KAJIAN GENETIKA KETAHANAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH (Phytophthora palmivora Butl) DI INDONESIA R U B I Y O

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN GENETIKA KETAHANAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH (Phytophthora palmivora Butl) DI INDONESIA R U B I Y O"

Transkripsi

1 KAJIAN GENETIKA KETAHANAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH (Phytophthora palmivora Butl) DI INDONESIA R U B I Y O SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa semua pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul: Kajian Genetika Ketahanan Tanaman Kakao (Theobroma cacao L) terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butler) di Indonesia Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan oleh para komisi pembimbing, terkecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Oktober 2009 Rubiyo NRP:A ii

3 ABSTRACT RUBIYO, Genetic Study of Cacao (Theobroma cacao L.) Resistance against Black Pod Disease (Phytophthora palmivora Butl) in Indonesia. Supervised by SUDARSONO, AGUS PURWANTARA, TRIKOESOEMANINGTYAS, and SATRIYAS ILYAS. Cacao (Theobroma cacao L.) is one of the estate crops having important role in economy Indonesia. Cacao cultivation faces a lot of constraints, such as crop pests and diseases which can reduce the quality and production of cacao. One of the main diseases which attack cacao in Indonesia is black pod disease caused by Phytophthora palmivora (Butl.) Butl. The disease caused yield losses ranging from 40 to 50% in Indonesia and worldwide. The research on genetic resistance of cacao against the disease caused by P. palmivora in Indonesia is still very limited. This research can assist the effort of cacao breeding to produce cacao clones or hybrids which are resistant against P. palmivora and to establish heritability model of F1 progeny to produce crop materials having some high qualities, so that the production of cacao can be improved. The objectives of this research: (1) To identify P. palmivora species and to study its genetic variation in cacao production centre of some provinces in Indonesia (2) To establish a standard inoculation method for screening in cacao resistance (3) To measure pathogenicity of P. palmivora upon cacao (4) To test cacao germplasm collection against P. palmivora and use them as parental clones to construct F1 hybrids (5) To study the correlation of resistance levels and observed quantitative characters of several cacao clones (6) To study the potency of high general and specific combining abilities and its heterosis effect on diallel crossing of cacao clones so that F1 hybrid with high yield and resistance to P. palmivora and its heritability can be obtained. In the first part of this research, 24 indigenous isolates of P. palmivora had been isolated from 13 districts and eight provinces in Indonesia. The indigenous isolates produce ellipsoid, globoid, or ovoid sporangia with distinct papillae and pedicel, typical of P. palmivora. Among indigenous isolates, there was no distinct difference in the papilla and their pedicel. Even though the isolates showed similar in morphology, they showed variation in pathogenicity on cacao clones GC 7, ICS 60 and TSH 858. Phytophthora palmivora isolate from Lubuk Basung, West Sumatra was very pathogenic to pods of the three cacao clones. While the isolates JkBwi (12) and KgBwi (8) from Banyuwangi, East Java; PtBdg (7) from Badung, Bali; SsSpg (36) and AgSpg1 (35) from Sopeng, South Sulawesi, and also Pwmnw from Manokwari, West Papua were pathogenic or very pathogenic. The second part showed that inoculation using mycelia inoculum was more efficient than using zoospore, and wounding treatment could assist in accurately detecting cacao seedling resistance against the P. palmivora infection. The estimation of resistance using detached pod was in line with the result of evaluation using cacao seedlings so that the seedlings can be used for an alternative for resistance evaluation against P. palmivora. TSH 858 clone is better to be used as female parent and crossed with Sca 12 as male parent to establish the population of F1 hybrids which are resistant to the P. palmivora infection and have high productivity. iii

4 The third part indicated that inoculation of cacao pods in the field and laboratory for resistance screening gave the similar degree of resistance. Cacao clones showing susceptibility in laboratory have the same susceptibility in the field. The fourth part indicated that among 35 cacao clones, there were 10 clones which were resistant against P. palmivora infection based on pod inoculation test in laboratory. The clones are: ICCRI 1, ICCRI 3 PA 300, UIT 1, NIC 4, DR 38, ICS 13, TSH 858, Sca 6 and ICS 60. Whereas, the cacao clones showing susceptibility based on inoculation were: RCC 72, KKM 22, NIC 7, DRC 15, DRC 16, RCC71,BL 300, BL 301, KEE2, TSH 908. Genotypes used for the parental clones for future selection process were eight clones: ICCRI 1, ICCRI3, ICS 13, TSH 858, UIT 1, PA 300, NIC 4 and DR38. The fifth part, based on stomata observation of 10 clones, stomata density in pod and leaf did not show high correlation to the resistance. The number of stomata on resistant and susceptible clones is not significantly different, indicating that cacao clones which are resistant do not always have low stomata density compared to that of susceptible, and vice versa cacao clones which are susceptible do not always have high stomata density in pod and leaf. Study on the activities of chitinase and peroxidase enzymes upon tested clones indicated that there was chitinase role to the resistance of cacao against the infection by P. palmivora. The increase of chitinase activity in resistant clones generally intensified consistently, and so did peroxidase enzyme. Susceptible cacao clones whose peroxidase enzyme activity did not increase were DRC 15 and DRC 16 and they belong to very susceptible clones. The sixth part of the research showed that there was no gene interaction determining the resistance against the disease caused by P. palmivora. Resistance in cacao is mostly influenced by additive gene actions. Dominant genes are mostly found in parental. Heritability values in narrow and bigger sense belong to a high group. Parental clones such as ICCRI 3, TSH 858 and Sca 6 have the highest General Combining Ability. While the combination between ICCRI 3 x Sca 6 has the highest Specific Combining Ability, and therefore this combination is prospective to become a hybrid. The highest heterosis occurs in the crossing between DR1 x ICS 13, DR1 x Sca 6 dan ICS 13 x Sca 6. iv

5 RINGKASAN RUBIYO, Kajian Genetika Ketahanan Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butl) di Indonesia. Dibimbing oleh SUDARSONO, AGUS PURWANTARA, TRIKOESOEMANINGTYAS, dan SATRIYAS ILYAS. Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia. Budidaya kakao menghadapi banyak kendala di lapangan, antara lain penyakit dan hama tanaman yang dapat menurunkan kuantitas dan kualitas produksi kakao. Salah satu penyakit utama yang menyerang tanaman kakao di Indonesia adalah penyakit busuk buah (black pod) yang disebabkan oleh Phytophthora palmivora (Butl). Butl. Penyakit busuk buah kakao mengakibatkan kerugian antara 40 sampai 50% di Indonesia, dan di seluruh dunia. Penelitian genetika ketahanan kakao terhadap penyakit P. palmivora di Indonesia belum banyak dilakukan. Penelitian ini dapat membantu usaha pemuliaan untuk memperoleh bahan tanam yang tahan terhadap penyakit busuk buah dan model pewarisan terhadap F1 nya untuk menghasilkan bahan tanam yang mempunyai beberapa sifat unggul, sehingga produksi kakao dapat ditingkatkan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Melakukan identifikasi spesies P. palmivora dan mengetahui keragaman patogenisitasnya pada lokasi sentra kakao di Indonesia (2) Mengetahui metode inokulasi untuk penapisan ketahanan kakao (3) Mengetahui patogenitas P. palmivora terhadap tanaman kakao (4) Mengetahui dan mendapatkan tanaman kakao yang tahan dan rentan terhadap penyakit P. palmivora di koleksi plasma nutfah kakao untuk digunakan sebagai tetua untuk perakitan hibrida F1 (5) Mengetahui korelasi tingkat ketahanan beberapa klon kakao untuk karakter kuantitatif yang diamati (6) Mengetahui potensi daya gabung umum dan khusus yang tinggi serta efek heterosisnya pada persilangan dialel klon kakao sehingga diperoleh potensi pada hibrida F1 serta heritabilitasnya. Pada bagian pertama dari penelitian ini telah diperoleh 24 isolat indigenus P. palmivora yang diisolasi dari 13 kabupaten dan delapan provinsi di Indonesia. Isolat indigenus yang didapat mempunyai bentuk sprora ellipsoid, globoid, atau ovoid, tipikal P. palmivora. Di antara isolat tidak terdapat perbedaan yang jelas pada papila dan pediselnya. Meskipun isolat P. palmivora yang didapat secara morfologis hampir sama, terdapat perbedaan yang besar dalam tingkat patogenisitasnya terhadap kakao klon GC 7, ICS 60 atau TSH 858. Isolat P. palmivora LbSbr dari Lubuk Basung, Sumatra Barat diketahui sangat patogenik terhadap ketiga kultivar kakao yang diuji. Isolat JkBwi (12) dan KgBwi (8) dari Banyuwangi, Jawa Timur; PtBdg (7) dari Badung, Bali; SsSpg (36) dan AgSpg1 (35) dari Sopeng, Sulawesi Selatan, serta PwMnw dari Manokwari, Papua Barat bersifat patogenik atau sangat patogenik. Bagian kedua dari penelitian ini menunjukkan bahwa inokulasi dengan menggunakan inokulum miselia lebih efisien dibandingkan dengan zoospora P. Palmivora, dan perlakuan pelukaan lebih mampu secara akurat menduga respon ketahanan bibit kakao terhadap infeksi P. palmivora. Hasil pendugaan ketahanan menggunakan buah yang dipetik sejalan dengan hasil pengujian menggunakan v

6 bibit kakao sehingga bibit dapat digunakan sebagai alternatif pengujian ketahanan terhadap P. palmivora. Klon TSH 858 lebih baik untuk digunakan sebagai induk betina dan disilangkan dengan Sca 12 sebagai induk jantan untuk menghasilkan populasi hibrida F1 yang resisten terhadap infeksi P. palmivora dan berpotensi berdaya hasil tinggi. Bagian ketiga menunjukkan bahwa inokulasi untuk mengetahui ketahanan klon kakao di laboratorium maupun di lapangan menghasilkan ketahanan yang sama. Terdapat perbedaan dalam perkembangan luas bercak dan masa inkubasinya. Umumnya rata-rata luas bercak dan perkembangan yang dihasilkan pada inokulasi di laboratorium lebih besar dibandingkan dengan luas bercak yang di hasilkan pada uji inokulasi di lapangan. Masa inkubasi umumnya di lapangan lebih lamban rata-rata 2 hari dibandingkan dengan inokulasi di laboratorium. Bagian keempat hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji ketahanan terhadap 35 klon kakao, terdapat 10 klon kakao yang resisten terhadap infeksi P. palmivora berdasarkan uji inokulasi buah di laboratorium. Klon kakao tersebut adalah: ICCRI 1, ICCRI 3, PA 300, UIT 1, NIC 4, DR 38, ICS 13, TSH 858, Sca 6 dan ICS 60. sedangkan klon kakao yang menunjukkan hasil rentan berdasarkan hasil inokulasi adalah: RCC 72, KKM 22, NIC 7, DRC 15, DRC 16, RCC71, BL 300, BL 301, KEE2, TSH 908. Genotipe yang digunakan untuk tetua dalam rangka proses seleksi lebih lanjut atau untuk bahan tanam klonal ada delapan klon yaitu: ICCRI 1, ICCRI 3, ICS 13, TSH 858, UIT 1, PA 300, NIC 4 dan DR38. Bagian kelima menunjukkan bahwa berdasarkan hasil pengamatan stomata pada 10 klon, kerapatan stomata pada daun maupun buah tidak memberikan korelasi yang tinggi terhadap ketahanan. Jumlah stomata tidak berbeda nyata antara kelompok klon yang tahan maupun rentan. Klon kakao yang tahan tidak selalu menghasilkan jumlah kerapatan stomata yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang rentan. Klon kakao yang rentan tidak selalu memiliki jumlah stomata yang banyak di daun maupun pada buah. Aktivitas kitinase dan peroksidase terhadap klon kakao yang diuji mengindikasikan ada peran kitinase terhadap ketahanan kakao dari infeksi P. palmivora. Peningkatan aktivitas kitinase klon yang tahan umumnya lebih meningkat, begitu juga pada enzim peroksidase. Klon kakao yang rentan, dan tidak memiliki peningkatan aktivitas enzim peroksidase adalah klon DRC 15 dan DRC 16, sehingga klon tersebut masuk dalam kelompok sangat rentan. Bagian ke enam hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada interaksi gen yang terjadi dalam menentukan ketahanan terhadap penyakit P. palmivora. Ketahanan kakao banyak dipengaruhi oleh aksi gen aditif dan gen-gen dominan lebih banyak di dalam tetua. Nilai heritabilitas dalam arti luas maupun heritabilitas dalam arti sempit masuk kelompok tinggi. Tetua ICCRI 3, TSH 858 dan Sca 6 mempunyai DGU yang paling tinggi dibandingkan dengan tetua lainnya. Kombinasi yang mempunyai daya gabung khusus tertinggi adalah kombinasi ICCRI 3 x Sca 6 sehingga kombinasi ini berpeluang menjadi penghasil hibrida. Heterosis tertinggi terdapat pada silangan dari DR1 x ICS 13, DR1 x Sca 6 dan ICS 13 x Sca 6. vi

7 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB vii

8 KAJIAN GENETIKA KETAHANAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH ( Phytophthora palmivora Butl.) DI INDONESIA R U B I Y O Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Agronomi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 viii

9 Penguji pada Ujian Tertutup : Dr.Ir.Yudiwanti Wahyu E.K, MS. Dr.Ir.Muchdar Sudarjo, M.Sc. Penguji pada Ujian Terbuka: Prof.Dr.Ir. Sudirman Yahya Dr.Ir. S. Joni Munarso, MS. ix

10 Judul Disertasi : Kajian Genetika Ketahanan Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butl) di Indonesia Nama : Rubiyo Nomor Pokok : A Program Studi : Agronomi Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc. Ketua Dr. Ir. Agus Purwantara, APU. Anggota Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, M.Sc. Anggota Prof. Dr.Ir. Satriyas Ilyas, M.S. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Munif Ghulamahdi, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A.Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian: 8 Oktober 2009 Tanggal Lulus: x

11 PRAKATA Bismillahirrahmanirrahiim. Alhamdulillah, puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Alloh SWT atas segala karunia dan petunjuk-nya, sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan. Solawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa cahaya dan petunjuk bagi kehidupan umat manusia hingga akhir zaman. Disertasi dengan judul Kajian Genetika Ketahanan Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora Butl) di Indonesia disusun berdasarkan penelitian penelitian yang dilakukan di lapangan yang meliputi sembilan propinsi (Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jawa Barat, Jawa timur, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara dan Papua Barat) saat pengambilan isolat di Indonesia. Penelitian di laboratorium Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Bogor, laboratorium fitopatologi dan kebun percobaan Kaliwining Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Jember Jawa Timur Lembaga Riset Perkebunan Indonesia. Disertasi ini dapat diselesaikan atas kerjasama dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penghargaan dan ungkapan terimakasih yang sebesar besarnya penulis haturkan kepada ketua komisi pembimbing Prof.Dr.Ir.H.Sudarsono, MSc., yang telah memberikan bimbingan tanpa kenal tempat maupun waktu dan arahan yang sangat mendalam dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi. Ungkapan penghargaan dan ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada anggota komisi pembimbing: Dr.H.Agus Purwantara, APU., Dr.Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc., dan Prof.Dr.Ir.Hj.Satriyas Ilyas, MS., yang telah banyak membimbing, mengarahkan serta memberikan masukan dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan disertasi ini. Terimakasih yang sebesarbesarnya penulis sampaikan kepada Dr.Ir.Hj.Yudiwanti, MS., dan Dr.Ir.H. Muchdar Sudarjo, M.Sc yang telah berkenan menjadi penguji luar komisi saat sidang tertutup, ucapan dan penghargaan yang sama disampaikan kepada Dr.Ir.Joni Munarso, MS dan Prof.Dr.Ir.Sudirman Yahya atas perkenannya menjadi penguji luar komisi pada sidang terbuka. xi

12 Berbagai pihak yang telah banyak berperan sehingga penelitian dan penulisan disertasi dapat diselesaikan. Karena itu ungkapan dan penghargaan ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada: 1. Ketua komisi pembinaan tenaga Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian atas kepercayaan, biaya dan fasilitas yang diberikan selama tugas belajar sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan Program S3 di Institut Pertanian Bogor. 2. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah memberikan beasiswa dan biaya penelitian, ijin dan kesempatan tugas belajar S3 kepada penulis di Institut Pertanian Bogor 3. Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana, Ketua PS Agronomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas kesempatan dan dukungan yang diberikan mulai dari perkuliahan sehingga penulis dapat menjalankan penelitian dan menyelesaikan penulisan disertasi ini dengan baik. 4. Dr. H. Darmono Taniwiryono dan Dr.Hj. Endang Nurhayati yang telah menguji penulis pada ujian lisan Prakualifikasi Program Doktor. 5. Kepala BPTP Bali dan staf atas dukungannya selama penulis mengikuti tugas belajar program Doktor di Institut Pertanian Bogor. 6. Direktur Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Bogor-Lembaga Riset Perkebunan Indonesia atas ijin dan fasilitas yang diberikan selama penelitian berlangsung di Laboratorium maupun rumah kaca. 8. Direktur Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia atas ijin dan fasilitas yang diberikan selama penelitian berlangsung baik di kebun percobaan Kaliwining maupun Laboratorium dan perpustakaan dalam studi literatur. 9. Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian Perguruan Tinggi (KKP3T) Institut Pertanian Bogor dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian melalui DIPA TA , atas dukungan dana sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang menjadi bagian dari disertasi ini. xii

13 10. Staf Pengajar Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan ilmu selama penulis mengambil kuliah untuk program S3 di Institut Pertanian Bogor. 11. Dr.Ir. H. Sutanto Abdulah, SU., Ir.Sri-Sukamto,MP., Ir.Dedy Suhendi, MS., Ir. Sudarsianto, Ir. Nurkolis, atas bantuannya selama penelitian berlangsung di laboratorium dan lapangan yang diberikan, juga diskusidiskusi yang sangat membantu sehingga sangat dimungkinkan penelitian berlangsung dengan lancar. 12. Ucapan yang sama juga disampaikan kepada Dr.M.Syukur, Atekan, SP, M.Si; Alfian Futuhulhadi, S.Si, M.Si atas bantuan dalam analisa data penelitian ini. 13. Ir.Endang Mufrihati yang telah banyak membantu dalam pengambilan isolat di Provinsi Sumatera Utara, Sumatra Barat dan Papua Barat, Ir.Suparti Disbun Sopeng yang telah membantu dalam pengambilan isolat di daerah Sulawesi Selatan, Ucapan yang sama juga disampaikan kepada Ir. Ramlan, MP Peneliti di BPTP Sulbar yang membantu dalam pengambilan isolat di Sulawesi Barat, Imran, SP peneliti BPTP Sulawesi Tenggara juga membantu pengambilan isolat di daerah Sultra dan Mas Rahmat (yang dengan tekun membantu dalam isolasi isolat dan inokulasi di Laboratorium dan Green house Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Bogor). 14. Rekan rekan di laboratorium dan kebun percobaan Kaliwining: Supandi, SP., Ir.Dody Sulistyo, Suliono, Sukarmin, Sarkawi, Adi Hario, mbak Khotijah, Mbak Imsiah, bu Aan, mas Sumarto dan pak Karmidin, dan berbagai pihak yang telah banyak membantu di kebun maupun di laboratorium, mulai dari persiapan persilangan hingga inokulasi dan tabulasi data. 15. Rekan di Lab.Biomol IPB (mbak Minarti, Susiani dan Mas Agus serta Mas Joko) yang telah banyak membantu dalam penelitian ini. 16. Ir.Achmat Jauhari, MS., Ir.Suprapto, MP. Ir. Arief Musadad, atas segala bantuan dan dukungannya selama menempuh pendidikan di Bogor. xiii

14 17.Terimakasih dan sungkem yang mendalam penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis: Bapak Yasareja [Alm] dan Ibu Mukinah atas perjuangan, pengorbanan dan doa yang tidak pernah terhenti dalam membesarkan dan mendidik penulis. 18.Terimakasih kepada Bapak dan Ibu mertua (Bapak Ismail Mahardi [alm] dan Ibu Siti Juariah) yang telah mendidik dan memberikan istri yang sangat baik bagi penulis. 19.Rasa terimakasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada istri tercinta Ir. Endang Mufrihati serta ananda Nicho Nurdebyandaru, S.Si, Briliandaru Mahardhiyasa Pribadi, Dhimas Upadyandaru SB, Prabandaru Nuriza Daksa B dan F.Adellia Virgiandaru Huzna yang telah melengkapi dan memberikan kebahagiaan bagi kehidupan penulis serta dengan segala pengertian, pengorbanan, kesabarannya dan doa yang tidak pernah terlupakan selama penulis menyelesaikan studi S3 ini. 20.Terimakasih juga penulis sampaikan kepada kakak dan adik (Mas Ir. Zaenal Arifin, mbak Ir.Susilowati, Mas Samsul Hadi, mbak Rohma, dik Min, dik Mini dik Tugiya, SE, dik Mery beserta keluarga) serta sanak famili yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. 21.Terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian disertasi penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam tulisan ini. Semoga bimbingan, bantuan, dukungan dan doa dari berbagai pihak akan menjadi amal baik dan mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Alloh SWT. Akhir kata, semoga tulisan ini bermanfaat bagi pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan khususnya perkakaoan di Indonesia untuk kehidupan dan kemakmuran kita bersama. Amin. Bogor, Oktober 2009 Rubiyo xiv

15 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Gunung Kidul Yogyakarta tanggal, 11 November 1963 sebagai anak sulung pasangan Yasareja dan Mukinah. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Moch. Sroedji Jember, lulus pada tahun Pada tahun 2004 menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Udayana program studi pertanian lahan kering. Kesempatan untuk melanjutkan ke program Doktor pada Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun Beasiswa pendidikan Pascasarjana S3 diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Penulis mulai bekerja di Balai Penelitian Perkebunan Jember sekarang Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia tahun sebagai staf pada bidang pemuliaan tanaman kakao. Mulai tahun 1998 penulis memilih jalur PNS dan ditempatkan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kendari lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian sebagai Staf Peneliti. Tahun 2001 sampai sekarang sebagai peneliti di BPTP Bali. Pada tahun sebagai Pemimpin Proyek PAATP Bali. Jabatan fungsional Peneliti pertama diperoleh pada tahun 2000 sebagai Asisten Peneliti Madya bidang budidaya pertanian dan tahun 2003 sebagai Ajun Peneliti Madya, kemudian jabatan Peneliti Madya diperoleh pada tahun Selama menjadi peneliti karya tulis yang dipublikasikan di Jurnal Ilmiah Nasional sebagai penulis utama 12 buah dan sebagai penulis kedua 15 buah. Dua buah karya ilmiah berjudul (1) Response of 35 Cacao Collections of Indonesian Coffee and Cacao Research Institute against Phytophthora palmivora Butl. Infection Based on Detached Pod Assays dan (2) Judul Heritability and Genetic control of black pod disease caused by P. palmivora infection in cacao diterima sebagai makalah dan akan dipresentasikan pada International Cacao Research Conference (ICRC) di Bali November Dua artikel telah diterbitkan dengan judul (1) Isolation of indigenous Phytophthora palmivora from xv

16 Indonesia, their morfological and pathogenicity characterizations, dan artikel kedua (2) dengan judul: Uji ketahanan kakao (Theobroma cacao L.) terhadap penyakit busuk buah dan efektivitas metode inokulasi pada Jurnal Pelita Perkebunan. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis. Sebagai seorang peneliti pemuliaan kakao bersama dengan peneliti yang lain pada tahun 2004 dan 2005 telah melepas 4 klon kakao (ICCRI 1, ICCRI 2, ICCRI 3 dan ICCRI 4) sebagai klon unggul nasional. xvi

17 DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... Halaman RINGKASAN... 1 PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Perumusan masalah... 5 TUJUAN PENELITIAN... 7 MANFAAT PENELITIAN... 7 HIPOTESIS... 8 TINJAUAN PUSTAKA... 9 A.MorfologiTanaman kakao... 9 B. Keragaman GenetikTanaman kakao C. Penyakit Busuk Buah Kakao D. Pengendalian Penyakit Busuk Buah E. Mekanisme Ketahanan F Mekanisme Ketahanan Struktural... Mekanisme Ketahanan Biokimia G. Genetika Ketahan Kakao terhadap Penyakit P.palmivora H. Analisis Daya Gabung I. Heterosis J.Heritabilitas JUDUL 1. ISOLATION OF INDIGENOUS Phytophthora palmivora FROM INDONESIA, THEIR MORPHOLOGICAL AND PATHOGENICITY CHARACTERIZATIONS Abstrak Introduction Material and Methods Results and Discussion Conclusions Literature Cited I Ii Iii 18 xvii

18 JUDUL 2. UJI KETAHANAN KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH DAN EFEKTIVITAS METODE INOKULASI Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Inokulasi pada Buah Kakao Inokulasi pada Bibit Pengaruh Genotipe Kakao Hasil dan Pembahasan Simpulan Daftar Pustaka JUDUL 3. UJI KETAHANAN KAKAO DI LAPANGAN DAN LABORATORIUM TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH (Phytophthora palmivora Butler) Abstract Pendahuluan Bahan dan Metode Penelitian uji ketahanan tanaman kakao di laboratorium dan lapangan.. 72 Uji Detached Pod di laboratorium Uji ketahanan di lapangan Hasil dan Pembahasan Uji ketahanan kakao di laboratorium Uji ketahanan di lapangan Simpulan Daftar Pustaka JUDUL 4. PENELITIAN RESISTENSI KLON KAKAO TERHADAP INFEKSI Phytophthora palmivora Butl RESPON 35 KLON KAKAO BERDASARKAN UJI DETACHED POD Abstract Pendahuluan Bahan dan Metode Hasil dan Pembahasan Uji Detached Pod di Laboratorium Hubungan antara Tipe Kakao dan Respons Ketahanan xviii

19 Pendugaan nilai duga ragam genetik Simpulan Daftar Pustaka JUDUL 5. AKTIVITAS ENZIM KITINASE, PEROKSIDASE SERTA KERAPATAN STOMATA PADA KETAHANAN KAKAO (Theobroma cacao L) TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH ( P. Palmivora) Apstrak Pendahuluan Bahan dan Metode A. Penelitian Kerapatan stomata terhadap buah dan daun akao Pengamatan stomata buah kakao B. Penelitian Aktivitas Kitinase dan Peroksidase Daun pada Beberapa Klon kakao Ekstraksi Protein Analisis Total Protein Terlarut (TPT) Analisis Aktivitas kitinase Analisis Aktivitas Peroksidase Hasil dan Pembahasan Simpulan Daftar Pustaka JUDUL 6. PENDUGAAN PARAMETER GENETIK UNTUK KARAKTER KETAHANAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L) TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH (Phytophthora palmivora.) Abstrak Pendahuluan Bahan dan Metode Lokasi dan Waktu Penelitian Bahan Tanaman yang Digunakan Uji Ketahanan Populasi Hibrida F1 Hasil Persilangan Dialel Analisis Data Hasil dan Pembahasan Pendugaan parameter genetik Interaksi Gen Pengaruh Aditif (D) dan Dominansi (H1) xix

20 Distribusi gen di dalam tetua Tingkat Dominansi Proporsi gen dominan terhadap gen Resesif Arah dan urutan dominan Jumlah Gen Pengendali karakter Heritabilitas Daya Gabung Umum (DGU) Daya Gabung Khusus (DGK) Heterosis Simpulan Daftar Pustaka PEMBAHASAN UMUM SIMPULAN DAN SARAN SARAN DAFTAR PUSTAKA xx

21 DAFTAR TABEL Halaman 1 Daftar lokasi pengambilan contoh buah kakao terinfeksi penyakit busuk buah kakao, jumlah isolat cendawan dan jumlah isolat P. palmivora indigenus yang teridentifikasi dari masing-masing lokasi Karakteristik morfologis isolat P. palmivora indigenus berdasarkan bentuk spora dan keberadaan pedisel serta papila Pengelompokkan patogenisitas isolat P. palmivora indigenus yang diisolasi dari berbagai pusat produksi kakao di Indonesia berdasarkan respons buah kakao klon GC7 (rentan), ICS60 (agak resisten), dan TSH858 (resisten terhadap infeksi P. palmivora) Pathogenicity grouping of indigenous isolates of Phytophthora palmivora isolated from various cacao production centers in Indonesia based on the response of pods of cacao clones GC7 (susceptible), ICS60 (moderately resistance), and TSH858 (resistance - against P. palmivora infection) Pengaruh jenis inokulan terhadap persentase bibit kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora dan kisaran panjang bercak pada batang yang dihasilkan. Pengamatan panjang bercak dilakukan 28 hari sesudah inokulasi batang dari bibit kakao yang diuji Pengaruh pelukaan terhadap persentase bibit kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora dan kisaran panjang bercak pada batang yang dihasilkan. Pengamatan dilakukan 28 hari sesudah inokulasi bibit kakao yang diuji Jumlah bercak bibit kakao hibrida F1 (ICS 60 x Sca 12) dan hibrida F1 (TSH 858 x Sca 12) serta zuriat kakao klon Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora dan rataan panjang bercak pada daun yang dihasilkan. Pengamatan panjang bercak dilakukan 7 (I), 14 (II), and 21 (III) hari sesudah inokulasi daun bibit kakao yang diuji Persentase bibit kakao hibrida F1 (ICS 60 x Sca 12) dan hibrida F1 (TSH 858 x Sca 12) serta zuriat kakao klon Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora dan kisaran panjang bercak pada daun yang dihasilkan. Pengamatan lebar bercak dilakukan 14 (I), 21 (II), and 28 (III) hari sesudah inokulasi daun bibit kakao yang diuji Rata-rata luas bercak (cm 2 ) hasil inokulasi beberapa klon kakao di Laboratorium 7 hari setelah inokulasi P. palmivora Rata-rata luas bercak (cm2) hasil inokulasi beberapa klon kakao di Lapangan 9 hari setelah inokulasi P. palmivora Material Genotipe Kakao yang digunakan sebagai uji Evaluasi respon plasma nutfah kakao terhadap infeksi P. palmivora... 87

22 12 Rataan panjang bercak pada permukaan buah kakao yang diinokulasi dengan miselia P. palmivora menggunakan uji detached pod di laboratorium. Pengamatan dilakukan pada tiga sampai dengan tujuh hari sesudah inokulasi (HSI) Rataan lebar bercak pada permukaan buah kakao yang diinokulasi dengan miselia P. palmivora menggunakan uji detached pod di laboratorium. Pengamatan dilakukan pada tiga sampai dengan tujuh hari sesudah inokulasi (HSI) Rataan luas bercak pada buah yang diuji dan pengelompokan respons terhadap infeksi P. palmivora berdasarkan uji detached pod di laboratorium. Pengamatan dilakukan pada 3-7 hari sesudah inokulasi (HSI) Persentase buah tanpa gejala, rataan luas bercak dan pengelompokan respons terhadap infeksi P. palmivora berdasarkan uji detached pod di laboratorium. Pengamatan dilakukan pada 7 hari sesudah inokulasi (HSI) Tipe kakao, bentuk buah dan pengelompokan respons klon kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia terhadap infeksi P. palmivora berdasarkan uji detached pod di laboratorium. Penentuan respons didasarkan pada luas bercak yang diamati pada 7 hari sesudah inokulasi (HIS) Nilai duga ragam genetik luas bercak setelah inokulasi hari ke 6 dan ke Rata-rata Kerapatan Stomata Daun dan buah (cm 2 ) Pada Beberapa Klon Kakao Kandungan dan aktivitas kitinase ( µm pnp/mg protein/jam) pada daun kakao sehat dan terinfeksi penyakit busuk buah P. Palmivora Kandungan dan Aktivitas Peroksidase ( µm pnp/mg protein/jam) pada daun kakao sehat dan terinfeksi penyakit busuk buah P.palmivora Karakteristik klon sebagai tetua untuk pembentukan populasi hibrida F Persilangan setengah dialel menggunakan lima tetua Komponen Analisis ragam analisis silang dialel Pengelompokan ketahanan Komponen Analisis Ragam untuk populasi dialel Persilangan dialel ketahanan kakao terhadap P. palmivora Komponen analisis ragam untuk daya gabung menggunakan Metode 2 Griffing (1956) Anova ketahanan genotip kakao terhadap P. palmivora vi

23 29 Pendugaan parameter genetik ketahanan genotip kakao terhadap P. palmivora Heritabilitas dalam arti luas (h 2 bs) dan heritabilitas dalam arti sempit (h 2 ns ) komponen ketahanan berdasarkan luas bercak dan Intensitas Penyakit terhadap P. palmivora Anova daya gabung karakter luas bercak terhadap penyakit Phytopthora palmivora pada tanaman kakao Nilai efek daya gabung umum (DGU) dan Daya Gabung Khusus (DGK) genotipe tanaman kakao berdasarkan luas bercak dan intensitas penyakit hasil inokulasi ketahanan terhadap penyakit Phytopthora palmivora Penampilan tetua, F 1, nilai heterosis rata-rata tetua, dan heterosis rata-rata tetua tertinggi persilangan genotipe tanaman kakao berdasarkan luas bercak Penampilan tetua, F 1, nilai heterosis rata-rata tetua, dan heterosis rata-rata tetua tertinggi persilangan genotipe tanaman kakao berdasarkan Intensitas Indek Penyakit (IIP) vii

24 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Beberapa Type Kakao trinitario yang berkembang di Indonesia A dan B Bentuk Sporangium P.palmivora dan pedise (A). Serangan P.palmivora pada buah kakao dan (B).Serangan P.palmivora pada bibit (A) Kerapatan stomata pada epidermis buah kakao (B) Tabung kecambah saat penetrasi pada stomata (A) buah kakao klon GC7 (rentan), (B). Buah kakao klon DRC 16 (resisten) Tahapan isolasi P. palmivora indigenus dari contoh buah kakao terinfeksi busuk buah dari lapangan dan karakter morfologis isolat. (a) Contoh buah kakao terinfeksi; (b) Baiting step inokulasi buah kakao sehat dengan miselia potongan contoh buah sakit dari lapangan, (c) Kemunculan bercak gejala pada buah sehat yang diinokulasi dengan potongan buah bergejala dari lapangan dan potongan buah pada perbatasan jaringan yang bergejala dan tidak bergejala hasil baiting yang digunakan sebagai inokulum pada tahapan isolasi; (d) Koloni cendawan yang tumbuh dari inokulum pada medium PDA; (e) Contoh pembentukan spora pada isolat cendawan yang diduga P. palmivora. Pengamatan mikroskopik untuk kemampuan membentuk spora spesifik tersebut digunakan untuk mengidentifikasi isolat cendawan yang dievaluasi sebagai isolat P. palmivora; dan (f) Contoh morfologi spora - ovoid (O) dan ellipsoid (E) Variasi patogenisitas isolat P. Palmivora indigenus yang berasal dari sentra produksi kakao di Indonesia berdasarkan luas bercak pada buah kakao klon GC7 (a,b,c), ICS60 (d,e,f), dan TSH858 (g,h,i). Setiap buah kakao diinokulasi dengan satu isolat P. Palmivora indigenus. Gejala dicatat pada hari ke 3 (a,d,g), 5 (b,e,h), atau 7 (c,f,i) sesudah inokulasi dengan masing-masing isolat Inokulasi P. palmivora pada buah dan daun kakao. (a) Buah kakao terinfeksi P. palmivora dari lapangan yang digunakan sebagai sumber isolat; (b) Kultur P. palmivora dengan miselia yang aktif tumbuh; (c) Sporangia P. palmivora; (d) Gejala infeksi P. palmivora pada buah dan (e) pada daun kakao hasil inokulasi buatan Persentase buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 total yang terinfeksi P. palmivora dengan kisaran diameter bercak yang ditimbulkan. Pengamatan dilakukan 7 hari sesudah inokulasi buah Pengaruh pelukaan buah terhadap persentase buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora pada berbagai kisaran diameter bercak yang ditimbulkan (hasil inokulasi dengan miselia). GC 7 DPl dan Sca 12 DPl: buah kakao klon GC 7 dan Sca 12

25 dengan pelukaan buah sebelum diinokulasi. GC 7 TPl dan Sca 12 TPl: buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 tanpa pelukaan buah sebelum diinokulasi Pengaruh jenis inokulum terhadap persentase buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora pada berbagai kisaran diameter bercak yang ditimbulkan ( dengan pelukaan, 7 hari sesudah inokulasi buah). GC 7 M dan Sca 12 M: buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang diinokulasi dengan miselia. GC 7 Z dan Sca 12 Z: buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang diinokulasi dengan zoospora Representasi perkembangan luas bercak 5 klon kakao inokulasi di laboratorium Representasi perkembangan luas bercak 5 klon kakao inokulasi di Laboratorium Representasi perkembangan luas bercak tiga klon kakao PA 300, DR 2 dan GC7 inokulasi di lapangan dan laboratorium beberapa klon kakao terhadap penyakit busuk buah P.palmivora Luas bercak (cm 2 ) hasil inokulasi di Lapangan dan Laboratorium beberapa klon kakao terhadap penyakit busuk buah P. palmivora Stomata daun kakao klon TSH 858, ICCRI, GC 7 dan ICS Stomata daun kakao klon TSH 858, ICCRI, GC 7 dan ICS Hubungan kerapatan stomata daun dan buah dengan luas bercak yang disebabkan oleh infeksi P. palmivora Hubungan peragam (Wr) dan Ragam (Vr) 5 klon kakao sifat ketahanannya terhadap penyakit busuk buah P. palmivora 135 2

26 3 PENDAHULUAN Latar Belakang Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2002, dari 776 ribu ha areal kakao Indonesia, sekitar 668 ribu ha atau 86 % adalah kakao rakyat (Anonim, 2004). Hal ini mengindikasikan peran penting kakao baik sebagai sumber lapangan kerja maupun pendapatan bagi petani. Disamping itu, areal dan produksi kakao Indonesia meningkat pesat pada dekade terakhir, dengan laju 7,99% per tahun (Ditjen Perkebunan, 2008). Volume dan nilai ekspor kakao Indonesia pada periode meningkat masing-masing dengan laju 12 % dan 10,84 %/tahun, suatu pertumbuhan yang sangat pesat. Hasil penelitian juga mendukung bahwa industri kakao patut dikembangkan sebagai salah satu andalan karena mempunyai koefisien keterkaitan ke depan dan ke belakang yang lebih besar dari satu, efek penggandaan dan lapangan kerja yang relatif besar, serta efek distribusionalnya yang cukup baik (tersebar) (Zainudin et al., 2005). Sejalan dengan peran penting tersebut, peluang pasar kakao Indonesia masih cukup terbuka. Potensi untuk menggunakan industri kakao sebagai salah satu pendorong pertumbuhan dan distribusi pendapatan cukup terbuka dan sangat menjanjikan. Permintaan biji kakao terus meningkat, terutama dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat. Berbagai Negara tersebut dikenal sebagai produsen makanan yang menggunakan kakao sebagai komponen utamanya. Indonesia sebagai salah satu produsen perlu memanfaatkan peluang tersebut untuk meningkatkan devisa negara dengan meningkatkan ekspor biji kakao. Berorientasi pada pasar ekspor, peluang besar kakao Indonesia relatif masih terbuka. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa daya saing produk kakao Indonesia, khususnya biji kakao masih baik sehingga Indonesia masih mempunyai peluang untuk meningkatkan ekspor dan mengembangkan pasar domestik. Beberapa hasil kajian yang mendukung keberadaan peluang pasar tersebut antara lain: (a) Daya saing ekspor biji kakao Indonesia cukup kompetitif. Salah satu indikator yang digunakan adalah laju ekspor biji kakao Indonesia yang jauh

27 4 di atas laju perdagangan kakao dunia. Pada periode , laju ekspor kakao (volume) Indonesia adalah sekitar 12,0% per tahun, sedangkan laju pertumbuhan dunia hanya 3,51% per tahun (Zainudin & Baon, 2004). Walaupun mempunyai kelemahan dan komposisi komoditas dan distribusi pasar, daya saing biji kakao Indonesia cukup baik yang dicerminkan dengan koefisien daya saing lebih besar dari satu (1,62). (b) Memiliki daya saing yang cukup baik, Indonesia diperkirakan akan mampu memanfaatkan peluang pasar yang masih cukup terbuka pada masa mendatang. Beberapa studi menunjukkan bahwa peluang ekspor kakao Indonesia pada periode masih tumbuh dengan laju sekitar 3,3% per tahun sampai dengan tahun Laju tersebut tertinggi di antara negara eksportir dan jauh di atas rata-rata laju ekspor dunia yang hanya 1,7%. (c) Liberalisasi perdagangan juga diperkirakan akan memperkuat posisi kakao Indonesia di pasar Internasional. Beberapa negara produsen utama kakao seperti Pantai Gading dan Ghana harus mengurangi berbagai bentuk dukungan dan subsidi pada agribisnis kakaonya. Di sisi lain, agribisnis kakao di Indonesia hampir tidak diproteksi atau mendapat subsidi. Indonesia diperkirakan merupakan salah satu yang akan memperoleh manfaat liberalisasi perdagangan tersebut ( Zainudin & Baon, 2004) Peningkatan produksi dan perbaikan mutu kakao Indonesia dapat dilakukan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Penerapan kedua program tersebut di Indonesia memerlukan tersedianya bibit dan benih kakao unggul, sehingga pengembangan kultivar atau klon kakao unggul secara terprogram perlu segera dilakukan. Umumnya bahan tanam kakao yang digunakan untuk pengembangan di Indonesia menggunakan benih hibrida F1, yang diperoleh dari kebun benih. Kebun benih dirancang khusus untuk menghasilkan benih hibrida F1, dengan menggunakan tetua (sebagai induk betina dan jantan) yang telah diketahui daya dan mutu hasilnya serta sifat-sifat penting seperti ketahanan terhadap penyakit utama (Phytophthora palmivora dan Vascular-Streak Dieback/VSD). Budidaya kakao menghadapi banyak kendala di lapangan, antara lain penyakit dan hama tanaman yang dapat menurunkan kuantitas dan kualitas produksi kakao. Salah satu penyakit utama pada tanaman kakao di Indonesia adalah penyakit busuk buah (black pod) yang disebabkan oleh Phytopthora palmivora (Butl). Butl. Penyakit yang sama juga diketahui menyerang tanaman

28 5 kakao di berbagai negara penghasil kakao. Penyakit busuk buah di lapangan menyebabkan kerugian yang bervariasi besarnya antara satu daerah dengan daerah lainnya di Indonesia bahkan di antar negara. Secara umum, besarnya kerugian antara 20-30% per tahun dapat terjadi akibat infeksi penyakit busuk buah pada pertanaman kakao di lapangan (Wood & Lass, 1985). Berdasarkan data tahun 1997 dilaporkan infeksi penyakit busuk buah menyebabkan menurunnya total kakao dunia hingga sebesar 44 %/tahun (Van der Vossen, 1997). Pengendalian penyakit busuk buah yang telah dipraktekkan di lapangan seringkali memberikan hasil yang tidak konsisten karena perkembangan penyakit di lapangan dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: (i) Pertanaman kakao dibudidayakan di daerah yang mempunyai kondisi iklim cocok untuk perkembangan penyakit busuk buah, (ii) Tanaman kakao yang diusahakan pada umumnya mempunyai ketahanan sedang sampai rendah, (iii) Perkembangan sejak penyerbukan hingga panen kakao memerlukan waktu antara 5,0-5,5 bulan, (iv) P. palmivora dapat menyerang semua organ kakao dan serangan pada buah terjadi pada semua tahap pertumbuhannya, (v) Inokulum P. palmivora banyak ditemukan di lapangan sehingga pada kondisi lingkungan yang optimum untuk perkembangannya, serangan patogen busuk buah dapat terjadi sepanjang tahun, (vi) P. palmivora diketahui mempunyai banyak tanaman inang. Dengan kondisi agroekosistem yang sangat sesuai tersebut sangat dimungkinkan patogen P. palmivora di daerah sentra produksi kakao di Indonesia akan menghasilkan tingkat patogenisitas yang berbeda. Hal ini semakin menambah sulitnya pengendalian secara umum terhadap patogen tersebut. Oleh karena itu diperlukan informasi isolat-isolat dari daerah yang berbeda pada sentra kakao di Indonesia untuk dapat membantu menyelesaikan masalah tersebut. Berbagai hal tersebut menjadi penguat perlunya pengembangan metode pengendalian penyakit busuk buah kakao yang efektif di lapangan. Umumnya penyakit busuk buah kakao dikendalikan secara preventif menggunakan fungisida berbahan aktif tembaga. Penyemprotan fungisida dilakukan secara periodik untuk menjamin kepastian hasil, yang merupakan komponen biaya terbesar pemeliharaan (40% dari total biaya pemeliharaan). Adanya fluktuasi harga kakao menyebabkan pengendalian kimiawi menjadi tidak

29 6 ekonomis, sehingga perlu dicarikan alternatif pengendalian lain yang secara bertahap dapat mengurangi ketergantungan pada fungisida. Pemuliaan untuk mengembangkan varietas kakao unggul yang resisten terhadap P. palmivora sangat penting untuk dilakukan dan perlu mendapatkan perhatian khusus jika Indonesia tetap ingin menjadi produsen terbesar komoditas ekspor ini. Tersedianya varietas tahan membantu meringankan ongkos produksi, sehingga berpotensi meningkatkan pendapatan. Jika telah dikembangkan, penanaman kultivar unggul kakao yang resisten terhadap P. palmivora dapat menjadi solusi terbaik yang tersedia bagi petani dan produsen kakao di Indonesia untuk mengatasi masalah penyakit busuk buah di lapangan. Di Indonesia, arah pemuliaan tanaman kakao ditujukan untuk mengembangkan kultivar unggul dengan sifat-sifat sebagai berikut: (i) mempunyai daya hasil yang tinggi, (ii) kualitas biji bermutu tinggi, dan (iii) resisten terhadap hama seperti: penggerek buah kakao (PBK) dan penyakit busuk buah yang disebabkan oleh P. palmivora dan VSD (Iswanto & Winarno, 1992). Program pemuliaan untuk memperoleh kultivar resisten terhadap P. palmivora merupakan tujuan kegiatan yang dilakukan di berbagai negara produsen kakao (van der Vossen, 1997). Namun demikian, kemajuan yang didapat untuk mencapai tujuan tersebut masih terbatas sebagai akibat (i) belum tersedianya informasi tentang keragaman genetik/tingkat keragaman plasma nutfah kakao, (ii) belum dilakukannya strategi pemuliaan yang efektif, (iii) belum tersedia informasi dasar tentang genetika dan mekanisme dari sifat resisten terhadap P. palmivora yang ada pada plasma nutfah kakao. Untuk itu perlu tersedia data tentang ketahanan dari inang, dengan demikian pemahaman mengenai genetika ketahanan tanaman sangat membantu usaha pemuliaan ketahanan. Pengembangan kakao unggul akan dilakukan dengan menggunakan benih hibrida. Benih hibrida dapat diperoleh dari kebun benih yang khusus disiapkan sebagai penghasil benih hibrida dengan pola tanam tertentu. Benih hibrida tersebut diperoleh dengan memanfaatkan sifat inkompatibilitas yang dimiliki oleh tanaman kakao pada umumnya. Oleh karena itu, menanam klon tetua yang dikombinasikan sebagai tetua jantan dan betina diharapkan dapat menghasilkan hibridanya. Untuk mengidentifikasi pasangan tetua yang dapat menghasilkan

30 7 hibrida dengan sifat-sifat kualitatif dan kuantitatif yang diinginkan perlu dilakukan studi pendugaan daya waris terhadap klon-klon yang ada dengan melakukan persilangan dialel. Dengan demikian informasi tentang daya gabung umum (DGU), daya gabung khusus (DGK), heterosis serta dayawaris menjadi sangat penting untuk tanaman kakao yang heterosigot. Perumusan Masalah Penyakit busuk buah kakao yang disebabkan oleh P. palmivora merupakan penyakit penting di Indonesia. Pengembangan kakao di daerah daerah sentra kakao sangat riskan sebagai tempat endemik penyakit ini. Mengingat banyak tanaman inang dari patogen tersebut, sangat dimungkinkan isolat dari daerah akan memberikan tingkat patogenisitas yang berbeda. Isolat yang diambil dari pertanaman kakao di Indonesia akan menjadi informasi yang penting untuk membantu merakit kultivar yang resisten terhadap patogen ini. Jenis kakao yang ditanam menunjukkan tingkat ketahanan yang berbeda terhadap P. palmivora. Umumnya seleksi ketahanan kakao terhadap penyakit busuk buah dilakukan dengan inokulasi alami ataupun buatan, yang didasarkan pada jumlah organ sakit dan keparahan penyakit (Rocha, 1974). Indikator ini menunjukkan reaksi jaringan terhadap serangan patogen, tetapi tidak mengungkapkan secara tepat mekanisme ketahanan yang bekerja pada satu atau beberapa tahap dari daur penyakit busuk buah. Pengujian ketahanan dilakukan pada buah yang dipetik (detached pod) maupun buah di pohon (attached pod). Uji pertama banyak diminati, namun hasilnya kurang sesuai dengan kondisi lapangan karena uji ini mengabaikan pengaruh lingkungan. Dengan demikian metode inokulasi yang baku sangat penting dilakukan untuk mendapatkan metode uji ketahanan yang cepat dan akurat. Hal ini sangat membantu dalam proses seleksi tanaman kakao yang berumur panjang. Disamping itu, hal lain yang penting adalah tersedianya plasma nutfah yang cukup. Mekanisme ketahanan tanaman terhadap penyakit dibedakan atas mekanisme struktural dan biokimia (Agrios, 1998). Kedua mekanisme tersebut dapat berperan dalam ketahanan sebelum penetrasi (preexisting defense) dan pasca penetrasi (post infection defense). Penetrasi P. palmivora ke dalam buah

31 8 kakao melalui mulut kulit (Tarjot, 1974), namun terdapat laporan kontradiktif mengenai peran mulut kulit sebagai mekanisme struktural ketahanan kakao terhadap patogen ini (Tarjot, 1972; Iwaro et al., 1997; Iwaro et al., 1999; Phillips-Mora, 1999). Permukaan buah kakao mempunyai alur primer yang diperkirakan dapat mempengaruhi penyebaran, deposisi, dan pertumbuhan prapenetrasi inokulum. Mekanisme biokimia tergantung pada reaksi biokimia yang terjadi dalam sel tanaman. Seperti protein yang berhubungan dengan respon ketahanan tanaman terhadap patogen adalah kitinase dan peroksidase. Kitinase dapat mendegradasi senyawa kitin yang merupakan komponen utama penyusun dinding sel cendawan. Sebagian besar cendawan filamentus mengandung senyawa kitin pada dinding sel hifanya (Kasprzewska, 2003). Peroksidase merupakan enzim yang terlibat dalam respon tanaman terhadap patogen dan termasuk ke dalam PR-9 (pathogenesis related protein) (Lagrimini et al., 1997). Aktivitas peroksidase yang tinggi pada tanaman terkait dengan ketahanan tanaman yang lebih tinggi terhadap patogen seperti yang pernah dilaporkan pada kacang tanah (Pujihartati et al., 2006). Berdasarkan uraian di atas dirumuskan bahwa mekanisme ketahanan tanaman kakao terhadap penyakit busuk buah dibedakan atas mekanisme ketahanan struktural dan mekanisme biokimia. Mekanisme struktural diarahkan pada kerapatan mulut kulit buah dan mulut daun kakao. Mekanisme ketahanan biokimia diarahkan pada aktivitas enzim kitinase dan peroksidase. Pengembangan kakao nasional dilakukan dengan menggunakan benih dari kebun benih yang disiapkan secara khusus sebagai kebun penghasil benih dengan tata tanam tertentu. Benih hibrida dihasilkan dengan memanfaatkan sifat inkompatibilitas klon kakao yang ditanam berdasarkan klon tetua betina dan tetua jantan. Oleh karena itu persilangan alami dengan memanfaatkan sifat inkompatibilitas dan penyerbukan silang tersebut, akan dapat menghasilkan benih hibrida. Ketersedian sumber plasma nutfah yang memiliki keragaman genetik yang luas khususnya ketahanan terhadap penyakit busuk buah sangat penting. Oleh karena itu penapisan plasma nutfah kakao perlu dilakukan, untuk mendapatkan material genetik yang akan digunakan sebagai sumber bahan tanam untuk merakit varietas kakao baru di Indonesia. Penelitian ini diarahkan untuk

32 9 melakukan uji ketahanan terhadap beberapa plasma nutfah kakao yang ada, bertujuan untuk mendapatkan genotipe yang tahan dan rentan, juga dapat digunakan sebagai tetua sebagai langkah awal untuk merakit bahan tanam kakao yang baru. Terkait untuk mengidentifikasi pasangan tetua yang dapat menghasilkan hibrida dengan sifat-sifat kualitatif dan kuantitatif yang diinginkan, perlu dilakukan studi pendugaan daya waris terhadap klon-klon yang ada dengan melakukan persilangan dialel. Untuk merakit hibrida unggul informasi tentang daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK), heterosis, heritabilitas atau daya waris menjadi sangat penting untuk tanaman kakao yang heterosigot. Tujuan Penelitian 1. Memperoleh identitas spesies P. palmivora dan informasi keragaman patogenisitasnya pada lokasi sentra kakao beberapa propinsi di Indonesia. 2. Memperoleh metode inokulasi untuk penapisan ketahanan kakao 3. Memperoleh informasi patogenisitas P. palmivora terhadap tanaman kakao. 4. Mendapatkan tanaman kakao yang tahan dan rentan terhadap penyakit P. palmivora di koleksi plasma nutfah kakao untuk digunakan sebagai tetua untuk perakitan hibrida. 5. Memperoleh informasi korelasi tingkat ketahanan beberapa klon kakao untuk karakter kwantitatif yang diamati. 6. Memperoleh informasi tentang potensi daya gabung umum dan khusus yang tinggi serta efek heterosisnya pada persilangan dialel klon kakao sehingga diperoleh potensi pada hibrida. Manfaat Penelitian Penelitian genetika ketahanan kakao terhadap penyakit P. palmivora ini dapat membantu usaha pemuliaan untuk memperoleh bahan tanam kakao yang tahan terhadap penyakit P. palmivora. Dengan mendapatkan klon unggul yang tahan terhadap penyakit tersebut, maka dapat digunakan sebagai sumber bahan tanam klonal, juga sebagai tetua untuk menghasilkan benih kakao hibrida. Pengembangan kakao nasional dengan menggunakan bahan tanam bermutu tinggi

33 10 diharapkan akan dapat memperbaiki mutu hasil dan peningkatan produktivitas kakao nasional. Penelitian mengenai kajian genetika ketahanan tanaman kakao terhadap penyakit busuk buah dapat membantu usaha pemuliaan untuk memperoleh bahan tanam yang tahan terhadap penyakit busuk buah dan model pewarisan terhadap F1 nya serta menjadi informasi yang penting untuk menghasilkan bahan tanam yang mempunyai beberapa sifat unggul, sehingga produksi kakao dapat ditingkatkan. Manfaat lain adalah memberikan alternatif pengendalian yang diharapkan saling melengkapi dengan pengendalian kimiawi sehingga secara bertahap penggunaan fungisida dapat dikurangi dan biaya pemeliharaan menjadi lebih murah. Hipotesis Berdasarkan telaah beberapa pustaka tersebut di atas penelitian ini disusun dengan beberapa hipotesis sebagai berikut: 1. Isolat P. palmivora yang menyerang kakao di Indonesia adalah salah satu spesies P. palmivora. 2. Terdapat satu metode penapisan yang efisien dalam menentukan derajat ketahanan kakao. 3. Terdapat sedikitnya satu isolat P. palmivora yang mempunyai tingkat patogenitas tinggi, dan dapat digunakan sebagai sumber inokulum untuk uji ketahanan. 4. Tetua yang membawa gen sumber ketahanan dapat dicari dengan cara identifikasi tingkat ketahanan beberapa klon kakao pada koleksi plasma nutfah kakao. 5. Terdapat beberapa karakter kuantitatif struktur tanaman kakao yang memcerminkan ketahanan terhadap P. palmivora. 6. Terdapat tetua yang mempunyai daya gabung umum dan daya gabung khusus yang tinggi untuk karakter yang diamati, yang memberikan potensi hibrida F1 yang unggul.

34 TINJAUAN PUSTAKA A. Morfologi Tanaman Kakao Tanaman kakao yang mempunyai nama ilmiah Theobroma cocoa L. merupakan anggota dari familia Sterculiaceae (Wood, 1975; Tjitrosoepomo, 1988). Kakao merupakan jenis tanaman asli hutan hujan tropis Amerika Selatan (Wood, 1975) dan telah lama dibudidayakan di Indonesia yaitu sejak jaman culturstelsel tahun 1826 (Sunaryo & Situmorang, 1978). Diperkirakan kakao berasal dari hulu sungai Amazon, tempat Theobroma dan jenis sekerabatnya terdapat dalam populasi yang paling besar. Tanaman kakao tersebut merupakan satu-satunya species diantara 22 jenis dalam genus Theobrama yang diusahakan secara komersial. Sistematika tanaman kakao secara lengkap dapat diklasifikasikan dalam taksa-taksa sebagai berikut: Divisio: Spermatophyta, Sub divisio: Angiospermae, Klassis: Dicotyledoneae, Ordo: Malvales, Familia: Sterculiaceae, Genus: Theobroma, Spesies: Theobroma cocoa, L. (Cheesman, 1944). Sebagai tanaman yang masuk dalam anggota dari klas Dicotyledonae, benih tanaman kakao mempunyai tipe perkecambahan yang epigeus yang pada waktu kecambah daun kotilnya terangkat ke atas serta membentuk akar tunggang yang tumbuh lurus ke bawah masuk ke dalam tanah (Prawoto, 1991). Sedangkan akar lateralnya banyak tumbuh dan berkembang di dekat permukaan tanah pada kedalaman sekitar 0-30 cm. Pertumbuhan batang kakao bersifat dimorfisme yang berarti mempunyai dua macam bentuk pertumbuhan batang, yaitu pertumbuhan batang utama yang bersifat ortotrop yang tumbuh tegak dengan rumus daun 3/8, dan pertumbuhan ke samping seperti cabang primer disebut plagiotrop, mempunyai rumus daun ½ (Prawoto, 1991). Bangun helai daun tanaman kakao adalah bulat memanjang atau oblongus, ujung daun meruncing atau acuminatus, pangkal daun runcing atau acutus, susunan tulang daun menyirip, tepi daun rata. Daun muda berwarna hijau atau merah muda dan setelah dewasa berwarna hijau atau hijau tua. Salah satu sifat khusus daun tanaman kakao yaitu adanya dua persendian, yang terletak pada

35 10 pangkal daun dan ujung tangkai daun. Adanya persendian ini memungkinkan daun membuat gerakan untuk menyesuaikan dengan arah datangnya sinar matahari (Prawoto, 1991). Pertumbuhan daun pada cabang plagiotrop berlangsung serempak dan berkala. Tunas baru disebut dengan flush, dan pada saat flush setiap tunas dapat membentuk 4-6 lembar daun baru sekaligus. Tanaman kakao bersifat kaolifloris yang berarti bunga dan buahnya tumbuh dan berkembang pada batang atau cabang. Sifat penyerbukan kakao adalah menyerbuk silang. Bekas ketiak daun, tempat tumbuhnya bunga atau buah tersebut lama kelamaan menebal dan membesar disebut dengan bantalan bunga atau bantalan buah. Bunga kakao mempunyai rumus K 5 C 5 A 5+5 G (5). K 5 berarti bunga tersusun atas 5 daun kelopak yang bebas satu sama lainnya. C 5 bunga kakao memiliki daun mahkota yang lepas atau tidak berlekatan satu sama lain. A 5+5 berarti bunga kakao memiliki 10 tangkai sari yang tersusun atas dua lingkaran masing-masing lingkaran tersusun atas 5 tangkai sari steril yang disebut dengan staminodia dan 5 tangkai sari yang fertil. G 5 bunga kakao mempunyai 5 daun buah yang bersatu (Lass & Wood, 1985). Bentuk buah kakao bervariasi, dari bulat ke lonjong dan meruncing dengan permukaan yang halus sampai kasar. Permukaan buah kakao mempunyai alur primer dan alur sekunder. Sering kali alur sekunder tidak tampak. Permukaan buah kakao berlilin, kaku (rigid), mempunyai rambut-rambut tegak dan mulut kulit yang agak terangkat (Cuatrecasas, 1964). Pengelompokan kakao dapat didasarkan pada bentuk buah (Pound, 1932), gabungan karakteristik buah dan sebaran geografi (Cheesman, 1944), bentuk buah dan struktur permukaan buah (Ostendorf, 1956; Engels, 1986). Bentuk buah kakao tersebut antara lain: amilonado, cundeamor, angoleta, calabasilo, criolo dan pentagona. Buah kakao mempunyai karakteristik termodinamika yang menarik. Waktu siang hari buah menjadi panas dan dingin waktu malam hari, menjelang dini hari suhu buah sama dengan suhu lingkungan. Peningkatan suhu udara pada dini hari memacu kondensasi uap air pada seluruh permukaan buah yang dapat menjadi suatu inkubator mikro yang baik bagi perkecambahan spora patogen termasuk P. palmivora (Fulton, 1989). Buah kakao memiliki anatomi jaringan perikarp dari luar ke dalam adalah :

36 11 (i) Epikarp, terdiri atas: lapisan epidermis dengan mulut kulit dan trikoma. Parenkim dengan sel yang relatif kecil (diameter µm), terbagi dalam 2 zona, yaitu: lapisan luar yang tidak mengandung klorofil, terdiri atas 2-4 lapis sel, lapisan dalam yang mengandung klorofil, terdiri atas 6-12 lapis sel. Parenkim dengan sel yang relatif besar. Diameter sel paling luar µm dan bertambah kearah dalam. (ii) Mesokarp, terdiri atas sel yang agak berserat dan (iii) Endokarp, terdiri atas sel parenkim yang besar dengan berkas pengangkutan (Tarjot, 1974). B. Keragaman Genetik Tanaman Kakao Menurut Las & Wood (1985) berdasarkan type populasinya, tanaman kakao dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu tipe Criolo, Forastero dan Trinitario. Criollo berasal dari penyebaran melintasi pegunungan Andes ke arah dataran rendah Venezuela, Kolumbia, dan Ekuador, dan ke arah utara ke Amerika Tengah dan Meksiko. Sifat-sifat tipe Criolo antara lain pertumbuhan tanaman kurang kuat, daya hasilnya lebih rendah dibanding Forastero, dan relatif lebih rentan terhadap gangguan hama dan penyakit. Kulit buahnya tebal tetapi lunak sehingga mudah dibelah. Criollo menghasilkan kakao mulia (fine flavour cocoa). Warna buah hijau atau agak merah karena adanya pigmen antosianin; perikarp agak kasar, tipis dan lunak, mesokarp mengandung lignin, biji bulat dan kotiledon putih. Kelompok ini cenderung rentan terhadap penyakit (Soria, 1974; Opeke, 1982). Kadar lemak di dalam biji lebih rendah dibandingkan dengan Forastero tetapi ukuran bijinya lebih besar, bulat, memberikan citarasa khas yang unggul. Dalam tataniaga kakao Criolo termasuk dalam jenis kakao mulia, sedangkan tipe Forastero termasuk dalam jenis kakao lindak. Forastero dihasilkan oleh penyebaran ke lembah Amazon, ke arah Brazil bagian barat dan Guyana (Alvim, 1997). Forastero menghasilkan kakao bermutu sedang, dikenal dengan kakao lindak (bulk cocoa). Warna buah hijau, tidak ada pigmen antosianin, perikarp tebal dan keras, mesokarp kaya lignin. Biji lebih kecil daripada Criollo dan pipih, kotiledon berwarna ungu. Pertumbuhan pohon gigas (Opeke, 1982). Contoh kelompok ini adalah klon-klon Sca 6, Sca 12, Catongo, IMC 67, PA 30, dan PA 46. Sebesar 95% produksi kakao dunia berasal dari kelompok Forastero, terutama dari negara-negara Afrika Barat dan Brazil.

37 12 Tipe Trinitario merupakan hibrida antara Criolo dan Forastero. Sifat morfologi dan fisiologinya sangat beragam, demikian pula sifat daya hasil dan mutu hasilnya. Dalam tataniaga kakao kelompok Trinitario termasuk dalam kakao mulia atau kakao lindak tergantung dari mutu biji yang dihasilkannya. Seperti klon DR menghasilkan kakao mulia, sedangkan klon ICS banyak menghasilkan kakao lindak (Mawardi, 1982; Opeke, 1982). Trinitario mempunyai buah berwarna merah atau hijau dan bervariasi, tekstur keras; warna biji bervariasi dari ungu muda sampai ungu tua (Wood & Lass, 1985). Pertumbuhan pohon gigas. Contoh kelompok ini adalah klon-klon ICS 60, ICS 84, ICS 95, DR 1, DR 2, DR 38, dan DRC 16. ICS 13 ICS 95 ICS 60 Gambar 1. Beberapa tipe kakao Trinitario yang berkembang di Indonesia. Selanjutnya Lanaud (1987; Laurent, 1993; N Goran, 1994 cit, Sounigo et al., 2000) memisahkan kelompok Forastero, antara genotip yang berasal dari lembah hulu sungai Amazon dan lembah hilir sungai Amazon. Trinitario lebih dekat ke genotip Amazone hilir daripada Amazone hulu. C. Penyakit Busuk Buah Kakao Busuk buah (black pod atau pod rot) merupakan penyakit yang paling merugikan di banyak negara produsen kakao. Masalah penyakit ini bisa bersifat

38 13 lokal, regional atau bahkan global. Busuk buah pada kakao terutama disebabkan Phytophthora palmivora (Butl.) Butl. Sejak tahun 1979, setelah Brasier dan Griffin mempublikasikan kajian taksonomi Phytophthora, diketahui ada spesies lain yang patogenik terhadap kakao, tetapi hanya menimbulkan masalah lokal ataupun regional, misal P. arecae di Vanuata, P. capcisi di Kamerun dan Brazil, P. citrophthora di Brazil, P. faberi dan P. megakarya di Afrika Barat (Zadock, 1997). Busuk buah kakao di Indonesia, Malaysia, dan Papua New Guinea disebabkan oleh P. palmivora (Waterhouse, 1974; Prior, 1992; van der Vossen, 1997). Sebagai patogen tropika, berdasarkan penyebaran inang aslinya, diperkirakan P. palmivora berasal dari Amerika Tengah/Selatan atau Indo-Pasifik (Zentmyer, 1988). Terdapat tiga bentuk morfologi P. palmivora yang dapat menyebabkan penyakit pada kakao, namun sekarang bentuk morfologi tersebut mewakili tiga jenis yang berbeda, yaitu P. capsici, P. megakarya, dan P. palmivora, dan ada pula tiga jenis tambahan yang dapat menyebabkan penyakit ini, yaitu P. heveae, P. megasperma, dan P. citrophthora (Thurston, 1998). Menurut Chee (1974), P. palmivora mempunyai 138 jenis tumbuhan inang, antara lain karet, lada, kelapa, sukun, pala, jeruk, kapas, pepaya, anggrek, mangga, alpokat, dan durian. Patogen ini dapat menyerang semua organ atau bagian tanaman kakao, seperti akar, daun, batang, ranting, bantalan bunga, dan buah pada semua tingkatan umur. Serangan pada buah paling merugikan dan di Indonesia penyakit ini perlu mendapat perhatian (Opeke & Gorenz, 1974; Pawirosoemardjo & Purwantara, 1992). Selama daur hidupnya, P. palmivora menghasilkan beberapa inokulum yang berperan dalam perkembangan penyakit pada kakao (Wood & Lass, 1985) seperti berikut: sporangium, berbentuk ovoid dan ellipsoid mempunyai papila yang jelas (Drenth & Sendall, 2001). Sporangium mempunyai panjang µm dan lebar µm, nisbah panjang/lebar 1,4-1,6. Ukuran ini bervariasi sesuai dengan medium, inang, umur biakan, lengas dan cahaya (Gambar 2 A dan B). Panjang pedisel 2-10 µm. Umumnya di alam sporangium menghasilkan spora kembara (zoospora). Sporangium dapat pula menjadi sporangium sekunder atau konidium (Waterhouse, 1974).

39 14 A B Gambar 2. (A) Sporangium P. palmivora berbentuk ovoid dengan pedisel yang jelas. (B) Zoospora P. palmivora bertahan sebagai klamidospora dalam tanah dan miselium pada bantalan bunga, buah muda (cherelle), batang pohon kakao, dan sisa-sisa tanaman yang tersebar di tanah. Busuk buah dapat berasal dari inokulum yang bertahan di tanah, sisa-sisa tanaman, bantalan bunga, kulit, kanker batang, tangkai buah, buah muda (cherelle), buah dan tangkai daun. Peran masing-masing sumber inokulum tersebut berbeda antar daerah atau negara. Umumnya tanah dan akar berperan sebagai sumber inokulum primer yang memberikan inokulum infektif pada awal musim hujan untuk mulainya epidemi busuk buah; sedangkan buah dan bagian kanopi yang sakit berperan sebagai sumber inokulum sekunder dan berhubungan langsung dengan kehilangan hasil (Pereira, 1995). Epidemi penyakit busuk buah kakao terjadi akibat penyebaran vertikal (dalam satu pohon) dan horizontal (antar pohon) inokulum P. palmivora. Penyebaran vertikal terjadi akibat kontak langsung antara buah sakit dan buah sehat, penyebaran inokulum oleh tetesan air hujan dari buah sakit ke buah sehat di bawahnya, bantuan serangga vektor, dan percikan air hujan dari tanah ke buah di sekitar pangkal batang. Penyebaran horizontal dapat terjadi dengan bantuan serangga, kontak antar pohon, angin (Muller, 1974). Penyebaran horizontal lebih lambat dibandingkan dengan penyebaran vertikal (Gambar 3).

40 15 A B Gambar 3. (A) Infeksi P. palmivora pada buah di pohon dan (B) serangan P. palmivora pada bibit. Penyakit busuk buah sukar dikendalikan karena epidemiologi penyakit ini kompleks dan belum dapat diungkapkan secara tuntas (Gregory & Maddisson, 1981 cit. Tey, 1991), pembuangan sumber inokulum primer yang terdapat di pohon (buah sakit dan kanker batang) maupun di tanah (serasah dan kulit buah) tidak menyebabkan penundaan terjadinya epidemi pada musim hujan. Hal ini menunjukkan adanya sumber inokulum lain yang memperbesar deposit (pool) inokulum primer (Dennis & Konam, 1994). Perkembangan busuk buah dipengaruhi oleh kelembapan udara. Kelembaban udara 80-95% selama 2-4 jam mendukung infeksi spora kembara P. palmivora. Ada interaksi antara curah hujan, keragaan (performance) tanaman dan penyakit. Busuk buah berhubungan langsung dengan jumlah buah di pohon dan curah hujan, namun jumlah buah berbanding terbalik dengan curah hujan (Thorold, 1975). Menurut Purwantara (1990); Purwantara & Pawirosoemardjo (1992) kebasahan permukaan buah dan kelembaban udara berperan langsung terhadap infeksi P. palmivora pada buah kakao. Peranan curah hujan terjadi secara tidak langsung melalui terjadinya kebasahan permukaan buah dan meningkatnya kelembaban udara. Pengaruh suhu terhadap perkembangan infeksi terjadi secara tidak langsung, melalui pengaruhnya pada kelembaban udara dan kebasahan buah.

41 16 D. Pengendalian Penyakit Busuk Buah Pengendalian kultur teknik merupakan bagian penting dalam pengelolaan penyakit busuk buah. Cara ini meliputi pembuangan gulma dan epifit, pemangkasan, pengaturan jarak tanaman dan manipulasi naungan. Cara ini dapat memperbaiki sirkulasi udara dan mengurangi kelembaban tajuk dan membatasi insiden busuk buah (Akrofi & Opuku, 2000). Pengurangan sumber inokulum dapat dilakukan dengan membuang kulit buah yang tersebar di tanah, buah kering (mummified pod) dan buah sakit pada pohon (Muller, 1974). Pengendalian serangga vektor, seperti Drosophila dengan insektisida dapat mengurangi kerugian akibat busuk buah (Muller, 1974). Kumbang (Coleoptera: scolytidae dan nitidulidae) mempunyai peranan cukup penting dan penyebaran inokulum P. palmivora di Papua New Guinea, sehingga mempunyai implikasi penting dalam strategi pengendalian penyakit (Konam et al., 2000). Penyemprotan fungisida merupakan cara pengendalian busuk buah kakao yang penting sejalan dengan intensifikasi pengusahaan tanaman ini. Umumnya dipergunakan fungisida tembaga seperti bubur Bordeaux, tembaga-oksida, tembaga-oksiklorida, dan tembaga-hidroksida (Thorold, 1975). Berdasarkan pengalaman di banyak negara selama 25 tahun, Gorenz (1974) menyatakan penyemprotan fungisida kontak sering kali memberikan hasil yang tidak konsisten dan tidak menguntungkan. Keefektivfan fungisida kontak tergantung pada meratanya deposit bahan tersebut pada permukaan buah. Keadaan ini sukar dicapai karena adanya lapisan lilin pada permukaan buah, bentuk dan letak buah di pohon (Gorenz, 1974) dan pertumbuhan buah yang cepat (Thorold, 1975). Oleh karena itu diperlukan fungisida sistemik yang dapat memberikan perlindungan pada tanaman. Fungisida sistemik yang efektif mengendalikan busuk buah dan kanker batang kakao dan memberikan perlindungan lama pada buah adalah fosfonat (Brown et al., 1997; Pereira, 1995). Fungisida ini efektif terhadap jenis jamur dalam bangsa Peronosporales. Dosis anjuran 2,5 5,0 gram bahan aktif per liter air (Schwin, 1983). Sebagai fungisida sistemik, fosfonat diformulasi dalam bentuk fosetyl-al dan kalium fosfonat. Fosfonat dapat menurunkan virulensi P. palmivora pada inang (Dunstan et al., 1990) dan meningkatkan respon pertahanan

42 17 inang (Akrofi & Opoku, 2000). Fosfonat mempunyai residual activity selama sepuluh bulan sehingga melindungi pohon dan buah selama satu musim (Anderson et al., 1989 cit. Akrofi & Opoku, 2000). Namun injeksi fosfonat menyebabkan gejala terbakar (scorching) jaringan internal batang dan kulit batang menjadi retak. Sampai sekarang teknologi ini tidak dapat ditransfer ke petani di Indonesia, meskipun telah diterapkan secara luas di Papua Nugini (Akrofi & Opoku, 2000). Penanaman varietas tahan merupakan cara pengendalian penyakit yang paling bermanfaat karena cara ini ramah lingkungan (Akrofi & Opoku, 2000). Varietas dengan tingkat ketahanan tertentu yang lebih mudah ditemukan di antara bahan tanam yang ada atau yang dihasilkan melalui hibridisasi merupakan cara terbaik untuk mengatasi busuk buah kakao (Muller, 1974). Menurut Muller (1974), ketahanan kakao terhadap penyakit busuk buah dibedakan atas ketahanan sejati (true resistance) dan ketahanan semu (false resistance) atau disease avoidance. Ketahanan pertama merupakan hasil dari karakteristik anatomi, fisiologi dan biokimia, sedangkan ketahanan kedua hasil dari karakteristik fenologi pohon sehingga terhindar dari infeksi P. palmivora. Penggunaan bahan tanam tahan dapat memperlambat perkembangan epidemi penyakit (Campbell & Madden, 1990). Berdasarkan epidemilogi, ketahanan tanaman dapat bekerja dengan cara berikut: a) reduksi jumlah infeksi, b) reduksi laju perluasan bercak, c) reduksi sporulasi patogen, d) memperpanjang masa inkubasi, dan e) reduksi deposisi spora (Berger, 1977). E.Mekanisme Ketahanan Umumnya penyakit busuk buah kakao dikendalikan secara preventif menggunakan fungisida berbahan aktif tembaga. Penyemprotan fungisida dilakukan secara periodik untuk menjamin kepastian hasil, sehingga pembelian fungisida merupakan komponen biaya pemeliharaan yang terbesar (40% dari biaya pemeliharaan). Ketahanan horizontal diperlukan untuk perbaikan tanaman tahunan, seperti kakao, namun sukar penanganannya untuk pemuliaan tanaman. Zadoks (1997) menyatakan bahwa ketahanan kakao terhadap P. palmivora dan jamur patogen lain cenderung bersifat tidak lengkap (partial

43 18 resistance) yang didasarkan pada satu atau lebih komponen ketahanan yang dapat atau tidak dapat berkorelasi satu sama lain. Bahan tanam tahan terhadap penyakit ini merupakan pemecahan masalah tersebut untuk jangka panjang. Simmonds (1994) menyatakan bahwa ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora diperkirakan lebih bersifat horizontal daripada vertikal. Menurut Agrios (1997) ketahanan tanaman dapat bersifat pasif (terbentuk tanpa rangsangan dari patogen) atau aktif (ekspresinya diimbas oleh serangan patogen), melibatkan mekanisme struktural dan biokimia. Duniway (1983) menyatakan bahwa ketahanan tanaman terhadap Phytophthora spp. meliputi ketahanan struktural, penghalang struktural terimbas, reaksi hipersensitif, dan produksi senyawa antimikrobia. Ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora merupakan sistem multikomponen yang terekspresi dalam dua tahap, dinyatakan sebagai ketahanan prapenetrasi dan pascapenetrasi. Ketahanan prapenetrasi berhubungan dengan faktor morfologi yang mempengaruhi perkembangan prapenetrasi dan penetrasi patogen, dan menentukan jumlah bercak yang terjadi. Ketahanan pasca penetrasi berhubungan dengan mekanisme biokimia yang dapat mempengaruhi luasnya jaringan yang diserang patogen (Irwaro et al., 1995). Fry (1982) menyatakan bahwa walaupun patogen berhasil mempenetrasi jaringan inang, sering kali perkembangan selanjutnya terhambat. F. Mekanisme Ketahanan Struktural Mekanisme ketahanan struktural dapat berupa sifat morfologi dan anatomi. Menurut Fry (1982) walaupun sering kali mekanisme ketahanan bekerja setelah jaringan terpenetrasi, karakteristik struktural dapat mempengaruhi ketahanan inang. Fulton (1989) memperkirakan morfologi buah kakao berpengaruh pada disposisi dan penyebaran efektif inokulum P. palmivora. Permukaan buah kakao dapat menjadi inkubator mikro yang baik bagi pertumbuhan spora P. palmivora. Karena spora patogen ini bersifat hidrofilik, spora berada dalam lapisan air permukaan buah dan biasanya menempel pada bagian ujung buah. Tarjot (1974) menyatakan bahwa lengas di permukaan buah berpengaruh besar pada perkecambahan spora.

44 19 Penelitian Tarjot (1972) menunjukkan bahwa jumlah mulut kulit dan rambut-rambut pada epidermis tidak berkorelasi dengan ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora. Patogen ini selalu dapat melakukan penetrasi ke dalam jaringan buah rentan maupun tahan. Diperkirakan ketahanan terhadap patogen ini terletak pada beberapa lapisan sel parenkima di bawah epidermis (Gambar 4). A Gambar 4a: Kerapatan stomata pada epidermis buah kakao (Tarjot, 1972) B Gambar 4b: Tabung kecambah saat penetrasi pada stomata (Tarjot, 1972) Phillips-Mora (1999) menyatakan bahwa hubungan antara jumlah, panjang, lebar, panjang x lebar dan panjang/lebar mulut kulit (stomata) tidak dapat menjelaskan ketahanan kultivar kakao terhadap P. palmivora, meskipun ada perbedaan nyata antar kultivar. Kultivar tahan (P 7) dan moderat (UF 668) mempunyai jumlah mulut kulit terbanyak, sebaliknya CATIE 1000 (tahan) dan P 12 (rentan) mempunyai jumlah mulut kulit yang lebih sedikit. Flores (1989 cit. Enriquez & Soria, 1999) yang mengkaji hubungan Monilia roreri dan T. cacao menunjukkan tidak ada perbedaan anatomi eksternal antara buah kakao tahan dan rentan. Hasil penelitian Iwaro et al. (1997) menunjukkan adanya korelasi nyata antara ketahanan penetrasi (jumlah bercak) dengan kerapatan mulut kulit dan panjang pori. Ketahanan ini tidak berkorelasi dengan lapisan lilin pada permukaan epidermis, ketebalan, kekerasan, dan kandungan lengas perikarp. Ciri morfologi buah tidak berkorelasi dengan ketahanan pasca penetrasi, ini menunjukkan kemungkinan peran mekanisme biokimiawi. Enriquez & Soria (1999) menunjukkan bahwa setiap buah kakao yang tahan terhadap M. roreri mempunyai cellular arrangement parenkim sub epidermis

45 20 yang berbeda dibandingkan buah rentan. Buah tahan mempunyai sel-sel yang kompak dan juga mengandung sejumlah besar senyawa fenolat. Lignifikasi dinding sel merupakan suatu bentuk ketahanan tanaman terhadap penetrasi patogen. Pada dinding sel, lignin terdapat dalam lamela tengah, dinding sel primer dan sekunder (Akai & Fukutomi, 1980). Menurut Friend (1979) lignifikasi merupakan suatu mekanisme ketahanan mentimun terhadap Cladosporium cucumerinum. Penggabungan lignin ke dalam dinding sel tanaman memberikan kekuatan mekanik dan memungkinkan dinding sel lebih tahan terhadap degradasi enzim patogen (Goodwin & Mercer, 1990). Dinding sel yang terlignifikasi merupakan penghalang yang dapat mencegah pergerakan hara sehingga patogen dapat mengalami kelaparan (starvation). Prekursor lignin berpengaruh toksik pada patogen. Semua perubahan dinding sel setelah infeksi dapat meningkatkan ketahanan, dengan menghentikan patogen secara langsung atau dengan memperlambat proses penetrasi sehingga tanaman dapat mengaktifkan mekanisme pertahanan berikut. Lignifikasi dapat pula terjadi pada sel patogen (Wiranata, 2004). Menurut Wood (1985) ada perbedaan ketebalan kulit buah dan tingkat lignifikasinya antar kultivar kakao sehingga dimungkinkan dapat berperan sebagai faktor ketahanan terhadap penyakit busuk buah. G. Mekanisme Ketahanan Biokimiawi Mekanisme ketahanan biokimia tanaman terkait erat dengan produksi senyawa antimikrobia dari jalur sekunder. Selirennikof (2001) menyatakan ada beberapa kelompok senyawa anti cendawan antara lain PR-Protein, defensin, cyclophilin like-protein, glycine, killer protein/killer toxin dan protease inhibitor. PR-protein merupakan protein yang terinduksi sintesisnya ketika terjadi proses patogenesis atau serangan patogen pada tanaman (Ubhayasekera, 2005). Sejumlah PR-protein juga dapat terinduksi oleh berbagai faktor antara lain stres kekeringan, salinitas, pelukaan, logam berat, oleh perlakuan elisitor endogen maupun eksogen, dan oleh perlakuan zat pengatur tumbuh tanaman (Karprezewska, 2003). PRprotein dikelompokkan ke dalam 5 kelas protein yaitu PR-1, PR-2, PR-3, PR-4 dan PR-5.

46 21 PR- 3 protein (kitinase) memiliki berat molekul antara kda. Kitinase dapat dikelompokkan menjadi 5-6 kelas (Fukamizo et al, 2003). Kitinase bekerja memotong secara acak ikatan glikosida dari GleNac untuk menghasilkan oligosakarida terlarut terutama kitobiosa yang selanjutnya akan dihidrolisis oleh ß-N-acetylglucosaminidase menjadi GleNnac (Orikoshi et al., 2005). Stimulasi atau induksi ekspresi gen kitinase karena adanya serangan patogen sering ditemukan (Bishop et al., 2000). Peroksidase (PRX) merupakan enzim yang berfungsi mereduksi senyawa peroksida (H 2 O 2 ) sehingga dihasilkan air dan produk yang teroksidasi. Peroksida merupakan produk akhir yang umumnya terbentuk dari metabolisme oksidatif pada tanaman dan merupakan oksidan yang kuat serta bersifat toksik terhadap sel tanaman jika terakumulasi dalam jumlah besar. Untuk mencegah hal tersebut, selsel eukariotik mengisolir enzim penghasil senyawa peroksida dalam organel bermembran yang disebut peroksisom. Dalam peroksisom juga terdapat enzim peroksidase yang berfungsi untuk mereduksi H 2 O 2 menjadi air, sehingga menjadi tidak berbahaya. Dalam proses reduksi tersebut digunakan donor elektron dari amena aromatic, fenol, enediol. Beberapa isoform baru peroksidase dapat diinduksi produksinya ketika terjadi interaksi inang dan patogen (Harrison et al., 1995). Peroksidase juga berperan dalam lignifikasi dinding sel, penyembuhan luka dan oksidasi auksin. Induksi ekspresi isoform peroksidase oleh patogen juga berasosiasi dengan respon Systemic Acquired Resistance (Ye et al., 1990). Peroksidase termasuk dalam famili PR-9 dan telah berhasil dikarakterisasi dari sejumlah tanaman tingkat tinggi antara lain tembakau (Lagrimini et al., 1997), kentang (Espelei et al., 1986). Keterlibatan peroksidase dalam tahapan polimerisasi lignin diduga secara langsung berkaitan dengan meningkatnya ketahanan fisik tanaman terhadap infeksi patogen maupun kerusakan fisik (Chitoor et al., 1999). H. Genetika Ketahanan Kakao terhadap Penyakit P. palmivora Tujuan umum pemuliaan tanaman kakao adalah mendapatkan bahan tanam atau varietas yang lebih baik dari varietas atau klon yang sudah ada. Menurut Iswanto & Winarno (1992; Suhendi, et al., 2005), pemuliaan kakao di Indonesia

47 22 ditujukan untuk menemukan bahan tanam unggul dengan ciri sebagai berikut: potensi hasil tinggi, kualitas biji baik, dan tahan terhadap hama dan penyakit penting seperti busuk buah (P. palmivora) dan vascular streak dieback (Oncobasidium theobromae Talbot & Keane). Kakao yang merupakan tanaman perkebunan penting di Indonesia umumnya dikembangkan secara vegetatif (kakao mulia/edel cocoa) dan menggunakan benih hibrida (kakao lindak/bulk cocoa) sehingga semakin menyebabkan sempitnya variabilitas genetik. Beberapa kajian terdahulu menunjukkan bahwa sumber gen ketahanan terhadap penyakit busuk buah dapat ditemukan antara lain pada daerah asal tanaman kakao, yaitu dari hulu sungai Amazon (Brazil). Klon atau hibrida tahan dari wilayah ini (Iquinitos, Nanay, dan Parinari) adalah: P 7, P 30, Pa 35, Na 32, T.85/799 (IMC 60 x Na 34), T 87 (IMC 60 x Na 34), T. 79/501 (Na 32 x Pa 7), T 60 (Pa 7 x Na 32), T 86/2 (Pa 35 x Pa 7), T 65/7 (P 7 x IMC 47). Klon tahan lain adalah Sca 6, Sca 12 (dari Ekuador), TSH 565, 516, 774 (dari Trinidad) (Soria, 1974). Hasil pengujian di beberapa negara menunjukkan bahwa Sca 6 dan Sca 12 memberikan ketahanan mantap (Iswanto & Winarno, 1992; Lopez-Baez et al., 1999; Philip-Mora, 1999). Uji ketahanan terhadap kanker batang (P. palmivora) pada beberapa hibrida di Jawa Timur yang menggunakan tetua tahan sebagai pejantan dan tetua rentan sebagai induk hibrida GC 1 x Sca 6, GC1 X Sca 12, GC2 X Sca 6 dan GC 2 x Sca 12 memberikan ketahanan yang lebih baik dibandingkan dengan hibrida yang lain (Iswanto et al., 1994). A B Gambar 5. (A) Buah kakao klon GC7 (rentan), (B) Buah kakao klon DRC 16 (resisten). Klon tahan lain di Indonesia adalah ICS 6, DRC 16 sedangkan, DR 2, DR 38, DRC 9, Sca 89 moderat, dan GC 7, DR 1 rentan (Iswanto & Winarno, 1992).

48 Klon kakao anjuran yang tahan terhadap penyakit busuk buah adalah P 300, RRC 71, RCC 73 (Prawoto et al., 1998). 23 Menurut Luz et al. (1999), klon EET 59, ICS 9, CEPEC 13, Pa 16, Pa 30, Pa 81, Pa 121, Pa 150, Pa 169, RB 40, dan RB 48 tahan terhadap penyakit busuk buah dan dipergunakan sebagai tetua dalam program pemuliaan ketahanan terhadap P. palmivora di Brazil. Hasil pengujian ketahanan dengan menggunakan buah di Laboratorium menyimpulkan hibrida DR 1 x Sca 12, DRC 16 x Sca 6, DRC 16 x Sca 12 tidak menunjukan beda nyata dalam luas bercak hasil inokulasi miselium P. palmivora dibanding dengan klon DRC 16, Sca 6 dan Sca 12 yang tahan. Bila dibandingkan dengan klon DR 1 yang bersifat rentan, maka hibrida-hibrida tersebut tahan terhadap patogen tersebut (Sri-Sukamto & Mawardi, 1986; Winarno & Sri- Sukamto, 1989), Berdasarkan hasil penelitian terhadap penyakit P. palmivora di Kamerun diperoleh beberapa kesimpulan bahwa, ketahanan semu disebabkan oleh bergesernya periode pembungaan dari musim yang mendukung perkembangan patogen. Waktu berbunga lebat pada Klon UPA 134 terjadi pada pertengahan musim kemarau, sehingga buah dapat terhindar dari infeksi P. palmivora. Klon serupa adalah SNK 10, 12, 16,136, 213, 459; ICS 39, 40, 43, 46, 61 (Muller, 1974). Di Nigeria, puncak produksi kakao klon T 24/12 tercapai 2-3 bulan setelah musim hujan sehingga umumnya buah masih kecil dan kerugian akibat busuk buah rendah. Ini menunjukkan adanya korelasi antara ukuran buah dan serangan P. palmivora (Toxopeus, 1999). Fenomena escape diamati pula di Pantai Gading (Kebe et al., 1999). Sumber gen ketahanan terhadap P. palmivora dapat pula dicari dari jenis lain Theobroma. Buah T. grandiflora tahan terhadap inokulasi spora patogen tersebut; sebaliknya T. bicolor, T. spiciosa, T. simiarum dan T. mammosum rentan (Hansen, 1961 cit. Soria, 1974). Penggunaan jenis ini sebagai sumber gen tahan menghadapi kendala karena keberhasilan hibridisasinya dengan T. cacao sangat terbatas. Hibrid T. cacao x T. grandiflora mempunyai pertumbuhan lambat, lemah dan fertilitas rendah (Soria, 1974).

49 24 Penanganan karakter kuantitatif di dalam pemuliaan tanaman tidak sesederhana pada beberapa karakter kualitatif yang dapat dilakukan suatu analisis dengan menggunakan genetika Mendel. Suatu upaya dengan pendekatan statistik dengan menggunakan nilai tengah, ragam dan peragam dilakukan terhadap karakter kuantitatif guna menduga parameter genetik yang penting dalam pemuliaan tanaman seperti heritabilitas dan korelasi genetik. Dalam proses kegiatan pemuliaan tanaman, upaya seleksi untuk karakter tertentu yang bersifat kuantitatif tanpa sengaja dapat mengakibatkan turut terseleksinya karakter-karakter lainnya yang dapat menguntungkan ataupun merugikan bagi pemulia. Terkait dengan hal tersebut, penting diketahui dengan pasti hubungan (korelasi) antar karakter tanaman yang diteliti. Koefisien korelasi genetik merupakan hubungan genetik antar karakter, yang merupakan informasi bagi karakter yang mungkin dapat digunakan sebagai indikator untuk karakter lain yang lebih penting (Miller et al., 1957). I. Analisis Daya Gabung Daya gabung adalah kemampuan untuk berkombinasi dengan genotip yang lain dan menghasilkan keturunan yang unggul. Terdapat dua macam daya gabung yaitu daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK). Menurut Falconer (1981) efek daya gabung umum dan khusus merupakan indikator penting dari nilai potensial suatu galur murni untuk kombinasi persilangan suatu hibrida. Daya gabung umum (DGU) merupakan hasil aksi gen aditif, sedangkan daya gabung khusus (DGK) merupakan kemampuan kombinasi spesifik hasil dari gen dominan dan epistasis aditif (Welsh, 1981). Menurut Griffing (1956), dalam melakukan analisis daya gabung diperlukan tiga set materi genetik antara lain: tetua, F1 hasil persilangan dan resiproknya. Lebih lanjut Griffing menggunakan empat metode dalam analisis daya gabung yaitu: Metode I menggunakan tetua, F1 hasil persilangan dan resiproknya, Metode II menggunakan tetua dengan F1 hasil persilangan saja, Metode III menggunakan F1 saja dan resiproknya tanpa melibatkan tetua dan Metode IV hanya menggunakan F1 hasil persilangannya saja. Masalah utama yang dihadapi tanaman kakao dalam merakit kakao hibrida

50 25 yang mempunyai produksi tinggi, mutu baik tahan terhadap penyakit dan hama utama adalah tersedianya material genetik plasma nutfah yang terbatas. Seperti tanaman tahunan yang diperbanyak secara klonal, kelemahan kakao adalah keragaman genetik yang terbatas. Besarnya daya gabung antar plasma nutfah yang digunakan sebagai tetua dan besarnya heterosis yang diperoleh oleh hibridanya berbeda-beda. Besarnya ragam daya gabung umum penting untuk diketahui karena pada kebanyakan sifat ragam DGU selalu lebih besar dari pada ragam DGK (Simpson & Everson 1982). Hal ini berarti bahwa dalam mempengaruhi sifat, aksi gen aditif lebih berperan dibandingkan dengan gen non aditif. J. Heterosis Umumnya apabila dua tetua tanaman yang berlainan disilangkan, maka keturunannya akan memperlihatkan gejala heterosis atau vigor hibrid yaitu keturunan yang memiliki peningkatan suatu karakteristik yang lebih besar dibandingkan rata-rata kedua tetuanya (Phoelman & Sleper, 1995). Terkait dengan pemahaman gejala heterosis, terdapat dua hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu pertama apabila dua homosigot disilangkan maka akan diperoleh genotip hibrida yang penampilannya melebihi kedua tetuanya. Genotipe hibrida yang memperlihatkan gejala heterosis tersebut memiliki konstitusi genetik heterosigot. Kedua, seleksi genotipe pada generasi F2 dan seterusnya tidak memberikan peluang diperolehnya genotipe-genotipe dengan penampilan yang serupa dengan kultivar hibrida F1 (Baihaki, 1989). Hingga saat ini terdapat dua hipotesis utama yang dapat menjelaskan mekanisme gejala heterosis, yaitu hipotesis dominan dan over dominan. Hipotesis dominan menjelaskan gejala heterosis yang paling luas penerimaannya. Hipotesis ini menjelaskan bahwa akumulasi gen-gen dominan yang unggul dalam satu genotipe tanaman menyebabkan munculnya fenomena heterosis, sedangkan penampilan gen-gen resesifnya akan tertutupi atau hilang (Phoelman & Sleper, 1995). Berdasarkan hipotesis ini, fenomena heterosis merupakan hasil aksi dan interaksi gen-gen dominan yang unggul yang terkumpul dalam satu genotipe F1 dari hasil persilangan kedua tetua. Tanaman menyerbuk silang mencakup banyak

51 26 individu yang secara genetik merupakan individu-individu yang berbeda (Baihaki, 1989). Hipotesis over dominan menjelaskan bahwa vigor hibrida merupakan hasil penampilan superioritas heterosigositas terhadap homosigositas. Hal in berarti, individu yang berpenampilan superior merupakan individu yang memilki konstitusi gen heterosigot yang banyak. Genotipe yang heterosigot memiliki tingkat superioritas yang lebih tinggi dibanding dengan genotipe homosigot (Fehr, 1987). Menurut Phoelman & Sleper (1995) hal tersebut mengandung makna bahwa heterosis terjadi karena adanya interaksi antar gen pada lokus yang sama. K. Heritabilitas Nilai heritabilitas merupakan pernyataan kuantitatif peran faktor genetik yang mengukur kemampuan suatu genotip dalam populasi tanaman untuk mewariskan karakter-karakter yang dimiliki. Pengertian lain menjelaskan bahwa heritabilitas adalah suatu pendugaan yang mengukur sampai sejauh mana variabilitas penampilan suatu genotip dalam populasi terutama disebabkan oleh peranan faktor genetik. Pemahaman tersebut diperoleh dari pengertian bahwa pendugaan heritabilitas merupakan perbandingan varian genetik dengan varian fenotip suatu karakter dalam populasi (Poehlman & Sleper, 1995; Allard, 1960). Melalui hertabilitas dapat diketahui apakah keragaman yang timbul pada suatu karakter terutama disebabkan oleh faktor genetik atau oleh faktor lingkungan. Dengan demikian para pemulia tanaman dapat memperlihatkan dari karakter mana yang dapat memberikan respon terhadap suatu usaha perbaikan yang akan dilakukan. Walaupun heritabilitas merupakan parameter genetik yang memberikan arti besar dalam pemuliaan tanaman, tetapi bukan merupakan suatu konstanta yang bernilai tetap. Nilai duga heritabilitas adalah parameter yang sangat penting dalam pemuliaan karena sangat berpengaruh terhadap keefektifan seleksi. Heritabilitas didefinisikan sebagai proporsi total variabilitas yang disebabkan oleh faktor genetik terhadap variabilitas fenotipik suatu karakter (Allard, 1960; Fehr, 1987; Hallauer & Miranda, 1988; Crowder, 1993). Heritabilitas tipe ini dikenal sebagai heritabilitas arti luas (broad sense heritability/h 2 bs)dan diduga sebagai nisbah

52 27 varians genetik terhadap varians fenotipe. Varian genetik terdiri atas varian aditif, varians dominan, dan varian interaksi (epistasis), sedangkan varian fenotipe adalah varian genetik ditambah dengan varian lingkungan (Falconer, 1989). Heritabilitas didefinisikan sebagai nisbah varian genetik aditif terhadap varian fenotipik. Ini dikenal sebagai heritabilitas arti sempit (narrow sense heritability)/ h 2 ns) yang menggambarkan besar suatu karakter mewaris ke keturunannya (Falconer, 1989). Heritabilitas bukan merupakan besaran yang konstan. Besarnya nilai heritabilitas sangat tergantung pada metode estimasi yang digunakan. Beberapa metode yang biasa digunakan meliputi: metode pendugaan komponen varian, metode regresi tetua dan keturunan, dan metode pendugaan varian lingkungan secara tidak langsung (Fehr, 1987). Metode lain, yang biasa digunakan untuk menduga heritabilitas arti sempit, adalah dengan menggunakan populasi backcross (Warner, 1952). Klasifikasi tinggi rendahnya heritabilitas suatu karakter ditentukan oleh tinggi rendahnya nilai duga yang diperoleh. Menurut Halloran et al. (1979), heritabilitas dianggap rendah bila h 2 <0,2, sedang bila 0,2 h 2 0,5, dan tinggi bila h 2 > 0,5. Apapun metode yang digunakan, ada beberapa asumsi harus dipenuhi untuk mendapatkan nilai duga heritabilitas yang akurat. Asumsi tersebut meliputi: 1) tidak ada interaksi non allelik, 2) tidak ada interaksi genetik dengan lingkungan, 3) tidak ada pautan antar gen, dan 4) varian lingkungan pada populasi F2 dan beckcross adalah sama (Warner, 1952; Dudly & Moll, 1969). Tidak terpenuhinya asumsi-asumsi tersebut menghasilkan nilai duga heritabilitas yang bias terlalu tinggi atau terlalu rendah.

53 JUDUL 1. ISOLATION OF INDIGENOUS Phytophthora palmivora FROM INDONESIA, THEIR MORPHOLOGICAL AND PATHOGENICITY CHARACTERIZATIONS Abstrak Patogenisitas isolat P. palmivora dari berbagai sentra produksi kakao di Indonesia belum banyak dievaluasi. Apalagi isolat P. palmivora dapat berubah dari waktu ke waktu. Sehingga koleksi dan identifikasi keberadaan P. palmivora di lapangan perlu secara periodik dilakukan. Tujuan spesifik penelitian yang dilakukan adalah: (1) mengkoleksi isolat indigenus Phytophthora palmivora dari sejumlah sentra produksi kakao di Indonesia, (2) mengkarakterisasi isolat indigenus P. palmivora dari Indonesia menggunakan berbagai karakter morfologi, dan (3) mengevaluasi patogenisitas isolat indigenus P. palmivora terhadap buah kakao. Isolat indigenus P. palmivora diisolasi dari buah kakao terinfeksi yang berasal dari kebun kakao di 21 kabupaten dan 13 provinsi di Indonesia. Isolat yang didapat selanjutnya dikarakterisasi morfologi dan patogenisitasnya. Hasil penelitian menunjukkan 24 isolat indigenus P. palmivora telah berhasil diisolasi dari 13 kabupaten dan 8 provinsi di Indonesia. Isolat indigenus yang didapat mempunyai bentuk spora ellipsoid, globoid, atau ovoid. Sebaliknya, antar isolat indigenus tidak terdapat perbedaan yang jelas untuk papila dan pediselnya. Meskipun isolat indigenus P. palmivora yang didapat secara morfologis hampir sama, terdapat perbedaan yang besar dalam tingkat patogenisitasnya terhadap kakao klon GC 7, ICS 60 atau TSH 858. Isolat P. palmivora LBSBR dari Lubuk Basung, Sumatra Barat diketahui sangat patogenik terhadap ketiga kultivar kakao yang diuji. Sedangkan isolat JkBwi (12) dan KgBwi (8) dari Banyuwangi, Jawa Timur; PtBdg (7) dari Badung, Bali; SsSpg (36) dan AgSpg1(35) dari Sopeng, Sulawesi Selatan, serta PwMnw dari Manokwari, Papua Barat bersifat patogenik atau sangat patogenik terhadap buah dari tiga klon kakao yang diuji. Kecuali dilakukan pengendalian yang sesuai, isolat indigenous P. palmivora yang bersifat sangat patogenik atau patogenik dapat berkembang menjadi kendala utama dalam budidaya kakao di Indonesia di masa mendatang. Kata kunci: kakao, busuk buah, uji buah dipetik, klon GC 7, ICS 60, TSH 858

54 ISOLATION OF INDIGENOUS Phytophthora palmivora FROM INDONESIA, THEIR MORPHOLOGICAL AND PATHOGENICITY CHARACTERIZATIONS Abstract Pathogenicity of Phytophthora palmivora isolates from various cacao production centers has not been evaluated. Moreover, isolates of this pathogen may change in time (Goodwin, 1997). Therefore, collection and identification of the existing P. palmivora need to be done from time to time. The specific objectives of this research were: (1) to collect indigenous isolates of P. palmivora from a number of cacao production centers in Indonesia, (2) to characterize the Indonesian indigenous isolates using various morphological characters, and (3) to evaluate pathogenicity of the indigenous isolates. The indigenous isolates of P. palmivora were isolated from diseased cacao pod from cacao plantations at 21 districts and 13 provinces in Indonesia. Morphological and pathogenicity characterization were conducted on the identified isolates. Results of the activities showed that 24 indigenous isolates of P. palmivora were identified from various cacao production centers in 13 districts and 8 provinces in Indonesia. These isolates produced ellipsoid, globoid, or ovoid spores. On the other hand, they exhibited less apparent differences in their papillae and pedicels. Although these indigenous isolates of P. palmivora were morphologically similar, they exhibited a diverse pathogenicity against cacao clones GC7, ICS60 and TSH858. The LBSBR isolate of P. palmivora from Lubuk Basung, West Sumatra were identified as very pathogenic against the three cacao clones tested, while JkBwi (12) and KgBwi (8) isolates from Banyuwangi, East Java; PtBdg (7) isolate from Badung, Bali; SsSpg (36) and AgSpg1 (35) from Sopeng, South Sulawesi, and PwMnw from Manokwari, West Papua were characterized as either pathogenic or very pathogenic against evaluated pods of the three cacao clones, respectively. Unless properly managed, these pathogenic or very pathogenic indigenous isolates of P. palmivora might become future major constraints in cacao production in Indonesia. Keywords: Cacao, black pod, detached pod assay, clones GC 7, ICS 60, TSH 858

55 Introduction Black pod disease of cacao is one of the major diseases associated with cacao cultivation in the field (Prawirosoemardjo & Purwantara, 1992). The cacao disease caused by Phytophthora palmivora significantly reduced pod and bean yields of cacao. P. palmivora is also capable of infecting stems, young flushes, and leaves of cacao in the field (Purwantara, 1990; Sri-Sukamto, 1985). Yield reduction due to P. palmivora infection in Indonesia was reported up to 45.5% (Prawirosoemardjo & Purwantara, 1992; Situmorang & Soeyatno, 1974) while in other cacao producing countries in the world was between 20 30% yearly (Wood & Lass 1985). Infection of P. palmivora was one of the major constraints of cacao cultivation in most locations in Indonesia. In the field, black pod disease is relatively difficult to control because the epidemiology of this disease is very complex (Tey, 1991). A number of factor supporting development of black pod disease in cacao plantation in Indonesia are: (1) the cultivated cacao genotypes are mostly susceptible against black pod disease, (2) the cacao pods require 5-7 months of development before harvesting and they could get infected by black pod disease at any stage of their development, (3) The relative humidity in Indonesia usually very high all year round, therefore it is favorable for infection and disease development, (4) The sources of infection are generally always available in the field because of the favorable environment factors and the presence of many alternative hosts in the field, and (5) the ability of P. palmivora to infect all plant parts of cacao (vander Vosen, 1997). Although P. palmivora could preventively be controlled with fungicides (Holderness, 1990), the required cost for controlling this pathogen could reach up to 40% out of total cost of cacao cultivation (Sunaryo & Situmorang, 1980). Therefore, availability of alternative methods for controlling P. palmivora is necessary. A number of antagonistic microbes were able to inhibit development of P. palmivora (Sri-Sukamto et al., 1997, Tondje et al., 2006). However, their effectiveness for controlling black pod disease in cacao needs further evaluation. Information regarding P. palmivora isolates in Indonesia and other places has been reported (Umayah & Purwantara, 2006). However, pathogenicity of P.

56 32 palmivora isolates from various cacao production centers has not been evaluated. Moreover, isolates of this pathogen may change in time (Goodwin, 1997). Therefore, collection and identification of the existing P. palmivora need to be done from time to time to determine the possible occurrences of new and more pathogenic isolates in the field. Understanding of the existing P. palmivora isolates infecting cacao and their characters is needed in order to develop control strategies for the pathogen and to support cacao resistance breeding program for black pod disease (Appiah, 2001; Iwaro et al., 1998; Surujdeo-Maharaj et al., 2001). Therefore, isolation and characterization of pathogenicity of indigenous P. palmivora isolates from various places in Indonesia need to be conducted. Field isolates of P. palmivora from various cacao production centers in Indonesia may also be used as reference isolates. Subsequently, they can be used to evaluate resistance of cacao genotypes against infection of P. palmivora. Research activities supported by the Partnership Cooperation with University in Agricultural Research Project (KKP3T) have been conducted to develop effective control strategies for black pod disease in cacao through various approaches, such as studying the indigenous isolates of P. palmivora (Sudarsono et al., 2007). The success of isolating and characterizing indigenous isolates of P. palmivora is expected to assist the development of effective methods for controlling black pod disease in cacao and provide the reference isolates of P. palmivora indigenous Indonesia to cacao breeders. The general objectives of this study were to obtain and characterize indigenous isolates of P. palmivora the pathogen causing black pod disease in cacao from various cacao production centers in Indonesia. The specific objectives of this research were: (1) to collect indigenous isolates of P. palmivora from a number of cacao production centers in Indonesia, (2) to characterize the Indonesian indigenous isolates using various morphological characters, and (3) to evaluate pathogenicity of the indigenous isolates.

57 33 Material and Methods Collection of Diseased Cacao Pods. Samples of cacao pods infected with black pod disease were collected from cacao plantations at 21 districts and 13 provinces in Indonesia. The provinces and districts were selected because they were known as the center of cacao production in Indonesia or in the process of developing cacao as one of the major crops in the locations. Within certain province and district, locations where there were concentrations of cacao plantations were selected for collecting diseased pods. List of locations of diseased cacao pod collection was presented in Table 1. From each location, 2-3 cacao pods showing symptoms of black pod infection (Fig. 6.a) were collected. The sampled cacao pods were either brought back directly or sent through express mail service to Jember. Subsequently, the diseased pods were used to isolate indigenous P. palmivora in subsequent experiments. Isolation of Indigenous P. palmivora. Isolation of P. palmivora from diseased cacao pod was conducted through three steps, such as: (1) baiting step, (2) isolation step, and (3) identification and propagation steps, respectively. For the baiting step, the diseased cacao pods were disinfected using 70% alcohol. A piece of tissue was cut from diseased pod and used to inoculate a healthy pod of cacao clone GC7 (4 months after pollination) (Fig. 6.b.). To maintain humidity, the inoculated site of the healthy pods was padded with wet paper towel. Subsequently, the inoculated cacao pods were wrapped with newspaper and incubated for 5 7 days in plastic boxes. The relative humidity in the plastic boxes was maintained at > 90%. Once the inoculated pods showed specific symptoms of P. palmivora infection, a piece of tissue from perimeter of diseased and healthy pod was cut using a scalpel (Fig. 6.c.) and cultured on a petridish (diameter 9 cm) containing solid PDA medium (Fig. 6.d.). For the isolation step, growing fungal colonies were purified twice using hyphal tip culture on solid PDA medium. For the identification step, observation was conducted for the ability of the isolated fungal colonies to produce fungal spore specific for P. palmivora. Fungal colonies capable of producing the specific fungal spore (Fig. 6.d.) were identified as isolates of P. palmivora. The identified fungal isolates were propagated on solid PDA medium and stored for further use.

58 34 (a) (b) (c) (d) (e) Figure 6 Steps of indigenous Phytophthora palmivora isolation from a sample of cacao pod infected with black pod disease in the field and morphological characters of the isolates. (a) A sample of cacao pod infected with black pod disease; (b) Baiting step - inoculation of healthy pod with a piece of diseased cacao pod; (c) Occurrences of necrotic symptoms on healthy cacao pod inoculated with a piece of diseased pod and the tissue in the perimeter of diseased and healthy pod used as inocula for isolation step; (d) Fungal colonies growing from the inoculum tissues on solid PDA medium; (e) Example of typical spore formation from fungal isolate suspected as P. palmivora. Microscopic observation for the abilities to form those typical spores was conducted to verify the identity of the isolates as P. palmivora; and (f) Example of the ovoid (O) and ellipsoid (E) types of P. palmivora spore morphologies. Gambar 6 Tahapan isolasi P. palmivora indigenus dari contoh buah kakao terinfeksi busuk buah dari lapangan dan karakter morfologis isolat. (a) Contoh buah kakao terinfeksi; (b) Baiting step inokulasi buah kakao sehat dengan potongan contoh buah sakit dari lapangan, (c) Kemunculan bercak gejala pada buah sehat yang diinokulasi dengan potongan buah bergejala dari lapangan dan potongan buah pada perbatasan jaringan yang bergejala dan tidak bergejala hasil baiting yang digunakan sebagai inokulum pada tahapan isolasi; (d) Koloni cendawan yang tumbuh dari inokulum pada medium PDA; (e) Contoh pembentukan spora pada isolat cendawan yang diduga P. palmivora. Pengamatan mikroskopik untuk kemampuan membentuk spora spesifik tersebut digunakan untuk mengidentifikasi isolat cendawan yang dievaluasi sebagai isolat P. palmivora; dan (f) Contoh morfologi spora - ovoid (O) dan ellipsoid (E). (f) E O

59 35 (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i) Figure 7 Variation of pathogenicity of indigenous isolates of Phytophthora palmivora from various cacao production centers in Indonesia based on the width of necrotic symptoms on inoculated cacao pod clones GC7 (a,b,c), ICS60 (d,e,f), and TSH858 (g,h,i). Each cacao pod was inoculated with one indigenous isolate of P. palmivora. Symptoms were recorded at 3 (a,d,g), 5 (b,e,h) or 7 (c,f,i) days after cacao pod inoculation with the tested indigenous isolates. Gambar 7 Variasi patogenisitas isolat P. palmivora indigenus yang berasal dari sentra produksi kakao di Indonesia berdasarkan lebar bercak pada buah kakao klon GC7 (a,b,c), ICS60 (d,e,f), dan TSH858 (g,h,i). Setiap buah kakao diinokulasi dengan satu isolat P. palmivora indigenus. Gejala dicatat pada hari ke 3 (a,d,g), 5 (b,e,h), atau 7 (c,f,i) sesudah inokulasi dengan masing-masing isolat. Morphological Characterization of Indigenous P. palmivora. Each P. palmivora isolate identified from previous experiment was grown on a 9-cm petridish containing solid PDA medium. The fungal cultures were incubated for seven days under dark condition in an incubation room. Temperature in the incubation room was set at 26 o C day and night. To induce sporulation, mycelia of P. palmivora grown on solid PDA medium were cooled at 4 o C for 15 minutes in a refrigerator. Observation for the spore morphology was conducted under binocular microscope with 100x magnification. In addition, the shape of the fungal spore, the presence of pedicels and papillae were also recorded as part of

60 36 morphological characters of the P. palmivora isolates. Pathogenicity Test of Indigenous P. palmivora. Identified isolates of P. palmivora were grown on solid PDA medium in Petri dishes, and subsequently were used to inoculate healthy cacao pods in the pathogenicity test. Prior to inoculation, the pods of cacao clones GC7 (susceptible), ICS60 (moderately resistant) and TSH858 (resistant against infection of P. palmivora) (Suhendi et al., 2005) were rinsed in running tap water and damped using tissue towels. The pods were inoculated with actively growing mycelia on solid PDA medium (0.5x0.5 cm2) and the inoculated site was padded with wetted paper towels. After inoculation, cacao pods were incubated for 7 days in wooden boxes with > 90% relative humidity. To maintain relative humidity, 10 cm thick of foam was laid at the base of wooden boxes and wetted with sterile water. The boxes were covered with plastic covers and maintained at 28 o C. Starting at 3 days after inoculation (DAP), observations for the occurrences of necrotic symptoms were conducted daily up to 8 DAP. The observations were conducted on incubation periods, number of pods showing necrotic symptoms, and average width of necrotic symptoms on the surfaces of cacao pods. Pathogenicity of the isolates was determined based on the diameter of the necrotic symptoms measured at 8 DAP. The pathogenicity of the isolates was grouped based on criteria developed by Waterhouse (1975), such as: (1) non-pathogenic if there is no necrotic symptom on the inoculated cacao pods; (2) less pathogenic if the symptom was < 25%; (3) pathogenic if the symptom was between 25 50%; and (4) very pathogenic if the symptom was > 50% of the infected cacao pods. Results and Discussion Isolation of Indigenous P. palmivora. Isolation of the pathogens from cacao pods infected with black pod disease was conducted up to November 2007, and a total of 44 fungal isolates exhibiting mycelia similar to P. palmivora were obtained. These fungal isolates were obtained from cacao production centers at 21 districts and 13 provinces in Indonesia (Table 1).

61 Table 1. List of locations of sampled cacao pods infected with black pod disease, the number of fungal isolates and the number of indigenous Phytophthora palmivora isolates identified from each location. Tabel 1. Daftar lokasi pengambilan contoh buah kakao terinfeksi penyakit busuk buah kakao, jumlah isolat cendawan dan jumlah isolat P. palmivora indigenus yang teridentifikasi dari masing-masing lokasi. No. Province (Provinsi) District (Kabupaten) 37 No. of fungal isolate: (Jumlah isolat cendawan) Total (total) 1 North Sumatera Deli Serdang West Sumatera Lubuk Basung, Agam Lampung Lampung Tengah West Java Sukabumi Central Java Wonosobo, Temanggung East Java Jember, Banyuwangi Bali Jembrana, Tabanan, Badung South Sulawesi Sopeng Southeast Sulawesi Konawe, Kolaka, Kendari Central Sulawesi Toli-toli, Donggala West Sulawesi Mamuju West Papua Manokwari Nangroe Aceh Darussalam (NAD) P. palmivora Saree - - Total 13 provinces 21 districts Notes: the fungal isolates were identified as isolate of P. palmivora based on their ability to produce typical spore on solid PDA medium and to infect cacao pods. Keterangan: isolat cendawan diidentifikasi sebagai isolat P. palmivora berdasarkan pada kemampuannya untuk menghasilkan spora spesifik pada medium PDA padat dan kemampuannya menginfeksi buah kakao. The ability to produce typical spores on PDA medium was evaluated to verify the identity of the isolated fungi as P. palmivora. Results of identification indicated that 24 out of 44 fungal isolates were positively identified as P. palmivora. These 24 isolates of P. palmivora were obtained from diseased pods originated from 13 districts and 8 provinces, such as: Jembrana, Tabanan, and Badung districts (Bali Province), Banyuwangi and Jember (East Java), Sukabumi (West Java), Lubuk Basung and Agam (West Sumatera), Deli Serdang (North Sumatera), Soppeng (South Sulawesi), Kolaka and Konawe (Southeast Sulawesi),

62 38 and Manokwari (West Papua) (Table 1). The identified indigenous isolates of P. palmivora could be used as reference isolates for evaluating response of cacao germplasm collections and breeding lines against black pod disease in Indonesia. The reference isolates could be used to inoculate cacao germplasm collections and identify the resistance clones. The resistance clones could then be planted and cultivated in the target areas where the reference isolates existed. More indigenous isolates of P. palmivora would be re-isolated from diseased cacao pods originated from districts and provinces that have not been represented in this activity. However, results of characterization of only 24 identified indigenous isolates of P. palmivora were presented in this report. Twenty fungal isolates evaluated did not produce typical spores of P. palmivora. Therefore, they may not be the isolates of P. palmivora. Morphological Characterization of Indigenous P. palmivora. All fungal isolates positively identified as P. palmivora were evaluated for the shape of their spores and for the presence of the pedicels and the papillae. Results of evaluations indicated that indigenous isolates of P. palmivora from various cacao production centers in Indonesia have spore shape either as ellipsoid (E), globoid (G), or ovoid (O). Out of 24 isolates of P. palmivora identified, nine isolates have O spores and only two has E spores (Table 2). Results of the observation also indicated nine identified isolates of P. palmivora have a mixture of O and G spores and six isolates have a mixture of O and E spores (Table 2). Examples of spore shapes of indigenous isolate of P. palmivora were presented in Figure 6.f.

63 39 Table 2. Tabel 2. Morphological characteristics of indigenous isolates of Phytophthora palmivora based on the spores shape and the presence of pedicels and papillae. Karakteristik morfologis isolat P. palmivora indigenus berdasarkan bentuk spora dan keberadaan pedisel serta papila. Isolate of P. palmivora (Isolat P. palmivora) Origin of isolate (Asal isolat) Morphological characters (Karakter morfologis) Spore (spora) Pedicel (pedisel) Papillae (papila) AdlnSU Deli Serdang, Noth Sumatra O + + LbSbr Lubuk Basung, West Sumatra O/E + + AgSbr Agam, West Sumatra O/E + + BlSkbm3B(15) Sukabumi, West Java O + + BLSkbm4A(16) Sukabumi, West Java O + + KgBwi(8) Banyuwangi, East Java O + + JkBwi(12) Banyuwangi, East Java O + + KoaJbr(10) Jember, East Java O + + KwJbr1(29) Jember, East Java O/G + + KwJbr2(30) Jember, East Java O/E + + KwJbr3(31) Jember, East Java O/E + + KwJbr4(32) Jember, East Java O/E + + PsTbn Tabanan, Bali O/G + + MJbrn Jembrana, Bali E + + PJbrn Jembrana, Bali O + + AsBdg(6) Badung, Bali O/G + + PtBdg(7) Badung, Bali O + + EgSpg(37) Sopeng, South Sulawesi O/G + + SsSpg(36) Sopeng, South Sulawesi O/G + + AgSpg1(35) Sopeng, South Sulawesi O/G + + OlKnw(26) Konawe, Southeast Sulawesi O/G + + TuKnw(27) Konawe, Southeast Sulawesi O/G + + TtKlk(20) Kolaka, Southeast Sulawesi O/G + + PwMnw Manokwari, West Papua O/G + + Notes: Spore shape O: ovoid, E: ellipsoid, G: globoid. Pedicel and papilla: (+) with papilla and with pedicel. Keterangan: papila: (+) dengan papila dan dengan pedisel. Bentuk spora O: ovoid, E: ellipsoid, G: globoid, Pedisel dan Based on the observed data, except for spore shape, fungal morphology variation was not apparent. All fungal isolates positively identified as P. palmivora have pedicel and papillae and produced ellipsoid, globoid, or ovoid shape of spores. However, there was unclear association, if any, among shape of the spore, the origin of the isolates, and the level of their pathogenicity. Previous report has attempted to evaluate the spore shape of P. palmivora as an isolate

64 40 identity. However, result of the evaluation also indicated the absence of strong association between spore shape and isolate identity (Appiah et al., 2003; Drenth & Sendall, 2001; Umayah & Purwantara, 2006). Characterization of Phytophthora sp. has also been done using DNA sequence of intergenic transcribed spacer (ITS) and the 5S rrna gene. Although it is possible to differentiate among Phytophthora species, this technique was not able to differentiate different isolates of P. palmivora (Appiah et al., 2004; Ristaino et al., 1998). Pathogenicity of Indigenous P. palmivora. Pathogenicity of indigenous isolates of P. palmivora was characterized based on their ability to induce necrotic symptoms and the width of the symptoms on inoculated cacao pods. Examples of necrotic symptoms on pod of cocoa clones GC7, ICS60 and TSH858 induced by inoculation of indigenous isolate of P. palmivora at 3, 5, and 7 DAP, respectively, were presented in Figure 7. Results of pathogenicity test indicated the 20 fungal isolates that did not produce typical P. palmivora spores did not result in necrotic symptoms on cacao pods. Such results supported previous suspicions that these fungal isolates were not P. palmivora. These 20 isolates might be other fungi co-inhabiting cacao pods with P. palmivora in the field. Previous report has indicated the presence of various types of fungi inhabiting cacao pods, including endophytic fungi that show antagonistic activities against P. palmivora (Crozier et al., 2006; Sri-Sukamto et al., 2007). However, no further attempt of identifying these fungal isolates was conducted in this experiment. On the other hand, all indigenous isolates identified as P. palmivora based on their ability to form typical spores resulted in various degrees of necrotic symptoms on evaluated cacao pods. Summary of the pathogenicity test results on the indigenous isolate of P. palmivora from various cacao production centers in Indonesia was presented in Table 3. Based on results of pathogenicity test using pods of cacao clone GC7, 10 indigenous isolates of P. palmivora were grouped as very pathogenic, 3 were pathogenic, 3 were less pathogenic, and 8 were non-pathogenic (Table 3). Using

65 pods of cacao clone ICS60, the same indigenous isolates were grouped as very pathogenic (4 isolates), pathogenic (8 isolates), less pathogenic (14 isolates), and non-pathogenic (3 isolate) (Table 3). On the other hand, the grouping of indigenous isolates based on results of pathogenicity test using pods of cacao clone TSH858 were very pathogenic (6 isolates), pathogenic (7 isolates), less pathogenic (7 isolates), and non-pathogenic (4 isolates) (Table 3). Table 3. Grouping of pathogenicity of indigenous isolates of Phytophthora palmivora isolated from various cacao production centers in Indonesia based on the response of pods of cacao clones GC7 (susceptible), ICS60 (moderately resistant), and TSH858 (resistant - against P. palmivora infection). Tabel 3. Cacao clone (klon kakao) Pengelompokan patogenisitas isolat P. palmivora indigenus yang diisolasi dari berbagai pusat produksi kakao di Indonesia berdasarkan respon buah kakao klon GC7 (rentan), ICS60 (agak resisten), dan TSH858 (resisten terhadap infeksi P. palmivora). Number of isolates with certain pathogenicity level: (Jumlah isolat dengan tingkat patogenisitas tertentu:) NP LP PT VP GC ICS TSH Notes: NP - non-pathogenic, LP less pathogenic, PT pathogenic, and VP very pathogenic. Pathogenicity groupings were based on the size of necrotic areas of the tested cacao pods, 7 days after inoculation. Catatan: NP non-patogenik, LP agak patogenik, PT patogenik, dan VP sangat patogenik. Pengelompokkan patogenisitas ditentukan berdasarkan ukuran luas bercak pada buah kakao yang diinokulasi, 7 hari sesudah inokulasi. 41 Results of the pathogenicity test also indicated that LBSBR isolate of P. palmivora was very pathogenic against pods of cacao clones GC7, ICS60, and TSH858. This isolate originated from Lubuk Basung district, West Sumatera Province (Table 4). Moreover, six indigenous isolates, JkBwi(12) and KgBwi(8) isolates from Banyuwangi, East Java; PtBdg(7) isolate from Badung, Bali; and SsSpg(36) and AgSpg1(35) from Sopeng, South Sulawesi, and PwMnw from Manokwari, West Papua (Table 4) were characterized as either pathogenic or very pathogenic against evaluated pods of the three cacao clones, respectively.

66 42 Table 4. Pathogenicity grouping of indigenous isolates of Phytophthora palmivora isolated from various cacao production centers in Indonesia based on the response of pods of cacao clones GC7 (susceptible), ICS60 (moderately resistance), and TSH858 (resistance - against P. palmivora infection). Tabel 4. Pengelompokkan patogenisitas isolat P. palmivora indigenus yang diisolasi dari berbagai pusat produksi kakao di Indonesia berdasarkan respon buah kakao klon GC7 (rentan), ICS60 (agak resisten), dan TSH858 (resisten terhadap infeksi P. palmivora). Pathogenicity on cacao Isolate No. Isolate Origin clone: (No. Isolat) (Asal isolat) GC7 ICS60 TSH858 AdlnSU Deli Serdang, North Sumatra NP LP NP LbSbr Lubuk Basung, West Sumatra VP VP VP AgSbr Agam, West Sumatra LP LP LP BlSkbm3B(15) Sukabumi, West Java NP LP PT BlSkbm4A(16) Sukabumi, West Java LP LP LP KgBwi(8) Banyuwangi, East Java PT PT VP JkBwi(12) Banyuwangi, East Java VP PT VP KoaJbr(10) Jember, East Java VP PT LP KwJbr1(29) Jember, East Java NP LP NP KwJbr2(30) Jember, East Java NP NP LP KwJbr3(31) Jember, East Java NP NP NP KwJbr4(32) Jember, East Java VP VP PT PsTbn Tabanan, Bali NP PT PT MJbrn Jembrana, Bali NP LP PT PJbrn Jembrana, Bali VP LP LP AsBdg(6) Badung, Bali LP PT PT PtBdg(7) Badung, Bali VP VP PT EgSpg(37) Sopeng, South Sulawesi PT LP VP SsSpg(36) Sopeng, South Sulawesi VP PT VP AgSpg1(35) Sopeng, South Sulawesi NP NP NP OlKnw(26) Konawe, Southeast Sulawesi PT LP PT TuKnw(27) Konawe, Southeast Sulawesi VP PT LP TtKlk(20) Kolaka, Southeast Sulawesi VP PT LP PwMnw Manokwari, West Papua VP VP VP Notes: NP non-pathogenic, LP less pathogenic, PT pathogenic, and VP very pathogenic. Pathogenicity groupings were based on the size of necrotic areas of the tested cacao pods, 7 days after inoculation. Catatan: NP non-patogenik, LP agak patogenik, PT patogenik, dan VP sangat patogenik. Pengelompokkan patogenisitas ditentukan berdasarkan ukuran luas bercak pada buah kakao yang diinokulasi, 7 hari sesudah inokulasi. On the other hand, PsTbn isolate from Tabanan, MJbrn from Jembrana, Bali Province and BlSkbm3B (15) from Sukabumi, West Java were identified as nonpathogenic against pods of cacao clone GC7, but either less pathogenic or

67 43 pathogenic against that of ICS60 and TSH858 (Table 4). The AdlnSU isolate originated from Deli Serdang, North Sumatera; AgSBR from Agam, West Sumatra, BlSkbm4A (16) from Sukabumi, West Java, KoaJbr (10), KwJbr1 (29), KwJbr2 (30), KwJbr3 (31), and KwJbr4 (32) isolates from Jember, East Java were identified either as less pathogenic or non-pathogenic against three cacao clones tested (Table 4). Overall results of the observation indicated the indigenous isolates of P. palmivora from various cacao production centers in Indonesia showed various levels of pathogenicity against pods of cacao. Based on RAPD data using six random primers and 14 polymorphic amplified DNA fragments, Umayah et al. (2007) reported that P. palmivora isolates from six provinces in Indonesia were genetically similar. Subsequently they concluded that there might be less possibility of occurrence of new physiological isolates of P. palmivora. However, results of this experiment might not support the hypotheses proposed by Umayah et al. (2007). Umayah et al. (2007) proposed conclusions might not necessarily correct because of the following arguments: (a) The number of RAPD markers utilized in the genetic similarity analysis were only 16 markers. Considering size of the genome of P. palmivora, 16 markers were relatively too small. These markers would only represent 16 loci in the P. palmivora genome and most probably might not be in the same loci as those of gene(s) controlling pathogenicity characters. (b) If the above argument is true, the statement associating high genetic similarity to less probable occurrences of new P. palmivora isolates might not be valid. If gene(s) associated with pathogenicity and the RAPD markers were in different loci, P. palmivora isolates with different levels of pathogenicity might exhibit high genetic similarity based on the markers. Moreover, occurrences of new physiological isolates of P. palmivora might also be possible without changing the level of genetic similarity based on the RAPD markers. (c) The pathogenicity of the tested P. palmivora isolates were also not reported in the Umayah et al. (2007). In conclusion, high level of pathogenicity among isolates of P. palmivora as shown in this experiment could not be nullified by Umayah et al. (2007) data. Differences in isolate pathogenicity might not be attributed to the environmental

68 44 factors as it was suggested by Umayah et al. (2007). In this experiment, pathogenicity tests were conducted under controlled environment and optimized for infection of P. palmivora. Hence, response differences were observed among the tested isolates on pod of either cacao clone GC 7, ICS 60, or TSH 858. The diverse pathogenicity exhibited by indigenous isolates of P. palmivora and the absence of diversity on fungal morphology indicated that pathogenicity of the isolates of P. palmivora might not be associated with fungal morphology. Therefore, fungal morphology might not be used to predict pathogenicity of indigenous isolate of P. palmivora originated from various cacao production centers in Indonesia. Cacao clones ICS60 and TSH858 have been identified as resistant against P. palmivora infection. On the other hand, cacao clone GC7 was regarded as susceptible (Suhendi et al., 2005). Results of the pathogenicity test against pods of cacao clones GC7, ICS60, and TSH858 indicated the existence of isolates that were very pathogenic or pathogenic against ICS60 and TSH858. These isolates were identified from Badung-Bali, Banyuwangi-East Java, and Lubuk Basung- West Sumatra. The existence of such P. palmivora isolates would become the major constrain for cacao cultivation in the areas. Even if the available P. palmivora resistance cacao clones such as ICS60 and TSH858 were planted, such identified isolates would be able to significantly reduce cacao production in the regions. Conclusions Indigenous isolates of P. palmivora originated from North and West Sumatra, East Java, Bali, South and Southeast Sulawesi, and West Papua exhibited diverse pathogenicity levels against cacao pods. The LbSbr isolate of P. palmivora from Lubuk Basung, West Sumatra was identified as the most pathogenic isolates identified in this research. The existence of highly pathogenic isolates in Lubuk Basung West Sumatra; Banyuwangi - East Java; Badung - Bali; Soppeng - South Sulawesi, and Manokwari, West Papua need to be closely monitored to prevent their further widespread across cacao production centers in Indonesia. Unless properly managed, these pathogenic or very pathogenic

69 45 indigenous isolates of P. palmivora might become future major constrains in cacao production. Literature Cited Appiah AA Variability of Phytophthora species causing black pod disease of cocoa (Theobroma cacao L.) and implication for assessment of host resistance. London UK: University of London, PhD Dissertation. Appiah AA, Flood J, Archer A, & Bridge PD Molecular analysis of the major Phytophthora species on cocoa. Plant Pathol. 53: Appiah AA, Flood J, Bridge PD, & Archer SA Inter- and intraspecific morphometric variation and characterization of Phytophthora isolates from cocoa. Plant Pathol. 52: Crozier J, Thomas SE, Aime MC, Evans HC, & Holmes KA Molecular characterization of fungal endophytic morphospecies isolated from stems and pods of Theobroma cacao. Plant Pathol. 55: Drenth A. & B Sendall Practical Guide to Detection and Identification of Phytophthora. CRC for Tropical Plant Protection. Brisbane, Australia. 41 pp. Goodwin SB The population genetics of Phytophthora. Phytopathol. 87: Holderness M Efficacy of neutralized phosphonic acid (phosphorous acid) against Phytophthora palmivora pod rot and canker of cocoa. Austral. Plant Pathol. 19: Iwaro AD., Sreenivasan TN, & Umaharan P Cocoa resistance to Phytophthora: effect of pathogen species, inoculation depths, and pod maturity. European J. Plant Pathol. 104: Prawirosoemardjo S & Purwantara A Laju infeksi dan intensitas serangan Phytophthora palmivora (Butl.) Butl. pada buah dan batang beberapa varietas kakao. Menara Perkebunan 60: Purwantara A Pengaruh beberapa unsur cuaca terhadap infeksi Phytophthora palmivora pada buah kakao. Menara Perkebunan 58: Ristaino JB, Madritch M, Truot CL, & Parra G PCR amplification of ribosomal DNA for species identification in the plant pathogen genus Phytophthora. Applied Environ. Microbiol. 64: Situmorang S & Soeyatno Percobaan pemberantasan penyakit busuk buah

70 pada tanaman kakao dengan beberapa fungisida. Menara Perkebunan 42: Sri-Sukamto Phytophthora palmivora Butl. salah satu jamur penyebab penyakit pada tanaman kakao. Menara Perkebunan 53:7-11. Sri-Sukamto, Semangun H, & Harsoyo A Identifikasi beberapa isolat jamur dan sifat antagonisnya terhadap Phytophthora palmivora pada kakao. Pelita Perkebunan 13: Suhendi D, Winarno H, & Susilo AW Peningkatan produksi dan mutu hasil kakao melalui penggunaan klon baru. Prosiding Simposium Kakao. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, hlm Yogyakarta, 4-5 Oktober Sudarsono, Purwantara A, & Suhendi D Molecular Technique and Plant Breeding to Speed up the Development of Cacao (Theobroma cacao L.) Cultivar with Resistance against Black Pod Disease Due to Phytophthora palmivora Butl. Infection. KKP3T Research Report, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia. 122 hlm. Surujdeo-Maharaj S, Umaharan P, & Iwaro AD A study of genotypeisolate interaction in cocoa (Theobroma cacao L.): resistance of cocoa genotypes to isolates of Phytophthora palmivora. Euphytica 118: Tey CC New development in chemical control major disease of cocoa in Malaysia. Proc. Int. Cocoa conference: Challenges in the 90 s. Kuala Lumpur. Tondje PR, Hebbar KP, Sammuels G, Bowers JH, Weise S, Nyemb E, Begoude D, Foko J, & Fontem D Bioassay of Geniculosporium species for Phytophthora megakarya biological control on cocoa pod husk pieces. African J. Biotech. 5: Umayah A & Purwantara A Identifikasi Isolat Phytophtora asal kakao. Menara Perkebunan, 74, Umayah A, Sinaga MS, Sastrosumardjo S, Sumaraw SM & Purwantara A Keragaman genetik isolat Phytophtora palmivora dari tanaman kakao di Indonesia. Pelita Perkebunan, 23(2), van der Vossen HAM Strategies of variety improvement on cocoa with emphasis on durable disease resistance. Ingenic, Reading. UK. 32 pp. 46

71 JUDUL 2. UJI KETAHANAN KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH DAN EFEKTIVITAS METODE INOKULASI Abstrak Tujuan umum percobaan yang dilakukan adalah membakukan metode evaluasi ketahanan plasma nutfah kakao terhadap infeksi P. palmivora, penyebab penyakit busuk buah kakao. Tujuan khusus penelitian antara lain: mengevaluasi (1) pengaruh jenis inokulum dan pelukaan jaringan buah, dan (2) pengaruh jenis inokulum dan pelukaan jaringan daun dan batang bibit kakao klon Sca 12 dan GC 7 terhadap infeksi P. palmivora, serta (3) pengaruh latar belakang genetik bibit kakao terhadap infeksi P. palmivora. Dalam penelitian digunakan dua tipe inokulum (zoospora dan miselia) yang diinokulasikan pada buah kakao, serta daun dan batang bibit klon GC 7 dan Sca 12. Buah, daun dan batang kakao yang diuji sebagian diberi perlakuan pelukaan sebelum diinokulasi dan sebagian yang lain tanpa pelukaan. Pengamatan dilakukan terhadap diameter bercak (buah), jumlah bercak (daun), dan lebar bercak (batang). Hasil percobaan menunjukkan inokulasi dengan menggunakan inokulum miselia lebih efektif dibandingkan dengan zoospora P. palmivora dan perlakuan pelukaan lebih mampu secara akurat menduga respon ketahanan bibit kakao terhadap infeksi P. palmivora. Hasil pendugaan ketahanan menggunakan buah yang dipetik sejalan dengan hasil pengujian menggunakan bibit kakao sehingga bibit dapat dipergunakan sebagai alternatif pengujian ketahanan terhadap P. palmivora. Klon TSH 858 lebih baik untuk digunakan sebagai induk betina dan disilangkan dengan Sca 12 sebagai induk jantan untuk menghasilkan populasi hibrida F1 yang resisten terhadap infeksi P. palmivora dan berpotensi berdaya hasil tinggi. Kata kunci: Phytophthora palmivora, pemuliaan kakao, evaluasi plasma nutfah, standardisasi metode inokulasi, uji buah dipetik, uji bibit.

72 CACAO (Theobroma cacao L.) RESISTANCE EVALUATION AGAINST BLACK POD DISEASE AND EFECTIVENESS OF INOCULATION METHODS Abstract The general objective of this experiment was to standardize method of resistance evaluation of cacao germplasm against P. palmivora, the pathogen causing black pod disease in cacao. The specific objectives of this experiment were to evaluate (1) effects of inoculum type and pod wounding, (2) effects of inoculum type and seedling wounding, and (3) effects of genetic background of cacao seedlings on infection of P. palmivora. In this experiment, effectiveness of either zoospora or mycellia was evaluated as inoculation sources for pod, leaf and stem of cacao clone GC 7 and Sca 12. Part of the tested cacao pods, leaves, and stems were wounded prior to P. palmivora inoculation while the others were not. Observations were conducted to measure diameter of the necrotic symptoms on inoculated cacao pods, number of necrotic spot on inoculated leaf, and the length of necrotic symptoms on stem of tested cacao seedlings. Results of the experiment indicated that inoculation using mycelia of P. palmivora was more effective than zoospora and wounding the tested cacao pods and seedlings before P. palmivora inoculation resulted in more accurate prediction of the resistance of tested cacao clones against P. palmivora infection. Results of resistance prediction using detached pod assay was similar to that of using seedling assay; therefore, seedling assay could be used as an alternative method of resistance evaluation. Cacao F1 hybrids derived from TSH 858 x Sca 12 showed some resistance against P. palmivora and they might be potentially high yielding lines. Key words: Phytophthora palmivora, cacao breeding, germplasm evaluation, inoculation method standardization, detached pod assay, seedling assay.

73 49 Pendahuluan Meskipun sebagai komoditas ekspor yang bernilai ekonomi tinggi, 80% dari total luasan pertanaman kakao di Indonesia dibudidayakan oleh rakyat. Sebagai akibat kurang intensifnya teknologi budidaya yang diterapkan pekebun kakao maka daya hasil dan kualitas hasil kakao di Indonesia masih relatif rendah. Disisi lain, permintaan negara konsumen untuk produk mentah kakao semakin meningkat sehingga perlu diantisipasi dengan peningkatan kuantitas dan kualitas hasil kakao Indonesia. Salah satu kendala utama dalam peningkatan hasil kakao rakyat di Indonesia adalah penyakit busuk buah kakao akibat infeksi Phytophthora palmivora Butl (Prawirosoemardjo & Purwantara, 1992). Penyakit busuk buah kakao di Indonesia dapat menyebabkan terjadinya penurunan hasil kakao hingga mencapai 45.5% (Prawirosoemardjo & Purwantara, 1992). Di perkebunan kakao rakyat, kehilangan hasil akibat penyakit busuk buah kakao diduga lebih tinggi lagi karena kurang intensifnya pemeliharaan tanaman yang dilakukan. Pengendalian penyakit busuk buah relatif sulit dilakukan akibat keberadaan inokulum P. palmivora di lapangan sepanjang tahun, kondisi lingkungan di pertanaman kakao yang mendukung perkembangan dan penyebaran P. palmivora, dan kemampuan P. palmivora untuk menyerang serta bertahan hidup di semua bagian tanaman kakao. Meskipun secara preventif P. palmivora dapat dikendalikan, biaya yang diperlukan untuk pembelian fungisida dapat mencapai hingga 40% dari total biaya pemeliharaan tanaman kakao di lapangan. Dengan demikian, pengembangan klon kakao yang lebih resisten atau toleran terhadap infeksi P. palmivora perlu dilakukan untuk mengatasi salah satu kendala utama budidaya kakao di Indonesia. Klon kakao unggul yang lebih resisten atau toleran terhadap infeksi P. palmivora dapat dirakit antara lain melalui hibridisasi terkontrol antara tetua yang resisten atau toleran dengan yang berdaya hasil tinggi. Identifikasi plasma nutfah kakao yang resisten atau toleran tersebut perlu dikembangkan untuk merakit klon kakao unggul yang resisten. Keberhasilan pengembangan klon kakao unggul yang lebih resisten atau toleran terhadap infeksi P. palmivora diharapkan dapat membantu penyediaan bahan tanaman yang dapat digunakan oleh pekebun kakao untuk mengatasi masalah infeksi penyakit busuk buah di lapangan.

74 50 Tersedianya metode inokulasi dan uji ketahanan plasma nutfah kakao terhadap infeksi P. palmivora yang efektif dapat membantu identifikasi klon kakao yang resisten atau toleran terhadap infeksi patogen ini. Dalam penelitian sebelumnya telah diidentifikasi 24 isolat P. palmivora dari 13 kabupaten dan 8 provinsi di Indonesia dan telah dikarakterisasi patogenisitasnya (Rubiyo et al., 2008; Sudarsono et al., 2008). Isolat P. palmivora tersebut dapat digunakan untuk mengevaluasi metode inokulasi dan uji ketahanan plasma nutfah kakao terhadap infeksi P. palmivora. Tujuan umum percobaan yang dilakukan adalah membakukan metode uji ketahanan plasma nutfah kakao terhadap infeksi P. palmivora, penyebab penyakit busuk buah kakao. Tujuan khusus penelitian antara lain: mengevaluasi (1) pengaruh jenis inokulum dan pelukaan jaringan buah, dan (2) pengaruh jenis inokulum dan pelukaan jaringan daun dan batang bibit kakao klon Sca 12 dan GC 7, serta (3) pengaruh latar belakang genetik bibit kakao terhadap infeksi P. palmivora. Bahan dan Metode Penyiapan Inokulum P. palmivora Isolat P. palmivora LBSBR dari Sumatera Barat digunakan untuk penelitian. Isolat dibiakkan pada media PDA dalam cawan Petri (diameter 9 cm) pada kondisi gelap dalam ruang kultur bersuhu 26 o C selama tujuh hari. Dalam penelitian digunakan dua macam inokulum P. palmivora yaitu: (1) potongan kultur berdiameter 0,5 cm yang mengandung miselia dan sporangia (selanjutnya disebut miselia) dan (2) suspensi zoospora. Hanya miselia yang sedang aktif tumbuh di bagian ujung koloni yang digunakan sebagai inokulum miselia dalam percobaan (Gambar 8.b). Untuk menghasilkan suspensi zoospora, kultur P. palmivora yang ditumbuhkan dalam media PDA padat tersebut direndam dengan akuades steril dingin (4 o C) selama 15 menit. Stok suspensi zoospora yang diperoleh dihitung kerapatannya di bawah mikroskop binokuler (Gambar 8.c) dengan menggunakan haemocytometer. Zoospora dengan kerapatan sekitar zoospora/ml diperoleh dengan pengenceran stok zoospora menggunakan akuades steril.

75 51 Inokulasi pada Buah Kakao. Percobaan 1. Percobaan dilakukan untuk menguji perbedaan respon buah kakao klon GC 7 (rentan) dan Sca 12 (tahan) (Mawardi & Sri-Sukamto, 1985; Sri- Sukamto & Winarno, 1986) dengan menggunakan miselia P. palmivora. Sebelum diinokulasi, buah sehat yang telah berkembang sempurna tetapi belum masak (umur + 4 bulan) dicuci dengan air yang mengalir. Untuk inokulasi buah kakao dengan miselia, potongan media PDA (diameter 8 mm) dengan miselia P. palmivora yang aktif tumbuh ditempelkan pada permukaan buah kakao yang diuji. Buah yang sudah diinokulasi diinkubasikan dalam kotak plastik yang di dalamnya diletakkan kertas tisu basah. Kotak inkubasi disungkup dengan plastik untuk menjaga kelembabannya (100%) dan diletakkan dalam ruang gelap pada suhu kamar (28 o C) selama 5 hari. Unit percobaan terdiri atas satu buah kakao dan setiap kombinasi perlakuan diulang empat kali (total 4 buah kakao untuk setiap kombinasi perlakuan). Pengamatan dilakukan lima hari sesudah inokulasi terhadap jumlah buah yang menunjukkan gejala, masa inkubasi, dan diameter bercak pada permukaan buah sebagai gejala infeksi P. palmivora. Percobaan 2. Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pelukaan terhadap keberhasilan inokulasi. Sebagian dari buah klon GC 7 dan Sca 12 yang diuji diberi perlakuan pelukaan dan sebagian yang lain tanpa pelukaan. Untuk perlakuan pelukaan, pada buah kakao yang diuji dibuat lubang berdiameter 8 mm dan sedalam 5 mm dengan menggunakan bor gabus. Untuk inokulasi buah kakao dengan miselia, potongan media PDA (diameter 8 mm) dengan miselia P. palmivora yang aktif tumbuh ditempelkan pada permukaan buah kakao yang diuji, dengan perlakuan tanpa pelukaan atau dimasukkan dalam lobang pada buah kakao yang diuji dengan perlakuan pelukaan. Inkubasi buah, rancangan percobaan dan pengamatan dilakukan seperti percobaan pertama. Percobaan 3. Percobaan bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis inokulum terhadap infeksi pada klon kakao. Buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 dilukai dengan bor gabus, kemudian diinokulasi dengan dua jenis inokulum yaitu miselia dan zoospora. Inokulasi buah kakao dengan zoospora dilakukan dengan menyemprotkan suspensi zoospora ( zoospora/ml) pada permukaan buah

76 kakao. Inkubasi buah, rancangan percobaan dan pengamatan dilakukan seperti percobaan pertama. 52 Gambar 8 Inokulasi P. palmivora pada buah dan daun kakao. (a) Buah kakao terinfeksi P. palmivora dari lapangan yang digunakan sebagai sumber isolat; (b) Kultur P. palmivora dengan miselia yang aktif tumbuh; (c) Sporangia P. palmivora; (d) Gejala infeksi P. palmivora pada buah dan (e) pada daun kakao hasil inokulasi buatan. Inokulasi pada Bibit Percobaan dilakukan untuk menguji perbedaan respon bibit kakao akibat inokulasi P. palmivora pada jaringan daun atau batang dengan atau tanpa perlakuan pelukaan. Sebelum diinokulasi, sebagian daun pertama yang berwarna hijau muda dari bibit kakao klon GC 7 dan klon Sca 12 umur 2 bulan diberi pelukaan dengan menggores permukaannya menggunakan jarum dan sebagian yang lain tanpa pelukaan. Demikian juga untuk jaringan batang, sebagian batang (5 cm di atas permukaan tanah) dari bibit kakao klon GC 7 dan klon Sca 12 umur 2 bulan diberi pelukaan dengan menggores permukaannya menggunakan jarum dan sebagian yang lain tanpa pelukaan. Inokulasi menggunakan miselia P. palmivora dilakukan dengan menempelkan potongan media PDA (diameter 8 mm) yang mengandung miselia

77 53 dan sporangia pada permukaan daun atau batang yang diuji. Sedangkan inokulasi dengan zoospora P. palmivora dilakukan dengan menyemprotkan suspensi zoospora (dengan kerapatan zoospora/ml) pada permukaan daun dan batang. Untuk menjaga kelembaban agar tetap %, pada daun atau batang yang diinokulasi ditempelkan kapas basah dan bibit dikerodong dengan kantong plastik. Unit percobaan terdiri atas lima bibit kakao dengan dua daun dan batang yang diinokulasi P. palmivora secara bersamaan. Setiap kombinasi perlakuan diulang empat kali sehingga didapat total 20 bibit kakao untuk setiap kombinasi perlakuan. Pengamatan dilakukan 7 hari sesudah inokulasi terhadap jumlah daun dan batang yang menunjukkan gejala, masa inkubasi, dan jumlah bercak (untuk daun) serta lebar bercak (untuk batang) yang muncul pada permukaan daun atau batang sebagai gejala infeksi P. palmivora. Pengaruh Genotipe Kakao Percobaan dilakukan untuk menguji perbedaan respon akibat infeksi P. palmivora dari bibit kakao dengan tiga latar belakang genetik yang berbeda. Genotipe kakao yang diuji terdiri atas: bibit umur dua bulan dari benih zuriat kakao klon Sca 12, dari benih hibrida F1 hasil silangan TSH 858 X Sca 12 serta F1 hasil silangan antara ICS 60 dan Sca 12. Daun pertama yang berwarna hijau muda dari bibit kakao yang diuji diberi pelukaan dengan menggores permukaannya menggunakan jarum. Inokulasi dilakukan dengan menggunakan miselia P. palmivora sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Untuk menjaga kelembaban agar tetap %, daun yang diinokulasi ditempel kertas tisu basah dan bibitnya dikerodong dengan kantong plastik. Unit percobaan terdiri atas lima bibit kakao dengan dua daun yang diinokulasi dan setiap kombinasi perlakuan diulang enam kali (total 30 bibit kakao untuk setiap genotipe yang diuji). Pengamatan dilakukan 7 hari sesudah inokulasi terhadap jumlah daun yang menunjukkan gejala, masa inkubasi, dan jumlah serta lebar bercak yang muncul pada permukaan daun sebagai gejala infeksi P. palmivora.

78 54 Hasil dan Pembahasan Inokulasi pada Buah Inokulasi P. palmivora pada buah kakao dengan menggunakan miselia tanpa perlakuan pelukaan menyebabkan terjadinya gejala busuk buah sebagaimana disajikan pada Gambar 8.d. Persentase buah kakao yang terinfeksi P. palmivora dan kisaran diameter bercak yang muncul pada buah yang diinokulasi disajikan pada Gambar 9. Buah kakao klon GC 7 yang diinokulasi P. palmivora sebagian besar (69%) mempunyai diameter bercak > 8.2 cm dan sebagian kecil (31%) mempunyai diameter bercak < 8.2 cm, sedangkan buah kakao klon Sca 12 yang diinokulasi P. palmivora serta mempunyai diameter bercak > 8.2 cm sebanyak 44% dan yang < 8.2 cm sebanyak 56%. Persentase (%) 100% 75% 50% 25% 0% 31% 19% 38% 13% 50% 13% 13% GC7 6% Sca12 < > Kisaran diameter bercak (cm) 19% Gambar 9. Persentase buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 total yang terinfeksi P. palmivora pada berbagai kisaran diameter bercak yang ditimbulkan, hasil inokulasi dengan miselia tanpa pelukaan (7 hari sesudah inokulasi buah). Pengaruh Pelukaan dalam Uji Inokulasi Buah Hasil inokulasi miselia P. palmivora pada buah kakao tanpa atau dengan pelukaan disajikan pada Gambar 10. Buah kakao klon GC 7 yang diinokulasi miselia P. palmivora tanpa pelukaan mempunyai kisaran diameter bercak cm. Sedangkan buah kakao klon GC 7 dengan pelukaan yang diinokulasi P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak cm. Sebaliknya, buah kakao klon Sca 12 tanpa pelukaan yang diinokulasi P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak cm. Sedangkan, buah kakao klon Sca 12 dengan pelukaan yang diinokulasi P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak 6.0

79 cm. Buah kakao klon GC 7 tanpa pelukaan yang diinokulasi P. palmivora, 50.5% menunjukkan diameter bercak > 8.2 cm dan 49.5% menunjukkan diameter bercak < 8.2 cm. Sedangkan buah kakao klon GC 7 dengan pelukaan yang diinokulasi P. palmivora, 87.5% menunjukkan diameter bercak > 8.2 cm dan 12.5% menunjukkan diameter bercak < 8.2 cm. Sebaliknya, buah kakao klon Sca 12 tanpa pelukaan yang diinokulasi P. palmivora, 25% menunjukkan diameter bercak > 8.2 cm dan 75% menunjukkan diameter bercak < 8.2 cm. Sedangkan buah kakao klon Sca 12 dengan pelukaan yang diinokulasi P. palmivora, 62.4% menunjukkan diameter bercak > 8.2 cm dan 37.5% menunjukkan diameter bercak < 8.2 cm sebanyak 37.5%. 100% GC7 - TPl Sca12 - TPl Persentase buah (%) 75% 50% 25% 50% 38% 38% 13% 38% 13% 13% 0% < > Kisaran diameter bercak (cm) 100% GC7 - DPl Sca12 - DPl Persentase buah (%) 75% 50% 25% 38% 13% 13% 25% 63% 13% 13% 25% 0% < > Kisaran diameter bercak (cm) Gambar 10 Pengaruh pelukaan buah terhadap persentase buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora pada berbagai kisaran diameter bercak yang ditimbulkan (hasil inokulasi dengan miselia). GC 7 DPl dan Sca 12 DPl: buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 dengan pelukaan buah sebelum diinokulasi. GC 7 TPl dan Sca 12 TPl: buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 tanpa pelukaan buah sebelum diinokulasi. Hasil inokulasi dengan dua jenis inokulum disajikan pada Gambar 11. Dari total 16 buah kakao klon GC 7 yang diuji dalam percobaan, empat buah (25%) tidak menunjukkan gejala infeksi P. palmivora sedangkan untuk klon Sca

80 tiga buah (18.5%) tidak menunjukkan gejala infeksi. Semua buah yang tidak bergejala tersebut merupakan buah yang diinokulasi dengan zoospora. Buah kakao klon GC 7 yang diinokulasi dengan zoospora P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak cm dan yang diinokulasi dengan miselia P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak antara cm. Sebaliknya, buah kakao klon Sca 12 yang diinokulasi dengan zoospora P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak antara cm, sedangkan yang diinokulasi dengan miselia mempunyai kisaran diameter bercak antara cm. 100% GC7 - Z Sca12 - Z Persentase buah (%) 75% 50% 25% 63% 38% 25% 25% 13% 13% 13% 13% Persentase buah (%) 0% 100% 75% 50% 25% 0% < > Kisaran diameter bercak (cm) GC7 - M Sca12 - M 50% 13% 88% 25% 25% < > Kisaran diameter bercak (cm) Gambar 11 Pengaruh jenis inokulum terhadap persentase buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora pada berbagai kisaran diameter bercak yang ditimbulkan ( dengan pelukaan, 7 hari sesudah inokulasi buah). GC 7 M dan Sca 12 M: buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang diinokulasi dengan miselia. GC 7 Z dan Sca 12 Z: buah kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang diinokulasi dengan zoospora.

81 57 Dari Gambar 11 dapat diketahui bahwa buah kakao klon GC 7 dan klon Sca 12 yang diinokulasi dengan zoospora P. palmivora sebagian kecil (37.5%) mempunyai diameter bercak yang > 8.2 cm sedangkan sebagian besar (62.5%) < 8.2 cm. Dari Gambar 11 juga diketahui bahwa buah kakao klon GC 7 yang diinokulasi dengan miselia P. palmivora semuanya (100%) mempunyai diameter bercak yang > 8.2 cm. Sedangkan buah kakao klon Sca 12 yang diinokulasi dengan miselia P. palmivora, 50% mempunyai diameter bercak > 8.2 cm dan 50% mempunyai diameter bercak < 8.2 cm. Penggunaan varietas kakao yang resisten merupakan cara efektif dan ekonomis untuk pengendalian busuk buah kakao (Muller, 1974). Di Indonesia, pemuliaan kakao ditujukan untuk menemukan bahan tanam unggul dengan potensi hasil tinggi, kualitas biji baik, dan tahan terhadap busuk buah dan vascular streak dieback (Iswanto & Winarno, 1992). Kemajuan dalam pemuliaan tanaman untuk ketahanan terhadap busuk buah kakao sering kali kurang berhasil antara lain diduga karena rendahnya keragaman plasma nutfah kakao, belum tersedianya metode uji ketahanan yang efisien, belum digunakannya strategi pemuliaan yang efektif, dan terbatasnya informasi genetik sifat resisten dan mekanisme ketahanan kakao terhadap infeksi P. palmivora. Tersedianya metode uji ketahanan yang efektif dan mudah dilakukan merupakan langkah awal bagi keberhasilan pemuliaan tanaman kakao untuk mendapatkan klon unggul yang resisten terhadap infeksi P. palmivora. Untuk itu, pembakuan metode uji ketahanan plasma nutfah kakao terhadap infeksi P. palmivora perlu dilakukan agar identifikasi plasma nutfah yang resisten dan yang rentan dapat dilakukan dengan akurat. Menggunakan metode baku yang dikembangkan, hasil uji ketahanan plasma nutfah dapat diperbandingkan antar peneliti. Hal ini sangat penting untuk kakao karena ketahanan buah kakao terhadap infeksi P. palmivora diduga merupakan ketahanan horizontal (Simmonds, 1994), yang relatif sulit penanganannya dengan pemuliaan tanaman. Zedoks (1997) menyatakan bahwa ketahanan kakao terhadap P. palmivora dan patogen lainnya cenderung bersifat tidak lengkap (partial resistance). Metode baku uji ketahanan yang dikembangkan harus mampu mengidentifikasi perbedaan respon yang ada di

82 58 antara koleksi plasma nutfah kakao. Dengan demikian, metode ujinya tidak boleh terlalu ketat sehingga semua plasma nutfah yang dievaluasi mengalami kematian dan tidak boleh terlalu ringan sehingga semua plasma nutfah tergolong resisten. Dalam pembakuan metode uji ketahanan, faktor yang perlu dievaluasi antara lain: tipe inokulum P. palmivora yang digunakan (zoospora atau miselia), perlu tidaknya pelukaan jaringan sebelum diinokulasi (dengan atau tanpa pelukaan), dan jaringan tanaman yang akan diinokulasi P. palmivora (jaringan buah, batang, atau daun). Metode uji yang dikembangkan seharusnya juga mempertimbangkan aspek teknis pelaksanaannya, yaitu mudah dilakukan tetapi dapat menduga dengan akurat ketahanan tanaman yang diuji. Di lapangan, P. palmivora bertahan sebagai klamidospora dalam tanah dan miselium pada bantalan bunga, buah muda (cherelle), batang pohon kakao, dan sisa-sisa tanaman yang tersebar di tanah. Oleh karena itu, dalam pengujian metode inokulasi perlu dievaluasi penggunaan zoospora dan miselia sebagai inokulum. Dalam percobaan ini, zoospora yang digunakan untuk meginfeksi buah kakao menghasilkan persentase buah tidak terinfeksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan miselia. Diameter bercak pada buah kakao yang diinokulasi dengan zoospora juga relatif lebih kecil dibandingkan miselia. Diduga inokulum yang berupa zoospora menurun viabilitasnya untuk menginfeksi buah, sehingga sebagaian besar buah GC 7 yang merupakan klon rentan tidak terinfeksi. Sedangkan kultur miselia yang digunakan sebagai sumber inokulum sebenarnya terdiri dari miselia dan sporangia yang terbungkus dalam agar sehingga viabilitasnya tetap terjaga karena media dalam agar mampu memberikan lingkungan tumbuh yang cocok sebelum memenetrasi buah kakao. Selain hal tersebut secara teknis inokulasi dengan menggunakan miselia lebih mudah dilakukan. Sebaran diameter bercak pada buah kakao klon GC 7 yang diinokulasi dengan zoospora P. palmivora sama dengan klon Sca 12. Sebaliknya untuk buah kakao yang diinokulasi dengan miselia, persentase buah dengan diameter bercak >8.2 cm lebih besar pada buah kakao klon GC 7 dibandingkan Sca 12. Hal ini sesuai dengan yang diharapkan karena klon GC 7 merupakan klon kakao yang rentan dan Sca 12 merupakan klon kakao yang lebih resisten terhadap infeksi P.

83 59 palmivora. Sumber gen ketahanan terhadap penyakit busuk buah kakao akibat infeksi P. palmivora ditemukan antara lain pada klon kakao Sca 6 dan Sca 12 (asal Ekuador) serta TSH 565, TSH 516, dan TSH 774 (asal Trinidad) (Soria, 1974). Berdasarkan hasil pengujian di beberapa negara, kakao klon Sca 6 dan Sca 12 mempunyai ketahanan mantap terhadap P. palmivora (Iswanto & Winarno, 1992; Philip-Mora, 1999). Klon lain yang juga tahan terhadap infeksi P. palmivora antara lain ICS 6 dan DRC 16; klon yang moderat antara lain GC 7, DR 2, DR 38, DRC 9, dan Sca 89, dan klon yang rentan antara lain DR 1 (Iswanto & Winarno, 1992). Sumber gen ketahanan terhadap P. palmivora dapat pula diintrogresikan dari spesies Theobroma lainnya seperti T. grandiflora yang buahnya tahan setelah diinokulasi dengan spora P. palmivora. Sedangkan T. bicolor, T. speciosa, T. simiarum dan T. mammosum dilaporkan rentan terhadap infeksi P. palmivora (Soria, 1974). Namun demikian keberhasilan hibridisasi antar species di dalam genus Theobroma diduga sangat terbatas. Bibit hibrida F1 dari silangan antara T. cacaoxt. grandiflora mempunyai pertumbuhan yang lambat, lemah dan fertilitas yang rendah (Soria, 1974). Inokulasi pada bibit Infeksi P. palmivora pada daun kakao menyebabkan terjadinya gejala bercak daun seperti yang terlihat pada Gambar 8.e. Dari total 16 bibit kakao klon GC 7 yang diuji, lima bibit (31.25%) tidak menunjukkan gejala sedangkan untuk klon Sca 12, tujuh bibit (43.75%) tidak menunjukkan gejala infeksi P. palmivora setelah diinokulasi batang atau daunnya. Semua bibit yang tidak bergejala tersebut merupakan bibit yang batang atau daunnya tidak diberi perlakuan pelukaan sebelum diinokulasi. Persentase bibit kakao yang terinfeksi P. palmivora dan kisaran diameter bercak yang muncul pada bibit disajikan dalam Gambar 11. Dengan menggunakan zoospora, bibit kakao klon GC 7 yang diinokulasi mempunyai kisaran diameter bercak cm. Persentase bibit kakao klon GC 7 yang diinokulasi zoospora dan mempunyai diameter bercak < 0.52 cm sebanyak 62.5% dan yang mempunyai diameter bercak >0.52 cm sebanyak 37.5% (Tabel 5). Bibit kakao klon Sca 12 yang diinokulasi dengan zoospora P. palmivora

84 mempunyai kisaran diameter bercak antara cm. Persentase bibit kakao klon Sca 12 yang diinokulasi zoospora P. palmivora dan mempunyai bercak < 0.52 cm sebanyak 50%, sedangkan yang mempunyai diameter bercak > 0.52 cm sebanyak 50% (Tabel 5). Bibit kakao klon GC 7 yang diinokulasi dengan miselia P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak antara cm. Setelah diinokulasi dengan miselia P. palmivora, persentase bibit kakao GC 7 dengan diameter bercak < 0.52 sebanyak 37.5% sedangkan yang mempunyai diameter bercak > 0.52 cm sebanyak 62.5% (Tabel 5). Sebaliknya, bibit kakao klon Sca 12 yang diinokulasi dengan miselia P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak antara cm. Setelah diinokulasi dengan miselia P. palmivora, persentase bibit kakao Sca 12 dengan diameter bercak antara < 0.52 sebanyak 75% dan yang > 0.52 cm sebanyak 25% (Tabel 5). Tabel 5. Pengaruh jenis inokulum terhadap persentase bibit kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora pada berbagai kisaran panjang bercak pada batang yang dihasilkan (28 hari sesudah inokulasi batang dari bibit kakao yang diuji) Klon kakao Tipe inokulum Persentase bibit pada berbagai kisaran panjang bercak pada batang < > 2.08 cm GC 7 Zoospora Miselia Sca 12 Zoospora Miselia Bibit kakao klon GC 7 tanpa perlakuan pelukaan, setelah diinokulasi P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak cm. Persentase bibit kakao klon GC 7 tanpa pelukaan dan setelah diinokulasi P. palmivora mempunyai diameter bercak < 0.52 cm sebanyak 87.5% sedangkan yang dengan diameter bercak > 0.52 cm sebanyak 12.5% (Tabel 6). Sebaliknya bibit kakao klon Sca 12 tanpa pelukaan, setelah diinokulasi P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak antara cm. Persentase bibit kakao klon Sca 12 tanpa pelukaan dan setelah diinokulasi P. palmivora mempunyai diameter bercak < 0.52 cm sebanyak 87.5% sedangkan yang dengan diameter bercak > 0.52 cm sebanyak 12.5%.

85 61 Bibit kakao klon GC 7 dengan pelukaan, setelah diinokulasi P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak antara cm. Dengan pelukaan bibit sebelum diinokulasi, persentase bibit kakao GC 7 yang mempunyai diameter bercak < 0.52 cm sebanyak 12.5% dan yang dengan diameter bercak > 0.52% sebanyak 87.5% (Tabel 6). Sebaliknya, bibit kakao klon Sca 12 dengan pelukaan, setelah diinokulasi P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak antara cm. Bibit kakao Sca 12 dengan pelukaan, setelah diinokulasi P. palmivora dan mempunyai diameter bercak < 0.52 cm sebanyak 37.5% dan yang > 0.52% sebanyak 62.5%. Tabel 6. Klon kakao Pengaruh pelukaan terhadap persentase bibit kakao klon GC 7 dan Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora pada berbagai kisaran panjang bercak pada batang yang dihasilkan (28 hari sesudah inokulasi bibit kakao yang diuji) Perlakuan pelukaan Persentase bibit pada berbagai kisaran panjang bercak < >2.08 cm GC 7 Tanpa pelukaan Dengan pelukaan Sca 12 Tanpa pelukaan Dengan pelukaan Perlakuan tanpa pelukaan dimaksudkan untuk mengevaluasi ada tidaknya mekanisme ketahanan pra-penetrasi P. palmivora. Sebaliknya, perlakuan pelukaan untuk mengevaluasi adanya mekanisme ketahanan pasca penetrasi. Pada buah kakao tanpa pelukaan, setelah diinokulasi dengan miselia P. palmivora mempunyai kisaran diameter bercak yang lebih kecil dibandingkan dengan yang diberi pelukaan. Hal tersebut berlaku baik untuk kakao klon GC 7 yang rentan atau Sca 12 yang resisten. Menurut Iwaro et al. (1995) dan Iwaro et al. (1998), ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora merupakan sistem multi komponen yang terekspresi dalam dua tahap, yaitu ketahanan pra-penetrasi dan pasca-penetrasi. Ketahanan prapenetrasi berhubungan dengan faktor morfologis yang berpengaruh terhadap perkembangan patogen dan menentukan tingkat keparahan yang terjadi pada tanaman yang diuji. Ketahanan pasca-penetrasi berhubungan dengan mekanisme

86 62 biokimia yang berpengaruh terhadap luasnya jaringan yang terserang. Fry (1989) menyatakan bahwa walaupun patogen berhasil mempenetrasi jaringan inang, sering kali perkembangan selanjutnya terhambat oleh mekanisme ketahanan yang ada pada masing-masing tanaman. Buah kakao klon GC 7 dengan atau tanpa pelukaan memberikan persentase buah dengan diameter bercak > 8.2 cm yang lebih tinggi dibandingkan dengan klon Sca 12. Hal ini mempertegas kembali perbedaan respon GC 7 yang rentan dan Sca 12 yang resisten terhadap infeksi P. palmivora. Hasil percobaan juga menunjukkan penggunaan zoospora untuk menginokulasi bibit kakao menyebabkan kisaran diameter bercak yang lebih sempit dibandingkan miselia. Dengan demikian, respon bibit kakao yang diinokulasi dengan zoospora atau miselia P. palmivora sejalan dengan respon buah kakao. Perlakuan pelukaan berperanan penting dalam hubungannya dengan respon bibit kakao yang diuji terhadap infeksi P. palmivora. Sebagian bibit yang tidak dilukai sebelum diinokulasi P. palmivora ada yang tidak menunjukkan gejala bercak pada daun atau batangnya. Sedangkan bibit yang diinokulasi dengan miselia P. palmivora semuanya menghasilkan bercak pada daun atau batangnya. Seperti yang diharapkan, klon GC 7 yang diinokulasi dengan P. palmivora menghasilkan persentase bibit dengan diameter bercak > 0.52 cm yang lebih tinggi dibandingkan dengan klon Sca 12. Hal tersebut diamati jika miselia P. palmivora digunakan sebagai inokulum dan jika bibit yang diuji diberi pelukaan. Untuk bibit yang diinokulasi dengan zoospora atau bibit yang tidak dilukai, respon yang diamati tidak sejalan dengan karakteristik ketahanan klon GC 7 dan klon Sca 12 terhadap infeksi P. palmivora. Meskipun demikian, respon bibit yang diinokulasi dengan P. palmivora tetap sejalan dengan respon buah yang diuji. Berdasarkan berbagai hasil yang didapat diusulkan bahwa metode baku uji ketahanan plasma nutfah kakao terhadap infeksi P. palmivora sebaiknya dilakukan dengan (1) menggunakan miselia sebagai inokulum, (2) memberikan pelukaan pada jaringan buah atau daun sebelum diinokulasi dengan miselia P. palmivora, dan (3) menggunakan buah dipetik umur empat bulan sesudah antesis atau daun bibit umur dua bulan setelah tanam.

87 63 Besar kecilnya diameter bercak akibat infeksi P. palmivora pada buah atau bibit yang diuji diduga mencerminkan ada tidaknya sifat resisten pada klon yang diuji. Klon GC 7 yang dilaporkan rentan mempunyai sebaran bibit atau buah dengan diameter bercak yang lebih besar dibandingkan dengan klon Sca 12 yang dilaporkan resisten. Meskipun infeksi P. palmivora pada buah atau bibit kakao klon Sca 12 tetap menimbulkan bercak kecoklatan (nekrosis), nekrosis yang diamati relatif tidak berkembang secepat yang diamati pada klon GC 7. Gejala awal infeksi P. palmivora pada klon kakao tahan sama dengan yang rentan, yaitu adanya sel yang mempunyai granula berwarna kecoklatan (Tarjot, 1974). P. palmivora tetap mempenetrasi buah kakao dari klon yang resisten dan yang rentan. Namun demikian penyebaran lateral patogen dalam perikarp buah kakao yang rentan berbeda dengan yang resisten (Tarjot, 1974). Pada buah kakao yang rentan, P. palmivora tidak bertahan lama dalam sel, sel yang terinfeksi menjadi rusak dengan cepat dan terlihat adanya granula kecoklatan. Pada buah rentan, patogen menyebar dengan cepat dari satu ke sel lain sehingga perkembangan busuk buah berlangsung cepat. Pada buah kakao yang tahan, P. palmivora bertahan lama di dalam sel sebelum munculnya gejala nekrosis. Perpindahan patogen antar sel menjadi terhambat sehingga perkembangan busuk buah juga melambat (Tarjot, 1972) Pengaruh Genotipe Kakao Hasil yang didapat menunjukkan hibrida F1 hasil silangan antara ICS 60 x Sca 12 mempunyai rataan jumlah bercak tertinggi (2,75), diikuti oleh zuriat Sca 12, (1,28) dan hibrida F1 antara TSH 858 x Sca 12 (0,67). Sedangkan panjang bercak tertinggi dihasilkan oleh F1 (ICS 60 x Sca 12) 10,55 cm kemudian disusul Sca 12 (6,14 cm) terkecil dihasilkan oleh TSH 858 x Sca 12 (2,76 cm) (Tabel 7). Persentase bibit kakao yang terinfeksi P. palmivora dan kisaran diameter bercak daun yang muncul setelah 28 hari sesudah inokulasi disajikan pada Tabel 8. Sebagian besar bibit kakao zuriat Sca 12 dan hibrida F1 (TSH 858 x Sca 12) yang diinokulasi P. palmivora dan mempunyai luas bercak < 4.58 cm 2 sedangkan bibit hibrida F1 (ICS 60 x Sca 12) mempunyai luas bercak > 4.58 cm (Tabel 8). Dari data pada Tabel 8 dapat diduga bahwa dalam kondisi penelitian ini bibit

88 hibrida F1 (TSH 858 x Sca 12) lebih resisten dibandingkan dengan bibit hibrida F1 (ICS 60 x Sca 12) atau bibit zuriat Sca 12. Tabel 7. Jumlah dan lebar bercak pada daun bibit kakao hibrida F1 (ICS 60 x Sca 12) dan hibrida F1 (TSH 858xSca 12) serta zuriat kakao klon Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora, pada 7, 14 dan 21 hari sesudah inokulasi (HSI) Genotipe bibit Jumlah bercak Lebar bercak (cm) (Seedling 7 HSI 14 HSI 21 HSI 7 HSI 14 HSI 21 HSI F1(ICS 60xSca 12) F1(TSH 858xSca 12) Sca Tabel 8. Persentase bibit kakao hibrida F1 (ICS 60 x Sca 12) dan hibrida F1 (TSH 858 x Sca 12) serta zuriat kakao klon Sca 12 yang terinfeksi P. palmivora pada berbagai kisaran panjang bercak pada daun yang dihasilkan. Pengamatan lebar bercak dilakukan 14, 21, dan 28 hari sesudah inokulasi daun bibit kakao yang diuji Pengamatan Persentase bibit dengan kisaran panjang (hari bercak (cm) Genotipe bibit sesudah < > inokulasi) ICS 60 x Sca TSH 858 x Sca Sca ICS 60 x Sca TSH 858 x Sca Sca ICS 60 x Sca TSH 858 x Sca Sca Dalam pengujian pengaruh latar belakang genetik kakao terhadap infeksi P. palmivora menggunakan metode baku yang telah dikembangkan dapat diketahui bahwa hibrida F1 (TSH 858 x Sca 12) lebih resisten dibandingkan dengan tetua donor Sca 12 atau hibrida F1 (ICS 60 x Sca 12). Hal tersebut memperkuat dugaan sebelumnya bahwa Sca 12 mempunyai mekanisme ketahanan terhadap infeksi P. palmivora. Namun demikian, hibrida F1 hasil persilangan antara ICS 60 x Sca 12 dan TSH 858 x Sca 12 mempunyai tingkat ketahanan yang berbeda. Hal tersebut mengindikasikan bahwa keragaan hibrida F1 hasil silangan antara Sca 12 sebagai tetua jantan dan donor sifat resisten terhadap P. palmivora dipengaruhi oleh latar

89 65 belakang genetik induk betinanya. Menurut Winarno & Sri-Sukamto (1986), Sca 6 dan Sca 12 dapat digunakan sebagai tetua donor sifat resisten terhadap infeksi P. palmivora. Hibrida F1 hasil silangan antara DR 1 x Sca 12, DRC 16 x Sca 6, DRC 16 x Sca 12 ketika diinokulasi dengan P. palmivora menghasilkan luas bercak yang sama dengan klon Sca 6 dan Sca 12. Tetapi jika dibandingkan dengan klon DR 1 yang rentan terhadap infeksi P. palmivora, maka ketiga hibrida kakao tersebut lebih tahan terhadap infeksi P. palmivora. Dari penelitian ini diketahui bahwa sifat ketahanan diwariskan lewat Sca 12 sebagai tetua jantan, terbukti bahwa ICS 60 yang tergolong rentan terhadap P. palmivora bila disilangkan dengan Sca 12 yang tahan akan menghasilkan hibrida yang tahan. Sifat ketahanan terhadap infeksi P. palmivora dilaporkan diwariskan lewat tetua jantan (Jacop & Toxopeus, 1971). Klon TSH 858 sebagai induk betina lebih baik jika digunakan untuk menghasilkan hibrida F1 dengan Sca 12 sebagai induk jantan. Hibrida F1 (TSH 858 x Sca 12) diharapkan selain tahan infeksi P. palmivora juga mempunyai daya hasil tinggi mengingat sifat daya hasil galur hibrida kakao mengikuti karakteristik induk betinanya. Sebaliknya, meskipun galur hibrida F1 (ICS 60 x Sca 12) juga berpotensi berdaya hasil tinggi sesuai dengan sifat ICS 60 sebagai induk betina, dalam hal ketahanan terhadap P. palmivora lebih rendah dibandingkan dengan hibrida F1 (TSH 858 x Sca 12). Menurut Jacop & Toxopeus (1971), pewarisan sifat bobot biji ditentukan oleh tetua betinanya. Oleh karena itu pemuliaan tanaman untuk peningkatan ukuran dan bobot biji kakao dilakukan dengan persilangan antara induk betina yang berdaya hasil tinggi dan berbiji besar dengan induk jantan yang resisten. Selain itu perlu dipilih induk jantan dengan karakter ukuran serbuk sari yang besar. Iswanto dan Junianto (1987) menyatakan bahwa tetua jantan dengan ukuran serbuk sari yang besar cenderung menghasilkan hibrida F1 dengan biji yang besar dan berat. Simpulan Inokulasi dengan menggunakan miselia lebih efektif dibandingkan

90 zoospora dan perlakuan lebih akurat untuk menduga ketahanan bibit kakao terhadap infeksi P. palmivora. Hasil pendugaan ketahanan menggunakan buah yang dipetik sejalan dengan bibit kakao sehingga pengujian bibit dapat dipergunakan sebagai alternatif pengujian ketahanan terhadap P. palmivora. Jika menggunakan buah yang dipetik, uji ketahanan dilakukan dengan (1) menggunakan buah kakao umur empat bulan setelah antesis, (2) memberi pelukaan sebelum diinokulasi, (3) menggunakan miselia P. palmivora sebagai inokulum, dan (4) mengamati diameter bercak. Sedangkan jika menggunakan bibit kakao, dilakukan dengan: (1) menggunakan bibit kakao umur dua bulan, (2) memberi pelukaan pada daun sebelum diinokulasi, (3) menggunakan miselia P. palmivora sebagai inokulum, dan (4) mengamati lebar bercak yang muncul pada daun yang diinokulasi. Pengamatan diameter bercak pada buah dilakukan 3 hari sedangkan pada daun 14 hari sesudah inokulasi. Kakao klon GC 7 sebaiknya digunakan sebagai pembanding yang rentan dan klon Sca 12 sebagai pembanding yang tahan. Klon TSH 858 lebih baik untuk digunakan sebagai induk betina dan disilangkan dengan Sca 12 sebagai induk jantan untuk menghasilkan populasi hibrida F1 yang resisten terhadap infeksi P. palmivora dan berpotensi berdaya hasil tinggi. Daftar Pustaka Fry WE Principles of Plant Disease Management. Academic Press, New York. 376p. Iswanto A & Winarno H Cocoa breeding at RIEC Jember and the role of planting material resistant to VSD and black pod. In P.J. Keane & C.A.J. Putter (Eds). Cocoa Pest and Disease Management in Southeast Asia and Australasia: FAO Plant Production and Protection Paper No Iswanto A & Yunianto D Pengaruh ukuran bakal biji dan serbuk sari terhadap bentuk dan berat biji kakao. Pelita Perkebunan 3: Iwaro DA, Sreenivasan TN & Umaharan P Differential reaction of cocoa clones to Phytophthora palmivora infection. CRU, Univ.West Indies, Trinidad: Iwaro DA, Sreenivasan TN, & Umaharan P Phytophthora palmivora resistance in cocoa (Theobroma cacao): Influence of pod morphological characteristics. Plant Pathology 46:

91 Iwaro DA, Sreenivasan TN, & Umaharan P. 1997a. Foliar resistance to Phytophthora palmivora as an indicator of pod resistance in Theobroma cacao. Plant Disease, 81: Jacob VJ & Toxopeus The effect of pollinator parent on the pod value of hand pollinated pod of Theobroma cacao L. Int. Cacao Res. Conf., Tafo, Ghana, Toxopeus H Search for Phytophthora Pod Rot resistance and Escape at the Cocoa Research Institute of Nigeria during the 1960s. Proc. Int. Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Variety Improvement: Salvador, Bahia, Brasil th November. Muller RA Integrated Control Methods. In P.H. Gregory (Eds.) Phytophthora Disease of Cocoa: Longman, London. Philips-Mora W Studies on Resistance to Black Pod Disease (Phytophthora palmivora Butler) at CATIE. Proc. Int. Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Variety Improvement: Salvador, Bahia, Brasil th November. Prawirosoemardjo S & Purwantara A Laju infeksi dan intensitas serangan Phytophthora palmivora (Butl.) Butl. pada buah dan batang beberapa varietas kakao. Menara Perkebunan 60: Rubiyo, Purwantara A, Sri-Sukamto & Sudarsono Isolation of indigenous Phytophthora palmivora from Indonesia, their morphological and pathogenicity characterizations. Pelita Perkebunan 24 : Sudarsono, Purwantara A, & Suhendi D Teknik Molekuler dan Pemuliaan Tanaman untuk Percepatan Pengembangan Klon Kakao (Theobroma cacao L.) yang Resisten terhadap Busuk Buah Akibat Infeksi Phytophthora palmivora Butl. Laporan Penelitian KKP3T, Institut Pertanian Bogor, Indonesia. 122 hlm. Soria J Sources of Resistance to Phytophthora palmivora. In P.H Gregory (ed.) Phytophthora Disease of cocoa: Longman London. Tarjot M Etude anatomique de la Cabosse de Cacaoyer en Relation avec Lattaque du Phytophthora palmivora. Proc. IV Int. Cacao Research Conf. p: St Augustine, Trinidad th January. Tarjot M Physiology of Fungus. In P.H. Gregory (Ed) Phytophthora Disease of cocoa: Longman London. Winarno H & Sri-Sukamto Uji Laboratorium Ketahanan Tongkol Beberapa Hibrida Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah (Phytopthora palmivora Butler). Pelita Perkebunan 2: Zadoks JC Disease Resistance Testing in Cocoa. INGENIC. UK. 58p. 67

92 JUDUL 3. UJI KETAHANAN KAKAO TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH ( Phytophthora palmivora Butler) DI LAPANGAN DAN LABORATORIUM Abstrak Penyakit busuk buah merupakan salah satu penyakit terpenting pada tanaman kakao. Di Indonesia busuk buah disebabkan oleh Phytophthora palmivora. Keberhasilan pengendalian ini salah satunya tergantung dari keberhasilan penekanan kuantitas patogen di lapang antara lain dengan menggunakan bahan tanam kakao yang diusahakan. Uji ketahanan tanaman kakao terhadap penyakit busuk buah P. palmivora di laboratorium dan lapangan perlu dilakukan, hal ini untuk mengetahui konsistensi ketahanan klon tersebut, sehingga mekanisme ketahanan tanaman kakao terhadap patogen ini dapat diketahui. Penelitian berlangsung pada bulan Juni 2008 hingga Februari 2009, bertempat di Laboratorium Penyakit dan Kebun Percobaan Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember Jawa Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulasi untuk mengetahui ketahanan klon kakao di Laboratorium maupun di Lapangan menghasilkan ketahanan yang sama. Klon kakao yang rentan di laboratorium juga rentan di Lapangan seperti klon GC7. Perkembangan bercak pada buah kakao hasil inokulasi di Laboratorium lebih cepat dari pada di Lapangan. Kata kunci:kakao, inokulasi laboratorium, inokulasi lapangan, P. Palmivora, Ketahanan

93 CACAO (Theobroma cacao L.) RESISTANCE EVALUATION AGAINST BLACK POD DISEASE( Phytophthora palmivora Butler) IN THE FIELD AND LABORATORY Abstract Black Pod Disease is one of the important diseases of cacao. In Indonesia black pod disease is caused by Phytophthora palmivora. The effectiveness of controlling the disease depends on reducing pathogen population in the field, such as using resistant cacao plant materials. Cacao resistance evaluation against black pod disease caused by P. palmivora in the field and laboratory needs to be conductedto know the consistency of the resistant clones. Hence the cacao resistance mechanism against this pathogen can be determined. The research took place in June 2008 till February 2009 in Disease Laboratory and Experiment Garden at Indonesian Coffee and Cacao Research Institute in Jember, East Java. The results indicated that laboratory inoculation and field inoculation to test the cacao clone resistance showed the consistent results. Cacao clone which was susceptible in the laboratory, such as GC 7, was also susceptible in the field. Keywords: cacao, laboratory inoculation, field inoculation, P. palmivora, resistance

94 70 Pendahuluan Kakao merupakan salah satu tanaman perkebunan dan merupakan komoditas ekspor penting di Indonesia, namun pengembangannya secara luas masih menghadapi hambatan antara lain oleh adanya serangan hama dan penyakit. Diantara beberapa jenis penyakit pada tanaman kakao, yang sangat penting dan penyebarannya sangat luas adalah penyakit busuk buah atau pod rot yang disebabkan oleh P. palmivora. Seluruh bagian tanaman kakao dapat terinfeksi oleh patogen tersebut mulai dari akar, batang, bunga, buah dan daun. Namun kerugian yang sangat tinggi disebabkan oleh serangan pada buah (Darmono et al., 2006). Survei yang dilakukan di Jawa menunjukkan bahwa penyakit busuk buah dapat menurunkan hasil sekitar 26-56% (Pawirosoemardjo & Purwantara, 1992). Penanaman varietas tahan merupakan cara pengendalian penyakit yang paling bermanfaat karena cara ini ramah lingkungan (Akrofi & Opoku, 2000). Varietas dengan tingkat ketahanan tertentu yang lebih mudah ditemukan di antara bahan tanam yang ada atau yang dihasilkan melalui hibridisasi merupakan cara terbaik untuk mengatasi busuk buah kakao (Muller, 1974). Bahan tanam tahan terhadap penyakit ini merupakan pemecahan masalah untuk jangka panjang. Ketahanan horizontal diperlukan untuk perbaikan tanaman tahunan, seperti kakao, namun sukar penanganannya untuk pemuliaan tanaman. Simmonds (1994) menyatakan bahwa ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora diperkirakan lebih bersifat horizontal daripada vertikal. Menurut Agrios (1997) ketahanan tanaman dapat bersifat pasif (terbentuk tanpa rangsangan dari patogen) atau aktif (ekspresinya diimbas oleh serangan patogen), melibatkan mekanisme struktural dan biokimia. Zadoks (1997) menyatakan bahwa ketahanan kakao terhadap P. palmivora dan patogen lain cenderung bersifat tidak lengkap (partial resistance) yang didasarkan pada satu atau lebih komponen ketahanan yang dapat atau tidak dapat berkorelasi satu sama lain. Duniway (1983) menyatakan bahwa ketahanan tanaman terhadap Phytophthora spp. meliputi ketahanan struktural, penghalang struktural terimbas, reaksi hipersensitif, dan produksi senyawa antimikrobia. Mekanisme ketahanan struktural dapat berupa sifat morfologi dan anatomi. Menurut Fry (1982) walaupun sering kali mekanisme ketahanan bekerja setelah jaringan terpenetrasi,

95 71 karakteristik struktural dapat mempengaruhi ketahanan inang. Fulton (1989) memperkirakan morfologi buah kakao berpengaruh pada deposisi dan penyebaran efektif inokulum P. palmivora. Permukaan buah kakao dapat menjadi inkubator mikro yang baik bagi pertumbuhan spora P. palmivora. Karena spora patogen ini bersifat hidrofilik, spora berada dalam lapisan air permukaan buah dan biasanya menempel pada bagian ujung buah. Tarjot (1974) menyatakan bahwa lengas di permukaan buah berpengaruh besar pada perkecambahan spora. Ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora merupakan sistem multikomponen yang terekspresi dalam dua tahap, dinyatakan sebagai ketahanan prapenetrasi dan pascapenetrasi. Ketahanan prapenetrasi berhubungan dengan faktor morfologi yang mempengaruhi perkembangan prapenetrasi dan penetrasi patogen, dan menentukan jumlah bercak yang terjadi. Ketahanan pasca penetrasi berhubungan dengan mekanisme biokimia yang dapat mempengaruhi luasnya jaringan yang diserang patogen (Irwaro et al., 1995). Fry (1982) menyatakan bahwa walaupun patogen berhasil mempenetrasi jaringan inang, sering kali perkembangan selanjutnya terhambat. Pengujian ketahanan tanaman kakao terhadap patogen ini telah dilakukan dengan menggunakan beberapa metode inokulasi buatan. Efron & Blaha (1998) telah mengembangkan inokulasi buatan menggunakan metode potongan daun kakao, sedangkan uji ketahanan dengan menggunakan buah di laboratorium juga dilakukan oleh Iwaro et al. (2000), Rubiyo et al. (2000) melakukan inokulasi dengan menggunakan buah untuk uji lapang ketahanan beberapa hibrida kakao. Oleh karena itu penelitian untuk mengetahui korelasi antara ketahanan genotipe kakao di laboratorium dan di lapang perlu diketahui. Apabila korelasinya positif maka cukup dilakukan uji ketahanan di laboratorium sehingga akan sangat membantu dalam siklus pengujian dan seleksi genotipe kakao. Arah dan strategi pemuliaan ketahanan tanaman kakao dititikberatkan pada penggunaan metode seleksi. Hal ini disebabkan tanaman kakao merupakan tanaman tahunan yang berdaur hidup panjang sehingga kurang efisien bila digunakan metode persilangan berulang di dalam program pemuliaannya. Persilangan antar tanaman kakao akan melibatkan tetua yang bukan galur murni sehingga pada turunannya akan terjadi

96 72 segregan-segregan dalam keanekaragaman sifat yang tinggi (Wood, 1973). Oleh karena itu seleksi ketahanan tanaman tetua akan sangat menentukan hasil akhir dari hibrida F1 yang akan diperoleh. Bahan dan Metode A. Penelitian Uji Ketahanan Buah Kakao di Laboratorium dan Lapangan Penyiapan Inokulum P. palmivora. Isolat P. palmivora indigenus yang diketahui sangat patogenik dari penelitian sebelumnya (Rubiyo et al., 2008a) digunakan sebagai inokulum. Isolat P. palmivora terpilih (LbSbr) ditumbuhkan dalam cawan Petri berdiameter 9 cm yang berisi media PDA padat. Kultur patogen diinkubasikan selama tujuh hari pada kondisi gelap dalam ruang kultur bersuhu 26 o C. Hanya miselia patogen yang sedang aktif tumbuh di bagian ujung koloni yang digunakan sebagai inokulum miselia dalam percobaan. Uji Detached Pod di Laboratorium. Buah kakao sehat yang telah berkembang penuh tetapi belum masak dari 13 klon diambil dari lapang untuk digunakan dalam percobaan di laboratorium. Sebelum diinokulasi dalam uji detached pod, buah sehat yang telah dipanen dicuci dengan air yang mengalir. Buah kakao dilukai dengan cara membuat lubang berdiameter 8 mm dan sedalam 5 mm dengan menggunakan bor gabus. Potongan media PDA (diameter 8 mm) dengan miselia P. palmivora yang aktif tumbuh sebagaimana telah disiapkan sebelumnya ditempelkan pada permukaan buah kakao yang telah dilukai. Buah yang sudah diinokulasi diinkubasikan dalam kotak yang dilapisi dengan aluminium foil. Di dalam kotak diletakkan busa yang telah dibasahi dengan air steril untuk menjaga kelembaban udara di dalam kotak (100%). Kotak inkubasi disungkup dengan plastik dan diletakkan dalam ruang gelap pada suhu kamar (28 o C). Percobaan dilakukan dengan rancangan acak lengkap. Unit percobaan terdiri atas 3 buah kakao dan untuk setiap klon kakao yang diuji diulang tiga kali. Dalam percobaan yang dilakukan, sembilan buah kakao (3 buah/unit x 3 ulangan) diinokulasi untuk setiap klon kakao. Total klon kakao yang diuji sebanyak 13 klon.

97 73 Uji ketahanan di lapangan. Bahan dan metode yang digunakan sama dengan inokulasi di laboratorium. Inokulasi buah di lapang dilakukan terhadap buah yang masih menempel di pohon. Buah yang telah diinokulasi dengan miselia ditempel dengan kapas basah untuk menjaga kelembaban, kemudian dikerodong dengan kantong plastik transparan agar kelembaban tetap terjaga dan untuk menghindari adanya patogen lain yang menginfeksi. Umur dan kriteria buah yang digunakan penelitian di lapangan sama dengan yang di laboratorium. Penelitian di lapangan menggunakan 3 buah kakao sebagai ulangan, sehingga digunakan 3 pohon untuk tiap klon (sebagai perlakuan). Pengelompokan Respon Ketahanan terhadap Infeksi P. palmivora. Respon buah yang diinokulasi diamati sejak tiga hari hingga tujuh hari sesudah inokulasi (HSI). Pengamatan dilakukan terhadap jumlah buah yang menunjukkan gejala dan terhadap panjang bercak (p) serta lebar bercak (l) yang muncul di permukaan buah kakao yang diuji, sebagai gejala infeksi P. palmivora. Luas bercak (L) di permukaan buah kakao yang diuji ditentukan dengan menggunakan rumus L=3.14*([p+l]/4) 2. Luas bercak yang muncul selanjutnya digunakan untuk mengelompokkan respon ketahanan buah yang diuji terhadap infeksi P. palmivora. Buah yang diuji dikelompokkan sebagai imun - jika setelah diinokulasi tidak menunjukkan gejala infeksi P. palmivora (tidak menghasilkan bercak); tahan jika luas bercak < 25 cm 2, agak tahan jika antara cm 2, agak rentan jika antara cm 2, rentan jika antara cm 2, dan sangat rentan jika > 100 cm 2 (Iwaro et al, 1997) Hasil dan Pembahasan Uji Ketahanan Kakao di Laboratorium Berdasarkan hasil pengamatan luas bercak pada hari ke-7 setelah inokulasi di Laboratorium, klon GC 7 menunjukkan luas bercak tertinggi akibat inokulasi P. palmivora (Tabel 9). Klon klon kakao yang lainnya TSH 858 dan PBC 123 menghasilkan luas bercak yang cukup tinggi namun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan GC 7. Klon PA 300 menghasilkan luas bercak terkecil dibandingkan dengan klon yang lainnya (86,47 cm 2 ) dan mengalami perkembangan bercak yang lamban (Gambar 12).

98 Tabel 9 Rata-rata luas bercak (cm 2 ) beberapa klon kakao hasil inokulasi P. palmivora di laboratorium, 7 hari setelah inokulasi No Klon Rata-rata luas bercak cm 2 hari ke - 7 setelah inokulasi 1 GC 7 326,20 a 2 TSH ,22 ab 3 PBC ,63 ac 4 ICS ,78 bd 5 DR2 220,19 bd 6 RCC70 210,77 cd 7 KKM ,47 cd 8 SCA ,86 cd 9 DRC16 183,30 cd 10 PA7 173,10 ce 11 ICS ,36 ce 12 SCA 6 143,28 de 13 PA ,47 e Keterangan: Angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT aras 5%. 74 Hasil analisis statistik berdasarkan rata-rata luas bercak hari ke-7 sangat berbeda nyata bila dibandingkan dengan GC 7 (klon rentan) tetapi tidak berbeda nyata dengan klon Sca 6 yang digunakan sebagai klon kontrol yang tahan (Tabel 9). Luas bercak klon yang lain berkisar antara 154,36 hingga 224,78 cm 2. Berdasarkan hasil uji laboratorium terdahulu yang dilakukan oleh Sri-Sukamto & Winarno (1986) dan Suhendi et al. (2005), klon Sca 6 diketahui selalu menghasilkan tingkat ketahanan yang lebih baik dibandingkan dengan klon yang lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan hasil yang sama walaupun klon Sca 6 menghasilkan luas bercak yang terkecil setelah klon PA 300. Besarnya luas bercak yang dihasilkan tersebut sangat dimungkinkan karena kondisi lingkungan optimum (suhu dan kelembaban) khususnya dapat terkontrol dengan baik. Kondisi seperti ini sangat sesuai dengan lingkungan yang diinginkan oleh P. palmivora untuk tumbuh dan berkembang, sehingga akan mampu menginfeksi dengan baik pada buah kakao tersebut.

99 75 Luas Bercak (cm 2 ) PA 300 ICS 13 DR 2 TSH 858 GC Hari Ke Setelah Inokulasi di Laboratorium Gambar 12. Representasi perkembangan luas bercak (cm 2 ) 5 klon kakao hasil inokulasi di Laboratorium. Uji Ketahanan Kakao di Lapangan Berdasarkan luas bercak pada hari ke-9 setelah inokulasi di lapangan, klon Sca 6, Pa 7 dan PA 300 menghasilkan luas bercak terkecil berturut-turut 4,78, 7,02 dan 18,57 cm 2 (Tabel 10). Tabel 10. Rata-rata luas bercak (cm 2 ) beberapa klon kakao hasil inokulasi P. palmivora di lapangan, 9 hari setelah inokulasi No Klon Rata-rata luas bercak (cm 2 ) 1 GC 7 63,14 ad 2 TSH ,52 ad 3 PBC ,93 cd 4 ICS 60 43,59 ad 5 DR 2 74,76 ac 6 RCC70 102,70 a 7 KKM 22 99,66 a 8 SCA 12 37,34 bd 9 DRC16 74,69 ac 10 PA7 7,02 d 11 ICS 13 91,81 ab 12 SCA 6 4,78 d 13 PA ,57 cd Keterangan: Angka dalam kolom yang sama yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT aras 5%. Luas bercak terbesar dihasilkan oleh klon klon RCC 70 dan KKM 22 masing-masing 102,70 dan 99,66 cm 2. Klon yang lain menghasilkan luas bercak berkisar 20,93-91,81 cm 2. Klon Sca 6 yang digunakan sebagai kontrol klon tahan secara konsisten menghasilkan luas bercak terkecil. Dengan demikian

100 76 semakin menguatkan bahwa klon Sca 6 dapat digunakan sebagai sumber gen ketahanan dalam perakitan kultivar kakao untuk penelitian selanjutnya. Luas bercak di lapang yang dihasilkan beberapa klon kakao yang diuji, walaupun lingkungan dikondisikan sama dengan di laboratorium, tetap lebih kecil dibandingkan dengan hasil uji di laboratorium. Uji di Lab vs. di Lapangan 300 PA 300 ICS 13 DR 2 TSH 858 GC Perkembangan luas bercak pada buah hasil uji di Lapang Gambar 13 Representasi perkembangan luas bercak (cm 2 ) 5 klon kakao hasil inokulasi di lapangan Luas Bercak (cm 2 ) PA300 (Lb) PA300 (Lp) GC7 (Lb) GC7 (Lp) DR2 (Lb) DR2 (Lp) Hari Ke Setelah Inokulasi di Laboratorium (Lb) dan Lapangan (Lp) Gambar 14. Representasi perkembangan luas bercak tiga klon kakao PA 300, DR 2 dan GC7 hasil inokulasi P. palmivora di lapangan dan laboratorium

101 77 Luas Bercak di Laboratorium dan Lapangan Luas Bercak (cm 2 ) ,48 18,57 173,10 7,02 247,63 20,93 PA 300 PA7 PBC ,78 43,59 ics ,22 62,52 TSH ,36 197,47 326,20 91,81 99,65 99,00 180,85 37,34 143,28 4,78 210,77 102,57 183,30 220,20 74,68 74,76 ICS 13 KKM 22 GC 7 SCA 12 SCA 6 RCC 70 DRC 16 DR 2 Klon Lab Lapangan Gambar15. Luas bercak (cm 2 ) hasil inokulasi di Lapangan dan Laboratorium beberapa klon kakao terhadap penyakit busuk buah P. palmivora Dalam penelitian ini inokulasi di laboratorium maupun di lapang dilakukan dengan pelukaan jaringan. Cara inokulasi demikian dimaksudkan untuk menguji tingkat ketahanan pascapenetrasi (Iwaro et al., 1995). Beberapa klon yang sebelumnya dilaporkan tahan seperti Sca 6, PA 7, PA 300 menunjukkan luas bercak yang kecil dibandingkan klon lain pada uji di lapang. Namun pada uji di laboratorium, klon klon tersebut menunjukkan luas bercak yang sebanding atau bahkan lebih besar dari pada luas bercak klon rentan hasil uji lapangan. Diduga pemetikan buah untuk diuji di laboratorium menjadi faktor predisposisi yang memacu perkembangan bercak. Meskipun uji di laboratorium dapat membedakan klon kakao tahan dan rentan, uji laboratorium mempunyai potensi untuk keliru (misleading) karena klon yang mempunyai ketahanan cukup di lapang dapat terserang patogen di laboratorium dengan menunjukkan bercak yang luas. Perbedaan hasil inokulasi di laboratorium dan di lapangan selain masa inkubasi yang lebih lambat 2 hari dibandingkan dengan laboratorium, juga perbedaan luas bercak yang dihasilkan (Gambar 14 dan 15). Umumnya luas bercak yang dihasilkan inokulasi di laboratorium cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan inokulasi di lapang untuk klon yang sama. Perbedaan perkembangan bercak tersebut, selain kondisi lingkungan yang utamanya suhu dan kelembaban diduga ada faktor lain yang berperan dalam mengatur mekanisme ketahanan beberapa klon kakao tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mekanisme yang mengatur ketahanan kakao seperti enzim atau bahan kimia yang ada dalam buah atau daun kakao.

102 78 Umumnya seleksi ketahanan kakao terhadap penyakit busuk buah dilakukan dengan inokulasi alami ataupun buatan, yang didasarkan pada jumlah organ sakit dan keparahan penyakit (Rocha, 1974). Indikator ini menunjukkan reaksi jaringan terhadap serangan patogen, tetapi tidak mengungkapkan secara tepat mekanisme ketahanan yang bekerja pada satu atau beberapa tahap dari daur penyakit busuk buah. Pengujian ketahanan dilakukan pada buah yang dipetik (detached pod) maupun buah di pohon (attached pod). Uji pertama banyak diminati, namun hasilnya kurang sesuai dengan kondisi lapangan karena uji ini mengabaikan pengaruh lingkungan. Menurut Toxopeus & Jacob (1970 cit. Wood, 1985) ada perbedaan ketebalan kulit buah dan tingkat lignifikasinya antar kultivar kakao sehingga dimungkinkan dapat berperan sebagai faktor ketahanan terhadap penyakit busuk buah. Simpulan 1. Klon Sca 6 dan Pa 300 secara konsisten menghasilkan luas bercak terkecil dibandingkan dengan klon yang lainnya baik di laboraorium maupun di lapangan. Klon kakao yang menunjukkan tingkat ketahanan yang rentan di laboratorium juga rentan di lapangan seperti klon GC7, 2. Hasil inokulasi di lapangan menghasilkan perkembangan luas bercak yang lebih kecil dan masa inkubasinya lebih lamban dibandingkan dengan inokulasi di laboratorium dengan masa inkubasi di lapang lebih lambat rata-rata 2 hari. 3. Penelitian ini menunjukkan bahwa uji ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora terbaik dilakukan pada buah di lapang. Pengujian di laboratorium dengan buah yang dipetik dapat dilakukan apabila dalam setiap pengujian disertakan klon tahan dan rentan sebagai pembanding, seperti Sca 6 dan GC 7.

103 79 Daftar Pustaka Agrios GN Plant Pathology. Academic Press.New York.4 th Ed.803.p. Akai S & Fukutomi M Preformed internal Physical Defenses.In J.A. Bailey & B.J. Deverall (Eds). Dynamic of Host Defence: Academic Press. Sydney. Akrofi AY & Opoku IY Managing Phytophthora megakarya pod root disease. Ghana experience. Proc. 3 rd Int. Seminar of International Permanent Working Group for Cocoa Pests and Diseases. Kota Kinabalu, Sabah Malaysia th October. Chittor JM, Leach JE, & White FF Induction of peroxidase during defense against pathogens In Datta SK, Muthukrishnan S (Eds). Pathogenesis- Related Proteins in Plants. p Science Darmono TW, Jamil I & Santoso DA Pengembangan penanda molekuler untuk deteksi Phytophthora palmivora pada tanaman kakao. Menara Perkebunan 74: Duniaway JM Role of Physical Factors in Development of Phytophthora Diseases. In D.C.Erwin SB Gracia, PH Tsao (Eds) Phytophtora Its Biology, Taxonomy, Ecology and Pathology APS. St. Paul. El-Katatny MH, Gudelj M, Robra KH, Elnaghy MA, & Gobitz GM Characterzation of chitinase and endo-beta-1,3-glucanase from Trichoderma harzianum Rifai T24 involved in control of phytopathogen Sclerotium rolfsii. Appl Microbiol Biotechnol. 56: Fry WE Principles of Plant Disease Management. Academic Press, New York. 376p. Goodwin T.W. & Mercer EI Introduction to Plant Biochemistry. Pergamon Press, Oxford. 677p. Iwaro DA, Sreenivasan TN & Umaharan P Differential reaction of cocoa clones to Phytophthora palmivora infection. CRU, Univ. West Indies, Trinidad: Iwaro DA, Sreenivasan TN & Umaharan P Phytophthora palmivora resistance in cocoa (Theobroma cacao): Influence of pod morphological characteristics. Plant Pathol 46: Iwaro DA, Sreenivasan TN & Umaharan P Cocoa resistance to Phytophthora: effects of pathogen spesies, inoculation depths, and pod maturity. European J. Plant Pathol 46: Jacob VJ & Toxopeus The effect of pollinator parent on the pod value of hand pollinated pod of Theobroma cacao L. Int. Cacao Res. Conf., Tafo, Ghana, Lagrimini LM, Joly RJ, Dunlap JR, Liu T-TY The consequence of peroxidase overexpression in transgenic plants on root growth and development. Plant. Mol. Biol. 33:

104 Muller RA Integrated Control Methods. In P.H. Gregory (Eds.) Phytophthora Disease of Cocoa: Longman, London. Neuhaus JM Plant chitinase (PR-3, PR-4, PR-8, PR-11) In: Datta SK, Muthukrishnan S (Eds). Pathogenesis-Related Proteins in Plants. London:CRC Pr. p Oku H Plants Pathogenesis and Disease Control. Lewis Pub. CRC Press. Tokyo. 119p. Philips-Mora W Studies on Resistance to Black Pod Disease (Phytophthora palmivora Butler) at CATIE. Proc. Int. Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Variety Improvement: Salvador, Bahia, Brasil th November. Pudjihartati E, Ilyas S & Sudarsono, 2006 b. Aktivitas pembentukan secara cepat spesies oksigen aktif perosidase, dan kandungan lignin kacang tanah terinfeksi Sclerotium rolsfii. Hayati 13: Pudjihartati E, Siswanto, Ilyas S & Sudarsono Aktivitas Enzim Kitinase pada kacang tanah yang sehat dan yang terinfeksi Sclerotium rolsfii. Hayati 13: Rocha HM Breeding Cacao for resistance to Phytophthora palmivora. In P.H Gregory (Ed) Phytophthora Disease of Cocoa: Longman London. Rubiyo, Purwantara A, Sri-Sukamto & Sudarsono Isolation of indigenous Phytophthora palmivora from Indonesia, their morphological and pathogenicity characterizations. Pelita Perkebunan 24 : Rubiyo, Sri-Sukamto & Iswanto A Uji lapang ketahanan hibrida kakao terhadap penyakit busuk buah (Phytophthora palmivora Butler). Jurnal Stigma 1: Saikia R, Kumar R, Arora DK, Gogoi DK, & Azad P Psedomonas aeruginosa inducing rice resistance against Rhizoctonia solani Folia: production of salicylic acid and peroxidase. Microbiol 51: Soria J Sources of Resistance to Phytophthora palmivora. In P.H Gregory (Ed.) Phytophthora Disease of Cocoa: Longman London. Simmonds NW Horizontal resistance to cocoa disease. Cocoa Growers Bul 47: Toxopeus H Search for Phytophthora Pod Rot Resistance and Escape at the Cocoa Research Institute of Nigeria during the 1960s. Proc. Int. Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Variety Improvement: Salvador, Bahia, Brasil th November. Tarjot M Etude anatomique de la Cabosse de Cacaoyer en Relation avec Lattaque du Phytophthora palmivora. Proc. IV Int. Cacao Research Conf. p: St Augustine, Trinidad th January. Tarjot M Physiology of Fungus. In P.H. Gregory (Ed) Phytophthora Disease of cocoa: Longman London. 80

105 Wood Establishment. In G.A.R. Wood & R.A. Lass (Eds.) Cocoa: Longman, London. Wirianata H Ketahanan Tanaman Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah. Disertasi S3 UGM Yogyakarta (tidak diterbitkan), 130p. Wang S, Wu J, Rao P, Ng TB & Ye X A chitinase with antifungal activity from the mung bean. Protein Expr. Purif. 40: Zhang M, Melouk HA, Chenault K, & El Rassi Z Determination of cellular carbohydrates in peanut fungal pathogens and bakers yeast by capillary electrophoresis and electrochromatography. J Agric Food Chem. 49: Zedooks Disease Resistance Testing in Cocoa. INGENIC. UK. 58p. 81

106 JUDUL 4. RESISTENSI KLON KAKAO TERHADAP INFEKSI Phytophthora palmivora Butl: RESPON 35 KLON KAKAO BERDASARKAN UJI DETACHED POD Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi respon koleksi kakao terhadap infeksi penyakit busuk buah P. palmivora. Tujuan penelitian yang dilakukan antara lain: (i) menguji ketahanan 35 klon kakao terhadap infeksi P. palmivora berdasarkan uji detached pod, (ii) menentukan ada tidaknya hubungan antara tipe kakao dan bentuk buahnya dengan sifat ketahanan terhadap infeksi P. palmivora, dan (iii) mengetahui klon kakao yang rentan pada koleksi plasma nutfah kakao terhadap infeksi P. palmivora. Penelitian menggunakan buah kakao dari 35 klon (umur 4 bulan setelah antesis) yang dipetik dari pohon dan diinokulasi dengan miselia P. palmivora di laboratorium. Pengamatan dilakukan terhadap panjang dan lebar bercak yang diakibatkan oleh infeksi P.palmivora pada buah kakao yang diuji. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa klon ICCRI 1, PA 300, ICCRI 3, UIT 1, NIC 4, DR 38, ICS 13, Sca 6, TSH 858 dan ICS 60 merupakan 10 klon kakao yang mempunyai tingkat resistensi tinggi terhadap infeksi P. palmivora. Klon kakao yang sangat rentan adalah RCC 73, KKM 22, NIC 7, DRC 16, RCC 71, BL 300, BL 301, KEE 2, TSH 908 dan DRC 15. Klon kakao yang dapat digunakan sebagai tetua untuk proses seleksi lebih lanjut adalah: ICCRI 1, PA 300, ICCRI 3, UIT 1, TSH 858, NIC 4, DR 38, ICS 13, dan Sca 6. Kata kunci: Busuk buah, pemuliaan kakao, evaluasi plasma nutfah, uji ketahanan di laboratorium

107 RESISTANCE OF CACAO CLONES AGAINST PHYTOPHTHORA PALMIVORA BUTL. INFECTION: RESPONSE OF 35 CACAO BASED ON DETACHED POD ASSAYS Abstract This research was conducted to evaluate the response of cacao collection against infection of black pod disease due to Phytophthora palmivora. The objectives of this experiment were (i) to evaluate the response of 35 cacao clones against infection of P. palmivora using detached pod assay, (ii) to determine the most resistance cacao clones, and (iii) to determine the most susceptible cacao clones among evaluated cacao germplasm collection against infection of P. palmivora. In the experiment, pods of 35 cacao clones (at 4 months after anthesis) were harvested and inoculated with mycelia of P. palmivora in the laboratory. Observations were conducted on length and width of necrotic symptoms because of P. palmivora infection on the surface of the tested pods. Results of the experiment showed that clones ICCRI 1, PA 300, ICCRI 3, UIT 1, NIC 4, DR 38, ICS 13, TSH 858, SCA 6, and ICS 60 were the ten most resistant clones. On the other hand, clones RCC 73(3), KKM 22, NIC 7, DRC 16, RCC71, BL 300, BL 301, KEE 2, TSH 908, and DRC 15 were the ten most susceptible clones. Key words: Black pods, cacao breeding, germplasm evaluation, laboratory resistance tests

108 84 Pendahuluan Strategi yang efektif untuk mengatasi permasalahan busuk buah kakao di lapangan adalah dengan menanam klon kakao yang resisten terhadap Phytophthora palmivora Butl. Sebagai patogen penyebab busuk buah kakao, infeksi P. palmivora merupakan salah satu kendala utama dalam budidaya kakao rakyat di Indonesia (Prawirosoemardjo & Purwantara, 1992). Serangan penyakit busuk buah kakao menyebabkan terjadinya penurunan hasil kakao hingga mencapai 45.5% (Prawirosoemardjo & Purwantara, 1992). Di perkebunan kakao rakyat, kehilangan hasil akibat serangan penyakit busuk buah kakao diduga lebih tinggi lagi karena kurang intensifnya pemeliharaan tanaman yang dilakukan. Pengembangan klon kakao yang lebih resisten atau toleran terhadap infeksi P. palmivora perlu dilakukan untuk mengurangi penurunan hasil kakao akibat infeksi P. palmivora di Indonesia. Klon kakao unggul yang lebih resisten atau toleran terhadap infeksi P. palmivora dapat dirakit melalui hibridisasi terkontrol antara tetua yang resisten atau toleran dengan yang berdaya hasil tinggi. Untuk itu, identifikasi plasma nutfah kakao yang resisten atau toleran terhadap infeksi P. palmivora perlu dilakukan. Dalam penelitian sebelumnya, isolat P. palmivora indigenus Indonesia telah diisolasi dari buah kakao sakit dari lapangan (Rubiyo et al., 2008a). Isolat P. palmivora yang mempunyai sifat patogenisitas tinggi telah diidentifikasi dan dapat digunakan untuk menguji respon plasma nutfah kakao terhadap infeksi P. palmivora. Selain itu, metode yang efektif untuk identifikasi klon kakao yang resisten atau toleran terhadap infeksi P. palmivora juga telah dikembangkan (Rubiyo et al., 2008b). Selanjutnya, metode tersebut dapat digunakan untuk menguji respon klon kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia terhadap infeksi P. palmivora dan mengidentifikasi klon yang resisten atau toleran. Kegiatan Penelitian telah dilakukan untuk pengembangan klon kakao yang meningkat resistensinya terhadap infeksi P. palmivora dan berdaya hasil tinggi (Sudarsono et. al. 2007). Keberhasilan pengembangan klon kakao unggul yang lebih resisten atau toleran terhadap infeksi P. palmivora sangat tergantung pada tersedianya klon kakao yang resisten terhadap infeksi P. palmivora sebagai tetua donor.

109 85 Klon-klon kakao di Kakao Indonesia umumnya termasuk ke dalam dua tipe kakao, yaitu tipe forastero atau trinitario (Las and Wood, (1985; Alvim,1997; Opeke, 1982 dan Mawardi, 1982). Sementara jika dilihat dari bentuk buahnya maka klon-klon kakao tersebut mempunyai bentuk buah amilado, angoleta, calabasilo, atau candomaur (Engels, 1986; Cheesman, 1944 dan Ostendorf, 1956). Ada tidaknya hubungan antara tipe kakao dan bentuk buah klon-klon kakao koleksi Puslit Kopi dan Kakao Indonesia dengan respon ketahanan terhadap infeksi P. palmivora merupakan hal yang menarik untuk diketahui karena dapat dijadikan dasar pengembangan idiotipe klon-kakao unggulan. Analisis komponen varian genetik untuk sifat ketahanan terhadap infeksi P. palmivora dapat menghasilkan informasi yang berguna dalam mendukung kegiatan pemuliaan tanaman (Begum & Sobhan, 1991), termasuk pemuliaan tanaman kakao. Dengan didapatkannya nilai komponen varian genetik akan dapat diduga pola penurunan sifat (heritabilitas) resistensi terhadap infeksi P. palmivora pada kakao. Sifat tanaman terekspresi sebagai pengaruh faktor genetik dan lingkungan yang bertindak secara simultan (Allard, 1960). Parameter genetik digunakan sebagai tolak ukur untuk mengetahuai peranan genetik terhadap penotipik sifat tanaman. Oleh karena itu, pengukuran parameter genetik motlak harus dilakukan dalam tahapan suatu kegiatan pemuliaan tanaman kakao. Untuk menjawab berbagai permasalahan tersebut di atas maka perlu dilakukan identifikasi klon kakao yang tahan atau toleran terhadap infeksi P. palmivora, yang dapat digunakan sebagai donor sifat ketahanan. Tujuan penelitian yang dilakukan antara lain: (i) menguji ketahanan 35 klon kakao terhadap infeksi P. palmivora berdasarkan uji detached pod, (ii) menentukan ada tidaknya hubungan antara tipe kakao dan bentuk buahnya dengan sifat ketahanan terhadap infeksi P. palmivora, dan (iii) menghitung komponen varian genetik dan melakukan pendugaan nilai heritabilitas sifat ketahanan kakao terhadap infeksi P. palmivora..

110 86 Bahan dan Metode Bahan Tanaman. Ketahanan klon kakao terhadap infeksi busuk buah diuji dengan menggunakan uji detached pod di laboratorium. Dalam pengujian ini digunakan buah kakao (35 klon - Tabel 11) yang berumur kurang lebih 4 bulan sesudah antesis (buah telah berkembang sempurna tetapi belum masak). Buah yang terbebas dari infeksi busuk buah dipanen dan digunakan untuk uji detached pod di laboratorium. Penyiapan Inokulum P. palmivora. Isolat P. palmivora indigenus LBSBR yang diketahui sangat patogenik dari penelitian sebelumnya (Rubiyo et al., 2008a) digunakan sebagai inokulum. Kultur patogen diinkubasikan selama tujuh hari pada kondisi gelap dalam ruang kultur bersuhu 26 o C. Hanya miselia patogen yang sedang aktif tumbuh di bagian ujung koloni yang digunakan sebagai inokulum miselia dalam percobaan. Uji Detached Pod di Laboratorium. Sebelum diinokulasi dalam uji detached pod, buah sehat yang telah dipanen dicuci dengan air yang mengalir. Buah kakao dilukai dengan cara membuat lubang berdiameter 8 mm dan sedalam 5 mm dengan menggunakan bor gabus. Potongan media PDA (diameter 8 mm) dengan miselia P. palmivora yang aktif tumbuh sebagaimana telah disiapkan sebelumnya ditempelkan pada permukaan buah kakao yang telah dilukai. Buah yang sudah diinokulasi diinkubasikan dalam kotak yang dilapisi dengan aluminium foil. Di dalam kotak diletakkan busa yang telah dibasahi dengan air steril untuk menjaga kelembaban udara di dalam kotak. Kotak inkubasi disungkup dengan plastik untuk menjaga kelembabannya (100%) dan diletakkan dalam ruang gelap pada suhu kamar (28 o C) selama tujuh hari. Percobaan dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap. Unit percobaan terdiri atas 3 buah kakao dan untuk setiap klon kakao yang diuji diulang tiga kali. Dalam percobaan yang dilakukan, sembilan buah kakao (3 buah/unit x 3 ulangan) diinokulasi untuk setiap klon kakao. Total klon kakao yang diuji sebanyak 35 klon sehingga total buah yang diinokulasi dalam percobaan sebanyak 315 buah (3 buah/unit x 3 ulangan x 35 klon).

111 Tabel 11. Material genotipe kakao yang digunakan dalam evaluasi respon plasma nutfah kakao terhadap infeksi P. palmivora. No Nama Klon Kelompok Bobot 1 biji Warna Keterangan kakao kering Biji Segar 1 DR1 Mulia Indonesia > 1 g Putih 2 DR2 Mulia Indonesia > 1 g Putih 3 DRC16 Mulia Indonesia > 1 g Putih 4 DR38 Mulia Indonesia > 1 g Putih 5 ICS60 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 6 TSH 858 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 7 GC7 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 8 SCA 12 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 9 UIT1 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 10 Sca 6 Lindak Introduksi < 1 g Ungu 11 Sca 8 Lindak Introduksi < 1 g Ungu 12 SCA 12 Lindak Introduksi < 1 g Ungu 13 Sca 89 Lindak Introduksi < 1 g Ungu 14 KEE2 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 15 KEE 52 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 16 NW 6261 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 17 ICS13 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 18 NIC7 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 19 NIC 4 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 20 PA 300 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 21 PA7 Lindak Introduksi < 1 g Ungu 22 PA 303 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 23 UF 667 Lindak Introduksi > 1 g Ungu 24 DRC 15 Lindak Indonesia > 1 g Ungu 25 RCC 70 Lindak Indonesia > 1 g Ungu 26 RCC 71 Lindak Indonesia > 1 g Ungu 27 RCC 72 Lindak Indonesia > 1 g Ungu 28 RCC 73 Lindak Indonesia > 1 g Ungu 29 ICRI 01 Lindak Indonesia > 1 g Putih 30 ICRI 02 Lindak Indonesia > 1 g Putih 31 ICRI 03 Lindak Indonesia > 1 g Ungu 32 ICRI 04 Lindak Indonesia > 1 g Ungu 33 TSH 908 Lindak Introduksi > 1 g Ungu Pengelompokan Respon Ketahanan terhadap Infeksi P. palmivora. Respon buah yang diinokulasi diamati sejak tiga hari hingga tujuh hari sesudah inokulasi (HSI). Pengamatan dilakukan terhadap jumlah buah yang menunjukkan gejala dan terhadap panjang bercak (p) serta lebar bercak (l) yang muncul di permukaan buah kakao yang diuji, sebagai gejala infeksi P. palmivora. Luas bercak (L) di permukaan buah kakao yang diuji ditentukan dengan menggunakan rumus L=3.14*([p+l]/4) 2. Luas bercak yang muncul selanjutnya digunakan untuk 87

112 88 mengelompokkan respon ketahanan buah yang diuji terhadap infeksi P. palmivora. Buah yang diuji dikelompokkan sebagai imun - jika setelah diinokulasi tidak menunjukkan gejala infeksi P. palmivora (tidak menghasilkan bercak); tahan jika luas bercak < 25 cm 2, agak tahan jika antara cm 2, agak rentan jika antara cm 2, rentan jika antara cm 2, dan sangat rentan jika > 100 cm 2. Hubungan antara Tipe Kakao dan Bentuk Buah dengan Respon Ketahanan. Tiga puluh lima klon kakao yang diuji dikelompokkan ke dalam dua tipe kakao, yaitu tipe forastero atau trinitario berdasarkan informasi yang didapat dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Selain itu, bentuk buah masingmasing klon yang diuji dikelompokkan ke dalam lima kelompok, yaitu amilado, angoleta, calabasilo, atau candomaur. Selanjutnya, analisis dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara tipe kakao, bentuk buah, dan respon ketahanan buah kakao terhadap infeksi P. palmivora yang diuji dengan menggunakan uji detached pod di laboratorium. Ragam Genetik Kerentanan Kakao Berdasarkan Luas Bercak. Di samping itu, dilakukan analisis sidik ragam dan nilai duga ragam genetik. Identitas tetua yang menunjukkan hasil resisten akan digunakan sebagai calon tetua donor P1 sedangkan yang rentan terhadap infeksi P. palmivora akan digunakan sebagai tetua recurrent P2. Nilai luas bercak digunakan sebagai tolak ukur ketahanan terhadap P. palmivora. Berdasarkan peubah tersebut dapat dihitung nilai duga parameter genetik antara lain: daya waris arti luas (h 2 bs), kovarian ragam genetik (KVG), respon seleksi (R) dan kemajuan genetik (KG%) sesuai rumus (Singh & Chauddary, 1979) δ = δ + δ...(1) h 2 p 2 bs R 2 g 2 e = δ...(2) 2 2 g / δ p = i.. δ...(3) 2 h bs p 2 δ g KVG = x100%...(4) X R KG(%) = x100%...(5) X

113 89 Keterangan: X i h R δ 2 bs 2 g 2 δ p = rerata; = intensitas seleksi; = heritabilitas arti luas; = respon seleksi = ragam genetik; = ragam penotip; KVG = kovarian ragam genetik Hasil dan Pembahasan Ketahanan Klon Kakao Terhadap Infeksi P. palmivora Berdasarkan hasil pengamatan panjang bercak dari 35 klon kakao yang diuji terdapat 5 klon kakao yang memiliki kisaran panjang bercak < 1 cm. Klon tersebut adalah ICCRI 1, DR38, NIC4, Pa 300 dan UIT1. Empat belas klon kakao memiliki kisaran panjang bercak > 1cm - <2 cm, sedangkan 16 klon kakao lainnya memiliki panjang bercak dengan kisaran 2-2,9 cm (Tabel 12). Klon kakao yang memiliki rata-rata lebar bercak terkecil dengan kisaran < 1cm adalah ICCRI 1, DR38, NIC4 dan Pa 300. Klon kakao yang menghasilkan lebar bercak rata-rata 1-2 cm adalah klon ICCRI 3, UIT 1, ICS 13, NW 6261, DRI dan ICS60. Klon yang menghasilkan lebar bercak rata-rata 2-3 cm terdapat 14 klon, klon yang lain memiliki lebar bercak > 3-4 cm. Pengelompokan Respon Ketahanan terhadap Infeksi P. palmivora. Hasil pengamatan rataan luas bercak pada buah kakao yang diberi perlakuan inokulasi dengan miselia P. palmivora menggunakan metode detached pod assay di laboratorium pada 3-7 hari sesudah inokulasi (HSI) disajikan pada Tabel 14. Dari data yang didapat terlihat bahwa klon kakao ICRI 1, PA 300, ICRI 3, UIT 1, NIC 4, DR 38, ICS 13, TSH 858, Sca 6, dan ICS 60 merupakan 10 klon kakao yang paling resisten terhadap infeksi P. palmivora di antara 35 klon kakao yang diuji. Apabila digunakan sebagai salah satu variabel ketahanan klon kakao terhadap penyakit busuk buah P. palmivora, rataan pertambahan bercak tertinggi adalah DRC 15 (52,50 cm 2 ), rata-rata pertambahan bercak terkecil adalah ICCRI 1 (3,80 cm 2 ).

114 90 Sebaliknya, kakao klon RCC 73, KKM 22, NIC 7, DRC 16, RCC71, BL 300, BL 301, KEE 2, TSH 908, dan DRC 15 merupakan 10 klon kakao yang paling rentan terhadap infeksi P. palmivora di antara 35 klon kakao yang diuji. Hubungan antara Tipe Kakao dan Respon Ketahanan Tidak ada perbedaan ketahanan antara bentuk buah amelonado, angoleta maupun candoaumr (Tabel 15 dan 16). Begitu juga pada tipe kakao, jenis forastero tidak selalu memberikan ketahanan yang lebih baik dibandingkan jenis yang lainnya. PA 300 yang masuk type Forastero merupakan jenis yang tahan tetapi PA7 yang merupakan jenis yang sama sangat rentan terhadap inokulasi P. palmivora. Begitu juga tipe kakao yang lain seperti Trinitario terdiri dari klonklon yang bervariasi dari tahan sampai sangat rentan. dengan demikian jenis atau tipe kakao tidak bisa digunakan sebagai peubah untuk menentukan tingkat ketahanan terhadap patogen ini. Hasil ini memberikan gambaran bahwa ketahanan kakao tidak ditentukan oleh jenis atau tipe kakao tetapi ada gen lain yang mengatur. Ketahanan kakao diduga cenderung mengikuti tipe mekanisme ketahanan struktural maupun biokimia. Permukaan daun dan permukaan buah kakao mempunyai alur primer yang diperkirakan dapat mempengaruhi penyebaran, disposisi, dan pertumbuhan prapenetrasi inokulum. Bentuk buah akan mempengaruhi disposisi inokulum, misalnya jenis kakao yang mempunyai kulit yang kasar akan menahan air di antara kulit kakao, sehingga inokulum akan berkecambah dan menetrasi pada buah kakao. Akan tetapi berdasarkan hasil penelitian ini permukaan buah dan stomata daun tidak bisa dijadikan sebagai variabel ketahanan klon yang diuji terhadap infeksi P. palmivora. Ciri morfologi buah tidak berkorelasi dengan ketahanan pasca penetrasi, ini menunjukkan kemungkinan peran mekanisme biokimiawi (Iwaro et al., 1997).

115 Tabel 12.Rataan panjang bercak pada permukaan buah kakao yang diinokulasi dengan miselia P. palmivora menggunakan uji detached pod di laboratorium. Pengamatan dilakukan pada tiga sampai dengan tujuh hari sesudah inokulasi (HSI) Panjang bercak pada hari pengamatan (HSI) Rataan Klon kakao pertambahan panjang (cm/hari)* ICCRI DR NIC PA ICCRI UIT BL NW SD TSH SCA DR RCC ICCRI NIC PA ICS ICS RCC KKM PA ICCRI SCA DR SCA PBC RCC RCC DRC BL KEE BL GC TSH DRC Catatan: *Rataan pertambahan panjang bercak ( p) dihitung dengan rumus p= (X n -X (n-1) )/N. X n adalah rataan panjang bercak pada hari ke n dan X (n-1) adalah rataan panjang bercak pada hari ke n-1, N adalah jumlah pengamatan yang dilakukan. 91

116 Tabel 13. Rataan lebar bercak pada permukaan buah kakao yang diinokulasi dengan miselia P. palmivora menggunakan uji detached pod di laboratorium. Pengamatan dilakukan pada tiga sampai dengan tujuh hari sesudah inokulasi (HSI). Lebar bercak pada hari pengamatan (HSI) Rataan Klon kakao pertambahan lebar (cm/hari) ICCRI DR NIC PA ICCRI UIT ICS NW SD DR SCA ICS BL RCC TSH NIC ICCRI PA PBC PA RCC ICCRI DR SCA SCA RCC BL DRC KKM RCC BL GC KEE TSH DRC Catatan: *Rataan pertambahan lebar bercak ( l) dihitung dengan rumus l= (X n -X (n-1) )/N. X n adalah rataan lebar bercak pada hari ke n dan X (n- 1) adalah rataan lebar bercak pada hari ke n-1, N adalah jumlah pengamatan yang dilakukan. 92

117 Tabel 14. Rataan luas bercak pada buah yang diinokulasi dengan miselia P. palmivora berdasarkan uji detached pod di laboratorium. Pengamatan dilakukan pada 3-7 hari sesudah inokulasi (HSI) Luas bercak pada hari pengamatan (HSI) Rataan Klon kakao pertambahan HSI luas (cm2/hari)* DRC15 6,1 23,8 56,6 131,7 214,9 41,8 TSH908 7,7 28,2 65,8 130,1 203,0 39,1 KEE2 4,7 20,5 50,6 270,8 161,3 31,3 GC7 7,5 28,1 64,3 120,2 155,8 29,7 BL301 0,7 2,8 10,9 27,0 149,9 29,8 BL300 4,7 16,7 40,7 78,3 134,9 26,0 RCC73 2,3 10,6 29,7 65,9 133,8 26,3 DRC16 2,1 11,0 34,1 81,0 133,1 26,2 RCC70 2,2 10,3 30,6 66,2 118,8 23,3 KKM22 0,3 5,8 19,4 53,6 113,6 22,7 SCA89 7,3 10,7 29,4 61,7 100,1 18,6 PBC123 0,9 6,2 20,5 53,0 96,5 19,1 DR2 1,6 6,9 20,3 44,7 95,5 18,8 SCA12 1,2 6,9 20,7 52,7 95,0 18,8 ICCRI4 0,5 4,4 13,6 44,3 91,3 18,2 PA7 1,2 4,3 17,3 52,5 87,7 17,3 RCC72 3,1 12,8 29,0 53,6 86,4 16,7 PA303 2,6 5,9 24,4 15,2 80,7 15,6 ICCRI2 1,1 5,7 19,1 66,9 66,9 13,2 NIC7 1,7 4,7 7,2 65,5 65,5 12,8 ICS60 0,9 2,7 11,6 32,1 62,0 12,2 RCC71 3,4 3,4 10,5 27,6 60,6 11,4 DR1 1,7 5,6 13,7 30,8 55,8 10,8 SCA6 0,0 3,9 15,2 32,1 52,1 10,4 TSH858 0,1 1,5 8,5 21,8 51,8 10,3 BL97 0,0 1,8 2,2 41,5 41,5 8,3 ICS13 0,6 3,7 11,1 24,8 39,3 7,7 SD6225 0,0 0,1 3,4 36,8 36,8 7,4 NW6261 0,5 3,6 5,8 24,8 24,8 4,9 UIT1 0,1 1,0 3,7 7,9 16,0 3,2 ICCRI3 0,0 0,5 1,7 4,5 13,4 2,7 PA300 0,0 0,1 1,2 4,7 10,0 2,0 NIC4 0,1 0,3 0,6 8,7 8,7 1,7 DR38 0,4 0,9 1,8 4,5 4,5 0,8 ICCRI 1 0,0 0,0 0,0 1,8 1,8 0,4 Catatan: *Rataan pertambahan luas bercak ( L) dihitung dengan rumus L= (X n -X (n-1) )/N (Rumus 6). X n adalah rataan luas bercak pada hari ke n dan X (n-1) adalah rataan luas bercak pada hari ke n-1, N adalah jumlah pengamatan yang dilakukan. 93

118 Tabel 15. Persentase buah tanpa gejala, rataan luas bercak dan pengelompokan respon terhadap infeksi P. palmivora berdasarkan uji detached pod di laboratorium. Pengamatan dilakukan pada 7 hari sesudah inokulasi (HSI) Klon kakao Buah tanpa gejala (%) Luas bercak (cm2) Respons* DRC ,9 SR TSH ,0 SR KEE ,3 SR GC ,8 SR BL ,9 SR BL300 11,1 134,9 SR RCC73 33,3 133,8 SR DRC ,1 SR RCC ,8 SR KKM22 11,1 113,6 SR SCA89 11,1 100,1 SR PBC ,5 RT DR2 0 95,5 RT SCA ,0 RT ICCRI4 0 91,3 RT PA7 0 87,7 RT RCC72 11,1 86,4 RT PA303 33,3 80,7 RT ICCRI2 44,4 66,9 AR NIC7 33,3 65,5 AR ICS60 11,1 62,0 AR RCC ,6 AR DR1 11,1 55,8 AR SCA6 22,2 52,1 AR TSH858 11,1 51,8 AR BL97 44,4 41,5 AT ICS ,3 AT SD ,4 36,8 AT NW ,4 24,8 TH UIT1 55,6 3,2 TH ICCRI3 33,3 13,4 TH PA300 55,6 10,0 TH NIC4 77,8 8,7 TH DR38 88,9 4,5 TH ICCRI1 77,8 1,8 TH Catatan: *TH: tahan (luas bercak < 25 cm 2 ), AT: agak tahan (25-50 cm 2 ), AR: agak rentan (50-75 cm 2 ), RT: rentan ( cm 2 ), dan SR: sangat rentan (> 100 cm 2 ) terhadap infeksi P. palmivora. 94

119 Tabel 16. Tipe kakao, bentuk buah dan pengelompokan respon klon kakao terhadap infeksi P. palmivora berdasarkan uji detached pod di laboratorium. Penentuan respon didasarkan pada luas bercak yang diamati pada 7 hari sesudah inokulasi (HSI) Klon kakao Tipe kakao* Bentuk buah* Respons** DRC15 Trinitario Angoleta SR TSH908 Trinitario Angoleta SR KEE2 Forastero Angoleta SR GC7 Trinitario Candomaur SR BL301 Forastero Amilonado SR BL300 Forastero Amilonado SR RCC73 Forastero Calabasilo SR DRC16 Trinitario Angoleta SR RCC70 Forastero Calabasilo SR KKM22 Unknown Unknown SR SCA89 Forastero Angoleta SR PBC123 Trinitario Angoleta RT DR2 Trinitario Angoleta RT SCA12 Forastero Angoleta RT ICCRI4 Trinitario Calabasilo RT PA7 Forastero Amilonado RT RCC72 Forastero Calabasilo RT PA303 Forastero Amilonado RT ICCRI2 Trinitario Angoleta AR NIC7 Forastero Angoleta AR ICS60 Trinitario Angoleta AR RCC71 Forastero Calabasilo AR DR1 Trinitario Angoleta AR SCA6 Forastero Angoleta AR TSH858 Trinitario Angoleta AR BL97 Forastero Amilonado AT ICS13 Trinitario Angoleta AT SD6225 Trinitario Angoleta AT NW6261 Forastero Angoleta TH UIT1 Trinitario Angoleta TH ICCRI3 Trinitario Calabasilo TH PA300 Forastero Amilonado TH NIC4 Forastero Angoleta TH DR38 Trinitario Angoleta TH ICCRI1 Trinitario Angoleta TH Catatan: *Data tipe kakao dan bentuk buah diperoleh dari Puslit Kopi dan Kakao Indonesia. **TH: tahan - jika luas bercak < 25 cm 2, AT: agak tahan - jika luas bercak cm 2, AR: agak rentan - jika luas bercak cm 2, RT: rentan - jika luas bercak cm 2, dan SR: sangat rentan terhadap infeksi P. palmivora - jika luas bercak > 100 cm 2. 95

120 96 Persentase buah tanpa gejala (Tabel 15), kakao yang memiliki respon tahan sampai dengan agak tahan menunjukkan rata-rata buah yang tidak bergejala cukup tinggi yaitu antara ,9%. Terkecuali ICS 13 walaupun masuk dalam kelompok agak tahan, tetapi seluruh buah yang diuji terinfeksi P. palmivora. Begitu juga ICCRI 3 yang mempunyai 66,7% buah terinfeksi walaupun masuk kelompok agak tahan. Klon ICS 13 memiliki luas bercak 45,2 cm 2, hal ini mengindikasikan bahwa P. palmivora tidak mampu mendegradasi sel buah kakao tersebut, sehingga bercak tidak dapat berkembang secara cepat. Diduga klon tersebut memiliki mekanisme pertahanan sehingga mampu menghentikan laju degradasi sel yang disebabkan oleh infeksi patogen tersebut. Pendugaan Nilai Duga Ragam Genetik Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat pengaruh nyata genotipe terhadap peubah luas bercak pada hari ke 6 dan ke 7 pada aras 5%. Peubahpeubah tersebut merupakan tolak ukur ketahanan tanaman pasca penetrasi pada buah sehingga ini menunjukkan bahwa faktor genetik berpengaruh nyata terhadap ketahanan terhadap P. palmivora. Luas bercak merupakan tolak ukur utama terhadap P. palmivora (Iwaro et al., 2000), sehingga bahasan ini akan menitikberatkan pada peubah luas bercak. Nilai duga heritabilitas arti luas peubah luas bercak hari ke 6 dan ke 7 setelah inokulasi tergolong sedang dan tinggi (Tabel 17). Nilai duga daya waris ini merupakan parameter genetik yang mengungkap proporsi ragam genetik terhadap ekspresi sifat-sifat tersebut. Kontribusi ragam genetik terhadap ekspresi luas bercak masing-masing adalah (36,9%) dan (53,2%). Hal ini menunjukkan bahwa peran faktor genetik terhadap ekspresi kerentanan tanaman terjadi secara berimbang dengan pengaruh faktor non genetik. Faktor non genetik dalam hal ini lingkungan (suhu dan kelembaban). Patogen ini akan menginfeksi jika terjadi kelembapan yang tinggi. Apabila tidak tercapai kelembaban minimal yang dibutuhkan untuk menumbuhkan miselia patogen tersebut, maka patogen tidak mampu menginfeksi buah kakao oleh karena itu kelembaban sangat berperan dalam uji ketahanan. Nilai heritabilitas merupakan tolak ukur pendugaan keefektifan seleksi (Johnson et al., 1995). Berdasarkan hasil ini, seleksi akan kurang efektif bila

121 dilakukan saat kondisi faktor-faktor non genetik kurang mendukung. Terdapat 2 faktor yang diidentifikasi berpengaruh terhadap ekspresi kerentanan tanaman kakao terhadap P. palmivora yaitu tingkat kelebatan buah (Kebe et al., 1996; Nyasse et al., 1996) dan kemampuan tanaman menghindari (escape) infeksi P. palmivora (Kebe et al., 1996). Nilai koefisien ragam genetik (KVG) merupakan tolak ukur variabilitas genetik tanaman. Berdasarkan tolak ukur ini variabilitas kerentanan terhadap P. palmivora termasuk kategori luas karena KVG peubah yang diukur lebih besar dari pada dua kali standar deviasi ragam genetik (Tabel 17). Hal ini menunjukkan bahwa ada variasi yang tinggi untuk sifat kerentanan terhadap P. palmivora. Oleh karena itu perbaikan genetik ketahanan terhadap P. palmivora melalui cara seleksi cukup baik sebab tersedia variasi genetik yang besar. Peubah luas bercak merupakan tolak ukur ketahanan yang menggambarkan respon kerentanan tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa seleksi yang mendasarkan kriteria ini dianggap sebagai proses seleksi negatif. Tabel. 17. Nilai duga ragam genetik luas bercak setelah inokulasi hari ke 6 dan ke 7 Peubah Parameter genetik σ 2 g σ 2 p h 2 bs KVG (%) Luas bercak hari ke 6 5,607 15,198 0, Luas bercak hari ke 7 6,954 13,059 0,532 33,986 Keterangan: Varian genetik (σ 2 g ) Varian penotip ( σ 2 p) Heritabilitas arti luas ( h 2 bs) Kovarian ragam genetik ( KVG) 97 Artinya bahwa kemajuan genetik diukur berdasarkan intensitas seleksi terhadap genotipe yang tidak diikutkan dalam proses seleksi lanjut. Berdasarkan hasil ini terdapat 8 klon yang mempunyai luas bercak lebih kecil dibandingkan klon Sca 6, dan 26 klon yang lain tidak layak diikutkan seleksi lanjut. Dengan demikian nilai intensitas seleksi adalah i = 26/35 x 100% = 74, 28%. Genotipe yang dapat digunakan sebagai tetua untuk proses seleksi lebih lanjut terdiri 8 klon ( ICCRI 1, ICCRI 3, ICS 13, UIT 1, TSH 858, Pa 300, NIC4 dan DR 38) (Tabel 15).

122 98 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian uji ketahanan terhadap 35 klon kakao di laboratorium dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Klon kakao yang tahan adalah klon ICCRI 1, PA 300, ICCRI 3, UIT 1, NIC 4, DR 38, ICS 13, Sca 6, TSH 858 dan ICS Klon kakao yang sangat rentan adalah RCC 73, KKM 22, NIC 7, DRC 16, RCC 71, BL 300, BL 301, KEE 2, TSH 908 dan DRC Klon kakao yang dapat digunakan sebagai tetua untuk proses seleksi lebih lanjut adalah: ICCRI 1, PA 300, ICCRI 3, UIT 1, TSH 858, NIC 4, DR 38, ICS 13, dan Sca 6. Daftar Pustaka Alvim PT Cocoa. In P.T. Alvim & T.T. Kozlowski (Eds) Ecophysiology of Tropical Crops: Academic Press. New York. Allard RW Principles of Plant Breeding. New York: J Wiley & Sons. 485 hal. Engels JMM Systematic Description of Cocoa Clones and Significance for Taxonomy and Plant Breeding. PhD Disertasion. Agricultural University Wageningen. 125p. Iwaro DA, Sreenivasan TN & Umaharan Phytophthora palmivora resistance in cocoa (Theobroma cacao): influence of pod morphological characteristics. Plant Pathology 46: Johnson R Practical breeding for durable resistance to rust diseases in selfpollinating cereal. Euphytica 27: Kebe IB, Goran JAKN, Tahi GH, Paulin D, Clement D & Eskes AB Pathology and Breeding for Resistance to Black Pod in Cote d Ivorie. Proc. Int. Workshop on the Contribution of Disease Resistance to Cocoa Variety Improvement. P: Salvador Bahia, Brasil th November. Mawardi S Kajian Genetika Ketahanan Tak Lengkap Kopi Arabika Terhadap Penyakit Karat Daun (Hemileia vastatrix B.et Br) di Indonesia.[Disertasi]. Yogyakarta. Universitas Gajah Mada. 219 hal. Opeke LK & Gorenz AM Phytophthora Pod rot: Symptoms and Economic Importance. In P.H. Gregory (Eds.). Phytophthora Disease of Cocoa: Longman, London

123 Prawirosoemardjo S & Purwantara A Laju infeksi dan intensitas serangan Phytophthora palmivora (Butl) Butl. pada buah dan batang pada beberapa varietas kakao. Menara Perkebunan 60: Rubiyo, Purwantara A, Sri-Sukamto & Sudarsono Isolation of indigenous Phytophthora palmivora from Indonesia, their morphological and pathogenicity characterizations. Pelita Perkebunan 24 : Susilo AW, Suhendi D & Sri-Sukamto Ragam Genetik Kerentanan Tanaman Kakao terhadap Phytophthora palmivora. Pelita Perkebunan 18: 1-9. Sudarsono A. Purwantara & Suhendi D Molecular Technique and Plant Breeding to Speed up the Development of Cacao (Theobroma cacao L.) Cultivar with Resistance against Black Pod Disease Due to Phytophthora palmivora Butl. Infection. KKP3T Research Report, Institut Pertanian Bogor, Bogor, Indonesia. 122 hlm. Wood Establisment. In G.A.R. Wood & R.A. Lass (Eds.) Cocoa: Longman, London. 99

124 JUDUL 5. AKTIVITAS ENZIM KITINASE, PEROKSIDASE SERTA KERAPATAN STOMATA PADA KETAHANAN KAKAO (Theobroma cacao L) TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH ( Phytophthora palmivora) Abstrak Penelitian berdasarkan morfologi yang terkait dengan ketahanan sruktural seperti kerapatan stomata dan ketahanan kimiawi yang melibatkan enzim-enzim kitinase maupun peroksidase perlu dilakukan, sehingga mekanisme ketahanan tanaman kakao terhadap patogen ini dapat diketahui. Penelitian berlangsung pada bulan Juni 2008 hingga Februari 2009, bertempat di Laboratorium Penyakit dan Kebun Percobaan Kaliwining Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember. Jawa Timur. Penelitian analisis kitinase dan peroksidase berlangsung di Laboratorium PAU Institut Pertanian Bogor. Berdasarkan hasil pengamatan stomata pada 10 klon, kerapatan stomata pada daun maupun buah tidak memberikan korelasi yang tinggi terhadap ketahanan. Jumlah stomata tidak berbeda nyata antara kelompok klon yang tahan maupun rentan. Klon kakao yang tahan tidak selalu menunjukkan jumlah stomata yang lebih sedikit dibandingkan dengan yang rentan. Atau klon kakao yang rentan tidak selalu memiliki jumlah stomata yang banyak pada daun maupun pada buah. Aktivitas kitinase dan peroksidase klon kakao yang diuji mengindikasikan ada peran kitinase terhadap ketahanan kakao dari infeksi P. palmivora. Peningkatan aktivitas kitinase klon yang tahan umumnya lebih konsisten, begitu juga pada enzim peroksidase. Klon kakao yang rentan, dan tidak memiliki peningkatan aktivitas enzim peroksidase adalah klon DRC 15 dan DRC 16, sehingga klon tersebut termasuk dalam kelompok sangat rentan. Kata kunci: aktivitas kitinase, peroksidase, stomata, P. palmivora, ketahanan kakao.

125 ACTIVTIES OF CHITINASE AND PEROXIDASE ENZYMES AND STOMATA DENSITY IN CACAO (Theobroma cacao L.) RESISTANT AGAINST BLACK POD DISEASE (Phytophthora palmivora) Abstract Research based on morphology which is related to structural resistance such as stomata density and chemical resistance involving chitinase and peroxidase enzymes needs to be conducted, therefore cacao resistance mechanism against this pathogen can be determined. Research took place in June 2008 till February 2009 in Disease Laboratory and Kaliwining Experimental Garden, Indonesian Coffee and Cacao Research Institute, Jember, East Java. Analyses on chitinase and perxidase took place in PAU Laboratory of Bogor Agriculture Institute (IPB). Based on stomata observations of 10 clones, the stomata density in pod and leaf does not give high correlation to the resistance. Cacao clone which is resistant does not always yield low stomata density compared to that of being susceptible. Cacao clone which is susceptible does not always have high stomata density in pod and leaf. The number of stomata between resistant and susceptible clones is not significantly different. The activities of chitinase and peroxidase enzymes upon tested clones indicated that there was chitinase role to the resistance of cacao against the infection by P. palmivora. The chitinase activity in resistant clones generally intensifies consistently, and so does peroxidase enzyme. Susceptible cacao clones whose peroxidase activity do not increase are DRC 15 and DRC 16 and they belong to very susceptible clones. Keywords: chitinase activity, peroxidase, stomata, P. palmivora, cacao resistance.

126 102 Pendahuluan Pemanfaatan bahan tanam kakao tahan terhadap penyakit busuk buah merupakan pemecahan masalah tersebut untuk jangka panjang. Simmonds (1994) menyatakan bahwa ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora diperkirakan lebih bersifat horizontal dari pada vertikal. Menurut Agrios (1997) ketahanan tanaman dapat bersifat pasif (terbentuk tanpa rangsangan dari patogen) atau aktif (ekspresinya diimbas oleh serangan patogen), melibatkan mekanisme struktural dan biokimia. Duniway (1983) menyatakan bahwa ketahanan tanaman terhadap Phytophthora spp. meliputi ketahanan struktural, penghalang struktural terimbas, reaksi hipersensitif, dan produksi senyawa antimikrobia. Ketahanan buah kakao terhadap P. palmivora merupakan sistem multikomponen yang terekspresi dalam dua tahap, dinyatakan sebagai ketahanan prapenetrasi dan pascapenetrasi. Ketahanan prapenetrasi berhubungan dengan faktor morfologi yang mempengaruhi perkembangan prapenetrasi dan penetrasi patogen, dan menentukan jumlah bercak yang terjadi. Ketahanan pasca penetrasi berhubungan dengan mekanisme biokimia yang dapat mempengaruhi luasnya jaringan yang diserang patogen (Iwaro et al., 1995). Fry (1982) menyatakan bahwa walaupun patogen berhasil mempenetrasi jaringan inang, sering kali perkembangan selanjutnya terhambat. Mekanisme ketahanan struktural dapat berupa sifat morfologi dan anatomi. Menurut Fry (1982) walaupun sering kali mekanisme ketahanan bekerja setelah jaringan terpenetrasi, karakteristik struktural dapat mempengaruhi ketahanan inang. Fulton (1989) memperkirakan morfologi buah kakao berpengaruh pada disposisi dan penyebaran efektif inokulum P. palmivora. Permukaan buah kakao dapat menjadi inkubator mikro yang baik bagi pertumbuhan spora P. palmivora. Karena spora patogen ini bersifat hidrofilik, spora berada dalam lapisan air permukaan buah dan biasanya menempel pada bagian ujung buah. Tarjot (1974) menyatakan bahwa lengas di permukaan buah berpengaruh besar pada perkecambahan spora. Diperkirakan ketahanan terhadap patogen ini terletak pada beberapa lapisan sel parenkima di bawah epidermis. Enriquez & Soria (1999) menunjukkan bahwa setiap buah kakao yang tahan terhadap M. roreri mempunyai pengaturan selular

127 103 parenkim sub epidermis yang berbeda dibandingkan buah rentan. Buah tahan mempunyai sel-sel yang kompak dan juga mengandung sejumlah besar senyawa fenolat. Lignifikasi dinding sel merupakan suatu bentuk ketahanan tanaman terhadap penetrasi patogen. Pada dinding sel, lignin terdapat dalam lamela tengah, dinding sel primer dan sekunder (Akai & Fukutomi, 1980). Menurut Friend (1979) lignifikasi merupakan suatu mekanisme ketahanan mentimun terhadap Cladosporium cucumerinum. Penggabungan lignin ke dalam dinding sel tanaman memberikan kekuatan mekanik dan memungkinkan dinding sel lebih tahan terhadap degradasi enzim patogen (Goodwin & Mercer, 1990). Tumbuhan memiliki berbagai mekanisme untuk melindungi dari berbagai infeksi patogen tanaman yang berpotensi merusak, antara lain dengan mensintesis berbagai protein yang menghambat perkembangan patogen. Protein lain yang berhubungan dengan respon ketahanan tanaman terhadap patogen adalah kitinase dan peroksidase. Kitinase dapat mendegradasi senyawa kitin yang merupakan komponen utama penyusun dinding sel cendawan. Kitinase adalah enzim yang umum diproduksi oleh sel bakteri, cendawan, hewan dan tumbuhan. Hidrolisis polimer kitin sebagai salah satu komponen dinding hifa cendawan dapat menghambat pertumbuhan hifa. Oleh karena itu, kitinase dikenal sebagai salah satu protein anti cendawan (Wang et al., 2005) Menurut Oku (1994), peranan kitinase pada ketahanan tanaman terhadap serangan patogen terjadi melalui dua cara, adalah (i) menghambat pertumbuhan cendawan dengan secara langsung menghidrolisis dinding miselia cendawan dan (ii) melepaskan elisitor endogen oleh aktivitas kitinase yang kemudian meningkatkan reaksi ketahanan sistemik (systemic acquired resistance/sar) pada inang. Peroksidase merupakan enzim yang terlibat dalam respon tanaman terhadap patogen dan termasuk kedalam PR-9 (Lagrimini et al., 1997). Oku (1994) menyatakan bahwa peroksidase berperan dalam proses oksidase dan polimerisasi prekusor untuk biosentesis lignin, sementara lignin sendiri berfungsi sebagai barier fisik yang dapat menghambat infeksi patogen pada tanaman. Peroksidase juga menunjukkan penghambatan terhadap pertumbuhan cendawan dalam pengujian in vitro (Saikia et al., 2006). Aktivitas peroksidase yang tinggi pada tanaman terkait dengan ketahanan tanaman lebih tinggi terhadap patogen pada

128 104 kacang tanah (Pujihartati et al., 2006). Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peran kitinase maupun peroksidase di dalam mekanisme ketahannn tanaman kakao, pada klon yang tahan maupun rentan. Bahan dan Metode A. Penelitian Kerapatan Stomata pada Buah dan Daun Kakao Waktu dan Tempat Penelitian berlangsung pada bulan Desember 2008 hingga bulan Februari 2009, bertempat di Kebun Percobaan Kaliwining, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember, Jawa Timur dan Laboratorium Ekofisiologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Pengamatan Stomata Daun Kakao Bahan penelitian adalah 10 klon kakao yang mewakili kelompok rentan hingga tahan merupakan hasil penelitian pada Bab III. Klon kakao tersebut adalah: ICCRI 3, GC 7, DR 2, TSH 858, ICS 13, Sca 6, DR 1, DRC 15, DRC 16 dan ICS 60. Daun yang masih segar diambil dari dua pasang dari daun ke-2 yang masih dipohon. Bagian permukaan bawah daun dioles cat kuku dan aseton dengan merata, dibiarkan selama 15 menit sampai kering, kemudian selotip transparan ditempelkan agar stomata daun kakao terikut. Stomata yang terikut di selotip ditempelkan pada gelas obyek kemudian diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 x. Untuk mempermudah pengamatan stomata, gambar stomata dari kamera Canon tipe digital IXUS 60 dipindahkan ke komputer. Penghitungan jumlah stomata dengan menggunakan handcounter. Parameter yang diamati adalah kerapatan stomata (cm²), yang dilakukan 5 kali pada 3 bidang pandang sebagai ulangan. Pengamatan Stomata Buah Kakao Pengamatan stomata pada kulit buah kakao menggunakan klon dan metode yang sama dengan penelitian stomata pada daun. Pengukuran kerapatan stomata permukaan kulit buah dilakukan dengan menggunakan buah kakao umur 3 bulan

129 105 (dari saat antesis). Bagian permukaan kulit buah dioles cat kuku dan aseton dengan merata sampai kering, kemudian ditempelkan selotip transparan agar stomata buah kakao terikut. Stomata yang terikut di selotip ditempelkan pada gelas obyek kemudian diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 x. Data dari hasil pengamatan terhadap stomata buah dan daun kemudian ditabulasi untuk dilakukan analisis statistik dengan menggunakan program SAS versi 9. B. Penelitian Aktivitas Kitinase dan Peroksidase Daun pada Beberapa Klon Kakao. Waktu dan Tempat Penelitian berlangsung mulai bulan Januari sampai Mei 2009, dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tumbuhan PAU Institut Pertanian Bogor. Bahan Penelitian Penelitian menggunakan 10 klon kakao (sama dengan penelitian A) yaitu ICCRI 3, GC 7, DR 2, TSH 858, ICS 13, Sca 6, DR 1, DRC 15, DRC 16 dan ICS 60 yang diperoleh dari Kebun Percobaan Kaliwining, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia di Jember, Jawa Timur. Daun sehat berumur sekitar 3 minggu (warna hijau muda) dipilih dan diberi tanda untuk digunakan dalam penelitian. Salah satu daun dari pasangan daun dipilih untuk diinokulasi dengan menempelkan potongan media V8 juice agar diameter 0,5 cm yang mengandung miselia P. palmivora umur 14 hari pada permukaan daun, kemudian ditutup dengan kapas basah. Daun disungkup dengan plastik transparan yang bagian ujungnya diikat dengan karet dan ditutup dengan selotip. Hal ini agar kelembaban yang tinggi dapat tercapai sehingga miselia dapat tumbuh dan berkembang. Setelah 7 hari dari saat inokulasi, daun yang diinokulasi dan telah terinfeksi oleh P. palmivora (ditandai dengan bercak kecoklatan membulat) dipetik dan diberi label sesuai dengan klonnya lalu dimasukkan dalm cool box untuk dianalisis di laboratorium. Daun sehat (tidak diinokulasi) dari pasangan daun dipetik untuk dijadikan pembanding (kontrol).

130 106 Ekstraksi Protein Ekstraksi protein dari jaringan daun yang terinfeksi maupun yang sehat dilakukan dalam kondisi lingkungan yang bersuhu sekitar 4 C. Daun sebanyak 0,5 g basah digerus dalam larutan penyangga fosfat (50 mm ph 7) dingin dengan perbandingan 1:4 (b/v). Gerusan daun yang sehat maupun yang terinfeksi disentrifus pada kecepatan 5000 rpm dan suhu 4 C selama 10 menit. Supernatan diambil dan ditentukan total protein terlarutnya (TPT) menggunakan metode yang dijelaskan oleh Pujihartati et al. (2006a) dan Sukma (2008). Analisis Total Protein Terlarut (TPT) Untuk penetapan total protein terlarut digunakan bahan-bahan pereaksi A (Na2CO3 dalam NaOH 0,1 M), B (CuSO4. 5H2O 0,5% dalam Na-K-tartrat 1%), C (50 ml pereaksi A ditambah 1 ml pereaksi B yang dibuat segar) dan D (foline ciocalteau yang dilarutkan dalam H 2 O dengan perbandingan 1:1). Penetapan TPT dengan metode Lowry secara ringkas sebagai berikut: sebanyak 1 ml supernatant hasil ekstraksi protein ditambahkan 5 ml pereaksi C, divorteks, kemudian didiamkan pada suhu ruang selama 10 menit. Larutan tersebut kemudian ditambah pereaksi D dan diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit. Setelah inkubasi, absorbansi larutan dibaca pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 500 nm. Total protein terlarut ditetapkan dengan menggunakan kurva standar dari Bovin Serum Albumin (BSA). Kadar protein jaringan ditentukan dengan membagi nilai TPT dengan bobot contoh yang digunakan dan memperhitungkan volume bufer pengekstraksi. Analisis Aktivitas Kitinase Aktivitas kitinase dalam ekstrak kasar protein dari daun tanaman yang sehat dan yang terinfeksi P. palmivora pada 10 klon kakao dianalisis berdasarkan kemampuannya untuk mendegradasi substrat dimmer p-nitrophenil N-asetil β-d glucosaminide (pnp-nacgluc) mengikuti prosedur yang digunakan oleh Pujihartati et al. (2006a). Sebanyak 100 µl supernatant hasil ekstrak kasar protein dicampur dengan 10 µl subtract pnp-nacgluc 5 mm, lalu divortek dan selanjutnya diinkubasi selama 0 dan 3 jam. Setelah inkubasi, reaksi dihentikan

131 107 dengan menambahkan Trichlocetic Acid (TCA) 20% sebanyak 25 µl, divorteks, lalu disentrifus pada 5000 rpm selama 5 menit. Supernatan hasil sentrifus diambil 0,3 ml dan ditambahkan 0,7 ml NaOH 0,5 mm. Kemudian larutan diinkubasikan selama 30 menit dan nilai absorbsi larutan setelah reaksi diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang λ 405 nm. Aktivitas kitinase dihitung berdasarkan banyaknya pnp NacGluc (nm)yang dibebaskan per jam per mg protein (mm pnp/jam/mg protein). Analisis Aktivitas Peroksidase Aktivitas enzim peroksidase dari ekstrak kasar protein daun kakao yang sehat dan yang sakit dari 10 klon kakao ditentukan dengan metode Kar & Mishra (1976) dan Pujihartati et al. (2006b). Ekstrak kasar protein (100 µl) dari daun yang diuji ditambahkan ke dalam larutan 2,5 ml pirogalol 0,2 M. Kemudian ke dalam campuran ditambahkan 250 µl H 2 O 2 (1%). Nilai absorbansi larutan sesudah reaksi diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang λ 420 nm setiap 30 detik dalam periode detik, dengan menggunakan blanko yang mengandung campuran larutan yang sama tetapi tanpa ekstrak kasar protein. Sebagai pengganti ekstrak kasar protein, ke dalam larutan blanko ditambahkan larutan penyangga fosfat. Aktivitas peroksidase dihitung sebagai peningkatan nilai absorbansi persatuan waktu per bobot protein (ΔA 420 /menit/mg protein) pada kondisi analisis. Hasil dan Pembahasan Kerapatan Stomata Berdasarkan hasil analisis kerapatan stomata pada daun kakao diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan jumlah stomata yang nyata antara klon kakao yang tahan dengan klon yang rentan.. Klon kakao ICCRI 3 dan ICS 13 yang masuk dalam kelompok agak tahan memiliki kerapatan jumlah stomata terkecil berturut-turut 82,14 dan 83,75/cm 2, sedangkan klon yang lain memiliki kerapatan stomata berkisar antara 100,27 131,01/ mm.2 (Tabel 18).

132 108 Tabel 18. Rata-rata Kerapatan Stomata Daun dan Buah pada Beberapa Klon Kakao NO Klon Kakao Kerapatan Stomata Daun per cm 2 Kerapatan Stomata Buah per cm 2 1 DR1 115,48 a 17,78 a 2 ICS 13 83,75 a 10,22 a 3 TSH ,14 a 7,78 a 4 ICCRI 3 82,14 a 8,89 a 5 SCA 6 125,73 a 18,89 a 6 ICS ,97 a 10,00 a 7 DRC ,27 a 11,11 a 8 DR 2 131,01 a 10,00 a 9 GC 7 123,87 a 14,44 a 10 DRC ,97 a 13,33 a Keterangan: angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada aras 0,05%. TSH 858 ICCRI 3 GC 7 ICS 13 Gambar 16. Stomata daun kakao klon TSH 858, ICCRI 3, GC 7 dan ICS 13

KAJIAN GENETIKA KETAHANAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH (Phytophthora palmivora Butl) DI INDONESIA R U B I Y O

KAJIAN GENETIKA KETAHANAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH (Phytophthora palmivora Butl) DI INDONESIA R U B I Y O KAJIAN GENETIKA KETAHANAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH (Phytophthora palmivora Butl) DI INDONESIA R U B I Y O SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kakao merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan yang telah lama dikembangkan baik oleh masyarakat maupun lahan perkebunan yang dikelola oleh pemerintah. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO

PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO PENAMPILAN HIBRIDA, PENDUGAAN NILAI HETEROSIS DAN DAYA GABUNG GALUR GALUR JAGUNG (Zea mays L.) FAHMI WENDRA SETIOSTONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

melakukan inokulasi langsung pada buah pepaya selanjutnya mengamati karakter yang berhubungan dengan ketahanan, diantaranya masa inkubasi, diameter

melakukan inokulasi langsung pada buah pepaya selanjutnya mengamati karakter yang berhubungan dengan ketahanan, diantaranya masa inkubasi, diameter PEMBAHASAN UMUM Pengembangan konsep pemuliaan pepaya tahan antraknosa adalah suatu kegiatam dalam upaya mendapatkan genotipe tahan. Salah satu metode pengendalian yang aman, murah dan ramah lingkungan

Lebih terperinci

Uji Ketahanan Kakao (Theobroma cacao L.) Terhadap Penyakit Busuk Buah dan Efektivitas Metode Inokulasi

Uji Ketahanan Kakao (Theobroma cacao L.) Terhadap Penyakit Busuk Buah dan Efektivitas Metode Inokulasi Pelita Perkebunan Uji ketahanan 2008, kakao 24 (2),(Theobroma 95 113 cacao L.) terhadap penyakit busuk buah dan efektivitas metode inokulasi Uji Ketahanan Kakao (Theobroma cacao L.) Terhadap Penyakit Busuk

Lebih terperinci

PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI

PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

INOVASI TEKNOLOGI PERAKITAN BAHAN TANAM KAKAO UNGGUL DI INDONESIA

INOVASI TEKNOLOGI PERAKITAN BAHAN TANAM KAKAO UNGGUL DI INDONESIA INOVASI TEKNOLOGI PERAKITAN BAHAN TANAM KAKAO UNGGUL DI INDONESIA Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia. Sekitar

Lebih terperinci

PERAKITAN VARIETAS UNGGUL PADI BERAS HITAM FUNGSIONAL TOLERAN KEKERINGAN SERTA BERDAYA HASIL TINGGI

PERAKITAN VARIETAS UNGGUL PADI BERAS HITAM FUNGSIONAL TOLERAN KEKERINGAN SERTA BERDAYA HASIL TINGGI PERAKITAN VARIETAS UNGGUL PADI BERAS HITAM FUNGSIONAL TOLERAN KEKERINGAN SERTA BERDAYA HASIL TINGGI BREEDING OF BLACK RICE VARIETY FOR DROUGHT TOLERANCE AND HIGH YIELD I Gusti Putu Muliarta Aryana 1),

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI AKTIFITAS ANTIOKSIDAN, KANDUNGAN PROTEIN, FENOL DAN FLAVONOID PADA JARINGAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.

IDENTIFIKASI AKTIFITAS ANTIOKSIDAN, KANDUNGAN PROTEIN, FENOL DAN FLAVONOID PADA JARINGAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L. IDENTIFIKASI AKTIFITAS ANTIOKSIDAN, KANDUNGAN PROTEIN, FENOL DAN FLAVONOID PADA JARINGAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) SKRIPSI Oleh Wahyu Dwi Setiawan NIM. 061510101189 JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN

Lebih terperinci

METODE MEMPERTAHANKAN KUALITAS DAN KUANTITAS ASAM RIBONUKLEAT (RNA) TANAMAN M. REZEKI MUAMMAR

METODE MEMPERTAHANKAN KUALITAS DAN KUANTITAS ASAM RIBONUKLEAT (RNA) TANAMAN M. REZEKI MUAMMAR METODE MEMPERTAHANKAN KUALITAS DAN KUANTITAS ASAM RIBONUKLEAT (RNA) TANAMAN M. REZEKI MUAMMAR PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK

Lebih terperinci

SKRIPSI OLEH : MUTIA RAHMAH AET-PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

SKRIPSI OLEH : MUTIA RAHMAH AET-PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA SELEKSI INDIVIDU TERPILIH PADA TANAMAN KEDELAI (Glycine maxl.merrill) GENERASI M 5 BERDASARKAN KARAKTER PRODUKSI TINGGI DAN TOLERAN PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG Athelia rolfsii(curzi) SKRIPSI OLEH : MUTIA

Lebih terperinci

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH :

KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH : KERAGAAN FENOTIPE BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI PADA GENERASI F 2 BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L. Merril.) S K R I P S I OLEH : DINI RIZKITA PULUNGAN 110301079 / PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

UJI INFEKSI Phaeophleospora sp. PADA KLON HIBRID Eucalyptus grandis x Eucalyptus urophylla

UJI INFEKSI Phaeophleospora sp. PADA KLON HIBRID Eucalyptus grandis x Eucalyptus urophylla UJI INFEKSI Phaeophleospora sp. PADA KLON HIBRID Eucalyptus grandis x Eucalyptus urophylla SKRIPSI Paulus Stefan S. N. 101201101 Budidaya Hutan FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2015

Lebih terperinci

( 2 ) untuk derajat kecocokan nisbah segregasi pada setiap generasi silang balik dan

( 2 ) untuk derajat kecocokan nisbah segregasi pada setiap generasi silang balik dan PEMBAHASAN UMUM Penggabungan karakter resisten terhadap penyakit bulai dan karakter yang mengendalikan peningkatan lisin dan triptofan pada jagung merupakan hal yang sulit dilakukan. Hal ini disebabkan

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.)

PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) SKRIPSI OLEH : HENDRIKSON FERRIANTO SITOMPUL/ 090301128 BPP-AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

Peluang dan Tantangan Perbenihan Kakao di Indonesia. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB Sudirman No.

Peluang dan Tantangan Perbenihan Kakao di Indonesia. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB Sudirman No. Peluang dan Tantangan Perbenihan Kakao di Indonesia Indah Anita-Sari 1) dan Agung Wahyu Susilo 1) 1) Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB Sudirman No. 90 Jember 68118 Perbenihan memiliki peran

Lebih terperinci

PENAMPILAN MORFOFISIOLOGI AKAR BEBERAPA HASIL PERSILANGAN (F1) JAGUNG (Zea mays L.) PADA DUA MEDIA TANAM DI RHIZOTRON SKRIPSI OLEH:

PENAMPILAN MORFOFISIOLOGI AKAR BEBERAPA HASIL PERSILANGAN (F1) JAGUNG (Zea mays L.) PADA DUA MEDIA TANAM DI RHIZOTRON SKRIPSI OLEH: PENAMPILAN MORFOFISIOLOGI AKAR BEBERAPA HASIL PERSILANGAN (F1) JAGUNG (Zea mays L.) PADA DUA MEDIA TANAM DI RHIZOTRON SKRIPSI OLEH: DESY MUTIARA SARI/120301079 AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) ASAL JAWA BARAT DENGAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) ASAL JAWA BARAT DENGAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) ASAL JAWA BARAT DENGAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) MUHAMMAD IQBAL SYUKRI DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN

Lebih terperinci

Online Jurnal of Natural Science, Vol.3(2): ISSN: Agustus 2014

Online Jurnal of Natural Science, Vol.3(2): ISSN: Agustus 2014 Terhadap Infeksi Penyakit Busuk Buah Berdasarkan Uji Detached Pod (Resistance Of Several Cacao Clones Against Pod Rot Disease Infection Based On Detached Pod Assay) Nurul Aisyah 1*, Rahmansyah 1, Muslimin

Lebih terperinci

NARWIYAN AET PEMULIAAN TANAMAN

NARWIYAN AET PEMULIAAN TANAMAN SEBARAN NORMAL KARAKTER-KARAKTER PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI HASIL PERSILANGAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merril) VARIETAS ANJASMORO DENGAN GENOTIPA KEDELAI TAHAN SALIN PADA F2 SKRIPSI OLEH : NARWIYAN

Lebih terperinci

UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH:

UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH: UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH: Dinda Marizka 060307029/BDP-Pemuliaan Tanaman PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

KERAGAAN GALUR KEDELAI HASIL PERSILANGAN VARIETAS TANGGAMUS x ANJASMORO DAN TANGGAMUS x BURANGRANG DI TANAH ENTISOL DAN INCEPTISOL TESIS

KERAGAAN GALUR KEDELAI HASIL PERSILANGAN VARIETAS TANGGAMUS x ANJASMORO DAN TANGGAMUS x BURANGRANG DI TANAH ENTISOL DAN INCEPTISOL TESIS KERAGAAN GALUR KEDELAI HASIL PERSILANGAN VARIETAS TANGGAMUS x ANJASMORO DAN TANGGAMUS x BURANGRANG DI TANAH ENTISOL DAN INCEPTISOL TESIS Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister

Lebih terperinci

RESPON SELEKSI PADA 12 GENOTIPE KEDELAI MELALUI SELEKSI LANGSUNG DAN SIMULTAN SKRIPSI

RESPON SELEKSI PADA 12 GENOTIPE KEDELAI MELALUI SELEKSI LANGSUNG DAN SIMULTAN SKRIPSI RESPON SELEKSI PADA 12 GENOTIPE KEDELAI MELALUI SELEKSI LANGSUNG DAN SIMULTAN SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan Program Strata Satu (S1) Program Studi Agronomi

Lebih terperinci

UJI KETAHANAN BEBERAPA GENOTIPE TANAMAN KARET TERHADAP PENYAKIT Corynespora cassiicola DAN Colletotrichum gloeosporioides DI KEBUN ENTRES SEI PUTIH

UJI KETAHANAN BEBERAPA GENOTIPE TANAMAN KARET TERHADAP PENYAKIT Corynespora cassiicola DAN Colletotrichum gloeosporioides DI KEBUN ENTRES SEI PUTIH UJI KETAHANAN BEBERAPA GENOTIPE TANAMAN KARET TERHADAP PENYAKIT Corynespora cassiicola DAN Colletotrichum gloeosporioides DI KEBUN ENTRES SEI PUTIH SKRIPSI OLEH : INTAN PURNAMASARI 090301178 AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. serius karena peranannya cukup penting dalam perekonomian nasional. Hal ini

I. PENDAHULUAN. serius karena peranannya cukup penting dalam perekonomian nasional. Hal ini 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kakao merupakan salah satu komoditi perkebunan yang mendapatkan perhatian serius karena peranannya cukup penting dalam perekonomian nasional. Hal ini terlihat

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER LATHIFATURRAHMAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER

Lebih terperinci

SKRIPSI OLEH : RINALDI

SKRIPSI OLEH : RINALDI PENDUGAAN PARAMETER GENETIK KAMBING BOERKA (F2) BERDASARKAN BOBOT LAHIR, BOBOT SAPIH DAN BOBOT UMUR 6 BULAN DI LOKA PENELITIAN KAMBING POTONG SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH : RINALDI 100306003 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

PENGARUH PELAPISAN CHITOSAN DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP VIABILITAS BENIH DAN PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.)

PENGARUH PELAPISAN CHITOSAN DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP VIABILITAS BENIH DAN PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) PENGARUH PELAPISAN CHITOSAN DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP VIABILITAS BENIH DAN PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) SKRIPSI Oleh Henry Dwi Kurniawan NIM. 061510101190 PS AGRONOMI-AGROINDUSTRI KOPI

Lebih terperinci

UJI DAYA TUMBUH BIBIT TEBU YANG TERSERANG HAMA PENGGEREK BATANG BERGARIS (Chilo sacchariphagus Bojer.)

UJI DAYA TUMBUH BIBIT TEBU YANG TERSERANG HAMA PENGGEREK BATANG BERGARIS (Chilo sacchariphagus Bojer.) UJI DAYA TUMBUH BIBIT TEBU YANG TERSERANG HAMA PENGGEREK BATANG BERGARIS (Chilo sacchariphagus Bojer.) SKRIPSI OLEH : IIN SUWITA 070302020 HPT DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK VIGOR BENIH CABAI (Capsicum annuum L.) MENGGUNAKAN ANALISIS SILANG HALF DIALEL

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK VIGOR BENIH CABAI (Capsicum annuum L.) MENGGUNAKAN ANALISIS SILANG HALF DIALEL PENDUGAAN PARAMETER GENETIK VIGOR BENIH CABAI (Capsicum annuum L.) MENGGUNAKAN ANALISIS SILANG HALF DIALEL Estimation of genetic parameters chilli (Capsicum annuum L.) seeds vigor with half diallel cross

Lebih terperinci

KERAGAAN BEBERAPA GENOTIPE CABAI

KERAGAAN BEBERAPA GENOTIPE CABAI KERAGAAN BEBERAPA GENOTIPE CABAI (Capsicum annuum L.) DAN KETAHANANNYA TERHADAP ANTRAKNOSA, HAWAR PHYTOPHTHORA, DAN LAYU BAKTERI SERTA PARAMETER GENETIKNYA NURWANITA EKASARI PUTRI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

DAN CABANG PADA ENAM KLON KARET ABSTRACT

DAN CABANG PADA ENAM KLON KARET ABSTRACT INFEKSI Fusarium sp. PENYEBAB PENYAKIT LAPUK BATANG DAN CABANG PADA ENAM KLON KARET Eko Heri Purwanto, A. Mazid dan Nurhayati J urusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya

Lebih terperinci

EVALUASI KETAHANAN POPULASI F1 DOUBLE CROSS

EVALUASI KETAHANAN POPULASI F1 DOUBLE CROSS EVALUASI KETAHANAN POPULASI F1 DOUBLE CROSS SEMANGKA (Citrullus lanatus (Thunb.) Matsum & Nakai) TERHADAP LAYU FUSARIUM (Fusarium oxysporum f. sp. niveum) DAN KARAKTER KUANTITATIFNYA Oleh SWISCI MARGARET

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L.] Merrill) merupakan salah satu komoditas pangan strategis ketiga di Indonesia setelah padi dan jagung. Sejalan dengan bertambahnya

Lebih terperinci

PEMANFAATAN KOMPOS DAN ZEOLIT UNTUK PENGENDALIAN BUSUK PANGKAL BATANG (BPB) PADA TANAMAN LADA JEKVY HENDRA

PEMANFAATAN KOMPOS DAN ZEOLIT UNTUK PENGENDALIAN BUSUK PANGKAL BATANG (BPB) PADA TANAMAN LADA JEKVY HENDRA PEMANFAATAN KOMPOS DAN ZEOLIT UNTUK PENGENDALIAN BUSUK PANGKAL BATANG (BPB) PADA TANAMAN LADA JEKVY HENDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

KEMAMPUAN ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescent L.) DI LAHAN GAMBUT

KEMAMPUAN ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescent L.) DI LAHAN GAMBUT SKRIPSI KEMAMPUAN ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescent L.) DI LAHAN GAMBUT Oleh: Julianti 11082201605 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN UNIVERSITAS ISLAM

Lebih terperinci

KERAGAMAN GENETIK, HERITABILITAS, DAN RESPON SELEKSI SEPULUH GENOTIPE KEDELAI DI KABUPATEN TULUNGAGUNG

KERAGAMAN GENETIK, HERITABILITAS, DAN RESPON SELEKSI SEPULUH GENOTIPE KEDELAI DI KABUPATEN TULUNGAGUNG KERAGAMAN GENETIK, HERITABILITAS, DAN RESPON SELEKSI SEPULUH GENOTIPE KEDELAI DI KABUPATEN TULUNGAGUNG SKRIPSI Oleh Dheska Pratikasari NIM 091510501136 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

TOLERANSI BEBERAPA KLON KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP INFEKSI Phytophthora palmivora Butl. Oleh

TOLERANSI BEBERAPA KLON KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP INFEKSI Phytophthora palmivora Butl. Oleh TOLERANSI BEBERAPA KLON KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP INFEKSI Phytophthora palmivora Butl. Oleh Ruli Alhadi *) Di bawah bimbingan Fatimah dan Ediwirman *) Program Studi Agroteknologi Universitas

Lebih terperinci

PENAPISAN GENOTIPE DAN ANALISIS GENETIK KETAHANAN PEPAYA TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA DI TAJUR DAN GUNUNG GEULIS BOGOR SITI HAFSAH

PENAPISAN GENOTIPE DAN ANALISIS GENETIK KETAHANAN PEPAYA TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA DI TAJUR DAN GUNUNG GEULIS BOGOR SITI HAFSAH PENAPISAN GENOTIPE DAN ANALISIS GENETIK KETAHANAN PEPAYA TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA DI TAJUR DAN GUNUNG GEULIS BOGOR SITI HAFSAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan sumber protein penting di Indonesia. Kesadaran masyarakat

I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan sumber protein penting di Indonesia. Kesadaran masyarakat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai merupakan sumber protein penting di Indonesia. Kesadaran masyarakat akan pemenuhan gizi yang baik semakin meningkat, baik kecukupan protein hewani

Lebih terperinci

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS

PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK VERMIKOMPOS DAN INTERVAL PENYIRAMAN PADA TANAH SUBSOIL SKRIPSI

RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK VERMIKOMPOS DAN INTERVAL PENYIRAMAN PADA TANAH SUBSOIL SKRIPSI RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK VERMIKOMPOS DAN INTERVAL PENYIRAMAN PADA TANAH SUBSOIL SKRIPSI OLEH: RIZKI RINALDI DALIMUNTHE 080301018 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine Max [L.] Merrill) merupakan tanaman pangan yang memiliki nilai gizi yang sangat tinggi terutama proteinnya (35-38%) hampir mendekati protein

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DAN KOMPONEN RAGAM KAMBING KACANG

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DAN KOMPONEN RAGAM KAMBING KACANG PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DAN KOMPONEN RAGAM KAMBING KACANG SKRIPSI MUHAMMAD ARY SYAPUTRA 110306028 PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2016 PENDUGAAN PARAMETER GENETIK

Lebih terperinci

PENYAKIT VASCULAR STREAK DIEBACK (VSD) PADA TANAMAN KAKAO (THEOBROMA CACAO L) DAN. Oleh Administrator Kamis, 09 Februari :51

PENYAKIT VASCULAR STREAK DIEBACK (VSD) PADA TANAMAN KAKAO (THEOBROMA CACAO L) DAN. Oleh Administrator Kamis, 09 Februari :51 Kakao (Theobroma cacao L) merupakan satu-satunya diantara 22 spesies yang masuk marga Theobroma, Suku sterculiacecae yang diusahakan secara komersial. Kakao merupakan tanaman tahunan yang memerlukan lingkungan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : NAZRIAH PRATIWI / AGROEKOTEKNOLOGI PEMULIAAN TANAMAN

SKRIPSI. Oleh : NAZRIAH PRATIWI / AGROEKOTEKNOLOGI PEMULIAAN TANAMAN IDENTIFIKASI KARAKTER MORFOLOGIS DAN HUBUNGAN KEKERABATAN BEBERAPA GENOTIPE DURIAN (Durio zibethinus Murr) DI KECAMATAN TIGALINGGA DAN PEGAGAN HILIR KABUPATEN DAIRI SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh : NAZRIAH

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI

PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR

MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Ir. Sri Rahayu, MSi. Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, MAgr.Sc.

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Ir. Sri Rahayu, MSi. Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, MAgr.Sc. APLIKASI INDEKS MORFOLOGI DALAM PENDUGAAN BOBOT BADAN DAN TIPE PADA DOMBA EKOR GEMUK DAN DOMBA EKOR TIPIS SKRIPSI HAFIZ PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

SKRIPSI KELIMPAHAN POPULASI WERENG BATANG COKLAT PADA BEBERAPA VARIETAS PADI DENGAN PEMBERIAN ZEOLIT DAN PENERAPAN KONSEP PHT

SKRIPSI KELIMPAHAN POPULASI WERENG BATANG COKLAT PADA BEBERAPA VARIETAS PADI DENGAN PEMBERIAN ZEOLIT DAN PENERAPAN KONSEP PHT SKRIPSI KELIMPAHAN POPULASI WERENG BATANG COKLAT PADA BEBERAPA VARIETAS PADI DENGAN PEMBERIAN ZEOLIT DAN PENERAPAN KONSEP PHT Oleh Ndaru Priasmoro H0709078 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PENAPISAN GENOTIPE KAKAO TAHAN PENYAKIT BUSUK BUAH (Phytopthora palmivora) DI ACEH BESAR

PENAPISAN GENOTIPE KAKAO TAHAN PENYAKIT BUSUK BUAH (Phytopthora palmivora) DI ACEH BESAR PENAPISAN GENOTIPE KAKAO TAHAN PENYAKIT BUSUK BUAH (Phytopthora palmivora) DI ACEH BESAR Screening Genotypes of Cacao to Black Pod Disease (Phytopthora palmivora) in Aceh Besar Siti Hafsah 1, Zuyasna 1,

Lebih terperinci

Isolation of Indigenous Phytophthora palmivora from Indonesia, Their Morphological and Pathogenecity Characterization

Isolation of Indigenous Phytophthora palmivora from Indonesia, Their Morphological and Pathogenecity Characterization Isolation of indegenous Phytophthora palmivora from Indonesia, their morphological and pathogenecity Pelita Perkebunan 2008, 24(1), 35 48 characterization Isolation of Indigenous Phytophthora palmivora

Lebih terperinci

HUBUNGAN TRANSPIRASI DENGAN HASIL DAN RENDEMEN MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) CHARLES YULIUS BORA

HUBUNGAN TRANSPIRASI DENGAN HASIL DAN RENDEMEN MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) CHARLES YULIUS BORA HUBUNGAN TRANSPIRASI DENGAN HASIL DAN RENDEMEN MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) CHARLES YULIUS BORA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

PERANAN BANK PERKREDITAN RAKYAT BINAAN TERHADAP KINERJA USAHA KECIL DI SUMATERA BARAT ZEDNITA AZRIANI

PERANAN BANK PERKREDITAN RAKYAT BINAAN TERHADAP KINERJA USAHA KECIL DI SUMATERA BARAT ZEDNITA AZRIANI PERANAN BANK PERKREDITAN RAKYAT BINAAN TERHADAP KINERJA USAHA KECIL DI SUMATERA BARAT BANK NAGARI ZEDNITA AZRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pepaya (Carica papaya) merupakan salah satu tanaman buah yang sangat penting dalam pemenuhan kalsium dan sumber vitamin A dan C (Nakasome dan Paull 1998). Selain dikonsumsi sebagai

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI TERHADAP PRODUKSI KAKAO

ANALISIS PENGARUH FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI TERHADAP PRODUKSI KAKAO ANALISIS PENGARUH FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI TERHADAP PRODUKSI KAKAO (Theobroma cacao L.) DENGAN PENERAPAN PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT) DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI TESIS Oleh CHRISTINA OKTORA MATONDANG

Lebih terperinci

RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PEMBERIAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT DAN PUPUK UREA PADA MEDIA PEMBIBITAN SKRIPSI OLEH :

RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PEMBERIAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT DAN PUPUK UREA PADA MEDIA PEMBIBITAN SKRIPSI OLEH : RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PEMBERIAN ABU JANJANG KELAPA SAWIT DAN PUPUK UREA PADA MEDIA PEMBIBITAN SKRIPSI OLEH : SARAH VITRYA SIDABUTAR 080301055 BDP-AGRONOMI PROGRAM

Lebih terperinci

PENGKLASIFIKASIAN UKURAN-UKURAN TUBUH DOMBA SILANGAN LOKAL-GARUT JANTAN DI KABUPATEN TASIKMALAYA BERDASARKAN ANALISIS FAKTOR SKRIPSI AJI SURYANA

PENGKLASIFIKASIAN UKURAN-UKURAN TUBUH DOMBA SILANGAN LOKAL-GARUT JANTAN DI KABUPATEN TASIKMALAYA BERDASARKAN ANALISIS FAKTOR SKRIPSI AJI SURYANA PENGKLASIFIKASIAN UKURAN-UKURAN TUBUH DOMBA SILANGAN LOKAL-GARUT JANTAN DI KABUPATEN TASIKMALAYA BERDASARKAN ANALISIS FAKTOR SKRIPSI AJI SURYANA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN STUMP KARET PADA BERBAGAI KEDALAMAN DAN KOMPOSISI MEDIA TANAM SKRIPSI OLEH : JENNI SAGITA SINAGA/ AGROEKOTEKNOLOGI-BPP

PERTUMBUHAN STUMP KARET PADA BERBAGAI KEDALAMAN DAN KOMPOSISI MEDIA TANAM SKRIPSI OLEH : JENNI SAGITA SINAGA/ AGROEKOTEKNOLOGI-BPP PERTUMBUHAN STUMP KARET PADA BERBAGAI KEDALAMAN DAN KOMPOSISI MEDIA TANAM SKRIPSI OLEH : JENNI SAGITA SINAGA/100301085 AGROEKOTEKNOLOGI-BPP PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga rumput-rumputan. Jagung adalah salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting,

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS VIDEO INSTRUKSIONAL DALAM DISEMINASI INFORMASI PERTANIAN

EFEKTIVITAS VIDEO INSTRUKSIONAL DALAM DISEMINASI INFORMASI PERTANIAN EFEKTIVITAS VIDEO INSTRUKSIONAL DALAM DISEMINASI INFORMASI PERTANIAN (Eksperimen Lapangan : Pengendalian Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) pada Petani Kakao di Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah) MUHAMMAD

Lebih terperinci

PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI

PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI PERBAIKAN TEKNIK GRAFTING MANGGIS (Garcinia mangostana L.) SOFIANDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 i SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan

Lebih terperinci

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

Ketersediaan klon kakao tahan VSD

Ketersediaan klon kakao tahan VSD Alternatif Pengendalian Penyakit VSD (vascular-streak dieback) Melalui Penggantian Tajuk Tanaman Teguh Iman Santoso 1), Sudarsianto 1), dan A. Adi Prawoto 1) 1) Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Kualitatif Karakter kualitatif yang diamati pada penelitian ini adalah warna petiol dan penampilan daun. Kedua karakter ini merupakan karakter yang secara kualitatif berbeda

Lebih terperinci

DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010

DEPARTEMEN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010 PENGARUH PEMBERIAN FUNGISIDA BOTANI TERHADAP INTENSITAS PENYAKIT HAWAR DAUN (Phytophthora infestans (Mont.) de Barry) PADA TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.) DI LAPANGAN SKRIPSI OLEH: NOVA FRYANTI

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK DAN ANORGANIK

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK DAN ANORGANIK ANALISIS PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK DAN ANORGANIK FEBRIANI BANGUN 060307025 DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Christina Oktora Matondang, SP dan Muklasin, SP

Christina Oktora Matondang, SP dan Muklasin, SP REKOMENDASI PENGENDALIAN PENYAKIT VSD (Vascular Streak Dieback) PADA TANAMAN KAKAO (Theobromae cocoa) di PT. PERKEBUNAN HASFARM SUKOKULON KEBUN BETINGA ESTATE KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA Christina

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013 UJI BATANG BAWAH KARET (Hevea brassiliensis, Muell - Arg.) BERASAL DARI BENIH YANG TELAH MENDAPAT PERLAKUAN PEG DENGAN BEBERAPA KLON ENTRES TERHADAP KEBERHASILAN OKULASI MELINSANI MANALU 090301106 PROGRAM

Lebih terperinci

PATOGENISITAS Beauveria bassiana PADA Spodoptera litura Fabricius. (Lepidoptera : Noctuidae) PADA TANAMAN KELAPA SAWIT SKRIPSI OLEH :

PATOGENISITAS Beauveria bassiana PADA Spodoptera litura Fabricius. (Lepidoptera : Noctuidae) PADA TANAMAN KELAPA SAWIT SKRIPSI OLEH : PATOGENISITAS Beauveria bassiana PADA Spodoptera litura Fabricius. (Lepidoptera : Noctuidae) PADA TANAMAN KELAPA SAWIT SKRIPSI OLEH : HENDRA SAMUEL SIBARANI 100301172 AGROEKOTEKNOLOGI/ HPT PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi tanaman kakao menurut Tjitrosoepomo (1988) dalam Bajeng, 2012

II TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi tanaman kakao menurut Tjitrosoepomo (1988) dalam Bajeng, 2012 6 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kakao (Theobroma cacao) Klasifikasi tanaman kakao menurut Tjitrosoepomo (1988) dalam Bajeng, 2012 dapat diuraikan sebagai berikut: Divisi Sub divisi Class Sub class Ordo Family

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK SKRIPSI.

RESPON PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK SKRIPSI. RESPON PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BEBERAPA VARIETAS KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK SKRIPSI Oleh : SETIADI LAKSANA 050307032/BDP Pemuliaan Tanaman Skripsi Sebagai Salah

Lebih terperinci

STUDI KEKERABATAN KULTIVAR KAMBOJA (Plumeria sp.) DENGAN TEKNIK RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA (RAPD)

STUDI KEKERABATAN KULTIVAR KAMBOJA (Plumeria sp.) DENGAN TEKNIK RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA (RAPD) STUDI KEKERABATAN KULTIVAR KAMBOJA (Plumeria sp.) DENGAN TEKNIK RANDOM AMPLIFIED POLYMORPHIC DNA (RAPD) Skripsi Sebagai tugas akhir untuk memenuhi syarat mencapai derajat Sarjana S-1 Jurusan Biologi FMIPA

Lebih terperinci

Taksasi Benih (Biji) (x 1.000)

Taksasi Benih (Biji) (x 1.000) STUDI KELAYAKAN PT. PERKEBUNAN GLENMORE SEBAGAI PRODUSEN BENIH KAKAO Zaki Ismail Fahmi (PBT Ahli) Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan - Surabaya I. Pendahuluan PT. Perkebunan Glenmore

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH PADA BEBERAPA VARIETAS DAN PEMBERIAN PUPUK NPK. Oleh:

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH PADA BEBERAPA VARIETAS DAN PEMBERIAN PUPUK NPK. Oleh: PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH PADA BEBERAPA VARIETAS DAN PEMBERIAN PUPUK NPK SKRIPSI Oleh: CAROLINA SIMANJUNTAK 100301156 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

PENGARUH KADAR GARAM NaCl TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) GENERASI KEDUA (M 2 ) HASIL RADIASI SINAR GAMMA

PENGARUH KADAR GARAM NaCl TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) GENERASI KEDUA (M 2 ) HASIL RADIASI SINAR GAMMA PENGARUH KADAR GARAM NaCl TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) GENERASI KEDUA (M 2 ) HASIL RADIASI SINAR GAMMA HERAWATY SAMOSIR 060307005 DEPARTEMEN AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri.

I. PENDAHULUAN. padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kedelai (Glycine max L) merupakan salah satu komoditas pangan penting setelah padi karena banyak dibutuhkan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan industri. Sebagai sumber

Lebih terperinci

ABSTRACT The Relationship Work Motivation and Work Climate with Teacher s Creativity in Vocational High School of Pasaman Barat Regency.

ABSTRACT The Relationship Work Motivation and Work Climate with Teacher s Creativity in Vocational High School of Pasaman Barat Regency. ABSTRACT The Relationship Work Motivation and Work Climate with Teacher s Creativity in Vocational High School of Pasaman Barat Regency. Thesis. Graduate Program of State University of Padang. (2012).

Lebih terperinci

CARA APLIKASI Trichoderma spp. UNTUK MENEKAN INFEKSI BUSUK PANGKAL BATANG (Athelia rolfsii (Curzi)) PADA BEBERAPA VARIETAS KEDELAI DI RUMAH KASSA

CARA APLIKASI Trichoderma spp. UNTUK MENEKAN INFEKSI BUSUK PANGKAL BATANG (Athelia rolfsii (Curzi)) PADA BEBERAPA VARIETAS KEDELAI DI RUMAH KASSA CARA APLIKASI Trichoderma spp. UNTUK MENEKAN INFEKSI BUSUK PANGKAL BATANG (Athelia rolfsii (Curzi)) PADA BEBERAPA VARIETAS KEDELAI DI RUMAH KASSA SKRIPSI OLEH: RAFIKA HUSNA 110301021/AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM

Lebih terperinci

BAHAN TANAM UNGGUL KAKAO

BAHAN TANAM UNGGUL KAKAO PENGENALAN DAN PENCANDERAAN BAHAN TANAM UNGGUL KAKAO Hendro Winarno PUSAT PENELITIAN KOPI DAN KAKAO INDONESIA PUSAT PENELITIAN KOPI DAN KAKAO INDONESIA Jl. PB. Sudirman 90 Jember, Telp: (0331) 757130,

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy

ABSTRACT. Keywords: internal and international migration, labor market, Indonesian economy ABSTRACT SAFRIDA. The Impact of Migration Policy on Labor Market and Indonesian Economy (BONAR M. SINAGA as Chairman, HERMANTO SIREGAR and HARIANTO as Members of the Advisory Committee) The problem of

Lebih terperinci

ANALISIS REGRESI TERPOTONG BEBERAPA NILAI AMATAN NURHAFNI

ANALISIS REGRESI TERPOTONG BEBERAPA NILAI AMATAN NURHAFNI ANALISIS REGRESI TERPOTONG DENGAN BEBERAPA NILAI AMATAN NOL NURHAFNI SEKOLAH PASCASARJANAA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

STUDI PEWARISAN KARAKTER KETAHANAN CABAI (Capsicum annuum L.) TERHADAP LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) IZMI YULIANAH

STUDI PEWARISAN KARAKTER KETAHANAN CABAI (Capsicum annuum L.) TERHADAP LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) IZMI YULIANAH STUDI PEWARISAN KARAKTER KETAHANAN CABAI (Capsicum annuum L.) TERHADAP LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) IZMI YULIANAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) VARIETAS TUK-TUK TERHADAP JARAK TANAM DAN DOSIS PUPUK KCl

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) VARIETAS TUK-TUK TERHADAP JARAK TANAM DAN DOSIS PUPUK KCl PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) VARIETAS TUK-TUK TERHADAP JARAK TANAM DAN DOSIS PUPUK KCl SKRIPSI OLEH: DEWI MARSELA/ 070301040 BDP-AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

SELEKSI PROGENI F1 HASIL PERSILANGAN TETUA BETINA IRR 111 DENGAN BEBERAPA TETUA JANTAN TAHUN PADA TANAMAN KARET

SELEKSI PROGENI F1 HASIL PERSILANGAN TETUA BETINA IRR 111 DENGAN BEBERAPA TETUA JANTAN TAHUN PADA TANAMAN KARET SELEKSI PROGENI F1 HASIL PERSILANGAN TETUA BETINA IRR 111 DENGAN BEBERAPA TETUA JANTAN TAHUN 2006-2008 PADA TANAMAN KARET (Hevea brassiliensis Muell. Arg.) SKRIPSI OLEH : SULVIZAR MUSRANDA / 100301155

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAN INVIGORASI TERHADAP VIABILITAS BENIH KAKAO (Theobromacacao L.)

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAN INVIGORASI TERHADAP VIABILITAS BENIH KAKAO (Theobromacacao L.) SKRIPSI PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAN INVIGORASI TERHADAP VIABILITAS BENIH KAKAO (Theobromacacao L.) Oleh : IrvanSwandi 10882003293 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan sejak 2500

1. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan sejak 2500 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kedelai merupakan tanaman asli daratan Cina dan telah dibudidayakan sejak 2500 SM. Sejalan dengan makin berkembangnya perdagangan antarnegara yang terjadi pada

Lebih terperinci

Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium

Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium Pisang merupakan salah satu komoditas buah-buahan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia karena

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan tanaman asli dari daerah tropis Amerika yang termasuk ke dalam famili Euphorbiaceae (Heller 1996). Di Indonesia, jarak pagar dapat

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI)

KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI) PENGARUH MEDIA PERTUMBUHAN DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP VIABILITAS Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI) Diajukan guna memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan

Lebih terperinci

KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) DI LAHAN GAMBUT

KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) DI LAHAN GAMBUT SKRIPSI KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescens L.) DI LAHAN GAMBUT Oleh: Fitri Yanti 11082201730 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN

Lebih terperinci

WASPADA PENYAKIT Rhizoctonia!!

WASPADA PENYAKIT Rhizoctonia!! WASPADA PENYAKIT Rhizoctonia!! I. Latar Belakang Luas areal kebun kopi di Indonesia sekarang, lebih kurang 1,3 juta ha, sedangkan produksi kopi Indonesia sekarang, lebih kurang 740.000 ton dengan produksi

Lebih terperinci

KETAHANAN KLON KENTANG LIAR (Solanum chacoense) TERHADAP PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) SECARA IN VITRO DAN DI LAPANGAN AI ELY YULIATI

KETAHANAN KLON KENTANG LIAR (Solanum chacoense) TERHADAP PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) SECARA IN VITRO DAN DI LAPANGAN AI ELY YULIATI KETAHANAN KLON KENTANG LIAR (Solanum chacoense) TERHADAP PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) SECARA IN VITRO DAN DI LAPANGAN AI ELY YULIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PENGARUH APLIKASI STARTER SOLUTION PADA TIGA GENOTIPE CABAI (Capsicum annuum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SERTA KEJADIAN PENYAKIT PENTING CABAI

PENGARUH APLIKASI STARTER SOLUTION PADA TIGA GENOTIPE CABAI (Capsicum annuum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SERTA KEJADIAN PENYAKIT PENTING CABAI PENGARUH APLIKASI STARTER SOLUTION PADA TIGA GENOTIPE CABAI (Capsicum annuum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SERTA KEJADIAN PENYAKIT PENTING CABAI Triyani Dumaria DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci