HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Habitat Komposisi Vegetasi Berdasarkan hasil analisis vegetasi yang telah dilakukan di kawasan TNGP pada 7 resort (Resort Cisarua, Resort Gunung Putri, Resort Bodogol, Resort Situ Gunung, Resort Selabintana, Resort Cimungkad, dan Resort Cibodas) (Gambar 7), dapat diketahui parameter vegetasi di kawasan tersebut, meliputi Kerapatan (K), Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi (F), Frekuensi Relatif (FR), Dominansi (D), Dominansi Relatif (DR), dan Indeks Nilai Penting (INP) pada berbagai tingkat pertumbuhan vegetasi, yaitu tingkat pohon, tiang, pancang, dan semai. Pada lokasi penelitian di kawasan TNGP ditemukan 121 jenis vegetasi di zona inti dan 103 jenis vegetasi di zona pemanfaatan. Adapun pada tingkat pohon ditemukan 61 jenis pohon di zona inti dan 59 jenis di zona pemanfaatan. Gambar 7 Lokasi plot analisis vegetasi.

2 36 Jumlah jenis pohon yang lebih banyak ditemukan di zona inti daripada jumlah jenis pohon yang ditemukan di zona pemanfaatan menunjukkan bahwa zona inti di kawasan TNGP merupakan kawasan yang masih belum banyak mengalami gangguan akibat berbagai aktivitas manusia, sehingga jenis-jenis pohon di zona inti ini dapat terjaga kelestariannya. Gangguan akibat berbagai aktivitas manusia pada umumnya terjadi di zona pemanfaatan, seperti kegiatan wisata alam, pendakian, perambahan lahan, penebangan pohon, dan pengambilan kayu bakar. Intensitas aktivitas oleh masyarakat sekitar yang cukup tinggi di zona pemanfaatan ini adalah karena lokasi zona pemanfaatan yang cukup dekat dengan tempat tinggal masyarakat sekitar. Selain itu, zona pemanfaatan di kawasan TNGP juga banyak yang terdapat di areal perluasan kawasan TNGP, yang semula merupakan lahan negara yang dikelola oleh Perum Perhutani. Jenis pohon yang mendominasi zona inti dan memiliki Indeks Nilai Penting (INP) paling tinggi secara berturut-turut adalah sebagai berikut: Schima wallichii (41,88%), Lithocarpus indutus (26,09%), Castanopsis javanica (15,50%), Elaeocarpus pierrei (13,14%), dan Vernonia arborea (12,92%)( Tabel 3 dan Lampiran 1-2). Jenis pohon yang mendominasi zona pemanfaatan dan memiliki Indeks Nilai Penting (INP) paling tinggi secara berturut-turut adalah sebagai berikut: Castanopsis javanica (49,03%), Schima wallichii (42,23%), Agathis dammara (29,26%), Altingia excelsa (16,76%), Elaeocarpus pierrei (15,35%). Tabel 3 Indeks Nilai Penting tertinggi vegetasi tingkat pohon di zona inti dan zona pemanfaatan TNGP No I II Nama Lokal KR (%) FR (%) DR (%) INP (%) Nama Latin Zona Inti 1 Schima wallichii (DC.) Korth. Puspa 16,552 9,091 16,241 41,883 2 Lithocarpus indutus (Bl.) Rehd. Pasang batu 10,345 7,879 7,869 26,093 3 Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. Riung anak 8,966 1,818 4,716 15,499 4 Elaeocarpus pierrei Kds. & Val. Janitri 3,793 5,455 3,895 13,143 5 Vernonia arborea Buch. Ham. Hamirung 4,483 4,242 4,192 12,918 Zona Pemanfaatan 1 Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. Riung anak 20,833 5,714 22,478 49,026 2 Schima wallichii (DC.) Korth. Puspa 16,389 13,714 12,124 42,227 3 Agathis dammara Damar 5,833 2,286 21,139 29,258 4 Altingia excelsa Noronha Rasamala 5,278 2,286 9,196 16,760 5 Elaeocarpus pierrei Kds. & Val. Janitri 5,278 6,857 3,211 15,346

3 37 Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa kerapatan jenis pohon yang tertinggi di zona inti dimiliki oleh Schima wallichii, yaitu sebesar 37 individu/ha dengan kerapatan relatif sebesar 16,55%, sedangkan kerapatan jenis pohon yang tertinggi di zona pemanfaatan dimiliki oleh Castanopsis javanica, yaitu sebesar 57 individu/ha dengan kerapatan relatif sebesar 20,83%. Kerapatan suatu jenis merupakan hasil pembagian antara jumlah individu suatu jenis dengan luas petak contoh. Jika dilihat dari frekuensi suatu jenis yang merupakan hasil pembagian antara jumlah subpetak ditemukan suatu jenis dengan jumlah seluruh subpetak contoh, maka jenis pohon Schima wallichii juga memiliki frekuensi yang tertinggi di zona inti TNGP, yaitu sebesar 0,46 dengan frekuensi relatif sebesar 9,09%, sedangkan frekuensi tertinggi di zona pemanfaatan juga dimiliki oleh jenis pohon Schima wallichii, yaitu sebesar 0,73 dengan frekuensi relatif sebesar 13,71%. Frekuensi ini dapat juga menjadi indikasi penyebaran suatu jenis. Jika frekuensi suatu jenis tinggi, maka distribusi/penyebaran jenis tersebut juga akan tinggi. Jika dilihat dari dominansi suatu jenis yang merupakan hasil pembagian antara luas bidang dasar suatu jenis dengan luas petak contoh, maka jenis pohon di zona inti yang memiliki dominansi terbesar adalah Schima wallichii, yaitu sebesar 3,92 m 2 /ha dengan dominansi relatif sebesar 16,24%, sedangkan jenis pohon di zona pemanfaatan yang memiliki dominansi terbesar adalah Castanopsis javanica, yaitu sebesar 6,94 m 2 /ha dengan dominansi relatif sebesar 22,48%. Semakin besar dominansi suatu jenis, maka dominansi terhadap jenis lainnya akan semakin besar. Dominansi suatu jenis dipengaruhi oleh naungan dimana jenis dengan naungan yang lebih besar lebih dominan terhadap jenis lain dengan naungan yang lebih kecil. Hal tersebut disebabkan jenis yang ternaungi akan mendapatkan intensitas cahaya yang lebih sedikit sementara intensitas cahaya penting bagi proses pertumbuhannya. Diketahui ada lima jenis pohon pakan dan pohon tidur yang mendominasi zona inti dengan INP tertinggi, yaitu Schima wallichii, Lithocarpus indutus, Castanopsis javanica, Elaeocarpus pierrei, dan Vernonia arborea (pohon pakan owa jawa). Satu jenis di antaranya, yaitu Lithocarpus indutus, merupakan pohon tidur owa jawa. Pada zona pemanfaatan, ada empat jenis pohon pakan dan pohon

4 38 tidur dengan INP tertinggi, yaitu Castanopsis javanica, Schima wallichii, Altingia excelsa dan Elaeocarpus pierrei (pohon pakan) dan Altingia excelsa yang merupakan pohon tidur owa jawa. Dominansi pohon pakan dan pohon tidur owa jawa di zona inti dan di zona pemanfaatan mengindikasikan bahwa kondisi habitat owa jawa di kawasan TNGP masih baik. Dilihat dari keanekaragaman jenis pohon yang terdapat di kawasan TNGP berdasarkan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H ), maka diketahui bahwa keanekaragaman jenis pohon pada zona inti (3,60), lebih tinggi dibandingkan zona pemanfaatan (3,29) (Tabel 4). Semakin tinggi keanekaragaman jenis vegetasi pada suatu kawasan, maka semakin stabil pula kondisi vegetasi di kawasan tersebut. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah keanekaragaman jenis vegetasi pada suatu kawasan, maka semakin rentan pula kondisi vegetasi di kawasan tersebut. Tabel 4 Parameter vegetasi tingkat pohon sebagai habitat owa jawa di zona inti dan zona pemanfaatan TNGP Zona Parameter Nilai Zona Inti Jumlah jenis Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Indeks Kemerataan Jenis 61 3,60 0,88 Zona Pemanfaatan Jumlah jenis Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Indeks Kemerataan Jenis 59 3,29 0,81 Indeks Kemerataan Jenis Pohon (J ) yang dimiliki oleh zona inti (0,88) lebih tinggi dibandingkan dengan zona pemanfaatan (0,81)(Tabel 4). Hal tersebut menunjukkan bahwa jenis pohon pada zona inti lebih merata penyebarannya dibandingkan dengan zona pemanfaatan. Jenis pepohonan yang menyebar merata dalam suatu kawasan membuat kawasan tersebut lebih stabil sebagai habitat owa jawa, utamanya pada jenis-jenis yang merupakan pohon pakan dan pohon tidur. Nilai indeks kemerataan juga merupakan ukuran keseimbangan antara suatu komunitas dengan suatu komunitas lainnya. Nilai-nilai ini dipengaruhi oleh jumlah jenis yang terdapat dalam satu komunitas (Ludwig and Reynolds 1988). Dengan demikian, semakin tinggi indeks kemerataan jenis pada suatu habitat maka keseimbangan komunitasnya juga semakin tinggi.

5 39 Secara keseluruhan, vegetasi tingkat pohon yang ditemukan di TNGP berjumlah 61 jenis pada zona inti dan 59 jenis pada zona pemanfaatan. Iskandar (2007b) menemukan 13 jenis di hutan Rasamala TNGP, survei TNGP (2002) menemukan 56 jenis di SSWK Bodogol dan SSWK Selabintana, sedangkan Rahardjo (2002) menemukan 3 jenis di hutan Rasamala dan 67 jenis di hutan primer TNGP. Pada kawasan konservasi yang lain, Rinaldi (1999) menemukan 55 jenis di TNUK sedangkan Iskandar (2007a) menemukan 52 jenis di TNGHS. Bila dibandingkan, hasil survei pada kawasan TNGP berada pada kisaran yang hampir sama antara jenis, kecuali hasil survei Iskandar (2007b) dan Rahardjo (2002) di hutan Rasamala yang jauh lebih kecil. Jenis vegetasi pada hutan Rasamala memang lebih rendah karena hutan ini merupakan hutan tanaman dengan jumlah jenis yang lebih sedikit dan seragam. Bila dibandingkan dengan kawasan TN lainnya, jumlah jenis di TNGP mendekati jumlah jenis di TNUK dan TNGHS. Jenis pohon yang dominan dengan INP tertinggi pada habitat owa jawa di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Iskandar 2007a) adalah Pasang batarua (Quercus gemiliflorus), Puspa (Schima wallichi), Saninten (Castanopsis javanica), Rasamala (Altingia excelsa), dan Kokosan monyet (Antidesma tentadrum). Tiga jenis di antara jenis pohon dominan di TNGHS tersebut sama dengan jenis dominan di TNGP, yaitu Saninten Castanopsis javanica, Puspa Schima wallichi, dan Rasamala Altingia excelsa. Ketiga jenis vegetasi tersebut merupakan jenis-jenis pohon pakan owa jawa. Berdasarkan laporan TNGP 2002, jenis pohon dominan pada habitat owa jawa di SSWK Bodogol TNGP adalah Rasamala, Kiara, Leungsir, Riung anak dan Janitri, sedangkan di SSWK Selabintana adalah Kiara, Manggong, Saninten, Rasamala, dan Salam gunung. Pohon Pakan dan Pohon Tidur Owa Jawa Vegetasi sebagai sumber pakan merupakan salah satu komponen biotik dari habitat owa jawa yang sangat penting bagi hidup dan kehidupan owa jawa seperti halnya bagi primata lain. Hal tersebut dikarenakan vegetasi sumber pakan merupakan salah satu faktor pembatas bagi pertumbuhan populasi satwaliar, termasuk owa jawa. Semakin tinggi keanekaragaman jenis vegetasi yang

6 40 ditemukan di dalam habitat, memungkinkan adanya banyak alternatif vegetasi sebagai sumber pakan owa jawa. Tabel 5 Daftar jenis vegetasi sumber pakan owa jawa di kawasan TNGP No. Nama Lokal Nama Latin Family Bagian yang Dimakan 1 Afrika Maesopsis eminii Engl. Rhamnaceae Daun muda 2 Beleketebe Sloanea sigun (Bl.) K. Schum Elaeocarpaceae Buah dan daun muda 3 Bisoro Ficus lepicarpa Bl. Moraceae Buah 4 Cempaka leuweung Michellia montana Bl. Magnoliaceae Buah 5 Hamerang Ficus padana Burn. F Moraceae Buah masak 6 Hamirang badak Ficus alba Reinw. Moraceae Buah 7 Hamirung Vernonia arborea Buch. Ham. Asteraceae Buah 8 Huru beas Acer laurinum Hassk. Aceraceae Buah dan daun muda 9 Ipis kulit Decaspermum fruticosum J.R.& G. Myrtaceae Daun muda 10 Janitri Elaeocarpus pierrei Kds. & Val. Tiliaceae Buah 11 Jirak leutik Symplocos fasciculata Zoll. Symplocaceae Daun muda 12 Kacapi hutan Chisocheton divergens Blume Meliaceae Buah 13 Kahitutan Lasianthus purpureus Bl. Rubiaceae Buah 14 Ki cantung Ganiothalamus macrophyllus (Bl.) Hook.f. & Thoms Annonaceae Bunga 15 Ki dage Bruismia styracoides Boerl. & Koord. Styracaceae Daun muda 16 Ki hujan Engelhardia spicata Lech. Ex. Bl. Junglandaceae Daun muda 17 Ki jebug Polyosma integrifolia Bl. Saxifragaceae Daun muda 18 Ki jeruk Acronychia laurifolia Bl. Rutaceae Buah 19 Ki kuray Trema orientalis (L.) Bl. Ulmaceae Buah dan daun muda 20 Ki leho Saurauia bracteosa DC Saurauiaceae Buah dan bunga 21 Ki leho bulu Saurauia bracteosa DC Saurauiaceae Buah 22 Ki leho leutik Saurauia reinwardtiana Bl. Saurauiaceae Bunga 23 Ki racun Macropanax dispermum (Bl.) Araliaceae Buah dan daun 24 Ki sauheun Orophea hexandra Bl Annonaceae Bunga 25 Ki tambaga Syzigium antisepticum (Bl.) Merr. & Perry Myrtaceae Daun muda 26 Kokosan monyet Antidesma tetandrum Bl. Euphorbiaceae Buah 27 Kondang Ficus variegata Bl. Moraceae Buah dan muda 28 Kondang beunying Ficus fistulosa Reiwn. Moraceae Buah 29 Manggong Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A. Euphorbiaceae Buah dan daun muda 30 Manglid Manglietia glauca Bl Magnoliaceae Buah dan daun muda 31 Nangsi Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. Urticaceae Buah & pucuk 32 Pasang Quercus tyesmannii Bl. Fagaceae Buah 33 Pasang batu Lithocarpus indutus (Bl.) Rehd. Fagaceae Buah tua dan daun muda 34 Pingku tanglar Dysoxylum excelsum Bl. Meliaceae Daun muda 35 Pisitan monyet Dysoxylum alliaceum Bl. Meliaceae Buah 36 Puspa Schima wallichii (DC.) Korth Theaceae Buah dan daun muda 37 Ramogiling Schefflera scandens (Bl.) Vig. Araliaceae Buah dan daun muda 38 Rasamala Altingia excelsa Noronha Hamamelidaceae Daun muda 39 Riung anak Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. Fagaceae Buah dan daun muda 40 Salam banen Pygeum latifolium Miq. Rosaceae Daun 41 Saninten Castanopsis argentea (Bl.) DC. Fagaceae Buah dan daun 42 Seseurehan Piper aduncun L. Piperaceae Bunga 43 Teureup Artocarpus elasticus (Bl.) DC Fagaceae Buah 44 Walen Ficus ribes Reinw. Ex. Bl. Reinw. Ex Blume Moraceae Buah dan daun muda Diketahui bahwa pada kawasan TNGP terdapat 44 jenis pohon pakan owa jawa yang merupakan anggota dari 24 familia yaitu Rhamnaceae, Elaeocarpaceae, Moraceae, Magnoliaceae, Asteraceae, Myrtaceae, Tiliaceae, Symplocaceae,

7 41 Meliaceae, Rubiaceae, Annonaceae, Styracaceae, Junglandaceae, Saxifragaceae, Rutaceae, Ulmaceae, Saurauiaceae, Araliaceae, Euphorbiaceae, Urticaceae, Fagaceae, Hamamelidaceae, Rosaceae, dan Piperaceae (Tabel 5). Bagian vegetasi yang dijadikan makanan owa jawa adalah daun muda, buah, dan bunga. Pada zona inti TNGP terdapat 34 jenis pohon pakan sedangkan pada zona pemanfaatan 33 jenis (Tabel 5). Hasil survei Iskandar (2007b) menemukan 3 jenis pohon pakan pada hutan Rasamala TNGP, sedangkan survei TNGP (2002) menemukan 45 jenis pohon pakan di SSWK Bodogol serta 37 jenis di SSWK Selabintana. Pada kawasan TNUK, Rinaldi (1999) menemukan 27 jenis pohon pakan sedangkan Iskandar (2007a) menemukan 33 jenis pohon pakan di TNGHS. Bila dibandingkan, hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan hasil survei TNGP (2002) namun jauh lebih tinggi dibandingkan survei Iskandar (2007b). Jenis pohon pakan di hutan Rasamala lebih rendah karena hutan ini merupakan hutan tanaman dengan jumlah jenis yang sedikit dan relatif seragam. Jumlah jenis pohon pakan di TNUK dan TNGHS relatif hampir sama dengan hasil penelitian di TNGP ini. Tabel 6 Jenis vegetasi sebagai tempat tidur owa jawa di TNGP No Jenis Vegetasi Nama Latin Nama Lokal Family Keterangan 1. Altingia excelsa Rasamala Hamamelidaceae Informasi petugas 2. Antidesma tetandrum Kokosan Monyet Euphorbiaceae Informasi petugas 3. Artocarpus elasticus Teureup Fagaceae Informasi petugas 4. Castanopsis argentea Saninten Fagaceae Informasi petugas 5. Castanopsis tungurrut Kitungeureut Fagaceae Informasi petugas 6. Ficus cuspidata Darangdan Moraceae Informasi petugas 7. Ficus globosa Hamerang Badak Moraceae Informasi petugas 8. Ficus sp. Kihampelas Moraceae Informasi petugas 9. Ficus variegata Kondang Moraceae Pengamatan langsung 10. Lithocarpus indutus Pasang Batu Fagaceae Informasi petugas 11. Lithocarpus teysmanii Pasang Kayang Fagaceae Informasi petugas 12. Macaranga rhizinoides Manggong Euphorbiaceae Pengamatan langsung 13. Maesopsis eminii Afrika Rhamnaceae Pengamatan langsung 14. Ostodes paniculata Muncang Cina Euphorbiaceae Informasi petugas 15. Quercus tyesmannii Pasang Fagaceae Informasi petugas 16. Symplocos cochinchinensis Jirak Symplocaceae Informasi petugas 17. Trema orientalis Kikuray Ulmaceae Pengamatan langsung Pada lokasi penelitian terdapat 17 jenis vegetasi yang merupakan tempat tidur owa jawa (Tabel 6), yang tergolong ke dalam 7 familia, yaitu: Hamamelidaceae, Euphorbiaceae, Fagaceae, Moraceae, Rhamnaceae,

8 42 Symplocaceae, dan Ulmaceae. Dari 17 jenis vegetasi yang diidentifikasi sebagai tempat tidur owa jawa, 4 jenis di antaranya dapat diidentifikasi secara langsung melalui pengamatan di lapangan dan 13 jenis melalui informasi petugas di lapangan. Keempat jenis vegetasi tersebut adalah: Kondang (Ficus variegata), Manggong (Macaranga rhizinoides), Kayu afrika (Maesopsis eminii), dan Ki kuray (Trema orientalis). Menurut Iskandar (2007a), hasil identifikasi pohon tidur pada kawasan TNGHS di wilayah hutan primer Citarik berjumlah 11 jenis, di Cikaniki 10 jenis, di hutan sekunder Cibereum 8 jenis, serta di Cisalimar 7 jenis. Pada umumnya vegetasi yang dimanfaatkan owa jawa sebagai sumber pakan dan tempat tidurnya adalah vegetasi tingkat pohon. Hal tersebut disebabkan pola hidup owa jawa yang bersifat arboreal dengan memanfaatkan strata pohon tengah dan atas (Iskandar 2007a). Dari 61 jenis vegetasi tingkat pohon pada zona inti TNGP, 34 jenis merupakan pohon pakan owa jawa sedangkan 14 jenis merupakan pohon tidur owa jawa. Dari 59 jenis vegetasi tingkat pohon pada zona pemanfaatan TNGP, 33 jenis merupakan pohon pakan owa jawa sedangkan 12 jenis merupakan pohon tidur owa jawa. Jumlah jenis pohon pakan dan pohon tidur owa jawa yang lebih banyak terdapat di zona inti daripada jumlah jenis pohon pakan dan pohon tidur owa jawa di zona pemanfaatan mengindikasikan bahwa kondisi habitat owa jawa di zona inti cenderung lebih baik daripada kondisi habitat owa jawa di zona pemanfaatan, melalui ketersediaan alternatif pohon pakan dan pohon tidur yang lebih banyak dan beragam. Profil Vegetasi di Zona Inti dan Zona Pemanfaatan TNGP Untuk mengetahui dimensi (bentuk) atau struktur vertikal dan horizontal suatu vegetasi dari hutan yang dipelajari, dengan melihat bentuk profilnya akan dapat diketahui proses dari masing-masing pohon dan kemungkinan peranannya dalam komunitas tersebut, serta dapat diperoleh informasi mengenai dinamika pohon dan kondisi ekologinya (Istomo & Kusmana 1997). Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 7) dapat diketahui bahwa rata-rata diameter profil vegetasi di zona inti TNGP berkisar antara 17,46-31,97 m,

9 43 dengan diameter profil vegetasi minimum berkisar antara 7 19,7 m dan diameter profil vegetasi maksimum berkisar antara m. Sedangkan rata-rata diameter profil vegetasi di zona pemanfaatan TNGP berkisar antara 17,36 30,29 m, dengan diameter profil vegetasi minimum berkisar antara 7 20,4 m dan diameter profil vegetasi maksimum berkisar antara 35,1 110 m. Rerata tinggi total profil vegetasi di zona inti TNGP berkisar antara 9,34 28,35 m, dengan tinggi total profil vegetasi minimum berkisar antara 2,5 12 m dan tinggi total profil vegetasi maksimum berkisar antara m. Rata-rata tinggi total profil vegetasi di zona pemanfaatan TNGP berkisar antara 11,38 24,13 m, dengan tinggi total profil vegetasi minimum berkisar antara 4,5 20 m dan tinggi total profil vegetasi maksimum berkisar antara m. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata lebar tajuk profil vegetasi di zona inti TNGP berkisar antara 3,48 5,78 m dan 2,82 5,27 m, dengan lebar tajuk profil vegetasi minimum berkisar antara 0,7 2,5 m dan 0 1,5 m, serta lebar tajuk profil vegetasi maksimum berkisar antara 7,4 17,1 m dan 6,0 11,5 m. Sedangkan rata-rata lebar tajuk profil vegetasi di zona pemanfaatan TNGP berkisar antara 3,98 6,09 m dan 3,92 5,28 m, dengan lebar tajuk profil vegetasi minimum berkisar antara 0,3 2,9 m dan 1 2 m, serta lebar tajuk profil vegetasi maksimum berkisar antara 6,7 14,5 m dan 6,5 14 m.

10 Tabel 7 Parameter profil vegetasi di kawasan TNGP No. Resort Zona Diameter (cm) Tinggi Total (m) Lebar Tajuk 1 (m) Lebar Tajuk 2 (m) Rerata Min Max Rerata Min Max Rerata Min Max Rerata Min Max 1. Cisarua Inti (Pipa) 20,02 7,00 84,40 9,34 4,50 29,00 4,91 1,00 16,80 3,68 1,00 11,50 Pemanfaatan 25,32 7,00 56,00 15,33 5,00 24,60 4,68 0,30 10,00 4,01 1,00 7,20 (Jalur Riung Anak) 2. Bodogol Inti (Jalur 26,15 7,20 66,80 13,45 7,00 22,00 5,78 2,50 12,00 5,27 1,50 10,50 Afrika) Inti (Jalur Kanopi) 27,85 12,00 40,00 12,33 7,00 17,00 5,15 2,50 10,60 4,10 1,50 6,00 Pemanfaatan 27,59 7,00 89,00 12,83 5,00 29,00 6,09 1,50 14,50 5,28 1,50 10,50 (Jalur Rasamala) 3. Cimungkad Inti (Baruka 21,13 7,20 58,30 12,23 2,50 23,00 5,23 1,00 13,00 4,54 0,50 11,50 Dua) 4. Situ Inti (Puspa 20,34 8,00 63,00 12,83 5,00 28,00 5,05 1,50 17,10 5,14 1,00 11,50 Gunung Dua) Inti (Jalur Tower) 21,49 7,50 52,00 15,03 5,00 27,00 5,27 0,80 11,00 4,48 0,50 9,00 Pemanfaatan 30,29 8,00 110,00 14,77 5,00 29,00 4,80 0,50 11,00 3,92 1,00 9,00 (Simanaracun) 5. Selabintana Inti (Jalur 19,20 7,00 68,00 14,01 4,00 29,00 5,03 0,70 13,50 4,32 0,50 11,50 Manuel) Pemanfaatan 17,36 7,00 47,00 11,38 4,50 19,00 4,18 0,50 11,00 4,77 1,00 14,00 (Jalur Pendakian) 6. Gunung Inti (Jalur 31,97 19,70 108,20 28,35 12,00 56,00 4,91 1,00 12,00 4,97 1,00 11,00 Putri Pendakian) 7. Cibodas Inti (Legok 24,02 6,00 115,00 12,89 4,50 25,00 4,41 0,30 12,50 3,61 0,00 9,50 Babah) Inti (Pasir Buntu) 17,46 7,00 60,00 12,42 5,00 23,00 3,48 1,00 7,40 2,82 0,00 7,00 Pemanfaatan (Cibeureum) 25,04 20,40 35,10 24,13 20,00 27,00 3,98 2,90 6,70 4,11 2,00 6,50

11 Adapun profil vegetasi habitat owa jawa di zona inti TNGP dapat dilihat pada Gambar 8, Gambar 9, Gambar 10, Gambar 11, dan Gambar 12 berikut ini. Gambar 8 Profil vegetasi di zona inti TNGP (Resort Cisarua). Gambar 9 Profil vegetasi di zona inti TNGP (Resort Bodogol). Gambar 10 Profil vegetasi di zona inti TNGP (Resort Cimungkad).

12 46 Gambar 11 Profil vegetasi di zona inti TNGP (Resort Situ Gunung). Gambar 12 Profil vegetasi di zona inti TNGP (Resort Cibodas). Adapun profil vegetasi habitat owa jawa di zona pemanfaatan TNGP dapat dilihat pada Gambar 13, Gambar 14, Gambar 15, dan Gambar 16 berikut ini. Gambar 13 Profil vegetasi di zona pemanfaatan TNGP (Resort Cisarua).

13 47 Gambar 14 Profil vegetasi di zona pemanfaatan TNGP (Resort Bodogol). Gambar 15 Profil vegetasi di zona pemanfaatan TNGP (Resort Situ Gunung). Gambar 16 Profil vegetasi di zona pemanfaatan TNGP (Resort Cibodas).

14 48 Rerata tinggi pohon di TNGP (Tabel 7) menunjukkan variasi antara 9,34 28,35 m, sedangkan survei Iskandar (2007b) di hutan Rasamala TNGP menemukan rerata 9,8 m sedangkan Iskandar (2007a) menunjukkan variasi antara 16,62-21,30 di TNGHS. Bila dibandingkan, rerata tinggi pada Tabel 7 memiliki rentang yang lebih besar karena jumlah lokasi survei yang lebih banyak. Pepohonan di hutan Rasamala merupakan hutan tanaman dengan jumlah jenis sedikir dan relatif seragam sehingga rerata tinggi pohonnya memiliki kisaran yang sempit. Hal ini berarti bahwa pada wilayah TNGP memiliki variasi tinggi pohon yang lebih beragam dibandingkan dengan di TNGHS, kecuali variasi tinggi pohon di hutan Rasamala. Rerata diameter pohon (Tabel 7) menunjukkan nilai 17,36 31,97 cm, di hutan Rasamala (Iskandar 2007b) 59,6 cm sedangkan di TNGHS (Iskandar 2007a) antara 33,31-41,61 cm. Bila dibandingkan, diameter pohon di TNGP menurut penelitian ini lebih kecil dibandingkan dengan diameter pohon di hutan Rasamala dan di TNGHS. Diameter pohon di hutan Rasamala (Iskandar 2007b) lebih besar karena jenis pepohonan dan umur pohon relatif seragam dan terdiri dari jenis berdiameter besar (Rasamala). Sebaliknya, jenis pepohonan yang terdata pada penelitian ini lebih beragam dan terdiri dari jenis-jenis dengan ukuran diameter yang berbeda-beda pula. Data TNGHS (Iskandar 2007a) bernilai cukup tinggi karena yang didata adalah jenis-jenis pohon pakan yang umumnya cukup tinggi dan berdiameter besar. Rerata lebar tajuk (Tabel 7) berada pada kisaran 2,82 3,48 m dan 5,28-6,09 m, di hutan Rasamala (Iskandar 2007b) 4,83 6,33 m sedangkan menurut Iskandar (2007a) di TNGHS berada pada kisaran 9,87 10,02 m dan 13,69 15,32 m. Dengan demikian, rerata hasil penelitian ini dan hasil survei Iskandar (2007b) relatif sama dibandingkan dengan lebar tajuk di TNGHS (Iskandar 2007a) yang lebih lebar. Hal ini disebabkan pengukuran lebar tajuk di TNGHS dilakukan pada pohon-pohon yang diidentifikasi sebagai pakan owa, dan kondisi hutan yang relatif baik.

15 49 Permudaan Vegetasi Permudaan vegetasi merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menjamin keberlanjutan vegetasi yang ada saat ini, yaitu melalui proses regenerasi vegetasi. Terjaminnya permudaan vegetasi secara langsung dapat menjamin kondisi dan kualitas habitat owa jawa, utamanya dalam hal tersedianya pohon pakan dan pohon tidur owa jawa. Untuk dapat mengetahui kondisi permudaan vegetasi di kawasan TNGP, maka dilakukan analisis vegetasi pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan tiang. Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada tingkat semai (Tabel 8), dapat diketahui bahwa lima jenis vegetasi yang mendominasi dan memiliki INP tertinggi di zona inti secara berturut-turut adalah sebagai berikut: Symplocos cochinchinensis (25,81%), Schima wallichii (16,38%), Kikopi (11,08%), Decaspermum fruticosum (7,70%), dan Antidesma tetandrum (5,95%). Dari kelima jenis tersebut, terdapat 2 jenis vegetasi yang merupakan pohon pakan owa jawa (Schima wallichii dan Decaspermum fruticosum) dan 2 jenis vegetasi yang merupakan pohon tidur owa jawa (Symplocos cochinchinensis dan Antidesma tetandrum). Tabel 8 Indeks Nilai Penting tertinggi vegetasi tingkat semai di zona inti dan zona pemanfaatan TNGP KR (%) FR (%) INP (%) No Nama Latin Nama Lokal I Zona Inti Symplocos cochinchinensis (Lour.) 1 S.Moorr Jirak 18,018 7,792 25,810 2 Schima wallichii (DC.) Korth. Puspa 9,234 7,143 16,377 3 Kikopi Kikopi 6,532 4,545 11,077 4 Decaspermum fruticosum J.R.& G. Ipis kulit 3,153 4,545 7,699 5 Antidesma tetandrum Bl. Kiseuer 2,703 3,247 5,949 II Zona Pemanfaatan 1 Symplocos cochinchinensis (Lour.) S.Moore Jirak 13,024 7,500 20,524 2 Schima wallichii (DC.) Korth. Juspa 6,402 6,875 13,277 3 Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. Riung anak 4,194 3,750 7,944 4 Maesopsis eminii Engl. Afrika 4,636 2,500 7,136 5 Elaeocarpus pierrei Kds. & Val. Janitri 4,415 2,500 6,915 Lima jenis vegetasi tingkat semai yang mendominasi dan memiliki INP tertinggi di zona pemanfaatan secara berturut-turut adalah sebagai berikut: Symplocos cochinchinensis (20,52%), Schima wallichii (13,28%), Castanopsis

16 50 javanica (7,94%), Maesopsis eminii (7,14%), dan Elaeocarpus pierrei (6,92%). Dari kelima jenis vegetasi tersebut, terdapat 4 jenis vegetasi yang merupakan pohon pakan owa jawa (Schima wallichii, Castanopsis javanica, Maesopsis eminii, dan Elaeocarpus pierrei) dan 2 jenis vegetasi yang merupakan pohon tidur owa jawa (Symplocos cochinchinensis dan Maesopsis eminii). Hasil analisis vegetasi pada tingkat pancang (Tabel 9) menunjukkan bahwa lima jenis vegetasi yang mendominasi dan memiliki INP tertinggi di zona inti adalah sebagai berikut: Schima wallichii (21,19%), Villebrunea rubescens (16,27%), Kikopi (12,99%), Acronychia laurifolia (12,15%), dan Orophea hexandra (11,19%). Dari kelima jenis vegetasi tersebut, terdapat 4 jenis vegetasi yang merupakan pohon pakan owa jawa (Schima wallichii, Villebrunea rubescens, Acronychia laurifolia, dan Orophea hexandra). Adapun dari kelima jenis vegetasi tersebut tidak ditemukan pohon tidur owa jawa. Sedangkan lima jenis vegetasi tingkat pancang yang mendominasi dan memiliki INP yang tertinggi pada zona pemanfaataan adalah sebagai berikut: Calliandra calothyrsus (21,06%), Schima wallichii (20,19%), Castanopsis javanica (13,24%), Kikopi (13,12%), Villebrunea rubescens (11,43%). Dari kelima jenis tersebut, terdapat 3 jenis vegetasi yang merupakan pohon pakan owa jawa (Schima wallichii, Castanopsis javanica, dan Villebrunea rubescens). Adapun dari kelima jenis vegetasi tersebut tidak ditemukan pohon tidur owa jawa. Tabel 9 Indeks Nilai Penting tertinggi vegetasi tingkat pancang di zona inti dan zona pemanfaatan TNGP KR (%) FR (%) DR (%) INP (%) No Nama Latin Nama Lokal I Zona Inti 1 Schima wallichii (DC.) Korth. Puspa 5,455 4,762 10,971 21,188 2 Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. Nangsi 4,242 4,762 7,265 16,270 3 Kikopi Kikopi 6,061 4,762 2,173 12,996 4 Acronychia laurifolia Bl. Kijeruk 2,727 2,381 7,043 12,152 5 Orophea hexandra Bl Kisauheun 2,121 1,905 7,159 11,185 II Zona Pemanfaatan 1 Calliandra calothyrsus Meisn. Kaliandra 9,091 1,754 10,211 21,056 2 Schima wallichii (DC.) Korth. Puspa 5,303 5,263 9,621 20,188 3 Castanopsis javanica (Bl.) A.DC Riung anak 6,061 3,509 3,672 13,242 4 Kikopi ki kopi 4,545 4,678 3,901 13,124 5 Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. Nangsi 4,167 4,094 3,165 11,426

17 51 Hasil analisis vegetasi tingkat tiang (Tabel 10) menunjukkan bahwa lima jenis vegetasi yang mendominasi dan memiliki INP tertinggi di zona inti adalah sebagai berikut: Villebrunea rubescens (35,44%), Schima wallichii (20,65%), Elaeocarpus pierrei (18,43%), Castanopsis javanica (15,02%), dan Ficus lepicarpa (13,03%). Kelima jenis vegetasi tingkat tiang tersebut seluruhnya tergolong ke dalam pohon pakan owa jawa. Adapun dari kelima jenis vegetasi tingkat tiang tersebut tidak ada yang merupakan pohon tidur owa jawa. Sedangkan lima jenis vegetasi tingkat tiang yang mendominasi dan memiliki INP tertinggi di zona pemanfaatan adalah sebagai berikut: Schima wallichii (40,95%), Macaranga rhizinoides (17,39%), Decaspermum fruticosum (16,80%), Ficus alba (15,76%), dan Altingia excelsa (15,20%). Kelima jenis vegetasi tingkat tiang tersebut seluruhnya tergolong ke dalam pohon pakan owa jawa. Adapun dari kelima jenis vegetasi tingkat tiang tersebut, 2 jenis vegetasi diantaranya merupakan pohon tidur owa jawa (Macaranga rhizinoides dan Altingia excelsa). Tabel 10 Indeks Nilai Penting tertinggi vegetasi tingkat tiang di zona inti dan zona pemanfaatan TNGP No I Nama Lokal KR (%) FR (%) DR (%) INP (%) Nama Latin Zona Inti 1 Villebrunea rubescens (Bl.) Bl. Nangsi 12,844 9,877 12,724 35,444 2 Schima wallichii (DC.) Korth. Puspa 8,257 4,938 7,456 20,651 3 Elaeocarpus pierrei Kds. & Val. Janitri 6,422 4,938 7,072 18,432 4 Castanopsis javanica (Bl.) A.DC. Ruing anak 6,422 2,469 6,133 15,024 5 Ficus lepicarpa Bl. Bisoro 3,670 3,704 5,661 13,034 II Zona Pemanfaatan 1 Schima wallichii (DC.) Korth. Puspa 13,187 11,111 16,651 40,948 2 Macaranga rhizinoides (Bl.) Muell. Arg. (Bl.) M.A. Manggong 5,495 6,173 5,721 17,388 3 Decaspermum fruticosum J.R.& G Ipis kulit 5,495 6,173 5,136 16,803 4 Ficus alba Burm.f. Hamerang 5,495 6,173 4,093 15,760 5 Altingia excelsa Noronha Rasamala 5,495 2,469 7,237 15,201 Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa jumlah jenis vegetasi di zona inti pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan tiang secara berturutturut adalah 65 jenis, 82 jenis, dan 45 jenis. Sedangkan jumlah jenis vegetasi di zona pemanfaatan pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan tiang secara berturut-turut adalah 62 jenis, 63 jenis, dan 39 jenis (Tabel 11). Lebih banyaknya

18 52 jumlah jenis vegetasi pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi di zona inti apabila dibandingkan dengan jumlah jenis vegetasi pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi di zona pemanfaatan, menunjukkan bahwa kondisi vegetasi di zona inti lebih stabil daripada kondisi vegetasi di zona pemanfaatan. Hal tersebut dikarenakan lebih kecilnya tingkat gangguan terhadap vegetasi yang terdapat di zona inti daripada tingkat gangguan terhadap vegetasi yang terdapat di zona pemanfaatan. Tabel 11 Parameter permudaan vegetasi sebagai habitat owa jawa di zona inti dan zona pemanfaatan TNGP Zona Tingkat Parameter Nilai Pertumbuhan Zona Inti Semai Jumlah jenis Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Indeks Kemerataan Jenis 65 3,74 0,89 Zona Pemanfaatan Pancang Tiang Semai Pancang Tiang Jumlah jenis Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Indeks Kemerataan Jenis Jumlah jenis Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Indeks Kemerataan Jenis Jumlah jenis Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Indeks Kemerataan Jenis Jumlah jenis Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Indeks Kemerataan Jenis Jumlah jenis Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener Indeks Kemerataan Jenis 82 3,99 0, ,53 0, ,77 0, ,81 0, ,37 0,92 Lebih stabilnya kondisi vegetasi yang terdapat di zona inti daripada kondisi vegetasi yang terdapat di zona pemanfaatan juga dapat terlihat dari nilai Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi di zona inti yang lebih besar apabila dibandingkan dengan nilai Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi di zona pemanfaatan (Tabel 11). Secara keseluruhan nilai Indeks Keanekaragaman Jenis Shannon-Wiener pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi baik di zona inti maupun di zona pemanfaatan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango cenderung bernilai tinggi, sehingga kondisi vegetasi di kedua

19 53 zona tersebut cenderung stabil, utamanya berkaitan dengan fungsi vegetasi sebagai sumber pakan dan sebagai tempat tidur owa jawa di kawasan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian juga dapat diketahui nilai indeks kemerataan jenis vegetasi pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan tiang di zona inti secara berturut-turut adalah sebesar 0,89; 0,91; dan 0,93. Sedangkan nilai indeks kemerataan jenis vegetasi pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, dan tiang di zona pemanfaatan secara berturut-turut adalah sebesar 0,91; 0,92; dan 0,92 (Tabel 10). Secara keseluruhan, nilai indeks kemerataan jenis vegetasi pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi baik di zona inti maupun di zona pemanfaatan cenderung tinggi. Nilai indeks kemerataan jenis vegetasi yang cenderung tinggi ini mengindikasikan bahwa keseimbangan komunitas jenis di kawasan tersebut yang berfungsi sebagai habitat owa jawa cenderung seimbang dan stabil. Berdasarkan hasil penelitian ini, secara keseluruhan dapat dilihat bahwa vegetasi sumber pakan dan tempat tidur owa jawa tersedia pada semua tingkat permudaan, hal tersebut menunjukan regenerasi pohon pakan dan pohon tidur yang cukup baik sehingga dapat menjamin pemenuhan kebutuhan hidup owa jawa di TNGP. Kondisi tersebut juga dapat ditemukan di kawasan TNGHS, dimana vegetasi yang dimanfaatkan sebagai sumber pakan dan tempat tidur owa jawa teridentifikasi pada seluruh tingkat permudaan (semai, pancang, tiang) (Iskandar 2007a). Karakteristik Populasi Jalur Pengamatan Populasi Secara administratif, lokasi pengamatan owa jawa di TNGP meliputi 7 resort, yaitu Cibodas, Cisarua, Bodogol, Cimungkad, Situ Gunung, Selabintana, dan Gunung Putri, lokasi ini merupakan bagian dari distribusi owa jawa di TNGP. Total jalur panjang jalur pengamatan adalah 249 km dengan total luas area pengamatan sebesar 24,9 km 2, Gambar 17 menyajikan jalur-jalur pengamatan di lokasi penelitian serta titik perjumpaan owa jawa.

20 54 Gambar 17 Jalur transek pengamatan owa jawa di TNGP. Distribusi Populasi Berdasarkan hasil penelitian, keberadaan owa jawa dapat diidentifikasi di seluruh lokasi penelitian, baik pada zona inti maupun zona pemanfaatan, kecuali pada resort Selabintana dan Gunung putri. Dari 18 jalur yang diamati, owa jawa dapat diidentifikasi pada 11 jalur sedangkan pada 7 jalur lainnya tidak teridentifikasi. Jalur-jalur dimana owa jawa tidak teridentifikasi, yaitu jalur Legok babah (zona inti) di Cibodas, jalur Puspa II (zona pemanfaatan) di Situgunung, serta 3 jalur di Selabintana dan 2 jalur Gunung putri. Beberapa penelitian sebelumnya (TNGP 2002; Djanubudiman et al 2004) menemukan adanya owa jawa pada lokasi Cibodas dan Selabintana. Tidak teridentifikasinya owa jawa pada beberapa jalur, utamanya di lokasi Selabintana dan Gunung Putri, diduga disebabkan oleh berbagai hal seperti: (1) perambahan kawasan, (2) aktivitas manusia ataupun pengunjung yang meningkat serta (3) adanya perubahan wilayah jelajah dari kelompok yang sebelumnya ada. Terbukanya kawasan hutan akibat perambahan dapat mengganggu kestabilan

21 55 habitat owa jawa, sedangkan aktivitas manusia sangat berpengaruh terhadap perilaku owa jawa. Kedua faktor ini dapat menyebabkan owa jawa mengubah wilayah jelajahnya. Pada lokasi Gunung Putri, keberadaan populasi owa jawa dipengaruhi oleh adanya gangguan akibat aktivitas manusia berupa perambahan kawasan hutan yang merupakan habitat owa jawa oleh masyarakat sekitar. Perambahan kawasan tersebut terjadi pada habitat owa jawa hingga ketinggian 2000 m dpl, sehingga populasi owa jawa yang ada diduga terus tertekan oleh aktivitas manusia tersebut. Pada lokasi Selabintana, owa jawa pernah teridentifikasi pada penelitianpenelitian sebelumnya, namun selama penelitian ini tidak teridentifikasi secara audio maupun visual. Diduga penyebab utamanya adalah tingginya aktivitas masyarakat setempat dan pengunjung dari luar wilayah ke kawasan Selabintana yang merupakan daerah tujuan wisata alam untuk melihat air terjun dan berkemah. Gangguan tersebut sangat berpengaruh terhadap keberadaan populasi owa jawa di wilayah Selabintana. Untuk mendapatkan data populasi owa jawa di Gunung Putri dan Selabintana, perlu dilakukan penelitian tersendiri untuk memastikan keberadaan populasi owa jawa serta memastikan faktor penyebab utama ada atau tidak adanya owa jawa pada kedua lokasi dimaksud. Hasil pengamatan di lokasi menunjukkan bahwa distribusi owa jawa tersebar pada beberapa ketinggian yaitu mulai ketinggian 700 sampai m dpl (Situ Gunung, Cimungkad, Bodogol, Cisarua, Cibodas) (Tabel 12). Frekuensi tertinggi perjumpaan owa jawa adalah di ketinggian ,4 m dpl pada lokasi Bodogol. Lokasi Bodogol juga relatif cukup banyak dikunjungi pengunjung, sehingga bila dibandingkan dengan kondisi Selabintana, seharusnya kuantitas dan kualitas perjumpaan dengan owa jawa hampir sama. Pada kenyataannya, seperti telah dibahas sebelumnya, tidak terjadi perjumpaan dengan owa jawa di lokasi Selabintana sedangkan di lokasi Bodogol merupakan yang tertinggi. Hal ini dapat dijelaskan dengan menelaah perbedaan jumlah dan tipe pengunjung yang datang ke kedua lokasi. Pengunjung Selabintana umumnya adalah masyarakat biasa dengan tujuan wisata umum dan terkadang dalam jumlah yang banyak, sedangkan pengunjung Bodogol adalah para mahasiswa atau peneliti serta pengunjung minat

22 56 khusus yang datang untuk tujuan ilmiah atau wisata terbatas (minat khusus). Perbedaan ini menyebabkan adanya perbedaan perilaku pengunjung yang mempengaruhi populasi owa jawa yang ada, dimana pengunjung biasa relatif lebih bising dan berperilaku mengganggu sedangkan pengunjung ilmiah dan wisata minat khusus cenderung bersikap tenang dan mengikuti prosedur yang berlaku untuk mengurangi dampak aktivitas manusia terhadap kawasan dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Tabel 12 Distribusi owa jawa di TNGP No Lokasi Koordinat Ketinggian Catatan (m dpl) 1 Cisarua - S06 43'30,6'' E106 56'09,3'' - S06 43'23,5'' E106 55'48,7'' Riung anak Pipa 2 Bodogol - S06 46,6959' E106 51,5381' - S06 46,6336' E106 51,2976' - S06 46,6746 E106 51,3033' - S06 46,7808' E106 51,6341' - S06 46,8300' E106 51,3403' - S06 46,8803' E106 51,0515' 763,2 806,4 794, Kanopi trek Jalur Rasamala Jalur Afrika Jalur afrika Dam Dam 3 Cimungkad - S06 49,2966' E106 53,4847' 1.095,8 Bukit Baruka II 4 Situ Gunung - S06 49,8000' E106 55,8000' - S06 49,9878' E106 55,6743' 1.126, ,7 Simanaracun Tower 5 Selabintana - - Tidak ditemukan 6 Gunung Putri - - Tidak ditemukan 7 Cibodas - S06 44'55,1'' E106 59'26,8'' - S06 43'49,4'' E106 59'30,4'' Rawa Gayonggong Pasir Buntu Sebagai perbandingan, frekuensi tertinggi perjumpaan dengan owa jawa di TN Gunung Halimun Salak berada pada ketinggian antara m dpl (Iskandar 2007a). Rowe (1998) menyatakan bahwa owa jawa dapat hidup mulai dari ketinggian m dpl, sedangkan menurut Kappeler (1981) berada di bawah ketinggian m dpl, serta Supriatna & Wahyono (2000) menemukannya pada ketinggian m dpl. Data Djanubudiman (2004) menyatakan bahwa perjumpaan owa jawa di TNGP terjadi pada ketinggian m dpl. Hal ini disebabkan karena pada ketinggian tersebut banyak ditemukan pohon pakan dan pohon tidur dalam jumlah yang cukup memadai serta adanya pepohonan dengan tajuk lebar dan rapat yang dapat digunakan pada saat melakukan pergerakan dan sebagai tempat berlindung dari ancaman predator. Penyebaran kelompok owa jawa berbeda-beda pada setiap lokasi penelitian (Gambar 17). Hal ini tergantung pada kondisi habitat serta gangguan yang terjadi

23 57 di dalamnya, kondisi habitat yang baik dapat mendukung kebutuhan hidup kelompok owa jawa. Semakin baik kualitas suatu habitat maka semakin banyak pula kelompok yang dapat didukung, apabila kondisi habitat tidak mendukung, termasuk adanya gangguan aktivitas masyarakat, maka jumlah kelompok yang terbentuk cenderung lebih rendah. Kepadatan Populasi Kepadatan populasi owa jawa memberikan gambaran banyaknya individu dalam satu kilometer persegi. Pada penelitian ini individu owa jawa yang ditemukan di TNGP adalah sebanyak 42 individu dengan jumlah kelompok sebanyak 13 kelompok. Gambar 13 memperlihatkan jumlah individu yang dijumpai serta kepadatan pada setiap lokasi penelitian, kepadatan keseluruhan untuk individu adalah 6,43 individu/km 2 sedangkan untuk kelompok adalah 1,93 kelompok/km 2. Tabel 13 Jumlah individu dan kelompok owa jawa di TNGP Lokasi Luas Jumlah Perjumpaan Kepadatan (resort) Jalur (km 2 Individu Kelompok (individu/km 2 ) (kel/km 2 Individu Kelompok ) ) Cisarua 2, ,67 2,22 Bodogol 4, ,08 5,00 Cimungkad 1, ,67 4,17 Situ Gunung 3, ,11 1,67 Selabintana 5, ,00 0,00 Gunung Putri 3, ,00 0,00 Cibodas 3, ,62 1,79 TOTAL 24, Bila dibandingkan dengan dugaan kepadatan owa jawa yang dikemukakan Nijman (2004), nilai kepadatan tersebut (6,43 individu/km 2 dan 1,93 kelompok/km 2 ) lebih rendah dari dugaan Nijman sebesar 8,6 individu/km 2 dan 2,6 kelompok/km 2 (pada ketinggian m dpl), namun lebih tinggi dari dugaan Nijman sebesar 1,5 individu/km 2 dan 0,6 kelompok/km 2 (pada ketinggian m dpl). Hal ini disebabkan lokasi penelitian yang menyebar dan berada pada beberapa ketinggian. Dengan merujuk pada ketinggian lokasi penelitian (Tabel 12) dan angka kepadatan individu dan kelompok (Tabel 13), maka diduga kepadatan populasi tertinggi berada pada ketinggian m

24 58 dpl. Penelitian-penelitian terdahulu mengenai kepadatan populasi owa jawa di TNGP cenderung parsial terfokus pada lokasi tertentu sehingga belum dapat menggambarkan kepadatan secara keseluruhan. Apabila dibandingkan dengan penelitian serupa di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) yang dilakukan oleh Iskandar (2007a), maka dapat diketahui bahwa kepadatan owa jawa di kawasan TNGHS dengan kepadatan owa jawa di kawasan TNGP tidak jauh berbeda, kepadatan owa jawa di kawasan TNGHS adalah sebesar 8,20 individu/km 2, sedangkan kepadatan owa jawa di kawasan TNGP adalah sebesar 6,43 individu/km 2. Adapun faktor yang menyebabkan perbedaan kepadatan owa jawa di kedua kawasan ini lebih disebabkan oleh aksesibilitas kawasan dan pengunjung yang datang ke kawasan. Kawasan TNGP memiliki aksesibilitas yang lebih baik apabila dibandingkan dengan aksesibilitas kawasan TNGHS. Kemudahan aksesibilitas menuju kawasan TNGP ini menyebabkan jumlah kunjungan ke kawasan TNGP lebih banyak apabila dibandingkan dengan jumlah kunjungan ke kawasan TNGHS. Hal tersebut tentunya dapat mempengaruhi keberadaan owa jawa di suatu kawasan, mengingat owa jawa merupakan satwaliar yang tergolong sensitif terhadap adanya gangguan. Sehingga kepadatan owa jawa di kawasan TNGP relatif lebih sedikit apabila dibandingkan dengan kepadatan owa jawa di kawasan TNGHS, meskipun perbedaannya tidak terlalu besar. Jumlah perjumpaan individu tertinggi untuk tingkat resort ditemukan pada resort Bodogol, yaitu 20 individu, sedangkan pada resort Selabintana dan Gunung Putri tidak ditemukan satu individu pun (Tabel 14). Kepadatan owa jawa yang tertinggi pada tingkat resort terdapat pada resort Bodogol, yaitu 17,08 individu/km 2 (individu) dan 5,00 kelompok/km 2 (kelompok). Dua resort, yaitu Gunung Putri dan Selabintana, memiliki nilai kepadatan 0,00 untuk individu dan kelompok karena pada kedua resort tersebut tidak ditemukan owa jawa. Survei TNGP (2002) menyebutkan bahwa terdapat 17 kelompok owa jawa di Bodogol dengan ukuran kelompok 1,9 individu/kelompok atau setara dengan 32 individu, sedangkan di Selabintana terdapat 11 kelompok dengan ukuran 2,4 individu/kelompok atau setara dengan 27 individu. Tiga resort, yaitu Bodogol, Cimungkad dan Cisarua, memiliki kepadatan individu dan kelompok yang lebih

25 59 tinggi dibandingkan kepadatan keseluruhan. Pada resort Cimungkad, hanya ada 1 zona yang dimiliki yaitu zona inti. Pada zona inti resort Bodogol, ditemukan 2 kelompok owa jawa pada setiap jalur yang ada, yaitu kelompok Afrika 1 dan Afrika 2 pada jalur Afrika serta kelompok Dam 1 dan kelompok Dam 2 pada jalur Dam. Raharjo (2002) menduga kepadatan owa jawa pada lokasi Bodogol adalah 12,7 individu/km 2 dan 4,5 kelompok/km 2 (hutan primer) serta 9,3 individu/km 2 dan 2,7 kelompok/km 2 (hutan produksi blok Rasamala). Kepadatan populasi tertinggi ditemukan pada resort yang relatif jarang memperoleh gangguan serta memiliki kondisi habitat yang baik. Kepadatan yang tinggi pada resort Bodogol juga di pengaruhi oleh perilaku pengunjung yang sebagian besar bertujuan untuk penelitian ataupun pengamatan satwa, sehingga aktivitas yang dilakukan cenderung tidak mengganggu ekosistem yang ada.

26 Tabel 14 Data perjumpaan individu dan kelompok owa jawa di TNGP Lokasi Zona Nama Jalur Jumlah Ulangan Panjang Jalur (km) Lebar Jalur (km) Luas Jalur (km 2 ) Jumlah Individu (individu) Jumlah Kelompok Perjumpaan Ind*Jumpa Kel*Jumpa Kepadatan Individu (individu/km 2 ) Kepadatan Kelompok (kel/km 2 ) Cisarua P riung anak 6 2,00 0,10 1, ,00 2,50 I pipa 6 2,50 0,10 1, ,00 2,00 JUMLAH 2, Bodogol P kanopi 6 2,00 0,10 1, ,50 4,17 P rasamala 6 2,00 0,10 1, ,50 2,50 I afrika 6 2,00 0,10 1, ,67 8,33 I dam 6 2,00 0,10 1, ,67 5,00 JUMLAH 4, Cimungkad I baruka II 6 2,00 0,10 1, ,67 4,17 JUMLAH 1, Situ P Simanaracun 6 2,00 0,10 1, ,33 3,33 gunung P puspa II 6 2,00 0,10 1, ,00 0,00 I tower 6 2,00 0,10 1, ,00 1,67 JUMLAH 3, Selabintana P jalur 3 6 2,00 0,10 1, ,00 0,00 P air terjun 6 3,50 0,10 2, ,00 0,00 I manuel 6 3,50 0,10 2, ,00 0,00 JUMLAH 5, Gunung P bukit tengah 6 3,00 0,10 1, ,00 0,00 putri I pendakian 6 2,50 0,10 1, ,00 0,00 JUMLAH 3, Cibodas P cibereum 6 2,00 0,10 1, ,00 3,33 I pasir buntu 6 2,00 0,10 1, ,00 2,50 I Legok babah 6 2,50 0,10 1, ,00 0,00 JUMLAH 3,

27 Jumlah individu dan kelompok yang ditemukan pada zona inti adalah 23 individu dari 8 kelompok, sedangkan pada zona pemanfaatan ditemukan 19 individu dari 5 kelompok. Kepadatan owa jawa pada zona inti, untuk individu 7,14 individu/km 2 dan untuk kelompok 2,30 kelompok/km 2, lebih tinggi dibandingkan dengan zona pemanfaatan, untuk individu 5,69 individu/km 2 dan untuk kelompok 1,54 kelompok/km 2 (Tabel 15). Tabel 15 Kepadatan individu dan kelompok owa jawa di zona inti dan zona pemanfaatan TNGP Zona Luas Jalur (km 2 ) Kepadatan Individu (individu/km 2 ) Kepadatan Kelompok (kel/km 2 ) Inti 12,60 7,14 2,30 Pemanfaatan 12,30 5,69 1,54 Kondisi ini disebabkan karena pada zona inti, vegetasi dan habitat secara keseluruhan (kerapatan vegetasi, keanekaragaman jenis) lebih baik dibandingkan pada zona pemanfaatan, begitu pula pengaruh aktifitas masyarakat dan pengunjung yang lebih kecil pada zona inti dibandingkan pada zona pemanfaatan. Hal ini ditunjang dengan pola pengelolaan kawasan dimana zona inti merupakan zona yang dilindungi sehingga aktivitas manusia tidak diperbolehkan dan difungsikan sebagai zona perlindungan keanekaragaman hayati. Hingga saat penelitian ini dilaksanakan, belum ada penelitian lainnya yang atau penelitian pendahulu yang mengkaji habitat dan populasi owa jawa berdasarkan zonasi. Hal ini menyebabkan tidak ada data lain yang dapat digunakan sebagai pembanding. Estimasi Populasi Berdasarkan hasil perhitungan kepadatan populasi owa jawa di TNGP secara keseluruhan (individu 6,43 individu/km 2 dan kelompok 1,93 kelompok/km 2 ), maka estimasi populasi owa jawa di TNGP adalah 346,98 individu dan 104,09 kelompok atau, bila dibulatkan, 347 individu dan 105 kelompok. Estimasi populasi ini merupakan hasil perkalian kepadatan dengan luasan habitat representatif bagi owa jawa di TNGP, yaitu sebesar 5.399,84 ha atau 53,9984 km 2. dari luasan total ha. Nijman (2004) menduga populasi owa jawa di TNGP berjumlah 100

28 62 individu, sedangkan Djanubudiman (2004) menduga ukurannya 447 individu. Perbedaan estimasi tersebut dapat terjadi karena adanya perbedaan asumsi luasan habitat yang digunakan, metode pengambilan contoh/pengamatan yang berbeda serta pemilihan lokasi pengamatan yang berbeda. Iskandar (2007a) menyatakan bahwa estimasi populasi owa jawa di TNGHS berkisar antara individu dengan kepadatan 8,2 individu/km 2. Terdapat perbedaan jumlah individu yang cukup besar apabila dibandingkan dengan estimasi populasi di TNGP, hal ini disebabkan oleh perbedaan luasan yang digunakan sebagai dasar perhitungan. Sedangkan kepadatan populasi pada kedua taman nasional ini tidak terlalu berbeda. Ukuran dan Komposisi Kelompok Ukuran kelompok owa jawa yang dijumpai di TNGP berada pada kisaran 2-5 individu/kelompok (Tabel 16). Kelompok dengan jumlah terbanyak adalah kelompok yang berukuran 2 individu dan 4 individu (masing-masing 4 kelompok) dengan persentase sebesar 30,77 %. Tidak ada kelompok berukuran lebih dari 5 individu yang ditemui selama penelitian. Sebagai satwa monogami, setiap kelompok owa jawa umumnya berukuran 3-4 individu/kelompok (Rowe 1998). Setiap kelompok terdiri atas 1 jantan dewasa, 1 betina dewasa serta 1-2 anak yang belum mandiri (Supriatna dan Wahyono 2000). Tabel 16 Ukuran kelompok owa jawa di TNGP Ukuran kelompok Jumlah kelompok Persentase (%) (individu/kelompok) , , , ,38 >5 0 0, ,00 Secara keseluruhan, rerata ukuran kelompok di TNGP (Tabel 17) adalah 3,23 individu/kelompok, 2,88 individu/kelompok untuk zona Inti dan 3,80 individu/kelompok untuk zona Pemanfaatan. Survei TNGP (2002) menemukan rerata ukuran kelompok di resort Bodogol 1,9 individu/kelompok serta 2,4 individu/kelompok. Iskandar (2007a) menyatakan bahwa ukuran rerata kelompok

29 63 owa jawa di TNGHS adalah 2,5 individu/kelompok. Tabel 17 Ukuran kelompok owa jawa di zona inti dan zona pemanfaatan TNGP Zona Jumlah Individu (individu) Jumlah Kelompok Rata-rata individu/ kelompok I ,88 P ,80 TOTAL ,23 Ukuran kelompok zona inti yang lebih kecil dibandingkan pada zona Pemanfaatan diduga disebabkan: (1) kelompok-kelompok owa jawa pada zona Inti merupakan kelompok-kelompok yang baru terbentuk dan belum memiliki anak atau baru memiliki 1 anak atau (2) kelompok-kelompok yang sudah lama terbentuk dimana anak-anaknya sudah memisahkan diri membentuk kelompok baru. Bila dibandingkan, hasil penelitian di TNGP ini lebih tinggi dibandingkan dengan survei TNGP (2002) dan Iskandar (2007a). Hal ini disebabkan karena kelompok-kelompok owa jawa di TNGP yang ada saat ini umumnya berukuran besar, dimana anak-anak owa jawa yang memasuki usia remaja belum meninggalkan kelompoknya. Besarnya persentase kelompok yang memiliki keturunan menandakan bahwa kawasan TNGP mendukung pertumbuhan populasi owa jawa. Namun, pengamatan terhadap populasi owa jawa perlu dilanjutkan karena pada beberapa lokasi yang berbatasan dengan kawasan wisata, populasi owa jawa sulit dijumpai. Tabel 18 Komposisi individu owa jawa berdasarkan kelompok umur dan lokasi pada 7 resort di TNGP Lokasi Induk Jantan (Individu) Induk Betina (Individu) Muda (Individu) Anak (Individu) Unknown Jumlah (Individu) Persentase (%) Cisarua ,29 Bodogol ,62 Cimungkad ,52 Situ Gunung ,67 Selabintana ,00 Gunung Putri ,00 Cibodas ,90 Total ,00 Rata-rata 1,86 1,86 1,43 0,71 0,14 individu/lokasi Persentase (%) 30,95 30,95 23,81 11,90 2,38

30 64 Tabel 18 menggambarkan komposisi individu berdasarkan kelas umur di setiap lokasi penelitian. Berdasarkan kelompok umur, induk jantan dan induk betina mempunyai persentase terbesar dibandingkan muda dan anak, masingmasing sebesar 30,95% (atau 1,86 individu per lokasi). Berdasarkan lokasi, persentase individu terbesar ada di Bodogol sebesar 47,62%. Tabel 19 Komposisi individu dalam kelompok owa jawa berdasarkan jenis kelamin dan umur pada 7 resort TNGP Komposisi individu dalam kelompok Jumlah kelompok Persentase (%) 1 jantan + 1 betina 4 30,77 1 jantan + 1 betina + 1 anak 3 23,08 1 jantan + 1 betina + 2 anak 4 30,77 1 jantan + 1 betina + 3 anak 2 15,38 Total Tabel 19 menginformasikan komposisi individu di dalam kelompok serta peresentasenya. Kelompok yang terdiri atas satu jantan dan satu betina memiliki persentase terbesar yaitu 30,77%, sedangkan kelompok yang terdiri atas satu jantan, satu betina, dan satu anak memiliki presentase terbesar kedua 23,08%. Dengan memperhatikan data Tabel 19 tersebut, diduga bahwa proses regenerasi owa jawa masih terus berlangsung mengingat jumlah kelompok yang memiliki minimal satu keturunan atau lebih (muda atau anak) masih cukup banyak (sembilan kelompok). Tingkah Laku Pengamatan tingkah laku owa jawa dilaksanakan di resort Bodogol pada kelompok yang berada di kawasan pohon Kiara, yang terletak tepat di depan stasiun penelitian. Kelompok ini terdiri atas satu jantan dewasa (Owa1), satu betina dewasa (Owa2), satu individu anak remaja (Owa3), dan satu individu anak (Owa4). Persentase terbesar dari aktivitas harian yang teramati adalah aktivitas makan sebesar 34,63%, dan yang terkecil adalah agresi (melalui vokalisasi) sebesar 3,21% (Tabel 20).

31 65 Tabel 20 Proporsi aktivitas harian kelompok owa di Bodogol TNGP Jenis Aktivitas Proporsi (%) Makan 34,63 Sosial 14,77 Lokomosi 13,75 Agresi 3,21 Istirahat 33,64 Total 100,00 Pada kelompok yang diamati, persentase aktivitas makan sebesar 34,63% dari keseluruhan aktivitas harian. Aktivitas makan kelompok owa jawa biasanya menggunakan pemanjatan dengan 4 kaki dan tangan ketika bergerak di antara ujung-ujung cabang kecil. Mereka menggunakan beragam postur makan, seperti duduk dan bergantung. Diet owa jawa terkhususkan pada buah-buahan masak. Perilaku sosial owa jawa yang diamati sebesar 14,77% dari keseluruhan aktivitas harian. Sebagian besar aktivitas sosial ini mencakup interaksi antara induk betina dengan anaknya dalam kegiatan pengasuhan anak, sedangkan kontak antara setiap anggota kelompok lainnya berlangsung dalam proporsi yang lebih kecil antara lain grooming. Bayi owa jawa hampir selalu menempel pada induknya di sekitar bagian perut, karena secara alamiah bayi owa jawa mampu berpegangan tanpa bantuan pada bulu induknya ketika induknya bergerak di antara pepohonan. Anak yang baru lahir biasanya tidak berbulu, kecuali sekumpulan rambut pada puncak kepalanya, sehingga harus diletakkan di antara paha dan perut induknya untuk menjaganya tetap hangat. Walaupun selalu berada dalam gendongan sang induk, sesekali anak owa jawa dilepaskan untuk belajar menggantung dan berayun pada batang atau cabang pepohonan. Hal ini biasanya tidak berlangsung lama karena induk betina akan segera mengambil/menggendong sang anak kembali, utamanya bila terdengar suara atau pergerakan dari satwa lain yang dianggap sebagai ancaman. Aktivitas bergerak pada kelompok ini sebesar 13,75% dari keseluruhan aktivitas hariannya. Hal ini tidak berbeda dengan hasil penelitian aktivitas harian pada kelompok di kawasan hutan Rasamala Bodogol yang menunjukkan aktivitas bergerak sebesar 16% (Iskandar 2007b) dan 15,95% (Arifin 2006). Perilaku agresif pada kelompok owa jawa yang diamati sebesar 3,21% dari keseluruhan aktivitas harian. Hal ini terjadi ketika kelompok owa jawa

32 66 menempati pohon pakan yang sama dengan Surili (Presbytis commata), walaupun tidak terjadi perkelahian secara langsung. Konfrontasi tetap terlihat melalui vokalisasi yang dikeluarkan serta pergerakan jantan dan betina owa jawa. Owa menguasai dan mempertahankan teritorinya melalui vokalisasi dan konfrontasi serta mencegahnya dengan agresi fisikal. Betina memainkan peran yang sangat penting dalam pertahanan teritorial karena pasangan jantan betina dalam kelompok melagukan vokalisasi utama (the great call) pada pagi hari. Vokalisasi tersebut berfungsi sebagai suatu pengumuman, yang menunjukkan kehadiran mereka kepada kelompok tetangga. Hal ini dapat memancing konfrontasi pada batas-batas teritori, seringkali dengan pertunjukan yang agresif dan kadang kala hingga berkelahi sesungguhnya (Napier 1985). Aktivitas lainnya yang teramati adalah beristirahat sebesar 33,64% dari keseluruhan aktivitas harian. Napier (1985) menyatakan bahwa owa jawa, tidak seperti kera besar, tidak membangun sarang namun tidur dalam keadaan duduk tegak dengan beralaskan ischial callosities. Postur beristirahat yang paling umum adalah dengan cara duduk beralaskan ischial callosities yang dimiliki dengan lutut ditekuk ke arah dada. Sesekali owa jawa juga merebahkan tubuhnya pada cabangcabang pohon yang cukup besar. Fithriyani (2002) menemukan proporsi aktivitas owa jawa di Bodogol untuk 2 kelompok yang diamati berkisar pada aktivitas makan 32-36%, istirahat 30-32%, bergerak 31-33% dan sosial 3%. Dibandingkan dengan hasil penelitian Fithriyani tersebut, maka proporsi makan dan istirahat (Tabel 21) tidak terlalu berbeda namun terdapat perbedaan yang siginifikan untuk aktivitas sosial (11-12% lebih tinggi ) dan lokomosi (16-17% lebih rendah). Diduga perbedaan ini terjadi karena perbedaan kondisi habitat, perbedaan kelompok yang diamati serta perbedaan asumsi-asumsi yang digunakan pada kedua penelitian. Tabel 21 Proporsi aktivitas harian kelompok owa di Bodogol TNGP Kegiatan Pagi (%) Sore (%) Makan 35,90 33,29 Sosial 15,06 14,46 Lokomosi 13,60 13,91 Agresi 3,39 3,02 Istirahat 32,05 35,32

33 67 Aktivitas makan dan istirahat pada pagi hari dan sore hari masih mendominasi aktivitas harian owa jawa yang diamati di Bodogol (Tabel 21). Kegiatan makan, sosial dan agresi pada pagi hari lebih tinggi dibandingkan pada sore hari, sebaliknya aktivitas lokomosi dan istirahat pada pagi hari lebih rendah dibandingkan pada sore hari. Secara umum, persentase aktivitas owa jawa pada pagi hari tidak berbeda dengan pada sore hari. Tabel 22 Proporsi aktivitas harian individu owa jawa di Bodogol TNGP Kegiatan Owa1 (%) Owa2 (%) Owa3 (%) Owa4 (%) Makan 34,81 34,94 34,34 34,41 Sosial 14,09 13,83 15,90 15,34 Lokomosi 13,50 13,36 13,47 14,71 Agresi 5,12 5,04 1,94 0,50 Istirahat 32,48 32,83 34,34 35,04 Persentase waktu aktivitas harian yang tertinggi untuk keempat individu owa jawa adalah makan dan istirahat sedangkan yang terendah adalah agresi. Individu dengan persentase tertinggi untuk setiap aktivitas adalah Owa2 (makan), Owa3 (sosial), Owa4 (lokomosi), Owa1 (agresi), dan Owa4 (istirahat). Secara umum, persentase aktivitas keempat individu owa jawa yang diamati tidak terlalu berbeda dan masih berada pada kisaran persentase yang sama, kecuali untuk agresi (Tabel 22). Hal ini terjadi karena sebagian besar persentase agresi dilakukan Owa1 dan Owa2 yang merupakan individu dewasa, sedangkan Owa3 dan Owa4 merupakan individu muda dan anak yang tidak berperan dalam penguasaan teritori. Proporsi agresi Owa3 dan Owa4 (Tabel 22) tidak menunjukkan agresi antar anggota kelompok owa jawa namun menunjukkan adanya sedikit kontak antara kedua individu tersebut dengan anak Surili (Presbytis commata) ketika kelompok owa jawa bertemu kelompok Surili pada pohon pakan yang sama. Permasalahan Habitat dan Populasi Keberadaan habitat dan populasi owa jawa (Hylobates moloch) di kawasan TNGP saat ini mengalami beberapa masalah yang dapat menyebabkan terganggunya kelestarian owa jawa (Hylobates moloch) (Tabel 23). pengambilan kayu bakar dan pengambilan hasil hutan bukan kayu adalah masalah yang ditemui

34 68 pada semua resort yang menjadi lokasi penelitian, sedangkan Aktivitas pengunjung adalah masalah-masalah lain yang cukup sering muncul pada beberapa resort. Tabel 23 Permasalahan terhadap habitat dan populasi owa jawa di TNGP Lokasi No. Jenis Cisarua Bodogol Cimungkad Situ Selabintana Gn. Cibodas Permasalahan Gunung Putri 1. Pengambilan V V V V V V V kayu bakar 2. Pengambilan V V V V V V V hasil hutan bukan kayu 3. Aktivitas V V V V V V pengunjung dan masyarakat 4. Perambahan V V V 5. Perburuan V 6. Penebangan liar V V V Beberapa permasalahan yang terjadi terhadap habitat dan populasi owa jawa (Hylobates moloch) di kawasan TNGP dapat dianalisis sebagai berikut: 1. Pengambilan kayu bakar oleh masyarakat sekitar, terutama di zona pemanfaatan. Aktivitas pengambilan kayu bakar oleh masyarakat sekitar, terutama di zona pemanfaatan ini baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mengganggu kehidupan owa jawa yang terdapat di kawasan TNGP. Hal tersebut dikarenakan suara yang ditimbulkan akibat aktivitas pengambilan kayu bakar cukup keras, utamanya pengambilan kayu bakar yang dilakukan dengan cara menebang pohon yang masih hidup. Walaupun jenis pohon yang ditebang bukan merupakan jenis pohon komersil ataupun jenis pohon yang dilindungi, namun kegiatan ini dapat berdampak negatif bagi ketersediaan vegetasi yang dibutuhkan oleh owa jawa. Suara gaduh yang ditimbulkan akibat aktivitas pengambilan kayu bakar menyebabkan owa jawa menjauh dari sekitar tempat tersebut ke arah dalam kawasan yang lebih tenang. Kondisi demikian dapat menyebabkan perubahan homerange (wilayah jelajah) maupun teritori owa jawa, dan dapat

35 69 berpengaruh terhadap perubahan perilaku dan populasi owa jawa di kawasan TNGP. Aktivitas pengambilan kayu bakar oleh masyarakat sekitar ini, utamanya di zona pemanfaatan banyak disebabkan karena keterpaksaan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari yang dirasakan semakin berat, mengingat harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang semakin meningkat. BBM yang paling dibutuhkan masyarakat adalah minyak tanah yang semakin langka di pasaran akibat kebijakan pemerintah untuk mengganti minyak tanah untuk memasak dengan gas elpiji. Hal tersebut dikhawatirkan akan berdampak langsung terhadap meningkatnya pengambilan kayu bakar di dalam kawasan TNGP, yang pada akhirnya dapat mengancam kelestarian owa jawa beserta habitatnya. 2. Pengambilan hasil hutan bukan kayu Pengambilan hasil hutan bukan kayu yang sering dilakukan oleh masyarakat sekitar pada umumnya adalah berupa pengambilan paku tiang, bambu, rotan, dan tumbuhan hias (anggrek hutan, kadaka, keladi hutan). Paku tiang dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai media untuk tumbuhan hias, bambu dimanfaatkan untuk keperluan perbaikan rumah, rotan digunakan untuk bahan pengikat, sedangkan tumbuhan hias (anggrek hutan, kadaka, keladi hutan) diambil masyarakat sekitar untuk dijual. Kegiatan pengambilan hasil hutan bukan kayu tersebut tentunya dapat mengganggu keberadaan owa jawa mengingat kegiatan yang dilakukan menimbulkan suara gaduh yang menyebabkan owa jawa menjauh dari lokasi tersebut, mengingat owa jawa merupakan satwa primata yang sangat sensitif terhadap gangguan. 3. Aktivitas pengunjung yang datang ke kawasan TNGP Aktivitas pengunjung yang datang ke kawasan TNGP dikhawatirkan dapat mengganggu kehidupan owa jawa, utamanya pengunjung yang datang secara massal dan melakukan berbagai aktivitas yang menimbulkan kegaduhan. Hal tersebut dikarenakan owa jawa merupakan satwa primata

36 70 yang sangat sensitif terhadap gangguan dan memiliki respon negatif terhadap kehadiran manusia. Berbagai aktivitas pengunjung yang bersifat mengganggu dapat menyebabkan perubahan perilaku owa jawa dan menurunkan kualitas hidupnya. Hal ini utamanya terjadi pada lokasi-lokasi yang memiliki atau berdampingan dengan area wisata atau camping ground, seperti Selabintana dan Cibodas, dimana pengunjung pada hari libur sekolah dapat mencapai ratusan orang per hari. 4. Perambahan kawasan hutan TNGP Perambahan kawasan hutan TNGP untuk areal pertanian/perladangan (Gambar 18) merupakan ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup owa jawa. Aktivitas perambahan kawasan hutan tersebut dapat menyebabkan berkurangnya habitat owa jawa di kawasan TNGP, sehingga kehidupan owa jawa secara langsung dapat terganggu. Fragmentasi habitat dapat menyebabkan terpecahnya habitat yang merupakan satu kesatuan yang besar menjadi fragmen-fragmen habitat yang lebih kecil. Dengan berkurangnya luasan dan kualitas habitat owa jawa, maka ketersediaan jenis vegetasi yang menjadi sumber pakan, tempat tidur, beristirahat, dan berlindung menjadi terbatas pula. Pada akhirnya, kehidupan populasi owa jawa yang tergantung padanya akan terganggu pula.

37 71 Gambar 18 Perkebunan masyarakat yang dapat menyebabkan fragmentasi habitat owa jawa. 5. Perburuan liar di kawasan hutan TNGP Kegiatan perburuan liar di kawasan hutan TNGP dapat menyebabkan terganggunya keberadaan owa jawa, meskipun satwa liar yang diburu bukanlah owa jawa. Berdasarkan tanda-tanda yang ditinggalkan, perburuan masyarakat lokal cenderung ditujukan untuk jenis burung, baik untuk keperluan konsumsi, satwa peliharaan, untuk dijual, atau sekedar hobi. 6. Penebangan liar di kawasan hutan TNGP Kegiatan yang terjadi di kawasan TNGP merupakan permasalahan yang sangat penting untuk segera diatasi mengingat dampak langsungnya terhadap kehidupan owa jawa. Pohon-pohon yang menjadi sasaran penebangan liar pada umumnya adalah pohon-pohon yang berukuran besar dan tinggi serta komersial yang merupakan tipe pepohonan ideal bagi owa jawa. Hilangnya pohon-pohon tersebut dapat menyebabkan terhambatnya pergerakan owa jawa. Hal ini disebabkan owa jawa sangat bergantung terhadap keberadaan tajuk hutan yang rapat yang memungkinkan satwa ini dapat bergerak atau beraktivitas yaitu dengan cara bergerak dari satu pohon ke pohon lainnya dengan cara bergelayutan (brakiasi).

REHABILITASI DAN RESTORASI KAWASAN HUTAN: MENYELARASKAN PRINSIP DAN ATURAN (Contoh Kasus: Model Kebijakan Restorasi Kawasan Hutan Konservasi)

REHABILITASI DAN RESTORASI KAWASAN HUTAN: MENYELARASKAN PRINSIP DAN ATURAN (Contoh Kasus: Model Kebijakan Restorasi Kawasan Hutan Konservasi) REHABILITASI DAN RESTORASI KAWASAN HUTAN: MENYELARASKAN PRINSIP DAN ATURAN (Contoh Kasus: Model Kebijakan Restorasi Kawasan Hutan Konservasi) Oleh: Wawan Gunawan NIP. 19760527 200212 1 005 Contact: 081584685777

Lebih terperinci

HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT FEBRIANY ISKANDAR

HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT FEBRIANY ISKANDAR HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT FEBRIANY ISKANDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk 122 VI. PEMBAHASAN UMUM Perluasan TNGH (40.000 ha) menjadi TNGHS (113.357 ha) terjadi atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitar TNGH, terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut

Lebih terperinci

Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Jalan Lingkar Kampus IPB, Kampus IPB Dramaga, Bogor

Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Jalan Lingkar Kampus IPB, Kampus IPB Dramaga, Bogor ANALISIS KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI TERHADAP UPAYA RESTORASI KAWASAN HUTAN TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO (Analysis of Vegetation Structure and Composition toward Restoration Efforts of Gunung

Lebih terperinci

Sukagalih Induk Remaja Bayi individu (mdpl.) X Y

Sukagalih Induk Remaja Bayi individu (mdpl.) X Y LAMPIRAN 137 137 Lampiran 1 Data identifikasi kelompok owa jawa di koridor TNGHS Lokasi Kelompok Komposisi kelompok Jumlah Ketinggian Titik Koordinat Induk Remaja Bayi individu (mdpl.) X Y Sukagalih 1

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHSAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHSAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHSAN 4.1.Keanekaragaman Jenis Tumbuhan di Kawasan Cibuni Berdasarkan analisis vegetasi yang dilakukan di kawasan Hutan Cibuni dapat ditemukan vegetasi yang bervariasi diantaranya

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifkasi Kelompok Owa Jawa Kawasan Cikaniki terdapat beberapa kelompok owa jawa. Kelompok owa jawa tersebut terdiri dari kelompok A, kelompok B, kelompok C, kelompok D,

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 29 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Parameter Demografi 5.1.1 Ukuran dan Komposisi Kelompok Pengamatan kelompok monyet ekor panjang di HPGW dilaksanakan pada pagi hari dan sore hari. Ukuran kelompok terbanyak

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Semi Alami Pulau Tinjil, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN BAB III. METODE PENELITIAN A. Tempat Penelitian Lokasi Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Merbabu (TNGMb) Jawa Tengah, difokuskan di lereng sebelah selatan Gunung Merbabu, yaitu di sekitar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Owa Jawa 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi owa jawa berdasarkan warna rambut, ukuran tubuh, suara, dan beberapa perbedaan penting lainnya menuru Napier dan Napier (1985)

Lebih terperinci

Kajian Ekologi Permudaan Saninten (Castanopsis argentea (Bl.) A.DC.) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat

Kajian Ekologi Permudaan Saninten (Castanopsis argentea (Bl.) A.DC.) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat Kajian Ekologi Permudaan Saninten (Castanopsis argentea (Bl.) A.DC.) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat N.M. Heriyanto 1, Reny Sawitri 1, dan Didi Subandinata 2 1 Pusat Penelitian dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara yang memiliki kekayaan spesies burung dan menduduki peringkat pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies burung

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI RESORT TAPOS TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI RESORT TAPOS TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI RESORT TAPOS TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO Ratna Sari Hasibuan 1, Mulyadi At 2, Ihsan Abdul Majid 3 1 Program Studi Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Nusa Bangsa,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

ANALISIS POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

ANALISIS POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK Media Konservasi Vol. 16, No. 3 Desember 2011 : 133 140 ANALISIS POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (Population Analysis of Javan Gibbon (Hylobates

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4. 1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan dari bulan November 010 sampai dengan bulan Januari 011 di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Peta lokasi pengamatan dapat dilihat

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

Struktur dan komposisi tegakan hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat

Struktur dan komposisi tegakan hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON Volume 1, Nomor 4, Juli 2015 ISSN: 2407-8050 Halaman: 691-695 DOI: 10.13057/psnmbi/m010401 Struktur dan komposisi tegakan hutan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari 2017 s/d bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit Taman Nasional Meru Betiri. Gambar 3.1. Peta Kerja

Lebih terperinci

Struktur dan Komposisi Vegetasi Zona Montana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Struktur dan Komposisi Vegetasi Zona Montana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango B I O D I V E R S I T A S ISSN: 1412-033X Volume 9, Nomor 2 April 2008 Halaman: 134-141 Struktur dan Komposisi Vegetasi Zona Montana Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Vegetation structure and composition

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN DAN KOMPOSISI JENIS POHON DI HUTAN PAMEUMPEUK - TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK, KABUPATEN SUKABUMI

KEANEKARAGAMAN DAN KOMPOSISI JENIS POHON DI HUTAN PAMEUMPEUK - TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK, KABUPATEN SUKABUMI J. Tek. Ling Edisi Khusus Hari Bumi Hal. 53-59 Jakarta, April 2012 ISSN 1441-318X KEANEKARAGAMAN DAN KOMPOSISI JENIS POHON DI HUTAN PAMEUMPEUK - TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK, KABUPATEN SUKABUMI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

JURNALILMIAH BIDANG KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI DAN LINGKUNGAN. Volume 16/Nomor 3, Desember 2011

JURNALILMIAH BIDANG KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI DAN LINGKUNGAN. Volume 16/Nomor 3, Desember 2011 JURNALILMIAH BIDANG KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI DAN LINGKUNGAN Volume 6/Nomor 3, Desember Media Konservasi Vol. 6, No. 3 Desember : 33-4 (Population Analysis ofjavan Gibbon (Hvlobates moloch Audebert

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas,

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, 16 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan juni sampai dengan Juli 2013 di zona pemanfaatan terbatas, Resort Way Kanan, Satuan Pengelolaan Taman Nasional 1 Way Kanan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian

Lebih terperinci

Jurnal Sylva Lestari ISSN Vol. 1 No. 1. September 2013 (17 22)

Jurnal Sylva Lestari ISSN Vol. 1 No. 1. September 2013 (17 22) STUDI PERILAKU MAKAN DAN ANALISIS VEGETASI PAKAN LUTUNG JAWA (Trachypithecus auratus) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI (STUDY ON FEEDING BEHAVIOR AND FOOD SOURCE VEGETATION ANALYSIS OF JAVA MONKEY (Trachypithecus

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan 14 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Januari sampai Febuari 2015 di kanan kiri Jalan Sanggi-Bengkunat km 30 - km 32, Pesisir Barat, Taman Nasional

Lebih terperinci

KONSERVASI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK UNTUK HABITAT OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) YUMARNI

KONSERVASI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK UNTUK HABITAT OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) YUMARNI KONSERVASI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK UNTUK HABITAT OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) YUMARNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

Lebih terperinci

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP.

BAB V HASIL. Gambar 4 Sketsa distribusi tipe habitat di Stasiun Penelitian YEL-SOCP. 21 BAB V HASIL 5.1 Distribusi 5.1.1 Kondisi Habitat Area penelitian merupakan hutan hujan tropis pegunungan bawah dengan ketinggian 900-1200 m dpl. Kawasan ini terdiri dari beberapa tipe habitat hutan

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Spesies-spesies pohon tersebut disajikan dalam Tabel 3 yang menggambarkan

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Spesies-spesies pohon tersebut disajikan dalam Tabel 3 yang menggambarkan 32 BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Keanekaragaman Spesies Pohon Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa di Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura WAR terdapat 60 spesies pohon

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan pada Januari 2017 selama kurun waktu satu bulan di blok Krecek, Resort Bandialit, SPTN wilayah II, Balai Besar Taman

Lebih terperinci

PERMUDAAN ALAMI KAWASAN HUTAN RESORT CIDAHU, TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK, JAWA BARAT

PERMUDAAN ALAMI KAWASAN HUTAN RESORT CIDAHU, TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK, JAWA BARAT PERMUDAAN ALAMI KAWASAN HUTAN RESORT CIDAHU, TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK, JAWA BARAT Natural Regeneration In Cidahu Resort Forest Area, Gunung Halimun Salak National Park, West Java Edi Mirmanto

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4. 1 Letak dan Luas Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun berdasarkan SK Menhut No.175/Kpts- II/2003 diperluas menjadi 113.357 hektar dengan nama Taman Nasional Gunung

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April sampai bulan Juni tahun 2009, pada areal hutan produksi perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 21 IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan secara langsung di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan Maret sampai dengan bulan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu

METODOLOGI. Lokasi dan Waktu METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau, pada 3 tipe penggunaan lahan gambut yaitu; Hutan Alam, Kebun Rakyat dan Areal HTI Sagu, yang secara geografis

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon.

BAB III METODOLOGI. Gambar 1 Lokasi Taman Nasional Ujung Kulon. BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2009 hingga Agustus 2009. Lokasi penelitian terletak di daerah Semenanjung Ujung Kulon yaitu Cigenter, Cimayang, Citerjun,

Lebih terperinci

III. KONDISI UMUM LOKASI

III. KONDISI UMUM LOKASI III. KONDISI UMUM LOKASI 3.1. Sejarah Kawasan Berawal dari Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) seluas 40.000 ha, kawasan ini pertama kali ditetapkan menjadi salah satu taman nasional di Indonesia pada tahun

Lebih terperinci

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut.

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA POLINDO CIPTA 1. M. Sugihono Hanggito, S.Hut. 2. Miftah Ayatussurur, S.Hut. PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI GUNUNG ASEUPAN Dalam Rangka Konservasi Dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam Propinsi Banten PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. DUTA

Lebih terperinci

Populasi dan Habitat Ungko (Hylobates agilis) di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara

Populasi dan Habitat Ungko (Hylobates agilis) di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 6, No. 1, Juni 2009, p.19-24. ISSN: 1410-5373. Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor. Populasi dan Habitat Ungko (Hylobates agilis) di Taman Nasional Batang

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam Kabupaten Pandegalang dan Serang Propinsi

Lebih terperinci

III. KONDISI UMUM LOKASI

III. KONDISI UMUM LOKASI III. KONDISI UMUM LOKASI 3.1. Sejarah Kawasan Kawasan TNGGP, oleh pemerintah Hindia Belanda pada awalnya diperuntukkan bagi penanaman beberapa jenis teh (1728). Kemudian pada tahun 1830 pemerintah kolonial

Lebih terperinci

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012

:!,1G():5kr'W:5. JURnAl EKOlOGI DAn SAlns ISSN : ISSN : VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 :!,1G():5kr'W:5 JURnAl EKOlOGI DAn SAlns PUSAT PENELITIAN LlNGKUNGAN HIDUP a SUMBERDAYA ALAM (PPLH SDA) UNIVERSITAS PATTIMURA VOLUME 01, No: 01. Agustus 2012 ISSN : 2337-5329 POTENSI FLORA

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli Lokasi penelitian adalah di kawasan III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Mei - Juli 2014. Lokasi penelitian adalah di kawasan hutan mangrove pada lahan seluas 97 ha, di Pantai Sari Ringgung

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan selama dua bulan pengamatan dari bulan Juli hingga Agustus 2009 di Pondok Ambung, Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap makhluk hidup dalam kehidupannya memiliki lingkungan kehidupan yang asli atau tempat tinggal yang khas untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 28 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Komposisi dan Struktur Tegakan 5.1.1. Komposisi Jenis Komposisi jenis merupakan salah satu faktor yang dapat digunakan untuk mengetahui proses suksesi yang sedang berlangsung

Lebih terperinci

Jl. Gunung Batu No. 5 Po Box 272 Telp. (0251) ; Fax (0251) Bogor 2 Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam

Jl. Gunung Batu No. 5 Po Box 272 Telp. (0251) ; Fax (0251) Bogor 2 Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam STRUKTUR DAN KOMPOSISI JENIS TUMBUHAN HUTAN PAMAH DI KAWASAN HUTAN DENGAN TUJUAN KHUSUS (KHDTK) CARITA, PROVINSI BANTEN (Structure and Species Composition of Lowland Primary Forest at the KHDTK Carita,

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI HUTAN PRODUKSI TERBATAS BOLIYOHUTO PROVINSI GORONTALO

ANALISIS VEGETASI HUTAN PRODUKSI TERBATAS BOLIYOHUTO PROVINSI GORONTALO ANALISIS VEGETASI HUTAN PRODUKSI TERBATAS BOLIYOHUTO PROVINSI GORONTALO Marini Susanti Hamidun, Dewi Wahyuni K. Baderan Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan IPA Universitas Negeri GorontaloJalan Jendral

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Terdegradasi ,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Terdegradasi , II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Terdegradasi Degradasi lahan adalah proses menurunnya kapasitas dan kualitas lahan untuk mendukung suatu kehidupan (FAO 1993). Degradasi lahan mengakibatkan hilang atau

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah kawasan Hutan Pusat Konservasi Alam Bodogol (PPKAB) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), di Kabupaten Sukabumi,

Lebih terperinci

Rehulina a*, Agus Purwoko b, Siti Latifah b

Rehulina a*, Agus Purwoko b, Siti Latifah b Komposisi dan Stratifikasi Vegetasi Pohon di Hutan Pendidikan Universitas Sumatera Utara, Tongkoh, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara (Composition and Stratification of Vegetation in the Forest Education

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 9 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan yaitu dimulai bulan Juni hingga Agustus 2011. Lokasi penelitian bertempat di Kawasan Hutan Batang Toru Bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates moloch) merupakan jenis primata endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999). Dalam daftar

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 17 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pemeriksaan Data Pengamatan struktur tegakan dilakukan dilima petak ukur dengan luasan masing-masing satu hektar. Sample atau contoh diambil menggunakan metode purposive

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 s.d 20 September 2011 di Taman hutan raya R. Soerjo yang terletak di Kota Batu, Provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT Ana Dairiana, Nur illiyyina S, Syampadzi Nurroh, dan R Rodlyan Ghufrona Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor ABSTRAK Analisis vegetasi

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan hujan tropika yang berlokasi di areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian

Lokasi Kajian Metode Penelitian Lanjutan Metode Penelitian Pinus merkusii strain Kerinci: Satu-satunya jenis pinus yang menyebar melewati khatulistiwa ke bagian bumi lintang selatan hingga sekitar o L.S. Belum dikembangkan atau dibudidayakan secara luas di Indonesia.

Lebih terperinci

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO

PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO 1 PENYEBARAN, REGENERASI DAN KARAKTERISTIK HABITAT JAMUJU (Dacrycarpus imbricatus Blume) DI TAMAN NASIONAL GEDE PANGARANGO RESTU GUSTI ATMANDHINI B E 14203057 DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 8 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Lokasi pelaksanaan penelitian adalah di Taman Nasional Lore Lindu, Resort Mataue dan Resort Lindu, Provinsi Sulawesi Tengah. Penelitian ini dilaksanakan pada

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Penengahan, Kecamatan Pesisir Tengah, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung (Gambar 2). Penelitian dilaksanakan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN

BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN BAB VI PROFIL TUTUPAN LAHAN A. Kondisi Kekinian dan Status Kawasan Gunung Karang Citra Landsat 7 liputan tahun 2014 menunjukkan bahwa kondisi tutupan lahan Gunung Karang terdiri dari hutan, hutan tanaman

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat 25 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan Juli 2011. Pengambilan sampel dilakukan di kawasan restorasi resort Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 19 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di dalam kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN

STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN STRUKTUR KOMUNITAS MANGROVE DI DESA MARTAJASAH KABUPATEN BANGKALAN Supriadi, Agus Romadhon, Akhmad Farid Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura e-mail: akhmadfarid@trunojoyo.ac.id ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode BAB III METODE PENELITIAN A. JENIS PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

JENIS PAKAN OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1798) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK PROVINSI JAWA BARAT

JENIS PAKAN OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1798) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK PROVINSI JAWA BARAT JENIS PAKAN OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1798) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK PROVINSI JAWA BARAT Hadi Surono, Abdul Haris Mustari, Dones Rinaldi Institut Pertanian Bogor ABSTRACT Javan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta lokasi 18 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di kawasan pesisir Pulau Dudepo, Kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo. Peta

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D)

BAB III METODE PENELITIAN. analisa Indeks Keanekaragaman (H ) Shannon Wienner, Indeks Dominansi (D) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel yaitu dengan pengamatan secara langsung. Perameter yang diukur dalam penelitian adalah

Lebih terperinci

MONITORING LINGKUNGAN

MONITORING LINGKUNGAN MONITORING LINGKUNGAN Monitoring dalam kegiatan pengelolaan hutan sangat diperlukan guna mengetahui trend/kecenderungan perkembangan vegetasi (flora), fauna maupun kondisi alam dengan adanya kegiatan pengelolaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasim wilayah bagian Kelurahan Muara Fajar Kecamatan Minas Kabupaten Siak pada bulan

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci