingkungan belajar yang diciptakan berdasarkan kesadaran kolektif dari suatu komunitas siswa yang relatif memiliki tujuan yang sama. Kesamaan tujuan merupakan kekuatan potensial pengelolaan kelas dan aktualisasinya adalah prose pembelajaran yang akseptabel (acceptable). Pengelolaan kelas adalah sebuah keterampilan yang harus dikuasai oleh guru untuk menunjang keberhasilan kegiatan belajar megajar. Guru dalam kegiatan belajar mengajar bukan sekedar ditentukan oleh kemampuan dalam menguasai bahan pelajaran, tetapi juga dipengaruhi oleh kemampuannya dalam mengelola kelas. Keterampilan mengelola kelas, merupakan kemampuan guru dalam mewujudkan dan mempertahankan suasana belajar mengajar yang optimal. Kemampuan ini erat kaitannya dengan kemampuan guru untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan, menyenangkan peserta didik dan penciptaan disiplin belajar secara sehat. Pengelolaan kelas mengarah pada peran guru untuk menata pembelajaran. Secara kolektif atau klasikal dengan cara mengelola perbedaan-perbedaan kekuatan ondividual menjadi sebuah aktivitas belajar bersama. Suharsimi Arikunto dalam Sobri Sutikno (2007:103), berpendapat bahwa pengelolaan kelas merupakan suatu usaha yang dilakukan guru untuk membantu menciptakan kondisi belajar yang optimal. 15

5 Pengertian di atas menunjukkan adanya beberapa variabel yang perlu dikelola secara sinegik, terpadu dan sistematik oleh guru, yakni: (1) ruang kelas menunjukkan batasan lingkungan belajar, (2) uasaha guru, tuntutan adanya dinamika kegiatan guru dalam mensiasati segala kemungkinan yang terjadi dalam lingkungan belajar, (3) kondisi belajar, merupakan batasan aktivitas yang harus diwujudkan dan (4) belajar yang optimal, merupakan ukuran kualitas proses yang mendorong mutu sebuah produk belajar. Dalam pengertian yang lain dikemukakan bahwa pengelolaan kelas merupakan suatu proses seleksi tindakan yang dilakukan guru dalam fungsinya sebagai penanggungjawab kelas dan seleksi penggunaan alat-alat belajar tepat sesuai masalah yang ada dan karakteristik kelas yang dihadapi. Jadi, pengelolaan kelas sebenarnya merupakan upaya mendayagunakan seluruh potensi kelas, baik sebagai komponen utama pembelajaran maupun komponen pendukungnya. Dari uraian tersebut, dapatlah dipahami bahwa pengelolaan kelas merupakan usaha yang dengan sengaja dilakukan oleh guru agar anak didik dapat belajar secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan pembelajaran. 2. Tujuan Pengelolaan Kelas Secara umum tujuan pengelolaan kelas adalah untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Mutu pembelajaran akan tercapai, jika tercapainya tujuan pembelajaran. Adapun tujuan dari pengeloaan kelas secara khusus adalah sebagai berikut: 16

6 1) Mewujudkan situasi dan kondisi kelas yang memungkinkan peserta didik mengembangkan kemampuannya secara optimal. 2) Memperhatikan keadaan yang stabil dalam suasana kelas, sehingga bila terjadi gangguan dalam belajar mengajar dapat dieliminir. 3) Menghilangkan berbagai hambatan dan pelanggaran disiplin yang dapat merintangi terwujudnya interaksi belajar mengajar. 4) Mengatur semua perlengkapan dan peralatan yang memungkinkan peserta didik belajar sesuai dengan lingkungan sosial, emosional, dan intelektual peserta didik dalam kelas. 5) Melayani dan membimbing peserta didik. Untuk dapat menangani masalah-masalah pengeloaan kelas, maka seorang guru yang menangani anak berkebutuhan khusus dituntut mampu (1) mengenali secara tepat berbagai jenis masalah pengeloaan kelas, (2) memahami pendekatan pendekatan yang tepat dan kurang tepat sesuai dengan jenis masalahnya (3) memilih, menetapkan dan menerapkan pendekatan yang dianggap paling tepat sesuai dengan masalahnya. (Atang Setiawan, 2004). Menurut Jonson and Bany (1970) dalam Atang Setiawan (2004) Berkaitan dengan masalah pengeloaan kelas, maka tugas guru sebagai berikut : 1. Mengenal sebanyak mungkin masing masing siswa. 2. Memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam mengoraganisasi kelas. 3. Memiliki kemampuan pemahaman masalah kelas. 17

7 4. Mampu menciptakan dan memelihara lingkungan belajar. Dalam menangani masalah pengeloaan kelas secara efektif, sebaik teknik mengajar, keduanya sama pentingnya dalam mensukseskan siswa belajar. Karakter kelas yang dihasilkan karena adanya proses pengelolaan kelas yang baik akan memiliki sekurang-kurangnya tiga ciri, yakni: 1) Speed, artinya anak dapat belajat dalam percepatan proses dan progress sehingga membutuhkan waktu yang relatif singkat. 2) Simple, artinya organisasi kelas dan materi menjadi sederhana, mudah dicerna dan situasi kelas kondusif. 3) Self-confidence, artinya anak dapat belajar dengan penuh rasa percaya diri atau menganggap dirinya mampu mengikuti pelajaran dan belajar berprestasi. 3. Penataan Ruang Kelas yang Kondusif dan Menyenangkan Kemampuan mengelola proses belajar mengajar yang baik akan menciptakan situasi yang memungkinkan anak untuk belajar, sehingga merupakan titik awal keberhasilan pengajaran. Siswa dapat belajar dalam suasana wajar, tanpa tekanan dan dan dalam kondisi yang merangsang untuk belajar. Dalam kegiatan belajar mengajar siswa memerlukan sesuatu yang memungkinkan dia berkomunikasi secara baik, meliputi komunikasi gurumurid, murid-murid, murid-lingkungan, murid-bahan ajar dan murid dengan dirinya sendiri. Segala sesuatu dalam lingkungan kelas menyampaikan pesan yang memacu atau menghambat belajar. Belajar bukan hanya menerima pidato 18

8 guru tentang bahan ajar, melainkan pula melalui pesan lingkungan yang diterima sistem saraf otak. Bahkan belajar melalui segala peraga yang ada dijauh dapat dengan tiba-tiba menyalakan jalur saraf seperti nyalanya kembang api di malam hari. Segala yang dapat kita lihat, biasanya memberikan insnpirasi untuk melahirkan pikiran yang orsinil. Demikian juga lingkungan belajar yang tertata rapih memberi inspirasi berpikir yang cermat dan kekuatan belajar yang tak terhitung besarnya. Sayang sekolah kita seringkali mengabaikan banyak hal kecil yang sebenarnya berdampak besar dan terlalu memperhatikan hal besar secara berlebihan padahal berdampak besar dan terlalu memperhatikan hal besar secara berlebihan padahal berdampak kecil. Banyak hal yang dapat kita hidupkan dilingkungan sekolah. D. Siswa Low Vision Siswa low vision merupakan bagian dari siswa tunanetra, seperti yang diungkapkan oleh The World Health Organization (WHO) definition blind divided into two groups: totally blind into near blind and blind; and low vision into severe and profond. (Scholl,1986: 29). Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa tunanetra dibagi menjadi dua kelompok, kelompok pertama adalah tunanetra total yaitu mereka yang tidak dapat melihat sama sekali atau hanya memiliki persepsi cahaya, sedangkan kelompok ke dua adalah low vision yaitu mereka yang memiliki hambatan penglihatan ringan dan sedang. Untuk memahami lebih lanjut tentang siswa yang termasuk kelompok low vision maka berikut akan dijelaskan tentang pengertian, klasifikasi, dan ciri-ciri umum dari siswa low vision. 19

9 1. Pengertian WHO memaparkan bahwa anak low vision merupakan pribadi yang memiliki kecacatan visual yang jelas tetapi juga masih memiliki sisa penglihatan yang dapat digunakan (Widjajantin dan Hitipeuw, 1994: 200). Secara lebih rinci, WHO menjelaskan kriteria low vision sebagai berikut: a. Jika masih mempunyai kerusakan meskipun sudah dilakukan penangan medis, seperti operasi dan/atau koreksi refraktif dengan kacamata atau lensa, b. Tajam penglihatannya kurang dari 6/18 meter sampai dengan persepsi cahaya, c. luas penglihatannya kurang dari 10 derajat dari titik fiksasi, d. Namun ia dapat atau kemungkinan besar dapat menggunakan penglihatannya untuk merencanakan dan/atau melakukan suatu pekerjaan. Menurut Kirk dan Gallagher (1962: 348) A child who scores between 20/70 and 20/200 on visual acuity, with corection, is legally partially sighted or low vision. Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa mereka yang ketajaman penglihatannya antara 20/70 dan 20/200 setelah mendapatkan perbaikan, disebut kurang lihat atau low vision. 20

10 Tabel 2.1 Arti pecahan Snellen (Snellen Chart) (Widjajantin dan Hitipeuw, 1994: 36) Meter Feet Dapat Digunakan Kerusakan 6/6 20/20 100% 0,0% 6/9 20/30 91,5% 8,5% 6/12 20/40 83,6% 16,4% 6/15 20/50 76,5% 23,5% 6/21 20/70 64,0% 36,0% 6/30 20/100 48,9% 51,1% 6/60 20/100 20,0% 80,0% Salah satu lembaga low vison center dalam situs internet menjelaskan bahwa; Low vision is a bilateral impairment to vision that significantly impairs the function of patient and cannot be adequately corrected with medical, surgical, theraphy, conventional eye wear or contact lenses. It is often a loss of sharpness or acuity but may present as a loss of field of vision or loss of contrast. ( 2005). Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa low vision adalah kerusakan fungsi penglihatan pada pasien dan tidak dapat dikoreksi pengobatan, operasi, terapi, maupun alat bantu penglihatan konvensional atau lensa kontak. Hal tersebut menyebabkan hilangnya ketajaman penglihatan, sensitifitas cahaya, lantang pandang dan atau kemampuan kontras. Berdasarkan sudut pandang pendidikan, Low Vision Services of the United State of America (Widjajantin dan Hitipeuw, 1994: 200) menyatakan bahwa anak kurang lihat dinyatakan sebagai penurunan ketajaman penglihatan dan atau lantang pandang akibat adanya penyimpangan pada sistem visual. 21

11 Masih dalam sudut pandang pendidikan, Corn (Scholl, 1986: 28) menjelaskan bahwa low vision is severelly visually impaired after correction but can increase visual function with optical or nonoptical and or with technique and environment modified. Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa low vision adalah hambatan kemampuan penglihatan sedang meskipun telah dikoreksi, tetapi fungsi penglihatannya masih dapat ditingkatkan dengan alat bantu optikal dan nonoptikal dan/atau dengan memodifikasi teknik dan lingkungan. Hallahan dan Kaufman (1991: 304) mengatakan bahwa who can read print, even if they need magnifying devices or large print books, as having low vision. Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa mereka yang dapat membaca huruf awas bercetak tebal termasuk mereka yang memerlukan alat pembesar disebut low vision. Dari berbagai definisi yang telah disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa low vision adalah mereka yang mengalami kerusakan, gangguan, dan hambatan dalam ketajaman penglihatan, lantang pandang, sensitifitas cahaya, dan kemampuan kontras, namun mereka masih memiliki sisa kemampuan penglihatan yang dapat dioptimalkan, bahkan untuk membaca huruf awas dengan berbagai modifikasi. 2. Klasifikasi Berdasarkan pecahan Snellen, WHO mengklasifikasikan tingkat ketunanetraan berdasarkan ketajaman penglihatan seperti terlihat pada tabel 2.2 berikut ini. 22

12 Tabel 2.2 Klasifikasi tingkat ketunanetraan dari WHO Kategori Ketajaman Penglihatan Setelah Dikoreksi Definisi Standar WHO 0 6/6 6/18 Normal 1 <6/18 6/60 Visual Impairment/low vision 2 <6/60 3/60 Severe Visual Impairment/low vision 3 <3/60 1/60 Blind 4 <1/60 - PL Blind 5 NPL Blind Berdasarkan tabel di atas, maka yang termasuk low vision adalah mereka yang termasuk dalam klasifikasi visual impairment atau mereka yang memiliki ketajaman penglihatan antara <6/18 6/60 dan klasifikasi severe visual impairment atau mereka yang memiliki ketajaman penglihatan antara <6/60 3/60. Hosni (1994: 27) menjelaskan bahwa untuk kepentingan proses belajar mengajar, maka siswa tunanetra dikelompokkan menjadi: a. Mereka yang mampu membaca cetakan standar. b. Mereka yang mampu membaca cetakan standar dengan memakai kaca pembesar. c. Mereka yang hanya mampu membaca cetakan besar (ukuran huruf no.18). d. Mereka yang membaca kombinasi antara cetakan besar/regular print. e. Mereka yang mampu membaca cetakan besar dengan menggunakan alat pembesar. 23

13 f. Mereka yang hanya mampu dengan braille tapi masih bisa melihat cahaya. g. Mereka yang hanya mampu dengan braille tetapi sudah tidak mampu melihat cahaya. Dari klasifikasi tunanetra yang dijelaskan di atas, maka klasifikasi siswa low vision terdapat pada klasifikasi point a sampai dengan point e, atau mereka yang masih bisa membaca huruf awas, walaupun dengan berbagai modifikasi. Untuk kepentingan penempatan dalam pembelajaran integrasi bersama anak awas di sekolah umum, maka Nasichin (2002) mengklasifikasikan siswa low vision sebagai berikut: a. Siswa low vision yang langsung dapat diintegrasikan dengan anak awas pada sekolah umum, adalah mereka yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Telah mendapatkan alat bantu khusus seperti kaca mata, alat pembesar (untuk membaca jarak dekat), dan teleskop (untuk membaca pada jarak jauh). 2) Telah mengenal huruf awas 3) Telah memiliki kematangan mental yang cukup 4) Telah memiliki kematangan sosial yang cukup 5) Telah memiliki kematangan orientasi dan mobilitas yang cukup 24

14 b. Siswa low vision yang membutuhkan layanan program transition untuk berintegrasi pada sekolah umum adalah mereka yang berkualifikasi sebagai berikut: 1) Telah mengenal huruf awas 2) Masih memerlukan bantuan dalam penggunaan alat bantu khusus 3) Telah memiliki kematangan mental yang cukup 4) Masih memerlukan bantuan dalam penyesuaian pada sekolah umum 5) Masih memerlukan bantuan dalam orientasi dan mobilitas c. Siswa low vision yang memerlukan layanan khusus adalah mereka yang: 1) Belum mengenal huruf awas 2) Belum dapat menggunakan alat bantu 3) Belum memiliki kematangan sosial 4) Masih memerlukan bantuan dalam orientasi dan mobilitas 3. Ciri-ciri Siswa Low Vision Secara umum tidak ada ciri-ciri utama siswa low vision. Tampilan fisik, sifat, dan karakteristik mereka adalah indvidu yang mempunyai ciri dan karakteristik berbeda-beda layaknya siswa biasa lainnya. Seperti diungkapkan oleh Scholl (1986: 24) Persons with visual impairments are diverse group in society. They are thin and fat; tall and short; fun-loving and grouchy; they have all characteristics found in any group of people. 25

15 Pernyataan Scholl di atas dapat diartikan bahwa orang yang mengalami hambatan dalam kemampuan penglihatan dalam kelompok masyarakat berbeda-beda. Mereka ada yang kurus dan gendut, tinggi dan pendek, periang-penyayang dan pemurung, mereka memiliki berbagai karakteristik layaknya orang lain dalam komunitas masyarakat. Walaupun demikian, ada berbagai prilaku siswa low vision yang dapat diamati, seperti yang disampaikan Peabody dalam Mangunsong (2002) yaitu bahwa ciri-ciri umum low vision diantaranya adalah: 1) Underachievement 2) Mudah lelah 3) Mempunyai masalah emosional Menurut The I.B. Foundation (The Baligvo Inverso Foundation) dalam Salamihardja dan Yudhana ( terapi.htm) semakin tinggi usianya, ciri-ciri anak yang menderita low vision akan semakin nyata, misalnya: a. Setiap membaca atau menulis, jarak mata terlalu dekat, hanya dapat membaca huruf ukuran besar b. Di tengah matanya terlihat putih (katarak) atau kornea (bagian bening di depan mata) terlihat berkabut. c. Mata tidak terlihat menatap lurus ke depan, sering memicingkan atau mengerutkan kening terutama di cahaya terang atau saat mencoba melihat sesuatu. 26

16 d. Mengeluh lebih jelas melihat sesuatu siang hari dibandingkan malam hari. e. Acapkali mendorong bola mata dengan jari atau buku jari untuk melihat sesuatu serta sering mengeluh pusing dan mual begitu selesai mengerjakan sesuatu dari jarak dekat. f. Pernah mengalami operasi mata dan memakai kacamata sangat tebal, tetapi masih tidak dapat melihat dengan jelas. E. Problematika Siswa Low Vision Berdasarkan istilah, Pius dan Barry (1996: 626) dalam Kamus Ilmiah Populer mengartikan kata problematika sebagai berbagai persoalan sulit yang dihadapi. Dalam hal ini problematika siswa low vision merupakan berbagai persoalan sulit yang dihadapi siswa low vision akibat dari hambatan dalam kemampuan penglihatannya. Berbagai problematika yang dimaksud terkait dengan berbagai segi yang ada pada diri siswa low vision, yaitu dalam hal fungsi fisik, pembentukan konsep diri, interaksi sosial, ekonomi, dan pandangan negatif masyarakat. 1. Problematika Fungsi Fisik Siswa Low Vision Problematika yang dialami siswa low vision dalam hal fungsi fisik terjadi pada fungsi visual pada siswa low vision yang tidak sebaik fungsi visual siswa awas lainnya. Walaupun banyak aktivitas yang menggunakan penglihatan dapat dilakukan oleh siswa low vision, namun tidak seluruh 27

17 aktivitas yang dapat dilakukan dengan mudah oleh siswa awas dapat dilakukan dengan mudah pula oleh siswa low vision. Biasanya, berbagai aktivitas yang sulit dilakukan oleh siswa low vision adalah berbagai kegiatan yang membutuhkan pengamatan detail dan spesifik, terutama yang berkaitan dengan objek-objek berukuran kecil, misalnya membaca, menulis, mengamati gambar berukuran kecil, atau berbagai media pembalajaran yang membutuhkan pengamatan detail dan spesifik. Siswa low vision akan lebih mengalami kesulitan jika harus melakukan berbagai aktivitas dalam ruangan yang kurang terang, atau berbagai aktivitas yang dilakukan pada sore dan malam hari. Problematika lain yang berkaitan dengan fungsi fisik adalah dalam hal kemampuan mobilitas. Umumnya hambatan dalam kemampuan bagi siswa low vision akan nampak jika berada dalam keadaan lingkungan yang kurang terang, atau mobilitas yang dilakukan pada sore dan malam hari. 2. Problematika Kepribadian Siswa Low Vision Allport dalam Supratiknya (1993: 24) mennyatakan bahwa kepribadian merupakan organisasi dinamik dalam individu atas sistemsistem psikofisik yang yang menentukan penyesuaian dirinya yang khas terhadap lingkungan. Konsep diri merupakan inti dari kepribadian seseorang, konsep diri ini mempengaruhi bentuk berbagai sifat. Jika konsep diri positif, anak akan memiliki kemampuan penilaian diri yang realistis dan menumbuhkan penyesuaian yang baik, sebaliknya jika konsep diri negatif maka anak 28

18 akan mengembangkan perasaan tidak mamu dan rendah diri dan menumbuhkan penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk (Hurlock, 1978: 238). Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri seorang anak dapat dilihat seperti pada bagan berikut ini. Bagan 2.1 Faktor-faktor pembentuk konsep diri seorang anak Crow dan Crow (Hurlock, 1978: 248) Sikap Terhadap Teman sebaya Harapan Orang Sikap Terhadap Anggota Masalah Keluarga Kondisi Fisik Ekonomi Keluarga Konsep Diri Anak Kematan g-an Teman Sebaya Pengaruh Media Agama Tuntutan Sekolah Kesempat -an 29

19 Dari bagan di atas dapat dilihat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri pada diri seorang anak diantaranya adalah harapan orang tua, sikap terhadap anggota keluarga, kondisi fisik anak, kematangan biologis, pengaruh media, kesempatan sekolah, tuntutan sekolah, agama, teman sebaya, ekonomi keluarga, masalah keluarga, dan sikap terhadap teman sebaya. Keterbatasan dalam kemampuan penglihatan pada diri siswa low vision termasuk ke dalam faktor kondisi fisik yang menyebabkan konsep diri yang dimiliki oleh siswa low vision cenderung negatif, sehingga mereka cenderung mengembangkan sifat-sifat seperti kepercayaan diri, harga diri, dan kemampuan untuk menilai dirinya secara negatif pula, hal ini menumbuhkan rasa ragu, tidak percaya, dan penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial yang kurang baik. Mangunsong (2002) menjelaskan bahwa bentuk kepribadian yang umum muncul pada diri low vision adalah: a. Pasrah pada keadaannya; atau bahkan memanfaatkan kondisinya tersebut untuk memperoleh kesenangan bagi dirinya. b. Mengindentifikasikan dirinya sebagai orang awas/normal (menolak keadaan/penglihatannya yang kurang) c. Berusaha menggunakan sisa penglihatannya semaksimal mungkin dan mereorganisasikannya secara mental dan fungsional. 30

20 3. Problematika Psiko-sosial Siswa Low Vision Problematika psiko-sosial siswa low vision nampak dalam kemampuan interaksi sosial yang dialami siswa low vision, yaitu dalam hal keterampilan berhubungan dengan orang lain, terutama yang berkenaan dengan kepekaan terhadap orang lain, ketepatan tindakan dalam berhubungan dengan orang lain, merasa bebas bersama orang lain, dan perlindungan diri dalam berhubungan dengan orang lain. Glass (Widjajantin dan Hitipeuw, 1994: 207) menjelaskan bahwa bentuk reaksi psiko-sosial yang dialami oleh siswa low vision adalah sering berusaha menyesuaikan diri dengan merubah harapan, tapi karena tidak tahu bagaimana caranya seringkali berakhir dengan meningkatnya kecemasan dan frustasi. Oleh karenanya siswa low vision biasanya menggunakan tiga cara untuk menghindari kecemasan, yaitu: a. Mereka mendapatkan informasi tentang penampilan diri dan menolak situasi-situasi tertentu yang baru atau tidak dapat diterimanya. b. Mereka merasionalisasikan ketidaksesuaian mereka dengan memproyeksikan terhadap orang lain atau mengkompensasikan dengan keterbatasannya. c. Mereka mengurangi atau justru sebaliknya memperluas lapangan persepsi mereka. d. Mereka akan berusaha menjadi ahli dan mendedikasikan seluruh hidup mereka pada salah satu bidang pekerjaan atau usaha atau 31

21 setidaknya selalu berusaha terlibat dalam aktifitas dan tanggung jawab besar yang dianggap sesuai dengan kemampuan dirinya. 4. Problematika Pandangan Negatif Masyarakat bagi Siswa Low Vision Hurlock (1978: 250) menjelaskan bahwa pengaruh keluarbiasaan pada kepribadian bergantung pada dua kondisi; kegiatan yang dapat diikuti anak dan sikap orang lain yang berkenaan dengan keluarbiasaan mereka Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengaruh keluarbiasaan pada kepribadian ditentukan pula oleh sikap dan pandangan orang lain terhadap keluarbiasaan yang dimiliki seseorang. Semakin negatif pandangan orang-orang atau masyarakat yang ada dilingkungannya, maka akan semakin menambah problematika seseorang yang memiliki keluarbiasaan. Biasanya orang lain akan menganggap siswa low vision selalu tidak mampu atau tidak bisa melakukan berbagai aktivitas yang membutuhkan penglihatan detail dan spesifik pada objek-objek kecil, lebih negatif lagi jika orang lain menganggap bahwa siswa low vision identik dengan penyakit menular atau sesuatu yang dianggap menjijikan sehingga siswa low vision dianggap sebagai ancaman dan harus dihindari. Jika pandangan negatif masyarakat tersebut terjadi pada siswa low vision maka hal tersebut akan menambah rangkaian problematika yang dihadapi oleh siswa low vision. Dengan adanya pandangan negatif dari masyarakat yang ada di lingkungan sekitarnya, siswa low vision akan 32

22 semakin kesulitan dalam upaya menemukan eksistensi dirinya serta dalam upaya mengaktualisasikan diri. 5. Problematika Ekonomi Siswa Low Vision Problematika dalam segi ekonomi umumnya terjadi pada setiap anak berkebutuhan khusus termasuk siswa low vision. Siswa low vision secara ekonomi akan terbebani biaya pengobatan dan perawatan serta upaya untuk memperbaiki kemampuan penglihatannya. Upaya memeriksakan dan memperbaiki kemampuan penglihatan bagi siswa low vision bisa dilakukan secara medis atau dengan menggunakan alat bantu penglihatan atau dengan kedua-duanya. Namun upaya tersebut akan membuthkan biaya yang tidak sedikit, sehingga secara ekonomi siswa low vision akan mempunyai beban tambahan. Apalagi bagi siswa low vision yang disebabkan oleh penyakit bersipat progresif, biaya yang dibutuhkan bukan hanya sekedar pemeriksaan saja atau dalam mendapatkan alat bantu untuk memperbaiki kemampuan penglihatannya tapi juga membutuhkan biaya untuk pengobatan dan pemeriksaan berkala sehingga penyakit mata yang progresif tersebut tidak semakin mengurangi kemampuan penglihatannya. Lebih jauh lagi problematika ekonomi siswa low vision yaitu jika kelak mereka menyelesaikan sekolah dan harus kembali kepada masyarakat, tentunya mereka membutuhkan pekerjaan sebagai sumber penghidupan. Biasanya mereka akan lebih mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan atau profesi dibandingkan dengan mereka yang awas, 33

23 karena profesi atau pekerjaan yang dapat dilakukan oleh mereka harus disesuaikan dengan kondisi kemampuan penglihatannya. F. Pembelajaran Siswa Low Vision Di Sekolah Dasar Umum Dilihat dari sudut pandang pendidikan luar biasa, tidak setiap siswa low vision membutuhkan kelas khusus, sebagian siswa low vision hanya membutuhkan program khusus atau layanan khusus tanpa kelas khusus (Hosni, 2002). Kompleksitas kebutuhan layanan pembelajaran bagi siswa low vision menuntut adanya modifikasi proses pembelajaran bagi siswa low vision. Berikut akan dijelaskan tentang pembelajaran, pendekatan, dan bantuan bagi siswa low vision yang dapat dilakukan di sekolah umum. 1. Pembelajaran a. Konsep Dasar Pembelajaran Pembelajaran merupakan proses komunikasi transaksional yang bersifat timbal balik, baik antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Ibrahim dkk., 2002: 48). Pada proses pembelajaran mencakup aktifitas belajar, mengajar, tujuan pembelajaran dan evaluasi. Belajar merupakan serangkaian upaya untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan dan sikap serta nilai siswa, baik 34

24 kemampuan intelektual, sosial, afektif, maupun psikomotor (Ibrahim dan Syaodih, 1996: 35). Secara sempit mengajar diartikan sebagai proses penyampaian pengetahuan kepada siswa. Secara lebih luas mengajar diartikan sebagai segala kegiatan menciptakan situasi agar siswa belajar (Ibrahim dan Syaodih, 1996: 42). Tujuan pembelajaran merupakan rumusan prilaku yang telah ditetapkan sebelumnya untuk menjadi milik dan harus nampak pada diri siswa sebagai akibat dari perbuatan belajar yang telah dilakukan. Evaluasi merupakan alat ukur untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran (Ibrahim dkk., 2002: 48). Dalam proses pembelajaran, guru menempati posisi kunci dan strategis, karena guru bertanggung jawab untuk menciptakan suasana belajar yang kondusif dan menyenangkan bagi siswa sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, dalam pembelajaran yang terjadi adalah proses sebab akibat. Guru sebagai pengajar merupakan sebab utama terjadinya proses belajar bagi siswa, meskipun tidak semua perbuatan siswa sebagai akibat guru mengajar. Siswa sebagai peserta didik merupakan subjek utama dalam proses pembelajaran di sekolah. Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran banyak tergantung pada kesiapan dan cara belajar yang dilakukan oleh 35

25 siswa. Konsep pembelajaran dijelaskan secara sistematis melalui bagan oleh Ibrahim dkk. (2002: 49) sebagai berikut. Bagan 2.2 Konsep dasar pembelajaran (Ibrahim dkk., 2002: 49) MENGAJAR Guru HUBUNGAN SEBAB AKIBAT (Komunikasi Transaksional) BELAJAR Siswa Menyampaikan Memotivasi Membina Memonitor Mengevaluasi Merehabilitasi TUJUAN Universal Nasional Institusional Kurikuler Instruksional PERUBAHAN PRILAKU Kognitif Afektif Psikomotor BENTUK KEGIATAN BELAJAR SUMBER-MEDIA-BAHAN AJAR b. Mekanisme Pembelajaran Ibrahim dkk., (2002: 49-50) menjelaskan tentang mekanisme pembelajaran yang harus dilakukan dibagi menjadi empat tahap. Keempat tahap yang dimaksud yaitu; tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap evaluasi, dan tahap tindak lanjut. 36

26 1) Tahap Persiapan Pada tahap persiapan pembelajaran, guru dituntut untuk dapat melakukan berbagai persiapan dan penguasaan maksimal. Seorang guru profesional akan menyiapkan pembelajaran yang setidaknya meliputi; Tujuan, kegiatan belajar siswa, metode, media, sumber, dan evaluasi. 2) Tahap Pelaksanaan Pada tahap pelaksanaan pembelajaran, pengetahuan, kemampuan dan keterampilan guru sangat penting bagi seorang guru untuk memandu kegiatan belajar siswa agar dinamika pembelajaran menjadi dinamis. Walaupun demikian, keberhasilan banyak ditentukan oleh sikap dan cara belajar siswa, baik secara perorangan maupun kelompok. Tersedianya media pembelajaran yang sesuai akan sangat menunjang keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran. 3) Tahap Evaluasi Tahap evaluasi merupakan alat yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan proses belajar siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Di samping itu, hasil evaluasi juga dapat digunakan untuk mengetahui berbagai kekurangan yang harus diperbaiki dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan. 37

27 Evaluasi yang baik adalah evaluasi yang dapat dijadikan sebagai alat ukur. Oleh karenanya, evaluasi harus tepat (valid), dapat dipercaya (reliable), dan memadai (adequate). 4) Tahap Tindak Lanjut Tindak lanjut dari proses pembelajaran dapat dibagi menjadi dua, yaitu: a) Promosi Promosi adalah penetapan untuk melangkah lebih lanjut atas keberhasilan belajar siswa. b) Rehabilitasi Rehabilitasi adalah perbaikan atas kekurangan yang telah terjadi dalam proses pembelajaran, khususnya apabila terjadi tingkat keberhasilan siswa yang kurang memadai. c. Komponen Pembelajaran Komponen pembelajaran akan memberikan pengaruh yang sangat besar dan sangat menentukan tingkat keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran. Ibrahim dkk., (2002: 51) menyebutkan dan menjelaskan berbagai komponen pembelajaran, yaitu: 1) Raw input Raw input merupakan kondisi dan keberadaan siswa yang mengikuti kegiatan pembelajaran. Beberapa hal yang terkait dengan raw input diantaranya; kapasitas dasar siswa, bakat 38

28 khusus, motivasi, minat, kematangan dan kesiapan, sikap, dan kebiasaan. 2) Instrumental input Instrumental input merupakan sarana dan prasarana yang terkait dengan proses pembelajaran, dalam hal ini terkait dengan kualitas, kelengkapan, efektifitas dan penggunaan. Instrumental input terdiri dari; guru, metode dan teknik, media, bahan dan sumber belajar, program, dan lain-lain. 3) Environmental input Situasi dan keberadaan lingkungan baik secara fisik, sosial, maupun budaya dimana kegiatan pembelajaran dilakukan akan ikut berpengaruh dalam proses mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. 4) Expected input Berdasarkan rumusan normatif yang harus dimiliki oleh siswa setelah mengikuti proses pembelajaran, maka expected output ini perlu dijabarkan dalam rumusan yang lebih operasioanal, baik yang menggambarkan aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor. d. Suasana Pembelajaran Suasana pembelajaran akan berjalan dengan optimal jika guru sebagai pemandu proses pembelajaran memiliki kemampuan dan 39

29 keterampilan untuk dapat menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan. Ibrahim dkk., (2002: 51-52) menyebutkan beberapa hal utama yang perlu dilakukan oleh guru dalam menyampaikan bahan ajar dan memelihara suasana pembelajaran, diantaranya yaitu: 1) Kejelasan guru dalam menyampaikan, menginformasikan, dan menjabarkan materi atau bahan ajar yang disesuaikan dengan tingkat kematangan dan daya serap siswa. 2) Penggunaan bahasa dan kosakata yang sederhana dan kalimat yang benar. Kejelasan, intonasi, dan penyampaian yang atraktif akan menumbuhkan antusiasme siswa untuk memperhatiakn dan menyimak materi yang disampaikan. 3) Tetap menjaga dan mengarahkan pembahasan materi pelajaran pada fokus materi pelajaran yang akan disampaikan. 4) Dapat menghormati dan menghargai perbedaan dan keragaman pandangan dan kemampuan siswa. Perbedaan yang ada akan menjadi modal utama untuk menjaga kedinamisan proses pembelajaran. 5) Mampu menguasai dan mengendalikan kegiatan dan suasana pembelajaran. Guru harus bisa menghindari proses pembelajaran yang monoton, tidak terarah, atau dominasi dari siswa-siswa tertentu. 40

30 2. Pembelajaran Bagi Siswa Low Vision Pembelajaran bagi siswa low vision akan jauh lebih baik jika pembelajaran tersebut dilakukan dengan mengefisiensikan penggunaan penglihatan (eficiency in visual functioning) seperti dijelaskan Corn (1986: 99) student with low vision may learn to maximize their use of vision through a variety of approaches and instruksional system. Lebih lanjut Corn menjelaskan bahwa Eficiency in visual functioning refers to the ability to use vision to perform desired task. Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa siswa low vision dimungkinkan untuk belajar dengan berbagai pendekatan yang memaksimalkan penggunaan kemampuan penglihatannya. Efisiensi dalam penggunaan penglihatan disesuaikan dengan kemampuan penglihatan untuk mengerjakan tugas yang diinginkan. Pendekatan pembelajaran dengan menggunakan penglihatan bagi siswa low vision didasarkan pada model dimensi penggunaan penglihatan dari Corn (Corn s model of visual functioning) seperti tampak pada gambar berikut ini: 41

31 Gambar 2.1 Model dimensi penggunaan penglihatan dari Corn (Corn, 1986: 100) Dimensi pertama yaitu kemampuan yang dimiliki Individu (stored and available individuality) yang terdiri dari aspek-aspek kemampuan; kognitif (cognition), Integrasi perkembangan sensori (sensory development integration), persepsi (perception), keadaan psikologis (psychological makeup), dan keadaan fisik (physical makeup). Dimensi ke dua adalah kemampuan penglihatan (visual ability) yang terdiri dari aspek-aspek kemampuan; ketajaman (acuity), lantang pandang (visual fields), motilitas (motility), fungsi-fungsi pada otak (brain functions), dan persepsi cahaya dan warna (light & color perception). 42

32 Dimensi yang ke tiga adalah pengaruh lingkungan (environment cues) yang terdiri dari; warna (color), kekontrasan (contrast), waktu (time), ruang (space), dan pencahayaan (illumination). Berdasarkan model dimensi penggunaan penglihatan pada siswa low vision dari Corn seperti yang telah dijelaskan di atas, Corn (1986: ) menyampaikan tiga pendekatan pembelajaran yang dapat dilakukan bagi siswa low vision dengan mengefisiensikan penggunaan penglihatan, yaitu: a. Program stimulasi penglihatan (vision stimulation programs) Program ini digunakan untuk menstimulasi siswa low vision yang memiliki sisa penglihatan sangat minim dan tidak berkembang. Program stimulasi penglihatan bertujuan untuk menstimulasi sisa penglihatan siswa low vision agar dapat terangsang, agar siswa low vision sadar bahwa walaupun sisa penglihatannya sangat minim namun masih dapat digunakan. b. Latihan efisiensi penglihatan (visual eficiency training) Latihan efisiensi penglihatan bertujuan untuk melatih siswa low vision agar dapat memfungsikan penglihatannya dalam situasi pendidikan dan interaksi dengan lingkungan. Latihan efisiensi penglihatan mengarahkan siswa low vision untuk belajar menentukan pola dari stimulus yang diterimanya, membedakan garis besar dan isi dari objek yang akhirnya ditransfer dalam bentuk gambar dua dimensi dan simbol. 43

33 c. Pengajaran penggunaan sisa penglihatan (vision utilitazation intruction) Pengajaran dengan penggunaan sisa penglihatan adalah sebuah upaya pengajaran dengan memberikan bantuan atau koreksi, sehingga proses pembelajaran bagi siswa low vision dapat memaksimalkan penglihatan yang dimilikinya. 3. Bantuan Bagi Siswa Low Vision Bantuan bagi siswa low vison dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu bantuan optikal dan bantuan nonoptikal. a. Bantuan Optikal Bantuan optikal adalah dengan menempatkan alat bantu lensa antara mata dengan objek yang dilihat. Misalnya dengan kacamata, kaca pembesar, atau teleskop, atau dengan lensa alat bantu yang bersifat elektronik, misalnya Closed Circuit Television (CCTVs). 1) Kacamata dan kaca pembesar Kaca mata digunakan untuk membantu memperbaiki kemampuan penglihatan siswa low vision baik dari segi kemampuan ketajaman penglihatannya maupun segi lantang pandang. Untuk membantu siswa low vision yang termasuk kelainan myopia, maka digunakan lensa minus, untuk siswa low vision dengan kelainan hypermetropia maka digunakan lensa plus. Bagi siswa untuk kelainan lantang pandang, maka digunakan lensa 44

34 sylindris. Atau jika mengalami kombinasi dua kelainan dari tiga jenis kelainan tersebut, maka digunakan lensa kombinasi pula. 2) Teleskop Teleskop digunakan bagi siswa low vision yang tidak dapat terbantu dengan kaca mata atau kaca pembesar. Teleskop mengahasilkan objek yang dapat dilihat jauh lebih besar dan lebih detail daripada hanya sekedar dengan bantuan kaca mata atau kaca pembesar. 3) CCTVs CCTVs berfungsi untuk memperbesar objek melalui transfer objek ke monitor (viewscan) dengan ukuran yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan melalui fungsi fiberoptics. CCTs juga mempunyai fungsi coloreader atau fungsi menampilkan warna pada tulisan sesuai warna tulisan aslinya. b. Bantuan Nonoptikal Bantuan nonoptikal berupa modifikasi lingkungan belajar dimana proses pembelajaran bagi siswa low vision dilaksanakan. Modifikasi lingkungan belajar juga bisa dilakukan dengan menyediakan sarana belajar dan media pembelajaran yang dimodifikasi sehingga sesuai dengan kebutuhan siswa low vision dalam proses belajar mengajar. Modifikasi lingkungan dapat dilakukan dengan memodifikasi warna, pencahayaan, kekontrasan, waktu, dan hubungan ruang. Sedangkan penyediaan sarana belajar 45

35 yang dimodifikasi diantaranya adalah penyangga buku (reading stand) yang ketinggiannya dan jaraknya dapat disesuaikan dengan kebutuhan siswa low vision. Modifikasi media pembelajaran adalah dengan memperhatikan kesesuaian kekontrasan warna dan ukuran media pembelajaran yang digunakan. 1) Kekontrasan Pada aspek kekontrasan, modifikasi yang dilakukan pada siswa low vision harus memperhatikan jenis warna, determinasi warna, dan intensitas dari warna itu sendiri. Kekontrasan yang baik akan didapat dengan menempatkan warna yang benar-benar berbeda, misalnya hitam di atas putih, merah atau biru di atas kuning jauh lebih baik daripada misalnya menempatkan biru tua di atas biru muda atau hijau. Intensitas warna juga perlu diperhatikan, dalam hal ini adalah kecerahan dari warna yang digunakan, warna yang cerah akan jauh lebih membantu bagi siswa low vision. Misalnya merah, biru, hijau, dan kuning daripada hanya sekedar hitam, putih, dan warna-warna kelabu lainnya. 2) Pencahayaan Dalam memodifikasi pencahayaan bagi siswa low vision ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu intensitas dan penempatan sumber cahaya. 46

36 Intensitas cahaya disesuaikan dengan kebutuhan siswa low vision. Siswa low vision yang tingkat ketajaman penglihatannya lebih ringan maka cahaya tidak harus sangat terang, sebaliknya bagi siswa low vision dengan ketajaman penglihatan lebih berat, maka cahaya yang lebih terang sangat dibutuhkan. Penempatan sumber cahaya bertujuan untuk mengatur arah datang cahaya, usahakan agar sumber cahaya berada di belakang siswa low vision dan objek yang harus dilihat, sehingga arah datang cahaya tidak menyebabkan rasa silau bagi siswa low vision. 3) Ukuran Suatu objek dapat dilihat oleh siswa low vision jika ukuran objek tersebut sesuai dengan ketajaman penglihatannya. Bantuan optikal sendiri di samping memperjelas objek juga bertujuan untuk memperbesar ukuran objek. Jika memungkinkan, ukuran objek yang harus dilihat oleh siswa low vision baik media pembelajaran maupun ukuran tulisan harus lebih besar dari ukurannormal. 4) Hubungan ruang Hubungan ruang adalah dengan memperhatikan jarak yang dibutuhkan oleh seorang siswa low vision untuk dapat melihat suatu objek dengan jelas. Jarak yang dimaksud adalah jarak 47

37 antara tempat siswa low vision berada dengan tempat objek yang akan dilihat. Jarak yang baik dan bisa membantu siswa low vision adalah jarak yang sesuai dengan kemampuan titik fiksasi pada penglihatan siswa low vision itu sendiri. Berikan jarak sedekat mungkin jika itu memang dibutuhkan oleh siswa low vision. Pengaturan jarak baca untuk membaca buku bagi siswa low vision juga dapat dimodifikasi dengan menggunakan sarana belajar tertentu, misalnya penyangga buku yang dapat diatur ketinggiannya (reading stand), sehingga posisi duduk siswa low vision tetap ideal tanpa harus duduk dengan posisi membungkuk di atas meja. 5) Waktu Hambatan dalam penglihatan membuat siswa low vision membutuhkan waktu yang lebih banyak dalam menyelesaikan tugas-tugas tertentu, terutama tugas-tugas yang berkaitan dengan pengamatan detail dan spesifik pada objek yang dilihat, sehingga waktu yang diberikan bagi siswa low vision dalam mengerjakan suatu tugas harus lebih banyak dibandingkan dengan waktu yang diberikan pada siswa biasa lainnya. 48

BAB I PENDAHULUAN. Para pendidik mempunyai tanggung jawab besar untuk membantu siswa

BAB I PENDAHULUAN. Para pendidik mempunyai tanggung jawab besar untuk membantu siswa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Para pendidik mempunyai tanggung jawab besar untuk membantu siswa menjadi manusia yang berkembang secara utuh. Salah satu bantuan yang diberikan kepada mereka

Lebih terperinci

LAYANAN TERPADU LOW VISION DALAM MENDUKUNG INKLUSI

LAYANAN TERPADU LOW VISION DALAM MENDUKUNG INKLUSI LAYANAN TERPADU LOW VISION DALAM MENDUKUNG INKLUSI (Model Pusat Layanan Terpadu Low Vision YPWG kerjasama dengan Dinas Pendidikan Jawa Barat dan RS Mata Cicendo) Irham Hosni (Disampaikan pada Konferensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siswa, karena kegiatan membaca merupakan prasyarat dalam menguasai. berbagai ilmu pengetahuan. Berbagai ilmu pengetahuan memerlukan

BAB I PENDAHULUAN. siswa, karena kegiatan membaca merupakan prasyarat dalam menguasai. berbagai ilmu pengetahuan. Berbagai ilmu pengetahuan memerlukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membaca merupakan suatu kebutuhan yang fundamental bagi seorang siswa, karena kegiatan membaca merupakan prasyarat dalam menguasai berbagai ilmu pengetahuan.

Lebih terperinci

TUNA NETRA NUR INDAH PANGASTUTI

TUNA NETRA NUR INDAH PANGASTUTI TUNA NETRA NUR INDAH PANGASTUTI TUNANETRA Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan low vision.

Lebih terperinci

KONSEP DASAR LOW VISION DAN KEBUTUHAN LAYANANNYA

KONSEP DASAR LOW VISION DAN KEBUTUHAN LAYANANNYA KONSEP DASAR LOW VISION DAN KEBUTUHAN LAYANANNYA Irham Hosni (Disampaikan pada pelatihan guru Low Vision Se Jawa Barat di hotel Naripan Bandung, yang diselenggarakan oleh UPT BPG PLB Dinas Pendidikan Prop.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan analisis data penelitian yang telah dipaparkan pada bab

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan analisis data penelitian yang telah dipaparkan pada bab BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan analisis data penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kemampuan membaca

Lebih terperinci

Dari pengertian WHO diatas tentang Low Vision dapat ditangkap hal sebagai berikut:

Dari pengertian WHO diatas tentang Low Vision dapat ditangkap hal sebagai berikut: A. Pokok-Pokok Perkuliahan Low Vision Oleh Drs. Ahmad Nawawi Sub-sub Pokok Bahasan : 1. Definisi dan Prevalensi 2. Ciri-ciri Anak Low Vision 3. Klasifikasi Low Vision 4. Latihan Pengembangan Penglihatan

Lebih terperinci

KETERAMPILAN DASAR DALAM PENANGANAN PENYANDANG LOW VISION. Irham Hosni PLB FIP UPI PUSAT PELAYANAN TERPADU LOW VISION BANDUNG

KETERAMPILAN DASAR DALAM PENANGANAN PENYANDANG LOW VISION. Irham Hosni PLB FIP UPI PUSAT PELAYANAN TERPADU LOW VISION BANDUNG KETERAMPILAN DASAR DALAM PENANGANAN PENYANDANG LOW VISION Irham Hosni PLB FIP UPI PUSAT PELAYANAN TERPADU LOW VISION BANDUNG Membaca, menulis, mengamati dengan jarak sangat dekat Berjalan banyak tersandung

Lebih terperinci

BAB II PENERAPAN JARIMATIKA DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR PERKALIAN DASAR SISWA TUNANETRA

BAB II PENERAPAN JARIMATIKA DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR PERKALIAN DASAR SISWA TUNANETRA BAB II PENERAPAN JARIMATIKA DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR PERKALIAN DASAR SISWA TUNANETRA A. Jarimatika Ama (2010) dalam http://amapintar.wordpress.com/jarimatika/ mengemukakan bahwa jarimatika merupakan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN STRATEGI PEMBELAJARANNYA. Oleh Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto 1

IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN STRATEGI PEMBELAJARANNYA. Oleh Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto 1 IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN STRATEGI PEMBELAJARANNYA Oleh Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto 1 Abstract: Artikel ini dimaksudkan untuk membantu para guru dalam mengidentifikasi anak berkebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan membaca yang diperoleh pada tahap membaca permulaan akan

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan membaca yang diperoleh pada tahap membaca permulaan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemampuan membaca yang diperoleh pada tahap membaca permulaan akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan membaca lanjut. Kemampuan membaca permulaan mendasari

Lebih terperinci

KONSEP DASAR BIMBINGAN JASMANI ADAPTIF BAGI TUNANETRA. Irham Hosni PLB FIP UPI

KONSEP DASAR BIMBINGAN JASMANI ADAPTIF BAGI TUNANETRA. Irham Hosni PLB FIP UPI KONSEP DASAR BIMBINGAN JASMANI ADAPTIF BAGI TUNANETRA Irham Hosni PLB FIP UPI A. Modifikasi Pembelajaran TUNANETRA Dalam merancang pembelajaran atau Bimbingan Rehabilitasi Tunanetra maka kita harus menemukan

Lebih terperinci

PENTINGNYA PENGELOLAAN KELAS DALAM PEMBELAJARAN

PENTINGNYA PENGELOLAAN KELAS DALAM PEMBELAJARAN Edu-Bio; Vol. 3, Tahun 2012 PENTINGNYA PENGELOLAAN KELAS DALAM PEMBELAJARAN HUSNI EL HILALI Abstrak Kemampuan mengelola kelas menjadi salah satu ciri guru yang profesional. Pengelolaan kelas diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Rika Saptaningrum, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Rika Saptaningrum, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemerintah Indonesia berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada seluruh anak untuk memperoleh layanan pendidikan tanpa adanya diskriminasi, yaitu pendidikan

Lebih terperinci

PRINSIP DAN PENGEMBANGAN KETERAMPILAN ORIENTASI BAGI TUNANETRA Irham Hosni

PRINSIP DAN PENGEMBANGAN KETERAMPILAN ORIENTASI BAGI TUNANETRA Irham Hosni PRINSIP DAN PENGEMBANGAN KETERAMPILAN ORIENTASI BAGI TUNANETRA Irham Hosni Dosen Jurusan PLB Direktur Puslatnas OM PLB UPI DISAMPAIKAN PADA DIKLAT PROGRAM KHUSUS ORIENTAS DAN MOBILITAS Hotel BMI Lembang,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lebih dari sekedar realisasi satu sasaran, atau bahkan beberapa sasaran. Sasaran itu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lebih dari sekedar realisasi satu sasaran, atau bahkan beberapa sasaran. Sasaran itu BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keberhasilan Keberhasilan adalah hasil serangkaian keputusan kecil yang memuncak dalam sebuah tujuan besar dalam sebuah tujuan besar atau pencapaian. keberhasilan adalah lebih

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIS

BAB II KAJIAN TEORETIS 16 BAB II KAJIAN TEORETIS 2.1. Konsep Belajar 2.1.1. Pengertian Belajar Slameto (2010, h. 1) mengatakan, Belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku

Lebih terperinci

MANAJEMEN PEMBELAJARAN DALAM KONTEKS PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH

MANAJEMEN PEMBELAJARAN DALAM KONTEKS PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH MANAJEMEN PEMBELAJARAN DALAM KONTEKS PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH Oleh: Dr. H. Yoyon Bahtiar Irianto, Drs., M.Pd. Hakekat pembelajaran sebenarnya menunjuk pada fungsi pendidikan sebagai wahana untuk menjadikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional tentunya memerlukan pendidikan sebaik dan setinggi

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional tentunya memerlukan pendidikan sebaik dan setinggi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu sebagai salah satu sumber daya yang sangat penting dalam rangka pembangunan nasional tentunya memerlukan pendidikan sebaik dan setinggi mungkin agar

Lebih terperinci

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP

2015 STUD I D ESKRIPTIF PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PEND IDIKAN JASMANI D I SLB-A CITEREUP BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap negara yang sudah merdeka sudah sepatutnya negara tersebut mampu untuk membangun dan memperkuat kekuatan sendiri tanpa harus bergantung pada negara lain. Maka

Lebih terperinci

BAB II TUNANETRA (LOW VISION)

BAB II TUNANETRA (LOW VISION) BAB II TUNANETRA (LOW VISION) 2.1. Difabel. Difabel adalah sekelompok masyarakat yang memiliki kemampuan yang berbeda dengan masyarakat non-difabel, ada yang memiliki kelaianan pada fisiknya saja, ada

Lebih terperinci

BAB II MEMBACA PERMULAAN PADA SISWA LOW VISION DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGINYA

BAB II MEMBACA PERMULAAN PADA SISWA LOW VISION DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGINYA BAB II MEMBACA PERMULAAN PADA SISWA LOW VISION DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGINYA Pada bab ini disajikan beberapa teori yang akan dipergunakan sebagai landasan bagi pembahasan hasil temuan di lapangan.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Asep Saputra, 2014 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

BAB 1 PENDAHULUAN. Asep Saputra, 2014 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya Manusia dalam melaksanakan fungsi-fungsi kehidupan tidak lepas dan tidak akan lepas dari pendidikan, karena pendidikan berfungsi untuk meningkatkan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KELAS DAN IMPLIKASINYA DALAM PENGEMBANGAN RANCANGAN PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

PENGELOLAAN KELAS DAN IMPLIKASINYA DALAM PENGEMBANGAN RANCANGAN PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PENGELOLAAN KELAS DAN IMPLIKASINYA DALAM PENGEMBANGAN RANCANGAN PELAKSANAAN PEMBELAJARAN Husni El Hilali Abstraksi Pengelolaan kelas memiliki peran yang sangat penting dalam proses pendidikan. Proses pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Manusia adalah mahkluk biologis, psikologis, sosial,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Manusia adalah mahkluk biologis, psikologis, sosial, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia adalah mahkluk biologis, psikologis, sosial, kultural, dan spiritual yang utuh dan unik, artinya yang merupakan satu kesatuan yang utuh dari aspek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. itu secara total maupun sebagian (low vision). Tunanetra berhak untuk

BAB I PENDAHULUAN. itu secara total maupun sebagian (low vision). Tunanetra berhak untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tunanetra adalah orang yang mengalami kerusakan pada mata, baik itu secara total maupun sebagian (low vision). Tunanetra berhak untuk hidup di lingkungan masyarakat

Lebih terperinci

PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA ANAK MELALUI PERMAINAN MAZE KATA DI TAMAN KANAK-KANAK PADANG ARTIKEL

PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA ANAK MELALUI PERMAINAN MAZE KATA DI TAMAN KANAK-KANAK PADANG ARTIKEL PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA ANAK MELALUI PERMAINAN MAZE KATA DI TAMAN KANAK-KANAK PADANG 1 ARTIKEL Oleh NANDA ERIKA NIM : 2009/51064 JURUSAN PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang bisa menjadi apa yang dia inginkan serta dengan pendidikan pula

BAB I PENDAHULUAN. orang bisa menjadi apa yang dia inginkan serta dengan pendidikan pula BAB I PENDAHULUAN.. Latar Belakang Penelitian Telah kita ketahui bersama bahwasannya pendidikan merupakan hal yang paling penting dalam semua aspek kehidupan, karena dengan pendidikan semua orang bisa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang. Negara Republik Indonesia tahun 1945 berfungsi mengembangkan

I. PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang. Negara Republik Indonesia tahun 1945 berfungsi mengembangkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Belajar Pengertian Belajar Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Belajar Pengertian Belajar Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar 5 BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Belajar 2.1.1 Pengertian Belajar Dalam proses pembelajaran, berhasil tidaknya pencapaian tujuan banyak dipengaruhi oleh bagaimana proses belajar yang dialami oleh siswa. Oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan meliputi rencana dan proses yang akan menentukan hasil yang ingin di capai sebagaimana termasuk dalam UU No. 20 Tahun 2003, pasal 1 ayat (1) tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Seperti halnya

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Seperti halnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah sebuah usaha yang tidak terlepas dari kehidupan manusia yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Seperti halnya dengan kebutuhan lainnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mella Tania K, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mella Tania K, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran seni khususnya seni tari pada saat ini sudah banyak dipelajari diberbagai lembaga pendidikan formal maupun non formal, seperti sekolah negri atau

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang menginginkan tubuh yang sempurna. Banyak orang yang mempunyai anggapan bahwa penampilan fisik yang menarik diidentikkan dengan memiliki tubuh yang

Lebih terperinci

GUMELAR ABDULLAH RIZAL,

GUMELAR ABDULLAH RIZAL, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praktek pendidikan merupakan kegiatan mengimplementasikan konsep prinsip, atau teori oleh pendidik dengan terdidik dalam berinteraksi yang berlangsung dalam suasana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada bagian pendahuluan ini mencakup beberapa hal pokok yamg terdiri dari latar

I. PENDAHULUAN. Pada bagian pendahuluan ini mencakup beberapa hal pokok yamg terdiri dari latar 1 I. PENDAHULUAN Pada bagian pendahuluan ini mencakup beberapa hal pokok yamg terdiri dari latar belakang belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan pengembangan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kecerdasan, pengendalian diri dan keterampilan untuk membuat dirinya berguna di

BAB I PENDAHULUAN. kecerdasan, pengendalian diri dan keterampilan untuk membuat dirinya berguna di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana secara etis, sistematis, intensional dan kreatif dimana peserta didik mengembangkan potensi diri, kecerdasan, pengendalian

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS UU No.20 Thn.2003 Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 Ayat (2) : Warga Negara yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia

1 Universitas Indonesia 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ketika seorang ibu sedang mengandung, tentunya ia mengharapkan anak yang ada dalam kandungannya itu akan lahir dengan sehat dan sempurna. Biasanya para orangtua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Putri Shalsa Novita, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Putri Shalsa Novita, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan rancangan kegiatan yang paling banyak berpengaruh terhadap perubahan perilaku seseorang dan masyarakat luas. Menurut UU Sisdiknas tahun

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. STAD (Student Teams Achievement Division) merupakan satu sistem

BAB II KAJIAN PUSTAKA. STAD (Student Teams Achievement Division) merupakan satu sistem 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD STAD (Student Teams Achievement Division) merupakan satu sistem belajar kelompok yang di dalamnya siswa di bentuk ke dalam kelompok yang

Lebih terperinci

2014 PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF TIPE KUIS TIM UNTUK ENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIS DAN SELF-CONFIDENCE SISWA SMP

2014 PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN AKTIF TIPE KUIS TIM UNTUK ENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN MATEMATIS DAN SELF-CONFIDENCE SISWA SMP BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kualitas suatu bangsa ditentukan oleh kualitas sumber daya manusianya. Manusia sebagai pemegang dan penggerak utama dalam menentukan kemajuan suatu bangsa. Melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia terlahir di dunia dengan kekurangan dan kelebihan yang berbedabeda.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia terlahir di dunia dengan kekurangan dan kelebihan yang berbedabeda. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia terlahir di dunia dengan kekurangan dan kelebihan yang berbedabeda. Tidak seorangpun terlewatkan dua hal tersebut, seperti mata uang yang selalu memiliki dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. Pada bab ini diuraikan tentang: a) pengaruh kreativitas mengajar guru SKI

BAB V PEMBAHASAN. Pada bab ini diuraikan tentang: a) pengaruh kreativitas mengajar guru SKI 176 BAB V PEMBAHASAN Pada bab ini diuraikan tentang: a) pengaruh kreativitas mengajar guru SKI terhadap prestasi belajar siswa b) pengaruh kemampuan guru SKI dalam mengelola kelas terhadap prestasi belajar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. dalam proses refraksi ini adalah kornea, lensa, aqueous. refraksi pada mata tidak dapat berjalan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. dalam proses refraksi ini adalah kornea, lensa, aqueous. refraksi pada mata tidak dapat berjalan dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mata merupakan suatu organ refraksi yang berfungsi untuk membiaskan cahaya masuk ke retina agar dapat diproses oleh otak untuk membentuk sebuah gambar. Struktur

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Manajemen Sumber Daya Manusia

II. TINJAUAN PUSTAKA Manajemen Sumber Daya Manusia II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Manajemen Sumber Daya Manusia Menurut Mangkunegara (2002) menyatakan Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) adalah sebagai suatu pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya yang ada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ciputat Press, 2005), h Syafaruddin, dkk, Manajemen Pembelajaran, Cet.1 (Jakarta: Quantum Teaching, PT.

BAB I PENDAHULUAN. Ciputat Press, 2005), h Syafaruddin, dkk, Manajemen Pembelajaran, Cet.1 (Jakarta: Quantum Teaching, PT. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Madrasah atau sekolah merupakan sebagai salah satu wahana transformasi sosial budaya dalam lingkungan masyarakat yang eksistensinya tak dapat dipungkiri lagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Penerapan Model Pembelajaran Active Learning Tipe Quiz Team Dengan Keterampilan Bertanya Probing Question

BAB I PENDAHULUAN Penerapan Model Pembelajaran Active Learning Tipe Quiz Team Dengan Keterampilan Bertanya Probing Question 1 BAB I PENDAHULUAN Penerapan Model Pembelajaran Active Learning Tipe Quiz Team Dengan Keterampilan Bertanya Probing Question untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar Siswa pada Pembelajaran PKn (Penelitian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIS. Motivasi berasal dari kata motif yang artinya daya upaya yang mendorong seseorang

BAB II KAJIAN TEORETIS. Motivasi berasal dari kata motif yang artinya daya upaya yang mendorong seseorang BAB II KAJIAN TEORETIS 2.1 Kajian Teoretis 2.1.1 Pengertian Motivasi Belajar Motivasi berasal dari kata motif yang artinya daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan

Lebih terperinci

UPAYA PEMBERDAYAAN PESERTA DIDIK ISTIMEWA MELALUI PROGRAM AKSELERASI OLEH PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

UPAYA PEMBERDAYAAN PESERTA DIDIK ISTIMEWA MELALUI PROGRAM AKSELERASI OLEH PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN UPAYA PEMBERDAYAAN PESERTA DIDIK ISTIMEWA MELALUI PROGRAM AKSELERASI OLEH TIM LABORATORIUM JURUSAN PSIKOLOGI TIM LABORATORIUM JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN Yang dimaksud dengan DEFINISI anak

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Manajemen Sumber Daya Manusia 2.1.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia Setelah mengemukakan latar belakang penelitian yang diantaranya memuat rumusan masalah dan ruang lingkup

Lebih terperinci

Negeri 2 Teupah Barat Kabupaten Simeulue Tahun Pelajaran 2014/2015. Oleh: PARIOTO, S.Pd 1 ABSTRAK

Negeri 2 Teupah Barat Kabupaten Simeulue Tahun Pelajaran 2014/2015. Oleh: PARIOTO, S.Pd 1 ABSTRAK 145 Upaya Meningkatkan Kualitas Guru Melalui Konsep Pembelajaran Learning Together Di Sma Negeri 2 Teupah Barat Kabupaten Simeulue Tahun Ajaran 2014/ /2015 Oleh: PARIOTO, S.Pd 1 ABSTRAK Pembelajaran learning

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fisik sebagai media utama pembelajaran. Bentuk-bentuk aktivitas fisik yang

BAB I PENDAHULUAN. fisik sebagai media utama pembelajaran. Bentuk-bentuk aktivitas fisik yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan jasmani merupakan pendidikan yang dilakukan melalui aktivitas fisik sebagai media utama pembelajaran. Bentuk-bentuk aktivitas fisik yang sesuai dengan muatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu sistem yang telah diatur dalam undang-undang. Tujuan pendidikan nasional

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu sistem yang telah diatur dalam undang-undang. Tujuan pendidikan nasional BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan bertujuan untuk mengembangkan kualitas manusia. Sebagai suatu usaha yang memiliki tujuan, maka pelaksanaannya harus berada dalam proses

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Media Kartu Bergambar 2.1.1 Pengertian Media Kartu Bergambar Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti perantara. Dengan demikian media dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Peranan guru dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Peranan guru dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan guru dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah sangat strategis. Walaupun perkembangan teknologi cukup pesat, sampai saat ini peranan guru sebagai pendidik,

Lebih terperinci

BAB III ANALISA MASALAH

BAB III ANALISA MASALAH BAB III ANALISA MASALAH 3.1 MASALAH FISIK MENYANGKUT PROGRAM FASILITAS 3.1.1 Organisasi Ruang Dan Alur Sirkulasi Sekolah Kegiatan belajar mengajar disekolah merupakan aktifitas rutin harian bagi seluruh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemerintah dalam rangka mewujudkan peningkatan kualitas pendidikan telah

I. PENDAHULUAN. Pemerintah dalam rangka mewujudkan peningkatan kualitas pendidikan telah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintah dalam rangka mewujudkan peningkatan kualitas pendidikan telah mengadakan perubahan besar pada kebijakan pada sektor pendidikan dalam berbagai aspek,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perancangan 1. Penjelasan Judul Perancangan Pendidikan PAUD saat ini sangatlah penting, sebab merupakan pendidikan dasar yang harus diterima anak-anak. Selain itu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya belajar merupakan serangkaian kegiatan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Budaya belajar merupakan serangkaian kegiatan dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Budaya belajar merupakan serangkaian kegiatan dalam melaksanakan tugas belajar yang dilakukan oleh siswa sehingga menjadi kebiasaan. Dalam pendidikan keberhasilan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa dapat diungkapkan secara lisan maupun tulisan. Penggunaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa dapat diungkapkan secara lisan maupun tulisan. Penggunaan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa dapat diungkapkan secara lisan maupun tulisan. Penggunaan bahasa perlu memiliki kemahiran dan penguasaan yang baik, agar apa yang disampaikan melalui

Lebih terperinci

Kreatifitas Guru Paud Dalam Kegiatan Belajar Mengajar

Kreatifitas Guru Paud Dalam Kegiatan Belajar Mengajar Kreatifitas Guru Paud Dalam Kegiatan Belajar Mengajar Cucu Sopiah FIP IKIP Veteran Semarang Email : cucu_sopiah@ymail.com ABSTRAK Kreativitas Guru PAUD sebagai faktor penting dalam pembelajaran pada PAUD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia dibekali kemampuan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Potensi merupakan kemampuan seseorang untuk menghasilkan ide-ide atau informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan salah satu aspek penting terhadap kemajuan suatu bangsa di dunia. Pendidikan diproses

Lebih terperinci

Bagaimana? Apa? Mengapa?

Bagaimana? Apa? Mengapa? ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ( A B K ) Bagaimana? Apa? Mengapa? PENGERTIAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ( A B K ) Anak Berkebutuhan Khusus adalah anak yang dalam pendidikan memerlukan pelayanan yang spesifik,

Lebih terperinci

adalah proses diterimanya rangsang (objek, kualitas, hubungan antar gejala, maupun

adalah proses diterimanya rangsang (objek, kualitas, hubungan antar gejala, maupun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Persepsi menurut Irwanto, et al (dalam Rangkuti & Anggaraeni, 2005), adalah proses diterimanya rangsang (objek, kualitas, hubungan antar gejala, maupun peristiwa) sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Penerapan Metode Inkuiri Berbasis Sains Teknologi Masyarakat Terhadap Hasil Belajar Hasil Belajar IPS

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Penerapan Metode Inkuiri Berbasis Sains Teknologi Masyarakat Terhadap Hasil Belajar Hasil Belajar IPS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan aspek penting dalam era globalisasi. Masalah globalisasi tidak hanya berakibat pada perekonomian dunia, masalah pokok yang dihadapi bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan utama dunia pendidikan adalah untuk memajukan suatu negara dari segala bidang dan aspek, tujuan ini tidak akan tercapai tanpa adanya sumber daya manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap anak memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan yang bermutu. Dengan karakteristik anak yang beragam penyelenggaraan pendidikan harus mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai perencanaan yang sangat menentukan bagi perkembangan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai perencanaan yang sangat menentukan bagi perkembangan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan usaha atau kegiatan yang disengaja untuk membantu, membina, dan mengarahkan manusia mengembangkan segala kemampuannya yang dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 29 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Kondisi Awal. Penelitian ini dilakukan di kelas I MI Miftahul Ulum Curah Keris Kalipang Kecamatan Grati Kabupaten Pasuruan Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pentingnya penyelenggaran pendidikan diupayakan untuk membangun

BAB I PENDAHULUAN. Pentingnya penyelenggaran pendidikan diupayakan untuk membangun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pentingnya penyelenggaran pendidikan diupayakan untuk membangun manusia yang memiliki kepribadian. Hal ini juga diwujudkan oleh pemerintah, dengan membangun

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dalam proses pembelajaran (Suparlan, 2004: 31). Di dunia

TINJAUAN PUSTAKA. seseorang dalam proses pembelajaran (Suparlan, 2004: 31). Di dunia 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gaya Belajar Gaya Belajar adalah cara atau pendekatan yang berbeda yang dilakukan oleh seseorang dalam proses pembelajaran (Suparlan, 2004: 31). Di dunia pendidikan, istilah gaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semua individu berhak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut sesuai

BAB I PENDAHULUAN. Semua individu berhak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut sesuai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semua individu berhak mendapatkan pendidikan. Hal tersebut sesuai dengan yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional Bab

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. laku individu melalui interaksi dengan lingkungan. Aspek tingkah laku tersebut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. laku individu melalui interaksi dengan lingkungan. Aspek tingkah laku tersebut BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Belajar Dan Pembelajaran Menurut Hamalik (2001:28), belajar adalah Sesuatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi dengan lingkungan. Aspek tingkah laku tersebut

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2007: 910), disebutkan bahwa. prestasi adalah penguasaan pengetahuan atau ketrampilan yang

BAB II KAJIAN TEORI. Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2007: 910), disebutkan bahwa. prestasi adalah penguasaan pengetahuan atau ketrampilan yang BAB II KAJIAN TEORI A. Prestasi Belajar 1. Pengertian Prestasi Menurut Poerwadarminta. W.J.S (2006: 915), prestasi adalah hasil yang telah dicapai dari yang telah dilakukan dan dikerjakan. Dalam Kamus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pendekatan pengajaran, yang semula lebih banyak bersifat tekstual berubah

BAB I PENDAHULUAN. dalam pendekatan pengajaran, yang semula lebih banyak bersifat tekstual berubah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berlakunya kurikulum 2004 berbasis kompetensi, yang telah direvisi melalui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut perubahan paradigma dalam pendidikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Kajian Teori BAB II TINJAUAN TEORITIS 1. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray a) Pengertian model pembelajaran kooperatif Two Stay Two Stray Menurut Isjoni (2010, h.15 ) model pembelajaran

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. oleh seorang guru adalah mengupayakan atau menciptakan kondisi belajar

BAB II KAJIAN TEORI. oleh seorang guru adalah mengupayakan atau menciptakan kondisi belajar 6 BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengelolaan Kelas 2.1.1 Pengertian Pengelolaan Kelas Dalam proses pembelajaran di kelas yang sangat urgen untuk dilakukan oleh seorang guru adalah mengupayakan atau menciptakan

Lebih terperinci

SUASANA PEMBELAJARAN YANG BAIK Oleh : Erwin Tanur, M.Si Widyaiswara Muda Pusdiklat BPS RI. Abstrak

SUASANA PEMBELAJARAN YANG BAIK Oleh : Erwin Tanur, M.Si Widyaiswara Muda Pusdiklat BPS RI. Abstrak SUASANA PEMBELAJARAN YANG BAIK Oleh : Erwin Tanur, M.Si Widyaiswara Muda Pusdiklat BPS RI Abstrak Widyaiswara memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan kualitas pembelajaran yang akan dilakukan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena di lembaga inilah setiap anggota masyarakat dapat mengikuti proses

BAB I PENDAHULUAN. karena di lembaga inilah setiap anggota masyarakat dapat mengikuti proses 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelenggarakan pendidikan secara baik, tertata dan sistimatis hingga proses yang terjadi didalamnya dapat menjadi suatu sumbangan besar bagi kehidupan sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mutu pendidikan, karena pendidikan merupakan sarana yang sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. mutu pendidikan, karena pendidikan merupakan sarana yang sangat penting 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan dan kemajuan suatu bangsa sangat di pengaruhi oleh mutu pendidikan, karena pendidikan merupakan sarana yang sangat penting untuk pembinaan, pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi fisik maupun mental yang sempurna. Namun pada kenyataannya tidak

BAB I PENDAHULUAN. kondisi fisik maupun mental yang sempurna. Namun pada kenyataannya tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Menjadi seseorang yang memiliki keterbatasan bukan keinginan atau pilihan hidup setiap manusia. Tentunya semua manusia ingin hidup dengan kondisi fisik maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sesuai dengan tujuan pendidikan yang dijelaskan dalam Undang-undang RI No.

I. PENDAHULUAN. Sesuai dengan tujuan pendidikan yang dijelaskan dalam Undang-undang RI No. 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sesuai dengan tujuan pendidikan yang dijelaskan dalam Undang-undang RI No. 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1 No.1, yang berbunyi:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kualitas pelaksanaan pendidikan di sekolah ditentukan oleh berbagai unsur,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kualitas pelaksanaan pendidikan di sekolah ditentukan oleh berbagai unsur, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kualitas pelaksanaan pendidikan di sekolah ditentukan oleh berbagai unsur, seperti guru, sarana pembelajaran, aktivitas siswa, kurikulum dan faktor lain seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pribadi manusia menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut,

BAB I PENDAHULUAN. pribadi manusia menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukkan pribadi manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi manusia menurut ukuran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjadikan manusia memiliki kualitas yang lebih baik.

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menjadikan manusia memiliki kualitas yang lebih baik. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang, untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring perkembangan jaman dan ilmu pengetahuan serta teknologi yang semakin pesat sekarang ini, menyebabkan semakin berkembangnya dunia pendidikan. Diperlukan

Lebih terperinci

resensi buku psikologi pendidikan

resensi buku psikologi pendidikan resensi buku psikologi pendidikan Resensi Buku oleh: charles Judul Buku Pengarang Penerbit : Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru : Muhibbin Syah : Remaja Rosdakarya (Bandung) Tahun Terbit : 2008

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. inggris perpustakaan dikenal dengan nama library. Library berasal dari bahasa Latin

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. inggris perpustakaan dikenal dengan nama library. Library berasal dari bahasa Latin BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Perpustakaan Perpustakaan berasal dari kata dasar pustaka. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kata pustaka memiliki arti kitab atau buku. Sedangkan dalam bahasa inggris

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Keterampilan Menulis Kalimat dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Keterampilan Menulis Kalimat dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Keterampilan Menulis Kalimat dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia 1. Pengertian Keterampilan Menulis. Menulis adalah salah satu standar kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa

Lebih terperinci

Gambaran peran guru..., Dewi Rahmawati, FPsi UI, PENDAHULUAN

Gambaran peran guru..., Dewi Rahmawati, FPsi UI, PENDAHULUAN 1.PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak-anak yang lahir ke dunia ini tidak semua dalam keadaan yang sama satu sama lain. Seperti yang telah kita ketahui bahwa selain ada anak yang memiliki perkembangan yang

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini akan dipaparkan simpulan dan saran yang berkenaan dengan hasil penelitian ini. A. SIMPULAN Berdasarkan analisis terhadap hasil pengolahan data, penulis membuat beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku yang relatif tetap. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku yang relatif tetap. Dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku yang relatif tetap. Dalam proses ini perubahan tidak terjadi sekaligus tetapi secara bertahap tergantung pada

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Prestasi Belajar 1. Pengertian Prestasi Belajar Matematika Prestasi belajar tidak dapat dipisahkan dari masalah belajar. Pada dasarnya, prestasi belajar merupakan hasil yang dicapai

Lebih terperinci

PERAN KELOMPOK KERJA GURU (KKG) DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI GURU SEKOLAH DASAR DI GUGUS 1 BARUGA KOTA KENDARI

PERAN KELOMPOK KERJA GURU (KKG) DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI GURU SEKOLAH DASAR DI GUGUS 1 BARUGA KOTA KENDARI PERAN KELOMPOK KERJA GURU (KKG) DALAM MENINGKATKAN KOMPETENSI GURU SEKOLAH DASAR JURNAL HASIL PENELITIAN SITI MURNI NUR G2G1 015 116 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2017 1 PERAN KELOMPOK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan masyarakat. Secara umum pendidikan sangat berperan dalam meningkatkan kualitas hidup. Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran saintifik dari kelas I sampai dengan kelas VI. Pembelajaran tematik

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran saintifik dari kelas I sampai dengan kelas VI. Pembelajaran tematik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kurikulum 2013 pada tingkat dasar menggunakan pendekatan pembelajaran saintifik dari kelas I sampai dengan kelas VI. Pembelajaran tematik saintifik mengedepankan

Lebih terperinci