DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,"

Transkripsi

1 RANCANGAN PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG BALAI PERTIMBANGAN PEMASYARAKATAN DAN TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketentuan mengenai susunan keanggotaan, dan tata kerja Tim Pengamat Pemasyarakatan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.02.PR Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan sudah tidak sesuai dengan perubahan struktur organisasi dan perkembangan kebutuhan masyarakat; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu menetapkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan; Catatan: a. Perlu dikonsultasikan mengenai status pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan. b. RPermen ini mengatur kembali secara komperhensif tidak parsial/sesuai delegasian UU. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3614); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3845 ); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 223, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3846) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4632);

2 4. Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1999 tentang Kerjasama Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3857); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3858); 6. Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi; 7. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara; 8. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara; 9. Peraturan Menteri Kehakiman Nomor N.04.UM Tahun 1983 tentang Tatacara Penempatan, Perawatan, dan Tata Tertib Rumah Tahanan Negara; 10. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M-01.PR Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia; 11. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-01.OT.02 Tahun 2009 tentang Cetak Biru Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan; 12. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M-HH-05.OT Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 676); 13. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M-HH-01.PP Tahun 2011 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Peraturan Menteri di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 252); 14. Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.02.PR Tahun 1981 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak; 15. Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.01.PR Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan; 16. Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M.02.PK Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan;

3 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA TENTANG BALAI PERTIMBANGAN PEMASYARAKATAN DAN TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Balai Pertimbangan Pemasyarakatan yang selanjutnya disingkat BPP adalah badan penasehat Menteri yang bersifat nonstruktural di bidang pemasyarakatan. 2. Tim Pengamat Pemasyarakatan yang selanjutnya disingkat TPP adalah TPP Pusat, TPP Wilayah, dan TPP UPT Pemasyarakatan. 3. Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut UPT Pemasyarakatan adalah unit yang melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di bidang pemasyarakatan di wilayah masing-masing. catatan: Definisi Unit Pelaksana Teknis (UPT) disesuaikan dengan RPermen Hukum dan HAM tentang Grand Design Pembangunan UPT Pemasyarakatan. 4. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. 5. Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Bapas adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan klien pemasyarakatan. 6. Rumah Tahanan Negara yang selanjutnya disebut Rutan adalah unit pelaksana teknis di bidang penahanan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. catatan: Definisi Rumah Tahanan Negara disesuaikan dengan RPermen Hukum dan HAM tentang Grand Design Pembangunan UPT Pemasyarakatan. 7. Wali Pemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan yang melakukan pendampingan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan selama menjalani pembinaan di Lapas. 8. Pembimbing Kemasyarakatan adalah pejabat fungsional penegak hukum yang melaksanakan penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pengawasan, dan pendampingan terhadap anak di dalam dan di luar proses peradilan pidana. catatan : sesuai dengan RUU Sistem Peradilan Pidana Anak

4 9. Tahanan adalah tersangka atau terdakwa yang di tempatkan di dalam Rutan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. 10. Warga Binaan Pemasyarakatan adalah narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan klien Pemasyarakatan. 11. Klien Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Klien adalah seseorang yang berada dalam bimbingan Bapas. 12. Menteri adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. 13. Direktur Jenderal Pemasyarakatan adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang tugas dan fungsinya di bidang pemasyarakatan. 14. Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang Pemasyarakatan yang bertanggung jawab kepada Menteri. catatan: akan disesuaikan dengan Orta Kanwil. 15. Hari adalah hari kerja. BAB II BALAI PERTIMBANGAN PEMASYARAKATAN Bagian Kesatu Kedudukan, Tugas, Fungsi dan Wewenang Pasal 2 (1) BPP merupakan lembaga nonstruktural yang berada di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan bertanggung jawab kepada Menteri. (2) BPP berkedudukan di Jakarta dengan Sekretariat beralamat di kantor Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Jalan Veteran Nomor 11 Jakarta Pusat. Pasal 3 BPP mempunyai tugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Menteri dalam menentukan kebijakan bagi terselenggaranya pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Pasal 4 Tugas BPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi saran dan pertimbangan yang berkaitan dengan : a. pembinaan sumber daya manusia yang melaksanakan pembinaan, pemngamanan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan; b. penggunaan metode, cara dan materi pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan; c. perencanaan dan penyusunan program pembinaan serta peran serta masyarakat untuk meningkatkan kualitas kesadaran Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat hidup secara wajar dan bertanggungjawab; d. Sarana dan prasarana; serta hal-hal lain. Pasal 5

5 BPP berfungsi sebagai badan penasehat Menteri di bidang Pemasyarakatan. Bagian Kedua Susunan Keanggotaan Pasal 6 (1) Anggota BPP terdiri atas: a. para ahli di bidang pemasyarakatan; b. wakil instansi terkait; c. wakil lembaga swadaya masyarakat; dan d. tokoh masyarakat yang memiliki rasa kepedulian terhadap pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan. (2) Susunan Keanggotaan BPP terdiri dari : a. 1 (satu) orang Ketua merangkap anggota; b. 1 (satu) orang sekretaris merangkap anggota; dan c. 17 (tujuh belas) orang anggota. d. dibantu oleh beberapa orang staf secretariat. (3) Ketua BPP dipilih oleh anggota BPP. (4) Sekretaris BPP secara fungsional dijabat oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kementerian Hukum dan Perundangan-undangan. (5) Dalam melaksanakan tugasnya anggota BPP dibantu oleh staf sekretariat. Pasal 7 Anggota BPP diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. Pasal 8 (1) Masa kerja anggota BPP adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk masa kerja berikutnya. (2) Dalam hal terdapat anggota BPP yang berhalangan menjalankan tugasnya karena sesuatu alas an tertentu, maka Ketua BPP dapat mengusulkan penggantiannya kepada Menteri. Bagian Ketiga Tata Kerja Pasal 9 BPP dalam menjalankan tugasnya berwenang untuk : a. menyampaikan saran dan pertimbangan kepada Menteri baik yang diminta maupun yang tidak diminta; b. mengatur sendiri jadwal kegiatan sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas dan hasilnya dijadikan bahan saran dan pertimbangan yang akan diajukan kepada Menteri. Pasal 10

6 (1) Saran dan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) bulan setelah diputus oleh BPP harus segera disampaikan kepada Menteri. (2) Tembusan surat penyampaian saran dan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan untuk dijadikan bahan dalam menetapkan kebijaksanaan Menteri terhadap masalah yang bersangkutan. Pasal 11 (1) Setiap akhir tahun anggaran BPP wajib menyampaikan laporan tentang kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan serta hasilnya kepada Menteri. (2) Tembusan laporan BPP sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan juga kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan. BAB III TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN Bagaian Kesatu Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Paragraf 1 Kedudukan Pasal 12 (Pasal 2) (1) TPP terdiri atas : a. TPP Pusat; b. TPP Wilayah; dan c. TPP UPT Pemasyarakatan; (2) TPP Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berkedudukan di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan dalam melaksanakan tugasnya bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan. (3) TPP Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berkedudukan di Kantor Wilayah dan dalam melaksanakan tugasnya bertanggungjawab kepada Kepala Kantor Wilayah. (4) TPP UPT Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berkedudukan di Lapas, Bapas, Rutan, dan Cabang Rutan serta dalam melaksanakan tugasnya bertanggungjawab kepada Kepala Lapas, Kepala Bapas, Kepala Rutan, dan Kepala Cabang Rutan. Paragraf 2 Tugas Pasal 13 (Pasal 3) TPP mempunyai tugas: a. memberi saran mengenai bentuk dan program pembinaan atau pembimbingan dalam melaksanakan sistem pemasyarakatan; b. membuat penilaian atas pelaksanaan program pembinaan, pengamanan dan pembimbingan; dan c. menerima keluhan dan pengaduan dari Warga Binaan Pemasyarakatan.

7 catatan : disarankan disesuaikan dengan : a. Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan; dan b. Pasal 13 Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.02.PR Tahun 1999 tentang Pembentukan BPP dan TPP. Pasal 14 (Pasal 4) TPP Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a mempunyai tugas memberikan saran, penilaian, pertimbangan, dan rekomendasi baik diminta maupun tidak diminta kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan mengenai: a. pengembangan pelaksanaan teknis Pemasyarakatan; b. usul yang diajukan oleh Kepala Kantor Wilayah yang terkait dengan pemberian, pencabutan, pembatalan, dan penundaan antara lain mengenai asimilasi, cuti mengunjungi keluarga, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, cuti bersyarat, remisi; c. penjatuhan sanksi pelanggaran tata tertib; d. pemindahan narapidana dan anak didik pemasyarakatan antar wilayah; e. pelaksanaan pengamanan di UPT Pemasyarakatan Lapas, Bapas, dan Rutan; dan f. penyelesaian keluhan dan pengaduan dari Warga Binaan Pemasyarakatan. Pasal 15 [Pasal 5] TPP Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b mempunyai tugas untuk memberikan saran, penilaian, pertimbangan, dan rekomendasi baik diminta maupun tidak diminta kepada Kepala kantor Wilayah mengenai: a. pengembangan pelaksanaan teknis pemasyarakatan; b. usul yang diajukan oleh Kepala Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan yang terkait dengan pemberian, pencabutan, pembatalan dan penundaan antara lain mengenai asimilasi, cuti mengunjungi keluarga, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, cuti bersyarat, remisi, penjatuhan sanksi pelanggaran tata tertib pemindahan narapidana, dan pengangkatan pemuka. c. pelaksanaan pengamanan di UPT Pemasyarakatan Lapas, Bapas, dan Rutan; atau d. penyelesaian keluhan dan pengaduan dari Warga Binaan Pemasyarakatan. Pasal 16 [Pasal 6] (1) TPP UPT Pemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c terdiri atas : a. TPP Lapas; b. TPP Bapas. c. TPP Rutan; dan d. TPP Cabang Rutan. (2) TPP Lapas, TPP Rutan, atau dan TPP Cabang Rutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf c, dan huruf d mempunyai tugas memberikan saran, penilaian, pertimbangan, dan rekomendasi baik

8 diminta maupun tidak diminta kepada kepala Lapas, kepala Rutan, dan kepala Cabang Rutan antara lain mengenai: a. pengembangan pelaksanaan teknis pemasyarakatan; b. usul dari hasil Penelitian Kemasyarakatan yang terkait dengan pemberian asimilasi, cuti mengunjungi keluarga, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas, cuti bersyarat, pemindahan narapidana dan anak didik pemasyarakatan dengan mempertimbangkan hasil penelitian kemasyarakatan; c. pemberian, dan pencabutan pembatalan remisi; d. pengangkatan tamping dan pemuka; e. klasifikasi pengamanan dan pelaksanaan pengamanan di Lapas, Rutan, dan Cabang Rutan; f. program pembinaan, perawatan, dan pelayanan; g. pelaksanaan pengamanan di Lapas, Rutan, dan Cabang Rutan; h. penyelesaian keluhan dan pengaduan dari Warga Binaan Pemasyarakatan; dan i. pelanggaran disiplin dan pelanggaran hukum oleh narapidana, tahanan, dan anak didik pemasyarakatan. Warga Binaan Pemasyarakatan dan Tahanan untuk diambil tindakan yang cepat dan tepat. (3) TPP Bapas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mempunyai tugas memberikan saran, penilaian, pertimbangan, dan rekomendasi TPP Bapas kepada kepala Bapas mengenai: a. pengembangan pelaksanaan teknis pemasyarakatan; b. usul dari hasil Penelitian kemasyarakatan untuk: 1. pemberian, pencabutan, pembatalan dan penundaan asimilasi, cuti mengunjungi keluarga, pembebasan bersyarat, cuti menjelang bebas,cuti bersyarat; 2. penyidikan, penuntutan, dan sidang pengadilan negeri, pembinaan dalam Lapas, bimbingan klien, calon anak asuh, orang tua/wali calon anak asuh, calon keluarga asuh, calon pengasuh oleh perkumpulan sosial, dan penelitian kemasyarakatan untuk instansi lain; Catatan: Akan dicermati kembali mengenai instansi lain. 3. pemindahan tempat Warga Binaan Pemasyarakatan atas permintaan sendiri atau keluarga, dan untuk perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara. c. hasil program pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan Klien Pemasyarakatan; d. pelanggaran hukum, pelanggaran syarat pembimbingan dan pengawasan Klien Pemasyarakatan; e. izin keluar negeri Klien Pemasyarakatan; dan f. mutasi bimbingan Klien Pemasyarakatan.

9 Paragraf 3 Fungsi Pasal 17 [Pasal 7] Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, TPP menyelenggarakan fungsi: a. perencanaan, persidangan, dan evaluasi; b. administrasi persidangan, inventarisasi, dan dokumentasi; c. eksaminasi terhadap syarat substantif dan syarat administratif hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan Tahanan; d. penyampaian saran dan pertimbangan serta rekomendasi; e. pengajuan rekomendasi kepada: 1) Menteri melalui Direktur Jenderal Pemasyarakatan untuk TPP Pusat; 2) Kepala Kantor Wilayah untuk TPP Wilayah; dan 3) Kepala UPT untuk TPP Unit Pelaksana Teknis. f. monitoring terhadap pelaksanaan rekomendasi yang diajukan oleh TPP. Bagian Kedua Susunan Keanggotaan catatan : Proporsi komposisi keanggotaan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Pasal 18 [Pasal 9] Susunan Keanggotaan TPP Pusat terdiri atas: a. 6 (enam) orang ketua merangkap anggota: b. 3 (tiga) orang Sekretaris merangkap anggota; dan c. ( ) orang anggota yaitu: (tiga belas) orang anggota tetap; dan 2. ( ) orang anggota tidak tetap yang terdiri atas unsur Kepolisian ahli/profesi terkait, dan/atau masyarakat. Catatan: Jumlah anggota tidak tetap tidak bisa ditentukan jumlahnya. catatan: 1. Apakah ada perbedaan tugas antara anggota tidak tetap dan anggota tetap? 2. Perlu diatur mengenai jumlah keanggotaan tidak tetap dari masing-masing unsur. Pasal 19 [Pasal 10] Susunan Keanggotaan TPP Wilayah terdiri atas: a. 1 (satu) orang ketua merangkap anggota; b. 2 (dua) orang sekretaris merangkap anggota; dan c.... (...) orang anggota yaitu: 1. 7 (tujuh) orang anggota tetap; dan (...) orang anggota tidak tetap yang terdiri atas unsur Kepolisian ahli/profesi terkait, dan masyarakat. Pasal 20 [Pasal 11] Susunan Keanggotaan TPP UPT Lapas Kelas I terdiri atas: a. 1 (satu) orang ketua merangkap anggota; b. 1 (satu) orang sekretaris merangkap anggota; dan

10 c.... (...) orang anggota yaitu: 1. 9 (sembilan) orang anggota tetap; dan (...) orang anggota tidak tetap yang terdiri atas unsur Kepolisian ahli/profesi terkait, dan masyarakat. Pasal 21 [Pasal 12] Susunan Keanggotaan TPP UPT Lapas Kelas IIA terdiri atas: a. 1 (satu) orang ketua merangkap anggota; b. 1 (satu) orang sekretaris merangkap anggota; dan c.... (...) orang anggota yaitu: 1. 9 (sembilan) orang anggota tetap; dan (...) orang anggota tidak tetap yang terdiri atas unsur Kepolisian ahli/profesi terkait, dan masyarakat. Pasal 22 [Pasal 13] Susunan Keanggotaan TPP UPT Lapas Kelas IIB terdiri atas: a. 1 (satu) orang ketua merangkap anggota; dan b. 1 (satu) orang sekretaris merangkap anggota; c.... (...) orang anggota yaitu: 1. 6 (enam) orang anggota tetap; dan 2... (...) orang anggota tidak tetap yang terdiri atas unsur Kepolisian ahli/profesi terkait, dan masyarakat. Pasal 23 [Pasal 14] Susunan Keanggotaan TPP UPT Bapas Kelas I terdiri atas: a. 2 (dua) orang ketua merangkap anggota; dan b. 2 (dua) orang sekretaris merangkap anggota; c.... (...) orang anggota yaitu : 1. 6 (enam) orang anggota tetap merangkap anggota; (...) orang anggota tidak tetap yang terdiri atas unsur Kepolisian ahli/profesi terkait, dan masyarakat Pasal 24 [Pasal 15] Susunan Keanggotaan TPP UPT Bapas Kelas II terdiri atas: a. 2 (dua) orang ketua merangkap anggota; dan b. 2 (dua) orang sekretaris merangkap anggota; c.... (...) orang anggota yaitu : 1. 6 (enam) orang anggota tetap merangkap anggota; dan (...) orang anggota tidak tetap yang terdiri atas unsur Kepolisian ahli/profesi terkait, dan masyarakat Pasal 25 [Pasal 16] Susunan Keanggotaan TPP UPT Rutan Kelas I terdiri atas: a. 1 (satu) orang ketua merangkap anggota; dan b. 1 (satu) orang sekretaris merangkap anggota;

11 c.... (...) orang anggota yaitu: 1. 4 (empat) orang anggota tetap merangkap anggota; dan (...) orang anggota tidak tetap yang terdiri atas unsur Kepolisian ahli/profesi terkait, dan masyarakat. Pasal 26 [Pasal 17] Susunan Keanggotaan TPP UPT Rutan Kelas IIA terdiri atas: a. 1 (satu) orang ketua merangkap anggota; dan b. 1 (satu) orang sekretaris merangkap anggota; c.... (...) orang anggota yaitu: 1. 5 (lima) orang anggota tetap merangkap anggota; dan (...) orang anggota tidak tetap yang terdiri atas unsur Kepolisian ahli/profesi terkait, dan masyarakat. Pasal 27 [Pasal 18] Susunan Keanggotaan TPP UPT Rutan Kelas II B terdiri atas: a. 1 (satu) orang ketua merangkap anggota; dan b. 1 (satu) orang sekretaris merangkap anggota; c.... (...) orang anggota yaitu: 1. 4 (empat) orang anggota tetap merangkap anggota; dan (...) orang anggota tidak tetap yang terdiri atas unsur Kepolisian ahli/profesi terkait, dan masyarakat. Pasal 28 [Pasal 19] Susunan Keanggotaan TPP UPT cabang Rutan, terdiri atas: a. 1 (satu) orang ketua merangkap anggota; dan b. 1 (satu) orang sekretaris merangkap anggota; c.... (...) orang anggota yaitu: 1. 4 (empat) orang anggota tetap merangkap anggota; dan (...) orang anggota tidak tetap yang terdiri atas unsur Kepolisian ahli/profesi terkait, dan masyarakat. Pasal 29 (Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 21) (1) Anggota Tetap dan anggota Tidak Tetap pada TPP Pusat diangkat oleh Menteri berdasarkan usul Direktur Jenderal Pemasyarakatan (2) Anggota Tetap dan anggota Tidak Tetap pada TPP Wilayah diangkat oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan berdasarkan usul kepala divisi pemasyarakatan melalui kepala kantor wilayah (3) Anggota Tetap dan anggota Tidak Tetap pada TPP UPT Pemasyarakatan diangkat oleh Kepala Kantor Wilayah berdasarkan usul kepala UPT Pemasyarakatan melalui kepala divisi pemasyarakatan Pasal 30 (Pasal 20 ayat (2) dan ayat (3)) (1) Pengangkatan Anggota Tidak Tetap harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. sehat Jasmani dan Rohani;

12 b. memiliki keahlian di bidangnya; c. berpengalaman di bidangnya paling sedikit 5 (lima) tahun; d. memiliki surat penugasan bagi anggota yang berasal dari instansi; e. bertempat tinggal di wilayah hukum setiap tingkatan TPP. (2) Anggota Tidak Tetap pada TPP Lapas, TPP Rutan, dan TPP Cabang Rutan dalam 1 (satu) kabupaten/kota tidak dapat dirangkap oleh 1 (satu) orang. Catatan: Apakah Anggota Tidak Tetap pada TPP lain seperti TPP Pusat, Wilayah dan UPT Bapas dapat dirangkap? Pasal 31 [Pasal 22 ayat (1)) Dalam melaksanakan tugasnya TPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal... dibantu oleh beberapa orang staf sekretariat. Pasal 32 (Pasal 22 ayat (2)) Setiap penunjukan, pengangkatan dan pemberhentian anggota TPP harus diumumkan kepada masyarakat baik melalui media cetak maupun elektronik. Pasal 33 [Pasal 23] (1) Masa kerja anggota TPP untuk jangka waktu 1 (satu) tahun dan selanjutnya dapat diangkat kembali untuk masa kerja berikutnya (2) Dalam hal terdapat Anggota Tetap dan Anggota Tidak Tetap TPP tidak dapat menjalankan tugasnya karena suatu alasan tertentu, ketua TPP dapat mengusulkan penggantian anggota kepada pejabat yang mengangkat. (3) Alasan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain: a. mutasi; b. meninggal dunia; c. pensiun; d. tidak hadir dalam 3 (tiga) kali persidangan; atau e. sakit permanen. Bagian Ketiga Hak dan Kewajiban Anggota TPP Pasal 34 (Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3)) (1) Anggota TPP berhak: a. mendapatkan daftar usulan sidang; b. menyatakan pendapat, saran, pertimbangan, dan rekomendasi; alternatif: menyatakan pendapat, saran, pertimbangan, dan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (1), Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 16 ayat (3); c. memberikan suara atas keberatan, pemberian, penundaan, pembatalan, dan pencabutan dalam rangka pengambilan keputusan; catatan: disarankan huruf c untuk dihapus karena sudah terangkum dalam huruf b. (2) Setiap anggota TPP berkewajiban: a. menjaga kerahasiaan, dan tidak membocorkan informasi kepada pihak yang tidak berkepentingan; b. menghadiri sidang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan;

13 c. membaca dan mempelajari daftar usulan sidang sebelum sidang dimulai; d. mematuhi tata tertib persidangan; e. mengembalikan daftar usulan sidang saat selesai bersidang. Bagian Keempat Pendanaan Pasal 35 (Pasal 20 ayat (4)) Pendanaan yang diperlukan untuk kegiatan Anggota Tidak Tetap dibebankan pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Bagian Kelima Tata Kerja Sidang TPP terdiri atas: a. sidang rutin; dan b. sidang khusus. Pasal 36 [Pasal 24] Pasal 37 (Pasal 24) (1) Sidang rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a dilaksanakan paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) bulan sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan. (2) Sidang rutin membahas perkembangan pelaksanaan teknis pengamanan, pembinaan dan pembimbingan serta pelayanan tahanan sesuai dengan tahapan dalam pelaksanaan teknis Pemasyarakatan. (3) Sidang rutin di Lapas dilaksanakan untuk kepentingan evaluasi dan rekomendasi pada tahap pembinaan awal, tahap pembinaan lanjutan pertama, tahap pembinaan lanjutan kedua dan tahap akhir bagi Warga Binaan Pemsyarakatan. (4) Sidang rutin di Bapas dilaksanakan untuk kepentingan evaluasi dan rekomendasi pada tahap pra adjudikasi, adjudikasi, post adjudikasi dan after care bagi Klien Pemasyarakatan. (5) Sidang rutin di Rutan/Cabang Rutan dilaksanakan untuk kepentingan evaluasi dan rekomendasi pengamanan, penempatan, masa tahanan, aktifitas tahanan, dan pelaksanaan pidana bagi Tahanan. Pasal 38 [Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25] (1) Sidang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf b dapat dilaksanakan sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan. (2) Sidang khusus dilakukan untuk keadaan mendesak menyangkut pelaksanaan teknis pengamanan, pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, serta pelayanan Tahanan yang memerlukan penyelesaian cepat. (3) Sidang Khusus dilaksanakan berdasarkan usul dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Kepala Kantor Wilayah, Kepala UPT Pemasyarakatan, dan/atau Ketua Anggota TPP.

14 Pasal 40 [Pasal 26] (1) Sidang TPP sah jika dihadiri paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota TPP. (2) Setiap pelaksanaan sidang TPP harus dibuat daftar hadir dan berita acara sidang dan ditandatangani oleh setiap anggota sidang serta diketahui oleh Ketua dan Sekretaris TPP. (3) Dalam pelaksanaan sidang, baik sidang rutin maupun sidang khusus harus dibuatkan notulen serta dicatat secara jelas setiap usul dari setiap anggota yang hadir, termasuk perbedaan pendapat anggota. (4) Setiap keputusan yang diambil dalam sidang TPP harus melampirkan berita acara sidang. (5) Keputusan sidang harus disampaikan dalam waktu paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam kepada: a. Direktur Jenderal Pemasyarakatan untuk TPP Pusat; b. Kepala Kantor Wilayah untuk TPP Wilayah; dan c. Kepala UPT Pemasyarakatan untuk TPP UPT Pemasyarakatan. (6) Sifat dari keputusan sidang TPP merupakan rekomendasi untuk : a. Direktur Jenderal Pemasyarakatan untuk TPP Pusat; b. Kepala Kantor Wilayah melalui Kepala Divisi Pemasyarakatan untuk TPP Wilayah; c. Kepala UPT Pemasyarakatan untuk TPP UPT Pemasyarakatan. Pasal 41 [Pasal 27] (1) Semua usulan materi sidang TPP untuk bahan pengamanan, pelayanan, pembinaan dan pembimbingan, mengenai usulan pemberian, pencabutan, pembatalan, dan penundaan Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Cuti Menjelang Bebas, Cuti Bersyarat, Pembebasan Bersyarat, Remisi, Penempatan, Pemindahan, Pengamanan, Penjatuhan sanksi tata tertib, serta penyelesaian keluhan dan pengaduan, harus sudah memenuhi syarat substantif dan administatif. (2) Sekretaris wajib memeriksa kembali kelengkapan syarat substantif dan administratif dari usulan materi sidang TPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang akan disidangkan. Pasal 42 [Pasal 28] (1) Sebelum Sidang TPP dilaksanakan, sekretaris wajib mengumumkan jadwal dan agenda sidang. (2) Sebelum Sidang TPP dimulai, sekretaris melalui sekretariat menyiapkan segala sesuatu kelengkapan administrasi sidang dan kelengkapan persidangan lainnya untuk pengesahan acara sidang. Catatan:

15 Tidak perlu diatur dalam Permen ini karena sudah terlalu teknis administrative. Disepakati dalam rapat 15 juni (3) Sidang TPP dinyatakan tertutup untuk umum. (4) Untuk sidang pada TPP UPT, Wali Pemasyarakatan dan Petugas Pembimbing Kemasyarakatan Bapas menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugas setelah mendapat persetujuan dari Ketua TPP. (5) Anggota pada TPP Pusat, Anggota pada TPP Wilayah dan Anggota pada TPP UPT menyampaikan laporan-laporan mengenai pengamanan, pelayanan, pembinaan, dan pembimbingan dalam proses pemasyarakatan sesuai dengan agenda sidang. Pasal 43 [Pasal 29] (1) Pembahasan dalam Sidang TPP UPT dapat menghadirkan Warga Binaan Pemasyarakatan atau Tahanan dan keluarganya setelah mendapat persetujuan dari anggota TPP. (2) Pengambilan keputusan dalam sidang TPP dilakukan dengan musyawarah dan mufakat. (3) Dalam hal musyawarah dan mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan dengan suara terbanyak. =========== Pasal 44 [Pasal 30] (1) Hasil keputusan Sidang TPP sebelum ditandatangani oleh anggota yang hadir harus dibacakan kembali di hadapan anggota; (2) Sebelum Sidang TPP ditutup oleh Ketua diberikan kesempatan kepada para anggota untuk memberikan saran pendayagunaan pelaksanaan hasil keputusan yang telah ditetapkan. (3) Hasil keputusan dibaca oleh Ketua sebelum sidang ditutup. (4) Hasil sidang diumumkan oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Bagian Keenam Tata Cara Persetujuan dan Penolakan Putusan Sidang TPP Pasal 45 [Pasal 31] (1) Setiap persetujuan Putusan Sidang TPP UPT oleh Kepala UPT Pemasyarakatan harus dicantumkan dalam Surat Keputusan Kepala UPT Pemasyarakatan yang bersangkutan; (2) Setiap penolakan terhadap Putusan Sidang TPP UPT oleh Kepala UPT Pemasyarakatan harus dicantumkan dalam bentuk memorandum yang menyatakan secara jelas alasan-alasan atau dasar-dasar pertimbangan penolakan; (3) Surat Keputusan Kepala UPT Pemasyarakatan yang menyatakan persetujuan dan memorandum penolakan harus dibuat rangkap 3 (tiga) untuk disampaikan kepada: a. direktur Jenderal Pemasyarakatan; b. kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia; c. ketua Tim Pengamat Pemasyarakatan setempat. Pasal 46 [Pasal 32]

16 (1) Dalam hal terdapat persetujuan Kepala UPT Pemasyarakatan terhadap rekomendasi TPP; dalam jangka waktu tidak boleh lebih dari 3 (tiga) hari, Kepala UPT Pemasyarakatan harus memerintahkan kepada Pejabat Struktural bawahannya yang bertanggungjawab untuk melaksanakan putusan Sidang TPP tersebut; (2) Dalam hal terdapat penolakan Kepala UPT Pemasyarakatan terhadap rekomendasi TPP, dalam jangka waktu yang tidak lebih dari 3 (tiga) hari, Kepala UPT Pemasyarakatan yang bersangkutan harus melaporkan kepada Kepala Divisi Pemasyarakatan tentang memorandum yang dibuatnya; (3) Dalam jangka waktu tidak lebih dari 9 (sembilan) hari setelah diterimanya memorandum penolakan tesebut TPP Wilayah harus sudah menyampaikan Putusan Sidang kepada Kepala Kantor Wilayah; (4) Dalam jangka waktu tidak lebih dari 7 (tujuh) hari setelah diterimanya Putusan Sidang TPP Wilayah, Kepala Kantor Wilayah harus segera menerbitkan surat keputusan penolakan untuk dikirim kepada Kepala UPT Pemasyarakatan yang bersangkutan dan Ketua TPP Unit setempat atau kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan dalam hal tertentu. Pasal 47 [Pasal 33] (1) Apabila telah diterima usulan beserta rekomendasi yang disetujui oleh Kepala UPT Pemasyarakatan, dalam jangka waktu tidak boleh lebih dari 9 (sembilan) hari TPP Wilayah harus segera mengadakan sidang untuk mengambil keputusan guna pertimbangan bagi Kepala Kantor Wilayah, apakah sepatutnya usulan Kepala UPT Pemasyarakatan tesebut ditolak atau diteruskan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan. (2) Apabila usulan Kepala UPT Pemasyarakatan ditolak, dalam jangka waktu tidak boleh lebih dari 5 (lima) hari Kepala Kantor Wilayah harus segera mengembalikan usulan Kepala UPT Pemasyarakatan yang bersangkutan dengan mencantumkan secara jelas alasan-alasan atau dasar-dasar pertimbangan penolakannya dan tembusan dikirim juga kepada Ketua TPP UPT setempat; (3) Apabila usulan Kepala UPT Pemasyarakatan disetujui, dalam jangka waktu tidak boleh lebih dari 7 (tujuh) hari Kepala Kantor Wilayah harus segera meneruskan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan guna diadakan pemeriksaan ulang oleh TPP Pusat; (4) Tembusan pengiriman usulan Kepala UPT Pemasyarakatan oleh Kepala Kantor Wilayah ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan disampaikan kepada Kepala UPT Pemasyarakatan yang bersangkutan. Pasal 48 [Pasal 34] (1) Setelah menerima usulan-usulan pembinaan dari tiap-tiap UPT melalui Kepala Kantor Wilayah yang berwenang, dalam jangka waktu tidak lebih dari 15 (lima belas) hari, TPP Pusat harus segera mengadakan sidang untuk mengambil Keputusan guna bahan pertimbangan untuk Direktur Jenderal Pemasyarakan; (2) Dalam jangka waktu tidak lebih 14 (empat belas) hari setelah sidang TPP Pusat harus segera ditetapkan di dalam Surat Keputusan oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan;

17 (3) Dalam jangka waktu tidak lebih dari 14 (empat belas) hari semua Surat Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan, baik penetapan penolakan maupun persetujuan untuk wilayah yang bersangkutan harus sudah dibuat oleh pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan untuk dikirimkan ke UPT Pemasyarakatan yang bersangkutan dan Kepala Kantor Wilayah yang bersangkutan. Pasal 49 [Pasal 35] (1) Dalam jangka waktu tidak lebih dari 7 (tujuh) hari setelah surat Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan selesai dibuat, maka Surat Keputusan harus sudah dikirim ke setiap daerah yang bersangkutan melalui sarana tercepat; (2) Tembusan pemberitahuan tentang penolakan dan persetujuan dari Pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pemasyarakatan disampaikan kepada Kepala UPT yang bersangkutan. Pasal 50 [Pasal 36] Ketentuan jangka waktu hari sebagaimana dimaksud dalam pasal 31, 32, 33, 34 dan pasal 35 adalah hari kerja yang berlaku sesuai dengan peraturan daerah setempat. Bagian Ketujuh Tata Cara Pengajuan Keberatan Atas Putusan Sidang TPP Pasal 51 (Pasal 37) (1) Baik korban kejahatan maupun Narapidana, Tahanan dan Klien Pemasyarakatan berhak mengajukan keberatan atas pemberian, pencabutan, pembatalan dan penundaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) ketentuan ini; (2) Pengajuan keberatan hanya dapat diajukan 1 (satu) kali oleh pemohon selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari setelah keluarnya keputusan; (3) Pengajuan keberatan diajukan langsung ke TPP Pusat dengan surat permohonan pengajuan keberatan yang memuat: a. identitas pemohon; b. alasan pengajuan keberatan; c. tanda tangan pemohon. (4) Permohonan pengajuan keberatan dilampirkan pula dengan kartu identitas yang masih berlaku. (5) Apabila berkas permohonan tidak lengkap, melalui sekretariat menghubungi pemohon untuk melengkapi kekurangannya. (6) Dalam waktu yang tidak lebih dari 3 (tiga) hari setelah surat permohonan lengkap, TPP Pusat melalui sekretariat mempersiapkan tanggal persidangan; (7) Pada hari sidang, Ketua TPP Pusat membuka sidang dan menyatakan sidang tertutup untuk umum; (8) Pemohon diberikan kesempatan untuk menyampaikan secara langsung alasan-alasan pengajuan keberatan dengan disertai bukti-bukti yang dimiliki;

18 (9) Dalam sidang, penyampaian alasan permohonan disampaikan secara langsung dapat dengan cara menghadirkan langsung pemohon atau melalui telewicara atau hubungan telepon; (10) Sidang TPP meminta klarifikasi dari pihak LAPAS, RUTAN maupun BAPAS dan penjelasan bukti-bukti yang ada; (11) Untuk kepentingan pembuktian, sidang TPP dapat melakukan klarifikasi langsung terhadap pihak-pihak yang berkepentingan baik menghadirkan langsung, melalui telewicara maupun hubungan telepon. (12) Apabila alasan permohonan pengajuan keberatan tidak berdasarkan pada alasan dan bukti yang kuat, maka sidang TPP Pusat dapat menolak permohonan; (13) Apabila alasan permohonan pengajuan keberatan diterima berdasarkan alasan dan bukti yang kuat, maka sidang TPP merekomendasikan perubahan keputusan dan langsung disampaikan kepada pemohon. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 52 (Pasal 38) Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku, Keputusan Menteri Nomor M.02.PR Tahun 1999 tentang Pembentukan Balai Pertimbangan Pemasyarakatan dan Tim Pengamat Pemasyarakatan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 53 (Pasal 39) Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA PATRIALIS AKBAR, SH Diundangkan di Jakarta pada tanggal MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

19 PATRIALIS AKBAR, SH BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN... NOMOR...

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform KEPUTUSAN MENTERI HUKUM DAN PERUNDANG-UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.02.PR.08.03 TAHUN 1999 TENTANG PEMBENTUKAN BALAI PERTIMBANGAN PEMASYARAKATAN DAN TIM PENGAMAT PEMASYARAKATAN MENTERI HUKUM DAN

Lebih terperinci

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBUK INOONESIA NOMOR M.2.PK.04-10 TAHUN 2007 TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN ASIMILASI,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.02.PR.08.10 TAHUN 2004 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN ANGGOTA, PEMBERHENTIAN ANGGOTA, SUSUNAN ORGANISASI, TATA KERJA, DAN TATA

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.832, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Remisi. Asimilasi. Syarat. Pembebasan Bersyarat. Cuti. Tata Cara. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya perlakuan terhadap

Lebih terperinci

2016, No Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pem

2016, No Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.810, 2016 KEMENKUMHAM. Remisi. Asimilasi. Cuti Mengunjungi Keluarga. Pembebasan Bersyarat. Cuti Menjelang Bebas. Cuti Bersyarat. Pemberian. Tata Cara. Perubahan. PERATURAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1999 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3842) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

2018, No bersyarat bagi narapidana dan anak; c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata

2018, No bersyarat bagi narapidana dan anak; c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.282, 2018 KEMENKUMHAM. Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM

Lebih terperinci

2015, No Pemberhentian Anggota, dan Tata Kerja Majelis Pengawas; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lem

2015, No Pemberhentian Anggota, dan Tata Kerja Majelis Pengawas; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lem BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1787, 2015 KEMENKUMHAM. Anggota Majelis Pengawas. Organisasi. Pengangkatan. Penggantian. Pencabutan PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 31 TAHUN 1999 (31/1999) TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 31 TAHUN 1999 (31/1999) TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PERATURAN PEMERINTAH (PP) NOMOR 31 TAHUN 1999 (31/1999) TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PRESIDEN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.868, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Hukuman Disiplin. Penindakan Administratif. Pedoman. Pencabutan.

BERITA NEGARA. No.868, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Hukuman Disiplin. Penindakan Administratif. Pedoman. Pencabutan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.868, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Hukuman Disiplin. Penindakan Administratif. Pedoman. Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBINAAN DAN PEMBIMBINGAN WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

2014, No.38 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pengelolaan Zakat adalah kegiatan perencanaan, pela

2014, No.38 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pengelolaan Zakat adalah kegiatan perencanaan, pela LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.38, 2014 KESEJAHTERAAN. Zakat. Pengelolaan. Pelaksanaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5508) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

1 dari 8 26/09/ :15

1 dari 8 26/09/ :15 1 dari 8 26/09/2011 10:15 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pada hakikatnya

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.621, 2015 JAKSA AGUNG. Diversi. Penuntutan. Pelaksanaan. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER- 006/A/J.A/04/2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Majelis Kehormatan Notaris

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Majelis Kehormatan Notaris No.180,2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Majelis Kehormatan Notaris PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 HA PIOAUSPOI TENTANG MAJELIS KEHORMATAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180,2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Majelis Kehormatan Notaris PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 HA PIOAUSPOI TENTANG MAJELIS KEHORMATAN

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara R

2 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara R BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1452, 2014 KEMENKUMHAM. Pengubahan Klas. UPT. Pemasyarakatan. Penilaian. Pedoman. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2014

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.01.PK.04-10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2014 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA, TATA CARA PENGANGKATAN, PENGGANTIAN, DAN PEMBERHENTIAN ANGGOTA DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL DENGAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.104, 2014 KESRA. Dewan Jaminan Sosial Nasional. Susunan Organisasi. Tata Kerja. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2014 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEPOLISIAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEPOLISIAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEPOLISIAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka membangun Kompolnas

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2014 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA, TATA CARA PENGANGKATAN, PENGGANTIAN, DAN PEMBERHENTIAN ANGGOTA DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL DENGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.194, 2015 PIDANA. Diversi. Anak. Belum Berumur 12 Tahun. Pedoman. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5732). PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Asimilasi. Pembebasan Bersyarat.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Asimilasi. Pembebasan Bersyarat. No.333, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Asimilasi. Pembebasan Bersyarat. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: M.HH-02.PK.05.06

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 22 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.291, 2017 KEMENDAG. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 06/M-DAG/PER/2/2017 TENTANG BADAN PENYELESAIAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PERTIMBANGAN KEPEGAWAIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PERTIMBANGAN KEPEGAWAIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PERTIMBANGAN KEPEGAWAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2014... TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA, TATA CARA PENGANGKATAN, PENGGANTIAN, DAN PEMBERHENTIAN ANGGOTA DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL DENGAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

- - PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

- - PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN - - PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan peran Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, perlu

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEPOLISIAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEPOLISIAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEPOLISIAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA pkumham.go PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka membangun

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PERTIMBANGAN KEPEGAWAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PERTIMBANGAN KEPEGAWAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PERTIMBANGAN KEPEGAWAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN Jalan Veteran No. 11 Jakarta

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN Jalan Veteran No. 11 Jakarta KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN Jalan Veteran No. 11 Jakarta Yth. 1. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI 2. Kepala Divisi Pemasyarakatan

Lebih terperinci

2017, No Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494); 2. Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2015 tentang Badan Ekonomi

2017, No Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5494); 2. Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2015 tentang Badan Ekonomi No.254, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BEKRAF. PPPK. PERATURAN KEPALA BADAN EKONOMI KREATIF REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA DI LINGKUNGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-01.IN.04.03 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN DAN PELAYANAN INFORMASI DAN DOKUMENTASI PADA DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN, KANTOR

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

2011, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lemba

2011, No Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lemba BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.901,2011 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Tahanan. Pengeluaran. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-24.PK.01.01.01 TAHUN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS

KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :M.01-PK.04.10 TAHUN 1999 TENTANG ASIMILASI, PEMBEBASAN BERSYARAT DAN CUTI MENJELANG BEBAS MENTERI KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA. Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

: PAS-HM : PKS LPSWX/2015

: PAS-HM : PKS LPSWX/2015 PERJANJIAN KERJA SAMA ANTARA DIREKTORAT JENDERAL PEMASYARAKATAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA DAN LEMBAGA PERLINDLINGAN SAKSI DAN KORBAN TENTANG PERLINDUNGAN BAGI TAHANAN DAN

Lebih terperinci

BUPATI LAMONGAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI LAMONGAN NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI LAMONGAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI LAMONGAN NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN 1 BUPATI LAMONGAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI LAMONGAN NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA DI KABUPATEN LAMONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

2017, No ); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republ

2017, No ); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republ BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.861, 2017 KEMEN-KP. Kode Etik PPNS Perikanan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/PERMEN-KP/2017 TENTANG KODE ETIK PENYIDIK

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEPOLISIAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEPOLISIAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2005 TENTANG KOMISI KEPOLISIAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PERTIMBANGAN KEPEGAWAIAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PERTIMBANGAN KEPEGAWAIAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PERTIMBANGAN KEPEGAWAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMBERIAN PERINGATAN TERTULIS KEPADA PEGAWAI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEUANGAN

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMBERIAN PERINGATAN TERTULIS KEPADA PEGAWAI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEUANGAN 1 of 5 2/1/2011 11:12 AM MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 87/PMK.01/2010 TENTANG PEMBERIAN PERINGATAN TERTULIS KEPADA PEGAWAI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEUANGAN

Lebih terperinci

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENCALONAN, PEMILIHAN, PELANTIKAN

Lebih terperinci

2016, No Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang- Undang; b. bahwa Pasal 22B huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tent

2016, No Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang- Undang; b. bahwa Pasal 22B huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tent No.1711,2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BAWASLU.Pemilihan.Gubernur.Bupati.Walikota.Pelanggaran Administrasi. PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.222, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Verifikasi. Akreditasi. Lembaga Bantuan Hukum. Organisasi Kemasyarakatan.

BERITA NEGARA. No.222, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Verifikasi. Akreditasi. Lembaga Bantuan Hukum. Organisasi Kemasyarakatan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.222, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Verifikasi. Akreditasi. Lembaga Bantuan Hukum. Organisasi Kemasyarakatan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/PERMEN-KP/2017 TENTANG KODE ETIK PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/PERMEN-KP/2017 TENTANG KODE ETIK PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/PERMEN-KP/2017 TENTANG KODE ETIK PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.38, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Pengangkatan. Kepala LP Klas I. Syarat. Tata Cara.

BERITA NEGARA. No.38, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Pengangkatan. Kepala LP Klas I. Syarat. Tata Cara. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.38, 2013 KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Pengangkatan. Kepala LP Klas I. Syarat. Tata Cara. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 23 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENCALONAN, PEMILIHAN, PELANTIKAN DAN PEMBERHENTIAN KEPALA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI GARUT, : a. bahwa dalam melaksanakan

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tamba

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tamba No.404, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Narapidana. Pembinaan. Izin Keluar. Syarat. Tata Cara. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG

Lebih terperinci

LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK)

LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK) LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK) PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG SUSUNAN PANITIA SELEKSI, TATA CARA PELAKSANAAN SELEKSI, DAN PEMILIHAN CALON ANGGOTA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMILIHAN, PENGUSULAN, DAN PENETAPAN ANGGOTA BADAN PELAKSANA DAN ANGGOTA DEWAN PENGAWAS SERTA CALON ANGGOTA PENGGANTI ANTARWAKTU

Lebih terperinci

BUPATI GRESIK PROVINSI JAWA TIMUR

BUPATI GRESIK PROVINSI JAWA TIMUR BUPATI GRESIK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GRESIK, Menimbang :

Lebih terperinci

2015, No c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 24 Tahun 2013 tentang Pedoman Penjatuhan Hukuman Disiplin dan Penindakan

2015, No c. bahwa Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 24 Tahun 2013 tentang Pedoman Penjatuhan Hukuman Disiplin dan Penindakan No.1408, 2015 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKUMHAM. Hukuman Disiplin. Sanksi Administratif. Pegawai. Penjatuhan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 4 Tahun : 2016

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 4 Tahun : 2016 BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 4 Tahun : 2016 PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH

Lebih terperinci

, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166

, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1831, 2015 KEMENKUMHAM. Pejabat Imigrasi. Status. Pemberian dan Pencabutan. Status. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 151 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PEMILIHAN, PENGESAHAN, DAN PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

- - PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

- - PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN - - PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG MAJELIS KEHORMATAN KODE ETIK BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM. Organisasi. Tim Penilai. Perancang Perundang-undangan. Kanwil. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

BERITA NEGARA. DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM. Organisasi. Tim Penilai. Perancang Perundang-undangan. Kanwil. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA No.27, 2008 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM. Organisasi. Tim Penilai. Perancang Perundang-undangan. Kanwil. PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PELANGGARAN ADMINISTRASI TERKAIT LARANGAN MEMBERIKAN

Lebih terperinci

2016, No sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketujuh Belas atas Peraturan Pemer

2016, No sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketujuh Belas atas Peraturan Pemer BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.473, 2016 KEMENHUB. Ujian Dinas. Penyelenggaraan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN UJIAN DINAS

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-01.PK TAHUN 2010 TENTANG REMISI SUSULAN

PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-01.PK TAHUN 2010 TENTANG REMISI SUSULAN PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-01.PK.02.02 TAHUN 2010 TENTANG REMISI SUSULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-05.OT.01.01 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN NOMOR M.01-PR.07.03 TAHUN 1985 TENTANG ORGANISASI DAN

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 49 TAHUN 2017 TENTANG PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA

BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 49 TAHUN 2017 TENTANG PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA BUPATI GARUT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 49 TAHUN 2017 TENTANG PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

2015, No Mengingat : 1. Pasal 24B Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun

2015, No Mengingat : 1. Pasal 24B Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1758, 2015 KY. Laporan Masyarakat. Penanganan. Pencabutan. PERATURAN KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENANGANAN LAPORAN MASYARAKAT DENGAN

Lebih terperinci

MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI KEHAKIMAN DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR: M-03.PS.01.04 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN REMISI BAGI NARAPIDANA YANG MENJALANI PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.135, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KELEMBAGAAN. KPAI. Pencabutan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2016 TENTANG KOMISI PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PRESIDEN NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA, TATA CARA PENGANGKATAN, PENGGANTIAN DAN PEMBERHENTIAN ANGGOTA DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK PEGAWAI NEGERI SIPIL KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 55 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 55 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA 1 BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI SIDOARJO NOMOR 55 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIDOARJO, Menimbang

Lebih terperinci

2016, No Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indon

2016, No Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indon No.1580, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KPK. DPP-KPK. Pencabutan. PERATURAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG DEWAN PERTIMBANGAN PEGAWAI KOMISI PEMBERANTASAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 151 TAHUN 2000 (151/2000) TENTANG TATACARA PEMILIHAN, PENGESAHAN, DAN PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci