PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH JAWA TIMUR SERTA KAITANNYA DENGAN MIGRASI PENDUDUK OLEH KATRIN NADA H

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH JAWA TIMUR SERTA KAITANNYA DENGAN MIGRASI PENDUDUK OLEH KATRIN NADA H"

Transkripsi

1 PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH JAWA TIMUR SERTA KAITANNYA DENGAN MIGRASI PENDUDUK OLEH KATRIN NADA H DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

2 RINGKASAN KATRIN NADA. Pertumbuhan Kesempatan Kerja pada Pra dan Era Otonomi Daerah Jawa Timur serta Kaitannya dengan Migrasi Penduduk (dibimbing oleh MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL). Jawa Timur adalah kawasan penting pertumbuhan industri dan perdagangan (bisnis) di Indonesia. Letaknya yang strategis yaitu antara pulau Bali dan Yogyakarta menjadi simpul penting yang menghubungkan kota-kota pertumbuhan di wilayah tengah dan timur Indonesia, sekaligus jembatan penghubung dengan wilayah barat Indonesia (Pusdatin Pertanian, 2003). Pada saat krisis ekonomi melanda, kontribusi sektor sekunder (industri) dan tersier (jasa) di Jawa Timur terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) mengalami penurunan. Krisis ekonomi ini merupakan salah satu dampak negatif dari sistem pemerintahan yang sentralistik. Melihat kondisi tersebut, pemerintah mengeluarkan UU No. 22/1999 yang direvisi menjadi UU No. 32/2004 mengenai sistem pemerintahan desentralistik. Sistem yang desentralistik mengindikasikan bahwa daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, pengelolaan sumber daya alam, dan peningkatan penerimaan daerah. Hal ini dimaksudkan agar daerah otonom lebih mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial dan kesempatan kerja. Otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perijinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Kondisi perekonomian pada suatu daerah erat kaitannya dengan arus migrasi karena pada hakekatnya migrasi merupakan refleksi perbedaan pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan fasilitas pembangunan. Tujuan dari penelitian ini adalah melihat seberapa efektif pelaksanaan otonomi daerah terutama dalam meningkatkan pertumbuhan kesempatan kerja dan mengurangi migrasi keluar. Untuk bisa melihat seberapa besar pertumbuhan kesempatan kerja, digunakan alat analisis Shift Share. Setelah mengetahui efektivitas pelaksanaan otonomi daerah, maka akan dapat dihasilkan suatu rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan efektivitas tersebut. Peraturan mengenai otonomi sebenarnya telah ada sejak zaman Orde Baru dengan sistemnya yang sentralistik. Dengan terjadinya krisis ekonomi tahun 1997, pemerintah sadar bahwa sistem sentralistik kurang baik bagi Indonesia yang sangat majemuk kondisi wilayah dan masyarakatnya. Oleh karena itu, diberlakukan lah otonomi daerah yang desentralistik. Namun, pada awal pelaksanaan otonomi daerah terjadi penyalahgunaan wewenang yang sangat besar oleh pemerintah daerah. Salah satunya adalah penyalahgunaan dana pembangunan. Pemerintah pun melakukan revisi terhadap UU No. 22 tahun 1999 menjadi UU No. 32 tahun Selain itu pemerintah juga menetapkan banyak aturan mengenai otonomi daerah.

3 Dampak dari penyalahgunaan wewenang ini tercermin dari hasil analisis yang menunjukkan bahwa pada awal pelaksanaan otonomi daerah pertumbuhan kesempatan kerja secara keseluruhan mengalami penurunan. Kurangnya perhatian pemerintah daerah dalam membangun perekonomian daerah terutama terhadap pertumbuhan sektor-sektor usaha menjadi salah satu faktor penyebab turunnya pertumbuhan kesempatan kerja. Beberapa peneliti dari LIPI menyatakan bahwa pada awal pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah lebih berkonsentrasi terhadap pembangunan gedung-gedung dan fasilitas lainnya. Hal ini bisa dapat dilihat dari meningkatnya pertumbuhan kesempatan kerja secara signifikan pada sektor bangunan. Melihat hal yang demikian, pemerintah lebih meningkatkan lagi aturanaturan pelaksanaan otonomi daerah. Ditengah pertumbuhan industri dan bisnis yang semakin pesat, pertumbuhan kesempatan kerja pun ( ) secara agregat terlihat mengalami peningkatan walaupun tidak terlalu besar. Namun, masih terdapat beberapa sektor yang mengalami penurunan pertumbuhan kesempatan kerja seperti sektor bangunan; sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor pertambangan dan galian serta sektor listrik, gas, dan air bersih. Seharusnya peningkatan pertumbuhan kesempatan kerja dapat mengurangi migrasi keluar. Namun, jumlah migran keluar seumur hidup di Jawa timur (absolut dan relatif) pada era otonomi daerah ternyata lebih banyak jika dibandingkan pada saat belum diberlakukannya otonomi daerah. Hal ini dikarenakan faktor penarik dari daerah tujuan lebih besar dibandingkan faktor pendorongnya. Sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Namun, kondisinya sudah mengalami excess supply di mana jumlahnya hampir mencapai tiga kali lipat sektor perdagangan, hotel, dan restoran. Padahal sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor dengan jumlah tenaga kerja terbesar kedua di Jawa Timur. Adapun sektor-sektor yang selalu mempunyai kontribusi positif terhadap pertumbuhan kesempatan kerja adalah sektor keuangan, perbankan, dan jasa perusahaan. Sedangkan sektor yang kurang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan kesempatan kerja adalah sektor pertambangan dan galian, serta sektor listrik,gas dan air bersih. Pertumbuhan kesempatan kerja yang tinggi menjadi prioritas pelaksanaan otonomi daerah. Namun, pertumbuhan kesempatan kerja pada sektor pertanian membuat produktivitas pertanian semakin berkurang. Agar pertumbuhan kesempatan kerja dapat meningkatkan produktivitas dan nilai tambah petani, maka pertumbuhan kesempatan kerja lebih diprioritaskan kepada sektor-sektor usaha yang mempunyai kontribusi positif terhadap pertumbuhan kesempatan kerja dan dapat memberikan nilai tambah para petani. Adapun salah satu sektor yang dapat memberikan nilai tambah kepada para petani adalah industri pengolahan produk-produk pertanian.

4 PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH JAWA TIMUR SERTA KAITANNYA DENGAN MIGRASI PENDUDUK Oleh KATRIN NADA H Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

5 Judul Skripsi : PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH JAWA TIMUR SERTA KAITANNYA DENGAN MIGRASI PENDUDUK Nama NIM : Katrin Nada : H Menyetujui, Dosen Pembimbing Manuntun Parulian Hutagaol, Ph.D NIP Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi, Rina Oktaviani, Ph.D NIP Tanggal Lulus :

6 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN. Bogor, Agustus 2009 Katrin Nada H

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Desember 1988 dari pasangan Saiful Bachri dan Sofiawati. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Al-Falah Pancoran Jakarta pada tahun 1993 sampai dengan tahun 1999, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 104 Jakarta pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 55 Jakarta pada tahun 2002 sampai dengan tahun Pada tahun 2005 penulis diterima dan mengikuti program Tingkat Persiapan Bersama (TPB) di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Pada tahun 2006 penulis diterima di Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Selama menjalani masa pendidikan formal, penulis telah mengikuti beberapa lomba sains tingkat provinsi dan mendapat beberapa penghargaan. Selama menjalani masa perkuliahan, penulis berpartisipasi dalam organisasi kemahasiswaan di Fakultas Ekonomi dan Manajemen yaitu SES-C (Sharia Economic Study Club), menjadi anggota asosiasi asisten dosen departemen, menjadi panitia di beberapa kegiatan kampus, dan mengikuti beberapa seminar serta pelatihan.

8 KATA PENGANTAR Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah Pertumbuhan Kesempatan Kerja pada Pra dan Era Otonomi Daerah Jawa Timur serta Kaitannya dengan Migrasi Penduduk. Otonomi daerah merupakan topik yang masih ramai diperbincangkan, terutama mengenai efektifitas pelaksanaannya. Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan penelitian dengan topik tersebut. Penulis mengucapkan terima kasih kepada M. Parulian Hutagaol, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah mencurahkan waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Alla Asmara, M.Si dan Syamsul H. Pasaribu, M.Si. selaku dosen penguji dan Komisi Pendidikan atas kritik dan sarannya yang sangat bermanfaat. Penulis juga berterima kasih kepada kedua orang tua (Saiful Bachri dan Sofiawati) dan sanak saudara yang telah mencurahkan kasih sayangnya selama ini dan selalu berdoa untuk penulis. Terima kasih penulis ucapkan kepada pihak Badan Pusat Statistik yang membantu dalam perolehan data. Terakhir kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini yang masih jauh dari kesempurnaan. Semoga skripsi ini dapat memberikan kontribusi yang nyata untuk berbagai pihak. Bogor, Agustus 2009 Katrin Nada H

9 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR LAMPIRAN... vi I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian... 7 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Tinjauan Teori Konsep Otonomi Daerah Definisi Tenaga Kerja, Kesempatan Kerja, dan Pengangguran Konsep Pasar Tenaga Kerja Migrasi Korelasi Otonomi Daerah dan Kesempatan Kerja Korelasi Otonomi Daerah dan Migrasi Keluar (Urbanisasi) Konsep Shift Share Kerangka Pemikiran III. METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Data Analisis Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Nasional Rasio Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Kesempatan Kerja Nasional (nilai ri, Ri dan Ra) Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah... 38

10 Analisis Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR Wilayah Kependudukan Ketenagakerjaan Kondisi Perekonomian Propini Jawa Timur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur Pendapatan Regional Provinsi Jawa Timur Kemiskinan V. ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA Analisis Kesempatan Kerja Jawa Timur pada Pra dan Era Otonomi Daerah ( , , ) Rasio Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Nasional pada Pra dan Era Otonomi Daerah (1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007) Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah pada Pra dan Era Otonomi Daerah (1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan 2007) Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan Kesempatan Kerja Jawa Timur padapra dan Era Otonomi Daerah (I dan II) Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan Peran Pertumbuhan Kesempatan Kerja dalam Mengurangi Jumlah Migrasi Keluar VI. PENUTUP Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 87

11 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 4.1. Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Termasuk Angkatan Kerja di Provinsi Jawa Timur ( ) PDRB Jawa Timur Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun Rencana dan Realisasi Anggaran Pendapatan Menurut Jumlah Penerimaan Provinsi Jawa Timur Tahun Rencana dan Realisasi Pendapatan Jawa Timur ( ) Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Timur pada Pra dan Era Otonomi Daerah I Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Usaha di Indonesia pada Pra dan Era Otonomi Daerah I Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Timur pada Era Otonomi Daerah I dan II Tahun 2001 dan 2003, 2004 dan Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Usaha di Indonesia pada Era Otonomi Daerah I dan II Tahun 2001 dan 2003, 2004 dan Rasio Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Nasional (Nilai Ra, Ri, dan ri) Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Nasional Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Proporsional Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan Pergeseran Bersih Provinsi Jawa Timur Tahun 1996 dan 2000, 2001 dan 2003, 2004 dan

12 5.10. Jumlah Migrasi (Absolut) Provinsi Jawa Timur Jumlah Migrasi (Relatif) Provinsi Jawa Timur... 79

13 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 2.1. Fungsi Permintaan, Penawaran, dan Pasar Tenaga Kerja Dampak Pertumbuhan Populasi pada Tingkat Modal Per Pekerja Model Analisis Shift Share Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian Kerangka Pemikiran Grafik Kepadatan Penduduk di Sejumlah Daerah di Jawa Timur Tahun Grafik Pertumbuhan Kepadatan Penduduk Jawa Timur ( ) Grafik Jumlah Angkatan Kerja Tiap Kabupaten/Kota di Jawa Timur ( ) Grafik Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Jawa Timur Bulan Maret Profil Pertumbuhan Lapangan Usaha Jawa Timur pada Pra Otonomi Daerah (1996 dan 2000) Profil Pertumbuhan Lapangan Usaha Jawa Timur pada Era Otonomi Daerah I (2001 dan 2003) Profil Pertumbuhan Lapangan Usaha Jawa Timur pada Era Otonomi Daerah II (2004 dan 2007)... 76

14 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Timur pada Pra dan Era Otonomi Daerah Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas yang Bekerja Selama Seminggu yang Lalu Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Timur pada Pra dan Era Otonomi Daerah Rasio Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Nasional (Nilai Ra, Ri, ri) Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Nasional pada Pra dan Era Otonomi Daerah Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Proporsional pada Pra dan Era Otonomi Daerah Analisis Shift Share Menurut Lapangan Usaha di Provinsi Jawa Timur Berdasarkan Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah padapra dan Era Otonomi Daerah Pergeseran Bersih Provinsi Jawa Timur Pra dan Era Otonomi Daerah... 90

15 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konsep otonomi menurut UU No. 5 tahun 1974 tentang otonomi dipandang sebagai penyebab dari berbagai kekurangan yang menyertai perjalanan pemerintahan dua dekade terakhir. Pendekatan sentralistik yang dipakai seringkali dilandaskan kepada argumentasi seolah-olah pendekatan sentralistik merupakan suatu konsekuensi dari sistem negara kesatuan. Padahal, UUD 1945 sangat menghargai hak-hak otonom dan hak-hak daerah yang bersifat istimewa. Selain itu, kebhinekaan budaya masyarakat Indonesia, keanekaragaman kondisi geografis, dan kesenjangan tingkat kesejahteraan antara satu daerah dengan daerah lainnya, akan sulit untuk menerapkan pendekatan yang seragam dalam proses pemerintahan daerah. Penerapan pendekatan yang terpusat juga menyebabkan semakin kuatnya ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat. Hal ini kemudian mematikan kemampuan prakarsa dan daya kreativitas pemeritah dan masyarakat daerah. Pendekatan sentralistik menambah beban pemerintah pusat dan menambah masalah yang semakin kompleks sehingga pemerintah sulit membuat kebijakankebijakan yang secara cepat merespon dinamika dan tantangan yang dihadapi. Misalnya saja pada saat Thailand terkena serangan krisis moneter di bulan Juli 1997, pemerintah bersifat optimistik karena pemerintah merasa fundamental ekonomi negara cukup kuat dan cadangan devisa masih mampu merespon kebutuhan transaksi berjalan. Namun, ketika serangan itu datang pada bulan Agustus 1997 keadaan ekonomi Indonesia bahkan lebih parah dibandingkan

16 Thailand. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS merosot tajam dari 40 persen di awal krisis ke 80 persen di bulan Mei Banyak perusahaan yang tutup dan jumlah pengangguran meningkat. Pemerintah daerah juga sudah lama kehilangan kreativitas sehingga mereka tidak bisa langsung tanggap untuk menangani krisis moneter. Dari kejadian tersebut dapat diketahui bahwa pemerintah gagal memahami dan mengantisipasi gejala krisis ekonomi dan keuangan global. Hal ini disebabkan, dalam waktu yang cukup lama pemerintah pusat telah menggunakan terlalu banyak waktu untuk mengurus masalah-masalah domestik. Jawa Timur adalah kawasan penting pertumbuhan industri dan perdagangan (bisnis) di Indonesia. Letaknya yang strategis yaitu antara pulau Bali dan Yogyakarta menjadi simpul penting yang menghubungkan kota-kota pertumbuhan di wilayah tengah dan timur Indonesia, sekaligus jembatan penghubung dengan wilayah barat Indonesia (Pusdatin Pertanian, 2003). Pada saat krisis ekonomi melanda, kontribusi sektor sekunder (industri) di Jawa Timur terhadap PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) mengalami penurunan yaitu sebesar 38,16 persen pada tahun 1997 menjadi 35,11 persen pada tahun 1998 dan 33,89 persen pada tahun Kontribusi sektor tersier terhadap PDRB juga mengalami penurunan yaitu dari 43,5 persen pada tahun 1997 menjadi 42,72 persen pada tahun 1998 dan 42,64 persen pada tahun Adapun kontribusi sektor primer terhadap PDRB justru mengalami peningkatan yaitu dari 18,24 persen pada tahun 1997 menjadi 22,1 persen pada tahun 1998 dan 27,43 persen pada tahun 1999 (Susilowati, 2003).

17 Terjadinya krisis ekonomi semakin menguatkan argumen bahwa sistem sentralistik tidak cocok diterapkan di Indonesia. Sistem yang sentralistik hanya akan membuat pemerintah pusat kurang fokus mengurusi masalah perekonomian nasional dan kurang memantau perekonomian dunia. Dengan demikian pemerintah memberlakukan kebijakan desentralisasi melalui UU No. 22 tahun Namun, peraturan ini mengalami revisi yang tertera pada UU No. 32 tahun Hal ini dikarenakan banyak penyalagunaan wewenang dan penyalahartian konsep yang tertera pada UU No. 22 tahun 1999 oleh pemerintah daerah. Oleh karena itu, UU No. 32 tahun 2004 diberlakukan untuk lebih mengikatkan penggunaan wewenang pemerintah daerah pada aturan undang-undang. Hakekat mendasar dari diberlakukannya kebijakan desentralistik adalah mendorong untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) melalui prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan dengan potensi dan keanekaragaman. Berkaitan dengan itu, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, pengelolaan sumber daya alam, dan peningkatan penerimaan daerah. Hal ini dimaksudkan agar daerah otonom lebih mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial dan kesempatan kerja (Dirjen PMD Depdagri dalam Widjaja, 2003) Sebenarnya tujuan utama pemberlakuan kebijakan otonomi daerah ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adapun tujuan lainnya dari kebijakan desentralisasi tersebut adalah membebaskan pemerintah pusat dari

18 beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik sehingga diharapkan dapat lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat strategis.di bidang ekonomi. Otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perijinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerahnya. Dengan demikian, unit-unit lapangan usaha dapat ditingkatkan sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus meningkatkan pertumbuhan kesempatan kerja. Pertumbuhan kesempatan kerja yang berhasil ditingkatkan seharusnya dapat mendorong masyarakat untuk tidak melakukan migrasi keluar. Hal ini berkaitan dengan salah satu alasan terjadinya migrasi yaitu ingin mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pada hakekatnya migrasi penduduk merupakan refleksi perbedaan pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan fasilitas pembangunan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Pengurangan migrasi keluar yang terjadi di Jawa Timur ini secara tidak langsung akan menurunkan laju urbanisasi ke DKI Jakarta dan Jawa Barat. Jika migrasi keluar dapat dikurangi berarti selain peningkatan pertumbuhan kesempatan kerja, otonomi daerah juga berhasil mengurangi migrasi keluar Perumusan Masalah Pemerintah baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk mengubah kebijakan sentralisasi menjadi desentralisasi karena kebijakan sentralisasi tersebut telah terjadi selama

19 32 tahun. Banyak sekali terjadi konflik kepentingan agar kondisinya tidak berubah secara radikal (Mawardi, 2009) Asas desentralisasi pada dasarnya adalah memberikan kesempatan dan kekuasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Pemerintah daerah lebih mengetahui kondisi daerah dan masyarakatnya sehingga diharapkan pembangunan daerah dapat berjalan lebih baik lagi. Namun, dalam pelaksanaan otonomi daerah, dibutuhkan suatu tolok ukur keberhasilan. Salah satunya adalah membandingkan tingkat kesejahteraan masyarakat sebelum dan sesudah otonomi daerah. Adapun seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan peningkatan pertumbuhan kesempatan kerja. Kesejahteraan masyarakat di suatu daerah itulah yang menjadi salah satu faktor penentu seseorang melakukan migrasi atau tidak. Untuk lebih spesifiknya, poin-poin yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain : (1) Otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di berbagai pelosok daerah. Peningkatan kesejahteraan masyarakat diupayakan melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut. Agar pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan tujuan otonomi daerah, maka peningkatan pertumbuhan ekonomi harus dapat meningkatkan kesempatan kerja di daerah tersebut. Sejauh mana otonomi daerah berhasil meningkatkan kesempatan kerja di Jawa Timur dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya?

20 (2) Pertumbuhan yang diiringi peningkatan kesempatan kerja di Jawa Timur akan memiliki daya tarik tersendiri bagi para penduduknya untuk tidak melakukan migrasi keluar. Sampai sejauh mana hasil yang dicapai selama penyelenggaraan otonomi daerah ini dapat mengurangi jumlah migrasi keluar? (3) Kebijakan apa yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai keberhasilan yang lebih baik lagi dalam penyelenggaraan otonomi daerah terutama untuk mencapai pemerataan pembangunan Jawa Timur? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) Menelaah pengaruh dilaksanakannya otonomi daerah terhadap laju pertumbuhan kesempatan kerja, pertumbuhan lapangan usaha dan daya saing lapangan usaha di Jawa Timur. (2) Menelaah sejauh mana otonomi daerah dapat mengurangi jumlah migrasi di Jawa Timur. (3) Menelaah kebijakan yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai keberhasilan yang lebih baik lagi dalam penyelenggaraan otonomi daerah terutama agar kesejahteraan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Jawa Timur.

21 1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut : (1) Menjadi sumber informasi dan sebagai bahan rujukan untuk memikirkan strategi terbaik dalam meningkatkan pertumbuhan daerah yang dapat meningkatkan kesempatan kerja. (2) Memecahkan masalah kesempatan kerja dimana masalah tersebut menjadi salah satu prioritas dilakukannya otonomi daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (3) Bagi ekonom, penelitian ini dapat dijadikan rujukan analisis perekonomian dan analisis strategi kebijakan dalam meningkatkan pertumbuhan kesempatan kerja yang terbaik dan pada akhirnya mengurangi angka migrasi keluar di Jawa Timur. (4) Menjadi bahan referensi di kalangan akademisi untuk penelitian selanjutnya Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini berkisar pada pertumbuhan kesempatan kerja di Provinsi Jawa Timur sebelum dan setelah otonomi daerah. Besarnya kesempatan kerja nantinya akan dihubungkan dengan jumlah migrasi keluar (urbanisasi). Kedua kondisi tersebut yang akan menjadi tolok ukur keberhasilan otonomi daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kurun waktu penelitian adalah yang dibagi menjadi tiga periode. Periode pertama adalah tahun (pra otonomi daerah), periode kedua adalah tahun (era otonomi daerah I), periode ketiga adalah tahun (era otonomi daerah II). Pembagian periode pasca otonomi daerah

22 ditujukan untuk menjaga kefektivitasan hasil analisis Shift Share. Selain itu adanya revisi undang-undang otonomi daerah juga menjadi alasan pembagian periode tersebut. Pada periode era otonomi daerah I ( ) berlandaskan UU No.22/1999, sedangkan pada periode era otonomi daerah II ( ) berlandaskan pada UU No.32/2004.

23 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Teori Konsep Otonomi Daerah Peraturan tentang otonomi telah ada sejak zaman Orde Baru yang tertera dalam UU No. 5 tahun Menurut undang-undang tersebut otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur serta mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, pelaksanaannya masih mengarah kepada sistem sentralistik. Mengingat kemampuan pemerintah pusat mensubsidi daerah dan membiayai proyek-proyek pemerintah di daerah semakin menurun maka pemerintah memberlakukan suatu peraturan mengenai otonomi daerah yang mengarah kepada sistem desentaralisasi. Peraturan mengenai otonomi daerah ini tertera pada Undang-Undang No. 22 Tahun Berdasarkan Undang-Undang No 22 tahun 1999, daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas daerah tertentu yang berwenang mengelola, mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Sedangkan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Namun, ada perubahan terhadap UU No. 22/1999. Perubahan itu tercermin pada UU No. 32 tahun Berdasarkan UU No. 32/2004 pasal 10 ayat 3 otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan

24 aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut undang-undang tersebut, otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah pusat. Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi, keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman. Tujuan desentralisasi dan otonomi daerah dalam konteks nasional adalah memelihara keutuhan negara dan bangsa, melembagakan proses seleksi kepemimpinan nasional dan mempercepat pencapaian kemakmuran rakyat. Tujuan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk mewujudkan demokrasi di tingkat lokal, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, menciptakan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah daerah serta melindungi hak-hak masyarakat lokal (LIPI, 2002). Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia pada tahap awal telah menimbulkan masalah baru. Karena otonomi daerah dilandaskan atas nilai-nilai kebebasan dimana kebebasan tersebut tidak mampu dikendalikan oleh pihak yang menjalankan kebebasan itu sendiri dan lemahnya penegakan hukum banyak mendatangkan dampak negatif. Polemik pun timbul di kalangan masyarakat. Pemerintah beranggapan bahwa UU No. 22 tahun 1999 memberikan otonomi daerah yang terlalu luas dan tidak jelas sehingga memberikan kesempatan bagi daerah-daerah untuk mengambil langkah-langkah yang merugikan pelaksanaan otonomi daerah. Menurut tinjauan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ada tiga alasan pemerintah meninjau ulang pelaksanaan otonomi daerah

25 dengan mengadakan revisi terhadap UU No. 22 tahun Ketiga alasan tersebut adalah sebagai berikut : (1) Kewenangan yang besar dari DPRD (provinsi dan kabupaten/kota) sebagai akibat berubahnya DPRD yang semula merupakan bagian dari pemerintah daerah menjadi lembaga legislatif di daerah. Praktek money politics (tawarmenawar dalam memperoleh dana) di antara aparat pemerintahan pun mudah terjadi. (2) Kecenderungan banyak pemerintah kebupaten dan kota untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan sumber-sumber penghasil dana dengan cara menaikkan retribusi dan pajak. Dalam jangka panjang, peningkatan retribusi dan pajak justru akan merugikan daerah yang bersangkutan karena menyulitkan para pedagang dan pengusaha serta menjauhkan para calon investor. Di negara maju, menaikkan pajak adalah langkah terakhir yang ditempuh pemerintah untuk menaikkan pendapatan negara karena merugikan rakyat banyak. (3) Adanya masalah hierarki antara pemerintah daerah pada tingkat Provinsi dan tingkat kabupaten/kota. Kewenangan yang besar yang diberikan kepada kabupaten/kota menimbulkan persepsi di kalangan pejabat pemerintah daerah bahwa mereka tidak lagi terikat dan tunduk kepada pemerintah pusat tingkat Provinsi. Padahal kenyataannya peran gubernur masih tetap penting dalam mengkoordinir para bupati dan walikota agar tercipta kerjasama yang baik dan dikuranginya benturan-benturan di antara mereka.

26 Terkait dengan ketiga alasan tersebut pada akhirnya revisi terhadap undang-undang otonomi daerah pun dilakukan. Dengan demikian keluarlah UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagai revisi dari UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai revisi dari UU No. 25 tahun Definisi Tenaga Kerja, Kesempatan Kerja, dan Pengangguran Konsep yang berkaitan dengan tenaga kerja yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik sesuai dengan Konversi ILO (International Labor Organization) Nomor 138. Konsep tersebut membagi penduduk menjadi dua kelompok yaitu penduduk usia kerja dan penduduk bukan usia kerja. Penduduk usia kerja adalah penduduk berumur 15 tahun atau lebih. Penduduk usia kerja ini dibedakan menjadi dua yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah penduduk usia kerja yang bekerja atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan pengangguran. Sedangkan penduduk yang termasuk bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja yang masih sekolah, mengurus rumah tangga atau melaksanakan kegiatan lainnya. Kesempatan kerja adalah lapangan pekerjaan yang dapat diisi oleh penawaran tenaga kerja atau permintaan tenaga kerja yang tersedia. Kesempatan kerja diproyeksikan melalui gambaran penduduk berusia 15 tahun ke atas yang bekerja selama seminggu yang lalu menurut lapangan usaha yang tersedia. Lapangan usaha yang terdapat Provinsi Jawa Timur terdiri dari sembilan sektor, yaitu (1) pertanian, (2) pertambangan dan penggalian, (3) industri pengolahan, (4)

27 listrik, gas dan air bersih, (5) bangunan, (6) perdagangan, hotel dan restoran, (7) transportasi dan komunikasi, (8) keuangan, perbankan dan jasa perusahaan, dan (9) jasa-jasa. Kesempatan kerja juga menunjukkan persentase penduduk bekerja terhadap angkatan kerja (Sakernas BPS, 2002). Mengingat kesempatan kerja adalah proyeksi dari penduduk usia kerja yang bekerja selama seminggu yang lalu sesuai dengan lapangan usaha yang tersedia maka penduduk usia kerja yang sudah diterima namun selama seminggu yang lalu belum mulai bekerja dikategorikan sebagai pengangguran. Pengangguran erat kaitannya dengan kesempatan kerja dan jumlah lapangan kerja. Pertumbuhan lapangan usaha yang tidak sebanding dengan pertumbuhan angkatan kerja akan sulit mengurangi pengangguran. Pengangguran menggambarkan adanya ketidakseimbangan pada pasar tenaga kerja Konsep Pasar Tenaga Kerja Pasar tenaga kerja meliputi permintaan tenaga kerja dan penawaran tenaga kerja (Bellante, 1990). Permintaan tenaga kerja menjelaskan berapa banyak perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja dengan berbagai tingkat upah pada periode tertentu. Permintaan tenaga kerja ini bertujuan untuk membantu proses produksi. Jadi besarnya permintaan tenaga kerja tergantung dari output yang dihasilkan. Permintaan tenaga kerja merupakan permintaan turunan (Simanjuntak, 1998). Pada teori neoklasik disebutkan bahwa asumsi seorang pengusaha dalam ekonomi pasar tidak dapat mempengaruhi harga.

28 Adapun fungsi permintaan tenaga kerja didasarkan pada : (1) Tambahan hasil marjinal yaitu tambahan hasil yang diperoleh pengusaha dengan penambahan seorang pekerja. (2) Penerimaan marjinal yaitu jumlah uang yang akan diperoleh pengusaha dengan tambahan hasil marjinal tersebut, dimana penerimaan marjinal merupakan besarnya tambahan hasil marjinal dikalikan harga outputnya. (3) Biaya marjinal yaitu biaya yang dikeluarkan pengusaha dengan mempekerjakan tambahan seorang karyawan, biaya marjinal adalah upah itu sendiri. Jika penerimaan marjinal lebih besar dibandingkan biaya marjinal maka pengusaha akan terus meningkatkan jumlah karyawan selama penerimaan marjinal lebih besar dari upah (Simanjuntak, 1998). Penawaran tenaga kerja tergantung dari jumlah penduduk, persentase jumlah penduduk yang memilih masuk angkatan kerja, jumlah jam kerja yang ditawarkan oleh angkatan kerja dan upah pasar. Bagi pekerja upah adalah salah satu alat untuk meningkatkan daya beli dan meningkatkan kesejahteraan. Namun, bagi perusahaan upah mempengaruhi biaya produksi dan tingkat harga yang pada akhirnya berakibat pada pertumbuhan produksi, perluasan pasar, dan kesempatan kerja.

29 Fungsi Permintaan Tenaga Kerja Fungsi Penawaran Tenaga Kerja Fungsi Pasar Tenaga Kerja W upah VMPP L = D L = MPP L = P W upah SL W upah S L W* E L Tenaga Kerja L Tenaga Kerja D L L L * Tenaga Kerja Sumber : Bellante, 1990 Gambar 2.1. Fungsi Permintaan, Penawaran, dan Pasar Tenaga Kerja Berdasarkan Gambar 2.1. VMPP L (Value Marginal Physical Product of Labour) yaitu besarnya nilai hasil marjinal tenaga kerja dan VMPP L sendiri sama dengan upah. MPP L (Marginal Physical Product of Labour) adalah tambahan hasil marjinal. Nilai dari MPP L adalah jumlah uang yang diperoleh pengusaha dengan tambahan hasil marjinal tersebut atau disebut dengan penerimaan marjinal. Jadi, jika dirumuskan secara matematis, maka akan diperoleh : MR = VMPP L = MPP L x P Dimana : MR = Marginal Revenue (penerimaan marjinal), VMPP L = Value Marginal Physical Product of Labour, MPP L P = Marginal Physical Product of Labour, = Harga jual barang yang diproduksi tiap unitnya. Titik E sebagai titik ekuilibrium dari fungsi permintaan dan penawaran tenaga kerja menentukan besarnya penempatan atau jumlah orang yang bekerja (L) dan tingkat upah (W). Jika terjadi ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran tenaga kerja maka akan timbul masalah dalam pasar tenaga kerja.

30 Masalah di dalam pasar tenaga kerja yang sampai ini belum pernah terselesaikan adalah pengangguran. Pengangguran yang meningkat menunjukkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya menurun. Oleh karena itu, pelaksanaan otonomi daerah yang bersifat desentralistik sesuai UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 sebagai revisi dari UU No. 22 tahun 1999 ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat. Peningkatan kesejahteraan tersebut dapat diupayakan dengan meningkatkan pertumbuhan yang dapat meningkatkan kesempatan kerja dan mengurangi pengangguran. Berdasarkan penelitian Lestari (2006) dengan judul Analisis Pertumbuhan Kesempatan Kerja Pra dan Pasca Otonomi Daerah di Provinsi DKI Jakarta ( ), kebijakan otonomi daerah di DKI Jakarta sebagai pusat kegiatan perekonomian nasional yang baru berjalan selama lima tahun belum dapat menunjukkan pengaruh yang signifikan. Tetapi, karena terdapat peningkatan pertumbuhan kesempatan kerja walaupun tidak terlalu besar, maka terdapat optimisme bahwa kebijakan otonomi daerah tersebut akan membawa banyak perubahan ke arah yang lebih baik, termasuk dalam penciptaan kesempatan kerja di masa yang akan datang. Jadi dalam penelitian tersebut, otonomi daerah di DKI Jakarta dapat membawa keadaan ekonomi Jakarta ke arah yang lebih baik. Berdasarkan penelitian Prihartini (2007) yang berjudul Analisis Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri di Kota Bogor, variabel-variabel yang memberikan kontribusi positif terhadap penyerapan tenaga kerja adalah PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) dan jumlah investasi, sedangkan tingkat upah riil yang meningkat akan mengurangi

31 penyerapan tenaga kerja. Menurut penelitian Rahman (2008) yang berjudul Eksistensi Persistensi Pengangguran di Indonesia, persistensi pengangguran yang terjadi di Indonesia bukan karena peningkatan keseimbangan atau karena pasar tenaga kerja terlalu lamban untuk melakukan penyesuaian. Jadi, walaupun pada tahun 2007 Indonesia pengangguran berkurang, tetapi hal tersebut masih sangat rentan terhadap goncangan kondisi perekonomian. Hal ini terbukti setelah terjadinya guncangan akibat krisis global baru-baru ini. Peningkatan pengangguran di Indonesia sulit untuk dicegah. Dari penelitian-penelitian di atas tentang masalah kesempatan kerja dan pengangguran, maka hasil penelitian tersebut dapat menjadi rujukan untuk penelitian ini dalam meneliti kondisi kesempatan kerja di Provinsi Jawa Timur sebelum dan sesudah otonomi daerah. Kondisi kesempatan kerja ini akan dihubungkan dengan jumlah migrasi keluar di Jawa Timur Migrasi Istilah umum bagi gerak penduduk dalam demografi adalah population mobility atau secara lebih khusus territorial mobility yang biasanya mengandung makna gerak spasial, fisik dan geografis (Shryllock dan Siegel, 1973 dalam Emalisa, 2003). Ke dalamnya termasuk baik dimensi gerak penduduk permanen maupun dimensi non-permanen. Definisi lain, migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas politik/negara ataupun batas administrasi/batas bagian dalam suatu negara (Munir, 2000)

32 Migrasi sukar diukur karena migrasi dapat didefinisikan dengan berbagai cara dan merupakan suatu peristiwa yang mungkin berulang beberapa kali sepanjang hidupnya. Hampir semua definisi menggunakan kriteria waktu dan ruang, sehingga perpindahan yang termasuk dalam proses migrasi setidaknya dianggap semi permanen dan melintasi batas-batas geografis tertentu. (Young, 1984 dalam Emalisa, 2003). Ada beberapa jenis migrasi, yaitu: (1) Migrasi Masuk : masuknya penduduk ke suatu daerah tempat tujuan. (2) Migrasi Keluar: perpindahan penduduk keluar dari suatu daerah asal. (3) Migrasi Neto : merupakan selisih antara jumlah migrasi masuk dan migrasi keluar. Apabila migrasi yang masuk lebih besar dari pada migrasi keluar maka disebut migrasi neto positif sedangkan jika migrasi keluar lebih besar dari pada migrasi masuk disebut migrasi neto negatif. (4) Migrasi Semasa/Seumur Hidup : mereka yang pada waktu pencacahan sensus bertempat tinggal di daerah yang berbeda dengan daerah tempat kelahirannya tanpa melihat waktu pindahnya. (5) Migrasi Risen : mereka yang tempat tinggalnya pada saat pengumpulan data berbeda dengan tempat tinggalnya pada waktu lima tahun sebelumnya. (6) Urbanisasi : bertambahnya proporsi penduduk yang berdiam di daerah kota yang disebabkan oleh proses perpindahan penduduk ke kota dan/atau akibat dari perluasan daerah kota dan pertumbuhan alami penduduk kota. Definisi urban berbeda-beda antara satu negara dengan negara lainnya tetapi biasanya pengertiannya berhubungan dengan kota-kota atau daerah-daerah pemukiman

33 lain yang padat. Klasifikasi yang dipergunakan untuk menentukan daerah kota biasanya dipengaruhi oleh indikator mengenai penduduk, indikator mengenai kegiatan ekonomi, indikator jumlah fasilitas urban atau status administrasi suatu pemusatan penduduk. (7) Transmigrasi : salah satu bagian dari migrasi. Istilah ini memiliki arti yang sama dengan 'resettlement' atau 'settlement'. Transmigrasi adalah pemindahan dan/kepindahan penduduk dari suatu daerah untuk menetap ke daerah lain yang ditetapkan di dalam wilayah Republik Indonesia guna kepentingan pembangunan negara atau karena alasan-alasan yang dipandang perlu oleh pemerintah berdasarkan ketentuan yang diatur dalam undang-undang. Transmigrasi ini diatur oleh Undang-Undang No.3 Tahun Transmigrasi yang diselenggarakan dan diatur pemerintah disebut transmigrasi umum, sedangkan transmigrasi yang biaya perjalanannya dibiayai sendiri tetapi ditampung dan diatur oleh pemerintah disebut transmigrasi spontan atau transmigrasi swakarsa. Penyebab migrasi dikategorikan sebagai faktor push dan pull. Push-pull theory (Ravenstein, 1987 dalam Erwidodo, 1992) menyatakan bahwa sebagian orang bermigrasi akibat tarikan oleh insentif yang tersedia di tempat tujuan dan sebagian lain akibat dorongan kondisi sosial-ekonomi yang kurang menguntungkan di desa atau daerah asal. Menurut Bogue yang menjadi faktor penarik adalah : (1) Adanya rasa superior di tempat yang baru atau kesempatan untuk memasuki lapangan kerja yang cocok,

34 (2) Kesempatan untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik, (3) Kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, (4) Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan, (5) Tarikan dari orang yang diharapkan sebagai tempat berlindung, (6) Adanya aktivitas di kota besar, tempat hiburan, pusat kebudayaan sebagai daya tarik bagi orang-orang desa. Adapun faktor pendorongnya adalah sebagai berikut: (1) Berkurangnya sumber-sumber alam, (2) Lapangan kerja yang sempit di daerah asal, (3) Adanya tekanan atau diskriminasi, (4) Tidak cocok dengan adat/budaya/kepercayaan, (5) Alasan pekerjaan atau perkawinan, (6) Bencana alam baik berupa banjir, kebakaran, gempa, penyakit. Teori Lewis menyatakan bahwa perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri karena sektor industri membutuhkan tenaga kerja dengan asumsi sektor pertanian mengalami surplus tenaga kerja. Produktivitas tenaga kerja di sektor industri lebih tinggi dari pada sektor pertanian. Inilah yang menjadi motivasi penduduk untuk melakukan migrasi. Teori tersebut dapat diperjelas dengan Todaro Migration model. Model ini menjelaskan migrasi desakota sebagai proses ekonomi yang rasional, meskipun angka pengangguran di kota-kota sudah sedemikian tinggi. Kebanyakan negara sedang berkembang mengabaikan sektor pertanian untuk mendapatkan sumber daya dalam upaya meningkatkan usaha industrialisasi dan urbanisasi. Kebijakan ini sangat

35 mengutamakan urban bias (kecenderungan mengutamakan kota) yang sudah mendarah daging dalam kehidupan ekonomi di banyak negara sedang berkembang. Keadaan ini mendorong tetap berlangsungnya tingkat migrasi yang tinggi meskipun pengangguran di kota meningkat terus. Berdasarkan penelitian Desiar (2003) yang berjudul Dampak Migrasi terhadap Pengangguran dan Sektor Informal di DKI Jakarta, peluang migran dalam memperoleh pekerjaan ternyata jauh lebih besar dari pada peluang penduduk bukan migran (penduduk lokal). Tetapi, penduduk migran yang tingkat pendidikan tertingginya adalah SLTP lebih banyak berusaha di sektor informal. Adapun dampak dari migrasi yang masuk ke Jakarta adalah meningkatnya pengangguran dan orang bergerak di sektor informal. Faktor dominan yang mempengaruhi penduduk untuk bermigrasi adalah sulitnya mereka dalam memperoleh pekerjaan di daerah asal. Selain itu tingkat PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) DKI Jakarta sebagai daerah tujuan migrasi merupakan faktor penarik. Berdasarkan penelitian Darmawan (2007) yang berjudul Pengaruh Faktor- Faktor Ekonomi terhadap Pola Migrasi Antar Provinsi di Indonesia, ternyata penduduk bermigrasi dari daerah yang memiliki Upah Minimum Regional (UMR) tinggi ke daerah yang memiliki UMR rendah. Hal ini dikarenakan UMR tidak sebanding dengan KHM (Kebutuhan Hidup Minimum) dan tidak semua migran melakukan migrasi karena alasan pekerjaan, misalnya: alasan pernikahan, pendidikan, keluarga. Berdasarkan penelitian tersebut faktor penarik penduduk melakukan migrasi adalah tingkat PDRB daerah tujuan migrasi yang lebih tinggi

36 dibandingkan daerah asal. Penelitian tersebut tidak mengelompokkan migran menurut kelompok umur Korelasi Otonomi Daerah dan Kesempatan Kerja Kebijakan sentralisasi dirasa kurang cocok diterapkan di Indonesia. Indonesia yang memiliki masyarakat dan kondisi alam yang berbeda-beda tiap daerahnya, membutuhkan kebijakan yang berbeda pula untuk membangun berbagai daerah di Indonesia. Kebijakan sentralisasi juga hanya akan membuat pemerintah pusat lebih terfokus pada perekonomian domestik dan kurang fokus terhadap perekonomian dunia. Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan dapat tersebar merata sampai ke pelosok daerah, pemerintah memberlakukan kebijakan otonomi daerah. Pengalihan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah ini dikarenakan pemerintah daerah lebih mengenal kondisi wilayah dan masyarakatnya masing-masing. Sistem yang desentralistik ini mengindikasikan bahwa daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, pengelolaan sumber daya alam, dan peningkatan penerimaan daerah. Hal ini dimaksudkan agar daerah otonom lebih mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan sosial dan kesempatan kerja. Selain itu pula dengan adanya otonomi daerah dapat lahir berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan usaha, dan membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi.

37 Adapun alasan diprioritaskannya pertumbuhan kesempatan kerja pada program otonomi daerah adalah agar pertumbuhan ekonomi daerah bisa berkelanjutan. Hal ini dapat dijelaskan dengan model Solow di mana untuk dapat menjelaskan pertumbuhan yang berkelanjutan perlu menganalisis pertumbuhan populasi penduduk. Peningkatan populasi penduduk menandakan angkatan kerja yang semakin meningkat. Peningkatan angkatan kerja ini akan mengurangi persediaan tingkat modal per pekerja. Gambar 2.2. menunjukkan bahwa kenaikan tingkat pertumbuhan populasi dari n 1 ke n 2 mengurangi tingkat modal per pekerja pada kondisi mapan dari k 1 * ke k 2 *. Karena k* lebih rendah, dan karena y* = f(k*) maka tingkat output per pekerja y* juga lebih rendah. Jadi peningkatan pertumbuhan populasi akan menurunkan GDP per kapita dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Investasi, investasi pulang pokok Kenaikan pertumbuhan populasi (n) (δ+n 2 )k (δ+n 1 )k investasi pulang pokok sf(k) investasi k * 1 Modal per Persediaan modal pada pekerja, k kondisi mapan turun k 2 * Sumber : Mankiw, 2000 Gambar 2.2. Dampak Pertumbuhan Populasi pada Tingkat Modal Per Pekerja

38 Pertumbuhan populasi yang semakin meningkat menyebabkan modal per pekerja dan output per pekerja turun. Namun, dengan teknologi yang semakin maju, output per pekerja dapat ditingkatkan. Hal ini dikarenakan kemajuan teknologi dapat meningkatkan efektivitas para pekerja. Walaupun demikian, pertumbuhan populasi akan terus meningkat. Jika penambahan output hanya dikarenakan kemajuan teknologi tanpa menyerap angkatan kerja yang terus meningkat, maka pengangguran akan bertambah. Peningkatan pengangguran akan mengurangi tingkat konsumsi masyarakat. Permintaan domestik yang menurun akan menurunkan pula total produksi. Penurunan output nasional akan menurunkan GDP dan dengan demikian pertumbuhan ekonomi pun melambat. Jadi dapat disimpulkan bahwa masalah pertumbuhan kesempatan kerja ini sangat penting. Hal ini dikarenakan pertumbuhan kesempatan kerja inilah yang akan membuat pertumbuhan ekonomi dapat terus tumbuh berkelanjutan. Dengan demikian semakin jelas terlihat bahwa program otonomi daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah dengan meningkatkan pertumbuhan kesempatan kerja Korelasi Otonomi Daerah dan Migrasi Keluar Salah satu tujuan otonomi daerah adalah menciptakan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah daerah serta melindungi hak-hak masyarakat lokal. Dalam konteks ekonomi, otonomi daerah bertujuan memeratakan pembangunan. Hal ini dikarenakan pemerintah daerah lebih mengetahui kondisi daerahnya masing-masing. Dengan begitu, pembangunan

39 ekonomi akan lebih merata dirasakan seluruh lapisan masyarakat yang sesuai dengan kebudayaan dan kondisi masyarakat daerah tersebut. Salah satu tolok ukur keberhasilan otonomi daerah adalah besarnya tingkat kesejahteraan masyarakat yang dapat dicapai. Hal ini dapat dilihat dari seberapa besar pertumbuhan kesempatan kerja yang dapat ditingkatkan. Pertumbuhan kesempatan kerja yang meningkat ini dapat menjadi faktor penarik untuk migran masuk dan dapat mengurangi migran keluar. Oleh karena itu, secara teoritis otonomi daerah yang berhasil meningkatkan pertumbuhan kesempatan kerja seharusnya dapat mengurangi migrasi keluar. Pertumbuhan kesempatan kerja yang meningkat bisa jadi tidak dapat mengurangi arus migrasi keluar. Jika dilihat dari segi ekonomi, harapan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi menjadi faktor penarik seseorang melakukan migrasi keluar. Sedangkan faktor pendorongnya adalah lapangan pekerjaan yang sempit di daerah asal. Jika faktor penarik kekuatannya lebih besar dibandingkan faktor pendorong, maka pertumbuhan kesempatan kerja yang terjadi belum dapat mengurangi arus migrasi keluar. Selain itu pula, peningkatan arus migrasi keluar ditengah peningkatan pertumbuhan kesempatan kerja juga dapat diakibatkan oleh sektor pertanian yang mengalami excess supply tenaga kerja. Kondisi excess supply akan mengurangi tingkat produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian. Keinginan untuk bermigrasi keluar pun semakin tinggi walaupun di daerah tujuan migrasi memiliki angka pengangguran yang tinggi.

40 Konsep Shift Share Analisis Shift Share pertama kali diperkenalkan oleh Perloff et all pada tahun Analisis Shift Share digunakan untuk mengidentifikasi sumber pertumbuhan ekonomi baik dari sisi pendapatan maupun dari sisi tenaga kerja pada suatu wilayah tertentu. Jadi, melalui analisis Shift Share dapat diketahui dampak kebijakan wilayah ketenagakerjaan dan dapat dianalisis besarnya kontribusi pertumbuhan dari tenaga kerja dan pendapatan pada masing-masing sektor di wilayah tertentu. Adapun manfaat analisis Shift Share adalah untuk melihat : (1) perkembangan sektor perekonomian di suatu wilayah terhadap perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas, (2) perkembangan sektor-sektor perekonomian jika dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya, (3) perkembangan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya sehingga dapat membandingkan besarnya aktivitas suatu sektor pada wilayah tertentu dan pertumbuhan antar wilayah, (4) perbandingan laju sektor-sektor perekonomian di suatu wilayah dengan laju pertumbuhan nasional serta sektor-sektornya. Secara umum ada tiga komponen utama dalam analisis Shift Share (Budiharsono, 2001) yaitu komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen pertumbuhan proporsional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW). Berdasarkan komponen ketiga wilayah tersebut dapat ditentukan dan didentifikasikan perkembangan suatu sektor ekonomi pada suatu wilayah. Apabila

41 PP + PPW > maka disimpulkan bahwa pertumbuhan sektor ke i di wilayah ke j termasuk ke dalam kelompok progresif (maju). Sedangkan jika PP + PPW < 0 maka pertumbuhan sektor i pada wilayah ke j dikategorikan pertumbuhan lambat. Wilayah ke j Sektor ke i Komponen Pertumbuhan Nasional Wilayah ke j Sektor ke i Maju PP + PPW > 0 Lamban PP + PPW < 0 Komponen Pertumbuhan Proporsional Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah Sumber : Budiharsono, 2001 Gambar 2.3. Model Analisis Shift Share Menurut Soepono (1993), kelebihan analisis Shift Share antara lain: (1) Analisis Shift Share dapat melihat perkembangan produksi atau kesempatan kerja di suatu wilayah hanya pada dua titik tertentu, yang mana satu titik waktu dijadikan sebagai dasar analisis dan satu titik lainnya sebagai akhir analisis. (2) Perubahan indikator kegiatan ekonomi di suatu wilayah antara tahun dasar analisis dengan tahun akhor analisis dapat dilihat melalui tiga komponen pertumbuhan wilayah yaitu komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen pertumbuhan proporsional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW). (3) Berdasarkan komponen PN, dapat diketahui laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dibandingkan laju pertumbuhan nasional.

42 (4) Komponen PP dapat digunakan utuk mengetahui pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di suatu wilayah. (5) Komponen PPW dapat digunakan untuk melihat daya saing sektor-sektor ekonomi dibandingkan dengn sektor ekonomi pada wilayah lainnya. (6) Jika persentase PP dan PPW dijumlahkan maka dapat ditujukkan adanya pergeseran (shift) hasil pembangunan perekonomian daerah. Analisis Shift Share ini juga memiliki kelemahan yaitu : (1) Persamaan Shift Share hanyalah identity equation dan tidak mempunyai implikasi-implikasi keperilakuan. Metode Shift Share tidak untuk menjelaskan mengapa, misalnya pengaruh keunggulan positif di beberapa wilayah, tetapi negatif di daerah-daerah lain. Metode Shift Share merupakan teknik pengukuran yang mencerminkan suatu sistem perhitungan semata dan tidak bersifat analitik. (2) Komponen pertumbuhan nasional (PN) secara implisit mengemukakan bahwa laju pertumbuhan suatu wilayah hanya disebabkan oleh kebijakan nasional tanpa memperhatikan sebab-sebab laju pertumbuhan yang bersumber dari wilayah tersebut. (3) Komponen PP dan PPW mengasumsikan bahwa perubahan penawaran dan permintaan, teknologi dan lokasi diasumsikan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan wilayah. Di samping itu, analisis Shift Share juga mengasumsikan bahwa semua barang dijual secara nasional padahal tidak semua demikian.

43 Rasio kesempatan kerja digunakan untuk engidentifikasi pertumbuhan kesempatan kerja dalam negeri suatu wilayah. Rasio kesempatan kerja terbagi menjadi tiga yaitu nilai ri, Ri, dan Ra. Nilai ri mengidentifikasikan rasio kesempatan kerja di sektor tertentu pada wilayah tertentu. Nilai Ri mengidentifikasikan rasio kesempatan kerja nasional pada sektor tertentu. Nilai Ra mengidentifikasikan rasio kesempatan kerja nasional. Profil pertumbuhan digunakan untuk mengevaluasi pertumbuhan sektor perekonomian di wilayah yang bersangkutan dengan cara mengekspresikan persen perubahan komponen pertumbuhan proporsional (PP ij ) dan pertumbuhan pangsa wilayah (PPW ij ). Profil pertumbuhan digambarkan pada suatu sumbu koordinat, dimana sumbu horizontal adalah PP sebagai absis dan sumbu vertikal adalah PPW sebagai ordinat. Kuadran IV Kuadran I PP Kuadran III Kuadran II PPW Sumber : Busiharsono, 2001 Gambar 2.4. Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian Keterangan : (1) Kuadran I menunjukkan bahwa sektor-sektor di wilayah yang bersangkutan memiliki pertumbuhan yang cepat (PP bernilai positif) dan daya saing yang baik jika dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya (PPW bernilai

44 positif). Pada kuadran I ini menunjukkan bahwa wilayah atau sektor tersebut merupakan wilayah atau sektor yang maju. (2) Kuadran II menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di wilayah tersebut cepat (PP bernilai positif), namun daya saing yang dimiliki kurang baik dibandingkan wilayah lainnya (PPW bernilai negatif). (3) Kuadran III menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor-sektor ekonomi di wilayah tersebut lambat (PP bernilai negatif) dan daya saing yang kurang baik jika dibandingkan dengan wilayah lainnya (PPW bernilai negatif). (4) Kuadran IV menunjukkan bahwa pertumbuhan wilayah atau sektor tersebut lambat (PP bernilai negatif), namun daya saing sektor-sektornya baik jika dibandingkan dengan wilayah lainnya (PPW bernilai positif). (5) Pada Kuadran II dan Kuadran IV terdapat garis miring yang membentuk sudut 45 0 dan memotong kedua kuadran tersebut. Bagian atas tersebut menunjukkan bahwa sektor atau wilayah yang bersangkutan termasuk sektor atau wilayah yang maju sedangkan yang berada di bawah garis menunjukkan sektor atau wilayah yang lamban Kerangka Pemikiran Kebijakan sentralistik yang telah berjalan selama 32 tahun ternyata mendatangkan masalah bagi perekonomian nasional maupun Jawa Timur. Jawa Timur sebagai kawasan penting pertumbuhan industri dan perdagangan (bisnis) di Indonesia mengalami penurunan pertumbuhan pada sektor sekunder dan tersiernya pasca saat krisis ekonomi tahun Penurunan tersebut terjadi karena pemerintah daerah juga sudah lama kehilangan kreativitas sehingga mereka tidak

45 bisa langsung tanggap untuk menangani krisis moneter. Dari kejadian tersebut dapat diketahui bahwa pemerintah gagal memahami dan mengantisipasi gejala krisis ekonomi dan keuangan global. Hal ini disebabkan, dalam waktu yang cukup lama pemerintah pusat telah menggunakan terlalu banyak waktu untuk mengurus masalah-masalah domestik. Oleh karena itu, kebijakan yang sentralistik diubah menjadi otonomi daerah yang desentralistik. Alasan lainnya pemerintah memberlakukan otonomi daerah adalah kemampuan pemerintah daerah dalam menilai kondisi daerah dan masyarakatnya masing-masing dapat mempercepat laju pembangunan daerah. Dengan kata lain, dengan adanya otonomi daerah kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan. Besarnya perubahan tingkat kesejahteraan masyarakat ini yang akan menjadi tolok ukur efektif tidaknya pelaksanaan otonomi daerah. Kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan dengan meningkatkan pertumbuhan kesempatan kerja. besarnya pertumbuhan kesempatan kerja merupakan salah satu faktor yang menentukan seseorang melakukan migrasi atau tidak. Kondisi pertumbuhan kesempatan kerja dan arus migrasi yang terjadi pada saat kebijakan otonomi daerah diberlakukan akan dibandingkan dengan kondisi pada saat otonomi daerah belum diberlakukan. Dengan demikian akan diketahui apakah otonomi daerah dapat meningkatkan kesempatan kerja serta mengurangi migrasi atau tidak. Selain itu juga, hasil perbandingan antara kondisi pra dan pasca otonomi daerah dapat menunjukkan apakah pelaksanaan otonomi daerah dapat memberikan hasil yang lebih baik dari pelaksanaan kebijakan yang

46 sentralistik atau tidak. Rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan efektivitas otonomi daerah pun dihasilkan. Kondisi Jawa Timur sebelum otonomi daerah Kebijakan sentralistik diubah menjadi kebijakan otonomi daerah yang desentralistik Perlu ada tolok ukur keberhasilan yang menunjukkan efektivitas otonomi daerah Besarnya tingkat kesejahteraan masyarakat yang dicapai pada era pelaksanaan otonomi daerah dan dibandingkan dengan sebelum otonomi daerah diberlakukan Pertumbuhan Kesempatan Kerja Migrasi Keluar (Pertumbuhan kesempatan kerja yang meningkat seharusnya dapat mengurangi migrasi keluar) Rekomendasi Kebijakan untuk Meningkatkan Efektivitas Otonomi Daerah Keterangan : : menunjukkan alur yang berkesinambungan dan berurutan Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran

47 III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan berupa data sekunder. Data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) serta Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans). Selain itu penulis juga melakukan studi pustaka dengan membaca jurnal, artikel internet serta literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Referensi tersebut diperoleh dari instansi terkait seperti : Lembaga Sumberdaya Informasi Institut Pertanian Bogor (LSI IPB), perpustakaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), perpustakaan BPS pusat, media cetak, media elektronik dan melalui download dari website internet. Adapun kurun waktu penelitian adalah di mana kurun waktu tersebut dibagi menjadi tiga periode. Periode pertama adalah periode sebelum otonomi daerah ( ). Periode kedua adalah periode era otonomi daerah I yaitu tahun Sedangkan periode ketiga adalah periode era otonomi daerah II yaitu tahun Periode era otonomi daerah dibagi menjadi dua periode bertujuan agar hasil analisisnya efektif. Hal ini dikarenakan analisis Shift Share akan memiliki hasil yang efektif jika periode yang digunakan tidak lebih dari 5 (lima) tahun Metode Analisis Data Untuk mendukung penelitian ini, maka digunakan metode analisis Shift Share dengan bantuan software Microsoft Excel Shift Share digunakan sebagai alata analisis dalam mengidentifikasikan pertumbuhan sektor

48 perekonomian pada suatu wilayah tertentu. Dengan analisis Shift Share dapat diketahui pertumbuhan suatu sektor dalam satu wilayah jika dibandingkan secara realtif dengan sektor-sektor lainnya, dapat menunjukkan pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya, dan membandingkan laju sektor perekonomian di suatu wilayah dengan laju pertumbuhan perekonomian nasional Analisis Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Nasional Pertumbuhan kesempatan kerja pada lapangan usaha i di Provinsi Jawa Timur dan skala nasional dapat diketahui dengan menggunakan analisis Shift Share. Adapun definisi operasional dari kesempatan kerja adalah lapangan kerja yang dapat diisi oleh penawaran tenaga kerja atau permintaan tenaga kerja yang tersedia. Apabila dalam suatu negara terdapat m daerah/wilayah/provinsi (j = 1,2,3,,m) dan n sektor perekonomian (i = 1,2,3,,n) maka kesempatan kerja dari lapangan usaha i pada tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis dapat dirumuskan sebagai berikut : (1) Kesempatan kerja Jawa Timur/nasional dari lapangan usaha i pada tahun dasar analisis (1996, 2001, 2004). (3.1) di mana : Y i = kesempatan kerja Jawa Timur/nasional dari lapangan usaha i pada tahun 1996, 2001, Y ij = kesempatan kerja dari lapangan usaha i di wilayah Jawa Timur/nasional pada tahun 1996, 2001, 2004.

49 (2) Kesempatan kerja Jawa Timur/nasional dari lapangan usaha i pada tahun akhir analisis (2000, 2003, 2007). (3.2) di mana : Y i = kesempatan kerja Jawa Timur/nasional dari lapangan usaha i pada tahun 2000, 2003, 2007, Y ij = kesempatan kerja dari lapangan usaha i di wilayah Jawa Timur/nasional pada tahun 2000, 2003, Selanjutnya akan dirumuskan kesempatan kerja di Jawa Timur/nasional pada tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis sebagai berikut : 1. Total kesempatan kerja di Jawa Timur/nasional pada tahun dasar analisis (1996, 2001, 2004) (3.3) Di mana : Y.. = total kesempatan kerja Jawa Timur/nasional dari pada tahun 1996, 2001, Y ij = kesempatan kerja dari lapangan usaha i di wilayah Jawa Timur/nasional pada tahun 1996, 2001, Total kesempatan kerja di Jawa Timur/nasional pada tahun akhir analisis (2000, 2003, 2007) (3.4)

50 di mana : Y.. = total kesempatan kerja Jawa Timur/nasional pada tahun 2000, 2003, Y ij = kesempatan kerja dari lapangan usaha i di wilayah Jawa Timur/nasional pada tahun 2000, 2003, Perubahan kesempatan kerja lapangan usaha i di Jawa Timur/nasional dapat dirumuskan sebagai berikut : (3.5) di mana : ΔYij = Perubahan kesempatan kerja lapangan usaha i di Jawa Timur/nasional, Yij = Kesempatan kerja dari lapangan usaha i di wilayah Jawa Timur/nasional pada tahun dasar analisis (1996, 2001, 2004), Y ij = Kesempatan kerja dari lapangan usaha i di wilayah Jawa Timur/nasional pada tahun akhir analisis (2000, 2003, 2007). Rumus persentase perubahan kesempatan kerja adalah sebagai berikut : (3.6) di mana : = Persentase perubahan kesempatan kerja lapangan usaha i di Jawa Timur/nasional, Yij = Kesempatan kerja dari lapangan usaha i di wilayah Jawa Timur/nasional pada tahun dasar analisis (1996, 2001, 2004),

51 Y ij = Kesempatan kerja dari lapangan usaha i di wilayah Jawa Timur/nasional pada tahun akhir analisis (2000, 2003, 2007) Rasio Kesempatan Kerja Jawa Timur dan Kesempatan Kerja Nasional (nilai ri, Ri dan Ra) Analisis rasio kesempatan kerja Jawa Timur dan kesempatan kerja nasional berguna untuk melihat perbandingan kesempatan kerja di Jawa Timur maupun kesempatan kerja nasional pada lapangan usaha. Adapun rasio kesempatan kerja terbagi atas ri, Ri dan Ra. (1) ri ri menunjukkan selisih antara kesempatan kerja dari lapangan usaha i di Jawa Timur pada tahun akhir analisis (2000, 2003, 2007) dengan kesempatan kerja dari lapangan usaha i di Jawa Timur pada tahun dasar analisis (1996, 2001, 2004). Adapun rumusnya adalah sebagai berikut : (3.7) di mana : ri = Rasio kesempatan kerja sektor i di Jawa Timur, Yij = Kesempatan kerja dari lapangan usaha i di wilayah Jawa Timur/nasional pada tahun dasar analisis (1996, 2001, 2004), Y ij = Kesempatan kerja dari lapangan usaha i di wilayah Jawa (2) Ri Timur/nasional pada tahun akhir analisis (2000, 2003, 2007). Ri menunjukkan selisih antara kesempatan kerja nasional dari lapangan usaha i pada tahun akhir analisis (2000, 2003, 2007) dengan kesempatan kerja (3.8)

52 nasional dari lapangan usaha i pada tahun dasar analisis (1996, 2001, 2004). Adapun rumusnya adalah sebagai berikut : di mana : Ri = Rasio kesempatan kerja nasional sektor i, Yi = Kesempatan kerja nasional dari lapangan usaha i di wilayah pada tahun dasar analisis (1996, 2001, 2004), Y i. = Kesempatan kerja nasional dari lapangan usaha i pada tahun akhir analisis (2000, 2003, 2007). (3) Ra Ra menunjukkan selisih antara kesempatan kerja nasional pada tahun akhir analisis (2000, 2003, 2007) dengan kesempatan kerja nasional pada tahun dasar analisis (1996, 2000, dan 2004). Adapun rumusnya adalah sebagai berikut : di mana : (3.9) Ra = Rasio kesempatan kerja nasional, = Kesempatan kerja nasional pada tahun 2000, 2003, 2007, = Kesempatan kerja nasional pada tahun 1996, 2001, Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Analisis komponen pertumbuhan wilayah ini digunakan untuk mengidentifikasi perubahan kesempatan kerja suatu wilayah antara tahun dasar analisis (1996, 2001, 2004) dengan tahun akhir analisis (2000, 2003, 2007). Analisis ini terdiri atas komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen

53 pertumbuhan proporsional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW). (1) Komponen Pertumbuhan Nasional (PN) Komponen Pertumbuhan Nasional (PN) adalah perubahan kesempatan kerja nasional secara umum, perubahan kebijakan ekonomi nasional atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian semua lapangan usaha dan wilayah. Adapun rumusnya adalah sebagai berikut : di mana : (3.10) = Komponen pertumbuhan nasional lapangan usaha i di Jawa Timur, = Rasio kesempatan kerja nasional, = Kesempatan kerja dari lapangan usaha i di Jawa Timur pada tahun dasar analisis (1996, 2001, 2004). (2) Komponen Pertumbuhan Proporsional (PP) Pertumbuhan proporsional disebabkan oleh perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan kebijakan industri, serta perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar. Adapun rumus PP adalah sebagai berikut : di mana : (3.11) = Komponen pertumbuhan proporsional lapangan usaha i di Jawa Timur = Rasio kesempatan kerja nasional, = Rasio kesempatan kerja dari lapangan usaha i,

54 = Kesempatan kerja dari lapangan usaha i di Jawa Timur pada tahun dasar analisis (1996, 2001, 2004). Apabila : < 0, menunjukkan bahwa pertumbuhan lapangan usaha di Jawa Timur lambat. > 0, menunjukkan bahwa pertumbuhan lapangan usaha di Jawa Timur cepat. (3) Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) Pertumbuhan pangsa wilayah timbul karena adanya peningkatan atau penurunan kesempatan kerja pada suatu lapangan usaha atau wilayah lainnya. Adapun rumus PPW adalah sebagai berikut : (3.12) di mana : = Komponen pertumbuhan pangsa wilayah lapangan usaha i di Jawa Timur, = Rasio kesempatan kerja lapangan usaha i di Jawa Timur, = Rasio kesempatan kerja dari lapangan usaha i, = Kesempatan kerja dari lapangan usaha i di Jawa Timur pada tahun dasar analisis (1996, 2001, 2004).

55 Apabila : < 0, berarti lapangan usaha i di Jawa Timur tidak dapat bersaing dengan baik dibandingkan dengan lapangan usaha i di wilayah lainnya, > 0, berarti lapangan usaha i di Jawa Timur mempunyai daya saing yang baik dibandingkan dengan lapangan usaha i di wilayah lainnya. Adapun perubahan dalam kesempatan kerja lapangan usaha i di Jawa Timur dapat dirumuskan sebagai berikut : (3.12) (3.13) Rumus ketiga komponen pertumbuhan wilayah adalah : (3.14) (3.15) (3.16) Apabila persamaan (3.13), (3.14), (3.15) dan (3.16) disubstitusikan ke persamaan (3.12) maka akan didapatkan : = + + Persentase ketiga pertumbuhan wilayah dapat dirumuskan sebagai berikut :

56 di mana : = Persentase perubahan kesempatan kerja yang disebabkan oleh komponen pertumbuhan nasional, = Persentase perubahan kesempatan kerja yang disebabkan oleh komponen pertumbuhan nasional, = Persentase perubahan kesempatan kerja yang disebabkan oleh komponen pertumbuhan nasional Analisis Profil Pertumbuhan Sektor Perekonomian Analisis ini digunakan untuk mengevaluasi pertumbuhan lapangan usaha di Jawa Timur baik pada sebelum otonomi daerah maupun setelah otonomi daerah. Caranya adalah dengan mengekspresikan persen perubahan komponen pertumbuhan proporsional ) dan pertumbuhan pangsa wilayah yang disajikan dalam bentuk koordinat. Dengan begitu, pertumbuhan suatu lapangan usaha di Jawa Timur pada sebelum dan setelah otonomi daerah dapat dinilai. Apabila komponen pertumbuhan proporsional dan pangsa wilayah dijumlahkan maka akan diperoleh pergeseran bersih yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi pertumbuhan suatu sektor perekonomian. Adapun perumusannya adalah sebagai berikut: (3.17) di mana : = Pergeseran bersih lapangan usaha i di Jawa Timur,

57 = Komponen pertumbuhan proporsional lapangan usaha i di Jawa Timur, = Komponen pertumbuhan pagsa wilayah lapangan usaha i di Jawa Timur. Apabila : > 0, maka pertumbuhan lapangan usaha i di Jawa Timur termasuk ke dalam kelompok progresif (maju), < 0, maka pertumbuhan lapangan usaha i di Jawa Timur termasuk lamban.

58 IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAWA TIMUR 4.1. Wilayah dan Kependudukan Jawa Timur terletak di sebelah selatan Pulau Jawa. Provinsi ini terletak pada 111,0' hingga 114,4' Bujur Timur dan 7,12' hingga 8,48' Lintang Selatan. Di sebelah utara Jawa Timur berbatasan dengan pulau Kalimantan. Di sebelah timur berbatasan dengan Pulau Bali. Di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia. Di sebelah barat berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah. Secara umum, wilayah Jawa Timur dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu Jawa Timur daratan dan Kepulauan Madura. Luas wilayah Jawa Timur daratan hampir mencakup 90 persen dari seluruh luas wilayah provinsi Jawa Timur, sedangkan luas Kepulauan Madura hanya sekitar 10 persen. Luas wilayah provinsi Jawa Timur yang mencapai km 2 yang terdiri dari 29 kabupaten dan 9 (sembilan) kota. Ada perbedaan dalam kewilayahan pada saat sebelum otonomi daerah dan setelah otonomi daerah. Setelah otonomi daerah dilakukan (pada tahun 2001) terjadi pemekaran wilayah yaitu lahirnya Kota Batu sebagai hasil pemekaran dari wilayah Kabupaten Malang. Namun, kota Batu ini merupakan kota dengan kepadatan penduduk terendah dibandingkan dengan kota-kota lain di Jawa Timur. Pada tahun 2007, kepadatan penduduk kota Batu sebesar jiwa/km 2 dengan jumlah penduduk sebesar jiwa. Berbeda dengan Surabaya, pada tahun yang sama Surabaya memiliki kepadatan penduduk sebesar jiwa/km 2 dengan jumlah penduduk sebanyak jiwa. Adapun wilayah kabupaten

59 01. Pacitan 03. Trenggalek 05. Blitar 07. Malang 09. Jember 11. Bondowoso 13. Probolinggo 15. Sidoarjo 17. Jombang 19. Madiun 21. Ngawi 23. Tuban 25. Gresik 27. Sampang 29. Semenep 72. Blitar 74. Probolinggo 76. Mojokerto 78. Surabaya Kepadatan Penduduk (jiwa/km 2 ) yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi adalah kabupaten Sidoarjo dan yang terendah adalah kabupaten Banyuwangi. Pada tahun 2007 jumlah penduduk kabupaten Sidoarjo sebanyak jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar jiwa/km 2. Dan pada tahun yang sama jumlah penduduk kabupaten Banyuwangi sebanyak jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar 273 jiwa/km 2 yang merupakan kepadatan terendah di seluruh daerah di Jawa Timur (BPS, 2008). Melihat data tersebut dapat dikatakan bahwa penduduk Jawa Timur lebih banyak bermukim di kota daripada di kabupaten. Jika dilihat secara keseluruhan kepadatan penduduk Jawa Timur semakin lama semakin meningkat walaupun peningkatannya tidak begitu cepat (BPS, 2008) Sumber : BPS, 2008 Gambar 4.1. Grafik Kepadatan Penduduk di Sejumlah Daerah di Jawa Timur Tahun 2007

60 kepadatan penduduk (jiwa/km 2 ) Sumber : BPS, 2008 Gambar 4.2. Grafik Pertumbuhan Kepadatan Penduduk Jawa Timur ( ) 4.2. Ketenagakerjaan Sebaran angkatan kerja tidak tersebar secara merata di tiap kabupaten/kota di Jawa Timur. Hal ini dapat dilihat dari jumlah angkatan kerja yang lebih banyak bermukim di Surabaya, Malang dan Jember dimana jumlahnya lebih dari satu juta jiwa. Malang dan Jember memiliki kepadatan penduduk dibawah 1000 jiwa/km 2. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Malang dan Jember adalah penduduk yang tergolong angkatan kerja. Sedangkan di Blitar, Probolinggo, Pasuruan, Mojokerto, Madiun, dan Batu jumlah angkatan kerjanya kurang dari seratus ribu jiwa. Gambar 4.3. Grafik Jumlah Angkatan Kerja Tiap Kabupaten/Kota di Jawa Timur ( )

61 Di Jawa Timur angkatan kerja yang bekerja paling banyak berkecimpung pada sektor pertanian. Dengan kata lain mayoritas masyarakatnya bekerja pada sektor pertanian. Namun, jumlahnya yang sangat banyak ini menunjukkan bahwa sektor pertanian mengalami excess supply tenaga kerja. Jika dilihat di sektor industri pengolahan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran, jumlah tenaga kerja pada masing-masing sektor tersebut hanya sepertiga dari jumlah tenaga kerja di sektor pertanian. Adapun rincian data angkatan kerja yang bekerja menurut lapangan usaha ( ) dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Penduduk Berumur 15 Tahun Ke Atas yang Termasuk Angkatan Kerja di Provinsi Jawa Timur ( ) (Jiwa) Lapangan Kerja Pertanian Industri Pengolahan Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa Pertambangan dan Penggalian / Listrik,Gas, dan Air bersih Total Penduduk yang Bekerja Pengangguran Total Angkatan Kerja Sumber : BPS, Pada tabel di atas tertera pula jumlah pengangguran di Jawa Timur. Pada tahun 2007 pengangguran berkurang sebanyak jiwa dari tahun 2006.

62 Padahal pada saat itu pula terjadi peningkatan angkatan kerja sebesar jiwa dari tahun sebelumnya. Jadi, jika dilihat berdasarkan data tersebut pada tahun 2007 upaya mengurangi pengangguran membuahkan hasil Kondisi Perekonomian Provinsi Jawa Timur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur Salah satu indikator pertumbuhan ekonomi suatu Provinsi adalah besarnya PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Setelah diberlakukannya otonomi daerah pada tahun 2001, Jawa Timur mengalami peningkatan PDRB yang cukup signifikan pada setiap sektornya. Akhir-akhir ini PDRB Jawa Timur menjadi penyumbang pendapatan nasional terbesar kedua setelah Provinsi DKI Jakarta. Berdasarkan data yang tertera pada Tabel 4.2. pada tahun 2003 sampai 2007 ada dua sektor yang memberikan kontribusi yang besar untuk PDRB Jawa Timur. Kedua sektor tersebut adalah sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor pertanian yang paling banyak menyerap tenaga kerja hanya menjadi penyumbang terbesar ketiga. Hal ini dikarenakan kurang luasnya rute distribusi produk-produk pertanian. Jawa Timur bagian selatan sangat potensial dalam menghasilkan produk-produk pertanian. Namun, kurangnya infrastruktur yang memadai seperti akses jalan menyulitkan pendistribusian hasil-hasil pertanian tersebut. Kurang gencarnya pendistribusian produk-produk pertanian ini ternyata masih tetap bisa memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap PDRB Jawa Timur walaupun tidak sebanyak sektor industri dan perdagangan.

63 Tabel 4.2. PDRB Jawa Timur Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Lapangan Usaha Tahun (dalam milyar Rupiah) Lapangan Usaha Pertanian , , , , ,97 Pertambangan dan Galian 4.512, , , , ,79 Industri Pengolahan , , , , ,92 Listrik, Gas, dan Air 3.631, , , , ,63 Bangunan 8.447, , , , ,60 Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi , , , , , , , , , ,21 Keuangan , , , , ,62 Jasa Lainnya , , , , ,81 PDRB , , , , ,16 Sumber : BPS Jawa Timur, Pendapatan Regional Provinsi Jawa Timur Sumber penerimaan tiap daerah terdiri dari beberapa komponen yaitu : Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan (bagi hasil pajak, bagi hasil bukan pajak, Dana Alokasi Umum), sumbangan dan bantuan, dan pinjaman pemerintah daerah. Berdasarkan Tabel 4.3. pada tahun 2006 sumber pendapatan terbesar yang diperoleh Jawa Timur berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) terutama pendapatan dari pajak daerah. Jumlah pendapatan yang terealisasi lebih besar dari yang direncanakan.

64 Tabel 4.3. Rencana dan Realisasi Anggaran Pendapatan Menurut Jumlah Penerimaan Provinsi Jawa Timur Tahun 2006 (dalam juta Rupiah) Uraian Pendapatan Rencana Realisasi 1 Pendapatan , , Pendapatan Asli Daerah , , Pajak Daerah , , Retribusi Daerah , , Bagian Laba Usaha Daerah , , Lain2 Pendapatan yang Sah , ,4 1.2 Dana Perimbangan , , Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak , , Dana Alokasi Umum , , Dana Alokasi Khusus Pendapatan Lain-Lain yang Sah , , Bantuan Dana dari Pemerintah Pusat Sumber : BPS Jawa Timur, Berdasarkan Tabel 4.3. pada tahun 2002 sampai tahun 2006 realisasi pendapatan daerah Provinsi Jawa Timur selalu lebih besar dibandingkan rencana pendapatannya. Namun, dalam kurun waktu realisasi pendapatan daerah Jawa Timur tidak selalu mengalami kenaikan. Hal ini terjadi pada tahun 2004 dimana jumlah realisasi pendapatannya turun dari Rp ,92 juta menjadi Rp ,57 juta , Sumbangan / Bantuan ,35

65 Tabel 4.4. Rencana dan Realisasi Pendapatan Jawa Timur ( ) (dalam juta Rupiah) Tahun Rencana Realisasi , , , , , , , , , ,52 Sumber : BPS Jawa Timur, Kemiskinan Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang sampai saat ini belum dapat diselesaikan oleh pemerintah. Masalah kemiskinan bukan hanya mengukur jumlah dan persentase penduduk miskin tetapi juga perlu mengukur tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Dengan kata lain dalam mengukur tingkat kemiskinan selain mengukur jumlah dan persentase penduduk miskin, perlu juga mengukur Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) merupakan ukuran ratarata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan. Indeks Keparahan kemiskinan (Poverty Severity Indeks-P2) memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per bulan di bawah Garis Kemiskinan (BPS Jawa Timur, 2009).

66 01. Pacitan 03. Trenggalek 05. Blitar 07. Malang 09. Jember 11. Bondowoso 13. Probolinggo 15. Sidoarjo 17. Jombang 19. Madiun 21. Ngawi 23. Tuban 25. Gresik 27. Sampang 29. Semenep 71. Kediri 72. Blitar (%) P1 P2 Sumber : BPS Jawa Timur, 2009 Keterangan : P1 : Indeks Kedalaman Kemiskinan P2 : Indeks Keparahan Kemiskinan Gambar 4.4. Grafik Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) Jawa Timur Bulan Maret 2008 Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan masyarakat Jawa Timur tinggi. Berdasarkan data dari BPS Jawa Timur, tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan Jawa Timur tinggi dengan indeks kedalaman kemiskinan sebesar 3,49 persen dan tingkat keparahan kemiskinan sebesar 0,75 persen. Tingkat kedalaman kemiskinan yang tinggi menunjukkan pengeluaran penduduk miskin masih jauh dari garis kemiskinan. Sedangkan tingkat keparahan kemiskinan yang tinggi menunjukkan ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin tinggi.

IDENTIFIKASI DAN PERAN SEKTOR UNGGULAN TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH GITA IRINA ARIEF H

IDENTIFIKASI DAN PERAN SEKTOR UNGGULAN TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH GITA IRINA ARIEF H IDENTIFIKASI DAN PERAN SEKTOR UNGGULAN TERHADAP PENYERAPAN TENAGA KERJA DI PROVINSI DKI JAKARTA OLEH GITA IRINA ARIEF H14050032 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN MIGRASI PENDUDUK DI PROVINSI JAWA TENGAH PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH OLEH LINA SULISTIAWATI H

ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN MIGRASI PENDUDUK DI PROVINSI JAWA TENGAH PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH OLEH LINA SULISTIAWATI H ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN MIGRASI PENDUDUK DI PROVINSI JAWA TENGAH PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH OLEH LINA SULISTIAWATI H14053044 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H14102092 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI SEKTOR PARIWISATA UNTUK MENINGKATKAN KESEMPATAN KERJA DAN PENDAPATAN MASYARAKAT PROVINSI BALI. Oleh ARISA SANTRI H

ANALISIS POTENSI SEKTOR PARIWISATA UNTUK MENINGKATKAN KESEMPATAN KERJA DAN PENDAPATAN MASYARAKAT PROVINSI BALI. Oleh ARISA SANTRI H ANALISIS POTENSI SEKTOR PARIWISATA UNTUK MENINGKATKAN KESEMPATAN KERJA DAN PENDAPATAN MASYARAKAT PROVINSI BALI Oleh ARISA SANTRI H14050903 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang Analisis struktur perekonomian kota Depok sebelum dan sesudah otonomi daerah UNIVERSITAS SEBELAS MARET Oleh: HARRY KISWANTO NIM F0104064 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN MIGRASI PENDUDUK DI PROVINSI JAWA TENGAH PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH OLEH LINA SULISTIAWATI H

ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN MIGRASI PENDUDUK DI PROVINSI JAWA TENGAH PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH OLEH LINA SULISTIAWATI H ANALISIS KESEMPATAN KERJA DAN MIGRASI PENDUDUK DI PROVINSI JAWA TENGAH PADA PRA DAN ERA OTONOMI DAERAH OLEH LINA SULISTIAWATI H14053044 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi daerah adalah salah satu indikator untuk mengevaluasi perkembangan/kemajuan pembangunan ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu (Nuni

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu ciri perekonomian Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar penduduk yang berpenghasilan

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI KOTA BEKASI PADA MASA OTONOMI DAERAH OLEH PRITTA AMALIA H

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI KOTA BEKASI PADA MASA OTONOMI DAERAH OLEH PRITTA AMALIA H ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI KOTA BEKASI PADA MASA OTONOMI DAERAH OLEH PRITTA AMALIA H14103119 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

INDIKATOR MAKROEKONOMI KABUPATEN PAKPAK BHARAT

INDIKATOR MAKROEKONOMI KABUPATEN PAKPAK BHARAT L A P O R A N K A J I A N INDIKATOR MAKROEKONOMI KABUPATEN PAKPAK BHARAT K E R J A S A M A P R O D I P E R E N C A N A A N W I L A Y A H S E K O L A H P A S C A S A R A J A N A U N I V E R S I T A S S

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Hal ini tidak terlepas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1, tenaga kerja adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1, tenaga kerja adalah 7 II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Pengertian Tenaga Kerja Menurut Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1, tenaga kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan baik di dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan pembangunan nasional suatu negara yakni melalui jumlah dan

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan pembangunan nasional suatu negara yakni melalui jumlah dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian suatu negara dapat tercermin melalui jumlah penduduk dan pendapatan perkapita di suatu negara. Penduduk merupakan salah satu faktor keberhasilan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tujuan utama pembangunan ekonomi di negara berkembang adalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tujuan utama pembangunan ekonomi di negara berkembang adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan utama pembangunan ekonomi di negara berkembang adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan pencapaian kesejahteraan tersebut dapat diukur dengan

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PRA DAN PASCA OTONOMI DAERAH DI PROPINSI DKI JAKARTA ( ) OLEH ESTI FITRI LESTARI H

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PRA DAN PASCA OTONOMI DAERAH DI PROPINSI DKI JAKARTA ( ) OLEH ESTI FITRI LESTARI H ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PRA DAN PASCA OTONOMI DAERAH DI PROPINSI DKI JAKARTA (1996-2004) OLEH ESTI FITRI LESTARI H14102060 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan kependudukan mendasar yang terjadi di Indonesia selain pertumbuhan penduduk yang masih tinggi adalah persebaran penduduk yang tidak merata. Hasil sensus

Lebih terperinci

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang digunakan pada penelitian ini. Hal yang dibahas pada bab ini adalah: (1) keterkaitan penerimaan daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia ( Sadono Sukirno, 1996:33). Pembangunan ekonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia ( Sadono Sukirno, 1996:33). Pembangunan ekonomi daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi adalah suatu usaha untuk meningkatkan pendapatan perkapita dengan cara mengolah kekuatan ekonomi potensial menjadi ekonomi riil melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebuah negara tidak akan pernah bisa lepas dari berbagai permasalahan yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional. Berdasarkan sisi perekonomian secara makro, Jawa Barat memiliki

Lebih terperinci

ANALISIS PERANAN DAN DAMPAK INVESTASI INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA: ANALISIS INPUT-OUTPUT OLEH CHANDRA DARMA PERMANA H

ANALISIS PERANAN DAN DAMPAK INVESTASI INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA: ANALISIS INPUT-OUTPUT OLEH CHANDRA DARMA PERMANA H ANALISIS PERANAN DAN DAMPAK INVESTASI INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA: ANALISIS INPUT-OUTPUT OLEH CHANDRA DARMA PERMANA H14050184 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

ABSTRAK. ketimpangan distribusi pendapatan, IPM, biaya infrastruktur, investasi, pertumbuhan ekonomi.

ABSTRAK. ketimpangan distribusi pendapatan, IPM, biaya infrastruktur, investasi, pertumbuhan ekonomi. Judul : Analisis Pengaruh Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Biaya Infrastruktur, dan Investasi Terhadap Ketimpangan Distribusi Pendapatan Melalui Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Bali Nama : Diah Pradnyadewi

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI PROVINSI JAWA BARAT SEBELUM, PADA MASA, DAN SETELAH KRISIS EKONOMI OLEH ANA PERTIWI H

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI PROVINSI JAWA BARAT SEBELUM, PADA MASA, DAN SETELAH KRISIS EKONOMI OLEH ANA PERTIWI H ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI PROVINSI JAWA BARAT SEBELUM, PADA MASA, DAN SETELAH KRISIS EKONOMI OLEH ANA PERTIWI H14103069 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Analisis pertumbuhan..., Edi Tamtomo, FE UI, 2010. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan tuntutan reformasi di Indonesia, otonomi daerah mulai diberlakukan. Hal ini salah satunya ditandai dengan adanya UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya,

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum angka inflasi yang menggambarkan kecenderungan umum tentang perkembangan harga dan perubahan nilai dapat dipakai sebagai informasi dasar dalam pengambilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan

I. PENDAHULUAN. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Migrasi merupakan perpindahan orang dari daerah asal ke daerah tujuan. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan dengan kedua daerah

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING SEKTOR- SEKTOR PEREKONOMIAN KABUPATEN TASIKMALAYA PADA ERA OTONOMI DAERAH TAHUN

ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING SEKTOR- SEKTOR PEREKONOMIAN KABUPATEN TASIKMALAYA PADA ERA OTONOMI DAERAH TAHUN ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING SEKTOR- SEKTOR PEREKONOMIAN KABUPATEN TASIKMALAYA PADA ERA OTONOMI DAERAH TAHUN 2001-2005 Oleh TUTI RATNA DEWI H14103066 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi melalui produktivitas yang tinggi, dan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi.

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi. Pembangunan di bidang ekonomi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA SEBELUM DAN SESUDAH PENERAPAN OTONOMI DAERAH

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA SEBELUM DAN SESUDAH PENERAPAN OTONOMI DAERAH ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA SEBELUM DAN SESUDAH PENERAPAN OTONOMI DAERAH OLEH : RICKY ADITYA WARDHANA H14103019 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA EKONOMI DAN POTENSI KEUANGAN DAERAH KOTA BOGOR SEBELUM DAN SELAMA DESENTRALISASI FISKAL OLEH DHINTA RACHMAWATI H

ANALISIS KINERJA EKONOMI DAN POTENSI KEUANGAN DAERAH KOTA BOGOR SEBELUM DAN SELAMA DESENTRALISASI FISKAL OLEH DHINTA RACHMAWATI H ANALISIS KINERJA EKONOMI DAN POTENSI KEUANGAN DAERAH KOTA BOGOR SEBELUM DAN SELAMA DESENTRALISASI FISKAL OLEH DHINTA RACHMAWATI H14053127 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya

I. PENDAHULUAN. setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berkembangnya perekonomian dunia pada era globalisasi seperti saat ini memacu setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya saing. Salah satu upaya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada kebijakan kependudukan. Dinamika kependudukan yang terjadi karena adanya dinamika

BAB I PENDAHULUAN. pada kebijakan kependudukan. Dinamika kependudukan yang terjadi karena adanya dinamika BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Migrasi dalam konteks demografi cukup memberikan sumbangan yang sangat besar pada kebijakan kependudukan. Dinamika kependudukan yang terjadi karena adanya dinamika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan perhatian utama semua negara terutama

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan perhatian utama semua negara terutama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan perhatian utama semua negara terutama negara berkembang. Pembangunan ekonomi dicapai diantar anya dengan melakukan usaha-usaha untuk meningkatkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Definisi Pendapatan Pendapatan merupakan jumlah dari seluruh uang yang diterima seorang atau rumah tangga selama jangka waktu tertentu (biasanya satu tahun).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENGURANGAN PENGANGGURAN DI INDONESIA OLEH ARDIANTI NIKEN MUSLIKHAH H

PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENGURANGAN PENGANGGURAN DI INDONESIA OLEH ARDIANTI NIKEN MUSLIKHAH H PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DAN PENGURANGAN PENGANGGURAN DI INDONESIA 1976 2006 OLEH ARDIANTI NIKEN MUSLIKHAH H 14104067 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI DAN MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PEMERINTAH ACEH OLEH AGUS NAUFAL H

PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI DAN MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PEMERINTAH ACEH OLEH AGUS NAUFAL H PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PERTUMBUHAN EKONOMI DAN MENGURANGI KETIMPANGAN PENDAPATAN DI PEMERINTAH ACEH OLEH AGUS NAUFAL H14052333 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-undang No.13 Tahun 2003 Pasal 1, Tenaga Kerja adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Undang-undang No.13 Tahun 2003 Pasal 1, Tenaga Kerja adalah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tenaga Kerja Berdasarkan Undang-undang No.13 Tahun 2003 Pasal 1, Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan baik didalam maupun diluar hubungan

Lebih terperinci

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK Ketidakmerataan pembangunan yang ada di Indonesia merupakan masalah pembangunan regional dan perlu mendapat perhatian lebih. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator yang umumnya digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di dalam suatu daerah dengan ditunjukkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dalam struktur dan corak kegiatan ekonomi. 1. perkembangan ekonomi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dalam struktur dan corak kegiatan ekonomi. 1. perkembangan ekonomi dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan proses perubahan pada masyarakat yang diikuti penyesuaian sistem sosial untuk mencapai kesejahterahan masyarakat. Pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 4.1. Gambaran Umum awa Barat adalah provinsi dengan wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk sangat besar yakni sekitar 40 Juta orang. Dengan posisi

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012 RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 1 Halaman Daftar Isi Daftar Isi... 2 Kata Pengantar... 3 Indikator Makro Pembangunan Ekonomi... 4 Laju Pertumbuhan Penduduk...

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada, dengan menjalin pola-pola kemitraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional secara makro pada hakekatnya bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional secara makro pada hakekatnya bertujuan untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan Nasional secara makro pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam meningkatkan kesejahteraan tersebut, salah satunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena global. Permasalahan ketimpangan bukan lagi menjadi persoalan pada negara dunia ketiga saja. Kesenjangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN BAB I 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi sangat terkait erat dengan pembangunan sosial masyarakatnya. Pada awalnya pembangunan ekonomi lebih diprioritaskan pada pertumbuhannya saja, sedangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam proses pembangunan, khususnya di negara-negara berkembang. Hal ini

I. PENDAHULUAN. dalam proses pembangunan, khususnya di negara-negara berkembang. Hal ini I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek yang sangat menonjol dalam proses pembangunan, khususnya di negara-negara berkembang. Hal ini disebabkan masalah ketenagakerjaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi dan permasalahan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas, namun jauh lebih

BAB I PENDAHULUAN. lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas, namun jauh lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dimensi masalah ketenagakerjaan bukan hanya sekedar keterbatasan lapangan atau peluang kerja serta rendahnya produktivitas, namun jauh lebih serius dengan penyebab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. suatu perekonomian dari suatu periode ke periode berikutnya. Dari satu periode ke

I. PENDAHULUAN. suatu perekonomian dari suatu periode ke periode berikutnya. Dari satu periode ke I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian dari suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dan beberapa daerah perkotaan mempunyai pola. baik di daerah pedesaan dan perkotaan. Dualisme kota dan desa yang terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dan beberapa daerah perkotaan mempunyai pola. baik di daerah pedesaan dan perkotaan. Dualisme kota dan desa yang terdapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dan beberapa daerah perkotaan mempunyai pola perekonomian yang cenderung memperkuat terjadinya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial yang bermuara kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah sehingga akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana cita-cita kita bangsa Indonesia dalam bernegara yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan menjadi

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kerangka ekonomi makro daerah akan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang telah dicapai pada tahun 2010 dan perkiraan tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001, maka setiap daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam

BAB I PENDAHULUAN. 2001, maka setiap daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pada konteks ekonomi makro, tolak ukur keberhasilan perekonomian suatu daerah antara lain adalah Pendapatan daerah, tingkat kesempatan kerja dan tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Semakin banyak penduduknya maka semakin besar pula kesempatan kerja yang dibutuhkan.

BAB I PENDAHULUAN. Semakin banyak penduduknya maka semakin besar pula kesempatan kerja yang dibutuhkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebagai salah satu penduduk terbanyak di dunia setelah RRC, India dan Amerika Serikat. Oleh karena ini, tentunya Indonesia memiliki angkatan kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan perbaikan yang secara terus menerus menuju pada pencapaian tujuan yang diinginkan. Secara umum tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan aspek

Lebih terperinci

Analisis Isu-Isu Strategis

Analisis Isu-Isu Strategis Analisis Isu-Isu Strategis Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang ada pada saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi 5 (lima) tahun ke depan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bangkalan perlu

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap Negara mempunyai tujuan dalam pembangunan ekonomi termasuk Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan meningkatnya pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan antar daerah. Pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia yang berada di masing masing Provinsi dengan

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia yang berada di masing masing Provinsi dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sedang berjuang dengan giat untuk memajukan pertumbuhan ekonomi di setiap provinsi yang ada di Indonesia yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang,

I. PENDAHULUAN. dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya bersumber dari prinsip dasar yang terkandung dalam UUD 1945 Pasal 18 yang berbunyi

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERSISTENSI PENGANGGURAN DI INDONESIA DARI PERSPEKTIF PEKERJA OLEH DILA VINDAYANI H

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERSISTENSI PENGANGGURAN DI INDONESIA DARI PERSPEKTIF PEKERJA OLEH DILA VINDAYANI H ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERSISTENSI PENGANGGURAN DI INDONESIA DARI PERSPEKTIF PEKERJA OLEH DILA VINDAYANI H14104123 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Selama beberapa tahun terakhir (2005-2009), ekonomi Indonesia membaik dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 5,5 persen. Namun kinerja itu masih jauh jika dibanding

Lebih terperinci

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM Konsentrasi pembangunan perekonomian Kota Batam diarahkan pada bidang industri, perdagangan, alih kapal dan pariwisata. Akibat krisis ekonomi dunia pada awal tahun 1997 pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang- BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II) merupakan titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem desentralistik atau otonomi daerah merupakan salah satu keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut dilatarbelakangi oleh pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan kekayaan hayati yang melimpah, hal ini memberikan keuntungan bagi Indonesia terhadap pembangunan perekonomian melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk memperkuat proses perekonomian menuju perubahan yang diupayakan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Cianjur tahun 2013 tidak terlepas dari arah kebijakan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan merupakan proses yang harus dilalui setiap negara dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pembangunan merupakan proses yang harus dilalui setiap negara dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan proses yang harus dilalui setiap negara dari masa ke masa. Pembangunan merupakan perubahan menuju pola-pola masyarakat yang memungkinkan realisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu upaya meningkatkan taraf hidup

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu upaya meningkatkan taraf hidup I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi adalah salah satu upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan kerja, pemerataan pembagian pendapatan masyarakat, meningkatkan hubungan

Lebih terperinci