PEMANFAATAN SERANGGA SEBAGAI BIOINDIKATOR KESEHATAN HUTAN *)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMANFAATAN SERANGGA SEBAGAI BIOINDIKATOR KESEHATAN HUTAN *)"

Transkripsi

1 2003 Shahabuddin Posted 30 October, 2003 Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pascasarjana/S3 Institut Pertanian Bogor Oktober 2003 Dosen : Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab) Prof. Dr. Ir. Zahrial Coto PEMANFAATAN SERANGGA SEBAGAI BIOINDIKATOR KESEHATAN HUTAN *) Oleh : SHAHABUDDIN **) A shahabuddin_slh@yahoo.com Pendahuluan Seiring dengan peningkatan populasi manusia, maka luas lahan yang dibutuhkannya pun semakin meningkat. Pembukaan lahan di dalam hutan adalah salah satu cara yang terpaksa banyak dilakukan oleh berbagai pihak untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini juga dilakukan untuk tujuan lain seperti untuk lahan perkebunan dan industri kayu dan industri lain yang mengatasnamakan pembangunan. Data Forest Watch Indonesia (2001) menyebutkan bahwa Indonesia telah kehilangan hutan seluas 60 juta ha selama rezim Orde Lama. Dengan laju kerusakan hutan 16 juta pertahun berdasarkan perhitungan linear maka hutan Indonesia diperkirakan akan habis paling lambat 2082 tetapi jika menggunakan perhitungan eksponensial maka hal itu bisa saja terjadi pada tahun 2008 (Munggoro, 2002). Konversi hutan yang dilakukan akan menghasilkan suatu struktur lanskap baru atau bahkan bisa menyebabkan terjadinya fragmentasi habitat. Hal ini tidak saja menyebabkan berkurang atau hilangnya vegetasi hutan yang diketahui memiliki peran ekologis yang sangat vital bagi kemaslahatan manusia, seperti sebagai reservoar air, sebagai paru-paru dunia, sebagai habitat berbagai jenis fauna dan fungsi lainnya, tetapi *) Makalah individual, sebagai salah satu tugas mata kuliah Falsafah Sains **) Mahasiswa Program Pascasarjana IPB, PS. ENTOMOLOGI 1

2 juga mengakibatkan berkurang atau hilangnya spesies hewan yang hidup dihabitat tersebut. Jika laju laju kehilangan hutan di Indonesia adalah 1,6 juta hektar pertahun dan disumsikan bahwa pada setiap pohon ada 10 jenis serangga (sebagaimana diusulkan oleh Gaston, 1994), maka dapat dibayangkan berapa spesies serangga yang ikut hilang bersamaan dengan hilangnya hutan yang menjadi habitat mereka. Untuk mengetahui bagaimana kondisi hutan pada suatu lokasi apakah masih sehat atau tidak sehat lagi, maka perlu dikembangkan early warning system terhadap kondisi hutan tersebut. Beberapa studi terakhir (Davids, 2000,Talvi, 2000, Castillo dan Wagner, 2002, McGeoch, 1998 & 2002) menunjukkan bahwa serangga memperlihatkan respons yang mengindikasikan tingkat kerusakan hutan yang menjadi habitatnya. Dengan sifat demikian maka serangga berpotensi untuk menjadi bioindikator atas kondisi kesehatan hutan. Potensi serangga sebagai spesies indikator Serangga menyusun sekitar 64 % ( spesies) dari total spesies flora dan fauna yang diperkirakan ada dibumi ini (Grombridge, 1992). Dengan jumlah spesies dan individu yang begitu besar maka serangga memegang peranan yang sangat penting dalam suatu ekosistem. Diantara peran tersebut adalah : herbivori, predasi, parasitisme, dekomposisi, penyerbukan, dan sebagainya (Speight et.al., 1999). Selain peranan tersebut serangga juga telah digunakan sebagai spesies indikator. Penggunaan bioindikator akhir-akhir ini dirasakan semakin penting dengan tujuan utama untuk menggambarkan adanya keterkaitan dengan kondisi faktor biotik dan abiotik lingkungan. Pentingya penentuan dan pemanfaatan serangga sebagai indikator serta pengujian hipotesis dalam menominasikan suatu spesies atau kelompok serangga tertentu sebagai sutu bioindikator telah dibahas oleh McGeoch (1998). Menurutnya, bioindikator atau indikator ekologis adalah taksa atau kelompok organsime yang sensitif terhadap dan memperlihatkan gejala terpengaruh terhadap tekanan lingkungan akibat aktifitas manusia atau akibat kerusakan sistem biotik (oleh gangguan alam-pen). Beberapa kriteria umum untuk menggunakan suatu jenis organisme, sebagai bioindikator adalah (Pearson, 1994) : 1) Secara taksonomi telah stabil dan cukup diketahui 2

3 2) Sejarah alamiah nya diketahui 3) Siap dan mudah disuryei dan dimanipulasi 4) Taksa yang lebih tinggi terdistribusi secara luas pada berbagai tipe habitat 5) Taksa yang lebih rendah spesialist dan sensitif terhadap perubahan habitat. 6) Pola keanekaragaman mengambarkan atau terkait dengan taksa lainnya yang berkerabat atau tidak. 7) Memiliki potensi ekonomi yang penting. Beberapa kriteria diatas dapat digunakan untuk kelompok serangga tertentu tetapi beberapa diantaranya tidak dapat dipakai khususnya bagi serangga yang ada di hutan-hutan tropis, seperti kriteria stabil dan cukup diketahui secara taksonomi, demikian juga untuk kriteria penting secara ekonomi. Terlepas dari kelemahan atas kriteria tersebut, secara umum serangga memiliki kelebihan dan kekurangan dalam studi bioindikator dan biomonitoring. Beberapa kelebihan tersebut adalah : 1) Jumlahnya yang sangat melimpah, sehingga memudahkan dalam menghitung keanekaragamnnya. 2) Sering menunjukkan aktifitas yang bermodus (univoltin, partivoltin atau bivoltin), sehingga populasinya dari tahun-ketahun bereaksi dengan cepat terhadap perubahan lingkungan 3) Umumnya bersifat lokal dan kebanyakan diantaranya cocok untuk pemantauan habitat, sehingga dapat dilakukan dapat diranking secara kuantitatif 4) Dapat dimonitor dengan metode sampling perangkap pasif, sehingga lebih ekonomis dibandingkan metode monitor secara biologis lainnya. Pentingnya penggunaan organisme bioindikator untuk mengetahui kondisi hutan ditekankan misalnya oleh Speight dan Wylie (2001) yang mengemukakan bahwa pada hutan konservasi, penting dilakukan deteksi dini terhadap setiap faktor biotik dan abiotik yang dalam jangka panjang akan mempengaruhi kesehatan dan vitalitas hutan dan faktor-faktor (termasuk organisme bioindikator-penulis) yang dapat mengindikasikan tingkat kerusakan hutan. Serangga sebagai bioindikator kerusahakan hutan dan metode pengukurannya 3

4 Penggunaan serangga sebagai bioindikator kondisi lingkungan atau eksosisitem yang ditempatinya telah lama dilakukan. Jenis serangga ini mulai banyak diteliti karena bermanfaat untuk mengetahui kondisi kesehatan suatu ekosistem. Serangga akuatik selama ini paling banyak digunakan untuk mengetahui kondisi pencemaran air pada suatu daerah, diantaranya adalah beberapa spesies serangga dari ordo Ephemeroptera,Diptera, Trichoptera dan Plecoptera yang kelimpahan atau kehadirannya mengindikasikan bahwa lingkungan tersebut telah tercemar, karena serangga ini tidak dapat hidup pada habitat yang sudah tercemar (Spellerberg, 1995). Adapun untuk serangga daratan ( terrestrial insect ) studi sejenis telah banyak dilakukan pada berbagai kawasan hutan di berbagai negera termasuk di kawasan hutan tropis. Mengingat banyaknya jenis serangga yang ada dibumi ini, maka studi terhadap serangga bioindikator kondisi hutan lebih banyak difokuskan pada kelompok serangga tertentu. Diantara taksa yang banyak digunakan sebagai biodindikator tersebut adalah family Scarabidae (Halffer & favilla, 1993), Cicindeliadae (Pearson, 1994) dan Carabidae (Castillo and Wagner, 2002) dari ordo Coleoptera, beberapa spesies dari Ordo Hymenoptera dan Lepidoptera (Peck & Campbell, 1998 dan Samways, 1995), serta serangga dari kelompok rayap atau Isoptera (Jones and Eggleton, 2000). Alfaro dan Singh (1997) melaporkan bahwa kelimpahan invertebrata (yang didominasi oleh serangga) pada kanopi hutan umumnya lebih tinggi pada hutan-hutan yang belum rusak yang menunjukkan bahwa mereka merupakan bioindikator yang ideal terhadap kesehatan hutan. Hilszczanski (1997) menggunakan keanekaragaman kumbang (Coleoptera) dari kelompok trofik yang berbeda sebagai indikator atas efek jangka panjang aplikasi insektisida pada ekosistem hutan. Culotta (1996, dalam Alfaro & Singh, 1997) melaporkan bahwa biodiversitas yang tinggi menyebabkan ekosistem lebih resisten terhadap serangan penyakit dan penyebab kerusakan hutan lainnya yang menurunkan produktitas primer ekosistem. Sebaliknya, kehilangan biodiversitas menyebabkan tidak stabilnya ekosistem hutan. Vitalnya peran biodiversitas bagi ekosistem hutan didemonstrasikan dengan baik oleh Klein (1989) yang menguji peran kumbang pupuk (Coleoptera : Scarabinae) terhadap dekomposisi kotoran hewan pada habitat yang berbeda (hutan alami, hutan terfragmentasi dan padang rumput (bekas tebangan hutan) di Sentral Amazon. Terungkap bahwa laju penguraian kotoran hewan menurun sekitar 60 % dari hutan 4

5 alami ke padang rumput. Meskipun kelimpahan kumbang pupuk pada ketiga habitat tersebut tidak berbeda nyata namun terjadi penurunan sekitar 80 % jumlah spesies kumbang pupuk pada padang rumput. Hal ini menegaskan bahwa setiap spesies kumbang pupuk memegang peran fungsional yang melengkapi atau berbeda dengan peran spesies lainnya yang berarti semakin tinggi biodiversitas kumbang pupuk (dan serangga) lainnya maka kestabilan ekosistem hutan semakin mantap. Kumbang pupuk banyak digunakan dalam studi bioindikator terhadap tingkat keruskan hutan karena mereka memiliki peran ekologis yang penting dalam ekosistem hutan tropis. Kumbang ini bersama dengan serangga lainnya merupakan organisme dekomposer yang sangat penting, sehingga menentukan ketersediaan unsur hara bagi vegetasi hutan. Mereka juga terlibat dalam penyebaran biji-biji tumbuhan dan pengendalian parasite vertebrata (dengan menghilangkan sumber infeksi). Distribusi lokal dari kumbang pupuk sangat dipengaruhi oleh tingkat naungan vegetasi dan tipe tanah. Selain itu struktur fisik habitat menjadi faktor penting yang mempengaruhi komposisi dan distribusi kumbang pupuk (Davis et al. 2001). Oleh karena itu kelompok serangga ini merupakan indikator yang berguna untuk menggambarkan perbedaan struktur (bentuk arsitek, abiotik) antara habitat. Jadi berbeda dengan serangga lainnya yang menggambarkan perbedaan floristik (komposisi spesies, biotik) suatu habitat melalui spesialisasi herbivori (seperti pada ngnegat dan kupu-kupu). Sejumlah studi telah menggunakan kumbang pupuk sebagai indikator tingkat kerusakan lingkungan terhadap keragaman dan struktur hutan (Klein 1989, Nummelin & Hanski 1989, Davis & Sutton, 1998, Davis et al. 2001). Beberapa pertimbangan untuk menggunakan kumbang pupuk sebagai indikator kerusakan lingkungan telah diungkapkan oleh Halffler & Favila (1993). Studi tentang kumbang pupuk di Indonesia pertama kali dan mungkin satusatunya telah dilakukan oleh Hanski & Niemela (1990) di Sulawesi Utara. Meskipun demikian penelitian tersebut tidak mengungkapkan efek intensitas penggunaan lahan terhadap struktur komunitas kumbang pupuk. Studi awal oleh Shahabuddin et al. (submitted ) menunjukkan adanya pengaruh tata guna lahan terhadap keanekaragaman kumbang pupuk pada pinggiran hutan yang terletak di dataran tinggi (diatas 100 mdpl). Ditemukan adanya indikasi bahwa spesies kumbang pupuk tertentu dari genus Onthopagus relatif toleran terhadap adanya 5

6 kerusakan habitat sehingga potensil diusulkan sebagai salah satu spesies indikator. Meskipun demikian hal masih perlu dilaji lebih jauh terutama dengan melakukan penelitian yang sejenis pada hutan hujan tropis di dataran rendah. Hal ini sesuai dengan Weaver (1995) bahwa untuk melihat sejauh mana potensi suatu organisme sebagai bioindikator diperlukan pengambilan sampel secara berulang pada kondisi lingkungan yang sama tetapi pada tempat dan musim yang berbeda. Pemanfaatan kumbang pupuk sebagai bioindikator kualitas habitat dan perubahan lingkungan serta metode evaluasinya, telah semakin berkembang seperti yang dilaporkan oleh Mc.Geoch et. al. (2002). Untuk mengukur efektifitas suatu organisme sebagai bioindikator dapat digunakan mereka mengusulkan menggunakan metode nilai bioindikator (indicator value) yang disingkat dengan metode IndVal. Metode Nilai Indikator menggabungkan antara tingkat spesifisitas suatu spesies terhadap suatu kondisi ekologis, seperti tipe habitat, dan fidelitas atau keeratan hubungannya dengan kondisi tersebut (Dufrene & Legendre 1997). Metode ini mengelompokkan spesies yang ada pada suatu habitat menjadi spesies indikator jika spesies tersebut menempati posisi yang khas (karakteristik) pada habitat tersebut ( spesifisitas dan fidelitas tinggi). Spesies yang menempati kombinasi lain dari spesifisitas juga dapat berguna sebagai indikator, misalnya spesies detektor. (Gambar 1). Spesies yang tinggi spesifisitas dan fidelitasnya dengan suatu habitat merupakan spesies yang memiliki nilai indikator yang paling tinggi (Gambar 1). Fidelitas yang tinggi (frekuensi kehadiran) suatu spesies sepanjang lokasi sampling umunnya berhubungan dengan kelimpahan yang tinggi dari individu-individu spesies tersebut. Spesifisitas Rendah Sedang Tinggi Fidelitas Rendah Sedang Tinggi Spesies Tetap ( rural ) Spesies rentan ( Vulnerable ) Indicator Spesies detektor Spesies Petualang ( tramp ) Indikator Spesies karakteristik Gambar 1. Pengelompokan spesies indikator berdasarkan tingkat spesifisitas dan fidelitasnya terhadap suatu lingkungan (McGeoch et. al., 2002). 6

7 Kedua karakter ini (fidelitas dan spesifisitas) mempermudah metode pencuplikan dan monitoring, yang merupakan persyaratan penting untuk suatu bioindikator yang bermanfaat. Metode IndVal memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan dengan metode pengukuran lainnya. Misalnya metode ini dihitung secara terpisah untuk tiap spesies dan tidak ada restriksi cara dalam kategorisasi habitat. Selain itu metode ini tetap mempertahankan nilai indikator yang tinggi dan signifikan jika diuji pada lokasi dan waktu yang berbeda. Hal ini penting karena kelimpahan suatu spesies (berarti juga fidelitasnya) dalam suatu kelompok dapat bervariasi sepanjang waktu baik karena perubahan musim dan cuaca maupun karena adanya perubahan lingkungan yang disebabkan oleh aktifitas manusia. Untuk keperluan monitoring perubahan lingkungan, spesies yang range status ekologinya luas (spesifisitasnya rendah) lebih berguna sebagai indikator terhadap arah perubahan lingkungan daripada spesies yang spesifisitasnya tinggi (terbatas pada habitat tertentu). Spesies detektor, spesies yang spesifisitasnya sedang, lebih berguna untuk memantau perubahan, karena mereka memiliki tingkat preferensi yang berbeda terhadap suatu status ekologis. Perubahan relatif dari kelimpahannya sepanjang status ekologis mengindikasikan arah perubahan lingkungan yang terjadi. Spesies-spesies ini juga lebih rentan (vulnerable) dibandingkan dengan spesies indikator, karena variasi habitat atau status ekologis menyediakan sumber daya yang cocok bagi mereka. Hasil study McGeoch et al. (2002) yang menggunakan kumbang pupuk sebagai bioindikator menunjukkan bahwa walaupun tidak ditemukan adanya pebedaan kelimpahan dan kekayaan spesies kumbang pupuk yang signifikan antara hutan yang masih alami dengan hutan yang sudah rusak tetapi terjadi pengelompokan yang unik dari tiap-tiap spesies indikator dengan menggunakan metode Ind.Val. Hal ini mengindikasikan pentingnya suatu pendekatan bioindikator untuk pemantauan ekologis dibandingkan dengan hanya menggunakan pendekatan indeks keanekaragaman yang tidak mempertimbangkan identitas suatu spesies. Penutup 7

8 Konversi hutan menjadi lahan pertanian dan peruntukan lainnya, tidak saja menyebabkan rusaknya vegetasi penyusun hutan tersebut, tetapi juga berpengaruh negatif terhadap serangga yang berasosiasi dengannya. Sejumlah kelompok serangga seperti kumbang (terutama kumbang pupuk), semut, kupu-kupu dan rayap memberikan respons yang khas terhadap tingkat kerusakan hutan sehingga memiliki potensi sebagai spesies indikator untuk mendeteksi perubahan lingkungan akibat konversi hutan oleh manusia yang sekaligus menjadi indikator kesehatan hutan. Penggunaan konsep spesies indikator memerlukan pengembangan metode pengukuran yang valid dan metode IndVal adalah salah satu metode yang memiliki keunggulan dibanding metode lainnya. Pendekatan bioindikator untuk pemantauan ekologis memberikan informasi yang lebih akurat dibandingkan dengan hanya menggunakan pendekatan indeks keanekaragaman yang tidak mempertimbangkan identitas suatu spesies. PUSTAKA Alfaro, R.I., & Singh, P Forest Health Management : A Changing Persfective. Procedings of XI Word forestry congress. Antalya, Turkey, 13 to 22 October Vol. 5. Also availiable at Castillo, J.V., & Wagner, M.F., Ground Beetle (Coleoptera:Carabidae) Species Assemblage as an Indicator of Forest Condition in Northern Arizona Panderosa Pine Forests. Eniromental Entomologi, 31 (2) Davis, A.J., Does Reduced-Impact Logging Help Preserve Biodiversity in Tropocal Rainforests? A Case Study from Borneo Using Dung Beetles (Coleoptera: Scarabaeoidae) as Indicators. Environmental Entomology 29 (3) : Davis, A.J. & S.L. Sutton The effects of rainforest canopy loss on arboreal dung beetles in Borneo: implications for the measurement of biodiversity in derived tropical ecosystems. Divers. Distrib. 4: Davis, A.J., Holloway, J.D., Huijbregts, H., Krikken, J., Kirk-Spriggs, A.H. & S. Sutton Dung beetles as indicators of change in the forests of Northern Borneo. J. Appl. Ecol. 38: Dufrene, M & Legendre, P Species assemblages and indicator species : the need for a flexible asymmetrical approacch. Ecological Monographs 67 : Halffter, G. & M.E. Favila The Scarabaeinae (Coleoptera): an animal group for analysing, inventorying and monitoring biodiversity in tropical rainforest and modified landscapes. Biol. Internat. 27: Hilszczanski, Jacek Long-term effect of insecticides used in nun moth (Lymantrya monacha L.) control treatments on beetles from different trophic 8

9 groups. Proceedings, XI World Forestry Congress. Antalya, Turkey. FAO Report. Also availiable at Jones T.J., & Eggleton. P Sampling termite assemblages in tropical forests : testing a rapid biodiversity assesment protocol. Journal of Applied Ecology, 37, Klein, B.C Effects of forest fragmentation on dung and carrion beetle communities in Central Amazonia. Ecology, 70: Munggoro, D.W., dan Novi, A., Tatanan Kehutanan Majemuk : Redistribusi Kekayaan Alam Nusantara. Jurnal KF Seri Kajiaj Komuniti Forestri, Seri 6 tahun V : Desember: Moffat, A.S Biodiversity is a boon to ecosystems, not species. Science 271: McGeoch, M. (1998). The selection, testing and application of terrestrial insects as bioindicators. Biological Reviews, 73, McGeoch, M., Van Rensburg, B.J. & A. Botes The verification and application of bioindicators: a case study of dung beetles in a savanna ecosystem. J. Appl. Ecol. 39: Nummelin, M. & I. Hanski Dung beetles of the Kibale Forest, Uganda: a comparison between virgin and managed forests. J. Trop. Ecol. 5: Peck SL, McQuaid B & Campbell CL Using ant species (Hymenoptera: Formicidae) as a biological indicator of agroecosystem condition. J. Entomol. Soci. America. 27: Pearson, D.L Selecting indicator taxa for the quantitative assessment of biodiversity. Philosophical Transaction of the Royal Society of London, Series B : Biological Sciences, 345 : Samways MJ Insect Conservation Biology. Chapman & Hall, London. Pp Shahabuddin, Schulze C.H., Tscharntke, T., submitted. Changes of dung beetles communities from rainforests towards agroforestry systems and annual cultures. Speight, M.R., Hunter, M.D., Watt, A.D., Ecology of Insects, Consepts and Applications.Blackwell Science,Ltd Speight M.R., & Wylie, F.R., Insect Pests in Tropical Forestry. CABI Publishing, Spellerberg, I.F Monitoring ecological change. Cambridge University Press. Cambridge. UK, Gaston, K.J Spatial patterns of species description how is our knowledge of the global insect fauna growing. Biological Conservation, 67 : Talvi, T., Insects as a tool in environmental monitoring in the Vidumae nature reserve, Ectonia. Source : www. Krnap.c2/krnap/aktovity/oi/workhops/presentations/talvi.html Hanski, I. & J. Niemela Elevational distributions of dung and carrion beetles in Northern Sulawesi. Pp in Knight, W.J. & J.D. Holloway (eds.). Insects and the rain forests of South East Asia (Wallacea). Royal Entomological Society of London, London Weaver, J.C Indicator species and scale of observation. Conservation Biology, 9,

I. PENDAHULUAN. Deforestasi hutan tropis dan konversi hutan menjadi sistem penggunaan

I. PENDAHULUAN. Deforestasi hutan tropis dan konversi hutan menjadi sistem penggunaan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Deforestasi hutan tropis dan konversi hutan menjadi sistem penggunaan lahan lainnya merupakan salah satu alasan penting terhadap hilangnya keanekaragaman hayati (Beck

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Serangga merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariannya dari kepunahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Serangga merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariannya dari kepunahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Serangga merupakan bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariannya dari kepunahan maupun penurunan ragam jenisnya. Serangga memiliki beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya

BAB I PENDAHULUAN. memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai negara tropis yang dilalui garis ekuator terpanjang, Indonesia memiliki sebaran jenis serangga yang unik. Selain jenis-jenis yang sebarannya tersebar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional,

I. PENDAHULUAN. Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkebunan memiliki peran yang penting dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan sektor pertanian. Perkebunan juga berperan dalam membangun perekonomian nasional,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengelolaan sumberdaya hutan dalam dasawarsa terakhir dihadapkan pada gangguan akibat beragam aktivitas manusia, sehingga mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anggapan ini terbentuk berdasarkan observasi para ahli akan keanekaragamannya

BAB I PENDAHULUAN. Anggapan ini terbentuk berdasarkan observasi para ahli akan keanekaragamannya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan tropis adalah maha karya kekayaaan species terbesar di dunia. Anggapan ini terbentuk berdasarkan observasi para ahli akan keanekaragamannya flora dan faunanya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya tarik tinggi baik untuk koleksi maupun objek penelitian adalah serangga

BAB I PENDAHULUAN. daya tarik tinggi baik untuk koleksi maupun objek penelitian adalah serangga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan kekayaan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang tinggi. Salah satu kekayaan fauna di Indonesia yang memiliki daya tarik tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007)

BAB I PENDAHULUAN. lainnnya yang tersebar luas dari Sabang sampai Merauke. Menurut Ummi (2007) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati nomor dua di dunia yang memiliki keanekaragaman flora, fauna, dan berbagai kekayaan alam lainnnya yang tersebar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi sebagai ecosystem engineer (Keller & Gordon, 2009) atau juga soil

BAB I PENDAHULUAN. berfungsi sebagai ecosystem engineer (Keller & Gordon, 2009) atau juga soil BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semut adalah serangga yang memiliki keanekaragaman cukup tinggi. Seluruh anggota semut masuk dalam anggota Famili Formicidae. Keberadaan serangga ini sangat melimpah

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Hutan tropis ini merupakan habitat flora dan fauna (Syarifuddin, 2011). Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bogor merupakan kota yang terus berkembang serta mengalami peningkatan jumlah penduduk dan luas lahan terbangun sehingga menyebabkan terjadinya penurunan luas

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

EVALUASI PENERAPAN PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.

EVALUASI PENERAPAN PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. KARYA TULIS EVALUASI PENERAPAN PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. 132296512 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATRA

Lebih terperinci

JENIS-JENIS KUMBANG TINJA (COLEOPTERA: SCARABAEIDAE) DI GUNUNG SINGGALANG SKRIPSI SARJANA BIOLOGI OLEH : MARDONI B.P

JENIS-JENIS KUMBANG TINJA (COLEOPTERA: SCARABAEIDAE) DI GUNUNG SINGGALANG SKRIPSI SARJANA BIOLOGI OLEH : MARDONI B.P JENIS-JENIS KUMBANG TINJA (COLEOPTERA: SCARABAEIDAE) DI GUNUNG SINGGALANG SKRIPSI SARJANA BIOLOGI OLEH : MARDONI B.P. 04 133 044 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN. migran. World Conservation Monitoring Centre (1994) menyebutkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Burung adalah salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Sukmantoro dkk. (2007) mencatat 1.598 spesies burung yang dapat ditemukan di wilayah Indonesia.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dampak penambangan yang paling serius dan luas adalah degradasi, kualitas

I. PENDAHULUAN. Dampak penambangan yang paling serius dan luas adalah degradasi, kualitas I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan kegiatan penambangan telah meningkatkan isu kerusakan lingkungan dan konsekuensi serius terhadap lingkungan lokal maupun global. Dampak penambangan yang paling

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Biodiversitas Biodiversitas mencakup keseluruhan ekosistem. Konsep tersebut mencoba untuk menekan variasi habitat yang diterapkan pada suatu area. Biodiversitas meliputi

Lebih terperinci

Diversity Of Dung Bettle In Cow s Faecal On Kawasan Konservasi Taman Hutan Raya Rajolelo (TAHURA) Bengkulu

Diversity Of Dung Bettle In Cow s Faecal On Kawasan Konservasi Taman Hutan Raya Rajolelo (TAHURA) Bengkulu Jurnal Gradien Vol. 11 No. 2 Juli 2015: 1133-1137 Diversity Of Dung Bettle In Cow s Faecal On Kawasan Konservasi Taman Hutan Raya Rajolelo (TAHURA) Bengkulu Helmiyetti, S. Manaf. dan Dewi A.S Jurusan Biologi,

Lebih terperinci

DEGRADASI DAN REHABILITASI HUTAN TROPIKA BASAH (KAJIAN FALSAFAH SAINS) PAPER INDIVIDU MATA AJARAN PENGANTAR FALSAFAH SAINS OLEH PRIJANTO PAMOENGKAS

DEGRADASI DAN REHABILITASI HUTAN TROPIKA BASAH (KAJIAN FALSAFAH SAINS) PAPER INDIVIDU MATA AJARAN PENGANTAR FALSAFAH SAINS OLEH PRIJANTO PAMOENGKAS DEGRADASI DAN REHABILITASI HUTAN TROPIKA BASAH (KAJIAN FALSAFAH SAINS) PAPER INDIVIDU MATA AJARAN PENGANTAR FALSAFAH SAINS OLEH PRIJANTO PAMOENGKAS IPK 14600003 PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BIODIVERSITAS 3/31/2014. Keanekaragaman Hayati (Biodiversity) "Ragam spesies yang berbeda (species diversity),

BIODIVERSITAS 3/31/2014. Keanekaragaman Hayati (Biodiversity) Ragam spesies yang berbeda (species diversity), BIODIVERSITAS (Biodiversity) Biodiversity: "variasi kehidupan di semua tingkat organisasi biologis" Biodiversity (yang digunakan oleh ahli ekologi): "totalitas gen, spesies, dan ekosistem suatu daerah".

Lebih terperinci

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN

GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN GARIS-GARIS BESAR PROGRAM PENGAJARAN JUDUL MATA KULIAH : Ilmu Hama Hutan NOMOR KODE/SKS : SVK 332/ 3(2-3) DESKRIPSI PERKULIAHAN : Hama merupakan bagian dari silvikultur yang mempelajari mengenai binatang

Lebih terperinci

Jenis-Jenis Kumbang Tinja (Coleoptera: Scarabaeidae) di Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi (HPPB) Universitas Andalas, Padang

Jenis-Jenis Kumbang Tinja (Coleoptera: Scarabaeidae) di Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi (HPPB) Universitas Andalas, Padang Jenis-Jenis Kumbang Tinja (Coleoptera: Scarabaeidae) di Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi (HPPB) Universitas Andalas, Padang Dung beetle Species (Coleoptera; Scarabaeidae) at the Educational and

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara disebut Mega Biodiversity setelah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara disebut Mega Biodiversity setelah 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara disebut Mega Biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Diperkirakan 25% aneka spesies dunia berada di Indonesia (Rahmawaty,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis ix H Tinjauan Mata Kuliah utan tropis yang menjadi pusat biodiversitas dunia merupakan warisan tak ternilai untuk kehidupan manusia, namun sangat disayangkan terjadi kerusakan dengan kecepatan yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan Sekipan merupakan hutan pinus yang memiliki ciri tertentu yang membedakannya dengan hutan yang lainnya. Adapun yang membedakannya dengan hutan yang lainnya yaitu

Lebih terperinci

A. JUDUL Keanekaragaman dan Klasifikasi Makhluk Hidup

A. JUDUL Keanekaragaman dan Klasifikasi Makhluk Hidup A. JUDUL Keanekaragaman dan Klasifikasi Makhluk Hidup B. TUJUAN PRAKTIKUM 1. Menginventarisasi karakter morfologi individu-individu penyusun populasi 2. Melakukan observasi ataupun pengukuran terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan sebagai habitat mamalia semakin berkurang dan terfragmentasi, sehingga semakin menekan kehidupan satwa yang membawa fauna ke arah kepunahan. Luas hutan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

DAMPAK PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING TERHADAP KOMPOSISI TEGAKAN DI HUTAN ALAM TROPIKA MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.

DAMPAK PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING TERHADAP KOMPOSISI TEGAKAN DI HUTAN ALAM TROPIKA MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. KARYA TULIS DAMPAK PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING TERHADAP KOMPOSISI TEGAKAN DI HUTAN ALAM TROPIKA MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. 132296512 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH

ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH viii ABSTRAK DIVERSITAS SERANGGA HUTAN TANAH GAMBUT DI PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman serangga (insecta) dan tumbuhan yang digunakan sebagai habitat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan di Sumatera Utara memiliki luas sekitar 3.742.120 ha atau sekitar 52,20% dari seluruh luas provinsi, luasan kawasan hutan ini sesuai dengan yang termaktub

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati (biological

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang terkaya (mega biodiversity). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004), keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup dari bidang pertanian (Warnadi & Nugraheni, 2012). Sektor pertanian

BAB I PENDAHULUAN. hidup dari bidang pertanian (Warnadi & Nugraheni, 2012). Sektor pertanian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari bidang pertanian (Warnadi & Nugraheni, 2012). Sektor pertanian meliputi subsektor tanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara berkembang yang terus menerus melakukan pembangunan nasional. Dalam mengahadapi era pembangunan global, pelaksanaan pembangunan ekonomi harus

Lebih terperinci

KONSEPSI HUTAN, PENGELOLAAN HUTAN DAN PENERAPANNYA DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI INDONESIA

KONSEPSI HUTAN, PENGELOLAAN HUTAN DAN PENERAPANNYA DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI INDONESIA Hadirin sekalian, penulis berpendapat, beberapa permasalahan besar di muka sangatlah penting untuk diperhatikan dalam pengelolaan hutan, akan tetapi pembahasan terhadap konsep-konsep dasar ilmu kehutanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia salah satu negara disebut Mega Biodiversity setelah Brazil dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia salah satu negara disebut Mega Biodiversity setelah Brazil dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari bidang pertanian (Warnadi & Nugraheni, 2012). Sektor pertanian meliputi subsektor tanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara mega-biodiversity dengan tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara mega-biodiversity dengan tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara mega-biodiversity dengan tingkat keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, ditandai dengan ekosistem, jenis dalam ekosistem, dan plasma nutfah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semut (Hymenoptera: Formicidae) memiliki jumlah jenis dan

BAB I PENDAHULUAN. Semut (Hymenoptera: Formicidae) memiliki jumlah jenis dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semut (Hymenoptera: Formicidae) memiliki jumlah jenis dan populasi yang berlimpah, terdiri dari 16 sub famili, 296 genus dan 15.000 spesies yang telah teridentifikasi

Lebih terperinci

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak

Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Vol. 2 (1): 1 6 Keanekaragaman Jenis dan Pola Distribusi Nepenthes spp di Gunung Semahung Kecamatan Sengah Temila Kabupaten Landak Gustap Baloari 1, Riza Linda 1, Mukarlina 1 1 Program Studi Biologi, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam Ilmu Ekologi dikenal dengan istilah habitat. jenis yang membentuk suatu komunitas. Habitat suatu organisme untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap makhluk hidup dalam kehidupannya memiliki lingkungan kehidupan yang asli atau tempat tinggal yang khas untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang dengan baik

Lebih terperinci

ECOLOGY S ROLE OF DUNG BEETLES AS SECONDARY SEED DISPERSER IN LAMPUNG UNIVERSITY

ECOLOGY S ROLE OF DUNG BEETLES AS SECONDARY SEED DISPERSER IN LAMPUNG UNIVERSITY ECOLOGY S ROLE OF DUNG BEETLES AS SECONDARY SEED DISPERSER IN LAMPUNG UNIVERSITY Bainah Sari Dewi *, dan Ida Pari Purnawan Forestry Department Faculty of Agriculture Lampung University *E-mail: bainahsariwicaksono@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara Mega Biodiversity yang kaya akan keanekaragaman hayati. Menurut Asti, (2010, hlm. 1) bahwa Diperkirakan sekitar 25% aneka spesies di dunia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Revegetasi di Lahan Bekas Tambang Setiadi (2006) menyatakan bahwa model revegetasi dalam rehabilitasi lahan yang terdegradasi terdiri dari beberapa model antara lain restorasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konversi hutan di Pulau Sumatera merupakan ancaman terbesar bagi satwa liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2000, tidak kurang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Jumlah spesies dalam komunitas yang sering disebut kekayaan spesies

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Jumlah spesies dalam komunitas yang sering disebut kekayaan spesies TINJAUAN PUSTAKA Keragaman dan Keanekaragaman Serangga Indeks Keanekaragaman dapat digunakan untuk menyatakan hubungan kelimpahan species dalam komunitas. Keanekaragaman species terdiri dari 2 komponen

Lebih terperinci

BAGAIMANA RAYAP DAPAT DIGUNAKAN SEBAGAI BIOINDIKATOR TEGUH PRIBADI

BAGAIMANA RAYAP DAPAT DIGUNAKAN SEBAGAI BIOINDIKATOR TEGUH PRIBADI BAGAIMANA RAYAP DAPAT DIGUNAKAN SEBAGAI BIOINDIKATOR TEGUH PRIBADI Dosen Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas PGRI Palangkaraya e-mail : tgpribadi@gmail.com ABSTRACT Ecosystem alterations

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENENTUAN BENTUK DAN LUAS PLOT CONTOH OPTIMAL PENGUKURAN KEANEKARAGAMAN SPESIES TUMBUHAN PADA EKOSISTEM HUTAN HUJAN DATARAN RENDAH : STUDI KASUS DI TAMAN NASIONAL KUTAI SANDI KUSUMA SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman hayati (biological diversity atau biodiversity) adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan keragaman ekosistem dan berbagai bentuk serta variabilitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Serangga merupakan makhluk hidup yang mendominasi bumi dan berjumlah lebih kurang setengah dari total spesies tumbuhan dan hewan yang ada di bumi (Ohsawa 2005)

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000

Lebih terperinci

ABSTRACT STRUCTURE AND COMPOSITION OF THE VEGETATION IN HEPANGAN AGROFORESTRY SYSTEM AT GUMAY ULU AREA LAHAT DISTRICT SOUTH SUMATERA

ABSTRACT STRUCTURE AND COMPOSITION OF THE VEGETATION IN HEPANGAN AGROFORESTRY SYSTEM AT GUMAY ULU AREA LAHAT DISTRICT SOUTH SUMATERA ABSTRACT STRUCTURE AND COMPOSITION OF THE VEGETATION IN HEPANGAN AGROFORESTRY SYSTEM AT GUMAY ULU AREA LAHAT DISTRICT SOUTH SUMATERA Allen Adilla Akbar*, Erny Poedjirahajoe**, Lies Rahayu W.F.*** The area

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996)

PENDAHULUAN. Gambar 1 Bange (Macaca tonkeana) (Sumber: Rowe 1996) PENDAHULUAN Latar Belakang Secara biologis, pulau Sulawesi adalah yang paling unik di antara pulaupulau di Indonesia, karena terletak di antara kawasan Wallacea, yaitu kawasan Asia dan Australia, dan memiliki

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999).

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang. sensus atau dengan menggunakan sampel (Nazir,1999). 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Metode penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif, yang merupakan suatu penyelidikan terhadap sejumlah individu, baik secara sensus atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini disebabkan karena Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia berpotensi menjadi pemasok utama biofuel, terutama biodiesel berbasis kelapa sawit ke pasar dunia. Pada tahun 2006, Indonesia memiliki 4,1 juta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dewasa ini, dikenal dua sistem pertanian yaitu pertanian intensif dan

I. PENDAHULUAN. Dewasa ini, dikenal dua sistem pertanian yaitu pertanian intensif dan I. PENDAHULUAN Dewasa ini, dikenal dua sistem pertanian yaitu pertanian intensif dan pertanian organik. Pertanian organik baru berkembang pada awal tahun 1990-an. Menurut Salikin dalam Kusumawardani (2009)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melimpah (Marlinda, 2008). Sektor pertanian di Indonesia merupakan sektor

BAB I PENDAHULUAN. yang melimpah (Marlinda, 2008). Sektor pertanian di Indonesia merupakan sektor 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara agraris karena mempunyai kekayaan alam yang melimpah (Marlinda, 2008). Sektor pertanian di Indonesia merupakan sektor terpenting dalam

Lebih terperinci

Oleh : Sri Wilarso Budi R

Oleh : Sri Wilarso Budi R Annex 2. The Training Modules 1 MODULE PELATIHAN RESTORASI, AGROFORESTRY DAN REHABILITASI HUTAN Oleh : Sri Wilarso Budi R ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Yogyakarta, 15 Mei Penyusun.

KATA PENGANTAR. Yogyakarta, 15 Mei Penyusun. KATA PENGANTAR Proses pembelajaran dewasa ini menuntut adanya peningkatan mutu pendidikan yang dapat ditunjang dengan berbagai sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai, termasuk penciptaan atmosfir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Herlin Nur Fitri, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Herlin Nur Fitri, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Diversitas atau keanekaragaman makhluk hidup termasuk salah satu sumber daya lingkungan dan memberi peranan yang penting dalam kestabilan lingkungan. Semakin tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, setelah Brazil (Anonimus, 2009). Brazil merupakan salah satu negara dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1)

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia terletak di daerah beriklim tropis sehingga memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Menurut Suhartini (2009, h.1) Indonesia menjadi salah

Lebih terperinci

STUDI HUTAN KOTA SEBAGAI PENYEDIA JASA LINGKUNGAN PADA MUSIM HUJAN DI KOTA MALANG

STUDI HUTAN KOTA SEBAGAI PENYEDIA JASA LINGKUNGAN PADA MUSIM HUJAN DI KOTA MALANG 468 Jurnal Produksi Tanaman Vol. 5 No. 3, Maret 2017: 468 474 ISSN: 2527-8452 STUDI HUTAN KOTA SEBAGAI PENYEDIA JASA LINGKUNGAN PADA MUSIM HUJAN DI KOTA MALANG STUDY OF URBAN FOREST AS URBAN ECOSYSTEM

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang

Lebih terperinci

PENGELOLAAN HAMA TERPADU (PHT)

PENGELOLAAN HAMA TERPADU (PHT) OVERVIEW : PENGELOLAAN HAMA TERPADU (PHT) Oleh Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fak. Pertanian Univ. Brawijaya Apakah PHT itu itu?? Hakekat PHT PHT merupakan suatu cara pendekatan atau cara berpikir

Lebih terperinci

EKOLOGI KUANTITATIF KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO. Disusun oleh : RIZKI KURNIA TOHIR E

EKOLOGI KUANTITATIF KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO. Disusun oleh : RIZKI KURNIA TOHIR E EKOLOGI KUANTITATIF KOMUNITAS AMFIBI DI BEBERAPA SUNGAI PADA SUAKA MARGASATWA NANTU PROVINSI GORONTALO Disusun oleh : RIZKI KURNIA TOHIR E34120028 Dosen : Dr Ir Agus Priyono Kartono, M.Si KONSERVASI BIODIVERSITAS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem laut merupakan suatu kumpulan integral dari berbagai komponen abiotik (fisika-kimia) dan biotik (organisme hidup) yang berkaitan satu sama lain dan saling berinteraksi

Lebih terperinci

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR

STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR STUDI KEANEKARAGAMAN JENIS KANTONG SEMAR (Nepenthes spp) DI KAWASAN KONSERVASI RUMAH PELANGI DUSUN GUNUNG BENUAH KECAMATAN SUNGAI AMBAWANG KABUPATEN KUBU RAYA Diversity Study of Kantong Semar Plants (Nepenthes

Lebih terperinci

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS

ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KOMUNITAS ASAS- ASAS DAN KONSEP KONSEP TENTANG ORGANISASI PADA TARAF KOMUNITAS KONSEP KOMUNITAS BIOTIK Komunitas biotik adalah kumpulan populasi yang menempati suatu habitat dan terorganisasi sedemikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mendapat sebutan Mega Biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Diperkirakan 25% aneka spesies dunia berada di Indonesia,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari

I. PENDAHULUAN. memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Serangga (Kelas Insekta) merupakan kelompok makhluk hidup yang memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di dunia, jumlahnya lebih dari separuh jumlah spesies makhluk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satwa liar mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk kepentingan keseimbangan ekosistem, ekonomi, maupun sosial budaya (Alikodra, 2002).

Lebih terperinci

BAB X. PENGELOLAAN EKOSISTEM HUTAN BERBASIS EKOLOGI

BAB X. PENGELOLAAN EKOSISTEM HUTAN BERBASIS EKOLOGI BAB X. PENGELOLAAN EKOSISTEM HUTAN BERBASIS EKOLOGI A. Pendahuluan Daya tarik ekosistem dan lingkungan dunia memberikan isyarat dan tantangan, dan membujuk jiwa yang selalu mau menguasainya tanpa henti,

Lebih terperinci

RUANG LINGKUP EKOLOGI

RUANG LINGKUP EKOLOGI EKOLOGI TEMA 1 RUANG LINGKUP EKOLOGI Program Studi Tadris Biologi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri Jember A. Pengertian & Ruang Lingkup Ekologi Ekologi adalah ilmu yang mempelajari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kawasan hutan hujan tropis dengan tingkat keanekaragaman yang tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan kawasan pelestarian alam

Lebih terperinci

STUDI KEANEKARAGAMAN DUNG BEETLE (Dung beetle) DI UNIVERSITAS LAMPUNG. Bainah Sari Dewi

STUDI KEANEKARAGAMAN DUNG BEETLE (Dung beetle) DI UNIVERSITAS LAMPUNG. Bainah Sari Dewi 9-0 November 0 STUDI KEANEKARAGAMAN DUNG BEETLE (Dung beetle) DI UNIVERSITAS LAMPUNG Bainah Sari Dewi Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian, Universitas Lampung Jl Sumantri Brojonegoro No Gedung Meneng

Lebih terperinci

ABSTRACT PENDAHULUAN METODE PENELITIAN STRUKTUR DAN KOMPOSISI POHON PADA BERBAGAI TINGKAT GANGGUAN HUTAN 01 GUNUNG SALAK, JAWA BARAT

ABSTRACT PENDAHULUAN METODE PENELITIAN STRUKTUR DAN KOMPOSISI POHON PADA BERBAGAI TINGKAT GANGGUAN HUTAN 01 GUNUNG SALAK, JAWA BARAT Eugenia 13 (4) Oktober 2007 STRUKTUR DAN KOMPOSISI POHON PADA BERBAGAI TINGKAT GANGGUAN HUTAN 01 GUNUNG SALAK, JAWA BARAT Roni Konerj11*, Oedy Ouryadi Solihin21, Oamayanti Buchorj31," dan Rudi Tarumingkeng4)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu dari tipe ekosistem yang ada di dunia dan dicirikan melalui suatu liputan hutan yang cenderung selalu hijau disepanjang musim.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan,

BAB I PENDAHULUAN. seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tanaman cenderung identik dengan tanaman yang seragam dan seumur. Namun, di dalam hutan tanaman terdapat faktor yang sering dilupakan, yang memiliki peran yang

Lebih terperinci

Oleh. Firmansyah Gusasi

Oleh. Firmansyah Gusasi ANALISIS FUNGSI EKOLOGI HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN GORONTALO UTARA JURNAL Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Menempuh Ujian Sarjana Pendidikan Biologi Pada Fakultas Matematika

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

Menurut Borroret al (1992) serangga berperan sebagai detrivor ketika serangga memakan bahan organik yang membusuk dan penghancur sisa tumbuhan.

Menurut Borroret al (1992) serangga berperan sebagai detrivor ketika serangga memakan bahan organik yang membusuk dan penghancur sisa tumbuhan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Serangga masuk dalam filum Arthropoda dan kingdom Animalia yang memiliki keragaman Spesies terbesar dibandingkan dengan binatang yang lain yaitu hampir 75% dari total

Lebih terperinci

Jenis-Jenis Kumbang Tinja (Coleoptera: Scarabaeidae) di Kawasan Cagar Alam Lembah Harau, Sumatera Barat

Jenis-Jenis Kumbang Tinja (Coleoptera: Scarabaeidae) di Kawasan Cagar Alam Lembah Harau, Sumatera Barat Jenis-Jenis Kumbang Tinja (Coleoptera: Scarabaeidae) di Kawasan Cagar Alam Lembah Harau, Sumatera Barat Dung Beetle Species (Coleoptera: Scarabaeidae) at Lembah Harau Nature Reserve, West Sumatra Rahmatika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Habitat air tawar dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perairan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Habitat air tawar dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perairan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Habitat air tawar dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu perairan mengalir (lotik) dan perairan menggenang (lentik). Perairan mengalir bergerak terus menerus kearah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci