ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G"

Transkripsi

1 ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Pada Program Studi Meteorologi DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

3 Judul : Analisis Dampak Perubahan Tutupan Lahan Hutan Terhadap Iklim Di Pulau Kalimantan Menggunakan Model Iklim Regional (REMO) Nama : Sofyan Agus Salim NRP : G Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Prof.Dr.Ir. Hidayat Pawitan NIP : Dr. Edvin Aldrian NIP: Mengetahui, Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor Dr.Drh. Hasim, DEA NIP : Tanggal Lulus :

4 ABSTRAK SOFYAN AGUS SALIM. Analisis Dampak Perubahan Tutupan Lahan Hutan Terhadap Iklim di Pulau Kalimantan Dengan Menggunakan Model Iklim Regional REMO. Dibimbing oleh HIDAYAT PAWITAN dan EDVIN ALDRIAN. Dengan menggunakan model iklim regional REMO dibuat tiga skenario untuk menganalisis pengaruh penurunan luas tutupan lahan hutan terhadap iklim di pulau Kalimantan. Skenario yang digunakan adalah Kontrol (rasio hutan Kalimantan tahun 1996), R-25% (rasio hutan Kalimantan tahun 1996 diturunkan 25%), R-50% (rasio hutan Kalimantan diturunkan 50%). Hasil dari simulasi model REMO menunjukkan bahwa penurunan luas hutan menyebabkan kenaikan suhu udara rata-rata dari 25,3 C pada Kontrol menjadi 25,4 C pada R-25% dan 25,5 C pada R-50%. Selain itu mengakibatkan terjadinya kenaikan evaporasi sebesar 1,03% pada skenario R-25% dan 1,99% pada skenario R-25%. Peningkatan evaporasi menyebabkan curah hujan konvektif naik sebesar 5,21% pada skenario R-25% dan 6,20 % pada skenario R-50%. Kenaikan curah hujan ini mengakibatkan naiknya limpasan permukaan sebesar 6,15% pada skenario R-25% dan 10,51% pada skenario R-50%. Kata kunci : model iklim, deforestasi, perubahan iklim

5 DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR TABEL... iv DAFTAR LAMPIRAN... v I. PENDAHULUAN Latar Belakang Penurunan Luas Tutupan Lahan Hutan Model Iklim Sebagai Alat bantu Dalam Proses Analisis Dampak Perubahan Tutupan Lahan Hutan Tujuan Hipotesis... 1 II. TINJAUAN PUSTAKA Hutan Hujan Tropis Pengaruh Perubahan Tutupan Lahan Hutan Terhadap Komponen Neraca Energi Suhu Udara Evaporasi Hujan Model REMO Model REMO Penggunaan model REMO di Indonesia... 6 III. METODOLOGI Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Tahap Compiler Installation Tahap Persiapan (Pre-processing) Menjalankan Model Remo Tahap Analisis (Post-processing) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Parameter Model Rasio Hutan Kalimantan Analisis Keluaran Model... 12

6 Suhu Udara Evaporasi Curah Hujan Limpasan Permukaan Pembahasan Umum V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran Daftar Pustaka... 18

7 DAFTAR GAMBAR 1. Sebaran hutan hujan tropis Tutupan hutan di pulau Kalimantan Proporsi neraca energi Lima pulau besar dan tiga laut yang digunakan dalam validasi model REMO Diagram alir penelitian Diagram alir sub-model penurunan rasio hutan Rasio hutan pada tiga skenario LAI pada tiga skenario Albedo permukaan pada tiga skenario Sebagian data rasio hutan pulau Kalimantan Proses Masking Pixel dari pulau Kalimantan Grafik suhu udara harian pada tiga skenario Grafik rataan suhu udara per 6 jam pada tiga skenario Grafik evaporasi pada tiga skenario Grafik curah hujan musiman pada tiga skenario Grafik curah hujan konvektif pada tiga skenario Grafik limpasan permukaan pada tiga skenario Diagram alir proses yang terjadi jika rasio hutan turun... 17

8 DAFTAR TABEL 1. Luas hutan di pulau Kalimantan Korelasi curah hujan keluaran model REMO dengan data stasiun Daftar perangkat lunak yang digunakan Data yang digunakan pada tiap skenario Luas pulau kalimantan Luas dan rataan rasio hutan pulau Kalimantan pada tiga skenario Rataan suhu udara pada tiga skenario Rataan suhu udara per 6 jam pada tiga skenario Sensible heat flux per 6 jam pada tiga skenario... 13

9 DAFTAR LAMPIRAN 1. Albedo dari beberapa jenis permukaan Parameter input dan output dalam model REMO Merubah format data dari BIG endian menjadi LITTLE endian Script merubah rasio hutan Script untuk menjalankan model REMO Script untuk mengekstrak model REMO Uji statistik dari unsur iklim Data curah hujan di beberapa stasiun di pulau Kalimantan pada tahun

10 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penurunan luas tutupan lahan hutan Kondisi hutan mengalami perubahan yang cepat dan dinamis, sesuai perkembangan pembangunan dan perjalanan waktu. Banyak faktor yang mengakibatkan perubahan tersebut antara lain pertambahan penduduk, dan pembangunan diluar sektor kehutanan yang sangat pesat memberikan pengaruh besar terhadap meningkatnya kebutuhan akan lahan dan produk-produk dari hutan. Selain itu adanya perambahan hutan dan terjadinya kebakaran hutan yang mengakibatkan semakin luasnya kerusakan hutan di Indonesia. Menurut data selama 12 tahun ( ) angka degradasi dan deforestasi untuk pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi adalah 1,6 juta ha/tahun sebagai akibat penebangan liar, pencurian kayu, perambahan hutan, kebakaran hutan, lahan dan kebun serta sistem pengelolaan hutan yang kurang tepat. Deforestasi dan degradasi hutan diperparah dengan terjadinya kebakaran hutan pada tahun 1997 di Pulau Sumatera dan Kalimantan, dengan kebakaran terbesar terjadi di Kalimantan Timur hingga mencapai 3,2 juta ha (Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan, 1998). Dari hasil perhitungan untuk pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, diperkirakan laju deforestasi menjelang tahun 2000 telah melebihi angka 2,5 juta ha/tahun. Penurunan luas hutan dapat mengubah karakteristik tutupan lahan, salah satu perubahannya adalah meningkatnya albedo permukaan. Peningkatan albedo permukaan berdampak terhadap neraca energi yang kemudian berpengaruh terhadap unsur iklim seperti suhu udara dan evaporasi. Selain itu penurunan luas hutan dapat menurunkan kemampuan tanah untuk menyerap dan mempertahankan air. dipakai dan seringkali alat tersebut jarang dikalibrasi. Untuk menutupi kekurangan itu maka digunakanlah model iklim. Hal lain yang perlu disadari mengapa model iklim diperlukan adalah eksperimen yang ekstrim tidak bisa dilakukan secara langsung di alam. Untuk mengetahui berbagai fenomena alam yang bersifat ekstrim seperti perubahan luas tutupan lahan hutan dapat disimulasikan dalam sebuah model tanpa merusak alam. Kemajuan teknologi di bidang komputer turut membantu perkembangan di bidang pemodelan iklim. Saat ini model iklim dapat diproses oleh personal computer. Teknologi ini dapat membantu dalam proses analisis dampak perubahan tutupan lahan hutan. 1.2 Tujuan Mengkaji dampak penurunan luas tutupan lahan hutan terhadap iklim di pulau Kalimantan menggunakan model iklim regional REMO Menduga tingkat perubahan iklim akibat penurunan luas tutupan lahan hutan. 1.3 Hipotesis Penurunan luas tutupan lahan hutan menyebabkan: Peningkatan suhu udara. Peningkatan evaporasi Peningkatan curah hujan konvektif Peningkatan limpasan Model iklim sebagai alat bantu dalam proses analisis dampak penurunan luas tutupan lahan hutan. Dalam dunia ilmu pengetahuan terdapat tiga sumber acuan informasi yaitu dari data hasil pengamatan, hasil kajian teoritis dan data hasil model. Yang paling bernilai dari ketiga jenis tersebut adalah hasil observasi instrumentasi pengamatan karena semua analisis ilmiah akan dikembalikan kepada acuan tersebut. Akan tetapi pengamatan dengan instrumentasi memiliki keterbatasan dari resolusi fisis alat, temporal dan tutupan spasial. Selain itu keusangan alat akibat terlalu lama

11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Hujan Tropis Hujan hujan tropis adalah daerah yang ditandai oleh tumbuh-tumbuhan subur dan rimbun serta curah hujan dan suhu yang tinggi sepanjang tahun. Hutan hujan tropis merupakan ekosistem yang terkaya di dunia dari segi keanekaragaman hayati. Walaupun dengan cakupan yang kurang dari 7 persen daratan bumi, hutan hujan tropis berisi lebih dari 50 persen jenis hewan dan tumbuhan di dunia. Hutan hujan tropis juga memainkan suatu peran yang penting dalam iklim global dengan kemampuannya dalam menyerap karbon dioksida, suatu gas yang dipercaya oleh para ahli sebagai penyebab terjadinya pemanasan global. Tumbuhan yang secara alami menyerap karbon dioksida dan merubahnya menjadi oksigen melalui proses fotosintesis. Hutan hujan tropis merupakan penyerap gas karbon dioksida terbaik dibandingkan dengan ekosistem lainnya. Selain itu hutan hujan tropis memiliki kemampuan yang baik dalam hal menyerap dan menyimpan air, sehingga dapat dijadikan penyangga untuk menjaga lingkungan dari bencana banjir dan kekeringan. Ketika musim hujan tiba air dalam keadaan berlimpah, hutan hujan tropis dapat mengurangi limpasan sehingga sebagian besar air tetap berada di dalam ekosistem. Sedangkan ketika musim kemarau tiba kekurangan air dapat ditutupi dari cadangan yang diperoleh di musim hujan. Hutan hujan tropis dapat di temukan di sekitar garis khatulistiwa seperti terlihat pada Gambar 1 (sebaran hutan hujan tropis). Indonesia merupakan salah satu negara yang masih memiliki ekosistem hutan hujan tropis yang luas. Salah satu pulau yang masih memiliki hutan hujan tropis di Indonesia adalah pulau Kalimantan. Namun setiap tahunnya luas hutan di pulau Kalimantan terus berkurang seperti terlihat pada Gambar 2 (tutupan hutan di Kalimantan) dan Tabel 1 (luas hutan di pulau Kalimantan). (sumber : Gambar 1. Sebaran hutan hujan tropis Tabel. 1 Luas hutan di pulau Kalimantan Propinsi Luas Wilayah Luas Luas Luas Luas (Ha) Hutan % Hutan % Hutan % Hutan % (Ha) (Ha) (Ha) (Ha) Kalimantan Barat , , , ,3 Kalimantan Tengah , , , ,1 Kalimantan Selatan , , , ,5 Kalimantan Timur , , , ,0 Total , , , ,1 (sumber :

12 (sumber : Gambar 2. Tutupan hutan di pulau Kalimantan

13 (sumber : Gambar 3. Proporsi neraca energi 2.2. Pengaruh Perubahan Tutupan Lahan Hutan Terhadap Komponen Neraca Energi Konsep neraca energi dapat diperhatikan dari jumlah energi yang mengalir antara bendabenda di permukaan, sedangkan selisih antara masukan (input) dan keluaran (output) pada sistem tersebut merupakan energi yang digunakan atau tersimpan. Neraca energi ini penting dipelajari karena dapat digunakan sebagai penciri kondisi iklim lokal suatu lokasi. Dari neraca energi diperoleh informasi tentang nilai masing-masing komponen seperti laten heat flux, sensible heat flux, dan soil heat flux. Rn = H + G + λe... (1) dengan; Rn = radiasi matahari netto H = sensible heat flux G = soil heat flux λe = laten heat flux Perubahan yang terjadi pada tutupan lahan hutan akan menyebabkan perbedaan albedo permukaan. Menurut Campbell (1977) dan Stull (1995), Nilai albedo tidak bersifat mutlak, karena tergantung juga pada tingkat kerapatan atau penutupan oleh vegetasi, warna tanah dan sudut elevasi matahari. Pada umumnya permukaan yang berwarna muda atau kering memantulkan lebih banyak radiasi daripada permukaan berwarna gelap atau basah. Perbedaan albedo dapat menyebabkan perubahan terhadap energi yang nantinya akan dikonversi menjadi laten heat flux dan sensible heat flux. Kedua komponen neraca energi ini akan mempengaruhi dua unsur cuaca yaitu: Suhu udara Dengan meningkatnya nilai sensible heat flux menyebabkan terjadinya peningkatan suhu udara. Evaporasi Dengan meningkatnya nilai laten heat flux menyebabkan terjadinya peningkatan evaporasi Suhu Udara Suhu merupakan suatu kondisi yang ditandai oleh adanya perpindahan panas dari suatu substansi ke substansi lainnya (Mc.Intosh, 1972). Byers (1959) mengungkapkan bahwa kondisi suhu pada masing-masing tempat dibedakan oleh faktorfaktor berikut : 1. Intensitas dan durasi harian radiasi matahari yang diterima oleh bagian terluar dari atmosfer pada tempat tersebut. 2. Energi radiasi yang digunakan oleh atmosfer dalam proses pemantulan, hamburan dan penyerapan. 3. Albedo permukaan. 4. Karakterisitik fisik dari permukaan. 5. Neraca panas dari permukaan dan radiasi atmosfer terestrial. 6. Pertukaran panas yang terjadi dalam proses evaporasi, kondensasi, pembekuan dan peleburan.

14 7. Kondisi pemanasan atau pendinginan oleh arus udara horizontal atau oleh arus laut. 8. Pemindahan panas ke atas atau ke bawah oleh arus udara vertikal, konveksi, dan turbulensi Evaporasi Evaporasi adalah proses fisis pelepasan air dari permukaan. Menurut Jury et.al. (1991) faktor yang mempengaruhi nilai evaporasi sebagai berikut : Radiasi matahari Peningkatan Intensitas radiasi matahari menyebabkan peningkatan evaporasi. Suhu udara. Peningkatan suhu udara akan meningkatkan kapasitas udara untuk menyimpan air yang berarti dapat meningkatkan evaporasi. Kelembaban udara relatif Kelembaban udara relatif dapat menjadi indikasi tingkat kejenuhan udara. Sebelum udara jenuh maka udara masih memiliki kemampuan untuk menampung uap air hasil evaporasi Hujan Presipitasi adalah nama umum dari uap air yang mengembun dan jatuh ke tanah dalam rangkaian proses siklus hidrologi. Di Indonesia umumnya hanya mengenal satu jenis presipitasi yaitu hujan. Jumlah presipitasi dinyatakan dengan tebal presipitasi (mm). Kejadian hujan merupakan akibat dari interaksi bermacam-macam proses dan keadaan di permukaan bumi serta atmosfer. Kandungan uap air di udara, tersedianya inti kondensasi, pemanasan bumi oleh matahari, stabilitas atmosfer serta sifat angin merupakan keadaan yang menentukan hujan. Uap air akan turun menjadi hujan apabila uap air tersebut sudah memenuhi syarat, diantaranya adalah apabila uap air tersebut telah mengalami pengembunan sehingga membentuk butir-butir air atau es yang mempunyai kecepatan jatuh atau ukuran yang cukup. Hujan umumnya mempunyai variasi yang besar di dalam ruang dan waktu (Bruce and Clark, 1966). Variasi curah hujan yang diterima di suatu tempat ditentukan oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain kandungan uap air di atmosfer, keadaan topografi, sifat permukaan, perilaku daur alam seperti rotasi bumi dan fluktuasi jangka panjang merupakan pengaruh siklonik. Dapat dijelaskan juga bahwa variasi hujan dipengaruhi oleh radiasi matahari. Di Indonesia angin utama yang menentukan besarnya penerimaan hujan musiman adalah angin musim Barat Laut dan Tenggara. Angin ini berganti arah setiap setengah tahun. Hujan dapat diklasifikasikan sejalan dengan penyebab terjadinya, diantaranya adalah hujan konveksi, hujan orografik dan hujan konvergensi. Hujan konveksi disebabkan oleh pemanasan adiabatik, sebagai akibat dari adanya pemanasan di permukaaan bumi. Sistem konvektif terdiri dari banyak sel arus udara naik setempat dan arus udara turun (biasanya berdiameter terbatas). Bila arus naik mencapai ketinggian kondensasi akan terbentuk awan cumulus. Bila arus naik mencapai ketinggian kondensasi akan terbentuk awan cumulus. Bila udara lembab sekali, udara ini akan menjadi awan cumulunimbus pada ketinggian yang beasar. Hujan ini mempunyai sifat hujannya lebat dan tidak merata, periodenya pendek serta sering ditandai dengan periodisitas harian dan musiman Model REMO Model REMO REMO adalah Model iklim atmosfer berskala regional. Model ini dibangun dari Numerical Weather Prediction Model yang digunakan oleh German Weather Service (DWD). Pengembangan Model ini dilakukan atas kerja sama dari DWD, Max Planck Institute of Meteorologi, Hamburg dan German Climate Climate Computing Center (DKRZ), Hamburg. REMO adalah sebuah model yang memakai grid sistem Arakawa-C untuk representasi horisontal dan sistem hibrida p (tekanan) dan η memakai 20 level secara vertikal. Resolusi horizontal dari model ini adalah 0,5 * 0,5. Sedangkan resolusi temporal model REMO adalah 6 jam. Dalam prosesnya REMO membutuhkan data permukaan dan cuaca di tiap lapisan. Sebuah model hydrostatic bekerja dengan menafikan pergerakan masa udara vertikal sehingga model ini lebih melihat pergerakan horisontal. Akibatnya pemakaian model jenis ini kurang efektif untuk daerah yang terjal seperti pegunungan karena terjadi banyak pergerakan vertikal termasuk peristiwa konveksi. model jenis hydrostatic baik dipakai untuk skala regional dan global dimana faktor lokal seperti digambarkan diatas dapat diabaikan. Perawanan dibagi menjadi jenis awan stratiform dan konvektif. Kandungan air cair dari awan stratiform ditentukan oleh persamaan neraca yang berhubungan termasuk aliran

15 masuk dan keluarnya yang ditentukan oleh perubahan fase air dan presipitasi. Fungsi ketergantungan empiris dan suhu dipakai untuk menentukan kandungan es pada awan, melalui proses radiasi yang dilalui. Parameterisasi dari proses konveksi awan berdasarkan dari konsep fluks masa air dengan sedikit perubahan pada persamaan konveksi dalam Penggunaan model REMO di Indonesia Untuk penggunaannya di Indonesia Model REMO sudah disesuaikan oleh Aldrian et.al. (2004). Pemakaian model REMO untuk benua maritim Indonesia telah lama dilakukan. Aplikasi pemakaian REMO beragam dari pemakaian REMO sendiri (stand alone) untuk meneliti curah hujan Indonesia Aldrian et.al. (2004), menggabungkan model laut dan atmosfir Aldrian et.al. (2005) dan melakukan pengkajian dinamika fisis terhadap penyebaran asap kebakaran hutan. Gambar 4. Lima pulau besar dan tiga laut yang digunakan dalam validasi model REMO. Tabel 2. Korelasi curah hujan keluaran model REMO dengan data stasiun Pulau ERA 15 NRA ECHAM4 Jawa Kalimantan Sumatra Sulawesi Irian Validasi model REMO telah dilakukan oleh Aldrian, et.al (2004). Dalam mem-validasi model ini Aldrian menggunakan tiga jenis data yaitu data reanalisis dari European Centre for Medim-Range Weather Forecasts (ERA15), the National Centers for Environmental Prediction and National Center for Atmospheric Research (NRA) dan ECHAM4, kemudian dibandingkan dengan data stasiun. Dalam mem-validasi model REMO wilayah studi yang digunakan adalah lima pulau besar dan tiga laut seperti yang terlihat pada Gambar 4.

16 III. METODOLOGI 3.1. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Hujan Buatan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta Bahan dan Alat Data iklim tahun 1996 dari European European Centre for Medim-Range Weather Forecasts (ECMWF) Tutupan lahan Indonesia dari US NAVY atau USGS GTOP30 Seperangkat komputer yang dilengkapi perangkat lunak seperti yang tertera pada tabel 3. Gambar 5. Diagram alir penelitian 3.3. Metode Dalam Menjalankan model REMO terdiri dari beberapa tahapan, yaitu : Tahap compiler installation Tahap persiapan (pre processing) Menjalankan model REMO Tahap analisis (post processing) Tahap compiler installation Untuk dapat menggunakan Model Iklim Regional REMO terlebih dahulu disiapkan perangkat lunak sebagai berikut : LINUX Dalam penelitian ini distro LINUX yang digunakan adalah SUSE 9.0. Lahey Fortran Fujitsu 95. Lahey Fortran Fujitsu 95 adalah Fortran Compiler yang paling optimal untuk mendukung Model REMO. Model Iklim Regional REMO. GraDS Perangkat lunak ini digunakan untuk menganalisa keluaran dari REMO (GraDS dapat di-download di Dengan menggunakan GraDS, Output dari REMO dapat dilihat dalam bentuk peta dan grafik Tahap persiapan (pre processing) Tahapan ini terdiri dari beberapa persiapan yaitu: Persiapan data statis permukaan dan data dinamis. Data dinamis adalah data Iklim Indonesia pada tahun 1996, dengan resolusi temporal 6 jam dan resolusi spasial 0,5 x 0,5. Diperoleh dari hasil reanalisis data ECMWF Data statis adalah data tutupan lahan dari USGS GTOP30 Tabel 3. Daftar perangkat lunak yang digunakan Perangkat Lunak Tahun Fungsi Linux Suse 9.0 Windows XP Lahey Fortran Fujitsu 95 Ms.Visual Basic Sistem Operasi Compiler Kwrite Pembuatan dan Editing Script REMO Model Iklim Regional GraDS Pengolah Grid dan Display MS.Office Pengolah Kata dan Tabel

17 penamaan file REMO mengikuti kaidah berikut : ExxDDMMYYHH dengan, o E : jenis data, bisa e, a atau c o xx : file input, output atau reinisialisasi, berupa xa,xe,xt,xf,xg,xp o DD : hari (Day) o MM : bulan (Month) o YY : tahun (Year) o HH : jam (Hour) Cakupan data adalah 101 x 55 pixel yaitu 8,5 LU 19 LS dan 91 BT 141,5 BT. Merubah format data dari BIG endian menjadi LITTLE endian. Untuk merubah format data dari BIG endian ke LITTLE endian. Dibuat Script yang kemudian dijalankan dengan menggunakan KONSULE. Dengan menggunakan perintah eksekusi./conv_bl pada directory kerja Penyiapan data untuk setiap skenario. pixel (3,4) > pixel (8,1) maka nilai rasio hutan pada pixel (3,4) akan diisi nilai sebesar nilai rasio hutan pixel (8,1). Selain rasio hutan nilai LAI, tipe vegetasi, albedo dan kapasitas lapang pada pixel (3,4) juga diganti dengan nilai sebesar LAI, tipe vegetasi, albedo dan kapasitas lapang pada pixel (8,1). Proses ini terus berlanjut hingga rataan rasio hutan pulau Kalimantan turun 25% pada skenario R-25% dan 50% pada skenario R-50%. Nilai rasio hutan terkecil di suatu pixel pada data permukaan tahun 1996 adalah 0,38 sehingga rataan rasio hutan terkecil yang dapat diperoleh dalam proses randomisasi penurunan luas hutan adalah 0,38 atau setara dengan penurunan 52% sehingga untuk skenario dipilih penurunan sebesar 25% dan 50%. Tabel 4. Data yang digunakan pada tiap skenario Skenario Data Data Statis Dinamis Kontrol Data iklim Indonesia 1996 Parameter permukaan Indonesia Tahun R-25% R-50% Data iklim Indonesia 1996 Data iklim Indonesia Parameter permukaan Indonesia Tahun 1996, Rasio hutan Kalimantan diturunkan 25 % Parameter permukaan Indonesia Tahun 1996, Rasio hutan Kalimantan diturunkan 50 % Proses menurunkan rasio hutan. Proses penurunan rasio hutan diturunkan secara acak. Yaitu dengan cara mengganti nilai pixel yang memiliki rasio hutan yang lebih besar dengan nilai pixel yang memiliki nilai rasio yang lebih kecil. Sebagai contoh secara acak terpilih pixel (3,4) akan ditukar dengan pixel (8,1). Berdasarkan nilai rasio hutan Gambar 6. Diagram alir sub-model penurunan rasio hutan

18 Kontrol Kontrol Skenario R-25% Skenario R-25% Skenario R-50% Gambar 7. Rasio hutan pada tiga skenario Skenario R-50% Gambar 8. LAI pada tiga skenario

19 Kontrol Gambar 10. Sebagian data rasio hutan pulau kalimantan Skenario R-25% Skenario R-50% Gambar 9. Albedo Permukaan pada tiga skenario Menjalankan model REMO Untuk menjalankan REMO perlu dipisahkan direktori kerja menurut pembagian yang diperlukan, seperti tempat menyimpan file input, file kerja dan file hasil dalam direktori khusus. Biasanya dipakai konvensi nama direktori yaitu: xa : sebagai direktori input xalin : sebagai direktori input dengan format LITTLE Endian. xf : direktori initial file, file perantara xe : seluruh parameter hasil perhitungan REMO xt : parameter permukaan hasil perhitungan REMO Setelah directory disiapkan kemudian dibuat Script untuk menjalankan model REMO. Kemudian REMO dijalankan dengan menggunakan konsule pada linux yang kemudian menghasilkan file olahan yang tersimpan pada directory xe dan xt Tahap analisis (post processing) Ekstraksi output REMO Mengekstrak data parameter tertentu dari input atau output REMO dapat dilakukan dengan menggunakan Script. (Script untuk mengekstrak data keluaran REMO terlampir pada lampiran). Script ini merubah format data output REMO menjadi grid agar data dapat ditampilkan dalam bentuk grafik dengan menggunakan GraDS.

20 bernilai 1 sedangkan laut (sea) bernilai 0. Sebelum proses masking dilakukan terlebih dahulu nilai grid land selain pulau Kalimantan diganti dengan nilai 0 sehingga akan menjadi seperti gambar 10 (proses masking). Proses ini dijalankan pada setiap parameter yang akan dianalisis. Sehingga data yang dianalisis dan ditampilkan hanya data dari pulau Kalimantan. Rataan Wilayah Nilai rataan wilayah maka file output REMO didapat dengan menggunakan script (Script terlampir pada lampiran) yang dijalankan dengan menggunakan konsule, parameter yang diekstrak dari file output REMO adalah sebagai berikut: o Parameter 178 : suhu udara o Parameter 167 : evaporasi o Parameter 142 : curah hujan musiman o Parameter 143 : curah hujan konvektif o Parameter 160 : limpasan Selain itu untuk mendukung analisis diekstrak juga parameter lainnya, seperti: o Parameter 198 : rasio hutan o Parameter 174 : albedo o Parameter 200 : indeks luas daun o Parameter 229 : kapasitas lapang o Parameter 212 : tipe vegetasi o Parameter 146 : sensible heat flux o Parameter 147 : laten heat flux Gambar 11. Proses Masking Masking Setelah format file sudah berformat grid (*.grd) kemudian file tersebut di-masking dengan pulau Kalimantan sebagai pembatasnya. Untuk nilai masking diperoleh dari parameter 172 (land-sea mask). Pada parameter ini grid daratan (land)

21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Parameter Model Keluaran model REMO yang merupakan data raster, kemudian dengan menggunakan perangkat lunak GRADS. Dengan memasukkan script didapatkan nilai rataan wilayah untuk setiap parameter yang kemudian dapat dianalisis. Dalam kajian ini parameter keluaran Model REMO yang dianalisis adalah : o Parameter 178 : suhu udara o Parameter 167 : evaporasi o Parameter 142 : curah hujan musiman o Parameter 143 : curah hujan konvektif o Parameter 160 : limpasan Selain itu untuk mendukung analisis diekstrak juga parameter lainnya, seperti: o Parameter 198 : rasio hutan o Parameter 174 : albedo o Parameter 200 : indeks luas daun o Parameter 229 : kapasitas lapang o Parameter 212 : tipe vegetasi o Parameter 146 : sensible heat flux o Parameter 147 : laten heat flux Gambar 12. Pixel dari pulau Kalimantan Tabel 5. Luas pulau Kalimantan Wilayah Luas (Km 2 ) % Brunei Darussalam ,75 Malaysia ,55 (Sabah dan Sarawak) Indonesia ,70 (Kalimantan) Total Sumber : The World Factbook Rasio Hutan Kalimantan Jumlah pixel yang menunjukkan daratan di pulau Kalimantan pada data permukaan yang dipakai dalam model adalah 237 pixel. Dari jumlah pixel ini kemudian dikonversi menjadi luas pulau Kalimantan dengan cara mengkalikan jumlah pixel yang menunjukkan daratan di pulau kalimantan dengan resolusi pixel 0,5 x 0,5. Maka luas pulau kalimatan adalah 237 pixel * (0,5 x 0,5 ) * Km 2 / = 730 ribu Km 2. Kemudian untuk skenario R-25% nilai rataan rasio hutan diturunkan sebesar 25% dari rasio kontrol dan diturunkan sebanyak 50% untuk skenario R-50%. Sehingga dihasilkan nilai seperti pada Tabel 6. Tabel 6. Luas dan rataan Rasio Hutan pulau Kalimantan pada tiga skenario Skenario Rataan Luas Hutan Luas Daratan Rasio Hutan (ribu Km 2 ) (ribu Km 2 ) Kontrol 0, R-25% 0, R-50% 0, Analisis Keluaran Model Suhu udara Suhu udara adalah salah satu dari unsur cuaca yang nilainya dipengaruhi oleh tutupan lahan. Berkurangnya rasio luas hutan mengakibatkan luas tutupan lahan hutan menjadi lebih sedikit sehingga albedo permukaan menjadi lebih tinggi. Albedo permukaan yang tinggi menyebabkan pemanasan terhadap udara menjadi lebih cepat, sehingga suhu udara pada daerah terbuka akan lebih tinggi. Profil umum suhu udara Berdasarkan keluaran model diperoleh hasil yang berbeda nyata di setiap skenario dimana suhu udara kontrol lebih kecil dari suhu udara dengan rasio hutan diturunkan. Suhu udara di pulau Kalimantan untuk kontrol berkisar antara 20,9 32,2 C. Sedangkan pada skenario R-25% suhu udara berkisar antara 21,2 31,5 C. Pada skenario R- 50% suhu udara berkisar antara 20,7 33,4 C. Tabel 7. Rataan suhu udara pada tiga skenario Skenario Suhu Udara ( C) Kontrol 25,27 R-25% 25,40 R-50% 25,50

22 Suhu Udara Harian Suhu Udara C Bulan Kontrol R-25% R-50% Gambar 13. Grafik suhu udara harian pada tiga skenario Rataan suhu udara per 6 jam Suhu Udara ( C) Bulan Kontrol R-25% R-50% Gambar 14. Grafik rataan suhu udara per 6 jam pada tiga skenario Profil suhu udara per 6 jam Data keluran model untuk suhu udara pada pada setiap periode menunjukkan nilai suhu udara di kontrol lebih kecil dari pada skenario R-25% dan R-50%. Tabel 8. Rataan Suhu udara per 6 jam pada tiga skenario Suhu Udara ( C) Kontrol R-25% R-50% ,6 23,7 23, ,5 24,7 24, ,2 28,5 28, ,7 24,5 24,6 Pada jam dan perbedaan nilai suhu udara pada setiap skenario disebabkan oleh perbedaan nilai albedo permukaan. Pada tutupan lahan yamg memiliki rasio hutan lebih kecil akan memiliki albedo permukaan yang lebih besar. Dengan adanya perbedaan ini menyebabkan terjadi perbedaan penerimaan energi matahari dipermukaan. Tutupan lahan yang memiliki ratio hutan lebih kecil (dalam hal ini skenario r-25% dan r-50%) akan memiliki suhu udara yang lebih tinggi

23 dibandingkan dengan tutupan lahan yang memiliki rasio hutan lebih besar (kontrol). Tutupan lahan juga mempengaruhi pelepasan energi panas. Pada malam hari lahan terbuka akan lebih cepat melepaskan panas dibandingkan dengan lahan hutan hal ini terlihat pada Tabel 7. (Tabel rataan Suhu udara per 6 jam pada tiga skenario). Perbedaan nilai suhu udara antara pukul dengan pukul untuk kontrol lebih rendah dibandingkan dengan perbedaan suhu udara pada scenario R- 25% dan R-50% Evaporasi Evaporasi merupakan proses pelepasan uap air dari suatu permukaan. Pada neraca energi proses ini sangat dipengaruhi oleh nilai laten heat flux. Pada daerah terbuka (skenario R-25% dan R-50%) memiliki albedo yang lebih besar daripada kontrol. Sehingga energi untuk menambah laten heat flux menjadi lebih besar. Yang berakibat terhadap bertambahnya evaporasi. Berdasarkan hasil olahan model REMO, penurunan rasio hutan sebanyak 25 % dapat menyebabkan peningkatan evaporasi hingga 55 mm per tahun. Pebedaan terbesar nilai evaporasi pada ketiga skenario terjadi pada periode mei oktober. Pada periode ini terjadi perbedaaan sebesar 48 mm atau sekitar 5,5 % terutama pada bulan mei ketika evaporasi mencapai nilai maksimum. EVAPORASI Evaporasi (mm) Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Bulan Kontrol R-25% R-50% Gambar 15. Grafik evaporasi pulau Kalimantan pada tiga skenario Curah Hujan Dalam hasil olahan model REMO curah hujan dibagi menjadi tiga parameter yaitu : Parameter 141 : snow (Salju ) Parameter 142 : large scale (musiman) Parameter 143 : convective (konvektif ) Untuk pulau kalimantan parameter curah hujan yang digunakan adalah curah hujan musiman dan kovektif. Curah Hujan Musiman Di Indonesia angin utama yang menentukan besarnya penerimaan hujan musiman adalah angin muson barat laut dan tenggara. Angin ini terjadi akibat adanya perbedaan tekanan diantara dua benua yang mengapit Indonesia, yaitu benua Australia yang terletak di tenggara Indonesia dan benua Asia yang terletak di barat laut Indonesia. Angin ini berubah arah setiap setengah tahun. Pada periode april - september angin musim berhembus dari benua Australia melalui Indonesia menuju benua Asia. Angin musim ini dikenal sebagai angin musim tenggara. Angin ini mengakibatkan terjadinya musim kemarau di sebagian wilayah Indonesia yang memiliki tipe hujan musiman. Sedangkan pada periode oktober maret angin musim berhembus dari benua Asia melalui Indonesia meuju benua Australia. Angin ini mengakibatkan terjadinnya musim hujan di sebagian

24 wilayah Indonesia yang memiliki tipe hujan musiman. Berdasarkan hasil keluaran dari model remo pada tiga skenario diperoleh hasil yang menunjukkan penurunan rasio hutan tidak menyebabkan perbedaan yang signifikan pada periode november april. Namun pada periode mei oktober terjadi perbedaan yang signifikan. Curah hujan musiman skenario R-25% dan R-50% nilainya lebih besar dibandingkan dengan curah hujan musiman kontrol. Curah Hujan Konvektif Hujan konvektif adalah hujan yang terjadi karena adanya arus vertikal akibat pemanasan dari permukaan bumi. Arus vertikal tersebut kemudian akan membentuk awan cumulus, yang kemudian turun sebagai hujan. Evaporasi sangat besar pengaruhnya terhadap hujan konvektif. Seperti hasil yang terlihat pada Gambar 15 dan gambar 17. Pada periode april agustus evaporasi pada skenario pengurangan rasio hutan memiliki perbedaan yang signifikan terhadap kontrol. Hal ini juga terjadi pada curah Curah Hujan Musiman CH (mm) Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Bulan Kontrol R-25% R-50% Gambar 16. Grafik curah hujan musiman pulau Kalimantan pada tiga skenario Curah Hujan Konvektif CH (mm) Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Bulan Kontrol R-25% R-50% Gambar 17. Grafik curah hujan konvektif pulau Kalimantan pada tiga skenario

25 hujan konvektif pada periode tersebut curah hujan konvektif pada skenario pengurangan hutan lebih besar daripada kontrol Limpasan Permukaan Limpasan permukaan adalah proses aliran permukaan yang terjadi ketika air yang ada di tanah telah melebihi kapasitas lapang. Besarnya limpasan sangat dipengaruhi oleh kemampuan tanah untuk menyerap dan menyimpan air. Tutupan lahan yang memiliki rasio hutan yang lebih sedikit akan lebih mudah melepaskan air baik melalui evaporasi atau limpasan jika dibandingkan dengan tutupan lahan yang lebih besar rasio hutannya. Berdasarkan hasil keluaran model. Penurunan rasio hutan dapat menyebabkan peningkatan limpasan sebesar 9% atau setara dengan 314 mm per tahun. Peningkatan limpasan naik secara signifikan pada periode Maret hingga Agustus. Dengan peningkatan hingga 215 mm pada skenario R-25% dan 301 mm pada skenario R-50%. Peningkatan ini menunjukkan bahwa dengan berkurangnya luas tutupan lahan dapat menurunkan kemampuan tanah untuk menahan air. Sehingga air dapat dengan cepat terlepas melalui proses limpasan. Limpasan Permukaan 400 Limpasan Permukaan (mm) Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Bulan Kontrol R-25% R-50% Gambar 18. Grafik limpasan permukaan pulau Kalimantan pada tiga skenario Gambar 19. Diagram alir proses yang terjadi jika rasio hutan turun

26 4.4. Pembahasan Umum Perubahan Tutupan Lahan Terhadap Komponen Neraca Energi Perubahan tutupan lahan hutan dapat mempengaruhi nilai albedo. Nilai albedo pada lahan terbuka akan lebih besar daripada lahan hutan. Dari perbedaan albedo ini kemudian akan menyebabkan perbedaan energi yang diperoleh untuk proses di atmosfer pada setiap skenario. Semakin tinggi nilai albedo maka akan semakin besar jumlah energi yang dapat digunakan untuk proses di atmosfer. Perbedaan ini kemudian akan menyebabkan perbedaan nilai pada setiap komponen neraca energi pada setiap skenario. Perbedaan kondisi ini dapat dilihat di pada kondisi atmosfer di siang hari dimana Albedo R-50% > Albedo R-25% > Albedo Kontrol. Perbedaan nilai Albedo pada setiap skenario menyebabkan terjadinya perbedaan nilai sensible heat flux sesuai dengan persamaan (1), yaitu semakin besar energi yang dapat digunakan dari radiasi maka semakin besar juga nilai sensible heat flux. Perbedaan dari nilai sensible heat flux juga tercermin pada suhu udara seperti terlihat pada Gambar 14 (Grafik rataan suhu udara per 6 jam pada tiga skenario). Pada grafik tersebut terlihat perbedaan yang signifikan pada suhu udara jam suhu udara pada skenario R-50%> R-25% > kontrol. Selain berpengaruh pada nilai sensible heat flux, perbedaan jumlah energi yang dapat dimanfaatkan oleh atmosfer juga berdampak pada komponen neraca energi lainnya yaitu laten heat flux. Sesuai dengan persamaan (1), yaitu semakin besar energi yang dapat digunakan dari radiasi maka semakin besar juga nilai laten heat flux. Perbedaan dari nilai laten heat flux tercermin pada evaporasi seperti terlihat pada Gambar 15 (Grafik evaporasi pulau Kalimantan pada tiga skenario). Pada grafik tersebut terlihat perbedaan yang signifikan pada nilai evaporasi. Dimana jumlah evaporasi pada lahan terbuka lebih besar dari pada jumlah evaporasi pada lahan hutan. Berdasarkan hasil simulasi, diperoleh nilai curah hujan konvektif berbanding lurus dengan nilai evaporasi. Hal ini terlihat pada gambar Gambar 15 (Grafik evaporasi pulau Kalimantan pada tiga skenario) dan gambar 17 (Grafik curah hujan konvektif pulau Kalimantan pada tiga skenario). Pada grafik tersebut juga didapat informasi bahwa curah hujan konvektif pada lahan terbuka lebih banyak dibandingkan dengan curah hujan pada kontrol. Peningkatan nilai curah hujan juga berdampak terhadap nilai limpasan permukaan. Seperti terlihat pada gambar 18 (Grafik limpasan permukaan pulau Kalimantan pada tiga skenario). Selain dipengaruhi oleh peningkatan curah hujan konvektif. Peningkatan limpasan permukaan juga disebabkan oleh perubahan tutupan lahan. Pada lahan yang memiliki rasio hutan lebih kecil air akan cepat hilang melalui limpasan permukaan dibandingkan dengan lahan yang memiliki rasio yang lebih besar tertutup hutan. Perubahan Lahan Terhadap Komponen Neraca Air Sumber air untuk hujan konvektif adalah berasal dari uap air yang naik secara vertikal melalui proses evaporasi.

27 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Penurunan luas hutan menyebabkan perubahan terhadap parameter-parameter permukaan dihutan, diantara parameter yang berubah adalah albedo permukaan, lai, tipe hutan, surface raougness lenght. Perubahan nilai dari parameter permukaan tersebut mempengaruhi unsur-unsur dalam neraca energi seperti sensible heat flux dan laten heat flux. Dari perubahan unsur ini kemudian mempengaruhi iklim di pulau Kalimantan. Hasil dari simulasi model REMO menunjukkan bahwa penurunan luas hutan menyebabkan kenaikan suhu udara rata-rata dari 25,3 C pada Kontrol menjadi 25,4 C pada R-25% dan 25,5 C pada R-50%. Selain itu mengakibatkan terjadinya kenaikan evaporasi sebesar 1,03% pada skenario R-25% dan 1,99% pada skenario R-25%. Peningkatan evaporasi menyebabkan curah hujan konvektif naik sebesar 5,21% pada skenario R-25% dan 6,20 % pada skenario R-50%. Kenaikan curah hujan ini mengakibatkan naiknya limpasan permukaan sebesar 6,15% pada skenario R- 25% dan 10,51% pada skenario R-50%. 5.2 Saran Penelitian dengan menggunakan Model untuk membantu menganalisa keadaan-keadaan yang ekstrim dan tidak dapat di analisa melalui pengukuran langsung harus lebih ditingkatkan terutama pada peningkatan resolusi dan akurasi dari model yang digunakan serta data-data primer yang digunakan untuk mendukung hasil dari model yang digunakan. Analisa perubahan tutupan lahan ini akan lebih baik jika menggunakan resolusi yang lebih tinggi serta ditunjang dengan data pengamatan yang lebih lengkap. DAFTAR PUSTAKA Aldrian, E., Dümenil-Gates, L., Jacob, D., Podzun, R., Gunawan, D Long-term Simulationof Indonesian rainfall with the MPI region model. Climate Dynamcs vol. 22 pp Badan Planologi Kehutanan dan Perkebunan Buku Indikasi Kawasan Hutan & Lahan Yang Perlu Dilakukan Rehabilitasi Tahun Bruce, J.P. and Clark, P.H Introduction to Hydrometeorology : Pergamon Press, Oxford. Byers, Horace Roberts General Meteorology. McGraw-Hill Book Company. New York. Campbell, G. S An Introduction to Environmental Biophysics. Springer- Verlag, New York. Jury, W.A., Gardner, W.R., Gardner, W.H., Soil Physics, 5th ed., John Wiley & Sons, Inc., New York, NY. Stull, R., 1995: Meteorology Today for Scientists and Engineers. West Publishers.

28 LAMPIRAN

29 Lampiran 1. Albedo dari beberapa jenis permukaan Permukaan Tipe Observasi Albedo (%) Pengamat Bay va 3-4 KH Bay and River va 6-10 TH Inland Waters va 5-10 L Ocean va 3-7 TH Ocean, deep va 3-5 L Ocean, near shore, solar elevation 47 tg 4 A Ocean, near shore, solar elevation 43 tg 6 A Ocean, near shore, solar elevation 20 tg 14 A Ocean, near shore, solar elevation 12 tg 30 A Ocean, near shore, solar elevation 5 1 / 2 tg 46 A Forest Green va 3-6 KH Forest va 4-10 TH Forest va 3-5 L Forest, snow-covered ground va KH Ground, bare va L Ground, bare, very white va 11 KH Ground, bare, some trees va 7 KH Ground, wet, 70-85% bare ta 8-9 F Ground, moist, 70-95% bare ta 9-12 F Black mold, dry tg 14 A Black mold, wet tg 8 A Sand, dry tg 18 A Desert, Mojave ta M Desert, Death Valley ta 25 M Sand, wet tg 9 A Fields, dry plowed va TH Fields, green va TH Fields, green va 3-6 KH Fields, wheat va 7 - KH Fields, unspecified va 5-10 L Grass, dry va TH Grass, high dry tg A Grass, dry, no sun tg K Grass, high fresh tg 26 - A Grass, high wet tg 22 - A Grass, wet no sun tg K Grass, wet sun tg K Snow, fresh tg 81 - A Snow, several days old, white, smooth tg A Snow, fresh (highest value) tg 87 - K Snow, old (lowest value) tg 46 - K Snow, white field va KH Ice, sparse snow cover ta 69 - M Clouds, stratus overcast, feet thick ta 5-63 N Clouds, stratus overcast, feet thick ta N

30 Permukaan Tipe Observasi Albedo (%) Pengamat Clouds, stratus overcast, feet thick ta N Clouds, dense, opaque va L Clouds, dense, nearly opaque va 44 - L Clouds, thin va L Clouds, stratus, feet thick ta 78 - Al Clouds, stratocumulus overcast ta F Clouds, altostratus, occasional breaks ta F Clouds, altostratus overcast ta F Clouds, cirrostratus and altostratus overcast ta F Clouds, cirrostratus overcast ta F Keterangan : Tipe Observasi : - v : pengukuran albedo dengan menggunakan photometer - t : pengukuran albedo dengan menggunakan pyrheliometer, pyranometer - a : pengukurang dengan menggunakan aircraft (pesawat) - g : pengukuran dilakukan di permukaan (ground) Pengamat : - A : Ångström, A. Geograf. Ann., vol.7, p.321, Al : Aldrich, L. B., Smithsonian Misc. Coll., vol.69, No.10, B : Baur, F., and philips, H., Gerl. Beitr. Geophys., vol. 42, p D : Danjon, A., Ann. L Obs. Strasbourg 3 No.3, p.193, F : Fritz, S. Buil. Amel. Meteorol. Soc., vol. 29. p.303, 1948; vol.31, p.251, 1950; Journ. Meteorol., vol.58, p.59, K : Klitin, N. N., Month. Wheat. Rev., vol.58, p.59, KH : Kimball, H. H., and Hand, I. F., Month. Weath. Rev., vol.58, p.280, L : Luckiesh, M.Astrophys. Journ., vol.49, p.108, M : MacDonald, T. H., private communication, N : Neiburger, M., U. C. L. A., Dep. Of Meteorol. Papers in Meteorol., No.9, 1948; also Joun. Meteorol., vol.6, p.98, TH : Tousey, R., ad Hulburt, E. O., Journ. Opt. Soc. Amer., vol.37, p.28, 1947

31 Lampiran 2. Parameter Input dan Output dalam model REMO Parameter Input 129 Surface geopotential (orography) 172 Land sea mask 173 Surface roughness length 229 field capacity of soil 200 leaf area index 226 FAO data set (soil data flags) 212 Vegetation type 198 Vegetation ratio 174 Surface background albedo 199 Orographic variance (for runoff) 134 Surface pressure 130 Temperature 139 Surface temperature 206 Snow temperature 207 Soil temperature TD3 208 Soil temperature TD4 209 Soil temperature TD5 170 Deep soil temperature 183 Soil temperature 131 u-velocity 132 v-velocity 133 Specific humidity 153 Liquid water content 140 Soil wetness 232 Glacier mask 194 Skin reservoir content (t- 1) 141 Snow depth 156 Geopotential height ********************************** * Parameter Output 130 Temperature 131 u-velocity 132 v-velocity 133 Specific humidity 153 Liquid water content 134 Surface pressure 135 Vertical velocity 139 Surface temperature 140 Soil wetness 141 Snow depth 142 Large scale precipitation 143 Convective precipitation 144 Snow fall 145 Boundary layer dissipation 146 Surface sensible heat flux 147 Surface latent heat flux 159 ustar**3 160 Surface runoff 162 Cloud cover 163 Total cloud cover 164 Total cloud cover m u-velocity m v-velocity 167 2m temperature 168 2m dew point temperature 169 Surface temperature 170 Deep soil temperature m windspeed 172 Land sea mask 173 Surface roughness length 174 Surface background albedo 175 Surface albedo 176 Net surface solar radiation 177 Net surface thermal radiation 178 Net top solar radiation 179 Top thermal radiation (OLR) 180 Surface u-stress 181 Surface v-stress 182 Surface evaporation 183 Soil temperature 185 Net surf. solar radiation 186 Net surf. thermal radiation 187 Net top solar radiation 188 Net top thermal radiation 189 Surface solar cloud forcing 190 Surface thermal cloud forcing 191 Top solar cloud forcing 192 Top thermal cloud forcing 194 Skin reservoir content (t- 1) 195 u-gravity wave stress 196 v-gravity wave stress 197 Gravity wave dissipation 198 Vegetation ratio 199 Orographic variance (for runoff) 200 Leaf area index 201 Maximum 2m-temperature 202 Minimum 2m-temperature 203 Top solar radiation upward 204 Surface solar radiation upward 205 Surface thermal radiation upward 206 Snow temperature 207 Soil temperature TD3 208 Soil temperature TD4 209 Soil temperature TD5 210 Sea ice cover 211 Sea ice depth 212 Vegetation type 213 (effective) sea-ice skin temp

32 214 Maximum surface temperature 215 Minimum surface temperature 216 Maximum 10m-wind speed 217 Maximum heig of conv cloud top 218 Snow melt 220 Residual surface heat budget 221 Snow depth change 223 Cloud cover 223 Cloud cover 224 Turbulent kinetic energy 226 FAO data set (soil data flags) 227 Heat capacity of soil 228 Soil diffusivity 229 Field capacity of soil 230 Vert-ly integ spec. humidity 231 Vert-ly integ liq water cont 232 Glacier mask 129 Surface geopotential (orography) 156 Geopotential height

33 Lampiran 3. Merubah Format data dari BIG endian menjadi LITTLE endian Untuk melakukan proses ini terlebih dahulu disiapkan data (BIG endian) directory.../xa dan buat directory /xalin untuk menyimpan hasil proses (LITTLE endian). Dan pastikan file uswap ada pada directory ~/bin Kemudian buat Script berikut dan simpan dengan nama conv_b2l. #! /bin/bash # set -ex # # converts bigendian data to littleendian data # compile uswap in directory uread # INPUTDIR=/home/sofyan/remo/xa OUTPUTDIR=/home/sofyan/remo/xalin cd ${INPUTDIR} for I in * do # for ext4,remo etc uswap -x -i ${I} -o ${OUTPUTDIR}/${I} # for ext8 #uswap -x -d -i ${I} -o ${OUTPUTDIR}/${I} done exit Kemudian script conv_b2l dieksekusi di konsule dengan menggunakan perintah eksekusi (./conv_b2l).

34 Lampiran 4. Script merubah rasio hutan Script ini dibuat dengan menggunakan bahasa basic dan dijalankan dengan menggunakan system operasi Microsoft Windows. Sebelum script ini dijalankan terlebih dahulu disiapkan data ekstraksi berupa data : o Parameter 172 : Land Sea Mask (sudah diedit : Pulau kalimantan bernilai 1 dan area lain bernilai 0) o Parameter 174 : Albedo o Parameter 198 : Rasio Vegetasi o Parameter 200 : LAI o Parameter 212 : Tipe Vegetasi o Parameter 229 : Kapasitas Lapang Dim Mask(101,55) as Single Dim Albd(101,55) as Single Dim RasV(101,55) as Single Dim LAI(101,55) as Single Dim TypeV(101,55) as Single Dim KL(101,55) as Single Dim i as Integer Dim j as Integer Dim TotalRasioIN as single Dim TotalRasioOUT as single (Parameter 172) Land Sea Mask (Parameter 174) Albedo (Parameter 198) Rasio Vegetasi (Parameter 200) Leaf Area Index (Parameter 212) Tipe Vegetasi (Parameter 229) Kapasitas Lapang Modul DataProses - Membaca File Input Membuat File Output - Membaca Data Parameter Menulis Data Olahan (Penurunan Rasio Vegetasi) Public Sub DataProses() Membaca File Input Open D:\Data\LSM.txt For Input as #1 Open D:\Data\Albedo.txt For Input as #2 Open D:\Data\RasioV.txt For Input as #3 Open D:\Data\LAI.txt For Input as #4 Open D:\Data\TipeV.txt For Input as #5 Open D:\Data\KL.txt For Input as #6 Output File Open D:\Data\OutLSM.txt For Output as #7 Open D:\Data\OutAlbedo.txt For Output as #8 Open D:\Data\OutRasioV.txt For Output as #9 Open D:\Data\OutLAI.txt For Output as #10 Open D:\Data\OutTipeV.txt For Output as #11 Open D:\Data\OutKL.txt For Output as #12 Membaca Data i = 0 j = 1 While not EOF(1) If i = 101 then i = 0 j = j + 1 end if i = i + 1 Input #1, Mask(i,j)

35 Input #2, Albd(i,j) Input #3, RasV(i,j) Input #4, LAI(i,j) Input #5, TypeV(i,j) Input #6, KL(i,j) Wend Nilai TotalRasio Awal For i = 1 to 101 For j = 1 to 55 TotalRasioIN = TotalRasioIN + (Mask(i,j)* RasV(i,j)) Next j Next i HitungUlang: Call PenurunanRasio TotalRasioOUT = 0 For i = 1 to 101 For j = 1 to 55 TotalRasioOUT = TotalRasioOUT + (Mask(i,j)* RasV(i,j)) Next j Next i Nilai TotalRasio Bergantung dari scenario yang diinginkan If TotalRasioOUT > TotalRasioIN (TotalRasioIN * 25/100) Then GoTo HitungUlang End if Menulis Data Olahan (Penurunan Rasio Vegetasi) Output #7, Mask(i,j) Output #8, Albd(i,j) Output #9, RasV(i,j) Output #10, LAI(i,j) Output #11, TypeV(i,j) Output #12, KL(i,j) Menutup File Close #1 : Close #2 : Close #3 : Close #4 : Close #5 : Close #6 Close #7 : Close #8 : Close #9 : Close #10 : Close #11 : Close #12 End sub Modul penurunan rasio hutan secara random Public sub PenurunanRasio() Dim x as Integer Dim y as Integer RandomUlang: Menentukan Pixel yang akan dirubah i = rnd() * 101 j = rnd() * 55 x = rnd() * 101 y = rnd() * 55 If i = 0 or j = 0 or x = 0 or y = 0 _ or i = x or j = y or Mask(I,J)=0 _ or Mask(x,y) = 0 Then GoTo RandomUlang

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Hujan Tropis Hujan hujan tropis adalah daerah yang ditandai oleh tumbuh-tumbuhan subur dan rimbun serta curah hujan dan suhu yang tinggi sepanjang tahun. Hutan hujan tropis

Lebih terperinci

Perangkat Lunak Tahun Fungsi Linux Suse 9.0 Windows XP

Perangkat Lunak Tahun Fungsi Linux Suse 9.0 Windows XP III. METODOLOGI 3.1. Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) Hujan Buatan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta. 3.2. Bahan dan Alat Data iklim tahun

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G

ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G02400013 DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN METODOLOGI

BAB III DATA DAN METODOLOGI BAB III DATA DAN METODOLOGI 3.1 Data dan Daerah Penelitian 3.1.1 Data Input model REMO dapat diambil dari hasil keluaran model iklim global atau hasil reanalisa global. Dalam penelitian ini data input

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak tahun 1980-an para peneliti meteorologi meyakini bahwa akan terjadi beberapa penyimpangan iklim global, baik secara spasial maupun temporal. Kenaikan temperatur

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.. Parameter Curah Hujan model REMO Data curah hujan dalam keluaran model REMO terdiri dari 2 jenis, yaitu curah hujan stratiform dengan kode C42 dan curah hujan konvektif dengan

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Perubahan Iklim

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Perubahan Iklim BAB II TEORI DASAR 2.1 Perubahan Iklim Perubahan iklim sebagai implikasi dari pemanasan global telah mengakibatkan ketidakstabilan atmosfer di lapisan bawah terutama yang dekat dengan permukaan bumi. Perubahan

Lebih terperinci

SIMULASI PENGARUH DEFORESTASI DAN REFORESTASI TERHADAP PERUBAHAN PARAMETER IKLIM MENGGUNAKAN REGIONAL MODEL (REMO) (Studi Kasus: Pulau Kalimantan)

SIMULASI PENGARUH DEFORESTASI DAN REFORESTASI TERHADAP PERUBAHAN PARAMETER IKLIM MENGGUNAKAN REGIONAL MODEL (REMO) (Studi Kasus: Pulau Kalimantan) SIMULASI PENGARUH DEFORESTASI DAN REFORESTASI TERHADAP PERUBAHAN PARAMETER IKLIM MENGGUNAKAN REGIONAL MODEL (REMO) (Studi Kasus: Pulau Kalimantan) TUGAS AKHIR Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kurikuler Program

Lebih terperinci

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI

VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI VARIASI SPASIAL DAN TEMPORAL HUJAN KONVEKTIF DI PULAU JAWA BERDASARKAN CITRA SATELIT GMS-6 (MTSAT-1R) YETTI KUSUMAYANTI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp: (021) 7353018 / Fax: 7355262, Tromol Pos. 7019 / Jks KL, E-mail

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

Lampiran 1. Albedo dari beberapa jenis permukaan. Tipe Observasi. Albedo (%) Permukaan. Pengamat

Lampiran 1. Albedo dari beberapa jenis permukaan. Tipe Observasi. Albedo (%) Permukaan. Pengamat LAMPIRAN Lampiran 1. Albedo dari beberapa jenis permukaan Permukaan Tipe Observasi Albedo (%) Pengamat Bay va 3-4 KH Bay and River va 6-10 TH Inland Waters va 5-10 L Ocean va 3-7 TH Ocean, deep va 3-5

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Perbandingan Evapotranspirasi Tanaman Acuan Persyaratan air tanaman bervariasi selama masa pertumbuhan tanaman, terutama variasi tanaman dan iklim yang terkait dalam metode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kalimantan Selatan sebagai salah satu wilayah Indonesia yang memiliki letak geografis di daerah ekuator memiliki pola cuaca yang sangat dipengaruhi oleh aktifitas monsoon,

Lebih terperinci

5/27/2013 AWAN. Pengertian :

5/27/2013 AWAN. Pengertian : VII. Awan dan Hujan - Pengertian/definisi - Proses pembentukan awan dan hujan - Klasifikasi awan - Tipe hujan di Indonesia - Analisis Curah Hujan Wilayah - Jaringan Pengamatan Hujan AWAN Pengertian : Awan

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Historis Banjir Jakarta

BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Historis Banjir Jakarta BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Historis Banjir Jakarta Menurut Caljouw et al. (2004) secara morfologi Jakarta didirikan di atas dataran aluvial pantai dan sungai. Bentang alamnya didominasi

Lebih terperinci

Pembentukan Hujan 1 KLIMATOLOGI

Pembentukan Hujan 1 KLIMATOLOGI Pembentukan Hujan 1 1. Pengukuran dan analisis data hujan 2. Sebaran curah hujan menurut ruang dan waktu 3. Distribusi curah hujan dan penyebaran awan 4. Fenomena iklim (ENSO dan siklon tropis) KLIMATOLOGI

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

Bab III Data dan Metodologi III.1 Data

Bab III Data dan Metodologi III.1 Data Bab III Data dan Metodologi III.1 Data Data yang digunakan pada simulasi model kopel ini berasal dari data reanalisis ECMWF 15 tahun, yaitu selama perioda tahun 1979 hingga tahun 1993, yang disingkat dengan

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL 4.1. Analisis Curah Hujan 4.1.1. Ketersediaan Data Curah Hujan Untuk mendapatkan hasil yang memiliki akurasi tinggi, dibutuhkan ketersediaan data yang secara kuantitas dan kualitas

Lebih terperinci

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE KARAKTERISTIK RATA-RATA SUHU MAKSIMUM DAN SUHU MINIMUM STASIUN METEOROLOGI NABIRE TAHUN 2006 2015 OLEH : 1. EUSEBIO ANDRONIKOS SAMPE, S.Tr 2. RIFKI ADIGUNA SUTOWO, S.Tr

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

Model Sederhana Penghitungan Presipitasi Berbasis Data Radiometer dan EAR

Model Sederhana Penghitungan Presipitasi Berbasis Data Radiometer dan EAR Model Sederhana Penghitungan Presipitasi Berbasis Data Radiometer dan EAR Suaydhi 1) dan M. Panji Nurkrisna 2) 1) Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, LAPAN. 2) Jurusan Pendidikan Fisika, FPMIPA,

Lebih terperinci

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT

SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT SIRKULASI ANGIN PERMUKAAN DI PANTAI PAMEUNGPEUK GARUT, JAWA BARAT Martono Divisi Pemodelan Iklim, Pusat Penerapan Ilmu Atmosfir dan Iklim LAPAN-Bandung, Jl. DR. Junjunan 133 Bandung Abstract: The continuously

Lebih terperinci

SENSITIVITAS CURAH HUJAN DI JAWA BARAT TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI SEKITARNYA MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL REMO YANUAR MURIANTO

SENSITIVITAS CURAH HUJAN DI JAWA BARAT TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI SEKITARNYA MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL REMO YANUAR MURIANTO SENSITIVITAS CURAH HUJAN DI JAWA BARAT TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI SEKITARNYA MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL REMO YANUAR MURIANTO DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU

Lebih terperinci

Karakteristik Air. Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 25 September 2017

Karakteristik Air. Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 25 September 2017 Karakteristik Air Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 25 September 2017 Fakta Tentang Air Air menutupi sekitar 70% permukaan bumi dengan volume sekitar 1.368 juta km

Lebih terperinci

II. IKLIM & METEOROLOGI. Novrianti.,MT_Rekayasa Hidrologi

II. IKLIM & METEOROLOGI. Novrianti.,MT_Rekayasa Hidrologi II. IKLIM & METEOROLOGI 1 Novrianti.,MT_Rekayasa Hidrologi 1. CUACA & IKLIM Hidrologi suatu wilayah pertama bergantung pada iklimnya (kedudukan geografi / letak ruangannya) dan kedua pada rupabumi atau

Lebih terperinci

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA Pengaruh Dipole Mode Terhadap Curah Hujan di Indonesia (Mulyana) 39 PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA Erwin Mulyana 1 Intisari Hubungan antara anomali suhu permukaan laut di Samudra

Lebih terperinci

REKAYASA HIDROLOGI SELASA SABTU

REKAYASA HIDROLOGI SELASA SABTU SELASA 11.20 13.00 SABTU 12.00 13.30 MATERI 2 PENGENALAN HIDROLOGI DATA METEOROLOGI PRESIPITASI (HUJAN) EVAPORASI DAN TRANSPIRASI INFILTRASI DAN PERKOLASI AIR TANAH (GROUND WATER) HIDROMETRI ALIRAN PERMUKAAN

Lebih terperinci

Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Perubahan Siklus Air Yang Memicu Kelangkaan Air Dunia

Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Perubahan Siklus Air Yang Memicu Kelangkaan Air Dunia Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Perubahan Siklus Air Yang Memicu Kelangkaan Air Dunia Paul Rizky Mayori Tangke* Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Bandung Jalan Ganesha

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum dan Distribusi Titik Panas (hotspot)provinsi Jambi Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0 o 45-2 o 45 LS dan 101 o 104 o 55 BT, terletak di tengah Pulau Sumatera

Lebih terperinci

III. DATA DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 2.11 Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen

III. DATA DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 2.11 Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen 7 radiasi surya, suhu udara, kecepatan angin, dan kelembaban udara dalam penentuan evapotranspirasi. Sedangkan faktor tanah yang mempengaruhi seperti tekstur, kedalaman tanah, dan topografi. Kebutuhan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian kebakaran wilayah di Indonesia sudah menjadi peristiwa tahunan, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2013 kebakaran di Pulau Sumatera semakin meningkat

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI ANGIN

Lebih terperinci

Daur Siklus Dan Tahapan Proses Siklus Hidrologi

Daur Siklus Dan Tahapan Proses Siklus Hidrologi Daur Siklus Dan Tahapan Proses Siklus Hidrologi Daur Siklus Hidrologi Siklus hidrologi adalah perputaran air dengan perubahan berbagai bentuk dan kembali pada bentuk awal. Hal ini menunjukkan bahwa volume

Lebih terperinci

RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR

RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR RADIASI MATAHARI DAN TEMPERATUR Gerakan Bumi Rotasi, perputaran bumi pada porosnya Menghasilkan perubahan waktu, siang dan malam Revolusi, gerakan bumi mengelilingi matahari Kecepatan 18,5 mil/dt Waktu:

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN LEBAT MENGGUNAKAN RADAR CUACA DI JAMBI (Studi Kasus 25 Januari 2015)

ANALISIS HUJAN LEBAT MENGGUNAKAN RADAR CUACA DI JAMBI (Studi Kasus 25 Januari 2015) ANALISIS HUJAN LEBAT MENGGUNAKAN RADAR CUACA DI JAMBI (Studi Kasus 25 Januari 2015) Nabilatul Fikroh Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG), Tengerang Selatan Email : Riannanabila@gmail.com

Lebih terperinci

Evapotranspirasi Rekayasa Hidrologi Universitas Indo Global Mandiri

Evapotranspirasi Rekayasa Hidrologi Universitas Indo Global Mandiri Evapotranspirasi Rekayasa Hidrologi Universitas Indo Global Mandiri 1 Evapotranspirasi adalah. Evaporasi (penguapan) didefinisikan sebagai peristiwa berubahnya air menjadi uap dan bergerak dari permukaan

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI HUJAN

Lebih terperinci

Analisis. Analisis Lanjutan. menampilkan hasil dalam gambar grafik atau gambar cross section aplikasi program RAOB.

Analisis. Analisis Lanjutan. menampilkan hasil dalam gambar grafik atau gambar cross section aplikasi program RAOB. 6 menampilkan hasil dalam gambar grafik atau gambar cross section aplikasi program RAOB. 3.4. Pengolahan Data Proses pengolahan data diawali dengan menginput data kedalam software RAOB. Data hasil RAOB

Lebih terperinci

Geografi. Kelas X ATMOSFER III KTSP & K-13. G. Kelembapan Udara. 1. Asal Uap Air. 2. Macam-Macam Kelembapan Udara

Geografi. Kelas X ATMOSFER III KTSP & K-13. G. Kelembapan Udara. 1. Asal Uap Air. 2. Macam-Macam Kelembapan Udara KTSP & K-13 Kelas Geografi ATMOSFER III Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami kelembapan udara. 2. Memahami curah hujan dan kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berkurangnya jumlah curah hujan di bawah normal pada suatu periode atau biasa disebut dengan kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama yang selanjutnya mulai

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP Buletin Prakiraan Musim Kemarau 2016 i KATA PENGANTAR Penyajian prakiraan musim kemarau 2016 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diterbitkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat disamping publikasi

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISIS STASIUN CUACA METEOROLOGI TERKAIT HUJAN

Lebih terperinci

Hidrometeorologi. Pertemuan ke I

Hidrometeorologi. Pertemuan ke I Hidrometeorologi Pertemuan ke I Pengertian Pengertian HIDROMETEOROLOGI Adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara unsur unsur meteorologi dengan siklus hidrologi, tekanannya pada hubungan timbal balik

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP PROPINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas berkat dan rahmat Nya kami dapat menyusun laporan dan laporan Prakiraan Musim Kemarau 2016 di wilayah Propinsi Banten

Lebih terperinci

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI

ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI ESTIMASI NILAI TPW (TOTAL PRECIPITABLE WATER) DI ATAS DAERAH PADANG DAN BIAK BERDASARKAN HASIL ANALISIS DATA RADIOSONDE IRE PRATIWI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas Pemanasan Bumi Meteorologi Suhu dan Perpindahan Panas Suhu merupakan besaran rata- rata energi kine4k yang dimiliki seluruh molekul dan atom- atom di udara. Udara yang dipanaskan akan memiliki energi kine4k

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 8 eigenvalue masing-masing mode terhadap nilai total eigenvalue (dalam persen). PC 1 biasanya menjelaskan 60% dari keragaman data, dan semakin menurun untuk PC selanjutnya (Johnson 2002, Wilks 2006, Dool

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F14104021 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 1 PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS

FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS FAKTOR-FAKTOR PEMBENTUK IKLIM INDONESIA. PERAIRAN LAUT INDONESIA TOPOGRAFI LETAK ASTRONOMIS LETAK GEOGRAFIS IKLIM INDONESIA Pengertian Iklim Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun

Lebih terperinci

1. Tekanan Udara 2. Radiasi Surya 3. Lama Penyinaran 4. Suhu Udara 5. Kelembaban Udara 6. Curah Hujan 7. Angin 8. Evapotranspirasi Potensial

1. Tekanan Udara 2. Radiasi Surya 3. Lama Penyinaran 4. Suhu Udara 5. Kelembaban Udara 6. Curah Hujan 7. Angin 8. Evapotranspirasi Potensial Unsur-unsur Iklim 1. Tekanan Udara 2. Radiasi Surya 3. Lama Penyinaran - 4. Suhu Udara 5. Kelembaban Udara 6. Curah Hujan 7. Angin 8. Evapotranspirasi Potensial Puncak Atmosfer ( 100 km ) Tekanan Udara

Lebih terperinci

Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana?

Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana? Perubahan iklim dunia: apa dan bagaimana? Oleh : Imam Hambali Pusat Kajian Kemitraan & Pelayanan Jasa Transportasi Kementerian Perhubungan Pada awal Februari 2007 yang lalu Intergovernmental Panel on Climate

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI HUJAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan Curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu (Arsyad, 2010). Menurut Tjasyono (2004), curah hujan yaitu jumlah air hujan yang turun pada

Lebih terperinci

Oleh : Irman Sonjaya, Ah.MG

Oleh : Irman Sonjaya, Ah.MG Oleh : Irman Sonjaya, Ah.MG KONSEP DASAR Cuaca adalah kondisi dinamis atmosfer dalam skala ruang, waktu yang sempit. Iklim merupakan rata-rata kumpulan kondisi cuaca pada skala ruang/ tempat yang lebih

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 2 Diagram alir penelitian. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Stabilitas Atmosfer 4.1.1 Identifikasi Stabilitas Atmosfer Harian Faktor yang menyebabkan pergerakan vertikal udara antara lain

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi pada 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum El Nino El Nino adalah fenomena perubahan iklim secara global yang diakibatkan oleh memanasnya suhu permukaan air laut Pasifik bagian timur. El Nino terjadi

Lebih terperinci

PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI

PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI SIKLUS HIDROLOGI Siklus Hidrologi adalah sirkulasi air yang tidak pernah berhenti dari atmosfir ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi

Lebih terperinci

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis

Faktor-faktor Pembentuk Iklim Indonesia. Perairan laut Indonesia Topografi Letak astronomis Letak geografis IKLIM INDONESIA Pengertian Iklim Iklim adalah keadaan cuaca rata-rata dalam waktu satu tahun dan meliputi wilayah yang luas. Secara garis besar Iklim dapat terbentuk karena adanya: a. Rotasi dan revolusi

Lebih terperinci

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA Martono Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN, Jl.dr.Djundjunan 133, Bandung, 40173 E-mail :

Lebih terperinci

Unsur gas yang dominan di atmosfer: Nitrogen : 78,08% Oksigen : 20,95% Argon : 0,95% Karbon dioksida : 0,034%

Unsur gas yang dominan di atmosfer: Nitrogen : 78,08% Oksigen : 20,95% Argon : 0,95% Karbon dioksida : 0,034% Unsur gas yang dominan di atmosfer: Nitrogen : 78,08% Oksigen : 20,95% Argon : 0,95% Karbon dioksida : 0,034% Ozon (O 3 ) mempunyai fungsi melindungi bumi dari radiasi sinar Ultraviolet Ozon sekarang ini

Lebih terperinci

DATA METEOROLOGI. 1. Umum 2. Temperatur 3. Kelembaban 4. Angin 5. Tekanan Udara 6. Penyinaran matahari 7. Radiasi Matahari

DATA METEOROLOGI. 1. Umum 2. Temperatur 3. Kelembaban 4. Angin 5. Tekanan Udara 6. Penyinaran matahari 7. Radiasi Matahari DATA METEOROLOGI 1. Umum 2. Temperatur 3. Kelembaban 4. Angin 5. Tekanan Udara 6. Penyinaran matahari 7. Radiasi Matahari Umum Data meteorology sangat penting didalam analisa hidrologi pada suatu daerah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan klasifikasi iklim global, wilayah kepulauan Indonesia sebagian besar tergolong dalam zona iklim tropika basah dan sisanya masuk zona iklim pegunungan. Variasi

Lebih terperinci

Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMlPA IPB

Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMlPA IPB IKLlM INDONESIA HANDOKO Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMlPA IPB Secara umum, daerah tropika terletak di antara lintang 23,5O LU (tropika Cancer) sampai 23,5O LS (tropika Capricorn). Batasan ini berdasarkan

Lebih terperinci

The stress interaction index SX = (1-CDX/100) (1-CWX/100) (1- HDX/100) (1-HWX/100) dimana ;

The stress interaction index SX = (1-CDX/100) (1-CWX/100) (1- HDX/100) (1-HWX/100) dimana ; 5 yang telah tersedia di dalam model Climex. 3.3.3 Penentuan Input Iklim untuk model Climex Compare Location memiliki 2 input file yaitu data letak geografis (.LOC) dan data iklim rata-rata bulanan Kabupaten

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pendugaan Parameter Input 4.1.1. Pendugaan Albedo Albedo merupakan rasio antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Namun

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI KEJADIAN

Lebih terperinci

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE ANALISIS KEJADIAN CUACA EKSTRIM HUJAN LEBAT DAN ANGIN KENCANG DI SERUI TANGGAL 10 JANUARI 2017 OLEH : EUSEBIO ANDRONIKOS SAMPE, S.Tr NABIRE 2017 ANALISIS KEJADIAN CUACA

Lebih terperinci

ANALISIS POLA DAN INTENSITAS CURAH HUJAN BERDASAKAN DATA OBSERVASI DAN SATELIT TROPICAL RAINFALL MEASURING MISSIONS (TRMM) 3B42 V7 DI MAKASSAR

ANALISIS POLA DAN INTENSITAS CURAH HUJAN BERDASAKAN DATA OBSERVASI DAN SATELIT TROPICAL RAINFALL MEASURING MISSIONS (TRMM) 3B42 V7 DI MAKASSAR JURNAL SAINS DAN PENDIDIKAN FISIKA (JSPF) Jilid Nomor, April 205 ISSN 858-330X ANALISIS POLA DAN INTENSITAS CURAH HUJAN BERDASAKAN DATA OBSERVASI DAN SATELIT TROPICAL RAINFALL MEASURING MISSIONS (TRMM)

Lebih terperinci

Hubungan Suhu Muka Laut Perairan Sebelah Barat Sumatera Terhadap Variabilitas Musim Di Wilayah Zona Musim Sumatera Barat

Hubungan Suhu Muka Laut Perairan Sebelah Barat Sumatera Terhadap Variabilitas Musim Di Wilayah Zona Musim Sumatera Barat 1 Hubungan Suhu Muka Laut Perairan Sebelah Barat Sumatera Terhadap Variabilitas Musim Di Wilayah Zona Musim Sumatera Barat Diyas Dwi Erdinno NPT. 13.10.2291 Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi Dan Geofisika,

Lebih terperinci

MINI RISET METEOROLOGI DAN KLIMATOLOGI PERHITUNGAN CURAH HUJAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE

MINI RISET METEOROLOGI DAN KLIMATOLOGI PERHITUNGAN CURAH HUJAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE MINI RISET METEOROLOGI DAN KLIMATOLOGI PERHITUNGAN CURAH HUJAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE DISUSUN OLEH : Nama : Winda Novita Sari Br Ginting Nim : 317331050 Kelas : B Jurusan : Pendidikan Geografi PEDIDIKAN

Lebih terperinci

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu

Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu Analisis Karakteristik Intensitas Curah Hujan di Kota Bengkulu Arif Ismul Hadi, Suwarsono dan Herliana Abstrak: Penelitian bertujuan untuk memperoleh gambaran siklus bulanan dan tahunan curah hujan maksimum

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 IDENTIFIKASI CUACA STASIUN TERKAIT METEOROLOGI

Lebih terperinci

Iklim / Climate BAB II IKLIM. Climate. Berau Dalam Angka 2013 Page 11

Iklim / Climate BAB II IKLIM. Climate. Berau Dalam Angka 2013 Page 11 BAB II IKLIM Climate Berau Dalam Angka 2013 Page 11 Beraua dalam Angka 2013 Page 12 Kondisi iklim di Berau sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim di Samudra Pasifik. Secara umum iklim akan dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG Pengaruh Fenomena La-Nina terhadap SPL Feny Arafah PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG 1) Feny Arafah 1) Dosen Prodi. Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

Klasifikasi Iklim. Klimatologi. Meteorology for better life

Klasifikasi Iklim. Klimatologi. Meteorology for better life Klasifikasi Iklim Klimatologi Klasifikasi?? Unsur-unsur iklim tidak berdiri sendiri tetapi saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Terdapat kecenderungan dan pola yang serupa apabila faktor utama

Lebih terperinci

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN

KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA. Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES. Abstrak PENDAHULUAN KARAKTER CURAH HUJAN DI INDONESIA Tukidi Jurusan Geografi FIS UNNES Abstrak Kondisi fisiografis wilayah Indonesia dan sekitarnya, seperti posisi lintang, ketinggian, pola angin (angin pasat dan monsun),

Lebih terperinci

ANALISA KETERSEDIAAN AIR

ANALISA KETERSEDIAAN AIR ANALISA KETERSEDIAAN AIR 3.1 UMUM Maksud dari kuliah ini adalah untuk mengkaji kondisi hidrologi suatu Wilayah Sungai yang yang berada dalam sauatu wilayah studi khususnya menyangkut ketersediaan airnya.

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISA DINAMIKA STASIUN ATMOSFER METEOROLOGI

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI. Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT. Nohanamian Tambun

TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI. Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT. Nohanamian Tambun TUGAS AKHIR PERHITUNGAN DEBIT ANDALAN SEBAGAI SUMBER AIR BERSIH PDAM JAYAPURA Dosen Pembimbing : Dr. Ali Masduqi, ST. MT Nohanamian Tambun 3306 100 018 Latar Belakang Pembangunan yang semakin berkembang

Lebih terperinci

seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.

seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan. Global Warming Pemanasan global adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut, dan daratan Bumi. Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 C (1.33 ± 0.32 F)

Lebih terperinci

Geografi. Kelas X ATMOSFER IV KTSP & K-13. I. Angin 1. Proses Terjadinya Angin

Geografi. Kelas X ATMOSFER IV KTSP & K-13. I. Angin 1. Proses Terjadinya Angin KTSP & K-13 Kelas X Geografi ATMOSFER IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan untuk memahami proses terjadinya angin dan memahami jenis-jenis angin tetap

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ). KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

MEKANISME HUJAN HARIAN DI SUMATERA

MEKANISME HUJAN HARIAN DI SUMATERA MEKANISME HUJAN HARIAN DI SUMATERA Erma Yulihastin Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, LAPAN e-mail: erma@bdg.lapan.go.id; erma.yulihastin@gmail.com RINGKASAN Makalah ini mengulas hasil

Lebih terperinci

Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) bagi Kesetimbangan Lingkungan Atmosfer Perkotan

Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) bagi Kesetimbangan Lingkungan Atmosfer Perkotan Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) bagi Kesetimbangan Lingkungan Atmosfer Perkotan bagian 1 : Pendekatan perhitungan Suhu udara, Damping depth dan Diffusivitas thermal Oleh : Pendahuluan Ruang terbuka hijau

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan aset kekayaan yang bukan saja penting bagi bangsa Indonesia, namun juga bagi sebagian penduduk dunia. Keragaman hayati yang tinggi terdapat pada hutan

Lebih terperinci

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA BMKG Jl. Sisingamangaraja BADAN METEOROLOGI No. 1 Nabire Telp. (0984) DAN GEOFISIKA 22559,26169 Fax (0984) 22559 ANALISIS CUACA STASIUN EKSTRIM METEOROLOGI TERKAIT

Lebih terperinci

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

Lebih terperinci

ANALISIS KLIMATOLOGIS CURAH HUJAN EKSTREM DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR TANGGAL NOVEMBER 2017

ANALISIS KLIMATOLOGIS CURAH HUJAN EKSTREM DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR TANGGAL NOVEMBER 2017 ANALISIS KLIMATOLOGIS CURAH HUJAN EKSTREM DI KABUPATEN LOMBOK TIMUR TANGGAL 18-19 NOVEMBER 2017 BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOSFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KELAS I LOMBOK BARAT-NTB NOVEMBER 2017

Lebih terperinci

BAB 2 DATA METEOROLOGI

BAB 2 DATA METEOROLOGI BAB 2 DATA METEOROLOGI CUACA DAN IKLIM Data Meteorologi sangat penting didalam analisa Hidrologi pada suatu daerah aliran, karena meteorologi erat hubungannya dengan karakteristik daerah aliran. Persoalan

Lebih terperinci

KAJIAN TEMPORAL KEKERINGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN KEETCH BYRAM DRYNESS INDEX (KBDI) DI WILAYAH BANJARBARU, BANJARMASIN DAN KOTABARU PERIODE

KAJIAN TEMPORAL KEKERINGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN KEETCH BYRAM DRYNESS INDEX (KBDI) DI WILAYAH BANJARBARU, BANJARMASIN DAN KOTABARU PERIODE KAJIAN TEMPORAL KEKERINGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN KEETCH BYRAM DRYNESS INDEX (KBDI) DI WILAYAH BANJARBARU, BANJARMASIN DAN KOTABARU PERIODE 2005 2013 Herin Hutri Istyarini 1), Sri Cahyo Wahyono 1), Ninis

Lebih terperinci