RESPIRASI AUTOTROFIK DAN HETEROTROFIK HUTAN RAWA GAMBUT (Studi Kasus: Hutan Rawa Gambut PT Rimba Makmur Utama Katingan Kalimantan Tengah) LUCY PERTIWI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RESPIRASI AUTOTROFIK DAN HETEROTROFIK HUTAN RAWA GAMBUT (Studi Kasus: Hutan Rawa Gambut PT Rimba Makmur Utama Katingan Kalimantan Tengah) LUCY PERTIWI"

Transkripsi

1 RESPIRASI AUTOTROFIK DAN HETEROTROFIK HUTAN RAWA GAMBUT (Studi Kasus: Hutan Rawa Gambut PT Rimba Makmur Utama Katingan Kalimantan Tengah) LUCY PERTIWI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Respirasi Autotrofik dan Heterotrofik Hutan Rawa Gambut (Studi Kasus: Hutan Rawa Gambut PT Rimba Makmur Utama Katingan Kalimantan Tengah) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2015 Lucy Pertiwi NIM G

4

5 ABSTRAK LUCY PERTIWI. Respirasi Autotrofik dan Heterotrofik Hutan Rawa Gambut (Studi Kasus: Hutan Rawa Gambut PT Rimba Makmur Utama, Katingan, Kalimantan Tengah). Dibimbing oleh DANIEL MURDIYARSO. Pengukuran emisi CO 2 dari hutan rawa gambut perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa besar dampak dari kerusakan hutan rawa gambut. Emisi CO 2 dari hutan rawa gambut berasal dari respirasi perakaran tumbuhan (respirasi autotrofik) dan dekomposisi bahan organik (respirasi heterotrofik). Untuk mengetahui emisi CO 2 dari dampak kerusakan gambut adalah dengan mengukur CO 2 yang hanya berasal dari respirasi heterotrofik, karena CO2 dari respirasi autotrofik sebagian besar akan diserap kembali oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis. Pengukuran emisi CO 2, tinggi muka air tanah, dan suhu gambut dilakukan di hutan rawa gambut Katingan Kalimantan Tengah. Pengukuran ini menggunakan metode trenching untuk memisahkan respirasi heterotrofik dan respirasi autotrofik dari emisi CO 2 total. Fluks CO 2 dari area non-trenching sebagai emisi total dan dari area trenching sebagai respirasi heterotrofik. Selisih antara emisi total dan respirasi heterotrofik adalah respirasi autotrofik. Pengukuran emisi total, respirasi heterotrofik, dan suhu gambut dilakukan di 9 subplot pada bulan Juni dan Agustus. Rata-rata emisi CO 2 total pada bulan Agustus ( ± mgm -2 jam -1 ) dan ini lebih tinggi dibandingkan bulan Juni (486.83± mgm -2 jam -1 ). Dari hasil akumulasi bulan Juni dan Agustus, respirasi autotrofik berkontribusi lebih banyak terhadap emisi CO 2 total dengan kontribusi sebesar 52 % dibandingkan respirasi heterotrofik yang berkontrbusi sebesar 48%. Mikrotofograpi, tinggi muka air tanah, dan suhu gambut memiliki pengaruh terhadap emisi CO 2 total. Emisi total dan respirasi heterotrofik yang terukur pada mikrotopografi hummock selalu lebih tinggi dibandingkan hollow. Tinggi muka air tanah menunjukan korelasi yang signifikan terhadap emisi total, namun tidak signifikan terhadap respirasi heterotrofik. Tinggi muka air tanah berkorelasi negatif dengan emisi CO 2 total. Penurunan 1 cm tinggi muka air tanah dari permukaan menyebabkan peningkatan emisi CO 2 total sebesar mg m -2 jam -1. Suhu gambut berkorelasi positif dengan emisi total dan respirasi heterotrofik. Kenaikan 1 C suhu gambut menyebabkan emisi total meningkat sebesar mgm -2 jam -1 dan respirasi heterotrofik meningkat sebesar mgm -2 jam -1. Kata kunci : fluks CO 2, hollow, hummock, metode trenching, tinggi muka air tanah

6 ABSTRAK LUCY PERTIWI. Autotrophic and Heterotrophic Respiration of Peat Swamp Forest (Case Study: Peat Swamp Forest in PT Rimba Makmur Utama, Katingan, Kalimantan Tengah). Supervised by DANIEL MURDIYARSO. Measurements of CO 2 (Carbon dioxide) flux from peat swamp forest needs to be done in order to find out how big the impact of peat swamp forest s damage is. CO 2 emissions from peat swamp forest are originated from vegetation s root respiration (autotrophic respiration) and organic matter s decomposition (heterotrophic respiration). To find out the CO 2 emissions from the destruction of peat swamp forest are measured by the CO 2 emission from heterotrophic respiration only, because CO 2 from autotrophic respiration is mostly reabsorbed by plants for photosynthesis purpose. Measurement of peat CO 2 emission, ground water level, and peat temperature were conducted in Katingan peat swamp forest, Central Borneo. The measurements were done by using trenching method to separate heterotrophic and autotrophic respiration from total CO 2 emissions. The CO 2 flux from non-trenching area is classified as the total emission and CO 2 flux from trenching area is classified as heterotrophic respiration. The difference between total emission and heterotrophic respiration is defined as autotrophic respiration. Total emission, heterotrophic respiration, and peat temperature were measured at 9 different subplot at June and August. Mean total CO 2 emission in August ( ± mgm -2 h -1 ) was higher than mean total CO 2 emission in June (486.83± mgm -2 h -1 ). From the analysis of mean total CO 2 of June and August, it was concluded that autotrophic respiration contributes 52% to total emissions, whereas heterotrophic respiration contributes the other 48%. Microtopography, ground water level, and peat temperature contribute some influences to total CO 2 emission. Total emission and heterotrophic respiration measured from hummock is always higher than the ones measured from hollow. Ground water table depth has significant correlation with total CO 2 emission, but it s not significant towards heterotrophic respiration. There is a negative correlation between water table depth and total emission. Lower 1 cm ground water table from surface caused an increase in total CO 2 emissions of mgm -2 h -1. Peat temperature is positively correlated with total emission and heterotrophic respiration. Peat temperature s increase of 1 C caused total emission to increase by mgm -2 h -1 and heterotrophic respiration increase by mgm -2 h -1. Keywords : CO 2 flux, ground water level, hollow, hummock, trenching methode

7 RESPIRASI AUTOTROFIK DAN HETEROTROFIK HUTAN RAWA GAMBUT (Studi Kasus: Hutan Rawa Gambut PT Rimba Makmur Utama Katingan Kalimantan Tengah) LUCY PERTIWI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

8

9

10

11 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan pada Allah swt. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya kepada penulis sehingga karya ilmiah yang berjudul Respirasi Autotrofik dan Heterotrofik Hutan Rawa Gambut (Studi Kasus: Hutan Rawa Gambut PT Rimba Makmur Utama, Katingan Kalimantan Tengah) ini dapat diselesaikan. Dalam penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Daniel Murdiyarso, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah dengan luar biasa memberikan bimbingan, pembelajaran, dan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian lapang serta kesempatan magang di Center for International Forestry Research (CIFOR). 2. Bapak Sigit Deni Sasmito Adi S.Si, Ibu Meli Fitriani S.Si yang telah banyak membantu dan memberikan saran dalam proses pengambilan data di lapang dan penyusunan laporan. 3. Kak Anggi Rustini S.Si selaku pendamping lapang yang telah dengan setia menjadi partner berbagi suka dan duka serta telah setia menemani penelitian lapang dan mengambil data di hutan. 4. Segenap direksi dan operasional PT Rimba Makmur Utama, Bapak Bapak Taryono, Bapak Opo, Bapak Rudi Kurdul, Mas Sanjaya, Bapak Desi, Bapak Rudi Ces, Bapak Iking, dan Bapak Maryanto atas kerjasama dan bantuan teknis pada saat pengambilan data lapang di Katingan, Kalimantan Tengah. 5. Seluruh masyarakat Kampung Mendawai dan Kampung Melayu khususnya Pak Aya, Pak Tukat, Pak Alpiansyah, Pak Ijul, Pak Sarbani, Pak Ilyas, Pak Supri, dan Ibu Diah di Katingan Kalimantan Tengah atas perizinan dan bantuan yang diberikan selama proses pengambilan data di Katingan. 6. Segenap jajaran dosen dan Karyawan Departemen Geofisika dan Meteorologi atas ilmu dan bantuannya selama penulis menempuh jenjang S1. 7. Segenap keluarga GFM 48 terutama Gesti Prabandini dan Fauzan Aulia F yang menjadi partner seperjuangan penelitian, Kelurga Pajamas (Ita, Afni, Lina, Lutha, Irma, Isnaeni, Ayuvira, Reffi, Diah), Barandot (Adit, Udin, Mpik, Iyok, Pacul, Pradit, Okta, Dion, Yudi, Heide, Gojali), Jejaka (Gandrung, Taufik, Erwin, Agan, Yoyo) serta teman seperjuangan dari Pangandaran (Ridwan, Siti, Dina, Ratih, Abu, Icy) atas segala dorongan, persahabatan yang terjalin, dan perjuangan bersama dalam menyelesaikan studi S1. Juga rekan-rekan satu organisasi di UKM PRAMUKA IPB, sahabat Internal dan BEM FMIPA, serta teman seperantauan OMDA PMGC. Karya tulis ini penulis dedikasikan untuk Mamah Nunung Mamnu ah dan Bapak Sapri (orang tua penulis) serta Gilang Anggara, Galih Firmansyah, Lidya Maulida (adik penulis) dan Keluarga Besar yang telah setia memberikan kasih sayang, perhatian, doa, dukungan, dan menjadi sumber semangat setiap saat. Selanjutnya, penulis menghargai segala bentuk kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Desember 2015 Lucy Pertiwi

12

13 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 Gambut 2 Respirasi Autotrofik dan Heterotrofik 3 METODE PENELITIAN 5 Waktu dan Tempat Penelitian 5 Karakteristik Wilayah Penelitian 5 Alat 6 Bahan 6 Prosedur Percobaan 6 Analisis Data 8 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 Suhu Udara dan Suhu Gambut 9 Fluks CO 2 10 Pengaruh Mikrotofograpi Gambut terhadap Fluks CO 2 12 Hubungan Tinggi Muka Air Tanah, Emisi Total, Respirasi Heterotrofik 15 Hubungan Suhu Gambut dengan Emisi Total dan Respirasi Heterotrofik 16 KESIMPULAN DAN SARAN 17 Kesimpulan 17 Saran 17 DAFTAR PUSTAKA 18 LAMPIRAN 20 DAFTAR RIWAYAT HIDUP 24

14 DAFTAR TABEL 1 Suhu gambut pada berbagai tutupan lahan 10 2 Rata-rata emisi total, respirasi heterotrofik dan autotrofik di hutan rawa gambut PT RMU, Katingan 12 3 Lokasi penempatan sungkup di setiap subplot 13 4 Respirasi heterotrofik dan tinggi muka air tanah di hutan rawa Gambut pada bulan Juni dan Agustus 15 5 Hasil uji ANOVA tinggi muka air tanah dengan emisi total dan respirasi heterotrofik 15 6 Hasil uji ANOVA suhu gambut dengan emisi total dan respirasi heterotrofik 16 DAFTAR GAMBAR 1 Skema produksi CO 2 dari dalam tanah (Luo dan Zhuo 2006) 4 2 Lokasi penelitian 7 3 Lokasi penempatan plot pengamatan 7 4 (a) perlakuan trenching, (b) perlakuan non-trenching 8 5 Pengukuran emisi CO 2 dengan EGM Suhu udara, suhu gambut pada area trenching, dan suhu gambut pada area nontrenching hasil pengukuran langsung di lokasi penelitian 9 7 Rata-rata fluks CO 2 (mean±se) hasil pengukuran dari respirasi heterotrofik dan respirasi autotrofik 11 8 Rata-rata emisi total, respirasi heterotrofik, dan respirasi autotrofik pada bulan Juni dan Agustus berdasarkan perbedaan mikrotofograpi 13 9 Rata-rata fluks CO 2 berdasarkan variasi tinggi muka air tanah pada (a) hummock dan (b) hollow 14 DAFTAR LAMPIRAN 1 Data hasil pengukuran fluks CO 2 periode satu 20 2 Data hasil pengukuran fluks CO 2 periode dua 21 3 Data hasil pengukuran fluks CO 2 periode tiga 22 4 Foto lokasi penelitian di Hutan Rawa Gambut Katingan Kalimantan Tengah 23

15 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kawasan lahan gambut di Asia Tenggara meliputi 24.8 juta hektar (Hooijer et al. 2009) dengan 21 juta hektar (84%) berada di Indonesia (Murdiyarso et al. 2010). Lahan gambut di Indonesia tersebar di tiga pulau utama yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Kalimantan mempunyai lahan gambut seluas 6,3 juta hektar yang meliputi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, dengan 3 juta ha berada pada wilayah Kalimantan Tengah (Daryono 2005). Namun, sebagian besar kawasan gambut di Indonesia telah mengalami kerusakan yang disebabkan oleh pembukaan lahan dengan cara pembakaran dan drainase (Hooijer et al. 2009; Hirano et al. 2013). Kabupaten Katingan merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Kalimantan Tengah yang memiliki kawasan hutan gambut sekitar ha. Keberadaan hutan rawa gambut di wilayah ini juga tidak luput dari kerusakan seperti kebakaran hutan dan pembukaan lahan untuk kawasan perkebunan. Lahan gambut dalam kondisi alami memiliki peran sebagai penyimpan karbon dalam jumlah besar, akan tetapi alih fungsi lahan mampu menjadikan lahan gambut sebagai sumber emisi CO 2 dalam jumlah besar pula. Emisi karbon dioksida (CO 2 ) dalam suatu ekosistem merupakan akumulasi dari respirasi tanaman dan respirasi tanah (Nusantara et al. 2014). Terganggunya kondisi alami lahan gambut banyak disebabkan oleh pengeringan lahan gambut (drainase) untuk lahan pertanian dan perkebunan. Kerusakan lahan gambut yang disebabkan oleh drainase secara langsung berdampak pada menurunnya tinggi muka air tanah (ground water level) dan meningkatnya suhu tanah serta mempengaruhi emisi CO 2 tanah karena peningkatan aerasi tanah dan dekomposisi aerob bahan organik tanah (Hooijer et al. 2012; Hirano et al. 2013). Dalam penelitiannya, Hirano et al. (2013) menemukan bahwa penurunan tinggi muka air tanah di hutan gambut Palangkaraya telah menyebabkan peningkatan fluks CO 2 (respiration peat) secara logaritmik. Fluks CO 2 tahunan meningkat 89 g m -2 y -1 setiap penurunan tinggi muka air tanah 0.1 m pada hutan gambut telah terbakar (Hirano et al. 2013) dan 188 g m -2 y -1 pada lahan gambut yang telah dikonversi menjadi perkebunan Acacia (Jauhiainen et al. 2012). Selain tinggi muka air tanah yang menjadi faktor yang mempengaruhi laju emisi CO 2, faktor lainnya adalah suhu gambut. Menurut Hirano et al. (2009) peningkatan suhu gambut memiliki pengaruh terhadap emisi CO 2 walaupun tidak sebesar pengaruh dari tinggi muka air tanah. Peningkatan suhu gambut di hutan gambut Palangkaraya telah menyebabkan fluks CO 2 meningkat 4% (Hirano et al. 2013) namun, Jauhiaineun et al. (2012) dalam penelitiannya yang dilakukan di hutan gambut yang telah dikonversi menjadi perkebunan Acacia tidak menemukan hubungan antara suhu gambut dan emisi CO 2. Menurut Hirano et al. (2013) untuk mengetahui besar emisi CO 2 sebagai dampak dari kerusakan hutan gambut dilakukan dengan mengukur emisi CO 2 akibat dari dekomposisi oksidatif gambut. Namun penilaian terhadap besarnya jumlah emisi CO 2 dari lahan gambut masih banyak dilakukan dengan cara mengukur emisi secara total, tanpa memisahkan antara emisi yang disebabkan

16 2 oleh respirasi akar tumbuhan (respirasi autotrofik) dan emisi yang benar-benar disebabkan oleh dekomposisi oksidatif gambut (respirasi heterotrofik) (Hooijer et al. 2010; Jauhiainen et al. 2012). Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan pengukuran emisi CO 2 dengan memisahkan antara emisi CO 2 dari hasil respirasi autotrofik dan emisi CO 2 dari hasil respirasi heterotrofik melalui pendekatan metode trenching (pembatasan zona perakaran). Selain itu, akan dilakukan juga pengamatan untuk mengetahui pengaruh tinggi muka air tanah dan suhu gambut terhadap respirasi heterotrofik di hutan rawa gambut Katingan Kalimantan Tengah. Tujuan Penelitian 1. Mengukur dan menganalisis perbedaan antara emisi CO 2 dari hasil respirasi autotrofik dan respirasi heterotrofik pada hutan rawa gambut Katingan Kalimantan Tengah. 2. Mengetahui korelasi antara laju emisi CO 2 dengan tinggi muka air tanah dan suhu gambut pada hutan rawa gambut Katingan Kalimantan Tengah TINJAUAN PUSTAKA Gambut Gambut diartikan sebagai material atau bahan organic yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan hanya mengalami sedikit perombakan (Noor 2001). Gambut adalah tanah organik, namun tidak semua tanah organik adalah gambut. Tanah gambut merupakan tanah yang tersusun dari timbunan bahan organik tanaman yang telah melapuk dan terbentuk dari lingkungan khas yaitu rawa atau suasana genangan yang terjadi hampir sepanjang tahun. Tanaman yang mati dan melapuk secara bertahap membentuk lapisan yang kemudian menjadi lapisan transisi antara lapisan gambut dengan substratum (lapisan di bawahnya) berupa tanah mineral (Agus dan Subiksa 2008). Menurut Noor (2001) gambut di wilayah tropis, seperti Indonesia umumnya terbentuk pada ekosistem hutan rawa marin atau payau. Gambut rawa ini umumnya tersebar di tiga pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Sebagian gambut lainnya terbentuk di wilayah rawa lebak, yaitu wilayah rendah (cekungan) yang paling sedikit selama tiga bulan dalam setahun tergenang air dengan tinggi genangan 25 cm atau lebih (Noor 2001). Secara mikrotopografi gambut dibedakan menjadi hummock (gundukan) dan hollow (cekungan). Gundukan (hummock) di gambut pembentukan utamanya dari akar pohon yang hidup dan mati serta puing-puing yang membusuk (Jauhiainen et al. 2005). Sedangkan hollow adalah bagian cekungan yang sebagian besar terbentuk dari serasah pohon seperti daun-daun dan ranting-ranting saja sehingga tidak membentuk gundukan yang cukup tinggi yang menyebabkan daerah tersebut selalu tergenang oleh air tidak seperti hummock. Tanah gambut dapat menyimpan karbon dalam jumlah besar. Kemampuan menyimpan karbon ini dapat membatasi emisi gas rumah kaca seperti karbondioksia (CO 2 ) ke atmosfer (Noor 2001). Karbon di tanah gambut tersimpan

17 di atas dan di bawah permukaan. Karbon yang tersimpan di atas permukaan terdiri dari biomassa dan nekromas, sedangkan karbon di bawah permukaan tanah (di dalam tanah) tersimpan dalam bentuk gambut, akar tanaman, dan mikrobia (Dariah et al. 2011). Karbon yang tersimpan di dalam tanah gambut berkisar 18-60% dari bobotnya (Agus et al dalam Dariah et al. 2011). Variabilitas simpanan karbon pada lahan gambut di Indonesia berdasarkan penelitian Wahyunto et al. (2004) dalam Dariah et al. (2011) menunjukan simpanan karbon di Sumatera dan Kalimantan berkisar antara 2,000-3,000 ton/ha dan menurut Agus et al. (2009) sebesar 1, ton/ha di Kalimantan Barat. Kemampuan lahan gambut sebagai penyimpan karbon dalam jumlah besar dapat berpotensi sebagai sumber emisi karbon apabila lahan gambut tersebut mengalami kerusakan dan alih guna lahan. Respirasi Autotrofik dan Heterotrofik Respirasi berasal dari bahasa Latin re- (kembali) dan spirate (bernapas), secara harfiah diartikan sebagai bernapas terus-menerus. Secara fisiologi respirasi merupakan proses metabolisme yang mengakibatkan terjadinya penguraian atau katabolisme molekul organik menjadi energi, air, dan CO 2 (Luo dan Zhou 2006). Semua organisme hidup (tumbuhan, hewan, mikroba dan sejenisnya) melakukan respirasi untuk memperoleh energi dan mengeluarkan CO 2 sebagai residual. Secara sederhana respirasi dapat dikatakan sebagai proses pengeluaran CO 2 dari organisme ke lingkungan. Siklus karbon pada ekosistem dimulai ketika tumbuhan mengambil CO 2 dari udara dan merubahnya menjadi senyawa organik karbon melalui fotosintesis. Sebagian dari senyawa karbon tersebut digunakan untuk pertumbuhan (batang, daun, akar) dan sebagian digunakan untuk mensuplai energi pada tumbuhan, dan selama proses tersebut berlangsung, CO 2 dikeluarkan kembali ke udara melalui respirasi tumbuhan. Bahan organik dari tumbuhan yang telah mati didekomposisi oleh mikroorganisme untuk menghasilkan energi yang digunakan untuk pertumbuhan biomassa mikroba dan aktivitas lainnya. Pada saat yang sama, CO 2 dikeluarkan kembali ke udara melalui respirasi mikroba. Respirasi dari sebuah ekosistem (Re) merupakan akumulasi dari hasil respirasi tumbuhan dan respirasi mikroba selama proses dekomposisi bahan organik gambut. Menurut Luo dan Zhou (2006) respirasi tanah (Rs) meliputi produksi CO 2 oleh mikroba atau respirasi mikroba (Rm), fauna, dan bagian dari tanaman yang berada di dalam tanah, sedangkan respirasi tumbuhan (Rp) meliputi aboveground respiration (Ra) dan belowground respiration (Rb). Respirasi mikroba (Rm) selama proses dekomposisi bahan organic disebut respirasi heterotrofik dan belowground respiration (Rb) sama dengan respirasi akar (R R ) disebut sebagai respirasi autotrofik. Menurut Luo dan Zhuo (2006) fluks CO 2 dari respirasi tanah (Rs) merupakan jumlah dari respirasi autotrofik (respirasi akar) dan respirasi heterotrofik (respirasi mikroba): R s = R R + R m (2.1) Fluks CO 2 dari respirasi ekosistem (R e ) merupakan jumlah dari respirasi tumbuhan (aboveground dan belowground ) dan respirasi mikroba di dalam tanah: 3

18 4 R b = R R R e = R a + R b + R m R e = R a + R R + R m R e = R a + R s (2.2) Proses respirasi tanah (termasuk respirasi akar) di bawah permukaan memainkan peranan penting dalam siklus C biosfer (Nusantara et al. 2014). Respirasi tanah merupakan oksidasi biologi dari senyawa organik pada mikroorganisme, akar, organ atau bagian lain dari tumbuhan serta organisme yang hidup pada tanah dengan energi untuk pemeliharaan, pertumbuhan dan pengambilan bahan nutrien aktif (Raichi dan Tufekcioglu 2000). Produksi CO 2 dari dalam tanah (respirasi tanah) dapat dikaitkan dengan respirasi akar, respirasi mikroba pada rizosfer, dekomposisi serasah dan oksidasi bahan organic tanah (Luo dan Zhuo 2006). Gambar 1 Skema produksi CO 2 dari dalam tanah (Luo dan Zhuo 2006) Kelembaban tanah dan suhu tanah merupakan dua faktor penentu yang penting pada proses respirasi tanah (Raich dan Tufekciogul 2000). Hasil pengamatan Rochette et al. (1997) dalam Nusantara et al. (2014) menunjukkan respirasi tanah yang lembab dua sampai tiga kali lebih besar dibandingkan tanah yang kering. Berdasarkan data penelitian respirasi tanah, perbedaan respirasi tanah antara tanaman, lahan terbuka, padang rumput dan hutan tidak berbeda nyata (pvalue < 0.05). Akan tetapi, rata-rata respirasi tanah pada padang rumput lebih tinggi dibandingkan respirasi tanah pada hutan (Raich dan Tufekciogul 2000). Hilangnya karbon dari lahan gambut ke atmosfer terjadi melalui respirasi autotrofik tanaman, dan dekomposisi bahan organik gambut sebagai respirasi heterotrofik (Jauhiainen et al. 2005; 2012). Respirasi heterotrofik dikendalikan oleh mikroba dan respirasi autotrofik merupakan respirasi akar. Respirasi heterotrofik berkontribusi terhadap peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, sedangkan respirasi autotrofik sebagian besar dinetralisir melalui proses fotosintesis yang menyerap CO 2 dari atmosfer. Kontribusi respirasi akar (respirasi autotrofik) dari berbagai jenis tanaman dibutuhkan untuk digunakan sebagai faktor koreksi, sehingga akan didapatkan hasil pengukuran fluks emisi yang akurat yang hanya dihasilkan dari dekomposisi bahan organik sebagai respirasi heterotrofik.

19 5 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian mengenai emisi CO 2 dan tinggi muka air tanah dilaksanakan di kawasan restorasi dan konservasi hutan rawa gambut PT. Rimba Makmur Utama, Katingan, Kalimantan Tengah, Center for International Forestry Research (CIFOR), dan Laboratorium Hidrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB. Waktu penelitian berlangsung sejak bulan April sampai September Kegiatan pengukuran langsung di lapang dilakukan dalam 3 periode. Periode pertama dilakukan pada 29 April sampai 1 Mei 2015, periode ke dua dilakukan pada 12 Juni sampai 18 Juni 2015 dan periode ketiga dilakukan pada 31 Juli sampai 5 Agustus Karakteristik Wilayah Penelitian Kabupaten Katingan terletak di Daerah Aliran Sungai Katingan, memiliki luas ha atau 11,4% dari total luas Provinsi Kalimantan Tengah. Sekitar ha atau 38% dari kabupaten merupakan lahan gambut (ICCC 2013). Dari ha lahan gambut, ha atau sekitar 16.8% lahan gambut Katingan merupakan wilayah proyek restorasi ekosistem hutan rawa gambut PT. Rimba Makmur Utama (PT RMU). Total luas area proyek restorasi ekosistem lahan gambut PT. RMU adalah ha yang berlokasi di Kabupaten Katingan dan Kabupaten Kotawaringin Timur. Proyek ini dikembangkan berdasarkan konsesi IUPHHK (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) terkait dengan restorasi ekosistem. Status hutan di area ini terbagi menjadi dua, yaitu Hutan Produksi (HP) seluas hektar atau sekitar 88% dan Hutan Produksi Konversi seluas hektar atau sekitar 12% dari luas hutan (Hartono 2012). Lokasi penelitian berada pada wilayah PSF 6 area restorasi lahan gambut PT RMU di Kabupaten Katingan, tepatnya berada pada jarak ±1.75 km dari pinggir kanal. Tutupan lahan di wilayah PSF 6 adalah hutan rawa gambut sekunder. Hutan rawa gambut sekunder menurut klasifikasi Land Use and Land Cover dalam ICCC (2012) merupakan hutan rawa gambut dengan sejarah penebangan, jalur penebangan dan/atau jaringan drainase air dan parit. Vegetasi hutan telah terganggu dengan hanya beberapa pohon yang mencapai diameter 50 cm dan spesies pohon campuran dalam tipe hutan ini. Jenis pohon yang ditemui di sekitar wilayah penelitian diantaranya Terantang (Campnospernum sp.), Gelam (Melaleuca sp.), Punak (Tetramerista glabra), Jelutung (Dyera costulata) dan Meranti (Shore asp.). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Turyono (2014) ketebalan gambut terendah di hutan rawa gambut Katingan adalah 1.32 m pada jarak 1 km dari sungai dan yang terdalam adalah 12.5 m pada jarak 22 km dari sungai. Ketebalan gambut pada jarak ± 2 km adalah 4.27 m. Berdasarkan proses dan lokasi pembentukannya, gambut di wilayah Katingan termasuk gambut transisi. Gambut transisi adalah gambut yang dipengaruhi oleh air hujan dan secara tidak langsung dipengaruhi oleh pasang surut (Agus dan Subiksa 2008). Pasang surut air laut yang terjadi mempengaruhi pasang surut air sungai Katingan dan Mentaya yang kemudian mempengaruhi kawasan gambut Katingan. Menurut Subagyo (2006) kawasan rawa gambut yang dipengaruhi oleh pasang surut sungai

20 6 biasanya memiliki substratum (lapisan tanah dibawahnya) berupa tanah aluvial. Berdasarkan analisis data curah hujan tahun dari stasiun cuaca terdekat (stasiun Bandara H Asan Sampi), puncak musim hujan di wilayah Katingan terjadi dua kali yaitu pada bulan Desember dan bulan April. Menurut Tukidi (2010) pola hujan dengan dua puncak musim hujan seperti ini termasuk tipe hujan ekuatorial. Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Penanda dan GPS untuk menentukan lokasi penelitian 2. Gas Monitor tipe EGM-4, pipa PVC diameter 4 inch sebanyak 18 buah, dan kipas untuk mengukur emisi CO 2 dan kelembaban tanah gambut 3. Kawat jaring rangkap alumunium ukuran 3 m x 1 m sebanyak 18 buah, meteran, dan perkakas (gergaji kayu, golok, dan parang) untuk membuat area trenching 4. Digital temperature untuk mengukur suhu udara dan suhu gambut. 5. Mistar untuk mengukur genangan dalam pipa ketika pengukuran fluks CO Water logger tipe HOBO U20 digunakan untuk mengukur tinggi muka air tanah gambut. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Data fluks CO 2 hasil pengukuran langsung pada plot penelitian di hutan rawa gambut PT RMU Katingan Kalimantan Tengah 2. Data suhu udara dan suhu gambut hasil pengukuran langsung pada plot penelitian di hutan rawa gambut PT RMU Katingan Kalimantan Tengah 3. Data tinggi muka air tanah (data yang terekam pada water logger HOBO) lokasi penelitian hutan rawa gambut PT RMU Katingan Kalimantan Tengah Prosedur Percobaan Penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan antara lain pembuatan plot pengamatan dan pengumpulan data primer fluks CO 2 dan suhu gambut, serta pengolahan data hingga selesai. 1. Pembuatan plot penelitian Pembuatan plot pengelitian dilakukan di PSF 6 ( LU, BT sampai LU, BT) hutan rawa gambut Katingan yang wilayahnya merupakan hutan sekunder. Satu plot memiliki ukuran 100 m x 100 m yang didalamnya dibagi menjadi 25 subplot dengan ukuran masing-masing subplot 20 m x 20 m. Dari 25 subplot, 9 subplot menjadi lokasi pengamatan fluks CO 2. Pada 9 subplot tersebut dilakukan pemasangan dua pipa PVC (sungkup) dengan dua perlakukan yang berbeda yaitu perlakuan trenching dan perlakukan non-trenching. Berikut adalah lokasi dan skema plot penelitian.

21 7 Gambar 2 Lokasi penelitian Gambar 3 Lokasi penempatan plot pengamatan 2. Pengukuran fluks CO 2 Kegiatan pengukuran fluks CO 2 di lakukan pada 9 subplot yang telah ditentukan. Pada subplot tersebut dipasang dua buah PVC (sungkup) yang berukuran diameter 10 cm dan tinggi 10 cm. Pada setiap subplot pemantauan diberi perlakuan trenching dan non-trenching. Perlakukan trenching dilakukan dengan mengisolasi tanah gambut yang akan diukur emisinya dari zona perakaran pohon. Pengisolasian tersebut dilakukan dengan memotong perakaran dan memasang kawat jaring rangkap mengelilingi sungkup tempat emisi CO 2 akan diukur. Hal ini bertujuan agar emisi CO 2 yang terukur hanya berasal dari dekomposisi gambut. Perlakuan non-trenching dilakukan dengan hanya memasang sungkup di atas permukaan gambut. Emisi CO 2 yang terukur pada area trenching didefinisikan sebagai respirasi heterotrofik dan yang terukur dari area non-trenching sebagai emisi total. Contoh pemasangan sungkup pada perlakuan trenching dan non-trenching ditunjukan oleh Gambar 3.

22 8 (a) (b) Gambar 4 (a) perlakuan trenching, (b) perlakuan non-trenching Pengukuran emisi CO 2 dilakukan dengan gas monitor EGM-4. Parameter yang diukur meliputi konsentrasi (C dalam ppm), fluks CO 2 (g/m 2 /jam), dan kelembaban tanah gambut (%). Semua nilai dari masing-masing parameter diperoleh secara langsung sebagai keluaran dari EGM-4 yang dapat dilihat pada layar EGM-4. Ilustrasi pengukuran emisi CO2 disajikan dalam Gambar 4. Gambar 5 Pengukuran emisi CO 2 dengan EGM-4 3. Pengukuran parameter lingkungan Parameter lingkungan yang diukur meliputi suhu udara, suhu gambut, dan tinggi muka air tanah. Pengukuran parameter-parameter tersebut dilakukan pada saat pengukuran fluks CO 2 di 9 subplot pengamatan. Pengukuran suhu udara dan suhu gambut dilakukan menggunakan thermometer digital, sedangkan untuk pengukuran tinggi muka air tanah dilakukan dengan pemasangan water logger HOBO U20 pada sumur pantau yang terletak di tengah-tengah plot. Analisis Data Data fluks CO 2 yang terukur dari area trenching didefinisikan sebagai respirasi heterotrofik dan dari area non-trenching didefinisikan sebagai emisi total. Kedua data tersebut digunakan untuk mengetahui data respirasi autotrofik. Respirasi autotrofik diperoleh dari: Respirasi autotrofik = emisi total respirasi heterotrofik Analysis statistic of variance (ANOVA) dengan taraf nyata 0.05 digunakan untuk menguji fluks CO 2 berdasarkan perbedaan perlakuan trenching dan nontrenching, tinggi muka air tanah, dan suhu gambut. Analisis regresi digunakan untuk mengetahui korelasi (r) antara fluks CO 2 dengan tinggi muka air tanah dan suhu gambut. Koefisien determinasi (R 2 ) hasil analisis dilakukan untuk melihat seberapa pentingnya pengaruh tinggi muka air tanah dan suhu gambut terhadap laju emisi CO 2.

23 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu Udara dan Suhu Gambut Pengukuran suhu udara dan suhu gambut menggunakan termometer digital dilakukan secara langsung bersamaan dengan pengukuran fluks CO 2 di setiap subplotnya. Suhu gambut di ukur pada kedalaman 10 cm pada perlakuan trenching dan non-trenching. Data hasil pengukuran suhu udara dan suhu gambut ditunjukan pada Gambar 1. Suhu udara rata-rata pada pengukuran April, Juni, dan Agustus tahun 2015 berturut-turut adalah 29.5 C, 26.5 C, dan 26.7 C. Suhu gambut rata-rata di area penelitian pada bulan April, Juni, dan Agustus adalah 25.1 C, 25.2 C, dan 25.4 C. Suhu gambut dan suhu udara hasil pengukuran pada penelitian ini relatif sama dengan hasil pengukuran yang dilakukan oleh Jauhiainen et al. (2008) pada kedalaman 10 cm di hutan rawa gambut Kalimantan Tengah yaitu 25.5 C untuk suhu gambut dan suhu udara 26.4 C. Suhu gambut kedalaman 10 cm (ºC) Suhu Udara Suhu Tanah Gambar 6 Suhu udara dan suhu gambut hasil pengukuran langsung di lokasi penelitian. Suhu gambut yang terukur pada area penelitian relatif konstan setiap bulannya. Nilai suhu gambut yang relatif konstan disebabkan oleh lokasi penelitian yang berada di kawasan hutan rawa gambut sekunder. Jaya (2007) dalam Jauhiainen et al. (2012) menjelaskan bahwa suhu gambutdi hutan rawa gambut yang masih utuh cenderung lebih rendah dan lebih konstan dari pada hutan gambut yang telah dikonversi. Suhu gambut yang terukur di hutan rawa gambut ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan suhu gambut pada area hutan gambut yang telah dikonversi menjadi perkebunan Acacia, kelapa sawit, dan sagu.

24 10 Tabel 1 Suhu gambut pada kedalaman 10 cm pada berbagai tutupan lahan Jenis Tutupan Lahan Hutan gambut rawa Lokasi Altitude Suhu Gambut ( C) Katingan, Kalteng 2 55'LU, 'BT 25.3 Sumber Hasil pengukuran Perkebunan Acacia Perkebunan Sawit Perkebunan Sagu Kampar Peninsula, Riau Sarawak, Malaysia Sarawak, Malaysia 0 26'LU, 'BT 2 49'LU, 'BT 2 47'LU, 'BT Jauhiainen et al. (2012) Melling et al. (2005 Melling et al. (2005) Fluks CO 2 Hilangnya karbon dari hutan rawa gambut ke atmosfer sebagai emisi CO 2 tidak hanya terjadi akibat dekomposisi gambut, tetapi juga terdapat kontribusi dari respirasi tanaman. Jauhiainen et al. (2012) mengemukakan bahwa untuk mengetahui skala kerugian hilangnya karbon dari lahan gambut secara akurat perlu dilakukan pemisahan antara emisi CO 2 dari respirasi akar (respirasi autotrofik) dan emisi CO 2 dari dekomposisi bahan organik gambut (respirasi heterotrofik). Perlakuan trenching dan non-trenching dalam pengukuran emisi CO 2 ini dilakukan sebagai upaya memisahkan antara respirasi autotrofik dan heterotrofik. Uji ragam atau ANOVA digunakan untuk melihat pengaruh dari perlakuan trenching. Hasil uji ANOVA menunjukan terdapat perbedaan signifikan antara fluks CO 2 dari hasil pengukuran pada area trenching dan area nontrenching (p-value 0.00 < 0.05). Dari hasil uji ANOVA tersebut diketahui bahwa pengaruh trenching sangat signifikan dalam memisahkan antara respirasi heterotrofik dari emisi total. Maka metode trenching cukup efektif digunakan untuk memisahkan respirasi heterotrofik dari emisi total. Hal ini dikarenakan penyekatan yang dilakukan (trenching) menjadikan area terisolasi dari perakaran sehingga emisi CO 2 yang terukur dari area trenching bisa diasumsikan sebagai respirasi heterotrofik (dekomposisi bahan organic gambut) saja. yang menyumbangkan emisi CO 2 sebagai respirasi heterotrofik. Respirasi heterotrofik diperoleh dari pengukuran fluks CO 2 pada area trenching, dan emisi total diperoleh dari pengukuran pada area non-trenching. Hasil pengurangan nilai fluks dari emisi total dan respirasi heterotrofik merupakan respirasi autotrofik. Hal ini mengacu pada Luo dan Zhuo (2006) dan Jauhiainen et al. (2012) dimana fluks CO 2 dari respirasi tanah (Rs) merupakan jumlah dari respirasi autotrofik (respirasi akar) dan respirasi heterotrofik (respirasi mikroba). Dalam penelitian ini respirasi tanah didefinisikan sebagai emisi total. Fluks CO 2 hasil pengukuran disajikan pada Gambar 7 dan Tabel 2. Nilai yang tersaji merupakan perhitungan berdasarkan rata-rata fluks CO 2 dari 9 subplot pengukuran. Pengukuran bulan April menunjukan hasil yang kurang baik, terlihat

25 dari besarnya nilai galat error yang mencapai 378 dan nilai fluks CO 2 dari respirasi heterotrofik bernilai negatif. Nilai fluks CO 2 dari respirasi heterotrofik yang bernilai negatif membuat perhitungan respirasi autotrofik pada bulan April tidak akurat. Berbeda dengan hasil pengukuran bulan April, hasil pengukuran bulan Juni dan Agustus menunjukan hasil yang cukup baik sehingga dapat dilakukan analisis lebih lanjut Emisi Total Respirasi Heterotrofik Respirasi Autotrofik Fluks CO2 (mg/m2/h) Gambar 7 Rata-rata fluks CO 2 (mean±se) hasil pengukuran dari respirasi heterotrofik dan respirasi autotrofik Pada bulan Juni, rata-rata fluks CO 2 yang terukur menunjukan kecenderungan fluks CO 2 dari hasil respirasi heterotrofik lebih tinggi dibandingkan respirasi autotrofik. Respirasi heterotrofik berkontribusi sebesar 52% dan respirasi autotrofik 48% terhadap emisi CO 2 total. Hal sebaliknya terjadi pada bulan Agustus, respirasi autotrofik lebih tinggi dibandingkan respirasi heterotrofik. Respirasi autotrofik pada bulan Agustus berkontribusi sebesar 57%, ini lebih besar dibandingkan kontribusi respirasi heterotrofik yang hanya sebesar 43%. Dari hasil akumulasi fluks CO 2 yang terukur pada bulan Mei dan Agustus diketahui bahwa respirasi autotrofik menyumbang emisi lebih banyak (52%) dibandingkan dengan respirasi heterotrofik (48%) terhadap emisi total. Luo dan Zhou (2006) menyatakan bahwa kontribusi dari respirasi akar tanaman mencapai 50% dari respirasi tanah (Luo dan Zhou 2006). Untuk respirasi heterotrofik, kontribusi respirasi heterotrofik dari hasil penelitian ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan kontribusi respirasi heterotrofik terhadap emisi total di hutan rawa gambut yang telah dikonversi menjadi perkebunan Acacia 79% (Jauhiainen et al. 2012) dan perkebunan kelapa sawit 64% (Murdiyarso et al. 2010). Dari data ini dapat diketahui bahwa hutan rawa gambut pada penelitian ini masih lebih baik kondisinya dibandingkan dengan hutan gambut yang telah dikonversi menjadi lahan perkebunan, dibuktikan dengan respirasi heterotrofik

26 12 (dekomposisi gambut) yang lebih rendah. Menurut Hirano et al. (2013) untuk mengetahui besar emisi CO 2 sebagai dampak dari kerusakan hutan gambut dilakukan dengan mengukur emisi CO 2 akibat dari dekomposisi oksidatif gambut. Rata-rata emisi total bulan Agustus lebih tinggi dibandingkan bulan Juni. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi tinggi muka air tanah bulan Agustus yang berada jauh dibawah permukaan gambut. Ketika tinggi muka air tanah berada jauh dibawah permukaan gambut, emisi CO 2 gambut akan semakin meningkat akibat meningkatnya lapisan aerobik pada gambut (Hirano et al. (2013). Tabel 2 Rata-rata emisi total, respirasi heterotrofik dan autotrofik di hutan rawa gambut PT RMU, Katingan Bulan April (n=42) Juni (n=63) Agustus (n=54) Respirasi Total Respirasi Heterotrofik Respirasi Autotrofik Fluks CO 2 Fluks CO 2 (mg m -2 jam -1 ) (mg m -2 jam -1 ) Fluks CO 2 (mg m -2 jam -1 ) Mean SE SD Mean SE SD Mean SE SD Pengaruh Mikrotopografi Gambut terhadap Fluks CO 2 Mikrotopografi tanah gambut dibedakan menjadi dua, yaitu hummock (gundukan) dan hollow (cekungan). Hummock utamanya terbentuk dari akar tanaman yang masih hidup dan akar tanaman mati yang mengalami pelapukan, sedangkan hollow adalah tutupan yang berdekatan dengan vegetasi (Jauhiainen et al. 2005). Daerah hollow biasanya terletak diantara hummock dan selalu tergenang selama musim penghujan. Mikrotopografi hummock dan hollow mempengaruhi emisi CO2 dalam kaitannya dengan perubahan tinggi muka air tanah di lantai hutan (Jauihiainen et al. 2005). Tinggi muka air tanah sebagian besar mempengaruhi kedalaman oxic gambut, menciptakan kondisi untuk proses dekomposisi aerob dan anaerob, dan menentukan ketersediaan bahan organik untuk proses dekomposisi. Menurut Jauhiainen et al. (2008) hummock lebih banyak menyumbangkan emisi dari pada hollow di tutupan yang terdrainase. Tingginya emisi CO 2 dari respirasi autotrofik dibandingkan respirasi heterotrofik diduga disebabkan oleh penempatan sungkup pengukuran. Sungkup pengukuran emisi total (non-trenching) sebagian besar berada di daerah hummock sedangkan sungkup pengukuran respirasi heterotrofik (trenching) sebagian besar diletakan di daerah hollow. Oleh karena itu, nilai emisi total yang diperoleh dari pengukuran fluks lebih tinggi dan respirasi heterotrofik bernilai lebih rendah. Ketika diselisihkan antara emisi total dan respirasi heterotrofik untuk menemukan nilai respirasi autotrofik, nilai fluks masih tetap tinggi, sehingga respirasi autotrofik lebih tinggi dari heterotrofik. Lokasi penempatan sungkup di setiap subplot disajikan pada Tabel 3.

27 13 Tabel 3 Lokasi penempatan sungkup di setiap subplot Subplot Non-trenching Trenching 1 hummock hollow 9 hummock hollow 13 hummock hummock 17 hummock hollow 25 hollow hollow 21 hummock hollow 19 hummock hollow 7 hummock hollow 5 hummock hollow Lokasi penempatan plot trenching dan non-trenching pada penelitian ini tidak berimbang antara lokasi hummock dan hollow. Jumlah data hasil pengukuran untuk emisi total pada hummock sebanyak 104 data (n=104) sedangkan pada hollow sebanyak 13 data (n=13) dan untuk respirasi heterotrofik yang terukur pada hummock sebanyak 13 data dan pada hollow sebanyak 104 data. Hasil pengukuran fluks CO 2 pada bulan Juni (kondisi tergenang) dan Agustus (kondisi tidak tergenang) berdasarkan perbedaan mikrotopografi disajikan pada Gambar 8 dan Gambar 9. Hasil analisis menunjukan bahwa emisi total pada hummock lebih tinggi dibandingkan pada hollow baik pada kondisi muka air tanah dekat permukaan (Juni) maupun saat tinggi muka air tanah dibawah permukaan gambut (Agustus). Pola dari hasil analisis menunjukan emisi total di hummock relatif konstan pada kondisi muka air yang berbeda tersebut. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Jauhiainen et al. (2005) bahwa hummock lebih kuat dalam menghasilkan emisi CO 2 dibandingkan hollow, karena di hummock variasi laju fluks akibat perbedaan tinggi muka air tanah sangatlah rendah. 600 fluks CO2 (mgm -2 jam -1 ) Hummock Juni Hummock Agustus Hollow Juni Hollow Agustus 0 Emisi Total Heterotrofik Autotrofik Gambar 8 Rata-rata emisi total, respirasi heterotrofik, dan respirasi autotrofik pada bulan Juni dan Agustus berdasarkan perbedaan mikrotofograpi Pada hummock, kontribusi respirasi heterotrofik lebih banyak ketika tinggi muka air tanah diatas permukaan, dan sebaliknya ketika tinggi muka air tanah dibawah permukaan gambut respirasi autotrofik yang berkontribusi lebih banyak (Gambar 8a). Saat tinggi muka air tanah diatas permukaan, daerah hummock

28 14 biasanya tidak tergenang yang menyebabkan terbentuknya kawasan aerob pada gambut. Hal ini meningkatkan aktifitas dekomposisi bahan organik gambut oleh mikroba dan respirasi perakaran, sehingga ketika muka air tanah berada diatas permukaan, respirasi heterotrofik dan respirasi autotrofik masih menyumbang banyak emisi. Namun ketika tinggi muka air tanah jauh di bawah permukaan, sistem perakaran besar yang menyusun kawasan hummock banyak yang tidak tergenang. Hal ini menyebabkan proses respirasi perakaran meningkat sehingga ketika muka air tanah di bawah permukaan respirasi autotrofik berkontribusi lebih banyak terhadap emisi total. Berbeda dengan emisi total di hummock, emisi total yang terukur di hollow berfluktuasi mengikuti perubahan tinggi muka air tanah (Gambar 8b). Emisi total pada hollow meningkat saat tinggi muka air tanah berada jauh di bawah permukaan tanah. Emisi total mencapai nilai tertinggi di hollow saat tinggi muka air tanah cm dibawah permukaan gambut. Hasil penelitian Jauhiainen et al. (2005) menyatakan bahwa tingkat emisi CO 2 pada hollow tinggi saat muka air tanah jauh dari permukaan dan lebih rendah saat muka air tanah dekat permukaan. Respirasi heterotrofik pada hollow relatif lebih stabil baik saat muka air tanah di atas permukaan maupun di bawah permukaan. Hal ini dapat disebabkan oleh aktivitas mikroba dalam mendekomposisi bahan organik yang terpengaruh oleh kondisi tinggi muka air tanah. Menurut Jauhiainen et al. (2008) saat tinggi muka air tanah < 40 cm dari permukaan tinggi muka air tanah masih dianggap dangkal sehingga jumlah dan variasi mikroorganisme dekomposer yang aktif jauh lebih rendah akibat tanah yang masih dalam kondisi jenuh. Jauhiainen et al. (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa emisi CO 2 dari dekomposisi bahan organik gambut maksimum terjadi saat kedalaman air tanah sekitar 60 cm dibawah permukaan gambut Fluks CO 2 (mgm -2 jam -1 ) Fluks CO 2 (mgm -2 jam -1 ) Tinggi Muka Air Tanah (cm) Emisi Total Respirasi Heterotrofik Respirasi Autotrofik (a) (b) Gambar 9 Rata-rata fluks CO 2 berdasarkan variasi tinggi muka air tanah pada (a) hummock dan (b) hollow. Tinggi muka air tanah bernilai positif saat bulan Juni dan bernilai negatif saat bulan Agustus Tinggi Muka Air Tanah (cm) Emisi Total Respirasi Heterotrofik Respirasi Autotrofik

29 Hubungan Tinggi Muka Air Tanah, Emisi Total dan Respirasi Heterotrofik Data tinggi muka air tanah diperoleh dari pengukuran sumur pantau yang terletak di tengah plot. Terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-rata tinggi muka air tanah pada periode pengukuran bulan Juni dan Agustus. Rata-rata tinggi muka air tanah saat pengukuran pada bulan Juni adalah 0.06 m, sedangkan ratarata pada pengukuran bulan Agustus adalah -0.4 m. Tanda positif dan negatif pada nilai tinggi muka air tanah menunjukan posisi tinggi muka air tanah dari permukaan gambut. Tinggi muka air tanah merupakan faktor yang penting dalam respirasi dan dekomposisi bahan organik pada permukaan gambut selain dari suhu gambut (Comeau et al. 2013). Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa emisi total dan respirasi hetrotrofik berbeda berdasarkan perubahan tinggi muka air tanah namun perbedaan tersebut tidak terlalu signifikan. Jauhiainen et al. (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa emisi tertinggi terjadi saat kedalaman air tanah sekitar 60 cm dibawah permukaan dan Makiranta et al. (2009) juga menyebutkan bahwa kedalaman air tanah yang optimum untuk dekomposisi bahan organic oleh mikroba adalah pada kedalaman 61 cm. Pada penelitian ini, tinggi muka air tanah paling dalam tercatat mencapai 42.9 cm di bawah permukaan, sehingga diduga belum cukup optimal dalam proses dekomposisi bahan organik gambut. Ketika tinggi muka air tanah pada kedalaman 40 cm atau kurang, tanah gambut masih dalam kondisi lembab yang menyebabkan mikroba stress lembab sehingga respirasi heterotrofik rendah. Tabel 4 Emisi total, respirasi heterotrofik dan tinggi muka air tanah di hutan rawa gambut pada bulan Juni dan Agustus Bulan Emisi Total (mgm -2 jam -1 ) Respirasi Heterotrofik (mgm -2 jam -1 ) Tinggi Muka Air Tanah (cm) Juni ± ± ± 0.35 Agustus ± ± ± 0.25 Hasil uji ANOVA menunjukan terdapat perbedaan nyata (signifikan) pada rata-rata emisi total yang disebabkan oleh perubahan tinggi muka air tanah (pvalue < 0.05). Tinggi muka air tanah berkontribusi sebesar 65% terhadap emisi total. Tinggi muka air tanah berkorelasi negatif dengan emisi total dimana penurunan 1 cm tinggi muka air tanah menyebabkan emisi total meningkat mg m -2 jam -1. Peningkatan emisi total akibat perubahan tinggi muka air tanah hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil penelitian Furukawa et al. (2005) di hutan gambut terdrainase. Furukawa et al. (2005) dalam penelitiannya di hutan gambut yang didrainase menemukan bahwa penurunan 10 cm tinggi muka air tanah menyebabkan peningkatan emisi CO 2 sebesar 51.0 mg m -2 jam -1. Tabel 5 Hasil uji ANOVA tinggi muka air tanah dengan emisi total dan respirasi heterotrofik b * p-value ** r R 2 Emisi Total Respirasi Heterotrofik Keterangan : * nilai dugaan perubahan (slope) yang diperoleh dari regresi linear ** nilai yang menunjukan signifikansi 15

30 16 Berbeda dengan emisi total, hasil uji ANOVA menunjukan bahwa tinggi muka air tanah tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap respirasi heterotrofik (p-value 0.941>0.05). Walaupun tidak signifikan, tinggi muka air tanah berkontribusi sebesar 43% terhadap respirasi heterotrofik. Tinggi muka air tanah diduga berkorelasi positif dengan respirasi heterotrofik dengan nilai dugaan perubahan rata-rata respirasi heterotrofik berkurang sebesar mg m -2 jam -1 setiap penurunan 1 cm tinggi muka air tanah. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jauhiainen et al. (2005; 2008) dimana hasil penelitiannya menunjukan bahwa emisi heterotrofik berkorelasi negative dengan tinggi muka air tanah. Hubungan Suhu Gambut dengan Emisi Total dan Respirasi Heterotrofik Laju dekomposisi bahan organik di lahan gambut meningkat secara positif seiring dengan meningkatnya suhu (Ma kiranta et al. 2009). Hirano et al. (2010) juga menemukan bahwa peningkatan suhu memiliki dampak lebih besar terhadap laju emisi CO 2 dibandingkan dengan kelembaban tanah. Untuk mengetahui besar pengaruh suhu gambut terhadap emisi total dan respirasi heterotrofik, dilakukan uji ANOVA. Hasil uji ANOVA (Tabel 6) menunjukan bahwa suhu gambut berpengaruh secara signifikan terhadap emisi total (p-value < 0.05) namun tidak berpengaruh secara signifikan pada respirasi heterotrofik (p-value > 0.05). Dilihat dari koefisien determinasi, suhu gambut berkontribusi sebesar 35% terhadap perubahan emisi total, dan 21% kontribusinya terhadap perubahan respirasi heterotrofik. Tabel 6 Hasil uji ANOVA suhu gambut dengan emisi total dan respirasi heterotrofik b * p-value ** r R 2 Emisi Total Respirasi Heterotrofik Keterangan : * nilai dugaan perubahan (slope) yang diperoleh dari regresi linear ** nilai yang menunjukan signifikansi Suhu gambut menunjukan korelasi positif baik terhadap emisi total maupun respirasi heterotrofik. Nilai dugaan emisi total adalah meningkat sebesar mg m -2 jam -1 sedangkan respirasi heterotrofik meningkat sebesar mg m -2 jam -1 setiap peningkatan suhu gambut 1 C. Menurut Comeau et al. (2013) besarnya emisi CO 2 dipengaruhi oleh suhu udara ataupun suhu gambut, karena meningkatnya suhu akan merangsang aktivitas mikroorganisme, mempercepat laju dekomposisi dan memperbesar energi kinetik dan gas. Handayani et al. (2009) juga menjelaskan bahwa perubahan suhu akan menentukan metabolisme organisme dimana saat terjadi peningkatan suhu akan terjadi proses metabolisme dan respirasi yang akan melepaskan gas CO 2. Alexander (1997) dalam Handayani et al. (2009) menyebutkan bahwa suhu optimum pelapukan senyawa karbon terjadi pada kisaran C. Suhu gambut yang terukur pada penelitian ini berkisar antara C, dan masih dibawah suhu optimum sehingga respirasi

31 heterotrofik rendah. Rendahnya suhu gambut ini dapat dipengaruhi oleh tutupan kanopi di hutan rawa gambut Katingan yang masih cukup lebat sehingga menghalangi radiasi matahari yang masuk ke lantai hutan. 17 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Emisi CO 2 total pada bulan Juni (486.83± mg m -2 jam -1 ) lebih rendah dibanding bulan Agustus ( ± mg m -2 jam -1 ) yang lebih kering. Pada bulan Juni kontribusi respirasi heterotrofik lebih tinggi dibandingkan kontribusi respirasi autotrofik, namun pada bulan Agustus terjadi hal sebaliknya. Secara akumulatif, respirasi autotrofik berkontribusi relatif lebih besar terhadap emisi CO 2 total dengan kontribusi sebesar 52% dibandingkan respirasi heterotrofik sebesar 48%. Respirasi heterotrofik dan autotrofik di hutan rawa gambut dipengaruhi oleh mikrotopografi (hummock dan hollow), tinggi muka air tanah, dan suhu gambut. Emisi total, respirasi heterotrofik dan autotrofik yang terukur pada hummock selalu lebih tinggi dibandingkan pada hollow. Tinggi muka air tanah menunjukan pengaruh yang signifikan terhadap emisi total, namun tidak signifikan terhadap respirasi heterotrofik. Penurunan 1 cm tinggi muka air tanah dari permukaan menyebabkan peningkatan emisi total sebesar mg m -2 jam -1 dan penurunan respirasi heterotrofik sebesar mg m -2 jam -1. Suhu gambut perpengaruh secara signifikan terhadap emisi total namun tidak signifikan terhadap respirasi heterotrofik. Kenaikan 1 C pada suhu gambut menyebabkan peningkatan emisi total sebesar mg m -2 jam -1 dan peningkatan respirais heterotrofik sebesar mg m -2 jam -1. Saran Dalam pembuatan sekat (trenching) di hutan rawa gambut sebaiknya dilakukan pada musim kering saat permukaan gambut tidak tergenang, sehingga kedalaman di setiap sekat sama. Mikrotopografi lokasi penempatan chamber pengukuran juga perlu diperhatikan agar proporsi data untuk analisis mikrotopografi lebih akurat. Kemudian pengukuran emisi CO 2 ini sebaiknya dilakukan kontinyu setiap bulan agar dapat diketahui fluktuasi setiap bulannya.

32 18 DAFTAR PUSTAKA Agus F. dan I.G. M. Subiksa Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre (ICRAF), Bogor, Indonesia. Comeau LP, Hergoualc h, K. Smith JU, Verchot L Conversion of Intact Peat Swamp Forest to Oil Palm Plantation: Effects on Soil CO 2 Fluxes in Jambi, Sumatera. BOGOR: Center for International Forestry Research. Crow S.E, dan Wieder R.K Sources of CO 2 Emissions from a Northern Peatland: Root Respiration, Exudation and Decomposition. Ecology, 86(7): Dariah A, Susanti E, Agus F Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan: Simpanan Karbon dan Emisi CO 2 Lahan Gambut. Bogor: Balai Penelitian Tanah. Daryono H Pemanfaatan Lahan Secara Bijaksana dan Vegetasi Dengan Jenis Pohon Tepat Guna di Lahan Rawa Gambut Terdegradasi. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Tahun 2005 : Optimalisasi Peran Iptek dalam Mendukung Peningkatan Produktivitas Hutan dan Lahan ; Halaman Furukawa Y, Kazuyuki Inubushi, Mochamad Ali, A.M Itang, Haruo Tsuruta Effect of changing groundwater levels caused by land-use changes on greenhouse gas fluxes from tropical peat lands. Nutrient Cycling in Agroecosystems 71: Handayani E P, Komaruddin I, Supiandi S, Sri Djuniwati, Meine van Noordwijk Emisi CO 2 pada kebun kelapa sawit di lahan gambut: evaluasi fluks CO 2 di daerah rizosfr dan non rizosfer. Jurnal Tanah dan Lingkungan 11(1): Hartono D Proyek Restorasi dan Konservasi Hutan Gambut di Katingan dan Kotawaringin Timur. FGD Series: REDD Hirano T, Jauhiainen J, Inoue T, Takahashi H Controls on the carbon balance of tropical peatland. Ecosystem 12: Hirano Takashi, Kitso Kusin, Suwido Limin, Mitsuru Osaki Carbon dioxide emissions through oxidative peat decomposition on a burnt tropical peatland. Global Change Biology 20: Hooijer A, S. Page, J.G Canadell, M. Silvius, J. Kwadijk, H. Wosten, J. Jauhiainen Current and future CO 2 emissions from drained peatlands in Southeast Asia. Biogeosciences Discuss 6: Hooijer A, S.Page, J Jauhiainen, W A Lee, X X Lu, A Idris, G Anshari Subsidence and carbon loss in drained tropical peatland. Biogeosciences 9: Indonesia Climate Change Center [ICCC] Kajian definisi lahan gambut dan metodologi pemetaan lahan gambut. Jakarta, Indonesia. Jauhiainen J, Hidenori T, Heikkinen JE, Martikainen PJ and Vasander H Carbon fluxes from a tropical peat swamp forest floor. J Global Change Biology. Vol 11(10):

33 Jauhiainen J, Limin S, Silvennoinen H and Vasander H Carbon dioxide and methan fluxes in drained tropical peat before and after hydrological restoration.j Ecology. Vol 89: Jauhiainen J, A Hooijer, S. E. Page Carbon dioxide emissions from an Acacia plantation on peatland in Sumatera, Indonesia. Biogeoscience 9: 617. Luo, Y. dan Zhuo, X., Soil Respiration and The Environment. Academic Press, Amsterdam. M akiranta P, Laiho R, Fritze H, Hyt onen J, Laine J, and Minkkinen K Indirect regulation of heterotrophic peat soil respiration by water level via microbial community structure and temperature sensitivity. Soil Biology and Biochem. 41 ( ). Marthews TR, Riutta T, Oliveras Menor, Urrutia R, Moore S, Metcalfe D, Malhi Y, Philips O, Huaraca Huasco W, Ruiz Jaén M, Girardin C, Butt N, Cain R, and colleagues from the RAINFOR and GEM networks Measuring Tropical Forest Carbon Allocation and Cycling: A RAINFOR- GEM Field Manual for Intensive Census Plots (v3.0). Manual, Global Ecosystems Monitoring network, Melling L, R Hatano, K A H Joo Goh Soil CO 2 flux from three ecosystems in tropical peatland of Sarawak, Malaysia. Tellus 57B: Murdiyarso D, K. Hergoulac h, L.V Verchot Opportunities for reducing greenhouse gas emissions in tropical peatlands. PNAS 107 (46): Noor Muhammad Pertanian Lahan Gambut. Kanisius (ID): Yogyakarta. Nusantara R W, Sudarmadji, Tjut Sugandawaty Djohan, Eko Haryono Emisi CO 2 tanah akibat alih fungsi lahan hutan rawa gambut di Kalimantan Barat. J. Manusia dan Lingkungan 21 (3): Raich James W and Tufekcioglu Vegetation and soil respiration: correlation and controls. Biogeochemistry 48: Subagyo H Karakteristik dan Pengelolaan Lahan Rawa. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Tukidi Karakter curah hujan Indonesia. Jurnal Geografi 7 (20):

34 20 Lampiran 1 Data hasil pengukuran fluks CO 2 (mg m -2 jam -1 ) periode satu Subplot Emisi Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik

35 21 Lampiran 2 Data hasil pengukuran fluks CO 2 (mg m -2 jam -1 ) periode dua Subplot Emisi Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik

36 22 Lampiran 3 Data hasil pengukuran fluks CO 2 (mg m -2 jam -1 ) periode tiga Subplot Emisi Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik Total Heterotrofik Autotrofik

37 23 Lampiran 4 Dokumentasi kegiatan Lokasi penelitian di Hutan Rawa Gambut Katingan Kalimantan Tengah (Diambil pada 16 Juni 2015) Pembuatan sekat trenching (Diambil pada 24 April 2015) Foto saat pengukuran fluks CO2 (Diambil pada 3 Agustus 2015)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Karakteristik Lokasi Penelitian Lokasi penelitian terletak di agroekosistem kelapa sawit yang berada pada 2 (dua) lokasi yang berbeda yaitu Kebun Meranti Paham

Lebih terperinci

PLOT ROOT CUT PLOT CONTROL

PLOT ROOT CUT PLOT CONTROL BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Fluks CO dari Tanah Gambar dan menunjukkan fluks CO pada plot Root Cut dan plot Control. Pada Tabel menampilkan ratarata fluks CO tiap plot pada plot Root Cut dan plot Control.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO2 Tanah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO2 Tanah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fluks dan Emisi CO 2 Tanah Tanah merupakan bagian dari sistem yang mengatur konsentrasi CO 2 atmosfer. Hampir 10% CO 2 dari tanah sampai ke atmosfer tiap tahunnya (Raich dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia Sampai tahun 2004, Indonesia berada pada urutan ke 15 negara penghasil gas rumah kaca tertinggi di dunia dengan emisi tahunan 378 juta ton

Lebih terperinci

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon 1 Presentasi ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama, memberikan pengantar tentang besarnya karbon yang tersimpan di lahan gambut. Bagian kedua membahas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Tanah Gambut II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut 2.1.1 Pengertian Tanah Gambut Gambut mempunyai banyak istilah padanan dalam bahasa asing, antara lain peat, bog, moor, mire, atau fen. Gambut diartikan sebagai material

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. Lahan gambut di dunia mencapai luas 400 juta ha. Sekitar350 juta ha dari

I. PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. Lahan gambut di dunia mencapai luas 400 juta ha. Sekitar350 juta ha dari 1 I. PENDAHULUAN A. LatarBelakang Lahan gambut di dunia mencapai luas 400 juta ha. Sekitar350 juta ha dari luas tersebut merupakan gambut subtropika dan sisanya merupakan gambut tropika (Page et al., 2008;

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karbon Biomassa Atas Permukaan Karbon di atas permukaan tanah, meliputi biomassa pohon, biomassa tumbuhan bawah (semak belukar berdiameter < 5 cm, tumbuhan menjalar dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Biomassa dan Karbon Biomassa Atas Permukaan di Kebun Panai Jaya, PTPN IV Tahun 2009 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Stok Karbon 4.1.1 Panai Jaya Data stok karbon yang digunakan pada kebun Panai Jaya berasal dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Yulianti (2009) dan Situmorang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu

Lebih terperinci

Kata kunci: hutan rawa gambut, degradasi, rehabilitasi, kondisi hidrologi, gelam

Kata kunci: hutan rawa gambut, degradasi, rehabilitasi, kondisi hidrologi, gelam Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI : Pengelolaan Hutan Gambut Koordinator : Ir. Atok Subiakto, M.Apl.Sc Judul Kegiatan : Teknologi Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Terdegradasi

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 9 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua lokasi kebun kelapa sawit pada bulan Agustus dan November 2008 yang kemudian dilanjutkan pada bulan Februari,

Lebih terperinci

Pengukuran Biomassa Permukaan dan Ketebalan Gambut di Hutan Gambut DAS Mentaya dan DAS Katingan

Pengukuran Biomassa Permukaan dan Ketebalan Gambut di Hutan Gambut DAS Mentaya dan DAS Katingan Pengukuran Biomassa Permukaan dan Ketebalan Gambut di Hutan Gambut DAS Mentaya dan DAS Katingan Taryono Darusman 1, Asep Mulyana 2 dan Rachmat Budiono 3 Pendahuluan Lahan gambut merupakan ekosistem lahan

Lebih terperinci

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI

PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI PENDUGAAN SERAPAN KARBON DIOKSIDA PADA BLOK REHABILITASI CONOCOPHILLIPS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI PRASASTI RIRI KUNTARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

MODUL TRAINING CADANGAN KARBON DI HUTAN. (Pools of Carbon in Forest) Penyusun: Ali Suhardiman Jemmy Pigome Asih Ida Hikmatullah Wahdina Dian Rahayu J.

MODUL TRAINING CADANGAN KARBON DI HUTAN. (Pools of Carbon in Forest) Penyusun: Ali Suhardiman Jemmy Pigome Asih Ida Hikmatullah Wahdina Dian Rahayu J. MODUL TRAINING CADANGAN KARBON DI HUTAN (Pools of Carbon in Forest) Penyusun: Ali Suhardiman Jemmy Pigome Asih Ida Hikmatullah Wahdina Dian Rahayu J. Tujuan Memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemampuan hutan dan ekosistem didalamnya sebagai penyimpan karbon dalam bentuk biomassa di atas tanah dan di bawah tanah mempunyai peranan penting untuk menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

TEKNIK REHABILITASI (REVEGETASI) LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI Sumbangsih Pengalaman dan Pembelajaran Restorasi Gambut dari Sumatera Selatan dan Jambi

TEKNIK REHABILITASI (REVEGETASI) LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI Sumbangsih Pengalaman dan Pembelajaran Restorasi Gambut dari Sumatera Selatan dan Jambi TEKNIK REHABILITASI (REVEGETASI) LAHAN GAMBUT TERDEGRADASI Sumbangsih Pengalaman dan Pembelajaran Restorasi Gambut dari Sumatera Selatan dan Jambi Oleh Bastoni dan Tim Peneliti Balai Litbang LHK Palembang

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 )

PEMBAHASAN UMUM. Gambar 52. Hubungan antara nisbah C/N dengan fluks CO 2. Fluks CO2. (mg CO2 kg tanah -1 harī 1 ) PEMBAHASAN UMUM Dari kajian pengaruh pupuk N terhadap fluks CO 2 hasil respirasi bahan gambut menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara dosis urea dengan tingkat kematangan gambut. Penambahan dosis urea

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Gambut berperanan penting dalam biosfer karena gambut terlibat dalam siklus biogeokimia, merupakan habitat tanaman dan hewan, sebagai lingkungan hasil dari evolusi, dan referen

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut terdegradasi Teknologi Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Ujicoba Teknik Rehabilitasi Hutan Alam Rawa Gambut Bersulfat Masam Dengan Jenis Melaleuca leucadendron Ujicoba

Lebih terperinci

EMISI KARBON DIOKSIDA DARI TANAMAN KELAPA SAWIT PADA LAHAN GAMBUT DI SUMATERA FITHRA KAMELA

EMISI KARBON DIOKSIDA DARI TANAMAN KELAPA SAWIT PADA LAHAN GAMBUT DI SUMATERA FITHRA KAMELA EMISI KARBON DIOKSIDA DARI TANAMAN KELAPA SAWIT PADA LAHAN GAMBUT DI SUMATERA FITHRA KAMELA DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

9/21/2012 PENDAHULUAN STATE OF THE ART GAMBUT DI INDONESIA EKOSISTEM HUTAN GAMBUT KEANEKARAGAMAN HAYATI TINGGI SUMBER PLASMA NUTFAH TINGGI

9/21/2012 PENDAHULUAN STATE OF THE ART GAMBUT DI INDONESIA EKOSISTEM HUTAN GAMBUT KEANEKARAGAMAN HAYATI TINGGI SUMBER PLASMA NUTFAH TINGGI 9/1/1 PEMULIHAN ALAMI HUTAN GAMBUT PASKA KEBAKARAN: OPTIMISME DALAM KONSERVASI CADANGAN KARBON PENDAHULUAN EKOSISTEM HUTAN GAMBUT OLEH: I WAYAN SUSI DHARMAWAN Disampaikan pada acara Diskusi Ilmiah lingkup

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu lingkungan tentang perubahan iklim global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer menjadi prioritas dunia saat ini. Berbagai skema dirancang dan dilakukan

Lebih terperinci

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut

Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut Teknologi rehabilitasi hutan rawa gambut UjI COBA TEKNIK BIO REMEDIASI BERBAGAI KONDISI HUTAN ALAM RAWA GAMBUT TERDEGRADASI DI SUMSEL Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Sulfat Masam dengan Jenis Melaleuca

Lebih terperinci

REZIM AIR TANAH DAN EMISI GAS RUMAH KACA DI HUTAN RAWA GAMBUT PT. RIMBA MAKMUR UTAMA, KATINGAN, KALIMANTAN TENGAH ANGGI RUSTINI

REZIM AIR TANAH DAN EMISI GAS RUMAH KACA DI HUTAN RAWA GAMBUT PT. RIMBA MAKMUR UTAMA, KATINGAN, KALIMANTAN TENGAH ANGGI RUSTINI REZIM AIR TANAH DAN EMISI GAS RUMAH KACA DI HUTAN RAWA GAMBUT PT. RIMBA MAKMUR UTAMA, KATINGAN, KALIMANTAN TENGAH ANGGI RUSTINI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Suatu ekosistem dapat terbentuk oleh adanya interaksi antara makhluk dan lingkungannya, baik antara makhluk hidup dengan makhluk hidup

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebaran luas lahan gambut di Indonesia cukup besar, yaitu sekitar 20,6 juta hektar, yang berarti sekitar 50% luas gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan Indonesia.

Lebih terperinci

MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA

MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA MODEL ALOMETRIK BIOMASSA PUSPA (Schima wallichii Korth.) BERDIAMETER KECIL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI RENDY EKA SAPUTRA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Bahan dan Alat

III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Bahan dan Alat 11 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November hingga Desember 2009. Pelaksanaan meliputi kegiatan lapang dan pengolahan data. Lokasi penelitian terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertambangan batubara menjadi salah satu gangguan antropogenik terhadap ekosistem hutan tropis yang dapat berakibat terhadap degradasi dan kerusakan lahan secara drastis.

Lebih terperinci

Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan

Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan Pengaruh Daya Dukung Hutan Terhadap Iklim & Kualitas Udara di Ekoregion Kalimantan Ruhyat Hardansyah, Maria C.L. Hutapea Subbidang Hutan dan Hasil Hutan Bidang Inventarisasi Daya Dukung dan daya Tampung

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Umum Bahan Gambut Riau Bahan gambut dari Riau dianalisis berdasarkan karakteristik ekosistem atau fisiografi gambut yaitu gambut marine (coastal peat swamp),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap sumberdaya alam memiliki fungsi penting terhadap lingkungan. Sumberdaya alam berupa vegetasi pada suatu ekosistem hutan mangrove dapat berfungsi dalam menstabilkan

Lebih terperinci

Program Studi Rekayasa Kehutanan, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung

Program Studi Rekayasa Kehutanan, Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung NERACA KARBON : METODE PENDUGAAN EMISI CO 2 DI LAHAN GAMBUT Cahya Anggun Sasmita Sari 1), Lidya Astu Widyanti 1), Muhammad Adi Rini 1), Wahyu Isma Saputra 1) 1) Program Studi Rekayasa Kehutanan, Sekolah

Lebih terperinci

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia.

D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. D4 Penggunaan 2013 Wetlands Supplement to the 2006 IPCC Guidelines untuk Inventarisasi Gas Rumah Kaca di Indonesia. 1 Pokok bahasan meliputi latar belakang penyusunan IPCC Supplement, apa saja yang menjadi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil 5.1.1 Penutupan Lahan Penutupan lahan yang terdapat di Kalimantan Tengah terdiri atas 18 jenis penutupan lahan. Tabel 1 menyajikan penutupan lahan di Kalimantan Tengah.

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 22 BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Luas dan Lokasi Wilayah Merang Peat Dome Forest (MPDF) memiliki luas sekitar 150.000 ha yang terletak dalam kawasan Hutan Produksi (HP) Lalan di Kecamatan

Lebih terperinci

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk ALFARED FERNANDO SIAHAAN DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 25 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga bulan April tahun 2011 di lahan gambut yang terletak di Kabupaten Humbang Hasundutan Provinsi

Lebih terperinci

Pengelolaan lahan gambut

Pengelolaan lahan gambut Pengelolaan lahan gambut Kurniatun Hairiah Sifat dan potensi lahan gambut untuk pertanian Sumber: I.G.M. Subiksa, Fahmuddin Agus dan Wahyunto BBSLDP, Bogor Bacaan Sanchez P A, 1976. Properties and Management

Lebih terperinci

PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2. Rasional

PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2. Rasional PENGARUH DOSIS PUPUK N PADA BAHAN GAMBUT DENGAN TINGKAT KEMATANGAN YANG BERBEDA TERHADAP FLUKS CO 2 Rasional Penambahan pupuk N pada lahan gambut dapat mempengaruhi emisi GRK. Urea merupakan pupuk N inorganik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Jati (Tectona grandis Linn. f) Jati (Tectona grandis Linn. f) termasuk kelompok tumbuhan yang dapat menggugurkan daunnya sebagaimana mekanisme pengendalian diri terhadap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi

TINJAUAN PUSTAKA. dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi 16 TINJAUAN PUSTAKA Karbon Hutan Hutan merupakan penyerap karbon (sink) terbesar dan berperan penting dalam siklus karbon global, akan tetapi hutan juga dapat menghasilkan emisi karbon (source). Hutan

Lebih terperinci

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon

Ilmuwan mendesak penyelamatan lahan gambut dunia yang kaya karbon Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi: Nita Murjani n.murjani@cgiar.org Regional Communications for Asia Telp: +62 251 8622 070 ext 500, HP. 0815 5325 1001 Untuk segera dipublikasikan Ilmuwan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di

I. PENDAHULUAN. hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan negara mega biodiversitas di dunia,

Lebih terperinci

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT Dr. David Pokja Pangan, Agroindustri, dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri

Lebih terperinci

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut SUMBER DAYA AIR Indonesia memiliki potensi lahan rawa (lowlands) yang sangat besar. Secara global Indonesia menempati urutan keempat dengan luas lahan rawa sekitar 33,4 juta ha setelah Kanada (170 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera

BAB I PENDAHULUAN. Kalimantan 32% Papua 30% dan sebagian kecil ada di Sulawesi, Halmahera BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta ha atau 10.8% dari luas daratan Indonesia. Lahan rawa gambut sebagian besar terdapat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman

PENDAHULUAN. mengkonversi hutan alam menjadi penggunaan lainnya, seperti hutan tanaman PENDAHULUAN Latar Belakang Terdegradasinya keadaan hutan menyebabkan usaha kehutanan secara ekonomis kurang menguntungkan dibandingkan usaha komoditi agribisnis lainnya, sehingga memicu kebijakan pemerintah

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara PENDUGAAN CADANGAN KARBON DI HUTAN RAWA GAMBUT TRIPA KABUPATEN NAGAN RAYA PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM SKRIPSI Oleh SUSILO SUDARMAN BUDIDAYA HUTAN / 011202010 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5460 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 180) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Kalimantan Tengah

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Kalimantan Tengah Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API

PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API PRODUKSI DAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH DAUN MANGROVE API-API (Avicennia marina Forssk. Vierh) DI DESA LONTAR, KECAMATAN KEMIRI, KABUPATEN TANGERANG, PROVINSI BANTEN Oleh: Yulian Indriani C64103034 PROGRAM

Lebih terperinci

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan

Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan Kegiatan konversi hutan menjadi lahan pertambangan melepaskan cadangan karbon ke atmosfir dalam jumlah yang cukup berarti. Namun jumlah tersebut tidak memberikan dampak yang berarti terhadap jumlah CO

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan, mulai dari Januari sampai April 2010, dilakukan dengan dua tahapan, yaitu : a. pengambilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Organisme atau makhluk hidup apapun dan dimanapun mereka berada tidak akan dapat hidup sendiri. Kelangsungan hidup suatu organisme akan bergantung kepada organisme lain

Lebih terperinci

LAJU INFILTRASI TANAH DIBERBAGAI KEMIRINGAN LERENG HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT LINGGA BUANA

LAJU INFILTRASI TANAH DIBERBAGAI KEMIRINGAN LERENG HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT LINGGA BUANA LAJU INFILTRASI TANAH DIBERBAGAI KEMIRINGAN LERENG HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, KABUPATEN SUKABUMI JAWA BARAT LINGGA BUANA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN GAMBUT DI INDONESIA

PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN GAMBUT DI INDONESIA PEMANFAATAN DAN PENGELOLAAN GAMBUT DI INDONESIA Pendekatan MCA-Indonesia Indonesia memiliki lahan gambut tropis terluas di dunia, dan lahan gambut menghasilkan sekitar sepertiga dari emisi karbon negara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya. Zona 1 merupakan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Lingkungan Penelitian Pada penelitian ini, lokasi hutan mangrove Leuweung Sancang dibagi ke dalam 3 zona berdasarkan perbedaan rona lingkungannya.

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti secara geografis terletak pada koordinat antara sekitar 0 42'30" - 1 28'0" LU dan 102 12'0" - 103 10'0" BT, dan terletak

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Perubahan iklim telah menjadi isu penting dalam peradaban umat manusia saat ini. Hal ini disebabkan karena manusia sebagai aktor dalam pengendali lingkungan telah melupakan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN DAN KONSERVASI LAHAN GAMBUT

PENGEMBANGAN DAN KONSERVASI LAHAN GAMBUT PENGEMBANGAN DAN KONSERVASI LAHAN GAMBUT Pendahuluan Dewasa ini lahan gambut merupakan lahan alternatif yang digunakan sebagai media untuk melakukan aktivitas di bidang pertanian. Mengingat lahan pertanian

Lebih terperinci

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Gambut di Area PT Hutan Amanah Lestari Barito Selatan dan Barito Timur

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Gambut di Area PT Hutan Amanah Lestari Barito Selatan dan Barito Timur Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Gambut di Area PT Hutan Amanah Lestari Barito Selatan dan Barito Timur Program Skala Kecil ICCTF Tahun 2016 Universitas Muhammadiyah Palangkaraya Mitigasi Berbasis

Lebih terperinci

ESTIMASI EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI KEBAKARAN LAHAN GAMBUT

ESTIMASI EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI KEBAKARAN LAHAN GAMBUT 34 ESTIMASI EMISI GAS RUMAH KACA (GRK) DARI KEBAKARAN LAHAN GAMBUT Maswar Peneliti Badan Litbang Pertanian di Balai Penelitian Tanah, Jl. Tentara Pelajar 12 Bogor 16114 (maswar_bhr@yahoo.com) Abstrak.

Lebih terperinci

III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3. 1 Luas dan Lokasi Hutan Gambut Merang terletak dalam kawasan Hutan Produksi Lalan di Kecamatan Bayung Lencir Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatra Selatan dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sekitar 60 Pg karbon mengalir antara ekosistem daratan dan atmosfir setiap BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Cadangan Karbon Aliran karbon dari atmosfir ke vegetasi merupakan aliran yang bersifat dua arah, yaitu pengikatan CO 2 ke dalam biomasa melalui fotosintesis dan pelepasan CO

Lebih terperinci

Latar Belakang. Gambar 1. Lahan gambut yang terbakar. pada lanskap lahan gambut. Di lahan gambut, ini berarti bahwa semua drainase

Latar Belakang. Gambar 1. Lahan gambut yang terbakar. pada lanskap lahan gambut. Di lahan gambut, ini berarti bahwa semua drainase 1 2 Latar Belakang Gambar 1. Lahan gambut yang terbakar. Banyak lahan gambut di Sumatra dan Kalimantan telah terbakar dalam beberapa tahun terakhir ini. Kebakaran gambut sangat mudah menyebar di areaarea

Lebih terperinci

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon

Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon Buletin PSL Universitas Surabaya 28 (2012): 3-5 Pemanfaatan Hutan Mangrove Sebagai Penyimpan Karbon Hery Purnobasuki Dept. Biologi, FST Universitas Airlangga Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. kesempatan untuk tumbuhan mangrove beradaptasi (Noor dkk, 2006). Hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi lingkungan yang ekstrim seperti tanah yang tergenang akibat pasang surut laut, kadar garam yang tinggi, dan tanah yang kurang stabil memberikan kesempatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 2.1 Hutan Tropika Dataran Rendah BAB II TINJAUAN PUSTAKA Di dalam Undang Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dijelaskan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut dan Karbon Tersimpan pada Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut dan Karbon Tersimpan pada Gambut 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambut dan Karbon Tersimpan pada Gambut Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.1.1 Sifat Kimia Tanah Data sekunder hasil analisis kimia tanah yang diamati yaitu ph tanah, C-Org, N Total, P Bray, kation basa (Ca, Mg, K, Na), kapasitas

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Papua

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Papua Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

POTENSI SIMPANAN KARBON TANAH (SOIL CARBON STOCK) PADA AREAL REHABILITASI TOSO COMPANY Ltd. DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT NAELI FAIZAH

POTENSI SIMPANAN KARBON TANAH (SOIL CARBON STOCK) PADA AREAL REHABILITASI TOSO COMPANY Ltd. DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT NAELI FAIZAH POTENSI SIMPANAN KARBON TANAH (SOIL CARBON STOCK) PADA AREAL REHABILITASI TOSO COMPANY Ltd. DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT NAELI FAIZAH DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate

BAB I. PENDAHULUAN. Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelestarian lingkungan dekade ini sudah sangat terancam, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perubahan iklim global (global climate change) yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan

BAB I PENDAHULUAN. karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan merupakan unsur terpenting bagi semua makhluk hidup di bumi, karena hutan memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Hutan juga

Lebih terperinci

EVALUASI SIFAT BIOLOGI TANAH TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica L.) DI BEBERAPA KECAMATAN DI KABUPATEN MANDAILING NATAL SKRIPSI OLEH :

EVALUASI SIFAT BIOLOGI TANAH TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica L.) DI BEBERAPA KECAMATAN DI KABUPATEN MANDAILING NATAL SKRIPSI OLEH : EVALUASI SIFAT BIOLOGI TANAH TANAMAN KOPI ARABIKA (Coffea arabica L.) DI BEBERAPA KECAMATAN DI KABUPATEN MANDAILING NATAL SKRIPSI OLEH : DANIEL MATONDANG 100301241 AGROEKOTEKNOLOGI-ILMU TANAH DEPARTEMEN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Fluks dan Total Fluks Gas Metana (CH 4 ) pada Lahan Jagung, Kacang Tanah, dan Singkong Pada Gambar 4, 5 dan 6 menunjukkan fluks CH 4 pada lahan jagung, kacang tanah dan

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Nusa Tenggara Timur

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Nusa Tenggara Timur Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Tenggara

Emisi bersih GRK. Total luasan tahunan hutan dan lahan gambut yang mengalami perubahan di Sulawesi Tenggara Emisi bersih GRK Dugaan emisi bersih tahunan GRK dari penggunaan lahan lahan dan perubahan penggunaan lahan di hutan dan lahan gambut akibat ulah manusia selama 2001-2012. Hasil yang ada menunjukkan jumlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Biomassa berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam siklus

I. PENDAHULUAN. Biomassa berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam siklus I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Biomassa berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam siklus karbon. Berdasarkan jumlah keseluruhan karbon hutan, sekitar 50% di antaranya tersimpan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

ULASAN KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT

ULASAN KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT ULASAN KEBIJAKAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT Pendekatan MCA-Indonesia Indonesia memiliki lahan gambut tropis terluas di dunia, dan lahan gambut menghasilkan sekitar sepertiga dari emisi

Lebih terperinci

Fahmuddin Agus dan Achmad Rachman Peneliti Balitbangtan di Balai Penelitian Tanah

Fahmuddin Agus dan Achmad Rachman Peneliti Balitbangtan di Balai Penelitian Tanah Konservasi Tanah Menghadapi Perubahan Iklim 263 11. KESIMPULAN UMUM Fahmuddin Agus dan Achmad Rachman Peneliti Balitbangtan di Balai Penelitian Tanah Gejala perubahan iklim semakin nyata yang ditandai

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG TATA CARA INVENTARISASI DAN PENETAPAN FUNGSI EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

FLUKS CO 2 DAN KEDALAMAN MUKA AIR TANAH PADA LAHAN GAMBUT DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERUYAN, KALIMANTAN TENGAH ETIKA AGRIANITA A

FLUKS CO 2 DAN KEDALAMAN MUKA AIR TANAH PADA LAHAN GAMBUT DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERUYAN, KALIMANTAN TENGAH ETIKA AGRIANITA A FLUKS CO 2 DAN KEDALAMAN MUKA AIR TANAH PADA LAHAN GAMBUT DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT SERUYAN, KALIMANTAN TENGAH ETIKA AGRIANITA A14070036 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian terletak di kebun kelapa sawit Panai Jaya PTPN IV, Labuhan Batu, Sumatera Utara. Penelitian berlangsung dari bulan Februari 2009

Lebih terperinci

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. 6 No. 1 : 1-5 (2000)

Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. 6 No. 1 : 1-5 (2000) Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. 6 No. 1 : 1-5 (2000) Artikel (Article) PENDUGAAN BIOMASSA POHON BERDASARKAN MODEL FRACTAL BRANCHING PADA HUTAN SEKUNDER DI RANTAU PANDAN, JAMBI Fractal Branching Model

Lebih terperinci