KONSERVASI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK UNTUK HABITAT OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) YUMARNI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KONSERVASI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK UNTUK HABITAT OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) YUMARNI"

Transkripsi

1 KONSERVASI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK UNTUK HABITAT OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) YUMARNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2

3 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Konservasi Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak untuk Habitat Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Februari 2012 Yumarni NRP. E

4

5 ABSTRACT YUMARNI. Gunung Halimun Salak National Park Corridor Conservation for Javan Gibbon (Hylobates moloch Audebert 1797) Habitats. Under direction of HADI SUKADI ALIKODRA, LILIK BUDI PRASETYO, and RINEKSO SOEKMADI. The Gunung Halimun Salak National Park (GHSNP) corridor is an area connecting the Gunung Halimun and the Gunung Salak in the Gunung Halimun Salak National Park (GHSNP). The corridor functions as a habitat and a movement line for some important protected wildlife, such as javan gibbon (Hylobates moloch Audebert 1797). Javan gibbon is an endemic primate of Java Island. Its populations tend to decline and are scarcely distributed only in West and Central Java. The IUCN (International Union for Conservation of Nature) categorizes it as an endangered species. It is heavily dependent on its habitat condition that should provide appropriate trees for its food and bed. The local community s high dependence on land and natural resources in the corridor has become a thread to the existence of Javan gibbon. The study is aimed at formulating the management of corridor models for conservation of the javan gibbon. It employs the Line Transect Methods for the data of javan gibbon s population, the square line method for the javan gibbon s habitat, and the use of Arc GIS 9.3 program for spatial modelling of javan gibbon s habitat suitability in the National Park s corridor, and the use of secondary data for the analisys of social economy of community. The research found nine groups of javan gibbon with 28 individuals in the corridor and nojavan gibbon in the research site of Cipanas. The group density of javan gibbon varied from 0.01 to 0.03 groups per km 2, the population density was between 0.04 and 0.09 individual per km 2. The average of highest INP values of trees was owned by rasamala (Altingia excelsa) at %, manii (Maesopsis eminii) at 64.65% and puspa (Schima wallichii) at 60.90%. The highest INP values for young trees were of kisireum (Syzygium rostratum) 79.02%, manii (73.68%), and huru hiris (Litsea brachystachya) 62.69%, while those for sapling were of manii (88.58%), kopinango (Nyssa sp.) 81.12%, and mara bereum (Macaranga triloba) 63.53%, for seedling level of batarua (Quercus gemiliflorus) 83.50%, manii (72.42%), and pasang (Quercus oldocarpa) 44.39%. For the habitat suitability, all groups of javan gibbon were found in the suitable class of habitat and nojavan gibbon found in the highly suitable and unsuitable habitat. There were estimation 28,608 people living in the corridor at most of them (76.58%) were at low level education (elementary and middle school); 52.64% were at 19 to 59 years of age; 63.29% were farmers; 83.4% held land less than 0.25 hectares; and 86.7% had monthly family income lower than Rp 74,000,-/capyta/year. Keywords: conservation, corridor, national park, habitat, javan gibbon.

6

7 RINGKASAN YUMARNI. Konservasi Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak untuk Habitat Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1797). Dibimbing oleh: HADI SUKADI ALIKODRA, LILIK BUDI PRASETYO, DAN RINEKSO SOEKMADI. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) berasal dari perluasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), yang ditetapkan dengan SK Menteri Kehutanan Nomor:175/Kpts-II/2003, dengan luas ha. Perluasan ini membentuk koridor TNGHS, yang menghubungkan Gunung Halimun dan Gunung Salak. Fungsi koridor TNGHS adalah sebagai habitat dan jalur pergerakan bagi owa jawa. Owa jawa merupakan primata endemik Pulau Jawa, yang penyebarannya terbatas hanya di Jawa Barat dan Jawa Tengah. status owa jawa menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature) termasuk kategori spesies yang terancam punah (Endangered Species). Selain penyebarannya yang terbatas, populasi owa jawapun diperkirakan sudah sangat sedikit. Hasil penelitian Kappeler (1987), memperkirakan populasi owa jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah individu. Iskandar (2007) memperkirakan populasi owa jawa di TNGHS berkisar antara individu. Supriatna (2006) menyatakan bahwa diantara populasi owa jawa yang masih tersisa, sebahagian besar berada di TNGHS. Tujuan penelitian ini adalah: memformulasikan model konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa. Penelitian ini dilakukan di koridor TNGHS, berdasarkan administrasi pemerintahan koridor TNGHS berada pada dua kabupaten yaitu Kabupaten Sukabumi (Kecamatan Kabandungan dengan desa Cihamerang, Cipeuteuy, dan Kabandungan) dan Kabupaten Bogor (Desa Purasari di Kecamatan Leuwiliang dan Desa Purwabakti di Kecamatan Pamijahan). Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2010 sampai Juni Metode yang dipakai adalah line trnsect sampling untuk owa jawa, metode garis berpetak untuk habitat owa jawa, analisis spasial untuk kesesuaian habitat owa jawa, dan untuk melihat tekanan terhadap koridor TNGHS akibat aktifitas penduduk dipakai data sekunder tentang keadaan sosial ekonomi penduduk di koridor TNGHS. Diidentifikasi sembilan kelompok owa jawa dengan 28 individu di koridor TNGHS. Hasil penelitian ini lebih kecil apabila dibandingkan dengan Rinaldi et al. (2008) yang menemukan 11 kelompok dan lebih besar apabila dibandingkan dengan Komarudin (2009) yang menemukan empat kelompok. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan frekuensi perjumpaan dengan owa jawa, yang dapat disebabkan oleh ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur pada jalur penelitian. Di lokasi Sukagalih dan Cisarua ditemukan masing-masing dua kelompok owa jawa dengan enam individu, di Cilodor ditemukan dua kelompok dengan lima individu, di GH dan Ciherang masing-masing ditemukan satu kelompok dengan empat individu, dan di Cipicung ditemukan satu kelompok dengan tiga individu. Sementara di lokasi Cipanas tidak ditemukan kelompok owa jawa. Kerapatan kelompok owa jawa di lokasi Sukagalih, Cilodor, dan Cisarua yaitu 0,03 kelompok/km², lebih besar dari pada kerapatan kelompok di GH, Cipicung, dan Ciherang yaitu 0,01 kelompok/km². Kerapatan populasi terbesar yaitu 0,09 individu/km² ditemui di Sukagalih dan Cisarua, diikuti oleh Cilodor

8 0,07 individu/km², GH dan Ciherang dengan masing-masing 0,06 individu/km², dan Cipicung 0,04 individu/km². Kerapatan kelompok dan kerapatan populasi beberapa hasil penelitian sebelum ini yaitu Komarudin (2009) menyatakan kerapatan kelompok owa jawa di koridor TNGHS 5,7 kelompok/km² dan kerapatan populasi 21,42 individu/km², Iskandar (2007) menyatakan rerata kerapatan kelompok owa jawa di Citarik, Cikaniki, Cibeureum, dan Cisalimar TNGHS 3,4 kelompok/km² dan kerapatan populasi 8,2 individu/km², Nijman (2004) menyatakan kerapatan kelompok owa jawa di Gunung Halimun 3,0 kelompok/km² dan kerapatan populasi 6,8 individu/km². Kecilnya kerapatan kelompok dan kerapatan populasi pada penelitian ini apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Komarudin (2009) disebabkan oleh semakin berkurangnya habitat owa jawa di koridor TNGHS. Sesuai dengan hasil penelitian Cahyadi (2003) yang menyatakan bahwa, areal berhutan di koridor TNGHS mengalami pengurangan setiap saat. Kemudian apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Iskandar (2007) di Citarik, Cikaniki, Cibeureum, dan Cisalimar TNGHS dan Nijman (2004) di Gunung Halimun disebabkan oleh lebih jeleknya kondisi habitat owa jawa di koridor TNGHS dari pada lokasi lain di TNGHS. Sesuai dengan hasil penelitian Rinaldi et al. (2008), yang menyatakan bahwa hutan di kawasan koridor TNGHS terputus oleh semak belukar dan tumbuhan kaliandra yang memanjang dari Utara ke Selatan. Owa jawa terdistribusi hampir pada semua lokasi penelitian, kecuali di lokasi Cipanas. Jumlah anggota masing-masing kelompok berkisar antara dua sampai empat individu. Komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS secara keseluruhan lengkap untuk semua tingkatan umur, yaitu ada pasangan induk, anak remaja, dan ada bayi. Hasil analisis vegetasi pada seluruh lokasi penelitian ditemukan 77 jenis vegetasi di koridor TNGHS, dan 42 jenis diantaranya adalah vegetasi tingkat pohon. Rerata nilai INP tertinggi vegetasi tingkat pohon dimiliki oleh rasamala (Altingia excelsa) yaitu 144,26%, diikuti oleh manii (Maesopsis eminii) dengan nilai 64,65% dan puspa (Schima wallichii) dengan nilai 60,90%. Permudaan vegetasi di koridor TNGHS terdiri dari 40 jenis vegetasi tingkat tiang, 51 jenis vegetasi tingkat pancang, dan 45 jenis vegetasi tingkat semai. INP tertinggi vegetasi tingkat tiang adalah 79,02% yaitu kisireum (Syzygium rostratum), diikuti 73,68% yaitu manii, dan 62,69% yaitu huru hiris (Litsea brachystachya). Vegetasi tingkat pancang INP tertingginya 88,58% yaitu manii, diikuti 81,12% kopinango (Nyssa sp.), dan 63,53% mara bereum (Macaranga triloba). Vegetasi tingkat semai INP tertinggi 83,50% yaitu pasang batarua (Quercus gemiliflorus), diikuti 72,42% yaitu manii, dan 44,39% yaitu pasang (Quercus oldocarpa). Peta kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS memperlihatkan bahwa, semua kelompok owa jawa yang teridentifikasi berada pada kelas sesuai. Hal ini dapat terjadi karena areal hutan di koridor TNGHS telah mengalami degradasi dan fragmentasi, sehingga areal yang berhutan di koridor TNGHS sudah sedikit dan terkelompok-kelompok menjadi areal yang kecil. Keadaan ini menyebabkan habitat owa jawa di koridor TNGHS sudah sangat terdesak, yang menyebabkan owa jawa hanya di jumpai pada areal-areal yang memang sesuai untuk kehidupan mereka. Kelas kesesuaian habitat sangat sesuai dan tidak sesuai, tidak ditempati oleh kelompok owa jawa. Habitat dengan kelas sangat sesuai luasannya kecil yaitu

9 20,44 ha dan terfragmentasi, sehingga tidak memenuhi syarat untuk home range owa jawa. Kelas kesesuaian habitat tidak sesuai adalah berupa enclave, yang banyak terdapat di koridor TNGHS yaitu berupa areal pertanian, perusahaan pertambangan, dan kebun teh. Kelas kesesuaian habitat tidak sesuai jelas tidak memenuhi syarat untuk kehidupan owa jawa yang arboreal, karena bukan merupakan areal yang berhutan. Tingginya aktifitas penduduk di koridor TNGHS disebabkan karena tingkat sosial ekonomi penduduk yang relatif rendah. Rendahnya tingkat sosial ekonomi penduduk di koridor TNGHS diindikasikan dengan: jumlah penduduk yang cukup tinggi yaitu diperkirakan jiwa pada tahun 2020, 76,58% penduduk berpendidikan SD sampai SLTP, 52,64% penduduk berumur 19 sampai 59 tahun, 63,29% penduduk bekerja sebagai petani dengan harga komoditas pertanian yang rendah, 53,3% keluarga dengan jumlah anggota keluarga lima sampai enam orang, 65,69% pengeluaran rumah tangga adalah untuk kebutuhan beras, 83,4% kepemilikan lahan penduduk kurang dari 0,25 ha, 56,7% waktu tempuh penduduk ke hutan adalah cepat (kurang 30 menit), 86,7% penduduk berpenghasilan dibawah Rp ,-/kapita/bulan. Upaya-upaya ke depan yang dapat dilakukan untuk konservasi koridor TNGHS sebagai habitat owa jawa diantaranya adalah: Pertama selalu memantau keberadaan populasi owa jawa yang sekarang masih tersisa, karena dengan cara ini akan dapat diketahui kondisi populasi dan habitatnya. Kedua melakukan peningkatan kuantitas dan kualitas habitat owa jawa di koridor TNGHS yang ada sekarang, ini dapat dilakukan dengan menanam jenis-jenis pohon yang dibutuhkan oleh owa jawa sebagai pohon pakan dan pohon tidur, seperti rasamala (Altingia excelsa), puspa (Schima wallichii), manii (Maesopsis eminii), dan saninten (Castanopsis argentea). Ketiga dengan meningkatkan luasan habitat yang sesuai untuk kehidupan owa jawa, hal ini dapat dilakukan juga dengan penanaman untuk memperluas tutupan lahan berupa hutan dan memperbaiki faktor-faktor lingkungan yang mendukung kehidupan owa jawa. Keempat adalah dengan meningkatkan taraf sosial ekonomi penduduk yang berada di koridor TNGHS, sehingga ketergantungan mereka terhadap lahan dan suberdaya alam yang ada di koridor TNGHS dapat diminimalkan. Model konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa di koridor TNGHS harus mempertimbangkan aspek perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang ada di koridor TNGHS. Aspek perlindungan dilakukan dengan melibatkan penduduk setempat secara partisipatif, untuk menjaga sumberdaya alam dan lingkungan yang ada di koridor TNGHS. Aspek pengawetan dilakukan dengan penanaman untuk membuat penghubung (konektifitas) antar habitat owa jawa yang terfragmentasi di koridor TNGHS. Sementara konektifitas alami belum berfungsi optimal, dapat dibangun konektifitas buatan (artificial connectifity) berupa tiangtiang atau jembatan penghubung yang sifatnya sementara. Aspek pemanfaatan berorientasi pada peningkatan ekonomi penduduk setempat berbasis sumberdaya hutan non kayu, hal ini dapat dilakukan melalui sistem agroforestri dengan tumpang sari. Kata kunci: konservasi, koridor, taman nasional, habitat, owa jawa.

10

11 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

12

13 KONSERVASI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK UNTUK HABITAT OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) YUMARNI Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

14 Dosen penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S. Prof. Dr. Ir. Ervizal A. M. Zuhud, M.S. Dosen penguji pada Ujian Terbuka: Prof. (Ris.). Dr. M. Bismark, M.S. Dr. Ir. Burhanuddin Masyud, M.S.

15 PRAKATA Puji dan syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Penelitian untuk penulisan disertasi ini dilakukan di koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak Provinsi Jawa Barat, dari bulan Oktober 2010 sampai bulan Juni Tema yang dipilih untuk disertasi ini adalah: Konservasi Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak untuk Habitat Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1797). Penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan atas bimbingan, bantuan, motivasi dari berbagai pihak, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, M.S. selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc. F. selaku anggota komisi pembimbing, atas curahan waktu dan fikiran untuk membimbing penulis dalam penulisan disertasi ini. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S. dan Prof. Dr. Ir. Ervizal A. M. Zuhud, M.S. selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 3. Bapak Prof. (Ris) Dr. M. Bismark, M.S. dan Dr. Ir. Burhanuddin Masyud, M.S., selaku dosen penguji luar komisi pada ujian terbuka Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 4. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional yang memberikan Biaya Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dan Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat atas beasiswa Pemda. 5. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan SPs IPB, beserta staf atas semua layanannya, 6. Koordinator Kopertis Wilayah X Padang beserta staf, atas izin melanjutkan studi dan semua bantuannya. 7. Rektor, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat Padang beserta staf, atas izin melanjutkan studi dan semua bantuannya.

16 8. Kepala dan staf Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak Provinsi Jawa Barat, atas fasilitas penelitian, bantuan literatur, peta-peta digital, dan lainlainnya. 9. Soojung Ham: Division of Eco Science, Ewha Womans University Seoul Korea, atas foto-foto owa jawa. 10. Kepala dan staf Laboratorium Satwaliar, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB, atas semua layanannya. 11. Teman-teman di Laboratorium Analisis Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB, atas semua bantuannya dalam analisis spasial. 12. Teman-teman Hoya Club beserta keluarga atas semangat, dorongan, bantuan, perhatian, dan kerjasamanya. 13. Bapak H. M. Al-Husain dan bapak Somad, beserta tim atas pendampingan selama kegiatan penelitian di lapangan. 14. Kedua orang tua penulis Yusuf Dt. Bagindo dan Mardianis (Almh.) atas semua jasa, perhatian, kasih sayang, doa, dan pengorbanan yang tidak terhingga dan tidak akan terbalas. 15. Uda, adik-adik beserta semua keluarga atas semua perhatian, kasih sayang, dan doanya. 16. Semua pihak yang telah memberikan bantuan yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi semua pihak, dan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan kita semua. Bogor, Februari 2012 Yumarni

17 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kotogadang Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 19 Maret 1964 sebagai anak ke dua dari enam bersaudara, dari pasangan orang tua Yusuf Dt. Bagindo dan Mardianis (Almh.). Pendidikan Sarjana ditempuh di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas Padang, lulus pada tahun Tahun 1999 penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, dan menamatkannya pada tahun Kesempatan untuk melanjutkan studi ke program doktor pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, diperoleh pada tahun Penulis mendapat Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional dan dari Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat Padang. Penulis bertugas sebagai dosen pada Fakultas Pertanian Universitas Muhamadiyah Sumatera Barat Padang, dari tahun 1993 sampai Sejak Tahun 1998 sampai sekarang penulis bertugas di Fakultas Kehutanan perguruan tinggi yang sama. Selama mengikuti program doktor, penulis menjadi anggota Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI). Artikel dengan judul Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk di Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan Pengaruhnya terhadap Konservasi Koridor TNGHS untuk Habitat Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) telah diterbitkan pada Jurnal Menara Ilmu Volume I Nomor 27 Januari Tahun 2012, Analisis Habitat Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) di Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak, akan diterbitkan pada Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Volume 9 Nomor 3 Tahun Analisis Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) di Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak, akan diterbitkan pada Jurnal Media Konservasi. Karya-karya ilmiah tersebut adalah merupakan bagian dari disertasi penulis.

18

19 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL....xiii DAFTAR GAMBAR.iv DAFTAR LAMPIRAN...v I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kebaruan (Novelty) Penelitian Kerangka Pemikiran Penelitian... 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Koridor Habitat Struktur Lansekap Ekologi Sistem Informasi Geografis (SIG) Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Pixel Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) Tekanan terhadap Koridor TNGHS III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi Penelitian Waktu Penelitian Bahan dan Alat Penelitian Bahan Penelitian Alat Penelitian Pelaksanaan Penelitian Owa Jawa Habitat Owa Jawa Tekanan terhadap Owa Jawa IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Koridor TNGHS Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk di Koridor TNGHS Tekanan terhadap Koridor TNGHS... 57

20 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Owa Jawa Populasi Owa Jawa Distribusi Kelompok Owa Jawa Komposisi Kelompok Owa Jawa Habitat Owa Jawa Kesesuaian Habitat Owa Jawa Analisis Vegetasi Habitat Owa Jawa Tekanan terhadap Owa Jawa Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Pengurangan Luasan Hutan Waktu Tempuh Penduduk ke Hutan Tingkat Umur Penduduk Tingkat Pendidikan Penduduk Pekerjaan Penduduk Penghasilan Penduduk Jumlah Anggota Keluarga Penduduk Pengeluaran Rumah Tangga Penduduk Pembahasan Umum Tekanan terhadap Koridor TNGHS Formulasi Model Konservasi Koridor TNGHS Aspek Perlindungan Aspek Pengawetan Aspek Pemanfaatan VI. PEMBAHASAN UMUM.116 VII. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

21 DAFTAR TABEL Halaman 1 Faktor penyusun model kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS Skor dan bobot faktor penyusun model kesesuaian habitat owa jawa Perkembangan perubahan status lahirnya TNGHS Luasan tipe penutupan lahan kawasan koridor TNGHS Perubahan tutupan lahan di koridor TNGHS Tahun 1990 sampai Pertumbuhan jumlah penduduk di koridor TNGHS tahun Pertumbuhan penduduk tahun dan perkiraan jumlah penduduk tahun 2020 di koridor TNGHS Tingkat pendidikan penduduk di koridor TNGHS Struktur penduduk menurut umur di koridor TNGHS Pekerjaan penduduk di koridor TNGHS Penghasilan penduduk di koridor TNGHS Harga jual beberapa komoditas pertanian di koridor TNGHS Jumlah anggota keluarga di Koridor TNGHS Pengeluaran rumah tangga di koridor TNGHS Persentase luas pemilikan lahan penduduk di koridor TNGHS Waktu tempuh penduduk ke hutan di koridor TNGHS Jumlah kelompok, jumlah individu, kerapatan kelompok, dan kerapatan populasi owa jawa di koridor TNGHS Jumlah kelompok dan jumlah individu owa jawa di koridor TNGHS Faktor lingkungan identifikasi kelompok owa jawa di koridor TNGHS Jumlah dan komposisi kelompok owa Jawa di koridor TNGHS Frekuensi relatif, dominansi relatif, kerapatan relatif, dan INP vegetasi tingkat pohon di koridor TNGHS Frekuensi relatif, dominansi relatif, kerapatan relatif, dan INP vegetasi tingkat tiang di koridor TNGHS Frekuensi relatif, dominansi relatif, kerapatan relatif, dan INP vegetasi tingkat pancang di koridor TNGHS Frekuensi relatif, dominansi relatif, kerapatan relatif, dan INP vegetasi tingkat semai di koridor TNGHS... 98

22

23 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa Peta TNGHS Peta batas administrasi koridor TNGHS Desain Line Transect Methods Proses pembuatan peta ketinggian tempat dan Kemiringan lereng Alur penentuan peta kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS Desain plot Metode Garis Berpetak Kerapatan kelompok dan kerapatan populasi owa jawa di koridor TNGHS 61 9 Areal di koridor TNGHS yang didominasi oleh semak belukar (a) dan kaliandra (b) Jumlah kelompok dan jumlah individu owa jawa di koridor TNGHS Peta distribusi kelompok owa jawa di koridor TNGHS Jumlah dan komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS Persentase komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS Persentase tingkatan umur owa jawa di koridor TNGHS Persentase kelompok owa jawa pada masing-masing lokasi di koridor TNGHS Peta tutupan lahan di koridor TNGHS Peta jarak dari areal pertanian di koridor TNGHS Areal pertanian di koridor TNGHS Peta jarak dari permukiman di koridor TNGHS Kegiatan adopsi pohon oleh Yamahan Club dan papan nama Kelompok Tani Hutan di Kampung Sukagalih Peta jarak dari jalan di koridor TNGHS Peta ketinggian tempat di koridor TNGHS Peta jarak dari sungai di koridor TNGHS Peta kemiringan lereng di koridor TNGHS Peta Kesesuaian Habitat Owa Jawa di Koridor TNGHS Jumlah jenis pohon di koridor TNGHS Jumlah penduduk di koridor TNGHS tahun 1989 sampai 2004 dan proyeksi jumlah penduduk tahun Persentase pengeluaran rumah tangga di koridor TNGHS

24

25 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Data identifikasi kelompok owa jawa di koridor TNGHS Jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di Koridor TNGHS Famili dan jumlah jenis tumbuhan di koridor TNGHS Sebaran jenis vegetasi tingkat pohon pada tiap lokasi Sebaran jenis vegetasi tingkat tiang pada tiap lokasi Sebaran jenis vegetasi tingkat pancang pada tiap lokasi Sebaran jenis vegetasi tingkat semai pada tiap lokasi. 148

26

27 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan bagian dari Kawasan Pelestarian Alam. Sebagai Kawasan Pelestarian Alam, TNGHS merupakan kawasan ekologi dengan fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Ditjend. PHKA 2004). Fokus utama pengelolaan TNGHS adalah untuk mempertahankan perwakilan ekosistem hutan pegunungan Provinsi Jawa Barat, yang unik dan memiliki keanekaragaman jenis hayati yang tinggi. Fungsi TNGHS diantaranya adalah sebagai tempat perlindungan terhadap tumbuhan dan satwasatwa langka dan hampir punah, perlindungan terhadap sumber air, pendidikan dan penelitian, serta rekreasi alam (GHSNPMP-JICA 2007a). TNGHS berasal dari perluasan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), yang ditetapkan dengan SK Menteri Kehutanan Nomor:175/Kpts-II/2003. Perluasan ini merupakan perubahan fungsi kawasan hutan produksi Perum Perhutani dan hutan lindung serta hutan produksi terbatas yang berada di sekitar TNGH, menjadi satu kesatuan kawasan konservasi TNGHS dari luas awal hektar menjadi hektar (GHSNPMP-JICA 2007b). TNGHS merupakan pusat keanekaragaman hayati yang masih tersisa di Provinsi Jawa Barat, serta merupakan ekosistem hutan hujan tropis pegunungan terluas di Pulau Jawa (GHSNPMP-JICA 2009). Perluasan TNGH menjadi TNGHS, membentuk koridor TNGHS. Koridor adalah areal yang menghubungkan dua ekosistem dengan kawasan yang terpisah, fungsi koridor adalah sebagai habitat dan jalur pergerakan bagi satwa-satwa penting dan dilindungi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Forman dan Godron 1986). Koridor TNGHS merupakan areal memanjang dari Barat ke Timur yang menghubungkan dua ekosistem utama di TNGHS, yaitu ekosistem Gunung Halimun dan ekosistem Gunung Salak (GHSNPMP-JICA 2009). Koridor TNGHS merupakan habitat dan jalur pergerakan bagi satwa-satwa penting dan dilindungi di TNGHS, salah satu diantaranya adalah owa jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) (Rinaldi et al. 2008).

28 2 Owa jawa adalah primata endemik Pulau Jawa, yang penyebarannya sangat terbatas yaitu hanya di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Status owa jawa menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature) termasuk kategori spesies yang terancam punah (Endangered Species) (IUCN 2008). Selain penyebarannya yang terbatas, populasi owa jawa pun diperkirakan sudah sangat sedikit (MacKinnon 1987). Hasil penelitian Kappeler (1987), memperkirakan populasi owa jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah sekitar individu. Iskandar (2007) memperkirakan populasi owa jawa di TNGHS berkisar antara individu. Supriatna (2006) menyatakan bahwa, diantara populasi owa jawa yang masih tersisa sebahagian besar berada di TNGHS. Fungsi koridor TNGHS sangat penting untuk makhluk yang hidup di Gunung Halimun dan Gunung Salak, sehingga koridor TNGHS ini perlu dipantau keadaannya setiap waktu. Owa jawa merupakan spesies payung (umbrella species), berkurangnya owa jawa di koridor TNGHS menjadi pertanda rusaknya koridor TNGHS ini. Luas koridor yaitu ha dan sepertiganya sudah menjadi semak belukar, pohon-pohon besar sebagian telah menghilang. Kehidupan owa jawa sangat bergantung pada kondisi habitatnya, karena mereka membutuhkan pohon-pohon besar untuk pergerakan, mencari makan, dan beristirahat (Supriyanto 2007). Menurut Alikodra (1997) kualitas dan kuantitas habitat sangat menentukan komposisi, penyebaran, dan produktifitas satwaliar. Owa jawa merupakan salah satu jenis primata yang sangat sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungannya (Iskandar et al. 2009). Kehidupan dan perkembangan owa jawa di koridor TNGHS, membutuhkan habitat dengan jenis-jenis pohon tertentu dan tajuk pohon yang saling tersambung. Kondisi koridor TNGHS sekarang mengalami fragmentasi dan degradasi, yang mengakibatkan hubungan antar tajuk pohon terputus dan ekosistem owa jawa menjadi terganggu. Data citra satelit (satellite image) TM tahun 1990 sampai 2001 memperlihatkan bahwa, terjadi penyempitan dan fragmentasi koridor TNGHS. Selama 11 tahun areal berhutan koridor TNGHS telah mengalami penurunan sebesar 52% yaitu seluas 347,523 ha, dari luas 666,508 ha pada tahun 1990 menjadi 318,985 ha pada tahun 2001 (Cahyadi 2003). Data Citra Ikonos 2004,

29 3 memperlihatkan bahwa luas hutan di koridor TNGHS yang masih tersisa adalah 1.069,67 ha atau 25,43% dari luas koridor TNGHS yaitu 4.206,18 ha. Hutan yang masih tersisa di koridor TNGHS ini terdiri dari hutan primer 268,56 ha, hutan sekunder 759,06 ha, dan hutan tanaman 42,05 ha (GHSNPMP-JICA 2009). Owa jawa untuk dapat bertahan hidup dan berkembang biak, membutuhkan habitat yang sesuai untuk kehidupannya yang arboreal. Kesesuaian habitat owa jawa dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan habitatnya, diantaranya adalah tutupan lahan, jarak dari areal pertanian, jarak dari permukiman, jarak dari jalan, ketinggian tempat, jarak dari sungai, dan kemiringan lereng. Kualitas faktor-faktor lingkungan ini secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh aktifitas manusia di koridor TNGHS. Aktifitas atau ketergantungan manusia terhadap lahan dan sumberdaya alam yang ada di koridor TNGHS, dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi masyarakat yang berada di koridor TNGHS. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh MacKinnon et al. (1993) bahwa pengelolaan kawasan yang dilindungi membutuhkan dukungan dari masyarakat yang ada di dalam dan sekitarnya, karena mereka banyak menggantungkan hidupnya dari produk dan jasa hutan yang ada di kawasan tersebut. Ada lima desa dari dua kabupaten dan tiga kecamatan yang berada dalam koridor TNGHS. Masyarakat dari lima desa ini aktifitas kehidupannya sangat tergantung dari dalam koridor TNGHS (GHSNPMP-JICA 2009). Koridor TNGHS banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk permukiman, lahan pertanian (sawah dan ladang), mengambil kayu bakar dan makanan ternak, serta keperluan lainnya. Aktifitas masyarakat ini berawal dari pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM), yang dilakukan oleh Perum Perhutani sebelum perluasan TNGH. Kondisi ini mengharuskan pengelolaan koridor TNGHS, dilakukan secara bersama dengan masyarakat. Lemahnya pengakuan masyarakat terhadap eksistensi batas kawasan TNGHS di lapangan serta belum selesainya proses tata batas dan zonasi TNGHS, merupakan kendala bagi pengelola TNGHS untuk mempertahankan kemantapan kawasan hutan dan menjalankan fungsi penegakan hukum yang dapat diterima para pihak (GHSNPMP-JICA 2008). Masyarakat harus diberi pemahaman bahwa terdapat beberapa wilayah di koridor TNGHS yang didominasi oleh semak

30 4 belukar, sehingga perlu direstorasi. Akibat banyaknya areal semak belukar ini hubungan antara Gunung Halimun dan Gunung Salak terputus, dan keadaan ini tidak cocok untuk kehidupan owa jawa (Supriyanto 2007). Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan, maka penting dilakukan penelitian untuk: Memformulasikan upaya-upaya konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa, dengan memperhatikan aspek owa jawanya sendiri, habitatnya, dan tekanan terhadap koridor TNGHS akibat aktifitas penduduk Perumusan Masalah Kehidupan owa jawa semakin terancam dengan adanya indikasi penurunan kuantitas dan kualitas habitat mereka di koridor TNGHS (Rinaldi et al. 2008). Hal ini dapat mengakibatkan penurunan populasi bahkan kepunahan bagi primata endemik Pulau Jawa ini, sehingga perlu dilakukan pemantauan populasi, kualitas dan kuantitas habitat, dan intensitas gangguan akibat aktifitas manusia terhadap kehidupan owa jawa di koridor TNGHS Keberadaan owa jawa di koridor TNGHS sangat dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas habitatnya. Kuantitas dan kualitas habitat ini akan menentukan kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS. Faktor-faktor yang menentukan kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS diantaranya adalah jenis tutupan lahan, jarak dari areal pertanian, jarak dari permukiman, jarak dari jalan raya, ketinggian tempat, jarak dari sungai, dan kemiringan lereng. Agar koridor TNGHS sesuai sebagai habitat owa jawa, maka harus diperhatikan faktor-faktor lingkungan yang mendukung untuk kehidupan owa jawa tersebut. Koridor TNGHS banyak mengalami tekanan, yang diakibatkan oleh aktifitas penduduk yang tinggal di sana. Tekanan yang terjadi seperti berupa perambahan hutan untuk dijadikan lahan pertanian berupa sawah dan ladang, penambahan areal permukiman seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, dan penebangan liar. Semua gangguan tersebut berpengaruh terhadap kuantitas dan kualitas habitat owa jawa di koridor TNGHS, karena owa jawa membutuhkan kondisi hutan dengan jenis-jenis pohon tertentu dan tajuk pohon yang saling tersambung untuk kelangsungan hidupnya. Habitat dengan semua komponennya menjadi sangat penting bagi owa jawa, karena dapat menyediakan berbagai hal

31 5 yang dibutuhkannya seperti tersedianya cukup pohon sebagai sumber makanan, pohon tempat tidur dan tempat berlindung, serta ruang untuk bergerak. Usaha yang dapat dilakukan untuk melindungi kelestarian owa jawa di koridor TNGHS adalah dengan menyediakan habitat dan ruang pergerakan yang sesuai untuk kehidupan mereka, serta meminimalkan tekanan terhadap habitat owa jawa di koridor TNGHS. Koridor TNGHS dapat berfungsi sebagai habitat maupun jalur pergerakan dari kawasan Gunung Halimun ke Gunung Salak, atau sebaliknya bagi owa jawa (GHSNPMP-JICA 2009). Dengan tersedianya habitat dan ruang pergerakan bagi owa jawa, serta kecilnya tekanan yang terjadi akibat aktifitas manusia di koridor TNGHS, berarti kita dapat melestarikan owa jawa yang harus mendapatkan makanan, melakukan pergerakan, beristirahat, dan terhindar dari gangguan predator dan manusia. Situasi yang ada saat ini menimbulkan masalah yang menjadi fokus penelitian ini yaitu: 1. Berapa jumlah populasi, dimana distribusi, dan bagaimana komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS. 2. Bagaimana tingkat kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS. 3. Bagaimana kuantitas dan kualitas habitat owa jawa di koridor TNGHS. 4. Seberapa besar tekanan terhadap koridor TNGHS, akibat aktifitas penduduk di koridor TNGHS Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: memformulasikan model konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat tujuan antara sebagai berikut: 1. Menghitung populasi, menggambarkan distribusi, dan mendeskripsikan komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS. 2. Melakukan analisis spasial tingkat kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS. 3. Menganalisis kuantitas dan kualitas habitat owa jawa di koridor TNGHS. 4. Mengetahui tekanan terhadap koridor TNGHS, akibat aktifitas penduduk yang berada di koridor TNGHS.

32 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah berupa informasi atau masukan bagi pengelola TNGHS terkait dengan konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa, ditinjau dari aspek keberadaan owa jawanya, tingkat kesesuaian serta ekologi habitatnya, dan potensi ancaman terhadap owa jawa akibat aktifitas penduduk yang tinggal di koridor TNGHS Kebaruan (Novelty) Penelitian Keterbaruan dari penelitian ini adalah formulasi model konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa, ditinjau dari aspek owa jawanya, ekologi habitatnya, dan ancaman terhadap owa jawa akibat aktifitas penduduk yang tinggal di koridor TNGHS Kerangka Pemikiran Penelitian Keberadaan koridor TNGHS salah satunya ditujukan sebagai jalur pergerakan dan habitat bagi owa jawa. Owa jawa merupakan primata endemik Pulau Jawa, penyebarannya terbatas hanya di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Populasi owa jawa diperkirakan sudah sangat sedikit (Indrawan et al. 2007), diantara populasi owa jawa yang masih tersisa sebahagian besar berada di TNGHS (Supriatna 2006). Status owa jawa menurut IUCN adalah spesies yang terancam punah (Endangered Species) (IUCN 2008). Hasil penelitian Kappeler (1987), memperkirakan populasi owa jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah sekitar individu. Iskandar (2007) memperkirakan populasi owa jawa di TNGHS berkisar antara individu. Kondisi seperti digambarkan tersebut, sangat mengkhawatirkan akan kelangsungan hidup dari kelompok primate yang dilindungi ini. Owa jawa membutuhkan hutan dengan jenis-jenis pohon tertentu dan pohonpohon yang tinggi, multi strata, tajuk yang rapat dan saling tersambung untuk kelangsungan hidupnya yang arboreal dan untuk pergerakannya secara brakhiasi. Saat ini koridor TNGHS mengalami degradasi yang cukup serius, yang diakibatkan oleh adanya perubahan kawasan hutan alam menjadi hutan tanaman, lahan pertanian dan perkebunan, serta permukiman oleh masyarakat (Cahyadi 2003). Keadaan ini sangat tidak mendukung untuk kelangsungan hidup owa jawa,

33 7 karena pada hutan tanaman satu strata dan pada areal pertanian yang sudah tidak ada pohon-pohonnya tidak sesuai untuk kehidupan owa jawa. Owa jawa membutuhkan jenis-jenis pohon tertentu untuk dijadikan pohon pakan dan pohon tidur. Jenis-jenis pohon yang dibutuhkan owa jawa tersebut seperti jenis-jenis darangdan (Ficus sinuata), pasang batarua (Quercus gemiliflorus), rasamala (Altingia excelsa), dan saninten (Castanopsis javanica) yang sekarang sudah jarang ditemui di TNGHS (Iskandar 2007). Perlu dilakukan analisis vegetasi habitat owa jawa di koridor TNGHS, sebagai salah satu indikasi untuk melihat kualitas habitat owa jawa di koridor TNGHS dan untuk merencanakan upaya konservasi koridor TNGHS sebagai habitat owa jawa. Fragmentasi dan degradasi hutan di koridor TNGHS akan menimbulkan perubahan lansekap dan tutupan lahan, hal ini akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas habitat owa jawa. Habitat merupakan aspek penting yang mempengaruhi kehidupan owa jawa. Komponen habitat yang sangat penting bagi kelangsungan hidup owa jawa adalah vegetasi. Vegetasi bagi owa jawa berfungsi sebagai penyedia pohon-pohon sebagai tempat mencari makanan, tempat tidur, tempat berlindung, dan ruang pergerakan. Tingginya aktifitas penduduk di koridor TNGHS, seperti bertani (sawah dan ladang), bertempat tinggal, pengambilan kayu bakar dan makanan ternak, dan perburuan (GHSNPMP-JICA 2009), akan menyebabkan tekanan terhadap koridor TNGHS sebagai habitat owa jawa. Tekanan tersebut dapat menyebabkan menurunnya kuantitas dan kualitas habitat mereka, maupun merasa terganggunya owa jawa berada di koridor TNGHS karena kehadiran manusia. Akibat dari semua ini akan mempengaruhi jumlah populasi, daerah distribusi, dan komposisi kelompok owa jawa yang dapat bertahan hidup di koridor TNGHS. Bertitik tolak dari pemikiran yang ada, maka penelitian ini penting dilakukan, yang bertujuan untuk memformulasikan model konservasi koridor TNGHS sebagai habitat owa jawa. Tujuan penelitian ini dicapai dengan melakukan perhitungan jumlah populasi, mengetahui distribusi, dan mendeskripsikan komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS, menganalisis tingkat kesesuaian serta kualitas dan kuantitas habitat owa jawa di koridor TNGHS, dan tingkat tekanan terhadap koridor TNGHS akibat aktifitas penduduk.

34 8 Penelitian ini akan mengetahui keadaan populasi owa jawa itu sendiri, tingkat kesesuaian serta kualitas dan kuantitas habitat owa jawa, dan tingkat tekanan penduduk terhadap habitat owa jawa di koridor TNGHS. Hasil akhir yang diharapkan dari penelitian ini adalah memformulasikan model konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa, dapat dilihat pada Gambar 1. Koridor TNGHS Owa Jawa Habitat Penduduk - Populasi - Distribusi - Komposisi Analisis - Kesesuaian Habitat - Vegetasi Aktifitas Penduduk di Koridor TNGHS - Jumlah Populasi - Peta Distribusi - Komposisi Kelompok - Peta Kesesuaian Habitat Owa Jawa - INP Vegetasi Tekanan terhadap Owa Jawa dan Habitatnya Keadaan Populasi, Kesesuaian Habitat, Kuantitas dan Kualitas Habitat, dan Tekanan terhadap Owa Jawa Formulasi Model Konservasi Koridor TNGHS Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa.

35 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konservasi Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menyebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Anonim 1990) Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menyebutkan bahwa taman nasional adalah Kawasan Pelestarian Alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Anonim 1990). Tujuan pengelolaan taman nasional adalah untuk melindungi kawasan alami dan berpemandangan alam indah yang penting, secara nasional atau internasional serta memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan, dan rekreasi (MacKinnon et al. 1993). Fungsi taman nasional adalah sebagai: (1) kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, (2) kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa, dan (3) kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Ditjen. PHPA 1996). Indonesia memiliki 50 kawasan taman nasional sampai tahun 2006, dengan total luas sebesar ,14 Ha, salah satu diantaranya adalah

36 10 TNGHS (Dirjen. PHKA 2006b). TNGHS terletak pada dua provinsi yaitu Provinsi Jawa Barat yang meliputi dua kabupaten yaitu Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor dan Provinsi Banten dengan Kabupaten Lebak. TNGHS ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 dengan luas hektar (GHSNPMP-JICA 2007a). TNGHS sebagai Kawasan Pelestarian Alam, adalah merupakan kawasan ekologi. Fungsi utamanya adalah sebagai sistem penyangga kehidupan dengan fokus pengelolaan untuk mempertahankan perwakilan ekosistem hutan pegunungan Jawa Barat (Ditjen. PHKA 2006a). Kawasan TNGHS berupa bentang alam yang unik dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Fungsi yang diemban oleh TNGHS diantaranya adalah sebagai tempat perlindungan terhadap satwa langka dan hampir punah, sebagai tempat perlindungan terhadap sumbersumber daya alam yang mengandung kekayaan genetis, sebagai tempat perlindungan terhadap sumber air, sebagai tempat pendidikan dan penelitian, dan sebagai tempat rekreasi alam (GHSNPMP-JICA 2007a). Pembagian kawasan TNGHS sangat penting, setiap bagian kawasan memiliki peranan yang cukup berarti, sehingga masing-masing perlu dipertahankan atau dilestarikan. Pembagian ini antara lain adalah: (1) kawasan hutan pegunungan bawah dan atas yang merupakan hutan primer, harus dipertahankan untuk menjadi areal inti sebagai preservasi hewan dan tumbuhan liar, (2) kawasan hutan pegunungan atas (>1800 m dpl) yang tidak terlalu luas di Gunung Salak mempunyai vegetasi yang sangat spesifik, sehingga keberadaan kawasan ini menjadi sangat penting bagi TNGHS, (3) kawasan hutan pegunungan rendah yang berfungsi sebagai habitat hidupan liar seperti leopard dan gibbon, (4) hutan tanaman, areal ini dapat digunakan sebagai daerah penyangga (buffer zone) antara TNGHS dan daerah di luarnya (Mirmanto et al. 2008). Suryanti (2007) menyatakan bahwa terdapat tiga macam ekosistem yang memiliki zona berbeda di TNGHS, yaitu zona hutan kaki pegunungan, zona hutan sub pegunungan, dan zona hutan pegunungan. Pengaruh elemen-elemen lansekap buatan manusia seperti patch areal pertanian, patch areal perkebunan teh, patch areal pertambangan, dan patch permukiman, akan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati pada kawasan TNGHS.

37 Koridor Salah satu hal yang menarik dalam merancang sistem kawasan konservasi adalah menggunakan koridor habitat. Koridor habitat dapat menghubungkan kawasan dilindungi yang terisolasi, agar dapat terbentuk suatu sistem kawasan yang lebih luas. Koridor habitat adalah jalur lahan yang menjadi penghubung antara satu kawasan konservasi dengan kawasan lainnya yang berdekatan. Koridor habitat (koridor konservasi atau koridor pergerakan) memungkinkan tumbuhan dan satwa untuk menyebar dari satu kawasan ke kawasan yang lain, serta memungkinkan terjadinya aliran gen dan bahkan kolonisasi habitat yang sesuai. Melalui koridor habitat tersebut, beberapa kawasan yang terisolasi dapat dihubungkan satu sama lain. Populasi-populasipun dapat saling berintegrasi, sehingga membentuk suatu metapopulasi (Indrawan et al. 2007). Menurut Forman dan Godron (1986), koridor adalah areal yang menghubungkan dua daerah dalam suatu lansekap. Koridor dapat digunakan untuk habitat, penghubung, jalur pergerakan, proteksi, sumberdaya alam, dan estetika. Kebanyakan koridor digunakan untuk penghubung (konektifitas) karena merupakan areal yang efisien untuk mekanisme pergerakan hewan, akan tetapi koridor sering kali juga dimanfaatkan oleh pemburu untuk menangkap hewan yang lewat di sana. Pada saat hewan melewati koridor, pemburu biasanya dengan mudah dapat menangkap hewan-hewan tersebut, karena areal koridor yang biasanya relatif kecil. Koridor kadang-kadang juga merupakan daerah isolasi bagi hewan-hewan tertentu, karena biasanya merupakan suatu areal dengan vegetasi yang hampir seragam. Caughley dan Sinclair (1994) menyatakan keuntungan dari adanya koridor adalah: 1. Mempertinggi kecepatan migrasi, dimana dapat: a. Meningkatkan species richness (prediksi teori biogeograpi pulau). b. Meningkatkan ukuran populasi untuk spesies tertentu dan kemungkinan menurunkan kepunahan (memberikan penyelamatan), atau mengadakan kembali populasi lokal yang sudah punah di alam. c. Mencegah terjadinya inbreeding dan mempertahankan variasi genetik dalam populasi.

38 12 2. Memberikan perluasan areal mencari makan untuk berbagai spesies. 3. Memberikan jalan untuk lari dari predator untuk bergerak diantara patch. 4. Memberikan macam-macam habitat dan dapat memperoleh rangkaian tingkat penerimaan, untuk spesies yang memerlukan variasi habitat untuk aktifitas yang berbeda, atau sikap dalam tingkatan siklus hidup mereka. 5. Memberikan alternatif tempat perlindungan untuk gangguan yang besar, seperti keluar dari gangguan kebakaran. 6. Memberikan jalan keluar untuk perpindahan, menyediakan kesempatan rekreasi, dan mempercantik pemandangan alam dan penggunaan lahan. Kerugian dari adanya koridor menurut Caughley dan Sinclair (1994) adalah: 1. Meningkatkan angka imigrasi, dimana dapat: a. Memudahkan penyebaran penyakit endemik, serangga hama, spesies eksotik, rumput-rumputan, dan menimbulkan spesies-spesies yang tidak diingini dan melewati lansekap. b. Menurunkan level variasi genetik diantara populasi atau sub populasi, atau mengganggu adaptasi lokal dan menjadikan terbentuknya gen komplek (tekanan silang luar). 2. Memfasilitasi penyebaran sumber bencana, seperti kebakaran dan gangguan abiotik lainnya (penularan sumber bencana). 3. Peningkatan keberadaan pemburu satwa liar dan predator. 4. Koridor pada umumnya memotong bidang suatu areal, mengakibatkan satwa sulit untuk memperluas areal penyebaran. 5. Ketika kualitas habitat koridor rendah, dibutuhkan biaya sebagai pemeliharaan daerah konvensional untuk melindungi habitat spesies terancam punah. Koridor merupakan areal yang cukup diperhitungkan untuk fungsi ekologis, dalam suatu areal lansekap. Koridor dapat berupa pagar dari tumbuhan yang berfungsi sebagai tempat perlindungan, jalan untuk perpindahan atau konektifitas dan saluran. Pembuatan koridor pada suatu areal lansekap biasanya diperlukan untuk kepentingan komunitas hewan tertentu, karena dapat menambah keragaman habitat. Penambahan elemen-elemen lansekap, mampu meningkatkan kerapatan spesies hewan tertentu (Lavers dan Haines-Young 1993). Semakin banyak jumlah fragmen yang saling terhubung atau semakin tinggi konektifitas antar fragmen

39 13 dalam suatu lansekap, dan akan dapat meningkatkan kepadatan populasi asli yang dapat bertahan di lokasi tersebut (Indrawan et al. 2007). Koridor juga dapat berfungsi membantu melestarikan satwa yang harus melakukan migrasi musiman diantara berbagai seri habitat yang berbeda-beda, untuk mendapatkan makanan; bila satwa ini hanya dibatasi pada satu cagar alam tunggal, maka mereka dapat mati kelaparan. Prinsip ini telah dipraktekkan di Costa Rika untuk menghubungkan dua suaka marga satwa, Taman Nasional Braulio Carillo dan Stasion Biologi La Selva. Kedua daerah konservasi yang berbeda ketinggian tersebut dihubungkan oleh La Zona Protectora, suatu koridor hutan yang luasnya ha dengan lebar beberapa kilometer. Areal ini memungkinkan setidaknya 35 spesies burung bermigrasi antara kedua kawasan konservasi tersebut (Indrawan et al. 2007). Hewan-hewan besar seperti gajah, idealnya kawasan habitat mereka harus mencakup seluruh daerah jelajah populasi gajah tersebut. Beberapa negara telah menetapkan koridor gajah untuk melindungi daerah alam di sepanjang jalur migrasi, seperti Muangthai dan Sri Lanka (MacKinnon et al. 1993). Pengamatan terhadap mamalia arboreal di Brasil menunjukkan bahwa, koridor-koridor selebar 30 sampai 40 meter cukup untuk perpindahan sebahagian besar spesies dan bila lebar koridor ditingkatkan menjadi 200 meter cukup untuk perpindahan semua spesies (Indrawan et al. 2007). Secara nyata ide mengenai koridor tampaknya menarik, akan tetapi koridor juga mempunyai beberapa dampak negatif, misalnya memungkinkan perpindahan berbagai spesies pembawa hama dan penyakit. Suatu penyakit dapat menyebar dengan cepat melalui jalur hubungan yang ada, sehingga satu investasi tunggal saja akan dapat secara cepat menyebar ke seluruh cagar alam yang berhubungan. Keadaan ini akan menyebabkan kepunahan dari beragam populasi dari spesies langka. Hewan yang berpindah melalui koridor juga mungkin akan berhadapan dengan resiko predasi yang lebih besar, karena baik pemburu maupun pemangsa (termasuk manusia) cenderung untuk terkonsentrasi pada jalur yang digunakan hewan tersebut. Saat ini bukti nyata yang mendukung nilai dari koridor masih sangat terbatas, secara umum nilai dari koridor habitat akan bervariasi menurut kasus masing-masing kawasan (Indrawan et al. 2007).

40 14 Koridor secara jelas dibutuhkan pada jalur perpindahan, yang telah diketahui oleh satwa di daerah tersebut. Potongan habitat asli yang disisakan di antara dua kawasan konservasi, sering dapat berfungsi sebagai batu loncatan yang akan menjembatani perpindahan satwa. Koridor-koridor yang sudah terbentuk perlu selalu dilestarikan. Banyak diantara koridor yang ada sekarang terletak sepanjang aliran sungai, dan karena itu dapat merupakan habitat tersendiri bagi spesies tertentu yang secara biologi penting keberadaannya (Indrawan et al. 2007). Berdasarkan bentuk dan fungsinya Forman (1982) membedakan koridor menjadi empat tipe yaitu: 1. Line Corridor: Berupa pagar tanaman pada pinggir jalan, arealnya biasanya sempit berfungsi untuk memberikan jalur perpindahan, dan merupakan habitat utama bagi edge spesies. 2. Strip Corridor: Arealnya lebih luas dengan lingkungan interior yang dapat memberikan jalur perpindahan dan habitat bagi spesies interior. 3. Gabungan antara Line dan Strip Corridor: Koridor ini berbentuk lingkaran, sehingga dapat memberikan jalur alternatif untuk perpindahan, yang bertujuan untuk menjauhi predator, berfungsi juga untuk tempat mencari makan dan biasanya lebih disukai oleh banyak hewan. 4. Stream Corridor: Merupakan bentuk ganda dari Strip Corridor dengan pinggir jalur perairan, cukup lebar untuk memberikan lingkungan interior dengan aliran air yang baik. Koridor ini berfungsi untuk membantu kontrol nutrient permukaan, erosi, endapan lumpur dan banjir. Koridor TNGHS merupakan areal memanjang dari Barat ke Timur, yang menghubungkan dua kawasan penting di TNGHS yaitu kawasan Gunung Halimun dan Gunung Salak. Wilayah koridor merupakan areal yang sangat penting bagi TNGHS, karena berfungsi sebagai penghubung dua ekosistem utama yaitu Gunung Halimun dan Gunung Salak, sebagai tempat terjadinya aliran genetik dalam pelestarian keanekaragaman hayati dan fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan (Rinaldi et al. 2008). Koridor TNGHS berada pada dua kabupaten yaitu Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor. Kabupaten Sukabumi meliputi Kecamatan Kabandungan (Desa Cihamerang, Cipeuteuy, dan Kabandungan), sedangkan Kabupaten Bogor

41 15 meliputi Kecamatan Leuwiliang (Desa Purasari) dan Kecamatan Pamijahan (Desa Purwabakti). Bagian Utara koridor seluas 1.662, 78 hektar masuk ke dalam wilayah Kabupaten Bogor, sedangkan bagian Selatan seluas 2.533,00 hektar berada dalam Kabupaten Sukabumi. Perbatasan ke dua kabupaten ini terletak memanjang dari Barat ke Timur yang merupakan bagian tertinggi dari kawasan koridor TNGHS (GHSNPMP-JICA 2009). Sebagai areal yang menghubungkan dua fungsi ekologis, yaitu kawasan Gunung Halimun dan Gunung Salak. Koridor TNGHS berfungsi sebagai habitat, sumber pakan, jalur pergerakan satwa, dan lintasan pemencaran biji pepohonan dari kedua kawasan tersebut. Koridor TNGHS merupakan habitat yang dapat mendukung kelangsungan hidup keanekaragaman hayati pada dua ekosistem yang terfragmen yaitu Gunung Halimun dan Gunung Salak, serta untuk lebih meningkatkan fungsi kedua ekosistem tersebut sebagai sistem penyangga kehidupan (GHSNPMP-JICA 2009). Hutan di koridor TNGHS mengalami degradasi yang signifikan dalam 11 tahun terakhir. Degradasi hutan yang terjadi di koridor TNGHS sebesar 52% atau seluas 347,523 hektar, dimana luas hutan di koridor TNGHS 666,508 hektar pada tahun 1990 menjadi 318,985 hektar pada tahun 2001 (Cahyadi 2003). Degradasi ini mengakibatkan konektivitas ekosistem satwa terganggu, seperti owa jawa yang memerlukan pohon-pohon sebagai media pergerakan, pohon tidur, dan sumber pakan seperti jenis saninten (Castanopsis argentea), pasang (Quercus sp.), dan Ficus sp. (Iskandar 2007). Macan tutul (Panthera pardus) yang menjadi satwa maskot Provinsi Jawa Barat juga terancam. Elang Jawa (Spizaetus bartelsi), salah satu satwa terancam punah dalam Appendix II CITES juga mengalami hal serupa. Saat ini diperkirakan koridor TNGHS sudah tidak mampu lagi menyediakan pohon-pohon untuk kelangsungan hidup hewan-hewan tersebut (GHSNPMP- JICA 2007b). Faktor penyebab rusaknya koridor TNGHS adalah okupasi lahan garapan dan penebangan liar yang mengakibatkan lahan semak belukar (4.206,18 ha) mendominasi kawasan koridor, dan hutan alam primer yang tersisa diperkirakan hanya tinggal sekitar 216 ha saja. Garapan terjadi karena sebelum tahun 2003 oleh Perum Perhutani dilaksanakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)

42 16 di hutan produksi dan hutan lindung, dengan menanam jati dan tanaman pertanian dan perkebunan (GHSNPMP-JICA 2009). Restorasi di koridor TNGHS perlu mempertimbangkan aspek ekologis dan pengaturan akses kepada masyarakat. Departemen Kehutanan mendesain zona khusus di koridor TNGHS, yang memungkinkan akses kepada masyarakat diberikan melalui penanaman jenis asli yang sekaligus bermanfaat bagi masyarakat dan lingkungannya, serta menanam tanaman obat/palawija sebagai tanaman sela (GHSNPMP-JICA 2009). Pencanangan restorasi kawasan konservasi di Propinsi Jawa Barat dan Banten pada tahun 2007, dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) di koridor TNGHS. Pencanangan tersebut menandai dimulainya zona khusus di koridor TNGHS. Pencanangan ditandai dengan penanaman aren (Arenga pinnata) seluas 22,5 hektar sepanjang batas kawasan, 7,5 hektar tanaman penghidupan; durian, mangga, rambutan di luar batas kawasan dan penanaman hutan rakyat 20 hektar di luar kawasan. Penanaman tersebut merupakan rangkaian kegiatan Model Kampung Konservasi yang didampingi oleh konsorsium yang terdiri dari TNGHS, GHSNPMP-JICA, PT. Chevron, PT. PLN, Pemerintah Kabupaten Sukabumi, Lembaga Swadaya Masyarakat PEKA dan Absolut (GHSNPMP-JICA 2009) Habitat Semua makhluk hidup mempunyai tempat hidup, tempat hidup ini disebut habitat. Habitat dalam batas tertentu harus sesuai dengan persyaratan hidup makhluk hidup yang menghuninya. Batas bawah persyaratan hidup itu disebut titik minimum dan batas atasnya disebut ttitik maksimum, antara dua kisaran ini terdapat titik optimum. Ketiga titik itu yaitu titik minimum, maksimun, dan optimum disebut titik kardinal. Apabila sifat habitat berubah sampai di luar titik minimum atau maksimum, makhluk hidup akan mati atau berpindah. Apabila perubahan terjadi dalam waktu yang lambat misalnya selama beberapa generasi, makhluk hidup umumnya dapat menyesuaikan diri dengan kondisi yang baru di luar batas semula. Melalui proses adaptasi ini sebenarnya telah terbentuk makhluk hidup yang mempunyai sifat lain, yang disebut ras baru atau bahkan dapat terbentuk jenis baru (Soemarwoto 1997).

43 17 Habitat adalah suatu kawasan yang terdiri dari beberapa komponen, baik komponen fisik maupun komponen biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biak satwaliar. Satwaliar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Habitat yang sesuai bagi satu jenis belum tentu sesuai untuk jenis lainnya, karena setiap jenis satwaliar menghendaki kondisi habitat yang berbedabeda. Habitat berfungsi untuk penyediaan makanan, air, dan perlindungan. Jika seluruh keperluan hidup satwaliar terdapat di dalam habitatnya, populasi akan bertumbuh sampai terjadi persaingan dengan populasi lainnya. Pertumbuhan populasi sangat ditentukan oleh jumlah minimum dari faktor fisik dan biotik yang membatasi kehidupannya. Kuantitas dan kualitas habitat sangat menentukan prospek pemanfaatan dan kelestarian satwaliar. Banyak kegagalan pengelolaan satwaliar, disebabkan karena kurangnya perhatian untuk memperbaiki keadaan habitatnya (Alikodra 1990). Ancaman utama keanekaragaman hayati adalah rusak dan hilangnya habitat mereka, dan cara yang paling baik untuk melindungi keanekaragaman hayati adalah dengan memelihara habitatnya. Telah diketahui bahwa kerusakan habitat merupakan hal yang menyebabkan kelompok hewan vertebrata terancam punah, dan ini berlaku juga bagi hewan invertebrata, tumbuhan dan jamur. Kebanyakan spesies makhluk hidup yang penting, hampir semua habitatnya di daerah penyebaran mereka telah musnah dan hanya sedikit yang telah dijadikan daerah yang dilindungi. Lebih dari 95% habitat untuk owa jawa dan lutung telah rusak, dan mereka hanya dilindungi di sekitar 2% dari daerah penyebaran alaminya (Indrawan et al. 2007). Pemanfaatan strata hutan bervariasi menurut waktu dan ruang. Cara hidup makhluk hidup pada habitatnya disebut relung, relung ada yang umum dan ada yang khusus (Soemarwoto 1997). Relung untuk spesies tanaman terdiri dari jenis tanah tempat tumbuhnya, banyaknya cahaya matahari dan kelembaban yang dibutuhkan, jenis sistem penyerbukan, dan mekanisme penyebaran biji. Relung untuk hewan terdiri dari jenis habitat yang ditempatinya, ketahanan terhadap panas, kebutuhan nutrisi, daerah jelajah, dan kebutuhan akan air. Setiap komponen relung dapat menjadi sumberdaya pembatas ketika komponen itu

44 18 membatasi ukuran populasi (Indrawan et al. 2007). Secara umum berbagai jenis burung memanfaatkan relungnya pada siang hari, sedangkan mamalia pada malam hari. Pengecualian untuk beberapa jenis mamalia seperti bajing dan primata, memanfaatkan relungnya pada siang hari (Alikodra 1990). Populasi satwa liar berfluktuasi dari waktu ke waktu, sesuai dengan fluktuasi keadaan lingkungannya. Fluktuasi populasi ini dapat berkembang, stabil, ataupun menurun. Pengelolaan populasi bertujuan untuk mendapatkan kondisi populasi yang stabil, dimana struktur populasinya (komposisi kelamin dan umur) mampu menjamin keseimbangan jumlah anggota populasinya. Banyak diantara spesies satwaliar yang tersebar di wilayah zoogeografisnya, pada saat ini terancam kepunahan. Banyak faktor yang menyebabkan kepunahan ini, terutama karena penyempitan dan kerusakan habitat. Keadaan hutan yang rusak karena berbagai sebab, dapat mendesak kehidupan satwa liar. Program yang harus dijalankan bukan hanya melestarikan spesies yang terancam punah, tetapi juga sekaligus melestarikan habitatnya. Pengelolaan habitat merupakan kegiatan praktis mengatur kombinasi faktor fisik dan biotik lingkungan, sehingga dicapai suatu kondisi yang optimal bagi perkembangan satwaliar (Alikodra 1997). Masyarakat satwaliar di lantai hutan sangat bervariasi, terutama sangat ditentukan oleh komposisi jenis tumbuhan sebagai habitat mereka, kerapatan, dan letak tempatnya. Taman Nasional Ujung Kulon misalnya dicirikan dengan adanya mamalia besar, terutama badak jawa (Rhinoceros sondaicus), banteng (Bos javanicus), dan babi hutan (Sus scrofa). Pada stratum antara 20 sampai 30 meter dari permukaan tanah dijumpai kera ekor panjang (Macaca fascicularis) dan berbagai macam burung, diantaranya yang khas adalah burung rangkong (Alikodra 1990). Perbedaan kepadatan populasi satwa pada suatu habitat dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu: (1) kemampuan individu populasi untuk melakukan pergerakan, (2) adanya penghalang-penghalang baik fisik maupun biologis, (3) pengaruh kegiatan manusia, (4) kemampuan suatu wilayah untuk mendukung dan merangsang satwa untuk datang ke wilayah tersebut (Alikodra 1990). Nijman (2006) mengemukakan bahwa, terjadinya gangguan pada habitat akan sangat mempengaruhi kepadatan populasi.

45 19 Suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya disebut ekosistem. Ekosistem terbentuk oleh komponen hidup dan tak hidup di suatu tempat, yang berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur. Keteraturan ini terjadi karena adanya arus meteri dan energi yang terkendalikan oleh arus informasi antara komponen dalam ekosistem itu. Masing-masing komponen itu mempunyai fungsi atau relung. Selama masing-masing komponen itu melakukan fungsinya dan bekerja sama dengan baik, keteraturan ekosistem itupun akan terjaga. Keteraturan ekosistem, menunjukkan ekosistem tersebut berada dalam suatu keseimbangan tertentu. Keseimbangan itu tidak bersifat statis melainkan dinamis, akan selalu berubah-rubah. Kadang-kadang perubahan itu besar, kadang-kadang kecil. Perubahan itu dapat terjadi secara alamiah, maupun sebagai akibat dari aktifitas manusia (Soemarwoto 1997). Setiap spesies primata mempunyai respon yang berbeda terhadap penebangan hutan. Pada kelompok Hylobates suaranya akan berkurang selama ada kegiatan eksploitasi hutan, tetapi mereka tetap mempertahankan teritorinya. Beberapa bulan setelah kegiatan eksploitasi selesai, suara mereka kedengaran ramai kembali. Pengaruh eksploitasi hutan terhadap primata dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu: Suara yang ditimbulkan oleh alat-alat berat dan rusaknya habitat dapat menimbulkan stress dan mengubah perilaku, rusaknya pohon-pohon penghasil buah dan rusaknya pohon/ cabang yang dipergunakan untuk tempat berpindah dari satu pohon ke pohon lainnya, setelah kegiatan eksploitasi regenerasi pohon sangat lambat sehingga sering kondisi semula tidak dapat terbentuk kembali (Alikodra 1997) Struktur Lansekap Ekologi Menurut Forman dan Godron (1986), lansekap adalah suatu bentang alam yang terdiri dari beberapa unit ekosistem dalam bentuk satu kesatuan klaster, atau berupa daerah heterogen yang dibentuk oleh kelompok ekosistem yang berinteraksi secara berulang pada bentuk yang sama. Pada struktur lansekap dibahas tentang distribusi energi, material, dan spesies dalam hubungannya dengan ukuran, bentuk, jumlah, jenis dan konfigurasi elemen-elemen lansekap atau ekosistem tersebut.

46 20 Elemen-elemen dari lansekap adalah (Forman dan Godron 1986): 1. Patch yaitu areal homogen yang dapat dibedakan dengan daerah sekelilingnya. 2. Matriks yaitu areal homogen yang mendominasi lansekap. 3. Corridor yaitu patch yang berbentuk memanjang. 4. Edge yaitu daerah peralihan antar patch atau antara patch dengan matriks. Terjadinya patch dapat dibagi menjadi tiga yaitu disturbance patch (patch yang terganggu), remnant patch dan environmental patch. Disturbance yaitu kejadian yang mengganggu struktur ekosistem, komunitas atau populasi dan dapat merubah sumberdaya dan ketersediaan materi, atau lingkungan fisik suatu areal lanskap (Forman dan Godron 1986). Lansekap disusun oleh unit-unit spasial yang relatif homogen. Unit-unit tersebut berupa penutupan lahan (land cover) yang berbeda, misalnya: hutan, belukar, lahan pertanian, perkotaan dan sebagainya. Penutupan lahan yang berbeda-beda dan saling berinteraksi tersebut disebut dengan elemen lansekap. Elemen lansekap sering disamakan dengan tipe ekosistem, pada setiap elemen pembentuk lanskap bisa dibagi menjadi elemen yang lebih homogen, misalnya lahan pertanian bisa dibagi menjadi sawah, ladang, dan pekarangan rumah. Hutan bisa dibagi menjadi hutan sejenis dan hutan campuran atau hutan alam dan hutan tanaman. Elemen yang relatif lebih seragam disebut tesera (tessera) (Forman dan Godron 1986). Ada tiga karakteristik yang difokuskan dalam mempelajari lansekap ekologi yaitu (Forman dan Godron 1986): 1. Struktur: yaitu hubungan spasial antara ekosistem yang berbeda atau hubungan spasial antara elemen lanskap yang ada, seperti distribusi energi, material, dan hubungan spesies dengan ukuran, bentuk, jumlah, macam, dan konfigurasi ekosistem. 2. Fungsi: yaitu interaksi diantara elemen spasial meliputi aliran energi, materi, dan spesies diantara komponen elemen ekosistem. 3. Perubahan: yaitu perubahan struktur dan fungsi dari lansekap. Penelitian Frohn (1998) memperbaiki matriks dengan karakteristik variasi independen dalam data remote sensing, spesifikasi, resolusi spasial, dan sensitifitas sebahagian besar perubahan yang sesungguhnya dalam pola lansekap.

47 21 Hasilnya menunjukkan bahwa: matriks lanskap sensitif terhadap perubahan akibat fragmentasi, dan bentuk path yang mendekati komplek diperkirakan besar kemungkinan akan mengalami perubahan. Matriks lansekap tidak sensitif terhadap perubahan resolusi spasial, dan pemecahan masalah identifikasi untuk Contagion dan Fractal Dimension matriks lansekap, dan membandingkan data empiris Contagion dan Fractal Dimension dengan memperbaiki data penggunaan matriks untuk perubahan gradien variasi Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG adalah suatu sistem untuk pengelolaan, penyimpanan, pemrosesan, analisis dan penayangan (display) data yang terkait dengan permukaan bumi. Pengoperasian sistem ini membutuhkan perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), dan manusia yang mengoperasikannya (brainware). Secara rinci SIG agar dapat beroperasi membutuhkan komponen-komponen sebagai berikut: Orang (yang menjalankan sistem), aplikasi (prosedur-prosedur yang digunakan untuk mengolah data), data (informasi yang dibutuhkan dan diolah dalam aplikasi), software (perangkat lunak SIG), dan hardware (perangkat keras yang dibutuhkan untuk menjalankan sistem) (Darmawan 2006). SIG merupakan perkembangan baru yang menggunakan komputer, untuk menggabungkan data mengenai lingkungan alami dengan informasi mengenai distribusi spesies (Indrawan et al. 2007). SIG merupakan alat analitik (analitical tool) yang mampu memecahkan masalah spasial secara otomatis, cepat, dan teliti. SIG sangat membantu memecahkan permasalahan yang menyangkut luasan (poligon), batas (line/arc), dan lokasi (point). Mengingat kemampuan SIG yang cukup handal dalam menganalisis data spasial, penggunaan SIG di bidang kehutanan berkembang dengan pesat. Software yang digunakan dalam SIG adalah ArcInfo, ArcView, dan ArcGIS (Jaya 2002). Analisis SIG memungkinkan pemusatan perhatian pada lokasi kritis yang perlu dilindungi dan diberikan penanganan khusus, serta mengenali daerah-daerah yang perlu dihindarkan dari proyek-proyek pembangunan, untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Indrawan et al. 2007).

48 22 Penggunakan SIG memungkinkan proses integrasi basis data yang kompleks dapat dilakukan dengan efektif baik dari segi prosedur kerja (proses input, pengolahan dan analisa data, sampai pada visualisasi), luarannya, maupun ruang lingkup dan aplikasi pemanfaatannya. SIG dapat menyajikan output dengan format yang mudah dimengerti, dan mudah dimutakhirkan bilamana terdapat perubahan atau penambahan informasi yang berhubungan dengan evaluasi lahan dan perencanaan penggunaan lahan di wilayah penelitian (Ramli dan Baja 2005). SIG mampu mengakomodasi penyimpanan, pemrosesan, dan penayangan data spasial digital bahkan integrasi data yang beragam, mulai dari citra satelit, foto udara, peta serta data statistik. Dengan tersedianya komputer dengan kecepatan dan kapasitas ruang penyimpanan yang besar seperti saat ini, SIG akan mampu memproses data dengan cepat dan akurat dan menampilkannya. SIG juga mengakomodasi dinamika data, pemutakhiran data yang akan menjadi lebih mudah untuk dipahami (Darmawan 2006). Aplikasi SIG yang baik adalah apabila dapat menjawab salah satu atau lebih dari lima pertanyaan berikut ini yaitu: (1) lokasi; yang dapat dipergunakan untuk menjawab pertanyaan mengenai lokasi tertentu, (2) kondisi; yang dapat dipergunakan untuk menjawab pertanyaan mengenai kondisi dari suatu lokasi, (3) tren; yaitu untuk melihat tren dari suatu keadaan, (4) pola; yang dapat dipergunakan untuk membaca dan mempelajari gejala-gejala alam, (5) pemodelan; yang dapat dipergunakan untuk menyimpan kondisi-kondisi tertentu dan mempergunakannya untuk memprediksi keadaan di masa yang akan datang, maupun memperkirakan apa yang terjadi pada masa lalu (Gunarso et al. 2003). Prasetyo et al. (2009) melakukan perbandingan kondisi hutan yang ada di Pulau Jawa tahun 2000 dengan tahun 2005, dari hasilnya dapat dibuat model perkiraan kondisi hutan di Pulau Jawa tahun Pendekatan SIG meliputi penyimpanan, penampilan, dan manipulasi tipe data pemetaan yang sifatnya beragam seperti tipe vegetasi, iklim, tanah, topografi, geologi, hidrologi, dan distribusi spesies (Indrawan et al. 2007). Data spasial yang digunakan dalam bidang kehutanan antara lain: Peta rencana tata ruang, peta tata guna hutan, peta rupa bumi (kontur), peta jalan, peta sungai, pata tata batas, peta batas unit pengelolaan hutan, peta batas administrasi kehutanan, peta tanah, peta

49 23 iklim, peta geologi, peta vegetasi (turunan dari foto udara atau citra satelit), peta potensi sumberdaya hutan (volume kayu, jenis, kelas umur, dan lain-lain). Data spasial ini umumnya sangat terkait dengan data deskriptif (tabular) yang diperlukan dalam melakukan analisis suatu permasalahan (Jaya 2002). Pendekatan SIG dapat menunjukkan korelasi antara elemen biotik dan abiotik dalam suatu lansekap ekologi, serta dapat membantu perencanaan kawasan yang mencakup fungsi perlindungan keanekaragaman hayati dan bahkan dapat pula mengarahkan upaya ke lokasi potensial tempat spesies langka. Foto udara dan citra satelit merupakan sumber data tambahan bagi SIG. Suatu seri citra yang diambil secara seri menurut urutan waktunya, akan dapat mengungkapkan pola kerusakan habitat dari waktu ke waktu yang memerlukan perhatian untuk pengelolaan (Indrawan et al. 2007). Ada tiga jenis fitur geografis dalam SIG yaitu: point/titik, line/garis, dan polygon/luasan (area). Point/titik adalah lokasi diskrit yang biasanya digambarkan sebagai simbol atau label. Point menggambarkan suatu fitur yang batas atau bentuknya terlalu kecil untuk ditampilkan dalam garis atau luasan. Point biasanya juga digunakan untuk menggambarkan lokasi yang tidak mempunyai luasan, seperti titik yang tinggi atau puncak gunung. Line atau arc/garis, adalah fitur yang dibentuk oleh sekumpulan koordinat yang saling berhubungan. Sedangkan point menggambarkan fitur linier pada peta yang terlalu sempit untuk digambarkan sebagai luasan seperti sungai, jalan, garis kontur dan lain-lain. Polygon/luasan adalah fitur yang dibentuk dari garis yang menutup pada suatu titik dan menggambarkan suatu area yang homogen seperti batas negara, danau, dan lainlain (Yuniar et al. 2007). Data yang digunakan dalam SIG adalah data geografis, yaitu data yang menjelaskan objek-objek yang dapat dikaitkan dengan lokasi geografis. Data geografis meliputi data spatial dan data atribut. Data spatial merupakan data yang berkaitan dengan lokasi, bentuk dan hubungan dengan objek-objek lainnya di permukaan bumi, sehingga disebut juga data geospasial (geo sama dengan bumi). Sumber data untuk SIG diantaranya adalah peta topografi, peta tematik, foto udara, citra satelit, data statistik, data pengukuran GPS, hasil survey dan pemetaan langsung di lapangan (Yuniar et al. 2007).

50 24 SIG merupakan suatu sistem yang berbasiskan komputer, maka data yang digunakan harus dalam bentuk digital. Data yang masih dalam bentuk hardcopy, harus dikonversi terlebih dahulu menjadi bentuk digital (Darmawan 2006). Peta digital menyimpan dua jenis informasi dasar yaitu: (1). Informasi spasial, yang menjabarkan lokasi dan bentuk dari feature geografis dan hubungan spasial pada feature lainnya. (2). Informasi deskriptif (non spasial), yang berisi keterangan/ atribut dari suatu feature (Gunarso et al. 2003). Bentuk digital data spasial umumnya dapat disusun dalam dua macam struktur data yang berbeda, yaitu vektor dan raster. Pada struktur data vektor objek atau fitur titik, garis, dan luasan dikelola dan direpresentasikan dalam rangkaian titik-titik koordinat. Sebuah titik direkam sebagai sepasang koordinat (X, Y), suatu garis merupakan rangkaian pasangan koordinat, sedangkan luasan merupakan rangkaian garis yang menutup di titik yang sama dan membentuk batas suatu luasan. Penampilan peta digital yang disusun dalam struktur data vektor terlihat seperti pada peta tradisional/konvensional. Dalam bentuk yang sederhana, struktur data raster terdiri atas sel-sel bujur sangkar atau kotak segi empat yang biasa disebut pixel (picture element). Lokasi tiap pixel ditentukan dari nomor baris dan kolom. Setiap pixel memiliki nilai (value) sebagai indikasi nilai atribut yang diwakilinya. Contoh peta digital yang disusun dalam struktur data raster adalah peta/foto hasil scanning dan citra satelit (Darmawan 2006). Pada SIG data-data yang dikumpulkan dapat di overlay. Overlay atau penampalan data merupakan salah satu kegiatan dalam SIG, agar data yang ada mempunyai arti dan dapat digunakan untuk suatu kepentingan tertentu. Pada umumnya overlay dilakukan untuk menghasilkan satu atau lebih peta tematik. Peta tematik merupakan suatu peta yang memperlihatkan data dari suatu tema tertentu, misalnya peta hutan, peta hidrologis dan lain-lain (Gunarso et al. 2003) Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Pengumpulan data menggunakan metoda konvensional survey lapangan memerlukan waktu yang lama, dan pada daerah-daerah yang bertopografi berat pelaksanaannya menjadi tidak praktis. Berdasarkan pengalaman tersebut telah banyak digunakan teknik inventarisasi dengan menggabungkan penggunaan

51 25 sarana penginderaan jauh dan metoda survey lapangan seperti metoda pengambilan contoh bertingkat (multi-stage) dan berganda (double sampling). Penginderaan jauh mampu memberikan data yang unik yang tidak bisa diperoleh menggunakan sarana lain, mempermudah pekerjaan lapangan, dan mampu memberikan data yang lengkap dalam waktu yang relatif singkat dan dengan biaya yang relatif murah (Jaya 2007). Istilah penginderaan jauh merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah dikenal di Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1950-an. Penginderaan jauh merupakan salah satu ilmu pengetahuan dan teknologi bidang survei dan pemetaan, yang perkembangannya sangat erat hubungannya dengan sistem informasi geografis (SIG). Kedua iptek tersebut telah diterapkan di Indonesia untuk perolehan dan pengolahan data spasial guna pemanfaatan SDA dan lingkungan hidup (Poniman 2007). Menurut Manual of Remote Sensing (American Society of Photogrammetry 1983 dalam Jaya 2007) remote sensing adalah suatu ilmu dan seni pengukuran atau suatu cara untuk mendapatkan informasi suatu objek atau fenomena dengan menggunakan suatu alat perekam dari kejauhan, dimana pengukuran dilakukan tanpa melakukan kontak secara fisik dengan objek atau fenomena yang diukur tersebut (Jaya 2007). Penginderaan jauh merupakan upaya memperoleh informasi tentang suatu objek dengan menggunakan alat yang disebut sensor (alat peraba), tanpa melakukan kontak langsung dengan objek tersebut. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa penginderaan jauh merupakan upaya untuk memperoleh data dari jarak jauh dengan menggunakan peralatan tertentu. Data yang diperoleh itu kemudian dianalisis dan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Dalam penginderaan jauh didapat masukan data atau hasil observasi yang disebut citra. Citra dapat diartikan sebagai suatu gambaran yang tampak dari suatu objek yang sedang diamati, sebagai hasil liputan atau rekaman suatu alat pemantau (Darmawan 2006). Penginderaan jauh tidak hanya mencakup kegiatan pengumpulan data mentah, akan tetapi juga mencakup pengolahan data secara otomatis (komputerisasi) dan manual (interpretasi), analisis citra dan penyajian data yang

52 26 diperoleh. Kegiatan penginderaan jauh dibatasi pada penggunaan energi elektromagnetik (Jaya 2007) Pixel Pixel adalah istilah umum yang merupakan kependekan dari picture element (elemen gambar). Sebagai suatu elemen, pixel merupakan bagian terkecil dari suatu citra digital. Pada data raster, citra dibagi-bagi menjadi suatu sel, dimana masing-masing grid dari sel merupakan representasi dari suatu pixel. Pixel juga sering disebut dengan sel grid. Dalam arti yang lebih luas istilah pixel juga digunakan untuk menyatakan nilai file data untuk setiap unit citra (pixel file), atau lokasi dari suatu grid pada displai atau hasil cetakan (pixel displai) (Jaya 2007) Owa Jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) Owa jawa adalah primata endemik Pulau Jawa yang hanya terdapat di Jawa Barat dan Jawa Tengah dan statusnya dilindungi oleh IUCN dengan kategori spesies terancam punah (Endangered Species) (IUCN 2008). Primata merupakan salah satu kelompok satwaliar yang dapat dijadikan indikator ekologis suatu kawasan hutan, sehingga dengan mengetahui sebaran dan kondisi kelompok primata pada suatu areal hutan, dapat memberikan informasi bagi upaya pengelolaan dan rehabilitasi kawasan hutan tersebut (Rinaldi et al. 2008). Owa jawa (Hylobates moloch Audebert 1797) diklasifikasikan sebagai berikut (Nijman 2004): Kingdom : Animalia Phyllum : Choordata Sub phyllum : Vertebrata Klass : Mammalia Ordo : Primata Sub ordo : Arthropoidea Super famili : Homoinoidea Famili : Hylobatidae Genus : Hylobates Spesies : Hylobates moloch Audebert Spesies Hylobates moloch mempunyai dua sub-spesies yaitu ylobates moloch moloch Audebert 1797 atau disebut juga silvery gibbon yang terdapat di Jawa

53 27 Barat dan Hylobates moloch pongoalsoni Sody 1949 yang terdapat di Jawa Tengah (Jones et al. 2004). Rata-rata bobot badan owa jawa jantan adalah 7,65±0,39 kg dan betina 7,63±0,33 kg. Ukuran ekstremitas atasnya relatif lebih panjang dibandingkan dengan ekstremitas bawah, hal ini sesuai dengan aktifitas pergerakannya yaitu brakiasi atau bergelantungan dan berayun pada dahan pohon serta melompat dari dahan pohon yang satu ke dahan pohon yang lainnya (Permanawati et al. 2009). Populasi owa jawa yang terdapat di Gunung Halimun mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat dengan populasi owa jawa yang terdapat di Gunung Salak (Andayani et al. 2001). Kehidupan owa jawa yang arboreal atau beraktifitas pada tajuk pohon, memerlukan hutan-hutan primer sebagai habitat utamanya. Sumberdaya alam yang tersedia di hutan primer, dapat memenuhi kebutuhan hidup owa jawa sesuai dengan kondisi fisik dan fisiologisnya. Hutan primer dengan kondisi tajuk yang saling bersambungan, merupakan tempat utama bagi aktifitas owa jawa. Selain menyediakan bahan makanan berupa buah dan daun, kondisi tajuk yang saling bersambungan ini memungkinkan owa jawa untuk melakukan pergerakan antar cabang pohon (brachiation) pada kanopi pohon di hutan (Rinaldi et al. 2008). Rata-rata aktifitas owa jawa dalam sehari adalah 9,5 jam, yaitu dari jam 6.30 sampai WIB. Perilaku owa jawa yang terlama (57.05% ± 0.45) yaitu istirahat, diikuti perilaku bergerak (21.99% ± 0.14), makan (15.73% ± 0.34), bercumbu (5.16% ± 0.03), bersuara (2.35% ± 0.02), perilaku sosial (1.6% ± 0.09), agonistic behaviours (0.37 % ±0.01), dan kopulasi (0.05% ± 0.01). Aktifitas puncak owa jawa dilakukan pada dua periode yaitu jam 06:35 sampai 07:30 WIB dan jam 14:35 sampai 15:30 WIB. Owa jawa mempunyai dua tipe suara yaitu suara jantan solo dan perempuan solo, suara jantan lebih pendek dari pada suara betina. Owa jawa mempunyai empat tipe perilaku bergerak yaitu brakhiasi (melompat dari satu dahan pohon ke dahan pohon lainnya), klimbing (memanjat), jumping (melompat) dan bipedal (berjalan dengan dua kaki). Frekuensi pergerakan yang sering dilakukan yaitu tipe brakhiasi (Amarasinghe NK dan Amarasinghe AAT 2010). Hasil penelitian tingkah laku owa jawa yang dilakukan oleh Riendriasari et al. (2009) di Fasilitas

54 28 Penangkaran Pusat Studi Satwa Primata LPPM-IPB memperlihatkan bahwa, pola aktifitas harian owa jawa yang paling banyak dilakukan meliputi tingkah laku bergerak (45,70%), diikuti dengan tingkah laku istirahat (42,50%), makan (23,90%), bermain (15,90%), dan menelisik (6,60%). Penelitian yang dilakukan oleh Iskandar (2007) terhadap habitat dan populasi owa jawa di TNGHS memberikan hasil bahwa, ada 33 jenis (11 famili) pohon yang dimanfaatkan oleh owa jawa sebagai pohon pakan dan 15 jenis (6 famili) pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon tempat tidur. Jenis pohon tempat tidur adalah jenis-jenis pohon yang pada umumnya juga dimanfaatkan sebagai pohon pakan. Terdapat persamaan kriteria jenis pohon yang dimanfaatkan sebagai pohon pakan dan pohon tempat tidur, antara lain jenis-jenis pohon yang tinggi dengan diameter besar dan tajuk yang lebar. Pemilihan tajuk yang lebar dan saling berhubungan antara satu pohon dengan pohon lain, merupakan salah satu cara untuk mempermudah pergerakan. Pemilihan pohon yang tinggi dan berdiameter besar merupakan penyesuaian dengan cara hidup owa jawa yang arboreal dan sebagai salah satu cara untuk menghindari ancaman satwa pemangsa (predator) dan perburuan. Luas daerah jelajah kelompok owa jawa di TNGHS rata-rata pada musim hujan (17,10±1,86 hektar) dan pada musim kemarau (20,02±2,69 hektar), dengan rata-rata 18,56±2,73 hektar. Perbedaan luas daerah jelajah antara musim hujan dan musim kemarau, terjadi karena faktor ketersediaan sumber pakan dan air. Pada musim kemarau ketersediaan buah-buahan sebagai pakan relatif sedikit, sehingga memaksa kelompok owa jawa untuk melebarkan daerah jelajahnya untuk mencari makan. Kebutuhan air pada musim hujan dapat dipenuhi dari tersedianya banyak buah-buahan yang dapat dikonsumsi (Iskandar 2007). Hasil penelitian Komarudin (2009) menyimpulkan bahwa kisaran daerah jelajah owa jawa di koridor TNGHS adalah hektar. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa, populasi owa jawa dari waktu ke waktu cenderung menurun. Dari survey yang dilakukan Kappeler (1987) pada 40 lokasi di Jawa Barat dan Jawa Tengah, memperkirakan populasi owa jawa sekitar individu. Pada survey yang dilakukan pada tahun 1992 sampai 1994 menunjukkan tidak terdapatnya populasi owa jawa pada 16 lokasi yang pernah

55 29 disurvey sebelumnya, dan pada 9 lokasi populasinya kritis karena berada pada areal yang sangat sempit (0,5-5,0 km²) dan terfragmentasi. Martarinza (1993) memperkirakan populasi owa jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah, hanya individu. Nijman (2004) memperkirakan populasi owa jawa di Gunung Halimun individu dan di Gunung Salak 140 individu. Dari hasil penelitian Iskandar (2004) di komplek hutan Cikaniki TNGHS, dugaan jumlah populasi owa jawa maksimal sebesar 143 individu dan populasi minimal sebesar 111 individu. Supriatna (2006) memperkiraan populasi owa jawa di Gunung Halimun dan Gunung Salak hanya tinggal individu. Nijman (2006) memperkiraan total populasi owa jawa di Jawa Barat dan Jawa Tengah, sekitar individu. Iskandar (2007) memperkirakan populasi owa jawa di TNGHS, berkisar antara individu. Iskandar et al. (2009) memperkirakan populasi owa jawa di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, adalah 347 individu. Terfragmentasinya hutan sebagai habitat owa jawa di koridor TNGHS, mempengaruhi sebaran dan kelimpahan jenis sumber pakan serta daya reproduksi owa jawa. Terbatasnya sebaran dan kelimpahan jenis pakan akan berpengaruh pada perilaku menjelajah (ranging behavior) owa jawa, dan terjadinya perilaku kompetisi antar kelompok. Menyempitnya luasan daerah jelajah setiap kelompok, akan mengakibatkan terjadinya perkawinan antar individu yang masih memiliki kekerabatan yang dekat. Perkawinan tersebut akan menghasilkan inbreeding species dan akan mengakibatkan kualitas populasi yang rendah (Iskandar 2004). Owa jawa yang terdapat di koridor TNGHS pada zona Gunung Halimun dan Gunung Salak, masih menunjukkan kapasitas untuk berkembang biak dengan baik. Hal ini diindikasikan dengan masih dijumpainya kelompok yang struktur kelas umur dalam kelompoknya sangat baik, dan adanya individu soliter yang dalam proses penyapihan dari kelompoknya. Sedangkan pada zona wilayah hutan bagian tengah koridor TNGHS, owa jawa tidak dijumpai dalam kelompok yang baik dan lengkap, hal ini sekaligus menunjukkan kualitas habitat untuk berkembang biak dengan baik sudah sangat menurun (Rinaldi et al. 2008). Tekanan terhadap kawasan konservasi dan habitat owa jawa pada kenyataannya masih tetap tinggi, sehingga kemampuan untuk melestarikan habitat

56 30 spesies endemik ini masih harus dipertanyakan. Habitat owa Jawa di kawasan TNGHS sudah mulai terancam oleh adanya penyerobotan lahan di dalam kawasan ini, maupun pada daerah penyangga. Pengalihan fungsi lahan khususnya untuk dijadikan lahan pertanian dan penambangan emas tanpa ijin (PETI), merupakan tekanan terhadap habitat owa jawa. Selain itu juga terdapatnya area kantong (enclave) perkebunan teh di tengah TNGHS, dan terdapatnya beberapa desa di dalam kawasan menambah terancamnya habitat owa Jawa (Suryanti 2007). Menurut Sutherland (2006), untuk survey hewan besar yang hidup arboreal dapat digunakan Line Transect Methods. Metode ini digunakan untuk observasi hewan-hewan yang terus berpindah dengan rute yang sudah ditentukan pada areal penelitian. Peneliti dapat bergerak dengan lambat untuk mendeteksi hewan yang ada pada transek dan sebagian besar untuk jarak yang dekat, akan tetapi jangan bergerak terlalu pelan karena hewan yang ada didepan pada transek dapat melarikan diri sebelum peneliti melihatnya dan individu yang bergerak cepat sering ditemui lebih dari satu kali. Pergerakan terlalu lambat juga akan memakan waktu yang lebih lama, sementara sebaiknya peneliti membuat transect yang lebih panjang untuk mendapatkan data yang akurat. Iskandar (2005) merekomendasikan hal-hal penting yang harus dilakukan untuk konservasi owa jawa adalah: (1) pengelolaan habitat yang ideal sesuai dengan karakteristik, tingkah laku dan pola kelompok owa jawa, (2) kontrol aturan yang efektif untuk membantu mengurangi dan membatasi tekanan perburuan, penebangan liar, ketergantungan kelompok masyarakat, dan (3).mengadakan program monitoring secara berkala, keterlibatan staf taman nasional, adanya laporan tahunan untuk perkiraan status populasi terakhir Tekanan terhadap Koridor TNGHS Pengelolaan koridor TNGHS tidak dapat dipisahkan dari keberadaan penduduk yang ada di dalam maupun di sekitarnya, yang memiliki tingkat ketergantungan tinggi terhadap sumberdaya alam yang ada di dalam koridor TNGHS. Penduduk di dalam dan di sekitar koridor TNGHS, adalah bagian atau unsur dari ekosistem koridor TNGHS. Masyarakat dan koridor TNGHS saling tergantung, sehingga mereka akan menjaga koridor TNGHS apabila mereka mendapatkan manfaat dari sumberdaya alam di koridor TNGHS. Sebaliknya

57 31 mereka tidak akan menjaga apabila mereka tidak mendapat manfaat dari keberadaan koridor TNGHS, hal ini diperkirakan karena kondisi sosial ekonomi penduduk yang memprihatinkan dan kesadaran serta pengetahuan mereka yang relatif kurang terhadap pentingnya kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Harmita 2009). Kebijakan penetapan kawasan konservasi di Indonesia pada umumnya dilakukan tanpa melibatkan masyarakat setempat, ini berarti menyangkal hak dan eksistensi mereka. Pola ini juga tidak mempertimbangkan ketergantungan masyarakat pada sumber daya alam dan lahan yang berada di kawasan konservasi, serta pola lokal untuk memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan. Masalahnya sekarang adalah bahwa pada umumnya kawasan lindung didirikan di wilayah hutan yang berpenduduk, dikelola tanpa partisipasi masyarakat lokal, perluasan kawasan hutan ke dalam lahan-lahan masyarakat, pengeluaran masyarakat dari kawasan hutan, pembatasan akses masyarakat setempat pada kawasan hutan, dan pelarangan pemanfaatan tradisional masyarakat setempat (Moeliono et al. 2010). Partisipasi menjadi isu penting dalam perencanaan dan implementasi suatu program pembangunan. Tujuan perencanaan partisipatif dalam pengelolaan sumberdaya melibatkan banyak pihak. Perlindungan lingkungan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan yang tidak menimbulkan dampak negatif (dampak negatif paling minimum), menjadi tujuan yang diharapkan dalam suatu kegiatan partisipatif (Ditjen. PHKA 2004). Balai TNGHS telah menyusun kerangka kebijakan dan strategi pendekatan bagi masyarakat adat dan warga yang hidup turun temurun, baik yang bermukim di dalam maupun di sekitar kawasan TNGHS yang memiliki keterkaitan yang tinggi dengan kawasan TNGHS. Pertama yang diterapkan adalah kebijakan konservasi dan membangun kesejahteraan masyarakat. Kebijakan ini dituangkan menjadi tiga strategi yaitu penyelesaian konflik dan penguatan kelembagaan, pemulihan kawasan bersama masyarakat, dan pengembangan ekonomi masyarakat (Supriyanto dan Ekariyono 2007). Masyarakat yang merupakan pendatang baru dan musiman untuk mereka Balai TNGHS menawarkan kebijakan dan strategi yang berbeda, untuk tipologi

58 32 masyarakat seperti ini digunakan kebijakan meminimalkan kesempatan perilaku free riding. Kebijakan ini menurunkan tiga strategi yaitu peningkatan kapasitas masyarakat, aksi kolektif menolak penunggang bebas (free rider), dan penyelesaian konflik atau meminimalkan konflik, serta penguatan kelembagaan (Supriyanto dan Ekariyono 2007). Kondisi output dari suatu pengelolaan sumberdaya dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu (Bryson 2004): 1. Win/win: yaitu dimana kondisi lingkungan terjaga dengan baik dan kesejahteraan masyarakat meningkat. 2. Win/lose: yaitu dimana kualitas lingkungan meningkat akan tetapi kesejahteraan masyarakat menurun 3. Lose/win: yaitu dimana kualitas lingkungan menurun sementara kesejahteraan masyarakat meningkat 4. Lose/lose: yaitu dimana kondisi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat sama-sama menurun.

59 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi Penelitian III. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di koridor TNGHS. Koridor TNGHS berada dalam dua kabupaten yaitu Kabupaten Sukabumi (Kecamatan Kabandungan dengan desa Cihamerang, Cipeuteuy, dan Kabandungan) dan Kabupaten Bogor (Desa Purasari di Kecamatan Leuwiliang dan Desa Purwabakti di Kecamatan Pamijahan). Peta TNGHS dapat dilihat pada Gambar 2 dan peta batas administrasi koridor TNGHS dapat dilihat pada Gambar 3. Sumber: Balai TNGHS (2008). Gambar 2 Peta TNGHS.

60 34 Sumber: Balai TNGHS Gambar 3 Peta batas administrasi koridor TNGHS Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini yaitu pengamatan di lapangan, dilakukan pada bulan Oktober 2010 sampai dengan Juni Bahan dan Alat Penelitian Bahan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Tali plastik, kayu pancang, cat, alkohol 70%, kantung plastik, spidol, tally sheet, pinsil, buku catatan, dan lain-lain.

61 Alat Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Teropong binokuler, GPS (Global Positioning System), kamera digital, stop watch, haga meter, kompas, gunting, parang, jangka sorong, meteran, peta kerja, peta rupa bumi Indonesia (RBI), ASTER GDEM (Global Digital Elevation Model), dan lain-lain Pelaksanaan Penelitian Owa Jawa Metode yang digunakan untuk pengamatan populasi owa jawa adalah Line Transect Sampling Methods seperti yang dilakukan oleh Yanuar et al. (2009). Metode ini sering digunakan di hutan tropika untuk menghitung kelimpahan relatif dan estimasi kerapatan berbagai jenis mamalia dengan berat badan lebih dari 1 kg (Wallace et al. 1998). Aswan (2009) melakukan penelitian Studi Komparasi Metode Inventarisasi dalam Pendugaan Ukuran Populasi Owa Jawa di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Penelitiannya menggunakan tiga metode yaitu: Metode strip transect, Metode Line Transect, dan Metode Variable Circular Plot. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Metode Line Transect merupakan metode inventarisasi yang paling efektif untuk owa jawa. Pemilihan lokasi transect untuk sampel ditentukan berdasarkan survey pendahuluan, dari hasil penelitian sebelumnya, serta informasi dari staf Balai TNGHS dan masyarakat yang berada di koridor TNGHS, tentang informasi sebaran kelompok owa jawa dan tipe habitat yang disukainya di koridor TNGHS. Ttransect yang dibuat adalah tujuh lokasi dengan jarak antar transect 1 km, masing-masing transect diberi nama menurut nama lokasinya yaitu transect 1 Sukagalih, 2 Cilodor, 3 Guesthouse (GH), 4 Cisarua, 5 Cipicung, 6 Ciherang, dan 7 Cipanas. Panjang transect adalah 700 m yaitu berdasarkan lebar koridor TNGHS (Cahyadi 2003) dan lebar transect adalah 100 m yaitu 50 m ke kiri dan 50 m ke kanan dari garis tengah transect, dengan asumsi jarak pandang manusia adalah 50 m (Subekti et al. 2001). Pengamatan dilakukan dengan cara menyusuri transect dan berhenti pada saat perjumpaan dengan satu individu atau kelompok owa jawa (Suyanti et al. 2009). Pengamatan dilakukan dua kali sehari sesuai dengan pola aktifitas harian kelompok owa jawa yaitu pada pagi hari (jam WIB) dan sore hari

62 36 (jam WIB), ulangan dilakukan 16 kali pada masing-masing transect, yaitu satu kali pengamatan pada masing-masing transect tiap seminggu (7 hari). Data yang diambil adalah posisi koordinat pendeteksian dengan GPS, lokasi atau nomor jalur, jumlah individu, komposisi kelompok, kelas umur, dan habitat tempat owa jawa ditemukan. Untuk jumlah kelompok dalam satu lokasi dan jumlah individu, data yang diambil adalah jumlah tertinggi yang pernah ditemui. Pencatatan jumlah, distribusi, dan komposisi kelompok owa jawa dilakukan dengan Metode Sensus (SCNP 1981). Desain Line Transek Methods dapat dilihat pada Gambar m Arah Transect 50 m Gambar 4 Desain Line Transect Methods. Kerapatan kelompok dan kerapatan populasi owa jawa ditentukan dengan rumus sebagai berikut: Kerapatan kelompok = Jumlah kelompok Luas transect (km 2 ) Kerapatan populasi = Jumlah individu Luas transect (km 2 ) Distribusi kelompok owa jawa ditentukan dengan memplotkan data titik koordinat identifikasi kelompok owa jawa yang diperoleh di lapangan pada peta koridor TNGHS dengan menggunakan software Arc GIS 9.3. Data titik koordinat yang sudah diplotkan pada peta koridor TNGHS menghasilkan peta distribusi kelompok owa jawa pada setiap lokasi penelitian. Untuk mengetahui komposisi kelompok owa jawa, data yang dicatat adalah jumlah individu berdasarkan kelas umur (Iskandar 2007).

63 Habitat Owa Jawa Kesesuaian Habitat Owa Jawa Analisis spasial tingkat kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS dimulai dengan pengumpulan data primer dan sekunder yang meliputi peta digital, data survey lapangan, dan literatur seperti yang dilakukan oleh Dewi (2005). Komponen lingkungan yang digunakan dititik beratkan pada faktor-faktor penentu kualitas habitat owa jawa yaitu tutupan lahan, jarak dari areal pertanian, jarak dari permukiman, jarak dari jalan, ketinggian tempat, jarak dari sungai, dan kemiringan lereng. Hasil survey lapangan distribusi kelompok owa jawa di koridor TNGHS, digunakan sebagai dasar dalam penentuan nilai bobot setiap variabel. Hasil pembobotan dan dukungan literatur digunakan untuk membangun suatu model kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS. Analisis peta dilakukan terhadap peta rupa bumi Indonesia (RBI) untuk mendapatkan peta areal pertanian, permukiman, jalur jalan, dan distribusi sungai. Peta tutupan lahan diolah dari data vector tutpan lahan TNGHS, dan dari data ASTER GDEM (Global Digital Elevation Model) diperoleh peta ketinggian tempat dan kemiringan lereng. Hasil survey lapangan data titik perjumpaan dengan kelompok owa jawa menghasilkan peta distribusi kelompok owa jawa. Tahapan analisis untuk membuat peta kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS adalah penentuan skor dan bobot. Urutan skor dilakukan berdasarkan pertimbangan pada kebutuhan hidup owa jawa pada masing-masing faktor habitat yang digunakan, makin baik kriteria yang dipilih atau makin menguntungkan untuk kehidupan owa jawa maka makin tinggi nilai skor yang diberikan. Skor dibuat menjadi tiga tingkatan pada masing-masing layer yaitu 1 untuk nilai rendah, 2 untuk nilai sedang, dan 3 untuk nilai tinggi. (A) Jenis Data Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data primer yaitu data survey lapangan yang dilakukan untuk mendapatkan data titik koordinat perjumpaan dengan kelompok owa jawa, jarak dari areal pertanian, jarak dari permukiman, jarak dari jalan, ketinggian tempat, jarak dari sungai, dan kemiringan lereng. Data sekunder diperoleh dari Balai TNGHS yaitu peta-peta digital kawasan TNGHS yang terdiri dari: peta tutupan lahan, topografi

64 38 (ketinggian tempat dan kemiringan lereng, yang dibuat dari ASTER GDEM), peta jarak dari areal pertanian, jarak dari permukiman, jarak dari jalan, dan jarak dari sungai yang dibuat dari peta rupa bumi Indonesia (RBI). (B) Pembangunan Data Spasial Peta ketinggian tempat dan kemiringan lereng dibuat dengan melakukan pengolahan data ASTER GDEM wilayah TNGHS. Proses pembuatan peta-peta tersebut adalah seperti pada Gambar 5. Data ASTER GDEM 3D Analyst Peta Ketinggian Tempat Peta Kemiringan Lereng Gambar 5 Proses pembuatan peta ketinggian tempat dan kemiringan lereng. Nilai bobot ditentukan dengan pertimbangan pribadi (personal adjustment), yaitu nilai tinggi diberikan untuk faktor habitat yang dianggap paling mempengaruhi kehidupan owa jawa. Nilai bobot yang diberikan adalah sebagai berikut: 30 untuk tutupan lahan, 15 masing-masing untuk jarak dari areal pertanian, jarak dari permukiman, dan jarak dari jalan, 10 masing-masing untuk ketinggian tempat dan jarak dari sungai, dan 5 untuk kemiringan lereng. Faktor kelas penyusun peta kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS meliputi tutupan lahan (Fk1), jarak dari areal pertanian (Fk2), jarak dari permukiman (Fk3), jarak dari jalan (Fk4), ketinggian tempat (Fk5), jarak dari sungai (Fk6), dan kemiringan lereng (Fk7). Kemudian dilakukan overlay dan analisis spasial, sehingga didapat persamaan: Total Skor = a Fk1 + b Fk2 + c Fk3 + d Fk4 + e Fk5 + f Fk6 + g Fk(7) dimana a sampai g menunjukkan nilai bobot yang digunakan. Langkah berikutnya adalah perhitungan nilai indeks kesesuaian habitat owa jawa dan validasinya. Dari nilai indeks kesesuaian habitat owa jawa dilakukan analisis deskriptif habitat owa jawa. Tahapan analisis kesesuaian habitat owa jawa dapat dilihat pada Gambar 6.

65 39 Tutupan Lahan (Fk1) Analisis Peta Survey Lapangan ASTER GDEM Rupa Bumi Indonesia (RBI) Lokasi Perjumpaan Kelompok Owa Jawa Tinggi (Fk5) Lereng (Fk7) Pertanian (Fk2) Rumah (Fk3) Jalan (Fk4) Sungai (Fk6) Peta Distribusi Kelompok Owa Jawa Penentuan Nilai Bobot Overlay Analisis Spasial Skor Kumulatif = afk1+bfk2+cfk3+dfk4+efk5+ffk6+gfk7 Ditolak Peta Kesesuaian Validasi Habitat Owa Jawa Diterima Peta Kesesuaian Habitat Owa Jawa di Koridor TNGHS Gambar 6 Alur pembuatan peta kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS.

66 40 (C) Analisis Data (a). Analisis Spasial Analisis spasial dilakukan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) berdasarkan metode tumpang tindih (overlay), pengkelasan (class), pembobotan (weighting), dan pengharkatan (scoring). Komponen lingkungan yang digunakan dalam analisis spasial kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS, difokuskan pada faktor-faktor yang menentukan kualitas habitat owa jawa. Faktor-faktor tersebut yaitu meliputi ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur, ketersediaan air, ketersediaan ruang untuk pergerakan, dan keamanan dari tekanan atau gangguan akibat predator dan aktifitas manusia. Pemodelan spasial dilakukan dengan menggunakan menu builder dengan program Arc GIS 9.3. Faktor-faktor penyusun model yang dianggap berpengaruh terhadap kesesuaian habitat owa jawa disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Faktor penyusun model kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS Parameter Keterangan Tutupan lahan Tutupan lahan mempunyai fungsi yang sangat penting bagi kehidupan owa jawa, jenis tutupan lahan berupa hutan primer merupakan tempat yang paling baik bagi kehidupan owa jawa Jarak dari areal pertanian Areal pertanian merupakan faktor pembatas kondisi habitat owa jawa, karena areal pertanian tidak dapat digunakan oleh owa jawa sebagai habitat Jarak dari permukiman Keberadaan penduduk di permukiman akan membuat owa jawa terganggu baik secara langsung maupun tidak langsung akibat aktifitas manusia Jarak dari jalan raya Tekanan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung merupakan faktor pembatas bagi kehidupan owa jawa. Jalan dapat menimbulkan kebisingan dan meningkatkan aksesibilitas manusia ke habitat owa jawa Ketinggian tempat Ketinggian tempat akan mempengaruhi ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur owa jawa, karena ketinggian tempat akan menentukan keanekaragaman jenis tumbuhan di lokasi itu. Semakin tinggi tempat dari permukaan bumi, maka keanekaragaman jenis tumbuhannya akan semakin berkurang

67 41 Tabel 1 (lanjutan) Parameter Keterangan Jarak dari sungai Keragaman jenis tumbuhan di tepi sungai lebih tinggi, karena tumbuhan yang hidup dekat dengan sungai akan mendapatkan kebutuhan mineral yang cukup, dengan demikian kebutuhan pohon pakan owa jawa tersedia Kemiringan lereng Kemiringan lereng menentukan keamanan owa jawa dari gangguan predator dan manusia, pada kemiringan lereng tinggi owa jawa akan lebih aman dari gangguan predator dan manusia karena susahnya predator dan manusia mencapai lokasi tersebut Skoring yang diberikan pada masing-masing layer ditentukan berdasarkan metode ranking, sesuai dengan kebutuhan owa jawa dalam memilih habitat tempat mencari makan, bergerak, dan beristirahat. Urutan skoring diberikan berdasarkan pertimbangan pada kebutuhan hidup owa jawa, makin baik kriteria yang diberikan makin tinggi nilai skoringnya, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Skor dan bobot faktor penyusun model peta kesesuaian habitat owa jawa Parameter Tingkatan Skala Skor Bobot Tutupan lahan Tinggi Hutan 3 30 Rendah Non Hutan 1 Jarak dari areal pertanian Jauh > m 3 15 Sedang m 2 Dekat < m 1 Jarak dari permukiman Jauh > m 3 15 Sedang m 2 Dekat < m 1 Jarak dari jalan Jauh > m 3 15 Sedang m 2 Dekat < m 1 Ketinggian tempat Rendah < m dpl Sedang m dpl. 2 Tinggi > m dpl. 1 Jarak dari sungai Dekat < 500 m 3 10 Sedang m 2 Jauh > m 1 Kemiringan lereng Tinggi > 40% 3 5 Sedang 30-40% 2 Rendah <40% 1

68 42 Selanjutnya dilakukan pengolahan peringkat dan bobot pada masing-masing faktor kesesuaian habitat owa jawa, kemudian ditentukan sempadan (buffer). Pemberian bobot/peringkat didasarkan pada nilai kepentingan atau kesesuaian bagi habitat owa jawa di koridor TNGHS. Model matematika yang digunakan adalah: a. Nilai skor klasifikasi kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS: Keterangan: Skor Kumulatif = Σ [ W i x F ki ] Skor Kumulatif = Nilai dalam penetapan klasifikasi kesesuaian habitat W i F ki = Bobot untuk setiap parameter = Faktor skor kelas dalam parameter b. Nilai skor klasifikasi kesesuaian habitat owa jawa, ditentukan berdasarkan: Sangat sesuai = rata-rata + Standar deviasi Sesuai = rata-rata ± Standar deviasi Kurang sesuai = rata-rata Standar deviasi c. Model Indeks Kesesuaian Habitat (IKH) owa jawa di koridor TNGHS adalah: Total Skor Kesesuaian Habitat = (af 1 ) + (bf 2 ) + (cf 3 ) + (df 4 ) + (ef 5 ) + (ff 6 ) + (gf 7 ) Keterangan: a sampai g adalah nilai bobot yang digunakan F 1 = skor kesesuaian tutupan lahan F 2 = skor kesesuaian jarak dari areal pertanian F 3 = skor kesesuaian jarak dari areal permukiman F 4 = skor kesesuaian jarak dari jalan F 5 = skor ketinggian tempat F 6 = skor jarak dari sungai K 7 = skor kemiringan lereng d. Nilai validasi kesesuaian habitat owa jawa ditentukan dengan rumus: Keterangan: Validasi = n x 100% N Validasi = Persentase kepercayaan n N = Jumlah kelompok owa jawa pada satu klasifikasi kesesuaian = Jumlah total kelompok owa jawa

69 43 (b). Analisis Deskriptif Hasil analisis spasial kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS, dideskripsikan dengan mempertimbangkan keterkaitan antara faktor habitat dengan sebaran kelompok owa jawa di koridor TNGHS Analisis Vegetasi Habitat Owa Jawa Vegetasi merupakan faktor yang sangat penting untuk menentukan penggunaan habitat oleh owa jawa. Owa jawa lebih menyukai areal dengan vegetasi pohon-pohon yang tinggi dengan tajuk yang rapat dan kanopi yang saling tersambung, sesuai dengan kehidupannya yang arboreal atau pada tajuk pohon dan melakukan pergerakan secara brakhiasi atau melompat dari satu cabang pohon ke cabang pohon lainnya. Untuk kelangsungan hidupnya owa jawa membutuhkan jenis pohon-pohon tertentu sebagai pohon sumber makanan, tempat tidur dan tempat berlindung, serta untuk pergerakan (Iskandar 2007). Pengambilan sampel untuk data vegetasi habitat owa jawa dilakukan dengan membuat tiga petak contoh sepanjang line transect sampling pengamatan populasi owa jawa yang dianggap mewakili habitat, dimana kelompok owa jawa ditemukan seperti yang dilakukan oleh Bangun et al. (2009). Petak contoh yang dibuat berukuran 20 x 20 m, untuk mengamati tumbuhan tingkat pohon yaitu dengan diameter batang setinggi dada minimal 20 cm. Dalam plot berukuran 20 x 20 m dibuat anak plot berukuran 10 x 10 m untuk mengamati tumbuhan tingkat tiang yaitu tumbuhan dengan diameter antara 10 sampai 19 cm. Di dalam plot berukuran 10 x 10 m dibuat anak plot berukuran 5 x 5 m, untuk mengamati tumbuhan tingkat pancang, yaitu permudaan dengan tinggi lebih dari 1,5 m dan diameter batang kurang dari 10 cm. Terakhir dalam plot berukuran 5 x 5 m dibuat lagi anak plot berukuran 2 x 2 m untuk mengamati tumbuhan tingkat semai yaitu permudaan dengan tinggi kurang dari 1,5 m (Kusmana 1997). Desain plot Metode Garis Berpetak dapat dilihat pada Gambar 7. Ketersediaan pakan owa jawa di koridor TNGHS, diketahui dari data jenis pohon yang dibutuhkan oleh owa jawa untuk pohon pakan. Jenis-jenis pohon pakan ini diketahui dari literatur, penelitian sebelumnya seperti penelitian yang dilakukan oleh Iskandar (2007). Data yang diambil meliputi nama jenis, famili, jumlah individu, dan diameter setinggi dada. Tumbuhan yang tidak diketahui

70 44 jenisnya, diambil sampelnya untuk diidentifikasi di laboratorium menggunakan kunci determinasi. 10 m B 5 m C 10 m Arah jalur D 2 m A 20 m Keterangan: Gambar 7 Desain plot Metode Garis Berpetak. Plot A: ukuran 20 x 20 m untuk vegetasi tingkat pohon (diameter minimal 20 cm). Plot B: ukuran 10 x 10 m untuk vegetasi tingkat tiang (diameter antara 10 sampai 19 cm). Plot C: ukuran 5 x 5 m untuk vegetasi tingkat pancang (permudaan dengan tinggi lebih dari 1,5 m dan diameter kurang dari 10 cm). Plot D: ukuran 2 x 2 m untuk vegetasi tingkat semai (permudaan dengan tinggi mencapai 1,5 m). Data hasil pengamatan dan pengukuran vegetasi yang diperoleh dari lapangan, dianalisis untuk mengetahui indeks nilai penting (INP). Indeks nilai penting suatu jenis tumbuhan berkisar antara 0 sampai dengan 300, ini memberikan gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan dalam komunitas tersebut (Kusmana 1995). Keterangan: Formula yang digunakan untuk menentukan INP yaitu: INP = KR + DR + FR Kerapatan jenis ke-i (Ki) = Jumlah individu jenis ke-i Luas total petak contoh (ha) Kerapatan Relatif (KR) = (Ki)/ ΣKi) X 100% Dominansi jenis ke-i (Di) = Luas bidang dasar jenis ke-i Luas total petak contoh (ha)

71 45 Dominansi Relatif (DR) = (Di/ ΣDi) X 100% Frekuensi jenis ke-i (Fi) = Jumlah petak contoh ditemukan jenis ke-i Jumlah total petak contoh Frekuensi Relatif (FR) = (Fi/ ΣFi) X 100% Tekanan terhadap Owa Jawa Kelestarian owa jawa di koridor TNGHS, sangat ditentukan oleh kuantitas dan kualitas habitatnya. Kuantitas dan kualitas habitat ini, sangat dipengaruhi oleh aktifitas penduduk di koridor TNGHS. Untuk ini di lakukan analisis sosial ekonomi penduduk yang ada di koridor TNGHS, untuk mengetahui dan merencanakan upaya-upaya konservasi owa jawa di koridor TNGHS. Hal ini bertujuan sebagai saran pengelolaan koridor TNGHS, untuk habitat owa jawa. Data yang digunakan pada analisis sosial ekonomi penduduk di koridor TNGHS adalah data sekunder yang di dapat dari hasil penelitian terdahulu dan dari Balai TNGHS. Data sosial ekonomi penduduk di koridor TNGHS diperoleh dari data sekunder, sehingga datanya relatif lama dan ini merupakan kelemahan dari data ini.

72

73 46 IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1. Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Sejarah Kawasan TNGHS Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) merupakan taman nasional terluas di Pulau Jawa yang kaya akan keanekaragaman hayati, keindahan bentang alam dan beragam budaya tradisional. Ketiganya membentuk suatu karakter ekosistem yang sangat unik sebagai gudang ilmu pengetahuan, penelitian, sekaligus sebagai objek wisata alam. TNGHS juga merupakan salah satu taman nasional yang memiliki ekosistem hutan hujan tropis pegunungan terluas di Pulau Jawa (GHSNPMP-JICA. 2007b). Secara Geografis TNGHS terletak pada BT BT dan LS LS. Secara administrasi wilayah kerja TNGHS terletak di Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Sukabumi dan Bogor) dan Propinsi Banten (Kabupaten Lebak). Pada tingkat kecamatan dan desa, terdapat 26 kecamatan (9 kecamatan bagian dari Kabupaten Bogor, 8 kecamatan bagian dari Kabupaten Sukabumi, dan 9 kecamatan bagian dari Kabupaten Lebak), dengan 108 desa yang sebagian atau seluruh wilayahnya berada di dalam atau berbatasan langsung dengan wilayah TNGHS. Sejak tahun 1935 berawal dari penetapan Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) seluas ha, merupakan awal ditetapkan Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH) menjadi salah satu taman nasional. Penetapan ini sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 282/Kpts-II/1992 tanggal 28 Pebruari 1992 dengan luas ha, di bawah pengelolaan sementara oleh Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGP) dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH). Pada tanggal 23 Maret 1997 pengelolaan kawasan TNGH resmi dipisah dari TNGP, yaitu dikelola langsung oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNGH dibawah Ditjen PHKA Departemen Kehutanan RI. Atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitarnya terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut yang terus terdesak akibat berbagai kepentingan masyarakat dan pembangunan sarana dan prasarana, serta adanya desakan dan harapan berbagai pihak untuk melakukan penyelamatan kawasan konservasi Halimun Salak yang lebih luas. Ditetapkan SK Menteri

74 47 Kehutanan No.175/Kpts-II/2003, tentang perubahan fungsi kawasan bekas Perum Perhutani atau bekas hutan lindung dan hutan produksi terbatas di sekitar TNGH menjadi satu kesatuan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dengan luas ha. Penunjukan Gunung Halimun, Gunung Salak, Gunung Endut dan kawasan hutan di sekitarnya sebagai salah satu taman nasional di Indonesia, karena kawasan ini mempunyai karakteristik kawasan pegunungan yang masih memiliki ekosistem hutan hujan tropis di Pulau Jawa. Kawasan ini selain berfungsi sebagai kawasan tangkapan air juga merupakan habitat satwa yang unik seperti owa jawa, elang jawa, dan macan tutul. Deforestasi menyebabkan kerusakan habitat dan ekosistem secara signifikan di kawasan hutan lindung dan hutan produksi di wilayah Gunung Salak dan sekitarnya, sehingga pemerintah memutuskan untuk melakukan alih fungsi hutan menjadi bagian dari kawasan TNGHS pada tahun Secara kumulatif, kerusakan habitat dan ekosistem di kawasan TNGHS disebabkan oleh berbagai kegiatan yaitu: penebangan di hutan produksi, kegiatan penebangan liar, dan bencana alam. Kegiatan illegal yang terjadi antara lain: penambangan (emas, panas bumi, dan galena), penebangan liar, perburuan satwa, dan eksploitasi flora yang bernilai ekonomi tinggi, serta perambahan untuk perluasan pemanfaatan lahan yang dijadikan permukiman, lahan pertanian, pembangunan infrastruktur (SUTET, jalan kabupaten dan propinsi, desa), pemanfaatan hasil hutan di dalam kawasan TNGHS dan kebutuhan lainnya (GHSNPMP-JICA 2008). Tahun 1995 sampai 2003 kawasan TNGH dipilih sebagai lokasi Proyek Konservasi Keanekaragaman Hayati dan dilanjutkan pada tahun 2004 sampai 2009 oleh Proyek Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia. Proyek ini merupakan proyek kerjasama antara pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA). Secara historis TNGHS sudah menjadi kawasan lindung dalam tradisi budaya masyarakat lokal, sedangkan secara administratif sama halnya dengan taman nasional lainnya di Indonesia TNGHS lahir dari perkembangan perubahan status dan bentuk pengelolaan beberapa kawasan hutan sebelumnya, seperti terlihat pada Tabel 3.

75 48 Tabel 3 Perkembangan perubahan status lahirnya TNGHS Tahun Status Status sebagai hutan lindung di bawah pemerintahan Belanda dengan Luas mencakup 39,941 hektar Status cagar alam di bawah pengelolaan pemerintah Belanda dan Republik Indonesia/ Djawatan Kehutanan Jawa Barat Status cagar alam di bawah pengelolaan Perum Perhutani Jawa Barat Status cagar alam di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya Alam III, yaitu Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat I Status cagar alam dikelola oleh Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Status taman nasional di bawah pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango Status taman nasional di bawah pengelolaan Balai Taman Nasional Gunung Halimun setingkat Eselon III Status penunjukan kawasan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun-Salak seluas hektar (merupakan penggabungan kawasan lama TNGH dengan eks hutan lindung Perum Perhutani Gunung Salak, Gunung Endut dan hutan produksi di sekitarnya). Beroperasi 2 perusahaan pertambangan dalam kawasan TNGHS, yaitu PT. Aneka Tambang dan PT. Chevron Geothermal Salak. PT. Aneka Tambang melakukan penambangan emas di Cikidang (Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak) dan Gunung Pongkor (Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor), sedangkan PT. Chevron Geothermal Salak melakukan penambangan panas bumi di kawasan Gunung Salak. Kedua perusahaan pertambangan tersebut mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan, sebelum alih fungsi hutan lindung dan hutan produksi menjadi hutan konservasi (TNGHS). Kawasan TNGHS dikelilingi pula oleh perusahaan perkebunan teh yaitu PT. Nirmala Agung, PTPN. VIII Cianten, PTPN. VIII Cisalak Baru, PT. Jayanegara, PT. Intan Hepta, PT. Yanita Indonesia, PT. Salak Utama, PT. Baros Cicareuh, PT. Hevea Indonesia (HEVINDO), dan PT Pasir Madang. Sekitar kawasan TNGHS juga terdapat banyak perusahaan yaitu: industri air minum dalam kemasan, PDAM, industri makanan, pertambangan, perkebunan, peternakan, industri garmen, industri elektronika dan lain-lain, yang sumber mata airnya sangat dipengaruhi oleh keadaan ekosistem di dalam kawasan TNGHS (GHSNPMP-JICA 2008).

76 49 Pengelolaan taman nasional di Indonesia dihadang oleh berbagai permasalahan, mulai dari kebijakan penetapannya, ketidakpastian hukum, dan tumpang tindih aturan, sampai pada masalah sosial budaya. Sejak taman nasional pertama ditetapkan, salah satu permasalahan adalah proses penetapannya yang jarang melibatkan semua pemangku kepentingan. Kawasan taman nasional ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah nasional dan dikelola langsung oleh Kementerian Kehutanan/melalui Balai Taman Nasional. Penetapan kawasan konservasi umumnya dan taman nasional khususnya tidak memperhatikan hakhak adat/tradisional masyarakat setempat. Cara penetapan bertabrakan dan menafikan pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat yang telah ada sejak lama (Moeliono et al. 2010) Penelitian Banyak peneliti yang melakukan penelitian di TNGHS karena beberapa alasan yaitu: - Lokasinya relatif dekat dari kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor, dan Bandung. - TNGHS merupakan kawasan hutan pegunungan terluas yang tersisa dan relatif terjaga di Pulau Jawa. - Terdapat sarana dan prasarana khusus untuk kegiatan penelitian seperti stasiun penelitian, jembatan tajuk (canopy), dan plot permanen. Stasiun penelitian yang terletak di Cikaniki juga menyediakan fasilitas untuk akomodasi para peneliti, di stasiun ini juga tersedia laboratorium yang memiliki peralatan standar seperti kulkas, lemari pembeku, oven pengering, mikroskop, timbangan elektronik dan lain-lain. Sarana dan prasarana ini sangat berguna bagi kegiatan penelitian hutan hujan tropis. Selain peneliti dari luar TNGHS, staf Balai TNGHS juga melakukan kegiatan pemantauan untuk jenis-jenis satwa dan tumbuhan yang dilindungi dan terancam punah di TNGHS. Jenis-jenis ini seperti owa jawa, elang jawa, macan tutul, dan beberapa jenis tumbuhan. Beberapa hasil kegiatan penelitian telah dibukukan dan terkumpul dalam kumpulan publikasi penelitian. Saat ini TNGHS menjadi salah satu taman nasional di Indonesia yang memiliki data yang cukup lengkap, seperti data flora dan fauna.

77 Aksesibilitas Kantor Balai TNGHS dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan melalui jalan darat. Perjalanan dari Jakarta memerlukan waktu sekitar 3 jam dengan jarak 125 km, melalui rute perjalanan Jakarta menuju Bogor terus ke Parungkuda dan Kabandungan. Sedangkan dari Bandung memerlukan waktu sekitar 4 jam dengan jarak 152 km dengan rute Bandung ke Sukabumi terus ke Parungkuda dan Kabandungan. Lokasi-lokasi lainnya di kawasan TNGHS seperti: Cikaniki, Citalahab, hutan koridor TNGHS, Ciptagelar atau lokasi-lokasi lainnya, untuk mencapainya lebih baik mempelajari terlebih dahulu peta jalur lokasi yang dituju, karena jalan masuk ke dalam kawasan TNGHS umumnya masih jalan berbatu yang akan lebih aman apabila ditempuh dengan menggunakan mobil khusus, sepeda motor, atau mungkin harus berjalan kaki Koridor TNGHS Koridor TNGHS merupakan areal memanjang dari Barat ke arah Timur yang menghubungkan Gunung Halimun dengan Gunung Salak. Wilayah koridor menjadi sangat penting karena berfungsi sebagai penghubung dua ekosistem utama di TNGHS yaitu ekosistem Gunung Halimun dengan Gunung Salak, sehingga berfungsi sebagai tempat terjadinya aliran genetik dalam pelestarian keanekaragaman hayati maupun fungsinya sebagai sistem penyangga kehidupan (Rinaldi et al. 2008). Sekarang koridor TNGHS telah terdegradasi, karena berbagai aktifitas pembangunan dan kegiatan masyarakat. Kegiatan masyarakat berupa adanya infrastruktur bangunan dan prasarana jalan, lahan pertanian, perladangan dan kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat alih penggunaan lahan hutan, serta masih dijumpai terjadinya kegiatan penebangan liar, pertambangan, dan pembukaan lahan (Rinaldi et al. 2008). Kondisi koridor TNGHS saat ini mengalami tekanan akibat tingginya aktifitas penduduk, maka upaya-upaya pengelolaan untuk mengembalikan fungsi koridor TNGHS menjadi sangat penting dilakukan. Fungsi koridor TNGHS yang dimaksud adalah sebagai penghubung dua ekosistem utama di TNGHS, yaitu antara ekosistem Gunung Halimun dengan ekosistem Gunung Salak. Diharapkan

78 51 kawasan koridor TNGHS untuk masa yang akan datang menjadi habitat yang baik bagi flora dan fauna, terutama yang terancam punah dan dilindungi, serta menjamin terjadinya aliran genetik dalam upaya pelestarian alam dan lingkungan di TNGHS (GHSNPMP-JICA 2009) Kemiringan Lereng Kemiringan lereng di kawasan koridor TNGHS sangat bervariasi dari datar sampai sangat curam. Kelas kemiringan lereng yang dominan di kawasan koridor TNGHS adalah kelas kemiringan lereng 15 sampai 25% dengan kondisi topografi landai, luasnya sekitar 1.292,89 hektar. Sepanjang lereng koridor TNGHS bagian Utara yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Bogor keadaan topografinya sangat curam, dengan kemiringan lereng besar dari 40%. Kawasan koridor TNGHS bagian ke Gunung Salak atau bagian Timur kemiringan lerengnya relatif lebih datar, dibandingkan dengan kawasan koridor bagian Gunung Halimun atau bagian Barat (GHSNPMP-JICA 2009). Lansekap Gunung Halimun selain mempunyai gunung-gunung yang tinggi ( m dpl), juga memiliki lembah ngarai dan patahan kulit bumi (Suryanti 2007) Jenis Tanah Jenis tanah di kawasan koridor TNGHS didominasi oleh jenis Latosol Coklat Kemerahan dan Latosol coklat, dengan luas sekitar 1.811,78 hektar. Jenis ini termasuk ke dalam tipe tanah Mediteran, jenis ini termasuk ke dalam jenis tanah yang kepekaannya sedang terhadap erosi (GHSNPMP-JICA 2009) Intensitas Hujan Wilayah koridor TNGHS terbagi menjadi dua wilayah intensitas hujan tahunan rata-rata, yaitu sedang (dengan curah hujan mm/tahun) dan tinggi (dengan curah hujan mm/tahun). Kawasan koridor TNGHS dengan intensitas hujan yang tinggi terdapat di bagian Utara yang sebagian besar wilayahnya termasuk ke dalam Kabupaten Bogor, sedangkan kawasan koridor TNGHS dengan intensitas hujan tahunan yang sedang terdapat di bagian Selatan yang sebagian besar wilayahnya termasuk ke dalam Kabupaten Sukabumi (GHSNPMP-JICA 2009).

79 Hidrologi Kawasan koridor TNGHS mempunyai peran yang sangat penting dalam pengaturan tata air bagi daerah-daerah di sekitarnya. Kawasan koridor TNGHS bagian Timur atau yang mengarah ke Bogor dan Tangerang, sungai terbesarnya adalah sungai Cianten. Sungai Cianten ini memiliki empat anak sungai yaitu anak sungai Cianten, Cimapag, Cigarehong, dan Cisurupa. Sungai besar yang mengalir dari koridor TNGHS menuju Sukabumi atau Samudera Hindia adalah sungai Citarik. Sungai ini berasal dari 7 buah anak sungai yaitu anak sungai Cisalimar, Ciawitali, Cipanas, Cisarua, Cipicung, Ciherang, dan Cipeuteuy (GHSNPMP- JICA 2009) Penutupan Lahan Interpretasi citra Ikonos (tanggal aquisisi 24 Agustus 2004) di wilayah koridor TNGHS menghasilkan 19 tipe penutupan lahan yang terdiri dari 5 kategori besar, yaitu: Natural Vegetation, Secondary Vegetation, Artificial Vegetation, Natural non Vegetation, dan Artificial non Vegetation. Tipe penutupan lahan terluas di kawasan koridor TNGHS adalah semak belukar yaitu sekitar 1.484,53 hektar dengan persentase 35,29%, berikutnya hutan sekunder dengan luas sekitar 759,06 hektar atau 18,05%. Koridor TNGHS dengan luas 4.206,18 hektar dan memiliki lebar rata-rata kurang dari 1,69 km, hanya mempunyai sekitar 216 hektar saja hutan alam primer, selebihnya didominasi oleh hutan sekunder dan semak belukar (GHSNPMP-JICA 2009). Hutan sekunder di kawasan koridor TNGHS terputus oleh semak belukar dan tumbuhan kaliandra, yang memanjang dari Utara ke Selatan. Beberapa spotspot areal merupakan semak belukar pegunungan dan padang paku andam. Bagian Utara koridor TNGHS (Kabupaten Bogor), berupa perkampungan Purwabakti dan Purasari, serta sebagian besar wilayahnya merupakan perkebunan teh PT. Cianten. Bagian Selatan koridor TNGHS (Kabupaten Sukabumi) merupakan perkampungan Cisarua dan Cipeuteuy, yang sebagian besar wilayahnya merupakan wilayah koridor TNGHS yang sudah dikelola oleh masyarakat sebelum koridor TNGHS ditetapkan. Tipe dan kategori penutupan lahan dengan luas masing-masing dan persentasenya di koridor TNGHS dapat dilihat pada Tabel 4.

80 53 Tabel 4 Luasan tipe penutupan lahan kawasan koridor TNGHS Tipe Kategori Luas Persentase penutupan lahan (ha) (%) Hutan primer Natural vegetation 216,00 6,38 Hutan sekunder Secondary vegetation 759,06 18,05 Kebun campuran Artificial vegetation 185,13 4,40 Hutan tanaman Artificial vegetation 42,05 1,00 Agathis Artificial vegetation 0,19 0,00 Pinus Artificial vegetation 28,30 0,67 Pertanian lahan kering Artificial vegetation 512,48 12,18 Perkebunan teh Artificial vegetation 514,63 12,24 Perkampungan Artificial non vegetation 24,90 0,59 Padang paku Natural vegetation 10,12 0,24 Padang rumput Natural vegetation 8,73 0,21 Jalan Artificial non vegetation 29,64 0,70 Sawah Artificial vegetation 234,13 5,57 Kolam Natural non vegetation 1,45 0,03 Sungai Natural non vegetation 13,76 0,33 Lahan terbuka Artificial non vegetation 54,96 0,31 Semak belukar Artificial vegetation 1.484,53 35,29 Semak belukar Natural vegetation 32,14 0,76 Pertabangan Artificial non vegetation 1,43 0,03 Sumber: GHSNP MP-JICA Interpretasi Citra Ikonos 24 Agustus 2004 (GHSNPMP-JICA 2009). Tutupan lahan di koridor TNGHS selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu, akibat aktifitas manusia. Perubahan tutupan lahan ini mengakibatkan berkurangnya luasan hutan dan bertambahnya luasan non hutan. Perubahan tutupan lahan di koridor TNGHS dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2001, dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Perubahan tutupan lahan di koridor TNGHS tahun 1990 sampai 2001 Tipe Vegetasi Tahun Perubahan (ha) Hutan Sekunder (ha) 666, , ,523 Semak belukar (ha) 269, , ,459 Areal Pertanian (ha) 1.355, , ,186 Kaliandra (ha) 0,0 33,796 33,796 Puspa (ha) 0,0 17,586 17,586 Perkebunan Teh (ha) 300, , ,620 Sumber: Cahyadi (2003)

81 Keanekaragaman Flora Flora yang ditemukan di koridor TNGHS sekitar 280 jenis, yang terdiri dari 197 genus dan 80 famili. Rincian flora yang terdapat di koridor TNGHS adalah: Pohon sebanyak 123 jenis (44%), pohon kecil sebanyak 61 jenis (21,8%), perdu, terna, dan epifit sebanyak 97 jenis (34,6%). Sebagian besar dari koridor TNGHS banyak ditumbuhi semak belukar, seperti paku andam (Dicranopteris linearis), tepus (Etlingera punicea), nampong (Clibadium surinamensis), dan jenis sekunder mendominasi koridor TNGHS sebanyak 70% (GHSNPMP-JICA 2009). Pada hutan yang agak utuh/sedikit terganggu yang terdapat di sekitar lereng gunung/bukit di koridor TNGHS, masih dijumpai jenis primer yang menjulang tinggi seperti: kihujan (Engelhardtia serrata), Castanopsis spp., Quercus sp., Lithocarpus spp., Litsea spp., serta beberapa jenis jambu-jambuan (famili Myrtaceae). Jenis-jenis tingkat pohon yang sudah jarang dijumpai dan termasuk flora langka yaitu palahlar (Dipterocarpus hasseltii), dan awi sengkol (Schizostachyum sp.), jenis lain seperti paku tiang (Cyatheacontaminans), Cinnamomum spp., dan rasamala (Altingia excelsa). Banyak jenis-jenis lainnya di hutan alam, yang kini keberadaannya semakin kritis (Rinaldi et al. 2008). Pada tingkat kerusakan yang lebih berat (hampir 80%) areal koridor TNGHS ditumbuhi oleh rerumputan seperti alang-alang (Imperata cylindrica) dan kirenyuh (Eupatorium inulifolium). Selanjutnya agak ke dalam terjadi perubahan komposisi tumbuhan, dan disini banyak dijumpai Macaranga spp. dan Ficus spp. Sedangkan tumbuhan bawahnya seperti cangkore (Dinochloa scandens), Calamus manan, Begonia sp., dan Cyrtandra sp. (Endangered Species Team 2008). Jenis-jenis tumbuhan hutan primer yang masih tersisa dan banyak dijumpai di Gunung Halimun dan Gunung Salak adalah puspa (Schima wallichii), kimerak (Weinmannia blumei), paku siuer (Cyathea junghuniana), dan beberapa jenis dari famili Fagaceae seperti: Quercus gemelliflora, Castanopsis argentea serta dari famili Lauraceae (Cryptocarya mentek dan Litsea robusta). Jarang dijumpai diameter pohon yang mencapai diatas 50 cm, kondisi seperti ini mencerminkan bahwa tingkat kerusakan hutan cukup tinggi. Tingkat kerusakan hutan yang tinggi ini, mengakibatkan pohon-pohon yang dijumpai merupakan pohon-pohon hasil regenerasi (Rinaldi et al. 2008).

82 55 Kenyataan bahwa tingkat kerusakan hutan relatif cukup tinggi di koridor TNGHS diperlihatkan oleh komposisi jenis pohon-pohon yang sebagian besar berupa jenis-jenis tumbuhan sekunder seperti yang diperlihatkan oleh beberapa jenis utama dari suku Euphorbiaceae dan Moraceae. Jenis paling umum yang mewakili suku Euphorbiaceae adalah Macaranga triloba, M. tanarius, Aporosa frutescens, Mallotus paniculatus, dan Homolanthus pupulneus, sedangkan dari suku Moraceae diwakili oleh berbagai jenis Ficus seperti Ficus grossuloides, F. sinuata, F. fistulosa, F. hirta, dan F. padana. Jenis-jenis tersebut merupakan jenis-jenis hutan sekunder yang banyak tumbuh pada kawasan hutan terganggu yang telah mengalami kerusakan (Rinaldi et al. 2008). Cerminan hutan terganggu di koridor TNGHS, dapat dilihat dari kelas tinggi pohon yang sebagian besar terdapat pada kisaran 10 sampai 15 meter. Jenis-jenis yang banyak mengisi kelas diameter dan kelas tinggi yang kecil ini antara lain adalah dari famili Euphorbiaceae, Symplocaceae, Melastomataceae, dan Cyatheaceae. Sedangkan kelompok famili Fagaceae, Juglandaceaea, Lauraceae, dan Theaceae umumnya berada pada kelas diameter diatas 30 cm. Jenis-jenis yang berada pada kelas diameter dan kelas tinggi yang relatif besar diperlihatkan oleh Lithocarpus sp., Quercus gemelliflora, Egelhardia serreta, Schima wallichii, dan Altingia excelsa. Jika dilihat dari tinggi pohon, maka sebahagian besar pohon tidak mencapai lapisan A (tinggi > 30 m), akan tetapi banyak terdapat pada lapisan B (tinggi m), dan lapisan C (tinggi < 20 m). Untuk proses regenerasi pohon-pohon hutan yang tercatat dari anakan pohon, ternyata ada beberapa jenis pohon primer yang siap menggantikan jenis sekunder seperti jenis dari Lauraceae, Fagaceae, Cyatheaceae, Myrtaceae, dan Elaeocarpaceae (Endangered Species Team 2008). Adanya rumpang (gap) pada tajuk pohon akibat kerusakan hutan, mengakibatkan terangsangnya pertumbuhan jenis tumbuhan lantai hutan di koridor TNGHS seperti jenis herba kirenyuh (Eupatorium inulifolium), nampong (Clibadium surinamensis), dan nunut (Clidemia hirta). Berbagai jenis bambu juga banyak tumbuh, akibat terbukanya kanopi hutan. Lokasi yang kanopi hutannya agak tertutup seperti di lereng-lereng yang terjal, jenis yang banyak tumbuh yaitu jenis Begonia spp., dan keladi hutan (Colocasia esculenta) (Rinaldi et al. 2008).

83 56 Hutan yang tersisa di koridor TNGHS banyak ditumbuhi oleh rotan manau (Calamus manan), akibat terbukanya kanopi hutan maka rotan manau ini dapat tumbuh dengan subur. Potensi lain di kawasan hutan koridor TNGHS juga diperuntukkan sebagai sumber pakan hewan seperti kelelawar, dan mamalia kecil lainnya, serta beberapa jenis tumbuhan yang berpotensi sebagai tanaman hias. Terdapat beberapa jenis penting yang perlu diperhatikan terutama palahlar (Dipterocarpus hasselthi) dan beberapa jenis dari famili Fagaceae seperti saninten (Castanopsis javanica) dan pasang (Quercus oldocarpa), serta dari famili Lauraceae seperti kilimo (Litsea cubeba) dan kimanis (Cinnamomum sp.) (Endangered Species Team 2008). Vegetasi tingkat belta di koridor TNGHS ada sebanyak 110 jenis, yang termasuk ke dalam 81 genus dan 41 famili. Jenis-jenis belta yang dijumpai di koridor TNGHS, antara lain Ficus sp., Prunus arborea, Psychotria viridiflora, dan Symplocos sp. (GHSNPMP-JICA 2009) Keanekaragaman Fauna Jenis-jenis primata yang ditemui di koridor TNGHS yaitu owa jawa (Hylobates moloch) yang mempunyai peranan penting sebagai penyebar bibit pohon, surili (Presbytis commata), lutung jawa (Trachypithecus auratus), dan monyet (Macaca fascicularis). Sebahagian besar sebaran primata khususnya owa jawa dan lutung dijumpai di wilayah Gunung Halimun, sedangkan di wilayah Gunung Salak tidak banyak dijumpai primata. Walaupun ada informasi mengenai keberadaan primata yang diperoleh melalui wawancara dengan masyarakat, kurangnya keberadaan primata di koridor TNGHS wilayah Gunung Salak, diduga karena tingginya aktifitas manusia di wilayah ini (GHSNPMP-JICA 2009). Terdapat 56 jenis burung di koridor TNGHS, 16 jenis diantaranya dilindungi menurut PP No. 7/ tahun 1999, bahkan 6 jenis diantaranya termasuk Lampiran 2 CITES yang dilindungi perdagangannya, serta elang jawa termasuk jenis yang terancam punah menurut buku daftar merah IUCN. Selain itu juga terdapat empat jenis burung pemangsa, yaitu: elang ular bido (Spilornis cheela), elang hitam (Ictinaetus malayensis), elang jawa (Spizaetus bartelsi), dan alap-alap capung (Microchierax fringilarius). Keberadaan burung pemangsa ini menandakan bahwa, kawasan koridor TNGHS memiliki sumberdaya yang cukup untuk

84 57 menunjang kehidupan mereka. Keberadaan burung pemangsa tersebut biasanya dijadikan indikator untuk menilai kondisi hutan primer yang menjadi habitatnya (GHSNPMP-JICA 2009). Jenis-jenis burung yang umum di jumpai pada hutan terganggu di koridor TNGHS yaitu srigunting kelabu (Dicrurus leocophaeus), pelanduk semak (Malacocincla sepiarium), tepus pipi perak (Stachyris melanothorax), dan pijantung kecil (Arachnothera longirostra). Penggunaan habitat oleh burungburung tersebut tidak terbatas pada satu tipe saja, akan tetapi beberapa jenis burung dapat menggunakan lebih dari satu tipe habitat. Jenis burung yang menggunakan dua tipe habitat yaitu habitat hutan alam dan habitat hutan terganggu ada 10 jenis, burung yang menggunakan seluruh tipe habitat ada 6 jenis yaitu Cacomantis merulinus, Dicrurus leucophaeus, Alophoixus bres, Orthotomus sepium, Dicaeum trigonostigma, dan Arachnothera longirostra (Endangered Species Team 2008). Tercatat dan teridentifikasi 9 jenis mamalia yang termasuk ke dalam 7 famili di koridor TNGHS. Jenis-jenis tersebut yaitu musang (Paradoxurus hermaproditus) dari famili Viverridae, babi hutan (Sus scrofa) dari famili Suidae, tupai (Tupai sp.) dari famili Tupaidae, Sigung (Mydaus javanensis) dan sero ambrang (Amblonyx cinereus) dari famili Mustelidae, trenggiling (Manis javanica) dari famili Manidae, kucing hutan (Prionailurus bengalensis) dan macan tutul (Panthera pardus melas) dari famili Felidae, dan muncak (Muntiacus muntjak) dari famili Cervidae (Endangered Species Team 2008) Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk di Koridor TNGHS Koridor TNGHS berada pada dua kabupaten yaitu Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor. Kabupaten Sukabumi berada pada Kecamatan Kabandungan, dengan desa Cihamerang, Cipeuteuy, dan Kabandungan. Kabupaten Bogor berada pada Kecamatan Leuwiliang yaitu Desa Purasari dan Kecamatan Pamijahan yaitu Desa Purwabakti. Bagian Utara koridor TNGHS seluas 1.662,78 hektar masuk wilayah Kabupaten Bogor, sedangkan bagian Selatan koridor TNGHS seluas 2.533,00 hektar masuk wilayah Kabupaten Sukabumi. Perbatasan wilayah koridor TNGHS antara Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi

85 58 terletak memanjang dari Barat ke Timur, yang merupakan bagian tertinggi atau puncak bukit dari kawasan koridor TNGHS (GHSNPMP-JICA 2009). Pembangunan wilayah di koridor TNGHS untuk menyediakan sarana dan prasarana seperti: jalur sutet (saluran listrik tegangan tinggi), jalan kabupaten yaitu yang menghubungkan Kabupaten Bogor dengan Kabupaten Sukabumi yang memotong koridor TNGHS di daerah Cianten dan Cisarua, dan jalan-jalan perusahaan yang memotong koridor TNGHS (GHSNPMP-JICA 2009), merupakan tekanan terhadap hutan dan ancaman terhadap keberadaan satwasatwa di koridor TNGHS Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Jumlah penduduk di koridor TNGHS dengan aktifitas mereka, akan menentukan tingkat tekanan terhadap koridor TNGHS. Jumlah penduduk tahun 1989 sampai tahun 2004 dan proyeksi jumlah penduduk tahun 2020, menunjukkan terjadi peningkatan jumlah penduduk di koridor TNGHS. Data penduduk di koridor TNGHS tentang pertumbuhan jumlah penduduk tahun 1989 sampai tahun 2004 ada pada Tabel 6, dan proyeksi jumlah penduduk tahun 2020 ada pada Tabel 7. Tabel 6 Pertumbuhan jumlah penduduk di koridor TNGHS tahun Lokasi Jumlah Penduduk (Jiwa) Kabandungan Cipeutey Cisarua Cipanas Sumber: Yatap 2008 Tabel 7 Pertumbuhan penduduk tahun dan perkiraan jumlah penduduk tahun 2020 di koridor TNGHS Desa Laju pertumbuhan Proyeksi jumlah penduduk penduduk tahun tahun 2020 (%/tahun) (jiwa) Kabandungan 3, Cipeuteuy 3, Cisarua 1, Cipanas 2, Sumber: Diolah dari Yatap 2008

86 Tingkat Pendidikan Penduduk Tingkat pendidikan penduduk di koridor TNGHS sebagian besar (76,58%) berada pada tingkat SD sampai SLTP, diikuti oleh penduduk yang tidak tamat SD (16,26%), SLTA 5,67%, Diploma 1,32%, dan Sarjana 0,17%. Tingkat pendidikan penduduk di koridor TNGHS dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Tingkat pendidikan penduduk di koridor TNGHS Desa Tidak tamat SD-SLTP SLTA Diploma S1 Jumlah SD (orang) (orang) (orang) (orang) (orang) (orang) Kabandungan Cipeuteuy Jumlah (orang) Persentase (%) 16,26 76,58 5,67 1,32 0, Sumber: Diolah dari Warlian (2004) Struktur Penduduk menurut Umur Struktur penduduk menurut umur, akan menentukan aktifitas mereka di koridor TNGHS. Struktur penduduk menurut umur di koridor TNGHS dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Struktur penduduk menurut umur di koridor TNGHS Desa Umur penduduk (tahun) >60 Jumlah (jiwa) Kabandungan Cipeuteuy Jumlah Persentase (%) 37,13 6,43 52,64 3,80 Sumber: Warlian 2004 Persentase struktur penduduk menurut umur tertinggi di koridor TNGHS berada pada umur 19 sampai 59 tahun yaitu 52,64%, diikuti oleh 0 sampai 15 tahun yaitu 37,13%, 16 sampai 18 tahun 6,43%, dan diatas 60 tahun yaitu 3,8% Pekerjaan Penduduk Secara umum pekerjaan penduduk di koridor TNGHS adalah sebagai petani, pekerja perkebunan teh, pedagang, buruh bangunan, dan bekerja di luar daerah. Desa Cipeuteuy sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani (1.192 orang), sebagai buruh tani (425 orang), buruh perkebunan swasta (80 orang),

87 PNS/TNI (6 orang). Desa Kabandungan beberapa penduduknya bekerja sebagai PNS, sopir, dan montir. Penduduk Desa Purasari memiliki pekerjaan sebagai pedagang (181 orang) dan pengemudi (24 orang). Penduduk Desa Purwabakti yang bekerja sebagai petani 425 orang, sebagai buruh perkebunan sebanyak 420 orang, dan 7 orang sebagai PNS TNI (GHSNPMP-JICA 2009). Pekerjaan penduduk di koridor TNGHS dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Pekerjaan penduduk di koridor TNGHS Pekerjaan Desa Persentase Cpeuteuy Purwabakti (%) Petani (orang) ,29 Buruh tani (orang) ,63 Buruh kebun teh (orang) ,57 PNS/TNI (orang) 6 7 0,51 Jumlah Sumber: Diolah dari GHSNPMP-JICA Penghasilan Penduduk Penghasilan penduduk sebagai pekerja perkebunan berkisar antara Rp ,- sampai Rp ,- per bulan. Pensiunan perkebunan mendapatkan uang pensiun sebesar Rp ,- sampai Rp ,- per bulan. Penghasilan pedagang, buruh tani, buruh ternak biasanya dihitung secara harian, yaitu rata-rata sebesar Rp ,- sampai Rp ,-. Petani dan peternak mendapatkan upah waktu hasil panen atau ternaknya di jual yaitu Rp ,- sampai Rp ,- per ekor ternak atau 80 gedeng padi untuk satu gedeng bibit padi (GHSNPMP- JICA 2009). Penghasilan penduduk di koridor TNGHS terlihat pada Tabel 11. Tabel 11 Penghasilan penduduk di koridor TNGHS Penghasilan Desa (kapita/bulan) Purwabakti Cipeuteuy Jumlah % Jumlah % Rendah (<Rp ) 26 86, ,0 Sedang (Rp Rp ) 4 13, ,3 Tinggi (> Rp ) ,7 Jumlah Sumber: Gunawan 2004 Rendahnya penghasilan penduduk di koridor TNGHS, disebabkan karena rendahnya harga komoditas pertanian yang mereka hasilkan. Penyebab rendahnya

88 61 harga komoditas pertanian di koridor TNGHS, adalah karena sulitnya trasportasi ke daerah ini, sehingga biaya transportasi untuk produk pertanian mereka menjadi lebih tinggi. Harga beberapa komoditas pertanian di koridor TNGHS dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Harga jual beberapa komoditas pertanian di koridor TNGHS Jenis komoditas Harga jual Cabe keriting (Rp./kg) Pisang (Rp./tandan) Cabe rawit (Rp./kg) Manggis (Rp./kg) Gabah kering (Rp./kg) Gabah basah (Rp./kg) 600 Jagung manis (Rp./kg) 600 Kacang merah (Rp./kg) 500 Kol (Rp./kg) 500 Tomat apel (Rp./kg) 400 Talas (Rp./kg) 400 Leuncak (Rp./kg) 250 Kacang panjang (Rp./kg) 250 Kacang buncis (Rp./kg) 150 Singkong (Rp./kg) 140 Ceisin (Rp./kg) 100 Sumber: Gunawan (2004) Jumlah Anggota Keluarga Jumlah anggota keluarga penduduk di koridor TNGHS berkisar dua sampai lebih dari enam orang. Persentase jumlah anggota keluarga terbesar yaitu 53,3% adalah 5 sampai 6 orang dan yang terkecil yaitu 6,7% adalah lebih dari 6 orang. Persentase jumlah anggota keluarga penduduk di koridor TNGHS dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Jumlah anggota keluarga di koridor TNGHS Jumlah anggota Desa keluarga Purwabakti Cipeuteuy Jumlah % Jumlah % Kecil (2-4 orang) 8 26, Sedang (5-6 orang) 16 53, ,3 Besar (> 6 orang) ,7 Jumlah Sumber: Gunawan 2004.

89 Pengeluaran Rumah Tangga Pengeluaran rumah tangga di koridor TNGHS yang dimaksud disini adalah, jumlah uang yang mereka belanjakan. Kebutuhan sehari-hari mereka berupa sayuran yang mereka peroleh dari ladang sendiri, tidak dihitung sebagai pengeluaran rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga di koridor TNGHS dapat dilihat pada Tabel 14 dan diperjelas dengan Gambar 9. Tabel 14 Pengeluaran rumah tangga di koridor TNGHS Jenis kebutuhan Jumlah (Rp. x 1.000,-/tahun) Perentase (%) Beras ,69 Pakaian ,43 Kesehatan 100 2,54 Sekolah anak 53 1,35 Sosial 200 5,08 Bepergian 200 5,08 Bercocok tanam 387 9,83 Jumlah (Rp. x 1.000,-) Sumber: Yatap Kepemilikan Lahan Persentase luas pemilikan lahan penduduk di koridor TNGHS disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Persentase luas pemilikan lahan penduduk di koridor TNGHS Desa Luas pemilikan lahan Purwabakti Cipeuteuy Jumlah % Jumlah % Sempit (< 0,25 ha) 25 83, ,3 Sedang (0,25 ha 0,5 ha) 4 13, ,3 Luas (> 0,5 ha) 1 3, ,3 Jumlah Sumber: Gunawan (2004) Waktu Tempuh Penduduk ke Hutan Waktu tempuh ke hutan yang dimaksud disini adalah, waktu yang diperlukan oleh penduduk dari rumah mereka ke areal yang masih berupa hutan di koridor TNGHS. Permukiman atau rumah penduduk ini sebenarnya berada dalam kawasan koridor TNGHS, akan tetapi penduduk telah terlebih dahulu bermukim di areal ini sebelum ditetapkan sebagai kawasan koridor TNGHS. Aktifitas

90 63 penduduk di hutan biasanya mencari kayu untuk dijadikan kayu bakar, mencari makanan ternak, mencari bahan sayuran seperti rebung bambu, dan lain-lain. Waktu tempuh penduduk ke hutan di koridor TNGHS dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Waktu tempuh penduduk ke hutan di koridor TNGHS Waktu tempuh Desa ke hutan Purwabakti Cipeuteuy Jumlah % Jumlah % Cepat (< 30 menit) 17 56,7 4 13,3 Sedang (30-60 menit) ,4 Lama (> 60 menit) 1 3,3 1 3,3 Jumlah Sumber: Gunawan (2004) 4.4. Tekanan terhadap Koridor TNGHS Degradasi dan Fragmentasi Habitat Infrastruktur bangunan yang ada seperti jaringan trasmisi listrik (sutet), sarana dan prasarana jalan, pembukaan areal pertanian/perladangan baru, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat merubah lahan hutan menjadi areal penggunaan lain, serta maraknya penebangan pohon mengakibatkan kondisi habitat di koridor TNGHS terdegradasi dan terfragmentasi. Keadaan ini mengakibatkan terbuka dan terpisahnya areal hutan di wilayah koridor TNGHS. Degradasi dan fragmentasi hutan membutuhkan waktu yang lama agar hutan bisa pulih kembali seperti kondisi semula. Daerah terbuka umumnya ditumbuhi oleh jenis-jenis pionir dan sekunder, sedangkan jenis primer sangat sulit untuk tumbuh, karena umumnya membutuhkan naungan untuk dapat hidup Jenis Eksotik dan Invasif Jenis-jenis eksotik dan invasif di kawasan koridor TNGHS merupakan jenisjenis yang dahulunya diintroduksikan oleh Perum Perhutani, untuk menghasilkan kayu bangunan dan kayu bakar dalam rangka produksi dan kegiatan kemasyarakatan. Jenis ini seperti manii (Maesopsis eminii) dari suku Rhamaceae yang berasal dari kawasan Afrika Timur. Jenis ini merupakan pionir, cepat berkecambah (biji rekalsitran), dan semainya tahan naungan. Jenis ini merupakan jenis yang agresif, sehingga perlu dikendalikan walaupun tidak mengganggu permudaan tumbuhan asli.

91 Gangguan Manusia Aktifitas manusia dalam kawasan koridor TNGHS termasuk tinggi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ditemukan jalan penghubung antara daerah Utara dan Selatan koridor TNGHS atau antara Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi yang memotong koridor TNGHS, baik jalan setapak maupun jalan besar (Rinaldi et al. 2008). Bentuk gangguan manusia yang umum dijumpai di wilayah koridor TNGHS adalah: - Untuk kebutuhan sehari-hari seperti pengambilan kayu, rencek, atau kayu bakar, berladang dan bersawah. - Bangunan sarana dan prasarana seperti jalan, jalur listrik tegangan tinggi (sutet), dan pipa geothermal. - Kegiatan penambangan seperti tambang emas, timbal, dan batu. Keadaan hutan di koridor TNGHS terutama di lokasi Cipeuteuy, Cisarua, Cisalada, dan sekitarnya banyak mengalami kerusakan. Selain kegiatan perkebunan dan pertanian di sekitar hutan, pengambilan kayu merupakan faktor perusak yang cukup besar dan saat ini masih terus berjalan. Adanya jalan penghubung antar permukiman di wilayah Utara dan Selatan menambah resiko kerusakan yang lebih parah lagi, karena akan memudahkan orang untuk melakukan kegiatan di dalam hutan jika tidak diawasi dengan ketat (GHSNPMP- JICA 2009).

92

93 Owa Jawa Populasi Owa Jawa V. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil identifikasi owa jawa pada saat melakukan pengamatan populasi, mendapatkan jumlah kelompok dan jumlah individu owa jawa yang teridentifikasi di koridor TNGHS. Kemudian ditentukan kerapatan kelompok dan kerapatan populasi owa jawa di koridor TNGHS. Kerapatan kelompok owa jawa menunjukkan banyaknya kelompok owa jawa pada tiap kilometer persegi, sedangkan kerapatan populasi menunjukkan banyaknya populasi owa jawa pada tiap kilometer persegi. Jumlah kelompok, jumlah individu, kerapatan kelompok, dan kerapatan populasi owa jawa di koridor TNGHS dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17 Jumlah kelompok, jumlah individu, kerapatan kelompok, dan kerapatan populasi owa jawa di koridor TNGHS Lokasi Jumlah Jumlah Kerapatan Kerapatan kelompok individu kelompok populasi (kelompok/km²) (individu/ km²) Sukagalih 2 6 0,03 0,09 Cilodor 2 5 0,03 0,07 GH 1 4 0,01 0,06 Cisarua 2 6 0,03 0,09 Cipicung 1 3 0,01 0,04 Ciherang 1 4 0,01 0,06 Cipanas 0 0 0,00 0,00 Tabel 17 memperlihatkan bahwa pada saat pengamatan kelompok owa jawa di koridor TNGHS, teridentifikasi sembilan kelompok owa jawa dengan 28 individu. Hasil penelitian ini lebih kecil apabila dibandingkan dengan Rinaldi et al. (2008) yang menemukan 11 kelompok dan lebih besar apabila dibandingkan dengan Komarudin (2009) yang menemukan empat kelompok. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan frekuensi perjumpaan dengan owa jawa yang dapat disebabkan oleh ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur pada jalur penelitian. Pada lokasi Sukagalih dan Cisarua ditemukan masing-masing dua kelompok dengan enam individu, di Cilodor ditemukan dua kelompok dengan lima individu, di GH dan Ciherang masing-masing ditemukan satu kelompok dengan empat individu, dan di Cipicung ditemukan satu kelompok dengan tiga individu. Sementara di lokasi Cipanas tidak ditemukan kelompok owa jawa.

94 66 Tidak ditemukannya kelompok owa jawa di lokasi Cipanas, menurut pengamatan di lapangan disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor tersebut yaitu terjadinya fragmentasi hutan, yang mengakibatkan terbentuknya kelompokkelompok hutan yang luasannya kecil dan terputusnya hubungan antar tajuk pohon, sehingga tidak memenuhi syarat lagi sebagai habitat owa jawa. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Komarudin (2009) yang menyatakan bahwa ratarata pergerakan owa jawa di koridor TNGHS adalah 280 m. Whitten (1980) menyatakan bahwa kloss gibbon (Hylobates klossii) di Siberut Kepulauan Mentawai mempunyai rata-rata jarak pergerakan dalam sehari (DR/Diary Range) meter, dengan panjang lintasan (MR/Maximum Range) 426 meter, dan jarak pohon tidur (NPS/Night Position Safe) 169 meter. Jadi ada kemungkinan owa jawa yang awalnya ada di Cipanas berpindah ke lokasi lain, karena sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Sesuai dengan pendapat Indrawan et al. (1998) yang menyatakan bahwa ancaman utama pada keanekaragaman hayati adalah rusak dan hilangnya habitat mereka, dan cara yang paling baik untuk melindungi keanekaragan hayati adalah dengan memelihara habitatnya. Faktor lainnya yaitu tingginya aktifitas manusia di Cipanas, karena dekat dari areal beberapa perusahaan yaitu PT. Chevron Geothermal Salak yang melakukan penambangan panas bumi di kawasan Gunung Salak, kebun teh PT. Melani dan PT. Jayanegara. Hal ini menyebabkan terganggunya aktifitas harian owa jawa, mungkin karena kebisingan dan lain-lain. Usaha yang dapat dilakukan untuk mengembalikan owa jawa ke Cipanas, adalah dengan melakukan restorasi habitatnya, akan tetapi usaha ini membutuhkan waktu yang lama. Sesuai dengan pendapat Suryanti (2007) yang menyatakan bahwa berbagai ekosistem yang rusak akibat aktivitas manusia akan terdegradasi sedemikian jauh, sehingga kemampuan ekosistem untuk pulih kembali menjadi sangat terbatas. Pemulihan hampir tidak mungkin terjadi, bila perusak masih berada dalam ekosistem. Salah satu faktor penyebab rusaknya koridor TNGHS adalah okupasi lahan garapan, dan penebangan liar yang mengakibatkan lahan semak belukar dominan di koridor TNGHS. Kerapatan kelompok owa jawa di lokasi Sukagalih, Cilodor, dan Cisarua yaitu 0,03 kelompok/km², lebih besar dari pada kerapatan kelompok di GH,

95 67 Cipicung, dan Ciherang yaitu 0,01 kelompok/km². Kerapatan populasi terbesar yaitu 0,09 individu/km² ditemui di Sukagalih dan Cisarua, diikuti oleh Cilodor 0,07 individu/km², GH dan Ciherang dengan masing-masing 0,06 individu/km², dan Cipicung 0,04 individu/km². Kerapatan kelompok dan kerapatan populasi owa jawa di koridor TNGHS dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8 Kerapatan kelompok dan kerapatan populasi owa jawa di koridor TNGHS. Kerapatan kelompok dan kerapatan populasi beberapa hasil penelitian sebelum ini yaitu Komarudin (2009) menyatakan bahwa kerapatan kelompok owa jawa di koridor TNGHS 5,7 kelompok/km² dan kerapatan populasi 21,42 individu/km², Iskandar (2007) menyatakan rerata kerapatan kelompok owa jawa di Citarik, Cikaniki, Cibeureum, dan Cisalimar TNGHS 3,4 kelompok/km² dan kerapatan populasi 8,2 individu/km², Nijman (2004) menyatakan kerapatan kelompok owa jawa di Gunung Halimun 3,0 kelompok/km² dan kerapatan populasi 6,8 individu/km². Kecilnya kerapatan kelompok dan kerapatan populasi pada penelitian ini apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Komarudin (2009) disebabkan oleh semakin berkurangnya habitat owa jawa di koridor TNGHS dari waktu ke waktu. Sesuai dengan hasil penelitian Cahyadi (2003) yang menyatakan bahwa, areal berhutan di koridor TNGHS mengalami pengurangan setiap saat. Kemudian apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Iskandar (2007) di Citarik, Cikaniki, Cibeureum, dan Cisalimar TNGHS dan Nijman (2004) di Gunung Halimun disebabkan oleh lebih jeleknya kondisi habitat owa jawa di koridor TNGHS dari

96 68 pada lokasi lain di TNGHS. Sesuai dengan hasil penelitian Rinaldi et al. (2008), yang menyatakan bahwa hutan di kawasan koridor TNGHS terputus oleh semak belukar dan tumbuhan kaliandra yang memanjang dari Utara ke Selatan. Gambar 9 berikut memperlihatkan areal di koridor TNGHS yang didominasi oleh semak belukar (a) dan kaliandra (b). (a) (b) Gambar 9 Areal di koridor TNGHS yang didominasi oleh semak belukar (a) dan kaliandra (b). Tingginya kerapatan kelompok dan kerapatan populasi owa jawa di lokasi Sukagalih, Cilodor, dan Cisarua disebabkan oleh karena habitat owa jawa di daerah-daerah ini diperkirakan masih dapat mendukung kehidupan owa jawa. Kalau kita perhatikan pada ke tiga lokasi ini pohon-pohon yang mempunyai kerapatan, dominansi dan indeks nilai penting (INP) tinggi, adalah pohon-pohon yang menurut Iskandar (2007) adalah dipergunakan oleh owa jawa sebagai pohon pakan dan pohon tidur seperti jenis puspa (Schima wallichii), manii (Maesopsis eminii), rasamala (Altingia excelsa), dan saninten (Castanopsis javanica). Lokasi Sukagalih merupakan kampung yang dibina oleh Balai TNGHS sebagai kampung konservasi, walaupun kalau kita perhatikan di lapangan tetap saja perladangan masyarakat semakin menjorok ke dalam hutan. Dari waktu ke waktu di khawatirkan akan makin menyempitnya habitat owa jawa akibat aktifitas penduduk. Pada lokasi Cisarua. owa jawa ditemukan di pinggir jalan yang menghubungkan Kabupaten Bogor dengan Kabupaten Sukabumi. Pengamatan secara visual terlihat bahwa kondisi hutan di pinggir jalan ini masih relatif baik, akan tetapi luasannya kecil yaitu hanya pada areal yang dekat dengan jalan saja, sementara agak ke dalam sedikit sudah didominasi oleh paku andam. Owa jawa di

97 69 Cisarua ini diperkirakan juga terancam karena kebisingan suara kendaraan bermotor, sehingga habitat owa jawa di Cisarua ini perlu mendapat perhatian. Alternatif yang dapat dilakukan untuk melindungi owa jawa yang ada di Cisarua ini, adalah dengan membatasi akses manusia yang melewati jalan ini, atau merestorasi habitat owa jawa arah ke dalam dari jalan Distribusi Kelompok Owa Jawa Hampir semua lokasi yang dijadikan tempat penelitian dijumpai kelompok owa jawa, kecuali di Cipanas. Jumlah kelompok dan jumlah populasi owa jawa di koridor TNGHS selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 18 berikut. Tabel 18 Jumlah kelompok dan jumlah individu owa jawa di koridor TNGHS Lokasi Jumlah Kelompok Jumlah kelompok individu Sukagalih Cilodor GH Cisarua Cipicung Ciherang Cipanas Tabel 18 memperlihatkan penyebaran kelompok owa jawa di koridor TNGHS hampir merata, akan tetapi ada lokasi yang ditemui dua kelompok dan ada lokasi yang hanya ditemui satu kelompok. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan kuantitas dan kualitas habitat pada lokasi-lokasi tersebut. Semakin luas habitat dan semakin baik kualitas habitat, maka diperkirakan akan semakin banyak jumlah kelompok owa jawa yang bisa mendiami lokasi tersebut. Sesuai dengan pendapat Indrawan et al. (1998) yang menyatakan bahwa ancaman utama pada keanekaragaman hayati adalah rusak dan hilangnya habitat mereka, dan cara yang paling baik untuk melindungi keanekaragan hayati adalah dengan memelihara habitatnya. Jumlah kelompok dan jumlah individu owa jawa di koridor TNGHS dapat dilihat pada Gambar 10 dan peta distribusi kelompok owa jawa di koridor TNGHS dapat dilihat pada Gambar 11.

98 70 Gambar 10 Jumlah kelompok dan jumlah individu owa jawa di koridor TNGHS. Sumber: Citra Google Maps (2012) Gambar 11 Peta distribusi kelompok owa jawa di koridor TNGHS.

99 Identifikasi kelompok owa jawa di koridor TNGHS ditentukan oleh faktorfaktor lingkungan yang mendukung kehidupannya. Semakin tinggi frekuensi identifikasi, maka dapat dikatakan semakin baik faktor-faktor lingkungan yang mendukung kehidupan owa jawa pada lokasi tersebut. Di koridar TNGHS faktorfaktor lingkungan yang mendukung kehidupan owa jawa diantaranya adalah tutupan lahan, jarak dari areal pertanian, jarak dari permukiman, jarak dari jalan, ketinggian tempat, jarak dari sungai, dan kemiringan lereng yang dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19 Faktor lingkungan identifikasi kelompok owa jawa di koridor TNGHS Jalur Kriteria Tutupan lahan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Hutan Jarak dari areal pertanian (m) Jarak dari permukiman (m) Jarak dari jalan (m) Ketinggian tempat (mdpl.) , , Jarak dari sungai (m) Kemiringan lereng (%) Jumlah kelompok owa jawa Jumlah individu owa jawa Keterangan: 1. Sukagalih 2. Cilodor 3. GH 4. Cisarua 5. Cipicung 6. Ciherang 7. Cipanas Tabel 19 memperlihatkan bahwa semua kelompok owa jawa yang ditemukan, berada pada tutupan lahan yang berupa hutan. Owa jawa tidak akan dapat hidup pada areal yang tidak berhutan, karena kehidupannya yang arboreal. Owa jawa juga membutuhkan hutan dengan kondisi pohon-pohon yang tinggi dengan tajuk yang tebal dan saling tersambung, untuk pergerakannya secara brakhiasi atau melompat dari dahan satu pohon ke dahan pohon lainnya. Pohon yang dapat dimanfaatkan oleh owa jawa sebagai pohon pakan dan pohon tidur juga jenis-jenis tertentu, karena owa jawa memakan buah, daun muda, dan pucuk pohon-pohon tertentu sebagai sumber pakan (Nijman 2006). Hasil penelitian Iskandar (2007) menyatakan bahwa owa jawa membutuhkan jenis-jenis pohon tertentu untuk pohon pakan dan pohon tidur, jenis-jenis tersebut diantaranya adalah rasamala (Altingia excelsa), puspa (Schima wallichii), manii (Maesopsis eminii), dan saninten (Castanopsis argentea). 71

100 72 Jarak dari areal pertanian ditemukannya kelompok owa jawa pada penelitian ini berkisar antara 200 sampai meter, pada analisis spasial kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS disyaratkan bahwa jarak dari areal pertanian untuk kondisi yang sesuai untuk kehidupan owa jawa adalah sampai meter. Hanya lokasi Cilodor, GH, dan Ciherang yang memenuhi syarat, sedangkan lokasi Sukagalih, Cisarua, dan Cipicung tidak memenuhi syarat yaitu lebih dekat dari yang disyaratkan tersebut. Kelompok owa jawa yang ditemukan di lokasi Cilodor ada dua kelompok, di lokasi GH dan Ciherang hanya ada satu kelompok. Areal pertanian penduduk di lokasi Sukagalih, Cisarua, dan Cipicung sudah semakin menjorok ke dalam hutan. Akan tetapi di lokasi Sukagalih ditemukan dua kelompok owa jawa, di Cisarua juga ada dua kelompok, dan di Cipicung ada satu kelompok. Jarak dari permukiman ditemukannya kelompok owa jawa pada penelitian ini berkisar antara 300 sampai meter, pada analisis spasial kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS disyaratkan bahwa jarak dari permukiman untuk kondisi yang sesuai untuk kehidupan owa jawa adalah sampai meter. Untuk ini hanya lokasi Sukagalih yang tidak memenuhi syarat karena jarak dengan permukimannya adalah 300 meter, di Sukagalih permukiman warganya sangat dekat ke hutan. Menurut sejarahnya penduduk Sukagalih berasal dari pindahan satu keluarga salah satu kesepuhan yang ada di dekat daerah terebut, jadi ada kemungkinan pada saat pindah mereka memilih lokasi yang dekat ke hutan supaya juga dekat dengan areal yang akan dijadikan areal pertanian mereka. Jarak dari jalan ditemukannya kelompok owa jawa pada penelitian ini berkisar 0 sampai meter, jarak dari jalan yang sesuai untuk kehidupan owa jawa pada analisis spasial adalah sampai meter. Lokasi yang memenuhi syarat untuk jarak dari jalan adalah Cilodor, GH, Cipicung, dan Ciherang, sementara untuk lokasi Sukagalih dan Cisarua jarak dengan jalannya dibawah yang sesuai. Lokasi yang paling dekat dari jalan adalah Cisarua, terletak di pinggir jalan yang menghubungkan Kabupaten Bogor dengan Kabupaten Sukabumi dan memotong koridor TNGHS, akan tetapi di sini masih ditemukan dua kelompok owa jawa. Hal ini dapat terjadi karena owa jawa di lokasi Cisarua habitatnya sudah sangat terdesak, areal hutan hanya terdapat di pinggir jalan

101 73 dengan luasan yang sudah sempit, agak ke dalam dari jalan arealnya sudah dipenuhi oleh paku andam. Analisis kesesuaian habitat owa jawa untuk ketinggian tempat mendapatkan bahwa, lokasi yang sesuai untuk kehidupan owa jawa adalah pada ketinggian sampai meter dari permukaan laut (mdpl.). Semua lokasi pada penelitian ini memenuhi syarat untuk ketinggian tempat owa jawa. Lokasi GH dan Cisarua berada pada kisaran sesuai, lokasi lainnya berada di bawah kisaran ini yang berarti berada pada kondisi yang lebih baik untuk ketersediaan pohon pakan tapi kurang baik untuk menghindar dari ancaman manusia dan predator. Ketinggian tempat mengindikasikan keanekaragaman jenis pohon, semakin tinggi tempat dari permukaan laut keanekaragaman jenis pohonnya semakin berkurang. Semua lokasi ditemukan kelompok owa jawa pada penelitian ini berada pada kisaran di bawah ketinggian meter dari permukaan laut, berarti memang sesuai untuk kehidupan owa jawa. Massicot (2006) menyatakan bahwa owa jawa dapat hidup dari dataran rendah sampai meter dari permukaan laut, Komarudin (2009) menemukan owa jawa di koridor TNGHS pada ketinggian tempat antara sampai meter dari permukaan laut. Hal ini dapat terjadi karena keadaan habitat owa jawa di koridor TNGHS yang sudah mengalami kerusakan, sehingga owa jawa lebih memperluas penyebarannya untuk mendapatkan kebutuhan hidup mereka. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Rinaldi et al. (2008) bahwa koridor TNGHS telah terdegradasi karena berbagai aktifitas pembangunan dan aktifitas masyarakat, antara lain adanya infrastruktur bangunan dan prasarana jalan, lahan pertanian, dan kegiatan-kegiatan lain yang bersifat alih fungsi lahan hutan, serta masih adanya kegiatan penebangan liar dan pembukaan lahan. Jarak dari sungai ditemukannya owa jawa pada penelitian ini yaitu 100 sampai meter, analisis spasial kesesuaian habitat owa jawa menunjukkan jarak dari sungai yang sesuai untuk owa jawa adalah 500 sampai meter, untuk ini hanya lokasi Sukagalih yang tidak memenuhi syarat. Lokasi Sukagalih lebih dekat ke sungai dan sebenarnya ini lebih baik untuk kehidupan owa jawa, karena daerah yang dekat dengan sungai tanahnya akan subur dan keragaman jenis-jenis pohonnya akan tinggi. Daerah-daerah yang dekat dengan sungai juga

102 74 bagus dijadikan areal pertanian oleh penduduk, akibatnya areal yang dekat dengan sungai sudah tidak dapat mendukung kehidupan owa jawa lagi, karena mungkin hutannya sudah berubah fungsi menjadi areal pertanian. Kemiringan lereng ditemukannya kelompok owa jawa pada penelitian ini berada pada 45 sampai 50%, analisis kesesuaian habitat owa jawa didapatkan bahwa kemiringan lereng yang sesuai untuk kehidupan owa jawa yaitu 30 sampai 40%. Dengan demikian lokasi Cilodor, GH, dan Cipicung berada pada kemiringan lereng yang lebih tinggi, lokasi ini lebih menguntungkan bagi owa jawa untuk menghindar dari gangguan manusia dan predator. Identifikasi kelompok owa jawa di koridor TNGHS pada penelitian ini ditemukan pada daerah-daerah yang hutannya relatif masih bagus, yaitu daerah-daerah yang berada pada kemiringan lereng yang tinggi. Sesuai juga dengan yang dikatakan oleh Rinaldi et al. (2008) bahwa kemiringan lereng di kawasan koridor TNGHS cukup bervariasi dari datar sampai sangat curam dengan kemiringan lereng di atas 40%. Hal ini terjadi karena lokasi-lokasi dengan kemiringan lereng yang tinggi susah dicapai oleh manusia, sehingga kerusakan hutannya masih relatif rendah. Akan tetapi untuk masa yang akan datang dengan meningkatnya jumlah penduduk di koridor TNGHS akan menyebabkan juga meningkatnya kebutuhan akan lahan, sehingga daerah-daerah yang sekarang sulit dicapai pada masa yang akan datang tidak menutup kemungkinan juga akan terjangkau oleh aktifitas manusia. Hal ini akan menyebabkan ancaman terhadap populasi owa jawa semakin tinggi, sehingga diharapkan perhatian yang serius dari pengelola, untuk membatasi akses manusia ke habitat owa jawa di koridor TNGHS Komposisi Kelompok Owa Jawa Owa jawa yang menganut sistem kehidupan monogami, satu kelompok yang lengkap biasanya terdiri dari empat individu dengan komposisi kelompoknya terdiri dari sepasang induk, satu individu anak remaja, dan satu individu anak bayi. Jumlah anggota masing-masing kelompok owa jawa yang teridentifikasi di koridor TNGHS berkisar antara dua sampai empat individu. Komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS secara keseluruhan adalah lengkap untuk semua tingkatan umur, yaitu ada pasangan induk, ada anak remaja, dan ada bayi. Pada masing-masing lokasi penelitian di koridor TNGHS,

103 jumlah dan komposisi kelompoknya juga menunjukkan angka yang berbeda-beda. Sebanyak 21,43% owa jawa yang diidentifikasi terdapat masing-masing di lokasi Sukagalih dan Cisarua, di lokasi Cilodor 17,86%, di GH dan Ciherang masingmasing terdapat 14,29%, dan di Cipicung 10,71%. Hal ini diduga karena Sukagalih merupakan kampung konservasi yang dibina oleh Balai TNGHS dengan demikian gangguan terhadap owa seperti perburuan boleh dikatakan tidak ada dan lokasi Cisarua terletak di pinggir jalan kemungkinan owa jawa sudah beradaptasi dengan kehadiran manusia, sehingga dapat hidup di lokasi ini Jumlah dan komposisi kelompok owa jawa yang teridentifikasi di koridor TNGHS dapat dilihat pada Tabel 20 dan Gambar 12. Tabel 20 Jumlah dan komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS Lokasi Kelompok Komposisi kelompok Jumlah Persentase Induk Remaja Bayi individu Sukagalih , Cilodor , GH ,29 Cisarua , Cipicung ,71 Ciherang ,29 Cipanas ,0 Jumlah Persentase 64,28 14,28 21, Gambar 12 Jumlah dan komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS.

104 76 Apabila diperhatikan komposisi kelompok owa jawa yang teridentifikasi di koridor TNGHS berdasarkan jumlah anggota kelompoknya adalah sebagai berikut: Empat kelompok (44,44%) yaitu kelompok satu Sukagalih, kelompok GH, kelompok satu Cisarua, dan kelompok Ciherang mempunyai anggota yang lengkap yaitu empat individu masing-masing dengan sepasang induk, satu anak remaja, dan bayi. Dua (kelompok (22,22%) yaitu kelompok satu Cilodor dan kelompok Cipicung dengan masing-masing tiga individu yang terdiri dari sepasang induk dan satu anak bayi. Tiga kelompok (33,33%) yaitu kelompok dua Sukagalih, Cilodor, dan Cisarua, masing-masing dua individu yang terdiri dari sepasang induk. Persentase komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13 Persentase komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS. Berdasarkan tingkatan umurnya persentase komposisi kelompok owa jawa tertinggi di koridor TNGHS adalah sebagai berikut: Induk (64,28%) yang terdiri dari 18 individu, diikuti oleh bayi (21,43%) yang terdiri dari 6 individu, dan remaja (14,28%) yang terdiri dari empat individu. Persentase ini menunjukkan hal yang baik, karena adanya anak remaja dan bayi yang akan melanjutkan generasi owa jawa di koridor TNGHS. Melihat komposisi kelompok owa jawa di koridor TNGHS, dapat dikatakan owa jawa di koridor TNGHS sekarang masih dapat hidup dengan tingkat reproduksi yang baik. Hal ini diperlihatkan dengan adanya anak-anak mereka, baik remaja maupun bayi. Pada masa yang akan datang dengan bertambahnya jumlah individu maupun jumlah kelompok owa jawa di koridor TNGHS,

105 77 dikhawatirkan kuantitas dan kualitas habitat mereka tidak memenuhi daya dukung. Sehubungan dengan hal ini diharapkan pengelolaan habitat owa jawa di koridor TNGHS lebih mendapat prioritas, atau setidaknya dengan meminimalkan kerusakan terhadap habitat owa jawa di koridor TNGHS. Persentase tingkatan umur owa jawa di koridor TNGHS dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar 14 Persentase tingkatan umur owa jawa di koridor TNGHS. Komposisi kelompok owa jawa di Sukagalih (21,43%) terdiri dari dua kelompok, dimana kelompok satu terdiri dari empat individu dan kelompok dua dengan dua individu. Kondisi ini dapat dikatakan mempunyai tingkat reproduksi yang baik, karena ada generasi anak remaja dan anak bayi yang akan tumbuh menjadi dewasa, dan ada pasangan muda yang diharapkan juga akan mempunyai anak. Hal ini dapat di dukung dengan dijadikannya Sulagalih sebagai kampung konservasi oleh Balai TNGHS, sehingga banyak aktifitas penelitian dan kegiatankegiatan lain yang mendukung upaya konservasi dilakukan di sini. Akan tetapi dari pengamatan di lapangan, di kampung Sukagalih areal pertanian masyarakatnya semakin menjorok ke hutan, untuk ini perlu dilakukan peningkatan taraf kehidupan masyarakat setempat melalui program-program yang terkait dengan pemulihan ekosistem koridor TNGHS, agar ketergantungan masyarakat terhadap hutan di koridor TNGHS dapat dikurangi semaksimal mungkin. Hal ini sebenarnya sudah dilakukan oleh Balai TNGHS melalui program pemberdayaan ekonomi masyarakat (GHSNPMP-JICA 2009), namun pelaksanaannya di lapangan mungkin masih belum optimal.

106 78 Teridentifikasi dua kelompok owa jawa (17,86%) di lokasi Cilodor, dengan komposisi kelompok: Kelompok satu dengan tiga individu yang terdiri dari sepasang induk dan satu anak bayi serta kelompok dua dengan dua individu yang terdiri dari sepasang induk. Komposisi kelompok ini diharapkan mempunyai tingkat reproduksi yang baik, karena ada dua pasang induk dengan satu anak bayi. Kedua pasang induk ini diharapkan masih dapat bereproduksi untuk menghasilkan anak, dimana owa jawa dapat menghasilkan lima sampai enam anak selama masa reproduksinya (CII 2000). Apabila diperhatikan tingkat gangguan terhadap kelompok owa jawa di Cilodor juga relatif rendah, karena daerah ini mempunyai jarak yang jauh dari permukiman (2.300 m), dari areal pertanian m, dari jalan m. Dengan kondisi ini diharapkan kelompok owa jawa di Cilodor dapat berkembang biak dengan baik. Pada lokasi GH ditemukan satu kelompok owa jawa (14,29%) dengan empat individu yang terdiri dari sepasang induk, satu anak remaja, dan satu anak bayi. Kelompok owa jawa ini ditemukan pada lokasi yang paling tinggi diantara areal penelitian yaitu meter dari permukaan laut, dengan jarak dari permukiman m, jarak dari areal pertanian m, dan jarak dari jalan m. Walaupun komposisi kelompoknya lengkap yaitu ada anak remaja dan anak bayi, akan tetapi kondisi habitatnya sudah sangat terdesak di hutan yang paling dalam, dan hanya ditemukan satu kelompok. Keadaan ini sebenarnya harus mendapat perhatian untuk masa yang akan datang, karena dengan semakin menyempitnya habitat dan kemungkinan tidak ada kelompok lain, menyebabkan reproduksi owa jawa terhambat. Anak remaja apabila sudah dewasa biasanya akan memisah dari kelompoknya dan akan mencari pasangan untuk membentuk kelompok baru, akan tetapi kalau tidak ada kelompok lain untuk pasangannya ada kemungkinan dia tidak bisa membentuk kelompok baru. Komposisi kelompok owa jawa yang lengkap ditemukan juga di lokasi Cisarua (21,43%), yaitu ada dua kelompok dimana kelompok satu dengan empat individu yang terdiri dari sepasang induk, satu remaja, dan satu bayi dan kelompok dua yang terdiri dari sepasang induk yang belum mempunyai anak. Cisarua ini sebenarnya merupakan lokasi dengan faktor-faktor habitat yang kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa, seperti lokasinya yang terletak di

107 79 pinggir jalan yang kondisinya menanjak, sehingga bunyi mesin kendaraan bermotor yang keras. Kondisi ini diharapkan membuat owa jawa bisa beradaptasi, sehingga owa jawa yang ada di daerah ini tidak merasa terganggu. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa apabila ada suara kendaraan bermotor yang keras, kelompok owa jawa ini akan lari menuju arah yang lebih dalam dan kalau merasa sudah aman mereka akan kembali. Jumlah dan komposisi kelompok owa jawa yang teridentifikasi di lokasi Cipicung (10,71%), yaitu satu kelompok yang terdiri dari tiga individu dengan sepasang induk dan satu anak bayi. Ini diduga merupakan kelompok yang baru terbentuk karena baru mempunyai satu anak bayi, karena kalau dianggap ada anak remajanya yang sudah memisahkan diri, seharusnya ditemukan kelompok lain di lokasi ini. Keadaan ini harus mendapat perhatian, karena kalaupun anaknya nanti menjadi dewasa diperkirakan akan sulit membentuk kelompok baru karena tidak ada kelompok lain untuk pasangannya. Hal yang tidak mendukung lagi yaitu apabila terjadi perkawinan sesama (inbreeding), yang akan menyebabkan rentannya turunan mereka terhadap penyakit-penyakit genetis. Kelompok owa jawa yang teridentifikasi di lokasi Ciherang (14,29%), yaitu satu kelompok yang terdiri dari empat individu dengan sepasang induk, anak remaja, dan anak bayi. Ini juga merupakan kelompok yang lengkap, hal yang diharapkan selanjutnya adalah pada saat menjelang dewasa individu muda akan meninggalkan kelompoknya membentuk kelompok baru dan bayi akan menjadi remaja dan induk akan mempunyai anak berikutnya. Kondisi ini bisa terjadi apabila tidak ada gangguan eksternal yang biasanya ditimbulkan oleh aktifitas manusia. Lokasi Ciherang merupakan lokasi yang paling jauh dari jalan yaitu m, dari areal pertanian m, dan dari permukiman yaitu m. Akan tetapi kondisi ini belum menjamin tidak adanya gangguan eksternal berupa aktifitas manusia di sini, karena lokasi yang jauh ini biasanya kurang mendapat kontrol dari lembaga terkait. Hal ini dijadikan alasan oleh manusia untuk melakukan kegiatan-kegiatan, yang secara langsung maupun tidak langsung akan menyebabkan rusaknya habitat owa jawa. Persentase kelompok owa jawa pada masing-masing lokasi di koridor TNGHS dapat dilihat pada Gambar 15.

108 80 Gambar 15 Persentase kelompok owa jawa pada masing-masing lokasi di koridor TNGHS Habitat Owa Jawa Kesesuaian Habitat Owa Jawa Tutupan Lahan Tutupan lahan mempunyai fungsi yang sangat penting bagi kehidupan owa jawa yang arboreal, jenis tutupan lahan berupa hutan primer merupakan tempat yang paling baik bagi kehidupan owa jawa. Sesuai dengan yang dinyatakan oleh Suryanti (2007) bahwa pada kawasan TNGHS, habitat primata ditemukan terutama di hutan primer. Tutupan lahan juga akan menentukan ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur owa jawa, karena owa jawa membutuhkan jenisjenis pohon tertentu sebagai pohon pakan dan pohon tidur. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa owa jawa ditemui pada areal hutan yang mempunyai pohon-pohon tinggi dan tajuk yang saling bersambungan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Endangered Species Team (2008) yang menemukan kelompok owa jawa di koridor TNGHS pada hutan primer dan sekunder, dan tidak ditemui pada hutan tanaman. Peta tutupan lahan di koridor TNGHS dapat dilihat pada Gambar 16. Gambar 16 memperlihatkan bahwa semua kelompok owa jawa yang teridentifikasi di koridor TNGHS berada pada areal berhutan. Areal berhutan di koridor TNGHS sudah sangat sedikit, dari pengamatan di lapangan areal koridor

109 81 TNGHS yang masih berupa hutan hanya dijumpai pada daerah-daerah yang sulit dicapai oleh manusia. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Cahyadi (2003), Rinaldi et al. (2008), dan GHSNPMP-JICA (2009) yang menyatakan bahwa koridor TNGHS mengalami degradasi dan fragmentasi, luas koridor TNGHS yang 4.206,18 ha hanya mempunyai sekitar 216 ha hutan alam primer, selebihnya didominasi oleh hutan sekunder, hutan tanaman, dan semak belukar (GHSNPMP- JICA 2009). Sumber: Balai TNGHS (2008) Gambar 16 Peta tutupan lahan di koridor TNGHS.

110 82 Keadaan tutupan lahan di koridor TNGHS sudah sangat mengkhawatirkan untuk usaha konservasi owa jawa. Kelestarian owa jawa di koridor TNGHS hanya dapat dicapai apabila dilakukan upaya-upaya pengelolaan sesuai dengan kebutuhan hidup owa jawa. Iskandar (2007) merekomendasikan hal penting yang harus dilakukan untuk konservasi owa jawa, adalah pengelolaan habitat yang ideal sesuai dengan karakteristik, tingkah laku, dan pola hidup kelompok owa jawa Jarak dari Areal Pertanian Areal pertanian berupa sawah dan ladang merupakan faktor pembatas kondisi habitat owa jawa. Areal pertanian tidak dapat dimanfaatkan oleh owa jawa sebagai habitat, karena owa jawa hanya menggunakan jenis-jenis pohon tertentu sebagai pohon pakan dan pohon tidurnya. Hasil penelitian Iskandar (2007) menyebutkan bahwa terdapat 33 jenis pohon pakan dan 15 jenis pohon tidur owa jawa yang ditemukan di TNGHS. Selain itu owa jawa juga akan merasa terganggu akibat adanya aktifitas pertanian, seperti adanya bunyi yang ditimbulkan oleh alatalat pertanian dan kehadiran manusia. Selain tidak tersedianya pohon pakan dan pohon tidur owa jawa di areal pertanian, jarak dari areal pertanian juga mengakibatkan adanya gangguan terhadap owa jawa akibat aktifitas manusia. Aktifitas manusia pada areal pertanian dapat menimbulkan gangguan terhadap owa jawa berupa suara dari manusia atau suara alat-alat pertanian. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Amarasinghe dan Amarasinghe (2010) bahwa owa jawa merupakan jenis primata yang sangat sensitif terhadap kehadiran manusia. Koridor TNGHS merupakan areal yang dipergunakan oleh penduduk untuk areal permukiman dan pertanian. Sebelum masuk menjadi areal taman nasional, koridor TNGHS dikelola oleh Perum Perhutani, pada kegiatan ini Perum perhutani bekerjasama dengan penduduk melalui Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Sebanyak 63,29% penduduk di koridor TNGHS bekerja sebagai petani (GHSNPMP-JICA 2009), dengan kepemilikan lahan yang rendah yaitu rata-rata 0,23 ha (Wahab 2010). Pada beberapa kampung yang sangat dekat dengan hutan seperti Sukagalih, penduduk yang berdomisili di kampung tersebut seluruhnya adalah petani, sehingga kebutuhan pendduduk akan lahan pertanian akan semakin meningkat dari waktu ke waktu.

111 83 Pengamatan di lapangan memperlihatkan bahwa areal pertanian masyarakat sangat dekat dengan kawasan hutan dan semakin menjorok ke dalam hutan. Pada beberapa lokasi terlihat adanya pembukaan areal hutan untuk dijadikan lahan pertanian yang baru. Jarak dari areal pertanian ditemukannya kelompok owa jawa di koridor TNGHS berkisar dari 200 m yaitu lokasi Sukagalih sampai m yaitu lokasi GH. Peta jarak dari areal pertanian di koridor TNGHS dapat dilihat pada Gambar 17 dan foto areal pertanian di koridor TNGHS yang sudah menjorok ke dalam hutan dapat dilihat pada Gambar 17. Sumber: Balai TNGHS (2008) Gambar 17 Peta jarak dari areal pertanian di koridor TNGHS.

112 84 Gambar 18 Areal pertanian di koridor TNGHS Jarak dari Permukiman Secara administratif pemerintahan wilayah koridor TNGHS terletak di dua kabupaten dengan tiga kecamatan dan lima desa. Dari pengamatan di lapangan terlihat bahwa hampir semua wilayah koridor TNGHS merupakan wilayah permukiman penduduk, dan tingkat ketergantungan penduduk ke dalam kawasan koridor TNGHS tinggi. Sebahagian besar wilayah koridor TNGHS merupakan areal perluasan TNGHS, jadi masyarakat sudah terlebih dahulu bertempat tinggal dan beraktifitas di wilayah koridor TNGHS sebelum wilayah ini ditetapkan sebagai TNGHS. Adanya permukiman akan menyebabkan aktifitas manusia tinggi di daerah koridor TNGHS, kehadiran manusia merupakan faktor pembatas bagi kondisi habitat owa jawa. Kehadiran manusia dengan berbagai aktifitasnya akan membuat owa jawa terganggu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lokasi identifikasi kelompok owa jawa di koridor TNGHS berada pada jarak 300 meter yaitu lokasi Sukagalih sampai meter lokasi Ciherang dari permukiman. Peta jarak dari permukiman di koridor TNGHS dapat dilihat pada Gambar 19. Lokasi Sukagalih adalah lokasi identifikasi kelompok owa jawa terdekat dari permukiman tapi disini diidentifikasi dua kelompok owa jawa, sementara di lokasi Ciherang yang jauh dari areal permukiman hanya diidentifikasi satu kelompok owa jawa. Hal ini dapat terjadi karena lokasi Sukagalih terletak di Kampung Sukagalih yang merupakan kampung binaan Balai TNGHS. Kampung Sukagalih merupakan kampung yang dibina oleh Balai TNGHS, sehingga sering ada

113 85 kegiatan untuk memperbaiki habitat satwa-satwa penting TNGHS dilakukan di kampung ini, seperti kegiatan penelitian dan adopsi pohon. Kampung Sukagalih juga mempunyai kelompok tani hutan, yang mempunyai kegiatan penanaman jenis-jenis pohon yang bermanfaat untuk penduduknya seperti buah-buahan dan kemungkinan juga dapat dimanfaatkan oleh owa jawa. Gambar 20 memperlihatkan foto kegiatan adopsi pohon oleh Yamaha Club dan papan nama kelompok tani hutan di Kampung Sukagalih. Sumber: Balai TNGHS(2008). Gambar 19 Peta jarak dari permukiman di koridor TNGHS.

114 86 Gambar 20 Kegiatan adopsi pohon oleh Yamahan Club dan papan nama kelompok tani hutan di Kampung Sukagalih. Kampung Sukagalih dapat dijadikan harapan untuk kegiatan konservasi owa jawa, apabila pembinaan oleh Balai TNGHS terus dilaksanakan. Pembinaan yang diberikan pada prinsipnya adalah bagaimana meningkatkan taraf hidup penduduk dengan tambahan usaha selain pertanian yang difasilitasi oleh Balai TNGHS, yang bertujuan untuk menekan ketergantungan penduduk terhadap koridor TNGHS Jarak dari Jalan Jalan yang dimaksud disini adalah jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan bermotor roda empat. Jalan akan menentukan kenyamanan kehidupan dan kondisi habitat owa jawa, karena jalan akan menyebabkan kebisingan akibat kendaraan bermotor dan meningkatkan aktifitas manusia. Aktifitas manusia merupakan faktor pembatas bagi kehidupan owa jawa, karena owa jawa sangat sensitif akan kehadiran manusia pada habitatnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Endangered Species Team (2008) bahwa owa jawa adalah primata yang sangat sensitif terhadap kehadiran manusia. Hasil penelitian jarak dari jalan ke lokasi ditemukannya kelompok owa jawa di koridor TNGHS berkisar antara 0 (Cisarua) sampai m (Ciherang). Cisarua adalah daerah yang dilalui oleh jalan yang menghubungkan Kabupaten Bogor dengan Kabupaten Sukabumi, dan memotong koridor TNGHS. Masih ditemukannya kelompok owa jawa di pinggir jalan di Cisarua dapat terjadi karena, kondisi hutan di Cisarua relatif masih baik, sementara arah ke bagian dalam dari jalan hutannya sudah tidak ada dan hanya ditumbuhi oleh paku andam. Peta dari jalan di koridor TNGHS dapat dilihat pada Gambar 21.

115 87 Sumber: Balai TNGHS (2008). Gambar 21 Peta jarak dari jalan di koridor TNGHS Ketinggian Tempat Ketinggian tempat merupakan faktor pembatas kehidupan owa jawa. Ketinggian tempat mempengaruhi ketersediaan jenis pohon pakan dan pohon tidur, karena ketinggian tempat akan menentukan keanekaragaman jenis tumbuhan yang hidup di lokasi tersebut. Dengan demikian ketinggian tempat akan menentukan kualitas habitat owa jawa yang akan menentukan keberadaan populasinya, sesuai dengan pernyataan Alikodra (1997) yang menyatakan bahwa

116 88 kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi, penyebaran, dan produktifitas satwaliar. Kawasan TNGHS mempunyai ketinggian berkisar antara 500 sampai meter dari permukaan laut (GHSNPMP-JICA. 2007b). Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa ketinggian tempat ditemukannya kelompok owa jawa di koridor TNGHS berkisar antara 891 meter dari permukaan laut di lokasi Cipicung sampai meter dari permukaan laut di GH, hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Iskandar (2007) yang menemukan kelompok owa jawa di TNGHS pada ketinggian 980 sampai meter dari permukaan laut. Peta ketinggian tempat di koridor TNGHS dapat dilihat pada Gambar 22. Sumber: Balai TNGHS (2008). Gambar 22 Peta ketinggian tempat di koridor TNGHS.

117 89 Pada ketinggian meter dari permukaan laut adalah kondisi yang cocok untuk kehidupan owa jawa, karena terdapat pohon-pohon yang tingginya mencapai m dengan diameter mencapai 120 cm, jenis-jenisnya antara lain: rasamala (Altingia excelsa), saninten (Castanopsis argentea), pasang (Quercus sp.), dan huru (Litsea sp.) (GHSNPMP-JICA 2007a). Jenis-jenis tersebut menurut penelitian Iskandar (2007) adalah jenis-jenis yang dimanfaatkan oleh owa jawa sebagai pohon pakan dan pohon tidur Jarak dari Sungai Jarak habitat owa jawa dari sungai akan mempengaruhi ketersediaan pohonpohon yang dibutuhkan untuk pohon pakan dan pohon tidur mereka. Daerah yang dekat dengan sungai akan mengandung mineral tanah lebih tinggi, yang berasal dari endapan air aliran sungai. Dengan demikian keragaman jenis tumbuhan di tepi sungai lebih tinggi dari pada daerah yang jauh dari sungai, karena mendapatkan kebutuhan mineral yang cukup. Dengan tingginya keragaman jenis tumbuhan, maka kebutuhan pohon pakan dan pohon tidur owa jawa akan terpenuhi pada daerah yang dekat dengan sungai. Koridor TNGHS merupakan hulu dari dua DAS yaitu DAS Cianten dan DAS Citarik. DAS Cianten memiliki empat anak sungai yaitu anak sungai Cianten, Cimapag, Cigarehong, dan Cisurupa. DAS Citarik mempunyai 7 anak sungai yaitu sungai Cisalimar, Ciawitali, Cipanas, Cisarua, Cipicung, Ciherang, dan Cipeuteuy (GHSNPMP-JICA 2009). Jarak lokasi penelitian dengan sungai di temukannya kelompok owa jawa di koridor TNGHS berkisar dari 100 m (Sukagalih) sampai m (Cisarua). Banyaknya sungai-sungai yang mengalir di koridor TNGHS, menunjukkan bahwa areal koridor TNGHS tanahnya cukup subur. Dengan demikian untuk konservasi habitat owa jawa di koridor TNGHS, sudah dapat dilakukan dengan cara hanya mengurangi tekanan terhadap habitat mereka dan membiarkan habitat yang sudah rusak pulih kembali dengan sendirinya. Apabila habitat owa jawa di koridor TNGHS dibiarkan saja tanpa tindakan apa-apa sebenarnya sudah cukup memadai untuk habitat owa jawa, dengan syarat tidak ada perusakan atau pengalih fungsian hutan kawasan koridor TNGHS. Peta jarak dari sungai di koridor TNGHS dapat dilihat pada Gambar 23.

118 90 Sumber: Balai TNGHS (2008). Gambar 23 Peta jarak dari sungai di koridor TNGHS Kemiringan Lereng Owa jawa merupakan satwa yang hidupnya arboreal, jadi kemiringan lereng bukanlah merupakan faktor penghambat untuk pergerakannya yang melompat dari dahan pohon satu ke dahan pohon lainnya (brachiasi). Akan tetapi kemiringan lereng akan menentukan keamanan owa jawa dari gangguan predator dan aktifitas manusia, pada kemiringan lereng yang tinggi owa jawa akan merasa lebih aman karena sulitnya predator dan manusia mencapai areal tersebut.

119 91 Kemiringan lereng di koridor TNGHS bervariasi dari datar sampai sangat curam. Kelas kemiringan lereng yang dominan adalah kelas kemiringan lereng 15 sampai 25% dengan kondisi topografi landai, luasnya sekitar 1.292,89 ha. Sepanjang lereng koridor bagian utara keadaan topografinya sangat curam dengan kemiringan lereng diatas 40% (GHSNPMP-JICA 2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemiringan lereng ditemukannya kelompok owa jawa di koridor TNGHS berkisar antara 40% di lokasi Sukagalih dan 50% di lokasi GH. Peta kemiringan lereng di koridor TNGHS dapat dilihat pada Gambar 24. Sumber: Balai TNGHS (2008). Gambar 24 Peta kemiringan lereng di koridor TNGHS.

120 92 Secara umum kelompok owa jawa yang teridentifikasi di koridor TNGHS berada pada kemiringan lereng yang tinggi yaitu pada daerah-daerah yang topografinya curam. Daerah dengan kemiringan lereng yang tinggi ini tidak dimanfaatkan oleh penduduk untuk areal pertanian, sehingga hutannya masih relatif bagus. Kondisi ini menyebabkan owa jawa dapat hidup, karena tersedianya kebutuhan hidup mereka. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rinaldi et al. (2008) yang menyatakan bahwa owa jawa di koridor TNGHS masih dijumpai pada daerah-derah yang curam, karena daerah ini tidak terjangkau oleh aktifitas manusia Kesesuaian Habitat Owa Jawa Analisis spasial kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS dilakukan dengan menggunakan variabel-variabel lingkungan yaitu tutupan lahan, jarak dari areal pertanian, jarak dari permukiman, jarak dari jalan, ketinggian tempat, jarak dari sungai, dan kemiringan lereng. Tutupan lahan menentukan ketersediaan jenisjenis pohon pakan dan pohon tidur, dan kanopi serta tajuk pohon sebagai ruang pergerakan bagi owa jawa. Jarak dari areal pertanian, jarak dari permukiman, dan jarak dari jalan mempengaruhi kehidupan owa jawa akibat adanya aktifitas manusia. Ketinggian tempat dan jarak dari sungai akan menentukan ketersediaan jenis-jenis pohon untuk pohon pakan dan pohon tidur. Dan kemiringan lereng akan menentukan tingkat gangguan terhadap owa jawa akibat aktifitas manusia dan predator. Faktor bobot merefleksikan kepentingan relatif dari variabel-variabel kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS. Nilai bobot ditentukan dengan mempertimbangkan tingkat kepentingan owa jawa terhadap masing-masing variabel lingkungan tersebut. Variabel lingkungan yang dianggap paling penting dan paling mempengaruhi keberadaan owa jawa di koridor TNGHS, diberi nilai bobot paling tinggi. Nilai bobot 30 diberikan untuk variabel lingkungan tutupan lahan, nilai bobot 15 diberikan masing-masing untuk variabel lingkungan berupa jarak dari areal pertanian, jarak dari permukiman, dan jarak dari jalan, nilai bobot 10 masing-masing diberikan untuk variabel lingkungan ketinggian tempat dan jarak dari sungai, dan nilai bobot 5 diberikan untuk variabel lingkungan kemiringan lereng.

121 93 Model Indeks Kesesuaian Habitat (IKH) owa jawa di koridor TNGHS adalah: Total Skor Kesesuaian Habitat = (30xF 1 ) + (15xF 2 ) + (15xF 3 ) + (15xF 4 ) + (10xF 5 ) + (10xF 6 ) + (5xF 7 ) Keterangan: F 1 = skor kesesuaian tutupan lahan F 2 = skor kesesuaian jarak dari areal pertanian F 3 = skor kesesuaian jarak dari areal permukiman F 4 = skor kesesuaian jarak dari jalan F 5 = skor ketinggian tempat F 6 = skor jarak dari sungai K 7 = skor kemiringan lereng Model kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS menggunakan analisis spasial dengan metode skoring, pembobotan, dan overlay yang menghasilkan rerata (mean) data sebesar 41,87 dan standar deviasi (Sdev.) data sebesar 214,26. Analisis data menghasilkan kelas sangat sesuai dengan nilai 256 dan luas 20,44 hektar, kelas sesuai dengan nilai 172 sampai 256 dan luas 1.586,45 hektar, dan kelas tidak sesuai dengan nilai 172 dan luas 534,88 hektar. Validasi ditujukan untuk mengetahui tingkat kepercayaan terhadap model yang dibangun. Data yang digunakan adalah data penelitian jumlah kelompok owa jawa di koridor TNGHS, yaitu 9 kelompok. Semua kelompok owa jawa berada pada kelas sesuai, dengan demikian validasi untuk kelas tersebut adalah 100%. Pada kelas sangat sesuai dan tidak sesuai tidak ditemukan kelompok owa jawa, dengan demikian nilai validasi masing-masing kelas ini adalah 0%. Peta kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS disajikan pada Gambar 25. Peta kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS memperlihatkan bahwa, semua kelompok owa jawa yang teridentifikasi pada saat penelitian (sembilan kelompok) berada pada kelas sesuai. Hal ini dapat terjadi karena areal hutan di koridor TNGHS telah mengalami degradasi dan fragmentasi, sehingga areal yang berhutan di koridor TNGHS sudah sedikit dan terkelompok-kelompok menjadi areal yang kecil. Keadaan ini menyebabkan habitat owa jawa di koridor TNGHS sudah sangat terdesak, yang menyebabkan owa jawa hanya di jumpai pada areal-areal yang memang sesuai untuk kehidupan mereka. Rinaldi et al.

122 94 (2008) menyatakan bahwa secara keseluruhan kondisi hutan di wilayah koridor TNGHS telah terganggu atau terdegradasi dengan berbagai tingkatan, sisa-sisa hutan primer umumnya hanya dapat dijumpai pada daerah-daerah lereng atau lembah dengan tebing yang curam. Sumber: Balai TNGHS (2008). Gambar 25 Peta kesesuaian habitat owa jawa di koridor TNGHS.

123 95 Kelas kesesuaian habitat sangat sesuai dan tidak sesuai, tidak ditempati oleh kelompok owa jawa. Terlihat pada peta bahwa habitat dengan kelas sangat sesuai luasannya kecil sekali dan terpencar-pencar, sehingga tidak memenuhi home range owa jawa. Sesuai dengan hasil penelitian Komarudin (2009) yang menyatakan bahwa pergerakan owa jawa di koridor TNGHS 110 sampai 450 meter. Kelas kesesuaian habitat tidak sesuai pada peta adalah areal enclave, yang banyak terdapat di koridor TNGHS yaitu berupa areal pertanian, perusahaan pertambangan, dan kebun teh. Sesuai dengan yang dinyatakan dalam GHSNPMP- JICA (2009) bahwa di koridor TNGHS terdapat enclave berupa perusahaan pertambangan yaitu PT. Chevron dan PT. Indonesian Power, perkebunan teh yaitu PT. Perkebunan Teh Cianten, PT. Nirmala, PT. Jaya Negara, dan lain-lain. Kelas kesesuaian habitat tidak sesuai jelas tidak memenuhi syarat untuk kehidupan owa jawa, karena bukan merupakan areal yang berhutan Analisis Vegetasi Habitat Owa Jawa Vegetasi Tingkat Pohon Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui potensi habitat dalam mendukung kebutuhan hidup owa jawa di koridor TNGHS. Hasil analisis vegetasi pada seluruh lokasi penelitian teridentifikasi 77 jenis vegetasi, 42 jenis diantaranya adalah vegetasi tingkat pohon. Jumlah jenis vegetasi tingkat pohon pada masing-masing lokasi adalah sebagai berikut: 12 jenis ditemukan di lokasi Sukagalih, 15 jenis di lokasi Cilodor, 20 jenis di lokasi GH, 15 jenis di lokasi Cisarua, 6 jenis di lokasi Cipicung, 8 jenis di lokasi Ciherang, dan 4 jenis di lokasi Cipanas. Jumlah jenis pohon di koridor TNGHS dapat dilihat pada Gambar 26. Gambar 26 Jumlah jenis pohon di koridor TNGHS.

124 96 Nilai frekuensi relatif (FR), dominansi relatif (DR), kerapatan relatif (KR), dan indeks nilai penting (INP) vegetasi tingkat pohon pada masing-masing lokasi penelitian di koridor TNGHS dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21 Frekuensi relatif, dominansi relatif, kerapatan relatif, dan INP vegetasi tingkat pohon di koridor TNGHS Nama jenis Nama Latin FR DR KR INP (%) (%) (%) (%) Sukagalih Puspa Schima wallichii 16,69 52,25 42,98 111,93 Pasang batarua Quercus gemiliflorus 11,19 32,10 12,03 55,32 Ipis kulit Pternandra azurea 11,19 3,07 9,46 23,72 Rasamala Altingia excelsa 11,19 1,12 9,46 21,77 Saninten Castanopsis javanica 11,19 1,10 9,46 17,16 Cilodor Manii Maesopsis eminii 12,52 38,75 33,42 84,69 Burununggul Castanopsis argentea 8,39 9,64 6,28 24,31 Saninten Castanopsis javanica 8,39 4,12 6,28 18,79 Kimerak Weinmannia blumei 8,39 2,11 6,28 16,78 Puspa Schima wallichii 8,39 11,73 4,27 24,39 Kiara Ficus globosa 4,13 18,81 2,01 24,95 GH Manii Maesopsis eminii 8,07 13,74 22,80 44,61 Kihujan Engelhardtia serrata 8,07 7,06 10,03 25,16 Saninten Castanopsis javanica 8,07 34,36 10,03 52,46 Mara bereum Macaranga triloba 8,07 2,60 10,03 20,70 Puspa Schima wallichii 8,07 5,16 5,17 18,40 Kisampang Evodia latifolia 3,98 3,19 5,17 12,34 Kimokla Knema cinerea 3,98 3,19 5,17 12,34 Cisarua Puspa Schima wallichii 15,87 41,89 35,45 93,21 Ipis kulit Pternandra azurea 10,63 4,53 10,00 25,16 Kimerak Weinmannia blumei 15,87 3,99 7,58 27,44 Mara bereum Macaranga triloba 5,24 3,06 7,58 15,88 Pasang batarua Quercus gemiliflorus 5,24 15,89 7,58 28,71 Kihujan Engelhardtia serrata 5,24 10,33 2,42 17,99 Cipicung Rasamala Altingia excelsa 30,03 83,81 71,48 185,32 Puspa Schima wallichii 20,12 13,15 14,43 47,70 Ipis kulit Pternandra azurea 20,12 1,85 5,84 27,81

125 Tabel 21 (lanjutan) Nama jenis Nama Latin FR DR KR INP (%) (%) (%) (%) Ciherang Rasamala Altingia excelsa 30,21 91,35 62,54 184,10 Kicamara Podocarpus imbricatus 9,97 3,70 21,82 35,49 Kihaji Dysoxylum alliaceum 9,97 1,42 2,81 14,20 Cipanas Rasamala Altingia excelsa 50,25 90,40 45,18 185,83 Puspa Schima wallichii 16,58 7,98 45,18 69,74 Mahoni Swiethenia mahagoni 16,58 0,60 4,82 22,00 Pasang batu Lithocarpus elegans 16,58 1,02 4,82 22,42 Tabel 21 memperlihatkan bahwa pada semua lokasi penelitian di koridor TNGHS rerata nilai frekuensi relatif tertinggi didapatkan pada rasamala dengan nilai 30,42%, diikuti oleh puspa dengan nilai14,29%, kemudian pasang batu dan mahoni dengan nilai masing-masing 16,58%. Frekuensi adalah nilai yang menunjukkan jumlah seberapa sering ditemukan suatu jenis terhadap jumlah total petak contoh. Dengan demikian ketiga jenis pohon ini merupakan jenis yang paling sering ditemukan pada hampir semua petak contoh. Rerata nilai dominansi relatif tertinggi didapatkan pada manii dengan nilai 26,25%, diikuti oleh pasang batarua dengan nilai 24,00%, dan puspa dengan nilai 22,03%. Dominansi adalah nilai yang menunjukkan perbandingan luas bidang dasar suatu jenis terhadap luas total petak contoh. Ini menggambarkan bahwa ketiga jenis pohon ini mendominasi hampir semua lokasi penelitian. Nilai rerata kerapatan relatif tertinggi ditemui pada jenis rasamala yaitu sebesar 47,17%, diikuti oleh puspa dengan nilai 36,87, dan manii dengan nilai 28,11%. Nilai kerapatan menunjukkan jumlah individu suatu jenis dalam suatu luasan atau petak contoh. Dengan demikian ketiga jenis pohon ini merupakan jenis-jenis yang banyak dijumpai pada hampir semua petak contoh. Rerata nilai INP tertinggi dimiliki oleh rasamala yaitu 144,26%, diikuti oleh manii dengan nilai 64,65% dan puspa dengan nilai 60,90%. Hasil penelitianini agak berbeda dengan Rinaldi et al. (2008) yang menyatakan bahwa jenis pohon yang mempunyai INP tertinggi di koridor TNGHS adalah kianak (Castanopsis acuminatissima) dengan nilai 65,54%, diikuti oleh puspa (Schima wallichii) 97

126 98 dengan nilai 55,75%, dan pasang batarua (Quercus gemiliflorus) dengan nilai 48,20%. Secara umum dapat diartikan bahwa ketiga jenis pohon tersebut mempunyai kemampuan tumbuh yang baik, karena INP merupakan gabungan dari faktor-faktor frekuensi, dominansi, dan kerapatan. Namun pada suatu lokasi tidak selalu pohon yang mempunyai nilai INP tertinggi, nilai frekuensi, dominansi, dan kerapatannya juga tertinggi. Apabila dilihat untuk masing-masing lokasi, di Sukagalih nilai tertinggi untuk frekuensi relatif (16,69%), dominansi relatif (52,25%), kerapatan relatif (42,98%), dan INP (111,93%) dimiliki oleh puspa. Hal ini merupakan keadaan yang baik untuk kehidupan owa jawa, karena puspa dapat dimanfaatkan oleh owa jawa sebagai pohon pakan dan pohon tidur, sesuai dengan hasil penelitian Iskandar (2007). Urutan ke dua untuk frekuensi relatif (11,19%), dominansi relatif (32,10%), kerapatan relatif (12,03%), dan INP (55,32%) adalah pasang batarua. Pasang batarua ini menurut hasil penelitian Iskandar (2007) merupakan jenis yang dimanfaatkan oleh owa jawa sebagai pohon pakan dan pohon tidur. Diharapkan kedua jenis pohon ini dapat mendukung kehidupan dua kelompok owa jawa yang ditemukan di lokasi Sukagalih. Lokasi Cilodor nilai tertinggi frekuensi relatifnya (12,53%), dominansi relatif (38,75%), kerapatan relatif (33,42%), dan INP (84,69%) dimiliki oleh manii. Hasil penelitian Rinaldi et al. (2008) juga menyatakan bahwa manii merupakan salah satu jenis pohon di koridor TNGHS yang mempunyai nilai INP tinggi. Dari pengamatan di lapangan buah dari manii ini digunakan sebagai pakan oleh owa jawa, akan tetapi Iskandar (2007) tidak menemukan jenis ini di lokasi penelitiannya. Diharapkan jenis ini dapat dijadikan sumber pakan untuk kehidupan dua kelompok owa jawa yang ditemukan di lokasi Cilodor ini. Lokasi GH frekuensi relatif tertinggi adalah manii dan saninten (8,07%), dominansi relatif tertinggi (34,36%) adalah saninten, kerapatan relatif (22,80%) tertinggi adalah manii, dan INP tertinggi (52,46%) adalah saninten. Saninten merupakan jenis pohon yang dimanfaatkan owa jawa sebagai pohon pakan dan pohon tidur (Iskandar 2007). Dengan tersedianya pohon pakan dan pohon tidur yang memadai, diharapkan kelompok owa jawa di GH yang terdiri dari empat individu dapat berkembang biak dengan membentuk kelompok baru.

127 99 Nilai tertinggi frekuensi relatif (15,87%), dominansi relatif (41,89%), kerapatan relatif (35,45%), dan INP (93,21%) di lokasi Cisarua dimiliki oleh puspa. Hasil penelitian Iskandar (2007) menunjukkan bahwa puspa merupakan pohon yang dimanfaatkan oleh owa jawa untuk pohon pakan dan pohon tidur. Dengan demikian keberadaan puspa, yang mendominasi lokasi ini diharapkan dapat dimanfaatkan dua kelompok oleh owa jawa yang ditemukan di Cisarua ini. Lokasi Cipicung nilai tertinggi dari frekuensi relatif (30,03%), dominansi relatif (83,81%), kerapatan ralatif (71,48%), dan INP (185,32%) dimiliki oleh rasamala. Rasamala ini menurut hasil penelitian Iskandar (2007) adalah jenis yang dimanfaatkan oleh owa jawa sebagai pohon pakan dan pohon tidur. Dengan demikian diharapkan di lokasi ini rasamala dapat mendukung kehidupan satu kelompok owa jawa yang terdiri dari tiga individu dan untuk masa yang akan datang diharapkan induk dari kelompok ini dapat melahirkan anak lagi. Lokasi Ciherang jenis rasamala mempunyai nilai tertinggi untuk frekuensi relatif (30,21%), dominansi relatif (91,35%), kerapatan relatif (62,54%), dan INP (184,10%). Diharapkan rasamala ini dapat dimanfaatkan oleh owa jawa sebagai pohon pakan dan pohon tidur, sehingga satu kelompok owa jawa yang diidentifikasi di Ciherang ini dapat berkembang membentuk kelompok baru dan menghasilkan keturunan. Lokasi Cipanas nilai tertinggi frekuensi relatif (50,25%), dominansi relatif (90,40%), kerapatan relatif (45,18%), dan INP (185,83%) dimiliki oleh rasamala. Rasamala ini merupakan pohon pakan dan pohon tidur owa jawa, akan tetapi dari pengamatan di lapangan tidak ditemukan kelompok owa jawa di lokasi ini. Tidak ditemukannya owa jawa di lokasi Cipanas karena hutannya sudah terfragmentasi menjadi kelompok-kelompok kecil, sehingga tidak mendukung kehidupan owa jawa yang arboreal. Sesuai dengan pernyataan Indrawan et al. (2007) yang menyatakan bahwa kerusakan habitat merupakan hal utama yang menyebabkan kelompok vertebrata terancam punah. Untuk masa yang akan datang diharapkan perhatian yang serius dari pengelola, agar hutan yang terfragmentasi di lokasi Cipanas dapat pulih kembali. Faktor lain penyebab tidak ditemukannya kelompok owa jawa di Cipanas adalah tingginya aktifitas manusia, karena pada lokasi ini terdapat beberapa perusahaan pertambangan dan perkebunan.

128 Permudaan Vegetasi Permudaan vegetasi merupakan hal yang penting diperhitungkan, untuk mengetahui ketersediaan jenis-jenis pohon yang dibutuhkan oleh owa jawa untuk masa yang akan datang. Permudaan vegetasi sekarang adalah calon-calon pohon, yang akan dimanfaatkan oleh owa jawa pada masa yang akan datang. Ditemukan 40 jenis vegetasi tingkat tiang, 51 jenis vegetasi tingkat pancang, dan 45 jenis vegetasi tingkat semai di koridor TNGHS. Nilai tertinggi dari frekuensi relatif, dominansi relatif, kerapatan relatif, dan INP vegetasi tingkat tiang pada masingmasing lokasi penelitian di koridor TNGHS dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Frekuensi relatif, dominansi relatif, kerapatan relatif, dan INP tertinggi vegetasi tingkat tiang di koridor TNGHS Nama jenis Nama Latin FR DR KR INP (%) (%) (%) (%) Sukagalih Huru hiris Litsea brachystachya 20,24 25,66 16,79 62,69 Jirak Syimplocos cochincinensis 9,97 21,59 16,79 48,35 Puspa Schima wallichii 9,97 12,21 16,79 38,97 Cilodor Manii Maesopsis eminii 6,62 46,27 51,39 104,28 Ipis kulit Pternandra azurea 13,48 14,32 10,25 38,05 Kaliandra Calliandra calothyrsus 13,48 7,51 7,70 28,69 GH Mara bereum Macaranga triloba 12,62 12,48 15,82 40,92 Gompong Schefflera aromatica 12,62 12,38 10,60 35,60 Kicengkeh Urophyllum arboretum 12,62 10,51 10,60 33,73 Manii Maesopsis eminii 6,21 11,98 10,60 28,79 Ipis kulit Pternandra azurea 6,21 6,19 10,60 23,00 Cisarua Kisireum Syzygium rostratum 16,58 44,85 57,12 118,60 Puspa Schima wallichii 33,67 25,32 14,35 73,34 Kicengkeh Urophyllum arboretum 16,58 14,81 14,35 45,74 Kibeusi Memecylon excelsum 16,58 8,15 7,07 31,80 Kopo Eugenia densiflora 16,58 6,87 7,07 30,52 Cipicung Manii Maesopsis eminii 8,33 48,82 34,54 91,69 Pasang kayang Lithocarpus teysmanii 8,33 10,23 17,24 35,80 Kicengkeh Urophyllum arboretum 8,33 9,71 13,83 31,87 Kisampang Evodia latifolia 8,33 10,00 12,07 30,40

129 Tabel 22 (lanjutan) Nama jenis Nama Latin FR DR KR INP (%) (%) (%) (%) Ciherang Gompong Schefflera aromatica 21,55 25,16 25,94 72,65 Manii Maesopsis eminii 14,44 28,36 27,16 69,96 Saninten Castanopsis javanica 7,11 11,46 11,11 29,68 Cipanas Mara bereum Macaranga triloba 20,18 30,32 24,49 74,99 Jirak Syimplocos cochincinensis 9,94 19,26 20,39 49,59 Pasang batu Lithocarpus elegans 9,94 18,89 16,35 45,18 Kisireum Syzygium rostratum 20,18 4,98 14,27 39, Tabel 22 memperlihatkan INP tertinggi vegetasi tingkat tiang pada masingmasing lokasi penelitian di koridor TNGHS adalah: di Sukagalih INP tertinggi (62,69%) adalah huru hiris, di Cilodor (104,28%) adalah manii, di GH (40,92%) adalah mara bereum, di Cisarua (118,60%) adalah kisireum, di Cipicung (91,69%) adalah manii, di Ciherang (72,65%) adalah gompong, di Cipanas (74,99%) adalah mara bereum. Jenis-jenis vegetasi tingkat tiang yang mempunyai INP tertinggi pada masing-masing lokasi di koridor TNGHS menurut hasil penelitian Iskandar (2007) hanya manii dan kisireum yang merupakan jenis calon pohon pakan dan pohon tidur, yang lainnya yaitu huru hiris, mara bereum, dan gompong tidak termasuk jenis calon pohon pakan maupun pohon tidur owa jawa. Hal ini cukup mengkhawatirkan akan ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur owa jawa, apabila vegetasi tingkat pohon sekarang sudah mati. Frekuensi relatif, dominansi relatif, kerapatan relatif, dan INP tertinggi vegetasi tingkat pancang pada masingmasing lokasi penelitian di koridor TNGHS dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 memperlihatkan nilai INP tertinggi vegetasi tingkat pancang pada masing-masing lokasi penelitian di koridor TNGHS adalah sebagai berikut: di Sukagalih INP tertinggi (60,02%) adalah kisireum, di Cilodor INP tertinggi (148,54) adalah manii, di GH INP tertinggi (81,42%) adalah kicengkeh, di Cisarua INP tertinggi (61,64%) adalah kihampelas, di Cipicung INP tertinggi (81,12%) adalah kopinango, di Ciherang INP tertinggi (73,70%) adalah mara bereum, di Cipanas INP tertinggi (53,75%) adalah juga mara bereum.

130 102 Tabel 23 Frekuensi relatif, dominansi relatif, kerapatan relatif, dan INP tertinggi vegetasi tingkat pancang di koridor TNGHS Nama jenis Nama Latin FR DR KR INP (%) (%) (%) (%) Sukagalih Kisireum Syzygium rostratum 8,07 29,99 21,96 60,02 Huru hiris Litsea brachystachya 12,05 11,42 14,64 38,11 Puspa Schima wallichii 8,07 13,25 9,75 31,07 Pasang batu Lithocarpus elegans 3,98 15,22 7,32 26,52 Rengas Melanochyla caesia 8,07 0,06 4,89 13,02 Pasang batarua Quercus gemiliflorus 8,07 7,92 4,89 20,88 Cilodor Manii Maesopsis eminii 4,51 96,36 47,67 148,54 Saninten Castanopsis javanica 4,51 0,35 14,02 18,88 Teh Camelia sinensis 9,17 0,07 7,48 16,72 Ipis kulit Pternandra azurea 4,51 0,78 3,74 9,03 Burununggul Castanopsis argentea 9,17 0,29 2,80 12,26 Manggong Macaranga rhizinoides 9,17 0,25 2,80 12,22 Ceri 4,51 0,50 1,87 6,88 Kicengkeh Urophyllum arboretum 9,17 0,07 1,87 11,11 GH Kicengkeh Urophyllum arboretum 11,87 47,79 21,76 81,42 Huru hiris Litsea brachystachya 11,87 27,67 13,05 52,59 Huru sintok Cinnamomum javanicum 11,87 5,03 8,71 25,61 Kibeusi Memecylon excelsum 5,85 0,25 8,71 14,81 Burununggul Castanopsis argentea 5,85 0,25 8,71 14,81 Kiseueur Antidesma tetrandrum 5,85 17,61 4,34 27,80 Cisarua Kihampelas Ficus sp. 12,57 33,47 15,64 61,64 Mara bereum Macaranga triloba 12,57 8,38 37,51 58,46 Kicengkeh Urophyllum arboretum 12,57 19,50 12,50 44,57 Hamerang Ficus padana 18,76 11,14 9,38 39,28 Puspa Schima wallichii 12,57 2,79 9,38 24,74 Gompong Schefflera aromatica 6,19 19,50 3,12 28,81 Cipicung Kopinango Nyssa sp. 5,25 50,83 25,04 81,12 Mara bereum Macaranga triloba 10,65 1,96 12,51 25,12 Kicengkeh Urophyllum arboretum 10,65 11,73 12,51 34,89 Kibeusi Memecylon excelsum 5,25 2,93 9,39 17,57 Puspa Schima wallichii 5,25 4,89 3,12 13,26 Sulangkar Leea indica 5,25 4,89 3,12 13,26

131 Tabel 23 (lanjutan) Nama jenis Nama Latin FR DR KR INP (%) (%) (%) (%) Ciherang Mara bereum Macaranga triloba 18,80 26,13 28,77 73,70 Kibulu Discochaeta reticulata 12,59 23,69 17,93 54,21 Jirak Syimplocos cochincinensis 12,59 5,92 15,10 33,61 Manii Maesopsis eminii 12,59 8,01 8,02 28,62 Saninten Castanopsis javanica 6,20 27,18 5,66 39,04 Cipanas Mara bereum Macaranga triloba 10,12 25,71 17,92 53,75 Kisireum Syzygium rostratum 10,12 16,07 16,43 42,62 Kicengkeh Urophyllum arboretum 4,98 8,99 14,93 28,90 Pasang batarua Quercus gemiliflorus 4,98 16,71 1,49 23, Tabel 23 memperlihatkan nilai INP tertinggi vegetasi tingkat pancang pada masing-masing lokasi penelitian di koridor TNGHS adalah sebagai berikut: di Sukagalih INP tertinggi (60,02%) adalah kisireum, di Cilodor (148,54) adalah manii, di GH (81,42%) adalah kicengkeh, di Cisarua (61,64%) adalah kihampelas, di Cipicung (81,12%) adalah kopinango, di Ciherang (73,70%) adalah mara bereum, di Cipanas (53,75%) adalah juga mara bereum. Jenis-jenis vegetasi tingkat pancang yang mempunyai INP tertinggi pada masing-masing lokasi penelitian di koridor TNGHS menurut hasil penelitian Iskandar (2007) hanya kihampelas, kisireum, dan manii yang merupakan jenis calon pohon yang dibutuhkan oleh owa jawa, sementara yang lainnya yaitu kicengkeh, kopinango, marabereum tidak termasuk jenis calon pohon pakan maupun pohon tidur owa jawa. Vegetasi tingkat pancang sekarang kebanyakan bukan jenis yang dimanfaatkan oleh owa jawa sebagai pohon pakan dan pohon tidur, ini perlu diperhatikan untuk pengelolaan supaya habitat owa jawa di koridor TNGHS dapat menyediakan pohon pakan dan pohon tidur pada masa yang akan datang, apabila vegetasi tingkat pohon yang ada sekarang sudah tua dan mati. Frekuensi relatif, dominansi relatif, kerapatan relatif, dan INP tertinggi vegetasi tingkat semai pada masing-masing lokasi penelitian di koridor TNGHS dapat dilihat pada Tabel 24.

132 104 Tabel 24 Frekuensi relatif, dominansi relatif, kerapatan relatif, dan INP vegetasi tingkat semai di koridor TNGHS Nama jenis Nama Latin FR DR KR INP (%) (%) (%) (%) Sukagalih Pasang batarua Quercus gemiliflorus 4,53 21,79 72,78 99,10 Kisireum Syzygium rostratum 13,72 38,74 7,01 59,48 Kihampelas Ficus sp. 4,53 14,53 5,39 24,45 Puspa Schima wallichii 13,72 4,84 4,85 23,41 Jirak Syimplocos cochincinensis 4,53 8,47 3,23 16,23 Pasang Quercus oldocarpa 9,19 3,63 3,23 16,05 Cilodor Jirak Syimplocos cochincinensis 16,78 12,42 23,24 52,44 Manii Maesopsis eminii 5,54 12,21 16,90 34,65 Kaliandra Calliandra calothyrsus 11,24 5,47 16,67 33,38 Kiara Ficus globosa 5,54 18,74 8,92 33,20 Kisireum Syzygium rostratum 5,54 15,58 3,29 24,41 GH Pasang Quercus oldocarpa 5,53 53,13 14,07 72,73 Manii Maesopsis eminii 5,53 25,89 27,14 58,56 Puspa Schima wallichii 11,22 5,00 20,60 36,82 Saninten Castanopsis javanica 5,53 4,09 17,09 26,71 Darangdan Ficus sinuata 11,22 3,63 13,07 27,92 Jirak Syimplocos cochincinensis 16,75 3,63 3,52 23,90 Cisarua Manii Maesopsis eminii 13,04 70,83 25,37 109,24 Pasang batarua Quercus gemiliflorus 8,74 8,63 50,52 67,89 Kisireum Syzygium rostratum 8,74 2,98 4,48 16,02 Puspa Schima wallichii 8,74 1,79 4,48 15,01 Kimerak Weinmannia blumei 4,30 2,98 4,48 11,64 Mara bereum Macaranga triloba 4,30 5,36 3,56 13,22 Cipicung Manii Maesopsis eminii 15,85 39,39 20,92 76,16 Puspa Schima wallichii 15,85 11,34 12,42 39,61 Saninten Castanopsis javanica 5,53 14,92 9,37 29,82 Jirak Syimplocos cochincinensis 10,62 13,13 8,06 31,81 Mara bereum Macaranga triloba 5,23 21,49 7,41 34,13 Kicengkeh Urophyllum arboretum 10,62 4,18 3,49 18,29

133 105 Tabel 24 (lanjutan) Nama jenis Nama Latin FR DR KR INP (%) (%) (%) (%) Ciherang Manii Maesopsis eminii 23,15 42,06 32,35 97,56 Puspa Schima wallichii 15,95 18,96 21,32 56,23 Kibulu Discochaeta reticulata 15,95 5,92 13,97 35,84 Kisireum Syzygium rostratum 7,64 20,73 4,04 32,41 Cipanas Manii Maesopsis eminii 12,55 33,70 12,08 58,33 Puspa Schima wallichii 8,41 9,78 20,81 39,00 Jirak Syimplocos cochincinensis 12,55 21,74 12,08 46,37 Kisireum Syzygium rostratum 8,41 9,78 8,72 26,91 Kecapi hutan Chisocheton divergens 8,41 3,26 7,38 19,05 Tabel 24 memperlihatkan INP tertinggi vegetasi tingkat semai pada masingmasing lokasi penelitian di koridor TNGHS adalah sebagai berikut: di lokasi Sukagalih INP tertinggi (99,10%) adalah pasang batarua, di Cilodor (52,44%) adalah jirak, di GH (72,73%) adalah pasang, di Cisarua (109,24%) adalah manii, di Cipicung (76,16%) adalah manii, di Ciherang (97,56%) adalah manii, di Cipanas (58,33%) adalah juga manii. Hasil penelitian Rinaldi et al. (2008) jenis vegetasi tingkat semai yang mempunyai INP tertinggi di koridor TNGHS adalah kisireum (Syzygium rostratum), diikuti oleh mara bereum (Macaranga triloba), dan pasang batarua (Quercus gemiliflorus). Vegetasi tingkat semai yang mempunyai INP tertinggi pada masing-masing lokasi penelitian di koridor TNGHS menurut hasil penelitian Iskandar (2007) adalah pasang batarua, pasang, manii, dan jirak yang merupakan jenis calon pohon yang dibutuhkan oleh owa jawa. Hal ini perlu mendapat perhatian pengelolaan, agar pada masa yang akan datang ketersediaan pohon pakan dan pohon tidur owa jawa di koridor TNGHS dapat dipenuhi. INP tertinggi permudaan vegetasi yaitu: Tingkat tiang adalah 79,02% yaitu kisireum, selanjutnya 73,68% yaitu manii, dan 62,69% yaitu huru hiris. Kisireum dan manii adalah jenis yang dimanfaatkan oleh owa jawa sebagai pohon pakan dan pohon tidur. Vegetasi tingkat pancang INP tertingginya 88,58% yaitu manii, diikuti 81,12% kopinango, dan 63,53% mara bereum. Manii adalah jenis yang

134 106 dimanfaatkan oleh owa jawa sebagai pohon pakan dan pohon tidur. Vegetasi tingkat semai INP tertinggi 83,50% yaitu pasang batarua, selanjutnya 72,42% yaitu manii, dan 44,39% yaitu pasang. Ketiga jenis ini dimanfaatkan oleh owa jawa sebagai pohon pakan dan pohon tidur Tekanan terhadap Owa Jawa Keberadaan penduduk di koridor TNGHS secara langsung maupun tidak langsung, akan menimbulkan ancaman terhadap populasi owa jawa. Faktor sosial ekonomi penduduk yang berada di koridor TNGHS, akan mempengaruhi kondisi habitat owa jawa dan akan menentukan upaya-upaya pengelolaan koridor TNGHS untuk konservasi owa jawa. Menurut Karyono (2005) peubah sosial ekonomi yang dianggap berpengaruh terhadap habitat owa jawa di koridor TNGHS adalah: jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, kepemilikan lahan, waktu tempuh ke hutan, tingkat umur, tingkat pendidikan, pekerjaan, penghasilan, jumlah anggota keluarga, dan pengeluaran rumah tangga Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Secara administrasi koridor TNGHS berada dalam dua kabupaten yaitu Kabupaten Sukabumi (Kecamatan Kabandungan dengan desa Cihamerang, Cipeuteuy, dan Kabandungan) dan Kabupaten Bogor (Desa Purasari di Kecamatan Leuwiliang dan Desa Purwabakti di Kecamatan Pamijahan). Penduduk sudah berada di koridor TNGHS, sebelum areal ini ditetapkan masuk ke dalam TNGHS. Aktifitas penduduk dalam koridor TNGHS cukup tinggi, aktifitas tersebut berupa permukiman, kegiatan pertanian (sawah dan ladang), mengambil kayu bakar dan makanan ternak, mengambil sayuran seperti rebung, dan lain-lain (GHSNPMP-JICA 2009). Tingginya aktifitas penduduk di koridor TNGHS terbukti dengan banyaknya ditemukan jalan-jalan penghubung antara kawasan koridor TNGHS bagian Utara (Kabupaten Bogor) dengan bagian Selatan (Kabupaten Sukabumi), yang memotong koridor TNGHS berupa jalan setapak dan jalan raya (Rinaldi et al. 2008). Koridor TNGHS mendapat ancaman dari waktu ke waktu akibat tingginya ketergantungan penduduk pada areal koridor TNGHS, yang menyebabkan rusaknya areal koridor. Faktor utama penyebab rusaknya koridor TNGHS adalah

135 107 okupasi lahan garapan dan penebangan liar yang mengakibatkan lahan semak belukar (4.206,18 ha) mendominasi kawasan koridor, sedangkan hutan alam primer yang tersisa diperkirakan hanya tinggal sekitar 216 hektar. Garapan terjadi karena sebelum perluasan TNGH pada tahun 2003, Perum Perhutani melaksanakan pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) di hutan produksi/lindung, dengan menanam jati serta tanaman pertanian dan perkebunan lainnya (GHSNPMP-JICA 2009). Penebangan liar masih terjadi di koridor TNGHS, tidak diketahui pelakunya penduduk setempat atau orang dari luar. Penduduk baik yang berdomisili di koridor TNGHS atau dari luar, banyak memanfaatkan koridor TNGHS untuk berbagai aktifitas seperti mengambil kayu untuk bahan bangunan dan kayu bakar. Menurut Rinaldi et al. (2008) penduduk di koridor TNGHS jarang memanfaatkan hasil hutan non kayu berupa obat-obatan, pangan, dan kerajinan untuk cinderamata. Masyarakat lebih banyak memanfaatkan kayu yang berasal dari pohon, baik untuk membuat bangunan maupun untuk kayu bakar. Jumlah penduduk di koridor TNGHS tahun 2004 adalah jiwa dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk 2,64%/tahun, maka pada tahun 2020 diproyeksikan jumlah penduduk di koridor TNGHS adalah jiwa. Jumlah penduduk di koridor TNGHS tahun 1989 sampai 2004 dan proyeksi jumlah penduduk tahun 2020 dapat dilihat pada Gambar 27. Sumber: Diolah dari Yatap Gambar 27 Jumlah penduduk di koridor TNGHS tahun 1989 sampai 2004 dan proyeksi jumlah penduduk tahun 2020.

136 108 Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk seiring dengan berjalannya waktu, maka kebutuhan penduduk akan lahan dan sumberdaya alam yang ada di koridor TNGHS juga akan meningkat. Lahan di koridor TNGHS dibutuhkan penduduk untuk dijadikan permukiman dan lahan pertanian, sedangkan sumberdaya alam yang ada di koridor TNGHS dibutuhkan penduduk untuk memenuhi kebutuhan akan kayu bakar, makanan ternak, dan lain-lain. Kondisi ini akan menimbulkan ancaman terhadap lahan dan sumberdaya alam yang ada di koridor TNGHS, dan akan menghambat upaya konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa. Keberadaan penduduk di koridor TNGHS sebenarnya merupakan suatu dilemma, karena penduduk sudah bermukim di daerah ini secara turun temurun sebelum areal ini ditetapkan menjadi kawasan TNGHS. Penetapan perluasan TNGH menjadi TNGHS, seharusnya memperhatikan areal yang akan ditetapkan masuk kawasan TNGHS. Walaupun permukiman dan areal sekitarnya yang ada di koridor TNGHS dijadikan zona khusus, akan tetapi penduduk masih membutuhkan akses di luar zona khusus tersebut, untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka seperti kebutuhan akan kayu untuk bahan bangunan. Pada beberapa kampung seperti Kampung Sukagalih pemahaman penduduk akan keberadaan TNGHS cukup bagus, penduduk umumnya mengetahui apa saja yang boleh dimanfaatkan dari dalam hutan di koridor TNGHS, akan tetapi pembukaan hutan untuk dijadikan areal pertanian baru masih terlihat di kampung ini. Pengelolaan koridor TNGHS sebenarnya harus diprioritaskan pada tingkat pengetahuan dan penyadaran penduduk terhadap pentingnya keberadaan TNGHS, karena kalau tingkat pemahaman dan kesadaran mereka sudah baik mereka akan berpartisipasi dalam pengelolaan koridor TNGHS. Apabila dihubungkan data jumlah penduduk yang semakin meningkat, sementara populasi owa jawa semakin menurun. Dengan demikian peningkatan jumlah penduduk menyebabkan ancaman terhadap koridor TNGHS yang merupakan habitat owa jawa dan secara tidak langsung menyebabkan menurunnya populasi owa jawa. Pada penelitian ini ditemukan sembilan kelompok owa jawa, lebih kecil dari yang ditemukan oleh Rinaldi et al. (2008) yang menemukan 11 kelompok owa jawa.

137 109 Gambar 27 memperlihatkan bahwa proyeksi jumlah penduduk tahun 2020 tertinggi di koridor TNGHS terdapat di Desa Kabandungan. Hal ini dapat disebabkan karena desa ini merupakan pusat kecamatan, sehingga aktifitas penduduk terpusat di sini. Fasilitas di Desa Kabandungan yang menyebabkan tingginya jumlah penduduk adalah pusat pemerintahan kecamatan, kantor Balai TNGHS, sekolah tingkat SLTA, pasar dan lain-lain. Proyekyi jumlah penduduk tahun 2020 terendah adalah di Desa Cisarua, desa ini terletak di perbatasan Kabupaten Bogor dengan Sukabumi dan penghubung antara areal perkebunan teh PT. Cianten dengan pusat kecamatan. Karena Desa Cisarua merupakan penghubung antar dua lokasi yang jadi pusat aktifitas penduduk, maka walaupun jumlah penduduk disini sedikit akan tetapi aktifitas penduduk di Desa ini tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa hampir pada seluruh lokasi di koridor TNGHS aktifitas penduduknya tinggi, sehingga keadaan ini tidak mendukung untuk kehidupan owa jawa dan merupakan ancaan untuk konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa. Owa jawa yang teridentifikasi di koridor TNGHS hanya berada pada dua desa, yaitu Desa Cipeuteuy dan Desa Kabandungan. Tujuh kelompok owa jawa teridentifikasi di Desa Cipeuteuy, yaitu di lokasi Sukagalih, Cilodor, dan Cisarua masing-masing ada dua kelompok dan di GH satu kelompok. Teridentifikasi dua kelompok owa jawa di Desa Kabandungan yaitu lokasi Cipicung dan Ciherang masing-masing satu kelompok, sedangkan di lokasi Cipanas tidak ditemukan kelompok owa jawa. Tingginya jumlah kelompok owa jawa di Desa Cipeuteuy dapat disebabkan karena desa ini arealnya juga luas, Wahab (2010) menyatakan bahwa Desa Cipeuteuy luasnya mencakup 46% dari total luas koridor TNGHS atau sekitar ha. Tidak ditemukannya kelompok owa jawa di Desa Cipanas disebabkan karena dari pengamatan di lapangan hutan di desa ini sudah terfragmentasi menjadi luasan yang kecil-kecil, sesuai dengan hasil penelitian Cahyadi (2003) yang menyatakan bahwa hutan di koridor TNGHS tidak kontinyu terdapat banyak rumpang (gap) berupa semak belukar, diskontinuitas tajuk pohon berjarak dua sampai 25 m. Lokasi Desa Cipanas juga dekat dengan areal PT. Chevron yang mengeluarkan kepulan asap dan suara bising (GHSNPMP-JICA 2009), kondisi ini

138 110 diperkirakan tidak cocok untuk kehidupan owa jawa karena owa jawa sangat sensitif terhadap suara bising. Perlu dilakukan upaya-upaya pengelolaan di koridor TNGHS, untuk menyediakan habitat yang cocok bagi kehidupan owa jawa. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan mengkonservasi koridor TNGHS sebagai habitat owa jawa, diantaranya adalah dengan menanam jenis-jenis pohon asli dan dapat dimanfaatkan oleh owa jawa sebagai pohon pakan dan pohon tidur. Jenis-jenis yang dapat dimanfaatkan oleh owa jawa seperti rasamala (Altingia excelsa), puspa (Schima wallichii), manii (Maesopsis eminii), saninten (Castanopsis argentea), dan lain-lain. Diharapkan dengan upaya konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa, pada masa yang akan dating keberadaan owa jawa di koridor TNGHS dapat dipertahankan dan penduduk dapat menikmati hidup yang sejahtera Penguragan Luasan Hutan Pengurangan luasan hutan di koridor TNGHS terjadi akibat rendahnya kepemilikan lahan penduduk yang tinggal di koridor TNGHS. Luas pemilikan lahan penduduk menentukan tingkat ketergantungan mereka ke koridor TNGHS, penduduk yang memiliki lahan sempit ketergantungannya ke koridor TNGHS akan lebih tinggi. Hal ini dapat terjadi karena kebutuhan mereka akan lahan untuk aktifitas pertanian tidak mencukupi, sehingga mereka membuka hutan di koridor TNGHS. Penduduk yang pemilikan lahannya luas, akan dapat memenuhi kebutuhan mereka akan lahan pertanian dan kebutuhan lainnya dari lahan yang mereka miliki. Rata-rata persentase luas kepemilikan lahan penduduk di koridor TNGHS sebesar 83,4% adalah sempit, yaitu kurang dari 0,25 hektar (Gunawan 2004). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Wahab (2010) yang menyatakan bahwa pemilikan lahan masyarakat di Desa Cipeuteuy rendah, yaitu rata-rata 0,23 ha/kepala keluarga, sementara untuk mencapai tingkat hidup layak penduduk yang bermukim di dalam dan di sekitar TNGHS membutuhkan lahan garapan seluas 0,54 ha/orang (Karyono 2005). Keadaan ini menggambarkan bahwa penduduk di koridor TNGHS mempunyai ketergantungan yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan mereka akan lahan, baik untuk dijadikan areal permukiman dan lahan pertanian.

139 111 Rendahnya pemilikan lahan penduduk akan mengakibatkan tingginya aktifitas penduduk di koridor TNGHS, sehingga terjadi perubahan tutupan lahan di koridor TNGHS. Perubahan tutupan lahan di koridor TNGHS menyebabkan berkurangnya luasan hutan, dan meningkatnya areal non hutan. Hasil penelitian Cahyadi (2003) menunjukkan bahwa areal berhutan di koridor TNGHS antara tahun 1990 sampai 2001 telah mengalami penurunan sebesar 347,523 hektar, yaitu dari luas 666,508 hektar menjadi 318,985 hektar. Luas lahan pertanian mengalami peningkatan sebesar 120,186 hektar, dari luasan 1.355,649 hektar menjadi 1.475,835 hektar. Semak belukar mengalami peningkatan luas sebesar 256,819 hektar, yaitu dari 269,36 hektar menjadi 526,179 hektar. Perkebunan teh mengalami peningkatan sebesar 151,62 hektar, tahun 2001 kaliandra muncul dengan luas 33,796 hektar, puspa muncul dengan luas 17,586 hektar. Hutan di koridor TNGHS tidak kontinyu terdapat banyak rumpang (gap) berupa semak belukar, diskontinuitas tajuk pohon berjarak dua sampai 25 meter. Keadaan perubahan penutupan lahan yang terjadi di koridor TNGHS sangat tidak mendukung untuk kehidupan owa jawa, karena owa jawa membutuhkan hutan dengan pohon-pohon yang tinggi dan tajuk yang saling tersambung untuk kehidupannya yang arboreal dan untuk aktifitasnya untuk melompat dari dahan satu pohon ke dahan pohon lain (brakiasi). Upaya yang dapat dilakukan untuk mengkonservasi koridor TNGHS sebagai habitat owa jawa, adalah dengan menanami areal koridor yang sudah tidak berhutan lagi dengan jenis-jenis yang dapat dimanfaatkan oleh owa jawa sebagai pohon pakan dan pohon tidur. Jenisjenis dimaksud diantaranya adalah rasamala (Altingia excelsa), puspa (Schima wallichii), manii (Maesopsis eminii), dan saninten (Castanopsis argentea) Waktu Tempuh Penduduk ke Hutan Waktu tempuh penduduk dari rumah ke hutan, akan menentukan aktifitas mereka di hutan koridor TNGHS. Apabila waktu tempuh mereka ke hutan cepat, maka akan mengakibatkan aktifitas mereka seperti bertani (sawah/ladang) dan mengambil kayu bakar serta makanan ternak di hutan juga tinggi. Waktu tempuh penduduk ke hutan 56,7% di Desa Purwabakti yaitu dengan waktu tempuh cepat (kurang dari 30 menit) dan 83,4% di Desa Cipeuteuy yaitu dengan waktu tempuh sedang (antara 30 sampai 60 menit) (Gunawan 2004). Relatif cepatnya waktu

140 112 tempuh sebagian besar penduduk di koridor TNGHS ke hutan, akan menyebabkan tekanan terhadap koridor TNGHS relatif tinggi. Hal ini dapat terjadi karena penduduk merasa dekat ke hutan, jadi kebutuhan mereka seperti bertani, pengambialn kayu bakar dan makanan ternak akan dilakukan di hutan. Aktifitas penduduk di koridor TNGHS berupa sawah/ ladang, mengambil sayuran, kayu bakar, makanan ternak dan lain-lain, akan menimbulkan tekanan terhadap koridor TNGHS. Hasil penelitian Heriyanto dan Sawitri (2001) menyatakan bahwa konsumsi kayu bakar penduduk di Desa Cipeuteuy 8,10 kg/rumah tangga/hari, informasi dari penduduk kayu bakar diambil dari hutan berupa rencekan dan pohon yang tumbang/mati dan jenis yang diambil adalah kaliandra (Calliandra sp.), rasamala (Altingia excelsa), puspa (Schima walichii), jeunjing (Paraserianthes falcataria), damar (Agathis alba), seuhang (Ficus alba), walen (Ficus ribes), hamirung (Ficus zoxicara), kopo (Eugenia densiflora), dan kecubung (Datura suaveolens). Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penduduk yang permukiman mereka dekat ke hutan, aktifitas mereka seharian dilakukan di hutan. Aktifitas penduduk ini seperti bertani (sawah/ladang), mengambil kayu bakar dan makanan ternak, dilakukan mulai dari jam 6.30 WIB kemudian jam WIB mereka pulang ke rumah, dan jam WIB penduduk laki-laki kembali ke hutan untuk beraktifitas dan pulang kembali sekitar jam WIB, sementara penduduk perempuan biasanya tidak kembali ke hutan akan tetapi melakukan kegiatan memasak makanan di rumah. Kegiatan penduduk yang seharian beraktifitas di hutan ini akan menimbulkan tekanan terhadap koridor TNGHS sebagai habitat owa jawa, dan akan menyebabkan owa jawa merasa terganggu. Usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi aktifitas penduduk di hutan adalah dengan mencarikan alternatif pekerjaan lain kepada penduduk selain bertani Tingkat Umur Penduduk Tingkat umur penduduk di koridor TNGHS, akan menentukan frekuensi aktifitas mereka di koridor TNGHS. Apabila tingkat umur penduduk berada pada umur-umur produktif dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah, maka kemungkinan pekerjaan yang dilakukan adalah sebagai petani. Petani dengan kepemilikan lahan yang rendah, akan berpotensi menimbulkan tekanan terhadap

141 113 koridor TNGHS. Tingkat umur penduduk tertinggi berada pada umur 19 sampai 59 tahun yaitu 52,64%, diikuti oleh tingkat umur 0 sampai 15 tahun yaitu 37,13%, 16 sampai 18 tahun 6,43%, dan diatas 60 tahun yaitu 3,8% (Warlian 2004). Tingginya tingkat umur penduduk pada umur 19 sampai 59 tahun yang merupakan umur produktif sebagai tenaga kerja, akan membutuhkan sarana tempat mereka bekerja. Dengan tingkat pendidikan penduduk yang relatif rendah (Warlian 2004) dan mata pencaharian penduduk sebagian besar sebagai petani di koridor TNGHS (Karyono 2005 dan Wahab 2010), maka kebutuhan lahan pertanian akan tinggi. Hal ini akan menimbulkan tekanan terhadap hutan di koridor TNGHS, yang mengakibatkan terjadinya okupasi lahan untuk dijadikan sebagai areal pertanian. Tingkat umur penduduk pada umur 0 sampai 15 tahun juga tinggi, yaitu 37,13%. Hal ini mengindikasikan bahwa pada masa yang akan datang aktifitas penduduk di koridor TNGHS akan semakin tinggi, apabila tingkat pendidikan dan pekerjaan yang dilakukan anak-anak ini nantinya setelah dewasa sama dengan orang tua mereka. Karena dari pengamatan di lapangan, anak-anak di koridor TNGHS sebagian besar hanya menempuh pendidikan sampai tingkat SLTP, karena memang sarana pendidikan setingkat SLTP ini yang bisa mereka dapatkan di kampung mereka. Pemecahan masalah ini seiring dengan upaya konservasi owa jawa di koridor TNGHS adalah, perlu adanya pendidikan non formal agar penduduk di koridor TNGHS nantinya tidak mempunyai ketergantungan yang tinggi lagi terhadap lahan dan sumberdaya alam yang ada di koridor TNGHS Tingkat Pendidikan Penduduk Tingkat pendidikan penduduk di koridor TNGHS akan mempengaruhi pemahaman dan kesadaran mereka terhadap pentingnya kelestarian sumberdaya alam yang ada di koridor TNGHS, dan akan mempengaruhi upaya konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa. Tingkat pendidikan penduduk di koridor TNGHS sebagian besar (76,58%) berada pada tingkat SD sampai SLTP, diikuti oleh penduduk yang tidak tamat SD (16,26%), SLTA 5,67%, Diploma 1,32%, dan Sarjana 0,17% (Warlian 2004). Tingkat pendidikan penduduk yang relatif rendah di koridor TNGHS, akan menimbulkan tekanan terhadap kelestarian sumberdaya alam yang ada di koridor

142 114 TNGHS. Penduduk dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah ini dikhawatirkan mempunyai pemahaman dan kesadaran yang kurang terhadap pentingnya memelihara sumberdaya alam yang ada di koridor TNGHS, karena terbatasnya informasi yang mereka dapat tentang pentingnya memelihara lingkungan dan sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Hal ini akan menyebabkan konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa menghadapi tantangan, untuk ini diperlukan upaya-upaya penyuluhan oleh pihak-pihak terkait kepada penduduk yang ada di koridor TNGHS, untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran mereka akan pentingnya fungsi hutan dan pelestarian koridor TNGHS untuk habitat owa jawa. Penyuluhan dimaksud adalah berupa ceramah di mushola atau dibalai desa untuk penduduk dewasa dan pendidikan konservasi di sekolah-sekolah untuk anak-anak sekolah, tentang pentingnya menjaga hutan koridor TNGHS untuk habitat owa jawa Pekerjaan Penduduk Secara umum pekerjaan penduduk di sekitar koridor TNGHS adalah sebagai petani, buruh tani, pekerja perkebunan teh, pedagang, buruh bangunan, PNS/TNI, dan pekerja di luar daerah. Sebagian besar (63,29%) pekerjaan penduduk di koridor TNGHS adalah sebagai petani, diikuti buruh kebun teh (19,57%), buruh tani (16,63%), dan PNS/TNI (0,51%) (GHSNPMP-JICA 2009). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Karyono (2005) yang menyatakan bahwa kehidupan masyarakat di TNGHS 90,55% dari sektor pertanian, lainnya sektor jasa seperti buruh bangunan, pedagang, jasa angkutan. Wahab (2010) juga menyatakan bahwa pekerjaan masyarakat di TNGHS sebahagian besar adalah sebagai petani, yang menanam padi dan sayur-sayuran. Jenis sayuran yang banyak ditanam adalah cabe, kol, ceisin, kacang buncis, kacang merah, dan kacang panjang. Rinaldi et al. (2008) juga menyatakan bahwa ladang penduduk ditanami berbagai jenis tanaman seperti sayuran, pisang dan lain-lain, ladang ini tersebar di sekitar hutan dan bahkan cenderung makin masuk ke arah dalam hutan di koridor TNGHS. Kondisi ini menyebabkan tekanan terhadap hutan di koridor TNGHS cukup tinggi dan merupakan hambatan konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa. Banyaknya penduduk yang bekerja sebagai petani, menyebabkan kebutuhan akan lahan pertanian akan selalu meningkat. Seiring dengan pertumbuhan

143 115 penduduk, maka setiap bertambahnya anggota keluarga akan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup keluarga. Hal ini akan mendorong kepala keluarga untuk meningkatkan penghasilan, misalnya dengan menambah luasan areal pertanian. Akibatnya mereka akan mengokupasi hutan di koridor TNGHS untuk dijadikan areal pertanian, ini merupakan tekanan terhadap koridor TNGHS dan merupakan hambatan terhadap konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa. Sehubungan dengan hal ini diperlukan adanya semacam pembinaan kepada penduduk untuk mencari pekerjaan sampingan dari bidang selain pertanian, sehingga dengan demikian diharapkan ketergantungan penduduk terhadap koridor TNGHS dapat diminimalkan Penghasilan Penduduk Penghasilan penduduk di koridor TNGHS akan menentukan uapaya konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa. Penghasilan penduduk secara umum ditentukan oleh pekerjaan apa saja yang mereka lakukan, hal ini berhubungan juga dengan tingkat pendidikan yang pernah mereka jalani. Sebahagian besar penduduk di koridor TNGHS yaitu 86,7% di Desa Purwabakti dan 60,0% di Desa Cipeuteuy berpenghasilan rendah yaitu di bawah Rp ,- /kapita/bulan (Gunawan 2004). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sukabumi (2002), UMK (upah minimum kabupaten) Sukabumi adalah Rp ,-/bulan, dengan demikian hampir seluruh penduduk yang berada di koridor TNGHS mempunyai penghasilan di bawah UMK. Hal ini mengindikasikan bahwa ketergantungan penduduk terhadap lahan dan sumberdaya alam yang ada di koridor TNGHS tinggi, sehingga kemungkinan penduduk membuka lahan untuk dijadikan lahan pertanian juga akan tinggi. Keadaan ini akan menimbulkan tekanan terhadap koridor TNGHS dan akan menghambat konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa, sehingga diperlukan semacam usaha untuk meningkatkan penghasilan penduduk yang ada di koridor TNGHS. Data yang dikeluarkan oleh GHSNPMP-JICA (2009) menyebutkan bahwa penghasilan penduduk di koridor TNGHS adalah sebagai berikut: Penghasilan penduduk sebagai pekerja perkebunan berkisar antara Rp ,- sampai Rp ,- per bulan, pensiunan perkebunan biasanya mendapatkan uang pensiun

144 116 sebesar Rp ,- sampai Rp ,- per bulan, penghasilan sebagai pedagang, buruh tani, dan buruh ternak biasanya dihitung secara harian yaitu ratarata sebesar Rp ,- sampai Rp ,-. Petani dan peternak hanya mendapatkan penghasilan ketika hasil panen atau ketika ternaknya di jual yaitu sekitar Rp ,- sampai Rp ,- per ekor hewan ternak atau 80 gedeng padi untuk setiap satu gedeng bibit padi. Data yang dikeluarkan oleh GHSNPMP-JICA (2009) menunjukkan bahwa penghasilan penduduk di koridor TNGHS berkisar antara Rp ,- sampai Rp ,-,. Pada tahun 2009 UMK Kabupaten Sukabumi adalah Rp ,-, dengan demikian penghasilan penduduk di koridor TNGHS tetap berada di bawah UMK. Artinya dari tahun ke tahun penghasilan penduduk di koridor TNGHS tetap rendah, ini mengindikasikan bahwa tidak ada peningkatan tingkat pendidikan, yang mengakibatkan pekerjaan anak-anak tetap seperti orang tua mereka dan penghasilan mereka juga tidak ada peningkatan. Untuk ini diharapkan ada perhatian dari instansi terkait untuk membantu peningkatan penghasilan penduduk di koridor TNGHS, misalnya memberikan modal untuk usaha selain bertani. Rendahnya penghasilan penduduk di koridor TNGHS dapat terjadi karena sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani, sementara harga jual komoditas pertanian mereka rendah. Dari pengamatan di lapangan para petani pada awal musim tanam meminjam uang dan mengambil kebutuhan untuk bertani kepada tengkulak dengan cara kredit, kemudian pada musim panen petani harus menjual hasil pertanian mereka kepada tengkulak dengan harga murah atau harga yang ditentukan oleh tengkulak tersebut. Rendahnya harga komoditas pertanian di koridor TNGHS, disebabkan karena daerahnya yang terisolir dan susahnya trasportasi. Akibat daerah yang terisolasi ini harga barang dan jasa di daerah ini tinggi, sementara harga komoditas pertanian yang mereka hasilkan rendah. Akibatnya untuk menutupi kebutuhan keluarga, para petani akan berusaha memperbanyak hasil pertanian mereka dengan memperluas lahan pertanian. Tindakan ini akan menyebabkan okupasi lahan semakin meluas, ini merupakan tekanan terhadap kelestarian koridor TNGHS sebagai habitat owa jawa. Usaha yang dapat dilakukan adalah dengan membuka akses jalan yang memadai ke daerah ini, akan tetapi akses jalan

145 117 yang memadai ini juga akan menyebabkan ancaman terhadap kelestarian koridor TNGHS sebagai habitat owa jawa Jumlah Anggota Keluarga Penduduk Indikasi yang umum terjadi di Indonesia adalah jumlah anggota keluarga ditentukan oleh tingkat sosial ekonomi dan domisili suatu keluarga. Keluarga dengan tingkat sosial ekonomi yang tinggi dan berdomisili di kota, biasanya mempunyai jumlah anggota keluarga yang kecil. Sebaliknya keluarga dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah dan berdomisili di desa, biasanya mempunyai jumlah anggota keluarga yang banyak. Persentase jumlah anggota keluarga yang tinggi di koridor TNGHS yaitu 53,3% terdapat di Desa Purwabakti dengan jumlah anggota keluarga lima sampai enam orang dan di Desa Cipeuteuy yaitu 50,0% dengan jumlah anggota keluarga dua sampai empat orang (Gunawan 2004). Tingginya jumlah anggota keluarga di Desa Purwabakti, di duga dapat disebabkan karena Desa Purwabakti lebih terisolir, hal ini akan menentukan tingkat sosial ekonomi masyarakatnya. Penduduk dengan anggota keluarga yang tinggi, akan mempunyai ketergantungan yang tinggi juga terhadap lahan dan sumberdaya alam. Hal ini merupakan hambatan terhadap konservasi koridor TNGHS untuk habitat owa jawa, sehingga diperlukan adanya kebijakan pengelolaan koridor TNGHS untuk melestarikan owa jawa dan mensejahterakan penduduk. Upaya yang dapat dilakukan untuk ini adalah dengan memperbaiki kondisi habitat owa jawa di koridor TNGHS dan peningkatan taraf ekonomi penduduk dengan cara peningkatan penghasilan. Peningkatan penghasilan penduduk dapat dilakukan dengan meminjamkan modal untuk bertani, sehingga mereka tidak perlu lagi meminjam ke tengkulak dan tidak harus menjual hasil pertanian mereka ke tengkulak dengan harga rendah Pengeluaran Rumah Tangga Penduduk Pengeluaran rumah tangga ditentukan oleh tingkat sosial ekonomi dan jumlah anggota keluarga dalam rumah tangga tersebut. Makin tinggi tingkat sosial ekonomi dan makin banyak jumlah anggota keluarga, diperkirakan akan semakin tinggi pengeluaran suatu rumah tangga. Persentase pengeluaran rumah tangga di koridor TNGHS, dapat dilihat pada Gambar 28.

146 118 Sumber: Diolah dari Yatap 2008 Gambar 28 Persentase pengeluaran rumah tangga di koridor TNGHS. Gambar 28 memperlihatkan bahwa pengeluaran rumah tangga tertinggi penduduk di koridor TNGHS adalah untuk kebutuhan beras yaitu 65,69%, diikuti oleh pakaian 10,43%, bercocok tanam 9,83%, sosial dan bepergian masingmasing 5,8%, kesehatan 2,54, dan sekolah anak 1,35% (Yatap 2008). Kebutuhan paling besar adalah untuk beras dan yang paling kecil adalah biaya sekolah anak, artinya sedikit sekali biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan anak, berarti anakanak di koridor TNGHS tingkat pendidikannya rendah. Dengan rendahnya tingkat pendidikan anak-anak di koridor TNGHS, diperkirakan pada saat dewasa nanti mereka akan tetap bekerja sebagai petani mengikuti jejak orang tua mereka. Hal ini akan menimbulkan tekanan yang lebih besar lagi terhadap koridor TNGHS, karena dengan makin meningkatnya jumlah penduduk yang bekerja sebagai petani. Untuk ini perlu ada suatu usaha yang dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup penduduk yang ada di koridor TNGHS, agar ketergantungan mereka terhadap lahan dan sumberdaya alam di koridor TNGHS dapat diminimalkan. Usaha yang dapat dilakukan oleh instansi terkait adalah dengan memberikan modal usaha kepada penduduk yang dapat dipergunakan misalnya untuk usaha membuka bengkel motor Pembahasan Umum Tekanan terhadap Koridor TNGHS Kemampuan ekonomi masyarakat sekitar TNGHS cenderung rendah, degradasi hutan banyak terjadi pada areal-areal yang berada di dalam dan sekitar kawasan TNGHS dan diduga terkait erat dengan rendahnya kemampuan ekonomi

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk 122 VI. PEMBAHASAN UMUM Perluasan TNGH (40.000 ha) menjadi TNGHS (113.357 ha) terjadi atas dasar perkembangan kondisi kawasan disekitar TNGH, terutama kawasan hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut

Lebih terperinci

ANALISIS POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

ANALISIS POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK Media Konservasi Vol. 16, No. 3 Desember 2011 : 133 140 ANALISIS POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI KORIDOR TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK (Population Analysis of Javan Gibbon (Hylobates

Lebih terperinci

JURNALILMIAH BIDANG KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI DAN LINGKUNGAN. Volume 16/Nomor 3, Desember 2011

JURNALILMIAH BIDANG KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI DAN LINGKUNGAN. Volume 16/Nomor 3, Desember 2011 JURNALILMIAH BIDANG KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM HAYATI DAN LINGKUNGAN Volume 6/Nomor 3, Desember Media Konservasi Vol. 6, No. 3 Desember : 33-4 (Population Analysis ofjavan Gibbon (Hvlobates moloch Audebert

Lebih terperinci

HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT FEBRIANY ISKANDAR

HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT FEBRIANY ISKANDAR HABITAT DAN POPULASI OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert, 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO JAWA BARAT FEBRIANY ISKANDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 9 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konservasi Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menyebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati

Lebih terperinci

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI Individual Density of Boenean Gibbon (Hylobates muelleri)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2004 sampai dengan September 2005 di empat lokasi Taman Nasional (TN) Gunung Halimun-Salak, meliputi tiga lokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat

BAB I PENDAHULUAN. endangered berdasarkan IUCN 2013, dengan ancaman utama kerusakan habitat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rekrekan (Presbytis comata fredericae Sody, 1930) merupakan salah satu primata endemik Pulau Jawa yang keberadaannya kian terancam. Primata yang terdistribusi di bagian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Berdasarkan beberapa literatur yang diperoleh, antara lain: Rencana Aksi Koridor Halimun Salak (2009-2013) (BTNGHS 2009) dan Ekologi Koridor Halimun Salak (BTNGHS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 26 III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Letak dan Luas Lokasi kawasan Gunung Endut secara administratif terletak pada wilayah Kecamatan Lebakgedong, Kecamatan Sajira, Kecamatan Sobang dan Kecamatan Muncang,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35 juta ha. Tujuh belas persen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Owa Jawa atau Javan gibbon (Hylobates moloch) merupakan jenis primata endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999). Dalam daftar

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

III. KONDISI UMUM LOKASI

III. KONDISI UMUM LOKASI III. KONDISI UMUM LOKASI 3.1. Sejarah Kawasan Berawal dari Cagar Alam Gunung Halimun (CAGH) seluas 40.000 ha, kawasan ini pertama kali ditetapkan menjadi salah satu taman nasional di Indonesia pada tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-Ekologi Owa Jawa 2.1.1 Taksonomi Klasifikasi owa jawa berdasarkan warna rambut, ukuran tubuh, suara, dan beberapa perbedaan penting lainnya menuru Napier dan Napier (1985)

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa

Lebih terperinci

ANCAMAN KELESTARIAN DAN STRATEGI KONSERVASI OWA-JAWA (Hylobates moloch)

ANCAMAN KELESTARIAN DAN STRATEGI KONSERVASI OWA-JAWA (Hylobates moloch) ANCAMAN KELESTARIAN DAN STRATEGI KONSERVASI OWA-JAWA (Hylobates moloch) IMRAN SL TOBING Fakultas Biologi Universitas Nasional, Jakarta Foto (Wedana et al, 2008) I. PENDAHULUAN Latar belakang dan permasalahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN

PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN 1 PEMANFAATAN TUMBUHAN OLEH MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT SUKABUMI MUHAMMAD IRKHAM NAZMURAKHMAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PEMETAAN KESESUAIAN HABITAT OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK

PEMETAAN KESESUAIAN HABITAT OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK Media Konservasi Vol. XII, No. 1 April 2007 : 1 9 PEMETAAN KESESUAIAN HABITAT OWA JAWA (Hylobates moloch Audebert 1797) DI TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN-SALAK (Habitat Suitability Mapping of Sylvery Gibbon

Lebih terperinci

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS

ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS 1 TEKNOLOGI PERTANIAN ANALISIS KERAPATAN TEGAKAN DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BALURAN BERBASIS QUANTUM-GIS ANALYSIS OF STAND DENSITY IN BALURAN NATIONAL PARK BASED ON QUANTUM-GIS Maulana Husin 1), Hamid Ahmad,

Lebih terperinci

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO

INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO 1 INVENTARISASI DAN ANALISIS HABITAT TUMBUHAN LANGKA SALO (Johannes teijsmania altifrons) DI DUSUN METAH, RESORT LAHAI, TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH PROVINSI RIAU- JAMBI Yusi Indriani, Cory Wulan, Panji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan jumlah spesies burung endemik (Sujatnika, 1995). Setidaknya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menempati peringkat keempat sebagai negara yang memiliki kekayaan spesies burung dan menduduki peringkat pertama di dunia berdasarkan jumlah spesies burung

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013

SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013 SAMBUTAN MENTERI KEHUTANAN PADA ACARA FINALISASI DAN REALISASI MASTERPLAN PUSAT KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI (PPKH) Pongkor, Selasa, 23 April 2013 Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Timor memiliki avifauna yang unik (Noske & Saleh 1996), dan tingkat endemisme burung tertinggi dibandingkan dengan beberapa pulau besar lain di Nusa Tenggara (Pulau

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Struktur Vegetasi Struktur vegetasi merupakan komponen penyusun vegetasi itu sendiri. Struktur vegetasi disusun oleh tumbuh-tumbuhan baik berupa pohon, pancang,

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli ` I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dan dikelola dengan sistem zonasi. Kawasan ini dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu

Lebih terperinci

BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA

BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA BIRD PREFERENCE HABITATS AROUND SERAYU DAM BANYUMAS CENTRAL JAVA Enggar Lestari 12/340126/PBI/1084 ABSTRACT Interaction between birds and habitat is the first step to determine their conservation status.

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI Oleh Pengampu : Ja Posman Napitu : Prof. Dr.Djoko Marsono,M.Sc Program Studi : Konservasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK

KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes SPP) DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG GUNUNG SEMAHUNG DESA SAHAM KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK (Diversity Of Pitcher Plants ( Nepenthes Spp ) Forest

Lebih terperinci

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM KARYA TULIS KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM OLEH : DIANA SOFIA H, SP, MP NIP 132231813 FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2007 KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah,

Lebih terperinci

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA Pencapaian tujuan kelestarian jenis elang Jawa, kelestarian habitatnya serta interaksi keduanya sangat ditentukan oleh adanya peraturan perundangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam (Supriatna dan Wahyono, 2000), dan Sumatera merupakan daerah penyebaran primata tertinggi, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan di Sumatera Utara memiliki luas sekitar 3.742.120 ha atau sekitar 52,20% dari seluruh luas provinsi, luasan kawasan hutan ini sesuai dengan yang termaktub

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan sumber keanekaragaman hayati dan memilki banyak kawasan konservasi. Cagar Alam (CA) termasuk

Lebih terperinci

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM Muhdi Staf Pengajar Program Studi Teknologi Hasil Hutan Departemen Kehutanan USU Medan Abstract A research was done at natural tropical

Lebih terperinci

I. PENDAHALUAN. dan kehutanan. Dalam bidang kehutanan, luas kawasan hutannya mencapai. (Badan Pusat Statistik Lampung, 2008).

I. PENDAHALUAN. dan kehutanan. Dalam bidang kehutanan, luas kawasan hutannya mencapai. (Badan Pusat Statistik Lampung, 2008). I. PENDAHALUAN A. Latar Belakang Masalah Provinsi Lampung dengan luas ± 3.528.835 ha, memiliki potensi sumber daya alam yang sangat beraneka ragam, prospektif, dan dapat diandalkan, mulai dari pertanian,

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Joja (Presbytis potenziani) adalah salah satu primata endemik Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang unik dan isolasinya di Kepulauan

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB. I. PENDAHULUAN A.

BAB. I. PENDAHULUAN A. BAB. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di antara dua benua dan dua samudera, Indonesia memiliki hutan tropis terluas ketiga setelah Brazil dan Zaire.

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah cecah (Presbytis melalophos). Penyebaran cecah ini hampir di seluruh bagian pulau kecuali

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

KAJIAN HABITAT DAN POPULASI UNGKO (Hylobates agilis unko) MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SUMATERA UTARA

KAJIAN HABITAT DAN POPULASI UNGKO (Hylobates agilis unko) MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SUMATERA UTARA KAJIAN HABITAT DAN POPULASI UNGKO (Hylobates agilis unko) MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SUMATERA UTARA KENI SULTAN PROGRAM STUDI MAYOR PRIMATOLOGI INSTITUT

Lebih terperinci

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU Number of Individual and Groups Proboscis (Nasalis Larvatus, Wurmb) In Sentarum Lake

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa Kecamatan Pagar Dewa Kabupaten Tulang Bawang Barat Provinsi Lampung, merupakan suatu kawasan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan praktek model agroforestri yang mempunyai fungsi ekonomi dan ekologi, akhir-akhir ini menjadi perhatian khusus. Banyak kawasan hutan yang beralih fungsi

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DESKRIPSI PEMBANGUNAN JAVAN RHINO STUDY AND CONSERVATION AREA (Areal Studi dan Konservasi Badak Jawa) DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN: 978-602-60401-3-8 PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBEBASAN FRAGMENTASI HABITAT ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii) DI HUTAN RAWA TRIPA Wardatul Hayuni 1), Samsul

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan sebagai habitat mamalia semakin berkurang dan terfragmentasi, sehingga semakin menekan kehidupan satwa yang membawa fauna ke arah kepunahan. Luas hutan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, tekanan terhadap sumberdaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi merupakan kawasan yang dilindungi dengan fungsi pokok konservasi biodiversitas dalam lingkungan alaminya, atau sebagai konservasi in situ, yaitu konservasi

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI

ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI ANGKA BENTUK DAN MODEL VOLUME KAYU AFRIKA (Maesopsis eminii Engl) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, JAWA BARAT DIANTAMA PUSPITASARI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman hutan raya merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan konservasi terdiri dari kawasan suaka alam termasuk cagar alam dan suaka margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, dan taman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya alam hayati yang melimpah. Sumber daya alam hayati di Indonesia dan ekosistemnya mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Keberadaan pakan, tempat bersarang merupakan faktor yang mempengaruhi kekayaan spesies burung

Lebih terperinci

POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT

POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT (Population Of Bekantan (Nasalis Larvatus, Wurmb) In The Area Of Sungai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat

Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch) di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 6, No. 1, Juni 2009, p.14-18. ISSN: 1410-5373. Pusat Studi Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor. Populasi Owa Jawa (Hylobates moloch) di Taman Nasional Gunung Gede

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rusa timor (Rusa timorensis Blainville 1822) merupakan salah satu jenis satwa liar yang hidup tersebar pada beberapa wilayah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sampai

Lebih terperinci

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberadaan burung pemangsa (raptor) memiliki peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Posisinya sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator) dalam ekosistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1. Keunikan Kawasan Gunung Merapi Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena adanya interaksi yang kuat antar berbagai komponen di dalamnya,

Lebih terperinci

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Syzygium merupakan marga dari suku Myrtaceae (jambu-jambuan) yang memiliki jumlah spesies yang sangat banyak. Tercatat kurang lebih 1200 spesies Syzygium yang tumbuh

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi di dunia. Keanekaragaman hayati terbesar yang dimiliki Indonesia di antaranya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bogor merupakan kota yang terus berkembang serta mengalami peningkatan jumlah penduduk dan luas lahan terbangun sehingga menyebabkan terjadinya penurunan luas

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci