BAB II MEMBACA PERMULAAN PADA SISWA LOW VISION DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGINYA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II MEMBACA PERMULAAN PADA SISWA LOW VISION DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGINYA"

Transkripsi

1 BAB II MEMBACA PERMULAAN PADA SISWA LOW VISION DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGINYA Pada bab ini disajikan beberapa teori yang akan dipergunakan sebagai landasan bagi pembahasan hasil temuan di lapangan. Teori-teori tersebut akan dipergunakan untuk menganalisis dan menarik hubungan dengan temuan-temuan penelitian. Teori-teori yang terkait pada penelitian ini mencakup: A. Membaca 1. Hakikat Kemampuan Membaca Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun W.J.S. Poerwadarminta yang diolah kembali oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2007:742), kemampuan diartikan sebagai kesanggupan, kecakapan, atau kekuatan. Sedangkan menurut Nurkhasanah dan Tumianto dalam Mulyadi (2009), kemampuan diartikan kesanggupan, kecakapan atau kekuatan. Dari dua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kemampuan adalah kesanggupan atau kecakapan untuk menguasai sesuatu yang sedang dihadapi. Kemampuan dalam pembelajaran membaca merupakan suatu hal yang harus dimiliki sebagai dasar untuk menguasai keterampilan membaca. Deny (Tarigan, 1979:10) berpendapat bahwa, Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media 11

2 kata-kata atau bahasa tulis. Sedangkan Rouf (Syafi i, 1999:7) menyatakan bahwa, Membaca adalah suatu proses yang bersifat fisik atau yang disebut proses mekanis, berupa kegiatan mengamati tulisan secara visual, sedangkan proses psikologis berupa kegiatan berpikir dalam mengolah informasi. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa membaca merupakan suatu kegiatan pengenalan dan pengidentifikasian bahasa tulis yang melibatkan kemampuan visual dan proses berfikir. 2. Membaca Permulaan Membaca permulaan merupakan suatu proses keterampilan dan kognitif. Proses keterampilan di sini menunjuk pada pengenalan dan penguasaan lambang-lambang fonem yang sudah dikenal untuk memahami makna suatu kata atau kalimat. Menurut Arifin (Kusnawanto, 2010), Membaca permulaan merupakan kegiatan awal untuk mengenal simbolsimbol fonetis. Pembelajaran membaca permulaan diberikan di kelas I dan II. Tujuannya adalah agar siswa memiliki kemampuan memahami dan menyuarakan tulisan dengan intonasi yang wajar, sebagai dasar untuk dapat membaca lanjut. Sedangkan sumber Depdikbud (TECHONLY13 S BLOG, 2009) menyatakan bahwa, Tujuan membaca permulaan di kelas I adalah agar siswa dapat membaca kata-kata dan kalimat sederhana dengan lancar dan tepat. 12

3 3. Metode Pengajaran Membaca Permulaan Menurut Abdurrahman (1999) ada dua kelompok metode pengajaran membaca, yaitu metode pengajaran membaca bagi anak pada umumnya dan metode pengajaran membaca khusus bagi anak yang mengalami kesulitan belajar. a. Metode Pengajaran Membaca bagi Anak pada Umumnya Berbagai metode yang umum digunakan oleh guru pada sekolah reguler adalah metode berikut ini: 1) Metode Membaca Dasar Menurut Learner dalam Abdurrahman (1999:215), Metode membaca dasar umumnya menggunakan pendekatan elektik yang menggabungkan berbagai prosedur untuk mengajarkan kesiapan, perbendaharaan kata, mengenal kata, pemahaman dan kesenangan membaca. Metode ini biasanya menggunakan satu paket buku dan sarana penunjang lainnya yang disusun dari taraf mudah ke taraf yang lebih sukar sesuai tingkatan kemampuan atau tingkat kelas anak, dan berkesinambungan dari kelas satu hingga ke kelas enam. Metoda ini sangat fleksibel karena tidak harus mengikuti prosedur tertentu. Metode pengajarannya yaitu memperkenalkan bunyi huruf atau membaca lebih awal. Isi bacaan disesuaikan dengan kondisi dari suatu etnik atau kondisi lingkungan tempat tinggal anak. 13

4 Metode ini sepertinya menjadi suatu pendekatan yang juga digunakan di Indonesia. 2) Metode Fonik Prosedur pada metode fonik yaitu mengenalkan kata melalui proses mendengarkan bunyi huruf. Setelah mengenal bunyi huruf, kemudian huruf-huruf tersebut disintetiskan menjadi suku kata dan kata. Salah satu cara dalam memperkenalkan bunyi berbagai huruf biasanya mengaitkan huruf-huruf tersebut dengan huruf depan berbagai nama benda yang sudah dikenal anak, seperti huruf a dengan gambar ayam, huruf b dengan gambar buku, dan sebagainya. 3) Metode Linguistik Metode linguistik didasarkan atas pandangan bahwa membaca pada dasarnya merupakan suatu proses pemecahan kode atau sandi yang berbentuk tulisan menjadi bentuk yang sesuai dengan percakapan. Pandangan ini berasumsi bahwa pada saat anak masuk kelas satu sekolah dasar, mereka telah menguasai bahasa ujaran. Dengan demikian, membaca adalah memecahkan sandi hubungan bunyi-tulisan. Metode ini menyajikan kepada anak suatu bentuk kata-kata yang terdiri dari konsonan-vokal atau konsonanvokal-konsonan seperti bapak, lampu, dan sebagainya. Berdasarkan kata-kata tersebut anak diajak memecahkan kode 14

5 tulisan tersebut menjadi bunyi percakapan. Dengan demikian, metode ini lebih analitik daripada sintetik. 4) Metode SAS (Struktural Analitik Sintetik) Metode ini merupakan perpaduan antara metode fonik dengan metode linguistik, namun ada perbedaan antara kode tulisan yang dianalisis dalam metode linguistik dengan metode SAS. Dalam metode linguistik kode tulisan yang dianalisis berbentuk kata sedangkan dalam metode SAS yang dianalisis adalah kode tulisan yang berbentuk kalimat pendek yang utuh. Metode SAS didasarkan atas asumsi bahwa pengamatan anak mulai dari keseluruhan (Gestalt) dan kemudian kebagianbagian. Oleh karena itu, anak diajak memecahkan kode tulisan kalimat pendek yang dianggap sebagai unit bahasa utuh, selanjutnya diajak menganalisis menjadi kata, suku kata, dan huruf; kemudian mensintetiskan kembali dari huruf ke suku kata, kata, dan akhirnya kembali menjadi kalimat. Metode ini secara luas digunakan di Indonesia. Ada berbagai keluhan dari para guru dan orang tua yang menganggap metode ini menyebabkan anak menghafal bacaan tanpa mengenal huruf. Kesulitan ini diduga disebabkan karena anak kurang mampu melakukan analisis dan sintesis, yang dialami oleh anak berkesulitan belajar. 15

6 5) Metode Alfabetik Metode ini menggunakan dua langkah, yaitu memperkenalkan kepada anak-anak berbagai huruf alfabetik dan kemudian merangkaikan huruf-huruf tersebut menjadi suku kata, kata, dan kalimat. Metode ini bila digunakan dalam bahasa Indonesia tidak terlalu sulit bila dibandingkan dengan kalau digunakan dalam bahasa Inggris karena hampir semua huruf mewakili bunyi yang sama. Metode ini sering menimbulkan kesulitan bagi anak berkesulitan belajar. Anak sering bingung mengapa tulisan bapak tidak dibaca beapeaka. 6) Metode Pengalaman Bahasa Metode ini terintegrasi dengan perkembangan anak dalam keterampilan mendengarkan, bercakap-cakap, dan menulis. Bahan bacaan didasarkan atas pengalaman anak. Metode ini didasarkan atas pandangan: (a) Apa yang dapat saya pikirkan, dapat saya katakan. (b) Apa yang dapat saya katakan, dapat saya tulis. (c) Apa yang dapat saya tulis, dapat saya baca. (d) Saya dapat membaca yang ditulis orang lain untuk saya baca. Berdasarkan pengalaman anak, guru mengembangkan keterampilan anak untuk membaca. 16

7 7) Metode Pengajaran Membaca bagi Anak Berkesulitan Belajar Metode pengajaran membaca yang digunakan bagi anak berkesulitan belajar antara lain: 1) Metoda Fernald Metode ini dikenal pula sebagai metode VAKT (visual, auditory, kinesthetic, and tactile) yaitu pengajaran membaca dengan multisensoris. Materi bacaan dipilih dari kata-kata yang diucapkan oleh anak, tiap kata diajarkan secara utuh. Metode ini memiliki empat tahapan. Tahap pertama, guru menulis kata yang hendak dipelajari di atas kertas dengan krayon. Kemudian anak menelusuri tulisan tersebut dengan jarinya (tactile and khonesthetic). Pada saat menelusuri tulisan tersebut, anak melihat tulisan (visual), dan mengucapkannya dengan keras (auditory). Proses semacam ini diulang-ulang sampai anak dapat menulis kata tersebut dengan benar tanpa melihat contoh. Pada tahapan kedua, anak tidak terlalu lama diminta menelusuri tulisan-tulisan dengan jari, tetapi mempelajari tulisan guru dengan melihat guru menulis, sambil mengucapkannya. Pada tahapan ketiga, anak-anak mempelajari kata-kata baru dengan melihat pada tulisan yang ditulis di papan tulis atau tulisan cetak, dan mengucapkan kata tersebut sebelum menulis. Pada tahapan ini anak mulai membaca tulisan dari buku. Pada tahapan keempat, anak mampu mengingat kata-kata yang dicetak atau bagian-bagian dari kata yang telah dipelajari. 17

8 2) Metoda Gillingham Metode ini merupakan pendekatan taraf tinggi yang memerlukan lima jam pelajaran selama lima jam pelajaran selama dua tahun. Aktivitas pertama diarahkan pada belajar berbagai bunyi huruf dan perpaduan huruf-huruf tersebut. Anak menggunakan teknik menjiplak untuk mempelajari berbagai huruf. Bunyi-bunyi tunggal huruf selanjutnya dikombinasikan ke dalam kelompok-kelompok yang lebih besar dan kemudian program fonik diselesaikan. 3) Metode Analisis Glass Metode ini memberikan pengajaran melalui pemecahan sandi kelompok huruf dalam kata. Ada dua asumsi yang mendasari metode ini. Pertama, proses pemecahan sandi (decoding) dan membaca merupakan kegiatan yang berbeda; kedua, pemecahan sandi mendahului proses membaca. Melalui metode ini, anak dibimbing untuk mengenal kelompok kelompok huruf sambil melihat kata secara keseluruhan. B. Low Vision 1. Pengertian Low Vision Orang yang mengalami kecacatan mata pada umumnya dikatakan sebagai tunanetra. Istilah tunanetra mencakup kebutaan (blindness) serta berbagai tingkatan kurang awas (low vision). Ketunanetraan dibagi ke dalam 18

9 dua kelompok utama yaitu kebutaan (blindness) dan kurang awas (low vision). Dalam beberapa publikasi, low vision dapat disebut visual impairment, atau partial sight. Tunanetra menurut definisi Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia (2004) adalah, Mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total) hingga mereka yang masih memiliki sisa penglihatan tetapi tidak mampu menggunakan penglihatannya untuk membaca tulisan biasa berukuran 12 point dalam keadaan normal meskipun dibantu dengan kacamata (kurang awas). Sedangkan Tarsidi (2011) menyatakan bahwa: Orang tunanetra yang masih mempunyai sedikit sisa penglihatan sehingga mereka masih dapat menggunakan sisa penglihatannya itu untuk melakukan berbagai kegiatan sehari-hari termasuk untuk membaca tulisan berukuran besar (lebih besar dari 12 point) setelah dibantu dengan kacamata. Orang tunanetra yang masih memiliki sisa penglihatan yang fungsional seperti ini disebut sebagai orang kurang awas atau lebih dikenal dengan sebutan low vision. Sedangkan World Health Organization (WHO) mendefinisikan sebagai berikut: A person with low vision is one who has impairment of visual functioning even after treatment and/or standard refractive correction, and has a visual acuity of less than 6/18 (20/60) to light perception or a visual field of less than 10 degree from the point of fixation, but who uses or is potentially able to use, vision for the planning and/or execution of a task (Tarsidi, 2002:04). Pernyataan di atas dapat diartikan bahwa seseorang dapat dikatakan low vision adalah mereka yang telah dikoreksi secara optimal dengan kacamata atau dengan lensa kontak, ketajaman penglihatan mereka 6/18 (20/60) atau lantang pandang mereka tidak lebih dari 10 derajat, dapat 19

10 menggunakan atau berpotensi untuk menggunakan sisa penglihatannya dalam merencanakan dan melaksanakan tugas sehari-hari. Ada sejenis konsensus internasional dalam menggunakan dua jenis definisi yang berhubungan dengan kehilangan penglihatan, yaitu definisi legal (definisi berdasarkan pada peraturan perundang-undangan) dan definisi edukasional (definisi untuk tujuan pendidikan) atau definisi fungsional yaitu yang difokuskan pada seberapa banyak sisa penglihatan seseorang dapat bermanfaat untuk keberfungsian sehari-hari (Tarsidi, 2011). a. Definisi Legal Pada definisi legal menggunakan dua aspek ukuran yaitu ketajaman penglihatan (visual acuity) dan medan pandang (visual field). Definisi ini digunakan oleh medis untuk kepentingan tertentu yang berhubungan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku agar seseorang memperoleh akses terhadap hak-hak tertentu seperti keringanan biaya transportasi, tunjangan-tunjangan tertentu, dan sebagainya. b. Definisi Edukasional Pada definisi edukasional seseorang dinyatakan tunanetra apabila dalam proses pembelajarannya memerlukan alat bantu khusus dan metode atau teknik-teknik tertentu tanpa mempergunakan penglihatan. Pada definisi ini terbagi dua kelompok yaitu buta atau tunanetra berat (blind) dan tunanetra ringan (low vision). Tunanetra berat adalah seseorang yang tidak memiliki penglihatan sama sekali atau hanya 20

11 memiliki persepsi cahaya sehingga dalam kegiatan pembelajaran tidak mempergunakan penglihatannya. Sedangkan tunanetra ringan adalah seseorang yang setelah dikoreksi penglihatannya masih sedemikian buruk tetapi fungsi penglihatannya masih dapat ditingkatkan melalui penggunaan alat-alat bantu penglihatan dan modifikasi lingkungan. 2. Ciri-ciri Low Vision a. Fisik Secara fisik penyandang low vision tidak berbeda dengan orang pada umumnya, yang membedakannya adalah kondisi pada organ penglihatannya. Seseorang diduga sebagai penyandang low vision apabila menunjukkan beberapa atau semua gejala-gejala sebagai berikut: 1) Mata juling 2) Sering berkedip 3) Menyipitkan mata 4) Mata/kelopak mata memerah 5) Mata infeksi 6) Gerakan mata tak beraturan dan cepat 7) Mata selalu berair (mengeluarkan air mata) 8) Pembengkakan pada kulit tempat tumbuh bulu mata 9) Mata tampak putih di tengah (katarak) atau kornea (bagian bening di depan mata) terlihat berkabut 21

12 b. Perilaku Berikut ini merupakan gejala perilaku yang menunjukkan seseorang mengalami gangguan penglihatan. Berdasarkan perilaku berikut, penyandang low vision bisa dideteksi lebih dini. Perilaku tersebut adalah: 1) menulis, membaca, dan mengamati benda dengan jarak sangat dekat; 2) berkacamata sangat tebal tetapi masih kurang jelas penglihatannya; 3) hanya dapat membaca huruf berukuran besar; 4) sulit membaca dengan kekontrasan rendah; 5) kesulitan membaca di papan tulis; 6) berjalan sering tersandung; 7) berjalan dengan pandangan kaku; 8) lebih sulit melihat pada malam hari; 9) kesulitan melihat saat keluar dari tempat gelap ke tempat terang atau sebaliknya; 10) terlihat tidak menatap ke depan 11) menekan bola mata dengan jari; 12) memicingkan mata atau mengerutkan dahi ketika melihat di bawah cahaya yang terang; 13) menghindar dari tugas-tugas yang memerlukan penglihatan. 22

13 3. Klasifikasi Ketajaman Penglihatan Menurut WHO (Mason & McCall dalam Tarsidi, 2011) kategori kerusakan penglihatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Ketajaman penglihatan setelah koreksi Klasifikasi Definisi Fungsional 6/6 hingga 6/18 Normal vision Normal <6/18 hingga >3/60 Low vision Kurang awas <3/60 Blind Buta Berdasarkan klasifikasi di atas, seseorang dikelompokkan pada kategori low vision apabila ketajaman penglihatannya kurang dari 6/18 hingga lebih baik dari 3/60. Ini menunjukkan bahwa orang yang masih memiliki sisa penglihatan kurang dari 3/60 dikategorikan buta. Ketajaman 6/18 artinya ketajaman penglihatan anak low vision mampu melihat benda pada jarak 6 meter, sedangkan mata normal dapat melihat benda tersebut pada jarak 18 meter. Selain klasifikasi WHO, ada pula klasifikasi lain yang mengacu dari hukum Amerika Serikat. Jernigan (Tarsidi, 2011) menyatakan bahwa seseorang diklasifikasikan legally blind menurut undang-undang Amerika Serikat apabila penglihatan pada mata terbaiknya setelah menggunakan lensa korektif, adalah 20/200 atau kurang, dengan medan pandang 20 derajat atau kurang. Satuan ukuran jarak yang digunakan Amerika Serikat pada saat tes Snellen Chart yaitu feet. 200 feet kira-kira sama dengan 60 meter. 23

14 Berdasarkan klasifikasi tersebut maka seorang penyandang low vision hanya mampu membaca huruf tertentu pada Snellen Chart pada jarak 20 feet sedangkan orang yang berpenglihatan normal mampu membaca pada jarak 200 feet. 4. Pengembangan Ketrampilan Membaca bagi Siswa Low Vision dan Kondisi-kondisi yang Melatarbelakanginya Kegiatan membaca permulaan bagi siswa low vision pada dasarnya tidak berbeda dengan siswa lainnya yang berpenglihatan normal. Urutan langkah-langkah pembelajaran dan metoda pembelajaran membacanya sama dengan yang digunakan oleh siswa lainnya. Namun, sehubungan dengan adanya perbedaan kondisi penglihatan maka terhadap siswa low vision perlu dilakukan pengembangan keterampilan membaca seperti yang dinyatakan Layton dan Koenig (1998) yaitu; The development of reading skills and the remediation of reading problems should be integral parts of the education of students with low vision. Dalam pengembangan ketrampilan membaca pada siswa low vision ini ada beberapa kondisi yang perlu dipersiapkan. Kondisi-kondisi yang harus dipersiapkan adalah: 1) Kondisi penglihatan siswa low vision harus diketahui sehingga dapat difungsikan secara efisien Salah satu kondisi yang sangat penting dan harus diketahui seawal mungkin adalah diketahuinya kondisi penglihatan yang dimiliki siswa. Wilkinson et. al. (2000:446) menyatakan bahwa, untuk keberhasilan habilitasi dan rehabilitasi siswa low vision, sangat penting 24

15 mengetahui kemampuan penglihatan siswa termasuk informasi hasil penilaian klinis. 2) Kondisi lingkungan kelas siswa low vision harus dapat digunakan secara optimal Kondisi lingkungan kelas sangat memiliki pengaruh terhadap keberhasilan kemampuan membaca siswa low vision, oleh sebab itu perlu dilakukannya modifikasi lingkungan kelas. Hal tersebut didukung dalam penelitian Yalo (2010), yang menyatakan: it also solicited information about environmental modification for learners with low vision. Adanya modifikasi yang dilakukan pada kelas, diharapkan kondisi lingkungan kelas dapat berfungsi secara optimal. Modifikasi kelas antara lain: pengaturan tempat duduk, pengaturan intensitas cahaya, pengaturan arah cahaya, dsb. 3) Siswa low vision memerlukan alat bantu yang akan dipakai secara efektif dalam membaca, melihat jarak dekat ataupun melihat jarak jauh. Perbedaan yang lainnya adalah siswa low vision menggunakan alat bantu penglihatan dan bacaan yang menggunakan huruf yang diperbesar. Dalam penyediaan bacaan ini perlu diperhatikan beberapa hal yang berpengaruh terhadap kenyamanan penglihatan siswa low vision. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain: warna kertas tidak menyilaukan dan tidak mengkilat, tinta berwarna hitam pekat, kekontrasan tidak terlalu rendah, ukuran huruf tidak terlalu kecil atau 25

16 menggunakan ukuran 18 point atau lebih. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Kitchel (2000) bahwa: Large print is generally defined as print which is larger than the print used by that segment of the population with normal vision. The sizes of print most commonly used by the sighted population range from eight to twelve points in size. The American Printing House for the Blind (APH) takes the position large print for use by the low vision population is print which is eighteen points in size or larger. Ilustrasi yang terdapat pada buku bacaan yang dicetak besar sebaiknya dibuat dengan warna hitam dan putih, tidak menggunakan gambar berwarna. Gambar ilustrasi berwarna dapat menghilangkan kontur dan figur latar belakangnya, juga mengantisipasi bagi siswa yang juga mengalami buta warna. Untuk mengenal gambar ilustrasi ada kemungkinan siswa low vision membutuhkan waktu yang cukup lama. Berikut ini merupakan alat bantu yang umumnya digunakan oleh siswa low vision: 3.1. Alat Bantu Optik Alat bantu optik untuk melihat jarak dekat: Hand held magnifier, stand magnifier, bar magnifier, spectacle (kaca mata), pocket magnifier Alat bantu optik untuk melihat jarak jauh: telescope 3.2. Alat Bantu non Optik Typoscope: garis berlubang untuk membantu membaca Letter writter: garis berlubang untuk membantu menulis Signature guide: untuk membantu membuat tanda tangan 26

17 Notex: untuk menentukan nilai uang (belum digunakan di Indonesia karena ukuran uang kertas tak beraturan) Reading Stand: untuk penyaangga buku atau media baca lain Bold line book: buku bergaris tebal agar anak mudah melihat garis Adjustable Reading Lamp: lampu belajar yang dapat diatur intensitas cahayanya Felt Tip Pen: alat tulis dengan warna hitam yang memiliki ukuran ketebalan garis yang lebih besar dari ballpoin biasa (sejenis boxi atau spidol hitam kecil) Pensil 2B atau lebih: pensil ini dianggap memiliki tingkat kehitaman yang cukup pekat sehingga kontras bila dituliskan pada kertas warna putih. Misalnya untuk keperluan menggambar Needle traider: Alat bantu untuk memasukkan benang ke liang jarum untuk menjahit Large Print: Buku bertuliskan huruf berukuran besar Talking book: Kaset, CD. 3.3.Alat Bantu Elektronik CCTV: Close Circuit Television, alat bantu elektronik yang berguna untuk memperbesar huruf jika magnifier sudah tidak memungkinkan lagi. Objek bacaan dapat dilihat pada monitor. Pembesaran huruf dan fokus dapat disesuaikan. Komputer 27

18 Bisa untuk latihan membaca dengan ukuran huruf yang disesuaikan misalnya 24 point, 26 point, dsb. Bisa juga berisi software Jaws. Media audio (radio, tape recorder) 4) Kegiatan pembelajaran membaca permulaan yang di dalamnya sudah diintegrasikan dengan program pelatihan stimulasi penglihatan dan pengembangan fungsi penglihatan, sangat berperan dalam meningkatkan kemampuan membaca siswa low vision. Pada penyusunan program dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran membaca permulaan, siswa low vision perlu diberikan program kegiatan stimulasi penglihatan yang bertujuan untuk menciptakan kesiapan membaca. Dengan aktivitas stimulasi penglihatan diharapkan siswa low vision dapat memfungsikan penglihatan secara optimal. Sehubungan dengan hal tersebut pemberian stimulasi penglihatan yang merupakan pengembangan ketrampilan membaca sangat penting bagi siswa low vision, seperti yang dinyatakan Layton dan Koenig (1998) yaitu; Pengembangan ketrampilan membaca dan masalah remediasi membaca, harus menjadi bagian integral dari pendidikan siswa low vision. Latihan stimulasi penglihatan meliputi: kesadaran akan cahaya, membentuk kesadaran objek, manipulasi atau memainkan objek, merasakan dan menyadari bentuk tiga dimensi, merasakan permukaan atau bentuk luar dari lingkungan, merasakan dan mengerti bentuk dua 28

19 dimensi, melihat bentuk gambar dan pemandangan, menunjukkan keteraturan persepsi visual siswa, dan simbol abstrak. 29

BAB I PENDAHULUAN. siswa, karena kegiatan membaca merupakan prasyarat dalam menguasai. berbagai ilmu pengetahuan. Berbagai ilmu pengetahuan memerlukan

BAB I PENDAHULUAN. siswa, karena kegiatan membaca merupakan prasyarat dalam menguasai. berbagai ilmu pengetahuan. Berbagai ilmu pengetahuan memerlukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membaca merupakan suatu kebutuhan yang fundamental bagi seorang siswa, karena kegiatan membaca merupakan prasyarat dalam menguasai berbagai ilmu pengetahuan.

Lebih terperinci

KONSEP DASAR LOW VISION DAN KEBUTUHAN LAYANANNYA

KONSEP DASAR LOW VISION DAN KEBUTUHAN LAYANANNYA KONSEP DASAR LOW VISION DAN KEBUTUHAN LAYANANNYA Irham Hosni (Disampaikan pada pelatihan guru Low Vision Se Jawa Barat di hotel Naripan Bandung, yang diselenggarakan oleh UPT BPG PLB Dinas Pendidikan Prop.

Lebih terperinci

LAYANAN TERPADU LOW VISION DALAM MENDUKUNG INKLUSI

LAYANAN TERPADU LOW VISION DALAM MENDUKUNG INKLUSI LAYANAN TERPADU LOW VISION DALAM MENDUKUNG INKLUSI (Model Pusat Layanan Terpadu Low Vision YPWG kerjasama dengan Dinas Pendidikan Jawa Barat dan RS Mata Cicendo) Irham Hosni (Disampaikan pada Konferensi

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan analisis data penelitian yang telah dipaparkan pada bab

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan analisis data penelitian yang telah dipaparkan pada bab BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan analisis data penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kemampuan membaca

Lebih terperinci

Dari pengertian WHO diatas tentang Low Vision dapat ditangkap hal sebagai berikut:

Dari pengertian WHO diatas tentang Low Vision dapat ditangkap hal sebagai berikut: A. Pokok-Pokok Perkuliahan Low Vision Oleh Drs. Ahmad Nawawi Sub-sub Pokok Bahasan : 1. Definisi dan Prevalensi 2. Ciri-ciri Anak Low Vision 3. Klasifikasi Low Vision 4. Latihan Pengembangan Penglihatan

Lebih terperinci

TUNA NETRA NUR INDAH PANGASTUTI

TUNA NETRA NUR INDAH PANGASTUTI TUNA NETRA NUR INDAH PANGASTUTI TUNANETRA Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan low vision.

Lebih terperinci

KETERAMPILAN DASAR DALAM PENANGANAN PENYANDANG LOW VISION. Irham Hosni PLB FIP UPI PUSAT PELAYANAN TERPADU LOW VISION BANDUNG

KETERAMPILAN DASAR DALAM PENANGANAN PENYANDANG LOW VISION. Irham Hosni PLB FIP UPI PUSAT PELAYANAN TERPADU LOW VISION BANDUNG KETERAMPILAN DASAR DALAM PENANGANAN PENYANDANG LOW VISION Irham Hosni PLB FIP UPI PUSAT PELAYANAN TERPADU LOW VISION BANDUNG Membaca, menulis, mengamati dengan jarak sangat dekat Berjalan banyak tersandung

Lebih terperinci

TEORI DAN METODE PENGAJARAN PADA ANAK DYSLEXIA

TEORI DAN METODE PENGAJARAN PADA ANAK DYSLEXIA TEORI DAN METODE PENGAJARAN PADA ANAK DYSLEXIA Anggun Nofitasari 1, Nur Ernawati 2, Warsiyanti 3 Universitas PGRI Yogyakarta whyanggun@gmail.com, nana_nanina@yahoo.co.id, warsiyanti91@gmail.com Abstrak

Lebih terperinci

JASSI_anakku Volume 18 Nomor 1, Juni 2017

JASSI_anakku Volume 18 Nomor 1, Juni 2017 Pengaruh Metode Fernald terhadap Kemampuan Membaca Permulaan Huruf Awas Peserta Didik Low Vision Ratih Ratnasari dan Ehan Departemen Pendidikan Khusus Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia

Lebih terperinci

Oleh: Dra. Hj. Ehan, M.Pd.

Oleh: Dra. Hj. Ehan, M.Pd. Oleh: Dra. Hj. Ehan, M.Pd. Catatanpentingbagiguru Low Vision Guru perlumengingatempatkata; cahaya, kontras, jarak, dan ukuran. Guru harusmampumemilihpendekatanyang tepat, yaitu; pdktn. Stimulasi penghilatan,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN STRATEGI PEMBELAJARANNYA. Oleh Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto 1

IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN STRATEGI PEMBELAJARANNYA. Oleh Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto 1 IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DAN STRATEGI PEMBELAJARANNYA Oleh Mardhiyah, Siti Dawiyah, dan Jasminto 1 Abstract: Artikel ini dimaksudkan untuk membantu para guru dalam mengidentifikasi anak berkebutuhan

Lebih terperinci

BAB II TUNANETRA (LOW VISION)

BAB II TUNANETRA (LOW VISION) BAB II TUNANETRA (LOW VISION) 2.1. Difabel. Difabel adalah sekelompok masyarakat yang memiliki kemampuan yang berbeda dengan masyarakat non-difabel, ada yang memiliki kelaianan pada fisiknya saja, ada

Lebih terperinci

Analisis Fungsi Organ-organ Penginderaan dan Pengembangannya bagi Individu Tunanetra

Analisis Fungsi Organ-organ Penginderaan dan Pengembangannya bagi Individu Tunanetra Analisis Fungsi Organ-organ Penginderaan dan Pengembangannya bagi Individu Tunanetra I. Pendahuluan Benarkah?: 1) Bila orang kehilangan penglihatannya, maka hilang pulalah semua persepsinya. 2) Secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesulitan belajar merupakan terjemahan dari learning disability. Learning

BAB I PENDAHULUAN. Kesulitan belajar merupakan terjemahan dari learning disability. Learning BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesulitan belajar merupakan terjemahan dari learning disability. Learning adalah belajar, disability artinya ketidak mampuan sehingga terjemahannya menjadi ketidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Terminologi kebutaan didefenisikan berbeda beda di setiap negara seperti

BAB I PENDAHULUAN. Terminologi kebutaan didefenisikan berbeda beda di setiap negara seperti BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Terminologi kebutaan didefenisikan berbeda beda di setiap negara seperti kebutaan total, kebutaan ekonomi, kebutaan hukum dan kebutaan Sosial. Publikasi WHO pada tahun

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Metode Al-Barqy a. Pengertian Al-Barqy Metode Al-Barqy ditemukan oleh dosen Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya, Muhadjir Sulthon pada tahun 1965. Al-Barqy

Lebih terperinci

Bab VII Alat-alat Bantu Low Vision bagi Anak dan Remaja Tunanetra. Diterjemahkan oleh Didi Tarsidi

Bab VII Alat-alat Bantu Low Vision bagi Anak dan Remaja Tunanetra. Diterjemahkan oleh Didi Tarsidi Alat-alat Bantu Low Vision bagi Anak dan Remaja Tunanetra 72 Bab VII Alat-alat Bantu Low Vision bagi Anak dan Remaja Tunanetra Diterjemahkan oleh Didi Tarsidi Dari Bennett, D. (1999). Low Vision Devices

Lebih terperinci

BAB II PENERAPAN JARIMATIKA DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR PERKALIAN DASAR SISWA TUNANETRA

BAB II PENERAPAN JARIMATIKA DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR PERKALIAN DASAR SISWA TUNANETRA BAB II PENERAPAN JARIMATIKA DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR PERKALIAN DASAR SISWA TUNANETRA A. Jarimatika Ama (2010) dalam http://amapintar.wordpress.com/jarimatika/ mengemukakan bahwa jarimatika merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap anak memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan yang bermutu. Dengan karakteristik anak yang beragam penyelenggaraan pendidikan harus mampu

Lebih terperinci

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA TEKNIS DENGAN MENGGUNAKAN KARTU HURUF PADA SISWA KELAS II SD

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA TEKNIS DENGAN MENGGUNAKAN KARTU HURUF PADA SISWA KELAS II SD MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA TEKNIS DENGAN MENGGUNAKAN KARTU HURUF PADA SISWA KELAS II SD Pertiwi Laboro Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Gorontalo Abstrak : Bahasa merupakan saran yang efektif

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN VISUS MATA

PEMERIKSAAN VISUS MATA PEMERIKSAAN VISUS MATA Tidak semua orang mempunyai visus yang sama. Visus dipergunakan untuk menentukan penggunaan kacamata. Visus penderita bukan saja memberi pengertian tentang optiknya (kaca mata) tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tunarungu kelas satu SDLB sebanyak enam orang belum mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. tunarungu kelas satu SDLB sebanyak enam orang belum mempunyai 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Berdasarkan hasil studi pendahuluan, diperoleh data bahwa siswa tunarungu kelas satu SDLB sebanyak enam orang belum mempunyai keterampilan membaca permulaan.

Lebih terperinci

KESEHATAN MATA DAN TELINGA

KESEHATAN MATA DAN TELINGA KESEHATAN MATA DAN TELINGA Oleh Erwin Setyo Kriswanto PENDIDIKAN OLAHRAGA FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA MATA DAN TELINGA INDERA PENGLIHAT ( MATA ) Mata adalah indera penglihatan,

Lebih terperinci

ANGKET WAWANCARA PENELITIAN UNTUK GURU/TERAPIS ANAK DENGAN MASALAH KESULITAN BELAJAR (DISLEKSIA) FIRST INFORMAL ASSESSMENT

ANGKET WAWANCARA PENELITIAN UNTUK GURU/TERAPIS ANAK DENGAN MASALAH KESULITAN BELAJAR (DISLEKSIA) FIRST INFORMAL ASSESSMENT 51 52 APPENDICES ANGKET WAWANCARA PENELITIAN UNTUK GURU/TERAPIS ANAK DENGAN MASALAH KESULITAN BELAJAR (DISLEKSIA) FIRST INFORMAL ASSESSMENT PSYCHOLINGUISTIC ANALYSIS ON DYSLEXIC CHILD RENY ANDARI (110705023)

Lebih terperinci

Definisi, Tujuan, dan Manfaat Desain Grafis

Definisi, Tujuan, dan Manfaat Desain Grafis Definisi, Tujuan, dan Manfaat Desain Grafis 1. Definisi Desain Grafis Desain grafis dapat diartikan sebagai media penyampaian informasi kepada yang membutuhkan (masyarakat) yang disampaikan dalam bentuk

Lebih terperinci

Standar Operasional Prosedur Untuk Kader Katarak

Standar Operasional Prosedur Untuk Kader Katarak Standar Operasional Prosedur Untuk Kader Katarak Struktur Proses Hasil Petugas : 1. Dokter Puskesmas 2. Pramedis 3. Kader Katarak Anamnesis Gejala dan tanda : 1. Penurunan tajam penglihatan secara perlahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seorang siswa dituntut bisa belajar pelajaran yang lain. Memperhatikan

BAB I PENDAHULUAN. seorang siswa dituntut bisa belajar pelajaran yang lain. Memperhatikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Selain menulis dan menghitung, Membaca merupakan salah satu kemampuan dasar yang wajib dimiliki oleh setiap siswa. Melalui membaca seorang siswa dituntut bisa belajar

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 9 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Hakikat Kemampuan Membaca Permulaan 2.1.1.1. Pengertian Membaca Permulaan Pembelajaran membaca permulaan erat kaitannya dengan pembelajaran menulis

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. Keterampilan berbahasa ( language skill) dalam kurikulum di sekolah. biasanya mencakup empat segi, yaitu:

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. Keterampilan berbahasa ( language skill) dalam kurikulum di sekolah. biasanya mencakup empat segi, yaitu: BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Keterampilan Berbahasa Keterampilan berbahasa ( language skill) dalam kurikulum di sekolah biasanya mencakup empat segi, yaitu: a) Keterampilan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. dalam proses refraksi ini adalah kornea, lensa, aqueous. refraksi pada mata tidak dapat berjalan dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. dalam proses refraksi ini adalah kornea, lensa, aqueous. refraksi pada mata tidak dapat berjalan dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mata merupakan suatu organ refraksi yang berfungsi untuk membiaskan cahaya masuk ke retina agar dapat diproses oleh otak untuk membentuk sebuah gambar. Struktur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan sumber daya manusia, termasuk tunanetra. Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan sumber daya manusia, termasuk tunanetra. Pendidikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan memiliki fungsi yang sangat strategis dalam upaya pengembangan sumber daya manusia, termasuk tunanetra. Pendidikan merupakan proses perubahan yang sistematik

Lebih terperinci

Aspek Interaksi Manusia dan Komputer

Aspek Interaksi Manusia dan Komputer HUMAN Manusia merasakan dunia nyata dengan menggunakan piranti yang lazim dikenal dengan panca indera -mata, telinga, hidung, lidah dan kulit- sehingga lewat komponen inilah kita dapat membuat model manusia

Lebih terperinci

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAANDENGAN MENGGUNAKAN METODE SAS SISWA DI SDN 115 KAB. PINRANG GUSRI

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAANDENGAN MENGGUNAKAN METODE SAS SISWA DI SDN 115 KAB. PINRANG GUSRI MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA PERMULAANDENGAN MENGGUNAKAN METODE SAS SISWA DI SDN 1 KAB. PINRANG GUSRI Tenaga Edukatif di KabupatenPinrang Email: Gusri@yahoo.co.id Abstract This study entitled Improving

Lebih terperinci

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA SILABUS

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA SILABUS UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA SILABUS A. Identitas Mata Kuliah: Nama Mata Kuliah : Pendidikan Anak Tunanetra 1 Kode Mata Kuliah : LB 151 Jumlah

Lebih terperinci

KONSEP DAN STRATEGI IMPLEMENTASI KTSP SLB TUNANETRA

KONSEP DAN STRATEGI IMPLEMENTASI KTSP SLB TUNANETRA KONSEP DAN STRATEGI IMPLEMENTASI KTSP SLB TUNANETRA Disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) bagi Guru PAI Tunanetra di SLB se-indonesia Wisma Shakti Taridi

Lebih terperinci

DR. Didi Tarsidi, M.Pd., UPI. Dampak Ketunanetraan terhadap Pembelajaran Bahasa

DR. Didi Tarsidi, M.Pd., UPI. Dampak Ketunanetraan terhadap Pembelajaran Bahasa DR. Didi Tarsidi, M.Pd., UPI Dampak Ketunanetraan terhadap Pembelajaran Bahasa Definisi Tunanetra (Pertuni, 2004) Orang tunanetra adalah mereka yang tidak memiliki penglihatan sama sekali (buta total)

Lebih terperinci

ASPEK MANUSIA DALAM IMK. Muhamad Alif, S.Kom UTM

ASPEK MANUSIA DALAM IMK. Muhamad Alif, S.Kom UTM ASPEK MANUSIA DALAM IMK Muhamad Alif, S.Kom UTM Hardware Software Brainware (manusia) Ketiga komponen hrs saling bekerja sama agar sebuah sistem komputer dapat bekerja dengan sempurna. Komputer memproses

Lebih terperinci

Dampak Ketunanetraan terhadap Fungsi Kognitif Anak

Dampak Ketunanetraan terhadap Fungsi Kognitif Anak Dampak Ketunanetraan terhadap Fungsi Kognitif Anak Oleh Didi Tarsidi Kognisi adalah persepsi individu tentang orang lain dan obyek-obyek yang diorganisasikannya secara selektif. Respon individu terhadap

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. dalam bentuk lambang lambang grafis, yang perubahannya menjadi wicara bermakna dalam

BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN. dalam bentuk lambang lambang grafis, yang perubahannya menjadi wicara bermakna dalam BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1. Hakikat Membaca Pada hakikatnya membaca merupakan keterampilan mengenal dan memahami tulisan dalam bentuk lambang lambang grafis, yang perubahannya menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses belajar merupakan suatu proses yang berkesinambungan dalam membentuk sumber daya manusia yang berkualitas. Proses belajar dimulai sejak manusia dilahirkan.

Lebih terperinci

JASSI_anakku Volume 17 Nomor 1, Juni 2016

JASSI_anakku Volume 17 Nomor 1, Juni 2016 PengaruhMedia Flash CardTerhadap Kemampuan Menulis Huruf Latin Pada Peserta Didik Low Visiondi SLB ANegeri Kota Bandung SantyYuliyanti, Endang Rochyadi Departemen Pendidikan Khusus Fakultas Ilmu Pendidikan

Lebih terperinci

Pengaruh Penggunaan Alat Bantu Kertas Bergaris Tebal dan Meja Baca terhadap Kemampuan Menulis dan Membaca

Pengaruh Penggunaan Alat Bantu Kertas Bergaris Tebal dan Meja Baca terhadap Kemampuan Menulis dan Membaca Riset + Pengaruh Penggunaaan Alat Bantu + Elsa, Djadja, Mintin Pengaruh Penggunaan Alat Bantu Kertas Bergaris Tebal dan Meja Baca terhadap Kemampuan Menulis dan Membaca Siswa Low Vision Elsa Selfiany,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lancar. Keterampilan membaca memiliki peranan yang sangat penting. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. lancar. Keterampilan membaca memiliki peranan yang sangat penting. Dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD hendaknya berjalan seefektif mungkin karena Bahasa Indonesia termasuk pembelajaran yang utama. Salah satu faktor keberhasilan suatu

Lebih terperinci

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA MELALUI PEMANFAATAN TULISAN SINGKAT BRAILLE BAGI SISWA TUNANETRA

MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA MELALUI PEMANFAATAN TULISAN SINGKAT BRAILLE BAGI SISWA TUNANETRA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMBACA MELALUI PEMANFAATAN TULISAN SINGKAT BRAILLE BAGI SISWA TUNANETRA Tumirah. SLB Negeri 1 Pemalang. Tumirah@yahoo.com. 085642269893 ABSTRACT The aim of the study is improving

Lebih terperinci

HAMBATAN PERHATIAN, KONSENTRASI, PERSEPSI, DAN MOTORIK. Mohamad Sugiarmin

HAMBATAN PERHATIAN, KONSENTRASI, PERSEPSI, DAN MOTORIK. Mohamad Sugiarmin HAMBATAN PERHATIAN, KONSENTRASI, PERSEPSI, DAN MOTORIK Mohamad Sugiarmin PERSEPSI Proses mental yg menginterpretasikan dan memberi arti pd obyek yg ditangkap atau diamati oleh indera. Ketepatan persepsi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Makna Hidup 1. Definisi Makna Hidup Teori tentang makna hidup dikembangkan oleh Victor Frankl, dimana teori ini dituangkan ke dalam suatu terapi yang dikenal dengan nama logoterapi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengungkapkan berbagai keinginan maupun kebutuhannya, serta memungkinkan

BAB I PENDAHULUAN. mengungkapkan berbagai keinginan maupun kebutuhannya, serta memungkinkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat komunikasi utama bagi seorang anak untuk mengungkapkan berbagai keinginan maupun kebutuhannya, serta memungkinkan anak untuk menerjemahkan

Lebih terperinci

PENINGKATAN KEMAMPUAN PRA-MEMBACA KATA PADA ANAK KELOMPOK B TK PUSIDE MUSI MELALUI MEDIA PERMAINAN KARTU HURUF

PENINGKATAN KEMAMPUAN PRA-MEMBACA KATA PADA ANAK KELOMPOK B TK PUSIDE MUSI MELALUI MEDIA PERMAINAN KARTU HURUF PENINGKATAN KEMAMPUAN PRA-MEMBACA KATA PADA ANAK KELOMPOK B TK PUSIDE MUSI MELALUI MEDIA PERMAINAN KARTU HURUF Oleh: Amalia Nur Fitriya cimel549@gmail.com TK Puside Musi Talaud Abstrak Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu peranan penting dalam kemajuan suatu. bangsa, karena maju tidaknya suatu bangsa tergantung pada kualitas

PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu peranan penting dalam kemajuan suatu. bangsa, karena maju tidaknya suatu bangsa tergantung pada kualitas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu peranan penting dalam kemajuan suatu bangsa, karena maju tidaknya suatu bangsa tergantung pada kualitas pendidikanya. Kualitas

Lebih terperinci

PENCAHAYAAN DAN WARNA RUANG UNTUK PENYANDANG LOW VISION USIA SEKOLAH DI SLB-A DAN MTSLB-A YAKETUNIS YOGYAKARTA JURNAL TUGAS AKHIR PENGKAJIAN

PENCAHAYAAN DAN WARNA RUANG UNTUK PENYANDANG LOW VISION USIA SEKOLAH DI SLB-A DAN MTSLB-A YAKETUNIS YOGYAKARTA JURNAL TUGAS AKHIR PENGKAJIAN PENCAHAYAAN DAN WARNA RUANG UNTUK PENYANDANG LOW VISION USIA SEKOLAH DI SLB-A DAN MTSLB-A YAKETUNIS YOGYAKARTA JURNAL TUGAS AKHIR PENGKAJIAN Oleh : Astrid Ghitha Fatharani NIM 121185123 PROGRAM STUDI S-1

Lebih terperinci

E-JUPEKhu (JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS)

E-JUPEKhu (JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS) Volume 2 Nomor 3 September 2013 E-JUPEKhu (JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS) http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jupekhu Halaman : 396-407 MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS JENIS TULISAN BALOK MELALUI MEDIA

Lebih terperinci

E-JUPEKhu (JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS)

E-JUPEKhu (JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS) EFEKTIFITAS PENGGUNAAN MEDIA BOLD LINE BOOK UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS KALIMAT LATIN BAGI ANAK LOW VISION Oleh: LEDY WIRDA MAYSYARAH Abstract This research background by the problems that researchers

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Para pendidik mempunyai tanggung jawab besar untuk membantu siswa

BAB I PENDAHULUAN. Para pendidik mempunyai tanggung jawab besar untuk membantu siswa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Para pendidik mempunyai tanggung jawab besar untuk membantu siswa menjadi manusia yang berkembang secara utuh. Salah satu bantuan yang diberikan kepada mereka

Lebih terperinci

Unsur-Unsur Efek Cahaya Pada Perpustakaan. Abstrak

Unsur-Unsur Efek Cahaya Pada Perpustakaan. Abstrak Unsur-Unsur Efek Cahaya Pada Perpustakaan Cut Putroe Yuliana Prodi Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry Banda Aceh Abstrak Perpustakaan sebagai tempat untuk belajar membutuhkan intensitas

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KARAKTER BUDAYA BACA DI MIN LOMBOK KULON WONOSARI BONDOWOSO

PENDIDIKAN KARAKTER BUDAYA BACA DI MIN LOMBOK KULON WONOSARI BONDOWOSO PENDIDIKAN KARAKTER BUDAYA BACA DI MIN LOMBOK KULON WONOSARI BONDOWOSO Abdul Muhid e-mail: holidy72@gmail.com IAIN Jember Pendahuluan Peradaban manusia berkembang begitu pesat, seiring cepatnya arus informasi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. baik dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. 1. kemampuan ini dunia akan tertutup dan terbatas hanya pada apa yang ada di

BAB II KAJIAN TEORI. baik dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. 1. kemampuan ini dunia akan tertutup dan terbatas hanya pada apa yang ada di BAB II KAJIAN TEORI A. Tinjauan Tentang Membaca 1. Pengertian Membaca Membaca adalah suatu hal yang amat penting bagi kehidupan manusia, baik dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. 1 Dalam masyarakat

Lebih terperinci

A. Latar Belakang Masalah Kemampuan membaca merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang

A. Latar Belakang Masalah Kemampuan membaca merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemampuan membaca merupakan dasar untuk menguasai berbagai bidang studi. Jika anak pada usia sekolah permulaan tidak segera memiliki kemampuan membaca, maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paling pesat, baik fisik maupun mental (Suyanto, 2005:5). Maka tepatlah bila

BAB I PENDAHULUAN. paling pesat, baik fisik maupun mental (Suyanto, 2005:5). Maka tepatlah bila BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anak usia dini berada dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat, baik fisik maupun mental (Suyanto, 2005:5). Maka tepatlah bila dikatakan

Lebih terperinci

O P T I K dan REFRAKSI. SMF Ilmu Kesehatan Mata RSD Dr.Soebandi FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER

O P T I K dan REFRAKSI. SMF Ilmu Kesehatan Mata RSD Dr.Soebandi FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER O P T I K dan REFRAKSI SMF Ilmu Kesehatan Mata RSD Dr.Soebandi FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER SINAR MATA (Organ Penglihatan) KORNEA + 43 D B M D Media optik PUPIL LENSA + 20 D MEDIA REFRAKSI BADAN

Lebih terperinci

PRINSIP DAN PENGEMBANGAN KETERAMPILAN ORIENTASI BAGI TUNANETRA Irham Hosni

PRINSIP DAN PENGEMBANGAN KETERAMPILAN ORIENTASI BAGI TUNANETRA Irham Hosni PRINSIP DAN PENGEMBANGAN KETERAMPILAN ORIENTASI BAGI TUNANETRA Irham Hosni Dosen Jurusan PLB Direktur Puslatnas OM PLB UPI DISAMPAIKAN PADA DIKLAT PROGRAM KHUSUS ORIENTAS DAN MOBILITAS Hotel BMI Lembang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak usia dini berada dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat, baik fisik maupun mental (Suyanto, 2005, h. 5). Maka tepatlah bila dikatakan

Lebih terperinci

Pola Interaksi Guru dan Siswa Tunanetra. Rany Widyastuti IAIN Raden Intan; Abstract

Pola Interaksi Guru dan Siswa Tunanetra. Rany Widyastuti IAIN Raden Intan; Abstract Pola Interaksi uru dan Siswa Tunanetra Rany Widyastuti IAIN Raden Intan; rany_2302@yahoo.com Submitted : 18-06-2016, Revised : 21-09-2016, Accepted : 16-12-2016 Abstract This study aims to describe the

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Membaca adalah salah satu prasyarat agar anak dapat mempelajari atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Membaca adalah salah satu prasyarat agar anak dapat mempelajari atau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membaca adalah salah satu prasyarat agar anak dapat mempelajari atau memahami sesuatu. Membaca juga merupakan pintu gerbang pengetahuan. Dengan kemampuan membaca

Lebih terperinci

Pengertian Bahan Ajar

Pengertian Bahan Ajar Pengertian Bahan Ajar Bahan ajar merupakan informasi, alat dan teks yang diperlukan guru/instruktur untuk perencanaan dan penelaahan implementasi pembelajaran. Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian menulis 2.1.1Keterampilan Menulis nama sendiri bagi anak usia 5-6 Tahun

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian menulis 2.1.1Keterampilan Menulis nama sendiri bagi anak usia 5-6 Tahun BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian menulis Menulis adalah suatu kegiatan untuk menciptakan suatu catatan atau informasi pada suatu media dengan menggunakan aksara. Menulis biasa dilakukan pada kertas dengan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori Hasil Belajar Para ahli mengemukakan beberapa pengertian hasil belajar. Dimyati dan Mudjiono (1999),

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori Hasil Belajar Para ahli mengemukakan beberapa pengertian hasil belajar. Dimyati dan Mudjiono (1999), 5 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Hasil Belajar Para ahli mengemukakan beberapa pengertian hasil belajar. Dimyati dan Mudjiono (1999), menjelaskan hasil belajar merupakan hal yang dapat

Lebih terperinci

Putri Nur Hakiki, Endro Wahyuno. Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Universitas Negeri Malang, Malang

Putri Nur Hakiki, Endro Wahyuno. Jurusan Pendidikan Luar Biasa, Universitas Negeri Malang, Malang JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN LUAR BIASA, 4(1): 69-74 The Effect of Perception Exercise of Tactual Sally Mangold toward Early Reading Capability for Students with Hearing Impairment (Pengaruh

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap orang menginginkan tubuh yang sempurna. Banyak orang yang mempunyai anggapan bahwa penampilan fisik yang menarik diidentikkan dengan memiliki tubuh yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia. Melalui penglihatan seseorang dapat menerima informasi

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia. Melalui penglihatan seseorang dapat menerima informasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mata sebagai indera penglihatan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Melalui penglihatan seseorang dapat menerima informasi dan berinteraksi

Lebih terperinci

Faktor Manusia. Aspek2 Penting IMK. Aspek Manusia Aspek Komputer Aspek Lingkungan Kerja (ergonomik)

Faktor Manusia. Aspek2 Penting IMK. Aspek Manusia Aspek Komputer Aspek Lingkungan Kerja (ergonomik) Faktor Manusia 1 Aspek2 Penting IMK Aspek Manusia Aspek Komputer Aspek Lingkungan Kerja (ergonomik) 2 1 Tujuan Pemahaman Aspek IMK agar dicapai suatu kondisi yang senyaman mungkin ketika seseorang harus

Lebih terperinci

Bagaimana? Apa? Mengapa?

Bagaimana? Apa? Mengapa? ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ( A B K ) Bagaimana? Apa? Mengapa? PENGERTIAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS ( A B K ) Anak Berkebutuhan Khusus adalah anak yang dalam pendidikan memerlukan pelayanan yang spesifik,

Lebih terperinci

2015 FAKTOR-FAKTOR PREDIKTOR YANG MEMPENGARUHI KESULITAN MEMBACA PEMAHAMAN PADA SISWA YANG MENGALAMI KESULITAN MEMBACA PEMAHAMAN

2015 FAKTOR-FAKTOR PREDIKTOR YANG MEMPENGARUHI KESULITAN MEMBACA PEMAHAMAN PADA SISWA YANG MENGALAMI KESULITAN MEMBACA PEMAHAMAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keterampilan membaca merupakan modal utama peserta didik. Dengan berbekal kemampuan membaca, siswa dapat mempelajari ilmu, mengkomunikasikan gagasan, dan mengekspresikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia dan

BAB 1 PENDAHULUAN. titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam bentuk miopia, hipermetropia dan BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk pada retina tetapi di bagian depan atau belakang bintik kuning dan tidak terletak pada satu titik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak usia dini berada dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat, baik fisik maupun mental. Tepatlah bila dikatakan bahwa usia dini adalah

Lebih terperinci

II. LANDASAN TEORI. untuk memperoleh kesan-kesan yang dikehendaki, yang disampaikan penulis

II. LANDASAN TEORI. untuk memperoleh kesan-kesan yang dikehendaki, yang disampaikan penulis II. LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Membaca Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh seseorang untuk memperoleh kesan-kesan yang dikehendaki, yang disampaikan penulis melalui media

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta. A. Kesimpulan. Pada hasil penelitian ini, sistem pencahayaan yang sesuai untuk

BAB V KESIMPULAN. UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta. A. Kesimpulan. Pada hasil penelitian ini, sistem pencahayaan yang sesuai untuk BAB V KESIMPULAN A. Kesimpulan Pada hasil penelitian ini, sistem pencahayaan yang sesuai untuk menunjang aktivitas sehari-hari penyandang low vision usia sekolah dibagi berdasarkan kelainan yang diderita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alamiah untuk beradaptasi dengan lingkungannya, sebagai alat. bersosialisasi, bahasa juga merupakan suatu cara merespon orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. alamiah untuk beradaptasi dengan lingkungannya, sebagai alat. bersosialisasi, bahasa juga merupakan suatu cara merespon orang lain. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemampuan bahasa dipelajari dan diperoleh anak usia dini secara alamiah untuk beradaptasi dengan lingkungannya, sebagai alat bersosialisasi, bahasa juga merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan membaca yang diperoleh pada tahap membaca permulaan akan

BAB I PENDAHULUAN. Kemampuan membaca yang diperoleh pada tahap membaca permulaan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemampuan membaca yang diperoleh pada tahap membaca permulaan akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan membaca lanjut. Kemampuan membaca permulaan mendasari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rina Agustiana, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rina Agustiana, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak tunagrahita merupakan anak dengan kebutuhan khusus yang memiliki intelegensi jelas-jelas berada dibawah rata-rata yang disertai dengan kurangnya dalam

Lebih terperinci

BAB 2 FAKTOR MANUSIA - PENGELIHATAN - PENDENGARAN - SENTUHAN. Interaksi Manusia dan Komputer Faktor Manusia 8

BAB 2 FAKTOR MANUSIA - PENGELIHATAN - PENDENGARAN - SENTUHAN. Interaksi Manusia dan Komputer Faktor Manusia 8 BAB 2 FAKTOR MANUSIA - PENGELIHATAN - PENDENGARAN - SENTUHAN Interaksi Manusia dan Komputer Faktor Manusia 8 BAB 2 FAKTOR MANUSIA PENDAHULUAN Sistem komputer terdiri atas 3 aspek, yaitu perangkat keras

Lebih terperinci

REFRAKSI ENAM PRINSIP REFRAKSI 3/28/2017. Status refraksi yang ideal : EMETROPIA. Jika tdk fokus pada satu titik disebut AMETROPIA ~ kelainan refraksi

REFRAKSI ENAM PRINSIP REFRAKSI 3/28/2017. Status refraksi yang ideal : EMETROPIA. Jika tdk fokus pada satu titik disebut AMETROPIA ~ kelainan refraksi REFRAKSI RIA SANDY DENESKA Status refraksi yang ideal : EMETROPIA Jika tdk fokus pada satu titik disebut AMETROPIA ~ kelainan refraksi Pada mata EMMETROPIA : kekuatan kornea +lensa digabungkan untuk memfokuskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ika Kustika, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ika Kustika, 2015 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakikatnya bahasa memiliki peran sentral dalam semua aspek perkembangan, baik dalam aspek perkembangan intelektual, sosial maupun emosional. Menurut Nida (dalam

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK ANAK BERKESULITAN BELAJAR

KARAKTERISTIK ANAK BERKESULITAN BELAJAR KARAKTERISTIK ANAK BERKESULITAN BELAJAR Setelah Anda mempelajari definisi,penyebab dan jenis-jenis kesulitan belajar yang dibahas pada kegiatan belajar 1, pembelajaran akan dilanjutkan dengan membahas

Lebih terperinci

Meningkatkan Kemampuan Merias Wajah Melalui Multi Methode Bagi Penyandang Low Vision (Single Subject Research di Kampus PLB FIP UNP)

Meningkatkan Kemampuan Merias Wajah Melalui Multi Methode Bagi Penyandang Low Vision (Single Subject Research di Kampus PLB FIP UNP) Volume 3 Nomor 3 September 2014 E-JUPEKhu(JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS) http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jupekhu Halaman : 121-129 Meningkatkan Kemampuan Merias Wajah Melalui Multi Methode Bagi Penyandang

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN KELAINAN REFRAKSI ANAK USIA 6-15 TAHUN DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2012

ABSTRAK GAMBARAN KELAINAN REFRAKSI ANAK USIA 6-15 TAHUN DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI DESEMBER 2012 ABSTRAK GAMBARAN KELAINAN REFRAKSI ANAK USIA 6-15 TAHUN DI RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE 1 JANUARI 2012 31 DESEMBER 2012 Jason Alim Sanjaya, 2014, Pembimbing I : July Ivone, dr.,m.k.k.,mpd.ked.

Lebih terperinci

ANAK DENGAN GANGGUAN PENGLIHATAN. Juang Sunanto (Dosen di Jurusan Pendidikan Luar Biasa, UPI)

ANAK DENGAN GANGGUAN PENGLIHATAN. Juang Sunanto (Dosen di Jurusan Pendidikan Luar Biasa, UPI) ANAK DENGAN GANGGUAN PENGLIHATAN Juang Sunanto (Dosen di Jurusan Pendidikan Luar Biasa, UPI) Para psikolog dan pendidik memprediksi antara 90 persen - 95 persen persepsi orang awas berasal dari persepsi

Lebih terperinci

BAGIAN-BAGIAN MATA DAN SISTEM VISUAL KELENJAR LACRIMAL, AIR MATA, SISTEM PENGERINGAN LACRIMAL DENGAN PEMBULUH NASOLACRIMAL

BAGIAN-BAGIAN MATA DAN SISTEM VISUAL KELENJAR LACRIMAL, AIR MATA, SISTEM PENGERINGAN LACRIMAL DENGAN PEMBULUH NASOLACRIMAL BAGIAN-BAGIAN MATA DAN SISTEM VISUAL GLOBE DIMENSI MATA OTOT MATA KELENJAR LACRIMAL, AIR MATA, SISTEM PENGERINGAN LACRIMAL DENGAN PEMBULUH NASOLACRIMAL KELOPAK MATA BULU MATA CONJUCTIVA SCLERA KORNEA BILIK/RONGGA

Lebih terperinci

Mata Kuliah. Optimalisasi Pendengaran

Mata Kuliah. Optimalisasi Pendengaran Mata Kuliah Artikulasi dan Optimalisasi Pendengaran Metode Sarana dan Prasarana Artikulasi dan Optimalisasi Pendengaran Metode Pengajaran Artikulasi Metode Visual Metode Imitasi Metode Peragaan/Dramatisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada iritasi mata bahkan kemungkinan katarak mata (Fazar, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. pada iritasi mata bahkan kemungkinan katarak mata (Fazar, 2011). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mata adalah organ tubuh yang paling mudah mengalami penyakit akibat kerja, karena terlalu sering memfokuskan bola mata ke layar monitor komputer. Tampilan layar monitor

Lebih terperinci

JASSI_anakku Volume 18 Nomor 2, Desember 2017

JASSI_anakku Volume 18 Nomor 2, Desember 2017 Metode Suku Kata Untuk Pembelajaran Membaca Permulaan Peserta Didik Low Vision Widya Nur Hidayah, dan Ahmad Nawawi Departemen Pendidikan Khusus Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari orang tua, guru, dan orang dewasa lainya yang ada disekitarnya. Usaha

BAB I PENDAHULUAN. dari orang tua, guru, dan orang dewasa lainya yang ada disekitarnya. Usaha 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Taman Kanak-Kanak adalah salah satu bentuk pendidikan pra sekolah yang menangani anak usia 4-6 tahun. Menurut para ahli, usia ini disebut juga usiaemas (golden

Lebih terperinci

BAB 5 PELAKSANAAN METODE FERNALD BERBASIS MULTISENSORI SEBAGAI UPAYA PENANGANAN MEMBACA BAGI ANAK BERKESULITAN BELAJAR MEMBACA PERMULAAN

BAB 5 PELAKSANAAN METODE FERNALD BERBASIS MULTISENSORI SEBAGAI UPAYA PENANGANAN MEMBACA BAGI ANAK BERKESULITAN BELAJAR MEMBACA PERMULAAN BAB 5 PELAKSANAAN METODE FERNALD BERBASIS MULTISENSORI SEBAGAI UPAYA PENANGANAN MEMBACA BAGI ANAK BERKESULITAN BELAJAR MEMBACA PERMULAAN Peneliti merumuskan alternatif pemecahan masalah berupa bentuk perlakuan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dengan menggerakkan sejumlah besar tindakan yang terpisah pisah.aktivitas yang

BAB II LANDASAN TEORI. dengan menggerakkan sejumlah besar tindakan yang terpisah pisah.aktivitas yang 8 BAB II LANDASAN TEORI A. Membaca 1. Pengertian Membaca Menurut Soedarso (1989: 4) Membaca adalah aktivitas yang kompleks dengan menggerakkan sejumlah besar tindakan yang terpisah pisah.aktivitas yang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah didapat di lapangan, dan sebagaimana yang sudah diuraikan dalam pembahasan BAB IV, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai

Lebih terperinci

Pendidikan dan Latihan Yang Tepat sebagai Kunci Keberhasilan Kemandirian Individu Tunanetra

Pendidikan dan Latihan Yang Tepat sebagai Kunci Keberhasilan Kemandirian Individu Tunanetra Pendidikan dan Latihan Yang Tepat sebagai Kunci Keberhasilan Kemandirian Individu Tunanetra PENDAHULUAN * The real problem of blindness is not the lack of eyesight. The real problem is the misunderstanding

Lebih terperinci

1. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR BAHASA INDONESIA SD/MI

1. KOMPETENSI INTI DAN KOMPETENSI DASAR BAHASA INDONESIA SD/MI SALINAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NOMOR 24 TAHUN 2016 TENTANG KOMPETENSI INTI DAN PELAJARAN PADA KURIKULUM 2013 PADA PENDIDIKAN DASAR DAN PENDIDIKAN MENENGAH 1. KOMPETENSI INTI

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. studi kasus deskriptif. Studi kasus deskriptif adalah studi kasus yang mencoba

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. studi kasus deskriptif. Studi kasus deskriptif adalah studi kasus yang mencoba 44 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan mempergunakan studi kasus deskriptif. Studi kasus deskriptif adalah studi kasus yang mencoba

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI HASANAH A53C090007

NASKAH PUBLIKASI HASANAH A53C090007 NASKAH PUBLIKASI UPAYA PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA DAN MENULIS (CALIS) PERMULAAN MELALUI MEDIA KARTU GAMBAR DAN KATA KELOMPOK B DI TK ISLAM BAKTI II NGESREP NGEMPLAK BOYOLALI TAHUN AJARAN 2012/2013 HASANAH

Lebih terperinci

Berikut ini contoh jenis-jenis peripheral dengan berbagai tugasnya:

Berikut ini contoh jenis-jenis peripheral dengan berbagai tugasnya: Peripheral Komputer Peripheral merupakan semua peralatan yang terhubung dengan komputer. Berdasarkan kegunaannya periferal terbagi dua yaitu: 1. Peripheral utama (main peripheral) yaitu peralatan yang

Lebih terperinci

Bab 10. Pengembangan Sistem Multimedia. Pokok Bahasan : Tujuan Belajar : Pengembangan sistem multimedia Siklus pengembangan sistem multimedia

Bab 10. Pengembangan Sistem Multimedia. Pokok Bahasan : Tujuan Belajar : Pengembangan sistem multimedia Siklus pengembangan sistem multimedia Bab 10 Pengembangan Sistem Multimedia Pokok Bahasan : Pengembangan sistem multimedia Siklus pengembangan sistem multimedia Tujuan Belajar : Setelah mempelajari bab ini, diharapkan mahasiswa dapat : Memahami

Lebih terperinci