BAB II KAJIAN PUSTAKA. artinya karena kebutuhan manusia itu bermacam-macam, maka kemiskinan pun

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. artinya karena kebutuhan manusia itu bermacam-macam, maka kemiskinan pun"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Pengertian Kemiskinan Menurut Arsyad (1999), kemiskinan itu bersifat multi dimensional, yang artinya karena kebutuhan manusia itu bermacam-macam, maka kemiskinan pun memiliki banyak aspek. Dilihat dari kebijakan umum, maka kemiskinan meliputi aspek primer yang berupa miskin akan aset, organisasi sosial politik dan pengetahuan serta keterampilan dan aspek sekunder yang berupa miskin akan jaringan sosial, sumber-sumber keuangan dan informasi. Dimensi-dimensi kemiskinan tersebut termanifestasikan dalam bentuk kekurangan gizi, air, perumahan yang sehat, perawatan kesehatan yang kurang baik, dan tingkat pendidikan yang rendah. Menurut suparlan (Firman, 2008) Akses: bahwa kemiskinan adalah keadaan serba kekurangan harta dan benda berharga yang diderita oleh seseorang atau sekelompok orang yang hidup dalam lingkungan serba miskin atau kekurangan modal, baik dalam pengertian uang, pengetahuan, kekuatan politik, hukum, maupun akses terhadap fasilitas pelayanan umum, kesempatan berusaha dan bekerja. Sedangkan menurut tadaro (2000) salah satu generalisasi (anggapan sederhana) yang terbilang paling valid mengenai penduduk miskin adalah 12

2 bahwasannya mereka pada umumnya bertempat tinggal di daerah-daerah pedesaan dengan mata pencaharian pokok di bidang pertanian dan kegiatankegiatan lainnya yang erat hubungannya dengan sektor ekonomi tradisional. Selain itu kemiskinan juga dapat diartikan sebagai kondisi dimana seseorang atau kelompok orang yang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya, hak dasar tersebut antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertahanan, sumber daya alam dan lingkungan serta rasa aman dari tindak kekerasan dan dapat berpartisipasi di dalam kehidupan sosial politik Ukuran Kemiskinan Kemiskinan mempunyai pengertian yang luas dan memang tidak mudah untuk mengukurnya. Namun demikian, di bawah ini akan dijelaskan 3 macam ukuran kemiskinan yang umum di gunakan yaitu, 1) Kemiskinan Absolut Pada dasarnya konsep kemiskinan dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan. Perkiraan hanya dibatasi pada kebutuhan poko atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk dapat hidup secara baik. Tingkat pendapatan minimum yang merupakan pembatas antara keadaan miskin dengan tidak miskin atau sering disebut garis batas kemiskinan. Jadi konsep ini dimaksutkan untuk menentukan tingkat pendapatan minimum yang cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik terhadap makanan, pakaian dan perumahan untuk menjamin kelangsungan hidup (Tadaro,2000) 13

3 2) Kemiskinan Relatif Menurut Miller (Arsyad, 1999) walaupun pendapatan sudah mencapai tingkat kebutuhan dasar minuman, tetapi masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan keadaan masyarakat sekitarnya, maka orang tersebut masih berada dalam keadaan miskin. Ini terjadi karena kemiskinan lebih banyak ditentukan keadaan sekitarnya, dari pada lingkungan orang yang bersangkutan. Berdasarkan konsep ini, garis kemiskinan akan mengalami perubahan bila tingkat hidup masyarakat berubah. Konsep kemiskinan relatif bersifat dinamis, sehingga kemiskinan akan selalu ada. 3) Kemiskinan Sosial Selain kemiskinan yang didasarkan pada ukuran pedesaan, kemiskinan dapat dilihat pula dari kemampuan masyarakat untuk memperoleh akses kepada pelayanan dasar, seperti : (1) Rendahnya kualitas pendidikan yang disebabkan oleh kurangnya tenaga pendidik dan serana pendidikan di daerah miskin/terpencil, serta sulitnya mengakses layanan pendidikan karena hambatan geografis. (2) Rendahnya akses pelayanan kesehatan termasuk pelayanan keluarga (KB) dan kesehatan reproduksi yaitu belum memadainya tenaga medis, dana dan peralatan medis di daerah miskin serta hambatan geografis/fisik dalam mengakses pelayanan kesehatan sehingga 14

4 mengakibatkan rendahnya usia harapan dan gizi buruk bagi anak dan balita. (3) Rendahnya akses masyarakat miskin kepada layanan air minum. (4) Keterbatasan terhadap akses sumber-sumber pendanaan dan masih rendahnya kapasitas serta produktivitas usaha. (5) Masih lemahnya kelembagaan merupakan pengaruh utama gender dan anak terutama di tingkat kabupaten/kota. (6) Masih biasanya peraturan perundang-undangan mengenai gender atau diskriminatif terhadap perempuan dan kepedulian terhadap anak sehingga mengakibatkan rendahnya angka gender-related development index (GDI). 4) Kemiskinan Politik Menurut Ellis (Tadjudin, 1995) kemiskinan pilitik menekankan pada drajat akses terhadap kekuasaan, kekuasaan yang dimaksut mencakup tatanan sistem sosial (polotik) yang dapat menetukan alokasi sumber daya untuk kepentingan sekelompok orang/tatanan sistem sosial yang menetukan alokasi penggunaan sumberdaya. Cara mendapatkan akses ini dapat melalui sistem politik formal, kontak-kontak formal dengan struktur kekuasaan, dengan mempunyai pengaruh pada kekuasaan ekonomi. Namun aspek-aspek itu tidak begitu penting dalam menilai kepentingan politik. 15

5 Hal yang pelu di perhatikan dalam menilai kemiskinan politik adalah : (1) Bagaimana sekelompok orang dapat memanfaatkan sumber daya yang tersedia dalam masyarakat itu. (2) Bagaimana sekelompok orang dapat turut ambil bagian dalam pengambilan keputusn penggunaan sumber daya yang ada. (3) Kemampuan utuk turut serta dalam membentuk keleluasaan dalam masyarakat yang akan dilaksanakan dan ditaati oleh pemerintah. Sekelompok orang atau seseorang dapat digolongkan sebagai miskin politik bila 3 (tiga) hal tersebut tidak dimiliki oleh mereka. Menurut BPS pusat dalam sekretariat komote penanggulangan kemiskinan republik indonesia (2002), kemiskinan adalah kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makannya kurang dari kalori per kapita per hari. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidak mampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan mupun non makanan yang bersifat mendasar. Badan koordinasi keluarga berencana nasional provinsi bali (2000), membedakan keluarga miskin menjadi dua katagori yaitu : (1) Keluarga miskin sekali yaitu keluarga kerana alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu indikator yang meliputi : pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari bahkan lebih. Anggota memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah dan di luar rumah, bagian lantai yang terluas dari tanah. 16

6 (2) Keluarga miskin yaitu keluarga yang kerena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi paling kurang sekali dalam seminggu kelurga makan daging, ikan, atau telur setahun terkhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling sedikit satu setel pakaian baru, luas lantai rumah paling sedikit 8 m untuk setiap penghuni Konsep Keluarga Sejahtera Indikator penetu kemiskinan adalah adalah indikator yang ada pada tahap keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I, alasan ekonomi yang dapat menggambarkan kemempuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan kualitas pangan, sandang dan papan. Adapun pengertian keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera I, adalah sebagai berikut : 1) Keluarga Pra Sejahtera Keluarga pra sejahtera adalah keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya (basic need) secara minimal, seperti kebutuhan akan pengejaran agama, pangan, sandang, papan, dan kesehatan. 2) Keluarga Sejahtera Tahap I (KS I) Keluarga sejahtera tahap I adalah keluarga-keluarga yang sudah dapat memenuhi kebutuhan sosial secara spikologisnya seperti kebutuhan pendidikan, interaksi dalam lingkungan tempat tinggal. 3) Keluarga Sejahtera Tahap II (SK II) Kelurga sejahtera tahap II adalah kelurga yang disamping telah telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan sosial psokologisnya, akan tetapi belum 17

7 dapat memenuhi keseluruhan perkembangannya (development need), seperti misalnya kebutuhan untuk menabung dan memperoleh informasi. 4) Keluarga Sejahtera Tahap III (KS III) Yaitu keluarga yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasarnya, kebutuhan dasar psikologisnya dan kebutuhan perkembangannya, namun belum dapat memberikan sumbangan (kontribusi yang maksimal) terhadap masyarakat, seperti secara teratur (waktu tertentu) memberikan sumbangan dalam bentuk material dan keuangan untuk kepentingan sosial, kemasyarakatan, serta berperan serta secara aktif dengan menjadi pengurus lembaga permasyarakatan atau yayasan sosial, keagamaan, kesenian, olahraga, dan pendidikan. 5) Keluarga Sejahtera Tahap III plus (KS III +) Yaitu kelurga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan, baik dari sifat dasar, sosial, psikologis, maupun yang bersifat pengembangan, serta telah dapat pula memberikan sumbangan yang nyata dan berkelanjutan bagi masyarakat Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan Geertz (1974) dalam Tdjuddin; 1995 : 257 menyatakan bahwa kemiskinan pedesaan jawa muncul sebagai akibat dari adanya pertanian. Geertz berpendapat bahwa struktur pemilikan tanah yang timpang berarti mencerminkan ketidak samaan penghasilan masyarakat pedesaan. Dia berpendapat bahwa adanya 18

8 mekenisme pembagian penghasilan dengan melanggar drajat homogenitas sosial ekonomi. Sharp. Et. AL. (1996) mengidentifikasi penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi. Pertaman, secara mikro, kemiskinan muncul karena adanya ketidak samaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini kerena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau kerana keturunan. Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Menurut Friedman (1981;) ( dalam Tadjuddin, 1995: 261) kemiskinan di kota erat kaitannya dengan langkanya peluang kerja yang produktif. Penduduk, baik pendatang desa-kota maupun penduduk kota yang baru masuk angkatan kerja, dengan kemampuan yang ada menciptakan kesempatan kerja dengan memanfaatkan kehidupan kota. Dalam banyak kasus, penghasilan mereka hanya dapat digunakan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari meskipun telah bekerja keras. Jadi, dapat dikatakan bahwa kemiskinan lebih disebabkan oleh keadaan ekonomi. 19

9 2.1.5 Indikator Kemiskinan Dalam menentukan seseorang dapat dikatakan miskin atau tidak, diperlukan tolak ukur sebagai bahan perhitungan dan penentuan batas-batas kemiskinan. Menurut Arsyad (1999:240) indikator kemiskinan ada bermacammacam yakni : 1) Tingkat Konsumsi Beras Menurut Sajogyo (Arsyad, 1999:240) untuk daerah pedesaan, penduduk dengan konsumsi berasa kurang dari 240 kg per kapita per tahun bisa digolongkan miskin, sedangkan untuk daerah perkotaan adalah 360 kg per kapita per tahun. Secara lebih terinci Sajogyo membagi lagi indikator kemiskinan tersebut menjadi tiga kelompok : Tabel 2.1 Kategori Kemiskinan Menurut Sajogyo di Pedesaan dan Perkotaan Diukur Dari Tingkat Konsumsi Beras Kategori Pedesaan Perkotaan Melarat Sangat Miskin Miskin Sumber: (Arsyad, 1999 : 240) Namun sejak tahun 1979 garis melarat dihilangkan dan kemudian ditambah dengan garis nyaris miskin yaitu dengan 480 kg di desa dan 720 kg di perkotaan. 2) Tingkat pendapatan Kategori rumah tangga miskin oleh BPS berdasarkan pendapatan adalah: (1) RTM sangat miskin ( mempunyai penghasilan < Rp /bulan) (2) RTM miskin ( mempunyai penghasilan Rp Rp /bulan) 20

10 (3) RTM medekati miskin (mempunyai penghasilan > Rp Rp /bulan 3) Pengeluaran rumah tangga Pengeluaran rumah tangga merupakan alternatif lain untuk mengukur kesejahteraan. Hal ini sudah digunakan oleh badan pusat statistik (BPS). Pengeluaran rumah tangga dibagi dalam dua kata gori yaitu : pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan, apabila proporsi pengeluaran utuk makanan berkurang maka dapat dikatakan bahwa kesejahteraan seseorang telah meningkat. 4) Kebutuhan fisik minimum digunakan untuk menetukan tingkat upah/ gaji karyawan. Nilai KFM mencerminkan jumlah minimum nilai ekonomi dari barang dan jasa yang diperlukan oleh seseorang pekerja dan juga keluarganya dalam jangka waktu 1 bulan. Barang dan jasa tersebut meliputi : (1) makanan dan minuman, (2) bahan bakar, (3) perumahan dan alat-alat dapur, (4) pakaian dan sandang, (5) lain-lain. 5) Kebutuhan dasar (Basic need ) pengertiannya lebih luas dari KFM. Kompenen lain yang diperhitungkan dalam kebutuhan pokok antara lain kesehatan, pendidikan, penyediaan air, partisispasi,disentralisasi kesempatan kerja dan lain-lain. (BPS, 1989:16). Menyerahkan beberapan kompenen untuk menetukan tingkat kesejahteraan, antar lain : kesehatan, konsumsi gizi, pendidikan, kesempatan kerja, perumahan, jaminan sosial, sandang dan kebebasan. 21

11 6) Kriteria BPS Menurut BPS propinsi bali, (2005:4-5) kriteria untuk menetukan keluarga/rumah tangga dikatagorikan miskin apabila : a) Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m 2 per orang b) Jenis lantai tempat tinggal tersebut terdiri dari tanah/bambu/kayu murah c) Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/bersama-sama dengan rumah tangga lain d) Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ersama-sama dengan rumah tangga lain e) Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik f) Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai /air huja g) bahan bakar termasuk sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah h) hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam satu minggu i) hanya membeli sutu setel pakaian baru dalam setahun j) hanya sanggup makan satu/dua kali dalam sehari idak sanggup menekan membayar biaya pengobatan di puskesmas /poliklinik k) sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 500 m 2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh 22

12 perkebunan dan pekerja lainnya dengan pendapatan di bawah Rp perbulan. l) pendidikan tertinggi kepela rumah tangga SD/hanya SD m) Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah di jual dengan nilai minimal Rp ,- seperti sepede motor kredit/non kredit, emas, ternak, atau barang modal lainnya. Jika minimal 9 (sembilan) dari 14 (empat belas) variabel terpenuhi maka tergolong sebagai rumah tangga miskin Program Pengentasan kemiskinan Cahyanta (2002 : 33), membicarakan kemiskinan tidak dapat berhenti sebatas mencapai apa penyebab dan bagaimana upaya menanggulanginya, agar kemiskinan berkurang atau kalau mungkin dientaskan. Jajaran birokrasi pemerintah daerah tentunya tidak tinggal diam melihat masih adanya kemiskinan di tengah masyarakatnya. Tentunya saja upaya mengentaskannya tidak bisa asal-asalan dan harus tetap pada rambu-rambu yang telah digariskan dari pemerintah pusat. Satu paduan yang dapat dijadikan pedoman adalah keputusan presiden No.8 Tahun 2002, keppres ini merupakan pembahasan atas keppres No.124 tentang komite penanggulangan kemiskinan di daerah-daerah dilakukan. Keppres No.8 Tahun 2002 itu telah mengatur langkah-langkah apa yang harus diambil komite penanggulangan kemiskinan, termasuk yang di daerahdaerah. Langkah-langkah itu tentu saja bertujuan untuk mengurangi jumlah 23

13 penduduk miskin diseluruh wilayah RI, untuk itu langkah-langkah nyata yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut. 1) Pemberdayaan dan pengembangan kemampuan manusia yang berkaitandenganaspek pendidikan, kesehatan dan perbaikan kebutuhan dasar tertentu lainnya. 2) Pemberdayaan dan pengembangan kemampuan manusia yang berkualitasdengan perbaikan aspek lingkungan, pemukiman, perumahan dan prasaran pendukung. 4) Pemberdayaan dan pengembangan kemampuan manusia yang berkaitan dengan perbaikan aspek usaha, lapangan kerja dan lain-lain yang dapat meningkatkan pendapatan Program Pengembangan Kecamatan Mandiri (PPKM) Program Pengembangan Kecamatan Mandiri (PPKM) adalah bagian upaya pemerintah indonesia untuk memberdayakan pedesaan dengan menaggulangi masalah kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan. PPKM merupakan korelasi terhadap sistem pembangunan terdahulu pada umumnya dinilai bersifat sentralistik. PPKM juga merupakan penyempurnaan terhadap program penanggulangan kemiskinan terdahulu seperti IDT. Secara umum visi PPKM adalah terwujutnya masyarakat mandiri dan sejahtera. Sumber-sumber dana PPKM berasal dari : 1 ) Swadaya masyarakat 2 ) Cost sharing yang bersumber dari APBD 24

14 3 ) APBN yang bersumber dari pinjaman luar negri dan 4 ) Partisipasi dunia usaha atau pihak lain yang tidak mengikat. Alokasi bantuan PPKM ini ditetapkan antara Rp. 500 juta sampai dengan Rp.1 Miliyar perkecamatan. Penetapan alokasi ini berdasarkan jumlah penduduk dan lokasi. Jenis kegiatan yang akan dibiayai melalui bantuan langsung dari PPKM ini diutamakan untuk kegiatan yang memenuhi kriteria; (1) lebih bermanfaat bagi masyarakat miskin; (2) mendesak untuk dilaksanakan; (3) bisa dikerjakan oleh masayarakat; (4) didukung oleh sumber daya yang ada di masyarakat; (5) memiliki potensi berkembang dan berkelanjutan. Jenis-jenis kegiatan yang di biayai di katagorikan sebagai berikut : 1) Kegiatan pembangunan atau perbaikan prasarana desa (infrastruktur pedesaan) yang dapat memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat. 2) Kegiatan peningkatan kualitas masyarakat miskin melalui bidang pelayanan kesehatan dan pendidikan, termasuk kegiatan pelatihan pengembangan keterampilan msyarakat (pendidikan informal) 3) Kegiatan simpan pinjam kaum perempuan (SPP) Tujuan PPK Mandiri Tujuan umum dari PPK Mandiri adalah mempercepat penanggulangan kemiskinan berdasarkan pengembangan kemandirian masyarakat melalui 25

15 peningkatan kapsitas masyarakat, pemerintah lokal, serta penyediaan prasarana/saran sosial dasar yang mendukung perekonomian masyarakat. Selain itu adapun tujuan khusus dari pelaksanaan PPK Mandiri. 1) Meningkatkan peran serta masyarakat terutama kelompok miskin dan perempuan dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksaan, pengendalian dan pelestarian pembangunan. 2) Mengimplementasikan pengelolaan pembangunan pertisipatif dengan mendayagunakan potensi dan sumber lokal. 3) Mengembangkan kapasitas pemerintah daerah dalam memfasilitasi pengelolaan pembangunan pedesaan /perkotaan yang berkelanjutan. 4) Menyediakan prasarana/sarana sosial dasar dan ekonomi yang diprioritaskan masyarakat 5) Melembagakan pengelolaan keuangan mikro dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin Pengertian Kelompok SPP Kelompok Simpan Pinjam Kaum Perempuan (SPP) adalah kelompok yang melakukan kegiatan ekonomi produktif untuk meningkatkan pendapatan keluarga dalam rangka mewujutkan keluarga sejahtera yang beranggotakan ibu-ibu/wanita dari keluarga prasejahtera (Pra KS), Keluarga Sejahtera I, maupun keluarga lain yang tahap kesejahteraannya lebih baik. Tujuan umum dari kelompok SPP ini adalah untuk memberdayakan ibu-ibu/wanita di bidang ekonomi sebagai upaya peningkatan penanggulangan kemiskinan dalam rangka mewujatkan masyarakat 26

16 yang mandiri dan sejahtera. Tujuan umum kegiatan ini bertujuan menyediakan dana bergulir yang di pinjamkan untuk usaha peningkatan pendapatan dan kesejahteraan keluarga kaum perempuan melalui kelompok simpan pinjam perempuan. Terdapat pula tujuan khusus dari kegiatan SPP, yaitu: 1) Mempercepat proses memenuhi kebutuhan pendanaan usaha ataupun sosial dasar 2) Memberikan kesempatan kaum perempuan meningkatkan ekonomi rumah tangga melalui pendanaan peluang usaha 3) Mendorong penguatan kelembagaan simpan pinjam oleh kaum perempuan Pengertian keluarga Menurut Sekretariat Mentri Negara Kependudukan / BKKBN Pusat (2000:10), keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri, atau suami istri dan anak, atau anak dan ayahnya, atau ibu dan anaknya. Sedangkan keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan material yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dengan masyarakat dan lingkungannya Kedudukan dan Peran Perempuan Dalam Keluarga Pada umumnya kedudukan dan peranan wanita pada zaman dahulu menduduki tempat kedua dalam masyarakat. Kedudukan wanita lebih rendah bila 27

17 dibandingkan dengan laki-laki. Hal seperti ini hanya ditemukan dikalangan masyarakat biasa tapi banyak juga ditemukan pada masyarakat kalangan atas. Kadang-kadang dibedakan antara pengertian-pengertian kedudukan dengan kedudukan sosial, untuk lebih jelasnya dapat dijabarkan bahwa kedudukan diartikan sebagai tempat seseorang secara umum dalam masyarakat sehubungan dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya. Peranan merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan. Apabila seseorang melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan. Perbedaan antara kedudukan dengan peranan, adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan, keduanya tak dapat dipisahpisahkan, oleh karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya juga demikian, tak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peranan. Peranan yang melekat pada diri seseorang, harus dibedakan dengan posisi atau tempatnya dalam pergaulan kemasyarakatan. Posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat merupakan unsur yang statis yang menunjukkan tempat individu dalam organisasi masyarakat. Peranan lebih banyak menunjuk pada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses, jadi tepatnya adalah seseorang menduduki suatu posisi atau tempat dalam masyarakat serta menjalankan suatu peranan (Soekanto, 2002:243). Kaum perempuan memiliki kodrat kehidupan yang berupa: kodrat perempuan sebagai ibu, sebagai istri, sebagai individu perempuan, dan sebagai anggota masyarakat. Setiap unsur kodrat yang dimiliki memerlukan tanggung 28

18 jawab yang berbeda dengan peran dirinya sebagai anggota masyarakat, dan akan berbeda pula dengan peran dirinya sebagai individu. Meskipun demikian masingmasing unsur tersebut tidak boleh saling bertentangan (Sujarwa, 2001:91). Adapun dalam pembahasan ini lebih mengutamakan pada potret fenomena sosial berdasarkan analisis kasus kodrat perempuan yaitu : 1. Peran dan citra perempuan sebagai ibu Karateristik perempuan sebagai ibu bukan saja terletak pada peran kodrat perempuan yang dapat mengandung dan melahirkan, melainkan juga terletak pada kemampuan seorang ibu dalam mengasuh anak-anaknya sejak lahir hingga dewasa. Dalam kehidupan modern, banyak kaum ibu rumah tangga mengabaikan atau bahkan enggan mengasuh perkembangan dan pertumbuhan anaknya sendri, sehingga tidak jarang pertumbuhan perkembangan anak-anak di kota besar itu lebih didasarkan pada kemampuan fasilitas finansialnya dengan menyerahkan sepenuhnya pada pembantu rumah tangga atau panti-panti penitipan anak. 2. Peran dan citra perempuan sebagai istri Dalam pandangan Islam, hubungan suami istri diibaratkan sebagai pakaian antara yang satu bagi yang lain. Suami merupakan pakaian bagi istri dan istri merupakan pakaian bagi suami. Laki-laki merupakan kepala dan rumah merupakan pelabuhannya. Dalam kehidupan modern, peran suami istri dalam gambaran diatas masih dimungkinkan. Meskipun mereka memiliki mobilitas yang lebih tinggi dibanding dengan kehidupan keluarga tradisional, keluarga modern masih didasarkan pada pandangan romantis, maternal, dan domestik. Cinta romantis adalah konsep yang menunjang prinsip modernisme keteraturan, untuk 29

19 tiap pria ada satu orang perempuan yang menjadi pasangannya, demikian pula yang sebaliknya. Cinta material dipandang sebagai perwujudan tugas seorang ibu dalam mencintai dan merawat anak-anaknya. Persepsi cinta, romantis, material, dan domestic dapat diartikan sebagai suatu kehidupan keluarga yang dapat berada dalam satu nilai kebersamaan. Dalam kehidupan pasca modern, tampaknya ada perbedaan, kekhususan, dan ketidakberaturan yang mendasari kehidupan keluarga mereka. Konsep tentang keluarga inti dengan satu bapak yang bekerja mencari nafkah dan satu ibu yang yang mengayomi anak-anak dirumah sudah sulit dipertahankan sebagai realitas kehidupan. Keluarga pasca modern diwarnai dengan kehidupan kedua orang tua yang sama-sama bekerja mencari nafkah diluar rumah, akibatnya angka perceraian semakin tinggi, banyak keluarga dengan satu orang tua saja sehingga anak-anak harus bertahan dan berjuang dijalan Efektivitas Menurut Subagyo (2000 : 23), efektivitas adalah kesesuaian antara output dengan tujuan yang ditetapkan. Rasio efektivitas program dalam hal ini menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan program yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan. Apabila realisasi program antara 1persen s/d 50 persen dari target, termasuk efektivitasnya rendah, sedangkan apabila realisasi program antara 51 persen s/d 100 persen dari targeet, termasuk efektivitasnya tinggi. 30

20 Dalam pedoman komite penanggulangan kemiskinan disebutkan bahwa efektivita merupakan upaya penyempurnaan kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan, membantu perencanaan, penyusunan, upaya/kegiatan dan pengambilan keputusan yang akan datang. Dengan demikian sistem monotoring dan efektivitas dalam pelaksanaan strategi penanggulangan kemiskinan perlu didukung oleh mekanisme pelaksaan yang dapat berjalan secara berkelanjutan dan indikator kinerja pembangunan yang berbasis kepada ketersediaan data yang cukup akurat serta terkini. Pengukuran ringkat efektivitas menggunakan standar sesuai acuan Litbang Depdagri Republik Iindonesia 1991 (Prapta, 2007 : 28) sebagai berikut : 1) Koefisien efektivitas bernilai di bawah 40% = sangat tidak efektif 2) Koefisien efektivitas bernilai 40% - 59,99% = tidak efektif 3) Koefisien efektivitas bernilai 60% - 79,99% = cukup efektif 4) Koefisien efektivitas bernilai di atas 79,99% = sangat efektif Selanjutnya untuk mengukur tingkat efektivitas kegiatan Simpan Pinjam kaum Perempuan (SPP) terhadap Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Denpasar Timur, perlu disiapkan variabel jumlah Rumah Tangga Miskin (RTM) yang merupakan target untuk mengetahui efektivitas kegiatan, dimana RTM tersebut adalah RTM yang memperoleh bantuan Simpan Pinjam kaum Perempuan (SPP) 31

21 2.2 Penelitian Sebelumnya penelitian mengenai efektivitas program penanggulangan kemiskinan sudah di lakukan oleh berbagai pihak yang masing-masing mempunyai karkteristik yang berbeda. Penelitiatn yang membehas tentang efektivitas penanggulangan kemiskinan dalam pemberdayaan masyarakat telah dilakukan berbagai kalangan antara lain : Pada penelitian Rohmatdiono (2007) membahas tentang PNPM Mandiri Pedesaan Tentang Pengaruh Program Simpan Pinjam Perempuan Terhadap Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Desa Klambu. Dimana penelitian ini merupakan pengembangan dari Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang selama ini dinilai berhasil. Beberapa keberhasilan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) adalah berupa penyediaan lapangan kerja dan pendapatan bagi kelompok rakyat miskin, efisiensi dan efektivitas kegiatan, serta berhasil menumbuhkan kebersamaan dan partisipasi masyarakat. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada penelitian ini meneliti tentang Efektivitas kegitan simpan pinjam khusus bagi kaum perempuan rumah tangga miskin di kecamatan denpasar timur kota denpasar. Sedangkan penelitian yang sebelumnya membahas tentang Pengaruh Program Simpan Pinjam Perempuan Terhadap Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Desa Klambu. Sedangkan persamaannya adalah adalah sama-sama meneliti tentang program simpan pinjam kaum perempuan (SPP) 32

22 Penelitian yang kedua oleh Ari (2009) yang diteliti adalah efektivitas pemberian beras untuk masyarakat miskin didesa padang sambian kaja kecamatan denpasar barat dengan menggunaka metode analisis yaitu statistik sederhana dan untuk teknik pengumpulan data penelitian sebelumnya menggunakan metode wawancara dengan menggunakan metode koisioner dan metode pengamatan. Dari hasil penelitian tersebut diketahui penangulangan kemiskinan melalui pemberian raskin adalah efektif sedangkan pada fariabel proses dan output tidak efektif. Perbeedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah lokasi penelitian dan program yang diteliti. Sedangkan persamaannya adalah sama-sama meneliti efektivitas dari suatu program penanggulangan kemiskinan. 33

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Kemiskinan Berbagai definisi tentang kemiskinan sudah diberikan oleh para ahli di bidangnya. Kemiskinan adalah suatu keadaan, yaitu seseorang tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persedian sumber

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persedian sumber BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Kemiskinan Secara ekonomi kemiskinan dapat diartikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagaimana penyelesaian masalah tersebut. Peran itu dapat dilihat dari sikap

BAB I PENDAHULUAN. bagaimana penyelesaian masalah tersebut. Peran itu dapat dilihat dari sikap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peran pemerintah sangat penting dalam merancang dan menghadapi masalah pembangunan ekonomi. Seberapa jauh peran pemerintah menentukan bagaimana penyelesaian

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. perhatian pemerintah di negara manapun. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi

BAB I. PENDAHULUAN. perhatian pemerintah di negara manapun. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Salah satu aspek penting untuk mendukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. program darurat bagian dari jaring pengaman sosial (social safety net), namun

BAB I PENDAHULUAN. program darurat bagian dari jaring pengaman sosial (social safety net), namun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Raskin merupakan program bantuan yang sudah dilaksanakan Pemerintah Indonesia sejak Juli 1998 dengan tujuan awal menanggulangi kerawanan pangan akibat krisis moneter

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI SELATAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memenuhi

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA CIREBON

BERITA DAERAH KOTA CIREBON BERITA DAERAH KOTA CIREBON 2 NOMOR 51 TAHUN 2009 PERATURAN WALIKOTA CIREBON NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG KRITERIA KELUARGA / RUMAH TANGGA MISKIN KOTA CIREBON Menimbang : WALIKOTA CIREBON, a. bahwa kemiskinan

Lebih terperinci

Pengertian keluarga sebagaimana yang didefinisikan oleh Sekretariat. Menteri Negara Kependudukan BKKBN Jakarta (1994:5) adalah unit terkecil dari

Pengertian keluarga sebagaimana yang didefinisikan oleh Sekretariat. Menteri Negara Kependudukan BKKBN Jakarta (1994:5) adalah unit terkecil dari BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Keluarga Sejahtera Pengertian keluarga sebagaimana yang didefinisikan oleh Sekretariat Menteri Negara Kependudukan BKKBN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu upaya untuk mewujutkan cita-cita bangsa yakni terciptanya

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu upaya untuk mewujutkan cita-cita bangsa yakni terciptanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan kegiatan pembangunan nasional di Indonesia, sesungguhnya merupakan salah satu upaya untuk mewujutkan cita-cita bangsa yakni terciptanya kesejahtraan masyarakat

Lebih terperinci

PANGAN DAN GIZI SEBAGAI INDIKATOR KEMISKINAN

PANGAN DAN GIZI SEBAGAI INDIKATOR KEMISKINAN PANGAN DAN GIZI SEBAGAI INDIKATOR KEMISKINAN By : Suyatno, Ir. MKes Office : Dept. of Public Health Nutrition, Faculty of Public Health Diponegoro University, Semarang Contact : 081-22815730 / 024-70251915

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi

Lebih terperinci

KEMISKINAN OLEH HERIEN PUSPITAWATI

KEMISKINAN OLEH HERIEN PUSPITAWATI KEMISKINAN OLEH HERIEN PUSPITAWATI KRITERIA KEMISKINAN BPS GARIS KEMISKINAN Kota Bogor tahun 2003: Rp 133 803/kap/bln Kab Bogor tahun 2003: Rp 105 888/kap/bln UNDP US 1/kap/day tahun 2000 US 2/kap/day

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM KABUPATEN SIMEULUE

IV. KONDISI UMUM KABUPATEN SIMEULUE IV. KONDISI UMUM KABUPATEN SIMEULUE 4.1 Kondisi Wilayah Pulau Simeulue merupakan salah satu pulau terluar dari propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Ο Ο Ο Ο berada pada posisi 0 0 03-03 0 04 lintang Utara

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2016 T E N T A N G INDIKATOR LOKAL KELUARGA MISKIN DI KABUPATEN CIAMIS

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2016 T E N T A N G INDIKATOR LOKAL KELUARGA MISKIN DI KABUPATEN CIAMIS 1 BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2016 T E N T A N G INDIKATOR LOKAL KELUARGA MISKIN DI KABUPATEN CIAMIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KABUPATEN JEMBRANA DENGAN RAHMAT YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KABUPATEN JEMBRANA DENGAN RAHMAT YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 8 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KABUPATEN JEMBRANA DENGAN RAHMAT YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA, Menimbang : a. bahwa penanggulangan kemiskinan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA POLOBOGO

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA POLOBOGO BAB IV GAMBARAN UMUM DESA POLOBOGO 4. 1. Kondisi Geografis 4.1.1. Batas Administrasi Desa Polobogo termasuk dalam wilayah administrasi kecamatan Getasan, kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Wilayah

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian. Keterangan: 1. Kecamatan Gebang 2. Kecamatan Kandanghaur 3. Kecamatan Pelabuhanratu 4. Kecamatan Pangandaran

Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian. Keterangan: 1. Kecamatan Gebang 2. Kecamatan Kandanghaur 3. Kecamatan Pelabuhanratu 4. Kecamatan Pangandaran 224 LAMPIRAN 225 Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian 2 3 1 4 Keterangan: 1. Kecamatan Gebang 2. Kecamatan Kandanghaur 3. Kecamatan Pelabuhanratu 4. Kecamatan Pangandaran 226 Lampiran 2 Hasil uji reliabilitas

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KOTA SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KOTA SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KOTA SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SEMARANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memenuhi hak

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN BAPAK/IBU ANGKAT RUMAH TANGGA SASARAN OLEH PEJABAT STRUKTURAL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

14 KRITERIA MISKIN MENURUT STANDAR BPS ; 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 per orang.

14 KRITERIA MISKIN MENURUT STANDAR BPS ; 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 per orang. 14 KRITERIA MISKIN MENURUT STANDAR BPS ; 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 per orang. 2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan. 3. Jenis dinding tempat

Lebih terperinci

PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE

PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERAUKE NOMOR 7 TAHUN 2014 PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KABUPATEN MERAUKE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MERAUKE, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan dan ketrampilan, rendahnya produktivitas, rendahnya pendapatan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan dan ketrampilan, rendahnya produktivitas, rendahnya pendapatan, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Kemiskinan Menurut Mubyarto (1998:4) kemiskinan merupakan salah satu situasi serba kekurangan dan disebabkan terbatasnya modal yang dimiliki,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang tengah dihadapi oleh dunia adalah kemiskinan.

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang tengah dihadapi oleh dunia adalah kemiskinan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang tengah dihadapi oleh dunia adalah kemiskinan. Kemiskinan telah ada sejak lama pada hampir semua peradaban manusia. Pada setiap belahan dunia dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh orang dewasa. Hal ini disebabkan oleh anak-anak yang dianggap masih

BAB I PENDAHULUAN. oleh orang dewasa. Hal ini disebabkan oleh anak-anak yang dianggap masih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anak-anak pada dasarnya merupakan kaum lemah yang harus dilindungi oleh orang dewasa. Hal ini disebabkan oleh anak-anak yang dianggap masih membutuhkan bimbingan orang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan wanita untuk bekerja adalah

Lebih terperinci

pendapatan masyarakat. h. Jumlah Rumah Tangga Miskin status kesejahteraan dapat dilihat pada tabel 2.42.

pendapatan masyarakat. h. Jumlah Rumah Tangga Miskin status kesejahteraan dapat dilihat pada tabel 2.42. Tabel 2.41. Perhitungan Indeks Gini Kabupaten Temanggung Tahun 2012 Kelompok Jumlah Rata-rata % Kumulatif Jumlah % Kumulatif Xk-Xk-1 Yk+Yk-1 (Xk-Xk-1)* Pengeluaran Penduduk Pengeluaran Penduduk Pengeluaran

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 36 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Evaluasi (penilaian) suatu program biasanya dilakukan pada suatu waktu tertentu atau pada suatu tahap tertentu (sebelum program, pada proses pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program pengentasan kemiskinan pada masa sekarang lebih berorientasi kepada pemberdayaan dan partisipasi. Sebelumnya telah dilalui begitu banyak program pengentasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kemiskinan struktural, dan kesenjangan antar wilayah. Jumlah penduduk. akan menjadi faktor penyebab kemiskinan (Direktorat Jenderal

I. PENDAHULUAN. kemiskinan struktural, dan kesenjangan antar wilayah. Jumlah penduduk. akan menjadi faktor penyebab kemiskinan (Direktorat Jenderal I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Indonesia memiliki persoalan kemiskinan dan pengangguran. Kemiskinan di Indonesia dapat dilihat dari tiga pendekatan yaitu kemiskinan alamiah, kemiskinan struktural,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Visi Program Keluarga Berencana Nasional adalah Keluarga Berkualitas 2015

BAB I PENDAHULUAN. Visi Program Keluarga Berencana Nasional adalah Keluarga Berkualitas 2015 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Visi Program Keluarga Berencana Nasional adalah Keluarga Berkualitas 2015 visi ini dimaksudkan untuk mewujudkan keluarga yang sejahtera, sehat, maju, mandiri,

Lebih terperinci

dengan 7 (tujuh), sedangkan target nomor 8 (delapan) menjadi Angka kematian ibu per kelahiran hidup turun drastis

dengan 7 (tujuh), sedangkan target nomor 8 (delapan) menjadi Angka kematian ibu per kelahiran hidup turun drastis dengan 7 (tujuh), sedangkan target nomor 8 (delapan) menjadi kewenangan pemerintah pusat. Angka kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup turun drastis pada tahun 2011, hal ini karena kasus kematian ibu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja bagi angkatan kerja di perdesaan. Permasalahan kemiskinan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. kerja bagi angkatan kerja di perdesaan. Permasalahan kemiskinan yang cukup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Permasalahan kemiskinan di Indonesia dapat dilihat dari tiga pendekatan yaitu kemiskinan alamiah, kemiskinan struktural, dan kesenjangan antar wilayah.

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN SISTEM MANAJEMEN DATABASE DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN KRITERIA PENDUDUK MISKIN KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

PENGEMBANGAN SISTEM MANAJEMEN DATABASE DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN KRITERIA PENDUDUK MISKIN KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PENGEMBANGAN SISTEM MANAJEMEN DATABASE DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN KRITERIA PENDUDUK MISKIN KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Ummul Hairah ummihairah@gmail.com Program Studi Teknik Informatika

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 13 TAHUN TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 13 TAHUN TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 13 TAHUN 2 010 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAKPAK BHARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memenuhi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG

PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KOTA SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SEMARANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memenuhi hak

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN KEMISKINAN HLM, LD Nomor 4 SERI D

PENANGGULANGAN KEMISKINAN HLM, LD Nomor 4 SERI D PENANGGULANGAN KEMISKINAN 2016 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 2 PENANGGULANGAN KEMISKINAN 19 HLM, LD Nomor 4 SERI D TAHUN 2016 TENTANG ABSTRAK : - bahwa dalam rangka memenuhi hak dan kebutuhan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang : a. bahwa sistem

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI KARTANEGARA, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kualitas hidup manusia merupakan upaya yang terus

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kualitas hidup manusia merupakan upaya yang terus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang masalah Pembangunan kualitas hidup manusia merupakan upaya yang terus dilakukan pemerintah dalam rangka mencapai kehidupan yang lebih baik. Upaya pembanguan ini ditujukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keterbukaan sosial dan ruang bagi debat publik yang jauh lebih besar. Untuk

BAB I PENDAHULUAN. keterbukaan sosial dan ruang bagi debat publik yang jauh lebih besar. Untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia kini adalah negara dengan sistem demokrasi baru yang bersemangat, dengan pemerintahan yang terdesentralisasi, dengan adanya keterbukaan sosial dan

Lebih terperinci

BUPATI KARANGANYAR PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 42 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KETAHANAN KELUARGA

BUPATI KARANGANYAR PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 42 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KETAHANAN KELUARGA BUPATI KARANGANYAR PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI KARANGANYAR NOMOR 42 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KETAHANAN KELUARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR, Menimbang

Lebih terperinci

INOVASI/PEMANFAATAN BASIS DATA TERPADU UNTUK PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN PADA ACARA RATEK TIM TEKNIS TKPK

INOVASI/PEMANFAATAN BASIS DATA TERPADU UNTUK PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN PADA ACARA RATEK TIM TEKNIS TKPK INOVASI/PEMANFAATAN BASIS DATA TERPADU UNTUK PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN PADA ACARA RATEK TIM TEKNIS TKPK GAMBARAN UMUM WILAYAH KAB. MERANGIN Sebelah Barat : Berbatas dengan Kab. Kerinci Sebelah

Lebih terperinci

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N W A L I K O T A B A N J A R M A S I N PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARMASIN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

KONSEP KELUARGA SEJAHTERA DAN KELUARGA MANDIRI. Ns. WIDYAWATI, S.Kep, M.Kes

KONSEP KELUARGA SEJAHTERA DAN KELUARGA MANDIRI. Ns. WIDYAWATI, S.Kep, M.Kes KONSEP KELUARGA SEJAHTERA DAN KELUARGA MANDIRI Ns. WIDYAWATI, S.Kep, M.Kes Pendahuluan Visi GKBN ( Gerakan Keluarga Berencana Nasional ) Mewujudkan Norma Keluarga Kecil yang Bahagia dan Sejahtera (NKKBS)

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2008 NOMOR 6 PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KOTA SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SEMARANG,

Lebih terperinci

SALINAN WALIKOTA LANGSA,

SALINAN WALIKOTA LANGSA, SALINAN QANUN KOTA LANGSA NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA PENGASIH LAGI MAHA PENYAYANG ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA WALIKOTA

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang { PAGE \* MERGEFORMAT }

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang { PAGE \* MERGEFORMAT } BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Ulum adalah sebuah lembaga pendidikan islam yang setara dengan tingkatan Sekolah Dasar (SD), yang berada di naungan Kementrian Agama. Sebagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Program ekonomi yang dijalankan negara-negara Sedang Berkembang (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)

Lebih terperinci

PRO POOR BUDGET. Kebijakan anggaran dalam upaya pengentasan kemiskinan.

PRO POOR BUDGET. Kebijakan anggaran dalam upaya pengentasan kemiskinan. PRO POOR BUDGET Kebijakan anggaran dalam upaya pengentasan kemiskinan. Mengapa Anggaran Pro Rakyat Miskin Secara konseptual, anggaran pro poor merupakan bagian (turunan) dari kebijakan yang berpihak pada

Lebih terperinci

KONSEP KELUARGA SEJAHTERA. OLEH Ns.HENNY PERMATASARI, M.Kep. Sp. Kom

KONSEP KELUARGA SEJAHTERA. OLEH Ns.HENNY PERMATASARI, M.Kep. Sp. Kom KONSEP KELUARGA SEJAHTERA OLEH Ns.HENNY PERMATASARI, M.Kep. Sp. Kom tanggal upload : 28 April 2009 A. LATAR BELAKANG KEBERHASILAN PROGRAM KELUARGA BERENCANA (KB) ANGKA KELAHIRAN (TOTAL FERTILITY RATE),

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Untuk memberikan arah jalannya penelitian ini akan disajikan beberapa pendapat

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Untuk memberikan arah jalannya penelitian ini akan disajikan beberapa pendapat II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka Untuk memberikan arah jalannya penelitian ini akan disajikan beberapa pendapat para ahli yang berkaitan dengan topik-topik kajian penelitian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang : a. bahwa kemiskinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana tertulis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, pemerintah menetapkan visi pembangunan yaitu Terwujudnya Indonesia yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Wickenden (Basuki 1995:5) kesejahteraan sosial mencakup perundangundangan,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Wickenden (Basuki 1995:5) kesejahteraan sosial mencakup perundangundangan, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian kesejahteraan sosial Menurut Wickenden (Basuki 1995:5) kesejahteraan sosial mencakup perundangundangan, program, tunjangan dan pelayanan yang menjamin

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 28 TAHUN 2013 TENTANG INDIKATOR KELUARGA MISKIN DI KABUPATEN BANYUWANGI

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 28 TAHUN 2013 TENTANG INDIKATOR KELUARGA MISKIN DI KABUPATEN BANYUWANGI 1 BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 28 TAHUN 2013 TENTANG INDIKATOR KELUARGA MISKIN DI KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1994 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KELUARGA SEJAHTERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1994 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KELUARGA SEJAHTERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1994 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KELUARGA SEJAHTERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa keluarga sebagai unit terkecil dalam

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN KEBIJAKAN Dalam rangka mewujudkan visi dan melaksanakan misi pembangunan daerah Kabupaten Ngawi 2010 2015, Pemerintah Kabupaten Ngawi menetapkan strategi yang merupakan upaya untuk

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 1 PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 1 http ://cianjur.go.id (diakses15 Mei 2011)

PENDAHULUAN. 1 http ://cianjur.go.id (diakses15 Mei 2011) PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian mempunyai peranan yang strategis dalam penyerapan tenaga kerja yang ada di Indonesia, yaitu dengan tingginya penyerapan tenaga kerja sekitar 44 persen dari

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. masalah klasik dan mendapat perhatian khusus dari negara-negara di dunia.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. masalah klasik dan mendapat perhatian khusus dari negara-negara di dunia. BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Landasan Teori dan Konsep 2.1.1. Konsep Kemiskinan Pada umumnya masalah kemiskinan hingga saat ini masih menjadi masalah klasik dan mendapat perhatian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk miskin, kepada tingkatan yang lebih baik dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN. penduduk miskin, kepada tingkatan yang lebih baik dari waktu ke waktu. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan dasar dan paling essensial dari pembangunan tidak lain adalah mengangkat kehidupan manusia yang berada pada lapisan paling bawah atau penduduk miskin, kepada

Lebih terperinci

STUDI PEMETAAN KEMISKINAN DI KOTA SEMARANG

STUDI PEMETAAN KEMISKINAN DI KOTA SEMARANG Riptek, Vol.2, No.2, Tahun 2008, Hal.: 1 6 STUDI PEMETAAN KEMISKINAN DI KOTA SEMARANG Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Unisbank Semarang Abstrak Kemiskinan sampai saat ini masih menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Pelaksanaan kegiatan pembangunan nasional di Indonesia sesungguhnya merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan cita-cita bangsa yakni terciptanya kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

BAB 12. PENANGGULANGAN KEMISKINAN KELUARGA DI INDONESIA. Oleh: Herien Puspitawati Tin Herawati

BAB 12. PENANGGULANGAN KEMISKINAN KELUARGA DI INDONESIA. Oleh: Herien Puspitawati Tin Herawati BAB 12. PENANGGULANGAN KEMISKINAN KELUARGA DI INDONESIA Oleh: Herien Puspitawati Tin Herawati Kondisi Kemiskinan di Indonesia Isu kemiskinan yang merupakan multidimensi ini menjadi isu sentral di Indonesia

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN I. VISI Pembangunan di Kabupaten Flores Timur pada tahap kedua RPJPD atau RPJMD tahun 2005-2010 menuntut perhatian lebih, tidak hanya untuk menghadapi permasalahan

Lebih terperinci

PP 21/1994, PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KELUARGA SEJAHTERA PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KELUARGA SEJAHTERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PP 21/1994, PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KELUARGA SEJAHTERA PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KELUARGA SEJAHTERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright 2000 BPHN PP 21/1994, PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KELUARGA SEJAHTERA *33776 Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 21 TAHUN 1994 (21/1994) Tanggal: 1 JUNI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak, serta memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah, hal ini membuat Indonesia pantas disebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperbaharui, karena memiliki proses pembentukan yang cukup lama serta

BAB I PENDAHULUAN. diperbaharui, karena memiliki proses pembentukan yang cukup lama serta 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Minyak bumi merupakan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui, karena memiliki proses pembentukan yang cukup lama serta jumlah dan persediaan yang terbatas.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang maupun negara maju, meskipun telah terjadi perbaikan-perbaikan

BAB I PENDAHULUAN. berkembang maupun negara maju, meskipun telah terjadi perbaikan-perbaikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan yang mencolok masih banyak ditemukan di negara-negara berkembang maupun negara maju, meskipun telah terjadi perbaikan-perbaikan yang siginifikan selama lebih

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1994 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KELUARGA SEJAHTERA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1994 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KELUARGA SEJAHTERA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 21 TAHUN 1994 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KELUARGA SEJAHTERA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat mempunyai peran yang penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara

BAB I PENDAHULUAN. daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan merupakan salah satu daerah pesisir pantai yang ada di Medan. Sebagaimana daerah yang secara geografis berada di pesisir

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1994 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KELUARGA SEJAHTERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1994 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KELUARGA SEJAHTERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1994 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMBANGUNAN KELUARGA SEJAHTERA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa keluarga sebagai unit terkecil dalam

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH K A B U P A T E N B A N D U N G NOMOR 10 TAHUN 2008

LEMBARAN DAERAH K A B U P A T E N B A N D U N G NOMOR 10 TAHUN 2008 LEMBARAN DAERAH K A B U P A T E N B A N D U N G NOMOR 10 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI KABUPATEN BANDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB VII ISU STRATEGIS DAN RENCANA AKSI DAERAH

BAB VII ISU STRATEGIS DAN RENCANA AKSI DAERAH BAB VII ISU STRATEGIS DAN RENCANA AKSI DAERAH 7.1. Isu Strategis Berbagai masalah yang dialami oleh miskin menggambarkan bahwa kemiskinan bersumber dari ketidakberdayaan dan ketidakmampuan dalam memenuhi

Lebih terperinci

BUPATI PATI PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI PATI PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG BUPATI PATI PERATURAN BUPATI PATI NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK OPERASIONAL PROGRAM TERPADU PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BERPERSPEKTIF GENDER (P2M-BG) KABUPATEN PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

WALI KOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALI KOTA DEPOK NOMOR 5 TAHUN

WALI KOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALI KOTA DEPOK NOMOR 5 TAHUN SALINAN WALI KOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALI KOTA DEPOK NOMOR 5 TAHUN 201724 TENTANG PELAKSANAAN PROGRAM TERPADU PENINGKATAN PERANAN WANITA MENUJU KELUARGA SEHAT SEJAHTERA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BUPATI WONOGIRI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI WONOGIRI NOMOR 53 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI WONOGIRI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI WONOGIRI NOMOR 53 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI WONOGIRI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI WONOGIRI NOMOR 53 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PROGRAM PERKEMBANGAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebanyak 189 negara mendeklarasikan Millenium Development Goals (MDGs) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsabangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Agroforestri Secara umum agroforestri adalah manajemen pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari, dengan cara mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan pertanian

Lebih terperinci

TABEL 6.1 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

TABEL 6.1 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN TABEL 6.1 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Visi : Terwujudnya pemerintahan yang baik dan bersih menuju maju dan sejahtera Misi I : Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang profesional, transparan, akuntabel

Lebih terperinci

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt cüéä Çá ]tãt UtÜtà

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt cüéä Çá ]tãt UtÜtà -1- jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt cüéä Çá ]tãt UtÜtà A TAALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN WALIKOTA NOMOR 67 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN JAMINAN

Lebih terperinci

BUPATI JEMBRANA PERATURAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 25 TAHUN 2012 TATA CARA PEMBERDAYAAN KELUARGA MISKIN DI KABUPATEN JEMBRANA

BUPATI JEMBRANA PERATURAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 25 TAHUN 2012 TATA CARA PEMBERDAYAAN KELUARGA MISKIN DI KABUPATEN JEMBRANA BUPATI JEMBRANA PERATURAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMBERDAYAAN KELUARGA MISKIN DI KABUPATEN JEMBRANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki persoalan kemiskinan dan pengangguran. Kemiskinan di

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki persoalan kemiskinan dan pengangguran. Kemiskinan di 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia memiliki persoalan kemiskinan dan pengangguran. Kemiskinan di Indonesia dapat dilihat dari tiga pendekatan yaitu kemiskinan alamiah, kemiskinan struktural,

Lebih terperinci

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI. merupakan hak asasi, tidak dapat ditunda, dan tidak dapat disubtitusi dengan bahan

II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI. merupakan hak asasi, tidak dapat ditunda, dan tidak dapat disubtitusi dengan bahan II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Pangan Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar masnusia yang pemenuhannya merupakan hak asasi, tidak dapat ditunda, dan tidak dapat disubtitusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang banyak sehingga kemiskinan pun tak dapat dihindari. Masalah kemiskinan

BAB I PENDAHULUAN. yang banyak sehingga kemiskinan pun tak dapat dihindari. Masalah kemiskinan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang dengan jumlah penduduk yang banyak sehingga kemiskinan pun tak dapat dihindari. Masalah kemiskinan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dua isu sentral masalah pembangunan yang masih menghantui Bangsa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dua isu sentral masalah pembangunan yang masih menghantui Bangsa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dua isu sentral masalah pembangunan yang masih menghantui Bangsa Indonesia saat ini adalah masalah pengangguran dan masalah kemiskinan. Kedua permasalahan ini

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN KINERJA

BAB II PERENCANAAN KINERJA 6 BAB II PERENCANAAN KINERJA Laporan Kinerja Kabupaten Purbalingga Tahun mengacu pada Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 53 Tahun 2014 tentang Petunjuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap keberhasilan pembangunan bangsa. Ahmadi (2004:173) menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. terhadap keberhasilan pembangunan bangsa. Ahmadi (2004:173) menyatakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan institusi terkecil dalam masyarakat yang berpengaruh terhadap keberhasilan pembangunan bangsa. Ahmadi (2004:173) menyatakan bahwa keluarga

Lebih terperinci

PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,

PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG NOMOR 53 TAHUN 2015 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINANDI KABUPATEN PANDEGLANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, Menimbang : a. bahwa kemiskinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terutama sejak terjadinya krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997.

BAB I PENDAHULUAN. terutama sejak terjadinya krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Permasalahan yang dihadapi oleh Negara Indonesia adalah kemiskinan. Dari tahun ke tahun masalah ini terus menerus belum dapat terselesaikan, terutama sejak

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN TORAJA UTARA

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN TORAJA UTARA PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN TORAJA UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN TORAJA UTARA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TORAJA UTARA, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan tidak dapat ditakar hanya dengan kemampuan memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan tidak dapat ditakar hanya dengan kemampuan memenuhi kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena kemiskinan atau sering disebut sebagai lingkaran setan kemiskinan, dapat diibaratkan seperti benang kusut yang sangat susah dibenahi. Kemiskinan tidak

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. subyektif sifatnya. Kemiskinan memang dapat diukur dari sisi ekonomi, akan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. subyektif sifatnya. Kemiskinan memang dapat diukur dari sisi ekonomi, akan BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Kemiskinan Kemiskinan mempunyai banyak dimensi dan sangat situsional serta subyektif sifatnya. Kemiskinan memang dapat diukur dari sisi

Lebih terperinci

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 WALIKOTA KENDARI PERATURAN DAERAH KOTA KENDARI NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA KENDARI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memenuhi hak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak terpisahkan serta memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah dan

BAB I PENDAHULUAN. tidak terpisahkan serta memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan desa merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, dengan demikian pembangunan desa mempunyai peranan yang penting dan bagian yang tidak terpisahkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fasilitas mendasar seperti pendidikan, sarana dan prasarana transportasi,

TINJAUAN PUSTAKA. fasilitas mendasar seperti pendidikan, sarana dan prasarana transportasi, 27 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kemiskinan Masyarakat miskin adalah masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk mengakses sumberdaya sumberdaya pembangunan, tidak dapat menikmati fasilitas mendasar seperti

Lebih terperinci

SALINAN NOMOR TENTANG. dan. Menimbang. Dasar : 1. Negara. Provinsi. Bangkaa. Indonesia Tahun Belitung (Lembaran 4268); Indonesia.

SALINAN NOMOR TENTANG. dan. Menimbang. Dasar : 1. Negara. Provinsi. Bangkaa. Indonesia Tahun Belitung (Lembaran 4268); Indonesia. BUPATI BANGKA TENGAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PERKEMBANGAN KEPENDUDUKAN DAN PEMBANGUNAN KELUARGAA

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN

RENCANA KINERJA TAHUNAN KABUPATEN : PENAJAM PASER UTARA TAHUN : 2010 RENCANA KINERJA TAHUNAN SASARAN STRATEGIS INDIKATOR KINERJA TARGET Persentase Angka Partisipasi Sekolah (APM) SD/ MI 92 Persen Dituntaskannya program wajib

Lebih terperinci