IDENTIFIKASI DAUN SHOREA MENGGUNAKAN KNN BERDASARKAN KOMPONEN WARNA DENGAN PRAPROSES DISCRETE WAVELET TRANSFORM SEPTY KURNIAWATI MASYHUD

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IDENTIFIKASI DAUN SHOREA MENGGUNAKAN KNN BERDASARKAN KOMPONEN WARNA DENGAN PRAPROSES DISCRETE WAVELET TRANSFORM SEPTY KURNIAWATI MASYHUD"

Transkripsi

1 IDENTIFIKASI DAUN SHOREA MENGGUNAKAN KNN BERDASARKAN KOMPONEN WARNA DENGAN PRAPROSES DISCRETE WAVELET TRANSFORM SEPTY KURNIAWATI MASYHUD DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi Daun menggunakan KNN berdasarkan Komponen Warna dengan Praproses Discrete Wavelet Transform adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2013 Septy Kurniawati Masyhud NIM G

4 ABSTRAK SEPTY KURNIAWATI MASYHUD. Identifikasi Daun dengan KNN berdasarkan Komponen Warna dengan Praproses Discrete Wavelet Transform. Dibimbing oleh AZIZ KUSTIYO. adalah salah satu dari famili Dipterocarpacea yang menghasilkan kayu bernilai ekonomi tinggi. sulit diidentifikasi karena memiliki kemiripan dan memiliki banyak jenis. Pada penelitian ini dikembangkan sistem identifikasi daun menggunakan K-Nearest Neighbour (KNN) berdasarkan komponen warna dengan praproses Discrete Wavelet Transform. Setiap komponen G dan V menghasilkan rata-rata akurasi terbaik sebesar 80% dengan dekomposisi delapan level. Kata kunci: Discrete Wavelet Transform, HSV, K-Nearest Neighbour, RGB, ABSTRACT SEPTY KURNIAWATI MASYHUD. Leaves Identification using KNN based on colour components with Discrete Wavelet Transform Preprocessing. Supervised by AZIZ KUSTIYO. A member of the Dipterocarpaceae family,, is the most commercially valuable timber. is difficult to be identified because of their similarity and hundreds of genus. This research developed a system to identify leaves using K-Nearest Neighbour (KNN) based on colour components. Discrete Wavelet Transform (DWT) is used as the preprocessing technique. Each component of G and V gave the best average accuracy of 80% by using eight level decomposition of DWT. Keywords: Discrete Wavelet Transform, HSV, K-Nearest Neighbour, RGB,

5 IDENTIFIKASI DAUN SHOREA MENGGUNAKAN KNN BERDASARKAN KOMPONEN WARNA DENGAN PRAPROSES DISCRETE WAVELET TRANSFORM SEPTY KURNIAWATI MASYHUD Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komputer pada Departemen Ilmu Komputer DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

6

7 Judul Skripsi : Identifikasi Daun menggunakan KNN berdasarkan Komponen Warna dengan Praproses Discrete Wavelet Transform Nama : Septy Kurniawati Masyhud NIM : G Disetujui oleh Aziz Kustiyo, SSi, MKom Pembimbing Diketahui oleh Dr Ir Agus Buono, MSi, MKom Ketua Departemen Tanggal Lulus:

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta ala yang telah memberikan rahmat dan hidayah-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Adapun penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1 Kedua orang tua dan kakak yang telah memberikan dukungan, perhatian, dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. 2 Bapak Aziz Kustiyo, SSi, MKom selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan ide. 3 Dosen penguji, Bapak Sony Hartono Wijaya, SKom, MKom dan Bapak Muhammad Asyhar Agmalaro, SSi, MKom atas saran dan bimbingannya. 4 Pihak Kebun Raya Bogor atas sampel daun. 5 Pihak Biotrop atas literatur tentang. 6 Teman-teman satu bimbingan, Erni, Mba Sri, Ayu, Cory, Ilvi, Bang Asep, dan Bangkit, terima kasih atas kerjasamanya. 7 Teman-teman Alih Jenis Ilkom angkatan 5, atas kerjasamanya selama penelitian. 8 Teman-teman kos M24 yang telah memberikan dukungan dan perhatian. 9 Semua pihak yang telah membantu yang belum disebutkan di atas. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Bogor, Maret 2013 Septy Kurniawati Masyhud

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL xi DAFTAR GAMBAR xi DAFTAR LAMPIRAN xiii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2 2 Analisis Tekstur 3 Discrete Wavelet Transform 3 Wavelet Haar 4 Pengolahan Citra Berwarna Model RGB 5 Pengolahan Citra Berwarna Model HSV 5 K-Fold Cross Validation 6 K-Nearest Neighbour 6 METODE 7 Pengumpulan Data Citra 7 Citra Daun 7 Ekstraksi Warna RGB 7 Ekstraksi Warna HSV 9 Ekstraksi Fitur Wavelet Haar 9 Pembagian Data 10 Klasifikasi K-NN 10 Perhitungan Akurasi 10 Lingkungan Pengembangan 11 HASIL DAN PEMBAHASAN 11 Percobaan 1: Dekomposisi 3 Level pada Komponen Warna R, G, B, H, S, V 12

10 Percobaan 2: Dekomposisi 4 Level pada Komponen Warna R, G, B, H, S, V 14 Percobaan 3: Dekomposisi 5 Level pada Komponen Warna R, G, B, H, S, V 15 Percobaan 4: Dekomposisi 6 Level pada Komponen Warna R, G, B, H, S, V 17 Percobaan 5: Dekomposisi 7 Level pada Komponen Warna R, G, B, H, S, V 19 Percobaan 6: Dekomposisi 8 Level pada Komponen Warna R, G, B, H, S, V 20 Percobaan 7: Dekomposisi 9 Level pada Komponen Warna R, G, B, H, S, V 22 Perbandingan Akurasi antara Citra Berwarna Model RGB dan HSV 24 Analisis Kesalahan pada Citra Berwarna Model RGB 25 Analisis Kesalahan pada Citra Berwarna Model HSV 28 Penggabungan Komponen Warna 31 Perbandingan dengan Penelitian Terkait 31 SIMPULAN DAN SARAN 32 Simpulan 32 Saran 32 DAFTAR PUSTAKA 33 LAMPIRAN 34 RIWAYAT HIDUP 57

11 DAFTAR TABEL 1 Bentuk 5-fold cross validation dengan = data uji, = data latih 10 2 Rancangan percobaan 11 3 Ukuran citra hasil dekomposisi untuk masing-masing komponen warna R, G, B, H, S, dan V 12 4 Rata-rata akurasi komponen warna R, G, B, H, S, dan V dengan dekomposisi 3 level 12 5 Rata-rata akurasi komponen warna R, G, B, H, S, dan V dengan dekomposisi 4 level 14 6 Rata-rata akurasi komponen warna R, G, B, H, S, dan V dengan dekomposisi 5 level 16 7 Rata-rata akurasi komponen warna R, G, B, H, S, dan V dengan dekomposisi 6 level 17 8 Rata-rata akurasi komponen warna R, G, B, H, S, dan V dengan dekomposisi 7 level 19 9 Rata-rata akurasi komponen warna R, G, B, H, S, dan V dengan dekomposisi 8 level Rata-rata akurasi komponen warna R, G, B, H, S, dan V dengan dekomposisi 9 level Hasil akurasi citra model RGB dan HSV di setiap dekomposisi level Rata-rata akurasi pada penggabungan komponen warna dekomposisi 8 level Perbandingan hasil akurasi dengan penelitian sebelumnya pada citra model RGB, HSV, dan grayscale 32 DAFTAR GAMBAR 1 Citra hasil dekomposisi 4 2 RGB dalam bentuk koordinat kartesian 5 3 Model warna HSV 6 4 Metodologi penelitian 8 5 (a) Contoh citra asli seminis, (b) komponen warna R, (c) komponen warna G, (d) komponen warna B 8 6 (a) Contoh citra berwarna model HSV, (b) komponen warna H, (c) komponen warna S, (d) komponen warna V 9 7 Contoh citra daun dekomposisi 3 level 9 8 Akurasi setiap jenis pada komponen R, G, dan B dengan dekomposisi 3 level 13 9 Akurasi setiap jenis pada komponen H, S, dan V dengan dekomposisi 3 level Akurasi setiap jenis pada komponen R, G, dan B dengan dekomposisi 4 level Akurasi setiap jenis pada komponen H, S, dan V dengan dekomposisi 4 level 15

12 12 Akurasi setiap jenis pada komponen R, G, dan B dengan dekomposisi 5 level Akurasi setiap jenis pada komponen H, S, dan V dengan dekomposisi 5 level Akurasi setiap jenis pada komponen R, G, dan B dengan dekomposisi 6 level Akurasi setiap jenis pada komponen H, S, dan V dengan dekomposisi 6 level Akurasi setiap jenis pada komponen R, G dan B dengan dekomposisi 7 level Akurasi setiap jenis pada komponen H, S, dan V dengan dekomposisi 7 level Akurasi setiap jenis pada komponen R, G dan B dengan dekomposisi 8 level Akurasi setiap jenis pada komponen H, S, dan V dengan dekomposisi 8 level Akurasi setiap jenis pada komponen R, G, dan B dengan dekomposisi 9 level Akurasi setiap jenis pada komponen H, S, dan V dengan dekomposisi 9 level Hasil rata-rata akurasi tertinggi dari komponen R, G, dan B pada setiap dekomposisi level Hasil rata-rata akurasi tertinggi dari komponen H, S, dan V pada setiap level dekomposisi (a) marcoptera 5 (b) leprosula (a) seminis 5 (b) lepida (a) seminis 8 (b) materialis Citra materialis yang sering teridentifikasi sebagai javanica (a) materialis 3, (b) materialis 4, (c) materialis 5, (d) materialis 7, (e) materialis 8 (f) materialis Citra javanica (a) javanica 4, (b) javanica 5, (c) javanica 7, (d) javanica 8, (e) javanica 9, (f) javanica (a) javanica, (b) lepida, (c) platycados (a) johorensis, (b) leprosula, (c) marcoptera, (d) seminis, (d) materialis, (e) palembanica, (f) pinanga Citra materialis (a) materialis 1, (b) materialis 2, (c) materialis 3, (d) materialis 4, (e) materialis 5, (f) materialis 6, (g) materialis 7, (h) materialis 8, (i) materialis 9, (j) materialis Citra pinanga (a) pinanga 2, (b) pinanga 3, (c) pinanga 4, (d) pinanga 7, (e) pinanga 9, (f) pinanga Citra johorensis yang sering salah diklasifikasikan (a) johorensis 1, (b) johorensis 2, (c) johorensis 5, (d) johorensis 7, (e) johorensis 8, (f) johorensis 9, (g) johorensis 10 30

13 DAFTAR LAMPIRAN 1 Confusion matrix pada komponen R dekomposisi 3 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen G dekomposisi 3 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen B dekomposisi 3 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen H dekomposisi 3 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen S dekomposisi 3 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen V dekomposisi 3 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen R dekomposisi 4 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen G dekomposisi 4 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen B dekomposisi 4 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen H dekomposisi 4 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen S dekomposisi 4 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen V dekomposisi 4 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen R dekomposisi 5 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen G dekomposisi 5 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen B dekomposisi 5 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen H dekomposisi 5 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen S dekomposisi 5 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen V dekomposisi 5 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen R dekomposisi 6 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen G dekomposisi 6 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen B dekomposisi 6 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen H dekomposisi 6 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen S dekomposisi 6 level dengan nilai k=5 41

14 24 Confusion matrix pada komponen V dekomposisi 6 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen R dekomposisi 7 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen G dekomposisi 7 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen B dekomposisi 7 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen H dekomposisi 7 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen S dekomposisi 7 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen V dekomposisi 7 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen R dekomposisi 8 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen G dekomposisi 8 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen B dekomposisi 8 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen H dekomposisi 8 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen S dekomposisi 8 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen V dekomposisi 8 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen R dekomposisi 9 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen G dekomposisi 9 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen B dekomposisi 9 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen H dekomposisi 9 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen S dekomposisi 9 level dengan nilai k= Confusion matrix pada komponen V dekomposisi 9 level dengan nilai k= Confusion matrix pada penggabungan komponen R dan G dekomposisi 8 level dengan nilai k= Confusion matrix pada penggabungan komponen R dan B dekomposisi 8 level dengan nilai k= Confusion matrix pada penggabungan komponen G dan B dekomposisi 8 level dengan nilai k= Confusion matrix pada penggabungan komponen H dan S dekomposisi 8 level dengan nilai k= Confusion matrix pada penggabungan komponen H dan V dekomposisi 8 level dengan nilai k=7 49

15 48 Confusion matrix pada penggabungan komponen S dan V dekomposisi 8 level dengan nilai k= Akurasi komponen warna R, G, B, H, S, V di setiap fold dengan dekomposisi 3 level Akurasi komponen warna R, G, B, H, S, V di setiap fold dengan dekomposisi 4 level Akurasi komponen warna R, G, B, H, S, V di setiap fold dengan dekomposisi 5 level Akurasi komponen warna R, G, B, H, S, V di setiap fold dengan dekomposisi 6 level Akurasi komponen warna R, G, B, H, S, V di setiap fold dengan dekomposisi 7 level Akurasi komponen warna R, G, B, H, S, V di setiap fold dengan dekomposisi 8 level Akurasi penggabungan komponen warna di setiap fold dengan dekomposisi 8 level 56

16

17 PENDAHULUAN Latar Belakang Dipterocarpaceae merupakan salah satu famili dari keanekaragaman hayati hutan hujan tropis di Indonesia. Salah satu genus terbesar dalam Dipterocarpaceae adalah yang dikenal sebagai Meranti. Daerah tropis merupakan tempat penyebaran tumbuhan dan pusat distribusinya adalah Semenanjung Malaysia, Sumatera, dan Kalimantan. Di Indonesia sebagian besar terdapat di Kalimantan sebanyak 140 spesies dan Sumatera sebanyak 53 spesies (Noviany et al. 2003). Dipterocarpaceae sulit untuk diidentifikasi terutama di Kalimantan yang memiliki jenis terbanyak. Ketidakmampuan untuk mengenal individu Dipterocarpaceae di hutan memperbesar terjadinya eksploitasi Dipterocarpaceae khususnya jenis (Newman et al. 1999). Salah satu penyebab terjadinya eksploitasi pada adalah sebagai penghasil kayu yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Untuk mencegah eksploitasi yang dapat disebabkan oleh kesalahan dalam pemilihan kayu yang tidak tepat, akan dilakukan identifikasi melalui sistem yang dapat mengidentifikasi dengan tepat. Identifikasi tumbuhan biasanya dilakukan menggunakan batang, daun, buah, dan bunga. Jika menggunakan batang, batang pohon akan cepat berubah warna atau kedalaman alurnya sejalan dengan bertambahnya umur pohon. Identifikasi menggunakan buah dan bunga sulit dilakukan karena buah dan bunga tumbuh secara musiman sehingga sulit untuk didapatkan. Untuk memudahkan identifikasi, maka daun dipilih sebagai obyek identifikasi. Daun dipilih karena mudah digunakan sebagai obyek pengamatan khususnya berupa citra daun dan daun tersedia sepanjang waktu. Penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini antara lain dilakukan oleh Ramadhan (2012) dan Aminudin (2010). Ramadhan (2012) telah melakukan penelitian menggunakan DWT Haar, histogram warna HSV, dan Backpropagation Neural Network sebagai teknik klasifikasi yang menghasilkan akurasi 90%. Aminudin (2010) menggunakan histogram warna HSV dan RGB dalam ekstraksi pelatihan citra belimbing. Penelitian tersebut menghasilkan akurasi terbaik sebesar 63.44% untuk histogram R dan 78.87% untuk histogram H. Pada penelitian ini akan digunakan data citra daun dengan ekstraksi tekstur discrete wavelet transform dari komponen warna RGB dan HSV dengan K-Nearest Neighbour sebagai teknik klasifikasinya.. Perumusan Masalah Perumusan masalah yang ada pada penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1 Bagaimana penerapan metode ekstraksi warna RGB dan HSV dengan mengambil masing-masing komponen warna dari kedua model warna tersebut.

18 2 2 Bagaimana penerapan metode ekstraksi tekstur discrete wavelet transform dari komponen warna RGB dan HSV. 3 Bagaimana penerapan teknik klasifikasi K-Nearest Neighbour untuk hasil dari metode ekstraksi tekstur discrete wavelet transform. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menerapkan metode ekstraksi tekstur menggunakan discrete wavelet transform dari komponen warna RGB dan HSV, serta teknik klasifikasi menggunakan K-Nearest Neighbour untuk mengidentifikasi citra daun. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah membantu identifikasi berdasarkan citra daun sehingga mudah untuk mengklasifikasikan jenisnya. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini meliputi: 1 Data citra daun yang digunakan 10 spesies. Setiap spesies terdiri atas 10 citra daun. Total citra daun yang digunakan sebanyak 100 citra daun. Citra yang digunakan berukuran piksel. Posisi citra daun melintang (pangkal daun di sebelah kiri dan ujung daun di sebelah kanan). 2 Metode ekstraksi warna yang digunakan adalah RGB dan HSV dengan mengambil masing-masing komponen warnanya. 3 Metode ekstraksi tekstur yang digunakan adalah discrete wavelet transform 2 dimensi famili Haar. 4 Teknik klasifikasi yang digunakan adalah K-Nearest Neighbour. TINJAUAN PUSTAKA merupakan salah satu jenis dari famili tumbuhan Dipterocarpaceae. merupakan tumbuhan hujan hutan tropis dan penghasil kayu terbaik. Di Indonesia sebagian besar terdapat di Kalimantan sebanyak 140 spesies dan Sumatera sebanyak 53 spesies (Noviany et al. 2003). Ekologi dari pohon adalah bisa tumbuh dari batas permukaan laut sampai ketinggian 1750 m. Ciri-ciri diagnostik utama pohon adalah pohon sangat besar dengan pepagan dalam berlapis-lapis atau coklat merah gelap. Daun menjangat, tidak berlipatan, tidak berbentuk perisai, tidak berlukup, berukuran cm, pangkal daun biasanya simetris, permukaan bawah daun ketika

19 kering menjadi pudar, pertulangan sekunder bersirip, 7-25 pasang, terpisah permanen, pada permukaan bawah daun bila mengering warnanya sama seperti helai daun, atau lebih gelap pada javanica (Newman et al. 1999). 3 Analisis Tekstur Tekstur adalah gambaran visual dari sebuah permukaan atau bahan. Dalam computer vision, tekstur dicirikan dengan variasi intensitas pada citra. Variasi intensitas dapat disebabkan oleh kekasaran atau perbedaan warna pada suatu permukaan. Penampilan tekstur dipengaruhi oleh skala dan arah pandangan lingkungan dan kondisi pencahayaan (Mäenpää 2003). Tekstur dapat diartikan sebagai sekumpulan koefisien nilai piksel yang merepresentasikan penskalaan pada citra. Discrete wavelet transform dapat digunakan untuk menganalisis tekstur karena menghasilkan koefisien-koefisien wavelet yang dapat digunakan untuk proses penskalaan (Kara dan Watsuji 2003). Discrete Wavelet Transform Wavelet diartikan sebagai small wave atau gelombang singkat. Transformasi wavelet akan mengkonversi suatu sinyal ke dalam sederetan wavelet. Gelombang singkat tersebut merupakan fungsi basis yang terletak pada waktu berbeda. Wavelet berasal dari fungsi penskalaan (scaling function). Wavelet disebut juga mother wavelet karena wavelet yang lainnya lahir dari hasil penskalaan, dilasi, dan pergeseran mother wavelet (Putra 2010). Fungsi penskalaan memiliki persamaan: t = 2h 0 k(2t-k) k h 0 menyatakan koefisien penskalaan atau koefisien dari filter sedangkan k menyatakan indeks dari koefisien penskalaan. Angka 0 pada h 0 hanya menunjukkan jenis koefisien (filter), yang menyatakan pasangan dari jenis koefisien (filter) yang lainnya. Pasangan tersebut didefinisikan dalam fungsi wavelet berikut ini: φt=2h 1 k(2t-k) (2) k h 0 dan h 1 adalah koefisien transformasi yang berpasangan. h 0 disebut juga sebagai low pass filter, sedangkan h 1 disebut sebagai high pass filter. h 0 berkaitan dengan proses perataan (averages), sedangkan h 1 berkaitan dengan proses pengurangan (differences). Perataan dilakukan dengan menghitung nilai rata-rata dua pasang data dengan persamaan: p = x+y (3) 2 (1)

20 4 sedangkan pengurangan dilakukan dengan persamaan: p = x-y 2 Koefisien h 0 dan h 1 dapat ditulis sebagai berikut: h 0 =(h 0 0, h 0 1)=( 1 2,1 2 ) (4) (5) h 1 =(h 1 0, h 0 (1))=( 1 2,-1 2 ) (6) Persamaan (5) berkaitan dengan persamaan (3) dan persamaan (6) berkaitan dengan persamaan (4). Dengan kata lain, h 0 adalah koefisien penskalaan karena menghasilkan skala yang berbeda dari citra aslinya, sedangkan h 1 adalah wavelet yang menyimpan informasi penting untuk proses rekontruksi. Transformasi wavelet melakukan dekomposisi pada proses pemfilteran. Proses pemfilteran dibagi menjadi dua, yaitu low pass yang digunakan pada low frequency berupa komponen aproksimasi dan high pass yang digunakan pada high frequency berupa koefisien wavelet. Dekomposisi pada wavelet akan mengekstraksi fitur dan mereduksi ukuran citra menjadi lebih kecil. Citra hasil dekomposisi discrete wavelet transform 2 dimensi dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 Citra hasil dekomposisi Wavelet Haar Haar adalah wavelet paling tua dan paling sederhana, diperkenalkan oleh Alfred Haar pada tahun Wavelet Haar dilakukan dengan proses perataan (averages) untuk mendapatkan bagian dari gambar yang berfrekuensi rendah dan dilakukan proses pengurangan (differences) untuk mendapatkan bagian dari gambar yang berfrekuensi tinggi (Putra 2010). Koefisien h 0 =( h 0 (0), h 0 (1))= ( 1 2,1 2 ) (low pass filter) dan h 1=(h 0 (0), h 1 (1))= ( 1 2,-1 2 ) (high pass filter) merupakan fungsi basis wavelet Haar. Dekomposisi perataan dan pengurangan sama halnya dengan melakukan dekomposisi citra dengan wavelet Haar. Kedua filter tersebut bersifat ortogonal namun tidak ortonormal. Filter Haar yang bersifat ortogonal dan juga ortonormal adalah: h 0, (7) h 1 1, (8)

21 Fungsi penskalaan Haar diperoleh dari subsitusi h 0 ke dalam persamaan (1), sehingga dihasilkan persamaan sebagai berikut: t=2t+(2t-1) dimana: 1, bila t [0,1) t x, untuk kondisi lainnya Substitusi h 1 ke dalam persamaan (2) akan menghasilkan: φt=2t-(2t-1) yang merupakan fungsi wavelet Haar dengan: 1, bila t [0, 1 2 ) φt= -1, bila t [ 1 2,1) 0, untuk kondisi lainnya 5 Pengolahan Citra Berwarna Model RGB Setiap warna pada model warna RGB memperlihatkan komponen spectral primary (red, green, dan blue). Model warna ini didasarkan pada sistem koordinat kartesian (Gonzales dan Woods 2002). Koordinat kartesian terlihat seperti sebuah kubus yang setiap sudutnya merepresentasikan warna primer dan warna sekunder hasil kombinasi warna primer. RGB dalam bentuk koordinat kartesian dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 RGB dalam bentuk koordinat kartesian Citra yang direpresentasikan dalam model warna RGB terdiri atas tiga komponen citra, masing-masing untuk setiap warna primer (R, G, B). Warna primer dapat ditambahkan untuk menghasilkan warna sekunder dari cahaya. Warna sekunder tersebut adalah magenta (merah dengan biru), cyan (hijau dengan biru), kuning (merah dengan hijau). Warna merah, hijau, dan biru jika digabungkan akan menjadi warna putih. Pengolahan Citra Berwarna Model HSV Model warna HSV terdiri atas hue, saturation, dan value. Hue merepresentasikan panjang gelombang dominan dalam campuran gelombang cahaya. Saturation mengindikasikan selang keabuan atau tingkat intensitas dalam

22 6 ruang warna. Value menunjukkan tingkat kecerahan sehingga HSV juga bisa disebut hue saturation brightness (HSB) (Georgieva et al. 2005). Model warna HSV secara konsep dapat digambarkan dalam bentuk kerucut terbalik. Hue direpresentasikan dalam bentuk sudut dari tiap warna. Bagian kerucut yang melebar menggambarkan saturation, sedangkan value digambarkan dengan tinggi kerucut. Model warna HSV dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 Model warna HSV Transformasi RGB menjadi HSV diperoleh menggunakan formula di bawah ini (Gonzales dan Woods 2002): θ if B G H= 360-θ if B >G 1 R-G+ R-B θ= cos -1 2 R-G 2 +R-GG-B 1 2 S=1-3 R+G+B [min(r,g,b)] V= 1 3 R+G+B K-Fold Cross Validation Metode k-fold cross validation membagi sebuah himpunan contoh secara acak menjadi k himpunan bagian lain (subset) yang saling bebas. Metode ini melakukan perulangan sebanyak k kali untuk pelatihan dan pengujian. Pada setiap perulangan disisipkan setiap subset untuk pengujian dan subset lainnya untuk pelatihan (Weis dan Kulikowski 1991 diacu dalam Sarle 2004). K-Nearest Neighbour K-Nearest Neighbour adalah salah satu teknik klasifikasi dengan cara membandingkan data uji yang diberikan dengan data latih yang sama. Setiap data merepresentasikan sebuah titik dalam kelas. Data latih disimpan dalam kelas yang

23 telah ditentukan. K-NN akan mencari pola sebanyak k data latih yang dekat dengan data yang belum memiliki kelas jika data yang diberikan tidak diketahui kelasnya (Han et al. 2011). Kedekatan biasanya didefinisikan sebagai sebuah fungsi jarak antara dua data. Fungsi jarak yang umumnya digunakan adalah jarak Euclidean. Misalkan terdapat dua data X x 11, x 12 x 1n menyatakan data uji dan X 2 =x 21, x 22 x 2n menyatakan data latih, jarak Euclidean-nya sebagai berikut: distx 1,X 2 (x 1i -x 2i ) 2 n i=1 7 METODE Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahap. Mulai dari pengumpulan data citra hingga mendapatkan nilai akurasi. Tahapan tersebut dapat dilihat pada Gambar 4. Pengumpulan Data Citra Data citra daun diakuisisi menggunakan kamera digital. Pengambilan citra dilakukan pada siang hari di dalam ruangan. Proses pengambilan citra dilakukan dengan memberikan latar belakang kertas putih. Sampel citra daun diambil dari Kebun Raya Bogor. Citra Daun Citra daun yang digunakan pada penelitian ini adalah citra daun dengan 10 spesies. Data citra asli daun berukuran piksel. Data citra daun tersebut dijadikan percobaan baik untuk pelatihan atau pun pengujian. Ekstraksi Warna RGB Tahap ekstraksi warna pada penelitian ini adalah dengan memecah komponen warna pada setiap model citra berwarna. Citra asli daun merupakan citra berwarna model RGB yang akan dipecah menjadi komponen warna R, G, dan B. Setiap komponen warna tersebut akan digunakan untuk ekstraksi fitur selanjutnya yaitu wavelet Haar. Contoh salah satu jenis yang berukuran asli dapat dilihat pada Gambar 5(a). Komponen warna R, G, dan B dari citra tersebut dapat dilihat pada Gambar 5(b), 5(c), dan 5(d).

24 8 Gambar 4 Metodologi penelitian (a) (b) (c) (d) Gambar 5 (a) Contoh citra asli seminis, (b) komponen warna R, (c) komponen warna G, (d) komponen warna B

25 9 Ekstraksi Warna HSV Citra berwarna model HSV didapat dengan mentransformasi citra berwarna model RGB. Citra berwarna model HSV akan dipecah menjadi komponen warna H, S, dan V. Setiap komponen warna tersebut akan digunakan untuk ekstraksi fitur selanjutnya, yaitu Wavelet Haar. Salah satu contoh citra berwarna model HSV dapat dilihat pada Gambar 6(a). Komponen warna H, S, dan V dari citra tersebut dapat dilihat pada Gambar 6(b), 6(c), dan 6(d). (a) (b) (c) (d) Gambar 6 (a) Contoh citra berwarna model HSV, (b) komponen warna H, (c) komponen warna S, (d) komponen warna V Ekstraksi Fitur Wavelet Haar Setiap komponen warna R, G, B, H, S, V akan diekstraksi menggunakan DWT 2D famili Haar. Proses ini bertujuan menghasilkan koefisien aproksimasi dan koefisien detail. Koefisien aproksimasi merupakan komponen-komponen yang mewakili citra asli yang telah difilter menggunakan low pass filter. Koefisien aproksimasi level 1 akan diproses untuk koefisien aproksimasi level 2 dan seterusnya. Pada penelitian ini, dekomposisi level yang digunakan adalah 3 level hingga 9 level. Hal ini bertujuan memperoleh akurasi yang terbaik pada setiap dekomposisi level. Salah satu contoh citra daun dekomposisi 3 level dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7 Contoh citra daun dekomposisi 3 level

26 10 Pembagian Data Data citra daun dibagi menjadi 2 bagian, yaitu data latih dan data uji. Data latih digunakan untuk melakukan klasifikasi menggunakan K-Nearest Neighbour, sedangkan data uji digunakan untuk melakukan pengujian klasifikasi. Penelitian ini menggunakan 10 spesies citra daun, masing-masing terdiri atas 10 data citra. Dari total 100 citra daun, 80 data digunakan sebagai data latih dan 20 data digunakan sebagai data uji. Setiap kelas terdiri atas 8 citra data latih dan 2 citra data uji. Selanjutnya, data latih dan data uji akan disusun menggunakan k-fold cross validation. Keseratus data yang diperoleh disusun menjadi 5 fold. Bentuk 5-fold cross validation dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Bentuk 5-fold cross validation dengan = data uji, = data latih Citra daun setiap jenis Fold Klasifikasi K-NN Setelah melakukan pembagian data, citra tersebut akan diklasifikasikan menggunakan K-NN. Konsep dasar dari K-NN adalah mencari jarak terdekat antara data yang akan dievaluasi dengan k tetangga terdekatnya dalam data pelatihan. Berikut algoritme dari K-NN (Song et al. 2007): 1 Menentukan nilai k. 2 Menghitung jarak data uji pada setiap data latih dengan menggunakan jarak Euclidean. 3 Urutkan jarak tersebut dari yang terkecil hingga yang terbesar. 4 Mendapatkan k data yang memiliki jarak terdekat. 5 Menentukan kelas untuk data uji. Perhitungan Akurasi Kinerja K-NN dapat ditentukan dengan menghitung besaran akurasi yang berhasil diperoleh. Akurasi dapat dihitung dengan persamaan berikut: Akurasi= data uji benar diklasifikasikan data uji x 100%

27 11 Lingkungan Pengembangan Sistem ini akan dikembangkan dan diimplementasikan dengan menggunakan perangkat keras dan perangkat lunak sebagai berikut: 1 Perangkat Keras Intel(R) Core(TM)2 CPU (2CPUs) Memori 2 GB Harddisk kapasitas 120 GB 2 Perangkat Lunak Windows XP Profesional sebagai sistem operasi Matlab 7.7 (R2008b) HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini digunakan 10 spesies citra daun, yaitu javanica, johorensis, lepida, leprosula, marcopetra, materialis, palembanica, pinanga, platycados, dan seminis. Setiap spesies memiliki 10 data citra yang akan dibagi menjadi 8 data latih dan 2 data uji. Total data latih sebanyak 80 data dan data uji sebanyak 20 data. Penelitian sebelumnya menggunakan data yang sama dilakukan oleh Ramadhan (2012). Penelitian tersebut menggunakan citra grayscale dan histogram warna dari citra berwarna model HSV dalam pengklasifikasian jenis. Penelitian ini tidak menggunakan citra grayscale dan tidak menggunakan histogram warna, tetapi menggunakan komponen warna dari citra berwarna model RGB dan HSV. Citra yang direperesentasikan dalam model warna RGB akan dipecah menjadi komponen warna R, G, dan B. Citra berwarna model HSV diperoleh dengan mentransformasi citra RGB sehingga diperoleh komponen warna H, S, dan V. Setiap komponen warna tersebut dilakukan dekomposisi dari 3 level hingga 9 level. Penelitian ini terdiri atas 7 percobaan. Pada setiap percobaan dilakukan terhadap komponen warna R, G, B, H, S, dan V berdasarkan dekomposisi level yang digunakan. Tabel rancangan percobaan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Rancangan percobaan Percobaan Dekomposisi Komponen Warna 1 3 level R, G, B, H, S, V 2 4 level R, G, B, H, S, V 3 5 level R, G, B, H, S, V 4 6 level R, G, B, H, S, V 5 7 level R, G, B, H, S, V level 9 level R, G, B, H, S, V R, G, B, H, S, V

28 12 Citra awal berukuran piksel. Ukuran citra untuk masingmasing komponen warna R, G, B, H, S, dan V setelah didekomposisi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Ukuran citra hasil dekomposisi untuk masing-masing komponen warna R, G, B, H, S, dan V Dekomposisi Ukuran citra Ukuran vektor citra hasil dekomposisi (piksel) (piksel) 3 level level level level level level 9 level Klasifikasi yang digunakan pada penelitian ini adalah K-NN sehingga ukuran citra hasil dekomposisi akan dijadikan vektor terlebih dahulu agar dapat digunakan sebagai masukan pada proses klasifikasi K-NN. Ukuran citra setelah dijadikan vektor dapat dilihat pada Tabel 3. Percobaan 1: Dekomposisi 3 Level pada Komponen Warna R, G, B, H, S, V Pada percobaan ini, masing-masing komponen warna R, G, B, H, S, dan V didekomposisi 3 level sehingga setiap komponen warna berukuran piksel. Tabel 4 menunjukkan rata-rata akurasi komponen warna R, G, B, H, S, dan V dengan dekomposisi 3 level. Komponen warna G memiliki rata-rata akurasi tertinggi dibanding dengan komponen warna R dan B. Rata-rata akurasi tertinggi pada komponen warna G mencapai 76% dengan nilai k=5. Komponen warna V memiliki rata-rata akurasi tertinggi dibandingkan komponen warna H dan S. Ratarata akurasi tertinggi pada komponen warna V mencapai 75% dengan nilai k=5. Tabel 4 Rata-rata akurasi komponen warna R, G, B, H, S, dan V dengan dekomposisi 3 level Komponen Rata-rata akurasi pada nilai k (%) Warna Rata-rata (%) R G B H S V Rata-rata Pada Gambar 8 dapat dilihat akurasi setiap jenis pada komponen warna R, G, B dengan dekomposisi 3 level. yang memiliki akurasi tertinggi sebesar 100% di komponen warna R, G, dan B adalah platycados. Selain

29 platycados, yang dapat diklasifikasikan dengan baik oleh ketiga komponen warna tersebut adalah javanica dan lepida dengan akurasi mencapai 90%. 13 Gambar 8 Akurasi setiap jenis pada komponen R, G, dan B dengan dekomposisi 3 level pinanga dapat diklasifikasikan dengan baik oleh komponen warna R dan B dengan akurasi mencapai 90%. marcoptera memperoleh akurasi terendah pada komponen G, yaitu sebesar 40%. materialis memperoleh akurasi terendah pada komponen R dan B. Tidak ada satu pun materialis yang dapat diklasifikasikan dengan benar pada komponen B. Pada komponen R, materialis hanya memperoleh akurasi 10%. marcoptera sering teridentifikasi sebagai leprosula, sedangkan materialis sering teridentifikasi sebagai javanica. Hal ini disebabkan adanya kemiripan tekstur pada jenis tersebut. Kesalahan identifikasi pada komponen R, G, dan B dapat dilihat pada Lampiran 1, Lampiran 2, dan Lampiran 3. Gambar 9 menunjukkan bahwa lepida dan platycados dapat diklasifikasikan dengan baik oleh komponen warna H, S, dan V. lepida memperoleh akurasi 100% pada komponen warna H dan 90% pada komponen warna S dan V. platycados memperoleh akurasi 90% pada komponen H dan 100% pada komponen warna S dan V. Gambar 9 Akurasi setiap jenis pada komponen H, S, dan V dengan dekomposisi 3 level

30 14 Javanica memperoleh akurasi terendah pada komponen H. Tidak ada satu pun javanica yang dapat diklasifikasikan dengan benar pada komponen H. Javanica sering teridentifikasi sebagai materialis. Johorensis, marcoptera, dan seminis memperoleh akurasi terendah pada komponen S, yaitu masing-masing sebesar 40%. Johorensis sering teridentifikasi sebagai materialis dan pinanga. Marcoptera sering teridentifikasi sebagai javanica dan pinanga. Seminis sering teridentifikasi sebagai materialis. Kesalahan identifikasi dapat disebabkan oleh kemiripan tekstur atau ukuran atau warna. Marcoptera dan materialis memperoleh akurasi terendah pada komponen V, yaitu masing-masing sebesar 40%. Pada komponen V, marcoptera dan materialis sering teridentifikasi sebagai leprosula. Confusion matrix pada komponen warna H, S, dan V tersaji pada Lampiran 4, Lampiran 5, dan Lampiran 6. Percobaan 2: Dekomposisi 4 Level pada Komponen Warna R, G, B, H, S, V Pada percobaan ini, masing-masing komponen warna R, G, B, H, S, dan V didekomposisi 4 level sehingga setiap komponen warna berukuran piksel. Tabel 5 menunjukkan bahwa komponen warna G memiliki rata-rata akurasi paling tinggi dibanding komponen warna R dan B, yaitu sebesar 76% dengan nilai k=5. Komponen warna V memiliki rata-rata akurasi tertinggi dibanding komponen warna H dan S. Rata-rata akurasi tertinggi pada komponen warna V mencapai 75% dengan nilai k=5. Tabel 5 Rata-rata akurasi komponen warna R, G, B, H, S, dan V dengan dekomposisi 4 level Komponen Rata-rata akurasi pada nilai k (%) Warna Rata-rata (%) R G B H S V Rata-rata Pada Gambar 10 dapat dilihat bahwa javanica, lepida, dan platycados dapat diklasifikasikan dengan baik oleh komponen warna R, G, dan B. Pada ketiga komponen warna tersebut, platycados memperoleh akurasi 100%, sedangkan javanica dan lepida memperoleh akurasi 90%. Hasil akurasi setiap jenis pada komponen R dan G di percobaan kedua sama dengan hasil akurasi pada percobaan pertama. Materialis memperoleh akurasi paling rendah pada komponen B, yaitu sebesar 0%. materialis sering teridentifikasi sebagai javanica. Hal ini disebabkan oleh adanya kemiripan tekstur pada kedua jenis tersebut. Kesalahan identifikasi pada komponen R, G, dan B dengan dekomposisi 4 level dapat dilihat pada Lampiran 7, Lampiran 8, dan Lampiran 9.

31 15 Gambar 10 Akurasi setiap jenis pada komponen R, G, dan B dengan dekomposisi 4 level Pada Gambar 11 dapat dilihat akurasi setiap jenis pada komponen H, S, dan V dengan dekomposisi 4 level. Hasil akurasi setiap jenis pada komponen warna S dan V sama dengan hasil pada percobaan pertama. Pada komponen H, lepida memperoleh akurasi tertinggi sebesar 100%. materialis dan platycados dapat diklasifikasikan dengan baik oleh komponen H dengan akurasi mencapai 90%. Pinanga memperoleh akurasi terendah pada komponen H. Tidak ada satu pun pinanga yang dapat diklasifikasikan dengan benar. Confusion matrix pada komponen H, S, dan V dapat dilihat pada Lampiran 10, Lampiran 11, dan Lampiran 12. Gambar 11 Akurasi setiap jenis pada komponen H, S, dan V dengan dekomposisi 4 level Percobaan 3: Dekomposisi 5 Level pada Komponen Warna R, G, B, H, S, V Pada percobaan ini, masing-masing komponen warna R, G, B, H, S, dan V didekomposisi 5 level sehingga setiap komponen warna berukuran piksel. Pada Tabel 6 dapat dilihat rata-rata akurasi pada percobaan ketiga. Komponen warna G memberikan rata-rata akurasi paling tinggi sebesar 76% dengan nilai k=3. Komponen warna V memberikan nilai rata-rata akurasi tertinggi sebesar 75% dengan nilai k=3.

32 16 Tabel 6 Rata-rata akurasi komponen warna R, G, B, H, S, dan V dengan dekomposisi 5 level Komponen Rata-rata akurasi pada nilai k (%) Warna Rata-rata (%) R G B H S V Rata-rata Gambar 12 menunjukkan akurasi setiap jenis pada komponen R, G, dan B dengan dekomposisi 5 level. Jenis yang memperoleh akurasi paling tinggi pada komponen warna R, G, dan B adalah platycados dengan akurasi mencapai 100%. Selain platycados, jenis yang dapat diklasifikasikan dengan baik adalah javanica dan lepida dengan akurasi mencapai 90%. Gambar 12 Akurasi setiap jenis pada komponen R, G, dan B dengan dekomposisi 5 level Jenis yang memiliki akurasi paling rendah di ketiga komponen tersebut adalah materialis. materialis sering teridentifikasi sebagai javanica. Kesalahan identifikasi pada komponen R, G, dan B tersaji pada Lampiran 13, Lampiran 14, dan Lampiran 15. Pada Gambar 13 dapat dilihat akurasi setiap jenis pada komponen warna H, S, dan V dengan dekomposisi 5 level. Jenis yang dapat diklasifikasikan dengan baik oleh komponen warna H, S, dan V adalah lepida dan platycados. lepida memperoleh akurasi 100% pada komponen warna H dan 90% pada komponen warna S dan V. platycados memperoleh akurasi 100% pada komponen warna S dan V. Platycados memperoleh akurasi sebesar 90% pada komponen warna H.

33 17 Gambar 13 Akurasi setiap jenis pada komponen H, S, dan V dengan dekomposisi 5 level Pinanga memperoleh akurasi paling rendah pada komponen H, yaitu sebesar 10%. Pinanga sering teridentifikasi sebagai platycados. Marcoptera dan seminis memperoleh akurasi paling rendah pada komponen S, yaitu masingmasing sebesar 40%. marcoptera sering teridentifikasi sebagai javanica, sedangkan seminis sering teridentifikasi sebagai materialis. Materialis memperoleh akurasi paling rendah pada komponen V, yaitu sebesar 40%. Confusion matrix pada komponen H, S, dan V dapat dilihat pada Lampiran 16, Lampiran 17, Lampiran 18. Percobaan 4: Dekomposisi 6 Level pada Komponen Warna R, G, B, H, S, V Percobaan keempat menggunakan masing-masing komponen warna R, G, B, H, S, dan V yang telah didekomposisi hingga 6 level sehingga ukuran setiap komponen warna menjadi piksel. Pada Tabel 7 terlihat bahwa komponen warna G memiliki rata-rata akurasi paling tinggi dibanding dengan komponen warna R dan B. Rata-rata akurasi tertinggi komponen warna G mencapai 77% dengan nilai k=3. Komponen warna V juga memiliki rata-rata akurasi paling tinggi dibanding komponen warna H dan S. Rata-rata akurasi tertinggi komponen warna V mencapai 75% dengan nilai k=3. Tabel 7 Rata-rata akurasi komponen warna R, G, B, H, S, dan V dengan dekomposisi 6 level Komponen Rata-rata akurasi pada nilai k (%) Warna Rata-rata (%) R G B H S V Rata-rata

34 18 Gambar 14 menunjukkan akurasi setiap jenis pada komponen R, G, dan B dengan dekomposisi 6 level. Jenis yang memperoleh akurasi tertinggi sebesar 100% di komponen warna R, G, dan B terdapat pada kelas platycados. Selain platycados, jenis yang dapat diklasifikasikan dengan baik pada ketiga komponen warna tersebut adalah javanica dan lepida dengan masing-masing akurasi sebesar 90%. Jenis yang memiliki akurasi paling rendah di ketiga komponen tersebut adalah materialis. Selain materialis, johorensis dan marcoptera memiliki akurasi rendah pada komponen R, G, dan B. marcoptera sering teridentifikasi sebagai johorensis dan leprosula. Hal ini disebabkan oleh kemiripan tekstur dan ukuran pada ketiga jenis tersebut. Kesalahan identifikasi pada komponen R, G, dan B dengan dekomposisi 6 level dapat dilihat pada Lampiran 19, Lampiran 20, dan Lampiran 21. pinanga mengalami peningkatan akurasi sebesar 10% pada komponen R sehingga akurasinya menjadi 90%. Gambar 14 Akurasi setiap jenis pada komponen R, G, dan B dengan dekomposisi 6 level Pada Gambar 15 dapat dilihat akurasi setiap jenis pada komponen warna H, S, dan V dengan dekomposisi 6 level. Jenis yang dapat diklasifikasikan dengan baik oleh komponen warna H, S, dan V adalah platycados dan lepida. platycados memperoleh akurasi 100% pada komponen warna H, S, dan V. lepida memperoleh akurasi 100% pada komponen warna H, sedangkan pada komponen warna S dan V, lepida memperoleh akurasi sebesar 90%. Gambar 15 Akurasi setiap jenis pada komponen H, S, dan V dengan dekomposisi 6 level

35 Pinanga memperoleh akurasi paling rendah pada komponen warna H, yaitu sebesar 0%. Pinanga sering teridentifikasi sebagai platycados. Marcoptera dan materialis memperoleh akurasi paling rendah pada komponen S, yaitu masingmasing sebesar 40%. marcoptera sering teridentifikasi sebagai pinanga dan javanica. Materialis memperoleh akurasi paling rendah pada komponen V, yaitu sebesar 40%. materialis sering teridentifikasi sebagai javanica dan pinanga. Kesalahan identifikasi pada komponen H, S, dan V dengan dekomposisi 6 level dapat dilihat pada Lampiran 22, Lampiran 23, dan Lampiran Percobaan 5: Dekomposisi 7 Level pada Komponen Warna R, G, B, H, S, V Pada percobaan kelima, masing-masing komponen warna R, G, B, H, S, dan V didekomposisi 7 level sehingga setiap komponen warna berukuran piksel. Tabel 8 menunjukkan bahwa komponen warna G memiliki akurasi tertinggi dibanding dengan komponen R dan B. Rata-rata akurasi tertinggi pada komponen warna G mencapai 74% dengan nilai k=3. Komponen warna V memiliki rata-rata akurasi tertinggi dibanding dengan komponen warna H dan S. Rata-rata akurasi tertinggi pada komponen V mencapai 75% dengan nilai k=5. Tabel 8 Rata-rata akurasi komponen warna R, G, B, H, S, dan V dengan dekomposisi 7 level Komponen Rata-rata akurasi pada nilai k (%) Warna Rata-rata (%) R G B H S V Rata-rata Gambar 16 Akurasi setiap jenis pada komponen R, G dan B dengan dekomposisi 7 level Gambar 16 menunjukkan platycados memiliki akurasi paling tinggi sebesar 100% di komponen warna R, G, dan B. lepida dapat diklasifikasikan

36 20 dengan baik pada ketiga komponen tersebut dengan akurasi sebesar 90%. yang memiliki akurasi paling rendah pada komponen R, G, dan B adalah materialis. Kesalahan identifikasi pada komponen R, G, dan B dapat dilihat pada Lampiran 25, Lampiran 26, dan Lampiran 27. Gambar 17 Akurasi setiap jenis pada komponen H, S, dan V dengan dekomposisi 7 level Pada Gambar 17 dapat dilihat akurasi setiap jenis pada komponen warna H, S, dan V dengan dekomposisi 7 level. yang dapat diklasifikasikan dengan baik adalah lepida dan platycados. Platycados memperoleh akurasi paling tinggi pada komponen H, S, dan V, yaitu sebesar 100%. Lepida memperoleh akurasi sebesar 100% pada komponen H dan memperoleh akurasi 90% pada komponen S dan V. Javanica dapat diklasifikasikan dengan baik pada komponen warna S dan V. Javanica memperoleh akurasi sebesar 100% pada komponen S dan 90% pada komponen V. Pinanga memperoleh akurasi terendah pada komponen H, yaitu sebesar 0%. pinanga sering teridentifikasi sebagai platycados. Materialis memperoleh akurasi terendah pada komponen S, yaitu sebesar 40%. materialis sering teridentifikasi sebagai javanica, leprosula, dan pinanga. Marcoptera dan materialis memperoleh akurasi terendah pada komponen V. marcoptera sering teridentifikasi sebagai leprosula. Kesalahan identifikasi pada komponen H, S, dan V dapat dilihat pada Lampiran 28, Lampiran 29, dan Lampiran 30. Percobaan 6: Dekomposisi 8 Level pada Komponen Warna R, G, B, H, S, V Percobaan keenam menggunakan masing-masing komponen warna R, G, B, H, S, dan V yang telah didekomposisi 8 level sehingga setiap komponen warna berukuran piksel. Hasil pada percobaan ini tersaji pada Tabel 9. Komponen warna G memiliki rata-rata akurasi paling tinggi dibanding dengan komponen warna R dan B. Komponen warna V memiliki akurasi paling tinggi dibanding komponen warna H dan S. Rata-rata akurasi tertinggi pada komponen warna G dan V mencapai 80% dengan nilai k=3.

37 21 Tabel 9 Rata-rata akurasi komponen warna R, G, B, H, S, dan V dengan dekomposisi 8 level Komponen Rata-rata akurasi pada nilai k (%) Warna Rata-rata (%) R G B H S V Rata-rata Gambar 18 menunjukkan bahwa platycados memiliki akurasi tertinggi sebesar 100% di komponen warna R, G, dan B. javanica, lepida, dan seminis dapat diklasifikasikan dengan baik di komponen warna R, G, dan B. Seminis memperoleh akurasi 100% pada komponen warna G dan B dan 90% pada komponen R. javanica memiliki akurasi 100% pada komponen warna G dan 90% pada komponen warna R dan B. Gambar 18 Akurasi setiap jenis pada komponen R, G dan B dengan dekomposisi 8 level yang memiliki akurasi paling rendah di komponen warna R dan B adalah materialis. materialis memiliki akurasi 10% pada komponen R. Pada komponen B, tidak ada satu pun materialis yang dapat diklasifikasikan dengan benar. Marcoptera dan materialis memperoleh akurasi paling rendah pada komponen G. Kesalahan identifikasi pada komponen warna R, G, dan B dapat dilihat pada Lampiran 31, Lampiran 32, dan Lampiran 33. Pada Gambar 19 dapat dilihat akurasi setiap jenis pada komponen warna H, S, dan V dengan dekomposisi 8 level. platycados memperoleh akurasi paling tinggi sebesar 100% di komponen warna H, S, dan V. Komponen H dapat mengklasifikasikan lepida dengan baik dengan akurasi mencapai 100%. Komponen warna S dan V dapat mengklasifikasikan dengan baik jenis pada kelas javanica, lepida dan seminis. javanica memperoleh akurasi 100% pada komponen warna S dan V. lepida memperoleh akurasi 90% pada komponen warna S dan V. seminis memperoleh akurasi 100% pada komponen V dan 90% pada komponen warna S.

38 22 Gambar 19 Akurasi setiap jenis pada komponen H, S, dan V dengan dekomposisi 8 level pinanga memperoleh akurasi paling rendah sebesar 0% pada komponen warna H. pinanga sering teridentifikasi sebagai paltycados. materialis memperoleh akurasi paling rendah sebesar 40% pada komponen warna S. materialis sering teridentifikasi sebagai pinanga dan marcoptera. Marcoptera dan materialis memperoleh akurasi terendah terdapat pada komponen warna V, yaitu masing-masing sebesar 60%. marcoptera sering teridentifikasi sebagai johorensis. Kesalahan identifikasi pada percobaan ini dapat dilihat pada Lampiran 34, Lampiran 35, dan Lampiran 36. Percobaan 7: Dekomposisi 9 Level pada Komponen Warna R, G, B, H, S, V Percobaan keenam menggunakan masing-masing komponen warna R, G, B, H, S, dan V yang telah didekomposisi 9 level sehingga setiap komponen warna berukuran 6 8 piksel. Hasil pada percobaan ini tersaji pada Tabel 10. Komponen G memiliki rata-rata akurasi paling tinggi dibanding dengan komponen warna R dan B. Komponen warna V memiliki akurasi paling tinggi dibanding komponen warna H dan S. Rata-rata akurasi tertinggi pada komponen warna G dan V mencapai 77% dengan nilai k=5. Tabel 10 Rata-rata akurasi komponen warna R, G, B, H, S, dan V dengan dekomposisi 9 level Komponen Rata-rata akurasi pada nilai k (%) Warna Rata-rata (%) R G B H S V Rata-rata

39 23 Gambar 20 Akurasi setiap jenis pada komponen R, G, dan B dengan dekomposisi 9 level Akurasi setiap jenis pada komponen R, G, dan B dengan dekomposisi 9 level dapat dilihat pada Gambar 20. javanica, platycados dan seminis memperoleh akurasi paling tinggi sebesar 100% di komponen warna R, G, dan B. Lepida dapat diklasifikasikan dengan baik pada ketiga komponen tersebut dengan akurasi sebesar 90%. Materialis memperoleh akurasi paling rendah sebesar 30% pada komponen R. Johorensis dan marcoptera memperoleh akurasi paling rendah sebesar 50% pada komponen G. Johorensis dan materialis memperoleh akurasi paling rendah sebesar 20% pada komponen B. Kesalahan identifikasi pada komponen R, G, dan B dengan dekomposisi 9 level dapat dilihat pada Lampiran 37, Lampiran 38, dan Lampiran 39. Pada Gambar 21 dapat dilihat akurasi setiap jenis pada komponen warna H, S, dan V dengan dekomposisi 9 level. platycados memperoleh akurasi tertinggi sebesar 100% pada komponen warna H, S, dan V. Pinanga memperoleh akurasi paling rendah pada komponen warna H. Tidak ada satu pun pinanga yang dapat diklasifikasikan dengan benar. Leprosula dan materialis memperoleh akurasi paling rendah pada komponen S. Kedua jenis tersebut memperoleh akurasi sebesar 40%. Johorensis dan marcoptera memperoleh akurasi paling rendah sebesar 50% pada komponen warna V. Kesalahan identifikasi pada komponen warna H, S, dan V dengan dekomposisi 9 level dapat dilihat pada Lampiran 40, Lampiran 41, dan Lampiran 42. Gambar 21 Akurasi setiap jenis pada komponen H, S, dan V dengan dekomposisi 9 level

40 24 Perbandingan Akurasi antara Citra Berwarna Model RGB dan HSV Grafik hasil rata-rata akurasi tertinggi dari komponen R, G, dan B pada setiap dekomposisi level dapat dilihat pada Gambar 22. Grafik tersebut menunjukkan bahwa komponen warna G selalu memiliki akurasi paling tinggi dibanding komponen warna R dan B dari dekomposisi 3 level hingga 9 level. Peningkatan akurasi yang signifikan pada komponen G terjadi pada dekomposisi 8 level, sedangkan penurunan akurasi terjadi pada dekomposisi 9 level. Gambar 22 Hasil rata-rata akurasi tertinggi dari komponen R, G, dan B pada setiap dekomposisi level Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa komponen warna G merupakan komponen warna yang berpengaruh dalam menghasilkan akurasi tertinggi dari dekomposisi 3 level hingga dekomposisi 9 level. Hal ini disebabkan oleh data citra yang digunakan adalah daun dan warna hijau merupakan penciri dari citra daun tersebut. Percobaan pada citra berwarna model RGB menghasilkan rata-rata akurasi terbaik sebesar 80% pada komponen warna G dengan dekomposisi 8 level dan nilai k=3. Gambar 23 Hasil rata-rata akurasi tertinggi dari komponen H, S, dan V pada setiap level dekomposisi Gambar 23 dapat dilihat grafik hasil rata-rata akurasi tertinggi dari komponen H, S, dan V pada setiap dekomposisi level. Grafik tersebut menunjukkan bahwa komponen warna V selalu memiliki akurasi paling tinggi dibanding komponen warna H dan S dari dekomposisi 3 level hingga 9 level.

41 Komponen warna V mengalami peningkatan akurasi yang signifikan pada dekomposisi 8 level sedangkan penurunan akurasi terjadi pada dekomposisi 9 level. Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa komponen warna V merupakan komponen warna yang berpengaruh dalam menghasilkan akurasi tertinggi. Percobaan pada citra berwarna model HSV menghasilkan rata-rata akurasi terbaik sebesar 80% pada komponen warna V dengan dekomposisi 8 level dan nilai k=3. Berdasarkan hasil rata-rata akurasi yang telah diperoleh dapat disimpulkan bahwa pemilihan komponen warna pada citra, dekomposisi level, dan nilai k dapat mempengaruhi akurasi pada identifikasi jenis. Penggunaan parameter yang tepat pada data uji dan data latih yang dipakai akan menghasilkan akurasi yang baik. Pada Tabel 11 dapat dilihat hasil akurasi komponen warna dari citra model RGB dan HSV dari dekomposisi 3 level hingga 9 level. Rata-rata akurasi dari keenam komponen warna tersebut mengalami peningkatan dari dekomposisi 3 level hingga 8 level. Rata-rata akurasi tertinggi seluruh komponen warna mencapai 71.33% pada dekomposisi 8 level. Tabel 11 Hasil akurasi citra model RGB dan HSV di setiap dekomposisi level Komponen Akurasi pada dekomposisi level (%) Rata-rata warna (%) R G B H S V Rata-rata Analisis Kesalahan pada Citra Berwarna Model RGB Pada komponen warna yang sama dan dekomposisi level yang berbeda, sebagian besar letak kesalahan identifikasi cenderung sama. Salah satu contohnya adalah kesalahan identifikasi marcoptera pada komponen warna G. (a) (b) Gambar 24 (a) marcoptera 5 (b) leprosula 3 marcoptera sering teridentifikasi sebagai leprosula dari dekomposisi 3 level hingga dekomposisi 9 level. Salah satu dari 10 data citra

42 26 marcoptera yang sering teridentifikasi sebagai leprosula yaitu marcoptera 5. Pada Gambar 24 dapat dilihat kemiripan citra marcoptera 5 dengan salah satu citra leprosula. Kesalahan identifikasi disebabkan adanya kemiripan ukuran, tekstur, dan warna pada kedua jenis tersebut. Letak kesalahan identifikasi pada komponen warna yang berbeda dan dekomposisi level yang sama tidak semuanya sama. Berikut ini akan diuraikan contoh kesalahan identifikasi yang terjadi pada setiap komponen warna R, G, dan B dengan dekomposisi 3 level. (a) (b) Gambar 25 (a) seminis 5 (b) lepida 1 Pada komponen R, seminis sering teridentifikasi sebagai lepida. Kesalahan identifikasi dapat disebabkan adanya pengaruh background dan bayangan pada citra tersebut serta kemiripan tekstur antara seminis dengan lepida. Pada Gambar 25 dapat dilihat kemiripan citra seminis dengan salah satu citra lepida. (a) (b) Gambar 26 (a) seminis 8 (b) materialis 4 Pada komponen B, seminis sering teridentifikasi sebagai materialis. Kesalahan identifikasi disebabkan adanya kemiripan struktur tulang daun pada kedua jenis tersebut. Selain kemiripan, pengaruh background dan bayangan pada citra dapat menyebabkan kesalahan identifikasi. Pada Gambar 26 dapat dilihat kemiripan citra seminis dengan salah satu citra materialis. Pada komponen G, tidak ada satu pun seminis yang salah diklasifikasikan. Hal ini disebabkan oleh seminis memiliki tekstur komponen warna G yang berbeda dengan jenis yang lain sehingga komponen warna G merupakan komponen yang berpengaruh dalam menghasilkan akurasi terbaik pada seminis. yang memiliki akurasi paling rendah pada komponen R, G, dan B dari dekomposisi 3 level hingga 9 level yaitu materialis. materialis sering teridentifikasi sebagai javanica. Dari 10 data citra materialis terdapat 6 data citra yang sering teridentifikasi sebagai javanica. Pada Gambar 27 dapat dilihat citra materialis yang sering teridentifikasi sebagai javanica. Pada Gambar 28 dapat dilihat 6 data citra javanica.

43 27 (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 27 Citra materialis yang sering teridentifikasi sebagai javanica (a) materialis 3, (b) materialis 4, (c) materialis 5, (d) materialis 7, (e) materialis 8 (f) materialis 9 (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 28 Citra javanica (a) javanica 4, (b) javanica 5, (c) javanica 7, (d) javanica 8, (e) javanica 9, (f) javanica 10 Pada Gambar 27 dan Gambar 28 terlihat adanya kemiripan antara materialis dengan javanica. Kesalahan identifikasi pada materialis dapat disebabkan adanya kemiripan tekstur dan warna serta pengaruh background dan bayangan pada citra tersebut. Jenis yang sering tepat diklasifikasikan pada komponen R, G, dan B yaitu javanica, lepida, dan platycados. Hal ini dikarenakan ketiga jenis tersebut memiliki ukuran atau tekstur yang berbeda dengan jenis yang lain. Jenis yang sering salah diklasifikasikan adalah johorensis, leprosula, marcoptera, materialis, palembanica, pinanga, dan seminis. Kesalahan identifikasi disebabkan adanya kemiripan dengan jenis yang lain atau pengaruh background dan bayangan pada citra atau adanya cacat pada daun tersebut. Pada Gambar 29 dapat dilihat citra yang sering tepat diklasifikasikan sedangkan Gambar 30 citra jenis yang sering salah diklasifikasikan.

44 28 (a) (b) (c) Gambar 29 (a) javanica, (b) lepida, (c) platycados (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) Gambar 30 (a) johorensis, (b) leprosula, (c) marcoptera, (d) seminis, (d) materialis, (e) palembanica, (f) pinanga Analisis Kesalahan pada Citra Berwarna Model HSV Pada percobaan citra berwarna model HSV, letak kesalahan pada komponen warna yang sama dan dekomposisi level yang berbeda cenderung sama. Salah satu contohnya adalah kesalahan idenifikasi pada materialis pada komponen V. materialis sering teridentifikasi sebagai pinanga dari dekomposisi 3 level hingga dekomposisi 9 level. Data citra materialis yang sering teridentifikasi sebagai pinanga adalah materialis 1 dan materialis 6. Pada Gambar 31 dapat dilihat citra materialis sedangkan Gambar 32 citra pinanga. Berdasarkan Gambar 31 dan 32 terlihat bahwa materialis 1 mirip dengan pinanga 7 dan pinanga 10 sedangkan materialis 6 mirip dengan pinanga 3, pinanga 4, dan pinanga 9. Kesalahan identifikasi pada materialis dapat disebabkan adanya kemiripan tekstur, ukuran, dan kecerahan warna dengan pinanga.

45 29 (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) (h) (i) (j) Gambar 31 Citra materialis (a) materialis 1, (b) materialis 2, (c) materialis 3, (d) materialis 4, (e) materialis 5, (f) materialis 6, (g) materialis 7, (h) materialis 8, (i) materialis 9, (j) materialis 10 (a) (b) (c) (d) (e) (f) Gambar 32 Citra pinanga (a) pinanga 2, (b) pinanga 3, (c) pinanga 4, (d) pinanga 7, (e) pinanga 9, (f) pinanga 10 Letak kesalahan identifikasi pada komponen warna yang berbeda dan dekomposisi level yang sama tidak semuanya sama. Berikut ini akan diuraikan contoh kesalahan identifikasi yang terjadi pada setiap komponen warna H, S, dan V dengan dekomposisi 8 level.

46 30 (a) (b) (c) (d) (e) (f) (g) Gambar 33 Citra johorensis yang sering salah diklasifikasikan (a) johorensis 1, (b) johorensis 2, (c) johorensis 5, (d) johorensis 7, (e) johorensis 8, (f) johorensis 9, (g) johorensis 10 Pada komponen H, johorensis sering teridentifikasi sebagai marcoptera. Pada komponen S, johorensis sering teridentifikasi sebagai materialis dan pinanga. Pada komponen V, johorensis sering teridentifikasi sebagai marcoptera, palembanica dan pinanga. Data citra johorensis yang sering salah teridentifikasi adalah johorensis 1, johorensis 2, johorensis 5, johorensis 7, johorensis 8, johorensis 9, dan johorensis 10. Citra johorensis yang sering salah diklasifikasikan dapat dilihat pada Gambar 33. Kesalahan identifikasi pada johorensis dapat disebabkan adanya kemiripan ukuran, tekstur, dan warna dengan jenis yang lain. Adanya cacat pada tekstur seperti daun berlubang dan kusut dapat menyebabkan kesalahan identifikasi. Meskipun secara visual tidak mirip, namun kedekatan ciri atau pola informasi bisa terjadi karena adanya cacat pada tekstur. Cacat dapat mengubah ciri suatu tekstur sehingga mirip dengan ciri tekstur lain. yang memiliki akurasi paling rendah pada komponen H, S, dan V dari dekomposisi 3 level hingga dekomposisi 9 level adalah pinanga. pinanga sering teridentifikasi sebagai materialis. Dari 10 data citra pinanga terdapat 5 citra yang sering teridentifikasi sebagai materialis diantaranya adalah pinanga 2, pinanga 3, pinanga 7, pinanga 9, pinanga 10. Kelima citra pinanga tersebut dapat dilihat pada Gambar 32. Jenis yang dapat diklasifikasikan dengan baik oleh komponen warna H, S, dan V yaitu lepida dan platycados. Hal ini dikarenakan kedua jenis tersebut memiliki ukuran atau tekstur atau kecerahan warna yang berbeda dengan jenis yang lain. Jenis yang sering salah diklasifikasikan adalah javanica, johorensis, leprosula, marcoptera, materialis, palembanica, pinanga, dan seminis. Kesalahan identifikasi disebabkan adanya kemiripan dengan jenis yang lain atau pengaruh background dan bayangan pada citra atau cacat pada daun tersebut.

Identifikasi Daun Shorea menggunakan KNN dengan Ekstraksi Fitur 2DPCA. Shorea Leaves Identification using KNN with 2DPCA Feature Extraction

Identifikasi Daun Shorea menggunakan KNN dengan Ekstraksi Fitur 2DPCA. Shorea Leaves Identification using KNN with 2DPCA Feature Extraction Tersedia secara online di: http://journal.ipb.ac.id/index.php/jika Volume 3 Nomor 1 halaman 19-27 ISSN: 2089-6026 Identifikasi Daun Shorea menggunakan KNN dengan Ekstraksi Fitur 2DPCA Shorea Leaves Identification

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAUN SHOREA MENGGUNAKAN VOTING FEATURE INTERVAL 5 DENGAN DISCRETE WAVELET TRANSFORM ILVI NURRIZKI UTAMI

IDENTIFIKASI DAUN SHOREA MENGGUNAKAN VOTING FEATURE INTERVAL 5 DENGAN DISCRETE WAVELET TRANSFORM ILVI NURRIZKI UTAMI IDENTIFIKASI DAUN SHOREA MENGGUNAKAN VOTING FEATURE INTERVAL 5 DENGAN DISCRETE WAVELET TRANSFORM ILVI NURRIZKI UTAMI DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAUN SHOREA DENGAN BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK MENGGUNAKAN EKSTRAKSI FITUR DISCRETE WAVELET TRANSFORM DAN EKSTRAKSI WARNA HSV

IDENTIFIKASI DAUN SHOREA DENGAN BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK MENGGUNAKAN EKSTRAKSI FITUR DISCRETE WAVELET TRANSFORM DAN EKSTRAKSI WARNA HSV IDENTIFIKASI DAUN SHOREA DENGAN BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK MENGGUNAKAN EKSTRAKSI FITUR DISCRETE WAVELET TRANSFORM DAN EKSTRAKSI WARNA HSV IMAN AKBAR RAMADHAN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian adalah sekumpulan peraturan, kegiatan, dan prosedur yang digunakan oleh pelaku suatu disiplin ilmu. Metodologi berisi tahapan-tahapan yang dilakukan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI JENIS SHOREA (MERANTI) MENGGUNAKAN ALGORITME VOTING FEATURE INTERVALS 5 BERDASARKAN KARAKTERISTIK MORFOLOGI DAUN EVI SUSANTI

IDENTIFIKASI JENIS SHOREA (MERANTI) MENGGUNAKAN ALGORITME VOTING FEATURE INTERVALS 5 BERDASARKAN KARAKTERISTIK MORFOLOGI DAUN EVI SUSANTI IDENTIFIKASI JENIS SHOREA (MERANTI) MENGGUNAKAN ALGORITME VOTING FEATURE INTERVALS 5 BERDASARKAN KARAKTERISTIK MORFOLOGI DAUN EVI SUSANTI DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang Latar Belakang PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan hutan hujan tropis dengan keanekaragaman spesies tumbuhan yang sangat tinggi dan formasi hutan yang beragam. Dipterocarpaceae

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAUN SHOREA MENGGUNAKAN K-NEAREST NEIGHBOR DENGAN CIRI STATISTICAL TEXTURES AOKIRINDUAN HAYYI AOKO QOYYIMA

IDENTIFIKASI DAUN SHOREA MENGGUNAKAN K-NEAREST NEIGHBOR DENGAN CIRI STATISTICAL TEXTURES AOKIRINDUAN HAYYI AOKO QOYYIMA IDENTIFIKASI DAUN SHOREA MENGGUNAKAN K-NEAREST NEIGHBOR DENGAN CIRI STATISTICAL TEXTURES AOKIRINDUAN HAYYI AOKO QOYYIMA DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan studi (state of the art) Berikut penelitian yang telah dilakukan sebelumnya : 1. Penelitian dilakukan oleh Sigit Sugiyanto Feri Wibowo (2015), menjelaskan tentang klasifikasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 23 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tahapan Penelitian Tahapan proses penelitian ditunjukkan pada Gambar 15 berikut. Mulai 96 citra stomata Ekstraksi fitur - RGB & Skala Keabuan Ekstraksi fitur - Wavelet

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAUN SHOREA MENGGUNAKAN PROBABILISTIC NEURAL NETWORK DENGAN NORMALISASI FITUR MORFOLOGI DAUN ALITA WULAN DINI

IDENTIFIKASI DAUN SHOREA MENGGUNAKAN PROBABILISTIC NEURAL NETWORK DENGAN NORMALISASI FITUR MORFOLOGI DAUN ALITA WULAN DINI IDENTIFIKASI DAUN SHOREA MENGGUNAKAN PROBABILISTIC NEURAL NETWORK DENGAN NORMALISASI FITUR MORFOLOGI DAUN ALITA WULAN DINI DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords : Shorea, k-nearest Neighbour. iii

ABSTRACT. Keywords : Shorea, k-nearest Neighbour. iii ABSTRACT BRYAN NURJAYANTI. Identification Using k-nearest Neighbour Based on Morphological Characteristics of Leaves. Supervised by AZIZ KUSTIYO. Dipterocarpaceae is a group of tropical plants that is

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 3 Ilustrasi pencarian titik pusat dan jari-jari pupil. Segmentasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 3 Ilustrasi pencarian titik pusat dan jari-jari pupil. Segmentasi 4 Perangkat keras berupa Notebook: Processor intel Core i3 2.2 GHz. RAM kapasitas 2. GB. Harddisk Kapasitas 5 GB. Monitor pada resolusi 1366 x 768 piksel. Merek Acer Aspire 475. Perangkat lunak berupa:

Lebih terperinci

Pengenalan Telur Berdasarkan Karakteristik Warna Citra Yustina Retno Wahyu Utami 2)

Pengenalan Telur Berdasarkan Karakteristik Warna Citra Yustina Retno Wahyu Utami 2) Pengenalan Telur Berdasarkan Karakteristik Warna Citra Yustina Retno Wahyu Utami 2) ISSN : 1693 1173 Abstrak Pengenalan obyek pada citra merupakan penelitian yang banyak dikembangkan. Salah satunya pengenalan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KINERJA EKSTRAKSI FITUR TINGKAT RENDAH MENGGUNAKAN METODE

PERBANDINGAN KINERJA EKSTRAKSI FITUR TINGKAT RENDAH MENGGUNAKAN METODE PERBANDINGAN KINERJA EKSTRAKSI FITUR TINGKAT RENDAH MENGGUNAKAN METODE Gray Level Co-occurrence Matrix (GLCM) dan GABOR FILTER DALAM PENGENALAN MOTIF BATIK OLEH : ANUGRAH SURADIPURWO NIM : 41508110061

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dibahas teori yang berkaitan dengan pemrosesan data untuk sistem pengenalan gender pada skripsi ini, meliputi cropping dan resizing ukuran citra, konversi citra

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tahapan Penelitian Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 14, terdiri dari tahap identifikasi masalah, pengumpulan dan praproses data, pemodelan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Timor Leste terletak di antara garis lintang 8 dan 10 S, dan bujur 124

BAB I PENDAHULUAN. Timor Leste terletak di antara garis lintang 8 dan 10 S, dan bujur 124 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Timor Leste terletak di antara garis lintang 8 dan 10 S, dan bujur 124 dan 128 E. Terletak di Asia Tenggara, Pulau Timor merupakan bagian dari Asia Tenggara Maritim,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengumpulan dan Praproses Data Kegiatan pertama dalam penelitian tahap ini adalah melakukan pengumpulan data untuk bahan penelitian. Penelitian ini menggunakan data sekunder

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI JENIS SHOREA MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK BERDASARKAN KARAKTERISTIK MORFOLOGI DAUN DEWI PUSPITASARI

IDENTIFIKASI JENIS SHOREA MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK BERDASARKAN KARAKTERISTIK MORFOLOGI DAUN DEWI PUSPITASARI IDENTIFIKASI JENIS SHOREA MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK BERDASARKAN KARAKTERISTIK MORFOLOGI DAUN DEWI PUSPITASARI DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: b. Memori : 8192 MB. c. Sistem Model : Lenovo G40-45

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: b. Memori : 8192 MB. c. Sistem Model : Lenovo G40-45 20 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan Penelitian 3.1.1 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Hardware a. Prosesor : AMD A8-6410 APU (4 CPUs), ~2.0 GHz b. Memori : 8192

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI VARIETAS DURIAN BERDASARKAN TEKSTUR DAUN MENGGUNAKAN K-NEAREST NEIGHBOR DENGAN CIRI STATISTICAL TEXTURES ROSITA TRI INDRATI

IDENTIFIKASI VARIETAS DURIAN BERDASARKAN TEKSTUR DAUN MENGGUNAKAN K-NEAREST NEIGHBOR DENGAN CIRI STATISTICAL TEXTURES ROSITA TRI INDRATI IDENTIFIKASI VARIETAS DURIAN BERDASARKAN TEKSTUR DAUN MENGGUNAKAN K-NEAREST NEIGHBOR DENGAN CIRI STATISTICAL TEXTURES ROSITA TRI INDRATI DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI MANGROVE BERBASIS CITRA DAUN MENGGUNAKAN KNN DENGAN EKSTRAKSI TEKSTUR WAVELET SRI SITI SONARI

IDENTIFIKASI MANGROVE BERBASIS CITRA DAUN MENGGUNAKAN KNN DENGAN EKSTRAKSI TEKSTUR WAVELET SRI SITI SONARI IDENTIFIKASI MANGROVE BERBASIS CITRA DAUN MENGGUNAKAN KNN DENGAN EKSTRAKSI TEKSTUR WAVELET SRI SITI SONARI DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TEORI PENUNJANG

BAB II TEORI PENUNJANG BAB II TEORI PENUNJANG 2.1 Computer Vision Komputerisasi memiliki ketelitian yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan cara manual yang dilakukan oleh mata manusia, komputer dapat melakukan berbagai

Lebih terperinci

Kelas. Kelas. p q r s t u v w x y Level Transformasi.

Kelas. Kelas. p q r s t u v w x y Level Transformasi. Fitur yang digunakan untuk pelatihan pada algoritme VFI5 diperoleh dari tiap-tiap piksel pada citra tanda tangan. Fitur pada pelatihan yang semula berupa matriks berukuran 3 4 piksel disusun menjadi matriks

Lebih terperinci

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA Latar Belakang PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki + 30.000 spesies tumbuh-tumbuhan ([Depkes] 2007). Tumbuh-tumbuhan tersebut banyak yang dibudidayakan sebagai tanaman hias. Seiring

Lebih terperinci

Hardisk 80 GB Perangkat lunak Window XP Profesional MATLAB 7.0.1

Hardisk 80 GB Perangkat lunak Window XP Profesional MATLAB 7.0.1 Hardisk 8 GB Perangkat lunak Window XP Profesional MATLAB 7..1 HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan yang dilakukan pada penelitian ini terdiri atas dua macam, yaitu citra yang akan mengalami proses pengenalan

Lebih terperinci

SAMPLING DAN KUANTISASI

SAMPLING DAN KUANTISASI SAMPLING DAN KUANTISASI Budi Setiyono 1 3/14/2013 Citra Suatu citra adalah fungsi intensitas 2 dimensi f(x, y), dimana x dan y adalahkoordinat spasial dan f pada titik (x, y) merupakan tingkat kecerahan

Lebih terperinci

Pengolahan citra. Materi 3

Pengolahan citra. Materi 3 Pengolahan citra Materi 3 Citra biner, citra grayscale dan citra warna Citra warna berindeks Subject Elemen-elemen Citra Digital reflectance MODEL WARNA Citra Biner Citra Biner Banyaknya warna hanya 2

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Sebagai tinjauan pustaka, berikut beberapa contoh penelitian telapak kaki yang sudah dilakukan oleh para peneliti yang dapat digunakan sebagai

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan Penelitian BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1.1 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Hardware a. Prosesor : Intel Core i5-3230m CPU @ 2.60GHz b. Memori : 4.00 GB c.

Lebih terperinci

dan 3. Jumlah partisi vertikal (m) dari kiri ke kanan beturut-turut adalah 1, 2, 3, 4, dan 5. akurasi =.

dan 3. Jumlah partisi vertikal (m) dari kiri ke kanan beturut-turut adalah 1, 2, 3, 4, dan 5. akurasi =. dan 3. Jumlah partisi vertikal (m) dari kiri ke kanan beturut-turut adalah 1, 2, 3, 4, dan 5. Gambar 5 Macam-macam bentuk partisi citra. Ekstraksi Fitur Pada tahap ini semua partisi dari citra dihitung

Lebih terperinci

KLASIFIKASI TINGKAT KEMATANGAN BUAH PEPAYA (CARICA PAPAYA L) CALIFORNIA (CALLINA-IPB 9) DALAM RUANG WARNA HSV DAN ALGORITMA K-NEAREST NEIGHBORS

KLASIFIKASI TINGKAT KEMATANGAN BUAH PEPAYA (CARICA PAPAYA L) CALIFORNIA (CALLINA-IPB 9) DALAM RUANG WARNA HSV DAN ALGORITMA K-NEAREST NEIGHBORS KLASIFIKASI TINGKAT KEMATANGAN BUAH PEPAYA (CARICA PAPAYA L) CALIFORNIA (CALLINA-IPB 9) DALAM RUANG WARNA HSV DAN ALGORITMA K-NEAREST NEIGHBORS Sigit Sugiyanto*, Feri Wibowo Program Studi Teknik Informatika

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menggunakan PCA, kemudian penelitian yang menggunakan algoritma Fuzzy C-

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menggunakan PCA, kemudian penelitian yang menggunakan algoritma Fuzzy C- 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Studi Pendahuluan Sebelumnya telah ada penelitian tentang sistem pengenalan wajah 2D menggunakan PCA, kemudian penelitian yang menggunakan algoritma Fuzzy C- Means dan jaringan

Lebih terperinci

Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara.

Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara. Image Enhancement Suatu proses untuk mengubah sebuah citra menjadi citra baru sesuai dengan kebutuhan melalui berbagai cara. Cara-cara yang bisa dilakukan misalnya dengan fungsi transformasi, operasi matematis,

Lebih terperinci

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL PENGOLAHAN CITRA DIGITAL Aditya Wikan Mahastama mahas@ukdw.ac.id Sistem Optik dan Proses Akuisisi Citra Digital 2 UNIV KRISTEN DUTA WACANA GENAP 1213 v2 Bisa dilihat pada slide berikut. SISTEM OPTIK MANUSIA

Lebih terperinci

PENGUKURAN KEMIRIPAN CITRA BERBASIS WARNA, BENTUK, DAN TEKSTUR MENGGUNAKAN BAYESIAN NETWORK RIZKI PEBUARDI

PENGUKURAN KEMIRIPAN CITRA BERBASIS WARNA, BENTUK, DAN TEKSTUR MENGGUNAKAN BAYESIAN NETWORK RIZKI PEBUARDI PENGUKURAN KEMIRIPAN CITRA BERBASIS WARNA, BENTUK, DAN TEKSTUR MENGGUNAKAN BAYESIAN NETWORK RIZKI PEBUARDI DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

... BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Citra

... BAB 2 LANDASAN TEORI. 2.1 Citra 6 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Citra Citra atau image adalah suatu matriks dimana indeks baris dan kolomnya menyatakan suatu titik pada citra tersebut dan elemen matriksnya (yang disebut sebagai elemen gambar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. B fch a. d b

HASIL DAN PEMBAHASAN. B fch a. d b 7 dengan nilai σ yang digunakan pada tahap pelatihan sebelumnya. Selanjutnya dilakukan perhitungan tingkat akurasi SVM terhadap citra yang telah diprediksi secara benar dan tidak benar oleh model klasifikasi.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil tempat di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang berlokasi di Jl. Lingkar Selatan, Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Computer Vision Computer vision dapat diartikan sebagai suatu proses pengenalan objek-objek berdasarkan ciri khas dari sebuah gambar dan dapat juga digambarkan sebagai suatu deduksi

Lebih terperinci

100% Akurasi = (11) Lingkungan Pengembangan

100% Akurasi = (11) Lingkungan Pengembangan Algoritme Dekomposisi Wavelet Dekomposisi wavelet Haar dapat dijelaskan sebagai berikut : 1 Transformasi linear digunakan untuk mengubah ruang warna secara linear menjadi warna dasar. Karena citra yang

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. mencakup teori speaker recognition dan program Matlab. dari masalah pattern recognition, yang pada umumnya berguna untuk

BAB 2 LANDASAN TEORI. mencakup teori speaker recognition dan program Matlab. dari masalah pattern recognition, yang pada umumnya berguna untuk 6 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori-teori Dasar / Umum Landasan teori dasar / umum yang digunakan dalam penelitian ini mencakup teori speaker recognition dan program Matlab. 2.1.1 Speaker Recognition Pada

Lebih terperinci

APLIKASI PENGENALAN DAUN UBI JALAR UNTUK JENIS UBI JALAR UNGU, MERAH, PUTIH DAN KUNING MENGGUNAKAN METODE PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS

APLIKASI PENGENALAN DAUN UBI JALAR UNTUK JENIS UBI JALAR UNGU, MERAH, PUTIH DAN KUNING MENGGUNAKAN METODE PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS APLIKASI PENGENALAN DAUN UBI JALAR UNTUK JENIS UBI JALAR UNGU, MERAH, PUTIH DAN KUNING MENGGUNAKAN METODE PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS SKRIPSI Diajukan Untuk Penulisan Skripsi Guna Memenuhi Salah Satu

Lebih terperinci

APLIKASI BAGAN WARNA DAUN UNTUK OPTIMASI PEMUPUKAN TANAMAN PADI MENGGUNAKAN K-NEAREST NEIGHBOR EDWIN SATYALESMANA

APLIKASI BAGAN WARNA DAUN UNTUK OPTIMASI PEMUPUKAN TANAMAN PADI MENGGUNAKAN K-NEAREST NEIGHBOR EDWIN SATYALESMANA APLIKASI BAGAN WARNA DAUN UNTUK OPTIMASI PEMUPUKAN TANAMAN PADI MENGGUNAKAN K-NEAREST NEIGHBOR EDWIN SATYALESMANA DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pengolahan Citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan menggunakan

BAB II LANDASAN TEORI. Pengolahan Citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan menggunakan BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Citra Citra adalah gambar pada bidang dwimatra (dua dimensi). Ditinjau dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi menerus dan intensitas cahaya pada bidang dwimatra

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS BAB 2 TINJAUAN TEORETIS 2. Citra Digital Menurut kamus Webster, citra adalah suatu representasi, kemiripan, atau imitasi dari suatu objek atau benda. Citra digital adalah representasi dari citra dua dimensi

Lebih terperinci

GLOSARIUM Adaptive thresholding Peng-ambangan adaptif Additive noise Derau tambahan Algoritma Moore Array Binary image Citra biner Brightness

GLOSARIUM Adaptive thresholding Peng-ambangan adaptif Additive noise Derau tambahan Algoritma Moore Array Binary image Citra biner Brightness 753 GLOSARIUM Adaptive thresholding (lihat Peng-ambangan adaptif). Additive noise (lihat Derau tambahan). Algoritma Moore : Algoritma untuk memperoleh kontur internal. Array. Suatu wadah yang dapat digunakan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI FREYCINETIA BERBASIS CITRA ANATOMI EPIDERMIS DAUN MENGGUNAKAN K-NEAREST NEIGHBOR PUTRI PREVIA YANTI

IDENTIFIKASI FREYCINETIA BERBASIS CITRA ANATOMI EPIDERMIS DAUN MENGGUNAKAN K-NEAREST NEIGHBOR PUTRI PREVIA YANTI IDENTIFIKASI FREYCINETIA BERBASIS CITRA ANATOMI EPIDERMIS DAUN MENGGUNAKAN K-NEAREST NEIGHBOR PUTRI PREVIA YANTI DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Proses pencocokan citra dilakukan dengan mengidentifikasi dan mengukur pasangan titiktitik sekawan antara citra satu dengan citra lainnya untuk objek yang sama pada

Lebih terperinci

Bulu mata. Generalisasi= Jumlah pola dikenali dengan benar x 100% Jumlah total pola

Bulu mata. Generalisasi= Jumlah pola dikenali dengan benar x 100% Jumlah total pola Generalisasi Hasil penelitian ini diukur menggunakan nilai konvergen dan generalisasi. Nilai konvergen adalah tingkat kecepatan jaringan untuk mempelajari pola input yang dinyatakan dalam satuan iterasi

Lebih terperinci

PERANCANGAN DAN PEMBUATAN APLIKASI UNTUK MENDESAIN KARTU UCAPAN

PERANCANGAN DAN PEMBUATAN APLIKASI UNTUK MENDESAIN KARTU UCAPAN PERANCANGAN DAN PEMBUATAN APLIKASI UNTUK MENDESAIN KARTU UCAPAN Rudy Adipranata 1, Liliana 2, Gunawan Iteh Fakultas Teknologi Industri, Jurusan Teknik Informatika, Universitas Kristen Petra Jl. Siwalankerto

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI TANAMAN JATI MENGGUNAKAN PROBABILISTIC NEURAL NETWORK DENGAN EKSTRAKSI FITUR CIRI MORFOLOGI DAUN BANGUN ASANURJAYA

IDENTIFIKASI TANAMAN JATI MENGGUNAKAN PROBABILISTIC NEURAL NETWORK DENGAN EKSTRAKSI FITUR CIRI MORFOLOGI DAUN BANGUN ASANURJAYA IDENTIFIKASI TANAMAN JATI MENGGUNAKAN PROBABILISTIC NEURAL NETWORK DENGAN EKSTRAKSI FITUR CIRI MORFOLOGI DAUN BANGUN ASANURJAYA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komputer

Lebih terperinci

PENGENALAN POLA BENTUK BUNGA MENGGUNAKAN PRINCIPLE COMPONENT ANALYSIS DAN K-NN

PENGENALAN POLA BENTUK BUNGA MENGGUNAKAN PRINCIPLE COMPONENT ANALYSIS DAN K-NN PENGENALAN POLA BENTUK BUNGA MENGGUNAKAN PRINCIPLE COMPONENT ANALYSIS DAN K-NN Herfina 1) 1) Program Studi Ilmu Komputer, FMIPA Universitas Pakuan Jl. Pakuan PO BOX 452, Ciheuleut Bogora email : herfinario@yahoo.com

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang Latar Belakang PENDAHULUAN Penelitian mengenai pengenalan wajah termotivasi oleh banyaknya aplikasi praktis yang diperlukan dalam identifikasi wajah. Pengenalan wajah sebagai salah satu dari teknologi

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAUN TANAMAN JATI MENGGUNAKAN K-NEAREST NEIGHBOUR DENGAN EKSTRAKSI FITUR CIRI MORFOLOGI DAUN M BANGKIT PRATAMA

IDENTIFIKASI DAUN TANAMAN JATI MENGGUNAKAN K-NEAREST NEIGHBOUR DENGAN EKSTRAKSI FITUR CIRI MORFOLOGI DAUN M BANGKIT PRATAMA IDENTIFIKASI DAUN TANAMAN JATI MENGGUNAKAN K-NEAREST NEIGHBOUR DENGAN EKSTRAKSI FITUR CIRI MORFOLOGI DAUN M BANGKIT PRATAMA DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

Identifikasi Jenis Kayu Menggunakan Support Vector Machine Berbasis Data Citra

Identifikasi Jenis Kayu Menggunakan Support Vector Machine Berbasis Data Citra Tersedia secara online di: http://journal.ipb.ac.id/index.php/jika Volume 3 Nomor 1 halaman 1-8 ISSN: 2089-6026 Identifikasi Jenis Kayu Menggunakan Support Vector Machine Berbasis Data Citra Wood Type

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Citra Citra merupakan salah satu komponen multimedia yang memegang peranan sangat penting sebagai bentuk informasi visual. Meskipun sebuah citra kaya akan informasi, namun sering

Lebih terperinci

i. Perangkat Keras Prosesor Intel Pentium(R) Dual-Core CPU 2.20 GHz

i. Perangkat Keras Prosesor Intel Pentium(R) Dual-Core CPU 2.20 GHz Data yang pada awalnya berupa chanel stereo diubah ke dalam chanel mono. Kemudian data tersebut disimpan dengan file berekstensi WAV. Praproses Pada tahap ini dilakukan ekstraksi ciri menggunakan metode

Lebih terperinci

BAB II TI JAUA PUSTAKA

BAB II TI JAUA PUSTAKA BAB II TI JAUA PUSTAKA Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menunjang tugas akhir ini. Antara lain yaitu pengertian citra, pengertian dari impulse noise, dan pengertian dari reduksi noise.

Lebih terperinci

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at:

Created with Print2PDF. To remove this line, buy a license at: BAB III Pelaksanaan Penelitian Pada bab ini dibahas pelaksanaan ekstraksi unsur jalan secara otomatis yang terdiri dari tahap persiapan dan pengolahan data. Tahap persiapan yang terdiri dari pengambilan

Lebih terperinci

PENERAPAN SEGMENTASI MULTI KANAL DALAM MENDETEKSI SEL PARASIT PLASMODIUM SP. I Made Agus Wirahadi Putra 1, I Made Satria Wibawa 2 ABSTRAK

PENERAPAN SEGMENTASI MULTI KANAL DALAM MENDETEKSI SEL PARASIT PLASMODIUM SP. I Made Agus Wirahadi Putra 1, I Made Satria Wibawa 2 ABSTRAK Jurnal Dinamika, April 2017, halaman 18-29 P-ISSN: 2087-889 E-ISSN: 2503-4863 Vol. 08. No.1 PENERAPAN SEGMENTASI MULTI KANAL DALAM MENDETEKSI SEL PARASIT PLASMODIUM SP. I Made Agus Wirahadi Putra 1, I

Lebih terperinci

KLASIFIKASI JENIS SHOREA BERDASARKAN MORFOLOGI DAUN MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK LEVENBERG-MARQUARDT CORY DIANA LESTARI

KLASIFIKASI JENIS SHOREA BERDASARKAN MORFOLOGI DAUN MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK LEVENBERG-MARQUARDT CORY DIANA LESTARI KLASIFIKASI JENIS SHOREA BERDASARKAN MORFOLOGI DAUN MENGGUNAKAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK LEVENBERG-MARQUARDT CORY DIANA LESTARI DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA. T. C. Ling, dkk., (2008) dalam penelitiannya Automated Pavement

BAB II STUDI PUSTAKA. T. C. Ling, dkk., (2008) dalam penelitiannya Automated Pavement 5 BAB II STUDI PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka T. C. Ling, dkk., (2008) dalam penelitiannya Automated Pavement Imaging Program (APIP) for Pavement Cracks Classification and Quantification A Photogrammetric

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL. Tabel 4.1 Struktur Neural Network Backpropagation Tabel 4.2 Hasil Pengujian Identifikasi Data Uji... 34

DAFTAR TABEL. Tabel 4.1 Struktur Neural Network Backpropagation Tabel 4.2 Hasil Pengujian Identifikasi Data Uji... 34 DAFTAR TABEL Tabel 4.1 Struktur Neural Network Backpropagation... 9 Tabel 4. Hasil Pengujian Identifikasi Data Uji... 34 Tabel 4.3 Hasil Pengujian Sistem... 37 xi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan

Lebih terperinci

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN PROGRAM APLIKASI

BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN PROGRAM APLIKASI BAB 3 ANALISIS DAN PERANCANGAN PROGRAM APLIKASI Bab ini berisi analisis pengembangan program aplikasi pengenalan karakter mandarin, meliputi analisis kebutuhan sistem, gambaran umum program aplikasi yang

Lebih terperinci

Dosen Program Studi Ilmu Komputer Universitas Pakuan Bogor

Dosen Program Studi Ilmu Komputer Universitas Pakuan Bogor PENGENALAN KADAR TOTAL PADAT TERLARUT PADA BUAH BELIMBING BERDASAR CITRA RED-GREEN-BLUE MENGGUNAKAN PRINCIPLE COMPONENT ANALYSIS (PCA) SEBAGAI EKSTRAKSI CIRI DAN KLASIFIKASI K-NEAREST NEIGHBORHOOD (KNN)

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI VARIETAS DURIAN BERDASARKAN CITRA DAUN MENGGUNAKAN K NEAREST NEIGHBOR DENGAN EKSTRAKSI TEKSTUR CO-OCCURRENCE MATRIX NELLA SABRINA

IDENTIFIKASI VARIETAS DURIAN BERDASARKAN CITRA DAUN MENGGUNAKAN K NEAREST NEIGHBOR DENGAN EKSTRAKSI TEKSTUR CO-OCCURRENCE MATRIX NELLA SABRINA IDENTIFIKASI VARIETAS DURIAN BERDASARKAN CITRA DAUN MENGGUNAKAN K NEAREST NEIGHBOR DENGAN EKSTRAKSI TEKSTUR CO-OCCURRENCE MATRIX NELLA SABRINA DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

FERY ANDRIYANTO

FERY ANDRIYANTO SISTEM ANALISA IMAGE PROCESSING UNTUK MENCARI KEMIRIPAN PADA TEKSTUR WARNA KULIT MANUSIA MENGGUNAKAN HISTOGRAM WARNA SKRIPSI Oleh : FERY ANDRIYANTO 0734010123 JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Adobe Photoshop CS3. Bagian 2 Bekerja dalam Photoshop

Adobe Photoshop CS3. Bagian 2 Bekerja dalam Photoshop Adobe Photoshop CS3 Bagian 2 Bekerja dalam Photoshop Mengapa Photoshop? Adobe Photoshop adalah perangkat lunak yang menjadi standar dalam industri digital imaging. Sekarang, memiliki keahlian dalam menggunakan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN METODE EKSTRAKSI CIRI HISTOGRAM DAN PCA DALAM MENDETEKSI STOMATA PADA CITRA PENAMPANG DAUN FREYCINETIA DONY SATRIA

PERBANDINGAN METODE EKSTRAKSI CIRI HISTOGRAM DAN PCA DALAM MENDETEKSI STOMATA PADA CITRA PENAMPANG DAUN FREYCINETIA DONY SATRIA PERBANDINGAN METODE EKSTRAKSI CIRI HISTOGRAM DAN PCA DALAM MENDETEKSI STOMATA PADA CITRA PENAMPANG DAUN FREYCINETIA DONY SATRIA DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Citra Digital Citra digital dapat didefinisikan sebagai fungsi dua variabel, f(x,y), dimana x dan y adalah koordinat spasial dan nilai f(x,y) adalah intensitas citra pada koordinat

Lebih terperinci

Identifikasi Jenis Buah Apel Menggunakan Algoritma K-Nearest Neighbor (KNN) dengan Ekstraksi Fitur Histogram

Identifikasi Jenis Buah Apel Menggunakan Algoritma K-Nearest Neighbor (KNN) dengan Ekstraksi Fitur Histogram Identifikasi Jenis Buah Apel Menggunakan Algoritma K-Nearest Neighbor (KNN) dengan Ekstraksi Fitur Histogram Ion Ataka Halela 1,Bowo Nurhadiyono,S.Si, M.Kom 2,Farah Zakiyah Rahmanti 3 1 Fakultas Ilmu Komputer

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. bagian dari kecerdasan buatan (berbasis pengetahuan) yang memungkinkan

TINJAUAN PUSTAKA. bagian dari kecerdasan buatan (berbasis pengetahuan) yang memungkinkan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Pakar Sistem pakar yang berbasis pengetahuan kecerdasan merupakan salah satu bagian dari kecerdasan buatan (berbasis pengetahuan) yang memungkinkan komputer dapat berpikir

Lebih terperinci

dengan metode penelitian yang dapat dilihat pada Gambar 9. Data Citra Tumbuhan

dengan metode penelitian yang dapat dilihat pada Gambar 9. Data Citra Tumbuhan dengan metode penelitian yang dapat dilihat pada Gambar 9. Data Citra Tumbuhan Gambar 8 Struktur PNN. 1. Lapisan pola (pattern layer) Lapisan pola menggunakan 1 node untuk setiap data pelatihan yang digunakan.

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi kontinyu dari intensitas cahaya

BAB 2 LANDASAN TEORI. dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi kontinyu dari intensitas cahaya 5 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Citra Secara harfiah citra atau image adalah gambar pada bidang dua dimensi. Ditinjau dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi kontinyu dari intensitas cahaya pada

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Citra Digital Istilah citra biasanya digunakan dalam bidang pengolahan citra yang berarti gambar. Suatu citra dapat didefinisikan sebagai fungsi dua dimensi, di mana dan adalah

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN SISTEM PEROLEHAN CITRA BERBASIS ISI PADA CITRA BATIK MENGGUNAKAN METODE INTEGRATED COLOR AND INTENSITY CO-OCCURRENCE MATRIX (ICICM)

PENGEMBANGAN SISTEM PEROLEHAN CITRA BERBASIS ISI PADA CITRA BATIK MENGGUNAKAN METODE INTEGRATED COLOR AND INTENSITY CO-OCCURRENCE MATRIX (ICICM) PENGEMBANGAN SISTEM PEROLEHAN CITRA BERBASIS ISI PADA CITRA BATIK MENGGUNAKAN METODE INTEGRATED COLOR AND INTENSITY CO-OCCURRENCE MATRIX (ICICM) Rima Tri Wahyuningrum *) Program Studi Teknik Informatika,

Lebih terperinci

OPTIMASI ALGORITMA IDENTIFIKASI STRABISMUS

OPTIMASI ALGORITMA IDENTIFIKASI STRABISMUS OPTIMASI ALGORITMA IDENTIFIKASI STRABISMUS PADA MATA MANUSIA BERBASIS IMAGE PROCESSING DENGAN EUCLIDEAN DISTANCE PADA SISTEM MEKANIKAL AUTOMATED OPTICAL INSPECTION (AOI) AHMAD RIFA I RIF AN NRP. 2106 100

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dibahas teori yang berkaitan dengan pemrosesan data untuk sistem pendeteksi senyum pada skripsi ini, meliputi metode Viola Jones, konversi citra RGB ke grayscale,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Prinsip Kerja Sistem Prinsip kerja sistem diawali dengan pembacaan citra rusak dan citra tidak rusak yang telah terpilih dan dikumpulkan pada folder tertentu.

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI ALGORITMA CONNECTED-LABELLING UNTUK MENDETEKSI OBJEK BINTANG PADA CITRA DIGITAL

IMPLEMENTASI ALGORITMA CONNECTED-LABELLING UNTUK MENDETEKSI OBJEK BINTANG PADA CITRA DIGITAL Seminar Nasional Sistem Informasi Indonesia, 6 November 2017 IMPLEMENTASI ALGORITMA CONNECTED-LABELLING UNTUK MENDETEKSI OBJEK BINTANG PADA CITRA DIGITAL Ericks Rachmat Swedia 1), M. Ridwan Dwi Septian

Lebih terperinci

Studi Digital Watermarking Citra Bitmap dalam Mode Warna Hue Saturation Lightness

Studi Digital Watermarking Citra Bitmap dalam Mode Warna Hue Saturation Lightness Studi Digital Watermarking Citra Bitmap dalam Mode Warna Hue Saturation Lightness Evan 13506089 Program Studi Teknik Informatika, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesha 10, Bandung E-mail : if16089@students.if.itb.ac.id

Lebih terperinci

Penyusun Tugas Akhir Alvian Adi Pratama [ ] Dosen Pembimbing Diana Purwitasari, S.Kom, M.Sc. Dr. Eng. Nanik Suciati, S.Kom., M.Kom.

Penyusun Tugas Akhir Alvian Adi Pratama [ ] Dosen Pembimbing Diana Purwitasari, S.Kom, M.Sc. Dr. Eng. Nanik Suciati, S.Kom., M.Kom. Penyusun Tugas Akhir Alvian Adi Pratama [5106100108] Dosen Pembimbing Diana Purwitasari, S.Kom, M.Sc. Dr. Eng. Nanik Suciati, S.Kom., M.Kom. Latar Belakang Batik merupakan harta kebudayaan Indonesia yang

Lebih terperinci

Perbandingan Metode Ekstraksi Ciri Histogram dan PCA untuk Mendeteksi Stoma pada Citra Penampang Daun Freycinetia

Perbandingan Metode Ekstraksi Ciri Histogram dan PCA untuk Mendeteksi Stoma pada Citra Penampang Daun Freycinetia Tersedia secara online di: http://journal.ipb.ac.id/index.php.jika Volume 2 Nomor 1 halaman 20-28 ISSN: 2089-6026 Perbandingan Metode Ekstraksi Ciri Histogram dan PCA untuk Mendeteksi Stoma pada Citra

Lebih terperinci

SISTEM PENGENALAN KUALITAS INDUK GURAME DENGAN METODE WAVELET DAN K-NN

SISTEM PENGENALAN KUALITAS INDUK GURAME DENGAN METODE WAVELET DAN K-NN ISBN : 978-979-19888-1-0 Prosiding : SEMINAR NASIONAL 2012 SISTEM PENGENALAN KUALITAS INDUK GURAME DENGAN METODE WAVELET DAN K-NN Fitri Astutik1 1, IKG Darma Putera2 2, I Nyoman Satya Kumara3 3, Budi Darmawan4

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Alur Metodologi Penelitian Berikut adalah alur metodologi penelitian yang akan digunakan dalam menyelesaikan penelitian tugas akhir ini : 3.2 Pengumpulan Data Gambar 3.1

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Data

HASIL DAN PEMBAHASAN. Data dengan menggunakan model Bayesian Network. Nilai kemiripan dapat dihitung dengan Persamaan 21. P(I j Q)=n[1-(1-P(CS j CS)) x(1-p(ct j CT))] (21) dengan n adalah jumlah citra pada basis data, P(CS j CS)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi internet dalam beberapa tahun terakhir ini, telah membawa perubahan besar bagi distribusi media digital. Media digital yang dapat berupa

Lebih terperinci

PENENTUAN KUALITAS DAUN TEMBAKAU DENGAN PERANGKAT MOBILE BERDASARKAN EKSTRASI FITUR RATA-RATA RGB MENGGUNAKAN ALGORITMA K-NEAREST NEIGHBOR

PENENTUAN KUALITAS DAUN TEMBAKAU DENGAN PERANGKAT MOBILE BERDASARKAN EKSTRASI FITUR RATA-RATA RGB MENGGUNAKAN ALGORITMA K-NEAREST NEIGHBOR PENENTUAN KUALITAS DAUN TEMBAKAU DENGAN PERANGKAT MOBILE BERDASARKAN EKSTRASI FITUR RATA-RATA RGB MENGGUNAKAN ALGORITMA K-NEAREST NEIGHBOR Eko Subiyantoro, Yan Permana Agung Putra Program Studi Teknik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 35 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Implementasi GUI GUI diimplementasikan sesuai dengan program pengolah citra dan klasifikasi pada tahap sebelumya. GUI bertujuan untuk memudahkan pengguna mengidentifikasi

Lebih terperinci

Mempelajari dasar-dasar teori dan mengumpulkan referensi yang berhubungan dengan batubara, jenis batubara, metode ekstraksi ciri Discrete Wavelet

Mempelajari dasar-dasar teori dan mengumpulkan referensi yang berhubungan dengan batubara, jenis batubara, metode ekstraksi ciri Discrete Wavelet BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batubara adalah bahan bakar fosil yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan batuan organik yang terutama terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen. Batubara terbentuk

Lebih terperinci

PENGENALAN BERAS CAMPURAN MENGGUNAKAN TRANSFORMASI WAVELET DAN PROBABILISTIC NEURAL NETWORK INEKE KUSUMAWATI

PENGENALAN BERAS CAMPURAN MENGGUNAKAN TRANSFORMASI WAVELET DAN PROBABILISTIC NEURAL NETWORK INEKE KUSUMAWATI PENGENALAN BERAS CAMPURAN MENGGUNAKAN TRANSFORMASI WAVELET DAN PROBABILISTIC NEURAL NETWORK INEKE KUSUMAWATI DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Drawing, Viewport, dan Transformasi. Pertemuan - 02

Drawing, Viewport, dan Transformasi. Pertemuan - 02 Drawing, Viewport, dan Transformasi Pertemuan - 02 Ruang Lingkup Definisi Drawing Viewport Transfomasi Definisi Bagian dari grafik komputer meliputi: 1. Citra (Imaging) : mempelajari cara pengambilan dan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI TANDA TANGAN MENGGUNAKAN PROBABILISTIC NEURAL NETWORKS (PNN) DENGAN PRAPROSES MENGGUNAKAN TRANSFORMASI WAVELET INDRA DWI PUTRA

IDENTIFIKASI TANDA TANGAN MENGGUNAKAN PROBABILISTIC NEURAL NETWORKS (PNN) DENGAN PRAPROSES MENGGUNAKAN TRANSFORMASI WAVELET INDRA DWI PUTRA IDENTIFIKASI TANDA TANGAN MENGGUNAKAN PROBABILISTIC NEURAL NETWORKS (PNN) DENGAN PRAPROSES MENGGUNAKAN TRANSFORMASI WAVELET INDRA DWI PUTRA DEPARTEMEN ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

Pembentukan Citra. Bab Model Citra

Pembentukan Citra. Bab Model Citra Bab 2 Pembentukan Citra C itra ada dua macam: citra kontinu dan citra diskrit. Citra kontinu dihasilkan dari sistem optik yang menerima sinyal analog, misalnya mata manusia dan kamera analog. Citra diskrit

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI TRANSFORMASI HAAR WAVELET UNTUK DETEKSI CITRA JERUK NIPIS YANG BUSUK

IMPLEMENTASI TRANSFORMASI HAAR WAVELET UNTUK DETEKSI CITRA JERUK NIPIS YANG BUSUK IMPLEMENTASI TRANSFORMASI HAAR WAVELET UNTUK DETEKSI CITRA JERUK NIPIS YANG BUSUK Lidya Andriani Sunjoyo 1 R. Gunawan Santosa 2 Kristian Adi Nugraha 3 lidya.andriani@ti.ukdw.ac.id gunawan@staff.ukdw.ac.id

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM

BAB III ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM BAB III ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM Analisis dan perancangan sistem ini ditujukan untuk memberikan gambaran secara umum mengenai aplikasi yang akan dibuat. Hal ini berguna untuk menunjang pembuatan

Lebih terperinci

BAB 4 IMPLEMENTASI DAN PENGUJIAN

BAB 4 IMPLEMENTASI DAN PENGUJIAN BAB 4 IMPLEMENTASI DAN PENGUJIAN 4.1 Implementasi Tahap implementasi merupakan tahap pengimplementasian metode kedalam perangkat lunak simulasi, tahap lanjut dari tahap perancangan simulasi di bab sebelumnya.

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI Pada bab landasan teori ini akan diuraikan mengenai teori-teori yang terkait dengan Content Based Image Retrieval, ekstraksi fitur, Operator Sobel, deteksi warna HSV, precision dan

Lebih terperinci

Sistem Pengenalan Kualitas Ikan Gurame dengan Wavelet, PCA, Histogram HSV dan KNN

Sistem Pengenalan Kualitas Ikan Gurame dengan Wavelet, PCA, Histogram HSV dan KNN Sistem Pengenalan Kualitas Ikan Gurame dengan Wavelet, PCA, Histogram HSV dan KNN Fitri Astutik Program Studi Teknik Informatika STMIK Lombok Jl. Basuki Rahmat No.105, Praya 83511 NTB Telp (0370)654310

Lebih terperinci