SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR"

Transkripsi

1 KETERKAITAN MASUKAN BAHAN ORGANIK DAN LOGAM MERKURI TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS DAN PRODUKTIVITAS SEKUNDER LARVA TRICHOPTERA DI SUNGAI CILIWUNG (JAWA BARAT) JOJOK SUDARSO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2 PERNYATAAN MENGENAI DESERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Keterkaitan Masukan Bahan Organik dan Logam Merkuri Terhadap Struktur Komunitas dan Produktivitas Sekunder Larva Trichoptera di Sungai Ciliwung (Jawa Barat) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, 2 Februari 2013 Jojok Sudarso NIM C

3 ABSTRACT JOJOK SUDARSO. Effect of Organic Compound and Mercury on Community Structure and Secondary Productivity Trichoptera Larvae in Ciliwung River (West Java) under direction of YUSLI WARDIATNO, DANIEL DJOKOSETIYANTO and WORO ANGGRAITONINGSIH. Ciliwung River is one of the big rivers in West Java Province which is polluted by organic compound and mercury. Pollution in Ciliwung River could disturb the ecological balance of Trichoptera larvae. The purpose of this study was to reveal the influence of organic compound and mercury contamination on community structure, ecology feeding, secondary productivity of Trichoptera larvae and establish a local biocriteria using multimetric concept. Research was conducted in six stations on high gradient Ciliwung River segment. Trichoptera larvae were collected using surber net with five replications in each study sites. High of organic pollution, mercury contamination, and habitat degradation could decrease number of genus Trichoptera larvae (7-2), diversity index (2.8-0 bits per individu), while increase secondary productivity of Cheumatopsyche sp. larvae ( g m -2 year -1 ). Ecology feeding was dominated by filtering collector while disturbance was increasing. Four biological metrics (total taxa number, scores of Stream Invertebrate Grade Number-Average (SIGNAL), % abundance of three dominant taxa, number of sensitive taxa) was successfully created to be a local biocriteria which was called Trichoptera biotic index (IBT). Range the index values were classified as least disturbance, low disturbance, 7-16 medium disturbance, and 4-6 severe disturbance. Development and refinement of IBT in the future can be used to monitor and evaluate rivers quality in Indonesia especially for high gradient river. Keywords: Trichoptera larvae, Ciliwung River, biocriteria, pollution, secondary productivity.

4 RINGKASAN JOJOK SUDARSO. Keterkaitan Masukan Bahan Organik dan Logam Merkuri Terhadap Struktur Komunitas dan Produktivitas Sekunder Larva Trichoptera di Sungai Ciliwung (Jawa Barat). Dibimbing oleh YUSLI WARDIATNO, DANIEL DJOKOSETIYANTO dan WORO ANGGRAITONINGSIH. Pengaruh aktivitas antropogenik terhadap ekosistem sungai telah mendorong berkembangnya konsep indikator biologi guna mengetahui status kesehatan dari sebuah ekosistem. Salah satu biota yang memiliki potensi sebagai indikator biologi perairan adalah larva Trichoptera. Penggunaan hewan tersebut sebagai indikator biologi didasarkan pada beberapa pertimbangan antara lain: 1). Salah satu penyusun terbesar dari komunitas makrozoobentos pada ekosistem sungai, 2) Distribusi yang luas, 3) Kelimpahan relatif tinggi, 4). Respon terhadap kualitas lingkungan bervariasi dari perubahan morfologi hingga perilaku, 5). Keanekaragaman spesies relatif tinggi (± spesies), 6). Siklus hidup relatif panjang dengan lima tahap instar, 7). Peran penting dalam rantai makanan, 8). Ukurannya yang relatif besar (1-3 cm), 9). Tubuh relatif keras sehingga mudah dalam melihat abnormalitas, dan 10). Waktu identifikasi hewan tersebut relatif lebih singkat. Kondisi tersebut diatas merupakan potensi yang besar bagi larva Trichoptera untuk dikembangkan sebagai penyususn biokriteria lokal yang adaptif guna diterapkan di daerah tropis khususnya di Indonesia. Salah satu sungai yang akan dijadikan model dalam penyusunan biokriteria dan penelitian tentang produktivitas sekunder larva Trichoptera adalah Sungai Ciliwung. Sungai Ciliwung termasuk dalam sungai besar di Jawa Barat yang memiliki aspek penting bagi sektor pertanian (irigasi), industri, maupun bahan baku air minum. Kondisi bagian hulu (Gunung Mas) dari sungai tersebut relatif masih terjaga dengan baik sehingga minim mengalami gangguan akibat aktivitas antropogenik. Berdasarkan kajian ekologis yang dilakukan BPLHD Provinsi Jawa Barat tahun 2006 menunjukkan kualitas Sungai Ciliwung di bagian Hulu (Cisarua) hingga hilir (Ancol) telah mengalami pencemaran organik yang tinggi (DO dari 8-0,2 mg/l, TOM dari 0,02-0,1 mg/l, TSS dari 0,01-0,6 mg/l). Sungai tersebut juga tercemar oleh logam merkuri (0,23-0,30 ppb), bisfenol A (0,46-0,83 µg/l) dan alkil fenol (33,2-191,4 µg/l) yang cukup tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1). Mendeskripsikan struktur komunitas dan proporsi komposisi ekologi feeding larva Trichoptera berdasarkan gradien konsentrasi bahan organik dan logam merkuri di Sungai Ciliwung, 2). Mengetahui produktivitas sekunder larva Trichoptera (Cheumatopsyche sp.) di Sungai Ciliwung, dan 3). Menyusun sebuah biokriteria lokal dari komunitas larva Trichoptera guna mengkategorikan status gangguan ekologi di Sungai Ciliwung dengan menggunakan konsep multimetrik.

5 Desain penelitian ini menggunakan pendekatan survei post facto. Dasar sistematik penelitian adalah keterkaitan antara masukan bahan organik dan logam merkuri di Sungai Ciliwung dengan produktivitas sekunder maupun struktur komunitas larva Trichoptera. Penelitian ini dilakukan selama delapan bulan (Oktober 2010-Mei 2011) dengan enam titik stasiun pengamatan. Enam lokasi yang digunakan selama penelitian meliputi: 1). Stasiun Gunung Mas yang terdiri dari dua situs pengamatan (St 1. dan 2) yang berfungsi sebagai situs rujukan (gangguan minimal). 2) Stasiun Kampung Pensiunan (St.3) mewakili daerah yang sudah mengalami gangguan oleh aktifitas perkebunan teh. 3) Stasiun Kampung Jog-jogan (St.4) mewakili daerah dari adanya aktivitas pertanian, pemukinan penduduk, dan perkebunan.4) Stasiun Katulampa (St 5) mewakili daerah dari pengaruh aktivitas pemukimam penduduk, perkotaan, maupun penambangan batu. 5) Stasiun Cibinong (St.6) mewakili daerah dengan sumber pencemar relatif kompleks (limbah domestik, perkotaan, dan industri). Hasil analisis keanekaragaman taksa (genus) larva Trichoptera dengan menggunakan indeks Shanon-Wiener (H ) di Stasiun Gunung Mas sebesar = 1,98-2,8 bits per individu dan indek keseragaman (E) = 0,66-0,9. Kondisi ini mengindikasikan tingkat keanekaragaman taksa Trichoptera dalam kategori sedang dan penyebaran jumlah individu tiap jenisnya relatif merata (tidak ada taksa tertentu yang mendominasi populasi). Adanya aktivitas antropogenik di Stasiun Kampung Pensiunan hingga Stasiun Cibinong mengakibatkan kecenderungan menurunnya nilai indeks keanekaragaman (H ) = 0-2 bits per individu dan indeks keseragaman (E) = 0-0,8. Kondisi ini menunjukkan adanya kecenderungan struktur komunitas menjadi kurang stabil, tingkat keanekaragaman dari sedang hingga rendah, dan penyebaran jumlah individu tiap jenisnya menjadi tidak merata (ada kecenderungan terjadi dominasi oleh taksa tertentu misalnya oleh Cheumatopsyche sp. Hasil pengukuran biomassa, produktivitas sekunder, dan cohort P/B larva hydropsychid Cheumatopsyche sp. menunjukkan biomassa hewan tersebut di bagian hulu (Stasiun Gunung Mas) hingga Stasiun Cibinong cenderung meningkat (0,09-0,29 gr.m -2 ). Produktivitas sekunder juga menunjukkan kecenderungan meningkat dari Stasiun Gunung Mas hingga Kampung Jog-jogan (5,9-26,9 gr m -2 tahun -1 ) dan terlihat menurun di Stasiun Katulampa (8,15 gr m -2 tahun -1 ). Di Stasiun Cibinong produktivitas sekunder Cheumatopsyche sp. meningkat kembali hingga 81,5 gr.m -2.tahun -1. Pola yang sama dengan produktivitas sekunder juga diamati pada nilai cohort P/B yaitu kecenderungan meningkat dari Stasiun Gunung Mas hingga Kampung Jog-jogan (33,9-63,7) dan menurun di Stasiun Katulampa (12,1). Nilai cohort P/B di Stasiun Cibinong meningkat kembali hingga 93,4. Tingginya produktivitas sekunder, biomassa dan cohort P/B larva Cheumatopsyche sp. di Sungai Ciliwung erat kaitannya dengan masukan bahan organik di perairan. Semakin tinggi kandungan bahan organik terutama di Stasiun

6 Cibinong mampu mendorong pertumbuhan yang cepat dari larva Cheumatopsyche sp. yang tergolong toleran terhadap pencemaran organik maupun kontaminasi logam merkuri. Hasil seleksi metrik biologi dan normalisasi dengan persentil empat metrik biologi terpilih (Jumlah skor SIGNAL, jumlah taksa, % kelimpahan 3 taksa dominan, jumlah taksa sensitif) dihasilkan indek biologi baru dengan nama indeks biotik Trichoptera (IBT). Pada contoh kasus Sungai Ciliwung didapatkan nilai kisaran dari indeks tersebut yaitu: dalam kategori belum/sedikit mengalami gangguan (Situs Rujukan), kategori gangguan ringan (Kampung Pensiunan), 7-16 kategori gangguan sedang (Kampung Jog-jogan dan Katulampa), dan 4-6 kategori gangguan berat (Cibinong). Indeks IBT juga relatif sensitif (r >0,5) dalam mencerminkan gangguan pada ekosistem sungai akibat pencemaran organik, gangguan pada habitat, dan kontaminasi logam Hg. Kata kunci: larva Trichoptera, Sungai Ciliwung, biokriteria, pencemaran, produktivitas sekunder.

7 Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

8 KETERKAITAN MASUKAN BAHAN ORGANIK DAN LOGAM MERKURI TERHADAP STRUKTUR KOMUNITAS DAN PRODUKTIVITAS SEKUNDER LARVA TRICHOPTERA DI SUNGAI CILIWUNG (JAWA BARAT) JOJOK SUDARSO Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

9 Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Isdrajad Setyobudiandi. M.Sc. Dr. Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si. Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Ir. Djamar T.F. Lumbanbatu, M.Agr Dr. Tri Widiyanto, M.Si.

10 Judul Disertasi : Keterkaitan Masukan Bahan Organik dan Logam Merkuri Terhadap Struktur Komunitas dan Produktivitas Sekunder Larva Trichoptera di Sungai Ciliwung (Jawa Barat) Nama : Jojok Sudarso NIM : C Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Yusli Wardiatno, M.Sc. Ketua Prof.Dr. Ir. Daniel Djokosetiyanto Anggota Prof. Dr. Woro Anggraitoningsih Anggota Mengetahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr.Ir. Enan M. Adiwilaga Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Ujian: 20 November 2012 Tanggal Lulus:

11 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya, serta shalawat dan salam tetap tercurah pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian disertasi yang berjudul Keterkaitan Masukan Bahan Organik dan Logam Merkuri Terhadap Struktur Komunitas dan Produktivitas Sekunder Larva Trichoptera: Studi Kasus Sungai Ciliwung-Jawa Barat. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya pada ketua komisi pembimbing Bapak Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc dan anggota komisi pembimbing: Prof. Dr. Ir. Daniel Djokosetiyanto dan Ibu Prof. Dr. Woro Anggraitoningsih yang telah meluangkan waktunya dalam memberikan arahan dan bimbingan selama penelitian. Ucapan terima kasih disampaikan pada Dr. Tri Widiyanto M.Si sebagai Kapuslit Limnologi-LIPI yang telah memberikan ijin pada peneliti untuk melakukan penelitian di Puslit Limnologi-LIPI. Ucapan terima kasih juga disampaikan pada tim penguji tertutup (Dr. Ir. Isdrajad Setyobudiandi, M.Sc. dan Dr. Majariana Krisanti, M.Si) dan tim penguji terbuka (Dr. Tri Widiyanto M.Si dan Prof. Dr. Djamar T.F. Lumbanbatu, M.Agr) yang telah banyak memberikan koreksi pada desertasi ini. Terima kasih juga disampaikan kepada ayah (Bapak Purnomo), ibu (Ny. Sudarmasih), istriku (Fitria Handayani), keluarga besar Bapak Iskandar Setjodihardjo, dan segenap staf pegawai di Puslit Limnologi LIPI atas segala doa dan dorongan semangat dalam menyelesaikan studi di IPB. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih pada Kementrian Riset dan Teknologi yang telah memberikan beasiswa pada promofendus guna menempuh pendidikan doktor dan segenap dosen Fakultas Perikanan IPB yang telah memberikan bekal ilmu pada penulis selama kuliah di pascasarjana. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi

12 perbaikan tulisan ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya dan kemajuan IPTEK di Indonesia. Aamiin Bogor, 2 Februari 2013 Jojok Sudarso

13 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Malang Jawa Timur tanggal 12 Juni 1972 sebagai anak ke tiga dari pasangan Bapak Purnomo dan Ibu Sudarmasih. Pendidikan sarjana S1 ditempuh di Jurusan Biologi Universitas Brawijaya Malang dan lulus tahun Pada tahun 2007, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan IPB melalui beasiswa LIPI dan menamatkan kuliah tahun Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan di tahun yang sama (2009) melalui beasiswa dari Kementrian Ristek. Penulis bekerja di Puslit Limnologi-LIPI Cibinong-Bogor mulai tahun 1996 hingga sekarang dan posisi terakhir dalam jabatan fungsional sebagai Peneliti Muda. Bidang penelitian yang ditekuni dan menjadi tanggung jawab penulis sebagai peneliti adalah bioassessment dan ekologi makrozoobentos. Publikasi yang telah dihasilkan dari penelitian desertasi ini adalah: Pengaruh Aktivitas Antropogenik di Sungai Ciliwung Terhadap Komunitas Larva Trichoptera dalam Jurnal Manusia dan Lingkungan tahun 2012 volume 19 nomer 3.

14 i xiii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL. DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Halaman xv xvi xviii 1.1. Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan dan Manfaat Penelitian Kebaruan Penelitian KERANGKA TEORI 2.1. Ekobiologi Trichoptera Produktivitas Sekunder Larva Trichoptera Faktor Lingkungan Penting Dalam Mengatur Komunitas dan Produktivitas sekunder larva Trichoptera Kompleksitas Respon Tingkatan Organisasi Biologi Terhadap Pemaparan Logam Berat Kerangka Pemikiran METODE PENELITIAN 3.1. Metode/Desain Penelitian Waktu dan Lokasi Penelitian Variabel (yang ditera dan kerja) Teknik Pengumpulan Data Metode Pengukuran Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Sungai Ciliwung Telaah Kualitas Fisik Air Sungai Ciliwung Telaah Kualitas Habitat Telaah Kualitas Kimia Sungai Ciliwung Telaah Kualitas Biologi Pengaruh Masukan Bahan Organik dan Struktur Komunitas terhadap Ekologi Feeding Larva Trichoptera Karakterisasi Variabel Lingkungan pada Komunitas Larva Trichoptera... 74

15 xiv 4.8. Produktivitas Sekunder Larva Trichoptera (Cheumatopsyche sp.) Penyusunan Biokriteria dengan Menggunakan Konsep Multimetrik Aplikasi Indek Biotik Trichoptera (IBT) dalam Mendukung Pengelolaan Sungai Ciliwung KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA 95 LAMPIRAN

16 xv DAFTAR TABEL Halaman 1. Titik koordinat lokasi pengambilan sampel di Sungai Ciliwung Kriteria penilaian gangguan terhadap habitat yang diadopsi dari protokol US-EPA (1999) Parameter lingkungan yang diukur dalam penelitian Kriteria indeks kimia Kirchoff (1991) guna menggolongkan status pencemaran organik Klasifikasi status pencemaran logam di sedimen dari Chen et al. (2005) Sistem penilaian kualitas lingkungan dengan menggunakan interaksi antara indeks keanekaragaman dengan variabel lingkungan Keterangan nilai skor untuk prediksi gangguan ekologi pada sungai Kandidat metrik biologi yang digunakan untuk diskriminasi tingkat gangguan ekologi pada sungai Ciliwung Perubahan tutupan lahan di DAS Ciliwung dari tahun (Anonim 2011) Gambaran kondisi umum lokasi penelitian Status gangguan ekologi akibat pencemaran di Sungai Ciliwung Korelasi ranking Spearman antara indeks keanekaragaman dan keseragaman dengan variabel lingkungan Biomassa, produktivitas sekunder, dan cohort P/B dari larva Cheumatopsyche sp di Sungai Ciliwung Kemampuan diskriminasi masing-masing metrik biologi dalam mencerminkan gangguan di Sungai Ciliwung Uji masing-masing metrik antara situs rujukan dengan situs uji dengan menggunakan analisis non parametrik Mann-Whitney U-test Tahap scoring dalam penyusunan biokriteria (Indeks biotik Trichoptera) Korelasi rangking Spearman antara indeks biotik Trichoptera dengan indeks habitat, indeks kimia, dan polusi logam. 88

17 xvi DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Siklus hidup dari larva Trichoptera 7 2. Bentuk dewasa dari Trichoptera. Dari kiri atas ke samping kanan: Hydrobiosidae (Atopsyche), Calamoceratidae (Phylloicus), Xiphocentronidae (Xipocentron), dan Leptoceridae (Nectopsyche) di pojok kanan bawah 7 3. Morfologi kepala Tricoptera dewasa Bentuk morfologi kepompong dari Trichoptera 9 5. Larva Hydropsychidae yang hidup dalam kondisi normal, warna insang trachea tampak pucat (kiri) dan penghitaman warna pada bagian insang (kanan) Proses gangguan oleh toksisitas logam pada seluruh tingkatan organisasi biologi Diagram alir pendekatan pemecahan masalah Peta lokasi pengambilan sampel di Sungai Ciliwung Evaluasi sensitifitas metrik. Kotak kecil merupakan nilai median, sedangkan kotak besar merupakan kisaran IQ (persentil ke 25 hingga 75). a) tidak ada IQ yang overlap, b). IQ overlap tetapi kedua nilai median tidak ada yang overlap, c).iq overlap dengan satu nilai median yang overlap, d). IQ sebagian besar overlap atau kedua nilai median overlap Hasil pengukuran suhu air di setiap stasiun pengamatan Hasil pengkuran kecepatan arus di setiap stasiun pengamatan Komposisi substrat dasar di masing-masing stasiun pengamatan Nilai turbiditas di masing-masing stasiun pengamatan Hasil pengukuran konduktivitas di masing-masing stasiun pengamatan Konsentrasi CPOM (gr berat kering/m2) di masing-masing stasiun pengamatan Status gangguan yang terjadi pada sungai Ciliwung berdasarkan indeks habitat Hasil pengukuran ph air di masing-masing stasiun pengamatan Konsentrasi DO dan COD di masing-masing stasiun pengamatan Konsentrasi amonium di air pada masing-masing stasiun pengamatan Konsentrasi nitrogen-nitrat di air pada masing-masing stasiun pengamatan Konsentrasi ortofosfat di air pada masing-masing stasiun pengamatan 56

18 xvii 22. Hasil analisis kesadahan (mg/l setara CaCO3) di masingmasing stasiun pengamatan Konsentrasi C dan N pada seston di masing-masing stasiun pengamatan Konsentrasi TOM di air dan indeks kimia pada masing-masing stasiun pengamatan Konsentrasi logam merkuri di air pada masing-masing stasiun pengamatan Konsentrasi logam merkuri sedimen pada masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi Status pencemaran logam merkuri pada masing-masing stasiun pengamatan Konsentrasi logam merkuri (ppm) di tubuh larva Trichoptera Nekrosis pada insang abdominal larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Cibinong Hubungan antara jumlah invidu larva Trichoptera yang mengalami nekrosis pada insang dengan kontaminasi merkuri di Stasiun Cibinong Rerata kelimpahan perifiton di Sungai Ciliwung Sebaran nilai indeks keanekaragaman (H ) dan indeks keseragaman di Sungai Ciliwung (E) Nilai rerata dari tipe ekologi feeding di setiap stasiun pengamatan. (Om = omnivora, GC = gatherer collector, Car = carnivora, Sc= scraper, Sh = shredder, FC = filtering collector) Grafik biplot antara faktor lingkungan dengan tipe ekologi feeding larva Trichoptera dengan menggunakan analisis komponen utama Grafik triplot hasil ordinasi komunitas Trichoptera dengan variabel lingkungan di Sungai Ciliwung Perkembangan instar larva Cheumatopsyche sp di setiap bulan pada masing-masing stasiun pengamatan Data curah hujan dari Bulan Agustus 2010 hingga Mei Hubungan antara konsentrasi bahan organik (TOM) di perairan dan meningkatnya logam merkuri mampu mendorong produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche 82

19 xx DAFTAR LAMPIRAN Halaman I Isian Penilaian yang digunakan dalam penghitungan indeks habitat II Foto situasi lokasi pengamatan 115 III Rerata kelimpahan total perifiton (sel/cm 2 ) 117 IV Komposisi dan kelimpahan rerata (idv/m 2 ) dari larva Trichoptera di Sungai Ciliwung V Hubungan lebar kepala dengan berat tubuh larva Cheumatopsyche sp. Pada masing-masing stasiun pengamatan 122 VI Penghitungan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche sp. di masing-masing stasiun pengamatan 125 VII Metrik biologi dari Larva Trichoptera dalam mencerminkan gangguan pada Sungai Ciliwung. 131 VIII Nilai rerata variabel kualitas fisik dan kimia Sungai Ciliwung. Nilai dalam kurung merupakan nilai kisaran terendah dan tertinggi. 133 IX Foto larva Cheumatopsyche sp. dan Apsilochorema sp. 134

20 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengaruh aktivitas antropogenik terhadap ekosistem sungai telah mendorong berkembangnya konsep indikator biologi guna mengetahui status kesehatan dari sebuah ekosistem akuatik (Norris & Thoms 1999; Dziock et al. 2006). Konsep indikator biologi merujuk pada penggunaan hewan atau tumbuhan sebagai instrumen guna menilai kondisi kualitas lingkungan yang lampau, sekarang, dan akan datang. Salah satu biota yang memiliki potensi sebagai indikator biologi perairan adalah larva Trichoptera. Penggunaan hewan tersebut sebagai indikator biologi didasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu: 1). Salah satu penyusun terbesar dari komunitas makrozoobentos pada ekosistem sungai (Wiggins 1996; Vuori & Kukkonen 1996). 2) Distribusinya yang luas (Mackay & Wiggins 1979), 3) Kelimpahannya relatif tinggi, 4). Respon terhadap kualitas lingkungan bervariasi yang ditunjukkan dengan perubahan morfologi, kemampuan akumulasi bahan polutan, maupun perilaku (Sola & Prat 2006), 5). Keanekaragaman spesies yang relatif tinggi hingga ± spesies (Holzenthal 2009) dan 89 spesies hidup di Sulawesi Utara (Geraci & Morse 2008), 6). Siklus hidup relatif panjang dengan lima tahap instar (Wiggins 1996), 7). Peran penting dalam rantai makanan sebagai dekomposer dan mangsa bagi burung maupun ikan, 8). Ukurannya relatif besar yaitu 1-3 cm dengan berat mencapai mg (Vuori & Kukkonen 1996; Berra et al. 2006), 9). Tubuh relatif keras sehingga memudahkan dalam melihat abnormalitas/kecacatan, dan 10). Waktu untuk identifikasi hewan relatif lebih singkat (Vuori & Kukkonen 1996). Aktivitas antropogenik dapat secara dramatik mengubah regim dari input bahan organik, nutrien, maupun logam berat ke ekosistem sungai melalui perubahan penggunaan lahan maupun urbanisasi (Singer & Battin 2007). Pencemaran organik dan logam berat di ekosistem sungai telah diketahui memberikan dampak negatif bagi stabilitas komunitas larva Trichoptera (Winner et al.1980; Chakona et al. 2009). Pengaruh bahan polutan pada makrozoobentos dapat mengurangi keanekaragaman spesies, kelimpahan, dan mengakibatkan

21 2 hilangnya spesies yang tergolong sensitif (Timm et al. 2001; Chakrabarty & Das 2006) yang pada akhirnya dapat menurunkan atau mengubah produktivitas sekunder dan biomassa organisme yang tergolong sensitif terhadap pencemaran (Carlise & Clements 2003). Sedangkan efek tidak langsung berupa modifikasi dari interaksi spesies dan penurunan kualitas makanan (Courtney & Clements 2002). Pada skala yang lebih luas dapat mempengaruhi siklus perombakan materi organik, rantai makanan, maupun integritas ekologi perairan secara keseluruhan (Dahl et al. 2004). Chatzinikolaou et al. (2008) mendefinisikan integritas ekologi pada sungai sebagai adanya gangguan minimal dari kondisi alami di situs rujukannya (reference site). Produktivitas sekunder merupakan bagian dari dinamika populasi yang memberikan pemahaman tentang proses transfer materi dan energi yang terjadi mulai tingkatan individu, populasi, maupun dalam ekosistem. Pada produktivitas sekunder mengukur pertumbuhan somatik terakhir dan merupakan bentuk ukuran aliran energi yang melalui suatu populasi. Penelitian tentang pengaruh aktivitas antropogenik di sungai terhadap produktivitas sekunder makrozoobentos masih jarang dilakukan. Hal ini dapat dilihat pada penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya yaitu: kontaminasi pestisida (Lugthart & Wallace 1992), logam Zn (Carlise & Clements 2003), dan urbanisasi (Shieh et al. 2002). Informasi mengenai produktivitas sekunder larva Trichoptera yang hidup di daerah tropis yang dihubungkan dengan aktivitas antropogenik di Sungai Ciliwung masih belum tersedia, oleh sebab itu penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut perlu pengkajian lebih lanjut. Keberadaan larva Trichoptera di daerah tropis seperti Indonesia belum secara optimal dikaji dan dikembangkan sebagai indikator biologi perairan. Penggunaan hewan tersebut sebagai indikator perairan masih terbatas dan hanya sebagai komponen dari indeks biologi yang sudah ada misalnya indeks Ephemeroptera Plecoptera dan Trichoptera (EPT) dan family biotic index (FBI). Pengembangan biokriteria yang hanya melibatkan komunitas Trichoptera masih jarang dilakukan dan belum dikaji secara mendalam, dibandingkan dengan biota lainnya (larva capung/odonata) yang sudah lebih dahulu digunakan dalam menilai integritas ekologi sungai di Negara Austria (Chovanec & Waringer 2001).

22 3 Dengan kondisi tersebut, merupakan suatu potensi yang besar dari larva Trichoptera untuk dikembangkan sebagai biokriteria lokal yang adaptif guna diterapkan di daerah tropis di masa mendatang. Sungai Ciliwung termasuk dalam salah satu sungai besar di daerah Jawa Barat yang memiliki aspek penting bagi sektor pertanian (irigasi), industri, maupun bahan baku air minum untuk daerah Jakarta (Kido et al. 2009). Berdasarkan kajian ekologis yang dilakukan oleh BPLHD Jawa Barat tahun 2006 menunjukkan kualitas Sungai Ciliwung di bagian Hulu (Cisarua) hingga hilir (Ancol) telah mengalami pencemaran organik yang relatif tinggi (DO dari 8 mg/l - 0,2 mg/l, TOM dari 0,02 mg/l - 0,1 mg/l, TSS dari 0,01-0,6 mg/l). Penelitian Kido et al. (2009) menunjukkan sungai tersebut juga tercemar oleh logam merkuri (0,23-0,30 ppb), bisphenol A (0,46-0,83 µg/l) dan alkil fenol (33,2-191,4 µg/l) yang cukup tinggi. Adanya kontaminasi logam merkuri di Sungai Ciliwung dapat menjadi isu utama dari sisi lingkungan maupun kesehatan, karena logam tersebut memiliki daya toksisitas akut dan kronis yang tergolong tinggi bagi sebagian besar makhluk hidup. Toksisitas akut pada biota air dapat menyebabkan kematian, sedangkan pada konsentrasi sub letal/kronis menyebabkan: penurunan kemampuan mencari makan, menghindari pemangsa, berkembang biak, pertumbuhan maupun penyimpangan tingkah laku (Bank et al. 2007). Konsentrasi merkuri di air yang mencapai 0,26 ppb dapat menimbulkan toksisitas kronis bagi ikan fathead minnow (US-EPA 1986). Sumber pencemar yang berpotensi menurunkan kualitas air Sungai Ciliwung berasal dari sistem drainase dari masukan limbah rumah tangga, pertanian/sawah, peternakan, dan industri (Kido et al. 2009). Adanya pencemaran yang terjadi di Sungai Ciliwung dikhawatirkan akan mengganggu keseimbangan ekologi dari larva Trichoptera dan berpotensi menurunkan integritas ekologi sungai tersebut secara keseluruhan. 1.2 Perumusan Masalah Kondisi kualitas air Sungai Ciliwung pada saat ini telah mengalami pencemaran oleh bahan organik (biodegradable) maupun kontaminasi logam merkuri akibat aktivitas antropogenik di daerah tangkapan sungai tersebut.

23 4 Adanya pencemaran di Sungai Ciliwung dikhawatirkan mampu menyebabkan gangguan ekologi bagi larva Trichoptera yang pada akhirnya dapat menurunkan integritas ekologi dari sungai tersebut. Larva Trichoptera menduduki posisi penting dalam rantai makanan sebagai mangsa dan pemakan bahan organik (bahan organik partikel kasar/cpom, bahan organik partikel halus/fpom) di sungai. Oleh sebab itu keberadaan hewan tersebut sangat dibutuhkan guna mendukung kehidupan biota lainnya agar tetap lestari, proses transfer enegi dapat berjalan secara normal, dan produktivitas hewan tersebut mencukupi guna keberlanjutan ekologi di Sungai Ciliwung. Pemantauan kualitas sungai di Indonesia hingga saat ini umumnya masih didominasi oleh pengukuran kualitas fisik dan kimianya saja, dan belum secara rutin mengintegrasikan parameter biologi seperti makrozoobentos. Disamping itu indeks biologi yang digunakan selama ini masih banyak mengadopsi dari luar negeri, yang kadangkala kriteria yang dihasilkan belum tentu cocok untuk diterapkan di negara beriklim tropis seperti Indonesia. Kondisi demikian merupakan suatu peluang untuk dapat dikembangkan suatu biokriteria lokal guna menentukan status gangguan ekologi di sungai-sungai di Jawa Barat yang memiliki kesamaan ekoregion. Larva Trichoptera merupakan salah satu komponen penting dari komunitas makrozoobentos yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai indikator biologi perairan guna mencerminkan adanya gangguan ekologi akibat aktivitas antropogenik di Sungai Ciliwung. Respon yang ditimbulkan oleh hewan tersebut akibat masukan bahan organik dan logam merkuri di Sungai Ciliwung antara lain rendahnya jumlah taksa dan kelimpahan yang tergolong sensitif, dan adanya dominansi oleh jenis taksa tertentu. Adanya ketidakstabilan ekologi dari struktur komunitas larva Trichoptera ini diduga disebabkan oleh : 1. Penurunan kualitas perairan akibat pencemaran oleh bahan organik dan kontaminasi logam merkuri. 2. Rusak atau berubahnya kondisi habitat yang salah satunya disebabkan oleh rendahnya ketersediaan materi/substrat kasar (CPOM) sebagai bahan pembuat sarang maupun sumber makanannya.

24 5 Adanya permasalahan tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang peran masukan bahan organik dan kontaminasi logam merkuri beserta beberapa variabel lingkungan penting lainnya dalam mempengaruhi produktivitas sekunder maupun struktur komunitas dari larva Trichoptera. Dari karakteristik dan sensitifitas masing-masing metrik biologi (kekayaan taksa dan komposisi, toleransi terhadap polutan, atribut populasi, ekologi feeding) larva Trichoptera pada berbagai tingkatan pencemaran organik dan kontaminasi logam merkuri, maka dapat dibuat sebuah biokriteria lokal guna menilai status gangguan ekologi yang terjadi di Sungai Ciliwung. 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari dilakukan penelitian ini adalah: 1). Mendeskripsikan struktur komunitas dan proporsi komposisi ekologi feeding larva Trichoptera berdasarkan gradien konsentrasi bahan organik dan logam merkuri di Sungai Ciliwung, 2). Mengetahui produktivitas sekunder larva Trichoptera (Cheumatopsyche sp.) di Sungai Ciliwung, dan 3). Menyusun sebuah biokriteria lokal dari komunitas larva Trichoptera guna mengkategorikan status gangguan ekologi di Sungai Ciliwung dengan menggunakan konsep multimetrik. Hasil dari penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: 1). alat/tools dalam mengkategorikan status gangguan ekologi di sungai akibat pencemaran maupun perubahan habitat yang terjadi di Sungai Ciliwung. 2). evaluasi tingkat keberhasilan pengelolaan lingkungan yang telah diambil dalam mengatur masuknya bahan polutan dari aktivitas antropogenik di Sungai Ciliwung. 1.4 Kebaruan penelitian Kebaruan penelitian ini adalah informasi mengenai produktivitas sekunder larva Trichoptera di perairan tropis khususnya di Indonesia dan dihasilkannya biokriteria lokal dari komunitas larva Trichoptera dengan pendekatan konsep multimetrik guna mengkategorikan status gangguan ekologi di Sungai Ciliwung- Jawa barat.

25 II. KERANGKA TEORI 2.1 Ekobiologi Trichoptera Trichoptera atau yang lebih dikenal sebagai lalat caddis (caddisfly) merupakan insekta yang dalam daur hidupnya melibatkan dua ekosistem yang berbeda yaitu ekosistem akuatik (perkembangan dari telur hingga pupa) dan ekosistem terestrial (dewasa). Serangga dari Ordo Trichoptera merupakan salah satu serangga yang bertipe holometabolous (metamorfosis sempurna). Hewan tersebut memiliki lima tahap perkembangan larva hingga menjadi pupa. Siklus hidup dari hewan tersebut secara ringkas dapat dilihat dalam Gambar 1. Ditinjau dari waktu generasi dalam setahunnya, maka serangga Trichoptera memiliki waktu generasi dari multivoltine (beberapa generasi dalam setahun) hingga satu kali dalam setahun (univoltine). Contoh dari lamanya siklus hidup yang ekstrim dari larva Trichoptera adalah Brachycentrus yang berukuran relatif besar dan mempunyai waktu siklus hidup hingga tiga tahun (Hershey & Lamberti 1998). Larva Trichoptera tinggal di dalam air kurang lebih selama dua bulan dan kemudian bermetamorfosis menjadi lalat seperti ngengat. Trichoptera dewasa umurnya kurang lebih selama dua minggu hingga dua bulan dan aktif di malam hari. Trichoptera dewasa terbang untuk melakukan kawin dan meletakkan telur di dasar sungai atau di permukaan tanaman air submerged. Lama periode antara telur dan tahap larva memakan waktu sekitar hari. Tahap pupa umumnya berlangsung dua hingga tiga minggu dan dalam tahap ini, pupa biasanya berenang menuju permukaan. Tahap dewasa umumnya muncul dari bulan April sampai November, namun dapat bervariasi berdasarkan spesiesnya (Hall 2012). Hewan Trichoptera merupakan salah satu penyusun tujuh ordo Insekta terbesar di seluruh dunia. Di seluruh dunia diperkirakan jumlah spesies dari Trichoptera mencapai dengan 45 famili dan 600 genus yang telah diketahui (Holzenthal 2009). Trichoptera dewasa yang hidup terestrial sepintas terlihat seperti ngengat, sehingga secara taksonomi hewan tersebut berkerabat

26 8 dekat dengan Ordo Lepidoptera (kupu-kupu) yang keduanya termasuk dalam super ordo Amphiesmenoptera atau sayap melipat ke samping (Gambar 2). Gambar 1. Siklus hidup dari larva Trichoptera (Hall 2012) Pada Trichoptera dewasa, kedua pasang sayap dan tubuh yang ditutupi dengan rambut atau tambahan sisik. Warna lalat caddis dewasa biasanya coklat atau abu-abu yang kurang menarik perhatian, sebagai bentuk adaptasi untuk bersembunyi di siang hari pada vegetasi riparian. Sejumlah spesies memiliki warna cerah antara lain kuning, oranye, hijau, perak, biru, atau berwarna-warni. Hewan dewasa dapat mempunyai panjang tubuh bervariasi dari beberapa milimeter (Famili Hydroptilidae dan beberapa spesies Glossosomatidae) hingga 4,5 cm di Famili Phryganeidae (terbesar). Gambar 2. Bentuk dewasa dari Trichoptera. Dari kiri atas ke samping kanan: Hydrobiosidae (Atopsyche), Calamoceratidae (Phylloicus), Xiphocentronidae (Xipocentron), dan Leptoceridae (Nectopsyche) di pojok kanan bawah (Holzenthal 2009)

27 9 Trichoptera dewasa mudah diketahui dengan adanya sejumlah fitur morfologi tambahan. Bagian mulut mereduksi, mandible tidak ada atau sangat kecil dan bersifat nonfunctional, tetapi maxillary dan labial palps tampak jelas (Gambar 3). Fitur utama dari mulut Trichoptera adalah haustellum yang merupakan struktur unik terdiri dari penyatuan labium (prelabium) dan hipofaring membentuk proboscis pendek yang digunakan untuk menyerap air atau cairan gula (Holzenthal 2009). Gambar 3. Morfologi kepala Tricoptera dewasa (Holzenthal 2009). Larva Trichoptera hidup dalam air dan membangun sarang yang bersifat portabel, kecuali beberapa famili yang hidup bebas. Kapsul kepala berkembang dengan baik dan tersklerotisasi sempurna. Antena sangat pendek dan terdiri dari segmen tunggal, meskipun pada Famili Leptoceridae dan beberapa Hydroptilidae memiliki antena yang panjang dan mencolok. Seperti kebanyakan dari larva holometabolous, hewan tersebut memiliki mulut tipe pengunyah yang terdiri dari labrum kecil, sepasang mandible yang berkembang dengan baik dan pendek, maxillae kompak, dan sebuah labium. Mandible pada shredders dan herbivora lebih lebar, dengan gigi pemotong pada ujungnya, sedangkan pada kelompok scraper lebih memanjang pada keseluruhan tepi. Pada larva predator seperti di genus Oecetis, gigi apikal lebih meruncing. Segmen toraks terlihat jelas perbedaannya dan masing-masing ada sepasang kaki. Pada beberapa Famili Hydrospychidae dan Hydroptilidae bagian mesonotum dan metanotum tersklerotisasi dengan baik, tetapi dalam Famili lainnya di bagian toraks (mesonotum dan metanotum) sepenuhnya membran atau tersklerotisasi sebagian. Panjang kaki dapat sama panjangnya atau kaki depan

28 10 terpendek dan kaki belakang terpanjang. Larva dari beberapa Famili Brachycentridae memiliki rambut di kaki tengah dan belakang yang digunakan untuk menyaring partikel makanan dari arus air. Bagian abdomen terdiri dari 10 segmen dan sepenuhnya membran yang biasanya terlihat telanjang kecuali beberapa setae yang tersebar. Abdomen pada larva Hydropsychidae tertutup padat oleh rambut pendek atau sisik berambut dan sepasang proleg anal yang pendek dan cakar yang kuat (Holzenthal 2009). Tipe pupa Trichoptera termasuk dalam jenis exarate, dengan antena, kaki, dan perkembangan sayap bebas dari tubuh. Antena terletak di belakang atas dari dada dan perut. Pada spesies dengan antena yang panjang, dan melingkar sekitar ujung dari abdomen. Toraks tidak mengalami modifikasi, tetapi kaki toraks sering memiliki rambut renang. Pada bagian abdomen akhir terdapat sepasang pemanjangan /processes anal (Gambar 4). Gambar 4. Bentuk morfologi pupa dari Trichoptera (Holzenthal 2009). Taksonomi dan identifikasi dari hewan Trichoptera secara rinci telah dijelaskan dalam Clifford (1991) dan Wiggins (1996). Salah satu contoh taksonomi dari serangga Trichoptera dari spesies Hydropsyche pellucidula sebagai berikut: Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Trichoptera Famili : Hydropsychidae Genus : Hydropsyche Spesies : H. pellucidula

29 11 Larva Trichoptera umumnya dapat hidup pada habitat lotik maupun lentik dan banyak spesies dari hewan tersebut memakan alga (Keiper 2002). Hampir keseluruhann famili dari larva Trichoptera hidup pada ekosistem air mengalir (running water), namun banyak spesies yang terbatas distribusinya di sepanjang gradien continuum sungai. Adanya suksesi longitudinal yang berkaitan dengan spesies seringkali terjadi pada sempitnya/overlap dari zone sungai yang dapat diamati dari beberapa famili antara lain: Hydropsychidae, Polycentropodidae, Glossosomatidae, Limnephelidae, dan Rhyacophilidae. Pada habitat sungai yang bersifat temporer, larva Trichoptera biasanya hidup dengan cara menggali lubang pada substrat yang basah guna menghindari kondisi kekeringan. Pada sungai dengan cukupnya tutupan vegetasi riparian dapat berfungsi menyediakan partikulat organik kasar (coarse particulate organic matter/ CPOM) dari jatuhan daun maupun ranting ke perairan, yang dapat mempengaruhi distribusi larva Trichoptera. Kondisi tersebut akan berpengaruh pada komposisi dari larva Trichoptera yang bertipe feeding Shredder untuk mendominasi perairan. Larva Trichoptera lainnya (filtering collector dan scraper) di bagian hilir membutuhkan suhu yang lebih hangat untuk pertumbuhan dengan cara memakan alga berfilamen dan partikulat organik halus (fine particulate organic matter/ FPOM) (Mackay & Wiggins 1979; Cummins & Klug 1979). Larva Trichoptera umumnya dijumpai pada permukaan batuan dari dasar sungai atau danau (Mackay & Wiggins 1979). Sebagian besar larva Trichoptera lebih menyukai hidup pada tipe perairan dangkal (5-10 cm) dengan air yang mengalir di atas permukaan batuan dan sedikit spesies yang ditemukan pada substrat halus di bagian air yang dalam (Urbanic et al. 2005). Hewan tersebut untuk memperoleh makanan biasa menggunakan jaring perangkap mirip sutera. Beberapa spesies larva Trichoptera sering hidup dalam seludang pelindung guna mempertahankan diri dari predator maupun sebagai adaptasi perilaku terhadap arus air (Mackay & Wiggins 1979). 2.2 Produktivitas sekunder larva Trichoptera. Produktivitas sekunder secara umum didefinisikan sebagai pembentukan biomassa heterotrofik sejalan dengan bertambahnya waktu. Produktivitas

30 12 sekunder tahunan merupakan jumlah dari biomassa total yang diproduksi oleh sebuah populasi selama satu tahun. Kondisi ini termasuk produktivitas yang tersisa pada akhir tahun dan yang hilang selama periode tersebut. Hilangnya produktivitas ini termasuk kematian (misalnya oleh penyakit, parasitisme, kanibalisme, predasi), hilangnya jaringan yang tersisa (misalnya oleh molting, kelaparan), dan emigrasi. Satuan dari produktivitas sekunder dapat berupa: Kcal.m -2 /tahun or KJ/m 2 /tahun (satuan energi), berat kering/ berat kering bebas abu, atau unit karbon mirip pada studi produktivitas primer. Standar konversi dari masing-masing satuan yaitu: 1gr berat kering 6 gr berat basah 0,9 gr berat kering bebas abu 0,5 gr C 5 Kcal 21 KJ (Benke & Huryn 2007). Produktivitas sekunder dapat menyediakan informasi gabungan pada pertumbuhan individu dan keberlangsungan hidup populasi dan dianggap mewakili jumlah energi yang tersedia untuk tingkatan trofik yang lebih tinggi (Jin & Ward 2007). Oleh sebab itu produktivitas sekunder seringkali dikaitkan dengan teori bioenergetik. Pada teori bioenergetik biasanya membahas transformasi energi di dalam dan di antara organisme, yang difokuskan pada aliran energi diantara spesies melalui konsumsi sepanjang rantai makanan (Benke 2010). Secara umum pendugaan produktivitas sekunder dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu: teknik kohort dan non kohort. Teknik kohort digunakan ketika populasi memungkinkan mengikuti sebuah kohort (misalnya: individu yang menetas dari telur dengan selang waktu yang relatif singkat dan laju pertumbuhannya relatif sama) sepanjang waktu. Ketika sejarah hidup lebih komplek, maka tehnik non kohort sering digunakan. Sebagai sebuah kohort yang berkembang sepanjang waktu, adanya penurunan kelimpahan secara umum disebabkan oleh kematian & peningkatan berat individu dikarenakan pertumbuhan. Interval produksi (misalnya waktu diantara dua data sampling) dapat mudah dihitung secara langsung dari data lapangan melalui metode penambahan sesaat (increment-summation method) sebagai produk dari rerata kelimpahan antara dua data sampling ( ) dan peningkatan berat individu (ΔW) yaitu x ΔW. Asumsi dari teknik kohort ini adalah satu generasi pertahun (Benke & Huryn 2007). Produktivitas tahunan dihitung sebagai jumlah keseluruhan

31 13 estimasi interval ditambah dengan biomassa awal. Secara matematis dapat digambarkan sebagai berikut: Teknik non kohort digunakan ketika sejarah kehidupan sebuah populasi bersifat lebih kompleks atau tidak mengikuti sebagai kohort dari data lapangan. Metode tersebut membutuhkan independensi dari waktu perkembangan atau laju pertumbuhan biomassa. Salah satu metode umum yang digunakan pada teknik non kohort adalah metode frekwensi-ukuran (size frequency method) yang sebelumnya dikenal sebagai metode Hynes & Coleman (1968). Metode tersebut mengasumsikan sebuah rerata distribusi frekuensi-ukuran yang ditentukan dari sampel yang dikumpulkan sepanjang tahun mengikuti suatu kurva mortalitas untuk sebuah rata-rata kohort. Benke (1979) telah melakukan koreksi dari metode Hynes & Coleman (1968) dengan cara mengalikan nilai produktivitas yang telah dihasilkan dengan sebuah faktor koreksi yaitu 365/CPI (cohort production interval) ketika hewan tersebut memiliki waktu generasi yang lebih dari sekali bereproduksi dalam jangka waktu satu tahun (multivoltine). CPI umumnya ditetapkan dari rerata waktu (dalam hari) yang dibutuhkan dari mulai menetas hingga mencapai ukuran akhir. Kadangkala faktor koreksi tersebut menggunakan bulan dibandingkan dengan menggunakan hari yang rumusnya adalah sebagai berikut: 12/CPI (Benke & Huryn 2007). 2.3 Faktor Lingkungan Penting Dalam Mengatur Komunitas dan Produktivitas sekunder larva Trichoptera. Kualitas air dapat mempengaruhi nilai produktivitas sekunder dari larva Hydropsychidae terutama yang hidup di daerah yang belum mengalami gangguan dari aktivitas antropogenik. Hal ini berkaitan dengan cukupnya nutrien yang terkandung dalam air dalam mendorong pertumbuhan alga atau perifiton yang berfungsi sebagai makanan larva Trichoptera. Ross & Wallace (1983) melakukan penelitian pada Famili Hydropsychidae di Sungai Appalachian Selatan (elevasi 600 m) menunjukkan produktivitas dari larva tersebut berkisar mg berat kering bebas abu (AFDM) m -2 tahun -1. Rendahnya nilai tersebut disebabkan oleh

32 14 rendahnya nilai nutrisi di bagian hulu sungai yang mengurangi kualitas makanan detritus, pertumbuhan alga, dan produktivitas dari invertebrata kecil lainnya yang dimakan oleh larva hydropsychid sebesar 72%. Konsentrasi sebagian besar ion di sungai tersebut relatif rendah yaitu < 1 mg/l, nitrat 0,03 mg N/l, fosfat 0,001-0,002 mg P/l, dan ph 6,6-6,8. Dalam hubungannya dengan faktor kimia di perairan, larva Trichoptera dapat dijumpai dari perairan yang belum tercemar hingga tercemar berat. Sebagai contoh genus Hydropsyche dan Cheumatopsyche relatif sensitif terhadap air yang tercemar (Chakona et al. 2009) dan keberadaan hewan tersebut akan meningkat kembali di bagian hilir ketika kualitas airnya meningkat (Mackay & Wiggins 1979). Stuijfzand et al. (1999) menggunakan larva Hydropsyche sp. untuk evaluasi kualitas air Sungai Rhine dan Sungai Meuse. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa distribusi dan kelangsungan hidup larva Hydropsyche sp. cukup tinggi di Sungai Rhine dan hampir tidak ada yang hidup di Sungai Meuse. Hal ini erat kaitannya dengan rendahnya kualitas air Sungai Meuse yang ditunjukkan dengan rendahnya konsentrasi oksigen terlarut (1,7 mg/l) dan tingginya konsentrasi amonium (4,1 mg/l), di-isopropylether (60 µg/l), flourida (1,3 mg/l), dan diuron (0,8 µg/l) sebagai faktor pembatas utama, di samping faktor fisik lainnya seperti kecepatan arus. Redell et al. (2009) menunjukkan larva Oligostomis ocelligera (Famili Phryganeidae) mampu bertahan dalam kondisi lingkungan akuatik yang ekstrim (air masam tambang) akibat aktivitas antropogenik penambangan. Larva tersebut mampu hidup pada ph yang rendah (2,58 3,13), konsentrasi sulfat (542 mg/l), logam berat Fe (12 mg/l), Mn (14 mg/l), dan Al (16 mg/l) yang tinggi. Mackay & Wiggins (1979) menyebutkan larva Helicopsyche borealis dapat hidup pada sumber mata air panas dengan kandungan hidrogen sulfida yang tinggi dan sungai yang menerima buangan limbah domestik. Hewan tersebut telah dilaporkan mampu mentolerir adanya kebocoran dari tangki bensin yang masuk ke dalam sungai yang mengakibatkan sebagian besar makrozoobentos yang ada mengalami drifting (penghanyutan) atau kematian. Larva Hydropsyche betteni dan Brachycentrus americanus mampu bertahan hidup pada nilai ph yang rendah (Mackay & Wiggins 1979).

33 15 Penelitian yang dilakukan Clements (1994) di bagian hulu Sungai Arkansas, Colorado menunjukkan hasil yang berlawanan dengan Stuijfzand et al. (1999). Sungai yang mendapat masukan dari air asam tambang dalam kategori tercemar sedang hingga berat didominasi oleh larva Chironomid Othocladiinae dan Trichoptera. Beasley & Kneale (2004) menyebutkan larva Trichoptera Famili Hydropsychidae relatif toleran terhadap kontaminasi logam berat Cu, Cd, dan Pb di perairan. Peningkatan dominansi makrozoobentos pada beberapa spesies Famili Chironomidae dan Hydropsychidae merupakan sinyal awal dari meningkatnya kontaminasi logam (Winner et al. 1980; Luoma & Carter 1991; Canfield et al. 1994). Hydropsychid merupakan salah satu penyusun larva Trichoptera yang umum dijumpai dan memiliki peran penting di sungai terutama dalam aliran energi, nutrisi, dan jaring-jaring makanan. Sejarah kehidupan hewan tersebut bervariasi dari univoltine hingga multivoltine yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang turut berkontribusi dalam mengatur produktivitas sekundernya (Alexander & Smock 2005). Gurtz & Wallace (1986) menyebutkan faktor lingkungan seperti ukuran partikel, kecepatan arus, kelimpahan dan kualitas makanan, serta lokasi mikro pada habitat memiliki peran besar dalam mengatur produktivitas larva hydropsychid. Alexander & Smock (2005) telah mengkaji produktivitas sekunder tahunan dari larva hydropsychid Cheumatopsyche analis di Sungai Upham Brook Virginia dapat mencapai 18,2 g/m 2 /thn. Tingkat toleransi hewan tersebut cukup luas dari kualitas air yang belum terpolusi hingga tercemar sedang. Tingginya pencemaran di ekosistem air tawar telah diketahui dapat meningkatkan insiden abnormalitas morfologi dari hewan air tawar. Abnormalitas morfologi dari serangga akuatik telah lama digunakan dalam studi yang berkaitan dengan pengaruh polutan toksik di ekosistem akuatik (Wiederholm 1984; Warwick 1985; Dickman et al. 1992; Bisthoven et al. 1998). Respon subletal berupa kecacatan insang dan anal papilae dari larva Trichoptera telah dipelajari secara mendalam guna pengembangan indikator biologi perairan khususnya dalam bidang biomarker. Biomarker secara umum didefinisikan sebagai substansi yang digunakan sebagai indikator dari suatu proses biologi. Abnormalitas pada insang

34 16 trachea, organ regulasi ion, dan anal papilae dapat menunjukkan adanya gangguan pada respirasi dan fungsi pengaturan ion pada individu (Vuori & Kukkonen 1996). Adanya perubahan morfologi dari insang larva Hydropsychidae berupa penghitaman warna, reduksi dari anal papilae dan insang abdominal ketika larva tersebut dipaparkan dengan menggunakan logam berat: kadmium, tembaga, aluminium (Vuori & Kukkonen 1996), dan chromium (Leslie et al. 1999). Munculnya penghitaman warna dan kelainan pada insang ini umumnya dijumpai pada larva instar terakhir atau yang lebih tua (Vuori & Kukkonen 2002). Camargo (1991) mengamati adanya gangguan berupa penonjolan dan penghitaman warna pada anal papilae dan insang abdominal pada larva Hydropsyche pellucidula yang dipaparkan dengan air yang terklorinasi. Jumlah cabang-cabang pada insang abdominal mengalami reduksi hingga menjadi potongan tunggal yang pendek. Adanya penghitaman warna insang di larva Trichoptera dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Larva Hydropsychidae yang hidup dalam kondisi normal, warna insang trachea tampak pucat (kiri) dan penghitaman warna pada bagian insang (kanan). (Disadur dari Vuori & Kukkonen 2002). Pengaruh fisik berupa gangguan pada habitat terhadap komunitas Trichoptera telah dipelajari secara mendalam oleh Camargo (1991) dan Takao et al. (2006). Takao et al. (2006) menyebutkan bahwa kecepatan aliran dan fluktuasi dari debit sungai merupakan pengendali utama dari organisasi biologi yang ada dalam sistem lotik. Tingginya arus sungai dapat menyebabkan perubahan pada populasi larva Trichoptera dengan cara menghanyutkan semua individu atau memindahkan material sedimen yang dapat menyebabkan kematian. Camargo

35 17 (1991) menunjukkan dampak negatif dari pembangunan dam bendungan air di Rio Duraton (Spanyol) pada komunitas Hydropsychidae berupa menurunnya kekayaan taksa, keanekaragaman spesies, dan dominansinya. Biomassa total dan kelimpahan larva Hydropsychidae juga mengalami penurunan di bawah dam secara langsung. Semakin jauh dari bangunan dam, kelimpahan total dan biomassa menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan di bagian hulu sungai. Hal ini mungkin erat kaitannya dengan peningkatan ketersediaan suplai makanan dan habitat di daerah tersebut. Kelimpahan Cheumatopsyche lepida, Hydropsyche sp. dan H. pellucidula secara signifikan menurun di bagian hilir, namun H. siltalai, H. exocellata dan H. bulbifera mengalami peningkatan secara drastis. Chakona et al. (2009) menggunakan komunitas larva Trichoptera guna mendeteksi gangguan ekosistem sungai akibat deforestasi dan aktivitas pertanian di dua daerah tangkapan (DAS) yaitu Nyaodza-Gachegache dan Chimanimani (Zimbabwe). Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya perubahan dalam komposisi genus akibat perubahan pada tata guna lahan dan geomorfologi. Genus Anisocentropus, Dyschimus, Lepidostoma, Leptocerina, Athripsodes, Parasetodes, Aethaloptera, Hydropsyche, dan Polymorphanisus keberadaannya terbatas pada daerah hutan yang belum mengalami gangguan dengan karakteristik rendahnya suhu, kekeruhan, konsentrasi silt (lanau), dan tingginya elevasi, oksigen terlarut, dan transparansi. Sedangkan kelimpahan larva Hydroptila cenderung menyukai habitat yang sudah mengalami gangguan khususnya di daerah pertanian. Hilangnya beberapa genus larva Trichoptera (Hydropsyche, Lepidostoma, Macrostemum) yang tergolong sensitif di daerah yang mengalami deforestasi kemungkinan besar disebabkan oleh berkurangnya material tanaman yang masuk pada sungai sebagai bahan makanan bagi larva tersebut maupun disebabkan rusaknya habitat akibat sedimentasi. Suhu dan pergerakan air memainkan peran penting dalam proses fisiologi pernafasan dengan mengendalikan ketersediaan oksigen terlarut. Larva Trichoptera mampu menempati habitat hampir seluruh kisaran temperatur lotik, termasuk mata air dingin dan panas. Sebagai contoh Eobrachycentrus gelidae mampu hidup di mata air pegunungan yang bersuhu 2 C. Apatania muliebris yang hanya ditemukan pada mata air yang bersuhu dingin. Pada suhu yang

36 18 ekstrem lainnya, Oligoplectrum echo dan Helicopsyche borealis dapat hidup pada sungai termal yang mencapai suhu 34 C atau lebih (Mackay & Wiggins 1979). Larva Trichoptera memiliki preferensi atau kekhususan tertentu terhadap kisaran kecepatan arus air. Spesies yang telah beradaptasi dengan ekosistem air mengalir dapat mengalami stress dalam respirasinya ketika ditempatkan pada air menggenang. Hewan tersebut dapat mentoleransi konsentrasi oksigen terlarut yang rendah dan suhu air yang meningkat ketika hidup dalam arus air yang mengalir secara cepat. Stimulus untuk memilin/membuat jala sangat ditentukan oleh kecepatan minimum arus air. Jala yang dibentuk untuk menangkap makanan pada arus air yang deras cenderung memiliki mata jala yang kasar dan jalinan yang kuat guna menahan kuatnya arus, berlindung terhadap predator, dan sebagai tempat untuk mengkaitkan anchor larva agar tidak hanyut. Sedangkan larva yang hidup pada arus air lambat, mata jalanya terlihat lebih halus dan berukuran besar (Mackay & Wiggins 1979). Substrat dasar sungai dapat memberikan pengaruh pada distribusi dan kelimpahan hewan avertebrata lotik dan hewan tersebut mampu merespon terhadap gangguan. Faktor yang mempengaruhi spesifikasi substrat terhadap kelimpahan atau produktivitas sekunder dari organisme makrozoobentos antara lain: ukuran partikel, kecepatan arus, kestabilan fisik, dan ketersediaan makanan. Oleh sebab itu produktivitas sekunder dari serangga akuatik dapat berubah secara signifikan pada substrat yang berbeda (Gurtz & Wallace 1986). Substrat merupakan materi yang ada di dasar sungai yang didistribusikan oleh arus air akibat erosi di daerah substrat mineral kasar dan daerah endapan sedimen halus yang banyak mengandung bahan organik. Ke dua daerah tersebut mampu mendukung tumbuhan atau alga berfilamen yang menempel pada batu yang dapat dianggap sebagai substrat pada habitat lotik. Larva Trichoptera cenderung memilih substrat kasar sebagai respon terhadap derasnya arus air daripada ukuran substrat (Mackay & Wiggins 1979). Pemilihan substrat juga didasarkan pada mekanisme feeding larva Trichoptera. Perilaku larva yang hidup di permukaan batu mungkin strategi untuk: a). mendapatkan makanan berupa diatom, lumut, Cladophora dan Podostemum, b). predator, dan c). menyaring makanan di dalam arus. Banyak spesies dari larva

37 19 Trichoptera menjadi pupa di bagian bawah batu. Hal ini mungkin strategi dari hewan tersebut pada saat musim panas yang rentan terhadap penurunan level air, dan perlindungan dari predator seperti ikan. Spesies lain yang hidup pada substrat yang lebih halus dapat beradaptasi dengan cara menggali lubang pada daerah yang berarus lambat dan endapan sedimen. Larva sericostomatid genus Agarodes dan Fattigia membuat liang yang portable dari bahan butiran pasir guna memberikan perlindungan dan tidak menghambat untuk melakukan penggalian. Beberapa spesies dari larva Sericostoma. tidak menggali liang dan tampak aktif di permukaan kerikil hanya pada saat malam hari (Mackay & Wiggins 1979). Tipe substrat dapat mempengaruhi kelimpahan larva Trichoptera, sehingga secara langsung akan berpengaruh pada produktivitas sekundernya. Sebagai contoh studi yang dilakukan oleh Jin & Ward (2007) pada larva Glossosoma nigrior yang hidup di sungai kecil Collier USA menunjukkan pada habitat kerikil mendukung kelimpahan dan biomassa G. nigrior secara substansial lebih besar dibandingkan dengan habitat bed rock. Pada habitat kerikil dapat mencapai ratarata kelimpahan 147 m -2 (kisaran: m -2 ) dibandingkan pada bed rock dengan kelimpahan 15 m -2 (kisaran: m -2 ). Rata-rata biomassa di habitat kerikil mencapai rata-rata 13 mg (kisaran: 0-39 mg AFDM m -2 ) dibandingkan pada bagian bed rock dengan rata-rata 3 mg, (kisaran: 0-22 mg AFDM m -2 ). Produktivitas sekunder larva tersebut mencapai 115 mg AFDM m 2 dengan P/B = 17,9). Fenomena berbeda ditunjukkan pada dua larva hydropsychid yaitu Parapsyche cardis dan Diplectrona modesta yang memiliki preferensi berbeda terhadap substrat. Larva hydropsychid memiliki preferensi yang kuat terhadap spesifikasi substrat antara lain ukuran partikel, kecepatan arus air, kelimpahan lumut, dan lokasi mikro substrat. Larva Trichoptera yang bertipe penyaring (filtering collector) relatif sensitif terhadap perubahan kualitas dan kuantitas makanan di sepanjang hulu sungai sebagai akibat adanya gangguan di daerah tangkapannya. Oleh sebab itu larva hydropsychid merupakan spesies yang cocok untuk pengujian terhadap perbedaan diantara sungai, produksi, dan kelimpahan dalam kaitannya dengan substrat yang spesifik. Produktivitas dan kelimpahan dari P. cardis secara signifikan lebih tinggi pada rock face > cobble riffle > kerikil >

38 20 pasir. Sedangkan distribusi D. modesta relatif sama diantara tipe substrat dan kadangkala sifatnya tidak stabil (kelimpahan dan produktivitas kadang kala lebih tinggi di cobble atau rock face) diantara sungai. Rendahnya kelimpahan dari D. modesta pada bagian cobble mungkin disebabkan oleh rendahnya kelimpahan lumut yang dapat berfungsi menyediakan cukupnya mikrohabitat bagi hewan tersebut dibandingkan pada bagian rock face yang relatif tebal (Gurtz & Wallace 1986). Ukuran partikel dari makanan diduga juga turut berpengaruh pada kelimpahan dan pergeseran dari spesies larva hydropsychid, walaupun pengaruh dari ukuran partikel itu sendiri hingga saat ini masih belum dapat dipahami secara pasti. Sebagai contoh produktivitas dan kelimpahan larva Hydropsyche menunjukkan lebih tinggi (2,5 g/m 2 /tahun dan 156 ind/m 2 ) pada bagian hilir (1 km setelah dam) dibandingkan dengan larva Cheumatopsyche yang jauh berlimpah setelah di bawah Dam Upham Brook-Virginia (18,2 g/m 2 /tahun dan 2490 ind/m 2 ). Diduga meningkatnya pertumbuhan, kelimpahan, dan produktivitas dari larva hydropsychid umumnya disebabkan oleh peningkatan makanan pada kolom air berupa fitoplankton dan zooplankton. Hal ini berkaitan dengan kemampuan dari pori-pori lubang jaring hydropsychid dalam menyaring ukuran partikel yang terhanyut pada kolom air yang semakin ke arah hilir semakin lebih kecil. Ukuran pori-pori jaring larva Hydropsyche menunjukkan lebih besar dibandingkan dengan larva Cheumatopsyche. Faktor lain yang turut mempengaruhi dalam distribusi larva hydropsychid tersebut antara lain suhu, kecepatan arus, substrat, dan interaksi biotik (Alexander & Smock 2005) Kompleksitas Respon Tingkatan Organisasi Biologi Terhadap Pemaparan Logam Berat. Logam merkuri termasuk dalam jenis logam yang sangat beracun dan memiliki kemampuan untuk akumulasi pada makhluk hidup dan biomagnifikasi pada rantai makanan. Unsur merkuri mudah menguap dan tidak mudah larut dalam air, sehingga logam ini cenderung untuk menguap. Merkuri terdapat di seluruh alam namun demikian distribusinya tidak merata. Kandungan merkuri dalam air tanah berkisar 0,01 0,07 ppb, sungai dan danau 0,08 0,12 ppb, tanah

39 ppb, dan dalam batuan vulkanik antara ppb (Keckes & Mienttinen, 1972). Toksisitas umumnya didefinisikan sebagai munculnya efek biologi yang merugikan. Biasanya satu tingkat organisasi biologi saja yang dipilih dalam mempelajari sebuah efek/pengaruh toksikan ke makhluk hidup. Toksisitas logam di alam dapat berpengaruh pada seluruh tingkat organisasi biologi (seluler hingga populasi). Toksisitas dapat melibatkan suatu reaksi penggantian dan kegagalan interaksi dari suatu mekanisme yang lebih komplek. Gambar 6 memperlihatkan urutan pengaruh toksisitas logam terhadap seluruh tingkatan organisasi biologi dari paling rendah (seluler) hingga paling tinggi (populasi). Proses detoksifikasi dan kompensasi terjadi pada masing-masing tingkat organisasi biologi. Efek merugikan dari logam terjadi ketika mekanisme kompensasi dan detoksifikasi berlebih pada pengaruh sekunder. Semakin besar pemaparan logam, maka semakin panjang reaksi ke bagan bagian bawah yang akan diproses. Biasanya reaksi kontaminasi logam spesifik paling mudah diidentifikasi pada tingkatan organisasi biologinya yang paling rendah. Kompleksitas semakin tinggi mulai dari bagan di bagian atas hingga bagan bagian bawah (Luoma 1995). Konsentrasi merkuri anorganik yang menyebabkan toksisitas akut terhadap biota avertebrata umumnya berkisar antara 5 hingga 5600 µg Hg/L, sedangkan terhadap ikan berkisar antara 150 hingga 900 µg Hg/L. Pada alga nilai LC 50 pada 24 jam antara 9 hingga 27 µg Hg/L (CCME 2002). Toksisitas kronis merkuri di avertebrata memiliki sensitivitas hampir sama dengan di ikan. Konsentrasi merkuri anorganik yang dapat menimbulkan efek (Effect concentration, EC 50 ) pada avertebrata berkisar antara 1,28 sampai 12,0 µg Hg/L. Pada ikan, nilai kronik untuk merkuri anorganik berkisar antara 0,26 sampai > 64 µg Hg/L (Niimi & Kissoon 1994).

40 22 Tingkat organisasi biologi Pengaruh sekunder Pengaruh primer Molekuler/biokimia (individu) Detoksifikasi Bioakumulasi - Lisosom - Metallothionin Detoksifikasi berlebih Mengubah atau mengganggu proses biokimia Fisiologi Detoksifikasi - Aklimatisasi - Adaptasi siklus reproduksi Kompensasi berlebih Stress fisiologi - Lemahnya individu - Menghambat reproduksi - Mudah stress Organisme (spesies) Detoksifikasi - Kelulushidupan pada dewasa Kompensasi berlebih Individu tidak dapat lolos hidup atau reproduksi Populasi Detoksifikasi - Rendahnya toleransi - Imigrasi - Struktur umur Kompensasi berlebih Hilangnya spesies Komunitas - Dominansi dan kelimpahan meningkat - Kekayaan taksa menurun - Ekologi feeding berubah Integritas ekologi menurun Gambar 6. Proses gangguan oleh toksisitas logam pada seluruh tingkatan organisasi biologi (Luoma 1995).

41 Kerangka Pemikiran Masuknya beban polutan dari aktivitas antropogenik di Sungai Ciliwung seperti bahan organik, logam merkuri, dan substansi lainnya dapat mempengaruhi kualitas air dan kelayakan habitat bagi kehidupan biota akuatik. Penguraian bahan organik berupa nutrien yang ada di perairan diperlukan guna pertumbuhan perifiton dan seston (plankton) guna membentuk biomassa yang berfungsi sebagai sumber makanan bagi larva Trichoptera. Kehidupan larva Trichoptera sangat dipengaruhi oleh kualitas air, ketersediaan pakan (seston), perifiton, maupun ketersediaan habitat (misalnya materi organik kasar/cpom) yang berfungsi sebagai sarang maupun sumber energi. Adanya interaksi dari empat komponen di atas akan menentukan pola adaptasi dari larva Trichoptera yang dicirikan dari struktur komunitas dan ekologi feedingnya. Bentuk proses adaptasi dari struktur komunitas dan ekologi feeding dapat dilihat dari jumlah kekayaan taksa (genus) dan komposisinya, sifat toleran atau sensitivitasnya terhadap bahan polutan, atribut populasi, tipe kebiasaan feeding dalam mendapatkan makanan, maupun suksesnya dalam bereproduksi atau melanjutkan keturunan (produktivitas sekunder). Adanya pengelompokan stasiun pengamatan dan karakterisasi spesies indikator sepanjang gradien lingkungan dapat dibuat suatu biokriteria lokal yang didasarkan pada konsep multimetrik guna mengkategorikan status gangguan ekologi di Sungai Ciliwung. Biokriteria yang baru dihasilkan diharapkan mampu digunakan untuk evaluasi suksesnya program pengelolaan Sungai Ciliwung yang telah dilakukan. Diagram alir pendekatan dalam proses pemecahan masalah pada penelitian ini secara rinci disajikan dalam Gambar 7.

42 Gambar 7. Diagram alir pendekatan pemecahan masalah 24

43 25

44 III. METODE PENELITIAN 3.1 Metode/Desain Penelitian Desain penelitian yang akan dilakukan menggunakan pendekatan survei post facto. Dasar sistematik penelitian adalah keterkaitan antara masukan bahan organik dan logam berat merkuri di Sungai Ciliwung dengan struktur komunitas dan produktivitas sekunder larva Trichoptera. 3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam waktu delapan bulan (Oktober 2010-Mei 2011) yang mengambil lokasi di beberapa titik dari ruas Sungai Ciliwung. Waktu pengambilan sampel dilakukan setiap akhir bulan (tanggal 29 atau 30) dan diusahakan ketika debit air sungai relatif rendah (tidak hujan). Lokasi sampling ditetapkan secara purposive yang didasarkan pada pertimbangan beban dan sumber pencemar yang masuk pada masing-masing stasiun. Pengamatan mulai dari site/situs yang sedikit mengalami gangguan (reference site/ situs rujukan) hingga situs yang sudah diprediksi telah mengalami gangguan sedang atau berat (test site/ situs uji). Pemilihan lokasi sampling juga didasarkan pada pertimbangan kesamaan kondisi ekoregion yang masih termasuk dalam gradien tinggi dan banyaknya substrat batuan yang tertanam di dasar sungai. Secara teknis di lapangan, sungai yang masih termasuk dalam gradien tinggi ditetapkan dari persentase keberadaan batuan cobble (Ф mm) di dasar sungai lebih dari 30% dan kecepatan arus lebih dari 0,5 m/detik (Komunikasi pribadi: Michael T. Barbour, 2004, Tetra Tech Inc, Owings Mills, Madison, USA). Faktor kedalaman sungai yang masih ± 50 cm juga turut memudahkan saat pengambilan sampel dengan menggunakan alat jala surber. Lokasi yang digunakan selama penelitian dalam menyusun biokriteria maupun produktivitas sekunder larva Trichoptera adalah: 1. Stasiun Gunung Mas yang terdiri dari dua situs pengamatan (St. 1 dan 2) yang berfungsi sebagai situs rujukan pada bagian hulu dengan kondisi habitat yang masih terjaga dengan baik atau gangguan aktivitas antropogenik minimal.

45 26 2. Stasiun Kampung Pensiunan (St. 3) mewakili daerah yang sudah mengalami gangguan oleh aktifitas perkebunan teh. 3. Stasiun Kampung Jog-jogan (St. 4) mewakili daerah dari adanya aktivitas pertanian, pemukinan penduduk, dan perkebunan. 4. Stasiun Katulampa (St. 5) mewakili daerah dari adanya aktivitas pemukimam penduduk, perkotaan, maupun penambangan batu. 5. Stasiun Cibinong (St. 6) mewakili daerah dengan sumber pencemar yang relatif lebih kompleks (limbah domestik, perkotaan dan industri). Titik koordinat dan peta lokasi pengambilan sampel secara rinci disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 8. Tabel 1. Titik koordinat lokasi pengambilan sampel di Sungai Ciliwung. No Nama Lokasi Titik koordinat 1 Gunung Mas ,38 LS, ,49 BT 2 Gunung Mas ,62 LS, ,22 BT 3 Kampung Pensiunan ,11 LS, ,75 BT 4 Kampung Jog-jogan ,47 LS, ,17 BT 5 Katulampa ,03 LS, ,29 BT 6 Cibinong (PDAM) ,55 LS, ,05 BT 3.3 Variabel (yang ditera dan kerja) Variabel tera yang diamati pada penelitian ini meliputi : 1. Kualitas fisik perairan meliputi: suhu, kecepatan arus, konduktivitas, kekeruhan, CPOM, dan distribusi partikel. 2. Kualitas kimia perairan meliputi: oksigen terlarut (DO), amonium (N-NH 4 ), nitrat (N-NO 3 ), ortofosfat (P-PO 4 ), bahan organik total (TOM), C dan N di seston, kebutuhan oksigen kimiawi (COD), logam Hg di air, sedimen, dan di tubuh larva Trichoptera Cheumatopsyche sp. 3. Kualitas biologi dari komunitas larva Trichoptera yaitu: kelimpahan, jumlah taksa (genus), berat kering, dan lebar kepala. Disamping itu juga dilakukan analisis terhadap kelimpahan perifiton.

46 Gambar 8. Peta lokasi pengambilan sampel di Sungai Ciliwung 27

47 28 Variabel kerja yang diamati pada penelitian ini meliputi: 1. Kualitas habitat di sekitar lokasi pengamatan dilakukan dengan menggunakan indeks habitat (US-EPA 1999). 2. Status pencemaran organik di air dengan menggunakan indeks kimia (Kirchoff 1991), sedangkan kontaminasi logam merkuri di sedimen dengan menggunakan indeks polusi logam (Integrative Pollution Index/ IPI). 3. Penilaian kualitas biologi dari Sungai Ciliwung diprediksi dengan menggunakan indeks Stream Invertebrate Grade Number-Average level/signal (Gooderham & Tysrlin 2002), indeks keanekaragaman Shannon-Wiener, indeks keseragaman (Clarke & Warwick 2001), biomassa, dan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche sp. (Benke 1979; Benke & Huryn 2007). 3.4 Teknik Pengumpulan Data a. Kualitas habitat Gangguan yang terjadi pada habitat di sekitar lokasi pengamatan dinilai dengan sistem scoring (US-EPA 1999). Komponen penilaian habitat mencakup: substrat epifaunal atau ketersediaan vegetasi penutup, embeddedness (banyaknya batuan yang tertanam di dasar sungai), kombinasi antara kecepatan aliran dan kedalaman, endapan sedimen, status aliran saluran basin, perubahan saluran, frekuensi jeram dan kelokan sungai, stabilitas pinggir sungai, lebar zone vegetasi riparian dan sebagainya (Lampiran 1). Masing-masing skor metrik dilakukan penjumlahan, sehingga diperoleh nilai skor total dari indeks habitat. Kriteria gangguan pada habitat sungai disajikan dalam Tabel 2. Situs yang mempunyai nilai skor indek habitat tertinggi atau dalam kategori optimal diharapkan dapat dijadikan sebagai kandidat situs rujukan. Tabel 2: Kriteria penilaian gangguan terhadap habitat yang diadopsi dari protokol US-EPA (1999). Kriteria Habitat Skor Penilaian Habitat pada Gradien Tinggi dan Rendah Optimal Sub-Optimal Marginal Buruk < 60

48 29 b. Sampel air dan sedimen Pengambilan sampel air untuk tujuan analisis parameter kimia dilakukan setiap bulan sekali dengan menggunakan gayung ukur 2 liter dan dimasukkan dalam botol sampel 500 ml. Sampel air untuk tujuan analisis logam merkuri diambil sebanyak 250 ml dan dimasukkan dalam botol sampel 250 ml yang sebelumnya sudah dibilas dengan larutan asam nitrat 5%. Pengambilan sampel sedimen dilakukan dengan menggunakan skop kecil dari bahan plastik untuk analisis logam sebanyak 0,5 liter yang dimasukkan dalam botol kaca Scott yang sebelumnya sudah dibilas dengan larutan asam nitrat 5%. Analisis distribusi partikel dilakukan dengan cara pengambilan sedimen sebanyak ± 0,5 kg yang dimasukkan dalam kantung plastik. c. Sampel Makrozoobentos (Larva Trichoptera) Pengambilan sampel biologi (larva Trichoptera) untuk tujuan penyusunan biokriteria, pengukuran biomassa, dan produktivitas sekunder dengan menggunakan alat jala surber (berukuran 30 x 30 cm 2 dengan lebar mata jaring 0,2 mm). Pada masing-masing lokasi penelitian, pengambilan sampel diusahakan pada tipe habitat yang banyak mengandung pebble (Φ mm) dan cobble (Φ mm). Pengambilan sampel larva Trichoptera dilakukan sebulan sekali. Jala surber dipasang di atas permukaan batu dan disikat dengan sikat gigi halus, sehingga hewan yang ada di batu akan terbawa hanyut masuk ke jala surber. Masing-masing stasiun pengamatan dilakukan pengulangan sebanyak lima kali dan digabung menjadi satu sampel. Alasan pengambilan lima sampel tersebut didasarkan pada pendapat Carter & Resh (2001) yang menyebutkan penggunaan alat jala surber di Negara Amerika umumnya berkisar dari 3-8 sampel (ulangan) dengan rata-rata 4,7 sampel. Serasah yang tertahan dalam saringan dimasukkan dalam wadah plastik dan diberi larutan pengawet formalin 10 % guna meminimalkan perubahan dalam biomassa (Jin & Ward 2007) dan dimasukkan dalam toples plastik. Sampel yang telah diawetkan dalam formalin 10 % diletakkan dalam saringan yang berpori 0,2 mm dan dibilas dengan menggunakan air kran. Sortir larva Trichoptera dilakukan di bawah mikroskop stereo dengan

49 30 pembesaran kali. Hewan yang telah tersortir dimasukkan dalam botol flakon yang sudah ditambah dengan larutan pengawet alkohol 70%. Sampel larva Trichoptera Hydropsychid untuk tujuan analisis logam merkuri dilakukan dengan cara larva dicuci dengan air destilasi deionisasi selama 2 jam, kemudian dikeringkan diatas kertas saring/tisu. Larva dipindah ke dalam cawan petri kemudian dimasukkan dalam refrigerator. 1 gr larva diambil untuk dihancurkan dengan asam sulfat dan nitrat pekat pada suhu 95 0 C. d. Sampel Perifiton Pengambilan sampel perifiton dilakukan dengan menggunakan tiga buah batu yang permukaannya relatif halus dan diambil secara acak. Batu tersebut kemudian disikat dengan menggunakan sikat gigi guna melepaskan perifiton yang menempel. Sampel perifiton dilakukan pengawetan dengan larutan formalin 5% dan dimasukkan dalam kantung plastik. Sampel perifiton dalam botol flakon 15 ml dilakukan pengadukan agar homogen dan dipipet dengan volume 1 ml. Kelimpahan perifiton dihitung dengan menggunakan Sedgewick rafter counting cell dengan menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 40 x 10. Identifikasi perifiton dilakukan menurut Cox (1996) dan Bellinger & Sigee (2010). Penghitungan jumlah perifiton dilakukan di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 hingga 400 kali. 3.5 Metode pengukuran Parameter fisik dan kimia perairan Pada penelitian ini dilakukan pengukuran kualitas fisik dan kimia perairan yang secara rinci disajikan pada Tabel 3. Disamping itu juga dilakukan analisis logam merkuri yang terakumulasi pada tubuh larva Trichoptera. Parameter fisik yang diukur secara langsung di lapangan meliputi: kecepatan arus, kekeruhan, konduktivitas, dan suhu air, sedangkan parameter kimia meliputi oksigen terlarut (DO) dan ph. Pengukuran parameter fisik yang dilakukan secara tidak langsung meliputi: distribusi partikel dan CPOM (partikel organik kasar yang berdiameter > 1 mm). Analisis parameter kimia yang dilakukan di laboratorium (tidak langsung)

50 31 meliputi parameter amonium, nitrat, ortofosfat, bahan organik total (TOM), COD, C dan N di seston, kesadahan, logam merkuri di air, sedimen, dan biota. Tabel 3. Parameter lingkungan yang diukur dan dianalisis dalam penelitian No. Parameter Satuan Alat Pengukuran 1. Parameter fisika a. Suhu air o C b. Kecepatan arus m/dt c. Distribusi partikel % d. Kekeruhan e. Konduktivitas f. CPOM 2. Parameter kimia a. ph air b. Oksigen terlarut c. COD d. Amonium e. Nitrat g. Ortofosfat h. Kesadahan i. C dan N di Seston j. TOM k. Merkuri air l. Merkuri sedimen m. Merkuri di biota NTU ms/dt g - mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l setara CaCO3 mg/l mg/l ppb ppb ppb Termometer Current meter Saringan bertingkat Turbidimeter Konduktimeter Timbangan analitik ph meter DO meter Buret titrator Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer Buret titrator CHN Analyzer Buret titrator Mercury analyzer Mercury analyzer Mercury analyzer Keterangan Langsung Langsung Tidak langsung (Lin et al.2003) Langsung Langsung Tidak langsung (Barlocher 1983) Langsung Langsung Tidak langsung (Eaton 1995) Tidak langsung (Eaton 1995) Tidak langsung (Eaton 1995) Tidak langsung (Eaton 1995) Tidak langsung (Eaton 1995) Tidak langsung (Jin & Ward 2007) Tidak langsung (Eaton 1995) Tidak langsung Smoley (1992) Tidak langsung (Akagi & Nishimura 1991) Tidak langsung (Pennuto et al. 2005)

51 Parameter biologi Parameter biologi meliputi komposisi taksa (genus) dan kelimpahan dari organisme perifiton dan larva Trichoptera yang dianalisis di laboratoriun ekotoksikologi Puslit Limnologi-LIPI. Identifikasi larva Trichoptera diusahakan hingga tingkat genus menurut Pescador et al. (1995), Merrit & Cummins (1996), Gooderham & Tsyrlin (2003), dan Dean et al. (2010). Status ekologi feeding larva Trichoptera digolongkan menurut US-EPA (1999) Biomassa dan Produktivitas sekunder Pengukuran biomassa dan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche sp. dilakukan dengan cara mengukur lebar kepala dan berat kering individu. Pengukuran lebar kepala dengan menggunakan mikrometer okuler dalam sebuah mikroskop cahaya. Penentuan berat kering ditentukan dengan cara pengeringan pada sebuah inkubator yang bersuhu 60 0 C selama 24 jam, kemudian didinginkan dalam suhu ruangan pada alat desikator (Alexander & Smock 2005). Kemudian larva tersebut ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik merek sartorius (tingkat ketelitian g). 3.6 Analisis Data Status pencemaran organik di air dengan menggunakan indeks kimia (Kirchoff 1991), sedangkan untuk logam merkuri di sedimen dengan memodifikasi indeks pencemaran logam (pollution index/pi) dari Chen et al. (2005). Komponen parameter kimia dan fisik yang digunakan untuk menghitung indeks kimia meliputi: DO, ph, suhu, amonium, nitrat, ortofosfat, dan konduktivitas. Hasil analisis parameter kimia di atas selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai indeks kimia dengan menggunakan rumus Kirchoff (1991) sebagai berikut: CI... wi w1 w2 w3 wn = qi = q1 xq2 xq3 x xqn 1) Dengan: CI = Nilai indeks kimia pada setiap titik sampling n = banyaknya jumlah parameter q = parameter sub-indeks diperoleh dari pengurangan anggota parameter diantara skala 0 sampai 100 w = nilai bobot kepentingan dari setiap parameter, nilainya dari 0 1.

52 33 Kriteria pencemaran organik menurut indeks kimia dapat dilihat dalam Tabel 4. Kandidat daerah yang akan ditetapkan sebagai situs rujukan diusahakan memiliki nilai skor indeks 84 ke atas. Tabel 4: Kriteria indeks kimia (Kirchoff 1991) guna menggolongkan status pencemaran organik. Skor indeks kimia Status/kondisi Tercemar berat Tercemar sedang Tercemar ringan Belum tercemar Status kontaminasi logam merkuri di sedimen diprediksi dengan menggunakan indeks pencemaran logam yang dihasilkan dari akar konsentrasi logam di daerah situs uji (C i ) dibagi dengan konsentrasi logam di situs rujukan (C oi ). Tabel 5 merupakan kriteria dari indeks polusi logam di sedimen (Chen et al. 2005). Rumus indeks pencemaran logam adalah sebagai berikut :. 2) Dengan: PI = indeks pencemaran logam x = C i /Coi Ci = konsentrasi logam i di sedimen di daerah situs uji Coi = konsentrasi logam di stasiun yang berfungsi sebagai situs rujukan. Tabel 5. Klasifikasi status pencemaran logam di sedimen dari Chen et al. (2005) Skor Kriteria < 1 Terpolusi ringan 1 < IPI 2 Terpolusi sedang > 2 Terpolusi berat Fenomena abnormalitas/nekrosis pada bagian insang abdominal larva Hydropsychid dilakukan pengamatan di masing-masing stasiun. Adanya nekrosis pada insang abdominal umumnya ditandai dengan penghitaman warna atau abrasi insang. Insang dalam kondisi normal akan tampak putih bening. Persentase jumlah individu yang mengalami abnormalitas (Y) dilakukan analisis korelasi

53 34 Pearson product moment dengan besarnya akumulasi merkuri dalam tubuh larva Cheumatopsyche sp (X). Kelimpahan perifiton di setiap titik lokasi pengamatan dihitung dengan menggunakan rumus modifikasi Eaton et al. (1995) sebagai berikut: 3) Keterangan : N : Kelimpahan perifiton (sel/cm 2 ) n : Jumlah perifiton yang diamati (sel) A s : Luas substrat yang dikerik (cm 2 ) untuk perhitungan perifiton Acg : Luas penampang permukaan cover glass (mm 2 ) Aa : Luas amatan (mm 2 ) Vt : Volume konsentrasi pada botol contoh (10 ml) untuk perhitungan perifiton Vs : Volume konsentrasi dalam cover glass (ml) Keanekaragaman jenis dari masing-masing stasiun pengamatan ditentukan dengan menggunakan rumus indeks keanekaragaman Shanon-Wiener (Cairns & Dickson 1971) sebagai berikut: H ' = ni log 2 N ni N. 4) Dengan, H = indeks keanekaragaman (bits per individu) n i = Jumlah individu dalam satu spesies N = Jumlah total individu spesies. Penghitungan indeks tersebut dilakukan dengan menggunakan software Spesies Diversity and Richness versi 2.65 dari Pisces Conservation. Keseragaman dari komunitas larva Trichoptera diprediksi dengan menggunakan Indeks keseragaman sebagai berikut: E = H / H maks.... 5) Dengan, H maks = Keragaman jenis maksimum = log 2 S S = jumlah jenis dalam sampel yang ditemukan.

54 35 Kriteria untuk indeks keseragaman berkisar dari 0-1. Bila nilai indeks 0 maka keseragaman spesiesnya rendah, sedangkan bila nilai indeks 1 maka keseragaman spesiesnya relatif merata. Adanya perbedaan signifikansi masing-masing variabel lingkungan dilakukan uji statistik dengan menggunakan analisis non parametrik Kruskal- Wallis. Alasan penggunaan analisis non parametrik Kruskal-Wallis adalah pada statistik nonparametrik tidak memerlukan asumsi-asumsi tertentu, misalnya mengenai bentuk distribusi dan hipotesis-hipotesis yang berkaitan dengan nilainilai parameter tertentu dan banyaknya grup (stasiun pengamatan) lebih dari 2. Pengujian statistik tersebut dilakukan dengan menggunakan software STATISTICA versi 10. Uji korelasi ranking Spearman dilakukan antara variabel lingkungan dengan indeks keanekaragaman dan keseragaman guna mengetahui sensitifitas indeks tersebut diatas dalam mecerminkan gangguan (pencemaran dan kerusakan habitat). Penghitungan uji korelasi rangking Spearman dilakukan dalam software STATISTICA versi 10. Status gangguan ekologi akibat pencemaran di Sungai Ciliwung diprediksi dengan menggunakan sistem pembobotan antara indeks keanekaragaman dengan variabel lingkungan. Hal ini dapat dilihat dalam BPLHD (2006) yang menggunakan sistem pemberian nilai skor (skoring) pada masing-masing variabel. Sistem perhitungan lebih rinci dapat dilihat dalam Tabel 6. Kontribusi faktor lingkungan terpilih (bahan organik total/tom, logam merkuri, indek habitat, dan CPOM) dalam memberikan pengaruh pada ekologi feeding larva Trichoptera dianalisis dengan menggunakan teknik ordinasi tidak langsung (analisis komponen utama/pca). Teknik ordinasi langsung dengan Canonical Corespondence Analysis (CCA) diterapkan guna melihat kontribusi masing-masing variabel lingkungan terhadap komposisi dari komunitas makrozoobentos pada setiap stasiun pengamatan (Ter Braak & Verdonschot 1995). Ordinasi CCA juga berfungsi sebagai clustering site berdasarkan data dari kelimpahan fauna dan variabel lingkungan secara bersama-sama. Sebelum dilakukan ordinasi lebih lanjut terhadap variabel kualitas air yang bertindak

55 36 sebagai variabel lingkungan pada analisis CCA, maka terlebih dahulu dilakukan seleksi dari variabel (Tabel 3) guna menghindari variabel yang saling berautokorelasi satu dengan lainya. Variabel yang paling besar pengaruhnya yang akan digunakan dalam analisis lebih lanjut (Ter Braak & Verdonschot 1995). Proses seleksi dari variabel yang saling berautokorelasi dilakukan dengan menggunakan uji multikolinearitas. Variabel kualitas air yang mempunyai nilai korelasi R 2 lebih besar dari 0,8 akan dihilangkan dari proses ordinasi. Transformasi data spesies dilakukan dengan menggunakan / akar kuadrat diterapkan terhadap kelimpahan makrozoobentos yang mempunyai kisaran luas dari 0 indv/m 2 hingga lebih dari 100 indv/m 2 (Marchant & Hehir 1999, Clarke & Warwick 2001). Penghitungan ordinasi PCA dan CCA dilakukan dengan menggunakan software MVSP versi 3.1 Tabel 6. Sistem penilaian kualitas lingkungan dengan menggunakan interaksi antara indeks keanekaragaman dengan variabel lingkungan (BPLHD 2006). Variabel Skor Suhu air ( 0 C) > 31, < 16 Konduktivitas < >500 (µmhos/cm) Padatan tersuspensi < 20 > > 400 (ppm) Oksigen terlarut (ppm) > 6,5 4,5-6,5 2-4,4 <2 ph 6,5-7,5 5,5-6,5 7,4-8,5 4-5,4 8,6-11 < 4 > 11 H (Surber) >2,5 1,5-2,5 1-1,5 <1 Tabel 7. Keterangan nilai skor untuk prediksi gangguan ekologi pada sungai (BPLHD 2006). Nilai Rerata Skor Kriteria Belum/tercemar sedikit Tercemar ringan 4-6 Tercemar sedang > 6 Tercemar berat

56 37 Analisis produktivitas sekunder Hasil penimbangan dari berat larva yang terlalu kecil (< 0,0001 gr), maka dilakukan pendekatan dengan menggunakan statistik regresi power yang menghubungkan lebar kepala dengan berat tubuh (Jin & Ward 2007) dengan rumus sebagai berikut : Dengan, DM = berat kering (g) a = intercept b = slope HW = Lebar kepala (mm). DM = ahw b Biomassa dari larva Trichoptera hydropsychid Cheumatopsyche sp. secara sederhana dihitung berdasarkan persamaan: 6) B b = n.w 7) Dengan, 2) B b = Biomassa (g/m 2 n = jumlah rerata individu (individu/m ) W = Berat rerata individu (gram/individu) (Jin & Ward 2007). Analisis produktivitas sekunder dilakukan dengan menggunakan metode frekwensi-ukuran (size-frequency method) dari Hynes & Coleman (1968) yang sudah dimodifikasi oleh Benke & Huryn (2007). Pada penelitian ini, penulis membatasi penghitungan produktivitas sekunder hanya menggunakan larva Hydropsychid Cheumatopsyche sp., karena larva hewan tersebut dapat dijumpai dari mulai bagian hulu hingga segmen pertengahan dari Sungai Ciliwung dan jumlahnya relatif berlimpah dibandingkan dengan taksa lainnya. Produktivitas sekunder dari larva Trichoptera (Hydropsychidae) dihitung dengan menggunakan rumus: 8) Dengan, P = produktivitas sekunder tahunan (g m -2 tahun -1 i = jumlah kelas ukuran N = jumlah total data selama sampling )

57 38 n = jumlah rerata individu pada masing-masing kelas ukuran = rerata geometri berat dari dua kelas ukuran CPI = Interval produksi dari sebuah kohort (Figueiredo-Barros et al. 2006). CPI dari Cheumatopsyche spinosa adalah 182,5 dan Hydropsyche chekiangana adalah 365 (Jacobsen et al. 2008). Laju pemulihan (turn over) pada masing-masing larva Cheumatopsyche sp. ditentukan dengan menggunakan rumus = P/B, dengan P adalah produktivitas dan B adalah biomassa (Benke & Huryn 2007). Penyusunan biokriteria dengan konsep multimetrik Atribut biologi/metrik yang digunakan untuk menilai gangguan ekologis di setiap lokasi pengamatan disajikan pada Tabel 8. Metrik Stream Invertebrate Grade Number-Average level (SIGNAL) digunakan untuk melihat besarnya nilai toleransi dari setiap jenis larva Trichoptera yang ditemukan di masing-masing stasiun pengamatan. Sensitifitas taksa (genus) larva Trichoptera didasarkan pada nilai toleransinya terhadap polutan (pollution tolerance value/ptv) yang dapat dilihat dalam Lenat (1993) dan US-EPA (1999). Taksa termasuk sensitif jika memiliki nilai PTV < 4, fakultatif jika nilai PTV 4 dan <6, dan tergolong toleran jika 6 (Blocksom et al. 2002). Penghitungan indeks SIGNAL dilakukan menurut Gooderham & Tysrlin (2002) dengan menggunakan rumus: 9) Dengan, I SIGNAL = Indeks SIGNAL, T = Nilai toleransi dari setiap taksa yang ditemukan, n = Jumlah taksa yang berbeda yang ditemukan. Kekuatan diskriminasi masing-masing metrik biologi dalam mencerminkan gangguan mengadopsi dari Barbour et al. (1996) yaitu dengan menggunakan grafik Box-Whisker Plot. Definisi dari kekuatan diskriminasi adalah kemampuan metrik dalam membedakan antara sungai yang berfungsi sebagai

58 39 situs rujukan dengan sungai yang telah mengalami gangguan sebagai situs uji. Tingkatan overlap/tumpang tindih antara kisaran interquartile/ IQ (persentil 25 hingga 75) pada daerah situs rujukan dengan situs uji dilakukan scoring sebagai sinyal kemampuan diskriminasi dari masing-masing metrik. Jika kisaran IQ tidak ada tumpang tindih antara situs rujukan dan situs uji, maka diberi skor 3. Skor 2 diberikan jika IQ tumpang tindih tetapi kedua median terletak diluar dari kisaran IQ yang tumpang tindih. Skor 1 jika banyaknya IQ yang tumpang tindih tetapi paling sedikit satu median diluar kisaran IQ yang tumpang tindih. Skor 0 diberikan ketika IQ hampir keseluruan tumpang tindih atau kedua median terjadi tumpang tindih. Skor metrik 2 atau 3 menunjukkan kemampuan diskriminasi antara situs rujukan dan situs uji, dan metrik tersebut akan di analisis lebih lanjut. Penjelasan bobot scoring secara rinci dapat dilihat pada Gambar 9. Tabel 8. Kandidat metrik biologi yang digunakan untuk diskriminasi tingkat gangguan ekologi pada Sungai Ciliwung. Pengelompokan Atribut Biologi Kekayaan taksa dan komposisi Toleransi/sensitif Atribut populasi Ekologi feeding Metrik/Atribut Biologi - Jumlah kekayaan taksa Trichoptera - Jumlah taksa famili Hydropsychidae - Jumlah taksa sensitif - Jumlah taksa toleran - Jumlah taksa fakultatif - Indeks SIGNAL - Jumlah skor nilai toleransi SIGNAL - % Kelimpahan 3 taksa dominan - % Kelimpahan larva Hydropsychidae - Kelimpahan total - % Kelimpahan filtering collector - % Kelimpahan shredder Respon yang Diprediksi dari Adanya Gangguan Menurun Menurun Menurun Meningkat Menurun Menurun Menurun Meningkat Meningkat Meningkat Meningkat Menurun

59 40 Gambar 9. Evaluasi sensitifitas metrik. Kotak kecil merupakan nilai median, sedangkan kotak besar merupakan kisaran IQ (persentil ke 25 hingga 75). a) tidak ada IQ yang tumpang tindih, b). IQ tumpang tindih tetapi kedua nilai median tidak ada yang tumpang tindih, c). IQ tumpang tindih dengan satu nilai median yang tumpang tindih, d). IQ sebagian besar tumpang tindih atau kedua nilai median tumpang tindih. Pengujian nilai rerata setiap metrik biologi dari situs rujukan dengan situs uji dilakukan dengan menggunakan analisis statistik non parametrik Mann- Whitney U-test. Pengerjaan statistik non parametrik dilakukan dengan software STATISTICA versi 10. Jika metrik biologi yang digunakan menunjukkan adanya tumpang tindih dan perbedaan tidak signifikan pada α = 5% antara stasiun yang berfungsi sebagai situs rujukan dengan situs uji, maka metrik tersebut kurang sensitif dalam mendeteksi adanya gangguan dan bukan merupakan kandidat yang baik untuk dijadikan sebagai komponen penyusun dari indeks multimetrik. Atribut biologi/metrik terpilih kemudian dilakukan tahap normalisasi guna menghasilkan sebuah Indeks Biotik Trichoptera (IBT). Tahap normalisasi dilakukan dengan cara menghitung percentile dari setiap atribut biologi di atas. Selanjutnya dilakukan tahap scoring trisection yaitu (1, 3, dan 5) pada masingmasing atribut biologi di atas. Secara umum jika metrik yang diharapkan meningkat dengan adanya peningkatan gangguan/stress (contoh: % dominansi 3), maka nilai metrik terendah sampai percentile ke 25% diberi skor 5, percentile ke 25 sampai 75% diberi skor 3, sedangkan di atas skor 75 percentile diberi skor 1. Begitu juga sebaliknya, jika metrik yang diharapkan adanya penurunan dari gangguan menunjukkan ketinggian kualitas dari metrik maka skor dibalik dengan yang di atas (Barbour 1996). Setelah melalui tahap scoring maka dilakukan penjumlahan dari lima atribut biologi ke dalam indeks tunggal atau IBT. Jika

60 41 diasumsikan sembilan metrik tersebut sensitif dalam mendeteksi tingkat gangguan ekologi pada masing-masing stasiun pengamatan, maka nilai skor yang terendah adalah delapan dan skor tertinggi adalah 40. Hasil penggabungan metrik biologi (Tabel 8) setelah dilakukan normalisasi (IBT) diuji korelasinya dengan indeks kimia, kontaminasi logam, dan habitat dengan menggunakan korelasi rangking Spearman dalam software STATISTICA versi 10.

61 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Sungai Ciliwung Sungai Ciliwung merupakan salah satu dari 13 sungai di Indonesia yang menjadi prioritas kementrian lingkungan hidup (KLH) dalam pengelolaan kualitas air. Sungai tersebut memiliki panjang sekitar 125 km yang melewati provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta dengan sumber mata air sebagian besar berasal dari Gunung Gede Pangrango (Bogor) menuju daerah Jakarta Utara (Muara Anke). Panjang dari DAS Ciliwung kira-kira 440 km yang di huni oleh kurang lebih 3,5 juta jiwa (PSDA 2006). Keberadaan Sungai tersebut memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat sekitarnya khususnya sebagai bahan baku air minum, pertanian, perkebunan, maupun untuk kepentingan industri. Sungai Ciliwung saat ini telah mengalami gangguan lingkungan akibat aktivitas antropogenik antara lain: pencemaran air oleh limbah cair maupun padat (sampah), sedimentasi, dan banjir saat musim hujan. Hasil pemantauan yang dilakukan oleh KLH tentang perubahan tutupan lahan yang terjadi di DAS Ciliwung dari tahun 2000 hingga 2008 menunjukkan adanya peningkatan yang cukup signifikan perubahan lahan oleh aktivitas antropogenik antara lain pembukaan area hutan, perkebunan, dan pemukiman penduduk (Tabel 9). Pada tabel tersebut menunjukkan kondisi luas hutan dari 4918 ha menjadi 1256 ha, kebun campuran dari 6502 ha menjadi 8994 ha, dan pemukiman dari ha menjadi ha (KLH 2011). Perubahan tata guna lahan yang terjadi dapat secara langsung mempengaruhi masuknya beban organik ke Sungai Ciliwung, sehingga sungai tersebut mengalami pencemaran. Meningkatnya penggunaan lahan untuk pemukiman penduduk berpotensi meningkatkan status pencemaran organik akibat masukan limbah dari rumah tangga. Pemantauan yang dilakukan oleh KLH tahun 2011 menunjukkan kondisi kualitas air Sungai Ciliwung dari bagian hulu (Mata air Gunung Putri) hingga hilir (Mangga Dua-Jakarta) dalam status tercemar berat yang dibandingkan kelas mutu air I, II, III (PP 82 tahun 2001tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air).

62 42 Tabel 9. Perubahan tutupan lahan di DAS Ciliwung dari tahun (KLH 2011) Luas (Ha) Tutupan Lahan Th. (%) Th. (%) Th. (%) Th. (%) Hutan , , , ,42 Kebun , , , ,24 Campuran Mangrove ,08 Perkebunan , ,02 Pemukiman , , , ,53 Rawa 71 0, ,25 7 0, ,05 Sawah , , , ,88 Semak belukar 723 1, , , ,22 Tambak/empang Tanah terbuka , , , Tegalan/ladang , , , ,03 Tubuh air 782 1, , , ,10 Total Penelitian ini dilakukan di beberapa ruas Sungai Ciliwung yang masih termasuk dalam gradien tinggi ( m dpl) dan sebagian besar memiliki kecepatan arus > 0,5m detik (0,48-1,96). Gambaran kondisi umum masing-masing setiap stasiun pengamatan lebih rinci dijelaskan dalam Tabel 10 dan Lampiran Telaah Kualitas Fisik Air Sungai Ciliwung Hasil pengukuran kualitas fisik air Sungai Ciliwung selama penelitian lebih rinci dijelaskan dalam sub bab di bawah ini Suhu Air Suhu air dapat mempengaruhi proses yang terjadi pada sungai misalnya proses dekomposisi bahan organik, ketersediaan oksigen terlarut, dan sejarah hidup dari banyak organisme makrozoobentos (Paul & Meyer 2001). Suhu air dan pergerakan air memegang peran penting dalam fisiologi respirasi dengan cara mengontrol ketersediaan oksigen dalam tubuh dan sebagai faktor utama dalam menentukan lokasi/distribusi dari sebuah spesies (Mackay & Wiggins 1979). Kondisi suhu air selama penelitian (Gambar 10) dari Stasiun 1 hingga 6 menunjukkan suhu air meningkat secara sinifikan (H = 43,50, P = 0,000). Peningkatan suhu air yang signifikan terjadi pada stasiun 5 hingga 6.

63 43 Meningkatnya suhu air ke arah hilir dapat disebabkan oleh beberapa faktor penting antara lain ketinggian tempat yang semakin menurun ( dpl), berkurangnya ketersediaan vegetasi dalam memberikan naungan, waktu pengukuran, musim, dan masuknya limbah cair hasil aktivitas antropogenik ke perairan. Tabel 10. Gambaran kondisi umum lokasi pengamatan. No Karakteristik Stasiun 1 Tipe vegetasi Alami/ indigenous Alami/ indigenous Kebun teh dan semak Padi, kebun singkong, pepaya Rumput dan semak Bambu, rumput, semak, kebun singkong 2 Aktivitas antropogenik Belum ada/ minimal 3 Fisik air Jernih, relatif belum terpolusi 4 Kecepatan arus 5 Tipe substrat dasar 6 Kedalaman (m) 7 Ketinggian (m dpl) Jernih, relatif belum terpolusi Sedang- Sangat cepat kerikil, pebble, dan cobble/ puing. 0,15-0,19 Belum ada/ minimal Sedang- Sangat cepat kerikil, pebble, puing. 0,11-0,15 Perkebunan teh Jernih Sawah, perkebunan, rumah tangga Agak keruh Penambangan batu dan pasir, rumah tangga Keruh Industri, rumah tangga, perkebunan Keruh Sedang Sedang Sedang Sedang kerikil, puing, dan sedikit pebble. 0,17-0,34 Pasir, puing, dan boulder 0,23 > 1 Pasir, pebble, dan puing 0,30 > 1 Pasir, sedikit pebble dan puing 0,74 > Tutupan vegetasi di pinggir sungai dapat menghalangi masuknya sinar matahari ke dasar sungai. Semakin berkurangnya tutupan vegetasi ini menyebabkan sinar matahari dapat secara langsung mengenai badan sungai,

64 44 sehingga suhu air semakin meningkat. Secara umum suhu air di Sungai Ciliwung masih mendukung sebagian besar organisme makrozoobentos untuk hidup secara normal. Hewan tersebut sebagian besar mampu mentoleransi suhu air dibawah 35 0 C, walaupun ada yang mampu bertahan pada suhu ekstrim misalnya di sumber mata air panas yang bersuhu C (Williams 1979). Mackay & Wiggins (1979) menyebutkan larva Trichoptera mempunyai kisaran luas dalam mentoleransi suhu air di perairan lotik. Sebagai contoh larva Eobrachycentrus gellidae mampu mentoleransi suhu air 2 0 C dan Oligoplectrum echo mampu bertahan pada suhu 34 0 C atau lebih. Gambar 10. Hasil pengukuran suhu air di setiap stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi Kecepatan arus Dalam ekosistem akuatik, variabel kecepatan arus dipercaya sebagai faktor penting dalam menentukan distribusi makrozoobentos (Katano et al. 2005). Spesies yang biasa hidup dalam ekosistem air mengalir (running water) dapat mengalami stress ketika hidup di ekosistem air menggenang (still water). Rendahnya konsentrasi oksigen dan tingginya suhu air dapat di toleransi dengan cepatnya arus air (Mackay & Wiggins 1979). Gambar 11 merupakan hasil pengukuran kecepatan arus di masingmasing stasiun pengamatan yang terlihat menurun secara signifikan (H = 40,17, p = 0,00) di stasiun 4 (0,5-0,82 m/dt) hingga 6 (0,46-0,59 m/dt). Menurut kriteria dari Mason (1988), kecepatan arus di bagian hulu (Gunung Mas) termasuk dalam

65 45 kategori sangat cepat (> 1 m/dt), sedangkan bagian hilir (Cibinong) termasuk dalam kategori kecepatan sedang (0,46 m/dt). Kecepatan arus ini dipengaruhi oleh slope/ kemiringan dan tingkat kekasaran dari susbtrat dasar. Tingginya kecepatan arus di bagian hulu disebabkan oleh kemiringan lahan yang lebih curam di Gunung Mas dibandingkan dengan hilir (Katulampa dan Cibinong) yang lebih landai. Angelier (2003) menyebutkan kecepatan arus maksimum yang masih bisa di toleransi oleh larva Trichoptera Rhyacophila sp. adalah 1,22 m/dt. Larva Glossosoma sp. yang termasuk dalam ekologi feeding grazer-scraper lebih menyukai arus sungai yang cepat. Larva hydropsychid Hydropsyche siltalai memerlukan kecepatan arus yang kontinyu dari 0,15-1 m/dt (Poepperl 2000). Gambar 11. Hasil pengkuran kecepatan arus di setiap stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi Distribusi partikel Komposisi substrat merupakan refleksi dari pengaruh kecepatan arus, karena hasil dari proses dinamika sedimentasi dan erosi (Graf 2008). Substrat di dasar sungai berperan penting dalam menjaga kelangsungan hidup sebagian besar biota akuatik. Penggunaan substrat oleh komunitas makrozoobentos berfungsi utama sebagai tempat untuk melekat atau bergantung, berlindung dari predator dan arus air, sarang tempat tinggal, mencari makan, maupun tempat untuk meletakkan telor (Minshall 1996).

66 46 Hasil analisis distribusi partikel di Sungai Ciliwung menunjukkan di stasiun 1 hingga 3 komposisi substrat kerikil (gravel) masih mendominasi perairan (> 50%), namun ketika di stasiun 4 hingga 6 menurun secara signifikan (H = 44.49, p = 0,00) (Gambar 12). Substrat pasir cenderung meningkat secara signifikan mulai dari stasiun 4 menuju ke arah hilir (H = 42.80, p = 0,00). Substrat lempung dan debu juga menunjukkan pola yang sama dengan substrat pasir yang cenderung meningkat ke arah hilir. Gambar 12. Komposisi substrat dasar di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. Adanya kecenderungan semakin meningkatnya pasir dan partikel halus di bagian hilir sungai mungkin dihasilkan dari diendapkannya bahan partikulat dari proses erosi di bagian hulu. Berdasarkan konsep river continuum semakin ke arah hilir keberadaan FPOM semakin mendominasi substrat dasar sungai (Vannote et al. 1980). Kondisi ini mungkin erat kaitannya dengan terjadinya erosi di bagian hulu dengan kecepatan arus yang lebih tinggi dan akan diendapkan di bagian hilir dengan kecepatan arus yang lebih rendah. Adanya aktivitas antropogenik misalnya pertanian, perkebunan, maupun pembukaan lahan dapat meningkatkan sedimentasi di Sungai Ciliwung. Minshall (1996) menyebutkan kelimpahan organisme makrozoobentos secara umum akan meningkat dengan semakin bertambahnya ukuran partikel yaitu dari ukuran pasir (1,5-3 mm) hingga ukuran

67 47 puing ( mm), dan cenderung menurun kembali ketika ukuran substrat meningkat sampai ukuran boulder (> 256 mm). Larva Trichoptera umumnya lebih memilih substrat bertipe kasar yang mungkin lebih merespon kecepatan arus dibandingkan ukuran substrat (Mackay & Wiggins 1979). Larva Trichoptera Arctophyche grandis lebih menyukai substrat berukuran 6-12 mm atau pasir halus (1-1,5mm). Namun sebaliknya larva hydropsychid Parapsyche cardis lebih menyukai batuan boulder dan bed rock (Ross & Wallace 1983) Turbiditas Turbiditas secara umum didefinisikan sebagai tingkat kekeruhan di dalam air yang disebabkan oleh partikel tersuspensi dari silt/ lanau atau bahan organik lainnya. Peningkatan turbiditas di sungai biasanya erat kaitanya dengan pengaruh input sedimen halus yang disebabkan oleh aktivitas antropogenik misalnya: pertanian, pembukaan lahan/ pembuatan jalan, erosi atau longsoran tanah, maupun yang disebabkan oleh blooming alga. Hasil pengukuran turbiditas di Sungai Ciliwung menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan (H = 44,31, p = 0,000) terutama di stasiun 3 (14 NTU) hingga 6 (32,30 NTU) (Gambar 13). Gambar 13. Nilai turbiditas di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. Tanda bar menunjukkan standar deviasi Quinn et al. (1992) mengamati adanya peningkatan turbiditas diatas 23 NTU dapat menurunkan kekayaan dan kelimpahan taxa dari sebagian besar

68 48 makrozoobentos. Wood & Armitage (1997) menjelaskan pengaruh padatan tersuspensi dan endapan sedimen pada makrozoobentos melalui beberapa cara yaitu: merubah komposisi substrat, meningkatkan drift makrozoobentos karena ketidakstabilan substrat, mengganggu aktivitas respirasi, menganggu aktivitas feeding khususnya filter feeding, penurunan jumlah perifiton, dan kelimpahan prey. Berdasarkan kriteria dari Quinn et al. (1992) maka komunitas larva Trichoptera di Stasiun Kampung Jog-jogan hingga Cibinong berpotensi mengalami gangguan akibat tingginya turbiditas Konduktivitas Hasil pengukuran konduktivitas air Sungai Ciliwung selama penelitian disajikan dalam Gambar 14. Nilai konduktivitas terendah masih terdapat di Stasiun 1 dan 2 (61,63 µs/cm 2 ) dan meningkat secara signifikan (H = 45,82, p = 0,0000) di stasiun 4 (195,54 µs/cm 2 ) hingga 6 (252,38 µs/cm 2 ). Gambar 14. Hasil pengukuran konduktivitas di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. Nilai konduktivitas air sangat dipengaruhi oleh keberadaan ion-ion yang dapat menghantarkan arus listrik melalui masuknya limbah dari rumah tangga, pertanian, industri, maupun aktivitas antropogenik lainnya. Barata et al. (2005) menunjukkan adanya korelasi positif (r > 0,5) antara besarnya nilai konduktivitas dengan kontaminasi beberapa logam berat antara lain: Zn, Cu, Pb, Cr, Ni, dan Co.

69 49 Ditinjau dari besarnya nilai konduktivitas air Sungai Ciliwung selama penelitian secara umum masih tergolong relatif normal. Nilai konduktivitas air < 500 µs/cm 2 masih mendukung sebagian besar kehidupan hewan air tawar (BPLHD 2006) CPOM (bahan organik partikel kasar) Hasil analisis CPOM selama penelitian disajikan dalam Gambar 15. Pada stasiun 1 dan 2 memiliki konsentrasi rerata CPOM tertinggi diantara semua stasiun lainnya (101,6 dan 93,1 g berat kering.m -2 ). Konsentrasi CPOM di stasiun lainnya cenderung menurun secara signifikan (H = 42,04, p = 0,0000) dari stasiun 3 hingga 6 (9,4 g berat kering.m -2 ). Menurunnya CPOM di bagian hilir Sungai Ciliwung mungkin erat kaitannya dengan berkurangnya vegetasi riparian di sekitar bantaran sungai akibat aktivitas antropogenik (misalnya: pertanian, perkebunan, perumahan dan sebagainya). Vegetasi riparian berperan penting dalam menyumbang materi allochtonous berupa CPOM dan Large Wood Debris (LWD) ke perairan yang dapat berfungsi sebagai sumber makanan, habitat biota akuatik, dan mengurangi air runoff yang masuk ke Sungai (Bilby & Bisson 1998). CPOM dan LWD akan dimanfaatkan oleh makrozoobentos sebagai sumber makanan maupun sarang tempat tinggal guna menghindari predator misalnya pada larva Trichoptera Lepidostoma, Agapetus dan sebagainya. Gambar 15. Konsentrasi CPOM (g berat kering.m -2 ) di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.

70 50 Tipe ekologi feeding sangat dipengaruhi oleh masukan bahan organik allochtonous di perairan. Keberadaan CPOM memiliki peran penting dalam mendukung banyak kehidupan larva Trichoptera. Bilby & Bisson (1998) menyebutkan kandungan nilai nutrisi dari CPOM dan LWD mungkin lebih rendah, akan tetapi mikroba (alga, jamur) yang tumbuh di permukaan CPOM dan LWD memiliki nilai nutrisi yang lebih tinggi. Berkurangnnya vegetasi di bagian pinggir sungai akan menurunkan kandungan CPOM dan LWD di perairan yang dapat mempengaruhi komposisi dan kelimpahan makrozoobentos sesuai dengan ekologi feedingnya (Hersey & Lamberti 1998) Telaah Kualitas Habitat Tingkat gangguan pada habitat di sekitar lokasi penelitian yang diprediksi dengan menggunakan indeks habitat disajikan dalam Gambar 16. Pada stasiun 3 hingga 6 menunjukkan penurunan nilai indeks habitat yang signifikan (H = 43,96, p = 0,0000). Stasiun 1 termasuk dalam kategori optimal/ gangguan habitat sangat kecil dengan nilai skor Stasiun 2 dalam kategori optimal hingga sub optimal ( ). Stasiun 3, 4, dan 6 dalam kategori marginal (65-95). Sedangkan stasiun 5 dalam status marginal hingga mengalami gangguan berat (55-67). Gambar 16. Status gangguan yang terjadi pada sungai Ciliwung berdasarkan indeks habitat. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.

71 51 Adanya kecenderungan menurunnya indeks habitat dari mulai hulu (Gunung Mas) hingga hilir (Cibinong) disebabkan oleh berkurangnya tutupan vegetasi, adanya erosi di sekitar lokasi penelitian, berkurang atau tertutupnya batuan dasar sungai akibat sedimentasi maupun penambangan batu, modifikasi habitat di bantaran sungai misalnya penturapan, bendungan, dan sebagainya. Secara umum aktivitas antropogenik yang dapat mempengaruhi kondisi habitat di Sungai Ciliwung berasal dari berubahnya alih fungsi lahan menjadi area pertanian maupun untuk pemukiman penduduk (Tabel 9). Aktivitas pembukaan lahan biasanya akan meningkatkan sedimentasi ke perairan yang dapat menurunkan produktivitas primer dengan cara menurunkan penetrasi cahaya, abrasi, mengganggu respirasi, maupun penyerapan nutrien atau bahan polutan lainnya. Pengaruh sedimentasi pada komunitas makrozoobentos dan ikan dengan cara mengisi ruang interstitial substrat dan menghancurkan habitat, dan menutupi lamellae insang dan telur (Fairchild et al. 1987). Adanya gangguan pada habitat juga berpengaruh pada masukan CPOM ke perairan. Konsentrasi CPOM di perairan akan jauh berkurang ketika vegetasi riparian di sekitar Sungai Ciliwung semakin banyak berkurang, sehingga tipe larva Trichoptera yang bertipe shredder juga banyak mengalami penurunan. 4.4 Telaah Kualitas kimia Sungai Ciliwung Hasil pengukuran kualitas kimia dari sungai Ciliwung meliputi: ph air, Oksigen terlarut, COD, amonium, nitrat, ortofosfat, kesadahan, C dan N di seston, merkuri di air, sedimen dan terakumulasi dalam tubuh larva Trichoptera lebih rinci dijelaskan dalam sub bab hingga ph air Potential of Hydrogen (ph) merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen (H + ) yang menunjukkan tingkat keasaman atau kebasaan suatu zat. Nilai ph dalam air berpengaruh penting pada normalnya fungsi fisiologi dalam organisme akuatik terutama dalam mengatur pertukaran ion dengan air dan respirasi (Robertson-Bryan 2004).

72 52 Hasil pengukuran ph air secara langsung di lapangan menunjukkan nilai ph setelah Stasiun 2 (6,8) cenderung menurun secara signifikan (H = 24,86, p = 0,0001) pada stasiun 4 (6,09). Nilai ph terlihat meningkat kembali hingga stasiun 6 (6,95) (Gambar 17). Gambar 17. Hasil pengukuran ph air di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. Nilai ph di air antara 6,5-9 secara umum masih mendukung bagi kehidupan sebagaian besar hewan akuatik maupun hidup secara normal dalam jangka waktu yang relatif panjang (Robertson-Bryan 2004). Kehidupan makrozoobentos umumnya mampu hidup secara normal ketika nilai ph berkisar antara 6-7 (BPLHD 2006). Larva Trichoptera Hydropsyche betteni dan Brachycentrus americanus masih mampu bertahan hidup dengan rendahnya nilai ph (Mackay & Wiggins 1979). Pada kondisi yang ekstrim, larva Trichoptera masih dapat mentoleransi hingga nilai ph 2,4. Nilai ph yang ekstrim basa (11,5-12) beberapa larva Trichoptera masih mampu bertahan hidup, namun emergence hewan tersebut cenderung menurun (Robertson-Bryan 2004) DO dan COD Hasil pengukuran DO (konsentrasi oksigen terlarut) di Sungai Ciliwung dari mulai Stasiun 1 hingga 6 cenderung menurun secara signifikan (H = 37,48, p = 0,0000). Penurunan secara signifikan terjadi terutama di stasiun 5 hingga 6. Namun sebaliknya untuk parameter COD (oksigen yang tersedia untuk oksidasi semua bahan organik secara kimiawi menjadi karbon dioksida dan air) meningkat

73 53 secara sigifikan (H = 43,72, p = 0,000) khususnya di stasiun 3 hingga 6 (5,1-36,22 mg/l) (Gambar 18). Gambar 18. Konsentrasi DO dan COD di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. Meningkatnya COD dan menurunnya DO di perairan terjadi karena adanya peningkatan beban organik di perairan yang menyebabkan berkurangnya konsentrasi oksigen terlarut akibat proses respirasi mikroba aerob dalam merombak bahan organik menjadi senyawa yang lebih sederhana. Oksigen terlarut dapat meningkat ketika ada kontak secara langsung antara udara bebas dengan air hasil dari turbulensi yang terhalang oleh batuan di dasar sungai. Oleh sebab itu pengkuran nilai DO sangat berfluktuasi tergantung dari adanya turbulensi maupun suhu air di lingkungannya. Secara umum kondisi DO lebih dari 4 mg/l masih memenuhi syarat untuk kehidupan biota akuatik untuk hidup secara layak. Konsentrasi DO kurang dari nilai tersebut dapat dikategorikan mengalami tercemar berat oleh bahan organik (BPLHD 2006). Shakla & Srivastava (1992)

74 54 memberikan batas minimum DO pada kehidupan larva Trichoptera yaitu sebesar 5-6 mg/l. Berdasarkan PP 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air nilai parameter COD di Stasiun Katulampa (27,91 mg/l) dan Cibinong (36,22 mg/l) berpotensi menimbulkan gangguan bagi sebagian besar biota akuatik. Oleh sebab itu di dua stasiun tersebut sudah masuk dalam kelas mutu air golongan III (pertanian dan perkebunan) Amonium (NH + 4 ) Konsentrasi amonium di Sungai Ciliwung selama penelitian disajikan dalam Gambar 19. Pada stasiun 4 hingga 6 (0,92 mg/l) menunjukkan peningkatan konsentrasi amonium yang signifikan (H = 42.12, p = 0,000). Amonium dapat menunjukkan pengaruh toksik secara akut pada organisme makrozoobentos air tawar ketika konsentrasinya > 0,53 mg/l (US-EPA 1986). Didasarkan pada guideline US-EPA 1986, maka di stasiun 5 dan 6 konsentrasi amoniumnya relatif tinggi hingga > 0,53 mg/l berpotensi menimbulkan gangguan bagi kehidupan organisme makrozoobentos di Sungai Ciliwung. Gambar 19. Konsentrasi amonium di air pada masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. Amonia (NH 3 ) yang terlarut dalam air umumnya ada dalam dua bentuk kesetimbangan molekul yaitu amonia dan ion amonium (NH + 4 ). Umumnya ion amonium dilepaskan dari bahan organik yang mengandung protein dan urea, atau

75 55 produk sintesis dalam proses industri. Ion tersebut merupakan bentuk toksik dari amonia (NH 3 ). Hooda et al. (2000) menunjukkan adanya korelasi negatif antara konsentrasi amonium di perairan dengan nilai indeks biological monitoring working party (BMWP) Nitrogen Nitrat (N-NO 3 ) Ion nitrat terbentuk karena oksidasi secara sempurna dari ion amonium oleh mikroba dalam air. Air yang teroksigenasi secara alami, ion nitrit dapat secara cepat teroksidasi menjadi nitrat. Hasil analisis nitrogen-nitrat dari Sungai Ciliwung terlihat cenderung meningkat secara signifikan (H = 41,59, p = 0,000) di stasiun 4 hingga 6 (8,57 mg/l) (Gambar 20). Gambar 20. Konsentrasi nitrogen-nitrat di air pada masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi Nilai Lethal Concentration (LC 50 ) dari nitrogen-nitrat diketahui pada ikan salmon chinook sebesar 1310 mg/l dengan waktu pemaparan 96 jam, sedangkan pada ikan Salmo gairdneri sebesar 1360 mg/l (US-EPA 1986). Pada larva chironomid Chironomus dilutus mempunyai nilai LC jam dari nitrogen-nitrat sebesar 278 mg/l dan LC jam dari nympha Plecoptera Amphinemura delosa sebesar 456 mg/l (US-EPA 2010). Ditinjau dari data toksisitas tersebut diatas, maka konsentrasi nitrogen-nitrat di Sungai Ciliwung masih mendukung kehidupan biota akuatik secara normal. Difusi sumber nitrogen (amonium, nitrit, nitrat) ke perairan umumnya berasal dari pupuk, limbah peternakan, pelindihan sampah atau sanitary landfill, jatuhan partikulat atmosferik, buangan nitrit oksida dan nitrit

76 56 dari asap kendaraan bermotor, dan mineralisasi bahan organik dari tanah (US- EPA 1986) Ortofosfat (O-PO 4 ) Fosfor sebagai fosfat merupakan salah satu nutrien utama yang dibutuhkan oleh tanaman, alga, dan makhluk hidup lainnya guna mendukung kehidupan. Masuknya fosfor sebagai fosfat ke perairan umumnya dihasilkan dari aktivitas antropogenik antara lain: ekskresi dari manusia, penggunaan deterjen, limbah industri dan peternakan, maupun aktivitas urban lainnya. Secara alami fosfor dihasilkan dari proses pelapukan batuan, maupun hasil perombakan serasah (US- EPA 1986). Kelebihan fosfor dapat mempengaruhi komunitas makrozoobentos melalui eutrofikasi. Ion amonium dan fosfor bersama-sama dapat mengakibatkan efek merugikan pada populasi makrozoobentos dan keanekaragamannya melalui pengkayaan nutrien (Hooda et al. 2000). Hasil analisis fosfor sebagai fosfat (Gambar 21) menunjukkan peningkatan yang signifikan (H = 36,56, p = 0,000) mulai stasiun 4 hingga 6 (0,47 mg/l). Nilai LC 50 dari ortofosfat pada ikan Lepomis macrochirus sebesar 0,105 mg/l selama 48 jam (US-EPA 1986). Didasarkan pada guideline US-EPA tahun 1986 menunjukkan konsentrasi ortofosfat di stasiun 4 (0,33 mg/l) hingga 6 (0,47 mg) berpotensi menimbulkan gangguan bagi kehidupan biota akuatik. Gambar 21. Konsentrasi ortofosfat di air pada masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.

77 Kesadahan. Kesadahan air disebabkan adanya keberadaan ion metalik polivalen terutama kalsium dan magnesium yang terlarut dalam air. Di ekosistem air tawar kesadahan biasanya tersusun oleh unsur kalsium dan magnesium meskipun logam lainnya ada yaitu: besi, stronsium, dan mangan. Kesadahan umumnya dinyatakan/ setara dengan kalsium karbonat (CaCO 3 ). Hasil analisis kesadahan air menunjukkan dari Stasiun 1 (17,84 mg/l CaCO 3 ) hingga 6 (30,7 mg/l CaCO 3 ) cenderung meningkat namun tidak terlihat signifikan (H = 8,69, p = 0,12) (Gambar 22). Kategori kesadahan air dari Stasiun 1 hingga Cibinong termasuk dalam kesadahan lunak (soft). Rendahnya kesadahan ini mungkin erat kaitannya dengan rendahnya kandungan kapur atau mineral lainnya seperti magnesium yang menyusun batuan dasar sungai. Tingkat kesadahan yang rendah berpotensi untuk meningkatkan toksisitas dari beberapa logam berat ke biota akuatik. Kesadahan yang tinggi dalam air dapat membentuk logam hidroksida maupun karbonat yang dapat menurunkan toksisitas ion logam/ Me 2+ (US-EPA 1986). Kesadahan dalam air mungkin erat kaitannya dengan masuknya buangan limbah industri, area pertanian, maupun rumah tangga ke Sungai Ciliwung. Gambar 22. Hasil analisis kesadahan (mg/l setara CaCO 3 ) di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.

78 C dan N di Seston Seston merupakan organisme hidup yang kecil (misalnya alga) dan partikel (materi tak hidup) yang mengapung di air dan berkontribusi terhadap turbiditas. Keberadaan seston ini penting artinya dalam ekosistem akuatik karena dapat berfungsi sebagai sumber makanan bagi biota perairan khususnya yang bertipe filtering collector misalnya larva hydropsychid (Hoffsten 1999). Hasil analisis konsentrasi C dan N di seston dari stasiun 1 hingga 6 menunjukkan peningkatan yang signifikan (H = 44,23, p = 0,000) terjadi mulai dari stasiun 3 (C = 0,31; N = 0,05 mg/l) (Gambar 23). Kondisi ini sangat menguntungkan bagi larva Trichoptera khususnya yang bertipe filtering collector seperti Cheumatopsyche sp. yang memanfaatkan seston sebagai makanannya sehingga mampu mendominasi perairan terutama di bagian hilir. Konsentrasi C dan N di seston yang semakin meningkat ke arah hilir biasanya erat kaitannya dengan masukan bahan bahan organik allochtonous ke perairan misalnya dari limbah rumah tangga, pertanian, peternakan di sekitar Sungai Ciliwung. Gambar 23. Konsentrasi C dan N di seston di masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. Kandungan gizi dari seston biasanya dilihat dari unsur C dan N-nya. Unsur C umumnya berfungsi sebagai sumber energi bagi makhluk hidup, sedangkan unsur N dalam seston biasanya mengindikasikan kandungan protein dan semakin mudahnya seston tersebut untuk dicerna. Hoffsten (1999)

79 59 menyebutkan distribusi longitudinal dari larva Trichoptera Hydropsyche siltalai dan H. pellucidula di hulu Sungai Galvan berkorelasi kuat dengan kualitas seston dibandingkan dengan kuantitasnya Bahan Organik Total (TOM) dan Status Pencemaran Sungai Ciliwung Kandungan bahan organik suatu perairan secara alami berasal dari sumber autochtonous (misalnya: plankton, alga, mikroba, dan sebagainya) maupun allochtonous (misalnya serasah) yang masuk ke perairan (US-EPA 1986). Adanya aktifitas antropogenik di sekitar sungai dapat meningkatkan kandungan bahan organik beberapa kali lipat di perairan. Hasil analisis TOM di Sungai Ciliwung menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan (H = 39,47, p = 0,000) terutama di stasiun 4 hingga 6 (11,77 mg/l) (Gambar 24). Status pencemaran organik yang terjadi di Sungai Ciliwung dengan menggunakan indeks kimia dapat diketahui bahwa stasiun 1 dan 2 memiliki nilai indeks berkisar dari 90,02-91,75 dalam kategori belum mengalami pencemaran. Stasiun 3 dan 4 mimiliki nilai 89,25-74,29 dengan status perairan dalam kondisi tercemar ringan, dan stasiun 5 dan 6 dengan nilai sebesar 68,75-58,39 dalam kondisi tercemar sedang (Gambar 24). Aktivitas antropogenik yang terjadi di Sungai Ciliwung dapat berpengaruh langsung pada menurunnya kualitas air sungai yang salah satunya disebabkan oleh bahan organik. Pengkayaan bahan organik di perairan dapat diindikasikan dengan meningkatnya beberapa variabel penting antara lain: TOM, COD, amonium, nitrat, ortofosfat, dan sebagainya. Hasil perhitungan dengan menggunakan indeks kimia dapat diketahui status mutu air Sungai Ciliwung akibat pencemaran organik dalam kategori belum tercemar (G. Mas) hingga tercemar sedang (Katulampa- Cibinong). Adanya pencemaran organik di Stasiun Katulampa hingga Cibinong disebabkan oleh tingginya masukan bahan organik yang berasal dari limbah rumah tangga, perkotaan, industri misalnya hasil samping ekstraksi tepung tapioka, peternakan, pelindihan sampah di bagian pinggir sungai, run-off dari area persawahan, maupun perkebunan. Diperkirakan beban pencemar BOD dan COD yang masuk ke sungai Ciliwung dalam sehari mencapai kg/hari dan kg/hari. Dengan kondisi demikian, maka status pencemaran sungai

80 60 tersebut oleh polusi bahan organik semakin berat dan potensi untuk terjadinya pemulihan kembali kualitas air akan menjadi semakin kecil (KLH 2011). Gambar 24. Konsentrasi TOM di air dan indeks kimia pada masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. Status pencemaran yang terjadi di Sungai Ciliwung lebih bervariasi dari belum tercemar hingga tercemar sedang (Gambar 24). Kondisi ini berbeda dari hasil pemantauan yang telah dilakukan sebelumnya oleh KLH yang menetapkan sumber air di Gunung Putri (hulu) sebagai situs rujukan Sungai Ciliwung yang sudah masuk kategori tercemar berat. Hal ini dapat terjadi karena adanya perbedaan lokasi pengambilan sampel dan metode yang digunakan dalam menilai status mutu air. Pada penelitian ini, lokasi yang berfungsi sebagai situs rujukan (Gunung Mas) berada di dalam hutan yang termasuk dalam ekosistem running

81 61 water dengan sedikit/ belum mengalami gangguan oleh aktivitas antropogenik. Lokasi pemantauan yang dilakukan oleh KLH berada di Gunung Putri yang merupakan area wisata yang sumber airnya relatif tergenang (still water). Lokasi tersebut mungkin mendapat kontaminan organik dari kotoran hewan, perombakan bahan organik dari jatuhan ranting dan daun, runoff di sekitar lokasi pemantauan, maupun limbah dari pengunjung wisata. Indeks kimia hanya menunjukkan status pencemaran organiknya saja, sedangkan Pusarpedal (KLH) menggunakan indeks pencemaran dan Storet (KEPMENLH no 115 tahun 2001) yang didasarkan pada perbandingan dengan baku mutu yang cukup ketat dan banyak variabel selain pencemar organik Logam Merkuri Konsentrasi logam merkuri di air mulai stasiun 1 (0,06 ppb) hingga stasiun 6 (2,34 ppb) menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan (H = 44,96, p = 0,000) (Gambar 25). Peningkatan yang signifikan terjadi terutama di stasiun 3 hingga 6. Fenomena yang sama juga damati oleh Barata et al. (2005) yang menunjukkan kontaminasi logam di sungai umumnya lebih tinggi di bagian hilir dibandingkan dengan hulu. Gambar 25. Konsentrasi logam merkuri di air pada masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi.

82 62 Konsentrasi logam merkuri di Sungai Ciliwung tergolong relatif tinggi dan patut untuk diwaspadai. Baku mutu US-EPA untuk logam merkuri guna melindungi kehidupan hewan akuatik dari pengaruh akut sebesar 2,4 ppb dan 0,0012 ppb untuk pengaruh kronis (Novotny & Olem 1994). Didasarkan pada konsentrasi tersebut, maka keberadaan logam merkuri di Sungai Ciliwung berpotensi menimbulkan gangguan bagi biota akuatik yang hidup di dalamnya. Berdasarkan PP No 82 tahun 2001 tentang Pengeloaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, maka di Stasiun Katulampa dan Cibinong telah melampaui kelayakan kelas mutu air golongan I dan II (0,001 ppm). Kontaminasi logam merkuri di sedimen mulai stasiun 1 hingga 6 (Gambar 26) menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan (H = 34,95, p = 0,000) hingga 12 kali lipat (stasiun 6). Peningkatan logam merkuri di sedimen terlihat signifikan terutama pada stasiun 3 hingga 6. Secara umum konsentrasi merkuri di sedimen (80,58 ppb) masih dibawah baku mutu yang dikeluarkan oleh Negara Canada (threshold effect level /TEL) yaitu sebesar 170 ppb, sehingga potensi logam tersebut di sedimen untuk menimbulkan toksisitas bagi biota akuatik relatif kecil (Burton 2002). Gambar 26. Konsentrasi logam merkuri sedimen pada masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. Tingkat pencemaran logam merkuri di sedimen yang didasarkan pada rasio terhadap situs rujukan (Gambar 27) menunjukkan daerah situs rujukan tergolong

83 63 dalam kategori tercemar ringan (0.7-1). Stasiun 2 dalam kategori tercemar ringan hingga sedang (0,7-1,1). Stasiun 3 hingga 5 dalam kategori tercemar sedang hingga berat (1,8-2,8). Stasiun 6 sudah masuk dalam kategori tercemar berat (2,2-3,2). Penggunaan indeks pencemaran logam hanya didasarkan pada rasio konsentrasi terhadap situs rujukan dan belum tentu mencerminkan tingkat bioavailability maupun gangguan pada biota akuatik yang sebenarnya. Penggunaan indeks tersebut hanya menunjukkan sampai seberapa besar tingkat pengkayaan logam tersebut pada masing-masing stasiun pengamatan dibandingkan dengan konsentrasi latar belakangnya (background concentration). Gerhardt et al. (2004) yang menyebutkan peningkatan aktivitas antropogenik di ekosistem air tawar dapat meningkatkan konsentrasi logam beberapa kali lipat di atas konsentrasi latar belakangnya. Mwamburi (2003) menyebutkan kontaminasi logam merkuri di sedimen sebagian besar berasal dari buangan limbah industri dan perkotaan, emisi atmosfer, dan pelindihan bahan kimia dari lahan pertanian. Gambar 27. Status pencemaran logam merkuri di sedimen pada masing-masing stasiun pengamatan. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. Beberapa alasan tentang penggunaan larva hydropsychid untuk studi bioavailability logam merkuri di sungai didasarkan pada pendapat Barata et al. (2005) yang menyebutkan antara lain: larva tersebut terdistribusi secara luas,

84 64 ukurannya yang relatif besar ( mg berat basah), kelimpahan yang tinggi di sungai yang sudah terpolusi, kemampuan yang baik untuk akumulasi logam, dan memegang peran kunci dalam transfer energi dari produsen ke hewan predator lainnya. Pada kondisi demikian, maka larva hydropsychid mampu menyebarkan kontaminan ke dalam jaring-jaring makanan ke tingkatan trofik yang lebih tinggi. Hasil analisis logam merkuri yang terakumulasi di tubuh larva Trichoptera hydropsychid Cheumatopsyche sp. menunjukkan kecenderungan logam tersebut mampu meningkat secara signifikan (H = 44,52, p = 0,000) dari Stasiun 1 (0,13 ppm) hingga stasiun 6 (0,4 ppm) (Gambar 28). Hal yang sama juga diamati oleh Synder & Hendricks (1995) yang melakukan penelitian pada larva hydropsychid Hydropsyche morosa di Sungai Virginia bagian selatan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kemampuan akumulasi yang tinggi dari larva tersebut dapat mencapai 1,20 ppm saat musim panas. Gambar 28. Konsentrasi logam merkuri (ppm) di tubuh larva Trichoptera Cheumatopsyche sp. Tanda bar menunjukkan standar deviasi. Tingginya konsentrasi merkuri di perairan telah diketahui dapat menimbulkan gangguan pada larva hydropsychid berupa penghitaman warna/ nekrosis di bagian insang abdominalnya (Skinner & Bennett 2007). Kejadian nekrosis insang abdominal pada larva Cheumatopsyche sp. hanya ditemukan di Stasiun Cibinong dengan rerata persentase 4,17 % (1,47-11,84% dari kelimpahan total Cheumatopsyche yang ditemukan). Contoh bentuk kejadian nekrosis di insang abdominal larva Cheumatopsyche sp. disajikan dalam Gambar 29. Hasil

85 65 analisis korelasi antara jumlah individu larva Cheumatopsyche sp. yang mengalami nekrosis dengan konsentrasi logam merkuri yang terakumulasi di tubuh di stasiun 6 (Gambar 30) menunjukkan hubungan yang sangat kuat (r = 0,81). Gambar 29. Nekrosis pada insang abdominal larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Cibinong. Tanda panah menunjukkan lokasi terjadinya nekrosis. Hubungan antara abnormalitas insang makrozoobentos total dengan kontaminasi logam merkuri telah dipelajari oleh Skinner & Bennett (2007). Peneliti tersebut menunjukkan adanya keterkaitan antara akumulasi logam merkuri total (0,02 ppm) di makrozoobentos dengan kejadian abnormalitas insang abdominalnya yang mencapai 28%. Keberadaan logam merkuri yang terakumulasi di tubuh larva Trichoptera hydropsychid menunjukkan bioavailability logam tersebut di perairan yang berpotensi menimbulkan gangguan bagi larva tersebut untuk emergence menjadi dewasa. Pemaparan logam merkuri ke larva makrozoobentos mungkin berasal dari air sungai yang sudah terkontaminasi maupun melalui jalur makanan (Skinner & Bennett 2007). Aktivitas antropogenik yang diduga mampu meningkatkan konsentrasi merkuri di Sungai Ciliwung berasal dari difusi hasil pembakaran bahan bakar fosil, industri logam, dan perusahaan farmasi yang berada di bantaran Sungai Ciliwung. Pengaruh atmosferik juga mampu menyumbang kontaminasi logam tersebut ke perairan.

86 66 Hasil analisis air hujan yang telah dilakukan selama penelitian menunjukkan konsentrasi logam tersebut di air hujan mencapai 0,07 ppb. Scroeder & Munthe (1998) menyebutkan flux emisi merkuri ke udara secara global pada kondisi alami dapat mencapai 6 g/km 2 /tahun (0,7 ng/m 2 /jam) x:y: y = *x; r = , p = % Nekrosis di Insang Konsentrasi Hg di tubuh (ppm) Gambar 30. Hubungan antara jumlah invidu larva Trichoptera yang mengalami nekrosis pada insang dengan kontaminasi merkuri di Stasiun Cibinong. 4.5 Telaah Kualitas Biologi Hasil pengukuran parameter biologi meliputi komposisi dan kelimpahan perifiton dan larva Trichoptera dijelaskan lebih rinci di sub bab dan Perifiton Perifiton merupakan gabungan dari beberapa alga, sianobakteria, mikroba heterotrofik, maupun detritus yang melekat di permukaan substrat (batu, kayu, tanaman dan sebagainya) dari ekosistem perairan (Odum 1971). Welch (1952) lebih rinci menyebutkan komposisi penyusun perifiton terdiri dari diatom (Bacillariophyceae), alga berfilamen (Chlorophyceae), bakteri, jamur, protozoa, dan rotifera. Peran perifiton dalam ekosistem perairan berfungsi sebagai sumber makanan bagi hewan herbivora lainnya. Larva Trichoptera yang termasuk dalam ekologi feeding herbivora umumnya memakan diatom, lumut, dan tumbuhan

87 67 mirip lumut seperti Cladophora dan Podostemum yang tumbuh diatas permukaan batu (Mackay & Wiggins 1979). Hasil analisis komposisi dan kelimpahan perifiton di Sungai Ciliwung menunjukkan kecenderungan meningkat dari stasiun 1 (3828 sel/cm 2 ) hingga 3 ( sel/cm 2 ). Kelimpahan perifiton di stasiun 4 menunjukkan menurun (6268 sel/cm 2 ). Setelah stasiun 4 kelimpahan perifiton cenderung meningkat kembali hingga stasiun 6 (9718 sel/cm 2 ) (Gambar 31 dan Lampiran 3). Gambar 31. Rerata kelimpahan perifiton (sel/cm 2 ) di Sungai Ciliwung Rendahnya kelimpahan perifiton di Stasiun Gunung Mas mungkin disebabkan oleh rendahnya nutrien yang tersedia di perairan (misalnya nitrat, TOM, dan ortofosfat) dan rapatnya tutupan vegetasi di sekitar lokasi pengamatan yang dapat menjadi faktor penghalang masuknya sinar matahari ke perairan. Tingginya kelimpahan perifiton di Stasiun Kampung Pensiunan dapat disebabkan oleh masukan nutrien yang berasal dari perkebunan teh dan masih minimnya bahan polutan toksik lainnya (misalnya merkuri) di perairan, sehingga pertumbuhan dari perifiton dapat mencapai maksimal. Tutupan vegetasi di stasiun tersebut relatif lebih terbuka dibandingkan Stasiun Gunung Mas dan nilai turbiditas di stasiun tersebut masih relatif rendah (13,87 NTU), sehingga sinar matahari bisa langsung mencapai dasar perairan. Di stasiun lainnya (Kampung Jog-jogan hingga Cibinong) kelimpahan perifiton tidak setinggi di Stasiun Kampung Pensiunan, kondisi ini mungkin disebabkan oleh nilai turbiditas yang

88 68 semakin meningkat dan adanya penambahan bahan-bahan polutan toksik lainnya yang berkontribusi dalam menghambat pertumbuhan perifiton Larva Trichoptera Hasil rerata kelimpahan dan komposisi larva Trichoptera di setiap lokasi pengamatan disajikan dalam Lampiran 4. Jumlah taksa (genus) larva Trichoptera dari stasiun 1 hingga 6 cenderung menurun (13-5). Di stasiun 5 rerata jumlah taksanya paling rendah diantara stasiun lainnya. Kelimpahan beberapa taksa larva Trichoptera secara umum menunjukkan semakin meningkat ke arah hilir ( idv/m 2 ). Sebagai contoh larva Cheumatopsyche sp. yang mendominasi perairan ( idv/m 2 ) ketika adanya gangguan akibat pencemaran maupun kerusakan habitat semakin meningkat. Kondisi ini menunjukkan beberapa larva Trichoptera yang tergolong sensitif mampu merespon gangguan yang terjadi di Sungai Ciliwung (misalnya Lepidostoma, Diplectrona dan sebagainya). Beberapa taksa Trichoptera yang tergolong toleran seperti Cheumatopsyche sp. dan Tinodes sp. semakin meningkat kelimpahannya ketika pencemaran organik dan kontaminasi logam merkuri juga meningkat. 4.6 Pengaruh Masukan Bahan Organik dan Kontaminasi Logam Merkuri terhadap Struktur Komunitas dan Ekologi Feeding Larva Trichoptera Washington (1984) menyebutkan pendekatan yang umum digunakan dalam menilai dampak ekologi akibat pencemaran biasanya didekati dengan dua cara yaitu melalui indeks keanekaragaman dan similaritas/kesamaan (teknik ordinasi/cluster). Penggunaan indeks keanekaragaman dan keseragaman larva Trichoptera di Sungai Ciliwung disajikan dalam Gambar 32. Nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wiener (H ) di Stasiun 1 dan 2 sebesar = 1,98-2,8 bits per individu dan indeks keseragamannya (E) = 0,66-0,9. Tingkat keanekaragaman dan keseragaman larva Trichoptera di Stasiun Gunung Mas lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya yang berfungsi sebagai situs uji (stasiun 3 hingga 6). Ditinjau dari indeks keseragaman dapat diketahui bahwa penyebaran jumlah individu tiap jenisnya di Stasiun 1 dan 2 relatif merata (rendahnya taksa tertentu yang mendominasi populasi). Adanya gangguan dari aktivitas

89 69 antropogenik di situs uji memberikan pengaruh pada rendahnya nilai indeks keanekaragaman maupun keseragamannya. Di stasiun 3 hingga 6 ke dua nilai indeks tersebut secara gradual terlihat menurun dari (H ) = 2-0 bits per individu dan indeks keseragaman (E) = 0, Indek keanekaragaman Stasiun Pengamatan Median 25%-75% Min-Max indek Keseragaman Stasiun Pengamatan Median 25%-75% Min-Max Gambar 32: Sebaran nilai indeks keanekaragaman (H ) dan indeks keseragaman di Sungai Ciliwung (E). Ditinjau dari nilai indeks keanekaragaman dan keseragaman di stasiun Kampung Pensiunan hingga Cibinong menunjukkan struktur komunitas menjadi kurang stabil (kecenderungan terjadi dominansi oleh satu taksa tertentu misalnya oleh Cheumatopsyche sp.), tingkat keanekaragaman taksa (genus) menjadi rendah, dan penyebaran jumlah individu tiap jenisnya menjadi tidak merata. Stabilitas dalam struktur komunitas berkaitan erat dengan kompleksitas hubungan diantara spesies yang menyusun jaring-jaring makanan dan tingkat keanekaragaman spesies itu sendiri. Semakin kompleks hubungan spesies dalam jaring makanan menunjukkan ketahanan dari suatu komunitas dalam menerima perubahan lingkungan semakin lebih besar (Washington 1984). Türkmen & Kazanci (2010) menyebutkan nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener umumnya berkisar dari 0-5, tetapi sangat jarang dijumpai nilai indeks > 4,5. Nilai di atas 3 mengindikasikan struktur habitatnya relatif lebih stabil dan seimbang. Nilai di bawah 1 mengindikasikan adanya pencemaran dan perusakan pada struktur habitat. Didasarkan pendapat Türkmen & Kazanci (2010) tersebut, maka mulai Stasiun Kampung Pensiunan hingga Cibinong menunjukkan meningkatnya status

90 70 pencemaran dan perusakan struktur habitatnya secara gradual berpengaruh pada ketidakseimbangan struktur komunitas larva Trichoptera di Sungai Ciliwung. Status gangguan pada ekosistem sungai akibat pencemaran disajikan dalam Tabel 11. Stasiun Gunung Mas secara umum dalam kondisi/ status belum mengalami pencemaran. Kampung Pensiunan dalam kondisi tercemar ringan dan Kampung Jog-jogan hingga Cibinong sudah mengalami tercemar sedang. Tabel 11. Status gangguan akibat pencemaran di Sungai Ciliwung berdasarkan kriteria BPLHD (2006) Stasiun Nilai rerata skor Kriteria Gunung Mas 1 1,4 Belum tercemar Gunung Mas 2 1,5 Belum tercemar Kampung Pensiunan 2,4 Tercemar ringan Kampung Jog-jogan 4,2 Tercemar sedang Katulampa 5,4 Tercemar sedang Cibinong 5,6 Tercemar sedang Hasil analisis korelasi rangking Spearman antara indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman dengan variabel lingkungan terpilih (organik dan logam berat) disajikan dalam Tabel 12. Secara umum menunjukkan dua indeks tersebut di atas masih tergolong sensitif (r > 0,5) dalam merespon pengkayaan bahan organik, kontaminasi logam merkuri, perubahan habitat, maupun distribusi partikel di Sungai Ciliwung. Tabel 12. Korelasi rangking Spearman antara indeks keanekaragaman dan keseragaman dengan variabel lingkungan. Variabel Indeks Keanekaragaman Indeks Keseragaman Suhu -0,83-0,76 % kerikil 0,85 0,66 CPOM 0,82 0,62 DO 0,75 0,62 COD -0,88-0,81 TOM -0,81-0,72 Hg air -0,83-0,77 Hg sedimen -0,79-0,59 Indeks kimia 0,85 0,75 Indeks habitat 0,84 0,62 Indeks pencemaran logam -0,89-0,78

91 71 Tipe ekologi feeding larva Trichoptera di masing-masing stasiun pengamatan disajikan dalam Gambar 33 dan Lampiran 4. Pada Gambar 33 menunjukkan persentase komposisi shredder, scraper dan filtering collector masih mendominasi di bagian hulu (stasiun 1 dan 3). Semakin ke arah hilir (stasiun 4 hingga 6) menunjukkan persentase komposisi filtering collector cenderung meningkat dan sedikit yang bertipe scraper. Kontribusi faktor lingkungan terpilih dalam memberikan pengaruh pada ekologi feeding larva Trichoptera dengan menggunakan analisis komponen utama (PCA) disajikan dalam Gambar 34. Hasil ordinasi dengan analisis komponen utama pada tiga sumbu utamanya didapatkan nilai eigenvalue sebesar 5,4, 1,8, dan 1,04 dengan persentase informasi kumulatif sebesar 75,51%. Pada grafik biplot diketahui tipe ekologi feeding shredder dan karnivora di Stasiun 1 dan 2 lebih dicirikan dengan tingginya kualitas habitat (indeks habitat ), CPOM (63, g berat kering/m 2 ), rendahnya pencemaran organik (90,02-91,75), kontaminasi merkuri di air (0,03-0,39 ppb), dan TOM (3,28-5,74 mg/l). Sebaliknya untuk tipe ekologi feeding filtering collector yang meningkat di bagian hilir (stasiun 5 dan 6) lebih dicirikan dengan tingginya kontaminasi logam merkuri di air (0,93-3,54ppb), pencemaran organik (59,96-68,75), TOM (7,92-14,27), rendahnya kualitas habitat (55-77), dan CPOM (6,93-25,65 g berat kering/m 2 ). Tipe scraper, omnivora, gatherer collector masih sering dijumpai hingga stasiun 3 dan mulai menurun di bagian hilir sungai relatif tidak dicirikan oleh variabel terpilih yang digunakan dalam teknik ordinasi analisis komponen utama. Rendahnya nilai indeks keanekaragaman dan keseragaman dari larva Trichoptera secara umum dipengaruhi oleh: 1) Rendahnya jumlah taksa. Pada penelitian ini hanya menggunakan taksa Trichoptera saja, sehingga jumlah taksa (genus) yang ditemukan relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan melibatkan seluruh taksa makrozoobentos. 2). Adanya kombinasi antara faktor fisik (misalnya ketinggian: m dpl, suhu air, kekeruhan, dan CPOM) dan faktor kimia (beban pencemar organik dan logam merkuri) menyebabkan menurunnya kualitas air Sungai Ciliwung yang berpengaruh pada kelangsungan hidup larva Trichoptera terutama yang tergolong sensitif. Keberadaan kontaminasi polutan toksik seperti

92 72 logam merkuri dapat mengganggu organ respirasi dari larva Trichoptera, sehingga kemampuan larva untuk dapat bertahan hidup, emergence atau menjadi dewasa dapat mengalami gangguan atau menurun. Gambar 33. Nilai rerata dari komposisi tipe ekologi feeding di setiap stasiun pengamatan. (FC = filtering collector, Sh = shredder, Sc= scraper, Car = carnivora, GC = gatherer collector, Om = omnivora).

93 73 Gambar 34. Grafik biplot antara faktor lingkungan dengan tipe ekologi feeding larva Trichoptera dengan menggunakan analisis komponen utama. Dampak pencemaran organik maupun kontaminasi logam merkuri ke ekologi feeding larva Trichoptera dapat menunjukkan pengaruh secara langsung. Hilangnya taksa tertentu yang tergolong sensitif terhadap pencemaran dapat mempengaruhi ekologi feeding tertentu, misalnya dari golongan shredder dan scraper yang sering dijumpai di daerah yang belum atau minimal mengalami gangguan. Karena sebagian besar larva Trichoptera yang bertipe shredder sebagian besar termasuk dalam ketegori sensitif terhadap pencemaran (nilai PTV signal > 6), maka hewan tersebut sudah tidak dapat bertahan hidup dalam kondisi perairan yang kurang menguntungkan/tercemar. Trichoptera golongan scraper di Stasiun Kampung Pensiunan lebih tinggi kelimpahannya. Hal itu mungkin disebabkan oleh masih berlimpahnya perifiton di stasiun tersebut maupun kondisi kualitas air yang relatif masih mendukung kehidupan larva Trichoptera. Sejalan dengan meningkatnya status pencemaran organik dan kontaminasi logam merkuri di perairan, maka populasi larva bertipe scraper juga mengalami penurunan. Kondisi tersebut mungkin erat kaitannya dengan

94 74 ketersediaan perifiton yang merupakan makanan utama hewan scraper mulai terganggu akibat tertutupnya perifiton oleh bahan partikulat (sedimentasi) maupun oleh pencemaran. Rendahnya CPOM terutama di Stasiun Katulampa dan Cibinong berpotensi merubah tipe ekologi feeding khususnya dari golongan shredder/ pencabik. Larva Trichoptera yang bertipe shredder (pemakan CPOM) masih sering dijumpai di situs rujukan (Stasiun Gunung Mas) misalnya: Alloecella sp., Caenota sp., Lepidostoma sp., dan Anisocentropus sp. Semakin ke hilir, maka organisme tersebut sudah tidak ditemui lagi dan mulai didominasi oleh tipe filtering collector (misalnya Cheumatopsyche sp.). Kandungan CPOM yang rendah di bagian hilir (Stasiun Cibinong) dapat mempengaruhi ekologi feeding larva Trichoptera, sehingga tipe filtering collector lebih diuntungkan pada kondisi ini dan dapat mendominasi perairan (misalnya: Cheumatopsyche sp.). Fenomena ini mirip dengan konsep river continuum yang menunjukkan konsentrasi CPOM di bagian hilir yang semakin menurun biasanya diikuti dengan meningkatnya FPOM, sehingga organisme yang bertipe filtering collector dan gatherer collector populasinya relatif lebih tinggi (Vannote et al. 1980). 4.7 Karakterisasi Variabel Lingkungan pada Komunitas Larva Trichoptera Hasil ordinasi antara komunitas larva Trichoptera dengan variabel lingkungan dengan CCA disajikan dalam grafik triplot (Gambar 35). Pada dua sumbu utama grafik triplot didapatkan nilai eigenvalue sebesar 0,533 dan 0,33 dengan informasi kumulatif constrained yang terjelaskan sebesar %. Adanya korelasi yang kuat antara sumbu spesies dengan variabel lingkungan terjadi pada sumbu 1 sebesar 0,952 dan pada sumbu 2 sebesar 0,91. Hasil uji multikolinearitas pada variabel lingkungan menunjukkan sejumlah variabel yang saling berautokorelasi (r > 0,8) yaitu: suhu air, DO, konsentrasi C dan N pada seston, amonium, COD, TOM, ortofosfat, nitrat, dan indeks kimia. Indeks kimia dipilih guna mewakili variabel yang saling berautokorelasi tersebut karena indeks tersebut tersusun dari beberapa variabel misalnya: suhu, DO, ph, nitrat, amonium, dan konduktivitas. Disamping itu indeks tersebut mencerminkan gangguan oleh pencemaran organik di perairan.

95 75 Gambar 35. Grafik triplot hasil ordinasi kelimpahan taksa larva Trichoptera dengan variabel lingkungan di Sungai Ciliwung Pada grafik triplot (Gambar 35) secara umum menunjukkan tiga pengelompokan stasiun pengamatan yaitu kelompok I terdiri atas stasiun 1 dan 2, kelompok dua merupakan stasiun 3, dan kelompok III adalah Stasiun 4,5, dan 6. Semakin panjang panah (variabel) yang mengarah pada spesies dan stasiun pengamatan, maka kontribusi variabel tersebut pada spesies maupun stasiun pengamatan semakin besar. Begitu juga sebaliknya jika panah yang panjang membentuk sudut ( ), maka pengaruh variabel tersebut cenderung berkorelasi negatif dengan variabel yang ada dibaliknya. Trichoptera yang hidup di Stasiun Gunung Mas misalnya: Helicopsyche, Caenota, Orthotrichia, Chimarra, Antipodoecia, Diplectrona, Anisocentropus, Lepidostoma, Philopotamidae Genus 1 memiliki preferensi untuk hidup pada kondisi pencemaran organik yang rendah (indeks kimia = 91,675-90,02), % kerikil (55-83), CPOM ( g berat kering/m 2 ), kecepatan arus (1,27-1,31 m/det), dan habitat yang sedikit mengalami gangguan ( ). Hewan tersebut

96 76 diatas juga dicirikan dengan karakteristik rendahnya nilai turbiditas (6,37-3,83 NTU), konsentrasi logam Hg di air (0,07-0,25), dan persentase pasir (17-43%). Sebaliknya larva Trichoptera Cheumatopsyche, Setodes, dan Tinodes relatif toleran terhadap polutan organik (indeks kimia = 61-81) dan menyukai hidup pada kondisi tingginya variabel turbiditas (26-32 NTU), logam merkuri di air (0,92-2,34 ppb), berpasir (89-93%), rendahnya kecepatan arus (0,51-0,67 m/det), dan CPOM (9-20 g berat kering/m 2 ). Larva Trichoptera Helicopsyche, Caenota, Orthotrichia, Chimarra, Antipodoecia, Diplectrona, Anisocentropus, Lepidostoma, dan Philopotamidae Genus 1 lebih menyukai hidup pada kondisi sungai yang relatif bersih (belum tercemar) dan kondisi habitat masih relatif alami (vegetasi hutan tersusun oleh tumbuhan asli). Blinn & Ruiters (2009) menyebutkan Lepidostoma lebih menyukai hidup di dataran tinggi m dpl yang belum mengalami pencemaran, dan rendahnya gangguan pada embeddednes substrat (batu yang tertanam di dasar perairan) < 10%. Oscoz et al. (2011) menyebutkan Famili Lepidostomatidae merupakan organisme indikator perairan bersih karena rendahnya toleransi terhadap pencemaran, tingginya kebutuhan akan oksigen, dan kualitas daerah pinggir sungai yang masih baik. Gooderham & Tsyrlin (2002) mengkategorikan Alloecella sp. (Helicophidae), Chimarra sp. (Philopotamidae), Agapetus sp. (Glossosomatidae), Helicopsyche sp. (Helicopsychidae), Lepidostoma sp. (Lepidostomatidae), Caenota sp. (Calocidae), Tasiagma sp.( Tasimiidae) termasuk dalam organisme yang sensitif terhadap pencemaran yang dicirikan dengan tingginya nilai toleransi dalam indeks SIGNAL 10). ( Helicopsyche sp. lebih menyukai hidup pada sungai yang berarus, suhu relatif dingin, bersih, dan dangkal (Oscoz et al. 2011). Tinodes sp. yang termasuk dalam Famili Psychomyiidae sering ditemukan pada segmen pertengahan (orde sungai) yang dapat mentoleransi limbah organik di perairan. Di bagian hilir sungai yang vegetasinya jauh banyak berkurang dan telah mengalami pencemaran organik lebih didominasi oleh larva hydropsychid Cheumatopsyche. Roberge et al. (2010) menyebutkan kelimpahan larva hydropsychid akan meningkat sejalan dengan meningkatkan perubahan lahan ke arah urbanisasi maupun pertanian. Hewan

97 77 tersebut memakan partikel halus yang hanyut dari erosi lahan yang terpengaruh oleh aktivitas manusia. Larva Cheumatopsyche termasuk dalam tipe feeding filtering collector guna mendapatkan makanannya dengan cara menyaring partikel yang hanyut oleh arus air (seston). Oscoz et al. (2011) menyebutkan larva hydropsychid umumnya dijumpai pada perairan dengan substrat yang berbatu dan berarus deras. Hewan tersebut mampu memodifikasi luas mata jaringnya guna menyesuaikan ukuran dari makanannya. Alexander & Smock (2005) menyebutkan modifikasi ukuran mata jaring berguna untuk efesiensi menyaring makanan (seston) yang hanyut di kolom air. Secara umum larva genus Hydropsyche mempunyai ukuran mata jaring yang lebih besar dibandingkan dengan Cheumatopsyche, karena ukuran partikel seston di bagian hilir biasanya berukuran lebih kecil/halus. Hasil pengukuran luas mata jaring Cheumatopsyche menunjukkan dari bagian hulu (0,23 mm 2 ) hingga ke hilir cenderung menurun (0,05 mm 2 ). Fenomena yang sama juga diamati oleh Oscoz et al. (2011) yaitu di bagian hulu larva hydropsychid mempunyai luas mata jaring yang lebih besar dibandingkan di bagian hilir. Hal itu mungkin disebabkan oleh relatif tingginya kandungan CPOM di bagian hulu, sehingga hewan tersebut menyesuaikan ukuran jaringnya yang relatif lebih besar (0,29 mm 2 ) dan akan mengecil di bagian hilir (0,05 mm 2 ). Kecilnya luas mata jaring akan memudahkan larva Cheumatopsyche dalam menangkap partikel makanan yang lebih halus hanyut terbawa oleh arus air. Kemungkinan yang ke dua adalah luas mata jaring juga dipengaruhi oleh kecepatan arus. Karena di bagian hulu kecepatan arusnya relatif tinggi dibandingkan dengan di hilir, maka hewan tersebut harus menyesuaikan luas mata jaringnya agar sarangnya tidak mudah rusak oleh tekanan air yang besar. Larva Cheumatopsyche relatif lebih toleran terhadap pencemaran organik maupun kontaminasi logam. Canfield et al. (1994) menyebutkan dominansi larva hydropsychid yang semakin meningkat merupakan sinyal awal dari meningkatnya kontaminasi logam berat di perairan. Larva Cheumatopsyche sp. dan Hydropsyche betteni termasuk dalam Trichoptera yang toleran terhadap pencemaran dan biasanya hidup di segmen sungai dengan tingkat urbanisasi tinggi (Alexander & Smock 2005). Namun sebaliknya penelitian yang dilakukan oleh Chakona et al.

98 78 (2009) menunjukkan larva Cheumatopsyche relatif sensitif pada air yang sudah tercemar dan keberadaan hewan tersebut akan meningkat kembali di bagian hilir, ketika kualitas airnya meningkat. 4.8 Produktivitas Sekunder Larva Trichoptera Cheumatopsyche sp. Hasil pengukuran lebar kepala larva Cheumatopsyche sp. selama delapan bulan didapatkan hubungan berat tubuh dan tahap perkembangan instar (Gambar 36 dan Lampiran 5). Pada Gambar 36 menunjukkan larva Cheumatopsyche sp. untuk menjadi dewasa terjadi setelah bulan Oktober-November dan Februari- Maret, kerena jumlah pupa yang ditemukan relatif lebih tinggi pada bulan tersebut dibandingkan dengan bulan lainnya. Ditinjau dari data curah hujan pada bulan Oktober November 2010 menunjukkan pada bulan tersebut curah hujan masih relatif tinggi yaitu mm, sedangkan pada bulan Februari-Maret 2011 curah hujan menunjukkan terendah yaitu mm (Gambar 37). Kondisi ini mengindikasikan bahwa larva Cheumatopsyche sp. dapat melakukan reproduksi ketika curah hujan relatif rendah (Februari-Maret) maupun tinggi (Oktober Nopember). Ditinjau dari banyaknya jumlah pupa yang ditemukan dari bulan Oktober dan Maret, maka siklus hidup hewan tersebut kemungkinan besar bersifat bivoltine (bereproduksi dua kali dalam setahun). Siklus hidup larva Cheumatopsyche telah dipelajari oleh beberapa peneliti. Mackay (1986) menyebutkan larva Trichoptera Cheumatopsyche pettiti di negara yang beriklim temperate (Minnesota-USA) bersifat univoltine yang recruitment umumnya terjadi pada saat musim panas (Bulan Juni akhir) dan pupa terjadi di bulan Mei. Sebaliknya, penelitian yang dilakukan oleh Sanchez & Hendricks (1997) menunjukkan siklus hidup Cheumatopsyche pettiti bersifat bivoltine di hulu Sungai Stroubles Virginia-USA. Peneliti tersebut menyebutkan bahwa larva Cheumatopsyche memiliki masa perkembangan larva pupa minimal selama enam hari. Hydropsychid dewasa memiliki masa hidup relatif pendek dan telur akan di letakkan di perairan setelah dua sampai tiga hari setelah emergence. Karena negara Indonesia hanya memiliki dua musim saja (hujan-kemarau) dan perbedaan kondisi iklim dari kedua musim tersebut relatif tidak terlalu ekstrim, maka Cheumatopsyche sp. dewasa dapat melakukan reproduksi di kedua musim

99 79 tersebut, walaupun ada kecenderungan reproduksi banyak dilakukan di bulan Oktober-November dan Februari-Maret. Gambar 36. Perkembangan instar larva Cheumatopsyche sp di setiap bulan pada masing-masing stasiun pengamatan.

100 80 Gambar 37. Data curah hujan dari Bulan Agustus 2010 hingga Mei Hasil pengukuran biomassa, produktivitas sekunder, dan cohort P/B larva Cheumatopsyche sp. di Sungai Ciliwung ditampilkan dalam Tabel 13. Penghitungan lebih rinci dari biomassa, produktivitas sekunder, dan cohort P/B disajikan dalam Lampiran 6. Pada Tabel 13 menunjukkan biomassa larva Cheumatopsyche di bagian hulu (Stasiun Gunung Mas) hingga Stasiun Cibinong cenderung meningkat (0,09-0,29 g.m -2 ). Produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche sp. juga meningkat dari Stasiun Gunung Mas hingga Kampung Jog-jogan (5,9-26,9 g m -2 tahun -1 ) dan menurun di Stasiun Katulampa (8,15 g m -2 tahun -1 ). Di Stasiun Cibinong produktivitas sekunder Cheumatopsyche sp. meningkat kembali hingga 81,5 g m -2 tahun -1. Tabel 13. Biomassa, produktivitas sekunder, dan cohort P/B dari larva Cheumatopsyche sp di Sungai Ciliwung. Penghitungan cohort P/B dapat dilihat dalam Lampiran 6. No Stasiun Biomassa (g.m -2 ) Produktivitas Sekunder (g.m -2.tahun -1 ) Cohort P/B* 1 Gunung Mas 1 0,09 5,9 33,9 2 Gunung Mas 2 0,04 7,5 61,9 3 Kampung Pensiunan 0,1 12,8 64,1 4 Kampung Jog-jogan 0,13 26,19 63,7 5 Katulampa 0,22 8,15 12,1 6 Cibinong 0,29 81,5 93,4 Keterangan: tanda * (cohort P/B) nilainya didasarkan pada Lampiran 6.

101 81 Pola yang sama dengan produktivitas sekunder juga diamati pada nilai cohort P/B yaitu kecenderungan meningkat dari Stasiun Gunung Mas hingga Kampung jog-jogan (33,9-63,7) dan menurun di Stasiun Katulampa (12,1). Nilai cohort P/B di Stasiun Cibinong meningkat kembali hingga 93,4. Hubungan antara kontaminasi logam merkuri di air, terakumulasi di tubuh, dan konsentrasi TOM di air dengan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche sp. disajikan dalam Gambar 38. Pada Gambar 38 menunjukkan adanya trend yang hampir sama antara meningkatnya kandungan bahan organik (TOM = 11,76 mg/l) dan meningkatnya logam merkuri di perairan hingga konsentrasinya 2,34 ppb mampu mendorong produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche sp lebih tinggi di Sungai Ciliwung yang masih termasuk dalam gradien tinggi. Kandungan bahan organik di perairan mampu mendorong pertumbuhan yang cepat dari larva Cheumatopsyche sp. yang relatif toleran terhadap pencemaran. Kondisi kualitas air yang kurang menguntungkan (pencemaran organik dan kontaminasi logam merkuri) menyebabkan hewan tersebut mampu beradaptasi dengan baik, bersifat oportunis dibandingkan dengan larva Trichoptera lainnya, dan dapat bersaing dengan makrozoobentos lainnya dalam memanfaatkan kekosongan niche/ relung yang ada. Pengaruh produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche akibat aktivitas antropogenik di sungai telah diamati oleh beberapa peneliti. Sanchez & Hendricks (1997) menunjukkan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche lebih tinggi di area pertanian (3,01 g.m -2.tahun -1 ) dibandingkan dengan area di bagian hulu yang masih terletak di dalam hutan (2 g.m -2.tahun -1 ). Alexander & Smock (2005) menunjukkan pengaruh hidrologi dari adanya bendungan di daerah Upham Brook Virginia USA terhadap produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche analis. Produktivitas sekunder larva C. analis yang berada di bagian hulu (250 m) sebelum bendungan lebih rendah (7,2 g.m -2.tahun -1 ) dibandingkan di bawah bendungan (18,2 g.m -2.tahun -1 ) dan 1 km setelah bendungan (9,5 g.m -2.tahun -1 ). Meningkatnya biomassa, produktivitas sekunder, cohort P/B larva Cheumatopsyche sp. di bagian hilir (Stasiun Cibinong) disebabkan oleh masukan bahan organik di perairan mendorong pertumbuhan mikroflora dalam seston maupun perifiton yang berfungsi sebagai makanan bagi larva Cheumatopsyche sp.

102 82 Larva Cheumatopsyche menyukai kondisi perairan yang kandungan bahan organiknya dalam kategori sedang hingga tinggi (Mackay 1986). Mackay & Wiggins (1979) menyebutkan bahwa larva Cheumatopsyche memiliki tipe ekologi yang tidak spesifik yaitu filtering collector dan scraper. Ketidakspesifikan tipe ekologi feeding hewan tersebut sangat menguntungkan Cheumatopsyche guna memanfaatkan sumber makanan yang tersedia secara optimal ketika salah satu makanannya (seston/perifiton) kurang tersedia. Di bagian hulu sungai, jumlah kelimpahan perifiton dan konsentrasi C dan N di seston relatif rendah yang berpengaruh pada ketersediaan makanan dan status nutrisi yang dapat dimanfaatkan oleh larva Cheumatopsyche sp. Semakin ke hilir kelimpahan perifiton dan konsentrasi C dan N di seston relatif lebih tinggi dibandingkan stasiun lainnya, sehingga larva Cheumatopsyche sp dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Gambar 38. Hubungan antara konsentrasi bahan organik (TOM) di perairan dan meningkatnya logam merkuri mampu mendorong produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche

103 83 Rendahnya produktivitas sekunder Cheumatopsyce sp. di Stasiun Katulampa kemungkinan besar disebabkan oleh adanya aktivitas penambangan batu dan pasir yang dilakukan oleh masyarakat berpotensi mengganggu populasi larva Trichoptera. Pengambilan substrat batu dapat mengganggu kelangsungan hidup larva Cheumatopsyche sp., karena batu yang tertanam di sungai dapat berfungsi sebagai tempat untuk melekatnya sarang guna berlindung dari predator maupun tempat memperoleh makanan (perifiton). Semakin berkurangnya batuan terutama yang berukuran puing dapat menurunkan kelimpahan larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Katulampa, sehingga berpengaruh pada rendahnya nilai produktivitas sekunder di stasiun tersebut. Nilai Cohort P/B larva Trichoptera di Stasiun Gunung Mas hingga Cibinong cenderung untuk meningkat. Stasiun Katulampa memiliki nilai P/B yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan stasiun lainnya. Kondisi ini mencerminkan turn over/ kemampuan pulih larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Gunung Mas relatif lebih lama. Cohort P/B di Stasiun Cibinong paling cepat dibandingkan dengan stasiun lainnya. Tingginya P/B ke arah hilir mungkin disebabkan dari adanya recruiment dari kohort baru dan pertumbuhan yang relatif cepat guna menyelesaikan satu siklus hidupnya. Kondisi ini mungkin dipengaruhi oleh meningkatnya faktor suhu air (18-28,9 0 C) dan ketersediaan makanan (seston) yang mendukung pertumbuhan larva sehingga mempengaruhi laju metabolisme larva di bagian hilir akan meningkat. Hal ini akan mempercepat perkembangan larva untuk menjadi dewasa dan mendorong terjadinya recruitment baru. 4.9 Penyusunan Biokriteria dengan Menggunakan Konsep Multimetrik Hasil uji sensitivitas masing-masing metrik biologi dalam mencerminkan gangguan pada Sungai Ciliwung ditampilkan dalam grafik Box-Whisker Plot (Lampiran 7). Analisis kemampuan diskriminasi dari grafik Box-Whisker Plot antara situs rujukan dengan situs uji dirangkum dalam Tabel 14.

104 84 Tabel 14. Kemampuan diskriminasi masing-masing metrik biologi dalam mencerminkan gangguan di Sungai Ciliwung. No Komposisi metrik skor IQ Keterangan 1 Jumlah skor SIGNAL 3 Kemampuan deskriminasi tinggi antara bagian yang belum dan sudah mengalami gangguan, kandidat yang baik sebagai metrik penyusun biokriteria 2 Jumlah taksa 3 s.d.a 3 % Kelimpahan 3 taksa dominan 3 s.d.a 4 Jumlah taksa sensitif 3 s.d.a 5 Indeks SIGNAL 1 Kemampuan diskriminasi yang rendah antara situs yang belum dengan sudah mengalami gangguan. Adanya tumpang tindih satu median IQ dengan kisaran IQ lainnya. Kandidat yang buruk sebagai penyusun komponen biokriteria. 6 Kelimpahan total 0 Kemampuan diskriminasi rendah antara situs yang belum dengan sudah mengalami gangguan. Adanya tumpang tindih IQ terjadi hampir keseluruhan dengan kisaran IQ lainnya atau kedua median terjadi tumpang tindih. Kandidat yang buruk sebagai penyusun komponen biokriteria. 7 Jumlah taksa Hydropsychidae 0 s.d.a 8 Jumlah taksa toleran 0 s.d.a 9 % Kelimpahan Hydropsyche 0 s.d.a 10 % Kelimpahan filtering 0 s.d.a collector 11 Jumlah taksa Fakultatif 3 Kemampuan deskriminasi tinggi antara situs yang belum dan sudah mengalami gangguan, namun metrik ini memiliki kisaran yang sangat sempit untuk memisahkan situs yang sudah mengalami gangguan (misalnya ringan hingga sedang). Metrik ini merupakan kandidat yang kurang baik sebagai metrik penyusun biokriteria 12 % Kelimpahan shredder 3 s.d.a

105 85 Hasil uji kemampuan diskriminasi (Tabel 14) menunjukkan metrik jumlah skor SIGNAL, jumlah taksa, % kelimpahan 3 taksa yang dominan, dan jumlah taksa sensitif merupakan kandidat yang paling baik untuk digunakan sebagai komponen penyusun biokriteria. Adapun metrik biologi lainnya relatif kurang baik sebagai kandidat penyusun biokriteria karena adanya tumpang tindih kisaran IQ di antara situs rujukan dengan situs uji, maupun kisaran IQ yang sangat sempit di antara situs uji yang satu dengan lainnya (misalnya: metrik taksa fakultatif dan % shredder). Hasil uji statistik dengan menggunakan Mann-Whitney U-test empat metrik di atas antara situs rujukan dan situs uji menunjukkan adanya perbedaan yang sangat signifikan (p < 0,01) (Tabel 15 ). Kondisi ini menunjukkan empat kandidat metrik diatas dapat dilanjutkan sebagai komponen dari biokriteria yang akan dibuat. Tabel 15. Uji masing-masing metrik antara situs rujukan dengan situs uji dengan menggunakan analisis non parametrik Mann-Whitney U-test. Metrik Uji U Uji Z p Jumlah skor SIGNAL Jumlah taksa % kelimpahan 3 dominan Jumlah taksa sensitif Berbagai macam metrik biologi telah digunakan dalam mendeteksi gangguan ekologi yang terjadi di Sungai Ciliwung. Hasil uji kemampuan diskriminasi dapat diketahui sensitifitas masing-masing metrik larva Trichoptera dalam mencerminkan gangguan ekologi akibat perubahan kualitas lingkungan di Sungai Ciliwung. Informasi yang dihasilkan dari atribut kekayaan taksa dan dominansi seringkali berguna sebagai komponen dalam penyusunan biokriteria (Keran & Karr 1994). Lydy et al. (2000) menyebutkan metrik jumlah taksa merupakan salah satu metrik yang paling kuat dalam mencerminkan gangguan ekosistem akuatik, karena biasanya ada korelasi positif antara jumlah taksa dengan tingginya kualitas lingkungan.

106 86 Atribut biologi kekayaan taksa Famili Hydropsychidae dari penelitian ini relatif kurang sensitif. Hal ini dapat disebabkan oleh kemampuan identifikasi pada penelitian ini hanya sampai level genus sehingga jumlah genus yang ditemukan pada masing-masing situs relatif sedikit dan pada kisaran yang sempit (1 2 taksa). Oleh sebab itu kemampuan deskriminasi IQ dari masing-masing situs banyak yang mengalami tumpang tindih. Atribut populasi (indeks keanekaragaman Shannon-Wiener) tidak dimasukkan dalam komponen penyusun biokriteria dikarenakan untuk indeks keanekaragaman dapat mengalami redundant dengan metrik biologi lainnya yang sudah ditetapkan sebelumnya (jumlah taksa dan % kelimpahan 3 taksa yang dominan). Hal ini dikarenakan indeks keanekaragaman menggabungkan tiga komponen utama dari struktur komunitas yaitu: kelimpahan, jumlah taxa, dan evenness/ kemerataan distribusi organisme diantara spesies (Washington 1984). Di samping itu nilai indeks tersebut memiliki kisaran yang relatif sempit (0-2,8 bits per individu) sehingga tidak menguntungkan sebagai kandidat metrik, karena kemungkinan untuk terjadinya overlap pada kisaran IQ dengan situs uji lainnya relatif besar. Metrik toleransi terhadap polutan (misalnya SIGNAL, jumlah taksa toleran, fakultatif) sering digunakan dalam penyusunan indeks multimetrik/ integritas biotik, karena organisme yang tergolong sensitif seringkali hilang/ menurun dengan rendahnya kualitas lingkungan. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain beberapa taksa yang ditemukan masih belum memiliki nilai skor toleransinya (misalnya: Alloecella sp., Ecnomina sp. dan sebagainya) sehingga akan berpengaruh pada jumlah skor totalnya. Ketidaksensitifan indeks SIGNAL dalam mencerminkan gangguan pada penelitian ini juga disebabkan oleh adanya faktor pembagi dengan jumlah taksa yang ditemukan. Banyaknya taksa yang ditemukan dengan nilai toleransi yang relatif kecil dan adanya faktor pembagi dengan jumlah taksa yang ditemukan, akan berpengaruh pada rendahnya hasil nilai akhirnya. Namun jika tidak menggunakan faktor pembagi jumlah taksa yang ditemukan, nampaknya metrik penjumlahan skor toleransi dari SIGNAL cukup sensitif dalam memisahkan situs yang belum dan sudah mengalami gangguan. Fenomena ini juga mirip dengan penggunaan indeks biological

107 87 monitoring working party (BMWP) yang hanya menggunakan penjumlahan skor nilai toleransinya lebih sensitif dalam mendeteksi pencemaran organik dibandingkan dengan indeks average score per taxon /ASPT yang menggunakan fakror pembagi dengan jumlah taksa yang ditemukan (Armitage et al., 1983). Metrik kelimpahan (total, Hydropsychidae, filtering collector, dan shredder) seringkali kurang sensitif dalam mencerminkan gangguan akibat aktivitas antropogenik, hal ini dikarenakan banyak faktor yang berpengaruh pada kelimpahan dan distribusi organisme makrozoobentos misalnya predasi, driftting, strategi untuk memperoleh makanan, siklus hidup, musim, dan sensitifitas terhadap polutan atau gangguan. Chatzinikolaou et al. (2008) menambahkan distribusi makrozoobentos juga dipengaruhi oleh komposisi substrat, kimia air, dan kondisi hidrolika perairan. Adanya gangguan yang disebabkan oleh pencemaran tidak selalu diikuti dengan perubahan tipe fungsional feedingnya. Kerans & Karr (1994) yang melakukan penelitian di Sungai Tennesse Valley USA menunjukkan atribut ekologi feeding (kelimpahan relatif shredder, detritivore, dan gatherer) kurang sensitif dalam mencerminkan kualitas air sungai tersebut. Kelimpahan dari shredders dapat dikontrol oleh interaksi antara sungai dengan zona riparian. Dalam konsep river continuum (Vannote et al. 1980) menunjukkan kelimpahan shredders akan menurun ketika ukuran lebar dari sungai meningkat, sehingga kemampuan metrik % kelimpahan shredders relatif rendah dalam mencerminkan gangguan di sungai akibat aktivitas antropogenik. Metrik shredders mungkin berguna dalam mencerminkan gangguan pada zona riparian khususnya pada sungai-sungai kecil (Kerans & Karr 1994). Hasil normalisasi empat metrik biologi terpilih dengan menggunakan pembobotan dan grafik Box-Whisker Plot didapatkan hasil seperti yang tercantum pada Tabel 16. Indeks baru yang dihasilkan dari pendekatan konsep multimetrik disebut sebagai indeks biotik Trichoptera (IBT). Kategori gangguan yang dihasilkan dari IBT yaitu: dalam kategori belum/sedikit mengalami gangguan (Situs Rujukan), kategori gangguan ringan (Kampung

108 88 Pensiunan), 7-16 kategori gangguan sedang (Kampung Jog-jogan dan Katulampa), dan 6-4 kategori gangguan berat (Cibinong). Tabel 16. Tahap scoring dalam penyusunan biokriteria (Indeks biotik Trichoptera). Metrik biologi Nilai skor Jumlah skor SIGNAL Jumlah total taksa % Kelimpahan 3 dominan Jumlah taksa sensitif Kriteria gangguan Minimal/ belum Gangguan Gangguan gangguan ringan sedang Nilai kisaran indeks biotik Trichoptera (IBT) Gangguan berat Hasil uji korelasi rangking Spearman (Tabel 17) antara IBT dengan variabel pencemaran organik (indeks kimia), gangguan habitat (indeks habitat), dan kontaminasi logam berat (indeks pencemaran logam) menunjukkan adanya korelasi yang sangat kuat (r > 0.75). Kondisi ini menunjukkan adanya kecenderungan tingginya nilai IBT akan diikuti dengan rendahnya tingkat pencemaran organik, kontaminasi logam merkuri, dan tingginya kualitas habitat (alami/sedikit mengalami gangguan). Tabel 17. Korelasi rangking Spearman antara indeks biotik trichoptera dengan indeks habitat, indeks kimia, dan polusi logam. Korelasi metrik IBT dengan lainnya Spearman (r) IBT & Indeks habitat 0.85 IBT & Indeks kimia 0.92 IBT & Indeks polusi logam Larva Trichoptera memiliki nilai penting dalam pemantauan biologi perairan kerena kekayaan taksa, keanekaragaman ekologi, dan kelimpahannya mampu merespon perbedaan tipe gangguan di ekosistem akuatik (Hougton 2004). Hasil penyusunan biokriteria berupa Indeks Biotik Trichoptera (IBT) merupakan salah satu kemajuan dalam bioassessment karena hanya menggunakan satu taksa saja dibandingkan dengan metode konvesional sebelumnya (melibatkan seluruh

109 89 taksa makrozoobentos yang ada). Salah satu kelemahan dari IBT yang baru terbentuk adalah masih adanya kesenjangan pada kisaran kriteria IBT sebagai contoh daerah yang belum mengalami gangguan (26-28) dengan daerah yang telah mengalami gangguan ringan (17-18). Kondisi ini disebabkan oleh masih terbatasnya kasus/ data base tipe gangguan yang terjadi di Sungai Ciliwung khususnya daerah yang belum mengalami (situs rujukan). Negara Inggris dalam membuat model prediktif River Invertebrate Prediction and Classification System (RIVPACS) menggunakan 41 situs rujukan guna menyusun model tersebut (Clarke et al. 2003). Lydy et al. (2000) dalam mengembangkan index biotic integrity (IBI) di Sungai Arkansas menggunakan 30 situs rujukan. Adanya penambahan contoh kasus dari situs rujukan dan situs uji diharapkan mampu menurunkan adanya kesenjangan yang terjadi dari kriteria belum mengalami gangguan dan yang telah mengalami gangguan ringan. Indeks biotik trichoptera (IBT) relatif sama dengan indeks biologi lainnya yang dikembangkan sebelumnya dalam mendeteksi gangguan ekologi yang terjadi di Sungai. Kerans & Karr (1994) menyebutkan keuntungan indeks biologi dibandingkan dengan pengukuran secara kimia, karena parameter kualitas air seringkali tidak mencerminkan seluruh pengaruh manusia pada ekosistem akuatik, sedangkan penggunaan biota yang resident/menetap (makrozoobentos) mampu merespon penggabungan dari seluruh pengaruh manusia pada ekosistem akuatik. Keuntungan dari penggunaan IBT ini terletak pada informasi yang dihasilkan dari indeks ini mampu menggambarkan tingkat keseimbangan populasi, toleransi polusi, dan keanekaragaman dari hewan Trichoptera secara komprehensif dan terintegrasi dalam menggambarkan gangguan ekologi yang terjadi di Sungai Ciliwung. Karena setiap komponen dari metrik biologi mencerminkan informasi yang spesifik, maka penggabungan ke dalam metrik tunggal dapat memberikan informasi yang menyeluruh terhadap kompleksitas sistem biologi di ekosistem akuatik (Kerans & Karr 1994).

110 Aplikasi Indeks Biotik Trichoptera (IBT) dalam Mendukung Pengelolaan Sungai Ciliwung. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya potensi yang besar dari larva Trichoptera untuk digunakan sebagai alat evaluasi kualitas lingkungan akibat pengaruh aktivitas antropogenik di ekosistem Sungai Ciliwung. Larva Trichoptera sebagian besar bersifat sensitif terhadap gangguan yang ditimbulkan oleh pencemaran maupun kerusakan pada habitat. Hewan tersebut memiliki peran yang penting dalam menyusun rantai makanan di ekosistem sungai, oleh karena itu kondisi habitat yang mendukung bagi kehidupan hewan tersebut sudah selayaknya dipertahankan atau dilestarikan. Berbagai macam usaha yang dapat diambil guna menekan atau mencegah kerusakan pada ekosistem Sungai Ciliwung guna mendukung kehidupan larva Trichoptera maupun makrozoobentos lainnya antara lain: 1). Manajemen dan pengolahan limbah (domestik maupun industri) yang dilakukan secara terpadu oleh berbagai stake holder yang memiliki kepentingan dengan Sungai Ciliwung (misalnya: Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Pemkot Bogor-Depok- Jakarta, Pusarpedal, kalangan industri, dan masyarakat di sekitar DAS Ciliwung). Adanya instalasi pengolah limbah sebelum limbah tersebut dibuang ke sungai dapat menurunkan beban pencemar yang masuk ke Sungai Ciliwung. 2). Konservasi vegetasi riparian yang ada di bantaran sungai maupun yang ada di bagian hulu sungai. Keberadaan vegetasi riparian ini sangat penting artinya guna mengurangi masuknya air run-off dan nutrien ke sungai, maupun sebagai sumber penyumbang materi allochtonous bagi kehidupan biota akuatik lainnya. Di samping itu keberadaan vegetasi riparian ini dapat berfungsi sebagai penyedia nektar yang dapat dimanfaatkan oleh serangga bentik dewasa sebagai sumber makanannya maupun untuk berlindung dari predator. 3). Peningkatan/ rekayasa habitat guna mendukung kehidupan makrozoobentos secara keseluruhan. Pembuatan susbtrat buatan (artificial subtrate) yang dapat dilakukan dengan cara penanaman vegetasi riparian submerged di bagian pinggir sungai, potonganpotongan kayu, maupun batu guna meningkatkan heterogenitas dan kompleksitas

111 91 habitat. Komposisi substrat yang lebih heterogen mampu meningkatkan keanekaragaman dari banyak spesies makrozoobentos. Disamping itu perlu adanya upaya pencegahan perusakan habitat pada Sungai Ciliwung misalnya dengan pembatasan penambangan batu dan pasir seperti yang marak dilakukan di Stasiun Katulampa, dan 4). Peningkatan kesadaran masyarakat melalui pelatihan pemanfaatan limbah maupun pendidikan tentang arti pentingnya menjaga kelestarian ekosistem sungai, sehingga sungai tidak dianggap lagi sebagai tempat pembuangan akhir dari kegiatan/ aktivitas antropogenik. Upaya yang dapat dilakukan guna meningkatkan kesadaran masyarakat dapat melalui jalan formal (pendidikan) maupun secara informal (pelatihan) guna mereduksi sampah atau limbah yang dihasilkan agar tidak dibuang secara langsung ke sungai. Bagian hulu Sungai Ciliwung memiliki peran penting dalam pengelolaan ekosistem Sungai Ciliwung secara keseluruhan. Karena pengembangan biokriteria ini sangat bergantung pada keberadaan situs rujukan yang umumnya berada di bagian hulu, maka konservasi di bagian hulu mutlak diperlukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Cullen (2002) tentang pentingnya konservasi di situs rujukan yang umumnya terletak di bagian hulu guna melindungi sistem sungai agar tetap sehat yaitu: 1. Menyediakan tempat sumber pembenihan dan membantu rekolonisasi ketika daerah yang ada dibawahnya mengalami gangguan/ kerusakan. 2. Berfungsi sebagai referensi/ benchmark guna menilai dan memperkirakan sampai sejauh mana tindakan menejemen sungai yang telah dilakukan menyimpang dari kondisi alaminya. Seperti halnya seorang dokter yang dapat membandingkan antara pasien yang sehat dengan yang sakit. 3. Melindungi spesies air tawar yang hidup di Sungai Ciliwung, karena setiap organisme mempunyai nilai tersendiri bagi ekosistem perairan dan seringkali berfungsi sebagai sumber materi genetik yang tidak terbarukan. Penelitian ini merupakan langkah awal dalam pengembangan biokriteria lokal yang adaptif yang dapat disesuaikan dengan kondisi iklim dan geografis setempat. Karena Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang tersusun dari ribuan pulau yang mungkin memiliki karakteristik geomorfologi berbeda,

112 92 maka pengembangan biokriteria yang didasarkan pada konsep multimetrik di masa mendatang memiliki keunggulan tersendiri. Penggunaan IBT dalam pengelolaan Sungai Ciliwung dapat berfungsi sebagai sebagai alat untuk menilai dampak ekologi dari suatu kegiatan antropogenik ke ekosistem sungai maupun untuk mengkaji tingkat keberhasilan dari suatu program pengelolaan Sungai yang telah di ambil/ dilaksanakan. Penilaian kualitas lingkungan dengan menggunakan IBT ini masih bersifat lokal (hanya cocok untuk S. Ciliwung saja) karena situs rujukan yang digunakan sebagai model penyusunannya hanya diperoleh dari anak sungai yang terletak di DAS Ciliwung. Penggunaann indeks ini untuk sungai lainnya (selain Ciliwung) masih perlu dikaji ulang dan mungkin perlu dilakukan kalibrasi, sehingga indeks ini dapat diterapkan secara lebih luas. Indeks yang baru terbentuk ini (IBT) mungkin masih perlu penyempurnaan di masa mendatang karena terbatasnya dari basis data komunitas Trichoptera yang hidup di situs rujukan dan yang telah mengalami gangguan. Disamping itu keuntungan lainnya dari IBT adalah hanya melibatkan satu taksa Trichoptera saja yang dapat menghemat waktu untuk identifikasi maupun penyajian hasil pemantauan kualitas lingkungan menjadi lebih singkat, jika dibandingkan dengan melibatkan seluruh taksa makrozoobentos.

113 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 KESIMPULAN Hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal penting yaitu: 1. Adanya pencemaran organik maupun kontaminasi logam merkuri di Sungai Ciliwung yang masih bergradien tinggi dapat menurunkan jumlah taksa (genus), keanekaragaman (H ), dan keseragaman (E) dari komunitas larva Trichoptera. Namun kelimpahan larva Hydropsychid (Cheumatopsyche sp.) yang bertipe ekologi feeding filtering collector cenderung meningkat. 2. Produktivitas sekunder dan biomassa larva Cheumatopsyche sp. cenderung meningkat ketika konsentrasi bahan organik (TOM 14,27 mg/l) dan logam merkuri di air Sungai Ciliwung (3,55 ppb) juga mengalami peningkatan. Adanya gangguan habitat seperti pengambilan substrat (batu) yang dilakukan secara masif dapat menurunkan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche sp. 3. Empat metrik biologi yang cukup sensitif dalam mendeteksi gangguan ekologi pada Sungai Ciliwung yaitu: jumlah skor SIGNAL, jumlah total taksa, % kelimpahan 3 taksa yang dominan, dan jumlah taksa sensitif. Didasarkan pada empat metrik biologi tersebut, maka dapat dihasilkan Indek biotik Trichoptera (IBT) dengan kriteria sebagai berikut: nilai kategori belum atau minimal mengalami gangguan, gangguan ringan, 7-16 gangguan sedang, dan 4-6 gangguan berat. 5.2 SARAN Hasil dari penelitian ini ada beberapa saran penting yang dapat dilakukan khususnya dalam menunjang kesempurnaan biokriteria (IBT) yang baru dibentuk antara lain: 1. Perlu adanya penambahan stasiun yang berfungsi sebagai situs rujukan, sehingga dapat mewakili DAS Ciliwung hulu secara keseluruhan. Di samping

114 95 itu penambahan kasus dari situs uji juga perlu dilakukan agar dapat dievaluasi sensitifitas dari IBT dalam mencerminkan gangguan ekologi di situs yang lain dari Sungai Ciliwung. 2. Perlu adanya usaha konservasi terutama di bagian hulu Sungai Ciliwung karena vegetasi riparian dapat berfungsi sebagai sumber materi allochtonous bagi larva Trichoptera maupun makrozoobentos secara keseluruhan. Disamping itu vegetasi tersebut juga berfungsi sebagai sumber penyedia makanan (nektar) bagi Trichoptera dewasa.

115 DAFTAR PUSTAKA Akagi H, Nishimura H Speciation of Mercury in The Soils and Sediments Environment. Di dalam: Suzuki T, editor. advances in mercury toxicology. Plenum Press New York. p: Alexander S, Smock LA Life Histories and Production of Cheumatopsyche analis and Hydropsyche betteni (Trichoptera: Hydropsychidae) in an Urban Virginia Stream. Northeastern Naturalist 12(4): Angelier E Ecology of Stream and River. Sience Publisher.USA.215p Armitage PD, Moss D, Wright JF, Furse MT The Performance of a New Biological Water Quality Score System Based on Macroinvertebrates Over a Wide Range of Polluted Running-Water Sites. Water Research 17: Bank MS, Burgess JR, Evers DC, Loftin CS Mercury Contamination of Biota from Acadia National Park, Maine: A Review. Environmental Monitoring and Assessment 126: Barata C, Lekumberri I, Vila-escale M, Prat N, Porte C Trace metal concentration, antioxidant enzyme activities and susceptibility to oxidative stress in the tricoptera larvae Hydropsyche exocellata from the Lobregat river basin (NE Spain). Aquatic Toxicology 74: Barbour MT, Gerritsen J, Griffith GE, Frydenborg R, McCarron E, White JS, Bastian ML A Framework for Biological Criteria for Florida Streams Using Benthic Macroinvertebrates. Journal of the North American Benthological Society 15 (2): Barlocher F Seasonal Variation of Standing Crop and Digestibility of CPOM in a Swiss Jura Stream. Ecology 64(5): Beasley G, Kneale P Assessment of heavy metal and PAH contamination of urban streambed sediments on macroinvertebrates. Water, Air, and Soil Pollution: Focus 4: Bellinger EG, Sigee DC Freshwater Algae, Identification and Use as Bioindicators. USA.Wiley-Blackwell.

116 97 Benke AC Secondary Production As Part of Bioenergetic Theory Contributions From Freshwater Benthic Science. River Research Application 26: Benke AC A modification of the Hynes method for estimating secondary production with particular significance for multivoltine populations. Limnology and Oceanography 24: Benke AC, Huryn AD Secondary Production of Macroinvertebrates. Di dalam : Hauer FR, Lamberti GA, editor. Methods in Stream Ecology. Ed ke-2. China. Elsevier. Berra E, Forcella M, Giacchini R, Rossaro B, Parenti P Biomarkers in Caddisfly Larvae of The Species Hydropsyche Pellucidula (Curtis, 1834) (Trichoptera:Hydropsychidae) Measured in Natural Populations and after Short Term Exposure to Fenitrothion. Bulletin Environmental Contamination and Toxicology 76: Bilby RE and Bisson PA Function and distribution of large woody debris, In: S. KANTOR (eds): River ecology and management. Lessons from the Pacific Coastal Ecoregion. Springer. USA. p: Bisthoven LJ, Postma JP, Parren P, Timmermans KR, Ollevier F Relation between Heavy Metal in Aquatic Sediments in Chironomus larvae of Belgian Lowland Rivers and their Morphological Deformities. Canadian Journal Fish and Aquaic Science 55: Blinn DW, Ruiter DE Caddisfly (Trichoptera) Assemblages Along Major River Drainages In Arizona, Western North American Naturalist 69(3): Blocksom KA, Kurtenbach JP, Klemm DJ, Fulk FA, Cormier SM Development and Evaluation of The Lake Macroinvertebrate Integrity Index (LMII) For New Jersey Lakes and Reservoirs, Environmental Monitoring and Assessment 77: BPLHD. 2006a. Status Ekologis Sungai Ciliwung, Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Barat. Bandung. Burton JA Sediment Quality Criteria in Use Around The World. Limnology 3:

117 98 Cairns JJ, Dickson KL A Simple Method for The Biological Assessment of The Effects of Waste Discharges on Aquatic Bottom-Dwelling Organisms. Journal Water Pollution Control Federation 43 (5): Camargo JA Toxic Effects of Residual Chlorine on Larvae of Hydropsyche pellucidula (Trichoptera, Hydropsychidae): a Proposal of Biological Indicator. Bulletin Environmental Contamination and Toxicology 47: Canfield TJ, Kimble NE, Grumbaugh WG, Dwyer FJ, Ingersoll CG, Fairchild JF Use of Benthic Macroinvertebrate Community Structure And Sediment Quality Triad to Evaluate Metal Contaminated Sediment in The Upper Clark Fork River, Montana. Environmental Toxicology and Chemistry 13: Carlisle DM, Clements WH Growth and Secondary Production of Aquatic Insects along a Gradient of Zn Contamination in Rocky Mountain Streams. Journal of the North American Benthological Society 22(4): Carter JL, Resh VH After Site Selection and Before Data Analysis: Sampling, Sorting, and Laboratory Procedurs Used in Stream Benthic Macroinvertebrate Monitoring Program by USA State Agencies. Journal of the North American Benthological Society 20(4): CCME Canadian Water Quality Guidelines for the Protection of Aquatic Life: Inorganic Mercury and Methylmercury. Di dalam: Canadian Environmental Quality Guidelines. Canadian Council of Ministers of the Environment. Winnipeg. Chakona A, Phiri C, Day JA Potential for Trichoptera Communities as Biological Indicators of Morphological Degradation in Riverine System. Hydrobiologia 621: Chakrabarty D, Das SK Alteration of Macroinvertebrate Community in Tropical Lentic Systems in Context of Sediment Redox Potential and Organic Pollution. Biological Rhythm Research. 37(3): Chatzinikolaou Y, Dakos V, Lazaridou M Assessing the Ecological Integrity of a Major Transboundary Mediterranean River Based on Environmental Habitat Variables and Benthic Macroinvertebrates

118 99 (Aoos-Vjose River, Greece-Albania). International Review of Hydrobiology 93 (1): Chen TB., Zheng YM, Lei M, Huang ZC, Wu HT, Chen H, Fan KK., Yu K, Wu X, Tian QZ Assessment of Heavy Metal Pollution in Surface Soils of Urban Parks in Beijing, China. Chemosphere 60: Chovanec A, Waringer J Ecological Integrity of River Floodplain Systems Assessment by Dragonfly Surveys Insecta: Odonata. Regulated Rivers: Research and Management 17: Clarke KR, Warwick RM Change Marine Communities: an approach to statistical analysis and interpretation. Ed ke-2. PRIMER-E. Plymouth. Clarke RT, Wright JF, Furse MT, RIVPACS Models for Predicting the Expected Macroinvertebrate Fauna and Assessing the Ecological Quality of Rivers. Ecological Modelling 160: Clements WH Benthic Invertebrate Community Responses to Heavy Metals in The Upper Arkansas River Basin, Colorado. Journal of the North American Benthological Society 13(1): Clifford HF Aquatic Invertebrates of Alberta. Alberta. The University of Alberta Press. Courtney LA, Clements WH Assessing The Influence of Water and Substratum Quality on Benthic Macroinvertebrate Communities in A Metal-Polluted Stream: an Experimental Approach. Freshwater Biology 47: Cox EJ Identification of Freshwater Diatoms from Live Material. London. Chapman & Hall. Cullen PE Conserving Natural Rivers. A Guide For Catchment Managers. River Management Series Part 1. Cooperative Research Centre For Freshwater Ecology. Australian.12 p. Cummins KW, Klug MJ Feeding Ecology of Stream Invertebrates. Annual Review Ecology, Evolution, and Systemmatics 10:

119 100 Dahl J, Johnson RK, Sandin L Detection of Organic Pollution of Streams in Southern Sweden Using Benthic Macroinvertebrates. Hydrobiologia 516: Dean JC, St. Clair RM, Cartwright DI Identification Keys to Australian Families and Genera of Caddis-Fly Larvae (Trichoptera). Identification & Ecology Guide No. 50. Thurgoona. NSW. Dickman M, Brindle I, Benson M Evidence of Teratogens in Sediments of The Niagara River Watershed as Reflected by Chironomid (Diptera: Chironomidae) Deformities. Journal of Great Lakes Research 18(3): Dziock F, Henle K, Foeckler F, Follner K, Scholz M Biological Indicator Systems in Floodplains a Review. International Review of Hydrobiology 91 (4): Eaton, Andrew D, Clesceri, Lenore S, Rice, Eugene W, Greenburg, Arnold E, Franson, Mary Ann H Standard methods for the examination of water and wastewater (19 th Edition), Baltimore, Maryland: American Public Health Association, 1325 p. Fairchild JL, Boyle T, English WR, Rabeni C Effects of Sediment and Contaminated Sediment on Structural and Functional Component of Experimental Stream Ecosystems. Water and Soil Pollution 36: Figueiredo-Barros MP, Leal JF, de A. Esteves F, Rocha AM, Bozelli RL Life cycle, Secondary Production and Nutrient Stock in Heleobia Australis (d Orbigny 1835) (Gastropoda: Hydrobiidae) in a Tropical Coastal Lagoon. Estuarine, Coastal and Shelf Science 69: Geraci CJ, Morse JC New species of Cheumatopsyche (Trichoptera: Hydropsychidae) from North Sulawesi, Indonesia. The Pan-Pacific Entomologist 84(1): 1 8. Gerhardt A, De Bisthoven LJ, Soares AMVM Macroinvertebrtae Response to Acid Maine Drainage: Community Structure and On-line behavioral taoxicity bioassay. Environmental Pollution 130: Gooderham J, Tsyrlin E The Waterbug Book. Collingwood. Victoria. Australia. CSIRO Publishing.

120 101 Graf W, Murphy J, Dahl J, Zamora-Muñoz C, López-Rodríguez MJ Distribution and Ecological Preferences of European Freshwater Organisms. Volume 1. Trichoptera. Pensoft Publishers. Bulgaria. Gurtz ME, Wallace JB Substratum-Production Relationships in Net- Spinning Caddisflies (Trichoptera) in Disturbed and Undisturbed Hardwood Catchments. Journal of the North American Benthological Society 5(3): Hall R Caddisflies. [diakses tanggal 28 Agustus 2012]. Hersey AE, Lamberti GA Stream Macroinvertebrate Communities. Chapter 8. Di dalam: Naiman RJ, Bilby RE, editor. River Ecology and Management Lessons from the Pasific Coastal Ecoregion. New York. Springer. p: Hoffsten P Distribution of Filter-feeding Caddisflies (Trichoptera) and Plankton Drift in a Swedish Lake-outlet Stream. Aquatic Ecology 33: Holzenthal RW Trichoptera. Di dalam: Encyclopedia of Limnology. Netherland. Elsevier Inc. p: Hooda PS, Moynagh M, Svoboda IF, Miller A Macroinvertebrates as Bioindicators of Water Pollution in Streams Draining Dairy Farming Catchments.Chemistry and Ecology 17 (1): Hynes HBN, Coleman MJ A Simple Method of Assessment of The Annual Production of Stream Benthos. Limnology and Oceanography 13: Jacobsen D, Cressa C, Mathooko JM, Dudgeon D Macroinvertebrates: Composition, Life Histories and Prodution. Chapter 4. Di dalam: Dudgeon D, editor. Tropical Stream Ecology. Elsevier Inc. hlm Jin HS, Ward GM Life History and Secondary Production of Glossosoma nigrior Banks (Trichoptera: Glossosomatidae) in Two Alabama Streams with Different Geology. Hydrobiologia 575:

121 102 Katano I, Mitsuhashi H, Isobe Y, Sato H, Oishi T Reach-scale Distribution Dynamics of a Grazing Stream Insect, Micrasema quadriloba Martynov (Brachycentridae, Trichoptera) in Relation to Current Velocity and Peryphyton Abundance. Zoological Science 22: Keckes S, Miettinen JK Mercury as a Marine Pollution. Di dalam: FAO Marine Pollution and Sea Life. England. News Ltd. Keiper JB Biology and Immature Stages of Coexisting Hydroptilidae (Trichoptera) from Northeastern Ohio Lakes. Annual Entomology Society of America 95(5): Kerans BL, Karr JR A Benthic Index of Biotic Integrity (B-IBI) for Rivers of the Tennessee Valley. Ecological Applications 4(4): Kido M, Yustiawati, Syawal MS, Sulastri, Hosokawa T, Tanaka S, Saito T, Iwakuma T, Kurasaki M Comparison of General Water Quality of Rivers in Indonesia and Japan. Environmental Monitoring and Assessment 156: Kirchoff W Water Quality Assessment Based on Physical, Chemical, and Biological Parameters for Citarum River Basin. Bandung. KLH Peran dan Tanggung Jawab Stakeholder dalam Pengelolaan Sungai Ciliwung (Masterplan Pengelolaan Sungai Ciliwung dan Kemajuan Penerapannya). Rakernis. Pusarpedal-KLH. Jakarta. Lenat DR A biotic index for the southeastern United States: Derivation and list of tolerance values, with criteria for assigning water quality ratings. Journal of the North American Benthological Society 12: Leslie HA, Pavluk TI, Bij De Vaate A, Kraak MHS Triad Assessment of The Impact of Chromium Contamination on Benthic Macroinvertebrates in The Chusovaya River (Urals, Russia), Archives of Environmental Contamination and Toxicology 37: Lin JG, Chen SY, Su CR Assessment of sediment toxicity by metal speciation in different particle-size fractions of river sediment. Water Science and Technology 47 (7 8):

122 103 Lugthart GJ, Wallace JB Disturbance on Benthic Functional Structure and Production in Mountain Streams. Journal of the North American Benthological Society 11 (2): Luoma SN, Carter JL Effect of Trace Metal on Aquatic Benthos. Di dalam: Newman MC, McIntosh AW, editor. Metal Ecotoxicology: Concepts and Applications. Chelsea. Michigan. Lewis Publishers. p: Luoma SN Prediction of Metal Toxicity in Nature from Bioassay: Limitation and Research Needs. Di dalam: Tessier A.and Tuner DR., editor: Metal Speciation and Bioavailability in Aquatic System. John Wiley & Sons Ltd. p: Lydy MJ, Strong AJ, Simon TP Development of an Index of Biotic Integrity for the Little Arkansas River Basin, Kansas. Archieves of Environmental Contamination and Toxicology. 39: Mackay RJ Life Cycles of Hydropsyche riola, H. slossonae and Cheumatopsyche pettiti (Trichoptera: Hydropsychidae) in a Spring-Fed Stream in Minnesota. American Midland Naturalist 115 (1): Mackay RJ, Wiggins GB Ecological diversity in Trichoptera. Annual Review of Entomology 24: Marchant R, Hehir G The Use of AUSRIVAS Predictive Models to Assess The Response of Lotic Macroinvertebrates to Damsb in South-East Australia. Freshwater Biology 47: Marchant R, Hehir G Growth, Production and Mortality of Two Species of Agapetus (Trichoptera: Glossosomatidae) in The Acheron River, Southeast Australia. Freshwater Biology 42: Merrit RW, Cummins KW An Introduction to The Aquatic Insects of North America, Ed ke-3. Dubuque. Kendall/Hunt Publishing Company. Minshall GW Aquatic Insect-Substratum Relationships. Chapter 12. Ecology of Aquatic Insects. Greenwood Pub Group. p: Mwamburi J Variations in Trace Elements in Bottom Sediments of Major Rivers in Lake Victoria s Basin, Kenya. Lakes & Reservoirs: Research and Management 8: 5 13.

123 104 Niimi AJ, Kissoon GP Evaluation of Critical Body Burden Concept Based on Inorganic and Organic Mercury Toxicity to Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss). Archieved Environmental Contamination and Toxicology 26: Norris RH, Thoms MC What Is River Health?. Freshwater Biology 41: Novotny V, Olem H Water Quality Prevention, Identification, and Management of Diffuse Pollution. Van Nostrand Rein-hold. USA. 1054p. Odum EP Fundamentals of Ecology. Third Edition. WB Sounder Co. Philadelphia. 574p Oscoz J, Galicia D, Miranda R Identification Guide of freshwater Macroinvertebrates of Spain. Springer. New York. 148p Paul MJ, Meyer JL Stream in Urban Landscape. Annual Review Ecology System 32: Pennuto CM, Lane OP, Evers DC, Taylor RJ, Loukmas J Mercury in the Northern Crayfish, Orconectes virilis (Hagen), in New England, USA. Ecotoxicology, 14: Pescador ML. Rasmusen AK, Harris SC Identification Manual for The Caddisfly (Trichoptera) Larvae of Florida. Tallahassee. Florida. Poepperl R. 2000, The Filter Feeders Hydropsyche angustipennis and H.pellucidula (Trichoptera: Hydropsychidae) in a Northern German Lowland Stream: Microdistribution, Larval Development, Emergence Pattern, and Secondary Production. Limnologica 30: PSDA Status Mutu Air Sungai di Indonesia. Pusat Litbang Sumberdaya Air. Jakarta. Quinn JM, Davies-Colley RJ, Hickey CW, Vickers ML, Ryan PA Effects of Clay Discharges on Stream, 2. Benthic Invertebrates. Hydrobiologia 248: Redell LA, Gall WK., Ross RM, Dropkin DDS Biology of The Caddisfly Oligostomis ocelligera (Trichoptera: Phryganeidae) Inhabiting Acidic

124 105 Mine Drainage in Pennsylvania. Northeastern Naturalist 16(2): Roberge JJ, Mc Cabe DJ The Effects of land use on Phosphorus and Benthic macroinvertebrates in Lake Champlain Basin. Saint Michaele College. USA Robertson-Bryan Inc ph Requirements of Freshwater Aquatic Life. California. USA.15p. Ross DH, Wallace JB Longitudinal Patterns of Production, Food Consumption, and Seston Utilization by Net-Spinning Caddisflies (Trichoptera) in A Southern Appalachian Stream (USA). Holarctic Ecology 6: Sanchez RM, Hendricks AC Life history and secondary production of Cheumatopsyche spp. in a small Appalachian stream with two different land uses on its watershed. Hydrobiologia 354: Scroeder WH, Munthe J Atmospheric Mercury an Overview. Atmospheric Environment 32 (5): Shakla SK, Srivastava PR Introduction: in Water Pollution and Toxicology. Commonwealth Publishers New Delhi. p:1-47. Shieh SH, Ward JV, Kondratieff BC Energy Flow through Macroinvertebrates in a Polluted Plains Stream. Journal of the North American Benthological Society 21(4): Singer GA, Battin TJ Anthropogenic Subsidies Alter Stream Consumer- Resource Stoichiometry, Biodiversity, and Food Chains. Ecological Applications 17(2): Skinner KM, Bennett JD Altered Gill Morphology in Benthic Macroinvertebrates from Mercury Enriched Streams in the Neversink Reservoir Watershed, New York. Ecotoxicology 16: Smoley CK Methods for The Determination of Metals in Environmental Samples US-EPA.Cincinnati.Ohio. Sola C, Prat N Monitoring Metal and Metalloid Bioaccumulation in Hydropsyche (Trichoptera, Hydropsychidae) to Evaluate Metal

125 106 Pollution in a Mining River. Whole Body Versus Tissue Content. Science of the Total Environment 359: Synder CD, Hendricks AC Effect of Seasonally Changing Feeding Habits on Whole-animal Mercury Concentrations in Hydropsyche morosa (Trichoptera: Hydropsychidae). Hydrobiologia 299: Stuijfzand SC, Engels S, Van Ammelrooy E, Jonker M Caddisflies (Trichoptera: Hydropsychidae) Used for Evaluating Water Quality of Large European Rivers. Archieve of Environmental Contamination and Toxicology 36: Takao A, Negishi JN, Nunokawa M, Gomi T, Nakahara O Potential Influences of A Net-Spinning Caddisfly (Trichoptera: Stenopsyche Marmorata) on Stream Substratum Stability in Heterogeneous Field Environments. Journal of the North American Benthological Society 25(3): Ter Braak CJF, Verdonschot PFM Canonical Correspondence Analysis and Related Multivariate Methods in Aquatic Ecology, Aquatic Science 57 (3): Timm H, Ivask M, Möls T Response of Macroinvertebrates and Water Quality to Long-Term Decrease in Organic Pollution in Some Estonian Streams During Hydrobiologia 464: Türkmen G, Kazanci N Applications of Various Diversity Indices to Benthic Macroinvertebrate Assemblages in Streams of a Natural Park in Turkey. BALWOIS: Urbanic G, Toman MJ, Krusnik C Microhabitat Type Selection of Caddisfly Larvae (Insecta: Trichoptera) in A Shallow Lowland Stream. Hydrobiologia 541: US-EPA Final Report on Acute and Chronic Toxicity of Nitrate, Nitrite, Boron, Manganese, Fluoride, Chloride and Sulfate to Several Aquatic Animal Species. EPA 905-R US-EPA Rapid Bioassessment Protocols for Use in Wadeable Streams and Rivers. EPA 841-B U.S. EPA. Washington DC. US-EPA Quality Criteria for Water, EPA/440/5-86/001, Washington DC.

126 107 Vannote RL., Minshall GW, Cummins KW, Sedell JR, Cushing CE The River Continuum Concept. Canadian Journal Fish Aquatic Science 37: Vuori K, Kukkonen JV Metal Concentrations in Hydropsyche pellucidula Larvae (Trichoptera, Hydropsychidae) in Relation to The Anal Papillae Abnormalities and Age of Exocuticle. Water Research 30 (10): Vuori K, Kukkonen JV Hydropsychid (Trichoptera, Hydropsychidae) Gill Abnormalities as Morphological Biomarkers of Stream Pollution, Freshwater Biology 47: Warwick WF Morphological Abnormalities in Chironomidae (Diptera) Larva as Measures of Toxic Stress in Freshwater Ecosystems: Indexing Antennal Deformities in Chironomus Meigen. Canadian Jounal Fish and Aquatic Science 42: Washington HG Diversity, Biotic, and Similary Indices. Water Research 18: Welch S Limnology. Mac Graw-Hill Inc. New York. US. 318p Wiederholm T Incidence of Deformed Chironomid Larvae (Diptera: Chironomidae) in Swedish Lakes. Hydrobiologia 109: Wiggins GB Trichoptera Families, Di dalam: Merrit RW, Cummins KW, editor. An Introduction to the Aquatic Insects of North America. Ed ke- 3. Kendall Hunt Publishing Company. Williams DD Aquatic Habitat of canada and Their Insects. Memoirs of The Entomologyl Society of Canada. 108: Winner RW, Bossel MW, Farrell MP Insect Community Structure as an Index of Heavy Metal Pollution in Lotic Ecosystems. Canadian Jounal Fish and Aquatic Science 37: Wood PJ, Armitage PD Biological effects of fine sediment in the lotic environment., Environmental Management 21(2):

127 Lampiran 1. Isian penilaian yang digunakan dalam penghitungan indeks habitat Penilaian habitat untuk bagian jeram (riffle) dan lubuk (pool). Nama tempat : Tanggal: / / 02 Kunjungan ke : Kode tempat : Nama Team : Kategori Total Score : Optimal Sub Optimal Marginal Buruk/ Poor 1. Substrat epifaunal/ ketersediaan penutup (Gradien tinggi dan rendah) Lebih besar dari 70% (50% untuk aliran stream yang bergradien rendah) dari substrat yang diinginkan guna kolonisasi epifauna dan perlindungan ikan; campuran dari potongan daun, kayu terendam, kerikil, atau habitat lainnya yang stabil dan tahap yang mengijinkan potensi terbentuknya kolonisasi secara penuh (Misal potongan kayu yang bukan berasal dari jatuhan baru dan bukan 40-70% (30-50% untuk gradien stream yang bergradien rendah) campuran dari habitat stabil, cukup baik untuk potensi kolonisasi secara penuh, cukupnya habitat untuk pemeliharaan populasi, adanya substrat tambahan dalam bentuk jatuhan baru tetapi belum menyajikan untuk kolonisasi % (10-30% untuk rendahnya gradien stream) campuran dari habitat stabil, ketersediaan habitat kurang dari yang diinginkan, substrat seringkali mengalami gangguan atau hilang Kurang dari 20 % (10% untuk rendahnya gradien stream) habitat stabil, hilangnya habitat secara jelas, substrat tidak stabil atau hilang

128 109 dari transient) SCORE: a. Banyaknya Batu yang tertanam (Gradien tinggi) Gravel, coble dan boulder antara 0-25% dan dikelilingi oleh sedimen halus, lapisan oleh coble menyediakan ruang untuk niche Gravel, coble dan boulder antara 25% - 50% dan dikelilingi oleh sedimen halus Gravel, coble dan boulder antara 50-75% dikelilingi oleh sedimen halus Gravel, coble dan boulder lebih dari 75% dikelilingi oleh sedimen halus SCORE: b. Substrat Pool/ genangan (Gradien rendah) Campuran material substrat dengan gravel dan pasir yang merata, material akar dan vegetasi submerged ada secara umum Campuran dari pasir halus, lumpur dan tanah liat: lumpur mungkin dominan, bbrp material akar dan submerged vegetasi ada. Seluruhnya lumpur, tanah liat atau dasar pasir, sedikit atau tidak ada material akar: tidak ada tumbuhan submerged. Lempung yang mengeras atau batuan dasar, tidak ada material akar atau tumbuhan submerged. SCORE: a. Kecepatan/regime kedalaman (Gradien Tinggi) Seluruh keempat strata /regime kecepatan/ kedalaman ada (lambat dalam, lambat dangkal, Hanya tiga dari empat rezim ada (jika cepat dangkal tidak ada, score lebih rendah drpd jika Hanya 2 dari empat habitat rezim ada (jika cepat dangkal atau lambat dangkal tidak ada, Didominasi oleh satu rezim kecepatan / kedalaman (biasanya lambat dalam).

129 110 cepat dalam dan cepat dangkal), lambat : < 0,3m/det, dalam > 0,5 m. regime lainnya tidak ada). maka nilainya rendah) SCORE: b. variabilitas Pool (Gradien rendah) Gabungan yang merata antara besar dangkal, besar dalam, kecil dalam, kecil dangkal. Mayoritas pool adalah besar dalam dan sangat sedikit yang dangkal Pool dangkal lebih banyak daripada pool dalam Mayoritas adalah pool kecil dangkal/ atau pool tidak ada SCORE: Endapan sedimen (Gradien tinggi dan rendah) Sedikit atau tidak ada perluasan pulau-pulau atau gosong pasir dan kurang dari 5% (kurang dari 20% untuk stream pada gradien rendah), bagian dasar dipengaruhi oleh endapan sedimen Beberapa peningkatan pembentukan gosong pasir baru, terutama dari gravel, pasir atau sedimen halus; 5-30% (20-50% untuk gradien rendah) bagian dasar dipengaruhi oleh endapan tipis pada bagian pool Terdapat cukupnya endapan gravel, pasir, sedimen halus pada gosong pasir baru dan lama; 30-50% (50-80% untuk gradien rendah) pada bagian dasarnya terdapat endapan sedimen. Endapan sedimen pada daerah yang terdapat halangan, penyempitan, dan belokan, Endapan sedang Endapan berat oleh meterial halus; terdapat peningkatan pengembangan gosong pasir; lebih dari 50% pada bagian dasar seringkali berubah; pool hampir tidak ada karena endapan sedimen yang substansial.

130 111 pada bagian pool SCORE: Status aliran saluran sungai (Gradien tinggi dan rendah) Air mencapai pada bagian dasar kedua tepi dan hanya sedikit area pada substrat saluran yang tampak. Air mengisi lebih dari 75% saluran yang ada, atau kurang dari 25% dari substrat saluran yang tampak Air mengisi 25-75% dari saluran yang ada ; dan/ atau substrat riffle sebagian besar tampak, Sangat sedikit air pada saluran dan sebagian besar berupa standing pool SCORE: Perubahan saluran (Gradien tinggi dan rendah) Aktivitas chanelisasi atau pengerukan tidak ada atau minimal, stream dengan pola normal Beberapa chanelisasi ada, biasanya pada daerah perbatasan jembatan; bukti dari chaneklisasi pada waktu lampau adalah adanya aktivitas pengerukan (lebih dari 20 tahun yang lalu) mungkin ada, namun chanelisasi yang baru tidak ada. Chanelisasi mungkin meluas secara ekstensive; pembentukan tanggul baru terdapat pada kedua tepinya atau struktur tepian landai terdapat pada di kedua tepinya; dan 40-80% dari stream reach mengalami chanelisasi dan gangguan. Bagian tepi dari sungai mengalami penturapan; lebih dari 80% dari stream reach mengalami chanelisasi dan gangguan, habitat dalam stream mengalami perubahan yang sanagt besar atau hilang sama sekali. SCORE:

131 112 7a. frekuensi riffle atau kelokan (Gradien tinggi) Terdapatnya riffle relatif sering, rasio jarak antara riffle dibagi dengan lebar stream < 7: 1 (biasanya 5 sampai 7); habitat bermacam-macam dan merupakan kunci. Pada stream dimana rifflenya continue penempatan boulder atau rintangan besar alami lainnya adalah penting. Terdapat riffle tidak terlalu sering; jarak antara riffle dibagi dengan lebar stream antara 7-15 Kadang-kadang riffle atau kelokan; kontur dasar menyediakan bbrp habitat; jarak diantara riffle dibagi dengan lebar stream antara Biasanya seluruh permukaan airnya datar atau riffle dangkal; habitat miskin; jarak diantara riffle dibagi dengan lebar stream > 25 SCORE: b. Sinuosity saluran (Gradien rendah) Kelokan dalam stream meningkatkan panjang stream 3-4 kali lebih panjang daripada apabila hanya merupakan garis lurus (ctt; anyaman saluran dianggap normal pada daerah paparan pesisir, dan hamparan lain di dataran rendah Kelokan dalam stream meningkatkanpanjang stream 2-3 kali lebih panjang daripada apabila hanya merupakan garis lurus Kelokan dalam stream meningkatkanpanjang stream 1-2 kali lebih panjang daripada apabila hanya merupakan garis lurus Saluran lurus; jalan air sudah mengalami chanelisasi untuk jarak yang cukup jauh

132 113 parameter ini tidak mudah golongkan pada daerah daerah tsb SCORE: Stabilitas pinggir sungai (score untuk masing-masing pinggiran) untuk gradien rendah dan tinngi) Ctt; tentukan tepi kanan/kiri dengan menghadap kearah downsteram. Tepian stabil, bukti erosi atau kerusakan tepian tidak ada atau minimal; potensi untuk terjadinya masalah pada masa yang akan datang kecil; < 5% dari pinggir sungai mengalami gangguan. Kestabilan sedang, jarang, area kecil yang mengalami erosi kebanyakan telah mengalami pemulihan, 5-30% dari pinggir sungai yang telah mengalami erosi. Ketidakstabilan sedang, 30-60% dari tepian mengalami erosi, memiliki potensi erosi yang tinggi pada saat banjir. Tidak stabil, banyak daerah telah mengalami erosi, daerah baru terbentuk sepanjang bagian lurus dan kelokan sungai, penggerusan tepian tampak nyata, dari tepian mengalami penggerusan oleh erosi. SCORE: Tepi Kanan SCORE: Tepi Kiri Perlindungan oleh vegetasi (score masing-masing tepi) Ctt; tentukan tepi Lebih dari 90% permukaan tepian sungai dan zona riparian ditumbui oleh tumbuhan asli meliputi pohon, 70-90% permukaan tepian sungai dan zona riparian ditumbui oleh tumbuhan asli, namun terdapat satu kelas yang 50-70% dari pemukaan tepian ditutupi oleh vegetasi; gangguan tampak jelas, jalan setapak atau seperti < dari 50% dari permukaan tepian ditumbui oleh vegetasi; gangguan pada tumbuhan tepian sungai sangat

133 114 kanan/kiri dengan menghadap kearah downsteram.( untuk gradien tinggi dan rendah) semak, macrophyta tak berkayu; kerusakan vegetasi yang disebabkan oleh grazing atau pemotongan minimal atau tidak ada; sebagian besar tanaman tumbuh secara alami. tidak terwakili secara baik; terdapat bukti gangguan namun tidak terlalu mempengaruhi potensi pertumbuhan tanaman, lebih dari setengah bagian didominasi oleh semak tanaman yang dibabat pendek secara umum terdapat, kurang dari setengah bagian ditumbui oleh semak. tinggi, tumbuhan telah berubah menjadi tumbuhan semak setinggi 5 cm atau kurang. SCORE: Tepi Kanan SCORE: Tepi Kiri Lebar zone vegetasi riparian (Untuk gradien tinggi dan rendah) Ctt: Score untuk masing- masing pinggir riparian Lebar dari zone riparian > 18 m; aktivitas manusia (mis: pertanian, pembangunan jalan, pembukaan lahan) tidak mempengaruhi zone tersebut. Lebar dari zone riparian m; aktivitas manusia memberikan dampak minimal pada zone tersebut. Lebar dari zone riparian 6 12 m; aktivitas manusia memberikan pengaruh yang cukup besar pada zone tersebut. Lebar dari zone riparian < 6 m; sedikit atau tidak ada vegetasi riparian yang disebabkan oleh aktivitas aktivitas manusia SCORE: Tepi Kanan SCORE: Tepi Kiri

134 115 Lampiran II. Foto situasi lokasi pengamatan. (A) (B) Foto situasi lokasi yang berfungsi sebagai situs rujukan. A). Stasiun Gunung Mas I. B). Stasiun Gunung Mas II. Foto situasi lokasi situs uji (Stasiun III Kampung Pensiunan) Foto situasi lokasi situs uji (Stasiun IV Kampung Jog-jogan)

135 116 Foto situasi lokasi situs uji (Stasiun V Katulampa) Foto situasi lokasi situs uji (Stasiun VI Cibinong)

136 117 Lampiran III Rerata kelimpahan total perifiton (sel/cm 2 ) No Taksa Stasiun Pengamatan Achnanthes Achnanthidium Actinella Amphora Aulacodiscus Aulacoseira Cyclotella Cymbella aspera Cymbella tumida Diatomella Diploneis Encyonema Epithemia Fragilaria capucina Fragilaria crotonensis Fragilariforma viriscent Frustullia vulgaris Gomphoneis Gomphonema Gomphonema parvulum Gyrosigma Hyalodiscus Melosira dickiei Melosira varians Meridion circulare Naviculla margalithi Naviculla radiosa Naviculla subtilissima Neidium Nitzschia Nitzschia cf intermedia Nitzschia dissipata Nitzschia gracilis Nitzschia linearis Pinnularia cf gibba Pinnularia viridis Rhoicosphenia Staurosira cf anceps

137 39 Stephanodiscus Surirella Surirella angusta Synedra acus Synedra ulna Tabellaria Ankistrodesmus Closterium Coelastrum Cosmarium Desmidinium Gongrosira Gonium Hydrodictyon Klebsormidium Microspora Oedogonium Oocystis Pediastrum duplex Pediastrum tetras Scenedesmus quadricauda Selenastrum Sphaerocystis Spirogyra Tetraspora Ulothrix westella Anabaena Aphanocapsa Calothrix Chroococcus Gleocapsa Gomphosphaeria Oscillatoria agardhii Oscillatoria brevis Oscillatoria princeps Oscillatoria rubescens Phormidium Rivularia Synechococcus Talyphothrix Hildenbrandia Tribonema viride

138 82 Vaucheria Ceratium Peridinium Jumlah

139 Lampiran IV. Komposisi dan kelimpahan rerata (idv/m 2 ) dari larva Trichoptera di Sungai Ciliwung No Famili Taksa St. 1 St. 2 St. 3 St. 4 St. 5 St. 6 1 Helicophidae Alloecella sp Philopotamidae Chimarra sp Philopotamidae Genus Glossosomatidae Agapetus sp Glossosomatidae Genus Hydropsychidae Diplectrona sp Hydropsychidae Cheumatopsyche sp Hydropsychidae Genus Hydropsychidae Macrostemum sp Hydroptilidae Orthotrichia sp Helicopsychidae Helicopsyche sp Psychomyiidae Tinodes sp Ecnomidae Ecnomina sp Ecnomidae Ecnomus sp Polycentropodidae Neureclipsis sp Antipodoeciidae Antipodoecia sp Helicophidae Genus Hel C Hydrobiosidae Apsilochorema sp Hydrobiosidae Ulmerochorema sp Calocidae Caenota sp Calocidae Caenota sp Lepidostomatidae Lepidostoma sp

140 23 Leptoceridae Triplexa sp Leptoceridae Setodes sp Tasimiidae Tasiagma sp Calamoceratidae Anisocentropus sp Jumlah

141 Lampiran V. Hubungan lebar kepala dengan berat tubuh larva Cheumatopsyche sp. Pada masing-masing stasiun pengamatan Gambar Grafik hubungan lebar kepala dan berat tubuh larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Gunung Mas I Gambar Grafik hubungan lebar kepala dan berat tubuh larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Gunung Mas II

142 123 Gambar Grafik hubungan lebar kepala dan berat tubuh larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Kampung Pensiunan Gambar Grafik hubungan lebar kepala dan berat tubuh larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Kampung Jog-jogan.

143 124 Gambar Grafik hubungan lebar kepala dan berat tubuh larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Katulampa. Gambar Grafik hubungan lebar kepala dan berat tubuh larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Cibinong.

144 125 Lampiran VI Penghitungan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche sp. di masing-masing stasiun pengamatan Tabel perhitungan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Gunung Mas I. N/m2 W Δ N N x W W rata = (w1+w2)/2 W rata. Δ N W rata. Δ N x 6 Δ W N rata x Δ W Instar Instar Instar Instar Instar pupa rata-rata biomassa Konversi biomassa dalam 1 tahun Produksi Konversi produksi ke tahun cohort P/B 33.9 P/B tahunan Produksi terkoreksi 5.93

145 126 Tabel perhitungan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Gunung Mas II. N/m2 W Δ N N x W W rata = (w1+w2)/2 W rata. Δ N W rata. Δ N x 6 Δ W N rata x Δ W Instar Instar Instar Instar Instar pupae rata-rata biomassa Konversi biomassa dalam 1 tahun Produksi 2.50 Konversi produksi 3.75 ke 1 tahun cohort P/B 61.9 P/B tahunan Produksi terkoreksi

146 127 Tabel perhitungan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Kampung Pensiunan N/m2 W Δ N N x W W rata = (w1+w2)/2 W rata. Δ N W rata. Δ N x 6 Δ W Instar Instar Instar Instar Instar pupae Rata-rata Biomassa Konversi biomassa dalam 1 tahun Produksi 4.28 Konversi produksi ke 1 tahun cohort P/B 64.1 P/B tahunan 85.5 Produksi terkoreksi N rata x Δ W

147 Tabel perhitungan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Kampung Jog-jogan N/m2 W Δ N N x W W rata = (w1+w2)/2 W rata. Δ N W rata. Δ N x 6 Δ W N rata x Δ W Instar Instar Instar Instar Instar pupae Rata-rata Biomassa Konversi biomassa dalam 1 tahun Produksi 8.73 Konversi produksi ke 1 tahun cohort P/B 63.7 P/B tahunan Produksi terkoreksi 26.19

148 129 Tabel perhitungan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Katulampa N/m2 W Δ N N x W W rata = (w1+w2)/2 W rata. Δ N W rata. Δ N x 6 Δ W N rata x Δ W Instar Instar Instar Instar Instar pupae Rata-rata Biomassa Konversi biomassa dalam 1 tahun Produksi 2.72 Konversi produksi 4.07 ke 1 tahun cohort P/B 12.1 P/B tahunan 24.3 Produksi terkoreksi

149 130 Tabel perhitungan produktivitas sekunder larva Cheumatopsyche sp. di Stasiun Cibinong N/m2 W Δ N N x W W rata = (w1+w2)/2 W rata. Δ N W rata. Δ N x 6 Δ W N rata x Δ W Instar Instar Instar Instar Instar pupae Rata-rata Biomassa Konversi biomassa dalam 1 tahun Produksi Konversi produksi ke 1 tahun cohort P/B 93.4 P/B tahunan Produksi terkoreksi

150 131 Lampiran VII. Metrik biologi dari Larva Trichoptera dalam mencerminkan gangguan pada Sungai Ciliwung Jumlah skor SIGNAL Jumlah Kekayaan Taksa % kelimpahan dominansi Jumlah taksa sensitif Stasiun Pengamatan Median 25%-75% Min-Max Stasiun Pengamatan Median 25%-75% Min-Max Stasiun Pengamatan Median 25%-75% Min-Max Stasiun Pengamatan Median 25%-75% Min-Max Indeks SIGNAL Stasiun Pengamatan Kelimpahan Total (idv/m 2 ) Median 25%-75% Min-Max Stasiun Pengamatan Median 25%-75% Min-Max % Kepadatan Hydropsychidae Stasiun Pengamatan Median 25%-75% Min-Max Jumlah Taksa Toleran Stasiun Pengamatan Median 25%-75% Min-Max

151 , Jumlah Taksa Fakultatif Jumlah Taksa Hydropsychidae 2,0 1,8 1,6 1,4 1,2 1,0 % Kepadatan Shredder % Kepadatan Filtering Collector Stasiun Pengamatan Median 25%-75% Min-Max 0, Stasiun Pengamatan Median 25%-75% Min-Max Stasiun Pengamatan Median 25%-75% Min-Max Stasiun Pengamatan Median 25%-75% Min-Max

152 133 Lampiran VIII. Nilai rerata variabel kualitas fisik dan kimia Sungai Ciliwung. Nilai dalam kurung merupakan nilai kisaran terendah dan tertinggi. Parameter Suhu air ( o C) 18,10 Kecepatan arus (m/det) Distribusi partikel - % Kerikil - % Pasir - % Clay dan lanau Stasiun Pengamatan St. 1 St. 2 St. 3 St. 4 St.5 St.6 (18-18,3) 1,27 (0,99-1,96) 82,740 (79,3-86,7) 16,84 (12,5-20,8) 0,421 (0,09-0,85) 19 (18,7-19,5) 1,31 (0,94-1,54) 55,1 (49,5-60,6) 43,32 (8,58-49,27) 1,58 (0,84-3,05) 19,69 (18,6-20,6) 0,98 (0,8-1,6) 53,34 (50,7-56,5) 45,95 (3,38-49,29) 0,716 (0,04-1,83) 20,49 (19,7-21,3) 0,67 (0,5-0,82) 6,44 (5,03-7,5) 91,75 (89,27-93,18) 1,81 (0,71-3,50) 25,38 (23,8-26,4) 0,51 (0,5-0,54) 9,88 (8,42-11,9) 89,41 (86,98-90,83) 0,72 (0,04-1,46) 27,10 (25,6-28,9) 0,51 (0,5-0,6) 2,23 (1,07-3,7) 93,42 (93,29-95,28) 4,35 (1,81-7,24) Turbiditas (NTU) 4,44 (3,87-6,05) Konduktivitas 61,63 (µs/cm 2 ) (61-63,3) ph air 6,83 (6,5-7) Oksigen terlarut (mg/l) 8,10 (7,7-8,7) COD (mg/l) 5,1 (4,04-5,8) Amonium (mg/l) 0,01 (0,001-0,03) N-Nitrat (N-NO 3 ) 0,42 (0,13-0,59) Ortofosfat (O-PO 4 ) 0,06 (0,02-0,11) Kesadahan (mg/l 17,84 setara CaCO 3 ) (6,19-23,8) Seston - C (mg/l) 0,25 (0,22-0,28) - N (mg/l) 0,03 (0,03-0,04) Hg di air (ppb) 0,074 (0,03-0,15) Hg di sedimen (ppb) 7,215 Hg di trichoptera (ppm) CPOM (gr berat kering) TOM (mg/l) Luas jaring (mm 2 ) (4,56-11,9) 0,13 (0,11-0,14) 101,63 (65, ) 4,16 (3,28-5,74) 0,30 (0,23-0,47) 5,83 (4,9-6,37) 91,00 (85,8-92,5) 6,80 (6,5-7) 8,01 (7,5-8,5) 5,88 (5,01-7,8) 0,01 (0,001-0,02) 0,60 (0,32-0,72) 0,04 (0,001-0,13) 19,58 (7,88-32,23) 0,24 (0, ) 0,03 (0,02-0,04) 0,250 (0,21-0,4) 10,481 (5,98-15,63) 0,19 (0,17-0,20) 93,1 (63,2-132,1) 4,61 (3,75-5,71) 0,17 (0,08-0,4) 13,87 (12,3-16) 100,20 (99,4-101) 6,29 (6-6,5) 7,58 (7,1-8,5) 15,32 (14,08-16,3) 0,06 (0,022-0,12) 1,17 (0,65-1,72) 0,10 (0,03-0,13) 26,12 (13,43-40,3) 0,31 (0,0,29-0,31) 0,05 (0,04-0,05) 0,648 (0,57-0,77) 50,130 (65,28-71,4) 0,24 (0,21-0,28) 54,9 (41,81-68,2) 5,12 (3,30-6,28) 0,09 (0,1-0,08) 25,86 (24,32-27,8) 195,54 (193,1-196,7) 6,09 (6-6,5) 7,58 (7,2-7,8) 17,902 (15,9-20,32) 0,28 (0,216-0,779) 1,69 (0,75-3,57) 0,33 (0,11-0,5) 28,60 (11,28-57,47) 0,35 (0,33-0,405) 0,06 (0,06-0,07) 0,922 (0,8-1,01) 64,337 (51,22-89,47) 0,27 (0,29-0,26) 20 (12,63-30,92) 7,46 (5,30-9,71) 0,09 (0,09-0,07) 29,77 (28,32-31) 226,13 ( ) 6,26 (6-6,8) 6,39 (6,27-6,56) 27,91 (21,57-29,58) 0,98 (0,586-1,337) 4,17 (1,56-5,57) 0,39 (0,27-0,8) 36,80 (12,66-59,45) 0,46 (0,43-0,49) 0,07 (0,06-0,07) 1,150 (0,92-1,27) 69,928 (41,59-97,3) 0,32 (0,3-0,35) 13,77 (10,82-25,65) 9,75 (7,92-12,56) 0,07 (0,09-0,05) 32,30 (28,6-34,71) 252,38 ( ) 6,95 (6-7,6) 6,4 (6,25-6,83) 36,22 (23,55-51,49) 0,92 (0,967-1,021) 8,57 (3,78-20,58) 0,50 (0,37-0,66) 30,7 (10,3-61,47) 0,59 (0,52-0,62) 0,08 (0,07-0,09) 2,34 (1,5-3,55) 80,58 (56,46-125,3) 0.4 (0,32-0,40) 9,4 (6,93-10,94) 11,77 (9,42-14,27) 0,05 (0,06-0,04)

153 134 Lampiran IX Foto larva Cheumatopsyche sp. dan Apsilochorema sp. (A) (B) Foto larva Cheumatopsyche sp. (A) dan Apsilochorema sp.(b)

154 108 Lampiran 1. Isian penilaian yang digunakan dalam penghitungan indeks habitat Penilaian habitat untuk bagian jeram (riffle) dan lubuk (pool). Nama tempat : Tanggal: / / 02 Kunjungan ke : Kode tempat : Nama Team : Kategori Total Score : Optimal Sub Optimal Marginal Buruk/ Poor 1. Substrat Kurang dari 20 % (10% epifaunal/ untuk rendahnya gradien ketersediaan stream) habitat stabil, penutup hilangnya habitat secara (Gradien tinggi jelas, substrat tidak stabil dan rendah) atau hilang Lebih besar dari 70% (50% untuk aliran stream yang bergradien rendah) dari substrat yang diinginkan guna kolonisasi epifauna dan perlindungan ikan; campuran dari potongan daun, kayu terendam, kerikil, atau habitat lainnya yang stabil dan tahap yang mengijinkan potensi terbentuknya kolonisasi secara penuh (Misal potongan kayu yang bukan berasal dari jatuhan baru dan bukan dari transient) 40-70% (30-50% untuk gradien stream yang bergradien rendah) campuran dari habitat stabil, cukup baik untuk potensi kolonisasi secara penuh, cukupnya habitat untuk pemeliharaan populasi, adanya substrat tambahan dalam bentuk jatuhan baru tetapi belum menyajikan untuk kolonisasi % (10-30% untuk rendahnya gradien stream) campuran dari habitat stabil, ketersediaan habitat kurang dari yang diinginkan, substrat seringkali mengalami gangguan atau hilang SCORE:

155 109 2b. Substrat Pool/ genangan (Gradien rendah) Campuran material substrat dengan gravel dan pasir yang merata, material akar dan vegetasi submerged ada secara umum Campuran dari pasir halus, lumpur dan tanah liat: lumpur mungkin dominan, bbrp material akar dan submerged vegetasi ada. Seluruhnya lumpur, tanah liat atau dasar pasir, sedikit atau tidak ada material akar: tidak ada tumbuhan submerged. Lempung yang mengeras atau batuan dasar, tidak ada material akar atau tumbuhan submerged. SCORE: a. Seluruh keempat strata /regime Hanya tiga dari empat rezim Hanya 2 dari empat habitat Didominasi oleh satu rezim Kecepatan/regime kecepatan/ kedalaman ada ada (jika cepat dangkal tidak rezim ada (jika cepat dangkal kecepatan / kedalaman kedalaman (lambat dalam, lambat dangkal, ada, score lebih rendah drpd atau lambat dangkal tidak ada, (biasanya lambat dalam). (Gradien Tinggi) cepat dalam dan cepat dangkal), jika regime lainnya tidak ada). maka nilainya rendah) lambat : < 0,3m/det, dalam > 0,5 m. SCORE: b. variabilitas Pool (Gradien rendah) Gabungan yang merata antara besar dangkal, besar dalam, kecil dalam, kecil dangkal. Mayoritas pool adalah besar dalam dan sangat sedikit yang dangkal Pool dangkal lebih banyak daripada pool dalam Mayoritas adalah pool kecil dangkal/ atau pool tidak ada SCORE: Endapan sedimen (Gradien tinggi dan rendah) Sedikit atau tidak ada perluasan pulau-pulau atau gosong pasir dan kurang dari 5% (kurang dari 20% untuk stream pada gradien rendah), bagian dasar dipengaruhi oleh endapan sedimen Beberapa peningkatan pembentukan gosong pasir baru, terutama dari gravel, pasir atau sedimen halus; 5-30% (20-50% untuk gradien rendah) bagian dasar dipengaruhi oleh endapan tipis pada bagian pool Terdapat cukupnya endapan gravel, pasir, sedimen halus pada gosong pasir baru dan lama; 30-50% (50-80% untuk gradien rendah) pada bagian dasarnya terdapat endapan sedimen. Endapan sedimen pada daerah yang terdapat halangan, penyempitan, dan belokan, Endapan sedang pada bagian pool Endapan berat oleh meterial halus; terdapat peningkatan pengembangan gosong pasir; lebih dari 50% pada bagian dasar seringkali berubah; pool hampir tidak ada karena endapan sedimen yang substansial. SCORE:

156 Status aliran saluran sungai (Gradien tinggi dan rendah) Air mencapai pada bagian dasar kedua tepi dan hanya sedikit area pada substrat saluran yang tampak. Air mengisi lebih dari 75% saluran yang ada, atau kurang dari 25% dari substrat saluran yang tampak Air mengisi 25-75% dari saluran yang ada ; dan/ atau substrat riffle sebagian besar tampak, Sangat sedikit air pada saluran dan sebagian besar berupa standing pool SCORE: Perubahan saluran (Gradien tinggi dan rendah) Aktivitas chanelisasi atau pengerukan tidak ada atau minimal, stream dengan pola normal Beberapa chanelisasi ada, biasanya pada daerah perbatasan jembatan; bukti dari chaneklisasi pada waktu lampau adalah adanya aktivitas pengerukan (lebih dari 20 tahun yang lalu) mungkin ada, namun chanelisasi yang baru tidak ada. Chanelisasi mungkin meluas secara ekstensive; pembentukan tanggul baru terdapat pada kedua tepinya atau struktur tepian landai terdapat pada di kedua tepinya; dan 40-80% dari stream reach mengalami chanelisasi dan gangguan. Bagian tepi dari sungai mengalami penturapan; lebih dari 80% dari stream reach mengalami chanelisasi dan gangguan, habitat dalam stream mengalami perubahan yang sanagt besar atau hilang sama sekali. SCORE: a. frekuensi riffle atau kelokan (Gradien tinggi) Terdapatnya riffle relatif sering, rasio jarak antara riffle dibagi dengan lebar stream < 7: 1 (biasanya 5 sampai 7); habitat bermacam-macam dan merupakan kunci. Pada stream dimana rifflenya continue penempatan boulder atau rintangan besar alami lainnya adalah penting. Terdapat riffle tidak terlalu sering; jarak antara riffle dibagi dengan lebar stream antara 7-15 Kadang-kadang riffle atau kelokan; kontur dasar menyediakan bbrp habitat; jarak diantara riffle dibagi dengan lebar stream antara Biasanya seluruh permukaan airnya datar atau riffle dangkal; habitat miskin; jarak diantara riffle dibagi dengan lebar stream > 25 SCORE:

157 111 7b. Sinuosity saluran (Gradien rendah) Kelokan dalam stream meningkatkan panjang stream 3-4 kali lebih panjang daripada apabila hanya merupakan garis lurus (ctt; anyaman saluran dianggap normal pada daerah paparan pesisir, dan hamparan lain di dataran rendah parameter ini tidak mudah golongkan pada daerah daerah tsb Kelokan dalam stream meningkatkanpanjang stream 2-3 kali lebih panjang daripada apabila hanya merupakan garis lurus Kelokan dalam stream meningkatkanpanjang stream 1-2 kali lebih panjang daripada apabila hanya merupakan garis lurus Saluran lurus; jalan air sudah mengalami chanelisasi untuk jarak yang cukup jauh SCORE: Stabilitas pinggir sungai (score untuk masing-masing pinggiran) untuk gradien rendah dan tinngi) Tepian stabil, bukti erosi atau kerusakan tepian tidak ada atau minimal; potensi untuk terjadinya masalah pada masa yang akan datang kecil; < 5% dari pinggir sungai mengalami gangguan. Kestabilan sedang, jarang, area kecil yang mengalami erosi kebanyakan telah mengalami pemulihan, 5-30% dari pinggir sungai yang telah mengalami erosi. Ketidakstabilan sedang, 30-60% dari tepian mengalami erosi, memiliki potensi erosi yang tinggi pada saat banjir. Tidak stabil, banyak daerah telah mengalami erosi, daerah baru terbentuk sepanjang bagian lurus dan kelokan sungai, penggerusan tepian tampak nyata, dari tepian mengalami penggerusan oleh erosi. Ctt; tentukan tepi kanan/kiri dengan menghadap kearah downsteram. SCORE: Tepi Kanan SCORE: Tepi Kiri

158 Perlindungan oleh vegetasi (score masingmasing tepi) Ctt; tentukan tepi kanan/kiri dengan menghadap kearah downsteram. (untuk gradien tinggi dan rendah) Lebih dari 90% permukaan tepian sungai dan zona riparian ditumbui oleh tumbuhan asli meliputi pohon, semak, macrophyta tak berkayu; kerusakan vegetasi yang disebabkan oleh grazing atau pemotongan minimal atau tidak ada; sebagian besar tanaman tumbuh secara alami % permukaan tepian sungai dan zona riparian ditumbui oleh tumbuhan asli, namun terdapat satu kelas yang tidak terwakili secara baik; terdapat bukti gangguan namun tidak terlalu mempengaruhi potensi pertumbuhan tanaman, lebih dari setengah bagian didominasi oleh semak 50-70% dari pemukaan tepian ditutupi oleh vegetasi; gangguan tampak jelas, jalan setapak atau seperti tanaman yang dibabat pendek secara umum terdapat, kurang dari setengah bagian ditumbui oleh semak. < dari 50% dari permukaan tepian ditumbui oleh vegetasi; gangguan pada tumbuhan tepian sungai sangat tinggi, tumbuhan telah berubah menjadi tumbuhan semak setinggi 5 cm atau kurang. SCORE: Tepi Kanan SCORE: Tepi Kiri Lebar zone vegetasi riparian (Untuk gradien tinggi dan rendah) Ctt: Score untuk masing- masing pinggir riparian Lebar dari zone riparian > 18 m; aktivitas manusia (mis: pertanian, pembangunan jalan, pembukaan lahan) tidak mempengaruhi zone tersebut. Lebar dari zone riparian m; aktivitas manusia memberikan dampak minimal pada zone tersebut. Lebar dari zone riparian 6 12 m; aktivitas manusia memberikan pengaruh yang cukup besar pada zone tersebut. Lebar dari zone riparian < 6 m; sedikit atau tidak ada vegetasi riparian yang disebabkan oleh aktivitas aktivitas manusia SCORE: Tepi Kanan SCORE: Tepi Kiri

159 113 Lampiran II. Foto situasi lokasi pengamatan. (A) (B) Foto situasi lokasi yang berfungsi sebagai situs rujukan. A). Stasiun Gunung Mas I. B). Stasiun Gunung Mas II. Foto situasi lokasi situs uji (Stasiun III Kampung Pensiunan) Foto situasi lokasi situs uji (Stasiun IV Kampung Jog-jogan)

160 114 Foto situasi lokasi situs uji (Stasiun V Katulampa) Foto situasi lokasi situs uji (Stasiun VI Cibinong)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengaruh aktivitas antropogenik terhadap ekosistem sungai telah mendorong berkembangnya konsep indikator biologi guna mengetahui status kesehatan dari sebuah ekosistem

Lebih terperinci

II. KERANGKA TEORI. 2.1 Ekobiologi Trichoptera

II. KERANGKA TEORI. 2.1 Ekobiologi Trichoptera II. KERANGKA TEORI 2.1 Ekobiologi Trichoptera Trichoptera atau yang lebih dikenal sebagai lalat caddis (caddisfly) merupakan insekta yang dalam daur hidupnya melibatkan dua ekosistem yang berbeda yaitu

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR

PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR PENENTUAN TINGKAT KESEHATAN SUNGAI BERDASARKAN STRUKTUR KOMUNITAS MAKROAVERTEBRATA DI SUNGAI CIHIDEUNG, KABUPATEN BOGOR RIRIN ANDRIANI SILFIANA C24104086 SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

PENGGUNAAN KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS UNTUK MENENTUKAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI METRO, MALANG, JAWA TIMUR ABDUL MANAN

PENGGUNAAN KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS UNTUK MENENTUKAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI METRO, MALANG, JAWA TIMUR ABDUL MANAN PENGGUNAAN KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS UNTUK MENENTUKAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI METRO, MALANG, JAWA TIMUR ABDUL MANAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Waduk adalah genangan air besar yang sengaja dibuat dengan membendung aliran sungai, sehingga dasar sungai tersebut yang menjadi bagian terdalam dari sebuah waduk. Waduk

Lebih terperinci

bentos (Anwar, dkk., 1980).

bentos (Anwar, dkk., 1980). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman jenis adalah keanekaragaman yang ditemukan di antara makhluk hidup yang berbeda jenis. Di dalam suatu daerah terdapat bermacam jenis makhluk hidup baik tumbuhan,

Lebih terperinci

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air.

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perairan merupakan ekosistem yang memiliki peran sangat penting bagi kehidupan. Perairan memiliki fungsi baik secara ekologis, ekonomis, estetika, politis,

Lebih terperinci

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling Tabel V.9 Konsentrasi Seng Pada Setiap Titik Sampling dan Kedalaman Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling A B C A B C 1 0,062 0,062 0,051 0,076 0,030 0,048

Lebih terperinci

KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS SEBAGAI INDIKATOR BIOLOGI PERAIRAN SUNGAI CILIWUNG. Oleh : DADAN RIDWAN C

KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS SEBAGAI INDIKATOR BIOLOGI PERAIRAN SUNGAI CILIWUNG. Oleh : DADAN RIDWAN C KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS SEBAGAI INDIKATOR BIOLOGI PERAIRAN SUNGAI CILIWUNG Oleh : DADAN RIDWAN C02498052 DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTZTUT PEZTANIA?;

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh karena itu, sumber air sangat dibutuhkan untuk dapat menyediakan air yang baik dari segi kuantitas

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI

KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI KARAKTERISTIK FISIKA-KIMIA PERAIRAN DAN STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (BIVALVIA DAN GASTROPODA) DI PANTAI CERMIN SUMATERA UTARA SKRIPSI RAISSHA AMANDA SIREGAR 090302049 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia, flora, fauna maupun makhluk hidup yang lain. Makhluk hidup memerlukan air tidak hanya sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi pemenuhan kebutuhan hidup manusia sehingga kualitas airnya harus tetap terjaga. Menurut Widianto

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Sungai Bone mempunyai panjang 119,13 Km 2 yang melintasi wilayah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Sungai Bone mempunyai panjang 119,13 Km 2 yang melintasi wilayah BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi penelitian Sungai Bone mempunyai panjang 119,13 Km 2 yang melintasi wilayah Kabupaten Bone Bolango dan Kota Gorontalo. Sungai ini bermuara ke

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh: BETZY VICTOR TELAUMBANUA 090302053 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN KRONJO, KABUPATEN TANGERANG BANTEN DEDY FRIYANTO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh: Sabam Parsaoran Situmorang C64103011 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN PERIFITON DI PERAIRAN SUNGAI DELI SUMATERA UTARA SUSANTI LAWATI BARUS

KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN PERIFITON DI PERAIRAN SUNGAI DELI SUMATERA UTARA SUSANTI LAWATI BARUS KEANEKARAGAMAN DAN KELIMPAHAN PERIFITON DI PERAIRAN SUNGAI DELI SUMATERA UTARA SUSANTI LAWATI BARUS 090302022 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2014

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al., I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Lokasi penelitian dilaksanakan di Sungai Bone. Alasan peneliti melakukan penelitian di Sungai Bone, karena dilatar belakangi

Lebih terperinci

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH

FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH FITOPLANKTON : DISTRIBUSI HORIZONTAL DAN HUBUNGANNYA DENGAN PARAMETER FISIKA KIMIA DI PERAIRAN DONGGALA SULAWESI TENGAH Oleh : Helmy Hakim C64102077 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Nyamuk Aedes aegypti Aedes aegypti merupakan jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah. [2,12] Aedes aegypti tersebar luas di wilayah tropis

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN ESTUARIA SUNGAI BRANTAS (SUNGAI PORONG DAN WONOKROMO), JAWA TIMUR FAJLUR ADI RAHMAN SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai

TINJAUAN PUSTAKA. manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain kedalam lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga

Lebih terperinci

STUDI KUALITAS AIR SUNGAI BONE DENGAN METODE BIOMONITORING (Suatu Penelitian Deskriptif yang Dilakukan di Sungai Bone)

STUDI KUALITAS AIR SUNGAI BONE DENGAN METODE BIOMONITORING (Suatu Penelitian Deskriptif yang Dilakukan di Sungai Bone) STUDI KUALITAS AIR SUNGAI BONE DENGAN METODE BIOMONITORING (Suatu Penelitian Deskriptif yang Dilakukan di Sungai Bone) Stevi Mardiani M. Maruru NIM 811408109 Dian Saraswati, S.Pd, M.Kes Ekawati Prasetya,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan kesejahteraan hidup rakyat melalui pembangunan di bidang industri, nampak memberikan dampak terhadap perubahan lingkungan perairan pesisir dan laut karena

Lebih terperinci

Estimasi Populasi Gastropoda di Sungai Tambak Bayan Yogyakarta

Estimasi Populasi Gastropoda di Sungai Tambak Bayan Yogyakarta Estimasi Populasi Gastropoda di Sungai Tambak Bayan Yogyakarta Andhika Rakhmanda 1) 10/300646/PN/12074 Manajamen Sumberdaya Perikanan INTISARI Makrozoobentos merupakan salah satu kelompok terpenting dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. budidaya (Ditjenkan,1985). Pada tahun 2001, menurut Direktorat Jendral

BAB I PENDAHULUAN. budidaya (Ditjenkan,1985). Pada tahun 2001, menurut Direktorat Jendral BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah Indonesia memiliki sekitar 18.316.265 hektar perairan tawar, yang terdiri atas 17.955.154 hektar perairan umum dan 361.099 hektar berupa perairan budidaya

Lebih terperinci

2.2. Struktur Komunitas

2.2. Struktur Komunitas 5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobentos Hewan bentos dibagi dalam tiga kelompok ukuran, yaitu makrobentos (ukuran lebih dari 1,0 mm), meiobentos (ukuran antara 0,1-1 mm) dan mikrobentos (ukuran kurang

Lebih terperinci

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961): 44 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekologi Sungai Aspek ekologi adalah aspek yang merupakan kondisi seimbang yang unik dan memegang peranan penting dalam konservasi dan tata guna lahan serta pengembangan untuk

Lebih terperinci

Water Quality Black Water River Pekanbaru in terms of Physics-Chemistry and Phytoplankton Communities.

Water Quality Black Water River Pekanbaru in terms of Physics-Chemistry and Phytoplankton Communities. Water Quality Black Water River Pekanbaru in terms of Physics-Chemistry and Phytoplankton Communities Dedy Muharwin Lubis, Nur El Fajri 2, Eni Sumiarsih 2 Email : dedymuh_lubis@yahoo.com This study was

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG

ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG ANALISIS KUALITAS AIR PADA SENTRAL OUTLET TAMBAK UDANG SISTEM TERPADU TULANG BAWANG, LAMPUNG RYAN KUSUMO ADI WIBOWO SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

Stasiun 1 ke stasiun 2 yaitu + 11,8 km. Stasiun '4.03"LU '6.72" BT. Stasiun 2 ke stasiun 3 yaitu + 2 km.

Stasiun 1 ke stasiun 2 yaitu + 11,8 km. Stasiun '4.03LU '6.72 BT. Stasiun 2 ke stasiun 3 yaitu + 2 km. 8 menyebabkan kematian biota tersebut. Selain itu, keberadaan predator juga menjadi faktor lainnya yang mempengaruhi hilangnya atau menurunnya jumlah makrozoobentos. 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga perlu dilindungi agar dapat bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta mahkluk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

BAB I. Logam berat adalah unsur kimia yang termasuk dalam kelompok logam yang

BAB I. Logam berat adalah unsur kimia yang termasuk dalam kelompok logam yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Logam berat adalah unsur kimia yang termasuk dalam kelompok logam yang beratnya lebih dari 5g, untuk setiap cm 3 -nya. Delapan puluh jenis dari 109 unsur kimia yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemaran merupakan dampak negatif dari kegiatan pembangunan yang dilakukan selama ini. Pembangunan dilakukan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kejayaan pada tahun 1930an. Tidak heran bila Sawahlunto, yang hari jadinya

I. PENDAHULUAN. kejayaan pada tahun 1930an. Tidak heran bila Sawahlunto, yang hari jadinya 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah panjang Kota Sawahlunto dimulai, ketika para ahli Geologi Belanda menemukan cadangan batubara dalam jumlah besar pada akhir abad 19. Penemuan dan penggalian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu

BAB I PENDAHULUAN. Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era industrialisasi, semakin banyak orang yang menikmati waktu senggangnya (leisure time), dengan melakukan aktifitas wisata (Mulyaningrum, 2005). Lebih

Lebih terperinci

EKOSISTEM. Yuni wibowo

EKOSISTEM. Yuni wibowo EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagian besar bumi ditutupi oleh badan perairan. Keberadaan perairan ini sangat penting bagi semua makhluk hidup, karena air merupakan media bagi berbagai

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI KAWASAN MANGROVE DESA BAGAN DELI KECAMATAN MEDAN BELAWAN TRI WULANDARI

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI KAWASAN MANGROVE DESA BAGAN DELI KECAMATAN MEDAN BELAWAN TRI WULANDARI STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTHOS DI KAWASAN MANGROVE DESA BAGAN DELI KECAMATAN MEDAN BELAWAN TRI WULANDARI 120302013 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah di sekitarnya,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kelangsungan hidup yang panjang. Oleh karena itu peran bentos dalam

TINJAUAN PUSTAKA. kelangsungan hidup yang panjang. Oleh karena itu peran bentos dalam TINJAUAN PUSTAKA Benthos Bentos merupakan kelompok organisme yang hidup di dalam atau di permukaan sedimen dasar perairan. Bentos memiliki sifat kepekaan terhadap beberapa bahan pencemar, mobilitas yang

Lebih terperinci

ABSTRACT THE IMPACT OF AGRICULTURAL ACTIVITIES IN THE VARIOUS LEVELS OF EUTROPHICATION AND DIVERSITY OF PHYTOPLANKTON IN BUYAN LAKE BULELENG BALI

ABSTRACT THE IMPACT OF AGRICULTURAL ACTIVITIES IN THE VARIOUS LEVELS OF EUTROPHICATION AND DIVERSITY OF PHYTOPLANKTON IN BUYAN LAKE BULELENG BALI ABSTRACT THE IMPACT OF AGRICULTURAL ACTIVITIES IN THE VARIOUS LEVELS OF EUTROPHICATION AND DIVERSITY OF PHYTOPLANKTON IN BUYAN LAKE BULELENG BALI This research was conducted to find out the impact of agricultural

Lebih terperinci

Kuliah ke-2. R. Soedradjad Lektor Kepala bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam

Kuliah ke-2. R. Soedradjad Lektor Kepala bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam Kuliah ke-2 R. Soedradjad Lektor Kepala bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam Spektrum Biologi: KOMPONEN BIOTIK GEN SEL ORGAN ORGANISME POPULASI KOMUNITAS berinteraksi dengan KOMPONEN ABIOTIK menghasilkan

Lebih terperinci

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C64102057 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah sekitarnya. Oleh karena

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

EVALUASI KONTAMINASI LOGAM DI SEDIMEN DARI WADUK SAGULING DENGAN MENGGUNAKAN KONSEP TRIAD: SEBUAH PENDEKATAN DALAM PENGELOLAAN WADUK JOJOK SUDARSO

EVALUASI KONTAMINASI LOGAM DI SEDIMEN DARI WADUK SAGULING DENGAN MENGGUNAKAN KONSEP TRIAD: SEBUAH PENDEKATAN DALAM PENGELOLAAN WADUK JOJOK SUDARSO EVALUASI KONTAMINASI LOGAM DI SEDIMEN DARI WADUK SAGULING DENGAN MENGGUNAKAN KONSEP TRIAD: SEBUAH PENDEKATAN DALAM PENGELOLAAN WADUK JOJOK SUDARSO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

Lebih terperinci

BIOASSESSMENT DAN KUALITAS AIR DAERAH ALIRAN SUNGAI LEGUNDI PROBOLINGGO JAWA TIMUR SKRIPSI

BIOASSESSMENT DAN KUALITAS AIR DAERAH ALIRAN SUNGAI LEGUNDI PROBOLINGGO JAWA TIMUR SKRIPSI BIOASSESSMENT DAN KUALITAS AIR DAERAH ALIRAN SUNGAI LEGUNDI PROBOLINGGO JAWA TIMUR SKRIPSI Sebagai tugas akhir untuk memenuhi syarat mencapai derajat Sarjana S-1 Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi tersebut. Penurunan kualitas air sungai dapat disebabkan oleh masuknya

BAB I PENDAHULUAN. kondisi tersebut. Penurunan kualitas air sungai dapat disebabkan oleh masuknya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sungai memiliki berbagai komponen abiotik dan biotik yang saling berinteraksi membentuk sebuah jaringan kehidupan yang saling mempengaruhi. Sungai merupakan ekosistem

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Plankton adalah organisme yang hidup melayang layang atau mengambang di

TINJAUAN PUSTAKA. Plankton adalah organisme yang hidup melayang layang atau mengambang di 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Plankton Plankton adalah organisme yang hidup melayang layang atau mengambang di atas permukaan air dan hidupnya selalu terbawa oleh arus, plankton digunakan sebagai pakan alami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Habitat air tawar dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perairan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Habitat air tawar dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perairan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Habitat air tawar dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perairan mengalir (lotik) dan perairan menggenang (lentik). Perairan mengalir bergerak terus menerus kearah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. inventarisasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan data tentang jenis-jenis tumbuhan bawah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. inventarisasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan data tentang jenis-jenis tumbuhan bawah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Inventarisasi Inventarisasi adalah kegiatan pengumpulan dan penyusunan data dan fakta mengenai sumber daya alam untuk perencanaan pengelolaan sumber daya tersebut. Kegiatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus : Animalia : Arthropoda : Insecta : Lepidoptera : Noctuidae :

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan karena lingkungan air tawar memiliki beberapa kondisi, antara lain:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan karena lingkungan air tawar memiliki beberapa kondisi, antara lain: 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Indonesia adalah negara kepulauan dengan kawasan maritim yang sangat luas sehingga Indonesia memiliki kekayaan perikanan yang sangat kaya.pengetahuan lingkungan

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, karena area ini merupakan area ekoton daerah pertemuan dua ekosistem berbeda (tawar dan laut)

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 11 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Pengambilan Sampel Pengambilan sampel makrozoobenthos dilakukan pada tanggal 19 Februari, 19 Maret, dan 21 Mei 2011 pada jam 10.00 12.00 WIB. Lokasi dari pengambilan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2005 - Agustus 2006 dengan lokasi penelitian di Pelabuhan Sunda Kelapa, DKI Jakarta. Pengambilan contoh air dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN BATUBARA PT. TAMBANG BATUBARA BUKIT ASAM (PT.BA) (PERSERO) TBK - UNIT PRODUKSI OMBILIN (UPO) DAN TAMBANG BATUBARA TANPA IZIN (PETI) TERHADAP KUALITAS AIR SUNGAI OMBILIN SAWAHLUNTO

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta lapisan kerak bumi (Darmono, 1995). Timbal banyak digunakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. serta lapisan kerak bumi (Darmono, 1995). Timbal banyak digunakan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Logam timbal atau Pb adalah jenis logam lunak berwarna coklat kehitaman dan mudah dimurnikan. Logam Pb lebih tersebar luas dibanding kebanyakan logam toksik lainnya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe Estuari dan Debit Sungai. Tipe estuari biasanya dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Pada saat pasang, salinitas perairan akan didominasi oleh salinitas air laut karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sumber pencemar bagi lingkungan (air, udara dan tanah). Bahan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sumber pencemar bagi lingkungan (air, udara dan tanah). Bahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas manusia berupa kegiatan industri, rumah tangga, pertanian dan pertambangan menghasilkan buangan limbah yang tidak digunakan kembali yang menjadi sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi

I. PENDAHULUAN. Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem air tawar merupakan ekosistem dengan habitatnya yang sering digenangi air tawar yang kaya akan mineral dengan ph sekitar 6. Kondisi permukaan air tidak selalu

Lebih terperinci

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan

Pemodelan Penyebaran Polutan di DPS Waduk Sutami Dan Penyusunan Sistem Informasi Monitoring Kualitas Air (SIMKUA) Pendahuluan Pendahuluan 1.1 Umum Sungai Brantas adalah sungai utama yang airnya mengalir melewati sebagian kota-kota besar di Jawa Timur seperti Malang, Blitar, Tulungagung, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya. Sungai

Lebih terperinci

KUALITAS PERAIRAN SUNGAI KUNDUR BERDASARKAN MAKROZOOBENTOS MELALUI PENDEKATAN BIOTIC INDEX DAN BIOTILIK

KUALITAS PERAIRAN SUNGAI KUNDUR BERDASARKAN MAKROZOOBENTOS MELALUI PENDEKATAN BIOTIC INDEX DAN BIOTILIK MASPARI JOURNAL Juli 05, ():5-56 KUALITAS PERAIRAN SUNGAI KUNDUR BERDASARKAN MAKROZOOBENTOS MELALUI PENDEKATAN BIOTIC INDEX DAN BIOTILIK WATER QUALITY OF KUNDUR RIVER BASED ON MACROZOOBENTHOS USING BIOTIC

Lebih terperinci

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Oleh : Indra Ambalika Syari C64101078 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Oseanografi Pesisir Kalimantan Barat Parameter oseanografi sangat berperan penting dalam kajian distribusi kontaminan yang masuk ke laut karena komponen fisik

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS LARVA TRICHOPTERA DI SUNGAI GARANG SEMARANG. Lila Ris Purdyaningrum, Rully Rahadian, Fuad Muhammad

STRUKTUR KOMUNITAS LARVA TRICHOPTERA DI SUNGAI GARANG SEMARANG. Lila Ris Purdyaningrum, Rully Rahadian, Fuad Muhammad STRUKTUR KOMUNITAS LARVA TRICHOPTERA DI SUNGAI GARANG SEMARANG Lila Ris Purdyaningrum, Rully Rahadian, Fuad Muhammad Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro, Tembalang,

Lebih terperinci

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA Oleh; Galih Kurniawan C64104033 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG

ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG ANALISIS KEBUTUHAN OKSIGEN UNTUK DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK DI LAPISAN DASAR PERAIRAN ESTUARI SUNGAI CISADANE, TANGERANG RIYAN HADINAFTA SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Pertumbuhan beberapa tanaman air Pertumbuhan adalah perubahan dimensi (panjang, berat, volume, jumlah, dan ukuran) dalam satuan waktu baik individu maupun komunitas.

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DI BERBAGAI TIPE DAERAH TEPI (EDGES) TAMAN HUTAN RAYA SULTAN SYARIF HASYIM PROPINSI RIAU DEFRI YOZA SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi

Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi 106 Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi 1. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa energi matahari akan diserap oleh tumbuhan sebagai produsen melalui klorofil untuk kemudian diolah menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran logam berat merupakan salah satu masalah penting yang sering terjadi di perairan Indonesia, khususnya di perairan yang berada dekat dengan kawasan industri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi sehingga disebut

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tingkat keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi sehingga disebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumber kekayaan yang sangat melimpah yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pencemaran logam berat sangat berbahaya bagi lingkungan. Banyak laporan yang memberikan fakta betapa berbahayanya pencemaran lingkungan terutama oleh logam berat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sekitar 21% persediaan air Asia Pasifik (Walhi, 2005). Perairan air tawar, salah

BAB 1 PENDAHULUAN. sekitar 21% persediaan air Asia Pasifik (Walhi, 2005). Perairan air tawar, salah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah Indonesia memiliki 65% dari persediaan air di dunia atau sekitar 21% persediaan air Asia Pasifik (Walhi, 2005). Perairan air tawar, salah satunya waduk menempati

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biota Perairan Perairan terdapat kelompok organisme yang tidak toleran dan kelompok organisme yang toleran terhadap bahan pencemar (Hawkes, 1979). Menurut Walker (1981), organisme

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan terukur yang melebihi 0,1 mg/l tersebut dikarenakan sifat ortofosfat yang cenderung mengendap dan membentuk sedimen, sehingga pada saat pengambilan sampel air di bagian dasar ada kemungkinan sebagian material

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. bersifat dinamis (bergerak atau mengalir) seperti laut dan sungai maupun statis

TINJAUAN PUSTAKA. bersifat dinamis (bergerak atau mengalir) seperti laut dan sungai maupun statis TINJAUAN PUSTAKA Perairan Sungai Perairan adalah suatu kumpulan massa air pada suatu wilayah tertentu, baik yang bersifat dinamis (bergerak atau mengalir) seperti laut dan sungai maupun statis (tergenang)

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tembakang Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy, hidup pada habitat danau atau sungai dan lebih menyukai air yang bergerak lambat dengan vegetasi

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Kata Pengantar. Daftar Isi. Daftar Tabel. Daftar Gambar

DAFTAR ISI. Kata Pengantar. Daftar Isi. Daftar Tabel. Daftar Gambar DAFTAR ISI Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Daftar i ii iii vii Bab I Pendahuluan A. Kondisi Umum Daerah I- 1 B. Pemanfaatan Laporan Status LH Daerah I-10 C. Isu Prioritas Lingkungan Hidup Kabupaten Kulon

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi sumberdaya yang sangat besar. Wilayah tersebut telah banyak dimanfaatkan dan memberikan sumbangan

Lebih terperinci