KONDISI KUALITAS PERAIRAN DI WAY PERIGI, KECAMATAN LABUHAN MARINGGAI, KABUPATEN LAMPUNG TIMUR. Eka Anisa Widya Bahri C

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KONDISI KUALITAS PERAIRAN DI WAY PERIGI, KECAMATAN LABUHAN MARINGGAI, KABUPATEN LAMPUNG TIMUR. Eka Anisa Widya Bahri C"

Transkripsi

1 KONDISI KUALITAS PERAIRAN DI WAY PERIGI, KECAMATAN LABUHAN MARINGGAI, KABUPATEN LAMPUNG TIMUR Eka Anisa Widya Bahri C DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 i

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : Kondisi Kualitas Perairan di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam tubuh tulisan dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, September 2012 Eka Anisa Widya Bahri C ii

3 RINGKASAN Eka Anisa Widya Bahri. C Kondisi Kualitas Perairan di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Dibimbing oleh Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga dan Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc. Sungai merupakan salah satu perairan mengalir yang bermanfaat bagi kehidupan organisme didalamnya dan makhluk hidup di sekitarnya. Sungai memiliki beberapa fungsi antara lain sebagai sumber air keperluan rumah tangga, irigasi, perindustrian, pertanian, dan kegiatan perikanan. Namun terdapat satu pemanfaatan dari sungai yang dapat menimbulkan masalah, yaitu sungai sebagai tempat pembuangan limbah, baik limbah domestik maupun limbah industri. Way Perigi, merupakan salah satu sungai di Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur, yang melewati beberapa desa. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian terhadap kondisi kualitas perairan baik parameter fisika dan kimia perairan di Way Perigi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan status mutu perairan Way Perigi dari daerah hulu sungai yang berupa mata air hingga bagian hilir sungai sebelum air payau serta pengelolaan lebih lanjut dari sungai ini. Pengambilan contoh air dilakukan pada bulan April sampai dengan Mei 2012, sebanyak 3 kali pengambilan contoh air dengan jarak waktu 2 minggu. Lokasi penelitian di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur dari hulu berupa mata air (stasiun 1), tengah sungai (stasiun 2) berada di pemukiman warga, dan hilir (stasiun 3) berupa muara sungai. Analisis air dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, MSP-IPB. Penentuan status mutu perairan di Way Perigi, dianalisis menggunakan Metode Indeks STORET dan Indeks Pencemaran. Bila dilihat dari hasil pengukuran parameter-parameter kualitas air, perairan Sungai Way Perigi masih berada dalam kisaran yang diperbolehkan menurut Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 kelas III (baku mutu air yang digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, dan atau peruntukan lain). Pada analisis indeks STORET dapat diketahui bahwa pada hulu dan tengah sungai bernilai 0 yang berarti masih memenuhi baku mutu, sedangkan pada hilir bernilai -2 iii

4 yang berarti tercemar ringan. Berbeda dengan Indeks Pencemaran yang menyatakan bahwa ke tiga stasiun masih dalam kondisi baik. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi kualitas perairan di Sungai Way Perigi masih dalam kondisi baik, kecuali pada bagian hilir sungai yang tercemar ringan. Namun secara keseluruhan Sungai Way Perigi masih dapat di manfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk kegiatan seharihari, maupun kegiatan perikanan dan pertanian. Kata kunci: Sungai Way Perigi, Indeks STORET, dan Indeks Pencemaran. iv

5 KONDISI KUALITAS PERAIRAN DI WAY PERIGI, KECAMATAN LABUHAN MARINGGAI, KABUPATEN LAMPUNG TIMUR EKA ANISA WIDYA BAHRI SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan Pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 v

6 PENGESAHAN SKRIPSI Judul penelitian Nama NIM Program Studi : Kondisi Kualitas Perairan di Way Perigi Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur : Eka Anisa Widya Bahri : C : Manajemen Sumberdaya Perairan Menyetujui, Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga NIP Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc NIP Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP Tanggal lulus : 7 Agustus 2012 vi

7 UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1) Allah SWT atas limpahan nikmat dan karunia-nya; 2) Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga dan Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc. selaku pembimbing I dan II yang telah banyak memberikan bimbingan, ilmu dan arahan selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi; 3) Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku Ketua Komisi Pendidikan yang telah banyak memberikan masukan dan saran terkait penulisan skripsi; 4) Dr. Ir. Etty Riani, MS selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukan; 5) Seluruh staf Tata Usaha dan civitas MSP terutama Mbak Widar atas bantuan dan dukungannya dalam penyelesaian administrasi; 6) Ir. Zairion, M.Sc. atas ilmu, doa, dan dukungan serta bantuan dalam jalannya penelitian dan penyusunan skripsi; 7) Ibu Ana selaku Ketua Laboran Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan MSP yang telah banyak membantu dalam analisis laboratorium; 8) Bapak Samsul Bahri, SH dan Ibu Widi Handayani selaku kedua orang tua penulis serta Ugi Lestari Widya Bahri selaku adik penulis atas semua doa, nasehat, dukungan, dan kasih sayang kepada penulis; 9) Bachtiar Umar yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian di lapang serta doa, semangat, nasihat, dan ilmu dan penyusunan skripsi; 10) Christian Halawa, Aditya Sinugraha Pamungkas, dan Bang Harun yang telah membantu dalam penelitian di lapang; 11) Irwan Rudy Pamungkas ITK 46, yang telah banyak membantu dalam pembuatan peta penelitian; 12) Tanti, Niear, Yuni, Nisa, Dina, Dara atas doa, dukungan, nasehat, dan persahabatan yang tulus kepada penulis sewaktu di Pondok Citra Ayu; 13) Sahabat tercinta di MSP 45 (Dila, Kanti, Dina, Hendri, Rikza, Wening, dan Aang) atas doa, dukungan, nasehat, dan persahabatan yang tulus kepada penulis; 14) Teman-teman MSP 45 atas persaudaraan, doa, dukungan, dan semangatnya. vii

8 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lampung pada tanggal 19 Juni 1991 sebagai putri pertama dari dua bersaudara dari pasangan Samsul Bahri, SH dan Widi Handayani. Pendidikan formal yang pernah dijalani penulis berawal dari TK Diponegoro 16 Purwokerto ( ), SDN 01 Karang Pucung Purwokerto ( ), SMPN 5 Purwokerto ( ), SMAN 2 Purwokerto ( ) dan SMAN 4 Bandar Lampung ( ). Pada tahun 2008 penulias diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), kemudian diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selain mengikuti perkuliahan, penulis berkesempatan menjadi Asisten Mata Kuliah Limnologi (2010/2011 dan 2011/2012), dan Asisten Mata Kuliah Metode Penarikan Contoh (2011/2012). Penulis juga aktif di organisasi kemahasiwaan Dewan Perwakilan Mahasiswa FIPIK (2009/2010 dan 2010/2011), Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) sebagai Badan Pengawas (2010/2011) serta turut aktif mengikuti seminar maupun berpartisipasi dalam berbagai kepanitiaan di lingkungan kampus IPB. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul Kondisi Kualitas Perairan di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. viii

9 PRAKATA Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul Kondisi Kualitas Perairan di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Penelitian ini dilakukan dari bulan April Mei Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam memberikan bimbingan, arahan, serta masukan dalam penyusunan penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik yang membangun dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca. Bogor, September 2012 Penulis ix

10 DAFTAR ISI Halaman PRAKATA... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... vii xii xiii xiv 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran Perairan Ekosistem Mengalir Parameter Fisika Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid- TSS) dan kekeruhan Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid - TDS) Suhu Kecepatan arus Debit air Parameter Kimia ph Kebutuhan oksigen biokimiawi (Biochemical Oxygen Demand - BOD) Oksigen terlarut (DissolvedOxygen - DO) Nitrogen (Nitrat-Nitrogen, Nitrit-Nitrogen, dan Amonia- Nitrogen) Total fosfat METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan Bahan Metode Pengambilan Contoh Penentuan lokasi Pengambilan dan penanganan air contoh Karakteristik Sungai x

11 Lebar sungai Kedalaman air Kecepatan arus Debit air Analisis Data Indeks STORET Indeks Pencemaran HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Way Perigi Parameter Fisika Suhu Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid- TSS) dan kekeruhan Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid- TDS) Parameter Kimia ph Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen- DO) Kebutuhan oksigen biokimiawi (Biochemical Oxygen Demand- BOD) Nitrogen (Nitrat-Nitrogen, Nitrit-Nitrogen, dan Amonia- Nitrogen) Total fosfat Karakteristik Perairan Debit air Evaluasi kualitas perairan Way Perigi dengan Indeks STORET Evaluasi kualitas air perairan Way Perigi dengan Indeks Pencemaran (IP) Strategi pengelolaan Way Perigi KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xi

12 DAFTAR TABEL Halaman 1. Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai padatan tersuspensi (Alabaster dan Llyoyd 1982 in Effendi 2003) Status kualitas air berdasarkan nilai BOD (Lee et al in Lestari 2004) Paramater fisika-kimia perairan yang diamati beserta metode/alat yang digunakan (APHA 2005) Penetuan sistem nilai untuk menentukan status mutu air (Canter 1997 in KepMen LH No 115 tahun 2003) Penentuan status mutu air berdasarkan Indeks STORET Penentuan status mutu air berdasarkan Indeks Pencemaran Jumlah skor STORET dan klasifikasi perairan pada setiap stasiun selama pengamatan Nilai Indeks Pencemaran dan klasifikasinya pada setiap stasiun selama pengamatan xii

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Skema perumusan masalah Sketsa lokasi penelitian, stasiun 1, stasiun 2, dan stasiun 3 di Way Perigi Sebaran rataan nilai suhu setiap stasiun selama pengamatan Sebaran rataan nilai TSS setiap stasiun selama pengamatan Sebaran rataan nilai kekeruhan setiap stasiun selama pengamatan Hubungan antara nilai TSS dengan Kekeruhan Sebaran rataan nilai TDS setiap stasiun selama pengamatan Sebaran rataan nilai ph setiap stasiun selama pengamatan Sebaran rataan nilai DO setiap stasiun selama pengamatan Sebaran rataan nilai BOD setiap stasiun selama pengamatan Sebaran rataan nilai nitrat (NO 3 -N) setiap stasiun selama pengamatan Sebaran rataan nilai nitrit(no 2 -N) setiap stasiun selama pengamatan Sebaran rataan nilai amonia (NH 3 -N) setiap stasiun selama pengamatan Sebaran nilai rata-rata dari nitrat, nitrit, dan amonia Sebaran rataan nilai total fosfat setiap stasiun selama pengamatan Sebaran nilai rata-rata debit air di setiap stasiun pengamatan Nilai Indeks STORET Way Perigi menurut Grafik nilai IP pada setiap stasiun selama pengamatan xiii

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Hasil rata-rata pengukuran parameter fisika dan kimia perairan Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur Kriteria mutu air berdasarkan kelas Perhitungan Indeks STORET Perhitungan Indeks Pencemaran (IP) Dokumentasi wilayah Way Perigi xiv

15 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sungai merupakan salah satu perairan mengalir yang bermanfaat bagi kehidupan organisme di dalamnya dan makhluk hidup di sekitarnya. Sungai memiliki beberapa fungsi antara lain sebagai sumber air keperluan rumah tangga, irigasi, perindustrian, dan kegiatan perikanan. Namun terdapat satu pemanfaatan dari sungai yang dapat menimbulkan masalah, yaitu sungai sebagai tempat pembuangan limbah, baik limbah rumah tangga (domestik) maupun limbah industri. Hal tersebut dapat menimbulkan ketidakseimbangan dari ekosistem di dalamnya. Jika pengelolaan sungai diabaikan, maka kualitas perairan dari sungai akan menurun dan berdampak pada kehidupan organisme di dalamnya serta berdampak bagi kegiatan manusia yang memanfaatkan sungai untuk kegiatan sehari-hari. Way Perigi, merupakan salah satu sungai di Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur, yang melewati beberapa desa, antara lain Desa Maringgai, Desa Donoharjo, dan Desa Muara Gading Mas. Bagian hulu dari Way Perigi yaitu berupa mata air yang terletak di Desa Maringgai, biasanya dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai sumber air minum, kegiatan mandi dan cuci. Pada bagian hulu sungai, masih belum terlalu padat pemukiman. Bagian hilir Way Perigi, terletak di muara pesisir pantai, masyarakat menggunakannya sebagai kegiatan perikanan dan pertanian. Pada bagian hilir sungai sudah banyak terdapat pemukiman serta limpasan dari aktivitas pemukiman yang semakin banyak, sehingga diduga dapat mempengaruhi kondisi kualitas perairan di Way Perigi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian terhadap kondisi kualitas perairan baik parameter fisika dan kimia perairan di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur agar masyarakat dapat memanfaatkan sungai tersebut secara optimal dan tidak menurunkan kualitas perairan. Selain itu penelitian ini dilakukan sebagai data awal kualitas periran Way Perigi, agar dapat diketahui perkembangan kualitas perairan nantinya.

16 Perumusan Masalah Sungai biasanya digunakan oleh masyarakat sebagai aktivitas sehari-hari seperti untuk mandi, cuci, dan kakus (MCK), perikanan, peternakan, dan pertanian. Kegiatan-kegiatan tersebut yang berada di sekitar sungai akan mempengaruhi kondisi kualitas perairan akibat limpasan (run-off) menuju sungai. Apabila masukan bahan-bahan organik dari kegiatan tersebut telah melebihi ambang batas kemampuan perairan untuk menampungnya, maka sungai dapat terjadi pencemaran dan dapat mengganggu kehidupan organisme di dalamnya serta dapat mengganggu aktivitas masyarakat sekitar. Oleh karena itu, perlu adanya kajian mengenai parameter fisika dan kimia dari sungai tersebut untuk menentukan status mutu perairan seperti yang terlihat pada skema Gambar 1. Aktivitas Manusia Hidrologi Sungai Karakteristik Fisika- Kimia Perairan Kondisi kualitas perairan Pengelolaan Penentuan Status Mutu Perairan Gambar 1. Skema Perumusan Masalah 1.3. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan status mutu perairan Way Perigi yang berada di Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur dari daerah hulu sungai yang berupa mata air hingga bagian hilir sungai sebelum air payau.

17 Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah dan data kondisi fisika dan kimia perairan Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur yang ditimbulkan dari aktivitas antropogenik.

18 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan (UU No. 32 tahun 2009). Pencemaran adalah perubahan lingkungan yang tidak menguntungkan, sebagian karena tindakan manusia, disebabkan perubahan pola penggunaan energi dan materi, tingkatan radiasi, bahan-bahan fisika dan kimia dan jumlah organisme (Sastrawijaya 2000). Sedangkan menurut Mason (1981) pencemaran adalah kehadiran dari suatu zat yang tidak alami dalam jumlah besar dan konsentrasinya tidak normal pada suatu keadaan alamiah, serta menyebabkan efek yang tidak diinginkan seperti perubahan secara ekologis. Sumber pencemar dapat berupa lokasi tertentu (point source) atau tak tentu/ tersebar (non-point source). Sumber pencemar dari point source misalnya cerobong asap pabrik dan saluran limbah industri. Volume pencemar dari point source biasanya relatif tetap. Sedangkan sumber pencemar non-point source dapat berupa point source dalam jumlah yang banyak, misalnya limpasan dari daerah pertanian yang mengandung pestisida dan pupuk, limpasan dari daerah pemukiman (domestik) dan limpasan dari daerah perkotaan (Effendi 2003). Berdasarkan cara masuknya ke dalam lingkungan, polutan dikelompokkan menjadi polutan alamiah dan polutan antropogenik. Polutan alamiah adalah polutan yang masuk ke dalam lingkungan secara alami, misalnya akibat letusan gunung berapi. Pulutan antropogenik adalah polutan yang masuk ke lingkungan akibat aktivitas manusia, misalnya kegiatan domestik (rumah tangga), dan kegiatan industri Ekosistem Mengalir Perairan sungai adalah suatu perairan yang dicirikan oleh arus yang relatif kencang. Perairan sungai biasanya terjadi percampuran massa air secara menyeluruh dan tidak terbentuk stratifikasi vertikal kolom air seperti pada perairan menggenang.

19 5 Menurut Welch (1952) ekosistem mengalir dicirikan dengan badan air yang bergerak atau mengalir secara berkesinambungan dengan arah terntentu. Sedangkan menurut Dodds (2002) sungai memiliki karakteristik yang bagus dalam hidrologi, karena ketertarikaan saat banjir, erosi, dan supply air. Sungai yang alami pada dasarnya merupakan refleksi dari proses vulkanik yang bersangkutan dengan transpor air dan material (Reid 1961). Kecepatan arus, erosi, dan sedimentasi merupakan fenomena umum yang terjadi di sungai sehingga kehidupan flora dan fauna pada sungai sangat dipengaruhi ketiga variabel tersebut (Effendi 2003). Menurut Reid (1961) berdasarkan faktor ekologi sungai dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu : - Hulu sungai. Bagian dasar sungai yang memiliki kemiringan yang cukup besar sehingga dicirikan dengan arus yang cepat. Substrat dasar biasanya terdiri dari batu dan kerikil, namun pada arus yang lambat (pools) ditemukan juga substrat detritus organik yang sedikit dan pasir. - Tengah sungai. Bagian dasar sungai yang memiliki kemiringan yang tidak terlalu besar sehingga dicirikan dengan arus yang lebih lambat dibandingkan daerah hulu. Substrat dasarnya terdiri dari material kasar seperti pasir, namun pada bagian sungai yang sedikit tergenang (pools) dan pinggiran sungai ditemukan lumpur. - Hilir sungai. Bagian sungai yang terletak di mulut sungai dengan substrat dasarnya terdiri dari lumpur dan detritus organik. Pada bagian ini ditandai dengan adanya semak-semak dan rawa Parameter Fisika Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid- TSS) dan kekeruhan Padatan total, sebagian besar terdiri dari bikarbonat yang merupakan anion utama di perairan yang telah mengalami transformasi menjadi karbondioksida, sehingga karbondioksida dan gas-gas laiin tidak termasuk dalam padatan total saat pemanasan (Boyd 1988). Menurut APHA (2005) padatan total adalah bahan yang tersisa setelah air sampel mengalami evaporasi dan pengeringan pada suhu tertentu. Sedangkan padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid) merupakan bahanbahan partikel renik yang melayang atau tercampur dalam air dan jika disaring

20 6 dengan kertas saring yang mempunyai pori-pori berdiameter 0.45 μm akan tertahan (Effendi 2003). Tinggi rendahnya nilai padatan tersuspensi tidak selalu diikuti oleh tinggi rendahnya nilai kekeruhan secara linier, karena pengukuran kekeruhan didasarkan pada banyaknya cahaya yang tersisa setelah diserap oleh bahan-bahan yang terkandung dalam air, sedangkan padatan tersuspensi didasarkan atas bobot residu dari bahan-bahan yang terkandung dalam air sebagai suspensi (Widigdo 2001 in Feriningtyas 2005). Alabaster dan Lloyd (1982) in Effendi (2003) mengkategorikan kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai padatan tersuspensi total menjadi 4 kelompok dalam Tabel 1. Tabel 1. Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai padatan tersuspensi. Nilai TSS (mg/liter) Pengaruh terhadap kepentingan perikanan <25 Tidak berpengaruh Sedikit berpengaruh Kurang baik bagi perikanan >400 Tidak baik bagi perikanan Sumber : Alabaster dan Lloyd 1982 in Effendi 2003 Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria baku mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai padatan tersuspensi (Total Suspended Solid) dibawah 50 mg/l dan 400 mg/l. Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat didalam air (Effendi 2003). Kekeruhan adalah kondisi yang dihasilkan air dari adanya bahan tersuspensi di perairan. Secara umum kekeruhan air akan terjadi jika beban dari padatan tersuspensi banyak. Kekeruhan sungai yang berada didaerah pegunungan hulu memiliki nilai yang sangat rendah dibandingkan sungai yang berada di hilir (Welch 1952). Sedangkan menurut Reid (1961) di sungai yang rendah, kekeruhan menjadi lebih dominan dan menjadi fitur karakteristik pada sebagian besar sungai. Bergantung pada sifat kimia alami dari material tersuspensi

21 7 dan ukuran partikel, warna sungai dapat berkisar mendekati putih, merah dan coklat. Di sungai yang kekeruhannya tidak terlalu banyak, plankton dapat berkembang dan membuat warna sungai menjadi kehijauan. Menurut Mason (1981) nilai kekeruhan dapat menunjukan kandungan bahan tersuspensi dan koloid yang terdapat pada perairan sungai. Kekeruhan di sungai terutama disebabkan oleh adanya erosi dari daratan yang terbawa masuk ke sungai. Kekeruhan dapat menghalangi penetrasi cahaya matahari kedalam perairan sehingga dapat mengganggu proses fotosintesis. Menurut Effendi (2003), padatan tersuspensi berkolerasi positif dengan kekeruhan. Semakin tinggi nilai padatan tersuspensi, nilai kekeruhan juga semakin tinggi. Akan tetapi, tingginya nilai kekeruhan tidak selalu diikuti dengan tingginya padatan terlarut Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid - TDS) Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid) adalah bahan-bahan terlarut (diameter 10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 mm 10-3 mm) yang berupa senyawasenyawa kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0,4μm (Rao 1992 in Effendi 2003). Nilai padatan terlarut total perairan sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik (berupa limbah domestik dan industri) (Effendi 2003). Menurut Reid (1961) reaksi dan proses dari ion-ion dan materi organis di sungai berasal dari proses kimia dan biologi dan kondisi sungai tersebut. Air yang ada di sungai yang besar, secara umum memiliki keseragaman yang sama, begitu banyak sehingga secara kuantitatif, kandungannya menjadi bermakna. Kandungan jumlah zat padatan terlarut berpengaruh terhadap kesadahan air yaitu garam-garam kalsium, sulfat dan klorida, semakin tinggi zat padatan terlarut di dalam air semakin tinggi pula nilai kesadahan dan kadar garamnya, sehingga akan menurunkan kandungan oksigen yang terlarut dalam air (Fardiaz 1992). Padatan terlarut total sangat bervariasi, tergantung pada karakteristik masukan ke sungai. Dalam hal ini, ekosistem lotik dan lentik mempunyai beberapa perbedaan yang umum. Pada kenyataannya keduanya saling mempengaruhi satu sama lain dikarenakan cara yang memungkinkan saling berhubungan seperti di inlet atau outlet (Welch 1952). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan

22 8 kriteria baku mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai padatan terlarut total maksimal sebesar 1000 mg/l Suhu Pada ekosistem lotik, fenomena temperatur biasanya berbeda dengan ekosistem lentik. Prinsipnya adalah (1) suhu cenderung sama di setiap kedalaman, bahkan di sungai yang dangkal, perbedaan suhu antara permukaan dan dasar diabaikan, (2) kecenderungan mengikuti suhu udara lebih dekat daripada di danau, (3) stratifikasi suhu hampir tidak ada. Beberapa prinsip dari keadaan utama terjadinya perbedaan suhu yaitu (1) kedalaman air, (2) kecepatan arus, (3) material dasar, (4) suhu masukan air dari anak sungai, (5) masuknya cahaya matahari, (6) tingkat penutupan sungai, (7) waktu harian (Welch 1952). Sedangkan menurut Reid (1961) sebagian besar faktor yang menetukan suhu adalah radiasi panas langsung dari matahari. Di sisi lain, suhu dari sungai merupakan sebuah ukuran dari aksi dan interaksi bebrapa faktor, seperti pada sungai yang berada di pegunungan memiliki suhu yang lebih sejuk dari substratnya, akibat dari bayangan vegetasi yang menutupinya. Sedangkan pada sungai yang berada di dataran rendah, lebih lebar dan dalam, sehingga air lebih terpapar oleh sinar matahari, dan menyimpan energi panas lebih besar. Menurut Barus (2001) pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya penyinaran matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis, dan juga faktor canopy (penutupan oleh vegetasi). Moriber (1974) menyatakan bahwa peningkatan suhu menyebabkan penurunan daya larut oksigen dan juga akan menaikan daya racun polutan terhadap organisme perairan. Suhu optimal bagi ikan dan organisme makanannya adalah berkisar antara C (Boyd 1988). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria baku mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai baku mutu suhu dengan deviasi 3 o C.

23 Kecepatan arus Kecepatan arus dari suatu badan air sangat berpengaruh terhadap kemampuan badan air untuk mengasimilasi dan mengangkut bahan pencemar (Effendi 2003). Kecepatan arus dipengaruhi oleh perbedaan gradien ketinggian antara hulu dan hilir. Apabila perbedaan ketinggian cukup besar maka arus semakin deras. Kecepatan arus adalah faktor penting diperairan. Kecepatan arus yang besar (>5m/detik) mengurangi jenis flora yang dapat tinggal sehingga hanya jenis yang melekat saja yang tahan terhadap arus dan tidak mengalami kerusakan fisik Debit air Menurut Seyhan (1990) debit air merupakan volume air yang mengalir melalui suatu irisan melintang dalam satu satuan waktu. Adanya aktivitas manusia yang menggunakan lahan disekitar sungai dan curah hujan mempengaruhi debit air. Semakin tinggi curah hujan dan masukan air dari aktivitas manusia semakin tinggi pula debit airnya. Sedangkan bila curah hujan dan masukan air dari aktivitas manusia rendah maka rendah pula debit airnya. Debit air yang meningkat, akan meningkatkan kadar bahan-bahan alam terlarut secara eksponensial (Effendi 2003) Menurut Efffendi (2003) konsentrasi bahan-bahan antropogenik yang memasuki badan air mengalami penurunan dengan meningkatnya debit badan air karena terjadi proses pengenceran. Debit sungai dapat juga diperoleh dari permukaan air sungai. Dalam persoalan pengendalian sungai, permukaan air sungai yang sudah dikorelasikan dengan curah hujan dapat membantu mengadakan data untuk pengelakan banjir, peramalan banjir, pengendalian banjir dengan bendungan. Dalam usaha pemanfaatan air, permukaan air sungai dapat juga digunakan untuk mengetahui secara umum banyaknya air sungai yang tersedia, penentuan kapasitas bendungan dan seterusnya (Mori 2003).

24 Parameter Kimia ph Nilai ph suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan (Saeni 1989). Menurut Reid (1961) peningkatan nilai ph dapat disebabkan peningkatan pada nilai total alkalinitas, dan penurunan karbondioksida. Sedangkan menurut APHA (2005) pada dasarnya asiditas menggambarkan kapasitas kuantitatif dari air untuk menetralkan basa hingga ph tertentu. Menurut Boyd (1982) sebagian besar perairan alami memiliki nilai ph berkisar antara 6.5 9, tetapi terdapat banyak pengecualian. Air yang masih segar dari pegunungan biasanya mempunyai ph yang lebih tinggi, makin ke hilir ph air akan menurun menuju suasana asam. Hal ini disebabkan oleh adanya penambahan peningkatan bahan-bahan organik yang terurai (Sastrawijaya 2000). Aliran sungai relatif tidak larut terhadap kandungan silika yang tinggi yang bersifat lembut, karena terdapat kandungan bikarbonat yang cukup untuk menjadi buffer dari perubahan ph yang disebabkan oleh karbondioksida. Berdasarkan karbondioksida, bikarbonat, dan karbonat, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan dengan ph, yaitu 1) nilai ph berbanding terbalik dengan konsentrasi karbondioksida terlarut, dan berhubungan langsung dengan konsentrasi bikarbonat; 2) nilai kritis yang berkaitan dengan ada atau tidak adanya karbondioksida bebas adalah pada ph 8, gas bebas tidak akan ada pada ph tersebut; 3) tidak adanya karbondioksida bebas tidak melimitkan proses fotosintesis dari alga dan tumbuhan tingkat tinggi, beberapa beradaptasi untuk mendapatkan karbondioksida dari karbonat, biasanya dihasilkan pada ph yang sangat tinggi (Reid 1961). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria baku mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai ph berkisar dari Kebutuhan oksigen biokimiawi (Biochemical Oxygen Demand - BOD) Kebutuhan oksigen biokimiawi atau Biochemical Oxygen Demand (BOD) merupakan jumlah oksigen dalam mg/l yang dibutuhkan oleh bakteri aerobik untuk

25 11 menguraikan dan menstabilkan sejumlah senyawa organik dalam air melalui proses oksidasi biologis aerobik (Buchari et al. 2001). Menurut Boyd (1988) BOD menunjukan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi mikroba aerob yang terdapat dalam botol BOD yang diinkubasi pada suhu sekitar 20 C selama 5 hari, dalam keadaan tanpa cahaya. Sedangkan menurut Fardiaz (1992) nilai BOD tidak menunjukan jumlah bahan organik yang sebenarnya, tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan buangan. Perairan alami yang baik untuk perikanan memiliki nilai BOD yang berkisar pada mg/l dan perairan dengan nilai BOD melebihi 10 mg/l dianggap telah mengalami pencemaran (Jeffries dan Mills 1996 in Effendi 2003). Biochemical Oxygen Demand (BOD) merupakan salah satu indikator pencemaran organik. Perairan dengan nilai BOD 5 tinggi mengindikasikan bahwa air tersebut tercemar oleh bahan organik. Bahan organik akan distabilkan secara biologik dengan melibatkan mikroba melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik. Oksidasi aerobik dapat menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut diperairan sampai pada tingkat terendah, sehingga kondisi perairan menjadi anaerob yang dapat mengakibatkan kematian organisme akuatik. Lee et al. (1978) in Lestari (2004) menyatakan bahwa tingkat pencemaran suatu perairan dapat dinilai berdasarkan nilai BOD 5 -nya, seperti disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Status kualitas air berdasarkan nilai BOD No Nilai BOD 5 Status Kualitas Air 1 2,9 Tidak tercemar 2 3,0 5,0 Tercemar ringan 3 5,1 14,9 Tercemar sedang 4 15 Tercemar berat Sumber : Lee et al in Lestari 2004 Konsentrasi BOD berhubungan dengan proses dekomposisi khususnya terhadap sampah atau kotoran yang tergolong organik, yang menyebabkan beberapa bakteri membutuhkan sejumlah oksigen dalam air untuk melangsungkan proses aerobiknya pada sungai-sungai, terutama sungai dekat kota dan/atau pemukiman penduduk mengalami gangguan berupa masuknya sampah atau kotoran organik yang akan meningkatkan kebutuhan oksigen oleh bakteri dalam melakukan

26 12 dekomposisi bahan organik tersebut (Sarminah 2003). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai BOD dibawah 2 mg/l dan 6 mg/l Oksigen terlarut (DissolvedOxygen - DO) Oksigen terlarut adalah konsentrasi oksigen yang terlarut dalam air. Tingkat kelarutan oksigen di perairan alami dan limbah berasal dr aktivitas fisika, kimia, dan biokimia di badan perairan (APHA 2005). Menurut Effendi (2003) kadar oksigen terlarut di perairan alami bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Sedangkan menurut Reid (1961) terdapat tiga sumber utama oksigen, kontribusi masing-masing yang sama dan memang bervariasi dari waktu dalam sehari, cuaca, velocity dan morfologi sungai, suhu, dan karakteristik biologi. Kelarutan oksigen di air sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas, tekanan parsial gasgas yang ada di udara atau di air serta keberadaan unsur-unsur atau senyawa yang mudah teroksidasi yang terdapat di air (Wardoyo 1975). Prinsip dari kelarutan oksigen adalah (1) berasal langsung dari atmosfer yang terdifusi di permukaan perairan, (2) berasal dari hasil fotosintesis tumbuhan berklorofil. Penurunan oksigen diperairan dapat berasal dari aktivitas respirasi hewan dan tanaman, dekomposisi bahan organik, reduksi gas, pengurangan oksigen secara otomatis pada lapisan epilimnion, inflow, dan aktivitas panas (Welch 1952). Hilangnya oksigen di perairan, selain akibat respirasi hewan dan tumbuhan, disebabkan juga oleh mikroba yang menggunakan oksigen untuk oksidasi bahan organik (Boyd 1988). Menurut Buchari et al. (2001) bila bahan-bahan organik yang mencemari badan air cukup banyak maka jumlah oksigen yang dikonsumsi untuk menguraikan bahan-bahan tersebut semakin banyak pula sehingga kandungan oksigen terlarut dalam air turun sampai sedemikian rendah. Brown (1987) menyatakan dengan bertambahnya ketinggian, akan menyebabkan tekanan udara dan suhu perairan akan menjadi lebih rendah. Hal tersebut dapat mempengaruhi kelarutan oksigen dalam perairan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air

27 13 minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai oksigen terlarut diatas 6 mg/l dan 4 mg/l Nitrogen (Nitrat-Nitrogen, Nitrit-Nitrogen, dan Amonia-Nitrogen) Nitrogen merupakan nutrien makro bagi pertumbuhan alga yang selalu hadir di perairan umum. Meskipun nitrogen ditemukan dalam jumlah berlimpah di lapisan atmosfer, akan tetapi nitrogen harus difiksasi terlebih dahulu menjadi senyawa NH 3, NH + 4, dan NO - 3 agar bisa dimanfaatkan oleh tumbuhan dan hewan perairan (Saeni 1998). Senyawa nitrogen merupakan senyawa yang penting dalam menyintesis dan menghasilkan protein yang selanjutnya bersama karbohidrat dan lemak menjadi sebagian besar substansi di lingkungan hidup. Senyawa nitrogen secara normal menunjukan fluktuasi yang menonjol dan variasi yang nyata di sepanjang gradien sungai yang kecil (Reid 1961). Nitrat Nitrogen (NO 3 N) adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami. Secara umum jumlah nitrat di perairan tetapi bisa lebih tinggi di bebrapa air tanah. Nitrat hanya ditemukan dalam jumlah kecil di limbah domestik yang masih baru tetapi pada effluent dari biologi nitrifikasi pada pengolahan tanaman, nitrat bisa ditemukan hingga 30 mg nitrat sebagai nitrogen/l (APHA 2005). Effendi (2003) menyatakan bahwa kadar nitrat lebih dari 5 mg/l menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari kegiatan manusia serta tinja hewan. Kadar nitrat nitrogen yang lebih dari 2 mg/l akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi, selanjutnya akan merangsang pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming). Nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung dalam proses aerob (Effendi 2003). Menurut Reid (1961) keberadaan nitrat di perairan yang tidak tercemar sangat kecil, hanya sekitar 0,30 ppm. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria mutu air kelas 1, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai nitrat nitrogen dibawah 10 mg/l dan 20 mg/l.

28 14 Nitrit nitrogen (NO 2 N) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit, lebih sedikit daripada nitrat, dikarenakan bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat. Sumber nitrit dapat berasal dari limbah industri dan limbah domestik. Keberadaan nitrit menggambarkan berlangsungnya proses biologis perombakan bahan organik yang memiliki kadar oksigen terlarut yang sangat rendah (Effendi 2003). Menurut APHA (2005) nitrit juga merupakan bentuk peralihan dari tahap oksidasi nitrogen, yaitu amonia menjadi nitrat dan reduksi nitrat. Nitrit dapat masuk ke perairan karena korosi berasal dari industri. Menurut Reid (1961) nitrit selalu terjadi perubahan kuantitas di setiap menitnya, pada perairan yang tidak tercemar. Nitrit dapat dirubah dalam proses reduksi nitrat dan sangat memungkinkan terdapat banyak kandungan nitrit di sebagaian besar perairan alami yang berasal dari proses ini, daripada proses oksidasi amonia. Keberadaan nitrit berasal dari reduksi nitrat melalui bakteri anaerob di air. Ketidakseimbangan reaksi nitrifikasi berdampak pada terakumulasinya senyawa nitrit (Boyd 1982). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria mutu air kelas 1, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai nitrit nitrogen dibawah 0,06 mg/l. Amonia nitrogen (NH3 N) dan garam garamnya bersifat mudah larut dalam air (Effendi 2003). Amonia keberadaan secara natural di permukaan dan limbah konsentrasinya sangat rendah di air tanah karena terserap pada partikel, tanah (APHA 2005). Kadar amonia pada perairan alami biasanya lebih dari 0,1 mg/l. Kadar amonia bebas yang melebihi 0,2 mg/l bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan. Sumber amonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik dan nitrogen anorganik yang terdapat didalam tanah dan air, yang berasal dari dekomposisi bahan organik oleh mikroba dan jamur. Kadar amonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan limpasan pupuk pada pertanian. Amonia di perairan dapat menghilang melalui proses volatilisasi karena tekanan parsial amonia dalam larutan meningkat dengan meningkatnya ph (Effendi 2003). Nitrogen dalam bentuk amonia terdapat di sungai dari aktivitas dekomposisi bahan organik. Pada sungai yang tidak tercemar

29 15 konsentrasinya kecil, yaitu dibawah 1 ppm. Pencemaran dapat meningkatkan nilai amonia, dan dalam batas tertentu dapat meningkatkan produktivitas biologi. Nilai amonia yang tinggi dapat diduga dari dekomposisi protein tanaman dan hewan. Keberadaan amonia bebas tergantung pada ph dan suhu yang berkesimbangan dengan amonium. Amonia bebas yang tinggi sangat toksik bagi kehidupan ikan, tetapi ion amonium cenderung tidak toksik. Penjumlahan dari jumlah amonia bebas dan amonium adalah total amonia nitrogen (Boyd 1982). Proporsi dari amonia bebas semakin meningkat dengan meningkatnya ph dan suhu (Tabel 3) (Boyd 1988). Amonia lebih berbahaya ketika oksigen terlarut rendah, dan tingkat toksisitas amonia akan berkurang dengan meningkatnya konsentrasi karbondioksida (Boyd 1982). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria mutu air kelas 1, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai amonia nitrogen kurang dari 0,5 mg/l dan 0,02 mg/l (bagi kegiatan perikanan yang peka terhadap amonia). Tabel 3. Presentasi amonia bebas dalam perairan pada suhu dan ph berbeda ph Temperatur ( C) ,0 0,30 0,34 0,40 0,46 0,52 0,60 0,70 0,81 0,95 7,2 0,47 0,54 0,63 0,72 0,82 0,95 1,10 1,27 1,50 7,4 0,74 0,86 0,99 1,14 1,30 1,50 1,73 2,00 2,36 7,6 1,17 1,35 1,56 1,79 2,05 2,35 2,72 3,13 3,69 7,8 1,84 2,12 2,45 2,80 3,21 3,68 4,24 4,88 5,72 8,0 2,88 3,32 3,83 4,37 4,99 5,71 6,55 7,52 8,77 8,2 4,49 5,16 5,94 6,76 7,68 8,75 10,00 11,41 13,22 8,4 6,93 7,94 9,09 10,30 11,65 13,20 14,98 16,96 19,46 8,6 10,56 12,03 13,68 15,40 17,28 19,42 21,83 24,45 27,68 8,8 15,76 17,82 20,08 22,38 24,88 27,64 30,68 33,90 37,76 9,0 22,87 25,57 28,47 31,37 34,42 37,71 41,23 44,84 49,02 9,2 31,97 35,25 38,69 42,01 45,41 48,96 52,65 56,30 60,38 9,4 42,68 46,32 50,00 53,45 56,86 60,33 63,79 67,12 70,72 9,6 54,14 57,77 61,31 64,54 67,63 70,67 73,63 76,39 79,29 9,8 65,17 68,43 71,53 74,25 76,81 79,25 81,57 83,68 85,85 10,0 74,78 77,46 79,92 82,05 84,00 85,82 87,52 89,05 90,58 Sumber : Boyd (1988)

30 Total fosfat Fosfat merupakan salah satu nutrien makro bagi pertumbuhan alga diperairan. Menurut Dodds (2002) fosfat merupakan zat yang dominan dalam bentuk fosfor inorganik di perairan alami, tetapi keberadaannya sering dibawah pendeteksian. Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan. Sumber fosfat dalam perairan dapat berasal dari pelapukan batuan mineral, dekomposisi bahan organik, pupuk buatan (limbah pertanian), limbah industri, limbah rumah tangga, detergen, dan mineral-mineral fosfat (Saeni 1989). Fosfor bebas tidak ada di alam namun dalam bentuk fosfat. Kurang lebih ada 0,12 % fosfor yang ada di bumi dalam kombinasi fosfat (Welch 1952). Sedangkan menurut Boyd (1988) kadar fosfor total pada perairan alami jarang melebihi 1 mg/l. Total fosfat terbagi dalam dua komponen yaitu fosfor yang larut dalam bentuk fosfat dan fosfor organik yang terdapat pada plankton dan bahan organik yang lain (Welch 1952). Fosfat yang berikatan dengan ferri bersifat tidak larut dan mengendap di dasar perairan. Pada saat terjadi kondisi anaerob, ion besi bervalensi 3 (ferri) ini mengalami reduksi menjadi ion besi valensi dua (ferro) yang bersifat larut dan melepas fosfat ke perairan, sehingga meningkatkan keberadaan fosfat di perairan (Brown 1987). Fosfat di sungai berasal dari proses biologi maupun kimia disepanjang aliran sungai. Selama musim panas, konsentrasi dari fosfat inorganik dapat agak meningkat, disebabkan oleh kegiatan biologi (Reid 1961). Menurut Effendi (2003) pada kerak bumi, keberadaan fosfor relatif kecil dan mudah mengendap. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria mutu air Kelas 1, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan Kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai total fosfat dibawah 0,2 mg/l dan 1 mg/l.

31 17 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan contoh air dilakukan pada bulan April sampai dengan Mei Lokasi penelitian di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur dari hulu berupa mata air yang berada di Desa Maringgai, hingga hilir berupa muara sungai di Desa Muara Gading Mas. Pengambilan contoh air dilakukan sebanyak 3 kali pengambilan contoh dengan jarak waktu pengambi1an selama 1 minggu Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian adalah botol sampel, ph stik, termometer, ice box, botol BOD, aerator, syiringe, pompa vakum, labu takar, gelas ukur, erlenmeyer, bulb, gelas arloji, pipet, timbangan, hotplate, desikator, oven, TDS meter, dan inkubator. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian diantaranya adalah es (pendingin sampel), akuades, kertas saring membran whatman 934-AH, akuabides, HCL bilas, pereaksi NH 3 -N, NO 2 -N, NO 3 -N, DO, BOD, dan total fosfat Metode Pengambilan Contoh Penentuan lokasi Penentuan lokasi pengambilan contoh fisika dan kimia air didasarkan pada kegiatan dan lahan yang digunakan untuk menghasilkan bahan organik yang dibuang ke sungai. Oleh karena itu ditetapkan 3 titik stasiun di Way Perigi seperti pada Gambar 2. Stasiun I terletak di Desa Maringgai, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Stasiun I merupakan hulu dari Way Perigi yang berupa mata air dan biasa digunakan masyarakat untuk kegiatan mandi dan cuci serta sebagai sumber air minum. Stasiun II merupakan bagian tengah sungai, biasanya digunakan masyarakat sekitar untuk kegiatan mandi, cuci, dan kakus (MCK), dan

32 18 pembuangan limbah rumah tangga serta limbah industri rumah tangga. Stasiun III merupakan bagian hilir sungai yang masih tawar, masyarakat menggunakannya untuk kegiatan MCK, dan perladangan. Gambar 2. Sketsa Lokasi Penelitian, Stasiun 1, Stasiun 2, dan Stasiun 3 di Way Perigi Sumber : Badan Pembangunan Daerah Provinsi Bandar Lampung Pengambilan dan penanganan air contoh Kegiatan di lapangan meliputi pengukuran secara in situ parameter fisikakimia air dan pengambilan contoh air yang akan diteliti. Kemudian analisis contoh air dilakukan di Laboratorium Fisika-Kimia Perairan, Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan contoh air untuk parameter fisika-kimia dibagi menjadi 3 substasiun secara melintang yaitu di kedua bagian tepi dan bagian tengah. Untuk penanganan contoh air dilakukan dengan menggunakan botol contoh air, kemudian

33 19 ditutup rapat dan dimasukkan ke dalam ice box yang berisi es batu. Contoh air yang sudah diambil kemudian dimasukkan ke dalam botol contoh berukuran 250 ml dan diawetkan dengan menggunakan H 2 SO 4 pekat sebanyak 0,3 ml (6 tetes) untuk analisa nitrat dan amonia. Pada analisa total fosfat, contoh air disimpan dalam suhu 4 o C dan tidak menggunakan pengawet. Parameter kualitas air yang dianalisis di lapangan adalah suhu, kecepatan arus, debit air, dan oksigen terlarut. Contoh air yang dianalisis di laboratorium adalah kekeruhan, TDS, TSS, BOD 5, NO 3 -N, NH 3 -N, dan total fosfat. Metode/alat pengukuran terhadap parameter kualitas air yang terkait dengan penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Paramater fisika-kimia perairan yang diamati beserta metode/alat yang digunakan (APHA 2005). No Parameter Satuan Alat/Metode Analisis A. Fisika 1 Suhu o C Termometer/pemuaian In situ 2 Kekeruhan NTU Turbiditimeter/nephelometric Laboratorium 3 Arus m/detik Pelampung, stopwatch/visual In situ 4 TSS mg/l Filter/gravimetrik Laboratorium 5 TDS mg/l Filter/gravimetrik Laboratorium 6 Debit air m3/detik Perhitungan In situ B. Kimia 1 ph - ph meter/potensiometer In situ 2 DO mg/l Alat titrasi/modifikasi Winkler In situ 3 BOD5 mg/l Alat titrasi/modifikasi Winkler Laboratorium dengan inkubasi 5 hari 4 NO 3 -N mg/l Spektrofotometer/metode Brucine Laboratorium 5 NH 3 -N mg/l Spektrofotometer/metode Phenate Laboratorium 6 NO 2 -N mg/l Spektrofotometer/metode Laboratorium Colorimetri 7 TP mg/l Spektrofotometer/metode Ascorbic Acid Laboratorium Keterangan : TSS = total suspended solid; TDS = total dissolved solid; DO = dissolved oxygen; BOD 5 = 5-day biochemical oxygen demand; NO 3 -N = nitrat nitrogen; NO 2 -N = nitrit nitrogen; NH 3 -N = amonia nitrogen; TP = total pospat 3.4. Karakteristik Sungai Lebar sungai Penentuan lebar sungai pada setiap stasiun dilakukan dengan cara membentangkan roll meter secara melintang dari bagian kiri sampai kanan sungai yang masih terdapat aliran. Penentuan lebar sungai dari masing-masing stasiun dilakukan sebanyak 3 kali ulangan yang membentang searah aliran sungai sepanjang

34 20 10 meter, dan pembagian ulangan tersebut ditentukan berdasarkan interval 2 meter (0 meter, 2 meter, dan 4 meter) Kedalaman air Pengukuran kedalaman perairan dilakukan sebanyak tiga titik yaitu di kedua tepi dan tengah sungai secara melintang. Pengukuran ini dilakukan secara langsung dengan menggunakan bambu berskala yang di celupkan sampai kedasar perairan Kecepatan arus Pengukuran kecepatan arus pada masing-masing stasiun dilakukan secara melintang di pinggir kiri, tengah, dan kanan sungai dengan menggunakan bola pingpong yang diikatkan sepanjang 2 meter. Setelah itu, bola tersebut dihanyutkan mengikuti aliran sungai dan dicatat waktu yang diperlukan bola tersebut untuk mencapai jarak 2 meter. Berikut perhitungan kecepatan arus : V = 2 meter t Keterangan : V : kecepatan arus (m/detik) t : waktu yang diperlukan untuk mencapai jarak 2 meter (detik) Debit air Perhitungan debit air dilakukan dengan cara mengetahui dan mengukur nilai kecepatan arus, kedalaman, dan lebar sungai. Setelah itu, perhitungan debit air dilakukan dengan mengalikan luas penampang dengan kecepatan arus. Dalam hai ini luas penampang didapat dari perkalian kedalaman dengan lebar sungai. Kemudian perhitungan debit dilakukan dengan menggunakan rumus menurut Jeffries dan Mills (1996) in Effendi (2003) adalah sebagai berikut :

35 21 D = v x A = v x (d x w) Keterangan : D : debit air (m 3 /detik) v : kecepatan arus (m/detik) A : luas penampang (m 3 ) d : kedalaman (m) w : lebar sungai (m) 3.5. Analisis Data Hasil analisis yang dihasilkan, dibandingkan dengan baku mutu air berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria baku mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman. Baku mutu air kelas I hanya digunakan pada stasiun 1 saja, karena mata air digunakan sebagai air minum oleh masyarakat setempat. Selanjutnya dianalisis dengan menggunakan Indeks STORET dan Indeks Pencemaran Indeks STORET Analisis data kualitas air dengan metode STORET (Storage and Retrieval) adalah untuk mengetahui tingkat mutu kualitas perairan setiap titik lokasi dan setiap waktu pengamatan yang dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut : 1. Melakukan pengumpulan data kualitas air secara periodik sehingga membentuk data dari waktu ke waktu (time series data). 2. Membandingkan data hasil pengukuran dari masing-masing parameter air dengan nilai baku mutu yang sesuai dengan peruntukannya. 3. Jika hasil pengukuran memenuhi baku mutu maka diberi skor Jika hasil pengukuran tidak memenuhi baku mutu maka diberi skor tertentu sesuai dengan sistem skor pada Tabel 5.

36 22 Tabel 5. Penetuan sistem nilai untuk menentukan status mutu air (Canter 1997 in KepMen LH No 115 tahun 2003) Jumlah contoh *) <10 Nilai Parameter Fisika Kimia Biologi Maksimum Minimum Rata-rata Maksimum >10 Minimum Rata-rata Keterangan *) : jumlah pengamatan (series data) yang digunakan untuk penentuan status mutu air. 5. Jumlah skor dari jumlah contoh pengamatan < 10 pada setiap parameter dijumlahkan, selanjutnya dari total skor dapat ditentukan status mutu perairan dengan menggunakan sistem skor untuk mengetahui status mutu air pada tabel 6. Tabel 6. Penentuan status mutu air berdasarkan Indeks STORET Skor Kriteria 0 Memenuhi baku mutu -1 s.d -10 Tercemar ringan -11 s.d -30 Tercemar sedang -31 Tercemar berat Indeks Pencemaran Indeks Pencemaran digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran relatif terhadap parameter kualitas air yang diizinkan (Nemerow 1974 in KepMen LH no.115 Tahun 2003). Pengelolaan kualitas air dengan menggunakan Indeks Pencemaran dapat memberi masukan pada penilaian terhadap kualitas suatu badan air untuk suatu peruntukan serta melakukan tindakan untuk memperbaiki kualitas air jika terjadi pencemaran. Prosedur dalam penggunaan Indeks Pencemaran adalah sebagai berikut : Jika Lij menyatakan konsentrasi parameter kualitas air yang dicantumkan dalam baku mutu peruntukkan air (j), dan Ci menyatakan konsentrasi parameter kualitas air (i) yang diperoleh dari hasil analisis contoh air pada suatu lokasi

37 23 pengambilan contoh dari suatu alur sungai, maka Pij adalah Indeks Pencemaran bagi peruntukan (j) yang merupakan fungsi dari Ci/Lij. Harga Pij ditentukan dengan cara: 1. Memilih parameter yang terdapat pada baku mutu yang dijadikan acuan. 2. Menghitung harga Ci/Lij untuk tiap parameter pada setiap lokasi pengambilan contoh air. 3a. Jika nilai konsentrasi parameter yang menurun menyatakan tingkat pencemaran meningkat, misal DO, tentukan nilai teoritik atau nilai maksimum Cim (misal untuk DO, maka Cim adalah nilai DO jenuh). Dalam kasus ini nilai Ci/Lij hasil pengukuran digantikan oleh nilai Ci/Lij hasil perhitungan : (Ci/Lij)baru = Cim Ci(hasil pengukuran ) Cim Lij 3b. Jika nilai baku mutu memiliki rentang : - Untuk Ci < Lij rata-rata (Ci/Lij)baru = [Ci (Lij )rata rata ] [ Lij minimum Lij rata rata ] - Untuk Ci > Lij rata-rata (Ci/Lij)baru = [Ci (Lij )rata rata ] [ Lij maksimum Lij rata rata ] 4.Harga Pij Pij = ( Ci Lij ) 2 Ci M ( Lij ) 2 R 2 Tabel 7. Penentuan status mutu air berdasarkan Indeks Pencemaran Skor Kriteria 0 Pij 1,0 Kondisi baik 1,0 Pij 5,0 Tercemar ringan 5,0 Pij 10 Tercemar sedang Pij>10 Tercemar berat

38 24 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Way Perigi Pengamatan parameter fisika-kimia perairan Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur dilakukan sebanyak 3 kali pengambilan sample, yaitu sampling pertama pada hari Sabtu, 21 April 2012,sampling kedua pada hari Sabtu, 5 Mei 2012, dan sampling ketiga pada hari Sabtu, 19 Mei Ketiga sampling ini dilakukan pada musim peralihan antara kemarau dan penghujan. Pada sampling 1, kondisi pengambilan sample yaitu 1 hari setelah hujan, pada sampling 2, kondisi pengambilan sample yaitu cuaca panas terik, dan sampling 3, kondisi pengambilan sample yaitu hujan. Way Perigi biasa digunakan masyarakat setempat sebagai tempat kegiatan MCK, budidaya ikan di hulu sungai, dan sebagian besar digunakan sebagai pengairan sawah. Oleh karena itu baku mutu yang digunakan untuk menentukan status mutu Way Perigi adalah menurut Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 kelas III tentang baku mutu air yang digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Pada sepanjang aliran Way Perigi, dari bagian hulu (Stasiun 1) yang berupa mata air hingga ke bagian tengah (Stasiun 2) yang terletak di pemukiman warga, terdapat aktivitas budidaya ikan dan mayoritas terdapat aktivitas persawahan. Sedangkan dari tengah sungai hingga ke hilir sungai (Stasiun 3) terdapat banyak aktivitas warga seperti kegiatan MCK, aktivitas persawahan, perkebunan sawit, dan terdapat pemukiman warga kembali di bagian hilir, namun tidak sebanyak pada bagian tengah sungai. Bila dilihat dari hasil pengukuran parameter-parameter kualitas air perairan Way Perigi masih berada dalam kisaran yang diperbolehkan menurut Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 kelas III, namun pada bagian hulu sungai terdapat beberapa parameter yang melebihi baku mutu air menurut Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 kelas I. Hasil rata-rata pengukuran parameter fisika dan kimia pada perairan Way Perigi dapat dilihat pada Lampiran 1.

39 Parameter Fisika Suhu Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, rataan nilai suhu di Way Perigi berkisar antara 27 o C sampai 30 o C. Hasil sebaran suhu pada stasiun 1 sampai stasiun 3, pada sampling 1 sampai sampling 3 bisa terlihat pada Gambar Suhu ( C) stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3 Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Rata-rata Gambar 3. Sebaran rataan nilai suhu setiap stasiun selama pengamatan Pada Gambar 3 mengenai grafik suhu dapat terlihat bahwa pada setiap stasiun dari hulu ke hilir, memiliki nilai suhu yang cenderung meningkat. Hal ini dikarenakan oleh salah satu faktor yaitu penutupan sungai oleh tumbuh-tumbuhan. Pada stasiun 1 yang berupa mata air terdapat pepohonan yang masih tergolong rimbun sehingga suhu cenderung lebih rendah, sedangkan pada stasiun 2 dan 3 faktor penutupan lebih rendah sehingga suhu cenderung lebih tinggi. Menurut Barus (2001) pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis, dan juga faktor canopy (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi. Selain faktor penutupan canopy, cuaca saat pengambilan sample juga mempengaruhi tinggi rendahnya suhu. Seperti pada sampling 3 suhu lebih rendah dikarenakan cuaca pengambilan sample adalah hujan, sedangkan pada sampling 2 suhu lebih tinggi, dikarenakan cuaca saat pengambilan sample adalah panas terik. Berdasarkan baku mutu PP RI no. 82 tahun 2001 kelas I dan kelas III, nilai yang diperbolehkan untuk suhu yaitu sebesar deviasi 3 o C dari keadaan alamiahnya, sehingga nilai suhu dari ketiga stasiun selama pengamatan di Way Perigi, dapat dikatakan masih dalam kisaran yang baik.

40 Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid- TSS) dan kekeruhan Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, rataan nilai padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid TSS) di Way Perigi berkisar antara 3 mg/l sampai 24,33 mg/l. Hasil sebaran rataan nilai TSS di setiap stasiun selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 4. TSS (mg/l) stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3 Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Rata-rata Gambar 4. Sebaran rataan nilai TSS setiap stasiun selama pengamatan Pada setiap stasiun dari hulu ke hilir selama waktu pengamatan memiliki nilai TSS yang semakin meningkat. Nilai TSS terrendah yaitu terdapat pada stasiun 1, hal ini dikarenakan stasiun 1 berupa mata air, sehingga tidak ada kegiatan pertanian maupun perikanan yang bisa meningkatkan nilai TSS. Selain itu tipe substrat berbatu pada stasiun 1, tidak menyebabkan nilai TSS yang terlalu tinggi. Nilai TSS tertinggi yaitu terdapat pada stasiun 3, hal ini dikarenakan stasiun 3 terletak di hilir sungai dan terdapat akumulasi bahan organik dari kegiatan antropogenik dan bahan tersuspensi dari kegiatan pertanian dan perikanan di sepanjang aliran sungai. Selain itu tipe substrat pada stasiun 2 dan 3 yang berupa lumpur, dapat menambah tingginya nilai TSS saat terjadi pengadukan dari arus maupun dari hujan. Nilai TSS dari Way Perigi yang masih bernilai kurang dari 25 mg/l, memiliki arti bahwa kandungan bahan-bahan tersuspensi di Way Perigi tidak berpengaruh pada kegiatan perikanan (Tabel 1) Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, rataan nilai kekeruhan di Way Perigi berkisar antara 0,19 NTU sampai 25,90 NTU. Hasil sebaran rataan nilai kekeruhan di setiap stasiun selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 5.

41 27 Kekeruhan (NTU) stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3 Samping 1 Sampling 2 Sampling 3 Rata-rata Gambar 5. Sebaran rataan nilai kekeruhan setiap stasiun selama pengamatan Pada stasiun 1 dan 2, nilai kekeruhan tertinggi yaitu terdapat pada sampling 3. Hal ini dikarenakan cuaca saat pengambilan sample adalah hujan, sehingga disebabkan karena adanya lapisan tanah yang terbawa oleh aliran air (Effendi 2003). Pada setiap stasiun dari hulu ke hilir memiliki nilai kekeruhan yang semakin meningkat. Menurut Welch (1952) sungai yang berada di daerah pegunungan (hulu) memiliki nilai kekeruhan yang lebih rendah daripada sungai yang berada di daerah hilir. Hal tersebut dapat diduga dari penggunaan lahan sekitar sungai, yang berupa kegiatan pertanian (sawah dan ladang) dan limpasan tanah di sekitar sungai akibat hujan pada stasiun 2 dan 3, sedangkan pada stasiun 1 tidak ada kegiatan tersebut dan limpasan tanah dari hujan juga sedikit karena pepohonan yang masih rimbun dan tidak ada aktivitas pertanian disekitar mata air. Menurut Effendi (2003) nilai TSS berbanding lurus dengan nilai kekeruhan. Hal ini terbukti dengan regresi antara keduanya seperti pada Gambar 6. TSS (mg/l) Y = 0,772x + 2,076 R² = 0,938 r = 0, Kekeruhan (NTU) Gambar 6. Hubungan antara nilai TSS dengan kekeruhan

42 28 Berdasarkan regresi dari nilai TSS dengan kekeruhan, menyatakan bahwa nilai TSS dengan kekeruhan berhubungan erat, dibuktikan dengan nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0,938 dan nilai koefisien korelasi sebesar 0,968 atau 96,8 %. Nilai TSS berbanding lurus dengan nilai kekeruhan, semakin tinggi nilai kekeruhan maka semakin tinggi juga nilai TSS. Hal ini terbukti bahwa nilai TSS yang semakin tinggi pada setiap stasiunnya (Gambar 4), diiringi dengan nilai kekeruhan yang semakin tinggi (Gambar 5) juga pada setiap stasiunnya. Berdasarkan baku mutu air PP RI no.82 Tahun 2001 kelas I dan kelas III, nilai yang diperbolehkan untuk TSS adalah 50 mg/l dan 400 mg/l (Lampiran 2), sehingga dari ketiga stasiun pengamatan memiliki nilai TSS yang masih memenuhi kriteria baku mutu air Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid- TDS) Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, rataan nilai padatan terlarut total (Total Dissolved Solid TDS) di Way Perigi berkisar antara 76,67 mg/l sampai 140 mg/l. Hasil sebaran rataan nilai TDS di setiap stasiun selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar TDS (mg/l) stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3 Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Rata-rata Gambar 7. Sebaran rataan nilai TDS setiap stasiun selama pengamatan Pada setiap stasiun pengamatan dari hulu ke hilir, diperoleh nilai TDS yang cenderung semakin menurun. Secara keseluruhan di setiap stasiun selama waktu pengamatan, nilai TDS tertinggi yaitu pada stasiun 1 dan terrendah yaitu pada

43 29 stasiun 3. Menurut Effendi (2003) nilai TDS sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik. Oleh karena itu, nilai TDS tertinggi di stasiun 1, dapat diduga dari aktivitas pelapukan batuan yang berasal dari substrat yang berupa batuan, serta limpasan ion-ion yang berasal dari tanah dikarenakan pada stasiun 1 yaitu berupa mata air, sehingga air yang keluar dari dalam tanah lebih banyak membawa ion-ion terlarut di air. Nilai TDS pada stasiun 2 yang masih tergolong tinggi, dapat diduga dari aktivitas antropogenik karena lokasi pada stasiun 2 berupa pemukiman warga. Sedangkan nilai TDS terrendah terdapat pada stasiun 3, hal ini dapat diduga dari tidak adanya pelapukan batuan. Selain itu kandungan TDS yang rendah dapat diindikasikan bahwa ion-ion yang terlarut di air memiliki kandungan yang rendah. Berdasarkan baku mutu air PP RI no.82 Tahun 2001 kelas I dan kelas III, nilai yang diperbolehkan untuk TDS adalah 1000 mg/l (Lampiran 2), sehingga dari ketiga stasiun pengamatan memiliki nilai TDS yang masih memenuhi kriteria baku mutu air Parameter Kimia ph Berdasarkan hasil analisis insitu dari parameter ph, rataan nilai ph di Way Perigi berkisar antara 6,5 sampai 7,3. Sebaran nilai ph dapat terlihat pada Gambar 8. 9 ph stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3 Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Rata-rata Gambar 8. Sebaran rataan nilai ph setiap stasiun selama pengamatan Pada setiap stasiun pengamatan nilai ph tidak terlalu berfluktuasi jauh. Nilai yang didapatkan cenderung sama pada setiap stasiun dan setiap sampling. Menurut

44 30 Sastrawijaya (2000) air yang masih segar dari pegunungan biasanya mempunyai ph yang lebih tinggi, semakin ke hilir ph air akan semakin asam, karena ada penambahan peningkatan bahan-bahan organik yang terurai. Berdasarkan baku mutu air PP RI no.82 Tahun 2001 kelas 1 dan kelas III, nilai yang diperbolehkan untuk ph yaitu berkisar antara 6 9 (Lampiran 2), sehingga nilai sebaran ph di ketiga stasiun pengamatan di Way Perigi memenuhi kriteria baku mutu Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen- DO) Berdasarkan hasil analisis oksigen terlarut atau DO, rataan nilai DO di Way Perigi berkisar antara 4,54 mg/l sampai 6,82 mg/l. Nilai sebaran DO seluruh stasiun pengamatan masih tergolong baik, terlihat pada Gambar 9. DO (mg/l) stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3 Baku mutu kelas I Baku mutu kelas III Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Rata-rata Gambar 9. Sebaran rataan nilai DO setiap stasiun selama pengamatan Pada setiap stasiun, nilai DO tertinggi yaitu saat sampling 3 dan terrendah saat sampling 2. Hal ini dikarenakan DO berkaitan dengan suhu, saat suhu tinggi pada sampling 2 (Gambar 3), maka nilai DO akan rendah dikarenakan banyak oksigen yang terlepas ke udara, begitu juga sebaliknya saat suhu rendah pada sampling 3 (Gambar 3), maka nilai DO akan tinggi. Pada masing-masing stasiun nilai DO tertinggi yaitu pada stasiun 2, hal ini dapat diduga dari arus sungai pada stasiun 2 yang lebih deras dibandingkan stasiun 1 dan 3 (Lampiran 1). Namun pada stasiun 1 saat sampling 1 dan 2, nilai DO berada dibawah baku mutu yang mengindikasikan kurang baik bagi air baku air minum. Hal ini dapat diduga dari

45 31 pengadukan di mata air yang tidak terlalu deras, sehingga nilai DO pun tidak terlalu tinggi, di tunjang dengan tingginya suhu yang tinggi. Selain berkaitan dengan suhu dan arus, DO juga diduga dapat berkaitan dengan jumlah bahan-bahan organik yang mencemari badan perairan, semakin banyak bahan organik yang mencemari badan perairan maka semakin banyak pula oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan bahan organik tersebut sehingga kandungan oksigen menurun hingga sedemikian rupa (Buchari 2001). Berdasarkan baku mutu PP RI no.82 tahun 2001 kelas I dan kelas III, nilai DO sebaiknya yaitu 6 mg/l dan 3 mg/l (Lampiran 2), sehingga nilai sebaran DO di stasiun 1 berada di bawah baku mutu dan pada stasiun 2 dan 3 masih memenuhi kriteria baku mutu Kebutuhan oksigen biokimiawi (Biochemical Oxygen Demand- BOD) Berdasarkan hasil analisis BOD, rataan nilai BOD di Way Perigi berkisar antara 2 mg/l sampai 6,1 mg/l. Nilai rataan BOD pada semua stasiun pengamatan dapat dilihat pada Gambar BOD (mg/l) stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3 Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Rata-rata Baku mutu kelas I Baku mutu kelas III Gambar 10. Sebaran rataan nilai BOD setiap stasiun selama pengamatan Nilai BOD yang dianalisis dari setiap stasiun selama pengamatan dari hulu ke hilir cenderung berfluktuasi. Namun secara keseluruhan, nilai BOD dari hulu ke hilir semakin meningkat. Tingginya nilai BOD di stasiun 3 dapat diduga dari penumpukan bahan organik yang berasal dari sepanjang aliran sungai sebelum titik stasiun 3, yang berasal dari kegiatan antropogenik. Pada sampling 3 nilai BOD

46 32 sangat berfluktuasi, hal ini dapat diduga dari masukan bahan organik dari kegiatan antropogenik lebih tinggi pada saat sampling 3 di stasiun 3, karena waktu pengambilan yang berbeda pada setiap stasiunnya. Menurut Lee et al. in Lestari (2004) berdasarkan hasil nilai BOD yang bernilai kurang dari 2,9 mg/l hingga pada kisaran 5,1 14,9 mg/l mengindikasikan bahwa Way Perigi tergolong dalam status tidak tercemar hingga tercemar sedang (Tabel 2). Nilai BOD ini tidak menunjukan jumlah bahan organik yang sebenarnya, tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan buangan (Fardiaz 1992). Berdasarkan baku mutu PP RI no. 82 tahun 2001 kelas 1 dan kelas III nilai yang diperbolehkan untuk BOD yaitu 2 mg/l dan 6 mg/l (Lampiran 2). Sehingga nilai sebaran BOD pada stasiun 1 melebihi nilai BOD yang diperbolehkan untuk air baku air minum, kecuali saat sampling 2. Hal ini dapat diduga dari pengadukan bahan organik akibat hujan dan masukan bahan organik yag lebih besar pada stasiun 1 saat sampling 1 dan 3. Sedangkan pada stasiun 2 dan 3 nilai BOD memenuhi kriteria baku mutu kecuali pada stasiun 3 sampling ke Nitrogen (Nitrat-Nitrogen, Nitrit-Nitrogen, dan Amonia-Nitrogen) Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, rataan nilai nitrat di Way Perigi berkisar antara 0,448 mg/l sampai 1,203 mg/l. Hasil sebaran rataan nilai nitrat di setiap stasiun selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 11. NO3-N (mg/l) stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3 Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Gambar 11. Sebaran rataan nilai nitrat (NO 3 -N) setiap stasiun selama pengamatan

47 33 Pada setiap stasiun pengamatan dari hulu ke hilir, dari masing-masing sampling, kandungan nitrat dari tertinggi ke terrendah adalah saat sampling 1, lalu sampling 3, dan sampling 2, hal ini dikarenakan cuaca pengambilan sample pada sampling 1 adalah setelah hujan dan sampling 3 adalah saat hujan, sehingga kandungan oksigen terlarut tinggi dan proses yang lebih dominan terjadi adalah proses nitrifikasi. Sedangkan nilai nitrat terrendah terdapat pada sampling 2, hal ini dikarenakan kandungan oksigen terlarut saat sampling 2 lebih rendah, sehingga proses nitrifikasi yang terjadi pun lebih rendah dari sampling 1 dan 3. Tingginya kandungan nitrat pada stasiun 1 dapat diduga dari masukan nitrat ke air melewati tanah dari kegiatan perladangan di sekitar mata air, dan rendahnya nilai nitrat di stasiun 3 dapat diduga dari hasil buangan kegiatan antropogenik dari aktivitas MCK yang lebih tinggi dan terakumulasi di stasiun 3. Nilai sebaran nitrat di ketiga stasiun pengamatan masih cukup baik, hal ini dapat diduga bahwa bahanbahan dari aktivitas antropogenik seperti pertanian yang menggunakan pupuk, budidaya ikan dan pemukiman yang masih belum terlalu banyak. Berdasarkan baku mutu air PP RI no.82 Tahun 2001 kelas 1 dan kelas III, nilai yang diperbolehkan untuk nitrat yaitu 10 mg/l dan 20 mg/l (Lampiran 2), sehingga nilai sebaran nitrat di ketiga stasiun pengamatan di Way Perigi memenuhi kriteria baku mutu. Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, rataan nilai nitrit di Way Perigi berkisar antara <0,002 mg/l sampai 0,039 mg/l. Hasil sebaran rataan nilai nitrit di setiap stasiun selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 12. NO2-N (mg/l) stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3 Baku mutu Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Rata-rata Gambar 12. Sebaran rataan nilai nitrit (NO 2 -N) setiap stasiun selama pengamatan

48 34 Pada setiap stasiun nilai nitrit tergolong berfluktuasi. Hal ini dikarenakan senyawa nitrit merupakan senyawa yang labil, yaitu senyawa peralihan antara amonia dan nitrat. Kadar nitrit diperairan relatif kecil karena nitrit segera dioksidasi menjadi nitrat (Effendi 2003). Namun secara keseluruhan dari setiap stasiun, kandungan nitrit semakin meningkat di setiap stasiunnya. Menurut Effendi (2003) keberadaan nitrit menggambarkan berlangsungnya proses biologis perombakan bahan organik yang memiliki kadar oksigen terlarut yang sangat rendah. Berdasarkan baku mutu air PP RI no.82 Tahun 2001 kelas I dan kelas III, nilai yang diperbolehkan untuk nitrit yaitu 0,06 mg/l (Lampiran 1), sehingga nilai sebaran nitrat di ketiga stasiun pengamatan di Way Perigi memenuhi kriteria baku mutu. Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, rataan nilai amonia di Way Perigi berkisar antara 0,078 mg/l sampai 0,526 mg/l. Hasil sebaran rataan nilai amonia di setiap stasiun selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar NH3-N (mg/l) stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3 Baku mutu kelas I Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Rata-rata Gambar 13. Sebaran rataan nilai amonia (NH 3 -N) setiap stasiun selama pengamatan Pada setiap stasiun pengamatan dari hulu ke hilir nilai amonia di ketiga sampling cenderung menurun, kecuali saat sampling 1. Hal ini dapat diduga bahwa buangan dari kegiatan antropogenik saat sampling 1 lebih tinggi daripada saat sampling 2 dan 3 dan semakin meningkat di stasiun 2 dan 3. Namun secara keseluruhan nilai amonia di setiap stasiun, semakin meningkat dari stasiun 1 ke stasiun 3. Hal ini dikarenakan pada stasiun 3 terdapat akumulasi bahan organik dari kegiatan antropogenik, lalu kandungan oksigen terlarut di stasiun 3 cenderung lebih rendah sehingga proses denitrifikasi cenderung lebih tinggi daripada proses

49 35 nitrifikasi. Selain itu, nilai amonia yang tinggi di stasiun 3 dapat diduga dari dekomposisi protein tanaman dan hewan (Ruttner 1963). Amonia di perairan dapat menghilang melalui proses volatilisasi karena tekanan parsial amonia dalam larutan meningkat dengan meningkatnya ph (Effendi 2003). Hal ini dibuktikan dengan nilai ph yang semakin menurun, sedangkan kandungan amonia semakin meningkat di setiap stasiun pengamatan. Berdasarkan baku mutu PP RI no. 82 tahun 2001 kelas I dan kelas III nilai yang diperbolehkan untuk amonia yaitu 0,5 mg/l dan 0,002 mg/l (amonia bebas) (Lampiran 2). Sehingga berdasarkan perhitungan nilai amonia untuk stasiun 1 dan amonia bebas untuk stasiun 2 dan 3 selama pengamatan (Lampiran 1) di Way Perigi memenuhi kriteria baku mutu air minum dan untuk budidaya ikan yang peka terhadap amonia bebas. Berdasarkan hasil pengamatan pada ke tiga stasiun, didapat rataan nilai nitrat, nitrit dan amonia, seperti pada Gambar 14. Hal ini digunakan untuk mengkaitkan antara ketiga parameter tersebut mg/l stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3 Nitrat Nitrit Amonia Gambar 14. Sebaran nilai rata-rata dari Nitrat, Nitrit, dan Amonia Pada setiap stasiun pengamatan, nilai rataan nitrat cenderung menurun disetiap stasiunnnya berkebalikan dengan nilai amonia yang semakin meningkat. Sedangkan senyawa nitrit memiliki nilai rataan yang paling rendah. Hal ini dikarenakan, nitrit merupakan senyawa yang labil dan sensitif terhadap keberadaan oksigen, jika oksigen rendah maka akan direduksi menjadi amonia dan jika oksigen tinggi maka akan dioksidasi menjadi nitrat.

50 36 Pada ketiga senyawa tersebut, terdapat dua proses yaitu nitrifikasi dan denitrifikasi. Seperti pada stasiun 1, dapat diduga proses yang lebih dominan adalah proses nitrifikasi yaitu proses oksidasi amonia menjadi nitrat dikarenakan kandungan oksigennya tinggi, sehingga kandungan nitrat lebih tinggi daripada amonia. Sedangkan pada stasiun 3, dapat diduga terdapat proses denitrifikasi yaitu proses reduksi nitrat menjadi amonia dikarenakan oksigennya menurun, sehingga kandungan nitrat menurun dan amonia meningkat. Sedangkan senyawa nitrit merupakan senyawa peralihan baik dari nitrat yang di reduksi menjadi amonia, maupun senyawa amonia yang dioksidasi menjadi nitrat Total fosfat Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, rataan nilai Total Fosfat di Way Perigi berkisar antara 0,146 mg/l sampai 0,916 mg/l. Hasil sebaran rataan nilai Total Fosfat di setiap stasiun selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3 Baku mutu kelas I Baku mutu kelas III Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Rata-rata Gambar 15. Sebaran rataan nilai Total Fosfat setiap stasiun selama pengamatan Pada setiap stasiun pengamatan, nilai total fosfat cenderung berfluktuasi di setiap sampling. Menurut Saeni (1989) sumber fosfat diperairan dapat berasal dari pelapukan batuan mineral, dekomposisi bahan organik, pupuk buatan, limbah industri, limbah rumah tangga, detergen, dan mineral-mineral fosfat. Pada setiap stasiun nilai fosfat dari tertinggi hingga terrendah yaitu saat sampling 1, sampling 3, dan sampling 2. Hal ini dapat diduga dari aktivitas warga dalam membuang limbah

51 37 domestik lebih tinggi pada sampling 1 terutama pada stasiun 2 yang terletak di pemukiman warga. Lalu saat sampling 3, nilai fosfat cenderung menurun dari setiap stasiunnya, dapat diduga bahwa pada stasiun 1 aktivitas warga dalam membuang limbah rumah tangga seperti dalam kegiatan mencuci pakaian yang menggunakan detergen atau kegiatan mandi yang menggunakan sabun, lebih tinggi daripada di stasiun 2 dan 3. Sedangkan saat sampling 2 nilai fosfat rendah dapat diduga dari cuaca panas terik sehingga fosfat menurun diperairan dan aktivitas warga dalam membuang limbah domestik lebih rendah. Secara keseluruhan nilai fosfat dari ketiga stasiun disetiap pengamatan, nilai fosfat tertinggi yaitu pada stasiun 2. Hal ini dapat diduga dari letak stasiun 2 yang berada di pemukiman warga, sehingga limbah domestik dari aktivitas antropogenik yang terbuang lebih banyak daripada di stasiun 1 dan 3, serta masukan aliran dari sawah yang memungkinkan membawa senyawa fosfat dari pupuk yang digunakan. Berdasarkan baku mutu air PP RI no.82 Tahun 2001 kelas I dan kelas III, nilai yang diperbolehkan untuk fosfat yaitu 0,2 mg/l dan 1 mg/l (Lampiran 1). Pada stasiun 1, nilai fosfat melebihi baku mutu air kelas I pada sampling 1 dan 3, dapat diduga dari kegiatan antropogenik dalam penggunaan detergen saat itu. Sedangkan pada stasiun 2 dan 3 nilai fosfat memenuhi kriteria baku mutu air kelas III Karakteristik Perairan Debit air Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, nilai debit air di Way Perigi berkisar antara 0, 28 m 3 /s sampai 1,38 m 3 /s. Sebaran nilai debit air dapat terlihat pada Gambar 16.

52 38 m3/detik stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3 Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Rata-rata Gambar 16. Sebaran nilai rata-rata debit air di setiap stasiun pengamatan Berdasarkan nilai yang diperoleh, debit air tertinggi yaitu pada stasiun 3. Hal ini dikarenakan terdapat masukan saluran air dari persawahan sepanjang sungai, sehingga debit air dari hulu ke hilir semakin meningkat. Nilai debit air terrendah yaitu pada stasiun 1, karena stasiun 1 merupakan mata air, sehingga volume air yang dihasilkan lebih rendah dari pada stasiun 2 dan 3. Faktor lain yang menyebabkan tingginya debit air adalah faktor curah hujan. Pada sampling 3 adalah saat hujan sehingga debit airnya lebih tinggi, daripada sampling 1 dan 2. Pada sampling 1, debit air juga masih tergolong tinggi, dikarenakan cuaca saat pengambilan sample adalah saat setelah hujan. Sedangkan pada sampling 2, cuaca pengambilan sample adalah panas terik, sehingga debit air lebih rendah. Debit air yang meningkat, akan meningkatkan kadar bahan-bahan alam terlarut secara eksponensial. Namun konsentrasi bahan-bahan antropogenik yang masuk badan air akan mengalami penurunan karena terjadi proses pengenceran (Effendi 2003) Evaluasi Kualitas Perairan Way Perigi dengan Indeks STORET Indeks STORET menggambarkan baik buruknya kualitas perairan pada setiap lokasi pengamatan dengan membandingkan data hasil pengukuran dengan nilai baku mutu yang sesuai dengan peruntukaannya, kemudian diberi skor yang telah ditetapkan pada Indeks STORET. Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan menggunakan Indeks STORET diperoleh hasil kriteria dan evaluasi perairan di Way

53 39 Perigi di setiap stasiun selama pengamatan seperti pada Tabel 8 dan Gambar 17, serta Lampiran 3. Tabel 8. Jumlah skor STORET dan klasifikasi perairan pada setiap stasiun selama pengamatan Stasiun Skor/status mutu Kriteria Klasifikasi 1-24 Tercemar sedang Kelas C 2 0 Kondisi baik Kelas A 3-2 Tercemar ringan Kelas B 0-10 Tercemar ringan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3-20 Tercemar sedang Tercemar berat Gambar 17. Nilai Indeks STORET Way Perigi menurut PP RI no. 82 Tahun 2001 Berdasarkan nilai Indeks STORET di Way Perigi, dinyatakan bahwa status mutu dari sungai tersebut termasuk dalam tercemar sedang pada stasiun 1, kondisi baik pada stasiun 2 dan tercemar ringan pada stasiun 3. Pada stasiun 1 yang dibandingkan dengan baku mutu kelas 1 sebagai air baku air minum, ternyata termasuk kedalam tercemar sedang, hal ini dapat diduga pencemaran berasal dari limbah fosfat yang tinggi yang berasal dari kegiatan antropogenik yang menggunakan detergen untuk mencuci pakaian. Selain fosfat, nilai DO dan BOD yang melebihi baku mutu (Lampiran 3) juga mengindikasikan bahwa bahan organik yang masuk ke stasiun 1 sudah melebihi ambang batas yang diperbolehkan untuk air baku air minum. Pada stasiun 2 dan 3 dibandingkan dengan baku mutu air kelas III, nilai BOD pada stasiun 3 yang melebihi nilai baku mutu menyebabkan stasiun 3 termasuk

54 40 dalam kriteria tercemar ringan, berbeda dengan stasiun 2 yang masih termasuk dalam kondisi baik bagi kegiatan perikanan. Pada stasiun 3 yang termasuk dalam tercemar ringan dapat diduga dari jumlah bahan organik yang tinggi dan terakumulasi sepanjang aliran sungai Evaluasi Kualitas Air Perairan Way Perigi dengan Indeks Pencemaran (IP) Pengelolaan kualitas air dengan Indeks Pencemaran (IP) dapat memberi masukan terhadap penentuan dalam pengambilan keputusan mengenai status mutu perairan, sehingga nantinya dapat diambil tindakan jika terjadi penurunan kualitas perairan. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan Indeks Pencemaran, didapatkan hasil klasifikasi dan evaluasi perairan di Way Perigi pada setiap stasiun selama pengamatan seperti yang dijelaskan pada Tabel 9, Gambar 18, dan Lampiran 4. Tabel 9. Nilai Indeks Pencemaran dan kriterianya pada setiap stasiun selama pengamatan. Stasiun Waktu Nilai Pi Kriteria Sampling 1 2,08 tercemar ringan Stasiun 1 Sampling 2 1,66 tercemar ringan Sampling 3 2,28 tercemar ringan Sampling 1 0,69 kondisi baik Stasiun 2 Sampling 2 0,40 kondisi baik Sampling 3 0,39 kondisi baik Sampling 1 0,53 kondisi baik Stasiun 3 Sampling 2 0,37 kondisi baik Sampling 3 0,76 kondisi baik

55 Tercemar Ringan Kondisi Baik Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 0 stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3 Gambar 18. Grafik nilai IP pada setiap stasiun selama pengamatan Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Pencemaran, dinyatakan bahwa dari seluruh stasiun selama pengamatan memiliki kondisi perairan yang masih baik, kecuali pada stasiun 1 yang masuk kedalam status tercemar ringan untuk air yang digunakan sebagai air baku air minum. Hal ini berarti bahwa beban masukan bahan organik yang masuk ke perairan masih dapat dipulihkan kembali oleh sungai tersebut. Selain itu pada Way Perigi, belum terdapat industri besar yang dapat mempengaruhi tingginya bahan organik yang masuk ke sungai. Kondisi perairan yang baik pada Way Perigi perlu dipertahankan agar tidak tercemar dan tidak mengganggu kehidupan biota di dalamnya. Pada bagian hulu yang masuk ke dalam tercemar ringan, mengindikasikan bahwa air yang digunakan sebagai air baku air minum sudah melebihi baku mutu yang diperbolehkan, sehingga perlu adanya pengolahan sebelum di konsumsi. Berdasarkan kedua analisis menggunakan Indeks STORET dan Indeks Pencemaran, terdapat perbedaan hasil yang didapat. Pada ketiga stasiun pengamatan, berdasarkan Indeks STORET menyatakan bahwa sungai tersebut memiliki status tercemar sedang pada stasiun 1, kondisi baik pada stasiun 2, dan tercemar ringan pada stasiun 3, sedangkan pada Indeks Pencemaran menyatakan bahwa sungai tersebut masih dalam kondisi baik kecuali pada stasiun 1 yang tercemar ringan. Perbedaan hasil penentuan status mutu dari kedua metode tersebut dikarenakan pada perhitungan Indeks STORET parameter yang melebihi baku mutu

56 42 langsung diberikan skor sehingga jika terdapat satu parameter saja yang melebihi baku mutu maka status mutu dari perairan dinyatakan tercemar. Sedangkan pada Indeks Pencemaran, dalam perhitungannya merupakan perhitungan antara hasil pengukuran dari suatu parameter dengan baku mutu yang sesuai dengan peruntukkannya secara relatif, sehingga jika ada satu parameter yang melebihi baku mutu, belum tentu perairan tersebut dapat langsung dinyatakan tercemar. Selain itu Indeks Pencemaran dapat digunakan jika hanya terdapat satu kali pengukuran di titik tertentu, sedangkan pada Indeks STORET data yang digunakan harus merupakan data time series, sehingga kepekaan dalam menentukan status mutu suatu perairan lebih peka pada Indeks STORET dibandingkan dengan Indeks Pencemaran. Namun secara keseluruhan kedua metode ini dapat menjelaskan status mutu perairan sesuai baku mutu air PP RI no.82 Tahun 2001, hanya saja terdapat perbedaan dalam perhitungan serta rentang nilai kriteria yang digunakan untuk menentukan status mutu perairan Strategi Pengelolaan Way Perigi Kegiatan yang ada di Way Perigi masih berupa kegiatan pemanfaatan sungai sebagai kegiatan sehari-hari masyarakat sekitar dan belum ada pemanfaatan yang lebih lanjut dari sungai ini. Pada hulu sungai, sebenarnya sudah ada pihak pemerintah yang memanfaatkannya sebagai sumber air Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), namun tingkat ekonomi masyarakat sekitar yang mayoritas menengah kebawah, menyebabkan tersendatnya dalam hal pembayaran air di setiap bulannya, sehingga PDAM di daerah tersebut tidak beraktivitas kembali. Selain itu, sepanjang aliran sungai, hanya terdapat kegiatan budidaya ikan skala kecil di bagian hulu sungai. Hal ini mengindikasikan bahwa pemanfaatan dari Way Perigi belum optimal. Way Perigi merupakan sungai yang tidak terlalu panjang dan besar, namun dari hasil analisis parameter fisika dan kimia, pada bagian hulu yang dimanfaatkan sebagai air baku air minum, sudah termasuk dalam tercemar sedang, sedangkan pada stasiun 2 masih dalam kondisi baik, dan stasiun 3 sudah termasuk dalam tercemar ringan. Oleh karena itu, perlu adanya pengelolaan lebih lanjut dari Way Perigi ini,

57 43 agar dapat dimanfaatkan secara optimal dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistem dan kualitas perairan Way Perigi. Pengelolaan dari Way Perigi ini dapat berupa pengaktifan kembali sumber air dari PDAM. Hal ini dikarenakan kepadatan penduduk di kecamatan tersebut sudah cukup tinggi, dan masing-masing rumah memiliki sumur gali, dan hal ini dikawatirkan akan dapat mengurangi sumber air tanah di kecamatan ini. Selain itu pada hulu sungai yang digunakan sebagai air baku air minum oleh warga setempat, ternyata sudah termasuk dalam status tercemar sedang, sehingga perlu adanya pengolahan lebih lanjut sebelum di gunakan. PDAM yang menjadikan air di Way Perigi menjadi air baku air minum diharapkan bisa membantu dalam pengolahan air sebelum digunakan oleh masyarakat setempat. Salah satu cara pengolahan yang dapat menjaga kualitas perairan Way Perigi sebelum dimanfaatkan masyarakat adalah dengan membuat bak penampungan air yang berasal dari sumber mata air, agar tidak tercampur dengan kegiatan mencuci dari masyarakat setempat. Bak penampungan yang digunakan untuk menampung air di hulu sungai diharapkan bisa memenuhi kebutuhan air bersih dari masyarakat setempat, dan kualitas air yang digunakan tetap terjaga.

58 44 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Kualitas perairan Way Perigi yang terletak di Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur termasuk kedalam status kondisi baik hingga tercemar ringan pada bagian tengah dan hilir sungai, berdasarkan baku mutu air yang dipergunakan sebagai kepentingan perikanan, pertanaman dan pertenakan. Namun pada bagian hulu sungai termasuk kedalam tercemar sedang, menurut indeks STORET dan tercemar ringan menurut Indeks Pencemaran, berdasarkan baku mutu air yang dipergunakan sebagai air baku air minum. Pengelolaan yang baik dari sungai ini adalah dimanfaatkan sebagai sumber air PDAM dengan membuat bak penampungan untuk memisahkan antara aktivitas warga dengan sumber air minum, mengingat mulai padatnya pemukiman di kecamatan tersebut dan sebagai upaya untuk mengurangi dampak krisis air tanah akibat dari penggalian sumur Saran Pada perairan Way Perigi perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai parameter biologi untuk mendukung dalam pemantauan kualitas air di Way Perigi dan pengelolaan yang optimal dan berkelanjutan dari perairan Way Perigi.

59 45 DAFTAR PUSTAKA APHA (American Public Health Association) Standard Methods For the Examination of Water and Waste Water. 21st Ed American Public Health Association (APHA). USA Port City Press. Washington DC Barus I.T.A Pengantar Limnologi. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Jakarta. 164 hal Boyd C.E Water Quality Management for Pond Fish Culture. Department of Fisheries and Allied Aquacultures, Agricultural Experiment Station Auburn University. Elsevier Scientific Publishing Company : Amsterdam Oxford Boyd C.E Water Quality In Warmwater Fish Ponds. Department of Fisheries and Allied Aquacultures, Agricultural Experiment Station Auburn University. Elsevier Scientific Publishing Company : Amsterdam Oxford Brown A. L Freshwater Ecology. Heinemann Educational Books London. 163 p Buchari A, I Wayan Putra, K.G. Dharma Dewi, dan I.G.A. Kunti Sri Panca Kimia Lingkungan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Jakarta. 237 hal Dodds W.K Freshwater Ecology Concepts and Environmental Applications. Academic Press : San Diego California Effendi Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius : Yogyakarta Fardiaz S Polusi Air dan Udara. Gadjah Mada Press. Yogyakarta. 190 hal Feriningtyas D Perubahan Spasial dan Temporal Kualitas Air Waduk Cirata, Jawa Barat Selama Periode [Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor

60 46 Keputusan Menteri Lingkungan Hidup KepMen LH nomor 115 Penentuan Status Mutu Air Lestari R Kondisi Fisika Kimia Perairan Situ Pamulang Kecamatan Pamulang, Kabupaten Tangerang, Banten Mason C.F Biology of Freswater Pollution. Longman. New York. 250 p Mori K Hidrologi untuk Pengairan. Suyono Sosrodarsono dan Kensaku Takeda (Penerjemah). PT. Pradnya Paramita : Jakarta. Terjemahan dari : Manual on Hidrology Moriber G Enviromental Science. Allyn-Bacon. New York. 549 p Peraturan Pemerintah Republik Indonesia PPRI nomor 82 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air Reid G Ecology of Inland Waters And Estuaries. Reinhold. Book Corporation. New York. 375 p Ruttner F Fundamentals of Limnology Third Edition. Unversity of Toronto Press Sarminah S Studi Kasus pada Beberapa Daerah Aliran Sungai di Wilayah Kota Balikpapan.[Jurnal]. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Mulawarman. hlm Saeni M. S Kimia Lingkungan. Pusat Antar Universitas. Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. 151 hal Sastrawijaya A.T Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta Seyhan F Dasar-dasar Hidrologi. Gadjah Mada Press. Yogyakarta. 380 hal Undang-undang Republik Indonesia UU Nomor 32 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

61 47 Wardoyo S. T. H Pengelolaan Kualitas Air. Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi. Institut Pertanian Bogor. 38 hal Welch P. S Limnology. New York : Mc. Graw 538 p

62 LAMPIRAN 48

63 Lampiran 1. Hasil rata-rata pengukuran parameter fisika dan kimia perairan Way Perigi Parameter Fisika Satuan Baku Mutu Kelas I 1) Baku Mutu Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Kelas III 2) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Suhu C dev. 3 dev. 3 27,3 28,2 29,8 28,2 28,7 29,8 27,5 27,2 27,0 kekeruhan NTU - - 0,63 9,20 25,90 0,19 1,90 4,84 0,30 10,42 12,8 TDS mg/l , ,67 83,33 102,00 80,00 140,00 124,67 91 TSS mg/l ,33 7,67 24,33 3,00 3,50 7,00 3,00 9,33 9 Kimia ph 6 s.d 9 6 s.d 9 6,5 7,0 6,5 7,0 7,0 7,3 6,5 7,0 6,7 DO mg/l 6 3 5,30 6,31 5,30 4,54 5,30 5,30 6,31 6,82 6,56 BOD5 mg/l 2 6 2,55 3,31 2,30 1,51 3,03 2,02 4,04 3,03 6,06 NH 3 -N mg/l 0,5-0,088 0,237 0,526 0,195 0,120 0,127 0,117 0,089 0,078 Amonia bebas mg/l 0,02 0,02 0,0002 0,0017 0,0013 0,0014 0,0009 0,0022 0,0003 0,0006 0,0002 NO 2 -N mg/l 0,06 0,06 0,019 0,022 0,031 <0,002 <0,002 <0,002 0,008 0,039 0,010 NO 3 -N mg/l ,20 1,17 1,10 0,64 0,53 0,45 0,85 0,80 0,77 Total phospat mg/l 0,2 1 0,45 0,92 0,67 0,15 0,15 0,15 0,51 0,30 0,20 Karakteristik Sungai Arus m/s 0,11 0,20 0,23 0,09 0,17 0,18 0,10 0,16 0,20 Kedalaman m 0,53 0,58 0,58 0,53 0,60 0,63 0,6 0,59 0,79 Lebar m 6,04 8,57 9,4 6 8,73 8,8 5,08 10,6 8,89 Debit m 3 /detik 0,36 0,99 1,25 0,28 0,89 0,98 0,28 1,01 1,38 Substrat Berbatu Lumpur berpasir Lumpur Berbatu Lumpur berpasir Lumpur Berbatu Lumpur berpasir Lumpur 1) Keterangan : : Baku mutu air kelas I menurut Peraturan Pemerintah RI no. 82 tahun 2001 (hanya untuk Stasiun 1) 2) : Baku mutu air kelas III menurut Peraturan Pemerintah RI no. 82 tahun 2001 Bercetak tebal : melebihi baku mutu air 49

64 50 Lampiran 2. Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas PARAMETER FISIKA SATUAN KELAS I II III IV Temperatur C deviasi 3 deviasi 3 deviasi 3 deviasi 3 Residu terlarut mg/l Residu tersuspensi KIMIA ORGANIK mg/l ph BOD mg/l DO mg/l Total Fosfat sebagai P mg/l 0,2 0,2 1 3 NO 3 -N mg/l NH 3 -N mg/l 0, NO 2 -N mg/l 0,6 0,6 0,6 - Keterangan : KETERANGAN Deviasi temperatur dari keadaan alamiahnya Bagi pengolahan air minum secara konvesional, residu tersuspensi 5000mg/L Apabila secara alamiah diluar rentang tersebut, maka ditentukan berdasarkan kondisi alamiah Angka minimum batas Bagi perikanan, kandungan amoniabebas untuk ikan yang peka 0,02mg/L sebagainh3 Bagi pengolahan air minum secara konvensional, NO2_N 1 mg/l Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV : air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air bakti air minum, dan atau peruntukan lain yang imempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; : air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan,air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; : air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk imengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut; : air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi,pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

65 51 Lampiran 3. Perhitungan Indeks STORET 1. STASIUN 1 No Parameter Fisika Sampling BM I* Max Min Rata-rata Nilai indeks STORET 1 TDS 85,33 83, ,33 102, TSS 3, ,33 3 3,11 0 Kimia 1 ph 6,5 7,0 6,5 6 s.d 9 7,0 6,5 6,7 0 2 DO 5,3 4,54 6,31 6 6,31 4,54 5, BOD5 2,55 1,51 4,04 2 4,04 1,51 2, NO3-N 1,20 0,64 0, ,20 0,64 0, Total Fosfat 0,45 0,15 0,51 0,2 0,51 0,15 0,37-8 Jumlah -24 Status Tercemar Mutu sedang No 2. STASIUN 2 Parameter Fisika Sampling BM III* Max Min Rata-rata Nilai indeks STORET 1 TDS , , , TSS 7,67 3,50 9, ,33 3,5 6,83 0 Kimia 1 ph 7 7 7,00 6 s.d DO 6,31 5,30 6,82 3 6,82 5,30 6, BOD5 3,31 3,03 3,03 6 3,31 3,03 3, NO3-N 1,17 0,53 0, ,17 0,53 0, Total fosfat 0,92 0,15 0,30 1 0,92 0,15 0,45 0 Jumlah 0 Status Memenuhi Mutu baku mutu

66 52 Lanjutan Lampiran 3 3. STASIUN 3 No Parameter Fisika Sampling BM III* Max Min Rata-rata Nilai indeks STORET 3 TDS 76,67 80,00 91, ,33 76,67 82, TSS 24,33 7,00 8, ,33 7,00 13,33 0 Kimia 1 ph 6,50 7,33 6,67 6 s.d 9 7,33 6,50 6, DO 5,30 5,30 6,56 3 6,56 5,30 5, BOD5 2,30 2,02 6,06 6 6,06 2,02 3, NO3-N 1,10 0,45 0, ,10 0,45 0,77 5 Total fosfat 0,67 0,15 0,20 1 0,67 0,15 0,34 Jumlah -2 Status Tercemar Mutu ringan Lampiran 4. Perhitungan Indeks Pencemaran (IP) 1. STASIUN 1 No Parameter Ci Lij Ci/Lij Fisika TDS 85,33 83, ,09 0,083 0,140 2 TSS 3, ,07 0,06 0,06 Kimia 1 ph 6,5 7 6,5 6 s.d 9 0,67 0,33 0,67 2 DO 5,3 4,54 6,31 6 1,66 2,27 0,83 3 BOD5 2,55 1,51 4,04 2 1,52 0,76 2,53 4 NO3-N 1,2 0,64 0, ,12 0,06 0,08 5 Total fosfat 0,45 0,15 0,51 0,2 2,74 0,77 3,05 Rata2 0,98 0,62 1,05 Maksimum 2,74 2,27 3,05 Pij 2,06 1,66 2,28

67 53 Lanjutan Lampiran 4 2. STASIUN 2 No Parameter Ci Lij Ci/Lij Fisika TDS , ,08 0,10 0,12 2 TSS 7,67 3,5 9, ,02 0,01 0,02 Kimia 1 ph s.d 9 0,33 0,33 0,33 2 DO 6,31 5,3 6,82 3 0,83 1,41 0,59 3 BOD5 3,31 3,03 3,03 6 0,55 0,50 0,50 4 NO3-N 1,17 0,53 0, ,06 0,03 0,04 5 Total fosfat 0,92 0,15 0,3 1 0,92 0,15 0,30 3. STASIUN 3 Rata2 0,40 0,36 0,27 Maksimum 0,92 1,41 0,59 Pij 0,71 1,03 0,46 No Parameter Ci Lij Ci/Lij Fisika TDS 76, , ,08 0,08 0,09 2 TSS 24,33 7 8, ,06 0,02 0,02 Kimia 1 ph 6,5 7,33 6,67 6 s.d 9 0,67 0,11 0,56 2 DO 5,30 5,30 6,56 3 1,45 1,45 0,71 3 BOD5 2,30 2,02 6,06 6 0,38 0,34 1,02 4 NO3-N 1,10 0,45 0, ,05 0,02 0,04 5 Total fosfat 0,67 0,15 0,20 1 0,67 0,15 0,20 Rata2 0,48 0,31 0,38 Maksimum 1,45 1,45 1,02 Pij 1,08 1,05 0,77 Keterangan : Lij : konsentrasi parameter kualitas air yang dicantumkan dalam baku mutu peruntukan air (j). Ci : konsentrasi parameter kualitas air (i) yang diperoleh dari hasil analisis contoh air Pij : Indeks Pencemaran bagi peruntukkan (j) yang merupakan fungsi dari Ci/Lij

68 54 Lanjutan Lampiran 4 Contoh perhitungan stasiun 1 : TSS : C 1 /L 1j = 85,33 / 50 = 0,07 DO : DO merupakan parameter yang jika harga parameter rendah maka kualitas akan menurun. Maka sebelum menghitung C 2 /L 2j harus dicari terlebih dahulu harga C 2 baru. DO maks = 7 pada temperatur 25 o C C 2 /L 2j = (7 5,3) / (7 6) = 1,7 ; C 2 /L 2j > 1 C 2 /L 2j baru = Log (1,7) = 2,15 ph : Karena harga baku mutu ph memiliki rentang, maka penetuan C 3 /L 3j dilakukan dengan cara : L 3j rata-rata = (6 + 9) / 2 = 7,5 C 3 < L 3j rata-rata C 3 /L 3j = ( 6,5 6 ) / ( 9 6,5 ) = 0,67 Lampiran 5. Dokumentasi Wilayah Way Perigi Stasiun 1 Stasiun 2 (kanan) Stasiun 2 (kiri) Stasiun 3 (kiri)

69 55 Lanjutan Lampiran 5 Stasiun 3 (kanan) Antara Stasiun 2 ke Stasiun 3 Setelah Stasiun 1 Antara stasiun 2 ke stasiun 3 Antara stasiun 1 ke stasiun 2 Antara stasiun 2 ke stasiun 3 Antara Stasiun 1 ke stasiun 2

3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Metode Pengambilan Contoh Penentuan lokasi

3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 3.3. Metode Pengambilan Contoh Penentuan lokasi 17 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan contoh air dilakukan pada bulan April sampai dengan Mei 2012. Lokasi penelitian di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan 2.2. Ekosistem Mengalir

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan 2.2. Ekosistem Mengalir 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Perairan Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga

Lebih terperinci

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961): 44 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi Sungai Aspek ekologi adalah aspek yang merupakan kondisi seimbang yang unik dan memegang peranan penting dalam konservasi dan tata guna lahan serta pengembangan untuk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 17 III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di sepanjang aliran Sungai Cihideung dari hulu Gunung Salak Dua dimulai dari Desa Situ Daun hingga di sekitar Kampus IPB Darmaga.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

: Baku mutu air kelas I menurut Peraturan Pemerintah RI no. 82 tahun 2001 (hanya untuk Stasiun 1)

: Baku mutu air kelas I menurut Peraturan Pemerintah RI no. 82 tahun 2001 (hanya untuk Stasiun 1) LAMPIRAN 48 Lampiran 1. Hasil rata-rata pengukuran parameter fisika dan kimia perairan Way Perigi Parameter Satuan Baku Mutu Kelas I 1) Baku Mutu Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Kelas III 2) Stasiun 1

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

PENENTUAN KUALITAS AIR

PENENTUAN KUALITAS AIR PENENTUAN KUALITAS AIR Analisis air Mengetahui sifat fisik dan Kimia air Air minum Rumah tangga pertanian industri Jenis zat yang dianalisis berlainan (pemilihan parameter yang tepat) Kendala analisis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan Menurut Odum (1971), pencemaran adalah perubahan sifat fisik, kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada udara, tanah dan air. Sedangkan menurut Saeni

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh karena itu, sumber air sangat dibutuhkan untuk dapat menyediakan air yang baik dari segi kuantitas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Sungai Batang Toru Sungai Batang Toru merupakan salah satu sungai terbesar di Tapanuli Selatan. Dari sisi hidrologi, pola aliran sungai di ekosistem Sungai Batang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka. Air merupakan komponen lingkungan hidup yang kondisinya

BAB II LANDASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka. Air merupakan komponen lingkungan hidup yang kondisinya BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Air dan Sungai 1.1 Air Air merupakan komponen lingkungan hidup yang kondisinya mempengaruhi dan dipengaruhi oleh komponen lainnya. Penurunan kualitas air akan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah di sekitarnya,

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG

ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG RIYAN HADINAFTA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos Odum (1993) menyatakan bahwa benthos adalah organisme yang hidup pada permukaan atau di dalam substrat dasar perairan yang meliputi organisme

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus

II. TINJAUAN PUSTAKA Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sungai.. ' Sungai merupakan Perairan Umum yang airnya mengalir secara terus menerus pada arah tertentu, berasal dari air tanah, air hujan dan air permukaan yang akhirnya bermuara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG RYAN KUSUMO ADI WIBOWO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan salah satu senyawa kimia yang terdapat di alam secara berlimpah-limpah. Namun,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan salah satu senyawa kimia yang terdapat di alam secara berlimpah-limpah. Namun, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air Air merupakan salah satu senyawa kimia yang terdapat di alam secara berlimpah-limpah. Namun, ketersediaan air yang memenuhi syarat bagi keperluan manusia relatif sedikit

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. bersifat dinamis (bergerak atau mengalir) seperti laut dan sungai maupun statis

TINJAUAN PUSTAKA. bersifat dinamis (bergerak atau mengalir) seperti laut dan sungai maupun statis TINJAUAN PUSTAKA Perairan Sungai Perairan adalah suatu kumpulan massa air pada suatu wilayah tertentu, baik yang bersifat dinamis (bergerak atau mengalir) seperti laut dan sungai maupun statis (tergenang)

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. masih merupakan tulang pungung pembangunan nasional. Salah satu fungsi lingkungan

1. PENDAHULUAN. masih merupakan tulang pungung pembangunan nasional. Salah satu fungsi lingkungan 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air sungai merupakan salah satu komponen lingkungan yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan manusia, termasuk untuk menunjang pembangunan ekonomi yang hingga saat ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang lebih rendah dan setelah mengalami bermacam-macam perlawanan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang lebih rendah dan setelah mengalami bermacam-macam perlawanan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air Sungai Sebagian besar air hujan turun ke permukaan tanah, mengalir ke tempattempat yang lebih rendah dan setelah mengalami bermacam-macam perlawanan akibat gaya berat, akhirnya

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

PELAKSANAAN KEGIATAN BIDANG PENGENDALIAN KERUSAKAN PERAIRAN DARAT TAHUN 2015

PELAKSANAAN KEGIATAN BIDANG PENGENDALIAN KERUSAKAN PERAIRAN DARAT TAHUN 2015 PELAKSANAAN KEGIATAN BIDANG PENGENDALIAN KERUSAKAN PERAIRAN DARAT TAHUN 2015 A. PEMANTAUAN KUALITAS AIR DANAU LIMBOTO Pemantauan kualitas air ditujukan untuk mengetahui pengaruh kegiatan yang dilaksanakan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Surabaya, 24 Februari Penulis. Asiditas dan Alkalinitas Page 1

KATA PENGANTAR. Surabaya, 24 Februari Penulis. Asiditas dan Alkalinitas Page 1 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadiran allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayahnya kepada kita, sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan makalah Asiditas dan Alkalinitas.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

KAJIAN AIR LIMBAH DOMESTIK DI PERUMNAS BANTAR KEMANG, KOTA BOGOR DAN PENGARUHNYA PADA SUNGAI CILIWUNG. Oleh : Muhammad Reza Cordova C

KAJIAN AIR LIMBAH DOMESTIK DI PERUMNAS BANTAR KEMANG, KOTA BOGOR DAN PENGARUHNYA PADA SUNGAI CILIWUNG. Oleh : Muhammad Reza Cordova C KAJIAN AIR LIMBAH DOMESTIK DI PERUMNAS BANTAR KEMANG, KOTA BOGOR DAN PENGARUHNYA PADA SUNGAI CILIWUNG Oleh : Muhammad Reza Cordova C24104056 DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

Analisis Nitrit Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Bakteri

Analisis Nitrit Analisis Chemical Oxygen Demand (COD)  HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Identifikasi Bakteri 11 didinginkan. absorbansi diukur pada panjang gelombang 410 nm. Setelah kalibrasi sampel disaring dengan milipore dan ditambahkan 1 ml natrium arsenit. Selanjutnya 5 ml sampel dipipet ke dalam tabung

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Suhu Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan kebutuhan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi penelitian terletak di belakang Perumahan Nirwana Estate, Cibinong yang merupakan perairan sungai kecil bermuara ke Situ Cikaret sedangkan yang terletak di belakang Perumahan,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danau Maninjau merupakan danau yang terdapat di Sumatera Barat, Kabupaten Agam. Secara geografis wilayah ini terletak pada ketinggian 461,5 m di atas permukaan laut

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Sungai Sungai berperan sebagai jalur transport terhadap aliran permukaan, yang mampu mengangkut berbagai jenis bahan dan zat bila dipandang dari sudut hidrologis.

Lebih terperinci

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA Umroh 1, Aries Dwi Siswanto 2, Ary Giri Dwi Kartika 2 1 Dosen Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Pertanian,Perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Air merupakan komponen lingkungan yang penting bagi kehidupan yang merupakan kebutuhan utama bagi proses kehidupan di bumi. Manusia menggunakan air untuk memenuhi

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kepadatan 5 kijing, persentase penurunan total nitrogen air di akhir perlakuan sebesar 57%, sedangkan untuk kepadatan 10 kijing

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS AIR SUNGAI KONAWEHA PROVINSI SULAWESI TENGGARA

ANALISIS KUALITAS AIR SUNGAI KONAWEHA PROVINSI SULAWESI TENGGARA ANALISIS KUALITAS AIR SUNGAI KONAWEHA PROVINSI SULAWESI TENGGARA Umar Ode Hasani Jurusan Kehutanan, Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan UHO Email : umarodehasani@gmail.com Ecogreen Vol. 2 No. 2, Oktober

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA BAB. II TINJAUAN PUSTAKA A. Keadaan Teluk Youtefa Teluk Youtefa adalah salah satu teluk di Kota Jayapura yang merupakan perairan tertutup. Tanjung Engros dan Tanjung Hamadi serta terdapat pulau Metu Debi

Lebih terperinci

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 1. Latar belakang Air merupakan suatu kebutuhan pokok bagi manusia. Air diperlukan untuk minum, mandi, mencuci pakaian, pengairan dalam bidang pertanian

Lebih terperinci

PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF

PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF PERUBAHAN Total Suspended Solid (TSS) PADA UMUR BUDIDAYA YANG BERBEDA DALAM SISTEM PERAIRAN TAMBAK UDANG INTENSIF INNA FEBRIANTIE Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2015

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2015 BAB III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari Bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2015 yang meliputi kegiatan di lapangan dan di laboratorium. Lokasi pengambilan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. salju. Air tawar terutama terdapat di sungai, danau, air tanah (ground water), dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. salju. Air tawar terutama terdapat di sungai, danau, air tanah (ground water), dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air Air menutupi sekitar 70% permukaan bumi, dengan jumlah sekitar 2.368 juta km 3. Air terdapat dalam berbagai bentuk, misalnya uap air, es, cairan, dan salju. Air tawar terutama

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa

TINJAUAN PUSTAKA. Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Pantai Sei Nypah adalah salah satu pantai yang berada di wilayah Desa Nagalawan, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Propinsi Sumatera Utara dan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di ekosistem perairan rawa. Perairan rawa merupakan perairan tawar yang menggenang (lentik)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Status Mutu Air Sungai adalah salah satu dari sumber daya alam yang bersifat mengalir (flowing resources), sehingga pemanfaatan air di hulu akan menghilangkan peluang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

Polusi. Suatu zat dapat disebut polutan apabila: 1. jumlahnya melebihi jumlah normal 2. berada pada waktu yang tidak tepat

Polusi. Suatu zat dapat disebut polutan apabila: 1. jumlahnya melebihi jumlah normal 2. berada pada waktu yang tidak tepat Polusi Polusi atau pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir

TINJAUAN PUSTAKA. adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Perairan sungai adalah suatu perairan yang di dalamnya dicirikan dengan adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir (perairan lotik).

Lebih terperinci

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian

BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian BAB 6 PEMBAHASAN 6.1 Diskusi Hasil Penelitian Penelitian biofiltrasi ini targetnya adalah dapat meningkatkan kualitas air baku IPA Taman Kota Sehingga masuk baku mutu Pergub 582 tahun 1995 golongan B yakni

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi Klasifikasi Morfologi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aspek Biologi 2.1.1. Klasifikasi Tiram merupakan jenis bivalva yang bernilai ekonomis. Tiram mempunyai bentuk, tekstur, ukuran yang berbeda-beda (Gambar 2). Keadaan tersebut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi, baik industri maupun domestik, yang kehadirannya pada suatu saat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produksi, baik industri maupun domestik, yang kehadirannya pada suatu saat BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Limbah adalah zat atau bahan buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi, baik industri maupun domestik, yang kehadirannya pada suatu saat tertentu tidak dikehendaki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air

BAB I PENDAHULUAN. banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang diperlukan untuk hajat hidup orang banyak, bahkan oleh semua mahkluk hidup. Oleh karena itu, sumber daya air harus dilindungi agar

Lebih terperinci

BAB 1 KIMIA PERAIRAN

BAB 1 KIMIA PERAIRAN Kimia Perairan 1 BAB 1 KIMIA PERAIRAN Kompetensi Dasar: Menjelaskan komponen penyusun, sifat fisika dan sifat kimia di perairan A. Definisi dan Komponen Penyusun Air Air merupakan senyawa kimia yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kimia: Meliputi Kimia Organik, Seperti : Minyak, lemak, protein. Besaran yang biasa di

BAB I PENDAHULUAN. Kimia: Meliputi Kimia Organik, Seperti : Minyak, lemak, protein. Besaran yang biasa di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Air adalah semua air yang terdapat di alam atau berasal dari sumber air, dan terdapat di atas permukaan tanah, tidak termasuk dalam pengertian ini air yang terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Aktivitas pencemaran lingkungan yang dihasilkan dari suatu kegiatan industri merupakan suatu masalah yang sangat umum dan sulit untuk dipecahkan pada saat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua

TINJAUAN PUSTAKA. Pada dasarnya proses terjadinya danau dapat dikelompokkan menjadi dua TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Perairan disebut danau apabila perairan itu dalam dengan tepi yang umumnya curam.air danau biasanya bersifat jernih dan keberadaan tumbuhan air terbatas hanya pada daerah

Lebih terperinci

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi

Kombinasi pengolahan fisika, kimia dan biologi Metode Analisis Untuk Air Limbah Pengambilan sample air limbah meliputi beberapa aspek: 1. Lokasi sampling 2. waktu dan frekuensi sampling 3. Cara Pengambilan sample 4. Peralatan yang diperlukan 5. Penyimpanan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe Estuari dan Debit Sungai. Tipe estuari biasanya dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Pada saat pasang, salinitas perairan akan didominasi oleh salinitas air laut karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia sehingga kualitas airnya harus tetap terjaga. Menurut Widianto

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan April Agustus 2009 di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Pakuan Kota Bogor. Lokasi pengambilan contoh (Dekeng)

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman

Bab V Hasil dan Pembahasan. Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Gambar V.10 Konsentrasi Nitrat Pada Setiap Kedalaman Dekomposisi material organik akan menyerap oksigen sehingga proses nitrifikasi akan berlangsung lambat atau bahkan terhenti. Hal ini ditunjukkan dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Limbah adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Limbah adalah sampah cair dari suatu lingkungan masyarakat dan terutama terdiri dari air yang telah dipergunakan dengan hampir-hampir 0,1% dari padanya berupa benda-benda

Lebih terperinci

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air.

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perairan merupakan ekosistem yang memiliki peran sangat penting bagi kehidupan. Perairan memiliki fungsi baik secara ekologis, ekonomis, estetika, politis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah

BAB I PENDAHULUAN. tetapi limbah cair memiliki tingkat pencemaran lebih besar dari pada limbah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri tahu merupakan salah satu industri yang menghasilkan limbah organik. Limbah industri tahu yang dihasilkan dapat berupa limbah padat dan cair, tetapi limbah

Lebih terperinci

Lampiran 1. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO) (Suin, 2002) Sampel Air. Sampel Dengan Endapan Putih/Coklat 1 ml H 2

Lampiran 1. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO) (Suin, 2002) Sampel Air. Sampel Dengan Endapan Putih/Coklat 1 ml H 2 Lampiran 1. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO) (Suin, 2002) Sampel Air 1 ml MnSO 4 1 ml KOH-KI Dikocok Didiamkan Sampel Dengan Endapan Putih/Coklat 1 ml H 2 SO 4 Dikocok Didiamkan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KUALITAS PERAIRAN DI SUNGAI KAHAYAN DARI KEBERADAAN SISTEM KERAMBA STUDI KASUS SUNGAI KAHAYAN KECAMATAN PAHANDUT KALIMANTAN TENGAH

IDENTIFIKASI KUALITAS PERAIRAN DI SUNGAI KAHAYAN DARI KEBERADAAN SISTEM KERAMBA STUDI KASUS SUNGAI KAHAYAN KECAMATAN PAHANDUT KALIMANTAN TENGAH IDENTIFIKASI KUALITAS PERAIRAN DI SUNGAI KAHAYAN DARI KEBERADAAN SISTEM KERAMBA STUDI KASUS SUNGAI KAHAYAN KECAMATAN PAHANDUT KALIMANTAN TENGAH Rezha Setyawan 1, Dr. Ir. Achmad Rusdiansyah, MT 2, dan Hafiizh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air Limbah Limbah deidefinisikan sebagai sisa atau buangan dari suatu usaha atau kegiatan manusia. Limbah adalah bahan buangan yang tidak terpakai yang berdampak negatif jika

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan

TINJAUAN PUSTAKA. kesatuan. Di dalam ekosistem perairan danau terdapat faktor-faktor abiotik dan 17 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Danau Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen biotik dan abiotik yang saling berintegrasi sehingga membentuk satu kesatuan. Di dalam ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Kebutuhan yang utama bagi terselenggaranya kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Kebutuhan yang utama bagi terselenggaranya kesehatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki fungsi sangat penting bagi kehidupan manusia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum sehingga merupakan modal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selain memproduksi tahu juga dapat menimbulkan limbah cair. Seperti

BAB I PENDAHULUAN. selain memproduksi tahu juga dapat menimbulkan limbah cair. Seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Industri pembuatan tahu dalam setiap tahapan prosesnya menggunakan air dengan jumlah yang relatif banyak. Artinya proses akhir dari pembuatan tahu selain memproduksi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sistematika Pembahasan Sistematika pembahasan pada penelitian ini secara garis besar terbagi atas 6 bagian, yaitu : 1. Analisa karakteristik air limbah yang diolah. 2.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peranan penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah disekitarnya,

Lebih terperinci

Pengaruh Aktivitas Masyarakat di pinggir Sungai (Rumah Terapung) terhadap Pencemaran Lingkungan Sungai Kahayan Kota Palangka Raya Kalimantan Tengah

Pengaruh Aktivitas Masyarakat di pinggir Sungai (Rumah Terapung) terhadap Pencemaran Lingkungan Sungai Kahayan Kota Palangka Raya Kalimantan Tengah MITL Media Ilmiah Teknik Lingkungan Volume 1, Nomor 2, Agustus 2016 Artikel Hasil Penelitian, Hal. 35-39 Pengaruh Aktivitas Masyarakat di pinggir Sungai (Rumah Terapung) terhadap Pencemaran Lingkungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah sekitarnya. Oleh karena

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Zonasi pada perairan tergenang (Sumber: Goldman dan Horne 1983)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Zonasi pada perairan tergenang (Sumber: Goldman dan Horne 1983) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Waduk Waduk merupakan badan air tergenang yang dibuat dengan cara membendung sungai, umumnya berbentuk memanjang mengikuti bentuk dasar sungai sebelum dijadikan waduk. Terdapat

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODE

BAB 2 BAHAN DAN METODE BAB 2 BAHAN DAN METODE 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009- Juli 2010 di Danau Lut Tawar. Metode yang digunakan dalam penentuan stasiun adalah dengan metode Purposive

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi sumberdaya suatu perairan karena akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 11 3. METODE PENELITIAN 3. 1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Danau Lido, Bogor, Jawa Barat. Danau Lido berada pada koordinat 106 48 26-106 48 50 BT dan 6 44 30-6 44 58 LS (Gambar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunitas Chironomid

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunitas Chironomid II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunitas Chironomid Makroavertebrata benthik atau sering kita sebut benthos adalah hewan yang tidak bertulang belakang yang memiliki ukuran tubuh lebih besar dari 0,5 mm. Menurut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. pesisir laut. Batas-batas wilayah tersebut yakni Laut Jawa di sebelah timur, selat

TINJAUAN PUSTAKA. pesisir laut. Batas-batas wilayah tersebut yakni Laut Jawa di sebelah timur, selat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teluk Lampung Propinsi Lampung memiliki wilayah yang hampir seluruhnya berbatasan dengan pesisir laut. Batas-batas wilayah tersebut yakni Laut Jawa di sebelah timur, selat sunda

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Variasi Konsentrasi Limbah Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Air Limbah Tahu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Variasi Konsentrasi Limbah Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Air Limbah Tahu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Variasi Konsentrasi Limbah Terhadap Kualitas Fisik dan Kimia Air Limbah Tahu Berdasarkan analisis ANAVA (α=0.05) terhadap Hubungan antara kualitas fisik dan kimia

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Persepsi adalah kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus atau proses untuk menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia. Proses ini yang memungkinkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Limbah cair atau yang biasa disebut air limbah merupakan salah satu jenis limbah yang keberadaannya kerap menjadi masalah dalam kehidupan masyarakat. Sifatnya yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Air adalah benda alam yang memiliki peran penting, tidak hanya untuk keperluan makhluk hidup, tetapi juga sebagai media untuk proses pengangkutan dan sumber energi

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN BAB IV METODOLOGI PENELITIAN Maksud dari penelitian ini adalah untuk meneliti pengaruh berkembangnya aktivitas kolam jaring apung di Waduk Cirata terhadap kualitas air Waduk Cirata. IV.1 KERANGKA PENELITIAN

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Air Kualitas air merupakan faktor kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya ditentukan dalam kisaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Keberadaan industri dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat namun juga tidak jarang merugikan masyarakat, yaitu berupa timbulnya pencemaran lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bumi ini yang tidak membutuhkan air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. bumi ini yang tidak membutuhkan air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Air merupakan zat kehidupan, dimana tidak satupun makhluk hidup di planet bumi ini yang tidak membutuhkan air. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 65 75% dari berat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu

BAB I PENDAHULUAN. Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu senggangnya (leisure time), dengan melakukan aktifitas wisata (Mulyaningrum, 2005). Lebih

Lebih terperinci