ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI IKAN BEUNTEUR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI IKAN BEUNTEUR"

Transkripsi

1 ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI IKAN BEUNTEUR (Puntius binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae) DI BAGIAN HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CILIWUNG, JAWA BARAT INNA RAHMAWATI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

2 RINGKASAN INNA RAHMAWATI. Aspek Biologi Reproduksi Ikan Beunteur (Puntius binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae) di Bagian Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, Jawa Barat. Dibimbing oleh DJADJA SUBARDJA SJAFEI dan MURNIARTI BROJO. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aspek biologi reproduksi ikan beunteur (Puntius binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae). Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam upaya pengelolaan perikanan khususnya ikan beunteur di bagian hulu DAS Ciliwung, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan pada akhir bulan Juni sampai awal bulan Agustus 2005 di bagian hulu DAS Ciliwung, Jawa Barat, dengan selang waktu pengambilan contoh dua minggu setiap bulannya. Ikan contoh diambil dengan menggunakan electrofishing dan pancing. Ikan beunteur yang diperoleh selama penelitian berjumlah 187 ekor, terdiri atas 100 ekor ikan jantan dan 87 ekor ikan betina. Panjang total berkisar antara mm dan berat tubuh berkisar antara 0,9-27,7 gram. Ikan jantan dengan frekuensi tertinggi terdapat pada stasiun 3 yaitu di bawah Jembatan Hankam Desa Jogjogan yang letaknya dekat persawahan dan pemukiman penduduk (43%), sedangkan untuk ikan betina terdapat pada stasiun 4 yaitu di bawah Jembatan Nusa Dua, Kampung Muara, Kecamatan Cisarua yang letaknya dekat pemukiman penduduk (47,13%). Ikan beunteur jantan memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif, sedangkan untuk ikan betina bersifat isometrik. Berdasarkan uji chi square, nisbah kelamin ikan beunteur secara keseluruhan seimbang (1,15:1). Faktor kondisi ikan jantan dan betina masing-masing berkisar antara 0,87 1,05 dan 1,40 1,54. Berdasarkan selang panjang, TKG, dan waktu pengambilan sample diperoleh bahwa faktor kondisi pada ikan jantan dan betina berfluktuasi. Ikan beunteur diduga memijah pada semua stasiun dan selama pengambilan sample. Ikan jantan pertama kali matang gonad pada ukuran 50 mm dan betina pada ukuran 56 mm. Berdasarkan persentase ikan betina yang matang gonad pada setiap waktu pengambilan sample maka dapat dinyatakan bahwa mulai dari akhir bulan Juni sampai dengan akhir bulan Agustus merupakan musim pemijahan bagi ikan beunteur, dengan puncak pemijahan terjadi pada akhir bulan Juli. Indeks kematangan gonad ikan jantan berkisar antara 1,37-2,54%, sedangkan ikan betina berkisar antara 3,60-9,99%. Fekunditas ikan beunteur berkisar antara butir. Fekunditas memiliki hubungan erat terhadap panjang total. Berdasarkan sebaran diameter telur diduga bahwa ikan beunteur merupakan total spawner.

3 ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI IKAN BEUNTEUR (Puntius binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae) DI BAGIAN HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CILIWUNG, JAWA BARAT INNA RAHMAWATI SKRIPSI sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

4 SKRIPSI Judul Penelitian Nama Mahasiswa Nomor Pokok Departemen : Aspek Biologi Reproduksi Ikan Beunteur (Puntius binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae) di Bagian Hulu Daerah Aliran Sungai Ciliwung, Jawa Barat : Inna Rahmawati : C : Manajemen Sumberdaya Perairan Disetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Djadja Subardja Sjafei Ir. Murniarti Brojo, MS NIP NIP Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Dr. Ir. Kadarwan Soewardi. NIP Tanggal Lulus : 01 Juni 2006

5 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 12 Mei 1983, merupakan putri kedelapan dari delapan bersaudara dari pasangan Ayahanda Mamak Usman dan Ibunda Komariah. Pendidikan formal pertama diawali di TK Semboja Sari I pada tahun 1988 dan dilanjutkan di SDN Empang 02 pada tahun Bersamaan dengan berakhirnya pendidikan dasar, penulis melanjutkan pendidikan di SLTPN 07 Bogor dan selesai pada tahun Pada tahun , penulis melengkapi pendidikan menengah di SMUN 03 Bogor. Pada tahun 2001, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis pernah menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) dalam Divisi ilmu-ilmu MSP pada tahun Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul Aspek Biologi Reproduksi Ikan Beunteur (Puntius binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae) di Bagian Hulu Daerah Aliran Sungai Ciliwung, Jawa Barat.

6 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Aspek Biologi Reproduksi Ikan Beunteur (Puntius binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae) di Bagian Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, Jawa Barat. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Dr. Ir. Djadja Subardja Sjafei dan Ibu Ir. Murniarti Brojo, MS. yang telah membimbing dalam penulisan skripsi ini. 2. Bapak Dr. Ir. M. F. Rahardjo, DEA yang telah banyak memberikan saran dan membimbing penulis selama kuliah di IPB 3. Ibu Dr. Ir. Yunizar Ernawati, MS. selaku dosen penguji tamu dan wakil dari departemen 4. Keluarga tercinta dan Syahrul Purnawan atas segala dukungan doa, bimbingan, dan kasih sayangnya 5. Teman-teman dari tim Ciliwung atas segala kebersamaan dan kekompakannya selama ini 6. Teman-teman MSP 37, 38, dan 39 atas bantuan dan dukungannya. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun diharapkan dapat menjadi bahan perbaikan. Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Bogor, Juni 2006 Inna Rahmawati

7 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... LAMPIRAN... Halaman I. PENDAHULUAN Latar belakang Tujuan... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan morfologi ikan beunteur (Puntius binotatus C. V. 1842) Klasifikasi Morfologi Habitat dan penyebaran Aspek reproduksi Faktor kondisi Nisbah kelamin Tingkat kematangan gonad Indeks kematangan gonad Fekunditas Diameter telur Kualitas lingkungan perairan Parameter fisika Suhu Kecerahan Kekeruhan TSS (Total Suspended Solid) Kecepatan arus Parameter kimia ph (Derajat keasaman) Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen-DO) BOD (Biochemical Oxygen Demand) Nitrit (NO 2 ) Nitrat (NO 3 ) Amonia (NH 3 ) Orthofosfat III. METODE PENELITIAN Kondisi umum daerah penelitian Alat dan bahan Metode penelitian Metode pengambilan ikan contoh Analisis ikan contoh di laboratorium Panjang dengan berat ikan ix x xi

8 Penentuan jenis kelamin TKG dan IKG Fekunditas Diameter telur Analisis data Sebaran frekuensi Hubungan panjang-berat Faktor kondisi Nisbah kelamin Indeks kematangan gonad Fekunditas IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi stasiun di bagian hulu daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung Ikan beunteur (Puntius binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae) Deskripsi ikan beunteur (Puntius binotatus C. V. 1842) Distribusi frekuensi ikan beunteur (Puntius binotatus) Hubungan panjang-berat ikan beunteur (Puntius binotatus) Aspek biologi reproduksi Nisbah kelamin Faktor kondisi Tingkat kematangan gonad Indeks kematangan gonad Fekunditas Diameter telur Kondisi perairan di bagian hulu DAS Ciliwung Alternatif pengelolaan V. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP... 76

9 DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Klasifikasi kualitas perairan mengalir berdasarkan BOD Alat, bahan yang digunakan dalam penelitian dan kegunaannya Kualitas perairan di bagian hulu DAS Ciliwung... 41

10 DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Ikan beunteur (P. binotatus C. V. 1842) Distribusi frekuensi ikan beunteur (P. binotatus) jantan dan betina setiap selang panjang Distribusi frekuensi ikan beunteur (P. binotatus) jantan dan betina setiap stasiun Hubungan panjang-berat ikan beunteur (P. binotatus) Nisbah kelamin ikan beunteur (P. binotatus) setiap stasiun Nisbah kelamin ikan beunteur (P. binotatus) setiap TKG Nisbah kelamin ikan beunteur (P. binotatus) setia p stasiun berdasarkan TKG III dan IV Faktor kondisi rata -rata ikan beunteur (P. binotatus) jantan dan betina setiap stasiun Faktor kondisi rata -rata ikan beunteur (P. binotatus) jantan dan betina setiap selang panjang Faktor kondisi rata-rata ikan beunteur (P. binotatus) jantan dan betina setiap TKG Faktor kondisi rata-rata ikan beunteur (P. binotatus) jantan dan betina setiap waktu pengambilan sample Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan beunteur (P. binotatus) jantan dan betina setiap stasiun Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan beunteur (P. binotatus) jantan dan betina setiap selang panjang Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan beunteur (P. binotatus) jantan dan betina setiap waktu pengambilan sample Indeks kematangan gonad (IKG) rata-rata pada ikan beunteur (P. binotatus) jantan dan betina setiap stasiun Indeks kematangan gonad (IKG) rata-rata pada ikan beunteur (P. binotatus) jantan dan betina setiap TKG Indeks kematangan gonad (IKG) rata-rata pada ikan beunteur (P. binotatus) jantan dan betina setiap waktu pengambilan sample Hubungan fekunditas dengan panjang total ikan beunteur (P. binotatus) Sebaran diameter telur ikan beunteur (P. binotatus) TKG III-IV... 40

11 LAMPIRAN Lampiran Halaman 1. Peta lokasi pengambilan sampel di bagian hulu daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung, Jawa Barat Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan belanak (Mugil dussumieri ) menurut Cassie (1956) in Effendie (1979) Karakter morfometrik dan meristik ikan beunteur (P. binotatus) Distribusi frekuensi ikan beunteur (P. binotatus) di bagian hulu DAS Ciliwung, Jawa Barat Uji t hubungan panjang-berat ikan beunteur (P. binotatus ) Nisbah kelamin dan Uji Chi-square ikan beunteur (P. binotatus) Rata-rata dan kisaran faktor kondisi ikan beunteur (P. binotatus) Frekuensi tingkat kematangan gonad ikan beunteur (P. binotatus) Rata-rata dan kisaran indeks kematangan gonad (IKG) ikan beunteur (P. binotatus) Fekunditas ikan beunteur (P. binotatus) Sebaran diameter telur ikan beunteur (P. binotatus) TKG III Sebaran diameter telur ikan beunteur (P. binotatus) TKG IV Data pengukuran parameter fisika dan kimia perairan di bagian hulu daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung, Jawa Barat Foto-foto Ovariun dan Testes ikan beunteur ( P. binotatus) Foto-foto Stasiun Pengamatan... 74

12 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Sungai sebagai salah satu bentuk perairan umum merupakan ekosistem yang mempunyai peranan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup organisme perairan dan makhluk hidup di sekitarnya. Sungai Ciliwung merupakan salah satu sungai besar di Jawa Barat, yang bagian hulunya terletak di pegunungan pada ketinggian m di atas permukaan laut dengan luas 149 km² atau ha. Daerah aliran sungainya meliputi kecamatan Cisarua, Ciawi, dan Kedunghalang yang dibatasi oleh bendungan Katulampa sebagai outletnya (Pawitan, 1989). Sungai Ciliwung mempunyai topografi yang bervariasi dari mulai lereng datar hingga sangat curam, dengan jenis tanah pada bagian hulunya sebagian besar (73,2%) merupakan tanah latosol dan sebagian lainnya berupa asosiasi andosol coklat dan regosol coklat. Jenis tanah ini kaya akan unsur hara dan bahan organik tetapi agak peka terhadap erosi (Anonimus, 1992). Ikan beunteur (Puntius binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae) merupakan salah satu spesies yang hidup di perairan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung di bagian hulu. Ikan ini dapat digunakan sebagai ikan hias akuarium, dan dapat dikonsumsi oleh masyarakat. Menurut Pawitan (1989) dan Anonimus (1992), pemanfaatan DAS Ciliwung untuk tegalan, sawah, pemukiman, dan kebun campuran sudah jauh sampai ke hulu. Pemanfaatan ini akan memberikan beberapa dampak ke perairan, beberapa di antaranya adalah tingginya tingkat kekeruhan perairan, masuknya bahan-bahan organik dan anorganik ke dalam perairan yang pada akhirnya akan mempengaruhi kehidupan organisme akuatik di dalamnya, salah satu di antaranya ikan beunteur. Untuk mempertahankan keseimbangan ekologi perairan sungai Ciliwung dari berbagai kegiatan manusia diperlukan upaya pelestarian, salah satunya adalah dengan melindungi keanekaragaman jenis ikan sungai di hulu Sungai Ciliwung. Pengetahuan yang mendasari kelestarian sumberdaya tersebut antara lain adalah aspek reproduksi. Kemampuan ikan bereproduksi merupakan suatu tahapan penting dalam siklus hidupnya untuk menjamin kelangsungan hidup

13 2 suatu spesies (Effendie, 1997). Beberapa aspek biologi reproduksi ikan bermanfaat untuk mengetahui frekuensi pemijahan, keberhasilan pemijahan, lama pemijahan, dan ukuran ikan pertama kali matang gonad (Nikolsky, 1963). 1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan beberapa aspek biologi reproduksi ikan beunteur (Puntius binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae) di perairan DAS Ciliwung bagian Hulu. Aspek biologi reproduksi ikan beunteur tersebut meliputi nisbah kelamin, tingkat kematangan gonad, indeks kematangan gonad, fekunditas, diameter telur, dan faktor kondisi. Informasi tersebut diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam upaya pengelolaan perikanan khususnya ikan beunteur di bagian hulu DAS Ciliwung, Jawa Barat.

14 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan morfologi ikan beunteur ( Puntius binotatus C. V. 1842) Klasifikasi Klasifikasi ikan beunteur menurut Roberts (1989) dan Kottelat et al. (1993) adalah sebagaiberikut: Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Cypriniformes Subordo : Cyprinoidea Famili : Cyprinidae Genus : Puntius Spesies : Puntius binotatus, C. V Nama sinonim : Barbus maculatus van Hasselt 1823, Barbus oresigenes Bleeker 1850, Barbus maculatus Cuvier & Valenciennes 1842, Barbus palavanensis Boulenger 1895, Barbus quinquemaculatus Seale & Bean 1907, Barbodes hemictenus Jordan & Richardson 1907, Puntius sibukensis Fowler 1940 (Roberts, 1989) Nama umum : Spotted barb dengan ciri khusus berupa bintik hitam pada pangkal ekor dan di bagian depan pangkal sirip punggung (Roberts, 1989). Nama lokal : benter, beunteur, dan bunter (Bandung); sepadak, dan tanah (Sumatra Selatan); bada putia (Padang); pujan (Kalimantan Selatan); tewaring (Kalimantan Timur); bilak, klemar, dan wader cakul (Jawa Tengah) (Saanin, 1984; Schuster dan Djajadiredja, 1952) Morfologi Roberts (1989) menyatakan bahwa sirip punggung ikan beunteur memiliki jari-jari keras (D.IV.8) dan sirip dubur (A.III.5). Menurut Kottelat, et al. (1993), sirip punggung ikan beunteur memiliki / 2 jari-jari bercabang dan sirip duburnya memiliki /2 jari-jari bercabang. Jari-jari terakhir sirip dubur tidak

15 4 mengeras. Jari-jari sirip punggung ada yang bergerigi, dan ada yang tidak bergerigi pada bagian belakangnya. Menurut Saanin (1984) sirip punggung ikan beunteur memiliki beberapa jari-jari lemah mengeras dengan bagian belakangnya bergerigi dan 7-9 jari-jari lemah; sirip duburnya memiliki beberapa jari-jari lemah mengeras dan 5 jari-jari lemah bercabang; jari-jari lemah mengeras paling belakang tidak bergerigi. Saanin (1984) menyatakan bahwa ikan ini perutnya membundar, memiliki 2 pasang sungut, mulutnya dapat disembulkan, rahang tidak bergigi, permulaan sirip punggung di depan permulaan sirip perut, dan sirip perut jauh ke belakang, di muka dubur. Menurut Kottelat et al. (1993), mulutnya kecil, bibir halus, dan tidak ada tonjolan di ujung rahang bawah. Menurut Saanin (1984), ikan ini memiliki beberapa bercak hitam dan seluruh tubuhnya bersisik. Menurut Roberts (1989), warnanya ber variasi, dari abu-abu keperakan sampai abu-abu kehijauan, agak gelap atau kehitaman pada bagian punggung, terdapat tanda bintik atau pita pada tubuh ikan kecil yang akan menghilang pada saat ikan dewasa atau ukurannya besar, kecuali bintik pada pangkal ekor. Menurut Kottelat et al. (1993), ikan ini tidak memiliki duri di bagian manapun dari tubuhnya. Menurut Saanin (1984), ikan ini memiliki ukuran kepala 3,3-4,5 kali lebar mata, dan tinggi batang ekornya sama dengan panjangnya dan 1/3-1/2 kepala. Menurut Roberts (1989), panjang maksimalnya bisa mencapai 20 cm. Saanin (1984) dan Kottelat et al. (1993) menyatakan ikan beunteur memiliki gurat sisi yang lengkap. Memiliki kurang dari 40 sisik sepanjang gurat sisi, dan tidak ada pori tambahan pada sisik sepanjang gurat sisi; di antara gurat sisi dengan sirip punggung terdapat maksimal 7 sisik. Sekeliling batang ekor terdapat 12 sisik. 2.2 Habitat dan penyebaran Ikan beunteur tergolong benthopelagik, hidup di perairan tawar daerah tropis dengan kisaran ph 6,0-6,5 dan suhu perairan 24-26ºC (Roberts, 1989). Umumnya ikan ini dapat ditemukan di selokan-selokan, sungai, dan tambak (Weber dan de Beaufort, 1931). Ikan ini memiliki daerah penyebaran di perairan

16 5 Indocina, Singapura, Philipina, Malaka, dan perairan Indonesia. Penyebaran ikan beunteur di perairan Indonesia meliputi Selat Sunda, Bali, Lombok, Sumatra, Nias, Jawa, Kalimantan, Bangka, dan Belitung (Weber dan de Beaufort, 1931 dan Kottelat et al., 1993). 2.3 Aspek reproduksi Reproduksi pada ikan merupakan suatu tahapan penting dalam siklus hidupnya untuk menjamin kelangsungan hidup suatu spesies. Sjafei et al. (1992) menyatakan bahwa pada umumnya proses reproduksi pada ikan dapat dibagi dalam tiga per iode yaitu periode pre-spawning, periode spawning, dan periode post-spawning. Pada periode pre-spawning, berlangsung penyiapan gonad untuk menghasilkan telur dan sperma, peningkatan kematangan gonad dan penyiapan telur dan sperma yang akan dikeluarkan. Periode pre-spawning merupakan bagian dari proses reproduksi yang paling panjang dibandingkan dengan periode lainnya. Periode spawning pada ikan adalah proses pengeluaran telur dan sperma dan pembuahan telur oleh sperma. Pada umumnya periode spawning berlangsung dalam waktu singkat, se dangkan pada periode post-spawning terjadi perkembangan telur yang telah dibuahi, penetasan telur dan pembesaran dari telur menjadi embrio, larva sampai menjadi anak ikan. Dalam periode post-spawning diperlukan faktor -faktor yang mendukung keberlangsungan hidupnya antara lain, makanan yang cukup dan kondisi perairan yang baik. Menurut Nikolsky (1963) aspek-aspek reproduksi berupa faktor kondisi, nisbah kelamin, ukuran ikan pertama kali matang gonad, indeks kematangan gonad, fekunditas, dan diameter telur penting diketahui untuk kepentingan pengelolaan perikanan dan kelestarian spesies Faktor kondisi Menurut Lagler (1961) in Effendie (1979) faktor kondisi merupakan keadaan atau kemontokkan ikan yang dinyatakan dalam angka -angka berdasarkan pada data panjang dan berat. Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan dilihat dari kapasitas fisik untuk kelangsungan hidup dan reproduksi dan dari segi komersil berupa kualitas dan kuantitas daging ikan untuk dikonsumsi. Effendie

17 6 (1979) menyimpulkan bahwa nilai faktor kondisi suatu jenis ikan dipengaruhi oleh umur, makanan, jenis ke lamin, dan tingkat kematangan gonad (TKG). Tercapainya kematangan gonad untuk pertama kali akan menyebabkan terjadinya penurunan kecepatan pertumbuhan karena sebagian dari makanan digunakan untuk perkembangan gonad. Menurut Lumbanbatu (1979) in Saepudin (1999) nilai faktor kodisi dapat dipengaruhi oleh aktifitas pemijahan atau kepadatan ikan di suatu perairan Nisbah kelamin Nisbah kelamin merupakan perbandingan jumlah ikan jantan dan betina dalam suatu populasi, perbandingan 1:1 merupakan kondisi yang ideal (Bal dan Rao, 1984). Dari segi tingkah laku pemijahan, Nikolskii (1969) menyatakan bahwa perbandingan kelamin dapat berubah menjelang dan selama pemijahan. Pada ikan yang melakukan ruaya untuk memijah terjadi perubahan nisbah kelamin secara teratur. Pada awalnya ikan jantan dominan daripada ikan betina, kemudian nisbah kelamin berubah menjadi 1:1 diakhiri dengan dominasi ikan betina Tingkat kematangan gonad (TKG) Tingkat kematangan gonad (TKG) adalah tahap perkembangan gonad dari sebelum sampai sesudah ikan memijah (Effendie, 1979). Menurut Lagler et al. (1977) secara garis besar perkembangan gonad dibagi atas dua tahap, yaitu tahap pertumbuhan gonad hingga mencapai dewasa kelamin dan tahap pematangan gonad. Tahap pertama dimulai sejak ikan menetas hingga mencapai dewasa kelamin. Tahap kedua merupakan tahap pematangan seksual dan terus berlangsung selama fungsi reproduksi berjalan dengan baik. Dalam proses reproduksi, perkembangan gonad yang semakin matang merupakan bagian dari proses produksi ikan sebelum terjadi pemijahan. Selama itu sebagian besar hasil metabolisme tertuju kepada perkembangan gonad (Effendie, 1997). Berat gonad akan maksimal waktu ikan berpijah, kemudian akan menurun secara cepat dengan berlangsungnya musim pemijahan hingga selesai (Effendie, 1979).

18 7 Perkembangan gonad tersebut dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam meliputi perbedaan spesies, umur dan ukuran ikan serta sifatsifat fisiologis masing-masing individu. Sedangkan faktor luar adalah suhu, makanan, dan arus perairan (Lagler et al., 1977). Effendie (1997) menyatakan dalam biologi perikanan, pencatatan perubahan atau tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi dan yang tidak. Dari pengetahuan tahap kematangan gonad ini juga akan didapatkan keterangan kapan ikan itu memijah, baru memijah, atau sudah selesai memijah. Menurut Inger dan Chin (1962) ukuran pertama kali matang gonad ikan beunteur (Puntius binotatus) jantan dan betina masing-masing adalah 73 mm dan 66,2 mm, sedangkan menurut Lumbanbatu (1979) in Saepudin (1999) ukuran pertama kali matang gonad ikan beunteur jantan dan betina masing-masing adalah 61 mm dan 63 mm Indeks kematangan gonad (IKG) Indeks kematangan gonad (IKG) adalah nilai perbandingan antara berat gonad dengan berat tubuh ikan yang dinyatakan dalam persen (%). Menurut Effendie (1997) indeks ini akan meningkat nilainya dan akan mencapai batas maksimum pada waktu akan terjadi pemijahan. Pada ikan betina nilai IKG lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan. Perkembangan gonad ikan betina selain dapat menunjukkan hubungan antara TKG dan IKG, dapat dihubungkan dengan perkembangan diameter telur yang didalamnya sebagai hasil dari pengendapan kuning telur selama proses vitellogenesis. Berdasarkan hubungan ini akan didapatkan ukuran diameter telur yang terbesar pada waktu akan terjadi pemijahan. Penelusuran ukuran telur masak dalam komposisi ukuran telur secara keseluruhan dapat menuntun kepada pendugaan pola pemijahan ikan tersebut Fekunditas Fekunditas merupakan ukuran yang paling umum dipakai untuk mengukur potensi produksi pada ikan, karena relatif lebih mudah dihitung, yaitu jumlah telur didalam ovari ikan betina (Sjafei et al., 1992). Menurut Effendie (1979)

19 8 fekunditas yaitu jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada waktu ikan memijah. Fekunditas lebih sering dihubungkan dengan panjang daripada dengan berat, karena panjang penyusutannya relatif kecil tidak seperti berat ya ng dapat berkurang dengan mudah (Effendie, 1997). Peningkatan fekunditas berhubungan dengan peningkatan berat tubuh dan berat gonad (Nikolskii, 1969). Fekunditas berbeda-beda tiap spesies dan kondisi lingkungan yang berbeda. Spesies ikan yang mempunyai fekunditas besar, pada umumnya memijah di daerah permukaan perairan sedangkan spesies yang mempunyai fekunditas kecil biasanya melindungi telurnya dari pemangsa atau menempelkan telurnya pada tanaman atau substrat lainnya (Nikolsky, 1963). Fekunditas ikan beunteur (Puntius binotatus) di Waduk Cirata dengan panjang dan berat rata-rata 12,5 cm dan 33,5 gram adalah butir (Satria, 1991 in Saepudin, 1999), sedangkan menurut Lumbanbatu (1979) in Saepudin (1999) fekunditas ikan beunteur di Waduk Lahor dengan panjang cm dan berat 2,9-9,8 gram berkisar antara butir Diameter telur Diameter telur merupakan garis tengah atau ukuran panjang dari suatu telur yang diukur dengan mikrometer berskala yang sudah ditera. Mendekati waktu pemijahan diameter telur semakin besar dengan meningkatnya TKG dan mencapai maksimum setelah itu cenderung menurun (Effendie, 1979). Menurut Lumbanbatu (1979) in Saepudin (1999) frekuensi pemijahan dapat diduga dari penyebaran diameter telur ikan di dalam gonad yang sudah matang, yaitu dengan melihat modus pe nyebarannya. Lama pemijahan dapat diduga dengan frekuensi ukuran diameter telur. Ovarium yang mengandung telur masak berukuran sama semua (merata) menunjukkan waktu pemijahan yang pendek, sebaliknya waktu pemijahan yang panjang dan terus menerus ditandai oleh banyaknya ukuran telur yang berbe da di dalam ovarium.

20 9 2.4 Kualitas lingkungan perairan Kualitas perairan merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan organisme baik secara langsung maupun tidak langsung. Kualitas lingkungan perairan mencakup parameter fisika dan kimia perairan Parameter fisika Parameter fisika yang umum diukur dalam penentuan kualitas lingkungan perairan sunga i adalah kedalaman, suhu, kecerahan, kekeruhan, TSS, dan kecepatan arus Suhu Suhu merupakan pengatur utama proses fisika dan kimia yang terjadi di dalam perairan. Suhu air secara tidak langsung akan mempengaruhi kelarutan oksigen dan secara langsung mempengaruhi proses kehidupan organisme. Walaupun ikan tergolong hewan yang suhu tubuhnya kurang lebih sama dengan suhu air lingkungannya (polikiloterm), secara fisiologis ikan akan merespon apabila terjadi pe rubahan suhu air yang ekstrim. Effendi (2003) mengemukakan bahwa peningkatan suhu dapat menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air, yang mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2 3 kali lipat. Hariyadi et al. (1992) menyatakan untuk daerah tropis suhu perairan yang baik untuk kepentingan perikanan adalah suhu norma l (27 C) dengan fluktuasi 3 C. Menurut Axelrod dan Schultz (1983) ikan beunteur dapat hidup pada kisaran suhu antara 21,1 29,4 C Kecerahan Kecerahan adalah ukuran transparansi perairan yang diamati secara visual dengan alat bantu secchi disk. Nilai kecerahan sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi, serta ketelit ian

21 10 orang yang melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah (Effendi, 2003). Nilai kecerahan sebesar cm pada umumnya cukup baik untuk produksi perikanan. Nilai kecerahan kurang dari 30 cm akan mengurangi kandungan oksigen terlarut, sedangkan nilai kecerahan lebih besar dari 60 cm mengakibatkan sinar matahari akan menembus ke bagian yang lebih dalam sehingga mendorong pertumbuhan tanaman air (Boyd dan Lichkoppler, 1979 in Effendi, 2003 ) Kekeruhan Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (APHA, 1976 in Effendi, 2003). Menurut Effendi (2003) kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi, misalnya pernafasan dan daya lihat organisme akuatik, serta dapat menghambat penetrasi cahaya ke dalam air TSS (Total Suspended Solid ) Total Suspended Solid merupakan bahan-bahan tersuspensi dan tidak terlarut dalam air. Padatan tersuspensi terdiri dari partikel-partikel yang ukurannya µm, misalnya tanah liat, bahan-bahan organik tertentu, mikroorganisme dan sebagainya. Tinggi rendahnya nilai TSS akan berpengaruh tehadap tingkat kekeruhan air dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap mutu air badan air penerima limbah tersebut. Padatan tersuspensi ini akan mengurangi penetrasi sinar/cahaya ke dalam air sehingga mempengaruhi regenerasi O 2 melalui fotosintesis dan menyebabkan air menjadi keruh (Boyd, 1982 in Effendi, 2003).

22 Kecepatan arus Mason (1981) mengelompokkan sungai berdasarkan kecepatan arusnya, yaitu sungai yang berarus sangat cepat (> 100 cm/detik), arus cepat ( cm/detik), arus sedang (25 50 cm/detik), arus lambat (10 25 cm/detik). Dan sungai dengan arus sangat lambat (< 10 cm/detik). Selanjutnya diungkapkan pula bahwa selain kecepatan arus, faktor yang menentukan debit air sungai adalah kecuraman gradien permukaan, timgkat kekasaran tepi, dasar sungai, kedalaman, dan lebar sungai Parameter kimia Parameter kimia yang umum diukur dalam menentukan kualitas perairan sungai adalah ph (Derajat keasaman), DO (Dissolved Oxygen), BOD (Biochemical Oxygen Demand), Nitrat, Nitrit, Amonia, dan Orthofosfat ph (Derajat keasaman) ph (Derajat keasaman) perairan adalah salah satu faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap proses-proses yang terjadi pada suatu organisme. Menurut Pescod (1973) in Effendi (2003) batas toleransi organisme perairan terhadap ph dipengaruhi banyak faktor seperti temperatur, konse ntrasi oksigen terlarut, alkalinitas, kandungan kation dan anion serta jenis dan stadia hidup biota. Perairan dengan ph kurang dari 6 menyebabkan organisme -organisme yang menjadi makanan ikan tidak dapat hidup dengan baik, bahkan ikan akan mati pada ph 4. Selanjutnya dikatakan pula bahwa ph yang ideal untuk kehidupan ikan berkisar antara 6,5 8, Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen - DO) Oksigen terlarut merupakan salah satu komponen utama bagi metabolisme organisme perairan. Selain digunakan untuk aktifitas respirasi semua organisme air, oksigen terlarut juga digunakan oleh organisme pengurai (bakteri) dalam proses dekomposisi bahan organik di suatu perairan (Hariyadi et al., 1992). Kebutuhan ikan dan organisme perairan lainnya akan oksige n terlarut sangat ditentukan oleh jenis dan stadia dalam daur hidupnya. Kebutuhan akan

23 12 oksigen pada stadia dini umumnya lebih tinggi daripada stadia lanjut. Menurut Effendie (2003) kadar oksigen terlarut di perairan yang ideal bagi pertumbuhan ikan adala h > 5 mg/l BOD (Biochemical Oxygen Demand ) BOD adalah banyaknya oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme dalam proses dekomposisi bahan organik. Lee et al. (1978) in Rostalina (1994) mengklasifikasikan pencemaran perairan berdasarkan kandungan BOD 5 seperti pada tabel berikut. Tabel 1. Klasifikasi kualitas perairan mengalir berdasarkan BOD 5 Nilai BOD 5 (mg/l) Kualitas air < 3,0 Tidak tercemar 3,0 4,9 Tercamar ringan 5,0 15,0 Tercemar sedang > 15,0 Tercemar berat Semakin banyak bahan organik dalam perairan, maka semakin banyak pula oksigen yang dibutuhkan mikroorganisme untuk menguraikannya. Dengan demikian BOD dapat dipakai untuk menentukan tingkat pencemaran bahan organik di suatu perairan Nitrit (NO 2 ) Nitrit (NO 2 ) di perairan alami biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit, lebih sedikit daripada nitrat, karena bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen. Keberadaan nitrit menggambarkan berlangsungnya proses biologi perombakan bahan organik yang memiliki kadar oksigen terlarut sangat rendah. Kadar nitrit yang lebih dari 0,05 mg/l dapat bersifat toksik bagi organisme perairan yang sangat sensitif (Moore, 1991 in Effendi, 2003) Nitrat (NO 3 ) Nitrat (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat sangat

24 13 mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Menurut Effendi (2003) nitrat tidak bersifat toksik terhadap organisme akuatik. Pada perairan alami kadar nitrat hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/l. Kadar nitrat yang lebih dari 0,2 mg/l dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (pengayaan) perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming) Amonia (NH 3 ) Amonia (NH3) dan garam-garamnya bersifat mudah larut dalam air. Sumber amonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organik (protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur. Kadar amonia pada perairan alami biasanya kurang dari 0,1 mg/l. Kadar ammonia bebas melebihi 0,2 mg/l bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan. Kadar ammonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan limpasan (run-off) pupuk pada pertanian (Effendi, 2003) Orthofosfat Fosfor merupakan suatu elemen penting dalam aktifitas biologi suatu organisme. Konsentrasi fosfor ditentukan oleh proses dekomposisi, run off, pelapukan batuan, pupuk buatan, serta buangan domestik dan detergen (Boyd, 1990 in Effendi, 2003). Fosfor dalam air terdapat dalam bentuk senyawa anorganik (orthofosfat, metafosfat, dan polifosfat) dan senyawa organik yang terdapat dalam tubuh organisme maupun sisa organisme. Bentuk senyawa fosfor yang dapat langsung dimanfaatkan oleh organisme nabati (bakteri, fitoplankton, dan makrofita) adalah orthofosfat (Hariyadi et al., 1992). Berdasarkan kadar orthofosfat, perairan diklasifikasikan menjadi tiga yaitu perairan oligotrofik yang memiliki kadar orthofosfat 0,003 0,01 mg/l, perairan mesotrofik yang memiliki kadar orthofosfat 0,011 0,03 mg/l, dan perairan eutrofik yang memiliki kadar orthofosfat 0,031 0,1 mg/l (Vollenweider in Wetzel, 1975 in Effendi, 2003).

25 III. METODE PENELITIAN 3.1 Kondisi umum daerah penelitian Sungai Ciliwung merupakan salah satu sungai besar di Jawa Barat dengan letak geografis pada koordinat sampai BT serta sampai LS (Sabri, 2004). Sungai ini berhulu di Gunung Mandalawangi, mengalir melalui Kabupaten dan Kotamadya Bogor, DKI Jakarta dan bermuara di Teluk Jakarta. Panjang keselu ruhan sungai Ciliwung ± 130 km. Sungai tersebut mengalir dari arah selatan ke utara dengan tiga buah anak sungai, yaitu: Cisarua, Cisukabirus, dan Ciesek (Sanusi, et al, 1981; Sabri, 2004). Bagian hulu sungai Ciliwung merupakan pegunungan dan terleta k pada ketinggian m di atas permukaan laut dengan luas 149 km² atau ha (Pawitan, 1989). Sungai Ciliwung me mpunyai topografi yang bervariasi dari mulai lereng datar hingga sangat curam (Anonimus, 1992). Sungai Ciliwung bagian hulu berawal di Desa Tugu dan mengalir sampai Kecamatan Bogor Timur dengan ciri sungai pegunungan yang berarus deras, banyak tebing curam dan dengan dasar batu, pasir dan kerikil. Batu-batu tersebut ada yang tersusun secara alami membentuk semacam tanggul, bendung, atau lubuk di bagian tepi sungai. Anak-anak sungai di bagian hulu ini juga berciri sungai pegunungan dengan air yang mengalir deras (Pawitan, 1989). Debit sungai di hulu DAS Ciliwung jauh berbeda antara musim hujan dan musim kemarau. Ketinggian muka air tanahnya bervariasi antara 3-6 sampai 4-11 meter masing-masing pada musim hujan dan kemarau (Pawitan, 1989). Ciri penting sifat hujan di kawasan DAS Ciliwung hulu adalah intensitasnya tinggi, terjadi pada waktu singkat dalam sebaran ruang yang sempit. Hujan biasanya turun pada siang hari menjelang malam yaitu sekitar 60-80% terjadi antara pukul (Anominus, 1992). Curah hujan tahunan di daerah hulu antara mm pertahun dan tidak terdapat bulan kering. Musim hujan terjadi antara bulan Oktober sampai dengan bulan April, sedangkan musim kemarau antara bulan Juni sampai dengan bulan September. Pemanfaatan DAS Ciliwung sudah jauh sampai ke hulu. Penggunaan lahan di DAS Ciliwung bagian hulu banyak untuk tegalan, sawah, pemukiman, dan

26 15 kebun campuran yang pa da umumnya mengalami perluasan. Sementara penggunaan lahan sebagai hutan, da n perkebunan mengalami penyempit an (Pawitan, 1989 dan Anonimus, 1992). 3.2 Alat dan bahan Tabel 2. Alat, bahan yang digunakan dalam penelitian dan kegunaannya Jenis Alat 1. Electrofishing 240 Volt, dan pancing dengan ukuran mata pancing No Penggaris 30 cm dengan ketelitian 1 mm 3. Timbangan manual berkapasitas 310 gram dengan ketelitian 0,01 gram 4. Stoples plastik 5. Alat bedah 6. Mikroskop elektrik, lensa mikrometer okuler, gelas objek, gelas penutup, cawan Petri, dan pipet tetes. 7. Botol film dan plastik klip berukuran 8 x 5 cm 8. Buku identifikasi ikan 9. ph indikator 10. Secchi disk 11. Kamera digital dan manual 12. Timbangan digital dengan ketelitian 0,0001 gram Menangkap ikan Mengukur ikan Kegunaan Menimbang bobot ikan Menyimpan ikan Membedah ikan Mengamati gonad ikan Tempat untuk mengawetkan gonad ikan Mengidentifikasi ikan Mengukur ph perairan Mengukur kecerahan perairan Dokumentasi Untuk menimbang gonad ikan Bahan 1. Ikan Puntius binotatus 2. Larutan formalin konsentrasi 4% 3. Aquades Objek penelitian Mengawetkan ikan dan gonadnya Mengencerkan gonad ikan 3.3 Metode penelitian Metode pengambilan ikan contoh Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan dengan frekuensi pengambilan sampel dua minggu sekali yaitu pada akhir bulan Juni 2005 sampai dengan akhir bulan Agustus Pengambilan ikan contoh dilakukan di DAS

27 16 Ciliwung bagian hulu dengan lima stasiun pengamatan berturut-turut kearah hilir yaitu Taman R. E. Martadinata, Desa Neglasari, Desa Jogjogan, Jembatan Nusa Dua, dan Bendungan Cibalok (Lampiran 1). Demikian juga pengamatan parameter fisika dan kimia perairan dilakukan pada waktu dan lokasi yang sama. Jarak antara stasiun 1 dan 2 sekitar 2,5 km, stasiun 2 dan 3 sekitar 6,25 km, stasiun 3 dan 4 sekitar 4,325 km, dan stasiun 4 dan 5 sekitar 5,5 km. Ikan beunteur (Puntius binotatus) di perairan bagian hulu DAS Ciliwung ditangkap dengan menggunakan electrofishing dan pancing. Electrofishing digunakan pada perairan yang dangkal dan berbatu (stasiun1, 2, dan 3) sedangkan untuk pada perairan dalam dengan substrat lumpur (umumnya berupa lubuk), digunakan pancing (stasiun 4 dan 5). Ikan contoh yang terkumpul diawetkan dengan formalin 4% dalam plastik. Setelah itu ikan contoh dianalisis di Laboratorium Ekobiologi Perairan, sedangkan untuk parameter fisika dan kimia dianalisis di Laboratorium Limnologi, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB Analisis ikan contoh di laboratorium Panjang dengan berat ikan Panjang total dan panjang baku diukur menggunakan penggaris dengan ketelitian 1mm. Panjang total diukur dari ujung kepala terdepan sampai ujung sirip ekor yang paling belakang. Panjang baku diukur dari bagian ujung kepala terdepan sampai ke batang ekor. Penimbangan berat tubuh dilakukan dengan menimbang seluruh tubuh ikan contoh dengan menggunakan timbangan manual dengan ketelitian 0,01 gram Penentuan jenis kelamin Ikan beunteur tidak memiliki ciri seksual sekunder berupa bentuk tubuh atau warna. Jenis kelamin diketahui dengan membedah bagian gonadnya. Gonad betina berwarna kuning sedangkan untuk gonad jantan berwarna putih. Setelah diketahui jenis kelamin ikan tersebut maka dapat diketahui perbandingan ikan jantan dan ikan betina.

28 TKG dan IKG Pengamatan tingkat kematangan gonad (TKG) ikan jantan dan betina ditentukan secara morfologi berdasarkan modifikasi Cassie (1956) in Effendie (1979) (Lampiran 2). Gonad dikeluarkan dari tubuh ikan contoh lalu ditimbang berat totalnya dengan timbangan digital (ketelitian 0,0001 gram), kemudian diawetkan dengan formalin 4% di dalam botol film. Indeks kematangan gonad (IKG) dihitung pada ikan jantan dan betina pada setiap TKG dengan membandingkan antara berat gonad dengan berat tubuh ikan Fekunditas Fekunditas dihitung pada ovarium TKG III dan IV dengan metode gravimetrik. Seluruh gonad ditimbang dalam keadaan kering (G gram) dengan menggunakan timbangan digital (ketelitian 0,0001 gr), kemudian diambil contoh telur dari bagian anterior, tengah, dan posteriornya. Contoh telur tersebut ditimbang (Q gram) selanjutnya dihitung jumlah telurnya Diameter telur Diameter telur diukur pada ovarium ikan TKG III (40 ekor ikan) dan IV (40 ekor ikan) yang diambil dari bagian anterior (33 butir telur), median (33 butir telur), dan posterior gonad (34 butir telur), dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer okuler. Sebelumnya mikrometer okuler tersebut ditera dengan mikrometer objektif yang berskala. 3.4 Analisis data Sebaran frekuensi Langkah-langkah dalam membuat sebaran frekuensi panjang adalah sebagai berikut (Walpole,1992): Menentukan banyaknya kelompok ukuran yang diperlukan dengan rumus:

29 18 n = 1 + 3,32 Log N Keterangan: n = jumlah kelompok ukuran (dibulatkan ke nilai yang lebih besar) N = jumlah ikan beunteur Menentukan lebar kelas setiap kelompok ukuran dengan rumus: a b C = c Keterangan: C = lebar kelas a = panjang maksimum ikan beunteur b = panjang minimum ikan beunteur Menentukan batas ba wah kelompok ukuran yang pertama kemudian ditambahkan dengan lebar kelas dikurangi satu untuk mendapatkan batas atas kelompok ukuran berikutnya. Melakukan hal yang sama hingga kelompok ukuran ke-n Masukkan frekuensi dari masing-masing kelompok ukuran yang ada kemudian menjumlahkan kolom frekuensi yang jumlahnya harus sama dengan data seluruhnya Hubungan panjang-berat Dalam mencari hubungan antara panjang dengan berat digunakan rumus (Effendie, 1997): W = al b Keterangan: W = berat tubuh ikan (gram) L = panjang total ikan (mm) Nilai a dan b adalah konstanta yang dihitung menurut Rousefell dan Everhart (1960) dan Lagler (1961) dalam Effendie (1979) sebagai berikut:

30 19 Loga 2 ( LogL) LogL ( LogL LogW ) LogW 2 n ( LogL) ( LogL) = 2 LogW b = LogL ( n Loga) Keterangan: W = berat tubuh ikan(gram) L = panjang total ikan (mm) n = jumlah total ikan Nilai b yang diperoleh digunakan untuk menduga laju pertumbuhan ikan beunteur ( Puntius binotatus) yang dianalisis, dengan hipotesis: 1. Nilai b = 3 menunjukkan pola pertumbuhan isometrik 2. Nilai b 3 menunjukkan pola pertumbuhan allometrik Jika b > 3 = allometrik positif (pertambahan berat lebih cepat dari pertambahan panjang) Jika b < 3 = allometrik negatif (pe rtumbuhan panjang lebih cepat dari pertambahan berat) Untuk menguji nilai b dilakukan uji t pada selang kepercayaan 95% (á = 0,05) (Steell dan Torrie, 1993). Hipotesis: 1. H 0 : b = 3 (pola pertumbuhan isometrik) 2. H 1 : b 3 (pola pertumbuhan allometrik) 3. thitung = b 1 3 Sb 1, Sb = simpangan baku 4. Keputusan diperoleh dengan membandingkan nilai thitung dengan ttabel: Apabila t hitung < t table maka terima H 0 Apabila t hitung > t table maka tolak H 0

31 20 Keeratan hubungan antara panjang dan bobot ikan ditunjukkan dengan koefisien korelasi (r) yang diperoleh. Nilai r mendekati satu menunjukkan hubungan antara kedua peubah tersebut kuat dan terdapat korelasi yang tinggi, tetapi apabila r mendekati 0, maka hubungan keduanya sangat lemah atau hampir tidak ada (Steell dan Torrie, 1993). r = n xy x y 2 2 ( n x ( ) ) 2 x n y ( y ) 2 ( ) Faktor kondisi Faktor kondisi ditentukan setelah pola pertumbuhan diketahui. Pola pertumbuhan ikan betina yang didapat pada saat pengamatan bersifat isometrik (b = 3), maka faktor kondisi dihitung dengan menggunakan rumus (Effendie, 1979): W 10 K ( TI ) = 3 L 5 Sedangkan pola pertumbuhan ikan jantan yang didapat pada saat pengamatan bersifat allometrik (b 3), maka faktor kondisi dihitung dengan rumus (Effendie, 1979): Keterangan; K = faktor kondisi W = berat tubuh ikan (gram) L = panjang total ikan (mm) a dan b = konstanta W K = b al Nisbah kelamin Nisbah kelamin ditentukan dengan membandingkan antara jumlah ikan jantan dengan jumlah ikan betina yang tertangkap selama penelitian, menggunakan rumus (Effendie, 1979):

32 21 Keterangan: X J B J X = B = nisbah kelamin = jumlah ikan jantan (ekor) = jumlah ikan betina (ekor) Selanjutnya keseragaman nisbah kelamin diuji dengan menggunakan uji Chi-square (Steel dan Torrie, 1993): Keterangan: 2 χ ( Oi Ei ) = n i= 1 2 = Nilai bagi peubah acak 2 yang mempunyai sebaran penarikan contoh mendekati Chi-square O i = Frekuensi ikan jantan dan betina yang teramati = Frekuensi harapan dari ikan jantan dan betina E i E i Indeks kematangan gonad (IKG) Indeks kematangan gona d (IKG) dihitung berdasarkan berat gonad dan berat tubuh ikan contoh secara keseluruhan dengan menggunakan rumus (Effendie, 1979): Keterangan: Bg IKG = 100 % B IKG = indeks kematangan gonad (%) B g = berat gonad (gram) = berat tubuh ikan contoh (gram) B t t

33 Fekunditas Fekunditas ikan ditentukan dengan metode gravimetrik, dengan rumus (Effendie, 1979): Keterangan: F G X Q G F = Q = fekunditas = berat gonad total (gram) = jumlah telur contoh (butir) = berat gonad contoh (gram) X Hubungan fekunditas dengan panjang total tubuh dapat diketahui dengan rumus (Effendie, 1979): Keterangan: F L = fekunditas = panjang total ikan (mm) b F = al Nilai a dan b adalah konstanta yang dihitung menurut Rousefell dan Everhart (1960) dan Lagler (1961) dalam Effendie (1979) sebagai berikut: Loga 2 LogF ( LogL) LogL ( LogL LogF) 2 n ( LogL) ( LogL) = 2 LogF b = LogL ( n Loga) Keterangan: F = fekunditas L = panjang total ikan (mm) n = jumlah total ikan Keeratan hubungan antara panjang total ikan dengan fekunditas diketahui dari koefisien korelasi (r) seperti pada perhitungan r hubungan panjang dengan berat.

34 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi stasiun di bagian hulu daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung Stasiun 1 (Lampiran 15) Lokasi stasiun 1 adalah Taman R. E. Martadinata (Cikamasan), merupakan daerah perairan yang dekat mata air, sungainya jernih dengan kedalaman yang dangkal, lebar sungai ± 1 m, ukuran bebatuan relatif kecil, banyak sampah anorganik, terdapat tebing bekas longsoran, dan berada di area perkebunan teh. Stasiun 2 (Lampiran 15) Lokasi stasiun 2adalah Desa Neglasari, merupakan daerah pencampuran masa air yang berasal dari dua sungai yaitu Sungai Cikamasan dengan Sungai Ciliwung, lebar sungai ± 5 m, sungai cukup dalam dengan arus deras, ukuran bebatuan relatif besar, di bagian kiri dan kanan sungai terdapat pemukiman penduduk, banyak sampah dan masukan limbah organik lainnya. Stasiun 3 (Lampiran 15) Lokasi stasiun 3 adalah di bawah Jembatan Hankam Desa Jogjogan, merupakan daerah perairan yang dekat dengan persawahan dan pemukiman penduduk (villa-villa), sehingga buangan nutrien dari sawah dan limbah penduduk masuk ke perairan, lebar sungai ± 20 m, sungai cukup dalam dengan arus deras, berbatu-batu dengan ukuran sedang. Stasiun 4 (Lampiran 15) Lokasi stasiun 4 adalah di bawah Jembatan Nusa Dua, Kampung Muara, Kecamatan Cisarua, merupakan daerah perairan yang dekat dengan daerah pemukiman penduduk sehingga limbah domestik di lokasi perairan ini tinggi, lebar sungai ± 20 m, sungai cukup dalam dengan arus deras, berbatu-batu dengan ukuran sedang hingga besar. Stasiun 5 (Lampiran 15) Lokasi stasiu n 5 adalah Bendungan Cibalok, merupakan daerah bendungan perairan, terdapat keramba, ada kegiatan rumah tangga (mandi, mencuci), berbatubatu dengan ukuran sedang hingga besar, sungainya dalam, lebar sungai ± m, di sekitar sungai terdapat hutan bambu dan pemukiman penduduk.

35 Ikan beunteur (Puntius binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae) Deskripsi ikan beunteur (Puntius binotatus C. V. 1842) Ikan beunteur (Gambar 1) memiliki ciri-ciri antara lain kepala simetris, bentuk tubuh pipih dan memanjang dengan perut membundar, tubuh bersisik sikloid, bentuk ekor cagak, garis rusuk atau Linea lateralis (L.1) lengkap dan tidak terputus dari belakang operculum paling luar hingga pertengahan pangkal ekor. Posisi mulut terminal dan dapat disembulkan, mempunyai dua pasang sungut, dan tidak bergigi. Tubuh berwarna abu-abu keperakan, pada anak ikan terdapat bintik hitam pada pangkal dasar sirip punggung, dan pada pertengahan batang ekornya. Pada ikan dewasa bintik hitam hanya terdapat pada pertengahan batang ekornya. Posisi sirip dada terhadap sirip perut adalah abdominal. Gambar 1. Ikan beunteur (Puntius binotatus C. V. 1842). Sumber Panjang baku ikan beunteur 0,76 panjang total, tinggi badan 0,30 kali panjang baku, panjang kepala 0,30 panjang totalnya dan tinggi batang ekornya 0,15 kali panjang baku. Rumus jari-jari sirip ikan beunteur adalah D IV. 8; P I ; V I. 8-9; A III. 5; C 18. Jumlah sisik L.1 berkisar antara (Lampiran 3) Distribusi frekuensi ikan beunteur (Puntius binotatus) Ikan beunteur yang diamati selama pe nelitian berjumlah 187 ekor, terdiri atas 100 ekor ikan jantan dan 87 ekor ikan betina dengan panjang total berkisar antara 33 mm sampai 117 mm dan berat total berkisar antara 0,9-27,7 gr. Dari

36 25 kisaran panjang total itu didapatkan sembilan kelas ukuran panjang. Ukuran minimum panjang total ikan beunteur terdapat pada ikan jantan seda ngkan untuk ukuran maksimum panjang total terdapat pada ikan betina. Ikan jantan memiliki kisaran panjang total antara mm dan berat total berkisar antara 0,9 18,43 gr, sedangkan ikan betina panjang totalnya berkisar antara mm dengan berat total berkisar antara 1,55 27,7 gr. Berdasarkan distribusi frekuensi per stasiun, ikan beunteur yang terdapat di Sungai Ciliwung ba gian hulu bervariasi. Ikan beunteur jantan banyak terdapat pada stasiun 3 sebesar 43% sedangkan ikan betina pada stasiun 4 sebesar 47,13%. Frekuensi terendah terdapat pada stasiun 2 untuk ikan jantan sebesar 7% dan ikan betina pada stasiun 1 sebesar 5,75% (Gambar 2; Lampiran 4A). 50 Frekuensi (%) Jantan Betina Stasiun Gambar 2. Distribusi frekuensi ikan beunteur (Puntius binotatus) jantan dan betina setiap stasiun. Frekuensi yang berbeda pada setiap stasiun diduga dipengaruhi oleh kondisi perairan di bagian hulu sungai Ciliwung. Lowe-McConnel (1987) menyatakan bahwa terjadinya fluktuasi kondisi perairan dan adanya migrasi, mortalitas atau pemijahan menyebabkan fluktuasi pada populasi ikan. Hal lain yang diduga mempenga ruhi perbedaan frekuensi adalah tersedianya makanan yang cukup. Stasiun 3 dan 4 berada disekitar pemukiman penduduk dan daerah persawahan sehingga diduga adanya limpasan dari sawah dan limbah rumah tangga dapat menyuburkan perairan sehingga mendorong pertumbuhan plankton

37 26 yang diduga menjadi makanan utama ikan beunteur, seperti menurut Roberts (1989) bahwa ikan beunteur memakan zooplankton, larva serangga, dan akar beberapa jenis tanaman. Distribusi frekuensi berdasarkan kelas ukuran panjang menunjukkan bahwa ikan beunteur jantan lebih banyak terdapat pada kisaran panjang total mm yaitu sebesar 34% dari seluruh ikan jantan yang diamati, sedangkan ikan betina banyak terdapat pada kisaran panjang total mm yaitu sebesar 24,14% dari seluruh ikan betina yang diamati (Gambar 3; Lampiran 4B). 40 Frekuensi (%) Jantan Betina Panjang Total (mm) Gambar 3. Distribusi frekuensi ikan beunteur (Puntius binotatus) jantan dan betina setiap selang panjang Hubungan panjang-berat ikan beunteur (Puntius binotatus) Hubungan panjang dan berat, ikan beunteur jantan dan betina mempunyai persamaan masing-masing : W = 0,0002L 2,3941 W = 2 x 10-5 L 2,9573 Hubungan panjang berat menunjukkan nilai korelasi yang kuat yaitu untuk ikan beunteur jantan sebesar r = 0,9184 dan ikan beunteur betina sebesar r = 0,9623 (Gambar 4). Nilai korelasi yang tinggi tersebut memperlihatkan bahwa panjang total tubuh sangat mempengaruhi berat total tubuh ikan beunteur jantan dan betina, artinya semakin panjang total tubuh ikan maka akan semakin bertambah berat total tubuhnya.

38 y = x r = Jantan (n = 100 ekor) y = x r = Betina (n = 87 ekor) Berat total (gram) Panjang total (mm) Gambar 4. Hubungan panjang-berat ikan beunteur (Puntius binotatus). Analisis uji t untuk b ikan jantan = 2,3941 dan b ikan betina = 2,957 pada taraf 0,05 (95% ), menunjukkan pola pertumbuhan ikan beunteur jantan bersifat allometrik negatif (b < 3), sedangkan untuk ikan beunteur betina bersifat isometrik (b = 3) (Lampiran 5). Menurut Saepudin (1999), ikan beunteur (Puntius binotatus) di Situ Cigudeg Kabupaten Bogor, Jawa Barat pola pertumbuhannya bersifat isometrik baik untuk ikan jantan maupun ikan betina. Perbedaan pola pertumbuhan dari satu spesies ikan yang hidup di habitat berbeda menurut Nikolsky (1963) bervariasi tergantung pada kondisi lingkungan organisme tersebut hidup, serta tersedianya makanan yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang kelangsungan hidup dan pertumbuhannya Aspek biologi reproduksi Nisbah kelamin Nisbah kelamin yang dihitung pada lima stasiun menunjukkan nilai yang berfluktuasi (Gambar 5). Nisbah kelamin pada stasiun satu, tiga, dan lima lebih dari satu, berarti jumlah ikan jantan lebih banyak daripada ikan betina. Pada stasiun dua dan stasiun empat nisbah kelamin kurang dari satu yang menunjukkan terjadinya pergeseran jumlah populasi ikan jantan dan betina yang tertangkap.

39 28 Hasil uji Chi-square pada taraf nyata 0,05 diperoleh bahwa nisbah kelamin ikan jantan dan betina tiap stasiun adalah tidak seimbang (Lampiran 6A). Nisbah Kelam Stasiun Gambar 5. Nisbah kelamin ikan beunteur (Puntius binotatus) setiap stasiun. Jumlah ikan jantan yang tertangkap selama periode pengamatan adalah 100 ekor dan ikan betina 87 ekor. Nisbah kelamin secara keseluruhan adalah 1,15:1 atau 53,48% ikan jantan dan 46,52% ikan betina. Hasil uji Chi-square terhadap nisbah kelamin secara keseluruhan pada taraf nyata 0,05 adalah seimbang (Lampiran 6B). Seimbangnya jumlah ikan jantan dan ikan betina yang tertangkap diduga karena ikan jantan maupun ikan betina berada pada satu area saat memijah sehingga menyebabka n peluang tertangkapnya sama. Hubungan nisbah kelamin dengan tingkat kematangan gonad (TKG) berkisar antara 0,50-11,67 (Gambar 6). Pada TKG I dan II, nisbah kelaminnya lebih dari satu yang berarti jumlah ikan jantan lebih banyak daripada ikan betina. Menjelang pemijahan nisbah kelamin TKG III dan IV yang didapat kurang dari satu dengan jumlah ikan betina lebih banyak daripada ikan jantan. Hasil uji Chisquare pada taraf nyata 0,05 diperoleh bahwa nisbah kelamin ikan jantan dan betina tiap TKG adalah tidak seimbang (Lampiran 6C).

40 29 Nisbah Kelam I II III IV TKG Gambar 6. Nisbah kelamin ikan beunteur (Puntius binotatus) setiap TKG. Nisbah kelamin setiap stasiun berdasarkan TKG III menunjukkan hanya pada stasiun tiga saja nilai nisbah kelamin yang dihasilkan lebih dari satu, artinya jumlah ikan jantan pada stasiun tiga lebih banyak daripada jumlah ikan betina. Sedangkan untuk stasiun lainnya nilai nisbah kelamin yang dihasilkan kurang dari satu, dengan jumlah ikan betina lebih banyak daripada ikan jantan (Gambar 7). Hasil uji Chi-square pada taraf nyata 0,05 diperoleh bahwa nisbah kelamin setiap stasiun berdasarkan TKG III adalah seimbang (Lampiran 6D). Nisbah kelamin TKG III TKG IV Stasiun Gambar 7. Nisbah kelamin ikan beunteur (Puntius binotatus) setiap stasiun berdasarkan TKG III dan IV. Nisbah kelamin setiap stasiun berdasarkan TKG IV menunjukkan pada stasiun satu dan tiga nilai nisbah kelamin yang dihasilkan lebih dari satu, sedangkan untuk stasiun dua, empat dan lima nisbah kelamin yang dihasilkan kurang dari satu dengan jumlah ikan betina lebih banyak daripada ikan jantan

41 30 (Gambar 7). Hasil uji Chi-square pada taraf nyata 0,05 diperoleh bahwa nisbah kelamin setiap stasiun berdasarkan TKG IV adalah seimbang (Lampiran 6E). Seimbangnya jumlah ikan jantan dan betina setiap stasiun berdasarkan TKG III dan IV dapat disimpulkan bahwa satu ekor ikan jantan diduga membuahi satu ekor ikan betina. Faktor kondisi Faktor kondisi Nilai rata-rata faktor kondisi ikan beunteur jantan berkisar 0,87 1,05 sedangkan untuk ikan betina berkisar 1,40 1,54 (Gambar 8; Lampiran 7A). Baik pada ikan jantan maupun ikan betina, faktor kondisi rata-rata tertinggi terdapat pada stasiun dua. Diduga pada stasiun tersebut ikan beunteur mencapai tingkat kematangan gonad yang tinggi dan siap memijah. Tingginya persentase ikan mengalami matang gonad menyebabkan nilai faktor kondisi meningkat pula. Nilai faktor kondisi ikan betina lebih besar dari ikan jantan, diduga karena pengaruh pertumbuhan ovarium terhadap faktor kondisi lebih besar daripada testes, yang menunjukkan bahwa ikan betina memiliki kondisi yang lebih baik untuk bertahan hidup dan melakukan proses reproduksinya. Pada saat pengamatan didapatkan ukuran gonad (TKG IV) ikan betina lebih besar daripada gonad ikan jantan pada berat tubuh yang sama. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lagler (1972) bahwa jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi faktor kondisi selain umur dan musim Jantan (n = 100) Stasiun Betina (n = 87) Gambar 8. Faktor kondisi rata-rata ikan beunteur (Puntius binotatus ) jantan dan betina setiap stasiun

42 31 Nilai faktor kondisi ikan beunteur untuk masing-masing selang panjang (Gambar 9) secara umum cenderung berfluktuasi baik pada ikan jantan maupun ikan betina. Ikan jantan memiliki nilai faktor kondisi antara 0,84 1,37 sedangkan untuk ikan betina berkisar antara 1,39 1,73 (Lampiran 7B). Fluktuasi ini diduga berkaitan dengan aktivitas pemijahan dan adanya perbedaan aktivitas makan pada setiap selang panjang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lagler (1972) dan Effendie (1997) bahwa jenis-jenis makanan yang dimakan suatu spesies ikan biasanya bergantung pada kesukaan terhadap jenis makanan tertentu, ukuran dan umur ikan, musim, serta habitat hidupnya. Faktor kondisi relatif berfluktuasi terhadap ukuran ikan. Ikan yang berukuran kecil (juvenil) mempunyai faktor kondisi relatif yang tinggi, kemudian menurun ketika ikan bertambah besar. Hal ini berhubungan dengan perubahan jenis makanan ketika ikan mengalami pertumbuhan. Pada awal masa pertumbuhan terjadi pembentukan sel dan jaringan pada tubuh ikan yang membutuhkan banyak energi. Keadaan ini yang mendorong ikan untuk makan sebanyak mungkin, sehingga faktor kondisi meningkat. Menurut Asyarah (2006) ikan beunteur yang berukuran kecil cenderung herbivora, kemudian ketika ikan berukuran sedang cenderung karnivora, dan ketika ikan beunteur dewasa cenderung omnivora. Faktor Kondisi Jantan (n = 100) Panjang Total (mm) Betina (n = 87) Gambar 9. Faktor kondisi rata-rata ikan beunteur (Puntius binotatus) jantan dan betina setiap selang panjang

43 32 Faktor Kondisi Berdasarkan tingkat kematangan gonad, nilai faktor kondisi ikan beunteur jantan berkisar 0,92 0,99 dan ikan beunteur betina berkisar 1,41 1,49 (Gambar 10; Lampiran 7C). Nilai faktor kondisi ikan jantan dan betina cenderung meningkat menjela ng pemijahan (TKG IV). Diduga dipengaruhi oleh proses perkembangan gonad yang berjalan dengan baik. Hal ini berkaitan dengan dengan pernyataan Effendie (1997) bahwa tingginya faktor kondisi dapat pula terjadi pada saat ikan mengisi gonadnya dengan sel kelamin dan akan mencapai puncak sebelum terjadi pemijahan Jantan (n = 100) I II III IV TKG Gambar 10. Faktor kondisi rata -rata ikan beunteur (Puntius binotatus) jantan dan betina setiap TKG. Berdasarkan waktu pengambilan sample (Gambar 11) nilai faktor kondisi pada ikan jantan berkisar antara 0,80-1,04 dan ikan betina berkisar antara 1,31-1,61 (Lampiran 7D). Nilai faktor kondisi tertinggi terjadi pada akhir bulan Juli baik untuk ikan jantan (1,04) maupun ikan betina (1,61). Diduga waktu itu Betina (n = 87) merupakan puncak pemijahan sehingga faktor kondisi meningkat I II III IV

44 Jantan (n = 100) 2 Betina (n = 87) Faktor Kondisi Waktu pengambilan sample Gambar 11. Faktor kondisi rata-rata ikan beunteur (Puntius binotatus) jantan dan betina setiap waktu pengambilan sample (Keterangan: 1=Akhir Juni, 2=Awal Juli, 3=Akhir Juli, 4=Awal Agustus) Tingkat kematangan gonad (TKG) Ikan beunteur jantan dan betina dengan TKG III dan TKG IV ditemukan hampir disetiap stasiun (Gambar 12; Lampiran 8A). Persentase terbesar ikan beunteur TKG IV terdapat pada stasiun dua baik untuk ikan jantan (100%) maupun ikan betina (90%). Diduga stasiun dua merupakan tempat memijah yang ideal karena substrat dasar perairannya berupa pasir berbatu serta adanya tanaman air dan sampah-sampah yang cocok untuk menempelkan telur. Menurut Axelrod dan Schultz (1983) serta Effendie (1997) ketika ikan beunteur siap untuk memijah, pasangan tersebut akan menuju suatu tempat, kemudian telur yang dikeluarkan akan menempel pada tanaman air, substrat, sampah dan lain-lain. Dilihat dari presentase TKG III dan IV pada setiap stasiun, diduga ikan beunteur sedang melakukan pemijahan pada semua stasiun.

45 34 100% Jantan (n = 100) 80% 60% 40% IV III II I 20% 0% TKG (%) 100% 80% 60% 40% 20% Betina (n = 87) IV III II I 0% Stasiun Gambar 12. Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan beunteur (Puntius binotatus) jantan dan betina setiap stasiun. Persentase tertinggi TKG III ikan jantan terdapat pada selang panjang mm (100%), sedangkan untuk ikan betina terdapat pada selang panjang mm (66,67%). Presentase tertinggi TKG IV ikan jantan terda pat pada selang panjang dan mm (100%), sedangkan untuk ikan betina terdapat pada selang panjang mm (100%) (Gambar 13; Lampiran 8B). Ikan beunteur jantan mulai matang gonad pada ukuran 50 mm, sedangkan untuk ikan betina pada ukuran 56 mm. Dengan demikian ikan jantan cenderung matang gonad pertama kali pada ukuran yang lebih pendek daripada ikan betina. Affandi dan Tang (2002) menyatakan bahwa tiap-tiap spesies ikan pada waktu pertama kali ma tang gonad tidak sama ukurannya. Demikian juga dengan ikan yang spesiesnya sama. Faktor utama yang mempengaruhi kematangan gonad ikan antara lain suhu dan makanan selain keberadaan hormon.

46 35 100% Jantan (n = 100 ekor) 80% 60% 40% IV III II I TKG (%) 20% 0% 100% 80% 60% 40% 20% 0% Betina (n = 87 ekor) Panjang total (mm) Gambar 13. Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan beunteur (Puntius binotatus) jantan dan betina setiap selang panjang. Berdasarkan waktu pengambilan sample (Gambar 14) baik pada ikan jantan maupun ikan betina, TKG IV ditemukan pada setiap pengambilan sample. Persentase tertinggi TKG IV pada ikan jantan terdapat pada akhir bulan Juni sebesar 26,7%, sedangkan untuk ikan betina terdapat pada akhir bulan Juli sebesar 66,7% (Lampiran 8C). Berdasarkan persentase ikan betina yang matang gonad pada setiap waktu pengambilan sample maka dapat dinyatakan bahwa mulai dari akhir bulan Juni sampai dengan akhir bulan Agustus merupakan musim pemijahan IV III II I bagi ikan beunteur, dengan puncak pemijahan terjadi pada akhir bulan Juli.

47 Jantan (n = 100) 100 TKG (%) Betina (n = 87) IV III II I Waktu pengambilan sample IV III II I Gambar 14. Tingkat kema tangan gonad (TKG) ikan beunteur (Puntius binotatus ) jantan dan betina setiap waktu pengambilan sample (Keterangan: 1=Akhir Juni, 2=Awal Juli, 3=Akhir Juli, 4=Awal Agustus) Indeks kematangan gonad (IKG) Indeks kematangan gonad (IKG) ikan jantan berkisar antara 1,37-2,54% dan ikan betina berkisar antara 3,60-9,99% (Gambar 15; Lampiran 9A). Rata-rata IKG pada ikan jantan tertinggi pada stasiun dua dan terendah pada stasiun tiga, sedangkan pada ikan betina rata-rata IKG tertinggi pada stasiun satu dan terendah pada stasiun tiga.

48 37 IKG (%) Jantan (n = 100) Stasiun Gambar 15. Indeks kematangan gonad rata -rata pada ikan beunteur (Puntius binotatus) jantan dan betina setiap stasiun. Dari nilai IKG tersebut diketahui bahwa IKG betina lebih besar dar ipada IKG ikan jantan, diduga karena pertumbuhan ikan betina lebih tertuju pada pertumbuhan gonad, akibatnya berat ovarium menjadi lebih besar dibandingkan berat testes, pada ukuran berat tubuh ikan yang sama. Sehingga dapat dikatakan bahwa pengaruh perkembangan gonad terhadap berat tubuh pada ikan betina lebih signifikan dibandingkan pada ikan jantan. Berdasarkan TKG (Gambar 16), rata-rata IKG ikan jantan dan betina menunjukkan peningkatan seiring dengan perkembangan gonad. Pada ikan jantan maupun ikan betina nilai IKG mencapai puncak pada TKG IV, dengan nilai IKG rata-rata pada ikan jantan 2,49% dan ikan betina 8,84% (Lampiran 9B). Effendie (1997) mengungkapkan bahwa berat gonad akan mencapai maksimum saat akan memijah. Nilai tersebut kemudian menurun dengan cepat selama pemijahan berlangsung sampai pemijahan selesai. TKG IV merupakan puncak perkembangan gonad sehingga berat gonad mencapai maksimum dan ini mengakibatkan nilai IKG menjadi maksimum Betina (n = 87)

49 38 IKG (%) Jantan (n = 100) I II III IV TKG Gambar 16. Indeks kematangan gonad rata-rata pada ikan beunteur (Puntius binotatus) jantan dan betina setiap TKG. Indeks kematangan gonad (IKG) berdasarkan waktu pengambilan sample, memiliki nilai yang menurun untuk ikan jantan dan berfluktuasi untuk ikan betina (Gambar 17; Lampiran 9C). Nilai IKG pada ikan jantan berkisar antara 1,49-2,19% dan ikan betina berkisar 6,37-7,69%. Rata -rata IKG pada ikan jantan tertinggi pada akhir bulan Juni dan terendah pada akhir bulan Agustus, sedangkan untuk ikan betina rata-rata IKG tertinggi pada akhir bulan Juli dan terendah pa da akhir bulan Agustus Betina (n = 87) I II III IV 3 Jantan (n = 100) 12 Betina (n = 87) IKG (%) Waktu pengambilan sample Gambar 17. Indeks kematangan gonad (IK G) rata-rata pada ikan beunteur (Puntius binotatus) jantan dan betina setiap waktu pengambilan sample (Keterangan: 1=Akhir Juni, 2=Awal Juli, 3=Akhir Juli, 4=Awal Agustus) Fekunditas Fekunditas ikan beunteur dihitung dari 80 ekor yang terdiri dari 40 ekor ikan TKG III dan 40 ekor ikan TKG IV. Fekunditas berkisar antara

50 39 Fekunditas butir. Fekunditas maksimum dijumpai pada ukuran panjang total 107 mm dengan berat tubuh 17,93 gr dan berat gonad 0,29 gr, sedangkan fekunditas terendah ditemukan pada ukuran panjang total 52 mm dengan berat tubuh 2,41 gr dan berat gonad 0,03 (Gambar 18; Lampiran 10). Rata-rata fekunditas ikan beunteur sebesar 2588 butir. Nilai tersebut menyatakan bahwa ikan beunteur di bagian hulu DAS Ciliwung memiliki fekunditas yang lebih tinggi dibandingkan fekunditas ikan beunteur di Situ Cigudeg. Menurut Saepudin (1999) ikan beunteur di Situ Cigudeg dengan ukuran panjang antara mm da n berat antara 1,5-10,7 gr memiliki fekunditas antara butir. Perbedaan ini diduga berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan dan ketersediaan makanan. Dalam Effendie (1997) dijelas kan bahwa fekunditas suatu spesies ikan berkaitan erat dengan lingkungannya. Fekunditas dari suatu spesies ikan akan berubah bila keadaan lingkungan berubah. Perubahan ini berkaitan dengan kelimpahan makanan dan kepadatan populasi ikan dalam lingkungan tersebut (Wootton, 1979 dan Effendie, 1997). Hubungan fekunditas dengan panjang total (mm) mempunyai nilai korelasi sebesar r = 0,75, yang menunjukkan bahwa hubungan antara fekunditas dengan panjang total adalah erat. Dari Gambar 18, terlihat bahwa dengan bertambahnya panjang total maka fekunditasnya juga akan meningkat. Hubungan fekunditas dengan panjang total ikan beunteur menghasilkan persamaan : F = L F = L r = Panjang Total (mm) Gambar 18. Hubungan fekunditas dengan panjang total ikan beunteur (Puntius binotatus).

51 Diameter telur Ikan beunteur mempunyai sebaran diameter telur antara µm (TKG III dan IV). Jumlah ikan yang diamati sebaran diameter telurnya pada TKG III 40 ekor dan TKG IV 40 ekor. Sebaran diameter telur pada TKG III berkisar antara µm, dan terbanyak pada selang µm (43,23%). Pada TKG IV, diameter telur berkisar antara µm dan terbanyak pada selang µm (51,03%) (Gambar 19; Lampiran 11). Dari sebaran diameter telur TKG IV, diperoleh modus penyebaran dengan satu puncak. Ini menunjukkan bahwa ikan beunteur tergolong kelompok ikan yang memijah dengan mengeluarkan telur sekaligus (total spawner). Biasanya ikan yang tergolong dalam kelompok ini memiliki ukuran diameter telur yang kecil, fekunditas yang besar dan musim pemijahan yang tetap (Lowe-McConnell, 1987). 50 TKG III (n = 40 ekor) Frekuensi (%) TKG IV (n = 40 ekor) Selang diameter telur (µm) Gambar 19. Sebaran diameter telur ikan beunteur ( Puntius binotatus) TKG III-IV

52 Kualitas perairan di bagian hulu DAS Ciliwung Parameter fisikan dan kimia di bagian hulu DAS Ciliwung (Tabel 3; Lampiran 12) menunjukkan bahwa suhu perairan pada saat pengamatan berkisar antara 19-22,5 C. Pengukuran suhu pada setiap stasiun tidak menunjukkan fluktuasi yang besar. Kisaran suhu tersebut semakin ke hilir semakin tinggi, Hal ini diduga karena adanya perbedaan ketinggian lokasi stasiun pengamatan. Stasiun 1 merupakan daerah yang banyak ditumbuhi pohon-pohon sehingga penetrasi cahaya matahari terhalang. Semakin ke arah hilir, lebar sungai semakin membesar dan daerahnya terbuka, tidak ada yang menghalangi penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan. Lebar sungai tiap stasiun berturut-turut sebesar 1,65 m, 3,33 m, 20,61 m, 22,07 m dan 43,29 m. Sehingga semakin kearah hilir, semakin besar pula daerah yang terkena cahaya matahari. Hal ini menyebabkan semakin kearah hilir suhu perairan semakin meningkat. Tabel 3. Kualitas air sungai Ciliwung bagian hulu Parameter Satuan Stasiun pengamatan Baku St. 1 St. 2 St. 3 St. 4 St. 5 Mutu Fisika Suhu C ( - ) Kecerahan % ( - ) Kekeruhan NTU 3,047-15,933 0,797-8,890 4,463-9,767 2,690-9,557 8,897-22,267 ( - ) Arus m/dtk 0,547-0,675 0,601-0,976 0,696-1,162 0,610-1,123 1,219-1,784 ( - ) Kedalaman cm 5-11,67 16,67-38, ,67 63,33-68,33 ( - ) TSS mg/l < 400 Kimia ph - 7 6,5-7,5 7-7, DO mg/l 5,710-7,436 5,710-7,635 5,909-7,569 6,307-8,166 6,374-8,100 > 3 BOD 5 mg/l 2,921-6,838 1,062-5,577 0,398-6,440 0,465-4,249 0,332-3,386 < 6 N-Nitrat mg/l 0,468-1,482 0,279-2, ,270 0,457-1,457 0,286-1,713 < 20 N-Nitrit mg/l 0,090-0,110 0,048-0,358 0,034-0,117 0,022-0,060 0,022-0,039 < 0.06 N-Amonia mg/l 0,112-1,838 0,069-1,929 0,063-1,878 0,120-1,819 0,080-1,749 ( - ) Orthofosfat mg/l 0,00-0,145 0,001-0,377 0,003-0,371 0,00-0,438 0,022-0,208 < 1 Nilai kecerahan yang diperoleh selama pengamatan berkisar antara 56,7-100%. Semakin ke hilir semakin banyak masukan bahan organik dan limbah rumah tangga, sehingga dengan bertambahnya kedalaman perairan maka penetrasi cahaya matahari kedalam perairan semakin terbatas.

53 42 Kekeruhan di daerah hulu sungai Ciliwung berkisar antara 0,797-22,267 NTU. Berdasarkan Tabel 3, terjadi penurunan nilai kekeruhan di stasiun 2. Hal ini diduga oleh substrat yang berbatu dan dangkal. Seda ngkan tingginya nilai kekeruhan di Stasiun 1, di duga karena Stasiun 1 berada di sekitar perkebunan teh. Limpasan tanah yang disebabkan oleh gerusan arus akan menambah kekeruhan perairan. Nilai kekeruhan tertinggi terdapat di Stasiun 5. Hal ini diduga karena lokasi Stasiun 5 yang berada di daerah bendungan (Bendungan Cibalok) dan terdapat beberapa keramba ikan milik masyarakat yang memungkinkan adanya masukan bahan-bahan tersuspensi yang terakumulasi dan adanya pengaruh arus yang mengakibatkan proses pengadukan sehingga kekeruhan menjadi tinggi. Nilai kekeruhan yang tinggi mengakibatkan berkurangnya penetrasi cahaya kedalam perairan sehingga akan menghambat laju fotosintesis oleh fitoplankton. Arus sungai di perairan hulu Sungai Ciliwung secara umum bersifat turbulen, yaitu bergerak ke segala arah sehingga air akan terdistribusi ke seluruh bagian perairan tersebut. Pada alur sungai yang lurus arus air biasanya lebih deras pada bagian tengah daripada bagian tepi. Kecepatan arus yang berbeda-beda akan berpengaruh terhadap tipe substrat perairan. Kecepatan arus sungai di bagian hulu Sungai Ciliwung selama pengamatan berkisar antara 0,547-1,784 m/dtk. Semakin menuju daerah hilir, nilai arus cenderung semakin meningkat. Hal ini diduga sema kin ke arah hilir, derajat kemiringan sungai cenderung semakin curam sehingga mempengaruhi kecepatan arus. Nilai TSS perairan selama pengamatan di bagian hulu daerah aliran Sungai Ciliwung berkisar antara 2-42 mg/l. Berdasarkan Tabel 3, nilai TSS tertinggi terdapat di Stasiun 5. Hal ini diduga karena lokasi Stasiun 5 yang berada di sekitar pemukiman yang akan menghasilkan limbah rumah tangga. Di Stasiun 5 juga terdapat keramba ikan milik masyarakat dan adanya bendungan yang akan menyebabkan terakumulasinya bahan-bahan tersuspensi. Tingginya nilai TSS di Stasiun 1 diduga karena memiliki substrat pasir berlumpur dan adanya kikisan tanah atau erosi tanah dari perkebunan teh yang terbawa ke badan air. Hasil pengukuran derajat keasaman (ph) di bagian hulu daerah aliran Sungai Ciliwung selama pengamatan berkisar antara 6,5-8,0. Dari Tabel 3 dapat dilihat nilai rata -rata ph selama pengamatan tidak menunjukkan perbedaan yang

54 43 cukup besar. Kisaran nilai ph tersebut masih dapat ditolerir bagi pertumbuhan organisme perairan terutama plankton. Menurut Novotny dan Olem (1994), sebagian besar biota akuatik lebih senang pada ph mendekati netral, tetapi masih dapat bertahan pada kisaran ph 6,0-8,5. Dengan demikian ph di perairan hulu DAS Ciliwung masih mendukung kehidupan ikan. Kandungan oksigen terlarut (DO) di perairan bagian hulu DAS Ciliwung berkisar antara 5,710-8,166 mg/l. Nilai oksigen terlarut ini masih tergolong baik bagi kehidupan ikan dan organisme air lainnya, hal ini seperti yang diungkapkan oleh Effendi (2003) bahwa kandungan oksigen terlarut minimum agar dapat mendukung kehidupan ikan pada semua stadia hidupnya adalah sebesar 5 mg/l. BOD 5 di daerah aliran Sungai Ciliwung selama pengamatan berkisar antara 0,332-6,838 mg/. Pada Tabel 3terlihat nilai BOD 5 dari hulu ke arah hilir mengalami penurunan. Nilai BOD5 terbesar terdapat di Stasiun 1 dan BOD5 terendah terdapat di Stasiun 5. Tingginya nilai BOD 5 di Stasiun 1, diduga karena adanya masukan bahan organik yang berasal dari perkebunan teh di sekitarnya. Limpasan tanah yang mengandung bahan organik tersebut akan masuk ke perairan, sehingga bahan organik di perairan meningkat. Berdasarkan klasifikasi kualitas perairan mengalir (Lee et al.,1978 in Rostalina, 1994), kisaran nilai BOD di perairan bagian hulu DAS Ciliwung menunjukkan perairan dalam kriteria tidak tercemar sampai tercemar sedang. Hasil pengukuran kandungan NO 3 -N di daerah aliran Sungai Ciliwung selama pengamatan berkisar antara 0,279-2,137 mg/l. Berdasarkan Tabel 3, nilai NO 3 -N tertinggi terdapat di Stasiun 2. Hal ini diduga karena Stasiun 2 yang berada di sekitar pemukiman masyarakat, sehingga limbah buangan rumah tangga yang dihasilkan akan masuk ke perairan. Nilai NO 3 -N di Stasiun 1 lebih tinggi dibandingkan nilai NO 3 -N di Stasiun 3, 4 dan 5, diduga letak Stasiun 1 yang berada di sekitar daerah perkebunan teh yang menghasilkan limpasan bahanbahan organik yang masuk ke dalam perairan. Kandungan NO 2 -N di daerah aliran Sungai Ciliwung selama pengamatan berkisar antara 0,022-0,358 mg/l. Berdasarkan Tabel 3, nilai kandungan NO 2 -N tertinggi terdapat pada Stasiun 2. NO2-N merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat, bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen sehingga di perairan biasanya NO 2 -N lebih sedikit

55 44 daripada NO 3 -N (Effendi, 2003). Kandungan NH 3 -N di daerah aliran Sungai Ciliwung selama pengamatan berkisar antara 0,063-1,929 mg/l. Nilai kandungan NH 3 -N di setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai rata -rata kandungan NH 3 -N di setiap stasiun selama pengamatan termasuk tinggi. Amonia di perairan berasal dekomposisi bahan organik melalui proses amonifikasi. Kadar amonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri dan limpasan pupuk pertanian (Effendi, 2003). Hasil pengukuran kandungan ortofosfat di daerah aliran Sungai Ciliwung selama pengamatan berkisar antara 0-0,438 mg/l. Nilai kandungan ortofosfat tertinggi di Stasiun 4 dan nilai terendah di Stasiun 1. Tingginya nilai kandungan ortofosfat di Stasiun 4 diduga karena lokasi 4 yang berada di sekitar pemukiman penduduk dan daerah persawahan. Sumber fosfor berasal dari dekomposisi bahan organik. Sumber antropogenik fosfor adalah limbah industri dan rumah tangga, yakni fosfor yang berasal dari deterjen. Limpasan dari daerah pertanian yang menggunakan pupuk juga memberikan masukan yang cukup besar bagi keberadaan fosfor (Effendi, 2003). 4.4 Alternatif pengelolaan Pengelolaan sumberdaya hayati ikan diarahkan pada upaya-upaya yang menjamin kelestarian stok ikan. Aspek reproduksi ikan sangat berkaitan dengan ada tidaknya stok ikan. Kegagalan atau keberhasilan reproduksi akan berpengaruh pada besarnya populasi suatu spesies ikan. Sjafei et al. (1992) menyebutkan keberhasilan reproduksi dari suatu individu ikan dipengaruhi oleh tingkat keberhasilan mendapatkan makanan atau energi untuk menghasilkan keturunan. Penelitian tentang aspek reproduksi ikan merupakan salah satu mata rantai dalam rangkaian upaya pengelolaan suberdaya hayati ikan. Ikan beunteur jantan dan betina masing-masing mencapai umur produktif diduga pada ukuran panjang minimal 50 mm dan 56 mm. Siklus reproduksi baru terjadi setelah ikan melewati ukuran tersebut. Oleh karenanya diperlukan regulasi penangkapan untuk menjamin ikan dapat mencapai umur produktif. Regulasi penangkapan ini meliputi pengaturan waktu penangkapan dan selektivitas alat

56 45 tangkap. Penangkapan sebaiknya tidak dilakukan terhadap ikan yang belum mencapai umur produktif. Penangkapan ikan pada saat menjelang pemijahan juga harus dihindari agar ikan mendapat kesempatan melakukan reproduksi. Ikan beunteur memijah pada setiap stasiun di bagian hulu DAS Ciliwung, dan diduga puncak pemijahan terjadi pada bulan Juli, sehingga intensitas penangkapan sebaiknya dikurangi atau ditiadakan pada saat ikan memijah hingga pemijahan selesai. Alat tangkap yang disarankan adalah alat tangkap yang tidak merusak lingkungan antara lain jala lempar dan pancing. Untuk menjaga lingkungan perairan di bagian hulu DAS Ciliwung perlu dilakukan penyuluhan kepada penduduk setempat mengenai bahaya pencemaran, yang bukan hanya berdampak pada organisme perairan, namun juga kepada manusia., penyuluhan tentang alat tangkap dan kegiatan penangkapan, serta perlu dilakukan pemantauan terhadap limbah-limbah yang dibuang ke perairan sungai ini mengingat beberapa pabrik industri kecil telah banyak berdiri di sekitarnya.

57 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Ikan beunteur (Puntius binotatus C. V. 1842, Famili Cyprinidae) yang diamati berjumlah 187 ekor, terdiri atas 100 ekor ikan jantan dan 87 ekor ikan betina. Ukuran panjang ikan beunteur berkisar antara mm. Ikan jantan dan betina masing-masing ditemukan terbanyak pada stasiun 3 dan 4. Ikan beunteur jantan lebih banyak terdapat pada kisaran panjang total mm, sedangkan ikan betina banyak terdapat pada kisaran panjang total mm. Pola pertumbuhan ikan beunteur jantan bersifat allometrik negatif sedangkan untuk ikan betina bersifat isometrik. Nisbah kelamin ikan beunteur secara keseluruhan seimbang (1,15:1). Nilai rata-rata faktor kondisi ikan betina lebih besar daripada ikan jantan dan menunjukkan fluktuas i berdasarkan ukuran panjang, TKG, dan waktu pengambilan sampel. Ikan beunteur diduga memijah pada semua stasiun dan se lama pengambilan sample. Puncak pemijahan pada akhir bulan Juli dan diduga stasiun 2 yaitu Desa Neglasari merupakan tempat pemijahan yang ideal. Ikan jantan pertama kali matang gonad pada ukuran yang lebih pendek daripada ikan betina. Nilai rata-rata IKG tertinggi diperoleh pada stasiun 2 untuk ikan jantan dan stasiun 1 untuk ikan betina, dan nilainya menunjukkan peningkatan berdasarkan TKG dan pengambilan sample. Fekunditas ikan beunteur ber kisar antara butir. Hubungan fekunditas dengan panjang total (mm) mempunyai nilai korelasi sebesar r = 0,75 yang menunjukkan bahwa hubungan antara fekunditas dengan panjang total adalah erat. Sebaran diameter telur yang membentuk satu puncak menunjukkan bahwa tipe pemijahan ikan beunteur adalah total spawner. 5.2 Saran Pemanfaatan sumberdaya ikan beunteur sebaiknya tetap memperhatikan aspek kelestarian. Upaya pengelolaan yang disarankan meliputi regulasi waktu penangkapan dan selektivitas alat tangkap serta perlu dilakukan pengelolaan perairan dan penataan ruang sekitar sungai Ciliwung bagian hulu dalam mengurangi terjadinya pencemaran. Untuk melengkapi informasi tentang biologi

58 47 reproduksi ikan beunteur diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menentukan stasiun pengambilan sampel yang tetap setiap bulan dalam jangka waktu setahun, sehingga dapat diketahui waktu pemijahannya.

59 DAFTAR PUSTAKA Affandi, R. dan U. M. Tang Fisiologi Hewan Air. Unri Press. Riau. 217 hal. Anonimus Identifikasi dan Koleksi Flora-Fauna DAS Ciliwung Serta Prospek Pemanfaatannya: II. Flora Daerah Hulu. Laporan Akhir. Lembaga Penelitian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Asyarah, D. Q Studi Makanan Ikan Beunteur (Puntius binotatus) di Bagian Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, Jawa Barat. Skripsi. Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Axelrod, H. R. dan L. P. Schultz Handbook of Tropical Aquarium Fishes. T. F. H. Publications, Inc. Ltd. Hongkong. 718 p. Bal, D. V. dan K. V. Rao Marine Fisheries. Tata Mc Graw-Hill Publishing Company Limited. New Delhi. 470 hal. Effendi, H Telaahan Kualitas Air. Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Jurusan MSP. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bogor. 259 h Effendie, M. I Metode Biologi Perikanan. Yayasan De wi Sri. Bogor. 112 hal. Effendie, M. I Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 163 hal. Hariyadi, S., I. N. N. Suryadiputra dan B. Widigdo Limnologi Metoda Analisa Kualitas Air. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 122 hal. Inger, R. F. dan Chin. P. K The Fresh-Water Fishes of North Borneo in Fieldiana: Zoology, Zoological Series of Field Museum of Natural History. Chicago Natural History Museum. Chicago. Vol 45: hal. Kottelat, M. A. J. Whitten, S. N. Kartikasari, dan S. Wirjoatmodjo Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi (edisi dwi bahasa). Barkeley Books. Pte Itd, Terrer Road. Singapore. 293 hal. Lagler, K. F Freshwater Fishery Biology. WM. C. Brown Company Publisher. Dubuque, Iowa. 421 p. Lagler, K. F., J. E. Bardach, R. R. Miller. dan Dora M. Passino Ichthyology. John Wiley and Sons, Inc. New York. 505 hal.

60 49 Lowe-McConnel, R. H. L Ecological Studies in Tropical Fish Communities. Sydney: Cambridge University Press. Hal Mason, C. F Biology of Freshwater Pollution. Longman. New York. 351p. Nikolskii, G. V The Theory of Fish Population Dynamics as The Biological Background for Rational Exploitation and Management of Fish Fishery Resuorces. Oliver and Boyd Publisher United Kingdom. London. 323 hal. Nikolsky, G. V The Ecology of Fishes. Academic Press. New york. 325 hal. Novotny, V. dan H. Olem Water Quality, Prevention, Identification, and Management of Diffuse Pollution. Van Nostrans Reinhold, New York p. Pawitan, H Karakteristik Hidrologi dan Daur Limpasan Permukaan Daerah Aliran Sungai Ciliwung. Laporan Akhir Penelitian. Jurusan Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematika da n Ilmu-Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Purwanto, G., Bob W. M. dan Sj. Bustaman Studi Pendahuluan Keadaan Reproduksi dan Perbandingan Kelamin Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Perairan Sekitar Teluk Piru dan Elpaputih Pulau Seram. Jurnal Penelitian Perikanan Laut 34: hal. Roberts, T. R Puntius binotatus sp Agustus Roberts, T. R The Freswater Fishes of Western Borneo (Kalimantan Barat, Indonesia). California Academy of Sciences. San Fransisco. Rostalina, D Perubahan Struktur Komunitas Makrozoobenthos di Berbagai Ruas Sungai Cimahi Bandung Barat. Skripsi. Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasikan. Saanin, H Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jilid I. Bina Cipta. Bandung. 256 hal. Sabri Analisis Alih Fungsi Lahan dengan Menggunakan Penginderaan Jauh dan Kesediaan Membayar di Sub DAS Ciliwung Hulu Jawa Barat. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak dipublikasikan. Saepudin, A Studi Aspek Biologi Reproduksi Ikan-ikan di Situ Cigudeg Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Skripsi. Manajemen Sumberdaya Perairan.

61 50 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Sanusi, H. S., M. S. Saeni, D. S. Sjafei, dan A. Kasry Kemampuan Purifikasi Alamiah Sungai Ciliwung Terhadap Pengotoran Air Limbah Pabrik Penyamak Kulit. Departemen Biologi Perairan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Schuster, W. H. dan R. R. Djajadiredja Local Common Names of Indonesian Fishes. W. Van Hoeve. Bandung. 276 hal. Sjafei, D. S., M. F. Rahardjo, M. Brojo, R. Affandi dan Sulistiono Fisiologi Ikan II: Reproduksi Ikan. Pusat Antar Universitas (PAU). Institut pertanian Bogor. Bogor. 210 hal. Steel, R. G. D. dan J. H. Torrie Prinsip dan Prosedur Statistika: Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan Bambang Sumantri. Edisi Kedua. PT Gramedia. Jakarta. 748 hal. Walpole, R. E Pengantar Statistika. Terjemahan Bambang Suma ntri (Edisi Ketiga). PT Gramedia. Jakarta. 515 hal. Weber, M. dan L. F. de Beaufort The Fish of Indo-Australian Archipelago. Vol: III (I). Leiden, E. J. Brill Ltd. Amsterdam. Hal Wootton, R. J Energy Costs of Egg Production and Environmental Determinant of Fecundity. H In P. J. Miller (ed.), Fish Phenology: Anabolic Adaptiveness in Teleosts. The Proceeding of a Symposium Held at The Zoological Society of London. Academic Press. xv h.

62 LAMPIRAN

63 St 5 St 4 06o40 St 3 U St 2 St 1 S 106o50 106o55 f 106o70 Lampiran 1: Peta lokasi pengambilan sampel di bagia n hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, Jawa Barat (software Map of Jakarta 2004).

64 53 Lampiran 2. Klasifikasi tingkat kematangan gonad ikan belanak (Mugil dussumieri) menurut Cassie (1956) in Effendie (1979). Tingkat No kematangan gonad 1. I 2. II 3. III 4. IV 5. V Jantan Testes seperti benang, lebih pendek dan terlihat ujungnya di rongga tubuh, warna jernih. Ukuran testes lebih besar, warna putih seperti susu, bentuk lebih jelas daripada TKG I. Permukaan testes tampak bergerigi, warna makin putih, testes makin besar, dalam keadaan diawetkan mudah putus. Seperti TKG III, testes tampak lebih jelas, testes semakin pejal. Testes bagian belakang kempis dan dibagian dekat pelepasan masih berisi. Betina Ovari seperti benang, panjang sampai ke rongga perut bagian depan, warna jernih dan permukaan licin. Ukuran ovari lebih besar, warna lebih gelap kekuningkuningan, telur belum terlihat jelas dengan mata. Ovari berwarna kuning, secara morfologi telur sudah kelihatan butirnya dengan mata. Ovari makin besar, telur berwarna kuning dan mudah dipisahkan, ovari mengisi ½ sampai 2/3 rongga tubuh, usus terdesak. Ovari berkerut, dindingnya tebal, butir telur sisa terdapat di dekat pelepasan, banyak telur seperti TKG II.

65 54 Lampiran 3. Karakter morfometrik dan meristik ikan beunteur (P. binotatus). A. Morfometrik ikan beunteur No ikan PT (mm) PB (mm) TB (mm) PK (mm) TBE (mm) PB:PT PK:PB TB:PB TBE:PB B. Meristik ikan beunteur No ikan D P V A C Sisik L.1 Warna tubuh 1 D IV. 8 P I. 17 V I. 8 A III. 5 C Abu-abu keperakan 2 D IV. 8 P I. 17 V I. 9 A III. 5 C Abu-abu keperakan 3 D IV. 8 P I. 16 V I. 9 A III. 5 C Abu-abu keperakan 4 D IV. 8 P I. 15 V I. 8 A III. 5 C Abu-abu keperakan 5 D IV. 8 P I. 15 V I. 8 A III. 5 C Abu-abu keperakan 6 D IV. 8 P I. 16 V I. 9 A III. 5 C Abu-abu keperakan 7 D IV. 8 P I. 17 V I. 8 A III. 5 C Abu-abu keperakan

66 55 No Sisik D P V A C ikan L.1 Warna tubuh 8 D IV. 8 P I. 15 V I. 8 A III. 5 C Abu-abu keperakan 9 D IV. 8 P I. 15 V I. 8 A III. 5 C Abu-abu keperakan 10 D IV. 8 P I. 17 V I. 8 A III. 5 C Abu-abu keperakan 11 D IV. 8 P I. 16 V I. 9 A III. 5 C Abu-abu keperakan 12 D IV. 8 P I. 16 V I. 9 A III. 5 C Abu-abu keperakan 13 D IV. 8 P I. 17 V I. 8 A III. 5 C Abu-abu keperakan 14 D IV. 8 P I. 15 V I. 9 A III. 5 C Abu-abu keperakan 15 D IV. 8 P I. 15 V I. 9 A III. 5 C Abu-abu keperakan Keterangan: D : Sirip dorsal P : Sirip pectoral V : Sirip ventral A : Sirip anal PT : Panjang total (mm) PB : Panjang baku (mm) PK : Panjang kepala (mm) TB : Tinggi badan (mm) TBE : Tinggi batang ekor (mm) Sisik pada L.1 : Jumlah sisik pada Linea lateralis

67 56 Lampiran 4. Distribusi frekuensi ikan beunteur (P. binotatus) di bagian hulu DAS Ciliwung, Jawa Barat. A. Setiap stasiun Stasiun Jumlah ikan (ekor) Frek (%) Jantan Kisaran berat (gr) Jumlah ikan (ekor) Frek (%) Betina Kisaran berat (gr) , ,75 4,27-6, ,18-9, ,49 3,91-27, ,95-4, ,64 1,55-9, ,74-9, ,13 2,05-14, ,48-18, ,99 2,05-16,27 Jumlah B. Setiap selang panjang Selang panjang Jumlah ikan (mm) (ekor) Jantan Betina Jumlah Frek Kisaran berat Frek ikan (%) (gr) (%) (ekor) Kisaran berat (gr) ,9-2, ,95-2,57 5 5,75 1,55-2, ,74-3,63 7 8,05 2,05-3, ,04-5, ,14 2,29-6, ,71-8, ,84 5,5-10, ,74-9, ,54 6,89-13, , ,79 6,57-16, ,43 5 5,75 15,09-18, ,15 27,7 Jumlah

68 57 Lampiran 5. Uji t hubungan panjang-berat ikan beunteur (P. binotatus). Jenis kelamin b Sb Jantan 2,3941 0,1042 Betina 2,9573 0,0907 Ket: Sb = Simpangan baku Hipotesis: H 0 : b = 3 (Pola pertumbuhan isometrik) H1 : b 3 (Pola pertumbuhan allometrik) Taraf nyata 95% (á = 0,05) Wilayah kritik : t < -1,96 dan t > 1,96 Rumus t hit = b 1 3 Sb 1 thit untuk ikan jantan = t hit untuk ikan betina = 2, ,1042 2, ,0907 = 5,8176 = 0,4711 Hasil : Untuk ikan jantan : t hit > t tab = tolak H 0 Untuk ikan betina : t hit < t tab = gagal tolak H 0 Kesimpulan : P ola pertumbuhan untuk ikan jantan adalah allometrik Pola pertumbuhan untuk ikan betina adalah isometrik

69 58 Lampiran 6. Nisbah kelamin dan uji Chi-square ikan beunteur (P. binotatus) A. Setiap stasiun Stasiun Jantan Frekuensi harapan Betina Frekuensi harapan Jumlah Nisbah kelamin 1 7 6, , , , , , , , , , , , , ,2 Jumlah ,1494 Hipotesis: H 0 : P1 = P2 = P3 = P4 = P5 H 1 : P1 P2 P3 P4 P5 Tingkat kepercayaan: 95% ( 2 (0,05; 5-1) = 9,49) 2 hitung = ( 7 6,4171 ) ( 5 5,5829 ) 2 ( 24 23,5294 ) 2 ( 20 20,4706 ) , , , , 4706 = 28,6743 (Tolak H 0, karena 2 hit > 2 tab) B. Secara keseluruhan Frekuensi Frekuensi Jenis kelamin Jantan Betina Jumlah harapan harapan Jumlah , ,5 187 Hipotesis: H 0 : P = 0,5 (seimbang) H1 : P 0,5 (tidak seimbang) Tingkat kepercayaan: 95% ( 2 (0,05; 2-1) = 3,84) , ,5 93,5 93,5 2 hitung = ( ) ( )2 = 0,9037 (Terima H0, karena 2 hit < 2 tab)

70 59 Lampiran 6 (lanjutan) C. Setiap tingkat kematangan gonad (TKG) TKG Jantan Frekuensi harapan Betina Frekuensi harapan Jumlah Nisbah kelamin I 23 14, , ,75 II 35 20, , ,6667 III 21 32, , ,525 IV 21 32, , ,525 Jumlah ,1494 Hipotesis: H 0 : P1 = P2 = P3 = P4 H 1 : P1 P2 P3 P4 Tingkat kepercayaan: 95% ( 2 (0,05; 4-1) = 7,81) 2 hitung = ( ) 2 ( ) 2 ( ) , , ,6203 ( 40 28,3797 ) 14, , = 51,4989 (Tolak H 0, karena 2 hit > 2 tab) 32, , D. Setiap stasiun berdasarkan TKG III Stasiun Jantan Frekuensi harapan Betina Frekuensi harapan Jumlah Nisbah kelamin Jumlah Hipotesis: H 0 : P1 = P2 = P3 = P4 = P5 H 1 : P1 P2 P3 P4 P5 Tingkat kepercayaan: 95% ( 2 (0,05; 5-1) = 9,49)

71 60 Lampiran 6 (lanjutan) 2 hitung = ( ) 2 ( ) 2 ( ) 2 1 1, , ,5410 ( 10 12, ) 1, ,9672 = (Terima H0, karena 2 hit < 2 tab) + + 6, , E. Setiap stasiun berdasarkan TKG IV Stasiun Jantan Frekuensi harapan Betina Frekuensi harapan Jumlah Nisbah kelamin Jumlah Hipotesis: H 0 : P1 = P2 = P3 = P4 = P5 H 1 : P1 P2 P3 P4 P5 Tingkat kepercayaan: 95% ( 2 (0,05; 5-1) = 9,49) 2 hitung = ( ) 2 ( ) 2 ( ) 2 3 2, , ,5082 ( 9 10, ) 2, ,9344 = (Terima H 0, karena 2 hit < 2 tab) + + 5, ,4918 2

72 61 Lampiran 7. Rata-rata dan kisaran faktor kondisi ikan beunteur (P. binotatus). A. Setiap stasiun Stasiun Jantan Betina K rata Kisaran Sb K rata Kisaran Sb 1 0,9577 0,6573-1,2973 0,2193 1,4038 1,1719-1,7147 0, ,0507 0,9909-1,1105 0,0846 1,5364 1,1902-1,8866 0, ,9814 0,5233-3,2759 0,4113 1,4748 0,9158-1,9306 0, ,8677 0,5929-1,0371 0,1208 1,4319 0,6981-2,0247 0, ,9384 0,6335-1,3664 0,1770 1,4060 1,0477-1,6872 0,1662 Ket: Sb = Simpangan baku B. Setiap selang panjang Panjang Jantan Betina total (mm) K rata Kisaran Sb K rata Kisaran Sb ,6573-3, , ,4468-1, ,5929-1, ,1497-1, ,6944-1, ,9158-1, ,7638-1, ,1719-2, ,9038-1, ,0477-1, ,1369-1,1369 TT ,6981-1, ,3664-1,3664 TT ,3035-1, ,7295-1,7295 TT Ket: TT = Tidak Terdefinisi

73 62 Lampiran 7 (lanjutan) C. Setiap tingkat kematangan gonad (TKG) TKG I II III IV Jantan Betina K rata Kisaran Sb K rata Kisaran Sb 0,9361 0,5929-1,3365 0,2261 1,4316 1,1673-1,5924 0,1860 0,9304 0,5233-3,2759 0,4427 1,4908 0,9158-1,9076 0,5145 0,9227 0,6625-1,3664 0,1516 1,4103 0,9409-2,0247 0,2253 0,9943 0,7341-1,2973 0,1344 1,4705 0, ,2327 D. Setiap waktu pengambilan sample Waktu Jantan Betina K rata Kisaran Sb K rata Kisaran Sb Akhir Juni 0,8022 0,5929-1,0268 0,1212 1,3143 0,6981-1,7743 0,2450 Awal Juli 0,8415 0,5233-1,2973 0,2166 1,4965 1,1056-2,0247 0,2120 Akhir Juli 1,0368 0,6335-1,3664 0,1783 1,6055 1,3509-1,8433 0,1774 Awal Agustus 1,0238 0,6328-3,2759 0,4740 1,5195 1,1953-1,9306 0,1808

74 63 Lampiran 8. Frekuensi tingkat kematangan gonad ikan beunteur (P. binotatus). A. Setiap stasiun Frekuensi (%) Stasiun Jantan Betina I II III IV I II III IV 1 28,57 14,29 14,29 42, ,21 48,84 9,30 4,65 27,27 27,27 27,27 18,18 4 8,33 33,33 29,17 29, ,54 41, ,50 20,83 37,50 29, B. Setiap selang panjang Panjang total (mm) Frekuensi (%) Jantan Betina I II III IV I II III IV ,43 2, ,87 25,71 4, ,33 0 2, ,70 68,57 33,33 4, , , ,86 42,86 23, , ,29 38, , , , , , , ,5

75 64 Lampiran 8 (lanjutan) C. Setiap waktu pengambilan sample Waktu Frekuensi (%) Jantan Betina I II III IV I II III IV Akhir Juni 3,33 46,67 23,33 26,67 3,13 3,13 59,38 34,38 Awal Juli ,16 54,84 Akhir Juli 38,24 23,53 17,65 20, ,33 66,67 Awal Agustus 26,92 34,62 23,08 15, ,11 27,78 44,44

76 65 Lampiran 9. Rata-rata dan kisaran inde ks kematangan gonad (IKG) ikan beunteur (P. binotatus). A. Setiap stasiun Jantan Betina Stasiun IKG rata (%) Kisaran Sb IKG rata (%) Kisaran Sb 1 2,07 0,68-2,69 0,78 9,99 4,93-22,95 7,60 2 2,54 2,15-2,93 0,55 9,03 4,69-15,20 3,68 3 1,37 0,12-2,93 0,82 3,60 0,41-10,87 3,32 4 2,07 0,95-3,30 0,62 7,53 2,66-13,17 2,98 5 2,03 0,44-5,92 1,09 6,55 1,85-10,68 2,30 B. Setiap tingkat kematangan gonad (TKG) Jantan Betina TKG IKG rata (%) Kisaran Sb IKG rata (%) Kisaran Sb I 0,74 0,12-2,63 0,53 0,85 0,41-1,85 0,67 II 1,67 0,93-2,67 0,50 2,00 1,14-3,25 1,11 III 2,33 0,80-5,92 0,99 6,41 2,66-13,17 2,69 IV 2,49 1,65-3,30 0,47 8,84 3,00-22,95 3,53 C. Setiap waktu pengambilan sample Jantan Betina Waktu IKG rata (%) Kisaran Sb IKG rata (%) Kisaran Sb Akhir Juni 2,19 1,22-3,20 0,55 7,04 1,85-22,95 4,24 Awal Juli 1,88 0,60-2,78 0,72 7,53 2,66-13,84 2,80 Akhir Juli 1,58 0,12-5,92 1,18 7,69 4,40-11,40 2,44 Awal Agustus 1,49 0,44-2,86 0,71 6,37 0,41-15,20 4,25

77 66 Lampiran 10. Fekunditas ikan beunteur (P. binotatus). No ikan PT (mm) BT (gr) TKG BG (gr) IKG (%) Fekunditas (butir telur)

78 Keterangan: PT = Panjang Total (mm) BG = Berat Gonad (gr) BT = Berat Total (gr) TKG = Tingkat Kematangan Gonad IKG = Indeks Kematangan Gonad (%)

79 68 Lampiran 11. Sebaran diameter telur ikan beunteur (P. binotatus) TKG III Selang kelas (µm) butir telur Anterior % , , , , , , Total Frekuensi (%) Selang diameter telur Selang kelas (µm) butir telur Median % , , , , , , Total Frekuensi (%) Selang diameter telur Selang kelas (µm) butir telur Posterior % , , , , , , ,07 Total Frekuensi (%) Selang diameter telur

80 69 Lampiran 12. Sebaran diameter telur ikan beunteur (P. binotatus) TKG IV Selang kelas (µm) butir telur Anterior % , , , , ,15 Total Frekuensi (%) Selang diameter telur Selang kelas (µm) butir telur Median % , , , , ,15 Total Frekuensi (%) Selang diameter telur Selang kelas (µm) butir telur Posterior % Total Frekuensi (%) Selang diameter telur

81 70 Lampiran 13. Data pengukuran parameter fisika dan kimia perairan di bagian hulu daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung, Jawa Barat Suhu st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 Sampling Sampling Sampling Sampling Kecerahan st1 st2 st3 st4 st5 Sampling Sampling Sampling Sampling Kekeruhan st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 Sampling Sampling Sampling Sampling ph st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 Sampling Sampling Sampling Sampling Arus st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 Sampling Sampling Sampling Sampling

82 71 Lampiran 13 (lanjutan) Kedalaman st. 1 st. 2 st. 3 st. 4 st. 5 Sampling Sampling Sampling Sampling TSS st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 Sampling Sampling Sampling Sampling DO st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 Sampling Sampling Sampling Sampling BOD 5 st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 Sampling Sampling Sampling Sampling N-Nitrat st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 Sampling Sampling Sampling Sampling

83 72 Lampiran 13 (lanjutan) N-Nitrit st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 Sampling Sampling Sampling Sampling N-amonia st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 Sampling Sampling Sampling Sampling Orthofosfat st.1 st.2 st.3 st.4 st.5 Sampling Sampling Sampling Sampling

84 73 Lampiran 14. Foto-foto Ovarium dan Testes ikan beunteur (P. binotatus) Ovarium Testes

85 74 Lampiran 15. Foto-foto Stasiun Pengamatan Stasiun 1. Taman R.E. Martadinata (Cikamasan) Stasiun 2. Desa Neglasari Stasiun 3. Jembatan Hankam, Desa Jogjogan

86 75 Lampiran 15 (lanjutan) Stasiun 4. Jembatan Nusa Dua, Kampung Muara, Kecamatan Cisarua. Stasiun 5. Bendungan Cibalok

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek II. TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek Puntius Orphoides C.V adalah ikan yang termasuk anggota Familia Cyprinidae, disebut juga dengan ikan mata merah. Ikan brek mempunyai garis rusuk

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2006, Agustus 2006 Januari 2007 dan Juli 2007 di Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi dengan sumber air berasal dari

Lebih terperinci

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan

3.3. Pr 3.3. P os r ed e u d r u r Pe P n e e n l e iltiitan 12 digital dengan sensifitas 0,0001 gram digunakan untuk menimbang bobot total dan berat gonad ikan, kantong plastik digunakan untuk membungkus ikan yang telah ditangkap dan dimasukan kedalam cool box,

Lebih terperinci

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh

Gambar 4. Peta lokasi pengambilan ikan contoh 14 Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2009. Lokasi pengambilan ikan contoh adalah tempat pendaratan ikan (TPI) Palabuhanratu. Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Ekobiologi,

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 16 3. METODE PENELITIAN 3.1. Rancangan Penelitian Pola reproduksi ikan swanggi (Priacanthus tayenus) pada penelitian ini adalah tinjauan mengenai sebagian aspek reproduksi yaitu pendugaan ukuran pertama

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di PPI Muara Angke, Jakarta Utara dari bulan Januaribulan Maret 2010. Analisis aspek reproduksi dilakukan di Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kali Baru mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan di

Lebih terperinci

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi 4 2.2. Morfologi Ikan Tambakan (H. temminckii) Ikan tambakan memiliki tubuh berbentuk pipih vertikal. Sirip punggung dan sirip analnya memiliki bentuk dan ukuran yang hampir serupa. Sirip ekornya sendiri

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh karena itu, sumber air sangat dibutuhkan untuk dapat menyediakan air yang baik dari segi kuantitas

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan selama empat bulan dari Oktober 2011 hingga Januari 2012 di Waduk Ir. H. Djuanda, Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat (Gambar 3). Pengambilan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma)

METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penangkapan ikan kembung perempuan (R. brachysoma) 11 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kalibaru mulai dari bulan Agustus sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan Teluk Jakarta

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004)

3. METODE PENELITIAN. Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004) 12 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-September 2011 dengan waktu pengambilan contoh setiap satu bulan sekali. Lokasi pengambilan ikan contoh

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Ikan Keperas (Puntius binotatus) Menurut Saanin (1984), Robert (1989) dan Kottelat et al., (1993), klasifikasi ikan Puntius binotatus adalah sebagai berikut : Kelas

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama enam bulan dari bulan Mei - Oktober 2011. Pengambilan ikan contoh dilakukan di perairan mangrove pantai Mayangan, Kabupaten

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan Desember 2013 di Sungai Tulang Bawang. Pengambilan sampel dilakukan satu kali dalam satu bulan, dan dilakukan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Klasifikasi ikan tembang (Sardinella maderensis Lowe, 1838 in www.fishbase.com) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum

Lebih terperinci

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE. Waktu dan Tempat Penelitian 17 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Suaka Margasatwa Muara Angke, Penjaringan Jakarta Utara, pada bulan Februari 2012 sampai April 2012. Stasiun pengambilan contoh ikan merupakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga

III. METODOLOGI. Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga III. METODOLOGI A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di perairan Way Tulang Bawang, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung selama 6 bulan dimulai dari bulan April 2013 hingga September 2013.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Palau Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Octinopterygii Ordo : Cypriniformes Famili : Cyprinidae Genus : Osteochilus Spesies : Osteochilus vittatus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan sungai Sungai merupakan salah satu dari habitat perairan tawar. Berdasarkan kondisi lingkungannya atau daerah (zona) pada sungai dapat dibedakan menjadi tiga jenis,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakasanakan mulai awal bulan Maret sampai bulan Mei, dengan interval pengambilan data setiap dua minggu. Penelitian berupa pengumpulan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Klasifikasi ikan Juaro (Pangasius polyuranodon) menurut Kottelat dan Whitten (1993) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Sub filum : Vertebrata Kelas

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan biodegradable) menjadi CO 2 dan H 2 O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang digunakan untuk mengoksidasi air sampel (Boyd, 1988 dalam Effendi, 2003).

Lebih terperinci

Faktor kondisi (K) rata-rata terbesar pada ikan mujair jantan (1,978) dan terkecil pada ikan sapu-sapu jantan (0,816). lkan beunteur dan ikan

Faktor kondisi (K) rata-rata terbesar pada ikan mujair jantan (1,978) dan terkecil pada ikan sapu-sapu jantan (0,816). lkan beunteur dan ikan RINGKASAN Ade Saepudin. C 31.1398. Studi Aspek Biologi Reproduksi lkan-ikan di Situ Cigudeg, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dibawah bimbingan lr. Murniarti Brojo, MS. dan Dr. Ir. Djadja Subardja Sjafei.

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos Odum (1993) menyatakan bahwa benthos adalah organisme yang hidup pada permukaan atau di dalam substrat dasar perairan yang meliputi organisme

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 21 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Situ IPB yang terletak di dalam Kampus IPB Dramaga, Bogor. Situ IPB secara geografis terletak pada koordinat 106 0 34-106 0 44 BT dan

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan lokasi

3 METODE PENELITIAN. 3.1 Waktu dan lokasi 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi Penelitian makanan dan reproduksi ikan tilan dilakukan selama tujuh bulan yang dimulai dari bulan Desember 2007- Juli 2008. Sampling dan observasi lapangan dilakukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Labiobarbus ocellatus Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D. 2012. Labiobarbus ocellatus (Heckel, 1843) dalam http://www.fishbase.org/summary/

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF BIOLOGI REPRODUKSI IKAN JUARO (Pangasius polyuranodon) DI DAERAH ALIRAN SUNGAI MUSI, SUMATERA SELATAN ABDUL MA SUF DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Berdasarkan hasil yang diperoleh dari kepadatan 5 kijing, persentase penurunan total nitrogen air di akhir perlakuan sebesar 57%, sedangkan untuk kepadatan 10 kijing

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Sungai Sungai umumnya lebih dangkal dibandingkan dengan danau atau telaga. Biasanya arus air sungai searah, bagian dasar sungai tidak stabil, terdapat erosi atau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda

genus Barbodes, sedangkan ikan lalawak sungai dan kolam termasuk ke dalam species Barbodes ballaroides. Susunan kromosom ikan lalawak jengkol berbeda 116 PEMBAHASAN UMUM Domestikasi adalah merupakan suatu upaya menjinakan hewan (ikan) yang biasa hidup liar menjadi jinak sehingga dapat bermanfaat bagi manusia. Domestikasi ikan perairan umum merupakan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 : Ikan tembang (S. fimbriata)

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 : Ikan tembang (S. fimbriata) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) Klasifikasi ikan tembang menurut Saanin (1984) berdasarkan tingkat sistematikanya adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Danau Toba Di dalam ekosistem terdapat komunitas, populasi dan individu serta karakteristiknya. Interaksi antar populasi dalam suatu ekosistem, relung dan habitat

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di perairan berlumpur Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan intensitas penangkapan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah di sekitarnya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi Hewan Air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, pada bulan Maret 2013 sampai dengan April 2013.

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 18 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 hingga Januari 2014 agar dapat mengetahui pola pemijahan. Pengambilan sampel dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sungai Tabir merupakan sungai yang berada di Kecamatan Tabir Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. Sungai Tabir merupakan sungai yang berada di Kecamatan Tabir Kabupaten BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sungai Tabir merupakan sungai yang berada di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin Provinsi Jambi. Sungai yang berhulu di Danau Kerinci dan bermuara di Sungai Batanghari

Lebih terperinci

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI &[MfP $00 4 oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI RAJUNGAN (Portiinirspelngicus) DI PERAIRAN MAYANGAN, KABWATEN SUBANG, JAWA BARAT Oleh: DEDY TRI HERMANTO C02499072 SKRIPSI Sebagai Salah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peranan penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah disekitarnya,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kajian populasi Kondisi populasi keong bakau lebih baik di lahan terlantar bekas tambak dibandingkan di daerah bermangrove. Hal ini ditunjukkan oleh nilai kepadatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan karena lingkungan air tawar memiliki beberapa kondisi, antara lain:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan karena lingkungan air tawar memiliki beberapa kondisi, antara lain: 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Indonesia adalah negara kepulauan dengan kawasan maritim yang sangat luas sehingga Indonesia memiliki kekayaan perikanan yang sangat kaya.pengetahuan lingkungan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pencemaran Organik di Muara S. Acai, S. Thomas, S. Anyaan dan Daerah Laut yang Merupakan Perairan Pesisir Pantai dan Laut, Teluk Youtefa. Bahan organik yang masuk ke perairan

Lebih terperinci

STUDI MORFOLOGI BEBERAPA JENIS IKAN LALAWAK (Barbodes spp) DI SUNGAI CIKANDUNG DAN KOLAM BUDIDAYA KECAMATAN BUAHDUA KABUPATEN SUMEDANG

STUDI MORFOLOGI BEBERAPA JENIS IKAN LALAWAK (Barbodes spp) DI SUNGAI CIKANDUNG DAN KOLAM BUDIDAYA KECAMATAN BUAHDUA KABUPATEN SUMEDANG STUDI MORFOLOGI BEBERAPA JENIS IKAN LALAWAK (Barbodes spp) DI SUNGAI CIKANDUNG DAN KOLAM BUDIDAYA KECAMATAN BUAHDUA KABUPATEN SUMEDANG ANGGA ALAN SURAWIJAYA C02499069 SKRIPSI PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan dimulai dari bulan Oktober 2013 hingga Januari 2014. Pengambilan sampel dilakukan di Rawa Bawang Latak, Desa Ujung

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir memiliki lebar maksimal 20 meter dan kedalaman maksimal 10 meter.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Tawes 2.1.1 Taksonomi Tawes Menurut Kottelat (1993), klasifikasi ikan tawes adalah sebagai berikut: Phylum : Chordata Classis Ordo Familia Genus Species : Pisces : Ostariophysi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Situ Gede. Situ Gede terletak di sekitar Kampus Institut Pertanian Bogor-Darmaga, Kelurahan Situ Gede, Kecamatan Bogor Barat,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 24 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan sampel ikan tuna mata besar dilakukan pada bulan Maret hingga bulan Oktober 2008 di perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa

Lebih terperinci

ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM

ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM ASPEK REPRODUKSI IKAN LELAN (Osteochilus vittatus C.V) Di SUNGAI TALANG KECAMATAN LUBUK BASUNG KABUPATEN AGAM Oleh : Rido Eka Putra 0910016111008 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 010 di daerah pantai berlumpur Kuala Tungkal, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Udang contoh yang

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan Selat merupakan perairan relatif sempit yang menghubungkan dua buah perairan yang lebih besar dan biasanya terletak di antara dua daratan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan data sampel yaitu dengan pengamatan atau pengambilan sampel secara langsung pada lokasi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber :

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber : 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Layur (Tricihurus lepturus) Layur (Trichiurus spp.) merupakan ikan laut yang mudah dikenal dari bentuknya yang panjang dan ramping. Ikan ini tersebar di banyak perairan dunia.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

MANAJEMEN KUALITAS AIR

MANAJEMEN KUALITAS AIR MANAJEMEN KUALITAS AIR Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan dimulai dari April hingga September

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan dimulai dari April hingga September III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan dimulai dari April hingga September 2013. Pengambilan sampel dilakukan di sepanjang Way Tulang Bawang dengan 4 titik

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Spesifikasi Alat dan Bahan

bio.unsoed.ac.id METODE PENELITIAN A. Spesifikasi Alat dan Bahan III. METODE PENELITIAN A. Spesifikasi Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah jaring tancap (gillnet), jala tebar, perahu, termometer, secchi disk, spuit, botol plastik, gelas ukur

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 14 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika Kimia Perairan dan Substrat Estuari mempunyai kondisi lingkungan yang berbeda dengan sungai dan laut. Keberadaan hewan infauna yang berhabitat di daerah estuari

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di TPI Cilincing, Jakarta Utara. Pengambilan data primer berupa pengukuran panjang dan bobot ikan contoh yang ditangkap

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T No.714, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KP. Larangan. Pengeluaran. Ikan. Ke Luar. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PERMEN-KP/2014 TENTANG LARANGAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ikan brek (Puntius orphoides C.V) larutan MnSO 4, larutan KOH-KI,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Barbichthys laevis (Froese and Pauly, 2012)

TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Barbichthys laevis (Froese and Pauly, 2012) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ulubatu (Barbichthys laevis) Kelas Filum Kerajaan : Chordata : Actinopterygii : Animalia Genus Famili Ordo : Cyprinidae : Barbichthys : Cypriniformes Spesies : Barbichthys laevis

Lebih terperinci

Titin Herawati, Ayi Yustiati, Yuli Andriani

Titin Herawati, Ayi Yustiati, Yuli Andriani Prosiding Seminar Nasional Ikan ke 8 Relasi panjang berat dan aspek reproduksi ikan beureum panon (Puntius orphoides) hasil domestikasi di Balai Pelestarian Perikanan Umum dan Pengembangan Ikan Hias (BPPPU)

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi plankton sampai tingkat genus pada tambak udang Cibalong disajikankan pada Tabel 1. Hasil identifikasi komunitas plankton

Lebih terperinci

Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian

Gambar 3 Peta Lokasi Penelitian III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian dilaksanakan di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) tiga, yaitu Laut Jawa dari bulan Desember 2008 sampai dengan bulan Desember

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Sungai Bone mempunyai panjang 119,13 Km 2 yang melintasi wilayah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Sungai Bone mempunyai panjang 119,13 Km 2 yang melintasi wilayah BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Lokasi penelitian Sungai Bone mempunyai panjang 119,13 Km 2 yang melintasi wilayah Kabupaten Bone Bolango dan Kota Gorontalo. Sungai ini bermuara ke

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunitas Chironomid

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunitas Chironomid II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Komunitas Chironomid Makroavertebrata benthik atau sering kita sebut benthos adalah hewan yang tidak bertulang belakang yang memiliki ukuran tubuh lebih besar dari 0,5 mm. Menurut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODE

BAB 2 BAHAN DAN METODE BAB 2 BAHAN DAN METODE 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 pada beberapa lokasi di hilir Sungai Padang, Kecamatan Medang Deras, Kabupaten Batubara. Metode yang digunakan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi sumberdaya suatu perairan karena akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Suhu Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan kebutuhan

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG STRUKTUR KOMUNITAS MEIOBENTHOS YANG DIKAITKAN DENGAN TINGKAT PENCEMARAN SUNGAI JERAMBAH DAN SUNGAI BUDING, KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KARTIKA NUGRAH PRAKITRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA BAB 2 BAHAN DAN METODA 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 10 Maret- 20 Juli 2011 di Perairan Kuala Tanjung Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batubara, dan laboratorium Pengelolaan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KUALITAS PERAIRAN DI SUNGAI KAHAYAN DARI KEBERADAAN SISTEM KERAMBA STUDI KASUS SUNGAI KAHAYAN KECAMATAN PAHANDUT KALIMANTAN TENGAH

IDENTIFIKASI KUALITAS PERAIRAN DI SUNGAI KAHAYAN DARI KEBERADAAN SISTEM KERAMBA STUDI KASUS SUNGAI KAHAYAN KECAMATAN PAHANDUT KALIMANTAN TENGAH IDENTIFIKASI KUALITAS PERAIRAN DI SUNGAI KAHAYAN DARI KEBERADAAN SISTEM KERAMBA STUDI KASUS SUNGAI KAHAYAN KECAMATAN PAHANDUT KALIMANTAN TENGAH Rezha Setyawan 1, Dr. Ir. Achmad Rusdiansyah, MT 2, dan Hafiizh

Lebih terperinci