KEANEKARAGAMAN LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS UDARA DI KAWASAN INDUSTRI CITEUREUP DAN HUTAN PENELITIAN DRAMAGA NUSAIBAH SOFYAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEANEKARAGAMAN LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS UDARA DI KAWASAN INDUSTRI CITEUREUP DAN HUTAN PENELITIAN DRAMAGA NUSAIBAH SOFYAN"

Transkripsi

1 KEANEKARAGAMAN LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS UDARA DI KAWASAN INDUSTRI CITEUREUP DAN HUTAN PENELITIAN DRAMAGA NUSAIBAH SOFYAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keanekaragaman Lumut Kerak sebagai Bioindikator Kualitas Udara di Kawasan Industri Citeureup dan Hutan Penelitian Dramaga adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2017 Nusaibah Sofyan NIM E

4 ii ABSTRAK NUSAIBAH SOFYAN. Keanekaragaman Lumut Kerak sebagai Bioindikator Kualitas Udara di Kawasan Industri Citeureup dan Hutan Penelitian Dramaga. Dibimbing oleh SITI BADRIAH RUSHAYATI dan ELIS NINA HERLIYANA. Kegiatan industri dapat menurunkan kualitas udara yang ditandai dengan adanya pencemaran udara. Oleh karena itu, pemantauan kualitas udara perlu dilakukan salah satunya dengan menggunakan bioindikator berupa lumut kerak. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi keanekaragaman dan ciri makroskopik lumut kerak dengan perbedaan kualitas udara. Penelitian dilakukan di Kawasan Industri Citeureup (KIC) dan Hutan Penelitian Dramaga (HPD). Metode pengambilan data yaitu data faktor lingkungan, data lumut kerak berupa keanekaragaman jenis dan ciri makroskopik. Ciri makroskopik lumut kerak meliputi warna, bentuk, keadaan, morfologi talus lumut kerak, dan luas tutupan talus. Analisis data dilakukan dengan menggunakan deskriptif analitik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai konsentrasi NO 2 di HPD ( μg/nm 3 ) lebih kecil dari KIC ( μg/nm 3 ) dan nilai konsentrasi SO 2 di HPD ( μg/nm 3 ) lebih kecil dari KIC ( μg/nm 3 ). Nilai keanekaragaman lumut kerak di HPD sebesar 1.7 dan nilai keanekaragaman lumut kerak di KIC sebesar 1.4. Perbedaan kualitas udara pada kedua lokasi diindikasikan dengan adanya perbedaan keanekaragaman jenis dan ciri makroskopik lumut kerak. Hal tersebut membuktikan bahwa lumut kerak dapat dijadikan sebagai bioindikator kualitas udara. Kata Kunci : bioindikator, kualitas udara, lumut kerak ABSTRACT NUSAIBAH SOFYAN. Diversity of Lichen as Bioindicator of Air Pollution in Citeureup Industrial Area and Dramaga Research Forest. Supervised by SITI BADRIAH RUSHAYATI and ELIS NINA HERLIYANA. Industrial activities can degrade air quality which is characterized by air pollution. Therefore, Air quality monitoring needs to by measuring bio-indicators such as lichens. This research aimed to identify diversity and macroscopic characteristics of lichen with different air quality. Research conducted at the Citeureup Industrial Area and Dramaga Research Forest by measuring several environmental factors, lichen species diversity, and macroscopic characteristics. Lichen macroscopic characteristics include color, shape, state, talus morphology of lichens, and extensive talus cover. Data were analyzed by using descriptive analytics method. The concentration value of NO 2 in Dramaga Research Forest ( μg/nm 3 ) were smaller than Citeureup industrial Area ( μg/nm 3 ) and concentration value of SO 2 in Dramaga Research Forest ( μg/nm 3 ) were smaller than Citeureup Industrial Area ( μg/nm 3 ). Consequently, index diversity and macroscopic characteristics shown differently of air quality between Dramaga Research Forest and Citeureup industrial Area. The highest index diversity (1.7) was analyzed in Dramaga Research Forest, while the smallest (1.4) was analyzed in Citeureup Industrial Area. Therefore, the result of this study has proved that lichens could be used as bio-indicators of air quality. Keyword : air quality, bioindicator, lichen

5 iii KEANEKARAGAMAN LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS UDARA DI KAWASAN INDUSTRI CITEUREUP DAN HUTAN PENELITIAN DRAMAGA NUSAIBAH SOFYAN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017

6 iv

7 v Judul Skripsi : Keanekaragaman Lumut Kerak sebagai Bioindikator Kualitas Udara di Kawasan Industri Citeureup dan Hutan Penelitian Dramaga Nama : Nusaibah Sofyan NIM : E Disetujui oleh Dr Ir Siti Badriyah Rushayati, MSi Pembimbing I Dr Ir Elis Nina Herliyana, MSi Pembimbing II Diketahui oleh Dr Ir Nyoto Santoso, MS Ketua Departemen Tanggal Lulus :

8 vi PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak September 2016 ialah Kualitas Udara, dengan judul Keanekaragaman Lumut Kerak sebagai Bioindikator Kualitas Udara di Kawasan Industri Citeureup dan Hutan Penelitian Dramaga. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr Ir Siti Badriyah Rushayati, MSi dan Dr Ir Elis Nina Herliyana, MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, nasihat, dan semangat kepada penulis. Selain itu, penulis menyampaikan penghargaan kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan atas izin penggunaan Hutan Penelitian Dramaga sebagai lokasi penelitian penulis. Terima kasih juga diucapkan kepada Dra. Florentina Indah Windadri yang telah menemani dan membimbing selama identifikasi jenis lumut kerak di LIPI Cibinong. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Babah (Sopian Tsauri) dan Umi (Maryati) serta kakak kakak tercinta atas bantuan, dukungan dan ketulusannya dalam doa yang ditujukan kepada penulis. Serta ucapan terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu dan mendukung dari awal sampai akhir sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Maret 2017 Nusaibah Sofyan

9 vii DAFTAR ISI DAFTAR ISI vii DAFTAR TABEL viii DAFTAR GAMBAR viii DAFTAR LAMPIRAN viii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan 2 Manfaat 2 METODE 2 Waktu dan Lokasi Penelitian 2 Alat dan Bahan 2 Penentuan Lokasi Penelitian 3 Jenis Data yang Dikumpulkan 3 Metode Pengambilan Data 3 Analisis Data 6 HASIL DAN PEMBAHASAN 7 Kondisi Umum Lokasi Penelitian 7 Faktor Karakteristik Lingkungan Perkembangan Lumut Kerak 7 Karakteristik Vegetasi sebagai Substrat Lumut Kerak 10 Komposisi Jenis Lumut Kerak 10 Ciri Makroskopik Talus 12 Keanekaragaman (H ) Jenis Lumut Kerak 14 Frekuensi Perjumpaan Lumut Kerak 15 Luas Tutupan Lumut Kerak 15 Lumut Kerak sebagai Bioindikator Kualitas Udara 18 SIMPULAN DAN SARAN 20 Simpulan 20 Saran 20 DAFTAR PUSTAKA 20 RIWAYAT HIDUP 33

10 viii DAFTAR TABEL 1 Jenis data yang dikumpulkan 3 2 Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener 4 3 Kualitas udara pada kedua lokasi penelitian 8 4 Nilai LAI di kedua lokasi penelitian 9 5 Komposisi jenis lumut kerak pada kedua lokasi penelitian 11 6 Luas tutupan talus lumut kerak terhadap kulit kayu 16 7 Luas tutupan lumut kerak terhadap kulit kayu 17 8 Persentase tutupan lumut kerak terhadap kulit kayu 18 DAFTAR GAMBAR 1 Substrat lumut kerak; (a) Hutan Penelitian Dramaga, (b) Kawasan Industri Citeureup 10 2 Physcia sp. (a) Hutan Penelitian Dramaga, (b) Kawasan Industri Citeureup 12 3 Tipe morfologi; (a) tipe talus foliose (Parmelia cristifera ), (b) tipe talus crustose (Graphis insulana) 13 4 Keanekaragaman (H') jenis lumut kerak pada kedua lokasi penelitian 14 5 Frekuensi perjumpaan jenis lumut kerak di lokasi penelitian 15 6 Cryptothecia effusa memiliki keadaan utuh, luas dan berkoloni 16 DAFTAR LAMPIRAN 1 Baku mutu udara ambien nasional (PP No 41 Tahun 1999) 23 2 Hasil analisis kualitas udara di Laboratorium PPLH IPB 24 3 Suhu dan kelembaban di lokasi penelitian 26 4 Keanekaragaman jenis lumut kerak di lokasi penelitian 26 5 Luas tutupan lumut kerak di lokasi penelitian 28 6 Dokumentasi jenis lumut kerak yang ditemukan di lokasi penelitian 30

11 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan tempat tinggal, sarana penunjang kehidupan serta pabrikpabrik menyebabkan adanya perubahan fungsi lahan dan meningkatnya polusi udara. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas udara bagi kehidupan manusia, tumbuhan dan hewan. Udara merupakan salah satu komponen yang sangat diperlukan untuk kehidupan manusia, tumbuhan dan hewan. Udara yang bersih adalah udara yang tidak tercampur dengan unsur kimia beracun yang dapat memberikan dampak buruk terhadap makhluk hidup, tidak berwarna dan tidak berbau. Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 19 Tahun 2008 tentang rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun , Kecamatan Citeureup merupakan salah satu kawasan yang dimanfaatkan untuk kawasan industri estate dan zona industri. Kecamatan Citeureup termasuk ke dalam Rencana pengelolaan kawasan strategis industri yang diarahkan untuk terlaksananya fungsi kawasan sebagai pusat kegiatan industri yang didukung oleh sistem jaringan dan terintegrasi dengan pusat pusat hunian serta terhadap Pusat Kegiatan Nasional lainnya. Penurunan kualitas udara ditandai dengan adanya pencemaran udara di lingkungan sekitar. Pencemaran udara terjadi jika udara di atmosfer dicampuri dengan zat atau radiasi yang berpengaruh buruk terhadap organisme hidup. Kegiatan industri dapat dipastikan udara di dalam lingkungannya tercemar. Pencemaran udara disebabkan oleh adanya komponen pencemar udara yang dikeluarkan berupa komponen karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NO x ), sulfur oksida (SO x ), hidrokarbon (CH), partikel dan lain lain (Wardhana 2010). Kegiatan industri mengakibatkan meningkatnya pencemaran udara, maka perlu dilakukan penelitian yang berkaitan dengan pemantauan kualitas udara. Pemantauan kualitas udara salah satunya dapat dilakukan dengan menggunakan bioindikator. Tumbuhan dapat digunakan sebagai bioindikator yang akan menunjukkan perubahan keadaan, ketahanan tubuh, dan akan memberikan reaksi sebagai dampak perubahan lingkungan yang akan memberikan informasi tentang perubahan dan tingkat pencemaran lingkungan (Kovacs 1992). Salah satu jenis tumbuhan yang dapat menjadi bioindikator yang peka terhadap lingkungan adalah lumut kerak. Lumut kerak dapat mempengaruhi komponen ekosistem lain dan juga sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, karena lumut kerak mempunyai kemampuan dalam menyerap bahan-bahan beracun tertentu. Hampir sebagian besar spesies lumut kerak sangat sensitif terhadap gas sulfur dioksida (SO 2 ) dan gas buangan lainnya yang berasal dari industri maupun dari kendaraan bermotor (Suwarso 2004). Penelitian mengenai lumut kerak sebagai bioindikator kualitas udara di wilayah Kabupaten Bogor masih terbatas sehingga penelitian ini perlu dilakukan guna mengetahui keanekaragaman jenis lumut kerak pada kawasan tercemar dan kawasan tidak tercemar. Penelitian ini akan mengkaji mengenai keanekaragaman

12 2 lumut kerak sebagai bioindikator kualitas udara di Kawasan Industri Citeureup dan Hutan Penelitian Dramaga. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keanekaragaman jenis dan ciri makroskopik lumut kerak berdasarkan kualitas udara yang berbeda pada kedua lokasi penelitian yaitu Kawasan Industri Citeureup dan Hutan Penelitian Dramaga. Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai kualitas udara di Kawasan Industri Citeureup dan Hutan Penelitian Dramaga dan juga memberi manfaat dalam menduga kualitas udara dengan mengetahui ciri makroskopik dan keanekaragaman lumut kerak di suatu wilayah. Serta menjadi bahan pertimbangan dalam penentuan kebijakan pembangunan dimasa yang akan datang. METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Kawasan Industri Citeureup, Kabupaten Bogor, dan Hutan Penelitian Dramaga. Penelitian dilakukan pada bulan September - Oktober Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari beberapa jenis alat dengan fungsi yang berbeda-beda. Penggunaan alat dan bahan dibagi menjadi tiga bagian, pertama untuk mengambil data lumut kerak terdiri dari cutter, penggaris, pita meteran, amplop, dan timbangan analitik. Bahan yang digunakan adalah plastik transparan, lumut kerak, dan pohon sebagai substrat lumut kerak. Kedua, pengambilan data udara yang meliputi sampel udara, suhu dan kelembaban udara menggunakan alat imvinger dan termometer dry wet. Ketiga, pengambilan data LAI (Leaf Area Index) menggunakan Kamera DSLR, lensa fisheye, kompas dan tripod, serta alat yang digunakan pada ketiga bagian pengambilan data adalah alat tulis dan tally sheet.

13 3 Penentuan Lokasi Penelitian Pemilihan lokasi pengukuran kualitas udara di Kawasan Industri Citeureup dan Hutan Penelitian Dramaga yang diduga memiliki kualitas udara yang berbeda. Kawasan Industri Citeureup merupakan salah satu kawasan fokus pengembangan industri di Kabupaten Bogor yang diduga memiliki tingkat pencemaran kualitas udara tinggi dan selalu meningkat akibat tingginya aktivitas perindustrian. Hutan Penelitian Dramaga merupakan salah satu dari 13 Hutan Penelitian yang dikelola oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan yang diduga memiliki tingkat pencemaran kualitas udara rendah karena sedikitnya aktivitas manusia termasuk mobilitas kendaraan di dalamnya. Jenis Data yang Dikumpulkan Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder (Tabel 1). Data primer yaitu data yang dikumpulkan dan diolah secara langsung dari sumber pengambilan data yang digunakan oleh pengguna data. Data sekunder yaitu data yang dikumpulkan oleh pengguna data dan data telah diolah serta dipublikasikan pihak lain. Data ini diperoleh melalui studi pustaka. Tabel 1 Jenis data yang dikumpulkan No Jenis data Deskripsi 1 Primer a. Diameter pohon, jenis lumut kerak, warna dan bentuk morfologi lumut kerak, jumlah individu lumut kerak, serta luas tutupan lumut kerak b. Sampel udara meliputi pengukuran kualitas udara dengan parameter CO, NO 2 dan SO 2 c. Suhu dan kelembaban udara pada lokasi pengambilan sampel lumut kerak d. Luas daun (Leaf Area Index) 2 Sekunder Data penunjang mengenai seluruh aspek yang berhubungan dengan penelitian Metode Pengambilan Data Pengambilan sampel talus lumut kerak Pengambilan data dilakukan dengan menentukan tiga jenis pohon yang sama untuk kedua lokasi penelitian. Penentuan jenis pohon dilakukan berdasarkan penelitian pendahuluan di kedua lokasi. Setiap jenis pohon diamati sebanyak 3 individu pohon. Pengambilan data lumut kerak dibagi menjadi dua bagian yaitu keanekaragaman jenis dan ciri makroskopik lumut kerak. Keanekaragaman jenis lumut kerak didapatkan dengan cara mengukur diameter pohon, menghitung jenis

14 4 lumut kerak, menghitung jumlah individu lumut kerak sesuai dengan jenis yang diduga sama. Pengamatan sampel talus lumut kerak dilakukan secara makroskopik dengan melihat ciri-ciri talus lumut kerak pada tiap pohon. Ciri-ciri yang diamati meliputi warna, bentuk dan keadaan talus lumut kerak pada kedua sisi batang. Pengamatan dimulai dari permukaan tanah sampai ketinggian ±150 cm. Pengamatan pada batang pohon dibagi menjadi tiga bagian, pertama 0-50 cm diatas permukaan tanah, kedua cm di atas permukaan tanah, dan ketiga cm di atas permukaan tanah. Pengambilan sampel talus lumut kerak pada batang pohon dilakukan dengan cara dikerik. Serta pengambilan data luasan tutupan lumut kerak dilakukan dengan cara menggambar lumut kerak diatas plastik transparan. Identifikasi jenis lumut kerak. Sampel lumut kerak diidentifikasi di Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI), Pusat Penelitian Biologi, Cibinong. Ciri lumut kerak. Analisis ciri lumut kerak secara makroskopik dilakukan secara deksriptif kualitatif yaitu dengan melihat bentuk, keadaan serta warna talus lumut kerak pada masing-masing lokasi. Indeks keanekaragaman jenis (H'). Keanekaragaman jenis lumut kerak yang terdapat pada kedua lokasi pengamatan ditentukan dengan menggunakan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H') (Odum 1996) dengan rumus sebagai berikut: H' = - pi ln pi; pi = ni/n Keterangan : H' = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener ni = Jumlah individu setiap jenis N = Jumlah individu seluruh jenis Pi = kelimpahan setiap jenis Nilai indeks keanekaragaman yang didapat akan menjadi perbandingan untuk mengetahui tingkat keanekaragaman jenis lumut kerak. Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman terdapat pada Tabel 2. Tabel 2 Klasifikasi nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener Nilai Indeks Shannon- Kategori Wiener 3 Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap spesies tinggi dan kestabilan komunitas tinggi 1 3 Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan kestabilan komunitas sedang < 1 Keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap spesies rendah dan kestabilan komunitas rendah

15 5 Luas permukaan kulit kayu. Pengukuran kulit kayu yaitu diameter dan keliling menggunakan pita meter untuk mengetahui luas kulit kayu yang diamati. Luas kulit kayu yang diamati diperoleh melalui perhitungan dengan menggunakan rumus (Noer 2004) : Luas permukaan kulit kayu (cm 2 ) = ½ x (A+B) x C Keterangan : A = Keliling batas atas pohon (cm) B = Keliling batang bawah pohon (cm) C = Tinggi batang pohon yang diamati (150 cm dari permukaan tanah) Frekuensi perjumpaan lumut kerak. Penjumpaan lumut kerak digunakan untuk mengetahui penyebaran jenis lumut kerak pada tiap lokasi pengamatan. Rumus yang digunakan dalam analisis ini adalah: Frekuensi jenis = Jumlah individu pohon ditemukan jenis lumut kerak x 100 % Jumlah seluruh individu Presentase tutupan lumut kerak terhadap kulit kayu. Luas tutupan lumut kerak pada kulit kayu dari setiap vegetasi diukur padaketinggian 150 cm dari permukaan tanah.luas tutupan lumut kerak diperoleh dengan melakukan penggambaran dan penjiplakan talus lumut kerak pada plastik transparan ditimbang menggunakan timbangan analitik dan selanjutnya dikonversi menjadi luasan (cm 2 ) berdasarkan berat plastik 1 cm 2. Nilai luasan tutupan talus lumut kerak diperoleh dengan perhitungan menggunakan rumus: Luas tutupan lumut kerak (cm 2 )= (Wt / Wi) x 1 cm 2 Keterangan: Wt = Berat total plastik yang diukur berdasarkan luas plastik yang tertutup lumut kerak (mg) Wi = Berat total plastik dengan luas 1 cm 2 Presentase tutupan lumut kerak = Luas lumut kerakx 100% Luas permukaan kulit kayu Pengambilan data faktor lingkungan Faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan lumut kerak berupa kualitas udara, suhu dan kelembaban udara harian, serta indeks luas daun (Leaf Area Index). Pengambilan sampel udara. Pengukuran kandungan polutan CO, NO 2 dan SO 2 di udara dengan menggunakan imvinger pada kedua lokasi penelitian. Sampel dianalisis di Laboratorium Pusat Penelitian Lingkungan Hidup IPB Dramaga. Analisis data konsentrsi polutan udara dilakukan secara deskriptif kualitatif, kemudian membandingkan dengan peraturan pemerintah, yaitu Peraturan

16 6 Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Lampiran 1). Pengambilan data suhu dan kelembaban udara. Pengambilan data suhu udara dan kelembaban udara dilakukan pengukuran sebanyak tiga kali sehari yaitu pagi, siang, dan sore (07.30, 13.30, dan WIB) pada masing-masing lokasi penelitian. Suhu udara rata-rata pada masing-masing lokasi penelitian dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Handoko 1993): Suhu Udara (T) = (2 x T pagi) + (T siang) + ( T sore) 4 Kelembaban udara rata-rata pada masing-masing lokasi penelitian dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Handoko 1993): Kelembaban udara (RH) = (2 x RH pagi) + (RH siang) + (RH sore) 4 Pengukuran Leaf Area Index (LAI). Metode pengukuran LAI dengan menggunakan metode hemispheric photograph yaitu dengan elemen kamera DSLR, lensa fish eye dan tripod. Pengambilan data dengan meletakan kamera di bawah tajuk pohon pada beberapa titik bertujuan untuk mengetahui luasan tajuk pada pohon objek penelitian, kemudian dilakukan pengambilan gambar luas tutupan tajuk. Luas tutupan tajuk diukur dengan menggunakan metode proyeksi tajuk. Posisi dan arah Kamera DSLR dilengkapi dengan tripod dengan ketinggian ± 1 m, selain itu, lensa fisheye untuk mengambil gambar tutupan tajuk, posisi atas kamera ketika kamera menghadap kelangit yaitu mengarah ke utara (Rich 1990). Waktu pengambilan gambar dilakukan pada pagi dan sore atau kondisi mendung, hal ini bertujuan untuk menghindari difraksi matahari yang dapat mengakibatkan timbulnya bayangan pada foto, sehingga sukar di analisa (Djumhaer 2003). Data yang didapatkan melalui observasi dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak hemiview 2.1. Besaran nilai LAI didapatkan dengan metode ambang batas dengan memaksimalkan kontras pada tajuk dan langit. Mencari nilai LAI dihitung dengan cara besaran nilai LAI masing-masing pohon dijumlahkan kemudian dibagi dengan jumlah pohon yang sejenis pada masingmasing lokasi. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan deskriptif kuantitatif dan disajikan dalam bentuk grafik atau tabulasi. Berdasarkan informasi, data observasi lapang, serta studi pustaka dilakukan untuk mendukung pada kesimpulan yang diperoleh.

17 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Hutan Penelitian Dramaga Hutan Penelitian Dramaga merupakan salah satu dari 13 lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan yang dikelola oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan. Secara administrasi pemerintah, Hutan Penelitian Dramaga termasuk ke dalam wilayah Desa Situ Gede dan Desa Bubulak, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Berdasarkan ketinggian, lokasi tersebut berada pada 244 m di atas permukaan laut dengan luas keseluruhan adalah ha dan secara geografis lokasi tersebut terletak pada posisi antara , ,98 LS dan , ,64 BT. Berdasarkan data Stasiun Klimatologi Kelas I Dramaga tahun , suhu rata-rata tertinggi terjadi pada bulan Oktober sebesar 26.2 C dan terendah pada bulan Februari sebesar 25.3 C. Kelembaban tertinggi terjadi pada bulan Februari sebesar 89% dan terendah pada bulan September sebesar 77%. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari sebesar 364 mm dan terendah pada bulan Agustus sebesar 71.5 mm, sedangkan curah hujan rata-rata tahunan sebesar mm. Kawasan Industri Citeureup Kecamatan Citeureup secara administratif wilayah termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bogor dengan luas wilayah sebesar 67.1 km 2. Kecamatan Citeureup arah utara berada pada ketinggian m di atas permukaan laut karena tidak termasuk dalam kawasan perbukitan. Secara geografis Kecamatan Citeureup terletak pada koordinat antara LS dan BT. Wilayah Kecamatan Citeureup mempunyai iklim tropis dengan suhu udara berkisar antara 24.6 C C. Curah hujan tahunan di wilayah kajian mencapai 1900 mm. Bulan basah terjadi karena adanya angin musim barat yang berlangsung pada bulan Oktober sampai Mei dengan curah hujan tertinggi pada bulan April (20% dari curah hujan tahunan) (Noviana 2010). Lokasi ini berpotensi mengalami pencemaran udara karena merupakan kawasan industri. Faktor Karakteristik Lingkungan Perkembangan Lumut Kerak Kualitas udara Karakteristik lingkungan seperti suhu udara harian, kelembaban relatif udara harian dan kualitas udara ambien mempengaruhi keberadaan lumut kerak. Berdasarkan analisis data yang dilakukan di Laboratorium PPLH IPB, didapatkan hasil nilai kandungan polutan udara di kedua lokasi penelitian yang disajikan pada Tabel 3. Pengambilan sampel udara ambien dilakukan pada hari yang sama di kedua lokasi penelitian. Pengukuran nilai kandungan sampel udara ambien dengan parameter NO 2, SO 2, dan CO jauh lebih rendah di bawah ambang batas baku mutu udara menurut Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999.

18 8 Tabel 3 Kualitas udara pada kedua lokasi penelitian Parameter Baku Mutu * Satuan Hutan Penelitian Dramaga Kawasan Industri Citeureup Gas Nitrogen Dioksida (NO 2 ) 400 (1 jam) μg/nm Gas Sulfur Dioksida (SO 2 ) 900 (1 jam) μg/nm Gas Karbon Monoksida (CO) (1 jam) μg/nm 3 <2500 <2500 * Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999 tentang Baku Mutu Udara Ambient Nasional Secara keseluruhan parameter NO 2, SO 2, dan CO di Kawasan Industri Citeureup memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan Hutan Penelitian Dramaga. Hal ini terjadi karena lokasi tersebut merupakan kawasan industri yang di dalamnya terdapat kegiatan industri salah satu dan utamanya adalah kegiatan pembakaran yang menghasilkan gas SO 2 dalam jumlah yang besar dibandingkan dengan emisi lainnya. Banyaknya kendaraan bermotor yang beroperasi pada kawasan industri pun menyebabkan tingginya nilai gas NO 2. Sulfur Dioksida (SO 2 ) berasal dari sisa pembakaran bahan bakar fosil baik minyak tanah atau bahan bakar dari kendaraan bermotor. Pada kategori nyaman parameter tersebut tidak memberikan dampak yang berarti, sedangkan pada kategori baik dan sedang keberadaan SO 2 mampu memberikan luka pada beberapa spesies tumbuhan akibat kombinasi dengan ozon selama 4 jam. Penambahan konsentrasi SO 2 pada lingkungan akan merubah kepada kondisi tidak sehat disamping menimbulkan bau yang menyengat juga akan menyebabkan peningkatan kerusakan tanaman. sedangkan pada kategori Berbahaya akibat yang ditimbulkan adalah ancaman bagi seluruh makluk hidup (Raharjo 2009). Sumber utama NO 2 pada atmosfer adalah hasil pembakaran dari kendaraan pada jalan lalu lintas. Sumber utama lainnya adalah dari pembangkit tenaga listrik, pabrik pemanas, dan proses industri. Udara yang tercemar oleh gas nitrogen dioksida tidak hanya berbahaya bagi manusia dan hewan, tetapi juga berbahaya bagi kehidupan tanaman. Pada konsentrasi yang tinggi, gas NO 2 dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan daun sehingga daun tidak dapat berfungsi sempurna. Suhu dan kelembaban Berdasarkan hasil pengukuran suhu dan kelembaban relatif udara harian, menunjukkan bahwa Hutan Penelitian Dramaga memiliki suhu udara harian sebesar 25.8 C dan kelembaban relatif udara harian sebesar 82%. Berbeda dengan Kawasan Industri Citeureup yang memiliki suhu udara harian sebesar 26.3 C dan kelembaban relatif udara harian sebesar 82% (Lampiran 2). Menurut Sundberg et al. (1997) kondisi substrat lumut kerak yang mendukung pertumbuhan lumut kerak secara optimal yaitu pada keadaan suhu yang kurang dari 40 ºC dan kelembaban yang kurang dari 85%. Kondisi suhu dan kelembaban pada kedua lokasi sesuai untuk mendukung kehidupan lumut kerak. Suhu dan kelembaban yang melewati ambang batas dapat menyebabkan rusaknya klorofil pada lumut kerak sehingga aktifitas fotosintesis dan perkembangan kehidupan dari lumut kerak dapat terganggu.

19 9 Leaf Area Index (LAI) Leaf Area Index (LAI) atau Indeks Luas Daun adalah suatu peubah yang menunjukkan hubungan antara luas daun dengan luas bidang yang tertutupi (Risdiyanto dan Setiawan 2007), yang merupakan salah satu parameter paling penting dalam mencirikan struktur tajuk tanaman, proses dan fungsinya. LAI berkaitan dengan fotosintesis, respirasi, dan transpirasi dari tajuk tanaman (Brėda 2003). Besaran nilai LAI merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan lumut kerak. Hutan Penelitian Dramaga memiliki nilai LAI terbesar pada selang , sedangkan Kawasan Industri Citeureup memilik nilai LAI lebih kecil dengan selang (Tabel 4). Tabel 4 Nilai LAI di kedua lokasi penelitian Pohon Lokasi Penelitian Hutan Penelitian Dramaga Kawasan Industri Citeureup Akasia Mahoni Sengon Rata-rata Peningkatan nilai LAI berbanding lurus dengan peningkatan jumlah jenis lumut kerak yang ditemukan dan nilai keanekaragaman jenis lumut kerak pada kedua lokasi. Nilai LAI diduga mempengengaruhi keanekaragaman jenis lumut kerak. Hutan Penelitian Dramaga memiliki nilai LAI lebih besar dibandingkan dengan Kawasan Industri Citeureup. Hal tersebut berkaitan dengan banyaknya jumlah jenis lumut kerak yang ditemukan dan tingginya nilai keanekaragaman pada lokasi tersebut. Cahaya matahari mempengaruhi proses fotosintesis pada tumbuhan, semakin banyak cahaya yang diterima oleh tumbuhan maka laju pertumbuhannya pun akan bertambah, tetapi bila terlalu banyak cahaya yang diterima maka proses fotosintesis dapat terganggu. Menurut Ariany et al. (2013) pada kondisi intensitas cahaya yang tinggi, tumbuhan cenderung meningkatkan aktivitas fotosintesis sampai tingkat kejenuhan cahaya tertentu. Setiap jenis tumbuhan memiliki kondisi jenuh cahaya yang berbeda, dimana peningkatan cahaya tidak lagi meningkatkan fotosintesis. Nilai LAI yang besar menunjukkan bahwa tingkat naungan tumbuhan pada lokasi tersebut besar. Intensitas cahaya yang diterima pada lokasi tersebut sedikit. Hal tersebut mengindikasikan bahwa nilai LAI memberikan pengaruh pada suhu dan kelembaban udara di lokasi tersebut. Besarnya nilai LAI pada Hutan Penelitian Dramaga menunjukkan bahwa intensitas cahaya yang diterima pada lokasi tersebut kecil sehingga suhu udara menurun dan kelembaban udara meningkat. Kelembaban udara dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman karena dapat mempengaruhi proses fotosintesis. Laju fotosintesis meningkat dengan meningkatnya kelembaban udara sekitar tanaman (Widiastuti et al. 2004).

20 10 Karakteristik Vegetasi sebagai Substrat Lumut Kerak Lumut kerak hidup epifitik pada vegetasi berkayu sebagai tempat tumbuh atau habitatnya. Masing-masing lokasi diwaliki dengan 3 jenis pohon yang setiap jenisnya terdiri dari 3 individu. Pohon tersebut adalah Akasia (Acacia mangium), Sengon (Paraserianthes falcataria) dan Mahoni (Switenia mahagoni). Rata-rata diameter pohon pada Hutan Penelitian Dramaga memiliki nilai lebih besar dibandingkan dengan lokasi lainnya. Rata-rata diameter Pohon Akasia di Hutan Penelitian Dramaga sebesar 43.2 cm, Pohon Sengon sebesar 53.6 cm, dan Pohon Mahoni sebesar 39.8 cm. Kawasan Industri Citeureup memiliki nilai rata-rata diameter Pohon Akasia sebesar 20.5 cm, Pohon Sengon sebesar 21 cm, dan Pohon Mahoni sebesar 31.2 cm. Pohon-pohon yang berada di Kawasan Industri Citeureup memiliki umur pohon yang tidak jauh berbeda (5-7 tahun) dan lebih muda dibandingkan dengan pohon-pohon yang berada di Hutan Penelitian Dramaga (15-20 tahun) sehingga diameter yang dimiliki pohon yang berada di Kawasan Industri Citeureup lebih kecil dan mempengaruhi luas tutupan talus lumut kerak (Gambar 1). (a) Gambar 1 Substrat lumut kerak; (a) Hutan Penelitian Dramaga, (b) Kawasan Industri Citeureup (b) Komposisi Jenis Lumut Kerak Lumut kerak tersusun dari Algae (biasanya tergolong dalam Cyanophyceae atau Chlorophyceae) dan Fungi (Ascomycetes atau Basidiomycetes) (Tjitrosoepomo 2005). Berdasarkan tipe morfologi, lumut kerak dikelompokkan dalam empat tipe, yaitu: Crustose (berbentuk seperti kerak), Foliose (berbentuk seperti daun), Squamulose (berbentuk seperti sisik), dan Fructicose (berbentuk seperti cabang silinder atau pita) (Vashista 1982 dalam Januardania 1995). Tipe morfologi lumut kerak yang ditemukan pada kedua lokasi penelitian hanya terdiri dari tipe Crustose dan Foliose. Tipe talus Crustose merekat kuat pada substratnya sehingga tidak mudah terlepas, sedangkan tipe talus Foliose bentuknya menyerupai daun dan mudah terlepas dari substratnya. Jenis lumut kerak yang ditemukan di kedua lokasi menunjukkan bahwa 80% berasal dari tipe talus Crustose sedangkan sisanya adalah tipe talus Foliose. Komposisi jenis lumut kerak yang ditemukan pada kedua lokasi penelitian terdapat pada Tabel 5.

21 11 Tabel 5 Komposisi jenis lumut kerak pada kedua lokasi penelitian No. Jenis lumut kerak Famili Morfologi Lokasi Penelitian I* II* 1 Cryptothecia sp.1 Arthoniaceae Crustose 2 Cryptothecia sp.2 Arthoniaceae Crustose 3 Cryptothecia sp.3 Arthoniaceae Crustose 4 Cryptothecia effusa Arthoniaceae Crustose 5 Dirinaria sp. Physciaceae Foliose 6 Graphis insulana Graphidaceae Crustose 7 Graphis sp.1 Graphidaceae Crustose 8 Graphis sp.2 Graphidaceae Crustose 9 Graphis sp.3 Graphidaceae Crustose 10 Lecanora sp.1 Lecanoraceae Crustose 11 Lecanora sp.2 Lecanoraceae Crustose 12 Lecanora sp.3 Lecanoraceae Crustose 13 Parmelia cristifera Parmeliaceae Foliose 14 Physcia sp. Physciaceae Foliose 15 Sarcographa sp. Graphidaceae Crustose 16 A Crustose 17 B Crustose 18 C Crustose 19 D Chiodectonaceae Crustose 20 E Crustose Keterangan * : I : Kawasan Industri Citeureup II : Hutan Penelitian Dramaga : Ditemukan : Tidak ditemukan Lumut kerak yang ditemukan pada kedua lokasi terdiri dari 6 famili. Famili lumut kerak yang ditemukan terdiri dari famili Arthoniaceae, Chiodectoniaceae, Graphidaceae, Lecanoraceae, Parmeliaceae, dan Physciaceae. Komposisi lumut kerak yang ditemukan di setiap lokasi penelitian tersebut berbeda-beda (Tabel 4). Kawasan Industri Citeureup merupakan kawasan industri aktif. Jumlah jenis lumut kerak yang ditemukan pada Kawasan Industri Citeureup lebih kecil dibandingkan dengan Hutan Penelitian Dramaga. Hal tersebut diduga karena adanya kegiatan industri yang cukup tinggi. Sesuai dengan pernyataan Alexopolous dan Mims (1979) bahwa pusat kota dengan polutan industri tidak ditemukan atau jarang ditemukan lumut kerak. Populasi lumut kerak secara bertahap bertambah pada jarak semakin jauh dari pusat kota tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan di kedua lokasi penelitian didapatkan 20 jenis lumut kerak. lumut kerak yang ditemukan pada Hutan Penelitan Dramaga sebanyak 16 jenis, sedangkan lumut kerak yang ditemukan pada Kawasan Industri Citeureup sebanyak 10 jenis. Komposisi jenis lumut kerak di Hutan Penelitian Dramaga lebih banyak dijumpai dibandingkan dengan lokasi lainnya. Hal tersebut mengindikasikan kualitas udara di Hutan Penelitian Dramaga lebih baik dibandingkan dengan lokasi lainnya.

22 12 Ciri Makroskopik Talus Bentuk talus Jenis-jenis lumut kerak yang ditemukan berkembang pada pohon sebagai substratnya di kedua lokasi penelitian memiliki bentuk, warna dan keadaan talus yang berbeda. Bentuk talus bervariasi, ada yang berbentuk memanjang (lonjong), tidak beraturan, atau menyerupai lingkaran (membulat). Talus lumut kerak yang berkembang di Hutan Penelitian Dramaga sebagian besar berbentuk memanjang (lonjong), dan ada sebagian yang menyerupai lingkaran (membulat), sedangkan talus lumut kerak yang berkembang pada vegetasi Kawasan Industri Citeureup sebagian besar berbentuk tidak beraturan dan ada sebagian yang menyerupai lingkaran (membulat). Warna talus Warna talus dari suatu jenis lumut kerak tidak selalu memperlihatkan warna yang konsisten, hal tersebut tergantung pada substrat dan kondisi tempat tumbuh lumut kerak. Perbedaan warna tidak hanya terjadi pada perbedaan antar jenis, tetapi juga dapat terjadi pada jenis yang sama yang berkembang pada tempat yang berbeda. Menurut Fink (1935) warna talus dibandingkan bentuk dan ukuran talus, lebih mudah berubah dan kurang dapat dipercaya dalam menentukan taksonomi, tetapi warna talus memainkan peranan penting dalam membedakan jenis lumut kerak. Substrat dan kondisi tempat tumbuh lumut kerak yang berbeda menyebabkan adanya perbedaan respon bagi setiap lumut kerak. Pada lokasi yang kualitas udaranya lebih baik untuk perkembangan lumut memiliki talus lumut kerak dengan warna yang cerah. Sebaliknya lokasi dengan kualitas udara yang rendah memiliki talus lumut kerak yang berwarna kusam (Gambar 2). Warna talus lumut kerak yang ditemukan cukup beragam. Warna talus yang ditemukan antara lain warna hijau tua, hijau muda, hijau keabuan, hitam, putih, putih kecoklatan, dan putih keabuan. (a) Gambar 2 Physcia sp. (a) Hutan Penelitian Dramaga, (b) Kawasan Industri Citeureup (b)

23 13 Keadaan talus Perbedaan kondisi permukaan tempat tumbuh mempengaruhi keadaan talus lumut kerak. Keadaan talus lumut kerak ada yang terlihat utuh, terpecah-pecah, terpencar antar bagian talus dengan yang lainnya dan ada pula yang bergerombol. Sebagian besar talus yang ditemukan di lokasi Hutan Penelitian Dramaga memiliki keadaan utuh dan bergerombol, namun ada beberapa jenis memiliki keadaan terpencar bagian talus satu dengan yang lainnya. Sedangkan keadaan talus di lokasi Kawasan Industri Citeureup sebagian besar terpecah-pecah dan ada beberapa jenis yang bergerombol. Kondisi lingkungan yang baik memiliki talus lumut kerak dalam keadaan utuh dan luas tutupan yang besar. Masuknya pencemar ke dalam talus lumut kerak menyebabkan adanya perubahan pada keadaan talus tersebut, seperti mengecilnya luas tutupan talus dan juga talus yang pada mulanya dalam keadaan utuh berubah menjadi terpecah-pecah antar bagian talus dengan yang lainnya. Penurunan luas tutupan talus tersebut merupakan ciri respon dari lumut kerak terhadap pencemaran udara yang terjadi di sekitar tempat tumbuhnya. Morfologi jenis lumut kerak Lumut kerak dapat dikelompokkan dalam tiga tipe berdasarkan morfologi talusnya yaitu crustose, foliose, dan fruticose. Menurut Fink (1935) lumut kerak yang mempunyai bentuk tegai atau terjumbai dari inang disebut talus fruticose, sedang lumut kerak yang mempunyai talus datar atau rata, sejajar substrat mungkin tergolong talus foliose atau crustose. Tipe talus crustose memiliki ciriciri bentuk seperti kerak yang melekat pada substratnya. Tipe talus foliose memiliki ciri-ciri dengan talus mudah terkelupas dari substratnya (Baron 1999). Selanjutnya Polunin (1990) menambahkan, talus fruticose dengan talus berbentuk semak, tumbuh ke atas bercabang-cabang dan sering menyerupai semak atau bergantungan dari cabang pohon. (a) Gambar 3 Tipe morfologi; (a) tipe talus foliose (Parmelia cristifera ), (b) tipe talus crustose (Graphis insulana) (b) Jenis lumut yang ditemukan pada kedua lokasi hanya terdiri dari dua tipe morfologi yaitu crustose dan foliose. Terdapat sepuluh jenis lumut kerak yang ditemukan di lokasi Kawasan Industri Citeureup dan 8 diantaranya memiliki morfologi crustose. Tipe foliose pada Kawasan Industri Citeureup lebih beragam dibandingkan dengan Hutan Penelitian Dramaga. Hal tersebut dikarenakan tutupan tajuk pada Hutan Penelitian Dramaga lebih rapat sehingga kurangnya

24 14 intensitas cahaya yang diterima oleh talus untuk pertumbuhannya. Perbedaan tipe morfologi talus lumut kerak dapat dilihat dan ditentukan secara makroskopis (Gambar 3). Warna dan bentuk morfologi dapat dijadikan sebagai indikasi adanya respon lumut kerak terhadap kualitas udara di lingkungannya. Keanekaragaman (H ) Jenis Lumut Kerak Keanekaragaman jenis lumut kerak diketahui berdasarkan banyaknya jumlah jenis lumut kerak yang ditemukan di suatu lokasi penelitian. Lokasi Hutan Penelitian Dramaga memiliki nilai indeks keanekaragaman (H ) jenis lumut kerak lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi Kawasan Industri Citeureup. Nilai keanekaragaman jenis lumut kerak di Hutan Penelitian Dramaga sebesar 1.7 sedangkan Kawasan Industri Citeureup sebesar 1.4 terdapat pada Gambar 4. Menurut Odum (1996) keanekaragaman jenis lumut kerak di kedua lokasi termasuk ke dalam satu kategori yang sama yaitu keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap spesies sedang dan kestabilan komunitas sedang karena nilai indeks keanekaragam jenis di kedua lokasi termasuk dalam nilai 1-3. Nilai indeks keanekaragaman (H ) Kawasan Industri Citeureup Gambar 4 Keanekaragaman (H') jenis lumut kerak pada kedua lokasi penelitian Perbedaan nilai keanekaragaman jenis lumut kerak terjadi karena lokasi Hutan Penelitian Dramaga memiliki jumlah jenis lumut kerak lebih banyak dibandingkan dengan Kawasan Industri Citerueup. Kualitas udara yang berbeda pada kedua lokasi tersebut diduga menjadi faktor terjadinya perbedaan nilai keanekaragaman, Hutan Penelitian Dramaga memiliki kualitas udara yang relatif lebih bersih dibandingkan dengan lokasi lainnya. Sedikitnya perbedaan keanekaragaman dikarenakan nilai suhu dan kelembaban udara harian yang tidak jauh berbeda dan juga nilai pencemaran udara tidak jauh berbeda. Meskipun tidak jauh berbeda, Kawasan Industri Citeureup memiliki nilai pencemaran udara yang lebih besar dan suhu yang lebih besar. Menurut Polunin (1990) lumut kerak terdapat melimpah pada habitat yang sangat berbeda-beda, biasanya dalam lingkungan yang agak kering. Lumut kerak praktis dapat ditemukan dimana-mana di darat, meskipun menjauhkan diri dari kota-kota besar, karena kepekaannya terhadap asap. Lumut kerak diakui sangat 1.7 Hutan Penelitian Dramaga

25 15 sensitif terhadap polusi udara. Dalam pengamatan independen tahun 1800-an di Inggris, Murich dan Paris didokumentasikan bahwa lumut kerak sudah menghilang dari wilayah urban (Nash 2008). Frekuensi Perjumpaan Lumut Kerak Frekuensi perjumpaan jenis lumut kerak diketahui dengan cara melihat jumlah pohon yang menjadi substrat lumut kerak dan untuk mengetahui penyebaran setiap jenis lumut kerak. Jumlah pohon yang digunakan sebagai substrat dan tempat pengambilan data lumut kerak di kedua lokasi penelitian berjumlah sebanyak 18 individu pohon. Pohon yang digunakan sebagai substrat adalah Acacia mangium, Paraserianthes falcataria, dan Switenia mahagoni. Hasil perhitungan frekuensi perjumpaan lumut kerak terdapat pada Gambar 5. Frekuensi perjumapaan (%) Gambar 5 Frekuensi perjumpaan jenis lumut kerak di lokasi penelitian Berdasarkan gambar di atas, Physcia sp. merupakan jenis lumut kerak yang memiliki frekuensi perjumpaan tertinggi yaitu 72%. Jenis tersebut ditemukan di 13 individu pohon yang terdapat pada kedua lokasi. Perbedaaan suhu udara harian dan kelembaban udara harian dari kedua lokasi yang tidak terlalu signifikan menyebabkan jenis tersebut dapat hidup dan berkembang pada kedua lokasi tersebut. Luas Tutupan Lumut Kerak Luas tutupan lumut kerak merupakan respon lumut kerak terhadap kondisi lingkungan disekitar substratnya. Luas tutupan talus masing-masing jenis lumut kerak terhadap kulit kayu diurutkan dari nilai tertinggi sampai terendah disajikan pada Tabel 6. Berdasarkan hasil pada tabel tersebut, jenis Cryptothecia effusa

26 16 merupakan jenis lumut kerak yang memiliki luas tutupan talus yang paling luas, yaitu seluas cm 2 dari total luas tutupan talus seluas cm 2. Persentase tutupan talus terhadap kulit kayu, jenis tersebut memiliki nilai persen tutupan talus sebesar 2.7% dari total sebesar 6.6%. Tabel 6 Luas tutupan talus lumut kerak terhadap kulit kayu No. Jenis Lumut Kerak Luas Tutupan (cm 2 ) Tutupan (%) 1 Cryptothecia effusa Cryptothecia sp Graphis sp Dirinaria sp Physcia sp D Sarcographa sp Cryptothecia sp Lecanora sp Parmelia cristifera B C Graphis sp Graphis sp A Graphis insulana Cryptothecia sp E Lecanora sp Lecanora sp Total Cryptothecia effusa merupakan jenis yang ditemukan di Hutan Penelitian Dramaga. Cryptothecia effusa memiliki keadaan talus yang utuh, luas dan berkoloni (bergerombol). Jenis tersebut terlihat mendominasi di tempat tumbuhnya karena memiliki keadaan yang berkoloni (Gambar 6). Gambar 6 Cryptothecia effusa memiliki keadaan utuh, luas dan berkoloni

27 17 Jenis ini memiliki morfologi crustose yang memiliki ciri-ciri bentuk seperti kerak yang melekat pada substratnya sehingga jenis ini mampu bertahan pada substratnya dengan keadaan lingkungan yang baik dan mendukung. Seluruh jenis Cryptothecia yang ditemukan pada kedua lokasi memiliki kecendrungan untuk tumbuh pada batang pohon sengon. Luas tutupan lumut kerak berdasarkan bagian ketinggian serta bagian yang menghadap dan membelakangi sumber pencemar terdapat pada Tabel 7. Hasil total luas tutupan lumut kerak pada kedua lokasi penelitian, yaitu Hutan Penelitian Dramaga sebesar cm 2 dan Kawasan Industri Citeureup sebesar 622 cm 2. Tabel 7 Luas tutupan lumut kerak terhadap kulit kayu Hutan Penelitian Dramaga Kawasan Industri Citeureup Ketinggian batang (cm 2 ) (cm 2 ) (cm) I* II* I* II* Total Keterangan* : Bagian I :Pengukuran luasan lumut kerak yang menghadap sumber pencemar Bagian II :Pengukuran luasan lumut kerak yang membelakangi sumber pencemar Masing-masing lokasi penelitian memiliki luas tutupan lumut kerak yang berbeda. Pada lokasi Hutan Penelitian Dramaga luas tutupan lumut kerak pada ketinggian cm memiliki luasan paling luas, sedangkan Kawasan Industri Citeureup memiliki luas tutupan lumut kerak terluas pada ketinggian cm. Perbedaan luas pada setiap ketinggian dapat disebabkan oleh faktor lingkungan dan tempat tumbuh. Luasnya tutupan lumut kerak pada ketinggian cm di Hutan Penelitian Dramaga disebabkan banyaknya semak yang tumbuh disekitar pohon atau substrat lumut kerak, sehingga kurangnya sinar matahari yang diterima untuk pertumbuhan lumut kerak tersebut. Kawasan Industri Citeureup memiliki nilai pencemaran yang lebih tinggi, sehingga diduga gas pencemar tersebut mengendap pada bagian bawah pohon yang digunakan sebagai substrat. Hutan Penelitian Dramaga memiliki luas tutupan lumut kerak lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya, yaitu sebesar cm 2 untuk bagian yang menghadap sumber pencemar dan cm 2 untuk bagian yang membelakangi sumber pencemar. Luas tutupan lumut kerak pada bagian yang membelakangi sumber pencemar pada kedua lokasi memiliki luas tutupan lebih tinggi dibandingkan dengan bagian sebaliknya. Hal tersebut terjadi karena bagian pohon yang membelakangi sumber pencemar memiliki kondisi lingkungan yang lebih baik untuk pertumbuhan lumut kerak. Sesuai dengan fungsinya, lumut kerak sebagai bioindikator dengan memberikan respon berupa penurunan luasan tutupan lumut kerak. Persentase tutupan lumut kerak diketahui dengan cara mengukur luas tutupan lumut kerak berdasarkan kerapatan atau pada ketinggian batang dari setiap lokasi. Total persentase tutupan lumut kerak pada Hutan Penelitian Dramaga sebesar 5.1% dan pada Kawasan Industri Citeureup sebesar 1.5% terdapat pada Tabel 8.

28 18 Tabel 8 Persentase tutupan lumut kerak terhadap kulit kayu Ketinggian batang (cm) Hutan Penelitian Dramaga (%) Kawasan Industri Citeureup (%) Total Perbedaan persentase tutupan lumut kerak mengindikasikan adanya respon lumut kerak terhadap keadaan kualitas lingkungan tempat tumbuh lumut kerak dan pencemaran yang berada disekitarnya. Perbedaan persentase tersebut diduga karena adanya pengaruh beberapa faktor yaitu faktor eksternal maupun faktor internal. Faktor eksternal seperti adanya pengaruh dari suhu, kelembaban, intensitas cahaya yang diterima dan juga tingkat pencemaran yang terjadi pada kedua lokasi. Serta faktor internal yang dimaksud seperti kandungan air, zat makanan yang diterima dan juga kesehatan kulit pohon yang dijadikan sebagai substrat lumut kerak tersebut. Lumut Kerak sebagai Bioindikator Kualitas Udara Biomonitoring adalah penggunaan respon biologi secara sistematik untuk mengukur dan mengevaluasi perubahan dalam lingkungan dengan menggunakan bioindikator. Bioindikator adalah organisme atau respon biologis yang menunjukkan masuknya zat tertentu dalam lingkungan. Salah satu cara pemantauan pencemaran udara adalah dengan menggunakan tumbuhan sebagai bioindikator (Mulgrew dan William 2000). Menurut Bates (2002) lumut kerak telah diketahui memiliki sifat sensitif terhadap perubahan lingkungan, misalnya polusi udara. Sifat ini berhubungan dengan kemampuannya mengakumulasi partikel-partikel yang terlarut dalam udara karena talusnya tumbuh menahun (perenial). Lapisan yang melindungi talus lumut kerak hanya berupa kutikula primitif, maka talus lumut kerak tidak dapat menghindari penyerapan partikel-partikel secara langsung dari udara termasuk polutan. Aktivitas kendaraan dan proses pembakaran dalam kegiatan industri yang padat menyebabkan SO 2 yang diserap oleh talus liken lebih banyak. Menurut Nurhidayah et al (2001) semakin banyak kandungan SO 2 maka kandungan klorofil pada tumbuhan akan mengalami penurunan. Kandungan SO 2 di udara mempengaruhi kandungan sulfur pada liken. Meningkatnya kandungan sulfur pada liken diikuti dengan penurunan kandungan klorofilnya. Hal tersebut terjadi pada lumut kerak di kedua lokasi penelitian yang pada akhirnya mempengaruhi perkembangan lumut kerak. Polutan SO 2 pada awalnya membuat pernapasan tanaman lebih intensif, tetapi setelah munculnya bintik nekrotik pada daun, perlahan intensitas tersebut akan berkurang. Gejala umum pencemaran sulfur dioksida adalah terjadinya pemudaran warna tumbuhan. Lumut yang sepenuhnya telah berubah warna

29 biasanya tidak dapat dipulihkan bahkan setelah ditempatkan dalam lingkungan udara ambien yang bersih (Kovacs 1992). Dampak NO x dan partikulat terhadap lumut kerak tidak dipahami dengan baik, meskipun semakin banyak bukti bahwa emisi lalu lintas mempengaruhi kesehatan lumut kerak, keragaman dan kelimpahan di New Forest dan Spanyol (Purvis et al dalam Purvis et al. 2003). Menurut Sujetevienė (2010) pengaruh nitrogen oksida terhadap lumut kerak kurang dapat dimengerti karena hubungan keduanya yang mempengaruhi karakteristik kulit. Nitrogen oksida dapat merangsang pertumbuhan tanaman tetapi juga dapat menjadi racun pada tingkat tinggi. Nitrogen oksida mungkin dapat melukai lumut kerak (pengurangan klorofil) atau kerusakan (Zambrano dan Nash 2000) dan dapat menurunkan tingkat pertumbuhan (Von Arb dan Brunold 1990). Menurut Garty (2000) diacu dalam Wijaya (2004), berdasarkan daya sensitifitasnya terhadap pencemar udara maka lumut kerak dikelompokkan menjadi tiga yaitu, sensitif, merupakan jenis yang sangat peka terhadap pencemaran udara, pada daerah yang telah tercemar jenis ini tidak akan dijumpai. Toleran merupakan jenis yang tahan (resisten) terhadap pencemaran udara dan tetap mampu hidup pada daerah yang tercemar. Pengganti merupakan jenis yang muncul setelah sebagian besar komunitas lumut kerak yang asli rusak karena pencemaran udara. Respon lumut kerak yang terjadi akibat adanya pencemaran udara dapat dilihat secara makroskopik. Respon tersebut berupa adanya perubahan pada warna, bentuk dan keadaan talus lumut kerak, serta penurunan luas tutupan talus. Kondisi lingkungan yang bersih dan terpapar cahaya matahari yang cukup dapat mendukung pertumbuhan talus secara optimal dan juga meningkatkan keanekaragaman jenis lumut kerak. Tutupan talus dipengaruhi oleh adanya faktor internal yaitu, adanya persaingan sesama lumut kerak dan juga luas permukaan kulit kayu yang dijadikan sebagai substrat. Faktor eksternal berupa tingkat pencemaran udara yang terjadi pada lingkungan tempat lumut kerak tersebut tumbuh dan berkembang. Hal tersebut membuktikan bahwa lumut kerak merupakan salah satu tumbuhan yang peka terhadap perubahan kondisi lingkungan dan dapat dijadikan sebagai bioindikator kualitas udara. Kepekaan lumut kerak terhadap emisi pencemar lebih tinggi dibanding dengan tumbuhan tinggi karena adanya perbedaan fisiologis dan morfologi. Lumut kerak memiliki kandungan klorofil yang sangat kurang, sehingga mengakibatkan laju fotosintesis dan metabolisme yang rendah serta kemampuan regenerasi yang terbatas. Tidak adanya kutikula pada lumut kerak, maka pencemar dapat dengan mudah masuk ke dalam talus. Lumut kerak dapat mengakumulasi berbagai macam bahan tanpa melakukan seleksi. Sekali bahan pencemar diserap, maka akan diakumulasikan dan tidak dieskresikan, serta terjadinya perubahan warna talus akibat adanya bahan pencemar (Kovacs 1992). 19

30 20 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Nilai konsentrasi NO 2 dan SO 2 pada Hutan Penelitian Dramaga ( μg/nm 3 dan μg/nm 3 ) lebih kecil dari nilai konsentrasi NO 2 dan SO 2 pada Kawasan Industri Citeureup ( μg/nm 3 dan μg/nm 3 ). Keanekaragaman jenis lumut kerak di Hutan Penelitian Dramaga memiliki nilai lebih tinggi yaitu 1.7, sedangkan Kawasan Industri Citeureup memiliki nilai lebih kecil yaitu 1.4. Hal tersebut menunjukkan bahwa udara pada Hutan Penelitian Dramaga lebih bersih dibandingkan dengan Kawasan Industri Citeureup. Perbedaan kualitas udara diindikasikan dengan adanya perbedaan keanekaragaman jenis dan ciri makroskopik talus lumut kerak pada kedua lokasi. Ciri makroskopik yang meliputi warna, bentuk, keadaan, morfologi talus lumut kerak, serta luas tutupan talus dapat menunjukkan perubahan (respon) lumut kerak terhadap perbedaan kualitas udara pada kedua lokasi penelitian. Oleh karena itu, lumut kerak dapat dijadikan sebagai bioindikator kualitas udara. Saran Penelitian ini hanya menunjukkan lumut kerak sebagai bioindikator dilihat dari fisiknya. Maka dari itu perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai kandungan zat pencemar yang diterima oleh lumut kerak. Perlu dilakukan kajian lanjutan mengenai lumut kerak sebagai bioindikator dengan memperluas daerah penelitian dan pengamatan. DAFTAR PUSTAKA Alexopoulos CJ, Mims CW Introductory Mycology, Third Edition. New York (US) : John Wiley and sons, Inc. Ariany SP, Nirwan S, Abdul S Pengaruh kuantitas cahaya terhadap pertumbuhan dan kadar antosianin Daun Dewa (Gynura pseudochina (L.) DC) secara in vitro. e-j. Agrotekbis. 1(5): Baron G Understanding Lichens. England (UK): Richmond Publishing Co.ltd. Bates JW Effects on bryophytes and lichens. In: Bell JNB, Treshow M (eds.). Air Pollution and Plant Life. 2nd ed. London (UK): John Wiley & Sons Bréda NJJ Ground-based measurements of leaf area index: a review of methods, instruments and current controversies. Journal of Experimental Botany. 54(392):

31 Djumhaer M Pendugaan leaf area index dan luas bidang dasar tegakan dengan menggunakan lansat 7 ETM+ [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. Fink B The Lichen Flora of The United States. Ann Arbor (US): University of Michigan Press. Handoko Klimatologi dasar landasan pemahaman fisika atmosfer dan unsur-unsur atmosfer. Jakarta (ID): Puataka Jaya. Januardania D Jenis-jenis lumut kerak yang berkembang pada tegakan pinus dan karet di Kampus IPB Dramaga Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kovacs M Biological Indicators In Envirronmental Protection. New York (US) : Ellis Horwood. Mulgrew A, William P Biomonitoring of air quality using plants. Air Hygine Report No.10. Berlin (DE): WHO Collaborating Centre for Air Quality Management and Air Pollution Control. Nash TH Lumut kerak Biology Second Edition. New York (US): Cambridge University Press. Noer IS Bioindikator Sebagai Alat Untuk Menengarai Adanya Pencemaran Udara. Forum Komunikasi Lingkungan III, Kamojang. Bandung. Noviana D Kajian potensi dan supply demand airbumi di Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nurhidayah, Anggarwulan E, Solichatun Kandungan klorofil pada daun tanaman kentang (Solanuum tuberosum L.) di sekitar kawah Sikidang Dataran Tinggi Dieng. BioSMART, 3(1): Odum EP Dasar-Dasar Ekologi Edisi Ketiga. T Samingan, penerjemah. Yogyakarta (ID): Gajah Mada Univ Press. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun Bogor (ID): Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor. Polunin N Pengantar Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu Serumpun. Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada University Press. Purvis OW, Chimonides J, Din V, Erotokritou L, Jeff ries T, Jones GC Which factors are responsible for the changing lichen floras of London? The Science of Total Environment. 310: Raharjo M Dampak pencemaran udara pada lingkungan dan kesehatan manusia [penyuluhan]. Semarang (ID): Badan Lingkungan Hidup. Rich PM Characterizing plant canopies with hemuspherical photographs. Remote Sensing Reviews. 5: Risdiyanto I, Setiawan R Metode necara energi untuk perhitungan indeks luas daun menggunakan data citra satelit multi spectral. J Agromet Indonesia. 21 (2) : Sujetevienė G Road traffic pollution effects on epiphytic lichens. EKOLOGIJA. 56(1-2): Sundberg B, Palmvqist K, Essen PA, Renhorn K Growth and vitality of epiphytic lumut keraks: modelling of carbon gain using field and laboratory data. Oecologia. 109: Suwarso WP Lumut kerak, Tanaman Suku Rendah yang Berkhasiat sebagai Obat. Harapan.co.id. [28 April 2015]. 21

32 22 Tjitrosoepomo G Taksonomi Tumbuhan Obat-Obatan. Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada University Press. Wardhana WA Dampak Pemanasan Global. Yogyakarta (ID) : Penerbit Andi. Widiastuti L, Tohari, Endang S Pengaruh intensitas cahaya dan kadar daminosida terhadap iklim mikro dan pertumbuhan tanaman krisan dalam pot. Ilmu Pertanian. 11(2): Wijaya LF Biomonitoring Beberapa Kandungan Logam Mempergunakan Parmelia wallichiana Tayl di Wilayah Muntakul Buruz Bandung [skripsi]. Bandung (ID): Universitas Padjajaran. Von AC, Brunold C Lichen physiology and airpollution. 1. Physiological responses of in situ Parmeliasulcata among air pollution zones within Biel, Switzerland. Canadian Journal of Botany. 68(1): Zambrano A, Nash TH Lichen responses to shortterm transplantation in Desierto de los Leones, Mexico City. Environmental Pollution. 107:

33 23 Lampiran 1 Baku mutu udara ambien nasional (PP No 41 Tahun 1999) No Parameter Waktu Pengukuran Baku Mutu Metode Analisis Peralatan 1 SO2 1 Jam 900 g / Nm 3 Pararosanalin Spektrofotometer ( Sulfur Dioksida ) 24 Jam 365 g / Nm 3 1 Thn 60 g / Nm 3 2 CO 1 Jam g / Nm 3 NDIR NDIR Analyzer ( Karbon Monoksida ) 24 Jam g / Nm 3 1 Thn 3 NO2 1 Jam 400 g / Nm 3 Saltzman Spektrofotometer ( Nitrogen Dioksida ) 24 Jam 150 g / Nm 3 1 Thn 100 g / Nm 3 4 O3 1 Jam 235 g / Nm 3 Chemiluminesce Spektrofotometer ( Oksida ) 1 Thn 50 g / Nm 3 nt 5 HC 3 Jam 160 g / Nm 3 Flamed Gas Chromatografi ( Hidro Karbon ) Ionization 6 PM10 24 Jam 150 g / Nm 3 Gravimetric Hi Vol ( Partikel < 10 mm ) PM2,5 (*) 24 Jam 65 g / Nm 3 Gravimetric Hi Vol Hi Vol ( Partikel < Thn 15 g / Nm 3 Gravimetric mm ) 7 TSP 24 Jam 230 g / Nm 3 Gravimetric Hi Vol ( Debu ) 1 Thn 90 g / Nm 3 8 Pb 24 Jam 2 g / Nm 3 Gravimetric Hi Vol ( Timah Hitam ) 1 Thn 1 g / Nm 3 Ekstraktif Pengabuan AAS 9 Dustfall 30 hari 10 Ton/km 2 /Bulan Gravimetric Cannister ( Debu Jatuh ) ( Pemukiman ) 10 Ton/km 2 /Bulan ( Industri ) 10 Total Fluorides 24 Jam 3 g / Nm 3 Spesific Ion Impinger atau (as F ) 90 hari 0,5 g / Nm 3 Electrode Countinous Analyzer 11 Flour Indeks 30 hari 40 g / 100 cm 2 Colourimetric Limed Filter Paper 12 Khlorine & Khlorine Dioksida dari kertas limed filter 24 Jam 150 g / Nm 3 Spesific Ion Electrode Imping atau Countinous Analyzer 13 Sulphat Indeks 30 hari 1 mg SO 3 / 100 cm 3 Colourimetric Lead Dari Lead Peroksida Peroxida Candle

34

35 24 Lampiran 2 Hasil analisis kualitas udara di Laboratorium PPLH IPB

36

37 Lampiran 2 Hasil analisis kualitas udara di Laboratorium PPLH IPB (lanjutan) 25

38 2 Lampiran 3 Suhu dan kelembaban di lokasi penelitian Kelembaban udara di lokasi penelitian No. Lokasi Penelitian Ulangan Rata-rata (%) 1 Kawasan Industri Citeureup Hutan Penelitian Dramaga Suhu udara di lokasi penelitian Ulangan No. Lokasi Penelitian Rata-rata ( C) Kawasan Industri Citeureup Hutan Penelitian Dramaga Lampiran 4 Keanekaragaman jenis lumut kerak di lokasi penelitian No. Jenis Lumut Jumlah Individu Keanekaragaman jenis lumut kerak Kawasan Industri Citeureup Berat 1x1 Cm 2 Tutupan % Talus Titik Total Titik % FR pi ln pi pi ln pi 1 Cryptothecia sp , D , E , Graphis sp , Graphis sp , Graphis sp , Lecanora sp , Lecanora sp , Parmelia cristifera ,21454

39 3 Lampiran 4 Keanekaragaman jenis lumut kerak di lokasi penelitian (lanjutan) No. Jenis Lumut Jumlah Individu Berat 1x1 Cm 2 Tutupan % Talus Titik Total Titik % FR pi ln pi pi ln pi 10 Physcia sp ,26647 Total H 1.4 Keanekaragaman jenis lumut kerak Hutan Penelitian Dramaga % Jumlah No. Jenis Lumut Berat 1x1 Cm 2 Total Tutupan Titik % FR pi ln pi pi ln pi individu Titik Talus 1 Graphis sp , Physcia sp , Graphis sp , Graphis sp , Cryptothecia effusa , Sarcographa sp , Cryptothecia sp , A , B , Dirinaria insulana , Lecanora sp , C , Cryptothecia sp , Dirinaria sp , D , Lecanora sp ,00548 Total H

40 4 Lampiran 5 Luas tutupan lumut kerak di lokasi penelitian Luas tutupan lumut kerak berdasarkan jenis dan ketinggian di Hutan Penelitian Dramaga Jenis lumut 0-50 cm cm cm Depan (cm 2 ) Belakang (cm 2 ) Depan (cm 2 ) Belakang (cm 2 ) depan (cm 2 ) Belakang (cm 2 ) Total (cm 2 ) Tutupan (%) Cryptothecia effusa Cryptothecia sp Cryptothecia sp Dirinaria insulana Dirinaria sp Graphis sp Graphis sp Graphis sp Lecanora sp Lecanora sp Physcia sp Sarcographa sp A B C D Total

41 5 Lampiran 5 Luas tutupan lumut kerak di lokasi penelitian (lanjutan) Luas tutupan lumut kerak berdasarkan jenis dan ketinggian di Kawasan Industri Citeureup Jenis lumut Total Depan (cm 2 ) Belakang (cm 2 ) Depan (cm 2 ) Belakang (cm 2 ) Depan (cm 2 ) Belakang (cm 2 ) (cm 2 ) Tutupan (%) Cryptothecia sp Graphis sp Graphis sp Graphis sp Lecanora sp Lecanora sp Parmelia cristifera Physcia sp D E Total

42 30 6 Lampiran 6 Dokumentasi jenis lumut kerak yang ditemukan di lokasi penelitian Jenis : Parmelia cristifera Suku : Parmeliaceae Morfologi : Foliose Jenis : Physcia sp. Suku : Physciaceae Morfologi : Foliose Jenis : E Suku : - Morfologi : Crustose Jenis : D Suku : Chiodectoniaceae Morfologi : Crustose Jenis : Cryptothecia effusa Suku : Arthoniaceae Morfologi : Crustose Jenis : Graphis insulana Suku : Graphidaceae Morfologi : Crustose Jenis : Sarcographa sp. Suku : Graphidaceae Morfologi : Crustose Jenis : B Suku : - Morfologi : Crustose

43 731 Lampiran 6 Dokumentasi jenis lumut kerak yang ditemukan di lokasi penelitian (lanjutan) Jenis : Cryptothecia sp. 3 Suku : Arthoniaceae Morfologi : Crustose Jenis : C Suku : - Morfologi : Crustose Jenis : Graphis sp. 3 Suku : Graphidaceae Morfologi : Crustose Jenis : Graphis sp. 2 Suku : Graphidaceae Morfologi : Crustose Jenis : Lecanora sp. 2 Suku : Lecanoraceae Morfologi : Crustose Jenis : Lecanora sp. 3 Suku : Lecanoraceae Morfologi : Crustose Jenis : Lecanora sp. 1 Suku : Lecanoraceae Morfologi : Crustose Jenis : Dirinaria sp. Suku : Physciaceae Morfologi : Foliose

44 32 8 Lampiran 6 Dokumentasi jenis lumut kerak yang ditemukan di lokasi penelitian (lanjutan) Jenis : Cryptothecia sp.1 Suku : Arthoniaceaea Morfologi : Crustose Jenis : Cryptothecia sp.2 Suku : Arthoniaceae Morfologi : Crustose Jenis : A Suku : - Morfologi : Crustose Jenis : Graphis sp. 1 Suku : Graphidaceae Morfologi : Crustose

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Titik yang dijadikan lokasi penelitian adalah Jalan H.B. Jasin (eks Jalan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Titik yang dijadikan lokasi penelitian adalah Jalan H.B. Jasin (eks Jalan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Titik yang dijadikan lokasi penelitian adalah Jalan H.B. Jasin (eks Jalan Agus Salim) dari Hotel Astro sampai di perempatan lampu merah Jalan Rambutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sarana dan prasarana fisik seperti pusat-pusat industri merupakan salah satu penunjang aktivitas dan simbol kemajuan peradaban kota. Di sisi lain, pembangunan

Lebih terperinci

LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN UDARA (Studi Kasus Di Jalan H.B. Jasin Kelurahan Dulalowo Kecamatan Kota Tengah Kota Gorontalo)

LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN UDARA (Studi Kasus Di Jalan H.B. Jasin Kelurahan Dulalowo Kecamatan Kota Tengah Kota Gorontalo) LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN UDARA (Studi Kasus Di Jalan H.B. Jasin Kelurahan Dulalowo Kecamatan Kota Tengah Kota Gorontalo) Yuliani Usuli 1, Wirnangsi D. Uno 2, Dewi W. K. Baderan 3 Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemar kendaraan bermotor di kota besar makin terasa. Pembakaran bensin dalam kendaraan bermotor merupakan lebih dari separuh penyebab polusi udara. Disamping

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pencemaran udara adalah proses masuknya atau dimasukkannya zat pencemar ke udara oleh aktivitas manusia atau alam yang menyebabkan berubahnya tatanan udara sehingga

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

Dengan Judul PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA

Dengan Judul PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA Seminar Sidang Proposal Tugas Akhir Dengan Judul PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA Oleh : Andika Wijaya Kusuma 3307100081 Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik

Lebih terperinci

DENGAN JUDUL PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA

DENGAN JUDUL PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA DENGAN JUDUL PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN UDARA Seminar Sidang Proposal Tugas Akhir Dengan Judul PENGGUNAAN TUMBUHAN SEBAGAI BIOINDIKATOR DALAM PEMANTAUAN PENCEMARAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perkembangan peradaban kota, kebutuhan akan sarana dan prasarana semakin meningkat, seperti perkembangan pusat-pusat industri dan meningkatnya volume

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh pencemaran, yaitu masuknya zat pencemar yang berbentuk gas, partikel kecil atau aerosol ke dalam udara (Soedomo,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Lichenes di Indonesia merupakan salah satu kelompok tumbuhan tingkat rendah dan bagian dari keanekaragaman hayati yang belum banyak mendapat perhatian. Menurut

Lebih terperinci

RESPON LUMUT KERAK PADA VEGETASI POHON SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN UDARA DI KAWASAN INDUSTRI JAKARTA TIMUR RISZKI IS HARDIANTO

RESPON LUMUT KERAK PADA VEGETASI POHON SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN UDARA DI KAWASAN INDUSTRI JAKARTA TIMUR RISZKI IS HARDIANTO RESPON LUMUT KERAK PADA VEGETASI POHON SEBAGAI BIOINDIKATOR PENCEMARAN UDARA DI KAWASAN INDUSTRI JAKARTA TIMUR RISZKI IS HARDIANTO DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Lumut kerak merupakan salah satu anggota dari tumbuhan tingkat rendah yang mana belum mendapatkan perhatian yang maksimal seperti anggota yang lainnya. Organisme

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan

BAB I PENDAHULUAN. utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Aktivitas transportasi khususnya kendaraan bermotor merupakan sumber utama pencemaran udara di daerah perkotaan. Kendaraan bermotor merupakan kendaraan yang digerakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terletak di daerah beriklim tropis sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) Indonesia menjadi salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkembang pesat, khususnya dalam bidang teknologi,

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkembang pesat, khususnya dalam bidang teknologi, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang berkembang pesat, khususnya dalam bidang teknologi, serta meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor dan jasa angkutan umum sebagai sarana transportasi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Lichenes yang lazim dikenal dengan nama lumut kerak merupakan jenis tumbuhan yang belum banyak diketahui oleh sebagian orang. Dan sesungguhnya berbeda dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup

Lebih terperinci

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO

SUMMARY. ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO SUMMARY ANALISIS KADAR NITROGEN DIOKSIDA (NO₂) dan KARBONMONOKSIDA (CO) DI UDARA AMBIEN KOTA GORONTALO Oleh : Yuliana Dauhi Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Dan Keolahragaan Universitas

Lebih terperinci

KELIMPAHAN LUMUT KERAK (LICHENS) SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS UDARA DI KAWASAN PERKOTAAN KOTA MEDAN

KELIMPAHAN LUMUT KERAK (LICHENS) SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS UDARA DI KAWASAN PERKOTAAN KOTA MEDAN ISSN 2598-6015 KELIMPAHAN LUMUT KERAK (LICHENS) SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS UDARA DI KAWASAN PERKOTAAN KOTA MEDAN RASYIDAH Prodi Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Sumatera Utara *Corresponding

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakkan kondisi yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakkan kondisi yang sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran udara dewasa ini semakin menampakkan kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan antara lain industri,

Lebih terperinci

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011

4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 4.1 Konsentrasi NO 2 Tahun 2011 Pada pengujian periode I nilai NO 2 lebih tinggi dibandingkan dengan periode II dan III (Gambar 4.1). Tinggi atau rendahnya konsentrasi NO 2 sangat dipengaruhi oleh berbagai

Lebih terperinci

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Jati (Tectona grandis Linn. f) Jati (Tectona grandis Linn. f) termasuk kelompok tumbuhan yang dapat menggugurkan daunnya sebagaimana mekanisme pengendalian diri terhadap

Lebih terperinci

Iklim Perubahan iklim

Iklim Perubahan iklim Perubahan Iklim Pengertian Iklim adalah proses alami yang sangat rumit dan mencakup interaksi antara udara, air, dan permukaan daratan Perubahan iklim adalah perubahan pola cuaca normal di seluruh dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk

BAB I PENDAHULUAN. hidup terutama manusia. Di dalam udara terdapat gas oksigen (O 2 ) untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Udara mempunyai fungsi yang sangat penting bagi makhluk hidup terutama manusia. Di

Lebih terperinci

MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA

MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemanasan global antara lain naiknya suhu permukaan bumi, meningkatnya

I. PENDAHULUAN. pemanasan global antara lain naiknya suhu permukaan bumi, meningkatnya 1 I. PENDAHULUAN Pemanasan global yang terjadi saat ini merupakan fenomena alam meningkatnya suhu permukaan bumi. Dampak yang dapat ditimbulkan dari pemanasan global antara lain naiknya suhu permukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesatnya kemajuan dan kestabilan pembangunan nasional menempatkan Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai kota metropolitan dengan kondisi perekonomian yang selama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. sungai maupun pencemaran udara (Sunu, 2001). dan dapat menjadi media penyebaran penyakit (Agusnar, 2007). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkembangnya sektor industri dan pemanfaatan teknologinya tercipta produk-produk untuk dapat mencapai sasaran peningkatan kualitas lingkungan hidup. Dengan peralatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Komposisi dan Perilaku Gas Buang Kendaraan Bermotor Emisi kendaraan bermotor mengandung berbagai senyawa kimia. Komposisi dari kandungan senyawa kimianya tergantung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN

HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN Media Konservasi Vol. 17, No. 3 Desember 2012 : 143 148 HUBUNGAN ANTARA INDEKS LUAS DAUN DENGAN IKLIM MIKRO DAN INDEKS KENYAMANAN (Correlation between Leaf Area Index with Micro Climate and Temperature

Lebih terperinci

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5. La Nina. El Nino. Pancaroba. Badai tropis.

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5. La Nina. El Nino. Pancaroba. Badai tropis. SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 5. DINAMIKA ATMOSFERLATIHAN SOAL 5.5 1. Perubahan iklim global yang terjadi akibat naiknya suhu permukaan air laut di Samudra Pasifik, khususnya sekitar daerah ekuator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perubahan iklim akibat pemanasan global saat ini menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia. Perubahan iklim dipengaruhi oleh kegiatan manusia berupa pembangunan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI. Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI Halaman Judul... Halaman Pengesahan... Kata Pengantar Dan Persembahan... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ABSTRAK... i ii iii vi iv xi xiii xiv BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

RINGKASAN BAKHTIAR SANTRI AJI.

RINGKASAN BAKHTIAR SANTRI AJI. PEMETAAN PENYEBARAN POLUTAN SEBAGAI BAHAN PERTIMBANGAN PEMBANGUNAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DI KOTA CILEGON BAKHTIAR SANTRI AJI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan tajam, sementara itu pertambahan jaringan jalan tidak sesuai

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan tajam, sementara itu pertambahan jaringan jalan tidak sesuai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan ekosistem buatan yang terjadi karena campur tangan manusia dengan merubah struktur di dalam ekosistem alam sesuai dengan yang dikehendaki (Rohaini, 1990).

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kota merupakan suatu tempat yang dihuni oleh masyarakat dimana mereka dapat bersosialisasi serta tempat melakukan aktifitas sehingga perlu dikembangkan untuk menunjang aktivitas

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PENGESAHAN... ii. KATA PENGANTAR... iii. ABSTRAK... vi. ABSTRACT... vii. DAFTAR ISI... viii. DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xviii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup lainnya (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41. Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara).

BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup lainnya (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41. Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan manusia serta makhluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya untuk pemeliharaan

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM

INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM INVENTARISASI DAN PENENTUAN KEMAMPUAN SERAPAN EMISI CO2 OLEH RUANG TERBUKA HIJAU DI KABUPATEN SIDOARJO, JAWA TIMURM Izzati Winda Murti 1 ), Joni Hermana 2 dan R. Boedisantoso 3 1,2,3) Environmental Engineering,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 Maret- 20 Juli 2011 di Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara, dan laboratorium Pengelolaan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Parameter pertumbuhan yang diamati pada penelitian ini adalah diameter batang setinggi dada ( DBH), tinggi total, tinggi bebas cabang (TBC), dan diameter tajuk.

Lebih terperinci

PENCEMARAN LINGKUNGAN. Purwanti Widhy H, M.Pd

PENCEMARAN LINGKUNGAN. Purwanti Widhy H, M.Pd PENCEMARAN LINGKUNGAN Purwanti Widhy H, M.Pd Pengertian pencemaran lingkungan Proses terjadinya pencemaran lingkungan Jenis-jenis pencemaran lingkungan PENGERTIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN Berdasarkan UU Pokok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Sebagai pusat kota wisata, perindustrian dan perdagangan, kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Sebagai pusat kota wisata, perindustrian dan perdagangan, kota Bandung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota Bandung merupakan kota dengan aktivitas masyarakat yang tinggi. Sebagai pusat kota wisata, perindustrian dan perdagangan, kota Bandung dikunjungi banyak masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di dalam kerangka pembangunan nasional, pembangunan daerah merupakan bagian yang terintegrasi. Pembangunan daerah sangat menentukan keberhasilan pembangunan nasional secara

Lebih terperinci

DAMPAK PENAMBANGAN BATU KAPUR BUKIT TUI TERHADAP KUALITAS UDARA DI KOTA PADANG PANJANG.

DAMPAK PENAMBANGAN BATU KAPUR BUKIT TUI TERHADAP KUALITAS UDARA DI KOTA PADANG PANJANG. DAMPAK PENAMBANGAN BATU KAPUR BUKIT TUI TERHADAP KUALITAS UDARA DI KOTA PADANG PANJANG Indra Hartanto 1, Resti Fevria 2. 1,2 Dosen Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Negeri Padang hartanto.indra@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Organisme atau makhluk hidup apapun dan dimanapun mereka berada tidak akan dapat hidup sendiri. Kelangsungan hidup suatu organisme akan bergantung kepada organisme lain

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk ALFARED FERNANDO SIAHAAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

Peta PT. Pindo Deli Pulp and Paper Mills Karawang Sumber: Gambar 3. Lokasi Penelitian

Peta PT. Pindo Deli Pulp and Paper Mills Karawang Sumber:  Gambar 3. Lokasi Penelitian 25 METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama 6 bulan, berlangsung dari bulan Maret 2010 sampai bulan Agustus 2010. Penelitian ini mengambil tempat di Kawasan Industri PT Pindo

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Udara merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan bagi manusia

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Udara merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan bagi manusia 27 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Udara merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan bagi manusia hewan, dan tumbuhan. Namun dengan meningkatnya jumlah penduduk, meningkatnya laju pembangunan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tiga padang golf yaitu Cibodas Golf Park dengan koordinat 6 0 44 18.34 LS dan 107 0 00 13.49 BT pada ketinggian 1339 m di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA

STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA STUDI PENYEBARAN Pb, debu dan CO KEBISINGAN DI KOTA JAKARTA Abstrak Tingkat pencemaran udara di kota-kota besar di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat bahkan beberapa kota sudah melampaui ambang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Rakyat 1. Pengertian Hutan Rakyat Hutan menurut Undang-undang RI No. 41 Tahun 1999 adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 17 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Gunung Putri Kecamatan Gunung Putri Kabupaten Bogor yang dilakukan di dua lokasi yaitu dilakukan di Rukun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman hayati (biological diversity atau biodiversity) adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan keragaman ekosistem dan berbagai bentuk serta variabilitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kendaraan bermotor telah lama menjadi salah satu sumber pencemar

BAB I PENDAHULUAN. Kendaraan bermotor telah lama menjadi salah satu sumber pencemar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kendaraan bermotor telah lama menjadi salah satu sumber pencemar udara di banyak kota besar di dunia, termasuk Indonesia. Emisi gas buangan kendaraan bermotor memberikan

Lebih terperinci

ANALISIS DAN SINTESIS

ANALISIS DAN SINTESIS 55 ANALISIS DAN SINTESIS Lokasi Lokasi PT Pindo Deli Pulp and Paper Mills yang terlalu dekat dengan pemukiman penduduk dikhawatirkan dapat berakibat buruk bagi masyarakat di sekitar kawasan industri PT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global merupakan salah satu isu di dunia saat ini. Masalah pemanasan global ini bahkan telah menjadi agenda utama Perserikatan Bangsabangsa (PBB). Kontributor

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG

STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG STRUKTUR DAN POLA ZONASI (SEBARAN) MANGROVE SERTA MAKROZOOBENTHOS YANG BERKOEKSISTENSI, DI DESA TANAH MERAH DAN OEBELO KECIL KABUPATEN KUPANG Oleh: Muhammad Firly Talib C64104065 PROGRAM STUDI ILMU DAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Gorontalo dibagi menjadi 9 kecamatan, terdiri dari 50 kelurahan. Secara

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Gorontalo dibagi menjadi 9 kecamatan, terdiri dari 50 kelurahan. Secara 37 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.1 Hasil Penelitian 1.1.1 Gambaran Wilayah Penelitian Kota Gorontalo merupakan Ibukota Provinsi Gorontalo. Secara geografis mempunyai luas 79,03 km 2 atau 0,65

Lebih terperinci

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan. Materi # T a u f i q u r R a c h m a n

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan. Materi # T a u f i q u r R a c h m a n Materi #4 Bahasan 2 Penipisan Ozon (Ozone Depletion). Pemanasan global dan Perubahan Iklim Global. Hujan Asam. Penyebaran Kehidupan (Biological Magnification). Dampak manusia pada Air, Udara, dan Perikanan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk

BAB I PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Udara merupakan sumber daya alam milik bersama yang besar pengaruhnya terhadap ekosistem secara global. Udara yang kita pakai untuk bernafas umumnya tidak atau kurang

Lebih terperinci

SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015

SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015 F. Iklim 2.9. Kondisi Iklim di Provinsi DKI Jakarta Dengan adanya perubahan iklim menyebabkan hujan ekstrem di Ibu Kota berdampak pada kondisi tanah yang tidak lagi bisa menampung volume air, dimana tanah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #4 Genap 2016/2017. TIN206 - Pengetahuan Lingkungan

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #4 Genap 2016/2017. TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #4 Bahasan 2 Penipisan Ozon (Ozone Depletion). Pemanasan global dan Perubahan Iklim Global. Hujan Asam. Penyebaran Kehidupan (Biological Magnification). Dampak manusia pada Air, Udara, dan Perikanan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikota-kota besar yang banyak terdapat pengguna kendaraan bermotor. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. dikota-kota besar yang banyak terdapat pengguna kendaraan bermotor. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran udara semakin hari semakin memprihatinkan. Terutama dikota-kota besar yang banyak terdapat pengguna kendaraan bermotor. Menurut Ismiyati dkk (2014), kendaraan

Lebih terperinci

Standart Kompetensi Kompetensi Dasar

Standart Kompetensi Kompetensi Dasar POLUSI Standart Kompetensi : Memahami polusi dan dampaknya pada manusia dan lingkungan Kompetensi Dasar : Mengidentifikasi jenis polusi pada lingkungan kerja C. Polusi dan Polutan di Lingkungan Kerja Lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki banyak jenis hutan. Jenis jenis hutan yang ada di Indonesia yaitu hutan alam, hutan buatan, hutan lindung, dan hutan produksi. Salah satu jenis hutan

Lebih terperinci

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI

PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI PENDUGAAN POTENSI BIOMASSA TEGAKAN DI AREAL REHABILITASI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT MENGGUNAKAN METODE TREE SAMPLING INTAN HARTIKA SARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

STAF LAB. ILMU TANAMAN

STAF LAB. ILMU TANAMAN STAF LAB. ILMU TANAMAN Suhu Suhu merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman Suhu berkorelasi positif dengan radiasi mata hari Suhu: tanah maupun udara disekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan kota lebih banyak mencerminkan adanya perkembangan fisik kota yang ditentukan oleh pembangunan sarana dan prasarana. Lahan yang seharusnya untuk penghijauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Hal ini disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan kesejahteraan hidup rakyat melalui pembangunan di bidang industri, nampak memberikan dampak terhadap perubahan lingkungan perairan pesisir dan laut karena

Lebih terperinci

ESTIMASI SEBARAN KERUANGAN EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR DI KOTA SEMARANG LAPORAN TUGAS AKHIR

ESTIMASI SEBARAN KERUANGAN EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR DI KOTA SEMARANG LAPORAN TUGAS AKHIR ESTIMASI SEBARAN KERUANGAN EMISI GAS BUANG KENDARAAN BERMOTOR DI KOTA SEMARANG LAPORAN TUGAS AKHIR Oleh : AMBAR YULIASTUTI L2D 004 294 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH

KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH KEMAMPUAN SERAPAN KARBONDIOKSIDA PADA TANAMAN HUTAN KOTA DI KEBUN RAYA BOGOR SRI PURWANINGSIH Kemampuan Serapan Karbondioksida pada Tanaman Hutan Kota di Kebun Raya Bogor SRI PURWANINGSIH DEPARTEMEN KONSERVASI

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 23 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Leaf Index Area (LAI) Lokasi Sampel Kerapatan daun atau kerindangan, biasa diukur dengan nilai indeks luas daun atau Leaf Area Index (LAI) (Chen & Black 1992 diacu dalam

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan sejak bulan Desember 2011 sampai Januari 2012. Lokasi penelitian yaitu di RPH Jatirejo, Desa Gadungan, Kecamatan Puncu,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, mulai dari Januari sampai April 2010, dilakukan dengan dua tahapan, yaitu : a. pengambilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

SIKLUS OKSIGEN. Pengertian, Tahap, dan Peranannya

SIKLUS OKSIGEN. Pengertian, Tahap, dan Peranannya SIKLUS OKSIGEN Pengertian, Tahap, dan Peranannya Apa yang terbesit dalam pikiran anda bila mendengar kata oksigen? Seperti yang kita tahu, oksigen bagian dari hidup kita yang sangat kita butuhkan keberadaannya.

Lebih terperinci

LAMPIRAN-LAMPIRAN. Lampiran 1. Karakteristik Stasiun Pengamatan. Stasiun I terletak pada area dengan kepadatan lalulintas yang tinggi yaitu

LAMPIRAN-LAMPIRAN. Lampiran 1. Karakteristik Stasiun Pengamatan. Stasiun I terletak pada area dengan kepadatan lalulintas yang tinggi yaitu LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1. Karakteristik Stasiun Pengamatan a. Stasiun I (Jalan Raya Deket) Stasiun I terletak pada area dengan kepadatan lalulintas yang tinggi yaitu di Jalan raya Deket Lamongan. Satasiun

Lebih terperinci

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja...

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 8. FOTOSINTESISLatihan Soal 8.4 1. ph (derajat keasaman) apabila tidak sesuai kondisi akan mempengaruhi kerja... Klorofil Kloroplas Hormon Enzim Salah satu faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

EKOSISTEM. Yuni wibowo

EKOSISTEM. Yuni wibowo EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 bertempat di kawasan sistem agroforestry Register 39 Datar Setuju KPHL Batutegi Kabupaten Tanggamus. 3.2 Objek

Lebih terperinci