PENETAPAN KOMODITAS UNGGULAN DALAM UPAYA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DI PROVINSI PAPUA BARAT ARDHA PUSPITA SARI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENETAPAN KOMODITAS UNGGULAN DALAM UPAYA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DI PROVINSI PAPUA BARAT ARDHA PUSPITA SARI"

Transkripsi

1 PENETAPAN KOMODITAS UNGGULAN DALAM UPAYA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DI PROVINSI PAPUA BARAT ARDHA PUSPITA SARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Penetapan Komoditas Unggulan dalam Upaya Pengembangan Agribisnis di Provinsi Papua Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2014 Ardha Puspita Sari NIM H

4

5 RINGKASAN ARDHA PUSPITA SARI. Penetapan Komoditas Unggulan dalam Upaya Pengembangan Agribisnis di Provinsi Papua Barat. Dibimbing oleh RITA NURMALINA dan DWI RACHMINA. Potensi sumber daya pertanian yang dimiliki oleh Provinsi Papua Barat hendaknya dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin sehingga dapat meningkatkan perekonomian daerah. Salah satu pemanfaatan potensi tersebut yaitu dengan pengembangan agribisnis, tentunya dengan menitikberatkan pada komoditas-komoditas yang menjadi unggulan di Papua Barat agar dapat bersaing dengan daerah lain. Tujuan penielitian ini adalah menganalisis prioritas penetapan komoditas unggulan Provinsi Papua Barat, menganalisis sentra wilayah pengembangan komoditas unggulan di Provinsi Papua Barat, dan rekomendasi arah pengembangan agribisnis di Provinsi Papua Barat. Analisis AHP digunakan dalam penentuan prioritas komoditas unggulan dengan mempertimbangkan kriteria kesesuaian agroekosistem, kondisi ekonomi dan daya dukung wilayah. Masing-masing kriteria memiliki sub kriteria yang akan digunakan untuk mendapatkan komoditas unggulan, antara lain: kriteria agroekosistem yaitu produktivitas, produksi dan trand produksi; kriteria ekonomi yaitu pendapatan, kelayakan usaha, perdagangan dan industri pengolahan; dan kriteria daya dukung yaitu modal, pasar, teknologi, sumber daya manusia, lembaga, sarana dan kebijakan pemerintah. Komoditas pertanian yang dipilih dibedakan menjadi 4 sektor yaitu tanaman pangan, tanaman hortikultura, tanaman perkebunan dan peternakan. Berdasarkan hasil analisis AHP dengan kriteria kesesuaian agroekosistem, ekonomi dan daya dukung, maka penetapan komoditas unggulan dan sentra yang dapat mendukung pengembangan agribisnis di Provinsi Papua Barat adalah sebagai berikut: Kelompok tanaman pangan adalah padi (0,219), ubi jalar (0,184) dan kacang tanah (0,165). Padi menjadi prioritas utama komoditas unggulan karena memiliki bobot tertinggi pada kriteria ekonomi dan daya dukung, yaitu 0,333 dan 0,218. Sedangkan untuk kriteria kesesuaian agroekosistem padi memperoleh bobot terendah yaitu 0,105. Sentra pengembangan padi di Kabupaten Manokwari dan Sorong. Komoditas unggulan ubi jalar, bobot kriteria tertinggi adalah ekonomi (0,256), urutan kedua agroekosistem (0,184) dan terendah adalah daya dukung (0,136) dengan sentra pengembangan adalah Kabupaten Sorong dan Manokwari. Sedangkan pada komoditas unggulan kacang tanah, kriteria tertinggi adalah Agroekosistem (0,288), kedua adalah daya dukung (0,147) dan ketiga adalah kriteria ekonomi (0,071) dengan sentra pengembangannya di Kabupaten Manokwari dan Teluk Bintuni. Komoditas unggulan kelompok tanaman hortikultura yaitu kacang panjang dengan bobot 0,165, tomat dengan bobot 0,146 dan cabai dengan bobot 0,138. Kriteria kesesuaian agroekosistem pada komoditas kacang panjang memperoleh bobot paling tinggi (0,289), diikuti kriteria ekonomi (0,175), dan daya dukung (0,121). Pada komoditas tomat, bobot tertinggi pada kriteria ekonomi (0,264), kedua daya dukung (0,114) dan ketiga agroekosistem (0,064). Sedangkan pada komoditas cabai, bobot tertinggi pada kriteria ekonomi (0,175), kemudian daya

6 dukung (0,124) dan terendah agroekosistem (0,118). Sentra pengembangan komoditas hortikultura seluruhnya di Kabupaten Teluk Bintuni. Komoditas unggulan kelompok tanaman perkebunan yaitu pala (0,306), kelapa sawit (0,293) dan kakao (0,275). Pala mendapatkan bobot tertinggi pada kriteria ekonomi (0,376), kedua agroekosistem (0,371), dan ketiga daya dukung (0,184) dengan sentra pengembangan pala di Kabupaten Fak-fak. Komoditas kelapa sawit mendapatkan nilai tertinggi pada kriteria agroekosistem (0,293), diikuti kriteria daya dukung (0,252), dan terakhir kriteria ekonomi (0,192) dengan sentra pengembangannya di Kabupaten Sorong. Komoditas kakao mendapatkan bobot tertinggi pada kriteria kesesuaian agroekosisten (0,277), kemudian kriteria ekonomi (0,277), dan daya dukung (0,270) dengan sentra pengembangan di Kabupaten Raja Ampat. Komoditas unggulan pertenakan yaitu babi (0,309), sapi (0,191) dan ayam (0,184). Babi memiliki bobot tertinggi pada kriteria kesesuaian agroekosistem (0,393), diikuti ekonomi (0,295) dan daya dukung (0,151) dengan sentra pengembangan di Kabupaten Kaimana. Komoditas unggulan sapi memiliki bobot tertinggi pada kriteria agroekosistem (0,233), kedua kriteria ekonomi (0,125), dan terakhir daya dukung (0,175) dengan sentra pengembangannya di Kabupaten Fakfak. Sedangkan ayam memiliki bobot tertinggi pada kriteria ekonomi (0,260), diikuti daya dukung (0,251) dan kesesuaian agroekosistem (0,110) dengan sentra pengembangan di Kabupaten Kaimana. Arah pengembangan agribisnis di Provinsi Papua Barat sebaiknya sesuai dengan penetapan komoditas dan sentra pengembangannya dengan meningkatkan pengembangan industri input, pengembangan teknologi budidaya, peningkatan nilai tambah, pengembangan sistem pemasaran dan pengembangan lembaga penunjang sistem agribisnis. Kata kunci: Komoditas unggulan, sentra pengembangan, agribisnis, Papua Barat

7 SUMMARY ARDHA PUSPITA SARI. Prime Commodity Determination of Papua Barat Agribusiness Development. Supervised by RITA NURMALINA and DWI RACHMINA. Agriculture resources of Papua Barat should be exerted effectively to boost the regional economy. Prime commodity based agribusiness development is one of many approaches that can be used to improve the Papua Barat competitiveness. The aim of this study were to determine the Papua Barat prime commodity and its production area, and establish a recommendation on Papua Barat agribusiness development. Analytical Hierarchy Process (AHP) was used to prioritizing the commodity from each of four sectors that were planned to be developed: crops, horticulture, estate and livestock. The criteria used were agro-ecosystem suitability (sub-criteria: productivity, production and its tren), economic factors (income, feasibility, trade and processing industry avaibility) and regional carrying capacity (capital, market, technology, human resources, institution, facilities and government policy). The AHP showed that for the crop sector, the prime commodities are paddy (0,219), sweet potato (0,184) and peanut (0,165) respectively. Though in term of agro-ecosystem suitability paddy has the lowest weight (0,105), but paddy become the prime commodity since it has the highest weight of economic factor 0,333 and regional carrying capacity weight 0,218. Considering the agroacosystem, then Manokwari and Sorong can be recommended as main paddy production area in Papua Barat. The same area can be projected as a main production area for sweet potato as well, which become the second prime commodity as its economic weight 0,256 and agro-ecosystem suitability weight is Meanwhile, the third prime commodity, peanut, should be produced in Manokwari and Teluk Bintuni. The prime commodity for horticulture sector are legume (0,165), tomato (0,146), and chili (0,138). Legume become the prime commodity since it has the highest weight of agro-ecosystem suitability 0,289 and economic factor weight 0,175. Tomato become the second prime commodity as its economic weight 0,264 and regional carrying capacity weight 0,114. The third prime commodity are chili has the highest weight of economic factor 0,175 and regional carrying capacity weight 0,124. Teluk Bintuni Regency can be recommended as main horticulture production area in Papua Barat. The prime commodities for estate are nutmeg (0,306), palm oil (0,293), and cocoa (0,275). Nutmeg become the prime commodity since it has the highest weight of economic factor 0,376, agro-ecosystem factor 0,371 and regional carrying capacity with lowest weight 0,184. Considering the agro-acosystem, then Fak-fak can be recommended as main nutmeg production area in Papua Barat. Palm oil become the second prime commodity as its agro-ecosystem weight 0,264, regional carrying capacity weight 0,252 and economic factor 0,192. The main production area for palm oil in Sorong. Meanwhile, the third prime commodity, cocoa, should be produced in Raja Ampat. The prime commodities for livestock are pig (0,309), cattle (0,191) and chicken (0,184). Pig and cattle become the prime commodity since it has the

8 highest weight of agro-ecosystem, economic factor and regional carrying capacity with lowest weight. Differently with two categories above, chicken has the highest weight of economic factor (0,260) and regional carrying capacity (0,251) and agro-ecosystem (0,110). Considering the agro-acosystem, then Kaimana can be recommended as main pig and chicken production area and Fak-Fak for cattle production area in Papua Barat. Agribusiness development in West Papua should be in accordance with the prime commodity that has been determined. The development of agribusiness in Papua Barat requires some effort inestablishing input industries, improving cultivation technologies, creating and enforcing value added activities, developing marketing systems and establishing supporting institutions of agribusiness system. Keywords: Prime commodity, main production area, agribusiness, Papua Barat

9 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

10

11 PENETAPAN KOMODITAS UNGGULAN DALAM UPAYA PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DI PROVINSI PAPUA BARAT ARDHA PUSPITA SARI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agribisnis SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

12 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis Penguji Wakil Program Studi : Dr Ir Anna Fariyanti, MSi : Dr Amzul Rifin, SP MA

13 Judul Tesis: : Penetapan Komoditas Unggulan dalam Upaya Pengembangan Agribisnis di Provinsi Papua Barat Nama : Ardha Puspita Sari NIM : H Disetujui oleh Komisi Pembimbing Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS Ketua Dr Ir Dwi Rachmina, MSi Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Agribisnis Dekan Sekolah Pascasarjana Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr Tanggal Ujian: 6 Januari 2014 Tanggal Lulus:

14

15 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-nyalah penulisan tesis yang berjudul Penetapan Komoditas Unggulan dalam Upaya Pengembangan Agribisnis di Provinsi Papua Barat dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada: 1. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Dr Ir Dwi Rachmina, MSi selaku anggota komisi pembimbing atas segala bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis. 2. Dr Ir Ratna Winandi, MS selaku dosen evaluator pada pelaksanaan kolokium proposal penelitian, Dr Ir Basita Ginting, MA selaku moderator pada seminar hasil penelitian, Dr Ir Anna Fariyanti MSi selaku dosen penguji luar komisi dan Dr Amzul Rifin SP MA selaku dosen penguji perwakilan program studi pada ujian tesis yang telah memberikan banyak masukan dan arahan untuk penyempurnaan tesis ini. 3. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Magister Sains Agribisnis dan Dr Ir Suharno, MAdev selaku Sekretaris Program Studi Magister Sains Agribisnis, serta seluruh dosen dan staf Program Studi Magister Sains Agribisnis atas bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan. 4. Dr Ir Harry Uhi, MSi selaku Kepala Dinas Pertanian, Peternakan dan Ketahanan Pangan Provinsi Papua Barat, George Yarangga, APi MM selaku Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Provinsi Papua Barat, Drs Ishak Hallatu, MSi Selaku Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Papua Barat atas bantuan, kesediaan dan kerjasamanya dalam memberikan data dan informasi yang diperlukan selama penelitian. 5. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas Beasiswa Unggulan yang diberikan kepada penulis. 6. Penghargaan setinggi-tinginya penulis persembahkan kepada orang tua tercinta Bapak Mataji dan Ibu Purwanti, saudara-saudari serta kekasih atas segala doa, pengorbanan dan kasih sayangnya dalam memberikan motivasi yang begitu besar bagi penulis. 7. Teman-teman seperjuangan Angkatan II dan Angkatan III khususnya Angkatan II Genap 2012 pada Program Studi Magister Sains Agribisnis atas diskusi dan bantuan selama penulis mengikuti pendidikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Februari 2014 Ardha Puspita Sari

16 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Rumusan Masalah 5 Tujuan Penelitian 6 Manfaat Penelitian 6 Ruang Lingkup 7 2 TINJAUAN PUSTAKA 7 Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan 7 Peranan Komoditas Unggulan Terhadap Pembangunan Wilayah 8 Kriteria Komoditas Unggulan 9 Metode Pengukuran Komoditas Unggulan 10 3 KERANGKA PEMIKIRAN 12 Konsep Sistem Agribisnis 12 Pembangunan Wilayah Berbasis Agribisnis 14 Pengertian Komoditas Unggulan 15 Penetapan Prioritas dan Sentra Komoditas Unggulan 16 Kerangka Pimikiran Oprasional 17 4 METODE PENELITIAN 19 Lokasi dan Waktu Penelitian 19 Jenis dan Sumber Data 19 Metode Pengumpulan Data 19 Metode Analisis Data 20 5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 27 Letak, Batas dan Luas Wilayah 27 Penduduk dan Tenaga Kerja 28 Kondisi Sosial Ekonomi 30 Potensi Agribisnis Papua Barat 31 6 HASIL DAN PEMBAHASAN 37 Penetapan Komoditas Unggulan 37 Penetapan Sentra Pengembangan 57 Arah Penegmbangan Agribisnis 73 7 SIMPULAN DAN SARAN 77 Simpulan 77 Saran 77 DAFTAR PUSTAKA 78 LAMPIRAN 82 RIWAYAT HIDUP 121 vi vi vi

17 DAFTAR TABEL 1 Produk domestik bruto atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha (miliar rupiah) tahun Perkembangan PDRB Papua Barat atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun (%) 3 3 Luas lahan dan produksi komoditas utama di Provinsi Papua Barat tahun Populasi dan produksi peternakan di Provinsi Papua Barat tahun Komoditas unggulan Provinsi Papua Barat berdasarkan potensi produksi 6 6 Jumlah dan fungsi responden berdasarkan jenis responden 20 7 Perbandingan berpasangan antar komoditas pada masing-masing sub kriteria 23 8 Jumlah penduduk Provinsi Papua Barat menurut jenis kelamin per kabupaten tahun Jumlah penduduk angkatan kerja di Provinsi Papua Barat menurut jenis kelamin dan jenis kegiatan utama Tahun Perkembangan PDRB Provinsi Papua Barat atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun (%) Luas lahan yang sesuai untuk pengembangan pertanian menurut kabupaten di Provinsi Papua Barat tahun Sebaran dan tipe lahan yang sesuai di Provinsi Papua Barat tahun Luas lahan potensial untuk pengembangan pertanian menurut kabupaten di Provinsi Papua Barat tahun Luas panen tanaman pangan menurut kabupaten di Provinsi Papua Barat tahun 2011 (Ha) Rata-rata produksi tanaman pangan menurut kabupaten di Provinsi Papua Barat tahun (ton) Produksi tanaman perkebunan menurut kapubaten di Provinsi Papua Barat tahun 2011 (ton Rata-rata populasi ternak menurut kabupaten di Provinsi Papua Barat tahun (ekor) Nilai pada masing-masing sub kriteria komoditas unggulan pangan Provinsi Papua Barat Nilai pada masing-masing sub kriteria komoditas unggulan hortikultura Provinsi Papua Barat Nilai pada masing-masing sub kriteria komoditas unggulan perkebunan Provinsi Papua Barat Nilai pada masing-masing sub kriteria komoditas unggulan peternakan Provinsi Papua Barat 54

18 DAFTAR GAMBAR 1 Konsep dan pemikiran sistem agribisnis 13 2 Kerangka pemikiran operasional 18 3 Struktur AHP untuk penentuan prioritas komoditas 22 4 Struktur AHP untuk penentuan sentra pengembangan 26 5 Produksi tanaman hortikultura menurut kabupaten di Provinsi Papua Barat 34 6 Persentasi perkembangan produksi tanaman perkebunan di Provinsi Papua Barat tahun Hasil pembobotan kriteria dan subkriteria 38 8 Sebaran bobot prioritas komoditas unggulan tanaman pangan di Provinsi Papua Barat 39 9 Sebaran bobot prioritas komoditas unggulan tanaman hortikultura di Provinsi Papua Barat Sebaran bobot prioritas komoditas unggulan tanaman perkebunan di Provinsi Papua Barat Sebaran bobot prioritas komoditas peternakan di Provinsi Papua Barat Perbandingan sebaran bobot prioritas antar sektor komoditas unggulan Peta sentra komoditas unggulan di Provinsi Papua Barat Peta sentra pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan di Provinsi Papua Barat Lahan dan kegiatan pasca panen padi di Kabupaten Manokwari Kebun dan hasil ubi jalar di Provinsi Papua Barat Kebun kacang tanah di Provinsi Papua Barat Peta sentra pengembangan komoditas unggulan hortikultura di Provinsi Papua Barat Kebun kacang panjang dan tomat di Kabupaten Manokwari Peta sentra pengembangan komoditas unggulan tanaman perkebunan di Provinsi Papua Barat Kebun Pala dan Proses pemecahan biji pala oleh Masyarakat Kabupaten Fak-fak Kebun kelapa sawit di Distrik Prafi Kabupaten Manokwari Kebun kakao di Kabupaten Raja Ampat Peta sentra pengembangan peternakan di Provinsi Papua Barat 70 DAFTAR LAMPIRAN 1 Matriks perbandingan berpasangan 82 2 Hasil analisis AHP penetapan komoditas pangan 82 3 Hasil analisis AHP penetapan komoditas hortikltura 83 4 Hasil analisis AHP penetapan komoditas perkebunan 85

19 5 Hasil analisis AHP penetapan komoditas peternakan 86 6 Rata-rata produksi tanaman pangan Provinsi Papua Barat (ton) 87 7 Rata-rata produksi tanaman hortikultura Provinsi Papua Barat (ton) 87 8 Rata-rata produksi tanaman perkebunan Provinsi Papua Barat (ton) 87 9 Rata-rata populasi peternakan Provinsi Papua Barat (ekor) Rata-rata produksi tanaman pangan nasional (ton) Rata-rata produksi tanaman perkebunan nasional (ton) Rata-rata produksi tanaman hortikultura nasional (ton) Rata-rata populasi peternakan nasional (ton) Nilai LQ tanaman pangan Nilai LQ tanaman hortikultura Nilai LQ tanaman perkebunan Nilai LQ peternakan Produktivitas tanaman pangan Provinsi Papua Barat dan Nasional (Ton/Ha) Produktivitas tanaman hortikultura Provinsi Papua Barat dan Nasional (Ton/Ha) Produktivitas tanaman perkebunan Provinsi Papua Barat dan Nasional (Ton/Ha) Produktivitas peternakan Provinsi Papua Barat dan Nasional Analisis trend produksi tanaman pangan menurut kabupaten di Provinsi Papua Barat Analisis trend produksi tanaman hortikultura menurut kabupaten di Provinsi Papua Barat Analisis trend produksi tanaman perkebunan menurut kabupaten di Provinsi Papua Barat Analisis trend populasi peternakan menurut kabupaten di Provinsi Provinsi Papua Barat Analisis pendapatan dan R/C rasio padi Analisis pendapatan dan R/C rasio jagung Analisis pendapatan dan R/C rasio ubi kayu Analisis pendapatan dan R/C rasio ubi jalar Analisis pendapatan dan R/C rasio kedelai Analisis pendapatan dan R/C rasio kacang tanah Analisis pendapatan dan R/C rasio sayuran Analisis pendapatan dan B/C rasio pala Analisis pendapatan dan B/C rasio kelapa sawit Analisis pendapatan dan B/C rasio Kakao Analisis finansial peternakan sapi untuk 5 ekor dalam 1 tahun di Provinsi Papua Barat Analisis finansial peternakan kambing untuk 5 ekor dalam 1 tahun di Provinsi Papua Barat Analisis finansial peternakan babi untuk 5 ekor dalam 1 tahun di Provinsi Papua Barat Analisis finansial peternakan itik untuk 500 ekor di Provinsi Papua Barat Analisis finansial peternakan ayam untuk 1000 ekor di Provinsi Papua Barat 113

20 41 Analisis perdagangan tanaman pangan (ton) Analisis perdagangan tanaman hortikultura (ton) Analisis perdagangan tanaman perkebunan (ton) Analisis perdagangan peternakan (ekor) Jumlah industri pengolahan Jumlah tenaga kerja di sektor pertanian tahun 2011 (jiwa) Rata-rata skor penilaian daya dukung pengembangan sektor agribisnis di Provinsi Papua Barat Rata-rata jarak tempuh lokasi pedesaan terhadap kota Luas potensi wilayah pengembangan pertanian di Provinsi Papua Barat Kesesuaian wilayah (ketinggian) Provinsi Papua Barat Rata-rata produksi tanaman pangan menurut kabupaten Rata-rata produksi tanaman hortikultura menurut kabupaten Rata-rata produksi tanaman perkebunan menurut kabupaten Rata-rata populasi ternak menurut kabupaten 119

21 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah petani di Indonesia menurut data BPS mencapai 45% dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 42,47 juta jiwa. Sebagai negara dengan sebagian besar penduduk bekerja pada sektor pertanian, Indonesia hendaknya mewujudkan sektor pertanian sebagai unggulan (basis) ekonomi nasional demi peningkatan kesejahteraan rakyat. Untuk menjadikan sektor pertanian sebagai sektor unggulan dalam pembangunan ekonomi nasional, tranformasi pembangunan pertanian harus dilakukan ke arah pembangunan agribisnis. Pembangunan agribisnis memiliki keterkaitan yang erat dengan pembangunan daerah. Daerah yang ingin membangun ekonomi kerakyatan harus menjadikan pembangunan agribisnis sebagai fokus perhatian pembangunan. Hal ini disebabkan karena saat ini hampir seluruh ekonomi di daerah Indonesia berbasiskan sistem agribisnis, baik dikaji dari Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB), penyerapan tenaga kerja, maupun ekspor daerah (Saragih 2010). Operasionalisasi pembangunan sistem dan usaha agribisnis sebaiknya dilaksanakan melalui pengembangan kawasan dan pusat-pusat pertumbuhan berbasis komoditas sesuai dengan keunggulan masing-masing daerah. Oleh karena itu, daerah perlu mencermati sejumlah komoditas yang mempunyai keunggulan sesuai dengan kondisi wilayah untuk dikembangkan secara berkesinambungan. Ini berarti mulai meletakkan dasar kebijakan peningkatan produksi dalam sistem ekonomi kerakyatan dengan pertimbangan potensi alam, kondisi sosial ekonomi, penguasaan teknologi, kemampuan manajerial dan pemanfaatan sumber daya alam lokal. Saat ini di beberapa negara berkembang seperti negara-negara ASEAN negara-negara di Asia Selatan, Afrika, Eropa Timur, dan Amerika Selatan telah menerapkan progran OVOP (One village One Product) untuk mendukung pengembangan potensi daerah. OVOP dirintis oleh Prof. Morihiko Hiramatsu yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Oita, Jepang tepatnya pada OVOP merupakan suatu pendekatan pengembangan potensi daerah di suatu wilayah untuk menghasilkan suatu komoditas yang mampu bersaing di pasar global, dengan tetap memiliki ciri khas keunikan karakteristik dari daerah tersebut. Komoditas yang dihasilkan adalah komoditas yang memanfaatkan sumber daya lokal, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia dengan tetap menekankan pada nilai tambah lokal dan mendorong semangat menciptakan kemandirian masyarakat. Selain itu, konsepsi yang ditekankan dalam program ini, bahwa yang penting bukan hanya kemakmuran dari segi ekonomi (Gross National Product) tetapi juga kepuasan batin (Gross National Satisfaction) masyarakat setempat (Sugiharto dan Rizal 2008). Komoditas unggulan yang pada dasarnya bersifat dinamis, dipilih sesuai dengan potensinya dalam meningkatkan pendapatan atau menghemat devisa, meningkatkan nilai tambah, dan menyerap tenaga kerja secara produktif, serta berbasis utama pada sumber daya domestik yang ada (Rusono 1999). Sejalan dengan apa yang dikemukkan oleh Saragih (2010), dimana salah satu landasan kebijakan pembangunan pertanian dengan mengembangkan komoditas unggulan

22 2 yang berbasis pada keanekaragaman sumber daya, kelembagaan dan produk lokal. Oleh karena itu, kriteria dan pertimbangan utama dalam pemilihan komoditas unggulan meliputi: 1) memiliki peluang ekspor maupun substitusi impor secara kompetitif; 2) mempunyai potensi basis sumber daya yang relatif siap dimanfaatkan; 3) adanya terobosan teknologi, manajemen, dan kelembagaan; 4) berpotensi meningkatkan nilai tambah melalui pengolahan dan penanganan pasca panen; 5) memberikan peluang kerja bagi masyarakat dalam proses produksi, pengolahan maupun jasa. Tabel 1 menjelaskan kontribusi sektor pertanian terhadap PDB Indonesia tahun 2012, terlihat bahwa pertanian menempati urutan ketiga setelah sektor industri pengolahan serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Ini membuktikan bahwa sektor pertanian mempunyai peranan cukup besar dalam pengembangan perekonomian di Indonesia. Tetapi pada kenyataannya, sektor pertanian tidak dipersiapkan untuk dapat bersaing dengan negara lain. Pada tahun 2012, pertumbuhan sektor pertanian di Indonesia hanya sekitar 3,97% lebih rendah dari sektor lain padahal sektor tersebut diperlukan untuk mendukung sektor lain sebagai bahan baku. Tabel 1 Produk domestik bruto Provinsi Papua Barat atas dasar harga konstan 2000 menurut lapangan usaha (miliar rupiah) tahun 2012 Lapangan Usaha 2012 Proporsi (%) 1. Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan ,70 12,5 2. Pertambangan dan Penggalian ,40 7,3 3. Industri Pengolahan ,00 25,5 4. Listrik, Gas & Air Bersih ,40 0,7 5. Konstruksi ,60 6,5 6. Perdagangan, Hotel & Restoran ,20 18,0 7. Pengangkutan dan Komunikasi ,40 10,1 8. Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan ,70 9,6 9. Jasa-jasa ,80 9,3 Produk Domestik Bruto , Sumber: BPS 2013(diolah) Kontribusi pengembangan agribisnis dalam upaya peningkatan perekonomian Indonesia dapat dijadikan isu pokok mengingat potensi sektor pertanian Indonesia yang sangat besar, akan tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Potensi sektor pertanian memungkinkan untuk pengembangan agribisnis sebagai sumber pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Hal ini didasarkan pada: 1) Potensi sumberdaya alam Indonesia tersedia cukup besar; 2) Sektor pertanian merupakan sumber bahan baku industri-industri domestik masih sangat dibutuhkan; 3) Beberapa komoditas pertanian Indonesia mempunyai daya keunggulan komparatif di pasar internasional; dan 4) kemampuan sektor pertanian menyerap tenaga kerja, meningkatkan dan meratakan pendapatan masyarakat. Kondisi sumberdaya yang mendukung serta struktur ekonomi dibeberapa wilayah Indonesia yang berbasis pada pertanian, maka upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pembangunan agribisnis komoditas unggulan

23 3 adalah dengan meningkatkan produktivitas serta mengembangkan berbagai kegiatan industri yang terkait dengan potensi sektor tersebut. Peningkatan produktivitas diharapkan akan dapat mendukung peningkatan pendapatan. Hal ini tentunya harus diikuti dengan peningkatan investasi dalam berbagai kegiatan industri serta kegiatan pendukung sektor lainnya. Salah satu wilayah yang memiliki sumber daya yang dapat mendukung pengembangan agribisnis pertanian adalah Provinsi Papua Barat. Saat ini sektor pertanian di Papua Barat masih menjadi sektor unggulan yang memberikan kontribusi terbesar kedua bagi perekonomian nasional dan daerah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Peran secara langsung antara lain melalui kontribusi terhadap PDRB, sumber devisa, dan penyedia lapangan kerja. Sementara itu, dampak tidak langsung diperoleh akibat efek pengganda aktifitas sektor pertanian melalui keterkaitan Input-Output antar industri, konsumsi dan investasi. Tabel 2 Kontribusi PDRB Provinsi Papua Barat atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun (%) Lapangan Usaha Laju (%/Tahun) 1. Pertanian / Agriculture 26,03 21,51 17,17-6,60 Tanaman Pangan 4,75 3,99 3,04-1,33 Tanaman Perkebunan 2,61 2,15 1,86-0,52 Peternakan 1,56 1,3 1,08-0,35 Kehutanan 7,11 5,7 4,53-1,87 Perikanan 9,99 8,36 6,66-2,51 2. Pertambangan 15,09 11,64 9,7-3,66 3. Industri Pengolahan 18,78 32,15 41,61 16,14 4. Listrik Dan Air Bersih 0,44 0,36 0,31-0,09 5. Bangunan 8,98 7,67 6,77-1,55 6. Perdagangan 9,82 7,94 7-1,88 7. Pengangkutan dan Komunikasi 7,57 6,54 5,8-1,25 8. Keuangan 2,55 2,12 1,85-0,48 9. Jasa-Jasa 10,74 10,08 9,79-0,62 Sumber: BPS Provinsi Papua Barat 2012 (diolah) Sasaran Pembangunan Pertanian Provinsi Papua Barat adalah meningkatkan produktivitas tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat serta meningkatkan pendapatan petani. Namun, pada tahun 2010 kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Papua Barat turun dari 21,51% mencapai 17,17% yang menduduki urutan kedua setelah industri pengolahan (41,61%). Dari kontribusi sektor pertanian tersebut kontribusi terbesar adalah sektor perikanan (6,66%), kehutanan (4,53%) dan tanaman pangan (3,04%). Terlihat pada Tabel 2 bahwa laju pertumbuhan hampir semua sektor adalah negatif kecuali industri pengolahan. Produksi LNG mempengaruhi pergeseran struktur ekonomi Papua Barat sejak tahun Hal ini mendorong sektor industri pengolahan menjadi sektor terbesar yang menyumbang nilai PDRB pada tahun

24 Keadaan tersebut menggeser kontribusi sektor pertanian yang selama ini menjadi sektor dominan di Papua Barat. Papua Barat memiliki sumber daya lahan yang sangat berpotensi untuk pengembangan pertanian. Berdasarkan Atlas Tata Ruang Pertanian Indonesia, dari 9,9 juta ha luas lahan Provinsi Papua Barat, seluas 2,7 juta Ha berpotensi untuk pertanian, tetapi baru sekitar 0,62 juta Ha (33%) yang dimanfaatkan sebagai lahan pertanian (BPS Provinsi Papua Barat 2012). Sumber daya lahan pertanian di Papua Barat berperan sebagai penghasil sumber pendapatan petani dan daerah, sehingga upaya untuk mengembangkan pertanian perlu dilakukan. Mengingat sebagian besar masyarakat etnis Papua masih menggantungkan kehidupannya pada sumber daya lahan dan lingkungan maka usaha pengembangan pertanian secara tidak langsung juga meningkatkan taraf hidup, pendapatan, dan kesejahteraan mereka. Selain sumber daya lahan, Provinsi Papua Barat juga memiliki potensi sumber daya manusianya, yaitu sekitar jiwa atau 48,50% dari total angkatan kerja penduduk Provinsi Papua Barat bermatapencaharian sebagai petani (BPS Papua Barat 2012). Produksi komoditas utama menurut Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Papua Barat tahun 2011 dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4. Tabel 3 Luas lahan dan produksi komoditas utama di Provinsi Papua Barat tahun 2011 Jenis Komoditas Luas Panen (Ha) Produksi (ton) Tanaman Pangan 1. Padi 2. Jagung 3. Ubi kayu 4. Ubi jalar 5. Kacang tanah 6. Kedelai 7. Sayur-sayuran Tanaman Perkebunan 1. Kelapa 2. Kelapa sawit 3. Kakao 4. Pala Sumber: BAPPEDA Papua Barat Tabel 4 Populasi dan produksi daging peternakan di Provinsi Papua Barat tahun 2011 Peternakan Popuasi (ekor) Produksi (Kg) 1. Sapi 2. Kambing 3. Babi 4. Ayam Buras 5. Ayam Ras Sumber: BAPPEDA Papua Barat 2012

25 5 Produksi pertanian yang mendukung pengembangan agribisnis di Provinsi Papua Barat tersebar pada seluruh kabupaten. Kontribusi perkebunan terhadap PDRB Papua Barat tergolong kecil dibandingkan perikanan, kehutanan dan tanaman pangan, namun produksi terbesar masih di duduki oleh sektor perkebunan. Produksi terbesar tanaman perkebunan yang diproduksi adalah kelapa sawit. Sedangkan tanaman pangan yang diproduski antara lain, padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah dan kedelai. Provinsi Papua Barat memiliki kondisi agroekosistem (iklim dan topografi, sumber daya lahan dan sumber daya air) serta sumber daya manusia dan sosial budaya yang mendukung pertumbuhan pertanian di Provinsi Papua Barat. Potensi sumber daya pertanian yang dimiliki oleh Provinsi Papua Barat hendaknya dimanfaatkan dengan semaksimal mungkin sehingga dapat meningkatkan perekonomian daerah. Salah satu pemanfaatan potensi tersebut yaitu dengan revitalisasi pertanian, tentunya dengan menitik beratkan pada komoditas-komoditas yang menjadi unggulan di Provinsi Papua Barat agar dapat bersaing dengan daerah lain. Untuk itu perlu adanya identifikasi komoditas unggulan serta penyusunan strategi arah pengembangan agribisnis komoditas unggulan agar mampu bertahan menghadapi persaingan pada era globalisasi ini serta dapat meningkatkan perekonomian daerah. Rumusan Masalah Pemanfaatan potensi wilayah untuk pengembangan agribisnis sebaiknya sesuai dengan komoditas yang unggul berdasarkan agroekosistem wilayah tersebut agar memiliki produksi dan produktivitas yang tinggi, memiliki pasar yang jelas sehingga komoditas tersebut memiliki nilai ekonomi yang tinggi serta sesuai dengan daya dukung wilayah agar keberlangsungan pengembangan agribisnis komoditas dapat terjaga (Saragih 2010). Penentuan komoditas unggulan daerah merupakan langkah awal menuju pembangunan yang berpijak pada konsep efisiensi dan dapat mendukung kebijakan pengembangan masyarakat pedesaan serta dapat mengetahui keunggulan komperatif dan kompetitif masing-masing daerah (Oddershede et al. 2007). Penetapan komoditas unggulan tentu saja harus berdasarkan kriteria yang sesuai dengan kondisi wilayah setempat. Kriteriakriteria tersebut antara lain kesesuaian agroekosistem, memiliki nilai ekonomi tinggi, sesuai dengan sosial budaya setempat dan memiliki teknologi dan infrastruktur yang baik. Untuk itu setiap wilayah memiliki komoditas unggulan yang berbeda-beda sesuai dengan kriteria yang dimiliki (Badan Litbang Pertanian 2003). Penentuan komoditas unggulan pertanian di Provinsi Papua Barat selama ini hanya berdasarkan potensi produksi, tanpa berdasarkan kreiteria-kriteria penetapan yang sesuai dengan wilayah Papua Barat. Komoditas unggulan tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Selain itu, pemerintah daerah setempat belum secara spesifik melakukan pemetaan wilayah-wilayah sentra produksi komoditas pertanian. Hal ini tentu memiliki kelemahan dalam menunjang pengembangan agribisnis dari subsektor hulu hingga hilir di wilayah Papua Barat. Salah satu pendekatan wilayah basis pengembangan agribisnis komoditas unggulan daerah adalah dalam satuan wilayah kabupaten. Satu kabupaten

26 6 dipandang sebagai satu kesatuan wilayah pengembangan yang memiliki keunggulan kompetitif untuk menghasilkan satu atau beberapa komoditas. Kabupaten dengan daya dukung agroekosistem yang sesuai akan menjadi penyumbang utama pembangunan pertanian daerah. Konsentrasi wilayah pengembangan komoditas utama di beberapa kabupaten sentra (basis) dengan kondisi agroekologi yang sesuai akan mempermudah pengembangan komoditaskomoditas tersebut. Pengetahuan tentang lokasi lokasi (kabupaten) basis akan mempermudah kemungkinan pengembangan untuk memenuhi target kenaikan produksi dengan investasi yang lebih efisien. Tabel 5 Komoditas unggulan Provinsi Papua Barat berdasarkan potensi luas lahan dan produksi Komoditas Unggulan Luas Lahan Produksi (ton) 1. Perkebunan - Kakao - Kelapa sawit - Pala - Kelapa 2. Pangan - Padi - Ubi kayu - Ubi jalar Sumber: Supriadi Diperlukan suatu kajian tentang potensi unggulan yang dimiliki tiap wilayah tersebut agar dapat ditentukan metode pengembangan wilayah yang tepat. Pengembangan agribisnis berbasis komoditi unggulan akan memiliki arti penting bagi penyusunan sistem pembangunan daerah, khususnya Provinsi Papua Barat. Secara umum basis ekonomi wilayah dapat diartikan sebagai sektor ekonomi yang aktifitasnya menyebabkan suatu wilayah itu tetap hidup, tumbuh dan berkembang atau sektor ekonomi yang pokok disuatu wilayah yang dapat menghidupi wilayah tersebut beserta masyarakatnya. Basis ekonomi memainkan peran yang vital didalam menentukan tingkat pendapatan wilayah. Untuk itu, penelitian ini melihat jenis komoditas apa yang menjadi unggulan? Bagaimanakah sebaran sentra komoditas unggulan di Provinsi Papua Barat? serta bagaimana arah pengembangan agribisnis di Provinsi Papua Barat? Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka secara umum tujuan yang ingin dicapai adalah menentukan arahan prioritas yang sesuai untuk pengembangan agribisnis komoditas unggulan di Provinsi Papua Barat, sedangkan tujuan spesifik penelitian ini adalah: 1. Menganalisis prioritas penetapan komoditas unggulan Provinsi Papua Barat. 2. Menganalisis sentra wilayah pengembangan komoditas unggulan di Provinsi Papua Barat 3. Rekomendasi arah pengembangan agribisnis di Provinsi Papua Barat.

27 7 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi, masukan dan manfaat yang besar, baik bagi pemerintah maupun bagi masyarakat dan pengusaha yang akan bergabung dalam pengembangan agribisnis di Provinsi Papua Barat serta mampu mengembangkan serta meningkatkan produksi komoditas unggulan (basis) tersebut bagi sistem pembangunan pertanian di Papua Barat. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat membantu pemerintah dalam membuat dan meninjau kembali kebijakan dan program-program peningkatan pertumbuhan pertanian serta komoditi pilihan yang harus dikembangkan secara intensif demi tercapainya sistem perekonomian daerah yang kokoh. Diharapkan juga penelitian ini mampu mendorong minat peneliti-peneliti berikutnya terkait dengan komoditi unggulan daerah dalam usaha peningkatan dan pengembangan sektor pertanian serta komoditi-komoditi unggulan di suatu wilayah. Ruang Lingkup Penelitian ini secara umum memberikan arahan mengenai wilayahwilayah yang akan dijadikan sentra arah pengembangan agribisnis komoditas unggulan di Provinsi Papua Barat. Komoditas yang di teliti adalah komoditas unggulan yang sesuai dengan komuditas utama yang dikembangkan di Papua Barat menurut BAPPEDA Provinsi Papua Barat. Komoditas-kemuditas tersebut antara lain kelompok tanaman pangan adalah padi, jagung, ubi jalar, ubi kayu, kedelai dan kacang tanah; kelompok hortikultura adalah tanaman sayuran; kelompok tanaman perkebunan adalah kelapa, pala, kelapa sawit dan kakao; dan kelompok peternakan adalah sapi, kambing, babi dan ayam. Buah-buahan pada kelompok tanaman hortikultura dan komoditas perikanan tidak diteliti karena keterbatasan data yang diperoleh. Kemudian secara spesifik, dilakukan penentuan prioritas komoditas unggulan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) sesuai dengan kriteria-kriteria yang dibangun sesuai dengan kriteria yang telah di tetapkan oleh badan litbang pertanian dan penelitian-penelitian sebelumnya. Kriteria tersebut adalah kesesuaian agroekosistem, memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan sesuai daya dukung daerah. Untuk mendukung penilaian AHP maka dilakukan analisi pendukung dari setiap aspek-aspek seperti, analisis produktivitas, Location Quotient (LQ), Shift Share, analisis R/C rasio dan B/C rasio serta perhitungan lainnya. Selanjutnya dilakukann penetapan sentra pengembangan berdasarkan kriteria produktivitas, produksi, jarak ekonomi, potensi lahan dan kesesuaian lahan. Terakhir adalah rekomendasi arah pengembangan agribisnis komoditas unggulan di Provinsi Papua Barat berdasarkan hasil AHP yang telah dilakukan.

28 8 2 TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Konsep pengembangan komoditi unggulan merupakan pendekatan agribisnis berbasis pada potensi sumber daya lokal. Berdasarkan sumber daya lokal tersebut dimunculkan sejumlah komoditi yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif. Sumber daya lokal yang sering menjadi bahan pertimbangan utama adalah agroekosistem. Oleh karena itu, pengembangan komoditi unggulan cenderung dimulai pada produksi primer. Ciri dari agroekosistem daerah tropis adalah tingginya keragaman sumber daya hayati, namun tingginya keragaman jenis tidak seluruhnya merupakan potensi bisnis. Sumber daya hayati yang beragam tersebut, jika diusahakan dalam skala bisnis seringkali menjadi rentan terhadap gangguan hama dan penyakit sehingga membutuhkan biaya bisnis yang relatif mahal. Dengan demikian, menurut BAPPEDA Jawa Barat pengembangan agribisnis yang berbasis sumber daya hayati lokal perlu dilakukan secara selektif dengan memilih komoditikomoditi lokal unggulan. Daerah harus berani memilih komoditi tertentu untuk diunggulkan sebagai komoditi basis pengembangan agribisnis. Komoditi unggulan dapat dilihat secara komprehensif, bukan saja berdasarkan keunggulan ciri agroekosistem lokal, tetapi juga dalam prospek pasar. Dalam pengembangan komoditi diperlukan keterkaitan yang sinergis dengan subsistem hulu dan subsistem hilir (pengolahan dan pemasaran). Sumberdaya lokal tidak lagi menjadi ciri utama pengembangan agribisnis.penyediaan input, pengolahan hasil, dan pemasaran hasil bisa tercipta dengan cara pengembangan jaringan kerja dengan wilayah lain. Jaringan kerja sama antara wilayah dalam pengembangan agribisnis dapat berupa pengembangan jaringan pemasaran produk atau dalampenyediaan input (Bappeda Jawa Barat 2006). Pendekatan agribisnis dalam pembangunan pertanian yang dilaksanakan di suatu wilayah tidak akan memperoleh hasil yang maksimal tanpa memperhatikan aspek lingkungan dari wilayah yang akan dikembangkan. Artinya mutlak diperlukan satu mekanisme keterpaduan antara pembangunan pertanian pendekatan agribisnis dan pembangunan wilayah secara umum. Dengan mekanisme seperti ini akan dapat dihasilkan sinergi yang kuat untuk memacu pertumbuhan ekonomi nasional. Oleh karena itu perlu diperhatikan konsep pembangunan wilayah pertanian dengan acuan untuk menghasilkan komoditas unggulan melalui pendekatan agribisnis (Ratnawati et al, 2000). Peranan Komoditas Unggulan Terhadap Pembangunan Wilayah Pengembangan wilayah merupakan bagian penting dari pembangunan suatu daerah terutama di perdesaan yang sangat rentan dan berat menghadapi perubahan yang berskala global. Perubahan ini, jika tidak didukung suatu perencanaan wilayah yang baik dengan mempertimbangkan aspek internal, sosial dan pertumbuhan ekonomi akan berakibat semakin bertambahnya desa-desa tertinggal. Perubahan paradigma perlu dilakukan dalam menata kembali daerah-

29 9 daerah yang dikatagorikan miskin dan lemah agar mampu meningkatkan daya saing, manajemen produksi dan teknologi tepat guna berbasis lokal yang mampu mempengaruhi daerah lainnya secara timbal balik. Secara sederhana konsep pengembangan wilayah perlu dilakukan dalam perencanaan perdesaan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan memperkuat masyarakat di lapisan bawah agar dapat mempengaruhi pasar secara berkelanjutan (Maryati 2009). Berdasarkan teori basis ekonomi, faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah (Arsyad 1999). Hal ini diperkuat pula oleh Richardson (1977) bahwa Proses produksi di suatu sektor yang menggunakan sumber daya produksi lokal termasuk tenaga kerja dan bahan baku serta outputnya diekspor akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan perkapita dan penciptaan peluang kerja di daerah tersebut. Pertumbuhan industri-industri yang menggunakan sumberdaya lokal, termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk di ekspor akan menghasilkan kekayaan daerah dan menciptakan peluang kerja. Setiawan (2006) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa pertumbuhan sektor unggulan di suatu wilayah tidak hanya berdampak pada pertumbuhan ekonomi di dalam wilayah itu saja tetapi juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi di luar wilayah. Pertumbuhan sektor unggulan di masingmasing wilayah, berdampak pada pertumbuhan output, nilai tambah bruto, dan penyerapan tenaga kerja di wilayah tersebut (intraregional) dan juga berdampak pada wilayah lain yang terkait (interregional). Sektor pertanian merupakan salah satu sektor perekonomian yang mendapatkan prioritas utama dalam pembangunan nasional terutama di negaranegara sedang berkembang. Hal ini dikarenakan pada umumnya negara-negara berkembang tersebut merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor tersebut, sehingga tidak salah apabila sektor pertanian berfungsi sebagai penunjang terhadap pembangunan ekonominya. Kriteria Komoditas Unggulan Menurut Badan Litbang Pertanian (2003), komoditas unggulan merupakan komoditas andalan yang memiliki posisi strategis untuk dikembangkan di suatu wilayah yang penetapannya didasarkan pada berbagai pertimbangan baik secara teknis (kondisi tanah dan iklim) maupun sosial ekonomi dan kelembagaan (penguasaan teknologi, kemampuan sumberdaya, manusia, infrastruktur, dan kondisi sosial budaya setempat). Lebih lanjut Hardison (2003) mengemukakan bahwa, komoditas unggulan adalah komoditas yang sesuai dengan agroekologi setempat dan disamping itu juga mempunyai daya saing yang baik di pasar daerah itu sendiri, di daerah lain, maupun di pasar internasional. Ditambahkan pula oleh (Bachrein 2003) bahwa penetapan komoditas unggulan di suatu wilayah menjadi suatu keharusan dengan pertimbangan bahwa komoditas-komoditas yang mampu bersaing secara berkelanjutan dengan komoditas yang sama di wilayah lain adalah komoditas yang diusahakan secara efisien dari sisi teknologi dan sosial ekonomi serta memiliki keunggulan

30 10 komparatif dan kompetitif. Selain itu kemampuan suatu wilayah untuk memproduksi dan memasarkan komoditas yang sesuai dengan kondisi lahan dan iklim di wilayah tertentu juga sangat terbatas. Menurut Bachrein (2003), penetapan komoditas unggulan perlu dilakukan sebagai acuan dalam penyusunan prioritas program pembangunan oleh penentu kebijakan mengingat berbagai keterbatasan sumberdaya yang dimiliki baik sumberdaya keuangan, sumberdaya manusia, maupun sumberdaya lahan. Selain itu, keberhasilan pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan juga diharapkan akan lebih baik karena kegiatan yang dijalankan lebih terfokus pada program yang diprioritaskan. Batasan wilayah dalam penetapan komoditas unggulan biasanya merupakan wilayah administrasi baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten. Dari beberapa penelitian yang telah dilaksanakan, pengembangan komoditas unggulan ditetapkan berdasarkan teori ekonomi basis, aspek biofisik (kesesuaian lahan), kelayakan ekonomi, rencana tata ruang, dan keinginan masyarakat. Pada konsep pembangunan daerah yang berbasis pada komoditas unggulan ada beberapa kriteria komoditas sebagai motor penggerak pembangunan suatu daerah, antara lain: mampu memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan produksi, pendapatan dan pengeluaran, mempunyai keterkaitan kedepan dan belakang yang kuat, mampu bersaing, memiliki keterkaitan dengan daerah lain, mampu menyerap tenaga kerja, bertahan dalam jangka waktu tertentu, berorientasi pada kelestaran sumber daya alam dan lingkungan serta tidak rentan terhadap gejolak eksternal dan internal (Sari 2008). Sedangkan pada lingkup kabupaten/kota, komoditas unggulan kabupaten diharapkan memenuhi kriteria: mengacu pada kriteria komoditas unggulan nasional, memiliki nilai ekonomi yang tinggi, mencukupi kebutuhan domestik dan luar, memiliki pasar yang prospektif dan berdaya saing tinggi, memiliki potensi untuk ditingkatkan nilai tambah dalam agroindustri, dan dapat dibudidayakan secara meluas. Sebelumnya Ratnawati et al (2000) mengemukakan kriteria yang memadai dalam penentuan komoditas unggulan suatu daerah. Berdasarkan data dan informasi yang tersedia penentuan komoditas unggulan sekurang-kurangnya harus memenuhui tujuh kriteria, antara lain: 1) mempunyai tingkat kesesuaian agroekologi yang tinggi, 2) mempunyai pasar yang jelas, 3) mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menciptakan nilai tambah dan kesempatan kerja, 4) kemampuan meningkatkan ketahanan pangan, 5) mempunyai dukungan kebijakan pemerintah, 6) merupakan komoditas yang telah diusahakan masyarakat setempat, dan 7) mempunyai kelayakan usaha secara finansial maupun ekonomi. Setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda, baik dari luas wilayah, penduduk, maupun sumber daya yang dimiliki. Hal ini membuat potensi wilayah juga akan berbeda-beda, sehingga kebijakan pengembangan daerah harus sesuai dengan karakteristik yang dimiliki daerah tersebut. Menurut Sari (2008) Penetapan komoditas unggulan disuatu wilayah menjadi suatu keharusan dengan pertimbangan bahwa komoditas-komoditas yang mampu bersaing secara berkelanjutan dengan komoditas sama yang dihasilkan wilayah lain, serta efisien dari sisi produksinya dan memiliki keunggulan komperatif dan kompotitif.

31 11 Metode Pengukuran Komoditas Unggulan Berbagai metode telah dikembangkan dan digunakan dalam penetapan komoditas unggulan daerah. Metode yang paling umum digunakan yaitu metode Location Quotient (LQ) (Hendayana, 2003; Bachrein, 2003; dan Susilawati et al, 2006). Metode ini lebih bersifat analisis dasar yang dapat memberikan Gambaran tentang pemusatan aktifitas atau sektor basis saat ini. Selain metode LQ, Bachrein (2003) menambahkan perlunya analisis lanjutan untuk mendapatkan komoditas unggulan daerah yaitu analisis supply, analisis ekonomi, dan analisis kualitatif keunikan komoditas. Analisis supply bertujuan untuk melihat kemampuan suatu wilayah dalam menyediakan berbagai komoditas yang dihasilkan berdasarkan trend produksi dan luas panen. Analisis keunggulan kompetitif untuk semua komoditas yang diunggulkan dilakukan dengan perhitungan rasio penerimaan/biaya (Revenue Cost Ratio). Analisis kualitatif dilakukan dengan memperhatikan orientasi pasar, daya saing, serta tingkat komersialisasi komoditas. Selain menggunakan analisis Location Quotient (LQ) Sutikno (2000), Syahza A (2002) dan Yunan Y Z (2010) juga meggunakan analisis Shift share untuk menjawab penelitiannya mengenai potensi wilayah dan pengembangan komuditi unggulan (basis). Hal yang sama juga dilakukan oleh Pranoto (2008) yang meneliti potensi wilayah komoditi pangan di Banyumas dengan menggunakan analisis LQ untuk mengetahui basis ekonomi dalam suatu wilayah, sedangkan Shift share dignakan untuk mengidentifikasi sumber pertumbuhan wilayah atau sektor dalam suatu wilayah. Sebuah spesialisasi atau regional data produksi barang tertentu juga dapat diukur oleh LQ yang akan mengarah pada ekspor atau distribusi barang tersebut ke daerah lain (Hoen and Oosterhaven, 2006) Hendayana (2003) telah mencoba mengidentifikasi komoditas unggulan pertanian pada tingkat nasional dengan menggunakan metode LQ. Hasilnya menunjukkan bahwa metode LQ sebagai salah satu pendekatan model ekonomi basis relevan dan dapat digunakan sebagai salah satu teknik untuk mengidentifikasikan komoditas unggulan. Propinsi yang paling banyak memiliki komoditas unggulan pertanian adalah Sulawesi Selatan, Bengkulu, dan Nusa Tenggara Timur. Propinsi Lampung paling banyak memiliki komoditas unggulan pada sub sektor hortikultura. Pada subsektor tanaman pangan, yang menjadi komoditas unggulan di wilayah ini adalah ubi kayu dan jagung. Hendayana juga menemukan hal yang menarik yaitu tingginya nilai LQ untuk komoditas padi di DKI Jakarta yang melebihi nilai LQ untuk Sumatera Barat dan Jawa Barat. Mengingat share areal panen padi DKI Jakarta terhadap areal pangan di DKI Jakarta relatif lebih besar dibandingkan share areal panen padi nasional terhadap pangan nasional, maka hasilnya nilai LQ padi di DKI Jakarta menjadi relatif lebih tinggi dibandingkan Sumatera Barat dan Jawa Barat. Oleh karena itu, disarankan kehati-hatian dan kecermatan dalam menginterpretasikan nilai LQ. Selain itu data yang digunakan harus divalidasi dulu sebelum dianalisis. Baehaqi (2010) melakukan analisis untuk menentukan prioritas dan arahan komoditas unggulan tanaman pangan di Kabupaten Lampung Tengah. Tahap pertama adalah penentuan komoditas basis dengan metode LQ, trend luas panen, dan analisis penyediaan dan konsumsi pangan. Tahap kedua adalah penentuan

32 12 ketersediaan dan kesesuaian lahan untuk komoditas basis tanaman pangan. Tahap ketiga adalah penentuan prioritas komoditas unggulan tanaman pangan oleh para stakeholder dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Berdasarkan AHP diperoleh bahwa masyarakat Kabupaten Lampung Tengah memilih komoditas padi sebagai komoditas unggulan prioritas pertama. Prioritas yang kedua adalah jagung dan ketiga adalah ubi kayu. Berdasarkan beberapa pertimbangan perencanaan yang digunakan, pengembangan komoditas padi dialokasikan seluas Ha, jagung seluas Ha, dan ubi kayu seluas Ha. Penggunaan analisis AHP dalam sektor pertanian di negara berkembang juga di gunakan oleh Alphonche (1997) untuk memutuskan bagian lahan yang akan dialokasikan untuk tanaman jagung, padi dan ketela. Kriteria yang berpengaruh adalah biaya produksi, resiko kerusakan, dan ketersediaan di pasar saat surplus. Selain itu, Oddershede et al. (2007) juga menggunakan AHP untuk mendukung kebijakan pengembangan masyarakat pedesaan di Chile. Tujuannya adalah pengembangan pembangunan daerah dimana AHP digunakan karena melihat adanya ketidaktepatan antara apa yang diinginkan oleh masyarakat, program yang ditawarkan dengan tujuan yang ada. Hasilnya menunjukkan bahwa sektor pariwisata memperoleh prioritas dengan pendidikan sebagai aspek yang paling mendukung sektor tersebut. 3 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Sistem Agribisnis Penetapan komoditas unggulan dalam mendukung pengembangan agribisnis perlu dimulai dengan pemikiran dan pemahaman tentang agribisnis. Agribisnis sering diartikan sebagai suatu unit bisnis pertanian dan sebagai kumpulan aktivitas bisnis pertanian yang membentuk suatu sistem. Pemahaman agribisnis sebagai suatu unit bisnis pertanian merupakan pandangan agribisnis dalam arti sempit. Dalam mendukung pengembangan agribisnis dengan penetapan komoditas unggulan di Papua Barat, pandangan relevan adalah melihat agribisnis sebagai suatu sistem. Agribisnis sebagai suatu sistem dapat dijadikan sebagai suatu alternatif konsep pembangunan wilayah berbasis pertanian. Menurut Saragih (2010), sistem agribisnis merupakan keterkaitan dan antara industri hulu, on farm, industri hilir, dan jasa penunjang dalam sektor pertanian. Pertanian yang awalnya hanya dilihat bagian usahataninya dikaitkan dengan perusahaan pupuk, benih, pestisida di industri hulu, pabrik pengolahan hasil pertanian di industri hilir, serta jasa keuangan dan transportasi di jasa penunjang. Keterpaduan sistem agribisnis sangat penting peranannya dalam industri berbasis agribisnis. Untuk mendukung keterpaduan tersebut, kemampuan koordinasi sangat diperlukan. Koordinasi ini merupakan keterpaduan dalam

33 13 hubungan kelembagaan yang mengatur organisasi dan tata hubungan antar setiap komponen dalam sistem agribisnis. Berikut ini adalah konsep dan pemikiran sistem dan usaha agribisnis: Industri: Pembenihan/ Pembibitan tanaman/ hewan Industri agrokimia dan agro-otomotif Usaha Tanaman Pangan, hortikultura, peternakan, perikanan, perkebunan Industri Makanan, Minuman, Agrowisata dan estetika, industri barang serat alam, rokok Distribusi, Informasi pasar, kebijakan pertanian, promosi, struktur Pasar Subsistem Hulu Subsistem Usahatani Agribisnis Subsistem Hilir Agribisnis Subsistem Pemasaran Agribisnis Perkreditan dan Asuransi Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Penyuluhan Transportasi dan Pergudangan Subsistem sarana Penunjang (Sumber: Saragih 2010) Gambar 1 Konsep dan pemikiran sistem agribisnis Dari diagram di atas dapat dilihat bahwa subsistem yang satu memiliki keterkaitan dengan subsistem lainnya, dan keseluruhan subsistem membutuhkan dukungan dari subsistem sarana penunjang. Melihat keterkaitan yang erat antar subsistem, menunjukkan bahwa subsistem yang satu dapat mempengaruhi subsistem lainnya. Misalnya jika tidak ada pengembangan dan distribusi merata komponen input pertanian dari subsistem hulu, maka akan berdampak pada tidak maksimalnya kualitas dan kuantitas komoditi yang dihasilkan oleh subsistem usahatani. Sebaliknya, dari subsistem usahatani pun sebaiknya ada transfer informasi mengenai penggunaan komponen input yang digunakan kepada subsistem hulu, sehingga industri yang terdapat di subsistem hulu dapat menyesuaikan produksi komponen input seperti alat mesin pertanian dan bibit sesuai permintaan pasar. Dalam konteks konsep pembangunan wilayah pertanian berbasis agribisnis dapat dipandang suatu wilayah homogen yang memperlihatkan satu tingkat koherensi dalam kesatuan keputusan-keputusan ekonomi, yang dapat dikembangkna bersama-sama dengan wilayah pertanian lainnya dalam kawasan tersebut melalui pengembangan agribisnis. Dalam perencanaan pengembangan satu wilayah untuk kegiatan pengembangan agribisnis, ada tiga pertanyaan pokok yang perlu didalami dan dianalisis lebih lanjut yaitu: 1) bagaimana rencana bentuk spasial kegiatan agribisnis dan prespektif perubahannya kedepan? Mengapa bentuk spasial kegiatan agribisnis tersebut dipilih demikian? Serta bagaimana bentuk spasial kegiatan agribisnis tersebut membangkitkan atau mendorong perekonomian wilayah (Dicken dan Lioyd 1999).

34 14 Pendekatan dengan sistem agribisnis akan memperbesar potensi pertanian, karena akan memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi produk-produk pertanian dan dapat mendorong tingkat efisiensi usaha yang semakin tinggi. Sumbangan agribisnis bagi perekonomia dapat dipastikan akan jauh lebih besar dari sumbangan sektor pertanian. Sumbangan yang besar disertai dengan keterkaitan ekonomi yang luas dengan kegiatan lain menyebabkan agribisnis menjadi keiatan ekonomi yang sangat penting (Saragih 2010). Pembangunan Wilayah Berbasis Agribisnis Konsep pengembangan wilayah dikembangkan dari kebutuhan suatu daerah untuk meningkatkan fungsi dan perannya dalam menata kehidupan sosial, ekonomi, budaya, pendidikan dan kesejahteraan masyarakat. Pengaruh globalisasi, pasar bebas dan regional menyebabkan terjadinya perubahan dan dinamika spasial, sosial, dan ekonomi antar negara, antar daerah, kecamatan hingga pedesaan. Menurut Daryanto (2004) pembangunan wilayah (regional development) pada dasarnya adalah pelaksanaan pembangunan nasional pada suatu wilayah yang telah disesuaikan dengan kemampuan fisik dan sosial serta ekonomi dari wilayah tersebut. Pemilihan prioritas pembangunan yang mengacu pada kebutuhan masyarakat pada hakikatnya kesejahteraan masyarakatlah yang diutamakan. Konsep pembangunan dengan berbagai dimensi yang diterapkan pada suatu wilayah sering menemukan kenyataan bahwa konsep tersebut memerlukan modifikasi atau penyesuaian ke arah karakteristik lokal. Konsep pengembangan wilayah menuju pembangunan nasional secara garis besar terbagi atas empat, sebagai berikut (Komet, 2000): 1. Pengembangan wilayah berbasis sumberdaya Sumberdaya merupakan semua potensi yang dimiliki oleh alam dan manusia. Bentuk sumberdaya tersebut yaitu tanah, bahan mentah, modal, tenaga kerja, keahlian, keindahan alam maupun aspek sosial budaya. 2. Pengembangan wilayah berbasis komoditas unggulan Penekanan konsep ini pada motor penggerak pembangunan wilayah pada komoditas yang dinilai dapat menjadi unggulan atau andalan, baik di tingkat domestik dan intemasional. 3. Pengembangan wilayah berbasis efisiensi Penekanan pada konsep ini adalah pengembangan wilayah melalui pembangunan bidang ekonomi yang mempunyai porsi lebih besar dibandingkan bidang-bidang lainnya. Pembangunan ekonomi tersebut dijalankan dalam kerangka pasar bebas atau pasar persaingan sempuma. 4. Pengembangan wilayah menurut pelaku pembangunan Strategi pengembangan wilayah ini mengutamakan peranan setiap pelaku pembangunan ekonomi (rumah tangga, lembaga sosial, lembaga keuangan dan bukan keuangan, pemerintah maupun koperasi). Salah satu strategi pembangunan wilayah yang potensial mengintegrasikan antar sektor dan antar wilayah adalah pengembangan agribisnis. Pengembangan agribisnis bukan sekedar pengembangan bisnis komoditas pertanian saja, tetapi

35 15 lebih dari itu. Pendekatan agribisnis merupakan paradigma baru pembangunan ekonomi (wilayah, nasional) yang berbasis pertanian. Paradigma baru pembangunan ekonomi yang berbasis pertanian adalah membangun keempat subsistem agribisnis secara simultan dan terintegrasi vertikal mulai dari hulu hingga hilir (Saragih 2010). Dalam hubunganya dengan pembangunan wilayah yang terintegrasi, pembangunan wilayah dengan pendekatan agribisnis mampu memanfaatkan keunggulan komparatif dari setiap wilayah yang berbeda melalui pengembangan subsistem agribisnis yang relevan. Dengan mekanisme seperti ini, maka pembangunan dengan pendekatan agribisnis akan mampu mengintegrasikan perekonomian wilayah maupun antar sektor. Selain itu, melalui mekanisme pasar, pembangunan wilayah dengan pendekatan agribisnis akan mampu memperkecil pelarian sumber daya manusia dan modal. Agar proses yang demikian dapat terjadi, maka komoditas yang dikembangkan hendaknya merupakan komoditas yang memiliki keunggulan, baik keunggulan komperatif maupun keunggulan kompetitif. Pengertian Komoditas Unggulan Dalam pengertian pembangunan wilayah, komoditas unggulan diartikan sebagai komoditas basis. Pengertian sektor basis (sektor unggulan) pada dasarnya harus dikaitkan dengan suatu bentuk perbandingan, baik itu perbandingan berskala internasional, regional maupun nasional. Dalam kaitannya dengan lingkup internasional, suatu sektor dikatakan unggul jika sektor tersebut mampu bersaing dengan sektor yang sama dengan negara lain. Sedangkan dengan lingkup nasional, suatu sektor dapat dikategorikan sebagai sektor unggulan apabila sektor di wilayah tertentu mampu bersaing dengan sektor yang sama yang dihasilkan oleh wilayah lain di pasar nasional atau domestik (Wijaya, 1996). Rusastra et al (2002) kegiatan basis merupakan kegiatan suatu masyarakat yang hasilnya baik berupa barang maupun jasa ditujukan untuk ekspor ke luar dari lingkungan masyarakat atau yang berorientasi keluar, regional, nasional dan internasional. Konsep efisiensi teknis maupun efisiensi ekonomis sangat menentukan dalam pertumbuhan basis suatu wilayah. Sedangkan kegiatan non basis merupakan kegiatan masyarakat yang hasilnya baik berupa barang atau jasa diperuntukkan bagi masyarakat itu sendiri dalam kawasan kehidupan ekonomi masyarakat tersebut. Konsep swasembada, mandiri, kesejahteraandan kualitas hidup sangat menentukan dalam kegiatan non basis ini. Saragih (2010) dalam pengertian pembangunan wilayah, komoditas basis adalah komoditas yang dihasilkan secara berlebihan untuk digunakan oleh masyarakat dalam satu wilayah tertentu sehingga kelebihan tersebut dapat dijual ke luar wilayah tersebut. Sehingga akibat upaya tranfer ke luar wilayah tersebut maka terciptalah kegiatan-kegiatan pendukung yang dapat meningkatkan nilai tambah serta memperluas kesempatan kerja. Dalam bahasa pembangunan wilayah, dampak tersebut dikenal dengan dampak pengganda (multiplier effect). Semakin besar dampak pengganda tersebut semain besar pula peranan komoditas tersebut sebagai komoditas basis atau unggulan.

36 16 Penetapan komoditas unggulan nasional dan daerah merupakan langkah awal menuju pembangunan pertanian yang berpijak pada konsep efisiensi untuk meraih keunggulan komperatif dan kompetitif dalam menghadapi era perdagangan bebas. Komoditas unggulan adalah komoditas andalan yang memiliki posisi strategis, baik berdasarkan pertimbangan teknis (kondisi tanah dan iklim) maupun sosial ekonomi dan kelembagaan (penguasaan teknologi, kemampuan sumber daya manusia, infrastruktur, dan kondisi sosial budaya setempat) untuk dikembangan disuatu wilayah setempat (Badan Litbang Pertanian 2003). Komoditi-komoditi unggulan perlu dikembangkan secara optimal karena memiliki keunggulan komparatif yang mampu meningkatkan perekonomian dan pendapatan pelaku ekonominya. Keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu komoditi dapat mendorong terciptanya keunggulan kompetitif (keunggulan bersaing) terhadap komoditi sejenis di suatu wilayah. Keunggulan-keunggulan tersebut memberikan keuntungan terhadap komoditi dalam memenangkan persaingan pasar. Pangsa pasar yang luas serta unggul dalam persaingan pasar memberikan efek yang positif bagi penerimaan. Semakin luas pangsa pasar dan unggul dalam persaingan atau memiliki kekuatan daya saing produk yang tinggi dipasaran memungkinkan produk tersebut mendatangkan penerimaan yang tinggi pula dari proses penjualannya (Tarigan 2005). Menurut Glasson (1977) semakin banyak sektor unggulan dalam suatu daerah akan menambah arus pendapatan ke daerah tersebut, menambah permintaan terhadap barang dan jasa di dalamnya dan menimbulkan kenaikan volume sektor non unggulannya. Dengan kata lain, sektor unggulan berhubungan langsung dengan permintaan dari luar, sedangkan sektor non unggulan berhubungan secara tidak langsung, yaitu melalui sektor unggulan terlebih dahulu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sektor unggulan merupakan penggerak utama dalam pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Penetapan Prioritas dan Sentra Komoditas Unggulan Jhingan (1990) menyatakan bahwa sumbangan sektor pertanian pada pembangunan ekonomi antara lain: 1) Menyediakan surplus pangan yang semakin besar kepada penduduk yang kian meningkat; 2) meningkatkan permintaan akan produk industri; 3) menyediakan tambahan penghasilan devisa untuk impor barang-barang modal bagi pembangunan melalui ekspor produk-produk pertanian; 4) meningkatkan pendapatan desa untuk mobilitas pemerintah; 5) memperbaiki kesejahteraan rakyat pedesaan. Sebelumnya Johnston dan Miller (1961) dalam Jhingan (1990) menyebutkan bahwa peranan sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi regional adalah: 1) sumber utama penyedia bahan makanan; 2) sumber penghasil dana dan pajak; 3) sumber penghasil devisa yang diperlukan untuk mengimpor modan, bahan baku dan lain-lain; 4) pasar dalam negeri untuk menampung hasil produksi pengolahan dan sektor bahan pertanian lainnya. Daryanto dan Hafizrianda (2010) kriteria-kriteria yang harus diperhatikan dalam menentukan komoditas unggulan suatu wilayah adalah:

37 17 1. Harus mampu menjadi penggerak utama pembangunan perekonomian. Dengan kata lain, komoditas unggulan tersebut dapat memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan produksi, pendapatan dan pengeluaran. 2. Mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang yang kuat, baik sesama komoditas unggulan maupun komoditas lain. 3. Mampu bersaing dengan produk sejenis dari wilayah lain di pasar nasional dan pasar internasional, baik dalam harga produk, biaya produksi dan kualitas pelayanan. 4. Memiliki keterkaitan dengan wilayah lain (regional linkages), baik dalam pasar (konsumen) maupun pemasok bahan baku. 5. Memiliki status teknologi yang terus meningkat, terutama melalui inovasi teknologi. 6. Mampu menyerap tenaga kerja berkualitas secara optimal sesuai dengan skala produksinya. 7. Dapat bertahan dalam jangka panjang tertentu, mulai dari fase kelahiran (increasing), pertumbuhan (growth) hingga fase kejenuhan (maturity) atau penurunan (decreasing). Jika komodias unggulan yang satu memasuki tahap kejenuhan atau penurunan maka komoditas yang unggulan lainnya harus mampu menggantikannya. 8. Tidak rentan terhadap gejolak eksternal dan internal. 9. Pengembangannya harus mendapatkan berbagai bentuk dukungan, misalnya keamanan, sosial, budaya, informasi dan peluang pasar, kelembagaan, fasilitas, insentif, dan lain-lain. 10. Pengembangannya berorientasi pada kelestarian sumber daya dan lingkungan. Porter (1990) menjelaskan bahwa komoditas yang dapat dijadikan keunggulan wilayah ditentukan oleh empat faktor pokok, yaitu 1) kondisi faktor produksi (factor conditions) meliputi kesusuaian agroekologi, sumber daya alam, sumber daya manusia, modal dan infrastruktur, 2) kondisi permintaan pasar (demand conditions) meliputi segmentasi pasar dan kebutuhan pembeli, 3) industri-industri terkait dan industri pendukung (related and supporting industries) meliputi keunggulan daya saing pemasok, serta 4) strategi, struktur dan persaingan (strategy, structure, and rivalry) meliputi strategi dan struktur perusahaan, tujuan perusahaan dan persaingan. Setelah menetapkan komoditas basis atau unggulan daerah yang sesuai dengan kondisi di lapangan, maka pendekatan selanjutnya adalah megkaji dan menetapkan sentra wilayah pengembangan. Penentuan sentra perwilayahan agribisnis mengandung beberapa perbedaan, baik dalam pendekatan maupun dalam luas cakupan wilayah. Dalam perwilayahan agribisnis, pendekatannya adalah pendekatan sistem agribisnis yang terdiri dari subsistem produksi (on farm agribusiness), subsistem agribisnis hulu (upstream agribusiness), subsistem hilir (downstream agribusiness) dan subsistem layanan pendukung. Suatu perwilayahan agribisnis diharapkan sebagian besar dari subsistem tersebut terdapat dalam suatu wilayh tertentu dengan skala kegiatan yang layak secara finansial. Hal ini tentunya tergantung dari seberapa besar tingkat produksi yang dihasilkan dalam wilayah tersebut (Saragih 2010).

38 18 Kerangka Pemikiran Operasional Pembangunan daerah dapat tercapai salah satunya dengan pengembangan komoditas unggulan melalui pendekatan agribisnis. Masing-masing daerah memiliki potensi wilayah seperti luas wilayah, tenaga kerja dan sosial budaya yang dapat mendukung keberlangsungan pengembangan agribisnis komoditas unggulan. Namun kenyataannya penetapan komoditas di Provinsi Papua Barat hanya menggunakan satu kriteria penentuan yaitu hanya melihat dari kemampuan produksi tanpa mengukur kriteria lain seperti kecocokan agroekosistem, faktor ekonomi, sumber daya manusia dan daya dukung lainnya. Untuk itu, perlu adanya penetapan komoditas unggulan berdasarkan kriteria-kriteria yang sesuai dalam upaya pengembangan agribisnis untuk mendukung pembangunan daerah. Kriteriakriteria tersebut meliputi kondisi agroekosistem yang mendukung, kesesuaian ekonomi, dan daya dukung. Dengan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP), berbagai kriteria tersebut diberikan pertimbangan tingkat prioritasnya terhadap tujuan yang diinginkan. Setelah diketahui proiritas komoditas apa yang akan dikembangkan, maka akan di tentukan sentra pengembangannya sesuai dengan kriteria-kriteria yaitu jarak antara wilayah produksi dengan pasar terdekat, produktivitas, produksi, potensi lahan, dan kesesuaian lahan dengan menggunakan AHP. Secara deskriptif hasil penentuan komoditas unggulan dan sentra pengembangan dapat dijadikan rekomendasi arah pengembangan agribisnis di Provinsi Papua Barat. Subsistem yang di kembangkan dari agribisnis yaitu dimulai dari sumbektor hulu, usahatani, hilir, pemasaran serta lembaga-lembaga yang terkait dalam kegiatan agribisnis tersebut. Kerangka pemikiran secara ringkas mengenai arah alur penelitian disajikan pada Gambar 2 berikut: Agroekosistem Ekonomi Daya Dukung Pembangunan Daerah Pengembangan Agribisnis Masalah: Kontribusi pertanian menurun padahal potensi daerah berlimpah Pengembangan komoditas hanya berdasarkan satu elemen kriteria saja. Penetapan Komoditas Unggulan Penetapan Sentra Pengembangan Rekomendasi Arah Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Produksi Produktivitas Lokasi/jarak ekonomi Potensi lahan Kesesuaian lahan Gambar 2 Kerangka pemikiran operasional

39 19 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Provinsi Papua Barat. Pemilihan lokasi didasarkan pada pertimbangan bahwa Papua Barat sebagai wilayah yang mempunyai potensi sumber daya alam yang mampu mengembangkan agribisnis komoditas unggulan di Provinsi Papua Barat. Pengambilan data dan penelitan dilaksanakan selama 6 bulan yaitu Juli hingga Desember Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari survei langsung ke lapangan baik melalui wawancara langsung maupun pengamatan langsung untuk memperoleh data sosial ekonomi. Data sekunder berupa data produksi tanaman pangan, peternakan, dan perkebunan tahun 2008 hingga tahun Data diperoleh dari Dinas Pertanian dan perkebunan Provinsi Papua Barat, Badan Perencanaan Daerah Provinsi Papua Barat, Badan Pusat Statistik Provinsi Papua Barat, serta pustaka yang mendukung penelitian ini. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dilakukan melalui beberapa cara yaitu, wawancara, diskusi kelompok serta penelusuran dokumen. Wawancara dilakukan untuk mengetahui kondisi masyarakat yang memiliki lapangan usaha disektor pertanian melalui kuisioner terstruktur yang telah dibuat. Wawancara ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini seperti BAPPEDA, Dinas Pertanian, Peternakan dan Ketahanan Pangan, Dinas Perdagangan dan Perindustrian. Diskusi kelompok dilakukan untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi petani. Wawancara diarahkan untuk mendapatkan bahan analisa mengenai sosial ekonomi masyarakat tani dan penilaian bobot kepentingan alternatif pencapaian tujuan dengan proses hirarki analitik. Teknik pengambilan responden berdasarkan purposive. Fungsi masing-masing responden dapat dilihat pada Tabel 6.

40 20 Tabel 6 Jumlah dan fungsi responden berdasarkan jenis responden No Responden Jumlah Fungsi 1 Pemilik kios saprodi 4 pedagang Mengetahui kondisi subsistem agribisnis hulu 2 Kelompok tani 20 kelompok Mengetahui kondisi sosial ekonomi petani dan kondisi usahatani masyarakat Papua Barat Dinas Pertanian, Peternakan Mengetahui faktor pendukung subsistem 3 dan Ketahanan Pangan sarana penunjang terhadap 2 orang (DPPKP) dan Dinas penilaian penerapan Perkebunan teknologi dan sarana publik. 4 Dinas Perdagangan dan Perindustrian 1 orang 5 BAPPEDA 1 orang 6 Pedagang 20 pedagang Mengetahui faktor pendukung subsistem sarana penunjang terhadap penilaian sarana pemasaran. Mengetahui faktor pendukung subsestem sarana penunjang terhadap kordinasi, kebijakan dan peraturan. Mengetahui kondisi subsistem hilir Metode Analisis Data Data dan informasi yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis secara kuantitatif dan deskriptif. Analisis kuantitatif dilakukan untuk mengidentifikasi sektor basis dan penyebarannya di Provinsi Papua Barat. Sedangkan analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui prioritas komoditas unggulan di Papua Barat yang di gabungkan dengan analisis kuantitatif. Beberapa alat analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut. Penetapan Prioritas Komoditas Unggulan Komoditas unggulan adalah komoditas andalan yang memiliki posisi strategis berdasarkan pertimbangan teknis (kondisi tanah dan iklim) maupun sosial ekonomi dan kelembagaan (penguasaan teknologi, kemampuan sumberdaya manusia, infrastruktur, dan kondisi sosial budaya setempat) untuk dibudidayakan di suatu wilayah (Badan Litbang Pertanian 2003). Dari definisi ini diperoleh kriteria komoditas unggulan yaitu memiliki posisi strategis, secara teknis dapat diusahakan (sesuai dengan daya dukung lahan), secara ekonomi layak diusahakan (memberikan keuntungan secara ekonomi), dan secara sosial kelembagaan

41 diterima (dukungan sumberdaya manusia, infrastruktur, teknologi, dan aspek hukum). Pemilihan prioritas komoditas unggulan dilakukan dengan menggunakan metode AHP yaitu suatu metode yang dapat digunakan oleh pengambilan keputusan agar dapat memahami kondisi suatu sistem dan membantu dalam melalukan prediksi berdasarkan penilaian, pertimbangan yang logis dan sistematis (Saaty dan Niemira, 2006). Aplikasi AHP dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori utama yaitu (1) choice (pilihan), yang merupakan evaluasi atau penetapan prioritas dari berbagai alternatif tindakan yang ada, dan (2) forecasting (peramalan), yaitu evaluasi terhadap berbagai alternatif hasil di masa yang akan datang (Ozdemir dan Saaty, 2006). Penggunaan AHP dimaksudkan untuk proses penelusuran permasalahan untuk membantu pengambilan keputusan memilih strategi terbaik dengan cara: 1) mengamati dan meneliti ulang tujuan dan alternatif strategi atau cara bertindak untuk mencapai tujuan, dalam hal ini kebijakan yang baik, 2) membandingkan secara kuantitatif dari segi biaya/ekonomis, manfaat dan resiko dari tiap alternatif, 3) memilih alternatif terbaik untuk diimplementasikan, dan 4) membuat strategi secara optimal, dengan cara menentukan prioritas kegiatan (Saaty, 1993) Beberapa keuntungan dari penggunaan metode AHP antara lain dapat mempresentasikan suatu sistem yang dapat menjelaskan bagaimana perubahan pada level yang lebih tinggi mempunyai pengaruh terhadap unsur-unsur pada level yang lebih rendah, membantu memudahkan analisis guna memecahkan persoalan yang kompleks dan tidak terstruktur dengan memberikan skala, kelebihan Metode AHP pengukuran yang jelas guna mendapatkan prioritas mampu mendapatkan pertimbangan yang logis dalam menentukan prioritas dengan tidak memaksakan pemikiran linier, mengukur secara komprehensif pengaruh unsur-unsur yang mempunyai korelasi dengan masalah dan tujuan, dengan memberikan skala pengukuran yang jelas. Sedangkan beberapa kelebihan AHP dibanding metode lain yaitu struktur yang berhirarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih sampai pada sub-sub kriteria yang paling dalam, memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan, memperhitungkan daya tahan output analisis sensitivitas pengambilan keputusan, merupakan suatu model pengambilan keputusan yang komprehensif (Setiyanto dan Irawan 2012) Data yang dianalisis diperoleh dari hasil analisis kuantitatif dan penyebaran kuesioner terhadap para responden terpilih yang dapat mendukung penilaian. Nilai skor yang diperoleh dari hasil perhitungan kuantitaif tersebut kemudian dianalisis dengan bantuan program aplikasi expert choice. Untuk mendukung dalam penilaian AHP, maka diperlukan analisis lainnya, seperti analisis LQ, Shift share, perhitungan produktifitas, serta analisis kuantitatif lainnya. Langkah-langkah dalam AHP adalah sebagai berikut (Saaty 1993): 1. Menentukan tujuan, kriteria, subkriteria, dan alternatif yang kemudian disusun dalam sebuah hirarki. Dalam penelitian ini, tujuan dari AHP adalah untuk menentukan prioritas komoditas unggulan di Provinsi Papua Barat. Kriteria (aspek) yang dilihat dari setiap komoditas antara lain; aspek ekomoni, agroekosistem, teknologi dan infrastuktur, sosial budaya, dan 21

42 22 sumber daya manusia. Masing-masing aspek memiliki sub kriteria untuk merincikan masing-masing kriteria yang digunakan. a. Tujuan (sasaran yang ingin dicapai): Penentuan prioritas komoditas unggulan di Provinsi Papua Barat. b. Kriteria/Indikator: agroekosistem, ekonomi, sosial budaya, daya dukung, dan sumber daya manusia. c. Subkriteria: Kondisi lahan, produksi, produktivitas, trend produksi merpakan subkriteria untuk agroekosistem; pengolahan, pendapatan, perdagangan merupakan subkriteria untuk indikator ekonomi; Komoditas merupakan komoditas yang diusahakan secara turun menurun, dikenal dan dapat di terima oleh masyarakat setempat untuk dibudidayakan merupakan subkriteria untuk sosial budaya; mudah memperoleh modal, adanya pasar inpus dan output, terdapat teknologi dan lembaga yang mendukung merupakan subkriteria daya dukung; kemampuan dalam menyerap tenaga kerja dan adanya pelaku usaha merupakan subkriteria dalam sumber daya manusia. d. Alternatif: Komoditas yang sesuai dengan kriteria yang telah disusun. Prioritas Komoditas Unggulan Tujuan Agroekosistem Ekonomi Daya Dukung Kriteria Produktivitas Pendapatan Modal Produksi Trend produksi Kelayakan Usaha Perdagang Industri Pengolahan Pasar Teknologi SDM Lembaga Sub Kriteria Sarana Kebijakan Komoditas I Komoditas II Komoditas IV Alternatif Gambar 3 Struktur AHP untuk penentuan prioritas komoditas

43 23 2. Melakukan pembobotan terhadap kriteria dengan perbandingan berpasangan (pairwise comparison) dengan skala 1 sampai 9 dimana: 1 = sama penting (equal importance); 3 = sedikit lebih penting (moderate more importance); 5 = cukup lebih penting (essential, strong more importance); 7 = jauh lebih penting (demonstrated importance); 9 = mutlak lebih penting (absolutely more importance); 2, 4, 6, 8 = nilai-nilai antara yang memberikan kompromi (grey area). Perbandingan dilakukan berdasarkan peringkat/rengking dari komoditas satu terhadap komoditas yang yang dinilai. Matriks perbandingan berpasangan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Perbandingan berpasangan antar komoditas pada masing-masing sub kriteria Alternatif Komoditas 1 Komoditas 2 Komoditas 3 Komoditas 4 Komoditas 1 Komoditas 2 Komoditas 3 Komoditas 4 3. Terakhir yaitu pengujian konsistensi dengan mengambil rasio konsistensi (CR) dari indeks konsistensi (CI) dengan nilai yang tepat. Rasio konsistensi dilakukan karena di dalam analisa multi kriteria ganda diperhitungkan juga kriteria kualitatif yang memungkinkan terjadinya ketidakkonsistenan (inconsistency) dalam penilaian perbandingan kriteria-kriteria atau alternatifalternatif. CI didefinisikan sebagai berikut: CI = λ max n n 1 Dimana, n menyatakan jumlah kriteria/alternatif yang dibandingkan dan λ max adalah nilai eigen (eigen value) yang terbesar dari matriks perbandingan berpasangan orde n. Jika CI bernilai 0 maka keputusan penilaian tersebut bersifat perfectly consistent dimana λ max sama dengan jumlah kriteria yang diperbandingkan yaitu n. Semakin tinggi nilai CI semakin tinggi pula tingkat ketidakkonsistenan dari keputusan perbandingan yang telah dilakukan. Nilai CR dapat diterima, jika tidak melebihi 0,10. Jika nilai CR > 0,10, berarti matriks tersebut tidak konsisten. Rasio konsistensi (CR/Consistency Ratio) dirumuskan sebagai berikut: CR = CI RI Dimana: CR = Consistency Ratio CI = Consistency Index RI = Random Index

44 24 Penilaian Sub Ktriteria dalam AHP 1. Agroekosistem: Produktivitas: Untuk menentukan komoditas yang lebih unggul digunakan patokan produkstivitas ideal. Produktivitas fisik rata-rata adalah keluaran (output) yang dihasilkan tiap unit masukan (input) baik masukan modal maupun tenaga kerja (Nicholson, 1995). Produktivitas = jumlah produksi komoditas Luas lahan Produksi: Penilaian produksi berdasarkan analisis LQ. Metode LQ untuk mengidentifikasi komoditas unggulan diakomodasi dari Miller & Wright (1991). Teknik LQ merupakan salah satu pendekatan yang umum digunakan dalam model ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sektor kegiatan yang menjadi pemacu pertumbuhan. Secara matematik, LQ diformulasikan sebagai perbandingan relatif antara kemampuan suatu sektor di daerah yang diamati dengan kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas (Hood 1998). LQ = Si/Ni S/N = Si/S Ni/N Keterangan: LQ = Besarnya koefisien lokasi komoditas. Si = Jumlah produksi komoditas i pada provinsi. S = Jumlah total produksi tingkat nasional. Ni = Jumlah produksi komoditas i pada tingkat provinsi. N = Jumlah total produksi komoditas tingkat nasional. Analisis LQ digunakan untuk mengetahui sejauh mana tingkat spesialisasi sektor-sektor di suatu daerah atau sektor-sektor apa saja yang merupakan sektor basis atau leading sektor. Hasil dari analisis ini akan memperlihatkan sektor yang berperan secara dominan sebagai sektor basis dan sektor yang tidak berperan secara dominan disebut sebagai sektor non basis. Pengelompokan sektor basis dan non basis berdasarkan besaran LQ yang diperoleh dari hasil analisis adalah sebagai berikut: LQ>1: menunjukkan komoditas tersebut termasuk komoditas basis. LQ<1: menunjukkan komoditas tersebut termasuk komoditas non basis. LQ=1: menunjukkan komoditas tersebut hanya dapat mencukupi wilayah sendiri. Trend produksi: Perhitungan trend produksi berdasarkan tingkat pertumbuhan produksi kabupaten dan provinsi. Analisis yang digunakan adalah Pertumbuhan Regional (PR) berdasarkan analisis shift share: Pertumbuhan Regional (PR) digunakan untuk mengetahui pertumbuhan komoditas tanaman secara agregat di tingkat provinsi. Nilai PR positif menunjukan komoditas tanaman disuatu kabupaten sedang mengalami kemajuan yang berarti, sebaliknya jika bernilai negatif menunjukan pertumbuhan komoditas sedang mengalami penurunan (Arsyad 1999).

45 25 PR = Nt NP 1 Keterangan: Nt = Jumlah total produksi komoditas pada tingkat provinsi pada tahun t (terakhir). Np = Jumlah total produksi komoditas pada tingkat provinsi pada tahun p (permulaan). 2. Ekonomi: Pengolahan: Dihitung dengan melihat adanya industri pengolahan yang melakukan aktivitas nilai tambah. Pendapatan: Dalam perhitungan untuk menentukan tingkat pendapatan menurut komoditas dilakukan pendekatan R/C rasio untuk komoditas tanaman semusim dan B/C rasio untuk tanaman tahunan. Adapun pendekatan perhitungan R/C dan B/C rasio sebagai berikut (Soekartawi 1996). Perhitungan RC ratio: RC ratio = Nilai total penerimaan (Rp per Ha) Nilai total biaya (Rp per Ha) Perhitungan BC ratio: Net BC = n t=0 n t=0 Bt CT (1 + i) t Ct Bt (1 + i) t Dimana: Bt = Manfaat pada tahun t Ct = Biaya pada tahun t i = discount rate t = tahun Perdagangan: Subkriteria perdagangan dihitung dengan pendekatan net ekspor komoditas kabupaten dibagi dengan net ekspor komoditas tingkat provinsi. Subkriteria perdagangan merupakan Tabel perdagangan ekspor (perdagangan ke luar daerah) kabupaten dan provinsi. 3. Daya dukung: Beberapa tahap penting yang harus dilalui untuk dapat melakukan identifikasi terhadap aspek-aspek mana yang menjadi faktor pendukung maupun faktor pembatas terhadap sektor agribisnis disuatu wilayah. Tahap pertama adalah melakukan wawancara dipandu kuisioner terstruktur terhadap responden-responden yang terlibat didalam subsistem agribisnis hulu, usahatani, hilir, dan jasa penunjang pada setiap subsektor pertanian. Tahap kedua yaitu memberikan penilaian terhadap jawabanjawaban responden dan menghitung nilai rata-rata skor. Tahap terakhir melakukan pengelompokan terhadap nilai-nilai skor masing-masing aspek

46 26 yang dievaluasi disetiap subsektor pertanian berdasarkan kelompok selang. Sub kriteria pada kriteria daya dukung adalah sebagai berikut: Pasar: Keunggulan suatu komoditas juga ditentukan oleh adanya dukungan pasar, baik pasar input maupun pasar output. Dalam pasar input dapat diketahui sampai sejauh mana input-input pertanian tersebut dapat dipenuhi dengan melihat adanya kios input. Sementara itu dalampasar output dapat dilihat dimana petani pada umumnya menjual output, bagaimana pembayaran hasil penjualan dan juga dilihat bagaimana penentuan harga yang terjadi. Modal: Kemudahan memperoleh modal menentukan keberlangsungan perkembangan komoditas unggulan yang akan dipilih. Pengukuran modal dengan menetahui ada atau tidaknya sumber modal baik bersumber dari petani sendiri, pemerintah maupun swasta. Teknologi: Pengukuran teknologi dilakukan degan mengetahui seberapa banyak penggunaan teknologi yang telah digunakan dan diterapkan oleh petani dalam pengembangan komoditas. Lembaga: Pengukuran kelembagaan dengan mengetahui lembagalembaga apa saja yang dapat mendukung keberlangsungan pengembangan komoditas. Lembaga yang dimakasud antara lain, ada atau tidaknya kelompok tani, koperasi, perbankan, penyuluh, pemerintah dan lembaga lain yang mendukung. Sumber daya manusia: Indikator kriteria penyerapan tenaga kerja merupakan nilai perbandingan jumlah tenaga yang bekerja pada subsektor di kabupaten terhadap jumlah tenaga kerja yang bekerja pada subsektor yang sama pada tingkat provinsi. Penetapan Sentra Pengembangan Komoditas Unggulan Indikator-indikator penentu dalam penetapan sentra produksi pegembangan komoditas unggulan yaitu jarak ekonomi dari daerah ke pusat pasar atau perekonomian terdekat, produkstivitas, produksi, potensi wilayah dan kesesuaian wilayah. Penetapan sentra produksi dapat dikerjakan setelah komoditas unggulan telah diperoleh. Struktur AHP dapat dilihat pada Gambar 4. Sentra Pengembangan Tujuan Jarak Ekonomi Produktivitas Produksi Potensi Lahan Kesesuaian lahan Kriteria Kabupaten Sentra Alternatif Gambar 4 Struktur AHP untuk penentuan sentra pengembangan komoditas unggulan

47 27 Secara rinci indikator-indikator penilaian pada penetapan sentra pengembangan komoditas unggulan dapat dijelaskan sebagai berikut: Lokasi/jarak ekonomi: Jarak yang dimaksud disini adalah jarak produksi dengan pasar terdekat yang menyerap jumlah produksi komoditas unggulan. Penilaiannya adalah semakin jauh jarak antara lokasi produksi dengan pasar maka peluang daerah tersebut untuk dijadikan sentra komoditas unggulan semakin kecil. Produktivitas: tingkat produkstivitas menggambarkan tingkat kesesuaian agroekosistem lokasi bagi pengembangan unggulan. Produksi: produksi komoditas unggulan masing-masing lokasi yang menggambarkan kontribusi komoditas unggulan tersebut bagi wilayah bersangkutan. Potensi lahan: Luasan lahan yang memiliki nilai ekonomi tinggi untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Penilaian potensi lahan dalam penelituan ini adalah luasan lahan masing-masing kabupaten di Provinsi Papua Barat yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan. Kesesuaian lahan: tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan wilayah yang akan dijadikan sentra pengembangan dapat dinilai dari ketinggian wilayah terhadap permukaan laut dengan kesesuaian syarat tumbuh komoditas terpilih. Rekomendasi Arah Pengembangan Agribisnis Arah strategi pengembangan agribisnis komoditas unggulan dilakukan secara deskriptif berdasarkan analisis AHP yang telah dilakukan sebelumnya. Komponen yang di analisis adalah keseluruhan subsistem dalam agribisnis, yaitu subsistem hulu, subsistem usahatani, subsistem hilir, pemasaran hingga lembagalambaga yang terlibat dalam kegiatan agribisnis komoditas-komoditas unggulan yang ada di Papua Barat. 5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak, Batas dan Luas Wilayah Provinsi Papua Barat merupakan salah satu dari 33 provinsi yang ada di Indonesia. Secara geografis Provinsi Papua Barat terletak pada 0 0,0 hingga 4 0,0 Lintang Selatan dan 124 0,00 hingga 132 0, 0 Bujur Timur, tepat berada di bawah garis katulistiwa dengan ketinggian dpl. Secara geografis, Provinsi Papua Barat berbatasan dengan: - Sebelah Utara : Samudra pasifik - Sebelah Selatan : Laut Banda dan Provinsi Maluku

48 28 - Sebelah Barat : Laut Seram dan Provinsi Maluku - Sebelah Timur : Provinsi Papua Luas wilayah Provinsi Papua Barat mencapai ,62 km 2 terdiri dari tiga kabupaten induk (Manokwari, Sorong dan Fak-fak), lima kabupaten pemekaran (Kaimana, Teluk Wondama, Teluk Bintuni, Sorong Selatan, dan Raja Ampat, Tambraw dan Maybrat) dan satu kota madya (Kota Sorong). Data statistik menjelaskan bahwa luas wilayah terbesar adalah Kabupaten Bintuni (29.840,83 Km 2 ) dan luas wilayah terkecil adalah Kota Sorong (56,64 Km 2 ). Masing-masing luas sebagai berikut: - Kabupaten Fak-Fak : ,48 Km 2 - Kabupaten Kaimana : ,84 Km 2 - Kabupaten Wondama : 3.959,53 Km 2 - Kabupaten Teluk Bintuni : ,83 Km 2 - Kabupaten Manokwari : ,94 Km 2 - Kabupaten Sorong Selatan : 3.946,94 Km 2 - Kabupaten Sorong : 7.415,29 Km 2 - Kabupaten Raja Ampat : 8.034,44 Km 2 - Kabupaten Tambraw : 5.179,65 Km 2 - Kabupaten Maybrat : 5.461,69 Km 2 - Kota Sorong : 656,64 Km 2 Wilayah Provinsi Papua Barat sebagian besar terdiri dari daerah pesisir dan pegunungan serta dataran rendah yang umumnya terdapat di lembah dan sepanjang pantai. Adapun pembagian wilayah berdasarkan ketinggian dari permukaan laut dapat diurai sebagai berikut: - Dataran rendah dengan ketinggian meter dari permukaan lait sebesar 47,89%. - Wilayah dengan ketinggian meter dari permukaan laut sebesar 26,78%. - Wilayah dengan ketinggian > meter dari permukaan laut sebesar 9,78% - Dataran tinggi dengan ketinggian >1000 meter dari permukaan laut sebesar 15,55%. Penduduk dan Tenaga Kerja Penduduk merupakan salah satu komponen utama dalam sebuah pemerintahan. Utama karena sasaran pembangunan yang dilakukan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan penduduknya. Selain itu, penduduk juga sebagai pelaku pembangunan. Karenanya, baik buruknya kualitas penduduk mnentukan maju mundurnya suatu wilayah. Betapapun kekayaan alam melimpah ruah tanpa didukung kualitas penduduknya, kekayaan alam itu tidak akan mampu terkelola dengan baik untuk mensejahterakan penduduknya. Jumlah penduduk Papua Barat dapat dilihat pada Tabel 8.

49 29 Tabel 8 Jumlah penduduk Provinsi Papua Barat menurut jenis kelamin per kabupaten tahun 2011 Kabupaten Laki-laki Perempuan Jumlah Fak-Fak Kaimana Teluk Wondama Teluk Bintuni Manokwari Sorong Selatan Sorong Raja Ampat Tambraw Maybrat Kota Sorong Sumber: BPS Provinsi Papua Barat, 2012 Berdasarkan hasil proyeksi penduduk , jumlah penduduk Provinsi Papua Barat tahun 2012 berjumlah 789 ribu jiwa, terdiri dari 417 ribu laki-laki dan 371 ribu perempuan. Tampak komosisi laki-laki dan perempuan di Papua barat hampir seimbang, sedikit lebih banyak penduduk laki-laki dari pada perempuan. Konsentrasi penduduk Papua Barat masih di sekitaran kabupaten induk yaitu Kabupaten Manokwari ( jiwa), Kota Sorong ( jiwa) dan Sorong ( jiwa). Jumlah penduduk Kabupaten Tambraw merupakan jumlah penduduk paling sedikit (3.228 jiwa), hal ini karena Kabupaten Tambraw merupakan kabupaten pemekaran baru yang baru dibentuk awal tahun 2010 lalu. Tabel 9 Jumlah penduduk angkatan kerja di Provinsi Papua Barat menurut jenis kelamin dan jenis kegiatan utama Tahun 2011 Jenis Kegiatan Utama Laki-laki Perempuan Jumlah 1. Penduduk usia kerja (15+) a. Angkatan Kerja Bekerja Pengangguran terbuka b. Bukan angkatan kerja Sekolah Mengurus rumah tangga Lainnya Tingkat pengangguran terbuka (%) 8,31 10,02 8,94 Sumber: BPS Provinsi Papua Barat, 2012 Dibidang ketenagakerjaan, tingkat partisipasi angkatan kerja Provinsi Papua Barat pada Agustus 2012 sebesar 70,78 % mengalami peningkatan sebesar 1,42% dibandingkan dengan kondisi Februari Pertumbuhan tenaga kerja yang kurang diimbangi dengan pertumbuhan lapangan kerja akan menyebabkan tingkat kesempatan kerja cenderung menurun. Meski demikian jumlah penduduk yang bekerja tidak selalu menggambarkan jumlah kesempatan kerja yang ada. Pada tahun 2011, total jumlah penduduk usia kerja sebesar jiwa, dimana jiwa dan jiwa bukan merupakan angkatan kerja. Dari total angkatan kerja, 91,1% sudah bekerja dan hanya 8,9% yang pengangguran terbuka.

50 30 Sedangkan yang termasuk bukan angkatan kerja adalah mereka yang masih sekolah, lansia, ibu rumah tangga, dan lainnya. Kondisi Sosial Ekonomi Kinerja perekonomian yang dicapai Provinsi Papua Barat sampai tahun 2012 masih belum optimal, dengan melihat tantangan dan kesempatan yang ada maka perekonomian Provinsi Papua Barat masih terlihat optimis untuk terus meningkat dan menjadi lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan perekonomiannya yang cukup tinggi. Pertumbuhan Ekonomi Papua Barat tahun 2012 yang diukur dari kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) berdasarkan harga berlaku meningkat sebesar 15,84 persen terhadap tahun Semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan positif, dengan pertumbuhan tertinggi di sektor industri pengolahan 27,76 persen diikuti sektor konstruksi sebesar 12,30 persen dan sektor jasa-jasa sebesar 11,91 persen. Perkembangan PDRB Provinsi Papua Barat dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Perkembangan PDRB Provinsi Papua Barat atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha tahun (%) Lapangan Usaha Laju (%/Tahun) 1. Pertanian / Agriculture 26,03 21,51 17,17-6,6 Tanaman Pangan 4,75 3,99 3,04-1,33 Tanaman Perkebunan 2,61 2,15 1,86-0,52 Peternakan 1,56 1,3 1,08-0,35 Kehutanan 7,11 5,7 4,53-1,875 Perikanan 9,99 8,36 6,66-2, Pertambangan 15,09 11,64 9,7-3, Industri Pengolahan 18,78 32,15 41,61 16, Listrik Dan Air Bersih 0,44 0,36 0,31-0,09 5. Bangunan 8,98 7,67 6,77-1, Perdagangan 9,82 7,94 7-1,88 7. Pengangkutan Dan Komunikasi 7,57 6,54 5,8-1, Keuangan 2,55 2,12 1,85-0, Jasa-Jasa 10,74 10,08 9,79-0,62 Produk Domestik Regional Bruto Sumber: BPS Provinsi Papua Barat 2012 Dari data Perkembangan PDRB Provinsi Papua Barat atas data konstan tahun 2011 naik sebesar 34,56 %, dari Rp ,61 miliar pada tahun 2010 menjadi sebesar Rp ,46 miliar pada tahun Produksi Liquefied Natural Gas (LNG) mempengaruhi struktur ekonomi Provinsi Papua Barat sejak tahun Hal ini mendorong sektor industri pengolahan menjadi sektor terbesar yang menyumbang nilai PDRB pada tahun Keadaan tersebut menggeser kontribusi sektor pertanian yang selama ini menjadi sektor dominan di Papua Barat, menyebabkan sektor pertanian dari tahun ke tahun mengalami penurunan sebanyak -9,39 % dari tahun 2009 ke 2011.

51 31 Pada tahun 2010 kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Papua Barat turun dari 21,51% mencapai 17,17% yang menduduki urutan kedua setelah industri pengolahan (41,61%). Dari kontribusi sektor pertanian tersebut kontribusi terbesar adalah sektor perikanan (6,66%), kehutanan (4,53%) dan tanaman pangan (3,04%). Kontribusi sektor pertanian tanaman pangan terhadap PDRB akan lebih besar lagi apabila sistem usahatani diperbaiki. Potensi Agribisnis Papua Barat Potensi agribisnis Papua Barat di tingkat on-farm dapat diamati dari sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan. Hampir seluruh sektor agribisnis diproduksi di seluruh kabupaten-kabupaten yang ada di Papua Barat. Potensi tersebut dapat dilihat dari potensi lahan dan potensi produksi yang dimiliki Papua Barat. Potensi Lahan Darat Sumberdaya lahan darat merupakan sumberdaya potensial untuk agribisnis disamping sumberdaya pesisir dan lautan. Sumber daya lahan pertanian di Provinsi Papua Barat, berperan sebagai penghasil pangan serta sumber pendapatan petani dan daerah, sehingga upaya untuk mengembangkan pertanian perlu dilakukan. Mengingat sebagian besar masyarakat etnis Papua masih menggantungkan kehidupannya pada sumber daya lahan dan lingkungan maka usaha pengembangan pertanian secara tidak langsung juga meningkatkan taraf hidup, pendapatan, dan kesejahteraan. Potensi lahan Papua Barat untuk pertanian masih sangat besar dan baru sebagian kecl diantaranya sudah di manfaatkan. Sesuai data BPS Provinsi Papua Barat Tahun 2011, luas lahan tersedia yang cocok bagi pengembangan pertanian di Provinsi Papua Barat seluas Ha. Dimana telah digunakan sebesar Ha, sehingga tersisa Ha, seperti disajikan dalam Tabel 11. Tabel 11 Luas lahan yang sesuai untuk pengembangan pertanian menurut kabupaten di Provinsi Papua Barat Tahun 2011 Kabupaten/Kota Luas Lahan (ha) Sesuai Telah digunakan Tersedia Fak Fak Kaimana Teluk Wondama Teluk Bintuni Manokwari Sorong Selatan Kota Sorong Raja Ampat Jumlah Sumber: BPS Provinsi Papua Barat 2012 Jika dilihat dari lahan yang sesuai untuk pengembangan pertanian, maka Kabupaten Teluk Bintuni memliki lahan yang paling luas yaitu Ha,

52 32 namun yang baru digunakan sebesar Ha. Sehingga masih tersisa Ha lagi yang belum dimanfaatkan. Kabupaten lain yang memiliki potensi lahan adalah Kabupaten Fak-fak, Sorong Selatan dan Sorong. Sedangkan kabupaten yang memiliki lahan sesuai paling sedikit adalah Kabupaten Raja Ampat dan Kabupaten Teluk Wondama karena sebagian daratan wilayahnya merupakan pesisir dan pantai. Komposisi lahan darat meliputi lahan basah dan lahan kering. Jika dilihat dari data sebarana dan tipe lahan yang sesuai, maka Papua Barat memiliki total luas lahan untuk sawah lahan basah sebesar Ha, lahan semusim (lahan kering seluas Ha dan tanaman tahunan seluas Ha dan hampir sebagian besar lahan di Papua Barat berada pada dataran rendah. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 12 berikut. Tabel 12 Sebaran dan tipe lahan yang sesuai di Provinsi Papua Barat Tahun 2011 Sawah Semusim Tanaman Sebaran (lahan basah) (lahan kering) Tahunan Dataran rendah Dataran tinggi Total Sumber: BPS Provinsi Papua Barat 2012 Berdasarkan luas lahan potensian untuk pertanian, maka luas lahan untuk pengembangan pertanian tanaman pangan dan hortikultura seluas Ha, untuk lahan ternak seluas Ha dan untuk perkebunan seluas Ha. Dilihat pada Tabel 13, bahwa kabupaten dengan luas lahan potensial untuk pengembangan tanaman pangan dan hortikultura adalah Kabupaten Teluk Bintuni dengan luasan lahan Ha, lahan potensial untuk peternakan adalah Kabupaten Kaimana dengan luas wilayah sesuai Ha dan untuk lahan potensial perkebunan adalah Kabupaten Fak-fak dengan luas wilayah Ha. Potensi lahan yang dimilki Provinsi Papua Barat sebagai modal awal untuk pengembangan pertanian berbasis agribisnis, sehingga sebaiknya dimanfaatkan sesuai dengan arah kebijakan pertanian agar dapat meningkatkan perekonomian setempat dan dapat mensejahterakan masyarakat. Tabel 13 Luas lahan potensial untuk pengembangan pertanian menurut kabupaten di Provinsi Papua Barat tahun 2011 Areal Pengembangan Pertanian (Ha) Kabupaten/Kota Tanaman Pangan/Horti Ternak Kebun Jumlah Fak Fak Kaimana Teluk Wondama Teluk Bintuni Manokwari Sorong Selatan Kota /Sorong Raja Ampat Jumlah Sumber: BPS Provinsi Papua Barat 2012

53 33 Potensi Agribisnis Sektor Tanamana Pangan Sektor tanaman pangan di Provinsi Papua Barat termasuk sektor penting bagi perekonomian daerah, karena merupakan penyedia bahan pangan bagi kebutuhan masyarakat domestik. Sektor ini mencakup komoditi tanaman bahan makanan seperti padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah dan kedelai. Sektor tanaman pangan di Provinsi Papua Barat merupakan sektor yang mempunyai kontribusi kedua terbesar setelah kehutanan terhadap perekonomian di Provinsi Papua Barat. Tabel 14 dan 15 merupakan data luas panen dan produksi tanaman pangan di Provinsi Papua barat tahun Tabel 14 Luas panen tanaman pangan menurut kabupaten di Provinsi Papua Barat tahun 2011 (Ha) No Kabupaten Padi Jagung Ubi Ubi Kacang Kayu Jalar Tanah Kedelai % 1 Fak-Fak ,25 2 Kaimana ,20 3 Teluk Wondama ,93 4 Teluk Bintuni ,81 5 Manokwari ,00 6 Sorong Selatan ,81 7 Sorong ,98 8 Raja Ampat ,82 9 Kota Sorong ,20 Jumlah Sumber: BPS Provinsi Papua Barat 2012 Potensi luas panen tanaman pangan tanaman pangan didominasi oleh tanaman padi yaitu Ha, ubi-ubian Ha, dan palawija Ha. Kabupaten Manokwari memberikan kontribusi terbesar (44 %) baik untuk tanaman padi, ubi-ubian dan palawija. Sedangkan Kabupaten Sorong berkontribusi sebesar 19,98 % dan Teluk Bintuni 11,81%. Beberapa daerah lain yang memiliki potensi lahan untuk pertanian dengan kontribusi bekisar 5%-10% terdapat di Kabupaten Sorong Selatan dan Raja Ampat. Tabel 15 Rata-rata produksi tanaman pangan menurut kabupaten di Provinsi Papua Barat tahun (ton) No Kabupaten Padi Jagung Ubi Ubi Kacang Kayu Jalar Tanah Kedelai % 1 Fak-Fak ,78 2 Kaimana ,52 3 Teluk Wondama ,45 4 Teluk Bintuni ,85 5 Manokwari ,96 6 Sorong Selatan ,53 7 Sorong ,39 8 Raja Ampat ,27 9 Kota Sorong ,25 Jumlah Sumber: BPS Provinsi Papua Barat 2012

54 34 Jumlah kontribusi terbesar produksi tanaman pangan terutama dari Kabupaten Manokwari (37,96%) dan Kabupaten Sorong (20,37%). Padi merupakan produksi terbesar tanaman pangan dengan total produksi ton, kemudian diikuti oleh ubi kayu ( ton) dan ubi jalar ( ton). Kontribusi terendah ditemui di Kabupaten Kaimana dan Fak-fak, dimana produksi terbesar kedua kabupaten ini hanya pada ubi kayu dan ubi jalar. Pengusahaan padi sawah umumnya dilakukan oleh petani transmigran, sementara petani lokal menanam padi ladang dengan pola perladangan berpindah. Rata-rata petani memperoleh hasil sebesar 2,5-3 ton/ha. Areal panen padi sawah pada tahun Ha (64% di kabupaten Manokwari dan 27% di Kabupaten Sorong). Padi ladang terluas (578 Ha) juga terdapat di Kabupaten Manokwari (BPS Papua barat 2012). Jenis ubi-ubian merupakan makanan lokal masyarakat Papua dan memiliki peranan yang cukup besar dalam memelihara kerukunan masyarakat dan adat istiadat setempat. Kabupaten Sorong dan Manokwari merupakan kabupaten penghasil ubi jalar dan ubi kayu terbesar yaitu diatas 3800 ton untuk ubi kayu dan 1200 untuk ubi jalar. Ubi kayu selain untuk dikonsumsi sendiri juga memiliki prospek yang cukup tinggi untuk industri pengolahan makanan bermutu tinggi. Potensi Agribisnis Sektor Tanaman Hortikultura Potensi tanaman hortikulura tersebar di seluruh kabupaten di Provinsi Papua Barat. Komoditi yang di usahakan masyarakat setempat antara lain tomat, cabai, terong, dan sayuran lainnya. Perkembangan produksi tanaman hortikultura dapat dilihat pada Gambar 5 berikut. Pada gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa produksi tertinggi adalah tomat dan kacang panjang, dimana konsentrasi produksi terbanyak terdapat di Kabupaten Manokwari. Sedangkan kangkung merupakan produksi terbanyak ketiga berkonsentrasi di Kabupaten Sorong. Dari semua jenis tanaman hortikultura yang diusahakan, kubis merupakan produksi terkecil. Hal ini dikarenakan tidak semua kondisi lahan di Provinsi Papua Barat cocok untuk ditanami kubis. Teknologi budidaya yang masih tradisional serta kurangnya ketrampilan petani juga menyebabkan budidaya kubis kurang diminati oleh petani di Provinsi Papua Barat. Ton Kabupaten Sumber: BPS Provinsi Papua Barat 2012 Fakfak Kaimana Gambar 5 Produksi tanaman hortikultura menurut kabupaten di Provinsi Papua Barat tahun 2011 (ton) Teluk Wondama Teluk Bintuni Manokwari Sorong Selatan Sorong Raja Ampat Kota Sorong

55 35 Potensi Agribisnis Sektor Tanaman Perkebunan Sektor perkebunan pencakup komoditi-komoditi mulai dari hasil tanaman perkebunan yang diusahakan oleh rakyat, pihak swasta maupun pemerintah seperti kelapa, kakao, kelapa sawit dan pala. Hampir seluruh produksi komoditi perkebunan yang di usahakan berfluktuasi. Hal ini dapat dilihat pada presentasi produksi komoditi perkebunan pada Gambar 6. Kelapa sawit merupakan produksi terbanyak dibandingkan komoditi yang lain yaitu > 50% dari total produksi perkebunan. Pada tahun 2010 kelapa sawit sempat mengalami penurunan produksi namun kemudian dapat meningkat lagi pada tahun Berbeda dengan komoditi lain yang mengalami penurunan di tahun 2012 padahal sebelumnya peningkatannya stabil. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya luas lahan panen yang semakin berkurang, kondisi kebun yang mulai menurun produktivitasnya, petani yang mulai beralih pada tanaman lain, dan kondisi iklim Provinsi Papua Barat yang tidak menentu sehingga kebun banyak terserang hama Ton Tahun Kelapa Kelapa Sawit Kakao Pala Sumber: BPS Provinsi Papua Barat 2012 Gambar 6 Persentasi perkembangan produksi tanaman perkebunan Provinsi Papua Barat tahun (ton) Berbeda dengan tanaman pangan dan hortikultura yang produksinya menyebar hampir di seluruh kabupaten, tidak semua tanaman perkebunan terdapat di seluruh kabupaten di Provinsi Papua Barat. Hal ini dapat di lihat pada data produksi tanaman perkebunan Papua Barat menurut kabupaten pada Tabel 16. Berdasarkan konsentrasi produksinya, produksi kelapa sawit dan kakao terbanyak terdapat di Kabupaten Manokwari, kelapa di Kabupaten Raja Ampat dan pala di Kabupaten Fak-fak. Seluruh produksi kelapa sawit berada di kabupaten Manokwari. Hal ini karena kondisi lahan Manokwari sangat cocok untuk tanaman kelapa sawit, selain itu perusahaan besar milik negara dan swasta berada di Manokwari, sehingga terdapat pabrik pengolahan yang dapat menunjang kegiatan produksi kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit sebagian besar dimiliki oleh Perseroan Terbatas Perkebunan Negara (PTPN II) sejak tahun 1982 dan perkebunan swasta dalam bentuk perkebunan inti plasma. Pola yang digunakan PTP II adalah pola PIR (Perkebunan Intin Rakyat), dimana Ha dikelola oleh inti dan Ha dikelola plasma. Sedangkan perkebunan kakao di Papua Barat diusahakan oleh

56 36 perusahaan dan perkebunan rakyat dengan pola PIR serta kebun individu masyarakat tani. Perkebunan kakao hampir terdapat diseluruh kabupaten kecuali Kota Sorong, sedangkan yang dikelolah oleh perusahaan hanya terdapat di Kabupaten Manokwari dengan luas Ha. Kabupaten Manokwari memiliki luas areal kebun yang paling luas yaitu Ha dari total kebun Ha (BPS Papua Barat 2012). Tabel 16 Produksi tanaman perkebunan menurut kapubaten di Provinsi Papua Barat tahun 2011 (ton) No Kabupaten Kelapa Kelapa Sawit Kakao Pala 1 Fak-Fak Kaimana Teluk Wondama Teluk Bintuni Manokwari Sorong Selatan Sorong Raja Ampat Tambraw Maybrat Kota Sorong Sumber: BPS Provinsi Papua Barat 2012 Data di atas juga menjelaskan bahwa semua tanaman perkebunan dapat diproduksi di Kabupaten Manokwari. Hal ini dikarenakan kondisi wilayah Manokwari yang cocok untuk lahan pertanian termasuk perkebunan. Selain itu, sebagai ibu kota provinsi, Manokwari juga memiliki fasilitas dan daya dukung yang dapat digunakan untuk menunjang keberlangsungan produksi tanaman. Daya dukung tersebut anatar lain, kemudahan aksesbilitas, terdapat lembaga-lembaga peunjang seperti Bank dan lembaga pemasaran, serta adanya pabrik pengolahan. Potensi Agribisnis Sektor Peternakan Potensi produksi ternak menunjukkan produk pemeliharaan ternak utama yang dihasilkan oleh masyarakat pada masing-masing kabupaten di Papua Barat. Hasil utama dari ternak adalah daging. Berikut ini pada Tabel 17 disajikan rata-rata populasi ternak penghasil daging yang dibudidayakan dimasing-masing kabupaten di Provinsi Papua Barat. Jenis ternak ruminansia di Provinsi Papua Barat didominasi oleh ternak babi dengan rata-rata populasi ekor, kemudian sapi diurutan kedua dengan populasi sebanyak ekor dan kambing sebanyak ekor. Pada umunya peternakan babi diusahakan oleh masyarakat lokal. Babi menjadi ternak terbanyak kerena dukungan sosial budaya di Papua yang menganggap babi memiliki nilai sosial yang tinggi. Selain itu, mayoritas penduduk Papua Barat beragama nasrani menyebabkan permintaan daging babi di Provinsi Papua Barat terus meningkat. Populasi babi terbanyak terdapat di Kabupaten Manokwari yaitu mencapai ekor, kemudian kota sorong sebanyak ekor, serta Kabupaten Sorong, Teluk Bintuni dan Fakfak yang populasinya diatas 100 ekor.

57 37 Tabel 17 Rata-rata populasi ternak menurut kabupaten di Provinsi Papua Barat tahun (ekor) No Kabupaten Sapi Kambing Babi Ayam Buras Itik 1 Fakfak Kaimana Teluk Wondama Teluk Bintuni Manokwari Sorong Selatan Sorong Raja Ampat Kota Sorong Total Produksi Sumber: BPS Provinsi Papua Barat 2012 Pemeliharaan sapi umumnya dilakukan oleh penduduk transmigran, baik secara gaduhan atau milik sendiri. Petani umumnya memelihara sapi bali dengan pola pemeliharaan ekstensif. Permintaan daging sapi di pasar regional maupun pasar nasional masih sangat terbuka. Populasi tertinggi adalah di Kabupaten Manokwari yaitu ekor, kemudian kabupaten Sorong ekor, sedangkan kabupaten lain bekisar antara ekor. Pengembangan sapi yang dilakukan pemerintah kepada penduduk transmigrasi cukup berhasil. Di Kabupaten manokwari pemilikan sapi hingga 50 ekor, sedang di Kabupaten Sorong ada yang memiliki lebih dari ekor sapi yang digaduhkan kepada masyarakat. 6 HASIL DAN PEMBAHASAN Penetapan Komoditas Unggulan Komoditas unggulan merupakan produk yang mempunyai keunggulan baik dari sisi produksinya, kontinyuitas dan daya saing sehingga diterima masyarakat dan dapat menarik investror. Pengembangan agribisnis berdasarkan produk unggulan menunjukkan suatu kegiatan produk agribisnis pada tingkat budidaya (on-farm) dan tingkat industri (off-farm). Analisis data yang digunakan untuk penetapan komoditas unggulan dalam penelitian ini adalah analisis AHP, dengan mengunakan data-data kuantitatif dalam menilai setiap unsur dalam AHP. Ada tiga kriteria yang digunakan untuk penetapan komoditas unggulan dalam analisis AHP, yaitu pendekatan agroekosistem, ekonomi dan daya dukung. Masing-masing kriteria memiliki sub kriteria lagi yang nantinya akan di gunakan untuk mendapatkan komoditas unggulan. Sub kriteria tersebut antara lain produktivitas, produksi dan trend produksi untuk ktiteria kesesuaian agroekosistem; pendapatan, kelayakan usaha, perdagangan dan industri pengolahan untuk kriteria kesesuaian ekonomi; serta modal, pasar, teknologi, sumber daya manusia, lembaga, sarana dan kebijakan pemerintah untuk kriteria

58 38 daya dukung. Pengelompokan produk/komoditas pertanian primer yang dianalisis lebih menekankan pada aspek perbedaan karakteristik komoditas yang dihasilkan dengan tetap memperhatikan agregasi sub sektornya. Penentuan bobot proiritas dilakukan setelah matriks perbandingan kriteria diisi dengan menggunakan metode Eigenvector yaitu vaktor karektiristik dari sebuah matriks bujursangkar dan metode eigenvalue yaitu akar karakteristik dari matriks tersebut. Hasil akhir dari perhitungan bobot prioritas tersebut merupakan bilangan desimal dibawah satu dengan total prioritas untuk elemen-elemen dalam satu kelompok sama dengan satu (Ratnawati et al 2000). Metode ini yang akhirnya dipakai sebagai alat pengukur bobot prioritas setiap matriks perbandingan model AHP karena sifatnya lebih akurat dan memperhatikan semua interaksi anta elemen. Kelemahan metode ini adalah sulit dikerjakan secara manual, apalagi jika matriks lebih dari tiga elemen. Sehingga dalam perhitungan bobot dalam penelitian ini menggunakan program komputer Expert Choice Expert Choice 2000 merupakan program komputer untuk pemecahan masalah AHP. Hasil pembobotan kriteria penetapan komoditas unggulan dapat dilihat pada Gamabar 7 di bawah ini Prioritas Komoditas Unggulan Agroekosistem (0,333) Ekonomi (0,333) Daya Dukung (0,333) Produktivitas (0,540) Produksi (0,297) Trend produksi (0,163) Pendapatan 0,351 Kelayakan Usaha (0,351) Perdagangan (0,189) Industri Pengolahan (0,109) Modal (0,229) Pasar (0,229) Teknologi (0,123) SDM (0,127) Lembaga (0,097) Sarana (0,097) Kebijakan (0,097) Gambar 7 Hasil pembobotan AHP kriteria dan subkriteria penetapan komoditas unggulan

59 39 Pada penelitian ini, setiap kriteria memiliki bobot yang sama, yaitu 0,333. Masing-masing kriteria diberi nilai yang sama karena dianggap sama penting, dimana komoditas jika memiliki kesesuaian agroekosistem yang baik belum tentu dapat menjadi komoditas unggulan jika tidak dibarengi dengan kondisi ekonomi yang baik dan kelembagaan/daya dukung yang sesuai (Badang Litbang Pertanian 2003). Sedangkan masing-masing sub kriteria memiliki bobot yang berbeda-beda sesuai dengan penilaian terhadap peringkat yang telah disusun. Penetapan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan Pada kelompok tanaman pangan komoditi yang diamati terdiri dari padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah dan kedelai. Hasil analisis AHP penetapan komoditas unggulan pangan dapat dilihat pada Gambar 8, menunjukkan bahwa pada kelompok komoditas pangan, prioritas komoditi unggulan pertama ditujukan oleh komoditi padi dengan bobot 0,219. Urutan kedua yaitu ubi jalar dengan bobot 0,184 dan kacang tanah 0,165 serta kedelai, ubi kayu dan jagung menempati urutan selanjutnya dengan nilai konsistensi 0,01. Ubi kayu yang sebelumnya masuk dalam komoditas unggulan teryata memiliki nilai yang paling rendah. Hal ini karena ubi kayu memiliki nilai terendah pada kriteria ekonomi dan daya dukung. Pada kriteria ekonomi, ubi kayu memiliki harga jual yang rendah yaitu Rp 500,- per 1 Kg, sehingga dalam 1 Ha lahan ubi kayu petani hanya mendapatkan keuntungan sebesar Rp ,-. Hal ini dikarenakan belum adanya industri pengolahan ubi kayu sehingga nilai ubi kayu cukup rendah Bobot Prioritas Padi Jagung Ubi Kayu Ubi Jalar Kacang Tanah Komoditas Kedelai Gambar 8 Sebaran bobot prioritas komoditas unggulan tanaman pangan di Provinsi Papua Barat Hasil pembobotan diperoleh melalui penilaian perbandingan berpasangan antar komoditas terhadap setiap kriteria penilaian. Sub kriteria tersebut antara lain produktivitas, LQ, PR, perdagangan, R/C rasio dan rata-rata skoring pada daya

60 40 dukung. Perbandingan dilakukan melalui hasil rengking masing-masing komoditas kepada setiap sub kriteria tersebut. hasil masing-masing sub kriteria komoditas unggulan pangan yang terpilih dapat dilihat dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Nilai pada masing-masing sub kriteria penentuan komoditas pangan di Provinsi Papua Barat Sub kriteria Padi Ubi Jalar Kacang tanah Produktivitas (Ton/Ha) 2,7 10,09 0,9 LQ 0,8 9,6 1,8 Trend produksi 1,7 0,002-0,3 Pendapatan (Rupiah) R/C rasio 1 1,2 2,1 Jumlah Industri pengolahan (Unit) Rata-rata skoring daya dukung 2,2 1,9 1,9 Komoditas Unggulan Padi Berdasarkan analisis AHP diatas padi tergolong komoditi unggulan dengan bobot 0,219. Padi menjadi prioritas utama komoditas unggulan karena memiliki bobot tertinggi pada kreteria ekonomi dan daya dukung, yaitu 0,333 dan 0,218. Sedangkan untuk kriteria kesesuaian agroekosistem padi memperoleh bobot terendah yaitu 0,105 (Lampiran 2). Rendahnya bobot kriteria agroekosistem disebabkan nilai produktivitas dan LQ yang rendah. Usahatani padi umumnya dilakukan oleh masyarakat transmigran, dimana proses adopsi teknologi sudah mulai berjalan. Penggunaan varietas unggul dan pupuk buatan sudah diterapkan, namun produktivitas tanamannya masih rendah. Nilai produktivitas padi di Papua Barat hanya sebesar 2,7 ton/ha, selisih 2,29 dengan produktivitas tingkat nasional yang mencapai 5 ton/ha. Berdasarkan hasil wawancara dengan dinas terkait, rendahnya produktivitas padi di Papua Barat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain kandungan Fe pada tanah yang tinggi, sehingga memerlukan pemupukan berat terutama P 2 O 5, sementara ketersediaan pupuk masih terbatas di daerah-daerah terpencil yang baru terbuka untuk lahan sawah. Faktor lain adalah tingginya curah hujan pada saat panen, sehingga proses penjemuran gabah terganggu. Dalam waktu yang lama tingkat kerusakan gabah akan meningkat. Jika dilihat dari data produksi digambarkan dengan nilai LQ yang kurang dari 1 yaitu 0,8 maka padi tidak termasuk dalam komoditas basis. Artinya share produksi padi terhadap tingkat nasional masih termasuk kecil. Namun pada sub kriteria trend produksi (1,7), padi mampu memperlihatkan kemampuannya dalam berproduksi dengan menampilkan nilai trend produksi yang positif, yang artinya produksi padi selalu meningkat setiap tahunnya yaitu ton pada tahun 2008 meningkat ton pada tahun Hal ini menunjukkan bahwa padi mampu meningkatkan produksinya setiap tahunnya agar dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat di Provinsi Papua Barat.

61 41 Pada kriteria ekonomi, komoditas padi mampu memberikan bobot yang tertinggi (0,333), dikarenakan petani padi mampu memperoleh keuntungan hingga Rp per musim tanam, dengan harga jual Rp per Kg. Komoditi padi menjadi layak diusahakan di Provinsi Papua Barat karena memiliki nilai R/C rasio 1. Selain itu, terdapat 90 unit penggilingan padi yang tersebar pada kabupaten penghasil beras. Hal ini menunjukkan bahwa padi industri pengolahan padi dapat merkembang di Provinsi Papua Barat. Produksi padi di Provinsi Papua barat masih terkonsentrasi di Kabupaten Manokwari dan Sorong. Produksi kedua kabupaten ini mampu memenuhi kebutuhan beras di Provinsi Papua Barat. Terbukti dengan data ekspor Manokwari yang mampu mengeksor beras ke daerah-daerah sekitar. Pada kriteria daya dukung (0,218), komoditas padi memiliki rata-rata skoring terhadap aspek pendukung kegiatan agribisnis yaitu 2,2. Penilaian dilakukan terhadap kondisi kemudahan memperoleh modal, pasar, lembaga, saranan dan kebijakan. Akses terhadap perbankan dan lembaga peminjam modal di Provinsi Papua Barat mudah terjagkau dan beberapa bank seperti BRI, BNI dan Bank Papua yang menyediakan layanan kredit untuk usaha kecil dan menengah. Akan tetapi, layanan tersebut jarang di manfaatkan oleh pengusaha saprodi, dan pedagang beras untuk memperluas usahanya. Hanya sebagian kecil petani yang memanfaatkan fasilitas kredit yang disediakan bank-bank tersebut. Hal ini dikarenakan, syarat dan ketentuan yang menyulitkan calon pengkredit seperti melampirkan agunan, surat izin usaha, dan laporan penjualan sebagai syarat pengajuan kredit serta bunga pinjaman yang relatif tinggi yaitu 10% per bulan. Provinsi Papua Barat telah menetapkan 14 daerah irigasi yang memanfaatkan air sungai (air permukaan) antara lain Bendungan Aimisu di Kabupaten Sorong dan Bendungan Prafi di Kabupaten Manokwari. Luas panen padi sawah tahun Ha, sedang potensi irigasi mencapai Ha (BPS Provinsi Papua barat, 2012). Percepatan pembangunan jaringan irigasi diwilayah lain perlu dilakukan disamping merevitalisasi jaringan irigasi yang sudah ada. Agar pemanfaatan air irigasi menjadi optimal maka telah dibentuk Perhimpunan Petani Pemakai Air (P3A) pada tiap-tiap daerah irigasi. Selain sarana irigasi, akses jalan menuju sentra-sentra produksi juga merupakan hal penting. Di Kabupaten Manokwari akses jalan semakin baik seperti terdapat jalan aspal dan angkutan umum dari daerah sentra produksi menuju pasar di ibu kota kabupaten. Namun pada kabupaten lain, akses jalan masih mengalami keterlambatan pembangunan. Komoditas Unggulan Ubi Jalar Berdasarkan hasil AHP pada Gambar 8, ubi jalar termasuk dalam komoditas unggulan kedua setelah padi dengan bobot 0,184. Bobot kriteria tertinggi adalah ekonomi 0,256, urutan kedua agroekosistem 0,184 dan terendah daya dukung dengan bobot 0,136 (Lampiran 2). Ubi jalar memiliki peluang cukup besar untuk dikembangkan karena memiliki daya adaptasi yang luas terhadap kondisi lahan dan lingkungan. Ubi jalar merupakan makanan pokok penduduk lokal Papua, memiliki nilai tinggi dalam upacara ritual dalam masyarakat adat setempat, serta sebagai pakan ternak babi, yang mempunyai nilai sosial tinggi bagi suku-suku di Papua. Ubi jalar merupakan makanan lokal masyarakat Papua

62 42 dan memiliki peranan yang besar dalam memelihara kerukunan masyarakat dan adat istiadat setempat. Ubi jalar yang berumur genjah dan berkualitas tinggi semakin meluas dan dominan ditanam masyarakat Papua. Pada kriteria agroekosistem, produktivitas ubi jalar di Provinsi Papua Barat mencapai 10,09 ton/ha selisih 1,82 dengan produktivitas nasional yang mencapai 11,91. Berdasarkan data produksi yang diproyeksikan pada tingkat nasional, ubi jalar memiliki nilai LQ 9,6. Hal ini menunjukkan bahwa share produksi ubi jalar terhadap tingkat nasional cukup tinggi sehingga ubi jalar merupakan komoditas basis di Provinsi Papua Barat. Produksi yang tinggi ini dapat dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan, selain itu dapat meningkatkan pendapatan petani. Namun jika dilihat dari trend produksi ubi jalar bernilai positif namun sangat kecil yaitu 0,002, artinya peningkatan produksi setiap tahunnya sangat kecil bahkan menurun. Tahun 2008 Provinsi Papua Barat mampu produksi ubi jalar sebanyak ton menurun pada tahun 2012 menjadi ton. Tekonologi usahatani ubi jalar yang dipraktekkan petani meliputi penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan dan panen. Persiapan lahan dilakukan dengan mengolah lahan menggunakan skop, kemudian membuat kuming, yaitu bumbunan tanah bercampur sisa tanaman atau rumput sebagai tempat penanaman stek. Sisa tanaman atau rumput yang sudah lapuk digunakan sebagai sumber bahan organik bagi tanaman. Pada umumnya, tanaman ubi jalar yang dibudidayakan tidak menggunakan pupuk kimia, karena varietas yang dibudidayakan sudah lama beradaptasi dengan lingkungan setempat sehingga dianggap sebagai varietas lokal. Dua varietas lokal yang dominan diusahakan petani adalah Hielaleke dan Musan. Dua varietas ini memiliki produktivitas yang lebih tinggi dibanding varietas lain, panen lebih awal dan cita rasa yang lebih disenangi masyarakat setempat. Pada kriteria ekonomi, Harga jual ubi jalar mencapai Rp 700 per Kg, sehingga keuntungan yang diperoleh petani mencapai Rp /Ha dengan R/C rasio 1,2. Hal ini mencerminkan bahwa berusahatani ubi jalar masih memberikan keuntungan dan penambahan pendapatan bagi petani ubi jalar di Papua Barat. Selain itu Provinsi Papua Barat memiliki 34 unit industri pengolahan ubi jalar skala kecil yang mampu mengolah ubi jalar menjadi bahan makanan ringan. Permasalahan yang dihadapi adalah teknik panen dan pasca panen. Panen dilakukan menurut kebutuhan pangan keluarga, sehingga tanaman ubi jalar dipertahankan di lapangan dalam waktu yang lama. Teknik seperti sering disebut sebagai lumbung pangan alami. Namun hal ini sangat beresiko bila terjadi bencana alam berupa frost atau ledakan hama, maka persediaan pangan penduduk akan terancam. Namun cara seperti ini masih dipertahankan oleh masyarakat setempat karena panen secara serempak akan menimbulkan masalah baru lagi yaitu sulitnya pengangkutan, penyimpanan, pengolahan maupun pemasaran. Teknik pemanenan seperti ini dapat dilakukan dalam rentang waktu yang panjang dari 6 hingga 12 bulan atau bahkan lebih. Periode kebun ubi jalar akan dibongkar bila setelah 2-3 tahun diusahakan dan produksi telah menurun, dengan indikasi ubi yang dihasilkan kecil-kecil. Artinya lahan tersebut harus disuburkan kembali. Pada umumnya petani lokal di Provinsi Papua Barat belum menggunakan pupuk dalam proses penyuburan tanah. Sehingga semakin lama

63 43 tanaman ubi jalar yang disimpan dalam tanah maka produk yang dihasilkan semakin kecil ukurannya. Pada kriteria daya dukung, ubi jalar memiliki rata-rata skoring yang masih rendah bila dibandingkan dengan komoditas padi yaitu 1,9. Penilaian daya dukung ini meiliputi kemudahan memperoleh modal, kemudahan pemasaran, daya dukung kelembagaan, kebijakan dan sarana. Permasalahan pada kriteria daya dukung adalah sulitnya akses permodalan menyebabkan petani tidak pernah menggunakan pinjaman modal untuk mengembangakn usahataninya. Pada umumnya budidaya ubi jalar dilakukan oleh masyarakat lokal yang tersebar dipelosok-pelosok daerah sehingga akses menuju pasar kota masih sulit. Kurangnya angkutan umum dari kota menuju desa menyebabkan biaya transportasi juga masih mahal. Kelemahan pengembangan agribisnis ubi jalar di Provinsi Papua Barat adalah belum terdapatnya industri pengolahan ubi jalar dalam skala besar. Selama ini ubi jalar di Provinsi Papua Barat hanya dijual dalam bentuk segar di pasar-pasar tradisional dan sebatas untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat lokal. Industri pengolahan ubi jalar yang ada baru skala industri rumah tangga yaitu dalam pengolahan ubi jalar menjadi cemilan ringan seperti keripik dan gorengan. Padahal ubi jalar dapat dijadikan bahan baku produk lainnya sepeti dapat dijadikan tepung, bahan dasar saos, serta bahan olahan lainnya. Hal ini bisa menjadi peluang yang sangat baik untuk pengembangan agribisnis ubi jalar di Papua Barat mengingat tingkat produksi di provinsi ini cukup tinggi. Pemerintah daerah selama ini telah berupaya meningkatkan kesadaran akan pangan lokal termasuk ubi jalar, yaitu dengan merekomendasikan ubi jalar disetiap hidangan pesta adat. Selain itu, sering diadakannya pelatihan-pelatiah pengolahan ubi jalar kepada masyarakat Papua, khususnya ibu-ibu rumah tangga yang tergabung dalam kelompok tani wanita. Upaya ini dilakukan agar pelestarian pangan lokal ubi jalar dapat diterima oleh masyarakat luas di Provinsi Papua Barat. Komoditas Unggulan Kacang Tanah Kacang tanah sudah dikenal masyarakat Papua sejak zaman Belanda sehingga kacang tanah termasuk ke dalam pangan lokal Papua Barat. Terbukti dari selalu tersajinya kacang tanah pada setiap acara adat. Oleh karena kacang tanah di Provinsi Papua Barat telah dibudidayakan dari zaman Belanda, maka jenis kacang tanah tersebut telah beradaptasi dengan baik terhadap kondisi lingkungan yang ada. Hasil AHP menunjukkan bahwa kacang tanah di Provinsi Papua Barat masuk dalam prioritas komoditas unggulan dengan bobot sebesar 0,165. Kriteria teringgi adalah Agroekosistem yaitu 0,288, kedua adalah daya dukung 0,147 dan terendah yaitu ekonomi dengan bobot 0,071 (Lampiran 2). Pada kriteria kesesuaian agroekosistem kacang tanah memiliki bobot tertinggi dikarenakan produktivitas kacang tanah di Provinsi Papua Barat hanya selisih 0,1 ton/ha dengan produktivitas nasional. Produktivitas kacang di Provinsi Papua Barat sebesar 0,9 ton/ha sedangkan produktivitas nasional 1 ton/ha. Nilai LQ kacang tanah yang menggambarkan nilai proyeksi produksi kacang tanah terhadap produksi nasional memperlihatkan bahwa kacang tanah termasuk dalam komoditas basis atau unggul dengan nilai 1,8. Namun, bila dilihat dari trend

64 44 produksi, kacang tanah memiliki nilai yang negatif (-0,3), artinya kacang tanah mengalami penurunan produksi setiap tahunnya. Hal ini dilihat dari produksi kacang tanah di Provinsi Papua Barat pada tahun 2008 mencapai ton kemudian pada tahun 2010 turun menjadi 750 ton, dan pada tahun 2012 hanya mencapai 625 ton. Penurunan produksi kacang tanah ini disebabkan oleh berkurangnya luas panen dan beralihnya petani kacang tanah pada komoditi lain. Pada kriteria ekonomi, usahatani kacang tanah cukup layak diusahakan di Provinsi Papua Barat, hal ini dapat dilihat dengan nilai R/C rasio yaitu 2,1. Petani kacang tanah mendapatkan keuntungan Rp /Ha dengan harga jual Rp /Kg. Pada penilaian industri pengolahan, kacang tanah mendapatkan nilai yang rendah. Kurangnya industri pengolahan yang dapat memberikan nilai tambah produk kacang tanah menyebabkan petani hanya menjual langsung kepada pedagang besar dan konsumen akhir dalam keadaan mentah, sehingga harganya relatif rendah. Saat ini hanya terdapat 21 unit industri pengolahan makanan ringan yang mengunakan bahan dasar kacang tanah. Sebagian besar industri pengolahan terdapat pada Kabupaten Manokwari dan Sorong. Pada skoring daya dukung yang mempertimbangkan kondisi pasar, kemudahan memperoleh modal, lembaga, sarana, dan kebijakan, maka kacang tanah memiliki rata-rata skor 1,9. Sama halnya dengan kondisi usahatani ubi jalar, ada umumnya petani kacang tanah merupakan masyarakat lokal yang tinggal di pelosok-pelosok daerah. Sehingga akses transportasi menjadi sulit dijangkau. Hal ini juga yang menyebabkan pemasaran kacang tanah hanya sebatas pasar-pasar desa. Masih sulitnya birokrasi dalam peminjaman modal juga menyebabkan petani enggan meminjam modal pada bank atau lembaga pengkrediatan untuk memperluas usahatani kacang tanahnya. Penetapan Komoditas Unggulan Tanaman Hortikultura Pada kelompok tanaman hortikultura, tanaman yang diamati merupakan tanaman yang paling banyak dibudidayakan oleh masyarakat Provinsi Papua Barat berdasarkan data statistik. Tanaman-tanaman tersebut antara lain kubis, kacang panjang, cabai, tomat, terong, buncis, ketimun dan sayuran. Hasil AHP dengan mempertimbangkan kriteria penetapan komoditas unggulan berdasarkan kesesuaian agroekologi, ekonomi dan dan daya dukung, prioritas komoditas unggulan pertama adalah kacang panjang dengan bobot 0,165; tomat dengan bobot 0,146; dan cabai dengan bobot 0,138. Sedangkan terong, sayuran, ketimun, buncis dan kubis mengikuti urutan selanjutnya. Hasil analisis AHP penetapan komodita unggulan tanaman hortikultura dapat dilihat pada Gambar 9. Hasil tersebut diperoleh dari matriks perbandingan berpasangan antar komoditas terhadap sub kriteria penetapan komoditas unggulan. Nilai masingmasing sub kriteria dapat diihat pada Tabel 19.

65 45 Tabel 19 Nilai masing-masing sub kriteria penentuan komoditas unggulan hortikultura di Provinsi Papua Barat Sub kriteria Kacang panjang Tomat Cabai Produktivitas (Ton/Ha) 5,8 8,6 10,05 LQ 2,7 1,1 0,4 Trend produksi 2,1 4,5 4,7 Pendapatan (Rupiah) R/C rasio 4,4 4,1 4,9 Rata-rata skoring daya dukung 2,08 2,08 2,08 Bobot prioritas Kubis Kacang panjang Cabai Tomat Terong Buncis Ketimun Sayuran Komoditas Gambar 9 Sebaran bobot prioritas komoditas unggulan tanaman hortikultura di Provinsi Papua Barat Komoditas Unggulan Kacang Panjang Tanaman kacang panjang adalah sejenis tanaman sayur, yang mempunyai sulur dan tumbuh melilit. Baik tumbuh di tanah latosol/lempung berpasir, subur gembur, dan banyak mengandung bahan organik. Kacang panjang merupakan jenis tanaman sayuran yang paling banyak diproduksi oleh masyarakat Provinsi Papua Barat. Ketrampilan dalam menanam kacang panjang telah diperoleh turunmenurun dari orang tua mereka. Berdasarkan hasil analisis AHP, kacang panjang di Papua Barat merupakan prioritas komoditas unggulan hortikultura. Pada kriteria kesesuaian agroekosistem kacang panjang memperoleh bobot paling tinggi yaitu 0,289, kriteria ekonomi 0,175, dan daya dukung 0,121 (Lampiran 3). Pada kriteria kesesuaian agroekosistem, produktivitas kacang panjang Papua Barat mencapai 5,8 ton/ha selisih jauh 4,5 ton dengan produktivitas nasional, dengan trend produksi bernilai positif yaitu 2,1 yang artinya produksi kacang panjang dapat meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2008 total produksi kacang panjang ton meningkat ton pada tau Berdasarkan hasil LQ yaitu 2,7 yang mencerminkan nilai produksi yang diproyeksikan dengan

66 46 tingkat nasional, maka kacang panjang termasuk dalam komoditas basis atau unggul. Pada kriteria ekonomi, petani kacang panjang bisa memperoleh keuntungan Rp per musim tanam dengan R/C rasio 4,4. Nilai R/C rasio ini menunjukkan lebih dari satu artinya bahwa budidaya kacang panjang di Provinsi Papua Barat layak untuk diusahakan. Produksi kacang panjang tersebar di seluruh kabupaten di Provinsi Papua Barat. Produksi terbanyak terdapat di Kabupaten Manokwari dengan rata-rata produksi pertahun mencapai 2.924,4 ton. Kesesuaian lahan di Kabupaten Manokwari dengan jenis tanah latosol menyebabkan kacang panjang tumbuh subur. Selain itu, kacang panjang dapat dipanen 3-4 kali pada satu musim tanam sehingga petani lebih senang menanam kacang panjang daripda tanaman lain. Pada umumnya petani berusahatani kacang panjang untuk tujuan komersil, sehingga kebanyakan petani kacang panjang mengusahakan kebunnya di dalam kota. Rata-rata skoring pada kriteria daya dukung yaitu 2,08. Kemudahan akses transportasi dari kebun ke pasar serta kemudahan memperoleh kredit menjadi alasan para petani mengusahakan kebunnya di kota. Selama ini pemerintah daerah telah banyak membuat program yang dapat menguntungkan petani hortikultura. Salah satu kebijakan pemerintah adalah petani sering mendapatkan bantuan bibit maupun alat pertanian yang dapat digunakan untuk menunjang usahataninya serta pendamping dari penyuluh pertanian yang dapat memberikan informasi dan pelatihan kepada petani. Dengan demikian diharapkan petani mampu meningkatkan usahataninya. Komoditas Unggulan Tomat Buah tomat adalah komoditas yang multiguna, berfungsi sebagai sayuran, bumbu masak, buah meja, penambah nafsu makan, minuman, bahan pewarna makanan, sampai bahan kosmetik dan obat-obatan. Karena itu tidaklah mengherankan kalau komoditas tomat terus berkembang sesuai dengan meningkatnya permintaan dan beberapa daerah menjadikan tomat sebagai komoditas unggulan daerah termasuk Provinsi Papua Barat. Tomat menjadi komoditas unggulan di Provinsi Papua Barat dengan bobot prioritas AHP 0,146. Bobot kriteria tertinggi adalah ekonomi 0,264, urutan kedua daya dukung 0,114 dan terendah adalah agroekosistem dengan bobot 0,064 (Lampiran 3). Kriteria kesesuaian agroekosistem, produktivitas tomat di Provinsi Papua Barat hanya mencapai 8,6 ton/ha, sedangkan rata-rata produksi tomat nasional bisa mencapai 15,18 ton/ha. Rendahnya produktivitas tomat di Provinsi Papua Barat disebabkan karena kurangnya luas panen yang diakibatkan oleh kondisi iklim Provinsi Papua Barat yang tidak stabil. Sehingga tanaman tomat rentan terserang hama dan penyakit. Usahatani tanaman tomat merupakan salah satu usahatani yang cukup sulit dan perlu ketelatenan petani dalam memelihara tanaman. Karena tanaman tomat tidak dapat dibiarkan tumbuh begitu saja tanpa memperhatikan pemeliharaannya disesuaikan dengan periode pertumbuhannya. Oleh karenanya petani perlu menguasai teknologi budidaya secara tepat sehingga produktivitas tanaman tomat lebih meningkat. Jika dilihat dari nilai LQ yaitu 1,1 maka tomat termasuk dalam komoditas basis dan memiliki trend produksi yang positif (4,5) yang artinya produksi tomat masih dapat ditingkatkan

67 47 setiap tahunnya. Dimana pada tahun 2008 produksi tomat ton meningkat menjadi ton pada tahun Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat produksi tomat di Provinsi Papua Barat terhadap nasional cukup tinggi, sehingga dapat dijadikan komoditas basis produksi untuk pengembangan agribisnis tomat. Pada kriteria ekonomi tomat memiliki bobot yang tinggi diantara komoditi yang lain yaitu sebesar 0,264. Usahatani sayuran termasuk tomat merupakan usahatani dengan input tinggi dan beresiko tinggi. Modal atau input tinggi terutama pada harga benih, bibit, mulsa plastik, pestisida dan lainnya. Oleh karenanya diharapkan dalam usahatani tomat dilakukan secara efektif dan efisien dengan menerapkan rakitan teknologi budidaya tomat secara tepat dan benar mulai dari syarat agroekologi, varietas, pembibitan, penanaman, pewiwilan, pemupukan, pengairan, pengendalian OPT dan pasca panennya. Pada analisis usahatani tomat ditemukan bahwa petani tomat di Provinsi Papua Barat dapat memperoleh keuntungan sebesar Rp per musim tanam dengan R/C rasio 4,1 yang artinya usahatani tomat di Papua Barat layang untuk diusahakan. Sayangnya, belum adanya penanganan pasca panen yang dapat memberikan nilai tambah pada produk tomat. Petani lansung menjual hasilnya dalam bentuk tomat segar langsung pada konsumen. Sama halnya dengan kacang panjang, daya dukung pengembangan tomat memiliki skoring 2,08. Kebanyakan petani tomat menyebar hampir diseluruh kabupaten di Papua Barat. Pada umumnya petani tomat membudidayakan tomat pada kebun-kebun di sekitaran kota dengan alasan tomat merupakan produk pertanian yang tidak tahan lama, sehingga harus cepat dipasarkan. Akses transportasi yang mudah membantu petani dalam memasarkan produknya di pasar-pasar ibukota. Harga tomat yang sering tidak stabil menyebabkan pendapatan yang diperoleh petani juga tidak stabil. Jika lagi panen raya harga tomat bisa mencapai Rp 2000 per Kg. Petani merasakan peran pemerintah kurang dirasakan efeknya terhadap keberlangsungan usahatani tomat. Petani berharap pemerintah daerah bisa memberikan informasi tentang fluktuasi harga tomat yang terjadi di pasar sehingga petani dapat merencanakan usahataninya dengan lebih baik. Komoditas Unggulan Cabai Cabai merupakan komoditas sayur-sayuran yang paling banyak digunakan dalam bentuk segar maupun olahan untuk konsumsi rumah tangga, industri pengolahan makanan dan industri makanan. Tidak heran jika beberapa daerah menjadikan cabai sebagai komoditas unggulan hortikultura. Berdasarkan hasil analisis AHP penetapan komoditas unggulan hortikultura Provinsi Papua Barat, cabai merupakan urutan ketiga komoditas unggulan hortikultura setelah kacang panjang dan tomat dengan bobot akhir 0,138. Bobot kriteria tertinggi adalah ekonomi 0,175, urutan kedua daya dukung 0,124 dan terendah adalah agroekosistem dengan bobot 0,118 (Lampiran 3). Pada kriteria kesesuaian agroekosistem, cabai hanya memperoleh bobot 0,118, beda jauh dibandingkan tanaman kacang panjang, terong dan sayuran. Produktivitas cabai di Provinsi Papua Barat mencapai 10,05 ton/ha selisih 1,9 ton/ha dengan produktivitas nasional. Walaupun produksi cabai dari ton di tahun 2008 meningkat menjadi ton di tahun 2011 dengan nilai trend

68 48 produksi positif (4,7), namun nilai LQ (0,4) yang menggambarkan proyeksi produksi daerah terhadap produksi nasional, cabai di Provinsi Papua Barat tidak termasuk pada komoditas basis. Sama halnya dengan membudidayakan tanaman tomat, budidaya cabai juga memerlukan ketelatenan petani dalam memelihara tanaman, karena tanaman cabai tidak dapat dibiarkan tumbuh begitu saja tanpa memperhatikan pemeliharaannya disesuaikan dengan periode pertumbuhannya. Produksi cabai terbanyak pada Kabupaten Manokwari dengan rata-rata produksi pertahunnya 1.746,4 ton, sedangkan produksi terendah terdapat pada Kabupaten Sorong Selatan dengan rata-rata produksi hanya mencapai 42,8 ton. Pada kriteria ekonomi, cabai memiliki bobot 0,175, berada diurutan kedua setelah tomat. Rata-rata pendapatan yang diperoleh petani cabai di Papua Barat mencapai Rp /Ha /musim tanam. Cabai dapat dipanen 3-4 kali dalam satu kali musim tanam, sehingga petani dapat memperoleh pendapatan yang lebih besar dibandingkan mengusahakan tanaman lain. Nilai R/C rasio cabai lebih dari satu (4,9) yang artinya usahatani cabai di Provinsi Papua Barat layak diusahakan. Sampai saat ini hasil produksi cabai hanya sukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daerah, sehingga cabai belum dapat di ekspor keluar daerah Papua. Selain belum dapat diperdagangkan keluar daerah,bulum adanya penanganan pasca panen yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Hasil cabai hanya dijual dalam bentuk segar kepada konsumen. Pada kriteria daya dukung, cabai memiliki bobot 0,124, berada diurutan ketiga setelah sayuran dan ketimun. Sama halnya dengan kacang panjang dan cabai, daya dukung pengembangan cabai memiliki skoring 2,08. Kurangnya minat petani dalam mengambil kredit untuk penambahan modal usahataninya menyebabkan petani kesulitan dalam mengembangkan usahatani cabainya. Alasan mereka tidak mengambil kredit adalah sulitnya birokrasi yang ditawarkan oleh lembaga-lembaga pengkreditan. Walaupun program pemerintah telah banyak yang mendukung keberlangsungan usahatani cabai, namun petani masih kurang merasakan keterlibatan pemerintah dalam menstabilkan harga cabai. Penetapan Komoditas Unggulan Tanaman Perkebunan Pada tanaman perkebunan, tanaman yang diamati adalah tanaman perkebunan utama yang paling banyak diproduksi oleh Provinsi Papua Barat berdasarkan data statistik, antara lain kelapa, kelapa sawit, kakao dan pala. Ditinjau dari bentuk usaha, pengusahaan tanaman perkebunan dibedakan menjadi perkebunan rakyat, perkebunan besar swasta dan perkebunan besar negara. Keempat tanaman utama tersebut, kelapa sawit dan kako merupakan perkebunan besar baik swasta maupun negara. Sedangkan kelapa dan pala merupakan perkebunan rakyat. Hasil analisis AHP penetapan komoditas unggulan perkebunan, komoditas yang menjadi unggulan perkebunan di Provinsi Papua Barat adalah pala, kelapa sawit dan kakao. Hasil analisis AHP komoditas perkebunan dapat dilihat pada Gambar 10 berikut. Tanaman pala memiliki bobot yang paling tinggi yaitu 0,306, urutan kedua oleh kelapa sawit dengan bobot 0,293 dan kakao diurutan ketiga dengan bobot 0,275. Kelapa memiliki bobot yang paling rendah, walaupun produksi kelapa di Provinsi Papua Barat cukup tinggi yaitu rata-rata ton per

69 49 tahunnya namun hasil produksi kelapa hanya untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga masyarakat Papua. Hasil tersebut diperoleh dari matriks perbandingan berpasangan antar komoditas terhadap sub kriteria penetapan komoditas unggulan. Nilai masing-masing sub kriteria dapat diihat pada Tabel 20. Tabel 20 Nilai masing-masing sub kriteria penentuan komoditas unggulan perkebunan di Provinsi Papua Barat Sub kriteria Pala Kelapa sawit Kakao Produktivitas (ton/ha) 0,2 2,7 0,4 LQ 6,7 0,8 2,1 Trend produksi 0,4 1,9 0,9 B/C rasio 21,6 1,3 2,3 Perdagangan (ton/tahun) Jumlah industri pengolahan (unit) Bobot prioritas Pala Kelapa Sawit Kakao Kelapa Komoditas Gambar 10 Sebaran bobot prioritas komoditas unggulan tanaman perkebunan di Provinsi Papua Barat Komoditas Unggulan Pala Sebagai tanaman rempah-rempah, pala dapat menghasilkan minyak etheris dan lemak khusus yang berasal dari biji dan fuli. Daging buah pala dapat digunakan sebagai manisan atau asinan, biji dan fulinya bermanfaat dalam industri pembuatan sosis, makanan kaleng, pengawetan ikan dan lain-lainnya. Disamping itu minyak pala hasil penyulingan, dapat digunakan sebagai bahan baku dalam industri sabun, parfum, obat-obatan dan sebagainya. Pala merupakan tanaman rempah yang banyak diusahakan oleh masyarakat Provinsi Papua Barat khususnya Kabupaten Fak-fak. Permintaan pasar dunia akan pala setiap tahun terus meningkat, dan tidak kurang dari 60 % kebutuhan pala dunia didatangkan dari Indonesia. Berdasarkan analisis AHP pala menjadi komoditas unggulan pertama di Provinsi Papua Barat dengan bobot 0,306. Pala mendapatkan nilai tertinggi pada kriteria ekonomi (0,376), kriteria kesesuaian agroekosisten (0,371), dan terendah pada kriteria daya dukung (0,184) (Lampiran 4).

70 50 Pada kriteria kesesuaian agroekosistem, produktivitas pala mencapai 0,2 ton/ha, hanya selisih 0,1 dengan produktivitas pala nasional. Penilaian terhadap produksi yang dicerminkan dari nilai LQ (6,7), maka pala termasuk pada komoditas basis atau unggul. Nilai trend produksi pala 0,4 artinya setiap tahunnya produksi pala meningkat yaitu dari tahun 2008 produksi pala Provinsi Papua Barat mencapai ton dan di tahun 2011 sebanyak ton. Berdasarkan kriteria ekonomi, maka pala mendapatkan bobot 0,376. Dimana petani pala dapat memperoleh keuntungan sebesar lebih dari Rp setelah tahun kelima, dengan harga biji pala antata Rp Rp per Kg (Lampiran 33). Selain itu usahatani pala di Provinsi Papua Barat dapat dikatakan layak dengan nilai B/C rasio mencapai 21,6. Setiap tahunnya rata-rata biji pala yang diperdagangkan ke luar provinsi mencapai ton/tahun. Kebun pala di Papua Barat umumnya berupa hutan pala dimana telah menjadi kekayaan alam Provinsi Papua Barat sendiri, sehingga masyarakat tidak melakukan kegiatan budidaya layaknya tanaman perkebunan lainnya. Kegiatan budidaya hanya berupa pembersihan lahan dan pemanenan. Saat ini terdapat 9 industri pengolahan yang terdapat di Kabupaten Fak-fak. Kegiatan pasca panen berupa pemisahan daging buah, bunga buah dan biji pala. Pasca panen masih dilakukan secara tradisional agar biji pala tidak hancur. Setelah biji pala dipisah maka selanjutnya biji dan bunga pala dijemur dibawah sinar matahari hingga kadar airnya berkurang. Semakin kering biji pala maka harganya semakin tinggi. Penjemuran yang hanya mengandalkan penyinaran matahari ini menjadi kendala tersendiri bagi petani pala di Provinsi Papua Barat, karena cuaca yang tidak bisa diprediksi menyebabkan biji pala akan berjamur jika tidak terkena sinar matahari yang cukup, sehingga kualitasnya semakin menurun. Pada kriteria daya dukung, Pemerintah Daerah telah membuat program-program yang telah mendukung pengembangan agribisnis pala di Provinsi Papua Barat, antara lain kemudahan memperoleh modal bagi pengusaha pengolahan buah pala, bantuan alat dan modal produksi, peremajaan hutan pala yang sudah tidak produktif, serta pelatihan pengolahan pala di Kabupaten Fak-fak serta pembukaan lahan baru seluas 400 Ha. Masyarakat Fakfak sebetulnya antusias menanam pala, namun mereka tetap butuh bantuan modal untuk pembukaan lahan dan pembibitan. Dinas telah menyediakan sekitar bibit per tahun. Kebanyakan jenis bibit pala yang diminati adalah pala fak-fak, bukannya pala banda, meski rendemen minyak atsiri dari pala banda lebih banyak. Komoditas Unggulan Kelapa Sawit Agribisnis kelapa sawit di Papua Barat dimulai pengembangannya pada tahun 1983 dengan dibangunnya kebun kelapa sawit oleh PTPN II di Kabupaten Manokwari. Kawasan perkebunan sawit di Manokwari menyatu dengan kawasan transmigrasi. Hingga saat ini areal kebun kelapa sawit yang telah dibuka untuk agribisnis kelapa sawit di Kabupaten Manokwari tercatat ,99 Ha, terdiri dari; 1) PIR-BUN Kelapa Sawit Prafi (NES Oil Palm I dan PIR-sus II) seluas 7.208,99 ha, yang terdiri dari kebun inti seluas 2.806,99 Ha dan kebun plasma seluas Ha. Sebagai perusahaan inti PTPN II, 2) PIR-BUN KKPA seluas

71 ha, disamping itu pada saat ini tengah dibangun kebun kelapa sawit masyarakat yang dibangun pemerintah Kabupaten Manokwari Ha (baru terbangun ha) dan APBN 200 Ha. Tahun 2007 terdapat pertambahan luas areal sawit sebesar Ha yang dikelola oleh PT. Varita Maju Tama di Kabupaten Teluk Bintuni (7.000 Ha) dan di Kabupaten Sorong seluas Ha yang dikelolah PT. Henrison Inti Persada. Saat ini usia perkebunan PT Perkebunan Nusantara II yang ada di Manokwari usianya telah lebih dari 25 tahun, sehingga usia kebun sudah tidak produktif lagi. Kondisi pohon sawit yang sudah tinggi menyebabkan petani pun sulit melakukan kegiatan panen. Sehingga perlu dilakukan peremajaan kembali perkebunan sawit di lingkup PT N II Manokwari. Luas lahan hektar kebun sawit milik petani di tiga distrik itu sudah waktunya diremajakan. Pohon yang usianya di atas 25 tahun, tandan buah segarnya tidak punya harga lagi. Kandungan minyaknya kurang dari 18 %. Kelapa sawit memiliki nilai yang rendah di bandingkan pala, yaitu 0,293. Padahal selama ini kelapa sawit dianggap komoditas perkebunan paling unggul di Provinsi Papua Barat. Kelapa sawit mendapatkan nilai tertinggi pada kriteria kesesuaian agroekosisten (0,293), daya dukung (0,252), dan terendah pada kriteria kriteria ekonomi (0,192) (Lampiran 4). Pada kriteria agroekosistem, produksi yang paling besar dibandingkan komoditas lain, namun penyebaran kelapa sawit terkonsentrasi di Kabupaten Manokwari dengan produktivitas 2,7 ton/ha, selisih 0,79 ton/ha terhadap produktivitas nasional. Berdasarkan penilaian produksi yang diproyeksikan terhadap produksi nasional, maka kelapa sawit memiliki nilai LQ 0,8. Artinya kelapa sawit bukan termasuk komoditas basis, namun memiliki tren produksi yang selalu meningkat dengan nilai 1,9. Terlihat dari total produksi kelapa sawit pada tahun 2008 yaitu ton meningkat menjadi ton pada tahun Kriteria ekonomi kelapa sawit merupakan kriteria terlemah. Hal ini dikarenakan harga biji sawit ditingkat petani sangat rendah dibandingkan daerah lain yaitu RP 600 per Kg. Dengan tingkat harga demikian, petani hanya memperoleh keuntungan diatas Rp pada panen di tahun kedelapan setelah penanaman (lampiran 34). Namun, kelapa sawit masih layak di produksi karena memiliki nilai B/C rasio sebesar 1,3 serta rata-rata kelapa sawit yang diperdagangkan oleh Provinsi Papua Barat mencapai ton per tahunnya. Pada kriteri daya dukung, kelapa sawit memiliki nilai yaitu 0,423. Saat ini terdapat 4 industri pengolahan berupa gudang dan pabrik yang berada di Kabupaten Manokwari, Sorong dan Teluk Bintuni. Untuk menunjang kebun kelapa sawit ini, terdapat satu pabrik pengolahan kelapa sawit yang pada awalnya mampu mengolah ton TBS/jam. Akan tetapi saat ini kemampuan pabrik jauh menurun sehingga produktivitasnya tidak optimal, hanya ton TBS/jam. Petani yang terlibat dalam kegiatan agribisnis kelapa sawit ini tercatat petani dengan luas pemilikan kebun rata-rata 2 hektar/kk, dan menyerap tenaga kerja setempat orang. Produksi CPO yang diekspor tiap bulan bekisar ton/bulan. Dibandingkan dengan produksi CPO nasional kontribusi CPO papua barat relatif kecil yaitu baru 0,14-0,16%. Kendala yang dihadapi oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit terkait dengan pola kerjasama

72 52 dengan para petani dalam kerangka perkebunan inti rakyat (PIT) adalah sering munculnya kasus penggunaan lahan yang berkaitan dengan hak ulayat. Komoditas Unggulan Kakao Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, selain itu juga menjadi salah satu komoditi ekspor unggulan Indonesia, yang memiliki kontribusi cukup besar dalam menghasilkan devisa bagi Negara, serta berperan mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Salah satu wilayah yang membudidayakan tanaman kakao adalah Provinsi Papua barat. Berdasarkan hasil analisis AHP penetapan komoditas unggulan perkebunan, kakao menjadi prioritas komoditas unggulan urutan ketiga setelah pala dengan bobot 0,275. Kakao mendapatkan nilai tertinggi pada kriteria kesesuaian agroekosisten (0,277) dan kriteria ekonomi (0,277), sedangkangkan terendah pada kriteria daya dukung (0,270) (Lampiran 4). Perkebunan kakao di Provinsi Papua Barat diusahakan oleh perusahaan dan perkebunan rakyat dengan pola PIR serta kebun individu masyarakat tani. Perkebunan kakao hampir tersebar di seluruh kabupaten kecuali Kabupaten Sorong. Perkebunan kakao yang dikelolah oleh perusahaan hanya berada di Kabupaten Manokwari dengan luas Ha. Kabupaten Manokwari memiliki areal kebun yang paling luas yaitu Ha dari total perkebunan kakao Provinsi Papua Barat sekitar Ha. Pada kriteria agroekosistem tingkat produktivitas kakao Provinsi Papua Barat sekitar 0,4 ton/ha, selisih 0,35 ton/ha dengan produktivitas nasional. Trend produksi pala menunjukkan angka yang positif (0.9) yang artinya produksi kakao selalu meningkat setiap tahunnya. Dari data BPS Provinsi Papua Barat menunjukkan bahwa produksi kakao tahun 2008 sebesar ton meningkat menjadi ton ditahun 2010, dan pada tahun 2012 total produksi kakao Provinsi Papua Barat mencapai ton. Jika nilai produksi pala diproyeksikan dengan tingkat nasional, maka kakao termasuk kedalam komoditas unggulan dengan nilai LQ 2,1. Pada kriteria ekonomi, petani kakao bisa memperoleh pendapatan diatas Rp ditahun kelima setelah penanaman dengan harga jual Rp per Kg (lampiran 35). Nilai B/C rasio usahatani kakao adalah 2,3 artinya usahatani kakao di Provinsi Papua Barat layak untuk diusahakan. Rata-rata biji kakao yang dijual ke luar daerah adalah ton per tahunnya dengan tujuan penjualan adalah Kabupaten Surabaya. Saat ini hanya terdapat 5 unit industri pengolahan kakao yang tersebar di Kabupatn Raja Ampat, Kabupaten Sorong dan Kabupaten Manokwari. Pada umumnya petani kakao di Provinsi Papua Barat masih menggunakan cara tradidional dalam penanganan pascapanen. Kegiatan pascapanen yang dilakukan hanya sekedar menjemur biji kakao menggunakan sinar matahari. Biasanya petani kakao menjemurnya di atas aspal jalan raya. Cara seperti ini menyebabkan kualitas biji kakao yang dihasilkan cukup rendah. Namun, menurut distributor kakao, kualitas biji kakao yang dihasilkan di Kabupaten Manokwari lebih baik dari pada kualitas biji kakao Sulawasi Selatan sehingga digunakan untuk pengoplosan untuk meningkatkan kualitas kakao Sulawesi Selatan.

73 53 Kendala yang dihadapi perkebunan kakao saat ini adalah adanya penyakit PBK (Penyakit Buah Kering) yang sampai sekarang masih sulit dikendalikan. Selain itu, Papua barat juga masih kekurangan sumber daya manusia terutama tenaga ahli dan penyuluh yang dapat memberikan pelatihan dan pendampingan petani kakao sehingga petani dapat membudidayakan kakao secara lebih baik. Pada kriteria daya dukung yang berkaitan dengan infrastruktur, sebagian besar sentra-sentra produksi kakao Provinsi Papua Barat terdapat di daerah-daerah yang jaraknya cukup terpencil dari kota besar tempat penampungan ataupun pelabuhan. Padahal jalan dan khususnya jembatan sebagai infrastruktur yang menghubungkan sentra-sentra produksi kakao belum terbangun dengan baik. Disamping itu, jumlah dan kualitas sarana gudang dan pelabuhan kurang memenuhi syarat untuk menjangkau sentra-sentra produksi kakao. Kondisi ini menjadi kendala bagi pengembangan agribisnis kakao khususnya pada sentra produksi yang belum memiliki gudang penyimpanan maupun pabrik pengolahan. Kendala lain yang dihadapi dalam pengembangan agribisnis kakao adalah masih lambatnya penyebarluasan teknologi maju hasil penelitian. Kondisi ini terutama disebabkan oleh terbatasnya tenaga penyuluh dan pembina petani serta terbatasnya dana penyebarluasan teknologi maju. Penetapan Komoditas Unggulan Peternakan Pada kelompok komoditas peternakan, komoditi yang diamati terdiri dari sapi, kambing, babi, ayam dan itik. Terdapat komoditi babi, sapi dan ayam yang menjadi komoditas unggulan ternak berdasarkan hasil analisis AHP dengan bobot masing-masing 0,309; 0,191 dan 0,184. Hasil analisis AHP komoditas peternakan dapat dilihat pada Gambar Bobot prioritas Sapi Kambing Babi Ayam Itik Komoditas Gambar 11 Sebaran bobot prioritas komoditas unggulan peternakan di Provinsi Papua Barat Komoditas kambing, ayam dan itik memiliki bobot yang paling kecil dan tidak termasuk komoditas unggulan. Hal ini dilihat dari beberapa faktor, antara lain jumlah produksi yang sedikit, nilai ekonomi yang kecil, dan kurangnya daya dukung. Pada umumnya ketiga komoditi ini dibudidayakan oleh petani transmigrasi maupun masyarakat pendatang yang jumlahnya masih sedikit.

74 54 Seharusnya komoditi ini juga dapat dikembangkan, mengingat jumlah permintaan akan daging kambing, ayam dan itik terus meningkat di Provinsi Papua Barat sesuai degan jumlah penduduk yang terus meningkat. Hasil tersebut diperoleh dari matriks perbandingan berpasangan antar komoditas terhadap sub kriteria penetapan komoditas unggulan. Nilai masingmasing sub kriteria dapat diihat pada Tabel 21 berikut. Tabel 21 Nilai masing-masing sub kriteria komoditas unggulan peternakan di Provinsi Papua Barat Sub kriteria Babi Sapi Ayam Produktivitas (ekor/st) 0,4 0,6 4,1 LQ 7,2 2,7 1,1 Trend produksi 0,6 0,3 0,3 Pendapatan (rupiah) B/C rasio 2,7 0,3 1,4 Jumlah industri pengolahan (unit) Komoditas Unggulan Babi Berdasarkan hasil AHP pertenakan babi memiliki bobot yang tinggi dalam penetapan komoditas unggulan peternakan yaitu 0,309. Hal ini dapat dilihat dari kesesuaian agroekosistem (0,393), ekonomi (0,295) dan daya dukung (0,151) dari bertenak babi (Lampiran 5). Babi di Papua merupakan ternak yang memiliki nilai sosial budaya yang tinggi. Usaha peternakan babi rakyat telah dilaksanakan secara turun temurun oleh peternak babi dari beberapa suku Papua seperti Arfak, Doreri, Biak, Yapen, Nabire dan Non-Papua seperti Batak dan Toraja. Skala usaha agribusines dan sistem peternakannya masih bersifat kecil (rumah tangga) dan ekstensif. Produktivitas babi Papua Barat mencapai 0,4 ekor/st, sedangkan produktivitas nasional hanya mencapai 0,2 ekor/st dan termasuk dalam komoditas basis dengan nilai LQ 7,2. Pemeliharaan babi dilakukan masyarakat Papua dengan sistem diumbar sehingga tidak memerlukan curahan waktu yang banyak. Tren produksi babi adalah 0,6 artinya populasi babi selalu meningkat setiap tahunnya. Peternakan babi pada umumnya diusahakan sebagai komoditas yang memiliki status sosial yang tinggi bagi pemiliknya. Populsi ternak babi tertinggi terdapat di Kabupaten Manokwari dengan total populasi mencapai ekor pada tahun Angka ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya yaitu ekor tahun 2010 dan ekor pada tahun Penduduk Papua yang mayoritas beragama nasrani menyebabkan permintaan pasar untuk daging babi tinggi sehingga dapat meningkatkan pendapatan peternak babi. Harga jual babi satu ekornya bisa mencapai Rp sesuai dengan beratnya. Sehingga satu ekor babi peternak bisa memperoleh pendapatan sebesar Rp dengan nilai B/C rasio 2,7. Pemasaran daging babi terpisah dari pasar daging. Hal ini dilakukan untuk menjamin daging babi tidak tercampur dengan daging sapi atau yang lainnya. Agribisnis sub sektor ternak babi sekarang ini diperhadapkan pada dinamika kompleksitas pembangunan yang melibatkan peran serta banyak

75 55 stakeholders, seperti pemerintah, penyuluh peternakan, peneliti, bank, konsumen, dan lainnya yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sirkulasi agribisnis peternakan babi rakyat. Sistem peternakan yang dijalankan masyarakat di Provinsi Papua Barat cukup sederhana dan tradisional dengan hanya mengandalkan sisasisa material bangunan lokal untuk pembuatan kandang. Bahan makanan yang bersumber dari sisa (swill feed) warung, hotel dan rumah tangga dan produk pertanian seadanya. Berbekal pengetahuan yang terbatas, peternak mendirikan kandang-kandang panggung sederhana untuk menjalankan agribisnis ternak babi. Produksi ternak babi umumnya didistribusikan ke Kabupaten Nabire karena harga jual yang menjanjikan. Namun seperti yang dirasakan oleh peternak lokal, produksi dan agribisnis ternak babi belum diimbangi dengan berbagai dukungan dan keberpihakan berbabagai stakeholder penting. Komoditas Unggulan Sapi Hasil AHP penetapan komoditas sapi memeperlihatkan bahwa pada kriteria agroekosistem sapi memiliki bobot 0,233, ekonomi 0,125, dan daya dukung 0,175 (Lampiran 5). Peternakan sapi pada umunya di usahakan oleh masyarakat transmigrasi dengan pola pemeliharaan ekstensif. Nalai trend populasi sapi menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan yaitu 30. Populasi tertinggi terdapat di Kabupaten Manokwari ( ekor) dan Sorong ( ekor). Program pemerintah yang menjadikan Papua Barat sebagai sentra pengembangan sapi potong nasional menyebabkan populasi sapi di Provinsi Papua Barat semakin meningkat, dengan trend produksi 0,3 atau 30% setiap tahunnya. Produktivitas sapi Provinsi Papua Barat mencapai 0,6 ekor/st, sedangkan produktivitas nasional hanya 0,2 ekor/st dengan nilai LQ 2,7 yang artinya sapi merupakan komoditas basis. Kondisi alam Provinsi Papua Barat sangat cocok untuk sapi dapat berkembang dengan baik dan sehat. Hal ini menunjukkan bahwa ternak tersebut memperoleh cukup makanan. Sapi yang ada di Provinsi Papua Barat adalah sapi bali yang perolehannya melalui bantuan pemerintah maupun budidaya. Sistem pemeliharaan dilakukan secara tradisional hingga semi intensif, yaitu dengan cara ditambat (90%) dan sebagian kecil (10%) dipelihara didalam kandang secara intensif. Waktu pemberian pakan dua kali sehari dengan rumput yang diperoleh dari padang alami maupun pekarangan. Bobot sapi jantan dewasa berkisar antara 300kg - 450kg, Rata-rata kepemilikan ternak sapi adalah 1 ekor/kk. Dari tahun ketahun jumlah populasi sapi semain bertambah, hal ini didukung dengan tingkat pemahaman petani peternak terhadap cara pemeliharaan dan reproduksi ternak sapi yang baik. Usaha peternakan sapi yang dilakukan oleh penduduk masih merupakan usaha rumah tangga. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan diperoleh data bahwa tenaga kerja yang digunakan dalam kegiatan usahatani berasal dari dalam keluarga maupun dari luar keluarga. Khusus untuk usaha gaduhan sapi potong, tenaga kerja masih mengandalkan tenaga kerja dalam keluarga. Pada kriteria ekonomi, permintaan daging sapi yang terus meningkat menyebabkan peluang pengembangan peternakan sapi masih cukup terbuka. Harga sapi di Papua Barat bisa mencapai Rp Rp per

76 56 ekornya. Dengan pemeliharaan sapi selama satu tahun, peternak dapat hanya memperoleh keuntungan sebanyak Rp per ekor sapi (lampiran 36) dengan B/C rasio 0,3. B/C rasio mencerminkan peternakan sapi di Provinsi Papua Barat belum layak hal ini yang menyebabkan bobot pada kriteria ekonomi komoditas sapi lebih rendah dibandingkan komoditas babi, ayam dan itik. Saat ini terdapat 8 rumah pemotongan hewan yang tersebar di 3 kabupaten besar yaitu Manokwari, Fak-fak dan Sorong. Terdapat 8 rumah pemotongan hewan yang tersebar di kabupaten manokwari, Sorong, Fak-fak dan teluk Bintuni. Rata-rata pemotongan sapi dirumah pemotongan hewan 2-4 ekor sapi per hari. Banyaknya jumlah hewan di potong sesuai dengan kebutuhan masing-masing kabupaten. Pada kriteria daya dukung, kebijakan pemerintah yang mendukung pengembangan sapi di Provinsi Papua Barat dilakukan melalui program peningkatan populasi ternak sapi potong, pengadaan ternak, peningkatan sarana dan prasarana ternak, pembangunan kebun hijauan makanan ternak dan peningkatan kapasitas dan ketrampilan peternak maupun tenaga teknis peternakan. Komoditas Unggulan Ayam Komoditas unggas mempunyai prospek pasar yang sangat baik di Provinsi Papua Barat karena didukung oleh karakteristik produk unggas yang dapat diterima oleh masyarakat Provinsi Papua Barat yang sebagian penduduknya beragama muslim, harga relatif murah dengan akses yang mudah diperoleh karena sudah merupakan barang publik. Komoditas ini merupakan pendorong utama penyediaan protein hewani domestik selain ikan, sehingga prospek ini harus dimanfaatkan untuk memberdayakan peternak di Papua Barat melalui pemanfaatan sumberdaya secara lebih optimal. Ayam merupakan komoditas unggulan dengan rengking ketiga, dimana bobot tertinggi pada kriteria ekonomi dengan bobot 0,260, daya dukung 0,251 dan kesesuaian agroekosistem 0,110 (Lampiran 5). Pada kriteria daya dukung, ratarata poduksi jumlah populasi ayam di Provinsi Papua Barat adalah ekor per tahunnya dengan trend produksi (0,3) yang selalu meingkat 30% per tahunnya dan produktivitas 4,1 ekor/st. Berdasarkan nilai LQ, maka peternakan ayam di Provinsi Papua Barat termasuk dalam komoditas basis yaitu dengan nilai LQ 1,1. Pada kriteria ekonomi, profil usaha di sektor primer menunjukkan bahwa usaha peternakan ayam cukup memberikan peluang usaha yang baik, sepanjang manajemen pemeliharaan mengikuti prosedur dan ketetapan yang berlaku. Hal ini ditunjukkan dengan nilai B/C yang diperoleh pengusaha peternak ayam di Provinsi Papua Barat sebesar 1,4 dengan keuntungan sebesar Rp per sekali produksi dengan skala usaha ekor ayam (lampiran 39). Hal ini memberikan indikasi bahwa usaha peternakan ayam mempunyai keuntungan yang relatif baik bagi para peternak di Provinsi Papua barat. Saat ini terdapat 42 peternak ayam yang tersebar diseluruh kabupaten di Provinsi Papua Barat. Salah satu kendala yang dihadapi peternakan ayam di Provinsi Papua Barat adalah kurangnya industri pakan ternak sehingga peternak harus mendatangkan pakan dari daerah lain.

77 57 Perbandingan Antar Sektor Perbandingan antar sektor dilakukan untuk mengetahui sektor yang paling unggul di Provinsi Papua Barat, agar pengembangannya lebih terkonsentrasi. Hasil analisis pada Gambar 12 menunjukkan bahwa sektor yang palng unggul adalah sektor perkebunan yaitu dengan komoditi pala. Pala memiliki nilai unggul di beberapa kriteria, antara lain ktriteia produktivitas, produksi, pendapatan, kelayakan usaha, perdagangan, dan daya dukung. Bobot prioritas Pala Kacang Panjang Padi Babi Komoditas Gambar 12 Perbandingan sebaran bobot prioritas antar sektor komoditas unggulan Kacang panjang memiliki keunggulan kedua dimana dalam kriteria produktivitas, produksi, pendapatan, kelayakan usaha menempati urutan kedua, sedangkan pada daya dukung tidak terlalu mendukung. Berbeda dengan kacang panjang, padi yang memiliki kondisi daya dukung yang sesuai hanya menempati urutan ketiga, karena dibeberapa kriteria padi memiliki nilai yang lemah, antara lain, produktivitas, produksi, trend produksi, pendapatan, dan perdagangan. Sedangkan babi yang menjadi ternak andalan masyarakat asli Papua tidak memiliki daya dukung yang kuat untuk dijadikan komoditas unggulan di Provinsi Papua Barat. Selain itu babi pemeliharaan babi yang masih sangat tradisional menjadi pertimbangan prioritas pengembangannya. Untuk pengembangan babi di Provinsi Papua Barat sebaiknya pemerintah mulai mencanangkan program peternakan yang lebih baik untuk peternak babi. Penetapan Sentra Pengembangan Setelah komoditas unggulan terpilih, maka akan ditentukan kembali sentra pengembangan agribisnis komoditas unggulan terpilih dengan menggunakan metode AHP yang sama. Penetapan sentra dilakukan dengan mempertimbangkan kriteria jarak ekonomi, produktivitas, produksi, potensi lahan, dan kesesuaian lahan dengan masing-masing kriteria memiliki bobot atau kepentingan yang sama. Penetapan sentra bertujuan agar pengembangan komoditas yang yang terpilih terpusat sesuai dengan kondisi masing-masing kabupaten. Adapun wilayah yang akan dinilai adalah seluruh kabupaten yang ada di Provinsi Papua Barat. Hasil analisis penetapan komoditas unggulan dan sentra pengembangan dapat dilihat pada Gambar 13:

78 58 Gambar 13 Peta sentra pengembangan komoditas unggulan di Provinsi Papua Barat Sentra Pengembangan Tanaman Pangan Berdasarkan kriteria produktivitas, produksi, jarak lokasi produksi terhadap akses pasar, kesesuaian lahan dan potensi lahan maka diperoleh hasil sentra pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan sebagai berikut: Gambar 14 Peta sentra pengembangan komoditas unggulan tanaman pangan di Provinsi Papua Barat

79 59 Sentra Pengembangan Padi Hasil analisis AHP penetapan sentra pengembangan padi menunjukkan bahwa Kabupaten Manokwari dan Kabupaten Sorong memiliki kelayakan untuk dijadikan sentra pengembangan padi. Kabupaten Manokwari memiliki bobot tertinggi yaitu 0,231 dan Sorong 0,223. Berdasarkan penilaian AHP, Kabupaten Manokwari memiliki bobot tertinggi pada kriteria produksi yaitu 0,289, dimana produksi rata-rata padi di Kabupaten Manokwari 695 ton atau 0,36% dari totak produksi Papua Barat. Rata-rata produktivitas padi di Kabupaten Manokwari mencapai 3,5 ton/ha, lebih rendah 0,1 ton/ha dengan Kabupaten Sorong, hal ini yang menyebabkan pada kriteria produktivitas Sorong memiliki nilai yang lebih tinggi yaitu 0,271. Sedangkan pada kriteria lokasi, Kabupaten Manokwari memiliki jarak tempuh 83,26 Km dan Kabupaten Sorong 86,8 Km. Permasalahan yang dihadapi petani di Kabupaten Manokwari dan Sorong dalam pengembangan usahataninya adalah sulitnya memperoleh benih unggul khususnya yang bersertifikat yaitu tidak tersedianya penangkar benih dan benih yang berkualitas di kios pertanian. Menyadari permasalahan yang dihadapi petani dan dalam rangka mendorong peningkatan produksi padi, maka Pemerintah Daerah mengambil suatu kebijakan untuk memberikan bantuan benih berkualitas yang bersertifikat kepada petani dan mempersiapkan penangkar benih untuk menyediakan benih-benih berkualitas sehingga permasalahan benih di Kabupaten Manokwari dan Sorong dapat teratasi. Rata-rata kebutuhan benih dalam usahatani padi di kedua Kabuapten antara 55,83 kg/ha hingga 56,58 kg/ha. Bantuan benih yang telah diedarkan oleh Pemerintah Daerah terdiri dari 3 jenis varietas unggul yang berkembang di kalangan petani yaitu Cigelis, Ciherang dan Mekongga. Dari ketiga varietas tersebut yang lebih banyak berkembang adalah jenis varietas Cigelis. Hal ini kemungkinan diduga bahwa varietas unggul Cigelis mempunyai sifat adaptasi cukup tinggi sehingga mampu menunjukkan hasil produksi yang tinggi pula sehingga mengakibatkan banyak petani memilih jenis varietas tersebut. Ketersediaan tenaga kerja yang berasal dalam keluarga sangat minim. Umumnya dalam keluarga kelompok tani hanya tersedia 2 3 orang tenaga kerja produktif (49%) dan berumur diatas 46 tahun (45%). Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dalam membantu khususnya pada saat pengolahan lahan, penanaman dan panen memerlukan tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga, namun dalam memperoleh tenaga kerja tersebut sangat sulit diperoleh sehingga kadang kala disaat musim tanam tiba, pelaksanaan penanaman tidak dapat dilakukan secara serentak. Upaya untuk menyediakan tenaga kerja tersebut sangat sulit dilakukan sebagai akibat bahwa tenaga kerja produktif lebih banyak bekerja diperkotaan sehingga di desa yang tersedia tenaga yang kurang produktif. Ketersediaan tenaga kerja dari luar keluarga tersebut sangat diharapkan, hal ini berkaitan dengan curahan kerja pada kegiatan usahatani padi, terutama pada pengolahan lahan hingga siap tanam serta pemeliharaan yang banyak membutuhkan curahan kerja khususnya pada petani yang memiliki lahan-lahan luas. Petani menyadari bahwa peningkatan produksi padi tidak terlepas dari penggunaan pupuk. Namun permasalahan yang dihadapi adalah sulitnya memperoleh pupuk KCL dan SP36 dan harganya pun cukup mahal. Untuk

80 60 mengatasi keperluan pupuk tersebut petani menggunakan pupuk NPK sesuai dengan anjuran Pemerintah Daerah. Namun penggunaan pupuk NPK pada petani di kedua Distrik tersebut masih dirasakan rendah yaitu rata-rata berkisar antara 114,33 kg/ha hingga 118,5 kg/ha. Oleh karena itu penambahan dosis pupuk NPK masih dimungkinkan untuk meningkatkan produksi padi. Gambar 15 Lahan dan kegiatan pasca panen padi di Kabupaten Manokwari Lain halnya dengan penggunaan pupuk urea, pupuk tersebut sangat familiar di tingkat petani. Perolehan pupuk urea sangat mudah diperoleh baik dari segi mendapatkannya maupun harganya terjangkau. Hal ini disebabkan pupuk urea merupakan pupuk yang bersubsidi. Penggunaan pupuk urea pada petani yang terdapat di dua Kabupaten pada dua musim tanam rata-rata berkisar antara 195,50 kg/ha hingga 201,67 kg/ha. Peningkatan penggunaan dosis pupuk urea juga masih dimungkinkan untuk meningkatkan produksi padi. Demikian juga untuk pupuk PPC sebagai pupuk pelengkap cair masih dimungkinkan untuk ditambahkan selama fase pertumbuhan tanaman. Kondisi infrastruktur dikedua kabupaten cukup berbeda, akses jalan dari kota menuju desa produksi di Kabupaten Manokwari kondisinya cukup baik, yaitu berupa jalan aspal. Angkutan umum di Kabupaten Manokwari juga cukup banyak, sehingga petani padi di Kabupaten ini dapat memasarkan hasil produksinya ke pasar kota. Namun, pada umumnya hampir 80% hasil produksi beras dijual ke BULOG. Berbeda dengan Kabupaten Sorong, kondisi jalan menuju distrik sentra pengembangan padi masih tergolong sulit, kondisi jalan masih ada yang belum diaspal serta akses angkutan umum masih susah. Sentra Pengembangan Ubi Jalar Berdasarkan hasil AHP penetapan sentra pengembangannya, ubi jalar dapat dikembangkan di dua Kabupaten Utama yaitu Kabupaten Sorong dan Manokwari. Kabupaten Sorong memiliki nilai produktivitas lebih tinggi dibandingkan produktivitas ubi jalar kabupaten lainnya, yaitu 10,47 ton/ha, sedangkan Manokwari mencapai 10,17 ton/ha dan Teluk Bintuni 10,16. Jika dilihat pada kriteria produksi maka, produksi ubi jalar kabupaten Manokwari yang tertinggi dengan rata-rata produksi mencapai 5.308,8 ton per tahunnya atau 0,4% dari total produksi Provinsi Papua Barat, sedangkan Kabupaten Sorong hanya mencapai 1.672,2 ton per tahunnya atau sekitar 0,12% dari total produksi Provinsi

81 61 Papua Barat dan Kabupaten Teluk Bintuni 0,11% dari total produksi Provinsi Papua Barat. Kegiatan usahatani ubi jalar di Kabupaten Sorong dan Manokwari sebagian besar dilakukan oleh kaum perempuan. Laki-laki hanya bertugas membuka kebun, membuat pagar, mengolah tanah, dan membuat saluran air. Pekerjaan lainnya dilakukan oleh perempuan, meliputi penyiapan setek, penanaman, penyiangan, panen, dan pengolahan hasil. Kaum perempuan di daerah ini memiliki pengetahuan yang luas mengenai ubi jalar, antara lain dapat membedakan jenis ubi sesuai kegunaannya, umur, karakteristik, dan sebaran tiap jenis ubi. Mereka berperan dalam menentukan jenis ubi atau kultivar yang akan ditanam dengan mempertimbangkan jumlah anggota keluarga serta ternak babi yang dipelihara. Langkah operasional yang dilakukan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Papua Barat untuk mengembangkan tanaman pangan antara lain adalah penyediaan benih bermutu varietas unggul, pemupukan berimbang, penyediaan sarana produksi, perluasan areal tanam dan optimalisasi pemanfaatan lahan, pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), serta penanganan panen dan pascapanen. Salah satu masalah dalam pengembangan ubi jalar di Provinsi Papua Barat adalah kesulitan transportasi sehingga menghambat pemasaran. Kondisi ini menyebabkan petani membatasi luas pengusahaan ubi jalar untuk menghindari kerugian. Petani yang lokasi usahataninya di sekitar kota dapat menjual ubi jalar yang dihasilkan ke pasar kota, sedangkan yang lokasinya di pedalaman menjual hasilnya ke pasar kecamatan. Harga ubi jalar di pasar kota mencapai Rp10.000/ tumpuk, setara dengan Rp1.000/kg. Dalam pemasaran hasil, petani kadang berada pada posisi yang lemah karena harga ditentukan oleh pedagang pengumpul yang ada di pasar terdekat. Harga yang layak serta pemasaran yang mudah sangat berperan dalam peningkatan produksi ubi jalar. Belum adanya kontrak harga antara produsen dan pedagang pengumpul menyebabkan harga berfluktuasi, terutama saat panen. Gambar 16 Kebun dan hasil ubi jalar di Kabupaten Manokwari Di samping itu, keterbatasan sarana transportasi di daerah pedalaman, yang merupakan areal utama ubi jalar di Provinsi Papua Barat, menyulitkan petani dalam memasarkan hasil. Belum berkembangnya industri pengolahan ubi jalar menyebabkan permintaan komoditas ini masih rendah. Sehingga muncul permasalahan baru yaitu penanganan pasca panen dimana sifat ubi jalar yang tidak

82 62 bertahan lama atau cepat busuk. Selama ini petani di Kabupaten Manokwari maupun Sorong menjadikan ubi jalar sebagai lumbung pangan alami. Dimana, masyarakat memanen hasilnya sesuai kebutuhan saja. Selebihnya ubi jalar disimpan dalam kondisi masih tertanam. Hal ini memiliki resiko yang tinggi terutama jika terjadi serangan hama. Pemerintah daerah telah berusaha memperbaiki dan mengembangkan pengetahuan petani ubi jalar dengan membentuk kelompok-kelompok tani pada desa-desa sentra ubi jalar. Dimana masing-masing desa terdapat 1 petugas penyuluh pertanian yang dapat membantu petani dalam memberikan informasi dan pelatihan. Namun, diakui oleh petugas penyuluh bahwa kegiatan penyuluhan di desa-desa pedalaman kurang efektif karena penyerapan informasi oleh masyarakat lokal yang masih sangat lambat. Sentra Pengembangan Kacang Tanah Berdasarkan hasil analisis AHP penetapan sentra pengembangan kacang tanah, terlihat bahwa Kabupaten Manokwari, Kabupaten Fak-fak, dan Kabupaten Teluk Bintuni merupakan kabupaten-kabupaten yang dapat dijadikan sentra pengembangan (Gambar 14). Produktivitas kacang tanah tertinggi berada di Kabupaten Fak-fak dan Manokwari yaitu 1,04 ton/ha, sedangkan Produktivitas Kabupaten Teluk Bintuni hanya selisih 0,01 yaitu sebesar 1,03 ton/ha. Sedangkan tingkat produksi tertinggi adalah Kabupaten Manokwari mencapai 44% dari total produksi Papua Barat. Kegiatan usahatani kacang tanah di Kabupaten Manokwari dan Fak-fak sudah bertujuan untuk komersil. Walaupun, sistem usahatani kacang tanah di Kabupaten Manokwari masih sangat tradisioanal, yaitu dengan sistem lahan berpindah dengan tujuan mendapatkan kondisi kesuburan tanah yang lebih baik. Cara ini dianut karena ketersediaan lahan yang ada disekitamya memungkinkan untuk itu dan sejauh ini ketersediaan lahan belum menjadi permasalahan untuk berkebun. Kegiatan budidaya terdiri dari persiapan lahan, pembersihan lahan, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Sama halnya dengan budidaya ubi jalar, persiapan lahan dilakukan oleh kaum laki-laki, sedangkan kegiatan menanam dilakukan oleh kaum perempuan. Tenaga kerja yang digunakan juga masih menggunakan tenaga kerja dalam keluarga. Sudah menjadi tradisi bahwa dalam kegiatan usahatani, masyarakat lokal papua selalu mengandalkan kerja sama seluruh anggota keluarga. Hal seperti ini memiliki kelebihan karena dapat menghemat biaya produksi. Pada umumnya petani lokal kacang tanah di Kabupaten Manokwari dan Fak-fak belum menerapkan teknologi pada kegiatan budidayanya. Hal ini dapat dilihat dari proses pembersihan lahan, pola tanam dan pasca panen. Kegiatan pembukaan lahan dilakukan dengan menggunakan alat-alat seperti parang dan garpu rumput. Pembersihan sisa-sisa rumput dan dahan-dahan pohon dilakukan dengan cara dibakar. Secara umum, petani kacang tanah di Kabupaten Manokwari belum menggunakan pupuk untuk meningkatkan kesuburan tanah dan produksi. Hal ini karena mereka percaya tanah yang mereka gunakan untuk proses penanaman masih subur karena selama ini mereka menerapkan sistem ladang

83 63 berpindah. Varitas kacang tanah yang diusahakan masyarakat Kabupaten Manokwari dan Fak-fak adalah varitas gajah, varitas macan dan varitas lokal. Rata-rata produksi kacang tanah pertahunnya mencapai 404,8 ton atau 1,04 ton/ha. Proses panen dilakukan 3-4 bulan setelah tanam. Kegiatan pasca panen yang dilakukan anatara lain penjemuran, pemisahan polong dari kulit dan mengemasan. Semua kegiatan pasca panen ini masih dilakukan secara tradisional. Penjemuran dilakukan di bawah terik matahari. Proses penjemuran membutuhkan waktu kurang lebih 1 minggu setelah itu dilakukan pemisahan polong dari kulit secara manual satu persatu. Setelah polong terpisah dari kulit, barulah dikemas dalam karung. Karung yang digunakan merupakan karung bekas pakai. Kegiatan pasca panen ini masih jauh dari teknologi modern. Kurangnya informasi dan pengetahuan petani menjadi salah satu alasan. Selain itu, rata-rata petani lokal kacang tanah merupakan petani dengan modal yang kecil. Hasil produksi kacang tanah dipasarkan pada pedagang pengumpul yang ada di desa-desa produksi atau langsung ke pasar-pasar kota, salah satunya adalah pasar wosi di Kabupaten Manokwari. Kondisi wilayah desa sentra produksi dengan pasar lokal yang cukup jauh menjadi satu permasalahan tersendiri bagi petani kacang tanah. Untuk menuju pasar kota petani harus menggunakan angkutan umum sejenis hartop dengan biaya Rp per orang. Sulitnya akses menuju pasar dari desa sentra ini yang menakibatkan petani memilih menjual kacang tanahnya pada pedagang pengumpul dengan harga yang lebih murah yaitu Rp per Kg dibandingkan jika dijual pada pasar kota mencapai Rp per Kg. Gambar 17 Kebun kacang tanah dan kacang tanah di Provinsi Papua Barat Sentra Pengembangan Hortikultura Sentra pengembangan hortikultura berfokus pada pengembangan kacang panjang, tomat dan cabai sesuai dengan hasil penetapan komoditas unggulan yang telah dilakukan. Hasil AHP mengenai penetapan sentra hortikultura menyimpulkan bahwa sentra pengembangan kacang panjang, tomat dan cabai bersentra di Kabupaten Teluk Bintuni. Hasil analisisnya dapat dilihat pada Gambar 18 berikut.

84 64 Gambar 18 Peta sentra pengembangan komoditas unggulan hortikultura di Provinsi Papua Barat Teluk Bintuni merupakan kabupaten pemekaran dengan luas wilayah paling besar diantara kabupaten lain di Provinsi Papua Barat yaitu ,83 Km 2 dengan luas lahan yang sesuai untuk pertanian sebesar Ha dan telah digunakan baru bekisar Ha. Dari total lahan potensial untuk pertanian di Kabupaten Teluk Bintuni Ha merupakan lahan yang sesuai untuk pertanian hortikultura, hal ini karena Kabupaten Teluk Bintuni memiliki struktur tanah rata-rata lebih dari 60% berada di ketinggian lebih dari 100- >1500 diatas permukaan laut. Agribisnis hortikultura dilakukan oleh masyarakat lokal dan non lokal dengan cara yang sudah lebih maju. Budidayanya dilakukan pada kebun-kebun tetap, sehingga petani telah menggunakan pupuk baik pupuk buatan maupun kimia untuk mempertahankan kesuburan tanah. Persiapan lahan hortikultura dilakukan bersama-sama baik petani laki-laki maupun kaum wanita. Persiapan lahan antara lain pembersihan lahan, pembuatan bedengan dan pemupukan awal. Pada umumnya letak kebun hortikltura baik komoditas kacang panjang, tomat dan cabai berada tidak jauh dari kota. Ketersediaan toko saprodi di ketiga kabupaten induk memudahkan petani memperoleh bibit dan pupuk. Akses transportasi umum yang mudah dan kondisi jalan yang baik memudahkan petani menjual hasil produksinya langsung ke pasar kota. Hasil produksi hortikultura dijual dalam keadaan segar, karena belum ada industri pengolahan lanjutan untuk bahan hortikultura seperti tomat dan cabai. Produksi lokal hanya mampu memenuhi kebutuhan dalam wilayah Papua Barat, sehingga belum ada hasil yang diekspor keluar wilayah. Kendala yang dihadapi petani hortikultura Provinsi Papua Barat adalah sulitnya mendapatkan modal untuk mengembagkan dan memperluas

85 65 usahataninya. Walaupun pada umunya petani hortukultura berada dalam kota kabupaten yang memiliki banyak akses perbankkan, namun untuk mendapatkan modal masih sulit. Persyaratan dan jaminan yang susah menjadi alasan petani masih sulit mendapatkan pinjaman modal dari bank. Selama ini kebijakan pemerintah telah banyak membantu petani hortikultura dalam mengambangkan usahataninya, seperti adanya penyuluh dan pelatihan usahatani. Gambar 19 Kacang panjang dan kebun tomat di Provinsi Papua Barat Sentra Pengembangan Tanaman Perkebunan Berdasarkan kriteria produktivitas, produksi, jarak lokasi produksi terhadap akses pasar, kesesuaian lahan dan potensi lahan maka diperoleh hasil sentra pengembangan komoditas unggulan tanaman pekerbunan sebagai berikut: Gambar 20 Peta sentra pengembangan komoditas unggulan perkebunan di Provinsi Papua Barat

86 66 Sentra Pengembangan Pala Hasil penetapan sentra pengembangan pala dapat dilihat pada Gambar 20. Kabupaten Fak-fak merupakan salah satu daerah sentra produksi pala di Indonesia. Jenis pala yang dibudidayakan adalah jenis varietas lokal atau para petani menyebutnya dengan pala negeri. Pala ini punya kekhasan yaitu buahnya yang lebih besar bila dibandingkan dengan pala yang dibudidayakan oleh petani di daerah lain dan hasil berdiskusi dengan petani bahwa pada saat musim panen dari satu pohon mereka bisa memetik pala sampai buah. Hal ini menunjukkan bahwa jenis pala lokal yang dibudidayakan di Fak fak ini memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan. Kabupaten Fak-fak menyumbang rata-rata 1.174,8 ton pertahunnya atau 77% dari total produksi Provinsi Papua Barat. Dari sisi budidaya, para petani hampir tidak melakukan perlakuan budidaya apapun, hal ini terlihat dari petani yang memproduksi bibit sendiri dengan kualitas bibit yang belum jelas asal usulnya dan tidak tersertifikasi, walaupun menurut para petani mereka mengambil biji untuk dibibitkan dari pohon yang produksi buahnya banyak. Pola tanam yang digunakan tidak teratur atau tanpa pengaturan jarak tanam, sehingga bisa berpengaruh terhadap perkembangan tanaman karena intensitas cahaya yang didapat setiap tegakan pohon menjadi tidak merata. Pola penanaman pala yang dilakukan petani di Fak-fak hampir tidak ada kegiatan pemupukan. Para petani masih menggantungkan pada kondisi alam saja yang berasal dari bekas daun daun atau daging buah pala yang dibiarkan melapuk di atas permukaan tanah. Kebun pala yang dimiliki petani tidak seperti kebun, tapi lebih mirip sebagai hutan pala karena tidak ada perlakuan apapun selama pertumbuhan dan perkembangannya. Gambar 21 Kebun pala dan proses pemecahan biji pala oleh masyarakat Kabupaten Fak-fak Dari sisi pemasaran, hasil diskusi dengan petani sebenarnya tidak terlalu mengalami kendala, karena ada selalu pengumpul yang akan menampung produksi pala mereka, bahkan ada yang menerapkan sistem ijon untuk memenuhi kebutuhan petani supaya lebih cepat. Namun permasalahan yang dihadapi adalah para petani tidak bisa melakukan negosiasi harga karena harga sepenuhnya ditentukan oleh pembeli dalam hal ini pengumpul untuk di tingkat petani. Rantai pasok/ pemasaran yang cukup panjang membuat harga yang diterima petani pala menjadi semakin rendah. Menurut petani harga terus berfluktuasi, untuk biji pala

87 67 kering harga berkisar antara Rp ,- sampai Rp B/C rasio dari usahatani pala diatas 1 artinya pala layak diusahakan di Papua Barat dengan ratarata pendapatan petaninya diatas Rp setelah tahun kelima. Selain masih terbatasnya penanganan budidaya dan pascapanen yang dilakukan oleh petani. Petani juga kurang bisa memanfaatkan bagian lain dari buah pala seperti daging buah pala yang bisa dimanfaatkan menjadi manisan pala atau sirup pala. Daging buah pala yang ada sebagian besar dibuang petani di kebun pala tanpa dimanfaatkan. Pemanfaatan daging buah pala untuk dijadikan manisan dan sirup pala masih terbatas dan dilakukan oleh keluarga yang berada di kota Fak-fak. Transportasi menjadi kendala dalam usahatani pala. Letak kebun pala yang jauh dari ibukota menyebabkan petani membutuhkan fasilitas transportasi untuk proses pengangkutan. Kebun pala di Kabupaten Fak-fak pada umumnya terletak di pulau-pulau dan pesisr pantai, sehingga untuk menuju ke kebun petani menggunakan transportasi darat dan laut seperti perahu kecil. Sentra Pengembangan Sawit Kabupaten Manokwari merupakan kabupaten yang pertama kali diarahkan untuk pengembangan kelapa sawit di Provinsi Papua Barat. Pengembangan perdana perkebunan kelapa sawit dengan pola PIR baru dimulai akhir tahun 1982 dan secara efektif dilaksanakan dalam tahun anggaran 1983 berlokasi di dataran Prafi yang terbentang pada 3 wilayah kecamatan, masing-masing Kecamatan Warmare (Kecamatan Induk), Kecamatan Prafi dan Kecamatan Masni (Pemekaran). Luas lahan yang tersedia pada 3 kecamatan ini adalah Ha, mulai dari Kecamatan Warmare hingga pantai Sidey Kecamatan Masni. Lahan yang telah direncanakan pemenfaatannya seluas Ha di dataran Prafi terdiri dari Ha diperuntukan bagi pengembangan perkebunan kelapa sawit dan Ha untuk pengembangan tanaman padi sawah. Namun, jika ditinjau dari potensi lahan dan kesesuian lahan Kabupaten Manokwari memiliki bobot yang paling lemah. Luas lahan potensial Kabupaten Manokwari untuk perkebunan adalah Ha, kalah luas jika dibandingkan Kabupaten Teluk Bintuni dan Sorong dimana masing-masing luas kabupaten untuk lahan pertanian perkebunan yaitu Ha dan Ha. Untuk itu, sentra pengembangan kelapa sawit di Provinsi Papua Barat diarahkan pada kedua Kabupaten ini. Bila ditinjau dari statusnya, sesungguhnya perkebunan kelapa sawit adalah perkebunan sakala besar yang dimiliki dan diusahakan oleh Perusahaan Besar berciri kapitalis, sangat bertolak belakang dengan kehidupan masyarakat yang masih berpola tani tradisional. Namun demikian untuk mempertemukan dua hal yang berbeda ini, Program Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit yang dikembangkan adalah dengan pola Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR- BUN) meliputi Kebun Inti yang dimiliki Perusahaan dan Kebun Plasma yang diperuntukan bagi Masyarakat, baik warga masyarakat lokal setempat maupun warga transmigrasi dari Pulau Jawa, Bali dan NTT.

88 68 Gambar 22 Kebun kelapa sawit di Kabupaten Manokwari Hasil pengamatan diketahui kegiatan-kegiatan yang dilakukan perusahaan dan petani PIR antara lain pemanenan hasil, pengangkutan hasil, penimbangan hasil, penglahan menjadi CPO, dan pemasaran keluar Papua. Untuk kegiatan pemeliharaan yang dilakukan hanyalah kegiatan pembersihanlahan, sedangkan kegiatan pemupukan dilaukan dengan frekuensi pelaksanaan yang tidak berkelanjutan. Saat ini kondisi lahan yang sudah mulai memasuki usia penurunan produktif, maka petani sudah tidak melakukan pemupukan lagi. Sedangkan untuk kegiatan pengendalian hama/penyakit, petani melakukan pada awal kegiatan penanaman saja. Sehingga saat ini kegiatan utama dalam agribisnis kelapa sawit Manokwari hanya berkonsentrasi pada kegiatan panen dan pengolahan menjadi CPO. Sentra Pengembangan Kakao Hasil analisis memperlihatkan bahwa sentra pengembangan kakao terdapat di Kabupaten dan Raja Ampat dengan bobot 0,216. Walaupun Kabupaten Raja ampat memliki potensi lahan hanya sebesar Ha, namun potensi lahan perkebunan pada Raja Ampat berada pada kelas kesusuian lahan yang baik untuk perkebunan kakao yaitu terletak pada dataran rendah meter diatas permukaan laut. Produktivitas kakao di Kabupaten Raja Ampat merupakan produktivitas tertinggi yaitu 0,8 ton per Ha setara dengan produktivitas nasional. Sedangka, rata-rata produksi kakao Kabupaten Raja Ampat sebanyak 966 ton atau 25% dari total rata-rata produksi Provinsi Papua Barat. Kegiatan yang telah dilakukan pada subsistem agribisnis hulu dalam hal pengadaan dan penyaluran saprodi meliputi bibit, pupuk, obat-obatan serta alat dan mesin pertanian. Secara umum, pengadaan bibit bersumber dari bantuan pemerintah. Bantuan bibit disalurkan kepada petani-petani yang memiliki lahan lebih dari 0,5 Ha dan bersedia menanam kakao. Selain pemberian bibit, petani juga mendapatkan pelatihan dan pendampingan oleh petugas tentang budidaya kakao. Kegiatan yang telah dilakukan pada subsistem usahatani kakao meliputi teknik budidaya oleh petani dimulai dari penanaman, pemeliharaan sampai panen dan pasca panen. Kegiatan budidaya yang dilakukan sudah memasukkan unsur teknologi seperti teknik pemangkasan, pemupukan dan penyiangan gulma.

89 69 Pemberian pupuk dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku sehingga tanaman kakao Raja Ampat dapat tumbuh dengan baik. Gambar 23 Kebun kakao di Kabupaten Raja Ampat Pada subsistem agribisnis hilir meliputi pengolahan biji kakao oleh petani secara tradisional dan pemasaran kakao dari petani, pedagang sampai ke konsumen. Kegiatan pasca panen masih dilakukan secara sederhana, yaitu hanya dilakukan penjemuran dan pengemasan biji kering, netani belum melakukan kegiatan fermentasi secara sempurna. Penjemuran dilakukan menggunakan sinar matahari langsung. Kurangnya sarana lapangan penjemuran menyebabkan petani menjemur biji kakaonya pada pinggir-pinggir jalan aspal. Tujuannya agar biji kakao cepat kering sempurna karena aspal jalan dapat menghantarkan panas dari bawah. Namun, hal ini dapat menyebabkan menurunnya kualitas biji kakao. Biji kakao menjadi kotor dan rentan terhadap resiko tergilas kendaraan yang melintas. Subsistem lembaga jasa penunjang meliputi kebijakan pemerintah, Dinas Pertanian dan Kehutanan, DISKOPERINDAG dan UKM, Lembaga Swadaya Masyarakat, lembaga penyuluhan, dan lembaga keuangan. Kegiatan yang telah dilakukan meliputi penyuluhan, pelatihan dan bantuan saprodi maupun penyediaan modal, serta pengadaan sarana dan prasarana fisik penunjang. Namun dari jumlah sarana dan prasarana yang telah disediakan pemerintah masih belum mencukupi keberlangsungan agribisnis kakao di Provinsi Papua Barat. Sentra Pengembangan Peternakan Berdasarkan kriteria produktivitas, produksi, jarak lokasi produksi terhadap akses pasar, kesesuaian lahan dan potensi lahan maka diperoleh hasil sentra pengembangan komoditas unggulan peternakan sebagai berikut:

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah petani di Indonesia menurut data BPS mencapai 45% dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 42,47 juta jiwa. Sebagai negara dengan sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 27 Secara rinci indikator-indikator penilaian pada penetapan sentra pengembangan komoditas unggulan dapat dijelaskan sebagai berikut: Lokasi/jarak ekonomi: Jarak yang dimaksud disini adalah jarak produksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, yang memiliki warna sentral karena berperan dalam meletakkan dasar yang kokoh bagi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembentukan Gross National Product (GNP) maupun Produk Domestik Regional

I. PENDAHULUAN. pembentukan Gross National Product (GNP) maupun Produk Domestik Regional I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan sektor pertanian dalam pembangunan Indonesia sudah tidak perlu diragukan lagi. Peran penting sektor pertanian tersebut sudah tergambar dalam fakta empiris yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Isu strategis yang kini sedang dihadapi dunia adalah perubahan iklim global, krisis pangan dan energi dunia, harga pangan dan energi meningkat, sehingga negara-negara

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI

RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI SETIADI DJOHAR IDQAN FAHMI RINGKASAN EKSEKUTIF HENNY NURLIANI, 2005. Strategi Pengembangan Agribisnis dalam Pembangunan Daerah Kota Bogor. Di bawah bimbingan SETIADI DJOHAR dan IDQAN FAHMI. Sektor pertanian bukan merupakan sektor

Lebih terperinci

3 KERANGKA PEMIKIRAN

3 KERANGKA PEMIKIRAN 12 ketersediaan dan kesesuaian lahan untuk komoditas basis tanaman pangan. Tahap ketiga adalah penentuan prioritas komoditas unggulan tanaman pangan oleh para stakeholder dengan metode Analytical Hierarchy

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya pembangunan ekonomi jangka panjang yang terencana dan dilaksanakan secara bertahap. Pembangunan adalah suatu

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

JURIDIKTI, Vol. 6 No. 1, April ISSN LIPI :

JURIDIKTI, Vol. 6 No. 1, April ISSN LIPI : Identifikasi Dan Pengembangan Komoditi Pangan Unggulan di Humbang Hasundutan Dalam Mendukung Ketersediaan Pangan Berkelanjutan Hotden Leonardo Nainggolan Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang masih memegang peranan dalam peningkatan perekonomian nasional. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian dan sektor basis baik tingkat Provinsi Sulawsi Selatan maupun Kabupaten Bulukumba. Kontribusi sektor

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam pembangunan perekonomian nasional. Peranannya sebagai menyumbang pembentukan PDB penyediaan sumber devisa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sektor Unggulan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sektor unggulan adalah sektor yang keberadaannya pada saat ini telah berperan besar kepada perkembangan perekonomian suatu wilayah, karena mempunyai keunggulan-keunggulan

Lebih terperinci

ANALISIS IDENTIFIKASI SEKTOR UNGGULAN DAN STRUKTUR EKONOMI PULAU SUMATERA OLEH DEWI SAVITRI H

ANALISIS IDENTIFIKASI SEKTOR UNGGULAN DAN STRUKTUR EKONOMI PULAU SUMATERA OLEH DEWI SAVITRI H ANALISIS IDENTIFIKASI SEKTOR UNGGULAN DAN STRUKTUR EKONOMI PULAU SUMATERA OLEH DEWI SAVITRI H14084017 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN DEWI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek termasuk di dalamnya struktur sosial, sikap masyarakat, serta institusi nasional dan mengutamakan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim

KATA PENGANTAR Bismillahirrohmanirrohim ABSTRAK Pembangunan Wilayah (regional) merupakan fungsi dari potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi,

Lebih terperinci

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN MENGGUNAKAN DATA PDRB

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN MENGGUNAKAN DATA PDRB ANALISIS SEKTOR UNGGULAN MENGGUNAKAN DATA PDRB (STUDI KASUS BPS KABUPATEN KENDAL TAHUN 2006-2010) SKRIPSI Disusun oleh : ROSITA WAHYUNINGTYAS J2E 008 051 JURUSAN STATISTIKA FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk menopang perekonomian nasional dan daerah, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi yang dialami

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di Indonesia sejak tahun 2001 berdasarkan UU RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang selanjutnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, yaitu upaya peningkatan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju. kepada tercapainya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, yaitu upaya peningkatan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju. kepada tercapainya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan pembangunan ekonomi nasional adalah sebagai upaya untuk membangun seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, yaitu memajukan kesejahteraan umum,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pencaharian di sektor pertanian. Menurut BPS (2013) jumlah penduduk yang

BAB I. PENDAHULUAN. pencaharian di sektor pertanian. Menurut BPS (2013) jumlah penduduk yang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara yang sebagian penduduknya bermata pencaharian di sektor pertanian. Menurut BPS (2013) jumlah penduduk yang bekerja di sektor

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara agraris memiliki hasil pertanian yang sangat berlimpah. Pertanian merupakan sektor ekonomi yang memiliki posisi penting di Indonesia. Data Product

Lebih terperinci

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ii ABSTRACT MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN. Analysis of Northern

Lebih terperinci

SUB SEKTOR PERTANIAN UNGGULAN KABUPATEN TASIKMALAYA SELAMA TAHUN

SUB SEKTOR PERTANIAN UNGGULAN KABUPATEN TASIKMALAYA SELAMA TAHUN SUB SEKTOR PERTANIAN UNGGULAN KABUPATEN TASIKMALAYA SELAMA TAHUN 2005-2014 Sri Hidayah 1) Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Uniersitas Siliwangi SriHidayah93@yahoo.com Unang 2) Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT Rachmat Hendayana Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Jl Tentara Pelajar, 10 Bogor ABSTRAK Makalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di beberapa daerah di Indonesia telah memberikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus tantangan baru yang harus dihadapi dalam pembangunan pertanian ke depan. Globalisasi dan liberasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tinggi secara langsung dalam pemasaran barang dan jasa, baik di pasar domestik

I. PENDAHULUAN. tinggi secara langsung dalam pemasaran barang dan jasa, baik di pasar domestik I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan daerah dalam era globalisasi saat ini memiliki konsekuensi seluruh daerah di wilayah nasional menghadapi tingkat persaingan yang semakin tinggi secara langsung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional.

BAB I PENDAHULUAN. langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan regional memiliki peran utama dalam menangani secara langsung persoalan-persoalan fungsional yang berkenaan dengan tingkat regional. Peranan perencanaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan pertanian dewasa ini telah berorientasi bisnis (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut usahatani (on-farm agribusiness)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian mencakup segala pengusahaan yang di dapat dari alam dan merupakan barang biologis atau hidup, dimana hasilnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi adalah meningkatnya produksi total suatu daerah. Selain itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta meningkatnya kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan mempunyai tujuan yaitu berusaha mewujudkan kehidupan masyarakat adil dan makmur. Pembangunan adalah suatu proses dinamis untuk mencapai kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

ANALISIS KOMODITAS UNGGULAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA DI KABUPATEN MEMPAWAH. Universitas Tanjungpura Pontianak.

ANALISIS KOMODITAS UNGGULAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA DI KABUPATEN MEMPAWAH. Universitas Tanjungpura Pontianak. ANALISIS KOMODITAS UNGGULAN TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA DI KABUPATEN MEMPAWAH ADE IRMAYADI 1), ERLINDA YURISINTHAE 2), ADI SUYATNO 2) 1) Alumni Magister Manajemen Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, di mana perekonomian dunia semakin terintegrasi. Kebijakan proteksi, seperi tarif, subsidi, kuota dan bentuk-bentuk hambatan lain, yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya terencana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tujuan pembangunan adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas. Indikator penting untuk mengetahui kondisi

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan. masyarakat meningkat dalam periode waktu yang panjang.

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan. masyarakat meningkat dalam periode waktu yang panjang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi di definisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan masyarakat meningkat dalam

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

PENENTUAN KOMODITAS UNGGULAN TANAMAN PANGAN BERDASARKAN NILAI PRODUKSI DI KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT

PENENTUAN KOMODITAS UNGGULAN TANAMAN PANGAN BERDASARKAN NILAI PRODUKSI DI KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PENENTUAN KOMODITAS UNGGULAN TANAMAN PANGAN BERDASARKAN NILAI PRODUKSI DI KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT (Determination of the Main Commodity Crops Based of Production in the Kotawaringin Barat Regency)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 41,91 (42,43) 42,01 (41,60) 1,07 (1,06) 12,49 (12,37) 0,21 (0,21) 5,07 (5,02) 20,93 (20,73) 6,10 (6,04) 0,15 (0,15) (5,84) 1,33 (1,35)

I. PENDAHULUAN 41,91 (42,43) 42,01 (41,60) 1,07 (1,06) 12,49 (12,37) 0,21 (0,21) 5,07 (5,02) 20,93 (20,73) 6,10 (6,04) 0,15 (0,15) (5,84) 1,33 (1,35) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu bidang produksi dan lapangan usaha yang paling tua di dunia yang pernah dan sedang dilakukan oleh masyarakat. Sektor pertanian adalah sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

KAJIAN IDENTIFIKASI KOMODITAS UNGGULAN TANAMAN PANGAN PROVINSI LAMPUNG. Jamhari Hadipurwanta dan Bariot Hafif

KAJIAN IDENTIFIKASI KOMODITAS UNGGULAN TANAMAN PANGAN PROVINSI LAMPUNG. Jamhari Hadipurwanta dan Bariot Hafif KAJIAN IDENTIFIKASI KOMODITAS UNGGULAN TANAMAN PANGAN PROVINSI LAMPUNG Jamhari Hadipurwanta dan Bariot Hafif Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung Jl. H. Zainal Abidin Pagaralam No. 1A, Rajabasa,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pembangunan Ekonomi Pembangunan adalah suatu proses yang mengalami perkembangan secara cepat dan terus-merenus demi tercapainya kesejahteraan masyarakat sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan kekayaan hayati yang melimpah, hal ini memberikan keuntungan bagi Indonesia terhadap pembangunan perekonomian melalui

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam menunjang perekonomian Indonesia. Mengacu pada keadaan itu, maka mutlak diperlukannya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya melimpah

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya melimpah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya melimpah yang dimanfaatkan sebagian besar penduduk dengan mata pencaharian di bidang pertanian. Sektor pertanian

Lebih terperinci

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG Edisi Kedua Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2007 AGRO INOVASI MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KAKAO. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KAKAO. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KAKAO Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan ridho

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, terlebih dahulu kita harus menganalisa potensi pada

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, terlebih dahulu kita harus menganalisa potensi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan implementasi serta bagian integral dari pembangunan nasional. Dengan kata lain, pembangunan nasional tidak akan lepas dari peran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum tahun 2008/2009 berada

I. PENDAHULUAN. Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum tahun 2008/2009 berada I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daya saing Indonesia menurut World Economic Forum tahun 2008/2009 berada di peringkat 55 dari 134 negara, menurun satu peringkat dari tahun sebelumnya. Dalam hal ini,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu sub dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. Kontribusi peningkatan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. tersebut antara lain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, menyumbang

I PENDAHULUAN. tersebut antara lain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, menyumbang I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian memegang peranan penting dalam pembangunan nasional. Peranan tersebut antara lain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, menyumbang devisa,

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan

BAB I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memegang peran strategis dalam pembangunan perekonomian nasional dan menjadi sektor andalan serta mesin penggerak pertumbuhan ekonomi. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Tantangan Pembangunan Berkelanjutan dan Perubahan Iklim di Indonesia

Prosiding Seminar Nasional Tantangan Pembangunan Berkelanjutan dan Perubahan Iklim di Indonesia PENGEMBANGAN PERTANIAN BERBASIS KOMODITI UNGGULAN DALAM RANGKA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Studi Kasus Kabupaten Humbang Hasundutan Hotden Leonardo Nainggolan 1) Johndikson Aritonang 2) Program Studi Agribisnis

Lebih terperinci

II PENDAHULUAN PENDAHULUAN

II PENDAHULUAN PENDAHULUAN I II PENDAHULUAN PENDAHULUAN Pembangunan dapat diartikan berbeda-beda oleh setiap orang tergantung dari sudut pandang apa yang digunakan oleh orang tersebut. Perbedaan cara pandang mengenai proses pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB)

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kontribusi bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana sebagian besar penduduknya hidup dari hasil bercocok tanam atau bertani, sehingga pertanian merupakan sektor yang memegang peranan

Lebih terperinci

ANALISIS PRODUKSI DAN KELAYAKAN USAHATANI KAKAO DI KABUPATEN MADIUN

ANALISIS PRODUKSI DAN KELAYAKAN USAHATANI KAKAO DI KABUPATEN MADIUN digilib.uns.ac.id ANALISIS PRODUKSI DAN KELAYAKAN USAHATANI KAKAO DI KABUPATEN MADIUN TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan

Lebih terperinci

JURNAL GAUSSIAN, Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman Online di:

JURNAL GAUSSIAN, Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman Online di: JURNAL GAUSSIAN, Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman 219-228 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/gaussian ANALISIS SEKTOR UNGGULAN MENGGUNAKAN DATA PDRB (Studi Kasus BPS Kabupaten Kendal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 18 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan bagian dari pembangunan ekonomi Nasional yang bertumpu pada upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur seperti

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK

GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK 34 IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK 4.1 Gambaran Umum Provinsi Lampung Lintang Selatan. Disebelah utara berbatasan dengann Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu, sebelah Selatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. upaya mencapai tingkat pertumbuhan pendapatan perkapita (income per capital) dibandingkan laju pertumbuhan penduduk (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. upaya mencapai tingkat pertumbuhan pendapatan perkapita (income per capital) dibandingkan laju pertumbuhan penduduk (Todaro, 2000). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang mengarah kearah yang lebih baik dalam berbagai hal baik struktur ekonomi, sikap, mental, politik dan lain-lain. Dari

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perekonomian Indonesia dipengaruhi oleh beberapa sektor usaha, dimana masing-masing sektor memberikan kontribusinya terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pembangunan daerah di Indonesia pada dasarnya didasari oleh kebijaksanaan pembangunan nasional dengan mempertimbangkan karakteristik dan kebutuhan daerah. Kebijaksanaan

Lebih terperinci

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KAKAO

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KAKAO PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KAKAO Edisi Kedua Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2007 AGRO INOVASI BHINEKA TUNGGAL IKA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

ANALISIS PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN DEMAK

ANALISIS PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN DEMAK ANALISIS PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN DEMAK Khusnul Khatimah, Suprapti Supardi, Wiwit Rahayu Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berbasis pada sektor pertanian, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting bagi

Lebih terperinci

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA ANALISIS SEKTOR UNGGULAN PEREKONOMIAN KABUPATEN MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA Andi Tabrani Pusat Pengkajian Kebijakan Peningkatan Daya Saing, BPPT, Jakarta Abstract Identification process for

Lebih terperinci

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH J. Agroland 17 (1) : 63 69, Maret 2010 ISSN : 0854 641X PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH The Effect of Investment of Agricultural

Lebih terperinci

AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI

AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI AGRIBISNIS DAN AGROINDUSTRI PENGERTIAN AGRIBISNIS Arti Sempit Suatu perdagangan atau pemasaran hasil pertanian sebagai upaya memaksimalkan keuntungan. Arti Luas suatu kesatuan kegiatan usaha yang meliputi

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah 35 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah 3,46 juta km 2 (1,81 persen dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas

I. PENDAHULUAN. terjadinya krisis moneter, yaitu tahun 1996, sumbangan industri non-migas I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Berbagai studi menunjukkan bahwa sub-sektor perkebunan memang memiliki peran yang sangat penting dalam perekonomian Indonesia sebagai sumber pertumbuhan ekonomi dan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN (Studi Kasus di Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau) RAHMAT PARULIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Master Plan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Master Plan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Master Plan Latar belakang Penyusunan Cetak Biru (Master Plan) Pengembangan Penanaman Modal Kabupaten Banyuasin secara garis besar adalah Dalam rangka mewujudkan Visi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menjadi pusat perhatian dalam pembangunan nasional, khususnya yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN BIREUEN PROVINSI ACEH. Mimi Hayatiˡ, Elfiana 2, Martina 3 ABSTRAK

PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN BIREUEN PROVINSI ACEH. Mimi Hayatiˡ, Elfiana 2, Martina 3 ABSTRAK Jurnal S. Pertanian 1 (3) : 213 222 (2017) PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN BIREUEN PROVINSI ACEH Mimi Hayatiˡ, Elfiana 2, Martina 3 1 Mahasiswa Agribisnis Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. daerahnya masing-masing. Oleh karena itu tiap daerah sudah lebih bebas dalam

TINJAUAN PUSTAKA. daerahnya masing-masing. Oleh karena itu tiap daerah sudah lebih bebas dalam TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Seiring dengan kebijakan otonomi daerah yang telah diterapkan sejak tahun 1999, masing-masing daerah harus bekerja keras untuk meningkatkan pendapatan daerahnya masing-masing.

Lebih terperinci

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

PRODUKSI PANGAN INDONESIA 65 PRODUKSI PANGAN INDONESIA Perkembangan Produksi Pangan Saat ini di dunia timbul kekawatiran mengenai keberlanjutan produksi pangan sejalan dengan semakin beralihnya lahan pertanian ke non pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun (juta rupiah) 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jawa Timur merupakan salah satu provinsi yang memiliki pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Selain Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur menempati posisi tertinggi

Lebih terperinci

ANALISIS INPUT-OUTPUT KOMODITAS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

ANALISIS INPUT-OUTPUT KOMODITAS KELAPA SAWIT DI INDONESIA Perwitasari, H. dkk., Analisis Input-Output... ANALISIS INPUT-OUTPUT KOMODITAS KELAPA SAWIT DI INDONESIA Hani Perwitasari dan Pinjung Nawang Sari Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Gadjah Mada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Pertanian Menurut Mosher dalam Mubyarto (1989) mendefinisikan pertanian sebagai sejenis proses produksi khas yang didasarkan atas proses pertumbuhan tanaman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Pembangunan Ekonomi Daerah Pembangunan ekonomi daerah merupakan fungsi dari potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN , , ,99. Total PDRB , , ,92

I. PENDAHULUAN , , ,99. Total PDRB , , ,92 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian menjadi salah satu sektor penting dalam pembangunan untuk meningkatkan perekonomian bangsa. Menurut Pujiasmanto (2012), sektor ini akan berperan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. atau suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan tolak ukur perekonomian suatu daerah. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama atau suatu keharusan bagi

Lebih terperinci

Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh :

Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh : 1 Analisis keterkaitan sektor tanaman bahan makanan terhadap sektor perekonomian lain di kabupaten Sragen dengan pendekatan analisis input output Oleh : Sri Windarti H.0305039 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup jelas.

- 2 - II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup jelas. - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG TATA KELOLA PRODUK-PRODUK UNGGULAN PERTANIAN DAN PERIKANAN DI JAWA TIMUR I. UMUM Wilayah Provinsi Jawa Timur yang luasnya

Lebih terperinci

3.1 Penilaian Terhadap Sistem Perekonomian / Agribisnis

3.1 Penilaian Terhadap Sistem Perekonomian / Agribisnis 3.1 Penilaian Terhadap Sistem Perekonomian / Agribisnis 3.1.1 Kelembagaan Agro Ekonomi Kelembagaan agro ekonomi yang dimaksud adalah lembaga-lembaga yang berfungsi sebagai penunjang berlangsungnya kegiatan

Lebih terperinci