STUDI TENTANG SEBARAN TITIK PANAS (HOTSPOT) SEBAGAI PENDUGA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROPINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2003 DAN TAHUN 2004

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "STUDI TENTANG SEBARAN TITIK PANAS (HOTSPOT) SEBAGAI PENDUGA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROPINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2003 DAN TAHUN 2004"

Transkripsi

1 STUDI TENTANG SEBARAN TITIK PANAS (HOTSPOT) SEBAGAI PENDUGA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROPINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2003 DAN TAHUN 2004 Oleh : SETYA CANDRA HERYALIANTO E PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

2 STUDI TENTANG SEBARAN TITIK PANAS (HOTSPOT) SEBAGAI PENDUGA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI PROPINSI KALIMANTAN BARAT TAHUN 2003 DAN TAHUN 2004 Setya Candra Heryalianto Karya Ilmiah Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

3 RINGKASAN Setya Candra Heryalianto. Studi Tentang Sebaran Titik Panas (HOTSPOT) Sebagai Penduga Kebakaran Hutan dan Lahan di Propinsi Kalimantan Barat Tahun 2003 dan Tahun Dibimbing oleh Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo M.Agr. Setiap tahun hampir bisa dipastikan di propinsi Kalimantan Barat terjadi kebakaran hutan dan lahan yang seringkali mengkambinghitamkan keadaan iklim sebagai penyebabnya, meskipun diketahui selain faktor alami, faktor manusia sangat berperan dalam terjadinya kebakaran hutan dan lahan ini. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian, seberapa jauh keadaan alam dapat mempengaruhi terjadinya kebakaran. Dalam hal ini faktor alami tersebut dilihat dari nilai KBDI. Berdasarkan hasil penghitungan jumlah titik panas di Kalimantan Barat tahun 2003 dan tahun 2004, diketahui bulan yang memiliki jumlah titik panas yang ekstrim yaitu bulan Agustus, September dan Oktober. Dengan demikian dapat diduga peluang terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang paling tinggi di propinsi Kalimantan Barat terjadi pada bulan Agustus, September dan Oktober. Pembandingan nilai KBDI dengan jumlah titik panas dilakukan dengan cara grafis dan penghitungan nilai korelasi (r). Pada tahun 2003, terlihat pola grafik jumlah titik panas mengikuti pola rata-rata KBDI bulanan. Begitupun nilai korelasi bernilai sedang serta bertanda positif yang berarti bahwa hubungan antara peningkatan nilai KBDI tidak diikuti dengan penurunan jumlah titik panas. Pada tahun 2004, meskipun memiliki nilai r yang cukup besar, pola grafik menunjukan jumlah titik panas yang tidak lazim dibandingkan dengan peningkatan nilai KBDI. Dari hasil perbandingan ini terlihat bahwa terjadinya kebakaran bukan disebabkan oleh faktor alami. Diduga kebakaran yang terjadi lebih dikarenakan adanya pembakaran hutan, baik untuk pembukaan ataupun penyiapan lahan. Pada areal penutupan lahan didapatkan hasil bahwa HPH memiliki jumlah panas tertinggi untuk tahun 2003 dan pada tahun 2004 puncak sebaran titik panas berada pada perkebunan. Jumlah titik panas di kabupaten tahun 2003 dan tahun

4 2004 menunjukan bahwa Kabupaten Sintang memiliki jumlah titik panas yang lebih dominan dibandingkan kabupaten lain. Jumlah titik panas yang tinggi selalu diikuti dengan peningkatan nilai KBDI tahunan maupun bulanan, akan tetapi antara besarnya peningkatan nilai KBDI dan jumlah titik panas yang terdeteksi tidak berimbang bahkan tidak lazim. Hal tersebut diduga karena kebakaran yang terjadi di Kalimantan Barat akibat dari pembakaran untuk pembukaan hutan dan lahan.

5 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kota Kediri pada tanggal 11 Juli 1983 merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak Yulianto dan Ibu Mukar Hartati. Pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1988 di TK Perba Mojoroto Kediri, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SD Negeri Sukorame II Kediri dan lulus pada tahun 1995, pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SLTPN 6 Kediri dan lulus pada tahun Selanjutnya penulis menjalani pendidikan di SMUN 5 Kediri dan lulus pada tahun Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2001 melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan memilih Program Studi Budidaya Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Pada tahun 2004 penulis melakukan Praktek Umum Kehutanan (PUK) di BKPH Rawa Timur, KPH Banyumas Barat dan BKPH Gunung Selamet, KPH Banyumas Timur dan Praktek Umum Pengelolaan Hutan (PUPH) di Getas, kampus praktek lapang Universitas Gajah Mada. Pada Bulan Februari-April tahun 2005, penulis mengikuti Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Sebangun Bumi Andalas (SBA) Palembang Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan diantaranya, Forest Manajemen Student Club (FMSC) pada tahun , aktif di organisasi kedaerahan yaitu KAMAJAYA (Keluarga Mahasiswa Jaya Baya Kediri). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB, Penulis melakukan penelitian dengan judul Studi Tentang Sebaran Titik Panas (HOTSPOT) Sebagai Penduga Kebakaran Hutan dan Lahan di Propinsi Kalimantan Barat Tahun 2003 dan Tahun 2004 dibawah bimbingan Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr.

6 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi rahmat dan hidayah-nya sehingga penulisan ini dapat diselesaikan. Sholawat beserta salam penulis haturkan kepada Nabi Muhamad SAW sebagai suri tauladan bagi seluruh umat manusia. Proposal penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk melaksanakan penelitian dalam rangka penulisan skripsi sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Usulan penelitian ini berjudul Studi Tentang Titik Panas (Hotspot) Sebagai penduga Kebakaran Hutan Dan Lahan Di Propinsi Kalimantan Barat Tahun 2003 Dan Tahun Di Indonesia bencana kebakaran hutan menjadi langganan setiap tahun di daerah seperti Kalimantan dan Riau. Salah satu kegiatan pencegahan adalah melalui Early Detection System (Sistem Deteksi Dini) yang menggunakan data hotspot. Dengan adanya hotspot maka pengendalian kebakaran hutan dan lahan di lapangan dapat segera dilakukan. Penulis berharap proposal penelitian ini berguna bagi semua pihak. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M. Agr yang telah membimbing dari persiapan sampai akhir penyusunan penelitian ini. Bogor, Agustus 2006 Penulis

7 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI i DAFTAR TABEL.... iii DAFTAR GAMBAR.... iv DAFTAR LAMPIRAN... v I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Tujuan C. Manfaat II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kebakaran Hutan Pengertian Umum Kebakaran Hutan Tipe Kebakaran Hutan Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan Faktor-faktor Pendukung Kebakaran Hutan Dampak Kebakaran Hutan B. Titik Panas (Hotspot) C. Indeks Kekeringan Keetch dan Byram III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian B. Bahan dan Alat Penelitian C. Pelaksanaan Penelitian IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Geografi B. Jenis Tanah C. Iklim D. Administrasi Pemerintahan E. Daerah Rawan Kebakaran V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil B. Pembahasan

8 VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 46

9 DAFTAR TABEL No Teks Halaman 1. Kriteria Kerawanan Kebakaran Berdasarkan KBDI Sebaran Titik Panas (Hotspot) di Kalimantan Barat Tipe Penggunaan Lahan Jumlah Titik Panas Bulanan Kabupaten Sintang Propinsi Kalimantan Barat Tahun Jumlah Titik Panas Bulanan Kabupaten Sintang Propinsi Kalimantan Barat Tahun

10 DAFTAR GAMBAR No Teks Halaman 1. Segitiga Api Grafik Jumlah Sebaran Titik Panas Bulanan Propinsi Kalimantan Barat Tahun 2001 dan Tahun Grafik Jumlah Sebaran Titik Panas Bulanan Pada Areal Penutupan Lahan di Propinsi Kalimantan Barat Tahun Grafik Jumlah Sebaran Titik Panas Bulanan Pada Areal Penutupan Lahan di Propinsi Kalimantan Barat tahun Grafik Jumlah Sebaran Titik Panas Bulanan Pada Beberapa Kabupaten di Propinsi Kalimantan Barat Tahun Grafik Jumlah Sebaran Titik Panas Bulanan Pada Beberapa Kabupaten di Propinsi Kalimantan barat Tahun Grafik Jumlah Sebaran Titik Panas Tahunan Pada Areal Penutupan Lahan di Propinsi Kalimantan Barat Tahun 2003 dan Tahun Grafik Jumlah Sebaran Titik Panas Tahunan Pada Beberapa Kabupaten di Propinsi Kalimantan Barat Tahun 2003 dan Tahun Grafik Jumlah Sebaran Titik Panas Tahunan di Propinsi Kalimantan Barat tahun 2003 dan Tahun Grafik Indeks Kekeringan Keetch Byram Propinsi Kalimantan Barat Tahun Grafik Indeks Kekeringan Keetch Byram Propinsi Kalimantan Barat Tahun Grafik Indeks Kekeringan Keetch Byram Kabupaten Sintang Kalimantan Barat Tahun Grafik Indeks Kekeringan Keetch Byram Kabupaten Sintang Kalimantan Barat Tahun Grafik Hubungan Rata Rata KBDI Bulanan dengan Jumlah Titik Panas Bulanan Propinsi Kalimantan Barat Tahun Grafik Hubungan Rata Rata KBDI Bulanan dengan Jumlah Titik Panas Bulanan Propinsi Kalimantan Barat Tahun

11 DAFTAR LAMPIRAN No Teks Halaman 1. Sebaran Titik panas Bulanan Propinsi Kalimantan Barat Sebaran Titik Panas Bulanan Pada Areal Penutupan Lahan Sebaran Titik Panas Bulanan Pada Beberapa Kabupaten Sebaran Titik Panas Tahunan Pada Areal Penutupan Lahan Sebaran Titik Panas Tahunan Pada Beberapa Kabupaten Tabel Contoh Perhitungan KBDI Grafik Regresi Linear Hubungan Antara Jumlah Titik Panas Bulanan Dengan Luas Kebakaran Hutan dan Lahan Bulanan Nilai KBDI Tujuh Stasiun Pengamatan Cuaca Propinsi Kalimantan Barat Tahun 2003 dan Tahun

12 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan anugerah dari Allah SWT yang diciptakan untuk dimanfaatkan dan dipelihara dengan sebaik-baiknya. Pemanfaatan hutan harus berjalan beriringan dengan pemeliharaan maupun perawatannya, sehingga keberadaanya akan tetap dirasakan. Hutan sebagai aset bangsa memiliki pencerahan bagi kehidupan dimasa yang akan datang. Kelestarian hutan merupakan jaminan bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya. Dunia kehutanan yang pada saat ini mengalami degradasi baik area hutan maupun sumberdaya manusia pengelola hutan memerlukan pemulihan dan perbaikan yang mengarah pada manajemen hutan yang berkelanjutan. Dengan pengelolaan hutan yang dilakukan dengan sebaik-baiknya maka nilai fungsi dari kehutanan akan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat dalam rangka menuju kesejahteraan yang berkeadilan. Luas hutan saat ini sangat menurun drastis, hal ini menunjukkan bahwa kesadaran akan memelihara hutan sangat kurang. Hutan yang memiliki fungsi serbaguna, bermanfaat hasilnya baik berupa kayu maupun non kayu, perlindungan terhadap banjir, erosi dan flora-fauna serta jasa yang dapat dijadikan wisata, persediaan oksigen dan lain-lain harus dipertahankan keberadaannya. Hutan yang memiliki fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya mengalami penurunan kualitas maupun kuantitas sebagai akibat dari terjadinya gangguan baik secara alami maupun buatan, salah satu gangguan yang terjadi adalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan yang terjadi, telah menimbulkan dampak ekonomi yang sangat merugikan serta kerusakan ekosistem yang membawa dampak yang sangat luas bagi kehidupan manusia, tidak hanya secara nasional tetapi juga berpengaruh secara global, misalnya asap yang ditimbulkan dari kebakaran hutan tersebut tidak hanya terasa di Indonesia tetapi juga telah menyebar ke negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam dan Filipina. Kabut asap ini mengganggu transportasi udara dan laut serta meningkatkan polusi udara.

13 Melihat besarnya dampak yang ditimbulkan oleh kejadian kebakaran hutan maka perlu dilakukan usaha pengendalian secara terus-menerus. Upaya pengendalian ini meliputi kegiatan pencegahan (Prevention) yang dilakukan sebelum kebakaran terjadi dan kegiatan pemadaman (Supression) yang dilakukan setelah terjadi kebakaran. Salah satu kegiatan pencegahan kebakaran hutan adalah melalui Early Detection System (Sistem Diteksi Dini) dengan menggunakan data hotspot. Hotspot merupakan titik panas yang dapat dimonitor oleh satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) yang dilengkapi dengan sensor Advance Very High Resolution Radiometer (AVHRR) untuk suhu 37 o C dan 42 o C, pada hotspot bisa terdapat titik api dengan suhu 350 o C. Pemantauan hotspot dengan menggunakan satelit sangat tergantung pada penutupan awan, sehingga tidak semua hotspot terpantau oleh satelit. Dengan adanya Hotspot maka pengendalian kebakaran hutan dan lahan di lapangan dapat segera dilakukan. B. Tujuan 1. Untuk mempelajari sebaran titik panas (Hotspot) sebagai penduga terjadinya kebakaran hutan dan lahan di propinsi Kalimantan Barat tahun Membandingkan sebaran titik panas (Hotspot) dengan nilai indek kekeringan Keetch-Byram (KBDI-Keetch and Byram Drought Index). C. Manfaat 1. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi tentang daerah-daerah dan penggunaan lahan yang memiliki sebaran hotspot yang tinggi, yang diduga sebagai daerah yang rawan akan terjadinya kebakaran hutan dan lahan di propinsi Kalimantan Barat. 2. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu pengendalian kebakaran hutan dan lahan melalui Early Detection System (Sistem Diteksi Dini) di propinsi Kalimantan Barat.

14 II. TINJAUAN PUSTAKA A. KEBAKARAN HUTAN 1. Pengertian umum kebakaran hutan Kebakaran hutan secara umum merupakan kejadian alam dari proses reaksi secara cepat dari oksigen dengan karbohidrat (bahan bakar hutan) ditandai dengan panas serta biasanya menghabiskan bahan bakar hutan seperti serasah, tumbuhan bawah, semak-semak, dan pepohonan. Ciri penting dari kebakaran hutan adalah sifatnya yang tidak tertekan dan menyebar secara bebas (Brown dan Davis, 1973). US Forest Service (1956) dalam Brown dan Davis (1973) mendefinisikan kebakaran hutan sebagai suatu proses pembakaran yang menyebar secara bebas yang mengkonsumsi bahan bakar hutan seperti serasah, rumput, humus, ranting, kayu mati, tiang, gulma, semak, dedaunan, serta pohon-pohon besar untuk tingkat terbatas. Kebakaran adalah fenomena alam yang merupakan kebalikan dari proses fotosintesis. Proses Fotosintesis : CO 2 + H 2 O + Energi matahari ( C6H 12 O6 ) n + O 2 Proses Pembakaran : (C 6 H 12 O 6 ) n + O 2 + Kindling temperature CO 2 + H 2 O + Energi Panas Clar dan Chatten (1954) menjelaskan ada tiga unsur yang mempengaruhi terjadinya api kebakaran yaitu bahan bakar, oksigen dan sumber panas. Ketiga kombinasi ini sering disebut segitiga api. Sumber Panas API Oksigen (O 2 ) Bahan Bakar Gambar 1. Segitiga Api ( Clar dan Chatten, 1954 )

15 Prinsip segitiga api ini merupakan dasar dalam strategi penanggulangan kebakaran hutan. (De Bano. et. al, 1998) menyatakan fase kebakaran hutan terdisi dari : a. Fase Pre-Ignition (fase pra pemanasan) Bahan bakar mulai terpanaskan, kering dan mulai mengalami pirolisis yaitu terjadi pelepasan uap air, CO 2 dan gas-gas yang mudah terbakar termasuk methane, methanol dan hidrogen. Dalam proses pirolisis ini reaksi berubah dari endotermic (memerlukan panas) menjadi exothermic (melepaskan panas). Bahan bakar kayu busuk (rotten Wood) menghasilkan panas yang berbeda dibanding dengan kayu sehat (sound wood) yaitu dibawah 150 o C. Proses eksotermik mencapai puncak dari suhu o C pada kayu sehat (sound wood) pelepasannya lebih banyak daripada kayu busuk (rotten wood). Ini bisa membantu menerangkan pada kayu busuk (rotten wood) pemanasannya lebih mudah disebabkan oleh petir atau bunga api dari sistem energi. b. Fase Flamming combustion Pirolisis melaju dan mempercepat oksidasi dari gas-gas yang dapat terbakar dan uap air mengakibatkan pirolisis meningkat di sekitar bahan bakar termasuk O 2 dan pambakaran terjadi selama ini. Api mulai menyala dan dapat merambat dengan cepat akibat hembusan angin dan gas-gas yang pada tahap flamming mudah terbakar menandai penyalaan bahan bakar. Gas-gas mudah menyala lebih cepat dihasilkan dan reaksi kimia menjadi proses eksotermik yang lebih kuat mencapai puncak sekitar suhu 320 o C. Meskipun gas-gas lebih mudah menyala pada suhu diatas 320 o C, gas-gas tersebut tidak akan menyala bahkan ketika bercampur dengan udara pada suhu 425 o C-480 o C. Suhu maksimum yang bisa dihasilkan oleh pembakaran gas-gas dari wildland fuels yaitu antara 1900 o C dan 2000 o C dengan campuran gas dan udara yang ideal. c. Fase Smoldering Terdapat dua zona yang merupakan karakteristik dari fase ini yaitu zona pirolisis dengan berkembangnya hasil-hasil pembakaran dan zona arang dengan pelepasan hasil pembakaran yang tidak terlihat. Laju penjalaran api mulai menurun karena bahan bakar tidak dapat mensuplai gas-gas yang dapat

16 terbakar dalam jumlah yang cukup dan pada laju yang dibutuhkan untuk pembakaran yang dahsyat. Kemudian panas yang dilepaskan menurun dan suhunya pun menurun menyebabkan gas-gas lebih banyak berkondensasi ke dalam asap. Proses ini menyebar lambat, sekitar 3 cm/jam (1 inch/jam). Proses ini bisa menaikkan temperatur tanah mineral diatas 300 o C untuk beberapa jam dengan suhu maksimum sekitar 600 o C yang menyebabkan dekomposisi bahan organik dan kematian organisme tanah. d. Fase Glowing Fase ini merupakan fase akhir dari smoldering. Bila suatu kebakaran mencapai fase glowing, sebagian besar dari gas-gas yang mudah menguap akan hilang dan oksigen mengadakan kontak langsung dengan permukaan dari bahan bakar yang mengarang. Hasil dari fase ini adalah CO, CO 2 dan abu sisa pembakaran. e. Fase extinction Suatu kebakaran akhirnya berhenti bila semua bahan bakar yang tersedia telah dikonsumsi. Tiga tahap proses kebakaran pada pohon menurut Chandler et,al. (1983) : 1. Penyerapan panas (endoterm), dimana bahan bakar menyerap panas sampai mencapai titik bakar. 2. Peningkatan suhu disertai penguapan air dan hancurnya molekul pada jaringan pohon dan melepaskan kandungannya yang mudah menguap. 3. Pelepasan panas (eksoterm), bahan bakar selulosa terbakar melepas panas. Bahan bakar yang ada di lantai hutan umumnya terdiri dari serasah, sisasisa kayu dan berbagai jenis tumbuhan bawah. Tiap jenis tumbuhan bawah memiliki reaksi yang berbeda terhadap pemanasan sinar matahari, ada yang cepat kering dan ada yang agak lambat.volumenya bervariasi, ada yang besar, sedang dan kecil. Oleh karena itu kecepatan menjalarnya api dan besarnya api sangat tergantung dari keadaan bahan bakar tersebut. (Ruswandy dan Pohan,1981). 2. Tipe Kebakaran Hutan Menurut lokasi terjadinya kebakaran hutan, Brown dan Davis (1973) membedakan kebakaran hutan menjadi tiga, yaitu :

17 a. Kebakaran Bawah (Ground Fire) Kebakaran bawah adalah kebakaran hutan yang mengkonsumsi bahan organik dibawah permukaan tanah pada lantai hutan. Dengan adanya materi organik yang sangat dalam, seperti dalam lapisan tanah yang sedang membusuk dan dalam lumpur gambut, dibawah kondisi kering, api mungkin dapat mencapai dan menjalar beberapa kaki dibawah permukaan tanah. Kebakaran tipe ini dicirikan dengan adanya bara yang menjalar perlahan, tanpa adanya nyala dan dengan sedikit asap. Kebakaran tipe ini sulit diketahui, sehingga sulit juga untuk ditanggulangi. Apabila kelembaban bahan bakar memungkinkan, kebakaran bawah ini sering diikuti oleh kebakaran permukaan. b. Kebakaran Permukaan (Surface Fire) Kebakaran permukaan merupakan kebakaran yang mengkonsumsi bahan bakar permukaan seperti serasah dan vegetasi-vegetasi kecil yang ada di permukaan lantai hutan. Kebakaran jenis ini paling sering terjadi pada tegakan hutan dari semua jenis pohon. Kebakaran ini dapat menjalar pada vegetasi yang lebih tinggi bahkan sampai pada tajuk pohon, sesuai dengan tingkat perkembangannya. c. Kebakaran atas (Crown Fire) Kebakaran atas atau kebakaran tajuk adalah kebakaran yang berkembang dari bagian atas pohon yang satu ke tajuk pohon yang lainnya, dan berasal dari kebakaran permukaan yang menjalar kearah tajuk permukaan pohon. Dalam tegakan hutan yang rapat pada kondisi tanah yang curam dan dengan tiupan angin yang cepat, kebakaran tajuk dapat pula menyebabkan kebakaran permukaan. 3. Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan Kebakaran hutan disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu faktor alam dan faktor manusia. Secara alam kebakaran dipengaruhi oleh beberapa faktor alam yang berkaitan, yaitu iklim (kemarau panjang, petir dan daya alam lainnya), jenis tanaman (misalnya pinus mengandung resin), tipe vegetasi (alang-alang, hutan terbakar, hutan-hutan monokultur tertentu), bahan-bahan

18 sisa vegetasi (serasah, ranting kering), humus dan lain-lain (Direktorat Perlingdungan Hukum, 1983 dalam Frangky, 1999). Sedangkan Suratmo (1983) dalam Frangky (1999) menyatakan bahwa penyebab kebakaran hutan pada umumnya adalah : 1. Dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. 2. Api berasal dari ladang yang berdekatan dengan hutan. 3. Bara dari kereta api. 4. Api dari pekerja hutan dan penebang pohon. 5. Api dari perkemahan (api unggun). 6. Petir. 7. Lain-lain sebab, misalnya api dari gunung berapi. 8. Tidak diketahui penyebabnya. 4. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Kebakaran Hutan a. Jenis Bahan Bakar Hawley dan Stickel (1948), membagi bahan bakar hutan berdasarkan potensinya dalam menimbulkan kebakaran ke dalam 7 kelompok, yaitu : 1. Pohon hidup yang menyusun hutan tersebut. 2. Semak belukar. 3. Rumput tanaman penutup tanah. 4. Serasah dan humus. 5. Dahan mati dan lumut yang terdapat pada pohon hidup. 6. Pohon mati yang masih berdiri. 7. Sisa pembalakan. Chandler et,al. (1983) mengatakan bahwa bahan bakar berdasarkan lapisannya dapat dikelompokkan menjadi : 1. Bahan Bakar Bawah (Ground Fuels) Bahan bakar ini terdiri dari duff dan akar-akaran, letaknya berada didalam bumi yang telah telah terakumulasi selama beberapa tahun dan berasal dari mineral yang jatuh. Memiliki sifat kekompakan yang tinggi dan sebagian didekomposisi yang mengakibatkan api menjalar lambat dengan nyala yang sedikit.

19 2. Bahan Bakar Permukaan (Surface Fuels) Bahan bakar ini berupa bahan bakar herba seperti rumput dan pakupakuan. Bahan bakar tersebut memiliki perbedaan yang mencolok karena tidak sama dengan bahan bakar bawah. Bahan bakar ini sebelumnya merupakan tumbuh-tumbuhan yang hidup di daerah tersebut dan lebih merupakan hasil proses biologi dibanding proses mekanik kebakaran rumput-rumputan lebih cepat menjalar dibanding kebakaran yang lainnya. 3. Bahan Bakar Pertengahan (Middle Fuels) Bahan bakar yang berupa semak-semak dan pohon-pohon lain yang mempunyai tinggi lebih dari 2 meter dari tinggi total atau tinggi bebas cabang atau daun yang berada 1 meter dari permukaan tanah. Tumbuhtumbuhan ini mempunyai peranan yang penting dalam mengalihkan api ketajuk-tajuk pohon hutan. 4. Bahan Bakar Tajuk (Aerial Fuels) Bahan bakar ini berupa daun, ranting, dan cabang-cabang kecil. Umumnya bahan bakar tersebut merupakan bahan bakar hidup dan mempunyai kelembaban yang tinggi sehingga bahan bakar tersebut tidak akan terbakar kecuali dibakar dalam periode waktu yang lama. b. Iklim Mikro Dalam Hutan Musim kemarau yang panjang menyebabkan berkurangnya kelembaban vegetasi, sehingga pemasukan panas yang rendah pun dapat menyebabkan kebakaran yang hebat. Pemanasan menyebabkan evaporasi, mengeringnya material tanaman, meningkatnya suhu hingga 200 o C serta terbentuknya gasgas yang mudah terbakar dan kebakaran akan meningkat secara cepat karena adanya panas yang dilepaskan dari kebakaran serasah (Nao, 1982). c. Topografi Istilah topografi mengandung pengertian sebagai seluruh permukaan bumi terutama yang berhubungan dengan bentukan perbukitan, dataran dan aliranaliran air (Clar dan Chatten, 1954). Ketinggian tempat, letak lereng, dan kondisi permukaan tanah berpengaruh pada penjalaran dan kekerasan pembakaran. Pada daerah yang tidak rata dimana frekuensi dan variasi dari topografi cukup besar, maka penyebaran kebakaran tidak teratur (Hawley dan

20 Stickel, 1948). Pada lereng yang curam, api membakar dan menghabiskan dengan cepat tumbuhan yang dilaluinya, dan api akan menjalar lebih cepat kearah menaiki lereng. Sebaliknya api yang menjalar kebawah lereng, akan padam jika melalui daerah lembab yang sering mempunyai kadar air yang tinggi (Clar dan Chatten, 1954). d. Waktu Terjadinya Kebakaran Hutan Menurut Saharjo (1999), pada pagi hari dengan suhu yang relatif rendah (18-22 o C), kelembaban relatif tinggi (95-100%), maka tingkat kadar air bahan bakar juga akan relatif tinggi (>40%), sehingga api sukar untuk menjalar bila kebakaran berlangsung. Selain itu pola kebakaran yang terjadi relatif tidak berubah dari bentuk lingkaran ini karena kecepatan angin relatif stabil atau boleh dikatakan tidak terlalu berpengaruh. Sementara itu pada siang hari dengan suhu udara yang relatif tinggi sekitar 35 o C, kelembaban relatif 70-80%, kecepatan angin sekitar 60 meter/menit, dan tentu saja kadar air bahan bakar yang relatif rendah (<30%), membuat proses pembakaran relatif cepat dengan berubah-ubah arah, intensitas kebakaran tinggi membuat bentuk kebakaran yang terjadi tidak beraturan. Bagi bahan bakar yang mengandung kadar air cukup tinggi (>30%), maka relatif memerlukan energi panas yang cukup tinggi guna mencapai temperatur penyalaan. 5. Dampak Kebakaran Beberapa tahun terakhir kebakaran hutan terjadi hampir setiap tahun, khususnya pada musim kering. Kebakaran yang cukup besar terjadi di Kalimantan Timur yaitu pada tahun 1982/83 dan tahun 1997/98. Pada tahun 1982/83 kebakaran telah menghanguskan hutan sekitar 3,5 juta hektar di Kalimantan Timur dan ini merupakan rekor terbesar kebakaran hutan dunia setelah kebakaran hutan di Brazil yang mencapai 2 juta hektar pada tahun 1963 (Soeriaatmadja, 1997). Menurut Chandler et,al. (1983) dan Oemijati (1986), kebakaran hutan banyak memberikan pengaruh pada areal tersebut yaitu terhadap tanah, udara, iklim (terutama iklim mikro), vegetasi, margasatwa, ekosistem. Kebakaran hutan yang cukup besar seperti yang terjadi pada tahun 1997/1998 menimbulkan dampak yang sangat luas disamping kerugian material kayu, non kayu dan

21 hewan. Dampak negatif yang sampai menjadi isu global adalah asap dari hasil pembakaran yang telah melintasi batas negara. Sisa pembakaran selain menimbulkan kabut asap juga mencemari udara dan meningkatkan kadar gas rumah kaca. Menuurut Hawley dan Stickel (1948), kebakaran hutan menimbulkan dampak antara lain : 1. Kerusakan terhadap pohon yang terbakar. Hal ini dikarenakan suhu kebakaran tinggi sempat membakar jaringan kambium dari pohon secara melingkar, sehingga pohon tersebut mati atau setengah mati. Pada bagian pohon yang terbakar biasanya mengalami luka yang parah sehingga sangat mudah untuk roboh. 2. Kerusakan terhadap anakan pohon. Kebakaran akan mematikan anakan pohon yang ada di hutan karena suhu yang tinggi. 3. Gangguan terhadap tanah hutan biasanya terjadi pada sifat fisik dan kimia tanah, karena dengan terbukanya tajuk hutan, sinar matahari akan langsung mengenai tanah sehingga tanah akan sulit meresapkan air dan efek panas dari api dan pengaruh abu. 4. Penurunan produktifitas hutan karena banyak kayu-kayu yang terbakar, sehingga nilainya secara ekonomis menurun. 5. Penurunan dari segi nilai rekreasi dan keindahan. 6. Turunnya kesejahteraan penduduk sekitar hutan karena sumberdaya yang sering mereka gunakan sering terbakar, sehingga kehidupan sehari-hari kurang terpenuhi. 7. Berkurangnya sumber makanan ternak yang biasanya terdapat di areal hutan, karena setelah terbakar sumber makanan tersebut sulit diperoleh. Suksesi pada areal kebakaran biasanya diawali dengan munculnya rerumputan yang diikuti oleh semak dan pepohonan. Kebakaran hutan yang hebat dapat menyebabkan matinya mikroorganisme pada kedalaman sekitar 7 cm dari permukaan tanah. Pengaruh kebakaran pada mikroorganisme invertebrata dan vertebrata berubah setiap saat, tetapi pengaruh yang paling dominan adalah

22 mengubah habitat mereka. Besar kecilnya pengaruh tersebut tergantung pada tipe kebakaran dan tipe vegetasinya (Fuller, 1991). Menurut Haeruman (1980), satwa liar yang terpengaruh secara langsung oleh kebakaran hutan adalah hewan-hewan yang mempunyai kemampuan terbatas untuk berpindah jauh atau bergerak cepat dan hewan yang hanya tahan terhadap kondisi suhu dan kelembaban tertentu seperti serangga dan amfibia. Asap tebal dari kebakaran hutan berdampak negatif karena dapat mengganggu kesehatan masyarakat terutama gangguan saluran pernapasan. Selain itu asap tebal juga mengganggu transportasi khususnya tranportasi udara disamping transportasi darat, sungai, danau, dan laut. Pada saat kebakaran hutan yang cukup besar banyak kasus penerbangan terpaksa ditunda atau dibatalkan. Sementara pada transportasi darat, sungai, danau dan laut terjadi beberapa kasus tabrakan atau kecelakaan yang menyebabkan hilangnya nyawa dan harta benda. Dampak lainnya adalah kerusakan hutan setelah terjadi kebakaran dan hilangnya margasatwa. Hutan yang terbakar berat akan sulit dipulihkan, karena struktur tanahnya mengalami kerusakan. Hilangnya tumbuh-tumbuhan menyebabkan lahan terbuka, sehingga mudah tererosi, dan tidak dapat lagi menahan banjir. Karena itu setelah hutan terbakar, sering muncul bencana banjir pada musim hujan di berbagai daerah yang hutannya terbakar. Kerugian akibat banjir tersebut juga sulit diperhitungkan. Perusakan serasah atau lapisan penutup tanah akibat ganasnya api atau mekanisme lainnya akan menyebabkan perubahan yang dramatis di dalam suplai makanan, kandungan air, suhu dan ph tanah, yang mengurangi sepertiga jumlah fauna tanah (Pearse, 1946). Serasah membantu tanah dalam mempertahankan tingginya tingkat kelembaban yang bertanggung jawab terhadap kestabilan temperatur sehingga tubuh hewan yang hidup di dalam tanah tidak kehilangan kelembaban (Pearse, 1946). Kebakaran hutan dapat membunuh organisme (makroorganisme dan mikroorganisme) tanah yang bermanfaat dalam meningkatkan kesuburan tanah. Makroorganisme tanah misalnya: cacing tanah yang dapat meningkatkan aerasi dan drainase tanah, dan mikroorganisme tanah misalnya : mikorisa yang dapat

23 meningkatkan ketersediaan unsur hara P, Zn, Cu, Ca, Mg, dan Fe akan terbunuh. Selain itu, bakteri penambat (fiksasi) nitrogen pada bintil-bintil akar tumbuhan Leguminosae juga akan mati sehingga laju fiksasi nitrogen akan menurun (Kantor Meneg L.H., 1998; Setjamidjaja dan Wirasmoko, 1994). Mikroorganisme, seperti bakteri dekomposer yang ada pada lapisan serasah saat kebakaran pasti akan mati. Dengan temperatur yang melebihi normal akan membuat mikroorganisme mati, karena sebagian besar mikroorganisme tanah memiliki adaptasi suhu yang sempit. Namun demikian, apabila mikroorganisme tanah tersebut mampu bertahan hidup, maka ancaman berikutnya adalah terjadinya perubahan iklim mikro yang juga dapat membunuhnya. Dengan terbunuhnya mikroorganisme tanah dan dekomposer seperti telah dijelaskan di atas, maka akan mengakibatkan proses humifikasi dan dekomposisi menjadi terhenti. B. TITIK PANAS (HOTSPOT) Menurut Anderson, et,al. (1999), pada awalnya hotspot diidentikkan dengan titik api, namun dalam kenyataannya tidak semua hotspot mengindikasikan adanya titik api. Istilah hotspot lebih tepat bila bersinonimkan dengan titik panas. Sebuah titik panas merupakan satu pixel pada potret satelit adalah suatu areal 1.1 km 2, dimana tinggi temperatur permukaannya mengindikasikan adanya kebakaran. Panas permukaan tersebut diukur oleh satelit NOAA yang dilengkapi oleh sensor-sensor radiometer mutakhir beresolusi sangat tinggi (Fire Fight South East Asia, 2002). Hotspot adalah titik panas yang diindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan. Parameter ini sudah digunakan secara meluas di berbagai negara untuk memantau kebakaran hutan dan lahan dari satelit. Cara diteksi terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah dengan pengamatan titik panas (hotspot). Titik panas (hotspot) dapat diditeksi dengan satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) yang dilengkapi sensor AVHRR (Advenced Very Hight Resulation Radiometer). Dalam menditeksi kebakaran hutan, satelit NOAA tidak menditeksi kebakaran (suhu) secara langsung namun yang diditeksi adalah hotspot.

24 Titik panas (hotspot) dapat diditeksi dengan satelit NOAA yang dilengkapi sensor AVHRR yang bekerja berdasarkan pancaran energi thermal dari objek yang diamati dari suatu areal yang bersuhu 42 o C. Satelit ini sering digunakan untuk penditeksian wilayah tersebut karena salah satu sensornya yang dapat membedakan suhu permukaan di darat atau laut. Kelebihan lain adalah seringnya satelit-satelit tersebut mengunjungi tempat yang sama dua kali sehari siang dan malam, keuntungan lainnya adalah harga yang murah. Sebuah titik panas (hotspot) dapat mencerminkan sebuah areal yang mungkin terbakar sebagian atau seluruhnya karena itu tidak menunjukkan secara pasti seberapa besar areal yang terbakar. Jumlah titik panas (hotspot) dapat sangat bervariasi dari suatu pengukuran selanjutnya tergantung dari waktu pengukuran pada hari itu (aktivitas api berkurang pada malam hari dan paling tinggi pada sore hari), cuaca (sensor yang digunakan tidak dapat menembus awan dan asap) dan organisasi apa yang memberikan data tersebut (tidak terdapat standar ambang batas temperatur atau suhu untuk mengidentifikasikan titik panas) (Fire Fight South East Asia, 2002 dalam Wardani, 2004). Titik panas (hotspot) hanya memberikan sedikit informasi apabila tidak didukung oleh analisa dan interpretasi lanjutan. Kelompok titik panas (hotspot) dan atau titik panas (hotspot) yang berjumlah besar dan berlangsung secara terus menerus adalah indikator yang baik untuk kebakaran (titik api). Data titik panas (hotspot) bermanfaat apabila dikombinasikan dengan informasi-informasi seperti mengenai penggunaan lahan, penutupan tanaman, habitat binatang atau peta-peta lainnya. Kesalahan bias atau geografi dari sebuah titik panas (hotspot) dapat sampai sejauh 3 km (Fire Fight South East Asia, 2002 dalam Wardani, 2004). Areal-areal Hotspot meliputi sebagai berikut (Malingreau, 1998) : a. Areal dengan deforestasi yang baru terjadi atau tengah terjadi sekarang menghubungkan kombinasi kecepatan atau intensitas yang berbeda dari perubahan penutupan hutan (tinggi, sedang dan rendah) dan keadaan penutupan hutan yang berbeda (rapat, terpecah-pecah dan kerapatan rendah). b. Areal-areal yang memiliki resiko perubahan penutupan lahan yang tinggi.

25 Menurut Solichin (2004), data hotspot sebaiknya diartikan sebagai indikasi adanya kemungkinan kebakaran yang harus dianalisa, dimonitor, dan terkadang perlu di chek kelapangan untuk mengetahui apakah diperlukan tindakan penanggulangan dini (innitial attack) khususunya pada saat musim kering, dimana penyebaran api akan sangat cepat. Menurut Handhadari (2002) dalam Wardani (2004), meskipun disebut titik panas (hotspot), tidak semua hotspot merupakan actual fire (api sebenarnya) di lapangan. Bahkan, beberapa data tangkapan titik api dapat saja keliru di lapangan. Satelit NOAA-AVHRR, JICA atau Departemen Kehutanan mengekstraksi titik panas menggunakan dua algoritme, yaitu contextual algoritm untuk menangkap data di siang hari pada ambang temperatur 42 o C dan simple algoritm untuk menangkap data di siang hari pada temperatur 37 o C. Beberapa kelemahan tetap melekat pada satelit NOAA. Salah satunya adalah sensor tidak dapat menembus awan, asap atau aerosol. Kelemahan tersebut akan sangat merugikan bila kebakaran besar terjadi sehingga wilayah tersebut tertutup asap. Kejadian itu sangat sering terjadi dimusim kebakaran, sehingga jumlah hotspot yang terditeksi jauh lebih rendah dari yang seharusnya. Karena itu analisis lanjutan sangat diperlukan untuk mengidentifikasi apakah hotspot merupakan kebakaran atau pembakaran, atau terletak diwilayah yang memiliki resiko kebakaran sangat tinggi seperti lahan gambut dan lain sebagainya. Analisa dapat dilakukan dengan melakukan overlay antar data hotspot dan data atau peta penggunaan lahan atau data penutupan lahan dengan sistem informasi geografis. Biasanya hotspot yang terletak di daerah pemukiman atau tranmigrasi hanya merupakan pembakaran untuk penyiapan ladang. Dalam hal ini, hotspot hanya mengidentifikasikan terjadinya panas atau bila hotspot terjadi di wilayah seperti HPH, HTI atau perkebunan, maka kemungkinan besar kebakaran (dengan asumsi, perusahaan tidak melakukan pembakaran karena dilarang) (Fire Fight South East Asia, 2002 dalam Wardani, 2004). C. INDEKS KEKERINGAN KEETCH DAN BYRAM (KBDI) Indeks kekeringan adalah nilai yang mewakili pengaruh bersih (net) evapotranspirasi dan presipitasi dalam menghasilkan defisiensi kelembaban

26 kumulatif pada serasah tebal atau lapisan tanah bagian atas. Indeks kekeringan merupakan jumlah yang berkaitan dengan daya nyala (flammability) bahan-bahan organik pada tanah (Deeming,1995). Sistem bahaya kebakaran ini dikembangkan oleh John E. Deeming tahun 1995 yang didasarkan pada indeks musim kemarau Keetch-Byram (KBDI-Keetch Byram Drought Indek). Sistem ini dikembangkan di Amerika Serikat tahun 1968 sampai sekarang, tetapi KBDI telah diterapkan pula dengan beberapa modifikasi oleh orang-orang Australia dan negara lain yang sebagian besar beriklim tropis (Deeming, 1995). Menurut Keetch dan Byram (1968) dalam Affan (2002), formulasi yang digunakan untuk menghitung nilai KBDI, sebagai berikut : KBDI T = (Σ KBDI Y 10*Chnet) + DF T Dimana : KBDI T : Indeks kekeringan hari ini KBDI Y : Indeks kekeringan kemarin Chnet : Curah hujan bersih DF T : Faktor kekeringan hari ini Untuk menghitung KBDI pada daerah tertentu harus dimulai pada posisi tertentu harus dimulai pada posisi nol, yaitu pada saat satu hari setelah masa hujan dengan curah hujan sebanyak mm dalam seminggu. Dari kemungkinan KBDI menunjukkan kemungkinan terjadinya kebakaran yang diekspresikan melalui nilai indeks yang berkisar dari (Keetch dan Byram, 1988) dalam Affan (2002). Kisaran nilai KBDI 2000 tersebut kemudian dibagi menjadi tiga sub kisaran. Setiap sub kisaran menunjukkan kelas sifat bahaya kebakaran. Tabel 1. Kriteria Kerawanan Kebakaran Berdasarkan Indeks Kekeringan Keetch- Byram Interval kelas Keterangan Sifat Kelas Rendah Sifat Kelas Sedang Sifat Kelas Tinggi

27 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Penelitian dimulai pada bulan Maret 2006 hingga Juni B. Bahan dan Alat Penelitian Pengumpulan bahan-bahan penelitian bersumber dari Japan International Co-operation Agency (JICA), Badan Meteorologi dan Geofisika dan Departemen Kehutanan Jakarta. Adapun bahan yang digunakan dalam penelitian adalah berupa data sekunder, sebagai berikut : 1. Data Hotspot bulanan di propinsi Kalimantan Barat mulai bulan Januari 2003 sampai Desember Data Hotspot bulanan di beberapa kabupaten di propinsi Kalimantan Barat mulai bulan Januari 2003 sampai bulan Desember Data Hotspot bulanan pada penutupan lahan yang ada di propinsi Kalimantan Barat mulai bulan Januari 2003 sampai bulan Desember Data suhu udara maksimum, curah hujan dan kelembaban udara harian untuk mandapatkan nilai KBDI skala harian selama dua tahun ( ) dari tujuh stasiun cuaca di propinsi Kalimantan Barat. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis menulis dan perangkat lunak Microsoft Office 2000 dan Minitab versi 11. C. Pelaksanaan Penelitian 1. Pengolahan data. Penelitian ini dilaksanakan dengan cara menganalisis data titik panas dan data suhu maksimum, kelembaban udara serta curah hujan untuk mendapatkan indeks kekeringan Keetch Byram (KBDI). Tahapan pengolahan data yang dilakukan adalah sebagai berikut : a. Penghitungan jumlah titik panas bulanan propinsi Kalimantan Barat tahun

28 b. Penghitungan jumlah titik panas bulanan pada areal penutupan lahan (HPH, HTI, perkebunan, hutan lindung, hutan suaka alam dan hutan wisata serta areal transmigrasi tahun c. Penghitungan jumlah titik panas bulanan pada beberapa kabupaten di propinsi Kalimantan Barat tahun d. Penghitungan jumlah titik panas tahunan pada areal penutupan lahan tahun e. Penghitungan jumlah titik panas tahunan pada beberapa kabupaten di propinsi Kalimantan Barat tahun f. Penghitungan jumlah titik panas tahunan di propinsi Kalimantan Barat tahun g. Penghitungan nilai korelasi antara peringkat bahaya kebakaran bulanan yang telah dikonversi menjadi angka dengan jumlah titik panas bulanan. Nilai korelasi untuk masing-masing tahun, dihitung dengan rumus (Putri, 2004) : r = X 1Y 1 ( X 1)( Y 1)/ n [ X X n][ Y Y n] i ( i ) / i ( i ) / Keterangan : Xi = Peringkat bahaya kebakaran bulan ke-i tahun ke-j Yi = Jumlah Titik Panan bulan ke-i tahun ke-j n = Jumlah bulan (12) Besarnya nilai r berkisar antara -1 r 1 dimana jika nilai r mendekati +1 atau -1 maka hubungan antara kedua peubah itu kuat, serta terdapat korelasi yang tinggi antara keduanya (Walpole, 1993). Penghitungan indeks kekeringan menggunakan Indeks Kekeringan Keetch Byram. Perhitungan bahaya kebakaran ini dilakukan secara manual, dengan menggunakan data suhu maksimum, kelembaban udara dan curah hujan harian. Nilai KBDI yang dihitung adalah nilai KBDI propinsi Kalimantan Barat serta kabupaten-kabupaten yang memiliki curah hujan terbesar pada tahun Tahapan penghitungan nilai KBDI (Deeming, 1995) adalah sebagai berikut :

29 a. Indeks kekeringan hari kemarin (IKHK). Didapatkan dari indeks kekeringan hari terakhir bulan sebelumnya. Jika data tidak tersedia maka dilakukan penjumlahan curah hujan selama satu minggu berturut-turut sehingga curah hujan mencapai nilai sebesar kurang lebih 150 mm, dan indeks kekeringan hari tersebut adalah 0 (nol). b. Curah hujan 24 jam, didapatkan curah hujan 24 jam dari stasiun yang melaporkan. c. Curah hujan 24 jam kumulatif dari curah hujan 24 jam. jika nilai curah hujan 24 jam adalah 0 maka nilai curah hujan kumulatif juga akan bernilai 0. nilai yang dimaksud adalah nilai curah hujan hari pertama setelah periode tidak ada hujan, hari kedua dan selanjutnya hingga curah hujan mencapai 5 mm. jika telah mencapai nilai 5 mm tidak perlu dikumulatifkan. d. Curah hujan 24 jam bersih (netto). Nilai ini didapatkan dengan mengurangi curah hujan kumulatif 24 jam dengan 5 mm, bila nilainya kurang dari 5 mm maka ditulis 0. e. IKHK dikurangi 10 x curah hujan netto. Nilainya didapatkan dari hasil pengurangan IKHK dengan 10 x curah hujan netto, jika hasilnya bernilai negatif maka dituliskan 0. f. Faktor kekeringan. Didapatkan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Putri, 2004) : (2000 IKHK) x(0.967exp(0.0875xt max ) 8.299) x0.01 FK = EXP( xR) Keterangan : FK = Faktor kekeringan IKHK = Indeks kekeringan Keetch Byram hari kemarin Tmax = Suhu udara maksimum ( 0 C) R = Curah hujan tahunan (mm) g. Indeks kekeringan hari ini. Parameter ini dihitung dengan cara menjumlahkan nilai faktor kekeringan dengan nilai IKHK yang telah dikurangi 10 x curah hujan netto.

30 h. Kelas bahaya kebakaran ditentukan dengan cara mengelompokkan nilai KBDI kedalam interval kelas bahaya kebakaran. 2. Analisis Data Tahap-tahap analisis data yang dilakukan adalah sebagai berikut : a. Membandingkan nilai KBDI dengan jumlah titik panas bulanan di propinsi Kalimantan Barat tahun b. Membandingkan nilai KBDI dengan jumlah titik panas bulanan di kabupaten kabupaten yang memiliki sebaran titik panas tertinggi tahun c. Analisis terhadap kejadian titik panas pada penggunaan lahan yang memiliki areal penutupan lahan terbanyak di propinsi Kalimantan Barat tahun Tabel 2. Sebaran Titik Panas (Hotspot) Propinsi Kalimantan Barat Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Jumlah Jumlah Titik Panas Jumlah Rata-rata

31 Tabel 3. Tipe Penggunaan Lahan. Tahun 2003 Jenis Areal Penggunaan Lahan Jumlah Titik Panas Tahun 2004 Jenis Areal Penggunaan Lahan Jumlah Titik Panas

32 IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Geografi Propinsi Kalimantan Barat terletak antara 2 o 08' Lintang Utara dan 3 o 05' Lintang Selatan serta 108 o 114 o 10' Bujur Timur dengan luas wilayah km 2 atau Ha. Propinsi ini memiliki batas wilayah di sebelah utara dengan Malaysia Timur (Sarawak), di sebelah selatan berbatasan dengan Laut Jawa, di sebelah timur berbatasan dengan dengan propinsi Kalimantan Tengah dan propinsi Kalimantan Timur dan di sebelah barat berbatasan dengan Laut Natuna dan Selat Karimata ( 2004). B. Jenis Tanah Jenis tanah yang dijumpai di Kalimantan Barat adalah podzolik merah kuning (PMK), komposisi podzolik merah kuning (KPMK), organozol, glei, humus, aluvial, latozol, dan reguzol ( 2004). C. Iklim Kisaran curah hujan tahunan propinsi Kalimantan Barat sekitar mm, rata-rata hari hujan hari, distribusi hujan tetap tinggi, yaitu diatas 100 mm per bulan, yang jatuh pada bulan Juni sampai Agustus, bulan lainnya merupakan bulan basah. Fluktuasi suhu rata-rata adalah 22 o C - 23 o C, dengan rata-rata suhu siang hari 29 o C ( 2004). D. Administrasi Pemerintahan Wilayah Kalimantan Barat terbagi atas 6 kabupaten (Pontianak, Sambas, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu dan Ketapang) dan satu kotamadya (Pontianak). Propinsi ini memilki 108 kecamatan, desa dan 58

33 kelurahan ( 2004). E. Daerah Rawan Kebakaran Daerah yang rawan kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2001 di propinsi Kalimantan Barat antara lain Kabupaten Sintang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Landak dan Kabupaten Pontianak (Bapedal, 2002). Pada tahun 2002, masih terdapat daerah yang rawan kebakaran hutan dan lahan antara lain Kabupaten Sintang, Kabupten Sanggau, Kabupaten Pontianak, Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Landak (Kementerian Lingkungan Hidup, 20

34 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Sebaran Titik Panas Bulanan Tahun 2003 Berdasarkan data titik panas dari satelit NOAA-AVHRR (Gambar 2), titik panas bulanan yang terdapat di propinsi Kalimantan Barat pada tahun 2003 dimulai pada bulan Februari dengan jumlah 29 titik. Pada bulan Maret terjadi kenaikan jumlah titik panas menjadi 142 titik, sedangkan pada Bulan Januari dan Desember tidak terdeteksi adanya titik panas. Titik panas mulai terdeteksi kembali pada bulan Februari dengan jumlah 29 titik sampai bulan November dengan jumlah titik panas 8 titik. Pada bulan Juni jumlah titik panas mengalami peningkatan menjadi 299 titik. Peningkatan terus terjadi hingga bulan Agustus, dimana titik panas bertambah secara signifikan menjadi 6290 titik. Penurunan jumlah titik panas terjadi pada bulan September dan Oktober dengan jumlah masing-masing 4440 titik dan 475 titik. Penurunan ini berlanjut hingga bulan November yang menyisakan 8 titik panas. 2. Sebaran Titik Panas Bulanan Tahun 2004 Titik panas bulanan yang terdapat pada tahun 2004 pada propinsi Kalimantan Barat (Gambar 2) pada bulan Januari sampai bulan November terdapat titik panas, sedangkan pada bulan Desember tidak terdeteksi titik panas. Pada bulan Januari jumlah titik panas yang terdeteksi sebanyak 17 titik, kemudian mengalami peningkatan pada bulan Februari dan Maret dengan jumlah masingmasing 44 titik dan 121 titik. Jumlah titik panas mengalami penurunan pada bulan April dengan jumlah 28 titik. Pada bulan Mei jumlah titik panas kembali mengalami peningkatan menjadi 74 titik. Peningkatan jumlah titik panas terus terjadi pada bulan Juni menjadi 597 titik. Untuk bulan Juli terjadi penurunan yang signifikan, akan tetapi pada bulan Agustus kembali mengalami peningkatan yang sangat signifikan sehingga berjumlah 7000 titik dan bulan September menjadi 3025 titik. Mulai bulan Oktober jumlah titik panas mengalami penurunan menjadi 1247 titik kemudian diikuti oleh bulan November yang mengalami penurunan secara drastis menjadi 14 titik.

35 Jumlah Titik Panas Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nop Des Bulan Gambar 2. Grafik Jumlah Sebaran Titik Panas Bulanan Propinsi Kalimantan Barat Tahun 2003 dan Tahun 2004 (Sumber data titik panas : satelit NOAA, FFPMP2 - PHKA / JICA). 3. Sebaran Titik Panas Bulanan Pada Areal Penutupan Lahan Tahun 2003 Sebaran titik panas pada areal penutupan lahan di propinsi Kalimantan Barat tahun 2003 (Gambar 3) dimulai pada bulan Februari. Pada bulan Februari terdeteksi titik panas pada tiga penutupan lahan yaitu Hutan Suaka Alam dan Wisata (HSAW) sebanyak 12 titik, Perkebunan (KUB) sebanyak 2 titik dan Hak Penguasaan Hutan (HPH) sebanyak 2 titik. Selanjutnya terdeteksi empat penutupan lahan di bulan Maret yaitu KUB sebanyak 34 titik, HPH sebanyak 51 titik, Hutan Lindung (HL) sebanyak 6 titik dan Hutan Tanaman Industri (HTI) sebanyak 15 titik. Untuk bulan April tidak terdeteksi titik panas dan ini juga terjadi pada bulan Desember. Pada bulan Mei KUB merupakan penutupan lahan tertinggi sebanyak 6 titik, HPH sebanyak 2 titik serta diikuti HTI dan Areal Transmigrasi (TRA) masing-masing 1 titik. Penyebaran titik panas pada bulan Juni menyebar yaitu HSAW sebanyak 8 titik, KUB sebanyak 86 titik, HPH sebanyak 78 titik, HL sebanyak 4 titik, HTI sebanyak 29 titik dan TRA sebanyak 2 titik.

36 Jumlah titik panas mengalami peningkatan pada bulan Juli dimana HPH memiliki jumlah tertinggi sebanyak 145 titik, diikuti KUB sebanyak 67 titik, kemudian HTI, HSAW, HL, dan TRA dengan jumlah berturut-turut 47 titik, 21 titik, 6 titik, dan 5 titik. Pada bulan Agustus terjadi peningkatan jumlah titik panas yang signifikan pada HSAW sebanyak 186 titik, KUB dengan jumlah 1190 titik, HPH sebanyak 1343 titik, HL sebanyak 227 titik, HTI sebanyak 1021 titik dan TRA sebanyak 6 titik. Penurunan jumlah titik panas terjadi pada bulan September terkecuali pada TRA justru mengalami peningkatan 1 titik panas dari 6 titik menjadi 7 titik, HSAW sebanyak 232 titik, KUB sebanyak 310 titik, HPH sebanyak 433 titik, HL sebanyak 37 titik, HTI sebanyak 417 titik. Pada bulan Oktober penutupan lahan yang terdeteksi yaitu HSAW sebanyak 114 titik, KUB sebanyak 26 titik, HPH sebanyak 21 titik, HL sebanyak 32 titik, sedangkan pada HL dan TRA tidak terdeteksi. Pada bulan November mengalami penurunan drastis yang terdeteksi hanya pada penutupan lahan HPH dan HTI dengan jumlah titik panas 1 titik Jumla Titik Panas Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nop Des HSAW KUB HPH HL HTI TRA Bulan Gambar 3. Grafik Jumlah Sebaran Titik Panas Bulanan Pada Areal Penutupan Lahan di Propinsi Kalimantan Barat Tahun 2003 (Sumber data titik panas : satelit NOAA, FFPMP2 PHKA / JICA)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. panas serta biasanya menghabiskan bahan bakar hutan seperti serasah, tumbuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA. panas serta biasanya menghabiskan bahan bakar hutan seperti serasah, tumbuhan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan secara umum merupakan kejadian alam dari proses reaksi secara cepat dari oksigen dengan karbohidrat (bahan bakar hutan) ditandai dengan panas serta

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008). 3 TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran hutan didefenisikan sebagai suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi didalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Kebakaran hutan secara umum didefinisikan sebagai kejadian alam yang bermula dari proses reaksi secara cepat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Lahan gambut merupakan salah satu tipe ekosistem yang memiliki kemampuan menyimpan lebih dari 30 persen karbon terestrial, memainkan peran penting dalam siklus hidrologi serta

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 2 (2013), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 2 (2013), Hal ISSN : Analisis Tingkat Kekeringan Menggunakan Parameter Cuaca di Kota Pontianak dan Sekitarnya Susi Susanti 1), Andi Ihwan 1), M. Ishak Jumarangi 1) 1Program Studi Fisika, FMIPA, Universitas Tanjungpura, Pontianak

Lebih terperinci

BAB VII KEBAKARAN HUTAN

BAB VII KEBAKARAN HUTAN BAB VII KEBAKARAN HUTAN Api merupakan faktor ekologi potensial yang mempengaruhi hampir seluruh ekosistem daratan, walau hanya terjadi pada frekuensi yang sangat jarang. Pengaruh api terhadap ekosistem

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran hutan dan Lahan 2.1.1 Pengertian dan Proses Terjadinya Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan oleh Brown dan Davis (1973) dalam Syaufina (2008) didefinisikan

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak dan Luas. Komponen fisik KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN Letak dan Luas Daerah penelitian mencakup wilayah Sub DAS Kapuas Tengah yang terletak antara 1º10 LU 0 o 35 LS dan 109 o 45 111 o 11 BT, dengan luas daerah sekitar 1 640

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai

I. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan aset kekayaan yang bukan saja penting bagi bangsa Indonesia, namun juga bagi sebagian penduduk dunia. Keragaman hayati yang tinggi terdapat pada hutan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan 2.1.1. Definisi Kebakaran Hutan Kebakaran hutan merupakan kejadian alam yang bermula dari proses reaksi secara cepat antara oksigen, sumber penyulutan, dan bahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebakaran Hutan 1. Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi yang terjadi di kawasan hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global.

I. PENDAHULUAN. Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dekade terakhir kebakaran hutan sudah menjadi masalah global. Hal itu terjadi karena dampak dari kebakaran hutan tersebut bukan hanya dirasakan ole11 Indonesia saja

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kalimantan Selatan sebagai salah satu wilayah Indonesia yang memiliki letak geografis di daerah ekuator memiliki pola cuaca yang sangat dipengaruhi oleh aktifitas monsoon,

Lebih terperinci

KAJIAN TEMPORAL KEKERINGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN KEETCH BYRAM DRYNESS INDEX (KBDI) DI WILAYAH BANJARBARU, BANJARMASIN DAN KOTABARU PERIODE

KAJIAN TEMPORAL KEKERINGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN KEETCH BYRAM DRYNESS INDEX (KBDI) DI WILAYAH BANJARBARU, BANJARMASIN DAN KOTABARU PERIODE KAJIAN TEMPORAL KEKERINGAN MENGGUNAKAN PERHITUNGAN KEETCH BYRAM DRYNESS INDEX (KBDI) DI WILAYAH BANJARBARU, BANJARMASIN DAN KOTABARU PERIODE 2005 2013 Herin Hutri Istyarini 1), Sri Cahyo Wahyono 1), Ninis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. adalah kebakaran yang terjadi di luar kawasan hutan. Kebakaran hutan dan lahan

TINJAUAN PUSTAKA. adalah kebakaran yang terjadi di luar kawasan hutan. Kebakaran hutan dan lahan TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan Pengertian Kebakaran hutan berbeda dengan kebakaran lahan. Kebakaran hutan yaitu kebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan adalah kebakaran

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN PERTEMUAN 10 SUMBERDAYA LAHAN Sumberdaya Lahan Lahan dapat didefinisikan sebagai suatu ruang di permukaan bumi yang secara alamiah dibatasi oleh sifat-sifat fisik serta bentuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terjadi setiap tahun dan cenderung meningkat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Peningkatan kebakaran hutan dan lahan terjadi

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya

BAB I PENDAHULUAN. intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan kehidupan paling signifikan saat ini adalah meningkatnya intensitas ultraviolet ke permukaan bumi yang dipengaruhi oleh menipisnya lapisan atmosfer.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Nino telah melanda sebagian belahan bumi, termasuk diantaranya Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA. Nino telah melanda sebagian belahan bumi, termasuk diantaranya Indonesia. TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan Musim kemarau dan kekeringan yang panjang sebagai akibat dari badai El Nino telah melanda sebagian belahan bumi, termasuk diantaranya Indonesia. Badai El Nino yang kering

Lebih terperinci

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT Dr. David Pokja Pangan, Agroindustri, dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5. Sebaran Hotspot Tahunan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Potensi kebakaran hutan dan lahan yang tinggi di Provinsi Riau dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penggunaan api, iklim, dan perubahan tata guna

Lebih terperinci

Dampak pada Tanah, Lahan dan Ruang Dampak pada Komponen Udara Dampak pada Kualitas Udara Dampak pada Komponen Iklim Dampak pada Fauna dan Flora

Dampak pada Tanah, Lahan dan Ruang Dampak pada Komponen Udara Dampak pada Kualitas Udara Dampak pada Komponen Iklim Dampak pada Fauna dan Flora AMDAL (AGR77) Dampak pada Tanah, Lahan dan Ruang Dampak pada Komponen Udara Dampak pada Kualitas Udara Dampak pada Komponen Iklim Dampak pada Fauna dan Flora Dampak pada Komponen Iklim Dampak pada Hidroorologis

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian kebakaran wilayah di Indonesia sudah menjadi peristiwa tahunan, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2013 kebakaran di Pulau Sumatera semakin meningkat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

INOVASI PENCEGAH KEBAKARAN BAWAH TANAH LAHAN GAMBUT DENGAN SPIDER PIPELINE AS GROUND FIRE WETLAND (SPAS GROFI-W)

INOVASI PENCEGAH KEBAKARAN BAWAH TANAH LAHAN GAMBUT DENGAN SPIDER PIPELINE AS GROUND FIRE WETLAND (SPAS GROFI-W) INOVASI PENCEGAH KEBAKARAN BAWAH TANAH LAHAN GAMBUT DENGAN SPIDER PIPELINE AS GROUND FIRE WETLAND (SPAS GROFI-W) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hutan merupakan tanah luas yang ditumbuhi pohon-pohon

Lebih terperinci

ABSTRACT. Alamat Korespondensi : Telp , PENDAHULUAN

ABSTRACT. Alamat Korespondensi : Telp ,   PENDAHULUAN KAJIAN FAKTOR PENYEBAB DAN UPAYA PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN GAMBUT OLEH MASYARAKAT DI DESA SALAT MAKMUR KALIMANTAN SELATAN Oleh/By FONNY RIANAWATI Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Universitas

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kepadatan Titik Panas Berdasarkan data titik panas yang terpantau dari satelit NOAA-AVHRR dapat diketahui bahwa selama rentang waktu dari tahun 2000 hingga tahun 2011, pada

Lebih terperinci

STUDI PENENTUAN TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DI KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROPINSI SUMATERA SELATAN ERICA PURWANDINI SEPTICORINI E

STUDI PENENTUAN TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DI KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROPINSI SUMATERA SELATAN ERICA PURWANDINI SEPTICORINI E STUDI PENENTUAN TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DI KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROPINSI SUMATERA SELATAN ERICA PURWANDINI SEPTICORINI E14201022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebakaran hutan merupakan fenomena yang sering terjadi di Indonesia (Stolle et al, 1999) yang menjadi perhatian lokal dan global (Herawati dan Santoso, 2011). Kebakaran

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 22 BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1 Luas dan Lokasi Wilayah Merang Peat Dome Forest (MPDF) memiliki luas sekitar 150.000 ha yang terletak dalam kawasan Hutan Produksi (HP) Lalan di Kecamatan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai kekayaan alam yang beranekaragam termasuk lahan gambut berkisar antara 16-27 juta hektar, mempresentasikan 70% areal gambut di Asia Tenggara

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Perilaku Kebakaran Perilaku kebakaran dapat didefenisikan sebagai cara dimana api di alam berkembang, bagaimana bahan bakar terbakar, perkembangan nyala api dan penyebaran api dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan

PENDAHULUAN. wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Kebakaran hutan akhir-akhir ini sering terjadi di Indonesia khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Puncak jumlah hotspot dan kebakaran hutan dan lahan pada periode 5 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia dan kawasan konservasi memiliki korelasi yang kuat. Suatu kawasan konservasi memiliki fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial sedangkan manusia memiliki peran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di

I. PENDAHULUAN. di lahan sawah terus berkurang seiring perkembangan dan pembangunan di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Padi merupakan bahan pangan terpenting di Indonesia mengingat makanan pokok penduduk Indonesia sebagian besar adalah beras. Sementara itu, areal pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem yang sangat. berguna bagi manusia (Soerianegara dan Indrawan. 2005).

I. PENDAHULUAN. hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem yang sangat. berguna bagi manusia (Soerianegara dan Indrawan. 2005). I. PENDAHULUAN Hutan adalah masyarakat tetumbuhan dan hewan yang hidup di lapisan permukaan tanah yang terletak pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hubungan Curah Hujan dengan Koefisien Regim Sungai (KRS) DAS Ciliwung Hulu Penggunaan indikator koefisien regim sungai pada penelitian ini hanya digunakan untuk DAS Ciliwung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur.

TINJAUAN PUSTAKA. secara alami. Pengertian alami disini bukan berarti hutan tumbuh menjadi hutan. besar atau rimba melainkan tidak terlalu diatur. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Kota Hutan dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi

Lebih terperinci

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD.

Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA. Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Lanskap Perkotaan (Urban Landscape) HUTAN KOTA Dr. Ir. Ahmad Sarwadi, MEng. Ir. Siti Nurul Rofiqo Irwan, MAgr, PhD. Tujuan Memahami makna dan manfaat hutan kota pada penerapannya untuk Lanskap Kota. Memiliki

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 8 2.1 Pengertian Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sebagian besar orang menyatakan bahwa kebakaran hutan yang terjadi pada sekarang ini adalah kebakaran kawasan hutan yang terjadi di hutan (baik

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 40 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis dan Administrasi Lokasi penelitian berada di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok seluas 462 ha. Secara geografis daerah penelitian terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar peranannya dalam Pembangunan Nasional, kurang lebih 70% dari luas daratan berupa hutan. Hutan sangat

Lebih terperinci

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa Apakah mulsa itu? Mulsa adalah sisa tanaman, lembaran plastik, atau susunan batu yang disebar di permukaan tanah. Mulsa berguna untuk melindungi permukaan tanah dari terpaan hujan, erosi, dan menjaga kelembaban,

Lebih terperinci

STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN.. Anjarlea Mukti Sabrina Jurusan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ngawi

STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN.. Anjarlea Mukti Sabrina Jurusan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ngawi STRATEGI PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN.. Anjarlea Mukti Sabrina Jurusan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ngawi ABSTRAK Tulisan ini bertujuan untuk mengangkat permasalahan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Organisme atau makhluk hidup apapun dan dimanapun mereka berada tidak akan dapat hidup sendiri. Kelangsungan hidup suatu organisme akan bergantung kepada organisme lain

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai dan Permasalahannya Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan seperti banjir, erosi dan longsor terjadi dimana-mana pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Secara alami CO 2 mempunyai manfaat yang sangat besar bagi kehidupan makhluk hidup. Tumbuhan sebagai salah satu makhluk hidup di bumi memerlukan makanannya untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebakaran hutan (wildfire/forest fire) merupakan kondisi dimana keadaan api menjadi tidak terkontrol dalam vegetasi yang mudah terbakar di daerah pedesaan atau daerah

Lebih terperinci

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan

mampu menurunkan kemampuan fungsi lingkungan, baik sebagai media pula terhadap makhluk hidup yang memanfaatkannya. Namun dengan Latar Belakang Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang utama memegang posisi penting dalam kelestarian lingkungan. Kemerosotan kemampuan tanah yang ditunjukkan dengan meningkatnya laju erosi dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA. Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Faktor Lingkungan Tumbuh Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit semula merupakan tanaman yang tumbuh liar di hutan-hutan maupun daerah semak belukar tetapi kemudian dibudidayakan. Sebagai tanaman

Lebih terperinci

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 19 3.1 Luas dan Lokasi BAB III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Kabupaten Humbang Hasundutan mempunyai luas wilayah seluas 2.335,33 km 2 (atau 233.533 ha). Terletak pada 2 o l'-2 o 28' Lintang Utara dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 14 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Awal Lahan Bekas Tambang Lahan bekas tambang pasir besi berada di sepanjang pantai selatan desa Ketawangrejo, Kabupaten Purworejo. Timbunan-timbunan pasir yang

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Vegetasi Hutan Hutan merupakan ekosistem alamiah yang sangat kompleks mengandung berbagai spesies tumbuhan yang tumbuh rapat mulai dari jenis tumbuhan yang kecil hingga berukuran

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan konsentrasi karbon di atmosfer menjadi salah satu masalah lingkungan yang serius dapat mempengaruhi sistem kehidupan di bumi. Peningkatan gas rumah kaca (GRK)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mega biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Keanekaragaman sumber daya hayati Indonesia termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

Dampak Perubahan Iklim

Dampak Perubahan Iklim Pemanasan Global, Perubahan Iklim, pencemaran lingkungan Bab Pemanasan III Dampak Global, Perubahan Perubahan Iklim Iklim, & pencemaran lingkungan Dampak Perubahan Iklim Menteri Negara Lingkungan Hidup

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap.

TINJAUAN PUSTAKA. oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang di tunjuk dan atau di tetapkan oleh pemerintah untuk di pertahankan keberadaan nya sebagai hutan tetap. Kawasan hutan perlu di tetapkan untuk

Lebih terperinci

DAMPAK PENYIAPAN LAHAN Acacia crassicarpa TERHADAP SERANGAN PENYAKIT BUSUK AKAR PUTIH SYAMSI FAUQO NURI

DAMPAK PENYIAPAN LAHAN Acacia crassicarpa TERHADAP SERANGAN PENYAKIT BUSUK AKAR PUTIH SYAMSI FAUQO NURI DAMPAK PENYIAPAN LAHAN Acacia crassicarpa TERHADAP SERANGAN PENYAKIT BUSUK AKAR PUTIH SYAMSI FAUQO NURI DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 DAMPAK PENYIAPAN

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian ini meliputi wilayah Kota Palangkaraya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Katingan, Kabupaten

Lebih terperinci

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik

KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik KONSERVASI LAHAN: Pemilihan Teknik Konservasi, Fungsi Seresah dan Cacing Tanah, dan mulsa organik Latar Belakang: Penghutan kembali atau reboisasi telah banyak dilakukan oleh multipihak untuk menyukseskan

Lebih terperinci

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN TANGGAL 13 OKTOBER 2016 PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION (P3E) KALIMANTAN, KLHK

LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN TANGGAL 13 OKTOBER 2016 PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION (P3E) KALIMANTAN, KLHK LAPORAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) KALIMANTAN TANGGAL 13 OKTOBER 2016 PUSAT PENGENDALIAN PEMBANGUNAN EKOREGION (P3E) KALIMANTAN, KLHK 1. Jumlah update laporan hotspot di tanggal 12 Oktober 2016

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman

BAB I PENDAHULUAN. sebesar jenis flora dan fauna (Rahmawaty, 2004). Keanekaragaman 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang mendapat sebutan Mega Biodiversity setelah Brazil dan Madagaskar. Diperkirakan 25% aneka spesies dunia berada di Indonesia,

Lebih terperinci

INDONESIA DIJULUKI NEGARA RING OF FIRE KARENA DIKELILINGI GUNUNG BERAPI YANG AKTIF. MEMILIKI BANYAK DEPOSIT MINERAL UNTUK MEMPERTAHANKAN KESUBURAN

INDONESIA DIJULUKI NEGARA RING OF FIRE KARENA DIKELILINGI GUNUNG BERAPI YANG AKTIF. MEMILIKI BANYAK DEPOSIT MINERAL UNTUK MEMPERTAHANKAN KESUBURAN SUMBERDAYA PENGERTIAN SUMBER DAYA MERUPAKAN UNSUR LINGKUNGAN HIDUP YANG TERDIRI DARI SUMBERDAYA MANUSIA, SUMBERDAYA HAYATI, SUMBERDAYA NON HAYATI DAN SUMBERDAYA BUATAN. (UU RI NOMOR 4 TAHUN 1982) SEHINGGA

Lebih terperinci

IV. PEMBAHASAN. 4.1 Neraca Air Lahan

IV. PEMBAHASAN. 4.1 Neraca Air Lahan 3.3.2 Pengolahan Data Pengolahan data terdiri dari dua tahap, yaitu pendugaan data suhu Cikajang dengan menggunakan persamaan Braak (Djaenuddin, 1997) dan penentuan evapotranspirasi dengan persamaan Thornthwaite

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 46 HASIL DAN PEMBAHASAN A Verifikasi Data Hotspot Verifikasi data hotspot dilakukan terhadap data hotspot Bulan Januari sampai Bulan Mei 2005 yang bersumber dari stasiun pengamat kebakaran JICA (Japan

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN TANAH DAN PERSEBARAN JENIS TANAH. A.Pembentukan Tanah

PEMBENTUKAN TANAH DAN PERSEBARAN JENIS TANAH. A.Pembentukan Tanah PEMBENTUKAN TANAH DAN PERSEBARAN JENIS TANAH A.Pembentukan Tanah Pada mulanya, permukaan bumi tidaklah berupa tanah seperti sekarang ini. Permukaan bumi di awal terbentuknya hanyalah berupa batuan-batuan

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2 1. Berikut ini yang tidak termasuk kegiatan yang menyebabkan gundulnya hutan adalah Kebakaran hutan karena puntung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah aliran sungai (DAS) Cilamaya secara geografis terletak pada 107 0 31 107 0 41 BT dan 06 0 12-06 0 44 LS. Sub DAS Cilamaya mempunyai luas sebesar ± 33591.29

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Gambut Pembukaan lahan gambut untuk pengembangan pertanian atau pemanfaatan lainnya secara langsung mengubah ekosistem kawasan gambut yang telah mantap membentuk suatu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (terutama dari sistem pencernaan hewan-hewan ternak), Nitrogen Oksida (NO) dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global merupakan salah satu isu di dunia saat ini. Masalah pemanasan global ini bahkan telah menjadi agenda utama Perserikatan Bangsabangsa (PBB). Kontributor

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Kebakaran Hutan Menurut sejarahnya, kebakaran hutan terutama hutan tropika basah ( tropical rain forest ) di Indonesia telah diketahui terjadi sejak abad ke-18. kebakaran

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP Buletin Prakiraan Musim Kemarau 2016 i KATA PENGANTAR Penyajian prakiraan musim kemarau 2016 di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diterbitkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat disamping publikasi

Lebih terperinci

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN Penanggulangan Kerusakan Lahan Akibat Erosi Tanah OLEH: RESTI AMELIA SUSANTI 0810480202 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis Kabupaten Karawang Wilayah Kabupaten Karawang secara geografis terletak antara 107 02-107 40 BT dan 5 56-6 34 LS, termasuk daerah yang relatif rendah

Lebih terperinci

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut SUMBER DAYA AIR Indonesia memiliki potensi lahan rawa (lowlands) yang sangat besar. Secara global Indonesia menempati urutan keempat dengan luas lahan rawa sekitar 33,4 juta ha setelah Kanada (170 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Novita Fauzi, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Novita Fauzi, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia memiliki potensi rawan akan bencana, baik bencana alam maupun bencana non-alam. Bencana dapat menimbulkan terancamnya keselamatan jiwa,

Lebih terperinci

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon

Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon Topik C4 Lahan gambut sebagai cadangan karbon 1 Presentasi ini terbagi menjadi lima bagian. Bagian pertama, memberikan pengantar tentang besarnya karbon yang tersimpan di lahan gambut. Bagian kedua membahas

Lebih terperinci

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas Pemanasan Bumi Meteorologi Suhu dan Perpindahan Panas Suhu merupakan besaran rata- rata energi kine4k yang dimiliki seluruh molekul dan atom- atom di udara. Udara yang dipanaskan akan memiliki energi kine4k

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kebutuhan lahan dan semakin terbatasnya sumberdaya alam menyebabkan perubahan tata guna lahan dan penurunan kualitas lingkungan. Alih guna hutan sering terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. dan Sebaran Secara umum, hotspot merupakan istilah yang menggambarkan ambang minimal suhu pada titik tertentu dari suatu wilayah yang dapat terekam oleh satelit pendeteksi panas.

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi

IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Administrasi IV. KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Fisik 4.1.1 Wilayah Administrasi Kota Bandung merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Kota Bandung terletak pada 6 o 49 58 hingga 6 o 58 38 Lintang Selatan dan 107 o 32 32 hingga

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 13 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Sifat Kimia Tanah Variabel kimia tanah yang diamati adalah ph, C-organik, N Total, P Bray, Kalium, Kalsium, Magnesium, dan KTK. Hasil analisis sifat kimia

Lebih terperinci