JUSTIFIKASI DAN METODE PENETAPAN KOMODITAS STRATEGIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "JUSTIFIKASI DAN METODE PENETAPAN KOMODITAS STRATEGIS"

Transkripsi

1 JUSTIFIKASI DAN METODE PENETAPAN KOMODITAS STRATEGIS Pantjar Simatupang PENDAHULUAN Dalam putaran perundingan multilateral dalam naungan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization = WTO), Indonesia memelopori proposal Special Products, yakni sejumlah komoditas strategis yang amat penting untuk hajat hidup orang banyak, baik dari segi lapangan kerja, maupun jaminan perolehan pangan yang cukup, perlindungan, dan dinamisasi kehidupan desa secara berkelanjutan, serta preservasi dan stabilisasi sosial-politik yang sesungguhnya merupakan tujuan utama pembangunan pertanian, dikecualikan dari agenda perundingan lanjutan liberalisasi dan deregulasi perdagangan produk pertanian. Pengecualian tersebut dimaksudkan agar pemerintah suatu negara, negara sedang berkembang khususnya, tetap memiliki fleksibilitas atau kedaulatan dalam menetapkan kebijakan diskresi perihal produksi dan perdagangan sejumlah terbatas produk pertanian yang esensial bagi hajat hidup warga negaranya. Ini merupakan salah satu hak dasar yang mesti dimiliki oleh suatu negara berdaulat. Proposal Indonesia tersebut mendapat dukungan dari banyak negara-negara sedang berkembang. Konsep Special Products dan Strategic Products telah menjelma menjadi senjata diplomasi yang amat ampuh bagi kelompok negara-negara sedang berkembang dalam menghadapi negara-negara maju yang tergabung dalam Uni Eropa dan negara-negara eksportir utama pertanian dalam kelompok Cairns (Cairns group). Kalau negara-negara sedang berkembang kukuh mempertahankannya, Amerika Serikat dan anggota Cairns Group lainnya menentang keras proposal Special and Strategic Products tersebut. Uni Eropa cenderung mengambil posisi dapat memahami namun enggan menyatakan dukungannya. Alasannya, Uni Eropa juga berkepentingan untuk memperlambat proses perluasan dan intensifikasi liberalisasi perdagangan produk pertanian. Perbedaan pendapat mengenai Special and Strategic Products inilah yang menyebabkan Perundingan Tingkat Tinggi WTO di Cancun, Meksiko, pada bulan September 2003 gagal menghasilkan kesepakatan baru. Special and Strategic Products masih akan terus menjadi isu sentral dalam putaran perundingan WTO mendatang. Salah satu argumen utama yang dipakai oposan untuk menolak konsep Special and Strategic Products tersebut ialah tidak adanya indikator dan kriteria obyektif berdasarkan kerangka pikir ilmiah dan berlaku umum dalam penetapan Strategic Products. Praktek yang hingga kini masih dipakai masih berdasarkan penetapan sendiri (self declared), yang amat subyektif dan tidak berlaku umum bagi semua negara. Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk merumuskan kerangka pikir ilmiah, indikator dan kriteria penetapan Strategic Products. Indikator dan kriteria tersebut selanjutnya digunakan 35

2 untuk menjustifikasi kelayakan beras, jagung, kedele dan gula sebagai Strategic Products bagi Indonesia, seperti yang sebelumnya telah ditetapkan sendiri secara subyektif. Konsep ini dapat dipergunakan oleh delegasi Republik Indonesia dalam putaran perundingan WTO untuk memperjuangkan keempat komoditas tersebut sebagai Special Products bagi Indonesia. JUSTIFIKASI SPECIAL PRODUCTS Setelah dilaksanakan hampir satu dekade, kesepakatan GATT/WTO di bidang pertanian (Agreement on Agriculture=AoA) untuk secara signifikan dan berimbang meliberalisasi perdagangan produk-produk pertanian ternyata menimbulkan banyak kekecewaan khususnya bagi negara-negara sedang berkembang. Proteksi dan subsidi produk pertanian, khususnya di negara-negara maju, tidak semakin menurun sehingga menyebabkan harga-harga produk pertanian di pasar dunia menurun tajam, yang selanjutnya telah menimbulkan kebangkrutan petani kecil, pemiskinan dan kerawanan pangan di banyak negara-negara sedang berkembang. Kesepakatan GATT/WTO ternyata menimbulkan persaingan tidak adil yang amat merugikan bagi negara-negara sedang berkembang. Proposal negosiasi special products dimaksudkan untuk memberikan fleksibilitas bagi negara-negara sedang berkembang dalam menetapkan kebijakan diskresi untuk melindungi (proteksi) dan memberdayakan (promosi) sejumlah produk strategis yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak sebagai respon wajar terhadap ancaman persaingan tidak adil. Dengan demikian, special products hendaklah dipandang sebagai mekanisme perlindungan khusus yang fleksibel dan permanen (flexible and permanent special safeguard mechanism). Berikut diuraikan bukti-bukti empiris ketidakseimbangan fasilitasi dan dukungan kebijakan antar kelompok negara maju dan berkembang, serta dampaknya terhadap harga dunia, ekspor-impor, ketahanan pangan dan kehidupan petani di negara-negara sedang berkembang. Bukti-bukti empiris inilah yang menjadi justifikasi obyektif inisiatif special products. 1. Dukungan kepada petani produsen di negara-negara maju tidak menurun nyata. Kesepakatan WTO mestinya akan menurunkan secara nyata dukungan domestik (domestic supports) yang diberikan negara-negara maju untuk mendukung petani produsennya. Fakta menunjukkan dukungan domestik di negara-negara maju masih amat besar dan secara rata-rata tahunan malah menunjukkan peningkatan. Untuk negara-negara OECD, nilai dukungan domestik meningkat dari rata-rata 23 milyar dolar AS per tahun pada periode tahun (pra WTO) menjadi 248 milyar dolar AS per tahun pada periode (masa implementasi kesepakatan WTO. Nilai subsidi domestik terbesar adalah di Amerika Serikat (AS), yang meningkat dari ratarata 42 milyar dolar AS per tahun pada periode tahun menjadi 51 milyar dolar AS 36

3 pada periode tahun atau 21 persen. Di Uni Eropa, nilai subsidi domestik meningkat dari 94 milyar dolar AS per tahun pada periode tahun menjadi 99 milyar dolar AS pada periode tahun atau 5 persen (Tabel 1). Memang nilai subsidi domestik tersebut masih di bawah komitmen kesepakatan. Namun data tersebut merupakan bukti tak terbantahkan bahwa subsidi domestik yang amat besar di negara-negara maju merupakan salah satu penyebab persaingan tidak adil di pasar dunia. Tabel 1. Subsidi Kepada Petani Produsen di Negera-Negara Maju (milyar dolar AS). Kelompok negara Rata-rata Rata-rata OECD Uni Eropa Amerika Serikat Sumber : OECD (2002) Selain subsidi domestik, negara-negara maju juga memberikan subsidi ekspor yang amat besar untuk produk-produk pertaniannya. Tingkat subsidi ekspor tertinggi adalah di Uni Eropa yang mencapai hampir 90 persen dari total nilai subsidi seluruh anggota WTO. Walaupun cenderung menurun dan masih jauh lebih rendah dari ambang komitmen kepada WTO nilai subsidi ekspor masih tergolong amat besar ( Tabel 2) dan menimbulkan distorsi yang signifikan di pasar dunia. Subsidi ekspor menyebabkan disparitas harga antara pasar dunia dan pasar domestik negara-negara maju. Instrumen subsidi ekspor dapat dipandang sebagai fasilitasi untuk praktik dumping yang dilarang WTO. Tabel 2. Nilai subsidi ekspor seluruh anggota WTO dan Uni Eropa (juta dólar AS). Kelompok Negara I. Seluruh anggota WTO : 1. Komitmen 2. Notifikasi 3. Utilisasi (2/1, persen) II. Uni Eropa : 1. Komitmen 2. Notifikasi 3. Utilisasi (2/1, persen) , ,6 Sumber : Dixit, Josling and Blandford (2001) , , , , , , , ,6 Subsidi domestik dan subsidi ekspor merupakan insentif dan promosi yang berkontribusi terhadap peningkatan produksi produk pertanian di Amerika Serikat dan Uni Eropa serta sekaligus menekan harga di pasar dunia. Anjlok harga dunia telah menimbulkan kerugian amat besar terhadap petani di negara-negara sedang berkembang dan ancaman serius terhadap

4 sistem ketahanan pangan mereka. Penghapusan subsidi yang distortif tersebut akan secara nyata meningkatkan harga produk-produk pertanian di pasar dunia (Tabel 3). Dengan perkataan lain, harga dunia yang amat rendah saat ini dan melimpahnya produk pertanian di negaranegara maju merupakan akibat dari praktek persaingan tidak sehat dan tidak adil. Oleh karena itu, selama selama subsidi domestik dan ekspor di negara-negara maju masih tetap besar, selama itu pula negara-negara sedang berkembang berhak atas kebijakan diskresi untuk secara bebas menetapkan kebijakan penyelamatan bagi beberapa produk strategis atau special products. Tabel 3. Peningkatan Harga Produk Pertanian Di Pasar Dunia Pada Berbagai Skenario Liberalisasi (%). Komoditas Liberalisasi penuh Penghapusan tarif global Penghapusan subsidi domestik OECD Penghapusan subsidi ekspor global Terigu 18,1 3,4 12,0 2,0 Beras 10,1 5,9 2,4 1,5 Biji-bijian lain 15,2 1,4 12,2 0,6 Sayuran dan benih 8,2 4,9-0,1 3,0 Minyak nabati 11,2 3,1 7,8 0,1 Gula 16,4 10,9 1,6 3,3 Tanaman lain 5,6 4,2 1,2 0,1 Produk peternakan 23,3 12,2 5,2 3,1 Makanan olahan 7,6 4,8 1,8 1,0 Sumber : Diao, Somwanu and Roe (2002). 2. Kebijakan negara-negara maju telah menimbulkan dampak menghancurkan terhadap sektor pertanian dan perekonomian desa di negara-negara sedang berkembang Kebijakan negara-negara maju untuk terus menberikan subsidi dan proteksi kepada petani domestiknya terbukti telah menimbulkan dampak menghancurkan terhadap sektor pertanian, yang berarti pula perekonomian desa dan kemiskinan petani, di negara-negara sedang berkembang. Secara keseluruhan, kebijakan perdagangan negara-negara maju telah menyebabkan para petani dan pengusaha agroindustri di negara-negara sedang berkembang menderita kehilangan pendapatan sebesar 23,486 milyar dolar AS per tahun (Tabel 4). Ini masih berupa perkiraan minimal yang belum memperhitungkan efek dinamis dan efek keterkaitan dengan sektor-sektor lain. Oleh karena merupakan penyedia utama lapangan kerja dan motor penggerak perekonomian desa, dapat dipastikan anjloknya produksi pertanian dan agroindustri berdampak amat buruk terhadap kehidupan penduduk maupun perekonomian desa. Persoalan menjadi semakin parah karena penduduk miskin di negara-negara sedang berkembang terutama menggantungkan kehidupannya pada usaha pertanian dan atau agribisnis. Dapat dipastikan kebijakan perdagangan negara-negara maju telah menimbulkan kesengsaraan bagi jutaan atau mungkin milyaran penduduk. Hal ini jelas bertentangan dengan kesepakatan global untuk 38

5 menurunkan jumlah penduduk miskin sebagaimana dituangkan dalam deklarasi milenium development goals (MDG) oleh Perserikatan Bangsa-bangsa. Tabel 4. Dampak Kebijakan Liberalisasi Perdagangan Negara-Negara Maju Terhadap Pendapatan Dan Produksi Pertanian Primer Dan Agroindustri Di Negara-Negara Sedang Berkembang (juta dolar AS). Kawasan Amerika Serikat Liberalisasi Perdagangan Uni Eropa Jepang dan Korea Seluruh negara industri Subsahara Afrika Asia Amerika Latin dan Karibia Negara berkembang lain Seluruh negara sedang berkembang Sumber : IFPRI (2003) Kebijakan negara-negara maju telah menyebabkan fundamental ekonomi makro negaranegara sedang berkembang semakin rawan (vulnerable). Konsisten dengan penurunan produksi, kebijakan perdagangan pertanian negara-negara maju juga menimbulkan dampak amat buruk terhadap neraca perdagangan negara-negara sedang berkembang. Kebijakan perdagangan negara-negara maju tersebut telah banyak menyebabkan negara-negara sedang berkembang menderita kerugian penurunan neraca perdagangan produk pertanian sebesar 60,8 milyar dolar AS per tahun. Penghapusan proteksi dan subsidi negara-negara maju dapat meningkatkan neraca perdagangan produk pertanian negara-negara sedang berkembang menjadi tiga kali lipat (Tabel 5). Hal ini telah menyebabkan kerawanan neraca pembayaran (balance of payments) negara-negara sedang berkembang yang penurunan devisanya terutama berasal dari ekspor produk pertanian. Tabel 5. Dampak kebijakan perdagangan negara-negara maju terhadap neraca perdagangan negara-negara sedang berkembang (milyar dolar AS per tahun). Kawasan Amerika Serikat Liberalisasi perdagangan Uni Eropa Jepang dan Korea Nilai Peningkatan (%) Subsahara Afrika 8,1 9,6 7,6 10,7 45 Asia 12,7 15,6 15,6 22,8 85 Amerika Latin dan Karibia 37,1 29,2 32,5 46,4 47 Negara berkembang lain (29,4) (21,4) (30,1) (9,1) 38 Seluruh negara berkembang 31,4 42,6 25,7 60,8 198 Sumber : IFPRI (2003). 39

6 Bagi negara-negara sedang berkembang dimana sektor pertanian masih cukup dominan dalam penciptaan Produk Domestik Bruto (PDB), penyediaan lapangan kerja dan perolehan devisa, maka dampak kebijakan proteksi dan subsidi pertanian negara-negara maju tentu jauh lebih buruk lagi. Kebijakan proteksi dan kebijakan perdagangan negara maju tidak saja melumpuhkan perekonomian desa tetapi juga perekonomian makro secara keseluruhan. Fundamental ekonomi makro yang rawan amat beresiko terperosok kedalam krisis ekonomi yang dapat berkelanjutan menjadi krisis multi dimensi ekonomi-sosial politik. Kebijakan subsidi dan proteksi negara-negara maju bersifat ofensif terhadap negaranegara sedang berkembang (beggar they neighbour policy). Kebijakan they neighbour policy sungguh tidak etis dan tidak adil. Oleh karena itu, negara-negara sedang berkembang memiliki hak membela diri. Proposal special products dapat dipandang sebagai dasar untuk mempertahankan hak azasi untuk membela diri (the right to protect) atas kebijakan ofensif negara lain (Khan, et.al, 2003). 4. Fasilitas perlindungan keselamatan khusus (special safeguard) yang tersedia di dalam kesepakatan pertanian Putaran Uruguay yang kurang memadai dan pemanfaatannya amat sukar bagi negara-negara sedang berkembang. Dalam kesepakatan pertanian Putaran Uruguay (Article 5) dan Article XIX GATT (Agreement on Safeguards) memang tersedia mekanisme perlindungan keselamatan khusus (special safeguard = SSG) yang dapat digunakan setiap negara anggota untuk melakukan kebijakan penyelamatan bila implementasi komitmen WTO menimbulkan dampak berbahaya (injury) seperti lonjak impor (import surge) dan atau anjlok harga (sharp price fall). Pada kondisi demikian, negara yang memenuhi syarat dapat menetapkan tarif impor tambahan, menunda atau memperlambat proses tarifikasi. Fasilitas perlindungan ini memang tersedia untuk semua anggota WTO. Namun demikian, mekanisme SSG amat sukar dimanfaatkan negara-negara sedang berkembang karena setidaknya tiga alasan : a. Proses administratif pemanfaatan SSG cukup rumit, membutuhkan dana, kapasitas institusi dan kemampuan legal yang cukup tinggi (Matthews, 2003 ; Khan, et.al. 2003). b. Karena prosesnya panjang, kerusakan (injury) sudah terjadi lama sebelum instrumen perlindungan efektif (Konandreas, 2000). c. SSG bersifat terbatas, hanya berlaku untuk produk yang sedang mengalami proses tarifikasi dalam rangka memenuhi ketentuan WTO. d. SSG bersifat khusus resiko, yakni menanggulangi banjir impor (import surge) dan anjlok harga. e. SSG berlaku sementara (selama proses penyesuaian tarifikasi). Dengan persyaratan demikian, tidak semua negara sedang berkembang dapat memanfaatkan mekanisme SSG. Kalaupun dapat, hanya sejumlah produk tertentu saja yang 40

7 dapat dilindungi dengan fasilitas SSG. Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6, SSG hanya tersedia untuk 38 negara anggota, 22 negara diantaranya merupakan negara sedang berkembang. Ironisnya jumlah produk yang dapat dilindungi dengan fasilitas SSG lebih banyak untuk negara-negara maju daripada negara-negara sedang berkembang. Dari total produk layak lindung SSG, hanya (31,8 %) terbuka untuk negara-negara sedang berkembang, sementara negara-negara maju (68,2 %). Tabel 6. Daftar Negara Dan Jumlah Produk Yang Dapat Memperoleh Perlindungan SSG. Australia (10) Barbados (37) Bostwana (161) Bulgaria (21) Canada (150) Colombia (56) Costa Rica (87) El Savador (84) EC 15 (539) Guatemala (107) Hungary (117) Iceland (462) Indonesia (13) Israel (41) Mexico (293) Marocco (274) Namibia (166) New Zealand (4) Nicaragua (21) Norway (581) Panama (6) Czech Republic Japan (121) Phillipines (118) (236) Korea (111) Poland (144) Ecuador (7) Malaysia (72) Romania (175) Catatan : Angka didalam kurung adalah jumlah produk. Slovak Republic (114) South Africa (166) Swaziland (166) Switzerland (961) Thailand (52) Tunisia (32) United States (189) Uruguay (2) Venezuela (76) Baik dari segi eligibilitas dan cakupan produk maupun dari segi kemampuan institusional dan legal, fasilitas SSG dalam kesepakatan pertanian tidak berimbang, bias, lebih menguntungkan negara-negara maju. Dengan berbagai keterbatasan dan dan ketidakadilan itulah perlu ada kesepakatan baru yang memungkinkan semua negara-negara sedang berkembang dapat dengan cepat, mudah dan murah melakukan tindakan atau kebijakan penyelamatan terhadap ancaman perusakan oleh anjlok harga atau banjir impor akibat implementasi kesepakatan pertanian. Proposal special products adalah opsi yang tepat untuk itu. 5. Segera setelah kesepakatan pertanian (agreement on agriculture) WTO mulai di implementasikan, harga produk pertanian cenderung menurun tajam dan berkelanjutan dan insiden banjir impor (import surge) pangan di negara-negara sedang berkembang meningkat drastis. Periode implementasi kesepakatan pertanian (agreement on agriculture) WTO ditandai oleh munculnya fenomena trend penurunan harga prooduk-produk pertanian di pasar dunia secara tajam dan berkelanjutan, tidak saja dalam nilai riil tapi juga dalam nilai nominal. Sebagai gambaran, selama periode tahun , harga riil beras anjlok lebih dari 50 persen, harga 41

8 riil jagung hampir 50 persen, harga riil kedele sekitar 30 persen, sedangkan harga riil gula sekitar 20 persen (Tabel 7, Tabel 8, Gambar 1, Gambar 2). Dapat dipastikan, anjlok harga ini meruoakjan akibat dari liberalisasi perdagangan dan persaingan tidak sehat. Kecendrungan penurunan harga dunia yang demikian tajam dan berkelanjutan merupakan ancaman permanen yang amat membahayakan bagi negara-negara sedang berkembang, tidak saja yang berstatus importir netto, tetapi juga yang termasuk eksportir utama dunia. Kesepakatan pertanian WTO telah membuat sektor pertanian dan agroindustri di negaranegara sedang berkembang semakin rawan (vulnerable) terhadap ancaman anjlok harga berkepanjangan. Keharusan membuka pasar telah menyebabkan dinamika harga dunia ditransasksikan langsung dan sempurna ke pasar konsumen maupun petani produsen di seluruh negara-negara anggota WTO. Petani di negara-negara maju maju jelas mampu bertahan menghadapi anjlok harga berkepanjangan tersebut karena tidak saja memiliki skala usaha yang amat besar tetapi juga karena mereka memperoleh subsidi dan proteksi yang amat besar. Sebaliknya petani di negaranegara sedang berkembang umumnya berupa usahatani keluarga berskala kecil dan, kalaupun ada, memperoleh subsidi dan proteksi amat kecil. Dengan demikian, dampak kecendrungan penurunan harga produk pertanian di pasar dunia berdampak jauh lebih buruk terhadap petani, sektor pertanian dan perekonomian desa di negara-negara sedang berkembang daripada di negara-negara maju. 42

9 Tabel 7. Perkembangan Harga Beras Thai 25 %, Kedele, Jagung dan Gula Internasional Nominal Nominal Nominal Nominal Riil Riil Riil Riil IHK 84 = Thai 25 Kedele Jagung Gula 100 Thai 25 Tahun Kedele Jagung Gula % % ( US$/MT) ( US$/MT) Rataan Sumber : World bank (2003). 43

10 Tabel 8. Perkembangan Harga Beras Thai 25 %, Kedele, Jagung dan Gula , 1996 = 100. Tahun Thai 25 % Harga Nominal Kedele Jagung Gula IHK USA, 1984 = 100 Thai 25 % Harga Riil Kedele Jagung ( US$/MT) ( US$/MT) Sumber : WorldBank, (2003). Gula 44

11 Grafik Indek Harga Riil Internasional Beras Thai 25%, Kedele, Jagung dan Gula , 1996 = Indek (%) Tahun Beras Thai 25 % Kedele Jagung Gula 45

12 Grafik Indek Harga Nominal Internasional Beras Thai 25%, Kedele, Jagung dan Gula , 1996 = Indek (%) Tahun Beras Thai 25% Kedele Jagung Gula 46

13 Tabel 9. Kasus Insiden Banjir Impor Pangan Di Negara-Negara Sedang Berkembang. Negara Terigu Beras Jagung Minyak nabati Daging sapi Daging babi Daging ayam Susu Bangladesh Benin Bostwana Burkina Faso Cape verde Comoros Cote d Ivoire Dominican Republic Guinea Guinea Bissau Haiti Honduras Jamaica Kenya Madagascar Malawi Mali Mauritania Mauritius Marocco Niger Peru Philippines Togo Uganda Unitred Republic of Tanzania Zambia Sumber : FAO (2003). Perbedaan antara keharusan membuka pasar dan anjlok harga di pasar dunia telah menyebabkan banyak negara-negara sedang berkembang kebanjiran impor (import surge). Ironisnya, banjir impor terutama terjadi untuk produk bahan makanan utama sumber energi, protein dan vitamin. Bukti empiris di tentang fenomena tingginya frekuensi banjir impor di tunjukkan pada Tabel 9. Secara rata-rata, insiden impor terjadi sekali dalam tiga tahun. Penelitian yang dilakukan oleh FAO (2003) tersebut juga menyimpulkan bahwa frekuensi insiden banjir impor tersebut terjadi lebih sering setelah periode tahun 1994, pasca implementasi kesepakatan pertanian WTO. 47

14 Insiden banjir impor merupakan salah satu indikator utama faktor resiko sistem ketahanan pangan nasional. Banjir impor yang terjadi berkelanjutan menyebabkan melonjaknya ketergantungan terhadap bahan pangan impor atau anjloknya kemandirian pangan yang berdampak pada semakin rawannya (vulnerable) sistem ketahanan pangan nasional terhadap ketersediaan dan fluktuasi harga produk pangan di pasar dunia. Ketahanan pangan nasional semakin rawan terhadap kebijakan strategis (misalnya penggunaan ekspor pangan sebagai senjata politik) oleh negara-negara eksportir pangan utama. Fenomena peningkatan insiden banjir impor di negara-negara sedang berkembang merupakan bukti empiris yang tak terbantahkan bahwa mekanisme SSG yang terdapat dalam kesepakatan pertanian (AoA) tidak efektif untuk mencegah dampak negatif liberalisasi perdagangan terhadap sistem ketahanan pangan negara-negara sedang berkembang. OPSI CARA PENETAPAN PRODUK STRATEGIS Setidaknya ada empat proposal mengenai cara penetapan produk strategis yang layak dijadikan sebagai Special Products 1. Pendekatan daftar positif (positive list approach) Negara-negara sedang berkembang menetapkan sendiri (self-declared) produk-produk pertanian apa saja yang termasuk dalam dan tunduk kepada kesepakatan WTO 2. Pendekatan daftar negatif (negative list approach) Negara-negara sedang berkembang menetapkan sendiri (self-declared) sejumlah terbatas produk strategis yang dikecualikan dari kesepakatan pertanian WTO. 3. Pendekatan kelompok produk (product grouping definition) Sejumlah terbatas produk dalam suatu kelompok, misalnya kelompok serealia, termasuk beras, ditetapkan layak mendapatkan status perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment). 4. Pendekatan kriteria obyektif (objective criteria approach). Komoditas strategis yang layak dijadikan sebagai Special Products ditetapkan berdasarkan kriteria obyektif, dapat diukur secara kuantitatif, serta menggunakan data empiris yang tersedia di negara-negara sedang berkembang pada umumnya dan terbuka bagi siapa saja. Opsi-1 dan opsi-2 dapat dilakukan dengan suatu kriteria tertentu. Opsi-1 misalnya dapat menggunakan kriteria umum ambang atas pangsa ekspor di pasar dunia. Opsi-2 antara lain dapat menggunakan batasan makanan pokok. Namun demikian, kedua opsi ini bersifat subyektif. Selain itu, jumlah produk yang potensial layak dijadikan Special products mungkin terlalu banyak sehingga dipandang sebagai suatu kemunduran dari keberhasilan kesepakatan pertanian WTO. 48

15 Opsi-3 dapat ditetapkan berdasarkan konsensus umum, untuk keperluan jaminan ketahanan pangan. Kesulitannya, kalau hanya berdasarkan kriteria bahan makanan pokok maka produk lain yang mungkin saja memiliki peran strategis untuk kehidupan masyarakat miskin menjadi tidak layak sebagai Special Products. Selain itu, kriteria yang digunakan terlalu umum, sehingga yang layak dijadikan sebagai Special Products mungkin terlalu banyak. Opsi-4 bersifat obyektif sehingga dapat dijadikan sebagai pedoman umum yang dapat diuji oleh siapapun. Masalahnya ialah bagaimana menetapkan indikator dan kriteria yang dapat diterima semua pihak. Indikator komoditas strategis mungkin berbeda bagi setiap negara tergantung pada kondisi ekonomi, sosial dan politik masing-masing negara. Selain itu, data statistik untuk perhitungan indikator belum tersedia di semua negara sedang berkembang. Setiap opsi mengandung kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dilihat dari segi kepraktisan Opsi-2, pendekatan daftar negatif, mungkin merupakan cara paling sesuai untuk menetapkan komoditas strategis yang layak dijadikan sebagai Special Products. Dalam konteks ini, setiap negara sedang berkembang diperbolehkan menetapkan sendiri (self-declared), sejumlah terbatas komoditas strategis yang amat sangat menentukan ketahanan pangan nasionalnya. Batasan jumlah produk dapat ditetapkan berdasarkan konsensus perundingan, sedangkan pemilihan produk dilakukan dengan kriteria obyektif tertentu. Barangkali, pendekatan inilah yang dilakukan oleh Indonesia dalam menetapkan beras, jagung, kedele dan gula sebagai komoditas strategis pada putaran perundingan terdahulu. Walaupun cukup pragmatis dan layak diusulkan negara-negara sedang berkembang, pendekatan Opsi-2 dengan pendekatan luas tersebut mendapatkan tantangan keras dari negara-negara maju. Negara-negara maju hanya mau mempertimbangkan proposal Special Products jika penetapan produk strategis yang layak mendapat perlakuan khusus dan berbeda dilakukan berdasarkan kriteria obyektif (opsi-4). Indikatir dan kriteria haruslah di tetapkan berdasarkan kerangka pikir yang logis, mengacu pada tujuan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia (basic needs), dapat diukur secara kuantitatif, dengan data yang tersedia di setiap negara dan dapat diakses oleh semua pihak. Desakan untuk mempergunakan pendekatan kriteria obyektif (opsi-4) dapat dipahami sebagai strategi untuk membatasi jumlah produk yang layak dijadikan sebagai Special Products. Pandangan ini wajar karena jika jumlah produk kategori Special Products terlalu banyak maka kesepakatan pertanian mengalami kemunduran. Selain itu, dengan pendekatan kriteria obyektif maka penilaian, memonitoring dan evaluasi kelayakan Special products dapat dilakukan oleh semua pihak berkepentingan. Namun demikian, penurunan indikator dan kriteria yang valid, praktis, dan dapat diterima semua anggota WTO bukanlah pekerjaan mudah. 49

16 INDIKATOR DAN KRITERIA OBYEKTIF PRODUK STRATEGIS Metoda obyektif dalam penetapan produk strategis yang layak dijadikan Strategic Products haruslah dirancang dengan kisi-kisi pokok sebagai berikut : 1. Berlaku umum (generalized application). Metode yang dibuat haruslah diterima dan berlaku bagi setiap anggota WTO yang layak mendapatkan perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment) yakni seluruh negara-negara sedang berkembang. Syarat ini mutlak harus dipenuhi sebagai implementasi dari prinsip dasar persamaan hak, kewajiban dan perlakuan bagi semua anggota WTO. Oleh karena itu, indikator dan kriteria haruslah memenuhi syarat-syarat berikut : a. Berkorelasi erat atau koheren dengan tujuan pembangunan yang secara universal telah disiapkan sebagai prioritas pembangunan global yakni pemantapan ketahanan pangan (food security), kehidupan penduduk (people livelihood), serta pembangunan desa yang stabil dan berkelanjutan (stable and sustainable rural development). b. Dapat diukur secara kuantitatif dengan prosedur sederhana dan mudah. Untuk itu, indikator terpilih haruslah didasarkan pada variabel yang telah umum digunakan dalam evaluasi kinerja pembangunan negara-negara sedang berkembang. Rumusrumus perhitungan indikator dan penetapan kriteria haruslah sesederhana mungkin sehingga perhitungan dapat dilakukan oleh juru runding atau teknisi umum dengan cepat. 2. Dapat dijadikan dasar pemikiran obyektif (objective judgment) oleh semua pihak berkepentingan. Prinsip ini dimaksudkan agar penetapan komoditas strategis tidak dilakukan secara sembarangan oleh anggota WTO yang layak untuk mendapatkan perlakuan khusus dan berbeda. Semua pihak yang berkepentingan dapat melakukan pengujian apakah usulan produk strategis memang sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati. Oleh karena itu, indikator yang digunakan haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Didasarkan pada variabel yang data statistiknya tersedia di seluruh negara-negara sedang berkembang. b. Data statistik yang diperlukan dapat diakses oleh semua pihak yang berkepentingan. 3. Selektif. Indikator dan kriteria yang digunakan harus bersifat selektif sehingga jumlah produk yang memenuhi syarat sebagai komoditas strategis terbatas pada yang benar-benar amat sangat penting saja. Pembatasan jumlah produk amat penting, karena kalau tidak, kesepakatan pertanian WTO akan mengalami kemunduran nyata. Hal ini jelas akan mendapatkan tantangan luas dari anggota-anggota dominan WTO. Untuk itu, kriteria 50

17 batasan ambang (threshold) penentuan komoditas strategis haruslah didasarkan pada norma konsensus historis, bukti empiris atau bukti akademis. 4. Kondisional. Keberadaan suatu poroduk sebagai komoditas strategis atau Special Products bersifat tidak permanen, sepanjang masa. Peran strategis suatu produk bersifat dinamis meningkat atau minimum, tergantung pada kondisi struktur dan tingkat kemajuan negara bersangkutan. Jumlah dan jenis produk yang memenuhi syarat sebagai produk pertanian strategis dapat berubah menurut waktu. Oleh karena itu, indikator yang digunakan dapat berlaku untuk setiap komoditas pertanian, di setiap negara, pada setiap tahapan pembangunan. Telah dikemukakan, tiga tujuan pembangunan yang secara universal diterima sebagai prioritas dan mutlak untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, di negara-negara sedang berkembang khususnya, yakni ketahanan pangan (food security), penghapusan kemiskinan / peningkatan kualitas hidup manusia (poverty eradication / people livelihood improvement), dan pembangunan desa berkelanjutan (sustainable rural development). Ketiga prioritas tujuan pembangunan tersebut saling berkaitan. Ketahanan pangan aling pengaruhmempengaruhi dengan kemiskinan maupun dengan pembangunan desa. Walaupun demikian, kiranya dapat diidentifikasi variabel pembangunan atau indikator yang paling berkorelasi erat dengan setiap tujuan pembangunan tersebut. Indikator yang paling tepat untuk mencirikan peranan suatu produk dalam pemantapan ketahanan sistem pangan ialah kontribusinya dalam penyediaan zat gizi, utamanya kalori dan protein, bagi penduduk. Tegasnya, kontribusi suatu produk dalam penyediaan total kalori dan atau protein secara nasional dapat merupakan indikator yang tepat untuk peranan ketahanan pangan. Data statistik untuk itu tersedia untuk semua negara dalam pengkalan data FAO sehingga dapat dihitung secara empiris dan berlaku umum untuk semua negara. Indikator yang paling sesuai untuk mengukur peranan suatu produk pertanian dalam pengentasan kemiskinan atau perbaikan kehidupan penduduk (poverty eradication and people livelihood improvement) ialah kontribusinya dalam penciptaan lapangan kerja. Perolehan lapangan kerja merupakan syarat mutlak untuk memperoleh pendapatan, yang berarti syarat mutlak untuk penghapusan kemiskinan dan perbaikan tingkat kehidupan ekonomi. Kontribusi (pangsa dalam persen) suatu produk dalam total serapan tenaga kerja sektor pertanian dapat dijadikan sebagai ukuran derajat peran strategisnya dalam penghapusan kemiskinan dan atau perbaikan kualitas kehidupan ekonomi penduduk. Peran suatu produk pertanian dalam dinamisasi perekonomian desa dapat diukur berdasarkan kontribusniya dalam total nilai hasil produk pertanian. Perekonomian desa umumnya berbasis pada usaha pertanian. Jika demikian halnya, besaran perekonomian suatu desa ditentukan oleh nilai produksi hasil usaha pertanian yang ada di desa tersebut. Semakin 51

18 tinggi pangsa suatu produk pertanian dalam total nilai produksi pertanian, semakin penting peranan produk tersebut dalam mendinamisasi perekonomian desa secara nasional. Kontribusi yang diukur dengan persentase pangsa menunjukkan peranan relatif dalam nilai absolut pada suatu waktu tertentu. Selain dalam nilai absolut, kinerja pembangunan juga diukur berdasarkan derajat kerawanan (vulnerability), kerapuhan (fragility), dan keberlanjutan (sustainability). Derajat kerawanan dapat diukur dengan indikator ketergantungan impor (import dependenc). Semakin besar ketergantungan terhadap impor, semakin rentan produk tersebut terhadap cekaman gejolak pasar internasional. Kerapuhan (fragility) menunjukkan derajat ketahahan suatu produk dalam menghadapi gejolak pasar internasional. Kerapuhan antara lain dapat diukur dengan fluktuasi insiden banjir impor (import surge incidence). Insiden banjir impor mencerminkan ketidakmampuan suatu produk dalam menghadapi desakan penetrasi produk pesaing dari negara lain. Semakin tinggi fluktuasi, insiden banjir impor suatu produk, semakin rapuh eksistensi usaha atau produk tersebut di dalam negeri. Keberlanjutan (sustainability) merupakan indikator eksistensi usaha atau produksi domestik dalam jangka panjang. Secara sederhana, keberlanjutan dapat di ukur berdasarkan trend produksi menurut waktu. Produk yang volume produksinya semakin menurun berkepanjangan merupakan petunjuk produk tersebut sedang dalam ancaman keberlanjutan eksistensi. Semakin tinggi trend laju penurunan produksi, semakin cepat produk tersebut mencapai titik kepunahannya. Koefisien trend pertumbuhan produksi dapat dihitung dengan regresi sederhana. Berdasarkan uraian diatas, diusulkan 6 (enam) indikator penciri produk strategis, yaitu : 1. Persentase pangsa dalam nilai total produksi pertanian domestik (peranan dalam perekonomian desa). 2. Presentase pangsa dalam penyediaan zat gizi, kalori dan protein (peranan dalam ketahanan pangan). 3. Persentase pangsa dalam total serapan tenaga kerja sektor pertanian (peranan dalam pengentasan kemiskinan atau kehidupan penduduk). 4. Ketergantungan terhadap impor (kerentanan). 5. Insiden banjir impor (kerapuhan). 6. Trend pertumbuhan (keberlanjutan). Tiga indikator pertama menunjukkan kontribusi relatif suatu produk dalam menentukan dinamika perekonomian desa, memantapkan ketahanan pangan dan peningkatan kesejahteraan ekonomi penduduk, tiga indikator utama yang disepakati luas sebagai tujuan utama pembangunan pertanian. Pertanyaan selanjutnya ialah apa kriteria yang tepat untuk menetapkan signifikan tidaknya kontribusi tersebut?. Dalam hal ini norma yang dapat digunakan antara lain ialah derajat nyata yang umum dipakai dalam statistik : 52

19 a. Kurang dari 5 persen : kontribusi tidak nyata b persen : kontribusi nyata c. Lebih dari 10 persen : kontribusi besar. Berdasarkan norma tersebut, kriteria yang dapat dipakai untuk menetapkan suatu produk layak disebut sebagai komoditas strategis adalah sebagai berikut : a. Berkontribusi besar (pangsa lebih dari 10 persen) dalam setidaknya satu dari tiga indikator tujuan pembangunan pertanian. b. Berkontribusi nyata (pangsa lebih dari 5 persen) dalam setidaknya dua dari tiga indikator tujuan utama pembangunan. Jika untuk setiap poin persentase diberi nilai skor satu, maka ambang minimum jumlah skor kontribusi agar suatu produk memenuhi syarat kecukupan sebagai produk strategis adalah 10 (Tabel 10). Ketergantungan terhadap impor dihitung sebagai rasio (persen) nilai impor di dalam total konsumsi (pasokan) domestik. Usaha produksi domestik atau sistem ketahanan pangan nasional dikatakan rawan terhadap gejolak pasar dunia jika ketergantungan impor lebih dari 10 persen. Jika untuk setiap poin persentase ketergantngan impor diberi nilai skor satu, maka kriteria ambang maksimum agar suatu produk pertanian dapat dikatakan rawan terhadap proses liberalisasi sehingga layak di lindungi melalui perlakuan Special Products adalah 10. Insiden banjir impor (import surge) diidentifikasi sebagai kasus lonjak impor yang mencapai lebih dari 20 persen diatas rata-rata bergerak 5 tahun (5-year moving average). Insiden banjir impor merupakan cermin kerapuhan (fragility) usaha produksi domestik terhadap penetrasi barang impor. Insiden banjir impor dihitung untuk suatu periode yang cukup panjang (15-20 tahun). Suatu produk dikatakan rapuh jika frekuensi insiden banjir impor mencapai 25 persen atau lebih. Trend pertumbuhan produksi adalah laju pertumbuhan eksponensial sejak tahun 1995 (pasca implementasi kesepakatan WTO). Dalam prakteknya, laju pertumbuhan di hitung sebagai hasil dugaan koefisien regresi logaritma produksi terhadap tahun. Suatu produk dikatakan berada dalam ancaman ketidakberlanjutan eksistensi jika koefisien pertumbuhan nyata dan bertanda negatif. Rangkuman indikator dan kriteria Special products ditampilkan pada Tabel 10. Tabel 10. Indikator dan kriteria produk strategis (SP). Indikator Kisaran skor Kriteria SP > > Pangsa dalam nilai produksi pertanian 2. Pangsa dalam nilai zat gizi (max, a,b) a. Kalori b. Protein 3. Pangsa dalam penyerapan tenaga kerja pertanian 4. Jumlah pangsa (1+2+3) 5. Ketergantungan terhadap impor 6. Frekuensi banjir impor 7. Trend pertumbuhan produksi > 10 > 10 > 10 > 25 Negatif

20 Uji kelayakan Beras, Jagung, Kedele dan Gula Sebagai Produk Strategis Bagi Indonesia Metode obyektif penentuan produk strategis yang telah dirumuskan pada bagian terdahulu selanjutnya di pergunakan untuk menguji kelayakan beras, jagung, kedele dan gula sebagai produk strategis bagi Indonesia sebagaimana telah dideklarasikan secara subyektif oleh delegasi pemerintah pada putaran perundingan WTO. Evaluasi dengan metode obyektif ini amat penting sebagai bahan pertimbangan bagi delegasi pemerintah Republik Indonesia (DELRI) dalam perundingan lanjutan di masa mendatang. Hasil perhitungan indikator kontribusi dalam nilai produksi pertanian (pembangunan desa), konsumsi zat gizi (ketahanan pangan) dan penyerapan tenaga kerja (pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan) ditampilkan pada Tabel 11. Beras terbukti sebagai kontributor utama (major contributor) untuk ketiga indikator tujuan utama pembangunan. Nilai produksi beras mencapai 28,28 persen dari total nilai produksi pertanian yang berarti beras merupakan mesin penggerak sebagian besar perekonomian desa. Beras merupakan penyumbang utama zat gizi, baik kalori (51,42 persen) maupun protein (43,39 persen). Agribisnis beras juga penyumbang utama lapangan kerja sektor pertanian dengan pangsa 30 persen. Tidak dapat terbantahkan beras merupakan komoditas strategis bagi Indonesia. Tabel 11. Kontribusi Beras, Jagung, Kedele dan Gula Dalam Indikator Kinerja Pembangunan. Komoditi Nilai produksi pertanian (%) Konsumsi zat gizi (%) Kalori Protein Penyerapan tenaga kerja Jumlah skor = 1+Max(2,3)+4 Beras * * * * * Jagung ,79 * Kedele * * Gula 3,27 6,19 0,07 2,42 12,88 * Catatan : *) menunjukkan kelayakan sebagai produk strategis Sumber data : Nilai produksi dan serapan tenaga kerja dari Tabel Input-Output 2000, BPS. Konsumsi zat gizi dari Neraca Bahan Makanan, FAO. Ketergantungan terhadap impor beras tergolong rendah, atau tingkat kemandirian akan beras tergolong tinggi. Namun demikian, frekuensi banjir impor beras tergolong tinggi yakni 40 persen atau dua kali dalam lima tahun selama periode tahun (Tabel 12). Produksi beras masih mengalami pertumbuhan positif, yang berarti ketidakberlanjutan belum menjadi ancaman nyata. Tingginya insiden banjir impor menunjukkan bahwa usahatani padi atau 54

21 produksi beras tergolong rapuh. Oleh karena itu, beras amat memerlukan jaring pengaman kebijakan, sehingga layak dimasukkan sebagai Special Product. Kontribusi jagung, dalam nilai produksi pertanian tergolong kecil, hanya 2,86 persen. Namun sebagai bahan makanan pokok dan penciptaan lapangan pekerjaan kontribusi jagung cukup besar yakni berturut-turut 8,23 persen dan 5,70 persen. Dengan indikator tunggal jagung tidak termasuk produk strategis. Akan tetapi dengan indikator agregat, jumlah kontribusi nilai produksi, zat gizi dan tenaga kerja, jagung memenuhi syarat sebagai komoditas strategis dengan jumlah skor 16,79. Ketergantungan impor terhadap jagung tergolong rendah, hanya 5,89 persen. Produksi jagung juga mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Namun demikian, insiden banjir impor jagung amat tinggi dengan frekuensi 50 persen atau terjadi tiap dua tahun. Usahatani dan produksi jagung termasuk amat rendah sehingga amat rentan terhadap gejolak pasar luar negeri. Oleh karena itu, jagung layak dimasukkan sebagai salah satu produk strategis bagi Indonesia. Kedele merupakan salah satu bahan pangan utama sumber protein bagi penduduk Indonesia dengan kontribusi 11,60 persen. Dengan indikator kontribusi terhadap zat gizi saja, kedele memenuhi syarat sebagai komoditas strategis. Kontribusi dalam nilai produksi pertanian tergolong kecil, hanya 2,83 persen, sedangkan dalam penciptaan lapangan kerja tergolong cukup nyata yakni 5,59 persen. Kedele tergolong rawan dan rentan terhadap gejolak pasar internasional. Tingkat ketergantungan terhadap impor amat tinggi, mencapai 45,69 persen, demikian juga dengan frekuensi insiden banjir impor, yang mencapai 45 persen atau hampir sekali tiap dua tahun. Kedele juga terancam oleh masalah ketidakberlanjutan seperti yang di indikasikan oleh trend pertumbuhan produksi negatif. Dengan demikian, kedele layak dijadikan sebagai salah satu Special Products bagi Indonesia. Dengan indikator tunggal, gula tidak layak sebagai produk strategis bagi Indonesia. Kontribusi produksi gula dalam nilai produksi pertanian hanya 3,27 persen, kalori 6,19 persen, dan penyerapan tenaga kerja 2,42 persen. Namun demikian, dengan menggunakan indikator agregat, gula layak disebut sebagai komoditas strategis dengan jumlah skor ketiga indikator tunggal 12,88 persen. Ketergantungan terhadap impor gula amat tinggi, yakni 42,05 persen, yang berarti gula amat rawan terhadap gejolak pasar internasional. Frekuensi insiden impor juga amat tinggi, mencapai 60 persen, terjadi tiap dua tahun. Produksi gula juga terancam tidak berkelanjutan sebagaimana ditunjukkan oleh trend produksi yang menurun. Dengan demikian, gula amat mendesak ditempatkan sebagai salah satu Special products bagi Indonesia. 55

22 Tabel 12. Indikator Kerawanan, Kerapuhan dan Keberlanjutan Produksi Beras, Jagung, Kedele Dan Gula Komoditi Ketergantungan impor Insiden banjir impor Koefisien pertumbuhan (%) produksi Beras * 0.22 Jagung * 0,61 Kedele * 45 * * Gula * 60 * * Catatan : *) Diatas ambang kriteria produk strategis 1) Persentase frekuensi periode ) Trend eksponensial Sumber data : FAO. KESIMPULAN Berdasarkan indikator dan kriteria kuantitatif-obyektif yang dirumuskan dalam makalah ini, beras, jagung, kedele dan gula merupakan komoditas strategis yang amat menentukan keberhasilan untuk mewujudkan tujuan utama pembangunan pertanian yakni dinamisasi perekonomian desa, memantapkan ketahanan pangan, serta mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi penduduk. Selain itu, keempat komoditas tersebut rentan dan rapuh terhadap gejolak pasar internasional. Bahkan kedele dan gula sudah dalam cekaman ancaman tidak dapat berkelanjutan. Oleh karena itu, keempat komoditas tersebut layak dijadikan sebagai Special Products bagi Indonesia. Indonesia perlu kukuh memperjuangkan agar keempat produk strategis tersebut dikecualikan dari perundingan WTO. Konsep, indikator dan kriteria Special Products yang disusun dalam makalah ini dapat diusulkan sebagai metode kuantitatif-obyektif dalam penetapan Special Products. Setidaknya, metode ini dapat dijadikan sebagai langkah awal dalam memberi metode yang lebih sesuai. Oleh karena itu, metode ini perlu didiskusikan secara luas sehingga metode yang definitif dapat dirumuskan dan menjadi bahan bagi Delegasi Republik Indonesia dalam putaran Perundingan WTO. DAFTAR PUSTAKA Diao, X., E.D. Bonilla, and S. Robinson Till me where it hurts, An I Tell You Who to Call. Industrialized Countries Agriculture Policies and Developing Countries. International Food Policy Research Institute, Washington, DC. Dixix, P.T. Josling and D. Blandford The Current WTO Agriculture Negotiations : Options for Progress, Synthesis. International Agricultural Trade Research Consortium Commissioned paper No. 18. FAO Support to the WTO Negotiations. http :// www. fao. Org / docrep / 005 / y485e1.htm.download on December 4,

23 FAO Some Trade Policy Issues Relating to Trends in Agricultural Imports in the Context of Food Security. Committee on Commodity Problems, 64 th Session, Rome March Food and Agriculture Organization. IFPRI How Much Does It Hurt? International Food Policy Research Institute. Washington, D.C. Khan, A.A, S. Clarks, D. Green, and T. Rice Agriculture Negotiations in the WTO. http : // Download December, Kwa, A WTO Agriculture Talks Set to Exacubate Works Hungry. htm. Download December 8, Mathews, A Special and Differential Treatment Proposals in the WTO Agriculture Negotiations. Contributed paper presented at the International Conference Agricultural Policy Reform and the WTO : where are we heading? Capri (Italy), June, 23-26, OECD Agriculture Policies in OECD Countries. Monitoring and Evaluation Organization for Economic Co-operation and Development. Paris. Reffer, T Special Poducts : thinking through the details. Oxford Policy Management. Valdez, A Special Safeguards for Developing Country Agriculture in WTO Negotiations. Contributed paper presented at the International Conference Agricultural Policy Reform and the WTO : where are we heading? Capri (Italy), June 23-26,

Pantjar Simatupang LATAR BELAKANG

Pantjar Simatupang LATAR BELAKANG JUSTIFIKASI MEKANISME KAWAL PENYELAMATAN KHUSUS (SPECIAL SAFEGUARD MECHANISM) SEBAGAI BAGIAN DARI PERLAKUAN KHUSUS DAN BERBEDA (SPECIAL AND DIFFERENTIAL TREATMENT) BAGI NEGARA-NEGARA SEDANG BERKEMBANG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perdagangan multilateral dalam bentuk organisasi perdagangan dunia atau World

I. PENDAHULUAN. perdagangan multilateral dalam bentuk organisasi perdagangan dunia atau World 34 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara yang menjadi anggota forum kerjasama perdagangan multilateral dalam bentuk organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mengalami perubahan relatif pesat. Beberapa perubahan tersebut ditandai oleh: (1)

I. PENDAHULUAN. mengalami perubahan relatif pesat. Beberapa perubahan tersebut ditandai oleh: (1) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam dua dasawarsa terakhir perkembangan perekonomian dunia telah mengalami perubahan relatif pesat. Beberapa perubahan tersebut ditandai oleh: (1) mulai bergesernya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan orientasi yaitu dari orientasi peningkatan produksi ke orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa

I. PENDAHULUAN. Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa Indonesia. Pada kurun tahun 1993-2006, industri TPT menyumbangkan 19.59 persen dari perolehan devisa

Lebih terperinci

PRODUKSI PANGAN DUNIA. Nuhfil Hanani AR

PRODUKSI PANGAN DUNIA. Nuhfil Hanani AR 49 PRODUKSI PANGAN DUNIA Nuhfil Hanani AR Produksi Pangan dunia Berdasarkan data dari FAO, negara produsen pangan terbesar di dunia pada tahun 2004 untuk tanaman padi-padian, daging, sayuran dan buah disajikan

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Dalam periode September Oktober 2009 terbukti telah terjadi

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Dalam periode September Oktober 2009 terbukti telah terjadi 329 VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan 1. Dalam periode September 1994 - Oktober 2009 terbukti telah terjadi banjir impor bagi komoditas beras, jagung dan kedele di Indonesia, dengan tingkat tekanan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. pertanian selain dua kubu besar (Amerika Serikat dan Uni Eropa). Cairns Group

BAB V PENUTUP. pertanian selain dua kubu besar (Amerika Serikat dan Uni Eropa). Cairns Group BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Cairns Group adalah sebuah koalisi campuran antara negara maju dan negara berkembang yang merasa kepentingannya sebagai pengekspor komoditas pertanian selain dua kubu besar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena memiliki kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber daya pertanian seperti lahan, varietas serta iklim yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perekonomian negara-negara di dunia saat ini terkait satu sama lain melalui perdagangan barang dan jasa, transfer keuangan dan investasi antar negara (Krugman dan Obstfeld,

Lebih terperinci

RESUME. Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan. biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari

RESUME. Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan. biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari RESUME Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari penandatanganan Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture/AoA) oleh pemerintahan Indonesia yaitu

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi, BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA 4.1 Perkembangan Laju Inflasi di Indonesia Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu negara selain faktor-faktor lainnya seperti

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.699, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Bea masuk. Impor. Benang kapas. Pengenaan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 96/PMK.011/2014 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat subur dan memiliki iklim yang baik untuk perkebunan tebu. Kepala Pusat

BAB I PENDAHULUAN. sangat subur dan memiliki iklim yang baik untuk perkebunan tebu. Kepala Pusat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia merupakan negara yang mempunyai kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Hal ini terbukti dengan keadaan tanah Indonesia yang sangat subur

Lebih terperinci

4. KEBIJAKAN KEDELAI NASIONAL

4. KEBIJAKAN KEDELAI NASIONAL 4. KEBIJAKAN KEDELAI NASIONAL 4.1. Konsep Kebijakan Kebijakan dapat diartikan sebagai peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan, baik besaran maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, di mana perekonomian dunia semakin terintegrasi. Kebijakan proteksi, seperi tarif, subsidi, kuota dan bentuk-bentuk hambatan lain, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil komoditas pertanian berupa padi. Komoditas padi dikonsumsi dalam bentuk beras menjadi nasi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap

I. PENDAHULUAN. penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian sampai saat ini masih mempunyai peranan yang cukup penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap pendapatan nasional, sektor

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS NOTIFIKASI DAN KERANGKA MODALITAS PERJANJIAN PERTANIAN WTO

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS NOTIFIKASI DAN KERANGKA MODALITAS PERJANJIAN PERTANIAN WTO LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS NOTIFIKASI DAN KERANGKA MODALITAS PERJANJIAN PERTANIAN WTO Oleh : Budiman Hutabarat Saktyanu K. Dermoredjo Frans B.M. Dabukke Erna M. Lokollo Wahida PUSAT ANALISIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN tahun sebelum Masehi dengan menggunakan transportasi air. 1 Sedangkan

BAB I PENDAHULUAN tahun sebelum Masehi dengan menggunakan transportasi air. 1 Sedangkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perdagangan telah berkembang pesat seiring dengan perkembangan teknologi dan pertumbuhan manusia. Perdagangan dipercaya sudah terjadi sepanjang sejarah umat manusia

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 4.1 Perkembangan Harga Minyak Dunia Pada awal tahun 1998 dan pertengahan tahun 1999 produksi OPEC turun sekitar tiga

Lebih terperinci

Susu : Komoditi Potensial Yang Terabaikan

Susu : Komoditi Potensial Yang Terabaikan Susu : Komoditi Potensial Yang Terabaikan Oleh : Feryanto W. K. Sub sektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian serta bagi perekonomian nasional pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdagangan internasional memiliki peranan penting sebagai motor penggerak perekonomian nasional bagi banyak negara di dunia. Semakin terbuka suatu negara terhadap arus

Lebih terperinci

TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL. Posisi Indonesia dan Perkembangan Perundingan WTO (Doha Development Agenda) APRILIA GAYATRI

TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL. Posisi Indonesia dan Perkembangan Perundingan WTO (Doha Development Agenda) APRILIA GAYATRI TUGAS MATA KULIAH HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL Posisi Indonesia dan Perkembangan Perundingan WTO (Doha Development Agenda) O l e h : APRILIA GAYATRI N P M : A10. 05. 0201 Kelas : A Dosen : Huala Adolf,

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 FLEKSIBILITAS PENERAPAN SPECIAL SAFEGUARD MECHANISM DAN KAJI ULANG KEBIJAKAN DOMESTIC SUPPORT UNTUK SPECIAL PRODUCT INDONESIA Oleh : M. Husein Sawit Sjaiful Bahri Sri Nuryanti

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan Indonesia dalam era perdagangan bebas mempunyai peluang yang cukup besar. Indonesia merupakan negara bahari yang sangat kaya dengan potensi perikananan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era globalisasi menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik keterbukaan dalam perdagangan luar negeri (trade openness) maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut I. PENDAHULUAN 1.I. Latar Belakang Salah satu output yang diharapkan dalam pembangunan nasional adalah membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut Menteri Kesehatan (2000), SDM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Sambutan Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Ahmad Dimyati pada acara ulang tahun

I. PENDAHULUAN. 1 Sambutan Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Ahmad Dimyati pada acara ulang tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Buah merupakan salah satu komoditas pangan penting yang perlu dikonsumsi manusia dalam rangka memenuhi pola makan yang seimbang. Keteraturan mengonsumsi buah dapat menjaga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor strategis dalam pembangunan perekonomian nasional seperti dalam hal penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan bagi masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik. financial openness). Keuntungan dari keterbukaan

BAB I PENDAHULUAN. adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik. financial openness). Keuntungan dari keterbukaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Arus globalisasi yang terjadi beberapa dasawarsa terakhir, menuntut adanya keterbukaan ekonomi yang semakin luas dari setiap negara di dunia, baik keterbukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap

BAB I PENDAHULUAN. saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Small open economic, merupakan gambaran bagi perekonomian Indonesia saat ini. Sekalipun pengaruh aktifitas ekonomi Indonesia tidak besar terhadap perekonomian dunia,

Lebih terperinci

KINERJA PERTUMBUHAN PDB PERTANIAN 2003 : BERADA PADA FASE PERCEPATAN PERTUMBUHAN 1)

KINERJA PERTUMBUHAN PDB PERTANIAN 2003 : BERADA PADA FASE PERCEPATAN PERTUMBUHAN 1) KINERJA PERTUMBUHAN PDB PERTANIAN 2003 : BERADA PADA FASE PERCEPATAN PERTUMBUHAN 1) Nizwar Syafa at, Sudi Mardianto, dan Pantjar Simatupang Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jalan

Lebih terperinci

KINERJA MAKRO PEMBANGUNAN PERTANIAN 2005

KINERJA MAKRO PEMBANGUNAN PERTANIAN 2005 KINERJA MAKRO PEMBANGUNAN PERTANIAN 2005 A. Produk Domestik Bruto Pertanian Dua fenomena besar, yaitu krisis ekonomi dan El-nino, yang melanda Indonesia telah menimbulkan goncangan pada hampir semua sektor

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1142, 2012 KEMENTERIAN KEUANGAN. Pengamanan Impor Barang. Kawat Besi/Baja. Bea masuk. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 187/PMK.011/2012 TENTANG PENGENAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi kebutuhan pangan yang terus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai komoditas pangan utama masyarakat Indonesia, kecukupan produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi terwujudnya ketahanan

Lebih terperinci

Lima Peraturan WTO yang Perlu Diubah untuk Memungkinkan Kedaulatan Pangan dari Semua Negara Jacques Berthelot, Solidarité, 18 Oktober 2015

Lima Peraturan WTO yang Perlu Diubah untuk Memungkinkan Kedaulatan Pangan dari Semua Negara Jacques Berthelot, Solidarité, 18 Oktober 2015 Lima Peraturan WTO yang Perlu Diubah untuk Memungkinkan Kedaulatan Pangan dari Semua Negara Jacques Berthelot, Solidarité, 18 Oktober 2015 Kedaulatan pangan tidak berarti autarki tetapi merupakan hak setiap

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010 PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak Juni 2010 viii Ringkasan Eksekutif: Keberlanjutan di tengah gejolak Indonesia terus memantapkan kinerja ekonominya yang kuat,

Lebih terperinci

MEKANISME PERLINDUNGAN KHUSUS UNTUK INDONESIA DAN K 33: SEBUAH GAGASAN

MEKANISME PERLINDUNGAN KHUSUS UNTUK INDONESIA DAN K 33: SEBUAH GAGASAN MEKANISME PERLINDUNGAN KHUSUS UNTUK INDONESIA DAN K 33: SEBUAH GAGASAN Budiman Hutabarat dan Bambang Rahmanto Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi sebuah negara, keberhasilan pembangunan ekonominya dapat diukur dan digambarkan secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2007) menyatakan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman Judul... i. Halaman Persetujuan Pembimbing... ii. Halaman Pengesahan Skripsi... iii. Halaman Pernyataan... iv

DAFTAR ISI. Halaman Judul... i. Halaman Persetujuan Pembimbing... ii. Halaman Pengesahan Skripsi... iii. Halaman Pernyataan... iv DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul... i Halaman Persetujuan Pembimbing... ii Halaman Pengesahan Skripsi... iii Halaman Pernyataan... iv Halaman Persembahan... v Kata Pengantar... vii Kutipan Undang-Undang...

Lebih terperinci

PROSPEK TANAMAN PANGAN

PROSPEK TANAMAN PANGAN PROSPEK TANAMAN PANGAN Krisis Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Kebijakan 1 Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras Ada dua pendapat mengenai faktor penyebab kenaikan harga beras akhirakhir ini yaitu : (1) stok beras berkurang;

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA 30 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA Ada dua kecenderungan umum yang diprediksikan akibat dari Perubahan Iklim, yakni (1) meningkatnya suhu yang menyebabkan tekanan panas lebih banyak dan naiknya permukaan

Lebih terperinci

Kajian SSM terhadap komoditas ekspor Indonesia

Kajian SSM terhadap komoditas ekspor Indonesia Kajian SSM terhadap komoditas ekspor Indonesia Latar belakang Special Safeguard Mechanism (SSM) adalah SSM adalah mekanisme yang memungkinkan negara-negara berkembang untuk memberikan perlindungan sementara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003)

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara dapat diukur dan digambarkan secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003) menyatakan bahwa pertumbuhan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain.

II. TINJAUAN PUSTAKA. atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Perdagangan Internasional Menurut Oktaviani dan Novianti (2009) perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan negara lain

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari peran sektor pertanian tersebut dalam perekonomian nasional sebagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Teh merupakan salah satu komoditi yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian Indonesia. Industri teh mampu memberikan kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010. 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum dan sesudah krisis ekonomi tahun 1998, harga minyak sawit (Crude Palm Oil=CPO) dunia rata-rata berkisar US$ 341 hingga US$ 358 per ton. Namun sejak tahun 2007

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM INDIKATOR FUNDAMENTAL MAKRO EKONOMI NEGARA ASEAN+3 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Negara ASEAN+3 Potret ekonomi dikawasan ASEAN+3 hingga tahun 199-an secara umum dinilai sangat fenomenal. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era perdagangan bebas saat ini, telah terjadi perubahan secara fundamental, bahwa gerak perdagangan semakin terbuka, dinamis, dan cepat yang menyebabkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 54/PMK.011/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 54/PMK.011/2011 TENTANG Menimbang Mengingat PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 54/PMK.011/2011 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PRODUK TALI KAWAT BAJA (STEEL WIRE ROPES) DENGAN POS TARIF 7312.10.90.00

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah 17 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ASEAN terbentuk pada tahun 1967 melalui Deklarasi ASEAN atau Deklarasi Bangkok tepatnya pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok oleh Wakil Perdana Menteri merangkap

Lebih terperinci

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA

STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA STUDI KASUS PERMASALAHAN KOMODITAS KEDELAI DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA BAB I PENDAHULUAN Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena berkah kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA Oleh : Reni Kustiari Pantjar Simatupang Dewa Ketut Sadra S. Wahida Adreng Purwoto Helena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. perubahan sistem ekonomi dari perekonomian tertutup menjadi perekonomian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fenomensa globalisasi dalam bidang ekonomi mendorong perkembangan ekonomi yang semakin dinamis antar negara. Dengan adanya globalisasi, terjadi perubahan sistem ekonomi

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional.

ABSTRAK. Kata kunci : WTO (World Trade Organization), Kebijakan Pertanian Indonesia, Kemudahan akses pasar, Liberalisasi, Rezim internasional. ABSTRAK Indonesia telah menjalankan kesepakan WTO lewat implementasi kebijakan pertanian dalam negeri. Implementasi kebijakan tersebut tertuang dalam deregulasi (penyesuaian kebijakan) yang diterbitkan

Lebih terperinci

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Simulasi Model Pertumbuhan kegiatan kepariwisataan di Indonesia yang dikaitkan dengan adanya liberalisasi perdagangan, dalam penelitian ini, dianalisis dengan menggunakan model

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG » Kinerja Perdagangan Komoditas Pertanian Volume 1 No. 1, 2009 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal

Lebih terperinci

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN Emlan Fauzi Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar dari suatu bangsa. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang sudah mencapai sekitar 220

Lebih terperinci

SEKTOR PERTANIAN : Dari Stagnasi Menuju Pertumbuhan Tinggi Berkelanjutan. Orasi Ilmiah di Universitas Medan Area Tanggal 8 Mei 2004

SEKTOR PERTANIAN : Dari Stagnasi Menuju Pertumbuhan Tinggi Berkelanjutan. Orasi Ilmiah di Universitas Medan Area Tanggal 8 Mei 2004 SEKTOR PERTANIAN : Dari Stagnasi Menuju Pertumbuhan Tinggi Berkelanjutan Orasi Ilmiah di Universitas Medan Area Tanggal 8 Mei 2004 Oleh : Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, MEc Rektor dan Senat Guru Besar

Lebih terperinci

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA

IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA 49 IV. FLUKTUASI MAKROEKONOMI INDONESIA 4.1 Produk Domestik Bruto (PDB) PDB atas dasar harga konstan merupakan salah satu indikator makroekonomi yang menunjukkan aktivitas perekonomian agregat suatu negara

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 55/PMK.011/2011 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 55/PMK.011/2011 TENTANG SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 55/PMK.011/2011 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PRODUK TALI KAWAT BAJA (STEEL WIRE ROPES) DENGAN POS TARIF EX 7312.10.10.00 DENGAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, terutama pada sektor pertanian. Sektor pertanian sangat berpengaruh bagi perkembangan

Lebih terperinci

III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA

III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA III. PANGAN ASAL TERNAK DAN PERANANNYA DALAM PEMBANGUNAN SUMBERDAYA MANUSIA A. Pengertian Pangan Asal Ternak Bila ditinjau dari sumber asalnya, maka bahan pangan hayati terdiri dari bahan pangan nabati

Lebih terperinci

1 of 4 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 87/PMK.011/2011 TENTANG PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PRODUK BENANG KAPAS SELAIN BENANG JAHIT (COTTON YARN OTHER THAN SEWING

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian di Indonesia merupakan sektor yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Sektor pertanian secara potensial mampu memberikan kontribusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perekonomian dunia mulai mengalami liberalisasi perdagangan ditandai dengan munculnya General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947 yang

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Diplomasi energi..., Muhammad Ali Busthomi, FISIP UI, 2010.

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia. Diplomasi energi..., Muhammad Ali Busthomi, FISIP UI, 2010. 100 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Rusia adalah salah satu negara produksi energi paling utama di dunia, dan negara paling penting bagi tujuan-tujuan pengamanan suplai energi Eropa. Eropa juga merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menyumbang devisa negara yang

Lebih terperinci

PRODUK IMPOR BERUPA BENANG KAPAS SELAIN BENANG JAHIT (COTTON YARN OTHER THAN SEWING THREAD) YANG DIKENAKAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN

PRODUK IMPOR BERUPA BENANG KAPAS SELAIN BENANG JAHIT (COTTON YARN OTHER THAN SEWING THREAD) YANG DIKENAKAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 87/PMK.011/2011 TENTANG : PENGENAAN BEA MASUK TINDAKAN PENGAMANAN TERHADAP IMPOR PRODUK BENANG KAPAS SELAIN BENANG JAHIT (COTTON YARN OTHER THAN SEWING THREAD)

Lebih terperinci

pertanian pada hakekatnya, adalah semua upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani menuju kehidupan yang lebih

pertanian pada hakekatnya, adalah semua upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani menuju kehidupan yang lebih 1.1. Latar Belakang Pembangunan secara umum dan khususnya program pembangunan bidang pertanian pada hakekatnya, adalah semua upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani menuju

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan luar negeri yang mempunyai peranan penting bagi suatu negara,

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan luar negeri yang mempunyai peranan penting bagi suatu negara, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dalam perjalanan waktu yang penuh dengan persaingan, negara tidaklah dapat memenuhi sendiri seluruh kebutuhan penduduknya tanpa melakukan kerja sama dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cara yang tepat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat suatu negara

BAB I PENDAHULUAN. cara yang tepat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat suatu negara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perekonomian Indonesia diestimasikan akan mengalami tantangan baru di masa yang akan datang. Di tengah liberalisasi ekonomi seperti sekarang suatu negara akan

Lebih terperinci

Politik Pangan Indonesia - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012

Politik Pangan Indonesia - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012 Politik Pangan - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012 Politik Pangan merupakan komitmen pemerintah yang ditujukan untuk mewujudkan ketahanan Pangan nasional yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA Oleh : RIKA PURNAMASARI A14302053 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB 4 PENUTUP. 4.1 Kesimpulan

BAB 4 PENUTUP. 4.1 Kesimpulan BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Perdagangan internasional diatur dalam sebuah rejim yang bernama WTO. Di dalam institusi ini terdapat berbagai unsur dari suatu rejim, yaitu prinsip, norma, peraturan, maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang perlu dipenuhi dalam mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan

Lebih terperinci

SILABUS. : Perdagangan Pertanian Nomor Kode/SKS : ESL 314 / 3(3-0)2

SILABUS. : Perdagangan Pertanian Nomor Kode/SKS : ESL 314 / 3(3-0)2 SILABUS Matakuliah : Pertanian Nomor Kode/SKS : ESL 314 / 3(3-0)2 Semester : 6 (enam) Deskripsi Singkat : Mata kuliah ini membahas konsep, teori, kebijakan dan kajian empiris perdagangan pertanian dan

Lebih terperinci

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA 81 BAB VI DAMPAK ASEAN PLUS THREE FREE TRADE AREA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN bersama dengan Cina, Jepang dan Rep. Korea telah sepakat akan membentuk suatu

Lebih terperinci

MEMPOSISIKAN KEMBALI BULOG SEBAGAI GARDA DEPAN KETAHANAN PANGAN PADA SUBSISTEM DISTRIBUSI

MEMPOSISIKAN KEMBALI BULOG SEBAGAI GARDA DEPAN KETAHANAN PANGAN PADA SUBSISTEM DISTRIBUSI Juara 2 Lomba Menulis Esai Perum BULOG dalam Rangka HUT Kemerdekaan RI ke-63 MEMPOSISIKAN KEMBALI BULOG SEBAGAI GARDA DEPAN KETAHANAN PANGAN PADA SUBSISTEM DISTRIBUSI Wiwid Ardhianto Divisi Pengadaan Perum

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN RESPON TERHADAP ISU AKTUAL I. PENDAHULUAN

ANALISIS KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN RESPON TERHADAP ISU AKTUAL I. PENDAHULUAN ANALISIS KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN RESPON TERHADAP ISU AKTUAL I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perekonomian nasional dan dunia saat ini ditandai dengan berbagai perubahan yang berlangsung secara

Lebih terperinci

Perekonomian Suatu Negara

Perekonomian Suatu Negara Menteri Keuangan RI Jakarta, Maret 2010 Perekonomian Suatu Negara Dinamika dilihat dari 4 Komponen= I. Neraca Output Y = C + I + G + (X-M) AS = AD II. Neraca Fiskal => APBN Total Pendapatan Negara (Tax;

Lebih terperinci

hambatan sehingga setiap komoditi dapat memiliki kesempatan bersaing yang sama. Pemberian akses pasar untuk produk-produk susu merupakan konsekuensi l

hambatan sehingga setiap komoditi dapat memiliki kesempatan bersaing yang sama. Pemberian akses pasar untuk produk-produk susu merupakan konsekuensi l BAB V 5.1 Kesimpulan KESIMPULAN DAN SARAN Dalam kesepakatan AoA, syarat hegemoni yang merupakan hubungan timbal balik antara tiga aspek seperti form of state, social force, dan world order, seperti dikatakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Gouws (2005) menyatakan perluasan

Lebih terperinci

KULIAH UMUM MENTERI PERTANIAN PADA PROGRAM MAGISTER ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA

KULIAH UMUM MENTERI PERTANIAN PADA PROGRAM MAGISTER ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA KULIAH UMUM MENTERI PERTANIAN PADA PROGRAM MAGISTER ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA LIBERALISASI PERDAGANGAN DAN PEMBANGUNAN PERTANIAN Jakarta, 8

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rate in the United Kingdom yang dimuat pada jurnal Economica, menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. Rate in the United Kingdom yang dimuat pada jurnal Economica, menunjukkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hubungan antara inflasi dan pengangguran mulai menarik perhatian para ekonom pada akhir tahun 1950an, ketika A W Phillips dalam tulisannya dengan judul The Relationship

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Beras merupakan bahan pangan pokok yang sampai saat ini masih dikonsumsi oleh sekitar 90% penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam

I. PENDAHULUAN. Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perdagangan internasional merupakan salah satu aspek penting dalam perekonomian setiap negara di dunia. Dengan perdagangan internasional, perekonomian akan saling terjalin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB)

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana sebagian besar penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani, sehingga pertanian merupakan sektor yang memegang peranan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum tahun 2008/2009 berada

I. PENDAHULUAN. Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum tahun 2008/2009 berada I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum tahun 2008/2009 berada di peringkat 55 dari 134 negara, menurun satu peringkat dari tahun sebelumnya. Dalam hal ini,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap

I. PENDAHULUAN. perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan energi dunia akan semakin besar seiring dengan pesatnya perkembangan industrialisasi modern saat ini. Salah satu yang harus terus tetap terpenuhi agar roda

Lebih terperinci