Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Penilaian Performa Pengelolaan Perikanan"

Transkripsi

1 Maret2014 PenilaianPerforma PengelolaanPerikanan menggunakanindikatoreafm KabupatenDonggala,KabupatenBanggai, KabupatenBanggaiLaut Dr. Ir. Samliok Ndobe, M.Si Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan - Palu

2 DaftarIsi 1 Pendahuluan Latar Belakang Tujuan dan Manfaat Studi Sekilas Kondisi Perikanan Perikanan Kabupaten Donggala Perikanan Kabupaten Banggai Perikanan Kabupaten Banggai Laut Metode Penilaian Performa Indikator EAFM Pengumpulan data Analisa Komposit Analisis Tematik Pengelolaan Perikanan Perikanan Kabupaten Donggala Domain Habitat Domain Sumberdaya Ikan Domain Teknologi Penangkapan Ikan Domain Sosial Domain Ekonomi Domain Kelembagaan Perikanan Kabupaten Banggai Domain Habitat Domain Sumberdaya Ikan Domain Teknologi Penangkapan Ikan Domain Sosial Domain Ekonomi Domain Kelembagaan Perikanan Kabupaten Banggai Laut Domain Habitat Domain Sumberdaya Ikan Domain Teknologi Penangkapan Ikan Domain Sosial Domain Ekonomi Domain Kelembagaan Analisis Komposit Pengelolaan Perikanan

3 5.1 Analisa menggunakan sistem Flag Perikanan Kabupaten Donggala Perikanan Kabupaten Banggai Perikanan Kabupaten Banggai Laut Analisa menggunakan sistem Flag dan Koneksitas Perikanan Kabupaten Donggala Perikanan Kabupaten Banggai Perikanan Kabupaten Banggai Laut Pembahasan Metode dan analisa indikator EAFM yang digunakan Performa perikanan yang dikaji Perikanan Kabupaten Donggala Perikanan Kabupaten Banggai Perikanan Kabupaten Banggai Laut Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan Metode dan analisa indikator EAFM Pengelolaan perikanan dari hasil kajian EAFM Rekomendasi Metode dan analisa indikator EAFM Pengelolaan perikanan dari hasil kajian EAFM... Error! Bookmark not defined. 8 Referensi Lampiran... Error! Bookmark not defined. Lampiran 1. Tabel hasil analisis domain habitat... Error! Bookmark not defined. Lampiran 2. Tabel hasil analisis domain sumberdaya ikan... Error! Bookmark not defined. Lampiran 3. Tabel hasil analisis domain teknologi penangkapan... Error! Bookmark not defined. Lampiran 4. Tabel hasil analisis domain sosial... Error! Bookmark not defined. Lampiran 5. Tabel hasil analisis domain ekonomi... Error! Bookmark not defined. Lampiran 6. Tabel hasil analisis domain Kelembagaan... Error! Bookmark not defined. 3

4 1 Pendahuluan 1.1 LatarBelakang Implementasi EAFM memerlukan perangkat indikator yang dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi mengenai sejauh mana pengelolaan perikanan sudah menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan berbasis ekosistem. Selanjutnya, dalam konteks manajemen perikanan sebuah indikator dikatakan sebagai sebuah indikator yang baik apabila memenuhi beberapa unsur seperti (1) menggambarkan daya dukung ekosistem; (2) relevan terhadap tujuan dari ko-manajemen; (3) mampu dimengerti oleh seluruh stakeholders; (4) dapat digunakan dalam kerangka monitoring dan evaluasi; (5) memandang jangka panjang (long-term view); dan (5) menggambarkan keterkaitan dalam sistem ko-manajemen perikanan. Masing-masing indikator untuk aspek pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan meliputi aspek Aspek Habitat, Sumberdaya Ikan, Aspek Teknis Penangkapan Ikan, Aspek Ekonomi, Aspek Sosial dan Aspek Kelembagaan. Untuk mengetahui kinerja manajemen perikanan berbasis ekosistem (EAF Management, EAFM) yang diterapkan, maka dibutuhkan seperangkat alat pemantauan untuk mengukur seberapa jauh perkembangan dan perubahan yang sudah terjadi sebagai respon dari intervensi manajemen. Sebagai alat pemantauan, maka dibutuhkan indikator kunci (key indicators) yang mudah diukur, murah untuk diperoleh, mudah dipahami dan diterapkan di lapangan. Dalam rangka pelaksanaan penerapan EAFM di Indonesia, Direktorat Sumberdaya Ikan, Ditjen Perikanan Tangkap KKP bekerja sama dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL-IPB) dan WWF Indonesia pada tahun 2010 telah mengembangkan seperangkat indikator EAFM untuk melakukan penilaian awal pada wilayah pengelolaan perikanan (SDI-KKP, WWF Indonesia & PKSPL-IPB, 2011) dan telah disosialisasikan ke segenap pemangku kepentingan. Sejalan dengan perkembangannya. Indikator yang telah terbangun tersebut telah digunakan untuk menilai performa pengelolaan perikanan berbasis spesies dan area di tingkat kabupaten serta hasilnya digunakan untuk memperbaiki indikator yang ada tersebut. Guna mempertajam dan memperkuat metode penilaian indikator EAFM yang sudah disusun tersebut sehingga bisa diterapkan di lapangan, maka CTI NWG II EAFM, merasa perlu untuk melakukan penilaian indikator EAFM di tingkat Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) dengan target pada tahun 2013 di WPP 571, 713 dan 714. Untuk itu sejumlah kabupaten terpilih di setiap WPP sebagai sampel yang mewakili WPP tersebut dalam pelaksanaan pilot study. Khususnya di Propinsi Sulawesi Tengah, kabupaten sampel tersebut adalah Kabupaten Donggala di WPP 713 dan Kabupaten Banggai serta Kabulaten Banggai Laut di WPP 714. Lembaga perguruan tinggi pelaksana adalah Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan (STPL) Palu. Tim peneliti dipimpin oleh Ketua STPL, Dr. Ir. Samliok Ndobe, M.Si. 4

5 1.2 TujuandanManfaatStudi Tujuan Studi adalah dua yaitu (i) penilaian terhadap indikator-indikator dan sistem penilaian dan (ii) pengumpulan data dan penilaian sejauh mana pengelolaan perikanan di tiga kabupaten sampel telah mendekati pola EAFM. Adapun tujaun khusus ata sasaran Kajian Penilaian Indikator Ecosystem Approach to Fisheries Management (EAFM) Tahun 2013 mencakup: 1. Pengumpulan Data dan Informasi mengenai pengelolaan perikanan, terutama berkaitan dengan 6 domain dan 31 indikator penilaian EAFM di Kabupaten Donggala, Kabupaten Banggai, Kabupaten Banggai Laut. Untuk mencapai tujuan tersebut kegiatan meliputi: a. Pengumpulan Data Primer melalui Survey, Interview dan Penelitian di tiga kabupaten b. Pengumpulan Data Sekunder melalui data statistik perikanan di tiga kabupaten serta di Palu, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah, dan data lainnya yang relevan (termasuk data pendaratan ikan di pelabuhan dan data dari literatur hasil penelitian) 2. Menghitung indikator EAFM Pengolahan Perikanan Tangkap, melalui pengolahan dan analisis data maupun konsultasi dengan stakeholders terkait (misalnya melalui Lokakarya Hasil Pengolahan dan Analisis Data indikator EAFM dalam pengelolaan perikanan). Hasil berupa Laporan Penilaian Indikator EAFM untuk Provinsi Sulawesi Tengah (Kabupaten Donggala, Kabupaten Banggai, Kabupaten Banggai Laut), dengan fokus pada pengelolaan 5 komoditas perikanan utama, yang didalamnya membahas metode dan analisa indikator EAFM yang digunakan (disesuaikan dengan kasus yang ada pada perikanan yang dikaji), memberikan rekomendasi perbaikan metode dan analisa indikator EAFM, serta rekomendasi pengelolaan perikanan dari hasil kajian EAFM. 3. Penyusunan dokumen Laporan Penilaian Indikator EAFM untuk WPP 713 dan 714, dimana peran tim peneliti STPL adalah sebagai kontributor, sedangkan tim UNHAS memimpin kompilasi untuk WPP 713 dan tim UNPATTI untuk WPP 714. Manfaat studi adalah (i) sebagai bahan penilaian dan penyempurnaan sistem penilaian pengelolaan perikanan tangkap dalam konteks EAFM. (ii) sebagai bahan masukan kepada pengambil kebijakan dan stakeholders perikanan tangkap di WPP713 dan 714, lebih khususnya di Kabupaten Donggala, Banggai dan Banggai Laut. 5

6 2 SekilasKondisiPerikanan Beberapa jenis data penting mengenai kondisi perikanan tangkap hanya tersedia pada tingkat Propinsi Sulawesi Tengah dan relevan pada ketiga Kabupaten. Hubungan antar jenis armada dan jenis alat tangkap tercantum pada Tabel 2.1. Jenis-jenis ikan dan avertebrata yang tertangkap oleh jenis alat tangkap tertentu tercantum pada Tabel 2.2 dan penilaian terhadap selektivitas alat tangkap berdasarkan data hasil tangkapan serta hasil studi pustaka dan observasi, termasuk resiko penangkapan spesies ETP (terancam punah, langka dan atau dilindungi) tercantum pada Tabel 2.3. Tabel 2.1. Data jenis alat tangkap menurut tipe armada Alat Tangkap Tanpa Perahu Tanpa Motor Motor Tempel Kapal Motor 0-5 GT 5-10 GT GT Payang X Pukat Pantai X X Pukat Cincin X X X Jaring Insang Hanyut X X X X Jaring Lingkar X X X Jaring Klitik X Jaring Insang Tetap X X X X X Tramel Net X Bagan Perahu/ Rakit X X X Bagan Tancap X X Serok X X X Jaring Angkat Lain X X X Rawai Tuna X Rawai Tetap X X Huhate X X Pancing yang Lain X X X X X X Pancing Tonda X X X Sero X X Jermal X Bubu X X X Perangkap Lain-Lain X X Alat Pengumpul Kerang Lain-Lain X X X X Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah (Data Tahun 2004) X 6

7 Alat Tangkap Tabel 2.2. Jenis ikan dan avertebrata yang tertangkap oleh beberapa alat tangkap Jumlah jenis/kategori Deskripsi Hasil Tangkapan (catatan) Pukat Udang 0 2 Bawal hitam dan putih (bukan udang!) Payang Semua ukuran ikan pelagis (teri sampai tuna) Dogol 0 2 Bawal dan udang windu Pukat Pantai Ikan demersal/pelagis/semi-pelagis/avertebrata Pukat Cincin Pelagis kecil & besar + ikan lainnya Jaring Insang Hanyut Pelagis kecil & besar + ikan lainnya Jaring Lingkar Ikan demersal/pelagis/semi-pelagis/lainnya Jaring Klitik 2 3 Udang barong, windu, putih Jaring Insang Tetap Ikan demersal/pelagis/semi-pelagis/avertebrata Tramel Net 3 3 Teri, udang windu, udang lain (bycatch?) Bagan Perahu/ Rakit ikan pelagis, lainnya, cumi2, sotong Bagan Tancap 9 9 ikan pelagis, lainnya, cumi2, sotong Serok 9 9 ikan pelagis, demersal, lainnya, cumi2, sotong Jaring Angkat Lain 3 3 Belanak, cumi2, sotong Rawai Tuna 1 1 tuna (bycatch tak terlaporkan?) Rawai Tetap Cucut & ikan lainnya Huhate 3 3 Tuna, tongkol & cakalang (tuna-like) Pancing Tonda 8 9 Ikan pelagis, terutama besar Pancing yang Lain ikan demersal & pelagis (selektif: hook/bait) Sero Dmersal, semi-pelagis/pelagis kecil, udang, kepiting, cumi2 Jermal 4 4 rajungan, kepiting, udang barong & windu Bubu ikan demersal dan kepiting Perangkap Lain-Lain 5 12 Kakap/ikan lainnya, krustasea, kefalopoda, teripang Alat Pengumpul Kerang 4 4 kerang-kerangan dan kepiting Lain-Lain Ikan demersal, semi-pelagis & avertebrata Jumlah jenis/kategori (Sebagian komoditas tidak tercatat) Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah (Data Tahun 2004 & 2005) 7

8 Alat Tangkap Tabel 2.3. Penilaian Selektivitas Alat Tangkap di Sulawesi Tengah Selektivitas Selektivitas Resiko penangkapan Spesies Ukuran ETP Pukat Udang??? Payang sedang rendah ya Dogol tinggi?? Pukat Pantai rendah rendah tidak Pukat Cincin tinggi sedang ya Jaring Insang Hanyut sedang sedang ya Jaring Lingkar rendah rendah ya Jaring Klitik tinggi?? Jaring Insang Tetap rendah rendah ya Tramel Net tinggi rendah? Bagan Perahu/ Rakit sedang/rendah* rendah tidak Bagan Tancap sedang rendah tidak Serok sedang tinggi tidak Jaring Angkat Lain tinggi sedang tidak Rawai Tuna tinggi tinggi ya Rawai Tetap sedang sedang ya Huhate tinggi tinggi tidak Pancing Tonda tinggi tinggi ya Pancing yang Lain sedang sedang ya Sero Ya, dapat dilepas Jermal tinggi?? Bubu tinggi tinggi tidak Perangkap Lain-Lain tinggi?? Alat Pengumpul Kerang tinggi tinggi? Lain-Lain??? * Bervariasi dengan lokasi (jalur ruaya spesies apa/ukuran/fase kehidupan apa) dan waktu (fase bulan/musim/pasanag-surut) pengoperasian serta jenis/kekuatan (watt/lumen) lampu Sumber: hasil analisa terhadap data yang diperoleh 8

9 2.1 PerikananKabupatenDonggala Kabupaten Donggala merupakan bagian dari Zona I Pengelolaan Perikanan pada tingkat Propinsi Sulawesi Tengah (Selat Makassar dan Laut Sulawesi), bersama dengan Kabupaten Toli-Toli dan Kabupaten Buol. Zona tersebut mencakup sebagian WPP 713 serta sebagian WPP 716. Perairan Kabupaten Donggala masuk pada WPP 713, dimana perbatasan antar perairan Kabupaten Donggla dan Kabupaten Toli-Toli adalah sebagian dari perbatasan diantara WPP 713 dan 716. Kajian Profil Perikanan Tangkap Sulawesi Tengah tahun 2007 (STPL, 2007) khususnya bagian yang menyangkut Zona I cukup mendalam dari berbagai aspek. Sebagian besar data dan informasi pada dokumen tersebut mengenai keadaan wilayah, terutama dari aspek kondisi alam/lingkungan serta sumberdaya perikanan dinilai masih valid. Namun dalam 10-an tahun terakhir salah satu perubahan besar yang terjadi di sektor perikanan tangkap adalah perubahan dalam jumlah armada dan alat tangkapan. Pada umumnya armada meningkat dari aspek jumlah maupun kapasitas (motorisasi, peningkatan tonase). Alat tangkap meningkat pula dari aspek jumlah, terutama jumlah jenis alat tangkap yang moderen dan atau memiliki daya tangkap lebih besar. Armada Perikanan dan Daerah Penangkapan Data statisitik armada yang diperoleh tercantum pada Tabel Data tersebut mencakup periode 2004, 2005, 2009 dan data terbaru (tahun 2010 dan 2011). Data 2003 masih bergabung dengan Kabupaten Parigi Moutong. Tabel Data Statistik Armada Perikanan Tangkap Kategori 2004* 2005* 2009* 2010** 2010*** 2011**** Tanpa motor Motor Tempel GT GT GT GT (tidak ada data GT) 1441 a (tidak ada data GT) 1442 (tidak ada data GT) Total a Menurut statistik Kabupaten Donggala, terjadi peningkatan tajam dalam jumlah kapal motor (KM) dari tahun ke tahun: 331 pada 2007, 434 pada tahun 2008, 844 pada tahun 2009 dan 1441 pada tahun Secara keseluruhan peningkatan sebanyak 1110 buah/335% dalam 5 tahun; jumlah tahun 2010 lebih dari 4 kali lipat dibanding Sumber: * Dislutkan Sulawesi Tengah; ** Sulawesi Tengah dalam Angka Tahun 2011 ; *** Kabupaten Donggala dalam Angka Tahun 2011; **** /perikanan.html?layout=edit&id=411 Nampak bahwa data Propinsi dan Kabupaten nyata berbeda dari aspek komposisi maupun jumlah armada, namun cenderungan (trend) adalah sama, yaitu fluktuai dalam jumlah perahu "tanpa motor" (yang dalam realita sebagian signifikan cenderung dilengkapi dengan katinting saat melaut), peningkatan jumlah mesin tempel dan peningkatan tajam dalam jumlah kapal bermotor. Perlu diingat bahwa kapal bermotor berukuran besar cenderung berandon atau datanya pada tingkat nasional saja, jadi angka nol bukan berarti tidak ada kapal dengan ukuran resmi di atas 20 GT ataupun 30GT yang beroperasi. Selain itu, penemuan di lapangan (2013) bahwa kapal dengan GT ril pada kisaran di atas 20 atau bahkan 30 GT memiliki dokumen yang menunjukkan GT pada kisaran 5-8 GT. Maka kapasitas ril armada perikanan tangkap jauh lebih besar dibanding data statistik. 9

10 Pembangunan pelabuhan perikanan (PPI) di Labuan, berdekatan dengan Kota Donggala di muara Teluk Palu yang dimulai pada tahun 2006 merupakan salah satu faktor yang mendorong peningkatan tajam dalam jumlah kapal motor. Menurut perwakilan Dinas Perikanan dan Kelautan Donggala pada rapat koordinasi tingkat Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2011, seperti di kabupaten lainnya di Sulawesi, sebagian besar kapal perikanan di Kabupaten Donggala memiliki surat yang tidak sesuai dengan ukuran atau kapasitas ril kapal. Hal ini disebabkan antara lain oleh keinginan untuk mengurus surat pada tingkat lokal. Dengan demikian diduga atau bahkan dapat diasumsikan bahwa kapasitas armada yang beroperasi lebih tinggi dibanding yang tercatat. Itupun hanya armada yang resmi berbasis di Kabupaten Donggala. Selain itu sejumlah besar kapal dari kabupaten, provinsi bahkan negara lain beroperasi di perairan Selat Makassar, termasuk di periairan Kabupayen Donggala dan Provinsi Sulawesi Tengah. Bahkan sebagian signifikan kapal motor yang berlabuh dan teregistrasi di Donggala berasal dari Sulawesi Barat (daerah/suku Mandar), sedangkan sejumlah besar kapal berasal dari Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar) juga beroperasi di perairan Selat Makassar yang merupakan kewewenang Kabupaten Donggala namun jarang atau tidak menggunakan fasilitas pelabuhan tersebut. Sebaliknya, kapal-kapal perikanan dari Kabupaten Donggala cenderung beroperasi sampai di pesisir Pulau Kalimantan, dan di perairan Toli-Toli (ke arah utara) dan Provinsi Sulawesi Barat (ke arah selatan. Pada tahun 2000-an, selain nelayan Malaysia yang beroperasi di Selat Makassar dari fishing base di Tawau, Sabah, sebagian kapal perikanan Indonesia, termasuk Kabupaten Donggala, mendaratkan ikan di Tawau. Informasi pada saat survey bahwa hal tersebut masih terjadi, terutama khusus jenis ikan bernilai tinggi, karena harga ikan lebih tinggi di Tawau. Selain armada berupa kapal motor, sebagian besar armada dari aspek jumlah masih berupa sampan atau perahu kecil tradisional. Beberapa perubahan dalam armada ini bahwa pohon besar semakin langka dengan konsekuensi sampan cenderung lebih mahal, lebih sempit dan disambung dengan papan, serta kualitas kayu sering lebih rendah, stabilitas intrinsik juga lebih rendah. Untuk semasema yang memberikan stabilitas dalam pelayaran maupun operasional penangkapan, diameter bambu cenderung lebih kecil disebabkan kesulitan memperoleh yang berukuran besar. Alternatif umumnya kurang efektif atau aman. Batang kayu ringan cenderung lebih kecil diameternya dan gaya apungnya kurang. Pipa paralon rawan karena tidak berfungsi jika pecah, dan selain dari awal lebih mudah pecah dibanding bambu, paralon semakin mudah pecah seiring dengan waktu akibat degradasi molekulnya yang disebabkan oleh sinar matahari. Jenis alat tangkap selain pancing yang digunakan dengan perahu sampan tersebut cukup bervariasi dan termasuk serok (lift net) khusus penangkapan ikan teri (Stolephorus sp.). Perairan pesisir secara resmi diperuntungkan untuk armada perahu kecil tersebut. Namun dalam kenyataan perairan tersebut kerapkali diusahakan juga oleh armada perikanan berskala lebih besar. Antara lain, bagan perahu moderen yang menggunakan lampu-lampu listrik (menggunakan genset), bukan lampu pertomaks seperti bagan perahu tradisional. Tahun 2000-an terjadi konflik besar antar nelayan kecil dan nelayan bagan perahu, terutama bagan moderen tersebut, di Teluk Palu. Akhirnya sebagian bagan moderen pindah ke Teluk Tambu. Saat survey, tidak diketahui dengan pasti jumlah yang beroperasi, namun yang bergabung dalam sebuah kelompk melebihi 20 dan diperlirakan jumlah total melebihi 30 unit. 10

11 Alat Tangkap dan Alat Bantu Penangkapan Alat tangkap cukup bervariasi. Data statistik alat tangkap tercantum pada Tabel Data tersebut mencakup data tahun 2004 (tercantum dalam statisik tahun 2006) dan data terbaru yang dapat diperoleh pada tingkat Kabupaten yaitu tahun 2010 (dalam data statistik tahun 2011). Alat bantu pada penangkapan ikan pelagis terutama rumpon atau fish aggregating device (FAD), selain itu beberapa jenis alat tangkap menggunakan alat bantu lainnya. Lampu digunakan pada alat tangkap bagan, serok teri, purse seine, tombak dan lainnya. Alat bantu lain termasuk penggunaan water sprayer pada penangkapan pole and line. Tabel Data Statistik Alat Tangkap Ikan Jenis Alat Tangkap Jenis Alat Tangkap Payang Pancing Ulur Pukat Pantai Pancing Tonda 7182 TAD Pukat Cincin Rawai Tetap 38 TAD Jaring Insang Hanyut * Rawai Tuna Jaring Insang Tetap * Bubu/ Lainnya Jaring Angkat Total * Penurunan besar pada tahun 2007; TAD: tidak ada data (bukan nol) Sumber: 2004 Kabupaten Donggala dalam Angka, tahun 2006; 2010: Kabupaten Donggala dalam Angka, tahun 2011 Jenis Sumberdaya Ikan Sumberdaya ikan yang dilaporkan dalam statistik cukup bervariasi, dan dalam kenyataan lebih banyak jenis lainnya tertangkap pula. Data statistik komposisi dan volume hasil tangkapan tercantum pada Tabel Data tersebut mencakup periode dan Data tersebut menunjukkan adanya peningkatan volume maupun pergeseran dalam komposisi hasil tangkapan. Diduga pula bahwa sebagian perubahan merupakan akibat pola pendataan yang berbeda antar periode, termasuk dari aspek jenis-jenis yang dicatat secara terpisah (indikasinya sejumlah jenis yang tercatat tahun 2004/5 masuk pada ikan lainnya tahun 2009; urutan dan cakupan jenis berubah) maupun pola sampling dan ektrapolasi. Data statistik volume per tahun disajikan pula pada Gambar 2.1.1, pada periode merupakan data BPS. Untuk tahun 2006 dan 2007 tidak disajikan karena data BPS bergabung dengan kabupaten lain. Bentuk Gambar mengindikasikan bahwa kemungkinan secara keseluruhan MSY tekah terlewatkan. Tabel Data Statistik Komposisi dan Volume Hasil Tangkapan Jenis Sebelah Peperek Manyung Beloso Biji Nangka Gerot-Gerot Merah/Bambangan Kerapu Karang

12 Lencam Kakap Putih Swanggi Ekor Kuning/Lolosi Gulamah Cucut Botol Bawal Hitam Bawal Putih Layang 1, , Selar Kuwe Tetengkek Daun Bambu Sunglir Belanak Kuro Julung-Julung Teri Tembang Lemuru Terubuk Kembung Tenggiri Papan Tenggiri Tuna 2, , Cakalang 1, , Tongkol 2, , Bentong Beronang Ikan Lain Kepiting Udang Barong Udang Putih Udang Lain Cumi-Cumi Sotong Teripang Total 15, , ,851.8 Sumber: Dislutkan Sulawesi Tengah 12

13 Sumber: Dislutkan Sulawesi Tengah (2004 & 2005); Sulawesi Tengah dalam Angka (2008, 2009, 2010); (2011) Gambar Produksi Perikanan Kabupaten Donggala Rumah Tangga Nelayan (RTN) Data statistik rumah tangga nelayan (RTN) tercantum pada Tabel 2.4. Data tersebut relatif mirip dengan data armada, hal yang menunjukkan bahwa sebagian besar RTN memiliki satu unit perahu atau kapal. Data statistik tersebut juga menunjukkan peningkatan tajam dalam jumlah RTN pada semua kategori usaha perikanan tangkap laut. Untuk statistik (BPS) sejak tahun 2010, masih disajikan data tahun 2009 atau Tabel Data statistik RTN Kategori 2004* 2005* 2008* 2009* 2010** Tanpa Perahu Jukung 3, Perahu papan Motor Tempel GT GT GT GT Total Sumber: * Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah; ** Kabupaten Donggala dalam Angka, Tahun 2011 Secara keseluruhan, data statistik menunjukkan perikanan multi-gear, multi-spesies dengan skala armada/usaha perikanan yang beragam. Selain peningkatan tajam dalam usaha perikanan, terjadi pergeseran dari hasil tangkapan yang didominasi oleh penangkapan ikan demersal dan semi-pelagis kepada penangkapan ikan pelagis kecil maupun besar. Trends tersebut dinilai sesuai kenyataan, meskipun nilia-nilai angka kemungkinan sangat besar bias/tidak akurat. Dari aspek rincian data statistik perikanan, akurasi dan kelengkaan sangat diragukan, terutama untuk hasil tangkapan. Di luar PPI Donggala, sebagian besar ikan yang didaratkan, termasuk di/disekitar TPI di Labean (Teluk Tambu) tidak tercatat oleh instansi terkait. Diperoleh informasi dari petugas bahwa data yang ditampilkan adalah data hasil sampling dan ekstrapolasi. Volume IUU Fishing yang tidak tercatat (atau tercatat di daerah lain) diduga kuat setara atau bahkan melebihi volume yang tercatat 13

14 untuk sebagian besar spesies ikan. Kemudian terdapat beberapa spesies ikan (finfish maupun avertebrata) yang tidak tercatat secara terpisah, kemungkinan besar tidak/tidak pernah tercatat sama sekali, dan sekurangnya sebagian tidak masuk pula dalam kategori ikan lainnya. Pada 2009 diketahui bahwa beberapa komoditas yang hasilnya yang tercatat nol (0) atau tanpa data (-) sebenarnya ada hasil tangkapannya. PPI Donggala PPI Donggala mulai dibangun pada tahun 2006 dan mulai beroperasi pada tahun Pelabuhan tersebut merupkan percontohan di Sulawesi Tengah dan memiliki fasilitas yang jauh melebihi pelabuahn lainnya di WPP 713 ataupun 714 Sulawesi Tengah. Fasilitas tersebut bukan hanya pelabuhan, tempat pendaratan dan saran prasaran operasional (pabrik es dll) tetapi mencakup pula asrama nelayan dan sistem pendataan hampir real-time secara on-line. Kebersihan sangat terjaga, termasuk dari sapek pembuangan limbah oli, dimana selain disediakan tempat khusus, kapal lainnya mengucilkan kapal yang mencemari lingkungan yang dirasakan sebagai milik mereka bersama. Asrama nelayan digunakan terutama oleh nelayan berasal dari daerah Mandar (Provinsi Sulawesi Barat). Nelayan mandar sejak zaman layar (menggunakan perah Sandeq) mencari ikan di Selat Makassar hingga (dan mungkin melewatkan) perbatasan dengan Malaysia, namun sekarang umumnya menggunakan kapal motor dilengkapi dengan perahu-perahu kecil untuk memancing ikan pelagis, terutama ikan pelagis besar. Kapal yang berlayar dari PPI Donggala terutama kapal purse-seine (menurut informasi umumnya berpangkalan tetap di Donggala) dan kapal Mandar tersebut yang menggunakan alat tangkap utama pancing dan datang-pergi tergantung musim ikan sehingga jumlahnya sangat bervariasi antar bulan ataupun antar trip dan fase bulan. Menurut informasi dari petugas PPI sebagian kapal beregistrasi di Lombok dan pelabuhan lainnya. Apabila menetap lebih dari 6 bulan baru harus pindah beregristrasi di Donggala. Dilaporkan oleh petigas bahwa tonase (GT) pada surat-surat kapal sangat berbeda dengan kenyataan. Kapal 20-30GT cenderung memiliki surat dengan tonase 5-7 GT, dan semua kapal yang dilihat pada saat survey jauh melebihi GT yang tercat di anjungannya. Fenomena tersebut terlihat langsung saat survey. Oleh karena semua faktor ini, data armada sangat bias dari aspek jumlah dan/atau kapasitas, sekalipun di TPI yang memiliki sistem pendataan canggih. Alat pancing yang digunakan umumnya oleh kapal Mandar dilengkapi dengan sekitar mata pancing yang dipasang secara vertikal dan masih menggunakan umpan buatan tradisional seperti pada zaman layar (saat masih menggunakan perahu sandeq). Umpan tersebut terbuat dari benang kain sutera (asli/sintetik) berwarna-warni dan mengkilat. Sedangkan pukat cincin yang beroperasi secara resmi masuk dalam kategori atau jenis yang disebut purse seine mini namun hasil pengamatan bahwa sebagian diantaranya cukup besar ukurannya. Adapun data kapal perikanan yang berdomisili di PPI Donggala serta alat tangkap yang digunakan pada bulan Oktober 2013 tercantum pada Tabel Rincian ringkas serupa tidak tersedia untuk periode-periode sebelumnya. 14

15 Tabel Armada perikanan domisili di PPI Donggala bulan Oktober 2013 No. Jenis Alat Tangkap Motor Tempel <5 GT 5-10 GT GT GT Total 1 Payang (tmsk. Lampara) Pukat Cincin Serok dan songko Pancing tonda Pancing ulur Bubu (tmsk. Bubu ambai) Total Sumber: kapal_api=jumlah_kapal&tahun=2013&bulan=09 [30/10/2013] Menurut petugas dan nelayan, setiap tahun jumlah kapal yang menggunakan PPI Donggala sebagai pelabuhan registrasi ataupun pelabuhan operasional semakin meningkat. Data berkaitan dengan armada perikanan berdasarkan tonase dan alat tangkap yang diperoleh dari PPI Donggala untuk tahun 2012 tercantum pada Tabel Data serupa tidak tersedia untuk tahun 2010 dan 2011, namun sebenarnya (dengan waktu/usaha yang cukup banyak) secara teoretis dapat diperoleh dari data rincian pengeluaran surat (seperti SPB) dan data trips. Bulan Tabel Data Armada dan Alat Tangkap di PPI Donggala Tahun 2012 Penangkap Sub Pengangkut < 5 GT 5-10 GT > GT Total 5-10 GT Sub Total Total Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember

16 BULAN Alat Tangkap Purse Seine Payang Bubu/Jerat Hand Line Total Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Sumber: Data PPI Donggala, Oktober 2013 Apabila dilihat khusus bulan Oktober, jumlah armada sebanyak 141 kapal pada tahun 2013 mengindikasikan peningkatan cukup tajam dari tahun 2012 ke tahun 2013, dibanding dengan jumlah 82 pada bulan yang sama atau jumlah rata-rata selama tahun 2012 sebesar 113 unit. Kapal INKAMINA yang telah beroperasi berbasis PPI Donggala baru satu. Diprediksi bahwa sedikintya dalam jangka pendek jumlah dan kapasitas armada akan meningkat terus, antara lain dengan rencana pengadaan dua kapal INKAMINA tahun depan (2014). Untuk data tonase, GT ril umumnya lebih dari 10 GT (sampai sekitar 20 ton) lebih tinggi dibanding jumlah yang ada pada tabel tersebut. Semua kapal yang teramati masuk pada kisaran GT, sebagian besar pada kisaran GT, meskipun registrasinya umumnya 5-10GT. Dari aspek kesediaan es, pabrik di PPI tidak mampu memenuhi kebutuhan, sekalipun dengan adanya pasokan es dari 2 pabrik swasta. Hasil pengamatan terhadap kapal yang pulang setelah trip 4-5 hari (panjang trip yang biasa di luar musim puncak), bahwa esnya telah cair dan rantai dingin khusus ikan hasil tangkapan tidak terjaga dengan sempurna/baik. Penurunan mutu nyata nampak pada hasil tangkapan lebih awal dalam trip, meskipun mutu ikan hasil tangkapan terakhir nampaknya baik. Penyortiran di pelabuhan dilakukan berdasarkan ukuran, bukan mutu, dan pemasaran diatur oleh punggawa. Pencatatan di PPI Donggala (UPTD Provinsi Sulawesi Tenggah, bukan Kabupaten Donggala) menggunakan sistem on-line yang real-time atau hampir, terutama khususnya data hasil tangkapan. Untuk sementara terbatas pada pendaratan di PPI itu sendiri namun ada rencana untuk diperluaskan daerah operasionalnya untuk mencapai beberapa kelurahan/desa di sekitarnya. Sistem tersebut dapat diakses oleh siapapun dengan koneksi internet yang memadai. Namun data di website umumnya belum dalam bentuk yang tepat sebagai bahan perencanaan pengolahan perikanan, marupakan hasil tangkapan per hari per kapal dan per bulan, yang kemudian perlu dicopy dan diolah. Kemudian dengan koneksi relatif lemah seperti umumnya tersedia di wilayah di sekitarnya (termasuk di Kota Palu) website tersebut sulit untuk dibuka dan dilihat halamannya. Data agregat yang diperoleh dari PPI Donggala tercantum pada Tabel dan Gambar

17 Tabel Data Produksi Ikan menurut bulan/tahun di TPI Donggala Tahun Bulan Baby Jumlah Tuna Tongkol Cakalang Layang Kembung Marlin Dll Tuna Januari 539 3,585 7,245 10, ,684 Februari ,000 5,050 5, ,975 Maret 6,401 6,200 19,700 18,850 11,350-1,280-63,781 April 13,795 8,525 10,600 23,675 62,075-1, ,267 Mei 18,895 14,700 22,850 10,500 34,250-2, ,678 Juni 20,042 7,235 16,675 11,105 21,675-8,614-85,346 Juli 20,356 10,400 15,600 11,100 44,850-2, ,664 Agustus 6,089 13,225 26,425 19,125 57, , ,627 September 359 6,900 14,800 8,000 25, ,484 Oktober 4,632 16,700 25,450 2,850 20,100-1,878-71,610 Nopember 3,107 8,150 18, ,200-1,177-38,084 Desember 337 3,450 11,000 2,450 1, ,787 Jumlah 95,102 99, , , , , , Bulan Baby Jumlah Tuna Tongkol Cakalang Layang Kembung Marlin Dll Tuna Januari 4,960 13,175 31,705 32,555 19,125-2, ,682 Februari 3,772 8,815 12,750 18,912 8, ,788-55,882 Maret 1,071 6,545 12,665 1,190 27, ,688 April 9,364 5,100 13,940 4,590 17, ,548 Mei 18,499 4,760 8,500 9,095 12,750-1,163-54,767 Juni 48,035 3,740 12,240 3,825 6, ,932 Juli 35,254 2,040 10,115 9,180 20, ,346 Agustus 2,533 9,052 10,455 19,975 31, ,625 September 5,142 13,600 31,875 75,055 55, ,582 Oktober 3,094 5,450 42,755 56,440 43, ,974 Nopember 2,920 4,845 12,410 22,270 6, ,055 Desember 2,774 7,395 16,660 43,520 19, ,422 Jumlah 137,418 84, , , ,267 2,325 10,299-1,015, Bulan Baby Jumlah Tuna Tongkol Cakalang Layang Kembung Marlin Dll Tuna Januari 42,457 25,350 65,750 60,950 79,200 11, ,191 Februari 45,717 25,700 62,450 45,400 75,800 1, ,251 Maret 55,107 22,350 75,400 55,400 78, ,087 April 53,955 20,600 73,700 65,200 81,350 1, ,035 Mei 58,550 28,450 90,850 68, ,500 6,600 1, ,588 Juni 45,550 30, ,600 67, ,200 8,350 3, ,679 Juli 41,500 31, ,000 51, ,100 16,150 3, ,150 Agustus 59,700 35, ,700 65, ,300 14,050 3, ,850 September 43,718 33, ,250 62, ,425 11,685 4, ,083 Oktober 39,800 28, ,300 57,400 96,130 9,750 3, ,330 Nopember 60,800 37, ,650 71, ,260 11,860 5, ,035 Desember 83,650 33, ,225 67, ,640 2, ,753 Jumlah 630, ,193 1,286, ,155 1,305,305 96,205 28,795-4,436,032 17

18 2013 Bulan Baby Jumlah Tuna Tongkol Cakalang Layang Selar Sunglir Marlin Lamadang Dll Tuna Januari ,680 74, ,468 96,191 13,195 4, ,455 Februari - 28,772 65,975 76,794 48,807 9,301 4, ,929 Maret 10,157 67, , , ,868 9,900 3,777 2,858 1, ,689 April 5,451 69,358 65, ,272 88,503 5,395 3,205 3, ,626 Mei 35,217 72,552 54, ,166 89,679 3,572 1,357 4, ,557 Juni 36,635 25,244 23, ,708 35,885 3,285 1,071 3, ,615 Juli 4,844 17,381 12,425 69,595 15,977 3, ,275 Agustus ,525 18,861 56,618 6,587 2, ,812 September 14,885 21,195 12,866 48,668 5,874 1, ,007 1, , ,61 Jumlah 344, ,661 1,145,81 53,435 20,127 17,204 5, ,662, ,371 Sumber: Data PPI Donggala Oktober 2011 Sumber: Data PPI Donggala Oktober 2013, diolah Gambar Hasil Tangkapan menurut spesies di TPI Donggala Tahun Data produksi TPI Donggala dalam satuan kg. Apabila dikonversi pada ton, maka sangat rendah dibanding data statisitk perikanan. Pada tahun 2010 merupakan < 5% dari total produksi Kabupaten, dan pada tahun 2011 sekitar 6%. Dengan asumsi produksi total tidak menurun sejak tahun 2011, maka pada tahun produksi tertinggi (2012) merupakan sekitar 25% produksi total dan pada tahun 18

19 2013 diprediksi akan sekitar 16% (ketiga bulan terakhir memiliki produksi terendah hampir setiap tahun). Meskipun tahun 2013 belum berakhir, jika pola musiman sesuai kebiasaan historis serta pola yang dianggap biasa oleh petugas dan nelayan, yaitu rendah pada akhir tahun (awalnya musim Barat) maka produksi total pada tahun 2013 akan secara signifikan lebih rendah dibanding pada tahun Jika diasumsikan bahwa penankapan 3 bulan terakhir akan setara dengan penangkapan rata-rata per bulan (asumsi sangat optimis) maka total hasil tangkapan akan sekitar 80% dari hasil tangkapan tahun Perubahan besar dalam komposisi hasil tangkapan terjadi antar tahun 2012 dan 2013, dimana volume maupun persentase ikan cakalang dalam hasil tangkapan meningkat tajam dan menjadi komponen dominan (seperti terlihat pada survey lapangan); selain itu, hasil tangkapan menjadi lebih beragam dengan ditambah 3 kategori khusus,yaitu sunglir dan lamadang, serta untuk pertama kali terdapat kategori ikan lainnya. Sedangkan jenis ikan lain hampir stabil (baby tuna dan marlin) atau menurun tajam (tuna, tongkol, layang, kembung/selar). fenomena tersebut mungkin hanya perubahan antar tahun dalam sumberdaya ataupun dalam rejeki atau tingkat usaha dan persaingan antar nelayan, namun mungkin juga mengindikasikan bahwa eksploitasi dari beberapa stok di Selat Makassar telah melewati daya dukung. Apabila cakalang juga mengalami penurunan maka produksi total akan menjadi sangat rendah. Kemudian dari 3 kapal yang disaksikan langsung pendaratan hasilnya, setelah 5 hari operasi (maksimum yang memungkinkan dari aspek kesediaan makanan ABK dan es), satu tidak memperloh hasil yang mencukupi untuk menutupi ongkos operasional. Menurut nelayan maupun petugas, CPUE tidak mengalami penurunan. Namun apabila dilihat data pada Gambar 2.1.2, terindikasi bahwa peningkatan upaya dan puncak penangkapan pada 2012 diikuti oleh penurunan dalam beberapa stok dan pergesaran dalam jenis ikan hasil tangkapan pada tahun Cenderungan tersebut perlu diikuti dengan seksama pada tahun-tahun mendatang, berkaitan dengan indikasinya tangkap lebih pada beberapa stok dan rencana peningkatan armada dan fasilitas lain. Daerah penangkapan umumnya pada rumpong, dengan jarak hingga 100 mil atau lebih, lokasinya sangat dirahasiakan namun terindikasi umumya ke arah utara dan barat, dan kadang masuk pada WPP 716. Untuk sedikitnya sebagian trip diduga kuat sertifikat 60 mil yang umumnya dimilki oleh nakhoda mungkin sudah tidak sesuai dengan pelayaran yang dilakukan. Sertifikat tersebut sebagian cukup besar diperoleh melalui pelatihan yang difasilitasi oleh pihak PPI Donggala. Dari aspek pengawasan perikanan, Polairud memiliki kapal yang berpangkalan (sediktinya secara efektif) di PPI Donggala dan menutu petugas PPI kerjasama antar PPI, Polairu dan TNI-AL cukup baik dan telah sangat menurunkan perikanan ilegal, termasuk perikanan destruktif, pencurian ikan oleh kapal luar negeri (Malaysia dan Filipina) dan penyeludupan ikan ke Tawau oleh nelayan Indonesia. Dari aspek ukuran ikan, untuk spesies yang diamati langsung tuna hampir semuanya pada kategori baby tuna yang berarti masih juvenil (panjang < Lm), dimana hanya 1 ekor mungkin telah matang gonad. Untuk cakalang dan tongkol, jumlah ikan yang kemungkinan besar telah dewasa sekitar setengah. Untuk ikan kembung/selar, umumnya matang gonad (sampel yang diambil semuanya matang gonad). Janis lain tidak sempat diamati dan tidak dapat informasi ukuran. Namun terdapat 19

20 pernyataan dari petugas maupun nelayan bahwa apabila ikan di rumpong terlalu kecil maka tidak dilingkar /dipancing, karena akan rugi (murah dan susah pemasaran). Khusunya layang, yang masih dipandang sebagai salah satu hasil utama, meskipun menurun tajam tahun 2013, beberapa spesimen yang terlihat bercampur dengan cakalang saat pembongkaran palka, diperkirakan bahwa sekitar 50% pada ukuran > Lm. Dengan demikian apabila disatukan semua jenis kiranya sekitar 50% belum mencapai Lm. Pemasaran ikan diatur oleh punggawa, dan ikan dijual dengan harga tinggi ke Sualwesi Selatan, Sulawesi Barat atau Kalimantan jika harga di Palu/Sulawesi Tengah tidak memuaskan. Menurut petugas PPI dan pungawa, harga cenderung melebihi harga ikan di pasar eceran di Palu, dan hal tesebut terasa langsung saat berusaha memperoleh sampel. Menurut petugas PPI, kesejahteran nelayan cukup tinggi, umumnya pendapatan ABK melebihi pendapatan masyarakat di sekitarnya seperti tukang dan buruh. Pendapatan punggawa dan nahkoda tentu lebih tinggi dari itu. Namun demikian, selain punggawa sangat jarang ada yang memiliki tabungan. Mayoritas nelayan di PPI Donggala adalah nelayan andon (Mandar dan lainnya), sehingga sebagian besar pendapatan cenderung terbawah keluar daerah sehingga kontribusi terhadap ekonomi lokal relatif rendah dibanding nelayan lokal. Sifat perikanan berbasis PPI Donggala berbeda dengan perikanan lainnya di Kabupaten Donggala (ataupun Sulawesi Tengah secara umum) dari berbagai aspek. Maka dalam analisa sangat menyulitkan untuk menentukan indikator-indikator khusus kabupaten tersebut secara keseluruhan. TPI Labean TPI Labean di Teluk Tambu pernah dikunjungi pada survey tahun Saat itu sama sekali tidak berfungsi, dan semua pendaratan masih di pantai di depan pasar tradisional. Jembatan tersebut tepat untuk kapal GT ke atas sedangkan kapal-kapal yang beroperasi (termasuk perahuperahu pendaratan hasil tangkapan bagan) tidak sebesar itu, dan akan sangat kesulitan dalam bersandar dan memanjat jembatan. Pada saat survey EAFM, sebagian besar fasilitas di TPI di Labean masih belum atau hampir tidak pernah berfungsi, ataupun sedang tidak berfungsi. Fasilitas yang belum berfungsi termasuk jembatan TPI, faslitas berkaitan dengan SPDN dan pelelangan ikan. Sedangkan fasilitas penting yang tidak berfungsi secara sementara (sedang dalam perbaikan) adalah pabrik es. Es menjadi kendala, sekalipun saat pabrik beroperasi. Saat survey, pendaratan umumnya berdekatan dengan TPI, di dua sebelah jembatan. Jenis alat tangkap utama yang beroperasi dari aspek volume ikan yang didaratkan adalah bagan perahu, sebagian besar tergolong bagan moderen dengan lampu listrik berwatt tinggi. Selain itu terdapat beberapa perahu dengan jaring lingkar dan jaring insang. Pukat pantai juga beroperasi dan tentu terdapat banyak perahu kecil, yang sebagian besar menggunakan sampan. Hasil yang didaratkan terdiri atas ikan pelagis besar (tongkol, cakalang) dan kecil serta ikan dasar campuran. Data sampling beberapa jenis ikan hasil pancing, jaring lingkar dan gillnet serta bagan (namun tidak termasuk bagan yang menargetkan ikan teri) tercantum pada Tabel

21 Tabel Data Sampling Ikan di Labean (non-bangan) Jenis Ikan Kisaran Ukuran (cm) Kisaran berat (g) % dewasa (> Lm) Kerapu Betina: < 12% Jantan: 0% Kakap (snapper) Tidak ada data < 50% Tenggiri ekor, > Lm Haemulidae 35.5 Tidak ada data 1 ekor, > Lm Ikan dasar lain (campuran ) - - umumnya < Lm Lajang (Solisi) % Cakalang % Tongkol % Selar (katombo) ± 50% Data sampling hasil bagan perahu dimana spesies target adalah ikan teri tercantum pada Tabel Pada bagan perahu, bycatch sangat tinggi dari aspek jumlah/volume maupun keanekaragaman. Tabel menunjukkan bahwa alat tangkap bagan bukan hanya tidak selektif tetapi dapat mengancam stok berbagai jenis ekonomis penting termasuk jenis pelagis besar bernilai tinggi. Ini berbeda dengan hasil tangkapan ikan teri oleh perahu-perahu serok di Lero (perikanan skala kecil, semi-tradisional) yang (berdasarkan hasil sampling oleh mahasiswa STPL) memiliki bycatch rendah (< 15% total hasil). Tabel Data Sampling Ikan Hasil Tangkapan Bagan Perahu di Labean Jenis Ikan Perikiraan % jumlah Perkiraan % volume % > Lm dan Keterangan Ikan teri 25-40% 30-40% Cakalang dan jenis tuna-likelainnya 35-50% 35-50% 30-50% ( cm) Spesies sasaran utama 0% ( cm) Larva/juvenil kecil Cumi Loligo sp. < 5% 10-15% Juvenil (badan 3-6cm) Rambe (merah) TL 7-10cm Sobang (biru/perak) TL 5-8cm < 5% 5 10% < 5% ± 5% Tidak diketahui nama ilmiah atau Lm kedua spesies ini (spesies kecil atau juvenil?) Layur < 5% < 5% Larva/juvenil kecil Krustasea < 5% < 5% Larva/juvenil kecil Ikan pelagis lainnya < 5% < 5% Larva (1-4 cm) Ikan demersal dan semi-pelagis < 5% < 5% Larva (2-5 cm) > 5 jenis Pemasaran hasil tangkapan sebagian besar langsung dalam bentuk ember kepada penjual/padola dengan motor untuk berbagai tujuan dalam provinsi (pantai timur dan barat, pegunungan, Kota Palu). Sebagian dikemas dalam coolbox (gabus putih) untuk dibawah dengan mobil, terutama ke Sulawesi Selatan. Sebagian kecil dibawah ke pasar lokal, termasuk di pinggir jalan Trans-Sulawesi, dimana selain masyarakat lokal dibeli juga oleh kendaraan yang lewat. 21

22 Kegiatan perikanan ilegal dan destruktif di Teluk Tambu tetap sangat banyak, seperti ditemukan pada tahun 2002 (YACL, 2002) dan 2007 (KMB Sulteng, 2008). Sebagian besar pelaku dari desa-desa di Tanjung Balaesang, sedangkan sebagian dari desa lain dan dari luar daerah (termasuk nelayan andon) ataupun luar negeri. Petugas TPI dan masyarakat nelayan di Labean dan sekitarnya sebenarnya ingin adanya penekanan namun kesulitan dalam memperoleh bukti, dari aspek sarana pengawasan serta dengan aspek sosial (antara lain kebersediaan/keberanian masyarakat untuk menjadi saksi). Pengambilan biota yang dilindungi sudah jarang dibanding dulu, terutama karena biota tersebut tidak ditemukan atau hanya dalam jumlah kecil. Bagan diakui terlalu banyak dan melebihi daya dukung sumberdaya, sehingga perlu mencari sistem pengaturan untuk membatasi jumlah dan kapasitas ( misalnya kekuatan lampu). Selain itu, menjadi keluhan umum bahwa hasil tangkapan kurang dari dulu, kemudian ukuran ikan menurun dan fishing ground (selain untuk bagan) cenderung semakin jauh. 2.2 PerikananKabupatenBanggai Kabupaten Banggai merupakan bagian dari dua zona pengelolaan perikanan pada tingkat Provinsi maupun dua WPP pada tngkat nasional. Bagian selatan merupakan bagian dari Zona III Pengelolaan Perikanan pada tingkat Propinsi Sulawesi Tengah (Teluk Tolo) serta WPP 714 pada tingkat nasional, bersama dengan Kabupaten Morowali, Banggai Kepulauan dan Banggai Laut dan perbatasan langsung dengan perairan ketiga kabupaten Sulawesi Tengah lainnya serta perairan Provinsi Sulawesi Tengah di Zona III/WPP 714 tersebut. Bagian utara perairan Kabupaten Banggai masuk dalam Zona II (Teluk Tomini) bersama dengan Kabupaten Tojo Una-Una, Poso dan Parigi-Moutong, serta WPP 715 (Teluk Tomini dan Laut Banda). Perairan Kabupaten Banggai di Zona II/WPP715 tersebut berbatasan langsung dengan perairan Kabupaten Tojo Una-Una serta Provinsi Sulawesi Tengah dan tentu saja perairan Kabupayen Banggai di WPP 714. Fakta bahwa Kabupaten Banggai merupakan bagian dari dua WPP (714 dan 715) menimbulkan berbagai tantangan sangat rumit dalam melakukan analisa data sektor perikanan dan kelautan berbasis WPP (714/715) ataupun Zona (II dan III). Kesulitan tersebut dirasa pada saat penyusunan dua studi dengan cakupan luas yaitu Kajian Profil Perikanan Tangkap Sulawesi Tengah tahun 2007 (STPL, 2007) dan Profil Teluk Tomini (Moore, 2012). Pada kedua kajian tersebut ditmukan bahwa, berdasarkan data yang tersedia, dari aspek volumetotal hasil penangkapan, proposi yang terindikasi berasal dari setiap Zona/WPP relatif sama dan untuk setiap zona cenderung berada dalam kisaran 45-55%. Maka, dalam kajian ini, terkecuali terdapat informasi khusus per WPP/Zona, diasumsi bahwa volume produksi perikanan terbagi rata (masing-masing 50%). Dari aspek komposisi hasil tangkapan, tidak terdapat data (statistik atau lainnya) yang memungkinkan untuk memisah antar Zona/WPP pada tingkat jenis ikan. Hal ini diduga menimbulkan bias cukup besar apabila tetap pakai pembagian 50/50 pada tingkat jenis ikan atau parameter apapun selain volume total penangkapan, meningat bahwa dari aspek lingkungan alam (termasuk sifat perairan maupun sumberdaya ikan) serta sosio-ekonomi dan budaya (umum dan perikanan) kedua bagian cukup berbeda. Maka data sekunder yang ditampilkan pada tingkat spesies merupakan gabungan dari kedua WPP/Zona. Demikian pula sebagian besar data armada, RTN, dll. Kajian Profil Perikanan Tangkap Sulawesi Tengah tahun 2007 (STPL, 2007) khususnya bagian yang 22

23 menyangkut Zona III, cukup mendalam dari berbagai aspek. Sebagian besar data dan informasi pada dokumen tersebut mengenai keadaan wilayah dinilai masih valid, terutama dari aspek kondisi alam/lingkungan serta sumberdaya perikanan. Namun demikian, sama dengan Kabupaten Donggala di atas, salah satu perubahan besar yang terjadi di sektor perikanan tangkap sejak awal 2000-an adalah perubahan dalam jumlah armada dan alat tangkapan, di dua Zona/WPP. Pada umumnya armada meningkat dari aspek jumlah maupun kapasitas (motorisasi, peningkatan tonase). Alat tangkap meningkat pula dari aspek jumlah, terutama jumlah jenis alat tangkap yang moderen dan atau memiliki daya tangkap lebih besar. Perubahan besar lainnya adalah pengembangan sektor pengolahan hasil perikanan, dengan kehadiran beberapa perusahan (pabrik) pengolahan (pembekuan, filleting dll) di Kota Luwuk dan di sekitarnya. Pembangunan pabrik olahan ikan mendorong peningkatan tajam dalam jumlah kapal motor, sebagian besar berasal dari propinsi lain, dan cenderung beroperasi di perairan Zona III secara keseluruhan serta sebagian Zona II (WPP 715). Menurut perwakilan Dinas Perikanan dan Kelautan Banggai pada rapat koordinasi tingkat Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2011, seperti di kabupaten lainnya di Sulawesi, sebagian besar kapal perikanan di Kabupaten Banggai memiliki surat yang tidak sesuai dengan ukuran atau kapasitas ril kapal. Hal ini disebabkan antara lain oleh keinginan untuk mengurus surat pada tingkat lokal. Dengan demikian diduga atau bahkan dapat diasumsikan bahwa kapasitas armada yang beroperasi lebih tinggi dibanding yang tercatat. Selain itu sejumlah besar kapal dari kabupaten dan provinsi lain beroperasi di perairan WPP 714 dan 715 (Zona IIII dan II) dan mendaratkan sekurangnya sebagian hasilnya di Kabupaten Banggai, termasuk secara khusus dari. Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara dan Gorontalo. Hasil tangkapan di perairan Zona III, termasuk di perairan Kabupaten Banggai, sebagian signifikan (sangat sulit dikuantifikasi) cenderung terbawah tanpa melalui prosedur resmi/pencatatan ke provinsi lain melalui jakur laut (Sulawesi Selatan, Utara, Tenggara; Gorontalo; Bali; Pulau Jawa) bahkan ke luar negeri oleh kapal penangkap langsung maupun oleh kapal penampung/pengankut khusus (carrier) melalui transaksi ship to ship (STPL, 2007). Sebaliknya, kapal-kapal perikanan dari Kabupaten Banggai cenderung beroperas, dana kadang mendaratkan ikannya di perairan Zona II dan III, serta di perairan Provinsi lainnya di WPP 714 dan 715. Berdasarkan beberapa aspek sektor perikanan yang tergambarkan di atas, data sekunder, terutama statistik perikanan tangkap di WPP 714 Kabupaten Banggai sangat meragukan. Hal ini khusus data itu sendiri secara umum dan secara khusus dari aspek pembagian antar WPP 714 dan 715. Namun demikian, data statistik yang ada mengenai beberapa aspek disajikan secara ringkas di bawah ini. Armada Perikanan dan Daerah Penangkapan Data statistik armada yang diperoleh tercantum pada Tabel Data tersebut mencakup periode 2004sampai Data 2003 identik dengan tahun 2004 maka tidak disajikan. Dapat dilihat bahwa pada periode terjadi peningkatan jumlah armada hingga 2009, kemudian mulai sekitar 2006 terjadi pergeseran semakin pesat terhadap armada bermotor, baik motor tempel maupun kapal motor. Menurut informasi lisan dan hasil obervasi cenderung tersebut terus berlanjut. Meskipun telah ada penertiban dan khususnya untuk kapal berpangkalam di Luwuk dan Pagimana kesesuaian kiranya lebih tinggi dibanding PPI Donggala, data tonase (GT) masih diragukan, dan diduga cenderung di bawah GT yang sebenarnya. Jumlah rumpon pernah menurun tetapi pada 23

24 tahun 2011 meningkat hampir 50% dibanding tahun 2004 dan jumlah kompresor meningkat terus. Saat ini kompresor telah dilarang namun diduga masih ada yang beroperasi, terutama di daerah relatif jauh dari pengawasan ke arah selatan dan timur dari Luwuk. Tabel Data Statistik Armada Perikanan Tangkap dan Alat bantu Jenis Armada Tanpa Motor Motor Tempel GT GT GT Total Rumpon Kompresor Sumber: Kabupaten Banggai dalam Angka (2004, 2005, 2006, 2009 dan 2012) Selain armada berupa kapal motor yang meningkat daria spek jumlah maupun kapasitas (GT), sama dengan semua kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah, sebagian besar armada dari aspek jumlah masih berupa sampan atau perahu kecil tradisional. Motorisasi dalam bentuk pemasangan motor tempel jenis katinting telah berkembang dengan pesat, saat ini diduga jauh melebih angka 2011, dan meningkakan kemampuan/kapasitas dari aspek jarak tempuh nelayan skala kecil. Terjadi pula perubahan dalam armada ini akibat semakin langkanya pohon besar, dengan konsekuensi perahu (sampan) cenderung lebih mahal, lebih sempit dan disambung dengan papan, serta kualitas kayu sering lebih rendah, stabilitas intrinsik juga lebih rendah. Pengadaan perahu fiber di beberapa lokasi merupakan bagian dari beberapa program sektor perikanan dan kelautan. Perairan pesisir secara resmi diperuntungkan untuk armada perahu kecil tersebut. Namun dalam kenyataan perairan pesisir tersebut kerapkali diusahakan juga oleh armada perikanan berskala lebih besar, termasuk pelaku Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUUF) lokal, dalam negeri dan dari luar negeri. Rumah Tangga Perikanan (RTP) Data statistik rumah tangga perikanan (RTP) agregat untuk Kabupaten Banggai (WPP 714/715) dari Diskanlut Sulawesi tengah ( dan ) relatif mirip dengan data armada, dan tercantum pada Tabel Tabel Data statistik RTP Kategori Tanpa Perahu Jukung Perahu papan Motor Tempel GT GT GT GT Total Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah ( ); Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banggai (2012). 24

25 Menurut data pada Tabel 2.2.2, peningkatan tajam dalam jumlah RTN terjadi antar tahun 2004 dan Data RTP dari BPS Kabupaten Banggai memungkinkan untuk memisah Zona II dan Zona III. Data tersebut disajikan pada Gambar Sumber: Kabupaten Banggai dalam Angka ( ) Gambar Perkembangan RTP di Kabupaten Banggai (total dan WPP 714) Data pada gambar menunjukkan kondisi relatif stabil hingga tahun 2009 kemudian peningkatan dalam jumlah RTN pada semua kategori usaha perikanan tangkap laut di Kabupaten Banggai secara keseluruhan dan di WPP 714 secara khusus, antar 2010 dan Hal ini berbeda dengan data pada Tabel dari segi waktu peningkatan maupun jumlah RTP pada setiap tahun selama periode Perbedaan tersebut mungkin disebabkan oleh pola pengumpulan dan pengolahan data yang berbeda. Namun demikian, dua cenderungan utama yaitu peningkatan jumlah RTP dan peningkatan skala usaha perikanan dinilai sesuai dengan kenyataan. Alat Tangkap Alat tangkap cukup bervariasi. Data statistik alat tangkap tercantum pada Tabel Data tersebut mencakup periode Tabel Data Statistik Alat Tangkap Ikan Jenis Alat Tangkap Bubu Pancing Tangan Pancing Tonda Sero Gill Net Jala Lempar Pukat Pantai/ Dampar Bagan Apung Bagan Tancap Pukat Cincin Pajala (Payang) Rawai Dasar Lainnya Total Sumber: Kabupaten Banggai dalam Angka (2004, 2005, 2006, 2009 dan 2012) 25

26 Alat bantu yang digunakan selain rumpon atau fish aggregating device (FAD), antara lain lampu yangdigunakan pada alat tangkap bagan, purse seine (bersama dengan rumpon), tombak dan lainnya. Namun data statistik alat bantu selain rumpon dan kompresor (Tabel 2.2.1), tidak tersedia. Data tersebut menunjukkan peningkatan dalam jumlah total dan sebagian besar jenis alat tangkap sampai sekitar Kemudian pada tahun 2011 telah nampak adanya pergeseran ke arah alat tangkap yang memiliki daya atau kapasitas penangkapan lebih tinggi, terutama pukan cincin, seiring dengan perubahan/peningkatan kapasitas armada. Jenis Sumberdaya Ikan Sumberdaya ikan yang dilaporkan dalam statistik pada tingkat Kabupaten (gabungan WPP 714/715) cukup bervariasi. Dalam kenyataan lebih banyak jenis lainnya tertangkap (STPL, 2007), sehingga komponen ikan lainnya dinilai cukup beragam. Data statistik komposisi hasil tangkapan tercantum pada Tabel (data Diskanlut Sulteng) untuk periode Data tersebut menunjukkan adanya peningkatan volume disertai dengan perubahan dalam komposisi hasil tangkapan. Selain 24 jenis ikan dan avertebrata pada Tabel yang baru tercatat pada tahun 2009, 13 jenis ikan lainnya juga tercatat untuk pertama kalinya pada tahun 2009 namun karena volume kecil disatukan dengan ikan lainnya pada tabel tersebut, sehingga total 37 jenis baru. Sedangkan salah satu hasil tangkapan utama pada tahun 2004/2005,yaitu ikan layang (lajang), tidak tercatat pada tahun Jumlah jenis ikan pelagis besar (tuna dan tuna-like) yang tertangkap meningkat namun volume ikan tongkol menurun tajam dan cakalang hampir stabil meskipun usaha meningkat tajam. Dari aspek biota yang dilindungi, penyu dan ikan napoleon tercatat tahun Tabel Data Statistik Komposisi Hasil Tangkapan Kabupaten Banggai Jenis Alu-Alu Bawal Hitam Bawal Putih Belanak Bentong Beronang Biji Nangka Cakalang 1, , , Cucut Daun Bambu Ekor Kuning/Lolosi , Gerot-Gerot Golok-Golok Gulamah Ikan Napoleon Ikan Terbang Japuh Julung-Julung Kakap Putih Kembung ,

27 Kerapu Karang , Kurisi Kuwe Layang 5, , Layur Lemuru Lencam Manyung Merah/Bambangan Nomei Pari Peperek Pinjalo Selar 1, , , Sunglir Swanggi Tembang Tenggiri Tenggiri Papan Teri , Tetengkek Tongkol (3 jenis) 3, , , Tuna (4 jenis) Ikan Lain Rajungan Kepiting Udang Barong Udang Windu Udang Putih Udang Dogol Udang Lain BBK Lain Tiram Kerang Darah Cumi-Cumi Sotong Gurita Binatang Lunak Lainnya Penyu Teripang Total 14, , , Sumber: Disklutkan Sulawesi Tengah 27

28 Data produksi dari BPS Kabupaten Banggai untuk periode pada Tabel mencakup produk segar dan olahan, dan menurut petugas di Dislutkan Kabupaten Banggai merupakan data ikan/produk perikanan yang keluar dari daerah. Produk yang diyakin merupakan hasil budidaya tidak dicantumkan pada Tabel tersebut. Tabel Data Statistik Produksi Perikanan Laut Kabupaten Banggai Jenis ikan Baronang Bobara Cumi-Cumi Ekor Kuning Gurita Ikan Asin Campuran Ikan Asin Katambak Ikan Asin malalugis Ikan Campuran Ikan Dasar Segar Ikan Layang Beku Ikan Sardin Ikan Teri Kering Japing-Japing Kadompe Kakap Katambak Kepala Ikan Kepiting Kerapu Kerapu Hidup Kerapu Tikus Lajang Layang Kering Lobster , Lola Lolak (Bia-Bia) Lolosi Rajungan Roa Roa Kering Solisi Suntung Tenggiri Teripang Tongkol/Deho Tulang Ikan Tuna Tepung Ikan Filet Beku Sumber: Kabupaten Banggai dalam Angka ( ) 28

29 Perbedaan antar angka pada kedua tabel tersebut sangat besar dari aspek volume maupun jenis, namun data pada Tabel juga menunjukkan adanya peningkatan volume maupun pergeseran dalam komposisi hasil tangkapan. Diduga pula bahwa sebagian perubahan merupakan akibat pola pendataan yang berbeda antar periode, termasuk dari aspek jenis-jenis yang dicatat secara terpisah maupun pola sampling dan ektrapolasi. Sedangkan salah satu faktor pengaruh lain termasuk perkembangan dalam sektor pengolahan hasil perikanan. Tidak diketahui apakah jenis sumberdaya ikan pada Tabel dan tertangkap di Teluk Tomini (Zona II/WPP 715) atau Teluk Tolo (Zona III/WPP714) ataupun (terutama produk olahan pada Tabel 2.2.5) di perairan lain. Olahan Hasil Perikanan Data statistik olahan hasil perikanan tangkap agregat untuk Kabupaten Banggai (WPP 714/715) tercantum pada Tabel Data tersebut menunjukkan variabilitas yang besar. Dari aspek pengolahan tradisional seperti ikan kering, diduga bagian terbesar di WPP 715, terutama di Jaya Bakti dan daerah lain sekitar Pagimana. Pengolahan moderen seperti pembekuan, filleting dll terkonsentrasi daerah sekitar Kota Luwuk, termasuk di Desa Biak. Data pada Tabel menunjukkan bahwa sampai tahun 2012 masih ada olahan berupa pengeringan/penggaraman dan pembekuan, sedangkan pengasapan tidak dilaporkan. Hasil survey bahwa sejumlah pabrik pembekuan masih beroperasi, meskipun satu telah tertutup, dan sebenarnya pada tahun 2009 pembekuan tidak nol, dan pada tahun 2005 diduga kuat sebagian besar olahan tercata sebagai Lainlain sebenarnya pembekuan. Tabel Data Statistik Olahan Hasil Perikanan Tangkap Kab. Banggai Jenis Olahan Konsumsi segar 8, , Pengeringan/Penggaraman 1, , Pengasapan 1, , Pembekuan 3, Lain-lain 0 3, Total 14, , , ,672.1 Sumber: Disklutkan Sulawesi Tengah Lalu-Lintas Hasil/Produk Perikanan Data dari Stasiun Karantina Ikan di Luwuk yang sempat diperoleh hanya khusus tahun 2011, 2012 dan Tujuan pengiriman terutama Jakarta, Surabaya, Makassar dan Denpasar. Adapun data tersebut diringkas per kuartal pada Tabel Data tersebut menunjukkan adanya perubahan musiman dalam komposisi maupun volume. Jika dibandingkan data tersebut dengan data dan informasi primer maupun sekunder lainnya, terindikasi bahwa sebagian besar komoditas perikanan segar maupun olahan yang keluar dari WPP 714 di Sulawesi Tengah tidak melalui jalur resmi. Terindikasi pula bahwa secara agregat perusahaan-perusahaan olahan cenderung bekerja (jauh) di bawah kapasitasnya diduga akibat penurunan sumberdaya yang dilaporkan oleh sebagian besar responden, termasuk para nelayan. 29

30 Tabel Data Lalu-Lintas Produk Perikanan melalui Stasiun Karantina Ikan Luwuk Tahun 2013 (9 bulan) Volume per Kuartal Produk Olahan Satuan I II III Total Kerapu sunu hidup ekor 30,862 13,893 7,790 52,545 Kerapu sunu segar kg 1, ,892 Tuna segar kg Cakalang kg 0 32, ,000 Lajang kg 29,000 43, ,000 Baronang kg Tenggiri segar kg ,705 8,615 Hiu hidup ekor Kakap kg Louhan ekor Sidat kg 3,073 1,644 1,214 5,931 Nener ekor 576, , ,136,000 Fillet ikan segar kg 24,150 20, ,150 Fillet ikan beku kg 10,000 20, ,000 Kepala ikan beku kg 60, , ,000 Sirip hiu kering kg Minyak ikan kg 1, ,000 Sotong beku kg 0 25, ,000 Cumi-cumi beku kg 10,000 10, ,000 Gurita beku kg 213, ,491 30, ,718 Japing-japing kering kg Lobster hidup ekor 23,069 27,299 12,626 62,994 Lobster segar kg Teripang kering kg Kepiting bakau hidup ekor 22,653 42,825 36, ,663 Anemone laut ekor Kerang Mutiara hidup ekor Tahun 2012 Volume per Kuartal Total Produk Olahan Satuan I II III IV 2012 Kerapu sunu hidup ekor 15,234 11,258 5,287 27,376 59,155 Kerapu sunu segar kg 1, ,517 7,838 Tuna segar kg ,820 3,550 Lajang beku kg 32,500 46,140 63, , ,145 Tenggiri segar kg Hiu hidup ekor Ikan dasar segar kg , ,878 Sidat hidup kg 2,040 5,530 12,141 8,130 27,841 Nener hidup ekor 2,800, , ,000 4,440,000 Fillet ikan segar kg 1, ,100 Fillet ikan beku kg 0 16,000 8,000 33,000 57,000 30

31 Kepala ikan beku kg 81,400 82,500 24,000 50, ,900 Sirip hiu kering kg Ikan dasar kering kg Cumi-cumi segar kg 0 0 2, ,000 Cumi-cumi beku kg , ,000 Gurita beku kg 264, , , ,853 Japingjaping kering kg ,593 23,593 Lobster hidup ekor 22,909 23,574 13, ,447 Lobster segar kg Teripang kering kg ,719 11,901 Kepiting bakau hidup ekor 2, , ,747 Kepiting bakau segar kg Daging rajungan olahan kg Udang Kipas hidup ekor Tahun 2011 Volum per Kuartal Total Produk Olahan Satuan I II III IV 2011 Kerapu sunu hidup ekor 11,251 10,788 12,472 26,201 60,712 Kerapu sunu segar kg 1, ,037 1,317 3,637 Lajang beku kg 0 10,500 80, , ,850 Ikan beku kg 14, ,000 Ikan dasar segar kg 712 9, ,558 30,500 Angel piyama hidup ekor Sidat hidup kg ,112 2,552 5,073 Nener hidup ekor 2,777,000 1,831, ,000 5,503,000 Ikan kering kg ,000 1,000 Teri kering kg ,000 9,000 Fillet ikan beku kg 8,180 44,240 8,000 33,000 93,420 Kepala ikan beku kg 32,000 38, , ,000 Sirip hiu kering kg Kepala kakap beku kg 0 13, ,000 Cumi-cumi segar kg 0 5,000 1, ,000 Sotong segar kg 0 5,000 8, ,000 Gurita beku kg 341, , , , ,928 Japing-japing kering kg 1,000 1, ,790 Lobster hidup ekor 9,429 15,565 17,770 20,420 63,184 Lobster segar kg Teripang kering kg 1, ,026 Kepiting bakau hidup ekor 12,415 15,726 4,343 1,759 34,243 Kepiting bakau segar kg ,079 1,091 Kerang mutiara hidup ekor 0 1, ,300 2,300 Sumber: Data Karantina Ikan Banggai, diperoleh saat survey EAFM tahun

32 Dari aspek rincian data statistik perikanan, akurasi dan kelengkaan data perikanan Kabupaten Banggai sangat diragukan, terutama untuk hasil tangkapan, namun juga untuk komponen-komponen lainnya seperti olahan, armada, RTP, dan alat tangkap. Pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banggai mengakui bahwa pencatatan yang ada sebagian besar didasarkan pada pendataan terhadap ikan yang keluar dari Kabupaten, bukan ikan yang masuk/didaratkan; selain itu, data berdasarkan hasil sampling dan ekstrapolasi. Data lalu-lintaspun tidak semuanya lewat jalur resmi (termasuk secara khusus prosedur Karantina Ikan), termasuk hasil yang melalui jalur laut maupun darat. Volume IUUF yang tidak tercatat (atau tercatat di daerah lain) diduga kuat melebihi volume yang tercatat untuk sebagian besar spesies ikan. Kemudian beberapa spesies ikan (finfish maupun avertebrata) yang tidak tercatat secara terpisah kemungkinan tidak tercatat sama sekali dan tidak masuk pula dalam ikan lainnya. Perbedaan besar antar data Provinsi dan Kabupaten juga menjadi tanda tanya. Secara keseluruhan, dengan segala kekurangannya, data statistik mengambarkan sektor perikanan sangat kompleks: multi-gear, multi-spesies dengan skala armada/usaha perikanan yang beragam dan belum terdata dengan baik. Selain peningkatan tajam dalam usaha perikanan, cenderungan yang menonjol termasuk terjadinya pergeseran dari hasil tangkapan yang didominasi oleh penangkapan ikan demersal dan semi-pelagis kepada penangkapan ikan pelagis kecil maupun besar, peningkatan pemanfaatan avertebrata, serta peningkatan dalam pengolahan hasil perikanan tangkap, terutama olahan moderen. Trends tersebut dinilai sesuai kenyataan, meskipun nilia-nilai angka kemungkinan sangat besar bias/tidak akurat. Pengiriman hasil segar maupun olahan dengan tujuan dalam negeri (terutama Pulau Jawa) dan ke luar negeri (melalui perantara di Jawa, termasuk di Surabaya). TPI Luwuk Di TPI Luwuk, sebagian besar ikan yang didaratkan tidak tercatat menurut petugas teknis instansi terkait, dan saat kunjungan tidak ada pencatatan data resmi yang terlihat. Menurut petugas, sekitar 90% ikan yang didaratkan masuk dalam kategori IUUF, seringkali dari lebih dari satu aspek. Ikan yang dipasarkan sebagian dalam kondisi kurang baik (hasil perikanan destruktif) dan untuk spesies tertentu sebagian signifikan ukurannya di bawah Lm. Adapun data hasil sampling di TPI Luwuk diringkas pada Tabel Tabel Data Sampling Ikan TPI Luwuk Jenis Ikan Estimasi % > Lm Keterangan Ikan selar (katombo) > 50% Sebagian diduga hasil DF Dominan dari aspek volume Verifikasi Lm dengan sampling gonad (hancur namun telur terlihat) Malalugis/Layang/lajang 10-25% Sebagian besar masih juvenil Ikan tuna (yellowfin) 0-5% Semuanya baby tuna Umumnya cm Tongkol < 10% Hasil pengamatan gonad Cakalang 0% Hasil pengamatan gonad Ikan terbang (indosiar) > 50% Sebagian besar masih relatif kecil namun kemungkinan > Lm Kuwe (Carangidae) ± 50% Kisaran besar ukuran 32

33 Kakap dan Lencam (Lutjanidae & Lethrinidae) Ikan kakatua (Scarus sp.) % 10-20% Sebagian besar juvenil Umumnya yang > Lm masih betina, hanya 1 jantan (terminal male) Kerapu/Sunu, Labridae dan Ikan karang campuran < 30% Sebagian besar masih juvenil Haemulidae > 60% Jumlah sangat rendah Ikan beronang > 60% Sebagian besar dewasa Sotong (Loligo sp.) > 60% Sebagian besar dewasa Jantan : kemungkinan Induk betina mati setelah menjaga Gurita (ukuran besar) Betina: 0% telur, maka tentu belum memijah Sumber: data primer survey EAFM tahun 2013 Perusahaan Pengolahan Wakil CV Indotropik sempat diwawancara (KII) pada saat workshop EAFM di Luwuk. Pihak manajemen tidak menijinkan kunjungan ke pabrik tanpa proses administratif dengan kantor pusat di Surabaya. Oleh akrena faktor waktu tidak sempat menyelesaikan proses tersebut. Pihak CV Mitra Utama sempat diwawancara (KII) tetapi sedang tidak beroperasi (kurang bahan baku, ada acara) dan tidak sempat masuk ke dalam pabrik. Namun diduga kuat kedua pabrik mirip dari aspek teknis dengan pabrik yang dikunjungi di Desa Tinakin Laut, Kabupaten Banggai Laut (lihat bagian 2.3). Beberapa hal penting yang diperoleh dari kedua KII tersebut, antara lain: Bahan baku (gurita/finfish) dari WPP 714 maupun 715, sebagian mungkin lebih jauh lagi dimana sebagian besar dari Teluk Tomini (WPP 715) dan Teluk Tolo (WPP 714) kemudian lebih banyak dari perairan kabupaten lain dibanding perairan Kabupaten Banggai sendiri CV Indotropic Kontinuitas sangat penting bukan hanya volume suatu jenis tetapi ukuran dan kondisi Pengakuan bahwa mampu mendeteksi dan menolak ikan hasil DF (namun beberapa responden lain berpendapat bahwa kadang diterima ikan hasil DF atau ilegal dari aspek lain) Es menjadi tantangan dalam menjaga rantai dingin (dan mutu ikan), terutama sumberdaya ikan dari daerah penangkapan utama di pulau-pulau (Kepulauan Banggai dan Togean) meskipun perusahaan berusaha menyediakan es kepada kapal pengangkut dan/atau penangkap Terdapat indikasi bahan baku perlu dicari lebih jauh dan lebih lama (ikan dan gurita) dan kadang tidak memenuhi persyaratan ukuran atau volume minimum yang dibutuhkan Cita-cita memenuhi persyaratan sertifikasi untuk produk ekspor Dua produk utama adalah fillet ikan batu (ikan berdaging putih) termasuk Serranidae, Lutjanidae, Lethrinidae, Scaridae dan lainnya, serta kefalopoda, terutama gurita. Pengiriman gurita ke Australia, Eropa (terutma Italy), Puerto-Rico di America Pengiriman fillet terutama ke Australia dan Amerika Pernah terjado kasus Salmonella pada olahan gurita, maka telah sangat ketat dengan aturan higien (persoalan teknis, perbaikan pula terhadap cara air mengalir) Sebagian besar ikan dari Kepulauan Banggai dan sekitarnya, terutama perairan Kabupaten Banggai Laut, dengan sistem adanta pengepul di pulau-pulau, perusahaan jemput di Luwuk. Jumlah suplier > 14, antara lain di Toropot, Tempaus, Sonit dan sampai Taliabu 33

34 Sumber lain bahan baku termasuk melalui Pagimana (WPP 715) dan Manado/Bitung Ikan hanya hasil mancing, kalau pukat atau bom perut hancur dan direjek. Jenis ikan bervariasi antar musim dan tahun; ikan kakatua 3-4 jenis, tidak diteima yang di bawah ukuran minimum. Dilakukan sampling mengenai tingkat kematangan gonad secara acak (namun data tidak sempat diperoleh) Sudah berusaha menerapkan sistem Zero Waste. Kepala dijual umumnya untuk sop ikan (warung) di tingkat lokal; sisik dan tulang dikirim ke Suarabaya; telur dijual secara lokal; isi perut menjadi pakan ternak/unggas (bebek) Dinas Kelautan dan Perikanan Menurut pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banggai, sudah ada penertiban terhadap kesesuaian surat-surat dan perijinan dengan ukuran kapal untuk armada lokal. Untuk ukuran 5-10 GT dinilai sudah sekitar 80% sesuai dan sekitar 50% ABK memiliki sertifikasi sesuai posisi/fungsinya. Untuk ukuran kapal lebih besar persentase sertifikasi ABK lebih tinggi. Operasi penertiban gabungan dengan TNI-AL dilakukan secara tidak rutin (agar tidak bocor termasuk pada Polisi). Namun jarang dapat menggunakan speedboat karena tidak ada anggaran untuk biaya operasional yang sangat tinggi. Aktivitas ship-to-ship dan kapal penangkap pendatang yang tidak melapor sangat tinggi. Antara lain kapal > 30 GT dari Gorontalo dan Sulawesi Selatan. Pusat ilegal fishing antar lain di perbatasan Morowali, sebagian besar hasil dibawah ke Kendari. Kapal dari WPP 715 sering beroperasi di Kepulauan Banggai, termasuk di sekitar Lumbi-Lumbia, dan sampai daerah Bungku di Kabupaten Banggai, kadang mendaratkan di Luwuk. Sekitar 90% ikan yang didaratkan di Luwuk adalah hasil IUUF. Ikan sasaran pemboman terutama malalugis (lajang/layang), lolosi, tude (Bahasa Manado), katamba dan ikan dasar (karang) lainnya. Dari aspek pemberdayaan, data yang ada berupa bantuan sarana penangkapan tahun 2007 sampai Data tersebut, khususnya yang masuk pada WPP 714, diringkas pada Tabel Tabel Bantuan saran perikanan tahun Jenis Bantuan/Sarana Rumpon (biasa dan tuna) paket 9 paket Bagan Pajala Pukat dampar (tuna) 1 (roa) 3 (pajala) Kapal 2 (tuna) 2 (roa) 1 (roa) 1 (pajala) 3 (roa) Katinting Pancing tangan 0 40 ada 4 Kec. 0 Pukat roa Lacuba 0 9 ada 0 0 Sero Jaring insang 0 0 ada 4 Kec. 0 Lampu petromax 0 0 ada 0 0 Bubu Kepiting Kec. 5 Kec. 50 Alat Elektronik 0 0 GPS 4 kec. Fishfinder 3 Kec. 0 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banggai,

35 Bantuan seperti ini tentu berkontribusi pada kesejahteran penerima namun juga pada peningkatan kapasitas armada dan alat tangkap (termasuk komponen IUUF) yang kemungkinan besar telah melebihi daya dukung sumberdaya. Data kelompok nelayan, khususnya di WPP 714, tercantum pada Tabel Meskipune telah cukup banyak kelompok, dibanding dengan data statisitik (BPS) nampak bahwa sebagian besar nelayan belum terdaftar sebagai anggota kelompok. Tabel Data Kelompok Nelayan Kabupatan Banggai Lokasi Nama Kelompok Jumlah Anggota Jenis Alat Tangkap Nonong-Batui Sukses Bersama 30 Purse Seine Sinorang-Batui Karya Bersama 15 Hand Line Sinorang-Batui SuksesBersama 15 Hand Line Balantang-Batui Bina Usaha 15 Hand Line Saluan-Toili Jati Diri 20 Hand Line Tou-Toili Padakaunag 15 Hand Line Tou - Toili Bumi Baru 20 Purse Seine, Hand Line Pandan Wangi-Toili Indo Famuna 27 Purse Seine Dongin-Toili Semoga Sukses 15 Purse Seine Kayu Tanyo-Luwuk Terumbu Karang-1 29 Hand Line Kayu Tanyo-Luwuk Terumbu Karang-2 17 Hand Line Simpong-Luwuk Tunas Baru 15 Hand Line Simpong-Luwuk Bintang Laut 25 Hand Line KM. 8 - Luwuk Pasir Putih 20 Hand Line Hunduhon-Uwedikan Beringin 10 Hand Line Hunduhon-Uwedikan Gurita Star 20 Hand Line Manyula-Kintom Ilouk Jaya 10 Hand Line Tangkiang-Kintom Lansadai 10 Hand Line Luntio-Kintom Kuda Laut 20 Hand Line Kel.Balantak-Balantak Fajar 15 Hand Line Kel.Balantak-Balantak Sri Wahyuni 15 Hand Line Giwang-Balantak Arung Samudra 18 Hand Line Gorontalo-Balantak Tilango 20 Hand Line Tanggawas-Balantak Matahari Terbit 20 Hand Line Total Jumlah Anggota 436 Pendapatan nelayan diperkirakan umumnya berkisar 900,000 1 juta Rp., atau kurang lebih setara dengan pendapatan rata-rata, hanya tidak merata antar waktu atau individu. Dari aspek kesejahteran atau taraf hidup, hampir semua memiliki rumahnya (namun kadang tidak punya sertifikat resmi), dimana ada listrik umumnya semua memiliki TV, sebagian besar memiliki telpon selular dan sekitar separuh memiliki WC. Dari aspek pendidikan, umumnya tamat SD dan cukup banyak telah tamat SMP/SMA. Jumlah besar janda disebabkan terutama budaya kawin mudah diikuti oleh tingkat perceraian tinggi. Salah satu aspek penting adalah aspek musiman kegiatan perikanan. Data musim penangkapan khusus WPP 714 yang diperoleh dari Dislutkan Banggai tercantum pada Gambar Berdasarkan data tersebut kegiatan penangkapan ikan berkurang atau berhenti pada sebagian besar wilayah perairan selama bulan Juli dan Agustus, puncak musim timur/selatan. Penangkapan pelagis sedikit 35

36 pula pada sebagian besar wilayah selama bulan Juni dan Januari, sedangkan untuk ikan demersal bulan Desember hanya pada berbatasan WPP 715. Gambar Musim Penangkapan Ikan di WPP 714 Kabupaten Banggai No Kecamatan Bulan Jan Peb Maret April Mei Juni Juli Agustus Sept Oktober Nop Des Jenis Ikan 4 Balantak Pelagis Domersal 6 Lamala Pelagis Domersal 7 Masama/ Pelagis Luwuk Timur Domersal 8 Luwuk/Kintom/ Pelagis Batui Domersal 9 Toili/ Toili Barat Pelagis Domersal 2.3 PerikananKabupatenBanggaiLaut Kabupaten Banggai Laut dengan Ibu Kota di Kota Banggai, Pulau Banggai, baru dimekarkan dari Kabupaten Banggai Kepulauan pada Tahun Data statistik dan sebagian besar data lainnya yang berada di instansi-instansi pemerintah masih bergabung dengan kabupaten induk yaitu Kabupaten Banggai Kepulauan, dengan Ibu Kota di Kota Salakan, di Pulau Peleng. Oleh karena itu, data sekunder sebagian besar sulit dipisahkan, baik data terbaru maupun data historis. Namun oleh karena kedua kabupaten berada di WPP 714 dan keduanya merupakan bagian dari Kepulauan Banggai, maka dinilai bahwa bias dalam penghitungan indikator minim ataupun sangat minim. Data statistik yang dicantumkan di bawah merupakan data gabungan Kabupaten Banggai Kepuluan dan Banggai Laut, terkecuali diberi catatan khusus. Kajian Profil Perikanan Tangkap Sulawesi Tengah tahun 2007 (STPL, 2007) khususnya bagian yang menyangkut Zona I cukup mendalam dari berbagai aspek. Sebagian besar data dan informasi pada dokumen tersebut mengenai keadaan wilayah, terutama dari aspek kondisi alam/lingkungan serta sumberdaya perikanan dinilai masih valid. Profil Data Base Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banggai Kepulauan (Diskanlut Banggai Kepulauan, 2011) memuat data terbaru dari instansi terkait. Armada Perikanan dan Rumah Tangga Perikanan Data statisitik armada dan rumah tangga nelayan (RTN) tercantum pada Tabel Data dari Dislutkan tingkat Provinsi mencakup periode 2004, 2005, 2008, 2009 dan data terbaru dari tingkat Kabupaten berbentuk Profil Database Kelautan dan Perikanan tahun

37 Tabel Data Statistik Armada dan RTN Perikanan Tangkap Kabupaten Bangkep sebelum pemekaran Balaut Kategori Armada perikanan Tanpa motor Motor Tempel GT GT GT GT Total Rumah Tangga Nelayan (RTN) Jukung Perahu papan Motor Tempel GT GT GT GT Total Tidak ada data namun diasumsi meningkat secara proporsional dengan armada Sumber: Data Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tengah ( ) dan Profil Data Base Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banggai Kepulauan Tahun 2011 Data pada Tabel menunjukkan cederungan (trend) peningkatan dalam armada maupun jumlah RTN pada semua skala usaha perikanan tangkap laut, meskipun terjadi naik-turun pada komponen dan tahun tertentu. Pada tahun 2011, jumlah armada di bagian yang telah menjadi Kabupaten Banggai Laut (Balaut) telah melebih jumlah total armada di Kepulauan Banggai pada tahun 2000-an. Data 2003 masih bergabung dengan Kabupaten Banggai, dan data statistik historis pada tingkat Kabupaten dapat dikatakan jauh dari optimal. Contoh pada Kabupaten dalam Angka 2010, data terbaru untuk perikanan berkisar tahun 2005 sampai 2008, tergantung komponen, dengan banyak angka kosong dan sebagian besar yang ada nampaknya sangat jauh dari kenyataan. Sebagian besar kapal motor yang beroperasi di perairan Kepulauan Banggai (kedua kabupaten) dan sekitarnya di WPP 714 berasal dari kabupaten, provinsi bahkan negara lain. Kapal yang berlabuh di Tinakin Laut /Teluk Banggai sebagian besar berasal dari Sulawesi Selatan (Bugis/Makassar). Selain itu terdapat kapal dari Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Gorontalo, Bali, Jawa, dan berbagai provinsi lainnya, termasuk penangkap ikan dan avertebrata konsumsi dan hias. Menurut berbagai sumber, termasuk KII dengan instansi terkait dan pelaku sektor perikanan (tamgkap/pengolahan), jumlah armada tersebut cenderugn naik-turun antar tahun dan antar nusim ataupun waktu bulan, sesuai ril dan persepsi mereka terhadap kondisi sumberdaya, kondisi pasar, dan berbagai faktor ekonomi mikro (internal usaha/unit perikanan) dan makro (faktor berskala nasional ataupun global) lainnya. Semuanya sepakat bahwa secara rata-rata jumlah armada domestik (berberdera Indonesia) yang sebenarnya beroperasi jelas melebihi jumlah yang tercatat dalam statistik, meskipun seberapa besar bias atau eror tersebut sulit ditentukan dan dapat berubah secara signifikan (sampai berkali lipat 37

38 meurut salah satu sumber) antar musim tahunan dan fase bulan (lebih tinggi pada musim teduh dan bulan mati). Kapal dari luar negeri termasuk kapal trawl yang beroperasi di daerah Laut Arafura (WPP 718) yang seharusnya hanya melintas tanpa penangkapan, namun dilaporkan bahwa mereka tidak jarang melakukan penangkapan (Ndobe dkk., 2005; data primer, 2013). Tentu aktivitas tersebut memiliki konsekuensi sangat negatif terhadap kelestarian lingkungan dan stok ikan/avertebrata. Kapal luar negeri lainnya yang dilaporkan oleh responden termasuk kapal penangkutan ikan hidup (resmi dan tidak). Negara asal kapal/krew asing yang dilaporkan oleh masyarakat termasuk Thailand, Cina (termasuk Taiwan dan Hong Kong), dan Filipina. Nelayan Kepulauan Banggai (kedua Kabupaten) sebagian besar masih menggunakan armada dan peralatan bersakal kecil, tradisional dan/atau sederhana, baik legal maupun ilegal (destruktif). Di hampir setiap Desa terdapat keluhan mengenai pelaku perikanan destruktif, namun jarang ada yang mengaku adanya pelaku di desanya sendiri. Diasumsikan nelayn perikanan destruktif cenderung beroperasi di luar desa sendiri. Pola kerusakan mengindikasikan bahwa mereka cenderung menghindari lokasi dimana mudah terlihat, sehingga justru kerusakan cenderung lebih menonjol di tempat lebih jauh dari pemukiman dan di pulau-pulau terpencil (Ndobe dkk., 2005; data hasil berbagai survey , data primer 2013). Sebagian besar diantaranya memiliki pula mata pencaharian lain, misalnya di sektor pertanian/perkebunan (pemilik atau buruh), sebagai buruh atau pelaku usah kecil lainnya, termasuk jasa transportasi laut berskala kecil. Aktivitas melaut berkurang pada saat angin/ombak lebih kencang, terutama pada musim timur (akhir Juni sampai pertengahan September) dan jenis maupun frekuensi aktivitas perikanan umumnya dipengaruhi oleh bulan di langit. Sebagian besar nelayan berskala kecil tersebut memiliki lebih dari satu jenis alat tangkap dan menargetkan berbagai jenis sumberdaya perikanan. Selain armada berupa kapal motor, sebagian besar armada dari aspek jumlah masih berupa sampan atau perahu kecil tradisional. Terdapat keluhan umum bahwa pohon besar semakin langka. Umumnya saat ini kayu atau sampan telah jadi diperoleh dari Pulau Peleng atau daratan Sulawesi. Sebagian menggunakan sema-sema untuk memberikan stabilitas dalam pelayaran maupun operasional penangkapan. Namun kebanyakan perahu kecil, dengan atau tanpa mesin, tidak dilengkapi dengan sema-sema dan cenderugn relatif lebar dibanding misalnya di Kabupaten Donggala. Anak-anak umumnya telah pandai mendayung pada usia dini, termasuk aspek penstabilan perahu-perahu yang secara instrisik memiliki stabilitas relatif rendah, namun gaya apung tinggi sehingga tidak tenggelam apabila terbalik. Jangkauan daerah penangkapan dengan armada kecil tersebut cukup jauh, dan pada musim teduh dapat mencakup sebagian besar perairan Kepulauan Banggai, meskipun sebagian besar aktivitas penangkapan cenderung dilakukan pada pulau-pulau relatif dekat dengan kampungnya para nelayan. Perairan pesisir secara resmi diperuntungkan untuk armada perahu kecil tersebut, terutama perairan yang relatif dangkal, sebagaimana diterangkan dalam Profil Data Base Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banggai (Tabel 2.3.2). Namun dalam kenyataan perairan tersebut kerapkali diusahakan juga oleh armada perikanan berskala lebih besar, dan zonasi yang dicantumkan dalam dokumen tersebut tidak selalu diindahkan, demikian pula zonasi berdasarkan aturan nasional. 38

39 Nampak pula bahwa aktivitas pemanfaatan perairan pesisir cukup banyak, beragam dan berpotensi konflik satu dengan lainnya. Fungsi Kawasan Kawasan Lindung Kawasan Budidaya Kawasan Tertentu Tabel Pola Pemanfaatan Ruang Wilayah Laut Berdasarkan Kedalaman di Kabupaten Banggai Kepulauan Wilayah Pesisir Laut Dangkal Laut Dalam (1-5 m) (5-10 m) (10-20 & > 20 m) Rawa Pesisir Terumbu Satwa dilindungi Mangrove Karang (atol) (Dugong, Lumba- Ekosistem Pesisir Satwa Langka lumba dsb (Penyu dsb) Wisata/rekreasi Perikanan Perikanan Pelagis renang, menyelam pelagis olaraga dan memancing Perikanan Perikanan Pantai demersal Rumput Laut Pertambangan Pelayaran dan transportasi (pelabuhan/feri penumpang Jalur pelayaran antar pulau dan internasional Jalur Pelayaran Internasional Sumber: Profil Data Base Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banggai Kepulauan Tahun 2011 Alat Tangkap dan Alat Bantu Penangkapan Alat tangkap cukup bervariasi. Data statistik alat tangkap tercantum pada Tabel Data tersebut merupakan data 2006 serta data terbaru yang dapat diperoleh, dari tahun Untuk tahun 2008, data per kecamatan memungkinkan untuk memisah antar wilayah kedua kabupaten. Nampak bahwa pada dekade terakhir terjadi peningkatan jumlah dan perubahan dalam jenis alat tangkap. Sebagian alat yang tercatat tahun 2006 telah tidak tercatat, dan berbagai alat yang tidak terdapat sebelumya telah berada dalam jumlah signifikan atau bahkan besar pada tahun Alat bantu termasuk rumpon atau fish aggregating device (FAD), lampu digunakan pada alat tangkap bagan, purse seine, tombak dll, dan beberapa jalat bantu lainnya. Jenis Alat Tangkap Tabel Data Statistik Alat Tangkap Ikan 2006* 2008** 2011** Total Total Balaut*** Total Pukat Kantong (Cang) TAD Pukat Pantai Pukat Cincin Jaring Insang Jaring lainnya TAD TAD TAD 318 Payang 389 TAD TAD TAD Bagan Pancing ,977 39

40 Bubu Rawai longline TAD TAD TAD 85 Rawai Tetap TAD TAD TAD 1378 Huhate TAD TAD TAD 59 Sero TAD TAD TAD 18 Serok TAD TAD TAD 17 Set Net TAD TAD TAD 48 Lainnya Total Sumber: * BPS (2010); ** Profil Data Base Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banggai Kepulauan Tahun 2011; ***Data agregat kecamatan yang telah masuk pada Kabupaten Banggai Laut Catatan: TAD = tidak ada data Jenis Sumberdaya Ikan Sumberdaya ikan yang dilaporkan dalam statistik cukup bervariasi, dan dalam kenyataan lebih banyak jenis lainnya tertangkap pula. Data statistik komposisi hasil tangkapan tercantum pada Tabel Data tersebut dari Dislutkan Sulteng mencakup tahun 2004, 2005, 2009 dan data dari Profil Data Base Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banggai Kepulauan Tahun 2011 sebenarnya adalah data tahun 2008 (identik dengan data tahun 2008 dalam Kabupaten dalam Angka Tahun 2010) maka dicantumkan pada kolum tersebut. Selain itu, rincian data volume dan nilai produksi untuk konsumsi dan untuk ekspor pada tahun 2008 dicantumkan pada Tabel Tabel Data Statistik Komposisi Hasil Tangkapan Jenis 2004* 2005* 2008** 2009* Nomei Peperek Manyung Biji Nangka Gerot-Gerot Merah/Bambangan Kerapu Karang , Lencam Kakap Putih Kurisi Swanggi Ekor Kuning/Lolosi , Gulamah Cucut Pari Bawal Hitam Bawal Putih Alu-Alu Layang 3, , , Selar 1, , , Kuwe

41 Tetengkek Daun Bambu Sunglir Ikan Terbang Belanak Julung-Julung Teri , Japuh Tembang Lemuru Golok-Golok Kembung , Tenggiri Papan Tenggiri Layur Tuna Cakalang , , Tongkol 2, , , Bentong Ikan napoleon Pinjalo Beronang Ikan dasar campuran Ikan Lain Rajungan Kepiting Udang Barong Udang Windu Udang Putih Udang Dogol Udang Lain BBK Lain Tiram Kerang Darah Cumi-Cumi Sotong Gurita Mata Tujuh Binatang Lunak Lainnya Penyu Teripang Total 10, , , , Sumber: * Data Dislutkan Sulteng (2004, 2005, 2009); ** Profil Data Base Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banggai Kepulauan Tahun

42 Jenis Ikan Tabel Produksi dan Nilai Ikan Konsumsi dan Ekspor Tahun 2008 Produksi Konsumsi (ton) Nilai (juta Rp) Produksi Ekspor (ton) Nilai (juta Rp) Peperek ,625 - Ekor Kuning ,725 1, TAD Layang ,510 13, TAD Selar ,732 - Teri , TAD Tembang ,344 - Alu-Alu ,906 - Ikan Terbang 250 9,360 - Belanak ,298 - Tuna ,355 Cakalang , ,694,085 Tengiri , ,184 Tongkol ,430 - Lemuru ,698 - Ikan Campuran Dasar ,010,880 Kerapu hidup ,929,600 Lobster hidup ,803,630 Cumi-Cumi kering ,824,660 Cumi-Cumi basah , ,870 Suntung , ,495,552 Mata Tujuh ,600 Teripang ,645,650 Ikan Hias (ekor) - - 1,050, ,475,625 Nener (ekor) ,500, ,779,750 Jumlah ,013,863 16, ,090,441 Sumber: BPS (2010) Data pada Tabel menunjukkan adanya peningkatan volume maupun pergeseran dalam komposisi hasil tangkapan pada dekade terakhir. Selain perubahan nyata dalam hasil tangkapan, diduga bahwa sebagian perubahan dosebabkan oleh pola pendataan yang berbeda antar periode, termasuk dari aspek jenis-jenis yang dicatat secara terpisah. Terindikasi bahwa sebagian jenis yang tercatat secara terpisah pada tahun 2004/5 masuk pada kategori ikan dasar campuran tahun 2008 dan ikan lainnya tahun Sebaliknya ke-15 jenis ikan yang tercatat secara terpisah pada tahun 2009 yang tidak tercatat secara terpisah sebelumnya (sebagian tidak dicantumkan secara terpisah) diduga sebelumnya termasuk pada kategori ikan lainnya. Selain urutan dan cakupan jenis yang didatakan berubah, terdapat informasi adanya pula perubahan dalam pola sampling dan ektrapolasi, hal yang menulitkan dalam perbandingan antar waktu. Tabel menunjukkan bahwa perikanan ikan hias maupun perikanan ikan hidup cukup besar dan penting dari aspek volume maupun nilai ekonomi. Apabila dibanding Tabel dengan Tabel 2.3.3, 42

43 nampak bahwa alat tangkap ikan hias tersebut belum terakomodir dalam statistik, kemudian ikan hasil tangkapan belum terakomodir dengan baik dalam statistik hasil tangkapan. Volume melambung sekali dengan setiap ekor dihitung setara dengan satu ton. Maka dihitung ulang volume dan nilai total (dikoreksi data ikan hias dan dikurangi pula mutiara dan rumput laut hasil budidaya, bukan hasil perikanan tangkap). Olahan Hasil Perikanan Data olahan hasil perikanan pada Tabel kurang lengkap namun menunjukkan adanya peningkatan dalam volume olahan tradisional maupun moderen (berdasarkan nilai produk pembekuan) pada dekade terakhir. Tabel Data olahan hasil perikanan di Kepulauan Banggai Jenis Olahan Total 2011 Konsumsi segar 5, , TAD TAD Balaut Pengeringan/Penggaraman 1, , Pengasapan Pembekuan 2, [Nilai ± 27.5 juta Rp.] Lain-lain - 2, TAD TAD Total 10, , , ,095.1 TAD TAD Sumber: Data Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Tengah ( ) dan Profil Data Base Kelautan dan Perikanan Kabupaten Banggai Kepulauan Tahun 2011 Seperti terindikasi pada data sekunder di atas, hasil survey bahwa olahan hasil perikanan moderen (pembekuan ikan, avertebrata dan produk olahan seperti fillet, cumi/sotong yang telah dibelah/keluarkan isi/batunya dll) sangat bervariasi dalam waktu, dengan buka/tutupnya beberapa perusahaan olahan di Tinakin Laut. Data dan informasi yang diperoleh dari perusahaan yang ada dibahas pada bagian-bagian berikut namun target utama termasuk: ikan batu berukuran besar; gurita dan cumi-cumi/sotong (Kefalopoda); dan ikan pelagis kecil, terutama ikan malalugis (layang/lajang). Semua komoditas tersebut masih ada namun menunjukkan tanda-tanda overfishing. Ikan yang tidak layak untuk diolah di pabrik masuk pada pasaran lokal maupun perdagangan antar pulau. Selain itu, terdapat sejumlah usaha olahan (pembekuan) terapung, berupa kapal pabrik yang berlabuh di Tinkan Laut/Teluk Banggai. Tentu pabrik terapung tersebut mudah berpindah, dan menurut sumber dari Dislutkan Kabupaten Banggai Laut, legalitasnya diragukan, dari berbagai aspek. Cenderungan (trends) Secara keseluruhan, data statistik menunjukkan perikanan multi-gear, multi-spesies dengan skala armada/usaha perikanan yang beragam baik dari aspek teknis maupun asal-usulnya. Dari aspek rincian data statistik perikanan, akurasi dan kelengkaan sangat diragukan, terutama untuk hasil tangkapan. Sebagian besar ikan yang didaratkan tidak tercatat. Volume IUU Fishing yang tidak tercatat (atau tercatat di daerah lain) diyakin melebihi volume yang tercatat untuk sebagian besar spesies ikan. Kemudian beberapa spesies ikan (finfish maupun avertebrata) yang tidak tercatat secara terpisah kemungkinan tidak tercatat sama sekali dan tidak masuk pula dalam ikan lainnya. Meskipun nilia-nilai angka kemungkinan sangat besar bias, tidak akurat dan tidak up-to-date, Trends yang nampak dinilai cukup sesuai kenyataan. 43

44 Dalam 10-an tahun terakhir salah satu perubahan besar yang terjadi di sektor perikanan tangkap adalah perubahan dalam jenis dan jumlah armada dan alat tangkap. Pada umumnya armada meningkat dari aspek jumlah maupun kapasitas (motorisasi, peningkatan tonase kapal motor). Perahu kecil sekalipun mengalami perubahan mendasar dengan peningkatan tajam dalam jumlah mesin jenis katinting, yang telah jauh melebihi angka statistik terakhir di atas, meskipun masih terdapat perahu nelayan yang benar beroperasi tanpa motor. Alat tangkap meningkat pula dari aspek jumlah, terutama jumlah jenis alat tangkap yang moderen dan atau memiliki daya tangkap lebih besar. Terindikasi bahwa beberapa jenis ikan dan avertebrata yang pada awal tahun 2000-an atau bahkan hingga 2008 meningkat terus hasil tangkapannya ternyata pada tahun 2009 telah mulai mengalami penurunan, hal yang dikonfirmasikan oleh para responden KII dan FGD pada survey lapangan. Pengawasan perikanan secara umum di Kepuluan Banggai sangat lemah, dan tidak didukung oleh sarana, prasarana dan anggaran operasional ataupun sumberdaya manusian yang memadai ataupun infrastruktur pendukung seperti komunikasi yang dinilai mutlak demi efisiensi maupun keamanan pelaku pengawasan. Tingkat pelanggaran sangat tinggi termasuk DF, pengambilan biota yang dilindungi, pengambilan bambu laut, penambangan karang dan pelanggaran terhadap aturan lalu lintas ikan (BCF dari Bone Baru telah melalui Karantina Ikan, sebagian besar sumberdaya perikanan belum), kapal dan alat tangkap. Terindikasi bahwa puncak produksi atau produktivitas (hasi per unit usaha) telah terlewat beberapa tahun silam dan sebagian besar stok diusahakan pada kondisi yang telah melewati MSY (merah pada sistem penilaian stok per WPP). Pergeseran dalam hasil menunjukkan pula serial depletion (penurunan sumberdaya secara berturut-turut) dan jika dibiarkan akan semaki terarah pada paradigma fishing down the food web. Hasil pengamatan bahwa penangkapan ikan juvenil lazim terjadi pada sebagian besar stok ekonomis penting, dan diduga kemampuan reproduksi/daya dukung berbagai stok ikan dan avertebrata telah menurun. Hal tersebut bukan hanya akibat pemanfaatan namun juga degradasi habitat (umum dan critical habitat). Nampak bahwa pengelolaan yang arif, termasuk pengendalian tingkat dan jenis fishing effort sangat diperlukan untuk mempertahankan sumberdaya ikan yang secara alami berlimpah. Pasar Ikan Kota Banggai Ikan yang dijual di pasar ikan di Banggai kebanyakan di daratkan di belakang pasar, atau didaratkan di tempat lain kemudian dibawah ke pasar melalui laut, hanya sebagian kecil melalui darat dari tempat lain di Pulau Banggai. Sebagian ikan berasal dari cukup jauh, saat survey sebagian dari Sulawesi Tenggara (Kendari), namun sebagian besar merupakan hasil tangkapan di perairan Kepulauan Banggai. Jenis ikan yang dijual sangat beragam, dan untuk kebanyakan spesies sebagian besar berukuran di bawah Lm. Pada kunjungan ke pabrik ikan dan pengumpul (di bawah) terdapat indikasi bahwa sebgian signifikan ikan bernilai ekonomis tinggi berukuran > Lm tidak terjual di pasar, maka kemungkinan proporsi > Lm dalam hasil tangkapan tidak sebesar proporsi dalam ikan yang terlihat di pasar. Menurut informasi, sotong (Loligo sp.) hampir tidak ada selama sekitar 10 tahun, baru tahun ini (2013) mulai kembali, masih jauh di bawah jumlah hingga awal tahun 2000-an. Kelimpahannya sebelumnya sesuai dengan hasil surveu tahun 2004 (Ndobe dkk., 2005). Adapun data hasil pengamatan diringkas pada Tabel

45 Tabel Data sampling di Pasar Ikan Kota Banggai Jenis Sumberdaya Ikan Estimasi % > Lm Keterangan Kerapu (Serranidae) Betina < 20% Jantan < 5% Terminal male 1 atau 2 ekor Kakap (Lutjanidae) 5 10% Beberapa ekor sangat besar, Haemulidae ± 25% kebanyakan juvenil Ikan kakatua (Scaridae) 15-20% Jumlah juvenil tinggi Ikan beronang ± 50% Jumlah sedang Ikan Hiu 0% Jumlahnya sedikit Ikan Pari bintik biru < 50% Jumlah besar, termasuk jenis rawan terancam punah (NT) pada Red List IUCN Ikan demersal campuran 0 50% Beragam jenis/ukuran Ikan tenggiri ± 25% Jumlah rendah Ikan barracuda ± 50% Jumlah rendah Ikan kuwe/bubara ± 50% Jumlah rendah Ikan selar > 60% Jumlahnya sedang Ilan lajang/malalugis 20-25% Banyak berukuran kecil Ikan tongkol < 5% Jumlah banyak, kecil Ikan tuna < 5% Umumnya baby tuna Ikan lemuru < 50 % Lm cm (FishBase) Rajungan 20 30% Sedikit jumlahnya Sotong (Loligo sp.) 40 50% Cumi batu 20 30% Sumber: data primer survey EAFM tahun 2013 Banyak cumi ukuran kecil Perikanan Avertebrata di Matanga Hasil survey tahun 2006 dalam rangka program Konsorsium Mitra Bahari Sulawesi Tengah bahwa Desa Matanga di bagian selatan Pulau Banggai merupakan salah satu pusat utama penangkapan dan pengolahan (pengeringan/pengasapan) avertebrata bernilai ekonomis tinggi terutama abalone (mata tujuh. Haliotis asinina) dan teripang, namun juga berbagai avertebrata lain terutama Moluska. Penangkapan mata tujuh saat itu dilakukan secar dstruktif yaitu dengan membongkar/membalikkan karang. Tahun 2006 sampai 2011 banyak keluhan dari desa lain mengenai kerusakan oleh nelayan pengambil mata tujuh. Hasil kunjungan pada saat survey EAFM antara lain: Matanga sudah ibu kota kecamatan tetapi belum ada tanda kemajuan yang nampak. Menurut responden didata terus tetapi tidak ada yang turun. Jalan akses ke Desa Matanga dalam kondisi sangat memprihatinkan. Air bersih masih menjadi masalah (seperti pada tahun 2006). Mata tujuh semakin langka, dulu pada musim tenggara sangat berlimpah. Namun karang telah hancur. Ukuran cenderung menurun, jarak meningkat, volume menurun, tetap hanya diambil yang berukuran lebar sekitar 3 jari, panjang 7-10cm (hampir sama dengan bungkus rokok), sama dengan tahun 2006 (kecil tidak ada harga). Dulu harga sekitar 400,000Rp/kg, sekarang menurun menjadi 200-an ribu rupiah. 45

46 Pola yang sama khusus avertebrata lain seperti teripang, ditambah dengan kedalaman dimana ditemukan meningkat. Tahun 1987 bisa dapat 700 ekor/hari teripang koro, ukurannya 5 ekor/kg, dan pedagang serta penyelam teripang bisa naik Haji. Saat ini hanya ukuran jari, kering bisa ratusan atau ribuan per kg. Namun harga yang tinggi mendorong pemanfaatan selama masih ada sekecil apapun yang bisa didapat. Ikan (Pisces) dulu banyak jika mancing depan rumah, sekarang berdayung sampai kuning mata tidak dapat cukup. Biota ETP: kima (Tridacdidae) sudah habis diambil; kepiting kenari ada, belum diolah secar komersil (ada konsumsi lokal); penyu sudah tidak ada menurut masyarakat. Namun masih ada di Tempaus/Kasuari, disitu terdapat empang tersembunyi dalam mangrove dengan ratusan penyu, ditampung/dibesarkan kemudian dimuat ke Bali Metode penangkapan mata tujuh telah berubah, sekarang dilakukan saat malam dengan lampu, saat air surut terendah. Menggukana kacamata (tradisional atau masker) dengan alat penjerat (gancho). Mata tujuh nokturnal, dapat dilihat di luar karang dan diambil. Saat penangkapan tersebut adalah saat mereka bertelur. Katanya di desa tetangga (Tolokibit) masih ditangkap dengan membalikkan karang Teripang: dulu menyelan secra alami atau dengan kompresor, sekarang ada yang menggunakan tangki, jenis tabung selam kuno dengan reserve (udara serep) yang dibuka dengan katup saat udara dalam bagian ini habis. Penangkapan di Sonit atau lebih jauh lagi. Jarang nelayan turun di bawah 20 meter. Mangrove semakin rusak dan terancam. Sekitar setahun lalu ada pembabatan yang tidak diketahui alasannya, juga terjadi pembabatan kiri kanan ari jembatan yang dibangun katanya khusus anak sekolah (program PNPM). Responden ingin menanam dan memelihara bakau, sebagai habitat kepiting bakau, karena kepiting besar sudah tidak ada, paling besar 700g, yang 1kg ke atas habis. Masih ada yang kecil (juvenil). Katanya 2 orang tanam, 20 merusak. Kades nmenanam 100 pohon, semuanya dicabut. Masalah abrasi dan perpindahan pasir, mengancam pemukiman yang semakin meluas di pinggir pantai ke arah bakau yang masih ada. Ibu Kadis Kelautan dan Perikanan (mantan Camat di kecamatan lain) sarankan perpendahan pemukiman nelayan ke atas, dan pembangunan pelabuah perikanan di bawah serta tata ruang untuk mangrove. Perikanan Skala kecil di Toropot Hasil survey tahun 2004 dan 2012 bahwa Desa Toropot di Kecamatan Bokan Kepulauan pada bagian selatan Kepulauan Banggai merupakan salah satu pusat utama aktivitas penangkapan dan pengolahan (pengeringan/pengasapan) ikan oleh nelayan bersakala kecil (tradisional) dengan tingkat IUUF cukup tinggi oleh nelayan lokal maupun non-lokal. Jumalh penduduk > 1390 jiwa, dengan 3 dusun plus 1 sub-desa di pualu Toropot Kecil. Pada saat survey EAFM beberapa poin hasil KII, FGD dan observasi sebagai berikut. Menurut KII.FGD, CPUE secara umum telah menurun lebih dari 50%, meskipun rejeki naik turun, hasil tangkapan sering pas-pasan untuk makan atau hidup. Tahun 1990-an ikan masih banyak, namun harga rendah, sekarang ikan sedikit tetapi harga naik, jadi masih bisa bertahan Jumlah nelayan meningkat, menurut Kepala Desa merupakan > 90% pendukuk usia kerja. Bari dulu sebagian besar penduduk (umumnya suku Bajo) berprofesi sebagai nelayan, 46

47 sekarang petani juga turun ke laut menjadi nelayan. Ukuran ikan hasil tangkapan menurun dan saat ini sebagian besar (dinilai > 60% oleh KII/FGD) berukuran juvenil (< Lm). Hasil tangkapan berupa ikan segar dijual pada pengepul yang menjual ke Banggai atau Luwuk, es menjadi kendala besar. Sangat diinginkan pabrik es namun tidak ada listrik pabrik minipun akan memerlukan mesin pembankit listrik (dan sediaan BBM). Masyarakat sangat kecewa karena bantuan pabrik es yang ada di pulau Bankurung dibangun ditempat yang sangat tidak tepat sehingga mubasir, bahkan belum selesai. Produksi ikan diestimasi cenderung melebihi 0.5 ton/hari. Umumnya dies dengan rasio 1:2 sedangkan seharusnya 1:1 (es:ikan). Jika telah 3-4 ton dibawah langsung ke Luwuk atau Banggai, jika kurang kadang menunggu namun tidka lama karena soal es. Jenis ikan yang diawetkan menjadi ikan garam banyak namun terutama lolosi, katamba, kakatua, dan hampir semua jenis jika telah terluka (parah) sisiknya atau jika tidak dapat dies/tidak laku segar Penangkapan spesies ETP tergolong tinggi, secara sengaja maupun tidak. Sebagian bsear spesies dalam Lampiran PP No7/1999 ditangkap/dimanfaatkan. Khusu Birgus latro, kepiting kenari, ditangkap untuk dijual jika ada permintaan, umumnya hanya untuk konsumsi lokal. Kima (Tridacnidae) dijual kulit maupun isinya, jumlah telah menurun drastis karena diolah habis, namun konon masih ada yang panjang 1 depa; dengan adanya cerita mistik, tidak diganggu. Spesies yang terjerat dalam jaring insang antara lain penyu, ikan hiu dan ikan pari. Ikan napoleon sudah langka dan umumya < 1kg; duyung sudah sangat lagka dan masih dikonsumsi (dendeng) dnegan harga tinggi (1990-an masih banyak); lumba-lumba dimanfaatkan namun sudah jarang karena harga sedang rendah; penyu dan telur penyu banyak dimanfaatkan, penyu sisik kecil dibesarkan sebelum dijual. Tidak ada (atau mungkin tidak mau diakui) pengetahuan mengenai daerah pemijahan atau daerah kritis lain Penangkapan semakin jauh. Tahun 1980-an dengan dayung saja hasil tangkapan berlimpah, namun sekarang dengan > 90% perahu dilengkapi katinting (hanya 2-3% masih mengandalkan dayung) semakin sulit mendapatkan hasil yang memadai dan jarak semakin jauh. Mata tujuh (abalone, Haliotis sp.) ditanhkap pakai lampu saat mete (air surut sangat rendah) sampai ke Pulau Sonit. Karang cenderung dibalik, namun katanya sebagian besar telah rusuk sebelumnya oleh bom dan bius. Teripang dianggap hampir punah, sekaliun jika menyelam dalam tetap hasilnya sedikit. Bulubabi semakin diminati dan sudah sedikit (dulu sangat berlimpah) Pohon untuk sampan sangat sulit dan semakin kecil akibatnya perahu kurang satbil dan ada yang tenggelam (bulan Januari-Maret = bulan janda ). Mangrove dulu tidak banyak diambil kecuali untuk kesediaan kayu bakar Bulan Ramadan. Jenis terbaik untuk kayu bakar agak berkurang, lainnya masih banyak, kecuali beberapa tempat dimana dikonversi. Tingkat DF tinggi, pemboman dan pembiusan. Penambangan karang juga masih terjadi, konstruksi cenderung campuran batu gunung dan batu karang. Terumbu karang rusak, sejak karang mati ombak kencang masuk pada musim barat. Selain DF dan penambangan karang, pada tahun 2010 terjadi pemutihan (bleaching), diestimasi 47

48 pada 25-50% terumbu karang Ekosistem lamun dinilai mengalami penurunan luas dan kondisi. Lamun maupun avertebrata yang hidup di ekosistem tersebut kurang padat dan beragam. Pada musim utara (barat), air cenderung panas; sebaliknya apda musim selatan (timur), udara dan air menjadi dingin. Hal ini yang dilaporka oleh masyarakat dapat menkjelaskan mengapa data suhu air cukup bervariasi antar berbagai penelitian sejak tahun Pada 3 tahun terakhir, kesuburan rumput laut menurun drastis, dan harga juga menurun sehingga tinggak sekitar 20% dari luasan/jumlah petani. Serangan ice-ice semakin sering, terutama saat terjadi perubahan cuaca, dan bibit semakin susah diperoleh. Masyarakat sangat ingin rumput laut bisa berkembang ulang. Setiap bulan gelap ada kapal pajeko datang dari Pulau Banggai, katanya menangkap ikang layang Nelayan lokal berfokus utama pada ikan dan avertebrata demersal seperti kerapu, gurita, cumi, katamba dan ikan batu lainnya. Alat tngkap utama rawai dasar, terpasang malam. Alat tangkap lainnya: bubu (sekitar 20-an): terutama ikan garam dan ikan pari; pancing; pukat (jaring insang) dengan mata jaring sekitar 2 inci (salah satu target pukat ikan hiu namun sudah sangat jarang didapat); pukat cang untuk ikan batu dan ikan hias Perikanan ikan hias masih aktif, apabila ada pembeli. Banggai cardinalfish dianggap masih banyak, namun jika diajak meningat, mengakui sudah jauh kurang dibanding tahun Hal inididuga kuat berkaitan dengan penurunan sangat tajam dalam mikrohabitat bulu babi (kiranya 2012/2013 tinggal < 10% jumlah bulubabi pada tahun 2004). Sampai sekarang, Desa ini masih kesulitan dalam hal air minum/air tawar, namun telah terapat alat desalinasi tenaga surya dengan kapasitas sekitar 1000 liter/hari. Dikelola oleh kelompok dan air dijual dengan harga 4,000Rp/galon atau 2,500-3,000 Rp./jerigen (lebih murah karena jerigen tidak dicuci) Listrik PLN belum ada, beberapa genset melayani masing-masing beberapa rumah, umunya sampai jam 11 malam. Harga pembayaran tergantung jumlah watt. BBM menjadi masalah, untuk mesin perahu/kapal maupun genset dll. Dibawah dengan kapal, volume sedikit dan mahal. Umumnya cepat habis, tidak mencukupi untuk kebutuhan penangkapan, transportasi lokal dan penggunaan domestik. Signal telpon seluler bisa terjankau diatas gunung, namun tidak di pemukiman atau di laut. Komunikasi menjadi salah satu kendala dalam pengefektifan pengawasan Konflik terbuka jarang terjadi karena Kades mangatur jika ada hal yang dapat menjadi konflik Terdapat keluhan bahwa jika masyarakat melapor pelanggaran tidak dihiraukan. Kemudian tidak ada saran yang bisa mengejar kapal-kapal andon. Belum ada partisipasi dalam pengelolaan perikanan ataupun pembinaan bagi masyarakat nelayan oleh instansi terkait, jika ada petugas datang umumnya hanya mencari data, kadang katanya untuk program, namun tidak ada tindak lanjut. Masyarakat juga tidak tahu bantuan apa yang akan paling tepat dari aspek alat/sarana penangkapan, namun sangat menginginkan bantuan dalam hal es. Keinginan lain termask sediaan BBM; pengembangan budidaya, termasuk fasilitas keramba apung dan pembenihan; pengawasan yang memadai termasuk pembentuka dan pemberdayaan Pokwasmas; TPI atau PPI; penambahan sarana air besih; jaringan komunikasi yang memadai. 48

49 Pembesaran kuwe: berhasil pada musim selatan tetapi 100% mati saat datang air panas pada musim utara. Kerapu bertahan, maka pembesarannya menarik. Juga, jiak keramba apung (bukan tancap seperti sekarang) bisa dipindah, karena tidak semua perarian yang mengalami kepanasan pada musim utara. Kepiting bakau masih banyak benih tetapi yang ukuran besar sudah sangat menurun. Benih alami (kerapu, lobster dll) sudha kurang, meskipun masih ada. Pernah ada pelatihan buat 2 orang oleh LSM LINI khusus ikan hias. Terasa penurunan sumberdaya, dan umumnya dirasa bahwa terjadi penurunan dalam kepemilikan aset dan daya beli nelayan. Cukup banyak diantaranya menabung secara nonformal, khusunya untuk biaya sekolah anaknya. Perikanan Ikan Hias di Desa Bone Baru Desa Bone Baru dapat dipandang sebagai pusat utama perikanan ikan hias oleh nelayan lokal (bukan oleh nelayan andon/roving fishers). Berbagai survei dan kegiatan sejak 2004 di Desa Bone Baru, berkaitan dengan sumberdaya ikan hias ataupun ekosistem pesisir dan laut. Aspek-aspek relevan terhadap EAFM antara lain Ekosistem mangrove: sebagian besar telah rusak pada tahun 2004, konversi pada pemukiman dll. Kelompok konservasi (pemuda/masyarakat lokal) telah mulai kegiatan reboisasi pada beberapa bagian mangrove pada tahun 2011 dan masih berlanjut. Sebagian besar berhasil, namun penanaman di depan tanggul yang dibangun tahun 2009/10 tidak berhasil, lokasi tersebut tidak tepat secara ekologis. Sebagian masih dalam kondisi memprihatinkan Ekosistem lamun: dinilai dalam kondisi baik, mendekati alami dan cukup beragam Ekosistem karang: kondisi umum tergolong Sedang, meskipun sebagian dalam kondisi Buruk. Penambangan karang masih merupakan masalah. Di bagian DPL (Daerah Perlindungan Laut) yang berkembang sejak tahun 2006, meskipun belum ada dasar hukum formal, karang dan sumberdaya ikan hias semakin baik. Di luar itu, sebagian mengalami degradasi. Nelayan Bone Baru kesulitan dalam penerapan larangan pengambilan biota (apalagiyang tidak dilindungi aturan) di DPL tersebut, termasuk pengambilan bulubabi dan anemone laut, habitat kritis ikan hias endemik Banggai cardinalfish Pterapogon kauderni (sering disingkat BCF), untuk dikonsumsi oleh nelayan dari desa-desa lain. Restorasi terumbu karang telah dilakukan di dua lokasi oleh kelompok konservasi (Kelompok Kali, berda dengan kelompok mangrove) yaitu di dekat DPL dan ke arah utara dari BBI (Balai Benih Ikan) dimana pantai di lokasi tersebut telah dikembangkan sebagai obyek wisata lokal. Nelayan ikan hias bergabung dalam Kelompok Nelayan BCF Lestari, yang diresmikan pada tahun 2009 meskipun secara efektif telah berjalan pada tahun 2006, dan embrionya telah ada tahun Dua kantor terbangun di Desa Bone Baru. (i) Kantor BCFC atau Banggai Cardinal Fish Centre (tahun 2009) lembaga yang didirikan melalui SK Bupati 168/2007; dan (ii) Kantor KKLD (sekarang istillahnya KKPD), Kaswasan Konservasi Perairan Daerah (tahun 2010), KKLD dicanangkan melalui SK Bupati No. 540/2007. dengan pemekaran sebelum KKPD diefektifkan, nasibnya ke depan tidak diketahui. Keduanya belum memiliki instalasi listrik, instalasi air masih merupakan pipa di halaman yang jarang mengalir airnya, dan perabot/fasilitas kantor tidak ada atau telah rusak (dimakan rayap). Belum ada personil yang 49

50 ditugaskan atau ditempatkan di kedua kantor tersebut namun secara ril masyarakat, terutama kedua kelompok konservasi dan kelompok nelayan BCF Lestari. Pemberdayaan yang pernah ada terutama oleh LSM, termasuk LINI dan LP3L Talinti, sejak 2007 bekerja-sama dengan BCFC dan beberapa instansi terkait daerah dan pusat, dengan peran besar antara lain dari Karantina Ikan Luwuk yang telah membuka kantor cabang di Kota Banggai. Aktivitas tersebut umumnya dinisiasi dalam konteks Rencana Aksi BCF yang tersusun pasca pertemuan CITES ke-14 tahun 2007 dimana BCF diusulka pada Lampiran II CITES oleh Amerika Serikat namun diundur dengan komitmen Indonesia terhadap kelestarian spesies endemik tersebut. Pemanfaatan BCF terutama di Bone Baru (dan secara parsial pada desa penangkap lain di Kepulauan Banggai) telah berubah umumnya pada arah yang positif (Moore dkk., 2011; Ndobe dkk., 2013a). Namun perikanan ikan hias bersifat IUUF masih aktif, terutama oleh nelayan dari Bali dan Jawa yang beroperasi secara ilegal dan kerapkali destruktif. Perubahan positif daria spek teknis antara lain: (i) selektif ukuran dan menghindari induk jantan yang mengerami; (ii) kuota (15,000 ekor/bulan) dengan dokumen-dokumen dari Karantina Ikan dikeluarkan berdasarkan rekomendasi dari BCFC; (iii) perbaikan dalam pola penangkapan, penanganan dan pengangkutan; (iv) semakin banyak tangkapan dengan pola catch to order. Ancaman utama pada sumberdaya BCF adalah pemanfaatan terhadap habitat kritis berupa anemone laut dan bulubabi yang meningkat tajam sejak tahun 2007 dan pada tingkat tangkap lebih dengan penurunan sangat drastis kelimpahan kedua avertebrata tersebut dan penurunan ukuran bulubabi, dimana pada beberapa lokasi bulubai umumnya masih juvenil. Oleh karena gonad bulubabi yang dimakan, tidak ditangkap pada ukuran tersebut namun kemungkinan besar akan tertangkap pertama kali matang gonad sebelum memijah. Dari aspek ekonomi, nelayan ikan hias telah meningkatkan harga per ekor dan telah mampu melakukan pengemasan dan pengiriman ikan hias melalui bandara udara di Luwuk langsung ke eksportir di Jawa dan Bali. Perusahaan Pengolahan Ikan di Tinakin Laut Desa Tinakin Laut memiliki luas daratan sangat kecil namun 5 buah pulau dan sebagian besar penduduk adalah nelayan. Mangrove yang dulunya luas telah hancur tahun 2004 dengan pembangunan di sekitar Kota Banggai, saat itu Ibu Kota Kabupaten Banggai Kepulauan, dan tetap dalam kondisi yang mirip (rusajk berat atau telah dikonversi). Dua perusahaan ikan di Tinakin Laut yang dikunjungi pada saat survey sangat berbeda sifatnya dari aspek teknis/infrastruktur, bahan baku maupun produk. (i) Sinar Malalugis: Pembekuan Malalugis dan ikan pelagis lainnya Sudah jalan beberapa tahun. Penampilan fasilitas kurang terawat dan dijaga oleh sejumlah besar anjin yang nampaknya ganas. Sedang musim kurang ikan dan tidak beroperasi (tidak ada pembekuan) saat survey. Tahun 2013 memang sangat kurang ikan. Mulai bulan Mei hanya sekitar 10-an ton/bulan. Anak kuliah komputer disuruh mencari daerah penangkapan di internet tapi tidak ada yang didapat. Persepsi bahwa penyebab termasuk cuaca, perubahan iklim, perubahan arus atas/bawah yang bertolak sehingga jaring yang diturunkan bertabrakan, dan kerusakan lingkungan termasuk hancurnya karang Sebagian besar ikan dari kapal pajeko andon, yang terlihat diduga GT tidak sesuai ukuran ril. 50

51 Jumlahnya kapal sangat tidak menentu, ada yang terikat dan untuk yang tidak terikat pabrik harus bersaing dengan beberapa kapal pabrik terapung yang berlabuh di depan Tinakin Laut. Sekalipun kapal yang telah difasilitasi dengan logistik tidak selalu jual hasilnya ke pabrik. Daerah penangkapan tidak jauh, karena ikan harus benar segar. Biasa antar Liang (ke arah utara/barat) dan Matanga (arah selatan/timur) Penangkapan berkaitan dengan siklus bulan, umumnya penangkapan dari tanggal 20 sampai 10 bulan di langit (menghindari bulan purnama tanggal bulan di langit). Jika hasil bagus jutaan ikan per malam, jika jelek mungkin hanya 1 basket ikan campuran. Kadangkala banyak hasil sampingan; kadang dibuang dan kadang diterima dan dibekukan Sangat merasakan adanya penurunan sumberdaya ikan, dari aspek volume dan ukuran. Ikan malalugis (sasaran utama) semakin kurang dan lebih kecil, maka telah diolah juga ikan pelagis/semi-pelagis lainnya. Penurunan tajam malalugis dianggap oleh pemilik perusahaan antara lain akibat aktivitas pembiusan Saat pembekuan digrading, sehingga ikan dalam satu pak (box) dengan berat standar 10kg ukurannya hampir sama, yang ukuran relatif besar dna sedang untuk ikan konsumsi terutama di Jawa. Untuk malalugis, ukuran besar = sekitar 35 ekor/kg; ukuran sedang (biasa) = sekitar 45 ekor/kg, Umumnya ekor per pak 10kg. Ikan kembung/rumah-rumah: biasa 8-10 ekor/kg; selar/katombo (mata besar) dengan ukuran 8-10/kg (terbesar, top ) hingga 15-20/kg (kecil); ikan lainnya termasuk tongkol (deho) dengan ukuran biasanya 203 ekor/kg (jelas < Lm), kadangkala cakalang dan bubara, lemuru dan tembang. Ikan sangat kecilpun dibeli ( kasihan nelayan jika tidak ), pemasarannya untuk umpan atau pembuatan pengasinan. Jumlah ekor/kg hingga , maka ribuan ekor per kotak 10kg. Aktivitas perikanan destruktif (DF) bukan rahasia dan ikan hasil DF dapat diketahui dari struktur kulit, bau, warna, tekstur dll. Jika dibekukan menjadi bubur saat dilelehkan ulang, sehingga menurut responden ikan hasil DF ditolak. Diakui bahwa tetap marak aktivitas DF dan ikan hasil DF tetap laku di pasar. (ii) Perusahaan 99 : Pembekuan Ikan Demersal dan Avertebrata Baru jalan 9 bulan, pabrik masih dibangun namun telah beroperasi. Tingkat kebersihan tinggi, ada pelatih dari Kendari (autodidact) untuk melatih karyawan lokal Untuk memenuhi persyaratan internasional masih perlu plafon yang standar, ruang ganti karyawan dan beberapa fasilitas lainnya yang direncanakan sesuai dengan adanya keuntungan yang bisa digunakan. Katanya yang penting jalan dulu agar ada uang masuk meskipun belum optimal. Hasil observasi bahwa kondisi bersih dan terawat dengan higien yang terjaga dengan baik Komoditas ikan demersal (minimal 1kg/ekor, sebagian besar matang gonad, > Lm), gurita dan cumi Bahan baku dari Pulau Banggai dan pulau-pulau di sekitarnya, termasuk bagian selatan Pulau Peleng, melalui rantai pengepul kampung dan lebih besar. Kadang juga ikan dibeli langsung dari nelayan. Umumnya hasil tangkapan nelayan skala kecil dengan alat tangkap termasuk panah, rawai dasar dan pancing, dan bubu. Hasil DF berupa bom ditolak karena daging hancur, sangat sulit difillet dan fillet akan hancur waktu dilelehkan. Untuk sianida/racun lain, kemungkinan besar 51

52 tidak akan terdeteksi jika ada yang datang dari pengepul, maka tidak diketahui dnegan pasti adanya atau tidak, namun jika diketahui hail pembiusan tidak dibeli. Hanya diterima bahan baku yang benar segar Tidak bisa ambil ikan dari lebih jauh karena masalah mutu yang tidak memungkinkan, karena penanganan tidak layak untuk bertahan lama Es menjadi kendala - kurang es di penangkap dan pengepul Gurita dikemas agar bebentuk bola dalam tas plastik, dibekukan dan dimasukan dalam karung. Untuk transportasi ke Luwuk dimasukkan dalam gabus seperti komoditas lain, kemudian di transfer ke kontainer dengan pembekuan hingga tujuan. Cumi dipisahkan kepala/bagian dalam dan badan, serta tulang dikeluarkan. Badan menjadi lembaran, kepala dijual juga, dipisahkan dengan bagian dalam yang dibuang. Finfish didominasi ikan yang disebut putih-putih (difoto, belum diidentifikasi) dan ikan karang dari perairan relatif dalam, yang ditangkap terutama dengan pancing/rawai. Kemudian banyak juga Acanthuridae (Naso sp.) yang disebut kulit pasir. Jenis lain yang terlihat saat kunjungan termasuk kerapu/sunu (Genus Variolis, Epinephalus, Cephalopholis dll), sebagian besar kiranya masih betina, hanya satu yang mungkin sudah ukuran menjadi jantan, terminal male); Lutjanidae dan Lethrinidae (beberapa jenis, paling dominan kakap merah, satu ekor kakap merah sangat besar), semuanya > Lm; Scaridae > Lm (sebagian telah terminal males, lainnya kiranya masih betina); dan Haemulidae, semua > Lm. Tidak olah ikan pelagis atau semipelagis (termasuk bubara) Ikan difillet, kepala dan rangka (masih agak banyak daging) dibuang saja. Katanya : Kalua di jakarta bisa dijual ke pabrik pakan namun harga tidak menutupi onglos pengiriman. Ini merupakan peluang membangun pabrik pakan skala kecil untuk menunjang pengembangan budidaya/pembesaran ikan pada skala lokal. Sementara pasaran di Jakarta. Jika pabrik telah lengkap dan berhasil mendapatkan sertifikasi, rencana sasaran ekspor. Katanya dari pengiriman le Jakarta sebagian sebenarnya telah diekspor ke Eropa, namun sebagian besar masih untuk pasaran dalam negeri. Volume pada musim sepi seperti saat survey sekitar ton/bulan, bisa lebih (berkali lipat) pada musim puncak Ada keluhan mengenai aktivitas DF (skala besar umumnya andon, skala kecil lokal) yang dirasa mengancan sumberdaya ikan yang diusahakan Diduga bahwa terbentuk perusahaan ini merupakan salah satu penyebab adanya penurunan masuknya bahan baku ke Luwuk. Pabrik tersebut lebih dekat dengan sumberdaya ikan maka berpotensi untuk menghasilkan mutu lebih baik dengan ongkos logistik yang kurang bagi pengepul/nelayan. Pengepul Ikan di Tinakin Laut Dua pengepul ikan di Tinakin Laut yang dikunjungi pada saat survey memiliki jenis dan ukuran sasaran maupun pola operasional yang berbeda. Berikut beberapa catatan mengenai kondisi yang teramati dan hasil KII di perusahaan di Tinakin Laut dan Banggai. (i) Pengepul Indotropik CPUE dan volume menurun dalam 20 tahun beroperasi. Membeli ikan dari pulau-pulau, sebatas Kepulauan Banggai, namun sampai pulau2 terpencil, dengan adanya jaringan pengepul di pulau2. 52

53 Pengepul tahu jika ikan ditangap dengan DF dan tidak layak. Sub-buyer (pengepul di depan Bone Baru ) yang ada mengatakan bahwa ia membeli ikan dari nelayan skala kecil yang memakai terutama rawai dasar, sedangkan sebagian pakai pancing atau panah. Komoditas ikan demersal dan kefalopoda (cumi/sotong dan gurita). Keduanya mengeluh mengenai es biasa tidak cukup. Pengepul di pulau-pulau harus ambil dari Banggai, dan sebagian besar es dibawah dari Indotropik di Luwuk dalam box besar. Cumi-cumi dan sotong (pulpen dan batu) yang teramati tidak diberi es dan berlalat, indikasi bahwa penjagaan mutu kurang optimal. Terdapat juga beberapa ekor bubara kecil, semuanya berukuran < Lm, namun sebenarnya menginginkan ikan lebih besar, yang tepat untuk difillet. (ii) Pengepul yang jual ke tempat pelelangan ikan di Luwuk Sudah beroperasi 3 tahun, ada musim ikan sekitar 3 bulan, yaitu dari akhir September hingga awal Desember. Sepanjang tahun ada ikan, namun kurang di luar musim tersebut. Komoditas adalah ikan campuran ukuran piring (sekitar 0.5kg) khusus untuk warung dan rumah makan di Sulawesi. Jenis ikan termasuk ikan baronang, kerapu/sunu, katamba, lencam, bubara dan ikan batu lainnya. Jenis tidak penting, yang utama adalah ukuran. Ikan di es, tidak dibekukan. Pengepul ini juga mengeluh mengenai kesediaan es. Keluhan utama adalah mengenai pajeko (kapal andon, terutama dari Sulawesi Selatan) yang dianggap bersaing tidak adil dan membawah ikan keluar daerah (pencurian ikan) Kadang ada ikan yang PS artinya sudah tidak layak dijual. Ikan tersebut tidak dies, dicincang sebagai pakan ikan bubara dan lainnya yang dibesarkan. Ikan dibeli dari jejaring pengepul di pulau, di seluruh Kepulauan Banggai termasuk sampai pulau-pulau terpencil, Antara lain dari Toropot, Sonit, Kasuari, Mbuang-Mbuang, Bangkurung, Pulau Jodoh, dll. Dalam 3 tahun tidak ada perubahan ukuran (memang hanya ambil yang ukuran tertentu, ukuran di luar kisaran tersebut terjual pada pembeli lain) tetapi menilai ada penurunan dalam volume dan CPUE Untuk jenis tertentu 100% atau sebagian besar belum Lm (misalnya bubara, kerapu, Lutjanidae, Lethrinidae, sebagian besar Scaridae); untuk baronang dan ikan lebih kecil lainnya (seperti biji nangka) kiranya sebagian besar sudah > Lm Jika jumlah ikan tidak cukup agar layak membuat pengiriman, ditampung dulu di freezer kemudian dipindah ke gabus dengan es dan dijual dengan harga sama daripada ikan segar yang dies. Kadang bisa 20-an gabus (sekitar 50kg ikan)/hari bahkan lebih, saat survei hanya 2 gabus, hari sebelumnya 22 gabus. Berkaitan dengan isu konflik, pengepul mengetakan bahwa ia menghargai Karantina yang tidak pernah meminta macam-macam dan memfasilitasi, Dinas Kelautan dan Perikanan juga tidak meminta. Oknum Polisi dan TNI cenderung datang bertanya tentang ijin dan lainnya, dan meminta ikan gratis, sekalipun ijin semuanya resmi biasa diberi untuk menghindari ribut atau masalah. 53

54 3 MetodePenilaianPerformaIndikatorEAFM 3.1 Pengumpulandata Pengumpulan data terdiri atas pengumpulan data sekunder dan pengambilan data primer. Daftar sumber-sumber utama data sekunder di setiap kabupaten tercantum pada Tabel 3.1, termasuk lokasi lokasi pencaharian data tersebut. Kelengkapan referensi utama maupun referensi lainnya yang digunakan tercantum pada Daftar Pustaka. Lokasi utama pengumpulan data sekunder di Palu (ketiga Kabupaten), Donggala (Kabupaten Donggala), Luwuk (Kabupaten Banggai) dan Salakan (Kabupaten Banggai Laut. Untuk data primer, ringkasan metode yang digunakan dan lokasi-lokasi pengumpulan data primer tercantum pada Tabel 3.2. Tabel 3.1. Sumber-sumber utama data sekunder menurut kabupaten Jenis Data atau Tipe Sumber Data Data Statistik Perikanan Tangkap Untuk Domain 1 dan 3 1. Data Domain Sumberdaya Ikan (Selain Statistik) Keterangan Donggala Banggai - Luwuk Banggai Laut* Dislutkan Kab. Dislutkan Kab. Banggai Dislutkan Kab. Banggai Donggala (Bidang Perikanan Kepulauan Tangkap) BPS Luwuk Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah Internet Website MKP, Dinas K&P, PEMDA BPS di Kota Palu Profil Pengembangan Perikanan Tangkap di Sulawesi Tengah (STPL, 2007) Karantina Ikan di Luwuk YACL (2002) Moore (2004) Allen & McKenna (2001) Laporan kegiatan KMB Sulteng (2006, 2007, 2009) Laporan-laporan kegiatan survei oleh YACL ( ), LP3L Talinti dan STPL ( ) Dislutkan Kab. Banggai (Bidang KP3K) Desk Study melalui Internet Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kab. Banggai Kepulauan PSKPL-IPB (2003) Ndobe dkk. (2005) Vagelli (2005) KLH (2007) Ndobe (2013) Ndobe dkk. (2013a&b) Hasil penelitian mahasiswa STPL Profil Pengembangan Perikanan Tangkap di Sulawesi Tengah (STPL, 2007) 54

55 2. Data Domain Habitat & Ekosistem 3. Data Domain Teknik Penangkapan Ikan (Selain Statistik) Dislutkan Kab. Donggala Dislutkan Kab. Banggai Dinas Kehutanan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kab. Banggai Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kab. Banggai Kepulauan Desk Study melalui Internet Profil Pengembangan Perikanan Tangkap di Sulawesi Tengah (STPL, 2007) YACL (2002) PSKPL-IPB (2003) Moore (2004) KMB Sulteng (2006, 2007, 2009) Laporan-laporan kegiatan survei oleh YACL ( ), LP3L Talinti dan STPL ( ) Dislutkan Kab. Donggala Dislutkan Kab. Banggai KLH (2007) BPLHD (2012) Ndobe dkk. (2005) Ndobe (2013) Data hasil survey YPH, KMB Sulteng, LP3L Talinti dan STPL ( ) Dislutkan Kab. Banggai Kepulauan Desk Study melalui Internet Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah Profil Pengembangan Perikanan Tangkap di Sulawesi Tengah (STPL, 2007) YACL (2002) Moore (2004) Allen & McKenna (2001) Laporan kegiatan KMB Sulteng 1 (2006, 2007) Laporan kegiatan dan data hasil survei oleh LP3L Talinti dan STPL ( ) 4. Data Domain Sosial Dislutkan Kab. Donggala Dislutkan Kab. Banggai PSKPL-IPB (2003) KLH (2007) Ndobe dkk. (2005) Ndobe (2013) Laporan kegiatan dan data hasil survey YPH, KMB Sulteng, LP3L Talinti dan STPL ( Dislutkan Kab. Banggai Kepulauan Desk Study melalui Internet Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah Profil Pengembangan Perikanan Tangkap di Sulawesi Tengah (STPL, 2007) YACL (2002) Ndobe dkk. (2005) KMB Sulteng (2007, 2009) Laporan-laporan kegiatan survei oleh LP3L Talinti dan STPL ( ) Ndobe (2013) Data hasil survey YPH, KMB Sulteng, LP3L Talinti dan STPL ( Konsorsium Mitra Bahari Provinsi Sulawesi Tengah 55

56 5. Data Domain Ekonomi 6. Data Domain Kelembagaan YACL (2002) Dislutkan Kab. Donggala Dislutkan Kab. Banggai (2010) Desk Study melalui Internet Dislutkan Kab. Banggai Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kab. Banggai (Beberapa dokumen draft rencana RTRW laut) Ndobe dkk. (2005) Ederyan (2011) Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kab. Banggai Kepulauan (beberapa dokument draft RTRW Laut) Ndobe dkk. (2005, 2013a) Ederyan (2011) Ndobe (2013) Desk Study melalui Internet Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah Profil Pengembangan Perikanan Tangkap di Sulawesi Tengah (STPL, 2007) * Data sekunder umumnya masih bergabung dengan Kabupaten Banggai Kepulauan Tabel 3.2. Ringkasan Tipe dan Lokasi Pengumpulan Data Primer Jenis Data atau Tipe Sumber Data Data dan informasi perkembangan Perikanan Tangkap dari instansi terkait (pemerintah/non pemerintah Pengamatan pendaratan & penjualan ikan dan/atau informasi trends (KII/FGD dll) Data primer sumberdaya ikan Data Primer Habitat & Ekosistem Keterangan Donggala Banggai - Luwuk Banggai Laut* Dislutkan Kab. Donggala TPI Labean PPI Donggala Di sekitar TPI Labean Desa Lero PPI Donggala Sampling ikan dari TPI Labean Survey di Desa Lero, Pulau Maputi dan Teluk Tambu Dislutkan Kab. Banggai Dinas Kehutanan Kab. Banggai Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kab. Banggai TPI Luwuk Karantina Ikan di Luwuk 2 Perusahaan pengolahan (Workshop & KII) Dislutkan Kab. Banggai Laut dan Banggai Kepulauan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kab. Banggai Kepulauan TPI Banggai Karantina Ikan di Banggai dan di Luwuk 2 perusahaan pengolahan di Tinakin Laut (KII) Universitas Muhammadiah Luwuk (KII) Penjual/pedagang di TPI Luwuk Desa Uwedikan Sampling ikan dari TPI Luwuk Survey di Desa Uwedikan dan di Kilo 5, Luwuk Pasar Ikan Banggai Desa Tinakin Laut, Toropot, Matanga dan Bone Baru Sampling ikan dari pasar ikan Banggai Survey di Bone Baru, Matanga, Toropot 56

57 Metode pengambilan data primer termasuk (i) observasi, dimana dokumentasi merupakan komponen penting; (ii) wawancara individu (Key Informant Interview, KII); (iii) diskusi kelompok (Focus Group Discussion, FGD); (iv) sampling terukur ikan hasil tangkapan; dan (v) survey biofisik. Untuk komponen (i) sampai (iii) berdasarkan guidelines dalam DFID-SEA (2002) serta Ndobe dkk. (2005). Komponen (iv) dan (v) dijelaskan lebih rinci di bawah ini. Khusus beberapa indikator digunakan beberapa metode tersebut, misalnya pada identifikasi habitat unik/khusus digunakan metode (i), (ii), (iii) dan (v). Sampling ikan hasil tangkapan Ikan hasil tangkapan yang didaratkan di lokasi pengamatan (TPI/tempat pendaratan di pantai atau di pasar ikan) diambil sampel dengan berusaha mewakili kisaran ukuran yang teramati khusus setiap spesies atau jenis yang disampling. Parameter utama yang diamati adalah Ukuran: Panjang: tergantung jenis, panjang total (TL), Fork length (FL) atau panjang baku (SL) Berat: apabila memungkinkan ditimbang (untuk spesies kecil, dapat mengabungkan beberapa ekor) Kematangan gonad: Telah dewasa/mampu reproduksi atau tidak: jika mungkin, pengamatan langsung terhadap gonad (pembedahan), jika tidak pembandingan ukuran dengan referensi mengenai Lm (panjang pertama matang gonad) pada spesies yang diamati. Jenis kelamin: apabila memungkinkan Bycatch dan selektivitas Bycatch dan selektivitas dinilai pada saat sampling dengan mengamati komposisi hasil tagkapan yang didaratkan sebagai hasil tangkapan dari jenis alat tangkap tertentu. Termasuk hasil yang tidak tercatat ataupun terjual. Pengamatan ini terbatas tergantung kesempatan pada saat survey, dan terutama khusus ikan tertangkap oleh bagan, pancing, jaring insang bermata kecil (pukat pantai) dan jaring lingkar. Ditambah dengan data primer hasil KII/FGD Survey Biofisik Ekosistem Mangrove Survey ekosistem mangrove ideal berupa sampling dengan pola transek kuadrat, sesuai metodologi English dkk. (1997). Sekurangnya 3 kuadrat terpasang pada sekurangnya 1 transek yang tegak lurus terhadap garis pesisir dari batas kawasan mangrove ke arah darat hingga batasnya ke arah laut. Pada setiap kuadrat berukuran 10m x 10m, dihitung jumlah pohon dari setiap jenis yang ada. Data tersebut dapat diolah untuk memperoleh parameter-parameter yang diperlukan menurut panduan Penilaian Indikator untuk Pengelolaan Perikanan Berpendekatan Ekosistem (Ecosystem Approach to Fisheries Management) Edisi revisi 20 Juli Apabila survey demikian tidak memungkinkan, survey kualitatif termasuk identifikasi jenis mangrove sejati dan penilaian terhadap kondisi dari aspek kerapatan/tutupan, keanekaragaman, dominansi jenis dan tanda-tanda perubahan luas. 57

58 Survey Biofisik Ekosistem Lamun Survey ekosistem lamun ideal berupa sampling dengan pola transek kuadrat, sesuai metodologi dasar dalam English dkk. (1997). Sekurangnya 3 kuadrat terpasang pada sekurangnya 1 transek yang tegak lurus terhadap garis pesisir dari batas padang lamun ke arah pesisir hingga batasnya ke arah laut. Kuadrat tersebut dibagi menjadi 25 kotak berukuran 20cm x 20 cm. Pada setiap kuadrat berukuran 1m x 1m, dihitung jumlah kotak dimana ditemukan setiap jenis yang ada. Data tersebut dapat diolah untuk memperoleh parameter-parameter yang diperlukan menurut panduan Penilaian Indikator untuk Pengelolaan Perikanan Berpendekatan Ekosistem (Ecosystem Approach to Fisheries Management) Edisi revisi 20 Juli Apabila survey demikian tidak memungkinkan, survey kualitatif termasuk identifikasi jenis dan penilaian terhadap kondisi dari aspek tutupan, dan keanekaragaman. Survey Biofisik Ekosistem Terumbu Karang Survey dilakukan dengan berbagai metode sesuai kondisi lokasi dan sarana yang tersedia. Pada survey ini didapatkan pula data dan informasi untuk berbagai indikator lain, seperti kualitas perairan dan habitat unik/khusus. Keanekaragaman: dinilai berdasarkan Life forms GCRMN (English dkk., 1997) serta expert opinion, dibanding dengan lokasi-lokasi lainnya yang telah disurvei di Sulawesi Tengah oleh pengamat sejak tahun 1999 Penutupan oleh karang keras hidup: dinilai dengan menggunakan (i) Manta Tow (English dkk., 1997), menggunakan papan manta dan peralatan snorkel dan atau (ii) Point Intercept Transect (PIT) dengan metode Reef Check (Hodgson dkk., 2006), menggunakan SCUBA. Diperoleh pula data komposisi substrat yang relevan terhadap pembahasan dan penyusunan rekomendasi. Survey Biofisik Sumberdaya Ikan Penilaian terhadap sumberdaya ikan, khususnya parameter kepadatan ikan karang, dilakukan bersamaan dengan survey terumbu karang, dengan UVC (underwater visual census) sesuai metode dasar Swim Survey (Hill dan Wilkinson, 2004). Tergantung lokasi dan kondisi UVC tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan snorkelling atau dengan SCUBA. 3.2 AnalisaKomposit Analisa komposit sejauh memungkinkan dilakukan sesuai modul panduan Penilaian Indikator untuk Pengelolaan Perikanan Berpendekatan Ekosistem (Ecosystem Approach to Fisheries Management) Edisi revisi 20 Juli Namun salah satu hal yang tidak dipaham adalah skor densitas. Oleh karena itu, dalam laporan ini kami menggunakan versi Matrix EAFM V1 (tanpa skor densitas), disesuaikan dengan revisi indikator dan bobot yang ada pada versi V3. Kami harap agar nanti di workshop persoalan skor densitas dapat diklarifikasi dan diterapkan pada revisi final laporan akhir. Beberapa penyesuaian terhadap metodologi dilakukan agar nilai-nilai awal untuk masing-masing indikator dapat dihasilkan dari data dan informasi yang telah diperoleh pada saat penyusunan laporan ahkir versi draft ini. Rinciannya di bahas pada bagiannya masing-masing. 58

59 4 AnalisisTematikPengelolaanPerikanan 4.1 PerikananKabupatenDonggala DomainHabitat Jumlah indikator pada domain habitat berkumlah 6 dan sama untuk semua jenis ikan, maka hanya satu analisa dan set nilai. Indikator 1 Kualitas Perairan Tiga kriteria pada indikator ini pada dasarnya bertujuan menilai kualitas dari aspek tingkat pencemaran oleh limbah, dampak sedimentasi dan eutrofikasi. Secara umum, kualitas air di Kabupaten Donggala dinilai masih baik atau sedang. Beberapa data sekunder kualitas air tercantum pada Tabel dan data primer (hasil survey EAFM) pada Tabel Tabel Data Sekunder Kualitas Air di Kabupaten Donggala Parameter/Lokasi Tahun Satuan Nilai Parameter Sumber Teluk Tambu Suhu Perairan YACL (2002) C KMB Sulteng Derajat keasaman 2007 ph 7-8 KMB Sulteng Kecerahan Salintas Kabupaten Donggala (27 stasiun) YACL (2002) m KMB Sulteng YACL (2002) ppt KMB Sulteng Suhu Perairan 2008 C ± 31 Derajat keasaman 2008 ph ± 8 Turbiditas 2008 NTU 7-9 Salintas 2008 ppt DO 2008 ppm ± 7 Tahril dkk. (2011) Tabel Data kualitas air di Kabupaten Donggala Tahun 2013 Parameter Pulau Maputi Teluk Tambu Lero PPI Donggala Suhu Perairan ( C) Derajat keasaman ph TAD Salinitas (ppt) TAD Kecerahan (m) > 5 Sampah padat tinggi tinggi tinggi rendah Pencemaran lain rendah rendah rendah rendah Indikasi eutrofikasi rendah rendah-sedang rendah rendah-sedang Sumber: Data primer survey EAFM Tahun

60 Berdasarkan data tersebut sert hasil pengamatan di lapangan, penilaian terhadap 3 indikator sebagai berikut: 1a. Limbah: limbah industri masih rendah, namun hampir semua limbah domestik serta sampah dari pelayaran yang melalui perairan Kabupaten Donggala pada akhirnya terbuang ke laut, secara langsung atau tidak langsung (misalnya terbuang ke sungai atau selokan yang bermuara ke laut. Hanya di PPI Donggala yang ditemukan upaya menjaga kenbersihan laut. Di pesisir maupun di pulau-pulau, sampah domestik terdampar dalam jumlah besar dan sangat menonjol. Hal ini berlaku baik di perairan pesisir maupun di perairan lepas pantai sehingga sama bagi kelima komoditas terpilih. Dengan demikian kriteria ini diberi nilai 2, sedang. 1b. Sedimentasi: sedimentasi sangat bervariasi. Data NTU yang tercantum dalam Tahril dkk. (2011) berasal dari penelitian tahun 2008 menunjukkan bahwa secara rata-rata turbiditas relatif rendah, namun semua stasiun di padang lamun dimana sedimen cenderung keluar dari kolum air akibat daun lamun dan distabilkan oleh akar lamun. Data kecerahan dari berbagai sumber (hanya sebagian dicantumkan di atas) umumnya pada lokasi terumbu karang dan menghindarkan daerah estuari (berjumlah banyak) sehingga menunjukkan kecerahan relatif tinggi. Umumnya berdekatan dengan muara sungai sedimentasi dan kekeruhan/turbiditas tergolong tinggi atau sangat tinggi dan mengalami peningkatan tajam seiring dengan kerusakan lahan di hulu, sehingga dinilai lebih tinggi dibanding tahun Dengan demikian, kriteria ini diberi nilai 2, sedang. 1c. Eutrofikasi: data konsentrase klorofil a belum berhasil diperoleh, demikian pula data kadar nutrien. Dengan demikian dinilai berdasarkan indikator-indikator lain yang telah lazim digunakan dan diakui dalam kondisi kekurangan data kuantitatif (data poor situations) seperti pertumbuhan lumut, sedangkan makro-alga dan sponge merayap dapat dinilai sebagai indikator eutrofikasi (Hodgson dkk., 2006). Berdasarkan indikator tersebut, dinilai bawah kriteria ini bervariasi dari buruk sampai sedang (berdekatan pemukiman, sawah, tambak, sebagian besar perkebunan dan muara sungai) hingga baik (perairan lainnya). Dengan demikian diberi nilai 2 Indikator 2 Status Ekosistem Lamun Indikator ini memiliki dua kriteria, yaitu tutupan dan keanekaragaman lamun. Data lamun (primer maupun sekunder) tercantum pada Tabel Tidak terdapat kriteria mengenai luas lamun, namun terdapat indkasi penurunan luas lamun di beberapa lokasi, diduga terutama akibat sedimentasi dari kerusakan lahan di hulu, dan hanya sebagian kecil mungkin akibat kerusakan terumbu karang sehingga fungsi atau jasa ekosistem sebagai penghalang kekauatan gelombang ombak tidak lagi efektif. Tabel Data Lamun Kabupaten Donggala Lokasi Tutupan Jumlah spesies Genus Dominan Keterangan/Sumber P. Maputi ± 50% 5 Syringodium Donggala ± 30% 3 Enhallus Lero ± 20% 3 Enhallus Labean ± 25% 4 Halophila Balaesang ± 60% 3 Enhallus Data primer 2013 KMB Sulteng (2007) 60

61 2.a. Tutupan: apabila digabung data primer dan sekunder, maka penutupan berkisar antar sedang dan tinggi namun rata-rata pada kiasaran sedang. Dengan demikian diberi nilai 2 2.b. Keanekaragaman: penghitungan indeks berdasarkan jenis data (terutama data sekunder) yang ada tidak memungkingkan. Dengan demikian digunakan pilihan penghitungan jumlah jenis lamun. Jumlah spesies rata-rata adalah 3.6, sehingga masuk pada kategori sedang. Dengan demikian diberi nilai 2. Indikator 3. Status Ekosistem Mangrove Meskipun pohon mangrove terdapat di banyak lokasi sepnjang pesisir Kabupaten Donggala, hamparan hutan yang dapat dipandang benar merupakan ekosistem mangrove relatif terbatas. Data sekunder (Ndobe, 2008) menunjukkan penurunan sebesar 68% pada periode dari 4198 ha menjadi ha. Data sekunder lain maupun data primer menunjukkan bahwa dalam 8-10 tahun terakhir masih terjadi penurunan luasan mangrove di Kabupaten Donggala, sehingga diperkirakan telah menurun lebih dari 75%, bahkan kemungkinan sisanya kurang dari 20% luas semula. Secara umum kondisi ekosistem mangrove sangat meprihatinkan. Meskipun terdapat beberapa upaya restorasi, dan sebagian diantaranya nampak mulai berhasil, sebagian besar tidak berhasil disebabkan antara lain jenis (spesies) tidak tepat, pola/metode penamanan yang tidak tepat, musim tanam yang tidak tepat serta kurangnya perawatan. Beberapa data ekosistem mangrove pada Tabel Kriteria pada indikator ini berjumlah 2, yaitu: tutupan dan kerapatan. Tabel Data ekosistem mangrove Kabupaten Donggala Lokasi Tutupan Keanekaragaman Luasan Dominansi Teluk Tambu a, c 25 50% sedang menurun sedang Kab. Donggala b TAD TAD - 68% TAD Donggala c % rendah menurun sedang Kec. Banawa/ Benawa Selatan c % sedang menurun sedang TAD = tidak ada data Sumber: a KMB Sulteng (tahun 2007); b Ndobe, 2008; c Data primer survey EAFM 3.a. Kerapatan: berdasarkan penutupan yang teramati, yaitu sebagian besar di bawah 10 pohon per 100m 2 (kuadrat 10x10m), yaitu sama dengan 1000 pohon/ha, maka kriteria ini diberi nilai 1 3.b. Tutupan: sangata nyata dari data yang ada bahwa tutupan cenderung di bawah 50%, maka kriteria ini diberi nilai 1 Indikator 4 Status Terumbu karang Data ekosistem terumbu karang Kabupaten Donggala cukup banyak, dan menggunakan berbagai metode pengamatan dan mencakup beberapa parameter yang tidak selalu sama dengan indikator yang digunakan pada penilaia EAFM. yang kadang menurun akurasinya. Hanya sebagian data tersebut disajikan pada Tabel 4.1.5, yaitu data berkaitan dengan dua kriteria pada indikator ini, dan untuk setiap lokasi dipilih data terbaru. Indikator pertama adalah penutupan oleh karang keras hermatipik (HC, Hard Coral) dimana sebagian besar data sekunder menggunakan skala GCRMN 61

62 (Global Coral Reef Monitoring Network) yang berbeda dengan skala yang diadopsi oleh Kementerian Lingkungan Hidup, sehingga diperlukan konversi. Data yang tercantum pada Tabel semuanya dalam persen (%HC) dan data lainnya hampir semuanya masuk pada kategori 25-50% untuk nilai rata-rata per lokasi, sama dengan hampir semua daerah di Sulawesi Tengah (Moore dan Ndobe, 2009), meskipun secara rinci (fine scale), terdapat hamparan terumbu karang dalam kondisi skala GCRMN Sangat Buruk (<10% HC) hingga Baik (50-75%), sedangkan kategori GCRMN Sangat Baik (%HC>75%) sangat langka secara alamiah, sekalipun di terumbu karang yang belum mengalami kerusakan signifikan, dikarenakan keanekaragaman dan kelimpahan biota sesil lainnya yang merupakan bagian ekosistem terumbu karang yang sehat. Indikator kedua adalah keanekaragaman. Data tidak tersedia dalam bentuk yang dapat diolah untuk menghasilkan H', maka digunakan expert opinion, berdasarkan pengamatan sejak tahun 2000 di berbagai lokasi, termasuk 9 lokasi yang tercantum pada Tabel Tabel Data Ekosistem Karang di Kabupaten Donggala Lokasi % HC Indikator Keanekaragaman Sumber Pulau Maputi 33 Sedang Data primer 2013 Lero 20 Sedang Data primer 2013 Sibayu 40 Sibualong 23 Santigi 26 Awesang 47 Pomolulu 20 Pulau Pasoso 36 Tinggi Labuana 39 Sedang sampai Tinggi Sedang sampai Tinggi Ndobe & Moore (2008) Moore (2004) 4.a. Penutupan: data survey menunjukkan bahwa selain antar lokasi penutupan karang keras hidup sangat bervariasi di dalam setiap lokasi. Semulanya umumnya pada kategori tinggi namun data terbaru menunjukkan bahwa sebagian besar pada kategori Sedang dan sebagian kecil pada kategori Buruk, maka diberi nilai 2 4.b. Keanekaragaman: berdasarkan data yang ada, keanekaragaman karang di Kabupaten Donggala seharusnya relatif tinggi dari aspek global, meningat bahwa berada dalam segitiga karang dunia. Selain itu, Selat Makassar merupakan salah satu ecoregion dengan biodiversitas sangat tinggi (Huffard dkk., 2010). Meskipun degradasi semakin nyata, hasil survey (data primer) menunjukkan bahwa pada sebagian besar lokasi keanekaragaman masih sedang sampai tinggi. Namun demikian pada beberapa lokasi keanekaragaman telah nyata menurun akibat kerusakan/degradasi antropogenik langsung maupun tidak langsung, termasuk sedimentasi. Dengan demikian diberi nilai 2.5 Indikator 5. Habitat Unik/Khusus Habitat unik khusus yang terdapat di Kabupaten Donggala tentu saja termasuk daerah pemijahan ikan, dan cukup banyak lokasi yang diduga sebagai spawning grounds untuk jenis-jenis ikan bernilai ekonomis tinggi, namun berdasarkan data yang diperoleh (sekunder maupun primer) belum ada yang letaknya telah teridentifikasi dengan pasti. Habitat khusus yang telah teridentifikasi 62

63 adalah tempat bertelur penyu, di Pulau Pasoso dan di Pulau Maputi. Keduanya dapat dikatakan belum terkelola dengan baik, dan jumlah penyu yang naik bertelur telah menurun drastis dibanding semulanya. Kriteria pada indikator ini hanya satu, berkaitan dengan pengetahuan dan pengelolaan habitat unik/khusus. Sejumlah habitat unik/khusus diketahui namun belum dikelola dengan baik. Dengan demikian, diberi nilai 2 Indikator 6 Perubahan Iklim Indikator ini berkaitan dengan severitas dampak yang bakal dialami dari perubahan iklim serta kapasitas lokal untuk mitigasi dan adaptasi. Kriteria berjumlah dua, yaitu tingkat pengetahuan dan kesiapan serta severitas dampak yang telah dan bakal dialami. Berbagai kajian berskala regional ataupun global telah tersusun mengenai dampak perubahan iklim dan sangat relevan pada kondisi di Kabupaten Donggala. Antara lain, Hoegh-Guldberg dkk. (2009)dan Burke dkk (2011). Namun sejauh diketahui belum ada kajian khusus wilayah Kabupaten tersebut. 6.a. Pengetahuan: belum ada kajian tentang dampak perubahan iklim tingkat Kabupaten Donggala, maka diberi nilai 1 6.b. Dampak: belum terjadi pemutihan berarti sejauh diketahui maka diberi nilai DomainSumberdayaIkan Pada Domain sumberdaya ikan (SDI) terdapat pula 7 indikator. Sebagian besar data untuk indikator-indikator tersebut telah dicantumkan pada bagian 2.1. Adapun disajikan pembahasan singkat dan nilai yang diberikan pada setiap indikator di bawah untuk perikanan secara keseluruhan. Khusus ke-5 spesies sasaran utama, nilai nilai yang diberikan disajikan dalam sebuah matriks pada Tabel Indikator 1. CPUE Baku Sangat nyata bahwa secara umum CPUE telah menurun, namun berapa persen per tahun sulit ditentukan, dan untuk beberapa jenis akan memerlukan data time series lebih panjang, karena sepertinya relatif baru menurun sedangkan lainnya telah menurun tajam sejak lama. Untuk mencerminkan hal ini khusus perikanan secara umum diberi nilai 2. Indikator 2. Ukuran ikan Perubahan dalam ukuran ikan yang ditangkap tergantung dari jenis ikan. Namun dimana ada perubahan semuanya ke arah lebih kecil dan tidak ada satupun yang membesar. Untuk mencerminkan hal ini khusus perikanan secara umum diberi nilai 1. Indikator 3. Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap Indikator ini merujuk pada Lm atau ukuran pertama matang gonad setiap spesies. Jika disatukan semua spesies, kiranya sekitar 50-60% ikan belum mencapai ukuran Lm, hal ini mencakup ikan-ikan yang berlimpah dan banyak ditangkap seperti selar (katombo) meskipun tidak masuk pada 5 jenis yang dianalisa secara khusus. Untuk mencerminkan kondis ini khusus perikanan secara umum diberi nilai 2. Indikator 4. Komposisi spesies Indikator ini menilai selektivitas atau tingkat by-catch atau hasil sampingan, termasuk bycatch yang 63

64 digunakan. Selektivitas dan jumlah atau tipe jenis hasil sampingan sangat bervariasi antar alat, daerah penangkapan, waktu bulan, musim, jenis armada, waktu hari dan siklus pasang-surut, dan banyak faktor internal maupun eksternal lainnya. Dengan demikian khusus perikanan secara umum diberi nilai 2. Nilai 2 pada ikan teri merupakan gabungan dari nilai 1 pada bagan moderen di Teluk Tambu (bycatch sangat tinggi dari segi jumlah ekor meskipun relatif rendah dari aspek ukuran berat) dan nilai 3 (sedikit bycatch) di perikanan skala artisanal di Lero. Demikian pula nilai 2 khusus kerapu dan lajang dan nilai 2,5 khusus cakalang dan tongkol merupakan gabungan dari berbagai alat tangkap dan lokasi penangkapan. Indikator 5. Range Collapse sumberdaya ikan 6.a. Semakin sulit: umumnya ya, diberi nilai 1. 6b. Semakin jauh: umumnya ya untuk spesies demersal namun tetap pada jalur ruayanya untuk spesies pelagis, maka diberi nilai 2. Indikator 6. Spesies ETP Penangkapan spesies ETP, secara sengaja maupun tidak sengaja, tergolong tinggi di Kabupaten Donggala, seperti di semua kabupaten di Sulawesi Tengah. Jarang sekali dilepaskan, umumnya spesies ETP yang tertangkap dimanfaatkan. Oleh karena itu untuk perikanan di Kabupaten Donggala secara umum indikator ini diberi nilai 1. Namun nilai sangat bervariasi antar jenis perikanan, dan sejauh diketahui tidak ada jenis ETP yang tertangkap pada perikanan ikan teri. Untuk perikanan kerapu, ikan Napoleon merupakan salah satu jenis ETP yang tertengkap dimana masih ada, dan tidak dilepas. Untuk perikanan ikan pelagis, sebagian jenis/individu spesies ETP dilepas oleh sebagian armada, sedangkan sebagian lebih besar dimanfaatkan, maka diberi nilai 1.5. Jenis SDI sasaran Tabel Nilai Indikator Domain SDI khusus 5 spesies target Nilai Indikator SDI ke a 5b 6 Cakalang Tongkol Lajang Kerapu Teri Kab. Donggala DomainTeknologiPenangkapanIkan Pada Domain teknologi penangkapan ikan terdapat 6 indikator. Sebagian besar data untuk indikator-indikator tersebut telah dicantumkan pada bagian 2.1. Adapun disajikan pembahasan singkat dan nilai yang diberikan pada setiap indikator di bawah untuk perikanan secara keseluruhan. Khusus ke-5 spesies sasaran utama, nilai nilai yang diberikan disajikan dalam sebuah matriks pada Tabel

65 Indikator 1. Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal Perikanan destruktif atau ilegal termasuk yang ilegal karena alat/metode penangkapan (bahan peledak dan beracun, penggunaan lingis/kerusakan fisik karang, dll) maupun karena persoalan asalusul dan perijinan operasional (misalnya andon/luar negeri tanpa ijin), pola dan daerah penangkapan (misalnya berkaitan dengan ukuran ikan, mata jaring dan kapal, batas kawasan konservasi, dll) yang tidak sesuai. Termasuk juga aktivitas ship-to-ship dan penangkapan jenis yang dilindungi. Untuk tingkat kabupaten (sampel WPP) hasil KII dan FGD bahwa sangat nyata tingkat komponen destruktif dan atau ilegal masih tinggi dan harus diberi nilai 1. Namun jenis ilegalitas bervariasi antar jenis ikan target, termasuk diantara kelima jenis khusus. Perikanan ikan kerapu rawan perikanan destruktif. Pada perikanan ikan pelagis, masih banyak kapal yang beroperasi tanpa ijin atau mata jaringnya tidak sesuai. Menurut pihak PPI Donggala dimana penertiban sudah sangat maju dibanding tempat lain, jelas bahwa masih ada lebih dari 10 kasus pelanggaran per tahun pada kapal yang menangkap ikan pelagis maupun demersal. Indikator 2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan. Untuk proporsi hasil tangkapan di bawah Lm, digunakan data hasil sampling serta hasil KII dan FGD maupun data sekunder. Untuk Lm, sebagian dari hasil penelitian, sebagian besar dari data Lm yang ada pada FishBase (Froese dan Pauly, 2013). Berdasarkan data tersebut jika dijumlah semua ikan hasil tangkapan diestimasi akan pada nilai 2 (sedang) dari aspek volume namun 1 (buruk) dari aspek jumlah ekor, dimana jumlah ikan berukuran kecil (gabungan larva dan juvenil pada semua jenis perikanan yang teramati) yang tertangkap melebihi jumlah ikan dewasa (matang gonad pada sampel dan/atau ukuran panjang sama atau di atas Lm). Oleh karena itu untuk Kabupaten (sampel WPP) diberi nilai 1.5. Proporsi hasil tangkapan di bawah Lm sangat bervariasi antar jenis atau spesies ikan, termasuk diantara ke-lima jenis khusus. Indikator 3. Fishing capacity dan Effort Tidak ada keraguan bahwa secara keseluruhan kapasitas total armada di Kabupaten Donggala meningkat, meskipun terjadi perubahan/pergeseran antar jensi dan skala unit penangkapan. Maka indikator ini diberi nilai 1. Indikator 4. Selektivitas penangkapan Sebagian besar penangkapan ikan tidak atau kurang selektif, dari aspek ukuran dan atau jenis. Maka untuk kabupaten secara keseluruhan diberi nilai 1.5. Namun demikian alat tangkap yang digunakan khusus jenis pelagis besar (seperti cakalang, tuna, tongkol) umumnya relatif selektif, sekurangnya dari aspek jenis (tuna dan tuna-like species), meskipun sebagian kurang atau tidak selektif pada ukuran atau spesies (misalnya tongkol, baby tuna dan cakalang kerapkali tertangkap bersamaan di rompong). Demikian pula perikanan artisanal untuk ikan teri, hasil sampling bahwa relatif selektif jenis walaupun tidak selektif ukuran. Untuk semua jenis yang ditangkap dengan bagan, sebagian besar jenis jaring insang, dan pemboman, terdapat komponen signifikan yang bukan spesies target atau hasil tangkapan sangat beragam, sekalipun sebagian alat/armada lainnya menangkap spesies target yang sama dengan cara yang cukup selektif. Fenomena tersebut antara lain pada perikanan ikan demersal seperti kerapu, ikan pelagis kecil seperti lajang, serta penangkapan ikan teri dengan bagan. 65

66 Indikator 5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal Sangat sedikit kapal dimanai dokumennya, atau GT yang tercat di anjungan dan atau di data PPI sesuai dengan ukuran/kapasitas kapal sebenarnya. Bahkan terdapat kapal yang memiliki kapasitas muatan ikan di palkanya yang jauh lebih besar daripada GTnya. Maka indikator ini diberi nilai 1. Nilai indikator 5 lebih tinggi pada perikanan dengan komponen artisanal signifikan diman tidak ada isu GT pada komponen tersebut karena umumnya masih menggunakan sampan atau perahu sejenis, dengan ataupun kadang masih tanpa katinting. Indikator 6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan. Di PPI Donggala indikator ini mungkin telah mencapai atau menuju kategori 2, namun diluar itu jelas masuk kategori 1. pada perikanan artisanalpun, sebagian signifikan nelayan belum memiliki Kartu Nelayan, meskipun hasil beberapa upaya pemerintah bahwa jumlah dan proporsi nelayan yang memilikinya meningkat terus. Maka indikaor ini diberi nilai 1.5. Nilai lebih tinggi buat ikan teri (nilai 2) karena memang tidak diperlukan sertifikasi untuk jenis operasi penangkapan artisanal (nilai 3), dan sebagian signifikan memiliki kartu nelayan, namun untuk nelayan bagan terindikasi bahwa sebagian besar belum sesuai (nilai 1). Jenis SDI sasaran Tabel Nilai Indikator Domain Teknis Penangkapan khusus 5 spesies target Nilai Indikator Teknis Penangkapan ke Cakalang Tongkol Lajang Kerapu Teri Kab. Donggala DomainSosial Pada domain sosial hanya 3 indikator, berkaitan dengan aspek partisipasi, konflik dan pengetahuan tradisional. Khusus ke-5 spesies sasaran utama, nilai nilai yang diberikan disajikan dalam sebuah matriks pada Tabel Indikator 1. Partisipasi pemangku kepentingan Indikator ini sangat berbeda antar lokasi, dengan nilai sedang atau tinggi di PPI Donggala dan rendah ataupun sangat rendah pada lokasi samping lainnya, dan menurut berbagai informasi, hampir sepanjang pesisir Selat Makassar di Kabupaten Donggala. Secara agregat diberi nilai 1.5. Indikator 2. Konflik perikanan Tingkat konflik berkaitan perikanan sangat bervariasi, dimana tinggi (nilai buruk) pada lokasi-lokasi tertentu, termasuk secara khusus di Teluk Tambu dan relatif rendah (nilai sedang atau baik) beberapa lokasi lain, misalnya di Lero. Tidak terdapat lokasi tanpa konflik perikanan secara horizontal, vertikal ataupun konflik dengan sektor lain. Khusus perikanan ikan pelagis frekuensi konflik berkaitan dengan rumpon dinilai tinggi oleh petugas dan pengguna PPI Donggala. Secara agregat diberi nilai

67 Indikator 3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge) Sejauh diketahui belum ada pengetahuan tradisional dalam bentuk TEK yang teridentifikasi, dan pengetahuan lokal jarang terpakai. Sebagian signifikan nelayan merupakan pendatang, bukan masyarakat asli (not indiginous), dan budaya/kearifan tradisional suku laut seperti Suku Bajo semakin hilang. Dengan demikian, indikator ini diberi nilai 1. Tabel Nilai Indikator Domain Sosial khusus 5 spesies target Jenis SDI sasaran Nilai Indikator Domain Sosial ke Cakalang Tongkol Lajang Kerapu Teri Kab. Donggala DomainEkonomi Data ekonomi berkaitan dengan pendapatan sangat sulit diperoleh, baik primer maupun sekunder. Khusus ke-5 spesies sasaran utama, nilai nilai yang diberikan disajikan dalam sebuah matriks pada Tabel Indikator 1. Kepemilikan Aset Menurut hasil pengamatan, KII dan FGD dinilai bahwa secara umum aset cenderung meningkat namun tidak sebanyak 50%. Dari aspek sarana produksi hal ini tercermin dalam peningkatan jumlah, ukuran dan kapasitas armada dan alat tangkap. Dari aspek lain peningkatan dalam jumlah rumah semi-permanen dan permanen, serta dimana ada listrik (PLN atau genset) alat elektronik seperti televis dan telpon seluler. Namun hal ini tidak menyluruh atau merata dan masih banyak desa atau dusun dimana aset tidak berubah signifikan. Secara keseluruhan diberi nilai 2. Indikator 2. Pendapatan rumah tangga (RTP) Menurut hasil pengamatan, KII dan FGD dinilai bahwa pendapatan nelayan/rtp sangat bervariasi dalam waktu (misalnya antar musim) dan antar individu. Hal ini menjadi lebih rumit lagi dengan adanya sejumlah besar nelayan yang memiliki sumber pendapatan lain. Meskipun terdapat nelayan benar miskin (terutama di desa/dusun terpencil) dan cukup kaya (terutama pemilik kapal atau punggawa), diestimasi bahwa pendapatan tahunan sebagian besar nelayan tidak jauh dari rata-rata pada masyarakat di sekitarnya sehingga diberi nilai 2. Khusus nelayan di PPI Donggala, menurut petugas PPI dan hasil KII/FGD dengan sebagian nelayan tersebut, pendapatannya di atas rata-rata di masyarakat disekitarnya, dan jelas diatas UMR. Namun dari aspek jumlah orang atau RTP hanya bagian kecil dari nelayan di Kabupten Donggala, bahkan sebagian diantaranyya adalah nelayan andon yang bermuko di asrama PPI selama beroperasi dari pelabuhan tersebut kemudian pulang ke provinsi asalnya. Indikator 4. Saving rate Meskipun tidak terdapat data berupa angka, hasil Kii dan FGD bahwa kecuali pungawa, umumnya 67

68 nelayan tidak memiliki tabungan atau hanya sangat sedikit. Hal ini termasuk nelayan yang pendapatannya relatif tinggi dan sebenarnya memungkinkan untuk melakukan simpanan. Maka indikator ini diberi nilai 1. Tabel Nilai Indikator Domain Ekonomi khusus 5 spesies target Jenis SDI sasaran Nilai Indikator Domain Ekonomi ke Cakalang Tongkol Lajang/Malalugis Kerapu Teri Kab. Donggala DomainKelembagaan Jumlah indikator pada Domian Kelembagaan adalah 6 (enam). Khusus ke-5 spesies sasaran utama, dinilai bahwa komponen ini tidak memiliki perbedaan karena belum ada aturan khusus, sehingga hanya satu nilai untuk setiap indikator, seperti pada Domain Habitat dan Ekosistem. Indikator 1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal Menurut informasi yang diperoleh pelanggaran melebihi 5 per tahun khusus aturan formal maupun non-formal maka kedua komponen diberi nilai 1 dan 1. Indikator 2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan Indikator ini memiliki 2 kriteria, masing-masing memiliki dua dan tiga komponen sebagai berikut: 2.a. Kelengkapan: untuk komponen pertama, sebagian aturan yang seharusnya berada telah dilengkapi, namun belum lengkap. Sulit diketahui seberapa domain masuk pada aturan tersebut, antara lain karena aturan yang ada dari berbagai sektor dan sulit diperoleh informasinya, namun kiranya walaupun parsial mencakup lebih dari dua domain dan jelas tidak mencakup semua enam domain. Untuk komponen kedua, diperoleh informasi bahwa ada yang dikembangkan namun masih proses atau belum disahkan. Dengan demikian untuk kedua komponen diberi nilai 2 dan 3 2.b. Penerapan: untuk komponen pertama, sebagian aturan nasional maupun daerah belum diterapkan, atau tidak efektif. Untuk komponen kedua, sarana/alat, sumberdaya manusia maupun dana operasional khusus penegakan sangat minim atau bahkan tidak ada, meskipun situasi telah lebih baik khusunya daerah berdekatan dengan pangkalan Polairud dan TNI-AL di Teluk Palu dibanding sebagian besar perairan Kabupaten Donggala. Untuk komponen ketiga, sebagian besar pelanggaran tidak dapat teguran atau hukuman, walaupun ada juga sebagian yang mendapat teguran. Hukuman sangat sulit antara lain karena tidak adanya pengadilan perikanan atau dana untuk membiaya ongkos hidup tahanan. Selain itu, didapat keluhan dari berbagai responden yang masih searah dengan data sekunder dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu bahwa oknum dari instansiinstansi penegak hukum/aturan merupakan pelaku atau berkolusi dalam berbagai kegiatan ilegal. Dengan demikian, untuk ketiga komponen diberi nilai 2, 1.5 dan

69 Indikator 3. Mekanisme pengambilan keputusan Sejauh diketahui belum ada maka nilainya 1 Indikator 4. Rencana pengelolaan perikanan Belum ada maka nilainya 1 Indikator 5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan 5.a. Sinergi/konflik antar lembaga: tidak ditemukan adanya konflik antar lembaga berkaitan dengan pengelolaan perikanan, namun juga nampaknya kebanyakan belum berkomunikasi atau bersinergi secara efektif. Contohnya komunikasi antar instansi terkait yang mengurus operasional, perijinan dan pengukuran armada perikanan tangkap. Maka komponen ini diberi nilai 2. 5.b. Sinergi/konflik kebijakan: tidak ditemukan banyak konflik yang berarti antar kebijakan di bidang perikanan tangkap namun juga tidak banyak kebijakan yang saling mendukung. Maka komponen ini diberi nilai 2. Sebagai catatan, cukup banyak kebijakan instansi/sektor lainnya yang tidak bersinergi atau berkonflik dengan kepentingan sektor perikanan, terutama dari aspek pembangunan fisik di kawasan pesisir. Kenyataannya bahwa pengelolaan terpadu (ICZMP atau sejenis) belum berjalan. Indikator 6. Kapasitas pemangku kepentingan Pelatihan, pembinaan dan lainnya ada, namun hanya di lokasi-lokai tertentu, terutama yang relatif mudah dijangkau. Khusus daerah-daerah terpencil dimana sebagian besar nelayan misikin/kurang sejahtera hidup, sepertinya sangat sedikit atau tidak ada peningkatan kapasitas. Sedangkan di PPI Donggala dinilai cukup tinggi, dan difungsikan. Secara keseluruhan komponen ini diberi nilai 2.5. Nilai tersebut berdasarkan definisi kriteria, namun dinilai masih sangat perlu ditingkatkan, terutama di luar lingkup PPI Donggala. 4.2 PerikananKabupatenBanggai DomainHabitat Jumlah indikator pada domain habitat berkumlah 6 dan dianggap sama untuk semua jenis ikan, maka hanya satu analisa dan set nilai. Indikator 1 Kualitas Perairan Tiga kriteria pada indikator ini pada dasarnya bertujuan menilai kualitas dari aspek tingkat pencemaran oleh limbah, dampak sedimentasi dan eutrofikasi. Data yang diperoleh terutama data sekunder meskipun mencakup pula data primer. Data kualitas air di Selat Peleng tercantum pada Tabel dan data primer (hasil survey EAFM) pada Tabel Tabel Data Sekunder Kualitas Air di Perairan Selat Peleng, Kab. Banggai Parameter Satuan Baku Mutu Selat Peleng Keterangan Fisika Warna CU - Sesuai Bau *) - Alami Sesuai Kecerahan *) M >3 20 Sesuai Kekeruhan NTU <5 0,58 Sesuai TSS mg/l Sesuai Sampah *) - Nihil Nihil Sesuai Lapisan Minyak *) - Nihil Nihil Sesuai Temperatur *) C ,1 Sesuai 69

70 Parameter Satuan Baku Mutu Selat Peleng Keterangan Kimia ph *) - 7-8,5 8,02 Sesuai Salinitas *) pengaruh air tawar DO *) mg/l >5 7,1 Sesuai BOD mg/l 20 1,25 Sesuai Amonia (NH3-N) mg/l 0,3 0,106 Sesuai NO3-N mg/l 0,008 0,086 indikasi eutrofikasi PO4-P mg/l 0,015 <0,005 Sesuai Sianida (CN-) mg/l 0,5 0,003 Sesuai Sulfida (H2S) mg/l 0,01 <0,001 Sesuai Minyak dan Lemak mg/l 1 <1 Sesuai Fenol mg/l 0,002 0,0004 Sesuai Surfaktan (MBAS) mg/l 1 <0,005 Sesuai Merkuri (Hg) mg/l 0,001 0,0003 Sesuai Krom (Cr) mg/l 0,005 <0,001 Sesuai Arsen (As) mg/l 0,012 0,0004 Sesuai Kadmium (Cd) mg/l 0,001 <0,001 Sesuai Tembaga (Cu) mg/l 0,008 <0,005 Sesuai Timbal (Pb) mg/l 0,05 <0,005 Sesuai Seng (Zn) mg/l 0,05 <0,005 Sesuai Nikel mg/l 0,05 <0,005 Sesuai Biologi E coli MPN/100 ml Nihil 12 indikasi pencemaran Coliform MPN/100 ml Sesuai Sumber: Dokumen UKL-UPL KegiatanSurvei Seismik 2D Laut Di Blok South East Matindok, dalam Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Banggai Kepulauan (2012). Tabel Data kualitas air di Kabupaten Banggai Tahun 2013 Parameter Uwedikan Pulau Uwedikan Pos Jaga Kilo 5 Suhu Perairan ( C) Derajat keasaman ph Salinitas (ppt) Kecerahan (m) > 10 Sampah padat Rendah Sedang Tinggi Pencemaran lain Rendah Sedang Rendah Indikasi eutrofikasi Sedang Tinggi Sedang Sumber: Data primer survey EAFM Tahun 2013 Berdasarkan data tersebut sert hasil pengamatan di lapangan dan beberapa sumber data kualitatif, penilaian terhadap 3 indikator sebagai berikut: 1a. Limbah: limbah industri masih rendah, namun hampir semua limbah domestik serta sampah dari pelayaran yang melalui perairan Kabupaten Banggai pada akhirnya terbuang ke laut, secara langsung atau tidak langsung dari TPA di pinggir laut, terbuang ke sungai atau selokan yang bermuara ke laut, dll. Tidak ditemukan upaya menjaga kebersihan laut. 70

71 Di sepanjang pesisir sampah domestik terdampar, kadang dalam jumlah besar dan secara visual sangat menonjol. Sampah terbanyak di pesisir teramati ke arah utara dari pusat kota/pelabuhan Luwuk. Kondisi tercemar yang dinilai sudah berat ditemukan di pelabuhan Luwuk. Limbah lain yang terbuang ke sungai dan tentu mengarah ke laut menurut laporan kualitas air dari BPPLH Kabupaten Baggai termasuk pencemaran dari pertambagan emas liar di Kecamatan Toili dan Toili Barat. Nyata terjadi pecemaran tetapi pada sebagian besar perairan Kabupaten Banggai di WPP 714 dianggap masih sedang. Dengan demikian kriteria ini diberi nilai 2. 1b. Sedimentasi: sedimentasi sangat bervariasi antar lokasi, dan muatan sedimen oleh sungaisungai umumnya sangat bervariasi antar musim dan dengan kondisi cuaca. Data NTU yang tercantum dalam Tabel adalah data pada perairan lepas pantai, sehingga mewakili kondisi terbaik. Data kecerahan dari berbagai sumber umumnya pada lokasi terumbu karang dan menghindarkan daerah estuari (berjumlah banyak) sehingga menunjukkan pula kondisi terbaik dengan kecerahan relatif tinggi. Umumnya berdekatan dengan muara sungai, observasi visual menunjukkan sedimentasi dan kekeruhan yang tergolong tinggi atau sangat tinggi, dimana peningkatan tajam terjadi seiring dengan kerusakan lahan di hulu. Data kualitas air sungai dari laporan BPLH menunjukkan bahwa umumnya sungai di Kabupaten Banggai mengalami kerusakan tergolong tinggi, dimana muatan sedimen berkisar tinggi sampai sangat tinggi. Namun tingkat sedimentasi dianggap berbeda antar habitat sumberdaya ikan pelagis (nilai 2 sampai 3), ikan demersal dengan habitat dominan terumbu karang (2) dan jenis-jenis ikan yang cenderung hidup disekitar muara sungai (1 sampai 2). Dengan demikian, secara rata-rata atau untuk perairan secara umum, kriteria ini diberi nilai 2. 1c. Eutrofikasi: data konsentrase klorofil a belum berhasil diperoleh. Data BPLH Kab. Banggai menunjukkan bahwa air sungai cenderung mengalami eutrofikasi ringan. Data perairan lepas pantai di Selat Peleng (jauh dari daratan) menunjukkan pula eutrofikasi ringan. Apabila dinilai berdasarkan indikator-indikator seperti pertumbuhan lumut, makro-alga dan sponge merayap yang dinilai sebagai indikator eutrofikasi (Hodgson dkk., 2006), maka eutrofikasi terindikasi berkisar sedang (berdekatan pemukiman, perkebunan, sawah, tambak, muara sungai) sampai ringan (perairan lainnya). Dengan demikian diberi nilai 2. Indikator 2 Status Ekosistem Lamun Indikator ini memiliki dua kriteria, yaitu tutupan dan keanekaragaman lamun. Menurut profil wilayah yang diperoleh dari Dislutkan Kabupaten Banggai, kerusakan lamun disebabkan oleh (i) sedimentasi dengan erositas tinggi; (ii) Pengerukan dan pengerugukan yang berkaitan dengan pembangunan pemukiman pinggir pantai dan pelabuhan; dan (iii) pembuangan sampah organik (sewage). Ketiga hal tersebut dapat ditambah dengan sampah inorganik yang teramati pula saat survey. Jenis dominan menurut sumber yang sama adalah Thalassia hemprichi, Halophila ovalis, Cymodecea rotundata dan Enhalus acoroides. Sedangkan pada saat survey ditemukan pula Genus Halodule dan Syringodium. Data lamun (primer maupun sekunder) tercantum pada Tabel Tidak terdapat kriteria mengenai luas lamun, namun terdapat indkasi kuat adanya penurunan luas lamun di beberapa lokasi akibat faktor-faktor tersebut, dimana diduga penyebab utama adalah sedimentasi dari kerusakan lahan di hulu. 71

72 Tabel Data Lamun Kabupaten Banggai Lokasi Tutupan Jumlah spesies Genus Dominan Keterangan/Sumber Uedikan 50-75% 4 Enhallusacoroides Kilo 5 (1) 60-75% 4 Halodule sp. Data primer 2013 Kilo 5 (2) 25 30% 3 Halophila ovalis Kab. Banggai 4 + Luwuk 65% 5 Thalassia hemprichi Halophila ovalis Cymodecea rotundata Enhalus acoroides Thalassia hemprichii Cymodocea rotundata Data Profil (Dislutkan Banggai) Bakosurtanal (2007) Kecamatan Desa Kedalaman Tingkat Kerusakan Sumber Kintom Sugilat 1 10 m 68,10 % Mendono 1 10 m 59,60 % Dimpalon 1-10 m 60,50 % Solan 1-10 m 57,60 % Luwuk Bubung 1 10 m 76,20 % Data Profil Kilongan 1 10 m 48,00 % (Dislutkan Banggai) Unjulan 1-10 m 49,00 % Biak 1-10 m 50,00 % Maahas 1 10 m 47,00 % Kayutanyo 1 10 m 74,10 % Bunga 1-10 m 48,70 % 2.a. Tutupan: apabila dilihat data primer dan sekunder hasil kuadrat lamun, maka penutupan umumnya cukup tinggi. Namun terdapat cukup banyak perairan pesisir dimana lamun telah jarang/sangat jarang (penutupan 15 40%), dan tingkat kerusakan umumnya melebihi 50%. Dengan demikian kriteria ini diberi nilai 2 2.b. Keanekaragaman: penghitungan indeks berdasarkan jenis data (terutama data sekunder) yang ada tidak memungkingkan, sehinga digunakan pilihan penghitungan jumlah jenis lamun. Secara keseluruhan 7 spesies telah dilaporkan (data sekunder) atau teramati langsung (data primer) di perairan Kabupaten Banggai di WPP714, namun jumlah ratarata spesies per lokasi adalah 4, termasuk pada kategori sedang. Dengan demikian kriteria ini diberi nilai 2 Indikator 3. Status Ekosistem Mangrove Kriteria pada indikator ini berjumlah 2, yaitu tutupan dan keanekaragaman. Secara alami, cukup banyak hamparan hutan yang dapat dipandang benar merupakan ekosistem mangrove, bukan hanya vegetasi pesisir yang tipis dan jarang, dan hutan mangrove tersebut tersebar di hampir semua kecamatan. Data Profil dari Dislutkan Kabupaten Banggai mengatakan bahwa tingkat konversi dan kerusakan hutan mangrove telah tinggi. Studi oleh Ndobe (2008) menunjukkan penurunan pada periode masih relatif rendah pada mangrove di Teluk Tolo dibanding sebagian besar daerah lainnya di Sulawesi Tengah, demikian pula data statistik dari BPS di Luwuk. Namun data 72

73 terbaru hasil analisa citra satelit dalam Bakosurtanal (2007) menunjukkan penurunan drastis, dan meskipun keanekaragaman mangrove sejati cukup tinggi, jumlah jenis yang teramati lebih rendah di lokasi survey dalam WPP 714 (10 jenis) dibanding yang masuk pada WPP 715 (15 jenis). Menurut Dinas Kehutanan Kabupaten Banggai, kebutuhan restorasi ekosistem mangrove sangat besar dan kegiatan reboisasi telah dilakukan di beberapa lokasi. Umumnya hasil restorasi tersebut cukup memsuaskan sehingga seksi yang menangani reboisasi mangrove mulai menjadi sumber bibit dan keahlihan bagi kabupaten/kota lainnya di Sulawesi Tengah. Namun luas reboisasi masih hanya mencakup 7.6% dari luas hutan mangrove yang mengalami kerusakan dan membutuhkannya. Beberapa data sekunder ekosistem mangrove pada Tabel dan data primer ekosistem mangrove tercantum pada Tabel Tabel Data sekunder ekosistem mangrove Kabupaten Banggai Tahun Luas (ha) % Perubahan Jenis Data Sumber data Peta BKSDA % Analisa Citra Satelit oleh BPDAS Palu-Poso Ndobe (2008) % Analisa Citra Satelit Bakosurtanal (2007) % Tidak diketahui (luas belum diusahakan) BPS Kab. Banggai Kecamatan (WPP 714) Luas Awal Mangrove % Rusak Berat % yang telah di Reboisasi Masama % % Balantak/ Balantak Utara % % Lamala % % Luwuk Timur % % Batui % 0 0.0% Toili % % Toili Barat % % Total % % Jenis Mangrove hasil identifikasi Neraca Sumberdaya Pesisir dan Laut 2006 (Bakosurtanal, 2007) Nama ilmiah Nama daerah Nama ilmiah Nama daerah Avicennia alba Api-api Rhizophora apiculata baka putih Avicennia marina Nyapi-nyapi Xylocarpus moluccensis Nyuruh Brugiera cylindrica Tanjung putih Heritiera littoralis Dungun Brugiera gymnorrhiza Tanjung merah Acrostichum aureum Paku laut Brugiera parviflora Bius Thespesia populnea Waro lot 73

74 Tabel Data primer ekosistem mangrove Kabupaten Banggai Data Ekosistem Mangrove di Pulau dalam DPL Desa Uwedikan Transek No. Bruguiera sp. Avicennia sp. Rhizophora sp. Jenis teramati I (termasuk di II luar transek) III Bruguiera sp. Jumlah Avicennia sp. Rata- Rhizophora sp. Rata/100m 2 73,3 1,3 7,3 Sonneratia sp. Persentase 89 % 2 % 9 % Xylocarpus sp Tutupan 98% Kerapatan pohon/ha Sumber: Data primer survey EAFM 3.a. Tutupan: tutupan yang teramati di Pulau dalam DPL Desa Uwedikan sangat tinggi, namun di kawasan mangrove lainnya yang teramati secara kualitatif saat survey, tutupan umumnya di bawah 50%, dan data sekunder menunjukkan kondisi yang sanga memprihatinkan di banyak lokasi. Nampaknya kriteria ini sangat variatif, berkisar dari sangat buruk hingga sangat baik, dengan demikian diberi nilai 2 3.b. Kerapatan: kerapatan pohon mangrove juga sangat bervariasi antar lokasi, sangat tinggi di pulau DPL Uwedikan, namun dapat diasumsi rendah atau sangat rendah pada bagian kawasan mangrove dalam kondisi rusak berat, yaitu lebih dari 70% luas total. Berdasarkan data primer (terukur maupun pengamatan kualitatif) maupun sekunder kerapatan masih dapat dinilai sedang, meskipun menjelang rendah/buruk, dan semakin membaik seiring dengan peningkatan upaya reboisasi sehingga diberi nilai 2 Indikator 4 Status Terumbu karang Data sekunder ekosistem terumbu karang Kabupaten Banggai relatif sedikit, dan menggunakan berbagai metode pengamatan. Hanya sebagian disajikan pada Tabel 4.2.5, yaitu data berkaitan langsung dengan dua kriteria pada indikator ini yaitu penutupan oleh karang keras hermatipik (%HC, Hard Coral) dan penilaian terhadap keanekaragaman. Tabel Data Ekosistem Terumbu Karang di Kabupaten Banggai Lokasi % HC Indikator Keanekaragaman Sumber Uwedikan 44% Rendah Kilo 5 65% Sedang 9 Lokasi di 9 30 % WPP 714 rata-rata 17% Tinggi 4 Lokasi di 26 63% WPP 714 rata-rata 39% Data primer 2013 Scaps & Runtukahu (2008) TAD Balosurtanal (2007) 4.a. Penutupan: data survey menunjukkan bahwa selain antar lokasi penutupan karang keras hidup sangat bervariasi di dalam setiap lokasi. Semulanya umumnya pada kategori tinggi namun data terbaru menunjukkan bahwa sebagian besar pada kategori Sedang dan sebagian kecil pada kategori Buruk, maka diberi nilai 2 74

75 4.b. Keanekaragaman: keanekaragaman karang di Kabupaten Banggai seharusnya relatif tinggi, meningat bahwa berada dalam segiiga karang dunia. Dugaan tersebut diperkuat oleh tingginya keanekaragaman jenis karang yang dilaporkan pada survey di wilayah relatif dekat (Allen & McKenna, 2001). Meskipun hasil pengamatan maupun hasil KII dan FGD menunjukkan bahwa dari aspek kondisi terumbu karang degradasi semakin nyata, data yang ada menunjukkan bahwa keanekaragaman karang masih cukup baik. Namun demikian pada beberapa lokasi keanekaragaman jenis karang telah nyata menurun akibat dampak langsung maupun tidak langsung aktivitas antropogenik, sehingga keanekaragaman karang telah pada tingkat yang dinilai rendah. Contohnya di Uwedikan, dimana dampak sedimentasi tergolong berat. Dengan demikian kriteria ini diberi nilai 2 Indikator 5. Habitat Unik/Khusus Kriteria pada indikator ini hanya satu, yaitu berkaitan dengan pengetahuan dan pengelolaan habitat unik/khusus. Habitat unik khusus yang terdapat di Kabupaten Banggai antara lain tentu termasuk beberapa daerah pemijahan ikan namun hasil studi pustaka maupun survey sosio-ekonomi (KII, FGD, kunjungan pada instansi terkait) nampaknya belum ada spawning ground yang teridentifikasi dengan jelas. Habitat khusus yang telah teridentifikasi adalah tempat bertelur penyu, slaha satu sangat unik karena menurut informasi yang diperoleh 3 atau bahkan mungkin 4 jenis penyu dapat ditemukan di lokasi tersebut, namun lokasi tersebut belum terkelola dengan baik dan pemanfaatan ilegal terhadap penyu dan telurnya masih terjadi. Dengan demikian, diberi nilai 2 Indikator 6 Perubahan Iklim Indikator ini berkaitan dengan severitas dampak yang bakal dialami dari perubahan iklim serta kapasitas lokal untuk mitigasi dan adaptasi. Kriteria berjumlah dua, yaitu tingkat pengetahuan dan kesiapan serta severitas dampak yang telah dan bakal dialami. Berbagai kajian berskala regional ataupun global telah tersusun mengenai dampak perubahan iklim dan sangat relevan pada kondisi di Kabupaten Banggai. Antara lain, Hoegh-Guldberg dkk. (2009)dan Burke dkk. (2011). Namun sejauh diketahui belum ada kajian khusus wilayah Kabupaten Banggai. 6.a. Pengetahuan: belum ada kajian tentang dampak perubahan iklim, maka diberi nilai 1 6.b. Dampak: belum terjadi pemutihan berarti sejauh diketahui maka diberi nilai DomainSumberdayaIkan Pada Domain sumberdaya ikan (SDI) terdapat pula 7 indikator. Sebagian besar data untuk indikatorindikator tersebut telah dicantumkan pada bagian 2.1. Peningkatan armada dan kapasitas tidak diimbangi dengan peningkatan tajam dalam produksi, dan hasil KII/FGD menunjukkan peningkatan jarak tempuh, penurunan volume dan untuk kebanyakan jenis penurunan ukuran rata-rata hasil tangkapan. Di bawah pembahasan singkat dan nilai yang diberikan pada setiap indikator untuk perikanan secara keseluruhan. Khusus ke-5 spesies sasaran utama, nilai nilai yang diberikan disajikan dalam sebuah matriks pada Tabel Indikator 1. CPUE Baku Sangat nyata bahwa secara umum CPUE telah menurun. Namun demikian laju dalam bentuk berapa persen per tahun sulit ditentukan. Umumnya penurunan sumberdaya ikan dirasakan sebagai perubahan perlahan bukan tiba-tiba. Untuk mencerminkan hal ini khusus perikanan secara umum diberi nilai 2. 75

76 Indikator 2. Ukuran ikan Perubahan dalam ukuran ikan yang ditangkap tergantung dari jenis ikan. Namun dimana ada perubahan semuanya ke arah lebih kecil dan tidak ada satupun yang membesar. Untuk mencerminkan hal ini khusus perikanan secara umum diberi nilai 1. Indikator 3. Proporsi ikan yuwana (juvenil) yang ditangkap Indikator ini merujuk pada Lm atau ukuran pertama matang gonad setiap spesies. Jika disatukan semua spesies, kiranya sedikitnya 50%-60% ikan belum mencapai ukuran Lm, hal ini mencakup ikanikan yang berlimpah dan banyak ditangkap seperti selar (katombo) meskipun tidak masuk pada 5 jenis yang dianalisa secara khusus, dan tetap umumnya di atas Lm. Untuk mencerminkan kondisi khusus perikanan secara umum diberi nilai 2. Indikator 4. Komposisi spesies Indikator ini menilai selektivitas atau tingkat by-catch atau hasil sampingan, termasuk bycatch yang digunakan. Selektivitas dan jumlah atau tipe jenis hasil sampingan sangat bervariasi antar alat, daerah penangkapan, waktu bulan, musim, jenis armada, waktu hari dan siklus pasang-surut, dan banyak faktor internal maupun eksternal lainnya. Dengan demikian khusus perikanan secara umum diberi nilai 2. Indikator 5. Range Collapse sumberdaya ikan 5.a. Semakin sulit: umumnya ya, diberi nilai 1. 5.b. Semakin jauh: umumnya ya untuk spesies demersal namun tetap pada jalur ruayanya untuk spesies pelagis, maka diberi nilai 2. Indikator 6. Spesies ETP Secara keseluruhan, penangkapan spesies ETP, secara sengaja maupun tidak sengaja, tergolong tinggi di Kabupaten Banggai, seperti di semua kabupaten di Sulawesi Tengah. Apabila tertangkap, umumnya dimanfaatkan dan sangat jarang dilepas. Oleh karena itu secara umum indikator ini diberi nilai 1. Namun frekuensi kejadiannya sangat bervariasi antar jenis perikanan. Untuk ke-5 jenis khusus, ETP yang tertangkap pada perikanan kerapu dimanfaatkan, pada perikanan gurita tidak ada yang tertangkap secara tidak sengaja, namun sebagian nelayan akan menangkap dan memanfaatkan jenis ETP yang terlihat saat penangkapan. Untuk ikan pelagis, sebagian kecil armada akan melepas sebagain spesies ETP namun umumnya dimanfaatkan sebagai hasil sampingan. Jenis SDI sasaran Tabel Nilai Indikator Domain SDI khusus 5 spesies target Nilai Indikator SDI ke a 5b 6 Cakalang Tuna Lajang Kerapu Gurita Kabupaten Banggai

77 4.2.3 DomainTeknologiPenangkapanIkan Pada Teknologi penangkapan ikan (SDI) terdapat 6 indikator. Sebagian besar data untuk indikatorindikator tersebut telah dicantumkan pada bagian 2.2. Adapun disajikan pembahasan singkat dan nilai yang diberikan pada setiap indikator di bawah untuk perikanan secara keseluruhan. Khusus ke-5 spesies sasaran utama, nilai nilai yang diberikan disajikan dalam sebuah matriks pada Tabel Indikator 1. Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal Perikanan destruktif atau ilegal termasuk yang ilegal karena alat/metode penangkapan maupun karena persoalan asal-usul dan perijinan operasional (misalnya andon/luar negeri tanpa ijin), atau daerah penangkapan yang tidak sesuai. Termasuk juga aktivitas ship-to-ship dan penangkapan jenis yang dilindungi. Untuk tingkat kabupaten (sampel WPP) hasil KII dan FGD bahwa sangat nyata tingkat komponen destruktif dan atau ilegal masih tinggi. Namun jenis dan tingkat ilegalitas bervariasi, dan berasosiasi dengan jenis sumberdaya atau skala/jenis armada dan alat tertentu. Untuk ikan kerapu, rawan perikanan destruktif. Untuk ikan pelagis, masih banyak kapal yang beroperasi tanpa ijin. Menurut petugas TPI Luwuk dan seksi penangkapan Diskanlut Kabupaten Banggai, pelanggaran sangat tinggi dan lebih dari 90% ikan yang didaratkan tertangkap secara ilegal dan/atau destruktif. Oleh karena itu diberi nilai 1. Indikator 2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan. Untuk proporsi hasil tangkapan di bawah Lm, digunakan data hasil sampling serta hasil KII dan FGD dan data sekunder. Ukuran Lm ditentukan berdasarkan hasil sampling serta (terutama) data Lm pada FishBase (Froese dan Pauly, 2013). Berdasarkan data tersebut, meskipun bervariasi antar jenis sumberdaya dan pola penangkapan, diyakin bahwa lebih dari 50% ikan (jumlah individu, bukan biomasa) yang tertangkap berada di bawah Lm, sehingga diberi nilai 1. Indikator 3. Fishing capacity dan Effort Tidak ada keraguan mengenai adanya peningkatan kapasitas armada perikanan tangkap, dari bantuan pemerintah maupun investasi oleh sektor swasta (perusahaan maupun perorangan). Maka diberi nilai 1. Indikator 4. Selektivitas penangkapan Sebagian besar penangkapan ikan tidak atau kurang selektif, dari aspek ukuran dan atau jenis. Maka untuk kabupaten secara keseluruhan diberi nilai 1.5. Namun demikian alat tangkap yang digunakan khusus jenis pelagis besar (seperti cakalang, tuna, tongkol) umumnya relatif selektif, sekurangnya dari aspek jenis (yaitu sebagian besar adalah ikan dari golongan tuna and tuna-like species). Demikian pula perikanan untuk gurita, dimana tangkapan sampingan hanya dapat terjadi apabila sengaja diambil sumberdaya lainnya yang bernilai tinggi yang terlihat saat penangkapan. Untuk semua jenis yang ditangkap dengan bagan, sebagian besar jenis jaring insang, dan tentu saja penggunaan bahan peledak dan beracun, terdapat komponen signifikan yang tidak selektif, sekalipun sebagian alat/armada cukup selektif. Sifat campuran tersebut pada perikanan ikan demersal seperti kerapu dan perikanan pelagis kecil seperti lajang. Indikator 5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal Sangat sedikit kapal yang dokumennya sesuai dengan ukuran rilnya, berdasarkan pengamatan maupun pernyataan responden, termasuk informasi dari instansi terkait. Maka diberi nilai 1. Nilai 77

78 lebih tinggi pada perikanan dengan komponen artisanal signifikan (seperti perikanan gurita) dimana armada didominasi oleh perahu kecil (sampan dan sejenis) sehingga tidak ada isu GT pada komponen tersebut, namun tetap menjadi isu sedikitnya pada kapal pengangkut untuk semua komoditas. Indikator 6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan. Tidak diperoleh data langsung namun berdasarkan hasil KII, termasuk dengan pihak instansi terkait, maka tingkat sertifikasi masih rendah, kurang dari separuh. Untuk perikanan skala kecil, masih rendah proporsi nelayan yang terdaftar dengan baik dan memiliki kartu nelayan, meskipun meningkat terus. Terdapat upaya signifikan untuk pendataan nelayan terutama yang telah bergabung dalam kelompok resmi, sehingga kemungkinan besar kriteria ini akan membaik. Secara keseluruhan masih diberi nilai 1. Tabel Nilai Indikator Domain Teknis Penangkapan khusus 5 spesies target Jenis SDI sasaran Nilai Indikator Teknis Penangkapan ke Cakalang Tuna Lajang Kerapu Gurita Kabupaten Banggai DomainSosial Pada domain sosial terdapat 3 indikator. Khusus ke-5 spesies sasaran utama, nilai nilai yang diberikan disajikan dalam sebuah matriks pada Tabel Indikator 1. Partisipasi pemangku kepentingan Indikator ini sulit diukur namun dari jumlah cukup besar kelompok dan pemberian bantuan, kemungkinan ada partisipasi, meskipun masih terbatas dari aspek cakupannya, dan diberi nilai 1.5. Indikator 2. Konflik perikanan Nilai ini sulit diestimasi. Menurut hasil KII diperoleh berbagai indikasi cukup kuat bahwa potensi konflik jauh lebih tinggi dibanding konflik yang nampak secara terbuka. Hal tersebut antara lain karena jumlah besar armada yang beroperasi lintas kabupaten, provinsi, WPP dan bahkan negara serta berbagai perubahan daerah penangkapan secara musiman. Potensi konflik tinggi dan lebih mendekati 1, namun oleh karena kasus konflik terbuka nampaknya relatif rendah diberi nilai 2. Indikator 3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge) Sejauh diketahui, berdasarkan observasi, hasil KII dan FGD ataupun studi pustaka, belum ditemukan adanya pengetahuan yang dapat dikategorikan sebagai TEK yang teridentifikasi sehingga tidak ada yang digunakan. Terkecuali mungkin dapat dipandang bahwa cara tradisional penangkapan gurita merupakan TEK. Dengan demikian, kriteria ini diberi nilai 1. 78

79 Tabel Nilai Indikator Domain Sosial khusus 5 spesies target Jenis SDI sasaran Nilai Indikator Domain Sosial ke Cakalang Tuna Lajang Kerapu Gurita Kabupaten Banggai DomainEkonomi Jumlah indikator adalah tiga. Data ekonomi sangat sulit diperoleh, terutama berkaitan dengan pendapatan ril nelayan. Nilai ke-3 indikator khusus ke-5 spesies khusus disajikan dalam sebuah matriks pada Tabel Indikator 1. Kepemilikan Aset Berdasarkan hasil pengamatan, KII dan FGD diperoleh hasil yang sama, yaitu bahwa secara umum aset cenderung meningkat namun tidak sebanyak 50%. Dari aspek sarana produks, peningkatan tersebut tercermin dalam peningkatan jumlah, ukuran dan kapasitas armada dan alat tangkap. Dari aspek lain, terlihat bahwa terjadi peningkatan dalam jumlah rumah semi-permanen dan permanen, serta dimana ada listrik (PLN atau genset) alat elektronik seperti televisi dan telpon seluler. Secara keseluruhan diberi nilai 2. Indikator 2. Pendapatan rumah tangga (RTP) Menurut hasil pengamatan dan KII dinilai bahwa pendapatan nelayan/rtp sangat bervariasi dalam waktu (misalnya engan musim), jenis/skala perikanan dan antar individu sekalipun pada jenis perikanan yang sama. Hal ini menjadi lebih rumit lagi dengan adanya sejumlah besar nelayan yang memiliki sumber pendapatan selain sebagai nelayan. Untuk UMR, tidak ditemuka staf pada instansi yang dikunjungi yang mengetahui nilainya. Meskipun terdapat nelayan benar miskin (terutama di daerah relatif terpencil) dan cukup kaya (terutama pemilik kapal atau punggawa), diestimasi bahwa pendapatan tahunan rata-rata nelayan tidak jauh berbeda dengan rata-rata pada masyarakat di sekitarnya sehingga diberi nilai 2. Indikator 4. Savings rate Meskipun tidak terdapat data berupa angka, hasil KII dan FGD bahwa kecuali punggawa, umumnya nelayan tidak memiliki tabungan atau hanya sangat sedikit. Maka diberi nilai 1. Tabel Nilai Indikator Domain Ekonomi khusus 5 spesies target Jenis SDI sasaran Nilai Indikator Domain Ekonomi ke Cakalang Tuna Lajang Kerapu Gurita Kabupaten Banggai

80 4.2.6 DomainKelembagaan Jumlah indikator adalah 6. Khusus ke-5 spesies khusus dinilai bahwa tidak terdapat perbedaan nyata pada komponen ini, karena belum ada aturan khusus. Indikator 1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal Menurut informasi yang diperoleh dari instansi terkait maupun dari nelayan dan masyarakat lainnya, pelanggaran melebihi 5 per tahun khusus aturan formal maupun non-formal maka kedua komponen diberi nilai 1 dan 1 Indikator 2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan Indikator ini memiliki 2 kriteria dengan beberapa komponen sebagai berikut: 2.a. Kelengkapan: sebagian aturan yang seharusnya berada telah dilengkapi, namun secara keseluruhan belum lengkap. Nampaknya belum mencakup ke-6 domain namun lebih dari dua domain sekalipun belum secara lengkap. Kemudian ditemukan bahwa berbagai upaya sedang berlangsung untuk dikembangkan, maka untuk kedua komponen diberi nilai 2 dan 3 2.b. Penerapan/penegakan: sebagian belum diterapkan, atau tidak secara efektif. Penegakan aturan terkendali oleh terbatasnya ataupun ketidakadaan sarana/alat, sumberdaya manusia, ataupun dana operasional). Sebagian besar pelanggaran tidak dapat teguran atau hukuman. Sebagian pelanggaran mendapat teguran, sedangkan hukuman sangat sulit antara lain karena tidak adanya pengadilan perikanan atau dana untuk membiaya ongkos hidup tahanan. Selain itu hasil survey sosio-ekonomi antara lain bahwa dilaporkan berbagai kasus dimana oknum dari instansi-instansi penegak hukum/aturan merupakan pelaku atau berkolusi dalam berbagai kegiatan ilegal. Maka untuk ketiga komponen diberi nilai 2, 1 dan 1.5. Indikator 3. Mekanisme pengambilan keputusan Sejauh diketahui para responden belum ada maka nilainya 1 Indikator 4. Rencana pengelolaan perikanan Belum ada maka nilainya 1 Indikator 5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan 5.a. Sinergi/konflik antar lembaga: tidak ditemukan adanya konflik antar lembaga, namun juga nampaknya kebanyakan belum berkomunikasi atau bersinergi secara efektif, di dalam maupun antar sektor. Nyata bahwa konsep pengelolaan terpadu sperti ICZMP atau sejenis belum berjalan. Maka komponen ini diberi nilai 2. 5.b. Sinergi/konflik kebijakan: tidak ditemukan banyak konflik yang berarti antar kebijakan di bidang perikanan tangkap namun juga tidak banyak kebijakan yang saling mendukung. Konflik antar perikanan dan sektor lainnya mungkin sampai saat ini tidak sampai pada konflik terbuka namun diperoleh indikasi sangat kuat bahwa terdapat berbagai konflik kepentingan nyata, dan banyak konflik tertutup. Maka komponen ini diberi nilai 1.5. Indikator 6. Kapasitas pemangku kepentingan Pelatihan, pembinaan dan lainnya ada, namun hanya di lokasi-lokai tertentu. Nampaknya ada yang difungsikan dengan baik. Secara keseluruhan komponen ini diberi nilai

81 4.3 PerikananKabupatenBanggaiLaut DomainHabitat Pada Domain Habitat terdapat 6 indikator. Indikator tersebut masing-masing memiliki beberapa kriteria. Berikut pembahasan singkat khusus setiap indikator dan kriterianya. Indikator 1 Kualitas Perairan Tiga kriteria pada indikator ini pada dasarnya bertujuan menilai kualitas dari aspek tingkat pencemaran oleh limbah, dampak sedimentasi dan eutrofikasi. Secara umum, kualitas air di Kabupaten Banggai Laut dinilai masih baik. Beberapa data kualitas air (primer maupun sekunder) tercantum pada Tabel dan Data sarana (atau ketidakadaan sarana) pengolahan sampah tercantum pada Tabel Tabel Data Kualitas Air di Kabupaten Banggai Laut Kecamatan Desa Suhu Salinitas Turbinitas ph DO Banggai P. Bandang Banggai Matanga Banggai Umbuli Banggai Bato-bato Banggai Utara Kendek Banggai Utara Popisi Bangkurung Taduno Bangkurung Tabulang Bangkurung Bone-Bone Bangkurung P. Bangku Bangkurung Pulau Bangkurung P. Ganemu Bangkurung P. Silumba Bokan P. Saluka Bokan Mandibelu Bokan P. Bulutan Bokan Teropot Kecil Bokan Nggasuang Bokan P. Tanalan Bokep P. Dekendek Bokep P. Jodoh Bokep P. Burung Sumber: PSSDAL-BAKOSURTANAL (2007) dalam BPLHD (2012) Tabel Data Primer kualitas air laut Parameter Satuan Bone Baru Tinakin Laut Matanga Toropot Suhu air C Kecerahan m Salinitas ppt Derajat keasaman ph Sampah padat sedang tinggi sedang sedang kualitatif Pencemaran lain rendah sedang rendah rendah 81

82 Tabel Sarana Pengelolaan Sampah di Kabupaten Banggai Laut Tahun 2011 Kecamatan Tempat sampah Lubang bakar Sungai Selokan Lainnya Labobo 0% 0% 0% 12.6% 87.4% Bokan Kepulauan 0% 18.8% 0% 0% 81.2% Bankurung 0% 0% 0% 0% 100% Banggai 30% 39.9% 0% 0% 30% Banggai Utara 0% 0% 0% 0% 100% Banggai Tengah 0% 62.5% 0% 0% 37.5% Banggai Selatan 0% 33.3% 0% 0% 66.7% Sumber: BPLHD (2012), diolah Berdasarkan data tersebut sert hasil pengamatan di lapangan, penilaian terhadap 3 indikator sebagai berikut: 1a. Limbah: limbah industri sangat rendah, namun hampir semua limbah domestik serta sampah dari pelayaran yang melalui perairan Kabupaten Banggai Laut pada akhirnya terbuang ke laut, secara langsung atau tidak langsung (misalnya melalui TPA di pinggir laut), diduga termasuk sebagian besar dari sampah dalam kategori lainnya pada Tabel Penilaian berdasarkan hasil survey-survey dari tahun 2004 hingga 2013 mencakup lebih dari 20 lokasi, serta hasil KII dan FGD. Di pulau terpencilpun sampah domestik terdampar dalam jumlah relatif banyak dan sangat menonjol secara visual. Hal ini berlaku baik di perairan pesisir maupun di perairan lepas pantai sehingga sama bagi kelima komoditas terpilih. Dengan demikian kriteria ini diberi nilai 2, sedang. 1b. Sedimentasi: pada umumnya sedimentasi relatif rendah, antara lain disebabkan ketidakadaan sungai yang besar bermuara di bagian besar pesisir pulau-pulau kecil. Namun demikian pada lokasi tertentu telah terjadi kerusakan di hulu dan sedimentasi yang melebihi laju alami. Data NTU yang tercantum dalam BPLHD (2012) menunjukkan bahwa dari 22 stasiun pengamatan di perairan laut Kabupaten Banggai Laut, hanya dua memiliki turbiditas sangat tinggi, lainnya rendah. Data kecerahan dari berbagai sumber juga menunjukkan kecerahan masih relatif baik. Pada perairan dangkal umumnya 100% (dasar laut terlihat dengan jelas). Sangat jarang terdapat kecerahan di bawah 2 m, kecuali pada cuaca buruk dimana pasir terangkat misalnya musim timur di Matanga. Dengan demikian, kriteria ini diberi nilai 2.72 (3 x 20/22) 1c. Eutrofikasi: data konsentrase klorofil a belum berhasil diperoleh, demikian pula data kadar nutrien. Dengan demikian dinilai berdasarkan indikator-indikator seperti pertumbuhan lumut, makro-alga dan sponge merayap yang dinilai sebagai indikator eutrofikasi (Hodgson dkk., 2006). Berdasarkan indikator tersebut, dinilai bawah kriteria ini seharusnya diantara sedang (berdekatan pemukiman/perkebunan) dan baik (perairan lainnya). Dengan demikian diberi nilai 2.5 Indikator 2 Status Ekosistem Lamun Indikator ini memiliki dua kriteria, yaitu tutupan dan keanekaragaman lamun. Data lamun tercantum pada Tabel Tidak terdapat kriteria mengenai luas lamun, namun terdapat indkasi penurunan luas lamun di beberapa lokasi, termasuk akibat kerusakan terumbu karang sehingga fungsi atau jasa ekosistem sebagai penghalang kekauatan gelombang ombak tidak lagi efektif. 82

83 Tabel Data Ekosistem Lamun Kabupaten Banggai Laut Spesies* Lokasi EA CR HU HO SI TH TC Jumlah Kec. Bangkurung 5 S. Bangkurung 4 B. Bangkurung 4 Bone-Bone 3 P. Mangrove 3 P. Tolobundu 2 P. Ganemo 1 P. Silumba 3 Reef Merpati 3 Kec. Bokan Kepulauan 7 Telopo 3 P. Bulutan 3 Nggasuang 4 P. Tanalan 4 P. Jodoh 4 P. Burung 5 Kec. Banggai Selatan 3 P. Bandang 3 Rata-rata 3.3 Lokasi Kec. Bangkurung % Kerusakan % Tutupan Lokasi Kec. Lainnya % Kerusakan % Tutupan Bangkurung Barat Pulau Bulutan Bangkurung Selatan TAD 95 Pulau Tanalan Reef Merpati Telopo TAD 90 Bone Bone TAD 60 Pulau Tongo TAD 60 P Ganemo TAD 70 Pulau Jodoh TAD 80 P Silumba TAD 85 Pulau Burung TAD 75 Pulau Tolobundu Pulau Bandang Rata-rata Rata-rata Sumber: BPLHD Banggai Kepulauan (2012) *EA = Enhallus acaroides; CR = Cymodocea rotundata; HU = Halodule uninervis; HO = Halophila ovalis; SI = Syringodium isoetifolim; TH = Thalassia hemprichii; TC = Thalassodendron cilliatum TAD = tidak ada data tingkat kerusakan 2.a. Tutupan: pengamatan secara kualitatif pada survey EAFM (data primer) maupun survey lainnya pada periode bahwa tutupan berkisar 25-75% dengan nilai rata-rata pada kisaran 40-50%. Apabila digabung data primer dan sekunder, maka tutupan berkisar antar sedang dan tinggi, meskipun tingkat kerusakan juga cukup tinggi sehingga tutupan dalam hal luasan telah menurun. Dengan demikian diberi nilai b. Keanekaragaman: penghitungan indeks berdasarkan jenis data (terutama data sekunder) yang ada tidak memungkingkan, sehingga digunakan pilihan penghitungan jumlah jenis lamun. Jumlah spesies rata-rata adalah 3.3, sehingga masuk pada kategori sedang. Dengan demikian diberi nilai 2 83

84 Indikator 3. Status Ekosistem Mangrove Kriteria pada indikator ini adalah dua, yaitu tutupan dan kerapatan. Beberapa data ekosistem mangrove di Kabupaten Banggai Laut tercantum pada Tabel Tabel Data ekosistem mangrove Kabupaten Banggai Laut Jeruju Nama lokal Piyai, Paku Laut Gedangan Api-Api Hitam Api-Api Tamu Bintaro Tengal Buta-Buta Dungun Pandan Centigi Bakau Minyak Bakau Kuning Pidada Waro Laot Nyirih Ketapang Nama Ilmiah Acanthus micifolius Acrostichum Aegiceras corniculatum Avicennia alba Avicennia marina Brugulera gymnorriza Cerbera odollum Ceriops tagal Excoecaria agallocha Heritiera littolaris Pandanus tectorius Pemphis acidula Rhizophora mucronata Rhizophora apiculata Sonneratia alba Thespesia populnea Xylocarpus granatum Terminalia catappa Jumlah jenis Rata-rata = Lokasi Tutupan (%) Kerapatan (pohon/ha) Bone-bone Lokasi Togong Lantang Tanjung Bontosi Dusun Along Pulau Bangko Tutupan (%) P. Tumbak Besar Pinalong Boloton Kerapatan (pohon/ha) Bone-Bone Kokudang Togong Lantang Pulau Kaukanau Tanjung Bontosi Bone Baru Pulau Bangko Along Pulau Tumbak Besar Rata-rata Sumber: BPLHD Kabupaten Banggai Kepulauan (2012) Meskipun pohon mangrove terdapat di hampir setiap pulau, sekalipun berukuran kecil, hamparan hutan yang dapat dipandang benar merupakan ekosistem mangrove relatif terbatas. Data sekunder (Ndobe, 2008) maupun primer menunjukkan bahwa dalam 20-an tahun terakhir terjadi penurunan tajam dalam luasan mangrove di Kabupaten Banggai Laut. 84

85 3.a. Tutupan: data sekunder menunjukan tutupan umumnya pada kisaran 50-75%, dengan angka rata-rata 60%, maka kriteria ini diberi nilai 2 3.b. Kerapatan: data sekunder menunjukan tutupan rata-rata di bawah 1000 pohon/ha, maka kriteria ini diberi nilai 1 Indikator 4 Status Terumbu karang Jumlah kriteria adalah dua, yaitu tutupan oleh karang keras (%HC) dan keanekaragaman karang keras. Data kondisi terumbu karang yang tersedia cukup banyak dan diambil dengan berbagai metode. Data primer maupin sekunder terbaru berkaitan langsung dengan kedua indikator kondisi ekosistem terumbu karang tersebut disajikan pada Tabel Tabel Data Ekosistem Karang di Kabupaten Banggai Laut Lokasi Tahun Tutupan HC (%) Keanekaragaman Sumber Bone Baru rendah Tinakin Laut sedang Matanga sedang Toropot rendah Popisi sedang Paisulimukon sedang Monsongan tinggi P. Bandang Besar tinggi P. Bandang Kecil sedang Tolokibit sedang Nggasuang tinggi Mbuang-Mbuang rendah Kokudang sedang Bone-Bone sedang P. Tolobundu rendah Data Primer 2013 Data survey 2011 dan 2012 Rata-rata sedang Bokan Kepulauan TAD BPLHD Kabupaten (rata-rata 8 stasiun) Banggai P. Banggai TAD Kepulauan (2012) (rata-rata 5 stasiun) 4.a. Tutupan: data survey menunjukkan bahwa penutupan karang keras hidup sangat bervariasi. Semulanya menurut hasil survey tahun 1980-an oleh WWF (laporan internal WWF-UK yang pernah dibaca) umumnya pada kategori tinggi (tutupan HC > 50% ataupun > 75%). Namun survey-survey terbaru menunjukkan bahwa kerusakan semakin nampak, dan di Bokan Kepulauan secara khusus terjadi penurunan tajam antar tahun 2004 dan Saat ini secara rata-rata tutupan HC sekitar 25%, pada batas diantara kategori rendah dan sedang. Maka kriteria ini diberi nilai b. Keanekaragaman: berdasarkan hasil kajian dalam Allen dan McKenna (2001) serta berbagai referensi lain, keanekaragaman karang di Kepulauan Banggai tergolong tinggi. 85

86 Meskipun degradasi semakin nyata, hasil survey menunjukkan bahwa pada sebagian besar lokasi keanekaragaman masih tinggi. Namun demikian pada beberapa lokasi keanekaragaman karang telah rendah akibat kerusakan antropogenik, terutama kerusakan fisik secara langsung. Dengan demikian kriteria ini diberi nilai 2.5 Indikator 5. Habitat Unik/Khusus Kriteria pada indikator ini hanya satu, berkaitan dengan pengetahuan dan pengelolaan habitat unik/khusus. Habitat unik khusus yang terdapat di Kabupaten Banggai Laut antara lain beberapa daerah pemijahan ikan. Ndobe dkk. (2005) melaporkan kasus spawning ground di Pulau Bokan yang telah hampir punah akibat pemanfaatan berlebih saat ikan kerapu berkumpul untuk memijah. Habitat kritis lainnya termasuk habitat (dan mikrohabitat) ikan endemik Pterapogon kauderni, Banggai cardinalfish. Ancaman utama terhadap keberadaan ikan hias endemik tersebut yang resmi terancam punah pada Red List IUCN (Allen dan Donaldson, 2007) saat ini adalah degradasi habitat termasuk peningkatan tajam dalam konsumsi (tangkap lebih) mikrohabitat (bulubabi dari Genus Diadema dan anemone laut) sebagaimana dilaporkan dalam Moore dkk. (2011 dan 2012). Sejumlah habitat unik/khusus diketahui namun belum dikelola dengan baik. Dengan demikian, diberi nilai 2 Indikator 6 Perubahan Iklim Indikator ini berkaitan dengan severitas dampak yang bakal dialami dari perubahan iklim serta kapasitas lokal untuk mitigasi dan adaptasi. Kriteria berjumlah dua, yaitu tingkat pengetahuan dan kesiapan serta severitas dampak yang telah dan bakal dialami. Berbagai kajian berskala regional ataupun global telah tersusun mengenai dampak perubahan iklim dan sangat relevan pada kondisi di Kabupaten Banggai Laut. Antara lain, Hoegh-Guldberg dkk. (2009)dan Burke dkk (2011). Namun sejauh diketahui belum ada kajian khusus wilayah Kabupaten tersebut. 6.a. Pengetahuan: belum ada kajian tentang dampak perubahan iklim, maka diberi nilai 1 6.b. Dampak: diperoleh informasi bahwa pernah terjadi pemutihan, namun masih kurang dari 25% dan sepertinya hanya pada sebagian kecil wilayah. Dengan demikian kriteria ini diberi nilai DomainSumberdayaIkan Pada domain sumberdaya ikan terdapat pula 6 kriteria, yaitu hasil per satuan usaha (CPUE Baku), Ukuran ikan, Proporsi ikan yuwana (juvenile) yang ditangkap, Komposisi spesies,, "Range Collapse" sumberdaya ikan serta penangkapan spesies terancam punah, langka dan/atau dilindungi (spesies ETP). Sebagian besar data untuk indikator-indikator tersebut telah dicantumkan pada bagian 2.3. Sama dengan Kabupaten Banggai (dimana menurut instansi terkait maupun perusahaan pengolahan hasil sebagian signifikan produksi sebenarnya berasal dari Kabupaten Banggai Laut), peningkatan armada dan kapasitas tidak diimbangi dengan peningkatan tajam dalam produksi. Hasil KII/FGD menunjukkan peningkatan jarak tempuh, penurunan volume dan untuk kebanyakan komoditas perikanan penurunan ukuran rata-rata hasil tangkapan. Di bawah dicantumlan pembahasan singkat beserta nilai-nilai yang diberikan pada setiap indikator untuk perikanan di Kabupaten Banggai Laut secara keseluruhan. Khusus ke-5 spesies khusus (ikan kerapu, malalugis dan Banggai cardinalfish; avertebrata gurita dan mata tujuh), nilai nilai yang diberikan disajikan dalam sebuah matriks pada Tabel

87 Indikator 1. CPUE Baku Sangat nyata bahwa secara umum CPUE telah menurun. Namun demikian laju dalam bentuk berapa persen per tahun sulit ditentukan. Umumnya penurunan sumberdaya ikan dirasakan sebagai perubahan perlahan bukan tiba-tiba. Untuk mencerminkan hal ini khusus perikanan secara umum diberi nilai 2. Indikator 2. Ukuran ikan Perubahan dalam ukuran ikan yang ditangkap tergantung dari jenis ikan. Namun dimana ada perubahan semuanya ke arah lebih kecil dan tidak ada satupun yang membesar. Untuk mencerminkan hal ini khusus perikanan secara umum diberi nilai 1. Indikator 3. Proporsi ikan yuwana (juvenil) yang ditangkap Indikator ini merujuk pada Lm atau ukuran pertama matang gonad setiap spesies, dimana Lm secara umum merujuk pada FishBase (Froese dan Pauly, 2013). Jika disatukan semua spesies, dari aspek jumlah individu (buka biomasa) dinilai bahwa sedikitnya 50%-60% ikan belum mencapai ukuran Lm. Penilaian tersebut mencakup ikan-ikan yang berlimpah dan banyak ditangkap seperti selar (katombo) yang umumnya berukuran di atas Lm, serta jenis-jenis lainnya yang tidak masuk pada 5 jenis yang dianalisa secara khusus. Untuk mencerminkan kondisi tersebut, khusus perikanan secara umum diberi nilai 2. Indikator 4. Komposisi spesies Indikator ini menilai selektivitas atau tingkat by-catch atau hasil sampingan, termasuk bycatch yang digunakan. Selektivitas dan jumlah atau tipe jenis hasil sampingan sangat bervariasi antar alat, daerah penangkapan, waktu bulan, musim, jenis armada, waktu hari dan siklus pasang-surut, dan banyak faktor internal maupun eksternal lainnya. Hasil tangkapan yang teramati atau dilaporkan cenderung mencakup berbagai jenis dan ukuran, namun pada komoditas dan alat tangkap tertentu umumnya atau dapat menjadi sangat selektif. Dengan demikian khusus perikanan secara umum diberi nilai 2. Indikator 5. Range Collapse sumberdaya ikan 5.a. Semakin sulit: data dan informasi relatif seragam, yaitu umumnya ya, maka diberi nilai 1. 5.b. Semakin jauh: umumnya ya untuk spesies demersal namun tetap pada jalur ruayanya untuk spesies pelagis maka kriteria ini diberi nilai 2. Khusus aktivitas nelayan lokal (nonandon) untuk hampir semua komoditas indikator ini akan menjadi 1, maka ini adalah penilaian terbaik (mungkin terlalu baik) yang dapat diberikan. Indikator 6. Spesies ETP Secara keseluruhan, penangkapan spesies ETP, sengaja maupun tidak, tergolong tinggi di Kabupaten Banggai Laut, bahkan dinilai termasuk tinggi dibanding sebagian besar kabupaten lain di Sulawesi Tengah, meskipun semuanya tergolong tinggi. Selanjutnya spesies ETP yang tertangkap sangat jarang ada yang dilepas dan umumnya dimanfaatkan. Oleh karena itu secara umum indikator ini diberi nilai 1. Namun demikian, volume dan jenis tangkapan spesies ETP sangat bervariasi antar jenis perikanan (skala, alat, sasaran), dan sedang, rendah atau bahkan dapat dikatakan nol pada jenis perikanan tertentu. Khusus ikan hias Banggai cardinalfish (BCF), tangkapan jenis ETP bisa dikatakan 100% (jika 87

88 BCF dianggap sebagai spesies ETP) atau nol, tergantung persepsi terhadap status spesies tersebut. Oleh karena belum ada aturan khusus, pada kajian ini diasumsikan nol, maka nilai 3 khusus spesies tersebut. Khusus perikanan gurita dan mata tujuh, tangkapan spesies ETP tidak mungkin terjadi secara tidak sengaja, namun apabila spesies ETP bernilai ekonomis terlihat kemungkinan cukup tinggi akan diambil dan dimanfaatkan, terutama avertebrata ETP, bahkan kemungkinan cukup tinggi beberapa spesies ETP juga merupakan spesies target nelayan yang sama. Jenis SDI sasaran Tabel Nilai Indikator Domain SDI khusus 5 spesies target Nilai Indikator SDI ke a 5b 6 Kerapu Lajang BCF Gurita * Mata Tujuh * Kabupaten Banggai Laut * Rata-rata antara 1 (nelayan yang sengaja menangkap spesies ETP) dan 3 (nelayan yang tidak menangkap spesies ETP) pada aktivitas perikanan yang sama. Tidak terjadi penangkapan spesies ETP secara tidak sengaja, bukan berarti bahwa ada spesies ETP yang dilepas DomainTeknologiPenangkapanIkan Pada Domain sumberdaya ikan (SDI) terdapat 6 indikator. Sebagian besar data untuk indikator-indikator tersebut telah dicantumkan pada bagian 2.3. Adapun disajikan pembahasan singkat dan nilai yang diberikan pada setiap indikator di bawah untuk perikanan tangkap di Kabupaten Banggai Laut secara keseluruhan. Khusus ke-5 spesies khusus, nilai nilai yang diberikan disajikan dalam sebuah matriks pada Tabel Indikator 1. Metode penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan atau ilegal Perikanan destruktif atau ilegal termasuk yang ilegal karena alat/metode penangkapan maupun karena persoalan asal-usul dan perijinan operasional (misalnya andon/luar negeri tanpa ijin), atau daerah penangkapan dan faktor lainnya yang tidak sesuai. Aktivitas tersebut terjadi pada perikanan ikan pelagis, demersal dan avertebrata, ikan hias dan konsumsi. Termasuk aktivitas ship-to-ship dan penangkapan jenis yang dilindungi. Untuk tingkat kabupaten (sampel WPP) hasil KII dan FGD bahwa sangat nyata tingkat komponen destruktif dan atau ilegal masih tinggi sampai sangat tinggi. Namun jenis dan tingkat ilegalitas bervariasi, dan berasosiasi dengan komoditas atau skala/jenis armada dan alat ataupun lokasi/komunitas tertentu. Perikanan ikan kerapu dan ikan demersal lainnya, avertebrata dan ikan hias selain BCF rawan perikanan destruktif, bahkan sebagian ikan pelagis atau semi-pelagis, terutama ikan berukuran relatif kecil, ditangkap pula dengan metode destruktif. Untuk ikan pelagis, komoditas demersal (ikan/avertebrata) dan ikan hias masih banyak kapal yang beroperasi tanpa ijin atau dengan ijin tidak sesuai. Pengambilan biota yang dilindungi pada tingkat nasional/internasional (seperti ikan Napoleon, mamalia laut) atau daerah (misalnya bambu laut) sangat tinggi. Pada tingkat kabupaten, tingkat pelanggaran bukan hanya lebih dari 10 kasus per tahun tetapi berdasarkan hasil survey (pengamatan dan informasi dari KII dan FGD), tetapi lebih dari 10 kasus per bulan ataupun per minggu, dari segi perikanan destruktif saja. Dengan demikian indikator ini diberi nilai 1. 88

89 Indikator 2. Modifikasi alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan. Untuk proporsi hasil tangkapan di bawah Lm, digunakan data hasil sampling serta hasil KII dan FGD, sedangkan untuk penentuan Lm terutama menggunakan data sekunder yaitu nilai-nilai Lm pada FishBase (Froese dan Pauly, 2013). Berdasarkan data dan informasi tersebut, meskipun bervariasi antar jenis sumberdaya ikan dan pola penangkapan, dari aspek jumlah individu (bukan biomasa), lebih dari 50% ikan yang tertangkap berada di bawah Lm, sehingga indikator ini diberi nilai 1. Indikator 3. Fishing capacity dan Effort Terdapat variasi cukup besar antar komoditas dan jumlahnya berbagai armada cenderung naikturun. Namun tidak ada keraguan mengenai adanya peningkatan kapasitas total armada perikanan tangkap yang beroperasi (secara legal atau tidak dan permanen atau tidak) di wilayah ini, maka diberi nilai 1. Indikator 4. Selektivitas penangkapan Alat tangkap yang digunakan khusus jenis pelagis besar (seperti cakalang, tuna, tongkol) umumnya relatif selektif, sekurangnya dari aspek jenis yaitu tuna and tuna-like species, suatu kategori yang mencakup beberapa spesies. Demikian pula perikanan untuk gurita dan mata tujuh, seletivitas sangat tinggi dalam arti komoditas lain hanya akan tertangkap apabila nelayan sengaja berupaya untuk menangkapya. Cotnoh yang lazim terjadi, bahwa sebagian besar nelayan gurita atau mata tujuh akan ambil teripang atau kima (Tridacnidae), kepala kambing, dan avertebrata lainnya yang memiliki nilai ekonomis apabila terlihat saat melaut. Namun alat yang digunakan untuk penangkapan gurita sangat selektif. Khusus mata tujuh, sebagian nelayan menggunakan cara yang ramah lingkunagn dan selektif, lainnya menggunakan linggis dan mengakibatkan kerusakan karang yang berarti, namun oleh karena karang rusak tersebut tidak diambil dapat dikatakan selektif meskipun destruktif. Sebagian besar penangkapan ikan demersal kurang seletif, tentu saja termasuk penggunaan bahan peledak dan beracun namun juga hampir semua alat legal. Khusus Banggai cardinalfish, penangkapan sangat selektif, dari aspek spesies maupun ukurran. Komponen tidak selektif dari aspek ukuran dan atau jenis dinilai cukup signifikan bahkan mendominasi. Maka untuk kabupaten secara keseluruhan diberi nilai 1.5. Indikator 5. Kesesuaian fungsi dan ukuran kapal penangkapan ikan dengan dokumen legal Sangat sedikit (bahkan tidak teramati) kapal yang sesuai ukuran dengan dokumennya. Maka diberi nilai 1. Nilai lebih tinggi pada perikanan dengan komponen artisanal signifikan dimana perahunya kecil (sampan dan sejenis) dan tidak ada isu GT pada komponen tersebut. Indikator 6. Sertifikasi awak kapal perikanan sesuai dengan peraturan. Tidak diperoleh data langsung namun berdasarkan hasil KII, termasuk dengan pihak instansi terkait, maka tingkat sertifikasi masih rendah, kurang dari separuh. Demikian pula masih rendah penataan perikanan artisanal dari aspek pengurusan kartu nelayan. Maka diberi nilai 1. Tabel Nilai Indikator Domain Teknis Penangkapan khusus 5 spesies target Jenis SDI sasaran Nilai Indikator Teknis Penangkapan ke Kerapu Lajang BCF Gurita Mata Tujuh Kabupaten Banggai Laut

90 4.3.4 DomainSosial Pada domain sosial terdapat 3 indikator. Khusus ke-5 spesies khusus, nilai nilai yang diberikan disajikan dalam sebuah matriks pada Tabel Indikator 1. Partisipasi pemangku kepentingan Indikator ini sulit diukur namun dari hasil KII/FGD, keterlibatan stakeholders, terutama nelayan, secara umum masih minim (kecuali khusus nelayan Banggai cardinalfish pasca CITES 2007), dan diberi nilai 1. Indikator 2. Konflik perikanan Menurut hasil KII/FGD, potensi konflik tergolong tinggi, dan setiap tahun cukup banyak kasus konflik. Sebagian besar teredam oleh tokoh-tokoh lokal tanpa intervensi dari aparat (disebabkan adat dan kebiasaan lokal maupun rendahnya jumlah aparat/ketidakadaan aparat di/dekat tempat dan tantangan dari aspek logistik) dan umumnya tidak terlapor dalam media. Kriteria ini diberi nilai 1. Indikator 3. Pemanfaatan pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya ikan (termasuk di dalamnya TEK, traditional ecological knowledge) Sejauh diketahui belum ada kearifan atau pengetahuan lokal yang dapat dikatakan TEK yang teridentifikasi ataupun digunakan, kecuali mungkin dapat dipandang pengetahuan mengenai daerah penangkapan atau cara tradisional penangkapan gurita sebagai TEK, dan pengetahuan lokal berkaitan dengan Banggai cardinalfish (BCF). Untuk perikanan tangkap Kabupaten Banggai Laut secara umum diberi nilai 1. Tabel Nilai Indikator Domain Sosial khusus 5 spesies target Jenis SDI sasaran Nilai Indikator Domain Sosial ke Kerapu Lajang BCF Gurita Mata Tujuh Kabupaten Banggai Laut DomainEkonomi Data ekonomi sangat sulit diperoleh, terutama data berkaitan dengan pendapatan ril. Nilai ke- 3 indikator secara keseluruhan dibahas secara singkat dan nilia-nilai khusus ke-5 jenis khusus disajikan dalam sebuah matriks pada Tabel Indikator 1. Kepemilikan Aset Menurut hasil pengamatan, KII dan FGD dinilai bahwa secara umum aset cenderung meningkat namun tidak sebanyak 50%. Dari aspek sarana produksi hal ini tercermin dalam peningkatan jumlah, ukuran dan kapasitas armada dan alat tangkap. Dari aspek lain peningkatan dalam jumlah rumah semi-permanen dan permanen, serta dimana ada listrik (PLN atau genset) alat elektronik seperti televisi dan telpon seluler. Khusus BCF termasuk peningkatan aset penanganan (packing dll, termasuk oksigen). Secara keseluruhan diberi nilai 2. 90

91 Indikator 2. Pendapatan rumah tangga (RTP) Menurut hasil pengamatan dan KII dinilai bahwa pendapatan nelayan/rtp sangat bervariasi dalam waktu dan antar individu. Hal ini menjadi lebih rumit lagi dengan adanya sejumlah besar nelayan yang memiliki sumber pendapatan lain. Secara umum, pendapatan di Kabupaten Banggai Laut relatif rendah dan angka kemisikinan tinggi. Dengan demikian tentu cukup banyak nelayan tergolong miskin. Namun demikian, meskipun terdapat nelayan benar miskin (dan sebagian yang cukup kaya, terutama pemilik kapal atau punggawa), diestimasi bahwa pendapatan tahunan sebagian besar nelayan tidak jauh dari rata-rata pada masyarakat di sekitarnya sehingga diberi nilai 2. Indikator 3. Savings rate Meskipun tidak terdapat data berupa angka, hasil KII dan FGD bahwa kecuali sejumlah sangat kecil orang (punggawa/pemilik usaha perikanan relatif besar atau nelayan yang memiliki usaha lainnya), umumnya nelayan tidak memiliki tabungan, atau hanya sangat sedikit, dan cenderung menggunakan pedapatan yang melebihi kebutuhan dasar untuk hal-hal bersifat konsumptif. Maka diberi nilai 1. Tabel Nilai Indikator Domain Ekonomi khusus 5 spesies target Jenis SDI sasaran Nilai Indikator Domain Ekonomi ke Kerapu Lajang BCF Gurita Mata Tujuh Kabupaten Banggai Laut DomainKelembagaan Jumlah indikator adalah 6. Khusus ke-5 spesies yang ditampilkan secara khusus, dinilai bahwa komponen ini tidak berbeda nyata karena belum ada aturan khusus (kecuali aturan yang masih belum mengikat secara hukum untuk Banggai cardinalfish), maka tidak ditampilkan dalam bentuk matriks. Indikator 1. Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip perikanan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan baik secara formal maupun non-formal Menurut informasi yang diperoleh pelanggaran (jauh) melebihi 5 per tahun khusus aturan formal maupun non-formal maka secara keseluruhan nilai = 1. Indikator 2. Kelengkapan aturan main dalam pengelolaan perikanan Indikator ini memiliki 2 kriteria dengan beberapa komponen sebagai berikut: 2.a. Kelengkapan: sebagian aturan yang seharusnya berada telah dilengkapi, namun secara keseluruhan belum lengkap. Oleh karena Kabupaten ini baru dimekarkan, tentu saja sebagian besar aturan atau instrumen yang harus ditetapkan secara khusus pada tingkat Kabupaten belum ada, namun nampaknya bahwa berbagai upaya sedang berlangsung untuk dikembangkan, maka untuk kedua komponen diberi nilai 2 dan 3 2.b. Penerapan/penegakan: sebagian besar aturan nasional ataupun lokal berkaitan penataan 91

92 perikanan tangkap belum diterapkan, atau penegakannya tidak efektif; sarana/alat, sumberdaya manusia ataupun dana operasional untuk penegakan selama ini sangat minim ataupun tidak ada, dam meskipun terdapat indikasi bahwa pemerintahan baru berniat untuk memperbaiki situasi tersebut, saat survey belum ada peningkatan signifikan dalam penegakan/penerapan aturan. Sebagian besar pelanggaran tidak dapat teguran atau hukuman, namun ada juga sebagian yang mendapat teguran resmi atau dari tokoh-tokoh masyarakat tertentu. Hukuman sangat sulit antara lain karena tidak adanya pihak yang berhak melakukan penangkapan tersangka, kesulitan sangat besar dalam memperoleh bukti fisik atau saksi yang berani tampil, ketidakadaan pengadilan perikanan dan rendahnya pemahaman aparat hukum yang ada, kurangnya dana untuk membiaya ongkos hidup tahanan, dan lain sebagainya. Selain itu terdapat sejumlah laporan dari responden bahwa oknum-oknum dari instansi-instansi penegak hukum/aturan merupakan pelaku atau berkolusi dalam berbagai kegiatan ilegal. Maka untuk ketiga komponen secara keseluruhan diberi nilai 1.5, 1 dan 1.5. Kriteria ini berbeda (lebih rendah atau tinggi) untuk komoditas tertentu. Indikator 3. Mekanisme pengambilan keputusan Sejauh diketahui para responden belum ada kecuali untuk Banggai Cardinalfish, melalui BCFC (yang belum berjalan efektif). Maka secara keseluruhan diberi nilai 1. Indikator 4. Rencana pengelolaan perikanan Belum ada, maka diberi nilai 1. Khusus Banggai cardinalfish telah tersusun oleh instansi-instansi terkait bersama multi-stakeholders (pada periode tahun ) namun terbenturan dengan prosedur legislasi. Indikator 5. Tingkat sinergisitas kebijakan dan kelembagaan pengelolaan perikanan 5.a. Sinergi/konflik antar lembaga: tidak ditemukan adanya konflik antar lembaga pada perikanan secara umum, namun juga nampaknya kebanyakan belum berkomunikasi atau bersinergi secara efektif. Maka komponen ini diberi nilai 2. 5.b. Sinergi/konflik kebijakan: tidak ditemukan banyak konflik yang berarti antar kebijakan di bidang perikanan tangkap namun juga tidak banyak kebijakan yang saling mendukung. Konflik antar perikanan dan sektor lainnya mungkin tidak pada konflik terbuka namun terdapat berbagai konflik kepentingan nyata, dan banyak konflik tertutup. Maka komponen ini diberi nilai 1.5. Untuk BCF kedua kriteria diberi nilai 1 karena konflik kebijakan antar Kementerian Perikanan (didkung para stakeholders) dan LIPI serta kebijakan melarang pemanfaatan ikan hias Kabupaten Banggai dan wacana bahwa Kabupaten Banggai Laut mungkin akan menerapkan pelarangan penangkapan BCF. Indikator 6. Kapasitas pemangku kepentingan Pelatihan, pembinaan dan sebagainya ada, namun hanya di lokasi-lokasi tertentu dan sebagian besar merupakan inisiatif LSM bukan instansi pemerintah. Cakupan dan efektivitas bervariasi antar komoditas, lokasi dan skala atau tipe armada/alat. Nampaknya ada yang difungsikan. Secara keseluruhan komponen ini diberi nilai 2. 92

93 5 AnalisisKompositPengelolaanPerikanan 5.1 AnalisamenggunakansistemFlag Analisa sistem Flag di setiap Kabupaten berjumlah 6, yaitu analisa untuk perikanan tangkap secara keseluruhan kemudian analisa khusus 5 komoditas khusus yang dinilai penting di kabupaten masing-masing. Komoditas tersebut bervariasi antar WPP dan kabupaten. Skala penilaian tercantum pada Tabel 5.1. Tabel 5.1. Skala penilaian analisa Flag PerikananKabupatenDonggala Komoditas perikanan yang dikaji secara khusus di Kabupaten Donggala adalah ikan cakalang, tongkol, layang (lajang/malaugis), kerapu dan ikan teri. Adapun ke-6 analisa tercantum di bawah. 1. Analisa Flag Perikanan Kabupaten Donggala Hasil analisa Flag untuk Kabupaten Donggala tercantum pada Tabel a dalam dua bentuk. Pertama (kiri) hasil dengan menggunakan skor densitas; kedua (kanan) hasil dalam bentuk persentase tanpa skor densitas (dihitung dengan asumsi 2 = 50%). Hasil pada sebelah kanan tersebut dinilai lebih sesuai dengan hasil tinjauan lapangan dibanding hasil menggunakan skor densitas berdasarkan penilaian terhadap jumlah koneksi. Domain (dengan Skor Densitas) Rentang nilai Model Rendah Tinggi Bendera Deskripsi 1 20 Buruk Kurang Sedang Baik Baik Sekali Tabel a Hasil Analisa Flag Perikanan Laut Kab. Donggala Nilai Komposit Deskripsi Domain (tanpa Skor Densitas) Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 37 Kurang Sumberdaya Ikan 43 Sedang Habitat & ekosistem 31 Kurang Habitat & ekosistem 47 Sedang Teknik Penangkapan Teknik Penangkapan 23 Kurang Ikan Ikan 30 Kurang Sosial 18 Buruk Sosial 34 Kurang Ekonomi 30 Kurang Ekonomi 44 Sedang Kelembagaan 28 Kurang Kelembagaan 36 Kurang Aggregat 28 Kurang Aggregat 39 Kurang Menggunakan atau tidak skor densitas, kondisi agregat adalah Kurang, berarti Kabupaten ini memiliki kerja keras ke depan untuk mewujudkan perikanan yang sesuai dengan kaidah-kaidah perikanan yang bertanggungjawab (CCRF) dan benar mementingkan keberlanjutan dengan pendekatan EAFM. Namun hasil tanpa skor densitas menunjukkan bahwa (i) perlu adanya perhatian serius terhadap masalah teknik penangkapan ikan, aspek sosial dan kelembagaan yang semuanya memiliki kaitan dengan aktivitas ilegal dan tidak berkelanjutan dari aspek lingkungan; dan (ii) apabila 93

94 faktor lainnya dapat dikendalikan, habitat/ekosistem serta sumberdaya ikan masih dapat mendukung keberhasilan perubahan sistem pengelolaan, mind set dan paradigma yang mengakibatkan sebagian besar indikator memiliki nilai yang rendah. Di bawah, tercantum pula hasil menggunakan file excel terbaru tanpa skor densitas SD (semua nilai SD = 29, terhitung langsung oleh rumus dalam file tersebut). Hasil ini sangat diragukan karena nilai rata-rata di bawah 2 (< 1.9) pada Domain Habitat dan Ekosistem menghasilkan kategori Baik, hal yang secara naluri tidak masuk di akal dari aspek angka dan dinilai pula tidak sesuai dengan hasil pengamatan atau kenyataan yang ada di lapangan. Untuk setiap jenis khusus hanya ditampilkan hasil analisa menggunakan skor densitas SD terhitung dan hasil seperti ini (SD=29), tidak ditampilkan hasil yang telah disesuaikan seperti pada Tabel bagian kanan. Tabel b Hasil Analisa Flag Perikanan Laut Kab. Donggala (SD = 29) Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 57 Sedang Habitat & ekosistem 63 Baik Teknik Penangkapan Ikan 40 Kurang Sosial 46 Sedang Ekonomi 58 Sedang Kelembagaan 48 Sedang Aggregat 52 Sedang Peningkatan kategori indikator EAFM umumnya sangat memungkinkan. Beberapa rekomendasi untuk meningkatkan nilai kriteria kriteria pada masing-masing indikator dapat dilihat pada Bab 6 dan 7. Namun secara singkat, perlu adanya perhatian serius dan terpadu (horizontal dan vertikal) terhadap isu-isu berkaitan dengan ketiga komponen IUUF serta kelengkapan dan penegakan aturan. Selain itu, aspek sosial serta infrastruktur pendukung, terutama dalam hal ketersediaan es, masih menjadi tantangan. 2. Analisa Flag Perikanan Cakalang Hasil analisa Flag untuk perikanan Cakalang di Kabupaten Donggala tercantum pada Tabel Kondisi agregat adalah Kurang dengan menggunakan skor densitas (SD) dan Sedang apabila semua skor densitas tetap maksimum (SD = 29). Tabel Hasil Analisa Flag Perikanan Cakalang di Kab. Donggala Domain dengan Skor Densitas (SD) Nilai Komposit Deskripsi Domain tanpa Skor Densitas (SD = 29) Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 52 Sedang Sumberdaya Ikan 78 Baik Habitat & ekosistem 31 Kurang Habitat & ekosistem 63 Baik Teknik Penangkapan Teknik Penangkapan 34 Kurang Ikan Ikan 54 Sedang Sosial 18 Buruk Sosial 47 Sedang Ekonomi 30 Kurang Ekonomi 73 Baik Kelembagaan 28 Kurang Kelembagaan 48 Sedang Aggregat 32 Kurang Aggregat 60 Sedang 94

95 Sumberdaya masih pada kondisi yang baik/relatif baik meskipun teknik penangkapan kurang, termasuk dari aspek penangkapan juwana ikan cakalang pada perikanan ikan cakalang. Namun demikian, mortalitas larva cakalang yang tinggi pada perikanan bagan menghawatirkan dari aspek rekrutmen dan kelestarian stok ikan tersebut. Perlu diingatkan bahwa selain ukuran ikan cakalang sendiri, hasil tangkapan ikan pelagis besar cenderung bersifat campuran, dan ikan tuna sirip kuning juvenil (Baby Tuna) kerapkal merupakan bagian signifikan dari hasil tangkapan. Hal ini sulit dihindari karena terindikasi perairan WPP 713 merupakan jalur ruaya pada fase masih umumnya juvenil. Kemungkinan penangkapan larva oleh bagan merupakan ancaman yang sama atau lebih besar terdadap stok dibanding tangkapan pada fase masih juvenil namun sudah layak jual di pasaran. Ekonomi pada perikanan ini cukup baik kecuali dari aspek savings ratio, berkaitan dengan manajemen keuangan skala mikro (rumah tangga). 3. Analisa Flag Perikanan Tongkol Hasil analisa Flag untuk perikanan Tongkol di Kabupaten Donggala tercantum pada Tabel Kondisi agregat adalah Kurang dengan menggunakan skor densitas (SD) dan Sedang apabila semua skor densitas tetap maksimum (SD = 29). Domain dengan Skor Densitas (SD) Tabel Hasil Analisa Flag Perikanan Tongkol di Kab. Donggala Nilai Komposit Deskripsi Domain tanpa Skor Densitas (SD = 29) Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 32 Kurang Sumberdaya Ikan 49 Sedang Habitat & ekosistem 31 Kurang Habitat & ekosistem 63 Baik Teknik Penangkapan Ikan 34 Kurang Teknik Penangkapan Ikan 54 Sedang Sosial 18 Buruk Sosial 47 Sedang Ekonomi 37 Kurang Ekonomi 73 Baik Kelembagaan 28 Kurang Kelembagaan 48 Sedang Aggregat 30 Kurang Aggregat 56 Sedang Sumberdaya ikan menunjukkan penurunan yang mungkin merupakan fluktuasi sehingga perlu melakukan kajian lebih mendalam dan monitoring jangka panjang. Hal yang positif bahwa sebagia besar hasil tangkapan berupa ikan tongkol pada perikanan ikan tongkol di atas Lm. Namun demikian, sama dengan ikan cakalang, mortalitas larva yang tinggi pada perikanan bagan menghawatirkan dari aspek rekrutmen dan kelestarian stok ikan tongkol. Sebaiknya usaha penangkapan sekurangnya tidak ditingatkan (prinsip kehati-hatian). Selain itu, sebagian besar indikaor mirip dengan perikanan cakalang. 4. Analisa Flag Perikanan Malalugis Hasil analisa Flag untuk perikanan Malalugis/lajang/layang di Kabupaten Donggala tercantum pada Tabel Kondisi agregat adalah Kurang dengan menggunakan skor densitas (SD) dan Sedang apabila semua skor densitas tetap maksimum (SD = 29). Hasil analisa ini menunjukkan bahwa meskipun umumnya cenderung diasumsikan bahwa ikan pelagis kecil masih sangat berpeluang untuk ditingkatkan pemanfaatannya, belum tentu demikian. Salah satu penyebab penurunan stok pada jenis ikan ini adalah jumlah besar ikan juwana yang tertangkap, termasuk pada perikanan khusus (terutama pusse seine) maupaun perikanan lain, termasuk bagan dan perikanan destruktif. 95

96 Tabel Hasil Analisa Flag Perikanan Lajang/Malalugis di Kab. Donggala Domain dengan Skor Densitas (SD) Nilai Komposit Deskripsi Domain tanpa Skor Densitas (SD=29) Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 26 Kurang Sumberdaya Ikan 41 Kurang Habitat & ekosistem 31 Kurang Habitat & ekosistem 63 Baik Teknik Penangkapan Ikan 27 Kurang Teknik Penangkapan Ikan 48 Sedang Sosial 18 Buruk Sosial 47 Sedang Ekonomi 33 Kurang Ekonomi 66 Baik Kelembagaan 28 Kurang Kelembagaan 48 Sedang Aggregat 27 Kurang Aggregat 52 Sedang 5. Analisa Flag Perikanan Ikan Kerapu Hasil analisa Flag untuk perikanan kerapu di Kabupaten Donggala tercantum pada Tabel Kondisi agregat adalah Kurang dengan menggunakan skor densitas (SD) dan Sedang apabila semua skor densitas tetap maksimum (SD = 29). Tabel Hasil Analisa Flag Perikanan Ikan Kerapu di Kab. Donggala Domain dengan Skor Densitas Nilai Komposit Deskripsi Domain tanpa Skor Densitas Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 33 Kurang Sumberdaya Ikan 50 Sedang Habitat & ekosistem 31 Kurang Habitat & ekosistem 63 Baik Teknik Penangkapan Ikan 24 Kurang Teknik Penangkapan Ikan 43 Sedang Sosial 13 Buruk Sosial 33 Kurang Ekonomi 30 Kurang Ekonomi 58 Sedang Kelembagaan 28 Kurang Kelembagaan 48 Sedang Aggregat 26 Kurang Aggregat 49 Sedang Aspek dengan nilai terendah adalah Domain Sosial diikuti oleh Teknik Penangkapan Ikan. Pada perikanan ini, komponen perikanan destruktif cukup tinggi, meskipun juga banyak nelayan yang menggunakan metode yang baik/tepat. Kurang pada Domain ekonomi karena kurangnya budaya tabungan, sedangkan aset RTP (terutama sarana produksi) cenderung stabil. Dari aspek sumberdaya ikan, proporsi penangkapan juwana tinggi dan berdasarkan kisaran ukuran sampel serta intensitas penangkapan diduga bahwa kurangnya ikan ynag mencapai ukuran/usia pergantian jenis kelamin dari betina menjadi jantan (terminal male). 6. Analisa Flag Perikanan Ikan teri Hasil analisa Flag untuk perikanan ikan teri di Kabupaten Donggala tercantum pada Tabel Kondisi agregat adalah Kurang dengan menggunakan skor densitas (SD) dan Baik apabila semua skor densitas tetap maksimum (SD = 29). Masih beberapa aspek yang memerlukan penyempurnaan, terutama tingginya hasil sampingan termasuk juwana berbagai spesies lainnya pada alat tangkap bagan, namun sumberdaya ikan masih mendukung pada tingkat usahaan saat ini. 96

97 Domain dengan Skor Densitas Tabel Hasil Analisa Flag Perikanan Ikan Teri di Kab. Donggala Nilai Komposit Deskripsi Domain tanpa Skor Densitas Nilai Komposit Sumberdaya Ikan 54 Sedang Sumberdaya Ikan 83 Deskripsi Baik Sekali Habitat & ekosistem 31 Kurang Habitat & ekosistem 63 Baik Teknik Penangkapan Ikan 46 Sedang Teknik Penangkapan Ikan 72 Baik Sosial 21 Kurang Sosial 52 Sedang Ekonomi 30 Kurang Ekonomi 58 Sedang Kelembagaan 28 Kurang Kelembagaan 48 Sedang Aggregat 35 Kurang Aggregat 63 Baik PerikananKabupatenBanggai Komoditas perikanan yang dikaji secara khusus di Kabupaten Banggai adalah ikan Cakalang, Tuna, Lajang (Malalugis), Kerapu dan Gurita. 1. Analisa Flag Perikanan Kabupaten Banggai Hasil analisa Flag untuk Kabupaten Banggai tercantum pada Tabel a dalam dua bentuk. Pertama (kiri) hasil dengan menggunakan skor densitas; kedua (kanan) hasil dalam bentuk persentase tanpa skor densitas (dihitung dengan asumsi 2 = 50%). Hasil pada sebelah kanan tersebut dinilai lebih sesuai dengan hasil tinjauan lapangan dibanding hasil menggunakan skor densitas berdasarkan penilaian terhadap jumlah koneksi. Domain dengan Skor Densitas (SD) Tabel a Hasil Analisa Flag Perikanan Laut Kab. Banggai Nilai Komposit Deskripsi Domain tanpa Skor Densitas (SD=29) Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 37 Kurang Sumberdaya Ikan 43 Sedang Habitat & ekosistem 32 Kurang Habitat & ekosistem 50 Sedang Teknik Penangkapan Ikan 21 Buruk Teknik Penangkapan Ikan 27 Kurang Sosial 21 Kurang Sosial 39 Kurang Ekonomi 30 Kurang Ekonomi 44 Sedang Kelembagaan 27 Kurang Kelembagaan 35 Kurang Aggregat 28 Kurang Aggregat 40 Kurang/Sedang Menggunakan atau tidak skor densitas, kondisi agregat adalah Kurang atau pas pada batas Kurang/Sedang, berarti Kabupaten ini memiliki kerja keras ke depan untuk mewujudkan perikanan yang sesuai dengan kaidah-kaidah perikanan yang bertanggungjawab (CCRF) dan benar mementingkan keberlanjutan dengan pendekatan EAFM. Namun hasil tanpa skor densitas menunjukkan bahwa (i) perlu adanya perhatian serius terhadap masalah teknik penangkapan ikan, aspek sosial dan kelembagaan yang semuanya memiliki kaitan dengan aktivitas ilegal dan tidak berkelanjutan dari aspek lingkungan; dan (ii) apabila faktor lainnya dapat dikendalikan, habitat/ekosistem serta sumberdaya ikan masih dapat mendukung keberhasilan perubahan sistem 97

98 pengelolaan, mind set dan paradigma yang mengakibatkan sebagian besar indikator memiliki nilai yang rendah. Di bawah, tercantum pula hasil menggunakan file excel terbaru tanpa skor densitas SD (semua nilai SD = 29, terhitung langsung oleh rumus dalam file tersebut). Hasil ini sangat diragukan karena nilai rata-rata 2 pada Domain Habitat dan Ekosistem menghasilkan kategori Baik, hal yang secara naluri tidak masuk di akal dari aspek angka dan dinilai pula tidak sesuai dengan hasil pengamatan atau kenyataan yang ada di lapangan dimana kondisi umum tergolong sedang. Untuk setiap jenis khusus hanya ditampilkan hasil analisa menggunakan skor densitas SD terhitung dan hasil seperti ini (SD=29), tidak ditampilkan hasil yang telah disesuaikan seperti pada Tabel bagian kanan. Tabel b Hasil Analisa Flag Perikanan Laut Kab. Banggai (SD = 29) Domain Nilai Komposit Deskripsi Sumberdaya Ikan 57 Sedang Habitat & ekosistem 67 Baik Teknik Penangkapan Ikan 36 Kurang Sosial 52 Sedang Ekonomi 58 Sedang Kelembagaan 46 Sedang Aggregat 53 Sedang Peningkatan kategori indikator EAFM umumnya sangat memungkinkan. Beberapa rekomendasi untuk meningkatkan nilai kriteria kriteria pada masing-masing indikator dapat dilihat pada Bab 6 dan 7. Namun secara singkat, perlu adanya perhatian serius dan terpadu (horizontal dan vertikal) terhadap isu-isu berkaitan dengan ketiga komponen IUUF serta kelengkapan dan penegakan aturan. Selain itu, aspek sosial serta infrastruktur pendukung, terutama dalam hal ketersediaan es, masih menjadi tantangan PerikananKabupatenBanggaiLaut Komoditas perikanan yang dikaji secara khusus di Kabupaten Banggai Laut adalah ikan malalugis/layang /lajang, ikan kerapu, ikan hias Banggai cardinalfish, mata tujuh dan gurita. Sedang direvisi 5.2 AnalisamenggunakansistemFlagdanKoneksitas Telah disatukan pada sub-bab di atas, sulit diulang semua pembahasan secara terpisah. Apabila harus demikian nanti kami akan berusaha melakukannya PerikananKabupatenDonggala PerikananKabupatenBanggai PerikananKabupatenBanggaiLaut 98

99 6 Pembahasan 6.1 MetodedananalisaindikatorEAFMyangdigunakan Dari aspek metode, persoalan yang dihadapi antara lain bahwa sekalipun indikator dapat diperloeh belum tentu tepat untuk kasus tertentu. Misalnya pada wilayah (misalnya dari aspek kelembagaan dan soal TEK), skala/tipe perikanan (teknik penangkapan, kelembagaan) ataupun sumberdaya ikan tertentu (hampir semua, termasuk domain habitat). Indikator paling sulit untuk diperoleh datanya adalah ekonomi, diikuti oleh sosial. Sedangkan untuk sumberdaya ikan, meskipun secara kuantitatif kemugjinan besar terdapat bias, dinilai bahwa cenderunagan atau trends dalam data cukup mewakili keadaan yang terlihat pada saat survey. Meskipun rincian sebagian besar indikator (dan data) sebenarnya meragukan, sebaliknya sebagian besar hasil akhir dalam bentuk analisa bendera dinilai cukup mencerminkan kondisi di lapangan di dua WPP, 3 Kabupaten dan 15 contoh komoditas pada tingkat kabupaten. Menjustifikasinya dan dipertahankan hasilnya secara ilmiah atau di depan stakeholders mungkin menjadi tantangan. Beberapa hasil pembahasan internal mengenai metode dan analisa, termasuk setelah revisi terakhir (5 Maret 2014) tercantum pada bagian 7.2 (rekomendasi). Hal yang masih sangat diragukan berkaitan dengan proses pemberian skor densitas dan hasil penghitungan agregat oleh rumus dalam excel dengan dan tanpa skor densitas (tanpa: densitas = 29). Dua kondisi sebagai berikut. 1. Dengan skor densitas: sekalipun nilai relatif baik, oleh karena skor densitas sangat sulit mencapai Sedang. Dikhawatirkan stakeholders merasa terlalu berat dan menjadi apatis. 2. Tanpa skor densitas: nilai 2 rata-rata menghasilkan Baik sedangkan secara naluri dengan skala 1 sampai 3, nilai 2 seharusnya Sedang. Sebaliknya dikhawatirkan stakeholders menjadi terlena dengan skor tersebut dan malas berusaha memperbaiki kondisi dan dengan demikian skornya. Apa insentifnya untuk mencapai skor 3 apabila sudah dinilai Baik dengan skor 2?. 6.2 Performaperikananyangdikaji PerikananKabupatenDonggala Performa perikanan Kabupaten Donggala secara keseluruhan dan menurut lima jenis sumberdaya ikan khususnya disajikan pada Gambar sampai Khusus gabungan ke-enam Domain, diasjikan dengan skor densitas (SD) sebelah kiri dan tanpa skor densitas (SD = 29) sebelah kanan. Pada gambar-gambar tersebut dapat dilihat titik-titik lemah di setiap Domain. Untuk kelima jenis khusus, yaitu Cakalang, Tongkol, Lajang, Kerapu dan Teri, tidak disajikan rincian domain Habitat dan Ekosistem atau Kelembagaan karena dinilai sebagai kondisi umum wilayah sehingga hampir sama untuk semua jenis perikanan (lihat Bab 4). Dengan demikian, hanya 4 Domain yang disajikan secara rinci. Pembahasan hanya dimana kondisi yang teridentifikasi mencakup permasalahan atau isu yang berbeda signifikan dengan kondisi perikanan Kabupaten Donggala secara umum, atau belum ditekan secara khusus. Selain itu, dapat diasumsikan bahwa isu dan rekomendasi umum tignkat Kabupaten tetap berlaku. 99

100 Domain Sumberdaya Ikan Domain Habitat dan Ekosistem Domain Teknik Penangkapan Ikan Domain Sosial 100

101 Domain Ekonomi Domain Kelembagaan Gambar Rincian Performa Perikanan Kabupaten Donggala Gambar menunjukkan bahwa semua Domain memerlukan perhatikan, sedikitnya terhadap satu atau lebih diantara indikatornya. Rendahnya aspek sosial, Domain terpuruk, tidak terlepas dari isu TEK. Indikator ini dinilai sulit ditingkatkan apabila "TEK" diterapkan sesuai pengertian umum terhadap istillah tersebut, sebab tradisi yang berkaitan dengan perikanan secara umum dan lebih khusus lagi perikanan saat ini sangat terbatas dan umumnya tidak relevan atau hanya memiliki relevansi minim terhadap pengelolaan perikanan. Pada Domain Habitat dan Ekosistem, nampak bahwa indikator terpuruk adalah kondisi ekosistem mangrove. Kondisi mangrove yang umumnya sangat memprihatinkan perlu perhatian khusus dengan pola yang memperhatikan kondisi alam dan musiman setempat. Sedangkan tingginya pemanfaatan spesies ETP juga merupakan tantangan dari aspek pelestarian ekosistem. Kondisi di sebagian besar wilayah Kabupaten Donggala bahwa suku asli umumnya budaya kurang terarah pada laut dan sebagian besar nelayan, dan hampir semua nelayan pada perikanan berskala menengah atau besar merupakan pendatang atau nelayan andon. Dengan demikian, TEK khusus daerah ini tentu terbatas, demikian pulan "rasa memiliki" pada sebagian signifikan pelaku dan pemangku kepentingan perikanan. Dala kondisi tersebut, pendekatan yang dinilai lebih berpeluang untuk menentukan keberhasilan EAFM adalah pengembangan dan penerapan aturan baru (formal/informal), pada semua tingkat dari desa hingga nasional. Dalam konteks ini, dianjurkan pengembangan PERDES dan PERDA yang diharapkan ke depan dapat mengantikan TEK dan meningkatkan nilai sosial yang terpuruk. Selain itu, apabila domain lainnya (terutama kelembagaan) telah teratur dengan baik, kemungkinan besar tingkat konflik akan menurun dan partisipasi akan meningkat. 101

102 Perikanan Ikan Cakalang Gambar Performa Perikanan Cakalang di Kab. Donggala Dari aspek teknis, diperlukan perhatian khusus terhadap penangkapan ikan yuwana, mungkin dari aspek musim dan daerah penangkapan. Sangat diperlukan penataan dokumen kapal, andon/nelayan luar lain tanpa ijin yang sesuai, dan masih perlu meningkatkan sertifikasi nelayan. Dari aspek konflik perlu perhatian terhadap penataan rumpon, penataan ruang/sumberdaya antar alat/armada. Partisipasi nelayan lokal perlu ditingkatkan. 102

103 Perikanan Ikan Tongkol Gambar Performa Perikanan Tongkol di Kab. Donggala Gambar menunjukkan pola yang mirip dengan perikanan cakalang kecuali dari aspek kondisi sumberdaya ikan tongkol. Nampaknya bahwa peningkatan besar-besaran pemanfaatan dalam beberapa tahun terakhir telah mencapai dan melawati puncak produksi. Dengan demikian diperlukan monitoring dan pengendalian untuk menjaga keberlanjutan. 103

104 Perikanan Ikan Lajang/Malalugis Gambar Performa Perikanan Lajang/Malalugis di Kab. Donggala Perikanan pelagis kecil ini sangat membutuhkan perhatian dari aspek pengkajian stok dan monitoring usaha (armada/alat) maupun hasil tangkapan (volume/ukuran). Sangat diperlukan pengaturan ukuran layak tangkap agar melebihi Lm, melalui peralatan, pola penangkapan, kesadaran, hukum formal atau instrumen lainnya. 104

105 Perikanan Ikan Kerapu Gambar Performa Perikanan Kerapu di Kab. Donggala Gambar menunjukkan bahwa perikanan ikan kerapu memerlukan perhatian khusus. Sumberdaya bernilai ekonomis tinggi dan merupakan salah satu unggulan daerah rawan konflik, kegiatan destruktif dan sumberdaya maupun habitatnya terancam. Namun demikian, dengan pengelolaan yang baik berpotensi sebagai perikanan berkelanjutan. 105

106 Perikanan Ikan Teri Gambar Performa Perikanan Ikan Teri di Kab. Donggala Komoditas ikan teri merupakan ciri khas Kabupaten Donggala dan Kota Palu, baik di Teluk Palu maupun di Selat Makassar. Dengan pengelolaan dan pembinaan yang baik, perikanan ini sangat mungkin menjadi contoh perikanan artisanal/skala kecil berkelanjutan dan bermanfaat secara ekonomi. 106

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Daerah Penelitian Kabupaten Kupang merupakan kabupaten yang paling selatan di negara Republik Indonesia. Kabupaten ini memiliki 27 buah pulau, dan 19 buah pulau

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Batas Administrasi Secara geografis Kabupaten Halmahera Utara terletak antara 127 O 17 BT - 129 O 08 BT dan antara 1 O 57 LU - 3 O 00 LS. Kabupaten

Lebih terperinci

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4.1 Kondisi Alat Tangkap dan Armada Penangkapan Ikan merupakan komoditas penting bagi sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia karena alasan budaya

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO Teknik Penangkapan Ikan Pelagis Besar... di Kwandang, Kabupaten Gorontalo (Rahmat, E.) TEKNIK PENANGKAPAN IKAN PELAGIS BESAR MEMAKAI ALAT TANGKAP FUNAI (MINI POLE AND LINE) DI KWANDANG, KABUPATEN GORONTALO

Lebih terperinci

6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON

6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON 6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON Pada dasarnya pengelolaan perikanan tangkap bertujuan untuk mewujudkan usaha perikanan tangkap yang berkelanjutan. Untuk itu, laju

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan 2.2 Komoditas Hasil Tangkapan Unggulan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan 2.2 Komoditas Hasil Tangkapan Unggulan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti suatu usaha perubahan dari suatu yang nilai kurang kepada sesuatu yang nilai baik. Menurut

Lebih terperinci

Katalog BPS:

Katalog BPS: ht tp :// w w w.b p s. go.id Katalog BPS: 5402003 PRODUKSI PERIKANAN LAUT YANG DIJUAL DI TEMPAT PELELANGAN IKAN 2008 ISSN. 0216-6178 No. Publikasi / Publication Number : 05220.0902 Katalog BPS / BPS Catalogue

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Letak Geografis Kabupaten Sukabumi yang beribukota Palabuhanratu termasuk kedalam wilayah administrasi propinsi Jawa Barat. Wilayah yang seluas 4.128 Km 2, berbatasan dengan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 27 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis, Topografis dan Luas Wilayah Kabupaten Ciamis merupakan salah satu kota yang berada di selatan pulau Jawa Barat, yang jaraknya dari ibu kota Propinsi

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 27 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Penelitian 4.1.1 Letak geografis Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat, secara geografis terletak di antara 6 0.57`- 7 0.25`

Lebih terperinci

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas 26 4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) luas wilayah Kabupaten Banyuwangi

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN Geografis dan Administratif Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru terbentuk di Provinsi Sulawesi Tengah berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 tahun

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Seram Bagian Timur memiliki luas wilayah 20.656.894 Km 2 terdiri dari luas lautan 14,877.771 Km 2 dan daratan 5,779.123 Km 2. Dengan luas

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.)

Penangkapan Tuna dan Cakalang... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.) Penangkapan Tuna dan... Pondokdadap Sendang Biru, Malang (Nurdin, E. & Budi N.) PENANGKAPAN TUNA DAN CAKALANG DENGAN MENGGUNAKAN ALAT TANGKAP PANCING ULUR (HAND LINE) YANG BERBASIS DI PANGKALAN PENDARATAN

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis

4 KEADAAN UMUM. 4.1 Letak dan Kondisi Geografis 29 4 KEADAAN UMUM 4.1 Letak dan Kondisi Geografis Keadaan geografi Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten yang memiliki luas laut yang cukup besar. Secara geografis Kabupaten Aceh Besar berada

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.1.1 Armada Kapal Perikanan Kapal penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 4.2 Keadaan Umum Perikanan di Sulawesi Utara

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. 4.2 Keadaan Umum Perikanan di Sulawesi Utara 58 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Provinsi Sulawesi Utara Provinsi Sulawesi Utara dengan ibu kota Manado terletak antara 0 15 5 34 Lintang Utara dan antara 123 07 127 10 Bujur Timur,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis

II. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Terdahulu. Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Saskia (1996), yang menganalisis masalah Kemiskinan dan Ketimpangan pendapatan nelayan di Kelurahan Bagan Deli dan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 27 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah Kota Serang 4.1.1 Letak geografis Kota Serang berada di wilayah Provinsi Banten yang secara geografis terletak antara 5º99-6º22 LS dan 106º07-106º25

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pertanian merupakan suatu jenis produksi yang berlandaskan pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pertanian merupakan suatu jenis produksi yang berlandaskan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu jenis produksi yang berlandaskan pada pertumbuhan tanaman, hewan, dan ikan. Pertanian juga berarti kegiatan pemanfaatan sumber daya

Lebih terperinci

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5.1 Sumberdaya Ikan Sumberdaya ikan (SDI) digolongkan oleh Mallawa (2006) ke dalam dua kategori, yaitu SDI konsumsi dan SDI non konsumsi. Sumberdaya ikan konsumsi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 2 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah kepulauan dengan luas wilayah perairan mencapai 4 (empat) kali dari seluruh luas wilayah daratan Provinsi Kepulauan

Lebih terperinci

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Keadaan Umum Kota Serang Kota Serang adalah ibukota Provinsi Banten yang berjarak kurang lebih 70 km dari Jakarta. Suhu udara rata-rata di Kota Serang pada tahun 2009

Lebih terperinci

DRAFT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PRODUKTIVITAS KAPAL PENANGKAP IKAN

DRAFT KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PRODUKTIVITAS KAPAL PENANGKAP IKAN DRAFT Menimbang : KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/KEPMEN-KP/14 TENTANG PRODUKTIVITAS KAPAL PENANGKAP IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

6 KINERJA OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU

6 KINERJA OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU 6 KINERJA OPERASIONAL PPN PALABUHANRATU 6.1 Tujuan Pembangunan Pelabuhan Tujuan pembangunan pelabuhan perikanan tercantum dalam pengertian pelabuhan perikanan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan

Lebih terperinci

5 HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU

5 HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU 5 HASIL TANGKAPAN DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN NUSANTARA PALABUHANRATU 5.1 Jenis dan Volume Produksi serta Ukuran Hasil Tangkapan 1) Jenis dan Volume Produksi Hasil Tangkapan Pada tahun 2006, jenis

Lebih terperinci

Jaring Angkat

Jaring Angkat a. Jermal Jermal ialah perangkap yang terbuat dari jaring berbentuk kantong dan dipasang semi permanen, menantang atau berlawanlan dengan arus pasang surut. Beberapa jenis ikan, seperti beronang biasanya

Lebih terperinci

Inventarisasi Komoditas Unggulan Perikanan tangkap Ikan Laut di Kecamatan Utan Kabupaten Sumbawa Menggunakan Metode Skoring dan Location Quotient (LQ)

Inventarisasi Komoditas Unggulan Perikanan tangkap Ikan Laut di Kecamatan Utan Kabupaten Sumbawa Menggunakan Metode Skoring dan Location Quotient (LQ) Inventarisasi Komoditas Unggulan Perikanan tangkap Ikan Laut di Kecamatan Utan Kabupaten Sumbawa Menggunakan Metode Skoring dan Location Quotient (LQ) 1 Nurintang dan 2 Yudi ahdiansyah 1 Mahasiswa Manajemen

Lebih terperinci

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP.. Rumahtangga Nelayan Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang berperan dalam menjalankan usaha perikanan tangkap. Potensi sumberdaya

Lebih terperinci

Ikan Sebelah. Manyung 1 680,00 0,00 232,00 0,00 292,00 385,00 0,00 218,00 0,00 253,00 37,00 0,00 209,00 23,00 314,00 31,00 0,00 32,00 0,00 31,00

Ikan Sebelah. Manyung 1 680,00 0,00 232,00 0,00 292,00 385,00 0,00 218,00 0,00 253,00 37,00 0,00 209,00 23,00 314,00 31,00 0,00 32,00 0,00 31,00 Tabel Table Produksi Perikanan Laut Menurut Jenis Ikan dan di Provinsi (Ton), 2016 Quantity of Marine Fisheries Production by Type and in Province (Ton), 2016 Manyung Ikan Sebelah Ekor Kuning /Pisangpisang

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM. 4.1 Letak Geografis

KEADAAN UMUM. 4.1 Letak Geografis III. KEADAAN UMUM 4.1 Letak Geografis Kabupaten Bangka Selatan, secara yuridis formal dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Bangka

Lebih terperinci

4 TINJAUAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI MALUKU

4 TINJAUAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI MALUKU 4 TINJAUAN UMUM PERIKANAN TANGKAP DI MALUKU 4.1 Provinsi Maluku Dengan diberlakukannya Undang-Undang RI Nomor 46 tahun 1999 tentang pemekaran wilayah Provinsi Maluku menjadi Provinsi Maluku Utara dan Provinsi

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Sukabumi Secara geografis wilayah Kabupaten Sukabumi terletak di antara 6 o 57-7 o 25 Lintang Selatan dan 106 o 49-107 o 00 Bujur Timur dan mempunyai

Lebih terperinci

V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 40 V. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1. Kondisi Fisik Geografis Wilayah Kota Ternate memiliki luas wilayah 5795,4 Km 2 terdiri dari luas Perairan 5.544,55 Km 2 atau 95,7 % dan Daratan 250,85 Km 2 atau

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN ENERGI UNTUK SEKTOR PERIKANAN DI PROVINSI GORONTALO

ANALISIS KEBUTUHAN ENERGI UNTUK SEKTOR PERIKANAN DI PROVINSI GORONTALO Perencanaan Energi Provinsi Gorontalo 2000-2015 ANALISIS KEBUTUHAN ENERGI UNTUK SEKTOR PERIKANAN DI PROVINSI GORONTALO Hari Suharyono Abstract Gorontalo Province has abundace fishery sources, however the

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Sebaran Penangkapan Nelayan Labuan termasuk nelayan kecil yang masih melakukan penangkapan ikan khususnya ikan kuniran dengan cara tradisional dan sangat tergantung pada

Lebih terperinci

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi

7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Analisis aspek biologi 7 PEMBAHASAN 7.1 Pemilihan Teknologi Perikanan Pelagis di Kabupaten Banyuasin Teknologi penangkapan ikan pelagis yang digunakan oleh nelayan Sungsang saat ini adalah jaring insang hanyut, rawai hanyut

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Indramayu Kabupaten Indramayu secara geografis berada pada 107 52'-108 36' BT dan 6 15'-6 40' LS. Berdasarkan topografinya sebagian besar merupakan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 25 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kabupaten Cirebon 4.1.1 Kondisi geografis dan topografi Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 20 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Daerah 4.1.1 Geografi, topografi dan iklim Secara geografis Kabupaten Ciamis terletak pada 108 o 20 sampai dengan 108 o 40 Bujur Timur (BT) dan 7 o

Lebih terperinci

ALAT PENANGKAPAN IKAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi

ALAT PENANGKAPAN IKAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi ALAT PENANGKAPAN IKAN Riza Rahman Hakim, S.Pi A. Alat Penangkap Ikan Definisi alat penangkap ikan: sarana dan perlengkapan atau benda-benda lainnya yang dipergunakan untuk menangkap ikan Pengertian sarana:

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum aktivitas perikanan tangkap di Indonesia dilakukan secara open access. Kondisi ini memungkinkan nelayan dapat bebas melakukan aktivitas penangkapan tanpa batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki luas perairan wilayah yang sangat besar. Luas perairan laut indonesia diperkirakan sebesar 5,4 juta km 2 dengan garis pantai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

6 BESARAN KERUGIAN NELAYAN DALAM PEMASARAN TANPA LELANG

6 BESARAN KERUGIAN NELAYAN DALAM PEMASARAN TANPA LELANG 66 6 BESARAN KERUGIAN NELAYAN DALAM PEMASARAN TANPA LELANG Hubungan patron-klien antara nelayan dengan tengkulak terjadi karena pemasaran hasil tangkapan di TPI dilakukan tanpa lelang. Sistim pemasaran

Lebih terperinci

Gambar 2. Konstruksi pancing ulur Sumber : Modul Penangkapan Ikan dengan Pancing Ulur

Gambar 2. Konstruksi pancing ulur Sumber : Modul Penangkapan Ikan dengan Pancing Ulur BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pancing Ulur Pancing Ulur (Gambar 2) merupakan salah satu jenis alat penangkap ikan yang sering digunakan oleh nelayan tradisional untuk menangkap ikan di laut. Pancing Ulur termasuk

Lebih terperinci

5 TINGKAT KEBUTUHAN ES UNTUK KEPERLUAN PENANGKAPAN IKAN DI PPS CILACAP

5 TINGKAT KEBUTUHAN ES UNTUK KEPERLUAN PENANGKAPAN IKAN DI PPS CILACAP 30 5 TINGKAT KEBUTUHAN ES UNTUK KEPERLUAN PENANGKAPAN IKAN DI PPS CILACAP 5.1 Kapal-kapal Yang Memanfaatkan PPS Cilacap Kapal-kapal penangkapan ikan yang melakukan pendaratan seperti membongkar muatan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA 13 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kabupaten Indramayu Sebagai Kawasan Perikanan Tangkap 2.1.1. Keadaan Umum Kabupaten Indramayu merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Barat, dengan letak geografis

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 35 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kota Jakarta Utara 4.1.1 Letak geografis dan topografi Jakarta Utara Muara Angke berada di wilayah Jakarta Utara. Wilayah DKI Jakarta terbagi menjadi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara kepulauan memilki zona maritim yang sangat luas, yaitu 5,8 juta km 2 yang terdiri atas perairan kepulauan 2,3 juta km 2, laut teritorial

Lebih terperinci

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 131 8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI 8.1 Pendahuluan Mewujudkan sosok perikanan tangkap yang mampu mempertahankan

Lebih terperinci

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Kabupaten Luwu Timur merupakan kabupaten paling timur di Propinsi Sulawesi Selatan dengan Malili sebagai ibukota kabupaten. Secara geografis Kabupaten Luwu Timur terletak

Lebih terperinci

5 KEADAAN PERIKANAN TANGKAP KECAMATAN MUNDU KABUPATEN CIREBON

5 KEADAAN PERIKANAN TANGKAP KECAMATAN MUNDU KABUPATEN CIREBON 28 5 KEADAAN PERIKANAN TANGKAP KECAMATAN MUNDU KABUPATEN CIREBON Perikanan tangkap di Kabupaten Cirebon memiliki prasarana perikanan seperti pangkalan pendaratan ikan (PPI). Pangkalan pendaratan ikan yang

Lebih terperinci

34 laki dan 49,51% perempuan. Jumlah ini mengalami kenaikan sebesar 0,98% dibanding tahun 2008, yang berjumlah jiwa. Peningkatan penduduk ini

34 laki dan 49,51% perempuan. Jumlah ini mengalami kenaikan sebesar 0,98% dibanding tahun 2008, yang berjumlah jiwa. Peningkatan penduduk ini 33 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Trenggalek 4.1.1 Keadaan geografi Kabupaten Trenggalek terletak di selatan Provinsi Jawa Timur tepatnya pada koordinat 111 ο 24 112 ο 11 BT dan 7 ο

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar

ABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar RESPON IKAN DEMERSAL DENGAN JENIS UMPAN BERBEDA TERHADAP HASIL TANGKAPAN PADA PERIKANAN RAWAI DASAR Wayan Kantun 1), Harianti 1) dan Sahrul Harijo 2) 1) Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan (STITEK) Balik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

Berkala Perikanan Terubuk, Februari 2013, hlm ISSN

Berkala Perikanan Terubuk, Februari 2013, hlm ISSN Berkala Perikanan Terubuk, Februari 2013, hlm 102 108 ISSN 0126-4265 Vol. 41. No.1 PERANAN TEMPAT PELELANGAN IKAN (TPI) DALAM PEMASARAN IKAN HASIL TANGKAPAN NELAYAN DI PANGKALAN PENDARATAN IKAN (PPI) KEC.

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 20 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis, Letak Topografi dan Luas Sibolga Kota Sibolga berada pada posisi pantai Teluk Tapian Nauli menghadap kearah lautan Hindia. Bentuk kota memanjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia adalah sebuah negara maritim, karena memiliki lautan lebih luas dari daratannya, sehingga biasa juga disebut dengan Benua Maritim

Lebih terperinci

BUPATI JEMBRANA KEPUTUSAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 656 TAHUN 2003

BUPATI JEMBRANA KEPUTUSAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 656 TAHUN 2003 BUPATI JEMBRANA KEPUTUSAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 656 TAHUN 2003 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 9 TAHUN 2003 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN IJIN USAHA PERIKANAN BUPATI JEMBRANA,

Lebih terperinci

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA Prosiding Seminar Antarabangsa Ke 8: Ekologi, Habitat Manusia dan Perubahan Persekitaran 2015 7 POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Administrasi wilayah Provinsi Sumatera Selatan secara geografis terletak pada 1 0 LU 4 0 LS dan 102,25 0 108,41 0 BT, dengan luas mencapai 87.017,42 km 2, atau 8.701.742 ha yang

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi dan Keadaan Umum Kabupaten Tojo Una-una

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi dan Keadaan Umum Kabupaten Tojo Una-una 46 V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN.. Lokasi dan Keadaan Umum Kabupaten Tojo Unauna... Letak Geografis dan Administrasi Kabupaten Tojo Unauna merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah,

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN KEPULAUAN ARU

IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN KEPULAUAN ARU 48 IV. GAMBARAN UMUM KABUPATEN KEPULAUAN ARU 4.1 Geografi dan Pemerintahan 4.1.1 Geografi Secara geografi Kabupaten Kepulauan Aru mempunyai letak dan batas wilayah, luas wilayah, topografi, geologi dan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WAKATOBI NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PEMAKAIAN ALAT TANGKAP DAN ATAU ALAT BANTU PENGAMBILAN HASIL LAUT DALAM WILAYAH PERAIRAN KABUPATEN WAKATOBI

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PERIKANAN LAUT KABUPATEN KENDAL. Feasibility Study to Fisheries Bussiness in District of Kendal

ANALISIS KELAYAKAN USAHA PERIKANAN LAUT KABUPATEN KENDAL. Feasibility Study to Fisheries Bussiness in District of Kendal ANALISIS KELAYAKAN USAHA PERIKANAN LAUT KABUPATEN KENDAL Feasibility Study to Fisheries Bussiness in District of Kendal Ismail, Indradi 1, Dian Wijayanto 2, Taufik Yulianto 3 dan Suroto 4 Staf Pengajar

Lebih terperinci

PERIKANAN TUNA SKALA RAKYAT (SMALL SCALE) DI PRIGI, TRENGGALEK-JAWA TIMUR

PERIKANAN TUNA SKALA RAKYAT (SMALL SCALE) DI PRIGI, TRENGGALEK-JAWA TIMUR ABSTRAK PERIKANAN TUNA SKALA RAKYAT (SMALL SCALE) DI PRIGI, TRENGGALEK-JAWA TIMUR Erfind Nurdin Peneliti pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregristrasi I tanggal: 18 September 2007;

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengembangan usaha penangkapan 5.1.1 Penentuan Komoditas Ikan Unggulan Analisis pemusatan ini dilakukan dengan metode location quotient (LQ). Dengan analisis ini dapat ditentukan

Lebih terperinci

Perikanan: Armada & Alat Tangkap

Perikanan: Armada & Alat Tangkap Perikanan: Armada & Alat Tangkap Mengenal armada dan alat tangkap sesuai dengan Laporan Statistik Perikanan Kul 03 Tim Pengajar PDP FPIK-UB. pdpfpik@gmail.com 1 Oktober 2013 Andreas, Raja Ampat Perikanan

Lebih terperinci

ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR

ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR Oleh : FRANSISKUS LAKA L2D 301 323 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PRODUKSI IKAN LAUT TANGKAPAN DI WILAYAH UTARA JAWA BARAT

IV. KONDISI UMUM PRODUKSI IKAN LAUT TANGKAPAN DI WILAYAH UTARA JAWA BARAT 36 IV. KONDISI UMUM PRODUKSI IKAN LAUT TANGKAPAN DI WILAYAH UTARA JAWA BARAT Wilayah utara Jawa Barat merupakan penghasil ikan laut tangkapan dengan jumlah terbanyak di Propinsi Jawa Barat. Pada tahun

Lebih terperinci

Isi Manual Penggunaan database perikanan versi 2.1

Isi Manual Penggunaan database perikanan versi 2.1 Isi Manual Penggunaan database perikanan versi 2.1 1. Instalasi Program 2. Struktur Menu 3. Input data 4. Penelusuran Informasi 5. Mencetak Tabel 6. Berkomunikasi dengan Excell 7. Menghapus record 1- Instalasi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Alat Tangkap di Kabupten Indramayu Hasil inventarisasi jenis alat tangkap yang digunakan di Kabupaten Indramayu (Tabel 6) didominasi oleh alat tangkap berupa jaring, yakni

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

PENGGUNAAN PANCING ULUR (HAND LINE) UNTUK MENANGKAP IKAN PELAGIS BESAR DI PERAIRAN BACAN, HALMAHERA SELATAN

PENGGUNAAN PANCING ULUR (HAND LINE) UNTUK MENANGKAP IKAN PELAGIS BESAR DI PERAIRAN BACAN, HALMAHERA SELATAN PENGGUNAAN PANCING ULUR (HAND LINE) UNTUK MENANGKAP IKAN PELAGIS BESAR DI PERAIRAN BACAN, HALMAHERA SELATAN Enjah Rahmat ) ) Teknisi Litkayasa pada Balai Riset Perikanan Laut, Muara Baru-Jakarta Teregristasi

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KOMODITAS UNGGULAN DI KABUPATEN HALMAHERA UTARA

PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KOMODITAS UNGGULAN DI KABUPATEN HALMAHERA UTARA PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP BERBASIS KOMODITAS UNGGULAN DI KABUPATEN HALMAHERA UTARA Excellent Commodity-Based Development of Capture Fishery in North Halmahera Daud 1, Budhi H. Iskandar 2, Mulyono

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Perikanan adalah semua usaha penangkapan budidaya ikan dan kegiatan pengelolaan hingga pemasaran hasilnya Mubiyarto (1994) dalam Zubair dan Yasin (2011). Sedangkan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 31 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Kota Jakarta Utara Keadaan umum Kota Jakarta Utara dikemukakan dalam subbab 4.1.1 sampai dengan 4.1.3 di bawah ini ; meliputi keadaan geografis, keadaan

Lebih terperinci

Status Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) Laut Andaman dan Selat Malaka 1

Status Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) Laut Andaman dan Selat Malaka 1 Status Perikanan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP RI 571) Laut Andaman dan Selat Malaka 1 Oleh: Yudi Wahyudin 2 Abstrak Wilayah Pengelolaan Perikanan Repubik Indonesia (WPP RI)

Lebih terperinci

BEBERAPA JENIS PANCING (HANDLINE) IKAN PELAGIS BESAR YANG DIGUNAKAN NELAYAN DI PPI HAMADI (JAYAPURA)

BEBERAPA JENIS PANCING (HANDLINE) IKAN PELAGIS BESAR YANG DIGUNAKAN NELAYAN DI PPI HAMADI (JAYAPURA) Tersedia online di: http://ejournal-balitbang.kkp.go.id/index.php/btl e-mail:btl.puslitbangkan@gmail.com BULETINTEKNIKLITKAYASA Volume 15 Nomor 2 Desember 2017 e-issn: 2541-2450 BEBERAPA JENIS PANCING

Lebih terperinci

Alat Lain. 75 Karakteristik perikanan laut Indonesia: alat tangkap

Alat Lain. 75 Karakteristik perikanan laut Indonesia: alat tangkap Gambar 4.11 Alat tangkap Pukat Harimau atau Trawl (kiri atas); alat Mini-Trawl yang masih beroperasi di Kalimantan Timur (kanan atas); hasil tangkap Mini-Trawl (kiri bawah) dan posisi kapal ketika menarik

Lebih terperinci

FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU

FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU FISHING GEAR PERFORMANCE ON SKIPJACK TUNA IN BONE BAY DISTRICT LUWU Akmaluddin 1, Najamuddin 2 dan Musbir 3 1 Universitas Muhammdiyah Makassar 2,3 Universitas Hasanuddin e-mail : akmalsaleh01@gmail.com

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 44 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Selat Malaka Perairan Selat Malaka merupakan bagian dari Paparan Sunda yang relatif dangkal dan merupakan satu bagian dengan dataran utama Asia serta

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Posisi Geografis dan Kondisi Perairan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terdiri atas dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Baik di dunia maupun di Indonesia, perikanan tangkap mendominasi hasil produksi perikanan walaupun telah terjadi over fishing diberbagai tempat. Kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kabupaten Pati 4.1.1 Kondisi geografi Kabupaten Pati dengan pusat pemerintahannya Kota Pati secara administratif berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANGGARAI NOMOR : 11 TAHUN 2001 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANGGARAI NOMOR : 11 TAHUN 2001 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN MANGGARAI NOMOR : 11 TAHUN 2001 TENTANG PEMAKAIAN ALAT TANGKAP DAN ATAU ALAT BANTU PENGAMBILAN HASIL LAUT DALAM WILAYAH PERAIRAN LAUT KABUPATEN MANGGARAI DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Potensi sumber daya kelautan dan perikanan menyebabkan munculnya suatu aktivitas atau usaha di bidang perikanan sesuai dengan kondisi lokasi dan fisiknya. Banyak penduduk

Lebih terperinci

Perahu Tanpa Motor Boat. Kapal Motor Motorship Jumlah District

Perahu Tanpa Motor Boat. Kapal Motor Motorship Jumlah District Tabel VI.5.1. Banyaknya Armada Perikanan Laut Menurut di Kabupaten Ende Number Of Marine Fisheries By In Ende Regency Perahu Tanpa Motor Boat Motor Tempel Kapal Motor Motorship Perahu Outboard Jukung 0

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KOMODITAS POTENSIAL DI TELUK LAMPUNG 1

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KOMODITAS POTENSIAL DI TELUK LAMPUNG 1 PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN IKAN BERBASIS KOMODITAS POTENSIAL DI TELUK LAMPUNG 1 (Potential Commodity Based Fishing Technology Development in Lampung Bay) 1 Tri Hariyanto 2, Mulyono S Baskoro 3,

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Daerah Penelitian 3.2 Jenis dan Sumber Data

3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Daerah Penelitian 3.2 Jenis dan Sumber Data 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Daerah Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama 7 bulan, yaitu mulai dari November 2008 hingga Mei 2009. Penelitian ini dilakukan di Jakarta karena kegiatannya terfokus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pemanfaatan sumberdaya perikanan di Indonesia masih didominasi oleh perikanan rakyat dengan menggunakan alat tangkap yang termasuk kategori sederhana, tidak memerlukan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PRODUKSI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PERBATASAN (KASUS KABUPATEN NUNUKAN KALIMANTAN TIMUR) 1

PENGEMBANGAN PRODUKSI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PERBATASAN (KASUS KABUPATEN NUNUKAN KALIMANTAN TIMUR) 1 BULETIN PSP ISSN: 0251-286X Volume XIX No. 2 Edisi Juli 2011 Hal 9-18 PENGEMBANGAN PRODUKSI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PERBATASAN (KASUS KABUPATEN NUNUKAN KALIMANTAN TIMUR) 1 Oleh: Iin Solihin 2*, Sugeng

Lebih terperinci