RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,"

Transkripsi

1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya perlakuan terhadap pelanggar hukum pidana harus didasarkan pada prinsip perlindungan hukum dan penghormatan hak asasi manusia dan merupakan sistem pemasyarakatan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa sistem pemasyarakatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pemidanaan yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam melaksanakan penegakan hukum pada sistem peradilan pidana terpadu; c. bahwa perkembangan perlakuan terhadap pelanggar hukum di berbagai belahan dunia telah mengacu pada pendekatan reintegrasi sosial dan keadilan restoratif, yang pelaksanaannya sesuai dengan sistem Pemasyarakatan. d. bahwa Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum masyarakat dan belum mengakomodasi kebutuhan pelaksanaan pembinaan pemasyarakatan sehingga perlu diganti dengan Undang-Undang yang baru; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pemasyarakatan; Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMASYARAKATAN. 1

2 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pemasyarakatan adalah bagian dari sistem peradilan pidana terpadu dalam penyelenggaraan fungsi penegakan hukum di bidang perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan, termasuk pengelolaan benda sitaan negara dan benda rampasan negara. 2. Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan yang dilaksanakan secara terpadu untuk meningkatkan kualitas hidup, kehidupan, dan penghidupan warga binaan pemasyarakatan. 3. Warga Binaan Pemasyarakatan yang selanjutnya disingkat WBP adalah: a. narapidana yang telah diputus bersalah oleh pengadilan karena melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana hilang kemerdekaan; b. tahanan yang ditahan karena ditetapkan menjadi tersangka atau terdakwa oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim; c. klien pemasyarakatan yang menjalani pendampingan, pembimbingan dan pengawasan oleh pembimbing kemasyarakatan; d. anak yang ditempatkan di lembaga penempatan anak sementara selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan; dan e. anak yang berdasarkan putusan pengadilan ditempatkan di lembaga pembinaan khusus anak. 4. Pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan negara adalah bagian dari sistem pemasyarakatan dan merupakan kegiatan yang dilaksanakan untuk mengelola, memelihara, dan menjaga kualitas dan kuantitas benda sitaan dan barang rampasan Negara, dalam rangka perlindungan hak asasi manusia. 5. Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut UPT Pemasyarakatan adalah unit yang mengelola pemasyarakatan, yang terdiri atas: a. Rumah Tahanan Negara yang selanjutnya disebut Rutan yang menjalankan fungsi pelayanan Tahanan; b. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lapas yang menjalankan fungsi pembinaan Narapidana; c. Lembaga Penempatan Anak Sementara yang selanjutnya disebut LPAS adalah tempat sementara bagi anak selama proses peradilan berlangsung; d. Lembaga Pembinaan Khusus Anak yang selanjutnya disebut LPKA adalah lembaga atau tempat anak menjalani masa pidananya; e. Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Bapas yang melaksanakan tugas dan fungsi penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan; dan f. Rumah Penyimpanan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara yang selanjutnya disebut Rupbasan yang menjalankan fungsi pengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan Negara. 6. Petugas Pemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang diberi wewenang berdasarkan undang-undang untuk melaksanakan fungsi penegakan hukum dan pelaksanaan pidana di bidang perlakuan terhadap pelanggar hukum melalui kegiatan pembinaan, pembimbingan, dan pelayanan WBP serta pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan negara.

3 3 7. Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 8. Perlakuan WBP adalah serangkaian kegiatan untuk memberikan pelayanan, pembinaan, pembimbingan, dan pengentasan WBP dengan tetap memberikan perlindungan hukum dan penghormatan hak asasi manusia yang dilaksanakan oleh UPT. 9. Pelayanan Tahanan adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk memenuhi hak tahanan sejak penerimaan sampai dengan pengeluaran atau perubahan status menjadi narapidana. 10. Pembimbingan Klien Pemasyarakatan adalah kegiatan yang dilakukan untuk memberikan bantuan dan tuntunan kepada Klien Pemasyarakatan mulai tahap praajudikasi, ajudikasi, sampai dengan tahap pascaajudikasi. 11. Penelitian Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Litmas adalah kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis data dan informasi secara independen, sistematis, dan objektif untuk mendapatkan kesimpulan dan rekomendasi dalam rangka penilaian untuk kepentingan klasifikasi, pelayanan, pembinaan, pembimbingan, pemberian hak kepada warga binaan pemasyarakatan. 12. Benda Sitaan yang selanjutnya disebut Basan adalah benda yang disita oleh negara untuk kepentingan proses peradilan. Alternatif Benda Sitaan yang selanjutnya disebut Basan adalah benda yang disita oleh negara untuk kepentingan proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan 13. Barang Rampasan yang selanjutnya disebut Baran adalah barang yang dirampas oleh negara berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. 14. Dewan Pertimbangan Pemasyarakatan yang selanjutnya disingkat DPP adalah lembaga yang mempunyai tugas memberikan saran, pertimbangan, dan rekomendasi terhadap permasalahan di bidang pemasyarakatan kepada Menteri. 15. Tim Pengamat Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut TPP adalah tim yang bertugas memberikan saran, pertimbangan, serta rekomendasi mengenai pelaksanaan tugas pemasyarakatan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Kepala Kantor Wilayah, dan Kepala UPT 16. Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang Pemasyarakatan. Pasal 2 Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya yang menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Alternatif: Sistem Pemasyarakatan: a. diselenggarakan dalam rangka membentuk WBP menjadi manusia seutuhnya yang menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan

4 4 dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab; b. berfungsi menyiapkan WBP agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab; c. berfungsi memberikan perawatan kepada Tahanan dalam sistem peradilan pidana dan pengelolaan Basan dan Baran demi tertib hukum dan administratif. Pasal 3 Sistem Pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas: a. pengayoman; b. persamaan perlakuan dan pelayanan; c. pendidikan; d. pembimbingan; e. kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; dan f. penghormatan, pemajuan, pemenuhan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia. Alternatif: Sistem Pemasyarakatan dilaksanakan dengan memperhatikan asas pengayoman dan persamaan perlakuan (nondiskriminatif), dan adil dengan memberikan pelayanan perawatan, pembinaan, pembimbingan, dan pendidikan WBP dalam rangka penghormatan, pemajuan, pemenuhan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia. Pasal 4 (1) Menteri merumuskan dan menetapkan kebijakan di bidang Pemasyarakatan. (2) Kebijakan di bidang Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Direktur Jenderal. Alternatif (1) Untuk melaksanakan fungsi Pemasyarakatan, Pemerintah menetapkan kebijakan Pemasyarakatan. (2) Kebijakan Pemasyarakatan dilaksanakan oleh Menteri. (3) Fungsi Pemasyarakatan di seluruh wilayah Republik Indonesia dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis untuk penyelenggaraan sistem Pemasyarakatan dan bertanggung jawab kepada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Alternatif ayat (3) Fungsi Pemasyarakatan di seluruh wilayah Republik Indonesia dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis untuk penyelenggaraan sistem Pemasyarakatan dan bertanggung jawab kepada Divisi Pemasyarakatan dan Divisi Pemasyarakatan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

5 5 BAB II PEMBINAAN NARAPIDANA Bagian Kesatu Umum Pasal 5 (1) Setiap Narapidana wajib menjalani pembinaan. (2) Untuk menyelenggarakan pembinaan Narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri wajib membangun Lapas di setiap Kabupaten atau Kota. Pasal 6 Dalam rangka melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Lapas berwenang: a. melakukan pemeriksaan terhadap surat yang masuk atau keluar bagi Narapidana b. memberikan atau tidak memberikan ijin kepada setiap orang untuk masuk atau keluar Lapas c. melakukan pemeriksaan dan penggeledahan terhadap badan dan barang bawaan setiap orang yang masuk atau keluar Lapas d. melakukan pemeriksaan terhadap Narapidana yang diduga melakukan pelanggaran e. melakukan tindakan pengamanan untuk pencegahan dan penanggulangan gangguan keamanan dan ketertiban di Lapas f. melakukan pemusnahan terhadap barang-barang hasil penggeledahan g. melakukan pengeluaran Narapidana dari Lapas apabila terjadi keadaan darurat h. melakukan/ meminta/ memerintahkan penangkapan terhadap Narapidana yang melarikan diri i. melakukan koordinasi dan kerjasama Pasal 7 (1) Lapas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) terdiri atas: a. lapas pria; b. lapas wanita; c. lapas terbuka; dan d. lapas narkotika. (2) Dalam hal dianggap perlu, Menteri dapat membangun Lapas selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 8 Pada setiap Lapas disediakan kamar yang layak untuk penempatan Narapidana. Bagian Kedua Pembinaan dalam Lapas Paragraf 1 Penerimaan, pendaftaran, penempatan, pengenalan dan penelitian Pasal 9 (1) Kepala Lapas bertanggung jawab atas penerimaan Terpidana. (2) Penerimaan Terpidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan:

6 6 a. petikan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; b. surat perintah pelaksanaan putusan yang ditandatangani oleh kepala kejaksaan setempat; dan c. berita acara pelaksanaan putusan yang ditandatangani oleh pejabat kejaksaan yang mengeksekusi putusan. (3) Kepala Lapas wajib menolak terpidana yang tidak disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Kepala Lapas wajib membuat berita acara serah terima terpidana yang ditandatangani oleh Kepala Lapas, pejabat kejaksaan, dan Petugas Pemasyarakatan yang menerima terpidana. (5) Penerimaan terpidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada hari kerja dan jam kerja. (6) Dalam keadaan tertentu, penerimaan terpidana dapat dilaksanakan di luar waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Pasal 10 (1) Setiap Terpidana yang diterima di Lapas wajib dicatat dan didaftar dalam register. (2) Register sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. identitas Terpidana; b. hari, tanggal, dan jam penerimaan; c. tindak pidana yang dilakukan; d. pidana yang dijatuhkan; dan e. tanggal putusan pengadilan. (3) Dalam melakukan pencatatan dan pendaftaran Terpidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan: a. Pemeriksaan terhadap: 1. putusan pengadilan; 2. identitas diri; dan 3. uang dan barang bawaan; b. pemeriksaan kesehatan oleh petugas medis; c. pembuatan pas foto; d. pengambilan dan pemeriksaan, sidik jari; dan e. pembuatan berita acara serah terima Terpidana yang ditandatangani oleh kepala Lapas, pejabat kejaksaan, dan petugas pemasyarakatan yang menerima Terpidana. (4) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kondisi kesehatan Terpidana tidak dimungkinkan untuk mendapatkan perawatan di dalam Lapas, Kepala Lapas dapat tidak menerima terpidana tersebut. (5) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengubah status Terpidana menjadi Narapidana. Pasal 11 (1) Penempatan Narapidana di Lapas dilakukan sesuai dengan jenis Lapas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1). (2) Penempatan Narapidana dalam Lapas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan: a. jenis kelamin; b. umur; c. jenis tindak pidana; d. lama pidana yang dijatuhkan; dan e. kategori lainnya sesuai dengan kebutuhan pembinaan.

7 7 Pasal 12 Setiap narapidana wajib mendapat informasi mengenai peraturan tata tertib, hak dan kewajiban, larangan dan sanksi, lingkungan, program dan kegiatan pembinaan. Pasal 13 Setiap narapidana wajib dilakukan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan pembinaan. Pasal 14 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerimaan, pendaftaran dan penempatan narapidana diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 2 Pembinaan Pasal 15 (1) Pembinaan Narapidana meliputi: a. pembinaan kepribadian; b. pembinaan kemandirian; c. pembinaan sosial kemasyarakatan; dan d. pembinaan khusus (2) Pembinaan kepribadian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diarahkan pada peningkatan kualitas pribadi baik secara emosional, intelektual, dan spiritual Narapidana. (3) Pembinaan kemandirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diarahkan pada peningkatan kualitas keterampilan berdasarkan minat dan bakat serta kegiatan produksi Narapidana. (4) Pembinaan sosial kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diarahkan pada upaya memulihkan hubungan sosial kemasyarakatan. (5) Pembinaan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diberikan kepada Narapidana tertentu. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan Narapidana diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 16 (1) Narapidana berhak: a. menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya; b. mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran; d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. menyampaikan pengaduan dan/atau keluhan; f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lain yang tidak dilarang; g. menerima atau menolak kunjungan dari keluarga, dokter pribadi, penasihat hukum, atau orang lain; h. mendapatkan informasi lisan dan tertulis tentang peraturan yang mengatur perlakuan bagi Narapidana; i. mendapatkan upah atau premi dalam hal yang bersangkutan melakukan pekerjaan; dan j. mendapatkan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

8 8 (2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu dapat diberikan hak: a. remisi; b. cuti mengunjungi keluarga c. asimilasi; d. pembebasan bersyarat; e. cuti bersyarat; dan f. cuti menjelang bebas. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan hak Narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 17 (1) Untuk mendapatkan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Narapidana harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. telah menjalani masa pidana dalam jangka waktu tertentu; b. berkelakuan baik; dan c. tidak dijatuhi sanksi; dan d. disiplin mengikuti program. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan hak Narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 18 Narapidana wajib: a. mengikuti program pembinaan dan kegiatan lainnya secara tertib; b. menaati peraturan tata tertib yang berlaku; dan c. memelihara kondisi lingkungan yang aman, tertib dan damai. Pasal 19 (1) Kepala Lapas dapat melakukan kerja sama dengan badan usaha baik milik negara maupun swasta untuk dapat mempekerjakan Narapidana. (2) Dalam hal Narapidana dipekerjakan pada badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Narapidana berhak mendapatkan upah yang layak. Pasal 20 (1) Narapidana yang melanggar tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b, dijatuhi hukuman disiplin: a. tingkat ringan; b. tingkat sedang; atau c. tingkat berat. (2) Hukuman disiplin tingkat ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. peringatan secara lisan; atau b. peringatan secara tertulis. (3) Hukuman disiplin tingkat sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: a. menunda atau meniadakan hak tertentu dalam jangka waktu tertentu; dan/atau b. memasukkan dalam sel pengasingan paling lama 3 (tiga) hari. (4) Hukuman disiplin tingkat berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:

9 9 a. memasukkan dalam sel pengasingan selama 6 (enam) hari dan dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali untuk waktu 6 (enam) hari; dan/atau b. tidak mendapatkan hak remisi, cuti mengunjungi keluarga, cuti bersyarat, asimilasi, cuti menjelang bebas, dan pembebasan bersyarat dalam tahun berjalan. Pasal 21 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata tertib dan hukuman disiplin di Lapas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 22 (1) Kepala Lapas bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban di Lapas. (2) Dalam hal terjadi gangguan keamanan dan ketertiban, Petugas Pemasyarakatan wajib segera melakukan tindakan pengamanan. (3) Dalam penanganan gangguan keamanan dan ketertiban, Petugas Pemasyarakatan dapat menggunakan senjata api sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Dalam penanganan gangguan keamanan dan ketertiban, Kepala Lapas dapat berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau instansi terkait lainnya. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan gangguan keamanan diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 23 (1) Sarana dan prasarana Lapas disediakan oleh negara. (2) Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. sarana dan prasarana pembinaan; b. sarana dan prasarana keamanan; c. sarana dan prasarana kesehatan; d. sarana dan prasarana lingkungan; dan e. sarana dan prasarana bangunan. (3) Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memperhatikan aspek ruang gerak dan keselamatan sesuai dengan standar sarana dan standar pola bangunan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 24 (1) Dalam hal tertentu, Narapidana dapat keluar Lapas berdasarkan izin Kepala Lapas. (2) Hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. perawatan kesehatan; b. urusan keperdataan; atau c. keadaan yang memaksa. (3) Narapidana yang keluar Lapas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam register khusus. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

10 10 Pasal 25 (1) Narapidana dapat dipindahkan dari Lapas ke Lapas lain untuk kepentingan: a. pembinaan; b. keamanan dan ketertiban; c. proses peradilan; dan/atau d. lainnya yang dianggap perlu. (2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pemindahan Narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 26 Pemindahan Narapidana warga negara asing ke negaranya untuk menjalani pidana yang dijatuhkan di negaranya atau pemindahan Narapidana yang berkewarganegaraan Indonesia untuk menjalani pidana yang dijatuhkan di Indonesia diatur dengan undang-undang tersendiri. Alternatif: Pasal 26 (1) Narapidana warga negara asing yang menjalani pidana di Indonesia dapat dipindahkan ke negara asal untuk menjalani sisa pidana yang dijatuhkan. (2) Narapidana warga negara Indonesia yang menjalani pidana di negara lain dapat dipindahkan ke Indonesia untuk menjalani sisa pidana yang dijatuhkan. (3) Pemindahan Narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Undang-Undang. Pasal 27 (1) Narapidana yang selesai menjalani masa pidananya atau mendapat grasi dari Presiden wajib dibebaskan. (2) Pembebasan Narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dalam buku [register] khusus. (3) Narapidana yang dibebaskan diberi keterangan pembebasan oleh Kepala Lapas. (4) Kepala Lapas memberitahukan pembebasan Narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Kejaksaan setempat. Pasal 28 (1) Penyidikan terhadap Narapidana yang terlibat perkara lain baik sebagai tersangka, terdakwa, atau sebagai saksi yang dilakukan di Lapas tempat Narapidana yang bersangkutan menjalani pidana, dilaksanakan setelah penyidik menunjukkan surat perintah penyidikan dari pejabat instansi yang berwenang dan menyerahkan tembusannya kepada Kepala Lapas. (2) Dalam keadaan tertentu, Kepala Lapas dapat menolak pelaksanaan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Penyidikan terhadap Narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di luar Lapas berdasarkan izin Kepala Lapas. (4) Narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibawa keluar Lapas untuk kepentingan: a. penyerahan berkas perkara; b. rekonstruksi; atau c. pemeriksaan di sidang pengadilan.

11 11 Alternatif ayat (4) Penyidikan di luar Lapas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan untuk kepentingan: a. penyerahan berkas perkara; b. rekonstruksi; atau c. pemeriksaan di sidang pengadilan. (5) Dalam hal terdapat keperluan lain di luar keperluan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Narapidana hanya dapat dibawa ke luar Lapas setelah mendapat izin tertulis dari Direktur Jenderal. (6) Narapidana dapat dibawa ke luar Lapas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) dengan jangka waktu paling lama 1 (satu) hari. (7) Dalam hal proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap Narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di luar wilayah hukum pengadilan negeri yang menjatuhkan putusan pidana yang sedang dijalani, Narapidana yang bersangkutan dapat dipindahkan ke Lapas tempat dilakukan pemeriksaan. Bagian Ketiga Pembinaan di Luar Lapas Pasal 29 Pembinaan di luar Lapas dilakukan terhadap: a. Terpidana yang dijatuhi pidana kerja sosial; b. Terpidana dengan pidana bersyarat; dan c. Narapidana yang mendapat asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. BAB III PEMBINAAN KHUSUS ANAK alternatif PEMBINAAN ANAK YANG MENJALANI MASA PIDANA Bagian Kesatu Umum Pasal 30 (1) Anak yang menjalankan program pembinaan berdasarkan putusan pengadilan wajib ditempatkan di LPKA. (2) Dalam menyelenggarakan Pembinaan anak, Menteri membentuk LPKA di setiap Provinsi. (3) Dalam hal dianggap perlu, Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat [membentuk/mendirikan/membangun] Cabang LPKA. (4) LPKA dirancang dan dibangun sebagai tempat yang disesuaikan dengan tujuan program pembinaan anak. Pasal 31 (1) Pembinaan Anak yang diselenggarakan oleh Menteri dilaksanakan Kepala LPKA.

12 12 (2) Dalam melaksanakan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala LPKA berwenang: a. melakukan penggalian data, identitas diri, dan hal lain yang diperlukan untuk kepentingan Anak; b. memberikan atau tidak memberikan izin kepada setiap orang untuk masuk atau keluar LPKA; c. melakukan tindakan pengawasan untuk pencegahan dan penanggulangan gangguan keamanan dan ketertiban di LPKA; d. melakukan penangkapan terhadap anak yang melarikan diri; e. memeriksa surat yang masuk atau keluar; f. memeriksa dan menggeledah badan serta barang bawaan setiap orang yang masuk atau keluar LPKA; g. memeriksa anak yang diduga melakukan pelanggaran peraturan dan tata tertib; h. menjatuhkan tindakan disiplin terhadap Anak yang melanggar peraturan dan tata tertib; i. memusnahkan barang hasil penggeledahan; dan j. mengeluarkan Anak dari LPKA dalam hal terjadi keadaan darurat (3) Kepala LPKA wajib mengeluarkan Anak yang telah habis masa pidananya. Bagian Kedua Pembinaan dalam LPKA Paragraf 1 Penerimaan dan Pendaftaran Pasal 32 (1) Kepala LPKA bertanggung jawab atas penerimaan Anak. (2) Penerimaan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai: a. putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menjatuhkan pidana terhadap Anak; b. surat perintah pelaksanaan putusan yang ditandatangani oleh kepala kejaksaan setempat; dan c. berita acara pelaksanaan putusan yang ditandatangani oleh pejabat kejaksaan yang mengeksekusi putusan. (3) Kepala LPKA menolak terpidana yang tidak disertai dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Kepala LPKA membuat berita acara serah terima terpidana yang ditandatangani oleh Kepala LPKA, pejabat kejaksaan, dan petugas pemasyarakatan yang menerima Anak. Pasal 33 (1) Setiap Anak yang diterima di LPKA wajib didaftar dalam register khusus. (2) Register khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat: a. identitas Anak; b. tanggal dan waktu penerimaan; c. tindak pidana yang dilakukan; d. pidana yang dijatuhkan; dan e. tanggal putusan pengadilan. (3) Pendaftaran Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pemeriksaan dan penelitian terhadap:

13 13 1. putusan atau penetapan pengadilan; 2. identitas diri; dan 3. uang dan barang bawaan. b. pemeriksaan kesehatan oleh petugas medis; c. pembuatan pas foto; d. pengambilan, pemeriksaan, dan penelitian sidik jari; dan e. pembuatan berita acara serah terima Anak yang ditandatangani oleh kepala LPKA, pejabat kejaksaan, dan petugas pemasyarakatan yang menerima Anak. (4) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kondisi kesehatan Anak tidak dimungkinkan untuk mendapatkan perawatan di dalam LPKA, Kepala LPKA mengembalikan Anak tersebut kepada pejabat kejaksaan yang melaksanakan putusan pengadilan. Pasal 34 Penempatan Anak dalam LPKA dilakukan berdasarkan: a. jenis kelamin; b. umur; c. jenis tindak pidana; d. lama pidana yang dijatuhkan; dan e. kategori lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan anak. Pasal 35 (1) Anak ditempatkan dalam kamar untuk 1 (satu) orang. (2) Dalam hal penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dimungkinkan maka penempatan Anak dalam satu kamar harus lebih dari 2 (dua) orang. Pasal 36 Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran dan pengkategorian Anak diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 2 Pembinaan Pasal 37 (1) Kepala LPKA wajib melaksanakan Program Pembinaan Anak yang terdiri atas: a. pembinaan jasmani; dan b. pembinaan rohani. (2) Program Pembinaan Anak dititikberatkan pada pendidikan. (3) Wujud pendidikan Anak dapat dilakukan melalui pendidikan formal, informal, maupun nonformal. (4) Dalam hal belum terdapat fasilitas pendidikan di dalam LPKA, Anak dapat diikutsertakan pendidikan di luar LPKA. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan Anak diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 38 (1) Anak berhak: a. melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya; b. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan tumbuh kembang anak; c. tidak disatukan dengan orang dewasa;

14 14 d. mendapatkan perawatan, baik jasmani maupun rohani; e. mendapatkan pendidikan, pengajaran, dan rekreasi serta mengembangkan potensi; f. dilindungi dari tindakan penyiksaan, eksploitasi, pembiaran, kekerasan dan segala tindakan yang membahayakan kesejahteraan, kesehatan baik fisik maupun mental dan perkembangan anak; g. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak sesuai dengan kebutuhan kalori dan gizi anak; h. menyampaikan keluhan dan pengaduan; i. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran pendidikan yang tidak dilarang; dan j. menerima atau menolak kunjungan dari keluarga, pendamping, penasehat hukum, dan masyarakat; (2) Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Anak yang telah memenuhi persyaratan tertentu dapat diberikan hak: a. remisi; b. asimilasi; c. cuti mengunjungi keluarga; d. pembebasan bersyarat; e. cuti bersyarat; f. cuti menjelang bebas; dan g. lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan hak Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 39 (1) Anak wajib: a. mengikuti program pembinaan dan kegiatan lainnya secara tertib; b. mentaati peraturan dan tata tertib yang berlaku; c. memelihara perikehidupan yang aman, tertib dan damai;dan d. menghargai hak asasi dari Anak lainnya dan petugas. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 40 Kepala LPKA bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban di LPKA. Pasal 41 (1) Kepala LPKA berwenang menjatuhkan tindakan disiplin terhadap Anak yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1). (2) Penjatuhan tindakan disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap terhadap Anak yang tingkah lakunya dapat mengancam ketertiban, keselamatan atau keamanan. (3) Dalam memberikan tindakan disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai upaya terakhir yang bertujuan untuk mendidik anak secara adil dan tidak bertindak sewenang-wenang. (4) Dalam menjatuhkan tindakan disiplin tidak boleh: a. berupa hukuman badan; b. menempatkan di sel gelap dan sel isolasi; c. perlakuan yang tidak manusia dan merendahkan martabat; d. merugikan kesehatan fisik dan mental;

15 15 e. mengurangi makanan; f. membatasi atau meniadakan hubungan dengan anggota keluarga; dan g. pemaksaan untuk bekerja. (5) Anak tidak dapat dijatuhi tindakan disiplin kecuali jika telah diinformasikan mengenai pelanggaran yang dilakukannya dan diberikan kesempatan yang memadai melakukan pembelaan dalam suatu proses pemeriksaan yang cermat oleh petugas yang berwenang. Pasal 42 (1) Kepala LPKA berwenang melakukan tindakan administratif berdasarkan penilaian resiko. (2) Tindakan administratif diberikan kepada Anak yang: a. perilakunya membahayakan diri sendiri atau lingkungan; dan/atau b. terancam oleh lingkungan sekitar. (3) Pelaksanaan tindakan administratif tidak mengurangi hak Anak. (4) Tindakan administratif hanya menempatkan Anak dalam ruangan terpisah. Pasal 43 Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan disiplin dan tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dan Pasal 45 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 44 (1) Petugas Pemasyarakatan wajib segera melakukan tindakan pengamanan dalam hal terjadi gangguan keamanan dan ketertiban. (2) Dalam melakukan tindakan terhadap gangguan keamanan dan ketertiban, petugas tidak boleh menggunakan sarana keamanan yang membahayakan jiwa anak. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan pengamanan sebagaimana pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 45 (1) Dalam LPKA wajib disediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan. (2) Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. sarana dan prasarana pendidikan; b. sarana dan prasarana perawatan; c. sarana dan prasarana pengawasan; d. sarana dan prasarana lingkungan; dan e. saranadan prasarana bangunan. (3) Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) memiliki fungsi yang terintegrasi antara aspek ruang gerak, kesehatan, keselamatan, dan keamanan serta pendidikan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 46 (1) Anak dapat dipindahkan dari LPKA ke LPKA lain untuk: a. pendidikan;

16 16 b. keamanan dan ketertiban; c. proses peradilan; dan/atau d. hal lainnya yang dianggap perlu. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemindahan Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 47 (1) Kepala LPKA dapat memberikan ijin kepada anak untuk keluar LPKA. (2) Pengeluaran anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanggung jawab Kepala LPKA. (3) Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. perawatan kesehatan keluar LPKA; b. pendidikan; c. asimilasi; d. cuti mengunjungi keluarga; e. cuti untuk pendidikan; dan f. hal-hal luar biasa. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemberian ijin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 48 Anak dibebaskan karena: a. habis masa pidana; b. mendapatkan pembebasan bersyarat; c. mendapatkan cuti bersyarat; d. mendapatkan cuti menjelang bebas; e. berdasarkan rekomendasi TPP; dan f. mendapatkan grasi; Aternatif (1) Anak dibebaskan karena: a. habis masa pidana; b. mendapatkan grasi; (2) Anak dikeluarkan karena : a. mendapatkan pembebasan bersyarat; b. mendapatkan cuti bersyarat; c. mendapatkan cuti menjelang bebas; d. berdasarkan rekomendasi TPP; Pasal 49 (1) Penyidikan terhadap Anak yang terlibat perkara lain baik sebagai tersangka, terdakwa, atau sebagai saksi yang dilakukan di LPKA tempat Anak yang bersangkuatan menjalani pidana, dilaksanakan setelah penyidik menunjukkan surat perintah penyidikan dari pejabat instansi yang berwenang dan menyerahkan tembusannya kepada Kepala LPKA. (2) Kepala LPKA dalam keadaan tertentu dapat menolak pelaksanaan penyidikan di LPKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di luar LPKA setelah mendapat ijin Kepala LPKA.

17 17 (4) Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibawa keluar LPKA untuk kepentingan: a. penyerahan berkas perkara; b. rekonstruksi; atau c. pemeriksaan di sidang pengadilan. (5) Dalam hal terdapat keperluan lain di luar keperluan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Anak hanya dapat dibawa ke luar LPKA setelah mendapat ijin tertulis dari Direktur Jenderal. (6) Anak dapat dibawa ke luar LPKA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) dengan jangka waktu paling lama 1 (satu) hari. (7) Dalam hal proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan di luar wilayah hukum pengadilan negeri yang menjatuhkan putusan pidana yang sedang dijalani, Anak yang bersangkutan dapat dipindahkan ke LPKA tempat dilakukan pemeriksaan. BAB IV PEMBIMBINGAN DAN PENDAMPINGAN Bagian Kesatu Umum Pasal 50 Klien Pemasyarakatan dibimbing oleh Balai Pemasyarakatan Alternatif: Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan untuk Klien Pemasyarakatan dilakukan di Bapas. Pasal 51 (1) Menteri membentuk Bapas di setiap kabupaten atau kota. (2) Menteri dapat membentuk atau menetapkan Bapas di luar tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang merupakan cabang dari Bapas. Pasal 52 Bapas mempunyai tugas melaksanakan pembimbingan klien pemasyarakatan. Pasal 53 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Bapas melakukan kegiatan: a. admisi dan orientasi; b. penelitian kemasyarakatan; c. pengupayaan diversi dan pengentasan anak; d. pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan klien pemasyarakatan; e. Melakukan pendampingan pada sidang pengadilan; f. Melaksanakan sidang TPP; dan g. ketatausahaan. Pasal 54 Dalam menjalankan tugasnya BAPAS memiliki wewenang:

18 18 a. memanggil dan meminta kehadiran klien, keluarga atau penanggung jawab klien untuk kepentingan penyelenggaraan litmas, diversi, pembimbingan, pendampingan, dan pengawasan; b. meminta keterangan dan meminta data termasuk mengambil gambar, baik kepada instansi terkait maupun kepada perorangan atau kepada masyarakat, klien dan keluarga klien disetiap tahapan pra adjudikasi, adjudikasi dan post adjudikasi serta tahapan after care [Bimbingan Lanjutan]; c. mengeluarkan surat ijin dan surat keterangan lainnya untuk kepentingan pelaksanaan diversi, pembimbingan, pendampingan, dan pengawasan; d. mengusulkan surat pencabutan bimbingan terhadap klien pemasyarakatan yang melanggar ketentuan pembimbingan; e. menyampaikan laporan, menjelaskan, meminta tanggapan atas hasil penelitian kemasyarakatan kepada aparat penegak hukum serta institusi terkait lainnya di tahapan pra adjudikasi, adjudikasi, post adjudikasi dan after care [Bimbingan Lanjutan]; dan f. melakukan koordinasi serta supervisi terhadap keterlibatan masyarakat serta pihak ketiga lainnya dalam upaya merencanakan dan melaksanakan kesinambungan bimbingan lanjutan pada saat klien berada di tengah masyarakat. Bagian Kedua Penerimaan dan Pendaftaran Pasal 55 (1) Klien Pemasyarakatan yang diterima di Bapas wajib didaftar oleh Petugas. (2) Kepala Bapas bertanggung jawab atas penerimaan Klien Pemasyarakatan. Pasal 56 Pendaftaran Klien Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) meliputi: a. pemeriksaan, penelitian, dan pencatatan terhadap: 1. putusan atau penetapan pengadilan; 2. surat Keputusan Menteri tentang pemberian asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, atau cuti menjelang bebas; dan 3. identitas diri; b. pembuatan pas foto; c. pengambilan sidik jari; dan d. pembuatan berita acara serah terima klien pemasyarakatan. Pasal 57 Klien Pemasyarakatan dibedakan atas dasar Kategori: a. anak; dan b. dewasa. Pasal 58 Ketentuan lebih lanjut mengenai penerimaan dan pendaftaran Klien Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56 diatur dengan Peraturan Menteri.

19 19 Bagian Ketiga Pembimbingan Kemasyarakatan Paragraf 1 Pembimbingan Pasal 59 Kepala Bapas wajib melaksanakan Pembimbingan Klien Pemasyarakatan. Pasal 60 (1) Pelaksanaan tugas pembimbingan dilaksanakan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. (2) Dalam keadaan tertentu dapat diangkat Pembimbing Kemasyarakatan Pembantu. (3) Syarat dan tata cara Pengangkatan Pembimbing Kemasyarakatan dan Pembimbing Kemasyarakatan Pembantu diatur melalui Peraturan Menteri. Pasal 61 Pembimbing Kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 melakukan tugas: a. membuat laporan Litmas untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang pengadilan dan kepentingan diversi; b. mendampingi dan memberikan bimbingan terhadap anak selama proses upaya diversi; c. mendampingi dan memberikan bimbingan terhadap anak selama proses peradilan; d. mengikuti sidang pengadilan dan membacakan hasil Litmas di depan persidangan; e. melakukan pembimbingan dan pengawasan terhadap anak yang mendapatkan diversi, anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana bersyarat, pidana pengawasan, latihan kerja dan dikenai tindakandan/atau Anak yang memperoleh pembebasan bersyarat, asimilasi, cuti menjelang bebas, cuti bersyarat, cuti mengunjungi keluarga; f. membuat laporan hasil Litmas di setiap tahap pembinaan untuk bahan pertimbangan dalam rangka Pembinaan Narapidana atau Pengentasan Anak Didik Pemasyarakatan; g. melakukan pembimbingan dan pengawasan terhadap klien pemasyarakatan yang menjalani pidana bersyarat, asimilasi, cuti menjelang bebas, pembebasan bersyarat, cuti mengunjungi keluarga, dan cuti bersyarat; h. melakukan bimbingan terhadap klien yang mendapatkan after care [Bimbingan Lanjutan]; i. melakukan pemberitahuan kepada Kepala Bapas adanya pelanggaran persyaratan dalam pelaksanaan bimbingan klien pemasyarakatan; j. membantu dan memastikan warga binaan pemasyarakatan mendapatkan bantuan hukum dalam setiap proses peradilan pidana; dan k. melakukan bimbingan dalam bentuk penguatan sosial psikologis, pendidikan, dan mencegah resiko melakukan pengulangan kejahatan.

20 20 Pasal 62 Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 Pembimbing Kemasyarakatan berwenang: a. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program bimbingan yang dilakukan Klien Pemasyarakatan; b. memberikan peringatan, baik secara tertulis maupun lisan, kepada Klien Pemasyarakatan yang melanggar persyaratan yang telah ditentukan; c. melakukan pemanggilan terhadap Klien Pemasyarakatan untuk dimintakan keterangan terkait pelaksanaan program pembimbingan; d. melakukan penangkapan Klien Pemasyarakatan untuk kembali menjalani pidananya di dalam Lapas/Rutan karena telah melanggar persyaratan yang telah ditentukan; dan e. mengajukan usulan pencabutan terhadap pelaksanaan asimilasi, pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, atau cuti menjelang bebas; f. melakukan koordinasi dengan kejaksaan terkait pelanggaran pelaksanaan bimbingan; dan g. melakukan koordinasi dengan penyidik terkait klien pemasyarakatan yang melakukan tindak pidana kembali. Pasal 63 (1) Pembimbingan Klien Pemasyarakatan dilakukan untuk memberikan bantuan dan tuntunan kepada Klien Pemasyarakatan melalui proses pendampingan, bimbingan dan pengawasan. (2) Bimbingan yang diberikan berupa bimbingan kepribadian, kemandirian dan khusus. (3) Pembimbingan Klien Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan hasil penelitian kemasyarakatan. (4) Ketentuan lebih lanjut tentang Pembimbingan Klien Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 64 Pembimbingan Klien Pemasyarakatan dapat berakhir: (1) Habis masa pembimbingan sesuai dengan lama bimbingan berdasarkan putusan pengadilan negeri atau surat keputusan menteri; (2) Meninggal dunia; dan (3) Dicabut pembimbingannya, karena melanggar persyaratan pembimbingan. Bagian Keempat Hak dan Kewajiban Pasal 65 Klien Pemasyarakatan berhak: a. mendapatkan pendampingan dari pembimbing kemasyarakatan pada tahap pra adjudikasi, adjudikasi, post adjudikasi dan after care [Bimbingan Lanjutan]; b. mendapatkan layanan bimbingan, penyuluhan dan konseling di bidang psikologis, keagamaan, pendidikan sosial dan budaya serta upaya penguatan lainnya pada tahap pra adjudikasi, adjudikasi, post adjudikasi dan after care [Bimbingan Lanjutan];

21 21 c. mendapatkan layanan litmas untuk kepentingan diversi, sidang pengadilan, pembinaan, dan pembimbingan; d. mendapatkan informasi terkait hasil pemantauan, evaluasi dan rekomendasi yang dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan; e. menyampaikan keluhan dan pengaduan terkait pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban klien serta hal-hal yang berhubungan dengan penyelenggaraan tugas bapas; f. ketentuan lebih lanjut mengenai hak klien pemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri. Pasal 66 (1) Klien Pemasyarakatan berkewajiban: a. mengikuti secara tertib program pembimbingan yang dilaksanakan oleh bapas; b. mematuhi persyaratan pembimbingan; c. memberikan informasi yang sebenarnya terkait pelaksanaan pembimbingan; dan d. bekerja sama dengan semua pihak yang terkait. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Klien Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. Bagian Kelima Sarana dan Prasarana Pasal 67 (1) Bapas wajib menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan. (2) Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. sarana dan prasarana pendampingan; b. sarana dan prasarana pembimbingan; c. sarana dan prasarana pengawasan; d. sarana dan prasarana lingkungan; dan e. sarana dan prasarana bangunan. (3) Sarana dan prasarana di Bapas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) memiliki fungsi yang terintegrasi antara aspek kesehatan, keselamatan, dan keamanan serta pembimbingan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sarana dan prasarana di Bapas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. BAB V PENAHANAN [PELAYANAN TAHANAN] Bagian Kesatu Pelayanan dalam Rutan Paragraf 1 Umum

22 22 Pasal 68 (1) Tahanan yang menjalankan pelayanan ditempatkan di Rutan dan/atau cabang Rutan. (2) Dalam menyelenggarakan Pelayanan Tahanan, Menteri: a. [membentuk/mendirikan/membangun] Rutan di setiap Kabupaten atau Kota;dan b. membentuk atau menetapkan Rutan di luar tempat sebagaimana dimaksud huruf a yang merupakan cabang dari Rutan. Pasal 69 (1) Pelayanan Tahanan yang diselenggarakan oleh Menteri dilaksanakan Kepala Rutan atau pejabat yang memerintahkan penahanan. (2) Dalam rangka melaksanakan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Rutan berwenang: a. melakukan penggalian data, identitas diri, dan hal-hal lain yang diperlukan; b. memberikan atau tidak memberikan ijin kepada setiap orang untuk masuk atau keluar Rutan; c. melakukan tindakan pengamanan untuk pencegahan dan penanggulangan gangguan keamanan dan ketertiban di Rutan; d. membantu melakukan upaya-upaya penangkapan terhadap tahanan yang melarikan diri dari Rutan; e. melakukan pemeriksaan terhadap surat yang masuk atau keluar bagi Tahanan; f. melakukan pemeriksaan dan penggeledahan terhadap badan dan barang bawaan setiap orang yang masuk atau keluar Rutan; g. melakukan pemeriksaan terhadap Tahanan yang melakukan pelanggaran; h. melakukan pemusnahan terhadap barang-barang hasil penggeledahan; dan i. melakukan pengeluaran Tahanan dari Rutan apabila terjadi keadaan darurat. (1) Kepala Rutan wajib mengeluarkan demi hukum Tahanan yang telah habis masa penahanan atau perpanjangan penahanannya. Paragraf 2 Penerimaan dan Pendaftaran Pasal 70 (1) Kepala Rutan bertanggung jawab atas penerimaan Tahanan. (2) Tahanan yang diterima di Rutan wajib didaftar oleh Petugas Pemasyarakatan. (3) Kepala Rutan wajib menerima Tahanan yang disertai surat penahanan yang sah. Pasal 71 (1) Kepala Rutan bertanggung jawab secara fisik atas Tahanan. (2) Tanggung jawab secara yuridis terhadap Tahanan berada pada instansi yang menahan. Pasal 72 (1) Setiap Tahanan yang diterima di Rutan wajib didaftar dalam register khusus. (2) Register khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:

23 23 a. identitas Tahanan; b. tanggal dan waktu penerimaan; c. tindak pidana yang dilakukan; d. perkara yang dituntut; dan e. tanggal penetapan penahanan. (3) Pendaftaran Tahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pemeriksaan dan penelitian terhadap: 1. surat perintah penahanan dan/atau surat penetapan penahanan; 2. identitas diri; dan 3. uang dan barang bawaan. b. pemeriksaan kesehatan oleh petugas medis; c. pembuatan pas foto; d. pengambilan, pemeriksaan, dan penelitian sidik jari; dan e. pembuatan berita acara serah terima Tahanan yang ditandatangani oleh Kepala Rutan, pejabat Kejaksaan, dan Petugas Pemasyarakatan yang menerima Tahanan. (4) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kondisi kesehatan Tahanan tidak dimungkinkan untuk mendapatkan perawatan di dalam Rutan, Kepala Rutan mengembalikan Tahanan tersebut kepada pejabat Kejaksaan yang melaksanakan penetapan penahanan. (5) Tahanan yang membawa dan/atau menerima obat-obatan jenis apapun harus seijin dan dalam pengawasan oleh petugas medis Rutan. Pasal 73 Penempatan Tahanan dilakukan berdasarkan kategori: a. jenis kelamin; b. umur; c. jenis tindak pidana; d. tingkat pemeriksaan perkara; dan e. kategori lainnya sesuai dengan kebutuhan. Pasal 74 (1) Tahanan ditempatkan dalam kamar untuk 1 (satu) orang. (2) Dalam hal penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan, penempatan Tahanan dalam satu kamar harus lebih dari 2 (dua) orang. Pasal 75 Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran dan pengkategorian Tahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, Pasal 72 dan Pasal 74 diatur dengan Peraturan Menteri. Paragraf 3 Pelayanan Pasal 76 (1) Kepala Rutan wajib melaksanakan pelayanan Tahanan yang bermanfaat bagi Tahanan dan masyarakat. (2) Pelayanan Tahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pelayanan jasmani; dan b. pelayanan rohani.

24 24 (3) Ketentuan mengenai Pelayanan Tahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 77 (1) Tahanan berhak: a. menjalankan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya; b. mendapat perawatan, baik perawatan jasmani maupun rohani; c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran; d. mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. menyampaikan pengaduan dan/atau keluhan; f. mendapat penyuluhan hukum dan bantuan hukum; g. mendapat bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa yang tidak dilarang; h. menerima atau menolak kunjungan dari keluarga, dokter pribadi, penasehat hukum atau orang lain; dan i. mendapatkan informasi tertulis tentang peraturan yang mengatur perlakuan bagi Tahanan. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan hak Tahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 78 (1) Tahanan berkewajiban: a. mentaati peraturan dan tata tertib yang berlaku; b. mengikuti secara tertib program pelayanan; dan c. memelihara perikehidupan yang aman, tertib, dan damai. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban tahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 79 (1) Tahanan dapat diberikan kesempatan untuk bekerja di dalam Rutan dan mendapatkan upah atas pekerjaannya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kesempatan bekerja bagi tahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Peraturan Menteri. Pasal 80 Kepala Rutan bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban di Rutan. Pasal 81 (1) Kepala Rutan berwenang menjatuhkan hukuman disiplin terhadap tahanan yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam Pasal 77 ayat (1). (2) Jenis hukuman disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. tutupan sunyi paling lama 6 (enam) hari; dan/atau b. menunda atau meniadakan hak tertentu untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (3) Kepala Rutan dalam menjatuhkan hukuman disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memperlakukan Tahanan secara adil dan tidak bertindak sewenang-wenang. (4) Dalam menjatuhkan hukuman disiplin tidak boleh menggunakan alat pembatas gerak.

25 25 Pasal 82 (1) Kepala Rutan berdasarkan penilaian resiko berwenang melakukan tindakan administratif. (2) Dalam tindakan administratif tidak ada hak Tahanan yang dapat dikurangi. (3) Tindakan administratif hanya menempatkan Tahanan dalam ruangan terpisah. Pasal 83 Ketentuan lebih lanjut tentang hukuman disiplin dan tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dan Pasal 81 diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 84 (1) Dalam hal terjadi gangguan keamanan dan ketertiban, petugas Pemasyarakatan wajib segera melakukan tindakan pengamanan. (2) Dalam penanganan gangguan keamanan dan ketertiban Petugas Pemasyarakatan dapat menggunakan senjata api. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 85 (1) Petugas Pemasyarakatan tidak boleh menggunakan kekuatan kecuali untuk: a. membela diri; b. menghadapi kasus upaya melarikan diri; atau c. perlawanan fisik secara aktif maupun pasif terhadap perintah, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Petugas Pemasyarakatan yang terpaksa memilih untuk menggunakan kekuatan, harus menggunakannya tidak melebihi dari yang benar-benar diperlukan. Pasal 86 (1) Rutan wajib menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan. (2) Sarana dan prasarana di Rutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. sarana dan prasarana pelayanan; b. sarana dan prasarana keamanan; c. sarana dan prasarana lingkungan; dan d. sarana dan prasarana bangunan. (3) Sarana dan prasarana Rutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki fungsi yang terintegrasi antara aspek ruang gerak, kesehatan, keselamatan, dan keamanan serta pelayanan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sarana dan prasarana di Rutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 87 (1) Tahanan dapat dipindahkan dari Rutan ke Rutan lain untuk: a. keamanan dan ketertiban; dan/atau b. kebutuhan pemeriksaan perkara di wilayah Pengadilan lain. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemindahan Tahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

1 dari 8 26/09/ :15

1 dari 8 26/09/ :15 1 dari 8 26/09/2011 10:15 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai insan dan sumber daya manusia

Lebih terperinci

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBUK INOONESIA NOMOR M.2.PK.04-10 TAHUN 2007 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN ASIMILASI,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 31 TAHUN 1999 (31/1999) TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 31 TAHUN 1999 (31/1999) TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PERATURAN PEMERINTAH (PP) NOMOR 31 TAHUN 1999 (31/1999) TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN

NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan

Lebih terperinci

2018, No bersyarat bagi narapidana dan anak; c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata

2018, No bersyarat bagi narapidana dan anak; c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.282, 2018 KEMENKUMHAM. Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1999 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3842) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

2015, No. -2- untuk melaksanakan ketentuan Pasal 50 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor

2015, No. -2- untuk melaksanakan ketentuan Pasal 50 Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1528, 2015 KEMENKUMHAM. Lembaga Pemasyarakatan. Rumah Tahanan Negara. Pengamanan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2015

Lebih terperinci

2016, No Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pem

2016, No Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.810, 2016 KEMENKUMHAM. Remisi. Asimilasi. Cuti Mengunjungi Keluarga. Pembebasan Bersyarat. Cuti Menjelang Bebas. Cuti Bersyarat. Pemberian. Tata Cara. Perubahan. PERATURAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.832, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Remisi. Asimilasi. Syarat. Pembebasan Bersyarat. Cuti. Tata Cara. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 58 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG BALAI PERTIMBANGAN PEMASYARAKATAN DAN TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.01.PK.04-10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak merupakan amanah dan karunia

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.153, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat: a. bahwa anak merupakan amanah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PP 58/1999, SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN

PP 58/1999, SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN PP 58/1999, SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANAN Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 58 TAHUN 1999 (58/1999) Tanggal: 22 JUNI 1999 (JAKARTA)

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.194, 2015 PIDANA. Diversi. Anak. Belum Berumur 12 Tahun. Pedoman. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5732). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA. Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang - Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tam

2017, No Mengingat : 1. Undang - Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tam BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.970, 2017 KEMENKUMHAM. Layanan Rehabilitasi Narkotika. Tahanan dan WBP. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG TATA TERTIB LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN RUMAH TAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT B. KOMPETENSI UMUM C. KOMPETENSI KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT B. KOMPETENSI UMUM C. KOMPETENSI KHUSUS BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT Modul Penanganan ABH di Bapas merupakan bagian dari Modul Penyuluhan penanganan anak yang berhadapan dengan hukum terkait diversi dan keadilan restoratif bagi petugas

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform KEPUTUSAN MENTERI HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.02.PR.08.03 TAHUN 1999 TENTANG PEMBENTUKAN BALAI PERTIMBANGAN PEMASYARAKATAN DAN TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN MENTERI HUKUM DAN

Lebih terperinci

UU 12/1995, PEMASYARAKATAN. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:12 TAHUN 1995 (12/1995) Tanggal:30 Desember 1995 (JAKARTA) Tentang:PEMASYARAKATAN

UU 12/1995, PEMASYARAKATAN. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:12 TAHUN 1995 (12/1995) Tanggal:30 Desember 1995 (JAKARTA) Tentang:PEMASYARAKATAN UU 12/1995, PEMASYARAKATAN Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor:12 TAHUN 1995 (12/1995) Tanggal:30 Desember 1995 (JAKARTA) Tentang:PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK

NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

2011, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lemba

2011, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lemba BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.901,2011 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Tahanan. Pengeluaran. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-24.PK.01.01.01 TAHUN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN BENDA SITAAN NEGARA DAN BARANG RAMPASAN NEGARA PADA RUMAH PENYIMPANAN BENDA SITAAN NEGARA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017 TENTANG PENANGANAN TINDAK PIDANA PERIKANAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.789, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNPT. Kerjasama. Penegak Hukum. Penanganan Tindak Pidana. Terorisme PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN TERORISME REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-04/K.BNPT/11/2013

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.160, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BERSAMA. Sistem Pengelolaan. Benda Sitaan, Barang Rampasan Negara, Ketatalaksanaan. PERATURAN BERSAMA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.844, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNN. Rehabilitasi. Penyalahgunaan. Pencandu. Narkotika. Penanganan. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG TATA

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PENJELASAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN UMUM Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pada hakikatnya Warga Binaan Pemasyarakatan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN REGISTER PERKARA ANAK DAN ANAK KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN REGISTER PERKARA ANAK DAN ANAK KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN REGISTER PERKARA ANAK DAN ANAK KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENANGANAN TERSANGKA DAN/ATAU TERDAKWA PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA KE DALAM LEMBAGA REHABILITASI

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT B. KOMPETENSI UMUM

BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT B. KOMPETENSI UMUM BAB I PENDAHULUAN A. DESKRIPSI SINGKAT Modul Penanganan Anak dalam Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS)/Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)/Rumah Tahanan Negara (Rutan)/Lembaga Pemasyarakatan (Lapas)

Lebih terperinci

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.49, 2017 HUKUM. Anak. Anak Korban. Perkara. Register. Pedoman. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6033) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa Negara Kesatuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.257, 2014 PERTAHANAN. Hukum. Disiplin. Militer. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5591) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 5-1991 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 67, 2004 POLITIK. KEAMANAN. HUKUM. Kekuasaaan Negara. Kejaksaan. Pengadilan. Kepegawaian.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 59, 1991 (ADMINISTRASI. LEMBAGA NEGARA. TINDAK PIDANA. KEJAKSAAN. Warganegara. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tamba

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tamba No.404, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Narapidana. Pembinaan. Izin Keluar. Syarat. Tata Cara. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG 1 PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN DI SARANA PELAYANAN KESEHATAN MILIK PEMERINTAH DAERAH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 3, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3668) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

2016, No Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165); 3. Undang-Undang No

2016, No Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165); 3. Undang-Undang No No.69, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNN. Tahanan. Pengawasan. PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG PENGAWASAN TAHANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK I. UMUM Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No.5332 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK I. UMUM Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN Jalan Veteran No. 11 Jakarta

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN Jalan Veteran No. 11 Jakarta KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN Jalan Veteran No. 11 Jakarta Yth. 1. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI 2. Kepala Divisi Pemasyarakatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

elr 24 Sotnuqri f,ole NPM EIALAMA}.{ PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, Tanda Tangan

elr 24 Sotnuqri f,ole NPM EIALAMA}.{ PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, Tanda Tangan Kebijakan conjugal..., Fausia Isti Tanoso, FH UI, 2012 Kebijakan conjugal..., Fausia Isti Tanoso, FH UI, 2012 EIALAMA}.{ PERNYATAAN ORISINALITAS Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, da-n semua

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG OPTIMALISASI PENGELOLAAN BENDA SITAAN DAN BARANG RAMPASAN NEGARA PADA RUMAH PENYIMPANAN BENDA SITAAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional pada dasarnya merupakan pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia yang berdasarkan pada Undang-undang Dasar 1945. Fungsi hukum

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa setiap

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. WALIKOTA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini

BAB I PENDAHULUAN. para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem Pemasyarakatan lahir di Bandung dalam konferensi jawatan kepenjaraan para pemimpin penjara. Gagasan dan konsepsi tentang Pemasyarakatan ini dicetuskan oleh DR.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA Bahan Panja Hasil Timus RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara R

2 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara R BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1452, 2014 KEMENKUMHAM. Pengubahan Klas. UPT. Pemasyarakatan. Penilaian. Pedoman. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2014

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 1999 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN HAK WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.621, 2015 JAKSA AGUNG. Diversi. Penuntutan. Pelaksanaan. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER- 006/A/J.A/04/2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI

Lebih terperinci

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF M. ALI ARANOVAL SEMINAR NASIONAL PEMBIMBINGAN KEMASYARAKATAN DAN ALTERNATIVE PEMIDANAAN IPKEMINDO - 19 APRIL 2018 CENTER FOR DETENTION

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK, LPKA, HAK-HAK ANAK DALAM LPKA DAN PROSES PEMBINAAN ANAK DALAM LPKA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK, LPKA, HAK-HAK ANAK DALAM LPKA DAN PROSES PEMBINAAN ANAK DALAM LPKA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK, LPKA, HAK-HAK ANAK DALAM LPKA DAN PROSES PEMBINAAN ANAK DALAM LPKA 2.1. Anak 2.1.1. Pengertian Anak Di Indonesia, apa yang dimaksud dengan anak tidak ada kesatuan pengertian.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 3 Tahun : 2013

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 3 Tahun : 2013 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 3 Tahun : 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI, 1 BUPATI BANYUWANGI BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB III. Pemasyarakatan Anak Blitar. 3.1 Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga

BAB III. Pemasyarakatan Anak Blitar. 3.1 Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga BAB III Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan Anak Blitar 3.1 Pola Pembinaan Anak Pelaku Tindak Pidana Di Lembaga Pemasayarakatan Anak Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.790, 2014 BNPT. Perkaran Tindak Pidana Terorisme. Perlindungan. Saksi. Penyidik. Penuntut Umum. Hakim dan Keluarganya. Pedoman PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN

Lebih terperinci

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3547), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2010 tent

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3547), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2010 tent No.572, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BKN. Jabatan Fungsional. Asisten Pembimbing Kemasyarakatan. Juklak Pembinaan. PERATURAN KEPALA BADAN KEPEGAWAIAN NEGARA NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PETUNJUK

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA KABUPATEN KENDAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA KABUPATEN KENDAL Menimbang PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENEMPATAN DAN PERLINDUNGAN TENAGA KERJA INDONESIA KABUPATEN KENDAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KENDAL, : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

2017, No Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran N

2017, No Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran N No.1490, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPOM. Pengelolaan Barang Bukti. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN BARANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci