BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Pesisir Teluk Bone Kabupaten Luwu

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Pesisir Teluk Bone Kabupaten Luwu"

Transkripsi

1 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Pesisir Teluk Bone Kabupaten Luwu Kajian kebijakan dan kelembagaan tidak dapat dipisahkan dengan kajian desentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Aspek kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam, tidak dapat dilepaskan dari instansi atau departemen yang mengelola dan membawahi masing-masing sektor sumberdaya alam. Berbagai ketentuan peraturan di bidang otonomi daerah maupun di bidang konservasi sumberdaya alam dan ekosistem selama ini belum memberi ketegasan dan kejelasan arah pelaksanaan kebijakan dan peran yang harus dilakukan oleh berbagai pihak, baik tingkat pusat maupun daerah. Dalam berbagai kasus pengelolaan sumberdaya alam persoalan yang sering muncul adalah kegagalan pemerintah pusat membentuk mekanisme pengelolaan sumberdaya alam yang efektif, hal ini dikarenakan adanya disharmonisasi sistem hukum dalam hal kewenangan pengelolaan dan adanya tumpang tindih kewenangan pengelolaan. Tumpang tindih yang terjadi umumnya terjadi pada peraturan pusat dengan peraturan daerah dan berbagai kesalahan persepsi dalam perumusan peraturan baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal. Kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir pada tahun 2007 mendapat dukungan dari Undang-Undang No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Namun, tidak serta merta undang-undang tersebut dapat dioperasionalkan, karena dari sisi perundang-undangan, undang-undang ini masih mengamanatkan dibentuknya Peraturan Pemerintah (PP), dan Peraturan Daerah (Perda) sebagai aturan pelaksanaannya. Hal ini memunculkan banyak ketidakpastian aturan pengelolaan wilayah pesisir di tingkat daerah baik di tingkat propinsi maupun di tingkatan kabupaten/kota. Desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir yang juga merupakan penterjemahan terhadap semangat desentralisasi politik kenegaraan dengan lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 yang selanjutnya mengalami amandemen menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, akhirnya menuntut praktek pengelolaan yang tepat di tingkat daerah.

2 Pengaturan pengelolaan sumberaya pesisir yang diharapkan mampu memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat dengan tetap mengedepankan keberlanjutan sumberdaya pesisir yang tersedia, menjadi tantangan sekaligus tanggung jawab bagi stakeholder di daerah. Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006), bahwa pada saat pemerintahan sentralistik nampak tidak mampu menjalankan kebijakan untuk pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) secara berkelanjutan dan berkeadilan, banyak pihak berharap bahwa pelaksanaan otonomi daerah akan membawa perubahan-perubahan mendasar, sehingga kebijakan dan kinerja pengelolaan sumberdaya alam dapat diperbaiki. Hal ini terlihat dari aspek-aspek perbaikan yang dijanjikan proses otonomi daerah yang dapat kita lihat pada Tabel 3. Tabel 3. Janji-janji Otonomi Daerah Kesetaraan (equity) Desentralisasi diyakini dapat membantu pengembangan kesetaraan melalui efisiensi penggunaan sumberdaya yang lebih besar dan adil serta distribusi manfaat dari aktivitas lokal secara demokratis Efisiensi Efisiensi ekonomi dan managerial diyakini dapat ditingkat dengan : 1. Dalam setiap pengambilan keputusan dampak terhadap masyarakat lokal senantiasa dapat diperhitungkan 2. Meningkatkan akuntabilitas dalam pelaksanaan pengambilan keputusan 3. Mengurangi biaya transaksi 4. Memberikan pelayanan yang berorientasi kebutuhan 5. Memobilisasi pengetahuan lokal 6. Mengembangkan koordinasi 7. Menyediakan sumberdaya Sumber : Ribot (2002) dalam Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) Dalam upaya desentralisasi pengelolaan sumberaya pesisir pemerintah Kabupaten Luwu merumuskan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 02 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat. Kabupaten Luwu yang memiliki wilayah pesisir yang potensial dan strategis untuk dikelola secara profesional guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat dan mendukung kelestarian lingkungan, perlindungan dan pengawasan wilayah pesisir dan laut secara terpadu, terencana dan berkelanjutan yang melibatkan masyarakat dengan asas manfaat dan keadilan, merupakan tujuan utama peraturan daerah ini di rumuskan.

3 Ada dua masalah penting yang juga menjadi kajian dalam penelitian ini yaitu kapasitas lembaga dan hubungan atau kolaborasi antar lembaga. Dalam hasil wawancara dengan pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Luwu 1 ditemukan bahwa dinas perikanan hanya memiliki 3 (tiga) orang tenaga penyuluh lapangan, 1 (satu) orang tenaga pengawas yang masih memiliki skill yang terbatas dan kemampuan teknis serta manajemen yang juga terbatas. Hal ini merupakan gambaran kapasitas lembaga yang mengelola sumberdaya pesisir dan lingkungan di Kabupaten Luwu. Selain itu, hubungan antara lembaga termasuk kolaborasi dan koordinasi antar lembaga sangat penting dalam pengelolaan secara partisipatif, dalam temuan lapangan hal ini masih sangat lemah. Keadaan ini mempengaruhi kinerja dan menjadi kendala dalam implementasi otonomi daerah. Berikut hasil narasi wawancara yang dilakukan dengan Kepala Bidang Pengembangan Perikanan Tangkap dan Pesisir. Dalam memperoleh data dan informasi Dinas Perikanan dan Kelautan memiliki kesulitan karena petugas pengawas perikanan yang bertugas di Kabupaten luwu hanya terdiri dari 1 (satu) orang, selain itu untuk melakukan penyuluhan pengelolaan sumberdaya pesisir petugas yang kami punya hanya 3 (tiga) orang dan 2 (dua) orang diantaranya hanya tamatan SMA. Dari hasil wawancara dengan pihak yang terkait pengelolaan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu 2, ditemukan bahwa lemahnya peran-peran kelembagaan lokal terkait pengelolaan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu disebabkan oleh lemahnya kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia (SDM) dan kapasitas kelembagaan utamanya masih minimnya peran dan fungsi kelembagaankelembagaan lokal. Berikut kutipan hasil wawancara selanjutnya. 1 Wawancara dilakukan dengan Sarifudding (Kepala Bidang Pengembangan Perikanan Tangkap dan Pesisir). Dilakukan pada hari selasa tanggal 5 Juli 2011 di kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu. 2 Lanjutan wawancara dengan Sarifudding (Kepala Bidang Pengembangan Perikanan Tangkap dan Pesisir). Dilakukan pada hari selasa tanggal 5 Juli 2011 di kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu.

4 Hanya ada beberapa kelompok nelayan dan kelompok pembudidaya selama ini yang aktif, itu pun banyak diantara mereka yang belum memiliki kesadaran dalam membantu menjaga lingkungan, khususnya pembukaan kawasan mangrove untuk tambak. LSM yang mendampingi masyarakat sebelumnya juga sudah tidak aktif lagi setelah Perda tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut disetujui di DPRD Menurut Wahyudin (2005), ciri pengelolaan sumberdaya alam secara partisipatif adalah (1) transparansi dalam pengelolaan sumberdaya alam, seperti berapa luas area yang dikelola atau dimanfaatkan, untuk kegiatan apa, bagaimana cara dan mekanisme pengelolaan siapa yang mengelola, (2) pertanggung jawaban pengelolaan kepada publik khususnya kepada stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya tersebut, yang dalam Peraturan Daerah semestinya telah diatur sehingga pembagian kewenangan dan tanggung jawab kepada seluruh stakeholder jelas dan menjadi hukum yang telah disepakati bersama. Dalam peraturan daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat, tidak terdapat pengaturan tentang kewenangan dan tanggung jawab dalam bab dan pasal peraturan daerah tersebut. Keadaan ini menyebabkan terjadinya eksploitasi sumberdaya yang berlebihan sehingga terjadi degradasi terumbuh karang dan hutan mangrove secara massif yang mencapai tingkat kerusakan sampai 65 persen berikut data luas tutupan dan kondisi terumbu karang Kabupaten Luwu. Adapun gambaran luas tutupan dan kondisi terumbu karang di Kabupaten Luwu dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Luas Tutupan dan Kondisi Terumbu Karang Kabupaten Luwu No Luas Persentase Luas Terumbu Karang (%) Kecamatan Tutupan (di pesisir) Sangat (ha) Baik Sedang Rusak Baik 1 Kabupaten Luwu (10 %) (25 %) (65 %) Keterangan : (-) = Data tidak tersedia Sumber : Dinas Keluatan dan Perikanan Kabupaten Luwu, 2010

5 Persoalan yang ditemukan dalam analisis substansi Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat di Kabupaten Luwu yaitu substansi perda yang masih cenderung eksploitatif, proses perumusan Peraturan Daerah yang belum partisipatif serta belum di jaminnya kepastian hak atas kekayaan sumberdaya alam pesisir bagi masyarakat sejalan dengan pendapat Kartodihardjo dan Jhamtani (2006), bahwa seluruh rangkaian sejarah serta ekonomi politik dibalik pemanfaatan sumberdaya alam dari jaman kolonial sampai pelaksanaan otonomi daerah menyisahkan sejumlah masalah mendasar sebagai berikut : 1. Keterbukaan pasar dan permintaan akan sumberdaya alam yang tinggi tanpa disertai kepastian hak atas tanah dan kekayaan alam lain, terbukti mengakibatkan pengurasan sumberdaya alam oleh berbagai pihak, baik secara legal oleh yang mendapat ijin, maupun secara illegal oleh yang tidak mendapat ijin. 2. Substansi Undang-undang maupun peraturan-perundangan lain, termasuk Perpu, yang merupakan landasan kerja semua sektor cenderung bersifat eksploitatif terhadap sumberdaya alam. 3. Tindakan eksploitasi sumberdaya alam secara illegal telah menjadi bagian dari instrumen untuk memperoleh keadilan pemanfaatan sumberdaya alam bagi sebagian masyarakat yang tinggal didalam dan di sekitar lokasi sumberdaya alam. 4. Proses-proses politik terutama di lembaga legislatif, pusat maupun daerah, cenderung mengarah pada kebijakan sumberdaya alam eksploitatif melalui mobilisasi suara. Demokratisasi pengambilan keputusan terbukti belum menghasilkan substansi keputusan yang mempertimbangkan arti penting pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan dan berkeadilan. Sedangkan menurut Rudyanto (2007), bahwa berbagai persoalan yang masih menggantung dalam pelaksanaan otonomi daerah perlu direspon dan disikapi secara arif dan bijaksana. Untuk pelaksanaan otonomi daerah di masa mendatang haruslah yang mampu meningkatkan pelayanan publik, kesejahteraan warga dan mendorong kondisi dunia usaha yang kondusif bagi pengembangan

6 ekonomi lokal atau daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, maka beberapa hal yang masih perlu disempurnakan antara lain: 1. Adanya keikhlasan pusat agar daerah memperoleh hak-haknya untuk mengolah dan mengelola sumberdaya di daerahnya secara optimal. 2. Untuk mencegah disinsentif, pemerintah daerah perlu mengembangkan strategi efisiensi dalam segala bidang (yang menjadi tolok ukur bukanlah besarnya dana, tapi seberapa optimal pelayanan diberikan kepada masyarakat sesuai dengan skala prioritas pembangunan daerahnya). 3. Untuk menopang pelaksanaan otonomi daerah, perlu dikembangkan ekonomi lokal yang kuat dan secara sistemik akan mensinergikan potensi sumberdaya lokal dengan basis kemitraan lintas aktor-aktor pembangunan (stakeholder). 4. Memperbaiki fundamental ekonomi nasional dengan memberi kesempatan yang lebih luas kepada Usaha Kecil-Mikro (UKM) agar lebih berkembang melalui kebijakan ekonomi yang tidak diskriminatif. 5. Memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam secara proporsional dan arif, agar kekayaan (resources endowment) tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari (green economic paradigm). 6. Mendorong agregasi permintaan masyarakat (public demand) terhadap layanan publik dengan mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pembuatan dan pengawasan dari kebijakan pembangunan (ekonomi) daerahnya. 7. Mendorong desentralisasi pembangunan daerah dan mendayagunakan kelembagaan di daerah untuk memiliki wewenang dan kemandirian dalam membuat produk hukum pembangunan di daerahnya. 8. Untuk memperkuat basis keuangan daerah, pemerintah daerah tidak harus selalu menambah jenis pungutan. 9. Dalam era otonomi daerah ini, birokrat pemerintah daerah harus mampu bertindak layaknya seorang entreprenuer dan Pemerintah Daerah sebagai institusi harus juga mampu bertindak layaknya sebagai enterprise. Dengan semangat otonomi daerah umumnya ditemukan dalam wawancara dengan stakeholder bahwa ada beberapa kendala yang dihadapi dalam

7 implementasi kebijakan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu antara lain : (1) Perbedaan pemahaman dan persepsi dari berbagai kalangan terhadap kebijakan otonomi daerah, (2) Belum tersedianya regulasi yang memadai sebagai pedoman dan acuan implementasi otonomi daerah, (3) Keterbatasan kemampuan aparatur pemerintahan di daerah dalam melaksanakan kewenangan daerah, (4) Keterbatasan kemampuan keuangan daerah untuk membiayai sendiri penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat di daerah, (5) Keterbatasan kemampuan daerah dalam mengembangkan dan mengelola potensi daerah. Substansi regulasi di atas banyak mengkonsentrasikan kewenangan pada pemerintah pusat, sehingga mendorong tumbuhnya sikap merasa tidak memiliki dari pemerintah daerah dan masyarakat lokal, menyebabkan pemanfaatan sumberdaya pesisir tidak terkontrol. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya pelanggaran yang terjadi, seperti kegiatan penangkapan dengan menggunakan potas maupun pengambilan biota yang dilindungi, kegiatan pembukaan lahan tambak baru atau eksploitasi hutan mangrove yang massif di hampir seluruh kecamatan pesisir yang ada di Kabupaten Luwu. Salah satu temuan penelitian setelah melakukan wawancara mendalam dengan pihak Dinas Keluatan dan Perikanan Kabupaten Luwu 3, ditemukan bahwa Pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Luwu masih memiliki keterbatasan tenaga pengawas dalam melakukan pengawasan pemanfaatan sumberdaya pesisir yang hanya terdiri 3 (tiga) orang tenaga pengawas yang sekaligus berfungsi sebagai tenaga penyuluh perikanan. Selain itu, kelemahan dalam pengawasan pemanfaatan sumberdaya alam pesisir juga di tunjukkan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) khususnya Kepala Bidang Pengendalian AMDAL 4 yang menunjukkan lemahnya penegakan hukum terkait pengelolaan sumberdaya pesisir 3 Wawancara dilakukan dengan Sarifudding (Kepala Bidang Pengembangan Perikanan Tangkap dan Pesisir). Dilakukan pada hari selasa tanggal 5 Juli 2011 di kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu. 4 Wawancara dilakukan dengan Jahiriah Kepala Bidang Pengendalian AMDAL. Dilakukan pada hari Rabu tanggal 6 Juli 2011 di kantor Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bappedalda), Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu.

8 oleh pihak swasta dan masyarakat. Dari wawancara mendalam ditemukan informasi lemahnya penanganan dampak lingkungan yang hanya mengandalkan laporan dari masyarakat. Berikut ini kutipan wawancara dengan pihak Bapedalda. Saat ini terjadi eksploitasi kawasan mangrove akibat pembukaan lahan tambak untuk budidaya tambak rumput laut, tetapi kami tidak bias mengambil tindakan selama belum ada aturan yang mengatur secara rinci batas pemanfaatan hutan mangrove dari pemerintah dalam hal ini Bupati dan Dinas Kelautan dan Perikanan. Selama ini untuk masalah pencemaran lingkungan akibat penambangan atau aktivitas perusahaan kami biasanya menunggu laporan masyarakat. Dalam wawancara dengan pihak Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) 5 ditemukan bahwa tingkat pelibatan masyarakat dan pihak swasta dalam perumusan peraturan daerah masih sangat lemah. Selanjutnya secara subtantif Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Berbasis Masyarakat Kabupaten Luwu akan di kaji dengan melihat persoalan pemberian kesempatan pada masyarakat lokal untuk melakukan usaha, efisiensi ekonomi dan perlindungan terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir. Selanjutnya kutipan hasil wawancara dengan pihak Bappeda. Perda ini diinisiasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan bersama-sama dengan LSM KTNA, namun tidak melibatkan kelompok masyarakat nelayan atau kelompok pembudidaya, selain itu pada prosesnya beberapa instansi terkait seperti Bappedalda tidak terlibat secara aktif. Persoalan yang banyak terjadi saat ini adalah potensi terjadinya abrasi di pemukiman pesisir jika tidak segera di lakukan penguatan aturan perda ini. Terkait juga dengan masalah hulu, karena sisa penebangan yang terbawa ke muara juga menyebabkan terjadi kerusakan tanaman mangrove. Temuan dari wawancara di atas menunjukkan lemahnya koordinasi instansi terkait pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu. Selain itu, 5 Hasil wawancara dengan Zainal Arifin Bidang Perencanaan Pengembangan Wilayah Pesisir (Bappeda) Kabupaten Luwu. Dilakukan pada kamis tanggal 7 Juli 2009 di kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu.

9 saat ini telah terjadi degradasi lingkungan yang sangat tinggi khususnya pada hutan mangrove. Pelibatan masyarakat dan pihak swasta dalam perumusan dan perencanaan Perda tentang pengelolaan pesisir juga tidak dilakukan. Kenyataan ini memerlukan kebijakan baru yang lebih mengedepankan pemberian tanggungjawab kepada masyarakat dalam melakukan perlindungan sumberdaya pesisir yang semestinya dilakukan dengan lebih dahulu memberikan ruang keterlibatan dalam perencanaan, evaluasi dan monitoring sehingga masyarakat lokal selain memiliki kesadaran juga memiliki rasa tanggungjawab Analisis Subtantif Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat Penetapan peraturan Daerah (Perda) adalah suatu proses politik yang secara umum melibatkan pihak eksekutif dan legislatif dan semestinya melibatkan multipihak. Penyusunan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat yang dianalisis dalam penelitian ini diinisiasi oleh pihak eksekutif melalui Dinas Perikanan dan Kelautan 6. Dalam prosesnya sampai di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) peraturan daerah ini hanya melibatkan satu kelompok Tani Nelayan Tambak dan satu Lembaga Swadaya Masyarakat KTNA dari pihak diluar pemerintahan. Peraturan Daerah ini disusun atas dasar bahwa wilayah pesisir dan laut di daerah Kabupaten Luwu merupakan kawasan yang sangat potensial dan strategis untuk dikelola secara professional guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat pesisir. Selain itu Kabupaten Luwu yang berbatasan langsung dengan Kawasan Teluk Bone penting untuk mendukung kelestarian, perlindungan dan pengawasan wilayah pesisir dan laut, sehingga dibutuhkan suatu sistem pengelolaan terpadu, terencana dan berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat berlandaskan asas-asas manfaat dan keadilan. Pada Tabel 5 di bawah ini 6 Hasil wawancara dengan Sarifudding (Kepala Bidang Pengembangan Perikanan Tangkap dan Pesisir). Dilakukan pada hari selasa tanggal 5 Juli 2011 di kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu.

10 menggambarkan tentang stakeholder yang terlibat dalam penyusunan Perda tersebut. Tabel 5. Tim Penyusun Naskah Rancangan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat Tim Penyusun Naskah Rancangan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat Instansi Pemerintah LSM-ORMAS Dinas Perikanan dan Kelautan LSM KTNA Kelompok Tani Nelayan Tambak Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Bagian Hukum Bagian Pemerintahan Bagian kelembagaan masyarakat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabid Fisik dan Prasarana Kasubid. Tata Ruang Kasubid Lingkungan Hidup Kabid Amdal Kadis Perikanan Kasubag. Peraturan Perundang-undangan Lurah Perguruan Tinggi Sumber : Hasil Analisis, 2011 Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat merupakan peraturan yang dibuat sebelum Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan Daerah ini di sahkan pada bulan Maret 2007, dilakukan perumusan selama 2 (dua) tahun sejak tahun 2005, sedangkan Undang-Undang tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau kecil disyahkan pada bulan Juli Secara eksplisit peraturan daerah ini merujuk pada Undang-

11 Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam peraturan daerah ini ditemukan bahwa tidak terdapat rujukan terhadap Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu yang sesungguhnya mengatur secara teknis pedoman untuk perencanaan wilaya pesisir secara terpadu. Peraturan daerah ini terdiri dari 15 (lima belas) bab dan 24 (dua puluh empat) pasal yang akan di kaji selanjutnya terkait dukungan peraturan daerah terhadap kesempatan masyarakat lokal untuk melakukan usaha, efisiensi ekonomi dan perlindungan terhadap lingkungan pesisir. Proses peraturan daerah No. 02 Tahun 2007 dimulai jauh sebelum kegiatan pengesahan peraturan daerah ini dilakukan yaitu berkisar 2 (dua) tahun dengan melakukan studi terlebih dahulu oleh Dinas Perikanan dan Keluatan yang bekerjasama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) KTNA. Definisi wilayah pesisir secara umum memberikan gambaran besar, betapa kompleksitas aktivitas ekonomi dan ekologi terjadi pada wilayah ini. Kompleksitas aktivitas ekonomi seperti perikanan, pariwisata, pemukiman, perhubungan, dan sebagainya memberikan tekanan yang cukup besar terhadap keberlanjutan ekologi wilayah pesisir seperti ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Tekanan yang demikian besar tersebut jika tidak dikelola secara baik akan menurunkan kualitas dan kuantitas sumberdaya yang terdapat di wilayah pesisir Analisis Isi Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut terkait Dukungan terhadap Kesempatan Pemanfaatan Masyarakat Lokal dan Efisiensi Ekonomi Menurut Carter (1996), mengemukakan bahwa konsep pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan pesisir dan laut berbasis masyarakat memiliki beberapa aspek positif yaitu (1) Mampu mendorong timbulnya pemerataan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, (2) Mampu merefleksikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik, (3) Mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada, (4) Mampu meningkatkan efisiensi secara ekonomis maupun teknis, (5) Responsif dan adaptif

12 terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal, (6) Mampu menumbuhkan stabilitas dan komitmen, serta (7) Masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola secara berkelanjutan. Namun apakah konsep ini sudah menjiwai peraturan daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat selanjutnya dilakukan analisis substansi peraturan tersebut. Peranan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam hal ini menjadi bagian terpenting yang tidak terpisahkan dalam upaya mengelola lingkungan pesisir. Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat diharapkan dapat memberikan peluang pengelolaan yang cukup efektif dalam rangka menyeimbangkan antara pelestarian lingkungan dan pemanfaatan ekonomi. Pada pasal 14 (empat belas) tentang Pengembangan Ekonomi Masyarakat dalam peraturan daerah ini terdiri dari 3 (tiga) ayat yang hanya menekankan pada peran dan tanggungjawab pihak swasta, pengembangan kapasitas pengetahuan dan keterampilan masyarakat serta peran pemerintah daerah dalam mendorong kerjasama dengan lembaga keuangan untuk memudahkan masyarakat memperoleh atau mengakses bantuan permodalan atau penguatan modal operasional. Secara substantif peraturan daerah ini belum memberikan tekanan pada upaya mendorong timbulnya pemerataan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, merefleksikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang lebih spesifik, usaha meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada serta belum menggambarkan secara eksplisit aturan yang mendukung efisiensi secara ekonomis. Selain itu peraturan daerah ini belum memberikan motivasi terhadap masyarakat untuk mengelola sumberdaya pesisir secara berkelanjutan. Salah satu bentuk pengelolaan yang cukup berpeluang memberikan jaminan pemerataan dan efektifitas dalam pengimplementasiannya adalah pengelolaan berbasis masyarakat (community based management) yang menjadi tema utama dalam peraturan daerah ini. Tetapi setelah melakukan pengkajian secara subtantif peraturan ini belum memenuhi semangat yang memberikan pada jaminan terhadap komunitas atau masyarakat yang memiliki adat istiadat, nilainilai sosial dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat hal ini terbukti dengan belum

13 adanya pasal dalam isi peraturan daerah yang menunjukkan keberpihakan terhadap beberapa wilayah pesisir yang telah dimanfaatkan masyarakat secara alami sebagai daerah wisata contohnya di Kecamatan Larompong Selatan yang saat ini di dimanfaatkan sebagai pelubahan angkutan laut dan Buntu Mata bing yang sebelumnya menjadi pusat aktivitas nelayan dalam melakukan penangkapan ikan secara tradisional saat ini menjadi kawasan wisata pesisir Buntu Mata bing. Temuan ini sesuai dengan pendapat Satria (2009b), mengatakan bahwa kebijakan pengembangan taman wisata telah banyak mengubah hak-hak kepemilikan nelayan tradisional. Misalnya sebelumnya masyarakat memiliki hakhak atas sumberdaya itu dari hak akses hingga hak eksklusi, setelah keberdaan taman wisata hak tersebut menjadi hilang. Selanjutnya dikatakan bahwa nelayan merupakan kelompok sosial yang selama ini terpinggirkan, baik secara sosial, ekonomi maupun politik. Hal ini merupakan kecenderungan di berbagai Negara bukan hanya di Indonesia Analisis Isi Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut terkait Dukungan terhadap Partispasi Masyrakat dan Perlindungan Lingkungan Pesisir Peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam lebih dikenal dengan istilah Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM) atau community based management (CBM). Menurut Carter (1996), Community-Based Resource Management (CBRM) didefinisikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan secara berkelanjutan di suatu daerah berada ditangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut. Dalam sistem pengelolaan ini, masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung jawab dalam melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya dan lingkungan yang dimilikinya, dimana masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan dan aspirasinya serta masyarakat itu pula yang membuat keputusan demi kesejahteraannya. Dari hasil analisis keterlibatan masyarakat dalam perumusan Peraturan Daerah ini menunjukkan tingkat keterlibatan masyarakat yang sangat kecil hanya mencapai 4.5 persen. Hal ini bertentangan dengan semangat pengelolaan

14 sumberdaya alam berbasis masyarakat yang semestinya diikuti oleh upaya pelibatan dalam perumusan peraturan pengelolaan sumberdaya alam. Pada Bab VII tentang Partispasi Masyarakat hanya terdiri atas 1 (satu) Pasal dan 6 (enam) ayat yang secara subtantif menekankan pada tanggungjawab masyarakat atas pelestarian hutan mangrove, terumbu karang dan biota lainnya. Selanjutnya pada ayat lain menekankan pada tanggungjawab badan usaha dalam pelestarian sumberdaya hutan mangrove dan terumbu karang. Peraturan daerah ini belum mengatur definisi batas-batas pemanfataan sumberdaya pesisir, daerah perlindungan sumberdaya pesisir dan belum melibatkan masyarakat dalam dimensi perencanaan tapi lebih menekankan pada bagaimana tanggung jawab masyarakat dalam pelaksanaan, serta pemanfaatan sumberdaya alam. Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006), bahwa ada dua argument penting yang belum digunakan dalam pembaruan kebijakan: (1) Kepastian mengenai hak penguasaan, pemanfaatan dan penggunaan tanah dan sumberdaya lain, (2) Keberadaan dan peran kelembagaan masyarakat sebagai unsur penting untuk mempertahankan daya dukung lingkungan. Walaupun ada prosedur normatif untuk merumuskan atau memperbarui kebijakan dengan pertimbangan hasil evaluasi kebijakan yang telah berjalan, namun evaluasi kebijakan itu sendiri jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan. Selanjutnya dalam peraturan daerah ini juga tidak ditemukan bab atau pasal yang mengatur tentang upaya penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir. Dalam konsep pembangunan berbasis masyarakat, penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir diharapkan mampu menjawab persoalan yang terjadi di suatu wilayah berdasarkan karakteristik sumberdaya alam dan sumberdaya manusia di wilayah tersebut. Dalam hal ini, suatu komunitas mempunyai hak untuk dilibatkan atau bahkan mempunyai kewenangan secara langsung untuk membuat sebuah perencanaan pengelolaan wilayahnya disesuaikan dengan kapasitas dan daya dukung wilayah terhadap ragam aktivitas masyarakat di sekitarnya. Pola perencanaan pengelolaan seperti ini sering dikenal dengan sebutan participatory management planning, dimana pola pendekatan perencanaan dari bawah yang disinkronkan dengan pola pendekatan perencanaan dari atas menjadi

15 sinergi dalam pengimplementasiannya. Dalam hal ini prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat menjadi hal penting yang semestinya dijadikan dasar implementasi sebuah pengelolaan berbasis masyarakat. Meminjam defenisi COREMAP-LIPI (1997) dalam Wahyudin (2005) menyatakan bahwa tujuan umum penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir berbasis masyarakat adalah mendorong peran serta masyarakat secara aktif dan terlibat langsung dalam upaya penanggulangan kerusakan lingkungan lokal untuk menjamin dan menjaga kelestarian sumberdaya dan lingkungan, sehingga dapat menjamin adanya pembangunan yang berkelanjutan. Selanjutnya dikatakan bahwa tujuan khusus penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut berbasis masyarakat dilakukan untuk (1) Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menanggulangi kerusakan lingkungan, (2) Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berperan serta dalam pengembangan rencana penanggulangan kerusakan lingkungan secara terpadu yang sudah disetujui bersama, (3) Membantu masyarakat setempat memilih dan mengembangkan aktivitas ekonomi yang lebih ramah lingkungan, dan (4) Memberikan pelatihan mengenai sistem pelaksanaan dan pengawasan upaya penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut berbasis masyarakat. Hal di atas belum ditekankan dalam Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis masyarakat sehingga penting untuk segera dilakukan penyempurnaan Peraturan Daerah atau merumuskan daerah perlindungan sumberdaya pesisir melalui Peraturan Bupati. Selanjutnya dalam melakukan analisis stakeholder ditemukan beberapa hal terkait persepsi, partisipasi masyarakat, relasi, kepentingan, pengaruh dan peta posisi stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu yang bertentang dengan semangat substansi peraturan daerah yang telah dianalisis sebelumnya Analisis Stakeholder Partisipasi masyarakat semakin diperhatikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam setiap kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, sehingga para pengambil keputusan perlu memahami pihak-pihak yang

16 dipengaruhi oleh keputusan dan tindakan yang mereka ambil, dan yang memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi hasilnya, yaitu para stakeholder. Mengidentifikasi stakeholder merupakan langkah awal dan penting dalam setiap kegiatan partisipatif. Dalam kebijakan, pengembangan dan pengelolaan sumberdaya alam, analisis stakeholder digunakan sebagai pendekatan yang dapat memberdayakan para stakeholder yang marjinal agar dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Sedangkan dalam penelitian kebijakan, analisis stakeholder merupakan suatu cara untuk menghasilkan informasi atas aktor-aktor yang relevan dalam memahami perilaku, kepentingan, agenda, dan pengaruh mereka pada proses pengambilan keputusan (Burgha and Varvasovsky, 2000). Analisis stakeholder mencoba melihat persepsi, peran atau partisipasi dan kepentingan masing-masing pihak dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu. Hasil tanggapan masyarakat yang disampaikan melalui jawaban dari pertanyaan terstruktur dalam kuesioner yang terbagi dalam tujuh kelompok masyarakat yaitu masyarakat Kecamatan Larompong, Larompong Selatan, Suli, Belopa Utara, Ponrang, Bua dan Walenrang Timur yang masing masing responden berjumlah 30 orang ditiap kecamatan yang didasarkan pada mata pencaharian sebagai nelayan Persepsi Masyarakat Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu Persepsi adalah suatu proses mental yang rumit dan melibatkan berbagai kegiatan untuk menggolongkan stimulus yang masuk sehingga menghasilkan tanggapan untuk memahami stimulus tersebut. Persepsi dapat terbentuk setelah melalui berbagai kegiatan, yakni proses fisik (penginderaan), fisiologis (pengiriman hasil penginderaan ke otak melalui saraf sensoris) dan psikologis (ingatan, perhatian, proses internalisasi informasi di otak). Ada beberapa hal yang mempengaruhi persepsi : (1) Pelaku persepsi, bila seorang individu memandang pada suatu target dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik-karakteristik pribadi dari pelaku persepsi, antara lain sikap, motif atau kebutuhan individu, suasana hati, pengalaman masa lalu, dan pengharapan. (2) Target yang akan

17 diamati, karakteristiknya dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan, (3) Situasi, yaitu unsur-unsur dalam lingkungan sekitar dapat mempengaruhi persepsi. Mengetahui persepsi masyarakat terhadap kondisi sumberdaya pesisir dalam penelitian ini diharapkan dapat memberiakan informasi tambahan dan menilai tingkat pengetahuan masyarakat terhadap kondisi sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu. Sumberdaya pesisir yang di maksud berbasis ekosistem sehingga digolongkan kedalam tiga sumberdaya yaitu terumbu karang, hutan mangrove dan padang lamun. Berikut persepsi masyarakat terhadap kondisi terumbu karang, mangrove dan padang lamun Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu. Gambar 5. Diagram Persepsi Masyarakat terhadap Kondisi Terumbu Karang, Mangrove dan Padang Lamun Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu Raya. Sumber : Hasil analisis, 2011 Berdasarkan Gambar 5 di atas menunjukkan bahwa 53.0 persen dari jumlah responden mengatakan bahwa tanaman mangrove telah mengalami kerusakan, dan 20.1 persen menyatakan sangat rusak. Umumnya kerusakan ini disebabkan oleh pembukaan lahan tambak rumput laut jenis Glacillaria Sp yang dilakukan dihampir seluruh kecamatan pesisir Kabupaten Luwu. Selanjutnya 39.3 persen masyarakat menilai bahwa sumberdaya terumbu karang sudah rusak dan 21.2 persen menyatakan sangat rusak, hal ini sesuai dengan data yang ditemukan dari Dinas Kelautan Perikanan yang menunjukkan tingkat kerusakan terumbu karang mencapai 65 persen.

18 Dari wawancara dengan salah satu masyarakat atau nelayan 7 ditemukan informasi bahwa, kerusakan terumbu karang disebabkan oleh penggunaan alat tangkap bom di wilayah terumbuh karang dan pemanfaatan terumbuh karang sebagai fondasi bangunan untuk rumah penduduk. Hal ini berbeda dengan persepsi masyarakat terhadap kondisi padang lamun dimana terdapat 50.0 persen responden menyatakan baik dan 19.8 persen menyatakan sangat baik hal ini disebabkan karena pemanfataan atas sumberdaya ini masih kurang oleh nelayan. Data di atas menunjukkan nilai yang sesuai dengan data yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Luwu yaitu Data Status Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Luwu tahun 2010, yang menunjukkan nilai sumberdaya terumbu karang yang masih baik hanya ha atau 10 persen, sedang ha atau 25 persen dan ha atau 65 persen dinyatakan rusak. Persepsi masyarakat terhadap kondisi sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu menunjukkan bahwa sesungguhnya masyarakat secara sadar mengatahui bahwa tingkat sumberdaya pesisir yang selama ini mereka manfaatkan telah mengalami banyak kerusakan. Kesadaran masyarakat ini, pada dasarnya memberikan peluang bagi pelibatan masyarakat dalam upaya perlindungan dan pengendalian kerusakan lingkungan jika dalam proses perencanaan masyarakat dilibatkan secara aktif. Dengan pengetahuan masyarakat tentang kondisi kerusakan sumberdaya pesisir jika dilibatkan dalam perumusan kebijakan atau perencanaan perlindungan kawasan atau pengendalian kerusakan akan lingkungan masyarakat akan lebih bertanggung jawab dalam pengelolaannya. Selain mengukur persepsi masyarakat terhadap kondisi sumberdaya pesisir juga dilakukan analisis terhadap partisipasi masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir Partisipasi Masyarakat dalam Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu 7 Hasil wawancara dengan Dawalang. Dilakukan pada tanggal 9 Juli 2011 di Dusun Biru, Kelurahan Larompong, Kecamatan Larompong.

19 Partisipasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peran serta masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir yaitu pemanfaatan terumbu karang, hutan mangrove dan padang lamun. Pada dasarnya partisipasi dibedakan menjadi dua, yaitu partisipasi yang bersifat swakarsa dan partisipasi yang sifat dimobilisasikan. Partisipasi swakarsa mengandung arti bahwa keikutsertaan dan peran sertanya atas dasar kesadaran dan kemauan sendiri, sementara partisipasi yang dimobilisasikan memiliki arti keikutsertaan dan berperan serta atas dasar pengaruh orang lain. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peran serta masyarakat yaitu keadaan sosial masyarakat, kegiatan program pembangunan dan keadaan alam sekitarnya. Keadaan sosial masyarakat meliputi pendidikan, pendapatan, kebiasaan dan kedudukan sosial dalam sistem sosial. Kegiatan program pembangunan merupakan kegiatan yang direncanakan dan dikendalikan oleh pemerintah yang dapat berupa organisasi masyarakat dan tindakan kebijaksanaan. Sedangkan alam sekitar merupakan faktor fisik atau keadaan geografis daerah yang ada pada lingkungan tempat tinggal masyarakat setempat. Selain memberikan informasi yang berharga kepada para pengambil keputusan peran serta masyarakat juga akan meningkatkan kemungkinan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan serta membantu perlindungan hukum. Menurut Hardjasoemantri (1993) bahwa perlu terpenuhi syarat-syarat berikut agar peran serta masyarakat menjadi efektif dan berdaya guna antara lain: (1) Pemastian penerimaan informasi dengan mewajibkan pemrakarsa kegiatan mengumumkan rencana kegiatannya. (2) Informasi lintas batas (transfortier information), mengingat masalah lingkungan tidak mengenal batas wilayah yang dibuat manusia, maka ada kemungkinan kerusakan lingkungan di satu daerah akan pula mempengaruhi daerah lain sehingga pertukaran informasi dan pengawasan yang melibatkan daerah-daerah terkait menjadi penting, (3) Informasi tepat waktu (timely information) suatu proses peran masyarakat yang efektif memerlukan informasi yang sedini dan seteliti mungkin sebelum keputusan terakhir diambil. sehingga masih adan kesempatan untuk mempertimbangkan dan mengusulkan alternatif-alternatif pilihan, (4) Informasi yang lengkap dan menyeluruh (comphrehensif information) walau isi dari suatu informasi akan berbeda

20 tergantung keperluan bentuk kegiatan yang direncanakan tetapi pada intinya informasi itu haruslah menjabarkan rencana kegiatan secara rinci termasuk alternati-alternatif lain yang dapat diambil, (5) Informasi yang dapat dipahami. Seringkali pengambilan keputusan di bidang lingkungan meliputi masalah yang rumit, kompleks dan bersifat teknis ilmiah, sehingga haruslah diusahakan informasi tersebut mudah dipahami oleh masyarakat awam. Berikut ini tingkat partispasi masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu (Gambar 6). Gambar 6. Partisipasi Masyarakat dalam Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu Sumber : Hasil analisis, 2011 Gambar 6 di atas menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat terhadap pemanfaatan terumbu karang sangat tinggi dimana ada 49.5 persen responden yang menyatakan tinggi dan 28.1 persen yang menyatakan sangat tinggi, sama halnya dengan pemanfaatan mangrove yang menunjukkan bahwa 46.7 persen yang mengatakan sangat tinggi dan 26.7 persen responden yang menyatakan tinggi. Berbeda dengan sumberdaya padang lamun dimana 53.8 persen responden menyatakan rendah dan 20.0 persen menyatakan sedang. Temuan ini menunjukkan bahwa dengan adanya Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat tidak cukup memberikan penekanan pada upaya pengelolaan sumberdaya pesisir berkelanjutan. Selain itu dapat pula disimpulkan bahwa keberadaan peraturan daerah tersebut belum memiliki konstribusi terhadap pengendalian kerusakan lingkungan.

21 Hubungan antar Persepsi dengan Partisipasi Masyarakat terhadap pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu Dari hasil analisis persepsi masyarakat terhadap kondisi terumbuh karang ditemukan bahwa tingkat kerusakan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu mencapai 73.1 persen untuk terumbu karang dan hutan mangrove mencapai 60.5 persen. Kondisi ini sejalan dengan hasil analisis tingkat partisipasi masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir yang sangat tinggi mencapai 77.6 persen untuk pemanfaatan terumbuh karang dan 73.4 persen untuk tingkat pemanfaatan masyarakat terhadap hutan mangrove. Hal ini menimbulkan persoalan bagi keberlanjutan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu. Dengan tingkat partisipasi yang sangat tinggi, masyarakat dan pihak swasta perlu mendapat pendampingan dan pengawasan dari pihak pemerintah daerah. Penggunaan alat tangkap yang merusak keberlanjutan sumberdaya terumbu karang perlu untuk segera ditindaklanjuti dengan melakukan pengawasan yang lebih intensif. Selain itu dengan berkurangnya area hutan mangrove akibat pembukaan lahan tambak yang sangat massif maka pemerintah daerah seharusnya mampu merumuskan aturan tentang pengendalian kerusakan lingkungan dan penetapan kawasan lindung. Kesimpulan lain yang dapat ditarik dengan melihat hasil analisis diatas yaitu keberadaan peraturan daerah yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu belum terlaksana secara baik dan terdapat kesalahan pada tingkat penerapan Persepsi Masyarakat Terhadap Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat Untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat terhadap Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis masyarakat maka dilakukan analisis terhadap persepsi masyarakat terhadap perda tersebut. Analisis ini dilakukan dengan melakukan wawancara dan kuesioner terhadap 210 (dua ratus sepuluh) masyarakat atau nelayan yang berada di 7 (tujuh) kecamatan yang berbeda masing-masing 30 (tiga puluh) orang tiap kecamatan. Dari wawancara mendalam dengan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga ditemukan bahwa keberdaan peraturan daerah

22 tersebut belum banyak diketahui masyarakat, bahkan di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sendiri peraturan ini belum pernah dilakukan evaluasi terhadap penerapan dan pelaksanaannya di dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Gambar 7 berikut menunjukkan persepsi masyarakat terhadap Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat. Gambar 7. Persepsi Masyarakat Terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Luwu No. 02 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat. Sumber : Hasil analisis, 2011 Gambar 7 di atas menunjukkan bahwa 77.6 persen responden tidak mengetahui keberadaan peraturan daerah tersebut dan hanya 22.4 persen responden yang mengatakan mengetahui. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa keberadaan peraturan daerah tersebut belum diketahui oleh masyarakat. Dengan tingginya ketidaktahuan masyarakat maka dapat pula diasumsikan bahwa sosialisasi peraturan daerah tersebut tidak berjalan, dan sebelum peraturan ini diterapkan tidak dilakukan penguatan terhadap posisi kelompok kelembagaan masyarakat lokal dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu. Hasil analisis di atas sejalan dengan pendapat Kartodihardjo dan Jhamtani (2006), bahwa ketika pemerintah melakukan pembaruan kebijakan, masyarakat luas terutama yang langsung terkena dampak dari penerapan kebijakan tersebut, sering tidak mengtahui karena tidak dilibatkan dalam proses pembaruan itu. Para pembuat kebijakan pada umumnya hanya menggunakan sistem nilai dan

23 keyakinan mereka sendiri, atau mengundang msyarakat dalam proses pembaruan kebijakan sebagai persyaratan partisipasi publik. Mereka memaknai hal itu sebagai cara atau teknologi baru dalam pembuatan kebijakan, tanpa memahami arti penting mengubah cara pandang menuju kesejajaran pemerintah-rakyat dalam pembuatan keputusan sebagai landasan filosofis proses partisipasi tersebut. Dikatakan pula bahwa kebijakan seharusnya dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah yang memang mampu melaksanakannya. Birokrasi di Indonesia sebenarnya sudah memiliki pola modern, dan terdiri dari kumpulan putra-putri terbaik bangsa. Namun, birokrasi yang cenderung mapan tidak dapat mengikuti dinamika perkembangan yang pesat pada berbagai bidang diluar lingkungan mereka. Birokrasi yang di masa lalu paling mengetahui bidangnya (well informed), kini justru jauh tertinggal dari dunia usaha dan masyarakat yang seharusnya mereka layani. Karena itu timbul kesan bahwa birokrasi berjalan lamban dan cenderung mengutamakan prosedur daripada substansi. Birokrasi tidak efisien dan tidak dapat diharapkan menghasilkan public goods dan public services dengan harga dan kualitas bersaing jika dibandingkan dengan apa yang dapat dilakuakan masyarakat (Kartasasmita 1996 dalam Kartodihardjo dan Jhamtani 2006). Dalam beberapa pendekatan untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi masyarakat secara penuh, maka masyarakat harus dipersiapkan secara sosial agar dapat, (1) Mengutarakan aspirasi serta pengetahuan tradisional dan kearifannya dalam menangani isu-isu lokal yang merupakan aturan-aturan yang harus dipatuhi, (2) Mengetahui keuntungan dan kerugian yang akan didapat dari setiap pilihan intervensi yang diusulkan yang dianggap dapat berfungsi sebagai jalan keluar untuk menanggulangi persoalan lingkungan yang dihadapi, dan (3) Berperanserta dalam perencanaan dan pengimplementasian sebuah kebijakan. Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) bahwa pemerintah pada dasarnya mendapat mandat dari negara untuk mengendalikan pengelolaan sumberdaya alam dan bertanggung jawab atas pelestariannya. Namun mandat itu mendapat pandangan dikalangan birokrasi bahwa kewenangan mereka merupakan hak mutlak. Pandangan seperti ini sering terjadi dalam era otonomi daerah. Akhirnya menyebabkan penyusunan Perda yang seharusnya melibatkan

24 multipihak yang memungkinkan pertukaran informasi yang lebih dalam dan dapat mempengaruhi keputusan tidak terjadi. Sejalan dengan itu menurut Satria (2009b) bahwa salah satu persoalan yang seringkali muncul dari setiap formulasi perundangan adalah siapa yang diuntungkan. Dari sekian stakeholder nelayan merupakan pihak yang relatif tidak mampu mengartikulasi aspirasi dan kepentingan sehingga dalam interaksi politik proses pengambilan keputusan sangat potensial untuk dirugikan Tingkat Keterlibatan Stakeholder dalam perumusan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat Kegagalan pengelolaan sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan hidup diakibatkan salah satunya oleh adanya kegagalan kebijakan (lack of policy) sebagai bagian dari kegagalan perangkat hukum yang tidak dapat menginternalisasi permasalahan lingkungan yang ada. Kegagalan kebijakan (lack of policy) terindikasi terjadi akibat adanya kesalahan justifikasi para policy maker dalam menentukan kebijakan dengan ragam pasal-pasal yang berkaitan erat dengan keberadaan sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan. Artinya bahwa, pada kebijakan tersebut terjadi kesalahan asumsi yang menyebabkan lingkungan hanya menjadi variabel minor. Padahal, dunia internasional saat ini selalu mengaitkan segenap aktivitas ekonomi dengan isu lingkungan hidup, seperti green product, sanitary safety, dan sebagainya. Selain itu, proses penciptaan dan penentuan kebijakan yang berkenaan dengan lingkungan ini dilakukan dengan minim sekali melibatkan partisipasi masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai komponen utama sasaran yang harus dilindungi. Peran pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya dan lingkungan idealnya harus seimbang, terkoordinasi dan tersinkronisasi. Hal ini penting dilakukan mengingat pemerintah mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan terhadap masyarakat, termasuk mendukung pengelolaan sumberdaya dan lingkungan demi sebesar-besarnya kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat juga mempunyai tanggung jawab dan turut berperan serta untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya alam dan lingkungan. Gambar 8 menunjukkan tingkat keterlibatan

25 stakeholder dalam perumusan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Berbasis Masyarakat di Kabupaten Luwu. Gambar 8. Tingkat Keterlibatan Stakeholder dalam Perumusan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat. Sumber : Hasil analisis, 2011 Dari gambar di atas menunjukkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) memiliki tingkat keterlibatan paling tinggi yaitu 57.1 persen sangat aktif, kemudian Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 50.0 persen sangat aktif, pemerintah daerah 33.3 persen sangat aktif dan 33.3 persen menunjukkan aktif dan perguruan tinggi 50.0 persen. Diagram ini juga memperlihatkan tingkat keterlibatan Masyarakat yang sangat rendah yang hanya mencapai 4.5 persen dan Swasta yang tidak terlibat aktif dalam perumusan perda tersebut. Rendahnya tingkat keterlibatan masyarakat dalam perumusan peraturan daerah tersebut di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya pelibatan masyarakat belum dilakukan pada tingkat perumusan kebijakan, dan masyarakat masih diposisiskan sebagai objek kebijakan. Kenyataan ini mengakibatkan secara nyata partisipasi masyarakat terhadap pemahaman peraturan sangat rendah dan tanggung jawab masyarakat terhadap upaya pembangunan dan pelestarian sumberdaya menjadi sangat kecil. Dari data di atas juga dapat disimpulkan bahwa Perumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir masih memposisikan masyarakat sebagai komponen utama sasaran yang harus dilindungi bukan subjek dari pengelolaan sumberdaya pesisir.

Pelibatan Masyrakat Dalam Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut. Oleh: YUDI WAHYUDIN Divisi Kebijakan Pembangunan dan Ekonomi PKSPL-IPB

Pelibatan Masyrakat Dalam Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut. Oleh: YUDI WAHYUDIN Divisi Kebijakan Pembangunan dan Ekonomi PKSPL-IPB Pelibatan Masyrakat Dalam Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut Oleh: YUDI WAHYUDIN Divisi Kebijakan Pembangunan dan Ekonomi PKSPL-IPB Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat

Lebih terperinci

Gambar 4 Peta Lokasi Penelitian.

Gambar 4 Peta Lokasi Penelitian. BAB III METODA PENELITIAN 3.. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan Agustus 20. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Luwu, di 7 (tujuh) kecamatan yaitu

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 08 TAHUN 2008 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN BERBASIS MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

Ikhtisar Eksekutif TUJUAN PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP

Ikhtisar Eksekutif TUJUAN PEMBANGUNAN LINGKUNGAN HIDUP Ikhtisar Eksekutif Pembangunan sistem administrasi modern yang andal, professional, partisipatif serta tanggap terhadap aspirasi masyarakat, merupakan kunci sukses menuju manajemen pemerintahan dan pembangunan

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lebih terperinci

SINERGI PEMBANGUNAN ANTAR SEKTOR DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG

SINERGI PEMBANGUNAN ANTAR SEKTOR DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG SINERGI PEMBANGUNAN ANTAR SEKTOR DALAM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG Sri Endang Kornita Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Riau ABSTRAK Sinergi dalam kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem

Lebih terperinci

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN, DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BUPATI GUNUNGKIDUL BUPATI GUNUNGKIDUL,

BUPATI GUNUNGKIDUL BUPATI GUNUNGKIDUL, BUPATI GUNUNGKIDUL PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG POLA HUBUNGAN KERJA ANTAR PERANGKAT DAERAH DAN ANTARA KECAMATAN DENGAN PEMERINTAHAN DESA BUPATI GUNUNGKIDUL, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa sumberdaya terumbu karang dan ekosistemnya

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU 1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PEMBANGUNAN DESA DAN PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK,

Lebih terperinci

Bab II Perencanaan Kinerja

Bab II Perencanaan Kinerja Bab II Perencanaan Kinerja 2.1. Visi Misi Daerah Dasar filosofi pembangunan daerah Provinsi Gorontalo seperti tercantum dalam RPJMD Provinsi Gorontalo tahun 2012-2017 adalah Terwujudnya Percepatan Pembangunan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 08 TAHUN 2007 TENTANG

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 08 TAHUN 2007 TENTANG PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 08 TAHUN 2007 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH (RPJPD) KOTA PANGKALPINANG TAHUN 2007-2025 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA Fahrur Razi Penyuluh Perikanan Muda pada Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan email: fahrul.perikanan@gmail.com

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

dipersyaratkan untuk terselenggaranya tata kelola pemerintahan secara efektif dan efisien serta mampu mendorong terciptanya daya saing daerah pada tin

dipersyaratkan untuk terselenggaranya tata kelola pemerintahan secara efektif dan efisien serta mampu mendorong terciptanya daya saing daerah pada tin BAB IV VISI, MISI, NILAI DASAR DAN STRATEGI A. V i S i RPJMD Tahun 2009-2014 Kabupaten Polewali Mandar merupakan penjabaran dari naskah visi, misi dan program prioritas pembangunan Bupati dan Wakil Bupati

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional di banyak negara berkembang pada umumnya ditekankan pada pembangunan ekonomi. Hal ini disebabkan karena yang paling terasa adalah keterbelakangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembaruan pemerintah Indonesia membentuk pemerintahan yang lebih terdesentralisasi dengan menyusun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (PEMDA),

Lebih terperinci

X. ANALISIS KEBIJAKAN

X. ANALISIS KEBIJAKAN X. ANALISIS KEBIJAKAN 10.1 Alternatif Kebijakan Tahapan analisis kebijakan pada sub bab ini merupakan metode pengkajian untuk menghasilkan dan mentransformasikan flow of thinking dari serangkaian analisis

Lebih terperinci

5.3. VISI JANGKA MENENGAH KOTA PADANG

5.3. VISI JANGKA MENENGAH KOTA PADANG Misi untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang cerdas, sehat, beriman dan berkualitas tinggi merupakan prasyarat mutlak untuk dapat mewujudkan masyarakat yang maju dan sejahtera. Sumberdaya manusia yang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG IRIGASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa irigasi mempunyai peranan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PERMEN-KP/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PERMEN-KP/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40/PERMEN-KP/2014 TENTANG PERAN SERTA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut dalam dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat, bahkan telah mendekati kondisi yang membahayakan kelestarian

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN STATUS DESA MAROBO, SALASSA, SUKAMAJU DAN BONE-BONE MENJADI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah perikanan di laut sekitar 5,8 juta km 2, yang terdiri dari perairan kepulauan dan teritorial seluas 3,1 juta km

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

Rencana Strategis (RENSTRA)

Rencana Strategis (RENSTRA) Rencana Strategis (RENSTRA) TAHUN 2014-2019 PEMERINTAH KABUPATEN GARUT DINAS PETERNAKAN, PERIKANAN DAN KELAUTAN TAHUN 2014 Rencana Strategis (RENSTRA) TAHUN 2014-2019 DINAS PETERNAKAN, PERIKANAN DAN KELAUTAN

Lebih terperinci

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir Daerah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Batas ke arah darat: Ekologis: kawasan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang

Lebih terperinci

DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH Jl. Pahlawan No. 12 Semarang Telp

DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH Jl. Pahlawan No. 12 Semarang Telp LAPORAN KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LKj IP) DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH DINAS SOSIAL PROVINSI JAWA TENGAH Jl. Pahlawan No. 12 Semarang Telp. 024-8311729 Kata Pengantar Dengan mengucapkan puji syukur

Lebih terperinci

BAB 14 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI

BAB 14 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI BAB 14 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH Draft 12 Desember 2004 A. PERMASALAHAN Belum optimalnya proses desentralisasi dan otonomi daerah yang disebabkan oleh perbedaan persepsi para

Lebih terperinci

BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG BUPATI SUMBA BARAT DAYA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA TAHUN 2014

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS 1 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 5 TAHUN 2015 BUPATI KUDUS PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kota Jambi RPJMD KOTA JAMBI TAHUN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan proses perubahan kearah yang lebih baik, mencakup seluruh dimensi kehidupan masyarakat suatu daerah dalam upaya meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

APA ITU DAERAH OTONOM?

APA ITU DAERAH OTONOM? APA OTONOMI DAERAH? OTONOMI DAERAH ADALAH HAK DAN KEWAJIBAN DAERAH OTONOM UNTUK MENGATUR DAN MENGURUS SENDIRI URUSAN PEMERINTAHAN DAN KEPENTINGAN MASYARAKATNYA SESUAI DENGAN PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH DAN PELAKSANAAN MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN TOLITOLI DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah berdampak pada pergeseran sistem pemerintahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi, yaitu dari pemerintah pusat kepada

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Sibolga terletak di kawasan pantai Barat Sumatera Utara, yaitu di Teluk Tapian Nauli. Secara geografis, Kota Sibolga terletak di antara 01 0 42 01 0 46 LU dan

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN

BUPATI LOMBOK TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN BUPATI LOMBOK TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BUPATI LOMBOK TENGAH, Menimbang : a. bahwa kekayaan

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleksnya persoalan yang dihadapi Negara, maka terjadi pula. perkembangan di dalam penyelenggaraan pemerintahan yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN. kompleksnya persoalan yang dihadapi Negara, maka terjadi pula. perkembangan di dalam penyelenggaraan pemerintahan yang ditandai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejalan dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi Negara, maka terjadi pula perkembangan di dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II

PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana

Lebih terperinci

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI 1 BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN WONOGIRI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOGIRI, Menimbang : a. bahwa penanaman

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA PEMERINTAH KABUPATEN LUWU UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA TAHUN 2010-2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG TAHUN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG TAHUN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN SIJUNJUNG TAHUN 2010-2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIJUNJUNG, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi PEMERINTAHAN DAERAH Harsanto Nursadi Beberapa Ketentuan Umum Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sumbangan besar dalam menciptakan stabilitas nasional. Pembangunan desa adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. sumbangan besar dalam menciptakan stabilitas nasional. Pembangunan desa adalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Desa memegang peranan penting dalam pembangunan nasional. Bukan hanya dikarenakan sebagian besar rakyat Indonesia bertempat tinggal di desa, tetapi desa memberikan

Lebih terperinci

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG BUPATI SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SEMARANG,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/2009 TENTANG PERAN SERTA DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL MENTERI KELAUTAN

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN TERUMBU KARANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa ekosistem

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH BAB II KEBIJAKAN PEMERINTAHAN DAERAH Penyelenggaraan otonomi daerah sebagai wujud implementasi Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memunculkan berbagai konsekuensi berupa peluang,

Lebih terperinci

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAPPEDA KAB. LAMONGAN BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 Visi Berdasarkan kondisi Kabupaten Lamongan saat ini, tantangan yang dihadapi dalam dua puluh tahun mendatang, dan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki, maka visi Kabupaten

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 1 PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB. I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG [- BAB. I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG P embangunan sektor Peternakan, Perikanan dan Kelautan yang telah dilaksanakan Pemerintah Kabupaten Garut dalam kurun waktu tahun 2009 s/d 2013 telah memberikan

Lebih terperinci

RINGKASAN. vii. Ringkasan

RINGKASAN. vii. Ringkasan RINGKASAN Politik hukum pengelolaan lingkungan menunjukkan arah kebijakan hukum tentang pengelolaan lingkungan yang akan dibentuk dan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan dan sasaran tertentu.

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN TRANSMIGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN TRANSMIGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN TRANSMIGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR, Menimbang : a. bahwa ketimpangan persebaran

Lebih terperinci

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI 3.1. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI SKPD Analisis Isu-isu strategis dalam perencanaan pembangunan selama 5 (lima) tahun periode

Lebih terperinci

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN TERUMBU KARANG PASIR PUTIH SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO BUPATI SITUBONDO, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

Sejalan dengan sifat peran serta masyarakat di atas, pada intinya terdapat 6 (enam) manfaat lain terhadap adanya peran serta masyarakat tersebut, anta

Sejalan dengan sifat peran serta masyarakat di atas, pada intinya terdapat 6 (enam) manfaat lain terhadap adanya peran serta masyarakat tersebut, anta BUKU RENCANA BAB VIII PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENATAAN RUANG 8.1 PERAN SERTA MASYARAKAT Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penyelenggaraan penataan

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu kebijakan dan tercapainya kebijakan tersebut. Impelementasi juga

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. suatu kebijakan dan tercapainya kebijakan tersebut. Impelementasi juga 22 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Implementasi Implementasi adalah proses untuk memastikan terlaksananya suatu kebijakan dan tercapainya kebijakan tersebut. Impelementasi juga dimaksudkan menyediakan sarana

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang :

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2013-2018 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

Panduan diskusi kelompok

Panduan diskusi kelompok Panduan diskusi kelompok Mahasiswa duduk perkelompok (5 orang perkelompok) Mahasiswa mengambil dan membaca (DUA KASUS) yang akan di angkat sebagai bahan diskusi. Mahasiswa mendiskusikan dan menganalisis

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NUSA PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG DI PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Kota Bandar Lampung sebagai pusat perdagangan, industri, dan pariwisata.

IV. GAMBARAN UMUM. Kota Bandar Lampung sebagai pusat perdagangan, industri, dan pariwisata. 59 IV. GAMBARAN UMUM A. Kota Bandar Lampung Kota Bandar Lampung merupakan Ibukota Provinsi Lampung. Oleh karena itu selain merupakan pusat kegiatan pemerintahan, sosial, politik, pendidikan dan kebudayaan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat 1 I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki wilayah perairan yang sangat luas. Dengan luasnya wilayah perairan yang dimiliki oleh negara Indonesia

Lebih terperinci

BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI

BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI BAB 13 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN PURBALINGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa penanaman modal merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses. penyusunan rencana kerja pembangunan daerah. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pelaksanaan otonomi daerah tidak terlepas dari sebuah perencanaan baik perencanaan yang berasal dari atas maupun perencanaan yang berasal dari bawah. Otonomi

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB VIII KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. (1). Potensi sumberdaya di kawasan pesisir Taman Konservasi Laut Olele.

BAB VIII KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. (1). Potensi sumberdaya di kawasan pesisir Taman Konservasi Laut Olele. 303 BAB VIII KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan (1). Potensi sumberdaya di kawasan pesisir Taman Konservasi Laut Olele. Berdasarkan hasil penelitian, keberadaan sumberdaya dan potensi

Lebih terperinci

I - 1 BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I - 1 BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang LAMPIRAN : PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR : 2 TAHUN 2009 TANGGAL : 14 MARET 2009 TENTANG : RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG TAHUN 2008-2013 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH A. KONDISI UMUM 1. PENCAPAIAN 2004 DAN PRAKIRAAN PENCAPAIAN 2005 Pencapaian kelompok Program Pengembangan Otonomi Daerah pada tahun 2004, yaitu

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGI KEGIATAN INTEGRATED COASTAL MANAGEMENT DI KABUPATEN SUKABUMI

RENCANA STRATEGI KEGIATAN INTEGRATED COASTAL MANAGEMENT DI KABUPATEN SUKABUMI RENCANA STRATEGI KEGIATAN INTEGRATED COASTAL MANAGEMENT DI KABUPATEN SUKABUMI Kerjasama BPLHD Propinsi Jawa Barat BLH Kabupaten Sukabumi PKSPL IPB Oleh: Yudi Wahyudin, S.Pi. Mujio, S.Pi. Renstra ICM 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Dalam rangka

Lebih terperinci

BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU UTARA, Menimbang :

Lebih terperinci

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1998 jo Keputusan Menteri

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 02 TAHUN 2010 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH MALUKU

PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 02 TAHUN 2010 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH MALUKU PEMERINTAH PROVINSI MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 02 TAHUN 2010 TENTANG MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mempunyai arti strategis bagi pembangunan semua sektor, baik dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia merupakan salah satu paru-paru

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya

Lebih terperinci