BAB II PENANGANAN KHUSUS TERHADAP NARAPIDANA YANG MENDERITA HIV/AIDS.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PENANGANAN KHUSUS TERHADAP NARAPIDANA YANG MENDERITA HIV/AIDS."

Transkripsi

1 BAB II PENANGANAN KHUSUS TERHADAP NARAPIDANA YANG MENDERITA HIV/AIDS. A. Keadaan Lapas/rutan pada umumnya. Selama ini masyarakat sangat dekat dengan istilah penjara, walau kemudian istilah ini telah berganti menjadi lembaga pemasyarakatan. Secara tegas dinyatakan dalam Undang-undang tentang definisi dari Lembaga pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan atau Lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. 19 Selama ini masyarakat sangat dekat dengan istilah penjara, walau kemudian istilah ini berganti menjadi lembaga pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan atau Lapas. Kenyataan Lapas tidak hanya dihuni oleh narapidana dan anak didik pemasyarakatan saja. Tetapi juga dihuni oleh tahanan. Seharusnya secara ideal para tahanan itu ditempatkan khusus di Rumah Tahanan Negara (Rutan). Rutan adalah unit pelaksana teknis dibidang penahanan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan yang berada dan bertanggung jawab langsung kepada kantor wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. 20 Klasifikasi Lapas didasarkan atas kapasitas, tempat kedudukan dan kegiatan kerja. Pelaksanaan pembinaan narapidana harus sesuai dan berdasarkan asas pancasila, yang mana harkat dan martabat manusia harus dihargai. 21 Tidak dapat lagi sewenang-sewenang. Pengklasifikasian Lembaga Pemasyarakatan dalam struktur organisasi Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan surat keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.01.PR tahun 1985 dalam pasal 4 ayat 1 diklasifikasikan dalam 3 klas yaitu: a) Lapas Klas I b) Lapas Klas IIA c) Lapas Klas IIB Sedangkan rumah tahanan negara/cabang Rutan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.04.OPR tahun 1985 diklasifikasikan dalam 3 klas yaitu: a) Rumah Tahanan Negara Klas I b) Rumah Tahanan Negara Klas IIA c) Rumah Tahanan Negra Klas IIB d) Cabang Rutan 19 Indonesia, Undang-undang nomor: 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Pasal 1 ayat Indonesia, Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI, No.M.04.PR tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Tahanan Negara dan Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, ps Hadi Gunawan, Pelaksanaan pembinaan Narapidana Kasus Narkotika dan Psikotropika di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Cipinang, (Skripsi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005), hal. 99.

2 Klasifikasi tersebut didasarkan atas kapasitas dan lokasi. Indonesia mempunyai banyak Unit Pelayanan Teknis (UPT) yang difungsikan untuk bermacam macam kebutuhan. Sejauh ini di Indonesia terdapat 525 Unit Pelayanan Teknis yang terdiri dari: 22 a) Lembaga Pemasyarakatan : 207 UPT b) Rumah Tahanan Negara : 132 UPT c) Cabang Rutan : 58 UPT d) BAPAS : 67 UPT e) Rupbasan : 61 UPT Melihat realitas yang ada maka over kapasitas telah menjadi persoalan bagi hampir semua lembaga pemasyarakatan. Jumlah hunian tidak sebanding dengan jumlah warga binaan. Jumlah kapasitas yang seharusnya dari Lapas/Rutan Seluruh Indonesia orang. Sedangkan pada kenyataannya disi penghuni orang (Nopember 2006). 23 Ditambah lagi dengan meningkatnya Napi/Tahanan narkotika Diperkirakan % serta masih adanya napi/tahanan narkotika yang berada di Lapas Non-Narkotika. Kondisi melebihi kapasitas ini bertolak belakang dengan ketentuan yang diatur dalam standard minimum rules of treatment of prisoners. Standard minimal yang harus dipatuhi oleh suatu lembaga terkait dengan akomodasi tahanan adalah penyediaan ruang sel berupa kamar-kamar yang harus dihuni sendiri oleh masing-masing tahanan. Pengecualian hanyalah bagi ruangan besar untuk ditempati beberapa orang. Dan ada ruang-ruang khusus terhadap Narapidana yang terjangkit HIV/AIDS, dan mereka juga mendapat penangganan khusus dibandingkan narapidana-narapidana yang lainnya. Dari bentuk pencegahan agar tidak menularkan kepada penghuni lapas yang lain, mereka (narapidana pengidap HIV/AIDS) juga dikasi paparan atau ajaran bagaimana untuk hidup sehat. Selain itu masi banyak juga penangganan khusus lain yang diberikan kepada mereka dan hak-hak mereka sebagai narapidana. D. Situasi HIV/AIDS di Lapas/rutan. 1. Jumlah estimasi penderita HIV/ AIDS di Lapas/ rutan. Berdasarkan data dan informasi dari Departemen Kesehatan, estimasi nasional 2006 jumlah orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) sebanyak orang, Jumlah estimasi Penasun dan diperkirakan juga memberikan resiko pada pasangan seksualnya yang berjumlah orang. Sampai dengan September 2006 sudah 32 provinsi melaporkan kasus AIDS dengan jumlah kumulatif sebanyak 6897 orang dan terbanyak dilaporkan dari provinsi DKI Jakarta, Papua, Jawa Timur, Jawa Barat, Bali, Kepulauan Riau, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Sumatera Utara dan Jawa Tengah. Proporsi 22 Data UPT PAS, < 12 November Ibid.

3 kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan menular di kalangan penasun lebih dari 50%. Kelompok umur tahun yang terinfeksi sebanyak 54,77% disusul kelompok umur tahun 26,56%. Hal ini mengindikasikan mayoritas penduduk usia muda sangat mudah tertular virus HIV dan menderita AIDS. Gambaran tersebut menunjukkan dominasi cara penularan (mode of transmission) terjadi melalui darah atau lewat jarum suntik yang tercemar virus HIV. 24 Mengenai jumlah total kematian akibat akibat HIV melalui jarum suntik di Lapas/ rutan belum tersedia data tapi cukup memadai namun diperkirakan sekitar 1 orang per hari. Data dari Lapas dan Rutan menunjukkan meningkatnya jumlah tahanan dengan pelanggaran yang berkaitan dengan napza terjangkit HIV. Pelanggar kasus napza meningkat dari 7211 di tahun 2002 menjadi tahun 2003 dan sampai dengan Agustus 2006 menjadi Di samping itu ada tahanan yang bukan karena kasus napza tapi juga pengguna jarum suntik (penasun) tapi tidak ada informasi mengenainya. Adapun data mengenai surveilans HIV, yang dilaksanakan oleh Depkes RI, tahun 2004 melaporkan prevalensi HIV sebesar 24,5% di kalangan narapidana dan tahanan di Lapas/Rutan di Provinsi Angka kematian napi/tahanan dengan latar belakang HIV/AIDS relatif tinggi, di LP Cipinang angka kematian meningkat dari 76 di tahun 2004 menjadi 159 di tahun 2005, dan di Rutan Salemba dari 58 menjadi 179. Faktor penyakit yang utama menjadi penyebab kematian di Lapas/Rutan adalah TBC. Pada sisi lain kondisi fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan di UPT di lingkungan Direktorat Jendral Pemasyarakatan belum sepenuhnya optimal. 25 Belum ada data surveilans HIV dari Lapas/Rutan di Provinsi lain. Namun, telah ada laporan rutin kepada Direktorat Jenderal Pemasyarkatan yang menunjukan adanya kasus HIV, angka kesakitan dan angka kematian akibat HIV/AIDS di Lapas/rutan. Di samping itu, melihat tren peningkatan prevalensi HIV di kelompok populasi berperilaku risiko tinggi, dapat diperkirakan HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan yang serius di Lapas/rutan. Penggunaan alat dan jarum suntik yang tidak disterilisasi secara bergantian diakui oleh 80% pengguna narkoba suntik (penasun) di masyarakat dan kegiatan menyuntik dan berbagi juga dilaporkan terjadi juga di dalam Lapas dan Rutan. Walaupun data tersebut sulit dibuktikan, namun menunjukkan insiden Melalui Pengurangan Dampak Buruk Penggunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif Suntik. Penjelasan. yang tinggi dari perilaku risiko tinggi di beberapa Lapas dan Rutan termasuk seks tidak aman antar narapidana dan tahanan. 26 Beberapa penelitian yang dilakukan di seluruh dunia menunjukkan angka HIV dan AIDS di kalangan narapidana lebih besar apabila dibandingkan dengan angka HIV dan AIDS dalam komunitas luar di masyarakat. Terutama disebabkan karena banyak narapidana menyuntik narkoba dan melakukan kegiatan-kegiatan berisiko tinggi (misalnya menggunakan jarum suntik secara 24 Indonesia, Peraturan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI no. 02/PER/MENKO/KESRA/I/2007 tentang Kebijakan Nasional Penanggulangan HIV/ AIDS 25 Penanggulangan HIV/ AIDS di Lapas/ Rutan, < 12 November Ibid.

4 bergantian) mereka berada di Lapas/ rutan. Penyebab lain adalah tingginya angka infeksi HIV pada pengguna narkoba suntikan (Injecting Drug User/IDU) antar sesama narapidana/tahanan. 27 Tingginya sirkulasi pergantian warga narapidana/tahanan di Lapas, juga ikut mempengaruhi penyebaran HIV di masyarakat luas jika mantan narapidana tertular selama berada di Lapas/ rutan. Angka HIV dan AIDS di penjara di Eropa menunjukkan perbedaan beragam. Di Spanyol dan Italia, angka infeksi HIV tercatat masing-masing 26% dan 17%. Di AS, angka berkisar antara 1%-20%. Di Kanada angka berkisar 1%-12%. Di Afrika Selatan angka mencapai 41% sedangkan di Brazil angka berkisar dari 11%- 21%. Penelitian-penelitian untuk mengukur angka infeksi HIV di kalangan Buku Saku Staff Lapas/Rutan 3 IDU di berbagai tempat di Indonesia menunjukkan angka yang berkisar dari 20% sampai lebih dari 50%. Estimasi infeksi HIV pada orang dewasa Indonesia yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI menghasilkan angka rata-rata infeksi HIV di kalangan narapidana sebesar 11,99%. 28 Penelitian yang menunjukkan tingginya angka infeksi HIV di kalangan IDU ini tidak bisa dipungkiri, dan dengan banyaknya IDU yang dipenjarakan, maka para staf dan manajemen Lapas/rutan perlu mengetahui realita ini. Sejalan dengan meningkatnya kasus HIV/AIDS dalam masyarakat, terjadi pula peningkatan dalam Lapas/rutan. Seperti terdapat dalam tabel di bawah ini: 29 Tabel Prevalensi HIV Pada Narapidana di Indonesia Prevalensi HIV Pada Narapidana NO Prevalensi DKI JaBar JaTim Bali Lampung BaBel DIY Banten KalTim Tabel di atas memperlihatkan peningkatan prevalensi HIV di lapas/rutan. Contohnya di Lapas/Rutan DKI Jakarta pada tahun 2002 sebesar 7,55% meningkat pada 2003 menjadi 17,65%, Jawa Barat pada tahun 2002 sebesar 5 % menjadi 21,1% pada tahun 2003, dan Banten pada tahun 2002 sebesar 10,8 % menjadi 21,3% pada tahun Angka HIV akan kelihatan lebih kecil apabila populasi Lapas/Rutan dilihat secara keseluruhan, namun masalah ini tetap perlu untuk diperhatikan. 27 Buku saku staff Lapas/Rutan (Program Aksi Stop AIDS(ASA), ( jakarta: Family Health International (FHI), 2007), hal Ibid., hal Data Departemen Kesehatan tahun 2004.

5 Perkiraan yang dibuat pada tahun 2002 menyatakan bahwa sekitar 8-12% narapidana/tahanan adalah HIV positif. Kesehatan narapidana/tahanan berhubungan erat dengan kesehatan dalam masyarakat. Tanpa intervensi kesehatan masyarakat yang tepat, Lapas/rutan dapat menjadi tempat yang potensial bagi penyebaran HIV. Walaupun demikian, dengan langkah-langkah yang tepat Lapas/Rutan juga dapat menawarkan peluang pencegahan yang baik. 30 Sejalan dengan tujuan strategi kesehatan masyarakat, maka Lapas/rutan pun mempunyai tujuan untuk mempromosikan, melindungi kesehatan, mengurangi tingkat penyakit dan kematian di antara narapidana/tahanan. Dengan adanya epidemi (penyebaran) ganda HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkoba yang terjadi dalam tahun-tahun belakangan ini, memunculkan tantangan baru dan penting bagi isu kesehatan masyarakat di Lapas/Rutan. Bukti-bukti yang ada dari negara-negara lain mengindikasikan bahwa tingkat infeksi HIV di kalangan narapidana/tahanan secara signifikan lebih tinggi dari pada yang ada dalam masyarakat. 31 Beberapa narapidana/tahanan memang telah terinfeksi sebelum masuk Lapas/rutan, tetapi sebagian terinfeksi pada waktu mereka berada dalam Lapas/rutan. Perilaku yang membuat narapidana/tahanan rawan HIV telah umum terjadi, yaitu akibat perilaku berisiko yang meliputi praktik seksual tidak aman, penggunaan bersama peralatan suntik, tato, kekerasan lain termasuk perkosaan dan kekerasan berdarah umum. Meskipun angka penyalahgunaan narkoba suntik di Lapas/rutan lebih kecil dari penyalahgunaan di masyarakat, tetap sangat berbahaya. 32 Hal ini disebabkan karena adanya kelangkaan peralatan setiap kali menyuntik, dan jarum yang sama biasanya akan digunakan bersama dan bergantian. Hal tersebut sebagai faktor utama terjadinya kasus HIV baru di dalam Lapas/rutan. Hubungan seksual tidak aman di antara narapidana/tahanan adalah faktor penting lainnya dalam penularan HIV di antara narapidana/tahanan. Angka hubungan seksual sesama jenis di Lapas/Rutan berbeda antara negara yang satu dengan yang lainnya. Hubungan seksual ini bisa dilakukan atas dasar suka sama suka, tetapi juga dapat terjadi karena adanya pemaksaan, yang di dalamnya terdapat unsur perkosaan. Risiko tertular HIV pun menjadi tinggi, mengingat tidak adanya penggunaan kondom dan terjadinya luka pada waktu terjadi pemaksaan. Tato dan bentuk penusukan lain pada kulit, umum terjadi dalam Lapas/Rutan dan juga menyebabkan adanya risiko penularan HIV karena langkanya peralatan steril. Terdapat pula risiko penularan HIV dari ibu pengidap HIV ke anak, apabila narapidana/tahanan hamil dan menyusui tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang selayaknya. Lapas/Rutan di Indonesia telah memainkan peranan yang cukup aktif dalam menghadapi HIV dan penyalahgunaan narkoba. Walaupun 30 Departemen Kesehatan, Estimasi Nasional Infeksi HIV Pada Orang Dewasa Indonesia, Tahun 2003". Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, UNAIDS, UNAIDS Best Practice Collection: UNAIDS point of view on Prisons and AIDS,(New York: United Nations), 32 The Centre for Harm Reduction and Asian Harm Reduction, Mengurangi Dampak Buruk narkoba di Asia, Edisi Indonesia, (Jakarta: The Centre for Harm Reduction), 2001.

6 beberapa narapidana/tahanan telah berstatus HIV positif pada waktu mereka masuk ke dalam Lapas/ Rutan, terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa penularan juga terjadi di antara narapidana/tahanan. Di Indonesia, seperti halnya juga di negara lain, penelitian yang ada menunjukkan bahwa umumnya penularan HIV di Lapas/Rutan terjadi karena adanya penggunaan bersama peralatan suntik dan melalui hubungan seksual tidak aman Proses penyebaran HIV/ AIDS di dalam Lapas/rutan. Dengan tingginya resiko penyebaran HIV/AIDS di dalam Lapas/rutan tentunya karena Lapas/ rutan terdapat faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya penyebaran dan penularan HIV/AIDS. Lapas/rutan menempatkan orang dalam keadaan yang berisiko tinggi terhadap penularan penyakit karena: 34 a) Tingkat hunian yang sesak, yang menyebabkan iklim kekerasan serta sanitasi yang buruk. b) Kontrol infeksi yang buruk: fasilitas kesehatan & pengawasan infeksi sangat terbatas. c) Penggunaan narkoba melalui jarum suntik secara bersama. Bila ada pengguna jarum suntik di masyarakat, maka kemungkinan juga akan ada penggunaan jarum suntik di dalam Lapas/rutan. Pada keadaan yang sulit untuk memperoleh jarum suntik maka jarum suntik yang ada pun digunakan secara bergantian dan bersama-sama. Indikasi penggunaan jarum suntik di dalam Lapas/rutan dapat didasarkan pada beberapa fakta, antara lain: 1) Karena beberapa narapidana/tahanan yang mengalami kondisi ketagihan sehingga berusaha memasukkan narkoba kedalam Lapas/rutan; 2) Adanya indikasi keterlibatan petugas pada kasus masuknya narkoba ke dalam Lapas/rutan; 3) Diketemukannya peralatan suntik, sabu-sabu dan ganja di dalam Lapas/rutan; 4) Hasil tes urine terhadap narapidana/tahanan yang hasilnya positif menggunakan narkoba; 5) Narapidana lebih cerdik walau secanggih alat yang dipergunakan oleh petugas mencegah masuknya narkoba. 35 6) Penyuntikan yang tidak aman: peralatan menyuntik susah didapatkan dan menyebabkan narapidana menggunakan jarum suntik (atau peralatan buatan sendiri dari ujung bolpoin) secara bergantian tanpa membersihkannya terlebih dahulu. 7) Perilaku seksual yang tidak aman dan pemerkosaan: hubungan seks di antara laki laki sangat umum, namun tidak tersedia kondom. 33 Strategi Penanggulangan HIV/ AIDS dan Penyalahgunaan Narkoba pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara di Indonesia , (Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Jendral Pemasyarakatan), 2005, hal Buku saku staff Lapas/Rutan, loc. cit., hal Sri Yuwono, Manajemen Penanggulangan HIV/ AIDS Narapidana di Lembaga

7 Hubungan seksual antar narapidana/tahanan kerap kali menimbulkan Infeksi Menular Seksual (IMS), dulu disebut penyakit kelamin adalah penyakit yang salah satu penularannya melalui hubungan seksual. IMS terjadi di Lapas/rutan, karena kemungkinan narapidana telah terinfeksi IMS sebelum masuk dan/atau melalui hubungan seks di dalam Lapas/rutan. Hubungan seks di dalam Lapas/rutan bisa terjadi atas dasar suka sama suka, terpaksa karena intimidasi, alasan perlindungan dan pemerkosaan. Penelitian di seluruh dunia menunjukkan hubungan seks antara pria dengan pria di dalam Lapas/rutan adalah hal yang biasa. Dan karena kondom jarang tersedia, maka risiko tertular/menularkan IMS dan HIV/AIDS merupakan suatu realitas bagi para narapidana. 36 Infeksi Menular Seksual terutama sifilis, meningkatkan risiko penularan HIV 1-9 kali lipat. Di samping itu, IMS juga merupakan beban penyakit tersendiri yang dapat menimbulkan komplikasi dan efek jangka panjang seperti kemandulan, penyempitan saluran kencing pada laki-laki, serta kehamilan di luar kandungan pada wanita. Sebagian besar IMS dapat disembuhkan. Dengan menyembuhkan IMS, risiko penularan HIV diturunkan 1-9 kali lipat. Infeksi ganda HIV dan IMS meningkatkan potensi masalah HIV maupun IMS. 37 Layanan kesehatan di Lapas/Rutan akan secara aktif mengidentifikasi IMS pada narapidana/tahanan pria maupun wanita, baik yang HIV positif maupun negatif Narapidana/tahanan dengan IMS akan diobati sesuai standard pengobatan. Narapidana/tahanan dengan IMS tidak akan diperlakukan secara diskriminatif. Lapas/Rutan juga akan menyediakan obat-obat esensial untuk pengobatan berbagai IMS, sesuai standard terapi, secara berkesinambungan atau bila perlu kerja sama dengan Dinkes dan RS setempat. 8) Perilaku berisiko lain seperti tatto, tindik telinga/ kulit,pemasangan pelor ke dalam penis, dll dan biasanya alat yang dipakai tidak steril dan digunakan bergantian. 9) Akibat perkelahian antar narapidana/ tahanan. 10) Penggunaan alat cukur bergantian tanpa proses sterilisasi, karena fasilitas terbatas. E. Pembinaan dan perawatan khusus bagi narapidana pengidap penyakit HIV/AIDS di Lapas/rutan. Pembinaan merupakan suatu proses belajar dengan melepaskan hal-hal yang sudah dimiliki dan mempelajari hal-hal yang belum dimiliki, dengan tujuan membantu orang yang menjalaninya, untuk membetulkan dan mengembangkan pengetahuan dan kecakapan baru untuk mencapai tujuan hidup serta kerja yang sedang dialami secara lebih efektif. 38 Mangunhardja secara lebih tegas mencoba membedakan antara pembinaan dan pendidikan, yaitu: Pembinaan menekankan pada pengembangan manusia dari segi praktis yaitu pengembangan sikap dan 36 Buku saku staff Lapas/Rutan, loc. cit., hal IMS, < 12 November Kemal Darmawan, Teori Kriminologi, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2000), hal.8.4.

8 kecakapan. Sedangkan pendidikan menekankan pada pengembangan pengetahuan dan ilmu. Oleh karena itu, pembinaan memegang peranan yang cukup penting dalam pembentukan manusia yang seutuhnya. Selain dipenuhi hak-haknya, para narapidana juga harus menjalani proses pembinaan. Narapidana wajib mengikuti secara tertib program pembinaan dan kegiatan tertentu. 39 Sebagaimana disebutkan dalam Keputusan Menteri Kehakiman nomor: M.02-PK tahun 1990, tentang pola pembinaan narapidana/tahanan, maka ruang lingkup pembinaan dapat dibagi dalam 2 bidang: 40 a. Pembinaan kepribadiaan yang meliputi: (1) Pembinaan kesadaran beragama, (2) Pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, (3) Pembinaan kemampuan intelektual, (4) Pembinaan kesadaran hukum, (5) Pembinaan mengintegrasikan diri dengan masyarakat, b. Pembinaan kemandirian Pembinaan kemandirian yang diberikan melalui program-program sebagai berikut: (1) Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri, misalnya kerajinan tangan, industri rumah tangga, refarasi mesin dan alat elektronik. (2) Ketrampilan untuk mendukung usaha industri kecil, misalnya pengelolaan bahan mentah dari hasil pertaniaan dan bahan alam menjadi barang setengah jadi. (3) Ketrampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakatnya masing-masing. (4) Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri atas kegiatan pertanian. Wujud pembinaan tersebut dilaksanakan di setiap lembaga pemasyarakatan dimana pengawasan dan penilaian terhadap narapidana yang menjalani pembinaan dilakukan oleh tim pengawas pemasyarakatan berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Nomor. M.02.PR tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan (BPP) dan Tim Pengawas Pemasyarakatan (TPP), tugas pokok TPP diatur dalam pasal 13, yaitu: Memberikan saran mengenai bentuk dan program pembinaan pengamanan dan pembimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan. 2. Membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan pengamanan dan pembimbingan. 3. Menerima keluhan dan pengaduan warga binaan pemasyarakatan. 39 Loc. cit., Undang-undang no. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, ps. 15 ayat Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Pemasyarakatan, hal Ibid., hal 206.

9 Pelaksanaannya pembinaan narapidana di dalam lapas, dijalankan dalam tahapan-tahapan. Sebagaimana dicantumkan dalam Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.02-PK tahun 1990, tentang pola pembinaan narapidana/tahanan, disebutkan bahwa: 1) Setiap narapidana harus memulai tahap-tahap pembinaan yang telah ditentukan. 2) Tahap-tahap pembinaan bagi narapidana ditentukan berdasarkan lamanya pidana/masa pembinaan yang bersangkutan. Bagi narapidana yang sisa pidananya lebih dari 1 (satu) tahun, menjalani pidana dengan empat tahap : 42 1) Tahap pertama : pembinaan awal yang didahului dengan masa pengamatan, penelitian dan pengenalan lingkungan (mapenaling), sejak diterima sampai sekurangkurangnya 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya. 2) Tahap kedua: pembinaan lanjutan di atas 1/3 sampai sekurang-kurangnya ½ dari masa pidana yang sebenarnya. 3) Tahap ketiga: pembinaan lanjutan di atas 1/2 sampai sekurang-kurangnya 2/3 dari masa pidana yang sebenarnya. 4) Tahap keempat: Pembinaan lanjutan/bimbingan di atas 2/3 sampai selesai masa pidananya. Sedangkan bagi narapidana yang sisa pidananya sampai dengan 1 satu tahun, ada tiga tahap : 43 1) Tahap pertama, sejak diterima sampai sekurang-kurangnya 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya. 2) Tahap kedua sejak 1/2 sampai sekurang-kurangnya 2/3 masa pidana yang ebenarnya. 3) Tahap ketiga, sejak 2/3 sampai selesai masa pidananya. Sedangkan proses pembinaan bagi narapidana yang dipidana mati atau seumur hidup tidak dilakukan pentahapan, kecuali setelah dirubah pidananya menjadi pidana sementara. Ketentuan di atas tidak jauh berbeda dengan ketentuan yang Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, yakni: 44 Pasal 9 42 Indonesia, Keputusan Menteri Kehakiman nomor: M.02-PK tahun 1990, tentang pola pembinaan narapidana/ tahanan. 43 Ibid. 44 Indonesia, Peraturan Presiden nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, ps. 9, 10, 12.

10 (1) Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a bagi Narapidana dimulai sejak yang bersangkutan berstatus sebagai Narapidana sampai dengan 1/3 (satu per tiga) dari masa pidana. (2) Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b meliputi : a. tahap lanjutan pertama, sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan ½ (satu per dua) dari masa pidana; dan b. tahap lanjutan kedua, sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidana. (3) Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c dilaksanakan sejak berakhirnya tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana dari Narapidana yang bersangkutan. Pasal 10 (1) Pembinaan tahap awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) meliputi: a. masa pengamatan, pengenalan, dan penelitian lingkungan paling lama 1 (satu) bulan. b. Perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian; c. Pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian; dan d. Penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal. (2) Pembinaan tahap lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) meliputi : a. perencanaan program pembinaan lanjutan; b. pelaksanaan program pembinaan lanjutan; c. penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan; dan d. perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi. (3) Pembinaan tahap akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) meliputi: a. perencanaan program integrasi; b. pelaksanaan program integrasi; dan c. pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir. (4) Pentahapan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3) ditetapkan melalui sidang Tim Pengamat Pasal 12 Dalam hal terdapat Narapidana yang tidak dimungkinkan memperoleh kesempatan kesempatan asimilasi dan atau integrasi, maka Narapidana yang bersangkutan diberikan pembinaan khusus (maximum security). Sedangkan menurut Sunaryo tahap-tahap pembinaan yang harus diberikan oleh setiap narapidana dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu: Sunaryo Thomas, Sistem Pemasyarakatan Indonesia, (Depok: FISIP UI, 2001), hal. 62.

11 1..Tahap pertama (maximum security) Pada tahap ini ditinjau dari segi pengamanan masih sangat ketat atau disebut maximum security. Tenggang waktu pada tahap ini dimulai sejak narapidana masuk lembaga pemasyarakatan sampai sepertiga masa pidana sebenarnya. Sedangkan yang dimaksud dengan masa pidana sebenarnya adalah masa pidana seluruhnya, dikurangi dengan masa penahanan dan jumlah remisi yang pernah diterimanya. Selama dalam tahap ini ada tenggang waktu yang disebut dengan masa admisi dan orientasi, yaitu terhitung sejak narapidana masuk paling lama empat belas hari. Maksud dari masa admisi dan orientasi ini adalah untuk penyelesaian administrasi, orientasi, baik orientasi bagi narapidana dengan lingkungannya di dalam lembaga pemasyarakatan, maupun orientasi bagi petugas pemasyarakatan terhadap narapidana yang bersangkutan. Pada tahap ini, sejauh mungkin dapat diketahui apa kelebihan dan kekurangan narapidana dan hal-hal lain yang berkaitan dengan dirinya. Data yang diperoleh selama masa admisi dan orientasi ini diperlukan untuk menyusun pembinaan yang paling tepat bagi dirinya. Pada tahap ini, sedikit demi sedikit narapidana diberikan tugas dan tanggung jawab, dimulai dari tugas dan tanggung jawab terhadap dirinya sendiri serta lingkungan disekitarnya. Pemantauan tahapan perkembangan narapidana dilakukan oleh petugas pemasyarakatan yang ditunjuk sebagai wali. Selain memantau perkembangan narapidana selama masa pembinaan, wali juga bertugas memberikan bimbingan secara perorangan. Hal ini bertujuan agar setiap permasalahan yang timbul dapat secara dini termonitor dan dapat diupayakan penyelesaiannya. Narapidana yang sudah menjelang berakhirnya masa sepertiga masa pidananya, melalui sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP), dibahas kemungkinan-kemungkinan peningkatan pembinaannya, dengan mempertimbangkan masukan dari wali yang bersangkutan. 2. Tahap kedua (medium security) Ditinjau dari segi pengamanan, pada tahap ini bersifat medium security, atau dengan kata lain lebih longgar dibandingkan dengan pengamanan pada tahap pertama. Tenggang waktu pada tahap ini dimulai sejak sepertiga masa pidana sebenarnya sampai dengan setengah masa pidana sebenarnya. Hasil evaluasi pembinaan pada tahap pertama dijadikan dasar dalam meningkatkan program pembinaan dan pemberian tanggung jawab juga lebih besar dibandingkan dengan tahap pertama. Hasil pembinaan pada tahap ini kemudian dievaluasi bersama antara wali narapidana dengan TPP. Apabila hasil evaluasi pada tahap ini baik, maka program pembinaan bagi narapidana yang bersangkutan dapat ditingkatkan pada tahap ketiga. Apabila pembinaan pada tahap ini gagal, perlu dikaji kembali sebab-sebab kegagalan bersumber dari narapidana yang bersangkutan, maka program pembinaan tidak dapat dilanjutkan pada tahap ketiga.

12 3. Tahap ketiga (minimum security) Tenggang waktu pada tahap ini adalah antara setengah masa pidana yang sebenarnya hingga dua pertiga masa pidana sebenarnya. Pada tahap ini disebut pula tahap asimilasi karena pada tahap ini narapidana mulai dilibatkan dalam kehidupan masyarakat dengan pengawasan ringan atau minimum security. Asimilasi adalah proses pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana dan anak didik pemasyarakatan dalam kehidupan masyarakat, setelah menjalani setengah dari masa pidanannya. Bentuk pembinaan pada tahap asimilasi ini antara lain adalah berupa beribadah bersama masyarakat, kerja bakti bersama masyarakat, melanjutkan sekolah/ kuliah, bekerja pada unit-unit keterampilan mandiri di luar lembaga pemasyarakatan dan sebagainya. Perkembangan pada tahap pembinaan ini secara terus menerus dimonitor oleh wali yang bersangkutan dan TPP. Apabila hasil evaluasi selama tahap pembinaan ini baik, maka program pembinaan ditingkatkan pada tahap keempat. 4. Tahap keempat (integrasi) Tahap ini disebut tahap integrasi yaitu pemilihan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan narapidana dan anak didik pemasyarakatan dan masyarakat, karena narapidana diterjunkan langsung dalam kehidupan masyarakatan tanpa pengawalan. Untuk dapat memasuki tahap ini narapidana telah menjalani dua pertiga masa pidana sebenarnya, atau sekurang-kurangnya telah menjalani masa pidana selama sembilan bulan. Bimbingan pada narapidana pada tahap ini dilakukan oleh Balai pemasyarakatan, sedangkan pengawasannya dilakukan oleh Kejaksaan Negeri dimana narapidana berdomisili. Integrasi ini diberikan dalam bentuk: 1. Pembebasan bersyarat 2. Cuti menjelang bebas Mendukung berjalannya proses pembinaan dengan baik maka juga dilakukan usaha pengamanan dan pengawasan terhadap warga binaan pemasyarakatan. Adapun tugas pokok keamanan dan ketertiban. Sebagaimana di sebut dalam Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.02-PK tahun 1990, tentang pola pembinaan narapidana/ tahanan, antara lain: 1) Kegiatan keamanan dan ketertiban berfungsi memantau dan menangkal/ mencegah sedini mungkin gangguan keamanan dan ketertiban yang timbul dari luar maupun dari dalam Lapas dan Rutan/Cabang rutan, 2) Kegiatan keamanan dan tata tertib tidak selalu berupa kegiatan fisik dengan senjata api atau senjata lainnya melainkan sikap dan perilaku petugas yang baik terhadap penghuni memberikan dampak keamanan dan ketertiban yang harmonis. 3) Kegiatan keamanan dan ketertiban mencegah agar situasi kehidupan penghuni tidak mencekam yaitu agar tidak terjadi penindasan, pemerasan dan lain-lain perbuatan yang menimbulkan situasi

13 kehidupan menjadi resah dan ketakutan. Menjaga agar tidak terjadi pelarian dari dalam maupun dari luar Lapas dan Rutan/Cabang rutan. 4) Memelihara, mengawasi dan menjaga agar suasana kehidupan narapidana/tahanan (suasana bekerja, belajar, berlatih, makan, rekreasi, beribadah, tidur dan menerima kunjungan dan lain-lain) selalu tertib dan harmonis. 5) Memelihara, mengawasi dan menjaga keutuhan barang inventaris Lapas dan Rutan/Cabrutan. 6) Melakukan pengamanan terhadap gangguan kesusilaan. 7) Melaksanakan administrasi (tata usaha) keamanan dan ketertiban. F. Hak-hak narapidana. Tiap narapidana yang menjalani hukumannya harus diperlakukan layaknya manusia. Tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia tersesat, tidak boleh selalu ditunjukkan bahwa ia itu penjahat, sebaliknya ia harus selalu dibuat merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia. 46 Selayaknya manusia maka narapidana pun harus diperhatikan dan penuhi hak-haknya. Yang pertama-tama harus dipenuhi tentunya Hak Asasi Manusia sebagaimana dijabarkan dalam Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kemudian juga harus dipenuhi hak-haknya selama menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan. Secara keseluruhan berikut ini ialah hakhak narapidana. Adapun narapidana berhak : 47 1) melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; 2) mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; 3) mendapatkan pendidikan dan pengajaran; 4) mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; 5) menyampaikan keluhan; 6) mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; 7) mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan; 8) menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; 9) mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); 10) mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; 11) mendapatkan pembebasan bersyarat; 12) mendapatkan cuti menjelang bebas; dan 13) mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagaimana disebut di atas bahwa remisi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas merupakan hak narapidana yang harus dipenuhi. Remisi terdiri dari remisi umum, remisi khusus dan remisi tambahan. Sebagaimana di atur dalam Keputusan Presiden no. 174 tahun 1999 tentang remisi, yakni: 48 Pasal 2 47 Indonesia, Undang-undang no. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, ps. 14 ayat Indonesia, Keputusan Presiden no. 174 Tahun 1999 tentang remisi, ps. 2 dan 3.

14 (1) Remisi Umum, yang diberikan pada hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus; dan (2) Remisi Khusus, yang diberikan pada hari besar keagamaan yang dianut oleh Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan, dengan ketentuan jika suatu agama mempunyai lebih dari satu hari besar keagamaan dalam setahun, maka yang dipilih adalah hari besar yang paling dimuliakan oleh penganut agama yang bersangkutan. Pasal 3 (1) Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat ditambah dengan remisi tambahan apabila Narapidana dan Anak Pidana yang bersangkutan selama menjalani pidana : a. berbuat jasa kepada Negara; b. melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan; c. melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lapas. Selain itu ada juga remisi tertunda dan remisi khusus bersyarat sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia nomor : M.01.HN Tahun 2001 tentang Remisi Khusus Yang Tertunda Serta Remisi Tambahan, yakni: 49 Pasal 1 (1) Remisi khusus yang tertunda adalah remisi khusus yang diberikan kepada Narapidana dan anak pidana yang pelaksanaan pemberiannya dilakukan setelah yang bersangkutan berubah statusnya menjadi Narapidana dan besarnya maksimal 1 (satu) bulan. (2) Syarat-syarat memperoleh remisi khusus tertunda tersebut, sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 2 (1) Remisi khusus bersyarat adalah remisi khusus yang diberikan secara bersyarat kepada narapidana dan anak pidana, yang pada saat hari raya agama yang bersangkutan, masa menjalani pidananya belum cukup 6 (enam) bulan). (2) Syarat-syarat memperoleh dan besarnya remisi khusus bersyarat tersebut, sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Selain remisi Asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas merupakan hak-hak wargabinaan yang harus diberikan. Namun demikian hak-hak tersebut harus memenuhi persyaratan tertentu. Syarat-syarat itu antara lain: Indonesia, Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia nomor: M.01.HN Tahun 2001 tentang Remisi khusus yang tertunda serta remisi tambahan, ps. 1 dan Indonesia, Keputusan Menteri Kehakiman nomor M.01.PK Tahun 1999 Tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas. Ps. 7, 8 dan 10.

15 Pasal 7 (1) Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan dapat diberi asimilasi, pembebasan bersyarat atau cuti menjelang bebas, apabila memenuhi persyaratan substantif dan administratif. (2) Persyaratan substantif yang harus dipenuhi Narapidana dan Anak Pidana adalah : a. telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana; b. telah menunjukkan perkembangan budi pekerti dan moral yang positif; c. berhasil mengikuti program kegiatan pembinaan dengan tekun dan bersemangat; d. masyarakat telah dapat menerima program kegiatan pembinaan narapidana yang bersangkutan; e. selama menjalankan pidana, Narapidana atau Anak Pidana tidak pernah mendapat hukuman disiplin sekurang-kurangnya dalam waktu 9 (sembilan) bulan terakhir; f. masa pidana yang telah dijalani : 1) untuk asimilasi, narapidana telah menjalani 1/2 (setengah) dari masa pidana, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi, dihitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. 2) untuk pembebasan bersyarat, narapidana telah menjalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi dihitung sejak tanggal putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. 3) untuk cuti menjelang bebas, narapidana telah menjalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya, setelah dikurangi masa tahanan dan remisi, dihitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dan jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir, paling lama 6 (enam) bulan. Pasal 8. Persyaratan administratif yang harus dipenuhi bagi Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan adalah : a. salinan putusan pengadilan (ekstrak vonis); b. surat keterangan asli dari Kejaksaan bahwa narapidana yang bersangkutan tidak mempunyai perkara atau tersangkut dengan tindak pidana lainnya; c. laporan penelitian kemasyarakatan (Litmas) dari BAPAS tentang pihak keluarga yang akan menerima narapidana, keadaan masyarakat sekitarnya dan pihak lain yang ada hubungannya dengan narapidana; d. salinan (daftar huruf f) daftar yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang dilakukan narapidana selama menjalankan masa pidana dari Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kepala Lapas); e. salinan daftar perubahan atau pengurangan masa pidana, seperti grasi, remisi dan lain-lain dari Kepala Lapas;

16 f. surat pernyataan kesanggupan dari pihak yang akan menerima narapidana, seperti pihak keluarga, sekolah, instansi Pemerintah atau swasta dengan diketahui oleh Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya lurah atau kepala desa; g. surat keterangan kesehatan dari psikolog atau dari dokter bahwa narapidana sehat baik jasmani maupun jiwanya dan apabila di Lapas tidak ada psikolog dan dokter, maka surat keterangan dapat dimintakan kepada dokter Puskesmas atau Rumah Sakit Umum. h. bagi Narapidana atau Anak Pidana Warga Negara Asing diperlukan syarat tambahan : 1) surat keterangan sanggup menjamin Kedutaan Besar/ Konsulat Negara orang asing yang bersangkutan; 2) surat rekomendasi dari Kepala Kantor Imigrasi setempat. Adapun hal-hal yang mencegah warga binaan mendapatkan hak-hak adalah dengan kondisi-kondisi tertentu, yakni: Pasal 10 (1) Asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas tidak diberikan kepada : a. Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan yang kemungkinan akan terancam jiwanya; b. Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan yang diduga akan melakukan lagi tindak pidana; atau c. Narapidana yang sedang menjalani pidana penjara seumur hidup. Selain hak-hak di atas yang penting juga ialah hak-hak narapidana/ tahanan atas pelayanan kesehatan dan perawatan. Narapidana/tahanan harus mendapatkan pelayanan kesehatan dan perawatan yang memadai. Dengan demikian seharusnya sebuah lembaga pemasyarakatan atau Rutan dilengkapi dengan sarana dan prasarana kesehatan yang baik. Serta harus disediakan tenaga dokter dan kesehatan yang memadai sebanding dengan jumlah warga binaan. Hak-hak atas pelayanan kesehatan dan perawatan sebagaimana dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan antara lain: 1) Setiap tahanan berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak. 2) Pada setiap Rutan/cabang Rutan atau Lapas/cabang Lapas disediakan poliklinik beserta fasilitasnya dan ditempatkan sekurang-kurangnya seorang dokter dan tenaga kesehatan lainnya. 3) Dalam hal Rutan/cabang Rutan atau Lapas/cabang Lapas belum ada tenaga dokter atau tenaga kesehatan lainnya, maka pelayanan kesehatan dapat diminta bantuan kepada rumah sakit atau Puskesmas terdekat. 51 Untuk menjamin pemenuhan hak atas kesehatan itu bila dianggap perlu maka Lapas/ rutan dapat melakukan kerja sama dengan pihak luar. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 9 ayat (1) huruf d Peraturan 51 Indonesia, Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata-cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas, dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan. Ps. 21 ayat 1-3.

17 Pemerintah nomor 57 tahun 1999 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, kerja sama di bidang kesehatan dimungkinkan untuk dilakukan. Hal ini tentunya setelah memenuhi syarat-syarat dan ketentuan dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.01.PK.04-10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBUK INOONESIA NOMOR M.2.PK.04-10 TAHUN 2007 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN ASIMILASI,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA. Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya perlakuan terhadap

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.832, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Remisi. Asimilasi. Syarat. Pembebasan Bersyarat. Cuti. Tata Cara. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK

Lebih terperinci

2018, No bersyarat bagi narapidana dan anak; c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata

2018, No bersyarat bagi narapidana dan anak; c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.282, 2018 KEMENKUMHAM. Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pergeseran paradigma dalam hukum pidana, mulai dari aliran klasik, aliran neo-klasik, dan aliran modern menandai babak baru dalam wacana hukum pidana. Pergeseran

Lebih terperinci

2016, No Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pem

2016, No Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.810, 2016 KEMENKUMHAM. Remisi. Asimilasi. Cuti Mengunjungi Keluarga. Pembebasan Bersyarat. Cuti Menjelang Bebas. Cuti Bersyarat. Pemberian. Tata Cara. Perubahan. PERATURAN

Lebih terperinci

1 dari 8 26/09/ :15

1 dari 8 26/09/ :15 1 dari 8 26/09/2011 10:15 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama sel T CD-4

BAB I PENDAHULUAN. menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama sel T CD-4 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (terutama sel T CD-4 positif, makrofag, dan komponen komponen

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN. Asimilasi narapidana merupakan proses pembauran narapidana dalam kehidupan

BAB II PEMBAHASAN. Asimilasi narapidana merupakan proses pembauran narapidana dalam kehidupan BAB II PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Pemberian Asimilasi Di Rutan Salatiga Asimilasi narapidana merupakan proses pembauran narapidana dalam kehidupan bermasyarakat agar dapat hidup dan bergaul dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan narapidana untuk dapat membina, merawat, dan memanusiakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan narapidana untuk dapat membina, merawat, dan memanusiakan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Lembaga Pemasyarakatan. 1. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) adalah Lembaga Negara yang mempunyai kewenangan dan kewajiban bertanggungjawab

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform KEPUTUSAN MENTERI HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.02.PR.08.03 TAHUN 1999 TENTANG PEMBENTUKAN BALAI PERTIMBANGAN PEMASYARAKATAN DAN TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN MENTERI HUKUM DAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembinaan merupakan aspek penting dalam sistem pemasyarakatan yaitu sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembinaan merupakan aspek penting dalam sistem pemasyarakatan yaitu sebagai 18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembinaan Narapidana Pembinaan merupakan aspek penting dalam sistem pemasyarakatan yaitu sebagai suatu sistem perlakuan bagi narapidana baik di pembinaan. Pembinaan adalah segala

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 58 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG BALAI PERTIMBANGAN PEMASYARAKATAN DAN TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia yang berdasarkan pada Undang-undang Dasar 1945. Fungsi hukum

Lebih terperinci

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh :

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN TENTANG HIV-AIDS DAN VOLUNTARY COUNSELLING AND TESTING (VCT) SERTA KESIAPAN MENTAL MITRA PENGGUNA NARKOBA SUNTIK DENGAN PERILAKU PEMERIKSAAN KE KLINIK VCT DI SURAKARTA

Lebih terperinci

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS DAN ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan diduga akan berkepanjangan karena masih terdapat faktor-faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. dan diduga akan berkepanjangan karena masih terdapat faktor-faktor yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Epidemi HIV&AIDS di Indonesia sudah berlangsung selama 15 tahun dan diduga akan berkepanjangan karena masih terdapat faktor-faktor yang memudahkan penularan virus penyakit

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG TATA TERTIB LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN RUMAH TAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Sydrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemi.

Lebih terperinci

NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN

NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama infeksi berlangsung,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN HUKUM PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP Dasar Hukum Pemberian Remisi di Indonesia.

BAB II LANDASAN HUKUM PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP Dasar Hukum Pemberian Remisi di Indonesia. BAB II LANDASAN HUKUM PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP 2.1. Dasar Hukum Pemberian Remisi di Indonesia. Sebelum kita mengetahui landasan hukum tentang remisi terhadap Narapidana

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN UMUM Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL) Departemen Kesehatan

Lebih terperinci

PP 58/1999, SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN

PP 58/1999, SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN PP 58/1999, SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 58 TAHUN 1999 (58/1999) Tanggal: 22 JUNI 1999 (JAKARTA)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Profil Kesehatan Sumatera Utara Tahun 2013, salah satu penyakit menular yang belum dapat diselesaikan dan termasuk iceberg phenomenon atau fenomena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini narapidana tidak lagi dipandang sebagai objek melainkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini narapidana tidak lagi dipandang sebagai objek melainkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini narapidana tidak lagi dipandang sebagai objek melainkan menjadi subjek yang dihormati dan dihargai oleh sesamanya. Pada dasarnya yang harus diberantas ialah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pandemi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), saat ini merupakan pandemi terhebat dalam kurun waktu dua dekade terakhir. AIDS adalah kumpulan gejala penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena dari tahun ke tahun terus meningkat. Dalam sepuluh tahun terakhir, peningkatan AIDS sungguh mengejutkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit menular saat ini masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia dan merupakan penyebab kematian bagi penderitanya. Penyakit menular adalah penyakit

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia. Acquired Immunodeficiency Syndrome atau AIDS. tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV (Kemenkes RI, 2014).

BAB 1 PENDAHULUAN. kekebalan tubuh manusia. Acquired Immunodeficiency Syndrome atau AIDS. tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV (Kemenkes RI, 2014). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah sejenis virus yang menyerang/menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh manusia. Acquired

Lebih terperinci

BAB III REMISI BAGI TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PP NO 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PP NO 32 TAHUN 1999 TENTANG

BAB III REMISI BAGI TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PP NO 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PP NO 32 TAHUN 1999 TENTANG 61 BAB III REMISI BAGI TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PP NO 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PP NO 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN A. Pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatakan bahwa setiap orang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatakan bahwa setiap orang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya, kesehatan merupakan hak setiap manusia. Hal tersebut sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyalahgunaan narkoba mempunyai dimensi yang luas dan kompleks, baik dari segi medis maupun psikologi sosial. Peredaran narkoba pada saat ini sudah sangat mengkhawatirkan.

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. United Nation, New York, telah menerbitkan World Drugs Report 2015 yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. United Nation, New York, telah menerbitkan World Drugs Report 2015 yang 1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) yang bermarkas besar di United Nation, New York, telah menerbitkan World Drugs Report 2015 yang melaporkan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga

BAB I PENDAHULUAN. (2004), pelacuran bukan saja masalah kualitas moral, melainkan juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningkatnya jumlah kasus infeksi HIV khususnya pada kelompok Wanita Penjaja Seks (WPS) di Indonesia pada saat ini, akan menyebabkan tingginya risiko penyebaran infeksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dasar hukum dari Pembebasan bersyarat adalah pasal 15 KUHP yang

BAB I PENDAHULUAN. Dasar hukum dari Pembebasan bersyarat adalah pasal 15 KUHP yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Dasar hukum dari Pembebasan bersyarat adalah pasal 15 KUHP yang menyatakan orang yang dihukum penjara boleh dilepaskan dengan perjanjian, bila telah melalui

Lebih terperinci

HIV/AIDS. Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH

HIV/AIDS. Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH HIV/AIDS Intan Silviana Mustikawati, SKM, MPH 1 Pokok Bahasan Definisi HIV/AIDS Tanda dan gejala HIV/AIDS Kasus HIV/AIDS di Indonesia Cara penularan HIV/AIDS Program penanggulangan HIV/AIDS Cara menghindari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epidemi HIV/AIDS di Indonesia Epidemi HIV di Indonesia telah berlangsung selama 25 tahun dan sejak tahun 2000 sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kasus penyakit HIV/AIDS masih merupakan masalah di DKI Jakarta, dimana strategi penanggulangan laju peningkatan penyakit ini belum mampu mengatasi problem secara komprehensive.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah HIV AIDS merupakan salah satu masalah kesehatan yang sampai saat ini masih menjadi perhatian utama bagi masyarakat khususnya pemangku kebijakan di seluruh dunia.

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Universitas Indonesia

Bab I Pendahuluan. Universitas Indonesia 14 Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi ini semakin banyak masalah yang dihadapi oleh negara, baik negara maju maupun negara berkembang, tak terkecuali dengan negara kita. Salah satu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tugas pokok melaksanakan pemasyarakatan narapidana/anak didik. makhluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. tugas pokok melaksanakan pemasyarakatan narapidana/anak didik. makhluk Tuhan, individu dan anggota masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lembaga Pemasyarakatan merupakan salah satu unit pelaksana tekhnis dari jajaran Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mempunyai tugas pokok melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyiksaan dan diskriminatif secara berangsur-angsur mulai ditinggalkan melalui

BAB I PENDAHULUAN. penyiksaan dan diskriminatif secara berangsur-angsur mulai ditinggalkan melalui BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem penjara di Indonesia pada awalnya tidak jauh berbeda dengan negaranegara lain, yaitu sekedar penjeraan berupa penyiksaan, perampasan hak asasi manusia dan lebih

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tujuan Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tujuan Pidana 13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tujuan Pidana 1. Pengertian Pidana Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan

Lebih terperinci

MENUNAIKAN HAK PELAYANAN KESEHATAN NAPI DAN TAHANAN

MENUNAIKAN HAK PELAYANAN KESEHATAN NAPI DAN TAHANAN MENUNAIKAN HAK PELAYANAN KESEHATAN NAPI DAN TAHANAN Oleh Patri Handoyo Kondisi kesehatan di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan negara (rutan) Indonesia sejak tahun 2000-an telah terbawa

Lebih terperinci

BAB III PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT MENURUT PERMEN. No.M.2.Pk Th 2007

BAB III PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT MENURUT PERMEN. No.M.2.Pk Th 2007 BAB III PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT MENURUT PERMEN No.M.2.Pk.04-10 Th 2007 A. Pembebasan Bersyarat Pembebasan bersyarat menurut PERMEN No.M.2.PK.04-10 Tahun 2007 pasal 1 ayat 2 adalah proses pembinaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (NAPZA) sudah menjadi masalah di tingkat nasional, regional maupun global. Hasil dari laporan perkembangan situasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini

BAB I PENDAHULUAN. para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem Pemasyarakatan lahir di Bandung dalam konferensi jawatan kepenjaraan para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini dicetuskan oleh DR.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

2015, No. -2- untuk melaksanakan ketentuan Pasal 50 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor

2015, No. -2- untuk melaksanakan ketentuan Pasal 50 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1528, 2015 KEMENKUMHAM. Lembaga Pemasyarakatan. Rumah Tahanan Negara. Pengamanan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2015

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS INDONESIA. Kualitas Pelayanan Kesehatan..., Keynes,FISIP UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS INDONESIA. Kualitas Pelayanan Kesehatan..., Keynes,FISIP UI, 2009 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Dewasa ini seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka semakin beragam pula pola tindak pidana yang dilakukan. Hal ini dipengaruhi dengan

Lebih terperinci

Penjangkauan dalam penggulangan AIDS di kelompok Penasun

Penjangkauan dalam penggulangan AIDS di kelompok Penasun Catatan Kebijakan # 3 Penjangkauan dalam penggulangan AIDS di kelompok Penasun Stigma terhadap penggunaan narkoba di masyarakat selama ini telah membatasi para pengguna narkoba untuk memanfaatkan layananlayanan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2008

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2008 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Usaha Pemerintah dalam menegakan hukum dan memberantas korupsi

BAB I PENDAHULUAN. Usaha Pemerintah dalam menegakan hukum dan memberantas korupsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Indonesia merupakan Negara yang sedang berkembang. Sebagian dari perkembangan itu bermakna positif dan sebagian yang lain bermakna negatif. Usaha Pemerintah

Lebih terperinci

STRATEGI PENANGGULANGAN HIV/AIDS DAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA PADA LEMBAGA PEMASYARAKATAM DAN RUMAH TAHANAN NEGARA DI INDONESIA TAHUN

STRATEGI PENANGGULANGAN HIV/AIDS DAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA PADA LEMBAGA PEMASYARAKATAM DAN RUMAH TAHANAN NEGARA DI INDONESIA TAHUN STRATEGI PENANGGULANGAN HIV/AIDS DAN PENYALAHGUNAAN NARKOBA PADA LEMBAGA PEMASYARAKATAM DAN RUMAH TAHANAN NEGARA DI INDONESIA TAHUN 2005-2009 DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health. diperkirakan sebanyak 1.6 juta orang diseluruh dunia.

BAB I PENDAHULUAN. pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health. diperkirakan sebanyak 1.6 juta orang diseluruh dunia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV/AIDS sebagai salah satu epidemik yang paling menghancurkan pada sejarah, United National HIV/AIDS (UNAIDS) & Word Health Organization (WHO) 2012 menyebutkan bahwa

Lebih terperinci

ESTIMASI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI BALI TAHUN 2007

ESTIMASI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI BALI TAHUN 2007 ESTIMASI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI BALI TAHUN 2007 1800000 1600000 Proyeksi Kasus HIV/AIDS di Indonesia 1400000 1200000 Jumlah Infeksi 1000000 800000 600000 400000 200000

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pasangan yang sudah tertular, maupun mereka yang sering berganti-ganti

I. PENDAHULUAN. pasangan yang sudah tertular, maupun mereka yang sering berganti-ganti 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi menular seksual (IMS) yang disebut juga penyakit menular seksual (PMS) adalah infeksi yang menular lewat hubungan seksual baik dengan pasangan yang sudah tertular,

Lebih terperinci

Penanggulangan HIV/AIDS pada Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan/Rumah Tahanan

Penanggulangan HIV/AIDS pada Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan/Rumah Tahanan Catatan Kebijakan # 2 Penanggulangan HIV/AIDS pada Warga Binaan Lembaga Pemasyarakatan/Rumah Tahanan Apakah penting penanggulangan HIV di Rutan/Lapas Jumlah tahanan dan warga binaan dewasa di Indonesia

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A PALU IRFAN HABIBIE D ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A PALU IRFAN HABIBIE D ABSTRAK TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN PEMBEBASAN BERSYARAT TERHADAP NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II A PALU IRFAN HABIBIE D 101 10 002 ABSTRAK Dalam Hukum Pidana dikenal adanya sanksi pidana berupa kurungan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Permasalahan narkotika di Indonesia menunjukkan gejala yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Permasalahan narkotika di Indonesia menunjukkan gejala yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan narkotika di Indonesia menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh BNN dan Puslitkes UI pada 10 kota besar di Indonesia

Lebih terperinci

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR,

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR, WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR, Menimbang: a. b. c. bahwa dalam upaya untuk memantau penularan

Lebih terperinci

LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014

LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014 LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014 1. Hari AIDS Sedunia diperingati setiap tahun, dengan puncak peringatan pada tanggal 1 Desember. 2. Panitia peringatan Hari AIDS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Imunnodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Imunne Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Imunnodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Imunne Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Imunnodeficiency Virus (HIV)/ Acquired Imunne Deficiency Syndrome (AIDS) adalah masalah besar yang mengancam banyak negara di seluruh dunia. Tidak ada negara

Lebih terperinci

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN PENGARUH STIGMA DAN DISKRIMINASI ODHA TERHADAP PEMANFAATAN VCT DI DISTRIK SORONG TIMUR KOTA SORONG Sariana Pangaribuan (STIKes Papua, Sorong) E-mail: sarianapangaribuan@yahoo.co.id ABSTRAK Voluntary Counselling

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan permasalahan penyakit menular seksual termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan kualitatif. HIV merupakan

Lebih terperinci

BAB II URAIAN TEORITIS. Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil

BAB II URAIAN TEORITIS. Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil BAB II URAIAN TEORITIS Teori adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk anak-anak. Seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. untuk anak-anak. Seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak merupakan generasi penerus bangsa yang akan menjadi penopang bagi keberlangsungan bangsa tersebut. Untuk mewujudkan masa depan bangsa yang cerah, diperlukan pendidikan

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodeficiency Syndrome atau yang kita kenal dengan HIV/AIDS saat ini merupakan global health issue. HIV/AIDS telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN HIV (Human Immunodeficiency Virus) virus ini adalah virus yang diketahui sebagai penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). HIV merusak sistem ketahanan tubuh,

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik I

2 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik I BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1238, 2015 KEMENKES. Pengguna Napza Suntik. Dampak. Pengurangan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2015 TENTANG PENGURANGAN DAMPAK

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERDANG BEDAGAI, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Implementasi kebijakan..., Atiek Meikhurniawati, FISIP UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Implementasi kebijakan..., Atiek Meikhurniawati, FISIP UI, Universitas Indonesia 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Direktorat Jenderal Pemasyarakatan marupakan instansi pemerintah yang berada dibawah naungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI yang memiliki visi pemulihan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah HIV-AIDS, mulai dari penularan, dampak dan sampai

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah HIV-AIDS, mulai dari penularan, dampak dan sampai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah HIV-AIDS, mulai dari penularan, dampak dan sampai penanggulangannya, merupakan masalah yang sangat kompleks. Penularan HIV- AIDS saat ini tidak hanya terbatas

Lebih terperinci

2011, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan

2011, No c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan www.djpp.kemenkumham.go.id BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.323, 2011 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM. Pembangunan UPT Pemasyarakatan. Rencana Induk. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tercermin dalam UUD

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tercermin dalam UUD BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia adalah negara hukum, hal tersebut tercermin dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi Negara Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

UU 12/1995, PEMASYARAKATAN. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:12 TAHUN 1995 (12/1995) Tanggal:30 Desember 1995 (JAKARTA) Tentang:PEMASYARAKATAN

UU 12/1995, PEMASYARAKATAN. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:12 TAHUN 1995 (12/1995) Tanggal:30 Desember 1995 (JAKARTA) Tentang:PEMASYARAKATAN UU 12/1995, PEMASYARAKATAN Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor:12 TAHUN 1995 (12/1995) Tanggal:30 Desember 1995 (JAKARTA) Tentang:PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS INDONESIA 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena kejahatan di Indonesia saat ini, digambarkan oleh kondisi over crowded pada sekitar 400 Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) dan Rumah Tahanan Negara (RUTAN).

Lebih terperinci

BAB III PROSES PENGAJUAN DAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP DAN KENDALANYA

BAB III PROSES PENGAJUAN DAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP DAN KENDALANYA BAB III PROSES PENGAJUAN DAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP NARAPIDANA PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP DAN KENDALANYA 3.1. Filosofi Pemberian Remisi. Pemberian remisi ini tentu adalah berkah yang luar biasa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai hukum. Hal ini tercermin di dalam Pasal 1 ayat (3) dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV / AIDS DAN IMS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV / AIDS DAN IMS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU NOMOR 15 TAHUN 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV / AIDS DAN IMS DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPULAUAN RIAU,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemerdekaan yang wajar sesuai dengan Perundang-undangan yang berlaku dan normanorma

BAB I PENDAHULUAN. kemerdekaan yang wajar sesuai dengan Perundang-undangan yang berlaku dan normanorma BAB I PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul Pembaharuan sistem secara lebih manusiawi dengan tidak melakukan perampasan hak-hak kemerdekaan warga binaan pemasyarakatan, melainkan hanya pembatasan kemerdekaan

Lebih terperinci

BAB III. Pemasyarakatan Anak Blitar. 3.1 Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga

BAB III. Pemasyarakatan Anak Blitar. 3.1 Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga BAB III Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar 3.1 Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga Pemasayarakatan Anak Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang

Lebih terperinci

MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: M-03.PS.01.04 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN REMISI BAGI NARAPIDANA YANG MENJALANI PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG REMISI

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG REMISI BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG REMISI 1.1. Pengertian Remisi dan Dasar Hukum Remisi Pengertian remisi diartikan sebagai berikut: Remisi menurut kamus hukum adalah pengampunan hukuman yang diberikan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. meninggal akibat HIV/AIDS, selain itu lebih dari 6000 pemuda umur tahun

BAB I PENDAHULUAN. meninggal akibat HIV/AIDS, selain itu lebih dari 6000 pemuda umur tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi permasalahan kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Fakta bahwa sekitar 2000 anak diseluruh dunia umur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Kasus HIV-

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS). Kasus HIV- BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan salah satu masalah kesehatan utama dan salah satu penyakit menular yang dapat mempengaruhi kematian penduduk di

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 174 TAHUN 1999 TENTANG REMISI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 174 TAHUN 1999 TENTANG REMISI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 174 TAHUN 1999 TENTANG REMISI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa remisi merupakan salah satu sarana hukum yang penting dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci