IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Skrining Fitokimia Hasil pengujian skrining fitokimia menunjukan bahwa ekstrak yang dioleskan pada hewan coba mengandung tannin, saponin, dan flavonoid (Tabel 1). Pada uji alkaloid sampel menunjukan hasil negatif terhadap ketiga pereaksi (Wagner, Mayer, dan Dragendorf). Hasil uji saponin menunjukan tinggi busa ± 1,5 cm. Adanya flavonoid ditunjukan dengan terbentuknya warna merah jingga setelah ditambahkan serbuk Mg, 1 ml HCl pekat dan 20 tetes amil alkohol lalu dikocok kuat. Pada uji steroid dan triterpenoid tidak terbentuk warna hijau sehingga ekstrak batang pisang tidak mengandung senyawa tersebut. Ekstrak mengandung senyawa tannin ditunjukan dengan terbentuknya warna biru tua atau hitam kehijauan setelah ditambahkan 2 tetes pereaksi FeCl 3. Tabel 1. Hasil uji fitokimia ekstrak batang pisang Ambon Uji Hasil analisis ekstrak batang pisang Alkaloid - Saponin + + Flavonoid + Steroid - Tanin + Triterpenoid - Efek tannin sebagai astringensia yang banyak digunakan sebagai pengencang kulit dalam kosmetik atau estetika (Olivia et al., 2004). Saponin berkhasiat sebagai antiseptik dan pembersih sedangkan flavonoid memiliki kemampuan bereaksi dengan komponen seperti allergen, virus dan karsinogenik sehingga flavonoid dapat berfungsi sebagai anti alergi, antikanker dan antiinflamasi (Lewis et al., 1999). 23

2 4.2 Potensi antibakteri ekstrak batang pisang Ambon Berdasarkan hasil pengujian potensi antibakteri ekstrak batang pisang Ambon dosis C menggunakan metode cakram kertas didapatkan hasil bahwa ekstrak batang pisang Ambon memiliki potensi antibakteri terhadap Staphilycoccus aureus dan Pseudomonas aeuroginosa hal ini dibuktikan dengan tidak tumbuhnya bakteri disekitar cakram kertas. A B Gambar 3. Gambar A adalah hasil pengujian antibakteri Staphylococcus aeureus dari ekstrak batag pisang Ambon. Gambar B adalah pengujian pengujian antibakteri Pseudomonas aeuroginosa ekstrak batang pisang Ambon. Potensi antibakeri yang dimiliki ekstrak batang pisang Ambn dikarenakan terdapatnya kandungan saponin yang terdapat di ekstrak batang pisang Ambon. Saponin merupakan senyawa metabolit sekunder yang berfungsi sebagai antiseptik sehingga memiliki kemampuan antibakteri. 4.3 Penentuan Dosis Efektif Berdasarkan hasil penentuan dosis efektif dari ekstrak batang pohon pisang didapat bahwa dosis yang paling baik memberikan pengaruh terhadap kualitas/ percepatan persembuhan luka adalah sediaan dengan dosis C (Tabel 2). Dosis C inilah yang selanjutnya digunakan sebagai dosis uji untuk sediaan gel dan aktivitas persembuhan luka. 24

3 Tabel 2 Perbandingan patologi anatomi persembuhan luka kulit pada penentuan dosis efektif antara mencit kontrol, mencit perlakuan dengan ekstrak batang pisang Hari ke- Kontrol Negatif Dosis Ekstrak Batang Pisang A B C 1 luka masih terlihat lebar dan basah, serta keropeng masih sangat jelas terlihat. 3 Luka berwarna merah dan basah, ada gumpalan darah, luka masih terbuka dan tepi luka masih terpisah 5 Luka berwarna merah pucat dan mulai kering, tepi luka mulai kering, luka masih terbuka luka masih terlihat lebar dan basah, serta keropeng masih sangat jelas terlihat. Luka berwarna merah, basah, merah dan ada gumpalan darah, luka masih terbuka dan tepi luka masih terpisah Luka berwarna merah pucat dan kering, tepi luka mulai kering, luka masih terbuka luka masih terlihat lebar dan basah, serta keropeng masih sangat jelas terlihat. Luka berwarna merah dan agak basah, ada gumpalan darah, luka terbuka dan tepinya masih terpisah Luka berwarna merah pucat dan kering, tepi luka mulai kering, luka masih terbuka luka masih terlihat lebar dan basah, serta keropeng masih sangat jelas terlihat. Luka berwarna merah pucat dan mulai mengering, ada gumpalan darah, luka terbuka dan tepinya masih terpisah Luka berwarna merah pucat dan kering, tepi luka mulai kering, luka mulai tertutup 7 Luka berwarna merah pucat dan kering, tepi luka mulai kering, luka masih sedikit terbuka Luka kering dan pucat, tepi luka kering, luka masih sedikit terbuka, kulit tepi luka mulai mengeras Luka kering dan pucat, tepi luka kering, luka mulai menyempit, kulit tepi luka mulai mengeras Luka kering dan pucat, tepi luka kering, luka menutup, kulit tepi luka keras Dari tabel 2 di atas tampak bahwa gambaran patologi anatomi secara garis besar memperlihatkan bahwa pemberian ekstrak batang pohon pisang dengan dosis C memberikan hasil persembuhan yang paling baik berdasarkan parameter makroskopik. Ekstrak batang pohon pisang memberikan hasil yang lebih baik dalam mengembalikan keutuhan kulit akibat luka sayatan dibandingkan dengan kontrol yang tidak diberi apaapa, hal ini menunjukkan bahwa proses persembuhan luka dipercepat dengan pemberian ekstrak batang pohon pisang terutama pada dosis C seperti disajikan pada Gambar 3. A B C a b c Gambar 4. Gambaran makroskopik dari luka kulit pada mencit (A), tampak warna luka merah pucat pada dosis C (a), B (b) dan A (c). Gambar (B) menunjukkan tampakan histopatologik dari luka 25

4 kulit pada mencit kontrol yang tidak diberi apa-apa dan terlihat keropeng masih cukup besar. Gambar (C) memperlihatkan luka secara kualitas lebih baik dan keropeng lebih kecil serta homogen. Gambar B & C diwarnai dengan HE, pembesaran 40 X. 4.4 Pembuatan Sediaan Gel. Ekstrak batang pohon pisang telah berhasil dibuat dalam sediaan gel dengan konsentrasi ektrak dalam gel sebesar dosis C (sesuai hasil uji penentuan dosis efektif di atas) dan sediaan inilah yang digunakan sebagai bahan uji. Bahan dan formula yang digunakan untuk pembuatan sediaan gel adalah poligel, trietanolamin, gliserin, propilenglikol dan ekstrak (Tabel 3). Gambar sediaan gel ditampilkan pada Gambar 4. Tabel 3 Formula Sediaan Gel No Bahan Konsentrasi (%) 1 Poligel 8 2 Ekstrak C 3 Gliserin 2 4 TEA 1,5 5 Propilen glikol 9 6 Aqua DM Ad 100 Keterangan : C = Dosis terpilih dari ekstrak batang pisang A B C Gambar 5. Sediaan gel placebo (A); sedian gel ekstrak batang pisang (B); sediaan obat komersial (C). 26

5 4.5 Pengujian Sediaan Gel. Hasil evaluasi awal sedian gel ekstrak batang pisang dengan dosis C pada suhu 15 0 C dan 27 0 C pada hari ke-1,3 dan 7 tidak terjadi pemisahan, kemudian pada suhu 37 o C juga menunjukan tidak terjadi pemisahan pada hari ke-1 dan ke-3 sedangkan pada hari ke-7 mulai terjadi pemisahan. Pada suhu 45 0 C pada hari ke-1 tidak menjukan pemisahan tetapi pada hari ke-3 dan 7 mulai menunjukan pemisahan ditandai dengan terdapat lapisan air, hal ini disebabkan karena suhu yang tinggi dan sediaan gel yang memang berbasis poligel larut air dan tidak tahan panas (Tabel 4) Tabel 4 Evaluasi Awal Sediaan Gel Ekstrak Batang Pisang Ambon Suhu (T 0 C) Pemisahan (Hari ke-) Keterangan : + = Terjadi Pemisahan - = Tidak terjadi pemisahan Evaluasi akhir sediaan gel pada suhu 15 dan 27 0 C minggu ke-1,2 dan 3 hingga minggu ke-8 tidak terjadi pemisahan, kemudian pada suhu 37 0 C minggu ke-1, dan 2 belum terlihat pemisahan dan baru pada minggu ke-3 hingga ke-8 menujukan tanda pemisahan, sedangkan pada suhu 45 0 C pada minggu ke-1, 2 dan 3 sudah menunjukan pemisahan hingga minggu ke-8 (Tabel 5 ) Tabel 5 Evaluasi Akhir Sediaan Gel Ekstrak batang Pisang Ambon Suhu Pemisahan (Minggu ke-) (T 0 C) Keterangan : + = Terjadi Pemisahan - = Tidak terjadi pemisahan 27

6 4.6 Pemeriksaan Homogenitas Pemeriksaan homogenitas awal melalui pengamatan organoleptis berupa ph, bau dan warna menujukan sediaan gel pada suhu 15 0 C, 27 0 C dan 37 0 C yang diamati pada hari ke-1,3 dan 7 menujukkan hasil yang sama yaitu ph 7,3, bau khas ekstrak, dan warna coklat (Tabel 6 ), sedangkan pada suhu 45 0 C pada hari ke-1 memiliki ph 7,3 hari ke-3 ph 7 dan hari ke-7 ph 6,8 dan bau khas, serta pada hari ke-1, dan 3 warna masih terlihat coklat dan mulai berubah menjadi coklat pada hari ke-7 karena mulai ditandai terjadinya pemisahan akibat faktor suhu yang tinggi (Tabel 7). Tabel 6 Pemeriksaan Homogenitas Awal suhu 15, 27, dan 37 0 C Homogenitas Hari ph 7,3 7,3 7,3 Bau Khas Khas Khas Warna Coklat Coklat Coklat Tabel 7 Pemeriksaan Homogenitas Awal Pada Suhu 45 0 C Homogenitas Hari Ke ph 7,3 7 6,8 Bau Khas Khas Khas Warna Coklat Coklat Coklat A B C D Gambar 6. Sediaan gel ekstrak batang pisang untuk pemeriksaan homogenitas setelah penyimpanan minggu ke-3. Pada suhu 15 0 C (A); pada suhu 27 0 C (B); pada suhu 37 0 C (C) dan pada suhu 45 0 C (D). 28

7 Pemeriksaan homogenitas akhir melalui pengamatan organoleptis berupa ph, bau dan warna menunjukan sediaan gel pada suhu 15 0 C, 27 0 C dan 37 0 C yang diamati pada minggu ke-1, 2 menunjukan hasil yang sama yaitu ph 7,3, bau khas ekstrak, dan warna coklat (Tabel 8, 9 dan 10 ), pada suhu 37 0 C minggu ke-3 menujukan perbedaan yaitu ph 7 dan warna yang terbentuk coklat hal ini disebabkan pada penyimpanan minggu ke-3 sediaan ekstrak menujukan pemisahan (Gambar 6). Pada suhu 45 0 C minggu ke-1menunjukan hasil ph 6,8,bau khas dan warna coklat, pada minggu ke-2 dan 3 menunjukan hasil ph 6,7 dan bau khas, serta warna coklat (Tabel 11) Tabel 8 Pemeriksaan Homogenitas Akhir Sediaan Gel Ekstrak Batang Pisang Pada Suhu 15 0 C Homogenitas Minggu ph 7,3 7,3 7,3 7,3 7,2 7,0 7,0 6,8 Bau Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas Warna Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Tabel 9 Pemeriksaan Homogenitas Akhir Sediaan Gel Ekstrak Batang Pisang Pada Suhu 27 0 C Minggu Homogenitas ph 7,3 7,3 7,3 7,0 6,7 6,7 6,7 6,7 Bau Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas Warna Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Tabel 10 Pemeriksaan Homogenitas Akhir Sediaan Gel Ekstrak Batang Pisang Pada Suhu 37 0 C Minggu Homogenitas ph 7,3 7,3 7,0 6,0 6,0 5,7 5,7 5,7 Bau Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas Warna Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat 29

8 Tabel 11 Pemeriksaan Homogenitas Akhir Sediaan Gel Ekstrak Batang Pisang Pada Suhu 45 0 C Minggu Homogenitas ph 6,8 6,7 6,7 6,0 6,0 5,6 5,3 5,0 Bau Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas Warna Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat 4.7 Pengujian Viskositas Pengujian viskositas tidak dilakukan untuk suhu 45 0 C pada minggu ke-2 hingga minggu ke-8 karena sediaan gel tersebut sudah mulai mencair (rusak) akibat faktor suhu yang tinggi (Tabel 12 dan 13). Adanya penurunan sediaan gel ekstrak batang pisang diakibatkan karena suhu dan lamanya penyimpanan, sehingga menyebabkan menurunnya viskositas, selain itu jumlah air yang ditambahkan ke dalam campuran sediaan gel ekstrak batang pisang juga sangat mempengaruhi viskositas. Tabel 12 Pengukuran viskositas sediaan gel ekstrak batang pisang hari ke-3,5, dan 7 Waktu Uji ( Hari) Perlakuan (centi poise) 15 0 C 27 0 C 37 0 C 45 0 C Tabel 13 Pengukuran viskositas sediaan gel ekstrak batang pisang minggu ke1 sampai ke-8. Waktu Uji Perlakuan (centi poise) (Minggu) 15 0 C 27 0 C 37 0 C

9 4.8 Pengujian Iritasi Kulit Pada uji iritasi kulit untuk ke-11 responden rata-rata tidak mengalami reaksi eritema hingga minggu ke-5, dan mulai muncul reaksi eritema berupa gatal pada minggu ke-6 hal ini disebabkan sedian gel batang pisang sudah mengalami degradasi dengan munculnya jamur dan mulai terbentuknya cairan sehingga konsistensi dari gelnya pun mulai mencair dan ph nya juga cenderung ke asam. Pengujian untuk iritasi kulit hanya dilakukan untuk sediaan gel ekstrak batang pisang dengan penyimpanan pada suhu kamar hal ini disebabkan biasanya masyarakat kita menyimpan obat pada kotak obat yang mana suhunya adalah suhu kamar. Pengujian tidak dilakukan pada suhu 37 0 C dan suhu 45 0 C dikarenakan pada suhu tersebut sediaan gel sudah mengalamai degradasi dan terlihat sudah terjadi pemisahan sehingga konsistensinya menjadi lebih encer dan tidak layak untuk dicoba. (Tabel 14 ) Tabel 14 Hasil Pengujian iritasi pada kulit pada Minggu ke-1 sampai ke-8 Responden Minggu ke Hasil Pengamatan Patologi Anatomi Kecepatan terbentuknya keropeng di ketiga kelompok menandakan kecepatan dari persembuhan luka. Menurut Singer dan Clarks (1999) keropeng merupakan tahap awal dari fase proliferasi yang meliputi aktivitas mitosis dari sel-sel epidermis, sel-sel endotel dan sel-sel fibroblas. Fibroblas, sel-sel radang dan pembuluh darah baru memenuhi jaringan luka dan membentuk jaringan granulasi yang akan terlihat berwarna 31

10 merah dan bergranulasi. Pada fase ini mulai terjadi proses re-epitelisasi dimana sel-sel epitel mulai bermigrasi dan berproliferasi ke jaringan luka. Hasil pengamatan patologi anatomi terhadap proses persembuhan luka pada hewan coba mencit untuk kelompok perlakuan dengan gel placebo (kontrol negatif), kelompok perlakuan dengan gel komersial (kontrol positif), serta kelompok perlakuan dengan gel ekstrak batang pohon pisang Ambon disajikan dalam tabel 15. Tabel disajikan berdasarkan parameter tertentu, yaitu: adanya pembekuan darah, terbentuknya keropeng, penutupan luka, dan ukuran luka. Tabel 15 Perbandingan Patologi Anatomi antara kelompok kontrol negatif (gel placebo), kelompok kontrol positif (gel komersil) dan kelompok gel ekstrak batang pohon pisang Ambon. Hari ke- Kontrol negatif (Gel Placebo) 3 Luka terlihat terbuka lebar dan basah. Tepi masih terpisah, belum terjadi pembekuan darah serta masih tampak merah pada daerah luka. Kontrol positif (Gel Komersil) Luka terlihat terbuka lebar dan mulai mengering. Tepi masih terpisah, belum terjadi pembekuan darah serta masih tampak merah pada daerah luka. Gel ekstrak batang pisang ambon Luka terlihat terbuka lebar dan basah. Tepi masih terpisah, belum terjadi pembekuan darah serta masih tampak merah pada daerah luka. 5 Luka masih terlihat terbuka. Tepi masih terpisah. Luka sudah mulai mengering walau ada bagian yang masih basah. Luka masih terlihat terbuka. Tepi masih terpisah. Luka sudah mulai mengering. Ada pembekuan darah. Luka masih terlihat terbuka dan mengering namun agak lembab. Tepi masih terpisah. Luka berwarna kehitaman. 32

11 7 Luka masih terbuka dan belum terjadi pengecilan diameter, tetapi terlihat adanya keropeng. Luka sudah mengering. Luka masih terbuka tetapi terjadi pengecilan diameter. Terlihat adanya keropeng dan luka sudah mengering. Tepi luka mengeras. Luka masih terbuka tetapi terjadi pengecilan diameter. Terlihat adanya pengelupasan keropeng dan luka sudah mengering. Tepi luka mengeras. 14 Luka sudah mulai terlihat tertutup dan terjadi pengecilan diameter. Luka sudah mengering. Luka sudah tertutup. Bekas luka sudah tidak terlihat. Sudah terjadi proses persembuhan luka. Luka sudah tertutup. Bekas luka sudah tidak terlihat. Sudah terjadi proses persembuhan luka. 21 Luka sudah tertutup dan bekas luka sudah menghilang. Area bekas luka sudah tertutupi bulu. Luka sudah tertutup dan bekas luka sudah menghilang. Area bekas luka sudah tertutupi bulu secara merata. Luka sudah tertutup dan bekas luka sudah menghilang. Area bekas luka sudah tertutupi bulu secara merata. Hasil pengamatan patologi anatomi pada ketiga kelompok pada awal perlakuan masih terlihat sama, dimana luka masih terlihat terbuka, luka basah dan belum terjadinya penggumpalan darah serta luka masih terlihat merah (Tabel 15). Luka yang terbuka memperlihatkan hasil kulit yang tersayat oleh benda tajam dan akan kehilangan kekuatan retraksinya dengan membentuk celah. Luka yang berwarna merah 33

12 menunjukkan reaksi peradangan terhadap penyayatan pada kulit, reaksi ini berupa vasokonstriksi sesaat dari pembuluh darah yang diikuti oleh vasodilatasi dari pembuluh darah (Vegad 1995). Vasodilatasi dari pembuluh darah ini dikenal dengan hiperemi dengan penampakan yang berwarna merah pada daerah luka. Pembuluh darah baru yang mulai terbentuk di daerah luka sejak hari pertama perlukaan menyebabkan peningkatan asupan darah yang membawa benang-benang fibrin, dimana benang fibrin ini juga memberikan fasilitas pada sel-sel radang untuk bermigrasi. Darah yang menggumpal merupakan reaksi platelet yang teraktivasi dan protein fibrinogen yang banyak dikeluarkan pembuluh darah akibat rangkaian reaksi peradangan (Anonim 2003). Sampai pada hari ke-5 pada semua kelompok mengalami fase peradangan, dimana pada fase ini tubuh akan berusaha menghentikan peradangan setelah terjadinya luka dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang putus (retraksi) dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melekat dan bersama dengan benang fibrin terbentuk terjadinya pembekuan darah (Sjamsuhidajat dan de Jong,1997). Kandungan tannin dan flavonoid yang berfungsi sebagai anti peradangan di dalam sediaan gel ekstrak batang pohon pisang Ambon dan gel komersil dapat mempercepat terjadinya pembekuan darah. Kecepatan terbentuknya keropeng di ketiga kelompok menandakan kecepatan dari persembuhan luka. Menurut Singer dan Clarks (1999) keropeng merupakan tahap awal dari fase proliferasi yang meliputi aktivitas mitosis dari sel-sel epidermis, sel-sel endotel dan sel-sel fibroblas. Fibroblas, sel-sel radang dan pembuluh darah baru memenuhi jaringan luka dan membentuk jaringan granulasi yang akan terlihat berwarna merah dan bergranulasi. Pada fase ini mulai terjadi proses re-epitelisasi dimana sel-sel epitel mulai bermigrasi dan berproliferasi ke jaringan luka. Terbentuknya keropeng pada kelompok kontrol negatif berbeda dengan kelompok perlakuan kontrol positif (gel komersil) dan kelompok gel ekstrak batang pohon pisang Ambon. Pada kelompok kontrol negatif keropeng terbentuk pada hari ke-7 dimana pada kelompok perlakuan kontrol positif dan sediaan gel pisang Ambon, keropeng telah terbentuk dari hari ke-6. Pada kelompok perlakuan gel ekstrak pisang Ambon, pada hari ke-7 keropeng sudah terlihat ada yang terlepas (Tabel 15). 34

13 Pada hari ke-7 terlihat adanya perbedaan dari ketiga kelompok dimana pada kelompok gel komersil dan kelompok gel ekstrak batang pohon pisang Ambon sudah terjadi pengecilan diameter pada lebar luka serta luka yang telah mengering sedangkan pada kelompok kontrol negatif pengecilan diameter dapat terlihat jelas pada hari ke-14. Perbedaan juga terlihat pada pertumbuhan rambut di daerah luka, dimana pada kontrol negatif terjadi pada hari ke-16 sedangkan pada kelompok gel komersil dan kelompok gel ekstrak batang pohon pisang Ambon terjadi pada hari ke-14. Tumbuhnya rambut yang lebih cepat pada kelompok perlakuan gel komersil dan kelompok gel ekstrak batang pohon pisang Ambon menunjukkan proses regenerasi yang lebih cepat dibandingkan dengan kelompok kontrol (Tabel 15). Bekas luka yang sudah mulai menghilang pada kelompok kontrol negatif terjadi di hari ke-16 sedangkan pada kelompok gel komersil dan kelompok gel ekstrak batang pohon pisang Ambon sudah mulai menghilang pada hari ke-14. Bekas luka yang menghilang lebih cepat pada kelompok perlakuan gel komersil dan kelompok gel ekstrak batang pohon pisang Ambon dibandingkan kelompok kontrol negatif menunjukkan bahwa perlakuan dapat mempercepat hilangnya jaringan parut yang menurut estetikanya keberadaan jaringan parut pada permukaan kulit terlihat kurang baik. Pada hari ke-21 semua kelompok sudah tidak menunjukkan perbedaan dimana kulit kembali normal (Tabel 15) Hasil Pengamatan Histopatologi Parameter yang diamati pada pemeriksaan histopatologi adalah jumlah sel-sel radang (limfosit, neutrofil, dan makrofag), jumlah neokapiler, persentase re-epitelisasi dengan preparat yang digunakan adalah preparat yang telah diwarnai dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin dan kepadatan jaringan ikat (fibroblas) dengan preparat yang digunakan adalah preparat yang telah diwarnai dengan pewarnaan MT. Hasil pengamatan mikroskopis terhadap proses persembuhan luka pada hewan coba mencit untuk kelompok perlakuan dengan gel placebo (kontrol negatif), kelompok perlakuan dengan gel komersial (kontrol positif), serta kelompok perlakuan dengan gel ekstrak batang pohon pisang Ambon disajikan dalam tabel

14 Tabel 16 Perbandingan mikroskopis pasca perlukaan antara kelompok kontrol negatif (gel placebo), kelompok kontrol positif (gel komersil) dan kelompok gel ekstrak batang pohon pisang Ambon. Hari Kontrol negatif ke- (Gel Placebo) 3 Ada Infiltrasi sel radang dan belum terbentuk reepitelisasi. Kontrol positif (Gel Komersil) Ada Infiltrasi sel radang dan belum terbentuk re-epitelisasi. Gel ekstrak batang pisang ambon Ada Infiltrasi sel radang dan belum terbentuk re-epitelisasi. (Pewarnaan HE, 400X) 5 Ada Infiltrasi sel radang dan mulai terbentuk reepitelisasi (24.57%). (Pewarnaan HE, 400X) Ada Infiltrasi sel radang dan mulai terbentuk re-epitelisasi (24.57%). (Pewarnaan HE, 400X) Ada Infiltrasi sel radang dan mulai terbentuk re-epitelisasi (33.60%). (Pewarnaan HE, 400X) 7 Ada Infiltrasi sel radang dan terbentuk reepitelisasi (57.82%). (Pewarnaan HE, 400X) Ada Infiltrasi sel radang dan terbentuk re-epitelisasi (57.82%). (Pewarnaan HE, 400X) Ada Infiltrasi sel radang dan terbentuk re-epitelisasi (68.32%). (Pewarnaan HE, 400X) (Pewarnaan HE, 400X) (Pewarnaan HE, 400X) 36

15 14 Luka sudah menutup dan terbentuk re-epitelisasi sempurna (100%). Luka sudah menutup dan terbentuk re-epitelisasi sempurna (100%). Luka sudah menutup dan terbentuk re-epitelisasi sempurna (100%). (Pewarnaan HE, 100X) 21 Re-epitelisasi sudah sempurna (100%). (Pewarnaan HE, 100X) Re-epitelisasi sudah sempurna (100%). (Pewarnaan HE, 100X) Re-epitelisasi sudah sempurna (100%). (Pewarnaan HE, 100X) (Pewarnaan HE, 100X) (Pewarnaan HE, 100X) Infiltrasi Sel Radang Proses peradangan mencakup sel-sel radang dari pembuluh darah menuju jaringan luka. Sel-sel yang menginfiltrasi daerah luka diantaranya adalah limfosit, neutrofil dan makrofag Limfosit Peran limfosit didalam proses persembuhan luka adalah melepaskan limfokin yang mempengaruhi populasi dari sel-sel radang lainnya dan beberapa limfokin yang dilepaskan limfosit mempengaruhi populasi dari sel-sel radang lainnya seperti sel makrofag (Singer, 1999). Jumlah sel limfosit yang lebih tinggi pada kelompok gel ekstrak juga ditunjukkan pada hari ke-5 dan hari ke-7 dibandingkan kelompok kontrol negatif, dimana pada hari ke-5 jumlah sel limfosit sebanyak ± lebih 37

16 tinggi dibandingkan jumlah kontrol negatif yaitu ± 8.49 dikarenakan pada hari ke-5 merupakan puncak sel limfosit banyak mengeluarkan limfokin-limfokin untuk proses peradangan yang nantinya dibutuhkan oleh makrofag untuk membunuh partikel asing. (Tabel 17). Tabel 17 Perbandingan jumlah sel limfosit pada ketiga kelompok perlakuan. Hari Kelompok ke- Kontrol Negatif Kontrol Positif Gel Ekstrak ± 0.61 BCD ± 7.78 B ± 9.19 BC ± 8.49 A ± 4.24 A ± A ± 4.24 BCD ± 1.41 BCD ± 5.66 BCD ± 1.41 BCD ± 3.54 CD ± 2.83 D ± 2.83 E ± 1.41 E ± 3.54 E Keterangan: Huruf (superskrip) yang berbeda pada baris yang sama menunjukan ada perbedaan yang nyata (P<0,05). Kandungan zat aktif dalam ekstrak batang pohon pisang Ambon berfungsi sebagai faktor kemotaktik yang menarik kehadiran sel-sel radang dari sirkulasi darah dan bermigrasi ke dalam jaringan (Priosoeryanto 2006). Faktor kemotaktik adalah suatu bahan aktif di dalam lokasi peradangan yang memiliki fungsi mendatangkan sel-sel radang dari sirkulasi darah. Dimana faktor ini juga membantu penyelenggaraan respon peradangan hingga terjadinya persembuhan. Faktor kemotaktik (mediator inflamasi) berperanan penting dalam proses peradangan akut dengan meningkatkan permeabilitas vaskular, vasodilatasi dan rasa nyeri (Lewis 1986). Tingginya jumlah sel limfosit pada kelompok ekstrak batang pohon pisang Ambon dan kelompok kontrol positif merupakan proses peradangan akut yang pada kelompok ini lebih cepat berlangsung sehingga sel limfosit sebagai salah satu sel peradangan juga lebih cepat menginfiltrasi daerah luka. 38

17 Neutrofil Sel neutrofil merupakan sel pertahanan pertama terhadap kontaminasi mikroba pada peradangan. Kehadiran sel neutrofil dipengaruhi oleh adanya produk-produk yang dilepaskan oleh bakteri dan sel-sel yang rusak atau mati. Sel neutrofil berfungsi untuk membunuh dan memfagosit partikel-partikel asing yang terdapat pada daerah luka dengan cara fagositosis (Low, et al. 2001). Hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa pola rataan jumlah neutrofil pada ketiga kelompok perlakuan relatif sama, yaitu angka yang tinggi pada hari awal dan kemudian angka menurun pada hari-hari berikutnya. Data pada tabel 20 menunjukkan bahwa pada hari ke-3 kelompok ekstrak batang pohon pisang Ambon memiliki jumlah neutrofil sebanyak ± 7.78 menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) dengan kelompok kontrol positif yaitu ± dan dengan kelompok kontrol negatif yaitu ± Perbedaan ini juga ditunjukkan pada tabel 5 bahwa di hari ke-5 ketiga kelompok menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05), dimana pada kelompok gel ekstrak batang pohon pisang Ambon memiliki jumlah sel neutrofil sebanyak ± 4.24 dan pada kelompok kontrol positif sebanyak ± sedangkan pada kelompok kontrol negatif memiliki jumlah neutrofil sebanyak ± 5.66, hal ini dikarenakan sel neutrofil merupakan pertahanan seluler pertama maka jumlah neutrofil pada hari awal perlukaan memiliki jumlah yang cukup tinggi (Vegad, 1995). Berdasarkan teori tersebut membuktikan bahwa pada kelompok perlakuan ekstrak batang pohon pisang Ambon dan kontrol positif, sel neutrofil lebih cepat melakukan proses fagositosis dan jaringan nekrotik. Semua kelompok mengalami penurunan jumlah sel neutrofil dari hari ke-7 sampai dengan hari ke-21, ini menunjukkan bahwa sel neutrofil melakukan tugasnya sebagai sel pertahanan hanya pada awal pasca perlukaan karena tugasnya akan digantikan oleh sel makrofag sebagai sel pertahanan seluler yang kedua. Menurut Guyton dan Hall (1997), keberadaan sel makrofag dan sel neutrofil saling berhubungan dalam proses persembuhan luka. Sel neutrofil merupakan pertahanan seluler pertama yang jumlahnya akan meningkat pada awal pasca perlukaan dimana sel neutrofil akan memakan (memfagositosis) benda-benda asing. Benda-benda 39

18 asing dan sisa sel mati (jaringan nekrotik) yang tidak terfagositosis oleh sel neutrofil akan diteruskan oleh sel makrofag sebagai sel pertahanan seluler kedua. Tabel 18 Perbandingan jumlah sel neutrofil pada ketiga kelompok perlakuan Hari Kelompok ke- Kontrol Negatif Kontrol Positif Gel Ekstrak ± D ± CD ± 7.78 C ± 5.66 CD ± A ± 4.24 B ± 8.49 E ± 4.24 E ± 7.78 E ± 9.90 F ± 7.07 F ± 6.36 F ± 1.41 G ± 1.41 G ± 5.66 G Keterangan: Huruf (superskrip) yang berbeda pada baris yang sama menunjukan ada perbedaan yang nyata (P<0,05) Makrofag Sel makrofag merupakan sel radang yang berfungsi untuk mengeliminasi partikel asing dan jaringan mati. Sel makrofag dan sel neutrofil bekerjasama dalam menyerang dan menghancurkan partikel asing menyerbu masuk ke dalam tubuh. Menurut Guyton dan Hall (1997) sel makrofag akan melakukan emigrasi setelah sel neutrofil datang di daerah luka,dan setelah sel neutrofil melakukan fagositosis. Sel-sel neutrofil yang mati pun akan turut difagosit oleh sel makrofag. Tabel 19 Perbandingan jumlah sel makrofag pada ketiga kelompok perlakuan. Hari Kelompok ke- Kontrol Negatif Kontrol Positif Gel Ekstrak ± 2.12 G ± 2.12 FG ± 2.12 G ± 2.83 E ± B ± 4.24 A ± 6.36 D ± 2.12 C ± 2.83 C ± 5.66 F ± 2.83 G ± 4.24 G ± 5.66 H ± 2.12 H ± 2.12 H Keterangan: Huruf (superskrip) yang berbeda pada baris yang sama menunjukan ada perbedaan yang nyata (P<0,05). Jumlah sel makrofag pada ketiga kelompok menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05) di hari ke-3 (Tabel 19). Perbedaan yang nyata (P<0,05) terlihat pada 40

19 hari ke-5 pada semua kelompok dimana jumlah sel makrofag yang tinggi pada kelompok gel ekstrak yaitu ± 4.24 berbeda nyata dengan kelompok kontrol positif dengan jumlah sel makrofag sebanyak ± sedangkan kelompok kontrol negatif memilki jumlah sel makrofag sebanyak ± 2.83 (Tabel 19). Perbedaan yang nyata (P<0,05) juga masih tampak pada hari ke 7 dimana pada kelompok gel ekstrak memilki jumlah sel makrofag sebanyak ± 2.83 sedangkan pada kelompok kontrol negatif sebanyak ± 6.36, namun kelompok kontrol positif menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) dengan kelompok gel ekstrak (Tabel 19). Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok ekstrak batang pohon pisang Ambon dan kelompok kontrol positif lebih cepat dalam melakukan pembersihan partikel asing dalam luka dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Percepatan dalam pembersihan luka oleh sel makrofag salah satunya karena kandungan zat aktif dalam ekstrak batang pohon pisang Ambon yaitu saponin sebagai antiseptik dan pembersih Re-epitelisasi Re-epitelisasi merupakan tahapan perbaikan luka yang meliputi mobilisasi, migrasi, mitosis dan diferensiasi sel epitel (Aschrof, et al. 1999). Tahapan-tahapan ini akan mengembalikan intregitas kulit yang hilang. Perbedaan yang mencolok antara kelompok perlakuan (kelompok yang diberi obat komersial dan gel ekstrak batang pisang Ambon) dengan kontrol terlihat pada hari ke-7, dimana rata-rata re-epitelisasi pada kedua kelompok perlakuan sudah mencapai kisaran 0,60 sedangkan pada kelompok kontrol masih 0,52. Hasil ini memperlihatkan bahwa gel ekstrak batang pisang mempunyai kemampuan yang relatif sama dengan obat komersial untuk meningkatkan re-epitelisasi epidermis, sehingga luka lebih cepat menutup. (Tabel 20) 41

20 Tabel 20 Nilai Rata-rata Persentase Re-epitelisasi Kelompok Hari Pengamatan Kelompok I ( gel placebo ) 0 0,29 0,52 1,00 1,00 Kelompok II ( pemberian Obat komersial) Kelompok III ( pemberian gel ekstrak batang pisan Ambon ) 0 0,34 0,62 1,00 1,00 0 0,40 0,60 1,00 1,00 Persembuhan luka sangat dipengaruhi oleh re-epitelisasi, karena semakin cepat proses re-epitelisasi semakin cepat pula luka tertutup sehingga semakin cepat persembuhan luka. Kecepatan dari persembuhan luka dapat dipengaruhi dari zat-zat yang terdapat dalam obat yang diberikan, jika obat tersebut mempunyai kemampuan untuk meningkatkan persembuhan dengan cara merangsang lebih cepat pertumbuhan sel-sel baru pada kulit. a b c e f d I Gambar 10. Gambaran mikroskopik luka pada hari ke-7. Kelompok kontrol negatif (I), Kelompok Obat komersial (II), Kelompok gel batang pisang Ambon (III). Terlihat pada kelompok I re-epitelisasi epidermis belum terjadi sempurna, keropeng/fibrin masih terlihat (a). Pada kelompok II proses re-epitelisasi sudah terjadi (b) walaupun keropeng/fibrin (c) masih terlihat tetapi sudah mulai lepas dari luka, disertai fibrosis dengan kerapatan tinggi (d). Pada kelompok III re-epitelisasi sudah mulai sempurna (e), keropeng sudah lepas, luka menyempit, serta fibrosis dengan kerapatan tinggi (f). Pewarnaan H & E. Pembesaran 20 X. II III 42

21 Neokapilerisasi Neokapilerisasi merupakan pembuluh darah baru berupa tunas-tunas yang terbentuk dari pembuluh darah dan akan berkembang menjadi percabangan baru pada jaringan luka. Neokapilerisasi akan saling beranastomose dan membentuk suatu jaringan sirkulasi darah yang padat pada jaringan luka. Pembuluh darah memiliki peranan penting dalam perbaikan jaringan untuk memberikan asupan nutrisi bagi jaringan yang sedang beregenerasi. Pembuluh darah juga menghantarkan sel-sel radang yang dibentuk di dalam sumsum tulang untuk mendekati jaringan yang terluka hingga sel radang tersebut melakukan emigrasi (Spector dan Spector, 1988). Tabel 21 Perbandingan neokapilerisasi pada ketiga kelompok di daerah luka. Hari Kelompok ke- Kontrol Negatif Kontrol Positif Gel Ekstrak ± 8.49 DE ± 4.24 CDE ± 2.12 BCD ± 1.41 AB ± 9.19 AB ± 2.12 AB ± ABC ± AB ± AB ± 2.83 CDE ± 1.41 CDE ± 0.71 CDE ± 4.24 E ± 5.66 E ± 4.95 E Keterangan: Huruf (superskrip) yang berbeda pada baris yang sama menunjukan ada perbedaan yang nyata (P< 0,05). Jumlah neokapiler di hari ke-3 pada kelompok ekstrak batang pohon pisang Ambon lebih banyak yaitu ± 2.12 dibandingkan dengan kelompok kontrol positif yang memilki neokapiler sebanyak ± 4.24 dan kelompok kontrol negatif yang memiliki neokapiler sebanyak ± 8.49 ( Tabel 21). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian gel ekstrak batang pohon pisang Ambon dapat mempercepat pembentukan neokapiler di daerah luka. Jumlah yang tertinggi dari semua kelompok dapat terlihat pada hari ke-5 dimana pada hari ke-5 ini neokapiler memberikan nutrisi yang maksimal bagi jaringan yang tengah beregenerasi. Mulai hari ke-14 sampai dengan hari ke-21, ketiga kelompok mengalami penurunan jumlah neokapiler dimana hal ini menunjukkan bahwa reaksi peradangan mulai menghilang. Menurut Vegad (1995) penurunan jumlah neokapiler ini dikarenakan adanya penyesuaian dari kebutuhan nutrisi pada jaringan yang semakin berkurang sehingga akan menurunkan jumlah vaskular dan reaksi edema pun akan mulai menghilang. 43

22 Fibroblas (Jaringan Ikat) Fibroblas merupakan sel pada jaringan ikat yang berpengaruh dalam proses persembuhan luka. Fibroblas mampu membentuk matriks ekstraseluler yang menunjang regenerasi sel-sel pada daerah luka dan menunjang keberadaan pembuluh kapiler baru pada proses granulasi jaringan. Fibroblas akan mengalami beberapa perubahan fenotip dan menjadi myofibroblas yang berfungsi untuk retraksi luka (Kalangi 2004). Tabel 22 Perbandingan ketebalan jaringan ikat pada ketiga kelompok di daerah luka dengan pewarnaan MT dan pembesaran 400 X. Ha ri ke- Kontrol negatif (Gel Placebo) 3 Kepadatan serabut kolagen pada daerah luka rendah. Jaringan ikat sedikit dan tidak kompak. Kontrol positif (Gel komersil) Kepadatan serabut kolagen pada daerah luka sedang. Kepadatan jaringan ikat sedikit dan tidak mengumpul. Gel ekstrak batang pisang ambon Kepadatan serabut kolagen pada daerah luka sedang. Kepadatan jaringan ikat sedikit dan tidak mengumpul. 7 Kepadatan serabut kolagen pada daerah luka rapat. Jaringan ikat padat tetapi masih ada rongga. Kepadatan serabut kolagen pada daerah luka rapat. Jaringan ikat padat tetapi masih ada rongga. Kepadatan serabut kolagen pada daerah luka rapat. Jaringan ikat padat tetapi masih ada rongga. 44

23 14 Kepadatan serabut kolagen pada daerah luka rapat. Jaringan ikat padat tetapi masih ada rongga. Kepadatan serabut kolagen pada daerah luka sangat rapat. Jaringan ikat padat dan kompak. Kepadatan serabut kolagen pada daerah luka sangat rapat. Jaringan ikat padat dan kompak. 21 Kepadatan serabut kolagen pada daerah luka sangat rapat. Jaringan ikat padat dan kompak Kepadatan serabut kolagen pada daerah luka sangat rapat. Jaringan ikat padat dan kompak Kepadatan serabut kolagen pada daerah luka sangat rapat. Jaringan ikat padat dan kompak Pada hari ke-3 kepadatan serabut kolagen pada kelompok ekstrak batang pohon pisang Ambon menunjukkan hasil yang berbeda dengan kelompok lainnya (Tabel 22). Peningkatan jumlah fibroblas ini terus berlangsung sampai dengan hari ke-21. Kelompok ekstrak batang pohon pisang Ambon menunjukkan hasil yang lebih banyak daripada kelompok gel komersil dan kelompok kontrol. Pada hari ke-14, kepadatan fibroblas pada kelompok ekstrak batang pohon pisang Ambon tidak berbeda dengan kelompok gel komersil yang sudah sempurna, namun keduanya berbeda dengan kelompok kontrol yang kepadatannya padat meski masih ada rongga (Tabel 22), hal ini menunjukkan bahwa proses re-epitelisasi lebih cepat pada kelompok ekstrak batang 45

24 pohon pisang Ambon yang mengindikasikan proses penutupan luka yang lebih cepat dibandingkan kelompok lainnya. Pada hari ke-21 semua kelompok mengalami kepadatan fibroblas yang sudah sempurna. Kepadatan jaringan ikat yang lebih padat pada kelompok ekstrak batang pohon pisang Ambon menunjukkan bahwa pengecilan besar luka lebih cepat terjadi pada kelompok ekstrak batang pohon pisang Ambon, ini dikarenakan semakin banyaknya jaringan ikat pada luka maka semakin besar daya kontraksi luka sehingga sisi luka akan tertarik dan menyebabkan besar luka menjadi mengecil. 46

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kulit merupakan organ terbesar pada tubuh, terhitung sekitar 16% dari berat badan manusia dewasa. Kulit memiliki banyak fungsi penting, termasuk sebagai sistem pertahanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi rongga mulut. Lapisan ini terdiri dari epitel gepeng berlapis baik yang berkeratin maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulut, yang dapat disebabkan oleh trauma maupun tindakan bedah. Proses

BAB I PENDAHULUAN. mulut, yang dapat disebabkan oleh trauma maupun tindakan bedah. Proses BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Luka merupakan kerusakan fisik yang ditandai dengan terganggunya kontinuitas struktur jaringan yang normal. 1 Luka sering terjadi dalam rongga mulut, yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. makroskopis (in vivo), hasil FTIR dan hasil uji kemampuan absorbsi tentang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. makroskopis (in vivo), hasil FTIR dan hasil uji kemampuan absorbsi tentang BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan disajikan hasil pengumpulan data dari observasi makroskopis (in vivo), hasil FTIR dan hasil uji kemampuan absorbsi tentang pengaruh kasa hidrogel paduan kitosan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Segala aktivitas dalam kehidupan sehari-hari dapat menimbulkan resiko timbulnya luka pada tubuh. Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh atau rusaknya

Lebih terperinci

Pertumbuhan Jaringan Ikat. Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Khitosan Pengamatan Sediaan Histopatologi Jumlah Sel Radang.

Pertumbuhan Jaringan Ikat. Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Khitosan Pengamatan Sediaan Histopatologi Jumlah Sel Radang. pencetak penuh dan dibiarkan sampai parafin membeku dan mengeras. Pemotongan jaringan menggunakan mikrotom dilakukan dengan ketebalan 3 mikron setelah sebelumnya dimasukkan ke dalam lemari pendingin. asil

Lebih terperinci

III. BAHAN dan METODE

III. BAHAN dan METODE III. BAHAN dan METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Bagian Patologi dan Bagian Farmasi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi (KRP), Fakultas Kedokteraan Hewan, Institut Pertanian Bogor

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tubuh dari serangan fisik, kimiawi, dan biologi dari luar tubuh serta mencegah

BAB 1 PENDAHULUAN. tubuh dari serangan fisik, kimiawi, dan biologi dari luar tubuh serta mencegah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kulit merupakan organ tubuh yang paling luas dan mencapai 15% dari total berat badan dewasa. Kulit terdiri dari tiga lapisan yaitu epidermis, dermis, dan jaringan subkutaneus.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Nurdiana dkk., 2008). Luka bakar merupakan cedera yang mengakibatkan

I. PENDAHULUAN. (Nurdiana dkk., 2008). Luka bakar merupakan cedera yang mengakibatkan I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Luka bakar merupakan salah satu insiden yang sering terjadi di masyarakat khususnya rumah tangga dan ditemukan terbayak adalah luka bakar derajat II (Nurdiana dkk., 2008).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kimia, kini penggunaan obat-obatan herbal sangat populer dikalangan

BAB I PENDAHULUAN. kimia, kini penggunaan obat-obatan herbal sangat populer dikalangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan di bidang kedokteran juga semakin berkembang. Selain pengembangan obat-obatan kimia, kini penggunaan obat-obatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengalami penyembuhan luka (Fedi dkk., 2004). Proses penyembuhan luka meliputi beberapa fase yaitu fase inflamasi,

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengalami penyembuhan luka (Fedi dkk., 2004). Proses penyembuhan luka meliputi beberapa fase yaitu fase inflamasi, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Luka adalah terputusnya kontinuitas sel dan jaringan tubuh yang disebabkan oleh trauma (Fedi dkk., 2004). Luka dapat disebabkan oleh trauma mekanis, suhu dan kimia (Chandrasoma

Lebih terperinci

Uji Efektivitas Ekstrak Daun Wungu (Graptophyllum Pictum (L.) Griff) sebagai Penyembuh Luka

Uji Efektivitas Ekstrak Daun Wungu (Graptophyllum Pictum (L.) Griff) sebagai Penyembuh Luka Prosiding Penelitian SPeSIA Unisba 2015 ISSN 2460-6472 Uji Efektivitas Ekstrak Daun Wungu (Graptophyllum Pictum (L.) Griff) sebagai Penyembuh Luka 1 Rita Andiyani, 2 Umi Yuniarni, dan 3 Dina Mulyanti 1,2,3

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jika dihitung tanpa lemak, maka beratnya berkisar 16% dari berat badan

BAB I PENDAHULUAN. jika dihitung tanpa lemak, maka beratnya berkisar 16% dari berat badan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kulit merupakan organ tubuh paling luas yang melapisi seluruh bagian tubuh, dan membungkus daging dan organ-organ yang berada di dalamnya. Ratarata luas kulit pada manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan mengelilingi gigi. Gingiva terbagi menjadi gingiva tepi, gingiva cekat dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan mengelilingi gigi. Gingiva terbagi menjadi gingiva tepi, gingiva cekat dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gingiva merupakan bagian mukosa oral yang menutupi prosesus alveolaris dan mengelilingi gigi. Gingiva terbagi menjadi gingiva tepi, gingiva cekat dan gingiva

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. normal (Nagori and Solanki, 2011). Berdasarkan sifatnya luka dibagi menjadi 2,

BAB I PENDAHULUAN. normal (Nagori and Solanki, 2011). Berdasarkan sifatnya luka dibagi menjadi 2, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka merupakan kerusakan fisik sebagai akibat dari terbukanya atau hancurnya kulit yang menyebabkan ketidakseimbangan fungsi dan anatomi kulit normal (Nagori and

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. benda tajam ataupun tumpul yang bisa juga disebabkan oleh zat kimia, perubahan

BAB I PENDAHULUAN. benda tajam ataupun tumpul yang bisa juga disebabkan oleh zat kimia, perubahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlukaan merupakan rusaknya jaringan tubuh yang disebabkan oleh trauma benda tajam ataupun tumpul yang bisa juga disebabkan oleh zat kimia, perubahan suhu,

Lebih terperinci

AKTIVITAS SEDIAAN SALEP EKSTRAK BATANG POHON PISANG AMBON

AKTIVITAS SEDIAAN SALEP EKSTRAK BATANG POHON PISANG AMBON Majalah Obat Tradisional, 15(3), 121 137, 2010 AKTIVITAS SEDIAAN SALEP EKSTRAK BATANG POHON PISANG AMBON (Musa paradisiaca var sapientum) DALAM PROSES PERSEMBUHAN LUKA PADA MENCIT (Mus musculus albinus)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dkk., 2006). Secara fisiologis, tubuh manusia akan merespons adanya perlukaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dkk., 2006). Secara fisiologis, tubuh manusia akan merespons adanya perlukaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gingiva merupakan bagian dari mukosa rongga mulut yang menutupi tulang alveolar pada kedua rahang dan mengelilingi leher gigi (Reddy, 2008). Perlukaan pada gingiva sering

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Parasitemia Hasil penelitian menunjukan bahwa semua rute inokulasi baik melalui membran korioalantois maupun kantung alantois dapat menginfeksi semua telur tertunas (TET). Namun terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian besar wilayah di Indonesia adalah wilayah dengan dataran rendah yaitu berupa sungai dan rawa yang di dalamnya banyak sekali spesies ikan yang berpotensi tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. didefinisikan sebagai hilangnya integritas epitelial dari kulit (Schwartz et al.,

BAB I PENDAHULUAN. didefinisikan sebagai hilangnya integritas epitelial dari kulit (Schwartz et al., 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka merupakan kasus cedera yang sering dialami oleh setiap manusia. Luka merupakan suatu keadaan hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Luka didefinisikan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap diferensiasi leukosit mencit (Mus musculus) yang diinfeksi P. berghei, setelah diberi infusa akar tanaman kayu kuning (C. fenestratum) sebagai berikut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. meliputi empat fase, yakni : fase inflamasi, fase destruktif, fase proliferasi dan

BAB I PENDAHULUAN UKDW. meliputi empat fase, yakni : fase inflamasi, fase destruktif, fase proliferasi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kulit merupakan bagian terluar (pelindung) dari tubuh, dan luka kulit merupakan peristiwa yang sering dialami setiap orang dan sering kali dianggap ringan, padahal

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1.Pemeriksaan Mutu Sampel Pemeriksaan mutu madu dilaksanakan di Balai Riset dan Standarisasi Industri Padang dan Balai Besar Industri Agro Bogor. Hasil pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang sering terjadi pada kulit

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang sering terjadi pada kulit BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka bakar merupakan suatu bentuk trauma yang sering terjadi pada kulit atau jaringan akibat adanya kontak dengan listrik, api, pajanan suhu yang tinggi dari matahari,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tindakan yang sering dilakukan oleh dokter gigi dalam perawatan kesehatan gigi dan mulut adalah melakukan ekstraksi atau pencabutaan gigi, dimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan.

I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan. I. PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Luka jaringan lunak rongga mulut banyak dijumpai pada pasien di klinik gigi. Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka merupakan rusak atau hilangnya sebagian dari jaringan tubuh. Penyebab keadaan ini dapat terjadi karena adanya trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. iritan, dan mengatur perbaikan jaringan, sehingga menghasilkan eksudat yang

BAB I PENDAHULUAN. iritan, dan mengatur perbaikan jaringan, sehingga menghasilkan eksudat yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau zat-zat mikrobiologi. Inflamasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

AKTIVITAS SEDIAAN SALEP EKSTRAK BATANG POHON PISANG AMBON

AKTIVITAS SEDIAAN SALEP EKSTRAK BATANG POHON PISANG AMBON Majalah Obat Tradisional, 15(3), 121 137, 2010 AKTIVITAS SEDIAAN SALEP EKSTRAK BATANG POHON PISANG AMBON (Musa paradisiaca var sapientum) DALAM PROSES PERSEMBUHAN LUKA PADA MENCIT (Mus musculus albinus)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Inflamasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan radang yang merupakan respon perlindungan setempat yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Inflamasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan radang yang merupakan respon perlindungan setempat yang BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Inflamasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan radang yang merupakan respon perlindungan setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakkan jaringan untuk menghancurkan,

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air Pemilihan Eluen Terbaik Pelat Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yang digunakan adalah pelat aluminium jenis silika gel G 60 F 4. Ekstrak pekat ditotolkan pada pelat KLT. Setelah kering, langsung dielusi dalam

Lebih terperinci

Larutan bening. Larutab bening. Endapan hijau lumut. Larutan hijau muda

Larutan bening. Larutab bening. Endapan hijau lumut. Larutan hijau muda BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Analisis Fitokimia Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L) Sampel buah mengkudu kering dan basah diuji dengan metoda fitokimia untuk mengetahui ada atau tidaknya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental laboratorium. B. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini

Lebih terperinci

BAB IV PROSEDUR KERJA

BAB IV PROSEDUR KERJA BAB IV PROSEDUR KERJA 4.1. Penyiapan Bahan Bahan tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun alpukat dan biji alpukat (Persea americana Mill). Determinasi dilakukan di Herbarium Bandung Sekolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berlebihan (Rohmawati, 2008). Selain itu, kulit juga berfungsi sebagai indra

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berlebihan (Rohmawati, 2008). Selain itu, kulit juga berfungsi sebagai indra BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kulit pada Mamalia merupakan salah satu organ yang berperan penting dalam fisiologis tubuh. Organ ini berfungsi untuk melindungi jaringan di bawahnya, menjaga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini disebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini disebabkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah kesehatan. Hal ini cukup menguntungkan karena bahan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai masalah kesehatan. Hal ini cukup menguntungkan karena bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan bahan alam yang berasal dari tumbuhan sebagai obat tradisional telah lama dilakukan oleh masyarakat Indonesia untuk menangani berbagai masalah kesehatan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mukosa rongga mulut memiliki fungsi utama sebagai pelindung struktur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mukosa rongga mulut memiliki fungsi utama sebagai pelindung struktur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mukosa rongga mulut memiliki fungsi utama sebagai pelindung struktur dibawahnya dari trauma mastikasi, dan mencegah masuknya mikroorganisme (Field dan Longman, 2003).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Harty,2003). Perlukaan sering terjadi di dalam rongga mulut, khususnya pada gingiva (Newman dkk, 2002). Luka merupakan kerusakan

BAB I PENDAHULUAN. (Harty,2003). Perlukaan sering terjadi di dalam rongga mulut, khususnya pada gingiva (Newman dkk, 2002). Luka merupakan kerusakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gingiva merupakan jaringan ikat fibrosa, ditutupi epitel yang mengelilingi dan melekat ke gigi dan tulang alveolar dan meluas ke pertautan mukogingiva (Harty,2003).

Lebih terperinci

BAB 3 PERCOBAAN. Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah kelinci albino New Zealand yang diperoleh dari peternakan kelinci di Lembang.

BAB 3 PERCOBAAN. Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah kelinci albino New Zealand yang diperoleh dari peternakan kelinci di Lembang. BAB 3 PERCOBAAN 3.1 Bahan, Alat, dan Hewan Percobaan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah buah duku (Lansium domesticum Corr.), hirdoksipropil metilselulosa (HPMC), carbomer, gliserin, trietanolamin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penghilangan gigi dari soketnya (Wray dkk, 2003). Pencabutan gigi dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penghilangan gigi dari soketnya (Wray dkk, 2003). Pencabutan gigi dilakukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencabutan gigi didefinisikan sebagai tindakan pembedahan dengan tujuan penghilangan gigi dari soketnya (Wray dkk, 2003). Pencabutan gigi dilakukan karena berbagai hal

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Evaluasi kestabilan formula krim antifungi ekstrak etanol rimpang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Evaluasi kestabilan formula krim antifungi ekstrak etanol rimpang BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Evaluasi kestabilan formula krim antifungi ekstrak etanol rimpang lengkuas (Alpinia galanga L.) memberikan hasil sebagai berikut : Tabel 2 :

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi dengan pelarut etil asetat. Etil asetat merupakan pelarut semi polar yang volatil (mudah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. percampuran natrium alginat-kitosan-kurkumin dengan magnetic stirrer sampai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. percampuran natrium alginat-kitosan-kurkumin dengan magnetic stirrer sampai BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan absorbent dressing sponge dimulai dengan tahap percampuran natrium alginat-kitosan-kurkumin dengan magnetic stirrer sampai penghilangan air dengan proses lyophilizer.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di net house Gunung Batu, Bogor. Analisis tanah dilaksanakan di Laboratorium Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 25 BAB 5 HASIL PENELITIAN Preparat jaringan yang telah dibuat, diamati dibawah mikroskop multinokuler dengan perbesaran 4x dan 10x. Semua preparat dapat dibaca berdasarkan tolok ukur skor tingkat peradangan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN 25 BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Ekstraksi simplisia segar buah duku dilakukan dengan cara dingin yaitu maserasi karena belum ada data tentang kestabilan komponen ekstrak buah duku terhadap panas.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka merupakan keadaan hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan (Arif Mansjoer, 2000). Luka merupakan hal yang sering dialami oleh seseorang. Luka bisa terjadi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium. BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium. B. Tempat Dan Waktu Penelitian ini di lakukan pada tanggal 20 Februari 2016 sampai 30 November

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan Januari 2010. Daun gamal diperoleh dari Kebun Percobaan Natar, Lampung Selatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Luka adalah diskontinuitas dari suatu jaringan. Angka kejadian luka

BAB I PENDAHULUAN. Luka adalah diskontinuitas dari suatu jaringan. Angka kejadian luka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Luka adalah diskontinuitas dari suatu jaringan. Angka kejadian luka memiliki prevalensi mencapai jutaan kasus per tahunnya. Penyembuhan luka yang terganggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengurung (sekuester) agen pencedera maupun jaringan yang cedera. Keadaan akut

BAB I PENDAHULUAN. mengurung (sekuester) agen pencedera maupun jaringan yang cedera. Keadaan akut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuester)

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Total Leukosit Pada Tikus Putih Leukosit atau disebut dengan sel darah putih merupakan sel darah yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh dan merespon kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat 19 Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang diekstrak. Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil identifikasi sampel yang dilakukan di Laboratorium Biologi Farmasi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil identifikasi sampel yang dilakukan di Laboratorium Biologi Farmasi 32 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Determinasi Tanaman Hasil identifikasi sampel yang dilakukan di Laboratorium Biologi Farmasi UGM didapat bahwa sampel yang digunakan adalah benar daun sirsak (Annona muricata

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kulit jengkol, larva

BAB III METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kulit jengkol, larva 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan April 2015 di Laboratorium Kimia Universitas Medan Area. 3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berbagai penyakit. Tumbuhan yang merupakan bahan baku obat tradisional

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. berbagai penyakit. Tumbuhan yang merupakan bahan baku obat tradisional I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanfaatan tumbuhan sebagai obat sudah dilakukan dari dulu, sejak peradaban manusia itu ada. Tumbuhan dapat digunakan sebagai obat untuk berbagai penyakit. Tumbuhan yang

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG [1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG [1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Karakteristik Minyak Atsiri Wangi Hasil penelitian menunjukkan minyak sereh wangi yang didapat desa Ciptasari Pamulihan, Kabupaten Sumedang dengan pengujian meliputi bentuk,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. oleh dokter gigi untuk menghilangkan gigi dari dalam soketnya dan menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. oleh dokter gigi untuk menghilangkan gigi dari dalam soketnya dan menyebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencabutan gigi adalah salah satu tindakan bedah minor yang dilakukan oleh dokter gigi untuk menghilangkan gigi dari dalam soketnya dan menyebabkan perlukaan (Wray dkk.,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jintan hitam (Nigella sativa) terhadap jumlah sel Neutrofil pada proses. Tabel 1. Hasil Perhitungan Angka Neutrofil

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jintan hitam (Nigella sativa) terhadap jumlah sel Neutrofil pada proses. Tabel 1. Hasil Perhitungan Angka Neutrofil BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian gel biji jintan hitam (Nigella sativa) terhadap jumlah sel Neutrofil pada proses penyembuhan luka gingiva.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x. Area pengamatan dan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x. Area pengamatan dan BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian didapatkan dari perhitungan jumlah fibroblas dengan menggunakan mikroskop cahaya perbesaran 400x. Area pengamatan dan jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. biasanya dibagi dalam dua jenis, yaitu trauma tumpul dan trauma tajam. Trauma

BAB I PENDAHULUAN. biasanya dibagi dalam dua jenis, yaitu trauma tumpul dan trauma tajam. Trauma BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Trauma dapat menyebabkan terjadinya luka pada jaringan tubuh. Trauma biasanya dibagi dalam dua jenis, yaitu trauma tumpul dan trauma tajam. Trauma tumpul dapat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengumpulan Getah Jarak Pengumpulan getah jarak (Jatropha curcas) berada di Bandarjaya, Lampung Tengah yang berusia 6 tahun. Pohon jarak biasanya dapat disadap sesudah berumur

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. s n. Pengujian Fitokimia Biji Kelor dan Biji. Kelor Berkulit

HASIL DAN PEMBAHASAN. s n. Pengujian Fitokimia Biji Kelor dan Biji. Kelor Berkulit 8 s n i1 n 1 x x i 2 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Fitokimia Kelor dan Kelor Berkulit s RSD (%) 100% x Pengujian Fitokimia Kelor dan Kelor Berkulit Pengujian Alkaloid Satu gram contoh dimasukkan ke dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. folikel rambut dan pori-pori kulit sehingga terjadi peradangan pada kulit.

BAB I PENDAHULUAN. folikel rambut dan pori-pori kulit sehingga terjadi peradangan pada kulit. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Jerawat merupakan kondisi abnormal kulit akibat gangguan berlebih produksi kelenjar minyak (sebaceous gland) yang menyebabkan penyumbatan folikel rambut dan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah Allium shoenoprasum L. yang telah dinyatakan berdasarkan hasil determinasi di Herbarium Bandungense Sekolah Ilmu dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan

Lebih terperinci

KEBUTUHAN DASAR MANUSIA KONSEP LUKA

KEBUTUHAN DASAR MANUSIA KONSEP LUKA KEBUTUHAN DASAR MANUSIA KONSEP LUKA Oleh Kelompok 7 Vera Tri Astuti Hsb (071101030) Nova Winda Srgh (071101031) Hafizhoh Isneini P (071101032) Rini Sri Wanda (071101033) Dian P S (071101034) Kulit merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi 24 Rancangan ini digunakan pada penentuan nilai KHTM. Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α 0.05, dan menggunakan uji Tukey sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Katarak merupakan kekeruhan yang terjadi pada lensa mata yang menyebabkan gangguan penglihatan. Kebanyakan lensa mata menjadi agak keruh setelah berusia lebih dari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit batang, d) Daun BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Uji Fitokimia Sampel Kering Avicennia marina Uji fitokimia ini dilakukan sebagai screening awal untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder pada sampel. Dilakukan 6 uji

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji jintan hitam (Nigella sativa) yang berasal dari Yogyakarta, Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan sampel ascidian telah dilakukan di Perairan Kepulauan Seribu. Setelah itu proses isolasi dan pengujian sampel telah dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. stomatitis apthosa, infeksi virus, seperti herpes simpleks, variola (small pox),

BAB I PENDAHULUAN. stomatitis apthosa, infeksi virus, seperti herpes simpleks, variola (small pox), BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ulserasi adalah lesi berbentuk seperti kawah pada kulit atau mukosa mulut. Ulkus adalah istilah yang digunakan untuk menyebut luka pada jaringan kutaneus atau mukosa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pegagan merupakan salah satu tanaman yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di negara Asia. Di India dan China, pegagan digunakan sebagai obat untuk penyembuhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka adalah kerusakan fisik akibat dari terbukanya atau hancurnya kulit yang menyebabkan ketidakseimbangan fungsi dan anatomi kulit normal (Nagori and Solanki, 2011).

Lebih terperinci

BAB 3 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 3 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 3 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Tumbuhan uji yang digunakan adalah pegagan dan beluntas. Tumbuhan uji diperoleh dalam bentuk bahan yang sudah dikeringkan. Simplisia pegagan dan beluntas yang diperoleh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Luka bakar merupakan masalah kesehatan masyarakat global. Hal ini disebabkan karena tingginya angka mortalitas dan morbiditas luka bakar, khususnya pada negara dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus hingga bulan Desember 2013 di Laboratorium Bioteknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang optimal dan untuk mengatasi berbagai penyakit secara alami.

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang optimal dan untuk mengatasi berbagai penyakit secara alami. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengobatan tradisional dengan memanfaatkan tumbuhan berkhasiat obat merupakan pengobatan yang dimanfaatkan dan diakui masyarakat dunia, hal ini menandai kesadaran untuk

Lebih terperinci

DAFTAR ISI II METODOLOGI PENELITIAN III Alat dan bahan Alat Bahan Bakteri uji... 36

DAFTAR ISI II METODOLOGI PENELITIAN III Alat dan bahan Alat Bahan Bakteri uji... 36 DAFTAR ISI ABSTRAK ABSTRACT KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR LAMPIRAN... v DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR TABEL... vii PENDAHULUAN... 1 BAB I TINJAUAN PUSTAKA...... 5 1.1 Rambutan... 5 1.1.1 Klasifikasi

Lebih terperinci

b) Luka bakar derajat II

b) Luka bakar derajat II 15 seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Kerusakan jaringan yang disebabkan api dan koloid (misalnya bubur panas) lebih berat dibandingkan air panas. Ledakan dapat menimbulkan luka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Vulnus (luka) adalah terputusnya kontinuitas jaringan tubuh dan terganggunya integrasi normal dari kulit serta jaringan di bawahnya yang dapat disebabkan oleh trauma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa tipe dari luka, diantaranya abrasi, laserasi, insisi, puncture,

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa tipe dari luka, diantaranya abrasi, laserasi, insisi, puncture, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Luka merupakan rusaknya permukaan kulit/mukosa yang menghasilkan perdarahan. Luka dapat disebabkan oleh 2 faktor, yaitu faktor fisik dan kimia. Terdapat beberapa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Evaluasi Krim Hasil evaluasi krim diperoleh sifat krim yang lembut, mudah menyebar, membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat dioleskan pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia. Tanaman ini termasuk jenis tumbuhan dari

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia. Tanaman ini termasuk jenis tumbuhan dari BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini digunakan bahan baku minyak atsiri daun sebagai bahan aktif gel antiseptik. Minyak atsiri daun ini berasal dari Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia.

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

A : Tanaman ceplukan (Physalis minima L.)

A : Tanaman ceplukan (Physalis minima L.) Lampiran 1 A Gambar 1. Tanaman ceplukan dan daun ceplukan B Keterangan A : Tanaman ceplukan (Physalis minima L.) B : Daun ceplukan Lampiran 1 (Lanjutan) A B Gambar 2. Simplisia dan serbuk simplisia Keterangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyerang banyak orang sehingga menimbulkan wabah. Demam

BAB I PENDAHULUAN. dapat menyerang banyak orang sehingga menimbulkan wabah. Demam BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut akibat infeksi Salmonella typhi. Demam tifoid masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting di Indonesia, penyakit

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Juli 2014 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Laboratorium Kimia Instrumen Jurusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Koloni bakteri pada plak gigi merupakan faktor lokal yang mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Koloni bakteri pada plak gigi merupakan faktor lokal yang mengakibatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit periodontal merupakan penyakit infeksi kronis rongga mulut dengan prevalensi 10 60% pada orang dewasa. Penyakit periodontal meliputi gingivitis dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. gigi, puskesmas, dan rumah sakit adalah pencabutan gigi. Pencabutan gigi

BAB I PENDAHULUAN. gigi, puskesmas, dan rumah sakit adalah pencabutan gigi. Pencabutan gigi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Salah satu pelayanan kesehatan yang sering dijumpai pada klinik dokter gigi, puskesmas, dan rumah sakit adalah pencabutan gigi. Pencabutan gigi merupakan prosedur umum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Luka merupakan kasus cedera yang sering dialami oleh setiap manusia. Luka

BAB I PENDAHULUAN. Luka merupakan kasus cedera yang sering dialami oleh setiap manusia. Luka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Luka merupakan kasus cedera yang sering dialami oleh setiap manusia. Luka itu sendiri didefinisikan sebagai hilangnya integritas epitelial dari kulit. (Cohen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Setiap manusia tidak pernah lepas dari trauma, contohnya luka. Luka adalah rusaknya sebagian jaringan tubuh. Luka dapat disebabkan oleh trauma benda tajam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pencabutan gigi merupakan salah satu jenis perawatan gigi yang

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pencabutan gigi merupakan salah satu jenis perawatan gigi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pencabutan gigi merupakan salah satu jenis perawatan gigi yang dilaksanakan di Poli Gigi dan Mulut Puskesmas. 1 Pencabutan gigi merupakan suatu tindakan mengeluarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Luka adalah kasus yang paling sering dialami oleh manusia, angka kejadian luka

BAB I PENDAHULUAN. Luka adalah kasus yang paling sering dialami oleh manusia, angka kejadian luka BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Luka jaringan lunak rongga mulut banyak dijumpai pada pasien di klinik gigi. Luka adalah kasus yang paling sering dialami oleh manusia, angka kejadian luka

Lebih terperinci