BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. linguis. Hal ini tentu saja akan sangat membantu dalam penelitian ini, antara lain

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI. linguis. Hal ini tentu saja akan sangat membantu dalam penelitian ini, antara lain"

Transkripsi

1 10 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Penelitian dalam bidang morfologi sudah banyak dilakukan oleh para linguis. Hal ini tentu saja akan sangat membantu dalam penelitian ini, antara lain dapat membuka wawasan tentang topik yang sama dan mengetahui sampai sejauh mana topik ini sudah diteliti. Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa hasil penelitian yang berkaitan dengan morfologi bahasa Perancis khususnya masalah nominalisasi dengan menggunakan Teori Morfologi Generatif belum ada. Oleh sebab itu, dianggap perlu untuk meninjau beberapa karya tulis yang membahas masalah morfologi bahasa Perancis dan sejumlah penelitian Morfologi Generatif di luar bahasa Perancis. Jadi, pada bagian ini diuraikan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan Morfologi Generatif terutama dalam derivasi ataupun afiksasi. Dalam uraian berikut terkandung cakupan penelitian, teori yang digunakan, proses analisisnya, dan hasil yang diperoleh. Pramesti (2008) dalam tesisnya yang berjudul Adjektiva Derivational dalam Bahasa Jepang : Sebuah Kajian Morfologi Generatif mengkaji aturan dan proses pembentukan adjektiva dalam bahasa Jepang dengan afiks derivasional, termasuk menganalisis fungsi dan makna, serta mengidentifikasi perbedaan antara adjektiva turunan dan adjektiva bukan turunan dilihat dari distribusinya dalam kalimat. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa adjektiva derivasional 10

2 11 dalam bahasa Jepang dapat dibentuk dengan menggunakan prefiks {fu-, ko-, dan ka-} dan sufiks {-(i)ta, -rashi, -ppo, dan teki}. Adjektiva turunan dan adjektiva bukan turunan berbeda kontribusinya dalam kalimat. Adjektiva turunan hanya dapat muncul satu kali dalam sebuah kalimat, sedangkan adjektiva bukan turunan dapat muncul dan menduduki lebih dari satu fungsi sintaksis. Walupun tulisan ini membahas adjektiva bahasa Jepang, penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang proses derivasi dengan menggunakan teori morfologi generatif sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam penulisan penelitian ini. Simpen (2008) menulis sebuah artikel pada Jurnal Linguistika berjudul Afiksasi Bahasa Bali : Sebuah Kajian Morfologi Generatif. Kajian ini berangkat dari fenomena kebahasaan, khususnya bahasa Bali dalam bidang morfologi, di mana sebagian besar kajian morfologi menggunakan Teori Struktural yang dirasa kurang relevan untuk diterapkan dalam proses pembentukan kata. Misalnya untuk bentuk mebisan berbus dan niyuk menggunakan alat dengan tiyuk/ pisau tidak pernah digunakan dalam percakapan, sedangkan bentuk medokaran berdelman, mesepedaan bersepeda, numbeg mencangkul sangat biasa digunakan dalam bahasa Bali. Sehubungan dengan itu, dalam penelitian ini digunakan Teori Morfologi Generatif, yaitu teori baru yang dianggap mampu memberikan penjelasan (explanation adequacy) terhadap fenomena yang ada. Dengan cara ini diharapkan tidak ada bias dalam proses afiksasi. Prinsip dasar dalam Morfologi Generatif adalah proses pembentukan kata dapat menghasilkan bentuk wajar, bentuk potensial, dan bentuk aneh. Mekanisme pembentukan kata biasa melalui idiosinkresi, penyaringan, dan pemblokan.

3 12 Teori ini juga mengenal adanya penutur yang ideal, yang secara intuitif berbekal kemampuan bahasa bawaan. Oleh karena itu, teori ini mampu menjelaskan bentuk-bentuk potensial dan bentuk-bentuk aneh sejenis niyuk; nyilet, memotlot, memensil. Halle (1973) dan Aronoff (1976) merupakan dua ahli yang memberi warna pada penelitian morfologi generatif. Di samping itu, Scalise (1984) dan Dardjowidjojo (1988) adalah dua ahli yang sangat berperanan dalam pemahaman teori morfologi generatif, khususnya yang berkembang di Indonesia. Walaupun bahasa yang digunakan sebagai objek penelitian dalam dua penelitian di atas tidak serumpun dengan bahasa yang menjadi objek penelitian penulis, penelitian-penelitian tersebut dapat dijadikan kajian pustaka yang memberi banyak sumbangan dalam penelitian penulis. Hal itu mengingat pembahasan proses afiksasi dengan menggunakan teori Morfologi Generatif dapat memberikan kontribusi dalam penelitian ini yang juga akan membedah proses nominalisasi adjektiva dengan menggunakan teori tersebut. Dubois dan Langane (1973: 120) dalam bukunya La Nouvelle Grammaire du Fran ais mengemukakan bahwa kata yang diperoleh setelah penambahan sufiks dan setelah melalui suatu proses transformasi kalimat disebut kata derivasional (mots dérivés). Mereka juga membahas sufiks yang digunakan dalam transformasi suatu bentuk dasar menjadi grup nomina dapat dibagi menjadi dua kelompok tergantung dari bentuk dasarnya apakah merupakan bentuk dasar adjektiva atau participe (suatu bentuk dalam sistem kata kerja bahasa Perancis). Sufiks-sufiks yang ditambahkan pada bentuk adjektiva, antara lain {-at, - ce, -erie, -esse, -eur, -ie, -ise, -ité, -itude, -isme}, sedangkan sufiks-sufiks yang

4 13 digunakan pada bentuk participe atau kata kerja adalah {-age, -e, -ment, -tion, -ure}. Di dalam buku ini, sama sekali tidak dibahas tentang bagaimana proses pembentukan kata derivasional dengan menggunakan sufiks-sufiks tersebut, demikian pula dengan makna yang dihasilkan dari proses derivasi tersebut. Selain itu, juga tidak disinggung mengenai bentuk derivasi melalui proses konversi. Namun, buku ini telah memberikan kontribusi yang berarti dalam penelitian ini dan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam transformasi kalimat dan menentukan sufiks-sufiks pembentuk nomina. Kajian berikutnya adalah sebuah artikel pada jurnal Folia Linguistika dengan judul The Nominalization of Adjectives in French: From Morphological Conversion to Categorial Mismatch oleh Lauwers (2008). Penelitian ini membahas nominalisasi adjektiva yang terfokus hanya pada nominalisasi dengan zero derivation atau dengan tanpa penambahan afiks pada bentuk dasarnya. Contoh le bavard si cerewet (orang), l aveugle si buta (orang), le faux yang salah, le vrai kebenaran. Hal seperti ini juga sering disebut dengan proses konversi, yaitu perubahan kelas kata tanpa pembubuhan afiks. Penelitian ini menggunakan pendekatan secara sintaksis dan dianalisis berdasarkan distorsi kategorial (distortion categorielle). Jadi, dalam penelitian ini tidak diuraikan mengenai proses nominalisasi adjektiva dengan menggunakan afiksasi. Kontribusinya dalam penulisan penelitian ini adalah tentang bentuk-bentuk konversi adjektiva menjadi nomina dan makna yang terbentuk dari proses tersebut sesuai dengan konteks dalam kalimat.

5 14 Kajian yang terakhir adalah Nominalizations and the Structure of Adjectives oleh Roy (2007). Dalam artikel ini dipaparkan mengenai struktur adjektiva dan implikasinya pada nominalisasi adjektiva. Ada dua sumber jenis adjektiva, yaitu predikatif dan atributif. Adjektiva predikatif adalah adjektiva yang dalam kalimat memerlukan kata kerja keadaan sebagai penghubung, sedangkan adjektiva atributif adalah adjektiva yang muncul sebagai modifier dari nomina yang diterangkannya, seperti diungkapkan pada contoh berikut. a. She is a beautiful dancer Adj.atributif Dia adalah seorang penari cantik b. The dancer is beautiful Adj.predikatif Penari itu cantik Selanjutnya dikatakan bahwa hanya struktur adjektiva predikatif yang dapat mengalami nominalisasi. Kemudian dipaparkan mengenai struktur sintaksis kedua tipe adjektiva tersebut. Setelah itu disebutkan bahwa ada dua kelas nomina yang dibentuk dari dasar adjektiva, yaitu sebagai berikut. 1. Nomina keadaan (State-nominals) La popularité de ses chansons m impressionné DEF.f.sg popularitas PREP POSS.2pl. N.f.pl.lagu ku.memukau Kepopuleran lagu-lagunya memukauku Nomina ini mendeskripsikan suatu keadaan dan memerlukan struktur argumen serta hanya dapat diderivasikan dari adjektiva predikatif. 2. Nomina kualitas (quality-nominals) La fierté l aveugle

6 15 DEF.f.sg kebanggan COD-dia buta Kebanggaan membutakan dia Sebaliknya, nomina kualitas tidak memerlukan struktur argumen dan menggambarkan suatu kualitas. Secara umum penelitian ini cukup menarik terutama tentang struktur adjektiva dan implikasinya pada nominalisasi, sedangkan kelemahannya adalah penjelasan mengenai bagaimana proses pembentukan nomina dari adjektiva masih sangat kurang. Berdasarkan kajian-kajian di atas, dapat dikatakan bahwa penelitian mengenai derivasi dalam bahasa Perancis, terutama tentang nominalisasi adjektiva masih perlu dilakukan untuk menambah keragaman penelitian tentang kajian morfologi. Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Dalam dua penelitian pertama, objek bahasanya jelas berbeda (bahasa Jepang dan bahasa Bali), namun sama-sama menggunakan Teori Morfologi Generatif untuk menggambarkan proses afiksasi sehingga dapat dijadikan acuan untuk menganalisis data pada penelitian ini. Pada tiga kajian berikutnya yang juga membahas proses nominalisasi adjektiva dalam bahasa Perancis, sejauh ini hanya sebatas mendeskripsikan jenis-jenis afiks derivasional dan proses derivasi adjektiva menjadi nomina hanya digambarkan secara struktural. Di samping itu, teori Morfologi Generatif belum pernah diterapkan dalam proses analisis nominalisasi adjektiva oleh para linguis Perancis. 2.2 Konsep

7 16 Sebelum pemaparan teori yang akan digunakan dalam penelitian ini, disampaikan juga konsep dasar yang dianggap relevan sebagai pendukung untuk dapat lebih memahami topik dan bermanfaat untuk menyamakan persepsi terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Konsep-konsep tersebut diuraikan berikut ini Leksem dan Kata Mengutip pendapat Lyon, Kridalaksana (1996) membedakan istilah kata dan leksem. Di dalam tulisannya, ia menggunakan leksem sebagai satuan dasar dalam leksikon dan dibedakan dari kata sebagai satuan gramatikal. Dengan perkataan lain, leksemlah yang merupakan bahan dasar yang telah mengalami pengolahan gramatikal menjadi kata dalam subsistem gramatika. Lyons (1977:23) menyatakan lexemes are the words that a dictionary would list under a separate entry yang berarti bahwa leksem merupakan kata yang menjadi entri dalam kamus. Dalam kamus, leksem WALK berjalan akan dengan mudah ditemukan sebagai entri (leksem), sedangkan bentuk walked, walks, dan walking tidak akan ditemukan dalam entri yang terpisah karena katakata tersebut merupakan bentuk lain dari leksem WALK. Huruf capital kecil digunakan untuk menunjukkan leksem yang membedakannya dengan kata (Boiij, 2007:3). Jadi, kita harus membedakan leksem dengan kata, yaitu leksem sebagai unit yang abstrak, sedangkan kata merupakan unit konkret yang digunakan dalam kalimat (Matthews, 1974:22). Kata sebagai satuan yang memiliki makna dan terdiri atas satu morfem atau lebih.

8 Infleksi dan Derivasi Menurut Bauer (1988:80), dalam buku Introducing Linguistic Morphology, morfologi dipilah atas morfologi derivasional dan morfologi infleksional. Infleksi merupakan bagian dalam sintaksis karena bersifat melengkapi bentuk-bentuk leksem dan derivasi menjadi bagian dari leksis karena menyediakan leksem-leksem baru. Morfologi leksikal mengkaji kaidah-kaidah pembentukan kata yang menghasilkan kata-kata baru yang secara leksikal berbeda (beridentitas baru) dari kata yang menjadi dasarnya. Hal ini berbeda dengan morfologi infleksional yang mengkaji hasil-hasil pembentukan kata yang berasal dari leksem yang sama. Mathews (1974: 38) membedakan antara proses infleksi dengan proses pembentukan kata (word formation) yang mencakup derivasi dan komposisi Derivasi adalah proses pembentukan kata yang menghasilkan leksem baru (menghasilkan kata- kata yang berbeda dari paradigma yang berbeda); sedangkan infleksi menghasilkan bentukan kata-kata yang berbeda dengan paradigma yang sama. Pembentukan derivasi bersifat tidak dapat diramalkan, sedangkan pembentukan infleksi bersifat teramalkan (predictable). Misalnya, verba work bekerja otomatis akan dikenali works, worked, working (bentukan infleksional yang teramalkan); berbeda dengan contoh derivasi work bekerja worker pekerja, apakah agree setuju agreer? Sehubungan dengan derivasi dan infleksi, Booij (1988:39) juga menyatakan bahwa afiks-afiks derivasional merupakan morfem terikat yang

9 18 digabungkan dengan base untuk mengubah kelas katanya (part of speech). Misalnya, kata-kata teach mengajar, build membangun, dan sweep menyapu adalah verba, tetapi jika ditambahkan afiks derivasional -er, akan menjadi nomina teacher pengajar, builder pembangun, dan sweeper tukang sapu. Jika ditambahkan sufiks -ly pada adjektiva happy senang, loud keras, smooth lembut, akan didapatkan adverbia happily dengan gembira, loudly dengan keras (suara), smothly dengan lembut. Haspelmath (2002:60--83) juga mengungkapkan hal yang sama mengenai infleksi dan derivasi dengan para pendahulunya, yaitu morfologi menggunakan terminologi yang berbeda untuk membicarakan infleksi dan derivasi. Dalam bukunya Understanding Morphology dipaparkan bahwa makna infleksi pada bahasa ditemukan sangat terbatas, banyak di antaranya muncul dari kata-kata inti yang umum dari nomor, kasus, aspek, mood, dan agreement persetujuan, sedangkan makna derivasi lebih bervariasi. Samsuri (1982: 198) di dalam buku Analisis Bahasa mengungkapkan pendapatnya tentang derivasi dan infleksi, yaitu bahwa derivasi ialah konstruksi yang berbeda distribusinya daripada dasarnya, sedangkan infleksi adalah konstruksi yang menduduki distribusi yang sama dengan dasarnya. Samsuri menyatakan bahwa di dalam bahasa-bahasa Eropa, utamanya Inggris, pengertian derivasi dan infleksi dapat dikenakan secara konsisten. Misalnya: books (dari book), stop, stopped, stopping (stop); prettier, prettiest (pretty); sebagai contoh infleksi. Sebaliknya, derivasi dicontohkan: runner (run), beautify (beauty). Semua bentuk, seperti book jika mendapat sufiks -s (plural), merupakan infleksi, seperti

10 19 car-cars, table-tables, dsb. Namun, di dalam bahasa Indonesia tidaklah demikian karena sistem afiks bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa Inggris. Oleh sebab itu, masih merupakan persoalan, apakah pengertian infleksi dan derivasi dapat diterapkan secara konsisten di dalam bahasa Indonesia. Lessard (1996) dalam Introduction à la Linguistique Fran aise juga membagi proses morfologi ke dalam dua jenis, yaitu la morphologie derivationnelle di mana proses tersebut menghasilkan suatu jenis kata yang baru (dengan menambahkan afiks) dan la morphologie flexionnelle yang tidak menghasilkan suatu kata yang baru (seperti penambahan penanda jamak dan penambahan akhiran dalam konjugasi verba). Dalam hal ini, afiks infleksional cenderung diletakkan setelah afiks derivasional, misalnya kata tristesses kesedihan-kesedihan. Pada kata itu terdapat tiga morfem, yaitu triste sedih, sufiks -esse yang memberi makna keadaan/kualitas seperti yang disebutkan pada bentuk dasar, dan s yang merupakan penanda jamak. [triste] A + [-esse] [tristesse] N.sg (1) [tristesse] N + [-s] [tristesses] N.pl (2) Proses (1), akhiran esse (afiks derivasional) dilekatkan terlebih dahulu untuk mengubah bentuk dasar adjektiva triste menjadi sebuah nomina abstrak tunggal tristesse kesedihan. Setelah itu, baru mendapat akhiran s untuk membuat nomina dalam bentuk jamak (afiks infleksional) Bentuk Dasar (Base)

11 20 Bentuk dasar adalah satuan, baik tunggal maupun kompleks, yang menjadi dasar bentukan bagi satuan yang lebih besar (Ramlan, 1985:45). Pendapat lain menyatakan bahwa bentuk dasar atau dasar (base) biasanya digunakan untuk menyebut sebuah bentuk yang menjadi dasar suatu proses morfologis, artinya bisa diberi afiks tertentu dalam proses afiksasi, bisa diulang dalam suatu proses reduplikasi, atau bisa digabung dengan morfem lain dalam suatu proses komposisi. Bentuk dasar tersebut berupa morfem tunggal, tetapi dapat juga berupa gabungan morfem (Chaer, 1994:159), contoh : kata berlayar terdiri atas morfem ber- dan layar, maka layar adalah bentuk dasar dari kata berlayar itu. Bentuk dasar dapat dibedakan menjadi bentuk dasar bebas dan bentuk dasar terikat. Ciriciri bentuk dasar adalah: (1) satuan bentuk lingual yang terkecil dalam sebuah kosakata, (2) satuan yang berperan sebagai masukan dalam proses morfologis, (3) merupakan bahan baku dalam bahan morfologis, (4) sebagai unsur yang diketahui adanya dari bentuk yang setelah dianalisis dari bentuk kompleks merupakan bentuk dasar yang lepas dari proses morfologis. Bentuk dasar dalam teori Morfologi Generatif termasuk dalam DM (daftar morfem) yang membedakan morfem dasar dan morfem terikat (Dardjowidjojo, 1998 :65). Morfem bebas adalah kata yang mampu berdiri sendiri dalam tataran lebih tinggi dan telah memiliki kategori tertentu, seperti kategori nomina, verba, adjektiva, adverbial, dan numeralia. Sebaliknya morfem terikat adalah bentuk yang tidak dapat berdiri sendiri dalam tataran lebih tinggi, belum memiliki makna tertentu, dan belum memiliki kategori leksikal. Jadi, morfem ini tidak dapat muncul dalam tuturan tanpa digabung dahulu dengan morfem lain. Dalam hal ini

12 21 semua afiks dikatakan sebagai morfem terikat. Perhatikan contoh dalam bahasa Perancis (BP) berikut : tables meja, grandes besar, maisons rumah, vendeur penjual, incomplete tidak lengkap. Bentuk-bentuk dalam tulisan cetak miring merupakan morfem bebas atau bentuk dasar karena dapat ditemukan berdiri sendiri dalam tuturan. Sebaliknya, bentuk -s, -es, - -eur, in- merupakan morfem terikat karena bentuk-bentuk tersebut adalah afiks yang harus digabungkan dengan bentuk lain agar dapat memiliki makna gramatikal Nominalisasi Sebelum beranjak pada istilah nominalisasi, ada baiknya dibahas tentang apa itu nomina. Dalam tata bahasa Indonesia, kata benda adalah nama dari semua benda dan segala yang dibendakan, yang menurut wujudnya dibagi atas kata benda konkret dan kata benda abstrak (Keraf, 1984: 63). Dalam bahasa Perancis, kata benda adalah bagian yang paling penting dalam suatu grup nomina, yang dibentuk dengan didahului oleh suatu determinan. Kata benda dapat berupa makhluk hidup (manusia, anjing, nama diri) ataupun benda-benda (mobil, rumah, buku, dll.). Selain itu, juga dapat bermakna suatu kualitas (kecantikan, kekuatan) ataupun suatu aksi (pembersihan, keberangkatan, dan sebagainya). Namun, yang paling penting dalam menentukan kelas nomina adalah melalui fungsi sintaksisnya dalam kalimat (Dubois, 1973: 39). Samsuri (1981 :87) mendeskripsikan nominalisasi secara terperinci berdasarkan kajian transformasi generatif bahwa nominalisasi adalah proses atau hasil perubahan bentuk kata menjadi bentuk-bentuk baru yang mempunyai

13 22 distribusi seperti nomina. Kridalaksana (1984:132) mengatakan Nominalisasi itu adalah proses atau hasil membentuk nomina dari kelas kata lain dengan menggunakan afiks tertentu. Dari pendapat para ahli bahasa di atas dapat disimpulkan bahwa istilah nominalisasi adalah penggunaan verba, ajektiva, ataupun adverbial sebagai bentuk dasar dalam pembentukan nomina, baik dengan maupun tanpa adanya tranformasi secara morfologi. Ada dua tipe nominalisasi dalam bahasa Perancis yang hampir sama dengan yang ada dalam bahasa Inggris. Yang pertama adalah nominalisasi yang memerlukan derivational afiks untuk membentuk nomina, seperti beau (ADJ.indah, tampan/cantik) + {-té} => la beauté (N.f. keindahan, kecantikan). Adjektiva beau berubah menjadi nomina dengan penambahan suffiks -té. Tipe yang kedua adalah nominalisasi dengan zero morfem. Proses ini juga dikenal dengan istilah konversi. Hal yang dimaksud adalah beberapa verba atau adjektiva dapat langsung digunakan sebagai nomina tanpa penambahan sufiks derivasional Adjektiva Kejelasan kriteria mengenai adjektiva beserta ciri-cirinya sangat penting diketahui untuk memahaminya dengan baik dan benar. Secara tradisional, adjektiva dikenal sebagai kata yang mengungkapkan kualitas atau keadaan suatu benda. Alwi (2003: 171) berpendapat bahwa adjektiva adalah kata yang memberikan keterangan yang lebih khusus tentang sesuatu yang dinyatakan oleh nomina dalam kalimat.

14 23 Pendapat lain yang hampir sama menyatakan bahwa adjektiva atau kata sifat adalah kata yang melekat pada kata benda untuk menggambarkan atau mendeskripsikan kualitas kata benda tersebut seperti bentuk, warna, ukuran, tampilan, dan lain-lain (Dubois, 1973 : 105). Adjektiva bahasa Perancis memiliki keunikan yang berbeda dengan adjektiva bahasa Inggris, terutama dalam dua hal berikut : 1. Adjektiva bahasa Perancis harus sesuai dengan nomina yang dimodifikasi sehingga suatu adjektiva akan mempunyai sampai dengan empat bentuk adjektiva yang sesuai dengan gender dan number, misalnya untuk kata petit kecil akan mempunyai bentuk petit (untuk menerangkan nomina maskulin tunggal), petite (feminin tunggal), petits (maskulin jamak), petites (feminin jamak). Namun, ada pula yang mempunyai dua bentuk saja, seperti kata pauvre miskin. Perubahan bentuknya hanya pauvre (maskulin/feminin tunggal) dan pauvres (maskulin/feminin jamak). 2. Adjektiva bahasa Perancis tidak seperti adjektiva bahasa Inggris yang posisi adjektivanya berada sebelum nomina. Namun, adjektiva bahasa Perancis dapat berada sebelum atau sesudah nomina yang diterangkan, tergantung dari jenis dan maknanya Morfologi Generatif Prinsip dasar dalam morfologi generatif adalah proses pembentukan kata dapat menghasilkan bentuk wajar, bentuk potensial, dan bentuk aneh. Teori ini

15 24 memiliki perangkat kaidah untuk membentuk kata-kata baru atau kalimat-kalimat baru dengan kaidah transformasi. Bentuk potensial dalam kajian ini mengacu pada pendapat Halle, Aronoff, Scalise, dan Dardjowidjojo, yaitu bentuk yang secara gramatikal atau morfologis berterima, tetapi bentuk-bentuk itu tidak ada atau belum lazim digunakan secara empiris. Mekanisme pembentukan kata biasa melalui idiosinkresi, penyaringan, pemblokan, dan penyesuaian. Teori ini juga mengenal adanya penutur yang ideal, yang secara intuitif berbekal kemampuan bahasa bawaan. Oleh karena itu, teori ini mampu menjelaskan bentuk-bentuk potensial dan bentuk-bentuk aneh yang tidak lazim ditemukan dalam tuturan sehari-hari. 2.3 Landasan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini secara umum mengacu pada teori Morfologi Generatif. Pemilihan teori ini didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu (1) teori Morfologi Generatif belum pernah digunakan dalam penelitian morfologi bahasa Perancis; (2) bertolak dari hasil penelitian yang telah ada, sebagian besar dari penelitian tersebut bersifat deskriptif murni sehingga tidak mampu menjelaskan kendala-kendala yang ditemukan. Dari beberapa penulis yang disebutkan di atas, Halle (1973) dan Aronoff (1976) merupakan dua ahli yang memberi warna pada penelitian morfologi generatif. Di samping itu, Scalise (1984) dan Dardjowidjojo (1988) adalah dua ahli yang sangat berperan dalam pemahaman teori Morfologi Generatif, khususnya yang berkembang di Indonesia.

16 Teori Morfologi Generatif Tulisan pertama Halle tentang Morfologi Generatif berjudul Morphology in Generative Grammar (1972), kemudian mengalami perubahan judul menjadi Prolegomena to a Theory of Word Formation pada tahun Menurut Halle (1973:3), penutur asli suatu bahasa mempunyai kemampuan yang dinamakan intuisi untuk tidak hanya mengenal kata-kata dalam bahasanya, tetapi juga mengetahui bagaimana kata dalam bahasa itu dibentuk. Morfologi terdiri atas tiga komponen yang saling terpisah. Ketiga komponen itu adalah sebagai berikut. (1) List of morphemes (daftar morfem, selanjutnya disingkat DM) (2) Word formation rules (kaidah/aturan pembentukan kata, selanjutnya disingkat APK atau KPK) (3) Filter (saringan, penapis, tapis) (Halle,1973:3--8) Dalam DM ditemukan dua macam anggota, yaitu akar kata (yang dimaksud adalah dasar) dan bermacam-macam afiks, baik afiks derivasional maupun infleksional. Bentuk dasar adalah satuan, baik tunggal maupun kompleks yang menjadi dasar bentukan bagi satuan yang lebih besar (Ramlan, 1985:45). Bentuk dasar tersebut berupa morfem tunggal, tetapi dapat juga berupa gabungan morfem (Chaer, 1994:159). Bentuk dasar ini sering kali berupa morfem bebas, yaitu kata yang mampu berdiri sendiri dalam tataran lebih tinggi dan telah memiliki kategori tertentu, seperti kategori nomina, verba, adjektiva, adverbial, dan numeralia.

17 26 Anggota kedua dari DM adalah afiks. Afiks ini merupakan morfem terikat, yaitu bentuk yang tidak dapat berdiri sendiri dalam tataran lebih tinggi, belum memiliki makna tertentu, dan belum memiliki kategori leksikal. Jadi, morfem ini tidak dapat muncul dalam tuturan tanpa digabung dahulu dengan morfem lain. Dalam hal ini semua afiks dikatakan sebagai morfem terikat. Perhatikan contoh dalam bahasa Perancis berikut : tables meja, grandes besar, maison rumah, vendeur penjual, incomplete tidak penuh. Bentuk-bentuk dalam tulisan italique merupakan morfem bebas atau bentuk dasar karena dapat ditemukan berdiri sendiri dalam tuturan. Sementara itu bentuk -s, -es, - -eur, in- merupakan morfem terikat karena bentuk-bentuk tersebut adalah afiks yang harus digabungkan dengan bentuk lain agar dapat memiliki makna leksikal. Butir leksikal yang tercantum dalam DM tidak hanya diberikan dalam bentuk urutan segmen fonetik, tetapi harus dibubuhi beberapa informasi gramatikal yang relevan. Komponen kedua adalah APK / KPK, yaitu komponen yang mencakup semua kaidah tentang pembentukan kata dari morfem-morfem yang ada pada DM. APK bersama DM menentukan bentuk-bentuk potensial dalam bahasa. Oleh karena itu, APK menghasilkan bentuk-bentuk yang memang merupakan kata dan bentuk-bentuk potensial yang belum ada dalam realitas. Bentuk-bentuk potensial sebenarnya dihasilkan dari kemungkinan penerapan APK dan DM, tetapi bentuk-bentuk itu belum lazim digunakan. Komponen ketiga, yaitu komponen saringan berfungsi menyaring bentukbentuk yang dihasilkan oleh APK dengan memberikan beberapa idiosinkresi, seperti idiosinkresi fonologis, idiosinkresi leksikal, atau idiosinkresi semantik.

18 27 Idiosinkresi merupakan keterangan yang ditambahkan pada bentuk-bentuk yang dihasilkan APK yang dianggap aneh. Idiosinkresi fonologis misalnya pada kata mempunyai, menurut kaidah bahasa Indonesia konsonan /p/ di awal kata mendapat prefiks {m N-}, maka konsonan /p/ akan luluh. Bandingkan dengan kata memukul dan meminjam, berasal dari kata dasar pukul dan pinjam. Idiosinkresi semantik dapat dicontohkan pada kata perjuangan memiliki makna kegiatan yang bertarap nasional. Demikian juga kata wafat, gugur, mangkat, berpulang dalam bahasa Indonesia. Idiosinkresi leksikal adalah kata-kata bentukan melalui KPK tidak menyalahi kaidah namun dalam kenyataan tidak pernah muncul dalam pemakaian bahasa sehari-hari. Kata-kata tersebut dimasukkan ke dalam kata-kata potensial seperti kata *mencantik, *tanyaan, *serahan, dan *memperbetuli. Secara garis besar, pandangan Halle tentang morfologi dapat dilihat pada diagram di bawah ini. List of Morphemes Word Formation Rules Filter Dictionary of Word Output Phonology Syntax Diagram I Pandangan Morfologi Halle

19 28 Sesungguhnya KPK yang diusulkan Halle memakai morfem sebagai bentuk minimal yang digunakan sebagai landasan penurunan kata sehingga sering disebut morpheme based approach. Akan tetapi, pengertian morfem yang diajukan Halle sangat berbeda dengan yang lumrah dimengerti orang. Menurut Halle (1973:3), kata transformational dianggap terdiri atas lima morfem, yaitu trans-form-at-ion-al. Meskipun Halle mencantumkan kamus dalam diagramnya, ia tidak menganggap bahwa kamus merupakan bagian integral dari morfologi generatif. Kamus memiliki peranan dalam pembentukan kata karena APK dapat memanfaatkan leksikon yang tersimpan dalam kamus. Selain itu, kamus juga menampung bentuk-bentuk yang lolos saringan. Hal ini selaras dengan saran Dardjowidjojo (1988:57). Bentuk-bentuk potensial menurut Halle tidak dimasukkan ke kamus dan tidak diberi penjelasan di mana bentuk itu ditampung. Saringan atau penapis dengan beberapa idionsinkresi dapat memberikan informasi mengapa bentuk tertentu dapat diterima dan mengapa bentuk lain tidak. Hal itu merupakan langkah maju dalam analisis morfologi yang selama ini hanya diterangkan sebagai perkecualian atau dihindari sama sekali. Meskipun pandangan Halle memiliki kelemahan, seperti apa yang telah dipaparkan di depan, Dardjowidjojo berpendapat bahwa model Halle lebih mudah diterapkan. Aronoff (1976) juga membicarakan morfologi generatif. Pendapatnya tertuang dalam tulisannya yang berjudul Word Formation in Generatif Grammar. Pendapat Aronoff berbeda dengan Halle, terutama dalam KPK (Kaidah Pembentukan Kata). Menurut Halle seperti yang telah disebutkan di depan, morfem sebagai bentuk minimal dan sebagai penurunan pembentukan kata,

20 29 sehingga dikenal dengan istilah morpheme based approach. Sementara itu, Aronoff menganggap bahwa kata adalah bentuk minimal yang dipakai sebagai landasan pembentukan kata. Kata yang dimaksud harus diartikan leksem, sehingga teori Aronoff dikenal dengan lexem based approach karena leksem merupakan bentuk dasar dalam penurunan kata. Teori Morfologi Generatif model Aronoff menyatakan bahwa kata sebagai unit minimal penurunan kata. Kata yang dimaksud harus memenuhi persyaratan (1) dasar pembentukan kata adalah kata, (2) kata yang dimaksud adalah kata yang benar-benar ada dan bukan hanya merupakan bentuk potensial, (3) aturan pembentukan kata (WFR s) hanya berlaku pada kata tunggal dan bukan kata kompleks atau lebih kecil daripada kata (bentuk terikat), (4) baik masukan maupun keluaran dari (WFR s) harus termasuk dalam kategori sintaksis yang utama (Aronoff, 1976:40). Pembentukan kata dalam teori Morfologi Generatif model Aronoff dilakukan dengan memanfaatkan leksikon yang ada dalam komponen kamus dengan komponen Kaidah Pembentukan Kata. Komponen kamus memuat leksikon yang memiliki informasi kategorial (nomina, verba, ajektiva, dan lainlain). Sementara itu, Kaidah Pembentukan Kata memuat afiks yang memiliki informasi relasional. Maksudnya, afiks itu memiliki kemampuan untuk bergabung dengan bentuk tertentu dalam proses pembentukan kata baru atau kata turunan (Aronoff,1976:40).

21 30 Kaidah Pembentukan Kata oleh Aronoff sangat peka, baik terhadap ciri sintaksis maupun pembatasan seleksional. Aronoff (1976:65) memberikan contoh: pembubuhan sufiks {-ness} hanya dapat dilakukan pada adjektiva, seperti redness merah, porousness keropos, sedangkan sufiks {-ee} hanya dapat diletakkan pada verba transitif, seperti employee memperkerjakan, paye membayarkan. Selanjutnya, Aronoff mengajukan konsep blocking perlindungan dengan tujuan untuk membendung munculnya suatu kata karena telah ada kata lain yang mewakilinya (Aronoff, 1976:43). Dalam bahasa Perancis dapat dilihat dalam pembubuhan sufiks {-âtre} yang hanya dapat dilakukan pada adjektiva kualifikatif yang menyatakan warna, seperti rougeâtre kemerah-merahan, blancheâtre keputih-putihan. Pada mulanya analisis Morfologi Generatif yang dikemukakan oleh Aronoff tidak disertai diagram. Selanjutnya, Scalise (1984:43) menggambarkannya seperti diagram berikut ini. Lexical Component Dictionary WFR s Diagram II Organisasi dari Komponen Leksikal

22 31 Berikutnya, Aronoff juga mengajukan aturan atau kaidah yang kemudian diberi nama Adjusment Rules Kaidah Penyesuaian yang disingkat menjadi AP (Aronoff, 1976: ). Dalam pembentukan kata tidak semua kata dapat secara langsung masuk ke komponen kamus. Menurut Aronoff, pembubuhan afiks, baik prefiks, sufiks, maupun konfiks, memerlukan adanya perubahan bentuk, baik bentuk dasar maupun bentuk afiks itu sendiri. Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris sufiks {-ee} memenggal morfem dari kata dasar, nominate nominasi menjadi nominee nominator, evacuate evakuasi menjadi evacuee evakuator. Dari kedua data di atas terjadi kaidah pemenggalan atau Truncation Rules. Di samping itu, ada juga kaidah alomorfi atau Allomorphy Rules (1974: ). Sebagai contoh, penambahan sufiks {-ation} dalam bahasa Inggris memiliki empat atau lima bentuk, yaitu {-a tion}, {-i tion}, {-u tion}, {ion}, {-tion}. Untuk lebih jelasnya, perhatikan contoh data berikut. fascinate fascination realize realization *relazion *realization educate *educatation education *educatition resolve *resolvation *resolvion resolution AP seperti yang dikemukakan oleh Aronoff tersebut juga dapat dilihat dalam bahasa Perancis, misalnya sufiks {-ence} memenggal leksem dari dasar adjektiva patient sabar menjadi patience kesabaran, puissant kuat menjadi puissance kekuatan. Dari contoh tersebut dapat dilihat kaidah pemenggalan atau Trancation Rules. Sementara itu Allomorphy Rules Kaidah Alomorfi dapat

23 32 dilihat pada sufiks {-ité} memiliki tiga bentuk, yaitu {-ité}, {-eté}, dan {-té} yang mengubah adjektiva menjadi nomina, seperti pada daftar leksem berikut. BRUTAL brutalité SÛR *sûrité sûreté MAJESTUEUX *majestité *majesteté majesté Dengan adanya AP, Scalise (1984:168) menggambarkan proses APK sampai kepada AP seperti berikut ini. Lexical Component Dictionary WFR s RR s (TR s, AR s) OUTPUT Diagram III Organisasi dari Komponen Leksikal II Teori Morfologi Generatif yang dikemukakan oleh Halle perlu disesuaikan untuk menelaah proses derivasi dalam bahasa Perancis. Hal itu disesuaikan dengan pendapat Dardjowidjojo bahwa diagram yang diajukan oleh Scalise, ternyata masih belum sempurna. Oleh karena itu, Dardjowidjojo merombak diagram itu menjadi diagram seperti berikut ini.

24 33 DM KPK SARINGAN KAMUS Kata Dasar a b Bebas c g Terikat c d i h a f i k s e f j k Diagram IV Model Pembentukan Kata Menurut Dardjowidjojo (1988:57) Dengan merombak diagram Scalise, Dardjowidjojo mengemukakan adanya empat komponen integral dalam teori morfologi generatif. Keempat komponen tersebut adalah DM, KPK, Saringan, dan Kamus. Dalam komponen DM, Dardjowidjojo memisahkan bentuk bebas dan bentuk terikat, tujuannya adalah untuk menampung bentuk terikat seperti morfem prakategorial. Penerapan model ini merupakan bentuk bebas yang ada dalam komponen DM, seperti baju, makan, dan minum dapat melalui jalur (a) tanpa mengalami hambatan pada

25 34 komponen saringan. Pada jalur (b), bentuk bebas setelah mengalami proses afiksasi andaikata tidak mengalami idionsinkresi, maka langsung dapat masuk ke komponen kamus dan kalau dikenai idionsinkresi, bentuk itu akan melalui jalur (c). Untuk bentuk potensial yang tidak ada dalam pemakaian bahasa sehari-hari, akan melalui jalur (d) dan (g), kemudian disimpan dalam komponen kamus dengan memberikan tanda asterik (*). Untuk bentuk-bentuk yang mustahil seperti *berjalani, melalui jalur (d) dan (h) dan tidak bisa masuk komponen kamus, tetapi tertahan pada komponen saringan. Jalur (f) pecah menjadi jalur (j) untuk bentuk yang tidak mendapatkan idionsinkresi dan jalur (k) untuk bentuk yang mengalami idionsinkresi. Berangkat dari pemahaman terhadap teori Morfologi Generatif di atas, dalam penelitian ini digunakan komponen dalam teori model Halle yang disempurnakan dengan teori morfologi generatif model Aronoff. Dalam penelitian ini kata dijadikan bentuk minimal atau dasar yang dijadikan landasan dalam pembentukan kata baru. Selain itu, dengan adanya kaidah penyesuaian, baik Kaidah Pemenggalan maupun Kaidah Alomorfi dalam pembentukan kata baru sangat tepat dibahas dalam transformasi adjektiva menjadi nomina dalam bahasa Perancis. Dalam proses pembentukan kata, biasanya tidak bisa lepas dari perubahan makna. Sebuah kata dapat mempunyai makan leksikal dan makna gramatikal. Makna leksikal dikatakan sebagai makna yang tertera dalam kamus, sedangkan makna gramatikal makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah leksem di dalam kalimat (Pateda, 1989:58--59). Misalnya leksem MATA yang

26 35 bermakna leksikal indra yang terdapat pada tubuh dan berfungsi untuk melihat bila ditempatkan dalam sebuah kalimat Hei mana matamu, maka tidak lagi menunjuk pada indra mata, tetapi menunjuk pada makna penglihatan, cara melihat, mencari, dan mengerjakan. Pandangan Fries yang dikutip Lyons (1995: ) membedakan adanya makna leksikal dan makna struktural. Makna leksikal terkait dengan kelaskelas utama, sedangkan makna struktural terkait dengan pembedaan antara subjek dan objek kalimat, oposisi-oposisi ketertentuan, kala dan jumlah, dan pertanyaan serta perintah. Chaer (2002:62) mengemukakan pandangan senada dengan Lyons bahwa ia mempertentangkan atau mengoposisikan antara makna gramatikal dan makna leksikal. Makna gramatikal adalah makna yang muncul sebagai akibat adanya proses gramatika, seperti proses afiksasi, reduplikasi, dan proses komposisi. Di sisi lain, makna leksikal dinyatakan berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referensinya. Berikut contoh makna gramatikal dari proses nominalisasi adjektiva dalam bahasa Perancis, baik melalui proses afiksasi maupun konversi. a. Tous les hommes sont charmé par sa beauté semua DEF.pl N.m.laki-laki PAS.terpukau Semua lelaki terpukau pada kecantikannya. oleh POSS3.sg. N.f. kecantikan b. Le beau de cette image est sa simplicité DEF.m.sg ADJ.cantik PART DEM.f.ini N.f.gambar adalah POSS3.sg N.f.kesederhanaan Indahnya gambar ini adalah kesederhanaannya.

27 36 Dari contoh di atas, diketahui bahwa sufiks {té} yang ditambahkan pada adjektiva beau cantik/indah akan membentuk kelas kata nomina beauté kecantikan dengan mengandung makna mempunyai kualitas seperti yang disebutkan dalam kata dasarnya. Sebaliknya, makna gramatikal dari nominalisasi adjektiva dalam bentuk konversi dengan kata dasar adjektiva yang sama yaitu beau menjadi nomina le beau akan memiliki makna sesuatu yang indah. Uraian yang disampaikan Chaer di atas memberikan inspirasi terhadap tulisan ini. Dengan demikian, pandangan-pandangan di atas, yang telah diformulasikan oleh Chaer ke dalam suatu pandangan bahwa makna gramatikal tidak hanya terbatas pada struktur sintaksis, tetapi juga struktur morfologis, dijadikan acuan dalam analisis makna pada tulisan ini Model Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang bertujuan untuk menemukan kaidah-kaidah dalam proses nominalisasi adjektiva dalam bahasa Perancis serta makna gramatikal yang terbentuk dari proses tersebut. Analisis terhadap data menggunakan teori Morfologi Generatif sehingga dapat menjelaskan proses nominalisasi adjektiva dalam bahasa Perancis. Adapun model penelitian ini adalah sebagai berikut.

28 37 Bahasa Perancis Data Nominalisasi adjektiva Afiksasi Konversi Analisis Morfologi Generatif - afiks pembentuk - kaidah nominalisasi adjektiva - fungsi dan makna Temuan Diagram V Model Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Setiap bahasa di dunia tentu saja memiliki persamaan dan perbedaan serta

BAB I PENDAHULUAN. Setiap bahasa di dunia tentu saja memiliki persamaan dan perbedaan serta 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap bahasa di dunia tentu saja memiliki persamaan dan perbedaan serta keunikan tersendiri antara satu dengan yang lainnya. Keragaman berbagai bahasa di dunia beserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keunikan tersendiri antara satu dengan yang lainnya. Keragaman berbagai bahasa

BAB I PENDAHULUAN. keunikan tersendiri antara satu dengan yang lainnya. Keragaman berbagai bahasa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap bahasa di dunia tentu saja memiliki persamaan dan perbedaan serta keunikan tersendiri antara satu dengan yang lainnya. Keragaman berbagai bahasa di dunia beserta

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. Penelitian BW masih sangat perlu dilakukan karena minimnya penelitian yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. Penelitian BW masih sangat perlu dilakukan karena minimnya penelitian yang 1 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Penelitian BW masih sangat perlu dilakukan karena minimnya penelitian yang menjadikan BW sebagai objek kajian. Seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perhatian khusus dari pengamat bahasa. Hal ini dikarenakan nominalisasi mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. perhatian khusus dari pengamat bahasa. Hal ini dikarenakan nominalisasi mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nominalisasi sebagai salah satu fenomena kebahasaan, mesti mendapatkan perhatian khusus dari pengamat bahasa. Hal ini dikarenakan nominalisasi mempunyai peran yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Buton. Pada masa

BAB I PENDAHULUAN. yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Buton. Pada masa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Wolio yang selanjutnya disingkat BW adalah salah satu bahasa daerah yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara, tepatnya di Pulau Buton. Pada masa Kerajaan Kesultanan

Lebih terperinci

TESIS NOMINALISASI ADJEKTIVA DALAM BAHASA PERANCIS (KAJIAN MORFOLOGI GENERATIF) PUTU WEDDHA SAVITRI NIM

TESIS NOMINALISASI ADJEKTIVA DALAM BAHASA PERANCIS (KAJIAN MORFOLOGI GENERATIF) PUTU WEDDHA SAVITRI NIM TESIS NOMINALISASI ADJEKTIVA DALAM BAHASA PERANCIS (KAJIAN MORFOLOGI GENERATIF) PUTU WEDDHA SAVITRI NIM 0990161005 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI LINGUISTIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

Lebih terperinci

AFIKSASI BAHASA BALI: SEBUAH KAJIAN MORFOLOGI GENERATIF. I Wayan Simpen Universitas Udayana

AFIKSASI BAHASA BALI: SEBUAH KAJIAN MORFOLOGI GENERATIF. I Wayan Simpen Universitas Udayana Abstrak AFIKSASI BAHASA BALI: SEBUAH KAJIAN MORFOLOGI GENERATIF I Wayan Simpen Universitas Udayana Setakat kajian terhadap bahasa Bali telah banyak dilakukan, baik oleh peneliti dalam negeri maupun oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan bentuk pemikiran yang dapat dipahami, berhubungan

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan bentuk pemikiran yang dapat dipahami, berhubungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan bentuk pemikiran yang dapat dipahami, berhubungan dengan realitas, dan memiliki bentuk dan struktur yang logis. Bahasa pada dasarnya adalah sistem

Lebih terperinci

LINGUISTIK UMUM TATARAN LINGUISTIK (2) : MORFOLOGI

LINGUISTIK UMUM TATARAN LINGUISTIK (2) : MORFOLOGI Nama : TITIS AIZAH NIM : 1402408143 LINGUISTIK UMUM TATARAN LINGUISTIK (2) : MORFOLOGI I. MORFEM Morfem adalah bentuk terkecil berulang dan mempunyai makna yang sama. Bahasawan tradisional tidak mengenal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa manusia. Sebagai alat komunikasi manusia, bahasa adalah suatu sistem

BAB I PENDAHULUAN. bahasa manusia. Sebagai alat komunikasi manusia, bahasa adalah suatu sistem 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara populer orang sering menyatakan bahwa linguistik adalah ilmu tentang bahasa; atau ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya; atau lebih tepat lagi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Imas Siti Nurlaela, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Imas Siti Nurlaela, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada umumnya, beberapa bahasa di dunia, dalam penggunaannya pasti mempunyai kata dasar dan kata yang terbentuk melalui suatu proses. Kata dasar tersebut

Lebih terperinci

Nama : Irine Linawati NIM : BAB V TATARAN LINGUISTIK (2) = MORFOLOGI

Nama : Irine Linawati NIM : BAB V TATARAN LINGUISTIK (2) = MORFOLOGI Nama : Irine Linawati NIM : 1402408306 BAB V TATARAN LINGUISTIK (2) = MORFOLOGI Fonem adalah satuan bunyi terkecil dari arus ujaran. Satuanfonem yang fungsional itu ada satuan yang lebih tinggi yang disebut

Lebih terperinci

BAB 5 TATARAN LINGUISTIK

BAB 5 TATARAN LINGUISTIK Nama : Wara Rahma Puri NIM : 1402408195 BAB 5 TATARAN LINGUISTIK 5. TATARAN LINGUISTIK (2): MORFOLOGI Morfem adalah satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna. 5.1 MORFEM Tata bahasa tradisional tidak

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Tinjauan Studi Terdahulu

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. A. Tinjauan Studi Terdahulu BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Studi Terdahulu Penelitian dalam bidang morfologi memang telah banyak dilakukan oleh para linguis. Hal ini membantu penelitian ini sehingga dapat membuka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia adalah bangsa yang selalu membuka diri terhadap perkembangan. Hal ini terlihat pada perilakunya yang senantiasa mengadakan komunikasi dengan bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Morfologi merupakan cabang ilmu linguistik yang mengkaji tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Morfologi merupakan cabang ilmu linguistik yang mengkaji tentang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Morfologi merupakan cabang ilmu linguistik yang mengkaji tentang struktur kata dan cara pembentukan kata (Harimurti Kridalaksana, 2007:59). Pembentukan kata

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka memuat uraian sistematis tentang teori-teori dasar dan konsep atau hasil-hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti terdahulu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap bahasa di dunia memiliki keunikan tersendiri antara satu dengan lainnya. Di dalam setiap bahasa selalu terdapat pola pembentukan kata yang secara sistematis

Lebih terperinci

BAB 5 TATARAN LINGUISTIK (2); MORFOLOGI

BAB 5 TATARAN LINGUISTIK (2); MORFOLOGI BAB 5 TATARAN LINGUISTIK (2); MORFOLOGI Kita kembali dulu melihat arus ujaran yang diberikan pada bab fonologi yang lalu { kedua orang itu meninggalkan ruang siding meskipun belum selesai}. Secara bertahap

Lebih terperinci

Infleksi dan Derivasi dalam Bahasa Indonesia

Infleksi dan Derivasi dalam Bahasa Indonesia Article Infleksi dan Derivasi dalam Bahasa Indonesia Journal of Language learning and Research (JOLLAR) 2017, Vol. 1(1) 32-40 Author, 2017 DOI: 10.22236/JOLLAR_1(1)32-40 Bagiya 1 FKIP Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan mediator utama dalam mengekspresikan segala bentuk gagasan, ide, visi, misi, maupun pemikiran seseorang. Bagai sepasang dua mata koin yang selalu beriringan,

Lebih terperinci

TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA

TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA TATA KATA DAN TATA ISTILAH BAHASA INDONESIA Tata bentukan dan tata istilah berkenaan dengan kaidah pembentukan kata dan kaidah pembentukan istilah. Pembentukan kata berkenaan dengan salah satu cabang linguistik

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kajian tentang afiks dalam bahasa Banggai di Kecamatan Labobo

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kajian tentang afiks dalam bahasa Banggai di Kecamatan Labobo BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian yang Relevan Kajian tentang afiks dalam bahasa Banggai di Kecamatan Labobo Kabupaten Banggai Kepulauan Provinsi Sulawesi Tengah belum pernah dilakukan sebelumnya. Oleh

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengantar Dalam penelitian ini, dijelaskan konsep bentuk, khususnya afiksasi, dan makna gramatikal. Untuk menjelaskan konsep afiksasi dan makna, penulis memilih pendapat dari Kridalaksana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan

BAB I PENDAHULUAN. para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan 1.1.1 Latar Belakang Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan untuk para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi,

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Latar Belakang Pemikiran

Bab I Pendahuluan. Latar Belakang Pemikiran Bab I Pendahuluan A. Latar Belakang Pemikiran Keberadaan buku teks di perguruan tinggi (PT) di Indonesia perlu terus dimutakhirkan sehingga tidak dirasakan tertinggal dari perkembangan ilmu dewasa ini.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah salah satu alat yang digunakan untuk mengekspresikan. sesuatu, baik untuk menyatakan pendapat, pengalaman atau untuk

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah salah satu alat yang digunakan untuk mengekspresikan. sesuatu, baik untuk menyatakan pendapat, pengalaman atau untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah salah satu alat yang digunakan untuk mengekspresikan sesuatu, baik untuk menyatakan pendapat, pengalaman atau untuk mengekspresikan perasaan atau emosi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh masyarakat pemakainya dalam berkomunikasi. Bahasa yang baik berkembang berdasarkan sistem, yaitu seperangkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lain dapat berbeda bergantung pada aliran linguistik apa yang mereka anut.

BAB I PENDAHULUAN. lain dapat berbeda bergantung pada aliran linguistik apa yang mereka anut. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kata merupakan salah satu unsur penting dalam pembetukan suatu bahasa salah satunya dalam suatu proses pembuatan karya tulis. Kategori kata sendiri merupakan masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Menurut Walija (1996:4), bahasa

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Menurut Walija (1996:4), bahasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat pemakainya. Menurut Walija (1996:4), bahasa merupakan alat komunikasi yang

Lebih terperinci

PROSES MORFONOLOGIS PREFIKS DALAM BAHASA WOLIO (KAJIAN TRANSFORMASI GENERATIF) La Ino

PROSES MORFONOLOGIS PREFIKS DALAM BAHASA WOLIO (KAJIAN TRANSFORMASI GENERATIF) La Ino PROSES MORFONOLOGIS PREFIKS DALAM BAHASA WOLIO (KAJIAN TRANSFORMASI GENERATIF) La Ino Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP, Universitas Haluoleo Kendari Email. Abstract This article studies the Ianguage

Lebih terperinci

Menurut Abdul Chaer setiap bahasa mempunyai sarana atau alat gramatikal tertentu untuk menyatakan makna-makna atau nuansa-nuansa makna gramatikal (Abd

Menurut Abdul Chaer setiap bahasa mempunyai sarana atau alat gramatikal tertentu untuk menyatakan makna-makna atau nuansa-nuansa makna gramatikal (Abd KOMPOSISI BERUNSUR ANGGOTA TUBUH DALAM NOVEL-NOVEL KARYA ANDREA HIRATA Sarah Sahidah Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna dan hubungan maknamakna gramatikal leksem anggota tubuh yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menelanjangi aspek-aspek kebahasaan yang menjadi objek kajiannya. Pada akhirnya, fakta

BAB I PENDAHULUAN. menelanjangi aspek-aspek kebahasaan yang menjadi objek kajiannya. Pada akhirnya, fakta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Linguistik merupakan disiplin ilmu yang mempelajari bahasa secara umum maupun khusus. Penyelidikan dan penyidikan dalam linguistik memiliki tujuan untuk menguak dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penuturnya. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia menggunakan bahasa sebagai

BAB I PENDAHULUAN. penuturnya. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia menggunakan bahasa sebagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk dapat berinteraksi dengan manusia lainnya, di samping itu bahasa dapat menjadi identitas bagi penuturnya.

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Variabel

BAB VI PENUTUP. dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Variabel BAB VI PENUTUP 6.1 Simpulan Dengan maksud merangkum seluruh uraian yang terdapat pada bagian pembahasan, pada bagian ini dirumuskan berbagai simpulan. Simpulan yang dirumuskan tersebut berdasarkan rumusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang ditulis secara naratif; biasanya

BAB I PENDAHULUAN. Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang ditulis secara naratif; biasanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang ditulis secara naratif; biasanya dalam bentuk cerita (sumber: wikipedia.com). Penulis novel disebut novelis. Kata novel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. verba asal, yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. verba asal, yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa Indonesia pada dasarnya mempunyai dua macam bentuk verba, (i) verba asal, yaitu verba yang dapat berdiri sendiri tanpa afiks dalam konteks sintaksis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, Inggris, dan Minangkabau. Pada saat fenomena interferensi muncul dalam

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, Inggris, dan Minangkabau. Pada saat fenomena interferensi muncul dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Interferensi merupakan fenomena bahasa yang muncul karena interaksi dua bahasa atau lebih, misalnya bahasa Indonesia dan bahasa Inggris atau bahasa Indonesia, Inggris,

Lebih terperinci

BAB 11 KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain ( KBBI,2007:588).

BAB 11 KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain ( KBBI,2007:588). BAB 11 KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (

Lebih terperinci

PROSES MORFOLOGIS PEMBENTUKAN KATA RAGAM BAHASA WALIKA

PROSES MORFOLOGIS PEMBENTUKAN KATA RAGAM BAHASA WALIKA Arkhais, Vol. 07 No. 1 Januari -Juni 2016 PROSES MORFOLOGIS PEMBENTUKAN KATA RAGAM BAHASA WALIKA Wahyu Dwi Putra Krisanjaya Lilianan Muliastuti Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pembentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mahasiswa dalam berbahasa Perancis yang baik dan benar. Selayaknya

BAB I PENDAHULUAN. mahasiswa dalam berbahasa Perancis yang baik dan benar. Selayaknya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam pembelajaran bahasa Perancis, mahasiswa banyak disuguhkan beranekaragam pengetahuan dasar mengenai pembelajaran bahasa Perancis. Pengetahuan dasar tersebut

Lebih terperinci

KAJIAN MORFOLOGI DERIVASIONAL DAN INFLEKSIONAL DALAM BAHASA INDONESIA

KAJIAN MORFOLOGI DERIVASIONAL DAN INFLEKSIONAL DALAM BAHASA INDONESIA KAJIAN MORFOLOGI DERIVASIONAL DAN INFLEKSIONAL DALAM BAHASA INDONESIA Dwi Purnanto Jurusan Bahasa Indonesia, Fakultas Sastra, UNS Jln.Ir.Sutami 36A, Kentingan, Surakarta E-mail: dwipur_sastra@uns.ac.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikal. Penggunaan kata-kata dalam

BAB I PENDAHULUAN. fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikal. Penggunaan kata-kata dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam berbahasa, kita sebagai pengguna bahasa tidak terlepas dari kajian fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikal. Penggunaan kata-kata dalam berbahasa adalah sesuatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak masalah yang harus dicarikan jalan keluarnya secara sistematis. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. banyak masalah yang harus dicarikan jalan keluarnya secara sistematis. Salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembentukan kata merupakan bahasan yang sangat menarik dan mengundang banyak masalah yang harus dicarikan jalan keluarnya secara sistematis. Salah satu pembentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (2012: ) menjelaskan pengertian identitas leksikal berupa kategori kelas kata

BAB I PENDAHULUAN. (2012: ) menjelaskan pengertian identitas leksikal berupa kategori kelas kata 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses morfologis dalam suatu bahasa secara umum dibagi menjadi dua yaitu proses infleksional dan derivasional dimana pembedanya terdapat pada identitas leksikal

Lebih terperinci

Analisis Morfologi Kelas Kata Terbuka Pada Editorial Media Cetak. Abstrak

Analisis Morfologi Kelas Kata Terbuka Pada Editorial Media Cetak. Abstrak Analisis Morfologi Kelas Kata Terbuka Pada Editorial Media Cetak Rina Ismayasari 1*, I Wayan Pastika 2, AA Putu Putra 3 123 Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kelaziman penggunaannya dalam komunikasi sering terdapat kesalahan-kesalahan dianggap

PENDAHULUAN. kelaziman penggunaannya dalam komunikasi sering terdapat kesalahan-kesalahan dianggap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Terkait dengan kelaziman penggunaannya dalam komunikasi sering terdapat kesalahan-kesalahan dianggap sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan tanggapannya terhadap alam sekitar atau peristiwa-peristiwa yang dialami secara individual atau secara

Lebih terperinci

ABREVIASI DALAM MENU MAKANAN DAN MINUMAN DI KOTA SEMARANG: SUATU KAJIAN MORFOLOGIS

ABREVIASI DALAM MENU MAKANAN DAN MINUMAN DI KOTA SEMARANG: SUATU KAJIAN MORFOLOGIS ABREVIASI DALAM MENU MAKANAN DAN MINUMAN DI KOTA SEMARANG: SUATU KAJIAN MORFOLOGIS Nuraeni, Shinta Yunita Tri. 2017. Abreviasi dalam Menu Makanan dan Minuman di Kota Semarang: Suatu Kajian Morfologis.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kepustakaan yang Relevan Kajian tentang morfologi bahasa khususnya bahasa Melayu Tamiang masih sedikit sekali dilakukan oleh para ahli bahasa. Penulis menggunakan beberapa

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah ide-ide, penggambaran hal-hal atau benda-benda ataupun

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah ide-ide, penggambaran hal-hal atau benda-benda ataupun BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah ide-ide, penggambaran hal-hal atau benda-benda ataupun gejala sosial, yang dinyatakan dalam istilah atau kata (Malo dkk., 1985:

Lebih terperinci

BAB1 PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan berpengaruh terhadap sistem atau kaidah

BAB1 PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan berpengaruh terhadap sistem atau kaidah BAB1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan berpengaruh terhadap sistem atau kaidah suatu bahasa. Sesuai dengan sifat bahasa yang dinamis, ketika pengetahuan pengguna bahasa meningkat,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai alat interaksi sosial peranan bahasa besar sekali. Hampir tidak ada

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai alat interaksi sosial peranan bahasa besar sekali. Hampir tidak ada BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagai alat interaksi sosial peranan bahasa besar sekali. Hampir tidak ada kegiatan manusia yang berlangsung tanpa kehadiran bahasa. Bahasa muncul dan diperlukan dalam

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. onoma yang berarti nama dan syn yang berarti dengan. Secara harfiah sinonim

BAB II KAJIAN PUSTAKA. onoma yang berarti nama dan syn yang berarti dengan. Secara harfiah sinonim BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Sinonim Secara etimologi kata sinonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti nama dan syn yang berarti dengan. Secara harfiah sinonim berarti nama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut KBBI kata adalah unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan, yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut KBBI kata adalah unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan, yang 109 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut KBBI kata adalah unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan, yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. Campur code..., Annisa Ramadhani, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 5 PENUTUP. Campur code..., Annisa Ramadhani, FIB UI, Universitas Indonesia BAB 5 PENUTUP 5.1 Simpulan Penelitian jenis proses campur kode menunjukkan hasil yang berbeda-beda antara bahasa yang satu dan bahasa yang lain karena subjek penelitian mereka pun berbeda-beda, baik dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang sempurna dibandingkan dengan mahluk ciptaan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang sempurna dibandingkan dengan mahluk ciptaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial yang sempurna dibandingkan dengan mahluk ciptaan lain. Manusia memiliki keinginan atau hasrat untuk memenuhi

Lebih terperinci

ANALISIS FUNGSI DAN MAKNA AFIKS DALAM LIRIK LAGU PETERPAN SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan. guna mencapai derajat Sarjana S-1

ANALISIS FUNGSI DAN MAKNA AFIKS DALAM LIRIK LAGU PETERPAN SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan. guna mencapai derajat Sarjana S-1 ANALISIS FUNGSI DAN MAKNA AFIKS DALAM LIRIK LAGU PETERPAN SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-1 PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA DAN DAERAH Diajukan Oleh: AGUS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. diuraikan, diperlukan sejumlah teori yang menjadi kerangka landasan di dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. diuraikan, diperlukan sejumlah teori yang menjadi kerangka landasan di dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka Untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam membahas masalah yang diuraikan, diperlukan sejumlah teori yang menjadi kerangka landasan di dalam

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal tersebut BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. A. Jenis Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Metode adalah cara yang harus dilaksanakan; teknik adalah cara melaksanakan metode (Sudaryanto, 2015:9). Metode yang tepat akan mengarahkan penelitian pada tujuan yang diinginkan.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 31 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di dalam suatu penelitian, maka dibutuhkan sebuah metode penelitian. Metode ini dijadikan pijakan dalam

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak

BAB II KAJIAN TEORI. Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak 9 BAB II KAJIAN TEORI Persinggungan antara dua bahasa atau lebih akan menyebabkan kontak bahasa. Chaer (2003: 65) menyatakan bahwa akibat dari kontak bahasa dapat tampak dalam kasus seperti interferensi,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 7 BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Relevan 1. Penelitian yang berjudul Bentuk Fungsi Makna Afiks men- dalam Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar disusun oleh Rois Sunanto NIM 9811650054 (2001)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menengah. Di antara keempat kegiatan berbahasa tersebut, menulis

BAB I PENDAHULUAN. menengah. Di antara keempat kegiatan berbahasa tersebut, menulis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan berbahasa meliputi mendengar, berbicara, membaca, menulis. Keempat kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang diterapkan dalam melaksanakan pembelajaran

Lebih terperinci

Alat Sintaksis. Kata Tugas (Partikel) Intonasi. Peran. Alat SINTAKSIS. Bahasan dalam Sintaksis. Morfologi. Sintaksis URUTAN KATA 03/01/2015

Alat Sintaksis. Kata Tugas (Partikel) Intonasi. Peran. Alat SINTAKSIS. Bahasan dalam Sintaksis. Morfologi. Sintaksis URUTAN KATA 03/01/2015 SINTAKSIS Pengantar Linguistik Umum 26 November 2014 Morfologi Sintaksis Tata bahasa (gramatika) Bahasan dalam Sintaksis Morfologi Struktur intern kata Tata kata Satuan Fungsi Sintaksis Struktur antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan media atau sarana untuk menyampaikan ide, gagasan,

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan media atau sarana untuk menyampaikan ide, gagasan, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa merupakan media atau sarana untuk menyampaikan ide, gagasan, pikiran, perasaaan, pengalaman, pendapat ataupun informasi antar sesama manusia. Oleh karena itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aturan-aturan yang berlaku dalam bahasa tersebut. Sebuah kata dalam suatu bahasa dapat berupa simple word seperti table, good,

BAB I PENDAHULUAN. aturan-aturan yang berlaku dalam bahasa tersebut. Sebuah kata dalam suatu bahasa dapat berupa simple word seperti table, good, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa baik lisan maupun tulisan merupakan alat yang berfungsi untuk menyampaikan suatu ide, gagasan, pikiran, perasaan, pengalaman dan pendapat. Oleh karena itu bahasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diberikan akal dan pikiran yang sempurna oleh Tuhan. Dalam berbagai hal manusia mampu melahirkan ide-ide kreatif dengan memanfaatkan akal dan pikiran

Lebih terperinci

TINJAUAN MATA KULIAH MORFOLOGI BAHASA INDONESIA

TINJAUAN MATA KULIAH MORFOLOGI BAHASA INDONESIA TINJAUAN MATA KULIAH MORFOLOGI BAHASA INDONESIA A. Deskripsi Mata Kuliah Dalam perkuliahan dibahas pengertian morfologi dan hubungannya dengan cabang ilmu bahasa lain, istilah-istilah teknis dalam morfologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Setiap masyarakat pemakai bahasa memiliki kesepakatan bersama mengenai

BAB I PENDAHULUAN. Setiap masyarakat pemakai bahasa memiliki kesepakatan bersama mengenai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap masyarakat pemakai bahasa memiliki kesepakatan bersama mengenai bahasa yang dituturkannya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu kesepakatan itu pun

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut KBBI (2003 : 588), konsep adalah gambaran mental dari suatu objek,

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Menurut KBBI (2003 : 588), konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Menurut KBBI (2003 : 588), konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Proses morfologi memunyai tugas untuk membentuk kata. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Proses morfologi memunyai tugas untuk membentuk kata. Sebagian besar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses morfologi memunyai tugas untuk membentuk kata. Sebagian besar kata dibentuk dengan cara menggabungkan beberapa komponen yang berbeda. Proses pembentukan kata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk pemersatu antarsuku, bangsa dan budaya, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. untuk pemersatu antarsuku, bangsa dan budaya, sehingga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi untuk pemersatu antarsuku, bangsa dan budaya, sehingga perkembangan bahasa Indonesia saat ini

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi manusia dalam berinteraksi di lingkungan sekitar. Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan kita. Hal ini harus benar-benar

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. Setiap negara memiliki ciri khas masing-masing yang membedakannya

Bab 1. Pendahuluan. Setiap negara memiliki ciri khas masing-masing yang membedakannya Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Setiap negara memiliki ciri khas masing-masing yang membedakannya dengan negara lain. Adapun yang menjadi ciri khas tersebut antara lain adalah adat istiadat, budaya,

Lebih terperinci

KATA BESAR: BENTUK, PERILAKU, DAN MAKNA. Disusun Oleh: SHAFIRA RAMADHANI FAKULTAS ILMU BUDAYA, UNIVERSITAS DIPONEGORO, SEMARANG,50257

KATA BESAR: BENTUK, PERILAKU, DAN MAKNA. Disusun Oleh: SHAFIRA RAMADHANI FAKULTAS ILMU BUDAYA, UNIVERSITAS DIPONEGORO, SEMARANG,50257 KATA BESAR: BENTUK, PERILAKU, DAN MAKNA Disusun Oleh: SHAFIRA RAMADHANI - 13010113140096 FAKULTAS ILMU BUDAYA, UNIVERSITAS DIPONEGORO, SEMARANG,50257 1. INTISARI Semiotika merupakan teori tentang sistem

Lebih terperinci

BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ekstrinsik; unsur dan hubungan itu bersifat abstrak dan bebas dari isi yang

BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ekstrinsik; unsur dan hubungan itu bersifat abstrak dan bebas dari isi yang BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Struktur adalah perangkat unsur yang di antaranya ada hubungan yang bersifat ekstrinsik; unsur dan hubungan itu bersifat abstrak dan bebas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang digunakan sebagai alat komunikasi antar-masyarakat di sana sampai

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang digunakan sebagai alat komunikasi antar-masyarakat di sana sampai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa Sasak (selanjutnya disingkat BS) merupakan salah satu bahasa daerah yang ada di Indonesia. BS yang ada di pulau Lombok adalah bahasa daerah yang digunakan sebagai

Lebih terperinci

BUKU AJAR. Bahasa Indonesia. Azwardi, S.Pd., M.Hum

BUKU AJAR. Bahasa Indonesia. Azwardi, S.Pd., M.Hum i BUKU AJAR Bahasa Indonesia Azwardi, S.Pd., M.Hum i ii Buku Ajar Morfologi Bahasa Indonesia Penulis: Azwardi ISBN: 978-602-72028-0-1 Editor: Azwardi Layouter Rahmad Nuthihar, S.Pd. Desain Sampul: Decky

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dita Marisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dita Marisa, 2013 BAB I PENDAHULUAN Dalam bagian ini akan diuraikan, latar belakang penelitian, masalah penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi penulisan. Adapun uraiannya sebagai berikut.

Lebih terperinci

Pengertian Morfologi dan Ruang Lingkupnya

Pengertian Morfologi dan Ruang Lingkupnya Modul 1 Pengertian Morfologi dan Ruang Lingkupnya B PENDAHULUAN Drs. Joko Santoso, M.Hum. agi Anda, modul ini sangat bermanfaat karena akan memberikan pengetahuan yang memadai mengenai bentuk, pembentukan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN Dalam BAB III, akan dipaparkan metode, definisi operasional, uraian data dan korpus, instrumen, teknik pengumpulan, dan teknik pengolahan. Adapun pemaparan hal-hal tersebut

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIK 2.1 Teori-Teori Yang Relevan Dengan Variabel Yang Diteliti 2.1.1 Pengertian Semantik Semantik ialah bidang linguistik yang mengkaji hubungan antara tanda-tanda

Lebih terperinci

HIERARKI AFIKSASI PADA VERBA BAHASA INDONESIA (BI) DARI PERSPEKTIF MORFOLOGI DERIVASI DAN INFLEKSI 1) Ermanto Universitas Negeri Padang

HIERARKI AFIKSASI PADA VERBA BAHASA INDONESIA (BI) DARI PERSPEKTIF MORFOLOGI DERIVASI DAN INFLEKSI 1) Ermanto Universitas Negeri Padang HIERARKI AFIKSASI PADA VERBA BAHASA INDONESIA (BI) DARI PERSPEKTIF MORFOLOGI DERIVASI DAN INFLEKSI 1) Abstrak Ermanto Universitas Negeri Padang Penelitian ini mengkaji hierarki afiksasi pada verba BI dari

Lebih terperinci

INFLEKSI DALAM BAHASA KULISUSU

INFLEKSI DALAM BAHASA KULISUSU INFLEKSI DALAM BAHASA KULISUSU Oleh: Ida Satriyani Kasran Ramsi ABSTRAK Masalah pokok dalam penelitian ini adalah apa sajakah afiks infleksi dalam bahasa Kulisusu, dalam hal ini meliputi pembagian afiks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang belum mengecap ilmu pengetahuan di sekolah atau perguruan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. yang belum mengecap ilmu pengetahuan di sekolah atau perguruan tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesalahan berbahasa ini tidak hanya terjadi pada orang-orang awam yang belum mengecap ilmu pengetahuan di sekolah atau perguruan tinggi tertentu, tetapi sering

Lebih terperinci

FONOLOGI GENERATIF OLEH MOH. FATAH YASIN. Pendahuluan

FONOLOGI GENERATIF OLEH MOH. FATAH YASIN. Pendahuluan FONOLOGI GENERATIF OLEH MOH. FATAH YASIN Pendahuluan Pada tahun 1940 sampai dengan tahun 1950-an fonologi adalah cabang linguistik yang banya dibicarakan di antara cabang-cabang linguistik lainnya. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Dalam arti, bahasa mempunyai kedudukan yang penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Dalam arti, bahasa mempunyai kedudukan yang penting bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa merupakan alat yang digunakan manusia dalam berkomunikasi. Bahasa mempunyai hubungan yang erat dalam komunikasi antar manusia, yakni dalam berkomunikasi

Lebih terperinci

MASALAH-MASALAH MORFOLOGIS DALAM PENYUSUNAN KALIMAT SISWA KELAS XSMA WAHIDIYAH KEDIRI

MASALAH-MASALAH MORFOLOGIS DALAM PENYUSUNAN KALIMAT SISWA KELAS XSMA WAHIDIYAH KEDIRI MASALAH-MASALAH MORFOLOGIS DALAM PENYUSUNAN KALIMAT SISWA KELAS XSMA WAHIDIYAH KEDIRI Problem in Preparing Sentence Morphological Class of 10 High School Students Wahidiyah Kediri Oleh: FITRIANA HARIYANTI

Lebih terperinci

ANALISIS KESALAHAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA OLEH SISWA ASING Oleh Rika Widawati

ANALISIS KESALAHAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA OLEH SISWA ASING Oleh Rika Widawati ANALISIS KESALAHAN PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA OLEH SISWA ASING Oleh Rika Widawati Abstrak. Penelitian ini menggambarkan kesalahan penggunaan bahasa Indonesia terutama dalam segi struktur kalimat dan imbuhan

Lebih terperinci

KATA JAHAT DENGAN SINONIMNYA DALAM BAHASA INDONESIA: ANALISIS STRUKTURAL

KATA JAHAT DENGAN SINONIMNYA DALAM BAHASA INDONESIA: ANALISIS STRUKTURAL KATA JAHAT DENGAN SINONIMNYA DALAM BAHASA INDONESIA: ANALISIS STRUKTURAL Rahmi Harahap Program Studi S-1 Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Abstract Research on the structural

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa-bahasa daerah di Indonesia mempunyai pengaruh dalam. Bahasa Karo, merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang masih

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa-bahasa daerah di Indonesia mempunyai pengaruh dalam. Bahasa Karo, merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang masih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa-bahasa daerah di Indonesia mempunyai pengaruh dalam pembentukan dan pengembangan bahasa Indonesia. Sebelum mengenal bahasa Indonesia sebagian besar bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa Orientasi Siswa (selanjutnya disebut MOS) merupakan suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa Orientasi Siswa (selanjutnya disebut MOS) merupakan suatu 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa Orientasi Siswa (selanjutnya disebut MOS) merupakan suatu kegiatan yang rutin dilakukan oleh pihak sekolah untuk menyambut kedatangan siswa baru. Kegiatan ini

Lebih terperinci

BAB 4 UNSUR-UNSUR BAHASA INGGRIS YANG MUNCUL DALAM CAMPUR KODE

BAB 4 UNSUR-UNSUR BAHASA INGGRIS YANG MUNCUL DALAM CAMPUR KODE BAB 4 UNSUR-UNSUR BAHASA INGGRIS YANG MUNCUL DALAM CAMPUR KODE 4.1 Pengantar Bagian ini akan membicarakan analisis unsur-unsur bahasa Inggris yang masuk ke dalam campur kode dan membahas hasilnya. Analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang sangat diperlukan saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang sangat diperlukan saat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemampuan berkomunikasi merupakan hal yang sangat diperlukan saat ini. Kemampuan ini hendaknya dilatih sejak usia dini karena berkomunikasi merupakan cara untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. system tulisan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2007: 90,

BAB I PENDAHULUAN. system tulisan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2007: 90, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah kunci pokok bagi kehidupan manusia sebagai makhluk sosial, karena dengan bahasa kita bisa berkomunikasi satu dengan yang lain. Keraf (2001:1) mengatakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi memunyai peranan yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi memunyai peranan yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi memunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Pengguna bahasa selalu menggunakan bahasa lisan saat

Lebih terperinci

KLASIFIKASI EMOSIONAL DALAM UNGKAPAN BAHASA INDONESIA YANG MENGGUNAKAN KATA HATI

KLASIFIKASI EMOSIONAL DALAM UNGKAPAN BAHASA INDONESIA YANG MENGGUNAKAN KATA HATI KLASIFIKASI EMOSIONAL DALAM UNGKAPAN BAHASA INDONESIA YANG MENGGUNAKAN KATA HATI Dita Marisa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, FPBS, UPI thasamarisa@yahoo.co.id Abstrak Penelitian dilatarbelakangi

Lebih terperinci