ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR SITI ANNI MAKRIFAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR SITI ANNI MAKRIFAH"

Transkripsi

1 ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR SITI ANNI MAKRIFAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah dan Dampaknya Terhadap Pembangunan Ekonomi Provinsi Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Januari 2010 Siti Anni Makrifah NIM : H

3 ABSTRACT SITI ANNI MAKRIFAH. An Analysis of Regional Financial Management and Its Impact on Development Growth East Java Province. Under direction of BAMBANG JUANDA and BUDIASIH. Since the implementation of fiscal decentralization, local government has bigger authority to manage regional income and regional spending integrated in spending budget. As outcomes, local government can raise the independency on finance and government accountability to boost economic development. The aims of this research are to analyze improvment of regional finance management, economic development and effects of government spending allocation on economic development in East Java Province from 2002 to A descriptive analysis is utilized as methodology to find out development of regional finance accountability and results of economic development. A panel vector auto regression model, is utilized to analyze the effects of government spending allocation on economic growth, human development index (HDI) and poverty rate. The result provides that ratio of of Local Own Revenue (PAD) in comparison to the total local income and or total local spending is still low and it tends to decline every year. It means that the local government did not yet optimally exploit the income sources from their potencies. In other word, there is dependency on central government funding for regional development. The indicators of economic development which are HDI, poverty rate and disparity have better results, even though in the beginning of implementation of fiscal decentralization the regional development disparity getting wider. Indeed, it takes time and needs good preparation to obtain the expected result of economic development since the implementation of fiscal decentralization. Government spending allocation has impacts on Gross Regional Domestic Product (GRDP) and Human Development Index (HDI) in the long and short term. Capital spending has significant effect on economic development. Capital spending variable has the biggest effect on prediction of variance percentage contribution, but the effect on government spending total is not that big. It means that private sector and society participate actively on economic development and government only acts as a stimulator through spending allocation Keywords : Fiscal Decentralization, Regional Finance, Economic Development, Panel Vector Autoregresion (PVARs).

4 RINGKASAN SITI ANNI MAKRIFAH. Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah dan Dampaknya Terhadap Pembangunan Ekonomi Provinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh BAMBANG JUANDA dan BUDIASIH. Implikasi pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pemerintah daerah mendapat keleluasaan yang lebih besar dalam mengelola keuangan daerah yang dituangkan dalam anggaran belanja, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran. Keleluasaan yang dimiliki daerah diharapkan dapat meningkatkan kemandirian keuangan daerah serta kinerja pemerintah untuk mendorong terciptanya pembangunan ekonomi yang lebih baik. Hal ini didasarkan anggapan bahwa daerah yang lebih tahu kondisi, potensi dan kebutuhan masyarakatnya. Desentralisasi fiskal tidak akan berguna jika tidak diikuti dengan kemampuan finansial yang cukup memadai oleh pemerintah daerah. Selama kurun waktu tahun , proporsi penerimaan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dengan BHPBP (Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak) terhadap total penerimaan seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur rata-rata di bawah 20%, sedangkan DAU (Dana Alokasi Umum) proporsinya lebih dari 70%. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat masih tergolong tinggi. Jumlah keseluruhan dana APBD baik yang berasal dari PAD maupun dana perimbangan digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kebijakan masing-masing pemerintah daerah melalui alokasi sumber-sumber pendanaan yang tercermin pada alokasi belanjanya. Apabila alokasi belanja daerah dibagi menurut jenis belanjanya, maka selama kurun waktu , porsi belanja pegawai masih menempati peringkat tertinggi yaitu rata-rata diatas 46.62% dari total belanjanya. Sementara itu porsi belanja barang mencapai 12.52%, belanja modal 27.93% dan belanja lainnya 12.93%. Hal ini menunjukkan belanja modal yang diharapkan dapat memacu perkembangan pembangunan ekonomi nampaknya masih menunjukkan proporsi yang masih kecil. Beberapa indikator yang digunakan untuk menilai keberhasilan pembangunan ekonomi di Provinsi Jawa Timur, selama kurun waktu menunjukkan kondisi yang membaik. IPM, indikator untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat dari pada tahun 2002 menjadi pada tahun Persentase penduduk miskin juga mengalami penurunan dari 20.34% pada tahun 2002 menjadi 16.97% pada tahun Indikator lain adalah laju pertumbuhan ekonomi yaitu sebesar 3.80% pada tahun 2002 menjadi 5.90% pada tahun Ukuran agregat yang memperlihatkan peningkatan kondisi perekonomian dan tingkat kesejahteraan masyarakat tersebut di atas, merupakan indikasi dampak peningkatan jumlah dana yang dibelanjakan di daerah, baik melalui mekanisme dana desentralisasi maupun dana-dana lain di daerah, sebagaimana dikemukakan oleh Keynes (Todaro, 2006). Namun umumnya pengeluaran pemerintah akan meningkat sejalan dengan peningkatan kegiatan perekonomian suatu negara. Hal ini dapat dijelaskan dalam kaidah yang dikenal dengan hukum Wagner (Todaro, 2006), yaitu dalam suatu perekonomian apabila pendapatan perkapita meningkat maka secara

5 relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hal ini disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Bertolak dari hal-hal tersebut di atas maka perlu diketahui ada tidaknya pengaruh perubahan pengelolaan keuangan daerah baik dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pembangunan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan (1) Menganalisis perkembangan kinerja keuangan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dari sisi penerimaan maupun pengeluaran; (2) Menganalisis perkembangan pertumbuhan ekonomi, IPM, persentase penduduk miskin dan kesenjangan pembangunan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur; (3) Mengidentifikasi pengaruh alokasi belanja daerah terhadap pertumbuhan ekonomi, IPM, dan jumlah penduduk miskin Provinsi Jawa Timur. Metode analisis deskriptif yang digunakan untuk melihat perkembangan kinerja keuangan daerah, pertumbuhan ekonomi, IPM, persentase penduduk miskin adalah analisis boxplot, analisis GIS dan analisis cluster. Analisis inferensia dengan menggunakan model Vector Autoregressive (VAR) dalam data panel digunakan untuk mengkaji pengaruh alokasi belanja daerah terhadap pertumbuhan ekonomi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan jumlah penduduk miskin. Hasil analisis kinerja keuangan daerah menunjukkan bahwa rasio PAD terhadap total penerimaan daerah dalam kurun waktu tahun 2002 sampai tahun 2008 cenderung menunjukkan penyebaran data yang semakin konvergen akan tetapi mengalami penurunan. Salah satu penyebabnya karena kenaikan PAD lebih kecil dari pada kenaikan total penerimaan, sehingga proporsinya menurun. Kenaikan PAD yang kecil disebabkan daerah masih belum mampu menggali potensi PAD yang ada secara optimal karena adanya keterbatasan sumber daya alam maupun manusia selain juga masalah kebijakan pemerintah. Beberapa kabupaten/kota, seperti Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo dan Kota Kediri adalah kabupaten/ kota yang mempunyai rasio PAD terhadap total penerimaan yang lebih besar dibandingkan daerah lain. Hal ini disebabkan kabupaten/kota tersebut kegiatan perekonomian hampir 30% didominasi oleh sektor industri, sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor-sektor ini adalah salah satu sektor penyumbang penerimaan daerah dari pajak. Daerah yang rasio PAD terhadap total penerimaan besar, maka Rasio DAU terhadap total penerimaan adalah lebih kecil di banding daerah lain. Penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Setiaji dan Adi (2007). Jika dilihat dari sisi pengeluaran, hampir semua kabupaten/kota, rasio belanja rutin terhadap total belanja daerah masih diatas 50%, artinya sebagian besar anggaran masih digunakan untuk belanja rutin. Menurut kategori Tankilisan (2005) daerah yang mempunyai kategori cukup, dalam arti rasio PAD terhadap total penerimaan maupun rasio PAD terhadap total belanja rutin lebih dari 20% hanya kota Surabaya, sedangkan daerah lainnya masih dalam kategori kurang. Sehingga dapat dikatakan, salah satu tujuan desentralisasi fiskal yaitu meningkatnya rasio PAD terhadap total penerimaan belum bisa diwujudkan oleh sebagian besar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Kinerja pembangunan yang dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi, IPM, persentase penduduk miskin serta ketimpangan pembangunan menunjukkan hasil yang berbeda. Secara umum pertumbuhan ekonomi dan IPM kabupaten/kota dalam kurun waktu , menunjukkan kondisi yang membaik dan semakin konvergen antar daerah. Akan tetapi untuk persentase penduduk miskin kabupaten/kota tingkat konvergennya tidak lebih baik dari tahun sebelumnya. Hal ini

6 menunjukkan bahwa indikator-indikator pembangunan antar daerah tidak bisa dilaksanakan secara bersama-sama, selalu ada yang diprioritaskan. Tujuan pembangunan selain meningkatkan kesejahteraan juga mewujudkan pemerataan pembangunan antar daerah artinya tidak terjadi ketimpangan. Ukuran untuk melihat ketimpangan pembangunan antar wilayah dengan Indeks Theil. Hasil analisis dengan indeks Theil menunjukkan ketimpangan pembangunan kabupaten/kota pada tahun 2008 mengalami penurunan dibandingkan tahun 2002 yaitu dari menjadi Walaupun pada awal-awal pelaksanaan desentralisasi fiskal terjadi kenaikan ketimpangan pembangunan. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan kesiapan dan tanggapan masing-masing daerah terhadap pelaksanaan desentralisasi fiskal. Wilayah yang menjadi pemicu ketimpangan pembangunan yang terjadi di Jawa Timur adalah Kota Surabaya, Kota Kediri, Kabupaten Sidoarjo, Kota Malang, Kabupaten Gresik, Kota Probolinggo dan Kota Mojokerto. Alokasi belanja daerah berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan IPM baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Jenis belanja pegawai berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek, namun tidak terjadi untuk jangka panjang. Jenis belanja modal dan belanja barang berpengaruh positif dalam jangka panjang namun tidak dalam jangka pendek. Kontribusi alokasi belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi secara umum tidak begitu besar. Hal ini menunjukkan bahwa peran swasta dalam menggerakkan perekonomian Jawa Timur lebih besar dari peran pemerintah. Penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Alfirman (2006). Alokasi belanja modal secara signifikan berpengaruh positif dalam jangka pendek pada IPM namun tidak dalam jangka panjang. Jenis alokasi belanja yang berpengaruh secara signifikan terhadap IPM baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek adalah belanja barang. Secara umum, dapat dikatakan bahwa belanja daerah mempunyai dampak terhadap pembangunan ekonomi Jawa Timur. Jenis belanja yang berpengaruh tergantung pada jenis indikator pembangunan ekonomi yang digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa teori Keynes yang menyatakan belanja pemerintah akan mempengaruhi hasil pembangunan berlaku di Jawa Timur. Berdasarkan hasil penelitian maka beberapa saran ke depan antara lain : (1) untuk meningkatkan PAD perlu mencari alternatif lain dengan melihat kondisi dan potensi daerah masing-masing serta tidak menghambat investor untuk menanamkan modalnya di daerah, (2) Pemerintah daerah hendaknya tidak hanya fokus dalam mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam waktu yang cepat, tetapi juga harus memperhatikan pemerataan, (3) Pemerintah daerah hendaknya dalam membuat alokasi belanja memperhatikan kebutuhan masyarakatnya, dan meningkatkan kontrol dalam penggunaan keuangan daerah sehingga dapat mengurangi terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Kata Kunci : Desentralisasi Fiskal, Keuangan Daerah, Pembangunan Ekonomi

7 Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB

8 ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR SITI ANNI MAKRIFAH Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

9 Judul Tesis Nama NRP Program Studi : Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah dan Dampaknya Terhadap Pembangunan Ekonomi Provinsi Jawa Timur : Siti Anni Makrifah : H : Ilmu Ekonomi Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Ketua Dr. Budiasih Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 29 Januari 2010 Tanggal Lulus :

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si

11 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan Karunia-Nya sehingga tesis dengan judul Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah dan Dampaknya Terhadap Pembangunan Ekonomi Provinsi Jawa Timur, dapat terselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi di Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Budiasih selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan segala kesibukannya masih meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi, Dr. Ir. D.S. Priyarsono dan Dr. Sri Mulatsih selaku perwakilan Program Studi Ilmu Ekonomi. Demikian juga terima kasih dan penghargaan untuk semua dosen yang telah mengajar penulis dan rekan-rekan kuliah yang senantiasa membantu penulis selama mengikuti perkuliahan di kelas Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Dedikasi para dosen yang tinggi dan dukungan rekan-rekan kuliah, telah banyak membantu penulis dalam perkuliahan dengan baik. Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terkira kepada Moch. Ali Badrus (Suami penulis), Chafidhotul Itsmi (Anak pertama penulis), Moch. Shochiful Achsan (Anak kedua penulis) dan seluruh keluarga tercinta yang telah memberikan kekuatan luar biasa kepada penulis mulai dari proses kuliah hingga penyelesaian tesis ini. Secara khusus, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada BPS yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti kuliah di Magister Program Studi Ilmu Ekonomi IPB. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada teman-teman BPS baik di BPS Kabupaten Tulungagung, BPS Provinsi Jawa Timur serta BPS Jakarta yang telah banyak membantu penulis mulai dari proses kuliah hingga dalam menyelesaikan tesis ini. Akhir kata penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak lain yang telah membantu namun namanya tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya hanya Allah SWT yang Maha Kuasa yang akan memberi balasan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis. Bogor, Januari 2010 Siti Anni Makrifah

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tulungagung pada tanggal 6 September 1973 dari bapak H.Fahrurozi dan ibu Hj.Siti Maesaroh Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara. Saat ini penulis telah menikah dengan Moch. Ali Badrus dan dikaruniai dua orang anak yaitu Chafidhotul Itsmi dan Moch. Shochiful Achsan. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN Ketanon II kemudian melanjutkan ke SMPN 2 Tulungagung pada tahun 1986 dan lulus pada tahun Setelah lulus dari SMPN penulis melanjutkan ke SMAN 1 Tulungagung. Pada tahun 1992 penulis melanjutkan pendidikan di Akademi Ilmu Statistik Jakarta dan lulus tahun Setelah lulus penulis bekerja di BPS Jakarta. Pada tahun 1997, penulis berkesempatan melanjutkan sekolah ke Sekolah Tinggi Ilmu Statistik dan lulus tahun Setelah lulus penulis bekerja di BPS Kabupaten Tulungagung Jawa Timur. Pada tahun 2008 penulis diterima menjadi mahasiswa program studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen di Institut Pertanian Bogor melalui seleksi bea siswa tugas belajar kerja sama BPS-IPB.

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xiv xvii xx 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Cakupan Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Teori-Teori Konsep Desentralisasi Fiskal Pengelolaan Keuangan Daerah Pembangunan Ekonomi Tinjauan Empiris Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Definisi Operasional Metode Analisis KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Geografis dan Iklim Karakteristik Kependudukan dan Sosial Karakteristik Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Struktur Keuangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Jumlah Fasilitas Pelayanan Publik Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dari Sisi Penerimaan dan Sisi Pengeluaran Perkembangan Pembangunan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Analisis Gerombol (Cluster Analisis)

14 5.4 Analisis Panel VAR : Pengaruh Belanja Daerah terhadap PDRB, IPM dan Jumlah Penduduk Miskin Provinsi Jawa Timur Hasil Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap PDRB Hasil Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Hasil Analisis Pengaruh Belanja Daerah terhadap Jumlah Penduduk Miskin KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN.. 151

15 DAFTAR TABEL Halaman 1. P erbandingan rasio sumber penerimaan terhadap total penerimaan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun P erkembangan dasar hukum pengelolaan keuangan daerah P emetaan format anggaran pemerintah kabupaten/kota berdasarkan beberapa peraturan N ilai maksimum dan minimum dari setiap komponen IPM J enis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian S kala interval derajat desentralisasi fiskal S kala interval indeks kemampuan rutin daerah B eberapa uji unit root dalam data panel K abupaten/kota dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa Timur tahun J umlah penduduk kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun P DRB Provinsi Jawa Timur tahun K ontribusi PDRB menurut lapangan usaha Provinsi Jawa Timur tahun

16 13. P enerimaan total kabupaten dan kota di Jawa Timur menurut sumber penerimaannya tahun 2002 dan 2008 serta pertumbuhannya K ontribusi penerimaan kabupaten/kota terhadap total penerimaan Jawa Timur menurut jenis pendapatan tahun T otal belanja kabupaten/kota di Jawa Timur menurut jenisnya tahun 2002 dan 2008 serta pertumbuhannya K ontribusi belanja kabupaten/kota terhadap total belanja Provinsi Jawa Timur menurut jenis belanja tahun B anyaknya sekolah TK, SD, SMP, SMA dan SMK menurut kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun R asio jumlah siswa menurut tingkatan sekolah dan kabupaten/kota di Provinsi Jawa timur tahun J umlah fasilitas kesehatan menurut jenisnya di Provinsi Jawa Timur tahun P erkembangan jumlah kabupaten/kota menurut rasio PAD terhadap penerimaan daerah menurut kriteria tim Fisipol UGM tahun S tatistik deskriptif pendapatan perkapita kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun I ndeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Timur tahun J umlah penduduk miskin di Jawa Timur tahun N ilai cluster centroids dan jumlah kabupaten masing-masing cluster tahun

17 25. P engelompokan kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur berdasarkan metode hierarki tahun N ilai cluster centroids dan jumlah kabupaten masing-masing cluster tahun P engelompokan kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur berdasarkan metode hierarki tahun R ata-rata persentase penduduk miskin, rasio PAD dan BHPBP terhadap total penerimaan daerah dan pendapatan perkapita masing-masnig cluster dan total Jawa Timur tahun R ata-rata persentase penduduk miskin, rasio PAD dan BHPBP terhadap total penerimaan daerah dan pendapatan perkapita masing-masnig cluster dan total Jawa Timur tahun H asil estimasi pengaruh belanja daerah terhadap PDRB Jawa Timur H asil impulse response PDRB karena shock masing-masing jenis belanja tiap tahun selama 10 tahun H asil variance decomposition VECM masing-masing jenis belanja terhadap PDRB H asil estimasi pengaruh belanja daerah terhadap IPM Jawa Timur H asil impulse response IPM karena shock masing-masing jenis belanja tiap tahun selama 10 tahun H asil variance decomposition VECM masing-masing jenis belanja terhadap IPM H asil estimasi belanja daerah terhadap jumlah penduduk miskin Jawa Timur. 140

18 37. H asil impulse response jumlah penduduk miskin karena shock masingmasing jenis belanja tiap tahun selama 10 tahun H asil variance decomposition VAR-FD masing-masing jenis belanja terhadap jumlah penduduk miskin DAFTAR GAMBAR Halaman 1. P erkembangan rasio jenis belanja terhadap total belanja kabupaten/kota

19 di Provinsi Jawa Timur tahun P erkembangan pertumbuhan ekonomi, persentase penduduk miskin dan IPM Provinsi Jawa Timur tahun H ubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDRB D iagram alur perhitungan IPM D iagram alur kerangka pemikiran W ilayah administrasi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur D iagram boxplot D endogram hasil analisis cluster W ilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur menurut ketinggian ratarata dari atas permukaan laut tahun S atuan Wilayah Pengembangan (SWP) Provinsi Jawa Timur beserta kelompoknya W ilayah kabupaten/kota di Jawa Timur menurut tingkat kepadatan penduduk tahun K ontribusi PDRB kabupaten/kota terhadap total PDRB Jawa Timur tahun PDRB kabupaten di Provinsi Jawa Timur menurut lapangan usaha tahun PDRB kota di Provinsi Jawa Timur menurut lapangan usaha tahun D

20 erajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur Tahun K abupaten/kota menurut klasifikasi derajat desentralisasi fiskal tahun D erajat potensi sumber daya manusia dan alam kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun H ubungan antara jumlah penduduk miskin dan DAU kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun H ubungan antara IPM dan DAU kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun D erajat ketergantungan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur terhadap pemerintah pusat tahun D erajat belanja rutin kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun D erajat belanja pembangunan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun D erajat kemandirian daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur tahun D erajat kemandirian sumber daya alam dan manusia kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun K lasifikasi Rasio PAD terhadap belanja rutin R asio PAD terhadap total belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun R asio jumlah PAD dan BHPBP terhadap total belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun

21 28. P ertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun W ilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur menurut tingkat pertumbuhan ekonomi tahun W ilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur menurut PDRB perkapita tahun Indeks theil antar kabupaten, antar kota, dan antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun P erkembangan IPM kabupaten/kota di Jawa Timur tahun J umlah kabupaten/kota menurut klasifikasi IPM dari UNDP tahun W ilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur menurut klasifikasi IPM tahun P erkembangan persentase penduduk miskin kabupaten/kota di Jawa Timur tahun W ilayah kabupaten/kota menurut persentase penduduk miskin tahun P engelompokan kabupaten/kota berdasarkan metode hierarki tahun P engelompokan kabupaten/kota berdasarkan metode hierarki tahun

22 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. P roduk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur (Milyar Rupiah) tahun Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur (Milyar Rupiah) tahun

23 3. Presentase penduduk miskin kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun Jumlah penduduk kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun (jiwa) P DRB perkapita kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun (ribu rupiah) P ertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun P erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2002 (Kabupaten) P erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2003 (Kabupaten) P erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2004 (Kabupaten) P erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2005 (Kabupaten) P erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2006 (Kabupaten) P erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2007 (Kabupaten) P erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2008 (Kabupaten) P erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2002 (Kota) P erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2003 (Kota). 166

24 17. P erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2004 (Kota) P erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2005 (Kota) P erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2006 (Kota) P erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2007 (Kota) P erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2008 (Kota) P erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2002 (kabupaten dan kota) P erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2003 (kabupaten dan kota) P erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2004 (kabupaten dan kota) P erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2005 (kabupaten dan kota) P erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2006 (kabupaten dan kota) P erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2007 (kabupaten dan kota) P erhitungan Indeks Theil Jawa Timur tahun 2008 (kabupaten dan kota) R asio PAD terhadap total penerimaan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun R asio BHPBP terhadap total penerimaan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun R asio DAU terhadap total penerimaan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun

25 32. R asio Belanja Rutin terhadap total belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun R asio Belanja Pembangunan terhadap total belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun R asio PAD terhadap belanja rutin kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun R asio total PAD dan BHPBP terhadap belanja rutin kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun R asio PAD terhadap Total Belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun R asio total PAD dan BHPBP terhadap total belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun D endogram Analisis cluster dengan variabel PDRB perkapita, persentase penduduk miskin dan rasio total PAD dan BHPBP terhadap total penerimaan tahun D endogram Analisis cluster dengan variabel PDRB perkapita, persentase penduduk miskin dan rasio total PAD dan BHPBP terhadap total penerimaan tahun U ji unit root LNBP pada level dan first difference U ji unit root LNBB pada level dan first difference U ji unit root LNBM pada level dan first difference U ji unit root LNBL pada level dan first difference U ji unit root LNPDRB pada level dan first difference. 194

26 45. U ji unit root LNIPM pada level dan first difference U ji unit root LNMIS pada level dan first difference U ji kointegrasi LNPDRB LNBB LNBM LNBP LNBL U ji kointegrasi LNIPM LNBB LNBM LNBP LNBL U ji kointegrasi LNPMIS LNBB LNBM LNBP LNBL I mpulse response LNPDRB karena shock LNBP LNBB LNBL LNBM H asil variance decomposition LNPDRB LNBP LNBB LNBL LNBM I mpulse response LNIPM karena shock LNBP LNBB LNBL LNBM H asil variance decomposition LNIPM LNBP LNBB LNBL LNBM I mpulse response LNMIS karena shock LNBP LNBB LNBL LNBM H asil variance decomposition LNMIS LNBP LNBB LNBL LNBM.. 205

27 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemeritah Pusat dan Daerah. Kedua UU tersebut diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Substansi perubahan kedua UU tersebut adalah semakin besarnya kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan dan keuangan daerah. Perubahan kedua UU itu dilakukan dengan harapan daerah menjadi semakin mandiri di dalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan daerahnya masing-masing. Hal ini merupakan tanggapan terhadap perkembangan aspirasi yang menginginkan format baru hubungan antara pemerintah pusat dan daerah di Indonesia, yang membawa implikasi pada pelimpahan kewenangan pusat ke daerah dalam berbagai bidang. Pelimpahan kewenangan dalam bidang keuangan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan dalam struktur keuangan diantaranya: (1) penerimaan daerah dari bagi hasil sumberdaya alam dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan fiskal bagi daerah yang memiliki sumberdaya alam seperti minyak, gas alam, hasil pertambangan, kehutanan, perkebunan, serta perikanan; (2) penerimaan daerah dari bagi hasil pajak yang merupakan dana yang bersumber dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), bagian daerah ini tergolong sebagai penerimaan daerah dengan persentase pembagiannya tidak mengalami perubahan; dan (3) skema bantuan pemerintah dalam bentuk transfer yakni Dana Alokasi Umum (DAU) yang formulanya beberapa kali mengalami perubahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Perubahan-perubahan tersebut diatas memungkinkan adanya efek ketimpangan dan pemerataan. Ketika pemerintah pusat mengeksplorasi sumberdaya alam maka yang terjadi ketimpangan fiskal vertikal (pusat dan

28 2 daerah), maka untuk mengoreksi ketimpangan fiskal vertikal (pusat dan daerah) dilakukan melalui mekanisme Dana Bagi Hasil (DBH). Efek sampingnya mekanisme dana Bagi Hasil (DBH) adalah ketimpangan fiskal horizontal (antar daerah) maka distimulasi dengan mekanisme transfer yaitu Dana Alokasi Umum (DAU). Menanggapi desentralisasi fiskal, pemerintah daerah dapat meresponnya dalam dua hal yaitu : (1) lebih memusatkan perhatiannya pada usaha memperbesar penerimaan melalui intensifikasi dan perluasan pajak, retribusi daerah serta memanfaatkan sumberdaya yang optimal melalui bagi hasil dan peningkatan dana transfer dan (2) lebih berorientasi pada efektifitas pengeluaran yaitu merencanakan, merumuskan dan melaksanakan kegiatan serta program pembangunan yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Keberhasilan pelaksanaan desentralisasi akan sangat tergantung pada proses implementasi, dukungan politik, baik pada tingkat pengambilan keputusan masing-masing tingkat pemerintahan, maupun masyarakat secara keseluruhan, kesiapan administrasi pemerintahan, pengembangan kelembagaan dan sumberdaya manusia, mekanisme koordinasi untuk meningkatkan kinerja aparat birokrasi, perubahan sistem nilai dan perilaku birokrasi dalam memenuhi keinginan masyarakat khususnya dalam pelayanan sektor publik. Oleh karena itu, dengan adanya desentralisasi fiskal, kemampuan daerah khususnya dalam mengelola dana secara mandiri menjadi tuntutan yang nyata, sehingga seluruh potensi dapat dioptimalisasikan melalui mekanisme perencanaan secara tepat. Hal ini menjadi tantangan bagi seluruh wilayah otonom di Indonesia, termasuk Provinsi Jawa Timur. Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi dengan PDRB tertinggi kedua setelah DKI Jakarta, sehingga sering dikatakan Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi penggerak roda perekonomian di kawasan timur Indonesia. Selain itu Provinsi Jawa Timur mempunyai daerah terluas dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa yaitu 36.92% dari luas Pulau Jawa, serta jumlah kabupaten/kota terbanyak yaitu 38 daerah. Kondisi kabupaten/kota di Jawa Timur itu mempunyai karakteristik, sumberdaya dan struktur keuangan yang sangat berbeda antar satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh karena itu pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur beserta

29 3 partisipasi masyarakatnya dengan memanfaatkan keberbedaan sumberdaya yang ada, diharapkan dapat menggali sumber-sumber asli potensi daerah dalam rangka peningkatan penerimaan total pemerintah, sehingga Provinsi Jawa Timur mampu mengoptimalisasikan potensi dari sumberdaya-sumberdaya yang diperlukan dalam merancang dan membangun perekonomian di daerahnya. Berdasarkan data keuangan daerah Provinsi Jawa Timur, selama kurun waktu tahun , proporsi penerimaan total PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan BHPBP (Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak) terhadap total penerimaan seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur rata-rata di bawah 20%, sedangkan DAU (Dana Alokasi Umum) proporsinya lebih dari 70% (Tabel 1). Hal ini menunjukkan masih belum optimalnya Provinsi Jawa Timur dalam menggali sumberdaya yang ada sehingga masih adanya ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dalam membiayai pelaksanaan pembangunan. Tabel 1 Perkembangan rasio sumber penerimaan terhadap total penerimaan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun Sumber Penerimaan PAD (Pendapatan Asli daerah) BHPBP (Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak) DAU (Dana Alokasi Umum) Lain-lain Total Penerimaan Sumber : BPS, diolah. Desain perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah menggunakan prinsip money follows function atau uang mengikuti kewenangan. Artinya jika kewenangan dilimpahkan ke daerah, maka uang untuk mengelola kewenangan pun harus dilimpahkan ke daerah. Dengan demikian daerah menjadi mampu untuk melaksanakan segala urusannya sendiri sebab sumber-sumber pembiayaan juga sudah diserahkan. Apabila terjadi pergeseran wewenang fiskal dan tanggung jawab dari pemerintah pusat ke tingkat yang lebih rendah, dalam hal ini pemerintah daerah diberikan kebebasan dalam melaksanakan fungsi dan

30 4 tanggungjawabnya serta pengambilan keputusan penyediaan pelayanan terhadap sektor publik, maka secara tidak langsung dapat berpengaruh positif terhadap pelaksanaan pembangunan ekonomi di daerah. Hal ini disebabkan keyakinan bahwa pemerintah daerah yang langsung berhubungan dengan rakyat, sehingga akan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam melayani kebutuhan rakyatnya. Jumlah keseluruhan dana APBD baik yang berasal dari PAD maupun dana perimbangan digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kebijakan masing-masing pemerintah daerah melalui alokasi sumber-sumber pendanaan yang tercermin pada alokasi belanjanya. Perkembangan alokasi belanja pemerintah untuk seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur menurut jenis belanja selama 7 tahun terakhir menunjukkan porsi belanja pegawai masih menempati peringkat tertinggi yaitu rata-rata diatas 46.63% dari total belanjanya. Sementara itu porsi belanja barang mencapai 12.52%, belanja modal 27.93% dan belanja lainnya 12.93% (Gambar 1) Persen Sumber : BPS, diolah Belanja lain-lain Belanja Modal Belanja Barang dan Jasa Belanja Pegawai Gambar 1 Perkembangan rasio jenis belanja terhadap total belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun Belanja modal, yang diharapkan dapat memacu perkembangan pembangunan ekonomi nampaknya masih menunjukkan proporsi yang masih

31 5 kecil, walaupun ada indikasi kenaikan setiap tahun. Padahal jenis belanja modal di era desentralisasi seharusnya mempunyai porsi yang semakin meningkat dari tahun sebelumnya dan paling besar dibandingkan dengan jenis belanja lainnya. Sebab jenis belanja modal ini adalah jenis belanja yang bersifat jangka panjang dan produktif yang digunakan pemerintah untuk membiayai penyediaan barang publik dalam rangka pelaksanaan pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan fiskal melalui pengeluaran pemerintah digunakan untuk membiayai tugas-tugas pemerintah dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Selain juga merupakan bagian dari kegiatan perekonomian nasional. Pengeluaran pemerintah merupakan salah satu aspek penggunaan sumber daya ekonomi yang secara langsung dikuasai dan dimiliki oleh pemerintah dan secara tidak langsung dimiliki oleh masyarakat melalui pembayaran pajak. Sektor pemerintah memiliki aspek yang luas, antara lain bagaimana dan pada sektor mana pengeluaran itu dilakukan. Peran pemerintah tidak bisa dilepaskan dari fungsinya yang terbagi atas fungsi alokasi, fungsi distibusi dan fungsi stabilisasi. N i l a i Sumber : BPS, diolah. Tahun Pertumbuhan Ekonomi (%) Penduduk Miskin (%) IPM Gambar 2 Perkembangan pertumbuhan ekonomi, persentase penduduk miskin dan IPM Provinsi Jawa Timur tahun

32 6 Berbagai faktor keberhasilan pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur dalam menjalankan fungsinya yang dilihat dari beberapa indikator, selama kurun waktu menunjukkan kondisi yang membaik. IPM, indikator untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat dari pada tahun 2002 menjadi pada tahun Persentase penduduk miskin juga mengalami penurunan dari 20.34% pada tahun 2002 menjadi 16.97% pada tahun Indikator lain adalah laju pertumbuhan ekonomi yaitu sebesar 3.80% pada tahun 2002 menjadi 5.90% pada tahun 2008 (Gambar 2). Akan tetapi indikator-indikator yang menunjukkan faktor keberhasilan pemerintah Jawa Timur itu kondisinya lebih rendah jika dibandingkan dengan keberhasilan nasional. Pada tahun 2008, IPM nasional adalah sebesar 71.1, pertumbuhan ekonomi sebesar 6.10%, dan persentase penduduk miskin sebesar 15.42%. Ukuran agregat yang memperlihatkan peningkatan kondisi perekonomian dan tingkat kesejahteraan masyarakat tersebut di atas, merupakan indikasi dampak peningkatan jumlah dana yang dibelanjakan di daerah, baik melalui mekanisme dana desentralisasi maupun dana-dana lain di daerah, sebagaimana dikemukakan oleh Keynes (Todaro dan Smith, 2006). Oleh karena itu pemerintah daerah harus mampu berperan dalam mengelola keuangannya secara mandiri sehingga seluruh potensi harus dioptimalkan melalui mekanisme perencanaan yang efektif dan efisien dengan melihat hasil-hasil pembangunan yang dicapai pada tahun sebelumnya. Hal ini menjadi tantangan bagi seluruh wilayah otonomi. Peran pemerintah daerah beserta partisipasi masyarakatnya harus bersama-sama mengambil inisiatif dalam pembangunan daerahnya, termasuk menggali potensi sumber-sumber keuangan daerahnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. 1.2 Perumusan Masalah Implikasi pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia adalah pemerintah daerah mendapat keleluasaan yang lebih besar dalam mengelola keuangan daerah yang dituangkan dalam anggaran belanja, baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran. Anggaran belanja merupakan salah satu instrumen kebijakan fiskal yang ditempuh pemerintah untuk mempengaruhi perekonomian. Kebijakan fiskal bekerja

33 7 mempengaruhi perekonomian melalui anggaran yang berfungsi sebagai alokasi, distribusi dan stabilisasi (Stiglitz, 2000). Keleluasaan yang dimiliki daerah diharapkan dapat meningkatkan kemandirian keuangan daerah serta kinerja pemerintah untuk mendorong terciptanya pembangunan ekonomi yang lebih baik. Ukuran agregat yang memperlihatkan peningkatan kondisi perekonomian dan tingkat kesejahteraan masyarakat, merupakan indikasi dampak peningkatan jumlah dana yang dibelanjakan di daerah, baik melalui mekanisme dana desentralisasi maupun dana-dana lain di daerah, sebagaimana dikemukakan oleh Keynes (Todaro dan Smith, 2006). Namun umumnya pengeluaran pemerintah akan meningkat sejalan dengan peningkatan kegiatan perekonomian suatu negara. Hal ini dapat dijelaskan dalam kaidah yang dikenal dengan hukum Wagner (Todaro dan Smith, 2006), yaitu dalam suatu perekonomian apabila pendapatan perkapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hal ini disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Selain itu, dengan adanya kewenangan dalam menentukan prioritas pembangunan, hasil-hasil pembangunan tahun sebelumnya akan menjadi acuan dalam menentukan alokasi belanja maupun target pencapaiann pembangunan di masa yang akan datang. Dengan mempertimbangkan hal di atas, maka pokok permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana perkembangan kinerja keuangan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dari sisi penerimaan dan sisi pengeluaran?. 2. Bagaimana perkembangan pertumbuhan ekonomi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), persentase penduduk miskin dan kesenjangan pembangunan kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Timur?. 3. Bagaimana pengaruh belanja daerah terhadap pertumbuhan ekonomi, IPM dan jumlah penduduk miskin Provinsi Jawa Timur?. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Menganalisis perkembangan kinerja keuangan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dari sisi penerimaan dan sisi pengeluaran.

34 8 2. Menganalisis perkembangan pertumbuhan ekonomi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), persentase penduduk miskin dan kesenjangan pembangunan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. 3. Mengidentifikasi pengaruh belanja daerah terhadap pertumbuhan ekonomi, IPM dan jumlah penduduk miskin Provinsi Jawa Timur. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan tambahan rujukan bagi para mahasiswa atau peneliti yang berminat di bidang keuangan daerah dan perkembangan pembanguan daerah. Penelitian ini diharapkan dapat sebagai bahan informasi tambahan bagi pemerintah dalam mengambil keputusan kebijakan keuangan kabupaten/kota dalam rangka pelaksanaan desentralisasi fiskal yang berkaitan dengan upaya pemerintah dalam pencapaian kesejahteraan masyarakat dan perilaku pemerintah daerah dalam mengartikulasikan kebijakan desentralisasi fiskal. 1.5 Cakupan Penelitian Penelitian ini menggunakan unit analisis seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur dengan menggunakan data tahun Ruang lingkup analisis penelitian difokuskan pada pengelolaan keuangan dari sisi penerimaan dan pengeluaran. Indikator keberhasilan pembangunan ekonomi yang digunakan pertumbuhan ekonomi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), persentase penduduk miskin dan kesenjangan pembangunan. Penelitian ini dibatasi pada aspek alokasi anggaran penerimaan pemerintah daerah terkait kinerja pembangunan (PDRB, IPM, jumlah penduduk miskin) kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur.

35 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori-Teori Konsep Desentralisasi Fiskal Desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Desentralisasi akan diwujudkan dengan memberikan kewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya dewan yang dipilih oleh rakyat, kepala daerah yang dipilih oleh rakyat, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari pemerintah pusat (Bird, 2000). Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi, karena apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya dan diberikan kebebasan dalam mengambil keputusan di sektor publik, maka harus mendapat dukungan dari pemerintah pusat berupa subsidi/bantuan maupun pinjaman dari pemerintah pusat serta sumber-sumber keuangan yang memadai, baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), termasuk surcharge of taxes, pinjaman, maupun dana perimbangan dari pemerintah pusat. Pemerintah pada hakekatnya mengemban tiga fungsi utama, antara lain fungsi distribusi, alokasi dan stabilisasi (Stiglitz, 2000). Fungsi alokasi adalah peran pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi agar tercipta secara efisien, yaitu peran pemerintah dalam menyediakan barang yang tidak bisa disediakan oleh pasar. Fungsi distribusi adalah peran pemerintah dalam memengaruhi distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin adanya keadilan dalam mengatur distribusi pendapatan. Fungsi stabilisasi merujuk pada tindakan pemerintah dalam memengaruhi keseluruhan tingkat pengangguran, pertumbuhan ekonomi dan harga. Dalam hal ini pemerintah menggunakan kebijakan anggaran untuk mengurangi pengangguran, kestabilan harga dan tingkat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Pelaksanaan desentralisasi fiskal menurut Halim (2007) akan berjalan dengan baik dengan berpedoman pada hal-hal sebagai berikut :

36 10 1. Adanya Pemerintah Pusat yang kapabel dalam melakukan pengawasan dan enforcement. 2. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam melakukan pungutan pajak dan retribusi Daerah. 3. Stabilitas politik yang kondusif. 4. Proses pengambilan keputusan di daerah harus demokratis, dimana pengambilan keputusan tentang manfaat dan biaya harus transparan serta pihak-pihak yang terkait memiliki kesempatan memengaruhi keputusankeputusan tersebut. 5. Desain kebijakan keputusan yang diambil sepenuhnya merupakan tanggung jawab masyarakat setempat dengan dukungan institusi dan kapasitas manajerial yang diinginkan sesuai dengan permintaan pemerintah 6. Kualitas sumberdaya manusia yang kapabel dalam menggantikan peran sebelumnya yang merupakan peran pemerintah pusat. Salah satu teori yang mendukung desentralisasi antara lain dikemukakan oleh Tiebout yang dikenal sebagai "The Tiebout Model" yang terkenal dengan ungkapannya "Love it or leave it" (Stiglitz, 2000). Tiebout menekankan bahwa tingkat dan kombinasi pembiayaan barang publik bertaraf lokal dan pajak yang dibayar oleh masyarakat merupakan kepentingan politisi masyarakat lokal dengan pemerintah daerahnya. Masyarakat akan memilih untuk tinggal di lingkungan yang anggaran daerahnya memenuhi preferensi yang paling tinggi antara pelayanan publik dari pemerintah daerahnya dengan pajak yang dibayar oleh masyarakat. Ketika masyarakat tidak senang pada kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik bersifat lokal, maka hanya ada dua pilihan bagi warga masyarakat, yaitu meninggalkan wilayah tersebut atau tetap tinggal di wilayah tersebut dengan berusaha mengubah kebijakan pemerintah lokal melalui DPRD-nya. Hipotesis tersebut memberikan petunjuk bahwa terdapat potensi untuk mencapai efisiensi ekonomi (maximizing social welfare) dalam penyediaan barang publik pada tingkat lokal (Stiglitz, 2000).

37 11 Model Tiebout ini menunjukkan kondisi yang diperlukan untuk mencapai efisiensi ekonomi dalam penyediaan barang publik yang bersifat lokal yang pada gilirannya akan menciptakan kondisi yang dikenal sebagai "the market for local services would be perfectly competitive" (Stiglitz, 2000). Disinilah arti penting desentralisasi dalam pengambilan keputusan publik yang diperdebatkan antara pemerintah lokal dengan DPRD-nya Pengelolaan Keuangan Daerah Prinsip-prinsip pengelolaan keuangan daerah berubah seiring dengan adanya desentralisasi fiskal. Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah (Halim, 2007:23). Menurut Peraturan Pemerintah (PP) 58 tahun 2005, tentang pengelolaan keuangan daerah, pasal 1 ayat 5 yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam rangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Berdasarkan UU No 33 Tahun 2004 pada pasal 66 ayat 1, keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. Oleh karena itu, pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dengan pendekatan kinerja yang berorientasi pada output, menggunakan konsep nilai uang (value for money) dengan prinsip tata pemerintahan yang baik. Pendekatan anggaran kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dari perencanaan alokasi biaya (input) yang telah ditetapkan (PP. Nomor 105 tahun 2000, pasal 8). Kinerja mencerminkan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik dan harus berpihak pada kepentingan publik, yang artinya memaksimumkan penggunaan anggaran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat daerah.

38 12 Pada dasarnya pengelolaan keuangan daerah menyangkut tiga aspek analisis yang saling terkait satu dengan lainya. Ketiga aspek tersebut meliputi : 1. Analisis penerimaan, yaitu analisis mengenai kemampuan pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang potensial dan biaya-biaya dikeluarkan untuk meningkatkan pendapatan tersebut. 2. Analisis pengeluaran, yaitu analisis mengenai seberapa besar biaya-biaya dari suatu pelayanan publik dan faktor-faktor yang menyebabkan biaya-biaya tersebut meningkat. 3. Analisis anggaran, yaitu analisis mengenai hubungan antara pendapatan dan pengeluaran serta kecenderungan yang diproyeksikan untuk masa depan. Dalam konsep yang lebih luas, sistem pengelolaan keuangan daerah terdiri dari aspek-aspek berikut : 1. Pengelolaan (optimalisasi dan/atau penyeimbangan) seluruh sumber-sumber yang mampu memberikan penerimaan, pendapatan dan atau penghematan yang mungkin dilakukan. 2. Ditetapkan oleh badan eksekutif dan badan legislatif, dilaksanakan oleh badan eksekutif serta diawasi oleh badan legislatif dan seluruh komponen masyarakat daerah. 3. Diarahkan untuk kesejahteraan seluruh masyarakatnya. 4. Didasari oleh prinsip-prinsip ekonomis, efisien dan efektif. 5. Dokumentasi, transparansi, dan akuntabilitas. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa alokasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah salah satu wujud pengelolaan keuangan daerah. APBD adalah sebuah rencana yang disusun dalam bentuk kuantitatif dalam satuan moneter untuk suatu periode, yang biasanya satu tahun. Pendapatan daerah adalah semua penerimaan daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi hak daerah, dan belanja daerah adalah semua pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah. Tabel 2 menunjukkan perkembangan dasar hukum pengelolaan keuangan daerah semenjak diberlakukannya desentralisasi fiskal.

39 13 Tabel 2 Perkembangan dasar hukum pengelolaan keuangan daerah Sebelum dan Sekarang UU 22/1999 Pemerintahan Daerah UU 25/1999 Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. PP 105/2000 Pengelolaan Keuangan Daerah KMDN 29/2002 Pedoman Pengurusan, Pertanggungajawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah Permendagri Pedoman Pengelolaan Keuangan 13/2006 Daerah Sumber : Halim, UU 17/2003 UU 1/2004 UU 32/2004 UU 33/2004 PP 24/2005 PP 58/2005 Sekarang dan Nanti Keuangan Negara Perbendaharaan Negara Pemerintahan daerah Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah Standar Akuntansi Pemerintah Pengelolaan Keuangan daerah Ada beberapa format APBD yang digunakan sejak dilaksanakan desentralisasi fiskal. Pada tahun menggunakan format APBD yang berdasarkan Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA) Pada awal tahun 1980-an dikeluarkan Permendagri Nomor 900/099 tentang Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA), dan Permendagri Nomor tentang Manual Administrasi Barang Daerah, dan Permendagri Nomor 970 Tentang Manual Administrasi Pendapatan Daerah. Kelemahan paling mendasar sistem administrasi keuangan daerah adalah masih diterapkannya pembukuan tunggal (Single entry book keeping) dan berbasis kas (cash basis). Secara struktural, yaitu penerimaan meliputi sisa anggaran tahun lalu, Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan, dan pinjaman. Sedangkan Belanja di bagi menjadi belanja rutin dan Belanja Pembangunan (Mulyana, 2006). Belanja rutin didefinisikan sebagai belanja keperluan operasional untuk menjalankan kegiatan rutin pemerintahan. Pengeluaran rutin mencakup belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga, subsidi, dan belanja lain-lain. Belanja pembangunan didefinisikan sebagai belanja yang menghasilkan nilai tambah aset, baik fisik maupun non fisik, yang dilaksanakan dalam periode tertentu. Belanja pembangunan adalah pengeluaran berkaitan dengan proyekproyek yang meliputi belanja modal dan belanja penunjang. Belanja modal mencakup pembebasan tanah, pengadaan mesin dan peralatan, konstruksi bangunan dan jaringan (infrastruktur), dan belanja modal fisik maupun non fisik

40 14 lainnya. Sementara itu, belanja penunjang yang dialokasikan untuk mendukung pelaksanaan proyek terdiri dari gaji/upah, bahan, perjalanan dinas, dan belanja penunjang lainnya. Format yang berbasis Manual Administrasi Keuangan Daerah (MAKUDA 1981) (format lama) diganti dengan format yang berbasis kinerja dengan berdasarkan Kepmendagri No. 29 Tahun Perundangan Kemendagri No. 29 Tahun 2002 tersebut tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Perubahan struktur anggaran belanja dalam APBD berdasarkan MAKUDA 1981 berbeda dengan struktur belanja dalam APBD tahun anggaran (Kepmendagri No. 29 Tahun 2002). Perbedaan tersebut karena adanya perubahan sistem pencatatan dari Single Entry ke Double Entry (dari sistem tunggal ke sistem berpasangan) yang berbasis kinerja dan prestasi (Mulyana, 2006). Struktur keuangan daerah berdasarkan Kepmendagri 29 Tahun 2002 merupakan satu kesatuan yang terdiri dari Pendapatan Daerah, Belanja daerah dan Pembiayaan. Dalam hal ini, yang dimaksud satu kesatuan adalah dokumen APBD yang merupakan rangkuman seluruh jenis pendapatan, jenis belanja dan sumber-sumber pembiayaannya. Pendapatan Daerah dirinci menurut kelompok pendapatan dan jenis pendapatan. Kelompok pendapatan meliputi Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Menurut jenis pendapatan misalnya, pajak daerah, retribusi daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus (Mulyana, 2006). Sementara itu, belanja dirinci menurut organisasi, fungsi dan jenis belanja. Belanja menurut organisasi adalah satu kesatuan pengguna anggaran seperti DPRD dan sekretariat DPRD, Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah, Sekretariat Daerah serta dinas daerah dan lembaga teknis daerah lainnya. Fungsi belanja misalnya, pendidikan, kesehatan, dan fungsi-fungsi lainnya. Jenis belanja maksudnya adalah belanja pegawai, belanja barang,

41 15 belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas dan belanja modal/pembangunan. Selanjutnya, pembiayaan dirinci menurut sumber pembiayaan. Sumbersumber pembiayaan yang merupakan penerimaan daerah antara lain, yaitu sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, penerimaan pinjaman dan obligasi serta penerimaan dari penjualan aset daerah yang dipisahkan. Sumber pembiayaan yang merupakan pengeluaran yaitu pembayaran hutang pokok. Surplus anggaran adalah selisih lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah, dan defisit anggaran adalah selisih kurang Pendapatan daerah terhadap Belanja Daerah (Mulyana, 2006). Anggaran untuk membiayai pengeluaran yang sifatnya tidak terduga dibedakan dalam bagian anggaran pengeluaran tidak terduga. Pengeluaran yang dibebankan pada pengeluaran tidak terduga adalah penanganan bencana alam, bencana sosial, dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah daerah (Mulyana, 2006). Belanja Aparatur Daerah adalah bagian belanja berupa belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, serta belanja modal/pembangunan yang dialokasikan pada atau digunakan untuk membiayai kegiatan yang hasil (outcome), manfaat (benefit) dan dampaknya (impact) tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat. Sedangkan belanja pelayanan publik adalah bagian belanja berupa belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan serta belanja modal/pembangunan yang dialokasikan pada atau digunakan untuk membiayai kegiatan hasil (outcome), manfaat (benefit) dan dampaknya (impact) secara langsung dinikmati masyarakat (Publik) (Mulyana, 2006). Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tersebut berjalan hanya sampai 4 tahun dan direvisi kembali dengan PP 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan yang ditentukan lebih lanjut oleh Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai pengganti Kepmendagri No. 29 Tahun Permendagri No. 13 Tahun 2006 ini sebagai pedoman umum bagi pemerintahan daerah dalam melaksanakan tata

42 16 kelola keuangannya, yang tentu saja dalam rangka perbaikan manajemen keuangan daerah yang sehat tercapai transparasi dan akuntabilitas. Format baru belanja tahun 2006, berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006, belanja dikelompokkan ke dalam dua bentuk yaitu belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan di dalamnya yang terdiri atas belanja pegawai, belanja bunga, belanja subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan dan belanja tidak terduga. Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan di dalamnya terdiri atas belanja pegawai, belanja barang dan jasa dan belanja modal. Pengeluaran pemerintah digunakan untuk membiayai kepentingan publik. Pengeluaran pemerintah dilaksanakan dalam rangka : 1. Menyediakan barang publik atau proses pembagian keseluruhan sumberdaya untuk digunakan sebagai barang pribadi dan barang publik 2. Distribusi pendapatan dan kekayaan untuk menjamin terpenuhinya apa yang dianggap oleh masyarakat sebagai keadaan distribusi yang merata dan adil, kemudian disebut fungsi distribusi. 3. Penggunaan kebijakan anggaran sebagai suatu alat untuk mempertahankan tingkat kesempatan kerja yang tinggi, tingkat stabilitas yang semestinya dan laju pertumbuhan ekonomi yang cepat, dengan memperhitungkan segala akibatnya terhadap perdagangan dan neraca pembayaran, yang kemudian disebut fungsi stabilisasi.

43 17 Tabel 3 Pemetaan format anggaran pemerintah kabupaten/kota berdasarkan beberapa peraturan Jenis Makuda 1981 Kepmendagri No. 29/2002 Permendagri No. 13/2006 Pengeluaran Rutin Pengeluaran Staff Aparatur-Adm umum Pengeluaran Staff Belanja Tidak langsung Pengeluaran Staff Rutin Rutin Pembayaran Hutang dan Bunga Pengeluaran yang Tidak termasuk dalam pengeluaran lainnya Publik-Adm umum Pengeluaran Staff Rutin Pensiun dan santunan Rutin Subsisi/Bantuan Dana bagi Hasil Rutin Rutin Belanja pembangu n Belanja pembangu n Keuangan untuk Pemerintah di Tingkat yang lebih rendah Pengeluaran tak terduga Barang dan Jasa Operasional Pemeliharaan Biaya perjalanan Dinas Belanja Pembangunan Sumber : Mulyana, 2006 Aparaturoperasional dan Perawatan Publik- Operasonal dan perawatan Aparatur- Operasional dan Perawatan Publik- Operasional dan Perawatan Aparatur Publik Bantuan keuangan Pengeluara tak terduga Pengeluaran Staf Pengeluaran staf Barang dan Jasa Biaya Perjalanan Dinas Operasional dan perawatan Lain-lain Barang dan Jasa Biaya Perjalanan Dinas Operasional dan Perawatan Lain-lain Belanja modal Belanja Modal Belanja Langsung Pembayaran Hutang Subsidi Hibah Bantuan Sosial Pembagian pendapatan untuk pemerintah daerah atau desa Bantuan keuangan untuk pemerintah daerah atau desa Pengeluaran tak terduga Belanja Barang dan Jasa Belanja modal

44 18 Di dalam perekonomian, pemerintah telah berperan yang terlihat pada alokasi anggaran khususnya alokasi pengeluaran. Keynes (Todaro, 2006) berpendapat tingkat kegiatan dalam perekonomian ditentukan oleh perbelanjaan agregat. Pada umunya perbelanjaan agregat dalam suatu periode tertentu adalah kurang dari perbelanjaan agregat yang diperlukan untuk mencapai tingkat full employment. Keynes berpendapat sistem pasar bebas tidak akan dapat membuat penyesuaian-penyesuaian yang akan meciptakan full employment. Untuk mencapai kondisi tersebut diperlukan kebijakan pemerintah. Tiga bentuk kebijakan pemerintah yaitu kebijakan fiskal, moneter dan pengawasan langsung. Kebijakan fiskal melalui pengaturan anggaran pengeluaran dan penerimaan pemerintah. Kebijakan moneter dilakukan dengan memengaruhi jumlah uang beredar dan tingkat suku bunga. Pengawasan langsung dilakukan dengan membuat peraturanperaturan. Menurut Mangkoesoebroto (1997), perkembangan pengeluaran pemerintah ditentukan oleh beberapa faktor yaitu : 1. Perubahan permintaan akan barang publik. 2. Perubahan aktivitas pemerintah dalam menghasilkan barang publik, dan juga perubahan dari kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi. 3. Perubahan kualitas barang publik. 4. Perubahan harga faktor produksi. Ada beberapa teori yang membahas tentang perkembangan pengeluaran pemerintah (Mangkoesoebroto, 1997) yaitu : 1. Model Rostow dan Musgrave Model Rostow dan Musgrave berisi tentang perkembangan pengeluaran pemerintah. Model ini menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yaitu tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap

45 19 diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta semakin besar akan menimbulkan banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak. Selain itu pada tahap ini perkembangan ekonomi menyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang makin komplek. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang ditimbulkan oleh perkembangan sektor industri akan menimbulkan semakin tingginya pencemaran atau polusi. Pemerintah harus turun tangan mengatur dan mengurangi dampak negatif dari polusi. Pemerintah juga harus melindungi buruh dalam meningkatkan kesejahteraannya. Musgrave dan Musgrave (1991) berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi swasta dalam persentase terhadap PDB semakin besar dan persentase investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat. 2. Hukum Wagner Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam prosentase terhadap PDB. Wagner mengemukakan pendapatnya bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan The Law of Expanding State Expenditure. Dasar dari hukum tersebut adalah pengamatan empiris dari negaranegara maju (Amerika Serikat, Jerman, Jepang). Dalam hal ini Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemilihan barang-barang publik. Wagner mendasarkan pandangannya dengan suatu teori yang disebut teori organisasi mengenai pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya.

46 20 3. Teori Peacock dan Wiseman Inti dari teori Peacock dan Wiseman adalah Pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Oleh karena itu, dalam keadaan normal, meningkatnya PDB menyebabkan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah menjadi semakin besar. Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Karena itu penerimaan pemerintah dari pajak juga meningkat dan pemerintah meningkatkan penerimaannya tersebut dengan cara menaikkan tarif pajak sehingga dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Perang tidak hanya dibiayai dengan pajak, akan tetapi pemerintah juga melakukan pinjaman ke negara lain. Akibatnya setelah perang sebetulnya pemerintah dapat kembali menurunkan tarif pajak, namun tidak dilakukan karena pemerintah masih mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut. Sehingga pengeluaran pemerintah meningkat karena PDB yang mulai meningkat, pengembalian pinjaman dan aktivitas baru setelah perang. Ini yang disebut efek inspeksi (inspection effect). Adanya gangguan sosial juga akan menyebabkan terjadinya konsentrasi kegiatan ke tangan pemerintah dimana kegiatan ekonomi tersebut semula dilaksanakan untuk swasta. Ini disebut efek konsentrasi (concentration effect). Adanya ketiga efek tersebut menyebabkan aktivitas pemerintah bertambah. Setelah perang selesai dan keadaan kembali normal maka tingkat pajak akan turun kembali. Teori ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa berusaha untuk memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, yaitu suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh

47 21 pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Jadi masyarakat menyadari bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai aktivitas pemerintah sehingga mereka mempunyai tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar pajak. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pemungutan pajak secara semena-mena. 4. Kurva Scully. Kurva Scully merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh professor Gerald Scully, yang menerangkan hubungan antara peran pengeluran pemerintah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Dalam model kuadratik yang diformulasikan Scully, rasio pengeluaran pemerintah menjadi variabel independent dan pertumbuhan ekonomi menjadi variabel dependent. Dari model dapat disimpulkan bahwa : peningkatan porsi pengeluaran pemerintah terhadap PDRB sampai pada tingkat tertentu memberikan pengaruh yang lebih tinggi pada pertumbuhan, namun pada porsi yang lebih tinggi lagi (melebihi tingkat optimal) maka porsi pemerintah semakin besar akan berdampak lebih rendah terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi bahkan dapat mencapai nol seperti ditunjukkan pada Gambar 3. g Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 0 t Rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDRB Sumber : Kharisma, Gambar 3 Hubungan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dengan rasio pengeluaran pemerintah terhadap PDRB Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi dalam jangka panjang adalah meningkatkan kualitas dari setiap individu. Manusia merupakan subyek sekaligus obyek dari

48 22 pembangunan ekonomi. Jika pengeluaran pemerintah diarahkan pada pembangunan ekonomi, maka pembangunan kualitas sudah semestinya menjadi bagian terpenting dari kebijakan yang dijalankan. Sehingga jika pembangunan dapat berjalan dengan baik, maka selain terdapat pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat, menurunnya persentase penduduk miskin, naiknya IPM, naiknya pendapatan perkapita serta diiringi dengan adanya pemerataan pembangunan antar daerah. Pembangunan Menurut Bappenas (1999) pembangunan dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan yang dilakukan secara terencana dan berkelanjutan dengan memanfaatkan dan memperhitungkan kemampuan sumber daya, informasi, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memperhatikan perkembangan global. Sedangkan pembangunan daerah adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui otonomi daerah dan pengaturan sumber daya nasional, yang memberi kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah yang berdaya guna dalam penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan masyarakat, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah secara merata dan berkeadilan. Pembangunan dapat pula diartikan sebagai suatu proses perubahan peningkatan kualitas kehidupan manusia. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan ekonomi dan sosial. Dewasa ini negara-negara yang sedang berkembang menggebu-gebu keinginannya untuk melakukan pembangunan, terutama pembangunan dibidang ekonomi. Padahal perubahan dibidang ekonomi bukan hanya satu-satunya arti yang terkandung dalam pembangunan. Pembangunan harus diartikan lebih dari pemenuhan kebutuhan materi di dalam kehidupan manusia. Pembangunan seharusnya merupakan proses multidimensional yang meliputi berbagai perubahan yang mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan masyarakat serta pengentasan kemiskinan (Todaro dan Smith, 2006).

49 23 Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan hanya menciptakan peningkatan pada produksi nasional riil, tetapi juga harus ada perubahan dalam kelembagaan, struktur administrasi, perubahan sikap, dan kebiasaan. Jadi dalam hal ini istilah pembangunan diartikan sebagai perubahan yang meningkat baik di bidang sosial maupun di bidang ekonomi. Istilah pembangunan ekonomi diartikan sebagai perubahan yang meningkat pada kapasitas produksi nasional. Peningkatan ini dicerminkan dengan pertumbuhan ekonomi. Indikator pertumbuhan ekonomi tidak bisa hanya dilihat secara material, seperti meningkatnya pendapatan per kapita, tetapi juga peningkatan formasi kapital non material seperti kebijakan sosial-budaya yang menunjang harmoni sosial dan kestabilan politik serta kemandirian. Peningkatan pendapatan per kapita riil bisa dicapai apabila pertumbuhan produksi masyarakat masih meningkat setelah dikurangi peningkatan jumlah penduduk dan tingkat inflasi. Pertumbuhan ini dapat dicapai apabila struktur ekonomi yang berat pada sektor pertanian diubah dititikberatkan pada sektor industri. Hal ini tidak berarti bahwa suatu negara mengabaikan pembangunan sektor pertanian atau menurunkan produksi sektor pertanian. Produksi sektor pertanian tetap ditingkatkan, karena bagaimanapun produksi pertanian juga menopang sektor industri. Perubahan struktur ini adalah karena adanya kenyataan bahwa dengan investasi yang sama di sektor industri akan menghasilkan pertumbuhan pendapatan masyarakat yang lebih cepat dibanding dengan investasi yang sama di sektor pertanian. Hal ini disebabkan karena pembangunan di sektor industri mempunyai dampak kebelakang dan kedepan yang lebih luas dibanding dengan sektor pertanian. Menurut Todaro dan Smith (2006) dalam melaksanakan pembangunan, pada umumnya negara-negara yang sedang berkembang masih mempunyai hambatanhambatan, antara lain; (1) hambatan alam (kekurangan sumber daya alam) dan (2) hambatan yang berhubungan dengan ciptaan manusia (kekurangan peraturan pendukung), hambatan obyektif (kekurangan modal), dan hambatan subyektif (kekurangan jiwa kepemimpinan). Perubahan ekonomi dan sosial dapat dicapai dengan cara-cara yang berbeda-beda tergantung dari tujuan pembangunan itu sendiri. Pada umumnya menurut (Todaro dan Smith, 2006) tujuan pembangunan mencakup hal-hal pokok

50 24 seperti: (1) meningkatkan pertumbuhan ekonomi, (2) meningkatkan pemerataan pendapatan masyarakat, (3) meningkatkan kesempatan kerja, dan (4) meningkatkan pemerataan pembangunan antar daerah. Dari keempat tujuan ini, beberapa memang ada yang tampak kontradiktif satu sama lain. Misalnya tujuan pertama, yaitu usaha untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan tujuan kedua, yaitu meningkatkan pemerataan. Tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi biasanya dapat dicapai dengan usaha yang menggunakan teknologi tinggi, namun di pihak lain penggunaan teknologi tinggi dapat merampas kesempatan kerja seseorang yang berarti hanya sebagian kecil masyarakat yang menikmati pendapatannya, sedangkan masyarakat yang lainnya menganggur. Kebalikannya apabila diutamakan tujuan untuk peningkatan pemerataan, maka ini berarti harus menggunakan lebih banyak tenaga kerja dari pada tenaga mesin. Keadaan seperti ini dapat berakibat mengurangi kecepatan pertumbuhan ekonomi, walaupun mungkin pemerataan lebih dapat ditingkatkan. Pemilihan untuk lebih mengutamakan salah satu di antara dua tujuan tersebut bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu dalam menetapkan kebijaksanaan program pembangunan perlu dilakukan secara hati-hati dengan memperhitungkan untung ruginya. Beberapa ukuran yang digunakan untuk melihat keberhasilan suatu pembangunan ekonomi (Todaro dan Smith, 2006) yaitu : 1. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi mengandung makna adanya peningkatan produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh aktifitas ekonomi yang terjadi di masyarakat. Peningkatan produksi barang dan jasa yang dimaksud diukur berdasarkan suatu periode tertentu sebagai tahun dasar sehingga nilai peningkatan benar-benar mencerminkan adanya pertumbuhan produksi yang terbebas dari pengaruh harga (BPS, 2008). Berbagai model pertumbuhan ekonomi bermunculan secara dinamis mengikuti perubahan perekonomian dari waktu ke waktu (Todaro dan Smith, 2006). Teori Klasik yang dimotori oleh Adam Smith beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi sebenarnya bertumpu pada adanya pertambahan penduduk. Dengan adanya pertambahan penduduk maka akan terdapat pertambahan output

51 25 atau hasil. Selain Adam Smith, yang termasuk dalam teori klasik adalah David Ricardo. Ricardo berpendapat bahwa faktor pertumbuhan penduduk yang semakin besar sampai menjadi dua kali lipat pada suatu saat akan menyebabkan jumlah tenaga kerja melimpah. Kelebihan tenaga kerja akan mengakibatkan upah menjadi turun. Upah tersebut hanya dapat digunakan untuk membiayai taraf hidup minimum sehingga perekonomian akan mengalami kemandegan (stationary state). Teori Klasik selanjutnya berkembang menjadi Teori Neoklasik yang dimotori oleh Harrord Domar dan Robert Solow. Harrord Domar beranggapan bahwa modal harus dipakai secara efektif, karena pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh peranan pembentukan modal tersebut. Teori ini juga membahas tentang pendapatan nasional dan kesempatan kerja. Sedangkan Solow berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan rangkaian kegiatan yang bersumber pada manusia, akumulasi modal, pemakaian teknologi modern. Adapun pertumbuhan penduduk dapat berdampak positif dan dapat berdampak negatif. Oleh karenanya, menurut Robert Solow pertambahan penduduk harus dimanfaatkan sebagai sumber daya yang positif. Model pertumbuhan Solow dikatakan merupakan pilar yang sangat memberi kontribusi terhadap teori pertumbuhan neoklasik. Pada intinya model ini merupakan pengembangan dari model pertumbuhan Harrod-Domar dengan menambahkan faktor tenaga kerja dan teknologi kedalam persamaan pertumbuhan. Dalam model pertumbuhan Solow, input tenaga kerja dan modal memakai asumsi skala yang terus berkurang (diminishing returns) jika keduanya dianalisis secara terpisah, sedangkan jika keduanya dianalisis secara bersamaan memakai asumsi skala hasil tetap (constant returns to scale) (Todaro dan Smith, 2006). Model Neoklasik beranggapan bahwa mobilitas faktor produksi, baik modal maupun tenaga kerja, pada permulaan proses pembangunan adalah kurang lancar. Akibatnya, pada saat itu modal dan tenaga kerja ahli cenderung terkonsentrasi di daerah yang lebih maju sehingga ketimpangan pembangunan regional cenderung melebar. Akan tetapi bila proses pembangunan terus berlanjut, dengan semakin baiknya prasarana dan fasilitas komunikasi, maka mobilitas modal dan tenaga kerja tersebut akan semakin lancar. Dengan demikian, nantinya setelah negara

52 26 yang bersangkutan telah maju, maka ketimpangan pembanguan regional akan berkurang. Perkiraan ini merupakan kesimpulan kedua dari model ini dan kemudian dikenal sebagai Hipotesa Neoklasik. 2. Kemiskinan Konsep kemiskinan menurut Bellinger (2007) memiliki dua dimensi yaitu dimensi pendapatan dan dimensi non pendapatan. Kemiskinan dalam dimensi pendapatan didefinisikan sebagai keluarga yang memiliki pendapatan rendah yang diukur dari hal kepemilikan harta kekayaan seperti lahan dan kesulitan dalam mengakses jasa pelayanan publik. Sedangkan dari dimensi non pendapatan ditandai dengan adanya ketidakmampuan, ketiadaan harapan, tidak adanya perwakilan dan kebebasan yang dapat juga menimpa pada berbagai level pendapatan. Kemiskinan dari sisi pendapatan lebih sering didiskusikan karena lebih mudah diukur, dan dapat dibedakan menjadi kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Menurut Todaro dan Smith (2006), besarnya kemiskinan dapat diukur dengan atau mengacu kepada garis kemiskinan. Konsep yang mengacu pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut, sedangkan pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah derajat kemiskinan di bawah kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak dapat terpenuhi. Ukuran ini relatif tetap dalam bentuk kebutuhan kalori minimum ditambah komponen non makanan yang juga sangat dibutuhkan untuk tetap survive. Garis kemiskinan berbeda untuk tiap negara, tetapi yang umum dijadikan standar untuk membandingkan antar negara adalah sebesar US$ 1 per hari. Sedangkan kemiskinan relatif adalah ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya berkaitan dengan ukuran di bawah tingkat ratarata distribusi pendapatan. Kemiskinan menurut BPS diukur dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmammpuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Metode yang digunakan adalah menghitung Garis Kemiskinan (GK),

53 27 yang terdiri dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM). Penghitungan Garis Kemiskinan dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah garis kemiskinan. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan kalori perkapita per hari yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480 kg/kapita/tahun di daerah perkotaan. Garis kemiskinan non makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya. BPS setiap tahun menetapkan besarnya garis kemiskinan berdasarkan hasil Survei Ekonomi Nasional (SUSENAS). Garis kemiskinan juga berbeda-beda untuk tiap daerah tergantung besarnya biaya hidup minimum masing-masing daerah. Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Dalam tingkat negara seluruh barang dan jasa yang dihasilkan di dalam negeri diukur secara agregat dalam bentuk Produk Domestik Bruto (PDB). Agar dapat diagregasikan seluruh barang dan jasa yang diproduksi dikonversi dalam bentuk mata uang negara yang bersangkutan. Pertumbuhan ekonomi dapat diukur dari perubahan PDB dalam periode tertentu misalnya dalam periode satu tahun. Terdapat kontroversi antara pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Banyak yang berpendapat bahwa pertumbuhan yang cepat berakibat buruk pada kaum miskin, karena mereka akan tergilas dan terpinggirkan oleh perubahan struktural pertumbuhan modern. Di samping itu, terdapat pendapat di kalangan pembuat kebijakan bahwa pengeluaran publik yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan akan mengurangi dana yang dapat digunakan untuk untuk mempercepat pertumbuhan. Namun banyak juga yang berpendapat bahwa

54 28 kebijakan untuk mengurangi kemiskinan tidak harus memperlambat laju pertumbuhan (Todaro dan Smith, 2006), dengan pertimbangan sebagai berikut: a. Kemiskinan membuat kaum miskin tidak punya akses kredit, menyekolahkan anaknya, tidak punya peluang berinvestasi sehingga akan memperlambat pertumbuhan perkapita. b. Data empiris menunjukkan kaum kaya di negara miskin tidak mau menabung dan berivestasi di negara mereka sendiri. c. Kaum miskin memiliki standar hidup seperti kesehatan, gizi dan pendidikan yang rendah sehingga menurunkan tingkat produktivitas ekonominya. d. Peningkatan pendapatan kaum miskin akan mendorong kenaikan permintaan produk lokal, sementara golongan kaya cenderung mengkonsumsi barang impor. e. Penurunan kemiskinan secara masal akan menciptakan stabilitas sosial dan memperluas partisipasi publik dalam proses pertumbuhan. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi yang cepat dan pengurangan kemiskinan bukanlah hal yang saling bertentangan, tetapi harus dilaksanakan secara simultan. Berbagai kebijakan yang tepat dapat dirumuskan agar seluruh elemen masyarakat dapat berperan serta dalam pertumbuhan yang berkelanjutan. 3. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indeks Pembangunan Manusia (IPM), secara khusus mengukur capaian pembangunan manusia menggunakan beberapa komponen dasar kualitas hidup. Sebagai ukuran kualitas hidup, IPM dibangun melalui pendekatan tiga dimensi dasar. Dimensi tersebut mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan dan kehidupan yang layak. Ketiga dimensi tersebut memiliki pengertian sangat luas karena terkait banyak faktor didalamnya. Untuk mengukur dimensi kesehatan, digunakan angka umur harapan hidup. Selanjutnya untuk mengukur dimensi pengetahuan digunakan indikator angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah yang dikombinasikan. Adapun untuk mengukur dimensi hidup layak digunakan indikator kemampuan daya beli (Purchasing Power Parity). a. Umur Harapan Hidup

55 29 Angka harapan hidup dapat dihitung dengan menggunakan pendekatan tak langsung (indirect estimation). Ada dua jenis data masukan yang digunakan untuk menghitung angka umur harapan hidup yaitu Anak Lahir Hidup (ALH) dan Anak Masih Hidup (AMH). Paket program Mortpack digunakan untuk menghitung angka harapan hidup dengan input data ALH dan AMH. Selanjutnya menggunakan program Mortpack ini, dipilih metode Trussel dengan model West, yang sesuai dengan dengan histori kependudukan dan kondisi Indonesia dan Negara-negara Asia Tenggara umumnya. Besarnya nilai maksimum dan nilai minimum untuk masing-masing komponen ini merupakan nilai besaran yang telah disepakati oleh semua negara (175 negara didunia). Pada komponen angka umur harapan hidup, angka tertinggi sebagai batas atas untuk penghitungan indeks dipakai 85 tahun dan terendah adalah 25 tahun. Angka ini merupakan angka rata-rata umur terpanjang penduduk Swedia dan terpendek dari negara Siera Leon di Afrika. b. Tingkat Pendidikan Untuk mengukur dimensi pengetahuan penduduk digunakan dua indikator, yaitu rata-rata lama sekolah (mean of years schooling) dan angka melek huruf. Selanjutnya rata-rata lama sekolah menggambarkan jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk usia 15 tahun ke atas dalam menjalani pendidikan formal. Sedangkan angka melek huruf adalah persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang dapat membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf lainnya. Proses penghitungannya, kedua indikator tersebut digabung setelah masing-masing diberikan bobot. Rata-rata lama sekolah diberi bobot sepertiga dan angka melek huruf diberi bobot dua pertiga. Untuk penghitungan indeks pendidikan, dua batasan dipakai sesuai kesepakatan beberapa negara saat pertama kali penghitungan IPM dilakukan. Batas atas untuk angka melek huruf, dipakai maksimum 100 dan minimum 0 (nol), yang menggambarkan kondisi 100% atau semua masyarakat mampu membaca dan menulis, dan nilai nol mencerminkan kondisi sebaliknya. c. Standar Hidup Layak

56 30 Selanjutnya dimensi ketiga dari ukuran kualitas hidup manusia adalah standar hidup layak. Dalam cakupan lebih luas standar hidup layak menggambarkan tingkat kesejahteraan yang dinikmati oleh penduduk sebagai dampak semakin membaiknya ekonomi. UNDP mengukur standar hidup layak menggunakan GDP riil yang disesuaikan, sedangkan BPS dalam menghitung standar hidup layak menggunakan rata-rata pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan dengan formula Atkinson. C (I) = C (i) Jika C (i) < Z = Z + 2(C (i)`-`z) 1/2 Jika Z < C (i) < 2Z = Z + 2(Z) 1/2 + 3(C (i)`-`2z) 1/3 Jika 2Z < C (i) < 3Z...(2.1) dst Keterangan : C (i) = PPP dari nilai riil pengeluaran per kapita Z = Batas tingkat pengeluaran yang ditetapkan secara arbiter sebesar Rp per kapita per tahun atau Rp per kapita per hari Penghitungan indeks daya beli, seperti terlihat pada uraian sebelumnya dan diagram penghitungan IPM, terlihat bahwa batas atas penghitungan digunakan batas masksimum dan minimum adalah sebesar Rp dan Rp ini merupakan batas sampai dengan tahun Pada tahun 2002, batas bawah penghitungan PPP dirubah dan disepakati menjadi Rp mengikuti kondisi pasca krisis ekonomi. Penyusunan Indeks Sebelum penghitungan IPM, setiap komponen harus dihitung indeksnya. Formula yang digunakan sebagai berikut; ( X ( i, j) X ( i min) ) Indeks X ( i, j) =... (2.2) ( X X ) ( i maks) ( i min) keterangan X (i,j) = Indeks komponen ke-i dari daerah j X (i-min) = Nilai minimum dari X i X (i-maks) = Nilai maksimum dari X i

57 31 Nilai IPM dapat dihitung sebagai: 1 IPM j = Indeks X ( i, j) 3 j (2.3) keterangan : Indeks X (i,j) = Indeks komponen IPM ke i untuk wilayah ke j; i = 1, 2, 3 j = 1, 2. k wilayah Untuk menghitung indeks rangkuman batas minimun dan maksimum setiap komponen IPM ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 Nilai maksimum dan minimum dari setiap komponen IPM Komponen IPM Maksimum Minimum Keterangan 1. Angka Harapan Hidup Standar UNDP 2. Angka Melek Huruf Standar UNDP 3. Rata-rata lama sekolah Daya beli a (1996) UNDP menggunakan PDB Riil disesuaikan b (1999,2002) Keterangan : a) Perkiraan maksimum pada akhir PJP II tahun 2018 b) Penyesuaian garis kemiskinan lama dengan garis kemiskinan baru Sumber : BPS, Gambar 4 menunjukkan bahwa untuk menghitung IPM, terlebih dahulu dihitung untuk masing-masing indeks harapan hidup, indeks pendidikan dan indeks pendapatan. Penghitungan masing-masing indeks dilakukan seperti dalam penjelasan dan rumusan yang telah diuraikan. Dengan menggunakan IPM, UNDP membagi status pembangunan manusia di kabupaten/kota ke dalam empat kategori dengan kriteria sebagai berikut : a. Rendah, bila angka IPM < 50. b. Menengah Bawah, bila angka 50 IPM < 66.

58 32 c. Menengah Atas, bila angka 66 IPM < 90. d. Tinggi, bila angka IPM 90. DIMENSI Umur panjang Dan sehat Pengetahuan Kehidupan yang layak INDIKATOR Angka harapan Angka melek Rata-rata Pengeluaran per hidup pada saat huruf lama seko- kapita riil yang Lahir (Lit) lah (MYS) disesuaikan (PPP Rupiah) INDEKS Indeks harapan Indeks Indeks hidup pendidikan pendapatan INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) Sumber : BPS, Gambar 4 Diagram alur perhitungan IPM. 4. Ketimpangan Pembangunan Antar Wilayah Ketimpangan pembangunan antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan ekonomi suatu daerah. Ketimpangan ini pada dasarnya disebabkan oleh adanya perbedaan berbagai faktor yang terdapat pada masingmasing daerah. Akibat dari perbedaan ini, kemampuan suatu daerah dalam mendorong proses pembangunan suatu daerah juga menjadi berbeda. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bilamana pada suatu proses pembangunan suatu wilayah biasanya terdapat wilayah maju dan wilayah terbelakang. Terjadinya ketimpangan antar wilayah membawa implikasi terhadap tingkat kesejahteraan antar wilayah. Karena itu, aspek ketimpangan pembangunan antar wilayah ini juga mempunyai implikasi pula terhadap formulasi kebijakan pembangunan wilayah yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Beberapa faktor utama yang menyebabkan atau memicu terjadinya ketimpangan pembangunan wilayah tersebut (Sjafrizal, 2008), adalah : a. Faktor geografis

59 33 Suatu wilayah atau daerah yang sangat luas akan terjadi variasi pada keadaan fisik alam berupa topografi, iklim, curah hujan, sumberdaya mineral dan variasi spasial lainnya. Apabila faktor-faktor lainnya baik dan ditunjang dengan kondisi geografis yang lebih baik dari daerah lain, maka wilayah tersebut akan berkembang lebih baik daripada daerah lain. b. Faktor historis Perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah tergantung dari kegiatan atau budaya hidup yang telah dilakukan di masa lalu. Bentuk kelembagaan, budaya atau kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem intensif terhadap kapasitas kerja. c. Faktor politis Tidak stabilnya suhu politik sangat mempengaruhi perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Instabilitas politik akan menyebabkan orang ragu untuk berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi suatu wilayah tidak akan berkembang. Bahkan pelarian modal keluar wilayah untuk diinvestasikan ke wilayah yang lebih stabil. d. Faktor kebijakan Terjadinya kesenjangan antar wilayah bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik di beberapa sektor dan lebih menekankan pertumbuhan dan pembangunan pada daerah-daerah yang menjadi pusat-pusat pembangunan di wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antar daerah. e. Faktor administratif Kesenjangan wilayah dapat terjadi karena adanya perbedaan kemampuan pengelola administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju. Sehingga dapat dikatakan wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang jujur, terpelajar, terlatih yang berarti sama dengan mempunyai sumberdaya manusia yang lebih baik. f. Faktor sosial Masyarakat dengan kepercayaan-kepercayaan yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang rendah cenderung akan menghambat

60 34 perkembangan ekonomi. Sebaliknya masyarakat maju memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang. g. Faktor ekonomi Beberapa faktor ekonomi yang menyebabkan kesenjangan antar wilayah adalah perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan. Hal ini mengakibatkan terjadinya akumulasi dari berbagai faktor ekonomi. Wilayah yang mempunyai faktor-faktor ekonomi yang baik, mendorong untuk menjadi daerah yang lebih maju, dan menjadi pusat kegiatan ekonomi, sedangkan daerah lainnya akan tertinggal. 2.2 Tinjauan Empiris Ada beberapa tinjauan empiris yang relevan dengan permasalahan yang diangkat dan menambah kajian lebih baik. Penelitian yang dilakukan oleh Alfirman dan Sutriono (2006), bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan timbal balik antara pengeluaran pemerintah dan Produk Domestik Bruto (PDB) di Indonesia periode Metode yang dipakai adalah Granger Causality dan Vector Autoregression (VAR) dengan memperlakukan kedua variabel sebagai variabel endogen. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan kausalitas antara total pengeluaran pemerintah dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Pengeluaran rutin tidak signifikan mempengaruhi Produk Domestik Bruto (PDB) karena lebih bersifat konsumtif dan tidak produktif serta sebagian besar bersifat kontraktif seperti belanja untuk pembayaran bunga utang. Sementara pengeluaran pembangunan memiliki hubungan kausalitas positif dan signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Hal ini dapat dijelaskan oleh pengaruh positif pengeluaran sektor pertanian, infrastruktur dan transportasi serta pendidikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan pengaruh positif perubahan Produk Domestik Bruto (PDB) terhadap pengeluaran pemerintah di sektor infrastruktur dan transportasi. Penelitian Syaibani (2005) yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengeluaran pemerintah pusat maupun pengeluaran pemerintah daerah

61 35 mempengaruhi pembangunan ekonomi, dengan menggunakan data pengeluaran pemerintah di semua propinsi di Indonesia dari tahun Metode analisisnya menggunakan model-model ekonometrik. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa pengeluaran pemerintah memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Pengeluaran pemerintah daerah lebih berpengaruh dibanding pengeluaran pemerintah pusat. Selain itu pengeluaran pemerintah pusat mempunyai pengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Kharisma (2006) yang melakukan penelitian dengan tujuan mengetahui pengaruh anggaran pemerintah daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan ekonomi daerah propinsi di Indonesia. Penelitian yang menggunakan data sekunder dari 26 propinsi di Indonesia selama periode yang diestimasi dengan menggunakan model ekonometrik data panel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum pelaksanaan desentralisasi selama periode , peran anggaran pemerintah daerah dari sisi penerimaan dan pengeluaran terhadap pertumbuhan berpengaruh negatif, baik di Jawa maupun luar jawa. Sedang kurun waktu , peran anggaran Pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui sisi pengeluaran lebih besar dibandingkan sisi penerimaan, baik di Jawa maupun luar Jawa. Di era desentralisasi peran PAD terhadap pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan, walaupun masih di bawah dana perimbangan. Selain itu selama masa era desentralisasi, peran anggaran pemerintah daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengeluaran pembangunan maupun pengeluaran rutin mengalami peningkatan dibandingkan era sebelumnya. Landiyanto (2005) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk melihat kinerja keuangan daerah kota surabaya, dengan menggunakan metode eksploratif yang diperkuat dengan melihat tingkat kemandirian keuangan dan derajat desentralisasi. Data yang digunakan adalah data yang berasal dari Kota Surabaya tahun menunjukkan bahwa Kota Surabaya masih memiliki ketergantungan pada pemerintah pusat, yang disebabkan belum optimalnya penerimaan dari pendapatan Asli daerah Kota Surabaya. Sehingga perlu di cari alternatif-alternatif untuk meningkatkan PAD.

62 36 Wang (2007) dalam penelitiannya yang bertujuan untuk melihat keterkaitan antara pengeluaran pemerintah, pengangguran, dan pertumbuhan ekonomi menggunakan dengan metode VAR dengan data dari 20 negara selama kurun waktu Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan jangka panjang antara ketiga variabel tersebut, sedang dalam jangka pendek tidak terlihat. Sedangkan perbedaan tipe pemerintahan akan mempunyai dampak yang berbeda terhadap pertumbuhan dan pengangguran. Loizides dan Vamvoukas (2008) melakukan penelitian untuk mencari hubungan antara proporsi belanja pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi dengan dimodifikasi tambahan inflasi dan pengangguran dengan metode Trivariate Causality Testing. Dengan menggunakan sampel 3 negara yaitu Yunani, Irlandia, Inggris yang mewakili Negara berkembang dan maju selama kurun waktu Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan metode yang sama, karena kondisi negara yang berbeda ternyata memberikan hasil yang berbeda antara negara berkembang dan maju. Sehingga dapat dikatakan kondisi serta sejarah suatu negara/daerah sangat mempengaruhi dalam hubungan alokasi belanja pemerintah dan pertumbuhan ekonomi yang dihubungkan dengan inflasi dan tingkat penggangguran. 2.3 Kerangka Pemikiran Pemberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25 tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan langkah strategis dalam pengaturan desentralisasi fiskal bagi pemerintah daerah. Desentralisasi fiskal merupakan inti dari desentralisasi itu sendiri karena pemberian kewenangan di bidang politik maupun administrasi tanpa dibarengi dengan desentralisasi fiskal merupakan desentralisasi yang sia-sia, sebab untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab serta tugas-tugas pelayanan publik tanpa dibarengi wewenang baik penerimaan maupun pengeluaran desentralisasi tidak akan efektif. Desentralisasi akan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menggali potensi daerah dan memperoleh transfer dari pusat dalam rangka keseimbangan fiskal. Selain itu,

63 37 pemerintah daerah juga diberi kewenangan untuk menentukan alokasi pengeluaran yang dikaitkan dengan tugas dan fungsi pemerintah daerah untuk menyediakan barang dan jasa publik, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi fiskal adalah pendelegasian tanggung jawab dan pembagian kekuasaan dan kewenangan untuk mengambil keputusan di bidang fiskal yang meliputi aspek penerimaan maupun aspek pengeluaran. Dengan adanya perubahan mendasar pada peraturan perundangan mengenai pelaksanaan pemerintahan di daerah tentunya harus diiringi dengan perubahan tentang ketentuan dan tata cara pengelolaan keuangan daerah. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat mengharmonisasikan pengelolaan keuangan daerah baik antara pemerintah dengan pemerintah daerah, pemerintah daerah dengan DPRD dan pemerintah daerah dengan masyarakat (Halim, 2007). Dengan demikian, daerah dapat mewujudkan pengelolaan keuangan secara efektif dan efsien serta dapat mewujudkan tata pemerinah yang baik. Agar pelaksanaan desentralisasi fiskal dan pengelolaan keuangan dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan adanya manajemen yang baik dengan memperhatikan asas-asas umum dalam kebijakan keuangan negara dan keuangan daerah. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa pelaksanaan desentralisasi fiskal mempunyai tujuan utama untuk mendukung pendanaan atas urusan-urusan yang telah diserahkan di daerah, agar dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik sehingga diharapkan dapat memberikan kesempatan bagi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga pada gilirannya akan mendorong perkembangan ekonomi melalui pembangunan ekonomi. Hal itu dapat ditunjukkan dengan semakin membaiknya nilai indikator-indikator yang menunjukkan keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Oleh karenanya pelaksanaan desentralisasi fiskal diharapkan mampu memberikan dampak positif pada pelaksanaan pembangunan ekonomi dan dapat mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah. Hal ini dikarenakan desain alokasi dana dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah juga memperhatikan keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah pada masa

64 38 sebelumnya melalui indikator-indikator yang ada yaitu pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan, pengangguran, dan IPM. Sehingga dapat dikatakan ada hubungan yang erat antara pengelolaan keuangan daerah dan pembangunan ekonomi di era desentralisasi. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas maka dapat disusun diagram alur kerangka pemikiran dari Analisis Pengelolaan Keuangan Daerah dan Dampaknya terhadap Pembangunan Ekonomi Provinsi Jawa Timur yang ditunjukkan pada Gambar 5. UU No 32 dan 33 Tahun 2004 Desentralisasi Fiskal Penerimaan Daerah (PAD, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, Lain-lain yang sah) Pengeluaran Daerah (Belanja, Pembiayaan) Pengelolaan Kuangan Daerah Analisis penerimaan Keuangan Daerah Analisis Pengeluaran Keuangan Daerah Pembangunan Ekonomi (PDRB, IPM, Persentase Penduduk miskin, Kesenjangan Pembangunan ) Rekomendasi Kebijakan atas Hasil Penelitian Gambar 5 Diagram alur kerangka pemikiran.

65 Hipotesis Penelitian Adanya desentralisasi fiskal yang berdampak pada perubahan pengelolaan keuangan daerah diharapkan dapat meningkatkan kemandirian daerah serta peran anggaran pemerintah dalam pembangunan ekonomi suatu daerah baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini disebabkan karena : 1. Ada beberapa daerah yang mengalami kemajuan dalam hal kemandirian keuangan daerah, namun ada juga beberapa daerah yang masih sangat tergantung pada pemerintah pusat. 2. Ada beberapa daerah yang mengalami kemajuan pembangunan ekonomi yang sangat pesat di era desentralisasi fiskal. 3. Alokasi belanja daerah mempengaruhi tingkat keberhasilan pelaksanaan pembangunan ekonomi daerah.

66 III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah Provinsi Jawa Timur dan dilaksanakan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan mulai tahap persiapan hingga penyelesaian laporan. Pengambilan dan pengolahan data dimulai pada bulan September Keterangan : 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Gambar 6 Wilayah administrasi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. 3.2 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang terkait dalam penelitian ini diambil dari publikasi resmi pemerintah atau studi literatur yang diperoleh dari instansi-instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Jawa Timur, BPS Pusat Jakarta, Pemda Jawa Timur, Departemen

67 41 Keuangan serta instansi lainnya yang terkait. Untuk mendukung ketersediaan data lainnya yang lebih lengkap, sumber data juga diakses melalui publikasi artikel maupun makalah/jurnal ilmiah dari internet. Jenis dan sumber data yang diperlukan seperti ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian No. Data Sumber APBD Kemiskinan IPM Penduduk PDRB BPS, Departemen Keuangan BPS BPS BPS BPS 3.3 Definisi Operasional Definisi operasional dari masing-masing variabel yang digunakan adalah : 1. Kinerja fiskal daerah adalah berasal dari sisi penerimaan yaitu bersumber dari PAD dan bagi hasil yang merupakan kemampuan daerah untuk pendanaan, kemudian kinerja fiskal dari sisi pengeluaran daerah terdiri dari pos-pos pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. 2. Fiscal capacity adalah ketersediaan keuangan daerah yang bersumber dari PAD, dana perimbangan (dana bagi hasil pajak dan sumberdaya, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus) dan penerimaan lainnya yang sah. 3. Fiscal needs adalah kebutuhan fiskal daerah merupakan konsep yang menunjukkan jumlah fiskal yang dibutuhkan daerah dalam menjalankan pembangunan baik untuk pengeluaran rutin dan pembangunan daerah agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 4. Total penerimaan daerah adalah semua penerimaan daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi hak daerah, baik itu yang berasal dari pendapatan asli daerah, dana transfer dan pendapatan lain yang sah. 5. Total pengeluaran daerah adalah semua pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah. 6. Belanja rutin adalah pengeluaran untuk keperluan operasional untuk menjalankan kegiatan rutin pemerintahan. Belanja rutin mencakup belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga, subsidi, dan belanja lain-lain.

68 42 7. Belanja pembangunan adalah belanja yang menghasilkan nilai tambah aset, baik fisik maupun non fisik, yang dilaksanakan dalam periode tertentu. 8. Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah sumber pendapatan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah yang dijadikan sebagai barometer bagi potensi perekonomian suatu daerah, sekaligus mencerminkan efektifitas dan efisiensi aparatur pemerintah daerah dalam melaksanakan pekerjaannya 9. Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) adalah penerimaan daerah yang berasal dari pengelolaan pajak dan bukan pajak oleh provinsi maupun pusat, diantaranya yang berasal dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak penghasilan orang pribadi dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor. Bagi hasil bukan pajak, diantaranya ádalah iuran hak penguasaan hutan, provisi sumber daya hutan, dan lainnya. 10. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi 11. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah suatu indeks yang secara khusus mengukur capaian pembangunan manusia yang menggunakan beberapa komponen dasar kualitas hidup melalui pendekatan tiga dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan dan kehidupan yang layak. 12. Persentase penduduk miskin adalah perbandingan antara jumlah penduduk suatu daerah yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah garis kemiskinan terhadap jumlah penduduk keseluruhan. Garis kemiskinan dibedakan atas garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan non makanan. Garis kemiskinan makanan yaitu nilai kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori perkapita perhari, sedangkan garis kemiskinan non makanan adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya. 13. Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 (PDRB) adalah jumlah produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh aktifitas ekonomi yang terjadi di masyarakat yang diukur berdasarkan suatu periode

69 43 tertentu sebagai tahun dasar sehingga nilainya benar-benar mencerminkan adanya jumlah produksi yang terbebas dari pengaruh harga. 14. Belanja pegawai adalah jenis belanja yang menampung seluruh pengeluaran negara yang digunakan untuk membayar gaji pegawai, termasuk berbagai tunjangan yang menjadi haknya, dan membayar honorarium, lembur, tunjangan khusus, serta membayar pensiun dan asuransi kesehatan (kontribusi sosial). 15. Belanja barang adalah jenis belanja yang digunakan untuk membiayai kegiatan operasional pemerintahan untuk pengadaan barang dan jasa, dan biaya pemeliharaan aset negara. 16. Belanja modal menampung seluruh pengeluaran negara yang dialokasikan untuk pembelian barang-barang kebutuhan investasi (dalam bentuk aset tetap dan aset lainnya) 17. Belanja lainnya adalah jenis belanja pembayaran bunga utang, subsidi, hibah, bantuan sosial, dan belanja lain-lain. 3.4 Metode Analisis. Beberapa metode analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif dengan menggunakan analisis boxplot, analisis GIS dan analisis cluster untuk mengetahui perkembangan kinerja keuangan dan pembangunan ekonomi daerah. Sedangkan pengaruh belanja daerah terhadap pembangunan ekonomi menggunakan metode analisis inferensia yaitu metode VAR dalam panel data. 1. Analisis Boxplot Salah satu bentuk analisis deskriptif adalah grafik dalam bentuk boxplot. Sebagaimana diketahui, bahwa data itu mempunyai karakteristik untuk setiap tahun maupun setiap wilayah. Oleh karena itu langkah awal dalam menganalisis data adalah mempelajari karakteristik dari data tersebut. Untuk itu, kita perlu mengetahui misalnya pemusatan dan penyebaran data dari nilai tengahnya, nilai ekstrim atau pencilan dan beberapa pengukuran lainnya. Boxplot adalah salah satu teknik untuk mempelajari karakteristik dan distribusi data tersebut.

70 44 Boxplot (juga dikenal sebagai diagram box-and-whisker) merupakan suatu box (kotak berbentuk bujur sangkar). Boxplot adalah salah satu cara dalam statistik deskriptif untuk menggambarkan secara grafik dari data numeris melalui lima ukuran sebagai berikut : a. Nilai observasi terkecil b. Kuartil terendah atau kuartil pertama (Q1), yang memotong 25% dari data terendah. c. Median (Q2) atau nilai pertengahan. d. Kuartil tertinggi atau kuartil ketiga (Q3), yang memotong 25% dari data tertinggi. e. Nilai observasi terbesar. Boxplot juga menunjukkan adanya nilai pencilan (outlier) dari observasi. Boxplot dapat digunakan untuk menunjukkan perbedaan antara populasi tanpa menggunakan asumsi distribusi stastistik yang mendasarinya. Karenanya, boxplot tergolong dalam statistik non-parametrik. Jarak antara bagian-bagian dari box menunjukkan derajat dispersi (penyebaran) dan skewness (kecondongan) dalam data. Dalam penggambarannya, boxplot dapat digambarkan secara horizontal maupun vertikal. Software yang digunakan dalam analisis boxplot ini adalah MINITAB 14. Hasil pengolahannya analisis boxplot dapat diilustrasikan dalam bentuk seperti ditunjukkan pada Gambar 7. Outlier Perpanjangan Whisher, nilai tertinggi dalam batas atas Kuartil ketiga (Q3) Median (Q2) Kuartil pertama (Q1) Perpanjangan Whisher, nilai terendah dalam batas atas Gambar 7 Diagram Boxplot.

71 45 Dari Gambar 7 dapat dijelaskan : a. Garis horizontal bagian bawah box menyajikan kuartil pertama (Q1), sementara bagian atas menyajikan kuartil ketiga (Q3). Bagian dari box adalah bidang yang menyajikan interquartile range (IQR), atau bagian pertengahan dari 50 % observasi. Panjang box ditentukan oleh IQR ini. IQR adalah ukuran yang terkenal untuk mengukur penyebaran data. Semakin tinggi (jika boxplot vertikal) atau semakin lebar (jika boxplot horizontal) bidang IQR ini, menunjukkan data semakin menyebar. b. Garis tengah yang melewati box menyatakan median dari data. Median adalah ukuran yang terkenal untuk lokasi variabel (nilai pusat atau rata-rata). c. Garis yang memperpanjang box dinamakan dengan whiskers. Whiskers menunjukkan nilai yang lebih rendah dan lebih tinggi dari kumpulan data yang berada dalam IQR (kecuali outlier). Panjang garis whisker bagian atas ini adalah kurang dari atau sama dengan Q3 + (1.5 x IQR). Panjang garis whisker bagian bawah ini adalah lebih besar atau sama dengan Q1 (1.5 x IQR). Masing-masing garis whisker dimulai dari akhir box. d. Nilai yang berada di atas atau dibawah whisker dinamakan nilai outlier atau ekstrim. Suatu nilai dikatakan outlier jika: Q3+(1.5x IQR) < outlier Q3+(3x IQR) atau jika Q1-(1.5xIQR)>outlier Q1-(3xIQR). Selanjutnya, suatu nilai dikatakan ekstrim jika lebih besar dari Q3+(3 x IQR) atau lebih kecil dari Q1 (3 x IQR). Beberapa manfaat dari penggunaan analisis boxplot adalah : a. Melihat derajat penyebaran data (yang dapat dilihat dari tinggi atau lebar box). Jika data menyebar, maka box semakin tinggi atau lebar. b. Menilai kesimetrisan data. Jika data simetris, garis median akan berada di tengah box dan whisker pada bagian atas dan bagian bawah akan memiliki panjang yang sama. Jika data tidak simetris (condong), median tidak akan berada di tengah box dan salah satu dari whisker lebih panjang dari yang lainnya.

72 46 2. Analisis Cluster (Analisis Gerombol) Analisis cluster merupakan suatu teknik statistik yang mengelompokkan n obyek pengamatan menjadi k gerombol dimana n> k, berdasarkan kesamaan sifat masing-masing obyek pengamatan dimana objek-objek dalam sebuah cluster relatif homogen dan objek-objek antar cluster relatif heterogen. Pada analisis cluster tidak ada asumsi yang berhubungan dengan jumlah kelompok maupun struktur kelompok. Cluster yang ideal sebagai hasil pengelompokan dengan analisis cluster adalah jika ragam setiap cluster dan ragam dalam cluster relatif lebih kecil dibandingkan ragam antar cluster. Pengelompokan didasarkan kepada kemiripan (similarities) atau ketidakmiripan (dissimilarities). Dalam penelitian ini yang digunakan adalah ukuran kemiripan dengan jarak Euclidian. Jarak ini digunakan apabila antara peubah-peubah individu tidak berkorelasi. Ada beberapa metode pengelompokan yang dapat digunakan pada analisis cluster ini yaitu : a. Metode pengelompokan berhierarki Metode ini memulai pengelompokan dengan dua atau lebih obyek yang mempunyai kesamaan terdekat. Kemudian proses diteruskan ke obyek lain yang mempunyai kedekatan kedua. Demikian seterusnya sehingga cluster akan membentuk semacam pohon dimana ada hierarki (tingkatan) yang jelas antar obyek dari yang paling mirip sampai yang tidak mirip, sehingga semua obyek pada akhirnya membentuk satu cluster. Dalam metode ini kita dapat menelusuri kenapa obyek yang bersangkutan menggerombol dalam satu cluster. Metode ini dapat dibedakan menjadi : 1) Metode agglomerative, yaitu metode yang pada mulanya tiap-tiap obyek dianggap sebagai satu kelompok tersendiri. Kemudian objek-objek yang paling mirip berdasarkan ukuran jarak terdekat dimasukkan dalam satu kelompok. Kelompok-kelompok yang terbentuk dilakukan penggabungan antar kelompok yang juga berdasarkan atas jarak terdekat. 2) Metode divisive, yaitu metode yang pada mulanya seluruh obyek dianggap berada dalam satu kelompok, kemudian kelompok tersebut dipecah menjadi beberapa sub kelompok, dimana obyek didalam suatu sub kelompok sangat berbeda dengan objek pada sub kelompok yang lain. Selanjutnya setiap sub

73 47 kelompok itu dipecah lagi menjadi beberapa sub kelompok berdasarkan ukuran ketidakmiripan. Pada metode analisis gerombol berhierarki terdapat beberapa metode untuk memperbaiki matrik jarak antara lain : 1) Metode pautan tunggal. 2) Metode pautan lengkap. 3) Metode pautan rataan. Dalam penelitian ini digunakan metode pautan rataan, karena metode ini dapat meminimumkan rataan jarak semua pasangan individu-individu dari penggabungan dua gerombol. b. Metode pengelompokan tidak berhierarki Dengan metode ini, kita dapat menelusuri sebab suatu obyek menggerombol ke suatu cluster, karena obyek selalu berpindah dari satu cluster ke cluster lain. Metode ini dimulai dengan menentukan terlebih dahulu jumlah cluster yang diinginkan. Setelah cluster diketahui, beberapa proses pengelompokan dilakukan tanpa mengikuti proses hierarki, antara lain teknik penyekatan dan penggunaan grafik. Pada teknik penyekatan seperti K-rataan (K-Means), obyek dapat berpindah cluster pada setiap tahapan pengclusteran. Biasanya dalam menggunakan teknik ini sudah ditetapkan berapa banyak cluster yang dinginkan, misalnya K cluster. Hasil analisis cluster digambarkan dalam bentuk dendogram seperti ditunjukkan pada Gambar 8. Gambar 8 Dendogram hasil analisis cluster.

74 48 Manfaat analisis cluster adalah untuk : 1) Eksplorasi data. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang informasi yang ada dalam himpunan data tersebut bahkan sampai pada pembangkitan hipotesis untuk melihat struktur populasinya. 2) Reduksi data. Bila terdapat gerombol yang tepat, akan memungkinkan mengatasnamakan seluruh anggota gerombol tersebut dalam suatu informasi ringkasan dari gerombol tersebut. 3) Pelapisan atau pemisahan obyek-obyek. Hasil pengelompokan dari analisis gerombol dapat digunakan sebagai pelapisan atau stratifikasi dalam penarikan contoh atau penggolongan tipe obyek. 3. Analisis Spasial/Sistem Informasi Geografis (SIG) Analisis spasial secara sederhana dapat diartikan sebagai analisis yang menggunakan referensi keruangan (geografi). Setiap bagian dari analisis selain memberikan gambaran tentang suatu fenomena, juga selalu dapat memberikan informasi mengenai lokasi dan juga persebaran fenomena tersebut dalam suatu ruang (wilayah). Tujuan analisis spasial pada penelitian ini adalah membuat peta tematik yaitu peta yang akan memberikan gambaran suatu data atribut kedalam referensi geografi, misalkan peta tematik nilai PDRB menurut kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur dan lain sebagainya. Analisis spasial juga digunakan untuk membuat peta tematik yang akan memperlihatkan perkembangan kinerja keuangan daerah dan pelaksanaan pembangunan ekonomi di kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Analisis ini menggunakan peta dasar dari BPS dan software ArcView GIS Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Perkembangan pengelolaan keuangan daerah dapat dilihat dari kinerja keuangan pemerintah daerah. Data yang digunakan adalah data APBD masingmasing kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Dikarenakan adanya beberapa kali perubahan struktur APBD, maka dilakukan penyesuaian. Kinerja keuangan daerah dapat dianalisis dengan analisis kinerja fiskal yang dapat diukur dengan dua konsep yaitu :

75 49 a. Sisi Penerimaan (Fiscal Available). Fiscal Available atau ketersediaan fiskal terbagi tiga sumber yaitu : (1) Fiskal yang tersedia berasal murni dari daerah yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD). Rasio PAD terhadap total penerimaan menunjukkan kemandirian dari suatu daerah. Secara umum dapat diformulasikan :. (3.1) Keterangan : DDF PAD TPD = Derajat desentralisasi fiskal = Penerimaan Asli Daerah (Juta Rupiah) = Total penerimaan daerah (Juta Rupiah) (2) Fiskal yang tersedia berasal dari transfer pusat ke daerah berupa Dana Bagi Hasil. Rasio dana bagi hasil terhadap total penerimaan menunjukkan seberapa besar potensi daerah terhadap sumberdaya manusia dan sumberdaya alam. Secara umum dapat diformulasikan :..(3.2) Keterangan : DPS = Derajat potensi sumberdaya alam dan manusia BHPBP = Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (Juta Rupiah) TPD = Total penerimaan daerah (Juta Rupiah) (3) Fiskal yang tersedia merupakan pembagian dari pusat. Rasio DAU terhadap total penerimaan menunjukkan seberapa besar penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah pusat. Secara umum dapat diformulasikan :.. (3.3) Keterangan : DKP DAU TPD = Derajat ketergantungan terhadap pemerintah pusat = Dana Alokasi Umum (Juta Rupiah) = Total penerimaan daerah (Juta Rupiah)

76 50 Kinerja keuangan, yang dilihat dari sisi penerimaan khususnya komponen PAD dibandingkan TPD (Total Penerimaan Daerah) dapat dikategorikan dalam skala interval. Pengkategorian hasil skala interval menurut hasil penelitian tim Fisipol UGM dalam Tangkilisan (2005) adalah seperti ditunjukkan dalam Tabel 6. Tabel 6 Skala interval derajat desentralisasi fiskal PAD/TPD (%) Kemampuan Keuangan daerah Sangat Kurang Kurang Cukup Sedang Baik > Sangat Baik Sumber : Tim Fisipol UGM dalam Tankilisan, b. Sisi Pengeluaran (Fiscal Needs). Fiscal needs atau kebutuhan fiskal daerah merupakan konsep yang menunjukkan jumlah fiskal yang dibutuhkan daerah dalam menjalankan pembangunan baik untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Fiscal needs adalah total pengeluaran pemerintah daerah yang tertuang dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah. Perhitungannya adalah dengan : (1) Pengeluaran untuk pengeluaran rutin. Rasio pengeluaran rutin terhadap total pengeluaran daerah. Secara umum dapat diformulasikan :..... (3.4) Keterangan : DKR KR TKD = Derajat kebutuhan rutin daerah = Pengeluaran Rutin (Juta Rupiah) = Total pengeluaran daerah (Juta Rupiah)

77 51 (2) Pengeluaran untuk pengeluaran Pembangunan. Rasio pengeluaran pembangunan terhadap total pengeluaran daerah. Semakin besar kontribusi rasio pengeluaran pembangunan dibandingkan dengan pengeluaran rutin menunjukkan kinerja keuangan daerah yang positif, artinya pemerintah daerah lebih konsentrasi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Secara umum dapat diformulasikan :... (3.5) Keterangan : DKP = Derajat kebutuhan publik daerah KP = Pengeluaran pembangunan (Juta Rupiah) TKD = Total pengeluaran daerah (Juta Rupiah) Selain itu juga dilihat perkembangan derajat kemandirian daerah yang mengukur seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dalam memenuhi kebutuhan daerah (Halim, 2007). Ada 4 formula yang digunakan yaitu :..... (3.6)... (3.7).. (3.8).. (3.9) Keterangan: DK = Derajat kemandirian daerah PAD = Pendapatan Asli Daerah (Juta Rupiah) BHPBP = Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (Juta Rupiah) TKD = Total pengeluaran Daerah (Juta Rupiah) KR = Pengeluaran rutin (Juta Rupiah) Dalam menilai derajat kemandirian daerah, digunakan skala menurut Tumilar dalam Tangkilisan (2005) terdapat skala interval yang ditunjukkan pada Tabel 7.

78 52 Tabel 7 Skala interval indeks kemampuan rutin daerah PAD/Pengeluaran (%) Kemampuan Keuangan daerah Sangat Kurang Kurang Cukup Sedang Baik > Sangat Baik Sumber : Tumilar dalam Tankilisan, Analisis Indeks Theil Sebagaimana diketahui, setiap kabupaten/kota mempunyai perbedaan kandungan sumberdaya alam, perbedaan kondisi geografis, konsentrasi kegiatan ekonomi serta alokasi dana pembangunan sehingga akan mengakibatkan orientasi maupun dampak pembangunan yang diterima untuk masing-masing daerah juga akan berbeda-beda. Hal ini merupakan salah satu timbulnya masalah ketimpangan pembangunan antar wilayah. Salah satu ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah indeks Theil. Indeks Theil umumnya membandingkan kesenjangan pembangunan antar wilayah yang dicerminkan oleh nilai tambah aktifitas ekonomi dari suatu wilayah seperti pendapatan perkapita. Secara matematis formula untuk menghitung ketimpangan pembangunan antar wilayah dengan indeks Theil menurut Sjafrizal (2008) dapat ditulis sebagai berikut: Keterangan : = Indeks Theil. T d...(3.10) y i Y N i N = PDRB per kapita kabupaten/kota ke- i di Provinsi Jawa Timur (ribu rupiah), i=1,2,3,...,38. = Jumlah PDRB perkapita kabupaten kota di provinsi Jawa Timur (ribu rupiah) = jumlah penduduk kabupaten/kota ke- i di Provinsi Jawa Timur (jiwa), i=1,2,3,...,38. = jumlah penduduk Propinsi Jawa Timur (jiwa) Range nilai Indeks Theil: 0 < T d < 1.

79 53 Kriteria penilaiannya adalah jika : a. Nilai Td mendekati 1 (satu), menunjukkan kemerataan antar daerah semakin memburuk (semakin timpang). b. Nilai Td mendekati 0 (nol), menunjukkan kemerataan antar daerah semakin membaik. Ada beberapa kelebihan penggunaan indeks theil sebagai ukuran ketimpangan yaitu : a. Indeks ini dapat menghitung ketimpangan dalam daerah dan antar daerah secara sekaligus, sehingga cakupan analisis menjadi lebih luas. b. Indeks ini dapat menghitung kontribusi (dalam persentase) masing-masing daerah terhadap ketimpangan pembangunan wilayah secara keseluruhan sehingga dapat memberikan implikasi kebijakan yang cukup tinggi. 6. Pengaruh belanja daerah terhadap PDRB, IPM dan jumlah penduduk miskin Provinsi Jawa Timur Untuk mengkaji pengaruh belanja daerah terhadap PDRB, IPM dan jumlah penduduk miskin Provinsi Jawa Timur digunakan analisis statistik inferensia. Analisis statistik inferensia adalah suatu alat analisis yang hasilnya dapat digunakan untuk bahan pengambilan keputusan atau peramalan di masa mendatang. Metode analisis yang digunakan adalah metode VAR dalam data Panel. Metode analisis ini merupakan pengembangan dari metode VAR, yang biasanya dilakukan dalam data times series, tetapi dalam hal ini menggunakan data panel. Sebagaimana disebutkan dalam Enders (1995), metode VAR dipopulerkan oleh Sims. Argumen utamanya adalah jika terdapat hubungan yang simultan antar variabel yang diamati, maka variabel-variabel tersebut perlu diperlakukan sama sehingga tidak ada lagi variabel endogen dan variabel eksogen. Pendekatan ini juga memiliki kelemahan salah satunya adalah model VAR tidak banyak tergantung pada teori dalam penyusunan model, sehingga sering disebut model yang tidak struktural atau atheoritical model (Enders, 1995). Model VAR memperlakukan semua variabel secara simetris, apakah variabel tersebut diukur

80 54 dalam level atau first difference. Tidak terdapat variabel eksogen dan tidak ada identifying restriction yang didasari pada teori ekonomi. Peranan teori ekonomi dalam model VAR tradisional hanya terbatas dalam proses identifikasi variabel yang akan digunakan dalam proses estimasi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian ini akan mengimplementasikan pendekatan VAR dalam data panel dengan tujuan untuk mengatasi beberapa kelemahan dalam model data panel yang statis. Pendekatan VAR dalam data panel merupakan penggabungan antara pendekatan Vector Autoregressive (VAR) dan panel data. VAR menyatakan semua variabel dalam sistem sebagai variabel endogen dan pendekatan panel data dapat menunjukkan heterogenitas dari individu yang tidak dapat diobservasi. Pendekatan estimasi VAR dalam data panel pertama kali dilakukan oleh Holtz-Eakin, Newey dan Rosen (1988) atau disingkat HNR. Pendekatan NHR kemudian menjadi rujukan dalam pemodelan yang menggabungkan antara pendekatan VAR dan panel data seperti yang dilakukan oleh Love dan Zicchino (2006) dan Becker dan Hoffmann (2003). Secara garis besar analisis VAR dapat memberikan manfaat bagi penggunaan dalam bentuk : a. Forecasting, eksplorasi nilai saat ini dan masa depan seluruh variabel dengan memanfaatkan seluruh informasi masa lalu variabel. b. Impule Response Function (IRF), melacak respon saat ini dan masa depan dari setiap variabel akibat perubahan atau shock suatu variabel tertentu c. Forecast Error Variance Decomposition (FEVDs), prediksi kontribusi persentase varian setiap variabel terhadap perubahan suatu variabel tertentu. Implementasi pendekatan PVAR dalam penelitian ini merujuk pada Becker dan Hoffman (2003) dan Gavin dan Theodora (2005) yang menyatakan persamaan PVAR dalam bentuk berikut:... (3.11) Keterangan : A = matriks pangkat dua dengan dimensi n x n

81 55 n = jumlah variabel B(L) = matriks polinomial berderajat p dengan lag operator L p = jumlah lag yang digunakan dalam model Y it = vektor untuk variabel endogen Y it-1 = matriks dari lag i = kabupaten/kota di Propinsi Jawa Timur, i=1,2,3...,38 t = periode waktu penelitian, t=1,2,3,...,7 Y it adalah sebuah matrik, yaitu :... (3.12) Keterangan : PDRB it = PDRB kabupaten/kota ke i tahun ke t (Juta Rupiah), i=1,2, 38, t=1,2,3,,8 IPM it = Indeks Pembangunan Manusia kabupaten/kota ke i tahun t, i=1,2, 38, t=1,2,3,,8 MIS it BP it BB it BM it BL it U it = Jumlah Penduduk Miskin kabupaten/kota ke i tahun ke t (Jiwa), i=1,2, 38, t=1,2,3,,8 = Belanja Pegawai kabupaten/kota ke i tahun ke t (Juta rupiah), i=1,2, 38, t=1,2,3,,8 = Belanja Barang kabupaten/kota ke i tahun ke t (Juta rupiah), i=1,2, 38, t=1,2,3,,8 = Belanja Modal kabupaten/kota ke i tahun ke t (Juta rupiah), i=1,2, 38, t=1,2,3,,8 = Belanja Lain kabupaten/kota ke i tahun ke t (Juta rupiah), i=1,2, 38, t=1,2,3,,8 = error term kabupaten ke i tahun ke t, i=1,2, 38, t=1,2,3,,8

82 56 Ada beberapa tahapan uji yang akan digunakan dalam metode VAR dalam data panel yaitu : a. Uji Stationerity data Data panel merupakan gabungan antara data times series dan data cross section. Dalam beberapa hal, data times series seringkali tidak stasioner sehingga menyebabkan hasil regresi yang meragukan atau regresi lancung. Regresi lancung adalah situasi dimana hasil regresi menunjukkan koefisien regresi yang signifikan secara statsitik dan nilai koefisien diterminasi yang tinggi, namun hubungan antar variabel di dalam model tidak saling berhubungan. Oleh karena itu, untuk dapat mengestimasi suatu model maka langkah utama yang harus dilakukan adalah uji stasioneritas data (unit root test). Pengujian akar-akar unit dilakukan untuk menganalisis apakah suatu variabel stasioner atau tidak stasioner. Data yang stasioner akan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-rata dan berfluktuasi di sekitar nilai rata-ratanya (Enders, 1995). Uji kestasioneran data merupakan tahap yang paling penting dalam menganalisis data time series untuk melihat ada tidaknya akar unit yang terkandung diantara variabel, sehingga hubungan diantara variabel menjadi valid. Panel data merupakan gabungan antara data times series dan cross section, maka tahap uji stasioner juga perlu dilakukan. Ada perbedaan uji stasionar di data panel dengan uji stasioner di data times series, hal ini dikarenakan adanya pengaruh indivual dan waktu. Ada beberapa metode uji stasioner dalam panel data, diantaranya dengan unit root (Baltaqi, 2001). Ide dasar uji unit root dalam panel data adalah pengembangan dari uji unit root dalam times series, yang dapat dijelaskan dalam model :...(3.13) Variabel Y it dan X it merupakan pengamatan untuk setiap unit ke-i, i=1,2,3,...,n dan t=1,2,3,...,t. N adalah jumlah individu dan T adalah jumlah periode waktu. Variabel gangguan yang dinotasikan dengan adalah bersifat random dan stokhastik dengan rata-rata nol, varian yang konstan dan tidak saling berhubungan. Variabel yang mempunyai sifat tersebut disebut variabel gangguan

83 57 yang white noise. Jika diasumsikan, dengan lag p i dan bervariasi antar cross section, maka uji hipotesisnya : H o : H 1 : (mempunyai Unit root) (Tidak mempunyai unit root) Jika nilai maka dikatakan bahwa variabel random Y mempunyai akar unit (Unit root). Jika data panel mempunyai akar unit maka dikatakan data tersebut bergerak secara random (random walk) dan data yang mempunyai sifat random walk dikatakan data tidak stasioner. Oleh karena itu jika kita melakukan regresi Y it pada lag Y it-1 dan mendapatkan nilai maka data dikatakan tidak stasioner. Inilah ide dasar uji akar unit untuk mengetahi apakah data stasiner atau tidak. Formula uji unit root dengan dasar ADF adalah :...(3.14) Jika diasumsikan, dengan lag p i dan bervariasi antar cross section, maka uji hipotesisnya : H o : H 1 : (mempunyai Unit root) (Tidak mempunyai unit root) Posedur untuk menentukan apakah data stasioner atau tidak dengan cara membandingkan antara nilai statistik dengan nilai kritisnya. Jika nilai absolut statistik lebih besar dari nilai kritisnya, maka data yang diamati menunjukkan stasioner dan jika sebaliknya, nilai absolut statistik lebih kecil dari nilai kritisnya maka data tidak stasioner. Secara spesifik, ada beberapa uji unit root dalam data panel yang masing-masing uji tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan. Beberapa uji unit root ditunjukkan pada Tabel 8.

84 58 Tabel 8 Beberapa uji unit root dalam data panel Test Hipotesis Nol Hipotesis Alternatif LLC (Levin, Lin Mempunyai unit root Tidak Mempunyai unit root dan Chu) Breitung Mempunyai unit root Tidak Mempunyai unit root IPS Mempunyai unit root Beberapa Cross section mempunyai unit root Fisher-ADF Mempunyai unit root Beberapa Cross section mempunyai unit root Fisher-PP Mempunyai unit root Beberapa Cross section mempunyai unit root Hadri Tidak Mempunyai unit root Mempunyai unit toot Sumber : Baltaqi, 2001 b. Menentukan Lag Optimal Menentukan lag optimal dilakukan melalui beberapa tahapan. Pertama yaitu menetukan panjang lag maksimum sistem VAR yang stabil. Stabilitas sistem VAR dilihat dari inverse roots karakteristik AR polinomialnya. Suatu sistem VAR dikatakan stabil (stasioner) jika seluruh rootsnya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak dalam unit circle. Kedua, panjang selang optimal akan dicari dengan menggunakan kriteria informasi Likehood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Critrion (AIC), Schwarz Information Critrion (SC) dan Hannan Quin Critrion (HQ). Panjang selang optimal diperlukan untuk menangkap pengaruh dari setiap variabel terhadap variabel lain di dalam sistem VAR. Bila digunakan salah satu kriteria di dalam menentukan panjang selang optimal, maka panjang selang optimal terjadi jika nilai-nilai kriteria di atas mempunyai nilai absolut paling kecil. Sedangkan jika menggunakan beberapa kriteria maka kita menggunakan kriteria tambahan yaitu dengan melihat nilai adjusted R 2 variabel VAR dari masing-masing kandidat selang diperbandingkan, dengan penekanan pada variabel-variabel terpenting dari

85 59 sistem VAR tersebut. Selang optimal akan dipilih dari sistem VAR yang menghasikan nilai adjusted R 2 terbesar pada variabel-variabel penting dalam sistem. c. Pengujian Hubungan Kointegrasi Regresi yang menggunakan data panel yang didalamnya terdapat data times series yang tidak stasioner kemungkinan besar akan menghasilkan regresi lancung. Regresi lancung terjadi jika koefisien diterminasi cukup tinggi tapi hubungan antara variabel independent dan variabel dependen tidak mempunyai makna. Hal ini terjadi karena hubungan keduanya yang merupakan data yang mengandung times series hanya menunjukkan trend saja. Jadi tingginya koefisien diterminasi karena trend bukan hubungan antar keduanya. Jika data dua variabel mengandung akar unit atau dengan kata lain tidak stasioner, namun kombinasi linier kedua variabel mungkin saja stasioner. Sebagaimana dinyatakan oleh Baltaqi (2001) keberadaan variabel nonstasioner menyebabkan kemungkinan besar adanya hubungan jangka panjang antara variabel-variabel di dalam sistem VAR. Berkaitan dengan hal tersebut, maka langkah selanjutnya di dalam estimasi VAR adalah uji kointegrasi, untuk mengetahui keberadaan hubungan antar variabel. Kointegrasi adalah suatu hubungan jangka panjang antara variabel-variabel yang meskipun secara individual tidak stasioner, tetapi kombinasi linier antara variabel tersebut menjadi stasioner. Metode yang dapat digunakan untuk melakukan uji kointegrasi adalah pengembangan dari uji kointegrasi di data times series, seperti metode Pedroni dan Koo (yang menggunakan dasar test kointegrasi Engle-Granger) dan Combined individual test (Fisher/Johansen). Untuk melakukan uji kointegrasi, dibuat dulu formula regresinya yaitu :...(3.15) Kemudian kita dapatkan residualnya :...(3.16) Atau

86 60...(3.17) Dari hasil estimasi nilai statistiknya, kemudian dibandingkan dengan nilai kristisnya. Nilai statitik diperoleh dari nilai. Jika nilai statistiknya lebih besar dari nilai kritisnya maka variabel-variabel yang diamati saling berkointegrasi atau mempunyai hubungan jangka panjang dan sebaliknya maka variabel-variabel yang diamati tidak berkointegrasi. d. Analisis Dalam model VAR Pada dasarnya analisis ini digunakan untuk melihat struktur dinamis dari sistem variabel dalam model yang diamati, yang dicerminkan oleh variabel inovasi (innovation variabel). a) Impulse Respon Function (IRF). IRF menunjukkan bagaimana respon dari setiap variabel endogen sepanjang waktu terhadap kejutan dari variabel sendiri dan variabel endogen lainnya. Impulse Respon Function (IRF) menelusuri pengaruh kontemporer dari suatu standar deviasi shock dari suatu inovasi terhadap nilai-nilai endogen saat ini atau nilai mendatang. IRF memberikan arah hubungan dan besarnya pengaruh antar variabel endogen karena menunjukkan pengaruh satu standar deviasi shock variabel endogen terhadap variabel endogen lainnya maupun variabel itu sendiri. Dengan demikian shock atau suatu variabel dengan datangnya informasi baru akan mempengaruhi variabel itu sendiri dan variabel-variabel lainnya dalam sistem. Hasil IRF tersebut sangat sensitif terhadap pengurutan (ordering) variabel yang digunakan dalam perhitungan. b) Variance Decomposition Analisis ini adalah cara lain untuk memahami karakteristik dari perilaku dinamis. Jika IRF dapat melacak pengaruh dari suatu shock yang terjadi terhadap endogenous variabel dalam sistem, maka variance decomposition memisahkan varian yang ada dalam variabel endogen menjadi komponen-komponen shock pada variabel endogen dalam VAR. Variance decomposition digunakan untuk menyusun perkiraan error variance suatu variabel, yaitu seberapa besar perbedaan

87 61 antara varian sebelum dan sesudah shock, baik shock yang berasal dari diri sendiri maupun shock dari variabel lain atau untuk melihat pengaruh relatif variabelvariabel penelitian terhadap variabel lainnya. Prosedurnya dengan mengukur presentase kejutan-kejutan atas masing-masing variabel. Lebih penting lagi menurut Sims dalam Enders (1995) Variance Decomposition menunjukkan kekuatan hubungan granger causality yang mungkin ada diantara variabelvariabel. Dengan kata lain, jika suatu variabel menjelaskan porsi yang besar dari forecast error variance dari variabel lain atau sebaliknya, mengindikasikan hubungan granger causality yang kuat.

88 IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Geografis dan Iklim Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang terletak di Pulau Jawa selain Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta), Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Wilayah Provinsi Jawa Timur terletak pada batas astronomi 111 o 0 hingga 114 o 4 Bujur Timur dan 7 o 12 hingga 8 o 48 Lintang Selatan. Provinsi Jawa Timur mempunyai batas wilayah : a. Sebelah utara dengan Pulau Kalimantan tepatnya Provinsi Kalimantan Selatan. b. Selatan timur berbatasan dengan Pulau Bali. c. Sebelah selatan berbatasan dengan perairan terbuka Samudera Indonesia. d. Sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah. Secara umum, wilayah Jawa Timur terbagi menjadi dua bagian besar yaitu Jawa Timur daratan, hampir mencakup 90% dari seluruh luas wilayah Provinsi Jawa Timur, dan wilayah kepulauan yang sekitar 10% dari luas wilayah Jawa Timur. Luas wilayah Provinsi Jawa Timur yang mencapai km 2 atau 2.51% dari keseluruhan luas Indonesia dan merupakan provinsi dengan urutan ke-12 dari segi perbandingan wilayah dengan provinsi lain di Indonesia. Provinsi Jawa Timur terbagi ke dalam empat badan koordinasi wilayah (Bakorwil), 29 kabupaten, 9 kota dan 658 kecamatan dengan desa/kelurahan (2 400 kelurahan dan desa). Apabila diamati dari komposisi jumlah kecamatan dan desa, maka diketahui bahwa Kabupaten Malang memiliki jumlah kecamatan terbanyak, yaitu 33 kecamatan. Banyaknya jumlah kecamatan yang dimiliki tidak secara otomatis menjadi daerah dengan jumlah desa/kelurahan terbanyak pula. Kabupaten yang memiliki jumlah desa/kelurahan terbanyak adalah di Kabupaten Lamongan, yaitu sebesar 474 desa/kelurahan. Sementara itu, Kabupaten Banyuwangi adalah daerah dengan luas wilayah paling besar yaitu sebesar km 2 dan Kota Mojokerto adalah daerah dengan luas wilayah paling kecil sebesar km 2 (Tabel 9).

89 63 Tabel 9 Kabupaten/Kota dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa Timur tahun 2008 Kabupaten/Kota Luas Area Jumlah Kelurahan/Desa (km 2 ) Kecamatan Perkotaan Perdesaan Jumlah Kabupaten : 1 Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar Kediri Malang Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo Pasuruan Sidoarjo Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kota 71 Kediri Blitar Malang Probolinggo Pasuruan Mojokerto Madiun Surabaya Batu Jumlah Sumber : BPS, 2009.

90 64 Provinsi Jawa Timur mempunyai beberapa gunung berapi yang masih aktif antara lain Gunung Kelud, Gunung Berapi dan Gunung Raung. Sementara beberapa sungai besar yang ada di Jawa Timur diantaranya adalah sungai Bengawan Solo, Brantas, Madiun, Konto dan lainnya. Lokasi Provinsi Jawa Timur yang berada disekitar garis khatulistiwa, seperti provinsi lainnya di Indonesia, wilayah ini mempunyai perubahan musim sebanyak dua jenis setiap tahunnya yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Bulan Oktober sampai April merupakan musim penghujan sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Mei sampai September. Rata-rata temperatur di Jawa Timur antara 20 o C 37 o C, dengan kelembapan 28% sampai 100%. Keterangan : 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Gambar 9 Wilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur menurut ketinggian rata-rata dari atas permukaan laut Tahun 2008.

91 65 Gambar 9 menunjukkan letak kabupaten/kota di Jawa Timur menurut ketinggian rata-rata dari atas permukaan laut. Provinsi Jawa Timur dapat dibedakan menjadi 3 dataran yaitu : dataran tinggi, dataran sedang dan dataran rendah. Dataran tinggi merupakan daerah dengan ketinggian rata-rata 100 meter diatas permukaan laut. Daerah tersebut meliputi Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Blitar, Kabupaten Malang, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Magetan, Kota Blitar, Kota Malang dan Kota Batu. Dataran sedang mempunyai ketinggian antara meter diatas permukaan laut. Daerah ini meliputi Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Jember, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Madiun, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Bangkalan, Kota Madiun dan Kota Kediri. Kabupaten Lainnya merupakan dataran rendah, dengan ketinggian dibawah 45 meter diatas permukaan laut. Secara umum perkembangan struktur ruang Jawa Timur mengarah pada dominasi kawasan perkotaan yang mempengaruhi perekonomian wilayah perdesaan. Fenomena urbanisasi dan aglomerasi wilayah terus berkembang mengarah ke hierarki perkotaan lebih besar, sehingga primacy kota metropolitan semakin tinggi dibandingkan tingkatan kota-kota lainnya. Untuk mengendalikan perkembangan kawasan perkotaan yang cenderung terus membesar, dan berpotensi mendorong perkembangan mega-urban tersebut, serta menyeimbangkan perkembangan perkotaan, dan mengendalikan perkembangan kawasan terbangun di perkotaan serasi dengan kawasan pedesaan sesuai dengan daya dukung serta prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, maka dibentuklah struktur ruang wilayah dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Jawa Timur. Penentuan Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) berdasarkan kecenderungan pergerakan manusia, barang dan jasa, serta karakteristik wilayah. Orientasi pergerakan manusia, barang dan jasa di Jawa Timur cenderung memusat pada titik-titik tertentu, dan mengarah pada wilayah yang telah terlebih dahulu berkembang. SWP Jawa Timur terbagi dalam sembilan kelompok yaitu kelompok Gerbangkertosusilo plus, Malang Raya, Madiun dan sekitarnya, Kediri dan sekitarnya, Probolinggo-lumajang, Blitar, Jember dan sekitarnya, Banyuwangi dan sekitarnya serta Madura dan Kepulauan. Gambar 10 menunjukkan kelompok Satuan Wilayah Pengembangan Jawa Timur.

92 66 Keterangan : 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Gambar 10 Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) Provinsi Jawa Timur beserta kelompoknya. 4.2 Karakteristik Kependudukan dan Sosial Penduduk memegang peranan penting dalam proses pembangunan ekonomi karena disamping sebagai obyek pembangunan tetapi juga sekaligus sebagai subyek pembangunan. Keunikan peranan penduduk dalam pembangunan ini menempatkan posisi yang krusial yaitu merupakan penggerak pembangunan atau justru sebagai penghambat pembangunan. Penduduk sebagai penggerak pembangunan manakala penduduk merupakan sumber daya manusia yang produktif sehingga mampu menciptakan nilai tambah dalam kegiatan ekonomi. Sedangkan penduduk akan menjadi penghambat pembangunan manakala jumlah

93 67 penduduk yang banyak tanpa diikuti dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia sehingga menjadi beban bagi pembangunan. Jumlah Penduduk provinsi Jawa Tmur termasuk dalam kategori provinsi dengan jumlah penduduk yang besar di Indonesia. Konsekuensi yang ditimbulkan dengan jumlah penduduk yang besar adalah timbunya masalah-masalah sosial dan lingkungan yang cukup kompleks seperti penciptaan lapangan kerja, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Tabel 10 menunjukkan jumlah penduduk setiap kabupaten/kota di Jawa Timur pada tahun Pertumbuhan penduduk Provinsi Jawa Timur menurut hasil SUPAS 2005 adalah sebesar 0.54%. Beberapa daerah yang mempunyai tingkat pertumbuhan yang relatif tinggi dibanding dengan daerah lain tidak terlepas dari potensi daerah tersebut menjadi pusat kawasan pertumbuhan ekonomi sehingga menjadi daerah tujuan perpindahan penduduk. Daerah-daerah tersebut antara lain Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Jombang dan Kabupaten Gresik. Namun selain itu juga disebabkan karena masih kuatnya kepercayaan pada adat seperti banyak anak banyak rizqi, atau tidak boleh ikut program KB karena bertentangan dengan agama, Daerah-daerah tersebut antara lain daerah di kawasan Madura, yaitu Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang dan Kabupaten Pamekasan.

94 68 Tabel 10 Jumlah penduduk kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun Kabupaten Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk (Jiwa) Pertumbuhan Penduduk 2008 (%) 1 Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar Kediri Malang Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo Pasuruan Sidoarjo Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kota 71 Kediri Blitar Malang Probolinggo Pasuruan Mojokerto Madiun Surabaya Batu Jumlah Sumber : BPS, 2009.

95 69 Permasalahan lain dalam kependudukan di Provinsi Jawa Timur yaitu adanya konsentrasi penduduk pada satu tempat sehingga menimbulkan perbedaan kepadatan penduduk antar wilayah di Jawa Timur. Daerah yang luas belum tentu penduduknya banyak atau sebaliknya daerah yang sempit belum tentu penduduknya sedikit. Angka kepadatan penduduk Provinsi Jawa Timur dari tahun 2002 ke tahun 2008 menunjukkan peningkatan. Secara umum tingkat kepadatan penduduk Provinsi Jawa Timur pada tahun 2008 sebesar 799 orang/km 2, namun untuk tingkat kepadatan kabupaten/kota sangat bervariatif. Kepadatan penduduk di kota umumnya lebih tinggi dibandingkan kepadatan penduduk di kabupaten. Untuk tingkat kepadatan daerah kota, rata-rata diatas 2000 orang/km 2. Kepadatan penduduk daerah perkotaan merupakan konsekuensi logis dari tingginya aktivitas perekonomian di perkotaan. Oleh karena itu, meskipun luas wilayah perkotaan relatif jauh lebih sempit dibandingkan wilayah kabupaten, namun jumlah penduduknya relatif lebih banyak, sehingga kepadatan penduduk pun semakin tinggi. Wilayah kabupaten/kota di Jawa Timur dapat dibedakan menjadi tiga kelompok menurut tingkat kepadatan penduduk. Kelompok pertama yaitu kelompok kabupaten/kota yang mempunyai kepadatan penduduk di atas 2000 orang/km 2, yaitu semua daerah yang berstatus kota serta Kabupaten Sidoarjo. Kelompok kedua yaitu kelompok kabupaten/kota yang mempunyai kepadatan penduduk antara orang/km 2, yaitu Kabupaten Kediri, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Mojokerto, Kabupaten Jombang, Kabupaten Gresik dan Kabupaten Pamekasan. Lokasi kelompok kedua ini berdekatan dengan Kota Surabaya. Kondisi ini menunjukkan bahwa tingginya aktivitas perekonomian Kota Surabaya mampu menjadi faktor penarik bagi para pekerja. Namun karena pertumbuhan penduduk di Surabaya sudah semakin jenuh serta tingginya kebutuhan hidup, maka banyak para pendatang pada umumnya memilih untuk berdomisili di wilayah sekitar Kota Surabaya. Kelompok ketiga, yaitu kabupaten/kota yang mempunyai tingkat kepadatan kurang dari 1000 orang/km 2 adalah lebih dari 50% dari kabupaten/kota di Jawa Timur. Kabupaten yang mempunyai kepadatan penduduk yang paling rendah adalah Kabupaten Banyuwangi. Meskipun jumlah penduduk wilayah ini relatif

96 70 banyak, namun Kabupaten Banyuwangi merupakan kabupaten dengan wilayah terluas di Provinsi Jawa Timur. Selain Kabupaten Banyuwangi, wilayah dengan kepadatan penduduk terendah adalah Kabupaten Situbondo, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Sumenep, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Trenggalek dan Kabupaten Lumajang (Gambar 11). Keterangan : 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Gambar 11 Wilayah kabupaten/kota di Jawa Timur menurut tingkat kepadatan penduduk tahun Jika diamati lebih lanjut, maka diketahui bahwa kabupaten dengan kepadatan penduduk yang rendah berlokasi jauh dari wilayah perkotaan, khususnya ibukota provinsi serta kondisi geografisnya yang di sekitar pegunungan. Adapun seluruh wilayah tapal kuda di Jawa Timur memiliki

97 71 kepadatan penduduk yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi serta pusat kegiatan pemerintahan, dalam hal ini adalah perkotaan, merupakan faktor penarik yang cukup signifikan bagi masyarakat untuk menentukan tempat tinggalnya. 4.3 Karakteristik Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menggambarkan kemampuan suatu wilayah dalam menciptakan nilai tambah pada suatu waktu tertentu. PDRB dapat dilihat dari tiga sisi pendekatan yaitu produksi, pengeluaran dan pendapatan. Ketiganya menyajikan komposisi data nilai tambah dirinci menurut sektor ekonomi, komponen penggunaan dan sumber pendapatan. PDRB dari sisi produksi merupakan penjumlahan seluruh nilai tambah bruto yang mampu diciptakan oleh sektor-sektor ekonomi atas berbagai aktifitas produksinya. Sedangkan dari sisi penggunaan menjelaskan tentang penggunaan dari nilai tambah tersebut. Selanjutnya dari sisi pendapatan, nilai tambah merupakan jumlah upah/gaji, surplus usaha, penyusutan pajak tak langsung neto yang diperoleh. Secara makro, besaran PDRB merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja ekonomi suatu wilayah seperti provinsi atau kabupaten. Fenomena dan perilaku ekonomi dari berbagai pelaku ekonomi dapat dilihat dari data PDRB. Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 dan direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun Adanya kebijakan ini diharapkan dapat memberikan dampak terhadap peningkatan pendapatan regional suatu daerah dan menimbulkan multiplier effect terhadap perekonomian Jawa Timur. Jawa Timur merupakan barometer perekonomian nasional setelah DKI Jakarta dan Provinsi Jawa barat, sebab kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional mencapai sekitar 16%. PDRB Jawa Timur baik Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) maupun Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) pada periode menunjukkan kecenderungan terus meningkat sejalan kian membaiknya kondisi perekonomian.

98 72 Tabel 11 PDRB Provinsi Jawa Timur tahun Tahun PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (Milyar) Atas Dasar Harga KonstanMilyar) Sumber : BPS, diolah. Pada tahun 2002 PDRB Jawa Timur menurut ADHB sebesar triliun rupiah, yang kemudian meningkat di tahun 2008 mencapai triliun rupiah. PDRB ADHK juga mengalami kenaikan menjadi triliun rupiah pada tahun 2008 yang pada tahun 2002 sebesar triliun rupiah (Tabel 11). Madiun; 0.37 Mojokerto; 0.39 Pasuruan; 0.36 Probolinggo ; 0.65 Blitar; 0.21 Malang; 4.11 Trenggalek; 0.60 Ponorogo; 0.98 Pacitan; 0.45 Batu; 0.41 Surabaya; Kediri; 8.26 Gresik; 5.04 Tulungagung; 2.30 Blitar; 1.81 Kediri; 2.07 Malang; 4.44 Lumajang; 1.93 Jember; 3.37 Sidoarjo ; 8.39 Banyuwangi; 3.26 Bondowoso; 0.72 Situbondo ; 1.17 Probolinggo; 2.09 Pasuruan; 2.18 Mojokerto; 1.98 Jombang; 1.97 Pamekasan ; 0.69 Sumenep; 1.63 Sampang ; 0.81 Bangkalan; 1.04 Lamongan; 1.41 Tuban; 2.12 Bojonegoro; 2.22 Ngawi; 0.98 Nganjuk; 1.47 Madiun; 0.83 Magetan ; 0.99 Gambar 12 Kontribusi PDRB kabupaten/kota terhadap total PDRB Jawa Timur tahun Provinsi Jawa Timur terdiri dari 29 kabupaten dan 9 kota. Dari 38 kabupaten/kota tersebut, masing-masing daerah mempunyai karakteristik alam,

99 73 sosial, budaya dan ekonomi yang berbeda-beda. Hal tersebut menyebabkan produktivitas perekonomian antar wilayah yang satu berbeda dengan wilayah lainnya. Gambar 12 menunjukkan bahwa kontribusi terbesar terhadap total PDRB Provinsi Jawa Timur diberikan oleh Kota Surabaya yang pada tahun 2008 sebesar 26.27%, Daerah lain yang mempunyai peran cukup besar di dalam menciptakan PDRB Jawa Timur selain Kota Surabaya adalah Kota Kediri sebesar 8.26%, Kabupaten Sidoarjo sebesar 8.39%, Kabupaten Gresik sebesar 5.05% dan Kabupaten Malang sebesar 4.11%. Struktur nilai tambah yang terbentuk dari masing-masing sektor menggambarkan tingkat ketergantungan suatu daerah terhadap sektor tersebut. Semakin besar nilai tambah suatu sektor maka semakin besar pula wilayah tersebut tergantung dari sektor tersebut. Nilai tambah bruto Jawa Timur sangat dipengaruhi oleh tiga sektor yang paling besar pangsanya dalam pembentukan nilai tambah bruto Jawa Timur. Ketiga sektor tersebut adalah sektor pertanian, sektor industri pengolahan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Tabel 12 Kontribusi PDRB menurut lapangan usaha Provinsi Jawa Timur tahun Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Total Sumber : BPS, 2009 Tabel 12 menunjukkan bahwa mulai tahun 2006, terjadi pertukaran posisi antara sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Kontribusi industri pengolahan mengalami penurunan, salah satu penyebabnya adanya krisis BBM pada tahun Sebagaimana diketahui, bahwa sektor industri adalah

100 74 sektor yang sangat tergantung pada BBM, sehingga jika ada kenaikan harga BBM akan berpengaruh pada sektor industri. Namun gambaran kontribusi sektor PDRB terhadap total PDRB untuk masing-masing kabupaten/kota di Jawa Timur sangat bervariatif. Sebagaimana diketahui kabupaten/kota mempunyai kondisi geografis dengan berbagai potensi yang dapat diberdayakan, seperti sumberdaya air, lahan, hutan serta pesisir pantai dan laut. Beragamnya potensi masing-masing wilayah menyebabkan timbulnya perbedaan karakteristik struktur perekonomian yang berbeda di setiap kabupaten/kota. Sebagai contoh aktifitas perekonomian di wilayah kabupaten pada umumnya di dorong oleh sektor pertanian dan sektor industri sedangkan wilayah perkotaan oleh sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Struktur masing-masing daerah seperti ditunjukkan pada Gambar P e r s e n Kode Kabupaten Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Keterangan : 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan Kabupaten 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Gambar 13 PDRB kabupaten di Provinsi Jawa Timur menurut lapangan usaha tahun 2008.

101 75 Beberapa kabupaten didominasi hampir 50% oleh sektor pertanian seperti Kabupaten Banyuwangi, dan kabupaten-kabupaten di kawasan Madura. Kota secara umum kontribusi dari sektor pertanian sangat kecil kecuali Kota Batu. Sebagian besar didominasi oleh sektor industri pengolahan, sektor perdagangan hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun pangsa terbesar pada PDRB tahun 2008 disumbangkan oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, yang kemudian disusul sektor industri, namun sebagian besar wilayah Jawa Timur masih berbasis sektor pertanian. Sedangkan sektor perdagangan dan industri pengolahan hanya menjadi basis di beberapa kabupaten/kota saja P e r s e n Kode Kota Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Keterangan : 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo Kota 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Gambar 14 PDRB kota di Provinsi Jawa Timur menurut lapangan usaha tahun 2008.

102 Struktur Keuangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Sejalan dengan tuntutan demokratisasi dalam bernegara, penyelenggaraan pemerintahan juga mengalami perubahan. Sistem pemerintahan yang semula lebih condong pada sentralistik menjadi desentralisasi. Selaras dengan perubahan tersebut, maka tata aturan juga mengalami perubahan yang lebih mengarah pada penyempurnaan pelaksanaan otonomi daerah, melalui pemberian kewenangan yang seluas-luasnya dengan tetap menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berbagai penyempurnaan dilakukan seperti yang tertuang dalam UU No. 33 Tahun 2004, yang merupakan penyempurnaan dari UU No. 25 Tahun Pemberian kewenangan diberikan baik dari sisi penerimaan maupun pengeluaran keuangan daerah. Penerimaan daerah merupakan sumber pendapatan pemerintah daerah yang akan digunakan untuk membiayai pembangunan daerah. Penerimaan daerah di Propinsi Jawa Timur selama periode mengalami peningkatan. Dengan demikian adanya implementasi kebijakan desentralisasi fiskal yaitu dengan adanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam mengelolan pendapatan daerah sejalan dengan meningkatnya besaran APBD yang diterima oleh pemerintah daerah Jawa Timur. Meningkatnya penerimaan daerah ini diharapkan juga mampu untuk meningkatkan kemandirian daerah dalam membiayai pembangunan dan menentukan prioritas pembangunan sesuai dengan potensi sumber daya yang dimiliki. Selain itu, pemerintah daerah diharapkan juga mampu mengelola anggaran tersebut secara tepat karena dalam era desentralisasi fiskal ini, penerimaan daerah merupakan modal utama dalam pembangunan. Penerimaan daerah terdiri atas beberapa komponen yaitu Pendapatan Asli daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan penerimaan lain yang sah. Perkembangan komponen penerimaan daerah di Jawa Timur secara umum selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal tersebut dapat dilihat dari komposisi penerimaan daerah di Provinsi Jawa Timur pada periode tahun 2002 dan 2008.

103 77 Tabel 13 Penerimaan total kabupaten dan kota di Jawa Timur menurut sumber penerimaan tahun 2002 dan 2008 serta pertumbuhannya Sumber Penerimaan Juta rupiah % Juta rupiah % Pertumbuhan (%) PAD BHPBP DAU Lain-Lain Total Sumber : BPS, diolah Tabel 13 menunjukkan perubahan penerimaan Jawa Timur periode tahun 2002 dan 2008 menurut sumber penerimaan. PAD mengalami perubahan sebesar 97.91% dari tahun 2002 ke tahun Perubahan ini merupakan perubahan yang terkecil dibandingkan dengan perubahan jenis sumber penerimaan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa daerah belum optimal untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Menurut BPS (2008) ada beberapa faktor yang menyebabkan belum optimalnya penerimaan PAD terhadap total penerimaan daerah yaitu: a. Masih adanya sumber pendapatan potensial yang dapat digali oleh Pemda akan tetapi berada di luar penerimaan pemerintah daerah. b. Rendahnya tingkat hidup dan ekonomi masyarakat yang tercermin dalam pendapatan perkapita c. Kurang mampunya pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang ada. Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai dana transfer dari pusat, mempunyai kontribusi terbesar dari total penerimaan daerah. Besarnya kontribusi DAU terhadap total penerimaan daerah mengindikasikan masih lemahnya anggaran daerah kabupaten/kota di Jawa Timur dalam membiayai penyelenggaraan pemerintahan melalui Pendapatan Asli daerah (PAD). Hal ini memberikan gambaran bahwa kinerja fiskal penerimaan daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur melalui PAD belum menunjukkan hasil yang baik. Dengan kata lain, pembiayaan pembangunan Jawa Timur sebagian masih bergantung pada pusat.

104 78 Besarnya penerimaan total provinsi Jawa Timur tentu tidak terlepas dari bagaimana kondisi penerimaan daerah masing-masing kabupaten/kotanya. Adanya potensi yang dimiliki masing-masing kabupaten/kota tentu berakibat pada besarnya jumlah penerimaan yang diterima oleh masing-masing daerah. Tabel 15 menunjukkan dari 38 kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi Jawa Timur, Kota Surabaya pada tahun 2008 merupakan daerah yang memiliki kontribusi penerimaan daerah terhadap total penerimaan provinsi terbesar dengan kontribusi sebesar 7.48%. Hal ini dikarenakan Kota Surabaya, sebagai ibukota Provinsi Jawa Timur tentunya mempunyai kegiatan ataupun fasilitas yang lebih banyak dibandingkan dengan daerah lain. Jika dilihat dari besarnya PDRB, kontribusi PDRB Kota Surabaya terhadap total PDRB Jawa Timur adalah lebih besar dari 25%, artinya kegiatan perekonomian Jawa Timur hampir lebih 25% terdapat di Kota Surabaya. Beberapa kota yang mempunyai kontribusi penerimaan sekitar 1%, jika dilihat kontribusi PDRB terhadap PDRB Jawa Timur rata-rata juga dibawah 1%. Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara kegiatan perekonomian yang tercermin dari besarnya PDRB dengan penerimaan daerah. Hal ini sesuai dengan teori Peacock dan Wiseman yang menyatakan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi suatu daerah, maka penerimaan daerah juga akan meningkat. Jika dilihat komponen penerimaan daerah, kota Surabaya baik dari komponen PAD, BHPBP dan DAU mempunyai kontribusi terbesar dibandingkan daerah lain yang diikuti oleh Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik. Sebagaimana diketahui, komponen PAD adalah pajak daerah, retribusi daerah, BUMN dan lain-lain. Pajak daerah, retribusi daerah itu kebanyakan bersumber dari sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa. Kota Surabaya, sebagai ibu kota Provinsi hampir lebih 50% struktur perekonomiannya didominasi oleh sektor tersebut. Sehingga wajar jika Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surabaya lebih besar dibandingkan dengan Kabupaten/kota lainnya.

105 79 Tabel 14 Kontribusi penerimaan kabupaten/kota terhadap total penerimaan Jawa Timur menurut jenis pendapatan tahun 2008 Kabupaten Kabupaten/Kota Kontribusi (persen) Total Pendapatan PAD BHPBP DAU 1 Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar Kediri Malang Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo Pasuruan Sidoarjo Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kota 71 Kediri Blitar Malang Probolinggo Pasuruan Mojokerto Madiun Surabaya Batu Total Sumber : BPS, diolah

106 80 Jumlah keseluruhan dana APBD baik yang berasal dari PAD maupun dana perimbangan digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kebijakan masing-masing pemerintah daerah melalui alokasi sumber-sumber pendanaan yang tercermin pada alokasi belanjanya. Secara umum total belanja daerah dari tahun 2002 ke tahun 2008 mengalami pertumbuhan sebesar %. Jenis belanja barang merupakan jenis belanja yang mempunyai pertumbuhan terbesar dari tahun 2002 ke tahun Selain terjadi perubahan yang besar, kontribusi belanja barang terhadap total belanja juga mengalami peningkatan dari 6.26% pada tahun 2002 menjadi 15.84% pada tahun Tabel 15 Total belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur menurut jenisnya tahun 2002 dan 2008 serta pertumbuhannya Jenis Belanja Juta rupiah % Juta rupiah % Pertumbuhan (%) Pegawai Barang Modal Lain_lain Total Sumber : BPS, diolah. Besarnya total belanja Provinsi Jawa Timur tentu tidak terlepas dari bagaimana kondisi belanja daerah masing-masing kabupaten/kotanya. Adanya perbedaan potensi, kondisi dan kebijakan masing-masing daerah mengakibatkan prioritas pembangunan masing-masing daerah juga berbeda. Hal ini mengakibatkan perbedaan alokasi belanja untuk masing-masing kabupaten/kota di Jawa Timur. Daerah yang kondisi geografisnya rentan terhadap potensi bencana alam, maka alokasi belanja untuk menangani bencana akan lebih besar dibandingkan daerah lainnya.

107 81 Tabel 16 Kontribusi belanja kabupaten/kota terhadap total belanja Provinsi Jawa Timur menurut jenis belanja tahun 2008 Kabupaten/Kota Kabupaten Kontribusi (persen) Total Belanja Belanja Pegawai Belanja Barang Belanja Modal Belanja Lainnya 1 Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar Kediri Malang Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo Pasuruan Sidoarjo Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kota 71 Kediri Blitar Malang Probolinggo Pasuruan Mojokerto Madiun Surabaya Batu Total Sumber : BPS, diolah.

108 82 Tabel 16 menunjukkan Kota Surabaya, sebagai ibukota provinsi, dari berbagai jenis belanja mempunyai kontribusi terbesar dibandingkan dengan daerah lain. Hal ini disebabkan sebagai kota metropolitan, dengan kepadatan penduduk, kegiatan perekonomian yang lebih besar dibandingkan dengan daerah lain, tentunya jumlah pegawai, biaya pemeliharaan barang dan jasa serta biaya pelayanan masyarakat juga akan lebih besar dibandingkan dengan daerah kabupaten/kota lain. Hal ini menunjukkan bahwa suatu daerah yang mempunyai kegiatan perekonomian yang lebih besar dibandingkan daerah lain, maka besarnya belanja daerah juga akan lebih besar dibanding daerah lain. Hal ini sesuai dengan hukum Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi (Mangkoesoebroto, 1997). Selain itu juga sesuai dengan hukum Wagner yang menerangkan mengapa peranan pemerintah yang dimanivestasikan lewat belanja daerah menjadi semakin besar, terutama disebabkan karena pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat. Suatu daerah yang kegiatan perekonomiannya lebih maju di daerah lain, tentunya mempunyai potensi sumberdaya yang lebih banyak dari daerah lain baik itu sumberdaya alam maupun manusia. Dengan adanya kelebihan sumberdaya tersebut, tentunya biaya yang digunakan baik untuk membayar, memelihara dan perawat fasilitas yang ada akan lebih besar dibandingkan dengan daerah lain. 4.5 Jumlah Fasilitas Pelayanan Publik Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Salah satu cara untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat adalah dengan menyediakan fasilitas pelayanan publik yang diperlukan masyarakat. Fasilitas pelayanan publik yang diperlukan antara lain adalah sarana pendidikan dan kesehatan. Tersedianya fasilitas pendidikan dan kesehatan diharapkan masyarakat dapat memanfaatkan dengan baik, sehingga harapan suatu daerah untuk mempunyai penduduk yang berpendidikan dan sehat dapat terwujud. Hal ini disebabkan, penduduk yang sehat dan berpendidikan akan menjadi modal atau penggerak dalam pelaksanaan pembangunan suatu daerah. Pada akhirnya, kondisi masyarakat yang adil dan makmur dapat terwujud.

109 83 Tabel 17 Banyaknya sekolah TK, SD, SMP, SMA dan SMK menurut kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2008 Kabupaten/Kota TK SD SLTP SMU SMK MI MTs MA Kabupaten 1 Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar Kediri Malang Lumajan Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo Pasuruan Sidoarjo Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kota 71 Kediri Blitar Malang Probolinggo Pasuruan Mojokerto Madiun Surabaya Batu Jumlah Sumber : BPS, 2009.

110 84 Tabel 18 Rasio jumlah siswa menurut tingkatan sekolah dan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun 2008 Kabupaten/Kota TK SD SLTP SMU SMK MI MTs MA Kabupaten 1 Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar Kediri Malang Lumajan Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo Pasuruan Sidoarjo Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kota 71 Kediri Blitar Malang Probolinggo Pasuruan Mojokerto Madiun Surabaya Batu Jawa Timur Sumber : BPS, 2009.

111 85 Tabel 17 menunjukkan jumlah sarana pendidikan yang tersedia di setiap kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun Beberapa kabupaten/kota mempunyai fasilitas yang lebih banyak dibandingkan dengan kabupaten/kota lain. Kabupaten Malang, Kabupaten Jember, Kota Malang, Kota Surabaya adalah kabupaten/kota yang mempunyai fasilitas yang lebih banyak dibandingkan kabupaten lain. Hal ini disebabkan banyaknya warga di sekitar kabupaten/kota yang sekolah di kabupaten/kota tersebut, karena terkenal mutu pendidikan yang lebih baik. Oleh karena banyaknya permintaan, maka sekolah-sekolah banyak bermunculan baik swasta maupun negeri. Akan tetapi, banyaknya sekolah belum tentu dapat menaikkan indikator keberhasilan pelaksanaan pembangunan. Suatu indikator pelaksanaan pembangunan dikatakan berhasil, jika sarana pelayanan publik tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat. Rasio murid terhadap jumlah sekolah menunjukkan persebaran yang hampir merata antara kabupaten/kota di Jawa Timur. Kota cenderung mempunyai rasio murid terhadap sarana sekolah yang lebih besar dari daerah lain (Tabel 18). Selain sarana pendidikan, sarana yang sangat diperlukan dalam masyarakat adalah sarana kesehatan. Kesehatan adalah sangat penting dalam kehidupan. Penduduk yang sehat dapat bekerja dengan baik, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dirinnya. Suatu kabupaten/kota yang mempunyai sarana kesehatan yang lebih banyak dibanding daerah lain, dan masyarakat mau memanfaatkan maka tingkat keberhasilan pembangunan akan lebih baik dari daerah yang kondisi kesehatan penduduk kurang baik. Tersedianya fasilitas pendidikan dan kesehatan sangat berhubungan dengan keberhasilan salah satu indikator pembangunan yaitu IPM. IPM terbentuk atas tiga hal, yaitu indek harapan hidup, indeks pendidikan dan indeks daya beli. Indeks harapan hidup sangat terkait dengan fasilitas kesehatan. Jika suatu daerah angka kelahiran bayi hidup besar, maka secara tidak langsung angka harapan hidup juga lebih besar di bandingkan dengan daerah lain yang mempunyai angka harapan hidup lebih kecil. Sedangkan fasilitas pendidikan sangat terkait dengan angka buta huruf. Oleh karena itu, walaupun sarana dan prasarana tersedia, namun jika masyarakat tidak mau mamanfaatkan, maka tidak akan mempengaruhi IPM kabupaten/kota yang lainnya.

112 86 Tabel 19 Jumlah fasilitas kesehatan menurut jenisnya di Provinsi Jawa Timur tahun 2008 Kabupaten/Kota Rumah Sakit Umum Puskesmas Pemerintah Swasta Induk Pembantu Keliling Posyandu Pondok Bersalin Kabupaten 01 Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar Kediri Malang Lumajan Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo Pasuruan Sidoarjo Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kota 71 Kediri Blitar Malang Probolinggo Pasuruan Mojokerto Madiun Surabaya Batu Jumlah Sumber : BPS, 2009.

113 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perkembangan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dari Sisi Penerimaan dan Sisi Pengeluaran Selama masa desentralisasi fiskal telah terjadi beberapa kali perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan daerah. Perubahan peraturan tersebut dengan harapan dapat lebih mengharmonisasikan pengelolaan keuangan daerah, baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, antara pemerintah daerah dan DPRD, ataupun antara pemerintah daerah dan masyarakat. Dengan demikian, daerah dapat mewujudkan pengelolaan keuangan secara efektif dan efisien, serta dapat mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pembahasan pengelolaan keuangan daerah hanya dibatasi pada kinerja keuangan baik dari sisi penerimaan maupun sisi pengeluaran. Kinerja keuangan daerah dari sisi penerimaan, adalah melihat rasio antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total penerimaan, rasio antara Bagi Hasil Pajak Bukan Pajak (BHPBP) terhadap total penerimaan serta Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap total penerimaan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai salah satu sumber penerimaan daerah yang diperoleh dari potensi wilayah sendiri dapat menggambarkan seberapa besar daerah mampu menggali potensi yang dimiliki. Perkembangan rasio PAD terhadap total penerimaan daerah selama tahun semakin konvergen namun rata-ratanya menurun dari 9.01% pada tahun 2002 menjadi 7.31% pada tahun Artinya, rasio PAD terhadap total penerimaan kabupaten/kota semakin mengumpul perseberannya namun nilainya lebih kecil dari tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan kenaikan PAD tidak sebanding dengan kenaikan total penerimaan, sehingga tingkat kemandirian daerah semakin menurun yang artinya ketergantungan pada pemerintah pusat semakin besar.

114 88 Variabel Rata-Rata Minimum Q1 Median Q3 Maximum Range IQR Keterangan : 15 = Sidoarjo, 23 = Tuban, 25= Gresik, 71= Kediri, 78 = Surabaya Sumber : BPS, diolah Gambar 15 Derajat desentralisasi fiskal kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun Perkembangan rasio PAD terhadap total penerimaan daerah jika dikategorikan menurut hasil penelitian tim Fisipol UGM dalam Tangkilisan (2005) dengan menggunakan skala interval ditunjukkan pada Tabel 20. Perkembangan rasio PAD terhadap penerimaan daerah Kabupaten/Kota selama tahun mengalami pergeseran. Pada awal tahun 2002 jumlah kabupaten/kota yang masuk kriteria sangat kurang yaitu yang rasionya kurang dari 10% berjumlah 29 atau sekitar 76.32% dari jumlah kabupaten/kota di Jawa Timur, pada tahun 2008 menjadi 33 Kabupaten atau 86.84%. Sedangkan yang masuk kategori sedang hanya satu yaitu Kota Surabaya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Setiaji dan Adi (2007) terhadap seluruh kabupaten/kota di Jawa-Bali menunjukkan bahwa setelah otonomi daerah terjadi penurunan peran

115 89 (share) PAD terhadap penerimaan daerah. Hal ini disebabkan kenaikan PAD lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan total penerimaan daerah. Tabel 20 Perkembangan jumlah kabupaten/kota menurut rasio PAD terhadap penerimaan daerah menurut kriteria tim Fisipol UGM tahun Kriteria Sangat Kurang Kurang Cukup Sedang Baik sangat Baik Jumlah Sumber : BPS, diolah Menurut UU No. 33 Tahun 2004 yang termasuk PAD adalah pajak daerah, retribusi daerah, laba perusahaan milik daerah serta penerimaan lain yang sah. Jenis pajak yang masuk kategori ini adalah jenis pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian C, pajak parkir yang tentunya tidak semua daerah terdapat kegiatan-kegiatan yang dapat menghasilkan pajak tersebut. Jenis-jenis retribusi antara lain retribusi jalan umum, retribusi jasa serta usaha perijinan tertentu. Melihat sumber-sumber penerimaan yang bersumber dari PAD, wajar jika suatu daerah yang struktur perekonomiannya didominasi oleh sektor industri, sektor perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa-jasa akan lebih besar jika dibanding daerah yang struktur perekonomiannya didominasi oleh bidang pertanian. Sebab, pada dasarnya pajak-pajak yang menjadi sumber PAD berasal dari sektor tersebut. Beberapa daerah, seperti Kota Surabaya, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sidoarjo, Kota Kediri mempunyai rasio PAD terhadap total penerimaan jauh lebih besar dari daerah lain. Hal ini disebabkan antara lain struktur perekonomian daerah tersebut yang lebih dari 30% didominasi oleh sektor penghasil pajak dan

116 90 retribusi, selain juga sumber daya manusia yang mendukung. Menurut BPS (2008) ada beberapa faktor yang menyebabkan kecilnya kenaikan PAD terhadap total penerimaan daerah yaitu : a. Masih adanya sumber pendapatan potensial yang dapat digali oleh Pemda akan tetapi berada diluar penerimaan pemerintah daerah. b. Rendahnya tingkat hidup dan ekonomi masyarakat yang tercermin dalam pendapatan perkapita. c. Kurang mampunya pemerintah daerah dalam menggali sumber-sumber pendapatan yang ada. Akan tetapi, dibalik derasnya keinginan untuk menaikkan PAD, harus diperhatikan kelangsungan jangka panjangnya. Artinya pada saat sekarang PAD bisa saja meningkat, karena pendapatan dari pajak yang naik akibat kenaikan tarif pajak, akan tetapi hal tersebut menjadi beban pengusaha sehingga mengganggu kegiatan usahanya. Oleh karena itu pembuatan kebijakan dalam rangka meningkatkan PAD harus memperhatikan banyak pihak dan banyak kepentingan. Salah satunya adalah dengan tetap memperhatikan kondisi dan situasi daerahnya masing-masing. Daerah-daerah yang mempunyai PAD kecil kebanyakan daerah yang mempunyai struktur perekonomian di sektor pertanian, padahal hampir 50% kabupaten/kota di Jawa Timur struktur perekonomiannya di dominasi oleh sektor pertanian. Oleh karena itu masing-masing daerah harus mencari potensi yang paling menonjol atau produk unggulan masing-masing daerah, kemudian di kembangkan dan di beri bantuan dalam hal pengolahan maupun pemasaran. Pada akhirnya tidak hanya sebagai penghasil bahannya saja, tetapi juga mampu mengolah, sehingga jika kegiatan ini dapat berjalan dengan baik, maka pendapatan asli daerah akan dapat meningkat seiring dengan berkembangnya kegiatan perekonomian suatu daerah. Selain itu, secara nyata jika dilihat letak daerah yang berdekatan akan mempunyai rasio PAD terhadap total penerimaan yang tidak begitu jauh berbeda. Hal ini menunjukkan kemajuan suatu daerah akan mempengaruhi perkembangan daerah sekitarnya. Oleh karena itu pembentukan SWP di Jawa Timur perlu

117 91 dikembangkan dan dilaksanakan dengan baik, sehingga perkembangan di Jawa Timur tidak terpusat di Kota Surabaya dan Sekitarnya. N W E S Legenda Sangat Kurang ( < 10%) Sedang (10% - 20%) Sedang ( > 20%) Keterangan : 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Gambar 16 Kabupaten/Kota menurut klasifikasi derajat desentralisasi fiskal tahun Sumber penerimaan daerah lainnya adalah Dana Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP). Dana bagi hasil pajak dan bukan pajak walaupun merupakan kewenangan pemerintah pusat, akan tetapi pemungutan pajak ini memerlukan sinergi antara pemerintah daerah setempat dengan pelayanan pajak. Penerimaan Dana Bagi Hasil sendiri telah ditentukan pemerintah pusat dalam UU No. 32 Tahun Bagi hasil untuk Pajak Bumi dan Bangunan (10% pusat, 90% daerah), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (20% pusat, 80% daerah),

118 92 pertambangan minyak bumi (85% pusat, 30% daerah) serta pertambangan gas alam (70% pusat, 30% daerah). Gambar 17 menunjukkan kontribusi Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak terhadap total penerimaan yang mencerminkan salah satu indikator peningkatan potensi sumberdaya modal dan manusia. Selama kurun waktu tahun , rasio antara BHPBP terhadap total penerimaan di Provinsi Jawa Timur perkembangannya semakin konvergen dan rata-ratanya masih di bawah 10 persen dan cenderung mengalami penurunan. Hal ini di sebabkan karena kabupaten/kota di Jawa Timur relatif tidak terdapat sektor migas yang besar seperti di kawasan Kalimantan atau Sumatera, sehingga sumber dana bagi hasil hanya dari PBB, PPh orang pribadi dan BPHTB. Variabel Rata-Rata Minimum Q1 Median Q3 Maximum Range IQR Keterangan : 15 = Sidoarjo, 29 = Sumenep, 71= Kediri, 78 = Surabaya, 79= Batu Sumber : BPS, diolah Gambar 17 Derajat potensi sumber daya manusia dan alam kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun Besar kecilnya kontribusi ini tidak terlepas dari nilai kontribusi masingmasing kabupaten/kota di Jawa Timur. Setiap kabupaten/kota mempunyai kontribusi yang berbeda-beda tergantung besar kecilnya sumber BHPBP yang

119 93 dimiliki masing-masing kabupaten kota di Jawa Timur. Daerah yang mempunyai potensi dan bisa memanfaatkan, maka akan dapat meningkatkan BHPBP, sementara daerah yang tidak punya potensi akan semakin jauh tertinggal. Hal ini dapat dilihat dari nilai minimum rasio BHPBP terhadap penerimaan daerah yang mana kondisinya dari tahun 2002 dengan tahun 2008 semakin menurun. Sedangkan untuk nilai maksimumnya kondisi 2008 juga mengalami penurunan jika dibanding kondisi Beberapa kabupaten yang mempunyai rasio BHPBP terhadap total penerimaan lebih besar dibanding daerah lain adalah Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, Kabupaten Sumenep yang memang mempunyai potensi dalam meningkatkan BHPBP. Daerah yang mempunyai Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak besar adalah daerah-daerah yang struktur perekonomiannya didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor industri dan sektor pertambangan. Sumber penerimaan pemerintah daerah lainnya adalah Dana Alokasi Umum (DAU). DAU merupakan salah satu jenis dana perimbangan yang bertujuan untuk mengurangi kesenjangan horizontal antar daerah. Kebijakan ini dilatar belakangi, dengan adanya desentralisasi fiskal daerah diberi kewenangan untuk menggali sumber penerimaan dari potensi yang dimiliki masing-masing daerah. Padahal kondisi dan situasi suatu daerah berbeda-beda. Di satu sisi ada daerah yang kaya, namun di sisi lain ada daerah yang miskin akan sumber daya baik alam maupun manusia. Maka untuk menghindari kesenjangan tersebut, diberikanlah dana perimbangan berupa DAU. Pengalokasian DAU ke daerah dilakukan dengan formula yang didasarkan pada dasar perhitungan DAU. Secara historis sejak tahun , formula DAU terbagi menjadi komponen utama yaitu alokasi minimum (AM) dan alokasi DAU berdasarkan kesenjangan fiskal (KF). AM dihitung berdasarkan komponen lumpsum dan proporsional belanja pegawai. Sejak diberlakukannya UU Nomor 33 Tahun 2004, yang efektif berlaku sejak tahun 2006, komponen AM dan KF tersebut disempurnakan menjadi Alokasi dasar (AD) dan celah fiskal (CF). Alokasi DAU berdasarkan CF tersebut merupakan komponen ekualisasi kemampuan keuangan antar daerah, dengan mempertimbangkan selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal masing-masing daerah.

120 DAU (Juta rupiah) Jumlah penduduk miskin (Jiwa) Keterangan : 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Gambar 18 Hubungan antara jumlah penduduk miskin dan DAU kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun Formula DAU yang digunakan selama ini selain dipengaruhi oleh jumlah penduduk, luas wilayah juga jumlah penduduk miskin. Suatu daerah yang jumlah penduduk miskinnya lebih banyak dari daerah lain, akan mendapat DAU yang lebih besar dari daerah lain. Sebaliknya, daerah yang mempunyai penduduk miskin lebih sedikit dari daerah lain, maka akan mendapat DAU yang lebih kecil jika dibanding dengan daerah lain. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian, seperti ditunjukkan pada Gambar 18. Hal ini disebabkan formula alokasi DAU yang digunakan selama ini mengganggap DAU yang diterima tahun sekarang tidak boleh lebih kecil dari tahun sebelumnya. Akibatnya, kabupaten/kota yang mendapat DAU besar di tahun 2002, maka akan mendapat DAU yang lebih besar lagi, walaupun tingkat kemiskinannya lebih kecil dari daerah lain, seperti Kabupaten Tulungagung yang DAU lebih besar dari Kabupaten Ponorogo, padahal jumlah penduduk miskin lebih sedikit. Kondisi yang tidak berbeda jauh

121 95 jika digunakan variabel IPM dan DAU, seperti ditunjukkan pada Gambar 19. Hal inilah yang merupakan salah satu penyebab terjadinya peningkatan kesenjangan pembangunan antar kabupaten/kota di awal pelaksanaan desentralisasi fiskal Dana Alokasi Umum (DAU) IPM Keterangan 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Gambar 19 Hubungan antara IPM dan DAU kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun Perkembangan rasio DAU terhadap total penerimaan selama kurun waktu 2002 sampai dengan 2008 menunjukkan kondisi yang diharapkan. Artinya secara rata-rata mengalami penurunan dan penyebarannya semakin konvergen, walaupun pada awal-awal memang tidak konvergen. Gambar 20 menunjukkan perkembangan rasio DAU terhadap total penerimaan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur. Beberapa kabupaten/kota yang mempunyai rasio DAU terhadap total penerimaan daerah lebih kecil di banding daerah lain adalah Kabupaten Sidoarjo, Kota Surabaya. Hal ini sesuai dengan tujuan pemberian DAU untuk mengurangi

122 96 kesenjangan horizontal antara kabupaten kota. Daerah yang mempunyai proporsi PAD dan BHPBP terhadap total penerimaan daerah lebih besar dibandingkan daerah lain, maka proporsi DAU terhadap total penerimaan lebih kecil dibandingkan dengan daerah lain. Variabel Rata-Rata Minimum Q1 Median Q3 Maximum Range IQR Keterangan : 15 = Sidoarjo, 71= Kediri, 78 = Surabaya Sumber : BPS, diolah. Gambar 20 Derajat ketergantungan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur terhadap pemerintah pusat tahun Semua penerimaan daerah baik yang berasal dari PAD maupun dana perimbangan digunakan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan. Pelaksanaan pembangunan masing-masing daerah tergantung kebijakan pemerintah daerah yang dimanifestasikan dalam alokasi belanja daerah. Sebab pada dasarnya alokasi belanja yang disusun mencerminkan pola-pola kebijakan, prioritas-prioritas dan program-program pembangunan untuk setiap tahun (Priyarsono, 2008) Alokasi belanja daerah mempunyai peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintah daerah. Besarnya alokasi

123 97 belanja daerah mempresentasikan kebutuhan daerah termasuk kebutuhan publik. Belanja daerah diperlukan dalam perekonomian daerah dengan tujuan untuk menyediakan barang publik, mengalokasikan barang produksi dan konsumsi, memelihara stabilitas ekonomi dan percepatan pertumbuhan ekonomi. (Stiglitz, 2000). Belanja rutin adalah belanja keperluan operasional untuk menjalankan kegiatan rutin pemerintahan yang termasuk didalamnya belanja pegawai, belanja barang, pembayaran bunga, subsidi dan lainnya. Gambar 21 menunjukkan perkembangan rasio belanja rutin terhadap total belanja kabupaten/kota Di Jawa Timur. Perkembangan rasio belanja rutin terhadap total belanja menunjukkan persebaran kabupaten/kota yang semakin tidak konvergen dan secara rata-rata juga mengalami kenaikan. Variabel Rata-Rata Minimum Q1 Median Q3 Maximum Range IQR Keterangan : 29 = Sumenep, 74= Probolinggo, 77 =Madiun, 79= Batu Sumber : BPS, diolah. Gambar 21 Derajat belanja rutin kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun

124 98 Hal ini menunjukkan adanya perbedaan kebijakan pemerintah daerah di dalam mengalokasikan belanja yang disebabkan adanya perbedaan prioritas pembangunan masing-masing daerah. Selain itu adanya peningkatan proporsi belanja rutin terhadap total belanja untuk beberapa kabupaten/kota, sehingga secara umum mengalami kenaikan. Beberapa daerah yang mempunyai rasio belanja rutin terhadap total belanja lebih rendah dari daerah lain adalah Kota Batu dan Kabupaten Sumenep, proporsi belanja rutin lebih kecil dari 50%. Kota Batu merupakan kota pemekaran dari Kabupaten Malang tahun 2002, sehingga memerlukan dana yang belum banyak untuk membiayai kegiatan rutinnya. Belanja pembangunan merupakan jenis belanja yang menghasilkan nilai tambah aset baik fisik maupun non fisik yang dilaksanakan pada periode tertentu. Gambar 22 menunjukkan perkembangan rasio belanja pembangunan terhadap total belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur. Variabel Rata-Rata Minimum Q1 Median Q3 Maximum Range IQR Keterangan : 29 = Sumenep, 72= Blitar, 74= Probolinggo, 79= Batu Sumber : BPS, diolah. Gambar 22 Derajat belanja pembangunan kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun

125 99 Kota Batu dan Kabupaten Sumenep mempunyai rasio belanja pembangunan terhadap total belanja jauh lebih besar dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya. Hal ini disebabkan Kota Batu yang mulai berdiri menjadi kota sendiri, tentunya memerlukan banyak dana untuk pembangunan infrastruktur yang dapat menunjang pelaksanaan pembangunan ekonomi. Hal ini sejalan dengan teori Rostow, pada awal terbentuknya suatu daerah, maka alokasi belanja sebagian besar untuk belanja pembangunan. Perkembangan rasio belanja pembangunan terhadap total belanja kabupaten/kota menunjukkan persebaran yang semakin tidak konvergen dan secara rata-rata mengalami penurunan dan masih berkisar dibawah 30%. Hal ini menunjukkan perbedaan mengalokasikan belanja rutin dan belanja pembangunan antar kabupaten/kota di Jawa Timur. Kondisi ini menunjukkan bahwa dengan adanya kewenangan daerah dalam mengelola keuangan dari sisi belanja, maka masing-masing daerah mempunyai prioritas pembangunan yang berbeda sehingga alokasi belanjapun juga berbeda. Melihat kinerja keuangan dari sisi pengeluaran ternyata alokasi belanja rutin masih lebih besar daripada belanja pembangunan. Kondisi ini jika dilihat dengan analisis ekonomi mengenai perilaku birokrat dalam pemerintahan sesuai dengan pandangan Weber yang dimodifikasi oleh Niskanen (Mangkoesoebroto, 1997), yang menyatakan bahwa birokrat sebagaimana juga dengan orang lain adalah pihak yang memaksimumkan kepuasannya yaitu gaji, jumlah karyawan, reputasi dan status sosial. Pemberlakuan desentralisasi fiskal, salah satunya bertujuan untuk memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menggali potensi yang ada, yang pada akhirnya digunakan untuk membiayai pembangunan. Besarnya kemampuan daerah dalam menggali potensi yang ada didaerahnya tercermin dalam besarnya PAD dari masing-masing daerah. Akan tetapi, secara rata-rata perkembangan rasio PAD terhadap belanja rutin selama kurun waktu tahun mengalami persebaran yang semakin konvergen akan tetapi ada kecenderungan menurun dari tahun 2002 sampai dengan 2008 (Gambar 23).

126 100 Variabel Rata-Rata Minimum Q1 Median Q3 Maximum Range IQR Keterangan : 15= Sidoarjo, 23 = Tuban, 71=Kediri, 78=Surabaya, 79= Batu Sumber : BPS, diolah Gambar 23 Derajat kemandirian daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun Beberapa daerah yang mempunyai kemandirian di atas 40% adalah Kota Surabaya. Hal ini menunjukkan sebagian daerah memang kurang mampu untuk menggali potensi yang digunakan untuk membiayai kegiatan rutinnya. Sedangkan untuk rasio PAD ditambah BHPBP terhadap total belanja rutin menunjukkan hasil yang tidak begitu berbeda (Gambar 25). Kota Surabaya, adalah salah satu kota di Provinsi Jawa Timur, yang dengan PAD dan BHPBP mampu membiayai belanja rutin di atas 60%, bahkan pada tahun2006 dan 2007 diatas 100%. Artinya dengan PAD dan BHPBP, Kota Surabaya sudah mampu membiayai belanja rutin pada tahun 2006 dan tahun 2007.

127 101 Variabel Rata-Rata Minimum Q1 Median Q3 Maximum Range IQR Keterangan : 3 = Trenggalek, 29 = Sumenep, 74= Probolinggo, 79= Batu Sumber : BPS, diolah Gambar 24 Derajat kemandirian sumber daya alam dan manusia Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur tahun sangat Baik 1 1 Persen Baik Sedang 2 1 Cukup Kurang Sangat Kurang Gambar 25 Klasifikasi rasio PAD terhadap belanja rutin.

128 102 Perkembangan kemandirian daerah, khususnya komponen PAD dibandingkan TBR (total belanja rutin) jika dikategorikan menurut hasil penelitian tim Fisipol UGM dalam Tangkilisan (2005) dengan menggunakan skala interval ditunjukkan pada Gambar 25. Selama kurun waktu terdapat pergeseran kabupaten/kota ke kategori yang kurang baik. Kabupaten/kota yang masuk kategori kurang, artinya rasio PAD terhadap belanja rutin di bawah 10%, mengalami peningkatan dari 16 kabupaten/kota tahun 2002 menjadi 28 Kabupaten/kota pada tahun Hal ini menunjukkan kemampuan daerah untuk menggali sumber penerimaan yang berasal dari daerahnya sendiri untuk membiayai kegiatan rutinnya semakin menurun. Artinya, untuk membiayai kegiatan rutin saja, kabupaten/kota masih sangat tergantung pada pemerintah pusat. Variabel Rata-Rata Minimum Q1 Median Q3 Maximum Range IQR (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) Keterangan : 15=Sidoarjo, 29 = Sumenep, 74= Probolinggo, 79= Batu Sumber : BPS, diolah Gambar 26 Rasio PAD terhadap total belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun

129 103 Perkembangan rasio PAD Terhadap total belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur selama tahun menujukkan persebaran yang semakin konvergen akan tetapi secara rata-rata menurun (Gambar 26). Rata-rata rasio PAD terhadap total belanja masih dibawah 10%, artinya untuk membiayai pembangunan daerah, sumber penerimaan kabupaten/kota yang berasal dari PAD masih sangat kurang. Beberapa daerah yang mempunyai rasio PAD terhadap belanja rutin besar, ternyata untuk rasio PAD terhadap total belanja juga masih besar. Kota Surabaya, selama kurun waktu , mempunyai rasio sekitar 30%, artinya kegiatan pembangunan di Kota Surabaya dibiayai dari penerimaan asli daerah sebesar 30%. Variabel Rata-Rata Minimum Q1 Median Q3 Maximum Range IQR (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) Keterangan : 15=Sidoarjo, 23=Tuban, 25= Gresik, 78=Surabaya Sumber : BPS, diolah Gambar 27 Rasio jumlah PAD dan BHPBP terhadap total belanja kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur tahun Perkembangan rasio PAD dan BHPBP terhadap total belanja menunjukkan hasil yang tidak berbeda jauh dengan rasio PAD terhadap total belanja. Selama

130 104 kurun waktu , persebaran kabupaten/kota semakin konvergen, dan rataratanya juga menurun dari 18.62% pada tahun 2002 menjadi 13.55% pada tahun Artinya hanya sekitar 13.55% dari keseluruhan belanja daerah yang dibiayai dari PAD dan BHPBP. Beberapa kabupaten/kota yang mempunyai rasio lebih besar dari daerah lain adalah Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Tuban dan Kabupaten Gresik (Gambar 27). Secara umum dapat dikatakan bahwa perkembangan pengelolaan keuangan daerah yang dilihat dari kinerja keuangannya ternyata menunjukkan hasil yang kurang diharapkan. Artinya, dengan adanya kewenangan yang dimiliki daerah dalam menggali sumber-sumber penerimaan daerah, justru tidak mampu menaikkan rasio PAD terhadap total penerimaan daerah. Persebaran kabupaten/kota untuk rasio PAD terhadap total penerimaan juga semakin konvergen tapi menurun. Hal ini menunjukkan kemampuan daerah sama-sama kurang baik dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Bahkan bisa dikatakan hanya beberapa daerah yang mampu membiayai belanja rutin dari PAD dan BHPBP. Daerah-daerah yang mempunyai PAD maupun BHPBP lebih besar dari pada daerah lain adalah daerah-daerah yang struktur perekonomiannya didominasi oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor industri dan sektor jasa-jasa. Lebih lanjut, jika dilihat dari letak geografis, suatu daerah yang maju maka akan mendorong daerah disekitarnya untuk lebih berkembang dari pada daerah lainnya. 5.2 Perkembangan Pembangunan Ekonomi Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Pelaksanaan desentralisasi fiskal mempunyai tujuan utama untuk mendukung pendanaan atas urusan-urusan yang telah diserahkan kepada daerah, agar daerah dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik yang lebih baik. Dengan penyelenggaraan dan pelayanan publik yang lebih baik, diharapkan dapat memberikan kesempatan pada daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya sehingga pada gilirannya akan mendorong perkembangan ekonomi melalui pembangunan ekonomi. Hal ini didasarkan anggapan bahwa daerah lebih tahu situasi, kondisi dan kebutuhan dalam pelaksanaan pembangunan.

131 105 Namun upaya perbaikan ekonomi daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak bisa hanya diserahkan kepada kebijakan desentralisasi fiskal semata. Sebagaimana diketahui bahwa pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang disesuaikan dengan potensi, kondisi, aspirasi dan permasalahan di daerah. Pelaksanaan pembangunan yang baik hanya dapat dilakukan apabila terjadi keseimbangan peran dari tiga pilar yaitu pemerintah, sektor swasta dan masyarakat. Ketiganya mempunyai fungsi dan peran masing-masing dalam mengisi pembangunan. Pemerintah (Eksekutif dan legislatif) memainkan peran untuk menjalankan dan menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif bagi unsur-unsur lain. Sinkronisasi dan koordinasi antar tingkatan pemerintahan yang berbeda harus dapat diwujudkan. Peran sektor swasta adalah mewujudkan penciptaan lapangan kerja dan pendapatan. Masyarakat berperan dalam menciptakan interaksi sosial, ekonomi, dan politik Ketiga pilar tersebut memainkan perannya sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang terkandung dalam tata kelola pemerintahan yang baik. Untuk menilai keberhasilan pelaksanaan pembangunan ekonomi regional, terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan antara lain, pertumbuhan ekonomi, IPM, kesenjangan pembangunan dan persentase penduduk miskin. 1. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator pembangunan ekonomi regional yang dicerminkan oleh pertumbuhan PDRB pada harga konstan. Pertumbuhan ekonomi antar daerah itu berbeda-beda yang dipengaruhi oleh kondisi geografis, sosial budaya, fokus kegiatan ekonomi serta kebijakan pemerintah suatu daerah. Perkembangan Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Jawa Timur, jika dilihat secara umum mulai dari tahun menunjukkan persebaran yang semakin konvergen dan mempunyai rata-rata yang meningkat dari 4.05% pada tahun 2002 menjadi 5.79% pada tahun 2008 (Gambar 28).

132 106 Variabel Rata-Rata Minimum Q1 Median Q3 Maximum Range IQR Keterangan : 22 : Bojonegoro, 29 : Sumenep Sumber : BPS, diolah Gambar 28 Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Jawa Timur tahun Kondisi ini secara umum menunjukkan kegiatan perekonomian kabupaten/kota mengalami kemajuan dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun 2004, ada 2 kota yang masuk outlayer (pencilan), yang satu diatas dan lainnya di bawah kelompok kabupaten/kota. Namun dengan seiringnya waktu, pencilan yang dibawah bisa mengejar ketertinggalan dan masuk dalam kelompok, akan tetapi yang satu kabupaten yaitu Kabupaten Bojonegoro tetap di luar. Hal ini karena adanya penggalian tambang minyak bumi yang merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kesenjangan antar wilayah yang bersumber potensi dari sumber daya alam yang dimiliki daerah.

133 107 N W E S Legenda Pertumbuhan ekonomi kurang dari 5% Pertumbuhan Ekonomi antara 5%-6% Pertumbuhan Ekonomi lebih dari 6% Keterangan 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Gambar 29 Wilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur menurut tingkat pertumbuhan ekonomi tahun Selain pertumbuhan ekonomi, indikator yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi adalah pemerataan pembangunan yang dapat dilihat dari data PDRB perkapita. Analisis ini dinilai banyak kelemahan, tetapi secara internasional masih tetap digunakan oleh para peneliti. Angka pendapatan perkapita dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat, perbedaan aktifitas ekonomi sekaligus menggambarkan produktifitas perkapita suatu daerah. Angka ini menunjukkan kemampuan nyata dari suatu daerah dalam menghasilkan output.

134 108 Perbedaan kesenjangan terlihat nyata antara Kabupaten dan Kota, walaupun pergerakan setiap tahunnya adalah tidak berubah. Secara rata-rata tingkat pendapatan perkapita pada tahun 2002 sebesar Rp dan pada tahun 2008 sebesar Rp , atau dapat dikatakan 2 kali lipatnya (Tabel 21). Namun kalau di lihat lebih jauh lagi, ternyata jarak antara yang terkecil dan terbesar juga semakin melebar. Tabel 21 Statistik deskriptif pendapatan perkapita kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur, (000 Rupiah) Inter Quartile Tahun Rata-Rata Minimum Q1 Median Q3 Maximum Range Range (IQR) Sumber : BPS, diolah Jika dilihat lebih jauh, mulai tahun 2002 sampai dengan 2008, lima kabupaten yang mempunyai pendapatan perkapita terendah yaitu Kabupaten Pacitan, Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Sampang dan Kabupaten Bondowoso. Hal ini bisa dimaklumi, sebab daerah-daerah tersebut mempunyai sumberdaya alam yang kurang mendukung dan secara geografis terletak di daerah pegunungan. Sedangkan lima kabupaten walaupun urutannya tidak selalu berurutan, mulai tahun yang mempunyai pendapatan perkapita terbesar adalah Kota Kediri, Kota Surabaya, Kota Malang, kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik. Hal ini disebabkan daerah-daerah tersebut secara umum mempunyai sumberdaya alam yang mendukung dan mempunyai letak yang strategis untuk melakukan kegiatan ekonomi. Secara langsung dapat dilihat pada Gambar 30.

135 109 Keterangan : 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Gambar 30 Wilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur menurut PDRB perkapita tahun Ketimpangan Pembangunan Pembangunan regional merupakan sub sistem dari pembangunan provinsi dan merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari pembangunan nasional. Pembangunan yang dilaksanakan lebih mencerminkan aspirasi, potensi, masalah dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan dengan pembangunan regional. Pelaksanaan pembangunan ekonomi di masing-masing kabupaten/kota telah menghasilkan pencapaian yang berbeda-beda. Hal ini berhubungan dengan keunggulan komparatif yang dimiliki masing-masing kabupaten/kota serta potensi perekonomiannya.

136 110 Tidak dapat dipungkiri bahwa proses pembangunan di Jawa Timur maupun diwilayah lainnya dalam skala apapun telah menghasilkan perbedaan-perbedaan antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Salah satu cara untuk mengetahui perbedaan-perbedaan yang terjadi sebagai implikasi dari proses pembangunan dapat dilakukan dengan pengukuran indeks Theils. Pada hakekatnya, output daerah dan kesejahteraan masyarakat adalah dua hal yang berbeda, maka patut dipertanyakan apakah ada kaitan antara kekayaan daerah dan kesejahteraan masyarakat di suatu daerah. Asumsi bahwa tingkat kekayaan daerah yang tinggi juga akan berdampak terhadap tingginya kesejahteraan masyarakat merupakan hasil dari kebijakan pemerataan pembangunan antar daerah yang dijalankan pemerintah, terutama melalui instrument fiskal, seperti transfer dari pusat, transfer antar daerah dan kebijakan lain. Salah satu alat untuk mengukur pemerataan pembangunan adalah dengan Indeks Theil. Berdasarkan indeks theil tahun , terlihat bahwa tingkat pemerataan aktifitas perekonomian yang tercermin dari nilai PDRB antar kabupaten/kota masih rendah, namun perkembangannya menunjukkan kondisi yang lebih baik. Perkembangan ketimpangan pembangungan yang dihitung dengan Indeks Theil menunjukkan penurunan dari tahun 2002 sebesar turun menjadi pada tahun 2008 (Gambar 31). Akan tetapi, sebelum kesimpulan dapat ditarik, ada baiknya terlebih dahulu dilakukan pemisahan antara indeks ketimpangan antar kabupaten dan kota. Alasannya adalah karena struktur perekonomian kabupaten berbeda sekali dengan struktur ekonomi kota. Kegiatan ekonomi kabupaten pada umumnya adalah pertanian, sedangkan kegiatan ekonomi kota lebih banyak terkonsentrasi pada sektor industri, perdagangan dan jasa. Kalau kedua daerah ini digabung dalam perhitungan indeks ketimpangan, maka indeksnya menjadi lebih tinggi. Sedangkan jika ketimpangan antar kabupaten dipisahkan maka ketimpangan menurun sangat drastis, yaitu bergerak antara sampai dengan Ini berarti bahwa pembangunan ekonomi antar kabupaten di Provinsi Jawa Timur adalah lebih merata, hal ini merupakan kondisi yang cukup menggembirakan. Indeks yang cukup tinggi terlihat pada perkembangan ekonomi antar kota, dengan indeks ketimpangan berkisar antara

137 sampai dengan Variasi potensi yang cukup besar merupakan sumber utama ketimpangan. Kota-kota yang tumbuh cepat adalah kota Kediri, karena adanya Pabrik Rokok Gudang Garam Nilai Kabupaten Kota Kabupaten dan Kota Gambar 31 Indeks theil antar kabupaten, antar kota, dan antar kabupaten/ kota di Provinsi Jawa Timur tahun Indeks Pembangunan Manusia (IPM) IPM merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kesejahteraan yang dikembangkan oleh UNDP berdasarkan berbagai survey di sebagian besar negara di dunia. Istilah pembangunan dapat diartikan sebagai adanya perubahan atau adanya perkembangan dari satu periode ke periode berikutnya. Dalam kaitannya dengan pembangunan manusia, makna tersebut masih relevan jika diartikan sebagai perubahan yang terjadi pada manusia dilihat dari sisi ekonomi dan sosial. Dengan mengamati perubahan atau perkembangan manusia dari sisi ekonomi dan sosial, maka dapat dijadikan indikator keberhasilan pemerintahan daerah dalam melaksanakan program-programnya.

138 112 Pembangunan manusia dalam konteks ini diartikan sebagai sumberdaya untuk mencapai tujuan pembangunan yang orientasi akhirnya adalah pada peningkatan kesejahteraan manusia. Angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Timur selama periode cenderung menunjukkan peningkatan. Peningkatan angka IPM ini diharapkan mampu mewakili peningkatan pembangunan manusia yang dapat memberikan dampak positif terhadap kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang produktif, yaitu tenaga manusia yang sehat, berpendidikan dan terampil. Variabel Rata-Rata Minimum Q1 Median Q3 Maximum Range IQR Sumber : BPS, diolah Gambar 32 Perkembangan IPM kabupaten/kota di Jawa Timur tahun Perkembangan IPM selama kurun waktu menunjukkan persebaran kabupaten/kota yang semakin konvergen dan mempunyai rata-rata yang semakin meningkat yaitu dari tahun 2002 menjadi pada tahun 2008 (Gambar 32). Kabupaten Sampang, merupakan kabupaten yang selama kurun waktu penelitian mempunyai nilai IPM yang paling kecil dibandingkan

139 113 dengan daerah lain. Salah satu penyebabnya, Kabupaten Sampang jika dilihat dari sisi sumberdaya alam maupun manusia lebih rendah dari daerah lain. Kabupaten Sampang terletak di kawasan Pulau Madura. Selain kondisi geografis dan potensi alam yang kurang juga didukung kehidupan tradisionalnya yang sangat kuat. Tabel 22 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Timur tahun Tahun IPM Angka Tertinggi Angka Terendah Jawa Timur IPM Kabupaten/Kota IPM Kabupaten/Kota Kota Mojokerto Kabupaten Sampang Kota Mojokerto Kabupaten Sampang Kota Mojokerto Kabupaten Sampang Kota Madiun Kabupaten Sampang Kota Malang Kabupaten Sampang Kota Madiun Kabupaten Sampang Kota Surabaya Kabupaten Sampang Sumber : BPS, diolah Program prioritas sasaran pembangunan maupun kebijakan masing-masing kabupaten/kota tentunya tidaklah sama. Hal tersebut tercermin dari angka IPM yang berbeda-beda antar daerah. Dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi yang cenderung fluktuatif, IPM tumbuh lebih stabil. Artinya meskipun terjadi pasang surut perkembangan ekonomi, tetapi pembangunan manusia di Jawa Timur lambat laun mengalami perbaikan yang nyata. Selama kurun waktu , kabupaten/kota yang mempunyai IPM tertinggi sangat bervariasi. Selama tahun 2002 sampai 2008 secara berurutan kabupaten/kota yang mempunyai IPM tertinggi adalah Kota Mojokerto selama tiga tahun berturut-turut, Kota Madiun tahun 2005 dan tahun 2007, Kota Malang tahun 2006, dan Kota Surabaya memiliki angka IPM tertinggi tahun Sementara peringkat terbawah dalam penghitungan IPM selama kurun waktu adalah Kabupaten Sampang. Hal yang perlu disadari bahwa untuk meningkatkan IPM suatu daerah, tidak hanya menyediakan sarana dan prasarana peningkatan sektor kesehatan, pendidikan dan ekonomi, tetapi juga harus mengubah paradigma masyarakat setempat dalam menyikapi keberadaan sarana dan prasarana tersebut. Jika dalam

140 114 suatu masyarakat masih menyukai atau lebih memilih pengobatan tradisional (dukun bayi) untuk pertolongan persalinan daripada mempercayakan kepada tenaga medis, maka IPM dikategori kesehatan tidak akan mengalami peningkatan yang nyata. Demikian pula, jika suatu wilayah lebih memilih pendidikan informal daripada formal, maka kategori pendidikannya tidak begitu menolong kenaikan IPM khususnya pada indikator rata-rata lama sekolah (mean years of schooling). Sementara paritas daya beli sangat tergantung harga-harga barang dan jasa di daerah itu. Nilai Menengah Bawah Menengah Atas Sumber : BPS, data diolah Gambar 33 Jumlah kabupaten/kota menurut klasifikasi IPM dari UNDP tahun Perkembangan IPM menurut klasifikasi UNDP mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur, masuk kategori menengah bawah dan menengah atas. Pada Tahun 2002, kabupaten/kota yang masuk kelompok menengah bawah sebanyak 21 daerah, sedangkan yang masuk kelompok menengah atas sebanyak 18 daerah. Artinya hampir 50%, masuk kelompok menengah bawah. Seiring dengan pelaksanaan pembangunan, pada tahun 2008 kondisinya berbalik. Kabupaten/kota yang masuk kelompok menengah atas sebanyak 29 daerah sedangkan yang masuk kelompok menengah bawah sebanyak 10 daerah (Gambar 33).

141 115 N W E S Legenda IPM antara IPM antara Keterangan : 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Gambar 34 Wilayah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur menurut klasifikasi IPM tahun Dari Gambar 34 terlihat bahwa daerah daerah yang angka IPM masuk kelompok menengah bawah adalah kabupaten yang ada di wilayah Madura, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Jember, Kabupaten Sumenep yang dikenal dengan daerah tapal kuda. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan sumberdaya manusia di Provinsi Jawa Timur masih terkonsentrasi di bagian tengah dengan kecenderungan berkembang pada wilayah barat. Sedangkan pembangunan sumberdaya manusia diwilayah timur belum optimal.

142 Penduduk Miskin Selain IPM, indikator lain yang dapat digunakan adalah persentase penduduk miskin. Pembangunan ekonomi yang dilaksanakan, salah satunya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tingkat kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari jumlah penduduk miskin. Jika pembangunan ekonomi yang dilaksanakan berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat, logikanya jumlah penduduk miskin akan menurun. Jumlah penduduk miskin di Jawa Timur dalam kurun waktu cukup berfluktuatif. Pada periode waktu tahun 2002 hingga 2005, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan yaitu dari juta jiwa menjadi juta jiwa. Namun di tahun 2005, penduduk miskin meningkat cukup signifikan, yaitu sebanyak 1.4 juta jiwa. Hal ini akibat adanya krisis harga minyak, yang mempengaruhi kinerja sektor industri. Angka tersebut kemudian berangsur-angsur menurun di tahun 2006 hingga tahun 2008 (Tabel 23). Tabel 23 Jumlah penduduk miskin di Jawa Timur tahun Tahun Jumlah Penduduk Jumlah Penduduk Penduduk Miskin Perubahan Miskin (Jiwa) Jawa Timur (%) (%) Sumber : BPS, data diolah Namun hal ini tidak terlihat untuk semua Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Gambar 35 memperlihatkan gambaran tingkat kemiskinan yang tidak jauh berbeda dengan gambaran capaian IPM. Daerah-daerah dengan IPM tinggi secara relatif juga mempunyai presentase penduduk miskin yang rendah. Sebaliknya daerah dengan IPM rendah juga mempunyai nilai presentase penduduk miskin yang tinggi. Kabupaten Sampang, selama kurun waktu mempunyai

143 117 IPM terendah di Provinsi Jawa Timur, dan jika dilihat dari tingkat kemiskinan setiap tahunnya masuk kategori pencilan. Variabel Rata-Rata Minimum Q1 Median Q3 Maximum Range IQR Keterangan : 11 : Bondowoso, 27 : Sampang Sumber : BPS, diolah Gambar 35 Perkembangan persentase penduduk miskin kabupaten/kota di Jawa Timur tahun Gambar 36 menunjukkan letak kabupaten/kota menurut persentase penduduk miskin. Kabupaten/kota yang mempunyai persentase penduduk miskin diatas 30% pada tahun 2008 adalah kabupaten/kota yang ada di wilayah kepulaun Madura. Salah satu penyebabnya adalah minimnya sumberdaya alam maupun manusia di wilayah kepulauan Madura. Oleh karena itu perlu adanya program yang dapat mengurangi jumlah penduduk miskin di kawasan Madura, dengan memanfaatkan sumberdaya alam maupun manusia yang ada. Sebagai contoh, bantuan baik teknis maupun non teknis dalam bidang pertanian khususnya peternakan. Sebab kawasan Madura terkenal dengan ternak sapinya.

144 118 N W E S Legenda persentase penduduk miskin ( <10%) Persentase Penduduk Miskin (10%-19.9%) Persentase Penduduk Miskin (20%-29.9%) Persentase Penduduk Miskin (>30%) Keterangan : 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Gambar 36 Wilayah Kabupaten/kota menurut presentase penduduk miskin tahun Analisis Gerombol (Cluster Analysis) Analisis gerombol atau cluster analysis dalam penelitian ini bertujuan membagi daerah kabupaten/kota ke dalam dua atau beberapa kelompok yang berbeda. Setiap kabupaten/kota yang terletak dalam kelompok yang sama akan mempunyai sifat atau ciri-ciri karakteristik yang hampir serupa. Analisis gerombol ini digunakan terutama pada masalah bila obyek yang akan diteliti ingin dikelompokkan dalam suatu kelompok yang relatif homogen. Dengan analisis gerombol ini obyek atau kasus yang diamati dapat disederhanakan atau dikurangi,

145 119 sehingga dapat diperoleh gambaran secara umum tentang obyek yang diteliti. Indikator yang digunakan sebagai dasar pengelompokan adalah PDRB perkapita sebagai indikator potensi ekonomi, rasio total PAD dan BHPBP terhadap total penerimaan daerah sebagai indikator kemampuan anggaran daerah dan persentase penduduk miskin sebagai indikator capaian kinerja pembangunan. Pengelompokan 38 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Timur berdasarkan PDRB perkapita, rasio total PAD dan BHPBP terhadap total pendapatan dan persentase penduduk miskin menggunakan metode hierarki pautan centroid. Jarak antara dua buah gerombol diukur sebagai jarak Euclidian antara kedua rataan (centroid) gerombol. Hasil pengelompokan akan dipertunjukkan dengan dendogram yang berguna untuk menunjukkan anggota cluster yang ada jika akan diputuskan berapa cluster yang seharusya terbentuk. Tanda negatif maupun positif pada tabel menunjukkan perbandingan dengan jarak rata-rata dengan pusat cluster. Positif berarti nilai diatas rata-rata sedangkan negatif berarti nilai di bawah rata-rata. Tabel 24 Nilai cluster centroids dan jumlah kabupaten/kota masing-masing cluster tahun 2002 Variabel Cluster Miskin IDF perkapita Jumlah Kabaupaten/kota Tabel 24 menunjukkan nilai cluster centroids dan jumlah kabupaten/kota masing-masing cluster yang terbentuk dengan menggunakan data tahun Ada lima cluster yang terbentuk, akan tetapi jika dilihat secara garis besar akan terbentuk 2 cluster, sebab pada dasarnya cluster satu dan dua adalah sama yaitu variabel miskin mempunyai nilai cluster centroids positif dan IDF serta perkapita mempunyai nilai cluster centroids yang negatif. Hal ini menunjukkan bahwa cluster satu dan dua merupakan daerah dengan potensi ekonomi, kemampuan anggaran daerah dan capaian kinerja pembangunan kurang baik, karena tingkat

146 120 kemiskinannya diatas rata-rata sedang kemampuan keuangan dan pendapatan perkapita dibawah rata-rata. Cluster tiga, empat dan lima adalah sama yaitu variabel miskin mempunyai nilai cluster centroids yang negatif, IDF dan perkapita yang positif, artinya persentase penduduk miskin dibawah rata-rata dan kemampuan keuangan serta PDRB perkapita yang diatas rata-rata yang berarti bahwa cluster ketiga merupakan daerah dengan potensi ekonomi, kemampuan anggaran daerah dan capaian kinerja pembangunan manusianya yang baik. Hal yang membedakan antara cluster tiga, empat dan lima adalah besarnya jarak antara masing-masing cluster tersebut. Keterangan : 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Gambar 37 Pengelompokan kabupaten/kota berdasarkan metode hierarki tahun 2002 Gambar 37 menunjukkan letak kabupaten/kota berdasarkan pengelompokan dengan analisis cluster tahun Provinsi Jawa Timur yang terdiri dari 38 kabupaten/kota terbagi menjadi lima cluster. Cluster satu terdiri atas

147 kabupaten/kota yang ditunjukkan dengan warna ungu, cluster dua terdiri atas dua kabupaten dengan warna biru, cluster tiga terdiri atas 4 kabupaten/kota yang ditunjukkan dengan warna hijau dan, cluster empat dan lima masing-masing hanya satu kota yang ditunjukkan dengan warna kuning dan merah. Hal ini menunjukkan bahwa suatu daerah yang maju dapat mengakibatkan daerah sekitarnya juga mengalami kemajuan. Cluster satu yang mempunyai persentase penduduk miskin diatas rata-rata tetapi lebih kecil daripada cluster dua adalah hampir 50% kabupaten kota di Jawa Timur. Kabupaten yang mempunyai presentase penduduk miskin terbesar masuk pada cluster dua yaitu Kabupaten Bondowoso dan Sampang. Hal ini disebabkan daerah ini mempunyai potensi sumberdaya alam maupun manusia yang lebih kecil dibandingkan dengan daerah lain, sehingga nilai kemampuan keuangan daerah maupun pendapatan perkapitanya juga dibawah rata-rata. Cluster dua ini merupakan cluster dengan kondisi yang kurang baik dibandingkan dengan cluster lainnya. Dari sisi, persentase penduduk miskin, nilainya paling besar dan bertanda positif, yang artinya persentase penduduk miskinnya diatas rata-rata provinsi Jawa Timur. Sedangkan dari sisi kemampuan keuangan daerah dan pendapatan perkapita menunjukkan tanda negatif dan nilainya paling besar dibandingkan cluster lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa baik dari sisi kamampuan keuangan daerah dan pendapatan perkapita lebih rendah dibandingkan dengan clster lainnya. Cluster tiga yang terdiri dari Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, Kota Malang dan Kota Batu

148 122 Tabel 25 Pengelompokkan kabupaten/kota Provinsi Jawa Timur berdasarkan metode hierarki tahun 2002 Cluster Kabupaten/Kota Penduduk Miskin (%) Kemampuan Keuangan Daerah([PAD+BHPBP]/TPD) Pendapatan Perkapita (Ribu Rp.) Cluster 1 01 Pacitan , Ponorogo , Trenggalek , Tulungagung , Blitar , Kediri , Malang , Lumajang , Jember , Banyuwangi , Situbondo , Probolinggo , Pasuruan , Mojokerto , Jombang , Nganjuk , Madiun , Magetan , Ngawi , Bojonegoro , Tuban , Lamongan , Bangkalan , Pamekasan , Sumenep , Blitar , Probolinggo , Pasuruan , Mojokerto , Madiun , Cluster 2 11 Bondowoso , Sampang , Cluster 3 15 Sidoarjo , Gresik , Malang , Batu , Cluster 4 71 Kediri , Cluster 5 78 Surabaya , Sumber : BPS, Data diolah 2009.

149 123 Tabel 26 memperlihatkan nilai cluster centroids untuk masing-masing indikator pada pengelompokkan 5 cluster. Cluster satu memiliki nilai cluster centroids untuk variabel miskin, IDF dan perkapita yang negatif. Hal ini menunjukkan cluster satu merupakan daerah dengan potensi ekonomi dan kemampuan anggaran daerah kurang baik sedangkan capaian kinerja pembangunan baik. Cluster dua memiliki nilai cluster centroids untuk variabel miskin yang positif, tetapi IDF dan perkapita negatif yang berarti bahwa cluster dua merupakan daerah dengan potensi ekonomi, kemampuan anggaran daerah dan capaian kinerja pembangunan yang kurang baik. Sedangkan cluster tiga, empat dan lima memiliki nilai cluster centroids untuk variabel miskin yang negatif, sedangkan IDF dan perkapita positif yang berarti bahwa cluster tiga, empat dan lima merupakan daerah dengan potensi ekonomi, kemampuan anggaran daerah dan capaian kinerja pembangunan manusianya yang baik. Tabel 26 Nilai cluster centroids dan jumlah kabupaten/kota masing-masing cluster tahun 2008 Variabel Cluster Miskin IDF perkapita Jumlah Kabaupaten/kota Gambar 38 menunjukkan letak kabupaten/kota berdasarkan pengelompokan dengan analisis cluster tahun Provinsi Jawa Timur yang terdiri dari 38 kabupaten/kota terbagi menjadi 5 cluster. Cluster satu terdiri atas 31 kabupaten/kota yang ditunjukkan dengan warna ungu, cluster dua terdiri atas 2 kabupaten dengan warna biru, cluster tiga terdiri atas 3 kabupaten/kota yang ditunjukkan dengan warna hijau dan cluster empat dan lima masing-masing hanya 1 kota yang ditunjukkan dengan warna kuning dan merah.

150 124 Keterangan : 01 Pacitan 02 Ponorogo 03 Trenggalek 04 Tulungagung 05 Blitar 06 Kediri 07 Malang 08 Lumajang 09 Jember 10 Banyuwangi Kabupaten 11 Bondowoso 12 Situbondo 13 Probolinggo 14 Pasuruan 15 Sidoarjo 16 Mojokerto 17 Jombang 18 Nganjuk 19 Madiun 20 Magetan 21 Ngawi 22 Bojonegoro 23 Tuban 24 Lamongan 25 Gresik 26 Bangkalan 27 Sampang 28 Pamekasan 29 Sumenep Kota 71 Kediri 72 Blitar 73 Malang 74 Probolinggo 75 Pasuruan 76 Mojokerto 77 Madiun 78 Surabaya 79 Batu Gambar 38 Pengelompokan kabupaten/kota berdasarkan metode hierarki tahun 2008 Tabel 27 menunjukkan pengelompokan kabupaten kota berdasarkan variabel kemiskinan, keuangan daerah dan pendapatan perkapita. Cluster satu yang mempunyai anggota paling besar dibandingkan daerah lain. Cluster dua terdiri dari Kabupaten Sampang dan Kabupaten Pamekasan. Sedangkan Cluster tiga terdiri dari Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik dan Kota Malang, sedangkan cluster empat dan lima masing-masning adalah Kota Kediri dan Kota Surabaya.

ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR SITI ANNI MAKRIFAH

ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR SITI ANNI MAKRIFAH ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR SITI ANNI MAKRIFAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR SITI ANNI MAKRIFAH

ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR SITI ANNI MAKRIFAH ANALISIS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP PEMBANGUNAN EKONOMI PROVINSI JAWA TIMUR SITI ANNI MAKRIFAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA NELI AGUSTINA

DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA NELI AGUSTINA DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA 2001-2008 NELI AGUSTINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Perkembangan Kinerja Keuangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dari Sisi Penerimaan dan Sisi Pengeluaran Selama masa desentralisasi fiskal telah terjadi beberapa kali perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem desentralistik atau otonomi daerah merupakan salah satu keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut dilatarbelakangi oleh pelaksanaan

Lebih terperinci

DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA NELI AGUSTINA

DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA NELI AGUSTINA DESENTRALISASI FISKAL, TAX EFFORT, DAN PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH: STUDI EMPIRIK KABUPATEN/KOTA SE-INDONESIA 2001-2008 NELI AGUSTINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah dalam mengelola potensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Peralihan masa orde baru ke reformasi memberikan perubahan terhadap pemerintahan Indonesia. Salah satu perubahan tersebut adalah otonomi daerah yang merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22/1999 dan Undang-Undang Nomor 25/1999 telah membawa perubahan yang mendasar dalam pengaturan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. diterapkan otonomi daerah pada tahun Undang-Undang Nomor 32 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan mendasar paradigma pengelolaan keuangan daerah terjadi sejak diterapkan otonomi daerah pada tahun 2001. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang saat ini dalam masa pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dalam perkembangannya senantiasa memberikan dampak baik positif

Lebih terperinci

ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kabupaten/Kota Di Provinsi Banten) DUDI HERMAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem pemerintahan di Indonesia telah dilalui sejak kemerdekaannya 70 tahun yang lalu. Pada tahun 1945 1960, ada dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu yang berisi sumber pendapatan dan penggunaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan tuntutan reformasi di Indonesia, otonomi daerah mulai diberlakukan. Hal ini salah satunya ditandai dengan adanya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut azaz otonomi ini sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang menyebut antara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu harapan cerah bagi pelaksanaan pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki kesempatan untuk mengelola,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka. Puspitasari dkk (2016) menjelaskan bahwa 1. Proses pemungutan Pajak

BAB II. Tinjauan Pustaka. Puspitasari dkk (2016) menjelaskan bahwa 1. Proses pemungutan Pajak BAB II 1. Penelitian Terdahulu Tinjauan Pustaka Puspitasari dkk (2016) menjelaskan bahwa 1. Proses pemungutan Pajak Parkir di Kota Malang telah dilaksanakan dengan baik. Proses pemungutan telah dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam Pendahuluan Sejalan dengan semakin meningkatnya dana yang ditransfer ke Daerah, maka kebijakan terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia

I. PENDAHULUAN. adanya otonomi daerah maka masing-masing daerah yang terdapat di Indonesia 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan suatu penyerahan kewenangan yang diberikan dari pemerintah pusat yang mana dalam pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu bentuk harapan yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia mengacu pada Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menjadi Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH PADA KOTA KEDIRI SEBELUM DAN SESUDAH OTONOMI DAERAH SKRIPSI. Oleh :

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH PADA KOTA KEDIRI SEBELUM DAN SESUDAH OTONOMI DAERAH SKRIPSI. Oleh : ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH PADA KOTA KEDIRI SEBELUM DAN SESUDAH OTONOMI DAERAH SKRIPSI Oleh : YESSICA ADIGUNA PAHLAWI 0513010314/FE/EA FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL

Lebih terperinci

DAMPAK PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP PEREKONOMIAN DI NEGARA-NEGARA ASEAN+3 EVI JUNAIDI

DAMPAK PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP PEREKONOMIAN DI NEGARA-NEGARA ASEAN+3 EVI JUNAIDI DAMPAK PENGELUARAN PEMERINTAH TERHADAP PEREKONOMIAN DI NEGARA-NEGARA ASEAN+3 EVI JUNAIDI PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA ANALISIS PENGARUH KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA PADA 38 KABUPATEN/KOTA DI PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2011 2015 SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan aspek

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Teori Desentralisasi Fiskal a. Defenisi Desentralisasi Menurut UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 1 ayat 7 dan UU No 33 tentang Perimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah baik ditingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota, memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya

I. PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hampir seluruh kewenangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kemandirian Keuangan Daerah 2.1.1.1 Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 bahwa kemandirian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak, wewenang, dan kewajiban daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 tahun 2004, memberikan wewenang seluasnya kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi pemerintah, membangun dan memperbaiki

Lebih terperinci

ANALISA KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH KOTA DEPOK WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT

ANALISA KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH KOTA DEPOK WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT ANALISA KEMAMPUAN KEUANGAN DAERAH KOTA DEPOK WILAYAH PROVINSI JAWA BARAT Lia Ekowati, Cathryna R.B.S, Rodiana Listiawati Jurusan Akuntansi, Politeknik Negeri Jakarta, Depok, 16422 Email: liaekowati@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka dalam kenyataannya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan, pembangunan di segala bidang, dan juga guna mencapai cita-cita bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum,

Lebih terperinci

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU Taryono Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Riau ABSTRAK Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintahan suatu negara pada hakikatnya mengemban tiga fungsi utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk barang dan jasa pelayanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pembangunan daerah (sebagai bagian integral dari pembangunan nasional) pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah sehingga

Lebih terperinci

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI DAERAH DI INDONESIA ACHMAD SOBARI

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI DAERAH DI INDONESIA ACHMAD SOBARI DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI DAERAH DI INDONESIA ACHMAD SOBARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

Pertumbuhan yang telah dicapai dari berbagai kebijakan akan memberi dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja, dan mengurangi angka pengangguran

Pertumbuhan yang telah dicapai dari berbagai kebijakan akan memberi dampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja, dan mengurangi angka pengangguran BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar yang dilakukan pada berbagai program sebagaimana diungkapkan pada bab sebelumnya,

Lebih terperinci

ANALISIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI PROVINSI JAWA TIMUR: PENDEKATAN SEKTORAL DAN REGIONAL SUKMA DINI MIRADANI

ANALISIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI PROVINSI JAWA TIMUR: PENDEKATAN SEKTORAL DAN REGIONAL SUKMA DINI MIRADANI ANALISIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN AGROINDUSTRI PROVINSI JAWA TIMUR: PENDEKATAN SEKTORAL DAN REGIONAL SUKMA DINI MIRADANI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Menurut Halim (2007:232) kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH

ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH Skripsi Diajukan untuk Melengkapi Syarat-Syarat Untuk Mendapat Gelar Sarjana

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Halim (2001) adalah penerimaan yang diperoleh daerah

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN KEUANGAN DAERAH DI JAWA TIMUR PADA MASA DESENTRALISASI FISKAL

PERKEMBANGAN KEUANGAN DAERAH DI JAWA TIMUR PADA MASA DESENTRALISASI FISKAL PERKEMBANGAN KEUANGAN DAERAH DI JAWA TIMUR PADA MASA DESENTRALISASI FISKAL Kuswoyo, Sujarwoto, Abdul Wachid Jurusan Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, Malang E-mail:

Lebih terperinci

DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEREKONOMIAN DI INDONESIA. Oleh SUPARNO

DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEREKONOMIAN DI INDONESIA. Oleh SUPARNO DESENTRALISASI FISKAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP PEREKONOMIAN DI INDONESIA Oleh SUPARNO PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi berkelanjutan. Seluruh negara

Lebih terperinci

ANALISIS BELANJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BENGKULU

ANALISIS BELANJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BENGKULU ANALISIS BELANJA PEMERINTAH DAERAH KOTA BENGKULU Ahmad Soleh Fakultas Ekonomi Universitas Dehasen Bengkulu ABSTRAK Ahmad Soleh; Analisis Belanja Pemerintah Daerah Kota Bengkulu. Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan daerah di Indonesia semakin pesat, seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Kebijakan otonomi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PENDAPATAN DAERAH EMPAT KABUPATEN TERTINGGAL DI PROVINSI JAWA TIMUR

PERKEMBANGAN PENDAPATAN DAERAH EMPAT KABUPATEN TERTINGGAL DI PROVINSI JAWA TIMUR PERKEMBANGAN PENDAPATAN DAERAH EMPAT KABUPATEN.......(Rudy Badrudin) PERKEMBANGAN PENDAPATAN DAERAH EMPAT KABUPATEN TERTINGGAL DI PROVINSI JAWA TIMUR Rudy Badrudin STIE YKPN Yogyakarta Jalan Seturan, Yogyakarta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat

I. PENDAHULUAN. Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat kaitannya dengan apa yang disebut pendapatan daerah. Pendapatan daerah dalam struktur APBD masih merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan daerah adalah komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan dan melancarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan perbaikan yang secara terus menerus menuju pada pencapaian tujuan yang diinginkan. Secara umum tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dirubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang pada awalnya menganut sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi atau dikenal dengan sebutan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tujuan ekonomi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terdiri dari 34 provinsi, 399 kabupaten dan 98 kota pada tahun 2012. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pusat (Isroy, 2013). Dengan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab,

BAB I PENDAHULUAN. pusat (Isroy, 2013). Dengan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dalam era otonomi daerah yang sedang berjalan dewasa ini di Indonesia, pemerintah daerah dituntut untuk mampu menjalankan pemerintahannya secara mandiri. Penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru, yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi Indonesia sangat tergantung pada pembangunan ekonomi daerah. Pembangunan daerah dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan sesuai prioritas dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi Daearh merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah

BAB 1 PENDAHULUAN. pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat menjadi daerah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada saat ini perkembangan akuntansi sektor publik, khususnya di Indonesia semakin pesat dengan adanya era baru dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan kewenangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi politik yang dilancarkan pada tahun 1988 telah berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan dengan pemerintahan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Transfer antarpemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua negara di dunia terlepas dari sistem pemerintahannya dan bahkan sudah menjadi ciri

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Otonomi daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Di Indonesia, adanya desentralisasi pengelolaan pemerintah di daerah dan tuntutan masyarakat akan transparansi serta akuntabilitas memaksa pemerintah baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental

BAB I PENDAHULUAN UKDW. terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang. Menurut Governmental BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan dana merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari manajemen organisasi. Oleh karena itu, anggaran memiliki posisi yang penting sebagai tindakan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan menata kehidupan yang layak bagi seluruh

Lebih terperinci