BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Wickenden (Basuki 1995:5) kesejahteraan sosial mencakup perundangundangan,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Wickenden (Basuki 1995:5) kesejahteraan sosial mencakup perundangundangan,"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Pengertian kesejahteraan sosial Menurut Wickenden (Basuki 1995:5) kesejahteraan sosial mencakup perundangundangan, program, tunjangan dan pelayanan yang menjamin dan memperkuat berbagai jenis penyediaan untuk memenuhi kebutuhan sosial yang diakui sebagai kebutuhan dasar bagi kesejahteraan warga negara dan untuk berfungsinya secara lebih baik ketertiban sosial. Kesejahteraan sosial meliputi semua bentuk penanganan yang berhubungan dengan pemeliharaan kesejahteraan individu dan masyarakat sebagai keseluruhan. Berdasarkan UU No. 6 Thn 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan sosial dalam pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa Kesejahteraan Sosial ialah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial materiil dan sprituiil yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjungjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai Pancasila. Adapun fungsi-fungsi kesejahteraan sosial adalah sebagai berikut: 1) kegiatan pemeliharaan untuk melindungi individu dengan menyediakan dukungan dan sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan kehidupan secara damai,

2 2) kegaiatan pengembangan yang dalam lingkup nilai-nilai sosial dan struktur politik yang berlaku, membantu pertumbuhan secara tertib dari individu dan lembagalembaga keluarga, ekonomi dan keagamaan dalam kerangka rencana dan aspirasi nasional untuk meletakkan dasar bagi pengembangan penuh individu dan keluarga, 3) kegiatan pengubahan yang langsung diajukan kepada pengubah fungsionalitas individu, keluarga dan kelompok pada saat mereka ingin berubah dan bila perubahan diperlukan untuk melindungi dirinya dan lain, juga diarahkan secara langsung kepada perubahan unsur-unsur yang bermakna dalam struktur sosial Pengertian pemberdayaan Pemberdayaan berdasarkan Departemen Sosial RI mengandung makna pengakuan potensi pemberian kepercayaan dan peluang mendorong kemandirian serta peningkatan kemampuan untuk memecahkan masalah. Sedangkan menurut Sumaryadi (2005), pemberdayaan merupakan upaya meningkatkan harkat lapisan masyarakat dalam pribadi manusia. Upaya ini meliputi tiga hal yaitu: Pertama, mendorong, memotivasi, meningkatkan kesadaran akan potensinya dan menciptakan iklim atau suasana untuk berkembang. Kedua, memperkuat daya potensi yang dimiliki dan langkah-langkah positif untuk mengembangkannya. Ketiga, penyediaan berbagai masukan dan pembukaan akses ke peluang-peluang. Upaya pokok yang dilakukan adalah peningkatan taraf pendidikan, derajat kesehatan, akses kepada modal, teknologi tepat guna, informasi, lapangan kerja dan pasar dengan fasilitasfasilitasnya. Pemberdayaan bukan hanya penguatan individu (orang perorangan) tapi juga pranata-pranata (sistem dan strukturnya), pembaharuan kelembagaan,

3 penanaman nilai, peranan masyarakat didalamnya, khususnya dalam pengambilan keputusan dan perencanaan, sekaligus merupakan pembudayaan demokrasi demikian pula alokasi, pembelaan yang lemah terhadap yang kuat dan persaingan yang tidak sehat. Pemberdayaan tidak boleh membuat masyarakat menjadi tergantung pada pemberian. Apa yang dinikamati harus dihasilkan oleh usaha sendiri, dengan demikian manusia menjadi semakin mandiri dan memiliki harga diri. Makna pemberdayaan bagi kalangan pemerintah dapat diidentifikasi sebagai upaya pembinaan, bahwa masyarakat untuk mencapai kesejahteraannya harus dibina karena mereka dalam kondisi tidak mampu. Pembinaan menjadikan program pemberdayaan tetap dalam kerangka ada pembina dan ada yang dibina. Hal ini berimplikasi adanya hubungan patron klien, hubungan atas bawah, hubungan penguasa dan yang dikuasai. Menurut salah seorang kepala bagian di lingkungan Badan Perencanaan Pembangunan Kota (BAPPEKO) menyatakan bahwa pembinaan penduduk miskin dilakukan dengan pemberian modal usaha agar mereka dapat meningkatkan usahanya. Pemberdayaan masyarakat tidak hanya mengembangkan potensi ekonomi rakyat, tetapi juga harkat dan martabat, rasa percaya diri dan harga dirinya, terpeliharanya tatanan nilai budaya setempat. Pemberdayaan sebagai konsep sosial budaya yang implementatif dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat, tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomi, tetapi juga nilai tambah sosial dan nilai tambah budaya. Pemberdayaan masyarakat sendiri telah menjadi konsep yang banyak dipakai oleh para pengambil keputusan untuk menunjukkan

4 bahwa ada perubahan tujuan program pembangunan yang lebih berpihak kepada rakyat Pengertian kemiskinan dan fakir miskin Kemiskinan secara umum merupakan suatu keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti luas, kemiskinan merupakan suatu fenomena multiface atau multidimensional (Suryawati,2005:122). Tetapi pada umumnya, ketika orang berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Menurut Todaro (2002:200) salah satu generalisasi (anggapan sederhana) yang terbilang paling valid mengenai miskin adalah bahwa mereka pada umumnya bertempat tinggal di daerah-daerah pedesaan, dengan mata pencaharian pokok di bidang-bidang pertanian dan kegiatan-kegiatan lainnya yang erat berhubungan dengan sektor ekonomi tradisional. Mubyarto (1998:4) mengatakan kemiskinan adalah suatu situasi serba kekurangan dan disebabkan oleh terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pengetahuan dan keterampilan, rendahnya produktivitas, rendahnya pendapatan, lemahnya nilai tukar hasil produksi orang miskin dan terbatasnya kesempatan berperan serta dalam pembangunan. Persoalan kemiskinan mangandung makna ketimpangan ekonomi dan pemerataan. Kedua masalah ini masih merupakan topik yang hangat untuk dibicarakan, mengingat masih besarnya pengangguran

5 terselubung yang disebabkan masih adanya pekerjaan yang dilakukan di bawah produktivitas kerja serta rendahnya kualitas tenaga kerja di Indonesia. Sementara diduga adanya hubungan yang positif antara tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran tersebut. Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan penduduk yang bersangkutan untuk mencapai atau memenuhi standar hidup minimum tertentu. Namun pengertian ini bersifat relatif pula yang berbeda antara suatu negara atau masyarakat dengan negara atau masyarakat lainnya (Kamaludin,1998:45). Sedangkan menurut kriteria BPS dikemukakan bahwa seseorang disebut miskin (miskin absolut) bila pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang minimum dalam makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya. Khusus untuk standar kebutuhan makan minimal yang digunakan adalah kalori per kapita per hari. Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain, seperti tingkat kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancam tindak kriminal, ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri. Para ahli ekonomi mengelompokkan ukuran kemiskinan menjadi 2 macam yaitu pertama, kemiskinan absolut yang diartikan sebagai suatu keadaan dimana tingkat pendapatan dari suatu orang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti sandang, pangan, pemukiman, kesehatan, dan pendidikan. Ukuran ini

6 dikaitkan dengan batasan pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang dapat hidup layak. Seseorang yang mempunyai pendapatan di bawah kebutuhan minimum maka orang tersebut dikatakan miskin. Kedua, kemiskinan relatif, yaitu kemiskinan yang berkaitan dengan distribusi pendapatan yang mengukur ketidakmerataan. Dalam kemiskinan relatif ini seseorang yang telah mampu memenuhi kebutuhann minimumnya belum tentu disebut tidak miskin. Kondisi seseorang atau keluarga apabila dibandingkan dengan masyarakat sekitarnya mempunyai pendapatan yang lebih rendah, maka keluarga tersebut masih berada dalam keadan miskin. Dengan kata lain kemiskinan ditentukan oleh keadaan sekitarnya dimana orang tersebut tinggal (Arsyad, 1997 : 70-71). Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunayi sumber mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan (peraturan pemerintah nomor 42 Th Pasal 1 Ayat 1). Pemenuhan kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan itu dimaksudkan adalah merupakan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia yang dapat menunjang orang untuk berkembang dengan baik, seperti sandang, pangan, papan, pendapatan, pendidikan dan kesehatan Kriteria keluarga miskin Menurut Departemen Sosial RI kriteria fakir miskin meliputi: 1) Penghasilan rendah atau berada di bawah garis kemiskinan, seperti tercermin dari tingkat pengeluaran per orang per bulan, yaitu:

7 a. Pedesaan Rp ,- (Rp ,-/KK/bulan) b. Perkotaan Rp ,- (Rp ,-/KK/bulan) 2) Keterbatasan Pemilikan a. Pakaian 2-3 stel b. Tidak memiliki tanah, atau punya <0.25 ha c. Penerangan, lampu minyak tanah 3) Perumahan kurang layak huni a. Luas kurang dari 40 m 2 b. Dinding sederhana, bambu/papan c. Kondisi kurang sehat 4) Keterbatasan Pendidikan a. Tidak tamat SD b. Tidak tamat SLTP 5) Keterbatasan keterampilan 6) Relatif kondisi kesehatan rendah a. Gizi rendah b. Sering terkena serangan penyakit c. Relatif kurang dapat memenuhi kebutuhan air bersih d. Umumnya tidak memiliki MCK 7) Keterbatasan dalam penghayatan terhadap kesusilaan (penghayatan normatif kurang/kurang memiliki harga diri).

8 Dalam menentukan seseorang dapat dikatakan miskin atau tidak, diperlukan tolok ukur sebagai bahan perhitungan dan penentuan batas-batas kemiskinan. Menurut Arsyad (1999: 240) indikator kemiskinan ada bermacam-macam yakni : 1) Tingkat Konsumsi Beras Menurut Sajogyo (Arsyad, 1999:240) untuk daerah pedesaan, penduduk dengan konsumsi berasa kurang dari 240 kg per kapita per tahun bisa digolongkan miskin, sedangkan untuk daerah perkotaan adalah 360 kg per kapita per tahun. Secara lebih terinci Sajogyo membagi lagi indikator kemiskinan tersebut menjadi tiga kelompok : Tabel 2.1 Kategori Kemiskinan Menurut Sajogyo di Pedesaan dan Perkotaan (dalam kg per kapita) Kategori Pedesaan Perkotaan Melarat Sangat Miskin Miskin Sumber: (Arsyad, 1999 : 240) Namun sejak tahun 1979 garis melarat dihilangkan dan kemudian ditambah dengan garis nyaris miskin yaitu dengan 480 kg di desa dan 720 kg di perkotaan. 2) Tingkat pendapatan Pada daerah perkotaan pendapatan yang dibutuhkan untuk melepaskan diri dari kategori miskin adalah Rp 4.522,00 perkapita pada tahun 1976, sedang pada tahun 1993 adalah Rp ,00. Sedangkan untuk daerah perdesaan pendapatan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan

9 daerah perkotaan yakni sekitar Rp 2.849,00 pada tahun 1976 dan Rp ,00 pada tahun Hal ini berarti dapat dipahami karena dinamika kehidupan yang berbeda antara keduanya. Penduduk di daerah perkotaaan mempunyai kebutuhan yang relatif sangat beragam dibandingkan dengan daerah pedesaan sehingga mempengaruhi pula pola pengeluaran. 3) Indikator kesejahteraan rakyat Selain data pendapatan dan pengeluaran, ada berbagai komponen tingkat kesejahteraan lain yang sering digunakan. Pada publikasi UN (1961) yang berjudul Definition and Measurement of Level of Living: An Interim Guide disarankan 9 komponen kesejahteraan yaitu: kesehatan, konsumsi makanan dan gizi, pendidikan, kesempatan kerja, perumahan, jaminan sosial, sandang, rekreasi, dan kebebasan. Singarimbun dan Penny (1976:96) mengatakan bahwa konsep kecukupan sebagai batas kemiskinan. Batas kecukupan diukur dari luasnya tanah garapan. Sebuah rumah tangga petani dianggap berkecukupan apabila menguasai tanah garapan terdiri atas 0,7 hektar sawah tadah hujan ditambah 0,3 hektar pekarangan Program Penanggulangan Kemiskinan Menurut Mubyarto (2000:229), Inpres No. 5/1993 tentang peningkatan penanggulangan kemiskinan seperti Program IDT adalah salah satu upaya pemerintah untuk menerapkan strategi pembangunan yang berkelanjutan. Program ini hanya pada tahap awal saja merupakan program pemerintah. Setelah program ini diterima dengan baik oleh rakyat atau penduduk miskin, maka selanjutnya diselenggarakan oleh rakyat sendiri dan sesudah itu berhasil tidaknya dan bermanfaat

10 tidaknya bagi rakyat untuk seterusnya, merupakan gerakan masyarakat dan menjadi tanggung jawab masyarakat sendiri. Program ini sudah berhasil diterapkan terutama di daerah Istimewa Yogyakarta dan Bali, antara lain karena pengaruh lembagalembaga adat yang kuat dan mapan. Pada Sidang Kabinet Terbatas tanggal 22 April 1997 Presiden Republik Indonesia telah menetapkan kebijakan Memantapkan Program Menghapus Kemiskinan (MPMK) melalui peningkatan upaya yang bersifat koordinatif lintas sektor yang mencakup: 1) program keluarga sejahtera, 2) program pengembangan wilayah luar Jawa dan Bali, 3) program pengembangan usaha kecil, menengah dan koperasi. Penetapan Program Kesejahteraan Sosial (PROKERSOS) sebagai salah satu program pokok MPMK, disamping Program Keluarga Sejahtera (PROKESRA) melalui IDT merupakan pengakuan akan peranan dan kontribusinya dalam penaggulangan kemiskinan dan sekaligus merupakan peluang dan tantangan untuk mampu menampilkan kinerja dan produktivitas yang tinggi. PROKERSOS dalam rangka MPMK menggunakan pendekatn Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dalam meningkatkan taraf kesejahteran sosial. Hingga saat ini program tersebut masih dilaksanakan oleh pemerintah Efektivitas Program Penanggulangan Kemiskinan Menurut Subagyo (2000 : 23) efektivitas adalah kesesuaian antara output dengan tujuan yang ditetapkan. Tingkat efektivitas program dalam hal ini menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam merealisasikan program yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan. Apabila realisasi program 1 persen

11 sampai dengan 50 persen dari target termasuk efektivitas rendah, sedangkan apabila realisasi program antara 51 persen smpai dengan 100 persen dari target, termasuk efektivitas tinggi. Pengukuran tingkat efektivitas menggunakan standar Litbang Depdagri Republik Indonesia 1991 (Prapta, 2007:28), sebagai berikut. 1) Koefisien efektivitas bernilai di bawah 40% = sangat tidak efektif 2) Koefisien efektivitas bernilai 40% - 59,99% = tidak efektif 3) Koefisien efektivitas bernilai 60% - 79,99% = cukup efektif 4) Koefisien efektivitas bernilai di atas 79,99% = sangat efektif Tingkat efektivitas dapat dievaluasi terkait dengan variabel input, proses dan juga output. Variabel input meliputi: ketepatan sasaran, tujuan dan tingkat sosialisasi, variabel proses meliputi: ketepatan penggunaan dana, respon terhadap keluhan, dan pemantauan, sedangkan variabel output meliputi kondisi ekonomi setelah menerima bantuan kube dan pendapatan keluarga Pengertian dan Tujuan Program Kesejahteraan Sosial Kelompok Usaha Bersama Program Kesejahteraan Sosial (PROKERSOS) merupakan suatu kegiatan untuk meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan penyandang masalah kesejahteraan sosial agar dapat menikmati kehidupan secara layak dan berperan dalam pembangunan. Kebijakan pokok pembangunan kesejahteraan sosial dalam REPELITA VI meliputi: 1) Meningkatkan kualitas dan efektivitas pelayanan sosial sehingga mampu mendukung tumbuhnya sikap dan tekad kemandirian, manusia dan

12 masyarakat Indonesia dalam peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), 2) Memperluas jangkauan dan pelayanan sosial yang semakin adil dan merata, 3) Peningkatan profesionalitas pelayanan sosial baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat, 4) Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pelayanan sosial secara terarah, terencana, terorganisasi dan melembaga atas dasar solidaritas sosial. Program Kesejahteraan Sosial (PROKERSOS) secara keseluruhan meliputi: 1) Bantuan Kesejahteraan Soisial Fakir Miskin, 2) Pembinaan Kesejahteraan Sosial masyarakat Terasing, 3) Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat, 4) Pembinaan Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia, 5) Pembinaan Kesejahteraan Sosial Anak Terlantar, 6) Peningkatan Peranan Wanita di Bidang Kesejahteraan Sosial, 7) Pembinaan Keluarga Muda Mandiri, 8) Pembinaan Karang Taruna, 9) Rehabilitasi Sosial Daerah Kumuh, 10) Pembinaan Nilai-nilai Kepeloporan, Keperintisan, dan Kepahlawanan, 11) Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak Nakal dengan Korban Penyalahgunaan Narkoba, 12) Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial, 13) Pembinaan Partisipasi Sosial Masyarakat, 14) Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Korban Bencana, 15) Pembinaan Anak dan Remaja, dan 16) Jaminan, Perlindungan dan asuransi Kesejahteraan Sosial. Program Kesejahteraan Sosial (PROKERSOS) dalam rangka Menetapkan Program Menghapus Kemiskinan (MPMK) menggunakan pendekatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE) yang dilandasi pertimbangan akan kenyataan berbagai keterbatasan yang melekat pada perorangan Penyandang Masalah Kesejahteraan

13 Sosial (PMKS) termasuk keluarga miskin. Penanganan secara kelompok dimaksudkan guna menumbuhkembangkan semangat kebersamaan dalam upaya peningkatan taraf kesejahteraan sosial. Kelompok Usaha Bersama (KUBE) adalah kelompok warga atau keluarga binaan sosial yang dibentuk oleh warga atau keluarga binaan sosial yang telah dibina melalui proses kegiatan PROKERSOS untuk melaksanakan kegiatan kesejahteraan sosial dan usaha ekonomi dalam semangat kebersamaan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnya. KUBE merupakan metode pendekatan yang terintegrasi dan keseluruhan proses PROKERSOS dalam rangka Menetapkan Program Menghapuskan Kemiskinan (MPMK). Pembentukan KUBE dimulai dari proses pemebentukan kelompok sebagai hasil bimbingan sosial, pelatihan keterampilan berusaha, bantuan stimulus dan pendampingan. Kegiatan usaha ekonomi produktif yang dilakkukan antara lain di bidang pertanian, peternakan, perikanan, home industry, jasa-jasa serta usaha-usaha kesejahteraan sosial yang disesuaikan dengan permasalahan sosial dan kebutuhannya. Dasar hukum yang digunakan dalam pembentukan program ini antar lain: 1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pasal 33 dan 34 2) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. 3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. 4) Peraturan pemerintah RI Nomor 42 Tahun 1981 tentang Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Fakir Miskin.

14 5) Keppres RI Nomor 124 Tahun 2001 jo No. 8/2002 tenteang Komite Penanggulangan Kemiskinan. 6) Kepmensos Nomor 50/PEGHUK/2002 tentang Tim Penanggulangan Kemiskinan Departemen Sosial RI. Tujuan KUBE diarahkan kepada upaya mempercepat penghapusan kemiskinan, melalui: 1) Peningkatan kemampuan berusaha para anggota KUBE secara bersama dalam kelompok 2) Peningkatan pendapatan 3) Pengembanagan usaha 4) Peningkatan kepedulian dan kesetiakawanan sosial diantara para anggota KUBE dan dengan masyarakat sekitar. 2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya Kuta (2004) membahas efektivita program Kelompok Belajar Usaha (KBU) dalam penanggulangan kemiskinan di kabupaten Karangasem. Variabel yang digunakan adalah kejelasan tujuan program, ketepatan sasaran program, ketepatan penggunaan dana program, kemungkinan pengembalian dana program, tinggi rendahnya tingkat bunga pinjaman dan pelatihan usaha. Dalam penelitian tersebut dipergunakan teknik analisis deskriptif dan teknik analisis uji beda dan uji t antara pendapatan sebelum dan sesudah menjadi kelompok belajar usaha (KBU). Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa program kelompok belajar usaha (KBU) dalam

15 penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Karangasem memiliki tingkat efektivitas yang cukup tinggi dan berdampak positif dalam upaya penanggulangan kemiskinan di pedesaan. Dari penelitian sebelumnya, terdapat perbedaan dengan penelitian sekarang, yang membedakan adalah pada lokasi, periode waktu dan objek penelitian. Objek penelitian sebelumnya mengenai efektivitas program Kelompok Belajar Usaha dalam penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Karangasem. Sedangkan penelitian sekarang mengenai efektivitas dan dampak dari program kelompok usaha bersama dalam pemberdayaan fakir miskin di kota Denpasar. Pada penelitian Lison (2003) yang diteliti adalah mengenai efektivitas penanggulangan kemiskinan terhadap keluarga pra sejahtera di kabupaten Badung dengan menggunakan 3 metode analisis yaitu pertama, analisis matematika dan statistik sederhana, kedua analisis Non Parametrik uji 2 sampel berpasangan Wilcoxon dan ketiga analisis Statistik dan analisis Kuantitatif dan untuk teknik pengumpulan data pada penelitian tersebut di sebutkan bahwa secara umum program penanggulangan kemiskinan terhadap pemberdayaan ekonomi keluarga pra sejahtera di Kabupaten Badung efektifitasnya tinggi dan berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan keluarga, kepedulian masyarakat, serta menurunnya jumlah keluarga pra sejahtera dan tahapan keluarganya bergeser ketahapan yang lebih tinggi. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pertama daerah penelitiannya berbeda dimana sebelumnya mengambil tempat di kabupaten Badung sedangkan pada penelitian ini mengambil tempat di kota Denpasar, kedua sebelumnya mengenai

16 efektifitas program penaggulangan kemiskinan terhadap keluarga pra sejahtera, sedangkan pada penelitian ini mengenai efektivitas program pemberdayaan fakir miskin kelompok usaha bersama. Persamaan dalam penelitian ini adalah sama-sama meneliti tentang efektivitas. Penelitian yang dilakukan oleh Suweta (2003) dengan judul Efektivitas Program Gianyar Sejahtera Dalam Pengentasan Keluarga Pra Sejahtera di Kabupaten Gianyar. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh sebanyak 82,86 persen responden telah berhasil dientaskan ketahapan yang lebih tinggi, diantaranya 62,90 persen naik ke KS I, 12,36 persen naik ke KS II dan 6,99 persen naik ke KS III. Walaupun tingkat pendapatan mengalami kenaikan yang cukup signifikan setelah menerima bantuan, namun peningkatan pendapatan tersebut belum mampu mengentaskan keluarga pra sejahtera yaitu sebesar 17,74 persen. Perbedaan penelitian Suweta dengan penelitian ini adalah pertama daerah penelitiannya berbeda dimana penelitian sebelumnya mengambil tempat di Kabupaten Gianyar sedangkan penelitian ini mengambil tempat di Kota Denpasar.. Kedua, pada penelitian sebelumnya yang diteliti tentang program Gianyar Sejahtera sedangkan dalam penelitian ini meneliti tentang Program Kesejahteraan Sosial Kelompok Usaha Bersama. Persamaannya adalah sama-sama meneliti tentang efektivitas program.

17 2.3 Hipotesis Berdasarkan pokok permasalahan yang di dukung dengan teori-teori yang relevan, maka hipotesis yang dapat diajukan penelitian ini adalah: 1) Program Kesejahteraan Sosial Kelompok Usaha Bersama (PROKERSOS KUBE) dalam memberdayakan fakir miskin di Kota Denpasar sangat efektif. 2) Program Kesejahteraan Sosial Kelompok Usaha Bersama (PROKERSOS KUBE) memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan pendapatan fakir miskin di Kota Denpasar. 3) Program Kesejahteraan Sosial Kelompok Usaha Bersama (PROKERSOS KUBE) memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan kesempatan kerja fakir miskin di Kota Denpasar.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Kemiskinan Berbagai definisi tentang kemiskinan sudah diberikan oleh para ahli di bidangnya. Kemiskinan adalah suatu keadaan, yaitu seseorang tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persedian sumber

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persedian sumber BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Kemiskinan Secara ekonomi kemiskinan dapat diartikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk meningkatkan

Lebih terperinci

Pengertian keluarga sebagaimana yang didefinisikan oleh Sekretariat. Menteri Negara Kependudukan BKKBN Jakarta (1994:5) adalah unit terkecil dari

Pengertian keluarga sebagaimana yang didefinisikan oleh Sekretariat. Menteri Negara Kependudukan BKKBN Jakarta (1994:5) adalah unit terkecil dari BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Keluarga Sejahtera Pengertian keluarga sebagaimana yang didefinisikan oleh Sekretariat Menteri Negara Kependudukan BKKBN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang : a. bahwa sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keadaan dimana masyarakatnya sentosa dan makmur serta berkecukupan, baik dalam

BAB I PENDAHULUAN. keadaan dimana masyarakatnya sentosa dan makmur serta berkecukupan, baik dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terciptanya kesejahteraan masyarakat merupakan salah satu tujuan utama berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesejahteraan merupakan suatu keadaan dimana masyarakatnya

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI SELATAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memenuhi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan hipotesis. A. Latar Belakang Masalah. Kemiskinan seringkali

Lebih terperinci

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL

PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL I. UMUM PENJELASAN A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan perwujudan dari upaya mencapai tujuan bangsa yang

Lebih terperinci

BAB 29 PENINGKATAN PERLINDUNGAN

BAB 29 PENINGKATAN PERLINDUNGAN BAB 29 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL Perlindungan dan kesejahteraan sosial merupakan hal-hal yang berkaitan dengan keterlantaran baik anak maupun lanjut usia, kecacatan, ketunasosialan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Upaya penanganan kemiskinan sejak zaman pemerintah Orde Baru sudah dirasakan manfaatnya, terbukti dari jumlah penurunan jumlah penduduk miskin yang terjadi antara tahun 1976

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL I. UMUM Pembangunan kesejahteraan sosial merupakan perwujudan dari upaya mencapai tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dua isu sentral masalah pembangunan yang masih menghantui Bangsa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dua isu sentral masalah pembangunan yang masih menghantui Bangsa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dua isu sentral masalah pembangunan yang masih menghantui Bangsa Indonesia saat ini adalah masalah pengangguran dan masalah kemiskinan. Kedua permasalahan ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan sosial masyarakat yang memiliki harkat dan martabat, dimana setiap

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan sosial masyarakat yang memiliki harkat dan martabat, dimana setiap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesejahteraan sosial adalah upaya peningkatan kualitas kesejahteraan sosial masyarakat yang memiliki harkat dan martabat, dimana setiap orang mampu mengambil

Lebih terperinci

Kemiskinan di Indonesa

Kemiskinan di Indonesa Kemiskinan di Indonesa Kondisi Kemiskinan Selalu menjadi momok bagi perekonomian dunia, termasuk Indonesia Dulu hampir semua penduduk Indonesia hidup miskin (share poverty), sedangkan sekarang kemiskinan

Lebih terperinci

- 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

- 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL - 1 - WALIKOTA MADIUN PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA

PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA PEMERINTAH KABUPATEN KAYONG UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAYONG UTARA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan daerah. Pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan daerah. Pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya. Dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat tersebut,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap warga negara berhak untuk

Lebih terperinci

LAMPIRAN III PERATURAN BUPATI KARANGASEM NOMOR 41 TAHUN 2014 TENTANG URAIAN TUGAS DINAS DAERAH KABUPATEN KARANGASEM. Dinas Sosial 1.

LAMPIRAN III PERATURAN BUPATI KARANGASEM NOMOR 41 TAHUN 2014 TENTANG URAIAN TUGAS DINAS DAERAH KABUPATEN KARANGASEM. Dinas Sosial 1. 57 Dinas Sosial 1. KEPALA DINAS LAMPIRAN III PERATURAN BUPATI KARANGASEM NOMOR 41 TAHUN 2014 TENTANG URAIAN TUGAS DINAS DAERAH KABUPATEN KARANGASEM Kepala Dinas Sosial Kabupaten Karangasem mempunyai tugas

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional, )

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional, ) BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Pendidikan Secara Umum Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Nasional, 1889-1959) menjelaskan tentang pengertian pendidikan yaitu: Pendidikan umumnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk melihat keberhasilan pembangunan suatu negara. Setiap negara akan

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk melihat keberhasilan pembangunan suatu negara. Setiap negara akan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan merupakan indikator penting untuk melihat keberhasilan pembangunan suatu negara. Setiap negara akan berusaha keras untuk

Lebih terperinci

KUBE (KELOMPOK USAHA BERSAMA)

KUBE (KELOMPOK USAHA BERSAMA) KUBE (KELOMPOK USAHA BERSAMA) DEFINISI Kelompok Usaha Bersama (KUBE) adalah kelompok warga atau keluarga binaan sosial yang dibentuk oleh warga atau keluarga binaan sosial yang telah dibina melalui proses

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. secara efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep usahatani Soekartawi (1995) menyatakan bahwa ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan

Lebih terperinci

IV.B.22. Urusan Wajib Sosial

IV.B.22. Urusan Wajib Sosial 22. URUSAN SOSIAL UUD 45 telah mengamanatkan bahwa Negara wajib memberi perlindungan dan jaminan kesejahteraan sosial. Beberapa masalah yang masih perlu mendapat perhatian diantaranya masih rendahnya kualitas

Lebih terperinci

- 1 - BAB I PENGUATAN REFORMASI BIROKRASI

- 1 - BAB I PENGUATAN REFORMASI BIROKRASI - 1 - LAMPIRAN PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2016 TENTANG ROAD MAP REFORMASI BIROKRASI DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN SOSIAL TAHUN 2015-2019. BAB I PENGUATAN REFORMASI BIROKRASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat. Tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat. Tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah suatu proses dinamis yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tolok ukur keberhasilan pembangunan dapat dilihat dari pertumbuhan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:a.bahwa setiap warga negara berhak untuk

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sebanyak 189 negara mendeklarasikan Millenium Development Goals (MDGs) dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan Bangsabangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat

Lebih terperinci

BAB 6 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB 6 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB 6 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN A. S T R A T E G I Strategi adalah langkah-langkah berisikan program-program indikatif untuk mewujudkan visi dan misi. Strategi juga diberi makna sebagai usaha-usaha untuk

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 01 TAHUN 2010 T E N T A N G PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang

Lebih terperinci

BAB 28 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

BAB 28 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAB 28 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL A. KONDISI UMUM Pelaksanaan pembangunan bidang kesejahteraan sosial selama periode 2001-2004 memperlihatkan kondisi yang menggembirakan, terutama

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. masalah klasik dan mendapat perhatian khusus dari negara-negara di dunia.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. masalah klasik dan mendapat perhatian khusus dari negara-negara di dunia. BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Landasan Teori dan Konsep 2.1.1. Konsep Kemiskinan Pada umumnya masalah kemiskinan hingga saat ini masih menjadi masalah klasik dan mendapat perhatian

Lebih terperinci

BAB 28 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

BAB 28 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAB 28 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAB 28 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL A. KONDISI UMUM Pelaksanaan pembangunan bidang kesejahteraan sosial selama periode 2001-2004

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang tengah dihadapi oleh dunia adalah kemiskinan.

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang tengah dihadapi oleh dunia adalah kemiskinan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang tengah dihadapi oleh dunia adalah kemiskinan. Kemiskinan telah ada sejak lama pada hampir semua peradaban manusia. Pada setiap belahan dunia dapat

Lebih terperinci

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAPPEDA KAB. LAMONGAN BAB V ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH 5.1 Sasaran Pokok dan Arah Kebijakan Pembangunan Jangka Panjang Untuk Masing masing Misi Arah pembangunan jangka panjang Kabupaten Lamongan tahun

Lebih terperinci

IV.B.22. Urusan Wajib Sosial

IV.B.22. Urusan Wajib Sosial 22. URUSAN SOSIAL Perlindungan dan kesejahteraan sosial diperlukan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Meskipun telah banyak dicatat beberapa keberhasilan, beberapa masalah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 13 TAHUN TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 13 TAHUN TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAKPAK BHARAT NOMOR 13 TAHUN 2 010 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PAKPAK BHARAT, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memenuhi

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 29 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS SOSIAL

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 29 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS SOSIAL SALINAN NOMOR 29/2016 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 29 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Secara konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan pada

I. PENDAHULUAN. Secara konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas kesempatan kerja dan

Lebih terperinci

7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Banyuasin di Provinsi Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Banyuasin di Provinsi Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 70 Menimbang : Mengingat : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUASIN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUASIN, a. bahwa setiap warga

Lebih terperinci

Memberikan jaminan sosial kepada warga masyarakat, khususnya penyandang masalah sosial;

Memberikan jaminan sosial kepada warga masyarakat, khususnya penyandang masalah sosial; 22. URUSAN SOSIAL Konsep pembangunan sosial merupakan bentuk evaluasi dan kritik terhadap konsep pembangunan ekonomi yang hanya terfokus pada kemajuan ekonomi dan tidak memperhatikan aspek sosial, dan

Lebih terperinci

IV.B.22. Urusan Wajib Sosial

IV.B.22. Urusan Wajib Sosial 22. URUSAN SOSIAL Pembangunan Bidang Kesejahteraan Sosial adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan pembangunan nasional. Sasaran utama pembangunan Kesejahteraan Sosial adalah Penyandang Masalah Kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan merupakan suatu keadaan dimana seseorang berpenghasilan rendah,

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan merupakan suatu keadaan dimana seseorang berpenghasilan rendah, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan sebuah permasalahan sosial yang sangat kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan (Anggraini, 2012). Kemiskinan umumnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II PERENCANAAN KINERJA

BAB II PERENCANAAN KINERJA BAB II PERENCANAAN KINERJA A. PERENCANAAN STRATEGIS DAN RENCANA KINERJA Rencana Strategis Dinas Sosial Provinsi Sumatera Barat secara lengkap termuat dalam Rencana Strategis (Renstra) yang merupakan suatu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi pembangunan daerah dirumuskan untuk menjalankan misi guna mendukung terwujudnya visi yang harapkan yaitu Menuju Surabaya Lebih Baik maka strategi dasar pembangunan

Lebih terperinci

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 63 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS SOSIAL PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 63 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS SOSIAL PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 63 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS SOSIAL PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS DINAS SOSIAL PROVINSI BALI TAHUN

RENCANA STRATEGIS DINAS SOSIAL PROVINSI BALI TAHUN RENCANA STRATEGIS DINAS SOSIAL PROVINSI BALI TAHUN 2013-2018 Tujuan Sasaran Strategis Target Strategi Satuan Uraian Indikator Tujuan Target Tujuan Uraian Indikator Kinerja 2014 2015 2016 2017 2018 Kebijakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan tidak dapat ditakar hanya dengan kemampuan memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan tidak dapat ditakar hanya dengan kemampuan memenuhi kebutuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena kemiskinan atau sering disebut sebagai lingkaran setan kemiskinan, dapat diibaratkan seperti benang kusut yang sangat susah dibenahi. Kemiskinan tidak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seorang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan, sandang,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seorang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kemiskinan Saat ini banyak terdapat cara pengukuran kemiskinan dengan standar yang berbedabeda. Ada dua kategori tingkat kemiskinan yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu isu penting dalam pelaksanaan pembangunan, bukan hanya di Indonesia melainkan hampir di semua negara di dunia. Dalam Deklarasi Millenium Perserikatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. ahli dan lembaga-lembaga yang berkaitan dengan penelitian ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. ahli dan lembaga-lembaga yang berkaitan dengan penelitian ini. 12 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka Agar penelitian ini lebih terarah maka penulis mengutip pendapat dari beberapa ahli dan lembaga-lembaga yang berkaitan dengan penelitian ini.

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Pelacuran dan pornografi merupakan eksploitasi seksual secara komersial

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Pelacuran dan pornografi merupakan eksploitasi seksual secara komersial BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan. Pelacuran dan pornografi merupakan eksploitasi seksual secara komersial atas perempuan yang merendahkan harkat dan martabat perempuan dan merupakan pelanggaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan proses pembangunan yang. dilaksanakan oleh suatu daerah atau negara dalam rangka memakmurkan warga

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan proses pembangunan yang. dilaksanakan oleh suatu daerah atau negara dalam rangka memakmurkan warga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi merupakan proses pembangunan yang dilaksanakan oleh suatu daerah atau negara dalam rangka memakmurkan warga negara atau penduduk daerah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENANGANAN FAKIR MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sesuai dengan Pembukaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat

TINJAUAN PUSTAKA Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat TINJAUAN PUSTAKA Pemberdayaan dan Partisipasi Masyarakat Pemberdayaan mempunyai dua dimensi. Pertama, suatu proses mengalihkan kemampuan, kekuatan dan kekuasaan kepada masyarakat agar menjadi lebih berdaya

Lebih terperinci

Jl. Sukarno Hatta Giri Menang Gerung Telp.( 0370 ) , Fax (0370) Kode Pos TELAAHAN STAF

Jl. Sukarno Hatta Giri Menang Gerung Telp.( 0370 ) , Fax (0370) Kode Pos TELAAHAN STAF PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK BARAT DINAS SOSIAL, TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI Jl. Sukarno Hatta Giri Menang Gerung Telp.( 0370 ) 681150, 681156 Fax (0370) 681156 Kode Pos 83363 TELAAHAN STAF Kepada : Bapak

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. VISI PEMBANGUNAN Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 8 Tahun 2008 tentang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN

PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN PEMERINTAH KABUPATEN KUDUS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bagaimana penyelesaian masalah tersebut. Peran itu dapat dilihat dari sikap

BAB I PENDAHULUAN. bagaimana penyelesaian masalah tersebut. Peran itu dapat dilihat dari sikap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peran pemerintah sangat penting dalam merancang dan menghadapi masalah pembangunan ekonomi. Seberapa jauh peran pemerintah menentukan bagaimana penyelesaian

Lebih terperinci

BAB III VISI, MISI, DAN ARAH PEMBANGUNAN DAERAH

BAB III VISI, MISI, DAN ARAH PEMBANGUNAN DAERAH BAB III VISI, MISI, DAN ARAH PEMBANGUNAN DAERAH 3.1. Visi Berdasarkan kondisi masyarakat dan modal dasar Kabupaten Solok saat ini, serta tantangan yang dihadapi dalam 20 (dua puluh) tahun mendatang, maka

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG KESEJAHTERAAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

CAPAIAN KINERJA INDIKATOR INDIKATOR DAMPAK (IMPACT)

CAPAIAN KINERJA INDIKATOR INDIKATOR DAMPAK (IMPACT) LAMPIRAN PERATURAN MENTERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 111 / HUK / 2009 TANGGAL : 19 OKTOBER 2009 TENTANG : INDIKATOR KINERJA PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN INDIKATOR INDIKATOR DAMPAK (IMPACT) PENINGKATAN KUALITAS

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK IND()NESIA BAB 28 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL

PRESIDEN REPUBLIK IND()NESIA BAB 28 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL REPUBLIK IND()NESIA BAB 28 PENINGKATAN PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL BAB 28 PENINGKATAN PE RLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL A. KONDISI UMUM Pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia saat

Lebih terperinci

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAPPEDA KAB. LAMONGAN BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 Visi Berdasarkan kondisi Kabupaten Lamongan saat ini, tantangan yang dihadapi dalam dua puluh tahun mendatang, dan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki, maka visi Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kemiskinan merupakan isu sentral yang dihadapi oleh semua negara di dunia termasuk negara sedang berkembang, seperti Indonesia. Kemiskinan menjadi masalah kompleks yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan dan ketrampilan, rendahnya produktivitas, rendahnya pendapatan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan dan ketrampilan, rendahnya produktivitas, rendahnya pendapatan, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pengertian Kemiskinan Menurut Mubyarto (1998:4) kemiskinan merupakan salah satu situasi serba kekurangan dan disebabkan terbatasnya modal yang dimiliki,

Lebih terperinci

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN

VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN VISI MISI KABUPATEN KUDUS TAHUN 2013 2018 Visi Terwujudnya Kudus Yang Semakin Sejahtera Visi tersebut mengandung kata kunci yang dapat diuraikan sebagai berikut: Semakin sejahtera mengandung makna lebih

Lebih terperinci

Pengantar Ekonomi Pembangunan. Masalah Pokok Pembangunan

Pengantar Ekonomi Pembangunan. Masalah Pokok Pembangunan Pengantar Ekonomi Pembangunan Masalah Pokok Pembangunan Putri Irene Kanny Putri_irene@staff.gunadarma.ac.id 1 Sub Pokok bahasan pertemuan ke-8 z Masalah Pertumbuhan Ekonomi z Masalah Distribusi Pendapatan

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 10 TAHUN 2013

PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 10 TAHUN 2013 PERATURAN BUPATI KARAWANG NOMOR : 10 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN BIMBINGAN LANJUT DAN RUJUKAN BAGI PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL DI KABUPATEN KARAWANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang : a. bahwa kemiskinan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketidakmampuan secara ekonomi dalam memenuhi standar hidup rata rata

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketidakmampuan secara ekonomi dalam memenuhi standar hidup rata rata BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Masalah Kemiskinan Kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara di dunia, terutama di negara sedang berkembang. Kemiskinan adalah suatu kondisi ketidakmampuan

Lebih terperinci

Tabel 6.1 Strategi dan Arah Kebijakan Kabupaten Sumenep

Tabel 6.1 Strategi dan Arah Kebijakan Kabupaten Sumenep Tabel 6.1 Strategi dan Kabupaten Sumenep 2016-2021 Visi : Sumenep Makin Sejahtera dengan Pemerintahan yang Mandiri, Agamis, Nasionalis, Transparan, Adil dan Profesional Tujuan Sasaran Strategi Misi I :

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat

BAB I PENDAHULUAN. oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan situasi serba kekurangan yang terjadi bukan dikehendaki oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam membahas analisis tingkat kesejahteraan, tentu kita harus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam membahas analisis tingkat kesejahteraan, tentu kita harus BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kesejahteraan Dalam membahas analisis tingkat kesejahteraan, tentu kita harus mengetahui pengertian sejahtera. Pengertian sejahtera menurut W.J.S Poerwadarminta adalah

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN I. VISI Pembangunan di Kabupaten Flores Timur pada tahap kedua RPJPD atau RPJMD tahun 2005-2010 menuntut perhatian lebih, tidak hanya untuk menghadapi permasalahan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 1 PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

Pasal 152. Bagian Kedua. Bagian Tata Usaha. Pasal 153

Pasal 152. Bagian Kedua. Bagian Tata Usaha. Pasal 153 DINAS TENAGA KERJA, TRANSMIGRASI DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL KABUPATEN KUPANG Bagian Pertama Dinas Pasal 151 Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi Dan Kesejahteraan Sosial mempunyai tugas pokok membantu Bupati

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah mewujudkan

I. PENDAHULUAN. Salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah mewujudkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah mewujudkan kesejahteraan umum sebagai mana tercantum dalam Undang-Undang 1945 alinea ke 4. Kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara di dunia, terutama negara sedang berkembang. Secara umum

BAB I PENDAHULUAN. negara di dunia, terutama negara sedang berkembang. Secara umum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan (poverty) merupakan masalah yang dihadapi oleh seluruh negara di dunia, terutama negara sedang berkembang. Secara umum kemiskinan dipahami sebagai keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sehingga menjadi suatu fokus perhatian bagi pemerintah Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, sehingga menjadi suatu fokus perhatian bagi pemerintah Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan dan pengangguran menjadi masalah yang penting saat ini di Indonesia, sehingga menjadi suatu fokus perhatian bagi pemerintah Indonesia. Masalah kemiskinan

Lebih terperinci

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2015 DINAS SOSIAL PROVINSI SULAWESI SELATAN

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2015 DINAS SOSIAL PROVINSI SULAWESI SELATAN PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2015 DINAS SOSIAL PROVINSI SULAWESI SELATAN NO SASARAN STRATEGIS INDIKATOR KINERJA TARGET (1) (2) (3) (4) 1 2 Berkontribusinya menurunkan jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menentukan maju tidaknya suatu negara. Menurut Adam Smith (2007) tidak ada masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. menentukan maju tidaknya suatu negara. Menurut Adam Smith (2007) tidak ada masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah sosial terbesar yang dihadapi oleh setiap negara di dunia dan setiap negara berusaha untuk mengatasinya. Kemiskinan adalah faktor yang

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi pembangunan daerah dirumuskan untuk menjalankan misi guna mendukung terwujudnya visi yang harapkan yaitu Menuju Surabaya Lebih Baik maka strategi dasar pembangunan

Lebih terperinci

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5 VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. Visi Pembangunan di Kabupaten Murung Raya pada tahap ketiga RPJP Daerah atau RPJM Daerah tahun 2013-2018 menuntut perhatian lebih, tidak hanya untuk menghadapi permasalahan

Lebih terperinci

Program Pengentasan Kemiskinan melalui Penajaman Unit Pengelola Keuangan

Program Pengentasan Kemiskinan melalui Penajaman Unit Pengelola Keuangan Program Pengentasan Kemiskinan melalui Penajaman Unit Pengelola Keuangan I. PENDAHULUAN Pembangunan harus dipahami sebagai proses multidimensi yang mencakup perubahan orientasi dan organisasi sistem sosial,

Lebih terperinci

BAB III AKUNTABILITAS KINERJA.

BAB III AKUNTABILITAS KINERJA. BAB III AKUNTABILITAS KINERJA. Akuntabilitas kinerja adalah kewajiban untuk menjawab dari perorangan, badan hukum atau pimpinan kolektif secara transparan mengenai keberhasilan atau kegagalan dalam melaksanakan

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. Visi Terwujudnya Masyarakat Bengkulu Utara yang Mandiri, Maju, dan Bermartabat Visi pembangunan Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011-2016 tersebut di atas sebagai

Lebih terperinci

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 VISI KABUPATEN BENGKULU TENGAH

BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 VISI KABUPATEN BENGKULU TENGAH BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 VISI KABUPATEN BENGKULU TENGAH Bengkulu Tengah yang Lebih Maju, Sejahtera, Demokratis, Berkeadilan, Damai dan Agamis 1. Maju, yang diukur dengan : (a) meningkatnya investasi;

Lebih terperinci