PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sativa L.) PADA BEBERAPA SISTEM BUDIDAYA ABRIANI FENSIONITA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sativa L.) PADA BEBERAPA SISTEM BUDIDAYA ABRIANI FENSIONITA"

Transkripsi

1 PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sativa L.) PADA BEBERAPA SISTEM BUDIDAYA ABRIANI FENSIONITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

2 ABSTRAK ABRIANI FENSIONITA. Perkembangan Hama dan Penyakit Tanaman Padi (Oryza sativa L) pada Beberapa Sistem Budidaya. Dibimbing oleh GEDE SUASTIKA, DADANG dan NINA MARYANA. Di Indonesia, budidaya padi saat ini masih sangat bergantung pada penggunaan pupuk anorganik dan pestisida sintetik. Penggunaan pestisida sintetik secara terus menerus dapat menimbulkan efek samping yang sangat merugikan seperti timbulnya hama baru, residu pada hasil pertanian dan pencemaran lingkungan. Dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan, maka pertanian organik mulai dipilih untuk menghasilkan bahan pangan aman (safe food) dan bersahabat bagi lingkungan (environmental friendly). Penelitian ditujukan untuk 1) membandingkan perkembangan hama dan penyakit tanaman padi pada sistem konvensional (urea 200 kg/ha, TSP 100 kg/ha, KCl 100 kg/ha dan aplikasi pestisida berkala), dengan sistem input rendah (bokashi 1 ton/ha, urea 100 kg/ha, TSP 50 kg/ha, KCl 50 kg/ha dan aplikasi pestisida tergantung serangan OPT), dan pertanian organik (bokashi 5 dan 10 ton/ha, tanpa aplikasi pestisida sintetik dan pupuk anorganik), 2) mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan arthropoda dan 3) mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan mikroorganisme pada sistem konvensional, input rendah dan pertanian organik. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama dua musim tanam, tingkat serangan hama (penggerek batang) dan penyakit (tungro, kresek, bercak coklat dan hawar pelepah) pada ketiga sistem budidaya hampir sama. Keanekaragaman dan kelimpahan arthropoda dan mikroorganisme ditemukan lebih tinggi pada pertanian organik. Walaupun hasil panen gabah pada sistem konvensional lebih tinggi dari pada sistem lainnya, namun dari segi keamanan dan nilai jual beras, pertanian organik memberikan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem pertanian konvensional maupun input rendah. 2

3 PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sativa L.) PADA BEBERAPA SISTEM BUDIDAYA ABRIANI FENSIONITA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Entomologi-Fitopatologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

4 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan..... Hipotesis..... Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Sistem Budidaya Konvensional, Input Rendah dan Organik... Keanekaragaman Hayati... Potensi Mikroorganisme sebagai Agens Pengendali... Konsep PHT dalam Pertanian Organik BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian... Persiapan Lahan... Penanaman Padi... Perlakuan... Pengamatan Hama dan Penyakit... Pengamatan Arthropoda... Analisis Mikroorganisme... HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi... Luas dan Intensitas Serangan Hama dan Penyakit..... Keanekaragaman Spesies dan Peranan Arthropoda... Kerapatan dan Keanekaragaman Mikroorganisme.... Analisis Usahatani.. PEMBAHASAN UMUM.... KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan... Saran... DAFTAR PUSTAKA.. LAMPIRAN.. Halaman vii viii xi

5 DAFTAR TABEL Kategori serangan penyakit... Persentase kelimpahan individu arthropoda hasil pengumpulan dengan jaring serangga pada beberapa sistem budidaya... Persentase kelimpahan individu arthropoda hasil pengumpulan dengan lubang jebakan pada beberapa sistem budidaya... Jumlah ordo, famili, spesies dan individu arthropoda, indeks keanekaragaman shannon-wienner (H ) dan evenness (E) pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya... Kerapatan koloni bakteri dan cendawan di filosfer dan rhizosfer pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya... Jumlah koloni, spesies, indeks shannon-wienner (H ) dan evenness (E) pada musim tanam ke-dua... Analisis usahatani pada dua musim tanam pada beberapa sistem budidaya... Halaman DAFTAR GAMBAR Bagan pengambilan sub petak contoh tanaman padi pada satu perlakuan... Gejala tanaman padi yang terserang penggerek batang padi: sundep, beluk dan larva penggerek batang padi... Perkembangan luas serangan penggerek batang padi pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya... Perkembangan intensitas serangan penggerek batang padi pada Halaman

6 MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya... Gejala penyakit tungro pada tanaman padi... Perkembangan luas serangan tungro pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya... Gejala penyakit kresek pada tanaman padi... Perkembangan intensitas serangan kresek pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya... Gejala penyakit cercospora pada tanaman pad i... Perkembangan intensitas serangan bercak cercospora pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya... Gejala penyakit hawar pelepah daun pada tanaman padi... Perkembangan intensitas serangan hawar pelepah daun pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya... Komposisi arthropoda berdasarkan peranannya pada beberapa pada MT I dan MT II pada beberapa sistem budidaya DAFTAR LAMPIRAN Bagan lokasi penelitian di Desa Situgede... Curah hujan dari bulan Januari Agustus Luas serangan penggerek batang padi pada MT I pada beberapa sistem budidaya... Luas serangan penggerek batang padi pada MT II pada beberapa sistem budidaya... Intensitas serangan penggerek batang padi pada MT I pada beberapa sistem budidaya... Halaman

7 Intensitas serangan penggerek batang padi pada MT II pada beberapa sistem budidaya... Luas serangan tungro pada MT I pada beberapa sistem budidaya... Luas serangan tungro pada MT II pada beberapa sistem budi daya... Intensitas serangan kresek pada MT I pada beberapa sistem budi daya... Intensitas serangan kresek pada MT II pada beberapa sistem budidaya... Intensitas serangan bercak cercospora padi pada MT I pada beberapa sistem budidaya... Intensitas serangan bercak cercospora padi pada MT II pada beberapa sistem budidaya... Intensitas serangan hawar pelepah daun pada MT I pada beberapa sistem budidaya... Intensitas serangan hawar pelepah daun pada MT II pada beberapa sistem budidaya... Jumlah individu dan spesies tiap ordo dan famili serangga yang diperoleh dengan jaring serangga dan lubang jebakan pada beberapa sistem budidaya... Peranan beberapa ordo dan famili arthropoda yang ditemukan pada beberapa sistem budidaya PENDAHULUAN Latar Belakang Kegiatan pertanian tradisional d i Indonesia pada awalnya merupakan pertanian organik yang hanya bergantung pada sumber daya lahan dengan cara melakukan daur ulang limbah sisa panen sebagai pupuk. Sistem pertanian tradis ional tersebut tidak mampu memenuhi permintaan akan hasil pertanian terutama pangan yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem tradisional ini mulai 7

8 ditinggalkan oleh petani ketika teknologi intensifikasi yang mengandalkan bahan sintetik diterapkan di bidang pertanian (Deptan 2005). Penggunaan pupuk anorganik dan pestisida sintetik merupakan komponen utama dalam teknologi intensifikasi pertanian yang diterapkan pada saat ini untuk memaksimalkan produksi beras dan palawija (jagung, kacang-kacangan dan umbiumbian). Penggunaan pupuk anorganik dan pestisida sintetik yang terus menerus ternyata dapat menimbulkan efek samping yang kurang menguntungkan seperti kemunduran kualitas lingkungan dan pengurangan stabilitas produksi oleh munculnya hama dan penyakit baru, senyawa beracun pada tanaman (residu), menurunnya kesuburan tanah dan meningkatnya biaya sarana produksi (Deptan 2005). Berbagai dampak yang ditimbulkan akibat aplikasi kimia sintetik di bidang pertanian, menyadarkan masyarakat untuk mendapatkan produk pertanian yang aman untuk kesehatan (food safety) dan bersahabat dengan lingkungan (environmental friendly). Perubahan gaya hidup kembali ke alam (back to nature) menyebabkan permintaan produk pertanian organik di dunia tumbuh 20% per tahun. Data Word Trade Organization (WTO) menunjukkan dalam tahun perdagangan produk pertanian organik telah mencapai 17,5 milyar dollar AS dan pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 100 milyar dollar AS (Darmadjati 2005). Teknologi budi daya berkembang untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan mengurangi penggunaan pupuk anorganik dan pestisida sintetik yang disebut sistem input rendah. Pada sistem pertanian ini aplikasi pestisida sintetik tidak dilakukan bila tidak ada serangan hama. Sistem budidaya input rendah ini banyak diterapkan perusahaan yang produknya disebut dengan produk pertanian aman (safe agricultural products) atau di Vietnam dikenal sebagai produk pertanian hijau (green agricultural product) (Dadang 2005). Sistem input rendah ini dianggap sebagai transisi untuk mencapai sistem pertanian organik murni karena sulit untuk mengubah sistem pertanian input tinggi dengan hanya mengandalkan daur ulang sisa panen atau organik lainnya. Efisiensi penggunaan pupuk anorganik dengan menggunakan mikroorganisme mendukung upaya penghematan biaya pemupukan. Aplikasi pupuk anorganik yang dikombinasikan dengan sebagian dosis pupuk organik yaitu 75% pupuk anorganik dan 25% pupuk organik dapat meningkatkan hasil kentang 6,94%, jagung 10,98% dan padi 25,1%, serta mengurangi biaya 8

9 produksi sebesar 17 sampai 25% (Goenadi et al dalam MAPORINA 2005). Menurut Ar-Riza et al. (2000), pemberian bahan organik dapat mengefisienkan penggunaan pupuk anorganik pada lahan padi gogo, yaitu pemberian pupuk nitrogen 90 kg/ha yang dikombinasikan dengan pupuk kandang dapat meningkatkan hasil antara 133,8 sampai 183%. Teknologi pertanian organik merupakan sistem usahatani spesifik lokasi yang diterapkan berdasarkan interaksi tanah, tanaman, ternak, manusia, ekosistem dan lingkungan. Pertanian organik menggunakan sebanyak mungkin bahan organik sebagai sumber hara dan sebagai bahan yang dapat memperbaiki sifat fisik tanah. Bahan organik yang digunakan bersumber antara lain dari pupuk kandang dan limbah pertanian (kompos) dan dibuat dengan memanfaatkan mikroba yang dapat berfungsi melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit (IP2TP 2000). Berbagai informasi tentang bahan organik yang dapat meningkatkan kesuburan tanah, memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan hasil telah banyak dilaporkan. Penelitian Saragih et al. (2000) menunjukkan bahwa penggunaan bahan organik yang berasal dari jerami tanaman yang baru dipanen seperti jerami padi, jerami kedelai, sekam padi atau abu sekam untuk pertanaman padi di lahan lebak dapat meningkatkan hasil sebesar 0,69 sampai 1,98 t/ha atau meningkat 19 sampai 54,7%. Pada musim tanam II pertanaman kacang hijau yang diberi kompos jerami dapat meningkatkan hasil menjadi 204% dan bila diberi bahan bokashi maka hasilnya dapat meningkatkan menjadi 177%. Bila pada bahan bokashi tersebut diinokulasikan Effective Microorganism (EM)4 maka meningkatkan hasil menjadi 177%, sedangkan bila bahan bokashi diinokulasi Trichoderma sp. serta Azotobacter sp. maka hasilnya dapat meningkat menjadi 257% (Santosa dan Widati 2000). Pengaruh pemberian kompos pada tanaman tomat dapat menurunkan serangan antraknosa sebesar 9 sampai 12,9%, sehingga meningkatkan produksi sebesar 16 dan 33% (Abbasi et al. 2002). Penggunaan bahan organik dari bahan sisa penggilingan kertas dengan rotasi tanaman tomat, buncis dan ketimun, dapat menurunkan penyakit rebah kecambah, bercak coklat, antraknosa (masing-masing 1,5%) dan meningkatkan hasil 10,2 ton/ha pada buncis, sedangkan pada ketimun penyakit bercak daun menurun sampai 14 sampai 16% dan rebah kecambah (Pythium spp.) 1,65 % (Stone et al. 2003). Menurut Rangarajan dan Aram (2000) bahwa tanah kompos dapat menurunkan serangan Pythium ultimum antara 67% 9

10 sampai 81% dan Rhizoctonia solani antara 86% sampai 91% pada tanaman sayuran. Petani Bantul menggunakan campuran kotoran sapi basah, jerami dan dedaunan yang diaduk pada lahan sawah dengan dibajak dan dapat meningkatkan hasil padi menjadi 5,5 ton/ha. Petani tersebut juga membuat sendiri bahan untuk pengendali hama dan penyakit dari tumbuhan dan kotoran hewan (Tambunan 2005). Untuk mengoptimalkan sifat kompos dalam pengendalian perlu diperhatikan karakteristik kompos, pengelolaan, aplikasi dan sistem pertanian yang diterapkan. Penerapan pertanian organik bertujuan untuk meningkatkan produksi melalui proses pemupukan, tidak menggunakan bahan penunjang anorganik dengan penerapan teknologi budidaya yang baik seperti pemilihan bibit berkualitas, pupuk berimbang, penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) dan pengaturan pola tanam (Deptan 2005). Penelitian yang menggambarkan keberhasilan pertanian organik dalam memperoleh produk yang berkualitas dan stabil dalam jangka panjang telah banyak di lakukan, namun informasi mengenai perkembangan hama dan penyakit tanaman padi serta keanekaragaman arthropoda dan mikroorganisme pada lahan pertanian organik masih sangat terbatas. Tujuan 1. Membandingkan perkembangan hama dan penyakit pada tanaman padi pada lahan konvensional, input rendah dan pertanian organik. 2. Mengetahui keanekaragaman arthropoda pada lahan konvensional, input rendah dan pertanian organik. 3. Mengetahui keanekaragaman mikroorganisme pada lahan konvensional, input rendah dan pertanian organik. Hipotesis 1. Perkembangan hama dan penyakit tanaman padi relatif sama pada pertanian organik, konvensional dan input rendah. 2. Kelimpahan dan keanekaragaman arthropoda pada pertanian organik relatif lebih tinggi sehingga dapat mempengaruhi luas serangan hama. 3. Kelimpahan dan keanekaragaman mikroorganisme pada pertanian organik relatif lebih tinggi sehingga dapat mempengaruhi intensitas perkembangan penyakit. 10

11 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah menyediakan informasi mengenai kelayakan sistem pertanian organik ditinjau dari perkembangan hama dan penyakit, keanekaragaman arthropoda dan mikroorganisme serta analisis usahataninya. TINJAUAN PUSTAKA Sistem Budidaya Konvensional, Input Rendah dan Organik Sistem budidaya konvensional sangat tergantung pada input kimia (pupuk anorganik dan pestisida), benih hibrida, mekanisasi dan irigasi. Penerapan sistem pertanian konvensional mampu meningkatkan produksi pertanian, contohnya produksi gandum di India menjadi tiga kali lipat dalam waktu 20 tahun, di Kolumbia produksi padi meningkat sampai dua kali lipat selama 5 tahun, dan di Indonesia mampu berswasembada pangan (beras) pada tahun Namun demikian, penerapan teknologi ini diiringi pula dengan terjadinya peningkatan 11

12 serangan organisme penganggu tanaman (OPT), yang jumlahnya mencapai populasi yang membahayakan. Penggunaan insektisida telah menyebabkan terjadinya resistensi, timbulnya hama sekunder, musnahnya musuh alami dan terjadinya pencemaran lingkungan, juga dapat membahayakan kehidupan manusia, baik petani maupun konsumen (Deptan 2005). Berkembangnya sistem pertanian input rendah merupakan teknik pertanian berkelanjutan dengan masukan sarana produksi rendah, melalui penguasaan teknologi budi daya yang baik, seperti bibit berkualitas, pemupukan berimbang, penerapan PHT dan pengaturan jarak tanam (Deptan 2005). Sistem pertanian ini menggunakan pestisida dan pupuk dalam jumlah yang rendah dan aplikasi pestisida dilakukan hanya pada tanaman yang terserang OPT. Sistem input rendah mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal dengan mengkombinasikan berbagai komponen sistem usaha tani, yaitu tanaman, hewan, tanah, air, iklim dan manusia, dengan memaksimalkan daur ulang dan meminimalkan kerusakan lingkungan. Tujuan sistem input rendah adalah untuk memaksimalkan produksi jangka pendek serta mencapai tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang (Reijntjes et al. 1992). Perubahan dari sistem usaha tani konvensional ke sistem usaha tani yang seimbang secara ekonomis, ekologis dan sosial memerlukan suatu proses transisi, yaitu penyesuaian terhadap perubahan yang dilakukan secara sadar untuk membuat sistem usaha tani lebih seimbang dan berkelanjutan. Transisi berhubungan dengan tenaga kerja, lahan atau uang dan pengambilan resiko, sehingga dibutuhkan strategi yang sesuai dengan kondisi lahan pertaniannya. Dukungan, kepercayaan diri, dan imaginasi, serta perbaikan pemasaran dan kebijakan harga yang cocok sangat diperlukan petani dalam proses transisi (Reijntjes et al. 1992). Sistem pertanian organik bertujuan untuk meningkatkan produksi melalui proses pemupukan dan dalam pelaksanaannya tidak menggunakan bahan penunjang lain yang anorganik. Sistem ini menitikberatkan pada pertanaman polikultur, rotasi tanaman, pemanfaatan sisa tanaman, penggunaan pupuk kandang, pupuk hijau, pengolahan tanah yang tepat serta pengendalian hama dan penyakit secara hayati. Kondisi pertanian polikultur mempunyai ekosistem yang kompleks dibandingkan dengan pertanaman monokultur. Produktivitas pertanian organik juga sebanding 12

13 dengan pertanian yang menggunakan zat-zat kimia sintetis sebagai pupuk ataupun pestisida (Sitanggang 1993). Tanaman tomat dan jagung pada sistem organik dan input rendah dengan mengurangi pestisida sampai 50% memberi respon pada keberadaan arthropoda, patogen dan nematoda. Walaupun demikian, penggunaan pestisida ini tidak mempengaruhi hasil dan dapat mengurangi biaya pengelolaan hama dan menurunkan dampak lingkungan (Clark et al. 1998). Pertumbuhan padi pada pertanian alami lebih toleran terhadap kerusakan yang disebabkan oleh Oulema oryzae (Coleoptera: Chrysomelidae), dan dapat meningkatkan hasil padi dibandingkan dengan padi yang ditanam pada lahan sistem konvensional. Pada pertanaman padi di lahan konvensional, adanya kerusakan yang disebabkan oleh hama O. oryzae tersebut dapat menyebabkan tanaman padi lebih peka terhadap patogen, sehingga intensitas penyakit menjadi tinggi dan kehilangan hasil lebih besar (Andow dan Hidaka 1998). Proteksi tanaman pada pertanian organik umumnya dilakukan melalui pengelolaan terhadap lingkungan sehingga tanaman mampu bertahan terhadap serangan hama dan patogen. Pada pertanian organik dilakukan kegiatan yaitu pemantauan terhadap hama dan penyakit, rotasi tanaman dan mengurangi pengolahan tanah. Pengendalian terhadap hama dan penyakit dilakukan dengan menggunakan agens hayati dan pestisida botani (Bruggen dan Termorshuizen 2005). Pertanian organik secara ekonomis sangat menguntungkan dan secara ekologis dapat menjaga kelestarian lingkungan. Dilihat dari segi sosial tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat serta secara teknik mudah untuk diterapkan oleh petani (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura 1993). Keanekaragaman Hayati Keanakeragaman hayati (biological diversity atau biodiversity) merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan tingkat keanekaragaman sumberdaya hayati yang meliputi kelimpahan maupun penyebaran pada ekosistem, spesies dan genetik (Watson et al. 1995). Menurut Primack et al. (1998) bahwa keanekaragaman hayati mencakup tiga tingkat pengertian, yaitu tingkat spesies, komunitas dan ekosistem. 13

14 Aspek-aspek yang diamati dalam rangka menganalisis keanekaragaman hayati antara lain adalah jumlah spesies, kelimpahan, penyebaran, dominasi, variasi spesies di dalam suatu habitat dan ekosistem (Magurran 1988). Keanekaragaman habitat merupakan jumlah spesies di dalam suatu habitat atau lahan pertanian (Rice 1992) dan terjadi interaksi antara spesies tersebut (Primack et al. 1998). Menurut Ludwig dan Reynold (1988) bahwa keanekaragaman alfa dapat dikelompokkan menjadi dua komponen yang berbeda, yaitu jumlah total spesies dan kemerataan spesies. Indeks yang menggabungkan kedua komponen tersebut menjadi satu nilai tunggal yang disebut indeks keanekaragaman. Peubah-peubah yang disatukan menjadi suatu nilai tunggal adalah jumlah spesies, kelimpahan relatif spesies dan kemerataan. Dengan demikian prosedur penghitungan keanekaragaman meliputi indeks kekayaan (richness indices), indeks keanekaragaman (diversity indices) dan indeks kemerataan (evenness indices) (Ludwig dan Reynold 1988; Magurran 1988). Indeks kekayaan spesies meng- gambarkan ukuran jumlah spesies pada suatu habitat atau komunitas. Banyaknya indeks yang dapat digunakan untuk menghitung kekayaan spesies antara lain Indeks Margalef, Menhinick dan Hulbert (Ludwig dan Reynolds 1988; Magurran 1988). Indeks keanekaragaman merupakan ukuran keanekaragaman yang ditetapkan berdasarkan struktur kerapatan atau kelimpahan individu dari setiap spesies yang diamati (Ludwig dan Reynold 1988), sedangkan Magurran (1988) menyatakan sebagai kelimpahan spesies (spesies abundance). Indeks keanekaragaman yang telah dikenal antara lain adalah Indeks Berger-Parker dan Indeks Shannon-Wienner. Potensi Mikroorganisme sebagai Agens Pengendali Apabila ada dua jenis mikroorganisme dalam satu tempat maka yang akan terjadi adalah interaksi yang berperan dalam suatu proses untuk mencapai keseimbangan biologi. Beberapa hasil interaksi kedua mikroorganisme tersebut diantaranya adalah merangsang atau menghambat pertumbuhan kedua mikroorganisme, merangsang atau menghambat pertumbuhan spora rehat, menyebabkan kematian bagi mikroorganisme lain dan kadang-kadang interaksinya 14

15 dapat mengakibatkan kerusakan pada tanaman yang menjadi inangnya. Mikroorganisme yang berpotensi sebagai agens antagonis berasal dari berbagai divisi antara lain: bakteri, cendawan, virus maupun mikrofauna predator seperti nematoda, protozoa dan lain-lain. Agens antagonis yang ideal menurut Baker dan Cook (1974), harus memenuhi syarat yang meliputi: 1) tersedia dan berkembang di rhizosfer dan filosfer dalam upaya mencegah infeksi, 2) mampu memproduksi substrat, zat antibiotik beracun yang efektif pada konsentarsi yang rendah apabila diaplikasikan di lapangan dan tidak mudah terdegradasi dengan cepat, 3) antibiotik yang dihasilkan oleh satu agens antagonis harus mampu merangsang perkembangan antagonisme lain, 4) antibiotik yang dihasilkan tidak menyebabkan kerusakan pada tanaman inang, 5) mampu beradaptasi pada kisaran inang yang luas dan dapat diproduksi secara masal untuk diperdagangkan, 6) spora perkecambahan harus muncul cepat atau setidaknya lebih cepat dari pertumbuhan patogen, 7) antagonis harus mampu beradaptasi dari pada patogen terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim. Secara alami di tajuk tanaman (filosfer) dan di dalam tanah (rhizosfer) terdapat beberapa mikroorganisme yang berpotensi mengendalikan patogen cendawan dan bakteri. Pseudomonas kelompok fluorescens selain terdapat di dalam tanah juga relatif tinggi kerapatannya pada permukaan daun. Agens antagonis kelompok ini telah dikembangkan untuk skala laboratorium dan telah dipasarkan sebagai agens biokontrol, misalnya P. fluorescen A506 yang dijual dengan nama dagang BlightBan TM A506 untuk mengendalikan Erwinia amylovora penyebab fire blight pada apel dan pear (Tjahjono 2000). Bakteri kelompok ini dicirikan oleh adanya pigmen berwarna hijau kuning yang digunakan untuk identifikasi serta klasifikasi. P. fluorescen diantaranya memiliki sifat mampu mendominasi pemanfaatan eksudat yang dikeluarkan oleh akar, berkembang biak dengan cepat dan mampu mengkolonisasi daerah perakaran (Schippers et al. 1987). Bakteri antagonis yang pertama diproduksi secara massal dan dikembangkan sebagai agens biokontrol dan telah dipasarkan di Cina, Rusia, USA dan Meksiko pada tahun 1980 adalah Bacillus sp. (Tjahjono 2000). Keunggulan Bacillus jika dibandingkan dengan bakteri antagonis lain adalah mampu menghasilkan endospora yang tahan terhadap suhu tinggi dan rendah, ph ekstrim, pestisida, pupuk dan waktu penyimpanan yang lama. 15

16 Selain bakteri, kelompok mikroorganisme yang juga memiliki potensi sebagai agens biokontrol adalah cendawan. Salah satunya adalah Trichoderma sp. yang merupakan cendawan saprofit yang hidup dalam tanah, yang umumnya sudah digunakan untuk mengendalikan cendawan patogen, tetapi akhir-akhir ini dicoba untuk mengendalikan bakteri patogen (Cook dan Baker 1983). Cendawan Trichoderma sp. dapat mengkoloni sklerotia Rhizoctonia solani (Tronsmo 1996). Paath (1988) melaporkan bahwa hifa Trichoderma sp. bersifat antagonistik terhadap perkembangan bakteri Pseudomonas solanacearum isolat tembakau dan tomat secara in-vitro. Konsep PHT dalam Pertanian Organik Beberapa kebijakan pemerintah yang menunjang pengendalian hama terpadu (PHT) telah dikeluarkan sejak beberapa dekade yang lalu sangat mendukung dalam pelaksanaan pertanian organik. Kebijakan pemerintah dalam usaha pengendalian hama terpadu (PHT) dituangkan dalam REPELITA III tahun 1979/ /1984, yaitu Inpres no. 3 tahun 1986 tentang pelarangan penggunaan 57 formulasi pestisida untuk tanaman padi. Selain itu terdapat Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman yang dilaksanakan dengan sistem pengendalian hama terpadu dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura 1993). Kebijakan pemerintah lainnya yaitu Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan mentargetkan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercemin dengan tersedianya pangan secara cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Karena itu pengembangan pertanian organik merupakan salah satu pilihan dalam menunjang ketahanan pangan lokal (local food security) (Sumarsono 2005). Kebijakan pemerintah tersebut selain digunakan untuk mengamankan produksi juga untuk mengamankan faktor-faktor lingkungan dalam menciptakan pertanian berkelanjutan, aman terhadap pelaksana dan konsumen (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura 1993). Pelaksanaan program pengembangan pertanian organik telah dimulai tahun 2001 dengan Go Organic 2010 dengan misi meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan kelestarian lingkungan Indonesia, dengan mendorong 16

17 berkembangnya pertanian organik yang berdaya saing dan berkelanjutan (Darmadjati 2005). Usaha-usaha untuk menciptakan pertanian berkelanjutan di atas menghadapi berbagai kendala, terutama dalam ekosistem pertanian (agro ekosistem) yang umumnya rentan terhadap kerusakan oleh OPT dan bencana peledakan OPT. Hal ini disebabkan kurangnya keanekaragaman spesies tanaman, spesies serangga atau patogen dan perubahan yang tiba-tiba karena cuaca dan perlakuan petani, tidak seperti halnya dengan ekosistem alami (natural ecosystem) (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura 1993). Pengendalian hama terpadu merupakan cara pengelolaan pertanian dengan setiap keputusan dan tindakan bertujuan meminimalisasi serangan OPT, sehingga mengurangi bahaya terhadap manusia, tanaman dan lingkungan. Sistem PHT memanfaatkan semua teknik dan metode (biologi, genetis, mekanis, fisik dan kimia) dengan cara seharmoni mungkin, untuk mempertahankan populasi hama berada di bawah tingkat yang merugikan secara ekonomis, serta mengurangi biaya perlindungan apabila pengendalian OPT dilakukan dengan pengendalian hayati (Deptan 2005). Dalam sistem pertanian organik, musuh alami berperan dalam menekan laju pertumbuhan hama dan mengatur keseimbangan populasi hama, sehingga konsep PHT yang dipraktekkan dalam sistem pertanian organik searah dengan pembangunan berkelanjutan. Proses penyadaran pentingnya pertanian organik tidak dapat berjalan dalam waktu singkat, harus difasilitasi dengan berbagai kebijakan seperti jaminan pemasaran. Stabilitas harga diupayakan tidak hanya terbatas pada pengelolaan pasar, tetapi peningkatkan kualitas gabah melalui pembangunan lumbung modern (ware house system ). Proses sosialisasi dapat berjalan dengan cepat apabila didukung dengan fasilitas, dana dan sumber daya manusianya. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Desa Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Identifikasi arthropoda dan mikroorgansime dilakukan di Laboratorium Biosistematika Serangga dan Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Penelitian dilaksanakan sejak bulan Januari 2005 sampai dengan bulan Januari

18 Persiapan Lahan Lahan yang digunakan untuk penelitian adalah lahan pertama seluas m² yang digunakan untuk budidaya tanaman padi secara konvensional dan input rendah serta lahan ke-dua seluas m² yang digunakan untuk budidaya tanaman padi secara organik. Pengolahan lahan dilakukan dengan pembajakan oleh kerbau. Selanjutnya dilakukan proses penghalusan tanah dengan menggunakan cangkul dan garu. Untuk mempercepat proses penghalusan tanah dilakukan pengairan. Penanaman Padi Benih padi yang digunakan adalah varietas Cisantana yang berasal dari Balai Benih Padi di Muara, Bogor. Benih dikecambahkan dengan cara direndam dalam air selama sehari. Selanjutnya benih yang sudah berkecambah ditebarkan pada lahan pesemaian yang sudah diolah dalam kondisi berlumpur (tidak tergenang air). Setelah bibit padi berumur hari, bibit siap dipindahkan ke lahan sawah. Penanaman dilakukan dengan cara cabut pindah (transplanting). Bibit ditanam sebanyak 2-3 tanaman/lubang dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm. Perlakuan Percobaan ini terdiri dari empat perlakuan dan empat ulangan. Perlakuan terdiri dari sistem pertanian 1) konvensional (dipupuk dengan urea 200 kg/ha, TSP 100 kg/ha, KCl 100 kg/ha dan aplikasi pestisida Furadan 3 G 20 kg/ha), 2) input rendah (menggunakan bokashi 1 ton/ha, urea 100 kg/ha, TSP 50 kg/ha, KCl 50 kg/ha dan aplikasi pestisida Furadan 3 G 10 kg/ha), 3) organik 5 (dipupuk dengan bokashi 5 ton/ha, tanpa pupuk anorganik dan pestisida sintetik), dan 4) organik 10 (menggunakan bokashi 10 ton/ha, tanpa pupuk anorganik dan pestisida sintetik). Pupuk organik bokashi diaplikasikan setengah bagian pada waktu pengolahan tanah dan sisanya diaplikasikan sehari sebelum tanam. Pupuk NPK (Urea + TSP + KCl) setengah bagian diaplikasikan sehari sebelum tanam dan sisanya diberikan pada saat tanaman berumur sekitar 14 hari setelah tanam (HST). Pengamatan Hama dan Penyakit Pengamatan hama dan penyakit dilakukan pada 45 rumpun contoh per petak yang ditentukan secara diagonal. Perkembangan penyakit dan populasi hama pada 18

19 setiap petak diamati seminggu sekali. Peubah yang diamati meliputi luas serangan dan intensitas serangan hama dan penyakit. Pengamatan pada setiap petak percobaan dilakukan dengan menentukan lima sub petak contoh berukuran 1 m x 1 m yang ditentukan secara diagonal (Gambar 1). Jumlah rumpun tanaman yang diamati adalah 9 tanaman contoh/sub petak contoh (45 rumpun /petak). Gambar 1 Bagan pengambilan subpetak contoh tanaman padi pada satu perlakuan Perkembangan hama dan penyakit dilakukan secara langsung di pertanaman padi dengan menghitung luas dan intensitas serangan hama utama, serta intensitas penyakit utama. Hama dan penyakit utama tanaman padi yang diamati meliputi penggerek batang padi, tungro, kresek, bercak cercospora dan hawar daun padi. Pengamatan dilakukan sebanyak 10 kali dengan interval pengamatan seminggu sekali. Peubah yang diamati meliputi luas serangan dan intensitas serangan hama dan penyakit. Luas serangan hama penggerek batang padi dan tungro dihitung dengan rumus (Direktorat Perlindungan Tanaman 2000): L = n/n x 100% Keterangan : L = Luas serangan (%) n = Jumlah rumpun padi terserang N = Jumlah seluruh rumpun padi yang diamati Intensitas serangan hama, untuk hama pengerek batang padi dihitung dengan rumus: 19

20 I = b/b x 100% Keterangan : I = Intensitas serangan (%) b = Jumlah anakan atau malai yang terserang B = Jumlah anakan atau malai yang diamati Intensitas penyakit kresek, bercak cercospora dan hawar pelepah daun dihitung dengan rumus Towsend & Heuberger (1943) dalam Unterstenhofer (1976): I = Keterangan : n? n. v i Z. N x 100 % I = Tingkat kerusakan padi n = Jumlah rumpun dengan kategori serangan ke-i v = Nilai skala tiap kategori serangan ke-i Z = Skala kategori serangan tertinggi N = Jumlah rumpun yang diamati Kriteria penyakit dihitung berdasarkan katagori sebagai berikut: Tabel 1 Kategori penyakit 1 No. Kategori serangan Skala (v) % kerusakan (x) tidak ada serangan serangan ringan serangan sedang serangan berat serangan sangat berat x = 0 0 < x = < x = < x = < x = 100 Pengamatan Arthropoda Pada setiap lahan pertanian baik konvensional, input rendah dan organik, dilakukan pengambilan sampel serangga dengan jaring serangga (sweep net) dan lubang jebakan (pitfall trap) seperti metode Niemela et al. (1990). Pengambilan sampel serangga dengan jaring serangga dilakukan pada pagi hari pukul 8 sampai 11. Pada setiap petak percobaan ditetapkan lima lokasi yang ditentukan secara diagonal. Pada setiap lokasi contoh dipilih satuan contoh dengan 10 ayunan ganda 20

21 jaring. Lubang jebakan dipasang sebanyak 4 buah per petak perlakuan di pematang sawah. Lubang jebakan berupa wadah plastik (240 ml) yang telah diisi dengan larutan deterjen sebanyak ml yang dipasang di dalam lubang tanah. Bagian tepi wadah diatur sama rata dengan permukaan tanah di sekitarnya dan dibiarkan selama 24 jam. Jebakan dilindungi dari paparan sinar matahari dan curah hujan dengan selembar seng berukuran 20 cm x 20 cm yang ditunjang besi setinggi 15 cm dari permukaan tanah. Pada MT I pengamatan arthropoda dengan jaring serangga dan lubang jebakan dilakukan sebanyak 6 kali pengambilan sampel, sedangkan pada MT II pengamatan arthropoda dengan jaring serangga sebanyak 2 kali pengambilan sampel dan dengan lubang jebakan dilakukan sebanyak 11 kali pengambilan sampel. Arthropoda yang tertangkap dengan jaring serangga dimasukkan ke dalam botol berisi alkohol, kemudian dibersihkan dari kotoran. Arthropoda hasil tangkapan dengan lubang jebakan disaring dengan kain saring kemudian dibersihkan dan dibilas dengan air. Arthropoda yang telah dibersihkan tadi, disimpan dalam tabung film berisi larutan alkohol 70% untuk selanjutnya diidentifikasi di laboratorium. Pengumpulan data dilakukan setiap satu minggu sejak umur tanaman 2 minggu setelah tanam (MST) menjelang panen. Identifikasi arthropoda dilakukan sampai tingkat famili dengan mengacu pada buku Pengenalan Pelajaran Serangga (Borror et al. 1996), The Pest of Crops in Indonesia (Kalshoven 1981) dan The Insect of Australia (Naumann et al. 1996). Pemisahan dilanjutkan dengan memperhatikan perbedaan morfo-spesies (hanya kode). Ukuran keanekaragaman yang menunjukkan proporsi spesies yang paling melimpah di analisis dengan menggunakan rumus Indeks Berger-Parker (d) (Southwood 1980; Magurran 1988). d = N max /N Keterangan : d : Kelimpahan spesies N max : Jumlah individu yang paling dominan N : Jumlah total individu semua spesies Penetapan tingkat keanekaragaman spesies arthropoda dihitung menggunakan indeks keanekaragaman spesies Shannon-Wienner (Magurran 1988). 21

22 H = -? pi ln pi Keterangan: H : Indeks keragaman spesies pi : Proporsi individu yang ditemukan pada spesies ke-i Keragaman maksimum (H max) dapat terjadi bila semua spesies memiliki kelimpahan yang sama, dengan kata lain H /H max /ln (S); dimana S adalah jumlah spesies. Perbandingan antara nilai keragaman yang diperoleh dengan nilai keragaman maksimum adalah nilai evenness (E) yang berkisar antara 0 dan 1. Nilai 1 terjadi apabila semua spesies memiliki kelimpahan yang sama (Magurran 1988): E = H/ln S Keterangan: E : Indeks kemerataan spesies Evenness H : Indeks keragaman spesies S : Jumlah spesies Analisis Mikroorganisme Mikroorganisme penghuni daun (filosfer) dan tanah di sekitar perakaran tanaman padi (rhizosfer) diamati dua kali yaitu pada fase pertumbuhan tanaman vegetatif dan generatif. Contoh daun (1 gr) dan tanah (5 gr) masing-masing dimasukkan ke dalam 50 ml aquades steril dan diaduk secara konstan selama 15 menit. Suspensi yang diperoleh diencerkan sampai 10-4, kemudian diambil sekitar 0,05 ml dan disebar pada media TSA, Kings B dan MA (martin agar). Untuk mengisolasi kelompok bakteri tahan panas, suspensi pengenceran selanjutnya dipanaskan dalam penangas air (clifton boiling bath ) pada suhu 80º C selama 30 menit dan dibiarkan dingin. Suspensi disebar pada media TSA (tryptic soy agar). Mikroba yang tumbuh pada media diidentifikasi berdasarkan bentuk, elevasi, warna dan tepian koloninya dengan mengacu pada buku Introductory Mycology (Alexopoulus dan Mims 1979), dan Methods for The Diagnosis of Bacterial Diseases of Plant (Lelliot dan Stead 1987). Penetapan tingkat keanekaragaman dan indeks kemerataan spesies mikroba dihitung menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wienner dan indeks kemerataan spesies Evenness (Magurran 1988). 22

23 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Lokasi penelitian terletak di Desa Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Desa Situgede terletak pada ketinggian 250 meter di atas permukaan laut. Lahan pengamatan terbagai menjadi dua bagian yaitu bagian selatan merupakan lahan pertanian organik 5 ton/ha dan 10 ton/ha, sedangkan sebelah utara merupakan lahan pertanian input rendah dan konvensional (Lampiran 1). Lingkungan sekitar lahan pertanian organik di sebelah selatan berbatasan dengan hutan kecil dan sungai, sebelah utara aliran air dan jalan umum, sebelah barat berbatasan dengan tanaman padi, talas, kolam ikan dan rumah penduduk, 23

24 sebelah timur berbatasan dan rumah penduduk. Pada lahan input rendah dan konvensional di sebelah selatan berbatasan dengan jalan umum dan pemukiman penduduk, sebelah utara dengan rumah penduduk dan tanaman bengkuang, sebelah barat dengan aliran air, tanaman padi dan rumah penduduk, dan sebelah timur dengan aliran air dan tanaman padi. Data perkembangan curah hujan yang terjadi selama pengamatan disajikan pada lampiran 2. Luas dan Intensitas Serangan Hama dan Penyakit Selama pengamatan ditemukan berbagai jenis hama dan penyakit yang menyerang tanaman padi baik di lahan sawah dengan sistem pengelolaan konvensional, input rendah maupun organik. Di antara hama dan penyakit yang ditemukan, penggerek batang padi, tungro, kresek, bercak cercospora dan hawar pelepah daun padi tampaknya mempunyai kontribusi dalam menurunkan produksi padi, dan oleh karenanya diamati lebih rinci dalam penelitian ini. Penggerek Batang Padi Serangan penggerek batang pada tanaman padi fase vegetatif menyebabkan pucuk tanaman mati akibat aktivitas makan larva dalam batang. Gejala pada fase ini dikenal dengan istilah sundep. Bagian pucuk anakan yang terserang berwarna kuning, kemudian kering dan mati. Tanaman padi yang terserang pada fase generatif, malai tegak dan berwarna putih karena hampa disebut beluk. Selama pengamatan, jenis penggerek batang padi yang paling banyak dijumpai adalah penggerek batang padi kuning Scirpophaga incertulas Walker (Lepidoptera: Pyralidae)(Gambar 2). 24

25 a b c Gambar 2 Gejala tanaman padi yang terserang penggerek batang pad i: (a) sundep, (b) beluk dan (c) larva penggerek batang padi. Luas serangan penggerek batang padi di lahan konvensional, input rendah dan pertanian organik pada dua musim tanam meningkat pada pengamatan 6 sampai 9 MST dan tidak terjadi peningkatan sampai 11 MST (Gambar 3, Lampiran 3 dan 4). Luas serangan relatif tinggi pada sistem budi daya pertanian organik (5 ton/ha dan 10 ton/ha). Hal ini tampaknya karena pada pertanian organik terhadap hama tidak dilakukan aplikasi insektisida sintetik, seperti pada sistem budi daya konvensional dan input rendah yang dilakukan penaburan Furadan 3 G pada tanaman yang terserang setiap musim tanam. Pengendalian dengan bahan kimia sintetik selain dapat menurunkan populasi hama, juga dapat menurunkan populasi parasitoid dan predator dalam jumlah yang sebanding, keadaan tersebut menguntungkan bagi perkembangan hama. Parasitoid 25

26 telur Tetrastichus schoenobii (Hymenoptera: Eulophidae), Telenomus rowani (Hymenoptera: Scelionidae) dan Trichogramma javanicum (Hymenoptera: Trichogrammatidae) merupakan faktor biotik utama dalam mengatur populasi penggerek batang padi pada populasi tinggi. Selain parasitoid, predator Cyrthorhinus lividipennis (Hemiptera: Miridae) dapat menurunkan populasi penggerek batang padi (Wigenasantana 1982). Berkurangnya populasi parasit dan predator karena kelangkaan inang dapat menimbulkan pengaruh yang besar. Keadaan tersebut menunjukkan ketidakseimbangan antara hama dengan musuh alami sehingga hama dapat berkembang pesat dan menimbulkan kerugian ekonomi. Bahan kimia sintetik dalam program pengendalian hama digunakan bila cara pengendalian yang lain yang telah direncanakan gagal sehingga perlu tindakan alternatif terakhir (Wigenasantana 1982). 50 (a) 40 Luas serangan (%) (b) Konvensional Input rendah Organik 5 Organik Minggu setelah tanam Gambar 3 Perkembangan luas serangan penggerek batang padi pada MT I (a) dan MT II (b) pada beberapa sistem budidaya Intensitas serangan hama penggerek batang padi tertinggi juga terjadi pada pertanian organik, sedangkan yang terendah pada konvensional dan input rendah (Gambar 4, Lampiran 5 dan 6). Intensitas serangan yang relatif tinggi ini dapat berpengaruh terhadap penurunan produksi padi. Menurut Direktorat Perlindungan 26

27 Tanaman (2000) bahwa pengendalian sudah harus dilakukan bila serangan penggerek batang padi telah mencapai 10-15%, pengendalian dilakukan hanya pada tanaman-tanaman yang terserang. Intensitas serangan (%) (a) Konvensional Input rendah Organik 5 Organik 10 (b) Minggu setelah tanam Gambar 4 Perkembangan intensitas serangan penggerek batang padi pada MT I (a) dan MT II (b) pada beberapa sistem budidaya Dari kedua musim tanam menunjukkan serangan penggerek batang padi pada MT I relatif lebih tinggi dibandingkan MT II, hal ini diduga karena perbedaan musim. Pada MT I (musim hujan), kelembaban relatif lebih tinggi dari MT II. Menurut Khan dan Murthy (1955 dalam Wigenasantana 1982) bahwa tidak terdapat korelasi positif antara hujan dengan populasi hama, tetapi terdapat korelasi positif antara kelembaban dengan populasi. Tungro Tungro ditularkan oleh wereng hijau, Nephotettix sp. (Hemiptera: Cicadellidae). Rumpun padi yang terinfeksi virus tungro akan tampak kerdil dan anakannya sedikit, daun-daunnya menjadi kuning sampai kuning oranye dan 27

28 kecoklatan mulai dari ujung daun yang muda sampai daun tua (Gambar 5). Tanaman yang terinfeksi pada masa pembibitan dan vegetatif dapat hidup sampai fase pemasakan bulir tetapi masa pembungaan terlambat, malai menjadi kecil dan tidak sempurna. Hal ini menyebabkan panen terlambat dan produksi menjadi rendah. Gambar 5 Gejala penyakit tungro pada tanaman padi Luas serangan tungro pada dua musim tanam meningkat pada setiap pengamatan dan tidak mengalami pertambahan pada pengamatan menjelang panen. Serangan tertinggi tungro terdapat pada pertanian organik 5 ton/ha dan terendah pada sistem budidaya konvensional (Gambar 6, Lampiran 7 dan 8). Perbedaan luas serangan antara keempat perlakuan berkaitan dengan kelimpahan wereng hijau. Dari hasil penangkapan dengan jaring serangga ditemukan populasi wereng hijau tertinggi pada pertanian organik 5 ton/ha, yaitu 144 individu pada MT I dan 98 individu pada MT II pada pengamatan 6 HST, sedangkan pada konvensional dan input rendah populasi wereng hijau yang ditemukan lebih rendah. Tingginya luas serangan penyakit tungro mungkin berhubungan dengan meningkatnya populasi 28

29 30 (a) Luas serangan (%) Konvensional Input rendah Organik 5 Organik 10 (b) Minggu setelah tanam Gambar 6 Perkembangan luas serangan tungro pada MT I (a) dan MT II (b) pada beberapa sistem budidaya wereng hijau sehingga keberadaan inokulum dilapang meningkat yang memungkinkan bagi vektor untuk mengakuisisi virus tungro dan menjadi infektif. Menurut Chiykowski (1981) bahwa proporsi vektor infektif di lapangan sangat menentukan tingkat serangan penyakit yang ditularkan oleh wereng hijau. Tanaman padi yang terserang penyakit tungro akan menjadi kerdil dan pengurangan jumlah anakan. Bulir menjadi berukuran kecil-kecil dan hampa, pembentukan bunga sering terhambat, sehingga mempengaruhi terhadap penurunan produksi padi. Kerugian yang ditimbulkan penyakit tungro cukup besar, karena menyebabkan kehilangan hasil sekitar 20-90% pada sembilan varietas padi rentan yang terinfeksi (Waterworth dan Hadidi 2000). Kresek Penyakit kresek (Xanthomonas camprestris pv oryzae) dapat menginfeksi tanaman padi mulai dari pembibitan sampai tanaman tua. Gejala nampak pada daun berupa bercak kuning sampai putih berawal dari garis lembam berair pada tepi helaian daun (Gambar 7). Bercak bisa mulai pada salah satu atau kedua tepi daun, atau setiap bagian helain daun rusak, dan berkembang hingga seluruh daun. 29

30 Gambar 7 Gambar 7 Gejala penyakit kresek pada tanaman padi Intensitas serangan kresek pada dua musim tanam umumnya lebih tinggi pada sistem budi daya input rendah (Gambar 8, Lampiran 9 dan 10). Hal ini diduga dipengaruhi oleh kelembaban yang tinggi yang mendukung perkembangan penyakit kresek. Jumlah anakan padi lebih banyak pada sistem budi daya input rendah dibandingkan dengan pertanian organik dan konvensional. Intensitas serangan (%) (a) Konvensional Input rendah Organik 5 Organik 10 (b) Minggu setelah tanam Gambar 8 Perkembangan intensitas serangan kresek pada MT I (a) dan MT II (b) pada beberapa sistem budidaya 30

31 Jumlah anakan tanaman padi pada sistem budi daya input rendah adalah 20 anakan/rumpun dan tinggi tanaman 96 cm. Dengan jumlah anakan yang banyak dan tanaman yang tidak terlalu tinggi, memungkinkan bakteri dapat menyebar lebih cepat melalui percikan air, hujan atau penyiangan saat daun basah. Bakteri masuk ke dalam jaringan tanaman melalui lubang alami seperti stomata dan hidatoda serta luka, yang kemudian berkembang dalam ruang antar sel (Sinclair dan Backman 1989; Semangun 1990). Iklim mikro di sekitar tanaman sangat berperan dalam perkembangan penyakit kresek tersebut. Pada pertanian organik, intensitas serangan kresek lebih rendah. Hal ini diduga karena adanya aktivitas agens antagonis. Hal ini sesuai dengan laporan Wibowo et al. (2002) bahwa P. fluorescen yang berada pada bagian tajuk tanaman (filosfer) padi mampu menekan laju infeksi patogen X. campestris pv. oryza. Hal tersebut disebabkan oleh kompetisi atau kolonisasi pada habitat yang sama. Bercak Cercospora Gejala serangan bercak bergaris (Cercospora oryzae) berupa garis terputusputus berwarna kekuningan kemudian menjadi coklat kemerahan pada helaian daun (Gambar 9). Bercak pada awalnya sedikit, bila kelembaban tinggi dapat menutupi seluruh permukaan daun. Gambar 9 Gejala penyakit cercospora pada tanaman padi 31

32 Serangan penyakit bercak cercospora pada kedua musim tanam mulai terjadi pada fase vegetatif (6 MST) dan terus meningkat sampai pengamatan ke-10, dengan intensitas serangan tertinggi pada pertanian organik 10 t/ha (Gambar 10, Lampiran 11 dan 12). (a) 40 Intensitas serangan (%) Konvensional Input rendah Organik 5 Organik 10 (b) Minggu setelah tanam Gambar 10 Perkembangan intensitas serangan bercak cercospora pada MT I (a) dan MT II (b) pada beberapa sistem budidaya Serangan patogen penyakit ini terlihat semakin meningkat dengan bertambahnya umur tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Semangun (1990) bahwa daun tua tanaman padi lebih rentan terhadap penyakit bercak cercospora dibandingkan dengan daun yang muda. Pada tanaman yang muda unsur hara akan lebih difokuskan untuk pembentukan daun, sehingga daun muda lebih kuat terhadap serangan penyakit cercospora. Meningkatnya serangan pada daun tua kemungkinan disebabkan pengaruh unsur hara yang mulai berkurang pada daun, karena unsur hara diutamakan untuk pembentukan malai dan pengisian malai. Penyakit bercak cercospora dapat menjadi masalah karena ketimpangan hara, seperti kekurangan dan kelebihan pupuk nitrogen (Semangun, 1990). Intensitas serangan penyakit ini dipengaruhi juga oleh kelembaban, dimana keadaan teduh dan gelap meningkatkan perkembangan bercak. 32

33 Hawar Pelepah Daun Rhyzoctonia solani, sebagai penyebab penyakit hawar pelepah daun padi, dapat menginfeksi pelepah daun dan batang tanaman padi. Gejala hawar terlihat pada batang padi di atas permukaan air dan pada daun terdapat bercak-bercak keabu-abuan berbentuk oval memanjang, dapat meluas ke seluruh bagian daun dan sampai daun bendera (Gambar 11). Serangan pada tanaman stadia pengisian malai, menyebabkan proses pengisian malai tidak sempurna dan gabah menjadi hampa sehingga menurunkan produksi padi. Gambar 11 Gejala penyakit hawar pelepah daun pada tanaman padi Perkembangan penyakit hawar pelepah daun tampak lebih tinggi pada sistem budi daya konvensional dibandingkan dengan pertanian organik dan input rendah. Penyakit mulai berkembang sejak 6 sampai 10 MST (Gambar 12, Lampiran 13 dan 14). 33

34 Intensitas serangan (%) (a) Konvensional Input rendah Organik 5 Organik 10 (b) Minggu setelah tanam Gambar 12 Perkembangan intensitas serangan hawar pelepah daun pada MT I (a) dan MT II (b) pada beberapa sistem budidaya Rendahnya tingkat serangan penyakit hawar daun pada pertanian organik diduga karena adanya aktivitas mikroorganisme pada kompos yang berpotensi sebagai agens antagonis. Berdasarkan pengamatan mikroorganisme di daun dan tanah tanaman padi, ditemukan bakteri Pseudomonas kelompok fluorescen (2 x coloni forming unit/g) dan bakteri tahan panas (2 x cfu/g sampai 38 x cfu/g dan 849 x 10 5 cfu/g sampai 154 x 10 5 cfu/g), serta cendawan Trichoderma sp. (0,8 x 10 5 cfu/g). Jhonson dan Curl (1972) serta Bulluck dan Ristaino (2002) menyatakan bahwa R. solani sebagai patogen tular tanah dapat tertekan pertumbuhannya dengan adanya penambahan kompos. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan Huang dan Benson (2002) bahwa Pseudomonas spp. dan Bacillus spp. telah teridentifikasi sebagai agens pengendali hayati yang efektif untuk beberapa penyakit yang disebabkan cendawan R. solani. Pada bahan organik yang belum terdekomposisi Trichoderma spp. bersifat sebagai saprofit, tetapi setelah bahan organik mengalami pengomposan Trichoderma spp. menjadi bersifat hiperparasit terhadap R. solani (Hoitink et al. 1996). 34

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sativa L.) PADA BEBERAPA SISTEM BUDIDAYA ABRIANI FENSIONITA

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sativa L.) PADA BEBERAPA SISTEM BUDIDAYA ABRIANI FENSIONITA PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN PADI (Oryza sativa L.) PADA BEBERAPA SISTEM BUDIDAYA ABRIANI FENSIONITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 ABSTRAK ABRIANI FENSIONITA. Perkembangan

Lebih terperinci

serangan organisme penganggu tanaman (OPT), yang jumlahnya mencapai populasi yang membahayakan. Penggunaan insektisida telah menyebabkan terjadinya

serangan organisme penganggu tanaman (OPT), yang jumlahnya mencapai populasi yang membahayakan. Penggunaan insektisida telah menyebabkan terjadinya serangan organisme penganggu tanaman (OPT), yang jumlahnya mencapai populasi yang membahayakan. Penggunaan insektisida telah menyebabkan terjadinya resistensi, timbulnya hama sekunder, musnahnya musuh

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor. Sejarah lahan sebelumnya digunakan untuk budidaya padi konvensional, dilanjutkan dua musim

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL Sistem Pertanian dengan menggunakan metode SRI di desa Jambenenggang dimulai sekitar tahun 2007. Kegiatan ini diawali dengan adanya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Padi (Oryza sativa L.) tergolong ke dalam Famili Poaceae, Sub- family

II. TINJAUAN PUSTAKA. Padi (Oryza sativa L.) tergolong ke dalam Famili Poaceae, Sub- family 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Padi Padi (Oryza sativa L.) tergolong ke dalam Famili Poaceae, Sub- family Oryzoideae dan Genus Oryza. Organ tanaman padi terdiri atas organ vegetatif dan organ generatif.

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian III. TATA CARA PENELITIN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di areal perkebunan kelapa sawit rakyat di Kecamatan Kualuh Hilir Kabupaten Labuhanbatu Utara, Provinsi Sumatera Utara.

Lebih terperinci

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A

PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A PENGARUH MANAJEMEN JERAMI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI SAWAH (Oryza sativa L.) Oleh: MUDI LIANI AMRAH A34104064 PROGRAM STUDI AGRONOMI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lahan persawahan Desa Joho, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo dari bulan Mei hingga November 2012. B. Bahan

Lebih terperinci

HAMA PENYAKIT TANAMAN PADI DAN CARA PENGENDALIANNYA

HAMA PENYAKIT TANAMAN PADI DAN CARA PENGENDALIANNYA HAMA PENYAKIT TANAMAN PADI DAN CARA PENGENDALIANNYA Yurista Sulistyawati BPTP Balitbangtan NTB Disampaikan dalam Workshop Pendampingan UPSUS Pajale, 18 April 2017 PENDAHULUAN Provinsi NTB: Luas panen padi

Lebih terperinci

Oleh : Koiman, SP, MMA (PP Madya BKPPP Bantul)

Oleh : Koiman, SP, MMA (PP Madya BKPPP Bantul) Oleh : Koiman, SP, MMA (PP Madya BKPPP Bantul) PENDAHULUAN Pengairan berselang atau disebut juga intermitten adalah pengaturan kondisi lahan dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian untuk:

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Metode Penelitian Pembuatan Pupuk Hayati

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Metode Penelitian Pembuatan Pupuk Hayati BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi Institut Pertanian Bogor, serta di kebun percobaan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 21 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas Serangan Hama Penggerek Batang Padi (HPBP) Hasil penelitian tingkat kerusakan oleh serangan hama penggerek batang pada tanaman padi sawah varietas inpari 13

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah tanaman pangan utama keempat dunia setelah

I. PENDAHULUAN. Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah tanaman pangan utama keempat dunia setelah 18 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kentang (Solanum tuberosum L.) adalah tanaman pangan utama keempat dunia setelah gandum, jagung dan padi. Di Indonesia kentang merupakan komoditas hortikultura yang

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan waktu penelitian. Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto,

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan waktu penelitian. Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto, III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto, Kasihan, Bantul dan di Laboratorium Penelitian Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

SISTEM BUDIDAYA PADI GOGO RANCAH

SISTEM BUDIDAYA PADI GOGO RANCAH SISTEM BUDIDAYA PADI GOGO RANCAH 11:33 PM MASPARY Selain ditanam pada lahan sawah tanaman padi juga bisa dibudidayakan pada lahan kering atau sering kita sebut dengan budidaya padi gogo rancah. Pada sistem

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3. 1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Oktober 2009 sampai dengan Juli 2010. Penelitian terdiri dari percobaan lapangan dan analisis tanah dan tanaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi terpadu yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi terpadu yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Sawah organik dan non-organik Pertanian organik adalah sistem manajemen produksi terpadu yang menghindari penggunaan pupuk buatan, pestisida kimia dan hasil rekayasa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah (S. coarctata) Secara umum tampak bahwa perkembangan populasi kepinding tanah terutama nimfa dan imago mengalami peningkatan dengan bertambahnya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dimulai dari April 2009 sampai Agustus 2009. Penelitian lapang dilakukan di lahan sawah Desa Tanjung Rasa, Kecamatan Tanjung Sari, Kabupaten Bogor,

Lebih terperinci

Petunjuk Teknis Budidaya Tanaman Padi Hibrida

Petunjuk Teknis Budidaya Tanaman Padi Hibrida Petunjuk Teknis Budidaya Tanaman Padi Hibrida Oleh : Dandan Hendayana, SP (PPL Kec. Cijati Cianjur) Saat ini tanaman padi hibrida merupakan salah satu alternatif pilihan dalam upaya peningkatan produksi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2011 Maret 2012. Persemaian dilakukan di rumah kaca Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. cruciferae yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Sawi memiliki nilai gizi yang

I. PENDAHULUAN. cruciferae yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Sawi memiliki nilai gizi yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kesadaran manusia akan kesehatan menjadi salah satu faktor kebutuhan sayur dan buah semakin meningkat. Di Indonesia tanaman sawi merupakan jenis sayuran

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan Produktivitas Padi di Indonesia dan Permasalahannya

TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan Produktivitas Padi di Indonesia dan Permasalahannya TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Produktivitas Padi di Indonesia dan Permasalahannya Padi merupakan komoditas strategis yang mendapat prioritas penanganan dalam pembangunan pertanian. Berbagai usaha telah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Kedelai Berdasarkan klasifikasi tanaman kedelai kedudukan tanaman kedelai dalam sistematika tumbuhan (taksonomi) diklasifikasikan sebagai berikut (Cahyono, 2007):

Lebih terperinci

PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT

PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT PENGARUH SISTIM TANAM MENUJU IP PADI 400 TERHADAP PERKEMBANGAN HAMA PENYAKIT Handoko Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur ABSTRAK Lahan sawah intensif produktif terus mengalami alih fungsi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hama dapat berupa penurunan jumlah produksi dan penurunan mutu produksi.

I. PENDAHULUAN. hama dapat berupa penurunan jumlah produksi dan penurunan mutu produksi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Padi merupakan komoditas strategis yang selalu mendapatkan prioritas penanganan dalam pembangunan pertanian. Upaya meningkatkan produksi padi terutama ditujukan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hama dan Penyakit pada Tanaman Pangan Page 1 Tanaman Padi

BAB I PENDAHULUAN. Hama dan Penyakit pada Tanaman Pangan Page 1 Tanaman Padi BAB I PENDAHULUAN Pentingnya padi sebagai sumber utama makanan pokok dan dalam perekonomian bangsa indonesia tidak seorangpun yang menyangsikannya. Oleh karena itu setiap faktor yang mempengaruhi tingkat

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA A. MUBARRAK

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA A. MUBARRAK PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA A. MUBARRAK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK A. MUBARRAK. Perkembangan Hama dan Penyakit Tanaman

Lebih terperinci

Waspada Serangan Hama Tanaman Padi Di Musim Hujan Oleh : Bambang Nuryanto/Suharna (BB Padi-Balitbangtan)

Waspada Serangan Hama Tanaman Padi Di Musim Hujan Oleh : Bambang Nuryanto/Suharna (BB Padi-Balitbangtan) Waspada Serangan Hama Tanaman Padi Di Musim Hujan Oleh : Bambang Nuryanto/Suharna (BB Padi-Balitbangtan) Memasuki musim hujan tahun ini, para petani mulai sibuk mempersiapkan lahan untuk segera mengolah

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA CABAI MERAH

IDENTIFIKASI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA CABAI MERAH IDENTIFIKASI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA CABAI MERAH Nurbaiti Pendahuluan Produktifitas cabai di Aceh masih rendah 10.3 ton/ha (BPS, 2014) apabila dibandingkan dengan potensi produksi yang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Fauna Tanah 4.1.1. Populasi Total Fauna Tanah Secara umum populasi total fauna tanah yaitu mesofauna dan makrofauna tanah pada petak dengan jarak pematang sempit (4 m)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional di masa yang akan datang

I. PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional di masa yang akan datang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional di masa yang akan datang dan mencukupi kebutuhan pangan Indonesia memerlukan peningkatan produksi padi

Lebih terperinci

Ciparay Kabupaten Bandung. Ketinggian tempat ±600 m diatas permukaan laut. dengan jenis tanah Inceptisol (Lampiran 1) dan tipe curah hujan D 3 menurut

Ciparay Kabupaten Bandung. Ketinggian tempat ±600 m diatas permukaan laut. dengan jenis tanah Inceptisol (Lampiran 1) dan tipe curah hujan D 3 menurut III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Percobaan Penelitian dilaksanakan di lahan sawah Sanggar Penelitian Latihan dan Pengembangan Pertanian (SPLPP) Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran Unit

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Tinjauan Agronomis Padi merupakan salah satu varietas tanaman pangan yang dapat dibudidayakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Padi Tanaman padi merupakan tanaman tropis, secara morfologi bentuk vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun berbentuk pita dan berbunga

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor mulai bulan Februari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peranan penting dalam pembangunan nasional. Keberhasilan pembangunan

I. PENDAHULUAN. peranan penting dalam pembangunan nasional. Keberhasilan pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian tanaman pangan merupakan sektor pertanian yang memegang peranan penting dalam pembangunan nasional. Keberhasilan pembangunan sektor pertanian

Lebih terperinci

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN

VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN VI ANALISIS KERAGAAN USAHATANI KEDELAI EDAMAME PETANI MITRA PT SAUNG MIRWAN 6.1. Analisis Budidaya Kedelai Edamame Budidaya kedelai edamame dilakukan oleh para petani mitra PT Saung Mirwan di lahan persawahan.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat 10 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilakukan di lahan sawah Desa Situgede, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor dengan jenis tanah latosol. Lokasi sawah berada pada ketinggian tempat 230 meter

Lebih terperinci

PENYIAPAN BIBIT UBIKAYU

PENYIAPAN BIBIT UBIKAYU PENYIAPAN BIBIT UBIKAYU Ubi kayu diperbanyak dengan menggunakan stek batang. Alasan dipergunakan bahan tanam dari perbanyakan vegetatif (stek) adalah selain karena lebih mudah, juga lebih ekonomis bila

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penapisan ketahanan 300 galur padi secara hidroponik 750 ppm Fe. Galur terpilih. Galur terpilih

BAHAN DAN METODE. Penapisan ketahanan 300 galur padi secara hidroponik 750 ppm Fe. Galur terpilih. Galur terpilih BAHAN DAN METODE Ruang Lingkup Penelitian Penelitian tentang penapisan galur-galur padi (Oryza sativa L.) populasi RIL F7 hasil persilangan varietas IR64 dan Hawara Bunar terhadap cekaman besi ini dilakukan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Bahan Waktu dan Tempat Penelitian Rancangan Percobaan ProsedurPenelitian

BAHAN DAN METODE Bahan Waktu dan Tempat Penelitian Rancangan Percobaan ProsedurPenelitian 11 BAHAN DAN METODE Bahan Bahan tanaman yang digunakan adalah benih jagung hibrida varietas BISI 816 produksi PT. BISI International Tbk (Lampiran 1) dan benih cabai merah hibrida varietas Wibawa F1 cap

Lebih terperinci

b) Kepik Mirid (Cyrtorhinus lividipennis ) c) Kumbang Stacfilinea (Paederus fuscipes)/tomcat d) Kumbang Carabid (Ophionea nigrofasciata)

b) Kepik Mirid (Cyrtorhinus lividipennis ) c) Kumbang Stacfilinea (Paederus fuscipes)/tomcat d) Kumbang Carabid (Ophionea nigrofasciata) Wereng batang cokelat (Nilaparvata lugens) merupakan salah satu hama penting pada pertanaman padi karena mampu menimbulkan kerusakan baik secara langsung maupun tidak langsung. WBC memang hama laten yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Budidaya Cabai Keriting Hibrida TM 999 secara Konvensional dan PHT

HASIL DAN PEMBAHASAN Budidaya Cabai Keriting Hibrida TM 999 secara Konvensional dan PHT HASIL DAN PEMBAHASAN Budidaya Cabai Keriting Hibrida TM 999 secara Konvensional dan PHT Budidaya konvensional merupakan budidaya cabai yang menggunakan pestisida kimia secara intensif dalam mengendalikan

Lebih terperinci

MENINGKATKAN PROUKSI PADI DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI HEMAT AIR

MENINGKATKAN PROUKSI PADI DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI HEMAT AIR MENINGKATKAN PROUKSI PADI DENGAN PENERAPAN TEKNOLOGI HEMAT AIR Oleh : Ir. Indra Gunawan Sabaruddin Tanaman Padi (Oryza sativa L.) adalah tanaman penting karena merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

Menembus Batas Kebuntuan Produksi (Cara SRI dalam budidaya padi)

Menembus Batas Kebuntuan Produksi (Cara SRI dalam budidaya padi) Menembus Batas Kebuntuan Produksi (Cara SRI dalam budidaya padi) Pengolahan Tanah Sebagai persiapan, lahan diolah seperti kebiasaan kita dalam mengolah tanah sebelum tanam, dengan urutan sebagai berikut.

Lebih terperinci

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung.

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung. I. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung. Waktu penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2010 sampai dengan panen sekitar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Stabilitas Galur Sidik ragam dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap karakter pengamatan. Perlakuan galur pada percobaan ini memberikan hasil berbeda nyata pada taraf

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Laju Dekomposisi Jerami Padi pada Plot dengan Jarak Pematang 4 meter dan 8 meter Laju dekomposisi jerami padi pada plot dengan jarak pematang 4 m dan 8 m disajikan pada Tabel

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS PENGKAJIAN VARIETAS UNGGUL PADI RAWA PADA 2 TIPE LAHAN RAWA SPESIFIK BENGKULU

PETUNJUK TEKNIS PENGKAJIAN VARIETAS UNGGUL PADI RAWA PADA 2 TIPE LAHAN RAWA SPESIFIK BENGKULU PETUNJUK TEKNIS PENGKAJIAN VARIETAS UNGGUL PADI RAWA PADA 2 TIPE LAHAN RAWA SPESIFIK BENGKULU BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN BENGKULU BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN BADAN

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Agustus 2010. Penelitian dilakukan di lahan percobaan NOSC (Nagrak Organic S.R.I. Center) Desa Cijujung,

Lebih terperinci

BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA 1. PERENCANAAN TANAM 1. Pemilihan lokasi tanam 2. Sistem tanam 3. Pola tanam 4. Waktu tanam 5. Pemilihan varietas Perencanaan Persyaratan Tumbuh

Lebih terperinci

TEKNIK BUDIDAYA PADI DENGAN METODE S.R.I ( System of Rice Intensification ) MENGGUNAKAN PUPUK ORGANIK POWDER 135

TEKNIK BUDIDAYA PADI DENGAN METODE S.R.I ( System of Rice Intensification ) MENGGUNAKAN PUPUK ORGANIK POWDER 135 TEKNIK BUDIDAYA PADI DENGAN METODE S.R.I ( System of Rice Intensification ) MENGGUNAKAN PUPUK ORGANIK POWDER 135 PUPUK ORGANIK POWDER 135 adalah Pupuk untuk segala jenis tanaman yang dibuat dari bahan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kabupaten Klaten merupakan salah satu sentra produksi beras di Indonesia. Saat ini, lebih dari 8% hasil produksi pertanian pangan di kabupaten Klaten adalah beras. Budidaya padi dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Intensitas serangannya dapat mencapai 90% di lapang, sehingga perlu

BAB I PENDAHULUAN. Intensitas serangannya dapat mencapai 90% di lapang, sehingga perlu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggerek batang padi adalah salah satu hama utama pada tanaman padi. Intensitas serangannya dapat mencapai 90% di lapang, sehingga perlu mendapatkan perhatian serius.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemupukan pada Tanaman Tomat 2.1.1 Pengaruh Aplikasi Pupuk Kimia Subhan dkk. (2005) menyatakan bahwa pertumbuhan vegetatif dan generatif pada tanaman tomat tertinggi terlihat pada

Lebih terperinci

Mengukur Serangan Penyakit Terbawah Benih (Hawar Daun) Pada Pertanaman Padi

Mengukur Serangan Penyakit Terbawah Benih (Hawar Daun) Pada Pertanaman Padi Mengukur Serangan Penyakit Terbawah Benih (Hawar Daun) Pada Pertanaman Padi Penyakit hawar daun yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas campestris pv. Oryzae termasuk penyakit utama yang menyerang tanaman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada abad 21 ini masyarakat mulai menyadari adanya bahaya penggunaan bahan kimia sintetis dalam bidang pertanian. Penggunaan bahan kimia sintesis tersebut telah menyebabkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Kacang Hijau Kacang hijau (Vigna radiata L.) merupakan salah satu komoditas tanaman kacang-kacangan yang banyak dikonsumsi rakyat Indonesia. Kacang hijau termasuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kandungan Hara Tanah Analisis kandungan hara tanah pada awal percobaan maupun setelah percobaan dilakukan untuk mengetahui ph tanah, kandungan C-Organik, N total, kandungan

Lebih terperinci

APLIKASI MODEL PERAMALAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN TANAMAN PADI

APLIKASI MODEL PERAMALAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN TANAMAN PADI APLIKASI MODEL PERAMALAN ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN TANAMAN PADI Oleh: Edi Suwardiwijaya Balai Besar Peramalan Organisme Pengganggu Tumbuhan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Jl. Raya Kaliasin. Tromol

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung di Desa Muara Putih Kecamatan Natar Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

DENGAN HIBRIDA HASIL PRODUKSI PADI MENINGKAT

DENGAN HIBRIDA HASIL PRODUKSI PADI MENINGKAT DENGAN HIBRIDA HASIL PRODUKSI PADI MENINGKAT Penerapan Padi Hibrida Pada Pelaksanaan SL - PTT Tahun 2009 Di Kecamatan Cijati Kabupaten Cianjur Jawa Barat Sekolah Lapang (SL) merupakan salah satu metode

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh membentuk rumpun dengan tinggi tanaman mencapai 15 40 cm. Perakarannya berupa akar

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan 9 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di Desa Situ Gede Kecamatan Bogor Barat, Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2009 Februari 2010. Analisis tanah dilakukan

Lebih terperinci

Teknik Budidaya Kubis Dataran Rendah. Untuk membudidayakan tanaman kubis diperlukan suatu tinjauan syarat

Teknik Budidaya Kubis Dataran Rendah. Untuk membudidayakan tanaman kubis diperlukan suatu tinjauan syarat Teknik Budidaya Kubis Dataran Rendah Oleh : Juwariyah BP3K garum 1. Syarat Tumbuh Untuk membudidayakan tanaman kubis diperlukan suatu tinjauan syarat tumbuh yang sesuai tanaman ini. Syarat tumbuh tanaman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. udara yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah 25-27º C pada siang

II. TINJAUAN PUSTAKA. udara yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah 25-27º C pada siang 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Umum Tanaman Cabai Tanaman cabai mempunyai daya adaptasi yang cukup luas. Tanaman ini dapat diusahakan di dataran rendah maupun dataran tinggi sampai ketinggian 1400

Lebih terperinci

Pupuk Organik Powder 135 (POP 135 Super TUGAMA)

Pupuk Organik Powder 135 (POP 135 Super TUGAMA) Penggunaan pupuk kimia atau bahan kimia pada tanaman, tanpa kita sadari dapat menimbulkan berbagai macam penyakit seperti terlihat pada gambar di atas. Oleh karena itu beralihlah ke penggunaan pupuk organik

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Selatan yang diketahui memiliki jenis tanah Ultisol dan Laboratorium Ilmu Tanah

III. BAHAN DAN METODE. Selatan yang diketahui memiliki jenis tanah Ultisol dan Laboratorium Ilmu Tanah 18 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung di Desa Muara Putih Kecamatan Natar Kabupaten

Lebih terperinci

Persyaratan Lahan. Lahan hendaknya merupakan bekas tanaman lain atau lahan yang diberakan. Lahan dapat bekas tanaman padi tetapi varietas yang

Persyaratan Lahan. Lahan hendaknya merupakan bekas tanaman lain atau lahan yang diberakan. Lahan dapat bekas tanaman padi tetapi varietas yang PRODUKSI BENIH PADI Persyaratan Lahan Lahan hendaknya merupakan bekas tanaman lain atau lahan yang diberakan. Lahan dapat bekas tanaman padi tetapi varietas yang ditanam sama, jika lahan bekas varietas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah

I. PENDAHULUAN. Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah gandum dan padi. Di Indonesia sendiri, jagung dijadikan sebagai sumber karbohidrat kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya kandungan karotin, Vitamin A, Vitamin B dan Vitamin C. Oleh karena itu,

BAB I PENDAHULUAN. adanya kandungan karotin, Vitamin A, Vitamin B dan Vitamin C. Oleh karena itu, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sayuran sangat erat hubungannya dengan kesehatan, sebab sayuran banyak mengandung vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh terutama adanya kandungan karotin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki pasar global, persyaratan produk-produk pertanian ramah

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki pasar global, persyaratan produk-produk pertanian ramah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan ilmu pengetahuan dan penerapan teknologi budidaya tanaman yang dilakukan perlu berorientasi pada pemanfaatan sumber daya alam yang efektif penggunaannya, sehingga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pertanian Menurut Mubyarto (1995), pertanian dalam arti luas mencakup pertanian rakyat atau pertanian dalam arti sempit disebut perkebunan (termasuk didalamnya perkebunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Teknologi pertanian, khususnya dalam pengendalian penyakit tanaman di

BAB I PENDAHULUAN. Teknologi pertanian, khususnya dalam pengendalian penyakit tanaman di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Teknologi pertanian, khususnya dalam pengendalian penyakit tanaman di Indonesia masih banyak mengandalkan penggunaan pestisida. Penggunaan pestisida yang tidak bijaksana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Padi merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun. Tanaman ini berasal

II. TINJAUAN PUSTAKA. Padi merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun. Tanaman ini berasal II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Padi Padi merupakan tanaman pangan berupa rumput berumpun. Tanaman ini berasal dari benua Asia dan Afrika Barat tropis dan subtropis. Pertumbuhan tanaman padi dibagi menjadi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tabel 1 Kombinasi perlakuan yang dilakukan di lapangan

BAHAN DAN METODE. Tabel 1 Kombinasi perlakuan yang dilakukan di lapangan 13 BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor serta di Laboratorium Bakteriologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

Gambar 1 Diagram alir kegiatan penelitian.

Gambar 1 Diagram alir kegiatan penelitian. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Desa Harjobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi penelitian berada pada ketinggian 343 meter

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada di lahan sawah milik warga di Desa Candimas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada di lahan sawah milik warga di Desa Candimas 16 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada di lahan sawah milik warga di Desa Candimas Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan. Penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

Pengendalian Penyakit pada Tanaman Jagung Oleh : Ratnawati

Pengendalian Penyakit pada Tanaman Jagung Oleh : Ratnawati Pengendalian Penyakit pada Tanaman Jagung Oleh : Ratnawati Tanaman jagung disamping sebagai bahan baku industri pakan dan pangan pada daerah tertentu di Indonesia dapat juga sebagai makanan pokok. Karena

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung (POLINELA). Waktu

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung (POLINELA). Waktu III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung (POLINELA). Waktu penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2011 sampai dengan panen sekitar

Lebih terperinci

1 Menerapkan pola tanam yang teratur dan waktu tanam yang serempak (tidak lebih dari 2 minggu)

1 Menerapkan pola tanam yang teratur dan waktu tanam yang serempak (tidak lebih dari 2 minggu) Hama dan penyakit merupakan cekaman biotis yang dapat mengurangi hasil dan bahkan dapat menyebabkan gagal panen. Oleh karena itu untuk mendapatkan hasil panen yang optimum dalam budidaya padi, perlu dilakukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Padi termasuk golongan tumbuhan Graminae dengan batang yang tersusun

II. TINJAUAN PUSTAKA. Padi termasuk golongan tumbuhan Graminae dengan batang yang tersusun II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Padi Padi termasuk golongan tumbuhan Graminae dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas. Ruas-ruas itu merupakan bubung atau ruang kosong. Panjang tiap ruas

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di lahan sawah Desa Parakan, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor dan di Laboratorium Ekofisiologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas

Lebih terperinci

TEKNIK BUDIDAYA TOMAT

TEKNIK BUDIDAYA TOMAT TEKNIK BUDIDAYA TOMAT 1. Syarat Tumbuh Budidaya tomat dapat dilakukan dari ketinggian 0 1.250 mdpl, dan tumbuh optimal di dataran tinggi >750 mdpl, sesuai dengan jenis/varietas yang diusahakan dg suhu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Pertanian Organik Saat ini untuk pemenuhan kebutuhan pangan dari sektor pertanian mestinya sudah mengarah pada pertanian yang mempertahankan keseimbangan lingkungan.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Limbah Cair Industri Tempe. pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karna tidak

TINJAUAN PUSTAKA. A. Limbah Cair Industri Tempe. pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karna tidak II. TINJAUAN PUSTAKA A. Limbah Cair Industri Tempe Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses industri maupun domestik (rumah tangga), yang lebih di kenal sebagai sampah, yang kehadiranya

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. cendawan MVA, sterilisasi tanah, penanaman tanaman kedelai varietas Detam-1.

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. cendawan MVA, sterilisasi tanah, penanaman tanaman kedelai varietas Detam-1. IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan, yakni perbanyakan inokulum cendawan MVA, sterilisasi tanah, penanaman tanaman kedelai varietas Detam-1. Perbanyakan inokulum

Lebih terperinci

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabai rawit (Capsicum frutescens L.) merupakan salah satu tanaman hortikultura dari jenis sayuran yang memiliki buah kecil dengan rasa yang pedas. Cabai jenis ini dibudidayakan

Lebih terperinci

Komponen PTT Komponen teknologi yang telah diintroduksikan dalam pengembangan usahatani padi melalui pendekatan PTT padi rawa terdiri dari:

Komponen PTT Komponen teknologi yang telah diintroduksikan dalam pengembangan usahatani padi melalui pendekatan PTT padi rawa terdiri dari: AgroinovasI Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Rawa Meningkatkan Produktivitas Dan Pendapatan Petani Di Lampung, selain lahan sawah beririgasi teknis dan irigasi sederhana, lahan rawa juga cukup potensial

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat

I. PENDAHULUAN. Jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jagung termasuk bahan pangan penting karena merupakan sumber karbohidrat kedua setelah beras. Bahkan di beberapa daerah di Indonesia, jagung dijadikan sebagai

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. besar masyarakat Indonesia. Menurut Puslitbangtan (2004 dalam Brando,

I PENDAHULUAN. besar masyarakat Indonesia. Menurut Puslitbangtan (2004 dalam Brando, I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini beras masih merupakan pangan utama bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Menurut Puslitbangtan (2004 dalam Brando, 2007) kebutuhan beras dari tahun-ketahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max [L.] Merr.) merupakan tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung. Kebutuhan kedelai terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dibudidayakan. Padi termasuk dalam suku padi-padian (Poaceae) dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dibudidayakan. Padi termasuk dalam suku padi-padian (Poaceae) dan 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Padi Padi merupakan tanaman pertanian kuno yang sampai saat ini terus dibudidayakan. Padi termasuk dalam suku padi-padian (Poaceae) dan merupakan tanaman pangan yang dapat

Lebih terperinci

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep)

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep) HAMA PENGGEREK BATANG PADI DAN CARA PENGENDALIANNYA Status Penggerek batang padi merupakan salah satu hama utama pada pertanaman padi di Indonesia. Berdasarkan luas serangan pada tahun 2006, hama penggerek

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L) Meriill) merupakan salah satu komoditi tanaman yang

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max (L) Meriill) merupakan salah satu komoditi tanaman yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max (L) Meriill) merupakan salah satu komoditi tanaman yang penting dalam pertanian di Indonesia karena memiliki berbagai manfaat, baik

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukabanjar Kecamatan Gedong Tataan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukabanjar Kecamatan Gedong Tataan 21 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukabanjar Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran dan Laboratorium Agronomi Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

PRINSIP AGRONOMIK BUDIDAYA UNTUK PRODUKSI BENIH. 15/04/2013

PRINSIP AGRONOMIK BUDIDAYA UNTUK PRODUKSI BENIH. 15/04/2013 PRINSIP AGRONOMIK BUDIDAYA UNTUK PRODUKSI BENIH 1 BUDIDAYA UNTUK PRODUKSI BENIH Budidaya untuk produksi benih sedikit berbeda dengan budidaya untuk produksi non benih, yakni pada prinsip genetisnya, dimana

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. melalui penerapan solarisasi tanah dan aplikasi agen hayati Trichoderma

BAB III MATERI DAN METODE. melalui penerapan solarisasi tanah dan aplikasi agen hayati Trichoderma 19 BAB III MATERI DAN METODE 3.1. Materi Penelitian Penelitian mengenai pengendalian penyakit hawar daun pada kentang melalui penerapan solarisasi tanah dan aplikasi agen hayati Trichoderma harzianum telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit layu fusarium yang disebabkan oleh jamur patogen Fusarium sp.

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit layu fusarium yang disebabkan oleh jamur patogen Fusarium sp. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit layu fusarium yang disebabkan oleh jamur patogen Fusarium sp. merupakan salah satu penyakit yang sering menyerang tanaman pertanian termasuk tanaman

Lebih terperinci