BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Lokasi Pengambilan Contoh

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Lokasi Pengambilan Contoh"

Transkripsi

1 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi Pengambilan Contoh Pengambilan contoh dilakukan pada beberapa peternakan sapi perah yang berada di wilayah kota Bogor. Peternakan sapi perah merupakan usaha atau kegiatan pemeliharaan sapi perah dengan tujuan utama untuk pemerahan susu (Sularto 2008). Susu yang bermutu baik dapat diperoleh dari ternak sapi perah yang sehat karena manajemen pemeliharaan yang baik dan benar. Salah satunya adalah pengendalian penyakit yang benar dan tepat dengan memperhatikan higiene dan sanitasi peternakan tersebut. Biasanya peternak sapi perah kurang memperhatikan kondisi ternaknya sehingga mereka mudah terserang penyakit (Rahman 2007). Penelitian ini dilakukan dengan melakukan pengambilan contoh pada empat peternakan sapi perah yang berada di wilayah kota Bogor. Lokasi peternakan sapi perah tersebut adalah peternakan Kebon Pedes, Cisarua, Cipanas, dan Kunak. Bahan yang diambil untuk dijadikan contoh adalah susu, pelicin yang digunakan saat memerah (mentega atau vaselin), usapan vagina, usapan tangan pemerah, urin dan air yang digunakan pada masing-masing peternakan. Pemilihan tempat pengambilan contoh ditentukan berdasarkan suhu ditempat tersebut. Sedangkan jenis contoh yang diambil ditentukan berdasarkan asumsi bahwa contoh yang dipilih merupakan tempat yang disukai C. albicans. Suhu merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap hewan ternak terutama sapi perah, karena sapi perah memiliki sifat-sifat tertentu yang dipengaruhi oleh suhu yaitu dalam hal pertumbuhan, konsumsi pakan, dan produksi susu. Pada umumnya, sapi perah yang dipelihara di Indonesia adalah dari jenis Frisian Holstein (FH) dan peranakan FH. Sapi perah yang dipiara di Indonesia kebanyakan berasal dari daerah Eropa. Oleh karena itulah, hanya beberapa daerah saja di Indonesia yang bisa dijadikan lokasi untuk peternakan sapi perah (Kartiwa 2010). Selain itu, faktor lingkungan dan pengelolaan peternakan dapat menjadi faktor pendukung untuk munculnya penyakit pada sapi perah. Faktor-faktor tersebut dapat berupa pakan, perkandangan, jumlah ternak dalam satu kandang, sirkulasi udara, sanitasi kandang dan cara pemerahan susu

2 22 (Sharif dan Muhammad 2009). Berdasarkan pengamataan yang dilakukan pada saat pengambilan contoh ke beberapa peternakan sapi perah, peternakan Cisarua dan Cipanas merupakan peternakan yang memiliki suhu yang dingin karena lokasi peternakan ini berada di daerah pegunungan Gunung Pangrango. Sedangkan peternakan Kebon Pedes dan Kunak memiliki suhu yang lebih tinggi daripada peternakan Cisarua dan Cipanas. Agen penyebab penyakit dapat diisolasi pada sapi perah dari berbagai tempat yang cocok sebagai tempat berkembangbiaknya. Menurut Supar dan Ariyanti (2008), beberapa cara masuknya agen penyakit pada sapi perah dapat terjadi melalui cara pemerahan susu tanpa menggunakan mesin, melalui tangan pemerah, air yang dipakai untuk mencuci ambing, kain lap atau peralatan lain yang dipakai pada saat pemerahan susu. Penyakit yang paling sering terjadi adalah mastitis, terutama mastitis subklinis yang kejadiannya di Indonesia mencapai 95-98% (Sudarwanto 1999). Berdasarkan penelitian Sudarwanto (1997) dan Winata (2011), kejadian mastitis subklinis di daerah Bogor dan Cipanas terdeteksi sebesar 49,3%, sedangkan di Kunak terdeteksi sebesar 69,76%. Dilihat dari sumber air yang digunakan pada peternakan sapi perah ini, tiga dari empat peternakan telah menggunakan PDAM sebagai sumber air, sedangkan peternakan Kebon Pedes masih menggunakan air sumur sebagai sumber air di peternakannya. Hal ini menjadi salah satu faktor yang dapat menentukan tingkat higiene dan sanitasi untuk masing-masing peternakan. Gambaran suasana peternakan di lokasi Kebon Pedes terlihat pada Gambar 10 di bawah ini. (a) Gambar 10 Peternakan Kebon Pedes (a) dan sumber air yang digunakan (b) (b)

3 23 Contoh-contoh yang telah diambil dalam penelitian ini adalah susu, air yang digunakan sebagai sumber air di peternakan, pelicin (vaselin, mentega) yang digunakan saat pemerahan, usapan tangan pemerah, usapan vagina, dan urin yang baru keluar. Usapan vagina dan tangan pemerah diambil dengan alat bantu kapas bergagang yang sucihama dan selanjutnya disimpan di dalam tabung yang sucihama juga. Sedangkan susu dan pelicin langsung diambil secara aseptik dan disimpan di dalam plastik. Bentuk contoh yang diambil tersebut terpapar pada Gambar 11 di bawah ini. (a) (b) (c) Gambar 11 Beberapa contoh yang diambil. Usapan vagina (a), usapan tangan (b), susu (c), dan pelicin (d) (d)

4 24 peternakan. Tabel 3 menunjukkan data jumlah contoh yang diambil pada setiap lokasi Tabel 3 Lokasi dan jumlah pengambilan contoh Lokasi pengambilan Jumlah contoh yang diambil berdasarkan jenis contoh Susu Usapan Usapan Pelicin Air Urin Jumlah vagina tangan Peternakan Cipanas Peternakan Cisarua Peternakan Kebon Pedes Peternakan Kunak Jumlah Berdasarkan Tabel 3 diatas, penelitian ini menggunakan 53 contoh yang terdiri dari 12 contoh susu, 20 contoh usapan vagina, delapan contoh usapan tangan pemerah, lima contoh pelicin yang digunakan saat memerah, empat contoh air yang digunakan sebagai sumber air di peternakan dan empat contoh urin. Banyaknya contoh yang diambil untuk masing-masing lokasi memiliki jumlah yang sama, kecuali pada lokasi peternakan Kebon Pedes. Di lokasi ini dua contoh pelicin diambil karena pelicin yang digunakan pada peternakan Kebon Pedes ditempatkan pada dua tempat yang berbeda. Mentega digunakan di peternakan Cipanas, Cisarua, dan Kebon Pedes sebagai pelicin ketika melakukan pemerahan, kecuali di lokasi peternakan Kunak yang menggunakan vaselin. Kandidiasis pada sapi perah biasanya dinyatakan sebagai mastitis, serta pernah juga dilaporkan pada kasus aborsi (Gholib dan Kusumaningtyas 2008; Foley dan Schlafer 1987), hal ini yang mendasari pengambilan contoh pada susu dan usapan vagina. Selain itu, pengambilan contoh pada usapan tangan pemerah, pelicin (vaselin,mentega) yang digunakan saat pemerahan, sumber air di peternakan, dan urin yang baru keluar merupakan contoh yang diduga menjadi tempat yang cocok untuk berkembangbiaknya agen penyebab penyakit pada sapi perah, terutama bakteri dan cendawan. Identifikasi C. albicans Identifikasi dilakukan terhadap koloni yang diduga C. albicans pada contoh yang sebelumnya telah dibiakkan dengan menggunakan metode agar

5 25 tuang. Media tersebut diinkubasi pada suhu 37 ºC selama 24 jam. Setelah masa inkubasi tercapai, isolat yang tumbuh diamati secara mikroskopik dalam bentuk sediaan natif yang diwarnai dengan LPCB. Hasil identifikasi secara mikroskopik dapat dilihat pada Gambar 12 di bawah ini. Gambar 12a memperlihatkan adanya bentuk sel khamir (blastospora) yang merupakan salah satu bentuk dari fase dimorfik yang ada pada C. albicans dan akan membentuk tunas yang biasa disebut dengan budding cell. Sedangkan Gambar 12b memperlihatkan adanya hifa yang juga merupakan bentuk dari fase dimorfik C. albicans. Fase ini merupakan satu kesatuan yang berbentuk filamen dari suatu cendawan (Ali 2008). (a) Gambar 12 Hasil pemeriksaan sediaan natif (tanda panah) yang diwarnai dengan LPCB memperlihatkan adanya budding cell (a), dan hifa yang akan membentuk pseudohifa (b). (b) Untuk menetapkan arah identifikasi sebagai Candida albicans, isolat yang dicurigai diuji kemampuannya untuk membentuk tabung kecambah. Seluruh isolat yang memberikan hasil positif terhadap uji kecambah dibiakkan pada media asimilasi karbohidrat (Tjampakasari 2006). Hasil uji terhadap pembentukan tabung kecambah dan proses asimilasi terhadap karbohidrat terpapar di dalam Tabel 4 di bawah ini. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa isolat yang diduga sebagai C. albicans dari uji kemampuannya membentuk tabung kecambah ternyata memang C. albicans (Gambar 13). Isolat yang diperiksa membutuhkan karbohidrat glukosa, sukrosa, maltosa, laktosa, manitol, dan arabinosa sebagai sumber karbon dan sumber energi untuk pertumbuhan dan proses

6 26 metabolismenya, kecuali isolat dari usapan vagina yang berasal dari peternakan Cipanas yang ternyata adalah C. pseudotropicalis. Gambar 13 Tabung kecambah (tanda panah) yang dibentuk oleh isolat khamir yang diduga C. albicans Tabel 4 Hasil uji tabung kecambah dan asimilasi gula-gula terhadap beberapa isolat yang diduga sebagai C. albicans Kode Hasil uji Hasil uji asimilasi gula-gula Koloni Asal koloni kecambah G Mn S M L ARB Kesimpulan S3 P. Kebon Pedes C. albicans UV2 P. Kebon Pedes C. albicans P1 P. Kebon Pedes C. albicans P2 P. Kebon Pedes C. albicans S3 P. Cisarua C. albicans P1 P. Cisarua C. albicans S3 P. Cipanas C. albicans UV1 P. Cipanas C. pseudotropicalis Catatan: P= Peternakan. S3 berasal dari susu. UV1, UV2 berasal dari usapan vagina. P1, P2 berasal dari pelicin yang digunakan saat memerah. G= Glukosa, Mn= Manitol, S= Sukrosa, M= Maltosa, L= Laktosa, ARB= Arabinosa Pembentukan tabung kecambah merupakan tahap awal dari proses transisi fase khamir ke fase hifa. Proses ini dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, yaitu suhu, ph, dan bahan kimia yang salah satunya berupa serum. Tabung kecambah ini hanya dapat dibentuk oleh C. albicans dan C. stellatoidea. Akan tetapi, berdasarkan data yang tertera di dalam Tabel 4 terlihat C. pseudotropicalis juga membentuk tabung kecambah dan ini diduga sebagai hasil positif palsu. Hasil ini terjadi diduga karena waktu inkubasi yang dilakukan terlalu lama (Molero et al.1998; Ali 2008; CMPT 2006). Waktu inkubasi yang terlalu lama ini terjadi karena banyaknya jumlah isolat yang harus diperiksa. Pemeriksaan tidak

7 27 mungkin bisa dilakukan dalam waktu yang bersamaan sehingga isolat yang terakhir diperiksa kemungkinan akan berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh. C. albicans yang diperoleh dari contoh-contoh yang diperiksa berasal dari beberapa lokasi seperti dipaparkan pada Tabel 5. Sedangkan jumlah contoh yang positif diperoleh C. albicans terpapar pada Tabel 6 di bawah ini. Tabel 5 Isolat-isolat khamir dari contoh yang diperiksa Lokasi Dugaan koloni yang diisolasi dari contoh pengambilan Susu Usapan vagina Usapan Pelicin Air Urin contoh tangan P. Kebon Pedes C. abicans C. albicans - C. albicans - - P. Cisarua C. albicans - - C. albicans - - P. Cipanas C. albicans C. Pseudotropicalis P. Kunak Catatan: P= Peternakan. Pelicin yang digunakan di Peternakan Kebon Pedes, Cisarua, dan Cipanas adalah mentega. Pelicin yang digunakan di Peternakan Kunak adalah vaselin Tabel 6 Jumlah C. albicans pada contoh-contoh yang diperiksa Lokasi pengambilan contoh C. albicans pada contoh S UV UT P A U Ca Ca Ca Ca Ca Ca P. Kebon Pedes P. Cisarua P. Cipanas P. Kunak Total Catatan : P. Peternakan. S= Susu, UV= Usapan vagina, UT= Usapan tangan, P= Pelicin, A= Air, U= Urin, Ca= C. albicans Berdasarkan Tabel 5 diatas, dapat dilihat bahwa dari keempat peternakan yang menjadi lokasi pengambilan contoh hanya peternakan Kunak yang tidak diperoleh C. albicans. Terdapat dua spesies Candida yaitu C. albicans dan C. pseudotropicalis yang berhasil diisolasi dari contoh-contoh yang diambil dari peternakan Kebon Pedes, Cisarua, dan Cipanas. Namun, C. albicans tetap sebagai khamir yang mendominasi. Spesies Candida merupakan flora normal saluran kelamin, kulit (termasuk kuku dan ambing), dan membran mukosa, seperti mulut, vagina atau dubur (Hanafi et al. 2010). Dari Tabel 5 dan 6 terlihat bahwa susu, mukosa vagina dan pelicin merupakan media yang paling rentan untuk dijadikan media hidup bagi C. albicans. Diisolasinya khamir C. albicans dari contoh susu, usapan vagina, dan pelicin diatas sejalan dengan laporan yang

8 28 disampaikan oleh Kivaria dan Noordhuizen (2006) yang menyebutkan bahwa telah terjadi peningkatan prevalensi C. albicans dari 1 % pada tahun 1971 menjadi 17 % pada tahun 2002 untuk kasus mastitis sapi di Tanzania. Lebih dari tiga perempat kasus dari mastitis mikotik disebabkan oleh spesies Candida, seperti C. albicans, C. glabrata, C. kefyr, C. tropicalis, C. krusei, dan C. parapsilosis (Lagneau et al. 1996). Sedangkan kasus aborsi mikotik yang disebabkan oleh C. albicans telah dilaporkan terjadi pada sapi Holstein dengan atau tanpa penyakit reproduksi (Garoussi et al. 2007). Susu sapi merupakan salah satu produk asal ternak yang paling sering dikonsumsi oleh manusia. Oleh karena itu, jika susu tersebut memiliki mutu yang kurang baik dan telah tercemar oleh berbagai mikroorganisme patogen seperti spesies Candida, khususnya C. albicans, maka akan berakibat terhadap kesehatan manusia. Spesies Candida yang tercerna oleh manusia dalam jumlah yang besar dari beberapa produk, termasuk susu, dapat mengakibatkan berbagai penyakit seperti kandidiasis vagina, kandidiasis usus, dan sariawan (Tafarosh dan Purohit 2008; Agboke et al. 2011). Kadar Hambat Terendah Penetapan MIC dapat dilakukan dengan menggunakan metode agar difusi maupun agar dilusi. Metode agar difusi hanya dapat mengetahui kemampuan daya hambat suatu anticendawan dengan melihat adanya zona hambat yang terbentuk. Sedangkan, metode agar dilusi dapat dilakukan dan mengetahui kadar terendah dari anticendawan yang efektif dalam menghambat pertumbuhan suatu cendawan (Kusumaningtyas et al. 2008). MIC suatu anticendawan ditentukan berdasarkan kadar terendah yang dapat menghambat pertumbuhan koloni cendawan sebanyak 80% (Koga et al. 2008). Sebagai uji pendahuluan, dilakukan uji zona hambat untuk mengetahui kisaran kadar anticendawan yang mungkin efektif menghambat pertumbuhan isolat khamir C. albicans yang diperiksa. Efektifitas anticendawan diketahui dengan terbentuknya zona hambat seperti yang ditunjukkan pada Gambar 14. Namun uji ini tidak dapat menentukan peka atau resistennya anticendawan yang digunakan karena besar kecilnya diameter zona hambat yang terbentuk

9 29 dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya ketebalan media, waktu pradifusi, dan kerapatan inokulum. Jadi, metode ini tidak dapat digunakan untuk menentukan MIC (Rostinawati 2009). Gambar 14 Zona hambat yang dibentuk oleh anticendawan Kadar anticendawan yang digunakan pada tahap awal uji zona hambat ini merupakan kadar anticendawan yang tergolong peka, yaitu 0,125 µg/ml untuk ketokonazol, 0,125 µg/ml untuk itrakonazol, 0,25 µg/ml untuk flukonazol, dan 0,25 µg/ml untuk griseofulvin (Graybill et al. 1998; Citak et al. 2005; Koga et al. 2008; Noreva 2012). Kemudian kadar dari masing-masing anticendawan ini dinaikkan sampai terbentuk zona hambat pada masing-masing isolat. Kadar terbentuknya zona hambat untuk masing-masing isolat C. albicans terpapar pada Tabel 7 dibawah ini. Tabel 7 Kadar terbentuknya zona hambat pada ketokonazol, itrakonazol, flukonazol dan griseofulvin terhadap beberapa isolat C. albicans yang diperoleh dari contoh Lokasi Peternakan Kebon Pedes Anticendawan Contoh KTK ITK FLU GRIS (µg/ml) Usapan vagina 8 16,0 4,0 64,0 Pelicin 0,5 0,125 4,0 64,0 Peternakan Cisarua Susu 2,0 0,125 0,25 4,0 Peternakan Cipanas Susu 0,125 0,25 32,0 8,0 Catatan: KTK= ketokonazol; ITK= itrakonazol; FLU= flukonazol; GRIS= griseofulvin

10 30 Uji selanjutnya adalah uji untuk menentukan MIC dengan menggunakan metode dilusi agar. Setiap anticendawan yang diuji terdiri dari empat kadar anticendawan, yaitu 0,125 µg/ml, 0,5 µg/ml, 2 µg/ml, dan 8 µg/ml untuk ketokonazol, 0,125 µg/ml, 0,5 µg/ml, 4 µg/ml, dan 16 µg/ml untuk itrakonazol, 0,25 µg/ml, 2 µg/ml, 8 µg/ml, dan 32 µg/ml untuk flukonazol, dan 0,25 µg/ml, 4 µg/ml, 8 µg/ml, dan 64 µg/ml untuk griseofulvin. Setiap anticendawan memiliki tingkat kepekaan yang berbeda terhadap C. albicans dan dari data yang diperoleh terbukti adanya perbedaan zona hambat yang terbentuk. Oleh karena itulah, terdapat perbedaan kadar yang digunakan untuk masingmasing anticendawan. MIC yang diperoleh ditentukan dari koloni cendawan yang hanya tumbuh sebanyak 20 % jika dibandingkan dengan kontrol yang tidak dipaparkan anticendawan (Koga et al. 2008). Nilai MIC anticendawan terhadap C. albicans yang diperoleh dari contoh tertera pada Tabel 8 dibawah ini. Tabel 8 Nilai MIC ketokonazol, itrakonazol, flukonazol dan griseofulvin terhadap beberapa isolat C. albicans yang diperoleh dari contoh Lokasi Peternakan Kebon Pedes Anticendawan Contoh KTK ITK FLU GRIS (µg/ml) Usapan vagina 2,0 16,0 8,0 8,0 Pelicin 2,0 0,5 8,0 64,0 Peternakan Cisarua Susu 0,125 16,0 8,0 64,0 Peternakan Cipanas Susu 0,125 4,0 32,0 64,0 C. albicans (Referensi) 0,125 4 (Citak et al. 2005) 0,125 4 (Koga et al. 2008) 0,25 8 (Graybill et al. 1998; Citak et al. 2005) Catatan: KTK= ketokonazol; ITK= itrakonazol; FLU= flukonazol; GRIS= griseofulvin 800 (Sehgal et al. 2005) Berdasarkan Tabel 8 diatas, nilai MIC yang didapatkan untuk ketokonazol masih tergolong peka terhadap semua isolat yang diuji dan nilai ini sesuai dengan hasil penelitian Citak et al. (2005) yang menyatakan bahwa nilai MIC ketokonazol yang tergolong peka terhadap C. albicans berada pada kisaran 0,125-4 µg/ml. Hal yang serupa juga terjadi pada griseofulvin. Semua isolat yang diuji tergolong peka karena nilai MIC yang didapatkan pada penelitian ini jauh berada dibawah nilai MIC yang didapatkan pada penelitian Sehgal et al.

11 31 (2005) yaitu sebesar 800 µg/ml. Sedangkan untuk itrakonazol terdapat isolat C. albicans yang tergolong resisten karena nilai MICnya untuk itrakonazol adalah 4 µg/ml. Hal serupa juga terdapat pada flukonazol karena ada salah satu isolat C. albicans yang tergolong resisten dengan nilai MIC 8 µg/ml. Nilai ini tergolong resisten karena berdasarkan Graybill et al. (1998) dan Citak et al. (2005) nilai MIC flukonazol yang dapat dikatakan peka terhadap C. albicans berada pada kisaran 0,25-8 µg/ml. Ketokonazol, itrakonazol, dan flukonazol merupakan anticendawan yang berasal dari golongan azol. Ketokonazol termasuk dalam kelompok imidazol, sedangkan itrakonazol dan flukonazol termasuk dalam kelompok triazol. Kerja anticendawan ini menghambat biosintesis ergosterol dengan membatasi atau menghalangi kerja enzim 14-α-demithilase, yakni enzim yang bergantung pada sitokrom P-450 dan dibutuhkan untuk mengubah lanosterol menjadi ergosterol. Kekurangan ergosterol menyebabkan fluiditas membran sehingga menurunkan aktifitas enzim yang berkaitan dengan membran dan mengakibatkan peningkatan permeabilitas, menghambat pertumbuhan dan perbanyakan sel (Ford 2004). Ketokonazol dan itrakonazol memiliki struktur kimia dan profil farmakologik yang sama. Sedangkan untuk flukonazol memiliki struktur kimia yang unik karena ukuran molekulnya yang kecil dan lipofilitasnya yang lebih rendah. Secara umum, perbedaan penting antara kelompok imidazol dan triazol terletak pada afinitasnya. Triazol memiliki afinitas yang lebih besar terhadap enzim sitokrom P-450 dibandingkan dengan imidazol (Herman 1996). Setidaknya ada tiga mekanisme resistensi yang dikenal terhadap golongan azol, yaitu perubahan pada enzim P-450 lanosterol demethylase, perubahan sterol desaturase, dan ketergantungan energy (energy dependent) yang ada pada mekanisme efflux pumps (Pinjon et al. 2003). Perubahan pada enzim P-450 lanosterol demethylase terjadi saat adanya mutasi pada gen ERG11 (kode untuk enzim 14-α-demethylase). Pengkodean gen pada enzim ini mencegah terjadinya pengikatan pada bagian enzimatik sehingga menyebabkan penurunan kadar obat pada sel sasaran. Ergosterol merupakan sterol utama membran sel cendawan dan seringkali menjadi sasaran kerja bagi obat-obat anticendawan. Resistensi terjadi karena komposisi sterol ini mengalami perubahan sehingga menyebabkan

12 32 berkurangnya penyerapan agen anticendawan ke dalam sel. Energi yang ada pada mekanisme efflux pumps merupakan karakteristik terjadinya resistensi pada bakteri, khamir, dan sel mamalia. Mekanisme ini memberikan kemampuan untuk memompa azol keluar dari sel target (Kanafani dan Perfect 2008; Pinjon et al. 2003). Mekanisme resistensi C. albicans terhadap ketokonazol disebabkan karena kemampuan sel C. albicans mengurangi penimbunan ketokonazol di dalam sel dengan cara meningkatkan nonesterified sterol sehingga menyebabkan penurunan rasio fosfolipida/sterol yang merupakan komponen utama membran sel, menaikkan Candida Drug Resistance1 mrna (CDR1 mrna) yang berfungsi sebagai sistem pengeluaran obat, mengubah 14α-demethylase, dan mengubah 5,6 - sterol desaturase (Bossche, 1997). Mekanisme-mekanisme tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan asam amino sehingga membutuhkan kadar anticendawan yang tinggi agar dapat menghambat ataupun membunuh sel C. albicans (Kanafani dan Perfect 2008). Munculnya galur C. albicans yang resisten terhadap obat anticendawan azol terjadi karena pengobatan flukonazol jangka panjang atau sebagai propilaksis. Beberapa mekanisme resistensi flukonazol dapat timbul pada isolat tunggal C. albicans. Ekspresi tinggi CDR1p merupakan mekanisme resistensi yang paling sering dilaporkan dari C. albicans terhadap obat anticendawan golongan azol dan ekspresi tinggi MDR1p merupakan mekanisme resistensi yang secara khusus terjadi pada flukonazol. Dua mekanisme resistensi lain yang dilakukan C. albicans terhadap flukonazol adalah perubahan pada enzim 14-αdemethylase dan penurunan flukonazol intraseluler. Perubahan enzim 14-αdemethylase diatur oleh gen ERG11 dan pada proses ini terjadi mutasi dan ekspresi tinggi ERG11. Mekanisme ini menghasilkan peningkatan produksi enzim yang menyebabkan berkurangnya kemampuan afinitas sitokrom P-450 terhadap flukonazol. Penurunan flukonazol intraseluler berhubungan dengan ekspresi tinggi CDR1 dan CDR2 (gen pengkode ATP Binding Cassette (ABC)) dan dari MDR1 dan FLU1 yang merupakan gen pengkode untuk fasilitator utama (Pinjon et al. 2003; Goldman et al. 2004).

13 33 Kombinasi antara granulocyte macrophage colony-stimulating factor (sitokin) dan anticendawan flukonazol dapat meningkatkan efek terapi dari flukonazol tersebut terhadap sel cendawan, khususnya C. albicans. Hal ini terjadi karena GM-CSF ini berperan dalam meningkatkan fungsi fagositik dan metabolisme oksidatif intraseluler sehingga kematian sel cendawan tercapai dengan maksimal. Penerapan kombinasi antara sitokin dan flukonazol ini dapat dilakukan dengan pemberian sel darah putih pada pasien yang memiliki gangguan sistem pertahanan. Monosit merupakan komponen penting pada sistem pertahanan yang memiliki peranan dalam meningkatkan kerja sitokin. Ketika tubuh terpapar oleh cendawan, monosit dirangsang untuk meningkatkan kerjanya dalam memproduksi asam arakidonat dan sitokin (Kothavade et al. 2010; Baltch et al. 2001). Itrakonazol yang merupakan turunan dari triazol memiliki spektrum yang lebih luas dibandingkan flukonazol dan telah terbukti efektif untuk C. albicans. Resistensi klinis itrakonazol belum menjadi masalah yang besar saat penggunaan itrakonazol masih belum meluas dibandingkan flukonazol. Namun, ternyata dengan hilangnya fungsi CdERG3 dapat menyebabkan terjadinya resistensi terhadap itrakonazol. Analisis pada sterol membran menggambarkan adanya kerusakan pada enzim 5,6 -sterol desaturase (CdERG3p) yang dikonfirmasi oleh adanya mutasi pada alel (CdERG3) (Pinjon et al. 2003). Griseofulvin merupakan golongan miscellaneous dari suatu anticendawan dan menjadi satu-satunya obat dari jenis golongan ini (Ali 2008). Obat ini tidak larut dalam air dan bersifat termostabil. Penyerapan dapat ditingkatkan bila diberikan bersama makanan berlemak. Perubahan morfologik yang menonjol sebagai akibat dari kerja griseofulvin adalah produksi sel-sel inti ganda saat obat menghambat mitosis sel cendawan dengan pemutusan berkas mitotik melalui interaksi mikrotubulus terpolimerasi. Griseofulvin juga mengganggu sistem pengangkutan di dalam sel yang tergantung pada adanya energi (energydependent transport system). Dengan demikian, keberadaan griseofulvin akan menyebabkan tingkat metabolisme di dalam sel meninggi yang mengakibatkan sel kehabisan energi untuk melakukan pertumbuhan lebih lanjut. Spektrum kerja obat ini hanya efektif untuk cendawan-cendawan Dermatofita, seperti Microsporum,

14 34 Tricophyton, dan Epidermophyton. Sedangkan pada cendawan yang tidak peka, seperti C. albicans, memiliki sistem metabolisme yang singkat dan tidak membutuhkan energi (Herman 1996; Bossche 1997). Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, isolat C. albicans masih tergolong peka terhadap griseofulvin karena nilai MIC yang didapatkan berada jauh dibawah nilai MIC yang ditetapkan oleh Sehgal et al. (2005). Hal ini terjadi dimungkinkan karena sel C. albicans yang diuji masih muda sehingga memiliki kepekaan yang tinggi terhadap griseofulvin (Herman 1996). Resistensi C. albicans terhadap griseofulvin terjadi karena sistem metabolisme C. albicans yang tidak membutuhkan energi, selain itu untuk C. albicans yang telah dewasa, griseofulvin hanya bersifat fungistatik sehingga mengakibatkan C. albicans masih mampu bertahan terhadap kerja griseofulvin (Herman 1996; Bossche 1997). Resistensi C. albicans terhadap anticendawan yang diperoleh pada penelitian ini paling banyak ditemukan pada contoh susu. Hal ini terjadi dimungkinkan karena penggunaan anticendawan ataupun antibiotika yang tidak tepat pada kasus mastitis subklinis. Selain itu, keadaan sistem pertahanan yang kurang baik menjadi salah satu faktor khamir tahan atau relatif tahan terhadap obat anticendawan. Oleh karena itu, para peternak diharapkan lebih memperhatikan ketepatan dalam penggunaan antibiotika, baik dari segi dosis, tujuan, maupun caranya. Sistem pertahanan yang kurang baik pada sapi dapat dicegah dengan cara pemberian nutrisi secara teratur dan hindari keadaan yang akan mengakibatkan sapi tersebut mengalami cekaman. Selain pada contoh susu, pada penelitian ini juga ditemukan C. albicans pada contoh usapan vagina dan pelicin yang digunakan saat melakukan pemerahan. Ditemukannya C. albicans pada contoh-contoh tersebut menjelaskan bahwa peternakan yang menjadi lokasi pengambilan contoh pada penelitian ini masih menggunakan pengelolaan pemeliharaan yang kurang baik. C. albicans yang berada di organ reproduksi sapi perah dapat menyebabkan terjadinya aborsi. Oleh karena itu, higiene dan sanitasi di peternakan harus sangat diperhatikan, terutama bagi sapi yang sedang menjalani masa kebuntingan. Pelicin yang digunakan saat pemerahan dapat menjadi media berkembangbiaknya bakteri maupun cendawan sehingga dikhawatirkan sisa

15 35 pelicin tersebut masih menempel pada putting. Bila keadaan ini dibiarkan terjadi, maka ini dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya mastitis. Sebaiknya saat melakukan pemerahan tidak dianjurkan menggunakan pelican karena selain akan menyebabkan mastitis, juga akan mencemari susu yang telah diperah.

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2011 sampai dengan bulan Maret 2012. Kegiatan ini dilakukan di laboratorium Bagian Mikrobiologi Medik Departemen

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi Pemotongan Ayam Pemotongan unggas dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pemotongan ini biasanya dilakukan di rumah potong unggas (RPU), tempat pemotongan unggas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Candida albicans

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Candida albicans BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Candida albicans Menurut Ali (2008), Candida albicans diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Fungi Filum : Ascomycota Subfilum : Ascomycotina Kelas : Ascomycetes Ordo : Saccharomycetales

Lebih terperinci

KERAGAMAN KEPEKAAN Candida albicans YANG DIISOLASI DARI LOKASI PETERNAKAN SAPI PERAH TERHADAP BEBERAPA ANTICENDAWAN HAMDANAH

KERAGAMAN KEPEKAAN Candida albicans YANG DIISOLASI DARI LOKASI PETERNAKAN SAPI PERAH TERHADAP BEBERAPA ANTICENDAWAN HAMDANAH KERAGAMAN KEPEKAAN Candida albicans YANG DIISOLASI DARI LOKASI PETERNAKAN SAPI PERAH TERHADAP BEBERAPA ANTICENDAWAN HAMDANAH FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 ABSTRACT HAMDANAH.

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan sejak bulan Mei 2011 sampai dengan bulan Desember 2011. Kegiatan ini dilakukan di laboratorium Bagian Mikrobiologi Medik Departemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jamur oportunistik yang sering terjadi pada rongga mulut, dan dapat menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. jamur oportunistik yang sering terjadi pada rongga mulut, dan dapat menyebabkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Candida albicans (C.albicans) merupakan salah satu jamur yang sering menyebabkan kandidiasis pada rongga mulut. 1 Kandidiasis merupakan infeksi jamur oportunistik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Kandidiasis adalah istilah yang dipakai untuk infeksi kulit dan selaput lendir

BAB 1 PENDAHULUAN. Kandidiasis adalah istilah yang dipakai untuk infeksi kulit dan selaput lendir BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandidiasis adalah istilah yang dipakai untuk infeksi kulit dan selaput lendir yang disebabkan oleh jamur dari genus Candida (Brown dan Burns, 2005). Sebanyak lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kandidiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh. jamur Candida sp. Kandidiasis merupakan infeksi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kandidiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh. jamur Candida sp. Kandidiasis merupakan infeksi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kandidiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur Candida sp. Kandidiasis merupakan infeksi oportunistik dengan insidensi tertinggi (Nasronudin, 2008). Kandidiasis

Lebih terperinci

FARMAKOTERAPI PADA PENYAKIT INFEKSI JAMUR

FARMAKOTERAPI PADA PENYAKIT INFEKSI JAMUR FARMAKOTERAPI PADA PENYAKIT INFEKSI JAMUR dr. Agung Biworo, M.Kes Infeksi oleh jamur disebut mikosis. Infeksi ini lebih jarang dibanding infeksi bakteri atau virus. Infeksi oleh jamur biasanya baru terjadi

Lebih terperinci

FARMAKOTERAPI PADA PENYAKIT INFEKSI JAMUR. dr. Agung Biworo, M.Kes

FARMAKOTERAPI PADA PENYAKIT INFEKSI JAMUR. dr. Agung Biworo, M.Kes FARMAKOTERAPI PADA PENYAKIT INFEKSI JAMUR dr. Agung Biworo, M.Kes Infeksi oleh jamur disebut mikosis. Infeksi ini lebih jarang dibanding infeksi bakteri atau virus. Infeksi oleh jamur biasanya baru terjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang menyebabkan infeksi karena jamur banyak ditemukan (Nasution, 2005).

BAB 1 PENDAHULUAN. yang menyebabkan infeksi karena jamur banyak ditemukan (Nasution, 2005). 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan daerah tropis dengan suhu dan kelembaban tinggi yang menyebabkan infeksi karena jamur banyak ditemukan (Nasution, 2005). Insiden penyakit infeksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. rongga mulut. Kandidiasis oral paling banyak disebabkan oleh spesies Candida

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. rongga mulut. Kandidiasis oral paling banyak disebabkan oleh spesies Candida I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kandidiasis merupakan infeksi jamur oportunistis yang sering terjadi di rongga mulut. Kandidiasis oral paling banyak disebabkan oleh spesies Candida albicans (Neville dkk.,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menghasilkan kecambah yang akan membentuk hifa semu (Pseudohifa).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menghasilkan kecambah yang akan membentuk hifa semu (Pseudohifa). 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Candida albicans Jamur C.albicans merupakan jamur dimorfik karena kemampuannya untuk tumbuh sebagai sel tunas yang akan berkembang menjadi blastospora dan menghasilkan kecambah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berjuang menekan tingginya angka infeksi yang masih terjadi sampai pada saat

BAB I PENDAHULUAN. berjuang menekan tingginya angka infeksi yang masih terjadi sampai pada saat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah negara berkembang di dunia yang masih berjuang menekan tingginya angka infeksi yang masih terjadi sampai pada saat ini. Profil Kesehatan Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dicampurkan dengan bahan-bahan lain seperti gula, garam, dan bumbu,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dicampurkan dengan bahan-bahan lain seperti gula, garam, dan bumbu, BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecap Kedelai 1. Definisi Kecap Kedelai Kecap merupakan ekstrak dari hasil fermentasi kedelai yang dicampurkan dengan bahan-bahan lain seperti gula, garam, dan bumbu, dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel susu, air dan peralatan berasal dari tujuh peternak dari Kawasan Usaha Peternakan Rakyat (Kunak), yang berlokasi di Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Total sampel susu

Lebih terperinci

Infeksi jamur yang mampu membentuk biofilm biasanya sulit disembuhkan dengan

Infeksi jamur yang mampu membentuk biofilm biasanya sulit disembuhkan dengan biofilm pada bakteri, sedangkan biofilm pada jamur yang berkaitan dengan kedokteran masih sedikit. Infeksi jamur yang mampu membentuk biofilm biasanya sulit disembuhkan dengan terapi konvensional karena

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Turi (Sesbania grandiflora L) Turi dengan nama latin Sesbania grandiflora L atau Agati grandiflora Devs. Termasuk ke dalam famili tumbuhan Papilianoceae (Maharani, 2010). Terdapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan yang memiliki bunga banyak, serta daun dari bunga bakung ini memilki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan yang memiliki bunga banyak, serta daun dari bunga bakung ini memilki BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Tumbuhan Bunga Bakung Tumbuhan bunga bakung mempunyai ketinggian antara 0,5-1,25 m, merupakan tumbuhan yang memiliki daun dan bunga. Bunga bakung termasuk tumbuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu sebanyak-banyaknya, disamping hasil lainnya. Macam - macam sapi perah yang ada di dunia adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Sapi perah (Peranakan Friesian Holstein)

TINJAUAN PUSTAKA. A. Sapi perah (Peranakan Friesian Holstein) 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi perah (Peranakan Friesian Holstein) Sapi perah yang umum digunakan sebagai ternak penghasil susu di Indonesia adalah sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH). Sapi PFH merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sejumlah 205 sampel susu kuartir yang diambil dari 54 ekor sapi di 7 kandang peternakan rakyat KUNAK, Bogor, diidentifikasi 143 (69.76%) sampel positif mastitis subklinis (Winata 2011).

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel susu yang digunakan adalah sampel susu kuartir yang berasal dari Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) yang berlokasi di Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Total sampel yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan dalam segala bidang kehidupan. Perkembangan perekonomian di Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kandidiasis. Dermatomikosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. dan kandidiasis. Dermatomikosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit infeksi yang disebabkan oleh jamur adalah dermatomikosis dan kandidiasis. Dermatomikosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh anggota kelompok jamur yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Data-data cemaran mikrobia pada produk susu mentah sudah ada dari

BAB I PENDAHULUAN. Data-data cemaran mikrobia pada produk susu mentah sudah ada dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Data-data cemaran mikrobia pada produk susu mentah sudah ada dari kelompok peternakan yakni Budiarso, 2001 Tingkat cemaran rata-rata Coliform yang mengkontaminasi susu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 8 media violet red bile agar (VRB). Sebanyak 1 ml contoh dipindahkan dari pengenceran 10 0 ke dalam larutan 9 ml BPW 0.1% untuk didapatkan pengenceran 10-1. Pengenceran 10-2, 10-3, 10-4, 10-5 dan 10-6

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh

BAB I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu merupakan salah satu sumber protein yang baik dikonsumsi oleh manusia, baik dalam bentuk segar maupun sudah diproses dalam bentuk produk. Susu adalah bahan pangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) Daun Belimbing Wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tanin yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) Daun Belimbing Wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tanin yang 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn.) Daun Belimbing Wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tanin yang diduga memiliki khasiat sebagai antioksidan, antibakteri dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi C. albicans

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi C. albicans 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi C. albicans Koloni yang diduga C. albicans hanya tumbuh pada sampel dengan kode ARS 3. Untuk memastikan bahwa koloni tersebut benar-benar C. albicans, harus dilakuakn

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jamur merupakan salah satu penyebab infeksi terutama di negara beriklim

BAB I PENDAHULUAN. Jamur merupakan salah satu penyebab infeksi terutama di negara beriklim 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur merupakan salah satu penyebab infeksi terutama di negara beriklim tropis. Penyakit kulit akibat jamur merupakan penyakit yang sering muncul di tengah masyarakat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bahan Pakan Bahan pakan sapi perah terdiri atas hijauan dan konsentrat. Hijauan adalah bahan pakan yang sangat disukai oleh sapi. Hijauan merupakan pakan yang memiliki serat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mamalia seperti sapi, kambing, unta, maupun hewan menyusui lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. mamalia seperti sapi, kambing, unta, maupun hewan menyusui lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Susu merupakan hasil sekresi kelenjar ambing (mamae) yang berasal dari pemerahan pada mamalia dan mengandung lemak, protein, laktosa, serta berbagai jenis vitamin (Susilorini,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Perhitungan sampel berdasarkan jumlah susu pasteurisasi yang diimpor dari Australia pada tahun 2011 yaitu 39 570.90 kg, sehingga jumlah sampel yang diuji dalam penelitian ini sebanyak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelangsungan hidup dari setiap perlakuan memberikan hasil yang berbeda-beda. Tingkat kelangsungan hidup yang paling

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menurun, maka sifat komensal candida ini dapat berubah menjadi. disebabkan oleh Candida albicans, sisanya disebabkan oleh Candida

BAB 1 PENDAHULUAN. menurun, maka sifat komensal candida ini dapat berubah menjadi. disebabkan oleh Candida albicans, sisanya disebabkan oleh Candida BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Candidiasis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh Candida sp. Candida adalah anggota flora normal yang hidup di dalam kulit, kuku, membran mukosa, saluran pencernaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandidiasis vulvovaginal adalah infeksi mukosa yang disebabkan oleh Candida spp. Sebanyak 85-90% dari jamur yang diisolasi dari vagina adalah spesies Candida (Sobel,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Hayati et al., 2010). Tanaman ini dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 5-10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Hayati et al., 2010). Tanaman ini dapat tumbuh hingga mencapai tinggi 5-10 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Potensi Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn) Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn) merupakan salah satu jenis tanaman yang sering digunakan sebagai obat tradisional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Glukosa adalah monosakarida yang berperan sebagai sumber karbon pada media pertumbuhan mikrobia, yang juga merupakan salah satu produk pertanian yang murah dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%) TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein (FH) Bangsa sapi perah Fries Holland berasal dari North Holland dan West Friesland yaitu dua propinsi yang ada di Belanda. Kedua propinsi tersebut merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 36 HASIL DAN PEMBAHASAN Isolat Campylobacter jejuni yang diuji dalam penelitian ini berasal dari wilayah Demak dan Kudus. Berdasarkan hasil pengujian secara in vitro terdapat perbedaan karakter pola resistensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan terapi saluran akar bergantung pada debridement

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan terapi saluran akar bergantung pada debridement BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberhasilan terapi saluran akar bergantung pada debridement chemomechanical pada jaringan pulpa, debris pada dentin, dan penggunaan irigasi terhadap infeksi mikroorganisme.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki ciri-ciri fisik antara lain warna hitam berbelang putih, ekor dan kaki 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Sapi perah yang dipelihara di Indonesia pada umumnya adalah Friesian Holstein (FH) dan Peranakan Friesian Holstein (PFH) (Siregar, 1993). Sapi FH memiliki ciri-ciri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. laktasi atau mendekati kering kandang (Ramelan, 2001). Produksi susu sapi perah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. laktasi atau mendekati kering kandang (Ramelan, 2001). Produksi susu sapi perah 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Produksi Susu Produksi susu yang fluktuatif selama sapi laktasi hal ini disebabkan kemampuan sel-sel epitel kelenjar ambing yang memproduksi susu sudah menurun bahkan beberapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Susu Kuda Sumbawa Kuda Sumbawa dikenal sebagai ternak penghasil susu yang dapat dikonsumsi oleh manusia. Orang-orang mengenalnya dengan sebutan susu kuda. Susu kuda

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Menurut Keputusan Menteri Pertanian Nomor 110/Kpts/TN.530/2/2008 Strangles/Mink Horse/Equine Distemper/ Ingus tenang termasuk ke dalam penyakit eksotik yang ada di Indonesia. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Candida albicans 1. Klasifikasi Berdasarkan toksonomi menurut Dumilah (1992) adalah sebagai berikut : Divisio Classis Ordo Familia Sub Familia Genus Spesies : Eumycotina : Deuteromycetes

Lebih terperinci

BAB IV. PENETAPAN HAYATI DENGAN MIKROBIA

BAB IV. PENETAPAN HAYATI DENGAN MIKROBIA BAB IV. PENETAPAN HAYATI DENGAN MIKROBIA Materi yang akan disampaikan meliputi: Sistem Hayati : - Bacteria - ragi (yeast) - jamur Obat yang diuji: 1. Antibiotika (bactericide, fungicide) 2. Vitamin (Vit.B,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Air Kualitas hidup ikan akan sangat bergantung dari keadaan lingkunganya. Kualitas air yang baik dapat menunjang pertumbuhan, perkembangan, dan kelangsungan hidup

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. baik usia muda maupun tua (Akphan dan Morgan, 2002). Kandidiasis oral

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. baik usia muda maupun tua (Akphan dan Morgan, 2002). Kandidiasis oral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kandidiasis oral merupakan infeksi jamur yang sering terjadi pada manusia baik usia muda maupun tua (Akphan dan Morgan, 2002). Kandidiasis oral disebabkan oleh

Lebih terperinci

MENGELOLA KOMPOSISI AIR SUSU

MENGELOLA KOMPOSISI AIR SUSU MENANGANI AIR SUSU MENGELOLA KOMPOSISI AIR SUSU Air susu mengandung zat-zat gizi yg sangat cocok utk perkembangbiakan bakteri penyebab kerusakan air susu. Proses produksi yg tdk hygienes, penanganan yg

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.A. Latar Belakang Permasalahan. Infeksi jamur patogen masih menjadi permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. I.A. Latar Belakang Permasalahan. Infeksi jamur patogen masih menjadi permasalahan BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Permasalahan Infeksi jamur patogen masih menjadi permasalahan dalam dunia medis hingga saat ini. Jamur patogen yang umum menginfeksi manusia adalah strain Candida

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. turun temurun sudah dimanfaatkan oleh masyarakat. Bahkan saat ini banyak industri

BAB I PENDAHULUAN. turun temurun sudah dimanfaatkan oleh masyarakat. Bahkan saat ini banyak industri 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jamu atau obat tradisional adalah salah satu kebanggaan Indonesia karena secara turun temurun sudah dimanfaatkan oleh masyarakat. Bahkan saat ini banyak industri

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Penambahan daun Som Jawa pada ransum menurunkan kandungan serat kasar dan bahan kering ransum, namun meningkatkan protein kasar ransum. Peningkatan protein disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi jamur yang menyebabkan penyakit kulit dan kuku

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi jamur yang menyebabkan penyakit kulit dan kuku BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit infeksi jamur yang menyebabkan penyakit kulit dan kuku masih banyak dijumpai. Penyakit tersebut disebabkan oleh beberapa jamur salah satunya adalah Tricophyton

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peternakan broiler merupakan salah satu sektor usaha peternakan yang

I. PENDAHULUAN. Peternakan broiler merupakan salah satu sektor usaha peternakan yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peternakan broiler merupakan salah satu sektor usaha peternakan yang berkembang pesat. Pada 2013 populasi broiler di Indonesia mencapai 1.255.288.000 ekor (BPS,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu

TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu TINJAUAN PUSTAKA Sifat Umum Susu Susu adalah sekresi yang dihasilkan oleh mammae atau ambing hewan mamalia termasuk manusia dan merupakan makanan pertama bagi bayi manusia dan hewan sejak lahir (Lukman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan

PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sapi perah merupakan sumber penghasil susu terbanyak dibandingkan hewan ternak perah lainnya. Keunggulan yang dimiliki sapi perah tersebut membuat banyak pengusaha-pengusaha

Lebih terperinci

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya.

SUSU. b. Sifat Fisik Susu Sifat fisik susu meliputi warna, bau, rasa, berat jenis, titik didih, titik beku, dan kekentalannya. SUSU a. Definisi Susu Air susu termasuk jenis bahan pangan hewani, berupa cairan putih yang dihasilkan oleh hewan ternak mamalia dan diperoleh dengan cara pemerahan (Hadiwiyoto, 1983). Sedangkan menurut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. AKTIVITAS KUALITATIF ENZIM KITINOLITIK (INDEKS KITINOLITIK)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. AKTIVITAS KUALITATIF ENZIM KITINOLITIK (INDEKS KITINOLITIK) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. AKTIVITAS KUALITATIF ENZIM KITINOLITIK (INDEKS KITINOLITIK) Peremajaan dan purifikasi terhadap kedelapan kultur koleksi isolat bakteri dilakukan terlebih dahulu sebelum pengujian

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN GLUKOSA DAN WAKTU INKUBASI PADA MEDIA SDA (Sabaroud Dextrose Agar) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Candida Albicans.

PENGARUH PENAMBAHAN GLUKOSA DAN WAKTU INKUBASI PADA MEDIA SDA (Sabaroud Dextrose Agar) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Candida Albicans. ISSN No. 1978-3787 Media Bina Ilmiah51 PENGARUH PENAMBAHAN GLUKOSA DAN WAKTU INKUBASI PADA MEDIA SDA (Sabaroud Dextrose Agar) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Candida Albicans Oleh : I Wayan Getas Ida Bagus

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu Masa laktasi adalah masa sapi sedang menghasilkan susu, yakni selama 10 bulan antara saat beranak hingga masa kering kandang. Biasanya peternak akan mengoptimalkan reproduksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mamalia. Beberapa spesies Candida yang dikenal dapat menimbulkan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. mamalia. Beberapa spesies Candida yang dikenal dapat menimbulkan penyakit BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Candida spp dikenal sebagai fungi dimorfik yang secara normal ada pada saluran pencernaan, saluran pernapasan bagian atas dan mukosa genital pada mamalia. Beberapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mineral. Susu adalah suatu cairan yang merupakan hasil pemerahan dari sapi atau 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Susu Susu merupakan bahan pangan yang baik bagi manusia karena mengandung zat gizi yang tinggi, yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Susu adalah suatu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah-limbah pasar dan agroindustri. Salah satu cara untuk mengatasi

I. PENDAHULUAN. limbah-limbah pasar dan agroindustri. Salah satu cara untuk mengatasi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini ketersediaan pakan hijauan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain ketersediaan bahan baku, musim, berkembangnya pemukiman masyarakat, sehingga peternak

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Indonesia serta negara-negara Asia lainnya berasal dari tumbuh-tumbuhan

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Indonesia serta negara-negara Asia lainnya berasal dari tumbuh-tumbuhan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kebutuhan protein yang tinggi masyarakat Indonesia yang tidak disertai oleh kemampuan untuk pemenuhannya menjadi masalah bagi bangsa Indonesia. Harper dkk.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Daya Bunuh Disinfektan terhadap Pertumbuhan Bakteri

HASIL DAN PEMBAHASAN Daya Bunuh Disinfektan terhadap Pertumbuhan Bakteri 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Daya Bunuh Disinfektan terhadap Pertumbuhan Bakteri Konsentrasi memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap daya kerja dari disinfektan. Disinfektan yang berperan sebagai pembunuh

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol

PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol 30 PEMBAHASAN Jumlah dan Komposisi Sel Somatik pada Kelompok Kontrol Sel somatik merupakan kumpulan sel yang terdiri atas kelompok sel leukosit dan runtuhan sel epitel. Sel somatik dapat ditemukan dalam

Lebih terperinci

TINGKAT PENGETAHUAN PETERNAK SAPI PERAH TENTANG Candida albicans DI KUNAK CIBUNGBULANG KABUPATEN BOGOR SUWARTI

TINGKAT PENGETAHUAN PETERNAK SAPI PERAH TENTANG Candida albicans DI KUNAK CIBUNGBULANG KABUPATEN BOGOR SUWARTI TINGKAT PENGETAHUAN PETERNAK SAPI PERAH TENTANG Candida albicans DI KUNAK CIBUNGBULANG KABUPATEN BOGOR SUWARTI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella sp merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Salmonella sp merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat menimbulkan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Salmonella merupakan salah satu anggota dari famili Enterobacteriaceae. Salmonella sp merupakan salah satu bakteri patogen yang dapat menimbulkan penyakit yang disebut

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN BAB 5 HASIL PENELITIAN Pada penelitian ini, identifikasi C. albicans dilakukan dengan media CHROMagar dan serum. Sampel yang diperoleh dari usap mulut penderita kandidiasis oral diusapkan pada media CHROMagar.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing

TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing 4 TINJAUAN PUSTAKA Anatomi dan Fisiologi Ambing Kelenjar mamaria atau ambing pada sapi letaknya di daerah inguinal yang terdiri dari empat perempatan kuartir. Setiap kuartir memiliki satu puting, keempat

Lebih terperinci

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 4, Desember 2017 ISSN

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 4, Desember 2017 ISSN ANALISIS KANDUNGAN JAMUR CANDIDA ALBICANS TERHADAP SANITASI TOILET UMUM DI PASAR KOTA BOJONEGORO Juwita Esthi Utami Rusmiati Fitri Rokhmalia Suprijandani ABSTRAK Candidiasis merupakan suatu infeksi yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gathot Gathot merupakan hasil fermentasi secara alami pada ketela pohon. Ketela pohon tersebut memerlukan suasana lembab untuk ditumbuhi jamur secara alami. Secara umum,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. endemik di Indonesia (Indriani dan Suminarsih, 1997). Tumbuhan-tumbuhan

I. PENDAHULUAN. endemik di Indonesia (Indriani dan Suminarsih, 1997). Tumbuhan-tumbuhan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang kaya dengan keanekaragaman hayatinya dan menduduki peringkat lima besar di dunia dalam hal keanekaragaman tumbuhan, dengan 38.000 spesies

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pakan. Biaya untuk memenuhi pakan mencapai 60-70% dari total biaya produksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pakan. Biaya untuk memenuhi pakan mencapai 60-70% dari total biaya produksi 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Pakan Sapi Perah Faktor utama dalam keberhasilan usaha peternakan yaitu ketersediaan pakan. Biaya untuk memenuhi pakan mencapai 60-70% dari total biaya produksi (Firman,

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK

PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK PENGARUH PENAMBAHAN SUKROSA DAN GLUKOSA PADA PEMBUATAN PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING TERHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI DAN ORGANOLEPTIK (Laporan Penelitian) Oleh RIFKY AFRIANANDA JURUSAN TEKNOLOGI HASIL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan tentang gizi mendorong orang untuk mendapatkan bahan pangan yang sehat dan berkualitas agar dapat diandalkan untuk meningkatkan dan memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Mukarlina et al., 2010). Cabai merah (Capsicum annuum L.) menjadi komoditas

BAB I PENDAHULUAN. (Mukarlina et al., 2010). Cabai merah (Capsicum annuum L.) menjadi komoditas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cabai merupakan tanaman hortikultura yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan diusahakan secara komersial baik dalam skala besar maupun skala kecil (Mukarlina et

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ayam petelur adalah ayam yang mempunyai sifat unggul dalam produksi telur atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur yaitu

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian 17 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian pada bulan Juni 2011 sampai Januari 2012 bertempat di Kabupaten Sukabumi. Metode Penelitian Populasi studi Populasi studi dalam penelitian ini

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penelitian pembuatan pupuk organik cair ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Secara

Lebih terperinci

bahan yang diperoleh adalah tetap dalam isopropil alkohol dan udara kering menengah diikuti oleh budidaya pada Sabouraud agar.

bahan yang diperoleh adalah tetap dalam isopropil alkohol dan udara kering menengah diikuti oleh budidaya pada Sabouraud agar. Kehadiran Candida sebagai anggota flora komensal mempersulit diskriminasi keadaan normal dari infeksi. Sangat penting bahwa kedua temuan klinis dan laboratorium Data (Tabel 3) yang seimbang untuk sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengolahan susu dengan bantuan mikroba untuk menghasilkan berbagai produk

BAB I PENDAHULUAN. pengolahan susu dengan bantuan mikroba untuk menghasilkan berbagai produk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Susu adalah cairan yang dihasilkan dari sekresi kelenjar mammae hewan mamalia yang fungsi utamanya adalah untuk memenuhi kebutuhan gizi anak hewan yang baru lahir.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber

II. TINJAUAN PUSTAKA. utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mikroorganisme Lokal (MOL) Mikroorganisme lokal (MOL) adalah mikroorganisme yang dimanfaatkan sebagai starter dalam pembuatan pupuk organik padat maupun pupuk cair. Bahan utama

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi susu dipengaruhi beberapa faktor utama yang salah satunya adalah penyakit. Penyakit pada sapi perah yang masih menjadi ancaman para peternak adalah penyakit mastitis yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang

BAB I PENDAHULUAN. Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal dan usus pada manusia sangat erat kaitanya dengan bakteri Escherichia coli yang merupakan salah satu bakteri patogen. Strain E. coli yang bersifat zoonosis

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Ayam Pedaging Ayam umumnya dapat menghasilkan daging maupun telur. Istilah pedaging yang diperoleh ayam pedaging dapat diberikan kepada seluruh jenis ayam yang dapat memproduksi

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh

PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING. (Laporan Penelitian) Oleh PENGARUH JENIS KEMASAN DAN LAMA PENYIMPANAN TEHADAP SIFAT KIMIA, MIKROBIOLOGI, DAN ORGANOLEPTIK PERMEN KARAMEL SUSU KAMBING (Laporan Penelitian) Oleh PUTRI CYNTIA DEWI JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PETANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercemar kapan dan dimana saja sepanjang penanganannya tidak memperhatikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tercemar kapan dan dimana saja sepanjang penanganannya tidak memperhatikan 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bakteri Patogen dalam Susu Susu merupakan media pertumbuhan yang sangat baik bagi bakteri dan dapat menjadi sarana potensial bagi penyebaran bakteri patogen yang mudah tercemar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikenal dengan nama sapi Grati. Bentuk dan sifat sapi PFH sebagian besar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikenal dengan nama sapi Grati. Bentuk dan sifat sapi PFH sebagian besar 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan antara bangsa-bangsa sapi asli Indonesia (Jawa dan Madura)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. masyarakat. Permintaan daging broiler saat ini banyak diminati oleh masyarakat

PENDAHULUAN. masyarakat. Permintaan daging broiler saat ini banyak diminati oleh masyarakat I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Broiler merupakan unggas penghasil daging sebagai sumber protein hewani yang memegang peranan cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat. Permintaan daging

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 25 BAB 5 HASIL PENELITIAN Preparat jaringan yang telah dibuat, diamati dibawah mikroskop multinokuler dengan perbesaran 4x dan 10x. Semua preparat dapat dibaca berdasarkan tolok ukur skor tingkat peradangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan penyediaan energi bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi secara optimal.

BAB I PENDAHULUAN. dan penyediaan energi bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi secara optimal. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ASI merupakan makanan yang terbaik untuk bayi pada awal kehidupan. ASI mengandung semua zat gizi (nutrient) yang dibutuhkan untuk membangun dan penyediaan energi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, salah satu bahan pangan asal ternak yang dapat digunakan adalah susu. Susu merupakan bahan makanan yang istimewa bagi manusia

Lebih terperinci

putri Anjarsari, S.Si., M.Pd

putri Anjarsari, S.Si., M.Pd NATA putri Anjarsari, S.Si., M.Pd putri_anjarsari@uny.ac.id Nata adalah kumpulan sel bakteri (selulosa) yang mempunyai tekstur kenyal, putih, menyerupai gel dan terapung pada bagian permukaan cairan (nata

Lebih terperinci

Penetapan Potensi Antibiotik Secara Mikrobiologi. Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB

Penetapan Potensi Antibiotik Secara Mikrobiologi. Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB Penetapan Potensi Antibiotik Secara Mikrobiologi Marlia Singgih Wibowo School of Pharmacy ITB Mengapa antibiotik perlu ditentukan kadar atau potensinya? Efek penggunaan antimikroba yang meningkat, sehingga

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rata-rata Kadar Kolesterol Daging pada Ayam Broiler Ulangan

HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rata-rata Kadar Kolesterol Daging pada Ayam Broiler Ulangan IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Susu Sapi, Kedelai Fermentasi dan Kombinasinya Terhadap Kolesterol Daging Ayam Broiler. Hasil pengatamatan kadar kolesterol daging pada ayam broiler pada penelitian

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 0 BAB 5 HASIL PENELITIAN Berdasarkan pengamatan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 4x dan 10x terhadap 60 preparat, terlihat adanya peradangan yang diakibatkan aplikasi H 2 O 2 10%, serta perubahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHSAN. 4.1 Pengaruh Tingkat Peggunaan Probiotik terhadap ph

HASIL DAN PEMBAHSAN. 4.1 Pengaruh Tingkat Peggunaan Probiotik terhadap ph IV HASIL DAN PEMBAHSAN 4.1 Pengaruh Tingkat Peggunaan Probiotik terhadap ph Derajat keasaman (ph) merupakan salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan pada saat proses fermentasi. ph produk fermentasi

Lebih terperinci